simbolisme dalam kesenian jaranan

Upload: galoeh-natra

Post on 02-Jun-2018

339 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

  • 8/11/2019 Simbolisme Dalam Kesenian Jaranan

    1/16

  • 8/11/2019 Simbolisme Dalam Kesenian Jaranan

    2/16

    URNA, Jurnal Seni Rupamerupakan jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Jurusan Pen-

    didikan Seni Rupa, Universitas Negeri Surabaya. URNAberisikan artikel konsep-

    tual, resume penelitian, dan tinjauan buku. Bertujuan untuk mengembangkan dan

    mengomunikasikan secara luas perkembangan seni rupa dan pendidikan seni rupa

    baik yang sifatnya teoretis maupun pragmatis. Terbit dua kali setahun, tiap bulan

    Juni dan Desember.

    Penanggung Jawab : Eko A.B. Oemar

    Ketua Penyunting : I Nyoman Lodra

    Wakil Ketua Penyunting : Asy Syams Elya Ahmad

    Penyunting Ahli : Djuli Djatiprambudi (Universitas Negeri Surabaya)

    Martadi (Universitas Negeri Surabaya)

    Sofyan Salam (Universitas Negeri Makassar)

    Tjetjep Rohendi Rohidi (Universitas Negeri Semarang)

    Penyunting Pelaksana : Salamun Kaulam

    Asidigisianti Surya Patria

    Muhajir Nadhiputro

    Marsudi

    Sekretaris : Nova Kristiana

    Administrasi : Fera Ratyaningrum

    Alamat Redaksi:

    Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Universitas Negeri SurabayaGedung T3 Lt. 2, Kampus Lidah Wetan Surabaya 64732

    Telp/Fax. 031-7530865 | E-mail: [email protected]

    [email protected] | Website: hp://www.urna-jurnalsenirupa.org

    ISSN 23018135

    2012 Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Universitas Negeri Surabaya

    Gambar sampul depan: Dark Blue Face.Vector Graphics karya Salamun Kaulam (2010).

  • 8/11/2019 Simbolisme Dalam Kesenian Jaranan

    3/16

    ISSN 23018135

    Vol. 1, No. 2 (Desember 2012): 107213

    d a f t a r i s i

    Artikel:

    PRESIDEN SUKARNO DAN

    PELUKIS Le MAYEUR DI BALIMikke Susanto (Institut Seni Indonesia, Yogyakarta)

    BENTUK PEWARISAN SENI UKIR DI SANGGAR

    SUNGGING ADI LUWIHJEPARA

    Sulbi Prabowo (Universitas Negeri Surabaya)

    SIMBOLISME DALAM KESENIANJARANAN

    Salamun Kaulam (Universitas Negeri Surabaya)

    FUNGSI DAN MAKNA KESENIAN

    SAPE` SONO MADURABudi Hariyanto (SMAN Pademawu, Pamekasan, Madura)

    KONSTRUKSI SOSIAL DALAM DESAIN SAMPUL

    AL QUR AN BERMOTIF BATIK

    Tri Cahyo Kusumandyoko (Universitas Negeri Surabaya)

    MAKNA TANDA PADA POSTER

    FILM KUNTILANAK 2

    Hendro Aryanto (Universitas Negeri Surabaya)

    MEMOTIVASI DALAM PEMBELAJARAN SENI RUPA

    Siti Mutmainah (Universitas Negeri Surabaya)

    107

    115

    127

    139

    150

    162

    172

  • 8/11/2019 Simbolisme Dalam Kesenian Jaranan

    4/16

    ISSN 23018135

    Vol. 1, No. 2 (Desember 2012): 107213

    Resume Penelitian:

    PENGARUH TEKNIK TUKING TERHADAP

    KEMAMPUAN MENGGAMBARAgus Mardiwasono (SMPN 1 Prambon, Nganjuk)

    TINJAUAN VISUAL RAGAM HIAS PERLENGKAPAN

    PENGANTIN MADURA (BUSANA DAN TEMPAT

    DUDUK PENGANTIN)

    Fera Ratyaningrum & Asidigisianti S.P. (Universitas Negeri Surabaya)

    Tinjauan Buku:

    SELAMAT DATANG PENTAFONIK SENIAnas Ahmadi (Universitas Negeri Surabaya)

    Indeks Vol. 1, 2012

    179

    192

    205

    208

  • 8/11/2019 Simbolisme Dalam Kesenian Jaranan

    5/16

    SIMBOLISME DALAM KESENIANJARANAN

    Salamun Kaulam

    Abstrak:Pada awalnya, kesenian jaranandilakukan orang dalam rangka upa-cara ritual (ritus) permohonan keselamatan dan keselarasan hidup. Bonekajaranan, penari, perapian, sesaji, trancedan seluruh prosesi pementasan adalahsimbol yang melekat pada pelaksanaan upacara ritual (ritus). Pada saat itu sim-

    bol diyakini mempunyai makna yang kuat, bahkan merupakan syarat mutlakyang harus ada dalam suatu ritus. Keyakinan tentang makna simbol ada padaseluruh komunitas pendukungnya. Sekarang, terutama pada masyarakat mo-dern, pementasan kesenianjaranantidak lagi diyakini memiliki kekuatan untukmenyelamatkan desa, atau kemampuan supranatural lainnya. Maka simboldalam kesenianjarananjuga telah kehilangan kekuatan nilai simboliknya.

    Abstract: At the beginning of its emergence, the art of jaranan were performed forritual ceremonies as a request for prosperity and harmony in life. Jaranan dolls, dancers,reworks, oers, trance and the whole processions of the performance were prominentsymbols aached to the rituals. In the past, these symbols were believed to have a strongmeaning, and even an absolute requisite for the rituals. The beliefs on the symbols werecomprehended and accepted by the whole supporting communities. Nowadays, particu-larly for modern societies, the performance ofjaranan is no longer believed to be able toprovide prosperity or other supra natural entities. Therefore, the meaning of symbols injaranan are currently fade away.

