scanned by camscanner - ulm

557
Scanned by CamScanner

Upload: others

Post on 15-Oct-2021

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Scanned by CamScanner - ULM

Scanned by CamScanner

Page 2: Scanned by CamScanner - ULM

Scanned by CamScanner

Page 3: Scanned by CamScanner - ULM

Scanned by CamScanner

Page 4: Scanned by CamScanner - ULM

Scanned by CamScanner

Page 5: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 1

ANALISIS KESULITAN GURU DALAM PEMBELAJARAN GEOGRAFI DI SMA NEGERI KECAMATAN RANTAU UTARA DAN RANTAU SELATAN PROVINSI SUMATERA UTARA T.A

2015/2016

Dwi Isnaini Ritonga1; Indaria Anggita2; Wirdah Yanti Nasution3

Universitas Negeri Medan

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kesulitan yang di hadapi oleh guru dalam pembelajaran geografi di SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan Provinsi Sumatera Utara T.A 2015/2016 yang meliputi: (1) Kesulitan dalam materi pelajaran geografi kelas X, XI dan XI. (2) Kesulitan dalam mempersiapkan rancanangan pembelajaran. (3) Kesulitan dalam pelaksanaan pembelajaran. dan (3) Kesulitan dlam melakukan evaluasi pembelajaran.Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan Provinsi Sumatera Utara T.A 2015/2016.Populasi penelitian adalah seluruh guru geografi SMA Negeri Kecantan Rantau Utara dan Rantau Selatan yang berjumlah 6 orang dan mengingat populasi sedikit, maka sekaligus dijadikan sample. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan teknik komunikasi langsung dan teknik komunikasi tidak langsung. Teknik analisis datanya secara deskriptif.Hasil penelitan menunjukkan bahwa kesulitan guru dalam pembelajaran geografi: (1) Penguasaan materi kelas X, XI dan XII. Kesulitan pada kelas X SK memahami sejarah pembentukan bumi sebanyak 50%, SK menganalisi unsur-unsur geosfer 50%. Kesulitan kelas XI SK menganalisi fenomena biosfer dan antroposfer sebanyak 100%. Kesulitan kelas SK memperaktikan dasar peta dan pemetaan 11,11%, SK memahami pemanfaatan SIG 22,22%. (2) Kesulitan menyusun perencanaan pembelajaran yang meliputi kesulitan menentukan rancangan pembelajaran yang sesuai yaitu 33,33%, merancang media pembelajaran yaitu 50%, dan pemilihan sumber belajar yaitu 16,67%. (3) Kesulitan dalam melaksanakan proses pembelajaran yang meliputi 16,67% kesulitan dalam mengunakan strategi pembelajaran, 50% kesulitan dalam penggunaan media pembelajaran, 16,67% kesulitan dalam pengelolahan kelas, dan 16,67% kesulitan dalam efesiensi penggunaan waktu. (4) Kesulitan melakukan evaluasi pembelajaran yaitu 50% kesulitan dalam membererikan skor pada tes hasil belajar berdasarkan indikator, 33,33% kesulitan dalam menyusun laporan hasil penilaian yang telah dilakukan, dan 16,67% kesulitam dalam memberikan tindak lanjut dari hasil penilaian. Kata Kunci : Media Pembelajaran

Page 6: Scanned by CamScanner - ULM

2 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan memegang peranan penting karena pendidikan merupakan wahana untuk

meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Oleh karenanya,

mengingat begitu pentingnya peran pendidikan mengharuskan semua elemen yang terkait dengan

pendidikan untuk selalu mengevaluasi, berbenah dan meningkatkan kualitas pendidikan bangsa.

Pendidikan adalah usaha sadar yang direncanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, salah satu usaha untuk

meningkatkan kualitas sumber daya manusia ialah melalui proses pembelajaran di sekolah.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional

menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk

watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa

serta mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa

kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi

warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Suryosubroto,2010).

Kualitas pendidikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kegiatan proses

pembelajaran. Kegiatan proses pembelajaran akan berpengaruh pada pemahaman siswa terhadap

materi yang disampaikan oleh guru. Keberhasilan pendidikan ditentukan oleh keberhasilan

pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, yaitu keterpaduan antara kegiatan guru dengan kegiatan

siswa. Salah satu usaha untuk mengoptimalkan pembelajaran adalah dengan cara memperbaiki

pengajaran yang banyak dipengaruhi oleh guru, karena pengajaran adalah suatu sistem, maka

perbaika dalam pengajaran tersebut pun harus mencakup keseluruhan komponen dalam sistem

pengajaran tersebut. Untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kegiatan belajar mengajar yang

dilakukan oleh guru, maka guru harus memiliki dan menguasai perencanaan kegiatan belajar

mengajar, melaksanakan kegiatan yang telah direncanakan, dan melakukan evaluasi terhadap hasil

dari proses belajar mengajar.

Sesuai dengan amanat Peraturan Pemeritah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional

Pendidikan salah satu standar yang harus dikembangkan adalah standar proses. Standar proses

adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada suatu

pendidikan untuk mencapai kompetensi lulusan. Standar proses berisi kriteria minimal proses

pembelajaran pada satuan pendidikan dasar dan menengah di seluruh wilayah hukum Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Standar proses ini berlaku untuk jenjang pendidikan dasar dan

menengah pada jalur formal, baik pada sistem paket maupun pada sistem kredit semester. Standar

Page 7: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 3

proses meliputi perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil

pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksannya proses pembelajaran yang

efektif dan efesien.

Berdasarkan PP No 19 Tahun 2005 Pasal 20 menyatakan bahwa perencanaan proses

pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurang-

kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil

belajar. Perencanaan pembelajaran merupakan tahapan penting yang dilakukan guru sebelum

mereka melaksanakan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan akhir pembelajaran. Setiap

guru pada satuan pendidikan berkewajiban menyusun RPP secara lengkap dan sistematis agar

pembelajaran berlangsung secara interaktf, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi

peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa,

kreativitas dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis

peserta didik.

Pelaksanaan pembelajaran merupakan implementasi dari RPP (Rancangan Pelaksanaan

Pembelajaran). Pelaksanaan pembelajaran meliputi kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan

kegiatan penutup. Kegiatan pendahuluan pada dasarnya merupakan kegiatan yang harus ditempuh

guru dan siswa pada setiap kali pelaksanaan pembelajaran. Fungsi kegiatan pendahuluan terutama

adalah untuk menciptakan suasana awal pembelajaran yang efektif yang memungkinkan siswa

dapat mengikuti proses pembelajaran dengan baik. Pada kegiatan pendahuluan hal yang dilakukan

guru adalah (1) Menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses

pembelajaran; (2) Mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya

dengan materi yang akan dipelajari; (3) Menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar

yang akan dicapai; dan (4) Menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan sesuai

silabus.

Untuk dapat menetukan tercapai tidaknya tujuan pendidikan dan pengajaran perlu dilakukan

usaha atau tindakan penilaian atau evaluasi. Penilaian atau evaluasi pada dasarnya adalah

memberikan pertimbangan atau harga atau nilai berdasarkan kriteria tertentu. Penilaian dilakukan

oleh guru terhadap hasil pembelajaran untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi peserta

didik, serta digunakan sebagai bahan penyusun laporan kemajuan hasil belajar, dan memperbaiki

proses pembelajaran. Penilaian dilakukan secara konsisten, sistematik, dan terprogram dengan

menggunakan tes dan nontes dalam bentuk tertulis atau lisan. Penilaian hasil pembelajaran

menggunakan Standar Penilaian Pendidikan dan Panduan Penilaian Kelompok Mata Pelajaran.

Menjadi guru yang berkompetensi profesional memerlukan penguasaan pembelajaran secara

luas melalui pendidikan formal dan pelatihan yang memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan

dalam standar nasional pendidikan. Dalam proses belajar mengajar hendaknya guru dapat

Page 8: Scanned by CamScanner - ULM

4 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

mengarahkan dan membimbing siswa untuk aktif dalam kegiatan belajar mengajar sehingga tercipta

suatu interaksi yang baik antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa.

Pada umunya “kesulitan” merupakan suatu kondisi tertentu yang ditandai dengan adanya

hambatan-hambatan dalam kegiatan mencapai tujuan, sehingga memerlukan usaha lebih giat lagi

untuk dapat mengatasi. Kesulitan belajar dapat diartikan sebagai suatu kondisi dalam suatu proses

belajar yang ditandai adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar. Hambatan-

hambatan ini mungkin disadarin dan mungkin juga tidak disadari oleh orang yang mengalaminya,

dan dapat bersifat sosiologis, psikologis atau fisiologis dalam keseluruhan proses belajarnya.

Pada kenyataanya guru sering kali mengalami kesulitan dalam menerapkan hal-hal yang

telah dipelajari dari berbagai macam teori belajar. Situasi dan kondisi yang dijelaskan dalam teori

seringkali berbeda dengan situasi dan kondisi kelas sebenarnya. Berdasarkan pengalaman penulis

ketika menjalani program PPL Tahun 2013, permasalahan yang sering ditemui oleh guru ialah

sulitnya menyusun perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, kurangnya fasilitas seperi

media dan alat peraga lainya yang menunjang sesuai karakter materi, sulitnya mengelolah kelas

yang baik, dan kurangnya persiapan materi yang diajarkan. Untuk itu, guru tidak saja dituntut

mampu melakukan transpormasi ilmu kepada peserta didik, tetapi guru juga harus mampu memilih

strategi, metode, teknik, serta model pembelajaran yang efektif dan efesien.

Pelaksanaan pendidikan yang terjadi di dalam kelas oleh guru haruslah efektif dan efesien

agar proses belajar mengajar menjadi sebuah proses yang menyenangkan. Untuk dapat menciptakan

kegiatan belajar mengajar yang menyenangkan, seorang guru harus dapat melakukan pengelolaan

kegiatan belajar mengajar di kelas. Pengelolaan kegiatan belajar mengajar merupakan suatu usaha

yang dilakukan oleh guru agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik dan lancar.

Keberhasilan guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar tidak terlepas dari bagaimana

seorang guru mengelolah pembelajaran yang dilakukan sehingga siswa dapat mencapai tingkat

kemampuan yang optimal sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Pengelolaan belajar mengajar

merupakan unsur kompetensi guru yang penting dan harus dilaksanakan. Karena pengelolaan

belajar mengajar diperlukan dalam kegiatan pembelajaran. Sebelum proses belajar mengajar

berlangsung, seorang guru hendaknya menguasai secara fungsional pendekatan sistem pengajaran,

prosedur metode, teknik pengajaran, menguasai secara mendalam serta berstruktur bahan ajar dan

mampu merencanakan fasilitas pengajaran.

Berdasarkan hasil observasi awal yang penulis lakukan pada tanggal 20 s/d 24 January

2015dengan guru bidang studi Geografi di SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau

Selatan, dimana dijelaskan oleh guru bidang studi geografi bahwa kesulitan yang di alami mereka

dalam pembelajaran geografi terletak pada kurangnya fasilitas pembelajaran seperti buku, media,

alat peraga lainnya yang menunjang materi pembelajaran, sulitnya menentukan metode, strategi dan

Page 9: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 5

model dalam pembelajaran geografi yang sesuai dengan materi yang diajarkan, kurang cukupnya

waktu yang dibutuhkan dalam pembelajaran sesuai karakter belajar, sulitnya mengelolah kelas yang

baik, kurangnya persiapan dalam mengajar. Hal ini tampak pada kompetensi dasar materi kelas X,

XI dan XII SMA. Seperti pada kelas X, SK 2, KD 2.1 mendeskripsikan tata surya dan jagad raya

pada materi teori terjadinya jagad raya.Kelas XI SK 1, KD 1.2 menganalisis sebaran hewan dan

tumbuhan pada materi persebaran hewan dan tumbuhan di Dunia dan di Indonesia. Pada kelas XII

SK 1, KD 1.2 memperaktekkan ketarmpilan dasar peta dan pemetaan pada materi membuat peta

lingkungan sekolah, SK 2, KD 2.2 menjelaskan pemanfaatan system informasi geografi pada materi

tahapan kerja SIG.

Ironisnya, implementasi pembelajaran di sekolah menunjukan bahwa proses pembelajaran

yang digunakan guru masih jauh dari ideal. Pada kenyataannya masih banyak guru yang lebih

dominan menggunakan metode ceramah pada saat pembelajaran, sehingga terlihat pada siswa pasif

pada saat pembelajaran berlangsung. Guru tidak memahami bagaimana perencanaan pembelajaran,

pelaksanaan pembelajaran dan evaluasi pembelajaran dengan baik. Dalam melakukan evaluasi,

umunya guru menggunakan tes secara tertulis, sehingga tes hanya berorientasi ke ranah kognitif,

hanya beberapa guru yang menggunakan rublik untuk penilaian. Ini berarti bahwa pemahaman guru

tentang asesmen hanya pada ranah kognitif, tidak sampai pada ranah afektif dan psikomotor.

Sementara untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kegiatan belajar mengajar yang dilakukan

oleh guru, maka guru harus memiliki dan menguasai perencanaan kegiatan belajar mengajar,

melaksanakan kegiatan yang direncanakan dan melakukan penilaian terhadap hasil dari proses

belajar mengajar.

Untuk menjadi seorang guru Geografi wajib memiliki pengetahuan dasar tentang ilmu

tubuh tanah, astronomi, ilmu kimia, ilmu fisika, dan lain-lain. Karena dengan memiliki pengetahuan

ilmu tersebut maka dapat diterapkan untuk mengungkapkan gejala-gejala dan proses-proses alam

yang melatar belakangi kehidupan manusia di permukaan bumi. Dalam mengajarkan geografi ,

pendekatan interdisipliner atau setidak-tidaknya multidimensional, menjadi ciri khas dalam

pengajaran geografi. Oleh karena itu, kemampuan melakukan pendekatan interdisipliner atau

multidimensional, harus menjadi kemampuan dasar guru geografi. Tanpa memiliki kemampuan

dasar ini, guru yang mengajarkan geografi tidak akan dapat melakukan proses belajar-mengajar

secara wajar merealisasikan tujuan instruksionalnya. Inilah salah satu karakter geografi yang wajib

diperhatikan guru geografi (Nursid, 1996).

Rendahnya kualitas ouput pendidikan seringkali ditunjukan kepada guru yang dinyatakan

mempunyai tingkat profesionalisme yang rendah sebagai guru. Guru yang dikatakan mempunyai

nilai profesionalisme rendah apabila guru yang dalam membelajarkan materi pelajaran tidak dapat

sampai ke peserta didik dikarenakan ada beberapa kesulitan yang dihadapin guru baik pada saat

Page 10: Scanned by CamScanner - ULM

6 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi (penilaian). Dengan adanya kesulitan yang dihadapin

guru maka kualitas dan kuantitas hasil belajar tidak optimal.

Begitu pentingnya peran guru dalam menentukan keberhasilan pembelajaran. Penulis

merasa bahwa perlu melakukan analisis untuk mengkaji masalah ini dan mencari solusi yang

diharapkan dapat menjadi masukan bagi guru dengan “Analisis Kesulitan Guru Dalam

Pembelajaran Geografi Di SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan Provinsi

Sumatera Utara T.A 2015/2016”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, maka dapat di

identifikasikan masalah-masalah berkenaan dengan penelitian ini, yakni : (1) Rencana pembelajaran

yang tidak tepat; (2) Pelaksanaan pembelajaran yang tidak tepat; (3) Pengelolaan kelas yang tidak

efektif; (4) Ketersediaan sarana dan prasarana yang belum memadai; dan (5) Evaluasi hasil belajar

yang kurang tepat.

C. Pembatasan Masalah

Agar ruang lingkup dari penelitian dapat dijelaskan dengan lebih efektif dan efesien, maka

pembatasan masalah pada penelitian ini yaitu, mengenai kesulitan guru dalam pembelajaran

geografi di SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan.

D. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini yakni sebagai berikut:

1. Bagaimana kesulitan guru geografi dalam menyampaikan materi pelajaran geografi kelas X, XI

dan XII di SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan ?

2. Bagaimana kesulitan guru geografi dalam mempersiapkan perencanaan pembelajaran geografi di

SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan ?

3. Bagiaman kesulitan guru geografi dalam pelaksanaan pembelajaran di SMA Negeri Kecamatan

Rantau Utara dan Rantau Selatan ?

4. Bagimana kesulitan guru geografi dalam melakukan evaluasi pembelajaran geografi di SMA

Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan ?

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui kesulitan guru geografi dalam menyampaikan materi pelajaran geografi kelas

X, XI dan XII di SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan

2. Untuk mengetahui kesulitan guru geografi dalam mempersiapkan perencanaan pembelajaran

geografi di SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan.

Page 11: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 7

3. Untuk mengetahui kesulitan guru geografi dalam pelaksanaan pembelajaran di SMA Negeri

Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan.

4. Untuk mengetahui kesulitan guru geografi dalam melakukan evaluasi pembelajaran geografi di

SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan.

F. Manfaat Penelitian

Penelitain ini memiliki manfaat untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang meliputi :

1. Bahan masukan bagi Dinas Pendidikan Kabupaten Labuhan Batu untuk mengambil kebijakan di

bidang peningkatan pendidikan.

2. Bahan masukan bagi sekolah khusunya guru geografi di SMA Kecamatan Rantau Utara dan

Rantau Selatan untuk meningkatkan pembelajaran geografi.

3. Bahan masukan yang bermanfaat bagi penulis sebagai calon guru.

4. Bahan referensi dan perbandingan bagi penulis lain yang ingin melakukan penelitian.

BAB II

TINJUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Pengertian Pembelajaran Geografi

Kata “pembelajaran” adalah terjemahan dari “instruction”, yang banyak dipakai dalam dunia

pendidikan di Amerika Serikat. Istilah ini banyak dipengaruhi oleh aliran-aliran psikologi kognitif

holistik, yang menempatkan siswa sebagai sumber dari kegiatan. Dalam istilah “pembelajaran”

yang lebih dipengaruhi oleh perkembangan hasil-hasil teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk

kebutuhan belajar, siswa dituntut beraktivitas secara penuh, bahkan secara individual mempelajari

bahan pelajaran. Dengan demikian, kalau dalam istilah “mengajar (pengajaran)” atau “teaching”

menempatkan guru sebagai “pemeran utama” memberikan informasi, maka dalam “instruction”

guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator, memanage berbagai sumber dan fasilitas untuk

dipelajarin siswa (Sanjaya, 2006).

Menurut Undang-Undang No 21 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pembelajaran adalah proses

interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.

Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan

ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan

pada peserta didik. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik. Proses

pembelajaran dialami sepanjang hayat seseorang manusia serta dapat berlaku dimanapun dan

kapanpun.

Pembelajaran merupakan suatu sistem, yang terdiri atas berbagai komponen yang saling

berhubungan satu dengan yang lain. Komponen tersebut meliputi: tujuan, materi, metode dan

Page 12: Scanned by CamScanner - ULM

8 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

evaluasi. Keempat komponen pembelajaran tersebut harus diperhatikan oleh guru dalam memilih

dan menentukan model-model pembelajaran apa yang akan digunakan dalam kegiatan pembelajaran

(Rusman, 2011).

Pembelajaran geografi merupakan pembelajaran tentang aspek-aspek keruangan permukaan

bumi yang merupakan keseluruhan gejala alam dan kehidupan umat manusia dengan variasi

kewilayahannya. Pembelajaran Geografi merupakan pembelajaran tentang hakikat geografi yang

diajarkan di sekolah dan disesuaikan dengan tingkat perkembangan mental anak pada jenjang

pendidikan masing-masing (Sumaatmadja, 1996). Berdasarkan Permendiknas No.22 Tahun 2006

tentang Standar Isi (SI), pembelajaran geografi membangun dan mengembangkan pemahaman

peserta didik tentang variasi dan organisasi spasial masyarakat, tempat dan lingkungan pada muka

bumi peserta didik didorong utuk memahami aspek dan proses fisik yang membentuk pola muka

bumi, karakteristik dan persebaran spasial ekologis dipermukaan bumi. Selain itu peserta didik

dimotivasi secara aktif dan kreatif untuk menelaah bahwa kebudayaan dan pengalaman

mempengaruhi persepsi manusia tentang tempat dan wilayah. Pengetahuan, ketrampilan, dan nilai-

nilai diperoleh dalam pembelajaran Geografi diharapkan dapat membangun kemampuan peserta

didik untuk bersikap, bertindak cerdas, arif dan bertanggung jawab dalam menghadapi masalah

sosial, ekonomi dan ekologis.

2. Guru Geografi

Dalam pengertian yang sederhana, guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan

kepada anak didik. Guru dalam pandangan masyarakat adalah orang yang melaksanakan pendidikan

di tempat-tempat tertentu, tidak mesti di lembaga pendidikan formal, tetapi bisa juga di mesjid, di

surau/musala, di rumah dan sebagainya.

Guru adalah figur seorang pemimpin. Guru adalah sosok arsitektur yang dapat membentuk

jiwa dan watak anak didik. Guru mempunyai kekuasaan untuk membentuk dan membangun

kepribadian anak didik menjadi seseorang yang berguna bagi agama, nusa, dan bangsa. Tugas guru

sebagai suatu profesi menuntut kepada guru untuk mengembangkan profesionalitas diri sesuai

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mendidik, mengajar, dan melatih anak didik adalah

tugas guru sebagai suatu profesi. Tuga sguru sebagai pendidik berarti meneruskan dan

mengembangkan nilai-nilai hidup kepada anak didik. Tugas guru sebagai pengajar berarti

meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada anak didik. Tugas guru

sebagai pelatih berarti mengembangkan keterampilan dan menerapkannya dalam kehidupan demi

masa depan anak didik (Djamara, 2010).

Berdasarkan Undang-Undang Guru dan Dosen No 14 Tahun 2005 dinyatakan bahwa guru

adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,

melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan

Page 13: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 9

formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menegah. Dalam pasal 20 juga dikatakan bahwa antara

lain dalam melaksanakan tugas guru, guru berkewajiban merencanakan pembelajaran,

melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu serta mengevaluasi hasil pembelajaran.

Untuk menjadi seorang guru Geografi wajib memiliki pengetahuan dasar tentang ilmu tubuh

tanah, astronomi, ilmu kimia, ilmu fisika, dan lain-lain. Karena dengan memiliki pengetahuan ilmu

tersebut maka dapat diterapkan untuk mengungkapkan gejala-gejala dan proses-proses alam yang

melatar belakangi kehidupan manusia di permukaan bumi. Dalam mengajarkan geografi ,

pendekatan interdisipliner atau setidak-tidaknya multidimensional, menjadi ciri khas dalam

pengajaran geografi. Oleh karena itu, kemampuan melakukan pendekatan interdisipliner atau

multidimensional, harus menjadi kemampuan dasar guru geografi. Tanpa memiliki kemampuan

dasar ini, guru yang mengajarkan geografi tidak akan dapat melakukan proses belajar-mengajar

secara wajar merealisasikan tujuan instruksionalnya. Inilah salah satu karakter geografi yang wajib

diperhatikan guru geografi (Sumaatmadja, 1996).

Kemampuan dasar guru geografi berkenaan dengan penguasaan materi, tujuan pengajaran

geografi dan tingkat perkembangan mental anak sangat dituntut dalam pengajaran geografi. Seorang

guru geografi tanpa memiliki kemampuan dasar yang telah dikemukakan diatas, kecil sekali proses

belajar mengajar geografi itu berjalan wajar sehingga tujuan instruksional juga sukar terealisasikan.

Pengajaran geografi mempunyai nilai ekstensi yang meliputi nilai-nilai teoretis, praktis, filosofis,

dan ketuhanan. Dengan demikian, jika geografi diajarkan dan dipelajari secara terarah dan baik,

dapat membina anak didik berpikir integratif untuk dirinya sendiri dan untuk kepentingan

kehidupan pada umumnya (Sumaatmadja, 1996).

hebatnya kemajuan teknologi, peran guru akan tetap diperlukan. Teknologi yang konon dapat

memudahkan manusia mencari dan mendapatkan informasi dan pengetahuan, tidak mungkin bisa

menggantikan peran guru.

Peran guru dalam proses pembelajaran : (1) Guru sebagai sumber belajar, sebagai sumber

belajar dalam proses pembelajarab hendaknya guru memiliki bahan referensi yang lebih banyak

dibandingkan siswa. Guru dapat menunjukan sumber belajar yang dapat dipelajari oleh siswa yang

biasanya memiliki kecepatan belajar diatas rata-rata siswa yang lain, dan guru perlu melakukan

pemetaan tentang materi pelajaran; (2) Guru sebagai fasilitator, yaitu guru berperan dalam

memberikan pelayanana untuk memudahkan siswa dalam kegiatan proses pembelajaran. Agar dapat

melaksanakan peran sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran ada beberapa hal yang perlu

dipahami guru yaitu: guru perlu memahami jenis media dan sumber belajar serta fungsi masing-

masing media tersebut, guru perlu memiliki keterampilan dalam merancang suatu media, dan guru

dituntut agar memiliki kemampuan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan sisswa; (3) Guru

sebagai pengelolah, yaitu guru berperan dalam menciptakan iklim belajar yang memungkinkan

Page 14: Scanned by CamScanner - ULM

10 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

siswa dapat belajar secara nyaman. Melalui pengelolahan kelas yang baik guru dapat menjaga kelas

agar tetap kondusif untuk terjadinya proses belajar seluruh siswa; (4) Guru sebagai demonstrator,

yaitu peran untuk menunjukan kepada siswa segala sesuatu yang dapat membuat siswa lebih

mengerti dan lebih memahami setiap pesan yang disampaikan; (5) Guru sebagai pembimbing; (6)

Guru sebagai motivator, dalam proses pembelajaran motivasi merupakan salah satu aspek dinamis

yang snagat penting; (7) Guru sebagai evaluator, untuk mengumpulkan data atau informasi tentang

keberhasilan pelajaran yang telah dilakukan.(Djamarah, 2010).

3. Kesulitan Dalam Proses Pembelajaran

a. Materi Pelajaran

Materi pelajaran merupakan salah satu hal yang penting dalam kegiatan belajar

mengajar. Untuk merancang pembelajaran kita perlu memikirkan materi/bahan pelajaran apa yang

diperlukan untuk mencapai tujuan pembelajaran dan mencapai kompetensi yang diinginkan, karena

itulah kita perlu mengembangkan bahan pembelajaran.Dalam mengembangkan bahan

pembelajaran, kita dapat mengacu pada dua hal, yaitu konteks tempat penyelenggaraan pendidikan

dan bentuk kegiatan pembelajaran yang akan dilaksanakan.

Materi pelajaran dapat dibedakan menjadi pengetahuan (kognitif), sikap (afektif)dan

keterampilan (psikomotor). Materi Pengetahuan (kognitif) berhubungan dengan berbagai informasi

yang harus dihafal dan didiskusikan oleh siswa, sehingga siswa dapat mengungkapkan kembali.

Merril (dalam Wina Sanjaya:2011) membedakan isi (materi pelajaran kognitif ) atas 4 macam,

yaitu:

1) Fakta

Fakta adalah sifat dari suatu gejala, peristiwa, benda, yang wujudnya dapat ditangkap oleh

panca indra. Fakta merupakan pengetahuan yang berhubungan dengan data-data spesifik (tunggal)

baik yang telah maupun yang sedang terjadi yang dapat diuji atau diobservasi. Contohnya pada

pelajaran Sejarah, Peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus, dll.

1) Konsep

Konsep adalah abstraksi kesamaan atau keterhubungan dari sekelompok benda atau sifat.

Suatu konsep memiliki bagian yang dinamakan atribut. Atribut adalah karakteristik yang dimiliki

suatu konsep. Gabungan dari berbagai atribut menjadi suatu pembeda antara satu konsep dengan

konsep lainnya. Materi konsep contohnya pengertian ekosistem, ciri-ciri tanaman , dll.

2) Prosedur

Prosedur adalah materi pelajaran yang berhubungan dengan kemampuan siswa untuk

menjelaskan langkah-langkah secara sistematis tentang sesuatu. Hubungan antara dua atau lebih

Page 15: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 11

konsep yang sudah teruji secara empiris dinamakan generalisasi.Contoh materinya langkah-langkah

melakukan stek pada tanaman.

3) Prinsip.

Materi pelajaran tentang prinsip bisa berupa hasil penelitian/ sebuah teori yang telah

dibuktikan, sehingga dapat dipercaya. Seseorang akan dapat menarik suatu prinsip apabila sudah

memahami berbagai fakta dan konsep yang relevan. Contohnya dalil phitagoras, rumus, dll.

Selain dari segi kognitif, pengembangan materi pelajaran juga dari segi Afektif/sikap yakni

berhubungan dengan sikap/nilai atau keadaan dari dalam diri seseorang. Materi afektif termasuk

pemberian respon, penerimaan nilai, internalisasi, dll. Contohya nilai-nilai kejujuran, kasih sayang,

minat, kebangsaan, rasa sosial, dll.Dari segi psikomotor yakni materi yang mengarah pada

gerak/keterampilan.

Selain itu Hilda Taba (dalam Wina Sanjaya, 2011) juga mengemukakan bahwa ada 4 jenis

tingkatan bahan atau materi pelajaran, yakni fakta khusus, ide-ide pokok, konsep, dan system

berpikir. Fakta khusus adalah bentuk materi kurikulum yang sangat sederhana. Ide-ide pokok bisa

berupa prinsip atau generalisasi. Konsep menurut Hilda Taba, lebih tinggi tingkatannya dari ide

pokok, hal ini dikarenakan memahami konsep berarti memahami sesuatu yang abstrak sehingga

mendorong anak untuk berpikir lebih mendalam. System berpikir berhubungan dengan kemampuan

untuk memecahkan masalah secara empiris, sistematis dan terkontrol yang kemudian dinamakan

berpikir ilmiah.

b. Perencanaan Pembelajaran

Setiap guru pada satuan pendidikan berkewajiban menyusun perencanaan pembelajaran

secara lengkap dan sistematis agar pembelajaran berlangsung secara interaktif, inspiratif,

menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan

ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan

perkembangan fisik, serta psikologis peserta didik. seorang guru harus memiliki kemampuan dalam

merencanakan pembelajaran, karena kegiatan yang direncanakan dengan matang akan lebih terarah

dan tujuan yang diinginkan akan mudah tercapai. Perencanaan pembelajaran disusun untuk setiap

kompetensi dasar yang akan dilaksanakan dalam satu kali pertemuan atau lebih. Ada lima unsur

penting dalam rencana pembelajaran yaitu : (1) Tujuan instruksional; (2) Bahan ajar; (3) Kegiatan

belajar; (4) Metode dan alat bantu; dan (5) Evaluasi (Rusman, 2010).

Pembelajaran merupakan suatu sistem, yang terdiri atas komponen-komponen yang satu

sama yang lain saling berkaitan. Dengan rencana pembelajaran minimal ada 5 komponen pokok,

yaitu komponen tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, metode, media dan sumber

pembelajaran serta komponen evaluasi. Peraturan pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Bab IV Pasal

Page 16: Scanned by CamScanner - ULM

12 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

20 yang menyatakan bahwa perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan pelaksanaan

pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode

pengajaran, sumber belajar dan penilaian hasil belajar.

Komponen-komponen dalam perencanaan pembelajaran yaitu : (1) Tujuan, (2) Bahan

pelajaran, (3) Kegiatan belajar mengajar, (4) Metode, media dan sumber, (5) Evaluasi. Menurut

Sabri (2007) bahwa perencanaan pembelajaran meliputi : (1) Tujuan yang hendak dicapai, yaitu

bentuk tingkah laku apa yang diinginkan dapat dicapai atau dapat dimiliki oleh siswa setelah

terjadinya PBM; (2) Bahan belajar yang mengantarkan siswa mencapai tujuan; (3) Bagaimana

PBM yang akan diciptakan oleh guru agar siswa mencapai tujuan secara efektif dan efesien, dan (4)

Bagaimana menciptakan serta menggunakan alat untuk mengetahui dan mengukur apakah tujuan itu

dapat tercapai atau tidak. (Haryanto, 2008)

Buku panduan PPL Unimed yang di buat oleh tim penyusun UPPL Unimed membuat

indikator dalam rencana pembelajaran (APKG I) yang dimana indikatornya yaitu : (1) Perumusan

tujuan pembelajaran khusus; (2) Pengorganisasian bahan/ materi pembelajaran; (3) Rancangan

kegiatan pembelajaran; (4) Rancangan media pembelajaran; (5) Pemilihan sumber pembelajaran;

(6) Rancangan penilaian; dan (7) Keberhasilan dan kerapian.

Dari pendapat-pendapat tersebut dapat diambil satu kesimpulan bahwa dalam suatu

perencanaan pembelajaran hal-hal yang perlu direncanakan yaitu : menentukan bahan pembelajaran

dan merumuskan tujuan, memilih dan mengorganisasikan materi, media dan sumber, merancang

skenario pembelajaran, merancang pengelolaan kelas, merancang prosedur dan mempersiapkan alat

penilaian dan kesan umum rencana pembelajaran. Pada hakekatnya jika sutau kegiatan

direncanakan terlebih dahulu, keberhasilan atau kelancaran menuju tujuan yang akan dicapai akan

lebih terarah. Hal itulah yang membuat para guru harus memiliki kemampuan untuk membuat

sebuah perencanaan pembelajaran. Sesorang guru hendaknya merencanakan program pembelajaran

yang berupa materi maupun keterampilan yang akan diberikan setiap pertemuanya. Perencanaan itu

dapat sebagai kontrol dan pegangan saat mengajar bagi guru itu sendiri.

Perencanaan pengelolaan kelas merupakan salah satu indikator keberhasilan dalam

pembelajaran, hal ini disebabkan dalam kelas terdapat peserta didik dengan karakter yang

bervariasi. Perbedaan karakter ini dapat diminimalisir dengan pengelolaan kelas yang baik. Hal ini

dapat dilakukan antara lain dengan: (1) Mengatur tempat duduk sesuai dengan strategi pembelajaran

yang digunakan; (2) Merencanakan alokasi waktu pembelajaran; dan (3) Menentukan cara

mengordinasikan siswa agar terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran. Menurut Sudirman dalam

Djamarah (2010) pengelolaan kelas merupakan suatu upaya memberdayagunakan potensi kelas

yang ada seoptimal mungkin untuk mendukung proses interaksi edukatif mencapai tujuan

pembelajaran.

Page 17: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 13

Perencanaan alat dan media pembelajaran merupakan salah satu indikator keberhasilan

dalam pembelajaran. Media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk

menyalurkan pikiran, perasaan, perhatian, dan kemampuan siswa sehingga dapat mendorong proses

mengajar (Sabri, 2007). Sesuai dengan fungsinya, media dapat digunakan untuk membantu

memudahkan pemahaman siswa dalam menangkap dan memahami konsepatau materi yang

disampaikan. Materi juga dapat menghantarkan siswa ketingkat pemahaman yang lebih tinggi dari

pada disampaikan dengan ceramah atau lisan.

Dalam merencanakan suatu pembelajaran yang tercantum dalam rencana pelaksanaan

pembelajaran (RPP) seorang guru yang baik harus mencantumkan alokasi waktu untuk mencapai

kompetensi tertentu. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi adanya materi yang mungkin belum

tersampaikan sehingga penggunaan waktu harus benar-benar diperhatikan. Adanya suatu proses

pembelajaran pengelolaan waktu dapat dibedakan menjadi tiga kelompok utama yaitu waktu untuk

kegiatan pembukaan, kegiatan inti dan kegiatan penutup, dalam pembelajaran siswa perlu diatur

untuk membantu mempercepat tujuan pembelajaran dan memusatkan perhatian siswa hal ini dapat

dilakukan dengan mengatur cara membuka kelompok-kelompok kecil, mampu memanfaatkan

peralatan dan media yang ada sesuai dengan metode yang digunakan.

c. Pelaksanaan Pembelajaran

Pelaksanaan pembelajaran adalah proses yang diatur sedemikian rupa menurut langkah-

langkah tertentu agar pelaksanaan mencapai hasil yang diharapkan (Rusman,2010). Pelaksaan

pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang bernilai edukatif, nilai edukatif mewarnai interaksi

yang terjadi antara guru dan siswa. Interaksi yang bernilai edukatif dikarenakan pelaksanaan

pembelajaran yang dilakukan diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu yang telah dirumuskan

sebelum pelaksaan pembelajaraan dimulai (Sabri, 2007).

Buku panduan PPL Unimed yang di buat oleh tim penyusun UPPL Unimed membuat

indikator dalam pelaksanaan pembelajaran (APKG II) yang dimana indikatornya yaitu : (1)

Keterampilam membuka pelakaran; (2) Penyajian materi; (3) Strategi pembelajaran; (4)

Pemanfaatan media pembelajaran; (5) Pengelolahan kelas; (6) Penilaian pembelajaran; (7)

Keterampilan menutup pelajaran; (8) Sikap calon guru selama pembelajaran; dan (9) Efesiensi

penggunaan waktu.

Dalam pelaksanaan pembelajaran guru melakukan beberapa tahapan pelaksanaan

pembelajaran antara lain (Rusman, 2010) :

1) Kegiatan Pendahuluan

Kegiatan pendahuluan dalam pembelajaran sering sering pula disebut dengan pra-

instruksional. Fungsi kegiatan tersebut utamanya adalah untuk menciptakan awal pembelajaran

Page 18: Scanned by CamScanner - ULM

14 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

yang efektif yang memungkinkan siswa dapat mengikuti proses pembelajaran dengan baik.

Efisiensi waktu dalam kegiatan pendahuluan pembelajaran perlu diperhatikan, karena waktu yang

tersedia untuk kegiatan tersebut relatif singkat sekitar 5 (lima) menit. Oleh karena itu, dengan waktu

yang relatif singkat diharapkan guru dapat menciptakan kondisi awal pembelajaran yang baik,

sehingga aktivitas-aktivitas pada awal pembelajaran tersebut dapat mendukung proses dan hasil

pembelajaran siswa. Dalam kegiatan pendahuluan, guru harus memperhatikan hal-hal sebagai

berikut :

a) Menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran.

b) Mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi

yang akan dipelajari.

c) Menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan dicapai.

d) Menyampaikan cakupan materi dan penjelasaan uraian kegiatan sesuai silabus.

2) Kegiatan Inti

Pelaksanaan kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai kompetensi dasar

yang dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik

untuk berpartisipasi aktif, serta memberika ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan

kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.

Kegiatan inti menggunakan metode yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan mata

pelajaran yang dapat meliputi proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.

1. Eksplorasi

Dalam kegiatan ekspolarasi, guru harus memerhatikan hal-hal berikut:

a) Melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi

yang akan dipelajari dengan menerapkan prinsip”alam takambangí” jadi guru dan belajar dari

aneka sumber.

b) Menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran dan sumber belajar

lain.

c) Memfasilitasi terjadinya interaksi antar peserta didik serta antara peserta didik dengan guru,

lingkungan,dan sumber belajar lainnya.

d) Melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran.

e) Memfasilitasi peserta didik melakukan percobaan di laboratorium, studio, atau lapangan.

3. Elaborasi

Dalam kegiatan elaborasi, guru harus memperhatikan hal-hal berikut:

a) Membiasakan peserta didik membaca dan menulis yang beragam melalui tugas-tugas tertentu

yang bermakna.

Page 19: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 15

b) Memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi,dan lain-lain untuk

memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis.

c) Memberi kesempatan untuk berpikir, menganalisis, menyelesaikan masalah dan bertindak

tanpa rasa takut.

d) Menfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif dan kolaboratif.

e) Menfasilitasi peserta didik berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan prestasi belajar.

f) Menfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan baik lisan maupun

tertulis, secara indivisu maupun kelompok.

g) Menfasilitasi peserta didik untuk menyajikan hasil kerja individual maupun kelompok.

h) Menfasilitasi peserta didik melakukan pameran, turnamen, festival serta produk yang

dihasilkan.

i) Menfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa

percaya diri peserta didik.

4. Konfirmasi

Dalam kegiatan konfirmasi, guru harus memperhatikan hal-hal berikut:

a) Memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat, maupun

hadiah terhadap keberhasilan peserta didik,

b) Memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi peserta didik melalui berbagai

sumber,

c) Memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang

telah dilakukan,

d) Memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang bermakna dalam mencapai

kompetensi dasar:

e) Berfungsi sebagai narasumber dan fasilitator dalam menjawab pertanyaan peserta didik yang

menghadapi kesulitan, dengar menggunakan bahasa yang baku dan benar

f) Membantu menyelesaikan masalah;

g) Memberi acuan agar peserta didik dapat melakukan pengecekan hasil eksplorasi;

h) Memberi informasi untuk bereksplorasi lebih jauh;

i) Memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang atau belum berpartisipasi aktif.

2) Kegiatan Penutup

Menutup pelajaran merupakan kegiatan dan pertanyaanguru untuk menyimpulkan atau

mengakiri kegiatan inti. Kegiatan menutup pelajaran dilakukan dengan maksud untuk memusatkan

perhatian siswa pada akhir penggal kegiatan atau ada akhir pelajaran. Dalam kegiatan penutup, guru

harus memperhatikan hal-hal berikut:

Page 20: Scanned by CamScanner - ULM

16 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

a) Bersama-sama dengan peserta didik dan/atau sendiri membuat rangkuman/simpulan

pelajaran;

b) Melakukan penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan secara

konsisten dan terprogram;

c) Memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran;

d) Merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program

pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan tugas baik tugas individual maupun

kelompok sesuai dengan hasil belajar peserta didik;

e) Menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya.

d. Pelaksanaan Evaluasi Pembelajaran

Sudirman (dalam Djamarah,2010) mengemukakan rumusan, bahwa penilaian atau evaluasi

berati suatu tindakan untuk menemukan nilai sesuatu. Bila penilaian (evaluasi) digunakan dalam

dunia pendidikan, maka penilaian pedidikan berarti suatu tindakan untuk menentukan segala

sesuatu dalam dunia pendidikan. Sebagai alat penilaian hasil pencapaian tujuan dalam pengajaran,

evaluasi harus dilakukan secara terus menerus. Evaluasi tidak hanya sekedar menentukan angka

keberhasilan belajar. Tetapi yang lebih penting adalah sebagai dasar untuk umpan balik (feed back)

dari proses interaksi edukatif yang dilaksanakan Ali (dalam Djamarah,2010).

Evaluasi belajar dan pembelajaran adalah proses untuk menentukan nilai belajar dan

pembelajaran yang dilaksanakan, dengan melalui kegiatan penilaian atau pengukuran belajar dan

pembelajaran. Sedangkan pengertian pengukuran dalam kegiatan pembelajaran adalah proses

membandingkan tingkat keberhasilan yang telah ditentukan secara kuantitatif. Pengertian penilaian

belajar dan pembelajran adalah proses pembuatan keputusan nilai keberhasilan belajar dan

pembelajaran secara kualitatif (Darmadi, 2009).

Kegiatan evaluasi dilakukan dengan sadar oleh guru dengan tujuan memperoleh kepastian

mengenai keberhasilan belajar anak didik dan memberikan masukan kepada guru mengenai yang

dia lakukan dalam pengajaran. Dengan kata lain, evaluasi yang dilakukan guru bertujuan untuk

mengetahui bahan-bahan pelajaran yang disampaikannya sudah dikuasai atau belum oleh anak

didik, dan apakah kegiatan pengajaran yang dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan. Menurut

Sudirman (dalam Djamarah, 2010) tujuan penilaian (evaluasi) dalam proses belajar mengajar yaitu :

(1) Mengambil keputusan tentang hasil belajar; (2) Memahami anak didik; dan (3) Memperbaiki

dan mengembang program pengajaran. Dengan demikian, tujuan evaluasi adalah untuk

memperbaiki cara belajar mengajar, mengadakan perbaikan dan pengayaan bagi anak didik, serta

menempatkan anak didik pada situasi belajar mengajar yang lebih tepat sesuai dengan tingkat

kemampuan yang dimilikinya. Tujuan lainnya adalah untuk memperbaiki atau mendalami dan

Page 21: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 17

memperluas pelajaran, dan yang terakhir adalah untuk memberitahukan/melaporkan kepada para

orang tua/wali anak didik mengenai penentuan kenaikan kelas dan penentuan kelulusan anak didik.

Evaluasi tidak bisa dipisahkan dari kegiatan pengajaran,maka bagi guru mutlak harus

mengetahui dan mengenal fungsi evaluasi, sehingga mudah menerapkannya untuk menilai

kenerhasilan pengajaran. Menurut Jahja(dalam Djamarah, 2010) fungsi evaluuasi dari segi anak

didik secara individual dan dari segi program pengajaran yaitu :

Evaluasi berfungsi memberikan informasi bagi perbaikan mutu pengajaran dan penyusunan

program sekolah. Dalam pendidikan, seperangkat alat evaluasi yang mutlak memerlukan objek

sebagai sasaran. Tanpa objek, evaluasi tidak akan dapat diperankan. Karena itu, objek evaluasi

menempati posisi yang cukup strategis dalam menunjang tuga guru. Sebab dengan mengetahui

objek evaluasi akan memudahkan guru dalam menyusun alat evaluasinya. Menurut Nana Sudjana

(dalam Djamarah, 2010) pada umumnya ada tiga sasaran pokok evaluasi, yaitu :

1) Segi tingkah laku, artinya segi yang menyangkut sikap, minat, perhatian, dan keterampilan

siswa sebagai akibat dari proses belajar dan mengajar,

2) Segi isi pendidikan, artinya penguasaan bahan pelajaran yang diberikan guru dalam proses

belajar mengajar,

3) Segi yang menyangkut proses mengajar dan belajar itu sendiri. Proses mengajar dan

belajar perlu penilaian secara objektif dari guru, sebab baik tidaknya proses mengajar dan

belajar akan menentukan baik tidaknya hasil belajar yang dicapai siswa.

4. Kesulitan-Kesulitan dalam Proses Pembelajaran

Kesulitan dalam proses pembelajaran merupakan suatu rangkaian kegiatan guna

menumbuhkan organisasi proses belajar mengajar yang efektif. Kegiatan dalam proses

pembelajaran meliputi kompetensi yang harus dicapai, pengaturan penggunaan waktu luang,

pengaturan ruang dan alat perlengkap pelajaran di kelas serta pengelompokkan siswa dalam belajar.

Dalam kegiatan belajar mengajar ada dua hal yang ikut menentukan keberhasilan yaitu pengaturan

proses belajar mengajar, dan pengajaran itu sendiri, dan keduanya saling ketergantungan satu sama

lain. Kemampuan mengatur proses belajar mengajar yang baik akan menciptakan situasi yang

memungkinkan anak belajar, sehingga merupakan titik awal keberhasilan proses pengajaran.

Menurut Djamarah (1996) berbagai kesulitan-kesulitan yang biasa dihadapin oleh guru

adalah: (1) kompetensi apa yang mau dicapai; (2) Materi pelajaran apa yang diperlukan; (3)

Metode, alat mana yang harus dipakai; (4) Prosedur apa yang akan ditempuh untuk melakukan

evaluasi. Menurut Sudjarwo (1989), kesulitan yang dihadapin guru dalam melaksanakan tugasnya

berkaitan dengan proses pembelajaran sebagai berikut: (1) Kekurangan alat ratikum, alat peraga dan

Page 22: Scanned by CamScanner - ULM

18 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

media; (2) Kekuarngan buku pegangan, buku-buku tentang kependidikan dan buku sumber; (3)

Memotivasi yang kurang dari siswa; dan (4) Dukungan administrasi yang kurang.

Menurut Mulyati (dalam Darmadi,2009), unsur-unsur yang terdapat dalam pengajaran ada

tiga yaitu : (1) Manusia, dalam hal ini adalah guru sebagai pengajar dan siswa sebagai subjek

belajar, (2) Institusi, yaitu lembaga atau sekolah sebagai penyedia sarana dan prasarana yang

dibutuhkan dalam pengajaran, dan (3) Pengajaran, yaitu berkaitan dengan kurikulum yang

merupakan pedoman materi yang akan diajarkan. Ketiga unsur tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi

satu dengan yang lainnya saling berkait. Proses pengajaran yang melibatkan ketiga unsur tersebut

dalam kenyataanya tidak selamanya berjalan seperti apa yang diharapkan, karena berbagai kesulitan

yang dialami pada salah satu unsur pengajaran diatas akan berpengaruh pada unsur lain.

Kesulitan yang dihadapin oleh guru berkaitan dengan pengajaran yang dilaksanakan yakni

berkaitan dengan perencanaaan yang meliputi kompetensi yang harus dicapai, metode mengajar

yang digunakan dan evaluasi. Kesulitan yang dihadapin institusi dalam hal ini sekolah adalah

ketersediaan alat dan bahan, sumber belajar seperti media, alat peraga dan buku serta fasilitas

pendukung.

B. Penelitian Relevan

Endah Suci Pratiwi (2012) dengan judul “Analisis Kesulitan-Kesulitan Guru Dalam

Pembelajaran IPS Terpadu (Studi Kasus Pada SMP Negeri 8 Kota Malang)”.Beberapa kesulitan

guru pada saat pembelajaran IPS terpadu di antara lain; (1) Guru mengalami kesulitan pada saat

menyampaikan materi yang bukan merupakan bidang ilmunya, (2) Guru mengalami kesulitan pada

saat menyusun perencanaan pembelajaran karena banyaknya indikator yang akan ditempuh oleh

siswa dan tidak semua materi dapat dipadukan. Sehingga apabila ingin memadukan ilmu-ilmu

sosial tersebut harus dipilah-pilah terlebih dahulu dan disesuaikan dengan tema yang sudah

ditentukan, (3) Kesulitan dialami karena kurangnya pedoman untuk mengintegrasikan materi-materi

yang tercakup dalam SK dan KD IPS terpadu yang disusun secara tematik, (4) Sulitnya membagi

waktu antara menyampaikan materi yang tercakup dalam IPS dan melaksanakan pembelajaran IPS

terpadu, (5) Kesulitan dialami guru karena kurikulum IPS terpadu yang dianggap masih terpisah-

pisah dan butuh pengkajian ulang apabila ingin bisa dipadukan dengan baik, (6) Faktor-faktor

eksternal, misalnyasiswa yang malas dan lain-lain.

Wardatus Sarifah (2012) dengan judul “Identifikasi Kesulitan Guru Geografi SMA Negeri Se-

Kabupaten Pamekasan Dalam Penyusunan RPP Berdasarkan KTSP. Hasil penelitian sebagai

berikut: pertama, guru geografi yang ada di SMA Negeri se-Kabupaten Pamekasan masih banyak

yang mengalami kesulitan dalam menyusun silabus berdasarkan KTSP pada berbagai

komponen; kedua, guru geografi yang ada di SMA Negeri se-Kabupaten Pamekasan masih banyak

Page 23: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 19

yang mengalami kesulitan dalammenyusun RPP berdasarkan KTSP pada berbagai

komponen;ketiga, Upaya yang dilakukan guru geografi belum berhasil sepenuhnya sehingga harus

diadakan upaya yang lebih baik lagi untuk mengatasi kesulitan-kesulitan dalam menyusun silabus

dan RPP yaitu mengaktifkan kembali MGMP dengan melibatkan Dinas pendidikan serta guru-guru

yang bersangkutan.

Dewi Kuntari (2009) dengan judul “Problematika Pembelajaran Berdasarkan Kurikulum

Tingkat Satuan Pendidikan Yang Dihadapin Guru Pendidikan Kewarganegaraan SMA di

Bondowoso”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) penerapan kurikulum tingkat satuan

pendidikan di SMA Negeri Bondowoso yaitu diawali dengan menyusun komponen KTSP seperti:

Visi, Misi dan Tujuan Pendidikan Tingkat satuan Pendidikan, Struktur dan Muatan KTSP, Kalender

Pendidikan, Silabus, (2) Problematika yang dihadapi guru Pendidikan Kewarganegaraan adalah (a)

kesulitan dalam membuat perangkat mengajar utamanya pada rencana pelaksanaan pembelajaran,

urutan dari komponen yang berbeda-beda tiap guru, format penilaian, dan juga keterlambatan

pengiriman kalender pendidikan dari pusat, sehingga menghambat penyusunan perangkat

pembelajaran bagi guru; (b) kesulitan guru dalam mengoperasikan komputer, LCD dan laptop; (c)

sarana dan prasarana yang terbatas;. (3) Upaya mengatasi problematika yang dihadapi guru yaitu:

(a) mengatasi kesulitan guru dalam menyusun perangkat mengajar, upaya yang dilakukan adalah

dengan mendatangkan pakar/ahli untuk mengadakan sosialisasi dan konsultasi tentang kesulitan

yang dihadapi guru; (b) Upaya yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan dalam metode ataupun

media adalah pihak kepala sekolah, mengadakan kursus untuk guru seperti komputer dan LCD; (c)

untuk melengkapi sarana dan prasarana dilakukan dengan musyawarah dengan komite sekolah,

rapat orang tua wali murid.

Nadliroh (2010) dengan judul penelitian “Analisis Faktor-Faktor Penghambat Guru dalam

Pelaksanaan Pembelajaran Matematika Madrasah Tsanawiyah Negeri Winong Kabupaten Pati

Tahun Ajaran 2010/2011”. Hasil penelitian yang diperoleh adalah semua faktor berpotensi

mempengaruhi ketidak berhasilan pembelajaran matematika. Namun, yang paling dominan berasal

dari peserta didik yang sangat sedikit minat dan motivasinya dalam mempelajari matematika. Untuk

mengatasi hambatan tersebut, guru di lingkungan MTsN Winong belum melakukan suatu tindakan

nyata untuk sungguh-sungguh mengatasi hambatan tersebut. Yang ada hanyalah musyawarah kecil

di sela-sela pergantian jam pelajaran.

