sindroma nefrotik
DESCRIPTION
InternaTRANSCRIPT
1
SINDROM NEFROTIK
1. DEFINISI
Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang
ditandai oleh proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan
tubuh per hari), hipoalbuminemia (kurang dari 3 g/dl), edema, hiperlipidemia,
lipiduria dan hiperkoagulabilitas. Umumnya nefrotik sindrom disebabkan
oleh adanya kelainan pada glomerulus yang dapat dikategorikan dalam
bentuk primer atau sekunder. Istilah sindrom nefrotik primer dapat disamakan
dengan sindrom nefrotik idiopatik dikarenakan etiologi keduanya sama
termasuk manisfestasi klinis serta histopatologinya
2. KLASIFIKASI
Sindrom nefrotik secara klinis dibagi menjadi 2 kelompok:
A. Sindrom Nefrotik Primer
Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini
secara primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada
penyebab lain. Sehingga dikatakan idiopatik namun diduga berhubungan
dengan genetic maupun imunologi alergi. Golongan ini paling sering
dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik primer
adalah sindrom nefrotik kongenital, yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik
yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun.
I. Sindrom Nefrotik Bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi
maternofetal. Gejalanya adalah edema pada masa neonatus. Sindrom
nefrotik jenis ini resisten terhadap semua pengobatan. Salah satu cara
yang bisa dilakukan adalah pencangkokan ginjal pada masa neonatus
namun jarang atau bahkan tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya
penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.
2
II. Sindrom Nefrotik Idiopatik, dibagi kedalam 4 golongan yang dibuat
berdasarkan histopatologinya, yaitu :
a. Kelainan minimal
Glomerolus tampak normal (mikroskop biasa) atau tampak foot
processus sel epitel berpadu (mikroskop elektron)
Dengan imonufluoresensi tidak ada IgG atau imunoglobulin beta-
IC pada dinding kapiler glomerolus
Lebih banyak terdapat pada anak
Prognosis baik
b. Nefropati membranosa
Glomerolus menunjukan penebalan dinding kapiler yang tersebar
tanpa proliferasi sel
Prognosis kurang baik
c. Glomerulonefritis Proliferatif
Eksudatif Difus
Terdapat prolifarasi sel mesangial dan infiltrasi polimorfonukleus
dan terjadi pembengkakan sitoplasma endotel yang menyebabkan
kapiler tersumbat.
Penebalan Batang Lobular (Lobular Stalk Thickening)
Terdapat proliferasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan
batang lobular.
Dengan Bulan Sabit (Crescent)
Prolifersi sel mesangial dan proliferasi sel epitel sampai kapsular
dan viseral.
Glomelurosklerosis Membranoproliferatif
Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai
membrana basalis de mesengium. Titer imunoglobulin beta-IC atau
beta-IA rendah.
3
d. Glomelurosklerosis Fokal Segmental
Sklerosis glomelorus dan atrofi tubulus
Prognosis buruk
B. Sindrom Nefrotik Sekunder
Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai
akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat.
Penyebab yang sering dijumpai disebabkan oleh:
Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis,
sindrom Alport, miksedema.
Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis,
streptokokus, AIDS.
Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun
serangga, bisa ular.
Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus
sistemik, purpura Henoch-Schönlein, sarkoidosis.
Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.
3. EPIDEMIOLOGI
Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi
minimal (75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat
diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita. SN
dapat menyerang semua umur tetapi terutama menyerang anak-anak yang
berusia antara 2-6 tahun. Anak laki-laki lebih banyak menderita dibandingkan
anak perempuan dengan rasio 3:2. Pada anak-anak kira-kira 90% disebabkan
oleh panyakit Glomerulus primer dan 10% adalah sekunder disebabkan oleh
penyakit sistemik seperti nefritis Henoch-Schonlein, Lupus Eritematous
Sistemik, amyloidosis dan sebagainya.
Insidensi sindrom nefrotik pada anak-anak di Amerika Serikat
diperkirakan 2.0 hingga 2.7 kasus baru per 100.000 anak-anak dibawah 18
tahun. Insisdensi sindrom nefrotik idiopatik 6 kali lebih besar pada anak-anak
Asia daripada Eropa. Di Jakarta Indonesia, Wira Wirya melaporkan 6 kasus
4
baru per 100.000 anakanak di bawah 14 tahun, membuat ini menjadi penyakit
relative paling umum pada pediatric.
Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%),
umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1.
Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa
3/1000.000/tahun. Sindrom nefrotik sekunder pada orang dewasa terbanyak
disebabkan oleh diabetes mellitus.
Sepertiga penderita SN tidak akan mengalami kambuh setelah remisi
pertama, namun duapertiga penderita SN akan mengalami kambuh. Angka
kekambuhan pada sindrom nefrotik kira-kira 70% dengan proteinuria dan
edema berulang.
4. PATOFISIOLOGI
Proteinuria
(albuminuria)
masif merupakan
penyebab utama
terjadinya sindrom
nefrotik, namun
penyebab
terjadinya
proteinuria belum
diketahui benar. Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya
muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler
glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut
menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus
sawar kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari
proteinuria yang hebat. Sembab muncul akibat rendahnya kadar albumin
serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan
konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial.
5
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid
plasma intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan
menembus dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang
menyebabkan edema. Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif
merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium di renal. Retensi
natrium dan air ini timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga
agar volume dan tekanan intravaskuler tetap normal. Retensi cairan
selanjutnya mengakibatkan pengenceran plasma dan dengan demikian
menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada akhirnya mempercepat
ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.
Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang
memicu aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS), hormon
katekolamin serta ADH (anti diuretik hormon) dengan akibat retensi natrium
dan air, sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium
rendah.
Kelainan Glomerulus
Albuminuria
Hipoalbuminernia
Tekanan onkotik koloin plasma
Volume plasma
Retensi Na di tubulus distal dan sekresi ADH
EDEMA
6
Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill yang dijabarkan seperti
bagan di bawah ini :
Dalam teori ini dijelaskan bahwa peningkatan kadar renin plasma dan
aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia. Tetapi ternyata tidak semua
penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa
penderita sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume
plasma dan penurunan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron.
Kelainan Glomerulus
Retensi Na renal primer
Volume Plasma
EDEMA
Albuminuria
Hipoalbuminemia
7
Sehingga timbullah konsep baru yang disebut teori overfill yang
dijabarkan seperti bagan di bawah ini:
Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena
mekanisme intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik
perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma
dan cairan ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat
overfilling cairan ke dalam kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat
menerangkan volume plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan
aldosteron rendah sebagai akibat hipervolemia.
Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses
yang dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill
berlangsung bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang sama,
karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin merupakan suatu kombinasi
rangsangan yang lebih dari satu.
Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai
pula oleh penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya α-
glikoprotein sebagai perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum
kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan pemberian infus
albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal. Pada status nefrosis,
hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum
meningkat. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan meningkatnya LDL (low
8
density lipoprotein), lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Kadar
trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL ( very low
density lipoprotein).
Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan
sintesis lipid dan lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme. Tingginya
kadar LDL pada SN disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa gangguan
katabolisme. Peningkatan sintesis hati dan gangguan konversi VLDL dan IDL
menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi pada SN. Menurunnya
aktivitas enzim LPL ( lipoprotein lipase ) diduga merupakan penyebab
berkurangnya katabolisme VLDL pada SN. Peningkatan sintesis lipoprotein
hati terjadi akibat tekanan onkotik plasma atau viskositas yang menurun.
Sedangkan kadar HDL turun diduga akibat berkurangnya aktivitas enzim
LCAT ( lecithin cholesterol acyltransferase ) yang berfungsi sebagai
katalisasi pembentukan HDL. Enzim ini juga berperan mengangkut kolesterol
dari sirkulasi menuju hati untuk katabolisme. Penurunan aktivitas LCAT
diduga terkait dengan hipoalbuminemia yang terjadi pada SN.