    Kata kunci:kesenianjaranan, simbol, ritus

    Manusia adalah mahluk budaya yang di dalamnya penuh dengan simbol.

    Hanya manusia yang menciptakan kebudayaan, hanya manusia pula yang men-

    ciptakan simbol. Manusia sebagai animal rationale, lebih tepat memahami manusia

    sebagai animal symbolicumatau binatang bersimbol, atau bisa dikatakan sebagaibinatang yang hidup dalam simbol. Rasio amat tidak memadai untuk mema-

    hami bentuk-bentuk kehidupan budaya dalam seluruh kekayaan yang bermacam-

    macam. Semua itu adalah bentuk-bentuk simbolik. (Cassirer. 1944; A. Nugroho.

    1987: 36-40). Herusatoto (1984: 10) manggarisbawahi pandangan Cassirer, bahwa

    manusia tidak pernah melihat, menemukan dan mengenal dunia secara langsung

    Salamun Kaulam adalah Staf Pengajar pada Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas

    Negeri Surabaya. e-mail: [email protected]

    127

  • 8/11/2019 Simbolisme Dalam Kesenian Jaranan

    6/16

    tetapi melalui berbagai simbol. Kenyataan adalah selalu lebih daripada hanya tum-

    pukan fakta-fakta, tetapi ia mempunyai makna yang bersifat kejiwaan.

    Istilah atau kata simbol berasal dari kata Yunani symbolos yang berarti

    tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang (Herusatoto,

    1984:10). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia(1989: 490) dijelaskan bahwa simbol

    adalah lambang yang mengacu pada sesuatu seperti tada (lukisan, lencana, dan

    sebagainya) yang menyatakan suatu hal atau mengandung maksud tertentu. Di-

    contohkan; gambar tunas kelapa sebagai lambang Pramuka; warna biru sebagai

    lambang kesetiaan. Dari pengertian tersebut, seakan-akan simbol adalah kata

    benda. Simbol tidak sekedar kata benda. Untuk menjelaskan pengertian simbol,

    Herusatoto (1984: 11-12) membandingkan antara isyarat, tanda dan simbol. Isyarat

    adalah suatu hal atau keadaan yang diberitahukan oleh subjek kepada objek, agar

    objek mengetahuinya saat itu juga, tidak ditunda. Contohnya; peluit kereta api,

    morse, gerak-gerik polisi yang mengatur lalu-lintas dan sebagainya. Tanda ialahsesuatu hal atau keadaan yang menerangkan atau memberitahukan objek kepada

    subjek. Sedangkan simbol adalah sesuatu hal atau keadaan yang memimpin pema-

    haman subjek kepada objek. Contoh tanda; ada asap tanda ada api, ada kilat tanda

    akan ada petir, tanda lalu-lintas, tanda baca, tanda ukuran dan sebagainya. Tanda

    memberi pengertian yang sempit, terbatas atau bahkan tunggal. Sementara simbol

    mempunyai arti yang luas dan memerlukan pemahaman makna yang terkandung

    di dalam simbol atau lambang tersebut.

    Menurut Victor Turner (dalam Winangun, 1990: 18-19) simbol adalah sesuatu

    yang dianggap, dengan persetujuan bersama, sebagai sesuatu yang memberikansifat alamiah atau mewakili atau mengingatkan kembali dengan memiliki kualitas

    yang sama atau dengan membayangkan dalam kenyataan atau pikiran. Simbol

    merangsang perasaan seseorang, tanda tidak mempunyai sifat merangsang. Simbol

    berpartisipasi dalam arti dan kekuatan yang disimbolkan, tanda tidak berpartisi-

    pasi dalam realitas yang ditandakan. Simbol cenderung multivokal (banyak arti),

    sedangkan tanda cenderung univokal.

    Saidi (2008:29) setelah membahas berbagai pandangan tentang simbol, meru-

    muskan bahwa simbol bisa diidentifkasi sebagai kata benda, kata kerja, dan kata

    sifat. Sebagai kata benda, simbol dapat berupa barang, objek, tindakan, dan hal-

    hal konkret lain. Sebagai kata kerja, simbol berfungsi menggambarkan, menyinari,

    menyelubungi, menggantikan, menunjukkan, menandai, dan seterusnya. Sebagai

    kata sifat, simbol berarti sesuatu yang lebih besar, lebih tinggi, sebuah kepercayaan,

    nilai, prestasi, dan lain sejenisnya.

    SIMBOL DAN BUDAYA JAWA

    Manusia memang makhluk yang beraktivitas dan aktivitasnya itu bersifat

    produktif. Aktivitas itu bisa berupa aktivitas pragmatis semata, atau aktivitas yang

    bersifat religius atau ruhaniah dan transendental. Tetapi tidak semua hal, keadaan,

    128 URNA, Jurnal Seni Rupa: Vol. 1, No. 2 (Desember 2012): 127138

  • 8/11/2019 Simbolisme Dalam Kesenian Jaranan

    7/16

    SALAMUN K., Simbolisme dalam Kesenian Jaranan 129

    atau aktivitas manusia adalah simbol. Rangkaian bunga bisa sekedar dekoratif atau

    bisa bermakna simbolis. Ia sekedar dekoratif jika hanya sebagai penghias ruangan,

    sementara ia bisa bermakna simbolis, lambang cinta, atau bahkan bisa lambang

    duka-cita. Membasuh kaki seseorang bisa sekedar membersihkan dari kotoran,

    tetapi dalam konteks tertentu bermakna pengabdian.