Karolina (2010) dengan judul “Analisis Kendala Guru IPS Dalam Mengajarkan IPS Terpadu

di Kelas VII SMP Negeri Se-Kecamatan Sunggal”. Hasil penelitian menunjukan bahwa kendala

utama yang dihadapin guru dalam mengajarkan IPS terpadu yaitu dalam mengaitkan tema sesuia

dengan kompetansi 83,33% dan menjabarkan kompetensi dasar ke dalam indikator 83,33% serta

dalam mencari sumber belajar dengan pemanfaatan internet 75%.

Page 24: Scanned by CamScanner - ULM

20 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

C. Kerangka Berpikir

Dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar, guru merupakan orang yang memberikan

pengajaran dan siswa sebagai orang yang menerima pengajaran tersebut. Dalam proses kegiatan

pembelajaran geografi tidak terlepas dari kesulitan yang dihadapin oleh guru, yang dimana meliputi

perencanaan pembelajaran geografi, pelaksanaan pembelajaran geografi dan melaukan evaluasi

dalam pembelajaran geografi.

Dalam penelitian ini akan diperoleh gambaran bagaimana kesulitan guru dalam

pembelajaran geografi di SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan. Adapun skema

kerangka berpikir dilihat pada gambar 1.

SKEMA KERANGKA BERPIKIR

Gambar 1. Skema Kerangka Berpikir

Pembelajaran Geografi Di SMA

Materi Pelajaran Geografi

Rancangan Pembelajran

Geografi

Melaksanakan Pembelajaran

Geografi

Evaluasi Pembelajaran

Geografi

Kesulitan Guru Geografi Di SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau

Selatan

Page 25: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 21

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan diseluruh SMA Negeri di Kecamatan Rantau Utara dan Rantau

Selatan Kabupaten Labuhan Batu yang dimana yaitu : SMA Negeri 1 Rantau Selatan, SMA Negeri

1 Rantau Utara, SMA Negeri 2 Rantau Selatan, SMA Negeri 2 Rantau Utara, dan SMA Negeri 3

Rantau Utara.

Alasan memilih sekolah ini menjadi lokasi penelitian adalah karena berdasarkan wawancara

saya dengan guru bidang studi geografi dikatakan bahwa adanya masalah-masalah yang di hadapin

guru geografi dalam pembelajaran geografi di SMA Negeri tersebut.

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh guru yang mengajar di SMA Negeri di

Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan yang terdiri dari 7 orang guru yaitu: SMAN1 Rantau

Selatan (2 Orang), SMAN1 Rantau Utara (1 Orang), SMAN 2 Rantau Selatan (1 Orang), SMAN 2

Rantau Utara (1 Orang) dan SMAN 3 Rantau Utara (1 Orang).

2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini mengunakan sampel total yakni semua guru Geografi dari lima

SMA Negeri yang ada di Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan yaitu sebanyak 6 orang.

C. Variabel Penelitian dan Defenisi Operasional

1. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah kesulitan guru dalam pembelajaran geografi di SMA

Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan.

2. Defenisi Operasional

Definisi operasional dibuat untuk menghindari kesalah penafsiran terhadap variabel yang

diteliti. Variabel yang diteliti dalah kesulitan yang dihadapin guru dalam pembelajaran geografi

yang meliputi :

1. Bahan ajar atau materi pembelajaran (instructional materials) terdiri dari pengetahuan,

keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi

yang telah ditentukan. Secara terperinci, jenis-jenis materi pembelajaran terdiri dari pengetahuan

(fakta, konsep, prinsip, prosedur), keterampilan, dan sikap atau nilai.

2. Perencanaan pembelajaran adalah upaya untuk memperkirakan tindakan yang dilakukan dalam

kegiatan pembelajaran. Indikator dalam perencanaan pembelajaran yaitu : (1) Mendeskripsikan

Page 26: Scanned by CamScanner - ULM

22 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

tujuan pembelajaran; (2) Menentukan materi sesuai dengan kompetensi yang telah ditentukan;

(3) Menyederhanakan materi pokok; (4) Menjabarkan materi pelajaran sesuai terstruktur atau

sistematis; (5) Mengalokasi waktu; (6) Menentukan metode pembelajaran yang sesuai; (7)

Merancang prosedur pembelajaran; (8) Menentukan media pembelajaran; (9) Menentukan

sumber belajar; dan (10) Menentukan teknik penilaian yang sesuai.

3. Pelaksanaan pembelajaran adalah proses yang diatur sedemikian rupa menurut langkah-langkah

tertentu agar pelaksanaan pembelajaran mencapai hasil yang diharapkan. Tahapan dalam

pelaksanaan pembelajaran meliputi : (1) Kegiatan pendahuluan; (2) Kegiatan inti; dan (3)

Kegiatan penutup.

4. Evaluasi belajar dalam proses pembelajaran dapat digunakan untuk mengecek, mengukur,

menilai dan memperbaiki perencanaan dan pelaksanaan proses pembelajaran yang telah

dilakukan. Evaluasi dapat digunakan untuk menilai tujuan dengan optimal. Indikator dalam

evaluasi yaitu : (1) Menyusun soal/prangkat penilaian; (2) Memeriksa jawaban/pemberian skor;

(3) Mengelolah hasil penilaian; (4) Mengalisis penilaian; (5) Menyimpulkan hasil penilaian;(6)

Menyusun laporan hasil penilaian; (7) Memberikan tindak lanjut hasil penilaian; dan (8)

Menyusun program tindak lanjut penilaian.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan untuk pengumpulan data antara lain:

2. Teknik Komunikasi Tidak Langsung

Alat yang digunakan dalam teknik komunikasi tidak langsung yaitu :

a. Angket

Angket yaitu suatu daftar pertanyaan tertulis yang dipergunakan untuk memperoleh informasi

dari responden. Angket dalam penelitian ini terdiri dari 10 item pertanyaan, dengan 2 item

pertanyaan pada aspek materi pelajaran, 2 item pertanyaan pada aspek perencanaan pembelajaran, 4

item pertanyaan pada aspek pelaksanaan pembelajaran, dan 2 item pertanyaan pada aspek evaluasi

pembelajaran

3. Teknik Komunikasi Langsung

Alat yang digunakan pada teknik komunikasi langsung yaitu:

a. Wawancara

Alat yang digunakan dalam wawancara yaitu daftar wawancara yang terdiri dari 10

pertanyaan yang dilakukan secara tatap muka dengan responden, untuk mengetahui kesulitan guru

dalam pembelajaran geografi di SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan.

Wawancara dalam penelitian ini digunakan untuk menyesuaikan jawaban angket responden dengan

kenyataan di lapangan berdasarkan wawancara terhadap guru grografi.

Page 27: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 23

4. Teknik Observasi

Alat yang digunakan adalah daftar observasi, yaitu dengan cara mengamati secara langsung di

lapangan mengenai kesulitan guru geografi yang terjadi sesuai dengan tujuan penelitian dibantu

dengan daftar observasi penelitian.

E. Teknik Analisi Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis deskriptif

yaitu menganalisis dan menyajikan fakta-fakta secara sistematis, kemudia dibantu dengan tabel-

tabel frekuensi sehingga lebih mudah untuk dipahami dan disimpulkan.

Pada dasarnya data yang diperoleh oleh penulis baik dari wawancara, observasi maupun

angket berupah data mentah , yang kemudian penulis peroleh beberapa teknik yaitu :

1. Kategorisasi

Agar lebih mudah dianalisis, data yang diperoleh penulis baik dari observasi, wawancara

maupun angket kemudian dikelompokan menjadi beberapa katagori. Masing-masing katagori

merupakan data yang mempunyai kesamaan maksud. Kategorisasi dilakukan berdasarkan kesulitan

yang dihadapin oleh guru bidang studi geografi berdasarkan kesulitan materi pelajaran geografi,

perencanaan pembelajaran geografi, pelaksanaan pembelajaran geografi dan evaluasi pembelajaran

geografi.

2. Perhitungan

Setelah data di kategorisasi, penulis melakukan pengelolahan data dan perhitungan dengan

menggunakan rumus statistik presentasi :

𝑃𝑃 =FN

x100%

Keterangan :

P = Presentasi jawaban

F = Frekuensi jawaban responden

N = Banyaknya responden

!00% = Bilangan tetap konstan

Setelah data dihitung dengan mengunakan rumus statistik, kemudian dilakukan analisis

dengan triangulasi. Triangulasi disini dimaksud yaitu untuk membandingkan jawaban angket

dengan jawaban wawancara dan hasil observasi yang dilakukan oleh penulis. Perbandingan ini

dilakukan sebagai penguat jawaban angket sekaligus mencari sebab kesulitan yang dilamin oleh

guru dalam pembelajaran geografi. Dengan begitu analisi yang penulis lakukan bukan hanya

mencari kesulitan yang dihadapin oleh guru bidang studi geografi secara kualitas (jumlah) tetapi

juga kualitas (sebab terjadinya kesulitan).

Page 28: Scanned by CamScanner - ULM

24 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

BAB IV

DESKRIPSI WILAYAH DAN LOKASI PENELITIAN

A. SMA Negeri 1 Rantau Utara

1. Fisik

a. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 1 Rantau Utara, yang terletak di Jalan Mahoni

RantauPrapat. Gedung SMA Negeri 1 Rantau Utara didirikan pada Tahun 1997. Dilihat dari tanggal

berdirinya sekolah ini sudah cukup lama dan sekolah ini juga sudah memagari lingkungan sekolah

dengan 1 gerbang pintu keluar yang berhadapan langsung dengan jalan. SMA Negeri 1 Rantau

Utara ini terletak di daerah Kodam dan di belakang stasiun kereta api.

Secara administrartif letak wilayah SMA Negeri 1 Rantau Utara adalah sebagai berikut:

a. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Bila Barat

b. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Labuhan Batu Selatan

c. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kisaran

d. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Rantau Selatan

Gambar 2. SMA Negeri 1 Rantau Utara

b. Fasilitas Belajar

Fasilitas merupakan salah satu faktor eksternal yang dapat mempengaruhi aktivitas belajar

siswa. Keberhasilan kegiatan belajar mengajar di sekolah juga ditentukan oleh kelengkapan

fasilitas belajar. Keadaan fasilitas belajar di SMA Negeri 1Rantau Utara(lihat tabel 1).

Tabel 1. Fasilitas Belajar SMA Negeri 1 Rantau Utara

No Ruang J u m l a h Keadaan

1 Ruang Kepala Sekolah 1 Baik

2 Ruang Belajar 23 Baik

3 Ruang Guru 1 Baik

Page 29: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 25

4 Ruang BP / BK 1 Baik

5 Ruang Tata Usaha 1 Baik

6 Perpustakaan 1 Baik

7 Lab. Biologi 1 Baik

8 Lab. Kimia 1 Baik

9 Lab. Fisika 1 Baik

10 Lab. Bahasa 1 Baik

11 Lab. Komputer 1 Baik

12 Ruang PSB 1 Baik

13 Komputer Siswa 26 Baik

14 Laptop 10 Baik

15 Komputer Pegawai & Printer 3 Baik

16 Musholla 1 Baik

17 Kantin 2 Baik

18 Rumah Penjaga Sekolah 1 Baik

19 Kamar Mandi Guru 2 Baik

20 Kamar Mandi Kepala Sekolah 1 Baik

21 Kamar Mandi SiswaLaki-laki 4 Baik

22 Kamar Mandi SiswaPerempuan 4 Baik

24 Parkir Siswa 2 Baik

26 Koperasi guru 1 Baik

27 OHP 1 Baik

28 In Focus 3 Baik

30 Tape 1 Baik

31 Amplifier 1 Baik

Sumber: Tata Usaha SMA Negeri 1 Rantau Selatan, 2014

Tabel tersebut memperlihatkan fasilitas SMA Negeri 1Rantau Utara tergolong baik karena

belum mengalami kerusakan dan masih dapat digunakan dengan baik

Page 30: Scanned by CamScanner - ULM

26 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Gambar 3. Lapangan Bola SMA Negeri 1 Rantau Utara

c. Fasilitas Belajar Geografi

Fasilitas belajar geografi yang digunakan dalam bidang studi geografi di SMA Negeri

1Rantau Utara dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2. Fasilitas Belajar Geografi SMA Negeri 1 Rantau Utara

No Fasilitas Jumlah (Unit) Keadaan

1 Globe 1 Baik

2 Peta Indonesia 2 Baik

3 Peta Dunia 1 Baik

4 Peta Asia Tenggara 1 Baik

5 Atlas 4 Baik

Sumber : Tata Usaha SMA Negeri 1Rantau Utara, 2014

2. Non Fisik

1. Keadaan Guru

Agar pendidikan nasional dapat terealisasi dengan baik, diperlukakan tenaga pendidik yang

memiliki profesionalisme guru dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan spesialisasi pendidikan

yang diperolehnya. Sementara itu profesioanal guru dalam menjalankan tugasnya banyak

ditentukan oleh kualitas pendidikan yang diperolehnya. Kualitas pendidikan dalam hal ini banyak

dilihat dari latar belakang pendidikan guru. Berikut ini akan disajikan tabel keadaan tenaga edukatif

berdasarkan penggolongan pendidikan formal.

Tabel 3. Jumlah Guru di SMA Negeri 1 Rantau Utara

Ijazah Tertinggi Jumlah

GT GTT

S 2

S 1

D III

4

40

6

-

6

1

Page 31: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 27

Jumlah 50 7

Sumber : Tata Usaha SMA Negeri 1 Rantau Utara, 2014

2. Keadaan Siswa

Jumlah siswa di SMA Negeri 1 Rantau Utara dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4. Jumlah Siswa SMA Negeri 1Rantau Utara

No Kelas Jumlah Presentase

1 X 427 35,29

2 XI 401 33,05

3 XII 385 31,74

Jumlah 1.213 100

Sumber : Tata Usaha SMA Negeri 1 Rantau Utara, 2014

B. SMA Negeri 1 Rantau Selatan

1. Fisik

a. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 1 Rantau Selatan, yang terletak di Jalan Ki Hajar

Dewantara RantauPrapat Kabupaten Labuhan Batu. Gedung SMA Negeri 1 Rantau Selatan

didirikan pada tahun 1959. Luas bangunannya 453 m2, halaman 7200 m2. Lingkungan sekolah ini

memiliki 1 gerbang pintu keluar yang dijaga oleh 2 orang satpam, dan pintu keluar sekolah ini

langsung dengan jalan raya.

Secara administratif letak wilayah SMA Negeri 1 Rantau Selatan adalah sebagai berikut:

a. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Rantau Utara

b. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Labuhan Batu Selatan

c. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kisaran

d. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Bilah Hulu

b. Fasilitas Belajar

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kegiatan belajar - mengajar adalah kelengkapan

fasilitas yang ada disekolah. Keadaan fasilitas belajar di SMA Negeri 1 Rantau Selatan (lihat tabel

5). Dari tabel tersebut terlihat bahwa fasilitas yang ada di SMA Negeri 1 Rantau Selatan dalam

kondisi yang masih dapat digunakan untuk menunjang kegiatan belajar mengajar, namun juga

terlihat dari segi jumlah masih belum memuaskan seperti perlengkapan untuk olah raga,

laboratorium fisik, laboratorium komputer, laboratorium biologi dan laboratorium IPS.

Tabel 5. Fasilitas Belajar SMA Negeri 1 Rantau Selatan

No Fasilitas Jumlah Keadaan

Page 32: Scanned by CamScanner - ULM

28 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

Ruang Belajar

Ruang Kepala Sekolah

Ruang Dewan Guru

Ruang Tata Usaha

Ruang UKS

Ruang Kesenian

Musolah

Perpustakaan

Laboratorium Komputer

Laboratorium Biologi

Laboratorium Fisika

Laboratorium Kimia

Laboratorium Bahasa

Toilet Guru dan Siswa

Kantin

Lapangan Olah Raga

28

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

3

1

1

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Sumber : Tata Usaha SMA Negeri 1 Rantau Selatan , 2014

Tabel tersebut memperlihatkan fasilitas SMA Negeri 1Rantau Selatan tergolong baik karena

belum mengalami kerusakan dan masih dapat digunakan dengan baik.

c. Fasilitas Belajar Geografi

Fasilitas belajar geografi yang digunakan dalam bidang studi geografi di SMA Negeri 1

Rantau Selatan (lihat tabel 6).

Tabel 6. Fasilitas Belajar Geografi SMA Negeri 1 Rantau Selatan

No Fasilitas Jumlah Keadaan

1

2

3

Peta Indonesia

Peta Dunia

Globe

3

1

1

Baik

Baik

Baik

Sumber: Tata Usaha SMA Negeri 1 Rantau Selatan, 2014

Dari tabel 6 dapat dilihat bahwa fasilitas belajar geografi terlihat jumlahnya masih belum

cukup dan masih banyak yang perlu ditambah oleh pihak sekolah seperti model muka bumi, atlas,

pantograf dan peta tematik. Fasilitas seperti peta masih sering menjadi pajangan dan jarang

digunakan untuk pembelajaran kondisi ini juga harus menjadi perhatian oleh guru bidang studi

geografi.

2. Non Fisik

1. Keadaan Guru

Page 33: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 29

Pendidikan pada prakteknya akan terwujud dalam bentuk lembaga pendidikan seperti

lembaga formal yang diharapkan mampu menghasilkan siswa yang berprestasi sebagai sumberdaya

manusia yang berkualitas. Prestasi siswa tersebut diperoleh dari proses hasil belajar.

Agar pendidikan nasional dapat terealisasi dengan baik, diperlukakan tenaga pendidik yang

memiliki profesionalisme guru dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan spesialisasi pendidikan

yang diperolehnya. Sementara itu profesioanal guru dalam menjalankan tugasnya banyak

ditentukan oleh kualitas pendidikan yang diperolehnya. Kualitas pendidikan dalam hal ini banyak

dilihat dari latar belakang pendidikan guru. Berikut ini akan disajikan tabel keadaan tenaga edukatif

berdasarkan penggolongan pendidikan formal.

Tabel 7. Jumlah Guru SMA Negeri 1 Rantau Selatan Berdasarkan Ijazah

No Pendidikan Terakhir Frekuensi (Orang) Persentase (%)

1 S – 1 57 90,47

2 D – 3 6 9,53

Jumlah 63 100

Sumber : Tata Usaha SMA Negeri 1 Rantau Selatan, 2014

2. Jumlah Siswa

Jumlah siswa di SMA Negeri 2 Rantau Selatan dapat dilihat pada tabel 8.

C. SMA Negeri 2 Rantau Utara

1. Fisik

a. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 2 Rantau Utara, yang terletak di Jalan Menara No 4

RantauPrapat Kabupaten Labuhan Batu. Gedung SMA Negeri 2 Rantau Utara didirikan pada tahun

1990 dan dilakukan renovasi pada tahun 2013. Luas bangunannya 2122.50 m2, Lingkungan sekolah

ini memiliki 1 gerbang pintu keluar yang dijaga oleh 1 orang satpam.

Secara administratif letak wilayah SMA Negeri 2 Rantau Utara adalah sebagai berikut:

e. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Bila Barat

f. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Labuhan Batu Selatan

g. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kisaran

h. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Rantau Selatan

Tabel 8. Jumlah Siswa SMA Negeri 2 Rantau Utara

No Kelas Jumlah

Jumlah Lk Pr

1 X -1 7 34 41

Page 34: Scanned by CamScanner - ULM

30 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

2 X- 2 16 27 43

2 X- 3 15 25 40

3 X- 4 8 36 44

4 X- 5 21 22 43

5 X- 6 18 23 41

6 X- 7 17 25 42

7 X- 8 23 21 44

8 X- 9 23 21 44

9 X- 10 25 20 45

10 X- 11 24 23 47

11 XI IPA 1 8 36 44

12 XI IPA 2 15 32 47

13 XI IPA 3 13 35 48

14 XI IPA 4 17 30 47

15 XI IPA 5 21 23 44

16 XI IPS 1 15 31 46

17 XI IPS 2 26 15 41

18 XI IPS 3 16 23 39

19 XI IPS 4 29 10 39

20 XII IPA 1 14 20 34

21 XII IPA 2 5 34 39

22 XII IPA 3 11 28 39

23 XII IPA 4 10 28 38

24 XII IPA 5 22 20 42

25 XII IPS 1 16 27 43

26 XII IPS 2 20 16 36

27 XII IPS 3 17 24 41

28 XII IPS 4 29 10 39

Jumlah 501 722 1.223

Sumber: Tata Usaha SMA Negeri 2 Rantau Utara, 2014

b. Fasilitas Belajar

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kegiatan belajar - mengajar adalah kelengkapan

fasilitas yang ada disekolah. Keadaan fasilitas belajar di SMA Negeri 2 Rantau Utara dapat dilihat

pada tabel 13. Dari tabel tersebut terlihat bahwa fasilitas yang ada di SMA Negeri 2 Rantau Utara

Page 35: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 31

dalam kondisi yang masih dapat digunakan untuk menunjang kegiatan belajar mengajar, namun

juga terlihat dari segi jumlah masih belum memuaskan seperti perlengkapan untuk olah raga,

laboratorium fisik, laboratorium komputer, laboratorium biologi dan laboratorium IPS.

Tabel 9. Fasilitas Belajar SMA Negeri 2 Rantau Utara

No Fasilitas Jumlah Keadaan

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

Ruang Belajar

Ruang Kepala Sekolah

Ruang Dewan Guru

Ruang Tata Usaha

Ruang UKS

Ruang Kesenian

Perpustakaan

Laboratorium Komputer

Laboratorium Biologi

Laboratorium Fisika

Laboratorium Kimia

Laboratorium Bahasa

Toilet Guru dan Siswa

Kantin

Pakiran Kereta Guru dan Siswa

23

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

3

1

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Sumber : Tata Usaha SMA Negeri 2 Rantau Utara Tahun, 2014

Tabel tersebut memperlihatkan fasilitas SMA Negeri 2 Rantau Utara tergolong baik karena belum

mengalami kerusakan dan masih dapat digunakan dengan baik.

c. Fasilitas Belajar Geografi

Fasilitas belajar geografi yang digunakan dalam bidang studi geografi di SMA Negeri 2

Rantau Utara (lihat tabel 10).

Tabel 10. Fasilitas Belajar Geografi SMA Negeri 2 Rantau Utara

No Fasilitas Jumlah Keadaan

1

2

3

Peta Indonesia

Peta Dunia

Globe

3

1

1

Baik

Baik

Baik

Sumber: Tata Usaha SMA Negeri 2 Rantau Utara,2015

Page 36: Scanned by CamScanner - ULM

32 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Dari tabel 10 dapat dilihat bahwa fasilitas belajar geografi terlihat jumlahnya masih belum

cukup dan masih banyak yang perlu ditambah oleh pihak sekolah seperti model muka bumi, atlas,

pantograf dan peta tematik. Fasilitas seperti peta masih sering menjadi pajangan dan jarang

digunakan untuk pembelajaran kondisi ini juga harus menjadi perhatian oleh guru bidang studi

geografi.

2. Non Fisik

1. Keadaan Guru

Agar pendidikan nasional dapat terealisasi dengan baik, diperlukakan tenaga pendidik yang

memiliki profesionalisme guru dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan spesialisasi pendidikan

yang diperolehnya. Sementara itu profesioanal guru dalam menjalankan tugasnya banyak

ditentukan oleh kualitas pendidikan yang diperolehnya. Kualitas pendidikan dalam hal ini banyak

dilihat dari latar belakang pendidikan guru. Berikut ini akan disajikan tabel keadaan tenaga edukatif

berdasarkan penggolongan pendidikan formal.

Tabel 11. Jumlah Tenaga Edukatif SMA Negeri 2 Rantau Utara

No Pendidikan

Terakhir

Frekuensi

(orang) Persentase

1

2

S -1

D - 3

57

63

90,47

9,53

Jumlah 63 100

Sumber : Tata Usaha SMA Negeri 2 Rantau Utara, 2014

2. Keadaan Siswa

Jumlah siswa di SMA Negeri 2Rantau Utara dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 12. Jumlah Siswa SMA Negeri 2 Rantau Utara

No Kelas Jumlah Presentase

1 X 430 33,99

2 XI 420 33,21

3 XII 415 32,81

Jumlah 1.265 100

Sumber : Tata Usaha SMA Negeri 2 Rantau Utara, 2014

D. SMA Negeri 2 Rantau Selatan

1. Fisik

a. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 2 Rantau Selatan, yang terletak di Jalan Kancil

Sigambal RantauPrapat. Gedung SMA Negeri 2 Rantau Selatan didirikan pada tahun 1991. Pada

Page 37: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 33

Tahun 1991 s/d 1998 SMA Negeri 2 Rantau Selatan disebut dengan SMA Negeri 5 Bila Hulu, pada

Tahun 1998 s/d 2004 disebut dengan SMA Negeri 4 Rantauprapat, pada Tahun 2004 s/d 2005

disebut dengan SMA Negeri 4 Rantauprapat, dan terakhir pada Tahun 2005 s/d pada saat ini disebut

dengan SMA Negeri 2 Rantau Selatan. Luas bangunannya 264 m2, halaman 5200 m2. Lingkungan

sekolah ini memiliki 1 gerbang pintu keluar yang berhadapan langsung dengan jalan.

Secara administratif letak wilayah SMA Negeri 2 Rantau Selatan adalah sebagai berikut:

a. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Rantau Utara

b. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Labuhan Batu Selatan

c. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kisaran

d. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Bilah Hulu

b. Fasilitas Belajar

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kegiatan belajar - mengajar adalah kelengkapan

fasilitas yang ada disekolah. Keadaan fasilitas belajar di SMA Negeri 2 Rantau Selatan (lihat tabel

13). Dari tabel tersebut terlihat bahwa fasilitas yang ada di SMA Negeri 2 Rantau Selatan dalam

kondisi yang masih dapat digunakan untuk menunjang kegiatan belajar mengajar, namun juga

terlihat dari segi jumlah masih belum memuaskan seperti perlengkapan untuk olah raga,

laboratorium fisik dan biologi dan laboratorium IPS.

Tabel 13. Fasilitas Belajar SMA Negeri 2 Rantau Selatan

No Fasilitas Jumlah Keadaan

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

Ruang Belajar

Ruang Kepala Sekolah

Ruang Dewan Guru

Ruang Tata Usaha

Ruang UKS

Perpustakaan

Laboratorium Komputer

Laboratorium IPA

Laboratorium Bahasa

Laboratorium IPS

Toilet Guru dan Siswa

Kantin

Lapangan Olah Raga

Tempat Parkir roda 2 dan 4

16

1

1

1

1

1

1

1

1

1

4

2

2

1

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Sumber : Tata Usaha SMA Negeri 2 Rantau Selatan, 2014

Page 38: Scanned by CamScanner - ULM

34 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Dari Tabel 13 dapat dilihat bahwa fasilitas belajar di SMA Negeri 2 Rantau Selatan

dikategorikan baik, hal itu terlihat dari keadaan setiap fasilitas yang berada di sekolah tersebut,

tetapi untuk fasilitas Laboratorium IPA masih terdapat banyak kekurangan seperti kurangnya

bahan-bahan praktek.

c. Fasilitas Belajar Geografi

Fasilitas belajar geografi yang digunakan dalam bidang studi geografi di SMA Negeri 2

Rantau Selatan (lihat tabel 14).

Tabel 14. Fasilitas Belajar Geografi SMA Negeri 2 Rantau Selatan

No Fasilitas Jumlah Keadaan

1

2

3

Peta Indonesia

Peta Dunia

Globe

2

1

1

Baik

Baik

Baik

Sumber: Tata Usaha SMA Negeri 2 Rantau Selatan , 2014

Fasilitas belajar geografi yang ada seperti tabel 14 terlihat jumlahnya masih belum cukup

dan masih banyak yang perlu ditambah oleh pihak sekolah seperti model muka bumi, atlas,

pantograf dan peta tematik. Fasilitas seperti peta masih sering menjadi pajangan dan jarang

digunakan untuk pembelajaran kondisi ini juga harus menjadi perhatian oleh guru bidang studi

geografi.

2. Non Fisik

1. Keadaan Guru

Guru merupakan faktor eksternal yang terdapat dilingkungan sekolah, sehingga guru

mempunyai peranan yang sangat penting dalam meningkatkan hasil belajar siswa, propesionalisme

guru dalam menjalankan tugasnya banyak ditentukan oleh kualitas pendidikan yang diperolehnya.

Kualitas pendidikan dalam hal ini dapat dilihat dari latar belakang pendidikan guru.

Tabel 15. Jumlah Tenaga Edukatif SMA Negeri 2 Rantau Selatan

No Pendidikan

Terakhir

Frekuensi

(orang) Persentase

1 S -1 57 90,47

2 D - 3 63 9,53

Jumlah 63 100

Sumber : Tata Usaha SMA Negeri 2 Rantau Selatan, 2014

2. Keadaan Siswa

Jumlah siswa di SMA Negeri 2Rantau Selatan(lihat tabel 16).

Tabel 16. Jumlah Siswa SMA Negeri 2Rantau Selatan

Page 39: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 35

No Kelas Jumlah Presentase

1 X 345 34,85

2 XI 330 33,33

3 XII 315 31,82

Jumlah 990 100

Sumber : Tata Usaha SMA Negeri 2 Rantau Selatan, 2014

E. SMA Negeri 3 Rantau Utara

1. Fisik

a. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 3 Rantau Utara, yang terletak di Jalan: Jl. W.R.

Supratman Rantauprapat, Gedung SMA Negeri 3 Rantau Utara didirikan pada Tahun 1996 dan

mulai dioperasikan pada Tahun 1997. Dilihat dari tanggal berdirinya sekolah ini sudah cukup lama

dan sekolah ini juga sudah memagari lingkungan sekolah dengan 1 gerbang pintu keluar yang

berhadapan langsung dengan jalan.Secara administratif letak wilayah SMA Negeri 3 Rantau Utara

adalah sebagai berikut:

a. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Bila Barat

b. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Labuhan Batu Selatan

c. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kisaran

d. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Rantau Selatan

b. Fasilitas Belajar

Fasilitas merupakan salah satu faktor eksternal yang dapat mempengaruhi aktivitas belajar

siswa. Keberhasilan kegiatan belajar mengajar di sekolah juga ditentukan oleh kelengkapan

fasilitas belajar. Keadaan fasilitas belajar di SMA Negeri 3Rantau Utara(lihat tabel 17).

Page 40: Scanned by CamScanner - ULM

36 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Tabel 17. Fasilitas Belajar SMA Negeri 1 Rantau Utara

No Fasilitas Jumlah Keadaan

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

Ruang Belajar

Ruang Kepala Sekolah

Ruang Dewan Guru

Ruang Tata Usaha

Ruang UKS

Perpustakaan

Laboratorium Komputer

Laboratorium IPA

Laboratorium Bahasa

Laboratorium IPS

Toilet Guru dan Siswa

Kantin

Lapangan Olah Raga

Tempat Parkir roda 2 dan 4

17

1

1

1

1

1

1

1

1

1

4

2

2

1

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Sumber: Tata Usaha SMA Negeri 3 Rantau Utara, 2014

Dari tabel 17 dijelaskan bahwa fasilitas belajar yang bearda di SMA Negeri 3 Rantau Utara

dikategorikan baik, karena masing-masing fasilitas yang berada di SMA Negeri 3 Rantau Utara

tersebut layak dipakai. SMA Negeri 3 Rantau Utara ini merupakan SMA Plus yang bearda di

Kecamatan Rantau Utara Kabupaten Labuhan Batu.

c. Fasilitas Belajar Geografi

Fasilitas belajar geografi yang digunakan dalam bidang studi geografi di SMA Negeri 3

Rantau Utara (lihat tabel 18).

Tabel 18. Fasilitas Belajar Geografi SMA Negeri 3 Rantau Utara

No Fasilitas Jumlah Keadaan

1

2

3

Peta Indonesia

Peta Dunia

Globe

2

1

1

Baik

Baik

Baik

Sumber: Tata Usaha SMA Negeri 3 Rantau Utara, 2014

Fasilitas belajar geografi yang ada seperti terlihat pada tabel 14 terlihat jumlahnya masih

belum cukup dan masih banyak yang perlu ditambah oleh pihak sekolah seperti model muka bumi,

atlas, pantograf dan peta tematik. fasilitas seperti peta masih sering menjadi pajangan dan jarang

digunakan untuk pembelajaran kondisi ini juga harus menjadi perhatian oleh guru bidang studi

geografi.

Page 41: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 37

2. Non Fisik

1. Keadaan Guru

Guru merupakan faktor eksternal yang terdapat dilingkungan sekolah, sehingga guru

mempunyai peranan yang sangat penting dalam meningkatkan hasil belajar siswa, propesionalisme

guru dalam menjalankan tugasnya banyak ditentukan oleh kualitas pendidikan yang diperolehnya.

Kualitas pendidikan dalam hal ini dapat dilihat dari latar belakang pendidikan guru.

Agar tujuan pendidikan dapat direalisasi maka dibutuhkan tenaga pendidik yang profesional

yakni memiliki propesionalisme yang tinggi terhadap kerjanya. kepropesionalan guru salah satunya

dapat dilihat dari kualitas pendidikan yang diperolehnya. Kualitas dalam hal ini dapat dilihat dari

latar belakang pendidikan guru. Berikut ini akan disajikan tabel keadaan tenaga edukatif

berdasarkan penggolongan pendidikan formal.

Tabel 19. Keadaan Guru SMA Negeri 3 Rantau Utara

No Tingkat

Pendidikan

Jumlah dan Status Guru

Jumlah GT / PNS GTT / Guru

Bantu

L P L P

1 S3 / S2 1 - - 1 2

2 S1 17 19 3 1 39

3 D-4 - - - - -

4 D3 - - - - 1

Jumlah 18 19 3 2 42

Sumber : Tata Usaha SMA Negeri 3 Rantau Utara, 2014

2. Keadaan Siswa

Jumlah siswa di SMA Negeri 3Rantau Utara dapat dilihat pada tabel berikut

Tabel 20. Jumlah Siswa SMA Negeri 3 Rantau Utara

No Kelas Jumlah Presentase

1 X 321 35,43

2 XI 300 33,12

3 XII 285 31,45

Jumlah 906 100

Sumber : Tata Usaha SMA Negeri 3 Rantau Utara, 2014

Page 42: Scanned by CamScanner - ULM

38 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Hasil penelitian merupakan keseluruhan data yang diperoleh di lapangan melalui

penyebaran angket, melaksanakan observasi langsung, serta melakukan wawancara kepada guru

geografi untuk mengetahui kesulitan guru dalam pembelajaran geografi pada SMA Negeri

Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan. Data yang dikumpulkan di lapangan disajikan sebagai

berikut:

1. Identitas Responden

Identitas responden merupakan karakteristik yang dapat diketahui dari nama responden,

nama insitusi, pendidikan terakhir, asal pendidikan, lama mengajar dan keterangan sertifikasi.

Dalam penelitian ini responden yang dimaksud yaitu guru bidang studi geografi di SMA Negeri

Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan. Untuk mengetahui lebih jelas identitas guru yang

dijadikan sampel dalam penelitian (lihat tabel 21).

Pada tebel 21 dapat dianalisis bahwa responden dalam penelitian ini ada 6 guru yang berada

di Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan, yang dimana 3 guru yang berasal dari Kecamatan

Rantau Utara dan 3 guru berasal dari Keamatan Rantau Selatan. Pendidikan terakhir yang ditempuh

oleh guru di Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan yaitu S1 Pendidikan Geografi. Untuk

lama mengajar yang telah dijalanin oleh guru di Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan yaitu

dimana untuk lama mengajar 10 tahun terdiri dari 1 orang guru yaitu Ibu Ervida Harahap, S.Pd dari

SMA Negeri 1 Rantau Utara, lama mengajar 15 tahun terdiri dari 1 orang guru yaitu Bapak

Tumording Simanulang, S.Pd dari,

SMA Negeri 2 Rantau Selatan, 16 tahun lama mengajar terdiri dari 2 orang guru yaitu Ibu Ervida

Rosdani, S.Pd dari SMA Negeri 1 Rantau Selatan dan Ibu Ruprida Pakpahan, S.Pd dari SMA

Negeri 2 Rantau Utara, untuk lama mengajar 23 tahun terdiri dari 1oarang guru yaitu Ibu Hj. Elfrida

Munthe, S.Pd dari SMA Negeri 3 Rantau Utara dan untuk lama mengajar 26 tahun terdiri dari 1

orang guru yaitu Hj.Seri Sediani, S.Pd dari SMA Negeri 1 Rantau Selatan.

Tabel 21. Identitas Guru SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan

No Nama

Responden

Nama Insitusi Pendidikan

Terakhir

Lama

Mengajar

Keterangan

Sertifikasi

1 Ervida

Harahap, S.Pd

SMA Negeri 1

Rantau Utara

S1 10 Tahun Sudah

2 Hj. Seri

Sediani, S.Pd

SMA Negeri 1

Rantau Selatan

S1 26 Tahun Sudah

Page 43: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 39

3 Ervida

Rosdani, S.Pd

SMA Negeri 1

Rantau Selatan

S1 16 Tahun Sudah

4 Ruprida

Pakpahan,

S.Pd

SMA Negeri 2

Rantau Utara

S1 16 Tahun Sudah

5 Tumording

Simanulang,

S.Pd

SMA Negeri 2

Rantau Selatan

S1 15 Tahun Sudah

6 Hj. Elfirda

Munthe, S.Pd

SMA Negeri 3

Rantau Utara

S1 23 Tahun Sudah

Sumber : Data Primer Olahan, 2014

2. Kesulitan Guru Dalam Materi Pembelajaran Geografi Kelas X, XI dan XII

a. Kesulitan Guru Geografi Kelas X

Berdasarkan hasil penyebaran angket diketahui bahwa kesulitan guru geografi pada kelas X

terdapat pada SK 2 (Memahami sejarah pembentukan bumi), KD 2.1 (Mendeskripsikan tata surya

dan jagad raya), materi tata surya dan jagad raya (teori tentang terjadinya jagad raya), SK 3

(Menganalisis unsur-unsur geosfer), KD 3.1 (Menganalisis dinamika dan kecenderungan perubahan

litosfer dan pedosfer serta dampaknya terhadap kehidupan di muka bumi), materi pedosfer (Jenis

dan ciri tanah di Indonesia), SK 3 (Menganalisis unsur-unsur geosfer), KD 3.3 (Menganalisis

hidosfer dan dampaknya terhadap kehidupan di muka bumi), materi hidosfer (Perairan laut, zona

pesisir dan laut, klasifikasi laut, morfologi laut, gerakan air laut, kualitas air).

Pada tabel 22 dapat dilihat bahwa ada 2 SK (Standar Kompetnsi), 3 KD (Kompetensi Dasar)

yang menjadi kesulitan guru dalam menjelaskan materi pembelajaran geografi kelas X. SK

(Memahami sejarah pembentukan bumi), KD (Mendeskripsikan tata surya dan jaday raya), Materi

(Teori tentang terjadinya tata surya dan jagad raya) merupakan kesulitan guru geografi kelas X,

yang dimana kesulitan pada SK, KD, dan materi tersebut merupakan kesulitan yang paling banyak

dihadapin oleh guru geografi yaitu dimana kesulitan tersebut sebanyak 50%. Kesulitan pada SK

(Menganalisis unsur-unsur geosfer), KD (Menganalisis dinamika dan kencenderungan perubahan

litosfer dan pedosfer serta dampaknya terhadap kehidupan di muka bumi), Materi (Pedosfer, jenis

dan ciri tanah di Indonesia) merupakan kesulitan yang kedua yang dihadapin oleh guru geografi di

SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan, yang dimana kesulitan tersebut

sebanyak 33,33%. Dan kesulitan yang terakhir yaitu 16,67% merupakan kesulitan yang terdapat

pada KD (Menganalisis dinamika dan kencenderungan perubahan litosfer dan pedosfer serta

dampaknya terhadap kehidupan di muka bumi), SK (Menganalisi hidosfer dan dampaknya terhadap

Page 44: Scanned by CamScanner - ULM

40 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

kehidupan di muka bumi), Materi hidosfer (Perairan laut, zona pesisir, klasifikasi laut, morfologi

laut, gerakan air laut dan kualitas air). Untuk lebih jelas dapat dilihat tabel 22.

Analisis data yang dapat dilihat dari tabel 22 menunjukan bahwa penjelasan kesulitan guru

geografi di SMA Negeri Rantau Utara dan Rantau Selatan yaitu terjadi karena minimnya media

pembelajaran yang disediakan oleh pihak sekolah. Media pembelajaran sangat diperlukan untuk

guru dalam menyampaikan materi pembelajaran yang dimana materi tersebut membutuhkan media

untuk mempermuda guru dalam menyampaikan pembelajaran kepada peserta didik. Tidak hanya

media pembelajaran yang menjadi kesulitan guru, akan tetapi minimnya bahan ajar yang digunakan

guru merupakan kesulitan yang dihadapin guru geografi di SMA Negeri Rantau Utara dan Rantau

Selatan.

Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh 6 Kepala SMA di Kecamatan Rantau Utara dan

Rantau Selatan diketahui bahwa kesulitan tersebut terjadi karena minimnya media pembelajaran

yang tersedia di sekolah, media pembelajaran yang tersedia di sekolah merupakan media

pembelajaran yang mendasar seperti peta dan globe. Kurangnya media pembelajaran di perkuat

dengan hasil observasi di lapangan, yang dimana observasi ini dilakukan melihat media

pembelajaran apa yang tersedia di sekolah dan media pembelajaran apa yang kurang dalam

pembelajaran geografi di SMA Negeri Rantau Utara dan Rantau Selatan.

Page 45: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 41

Tabel 22. Kesulitan Guru Dalam Materi Pembelajaran Geografi Kelas X SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan

Kelas SK KD Materi Penjelasan Kesulitan Jumlah Presentase

(%)

X

Memahami

sejarah

pembentukan

bumi.

Mendeskripsikan

tata surya dan

jagad raya

- Teori tentang

terjadinya tata surya

- Teori tentang

terjadinya jagad raya

• Kesulitan dalam media pembelajaran

geografi yang menjelaskan tentang materi

pembelajaran tata surya dan jagad raya.

• Kurangnya bahan ajar yang menunjang

materi yang terkait.

3 50

Menganalisi

unsur-unsur

geosfer

Menganalisis

dinamika dan

kecenderungan

perubahan litosfer

dan pedosfer serta

dampaknya

terhadap

kehidupan di

muka bumi

Pedosfer

- Jenis dan ciri tanah di

Indonesia

• Media pembelajaran yang kurang

mengakibatkan guru mengalami kesulitan

dalam menyampaikan materi pembelajaran

seperti materi pedosfer yaitu materi yang

menjelaskan jenis dan ciri tanah di

Indonesia, akibat media yang kurang guru

mengalami kesulitan dalam

menyampaikan materi tersebut kepada

peserta didik.

2 33,33

Page 46: Scanned by CamScanner - ULM

42 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Menganalisis

hidrosfer dan

dampaknya

terhadap

kehidupan di

muka bumi

- Perairan laut

1. Zona pesisir dan laut

2. Klasifikasi laut

3. Morfologi laut

4. Gerakan air laut

5. Kualitas air laut

6. Wilayah perairan

laut Indonesia

• Kurangnya media pembelajaran yang

berhubungan dengan penjelasan materi

perairan laut, seperti penjelasan mengenai

gerakan air laut, morfologi air laut. Tidak

adanya media gambar-gambar yang

menunjang materi tersebut.

1 16,67

Sumber : Data Primer Olahan, 2014

Page 47: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 43

b. Kesulitan Guru Geografi Kelas XI

Berdasarkan hasil penyebaran angket diketahui bahwa kesulitan guru geografi pada kelas

XI terdapat pada SK (Standar kompetensi) menganalisis fenomena biosfer dan antrosfer, KD

(Kompetensi dasar) meganalisis sebaran hewan dan tumbuhan, materi persebaran hewan dan

tumbuhan di Dunia dan Indonesia, hubungan persebaran hewan dan tumbuhan dengan kondisi fisik

lingkungannya.

Pada tabel 23 dapat dijelaskan bahwa kesulitan guru geografi pada kelas XI terdapat pada

SK (Standar kompetensi) menganalisis fenomena biosfer dan antrosfer, KD (Kompetensi dasar)

meganalisis sebaran hewan dan tumbuhan, materi persebaran hewan dan tumbuhan di Dunia dan

Indonesia, hubungan persebaran hewan dan tumbuhan dengan kondisi fisik lingkungannya yaitu

sebanyak 100%. Kesulitan ini mencapai angka 100% yang dimana dikatakan bahwa kesulitan pada

kelas XI terjadi sepenuhnya pada SK Standar kompetensi) menganalisis fenomena biosfer dan

antrosfer.

Kesulitan guru geografi di Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan dikatakan bahwa

kesulitan tersebut terjadi pada tidak adanya media pembelajaran yang menunjang materi tersebut.

Kurangnya bahan ajar yang menunjang materi persebaran hewan dan tumbuhan di Dunia dan

Indonesia, hubungan persebaran hewan dan tumbuhan dengan kondisi fisik lingkungannya

merupakan kesulitan yang di alamin oleh guru di Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan.

Sulitnya menentukan model pembelajaran yang sesuai dengan materi pembelajaran merupakan

kesulitan yang dialamin oleh guru tersebut.

Page 48: Scanned by CamScanner - ULM

44 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Tabel 23. Kesulitan Guru Dalam Materi Pembelajaran Geografi Kelas XI SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan

Kelas K KD Materi enjelasan Kesulitan umlah resentase

%)

I

Menganalisis

fenomena

biosfer dan

antroposfer

Menganalsis sebaran

hewan dan

tumbuhan

- Persebaran hewan dan

tumbuhan dunia

- Persebaran hewan dan

tumbuhan di Indonesia

- Hubungan sebaran hewan

dan tumbuhan dengan

kondisi fisik lingkungannya

• Kurangnya media pembelajaran seperti

peta persebaran hewan dan tumbuhan di

Indonesia

• Kurangnya bahan ajar seperti buku-buku

yang menjelaskan persebaran hewan dan

tumbuhan di Indonesia.

• Sulitnya menentukan model, strategi,

pendekatan dan metode apa yang sesuai

dengan materi pembelajaran persebaran

hewan dan tumbuhan di Indonesia.

00

Sumber : Data Primer Olahan, 2014

Page 49: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 45

c. Kesulitan Guru Geografi Kelas XII

Berdasarkan hasil penyebaran angket diketahui bahwa kesulitan guru geografi pada kelas

XII terdapat pada SK (Standar kompetensi) mempraktikkan keterampilan dasar peta dan pemetaan

dan memahami pemanfaatan citra penginderaan jauh dan sistem informasi geografi (SIG). Kesulitan

pada KD (Kompetensi Dasar) pada kelas XII yaitu mempraktikkan keterampilan dasar peta dan

pemetaan dan menjelaskan pemanfaatan sistem informasi geografi.

Pada tabel 24 dapat dilihat kesulitan pada SK (Standar kompetensi) mempraktikkan

keterampilan dasar peta dan pemetaan, KD (Standar kompetensi) mempraktikkan keterampilan

dasar peta dan pemetaan, pada materi membuat peta lingkungan sekitar/sekolah yaitu dimana

kesulitanya mencapai 33,33%. Kesulitan yang kedua pada kelas XII SK (Standar kompetensi)

memahami pemanfaatan citra penginderaan jauh dan sistem informasi geografi (SIG), KD

(Kompetensi dasar) menjelaskan pemanfaatan sistem informasi geografi, materi pengoperasian SIG

secara konvesional, penerapan SIG dalam kajian geografi, dan manfaat SIG dalam kajian geografi

yang dimana tingkat kesulitan kedua mencapai 66,67%.

Kesulitan guru geografi di Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan dikatakan bahwa kesulitan

tersebut terjadi pada tidak adanya media pembelajaran yang menunjang materi tersebut. Kurangnya

bahan ajar yang menunjang materi persebaran hewan dan tumbuhan di Dunia dan Indonesia,

hubungan persebaran hewan dan tumbuhan dengan kondisi fisik lingkungannya merupakan

kesulitan yang di alamin oleh guru di Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan. Sulitnya

menentukan model pembelajaran yang sesuai dengan materi pembelajaran merupakan kesulitan

yang dialamin oleh guru tersebut.

Page 50: Scanned by CamScanner - ULM

46 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Tabel 24. Kesulitan Guru Dalam Materi Pembelajaran Geografi Kelas XII SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan

Kelas SK KD Materi Penjelasan Kesulitan Jumlah Presentase

(%)

XII

Mempraktikkan

keterampilan

dasar peta dan

pemetaan

Mempraktikkan

keterampilan

dasar peta dan

pemetaan

Membuat peta lingkungan

sekitar/sekolah

• Tidak mempunyai peralatan yang

menunjang untuk membantu dan

mempermudah materi tersebut

seperti ; meteran, kompas, dll

• Keterbatasan waktu yang tidak

memungkinkan untuk

mempraktikan keterampiln peta

dan pemetaan

2 33,33

Memahami

pemanfaatan

citra

penginderaan

jauh dan sistem

informasi

geografi (SIG)

Menjelaskan

pemanfaatan

sistem informasi

geografi

- Pengoperasian SIG

secara konvesional

- Penerapan SIG dalam

kajian geografi

- Manfaat SIG dalam

kajian geografi

• Keterbatasan media pembelajaran

yang berhubungan dengan SIG

seperti foto udara.

• Tidak adanya praktek yang

disediakan oleh pihak sekolah

untuk belajar SIG melalui

komputer sekolah

• Keterbatasan waktu

• Pengetahuan guru yang kurang

4 66,67

Sumber : Data Primer Olahan, 2014

Page 51: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 47

3. Kesulitan Guru Geografi Dalam Perencanaan Pembelajaran Geografi

Menjadi seorang guru geografi yang profesional dapat dilihat dari persiapannya dalam

perencanaan proses pembelajaran dengan baik. Dalam menyusun rancangan pembelajaran seorang

guru geografi harus dapat membuat peta tentang proses pembelajaran yang akan dilaksanakan. Dari

hasil penelitian yang dilakukan bahwa fakta mengatakan kesulitan guru geografi dalam

pembelajaran geografi salah satunya yaitu merancang proses pembelajaran. Kesulitan guru dalam

merancang proses pembelajaran geografi meliputi kesulitan dalam merancangan kegiatan

pembelajaran, merancang media pembelajaran, dan pemilihan sumber belajar. Untuk lebih jelasnya

dapat dilihat (tabel 25).

Tabel 25. Kesulitan Guru Dalam Merancang Proses Pembelajaran Geografi

No Kesulitan Penjelasan Kesulitan Jumlah Presentase

(%)

1.

Rancangan

kegiatan

pembelajaran

• Dalam merancang

kegiatan pembelajaran

sulitnya menentukan

metode, pendekatan dan

model apa yang sesuai

dengan materi

pembelajaran.

• Sulitnya merancang

kegiatan pembelajaran

berhubungan dengan

lokasi waktu yang harus

terperinci setiap materi

2 33,33

2. Rancangan media

pembelajaran

• Keterbatasan sarana dan

prasarana di sekolah yang

menyediakan media

pembelajaran sekolah

sehingga penggunaan

media pembelajaran dalam

pembelajaran geografi

sangat rendah.

• Kurangnya cukup waktu

untuk menggunakan

3 50

Page 52: Scanned by CamScanner - ULM

48 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

media pembelajaran di

sekolah, misalnya

pengunaan infokus dalam

materi-materi tertentu

seperi ; sejarah

pembentukan bumi, tata

surga dll

3. Pemilihan sumber

belajar

• Dalam menentukan

pemilihan sumber belajar

kesulitan terjadi pada

pemilihan sumber belajar

yang dimana sumber

belajar harus disesuaikan

dengan perkembangan

siswa, dan setiap masing-

masing siswa memiliki

perkembangan yang

berbeda-beda.

1 16,67

Jumlah 6 100

Sumber : Data Primer Olahan, 2014

Berdasarkan hasil perolehan data yang diperoleh lewat angket (quesionare) pada tabel 25 di

atas dapat kita perhatikan bahwa kesulitan guru geografi dalam merancang proses pembelajaran

geografi yaitu kesulitan dalam rancangan kegiatan pembelajaran, kesulitan dalam meranang media

pembelajaran, dan kesulitan dalam pemilihan sumber belajar. Menentukan rancangan media

pembelajaran geografi merupakan kesulitan yang terbanyak yang dialami oleh guru geografi di

SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Kecamatan Rantau Selatan yang mengatakan tingkat

kesulitan sebanyak 50%. Kesulitan dalam menentukan rancangan media pembelajaran pada proses

pembelajaran geografi dipengaruhi oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang disediakan sekolah

untuk menunjang proses pembelajaran, dan kurang cukupnya waktu yang digunakan dalam

menggunakan media pembelajaran merupakan kesulitan guru dalam menggunakan media

pembelajaran. Kesulitan guru geografi yang kedua dalam merancang proses pembelajaran geografi

dapat dilihat dari tingkat kesulitan guru dalam merancang kegiatan pembelajaran sebanyak 33,33 %.

Kesulitan dalam merancang kegiatan pembelajaran geografi disebabkan oleh sulitnya menentukan

pendekatan, metode, strategi dan model dalam pembelajaran geografi yang sesuai dengan materi,

dan sulitnya merancang kegiatan pembelajaran sesuai dengan lokasi waktu yang sudah terperinci.