5. MANIFESTASI KLINIK
Gejala awal dari sindroma nefrotik meliputi; menurunnya nafsu
makan, malaise, bengkak pada kelopak mata dan seluruh tubuh, nyeri perut,
atropy dan urin berbusa. Abdomen mungkin membesar karena adanya
akumulasi cairan di intraperitoneal (Asites), dan sesak napas dapat terjadi
karena adanya cairan pada rongga pleura (efusi pleura) ataupun akibat
tekanan abdominal yang meningkat akibat asites. Gejala lain yang mungkin
terjadi adalah bengkak pada kaki, scrotum ataupun labia mayor. Pada keadaan
asites berat dapat terjadi hernia umbilikasis dan prolaps ani.
Defisiensi zat gizi dapat terjadi karena hilangnya nutrien dalam urin
serta anoreksia, dapat terjadi gagal tumbuh serta hilangnya kalsium tulang.
Diare sering dialami oleh pasien dalam keadaan edema, keadaan ini rupanya
bukan berkaitang dengan adanya infeksi, namun diduga penyebabnya adalah
edema di mukosa usus. Hepatomegali dapat di temukan, hal ini dikaitkan
dengan sinteis protein yang meningkat atau edema, atau keduanya. Kadang
9
terdapat nyeri perut kuadran kanan atas akibat hepatomegali dan edema
dinding perut
Pada anak dengan sindroma nefrotik dapat terjadi gangguan fungsi
psikososial yang merupakan akibat stress nonspesifik terhadap anak yang
sedang berkembang.
Empat gejala klinis yang paling utama dari pasien Sindroma
nefrotik adalah sebagai berikut:
1. Proteinuria
Proteinuria merupakan gejala utama sindrom nefrotik, proteinuria
yang terjadi lebih berat dibandingkan proteinuria pada penyakit ginjal
yang lain. Jumlah protein dalam urin dapat mencapi 40mg/jam/ m2 luas
permukaan tubuh (1gr/ m2/hari) atau 2-3,5gram/ 24 jam. Proteinuria yang
terjadi disebabkan perubahan selektifitas terhadap protein dan perubahan
pada filter glomerulus.
2. Hipoalbuminemia
Jumlah albumin dalam badan ditentukan oleh masukan dari sintesis
hepar dan pengeluaran akibat degradasi metabolik, eksresi renal dan
gastrointestinal. Pada anak dengan SN terdapat hubungan terbalik antara
laju eksresi protein urin dan derajat hipoalbuminemia. Sintesis protein di
hati biasanya meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti
kehilangan albumin dalam urin), tetapi mungkin normal atau menurun.
3. Hiperlipidemi
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density
lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density
lipoprotein (HDL) dapat meningkat, normal atau menurun. Hal ini
disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme
di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan
intermediate density lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis
lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan
tekanan onkotik.
10
Pada Sindroma nefrotik hampir semua kadar lemak (kolesterol,
trigliserid meningkat. Paling tidak ada dua faktor yang mungkin berperan
yakni: (1) hipoproteinemia merangsang sintesis protein menyeluruh dalam
hati termasuk lipoprotein. (2) katabolisme lemak menurun karena
penurunan kadar lipoprotein lipase plasma, sistem enzim utama yang
mengambil lemak dari plasma.
4. Sembab atau Edema
Ada 2 teori mengenai patofisiologi edema pada sindrom nefrotik :
teori underfilled dan teori overfille.
1. Hipotesis Underfill
Teori klasik mengenai pembentukan edema ini (underfilled
theory) adalah menurunnya tekanan onkotik intravaskular yang
menyebabkan cairan merembes ke ruang interstitial. Dengan
meningkatnya permeabilitas kapiler glomerulus, albumin keluar
menimbulkan albuminuria dan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia
menyebabkan menurunnya tekanan onkotik koloid plasma
intravaskular. Keadaan ini menyebabkan meningkatnya cairan transudat
melewati dinding kapiler dari ruang intravaskular ke ruang interstitial
yang menyebabkan terbentuknya edema.
Sebagai akibat pergeseran cairan ini volume plasma total dan
volume darah arteri dalam peredaran menurun dibanding dengan
11
volume sirkulasi efektif. Menurunnya volume plasma atau volume
sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium
renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha badan untuk
menjaga volume dan tekanan intravaskular agar tetap normal dan dapat
dianggap sebagai peristiwa kompensasi sekunder. Retensi cairan, yang
secara terus-menerus menjaga volume plasma, selanjutnya akan
mengencerkan protein plasma dan dengan demikian menurunkan
tekanan onkotik plasma dan akhirnya mempercepat gerak cairan masuk
ke ruang interstitial. Keadaan ini jelas memperberat edema sampai
terdapat keseimbangan hingga edema stabil.