    Segala sesuatu yang telah diciptakan manusia melalui aktivitasnya yang bisa

    berupa benda, bahasa, tulisan, adat istiadat, nyanyian, tarian, lukisan, dan lain

    sebagainya bisa bermakna simbolik, bisa pula tidak. Namun dalam kepercayaan

    Jawa, banyak hal atau keadaan yang sarat dengan muatan simbolik. Lebih luas lagi

    dikatakan oleh Herusatoto (1984: 29) bahwa, simbolisme sangat menonjol pera-

    nannya pertama-tama dalam religi. Perilaku manusia dalam melaksanakan ritual

    keagamaannya selalu menggunakan berbagai simbol, begitu pula peralatan dan

    tata cara pelaksanaan ritualnya.

    Begitu pula kata Victor Turner (dalam Winangun, 1990: 18), bahwa mempela-jari ritus berarti juga mempelajari simbol-simbol yang digunakan dalam ritus itu.

    Simbol merupakan manifestasi yang nampak dalam ritus. Simbol selalu diguna-

    kan dalam ritus. Simbol selalu melekat pada ritus atau upacara keagamaan atau

    kepercayaan tertentu. Dalam masyarakat Jawa, simbol dalam ritus bahkan sudah

    dimulai sejak manusia masih dalam kandungan, kemudian berlangsung pula pada

    masa-masa tertentu termasuk saat kematian. Pada dasarnya berbagai ritus dan

    berbagai simbol yang hadir dalam ritus adalah media untuk mencari keselamatan

    dan kebahagiaan hidup. Keyakinan untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan

    hidup tersebut berlaku untuk penganut agama apapun dan keyakinan kepercayaanapapun, termasuk keyakinan yang paling primitif sekalipun.

    Menurut Subagya (1981: 114-215) para penganut agama asli Indonesia meya-

    kini ada tata alam sakral yang sifatnya stabil, selaras dan kekal, yang mengatasi

    segala apa yang terjadi dalam alam dunia yang dilakukan oleh manusia. Aturan

    suprakosmis itu merupakan sumber segala kemuliaan dan kebahagiaan manusia.

    Berbagai kaidah untuk menjadikan utuh hidup manusia bersumber dari keyakinan

    aturan tersebut. Manusia harus menyesuaikan diri dengan tata aturan alam sakral

    tersebut. Keselamatan akan tercapai jika terdapat kesesuaian atau keselarasan

    antara hidup manusia dengan latar belakang mutlak itu, dan sebaliknya, yang me-

    nyimpang, tidak cocok atau menentangnya, adalah disfungsional, salah, sesat dan

    merupakan dosa. Maka ada alam transenden yang sifatnya vertikal dan alam nyata

    yang horisontal, ada aktivitas transenden dan aktivitas nyata.

    Timbulnya wabah, bencana alam, gempa bumi, kemarau panjang dan se-

    bagainya diyakini sebagai akibat tidak terpeliharanya hubungan selaras antara

    manusia di bumi dan tata alam sakral di atas. Situasi kritis itu disebut; pralaya,

    kalatidha, kartayuga, gara-gara, kisa sirao. Upacara-upacara besar adalah merupakan

    upaya konsolidasi tata alam yang berdimensi dua tersebut. Berkat konsolidasi itu

    manusia menginkorporasi hidupnya yang penuh dosa dan duka nestapa ke dalam

  • 8/11/2019 Simbolisme Dalam Kesenian Jaranan

    8/16

    dimensi vertikal, tempat di mana ia akan pulang kelak. Upacara besar (core ritual),

    boleh dikatakan terdapat di seluruh nusantara, berupaya untuk memperbarui dun-

    ia, meruwat segala yang usang dan lapuk. Berkat upacara besar, seluruh tata alam

    dan umat dipulihkan bersama-sama. Intisari upacara itu adalah berkabung atau

    penyesalan (metanonia), presentasi, doa dan kurban (katharsis), dan kegembiraan

    telah memperbarui hubungan dengan tata alam sakral (paripatia).

    Pertunjukan wayang yang masih bertahan sampai saat ini, dulunya juga di-

    yakini sebagai ritus pemanggilan roh nenek moyang dalam rangka melindungi

    seseorang, keluarga, atau masyarakat dari gangguan mara bahaya dan petaka,

    hingga terwujud keselamatan dan kebahagiaan. Konon, nenek moyang kita per-

    caya bahwa roh leluhur masih tinggal di sekitar mereka, di pohon, gunung yang

    kemudian di-sebut gunung Hyangatau Di-Hyang(Dieng), atau Da Hyang, atau Dah

    Yangdan sebagainya. Roh leluhur dianggap sebagai pelindung dan dapat memberi

    pertolongan bagi yang masih hidup. Roh itu bisa dipanggil lewat shaman denganmedia bunyi-bunyian, pujian, nyanyian dan sesaji, dalam rangka pengormatan dan

    permohonan perlindungan. Pementasan wayang, dalam bentuknya yang paling

    awal dan sederhana diniatkan untuk upacara pemanggilan roh leluhur tersebut

    (Mulyono, 1983: 53).

    Upacara atau ritus pernikahan yang ribet, tidak lain juga dalam rangka

    mengharapkan keselamatan dan kebahagiaan. Janur kuning sebagai lamang ke-

    bahagiaan, berbagai dedaunan pada pintu masuk tarub melambangkan kekuatan

    menyingkirkan gangguan, buah kelapa dan pisang raja berbuah melambangkan

    derajat raja atau bangsawan. Siraman dan Midodareni adalah rangkaian ritus yangperlu dilalui, dan tentu saja akad nikah dan temu, yang dilanjutkan dengan ngabek-

    ten, semuanya relatif masih dilakukan dengan keyakinan agar memperoleh berkah,

    keselamatan dan kebahagiaan.

    Upacara atau ritus bagi janin hingga lahir sampai berumur beberapa bulan

    dilakukan dengan berbagai simbol yang menyertainya juga dalam rangka agar si

    jabang bayi sehat, selamat dan selalu menikmati kebahagiaan. Dalam masyarakat

    jawa dikenal istilah ngapati(empat bulan usia kandungan), mitoni(tujuh bulan usia

    kandungan), dan ada pula upacara ngrujaki. Setelah lahir ada upacara sepasaran

    (usia lima hari), selapanan(usia 35 hari) ada upacara potong rambut, dulu ada juga

    upacarapangur. Pada usiapitunglapanada upacaratedaksiten(turun tanah).