Page 53: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 49

Dan kesulitan guru geografi yang ketiga dalam merancang proses pembelajaran geografi dapat

dilihat dari tingkat kesulitan geografi dalam pemilihan sumber belajar sebanyak 16,67%. Kesulitan

dalam pemilihan sumber belajar yang sesuai disebabkan oleh daya tangkap siswa yang berbeda-

beda. Setiap siswa memiliki daya tangkap yang berbeda-beda setiap individunya, sehingga sumber

belajar yang digunakan dalam proses pembelajaran geografi merupakan tingkat kesulitan guru

untuk menentukan sumber belajar bagi siswa yang memiliki daya tangkap yang lambat.

Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh 6 kepala SMA di Kecamatan Rantau Utara dan

Rantau Selatan diketahui bahwa kesulitan guru geografi dalam merancang perencanaan

pembelajaran yaitu dimana dikatakan bahwa kesulitan paling banyak terdapat di kesulitan dalam

menentukan media pembelajaran yang digunakan, menentukan metode, pendekatan, strategi model

pembelajaran yang sesuai dengan materi pembelajaran dan pemilihan sumber belajar. Sulitnya

menentukan metode, pendekatan, strategi dan model pembelajaran yang sesuai dengan materi

pembelajaran dilihat dari observasi yang dimana dilihat bahwa model pembelajaran yang digunakan

tidak sesuai dengan materi pembelajaran yang berlangsung. Pemilihan model pembelajaran yang

tidak sesuai merupakan kesulitan guru dalam mencapai indikator yang ingin dicapai pada materi

pembelajaran tersebut.

4. Kesulitan Guru Geografi Dalam Pelaksanaan Pembelajaran Geografi

Berdasarkan hasil jawaban guru geografi pada lembar angket diketahui bahwa kesulitan

guru geografi dalam melaksanakan proses pembelajaran geografi yaitu pada tingkat melaksanakan

strategi pembelajaran, pemanfaatan media pembelajaran, pengelolahan kelas, dan efesiensi

penggunaan waktu. Untuk lebih jelasnya (lihat tabel 26).

Tabel 26. Kesulitan Dalam Melaksanakan Proses Pembelajaran Geografi

No Kesulitan PenjelasanKesulitan Jumlah Presentase

(%)

1 Strategi

Pembelajaran

• Kesulitan dalam strategi

pembelajaran yaitu diamana

kesulitanya terdapat pada strategi

apa yang sesuai digunakan untuk

materi pembelajaran geografi,

yaitu metode, pendekatan dan

model yang sesuai dengan

masing-masing materi

pembelajaran geografi.

1 16,67

Page 54: Scanned by CamScanner - ULM

50 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

2

Pemanfaatan

Media

Pembelajaran

• Ketersediaan media/alat peraga

yang disediakan sekolah kurang

• Kesesuaian media pembelajaran

yang tersedia disekolah dengan

kesusian materi yang akan

diajarkan

• Kulaitas media yang buruk.

3 50

3 Pengelolahan

Kelas

• Kesulitan dalam menertibkan

siswa

• Kesulitan dalam melibatkan

siswa aktif dalam pembelajaran

geografi

1 16,67

4

Efesiensi

Penggunaan

Waktu

• Kesulitan dalam menyajikan

materi berdasakna waktu yang

tersedia.

1 16,67

Jumlah 6 100

Sumber : Data Primer Olahan, 2014

Dari analisis tabel 26 dilihat bahwa kesuliatn guru dalam pelaksanaan pembelajaran geografi

yang pertama terdapat pada pemanfaatan media pembelajaran yaitu sebanyak 50%. Kesulitan

pemanfaatan media pembelajaran tersebut merupakan kesulitan yang dihadapin oleh guru bidang

studi pelajaran geografi di SMA Negeri Rantau Utara dan Rantau Selatan. Penyebab yang

menimbulkan kesulitan tersebut yaitu diantaranya ketersediaan media pembelajaran yang kurang,

ketersedian waktu yang kurang dalam pemanfaatan media pembelajaran. Kesulitan kedua, ketiga

dan ke empat memiliki presentasi yang sama yaitu 16,67 % yang dimana tingkat kesulitan tersebut

terjadi pada stategi pembelajaran, pengelolahan kelas dan efesiensi waktu yang dibutuhkan.

Kesulitan-kesulitan tersebut terjadi karena adanya kesulitan yang dihadapin guru dalam menentukan

stategi pembelajaran yang pas di setiap materi yang akan di jelaskan. Kesulitan pengelolaan kelas

terjadi karena sulitnya guru mengatur peserta didik di dalam kelas yang disebabkan oleh ruangan

kelas yang kurang nyaman, banyaknya peserta didik di dalam kelas, dll. Dan untuk kesulitan guru

dalam penggunaan waktu yaitu dimana dikatakan bahawa antara materi yang di jelaskan dengan

watu yang tersedia tidak memungkinkan sehingga menjadi kendala untuk menerangkan materi yang

harus memiliki waktu yang lebih banyak.

Page 55: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 51

Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh 6 kepala SMA di Kecamatan Rantau Utara dan

Rantau Selatan diketahui bahwa kesulitan guru geografi dalam melaksanakan pembelajaran

geografi yaitu kesulitan dalam strategi pembelajaran, kesulitan dalam pemanfaatan media

pembelajaran, kesulitan dalam pengelolahan kelas dan kesulitan dalam efesiensi waktu. Kesulitan

dalam strategi pembelajaran dapat dilihat dalam sulitnya menentukan metode, pendekatan, model

pembelajaran yang sesuai dengan materi yang akan dicapai, kesulitan tersebut dapat dilihat dari

observasi yang dilakukan, yang dimana dapat dilihat bahwa model pembelajaran yang digunakan

tidak sesuai dengan materi yang diajarkan. Kesulitan dalam pemanfaatan media pembelajaran dapat

dilihat dari tidak adanya media pembelajaran yang digunakan guru dalam proses pembelajaran.

Kesulitan dalam pengunaan waktu merupakan kesulitan dalam pelaksanaan pembelajaran geografi,

hal tersebut dapat dilihat dari tidak sesuainya waktu yang dibutuhan dengan indikator materi yang

ingin dicapai.

5. Kesulitan Guru Geografi Dalam Melakukan Evaluasi Pembelajaran Geografi

Berdasarkan hasil jawaban guru geografi pada lembar angket diketahui bahwa kesulitan

yang dihadapin oleh guru dalam melakukan evaluasi yaitu memberi skor pada tes hasil belajar

berdasarkan indikator, menyusun laporan hasil penilaian yang telah dilakukan, dan memberikan

tindak lanjut dari hasil penilaian. Untuk lebih jelasnya (lihat tabel 27).

Dari tabel 27 dijelaskan bahwa tingkat kesulitan guru yang pertama dalam melakukan

evalusi pembelajaran yaitu memberikan skor pada tes hasil belajar berdasarkan indikator yaitu

sebanyak 50%. Kesulitan ini terjadi disebabkan oleh kesulitan guru dalam memberikan penilaian

kepada peserta didik seperti penilaian tugas fortofolio, essay dan lain-lain. Kesulitan yang kedua

yang di alamin oleh guru bidang studi geografi yaitu menyusun laporan hasil penilaian yang telah

dilakukan yaitu sebanyak 33,33 %. Dikatakan oleh guru bidang studi geografi bahwa sulitnya

menyusun laporan hasil penilaian karena nilai yang di hasilkan oleh siswa tidak diatas KKM

sehingga dalam menyusun laporan penilaian dilakukan pengumpulan-pengumpulan nilai-nilai

sebelumnya seperti nilai harian. Dan kesulitan yang terkahir yang di alamin oleh guru bidang studi

geografi yaitu kesulitan dalam memberikan tindak lanjut dari hasil penilaian yaitu sebanyak 16,67

%. Kesulitan dalam memberikan tindak lanjut dari hasil penilaian megalami kesulitan yaitu

disebabkan oleh sulitnya memberikan remedia kepada siswa yang nilainya di bawah KKM kesulitan

terjadi yaitu kurang waktu yang efesien untuk melakukan remedial.

Page 56: Scanned by CamScanner - ULM

52 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Tabel 27. Kesulitan Guru Dalam Melakukan Evaluasi Pembelajaran Geografi

No Kesulitan Penjelasan Kesulitan Jumlah Presentase (%)

1.

Memberi skor pada tes hasil belajar berdasarkan indikator

• Kesulitannya terjadi di saat pemberian skor untuk membedakan soal tes protofolio, essay dll

• Pemberian skor mengalami kesulitan pada saat menilai untuk setiap masing-masing siswa/siswi yang dimana dilihat dari tingkat kejujuranya dan ketekuananya dalam menjawab soal

3 50

2.

Menyusun laporan hasil penilaian yang telah dilakukan

• Menyusun laporan hasil penilaian ini sulit dilakukan karena nilai yang di hhasilkan oleh siswa jarang diatas KKM sehingga dalam menyusun laporan penilaian dilakukan pengumpulan-pengumpulan nilai-nilai sebelumnya seperti nilai harian

2 33,33

3. Memberikan tindak lanjut dari hasil penilaian

• Kesulitan dalam memberikan tindak lanjut hasil penilaian atau remedia kepada siswa yang nilainya di bawah KKM kesulitan terjadi yaitu kurang waktu yang efesien untuk melakukan remedial

1 16,67

Jumlah 6 100

Sumber : Data Primer Olahan, 2014

Page 57: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 53

B. Pembahasan

Analisis kesulitan guru geografi di Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan dalam

proses pembelajaran diperoleh angket yang terdiri dari 10 item pertanyaan, dengan 2 item

pertanyaan pada aspek materi pelajaran, 2 item pertanyaan pada aspek perencanaan pembelajaran, 4

item pertanyaan pada aspek pelaksanaan pembelajaran, dan 2 item pertanyaan pada aspek evaluasi

pembelajaran.

Penafsiran data dilakukan dengan cara mendeskripsikan data hasil temuan yang merupakan

proposisi, kemudian dihubungkan dengan kajian pustaka maupun hasil penelitian lain yang relevan

dengan rumusan proposisi tersebut. Pembahasan yang dimaksud adalah :

1. Kesulitan Guru Dalam Materi Pembelajaran Geografi Kelas X, XI dan XII

Dalam penelitian kesulitan dalam materi pelajaran geografi dilakukan oleh 3 kelas yaitu

kelas X, XI dan XII. Diketahui bahwa masing-masing tingkat mengalami kesulitan yang berbeda-

beda disetiap jenjangnyakelas X terdapat pada SK 2 (Memahami sejarah pembentukan bumi), KD

2.1 (Mendeskripsikan tata surya dan jagad raya), materi tata surya dan jagad raya (teori tentang

terjadinya jagad raya), SK 3 (Menganalisis unsur-unsur geosfer), KD 3.1 (Menganalisis dinamika

dan kecenderungan perubahan litosfer dan pedosfer serta dampaknya terhadap kehidupan di muka

bumi), materi pedosfer (Jenis dan ciri tanah di Indonesia), SK 3 (Menganalisis unsur-unsur geosfer),

KD 3.3 (Menganalisis hidosfer dan dampaknya terhadap kehidupan di muka bumi), materi hidosfer

(Perairan laut, zona pesisir dan laut, klasifikasi laut, morfologi laut, gerakan air laut, kualitas air).

Kelas XI terdapat pada SK (Standar kompetensi) menganalisis fenomena biosfer dan antrosfer, KD

(Kompetensi dasar) meganalisis sebaran hewan dan tumbuhan, materi persebaran hewan dan

tumbuhan di Dunia dan Indonesia, hubungan persebaran hewan dan tumbuhan dengan kondisi fisik

lingkungannya. Dan Kelas XII yaitu terdapat pada SK 1 (Standar kompetensi) mempratekan

keterampilan dasar peta dan pemetaan, KD 1.2 (Kompetensi dasar) mempraktekkan keterampilan

dasar peta dan pemetaan, materi membuat peta lingkungan sekitar/sekolah. Kesulitan kedua

terdapat pada SK 2 (Standar kompetensi) memahami pemanfaatan citra penginderaan jauh dan

system informasi geografi (SIG), KD 2.2 (Kompetensi dasar) menjelaskan pemanfaatan system

informasi geografi, materi pengoperasian SIG secara konvesional, penerapan SIG dalam kajian

geografi, dan manfaat SIG dalam kajian geografi.

Hasil penelitian pada aspek kesulitan guru dalam materi pelajaran relevan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Pratiwi (2012) dikatakan bahwa dalam kesulitan guru pada saat pembelajaran

IPS terpadu di antara lain yaitu dimana guru mengalami kesulitan pada saat menyampaikan materi

yang bukan merupakan bidang ilmunya. Selain Pratiwi (2012) penelitian yang relevan lainya yaitu

Page 58: Scanned by CamScanner - ULM

54 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

penelitian Kuntari (2009) dikatakan bahwa guru mengalami kesulitan dalam penerapan kurikulum

seperti materi pembelajaran yang tidak sesuai dengan waktu yang dibutuhkan.

2. Kesulitan Guru Geografi Dalam Perencanaan Pembelajaran Geografi

Kesulitan yang dialamin guru geografi di Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan yaitu

rancangan kegiatan pembelajaran, rancangan media pembelajaran dan pemilihan sumber belajar.

Hal ini sesuai dengan teori Djamarah (1996) yang mengatakan bahwa kesulitan yang biasa

dihadapin oleh guru yaitu: (1) Kompetensi apa yang mau dicapai; (2) Materi apa yang diperlukan;

(3) Metode, alat mana yang harus dipakai; (4) Prosedur apa yang akan ditempuh untuk melakukan

penilaian.

Pemilihan sumber belajar, menjadi kesulitan ketiga yang dihadapi oleh guru SMA Negeri

Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan, kesulitan ini berbeda dengan teori Djamarah (1996).

Di dalam teori Djamarah (1996) tidak disebutkan kesulitan pemilihan belajar merupakan kesulitan

guru dalam proses pembelajaran.

Pada hakekatnya jika suatu kegiatan pembelajaran yang direncanakan terlebih dahulu,

keberhasilan atau kelancaran menuju tujuan yang akan dicapai akan lebih terarah. Hal ini yang

membuat para guru harus memiliki kemampuan untuk membuat sesuatu rencana pembelajaran.

Menurut Suwarjo(2006), guru harus mampu menyusun rencana pembelajaran yang tidak saja baik,

tetapi juga mampu memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mencari, membangun serta

mengaplikasikan pengetahuan dalam kehidupanya.

Hasil penelitian pada aspek perencanaan proses pembelajaran ini relevan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Pratiwi (2012) yang mengatakan bahwa kesulitan guru pada saat pembelajaran

IPS terpadu di antara lain; (1) Guru mengalami kesulitan pada saat menyampaikan materi yang

bukan merupakan bidang ilmunya, (2) Guru mengalami kesulitan pada saat menyusun perencanaan

pembelajaran karena banyaknya indikator yang akan ditempuh oleh siswa dan tidak semua materi

dapat dipadukan. Sehingga apabila ingin memadukan ilmu-ilmu sosial tersebut harus dipilah-pilah

terlebih dahulu dan disesuaikan dengan tema yang sudah ditentukan, (3) Kesulitan dialami karena

kurangnya pedoman untuk mengintegrasikan materi-materi yang tercakup dalam SK dan KD IPS

terpadu yang disusun secara tematik, (4) Sulitnya membagi waktu antara menyampaikan materi

yang tercakup dalam IPS dan melaksanakan pembelajaran IPS terpadu, (5) Kesulitan dialami guru

karena kurikulum IPS terpadu yang dianggap masih terpisah-pisah dan butuh pengkajian ulang

apabila ingin bisa dipadukan dengan baik, (6) Faktor-faktor eksternal, misalnyasiswa yang malas

dan lain-lain.

Hasil temuan ini diperkuat dari hasil wawancara penulis dengan 6 Kepala Sekolah yang

menanyakan minimnya sarana yang tersedia di SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau

Page 59: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 55

Selatan, sehingga sekolah harus berusaha mencari solusi sendiri, sedangkan mata pelajaran geografi

merupakan mata pelajaran yang banyak menggunakan media sebagai alat untuk menerangkan

materi tertentu. Namun demikian, kebanyakan guru geografi selalu menggunakan media seadanya

untuk menfasilitasi minimnya media tersebut dengan menggunakan media sendiri serta

memanfaatkan lingkungan sekitar. Pentingnya media pembelajaran yaitu :

a. Memiliki media pembelajaran yang tepat akan dapat ditekan serendah-rendahnya semua

hambatan komunikatif pada setiap proses pembelajaran.

b. Anak didik dapat menerima materi secara efektif sesuai dengan kemampuan yang

dimilikinya.

c. Dengan mengunakan berbagai macam media pembelajaran, tentunya secara efektif sekali,

pengalaman dan cakrawala akan dapat diperluas.

3. Kesulitan Guru Geografi Dalam Pelaksanaan Pembelajaran Geografi

Kesulitan yang dialamin guru geografi di SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau

Selatan yaitu: strategi pembelajaran, mengguanakan media pembelajaran, pengelolahan kelas dan

menggunakan waktu secara efektif dan efesien. Dalam mengunakan staregi pembelajaran, masih

banyak guru yang bingung dalam menentukan strategi pembelajaran yang cocok digunakan untuk

pembelajaran geografi.

Hasil penelitian pada aspek kesulitan guru dalam pelaksanaan pembelajaran relevan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Hasan (1994) yang dikatakan bahwa yang menjadi pertimbangan

utama dalam stategi pembelajaran adalah kesesuaian metode dengan tujuan pembelajaran materi

pelajaran, sumber dan fasilitas yang tersedia, kondisi belajar mengajar, kondisi peserta didik, dan

waktu yang tersedia.

Pengunaan media pembelajaran merupakan kesulitan yang dihadapin oleh setiap guru di

SMA Negeri Rantau Utara dan Rantau Selatan, minimnya sarana dan prasaran yang disediakan oleh

pihak sekolah merupakan kendala dalam pengunaan media pembelajaran. Media pembelajaran

merupakan salah satu sumber belajar, meskipun demikian penggunaan media tidak boleh

sembarangan. Pemilihan media harus disesuaikan dengan materi dan kompetensi yang harus dicapai

siswa. Sesuai teori Mulyasa (2004), fasilitas dan sumber belajar dipilih dan digunakan dalam proses

belajar apabila sesuai dan menunjang tercapainya kompetensi dasar.

Pengelolahan kelas merupakan kesulitan ketiga yang dihadapin guru dalam pembelajaran

geografi. Hasil penelitian pada aspek kesulitan guru dalam pengelolahan kelas relevan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Hariyanto (2007) dikatakan bahwa dalam proses belajar mengajar

guru sebagai pengedali utama memiliki kompetensi seperti yang diharapkan seperti: (a) Mengelolah

Page 60: Scanned by CamScanner - ULM

56 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

kelas; (b) Menggunakan strategi pembelajran; (c) Mengelola interaksi kelas; (d) Bersifat terbuka

dan luwes serta membantu mengembangkan sikap positif peserta didik; (e) Mendemonstrasikan

keterampilan khusus dalam pembelajaran mata pelajaran tertentu; (f) Melaksanakan proses dan

hasil belajar; dan (g) Kesan umum pelaksanaan pembelajaran.

Hasil temuan ini diperkuat dari hasil wawancara penulis dengan 6 Kepala Sekolah yang

menanyakan minimnya sarana yang tersedia di SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau

Selatan. Ketersediaan sarana dan prasarana kurang memadai, guru mengalami kesulitan untuk

melakukan pelaksanaan pembelajaran geografi. Hal ini sesuai dengan teori Sudjarwo (1989) yang

menyatakan bahwa kesulitan yang dihadapin oleh guru dalam melaksanakan tugasnya dalam proses

pembelajaran yaitu : (1) Kekurangan alat peraga, media pembelajaran; (2) Kekurangan buku

pegangan, buku sumber; (3) Motivasi yang kurang dari peserta didik, dan (4) Dukungan

administrasi yang kurang.

Hasil penelitian pada aspek pelaksanaan pembelajaran ini relevan dengan penelitian yang

dilakukan Kuntari (2009) yang mengatakan bahwa kesulitan dalam pelaksanaan pembelajaran

meliputi kesulitan dalam menentukan media pembelajaran, strategi pembelajaran dan penggunana

waktu yang efektif dan efesien.

4. Kesulitan Guru Geografi Dalam Melakukan Evaluasi Pembelajaran Geografi

Kesulitan yang dialamin guru geografi di SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau

Selatan yaitu : kesulitan dalam pemberian skor, pengusunan penilaian tindakan lanjut, dan

pemberian remedial.

Hasil penelitian kesulitan guru dalam melakukan evaluasi pembelajaran relevan dengan teori

Sanjaya (2006) yang dikatakan bahwa evaluasi hasil belajar dalam kurikulum terbaru yang

diterapkan, dilakukan dengan cara: (1) Penilaian kelas; (2) Tes kemampuan dasar; (3) Penilaian

akhir; dan (4) Penilaian program untuk mengetahui keseuaian kurikulum dengan dasar, fungsi dan

tujuan pendidikan.

Guru yang mengajar di SMA Negeri 3 Rantau Utara merupakan guru yang tidak memiliki

kesulitan dalam ketersediaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan karena sekolah ini sudah cukup

memadai. Sementara, guru-guru yang mengajar di sekolah dimana sarana dan prasarana kurang

memadai, guru mengalami kesulitan untuk melakukan pelaksanaan pembelajaran geografi. Hal ini

sesuai dengan pendapat Sudjarwo (1989) yang menyatakan bahwa kesulitan yang dihadapin oleh

guru dalam melaksanakan tugasnya dalam proses pembelajaran yaitu : (1) Kekurangan alat peraga,

media pembelajaran; (2) Kekurangan buku pegangan, buku sumber; (3) Motivasi yang kurang dari

peserta didik, dan (4) Dukungan administrasi yang kurang.

Page 61: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 57

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan 6 Kepala Sekolah yang menanyakan kesulitan

guru dalam melakukan evaluasi pembelajaran di SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau

Selatan dikatakan bahwa kesulitan tersebut terdapat pada saat melakukan penilaian yang meliputi

ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Guru paling banyak mengalami kesulitan untuk

melakukan penilaian pada penialain ranah afektif dan psikomotorik, hal ini dikarenakan tidak

adanya standar skor yang jelas untuk penilaian ranah afektif, sehingga guru mengalami kesulitan

untu memberi nilai yang tepat.

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan uraian dari hasil penelitian dan pembahasan diperoleh kesimpulan bahwa

dalam kesulitan guru dalam pembelajalajaran geografi di SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan

Rantau Selatan menunjukkan adanya kesulitan pada 4 aspek berdasarkan nilai rata-rata persentase

yaitu :

1. Tingkat kesulitan guru geografi dalam menyampaikan materi pelajaran geografi pada kelas X, XI

dan XI yaitu dimana pada kelas X guru mengalami kesulitan pada materi tata surya dan jagad

raya, sebanyak 50%. Pada kelas XI tingkat kesulitan guru pada materi pembelajaran terjadi pada

materi persebaran hewan dan tumbuhan di Indonesia, sebanyak 100%. Kesulitan guru pada kelas

XII terdapat pada materi pembelajaran SIG (Sistem Informasi Geografi) yang dimana tingkat

kesulitan guru dalam materi tersebut menunjukan angka 66,67%.

2. Tingkat kesulitan guru geografi dalam menyusun perangkat pembelajaran yaitu terdiri dari

kesulitan dalam merancang pembelajaran sebanyak 33,33%, kesulitan dalam pemilihan media

pembelajaran yaitu sebanyak 16,67% dan kesulitan yang paling banyak dihadapin guru yaitu

kesulitan dalam menentukan media pembelajaran geografi sebanyak 50%.

3. Tingkat kesulitan guru dalam pelaksanaan pembelajaran geografi terdapat pada kesulitan dalam

strategi pembelajaran sebanyak 16,67%, kesulitan dalam pengelolaan kelas sebanyak 16,67%,

kesulitan dalam penggunaan waktu sebanyak 16,67% dan kesulitan paling banyak dihadapin

guru yaitu kesulitan dalam pemanfaatan media pembelajaran geografi yaitu sebanyak 50%.

4. Tingkat kesulitan guru dalam melakukan evaluasi pembelajaran geografi yaitu terdapat pada

menyusun laporan penilaian yaitu sebanyak 33,33%, kesulitan dalam memberikan tindak

lanjut yaitu sebanyak 16,67% dan kesulitan yang paling banyak dihadapin oleh guru

geografi yaitu kesulitan dalam pemberian skor pada tes hasil belajar berdasarkan indikator

sebanyak 50%.

Page 62: Scanned by CamScanner - ULM

58 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

5.

B. Saran

Berdasarkan uraian di atas saran-saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1. Guru diharapkan lebih mengoptimlakan fungsi forum MGMP (Musyawarah Guru Mata

Pelajaran) untuk bertukar pikiran serta pengalaman tentang kesulitan yang dihadapin seperti

kesulitan materi pelajaran, perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran dan evaluasi

pembelajaran.

2. Kepada guru geografi agar menggunakan media dan alat peraga yang ada disekitar atau membuat

media sendiri untuk materi yang membutuhkan media.

3. Guru diharapkan menyesuaikan startegi pembelajaran, metode pembelajaran, model

pembelajaran dan pendekatan pembelajaran yang akan di lakukan sehingga materi dapat

dikembangkan sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai.

4. Kepada Kepala Sekolah agar selalu memberikan pengawasan serta menfasiliasi sarana

pembelajaran geografi sehingga dapat mengurangi timgkat kesulitan guru geografi dan tujuan

pembelajaran geografi dapat tercapai secara optimal.

DAFTAR PUSTAKA

Akbar,Sa’dun.2013. Instrumen Perangkat Pembelajaran. Bandung:Remaja Rosdakarya

Anonim.2011.Undang-Undang Guru dan Dosen.Bandung:Citra Umbara

Darmadi,Hamid. 2009. Kemampuan Dasar Mengajar. Bandung: Alfabeta

Djamarah,Bahri. 2010. Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif. Jakarta: Rineka Cipta

Djamarah. 1996. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Rineka Cipta

Harjanto. 2008. Perencanaan Pengajaran. Jakarta : Rineka Cipta

Hasan, Chalijah. 1994.Dimensi-Dimensi Psikologi Pendidikan, cet I. Surabaya: Al-Ikhlas,

Karolina . 2011. Analisis Kendala Guru IPS Dalam Menggunakan IPS Terpadu Di Kelas VIII SMP

Negeri Se-Kecamatan Sunggal. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Medan. Jurusan Pendidikan

Geografi Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Medan..

Kuntari.2009.Problematika Pembelajaran Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Yang

Dihadapin Guru Pendidikan Kewarganegaraan SMA di Bondowoso.Skripsi (Tidak

Diterbitkan).Malang.Fakultas Ilmu Sosial.Universitas Negeri Malang

Mulyadi. 2008. Diagnosis Kesulitan Belajar. Yogjakarta: Nusa Litera

Mulyasa, E, 2004.Implementasi Kurikulum 2004 Panduan Pembelajaran KBK, Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya,

Page 63: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 59

Musfah, Jejen. 2011. Peningkatan Kompetensi Guru: Melalui Pelatihan Dan Sumber Belajar Teori

dan Praktik. Jakarta: Kencana.

Nadliroh.2010. Analisis Faktor-Faktor Penghambat Guru dalam Pelaksanaan Pembelajaran

Matematika Madrasah Tsanawiyah Negeri Winung Kabupaten Pati Tahun Ajaran

2010/2011”. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Palembang. Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan. Universitas Sriwijaya.

Pratiwi. 2012. Analisis Kesulitan-Kesulitan Guru Dalam Pembelajaran IPS Terpadu (Studi Kasus

Pada SMP Negeri 8 Kota Malang). Skripsi (Tidak Diterbitkan). Malang. Fakultas Ilmu Sosial.

Universitas Negeri Malang.

Rusman. 2010. Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalsme Guru. Jakarta: Raja

Grafindo Persada.

Sabri, Ahmad. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Ciputa Press

Sadulloh,Uyoh. 2010. Pedagogik (Ilmu Mendidik). Bandung: Alfabeta

Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta:

Kencana

Sanjaya,Wina. 2008. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Kencana.

Sugiono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta

Sumaarmadja,Nursid. 1996. Metode Penelitian Geografi. Bandung: Bumi Aksara

Suryosubroto. 2010. Dasar-Dasar Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta

Tika, Pabunda. 2005. Metode Penelitian Geografi. Jakarta: Bumi Aksara

Tim UPPL Unimed. Buku Pedoman Pelaksanaan Program Pengalaman Lapangan Terpadu.

Medan: Universitas Negeri Medan Press

Tirta, Umar, dkk. 2003. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta

Wardatus. 2012. Identifikasi Kesulitan Guru Geografi SMA Nageri Se-Kabupaten Pamaerkarsa

Dalam Menyusun RPP Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Skripsi. (Tidak

Diterbitkan). Malang. Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Malang

Page 64: Scanned by CamScanner - ULM

60 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Lampiran 1 : Instrumen Angket Kesulitan Materi, Perencanaan, Pelaksanaan dan Evalusi

Pembelajaran Geografi

LEMBAR INSTRUMEN PENELITIAN

“KESULITAN GURU DALAM PROSES PEMBELAJARAN GEOGRAFI”

I. PENGANTAR

1. Angket ini diedarkan kepada Bapak/Ibu guru dengan maksud untuk mendapatkan informasi

penelitian yang saya lakukan yang berjudul “Analisi Kesulitan Guru Geografi Dalam

Pembelajaran Geografi”.

2. Informasi yang saya peroleh dari bapak/ibu guru sangat membantu sebagai sumber data dalam

melengkapi penelitian tersebut.

3. Bapak/ibu guru tidak perlu ragu dalam mengisi angket ini, karena data yang kami dapatkan dari

bapak/ibu guru hanya untuk kepentingan penelitian tidak untuk kepentingan sekolah.

4. Partisipasi bapak/ibu guru dalam memberikan informasi sangat diharapkan.

II. IDENTITAS RESPONDEN

Nama :

Nama Insitusi :

Pendidikan Terakhir :

Lama Mengajar ;

Sertifikasi : A. Sudah

B. Belum

Page 65: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 61

PERTANYAAN ANGKET

1. Kesulitan apa yang Bapak/Ibu alami dalam materi pelajaran geografi kelas X,XI dan XII ?

Kelas X

SK :

...........................................................................................................................................................

KD :

...........................................................................................................................................................

Materi Pelajaran :

...........................................................................................................................................................

Kelas XI

SK :

...........................................................................................................................................................

KD :

...........................................................................................................................................................

Materi Pelajaran :

...........................................................................................................................................................

Kelas XII

SK :

...........................................................................................................................................................

KD :

...........................................................................................................................................................

Materi Pelajaran :

...........................................................................................................................................................

2. Apa yang menyebabkan terjadinya kesulitan pada materi tersebut ? dan bagaimana cara

mengatasinya ? (Isi secara rinci setiap kesulitan)

...........................................................................................................................................................

...........................................................................................................................................................

...........................................................................................................................................................

...........................................................................................................................................................

3. Kesulitan apa yang Bapak/Ibu alami dalam merancang pelaksanaan pembelajaran geografi ?

(Lingkarin dan jawaban boleh lebih dari satu)

a. Perumusan tujuan pembelajaran secara khusus

b. Pengorganisasian bahan/materi

Page 66: Scanned by CamScanner - ULM

62 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

c. Rancangan kegiatan pembelajaran

d. Rancangan medi pembelajaran

e. Pemilihan sumber belajar

f. pemilihan sumber belajar

4. Apa yang menyebabkan terjadinya kesulitan tersebut ? dan bagaimana cara mengatasinya ? (Isi

secara rinci setiap kesulitan)

...........................................................................................................................................................

...........................................................................................................................................................

...........................................................................................................................................................

5. Kesulitan apa yang Bapak/Ibu alami dalam melaksanakan proses pembelajaran geografi ?

(Lingkarin dan jawaban boleh lebih dari satu)

a. Keterampilan membuka pelajaran

b. Penyajian materi

c. Staregi pembelajaran

d. Pemanfaatan media pembelajaran

e. Pengelolahan kelas

f. Penilaian pembelajaran

g. Keterampilan menutup pelajaran

h. Efesiensi penggunaan waktu

6. Apa yang menyebabkan terjadinya kesulitan tersebut ? dan bagaimana cara mengatasinya ? (Isi

secara rinci setiap kesulitan)

...........................................................................................................................................................

...........................................................................................................................................................

...........................................................................................................................................................

...........................................................................................................................................................

........................................

7. Metode apa yang sering Bapak/Ibu gunakan dalam proses pembelajaran geografi ? Mengapa ?

(Sebutkan alasanya)

...........................................................................................................................................................

...........................................................................................................................................................

...........................................................................................................................................................

Page 67: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 63

8. Media pembelajaran apa yang sering Bapak/Ibu gunakan dalam proses pembelajaran geografi ?

Mengapa ? (Sebutkan alasanya)

...........................................................................................................................................................

...........................................................................................................................................................

...........................................................................................................................................................

9. Kesulitan apa yang Bapak/Ibu guru hadapin dalam melakukan evaluasi pembelajaran geografi ?

(Lingkarin dan jawaban boleh lebih dari satu)

a. Menyusun soal/prangkat penilaian sesuai dengan indikator

b. Memberi skor pada tes hasil belajar berdasarkan indikator

c. Mengelolah hasil penilaian

d. Menganalisis hasil penilaian

e. Menyimpulkan hasil penilaian secara jelas

f. Menyususn laporan hasil penilaian yang telah dilakukan

g. Memberikan tindakan lanjut dari hasil penilaian

h. Memperbaiki soal/perangkat penilaian yang salah

i. Menyusun program tindak lanjut hasil penilain

10. Apa yang menyebabkan terjadinya kesulitan tersebut ? dan bagaimana cara mengatasinya ? (Isi

secara rinci setiap kesulitan)

...........................................................................................................................................................

...........................................................................................................................................................

...........................................................................................................................................................

...........................................................................................................................................................

Page 68: Scanned by CamScanner - ULM

64 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Lampiran 2 : Instrumen Wawancara

LEMBAR INSTRUMEN PENELITIAN

“KESULITAN GURU DALAM PROSES PEMBELAJARAN GEOGRAFI”

III. PENGANTAR

1. Angket ini diedarkan kepada Bapak/Ibu guru dengan maksud untuk mendapatkan informasi

penelitian yang saya lakukan yang berjudul “Analisi Kesulitan Guru Geografi Dalam

Pembelajaran Geografi”.

2. Informasi yang saya peroleh dari bapak/ibu guru sangat membantu sebagai sumber data dalam

melengkapi penelitian tersebut.

3. Bapak/ibu guru tidak perlu ragu dalam mengisi angket ini, karena data yang kami dapatkan dari

bapak/ibu guru hanya untuk kepentingan penelitian tidak untuk kepentingan sekolah.

4. Partisipasi bapak/ibu guru dalam memberikan informasi sangat diharapkan.

IV. IDENTITAS RESPONDEN

Nama :

Nama Insitusi :

Pendidikan Terakhir :

Lama Mengajar ;

Sertifikasi : A. Sudah

B. Belum

Page 69: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 65

PERTANYAAN WAWANCARA

1. Bagaimana program supervisor Bapak/Ibu laksanakan disekolah ?

2. Bagaimana proses pengawasan yang Bapak/Ibu lakukan untuk meningkatkan keterampilan guru

geografi dalam mengajar ?

3. Usaha apa saja yang Bapak lakukan untuk meningkatkan stabilitas dan efektifitas pembelajaran

geografi di kelas ?

4. Menurut Bapak/Ibu keterampilan-keterampilan apa saja yang seharusnya dimiliki guru geografi

untuk meningkatkan profesionalitas mereka mengajar ?

5. Bagaimana usaha-usaha yang Bapak/Ibu lakukan untuk memperbaiki cara kerja dan mutu guru

geografi ?

6. Untuk meningkatkan wawasan keilmuan guru geografi, langkah-langkah apa saja yang telah

Bapak/Ibu lakukan ?

7. Apakah saran Bapak/Ibu jika guru geografi mengalami kesulitan dalam melaksanakan

pembelajaran geografi ?

8. Usaha apakah yang Bapak/Ibu lakukan untuk ketersediaan media pembelajaran geografi ?

9. Apakah ada perbedaan antara guru geografi dengan guru lain, menginat geografi merupakan

pelajaran yang dianggap sulit oleh siswa ?

10. Bagaimana pandangan Bapak/Ibu tentang pembelajaran geografi ?

Page 70: Scanned by CamScanner - ULM

66 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Lampiran 3 : Instrumen Observasi

LEMBAR INSTRUMEN PENELITIAN

“KESULITAN GURU DALAM PROSES PEMBELAJARAN GEOGRAFI”

I. PENGANTAR

1. Angket ini diedarkan kepada Bapak/Ibu guru dengan maksud untuk mendapatkan informasi

penelitian yang saya lakukan yang berjudul “Analisi Kesulitan Guru Geografi Dalam

Pembelajaran Geografi”.

2. Informasi yang saya peroleh dari bapak/ibu guru sangat membantu sebagai sumber data dalam

melengkapi penelitian tersebut.

3. Bapak/ibu guru tidak perlu ragu dalam mengisi angket ini, karena data yang kami dapatkan dari

bapak/ibu guru hanya untuk kepentingan penelitian tidak untuk kepentingan sekolah.

4. Partisipasi bapak/ibu guru dalam memberikan informasi sangat diharapkan.

II. IDENTITAS RESPONDEN

Nama :

Nama Insitusi :

Pendidikan Terakhir :

Lama Mengajar ;

Sertifikasi : A. Sudah

B. Belum

Page 71: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 67

LEMBAR OBSERVASI

No Aspek Yang Dinilai Ya Tidak

1. Guru mengajar membawa RPP ke kelas sebagai acuan

pembelajaran

2. Guru menguasai kelas

3. Guru menggunakan media pembelajaran

4. Sarana dan prasarana pembelajaran geografi lengkap

apa tidak

5. Guru mengunakan metode, strategi, dan model dalam

pembelajaran

Page 72: Scanned by CamScanner - ULM

68 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Lampiran 4 : Data Mentah Kesulitan Guru Geografi Dalam Materi Pelajaran, dan Perencanaan Pembelajaran Geografi

No Nama Guru Nama Instusi

Kesulitan Guru

Materi Perencanaan

X XI XII Rancangan

kegiatan

Rancangan

Media

Pemilihan Sumber

Belajar

1 Rosdani, S.Pd SMA Negeri 1 Rantau

Selatan √ √ √

2 Hj. Seri Sediani,

S.Pd

SMA Negeri 1 Rantau

Selatan √ √

3 Ervida Harahap,

S.Pd

SMA Negeri 1 Rantau

Utara √ √ √ √

4 Ruprida Pakpahan,

S.Pd

SMA Negeri 2 Rantau

Utara √ √ √ √

5 Tumarding

Simanulang, S.Pd

SMA Negeri 2 Rantau

Selatan √ √ √ √

6 Hj. Elfrida Munthe,

S.Pd

SMA Negeri 3 Rantau

Utara √ √ √ √

Page 73: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 69

Lampiran 5 : Data Mentah Kesulitan Guru Geografi Dalam Pelaksanaan Pelajaran, dan Evaluasi Pembelajaran Geografi

No Nama Guru Nama Instusi

Kesulitan Guru

Merancang Evaluasi

Stategi

Pembelajaran

Media

Pembelajaran

Pengelolaan

Kelas

Efesiensi

Waktu

Pemberian

Skor

Menyusun

Laporan

hasil

Memberi

Tindakan

Lanjut

1 Rosdani, S.Pd SMA Negeri 1

Rantau Selatan √ √

2 Hj. Seri

Sediani, S.Pd

SMA Negeri 1

Rantau Selatan √ √

3 Ervida

Harahap, S.Pd

SMA Negeri 1

Rantau Utara √ √

4 Ruprida

Pakpahan, S.Pd

SMA Negeri 2

Rantau Utara √ √

5 Tumarding

Simanulang,

S.Pd

SMA Negeri 2

Rantau Selatan √ √

6 Hj. Elfrida

Munthe, S.Pd

SMA Negeri 3

Rantau Utara √ √

Page 74: Scanned by CamScanner - ULM

68 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

MODEL ENGAGED AUTHENTIC ASSESSMENT (EAA) BERBASIS SELF ANDPEER ASSESMENT(SPA) SEBAGAI INOVASI EVALUASI PEMBELAJARAN ABAD 21

Ence Surahman

Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang

[email protected]

ABSTRAK

Dalam paradigma pendidikan abad 21, pembelajaran ditekankan pada student learning oriented yang dikenal dengan slogan teacherless, student more. Hal tersebut menuntut pengelolaan proses pembelajaran yang dapat melibatkan partisipasi mahasiswa secara dominan dalam menemukan, mengkaji hingga mencari jawaban atas semua persoalan yang dihadapainya. Untuk merubah paradigma pembelajaran yang konvensional membutuhkan upaya serius baik dari pemerintah, stakeholder, pendidik dan mahasiswa. Semua pihak harus memahami urgensinya sehingga dapat bersama-sama memperbaiki kelemahan proses pembelajaran yang masih didominasi oleh peran pendidik. Salah satu upaya untuk memperbaiki proses pembelajaran sehingga dapat mengoptimalkan partisipasi mahasiswa adalah dengan merubah model pembelajaran dan model penilaian yang diterapkan. Model authentic asesment merupakan salah satu model penilaian yang mendorong terbangunnya kesadaran akan mutu proses pembelajaran yang berorientasi kepada peningkatan capaian hasil belajar. Peningkatan mutu proses pembelajaran menjadi titik fokus dalam evaluasi pembelajaran. Evaluasi proses pembelajaran dapat dilakukan dengan melibatkan sesama mahasiswa dengan pendekatan penilaian diri sendiri (self asesment) dan penilaian sesama (peer asesment). Dalam implementasinya, model Engaded Authentic Assessment (EAA) memberikan kesempatan kepada para siswa untuk menilai progres belajar dirinya dan rekan belajarnya. Dengan demikian model penilaian autentik dipandang perlu dan relevan dengan karakteristik evaluasi pembelajaran abad 21 yang berorientasi pada peningkatan kompetensi pada aspek pengetahuan, sikap dan perilaku para peserta didik. Kata Kunci: inovasi evaluasi pembelajaran, engaged authentic assessment, hasil belajar

Page 75: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 69

Pendahuluan

Pembelajaran diperguruan tinggi bertujuan untuk membekali peserta didik baik pada jenjang

diploma, sarjana, magister hingga doktor untuk dapat menyiapkan dirinya terjun dalam kehidupan

bermasyarakat, berangsa dan bernegara. Di samping itu pembejaran di perguruan tinggi berupaya

untuk menyiapkan SDM yang profesional dalam bidang keilmuannya masing-masing sesuai dengan

janjangnya. Dengan demikian apabila pada pembelajaran peserta didik pada jenjang pendidikan

dasar bertujuan untuk membekali untuk dapat beradaptasi pada pendiidkan menengah dan tujuan

pendidikan menengah bertujuan untuk membekali peserta didik untuk beradaptasi dengan sistem

pembelajaran di perguruan tinggi, maka di perguruan tinggi pembelajaran difokuskan pada upaya

menyiapkan SDM unggul, berdaya saing dan mampu mengemban amanah keilmuan pada

bidangnya secara profesional.

Pembelajaran diperguruan tinggi adalah pembelajaran orang dewasa. Knowles (Abidin)

menyebut pendidikan orang dewasa dengan sebutan andragogi. Andragogi adalah the art and

science of helping adult learn (seni dan ilmu yan berkaitan dengan cara-cara membantu orang

dewasa untuk belajar (Knowles, 2004:8). Andragogi berasal dari bahasa Yunani Kuno aner, dengan

akar kata andr- yang berarti laki-laki (bukan anak-anak) atau orang dewasa, dan agogos yang

berarti membimbing atau membina.

Pola pendidikan pada orang dewasa harus dapat menyesuaikan dengan kebutuhan dan

karakteristik orang dewasa itu sendiri. Orang dewasa cenderung lebih suka mencari sendiri daripada

diberi. Selain itu orang dewasa memiliki kesadaran yang tinggi dibanding anak-anak. Dengan

demikian pola pembelajaran yang tepat bagi orang dewasa adalah pembelajaran berpusat kepada

peserta didik. Pendidik berperan sebagai fasilitator belajar.

Dalam rangka mensukseskan program pembelajaran di perguruan tinggi, para pemangku

kebijakan baik dari pusat yakni dibawah kementerian riset dan pendidikan tinggi, maupun pada

masing-masing institusi perguruan tinggi dan pada lingkungan departemen, program studi terus

berupaya untuk meningkatan kualitas layanan pembelajaran. Beberapa upaya dalam rangka

meningkatkan kualitas layanan pembelajaran di perguruan tinggi dilakukan melalui peningkatan

mutu pembelajaran, pengembangan keilmuan dan jenjang pendidikan para dosen dengan program

pendidikan lanjut, seminar, temu ilmiah maupu pelatihan. Di sampingitu upaya peningkatan kuliatas

layanan pembelajaran dilakukan melalui penyediaan pra sarana dan sarana yang memadai untuk

mendukung kelancaran proses pembelajaran seperti penyediaan buku, modul maupun diktat

perkuliahan. Selain itu melalui penyediaan layanan program pembelajaran online dan lain-lain

Page 76: Scanned by CamScanner - ULM

70 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Berdasarkan hasil observasi dan analisa penulis, ditemukan beberapa persoalan yang

menyangkut kendala dalam mewujudkan keberhasilan program pembelajaran di perguruan tinggi.

Beberapa kendala yang ditemui di antaranya adalah perbedaan raw inputpeserta didik pada setiap

departeman dan program studi. Hal tersebut dikarenakan oleh adanya beberapa alternatif jalur

masuk perguruan tinggi, seperti jalur SNMPTN, SBMPTN dan jalur UM.

Pada dasarnya mutu proses penjaringan peserta didik pada masing-masing jalurmemiliki

standar tertentu. Namun demikian, perbedaan jumlah peminat, asal sekolah, asal daerah, perbedaan

strata sosial dan status ekonomi, tingkat kemampuan awal, kualitas etos belajar, pengalaman belajar

pada jenjang pendidikan sebelumnya, lingkungan pergaulan, karakter budaya dan adat istiadat pada

akhirnya berpengaruh terhadap perbedaan kemampuan berpikir kreatifpeserta didik di perguruan

tinggi.

Beberapa indikasi lemahnya kemampuan berpikir kreatif peserta didik terlihat dari

rendahnya tingkat percaya diri. Hal tersebut dapat terlihat dari keterlibatan dan aktivitas peserta

didik dalam berdiskusi, bertanya, menanggapi, menyanggah, berargumen, mengeluarkan pendapat,

ide dan gagasan serta dalam berinteraksi dengan sesamapeserta didik maupun dengan dosen dan

karyawan kampus. Begitu pula ketika diberikan tugas penyusunan dan penyajian makalah,

observasi, kajian buku, kajian jurnal dan lain-lain. Peserta didik yang tidak memiliki kemampuan

berpikir kreatif yang baik cenderung mengerjakan tugas seadanya. Hal tersebut menarik untuk

ditelitiagar dapat menemukanstrategi pembelajaran yang dapat meningkatkan mutu proses dan hasil

belajar peserta didik.

Strategi pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif peserta didik

memiliki kecenderungan yang melibatkan peserta didik secara dominan dalam proses pembelajaran.

Melalui kegiatan partisipasi yang dominan itulah kemampuan berpikir kreatif peserta didik

terbentuk. Hal itu dikarenakan proses aktivasi otak sebagai komponen dalam proses berpikir lebih

aktif. Semakin aktif sel-sel saraf otak digunakan untuk berpikir, memecahkan masalah,

menghasilkan proyek, akan meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi yang dapat melatih

proses berpikir kreatif peserta didik.

Salah satu strategi pembelajaran yang memiliki kemampuan untuk mengaktivasi proses

berpikir tingat tinggi adalah strategi pembelajaran authentik asesment. Strategi pembelajaran

authentik asesment untuk belajar adalah salah satu strategi pembelajaran yang pada akhir-akhir ini

banyak digalakan, terutama di negara-negara yang sudah maju tarap pendidikannya. Strategi ini

menekankan kepada penggunaan pengetahuan dan pengalaman peserta didik sebagai dasar untuk

mengembangkan kemampuannya lebih lanjut dengan menekankan cara belajar mandiri.

Pembelajaran mandiri (self instruction) menekankan otonomi dan kontrol individu sendiri yang

Page 77: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 71

memantau, mengarahkan, dan mengatur tindakan menuju tujuan penguasaan informasi,

memperlauas pemahaman, skill dan perbaikan diri. (Paris &Paris,2001).

Melalui strategi pembelajaran ini, peserta didik diharapkan dapat menyadari kekuatan dan

kelemahan akademik mereka, dan memiliki cara yang tepat untuk mengatasi tantangan tugas-tugas

akademik sehari-hari. Peserta didik datat menjadikan kesuksesan atau kegagalan mereka untuk

dijadikan sebagai faktor pendorong.

Strategi asesmen autentik untuk pembelajaran pada hakikatnya menggunakan tiga konsep

assesmen yang diimplementasikan dalam proses belajar mengajar secara terintegrasi. Ketiga konsep

tersebut yaitu; assesment of learning, assesment for learning dan assesment as learning. Salah satu

teknik yang digunakan dalam strategi assesmen untuk pembelajaran adalah self- assesment dan

peer assesment. Kedua teknik inilah yang menarik perhatian peneliti untuk mengkajinya secara

mendalam. Melalui studi ini, peneliti ingin mempelajari bagaimana mengimplementasikan strategi

pembelajaran assesmen autentik untuk dan bagaimana pengaruhnya terhadap peningkatan mutu

proses dan hasil belajar peserta didik.

Melalui strategi pembelajaran authentic asesment, keberhasilan kegiatan pembelajaran dapat

diukur sejak awal. Strategi pembelajaran authentik asesment memiliki minimal dua fungsi utama

yakni fungsi evaluasi diagnostik dan evaluasi formatif. Evaluasi diagnostik dalam rangka

menganalisis beberapa kelehaman, kekurangan dan kesulitan belajar peserta didik pada dimensi

proses belajar. Sedangkan fungsi evaluasi formatif bertujuan untuk mengukur hasil belajar peserta

didik.

Pembahasan

Kegiatan belajar dan pembelajaran merupakan proses utama dalam proses pendidikan secara mikro.

Azhar (2011:1) mendefinisikan belajar adalah suatu proses yang kompleks yang terjadi pada diri

setiap orang sepanjang hidupnya. Pendapat tersebut senada dengan pendapatnya Sadiman et al.

(2011:2) mendefinisikan belajar adalah suatu proses yang kompleks yang terjadi pada semua orang

dan berlangsung seumur hidup sejak dia masih bayi hingga ke liang lahat. Driscoll dalam Sharon et

al. (2011:11) mendefinisikan belajar (learning) sebagai perubahan terus menerus dalam

kemampuan yang berasal dari pengalaman pembelajar dan interaksi pembelajar dengan dunia.

Proses belajar mengajar atau pembelajaran, pada dasarnya merupakan suatu sistem. Sebagai

suatu sistem, pembelajaran dibangun oleh beberapa komponen yang saling berkaitan dan saling

mempengaruhi (interdevedensi) antara satu komponen dengan komponen lainnya. Komponen

pembelajaran terdiri dari lima komponen utama yaitu; (a) kompetensi dan tujuan pembelajaran, (b)

Page 78: Scanned by CamScanner - ULM

72 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

materi dan bahan pembelajaran, (c) media pembelajaran (d) strategi dan metode pembelajaran, dan

(e) penilaian pembelajaran.

Kelima komponen pembelajaran di atas apabila dirumuskan dalam kalimat pertanyaan sebagai

berikut:

a. apa yang ingin dicapai dari suatu pembelajaran? (berkaitan dengan tujuan pembelajaran)

b. apa yang perlu diberikan untuk mencapai tujuan tersebut? (berkaitan dengan materi dan bahan

pembelajaran)

c. melalui apa materi atau bahan pelajaran itu disampaikan? (berkaitan dengan media

pembelajaran

d. pengalaman apa yang mesti diberikan kepada siswa agar dapat mencapai tujuan tersebut?

(berkaitan dengan strategi dan metode pembelajaran)

e. bagaimana kita mengetahui bahwa kompetensi dan tujuan tersebut sudah atau belum tercapai?

(berkaitan dengan komponen penilaian)

Kelima pertanyaan di atas memberikan gambaran bahwa diantara komponen pembelajaran

tersebut saling berkaitan satu sama lain, serta menunjukan bahwa kompetensi dan tujuan

pembelajaran merupakan komponen yang paling utama dan menentukan komponen-komponen

lainnya.

Pemahaman pembelajaran sebagai sebuah sistem dapat menginspirasi pemerataan perhatian

pada semua komponen pembelajaran. Dengan demikian guru sebagai juru kunci dalam proses

pembelajaran tidak hanya fokus pada penampilan di depan peserta didik melainkan juga

melaksanakan pekerjaan lain sebelum dan sesudah proses pembelajaran dilaksanakan.

Schunk (2012:5) mendefinisikan pembelajaran merupakan perubahan yang bertahan lama

dalam perilaku, atau dalam kapasitas berperilaku dengan cara tertentu, yang dihasilkan dari praktik

atau bentuk-bentuk pengalaman lainnya. Dengan demikian sebuah proses belajar dapat

dikategorikan sebagai kegiatan pembelajaran ketika memenuhi tiga kriteria utama yakni

menghasilkan perubahan, perubahan yang terjadi relatif bertahan lama dan proses perubahan

tersebut terjadi melalui pengalaman.

Sharon et al. (2011:11) menjelaskan belajar merupakan pengembangan pengetahuan dan

keterampilan atau sikap yang baru ketika seseorang berinteraksi dengan informasi dan lingkungan.