Dengan teori underfilled ini diduga terjadi kenaikan kadar renin
plasma dan aldosteron sekunder terhadap adanya hipovolemia. Hal ini
tidak ditemukan pada semua pasien dengan SN.
2. Hipotesis Overfill
Pada hipotesis ini mekanisme utamanya adalah defek pada
tubulus primer di ginjal (intrarenal). Di tubulus distal terjadi retensi
natrium (primer) dengan akibat terjadi hipervolemia dan edema. Jadi
edema terjadi akibat overfilling cairan ke jaringan interstitial. Pada
hipotesis ini karena terjadi hipervolemia, sistem RAA atau aldosteron
akan menurun. Demikian pula ADH tetapi kadar ANP meningkat
karena tubulus resisten terhadap ANP. Akibatnya retensi Na tetap
berlangsung sehingga terjadi edema. (lihat gmbr).
Meltzer dkk mengusulkan 2 bentuk patofisiologi SN, yaitu tipe
nefrotik dan tipe nefritik. Kelompok pertama (underfill) disebut juga
tipe nefrotik dan yang paling sering terjadi pada SN kelainan minimal
(minimal change nephrotic syndrome = MCNS). Tipe nefrotik ditandai
dengan volume plasma rendah dan vasokonstriksi perifer dengan kadar
renin plasma dan aldosteron yang tinggi. Laju filtrasi glomerulus (LFG)
masih baik dengan kadar albumin yang rendah. Kelompok ke dua
(overfill) disebut tipe nefritis biasanya di jumpai pada SN bukan
12
kelainan minimal (BKM) atau glomerulonefritis kronik. SN bukan
kelainan minimal pada dasarnya memang suatu glomerulonefritis
Dengan teori underfill dapat diduga terjadi kenaikan renin plasma
dan aldosteron sekunder terhadap adanya hipovolemia, tetapi hal
tersebut tidak terdapat pada semua penderita Sindroma nefrotik.
Sehingga teori overfill dapat di pakai untuk menerangkan terjadinya
edema pada sindrom nefrotik dengan volume plama yang tinggi dan
kadar renin, aldosteron menurun terhadap hipovolemia.
6. DIAGNOSIS
Sindrom nefrotik ditegakkan berdasarkan 4 gejala klinik yang khas, yaitu :
1. Proteinuria Masif atau Proteinuria Nefrotik
Dimana dalam urin terdapat protein ≥ 40 mg/m2 lpb/jam atau > 50
mg/kgBB/ 24 jam, atau rasio albumin/ kreatinin pada urin sewaktu >2
mg/mg, atau dipstik ≥2+. Proteinuria pada sindrom nefrotik kelainan
minimal relatif selektif, yang terbentuk terutama oleh albumin.
2. Hipoalbuminemia
Albumin serum < 2,5 g/dl. Harga normal kadar albumin plasma pada
anak dengan gizi baik berkisar antara 3.6-4.4 g/dl. Pada sindrom nefrotik
retensi cairan dan sembab baru akan terlihat apabila kadar albumin
13
plasma turun dibawah 2.5-3.0 g/dl, bahkan sering dijumpai kadar
albumin plasma yang jauh dibawah kadar tersebut.
3. Oedem
4. Hiperlipidemia
Pasien sindrom nefrotik idiopatik mengalami hiperkolesterolemia
(kolesterol serum lebih dari 200 mg/dl).
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain:
1. Urinalisis dan bila perlu biakan urin.
2. Protein urin kuantitatif, dapat berupa urine
24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari
3. Pemeriksaan darah
a. Darah tepi (hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit,
hematokrit,LED)
b. Kadar albumin dan kolestrol plasma
c. Kadar ureum, kreatinin, serta klirens kratinin dengan cara klasik atau
dengan rumus Schwatz
d. Titer ASO dan kadar komplemen C3 bila terdapat hematuria
mikroskopis persistent.
e. Bila curiga LES, pemeriksaan dilengkapi dengan pemeriksaan kadar
komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody) dan anti-dsDNA.