    Tidak bisa disangkal banyak sekali kepecayaan Jawa yang berhubungan de-

    ngan pembebasan agar terhindar dari marabahaya dan sebaliknya menemukan

    keselamatan dan kebahagiaan. Masih banyak upacara serupa, seperti nyadran, sela-

    matan di kuburan, bersih desa dan masih banyak lagi lainnya, yang salah satunya

    adalah upacara bersih desa dengan media kesenianjarananyang dipaparkan dalam

    tulisan ini.

    130 URNA, Jurnal Seni Rupa: Vol. 1, No. 2 (Desember 2012): 127138

  • 8/11/2019 Simbolisme Dalam Kesenian Jaranan

    9/16

    SALAMUN K., Simbolisme dalam Kesenian Jaranan 131

    SEKILAS TENTANG KESENIANJARANAN

    Kesenianjaranan, atau biasa disebut jaranan adalah salah satu jenis kesenian

    rakyat atau kesenian tradisional yang sampai saat ini masih banyak ditampilkan.

    Selain Jaranan ada juga kesenian sejenis itu tetapi dengan nama yang lain, yaitu;

    Jaran Kepang, Kuda Lumping, Jathilan, atau Tari Kuda. Bentuk kesenian ini adalah

    berupa pertunjukan tarian yang dilakukan oleh beberapa orang penari mengenda-

    rai boneka kuda (dalam bahasa jawa boneka kuda itu dinamai jaranan). Tarian ini

    biasanya dipentaskan dengan iringan, terutama, instrumen gamelan, (walaupun

    dalam perkembanganya instrumen itu bisa bertambah dengan instrumen elek-

    tronik).

    TarianJaranan, sesuai dengan keragaman namanya juga memiliki keragaman

    bentuk dan maksud pementasannya. Di dalam Eksiklopedi Nasional Indonesia

    dijelaskan bahwa: kuda kepangatau kuda lumping, salah satu jenis kesenian tradisi-

    onal yang menjadi pertunjukan rakyat di Jawa, berupa tarian menunggang kuda,yang dimainkan oleh sekelompok orang dengan iringan gamelan. Tokoh-tokohnya

    merupakan kombinasi dari tokoh lucu seperti penthul dan tembem, atau penthul

    dan kacung, dengan tokoh raksasa yang disebut barongan. Gamelan pengiringnya

    terompet kecil, angklung, gong kecil, kendhang, kenong dan ketipung. Pakaian

    pemainnya berbeda antara daerah yang satu dengan daerah lainnya. Namun, pada

    dasarnya para pemain berpakaian ala kesatria, agak mirip pakaian wayang orang

    (TIM, 1990: 205).

    Soedarsono dalam bukunyaJawa dan Bali Dua Pusat Perkembangan Drama Tari

    Tradisional di Indonesia, dalam Sugito (2005) menyebutkan bahwa tari kuda kepangialah sebuah tarian rakyat yang populer sekali di Jawa Tengah. Tari kuda kepang

    ditarikan oleh empat orang penari, enam, delapan atau bisa lebih, yang masing-

    masing menunggang boneka kuda yang dibuat dari anyaman bambu yang disebut

    kepang (anyaman kepang, diagonal). Tarian ini juga disebut jathilan, dan di Yog-

    yakarta bagian barat juga disebut incling. Di daerah Magelang tari kuda kepang

    ini sejak dahulu sampai sekarang merupakan tarian rakyat yang populer sekali.

    Semula instrumen musik pengiring tari kuda kepang hanya terdiri dari beberapa

    angklung (alat musik dari bambu), satu kendang dan satugong bumbung(gong dari

    bambu). Tetapi, lama kelamaan makin diperlengkapi.

    Handajakoesoema (dalam Sugito, 2005) dalam artikel majalahJaya Bayapada

    tanggal 7 Juli 1974 menerangkan sebagai berikut, Tetinggalan jaran kepang punika

    ugi dipun wastani : Jathilan, ebleg, reog sarta tambahi mawi barongan, penthul tembem,

    gendruwo, thithit thuwit, cepetan (pitik walik), Jaka Lodra, dhadhak merak, bujangganong

    (ganongan). Saben daerah gadhah Rombongan Jaran Kepang ingkang benten corak rag-

    amipun. Artinya kurang lebih, peninggalan kesenian kuda kepang ini juga bisa dis-

    ebut:jathilan, ebleg, reogserta ditambah dengan barongan, penthul tembem, gendruwo,

    thithit thuwit, cepetan(pitik walik),jaka lodra, dhadhak merak, bujangganong(ganongan).

    Setiap daerah mempunyai grupjaran kepangyang berbeda coraknya.

  • 8/11/2019 Simbolisme Dalam Kesenian Jaranan

    10/16

    Di Jawa Timur, kesenianjarananbanyak ditemui di daerah Tulungagung, Bli-

    tar, Nganjuk, Kediri dan sekitarnya. Setiap daerah bahkan setiap kelompok kesenian

    mempunyai ragam atau ciri tersendiri baik dari segi properti, alat musik, koreograf

    dan sebagainya, sehingga kesenianjarananmempunyai berbagai ragam penampi-

    lan. Di Yogyakarta, terutama dikawasan luar kraton kesenian yang semacamjaranan

    dikenal dengan namaJathilan. Properti utamanya berupa boneka yang terbuat dari

    sesek(anyaman bambu), bentuknya tidak terlalu besar maupun terlalu kecil. Ragam

    geraknya lebih dinamis, cenderung dilakukan bersama-sama dan didominasi oleh

    gerakan kaki. Di Ponorogo kesenian kuda kepang atau semacamjarananatau juga

    jathilan ini dimainkan bersama dhadhak merak, bujangganong(ganongan), warokdan

    Prabu Klana. Gerakan dalam tariannya lebih halus atau feminin. Kostumnya bagian

    kepala berupa iket, yaitu ikat kepala dari kain hitam berbidang segi tiga.