Lingkungan belajar diarahkan oleh pendidik dan mencakup fasilitas fisik, suasana akademik, serta

teknologi pengajaran. Berdasarkan beberapa definisi para pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa

belajar adalah proses seseorang berinteraksi dengan sebuah lingkungan tertentu baik yang secara

sengaja dirancang maupun tidak, dimana setelah proses interaksi tersebut, seseorang akan

mengalami perubahan tingkah laku yang terjadi secara permanen. Tingkah laku yang dimaksud baik

dalam ranah kognitif, afektif maupun sampai pada ranah psikomotorik.

Page 79: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 73

Dalam proses pendidikan yang dimaksud belajar adalah proses seorang peserta didik

berinteraksi yang terjadi secara aktif dengan lingkungannya baik lingkungan hidup seperti dosen,

teman belajar, adik dan kakak tingkat, orang tua, masyarakat dan lingkungan tak hidup seperti buku,

media pembelajaran, alam dan lain sebagainya. dimana setelah proses belajar maka peserta didik

akan mengalami peribahan dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak faham menjadi faham, dari tidak

mengerti menjadi mengerti.

Utomo (2013:27) menjelaskan pembelajaran merupakan proses aktif peserta didik yang

mengembangkan potensi dirinya. Peserta didiksebagai peserta didik dilibatkan ke dalam

pengalaman yang difasilitasi oleh pendidik sehingga peserta didik mengalir dalam pengalaman yang

melibatkan pikiran, emosi, terjalin dalam kegiatan yang menyenangkan dan menantang serta

mendorong prakarsa peserta didik. dalam proses pembelajaran terjadi proses saling keterkaitan

teruma antara peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar.

Kamus Besar Bahasa Indonesia versi onlinemengartikan pembelajaran berarti proses, cara,

perbuatan menjadikan orang atau makhluk hidup belajar. Dalam pasal 1 Undang-Undang Sistem

Pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003 pembelajaran dimaknai sebagai proses interaksi peserta

didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.

Penilaian autentik(authentic assesment) adalah sebuah salah satu jenis penilaian pembelajaran

yang menekankan pada apa yang seharusnya dinilai, baik pada dimensi penilaian proses, maupun

hasil pembelajaran dengan menggunakan berbagai instrumen yang disesuaikan dengan tuntutan

kompetensi yang hendak diukur. Semua jenis penilaian pada dasarnya harus memenuhi prinsip

objektivitas. Namun pada penilaian autentik, objektivitas aspek-aspek yang dinilai disertai dengan

dokumen, lembar kerja, penilaian kinerja dan produk yang menggambarkan pencapaian hasil

belajar apa adanya.

Penilaian autentik lahir sebagai upaya perbaikan dari pola penilaian sebelumnya yang dominan

menitikberatkan penilaian pada penilaian melalui tes (mengukur kompetensi pengetahuan

berdasarkan hasil saja). Sedangkan dalam penilaian autentik berupaya mengukur kompetensi sikap,

keterampilan dan pengetahuan berdasarkan proses dan hasil. Dalam penilaian autentik peserta didik

diminta untuk menerapkan konsep dan teori pada dunia nyata.

Intinya penilaian autentik mencoba menggali jawaban dari pertanyaan apakah peserta didik

belajar? bukan berfokus pada jawaban dari pertanyaan apa yang sudah peserta didik pelajari?.

Dengan demikian penilaian kompetensi peserta didik dilakukan dengan berbagai cara dan

pendekatan, bukan hanya menggunakan penilaian hasil pembelajaran.

Page 80: Scanned by CamScanner - ULM

74 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Ada tiga hal yang harus diperhatikan oleh dosen dalam menerapkan penilaian autentik

diantaranya; 1) autentik dari instrumen yang digunakan, artinya dosen harus menggunakan

instrumen yang beragam tidak hanya satu instrumen. Dan semuainstrumen harus divalidasi 2)

autentik dari aspek yang diukur, artinya dosen harus berusaha sedemikian rupa agar aspek yang

dinilai secara keseluruhan meliputi aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan dan 3) autentik dari

aspek kondisi peserta didik artinya dalam tahapan evaluasi autentik dosen harus menilai kondisi

awal (input), kemudian proses berupa aktivitas belajar peserta didik dan output (berupa hasil capain

kompetensi peserta didik (Kunandar, 2014;42).

Kusnandar menjabarkan beberapa ciri- ciri penilaian autentik diantaranya adalah;

a. Harus mengukur semua aspek pembelajaran yakni kinerja dan hasil atau produk. Artinya dalam

melakukan penilaian terhadap peserta didik harus mengukur aspek kinerja (performance) dan

produk/hasil yang dikerjakan oleh peserta didik. Dalam melakukan penilaian kinerja dan produk

dipastikan bahwa kinerja dan produk tersebar secara nyata dan objektif.

b. Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung. Artinya, dalam melakukan

penilaian terhadap peserta didik, dosen dituntut untuk melakukan penilaian terhadap kemapuan

atas kompetensi proses (kemampuan atau kompetensi peserta didik dalam ekgiatan

pembelajaran) dan kemapuan atau kompetensi peserta didik melakukan kegiatan pembelajaran.

c. Menggunakan berbagai cara atau sumber. Artinya dalam melakukan penilaiatan terhadap

peserta didik ahrus menggunkan berbagai teknik penilaian (disesuaikan dengan tuntutan

kompetensi) dan menggunakan berbagai sumber atau data yang bisa digunakan sebagai

informasi yang menggambarkan penguasaan kompetensi peserta didik)

d. Tes hanya salah satu alat pengumpul data penilaian. Artinya, dalam melakukan penilaian peserta

didik terhadap pencapaian kompetensi tertentu harus secara komprehensif dan tidak hanya

mengandalkan hasil tes semata. Informasi-informasi lain yang mendukung pencapaian

kompetensi peserta didik dapat dijadikan bahan dalam melakukan penilaian.

e. Tugas-tugas yang diberikan kepada peserta didik harus mencerminkan bagian-bagian kedidupan

peserta didik yang nyata setiap hari. Mereka harus menceritakan pengalaman atau kegiatan yang

mereka lakukan setiap hari.

f. Penilaian harus menekankan kedalama pengetahuan dan keahlian peserta didik, bukan

keluasannya (kuantitas). Artinya, dalam melakukan penilaian peserta didik terhadap pencapaian

kompetensi harus mengukur kedalaman terhadap penguasaan kompetensi tertentu secara

objektif.

Page 81: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 75

Adapun karakteristik penilaian autentik menurut Kusnandar (2014;39) diantaranya;

a. Bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif. Artinya, penilaian autentik dapat dilakukan

untuk mengukur pencapaian kompetensi terhadap satu atau beberapa kompetensi dasar

(formatif) maupun pencapaian kompetensi terhadap strandar kompetensi atau kompetensi inti

dalam satu semester (sumatif).

b. Mengukur keterampilan dan performasi, bukan mengingat fakta. Artinya, penilaian autentik itu

ditujukan untuk mengukur pencapaian kompetensi yang menekankan aspek keterampilan (skill)

dan kinerja (performance), bukan hanya mengukur kompetensi yang sifatnya mengingat fakta

(hafalan dan ingatan)

c. Berkesinambungan dan terintegrasi. Artinya, dalam melakukan penilaian autentik harus secara

berkesinambungan (terus menerus) dan merupakan satu kesatuan secara utuh sebagai alat untuk

mengumpulkan informasi terhadap pencapaian kompetensi peserta didik.

d. Dapat digunakan sebagai feed back. Aritnya, penilaian autentik yang dilakukan oleh dosen dapat

digunakan sebagai umpan balik terhadap pencapaian kompetensi peserta didik secara

komprehensif.

Adapun yang dimaksud dengan engaged dalam penilaian autentik adalah keterikatan yang kuat

antara proses penilaian pembelajaran dengan semua komponen pembelajaran lainnya terutama

proses pelibatan peserta didik dalam proses penilaian.

Pemikiran tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa peserta didik yang sudah menginjak

masa perkembangan remaja akhir, dewasa awal dan dewasa telah memiliki pertimbangan yang

cukup matang dalam memberikan umpan balik dan penilaian terhadap proses belajar yang

dilakukan oleh dirinya, teman belajarnya bahkan gurunya.

Dengan demikian pola penilaian yang dikembangkan tidak kaku secara sentralistik pada

pendidik melainkan dalam prosesnya melibatkan peserta didik. Masukan pertimbangan dari peserta

didik merupakan salah satu aspek dalam pemberian penilaian akhir. Namun hasil dari penilaian diri

(self assesment) dan penilaian teman sebaya (peer assesment) dapat digunakan sebagai catatan

umpan balik bagi para peserta didik dalam belajar.

Beberapa bentuk proses penilaian autentikterikat sebagaimana modifikasi yang dijabarkan oleh

Kunandar (2014;40) diantaranya adalah;

a. Proyek atau penugasan dan laporannya. Proyek atau penugasan adalah tugas yang diberikan oleh

dosen kepada peserta didik dalam waktu tertentu sebagai implementasi dan pendalaman dari

pengetahuan yang diperoleh dalam pembelajaran.

Page 82: Scanned by CamScanner - ULM

76 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

b. Hasil tes tulis. Penilaian autentik dapat dilakukan dengan menggunakan hasil tes tulis sebagai

salah satu cara atau alat untuk mengukur pencapaian peserta didik terhadap kompetensi tertentu.

Penilaian tertulis biasanya dilakukan untuk mengukur kompetensi yang sifatnya kognitif atau

pengetahuan.

c. Portofolio (kumpulan karya peserta didik) selama satu semester atau satu tahun. Portofolio yang

dibuat dan disusun peserta didik berupa produk atau hasil kerja merupakan salah satu penilaian

autentik.

d. Pekerjaan rumah. Pekerjaan rumah atau tugas mandiri diluar kelas yang dikerjakan peserta didik

sebagai pendalaman penguasaan kompetensi yang diperoleh dalam pembelajaran merupakan

salah satu penilaian autentik. Hasil pekerjaan rumah harus diberi respon dan catatan oleh dosen,

sehingga peserta didik mengetahui kekurangan dan kelemahan dari pekerjaan rumah yang

dikerjakan.

e. Kuis. Kuis adalah kegiatan yang dilakukan oleh dosen dengan memberika pertanyaan-

pertanyaan terhadap peserta didikdalam rangka mengukur penguasaan materi oleh peserta didik.

f. Karya peserta didik. Seluruh karya peserta didik baik secara individu maupun kelompok, seperti

laporan diskusi kelompok, eksperimen, pengamatan, proyek dan lain sebagainya dapat dijadikan

dasar penilaian autentik.

g. Presentasi atau penampilan peserta didik. Presentasi atau penampilan peserta didik di kelas

ketika melaporkan proyek atau tugas yang diberikan oleh dosen dapat menjadi bahan dalam

melakukan penilaian autentik.

h. Demonstrasi. Penampilan peserta didik dalam mendemonstrasikan atau mensimulasikan suatu

alat atau aktivitas tertentu yang berkaitan dengan materi pembelajaran dapat dijadikan bahan

penilaian autentik.

i. Laporan. Laporan suatu kegiatan atau aktivitas peserta didik yang berkaitan dengan

pembelajaran, seperti laporan proyek atau tugas menghitung pertumbuhan dan kepadatan

penduduk di suatu tempat tinggal peserta didik dapat dijadikan bahan penilaian autentik.

j. Jurnal. Catatan-catatan peserta didik yang menggambarkan perkembangan atau kemajuan

belajar peserta didik berkaitan dengan pembelajaran dapat dijadikan bahan penilaian autentik.

k. Karya tulis. Karya tulis peserta didik baik kelompok maupun individu yang berkaitan dengan

materi pembelajaran suatu bidang studi, seperti karya tulis yang dibuat oleh peserta didik dalam

ajang lomba karya tulis ilmiah, call paper dalam konferensi ilmiah dapat dijadikan bahan

penilaian autentik. Dengan demikian prestasi peserta didik diluar pembelajaran, tetapi memiliki

relevansi dengan bidang studi tertentu, maka dapat menjadi pertimbangan dalam penilaian

autentik.

Page 83: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 77

l. Kelompok diskusi. Kelompok-kelompok diskusi peserta didik baik yang dibentuk oleh dosen

maupun peserta didik secara mandiri dapat menjadi bahan penilaian autentik.

m. Wawancara. Wawancara yang dilakukan dosen terhadap peserta didik berkaitan denagn

pembelajaran dan penguasaan terhadap kompetensi tertentu dapat menjadi bahan pertimbangan

dalam penilaian autentik.

Produk dari penilaian autentik terikat(engaged authentic assesment) dapat bermanfaat dalam

memberikan masukan dan pertimbangan baik untuk guru, sesama peserta didik dan untuk masing-

masing peserta didik. Bagi guru hasil autentik terikat (engaged authentic assesment)berguna dalam

memberikan pertimbangan penilaian akhir. Kedua mempermudah proses pemberian umpan balik

proses belajar para peserta didik. Ketiga memudahkan dalam inventarisir bukti-bukti proses

penilaian pembelajaran.

Bagi sesama peserta didik pola penilaian autentik terikat (engaged authentic assesment)

membantu rekan belajar untuk bercermin atas kelemahan kemajuan belajarnya, sehingga masing-

masing dapat merenungi letak kesalahan dan kekurangan dirinya. Dan bagi masing-masing peserta

didik penilaian autentik terikat (engaged authentic assesment) meningkatkan kesadaran dan

motivasi diri dalam belajar terutama dalam mencapai target kompetensi yang disesuaikan dengan

kemampuan terbaik dirinya.

Salah satu yang diukur dari proses penilaian selain penilaian proses belajar adalah hasil belajar.

Hasil belajar merupakan capaian hasil yang diperoleh seorang peserta didik setelah mengikuti

sebuah program pendidikan. Hasil belajar diperoleh melalui serangkaian tes yang dilakukan secara

terpadu. Hasil belajar menunjukan capaian terbaik seorang peserta didik pada sebuah program

pendidikan yang telah dilaksanakan.

Hasil belajar pada dasarnya adalah produk atau hasil yang dapat dicapai oleh peserta didik

setelah mereka melakukan atau mengikuti proses pembelajaran. Dengan demikian ada tiga hal

kunci dalam pembelajaran tersebut, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh dosen (mengajar), kegiatan

yang dilakukan oleh siswa (belajar) dan produk dari dua kegiatan tersebut, yaitu hasil Belajar.

Mengajar adalah mengorganisir lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan siswa

sehingga terjadi kegiatan belajar. (S. Nasution, 1990)

Sementara belajar pada hakikatnya adalah aktivitas yang membawa suatu perubahan tingkah

laku berkat pengalaman dan latihan, perubahan itu pada pokoknya didapatkanya kecakapan baru,

dan perubahan itu terjadi karena usaha yang disengaja. (OemarHamalik (2011: 123). Hasil belajar

adalah suatu kecakapan nyata (actual ability) yang menunjukan kepada aspek kecakapan yang

segera dapat didemonstrasikan dan diuji sekarang juga, karena merupakan hasil usaha dalam belajar

Page 84: Scanned by CamScanner - ULM

78 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

yang bersangkutan dengan cara, bahan dan dalam hal tertentu yang telah dialaminya.(Syamsudin

,1983:43)

Perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar ada yang dapat diamati secara langsung

(observable) dan juga yang tidak dapat diamati. Hasil belajar ada yang terkait langsung dengan

tjuan dan isi pembelajaran yang sering disebut effek instruksional, dan ada pula hasil belajar

tersebut yang merupakan dampak pengiring dari pembelajaran atau disebut Nurturen effect. Kdua

jenis hasil belajar tersebut dpat diketahui, dipantau dan diukur derajat atau tingkatannya. Sebagai

contoh hasil belajar yang terkait langsung dengan tujuan dan isi pembelajaran perubahan aspek

kognitif, aspek apektif dan psikomotor, sedangkan hasilbelajar yang merupakan dampak dari proses

pembelajaran seperti tumbuhnya rasa percaya diri dalam belajar dan kemampuan memperbaiki diri

dari peserta didik. Kedua kategori hasil belajar inilah yang akan menjadi fokus kajian dalam studi

ini.

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar secara garis besar dapat

dikelompokan ke dalam duagolongan yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal

adalah faktor yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (pesertadidik), diantaranya adalah

factor fisiologis dan factor psikologis. Sedangkan factor eksternal yaitu faktor yang bersumber di

luar individu (peserta didik), seperti kondisi lingkungan dan kualitas pembelajaran..Faktorinilah

yang akan mempengaruhi setiap proses pembelajaran hingga menghasilkan hasil belajar yang

berbeda-beda dari setiap peserta didik. Berbagai penelitian menunjukan bahwa faktor yang paling

dominan mempengaruhi hasil belajar adalah faktor yang bersumber dari dalam diri siswa sendiri

(faktor internal). Pendafat lain yang hampir sama mengenai faktor- faktor yang

mempengaruhihasilbelajar dikemukakan oleh Sujana, sebagai berikut: kemampuan yang dimiliki

individu atau peserta didik, motivasi belajar, minat dan perhatian, sikap dan kebiasaan belajar,

ketekunan, social ekonomi, factor fisik atau psikis, kualitas pengajaran. Nana Sudjana (1991:22).

Lebih lanjut Sudjana mengemukakan faktor yang bersumber dari luar diri siswa yang paling

banyak mempengaruhi hasil belajar adalah kualitas pembelajaran. Kemudian kualitas pembelajaran

dipengaruhi oleh dosen, lingkungan, dan ukuran kelas (jumlah peserta didik).

Hasil belajar seorang peserta didik dapat ditingkatkan melalui pelatihan dan pengulangan

terhadap materi yang belum dikuasainya. Dalam pembelajaran dikelas istilah remedial atau

pengulangan materi yang diberikan kepada peserta didik yang belum dapat menguasai seluruh

target kompetensi pada kurun waktu yang direncanakan. Mengingat hasil belajar dipengaruhi oleh

beberapa faktor, maka hasil belajar juga dapat ditingkatkan dengan cara memperbaiki faktor-faktor

penyebabnya. Sebagai contoh, salah satu faktor yang mempengaruhi hasil belajar adalah motivasi

internal dari peserta didik. Dengan demikian untuk meningkan hasil belajar yang lebih baik,

motivasi internal juga harus diperbaiki.

Page 85: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 79

Penilaian dalam proses pembelajaran antara lain sebagai kegiatan menghimpun fakta-fakta dan

dokumen belajar peserta didik yang dapat dipercaya untuk melakukan perbaikan program, apabila

kegiatan penilaian tersebut terjadi sebagai bagian dari program pembelajaran di kelas. Penilaian

juga merupakan proses menyimpulkan dan menafsirkan fakta-fakta dan membuat pertimbangan

dasar yang profesional untuk mengambil kebijakan pada sekumpulan informasi, yaitu informasi

tentang peserta didik. Surapranata (Surahman, 2016) menjelaskan program belajar peserta didik

dapat dilihat dengan melihat perkembangan hasil pribadi dan hasilpeserta didik dan sekaligus dapat

dibandingkan dengan peserta didik lain dalam kelompoknya.

Nuryani (Surahman, 2016) mendefinisikan penilaian atau pengukuran hasil belajar sering

dikaitkan dengan penialaian formatif dan penilaian sumatif, sementara penilaian yang melibatkan

proses belajar dikenal sebagai asesmen. Walaupun antara keduanya dapat dipertukarkan,

sebenarnya ada perbedaan yang mendasar antara pengukuran dan asesmen. Pengukuran biasanya

lebih menekankan hasil, jadi meninjau ke belakang atau yang sudah dilakukan, sedangkan asesmen

melibatkan pengukuran dan sekaligus melihat potensi ke depan perseorangan peserta didik. Karena

pada dasarnya, seseorang yang dikatakan belajar pasti mengalami perubahan tingkah laku.

Perubahan tingkah laku ini dipahami sebagai hasil dari belajar. Perubahan tingkah laku ini biasanya

dinyatakan dalam bentuk serangkaian kemampuan-kemampuan yang dicapai peserta didik selama

proses belajarnya. “Hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki peserta didik setelah ia

mengalami pengalaman belajarnya (Sudjana, 2005: 22)”.

Melalui hal tersebut dapat dipahami bahwa belajar berkaitan erat dengan pengalaman belajar,

karena peserta didik yang berada dalam proses belajar tentu mendapatkan pengalaman belajar. Oleh

karena itu, dalam proses belajar perlu memperhatikan hal-hal lain diluar materi ajar. Hal tersebut

diberikan semata-mata agar dapat mendukung pengalaman belajar peserta didik. Karena

sebagaimana diketahui, bahwa kemampuan yang hendak dicapai dalam hasil belajar tidak hanya

berkaitan dengan penghafalan teori.

Siagian (Surahman, 2016) menyatakan kemampuan-kemampuan yang dimaksud dalam hasil

belajar dijelaskan oleh pernyataan berikut hasil belajar adalah sesuatu yang dicapai atau diperoleh

peserta didik berkat adanya usaha atau pikiran yang dinyatakan dalam bentuk penguasaan,

pengetahuan dan kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai aspek kehidupan sehingga tampak

pada diri individu perubahan tingkah laku secara kualitatif. Melalui pendapat tersebut dapat

dipahami, bahwa tolak ukur dari hasil belajar, meliputi perubahan yang terjadi pada pengetahuan,

sikap dan keterampilan yang ditunjukan dan dialami oleh peserta didik. Adapun perubahan-

perubahan tersebut harus bisa diukur dengan alat ukur yang tepat.

Page 86: Scanned by CamScanner - ULM

80 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Pendapat serupa terkait hasil belajar, dikemukakan oleh Anderson yang menyatakan bahwa

karakteristik manusia meliputi cara yang tipikal dari berpikir, berbuat, dan perasaan. Tipikal

berpikir berkaitan dengan ranah kognitif, tipikal berbuat berkaitan dengan ranah psikomotorik dan

tipikal perasaan berkaitan dengan ranah afektif (Rasyid & Mansur, 2008: 13). Ketiga ranah tersebut

senantiasa menjadi ukuran untuk menilai hasil belajar, walaupun pada dasarnya masing-masing

ranah memiliki perincian sejumlah aspek.

Pada sistem pendidikan formal, hasil belajar menjadi ukuran atas tercapainya tujuan dari proses

belajar. Oleh karena itu, proses belajar perlu mendapatkan penilaian atau evaluasi untuk mengetahui

ketercapaian tujuan dari proses belajar. “Hasil belajar adalah hal yang diperoleh seseorang yang

melakukan proses belajar dengan skala penilaian yang telah ditetapkan dengan mengukur tingkat

kesuksesan belajar yang biasanya dilakukan dengan bantuan tes (Suprijadi, 2010: 129). Melalui

penilaian yang biasanya berbentuk tes, nantinya akan menunjukkan pencapaian peserta didik

selama menjalani proses belajar.

Namun, perlu dipahami bahwa aspek kognitif, afektif dan psikomotorik memiliki karakteristik

tertentu sehingga tidak semua penilaian dapat dilakukan dengan tes. Aspek afektif dan

psikomotorik biasanya dinilai secara non-tes, menggunakan skala sikap atau secara observasi,

karena kaitannya dengan sikap dan nilai. Sudjana (Surahman, 2016) menjelaskan bahwa hasil

belajar afektif dan psikomotorik ada yang tampak pada saat proses belajar-mengajar berlangsung

dan ada pula yang baru tampak kemudian (setelah pengajaran diberikan) dalam praktek

kehidupannya di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Itulah sebabnya hasil belajar afektif

dan psikomotorik sifatnya lebih luas, lebih sulit dipantau namun memiliki nilai yang sangat berarti

bagi kehidupan peserta didik sebab dapat secara langsung mempengaruhi perilakunya.

Penilaian autentik terikat (engaged authentic assesment) dalam proses pembelajaran

memberikan kesempatan kepada para peserta didik untuk menilai progres belajar dirinya sendiri

dan teman sebayanya. Hal tersebut dapat berpengaruh terhadap sikap mawas diri masing-masing.

Di samping itu akan meningkatkan motivasi belajar yang berdampak para peningkatan capaian

kompetensi hasil belajar.

Simpulan

Engaged Authentic Assessment (EAA) Berbasis Self And Peer Assesment (SPA)merupakan

sebuath alternatif inovasi Evaluasi Pembelajaran Abad 21 terutama pada jenjang pendidikan

menengah dan tinggi. Pertimbangan tersebut sesuai dengan prinsip dan karakteristik dalam

pembelajaran rema dan orang dewasa. Peserta didik pada level remaja dan orang dewasa dapat

dilibatkan dalam proses assesmen dirinya dan di luar dirinya. Pertimbangan pemahaman dan

pengalaman dalam membedakan benar salah, baik buruk menjadi point utama dalam karakter

peserta didik rema dan orang dewasa.

Page 87: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 81

Engaged Authentic Assessment (EAA) Berbasis Self And Peer Assesment (SPA) memberikan

kemudahan dan proses otentifikasi penilaian agar dapat berjalan sesuai prinsip-prinsipnya. Di

samping itu pola penilaian berbasis Self And Peer Assesment (SPA) dapat memudahkan pendidik

sebagai penilai dalam memberikan keputusan awal, antara dan keputusan akhir dengan

menggunakan masukan yang lebih objektif.

Pengunaan Engaged Authentic Assessment (EAA) Berbasis

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. (2005). Strategi Pembelajaran Di Perguruan Tinggi. UMS. Surakarta.

Abin Syamsuddin Makmun. (2003). Psikologi Pendidikan. PT Rosda Karya Remaja, Bandung.

Duckett, Ian & Marilyn. (2005). Practical strategies for learning and teaching on vocational

programmes. United Kingdom.Blackmoe Ltd.

Self And Peer Assesment (SPA)

dalam pembelajaran baik di sekolah maupun di perguruan tinggi dipandang mampu meningkatkan

kesadaran belajar pada peserta didik. Masing-masing dapat bercermin pada setiap fase

perkembangan belajarnya. Hasil umpan balik berupa penilaian yang diberikan oleh temannya

diharapkan dapat meningkatkan motivasi belajar yang bertujuan untuk mencapai hasil belajar yang

sesuai dengan target kompetensinya.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dalam jaringan dapat diakses melalui www.kbbi.web.id

Knowles, Malcom. (1997). The Modern Practice of Adult Education Andragogy versus Peadagogy.

New York. Association Press.

Nasution. (2009). Berbagai pendidikan dalam proses belajar mengajar. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Rustaman, Nuryani. (2005). Strategi belajar mengajar Biologi. Malang. UM Press.

Rasyid, Harun & Mansur. (2008). Penilaian hasil belajar. Bandung: Wacana Prima:

Sanjaya, W. (2006). Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Sadiman, Arif S. (dkk). (2011). Media pendidikan, pengertian, pengembanga dan pemanfaatannya.

Jakarta. Rajawali Pers.

Siagian, Roida Eva Flora & Sri Dewi Saputri. (2012). Majalah Ilmiah Faktor. Maret-April 2012.

Univ. Indraprasta PGRI.

Sudjana, Nana. (2005). Penilaian hasil proses belajar mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Sugiyono (2012). Memahami Metode Penelitian Kualitatif. Bandung. ALFABETA

Surahman, Ence. (2016). Pengembangan Adaptive Mobile Learning pada Mata Pelajaran Biologi

SMA sebagai Upaya Mendukung Proses Blended Learning. UNY. Tesis.

Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Page 88: Scanned by CamScanner - ULM

82 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

PENGEMBANGAN MULTIMEDIA PEMBELAJARANILMU PENGETAHUAN ALAM TENTANG EKOSISTEMDI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN NEGERI 7 PALEMBANG

Maryam1; Fuad Abd. Rachman2; Riswan Jaenuddin3

1. Guru SMKN 7 Kayu Agung 2. Guru besar FKIP Unsri 3. Dosen tetap FKIP Unsri

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan multimedia pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam tentang ekosistem untuk SMK yang valid, praktis dan efektif. Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan.Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian Akker, dengan model pengembangan produk Nieveen & Akker (1999) yang meliputi analisis, desain, evaluasi dan revisi. Tahap evaluasi menggunakan model Tessmer, yang terdiri dari tahap selft evaluation, expert review, one to one, small group dan field test. Subyek penelitian ini adalah siswa kelas XII di SMK Negeri 7 Palembang. Subyek pada ujicoba one to one adalah 3 orang siswa kelas XII TKR, subyek uji coba small group adalah 8 siswa kelas XII SL, dan subyek uji coba field test adalah 29 siswa kelas XII KT. Teknik pengumpulan data dengan wawancara, walk through, dan tes. Multimedia ini valid dengan rerata penilaian ahli materi 4.00, ahli desain 4.43, ahli media 4.27. Tahap one to one rerata positif 4.04 dan rerata negative 2.11 dengan kriteria praktis. Hasil evaluasi small group, rerata positif 4,07 kriteria praktis dengan persentase kepraktisan 81.33%. Efektifnya multimedia dilihat dari hasil belajar pada tahap field test dari 29 siswa, yang mencapai nilai KKM sebanyak 26 orang (89,65%) dan 3 orang (10%) yang belum tuntas. Dari hasil expert review, uji one to one, uji small group, dan field test, peneliti menyimpulkan bahwa multimedia pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam pada pokok bahasan ekosistem di sekolah menengah kejuruan ini dinyatakan valid, praktis, dan efektif serta dapat menjadi salah satu alternatif penggunaan media dalam pembelajaran. Saran: bagi peneliti lain, disarankan agar mengembangkan multimedia interaktif pembelajaran IPA dengan menambahkan / membuat animasi sehingga multimedia menjadi lebih menarik; bagi sekolah, disarankan agar menyiapkan fasilitas multimedia pembelajaran disekolah dan menganjurkan guru untuk dapat memanfaatkan multimedia dalam pembelajaran; bagi peserta didik agar terus mengikuti pembelajaran dengan multimedia , karena praktis, dapat dibuka dimana saja dan kapan saja dengan menggunakan laptop yang telah dimiliki oleh hampir seluruh peserta didik. Kata Kunci : Penelitian pengembangan, multimedia, ekosistem

PENDAHULUAN

Prestasi belajar yang diraih peserta didik setelah proses pembelajaran memiliki makna bagi peserta

didik bersangkutan maupun bagi pendidik, karena prestasi belajar yang baik menunjukkan bahwa

peserta didik tersebut mempunyai tingkat pengetahuan yang baik. Sedangkan bagi pendidik,

prestasi peserta didik yang baik menunjukkan keberhasilan pendidik dalam proses pembelajaran.

Keberhasilan proses pembelajaran tidak terlepas dari kemampuan pendidik dalam mengolah proses

belajar mengajar di dalam kelas. Kualitas pembelajaran dapat di tingkatkan melalui pengembangan

Page 89: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 83

dengan penyusunan kurikulum, silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dan pemanfaatan

media pembelajaran yang tepat.

Secara garis besar media pembelajaran di kelompokkan menjadi empat jenis, yaitu media visual,

media audio, media audio-visual dan multimedia.Salah satu media yang penulis pilih untuk

dikembangkan adalah multimedia.

Multimedia merupakan gabungan dari beberapa jenis media. Menurut Asyhar (2011) multimedia,

yaitu media yang melibatkan beberapa jenis media dan peralatan secara terintegrasi dalam suatu

proses atau kegiatan pembelajaran, pembelajaran multimedia melibatkan indra penglihatan dan

pendengaran melalui media teks, visual diam, visual gerak dan audio serta media interaktif berbasis

computer dan teknologi komunikasi dan informasi.

Daryanto (2011) menjelaskan multimedia terbagi menjadi dua katagori, yaitu multimedia linier dan

multimedia interaktif.Multimedia linier adalah suatu multimedia yang tidak dilengkapi dengan alat

pengontrol apapun yang dapat dioperasikan oleh pengguna.Multimedia ini berjalan sekuensial

(berurutan), contohnya TV dan film. Multimedia interaktif adalah suatu multimedia yang dilengkapi

dengan alat pengontrol yang dapat dioperasikan oleh pengguna sehingga pengguna dapat memilih

apa yang dikehendaki untuk proses selanjutnya. Contoh multimedia interaktif adalah pembelajaran

interaktif dan aplikasi game.

Alasan pemilihan multimedia interaktif untuk dikembangkan dalam pembelajaran Ilmu

Pengetahuan Alam tentang Ekosistem karena selama ini penyampaian materi ajar hanya

menggunakan metode ceramah yang dilakukan dikelas, sehingga hasil belajar siswa dirasa belum

maksimal (belum mencapai kriteria ketuntasan minimum klasikal). Hal ini dapat dilihat dari hasil

ulangan tengah semester siswa kelas XII semua program studi (kriya kayu, kriya logam, kriya

tekstil, seni lukis, desain komunikasi visual, teknik kendaraan ringan, dan teknik sepeda motor), di

SMK Negeri 7 Palembang masih di bawah nilai KKM yang telah ditetapkan, yaitu 75 dan

persentase ketuntasan belum mencapai ketuntasan klasikal, karena ketuntasannya masih dibawah

85%. Ketuntasan dalam belajar didasarkan pada konsep penguasaan penuh peserta didik terhadap

materi tertentu secara menyeluruh yang dibuktikan dengan hasil belajar yang baik pada materi yang

dipelajari tersebut .

Beberapa faktor yang mempengaruhi penguasaan penuh diantaranya adalah mutu

pengajaran yang diterapkan, kemampuan (kompetensi), dan tingkat ketekunan peserta didik dalam

mempelajari atau memahami sesuatu konsep materi yang diajarkan (Rusijono, 2014).Hal tersebut

perlu diperhatikan oleh guru, ketika melaksanakan pembelajaran tuntas yang tentunya disesuaikan

Page 90: Scanned by CamScanner - ULM

84 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

dengan waktu yang tersedia untuk belajar, sehingga peserta didik dapat mencapai ketuntasan belajar

sesuai kriteria yang telah ditetapkan.

Ilmu pengetahuan alam (IPA) termasuk kelompok adaftif di sekolah menengah kejuruan (

SMK) dengan beban belajar dua jam per minggu, dimana alokasi waktu satu jam pelajaran tatap

muka adalah 45 menit. Waktu yang tidak mencukupi dalam pembelajaran membuat kegiatan belajar

terutama dalam pembelajaran klasikal peserta didik yang lambat dan peserta didik yang berbakat,

kurang mendapat perhatian dari pendidik, bahan pelajaran yang diberikan masih uniform bagi

semua peserta didik, dimana setiap peserta didik diharapkan dan dituntut untuk belajar dengan

kecepatan yang sama. Menurut Nasution (2008) belajar akan lebih berhasil bila bahan pelajaran

sesuai dengan kebutuhan dan minat anak. Diketahui pula bahwa setiap anak itu berbeda secara

individual, bahwa perbedaan individual ini perlu mendapat perhatian yang lebih banyak. Bila semua

peserta didik mempunyai kemampuan yang berbeda dalam menerima dan memahami materi

pelajaran tersebut diberi pengajaran yang sama, maka hasilnya akan berbeda. Akan tetapi jika diberi

metode pembelajaran yang lebih bermutu dan disesuaikan dengan kebutuhan setiap peserta didik

serta waktu belajar yang lebih banyak, maka setiap peserta didik dapat mencapai penguasaan penuh

atas bahan ajar tersebut. Perhatian akan perbedaan individual di kalangan peserta didik dan usaha

untuk menyesuaikan pelajaran dengan perbedaan itu dapat dilakukan dengan metode belajar

mandiri menggunakan multimedia.

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dapat dimanfaatkan untuk menciptakan

suasana belajar yang menyenangkan dan bertujuan untuk menyelesaikan masalah- masalah dalam

proses pembelajaran. Menurut Miarso (2009), beberapa masalah belajar antara lain : Sulit

membayangkan peristiwa yang lalu; Sulit mengamati objek yang terlalu kecil/ besar; Sulit

memperoleh pengalaman langsung; Sulit membayangkan pelajaran yang diceramahkan; Sulit

memahami konsep yang rumit, dan terbatasnya waktu belajar.

Pemanfaatan media yang tepat merupakan salah satu strategi dalam mengatasi masalah

pembelajaran di atas. Penggunaan multimedia dalam pembelajaran dapat membantu mempertajam

pesan yang disampaikan, dimana kelebihannya menarik indra dan menarik minat peserta didik

karena menggabungkan beberapa komponen yang terdiri dari teks, foto, video, animasi, dan musik

yang terprogram sesuai dengan silabus. Pembelajaran ini dapat dilakukan dengan bantuan komputer

(Computer Assisted Instructional/ CAI). Penelitian Rusijono, dan Syahid. A (2014) berpendapat

bahwa Program multimedia CAI (Computer-Assisted Instruction) merupakan sistem komputer yang

dapat menyampaikan pengajaran secara langsung kepada siswa yang memungkinkan mereka untuk

berinteraksi dengan pelajaran yang telah diprogram ke dalam sistem tersebut. Pembelajaran yang

dilakukan dengan bantuan komputer memiliki beberapa kelebihan diantaranya: membiasakan

peserta didik menggunakan komputer dalam pembelajaran, dapat melatih kecepatan dan

Page 91: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 85

keterampilan motorik tangan dalam memanfaatkan komputer, dan perangkat lunak materi ini dapat

dipindahkan ke compact disc ataupun flash disc yang dapat dibawa kemana saja.

Berdasarkan permasalahan dan analisis kebutuhan di atas maka penulis berinisiatif untuk

melakukan penelitian yang berjudul: “ Pengembangan multimedia pembelajaran Ilmu Pengetahuan

Alam tentang Ekosistem di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 7 Palembang “ yang dikemas

dalam bentuk Compact Disc (CD) sebagai pembelajaran mandiri bagi peserta didik yang tidak

dibatasi oleh ruang dan waktu.

METODELOGI PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan (development research) dengan model

pengembangan produk Nieven yang telah disederhanakan prosedur pengembangannya bersama

Akker. Penelitian pengembangan menurut Akker (1999), yaitu proses pengembangan produk

pembelajaran yang meliputi: analisis, desain, evaluasi dan revisi.

Dalam penelitian ini produk yang dikembangkan adalah multimedia pembelajaran Ilmu

Pengetahuan Alam tentang Ekosistem di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 7 yang dikemas

dalam compact dis (CD) yang memenuhi standar validitas, kepraktisan dan keefektifan.Validasi

dilakukan oleh ahli bidang studi, ahli media dan ahli desain pembelajaran untuk mendapat masukan

dari para ahli tersebut tentang ketepatan isi atau materi, media yang digunakan dan desain

pembelajaran dari bahan ajar multimedia yang dikembangkan.Kepraktisan berarti bahwa bahan ajar

multimedia yang dikembangkan dapat diterapkan untuk kasus yang sebenarnya.Pengujian

kepraktisan dilakukan untuk mengetahui apakah produk yang dikembangkan mudah digunakan oleh

pemakai (user) dengan memberikan kuesioner kepada peserta didik. Keefektifan dilihat dari

hasil belajar peserta didik dengan melakukan penilaian kepada peserta didik melalui tes.Subjek

Penelitian adalah peserta didik kelas XII SMKN 7 Palembang tahun pelajaran 2015- 2016, pada

materi ekosistem. Jumlah kelas XII di SMKN 7 Palembang ada tujuh kelas yaitu satu kelas

program Teknik Mekanik Otomotif, satu kelas program Teknik Sepeda Motor, satu kelas program

Kria Logam, satu kelas program Kria Tekstil, satu kelas program Kria Kayu, satu kelas program

Desain Komunikasi Visual,dan satu kelas program Seni Lukis. Dalam penelitian ini data

didapatkan dan dikumpulkan dengan melakukan Wawancara, Walk through, menyebarkan

kuesioner, dan tes hasil belajar.

Page 92: Scanned by CamScanner - ULM

86 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini menghasilkan suatu produk multimedia pembelajaran IPA tentang ekosistem di

Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 7 Palembang. Setelah melalui tahapan pengembangan

diperoleh Multimedia Pembelajaran IPA yang valid, praktis dan efektif sebagai upaya untuk

menghilangkan kesan pembelajaran yang konvensional dan membosankan menjadi pembelajaran

yang bermakna, menyenangkan, dan mampu membangun kemandirian belajar yang pada akhirnya

dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik.

Pada tahap analisis, peneliti melakukan analisis terhadap karakteristik peserta didik, analisis

kebutuhan pembelajaran, analisis tujuan, analisis kurikulum serta melakukan evaluasi dan revisi

terhadap analisis yang telah dibuat. Berdasarkan dari analisis kebutuhan, peserta didik

menginginkan media yang dapat membantu siswa dalam memahami materi pelajaran IPA,

khususnya pada materi ekosistem. Oleh karena itu, peneliti mencoba mengembangkan multimedia

yang disesuaikan dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan.

Tahap kedua yaitu desain atau perancangan. Pada tahap ini peneliti melakukan perancangan

multimedia yang akan dikembangkan. Perancangan yang dilakukan dengan pemilihan materi sesuai

dengan isi kurikulum dan tuntutan kompetensi, mengumpulkan data berupa gambar, video, dan

musik serta menentukan program apa yang akan digunakan. Data-data yang telah terkumpul

kemudian dituangkan dalam naskah (storyboard). Storyboard dibuat dengan tujuan untuk

mendapatkan gambaran bentuk dan isi tampilan pada multimedia. Flowchart dan storyboard

menjadi acuan pertama bagi peneliti untuk mengembangkan multimedia menjadi produk yang utuh

dengan menggunakan bantuan Microsoft power point 2010.

Tahap ketiga adalah pengembangan (prototype 1) dan implementasi, Pada tahap ini dilakukan

pembuatan multimedia sesuai dengan flowchart dan storyboard yang sudah dibuat. Dalam tahap ini

seluruh materi, dan aspek pendukung seperti teks, audio, dan video digabungkan menjadi suatu

produk multimedia pembelajaran yang utuh dengan menggunakan bantuan Microsoft power point

2010.Selanjutnya, prototipe yang dihasilkan dilakukan pengujian dan penilaian. Tahapan penilaian

yang dilakukan dengan menggunakan evaluasi formatif Tesmer. Untuk menggukur validitas

dilakukan dengan melakukan reviu ahli yang meliputi aspek materi, desain dan media. Pada

prototipe pertama di validasi ahli materi yaitu berinisial KW yang merupakan dosen Program

Studi Fisika . Hasil validasi ahli materi memberikan penilaian pada prototipe pertama dengan rata-

rata yaitu 4,00 dengan kategori valid. Ahli materi memberikan masukan untuk menambahkan nama

peneliti, program studi pada cover CD dan penulisan beberapa konsep yang penting diberi warna

yang berbeda.Validasi prototipe pertama untuk materi(content) yaitu layak uji dengan revisi.

Validasi pada aspek media (lay out) mendapat penilaian rata-rata 4.43 dengan katergori sangat

valid. Hasil validasi media menyarankan agar ukuran huruf dan gambar harus proporsional, back

Page 93: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 87

ground/ latar penulisan dapat diubah sesuai dengan pembahasan misalnya untuk bahasan komponen

biotik berwarna hijau sedangkan untuk komponen abiotic berwarna gelap atau putih.Menurut

validator media produk ini layak diuji coba dengan revisi.

Validasi pada aspek desain mendapat penilaian rata-rata 4.27 dengan kategori sangat valid.

Menurut validator prototipe pertama sudah memenuhi unsur validitas. Namun validator

menyarankan agar memperbaiki penulisan tujuan pembelajaran, penulisan teks pada tujuan

pembelajaran sebaiknya rata kiri agar tampilan lebih proporsional (tidak kosong ditengah kalimat),

serta perbaiki hyperlink pada bagian materi.

Untuk mendapatkan bukti tentang praktikalitas multimedia, maka peneliti melakukan uji coba

produk ini dengan melakukan evaluasi satu- satu yang dilakukan kepada 3 (tiga) orang peserta

didik yang memiliki kemampuan akademik berbeda yaitu peserta didik berkemampuan tinggi,

sedang dan rendah. Hasil dari evaluasi satu-satu menunjukkan bahwa peserta didik yang

berkemampuan tingggi tidak mengalami kesulitan dalam menggunakan multimedia dan memahami

materi dan menyelesaikan evaluasi dengan baik. Untuk peserta didik berkemampuan sedang dan

rendah juga tidak mengalami kesulitan dalam menggunakan multimedia, namun memerlukan waktu

lebih lama dalam mempelajari dan menyelesaikan evaluasi yang ada dengan hasil yang tidak terlalu

baik. Pada uji praktikalitas ini peneliti memberikan lembar kuesioner kepada peserta didik untuk

memperkuat data yang ada. Hasil kuesioner menunjukkan bahwa peserta didik memberikan respon

yang positif terhadap multimedia yang digunakan seperti pernyataan multimedia menarik, dan

membuat belajar tidak membosankan. Disamping kelebihan yang terdapat pada multimedia,

terdapat komentar yang harus ditindaklanjuti oleh peneliti yaitu ada gambar yang kurang besar.

Hasil revisi dari evaluasi satu-satu akan menghasilkan prototipe kedua. Prototipe kedua

selanjutnya diujicobakan pada kelompok kecil. Pada evaluasi kelompok kecil ini peserta didik

diberikan kesempatan secara mandiri untuk menguji cobakan produk tersebut. Setelah evaluasi

kelompok kecil selesai, peserta didik diminta mengisi kuesioner yang telah disiapkan peneliti.

Tujuan pemberian kuesioner untuk mengetahui persepsi dan respon dari peserta didik terhadap

produk multimedia ini. Hasil kuesioner diperoleh persentae tingkat kepraktisan 81,33 % dengan

kategori praktis. Menurut hasil kuesioner bahwa multimedia yang telah dikembangkan menarik,

dan dengan adanya musik menghilangkan kebosanan peserta didik dalam belajar sehingga

mempermudah mereka dalam memahami materi. Pada evaluasi kelompok kecil tidak terdapat

komentar yang harus ditindaklanjuti karena komentar peserta didik sudah bagus.

Pada tahap selanjutnya peneliti melakukan uji coba lapangan untuk membuktikan multimedia ini

memiliki efektifitas terhadap hasil belajar. Uji lapangan dimulai dengan memberikan pretest

Page 94: Scanned by CamScanner - ULM

88 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

terlebih dahulu untuk mengetahui kemampuan awal peserta didik. Hasil pretest diperoleh data

bahwa peserta didik yang mencapai ketuntasan hanya 13,25%. Sedangkan pada post test diperoleh

data bahwa peserta didik yang memperoleh ketuntasan belajar 89,65 %. Dari hasil pretest dan

posttest tersebut terlihat adanya peningkatan yang cukup signifikan Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa multimedia mempunyai dampak potensial terhadap hasil belajar.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, pengembangan multimedia pembelajaran IPA

tentang ekosistem ini, dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut:

Telah berhasil dikembangkan Multimedia pembelajaran IPA tentang ekosistem yang sangat valid

melalui tahapan analisis, perancangan, pengembangan dan reviu ahli yang meliputi ahli materi,

desain dan media dengan rerata 4,23.

Telah berhasil dikembangkan Multimedia pembelajaran IPA tentang ekosistem untuk siswa SMK

kelas XII yang praktis melalui tahap analisis, perancangan, pengembangan dan evaluasi satu-satu

serta evaluasi kelompok kecil dengan persentase tingkat kepraktisan 81,33 % dengan kategori

praktis.

Telah berhasil dikembangkan Multimedia pembelajaran IPA tentang ekosistem yang mempunyai

efektifitas terhadap hasil belajar melalui tahap analisis, perancangan, pengembangan dan uji coba

lapangan dengan ketuntasan belajar 89,65%.

Adapun saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:

Bagi pengembang yang akan mengembangkan multimedia pembelajaran IPA hendaknya membuat

atau menyiapkan animasi sehingga multimedia menjadi lebih menarik.

Bagi sekolah, sudah selayaknya menyiapkan fasilitas multimedia pembelajaran disekolah dan

menganjurkan guru untuk dapat memanfaatkan multimedia dalam pembelajaran.

Bagi peserta didik agar terus mengikuti pembelajaran dengan multimedia karena praktis, dapat

dibuka dimana saja dan kapan saja dengan menggunakan laptop yang telah dimiliki oleh hampir

seluruh peserta didik.

DAFTAR PUSTAKA

Agustine, R. (2014). “Pengembangan Multimedia Interaktif materi Keragaman Budaya Indonesia

pada Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial Sekolah Menengah Pertama”.Tesis Program Studi

Magister Teknoloi Pendidikan. Palembang. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas

Sriwijaya.

Page 95: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 89

Akker, J.V.D (1999). Principles and Methods of Development Research.In J.V.D. Akker, R.M.

Branch, K. Gustafson, N. Nieveen and T. Plomp (editor).Design Approaches and Tools in

Education and Training. Kluwer Academic Publisher, Dordrecht, Netherlands.

Alprog (2012).CD Interaktif, (http://www.kaskus.us/showthread.php?t=3930917, diakses 1

Desember 2012).

Aqib. Z. 2013. Model-model,media dan strategi pembelajaran kontekstual. Bandung: Yrama widya

Asyhar, R (2011). Kreatif Mengembangkan Media Pembelajaran. Jakarta: Gaung Persada Press.

Aunurrahman (2012).Belajar dan Pembelajaran.Cetakan keenam. Bandung: Alfabeta.

Chaeruman, U.A (2008). Field Test, (http://www.teknologipendidikan.net/?p=8, diakses November

2012).

Daryanto (2011).Media Pembelajaran.Cetakan 1. Bandung: Yrama Widya.

Direktorat Pembinaan SMA (2010). Seri Petunjuk Teknis: Analisis Konteks di Sekolah Menengah

Atas. Jakarta: Direktorat Pembinaan SMA.

Djaali dan P. Muljono (2008).Pengukuran dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: Gramedia

Widiasarana Indonesia (Grasindo).

Gustafson, Kent L & Branch, Robert Maribe (2002).Survey of Instructional Development Models,

Fouth Edition. Syracuse, New York: ERIC.

Hamdani ( 2010). Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Pustaka Setia.

Heinich, Robert., Molenda, Michael., Russel, James D., & Smaldino, Sharon E (2010). Instructional

Media and Technologies for Learning. Upper Saddle River, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Johnson, E.B (2009). Contextual Teaching & Learning. Terjemahan oleh: Ibnu Setiawan.,Bandung:

Mizan Learning Center (MLC).

Khodijah, N (2011). Psikologi Pendidikan. Palembang: Grafika Telindo.

Kosasih (2014).Strategi Belajar dan Pembelajaran Implementasi Kurikulum 2013.Cetakan kesatu.

Bandung: Yrama Widya.

Majid, Abdul (2005). Perencanaan Pembelajaran ( Mengembangkan Kompetensi Guru). Bandung:

Remaja Rosdakarya.

Mardalena (2013).Pengembangan Multimedia Interaktif Berbasis Konstruktivis menggunakan

Macromedia Flash Profesional pada Pembelajaran Biologi di Kelas XI Sekolah Menengah

Atas.Tesis Program Magister Teknologi Pendidikan. Palembang: Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Sriwijaya.

Miarso, Y (2009). Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media

Group.

Page 96: Scanned by CamScanner - ULM

90 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Munthe, Bermawy (2014). Desain Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani.

Nasution, S (2008). Berbagai Pendekatan dalam Belajar & Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 22 dan 23 Tahun 2006, tentang Standar

Isi dan Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Menengah SMA-MA-SMK-

MAK.2006. BP. Cipta Jaya, Jakarta.

Pribadi, Benny A. 2010. Model Desain sistem Pembelajaran. Jakarta: Dian rakyat

Rusijono & Syahid, A (2014). Pengembangan Multimedia Computer-Assisted Instruction (CAI)

disertai Metode Praktikum pada Mata Pelajaran Fisika Bab Tekanan untuk meningkatkan

Ketuntasan Belajar Siswa Kelas VIII SMP Wahid Hasyim 11 Buduran Siddoarjo.Jurnal Volume 01

Nomor 01 Tahun 2014, 0 – 216.

http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/jmtp/article/view/7981/baca-artikel#. Diakses Agustus 2015

Rusmiyati, I (2014).Penggunaan Multimedia dalam Pembelajaran Bahasa Sastra Indonesia di SMP

Negeri 2 Bawen Kabupaten Semarang. Jurnal Teknologi Pendidikan dan Pembelajaran ; Vol 2,

Nomor 2, April 2014. http://jurnal.fkip.uns.ac.id. Pdf. Diakses Agustus 2015.

Sadiman, A.S. dkk. 2011. Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya.

Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Sanaky, H.A (2009).Media Pembelajaran. Yogyakarta: Safiria Insania Preess

Sudrajat, A (2010). Media Pembelajaran Berbasis Komputer,

(http://yppti.org/index.php?option=com_content&view=article&id=164:media-pembelajaran-

berbasis-komputer-&catid=5:artikel&Itemid=4, diakses Desember 2012).

Sugiyono (2010).Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.

Bandung: Alfabeta.

Sunardjo (2008).Pengembangan Bahan Ajar.http://www.scribd.com/doc/5702869/11-

Pengembangan-Bahan-Ajar, diakses Desember 2012.

Suparman, M.A. (2004). Desain Instruksional. Jakarta: Universitas Terbuka.

Susilana, R dan C. Riyana (2007).Media Pembelajaran “Hakikat, Pengembangan, Pemanfaatan dan

Penilaian”. Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas

Indonesia. Bandung: Wacana Prima.

Tessmer, M (1998). Planning and Conducting Formative Evaluations “Improving the Quality of

Education and Training”. Philadelphia, London: Kogan Page.

Tim Penyusun Karya Tulis Ilmiah Universitas Sriwijaya (2013). Pedoman Umum Penulisan Karya

Tulis Ilmiah. Palembang: Universitas Sriwijaya.