7. PENATALAKSANAAN
Pada SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit dengan tujuan
untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diet,
penanggulangan edema, memulai pengobatn steroid, dan edukasi orangtua.
Sebelum pengobatan streoid di mulai, dilakukan pemeriksaan uji mantoux.
Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH bersama streoid, dan bila
ditemukan tuberkulosis diberikan obat anti tuberkulosis (OAT). Perawatan
pada SN relaps hanya dilakukan bila disertai edema anasarka yang berat atau
disertai komplikasi muntah infeksi berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah baring
14
tidak perlu dipaksakan dan aktifitas disesuaikan dengan kemampuan pasien.
Bila edema tidak berat anak boleh sekolah.
a) Dietetik
Pemberian diet tinggi protein tidak diperlukan bahkan sekarang
dianggap kontra indikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk
mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan
terjadinya sklerosis glomerrulus. Jadi cukup diberikan diet protein normal
sesuai dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu 1,5-2
g/kgBB/hari denagn kalori yang adekuat. Diet rendah protein akan
menyebabkan malnutrisi energi protein (MEP) dan hambatan pertumbuhan
anak. Lemak dapat diberikan dengan jumlah yang tidak melebihi 30%
jumlah total kalori keseluruhan, lebih di anjurkan memberikan
karbonhidrat kompleks dari pada gula sederhana. Restriksi garam dan
cairan tidak diperlukan pada sebagian besar kasus sindrom nefrotik sensitif
steroid. Diet rendah garam (1-2 g/hari, atau 2 mmol/kg/hari) plus
menghindar camilan asin, dianjurkan selama anak mengalami edema atau
hipertensis.
b) Sembab
Sebagian pasien dengan sembab ringan tidak memerlukan diuretik.
Pasien dengan sembab nyata tanpa deplesi volume intravaskular diberikan
terapi sebagai berikut. Dimulai dengan furosemid 1-3 mg/kgBB/hari 2 kali
sehari. Bila tidak ada respons, dosis dinaikkan sampai 4-6 mg/kgBB/hari
bersama dengan spironolakton (antagonis aldosteron) 2-3 mg/kg/hari,
sebagai pottasium-sparing agent (diuretik hemat kalium). Kadang-kadang
perlu diberikan furosemid bolus intravena atau infus. Pemakaian diuretik
lebih dari 1 minggu dengan dosis tinggi harus hati-hati, perlu pemantauan
terhadap hipovolumia dan elektrolit serum.
Intake air tidak perlu direstriksi, kecuali pada pasien dengan sembab
hebat. Pada keadaan tersebut, intake cairan dibatasi sesuai dengan
insensible loss plus jumlah urine sehari sebelumnya.
15
Terapi diuretik kadang-kadang tidak efektif bahkan dapat
membahayakan pasien yang mengalami hipoalbuminemia (albumin serum
< 1,5 g/dL) plus deplesi volume intravaskular. Pemberian infus albumi
20% dengan furosemid dapat memacu diuresis dan mengurangi sembab.
Pada keadaan demikian kadang-kadang diperlukan beberapa kali infus
albumi. Bila pemberian diuretik tidak berhasil mengurangi edema (edema
refrakter), biasanya disebabkan oleh hipovolemia atau hipoalbuminemia
berat (kadar albumin ≤ 1 g/dl), dapat diberikan infus albumin 20-25%
dengan dosis 1 g/kgBB selama 4 jam untuk menarik cairan dari jaringan
interstitial, dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2
mg/kgBB. Bila pasien tidak mampu dari segi beaya, dapat diberikan
plasma sebanyak 20 ml/kgBB/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk
mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila di perlukan,
albumin atau plasma dapat diberikan selang-sehari untuk memberikan
kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Pemberian
plasma berpotensi menyebabkan penularan infeksi hepatitis, HIV, dan lain
lain. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu pernafasan dapat
dilakukan fungsi asites berulang.
c) Imunisasi
Semua vaksin mati secara umum aman untuk anak yang
mengalami remisi. Semua vaksin yang hidup sebaiknya dihindari hingga
steroid dihentikan selama paling sedikit 6 minggu. Selain itu, harus
dihindari jika terapi cyclofosfamid atau cyclosporine A telah diinisiasi.