    Ada pula jenis kesenianjarananatau kuda kepang yang disebut denganjaran-

    andhor. Namajaranandhormungkin diambil dari alat musik yang bernamajedhor.Jedhor adalaha alat musik yang bentuknya menyerupai kendang tapi berukuran

    besar, kedua bidang lingkaran lubangnya berukuran sama, serta masing-masing

    lubang lingkaran ditutup dengan kulit kerbau, kambing atau sapi. Suara jedhor

    yang menggema mendominasi keseluruhan pertunjukan. Ritme suara jedhorme-

    nentukan gerak langkah baik dalam koreograf maupun keseluruhan pertunjukan.

    Jaranandhormasih hidup di daerah Malang, Pasuruan dan sekitarnya serta pesisir

    pantai utara Jawa Timur. (Sugito, 2005).

    Ada juga jenis kesenian jaranan yang bernama jaranan pegon ialah kesenian

    jarananatau kuda kepang yang pola gerak dan kostumnya berupa pola gerak dankostum wayang orang. Bentuk gerakannya didominasi oleh gerak-gerak yang be-

    rasal dari gerakan wayang orang yang mengacu pada satria bambangan seperti

    Gathutkaca. Pegonbila ditinjau dari istilah berasal dari katapegoyang artinya tidak

    lengkap yang difokuskan pada instrumen yang tidak lengkap serta gerak wayang

    yang tidak lengkap juga karena didominasi dari sekaran singget yaitu (jeda yang

    menghubungkan ragam yang satu dengan ragam lainnya). Bentuk ragam geraknya

    dipengaruhi oleh bentuk ragam gerakjarananjawa.

    Kesenian jaranan yang bernama jaranan sentherewe lebih dipengaruhi oleh

    gerakan tari remo yang berasal dari kesenian ludruk. Demikian juga kostum yang

    digunakan dalam kesenian tersebut. Bila ditinjau dari istilah sentherewediambil dari

    kata senthe(talas) dan rawe(bentuk tumbuhan yang menjalar yang mempunyai bulu

    lembut yang sangat gatal). Sentherewebila gerak penarinya sampai klimaks maka

    menjadi trancedan makan senthedan gerakannya seperti orang terkena rawe.

    Dari berbagai pendapat diatas dapat dikatakan bahwa kesenian jarananpada

    dasarnya adalah kesenian dengan format tarian yang menggunakan properti utama

    berupa jarananatau kuda kepang, yaitu boneka kuda yang terbuat dari anyaman

    bambu berbentuk meyerupai kuda. Pada umumnya bentuk pertunjukannya juga

    mempunyai penampilan yang hampir sama, yang membedakan dari masing-

    132 URNA, Jurnal Seni Rupa: Vol. 1, No. 2 (Desember 2012): 127138

  • 8/11/2019 Simbolisme Dalam Kesenian Jaranan

    11/16

    SALAMUN K., Simbolisme dalam Kesenian Jaranan 133

    masing daerah ialah bentuk ungkapan gerak atau ragam gerak, kostum, melodi

    iringan, dan bentuk instrumen, demikian juga cara membunyikan instrumen itu

    sendiri. Perbedaan tersebut juga tidak dapat dipisahkan dengan etnis daerah yang

    mempengaruhinya.

    KESENIANJARANANDALAM PERGESERAN BUDAYA

    Konon, pada awalnya pertunjukan kesenian jaranan (perlu dipahami bahwa

    pada masa lalu tidak dikenal istilah kesenian untuk menamai pertunjukanjaranan)

    merupakan kegiatan upacara ritual (ritus) yang berkaitan dengan kegiatan upa-

    cara pemanggilan roh leluhur yang dilakukan oleh nenek moyang kita. Kegiatan

    ritual itu tujuannya untuk mengatasi berbagai musibah yang menimpa kehidupan

    manusia. Pada zaman primitif ada kepercayaan bahwa kerusakan lingkungan

    alam, wabah penyakit, bencana dan sebagainya terjadi karena kekuatan roh nenek

    moyang. Seiring dengan perjalanan waktu, setiap musibah, bencana atau berbagaimasalah dalam kehidupan yang dihubungkan dengan roh nenek moyang disusun

    menjadi serangkaian cerita yang yang berkembang menjadi mitos. Mitos diyakini

    oleh masyarakat, kemudian dilakukan kegiatan upacara ritual (ritus) dengan tujuan

    agar musibah tidak datang lagi. Kegiatan yang berlangsung berulangkali kemudian

    berkembang menjadi berbagai simbol yang digunakan untuk kegiatan ritual.

    Simbol yang terbentuk pada hakikatnya merupakan manifestasi dari roh le-

    luhur yang diyakini sebagai media dalam kegiatan ritual untuk mengatasi berbagai

    masalah kehidupan. Benda yang diwujudkan sebagai simbol kemudian dikeramat-

    kan agar memiliki daya magis. Keyakinan akan daya magis adalah awal muncul-nya totemisme. Sebagaimana yang dikatakan Prichard (dalam Sugito, 2005) bahwa

    sifat manusia yang mempunyai hasrat untuk menunjukkan totemisme hanyalah

    merupakan bentuk khusus dari suatu fenomena yang universal dari masyarakat

    manusia, karena sudah menjadi kesatuan umum bahwa suatu objek atau kejadian

    yang punya efek penting terhadap kesempurnaan materil spiritual masyarakat

    cenderung untuk dijadikan objek dari sikap ritual.