Trianto (2011). Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta: Bumi Aksara

Page 97: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 91

MENGUKUR GAYA BELAJAR ANAK

Hamzah B. Uno1

Nina Lamatenggo2

Universitas Negeri Gorontalo

ABSTRAK

Gaya belajar merupakan karakteristik seseorang sekaligus sebagai variable internal yang dimiliki seseorang yang menjadi pembeda dengan orang lain dalam belajar. Ada yang belajar sambil dengar music, ada yang belajar sambil bermain, ada yang belajar tidak bisa ada bunyi apapun di sekitarnya. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa gaya belajar berpengarauh pada hasil belajar. Ada tiga jenis gaya belajar (1) gaya visual, (2) gaya auditory, dan (3) gaya kinestetik. Bagaimana mengetahui gaya belajar seseorang? Diperlukan adanya instrument pengukurnya. Makalah ini mencoba menggambarkan karakteristik gaya seseorang dan mengenalkan bagaimana instrument dalam mengukurnya.

Kata Kunci : Gaya belajar

Pendahuluan

Guru Perlu Mengetahui Gaya Belajar Anak

Tugas seorang guru sebagai pembelajar bukan merupakan tugas yang mudah tetapi tugas

yang menuntut panggilan professional. Salah satu aspek penting dalam tuntutan professional itu

adalah mengenal karakteristik siswa yang akan belajar. Penganalan guru tentang karakteristik siswa

adalah bagaimana guru mengenal gaya belajar siswa.

Pemahaman atas gaya belajar siswa tentu seorang guru tidak bisa melepaskan diri dari

pengetahuan perkembangan individu yang dalam konteks psikologi didasarkan pada pemikiran para

hali seperti Piaget tentang perkembangan berpikir anak, Kholbert tentang perkembangan moral

anak, Goleman tantang perkembangan amosi anak dan lain-lain. Dengan dilatari pemahaman atas

perkembangan berpikir, perkembangan moral dan perkembangan emosi guru dapat dengan mudah

mengenal gaya belajar anak.

Bagaimana mendudukkan dan memandang belajar seorang anak? Tterkadang kita salah

mengartikan belajar. Belajar bukan berarti datang ke sekolah, duduk yang manis sambil

mendengarkan penjelasan dari guru tetapi belajar memiliki arti yang luas. Untuk memahami makna

belajar yang sebenarnya, maka kita harus mengetahui bahwa belajar dibedakan menjadi dua hal,

yaitu belajar aktif dan belajar pasif. Berikut ini adalah kolom tentang belajar aktif dan belajar pasif.

Page 98: Scanned by CamScanner - ULM

92 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Belajar pasif adalah suatu proses aktifitas yang memfokuskan perhatian pada objek yang dipelajari

berdasarkan situasi yang dihadapi, dengan Menggunakan apa yang telah dipelajari agar memiliki

keuntungan di masa mendatang. Selanjutnya melihat adanya potensi belajar.

Apakah Gaya Belajar Itu?

Banyak pandangan ahli tentang gaya belar yang satu sama lain berbeda tergantuang dari sudut

pandang mana ahli itu mendefenisikan. Gaya belajar adalah variasi cara yang dimiliki seseorang

untuk mengakumulasi serta mengasimilasi informasi. Pada dasarnya, gaya belajar Anda adalah

metode yang terbaik memungkinkan Anda dalam mengumpulkan dan menggunakan pengetahuan

secara spesifik. Kebanyakan ahli setuju bahwa ada tiga macam dasar gaya belajar. Setiap individu

memungkinkan untuk memiliki satu macam gaya belajar atau dapat memiliki kombinasi dari gaya

belajar yang berbeda. Gaya belajar adalah kunci untuk mengembangkan kinerja dalam pekerjaan, di

sekolah dan dalam situasi-situasi antar pribadi. Ketika kita menyadari bagaimana diri ini dan orang

lain menyerap dan mengolah informasi, kita dapat menjadikan belajar dan berkomunikasi lebih

mudah dengan gaya sendiri. Ada dua kategori utama tentang bagaimana kita belajar yaitu: (1)

Modalisme adalah bagaimana kita menyerap informasi dengan mudah, (2) Dominasi otak adalah

cara dan bagaimana kita mengatur dan mengolah informasi.

Ada Berapa Jenis Gaya Belajar

Pengelompokan gaya belajar didasarkan pada karakteristik yang menjadi ciri dari pemilik gaya

belajar itu. Secara umum, gaya belajar dapat dikelompokkan berdasarkan kemudahan dalam

menyerap informasi (perceptual modality), cara memproses informasi (information processing), dan

karakteristik dasar kepribadian (personality pattern). Pengelompokan berdasarkan perceptual

modality didasarkan pada reaksi individu terhadap lingkungan fisik dan cara individu menyerap

data secara lebih efisien. Pengelompokan berdasarkan information processing didasarkan pada cara

individu merasa, memikirkan, memecahkan masalah, dan mengingat informasi. Sedangkan

pengelompokan berdasarkan personality pattern didasarkan pada perhatian, emosi, dan nilai-nilai

yang dimiliki oleh individu. DePorter dan Hernacki (1999) mengemukakan tiga jenis gaya belajar

berdasarkan modalitas yang digunakan individu dalam memproses informasi (perceptual modality).

Ketiga gaya belajar tersebut adalah gaya belajar visual (belajar dengan cara melihat), auditorial

(belajar dengan cara mendengar), dan kinestetik (belajar dengan cara bergerak, bekerja, dan

menyentuh). Setiap individu menggunakan semua indera dalam menyerap informasi. Tetapi, secara

umum, individu mempunyai kecenderungan lebih kuat pada salah satu gaya belajar. Sebagian

individu mudah menangkap informasi dalam bentuk visual, sebagian yang lain menyukai informasi

bentuk verbal dan sebagian yang lain lebih nyaman dengan cara aktif dan interaktif. Berikut jenis-

jenis gaya belajar yang dikemukakan oleh DePorter dan Hernacki (1999) :

Gaya Belajar Visual

Page 99: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 93

Individu yang memiliki kecenderungan gaya belajar visual lebih senang melihat apa yang sedang

dipelajari. Gambar/visualisasi akan membantu mereka yang memiliki gaya belajar visual untuk

lebih memahami ide atau informasi daripada apabila ide atau informasi tersebut disajikan dalam

bentuk penjelasan. Apabila seseorang menjelaskan sesuatu kepada orang yang memiliki

kecenderungan gaya belajar visual, mereka akan menciptakan gambaran mental tentang apa yang

dijelaskan oleh orang tersebut. Ciri-ciri gaya belajar visual: (1) Bicara agak cepat, (2)

Mementingkan penampilan dalam berpakaian/presentasi, (3) Tidak mudah terganggu oleh

keributan, (4) Mengingat yang dilihat, dari pada yang didengar, (5) Lebih suka membaca dari pada

dibacakan, 6) Pembaca cepat dan tekun, (7) Seringkali mengetahui apa yang harus dikatakan, tapi

tidak pandai memilih kata-kata, (8) Lebih suka melakukan demonstrasi dari pada pidato, (9) Lebih

suka musik dari pada seni, (10) Mempunyai masalah untuk mengingat instruksi verbal kecuali jika

ditulis, dan seringkali minta bantuan orang untuk mengulanginya

Strategi untuk mempermudah proses belajar anak visual dapat dilakukan dengan cara anatara laian:

(1) Gunakan materi visual seperti, gambar-gambar, diagram dan peta, (2) Gunakan warna untuk

menghilite hal-hal penting, (3) Ajak anak untuk membaca buku-buku berilustrasi, (4) Gunakan

multi-media (contohnya: komputer dan video). (5) Ajak anak untuk mencoba mengilustrasikan ide-

idenya ke dalam gambar.

Dalam teori Hemisfer, dijelaskan bahwa objek yang ditangkap oleh mata , diteruskan ke saraf ke

otak dan otak akan memproses objek yang ditangkap secara visual lalu merespon informasi yang

diterima tersebut. Syarat yang paling besar merespon objek tersebut adalah saraf otak visual yang

ada pada bagian bawah

dari otak baik visual

kiri maupun

visual kanan

perhatikan

Gambar Berikut .

Page 100: Scanned by CamScanner - ULM

94 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Selanjutnya, tangkapan visual kiri dan kanan atas objek yang terlihat ini menurut teori pemrosesan

informasi ( Rita Atkinson, 1987 ) bahwa infromasi tersebut diterima dengan proses penyandaian

berdasarkan makna yang ditangkap individu sesuai citra visualnya. Objek yang tertangkap visual

ang dianggap penting dan menyolok langsung diteruskan pada memori jangka pendek terutama

ingatan dari informasi yang diterima visual. Para psikologi kognitif senantiasa memusatkan

perhatiannya pada proses jalannya jalannya informasi mulai dari penerimaan penyimpanan hingga

pemanggilan kembali informasi yang tersimpan untuk digunakan dalam memecahkan masalah.

Rita Atkinson dan Richard Atkinson ( 1987 ) menyebutkan ingatan atas infromasi yang

diterima oleh indra disimpan dalam sistem penyimpanan informasi yaitu (1) memori sensori

(Sensory Memory), (2) memory jangka pendek ( Short Term Memory ), dan (3) memory jangka

panjang ( long term memory ).

Memory sensoris

Memori sensoris adalah ingatan yang berkaitan dengan penyimpanan infromasi semntara yang

dibawa oleh saraf panca indra. Setiap panca indra memiliki satu macam sensori memory. Memory

sensoris adalah informasi sensoris yang masih tersisa sesaat setelah stimulus diambil. Jadi dalam

diri manusia ada bebrapa macam sensoris motoris yaitu sensori motoric visual ( penglihatan ),

sensori motoric audio ( pendengaran ) dan sebagainya.

Memori sensorik ini cukup pendek dan biasanya akan menghilang segera setelah apa yang kita

rasakan terakhir. Sebagai contoh , ketika kita melihat. Melihat ratusan hal ketika berjalan selama

beberapa menit. Meskipun perhatian tertuju oleh sesuatu yang anda lihat, itu segera terlupakan oleh

sesuatu yang lain menarik perhatian anda diantara sekian banyak yang ditangkap oleh indra

penglihatan.

Ketika kita mendengar sesuatu atau melihat sesuatu atau meraba sesuatu , informasi yang ditangkap

oleh saraf indra- indra itu segera diubah dalam bentuk impuls-impuls neural (neuron) dan

dikirim ke bagian –bagian tertentu dari otak. Proses tersebut akan berlangsung dalam sepersekian

detik.

Dalam beberapa literatur dijelaskan antara lain oleh Brunner (1976), Piaget (1972) bahwa memori

sensoris berkapasitas besar untuk menyimpan informasi, tetapi simpanan tersebut informasi segera

dan cepat menghilang. Proses hilangnya informasi itu terjadi seper sepuluh detik , lalu akan

menghilang sama sekali setelah lewat dari satu detik.

Eksistensi dari pada memori sensori tersebut mempunyai peran yang terpenting dalam setiap diri

manusia. Jika seseorang menaruh perhatian yang lebih dari suatu informasi, maka informasi

tersebut akan mudah tersimpan dan tidak mudah hilang.

Memori Jangka Pendek

Page 101: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 95

Memori jangka pendek atau ingatan jangka pendek yang disebut dengan Short Term Memory

adalah suatu proses penyimpanan memori sementara. Artinya informasi yang disimpan hanya

dipertahankan selama informasi tersebut dibutuhkan. Ingatan yang bau saja kita pikirkan. Ingatan

yang masuk pada sensori memori akan diteruskan ke memori jangka pendek. Infromasi yang ada

pada memori jangka pendek ini akan disimpan cegah lama jika dibandingkan dengan penyimpanan

pada memori sensori, dan selama anda menaruh perhatian atas informasi itu, maka informasi tersbut

tidak akan hilang pada memori jangka pendek. Dari memori jangka pendek tersebut, sebagian

materi dari informasi itu akan hilang, dan sebagian informasi diteruskan ke memori jangka panjang.

Jika kita ingat sesuatu , informasi dari memori jangka panjang tadi, maka informasi tersebut akan

segera dikembalikan oleh memori jangka panjang ke memori jangka pendek . misalnya nomor

telepon yang akan dituju untuk menyampaikan informasi pesan kepada orang lain, maka nomor

telepon tersbut telah ada dimemori jangka panjang oleh karena dibutuhkan untuk mengirimkan

pesan ke orang lain menggunakan nomor telepon orang tersebut, segera akan disampaikan kembali

oleh memori jangka panjang ke memori jangka pendek dan saat tiba di memori jangka pendek

nomor telepon tersebut oleh tangan akan ditulis dikertas atau langsung ditekan melalui digital yang

ada pada keyboard telepon genggam.

Jumlah informasi yang tersimpan pada memori jangka pendek sangat terbatas. Hasil penelitian

Morrison (1964) menjelaskan karya sekitar hingga informasi yang ada pada memori janka pendek

sekaligus. Setiap kali kita memperhatikan informasi yang ada pada memori sensori, maka informasi

yang ada pada memori jangka pendek terdorong keluar untuk hilang atau akan masuk memori

jangka panjang jika informasi itu benar –benar sangat kita butuhkan. Sebagai contoh mengingat

nama orang. Jika nama orang itu benar-benar sangat kita butuhkan setelah ada pada memori jangka

pendek langsung diteruskan ke memori jangka panjang apa lagi ada informasi lain yang baru yang

dating pada memori sensorik.

Rangsangan

luar melalui

indra

Register

penginderaan Memori

Sensorik

Proses

Pengkodean

Memori

jangka

pendek

Menjadi

Pengetahuan

kita

Memori

jangka

Panjang

Pemanggilan kembali

Informasi tentang ahli

lupa

Page 102: Scanned by CamScanner - ULM

96 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Gambaran memori jangka panjang

Memori Jangka panjang

Informasi yang ada pada memori jangka pendek sebagian akan diteruskan ke memori jangka

panjang dan infromasi yang ada pada memori jangka panjang dan informasi yang ada pada memori

jangka pendek ini akan hilang jika tidak diulang-ulang pehatian padanya. Jika terjadi proses

pengulangan atas informasi tersebut maka informasi itu akan diteruskan ke memori jangka panjang

(long term memory).

Beberapa ahli seperti Atkinson (1987) dan beberapa para peneliti mengatakan bahwa memori

jangka panjang dapat menyimpan informasi sangat lama, tergantung pada kepentingan

peggunaannya. Teknik untuk menyampaikan informasi ke memori jangka panjang melalui

pengulangan , proses ini disebut dengan memahami ( encoding ). Maksudnya menghubungkan

informasi baru tersbut dengan berbagai instansi lama di memori kita yang telah kita miliki yang

telah ada di memori jangka panjang. Cara kedua ini melalui proses encoding akan menambah

informasi yang telah ada. Di memori jangka panjang akan makin lama bertahan dan selanjutnya

informasi itu makin di pahami dan selanjuutnya dapat diaplikasikan kedalam kehidupan sehari-hari.

Berbagai informasi yang telah tersimpan pada memori jangka panjang sewaktu- waktu dapat

dipanggil kembali ke memori jangka pendek jika kita membutuhkannya (misalnya anak ikut ujian

untuk memecahkan soal-soal yang dihadapinya ). Hingga saat ini para ahli bellum mampu

melakukan explorasi dan meneliti berapa kapasitas memori jangka panjang sehingga dapat

menampung informasi yang tersimpan pada memori jangka panjang sangat dipengaruhi oleh nutrisi

yang baik yang membentuk memori tersbut hingga kualitas memori dapat bertahan. Apabila

kualitas memori melemah akibat. Sel- sel pembentuk memori kurang aktif maka disini terjadi

peluruhan inomasi dan proses ini yang disebut tidak dapat menggali atau mengigat kembali

informasi yang tersimpan atau inilah yang disebut “ lupa”. Jika kemudian kita makin lanjut usia

atau tua akibat proses nutrisi yang tidak optimal lagi disusun pembentuk sel- sel pembentuk

memori, maka pada fase penuaan ini pula banyak menymbang sulitnya informasi di memori jagka

panjang dan diingat untuk di panggil ke memori jangka pendek. Atau dengan kata lain “lupa”

seseorang di sebabkan karna kualitas memori dan proses penuaan umur.

APLIKASI TEORI PEMROSESAN INFORMASI DALAM PEMBELAJARAN

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses pembelajaran tentang teori pemrosesan

informasi adalah sebagai berikut :

Penyampaian informasi baik melalui tulisan , gambar maupun lisan di upayakan jangan terlalu cepat

karena hal ini berkaitan dengan perekaman informasi pada sensori memori , memori jangka pendek

hingga memori jangka panjang.

Page 103: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 97

Dalam pembelajaran siswa, guru tidak perlu terburu-buru memulai pelajaran. Sebaiknya siapkan

dulu siswa dengan membangun “perhatia” mereka. Fokus pada apa yang akan dipelajari. Ajak siswa

melupakan dulu hal-hal yang menganggu pikirannya termasuk alat tulsi, tas dan tempat duduk

mereka diatur serta segala yang menganggu dalam mengikuti pelajaran yang tersinggirkan.

Misalnya mematikan telepon genggam agar tidak terganggu perhatian anak dalam belajar.

Dalam pelajaran tertentu yang berkaitan dengan factor, konsep dan prinsip diusahakan siswa

menghafal untuk memperkuat ingatan baik pada memori jangka pendek maupun memori jangka

panjang. Menghafal pelajaran dapat dilakukan dengan cara menyuruh siswa bergiliran dikelas.

Biasakan agar selalu memastikan pekerjaan rumah “PR” kepada siswa sebagai implikasi elajr

mengulang melaluim ”PR” siswa akan menyumbang informasi lebih banyak pada long term

memory atau memori jangka panjang.

Penerimaan informasi dipengaruhi pula oleh umur anak. Anak yang berada pada TK berbeda

dengan anak SD begitu juga anak SMP berbeda dengan anak SMA. Daya tahan membangun

perhatian siswa berbeda berdasarkan umur anak. Siswa TK perhatian mereka terhadap objek

tertentu yang mereka pelajari antara 20 sampai 30 menit. Untuk anak SD antara 30 sampai 40

menit. Untuk anak SMP 40 sampai 45 menit, sementara umum ditas SLTA atau Mahasiswa

pehatian mereka bias focus dalam rentang antara 45 sampai 50 menit. Konsep ini yang dijadikan

acuan dalam penjadwalan belajar disekolah sbb :

1 jam pelajaran di TK diatur : 25 menit

1 jam pelajaran di SD diatur : 40 menit

1 jam pelajaran di SMP/SMA : 45 menit

1 jam pelajaran Mahasiswa : 50 menit

Gaya Belajar Auditorial

Gaya belajar auditori adalah gaya belajar yang dimiliki seseorang yang cenderung belajar lebih baik

dengan cara mendengarkan. Mereka menikmati saat-saat mendengarkan apa yang disampaikan

orang lain. Ciri-ciri gaya belajar auditori : (1) Saat bekerja suka bicara kepada diri sendiri, (2)

Penampilan rapi , (3) Mudah terganggu oleh keributan, (4) Belajar dengan mendengarkan dan

mengingat apa yang didiskusikan dari pada yang dilihat, (5) Senang membaca dengan keras dan

mendengarkan, (6) Menggerakkan bibir mereka dan mengucapkan tulisan di buku ketika membaca,

(7) Biasanya ia pembicara yang fasih, (8) Lebih pandai mengeja dengan keras daripada

menuliskannya, (9) Lebih suka gurauan lisan daripada membaca komik, (10) Mempunyai masalah

dengan pekerjaan-pekerjaan yang melibatkan Visual, (11) Berbicara dalam irama yang terpola, (12)

Dapat mengulangi kembali dan menirukan nada, berirama dan warna suara.

Page 104: Scanned by CamScanner - ULM

98 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Strategi untuk mempermudah proses belajar anak auditori: (1) Ajak anak untuk ikut berpartisipasi

dalam diskusi baik di dalam kelas maupun di dalam keluarga, (2) Dorong anak untuk membaca

materi pelajaran dengan keras, (3) Gunakan musik untuk mengajarkan anak, (4) Diskusikan ide

dengan anak secara verbal, (5) Biarkan anak

merekam materi pelajarannya ke dalam kaset dan

dorong dia untuk mendengarkannya sebelum tidur.

Gaya Belajar Auditori dan Cara Berpikirnya

Sebagaimana disebutkan diatas bahwa gaya belajar

auditori lebih senang jika menyerap informasi

disampaikan lewat cara ketimbang menyuruh mereka

untuk membaca lewat buku atau literature yang ada . gaya belajar auditori yang cenderung lebih

suka mendengar ini berkaitan dengan proses berpikirnya dimana rangsangan saraf dari otak lebih

dominan ke indra pendengaran ketimbang indra penglihatan. Saraf pendengaran lebih focus pada

bunyi yang diperdengarkan dan oleh karenanya bagi anak yang cenderung bergaya auditori lebih

muda memhami bunyi daripada mengingat apa ang dia baca lewat berbagai sumber dan literature

yang ada. Untuk merangsang lebih jauh penyerapan informasi bagi anak yang cenderung bertipe

gaya belajr auditori tersebut ahli-ahli instruksional menyarankan agar dalam pembelajaran guru atau

pendidik menggunakan bunyi tertentu karena bunyi tersebut lebih muda diingat oleh anak.

Untuk merangsang lebih jauh penyerapan infromasi bagi anak yang cenderung bertipe gaya belajar

auditori tersebut ahli-ahli instruksional menyarankan agar dalam pembelajaran guru atau pendidik

menggunakan bunyi tertentu untuk objek tertentu karena bunyi tersebut lebih mudah diingat oleh

anak. Dalam teori pemrosesan informasi yang masuk melalui pendengaran akan masuk ke memori

jangka pendek lalu kemudian infromasi tersebut dikirim ke memori jangka panjang. Tidak semua

infromasi yang masuk ke memori jangka pendek dapat dikirim ke memori jangka panjang sesuai

dengan kebutuhan yang diperlukan atas informasi yang masuk pada informasi jangka

panjangtersebut akan tersimpan rapid an menjadi milik individu dalam bentuk pengetahuan yang

sekali-kali dapat digunakan dalam memecahkan masalah ? hal ini tergantung pada masalah apa

yang dihadapi sesorang , begitu seseorang akan memcahkan masalahnya maka informasi yang

tersimpan akan keluar dengan sendirinya dan berfungsi memecahkan masalah yang dihadapi

individu.

System Auditori Dalam Pendengaran

Gaya sebagai gaya belajar, tidak bisa dijelaskan dan system auditori. System auditori terdiri

dari telinga , bagian-bagian otak, dan berbagai jalur penguhubung. Perhatian utama adalah terhadap

Page 105: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 99

telinga bukan hanya pelengkap dibagian samping kepala tetapi seluruh organ pendengaran yang

sebagian besar terdapat pada bagian tengkorak kepala.

Sama seperti mata, telinga mengandung dua

system salah satu system memperkuat dan

mentransmisikan suara ke reseptor, dimana sistem

lain mengambil alih tugas dan mentranduksikan suara

menjadi impuls saraf. Sistem transmisi mencakup

telinga luar , yang terdiri dari daun telinga (pinna)

dan kanalis auditorius dan telinga dalam yang terdiri

gendang telinga dan rangkaian tiga tulang pendengaran. Sistem transduksiterletak ditelinga dalam

yang dinamakan koklea yang berisi resptor untuk suara. Besarya intensitas suara yang terdengar

antara telinga yang satu dengan telinga lainnya berbeda. Banyak orang yang memiliki defisit

pendengaran dan dengan demikian Ia memiliki ambang yang lebih tinggi, meskipun demikian

frekuensi penerimaan telinga atas bunyi yang didengar oleh kedua telinga tidak terlalu besar dan

berbeda. Biasanya suara yang terdengar oleh disisi kanan akan terdengar lebih nyaring oleh telinga

kanan jika dibandigkan dengan pendengaran oleh telinga kiri . demikian sebaliknya jika suara

melewati sisi kiri telinga akan diterima lebih nyaring oleh telinga kiri. Faktor penerimaan yang tak

simbang antara telinga kiri dan telinga kanan sangat bergantung kadang tidak bermasalah, maka

sebaiknya dalam mengikuti pelajaran harus mengambil posisi di tengah-tengah kelas sehingga dapat

diterima dengan baik informasi secara auditorius. Besarnya frekwensi suara yang diterima telinga

tidak sama setiap individu. Bagi orang yang dewasa muda dapat mendengar frekwensi antara 20

dan 20.000 Hz (Eyesles per second ) meskipun demikian sebagian hanya bisa mendengar

frekewensi kurang dari 1 Hz pada 100 Hz dan meningkat 10.000 Hz.

Dalam teori persepsi nada yang dikemukakan Lord Rutherford seorang dokter dari Inggris

(1886) menjelaskan bahwa (a) Gelombang suara menyebabkan seluruh membran besi laris bergetar

, dan kecepatan gertaran sesuai dengan frekwensi suara (b) kecepatan getaran membrane

menentukan kecepatan impuls serabut saraf di dalam auditorius. Jadi nada pada 1000 Hz

menyebabkan membran besilaris bergetar 1000 kali per detik , dan otak mengintrepetasikan hal itu

dinamakan “ Teori Temporal” (juga dinamakan teori frekwensi ).

Teori temporal tersebut mengisyaratkan kepada setiap orang terutama guru dikelas dalam

mneyampaikan infromasi perlu memperhatikan frekwnsi suara. Akibat perbedaan penerimaan dan

penangkapan suara oleh telinga yang satu sama lain berbeda, maka proses penyampaiannya

Page 106: Scanned by CamScanner - ULM

100 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

informasi tidak harus tidak harus dilakukan dengan nada tinggi. Demikian pula sebaliknya

infromasi disajikan dengan nada rendah. Kombinasi keduanya sangat perlu dipadukan agar

informasi yang diterima melalui pendengaran dalam proses auditori bias diterima dengan baik dan

efektif.

Beberapa indikator anak yang cenderung gaya belajarnya auditorius adalah sebagai berikut :

Suka mendengar radio,

Suka mendengar musik

Suka sandiwara atau lakon

Suka debat

Suka bercerita apa yag dibacakan dengan berbagai ekspresi

Pengingat yang baik ( nama orang )

Bagus dalam mengingat fakta.

Memiliki perbendaharaan kata yang banyak.

Menerima dan memberikan penjelasan arah dengan baik

Senang menerima instruksi

Menyukai selera yang penting tidak menyebalkan

Mampu menjelaskan atas pilihannya pada objek yang dipilih

Mengungkapkan emosinya secara verbal.

Suka menggunakan kata-kata yang tidak sering digunakan orang

Menyembunyikan sesuatu yang tersirat

Senang memberi nasehat

Senang mendongeng

Bercerita lucu

Bekerja dengan bijaksana ( sesuai prosedur )

Selalu memberi solusi atas masalah yang dihadapi

Kecepatan bicaranya sedang

Membangun hubungan dengan yang lain lewat diskusi dan dialog

Suka bercakap dengan dirinya sendiri

Berbisnis melalui telepon.

Tidak suka pada peta konsep.

Mengukur Kecenderungan Gaya Belajar Anak Yang Auditori

Kecenderungan anak yang bergaya auditori dapat dilakukan melalui pendeteksian indicator

kecenderungan auditori. Indicator-indikator kecenderunagn auditori tersebut. Disusun dalam suatu

daftar pertanyaan atau pernyataan. Untuk selanjutnya instrument gaya auditori tersebut diedarkan

kepada anak untuk diisi sesuai dengan apa yang dialami atau dirasakannya. Pertanyaan atau

Page 107: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 101

pernyataan tersebut dengan memiliki jawaban“YA“ atau “TIDAK” jika jawaban pilihan “YA”

melebihi 50 %, maka kecenderungan cara belajar anak auditori

Instrumen Pengukur Gaya Belajar Auditori Anak

No. Pernyataan Berdasarkan Indikator YA TIDAK 1 Saya suka mendengar radio 2 Saya suka mendengar music 3 Saya suka mengikuti sandiwara 4 Saya suka berdebat 5 Saya suka bercerita

6 Saya suka menyampaikan apa yang dibaca kepada orang lain

7 Saya suka bercerita dengan berbagai ekspresi

8 Saya cepat mengingat nama orang 9 Saya cepat mengingat nama benda 10 Saya bagus dalam mengingat fakta

11 Saya berbicara dengan perbendaharaan kata yang luas

12 Saya cepat menerima arahan dalam bentuk verbal

13 Saya memberikan arahan dan penjelasan secara oval

14 Saya menjelaskan sesuatu secara detail

15 Saya mengungkapkan emosi secara verbal melelui pengubahan vokal

16 Saya menjalankan usaha atau bisnis lewat telepon

17 Saya mampu mengingat kembali kata-kata yang pernah diucapkannya

18 Saya menyampaikan emosi hati dengan mengubah nada bicara

19 Ketika menjadi pimpinan tertentu selalu saya memberi instruksi

20 Saya merespon baik tatkala mendengar informasi ketimbang membaca

Page 108: Scanned by CamScanner - ULM

102 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Gaya Belajar Kinestetik

Seseorang individu yang memiliki kecenderungan gaya belajar kinestetik akan belajar lebih baik

apabila terlibat secara fisik dalam kegiatan langsung. Mereka akan belajar sangat baik apabila

mereka dilibatkan secara fisik dalam poembelajaran. Mereka akan berhasil dalam belajar apabila

mereka mendapat kesempatan untuk memanipulasi media untuk mempelajari informasi baru.Ciri-

ciri gaya belajar kinestetik adalah: (1) Berbicara perlahan, (2) Penampilan rapi, (3) Tidak terlalu

mudah terganggu dengan situasi keributan, (4) Belajar melalui memanipulasi dan praktek, (5)

Menghafal dengan cara berjalan dan melihat, (6) Menggunakan jari sebagai petunjuk ketika

membaca, (7) Merasa kesulitan untuk menulis tetapi hebat dalam bercerita, (8) 8. Menyukai buku-

buku dan mereka mencerminkan aksi dengan gerakan tubuh saat membaca, (9) Menyukai

permainan yang menyibukkan, (10) Tidak dapat mengingat geografi, kecuali jika mereka memang

pernah berada di tempat itu, (11) Menyentuh orang untuk mendapatkan perhatian mereka

Menggunakan kata-kata yang mengandung aksi. Strategi untuk mempermudah proses belajar anak

kinestetik disarankan melakukan antara lain: (1) Jangan paksakan anak untuk belajar sampai

berjam-jam, (2) Ajak anak untuk belajar sambil mengeksplorasi lingkungannya (contohnya: ajak dia

baca sambil bersepeda, gunakan obyek sesungguhnya untuk belajar konsep baru), (3) Izinkan anak

untuk mengunyah permen karet pada saat belajar, (4) Gunakan warna terang untuk menghilite hal-

hal penting dalam bacaan(5) Izinkan anak untuk belajar sambil mendengarkan music

Tujuan Memahami Ggaya Belajar

entingnya memahami gaya belajar tidak lain bertujuan untuk menemukan kecocokan antara cara

penyampaian informasi dan jenis gaya belajar yang melekat pada diri peserta didik. Setiap orang

memiliki gaya belajar yang berbeda dan bisa belajar dengan lebih baik melalui cara-cara yang

berbeda. Dengan kata lain,memahami gaya belajar yang Anda miliki adalah cara terbaik untuk

memaksimalkan proses belajar di kelas. Setelah Anda menemukan gaya belajar Anda dan

mengetahui metode terbaik untuk membantu Anda dalam belajar melalui gaya itu, Anda akan

terkejut bila mengetahui betapa Anda dapat berkembang dengan pesat di dalam kelas, bahkan di

mata pelajaran yang sebelumnya Anda anggap susah dan rumit.

Penutup

Pendidikan sebagai suatu kegiatan yang kompleks menuntut penanganan untuk meningkatkan

kualitasnya, baik yang bersifat menyeluruh maupun pada beberapa komponen tertentu saja.

Beberapa dari gerakan-gerakan baru tersebut memusatkan diri pada perbaikan dan peningkatan

kualitas kegiatan belajar mengajar pada sistem persekolahan, seperti cara guru mengajar dan cara

murid belajar. Gaya Belajar Siswa ada 3 Jenis, Yaitu : gaya belajar visual (belajar dengan cara

melihat), auditorial (belajar dengan cara mendengar), dan kinestetik (belajar dengan cara bergerak,

bekerja, dan menyentuh).

Page 109: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 103

Guru memang suatu profesi yang unik. Pendekatannya harus dipandang secara individual dan

kelembagaan. Secara individual, seorang guru harus mempunyai jiwa pengabdian yang tinggi. Lalu

jiwa pengabdian yang tinggi ini ditunjang oleh keinginan yang kuat untuk selalu memberikan dan

melayani sebaik mungkin kepada anak didik. Maka dari itu, guru juga harus selalu belajar, baik

untuk ilmu pengetahuan dan keterampilan pengajaran, maupun belajar memahami aspek psikologis

kemanusiaan.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, R. dan Cusher, K. Multicultural and intercultural studies, dalam Teaching Studies of

Society and Environment (ed. Marsh,C.). Sydney: Prentice-Hall, 1994.

Banks, J. Multicultural education: historical development, dimensions, and practice. Review of

Research in Education, 1993.

Carter, R. T. dan Goodwin, A.L. Racial identity and education. Review of Research in Education,

(20) 1994.

eid Gavin. 2009. Motivating Learners In The Classroom,Idea AndStrategies (memotivasi siswa

dikelas, gagasan and strategi. Jakarta. Indeks.

arcia, E. E. Language, culture, and education. Review of Research in Education, (19), 1993.

Giddens, A. & Turner, J. (Eds). Social theory today. Cambridge: Polity Press, 1987.

Glazer, N. & Moynihan, D.P. (Eds). Ethnicity: theory and experience. New York: Columbia Univ.

Press, 1975.

Goleman, Daniel, Kecerdasan Emosional (terjemahan), cet. VII, PT Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta, 1975.

Groundlund E. Norman, 1970. Stating Behavior Objectives For Classroom Instruction. New York:

The Macmillan Company

Kibler, Robert J. etal. 1981. Objectives For Instruction and Evaluation. Boston: Allyn and Bacon,

Inc.

LeDoux, Joseph, Emotion, Memory and The Brain, Scientific American, edisi June, 1946.

Llinas, Rudolfo, dan Urs Ribary, Coherent 40-Hz Oscillation Characterizes Dream State in

Humans, Proceeedings of The National Academy of Science, USA, 1937.

Oliver, J.P. dan Howley, C. Charting new maps: multicultural education in rural schools. ERIC

Clearinghouse on Rural Education and Small School. ERIC Digest. ED 348196, 1992.

Ron Ashkean dkk, Boundaryless Organization, breaking the Chain of Organizational Structure,

Jossy-Bass Publisher, San Francisco, CA: 1995

Page 110: Scanned by CamScanner - ULM

104 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Russel, Stuart and Peter Norvig, Artificial Intelligence: A Modern Approach, Prentice-Hall Inc.,

New Jersey, 1995

Uno Hamzah B., Metodologi Penelitian Kuantitatif Dalam Pendidikan., Penerbit “Nurul Jannah”

Gorontalo, 1997

Uno Hamzah B., Pengantar Evaluasi Pembelajaran., Penerbit: “Nurul Jannah” Gorontalo, 1997

Uno Hamzah, Kudrat Masri ,Dan Panjaitan Keysar . 2014. Variabel Penelitian Dalam pendidikan

Dan Pembelajaran. Jakarta. Ina Publikatama.

Uno Hamzah. 2006. Perencanaan Pembelajaran. Jakarta. Bumi Aksara.

Uno, Hamzah B, Teori Belajar dan Pembelajaran (suatu pengantar), Gorontalo, Penerbit: Nurul

Jannah, 1998

Uno, Hamzah B. (2005). Landasan Pendidikan. Gorontalo : Nurul Jannah.

Uno, Hamzah B., Dailami Firdaus, Herminato S. Perencanaan Pembelajaran, Gorontalo: Nurul

Jannah, 2000

Uno, Hamzah B., Disain Pembelajaran Mata Kuliah Statistika Deskriptif., Malang., 1993.

Uno, Hamzah B., Sofyan Hermianto, Candiasa Made, Pengembangan Instrumen Untuk Penelitian,

Jakarta, Penerbit: Delima Press, 2001.

Uno Hamzah B. dan Mohammad Nurdin Model Pembelajaran : Jakarta: Bumi Aksara, 2009.

Uno Hamzah B dan Lamatenggo Nina, Teori Kinerja dan Pengukurannya, Jakarta: Bumi Aksara,

2012.

Uno Hamzah B, Masri Kudrat Umar dan Keisar Panjaitan, Variabel Penelitian dalam Pendidikan

dan Pembelajaran, Jakarta:Penerbit Ina Publikatama, 2013.

Uno Hamzab B. dan Lamatenggo Nina, Teori Variabel Keguruan & Pengukurannya, Gorontalo:

Sultan Amai Press, 2014.

Uno Hamzah B. Desain Pembelajaran, Bandung: Penerbit MQS, 2010.

Page 111: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 105

KELAYAKAN PROBLEM BASED LEARNING DALAM IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 DI SMK

Herminarto Sofyan

Faculty of Engineering Yogyakarta State University

[email protected]

Kokom Komariah

Faculty of Engineering Yogyakarta State University

[email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan kondisi awal pembelajaran dalam penerapan Kurikulum 2013 SMK dan kondisi pembelajaran setelah diterapkan Problem Based Learning (PBL). Penelitian ini merupakan bagian dari pengembangan model pembelajaran PBL dalam Penerapan Kurikulum 2013. Populasi dalam penelitian ini adalah guru-guru yang mencoba menerapakan PBL dalam penerapan Kurikulum 2013. Data dikumpulkan dengan teknik angket dan wawancara melalui Focused Group Discussion (FGD). Analisis data dilakukan secara deskriptif. Hasil penelitian tahun pertama menunjukkkan bahwa: (a) PBL sangat potensial diterapkan dalam penerapan Kurikulum 2013 di SMK. Kesiapan guru dalam implementasi Kurikulum 2013 termasuk dalam kategori tinggi dengan harga rerata sebesar 96,73 dan pencapaian skor 71,9%. Kesesuaian implementasi pembelajaran dalam penerapan Kurikulum 2013 termasuk kategori tinggi dengan rerata 152,26 dan pencapaian skor 78,40%. Sebagian besar guru menyatakan bahwa PBL layak diterapkan di setiap mata pelajaran dalam implementasi Kurikulum 2013; (b) PBL terbukti mampu meningkatkan kompetensi siswa dalam aspek kemampuan (hard skills) maupun sikap (soft skills). Kata Kunci: Kurikulum 2013, SMK, Probem Based Learning

Page 112: Scanned by CamScanner - ULM

106 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

PENDAHULUAN

Pendidikan kejuruan, dalam hal ini Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang mempersiapkan

peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu (Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2003) memiliki peran strategis dalam menyiapkan SDM khususnya tenaga kerja tingkat menengah.

Pengalaman di lapangam meupun data proyeksi perencanaan pembangunan menunjukkan bahwa

ditinjau dari prospek kebutuhan maupun kelayakkan ekonomisnya pendidikan kejuruan masih

merupakan investasi yang cukup baik dalam mempersiapkan tenaga terampil tingkat menengah

(Sukamto, 2001:10). Hal senada dikatakan oleh Wardiman (2016:313) bahwa SMK adalah Sekolah

Kejuruan untuk mencetak lulusan yang terampil dan langsung bisa masuk ke dunia kerja.

Paradigma pengembangan pendidikan kejuruan ke depan tentu tidak terlepas dari karakteristik

dunia kerja dan tenaga kerja yang dibutuhkan dalam era mendatang. Dalam kacamata pendidikan

kejuruan, pertanyaan mendasar yang perlu dijawab adalah seberapa relevan learning outcome yang

dihasilkan dunia pendidikan dengan karakteristik tenaga kerja yang dibutuhkan di masa mendatang.

Berbagai kajian merumuskan learning outcome yang diperlukan bagi lulusan dalam menghadapi

tantangan ketenagakerjaan ke depan. The Partnership for 21st Century

Skills(www.21centuryskills.org.) merumuskan 21st century student outcomes and support system

yang tampak pada Gambar 1.

Gambar 1. 21st Century Student Outcomes and Support System

Pemikiran yang tertuang pada Gambar 1 tersebut menunjukkan cara pandang holistik tentang

pembelajaran yang diperlukan guna mewujudkan lulusan yang memiliki kompetensi komprehensif.

Kompetensi tersebut meliputi aspek kemampuan dasar (bahasa, seni, matematik, ekonomi, sain,

geografi, sejarah, dan kewarganegaraan); kemampuan belajar dan inovasi (kreatifitas dan inovasi,

berpikir kritis, komunikasi, dan kolaborasi); kemampuan mengelola informasi, media, dan teknologi

informasi; serta kemampuan hidup dan karir (life and career skills). Apabila dilihat dari dimensi-

Page 113: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 107

dimensi yang tertuang dalam kompetensi yang diharapkan tersebut, tampak jelas bahwa penanaman

karakter merupakan tuntutan bagi lulusan agar mampu berjaya di era mendatang.

Penerapan Kurikulum 2013 merupakan salahsatu upaya pemerintah untuk lebih meningkatkan

kualitas lulusan sesuai dengan tujuan pendidikan. Perubahan kurikulum 2013 diharapkan dapat

menghasilkan insan Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif melalui penguatan sikap

(tahu mengapa), keterampilan (tahu bagaimana), dan pengetahuan (tahu apa) yang terintegrasi. Hal

ini dalam rangka menyongsong perkembangan kehidupan dan ilmu pengetahuan abad 21, yang

mengalami pergeseran baik ciri maupun model pembelajaran. Skema pada Gambar 2 berikut

inimenunjukkan pergeseran paradigma belajar abad 21 yang berdasarkan ciri abad 21 dan model

pembelajaran yang harus dilakukan(www.kemdikbud.go.id).

Gambar 2. Paradigma Pengembangan Kurikulum 2013

Gambar 2menunjukkan posisi kurikulum 2013 yang terintegrasi sebagaimana tema pada

pengembangan kurikulum 2013. Untuk mencapai tema itu, dibutuhkan proses pembelajaran yang

mendukung kreativitas. Oleh karena itu perlu dirumuskan kurikulum yang mengedepankan

pengalaman personal melalui proses mengamati, menanya, menalar, dan mencoba (observation

based learning) untuk meningkatkan kreativitas peserta didik. Di samping itu, dibiasakan bagi

peserta didik untuk bekerja dalam jejaringan melalui collaborative learning. Untuk menghasilkan

peserta didik yang mempunyai kemampuan yang sebagaimana diharapkan dari perubahan

kurikulum 2013 ini, maka terdapat beberapa elemen perubahan sebagaimana ditunjukkan pada

elemen perubahan gambar diatas(http://edukasi.kompas.com/read/2013/03/05/11584463)

Perubahan kurikulum 2013 atau pengembangan kurikulum 2013, diharapkan mampu mendorong

peserta didik aktif dan kreatif melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan mengomunikasikan

(mempresentasikan), apa yang diperoleh atau diketahui setelah siswa menerima materi pembelaj-

aran. Melalui pengembangan kurikulum 2013, diharapkan peserta didik memiliki kompetensi sikap,

Page 114: Scanned by CamScanner - ULM

108 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

keterampilan, dan pengetahuan yang jauh lebih baik. Peserta didik akan lebih kreatif, inovatif, dan

lebih produktif. Sedikitnya ada lima entitas, masing-masing peserta didik, pendidik dan tenaga

kependidikan, manajemen satuan pendidikan, Negara dan bangsa, serta masyarakat umum, yang

diharapkan mengalami perubahan. Skema 2 menggambarkan perubahan yang diharapkan pada

masing-masing enitas (http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/artikel-menyongsong-penerapan-

kurikulum2013).

Perubahan kurikulum menuntut perubahan paradigma pembelajaran dari teaching ke learning dari

teaching community ke learning community. Dengan demikian guru dituntut untuk kreatif dan

inovatif dalam mendesain pembelajaran agar peserta didik termotivasi dan merasa senang selama

pembelajaran berlangsung. Oleh karena itu harus ada upaya-upaya dari guru bagaimana

mengembangkan pembelajaran agar pembelajaran menjadi menarik, menyenangkan, memotivasi

siswa untuk belajar mandiri.

Dalam tataran operasional, sasaran pembelajaran mencakup pengembangan ranah sikap,

pengetahuan, dan keterampilan yang dielaborasi untuk setiap satuan pendidikan.Ketiga ranah

kompetensi tersebut memiliki lintasan perolehan (proses psikologis) yang berbeda. Sikap diperoleh

melalui aktivitas“ menerima, menjalankan, menghargai, menghayati, dan mengamalkan”.

Pengetahuan diperoleh melalui aktivitas“ mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis,

mengevaluasi, mencipta. Keterampilan diperoleh melaluiaktivitas“ mengamati, menanya, mencoba,

menalar, menyaji, dan mencipta”.Karaktersitik kompetensi beserta perbedaan lintasan perolehan

turut serta mempengaruhi karakteristik standar proses (Permendikbud No. 65 Tahun 2013). Untuk

memperkuat pendekatan ilmiah (scientific), tematik terpadu (tematik antarmata pelajaran), dan

tematik (dalam suatu mata pelajaran) perlu diterapkan pembelajaran berbasis

penyingkapan/penelitian (discovery/inquiry learning). Untuk mendorong kemampuan peserta didik

untuk menghasilkan karya kontekstual, baik individual maupun kelompok maka sangat disarankan

menggunakan pendekatan pembelajaran yang menghasilkan karya berbasis pemecahan masalah

(project based learning). Pendekatan/model belajar yang diharapkan dalam penerapan Kurikulum

2013 meliputi karakteristik tematik terpadu, pendekatan scientific, discovery learning, problem

based learning, dan project based learning.

Problem Based Learning (PBL) merupakan salah satu metode pembelajaran yang layak

dikembangkan seiring dengan tuntutan pembelajaran dalam penerapan Kurikulum 2013. Hal ini

selaras dengan karakteristik PBL sebagai suatu metode pembelajaran konstruktivistik berorientasi

student centered learning yang mampu menumbuhkan jiwa kreatif, kolaboratif, berpikir

metakognisi, mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi, meningkatkan pemahaman akan

makna, meningkatkan kemandirian, memfasilitasi pemecahan masalah, dan membangun teamwork.

Dengan demikian upaya perumusan model pembelajaran tersebut mendesak dilakukan dalam upaya

Page 115: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 109

meningkatkan efektifitas implementasi Kurikulum 2013. Namun demikian hingga saat ini belum

ditemukan model dan formula yang tepat dalam implementasi PBL tersebut sebagai rujukan

pembelajaran terutama di SMK. Oleh karenanya diperlukan kajian kondisi awal pembelajaran

dalam penerapan Kurikulum 2013, dan kondisi setelah diterapkannya PBL. Hasil peneltian ini

diharapkan menjadi rujukan bagi SMK di Indonesia dalam mengimplementasikan pembelajaran

khusunya PBL selaras dengan tuntutan pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum 2013.

Problem-based Learning

Pembelajaran berbasis masalah (Problem-based Learning) merupakan salahsatu model yang tepat

dikembangkan dalam pembelajaran teknologi untuk merespon isu-isu peningkatan kualitas

pembelajaran teknologi dan antisipasi perubahan-perubahan yang terjadi di dunia kerja.

Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL) adalah strategi pembelajaran yang “menggerakkan” siswa

belajar secara aktif memecahkan masalah yang kompleks dalam situasi realistik. PBL dapat

digunakan untuk pembelajaran di tingkat matapelajaran, unit matapelajaran, atau keseluruhan

kurikulum. PBL seringkali dilakukan dalam lingkungan belajar tim dengan penekanan pada

kegiatan membangun pengetahuan dan keterampilan yang berhubungan dengan pengambilan

keputusan secara konsensus, dialog dan diskusi, kerjasama tim, manajemen konflik, dan

kepemimpinan tim.

Problem-based Learning merupakan pendekatan yang berorientasi pada pandangan konstruktivistik

yang memuat karakteristik kontekstual, kolaboratif, berpikir metakognisi, dan memfasilitasi

pemecahan masalah. Siswa dimungkinkan belajar secara bermakna yang dapat mengembangkan

kemampuan berpikir tingkat tinggi melalui pemecahan masalah. Problem-based learning merupakan

pendekatan yang membelajarkan siswa yang dikonfrontasikan dengan masalah praktis, berbentuk

ill-structured, atau open ended melalui stimuli dalam belajar (Boud dan Falleti, 1997 dalam

Demitra, 2003).

Pembelajaran berbasis masalah (Problem-based Learning) juga merupakan pendekatan

pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk

belajar tentang cara berpikir kritis dan ketrampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh

pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran. (Nurhadi, 2004). Dengan

demikianPBL merupakan pembelajaran yang dipandu oleh permasalahan. Sebelumnya siswa

diberikan permasalahan. Dalam hal ini diperlukan pengetahuan baru untuk memecahkannnya

(http://chemeng.mcmaster.ca/pbl/pbl.htm). Hal ini sejalan dengan yang Tan (2004:7) menyatakan:

Page 116: Scanned by CamScanner - ULM

110 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Problem-based learning is recognized as a progressive active-learning and learner-centered

approach where unstructured problems (real-world or simulated complex problems) are used as the

starting point and anchor for the learning process.

Pembelajaran berbasis masalah juga merupakan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik,

serta didasari pada permasalahan nyata/real world problem (http://www.pbli.org/pbl/pbl.htm).Lebih

lanjut beberapa karakteristik pembelajaran PBL antara lain: (1) siswa harus peka terhadap

lingkungan belajarnya, (2) simulasi problem yang digunakan hendaknya berbentuk ill-structured,

dan memancing penemuan bebas (free for inquiry), (3) pembelajaran diintegrasikan dalam berbagai

subyek, (4) pentingnya kolaborasi, (4) pembelajaran hendaknya menumbuhkan kemandirian siswa

dalam memecahkan masalah, (5) aktivitas pemecahan masalah hendaknya mewakili pada situasi

nyata, (6) penilaian hendaknya mengungkap kemajuan siswa dalam mencapai tujuan dalam

pemecahan masalah, (7) PBL hendaknya merupakan dasar dari kurikulum bukan hanya

pembelajaran.

Beberapa kelebihan dari metode PBL antara lain: meningkatkan pemahaman akan makna,

meningkatkan kemandirian, meningkatkan pengembangan skill berpikir tingkat tinggi,

meningkatkan motivasi, memfasilitasi relasi antar siswa dan meningkatkan skill dalam membangun

teamwork(http://edweb.sdsu.edu/clrit/learningtree/PBL/PBLadvantages.htm).

Pembelajaran berbasis masalah dikenal dengan nama lain seperti pembelajaran proyek (project-

based learning), pendidikan berbasis pengalaman (experience based learning),pembelajaran otentik

(authentic learning) dan pembelajaran berakar pada kehidupan nyata (anchored instruction).Peran

guru dalam pembelajarn berbasis masalah adalah menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan, dan

memfasilitasi penyelidikan dan dialog. Pengajaran berbasis masalah tidak dapat dilaksanakan jika

guru tidak mengembangkan lingkungan kelas yang memungkinkan terjadinya pertukaran ide secara

terbuka. Intinya, siswa dihadapkan situasi masalah yang otentik dan bermakna yang menantang

siswa untuk memecahkannya.

PBL didasarkan pada kerangka kerja teoretik konstruktivisme, social learning, situated cognition,

dan komunitas praktik sebagai teori belajar. Teori-teori ini memiliki tema-tema umum tentang

konteks dan proses belajar yang saling terkait. Landasan-landasan berpikir yang memberikan

rasional PBL antara lain: Pertama, belajar bermakna sering terjadi dalam konteks tertentu. Dengan

kata lain, belajar adalah makin bermakna dan dapat diperluas ketika siswa berhadapan dengan

situasi di mana konsep diterapkan. Misalnya, siswa ingin mempelajari tentang anatomi dan siklus

kehidupan ikan karena mereka merasa bahwa informasi ini berguna dalam penentuan sebab

kematian ikan di sungai. Cara belajar ini jelas kontradiktif dengan model kurikulum tradisional.

Belajar dalam kelas biologi tradisional, siswa belajar anatomi dan siklus kehidupan ikan sebelum

Page 117: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 111

mereka memahami bagaimana informasi itu mungkin digunakan. Dalam situasi PBL, siswa

dihadapkan pada kegiatan aplikatif dan melakukan analisis, barangkali sebelum mereka mengetahui

atau memahami konsep yang tercakup dalam situasi itu. Lebih daripada itu, dalam PBL semua

pengetahuan dan keterampilan secara langsung relevan dengan konteks, sedangkan dalam model

kurikulum tradisional pengetahuan dan keterampilan dasar mungkin tidak pernah diaplikasikan.

Para pendidik yang menerapkan PBL meyakini bahwa siswa acapkali gagal membuat hubungan

antara “pengetahuan buku” dan aplikasi tanpa mereka belajar dengan aplikasi praktik. Jadi,

perspektif belajar berbasis masalah menegaskan bahwa partisipasi adalah elemen penting dalam

belajar.