16
8. KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi pada semua pasien SN, baik SN responsif
steroid maupun SN resisten steroid. Deteksi dini sangat diperlukan sehingga
dapat dilakukan penanggulangan yang cepat.
a. Infeksi
Anak-anak dengan NS berada pada risiko yang lebih tinggi terkena
infeksi, sebagian karena penyakit itu sendiri dan sebagian karena terapi
imunosupresif. Mereka memiliki kecenderungan yang kuat untuk infeksi
pneumokokus. Beberapa ahli mengusulkan bahwa anak-anak dengan NS
diberikan profilaksis penisilin selama relaps dari penyakit ini.
Penting untuk diingat bahwa bakteri gram negatif
menyebabkan proporsi yang signifikan dari infeksi pada anak-anak
dengan NS, dan sampai organisme telah diidentifikasi dalam pasien
tertentu, antibiotika spektrum luas harus ditentukan. Pasien pada obat-
obatan imunosupresif, jika terkena infeksi varicella, sebaiknya menerima
imunoglobulin zoster dalam waktu 72 jam. Pasien dengan varicellaharus
ditangani dengan infus asiklovir.
Tabel : Infeksi yang sering terjadi pada pasien SN dan
penatalaksanaannya
Infection Clinical features Organisme Treatment
Peritonitis Abdominal pain /
tenderness, diarrhea,
vomiting
Pneumococci,
E.coli,
H.influenzae
ivi Ceftriaxone (or
Cefotaxime) or Ampicilin
with aminoglycoside for
10-14 days
Pneumonia Fever, tachypnea,
cough
Pneumococci,
H.influenzae
Oral Amoxicilin /
Cephalexin/Coamoxiclay
for mild disease ivi
Ceftriaxone or Ampicilin
with Aminoglycoside for
7-10 days for severe
17
illness
Cellulitis Redness, trendemess
or induration
Beta-hemolytic
streptococci,
H.influenzae,
pneumoccocci,
staphylococi
Candida,
Aspergillus
Ivi Cloxacillin with
Ceftriaxone till resolution
of induration, followed by
oral Cholaxillin and
Cefixime for 10 days
Fungal infection Pulmonary infiltrate,
persistent fever
unresponsive to
antibacterial therapy,
sputum/urine showing
septate hyphae
Candida,
Aspergillus
spp.
Skin, mucosa.
Fluconazole for 10-14
days
Systemic. Amphotericin B
for 14-21 days
Dikutip dari: Bagga A, Menon S. Idiopathic Nephrotic Syndrome: Initial
Management. In: Chiu MC, Yap HK, editors. Practical Paediatric Nephrology -
An Update of Current Practices. Hong Kong: Ivledcom Limited; 2005. p. 109-15.
b) Hipovolemia
Shock dan hipovolemia umumnya terjadi pada perkembangan
edema. Kehilangan cairan selama diare, muntah, sepsis dan terapi diuretik
secara gegabah memicu terjadinya hipovolemia. Tanda-tanda klinis dan
gejala termasuk kram pusat perut parah dengan atau tanpa muntah,
penurunan output urine, kaki dingin, tekanan darah rendah atau hipertensi
reaktif. Laboratorium temuan natrium urin rendah (<10 mEq / l) dan
hematokrit meningkat menandakan shock hipovolemik. pengobatan sangat
penting dan infus koloid adalah andalan pengobatan; 4,5% albumin,
albumin 20% atau plasma harus diinfus perlahan-lahan di bawah
pengawasan hati-hati. Jika terjadi edema paru, infus harus dihentikan dan
diberikan furosemid intravena (1 mg / kg).
18
c) Hipertensi
Dalam sindrom nefrotik sensitive steroid (SSNS), tekanan darah
biasanya normal. Namun, hipertensi pada anak dengan SSSN harus
dievaluasi sangat hati-hati. Ini mungkin mencerminkan hipervolemia atau
vasokonstriksi ekstrim dalam menanggapi hipovolemia dimediasi melalui
sistem renin-angiotensin. kemudian, kadar natrium urin akan sangat
rendah. Jika tekanan darah melebihi batas normal, terapi singkat
antihipertensi dapat ditentukan setelah hipovolemia tidak diperhitungkan.