    Pals (dalam Sugito, 2005) juga berpendapat bahwa totemistik adalah suatu

    praktik yang terkait dengan kebiasaan pembagian dalam klan-klan yang berbeda,

    atau kelompok keluarga. Setiap klan ini biasanya mengaitkan dirinya pada suatu

    binatang tertentu (atau terkadang tumbuhan) yang dia akui sebagai totemnya dan

    kemudian memujanya sebagai semacam Tuhan.

    Sehubungan dengan kegiatan ritual pada masyarakat zaman primitif, ada

    serangkaian gerak yang digunakan untuk memuja totem atau klan dari leluhur

    manusia. Rangkaian gerak itu digunakan sebagai sarana kegiatan ritual. Sarana

    lain yang pasti ada dalam kegiatan ritual berupa perapian, sesajian, mantra yang

    dikaitkan dengan roh leluhur atau nenek moyang. Kegiatan ini digunakan sebagai

    kegiatan religi yang menjadi perlakuan dalam kehidupan sosial manusia pada za-

    man primitif (Sugito, 2005).

  • 8/11/2019 Simbolisme Dalam Kesenian Jaranan

    12/16

    Berbagai macam properti serta gerakan koreograf dalam upacara ritual (ri-

    tus) berkaitan dengan upaya berkomunikasi dengan kekuatan di luar manusia.

    Sementara yang diyakini memiliki kekuatan itu adalah roh leluhur. Karena itu

    pada hakikatnya berbagai macam benda, tingkah laku dan gerakan serta nyanyian

    diciptakan dalam rangka persembahan kepada roh leluhur, dalam rangka mencari

    perlindungan dan keselamatan hidup.

    Dalam perkembangannya, kesenianjarananmengalami pergeseran nilai. Da-

    lam suatu kegiatan pementasan, ia tidak lagi semata-mata tindakan ritual dan ber-

    sifat sakral, tetapi dalam kegiatan itu ada upaya untuk menambah unsur kegiatan

    yang sifatnya hiburan. Sehingga bisa dikatakan dalam wilayah budaya idealistik,

    pertunjukan kesenian itu berupa upacara ritual yang sakral sekaligus hiburan. Un-

    sur-unsur ritualnya dipertahankan sekaligus ditambahkan unsur hiburannya. Un-

    sur hiburan tambahan itu bisa terdapat pada atraksi pertunjukan jaranannya atau

    pada unsur musiknya, pada prosesinya atau semuanya sampai dengan kepanitiaandan susunan acaranya.

    Sugito (2005) menyimpulkan bahwa beberapa kegiatan yang dilakukan oleh

    masyarakat primitif masih tetap dilakukan oleh masyarakat pendukung seniman

    jaranansaat ini. Aspek-aspek tersebut sebagai bukti adanya kesinambungan kegi-

    atan ritual masyarakat primitif yang telah diwariskan kepada masyarakat seniman

    pertunjukan jaranan. Unsur perapian yaitu pembakaran dupa atau kemenyan

    adalah salah satu aspek yang masih digunakan sampai sekarang. Mantra yang

    berhubungan dengan roh leluhur atau danyang atau yang melindungi lingkungan

    desa (mbahu rekso)sebagai tempat tinggal masyarakat juga tetap dilakukan.Tranceyang dianggap sebagai kekuatan magis untuk mendatangkan roh leluhur juga

    masih bisa ditemui. Jejak peninggalan kegiatan ritual tersebut dapat dilihat mulai

    dari pengadaan sesaji yang digunakan sebagai sarana ritual sampai pada puncak

    pertunjukanjaranan. Gerak yang dirangkai mulai awal sampai akhir merupakan

    media yang mengantarkan pada tahap tranceatau kesurupan pada penarijaranan.

    Beberapa aspek yang ada pada masa primitif terdapat juga pada pertunjukan

    jaranan yang dilakukan dalam serangkaian kegiatan sosial. Kesamaan beberapa

    aspek tersebut sebagai bukti bahwa pertunjukanjarananJawa awalnya merupakan

    kegiatan ritual.

    Ada tiga sarana penting dalam kegiatan ritual pada zaman primitif yaitu pera-

    pian yang digunakan untuk pembakaran sesuatu yang dipercaya sebagai persem-

    bahan. Pembakaran sebagai persembahan berkembang menjadi pembakaran yang

    menggunakan benda yang berbau harum seperti ratus, kemenyan, kayu cendana

    dan lain-lain. Setiap mengadakan upacara ritual (ritus), masyarakat primitif meng-

    gunakan mantra yang ditujukan kepada yang menguasai alam maupun roh leluhur.

    Mantra sebagai wujud dari pengakuan maupun permintaan yang dilakukan oleh

    manusia. Semua sarana tersebut masih digunakan oleh seluruh kelompokjaranan.

    Perapian digunakan untuk membakar kemenyan dipercaya sebagai makanan

    134 URNA, Jurnal Seni Rupa: Vol. 1, No. 2 (Desember 2012): 127138

  • 8/11/2019 Simbolisme Dalam Kesenian Jaranan

    13/16

    SALAMUN K., Simbolisme dalam Kesenian Jaranan 135

    dari roh halus. Terkadang perapian juga dimakan oleh penari yang telah trance

    sebagai pertunjukan dari penari yang mempunyai kemampuan. Mantra yang

    dibacakan oleh juru gambuh merupakan mantra yang minta perlindungan kepada

    Tuhan Yang Maha Kuasa serta danyangyang ditempati dalam pertunjukan.

    Gambar 1.Unsur perapian, kemenyan, dan mantra tetap dipertahankan sampai sekarang.(Foto: penulis).

    Dalam kelompok masyarakat primitif, binatang dijadikan sebagai simbol to-

    tem. Dari salah satu kelompok totem, kuda dipercaya sebagai dewa perlindungan.