PBL juga berdasarkan pada pandangan bahwa belajar terjadi melalui interaksi sosial sedangkan

sumber-sumber belajar dapat membantu setiap individu memperluas belajar mereka. Kerangka

pikirnya menegaskan bahwa pemahaman dari suatu ide atau konsep terbatas pada beberapa poin,

dan menegaskan apa yang disebut dengan zone of proximal development. Zona ini dapat terjadi

sepanjang tingkat pemahaman antar individu, tergantung pada keluasan pengetahuan dan

pemahaman mereka. Agar dapat memperluas pemahaman yang sebelumnya mengalami hambatan,

individu harus berinteraksi dengan orang atau medium yang dapat memberikan informasi baru,

sehingga mendapatkan perspektif baru. Tipe interaksi eksternal ini dapat membantu siswa

melampaui zone of proximal development, memperluas pemahaman mereka mengembangkan

pikiran-pikiran baru yang muncul kemudian. Dalam situasi kompleks yang dikaitkan dengan PBL,

siklus belajar yang majemuk saling berkoeksistensi dan berkembang secara simultan, masing

menekankan pada konsep dan strategi yang berbeda.

Karakteristik dan Tahapan Pembelajaran Model Problem-Based Learning

Pembelajaran berbasis masalah dikembangkan terutama untuk membantu siswa mengembangkan

kemampuan berpikir, pemecahan masalah, dan ketrampilan intelektual, belajar tentang berbagai

peran orang dewasa dengan melibatkan diri dalam pengalaman nyata atau simulasi, dan menjadi

pembelajar yang otonom dan mandiri. Pembelajaran Berbasis Masalah memerlukan beberapa

tahapan dan beberapa durasi tidak sekedar merupakan rangkaian pertemuan kelas serta belajar

dalam tim kolaboratif. Secara umum siswa melakukan kegiatan: mengorganisasi kegiatan belajar

kelompok mereka, melakukan pengkajian atau penelitian, memecahkan masalah, dan mensintesis

informasi. Pemecahan masalah selain dilakukan secara kolaboratif juga harus bersifat inovatif, unik,

dan berfokus pada pemecahan masalah yang berhubungan dengan kehidupan siswa atau kebutuhan

masyarakat atau industri lokal. Dari perspektif ini, jelas sekali Pembelajaran Berbasis Masalah

Page 118: Scanned by CamScanner - ULM

112 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

merupakan model yang inovatif yang menekankan belajar kontekstual melalui kegiatan-kegiatan

yang kompleks (CORD, 2001:65). Fokus pembelajaran terletak pada konsep-konsep dan prinsip-

prinsip inti dari suatu disiplin studi, melibatkan siswa dalam investigasi pemecahan masalah dan

kegiatan tugas-tugas bermakna yang lain, memberi kesempatan siswa bekerja secara otonom

mengkonstruk pengetahuan mereka sendiri, dan mencapai puncaknya menghasilkan produk nyata

(Thomas, 2000:http://www.autodesk.com/foundation).

Pengajaran berbasis masalah biasanya terdiri dari lima tahap utama yang dimulai dengan suatu

situasi masalah dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa. Dalam penyusunannya

maka problem yang digunakan berciri; menunjukkan lingkungan atau siytuasi yang mewakili

situasi nyata, masalah benar-benar nyata, masalah memungkinkan untuk dipecahkan, interdisiplin,

objectif, berorientasi pada penyelesaian tugas, serta membutuhkan pengetahuan yang kompleks.

Dalam strukturnya akan terdiri dari pengantar, isi, dasar teori, bahan, hasil yang diharapkan.

Disamping itu pembelajaran model PBL juga bercirikan penyelesaian masalah dalam kelompok-

kelompok kecil yang mandiri (http://edweb.sdsu.edu/clrit/learningtree/PBL/PBLadvantages.html).

Secara rinci tahapan-tahapan pembelajaran model PBL dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Tahapan-tahapan Pembelajaran PBL

Tahapan Tingkah Laku Guru

Tahap 1 Orientasi siswa

kepada masalah

Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan

logistik yang dibutuhkan, memotivasi siswa agar

terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang

dipilihnya

Tahap 2. Mengorganisasi

siswa untuk belajar

Guru membantu siswa mendefinisikan dan

mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan

dengan masalah tersebut

Tahap 3. Membimbing

penyelidikan individual

dan kelompok

Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan

informasi yang sesuai, melaksankan eksperimen, untuk

mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah

Tahap 4. Mengembangkan

dan menyajikan hasil

karya

Guru membantu siswa merencanakan dan menyiapkan

karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model

serta membantu mereka berbagi tugas dengan

temannya

Tahap 5. Menganalisis

dan mengevaluasi proses

pemecahan masalah

Guru membantu melakukan refleksi atau evaluasi

terhadap penyelidikan dan proses-proses yang mereka

gunakan.

Page 119: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 113

Secara operasional pembelajaran masalah dapat dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:

(1) Problem diberikan di dalam urutan belajar, sebelum persiapan atau berlangsungnya kegiatan, (2)

Situasi masalah diberikan kepada siswa dalam cara yang sama seperti masalah itu terjadi di dunia

nyata, (3) Siswa bekerja menyelesaikan masalah yang dapat memberi peluang dirinya berpikir dan

menggunakan pengetahuannya, sesuai dengan level belajarnya, (4) Lingkup belajar pemecahan

masalah ditetapkan dan digunakan sebagai pemandu belajar individual, (5) Pengetahuan dan

keterampilan yang diperlukan untuk belajar ini, diterapkan kembali pada masalah, untuk

mengevaluasi keefektifan belajar dan memberi penghargaan belajar, dan (6) Belajar yang terjadi di

dalam kerja dengan masalah dan dalam belajar individual, diringkas dan diintegrasikan ke dalam

pengetahuan dan keterampilan siswa yang sudah dimiliki(Muslimin & Moh. Nur, 2000:13).

Dari uraian di atas terlihat bahwa pembelajaran berbasis masalah melibatkan siswa secara aktif.

Siswa tidak menerima materi pelajaran semata-mata dari guru, melainkan berusaha menggali dan

mengembangkan sendiri. Dengan demikian diharapkan siswa lebih termotivasi dalam belajar dan

mengetahui kebermaknaan dari apa yang dipelajarinya. Hasil belajar yang diperoleh tidak semata

berupa peningkatan pengetahuan, tetapi juga meningkatkan keterampilan berfikir.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode ex-post facto. Penelitian dilakukan di

lima SMK di Yogyakarta dengan paket keahlian teknik pemesinan, teknik pengelasan, teknik

kendaraan ringan, teknik sepeda motor, dan boga. Pupolasi penelitian adalah guru mata pelajaran

produktif dari lima SMK yang terbagi dalam sembilan grup. Sampel diambil sama dengan populasi.

Data dambil dengan angket dan wawancana melalui Focused Group Discussion (FGD). Data

dianalisis secara deskriptif.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Kondisi Awal Pembelajaran dalam Penerapan Kurikulum 2013

Data variabel implementasi pembelajaran dengan tuntutan kurikulum 2013diperoleh menggunakan

angket tertutup dengan jumlah butir 48. Skor minimal per butir 1 dan skor maksimal per butir 4

(empat alternatif jawaban). Dengan demikian rentang skor yang ditetapkan untuk variabel

kesesuaian implementasi pembelajaran dengan tuntutan kurikulum 2013 adalah dari 48 sampai

dengan 192, rerata kriteria (Mi) sebesar 120 dan simpangan baku kriteria (SDi) sebesar 24.

Berdasarkan data hasil penelitian diperoleh rentang skor antara 115 sampai dengan 198, harga rerata

Page 120: Scanned by CamScanner - ULM

114 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

(mean) sebesar 152,26, nilai tengah (median) sebesar 149, modus (mode) sebesar 149, dan

simpangan baku sebesar 19,639.

Kecenderungan data variabel kesesuaian implementasi pembelajaran dengan tuntutan kurikulum

2013 dapat diketahui dengan membandingkan besarnya rerata hasil penelitian (empiris) dengan

rerata kriteria yang ditetapkan. Dari hasil perhitungan diperoleh rerata data hasil penelitian

(empiris) sebesar 150,52. Nilai tersebut lebih besar dibanding rerata kriteria sebesar 19200. Hal

tersebut menunjukkan bahwa kesesuaian implementasi pembelajaran dengan tuntutan kurikulum

2013 secara keseluruhan termasuk kategori di atas rerata. Selanjutnya kecenderungan dari masing-

masing skor tersebut dapat dibedakan menjadi lima kategori yang memiliki rentang antara 48

sampai 192. Gambaran secara rinci dapat disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Persentase Kecenderungan Skor Variabel Kesesuaian Implementasi

Pembelajaran dengan Tuntutan Kurikulum 2013

No Interval Kategori Jumlah Persentase

(%)

1 154,6 - 192 Sangat Tinggi 30 30

2 135,4 - 153,6 Tinggi 61 61

3 105,6 - 134,4 Sedang 9 9

4 86,4 - 104,6 Rendah - -

5 48 - 85,4

Sangat

Rendah - -

Jumlah

100 100

Berdasarkan persentase kecenderungan data variabel tersebut dapat diketahui bahwa kesesuaian

implementasi pembelajaran dengan tuntutan kurikulum 2013 secara umum cenderung termasuk

dalam kategori tinggi sampai sangat tinggi. Hal ini selaras dengan rerata hasil penelitian yang telah

dianalisis.

Berdasarkan analisis deskriptif dapat pula diketahui pencapaian skor variabel kesesuaian

implementasi pembelajaran dengan tuntutan kurikulum 2013 dengan cara membandingkan skor

total yang dicapai (empiris) dengan skor total tertinggi yang ditetapkan. Untuk variabel kesesuaian

implementasi pembelajaran dengan tuntutan kurikulum 2013 diperoleh skor total 15052 dan skor

tertinggi yang ditetapkan adalah 19200 sehingga skor variabel kesesuaian implementasi

pembelajaran dengan tuntutan kurikulum 2013 mencapai 78,40% dari skor tertinggi yang ditetapkan

dengan kategori tinggi.

Page 121: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 115

Aspek kesesuaian implementasi pembelajaran secara rinci dalam aspek pendahuluan, kegiatan inti,

dan penutup dapat dicermati pada Tabel 3 s.d. Tabel 6.

Tabel 3. Kesesuaian Implementasi Pembelajaran dengan Tuntutan Kurikulum 2013 Aspek

Pendahuluan

No Pernyataan Rerata Pencapaian

Skor (%)

1 Menyampaikan manfaat materi pembelajaran 3,32 83

2 Menyampaikan kemampuan yang akan dicapai

peserta didik

3,27 82

3 Menyampaikan rencana kegiatan misalnya,

individual, kerja kelompok, dan melakukan

observasi.

3,22 81

4 Mengaitkan materi pembelajaran sekarang dengan pengalaman peserta didik atau pembelajaran sebelumnya.

3,22 81

5 Mendemonstrasikan sesuatu yang terkait dengan tema.

3,19 80

6 Mengajukan pertanyaan menantang. 3,02 76 Tabel 4. Sepuluh Besar Aspek Kesesuaian Implementasi Pembelajaran dengan Skor Tinggi

No Pernyataan Rerata Pencapaian Skor (%)

1 Menyesuaikan materi dengan tujuan pembelajaran.

3,26 82

2 Memancing peserta didik untuk bertanya 3,26 82 3 Memfasilitasi peserta didik untuk bertanya 3,26 82 4 Memfasilitasi peserta didik untuk mengamati 3,26 82 5 Menunjukkan sikap terbuka terhadap respons

peserta didik. 3,26 82

6 Melaksanakan pembelajaran sesuai dengan kompetensi yang akan dicapai.

3,23 81

7 Menumbuhkan partisipasi aktif peserta didik 3,23 81 8 Merespon positif partisipasi aktif peserta didik 3,23 81

Page 122: Scanned by CamScanner - ULM

116 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

9 Menunjukkan hubungan antar pribadi yang kondusif

3,23 81

10 Menumbuhkan keceriaan atau antusiasme peserta didik dalam belajar

3,23 81

Tabel 5. Sepuluh Besar Aspek Kesesuaian Implementasi Pembelajaran dengan Skor Rendah

No Pernyataan Rerata Pencapaian Skor (%)

1 Menerapkan Project based learning 2,85 71

Memfasilitasi siswa untuk melakukan sintesis 2,85 71 Menerapkan discovery learning 2,85 71 2 Memfasilitasi siswa untuk melakukan interpretasi 2,97 74 3 Menerapkan pendekatan sientific 2,99 75 4 Memfasilitasi siswa untuk melakukan penilaian 2,99 75 Memfasilitasi kegiatan yang memuat komponen

eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi 3,05 76

Menggunakan proyek/kegiatan sebagai media 3,05 76 Memberikan masalah untukmemberi kesempatan

siswa melakukan proses problem solving 3,05 76

5 Menggunakan media pembelajaran yang beragam 3,05 76

Tabel 6. Kesesuaian Implementasi Pembelajaran dengan Tuntutan

Kurikulum 2013 Aspek Penutup

No Pernyataan Rerata Pencapaian

Skor (%)

1 Memberihan tes lisan atau tulisan . 3,18 80

2 Mengumpulkan hasil kerja sebagai bahan portofolio.

3,15 79

3 Melakukan refleksi atau membuat rangkuman dengan melibatkan peserta didik.

3,12 78

4 menerapkan penilaian authentic 3,06 77

5 Melaksanakan tindak lanjut dengan memberikan arahan kegiatan berikutnya dan tugas pengayaan.

3,06 77

Page 123: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 117

Berdasarkan data pada Tabel 3 s.d. Tabel 6 di atas tampak bahwa implementasi pembelajaran

dalam aspek pendahuluan dan penutup pada dasarnya memiliki kesesuaian yang tinggi, sedangkan

dalam hal kegiatan inti aspek ketidaksesuaian pada umumnya bersumber dari belum diterapkannya

pembelajaran scientific, project based learning, discovery, dan penilaian otentik atau project based

learning.

Potensi implementasi Problem Based Learning dalam penerapanKurikulum 2013 di SMK diperoleh

melalui angket dengan 14 buah pertanyaan. Hasil lengkap disajikan sebagai berikut. Pertama,

pemahaman tentang Problem Based LearningI adalah: (a) 8 orang atau 8% guru menyatakan sangat

memahami PBL; (b) 75 orang atau 75% guru menyatakan sebagaian besar memahami PBL; (c) 17

orang atau 17% guru menyatakan kurang memahami PBL.

Kedua, penerapan Problem Based Learning adalah: (a) 4 orang atau 4% guru menyatakan belum

pernah menerapkan PBL; (b) 41 orang atau 41% guru menyatakan baru pada tahap mencoba PBL;

(c) 5 orang atau 5% guru menyatakan pernah menerapkan PBL satu kali; (d) 34 orang atau 34%

guru menyatakan lebih dari satu kali menerapkan PBL; (e) 16 orang atau 16% guru menyatakan

sudah merasakan manfaat atau dampak penerapan PBL.

Ketiga, pemahaman tentang prinsip-prinsip Problem Based Learning adalah: (a) 55 orang atau 55%

guru menyatakan sebagaian besar memahami prinsip-prinsip PBL; (b) 45 orang atau 45% guru

menyatakan belum memahami prinsip-prinsip PBL.

Keempat, Informasi tentang Problem Based Learning adalah: (a) 8 orang atau 8% guru menyatakan

belum pernah menerima sosialisasi PBL; (b) 84 orang atau 84% guru menyatakan PBL pernah

menerima sosialisasi baik yang diselenggarakan sekolah, maupun pihak luar; (c) 8 orang atau 8%

guru menyatakan mendapat informasi PBL dari sumber pustaka.

Kelima, penyampaian informasi tentang Problem Based Learning dalam pelatihan adalah: (a) 63

orang atau 63% guru menyatakan bahwa PBL disampaikan dalam pelatihan kurikulum 2013; (b) 37

orang atau 37% guru menyatakan bahwa PBL disampaikan dalam pelatihan kurikulum 2013;

Keenam, penerapan Problem Based Learning di SMK adalah: (a) 13 orang atau 13% guru

menyatakan baru pada tahap pemahaman implementasi PBL; (b) 44 orang atau 44% guru

menyatakan beberapa guru telah menerapkan; (c) 23 orang atau 23% guru menyatakan telah

menerapkan secara efektif; (d) 20 orang atau 20 % guru menyatakan telah menerapkan PBL secara

berkelanjutan.

Ketujuh, kesesuaian dengan pendekatan saintifik adalah: (a) 90 orang atau 90% guru menyatakan

bahwa PBL sesuai dengan pendekatan saintifik dalam penerapan Kurikulum 2013; (b) 10 orang

Page 124: Scanned by CamScanner - ULM

118 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

atau 10% guru menyatakan bahwa PBL kurang atau tidak sesuai dengan pendekatan saintifik dalam

penerapan Kurikulum 2013.

Kedelapan, kemungkinan penerapan Problem Based Learning adalah: (a) 94 orang atau 94% guru

menyatakan bahwa PBL sangat mungkin diterapkan dalam penerapan Kurikulum 2013; (b) 6 orang

atau 6% guru menyatakan bahwa PBL tidak mungkin diterapkan dalam penerapan Kurikulum 2013.

Kesembilan, mata pelajaran yang sesuai untuk menerapkan Problem Based Learning adalah : (a) 48

orang atau 48% guru menyatakan bahwa PBL cocok diterapkan di semua mata pelajaran, (b) 51

orang atau 51% guru menyatakan bahwa PBL cocok diterapkan di mata pelajaran produktif, (c) 5

orang atau 5% guru menyatakan bahwa PBL cocok diterapak pada mata pelajaran teori.

Kesepuluh, kelayakan penerapan Problem Based Learning adalah: (a) 58 orang atau 58% guru

menyatakan bahwa PBL dapat diterapkan pada semua tingkat; (b) 9 orang atau 9% guru

menyatakan bahwa PBL cocok diterapkan untuk siswa Tingkat I; (c) 27 orang atau 27% guru

menyatakan bahwa PBL cocok diterapkan untuk siswa Tingkat II; (d) 9 orang atau 9% guru

menyatakan bahwa PBL cocok diterapkan untuk siswa Tingkat III.

Kesebelas, program yang dibutuhkan dalam implementasi Problem Based Learning, Sebagian

besar guru menyatakan bahwa dalam implemetasi PBL dibutuhkan sosialisasi, penyusunan

perangkat, perencanaan pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran.

Kedua belas, perangkat yang dibutuhkan dalam implementasi Problem Based Learning, Sebagian

besar guru menyatakan bahwa dalam implementasi PBL diperlukan RPP, buku ajar, modul, bahan

ajar, media, dan alat evaluasi.

Ketiga belas, kemanfaatan Problem Based Learning adalah: (a) 42 orang atau 42% guru

menyatakan belum merasakan manfaat dari PBL; (b) 58 orang atau 58% guru menyatakan sudah

merasakan manfaat dari PBL.

Berdasarkan data di tersebut dapat dicermati bahwa padadasarnya sekolah maupun guru memiliki

potensi yang cukup dalam mengimplementasikan PBL. Semua guru juga menunjukkan persepsi

positif tentang PBL dan menyatakan bahwa PBL memiliki keuntungan dalam meningkatkan

kemampuan siswa baik dalam aspek hard skill maupun soft skills.

Kondisi Pembelajaran dalam Penerapan PBL

Berdasarkan refleksi dari pelaksanaan PBL di sembilan kelompok meliputi SMK bidang teknik

mesin, teknik otomotif, dan tata boga, terdapat beberapa hasil implementasi PBL dalam penerapan

Kurikulum 2013.

Pertama, menurut para guru, PBL merupakan pembelajaran yang mudah direncanakan. Namun

demikian dalam aplikasinya masih dibutuhkan waktu cukup panjang bagi guru untuk memulai

merencanakan pembelajaran. Hal ini terutama menyangkut keraguan guru apakah memang PBL

Page 125: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 119

bisa diterapkan selaras dengan pembelajaran yang diharapkan dalam penerapan Kurikulum 2013.

Masih dibutuhkan waktu bagi tim guru untuk meyakini bahwa PBL memang selaras dengan

pembelajaran yang diharapkan di Kurikulum 2013. Dalam implementasi PBL penekanan bahwa

PBL adalah pembelajaran yang selaras dengan pendekatan saintifik sangat penting ditegaskan. Hal

ini akan mengurangi keraguan guru dalam merencanakan pembelajaran dengan PBL.

Kedua, para guru mengemukakan bahwa PBL akan lebih mudah diterapkan bila didukung dengan

materi, media, dan bahan ajar yang lengkap. Dengan materi, media, dan bahan ajar yang lengkap

maka guru akan leluasa mendesain permasalahan sesuai dengan karakteristik siswa. Dengan

demikian kemampuan guru dalam mengembangkan materi pembelajaran, media, dan bahan ajar

merupakan salah satu kunci keberhasilan penerapan PBL.

Ketiga, PBL dapat diterapkan baik pada materi yang sederhana maupun kompleks. Untuk materi

yang sederhana PBL dapat diterapkan dengan lebih mudah, namun untuk materi yang sifatnya

kompleks beberapa guru yang mencoba masih mengalami kesulitan di tahap-tahap awal. Oleh

karenanya guru perlu mencoba penerapan PBL dalam materi pembelajaran yang sederhana terlebih

dahulu, setelah memiliki pengalaman dapat menerapkan di materi yang lebih kompleks. Demikian

halnya dalam pembelajaran teori, sebagian besar guru menyatakan PBL lebih mudah diterapkan

dalam pembelajaran teori meskipun bukan berarti tidak dapat diterapkan di pembelajaran praktek.

Untuk pembelajaran praktek, aspek PBL perlu ditekanakan dalam upaya membangun kerangka

pikir “bagaimana supaya praktek dapat dilakukan dengan tepat dan efisien”. Sehingga PBL tidak

dimaksudkan untuk merubah atau mempertanyakan metode praktek yang sudah baku.

Keempat, para guru menyatakan bahwa PBL mampu menunjang pembelajaran dalam penerapan

Kurikulum 2013. Kemampuan-kemampuan yang muncul tidak hanya menyangkut penguasaan

siswa terhadap materi pembelajaran, namun kemampuan lain yang bersifat afektif atau soft skills

dapat berkembang dengan baik. Kemampuan tersebut meliputi kemampuan bertanya,

mengemukakan pendapat, kerjasama, disiplin, kerja keras, keaktifan, dan kreatifitas. Dengan

demikian jelas bahwa PBL dapat meningkatkan kompetensi siswa secara komprehensif meliputi

aspek knowledge, attitude, dan skill.

Kelima, aspek yang paling krusial dan dirasa membutuhkan kerja keras dalam pendekatan saintifik

dan PBL adalah mengorganisasi pertanyaan atau menumbuhkan kemampuan siswa untuk menanya.

Hal ini dirasakah oleh sebagian besar guru. Dalam aspek yang lain seperti mengumpulkan data,

mengasosiasi, dan mengomunikasi siswa relative tidak mengalami kesulitan yang berarti. Oleh

karenanya kemampuan menanya bagi siswa merupakan aspek penting yang perlu ditingkatkan.

Page 126: Scanned by CamScanner - ULM

120 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Keenam, sebagian besar guru menyatakan bahwa kunci keberhasilan guru dalam

mengimplementasikan PBL adalah kemampuan untuk mendesain problem atau permasalahan.

Makin beragam dan makin kontekstual problem yang didesain makin memudahkan guru dalam

mengelola kelas. Iklim kelas akan sangat ditentukan oleh seberapa baik permasalahan dirumuskan.

Berdasarkan catatan-catatan tersebut, maka langkah awal yang perlu dilakukan dalam menerapkan

PBL adalah merubah pola pikir pengajar tentang PBL. Perlu diyakinkan bahwa PBL merupakan

pembelajaran yang dapat diterapkan dalam mendukung pembelajaran di Kurikulum 2013. Langkah

berikutnya adalah perlunya pelatihan guru dalam menerapkan PBL, menyiapkan materi ajar, media,

dan bahan ajar. PBL terbukti mampu meningkatkan kompetensi siswa dalam aspek kemampuan

(hard skills) maupun sikap (soft skills).

SIMPULAN

PBL sangat potensial diterapkan dalam penerapan Kurikulum 2013 di SMK. Kesesuaian

implementasi pembelajaran dalam penerapan Kurikulum 2013 termasuk kategori Sebagian besar

guru menyatakan bahwa PBL layak diterapkan di setiap mata pelajaran dalam implementasi

Kurikulum 2013. langkah awal yang perlu dilakukan dalam menerapkan PBL adalah merubah pola

pikir pengajar tentang PBL. Perlu diyakinkan bahwa PBL merupakan pembelajaran yang dapat

diterapkan dalam mendukung pembelajaran di Kurikulum 2013. Langkah berikutnya adalah

perlunya pelatihan guru dalam menerapkan PBL, menyiapkan materi ajar, media, dan bahan ajar

DAFTAR PUSTAKA

21st Century Student Outcome and Support System. Diambil dari www.21stcenturyskills.org., pada

tanggal 23 April 2011.

Demitra (2003). Pembelajaran Pemecahan Masalah Matematika Sekolah Dasar dengan Pendekatan

Problem Based Learning. Makalah. Disampaikan dalam Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran

di Hotel Inna Garuda Tanggal 22 – 23 Agustus 2003.

Depdiknas. (2003). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Depdikbud. (2013). Permendikbud No 65 Tahun 2013 Tentang Standar Proses. .

Nurhadi. (2004). Kurikulum 2002: Pertanyaan & Jawaban. Jakarta: Grasindo.

Sukamto. (2001). Perubahan karalteristik dunia kerja dan revitalisasi pembelajaran dalam

kurikulum pendidikan kejuruan. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Pendidikan Kejuruan pada

Fakultas Teknik UNY, tanggal 5 Mei 2001.

Tan, Oon-Seng. (2009). Problem-based Learningand Creativity. Singapore: Cengage Learning Asia

Pte Ltd.

Page 127: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 121

Wardiman. (2016). Sepanjang Jalan Kenangan, Bekerja dengan Tiga Tokoh Besar Bangsa. Jakarta:

Kepustakaan Populer Gramedia.

Wagiran.(2010a). Pengembangan Pembelajaran Model Problem Based Learning dengan Media

Pembelajaran Berbantuan Komputer dalam Matadiklat Measuring bagi Siswa SMK (Tahun Kedua).

Yogyakarta: Lembaga Penelitian UNY.

Page 128: Scanned by CamScanner - ULM

122 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

INCREASED COMPETENCY THROUGH TRAINING INTERVENTIONS Survey in PT Kimia Farma Pharmacy Business Unit of the City Depok 2016

Iffah Budiningsih1 , Tjiptogoro Dinarjo Soehari2, Masduki Ahmad3

[email protected], [email protected], [email protected]

1,2,3 Lecturer of University Islam As Syafi’iyah, Jakarta – Indonesia

ABSTRACT

This purpose of this is to determine the influence of training interventions toward the improvement

of the competence of employee work in the era of digitalization.Research methods The survey

method used was correlation between the independent variable (X) training intervention and

dependent variable (Y) workplace competencies. Regression analysis is used to determine the

model of the reletionship between the variable Y (work competence) and X (intervention training),

while the correlation analysis to determine whether the relationship between the variable Y

(competence) and X (training intervention). The target population in this study are employees of PT

Kimia Farma Pharmacy in Depok City and tee level of employees in this research are assistant

manager, supervisor, and clerks. The total number of population is 96 employees; and all of the

population made a sample reserach. Engineering data retrie by using of non instrument test

(questionnaire) using the likert scale. The results of the research are : (a) in era of information

technology progress of training intervention still give positive influence and strong as an

instrument toenhance employee competence, particulary related to incerased motivation to achieve

organizational targets and objectives; (b) incerased employee competencies can be predicted by

intervention training by using simple regression model of Y= 0,878 + 0,777 X; (c) training

contribute to the achievement of competencies work for as much as 45.5%, while the remaining

55,5 % of other factor such as, working environment, leaders’ support, reward system, suport

infrastructure support work, etc. The recommendations are: (a) for the purpose of the attainment

o0f competencies “new skill” competence; more advisable to use intervantion internship or

mentoring expert to the work of the training intervention (employees won’t to leave the

workplace and work as usually;(b) intervention training will provide for employee career

development system and the progress of the company/organizaztion if training is managed

systematically and sustainably managed.

Keywords : Intervention , competence, training

Page 129: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 123

PENDAHULUAN

Pelatihan merupakan salah bentuk implementasi dari pembelajaran orang dewasa atau sering

disebut dengan andragogy. Andragogy dari kata ‘egogos‘ yang artinya membimbing, sehingga

secara harfiah mempunyai makna yaitu upaya membimbing orang dewasauntuk tujuan peningkatan

sikap, pengetahuan maupun keterampilannya. Makna dari definisi orang dewasa secara sosial dan

psikologi adalah individu yang telah mempunyai ‘peran’ dapat mengarahkan dirinya sendiri (self

directing). Pelatihan muncul ketika setiap individu dewasa yang telah mendapatkan peran dalam

kehidupannya baik berkaitan dengan pekerjaannya, kehidupan keluarga, kemasyarakatan dll,

menyadaridiperlukan peraturan, etika atau ketarampilan baru yang sebelumnya belum dimiliki guna

menjalankan peran dalam kehidupannya; mereka menyadari ternyata banyak hal yang harus

dipelajari lagi, sehingga perlu pelatihan.Secara umum tujuan dari pelatihan adalah untuk

mengembangkan keterampilan baru, pengetahuan atau keahlian yang dibutuhkan dalam

menjalankan perannya (pekerjaannya). Pendekatan belajar orang dewasa pada umunya dimulai dari

situasi peran dalam kehidupannya seringkali terkait dengan pekerjaannya, sehingga pelatihan

dimulai dari kemampuanapa atau kompetensi apa yang belum atau kurang dimiliki untuk

menjalankan peran yang sebaik mungkin dalam pekerjaannya (untuk memenuhi standar minimal).

Seiring dengan perjalanan waktu dan berkembangnya IPTEK khususnya teknologi informasi

berakibat pada terjadinya perubahan budaya dalam menjalani kehidupan termasuk juga dalam

budaya organisasi/perusahaan. Kemajuan Teknologi informasi berdampak pada berkembangnya

konsep dalamproses pembelajaran yaitu bahwa pembelajaran/pelatihan dapat dilakukan dimana

saja, kapan saja, dan oleh siapa saja; hal tersebut memberikan implikasi bahwa untuk proses

pembelajaran/pelatihan dapat dilakukan dengan tanpa ruang kelas, tanpa guru (tidak ada tatap

muka), sehingga hal tersebut memberikan keuntungan dalam pembiayaan atau lebih efisien.

Kegiatan pelatihan pada umumnyamemerlukan biaya yang cukup mahal, tidak hanya dari sudut

pandang biaya pengembangan dan pengiriman karyawan, tetapi yang lebih penting karyawan

harus mengorbankan waktu meninggalkan pekerjaannya untuk mengikuti pelatihan yang

seharusnya untuk menghasilkan sesuatu. Studi terbaru dari Baldwin dan Ford (1988) dan Ford dan

Weissbein, (1997) menunjukkan bahwa hanya ada sedikit efek transfer dari pelatihan untuk

pekerjaannya sekitar 10% - 20% setelah setahun pelatihan dan tidak banyak intervensi

peningkatan kinerja. Pendapat beberapa orang bahwa kinerja dapat ditingkatkan dengan cara yang

lebih murah (misalnya, penghapusan tugas-tugas yang tidak kompatibel, pengenalan sistem umpan

balik, dll), maka rasio biaya-manfaat yang lebih tinggi dapat diturunkan Saat ini berkembang bahwa

Page 130: Scanned by CamScanner - ULM

124 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

program training boleh jadi hanya sebagai salah satu intervensi untuk meningkatkan kemampuan

seseornag guna memperoleh perilaku/kemampuan/kinerja baru untuk menjalankan mesin-mesin

baru, dan banyak intervensi untuk meningkatkan kinerja seseorang tanpa harus meninggalkan

pekerjaannya, misal : mengundang tenaga ahli untuk pendampingan mengoperasionalkan mesin

baru tersebut, dll

Seringkali pelatihan yang diberikan kepada karyawan tidak memberi dampak terhadap

perubahan sikap, pengetahuan dan keterampilannya sehingga berdampak tidak berubahnya cara

kerja karyawan tersebut, padahal tujuan utama mengikuti pelatihan adalah untuk meningkatkan

sikap, pengetahuan dan ketarmpilan kerja (berubah menjadi lebih baik); hal tersebut mungkin salah

satu penyebabnya adalah bahwa pelatihanyang diberikan tidak berdasarkan pada kebutuhan yang

diperlukan oleh karyawan. Program pelatihandapat tidak berhasil meningkatkan kinerja karyawan

karena pengetahuan & keterampilan yang diperolah tidak relevan dengan peran, tugas, serta

aktivitas karyawan sehari-hari.Hasil penelitian Alireza D. (19...) tentangintervensi pelatihan dengan

judul penelitiannya : “Developing an intervention program to reduce ergonomic risk factors among

office employees”, menunjukkan bahwa intervensi training menunjukkan efek positif dalam

memperbaiki penampilan kerja ketika menjalankan pekerjaan di kantor.

Faktor kompetensi karyawan dalam menjalankan pekerjaan sehari-hari memegang peranan

yang cukup penting ditengah persaingan industri di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang

kian ketat dan termasuk di dalamnya industri farmasi. Industri farmasi di Indonesia perkembangan

dan tumbuh sangat pesat seiring dengan pertumbuhan penduduk Indonesia, dan perkembangan

properti perumahan tempat tinggal sebagai akibat pertambahan jumlah penduduk; hal tersebut

memberikan implikasi pada pertumbuhan industri retail obat-obatan (farmasi). PT. Kimia Farma

yang telah berdiri di Indonesia sejak Th 1958 hingga saat ini telah membangun sistem karier bagi

para karyawannya melalui peningkatan kapasitas SDM di semua level dalam rangka

mengantisipasi kebutuhan industri, yaitu tersedianya SDM profesional yang mampu mewujudkan

visi dan misi PT. Kimia Farma yaitu SDM yang mempunyai kompetensi untuk memenuhi standar

minimal profesionalisme.

Kompetensi atau kemampuan yang dimiliki seseorang pada umumnya diperoleh setelah

melalui proses pendidikan yaitu pendidikan formal seperti : melalui jenjang pendidikan mulai dari

SD sampai tingkat tingkat tertinggi (S3); kompetensi juga dapat diperoleh melalui pendidikan non

formal/informal pengalaman magang, kursus, pendampingan ahli, praktek terus menerus dll.

Kompetensi merupakan hasil dari proses pembelajaran atau learning outcome sehingga kompetensi

merupakan karakteristik/ciri yang telah dimilki seseorang setelah melalaui proses pembelajaran

yang menyangkut sikap (nilai-nilai), pengetahuan, dan keterampilan (skill) yang selanjuntnya

digunakan untuk melaksanakan pekerjaan tertentu. Dalamn penelitian ini sebagai subyek adalah

Page 131: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 125

karyawan Apotik Kimia Farma Kota Kota Depok yang merupakan Unit Bisnis dari PT Kimia

Farma. Secara umum karyawan PT Kimia Farma Unit Bisnis Kota Depok membutuhan kompetensi

kerja yang intinya bagaimana memberikan ‘pelayanan prima’ kepada pelangggannya.

Kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) karyawan PT Kimia Farma termasuk salah satu Unit

Bisnisnya yaitu Apotik Kimia Farma Kota Kota Depok memegang peranan penting mewujudkan

visi dan misi PT. Kimia Farma menjadi perusahaan HEALTHCAREpilihan utama masyarakat yang

terintegrasi dan menghasilkan nilai-nilai yang berkesinambungan; untuk itu diperlukan SDM yang

profesional yang mempunytai kompetensi diatas standar guna mewujudkan Good Corporate

Governance serta Operational Excellence yang harus dijalankan visi dan misi semua Unit Bisnis

PT. Kimia Farma.Upaya untuk mencapai visi dan misi PT. Kimia Farma tersebut dilakukan

senantiasa memandang karyawan Kimia Farma sebagai Human Capitalyang merupakan asset PT

Kimia Farma yang paling berharga yang harus dijaga dan ditingkatkan kompetensi, pengembangan

karir, kinerja serta kesejahteraannya; sehingga menumbuhkan rasa kenyamanan dan kebanggaan

kepada PT. Kimia Farma.Proses pengelolaan SDM di Kimia Farma dikelola dengan framework

Manajemen SDM berbasis kompetensi yang diotomasi dalam sistem HCIS (Human Capital

Information System) mulai diberlakukan sejak Januari 2012. Sistem ini dijalankan secara

terintegrasi dan bertahap antara Kantor Pusat Kimia Farma sebagai Holding dengan Strategic

Business Unit (SBU) yang dimiliki oleh Kimia Farma dan/atau seluruh anak perusahaan.

Secara garis besar klasifikasi kompetensi pada Human Capital Management System yang

diterapkan di PT. Kimia Farma meliputi :Core Competency (kompetensi inti) dan Non Core

Competency(kompetensi non inti). Untuk Kompetensi inti terkait dengan karakteristik perusahaan

PT Kimia Farma yaituHEALTCARE; sedangkan kompetensi non inti adalah kompetensi yang

disyaratkan sesuai dengan unit bisnisnya dan posisi karyawannya . Adapun kompetensi non inti

Kimia Farma terbagi atas : a) Soft Competency, yang diperoleh dan diperkuat melalui berbagai :

Pelatihan, seperti : penjenjangan posisi/jabatan, Self Motivation, Communication Skill, Coaching &

Mentoringdll; b) Hard Competency, yang meliputi pelatihan : Product Knowledge, Manajemen

Perusahaan, Supply Chain Manajemen, Risk Managementdll

Berbagai pelatihan diberikan kepada karyawan PT. Kimia Farma, namun yang menjadi

permasalahan adalah tidak semua tujuan pembekalan atau perkuatan kompetensi melalui berbagai

pelatihan tersebut menghasilkan kompetensi karyawan yang sesuai dengan standart minimal dan

dapat menghasilkan kinerja yang diharapkan.

Sesuai Surat Keputusan Direksi PT. Kimia Farma Apotek, standar kompetensi pegawai PT. Kimia

Farma Apotek dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu : a) Tinggi ≥ 86; b) Sedang 75 – 85; c)

Page 132: Scanned by CamScanner - ULM

126 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Rendah ≤ 74; dan yang disarankan adalah karyawan yang mempunyai skor kompetensi “tinggi”.

Hasil pengukuran kompetensi tahun 2014 terhadap 60 karyawan dari 96 karyawan di Apotik Kimia

Farma Kota Depok, yaitu : 9 orang level Asisten Manajer (Asman), 3 orang level Supervisor dan 48

orang level Pelaksana. Dari 60 karyawan ternyata yang memenuhi standar skor kompetensi PT

Kimia Farma yaitu “tinggi” hanya mencapai 20 % dari 60 karyawan baik Asisten Manager,

Supervisor maupun pelaksana; sisanya 80 % perlu ditingkatkan kompetensinya. Pelatihan

merupakan salah satu bentuk intervensi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kompetensi baik

hard competencymaupun soft competency.

Data pelatihan karyawan Apotik Kimia Farma Unit Bisnis Kota Depok pada Th 2015

menunjukkan Total Man Hour Training(THM) yang telah dicapai sebesar 35,60 jam/pegawai.;

sedangkan Standar Man Hour Training yang ditetapkan perusahaan PT Kimia Farma untuk tahun

2015 adalah sejumlah 32 jam/pegawai; dengan demikian pelatihan untuk karyawan Apotik Kimia

Farma Unit Bisnis Kota Depoktelah melebihi standar yang ditetapkan PT Kimia Farma, sehingga

diharapkan terdapat peningkatan kompetensi pada Tahun-tahun berikutnya dan memberikan

dampak pada peningkatan kinerjanya. Dari uraian tersebut di atas, maka dapat diidentifikasi

permasalahan SDM perusahaan PT. Kimia Farma Unit Bisnis Kota Depok pada Tahun 2013-2014 :

Dari hasil pengukuran kompetensi di tahun 2015 terhadap 60 karyawan yang dilakukan tes uji

kompetensi, hanya 20% yang memenuhi standar skor kompetensi PT. Kimia Farma Apotek dan

sisanya 80 % tidak memenuhi standar skor kompetensi perusahaan, yaitu : 32 % memiliki skor

kompetensi ‘sedang’ dan 48 % memiliki skor kompetensi ‘rendah’

Dari data pelatihan pegawai yang dilaksanakan di tahun 2015 sejumlah 3.412 jam pelatihan bagi 96

orang karyawan, diperoleh Man Hour Training (MHT) Kimia Farma Apotek Unit Bisnis Kota

Depok di tahun 2015 telah dilakukan sebesar 35,6 jam/pegawai dari standar yang ditetapkan

perusahaan sebesar 32 MHT Tahun 2015. Namundengan MHT yang melebihi standar

perusahaanternyatabelum terlihat nyata adanya dampak yang signifikan dari hasil pelatihan tersebut

kepada peningkatan kompetensi karyawan Apotek Kimia Farma Unit Bisnis Kota Depok di tahun

2015.

Dari masalah yang telah teridentifikasi tersebut di atas, perlu kiranya dilakukan penelitian

pengaruh intervensi pelatihan terhadap pencapaian kompenetensi kerja karyawan Apotik Kimia

Farma Unit Bisnis Kota Depok dengan rumusan masalah : Apakah intervensi pelatihan karyawan

berpengaruh terhadap peningkatan kompetensi kerja karyawan Kimia Farma Unit Bisnis Apotek

Kota Depok ? seberapa besar kontribusinya terhadap peningkatan kompetensi ? apakah training

Page 133: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 127

masih dipetahankan sebagai solusi untuk peningkatan kompetensi dengan catatan perlunya adanya

inovasi berbagai metode training ?

II. KAJIAN PUSTAKA

A. KOMPETENSI

Menurut Undang Undang RI No. 20/2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional, pasal 35 (1)

yang dimaksud dengan kompetensi adalah :kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup

sikap,pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standard nasional yang telah disepakati”.

Sedangkan menurut Undang-Undang RI No13/2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 1 (10) yang

dimaksud kompetensi adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan,

keterampilan dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan. Noe (2015: 14),

mengemukakan bahwa kompetensi sumber daya manusia (SDM) professional adalah kemampuan

menerapkan prinsip-prinsip manajemen SDM untuk berkontribusi terhadap keberhasilan bisnis;

yang diindikasikan adanya ; a) kemampuan mengelola interaksi dengan pelanggan dan stakeholder

lainnya; b) kemampuan dapat memberikan solusi bagi perusahaan ketika menghadapi persoalan dan

situasi yang pelik; c) kemampuan berinisiatif, d) kemampuan memberikan umpan balik yang

efektif; e) kemampuan bekerja efektif dengan semua kalangan; f) kemampuan mengintegrasikan

nilai-nilai perusahaan ke dalam pekerjaan; g) cakap menterjemahkan informasi sehingga mampu

memberikan rekomendasi terbaik; h) kemampuan memahami matrik fungsi bisnis, organisasi dan

industri.

Shermon (2011: 11), mengemukakan bahwa kompetensi adalah karakteristik seseorang,

yang memungkinkan dirinya menghasilkan kinerja yang terbaik atas tugas yang diberikan

kepadanya. Kompetensi memiliki dua arti: kemampuan seseorang untuk berkinerja terbaik pada

area tugas, dan sesuatu yang dimiliki seseorang untuk mewujudkan kinerja efektif. Susanto (2000)

mendefinisikan kompetensi sebagai karakteristik-karakteristik yang mendasari individu untuk

mencapai kinerja superior. Menurut Palan (2007: 6) kompetensi adalah karakter dasar seseorang

yang mengindikasikan cara berperilaku atau berpikir yang yang menggambarkan motif,

karakteristik pribadi, konsep diri, nilai-nilai, pengetahuan, keahlian/keterampilan yang berlaku

dalam cakupan situasi yang sangat luas dan bertahan untuk waktu yang lama yang dapat berkinerja

unggul di tempat kerja. Seseorang dikatakan berkinerja unggul apabila dalam bekerja menunjukkan

kinerjanya di atas rata-rata karyawan pada umumnya dan menurut Palan (2007 :60) biasanya hanya

Page 134: Scanned by CamScanner - ULM

128 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

mencapai 10 % dari total karyawan. Dimensi kompetensi dalam rujukan buku Kompetensi PT.

Kimia Farma (Persero) Tbk (2012) adalah :

1. Kompetensi Pribadi (Personality)adalah kematangan pribadi yang dapat difungsikan

untuk berinteraksi dan bekerja secara efektif dengan berbagai kalangan pelanggan (internal

maupun eksternal) terdiri dari 5 indikator, yaitu :a) flexibility, b) integrity, c) interpersonal

understanding, d) learning and adaptibility , e) self confidence.

2. Kompetensi Kepemimpinan (Leadership) adalah kumpulan pengetahuan dan kemampuan

yang terbentuk dari pengalaman dalam mengelola pekerjaan/bisnis dan sumberdaya kerja ,terdiri

dari 4 indikator : a) building coalition, b) change leadership, c) developing organizational talent,

d) strategic information and communication.

3. Kompetensi Bisnis(Business) adalah pengetahuan dan kemampuan/keterampilan yang

terbentuk dari pengalaman di dalam mengelola pekerjaan/bisnis terdiri dari 4 indikator : a)

business acumen, c) customer and market focus , d) strategic networking, e) strategic

planning, f) visioning.

Dari uraian tersebut di atas , maka yang dimaksud dengan kompetensi adalah kemampuan kerja

setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang

menggambarkan motif, karakteristik pribadi, konsep diri, nilai-nilai, pengetahuan,

keahlian/keterampilan yang berlaku dalam cakupan situasi yang sangat luas dan bertahan untuk

waktu yang lama yang dapat berkinerja unggul di tempat kerja sesuai dengan standar kerja di

lingkungan kerjanya.

B. PELATIHAN

Menurut Gomes (1997 : 197), “Pelatihan adalah setiap usaha untuk memperbaiki prestasi kerja pada

suatu pekerjaan tertentu yang sedang menjadi tanggung jawabnya. Idealnya, pelatihan harus

dirancang untuk mewujudkan tujuan – tujuan organisasi, yang pada waktu bersamaan juga

mewujudkan tujuan – tujuan para pekerja secara perorangan. Selanjutnya menurut Gary Dessler

(1997 : 263) pelatihan adalah “Proses mengajarkan karyawan baru atau yang ada sekarang, tentang

keterampilan dasar yang mereka butuhkan untuk menjalankan pekerjaan mereka”; sedangkan

menurut John R. Schermerhorn, Jr (1999 : 323), pelatihan merupakan “serangkaian aktivitas yang

memberikan kesempatan untuk mendapatkan dan meningkatkanketerampilan yang berkaitan

dengan pekerjaan”.Ivancevich (2001:379) menyatakan bahwa arti pelatihan adalah proses dan usaha

untuk meningkatkan kapasitas karyawan melalui informasi, keahlian dan pemahaman i tentang

organisasi dan tujuannya.

Menurut Goldstein dalam J. Patrick (1992 :2)pelatihan adalah proses akuisisi keterampilan, konsep,

atau sikap yang mengakibatkan peningkatan kinerja di pada situasi pekerjaan. Pelatihan erat

berkaitan dengan transfer teori, prinsip-prinsip atau keterampilan tertentu. Namun, sebenarnya

Page 135: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 129

pelatihan bukan hanya transfer teori, prinsip-prinsip atau keterampilan tetapi lebih ke arah

perubahan perilaku yang dapat diwujudkan dalam bentuk peningkatan kinerja terkait dengan

pelaksanaan pekerjaan. Sebagian orang keberatan atas harapan terhadap hasil pelatihan yaitu dapat

berdampak pada peningkatan kinerja. Sementara banyak kalangan berpendapat bahwa pelatihan

tidak secara langsung berdampak pada peningkatan kinerja tetapi lebih pada peningkatan

kompetensi yang merupakan output pelatihan. Baldwin, dan Ford ( 1988) berpendapat bahwa

palatihan pada umumnya mahal, bukan saja dilihat dari sudut pengembangan dan pengiriman

karyawan, tetapi yang lebih penting dilihat dari aspek bahwa karyawan harus meninggalkan

pekerjaan untuk beberapa waktu tertentu yang seharusnya dapat menghasilkan/memproduksi

sesuatu. Selanjutnya Baldwin dan Ford mengemukakan bahwa hasil beberapa studi menunjukkan

hanya sedikit efek transfer dari pelatihan untuk peningkatan kinerja pekerjaannya, yaitu sekitar 10-

20 %.

Saat ini masih banyak orang beranggapan bahwa training merupakan intervensi yang efektif

dilakukan untuk mengatasi masalah kinerja karyawan, namun pelatihan sebenarnya merupakan

salah satu upaya untuk mengatasi masalah kinerja. J Patrick (1992 : 5) memberikan solusi selain

training yaitu : a) mengganti posisi orang yang berkinerja tidak bagus dengan orang-orang yang

berkinerja bagus yaitu orang yang memiliki kemampuan & sikap yang sesuai untuk menyelesaikan

tugas2 yang tidak dapat dikerjakan oleh karyawan yang sebelumnya; b) melatih orang - orang

terpilih untuk menjadi lebih terampil dalam melakukan tugas; c) desain ulang persyaratan tugas

atau mengubah persyaratan kinerja. Ke-tiga pilihan alternatif tersebut dapat digunakan sebagai

solusi permasalahan kinerja secara bersamaan atau kombinasi dua diantara ke tiganya. Pilihan

solusi alternatif-alternatif tersebut guna menyelesaikan masalah kinerja dipengaruhi oleh banyak

faktor, seperti : a) ketersediaan sumber daya tenaga kerja dan keuangan; b) budaya organisasi; c)

kendala tim pelaksana; d) ketersediaan tenaga ahli; e) sarana dan prasarana pelatihan dll.

Menurut J. Patrick& Wendy K.Patrick (2009 :3) pelatihan akan memberikan manfaat pada

peningkatan kinerja karyawan apabila selama proses pelatihan dan setelah kembali bekerja

dilakukan evaluasi secara cermat dan komprehensif , yaitu meliputi 4 (empat) tingkatan :

1. Evaluasi tingkat 1 : evaluasi untuk melihat tingkat reaksi positif peserta terhadap

acara/agenda pelatihan;

2. Evaluasi tingkat 2 : evaluasi untuk melihat tingkat keinginan peserta mendapatkan

pengetahuan, keterampilan dan sikap yang didasarkan pada partisipasi mereka dalam acara/agenda

pelatihan (sejauhmana nanti peserta dapat perperan atau berpartisipasi dalam sharing

pengalaman selama pelatihan);

Page 136: Scanned by CamScanner - ULM

130 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

3. Evaluasi tingkat 3 : evaluasi untuk melihat tingkat peserta dalam menerapkan apa

yangdipelajari selama pelatihan ketika mereka kembali di tempat kerja;

4. Evaluasi tingkat 4 : Untuk melihat tingkat hasil yang ditargetkan dan menetukan kegiatan

pelatihan dan penguatan berikutnya.

Selanjunya D. Patrick dalam J. Patrick & Wendy K Patrick (2009 : 3)berpendapat bahwa pelatihan

akan memberikan bermanfaat bagi sebuah organisasi apabila pelatihan dimulai dengan identifikasi

tentang hasil apa yang diinginkan dan menentukan perilaku apa yang diperlukan untuk mencapai

terget kinerja; juga bagaimana membuat kondisi pelatihan yang memungkinkan para peserta dapat

berpartisipasi aktif selama pelatihan berlangsung (memberikan reaksi poritif). Menurut Noe (2012 )

keberhasilan pelatihan ditentukan antara lain : kesiapan peserta pelatihan, lingkungan/suasana

pelatihan, iklim perusahaan/organisasi, metode& media palatihan dan evaluasi pelatihan.

Dari uraian tersebut diatas,maka yang dimaksud dengan pelatihan adalah serangkaian

aktivitas terencana yang dapat meningkatkan pemahaman teori, prinsip-prinsip dan keterampilan

kerja sehingga terjadi perubahan perilaku yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan kompetensi

kerja yang dipengaruhi oleh kesiapan peserta pelatihan, lingkungan/suasana pelatihan, iklim

perusahaan/organisasi, metode & media palatihan dan evaluasi pelatihan.

III. METODE PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji dan menganalisis pengaruh intervensi pelatihan

terhadap peningkatan kompetensi kerja karyawan Apotek Kimia Farma Unit Bisnis Kota Kota

Depok. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei korelasional antara variabel

independen intervensi pelatihan (X) dan variabel dependen kompetensi kerja (Y). Analisis regresi

digunakan untuk menentukan model hubungan antara variabel Y (kompetensi) dengan X (intervensi

pelatihan), sedangkan analisis korelasi untuk menentukan kuat tidaknya hubungan antara variabel Y

(kompetensi kerja ) dan X (intervensi pelatihan). Populasi target dalam penelitian ini adalah

karyawan PT. Kimia Farma Apotek Unit Bisnis Kota Kota Depok dengan level Asisten Manajer,

Supervisor dan Pelaksana yang berjumlah 96 orang karyawan, dan kesemua populasi dijadikan

sampel penelitian. Teknik pengambilan data dengan menggunakan instrumen non tes (kuesioner)

dengan menggunakan skala likert yaitu : kategori sangat setuju ( skor= 5), kategori setuju (skor =

4), kategori cukup setuju (skor = 3), kategori tidak setuju (skor = 2) dan kategori sangat tidak setuju

(skor = 1). Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif (tendensi

sentral) dan analisis inferensial,(analisis korelasi dan regresi linier sederhana) dengan bantuan

program SPPS for Window. Definisi operasional untuk kedua variabel penelitian sebagai berikut :

Definisi Operasional Variabel Kompetensi (Y) :

Page 137: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 131

Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan,

keterampilan dan sikap kerja yang menggambarkan motif, karakteristik pribadi, konsep diri, nilai-

nilai, pengetahuan, keahlian/keterampilan yang berlaku dalam cakupan situasi yang sangat luas dan

bertahan untuk waktu yang lama yang dapat berkinerja unggul di tempat kerja sesuai dengan

standar kerja di lingkungan kerjanya.