Umumnya obat antihipertensi yang digunakan adalah nifedipin,
hydralazine atau atenolol. Diuretik sangat berguna ketika hipertensi
diakibatkan overload cairan
d) Trombosis
Anak-anak dengan sindrom nefrotik dapat berkembang menjadi
thrombosis arteri dan vena. Kejadian thrombosis karena kombinasi factor
hemodinamik dan status hiperkoagulasi yang berhubungan dengan
sindrom nefrotik. Ini terjadi kehilanngan antitrombus melalui urine,
sehingga meningkatkan resiko terjadinya thrombosis pada sindrom
nefrotik.
e) Gagal Ginjal Akut
Gagal ginjal akut sangat jarang terjadi pada SSNS, tetapi derajat
ringan azotemia prerenal terlihat dalam hubungan hipovolemia yang
merespon penggantian volume.
f) Osteoporosis
19
Risiko osteoporosis terpengaruh-steroid memiliki implikasi
signifikan jangka panjang. Faktor prediktif massa tulang yang rendah
adalah usia lebih tua saat onset, asupan kalsium yang rendah dan dosis
steroid kumulatif.
g) Gizi Buruk
Kehilangan protein darah terlalu banyak dapat mengakibatkan
kekurangan gizi. Hal ini dapat menyebabkan penurunan berat badan, tapi
tertutupi oleh adanya pembengkakan.
9. PROGNOSIS
Prognosis makin baik jika dapat di diagnosis segera. Pengobatan segera
dapat mengurangi kerusakan glomerolus lebih lanjut akibat mekanisme
kompensasi ginjal maupun proses autoimun. Prognosis juga baik bila
penyakit memberikan respons yang baik terhadap kortikosteroid dan jarang
terjadi relaps. Terapi antibakteri dapat mengurangi kematian akibat infeksi,
tetapi tidak berdaya terhadap kelainan ginjal sehingga akhirnya dapat terjadi
gagal ginjal.
Faktor yang paling penting dalam menentukan prognosis anak - anak
dengan sindrom nefrotik adalah kemampuan merespon steroid. Sementara
lebih dari 70 persen anak-anak dengan sindrom nefrotik sensitive steroid
relaps dan hampir 50 persen memiliki relaps sering atau tergantung steroid,
resiko mereka untuk progersi kearah gagal ginjal kronis minimal.
Secara garis besar, prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-
keadaan sebagai berikut :
Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di
atas 6 tahun.
Disertai oleh hipertensi.
Disertai hematuria.
Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.
Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.
20
Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer
memberi respons yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi
kira-kira 50% di antaranya akan relapse berulang dan sekitar 10% tidak
memberi respons lagi dengan pengobatan steroid.
21
DAFTAR PUSTAKA
A.Aziz Rani, Soegondo S. Mansjoer A. et all. Sindrom Nefrotik. Panduan Pelayanan Medik PAPDI. 3rd ed. Jakarta: PB. PAPDI. 2009
Anonym. Cyclophosphamide untuk sindroma nefrotik [artikel]. Website: Indonesia Kidney Care Club. [cited 2010, Dec 12]. Available: http://www.ikcc.or.id/content.php?c=2&id=170
Carta A. Gunawan. Sindrom Nefrotik: Patogenesis dan Penatalaksanaan. Cermin Dunia Kedokteran No. 150, 2006 53. Website: kalbe farma. [cited 2010, Nov 28]. Available: http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/18_150_SindromaNefrotikPatogenesis.pdf/18_150_SindromaNefrotikPatogenesis.html
Djoko, W. 2009. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi kelima. Penerbit FK UI, Jakarta.
Ganong. W.F., editor Widjajakusumah D.H.M. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran., edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: EGC. 2001
Guyton.A.C. et all .Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Philadelpia: Elsevier saunders. 1996
Noer, MS. Pedoman Diagnosa dan Terapi Ilnau Kesehatan Anak. 2008: RSUD dr. Soetorno Surabaya.