    Dalam pertunjukanjaranan, kuda digunakan sebagai simbol kekuatan dari seorang

    kesatria pada flosof jawa. Namun kuda kepang merupakan penggabungan dari

    kedua simbol yang digunakan untuk sarana penghantar trance. Simbol totem me-

    ngalami transformasi ke dalam perilaku sosial sehingga simbol hewan kuda diang-gap sebagai dewa perlindungan, kemudian berkembang sebagai properti dalam

    pertunjukanjarananjawa. Maka berbagai sarana yang digunakan oleh masyarakat

    primitif masih identik dengan berbagai sarana ritual yang digunakan dalam per-

    tunjukanjaranan.

    Dalam ritual primitif, gerak yang digunakan merupakan gerak yang mempu-

    nyai makna flosofs murni digunakan sebagai persembahan. Dalam pertunjukan

    jaranan, gerak yang dilakukan merupakan sarana penghantar tranceuntuk keleng-

    kapan ritual yang dilakukan oleh masyarakat. Tujuan dan kelengkapan ritual pada

    masyarakat primitrif dan pertunjukan jaranan masih sama yaitu untuk menang-gulangi berbagai musibah yang menimpa manusia. Setiap kegiatan ritual meng-

    gunakan sarana sesaji sebagai kelengkapan ritual.

    Keyakinan terhadap roh leluhur ada pada seluruh masyarakat primitif dan

    pengakuan danyang atau cikal-bakal dari leluhur desa ada dalam kepercayaan

    masyarakat pendukung pertunjukan kesenian jaranan. Sebagai persembahan ma-

    syarakat menyelenggarakan kegiatan ritual untuk keselamatan manusia dan ling-

    kungannya. Dari gambaran tersebut, terbukti bahwa dua kelompok masyarakat

    yang berbeda zaman masih mempunyai kesamaan dalam kepercayaan terhadap

  • 8/11/2019 Simbolisme Dalam Kesenian Jaranan

    14/16

    roh, hal ini menunjukkan adanya kesinambungan yang dilakukan masyarakat se-

    cara turun temurun.

    Dalam masyarakat primitif, pemimpin adat bertanggungjawab penuh pada

    seluruh serangkaian kegiatan ritual. Sementara pada ritual yang ada pada pertun-

    jukanjarananpelaksanaan ritual dipimpin oleh juru gambuh.Juru gambuhbertang-

    gungjawab penuh pada serangkaian pelaksanaan ritual dan pertunjukan. Aspek

    pelaksanaan ritual pada masa primitif terjadi juga pada aspek pelaksanaan ritual

    dalam pertunjukanjaranan.

    Musik yang digunakan dalam kegiatan primitif terdiri dari beberapa instru-

    men dan vokal memiliki suasana magis untuk mendukung kekhidmatan dalam

    pelaksanaan kegiatan ritual. Demikian juga fungsi musik dan vokal dalam pertun-

    jukan jaranan untuk memberikan dinamika gerak tari pada pertunjukan jaranan

    supaya penari mampu melakukan trance. Semua pelaksanaan kegiatan ritual baik

    dalam masa primitif maupun dalam pertunjukan jarananselalu melibatkan orangbanyak. Aspek tersebut merupakan wujud dari kelangsungan dalam kegiatan

    primitif yang masih ada dalam pelaksanaan pertunjukan jaranan. Perkembangan

    yang didapatkan secara historis ada beberapa aspek pokok dari masyarakat primi-

    tif, masih dilakukan oleh kalangan pelaku kesenianjaranan.

    Dalam perkembangannya, kesenian jaranan telah mengalami berbagai sen-

    tuhan modern, baik menyangkut bentuk pertunjukkan, urutan penyajian sampai

    dengan maksud penyelenggaraannya. Memang unsur ritual masih dipertahankan,

    namun disamping unsur ritual dimasukkan pula unsur tambahan yang sifatnya

    hiburan dan cenderung bersifat profan. Bahkan untuk mengundang banyak pe-nonton, kesenian jaranan bisa pula dipentaskan di atas panggung pertunjukan.

    Kehadirannya bisa berkolaborasi dengan kesenian lain seperti campursari ataupun

    pertunjukan tarian lain.

    Perubahan fungsi dari kegiatan ritual (ritus) ke pertunjukan hiburan bisa

    dipahami sebagai akibat dari perubahan pemahaman dan keyakinan sebagian

    besar masyarakat pendukungnya. Masyarakat yang semula cenderung memiliki

    keyakinan mistis telah berubah dan bahkan sekarang menolak atau tidak lagi ter-

    lalu mempercayai hal-hal yang bersifat mistik. Karena itu perubahan fungsi pada

    kesenianjarananbisa dianggap sebagai upaya mempertahankan dirinya agar tetap

    hidup, sekalipun dalam perwujudannya yang lain.

    Dalam wilayah budaya idealistik, upacara ritual yang semula dipimpin oleh

    pimpinan adat, saat ini bisa saja kegiatan itu (upacara ritual plus) dibuka dalam upa-

    cara resmi yang dibuka oleh pejabat atau setidaknya oleh panitia penyelenggara.

    Dalam wilayah ini, ritus permohonan keselamatan atau bersih desa atau ritual lain

    bisa saja tetap ada, tetapi tidak terlalu disakralkan, terutama oleh masyarakat pada

    umumnya. Bahkan bisa saja kelompok senimanjaranantidak lagi melakukan ritual

    bersih desa seperti yang diniatkan, tetapi kalau ada unsur perapian, kemenyan,

    sesaji mantra dan sebagainya hanyalah semata-mata untuk syarat pelaksanaan

    136 URNA, Jurnal Seni Rupa: Vol. 1, No. 2 (Desember 2012): 127138

  • 8/11/2019 Simbolisme Dalam Kesenian Jaranan

    15/16

    SALAMUN K., Simbolisme dalam Kesenian Jaranan 137

    kegiatan pertunjukan kesenianjaranan.