Definisi Operasional Variabel Pelatihan (Y) :

Pelatihan adalah serangkaian aktivitas terencana yang dapat meningkatkan pemahaman teori,

prinsip-prinsip dan keterampilan kerja sehingga terjadi perubahan perilaku yang diwujudkan dalam

bentuk peningkatan kompetensi kerja yang dipengaruhi oleh kesiapan peserta pelatihan,

lingkungan/suasana pelatihan, iklim perusahaan, metode palatihan dan evaluasi pelatihan.

Variabel dan Indikator Penelitian

Variabel terdiri atas variabel terikat (Y) yaitu kompetensi , sedangkan sebagai variabel bebas (X)

adalah pelatihan dengan bentuk persamaan: Y = a + bX . Masing-masing variabel memiliki

indikator yang dapat dilihat pada Table 4 di bawah ini.

Tabel 4. Ringkasan Instrumen Variabel Kompetensi &Pelatihan

VARIABEL DIMENSI INDIKATOR No. Item

Pertanyaan

Skala

Kompetensi

(Y)

Motif

Kemauan untuk mencapai target

kerja

2. Kemauan untuk meningkatkan

motivasi

kerja

1

2

Ordinal

1 sd 5 Sifat Pribadi Pengendalian emosi

2. Keuletan dalam menyelesaikan

pekerjaan

3

4

Konsep Diri Keyakinan pada kemampuannya

Bersikap positif terhadap

permasalahan

5

6

Pengetahuan Pemahaman permasalahan

Penguasaan bidang pengetahuan

terkait pekerjaan

7

8

5. Keterampilan Mempunyai inovasi dalam 9

Page 138: Scanned by CamScanner - ULM

132 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

pekerjaan

Mampu menggunakan fasilitas

terkait dengan pekerjaan

10

Jumlah Item Pernyataan 10

Pelatihan

(X)

1. Kesiapan

Pelatihan

1.Kemampuan peserta menyerap

pelatihan

2. Lingkungan pekerjaan

1

2

Ordinal

1 sd 5

2.Lingkungan

Pelatihan

1. Materi pelatihan

2. Pelatih

3. Sarana pelatihan

3

4

5

3. Iklim

Perusahaan/

Organisasi

1. Iklim peralihan/perubahan

2. Dukungan atasan kerja

6

7

4. Metode

pelatihan

1. Metode pelatihan 8,9,10

5. Evaluasi

Pelatihan

1. Hasil kognitif/pengetahuan

2. Hasil keterampilan

3. Hasil sikap

11

12

13

- Jumlah Item 13

Sebelum instrumen digunakan untuk penelitian dilakukan terlebih dahulu uji coba instrumen pada

30 responden untuk menguji tingkat validitas dengan menggunakan rumus r Product Moment dari

Pearson dan reliabilitas instrumen dengan menggunakan rumus r Cronbach Alpha. Hasil uji

validitas untuk instrumen intervensi pelatihan (X) dari 13 butir pernyataan variabel pelatihan,

semua pernyataan memiliki nilai r (Pearson Correlation) > 0,30, yaitu nilai r antara 0,507 – 0,866,

sehingga semua butir pernyataan dari variabel pelatihan dinyatakan valid. Untuk instrumen

variabel kompetensi kerja dari 10 butir pernyataan, semua pernyataan memiliki nilai r (Pearson

Correlation) > 0,30, yaitu nilai r antara 0,505 – 0,865, sehingga semua butir pernyataan dari

variabel kompeternsi kerja dinyatakan valid. Selanjutnyahasil uji reliabilitas dengan menggunakan r

Alpha Cronbach untuk ke 13 instrumen variabel pelatihan menunjukkan nilairrebialitas = 0,764

atau koefisien reliabilitasnya tinggi; sedangkan untuk ke 10 instrumen variabel kompetensi

menunjukkan nilai r rebialitas = 0,767 atau koefisien reliabilitasnya tinggi.

IV. HASIL PENELITIAN

Page 139: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 133

A. GAMBARAN UMUM RESPONDEN PENELITIAN

Gambaran umum tentang responden penelitian ini adalah karyawan Apotik Kimia Farma Unit

Bisnis Kota Kota Depok yang berjumlah 96 orang dan seluruhnya menjadi sample penelitian atau

disebut dengan sample jenuh/sensus. Karakteristik atau identitas responden penelitian menyangkut :

jenis kelamin, usia, pendidikan, lama kerja, dan jabatan dapat dilihat sebagaimana Tabel 5 berikut

ini :

Tabel 5. Identitas Responden

Identitas Responden Jumlah Responden (org) Persentase (%)

1. Jenis Kelamin :

Laki-laki 24 25

Perempuan 72 75

2. Usia (tahun) :

< 20 26 27,1

20 – 30 60 62,5

31 – 40 6 6,3

41 – 50 4 4,2

3. Pendidikan :

SLTP 2 2,1

SLTA/sederajat 79 82.3

Diploma 1 1,0

Sarjana (S1)& Profesi 14 14,6

4. Lama Kerja (tahun) :

< 1 30 31,3

1 – 3 38 39,6

3 – 6 18 18,8

6 – 10 3 3,1

10 – 20 4 4,2

>20 3 3,1

5. Jabatan

Asisten Manager 5 5,2

Supervisor 6 6,3

Pelaksana 85 88,5

Sumber: Data Primer Diolah (2016)

Page 140: Scanned by CamScanner - ULM

134 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Jumlah responden yang berjenis kelamin perempuan (75 %) lebih tinggi dari pada yang berjenis

kelamin laki-laki (25 %), usia responden paling banyak berumur sekitar 20 – 30 Th, yaitu 62,5 %;

pendidikan responden yang paling bantyak adalah SLTA/sederajat , yaitu 82,3 %; pengalaman kerja

responden bekerja di Apotik Kimia Farma Unit BisnisKota Depokyang paling banyak sekitar 1-3

Th , yaitu 39,6 % dan jabatan responden yang paling banyak adalah tingkat pelaksana, yaitu 88,5

%.

B. HASIL ANALISIS DESKRIPTIF

Berdasarkan hasil analisisdata deskriptif, menliputi ukuran tendensi sentral yaitu : rata-rata,

standart deviasi, skor minimum, skor maksimum dan range baik untuk variabel kompetensi (Y)

maupun pelatihan (X). Skore data menggunakan skala likert dengan katagori skor 5 = sangat

setuju, skor 4 = setuju, skor 3 = cukup setujua, skor 2 = tidak setuju dan skor 1 = sangat tidak

setuju. Hasil analisis deskriptif untuk variabel kompetensi dan pelatihan dapat dilihat sebagaimana

Tabel 6 dan 7.

1. Analisis Deskriptif Data Variabel Kompetensi (Y)

Hasil analisis deskriptif untuk variabel kompetensi yang mencakup 10 indikator dapat

dilihat sebagaimana Tabel 6. berikut :

Tabel 6. Descriptive Statistics Competencies

N Range

Minimu

m

Maxim

um Sum Mean

Std

Deviati

on

Varianc

e

Statist

ic

Statist

ic Statistic Statistic

Statist

ic

Statist

ic

Std.

Error Statistic Statistic

ITEMC1 96 3 2 5 417 4,34 ,07 ,646 ,417

ITEMC2 96 3 2 5 389 4,05 ,06 ,622 ,387

ITEMC3 96 3 2 5 373 3,89 ,07 ,663 ,439

ITEMC4 96 2 3 5 396 4,13 ,06 ,567 ,321

ITEMC5 96 2 3 5 389 4,05 ,06 ,569 ,324

ITEMC6 96 2 3 5 406 4,23 ,06 ,552 ,305

ITEMC7 96 3 2 5 373 3,89 ,06 ,596 ,355

ITEMC8 96 3 2 5 378 3,94 ,06 ,577 ,333

ITEMC9 96 2 3 5 360 3,75 ,06 ,562 ,316

ITEMC1

0 96 2 3 5 385 4,01 ,06 ,607 ,368

Page 141: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 135

Valid N

(listwise) 96

-

- - - - - - -

Dari Tabel 6 tersebut di atas secara umum dapat dijelaskan bahwa rata-rata (mean) pendapat

responden memberikan penilaian/skor untukke-10 indikator kompetensi mencapai kisaran antara

3,75 – 4,34dengan std. error mean antara 0,06 – 0,07, artinya semua responden memberikan

pendapat ‘setuju’terhadap ke 10 indikator kompetensi. Responden (96 orang) memberikan

pendapat/penilaian ‘tertinggi’ terhadap dimensi kompetensi no 1 yaitu ”Motif” pada indikator ke-1

: ‘kemauan untuk mencapai target kerja’, dengan skor rata-rata= 4,34 (di atas setuju);sedangkan

skore ‘terendah’ diberikan untuk dimensi ke 5, yaitu “keterampilan” pada indikator ke-9 :

“mempunyai inovasi dalam pekerjaan”, dengan skor rata-rata = 3,75 (di atas cukup setuju).

2. Analisis Data Variabel Pelatihan (X)

Hasil analisis deskriptif untuk variabel pelatihan yang mencakup 13 indikator dapat dilihat

sebagaimana Tabel 7. menunjukkan rata-rata (mean) pendapat responden memberikn skor untuk ke-

13 indikator pelatihan berkisar antara 3,80 – 4,28 dengan std error mean antara 0,05 – 0,06 , artinya

semua responden memberikan pendapat ‘setuju’ terhadap ke-13 indikator pelatihan. Responden

(96 orang) memberikan pendapat/penilaian‘tertinggi’terhadap dimensi kompetensi no 1 yaitu

”kesiapan pelatihan ” pada indikator ke-2 : ‘lingkungan pekerjaan’, dengan skor rata-rata = 4,28 (di

atas setuju); sedangkan skore ‘terendah’ diberikan untuk dimensi ke 2 , yaitu “ lingkungan

pelatihan” pada indikator ke-5 : “sarana pelatihan”, dengan skor rata-rata = 3,80 (di atas cukup

setuju).

Tabel 7. Descriptive Statistics Training

N Range

Minimu

m

Maxim

um Sum Mean

Std

Deviati

on

Varianc

e

Statist

ic

Statist

ic Statistic Statistic

Statist

ic

Statist

ic

Std.

Error Statistic Statistic

ITEMT1 96 2 3 5 399 4,16 ,06 ,568 ,323

ITEMT2 96 2 3 5 411 4,28 ,05 ,537 ,288

ITEMT3 96 2 3 5 369 3,84 ,05 ,488 ,238

ITEMT4 96 2 3 5 374 3,90 ,06 ,571 ,326

ITEMT5 96 2 3 5 365 3,80 ,06 ,626 ,392

Page 142: Scanned by CamScanner - ULM

136 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

ITEMT6 96 3 2 5 392 4,08 ,06 ,556 ,309

ITEMT7 96 3 2 5 408 4,25 ,06 ,580 ,337

ITEMT8 96 2 3 5 397 4,14 ,06 ,555 ,308

ITEMT9 96 2 3 5 389 4,05 ,06 ,550 ,303

ITEMT1

0 96 2 3 5 384 4,00 ,06 ,562 ,316

ITEMT1

1 96 2 3 5 393 4,09 ,06 ,563 ,317

ITEMT1

2 96 2 3 5 391 4,07 ,06 ,567 ,321

ITEMT1

3 96 2 3 5 388 4,04 ,06 ,560 ,314

Valid N

(listwise) 96

Ket : ITEMT1 = Item pertanyan training 1

C. HASIL ANALISIS KORELASI DAN REGRESI

Tabel 8. Model Summary

Catatan : Predictors: (constant) X...

**Sangat signifikan

F table (α: 0,01) = 6,90, F table (α :0,05) = 3,91

Sebelum dilakukan analisis korelasi dan regresi, terlebih dahulu dilakukan uji

persyaratan analisis yaitu : uji normalitas data, uji homogenitas varians dan uji linieritas , dalam

penelitian ini ke-tiga uji persyaratan analisis tersebut terpenuhi, yaitu data variabel Y maupun X

Mode

l R

R

Squar

e

Adjuste

d R

Square

Std.

Error of

the

Estimat

e Change Statistics

R

Square

Change

F

Change df1 df2

Significan

ce F

Change

1 ,667(a

) ,445 ,439 ,29232 ,445

75,335*

* 1 94 ,000

Page 143: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 137

berdistribusi normal, varians data homogen dan regresi linier. Berdasarkan analisis korelasi (Tabel

9.) diperoleh nilai koefisien korelasi R = 0,667 hal ini menunjukkan hubungan antara kompetensi

dan pelatihan positif dan kuat. Nilai koefisien determinasi R2 = 0,445 dan berdasarkan uji F

koefisien determinasi tersebut sangat signifikan,karena F change > F table, baik pada α= 0,05

(75,335 > 3,91) maupun pada α = 0,01 (75,335 > 6,90). Hal tersebut memberikan makna bahwa

pelatihan memberikan kontribusi pada pembentukan kompetensi karyawanApotik Kimia Farma

Unit Bisnis Kota Depok sebesar 44,5 % dan 56,5 %oleh berbagai faktor lainnya, dengan demikian

pelatihan tidak dapat diabaikan dalam pencapaian kompetensi yang diharapkan.

Hasil analisis varian (ANOVA) sebagaimana Tabel 9. dan Tabel 10. menunjukkan bahwa

model Y = 0,878 + 0,777 Xsangat signifikan, karena F hitung > F table baik pada α = 0,05 (75,335

> 3,91) maupun pada α = 0,01 (75,335 > 6,90 ) atau dapat dilihat dari nilai sig 0,00< 0,05. Uji

signifikansi terhadap konstanta regresi, yaitu a = 0,878 sebagaimana Tabel 10 menunjukkan

‘signifikan’, karena nilai sig < 0,05 ( 0,018 < 0,05), demikian juga dengan koefisien regresi, yaitu b

= 0,777 menunjukan ‘signifikan’, karena nilai sig < 0,05 (0,00 < 0,05). Dari hasil pengujian model

regresi sederhana Y = 0,878 + 0,777 X, pengujian terhadap konstanta, koefisien regresi, koefisien

korelasi maupun koefisien determinasi, maka dapat disimpulkan bahwa model tersebut dapat

digunakan untuk memprediksi kompetensi (Y) dengan menggunakan data pelatihan jika memang

data pelatihan diketahui. Model regresi linier sederhana Y = 0,878 + 0,777 X memberikan

maknabahwa setiap peningkatan/penurunan 10 satuan kegiatan pelatihan, maka akan diikuti dengan

peningkatan/penurunan pencapaian kompetensi kerja rata-rata sebesar 7,77 satuan pada konstanta

0,878; dan apabila tidak dilakukan intervensi pelatihan atau X = 0, maka kompetensi dapat

diprediksi hanya mencapai 0,878 satuan.

Tabel 9. ANOVA(b)

Model

Sum of Squares df

Mean Square F

F table Significance

Α = 0,05

α = 0,01

1 Regression

6,437 1 6,437 75,335**

3,91, 6,90 ,000(a)

Residual 8,032 94 ,085 Total 14,470 95

Catatan : a Predictors: (constant) X... b Dependent Variable: ** sangat signifikan

Page 144: Scanned by CamScanner - ULM

138 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Tabel 10. Coefficients(a)

Dependent Variable: Y

V. PEMBAHASAN

Hasil uji keberartian model regersi Y= 0,878 + 0,777 X menunjukan bahwa model tersebut

sangat signifikan, sehingga intervensi pelatihan ‘tidak dapat diabaikan’ sebagai instrumen untuk

meningkatkan kompetensi kerja karyawan; dan model tersebut juga dapat digunakan ‘untuk

memprediksi’ pencapaian kompetensi kerja melalui ‘intervensi pelatihan; kontribusinya mencapai

44,5 % untuk pencapaian kompetensi kerja yang diperlukan dan 55,5 % oleh faktor lain, seperti :

linkungan kerja, dukungan pimpinan, sistem reward, dukungan sarana prasarana kerja dll.

Beberapa pakar seperti Baldwin, dan Ford ( 1988) berpendapat bahwa palatihan pada

umumnya mahal, dilihat dari sudut pengembangan dan pengiriman karyawan, tetapi yang lebih

penting dilihat dari aspek bahwa karyawan harus meninggalkan pekerjaan untuk beberapa waktu

tertentu yang seharusnya dapat menghasilkan sesuatu produk. Selanjutnya Baldwin dan Ford

mengemukakan bahwa hasil beberapa studi menunjukkan hanya sedikit efek transfer dari pelatihan

untuk peningkatan kinerja pekerjaannya, yaitu sekitar 10-20 %. Hasil studi tersebut memang benar

bahwa ‘pelatihan’ berpengaruh sangat signifikan terhadap upaya ‘peningkatan kompetensi’ bukan

‘peningkatan kinerja’. Hal tersebut juga didukung pendapat Doolet et al (2007) dalam Marcia L. A

(2012) bahwa sebagian besar kinerja seseorang dapat diprediksi oleh kompetensi, bukan oleh

pengaruh training.

Selanjutnya hasil penelitian ini menunjukkan bahwa indikator kompetensi: ‘kemauan untuk

mencapai target kerja’ dinilai paling ‘tinggi’oleh para responden, hal ini menunjukkan bahwa para

karyawan PT Kimia Farma Unit Bisnis Kota Depok mempunyai kebutuhan berprestasi tinggi untuk

mencapai target-target/tujuan perusahan/organisasi, dan hal ini menjadi modal utama SDM (human

capital) yang sangat diperlukan untuk kemajuan perusahaan/organisasi; sedangkan penilaian

‘terendah’ adalah pencapaian ‘keterampilan’dalam inovasi untukmelaksanakan pekerjaan’. Hal

Model

Unstandardized

Coefficients

Standardiz

ed

Coefficient

s T

Significan

ce

B Std. Error Beta

1 (Constan

t) ,878 ,364 2,413 ,018

X ,777 ,089 ,667 8,680 ,000

Page 145: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 139

tersebut seringkali terjadi dalam suatu pelatihan,‘materi pelatihan’ yang dibahas/diberikan dalam

training tertinggal satu atau dua langkah dari kemajuan IPTEK yang seharusnya

dibutuhkan/diberikan dalam training, sehingga seringkali keterampilan yang diperoleh dalam

training kurang inovatif yang berakibat kurang sesuai dengan tuntutan keterampilan terbaru dalam

melaksanakan pekerjaannya.

V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. KESIMPULAN :

1. Di era digitalisasi, intervensi pelatihan masih memberikan pengaruh positif dan kuat sebagai

instrumen untuk meningkatkan kompetensi kerja karyawan, terutama untuk peningkatan

motivasi pencapaian target-target/tujuan perusahaan/organisasi;

2. Peningkatan kompetensi kerja karyawan dapat diprediksi oleh intervensi pelatihan dengan

menggunakan model regresi sederhana Y = 0,878 + 0,777 X;

3. Pelatihan memberikan kontribusi terhadap pencapaian kompetensi kerja sebanyak 45, 5 %

dan sisanya 55,5 % dapat diprediksi oleh faktor-faktor lain, seperti : lingkungan kerja, dukungan

pimpinan, sistem reward, dukungan sarana prasarana kerja dll.

B. REKOMENDASI

1. Untuk tujuan pencapaian kompetensi ‘keterampilan baru’; lebih dianjurkan untuk

menggunakan intervensi magang atau pendampingan tenaga ahli ditempat kerja dari pada intervensi

pelatihan (karyawan tidak perlu meninggalkan tempat kerja dan bekerja seperti bisanya) ;

2. Intervensi pelatihan akan memberikan manfaat bagi sistem pengembangan karier karyawan

dan kemajuan perusahaan/organisasiapabila pelatihan dikelola secara sistemik dan berkelanjutan;

3. Tahap-tahap yang perlu dilakukan sebelum dan sesudah pelaksanaan pelatihan antara lain :

a) identifikasi reaksi peserta pelatihan atas acara/agenda pelatihan; b) identifikasi

kebutuhan/keinginan peserta mendapatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang didasarkan

pada partisipasi peserta dalam acara/agenda pelatihan; c) monitoring tingkat peserta

dalam menerapkan apa yang dipelajari selama pelatihan ketika mereka kembali di tempat

kerja; d) mengukur hasil pelatihan yang ditargetkan dan menetukan kegiatan pelatihan dan

penguatan berikutnya.

4. Untuk perusahaan-perusahaan/organisasi yang belum stabil, yang menganggap bahwa

‘intervensi pelatihan’ mahal, dan dalam rangka untuk mendapat karyawan yang mempunyai

kompetensi standar untuk menjalankan tugas-tugas, maka solusinya sebagaiman disarankan oleh

J. Patrick (2009 : 4) antara lain :

Page 146: Scanned by CamScanner - ULM

140 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

a) Mengganti posisi orang yang berkinerja tidak bagus dengan orang-orang yang mampu

berkinerja bagus, yaitu orang yang memiliki keterampilan & sikap yang sesuai untuk

menyelesaikan tugas-tugas yang tidak dapat dikerjakan oleh karyawan yang sebelumnya;

b) Memilih beberapa orang untuk dimagangkan pada perusahaan yang

menjadi‘bencmark’sehingga menjadi lebih terampil dalam melakukan tugas;

c) Desain ulang persyaratan tugas atau mengubah persyaratan kinerja pada karyawan

yang tidak mampu berkinerja sesuai dengan harapan persahaan/organisasi.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Ashabugh, Marcia L. (2012). Expert Isnytuctional Designer Voices : Leadership

Competencies Critical to Global Practise and Quality Online Learning Designs. Editor : Minchael

Simson, 35th Annual Proceedings-AECT, pp. 3-19.Louisville, Ky

[2] Baldwim, T. T. and Ford, K. J. Â (1988). Transfer of training: a review and directions for

future research. Personnel psychology 41, 63-105.

[3] Deheshti, Alirza. Developing an Intervention Program to Reduce Rrgonomic Risk Factors

among Office

Employees?.http://search.proquest.com/agricenvironm/docview/18278835724B377FAEE7465FPO/

19?accountid=62688.Doakses 15 Februari 2017.

[4] Ford, J.K. and Weissbein, D.A. Â (1997). Transfer of training: an updated review and

analysis,Performance improvement quarterly, 10 (2), 22-41.

[5] Gibson, James L. Ivancevich, Jhon M., Donnely, James H., 1995, Organizations

Behavior- Structure-Process, Edisi kedelapan, Illinois.

[6] Gomes, F.C. 2000, Manajemen Sumber Daya Manusia, cetakan e-empat, Andy

Offset,Yogyakarta.

[7] http://jurnal-sdm.blogspot.co.id/2009/04/pelatihan-kerja-definisi-teknik.html.

Diakses 16-9-2016.

[8] Irene Brunetti , Lorenzo Corsini. (2017).Workplace Training Programs :

Instrument for Human Capital Improvement or Screening Divices ? Eupopen Journal

of Traning and Development , Vol 59 lss : 1, pp.31-46.

http://dx.doi.org/10.1108/ET-09-2014-0104.

[9] Miner, J.B., 1988, Organization Behavior Performance and Productivity, First

Edition, Random House, Inc, New York

[10] Noe, Hollenbeck, Gerhart, Wright. (2015). Human Resource Management ,9th

Edition. McGraw-Hill Education, UK

Page 147: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 141

[11] Palan. 2007. Competency Management : Teknik Mengimplementasikan Manajemen

SDM Berbasis Kompetensi Untuk Peningkatan Daya Saing Organisasi. Edisi bahasa

Indonesia,PPM ,Jakarta.

[12] Patrick, J. Wendy Kaysar Kirkpatrick (2009) . The Kirkpatrick Four Level :

A Fresh Look After 1959- 2009. Kirkpatrick Parteners, Toronto

[13] Patrick, J. (1992). Training : Research and Practise, Academic Press Inc., London

[14] Shao, Zihang; Cherisse M. C.; Amanda, A. (2012). Linking Training to Performance

Improvement. Editor : Minchael Simson,35th Annual Proceedings-AECT, pp. 175-179. Louisville,

Ky.

[15] Steers, Richard M. 1999, Efektivitas Organisasi : Kajian Perilaku (Alih Bahasa M.

Yamin), , Erlangga, Jakarta

[16] Stoner, James, AF., Gilbert, Daniel, R, 1995, Management, sixth edition. Prentice-

Hall International. Inc, New Jersey.

Page 148: Scanned by CamScanner - ULM

142 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

ALTERNATIF PENANGANAN ANAK HIPERAKTIF MENGGUNAKAN TERAPI GELOMBANG OTAK

Dr. Imam Yuwono, M.Pd

[email protected]

Pendidikan Luar Biasa Fakultas Ilmu Pendidikan

Universitas Lambung Mangkurat

ABSTRAK

Penelitian yang dilakukan oleh Steven W. Lee yang dikutip oleh Feni Olivia (2007) anak hiperkatif

menghasilkan gelombang theta berlebihan. Tetapi tidak cukup menghasilkan gelombang beta.

Gelombang theta merupakan gelombang otak pada kisaran frekwensi 4-8 Hz. Yang dihasilkan oleh

pikiran bawah sadar (subconsciaus mind). Gelombang theta muncul saat manusia bermimpi dan

saat terjadi REM (rapit eye movement). Pikiran bawah sadar menyimpan memori jangka panjang

dan merupakan gudang inspirasi kreatif. Selain itu, pikiran bawah sadar menyimpan materi yang

berasal dari kreativitas yang tertekan atau tidak diberi kesempatan untuk muncul ke permukaan dan

materi psilologis yang di tekan. Semua materi yang berhubungan dengan emosi, baik emosi positif

maupun negatif tersimpan dalam pikiran bawah sadar. Emosi–emosi yang negatif yang tidak

teratasi dengan baik, setelah masuk ke pikiran bawah sadar akhirnya menjadi beban psikologis yang

menghambat kemajuan diri seseorang. Gelombang beta adalah gelombang otak yang frekwensinya

paling tinggi. Yaitu berkisar antara 12 sampai 40 Hz. Gelombang beta dihasilkan oleh proses

berpikir secara sadar. Kita menggunakan gelombang beta untuk berpikir, berinteraksi,

berkonsentrasi dalam kehidupan sehari-hari. Apabila seseorang berkurang dalam gelombang beta

maka ia sulit untuk menfokuskan pikiran, dan menyadari sesuatu diluar diri. Penelitian ini akan

mengungkap bagaimana cara meningkatkan gelombang beta anak hiperaktif dengan menggunakan

terapi gelombang otak.

Kata Kunci: Hiperaktif, Gelombang Otak

Page 149: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 143

PENDAHULUAN

Istilah hiperaktif pada dasarnya diambil dari istilah ADHD (Attention Deficit Hyperactive

Desorders). Definisi ADHD adalah suatu peningkatan aktifitas motorik hingga pada tingkatan

tertentu yang menyebabkan gangguan perilaku yang terjadi, setidaknya pada dua tempat dan

suasana yang berbeda. Aktifitas anak yang tidak lazim dan cenderung berlebihan yang ditandai

dengan gangguan perasaan gelisah, selalu menggerak-gerakkan jari-jari tangan, kaki, pensil, tidak

dapat duduk dengan tenang dan selalu meninggalkan tempat duduknya meskipun pada saat dimana

dia seharusnya duduk degan tenang. Terminologi lain yang dipakai mencakup beberapa kelainan

perilaku meliputi perasaan yang meletup-letup, aktifitas yang berlebihan, suka membuat keributan,

membangkang dan destruktif yang menetap.

PERMASALAHAN

1. Bagaimana cara melakukan terapi gelombang otak?

2. Apakah menggunakan terapi gelombang otak dapat mengurangi perilaku tak terkontrol anak

hiperaktif?

KAJIAN PUSTAKA

Diagnosis anak hiperaktif

Bila didapatkan seorang anak dengan usia 6 hingga 12 tahun yang menunjukkan tanda-tanda

hiperaktif dengan prestasi akademik yang rendah dan kelainan perilaku, hendaknya dilakukan

evaluasi awal kemungkinan. Untuk mendiagnosis ADHD digunakan kriteria DSM IV yang juga

digunakan, harus terdapat 3 gejala : Hiperaktif, masalah perhatian dan masalah konduksi

KRITERIA A MASING-MASING (1) ATAU (2)

Enam atau lebih dari gejala

Enam atau lebih gejala dari kurang perhatian atau konsentrasi yang tampak paling sedikit 6 bulan

terakhir pada tingkat maladaptive dan tidak konsisten dalam perkembangan

A. INATTENTION

Sering gagal dalam memberi perhatian secara erat secara jelas atau membuat kesalahan yang tidak

terkontrol dalam sekolah, bekerja atau aktivitas lainnya

Sering mengalami kesulitan menjaga perhatian/ konsentrasi dalam menerima tugas atau aktifitas

bermain

Page 150: Scanned by CamScanner - ULM

144 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Sering kelihatan tidak mendengarkan ketika berbicara secara langsung menyelesaikan pekerjaan

rumah, pekerjaan atau tugas, mengerjakan perkerjaan rumah (bukan karena perilaku melawan),

gagal untuk mengerti perintah

Sering kesulitan mengatur tugas dan kegiatan

Sering menghindar, tidak senang atau enggan mengerjakan tugas yang membutuhkan usaha

(seperti pekerjaan sekolah atau perkerjaan rumah)

Sering kehilangan suatu yang dibutuhkan untuk tugas atau kegiatan ( permainan, tugas sekolah,

pensil, buku dan alat sekolah lainnya )

Sering mudah mengalihkan perhatian dari rangsangan dari luar yang tidak berkaitan

Sering melupakan tugas atau kegiatan segari-hari

Enam atau lebih gejala dari hiperaktivitas/impulsifitas yang menetap dalam 6 bulan terakhir

B. HIPERAKTIFITAS

Sering merasa gelisah tampak pada tangan, kaki dan menggeliat dalam tempat duduk

Sering meninggalkan tempat duduk dalam kelas atau situasi lain yang mengharuskan tetap duduk.

Sering berlari dari sesuatu atau memanjat secara berlebihan dalam situasi yang tidak seharusnya

(pada dewasa atau remaja biasanya terbatas dalam keadaan perasaan tertentu atau kelelahan )

Sering kesulitan bermain atau sulit mengisi waktu luangnya dengan tenang.

Sering berperilaku seperti mengendarai motor

Sering berbicara berlebihan

C. IMPULSIF

Sering mengeluarkan perkataan tanpa berpikir, menjawab pertanyaan sebelum pertanyaannya

selesai

Sering sulit menunggu giliran atau antrian

Sering menyela atau memaksakan terhadap orang lain (misalnya dalam percakapan atau

permainan).

KRITERIA B: Gejala hiperaktif-impulsif yang disebabkan gangguan sebelum usia 7 tahun.

KRITERIA C : Beberapa gangguan yang menimbulkan gejala tampak dalam sedikitnya 2 atau

lebih situasi ( misalnya di kelas, di permainan atau di rumah )

Penanganan anak hiperaktif yang selama ini dilakukan

Melihat penyebab hiperaktif yang belum pasti terungkap dan adanya beberapa teori

penyebabnya, maka tentunya terdapat banyak terapi atau cara dalam penanganannya sesuai dengan

landasan teori penyebabnya. Beberapa terapi untuk anak hiperaktif:

Terapi medikasi atau farmakologi adalah penanganan dengan menggunakan obat-obatan. Terapi ini

hendaknya hanya sebagai penunjang dan sebagai kontrol terhadap kemungkinan timbulnya impuls-

Page 151: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 145

impuls hiperaktif yang tidak terkendali. Sebelum digunakannya obat-obat ini, diagnosa ADHD

haruslah ditegakkan lebih dulu dan pendekatan terapi okupasi lainnya secara simultan juga harus

dilaksanakan, sebab bila hanya mengandalkan obat ini tidak akan efektif. Beberapa obat yang

dipergunakan. Menurut beberapa penelitian dan pengalaman klinis banyak obat yang telah

diberikan pada penderita ADHD, diantaranya adalah : antidepresan, Ritalin (Methylphenidate

HCL) , Dexedrine (Dextroamphetamine saccharate/Dextroamphetamine sulfate) , Desoxyn

(Methamphetamine HCL), Adderall (Amphetamine/Dextroamphetamine), Cylert (Pemoline),

Busiprone (BuSpar), Clonidine (Catapres). Methylphenidate, merupakan obat yang paling sering

dipergunakan, meskipun sebenarnya obat ini termasuk golongan stimulan, tetapi pada ksus

hiperaktif sering kali justru menyebabkan ketenangan bagi pemakainanya. Selain methylphenidate

juga dipakai Ritalin dalam bentuk tablet, memilki efek terapi yang cepat, setidaknya untuk 3-4 jam

dan diberikan 2 atau 3 kali dalam sehari. Methylphenidate juga tersedia dalam bentuk dosis tunggal.

Dextroamphetamine merupakan obat lain yang dipergunakan. Ritalin atau methylphenidate, obat

stimulan yang biasa diberikan pada anak penyandang ADHD ternyata dapat menyebabkan

perubahan struktur sel otak untuk jangka waktu lama, ilmuwan melaporkan. Joan Baizer profesor

fisiologi dan biofisika dari University of Buffalo mengungkapkan pemberian Ritalin setiap hari

selama bertahun tahun pada sel otak tikus terlihat sama seperti yang diakibatkan oleh amphetamin

atau kokain.

Terapi nutrisi dan diet banyak dilakukan dalam penanganan penderita. Diantaranya adalah

keseimbangan diet karbohidrat, penanganan gangguan pencernaan (Intestinal Permeability or

"Leaky Gut Syndrome"), penanganan alergi makanan atau reaksi simpang makanan lainnya.

Feingold Diet dapat dipakai sebagai terapi alternatif yang dilaporkan cukup efektif. Suatu substansi

asam amino (protein), L-Tyrosine, telah diuji-cobakan dengan hasil yang cukup memuaskan pada

beberapa kasus, karena kemampuan L-Tyrosine mampu mensitesa (memproduksi) norepinephrin

(neurotransmitter) yang juga dapat ditingkatkan produksinya dengan menggunakan golongan

amphetamine. Beberapa terapi biomedis dilakukan dengan pemberian suplemen nutrisi, defisiensi

mineral, essential Fatty Acids, gangguan metabolisme asam amino dan toksisitas Logam berat.

Terapi inovatif yang pernah diberikan terhadap penderita ADHD adalah terapi EEG Biofeed back,

terapi herbal, pengobatan homeopatik dan pengobatan tradisional Cina seperti akupuntur.

Terapi sensori integration. Sensori integration adalah pengorganisasian informasi melalui beberapa

jenis sensori di anataranya adalah sentuhan, gerakan, kesadaran tubuh dan grafitasi, penglihatan,

pendengaran, pengecapan, dan penciuman yang sangat berguna untuk menghasilkan respon yang

bermakna. Beberapa jenis terapi sensori integration adalah memberikan stimulus vestibular,

Page 152: Scanned by CamScanner - ULM

146 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

propioseptif dan taktil input. Menurunkan tactile defensivenes dan meningkatkan tactile

discrimanation. Meningkatkan body awareness berhubungan dengan propioseptik dan kinestetik.

Selain sensory integration terapi sensori lain yang dikenbal dalam terapi gangguan perkembangan

dan perilaku adalah Snoezelen. Snoezelen adalah sebuah aktifitas yang dirancang mempengaruhi

system Susunan Saraf pusat melalui pemberian stimuli yang cukup pada system sensori primer

seperti penglihatan, pendengaran, peraba, perasa lidah dan pembau. Disamping itu juga melibatkan

sensori internal seperti vestibular dan propioseptof untuk mencapai relaksasi atau aktivasi seseorang

untuk memperbaiki kualitas hidupnya

Terapi okupasi untuk memperbaiki gangguan perkembangan dan perilaku pada anak yang mulai

dikenalkan oleh beberapa ahli perkembangan dan perilaku anak di dunia, diantaranya adalah

sensory Integration (AYRES), snoezelen, neurodevelopment Treatment (BOBATH), modifukasi

Perilaku, terapi bermain dan terapi okupasi lainnya.

Terapi bermain sangat penting untuk mengembangkan ketrampilan, kemampuan gerak, minat dan

terbiasa dalam suasana kompetitif dan kooperatif dalam melakukan kegiatan kelompok. Bermain

juga dapat dipakai untuk sarana persiapan untuk beraktifitas dan bekerja saat usia dewasa. Terapi

bermain digunakan sebagai sarana pengobatan atau terapitik dimana sarana tersebut dipakai untuk

mencapai aktifitas baru dan ketrampilan sesuai dengan kebutuhan terapi.

Terapi yang diterapkan terhadap penderita ADHD haruslah bersifat holistik dan menyeluruh.

Penanganan ini harus melibatkan multi disiplin ilmu yang dikoordinasikan antara dokter, orangtua,

guru dan lingkungan yang berpengaruh terhadap penderita.

METODOLOGI PENELITIAN

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas. Subyek

penelitian adalah siswa hiperaktif di kelas IX SMP X dengan jumlah siswa sebanyak 9 orang, tiga

orang diantaranya merupakan siswa hiperaktif. Penelitian dilakukan dengan durasi waktu

selama 3 bulan.

Prosedur dan tahap-tahap penelitian ini akan diuraikan sebagai berikut:

Kegiatan Pra Penelitian, Pada kegiatan pra penelitian dilakukan pengamatan awal dengan cara

mengamati perilaku siswa hiperaktif di dalam kelas saat pembelajaran berlangsung, maupun di luar

kelas pada saat anak istirahat. Hasil pengamatan ini dijadikan bahan pertimbangan untuk

menentukan langkah tindakan berikutnya. Data yang dikumpulkan melalui studi pendahuluan dapat

di deskripsikan sebagai berikut:

Ketiga anak hiperaktif yang berinisial, S, Y, dan N di kelas IX selalu nampak gelisah dalam

mengikuti pelajaran. Mereka hanya bisa bertahan duduk manis memperhatikan pelajaran maksimal

5 menit.

Page 153: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 147

Perhatian mereka mudah beralih-alih, tidak fokus ke materi pelajaran yang disampaikan guru,

mereka selalu gagal dalam mengerjakan tugas

Sering menunjukkan perilaku yang melanggar norma/aturan sekolah seperti naik kursi, naik meja

dan keluar ruangan saat pembelajarn berlangsung

Pada saat jam istirahat ketiga siswa hiperaktif membuat kelompok tersendiri, mereka cenderung

bermain untuk menimbulkan kegaduhan. Seperti mengeluarkan suara keras (ha, ha, ha) secara

bergantian

Ketiga siswa ini sering bertindak tanpa kesadaran seperti, melempari genting sekolah menggunakan

batu kerikil

Saat jam istirahat ketiga siswa hiperaktif sangat menyukai bermain di pekarangan/kebun sekolah

dari pada di dalam ruangan.

Siswa Y dan S sangat menyukai kegiatan mengejar serangga, seperti kumbang, belalang maupun

capung

Siswa Y, S dan N akan berhenti melakukan aktifitas ketika mendengar suara serangga, mereka

memperhatikan dengan seksama bunyi serangga di pekarangan sekolah.

Siswa S sangat menyukai suara musik, sehingga pada saat pembelajaran jika ada suara musik

perhatian siswa bisa beralih ke suara musik.

2. Kegiatan Penelitian,

Tahap 1. Perencanaan tindakan, Rencana tindakan ini meliputi:

Menyiapkan alat peraga pembelajaran berupa rekaman suara serangga, VCD player dan

perangkatnya.

Menyiapkan lembar pengamatan tentang perhatian siswa pada saat pembelajaran

Mendesain rencana pembelajaran (RPP), membuat instrument tes perhatian dan mempersiapkan

LKS

Tahap 2. Pelaksanaan tindakan, tahap tindakan merupakan penerapan kegiatan pembelajaran yang

telah disusun dalam perencanaan, yaitu menggunakan pembelajaran dengan media belajar sambil

mendengarkan suara serangga. Adapun langkah pembelajaran sebagai berikut:

Eksplorasi

Kelas VII yang berjumlah 9 anak dibuat menjadi 3 kelompok belajar.Tiga orang siswa hiperaktif

disebar kedalam kelompok-kelompok. Pada dasarnya setiap kelompok ada satu anak hiperaktif

Guru menjelaskan prosedur belajar dengan diiringi musik suara serangga

Guru membunyikan suara serangga untuk menarik perhatian siswa

Page 154: Scanned by CamScanner - ULM

148 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Eksplanasi

Guru membunyikan rekaman suara serangga dengan suara sayup-sayup

Setelah semua anak tenang (tertuju pada suara serangga) guru mulai menjelaskan konsep operasi

penjumlahan bilangan bulat.

Guru mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok heterogen beranggotakan 3 orang,

setiap kelompok ada satu siswa hiperaktif.

Guru menugaskan kelompok untuk mengerjakan tugas kelompok

Siswa hiperaktif bersama siswa reguler mengerjakan tugas kelompok

Suara serangga dibunyikan sayup-sayup mengiringi diskusi kelompok

Suara serangga dibunyikan keras, ketika ada anak yang kurang memperhatikan jalannya diskusi.

Ketika ingin menarik perhatian siswa suara serangga dikeraskan sesaat kemudian dikecilkan lagi

Ekspansi

Pada tahap ini, guru memberikan kesimpulan materi yang telah dibahas guna memantapkan

pemahaman siswa

Evaluasi

Evaluasi dilakukan dengan memberikan tes secara lisan

Tahap 3. Observasi

Pelaksanaan observasi dilakukan pada saat pembelajaran berlangsung menggunakan lembar

pengamatan. Observasi dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data tentang aktivitas siswa

yang mengganggu perhatian terhadap pelajaran\

Tahap 4. Refleksi

Pada tahap ini data yang diperoleh dalam siklus I dikumpulkan dan dianalisa. Hasil analisa pada

tahapan ini akan digunakan sebagai acuan untuk melakukan tindakan selanjutnya.

Jenis Instrumen dan Cara Penggunaannya

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa lembar pengamatan

digunakan untuk mengumpulkan data tentang aktifitas yang menggaggu perhatian siswa hiperaktif

dalam proses belajar mengajar.

Analisis Data dan Refleksi

Data aktifitas yang mengganggu perhatian siswa diperoleh dengan cara melakukan

pengamatan ketika proses relajar mengajar berlangsung. Data ini dianalisis secara deskriptif

kuantitatif menggunakan skor rata-rata kriteria dan prosentase ketuntasan belajar secara perorangan.

Menurut Depdikbud (1995) dalam Sawadi Nata (2006:9) Ketentuan ketuntasan belajar dihitung

berdasarkan rumus:

Jumlah perolehan skor

Rata-rata skor =

Jumlah option perilaku

Jumlah perolehan skor

Prosentase skor = x 100%

Skor maksimal

Page 155: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 149

Adapun kriteria presentase sebagai berikut:

Keterangan :

4 : Amat Baik < 35%

5 : Baik 35% - 44%

6 : Sedang 45% - 64%

7 : Cukup 65% - 84%

8 : Kurang 85% - 100%

Kriteria ketuntasan belajar

Siswa dikatakan berhasil dalam pembelajaran ketika, ia berkurang dalam melakukan perilaku yang

mengganggu pelajaran. Aktifitas pengganggu perhatian dalam pembelajaran sebelumnya sebanyak

8 atau 9 kali (lebih dari 85%) dalam dua jam pelajaran. Setelah penelitian ini menurun hingga skor

5 atau kurang dari 44%. Dalam dua jam pelajaran.

PEMBAHASAN

1. Cara terapi gelombang otak

Terapi gelombang otak adalah jenis terapi permainan untuk merangsang otak

agar menghasilkan impuls-impuls listrik. Aliran listrik ini, yang lebih dikenal sebagai gelombang

otak. Gelombang otak diukur dengan dua cara yaitu amplitudo dan frekuensi. Amplitudo adalah

besarnya daya impuls listrik yang diukur dalam satuan micro volt.

Frekuensi adalah kecepatan emisi listrik yang diukur dalam cycle per detik, atau hertz. Frekuensi

impuls menentukan jenis gelombang otak yaitu beta, alfa, theta, dan delta. Jenis atau kombinasi dan

jenis gelombang otak menentukan kondisi kesadaran pada suatu saat.

Pandangan keliru yang selama ini ada dalam benak banyak orang adalah otak hanya menghasilkan

satu jenis gelombang pada suatu saat. Saat kita aktif berpikir kita berada pada gelombang beta.

Kalau kita rileks kita berada di alfa. Kalau sedang ngelamun, kita di theta. Dan, kalau tidur lelap

kita berada di delta. Pandangan itu salah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada suatu saat,

pada umumnya, otak kita menghasilkan empat jenis gelombang secara bersamaan, namun dengan

kadar yang berbeda. Dalam kondisi tertentu, misalnya meditasi, kita dapat secara sadar mengatur

jenis gelombang otak mana yang ingin kita hasilkan. Setiap orang punya pola gelombang otak yang

unik dan selalu konsisten. Keunikan itu tampak pada komposisi ke empat jenis gelombang pada saat

tertentu. Komposisi gelombang otak itu menentukan tingkat kesadaran seseorang. Meskipun pola

Page 156: Scanned by CamScanner - ULM

150 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

gelombang otak ini unik, tidak berarti akan selalu sama sepanjang waktu. Kita dapat secara sadar,

dengan teknik tertentu, mengembangkan komposisi gelombang otak agar bermanfaat bagi diri kita.

2. Dasar pemikiran perlunya terapi gelombang otak bagi anak hiperaktif?

Menurut beberapa penelitian, penyebab anak hiperaktif antara lain:

Adanya disfungsi sirkuit neuron di otak yang dipengaruhi oleh dopamin sebagai neurotransmitter

pencetus gerakan dan sebagai kontrol aktivitas diri. Akibatnya menyebabkan terjadinya hambatan

pada sistem kontrol perilaku. Anak menjadi hiiperaktif salah satunya karena produksi hormon

adrenalin tidak terkontrol. Hormon adrenalin merangsang untuk melakukan suatu kegiatan.

Produksi hormon adrenalin yang berlebihan mengakibatkan anak melakukan kegiatan di luar

kontrol diri. Kondisi ini mengakibatkan anak sulit untuk berkonsentrasi pada sesuatu yang

dilakukan. (Psyichiatric Association Press (1994)

Anak hiperkatif menghasilkan gelombang theta berlebihan. Tetapi tidak cukup menghasilkan

gelombang beta. Gelombang theta merupakan gelombang otak pada kisaran frekwensi 4-8 Hz.

Yang dihasilkan oleh pikiran bawah sadar (subconsciaus mind). Gelombang theta muncul saat

manusia bermimpi dan saat terjadi REM (rapit eye movement). Pikiran bawah sadar menyimpan

memori jangka panjang dan merupakan gudang inspirasi kreatif. Selain itu, pikiran bawah sadar

menyimpan materi yang berasal dari kreativitas yang tertekan atau tidak diberi kesempatan untuk

muncul ke permukaan dan materi psilologis yang di tekan. Semua materi yang berhubungan dengan

emosi, baik emosi positif maupun negatif tersimpan dalam pikiran bawah sadar. Emos–emosi yang

negatif yang tidak teratasi dengan baik, setelah masuk ke pikiran bawah sadar akhirnya menjadi

beban psikologis yang menghambat kemajuan diri seseorang. Gelombang beta adalah gelombang

otak yang frekwensinya paling tinggi. Yaitu berkisar antara 12 sampai 40 Hz. Gelombang beta

dihasilkan oleh proses berpikir secara sadar. Kita menggunakan gelombang beta untuk berpikir,

berinteraksi, berkonsentrasi dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun beta sering menghilang saat

manusia menfokuskan pikiran, gelombang beta sangat dibutuhkan agar manusia dapat menyadari

sesuatu diluar diri. Bersamaan dengan gelombang otak lainnya gelombang beta sangat dibutuhkan

dalam proses kreatif. Tanpa gelombang beta semua kreatifitas yang merupakan hasil pikiran bawah

sadar akan tetap terkunci dibawah sadar, tanpa bisa terangkat ke permukaan dan disadari oleh

pikiran. Walaupun gelombang beta merupakan komponen penting dalam kesadaran diri manusia,

namun gelombang beta tidak dapat beroperasi tanpa didukung oleh gelombang otak yang lain.

Apabila hal ini terjadi maka seseorang akan dipenuhi rasa kekhawatiran, ketegangan dan proses

berpikir yang tidak fokus. Gelombang alfa adalah gelombang otak yang frekwensinya sedikit lebih

lambat dibandingkan beta. Yaitu 8-12 Hz (hertz). Gelombang alfa berhubungan dengan kondisi

yang rilek dan santai. Dalam kondisi alfa, pikiran dapat melihat gambaran mental secara jelas dan

Page 157: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 151

dapat merasakan sensasi dengan lima indera apa yang terjadi dalam pikiran. Gelombang alfa adalah

pintu gerbang bawah sadar. Manfaat gelombang alfa adalah sebagai jembatan penghubung antara

pikiran sadar dan bawah sadar. Untuk meningkatkan konsentrasi anak hiperaktif diperlukan latihan

untuk mengurangi gelombang theta dan banyak menghasilkan gelombang beta. ( Steven W. Lee

yang dikutip oleh Feni Olivia (2007)

Anak hiperaktif memiliki masalah dalam pendengaran. Bisa mendengar tetapi kesulitan mengerti

apa yang didengarnya. Karena telinga dan otak tidak bekerja efesien dalam memproses suara. Ada

yang kesulitan memilih suara dari banyak sumber suara yang berbeda. Ada yang kesulitan

memusatkan pendengaran pada suara tertentu. Misalnya, seharusnya anak mendengar suara guru,

tetapi ia malah tertarik pada bunyi es krim di luar ruangan. Akibatnya anak menjadi terganggu oleh

suatu hal beberapa saat. Anak menjadi terganggu oleh suara disekitarnya. Memperbaiki jalur

pendengaran dengan terapi suara akan memulihkan kapasitas pendengaran (penerimaan suara)

sehingga anak akan dapat belajar terfokus dan menangkap suara yang diinginkan langsung ke pusat

bahasa di otak. (Wilens TE dalam Widodo (2004)

Berdasarkan beberapa hasil penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa untuk menangani

anak hiperaktif di sekolah maupun dirumah tidak bisa disamakan dengan melakukan remedial

terhadap kesulitan belajar secara umum. Sebelum melakukan pembelajaran terhadap anak

hiperaktif, perlu terlebih dahulu melakukan terapi sesuai dengan permasalahan anak. Terapi yang

dilakukan difokuskan sebagai latihan kontrol hormon adrenalin, meningkatkan gelombang beta dan

mengurangi gelombang theta. Selain itu terapi dimanfaatkan untuk memperbaiki jalur pendengaran,

sebab kondisi telinga dan otak anak hiperaktif tidak efesien dalam memproses suara. Mereka

kesulitan memilih suara dari banyak sumber suara yang berbeda. Terapi gelombang otak dapat

dilakukan dengan menggunakan permainan-permainan untuk mengontrol hormon adrenalin,

meningkatkan gelombang beta, dan memperbaiki jalur pendengaran

3. Terapi gelombang otak mengurangi perilaku tidak terkontrol

Data hasil pengamatan tentang aktivitas yang mengganggu perhatian dalam pembelajaran ketika

studi pendahuluan diperoleh melalui pengamatan ketika anak mengikuti pembelajaran matematika

selama dua jam pelajaran atau 80 menit. Data yang diperoleh dirangkum pada tabel berikut:

Tabel 1 : Hasil pengamatan aktifitas siswa yang mengganggu perhatian dalam pembelajaran

Page 158: Scanned by CamScanner - ULM

152 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Tabel diatas menunjukkan bahwa ketiga siswa hiperaktif yang menjadi responden Pada saat

dilakukan pengamatan awal subyek memiliki kecenderungan melakukan kegiatan yang menggu

perhatian pembelajaran yang sangat tinggi. Perilaku negatif ini dilakukan siswa sebanyak 7 sampai

9 kali dalam dua jam pelajaran. Artinya pada saat studi pendahuluan ketiga siswa sangat kurang

dalam memperhatikan pelajaran yang disampaikan guru. Pelaksanaan tindakan siklus pertama

dilakukan sebanyak 4 kali pertemuan atau 40x8 jam pelajaran = 320 menit. Tujuan yang ingin

dicapai pada tindakan siklus pertama adalah meningkatnya perhatian siswa hiperaktif terhadap

materi pelajaran. Tindakan yang dicobakan adalah menjelaskan konsep pelajaran dengan iringan

suara serangga. Strategi pembelajaran yang dilakukan menggunakan langkah sebagai berikut:

Eksplorasi, kelas VII yang berjumlah 9 anak dibuat menjadi 3 kelompok belajar.Tiga orang siswa

hiperaktif disebar kedalam kelompok-kelompok. Pada dasarnya setiap kelompok ada satu anak

hiperaktif. Guru menjelaskan prosedur belajar dengan diiringi musik suara serangga.Guru

memotivasi belajar siswa dengan cara bertanya tentang konsep pembelajaran yang akan

disampaikan. Diakhir tahap ini anak hiperaktif diajak mendengarkan suara serangga dengan

seksama.

No Aspek yang diamati Nama responden/

Rata –rata skor

Presentase skor

Y S N Y S N

1

2

3

4

5

Meninggalkan tempat

duduk di kelas

Berlari kesana kemari

dalam kelas

Gelisah dengan tangan dan

kaki yang senantiasa

bergerak

Melontarkan pertanyaan

yang tidak bermakna

kepada guru

Mengeluarkan suara aneh

diluar kontrol diri

8,6 7,8 7,8 95,5 86,6 86,6

Page 159: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 153

Eksplanasi, pada tahap guru menjelaskan konsep matematika, diiringi suara serangga yang

dimainkan dengan sayup-sayup. Guru memberikan kesempatan siswa untuk memahami konsep

matematika dengan metode totorial teman sebaya (teman yang tidak hiperaktif). Jika anak hiperaktif

yang melkukan kegiatan mengganggu perhatian, maka suara serangga di putar secara nyaring. Pada

saat tertentu ketika siswa mulai tenang suara serangga dibunyikan sayup-sayup.