    Oleh karena masyarakat pada umumnya sekarang tidak lagi menyakralkan

    kegiatan ritualnya, maka kesenianjarananyang semula sangat sakral kini menjadi

    lebih banyak bersifat hiburan. Kesenian jaranan di desa-desa bisa tampil dengan

    berkolaborasi dengan iringan musik elektronik, terutama dengan musik campur

    sari dan atau musik dangdut. Tanpa ada tambahan campur sari atau dangdut, disa-

    dari oleh kelompok kesenian jaranan, bahwa penampilannya akan tidak diminati.

    Oleh karena itu saat ini hampir setiap pertunjukan kesenianjarananboleh dikata-

    kan selalu dilengkapi musik campursari dan dangdut.

    Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa dalam wilayah budaya

    idealistik, unsur-unsur budaya asli (ideational) masih dipertahankan namun faktor

    ritual dan nilai sakralnya semakin tipis, sebaliknya unsur-unsur hiburan (idealis-

    tik) muncul semakin kuat. Dalam situasi, kondisi dan konteks tertentu, kesenian

    jaranan bisa benar-benar lepas dari kegiatan ritual, sehingga benar-benar munculdalam berbagai perwujudan yang sifatnya sangat profan. Kegiatan atau pentas ke-

    seniannya bisa diselenggarakan dalam rangka kegiatan apapun, dilaksanakan oleh

    siapapun dan dimanapun tempatnya serta kapan saja waktu penyelenggaraannya.

    Musik kesenian jarananbahkan bisa menjadi komoditas massal dengan diwujud-

    kannya dalam bentuk rekaman VCD atau DVD. Boneka jaranan maupun cemeti

    ataupecutbisa diproduksi sebagai benda kerajinan yang berfungsi sebagai hiasan

    atau benda sovenir.

    Kesenian jaranan adalah salah satu kesenian tradisional yang semula ber-

    fungsi ritual. Kesenian ini biasanya dipentaskan pada bulan Suro dengan berbagaipersyaratan khusus dalam rangka pemujaan terhadap roh leluhur agar desa se-

    isinya terhindar dari mala petaka atau bencana. Dalam perkembangannya, kesenian

    yang semula bersifat sakral bergeser menjadi sangat profan. Akhirya kesenian ini

    bisa diperlakukan sebagai kegiatan apa saja, tidak terikat oleh tujuan, ruang dan

    waktu.

    KESIMPULAN

    Dalam uraian awal dapat dipahami bahwa kesenian jaranan (jaran kepang,

    jathilan, dan sebagainya) awalnya dilakukan dalam rangka upacara ritual (ritus)

    permohonan keselamatan dan keselarasan hidup. Kegiatan itu merupakan upaya

    mengembalikan kesesuaian dan keselarasan antara kehidupan manusia di dunia

    dengan tata alam sakral. Maka istilah bersih desa, nyadrandan sebagainya, dalam

    pementasan kesenianjaranan,slametandan sebaginya merupakan aktivitas transen-

    den. Boneka jaranan, penari, perapian, sesaji, trancedan seluruh prosesi pemen-

    tasan adalah simbol yang melekat pada pelaksanaan upacara ritual (ritus). Melalui

    pementasan (upacara) itu diyakini oleh komunitas bahwa mereka telah memenuhi

    syarat pembebasan dari malapetaka dan memasuki kehidupan baru yang harmo-

    nis, aman dan tenteram. Pada saat itu simbol diyakini mempunyai makna yang

  • 8/11/2019 Simbolisme Dalam Kesenian Jaranan

    16/16

    kuat, bahkan merupakan syarat mutlak yang harus ada dalam suatu ritus. Keyaki-

    nan akan makna simbol tidak saja berada pada individu tertentu, kelompok kecil

    tertentu, melainkan ada apa seluruh komunitas pendukungnya.

    Pada perkembangan berikutnya, terutama pada masyarakat modern, pemen-

    tasan kesenian jaranan tidak lagi diyakini memiliki kekuatan untuk menyelamat-

    kan desa, atau kemampuan supranatural lainnya. Dengan demikian, simbol dalam

    kesenianjarananjuga telah kehilangan nilai simboliknya. Mitos tentang kesenian

    jarananperlahan memudar. Sebagai gantinya, kesenianjarananakhirnya hadir seke-

    dar untuk hiburan, eksis sejajar dengan hiburan campursari atau dangdut. Atribut,

    properti atau benda-benda pelengkap kesenian jarananjuga telah dikembangkan

    menjadi benda kerajinan, untuk sekedar benda mainan atau benda hias.

    DAFTAR PUSTAKA

    Cassirer, Ernst. 1944.Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei Tentang Manusia. Terjemahan olehAlois A. Nugroho. 1987. Jakarta: Penerbit Gramedia

    Herusatoto, Budiono. 1984. Simbolisme dalam BudayaJawa. Yogyakarta: PT. Hanindita.

    Mulyono, Sri. 1983. Simbolisme dan Mistikisme Dalam Wayang. Jakarta: Gunung Agung.

    Saidi, Acep Iwan. 2008. Narasi Simbolik Seni Rupa Kontemporer Indonesia. Yogyakarta:

    Isacbook.

    Subagya, Rachmat. 1981.Agama Asli Indonesia. Jakarta. Penerbit Sinar Harapan dan Yayasan

    Cipta Loka Caraka.

    Sugito, Bambang. 2005. Jaranan Tulungagung (Kajian tentang Perubahan dan Perkembangan

    Pertunjukan Kesenian Jaranan di Kabupaten Tulungagung). Tesis Program Pascasarjana

    STSI Surakarta.

    Tim. 1990. Eksiklopedi Nasional Indonesia. Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka.

    Tim. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

    Winangun, Y.W. Wartaya. 1990.Masyarakat Bebas Struktur; Liminalitas dan Komunitas Menurut

    Victor Turner.Yogyakarta: Kanisius.

    138 URNA, Jurnal Seni Rupa: Vol. 1, No. 2 (Desember 2012): 127138