Ekspansi, pada tahap ini, guru memberikan kesimpulan materi yang telah dibahas dengan teman

sebaya memantapkan pemahaman siswa

Evaluasi, Evaluasi dilakukan dengan memberikan pertanyaan lisan untuk mengetahui sejauh mana

pemahaman siswa terhadap konsep pembelajaran.

Observasi, pelaksanaan observasi dilakukan oleh peneliti diakhir pertemuan siklus pertama.

Observasi menggunakan lembar pengamatan. Observasi dilakukan dengan tujuan untuk

memperoleh data tentang aktivitas yang sebenarnya terjadi dalam proses belajar mengajar. Hasil

pengmatan pada siklus pertama tertera pada tabel berikut:

Tabel 2: Pengamatan aktifitas siswa yang mengganggu perhatian dalam pembelajaran

SIKLUS I

Refl

eksi

Tind

akan pada siklus pertama dilakukan selama 4 kali pertemuan atau 8 jam pelajaran selama 320 menit.

Pembelajaran diiringi suara serangga, ada siklus pertama, perilaku subyek tidak banyak mengalami

perubahan dengan data studi pendahuluan. Dimungkinkan subyek masih menyesuaikan dengan

media pembelajaran. Pada pertemuan akhir mulai berpengaruh pada perilaku subyek. Skor

penurunan aktifitas pengganggu perhatian pada sesi ini belum mencapai hasil yang signifikan. Skor

No Aspek yang diamati Nama responden/

Rata –rata skor

Presentase skor

Y S N Y S N

1

2

3

4

5

Meninggalkan tempat duduk di kelas

Berlari kesana kemari dalam kelas

Gelisah dengan tangan dan kaki yang

senantiasa bergerak

Melontarkan pertanyaan yang tidak

bermakna kepada guru

Mengeluarkan suara aneh diluar

kontrol diri

8 7,6 7,6 88,8 82,2 82,2

Page 160: Scanned by CamScanner - ULM

154 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

rata-rata yang diperoleh subyek Yadalah 8 atau kriteria kurang, subyek S = 7,6 atau kurang dan

subyek N memperoleh 7,6 atau kurang. Perlakuan yang dilakukan pada sesi pertama belum banyak

berpengaruh pada peningkatan perhatian subyek.

Pada tahap eksplorasi siswa mendengarkan bunyi serangga tidak disertai penghayatan,

sehingga pengaruh suara serangga terhadap peningkatan perhatian siswa tidak signifikan, bahkan

cenderung sama dengan pada saat studi pendahuluan. Pada tahap eksplanasi, iringan bunyi serangga

pada saat penyampaian konsep dan pada saat diskusi dengan teman sebaya berhasil menarik

perhatian siswa hiperaktif. Walaupun skor penurunan perilaku mengganggu pembelajaran tidak

menurun secara signifikan akan tetapi lebih baik daripada saat studipendahuluan.

Revisi

Pada siklus berikutnya perlu diadakan perubahan strategi penggunaan iringan susra serangga

pada saat pembelajaran. Pada tahap eksplorasi siswa perlu peningkatan penghayatan terhadap bunyi

serangga. Dengan menghayati diharapkan suara serangga akan mempengaruhi gelombang otak anak

hiperaktif, yang akan mempengaruhi perhatian anak. Pada tahap eksplanasi musik yang ditimbulkan

dari suara serangga dibunyikan secara sayup-sayup mengiringi pemahaman konsep matematika.

Dengan suara sayup diharapkan akan memberikan ketenangan pada otak anak.

Pelaksanaan tindakan siklus kedua, dilakukan sebanyak 4 kali pertemuan atau 40x8 jam

pelajaran = 320 menit. Tujuan yang ingin dicapai pada tindakan siklus kedua adalah

mengoptimalkan perhatian siswa hiperaktif terhadap materi pelajaran. Tindakan yang dicobakan

adalah menjelaskan konsep pelajaran dengan iringan suara serangga. Strategi pembelajaran yang

dilakukan menggunakan langkah sebagai berikut:

Eksplorasi (10 menit)

Bernyanyi bersama menggunakan iringan tepuk tangan

Mendengarkan suara serangga, kali ini posisi siswa duduk dengan tenang dilantai untuk meresapi

alunan suara serangga

Guru menyampaikan garis besar tujuan pembelajaran hari itu, yaitu akan membahas beberapa

operasi penjumlahan pada bilangan bulat.

Eksplanasi (60 menit)

Guru membunyikan rekaman suara serangga dengan suara sayup-sayup

Setelah semua anak tenang (tertuju pada suara serangga) guru mulai menjelaskan konsep operasi

penjumlahan bilangan bulat.

Guru mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok heterogen beranggotakan 3 orang,

setiap kelompok ada satu siswa hiperaktif.

Guru menugaskan kelompok untuk mengerjakan tugas kelompok

Siswa hiperaktif bersama siswa reguler mengerjakan tugas kelompok

Page 161: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 155

Suara serangga dibunyikan sayup-sayup mengiringi diskusi kelompok

Suara serangga dibunyikan keras, ketika ada anak yang kurang memperhatikan jalannya diskusi.

Ketika ingin menarik perhatian siswa suara serangga dikeraskan sesaat kemudian dikecilkan lagi

Ekspansi (10 menit)

Bersama dengan siswa, guru membahas hasil kerja siswa dan dilanjutkan dengan menghitung skor

yang diperoleh tiap kelompok

Memberikan penghargaan kepada kelompok yang mendapat skor paling tinggi, dan kepada siswa

yang paling memperhatikan pelajaran

Observasi, pelaksanaan observasi dilakukan oleh peneliti diakhir pertemuan siklus kedua.

Observasi menggunakan lembar pengamatan. Observasi dilakukan dengan tujuan untuk

memperoleh data tentang aktivitas siswa hiperaktif dalam proses belajar mengajar. Hasil

pengmatan pada siklus pertama tertera pada tabel berikut:

Tabel 3: Pengamatan aktifitas siswa yang mengganggu perhatian dalam pembelajaran

SIKLUS II

No Aspek yang diamati Nama responden/

Rata –rata skor

Presentase skor

Y S N Y S N

1

2

3

4

5

Meninggalkan tempat duduk di

kelas

Berlari kesana kemari dalam kelas

Gelisah dengan tangan dan kaki

yang senantiasa bergerak

Melontarkan pertanyaan yang tidak

bermakna kepada guru

Mengeluarkan suara aneh diluar

kontrol dir

6,6 6,6 5,8 73,3 73,3 64,4

Refleksi

Tindakan pada siklus kedua dilakukan selama 4 kali pertemuan atau 8 jam pelajaran selama

320 menit. Pembelajaran diiringi suara serangga, pada siklus kedua, perilaku subyek banyak

mengalami perubahan dibandingkan pada siklus pertama. Dimungkinkan subyek mulai

menyesuaikan strategi dan media pembelajaran. Terbukti skor aktifitas siswa yang mengganggu

pembelajaran siswa Y dan S dengan skor 6,6 dan siswa N memperoleh skor 5,8. Ketiga siswa

Page 162: Scanned by CamScanner - ULM

156 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

hiperaktif mengalami penurunan frekwensi aktifitas pengganggu perhatian yang cukup signifikan.

Pasa sesi sebelumnya pada level kurang menjadi sedang. Prosentase skor menurun dari 88,8% pada

sesi sebelumnya menurun menjadi 64,4%.

Pada tahap eksplorasi siswa mendengarkan bunyi serangga mulai menggunakan

penghayatan, sehingga pengaruh suara serangga terhadap peningkatan perhatian siswa cukup

signifikan. Pada tahap eksplanasi, iringan bunyi serangga pada saat penyampaian konsep dan pada

saat diskusi dengan teman sekelompok berhasil menarik perhatian siswa hiperaktif. Pengaturan

frekwensi suara serangga untuk menarik perhatian siswa ketika terjadi kegaduhan ternyata mampu

menarik perhatian siswa hiperaktif.

Penurunan frekwensi gangguan perhatian pada siklus kedua ini cukup signifikan. Namun

demikian belum mencapai batas penurunan yang diharapkan pada penelitian ini, yaitu menurunkan

aktifitas pengganggu pelajaran dari 9 kali atau lebih dalam 2 jam pelajaran menjadi 4 atau 5 kali

dalam 2 jam pelajaran. Dengan demikian perlu penambahan frekwensi tindakan pada siklus

berikutnya.

Revisi

Tindakan pada siklus ketiga pada prinsipnya menggunakan strategi pembelajaran pada

siklus kedua. Pemanfaatan suara serangga pada pembelajaran siklus ketiga selain untuk mengiringi

penjelasan konsep perlu difariasikan lagi. Misalnya digunakan untuk menarik perhatian ketika anak

tidak mau menjawab pertanyaan, untuk memberikan hadiah, ketika siswa bisa duduk dengan

tenang. Menarik perhatian ketika ingin masuk kelas mengikuti pelajaran.

Pelaksanaan tindakan siklus ketiga, dilakukan sebanyak 4 kali pertemuan atau 40x8 jam

pelajaran = 320 menit. Tujuan yang ingin dicapai pada tindakan siklus kedua adalah

mengoptimalkan perhatian siswa hiperaktif terhadap materi pelajaran. Tindakan yang dicobakan

adalah menjelaskan konsep pelajaran dengan iringan suara serangga. Strategi pembelajaran yang

dilakukan menggunakan langkah sebagai berikut:

Eksplorasi (10 menit)

Bernyanyi bersama menggunakan iringan tepuk tangan

Mendengarkan suara serangga, kali ini posisi siswa duduk dengan tenang dilantai untuk meresapi

alunan suara serangga

Guru menyampaikan garis besar tujuan pembelajaran hari itu, yaitu akan membahas beberapa

operasi penjumlahan pada bilangan bulat.

Eksplanasi (60 menit)

Guru membunyikan rekaman suara serangga dengan suara sayup-sayup

Setelah semua anak tenang (tertuju pada suara serangga) guru mulai menjelaskan konsep operasi

penjumlahan bilangan bulat dengan tehnik simpan dua bilangan

Page 163: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 157

Guru mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok heterogen beranggotakan 3 orang,

setiap kelompok ada satu siswa hiperaktif.

Guru menugaskan kelompok untuk mengerjakan tugas kelompok

Siswa hiperaktif bersama siswa reguler mengerjakan tugas kelompok

Suara serangga dibunyikan sayup-sayup mengiringi diskusi kelompok

Suara serangga dibunyikan keras, ketika ada anak yang kurang memperhatikan jalannya diskusi,

seketika anak akan menoleh ke suara. Ketika anak memperhatikan pelajaran maka bunyi serangga

diputar sayup-sayup lagi.

Suara serangga dibunyikan keras, ketika ada anak mampu menjawab pertanyaan dengan baik dan

bisa duduk dengan tenang.

Ketika ingin menarik perhatian siswa suara serangga dikeraskan sesaat kemudian dikecilkan

Bunyi serangga diputar ketika guru ingin menarik perhatian siswa untuk memasuki ruangan

Ekspansi (10 menit)

Bersama dengan siswa, guru membahas hasil kerja siswa dan dilanjutkan dengan menghitung skor

yang diperoleh tiap kelompok

Memberikan penghargaan kepada kelompok yang mendapat skor paling tinggi, dan kepada siswa

yang paling memperhatikan pelajaran

Observasi, pelaksanaan observasi dilakukan oleh peneliti diakhir pertemuan siklus ketiga.

Observasi menggunakan lembar pengamatan. Observasi dilakukan dengan tujuan untuk

memperoleh data tentang aktivitas siswa hiperaktif dalam proses belajar mengajar. Hasil

pengmatan pada siklus ketiga tertera pada tabel berikut:

Tabel 4: Pengamatan aktifitas siswa yang mengganggu perhatian dalam pembelajaran

SIKLUS III

No Aspek yang diamati Nama responden/ Rata –rata skor

Presentase skor

Y S N Y S N 1 2 3 4 5

Meninggalkan tempat duduk di kelas Berlari kesana kemari dalam kelas Gelisah dengan tangan dan kaki yang senantiasa bergerak Melontarkan pertanyaan yang tidak bermakna kepada guru Mengeluarkan suara aneh diluar kontrol diri

5,4 5 4,4 60 55,5 48,8

Page 164: Scanned by CamScanner - ULM

158 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Refleksi pelaksanaan tindakan siklus ketiga

Pemanfaatan suara serangga pada pembelajaran siklus ketiga, berhasil merubah kebiasaan

perilaku subyek penelitian yang mengganggu perhatian dalam pembelajaran. Terbukti skor aktifitas

siswa yang mengganggu pembelajaran siswa Y = 5,4 atau kriteria baik, siswa S dengan skor 5 atau

mencapai kriteria baik dan siswa N memperoleh skor 4,4 atau kriteria amat baik. Ketiga siswa

hiperaktif mengalami penurunan frekwensi aktifitas pengganggu perhatian yang cukup signifikan.

Pada sesi sebelumnya pada level kurang menjadi sedang. Prosentase skor menurun dari 88,8% pada

sesi sebelumnya menurun menjadi 64,4%.

Pada tahap eksplorasi siswa mendengarkan bunyi serangga mulai menggunakan

penghayatan, sehingga pengaruh suara serangga terhadap peningkatan perhatian siswa cukup

signifikan. Pada tahap eksplanasi, iringan bunyi serangga pada saat penyampaian konsep dan pada

saat diskusi dengan teman sekelompok berhasil menarik perhatian siswa hiperaktif. Pengaturan

frekwensi suara serangga untuk menarik perhatian siswa ketika terjadi kegaduhan ternyata mampu

menarik perhatian siswa hiperaktif.

Penurunan frekwensi gangguan perhatian pada siklus kedua ini cukup signifikan. Namun

demikian telah mencapai batas penurunan yang diharapkan pada penelitian ini, yaitu menurunkan

aktifitas pengganggu pelajaran dari 9 kali atau lebih dalam 2 jam pelajaran menjadi 4 atau 5 kali

dalam 2 jam pelajaran. Pada siklus ketiga pengaruh pemanfaatan suara serangga berhasil

meningkatkan perhatian siswa dalam pembelajaran sesuai dengan kriteria keberhasilan yang

diharapkan dalam penelitian ini.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan temuan penelitian dan analisis hasil penelitian, dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut:

Terapi gelombang otak anak ADHD dapat dilakukan dengan mendengarkan suara serangga

Pemanfaatan bunyi serangga dalam pembelajaran matematika dapat digunakan untuk meningkatkan

perhatian siswa hiperaktif.

Peningkatan perhatian siswa hiperaktif ditandai dengan menurunnya perilaku pengganggu perhatian

dari 8/9 kali menjadi 4/5 kali dalam dua jam pelajaran. Atau dari prosentase skor tertinggi 95,5%

menjadi 48,8%.

Penurunan perilaku pengganggu perhatian pembelajaran dengan angka diatas dibutuhkan waktu 960

menit atau 24 jam pelajaran.

Langkah pembelajaran pemanfaatan bunyi serangga, pada tahap eksplorasi siswa dikondisikan

untuk menghayati alunan bunyi serangga untuk menarik minat anak, tahap eksplanasi bunyi

serangga dikondisikan dengan suara sayup-sayup mengiringi penjelasan konsep matematika dan

Page 165: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 159

diskusi dengan teman sebaya. Tahap ekspansi bunyi serangga diatur sedemikian rupa untuk menarik

perhatian ketika anak bertanya, menjawab pertanyaan dan melakukan aktifitas tak terkontrol

Berdasarkan hasil temuan penelitian ini disarankan kepada:

Kepada guru maupun terapis anak hiperaktif menggunakan bunyi serangga dalam pembelajaran

matematika. Penggunaan bunyi serangga bisa difariasikan untuk menarik perhatian, memotivasi

belajar, menenangkan pikiran dan mengiringi diskusi

Kepada peneliti lanjutan, disarankan melakukan penelitian untuk mengukur seberapa besar

pengaruh bunyi serangga untuk meningkatkan gelombang beta dan memperbaiki jalur pendengaran

anak hiperaktif.

DAFTAR PUSTAKA

APA. Diagnostic and statistical manualof mental disorders. Washington. DC American Psychiatric

Assosiation Press. 1994

Ashman. A &Elkin, J. (1994). Education Children with Special Need. New Jersey : Scon Edition

Englewood eliffs Prentice. Inc.

Berit H. Johnson & Skjorten M.D. (2003). Pendidikan Kebutuhan Khusus. Bandung: Uniplb

Forlag. Devisi International. Jurusan Pendidikan Kebutuhan Khusus Fak. Pendidikan Universitas

Oslo. PPS Universitas Pendidikan Indonesia Bandung.

Berk, L.E. (1998). Development Through The Lifespan. Needham Heights.

A Viacom Company: Allyn and Bacon.

Elia J. Ambrosini PJ Rapoport : Treatment of attention –deficit-hyperactivity disorder. N Engl J

Met 1999. Maret 11: 340 http://www.gelombangotak.com/ a/n Irawan

Grainger, J. (1997). Children’s Behaviour, Attention and Reading Problems Strategies for School

Based Interventions. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia

Jessica Grainger (2003), Children,s Behaviour Attention and Reading Problem : Terjemahan ,

Jakarta : PT Gramedia Widia Sarana Indonesia.

Mercer, D.C. dan Mercer, A.R. (1989). Teaching Student with Learning Problem. Ohio: Merril

Publishing Company.

Skjorten, Miriam, D. & Johnsen, Berit, H.(2003). Pendidikan Kebutuhan Khusus, Suatu Pengantar

(Alih bahasa, Susi Septaviana R.). Bandung : PPS UPI.

Sunanto, Juang (2006) Pengantar Penelitian dengan Subyek Tunggal: University of Tsukuba

Page 166: Scanned by CamScanner - ULM

160 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Widodo Judarwanto (2007) Penatalaksanaan Attention Deficit Hyperactive Disorders pada anak :

jakarta

BIODATA PENULIS

Nama : Imam Yuwono, S.Pd..M.Pd

Jenis Kelamin : Laki-laki

NIP : 196608031991031014

Pendidikan : Pasca Sarjana /Pendidikan Berkebutuhan Khusus

UPI Bandung Bekerjasama Univ.Oslo Norway

Pekerjaan : Dosen PLB FKIP Unlam Banjarmasin

Page 167: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 161

PENGEMBANGAN DESAIN PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS BERBASIS E-LEARNING

Ahmad Dahlan Siregar1

Iin Syahri2

Lona Marlina3

FAKULTAS PASCASARJANA TEKNOLOGI PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI

MEDAN

ABSTRAK

Di era globalisasi saat ini perkembangan teknologi sangat pesat. Pada dasarnya konsep teknologi

pendidikan masih tertuju pada upaya melahirkan pemecahan masalah belajar yang dihadapi. Sesuai

dengan perkembangan dunia pendidikan dan pembelajaran pada saat ini salah satunya adalah

pembelajaran dalam bentuk elektronik pembelajaran atau e-Learning. Pengembangan desain

pembelajaran e-learning sangat membantu dan mempermudah pembelajaran. Dalam hal ini para

pendidik dapat melakukan inovasi dan pengembangan bahan ajar yang lebih modern sesuai dengan

perkembangan zaman. Dengan adanya konsep pembelajaran modern diharapkan mampu

menggabungkan antara software intelligence dan hardware intelegence dalan dunia pendidikan.

Keberadaan e-learning tidak terlepas dari komputer dan internet. Seiring dengan itu maka

berkembanglah teknologi yang berguna untuk mempermudah sesuatu pekerjaan manusia terutama

di dunia pendidikan. Sistem dalam e-learning ini peserta didik tidak harus berada didalam kelas,

bisa dalam jarak jauh sehingga dapat mempersingkat target waktu pembelajaran dan hemat biaya

yang harus dikeluarkan oleh sebuah program studi atau program pendidikan. Walaupun demikian,

sistem pembelajaran jarak jauh tetap berpijak pada karakteristik utamanya, yaitu pada keterpisahan

secara fisik antara pendidik dan peserta didik. Fungsi e-learning dalam kegiatan pembelajaran di

kelas yaitu : sebagai tambahan yang sifatnya pilihan, pelengkap atau pengganti. Tetapi untuk

penyelenggaraan e-learning ini dibutuhkan sistem administrasi dan manajemen yang baik. Di dalam

e-learning ini terdapat beberapa model dan teori-teori belajar yang mendukung model e-learning.

Kata Kunci: Pengembangan, pembelajaran berbasis, E-Learning

Page 168: Scanned by CamScanner - ULM

162 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Perkembangan dunia pendidikan dan pembelajaran setidaknya harus mengimbangi berbagai

tuntutan upaya pemecahan tantangan yang dihadapi.Fenomena ini sangat dirasakan betul ketika

sebuah kebijakan pembangunan pendidikan mulai dari pusat sampai ke daerah bahkan ke ruang

kelas tempat belajar kita, semuanya nyaris hanya menjadi beban bagi pihak-pihak

tertentu.Keberhasilan sebuah kebijakan diantaranya akan diukur dari kondisi dan kualitas tindakan

nyata yang dilakukan pada tataran lapangan.Demikian juga halnya dengan sebuah realitas layanan

pembelajaran yang sampai saat ini masih belum optimal jika dikaitkan dengan kebijakan

pembangunan pendidikan, khususnya mengenai pembangunan ICT di Indonesia yang diharapkan

mampu menyentuh pribadi inovatif di kalangan masyarakat dan praktisi pembelajaran. Trend

pengajaran (teaching) yang dulunya menempatkan guru sebagai satu-satunya komunikator aktif

mengguna-kan teknologi informasi dan komunikasi dalam proses belajar mengajar, kini telah

mengalami perubahan besar; guru (pendidik/ pengajar) dan siswa (pembelajar) telah ditempatkan

dalam posisi yang sama-sama aktif menggunakan teknologi dan media dalam proses pembelajaran

(learning).

Disini pengembangan sistem layanan pembelajaran berbasis ICT, yaitu dalam bentuk elektronik

pembelajaran atau e-learning.Dengan adanya pembelajaran e-learning diharapkan mampu menjadi

bekal bagi para praktisi pendidikan dan para pendidik, guru dalam melakukan inovasi dan

pengembangan bahan ajar yang lebih modern. TIK sebagai media informasi yang luar biasa telah

menjadi sebuah kemajuan positif bagi dunia pendidikan. Sadiman dan kawan-kawan (2009:7)

menyimpulkan bahwa media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan

dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat serta

perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi. Penggunaan TIK dalam hal ini

tentunya dapat diarahkan untuk mendukung proses pembelajaran siswa.Berbagai kelebihan dalam

penerapan teknologi instruksional seperti; penggunaan Web (E-Learning) dapat diasumsikan

sebagai salah satu faktor pendorong berkembangnya proses pembelajaran pada institusi-institusi

pendidikan nonformal. Salah satu contohnya adalah di SMK PAB 1 Helvetia Medan yang telah

menerapkan teknologi komputer berbasis jaringan (network) dalam proses pembelajaran.

Page 169: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 163

Penggunaan Web (E-learning) telah dijadikan sebagai salah satu metodologi belajar yang menarik

bagi para peserta didiknya.

Dengan metode pembelajaran seperti itu, para siswa ditempatkan pada rangkaian belajar dimana

mereka secara aktif mencari dan memperoleh informasi dan bahan belajar yang sangat luas dalam

berbagai format media baik teks, gambar, video, ataupun film dengan menggunakan Web (E-

Learning) sebagai media. Dalam Uses and Gratification theory dijelaskan bahwa khalayak memiliki

kekuatan (aktif) dalam menentukan pemanfaatan media massa termasuk media dalam internet

sesuai dengan kebutuhan dan kepuasan mereka atas informasi yang dibutuhkan.

Kebutuhan akan kemampuan bahasa Inggris saat ini juga merupakan kebutuhan utama bagi kita

semua. Dengan adanya ASEAN Free Trade Area (AFTA) atau disebut dengan ASEAN Community

maka mau tidak mau kita sebagai warga Negara harus dapat menyambut era itu dan harus mampu

menangkap peluang yang ada. Untuk itu kebutuhan akan penguasaan bahasa Inggris mutlak

diperlukan oleh kita semua.

Untuk bisa menguasai bahasa Inggris ini sendiri bukan perkara mudah, masalah yang sering

dihadapi sendiri adalah metode pembelajaran yang konvensional, belum interaktif, masih

berpatokan kepada text book. Banyak penyedia platform e-learning yang belum secara maksimal

menyediakan fitur-fitur yang bisa membantu siswa untuk belajar bahasa Inggris dengan cara yang

menyenangkan.

Bahasa Inggris merupakan salah satu mata pelajaran yang masuk dalam kurikulum di SMK, akan

tetapi proses pembelajaran bahasa Inggris masih belum bisa mencapai hasil seperti yang

diharapkan. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya siswa yang tetap belum mampu

berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris walaupun mereka sudah mem-pelajarinya sejak

memasuki bangku Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas ataupun yang sederajat.

Kondisi pembelajaran ini mengharuskan guru aktif dan kreatif me-nyiasati, mencari dan memilih

strategi pem-belajaran yang paling tepat untuk mencapai tujuan pembelajaran yang terkait dengan

proses dan hasil pembelajaran. Pelaksanaan pembelajaran di dalam kelas merupakan salah satu

tugas utama guru yang dapat diartikan sebagai kegiatan yang ditujukan untuk membelajarkan siswa.

Dalam proses pem-belajaran masih sering ditemui adanya ke-cenderungan siswa lebih pasif

sehingga mereka lebih banyak menunggu sajian guru daripada mencari dan menemukan sendiri

pengetahuan, keterampilan atau sikap yang mereka butuhkan.

Turban dkk (Suyanto, 2005: 21) me-ngemukakan bahwa multimedia adalah kom-binasi dari paling

sedikit dua media input atau output. Media ini dapat berupa audio (suara, musik), animasi, video,

teks, grafik, dan gambar. Azhar Arsyad (2009:170) menyata-kan multimedia secara sederhana

Page 170: Scanned by CamScanner - ULM

164 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

didefinisi-kan lebih dari satu media, media ini bisa berupa kombinasi antara teks, grafik, animasi,

suara dan video. Blackwell (1997: 1) dalam multimedia application in education menyata-kan

bahwa multimedia adalah kombinasi dari teks, grafik, seni, suara, animasi dan video dengan

linkatau alat yang memungkinkan bagi guru ataupun siswa untuk mengendali-kan, berinteraksi dan

berkomunikasi dengan komputer. Ketika user bisa mengontrol apa dan kapan saja unsur-unsur yang

ada dalam media tersebut maka proses ini disebut multimedia interaktif, jadi dengan mengguna-kan

multimedia, siswa tidak hanya bisa melihat dan mendengar tetapi juga bisa juga mengatur perintah-

perintah didalamnya secara stimulan. Dari pendapat Blackwell dapat dikatakan bahwa multimedia

merupakan suatu kombinasi data yang memuat jenis dan media untuk menyampaikan pesan

menjadi lebih komunikatif dan berkesan.

Rumusan Masalah

Metode pembelajaran yang di gunakan kurang variatif

Sulitnya siswa memahami materi pembelajaran dengan metode konvensional

Masih sedikitnya guru yang mengetahui tentang pembelajaran e-Learning

Belum maksimalnya guru yang menggunakan platform e-learning yang disediakan

Rendahnya hasil belajar Bahasa Inggris siswa di sekolah

Kurang diterapkannya teknologi komputer berbasis jaringan (network) dalam proses pembelajaran

Batasan Masalah

Apa yang dimaksud dengan E-Learning dalam pembelajaran?

Apa fungsi dan manfaat dari E-Learning dalam pembelajaran?

Bagaimana desain pembelajaran Bahasa Inggris dengan E-Learning?

Apa-apa saja model dalam E-Learning?

Tujuan

Untuk mengetahui pengertian E-Learning dalam pembelajaran

Untuk mengetahui fungsi dan manfaat dari E-Learning dalam pembelajaran

Untuk mengetahui desain pembelajaran Bahasa Inggris dengan E-Learning

Untuk mengetahui model-model dalam E-Learning

Page 171: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 165

BAB II

KAJIAN TEORI DAN PEMBAHASAN

Pengertian E-Learning (Pembelajaran Elektronik)

Pembelajaran elektronik atau e-Learning telah dimulai pada tahun 1970-an (Waller and Wilson

2001 dalam Darmawan, 24:2014), tetapi mulai bersifat komersial dan berkembang pesat sejak

periode 1990-an (Kamarga,2002 dalam Darmawan, 25:2014).E-Learning merupakan suatu

penerapan teknologi informasi yang relatif baru di Indonesia, mulai dikenal secara komersial pada

1995 ketika IndoInternet membuka layanannya sebagai penyedia jasa layanan Internet pertama.E-

Learning terdiri dari dua bagian, yaitu “e” yang merupakan singkatan dari “electronic” dan

“learning” yang berarti “pembelajaran.”Jadi e-Learning berarti pembelajaran dengan menggunakan

jasa/bantuan perangkat elektronika, khususnya perangkat komputer.Dengan demikian, maka e-

Learning atau pembelajaran online adalah pembelajaran yang pelaksanaannya didukung oleh jasa

elektronis seperti telepon, audio, videotape, transmisi satelit atau komputer.(Darmawan, 25:2014).

Ada tiga hal penting sebagai persyaratan kegiatan belajar elektronik (E-Learning) (Darmawan,

25:2014) yaitu:

Kegiatan pembelajaran dilakukan melalui pemanfaatan jaringan/internet (LAN atau WAN)

Tersedianya dukungan layanan belajar yang dapat dimanfaatkan (misalnya CD-ROM atau bahan

cetak)

Tersedianya dukungan layanan tutor yang dapat membantu peserta belajar apabila mengalami

kesulitan

Disamping ketiga persyaratan tersebut di atas, masih dapat ditambahkan persyaratan-persyaratan

lainnya untuk menunjang terlaksananya e-Learning antara lain:

Lembaga yang menyelenggarakan / mengelola kegiatan pembelajaran mengerti cara mengelola

sistem pembelajaran

Sikap positif peserta didikdan tenaga kependidikan terhadap teknologi komputer dan Internet

Rancangan sistem pembelajaran yang dapat dipelajari/diketahui oleh setiap peserta belajar

Sistem evaluasi terhadap kemajuan atau perkembangan belajar peserta belajar

Mekanisme umpan balik yang dikembangkan oleh lembaga penyelenggara.

Ada beberapa bagian menurut e-Learning menurut (Naudu Som, 1:2006) yaitu :

Individualisasi e-learning online pribadi mengacu pada situasi di mana seorang pelajar belajar

mengakses sumber belajar seperti database atau konten kursus secara online melalui Intranet atau

Internet. Contoh khas dari hal ini adalah pelajar yang belajar sendiri atau melakukan penelitian di

Internet atau jaringan lokal.Individual e-learning offline pribadi mengacu pada situasi di mana

Page 172: Scanned by CamScanner - ULM

166 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

seorang pelajar belajar menggunakan sumber belajar seperti database atau paket pembelajaran yang

dibantu komputer secara offline (yaitu, meski tidak terhubung ke Intranet atau Internet). Contoh

dari hal ini adalah pelajar yang bekerja sendiri dari hard drive, CD atau DVD.

Pembelajaran e-learning berbasis kelompok secara serentak mengacu pada situasi di mana

kelompok peserta didik bekerja sama secara real time melalui Intranet atau Internet. Ini mungkin

termasuk konferensi berbasis teks, dan satu atau dua arah audio dan videoconference. Contohnya

termasuk pelajar yang terlibat dalam obrolan real-time atau konferensi video audio.

Pembelajaran e-learning berbasis kelompok secara asinkron mengacu pada situasi di mana

kelompok peserta didik bekerja di Intranet atau Internet dimana pertukaran di antara peserta terjadi

dengan penundaan waktu (yaitu, tidak secara real time). Contoh khas dari jenis kegiatan ini meliputi

diskusi on-line melalui milis elektronik dan konferensi berbasis teks dalam sistem manajemen

pembelajaran.

Peran E-Learning Dalam Pendidikan

Dalam upaya memahami dan memaknai keberadaan e-learning maka ada beberapa

perspektif yang dapat digunakan guna memperoleh pemahaman yang utuh dan fleksibel tentang e-

learning.E-learning pada dasarnya tidak selalu harus berhubungan dengan proses pendidikan dan

pembelajaran yang berbasis elektronik dan virtual secara ideal, namun e-learning yang mampu

memberikan pemahaman bagaimana peserta belajar memperoleh materi dan melakukan proses

pembelajaran melalui fasilitas internet dan sajian halaman website yang memberikan dan

menyediakan bahan ajar secara elektronik.

Ketika suatu lembaga pendidikan sudah memahami dana siap mengancurkan dana

pendampingan untuk kesuksesan penyelenggaraan pendidikan dan layanan pembelajaran maka

setelah semuanya terbangun pada akhirnya akan muncul tuntutan praktis kepada warga

belajar.Kondisi ketika pembelajaran dengan melalui hasil telaah ilmu pengembangan kurikulum,

maka ada beberapa keterkaitan langsung antara penyelenggaraan pembelajaran secara elektronik

dan manajemen pendidikan secara kelembagaan berdasarkan pendekatan sistem.E-Learning yang

banyak dipahami orang termasuk oleh para praktisi dunia pendidikan maka akan dapat dipahami

bahwa e-Learning sangat memerlukan tindakan nyata dari fungsi manajemen melalui media

komunikasi elektronik.

Dalam proses penggunaan atau pemanfaatan elektronik pembelajaran ini maka untuk

sebagian pengembang pembelajaran sangat konsen dengan pemanfaatan elektronik dalam

melakukan inovasinya.Fenomena ini menunjukkan betapa pentingnya pengemasan pembelajaran

agar bisa lebih menarik para peserta didik dan pendidik yang lain sehingga inovasi akan terus

dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan.Pada dasarnya e-Learning memungkinkan

Page 173: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 167

pembelajaran bisa lebih mudah dikelola khususnya dari segi materi, penempatan, pengelolaan, dan

penilaian serta setting lingkungan dan kondisi pembelajaran yang dibutuhkan.

Evaluasi Pembelajaran Dalam E-Learning

Penilaian dalam konteks rangkaian beberapa sistem e-Learning mungkin masih bisa

dilakukan, yaiutu dengan cara memberikan akses pada web e-Learning yang telah

direlevansinya.Artinya, halaman dan sistem evaluasi digital untuk e-Learning tidak bisa

sederhana.Walaupun demikian ada sisi lain jika penilaian proses rasa percaya diri, rasa mandiri,

rasa kesadaran, serta kemampuan untuk melakukan pencarian atas segala penyelesaian tugas belajar

secara individual dapat terlatih dengan baik.Sistem evaluasi yang dapat dikembangkan, yaitu

evaluasi proses dengan indicator dan acuan penuntasan belajar berupa alokasi waktu yang

dihabiskan, halaman-halaman e-Learning yang tertuntaskan, mampu tidaknya membaca dan

memaknai, setelah itu benar menjawab soal yang disajikan, serta mampu melewati keseluruhan

proses pembelajaran.

Maka sistem penilaian yang dapat diterapkan, yaitu sistem penilaian dengan indicator

ketuntasan belajar secara online, kemampuan membuat laporan dan meng-

uploadnya/mengirikannya secara online, serta mampu menjawab keseluruhan soal, yaitu soal yang

dimunculkan pada setiap akan selesai sajian materi pelajaran.Adapun skor untuk penilaian yang

dilakukan biasanya memiliki skala interval, serta dapat dengan cepat diproses sehingga mampu

memberikan informasi lebih cepat secara online kepada peserta didiknya.

Ada sejumlah praktisi yang telah menggunakan manjemen penyelenggaraan dan layanan

pembelajarannya e-Learning, mereka telah banyak menggunakan pola dan sistem penerapan

evaluasi pembelajarannya.Salah satu pola penilaian dalam e-Learning yang ditujukan untuk

beberapa aspek di antaranya:

Penilaian desain interaktif program layanan e-Learning

Penilaian kemudahan akses program e-Learning oleh pembelajaran

Penilaian kualitas dan keunggulan konten materi yang dikembangkan

Penilaian proses interaksi pembelajaran selama e-Learning dimanfaatkan

Penilaian sistem evaluasi itu sendiri (sistem penilaian yang disajikan dalam program e-Learning)

Penilaian aktivitas pembelajaran pembelajaran selama menyelesaiakan sejumlah tugas dan latihan

dalam sistem program e-Learning

Penilaian terhadap hasil belajar yang sifatnya pengetahuan secara terintegrasi dengan program e-

Learning

Page 174: Scanned by CamScanner - ULM

168 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Penilaian pasca penggunaan program e-Learning oleh internal lembaga pendidikan yang

mengelolanya

E-Learning dan Model-Model Pembelajaran

E-Learning merupakan salah satu pemikiran dalam upaya mengintegrasikan proses

pembelajaran dari pembelajaran tradisional,pembelajaran jarak jauh, dan perpaduan berbagai model

pembelajaran lainnya (blended learning).(Darmawan, 20:2014)

Traditional Learning

Pembelajaran yang umum dan banyak dilakukan dalam lembaga-lembaga pendidikan, di

mana proses pembelajaran dan interaksinya cenderung banyak melibatkan guru, siswa, media, dan

sumber belajar buku cetak, serta dukungan peralatan dan sarana standar untuk melayani

pembelajaran peserta didiknya.

Distance Learning

Pembelajaran jarak jauh awalnya ditujukan guna penyelenggaraan pelatihan atau training dalam

jangka waktu pendek.Perkembangannya berlangsung pesat setelah adanya konsep Teknologi

Pembelajaran di mana media dan teknologi penyaluran pesan dalam bentuk komunikasi jarak jauh

mampu dilakukan untuk melayani peserta didik.

Blended Learning

Model pembelajaran Blended Learning ini merupakan kombinasi berbagai model pembelajaran

yang ditujukan guna mengoptimalkan proses dan layanan pembelajaran baik jarak jauh, tradisional,

bermedia, bahkan berbasis komputer.Sebagai contoh, siswa yang belajar di kelas namun

memanfaatkan fasilitas bahan ajar online, kemudian dicetak dan download serta dipelajari secara

klasikal di dalam kelas, setelah itu mereka diskusi dengan bantuan media cetak, maupun elektronik,

bahkan online.

Perkembangan teknologi informasi beberapa tahun belakangan ini sangat berkecepatan tinggi,

sehingga dengan perkembangan ini telah mengubah paradigma masyarakat dalam mencari dan

mendapatkan informasi, yang tidak lagi terbatas pada informasi surat kabar, audiovisual dan

elektronik, tetapi juga sumber-sumber informasi lainnya yang salah satu di antaranya melalui

jaringan internet.

Salah satu bidang yang mendapatkan dampak yang cukup berarti dengan perkembangan teknologi

ini adalah bidang pendidikan, yang pada dasarnya pendidikan merupakan suatu proses komunikasi

dan informasi dari pendidik kepada peserta didik yang berisi informasi-informasi pendidikan, yang

memiliki unsur-unsur pendidik sebagai sumber informasi, sarana penyajian ide, gagasan dan materi

pendidikan, serta peserta didik itu sendiri.(Oetomo dan Priyogutomo, 2004 dalam Darmawan,

22:2014)

Page 175: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 169

Fungsi dan Manfaat E-Learning

Terdapat tiga fungsi e-Learning dalam kegiatan pembelajaran di dalam kelas (classroom

instruction), (Darmawan, 29: 2014) yaitu :

Suplemen (tambahan)

E-Learning berfungsi sebagai suplemen (tambahan), yaitu: peserta didik mempunyai kebebasan

memilih, apakah akan memanfaatkan materi e-Learning atau tidak.Dalam hal ini, tidak ada

kewajiban/keharusan bagi peserta didik untuk mengakses materi e-Learning.Sekalipun sifatnya

opsional, peserta didik yang memanfaatkannya tentu akan memiliki pengetahuan atau wawasan.

Komplemen (pelengkap)

E-Learning berfungsi sebagai komplemen (pelengkap), yaitu: materinya diprogramkan untuk

melengkapi materi pembelajaran yang diterima peserta didik di dalam kelas.Di sini berarti materi e-

Learning diprogramkan untuk menjadi materi reinforcement (penguatan) atau remedial bagi peserta

didik di dalam mengikuti kegiatan pembelajaran konvensional.

Substitusi (pengganti)

Ada tiga alternatif model kegiatan pembelajaran yang dapat dipilih peserta didik yaitu :

Sepenuhnya secara tatap muka (konvensional)

Sebagian dari tatap muka dan sebagian dari internet

Sepenuhnya dari internet

Alternatif model pembelajaran manapun yang akan dipilih peserta didik tidak menjadi masalah

dalam penilaian karena semua model penyajian materi yang disampaikan mendapat pengakuan atau

penilaian yang sama.Jika peserta didik dapat menyelesaikan program perkuliahannya dan lulus

melalui kedua model ini, maka institusi penyelenggara pendidikan akan memberikan pengakuan

yang sama.

Karakteristik dan perangkat yang diperlukan oleh e-Learning antara lain adalah (Soekartawi,2003

dalam Darmawan, 31: 2014):

Memanfaatkan jasa teknologi elektronik, antara pendidik dan peserta didik, antarpeserta didik

sendiri, atau antarpendidik-pendidik, dapat berkomunikasi relative mudah dengan dan tanpa dibatasi

oleh hal-hal yang protokoler

Memanfaatkan keunggulan komputer (digital media dan komputer network)

Menggunakan bahan ajar yang bersifat mandiri (self learning materials) disimpan di komputer

sehingga dapat diakses oleh pendidik dan peserta didik kapan saja dan dimana saja bila yang

bersangkutan memerlukannya

Page 176: Scanned by CamScanner - ULM

170 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Memanfaatkan jadwal pembelajaran, kurikulum, hasil kemajuan belajar dan hal-hal yang berkaitan

dengan administrasi pendidikan yang dapat dilihat setiap saat di komputer.

Berikut ini beberapa pendapat ahli lain mengenai manfaat e-Learning (Siahaan,2003 dalam

Darmawan, 32:2014) melihat manfaat e-Learning dari dua sudut, yaitu dari sudut peserta didik dan

pendidik

Peserta didik

Belajar di sekolah-sekolah kecil didaerah-daerah miskin untuk mengikuti mata pelajaran tertentu

yang tidak dapat diberikan oleh sekolahnya

Mengikuti program pendidikan di rumah (home schoolers) umtuk mempelajari materi pembelajaran

yang tidak dapat diajarkan oleh para orang tuanya, seperti bahasa asingvdan keterampilan di bidang

komputer

Merasa fobia dengan sekolah atau peserta didik yang dirawat di rumah sakit maupun di rumah, yang

putus sekolah tetapi berminat melanjutkan pendidikannya, maupun peserta didik yang berada di

berbagai daerah atau bahkan yang berada di luar negeri, dan

Tidak tertampung di sekolah konvensional untuk mendapatkan pendidikan

Pendidik

Lebih mudah melakukan pemutakhiran bahan-bahan belajar yang menjadi tanggung jawabnya

sesuai dengan tuntutan perkembangan keilmuan yang terjadi

Mengembangkan diri atau melakukan penelitian guna peningkatan wawasannya karena waktu luang

yang dimiliki relative lebih banyak

Mengontrol kegiatan belajar peserta didik, bahkan pendidik/instruktur juga dapat mengetahui kapan

peserta didiknya belajar, topic apa yang dipelajari, berapa lama sesuatu topic dipelajari, serta berapa

kali topic tertentu dipelajari ulang

Mengecek apakah peserta didik telah mengerjakan soal-soal latihan setelah mempelajari topic

tertentu

Memeriksa jawaban peserta didik dan memberitahukan hasilnya kepada peserta didik

Desain Pengembangan Bahasa Inggris Dengan E-Learning

Desain adalah proses interaksi dengan melibatkan peserta didik.Asumsi ini menjelaskan

bahwa desain pembelajaran menganut prinsip learned-centered atau berorientasi pada peserta didik

sehingga peserta didik ikut terlibat dalam proses desain pembelajaran.(Atwi, 85:2014).

Page 177: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 171

Desain pembelajaran itu sendiri adalah suatu proses yang terdiri dari sejumlah subproses,

mulai dari perumusan tujuan instruksional umum hingga evaluasi formatif untuk menghasilkan

program atau produk instruksional.(Atwi, 85:2014).

Perencanaan

Mendefinisikan bidang/ruang lingkup yang diambil dari silabus dan RPP guru mata pelajaran

bahasa Inggris.

Mengidentifikasi karakteristik siswa dari hasil pra survei.

Membuat dokumen perencanaan, menge-nai materi, hal-hal yang diperlukan dalam membuat

produk, dll.

Menentukan dan mengumpulkan sumber-sumber untuk mata pelajaran bahasa Inggris, misalnya:

dari buku, internet, sekolah, dll.

Melakukan brainstorming yaitu melaku-kan diskusi dengan guru mata pelajaran bahasa Inggris, dan

teman sejawat.

Desain

Melakukan analisis konsep dan tugas yang berkaitan dengan materi.

Membuat flowcharts dan storyboards.

Pengembangan

Menyiapkan teks (tentang materi untuk keselurahan dalam pembuatan produk CD interaktif)

Menggabungkan bagian-bagian dan me-madukan berbagai bahan yang telah terkumpul.

Menyiapkan materi-materi pendukung.

Membuat program.

Melakukan uji alpha, yaitu memvalidasi produk yang dilakukan oleh ahli media dan ahli materi

(evaluasi formatif).

Membuat revisi yang pertama terhadap produk yang telah dibuat.

Melakukan uji beta, yaitu menguji produk ke 6 orang siswa untuk menge-tahui tanggapan siswa

terhadap produk yang dibuat (evaluasi formatif).

Melakukan revisi akhir yaitu membuat produk final software pembelajaran bahasa Inggris dalam

bentuk CD pem-belajaran interaktif.

Melakukan evaluasi sumatif dengan mengadakan pretest dan posttest pada kelas dengan

pembelajaran menggunakan media cetak dan kelas yang mengguna-kan media berbasis komputer

dan melihat rerata hasil belajar setiap kelas tersebut.

Page 178: Scanned by CamScanner - ULM

172 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Secara keseluruhan pada tahap pengem-bangan ini dilakukan ongoing evaluation yaitu

evaluasi terus menerus dari awal hingga akhir pengembangan. Tahap ini dilakukan dengan uji alpha

dan uji beta, serta melakukan revisi terhadap produk secara keseluruhan.

Model E-Learning

CD/Web-based Courseware

Multimedia CD atau materi berbasis Web ini dapat diakses setiap waktu oleh peserta didik.Ini

dikembangkan berdasarkan pada pertimbangan isu desain instruksional.

VOISS-Virtual Online Instructional Support System

VOISS merupakan representasi komponen inti pembelajaran.Sistem tersebut terdiri lebih dari

sepuluh modul yang berbeda seperti pelajaran berbasis web, forum diskusi, frequently-asked

questions (FAQ), e-mail, bulletin board, pengumuman, tugas-tugas, kuis, jadwal dan hasil ujian

untuk setiap peserta didik.

Tutorial Sessions

Tutorial meetings dibagi dalam dua model yaitu pertemuan online dan tatap muka.Contohnya yang

dikembangkan oleh MMU (Multimedia University) di Malaysia adalah menggunakan fasilitas

media yang disebut Multimedia Learning System (MMLS).Fasilitas tersebut mempunyai tujuan

sebagai berikut:

Peserta didik dapat mengakses secara multimedia materi kuliah dan tutorial yang berhubungan

dengan mata kuliah yang mereka kontrak

Adanya interaksi antara instruktur dan peserta peserta didik, dan di antara peserta didik sendiri

dalam konferensi melalui forum diskusi dan fasilitas chatting

Terdapat e-mail, baik di dalam dan luar struktur perkuliahan

Penyerahan tugas dilakukan melalui file transfer atau file attachment

Adanya feedback antara instruktur dan peserta didik, dan di antara peserta didik dalam proyek

bersama

Adanya monitoring intelligence performance dan kemajuan peserta didik

Komponen E-Learning

Secara garis besar, apabila kita menyebut tentang E-Learning, ada tiga komponen utama yang

menyusun E-Learning tersebut (Wahono, 2007) dalam (Darmawan, 63:2014)

E-Learning System

Sistem perangkat lunak yang mem-virtualisasi proses belajar mengajar konvensional.Bagaimana

manajemen kelas, pembuatan materi atau konten, forum diskusi, sistem penilaian (rapor), sistem

ujian online dan segala fitur yang berhubungan dengan manajemen proses belajar mengajar.Sistem

perangkat lunak tersebut sering disebut dengan LMS (Learning Management System).

Page 179: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 173

Menurut Jason Cole (2005) dalam (Darmawan, 65:2014) mengungkapkan bahwa secara umum,

fungsi-fungsi yang harus terdapat pada sebuah LMS/CMS antara lain:

Uploading and sharing materials

Menyediakan layanan untuk mempermudah proses publikasi konten

Forum and chats

Menyediakan layanan komunikasi dua arah antara instruktur dan pesertanya baik dilakukan secara

sinkron (chat) maupun asinkron (forum, e-mail)

Quizzes and survey

Digunakan untuk memberikan grade secara instan bagi peserta kursus dan merupakan tool yang

sangat baik digunakan untuk mendapatkan respon (feedback) langsung dari siswa

Gathering and reviewing assignments

Proses pemberian nilai dan skoring kepada siswa dapat juga dilakukan secara online dengan

bantuan LMS/CMS.

Recording grades

Melakukan rekaman data grade siswa secara otomatis, sesuai konfigurasi dan pengaturan yang

dilakukan oleh instruktur dari awal pembelajaran dilaksanakan.

E-Learning Content (Isi)

Konten dan bahan ajar yang ada pada E-Learning system ini bisa dalam bentuk Multimedia –Based

Content (konten berbentuk multimedia interaktif) atau Text Based

Content (konten berbentuk teks seperti pada buku pelajaran biasa).

E-Learning Infrastructure (Peralatan)

Insfrastruktur E-Learning dapat berupa personal computer (PC), jaringan komputer dan

perlengkapan multimedia.Termasuk di dalamnya peralatan teleconference apabila kita memberikan

layanan synchronous learning melalui teleconference.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

E-Learning merupakan suatu penerapan teknologi informasi yang relatif baru di Indonesia, mulai

dikenal secara komersial pada 1995 ketika IndoInternet membuka layanannya sebagai penyedia jasa

layanan Internet pertama.E-Learning terdiri dari dua bagian, yaitu “e” yang merupakan singkatan

dari “electronic” dan “learning” yang berarti “pembelajaran.”Jadi e-Learning berarti pembelajaran

dengan menggunakan jasa/bantuan perangkat elektronika, khususnya perangkat komputer.

Page 180: Scanned by CamScanner - ULM

174 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

E-learning Bahasa Inggris yang mampu meningkatkan kemampuan kognitif siswa adalah e-lerning

yang mempunyai tingkat interaktifitas pengguna tinggi, yang selain menyajikan materipembelajaran

dalam bentuk file baik itu dalam format words, powerpoint, html atau PDF tapi e-learning tersebut

juga mempunyai nilai lebih menu yang lebih bersifat interaktif, baik itu dalambentuk evaluasi

online yang lebih bervariasi, konsultasi online maupun fasilitas chatting.

Baik guru dan siswa E-Learning dapat bermanfaat mulai dari pemutahiran bahan-bahan pengajaran,

waktu yang relatif singkat atau hemat waktu, dan cara yang lebih praktis

Saran

Untuk pengembangan dimasa yang akan datang, penulis menyarankan adanya pengembangan dari

E-Learning yaitu :

Karena keterbatasan waktu dan kemampuan dari penulis, maka apa yang penulis rencanakan belum

terealisasi sepenuhnya dalam upaya memperbaiki e-learning ini. Oleh karena itu perlu diadakannya

beberapa pengembangan fitur pada poin-poin tertentu.

Materi harus selalu diupdate agar siswa mendapatkan materi secara lengkap dengan mudah dalam

upaya meningkatkan kemampuan kognitifnya.

Guru sebaiknya memberikan quiz maupun tugas-tugas secara kontinyu sehingga siswa terpacu

untuk belajar mandiri dan selalu mengikuti perkembangan yang ada pada e-learning ini.

Untuk menjaga eksistensi dari aplikasi ini maka perlu adanya perawatan (maintenance) agar data

maupun program ini dapat berjalan sebagaimana mestinya dalam upaya meningkatkan kemampuan

kognitif siswa.

E-Learning dapat digunakan oleh guru dan siswa disekolah-sekolah untuk mempermudah

pembelajaran

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, Azhar. 2007. Media pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Blackwell, John. 1997. Multimedia applica-tion in education. (http://web.viu.ca/-

seeds/mm/index.html.

Turban, Efraim & Linda, Volonino. 2010.Information Technology For Management Edision 7th,

Edition. Jhon Willey & Sons : Asia

diakses 27 Juni 2017)

Darmawan, Deni. 2014.Pengembangan E-Learning Teori dan Desain.Bandung : PT Remaja

Rosdakarya

Naudu, Som. 2006. E-Learning Guidebooks of Principles, Procedures and Practices.2nd.Revised

Edition.Cemka

Suparlan, Atwi. 2014. Desain Instruksional Modern.Jakarta : Penerbit Erlangga

Page 181: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 175

PENGEMBANGAN KURIKULUM BERTARAF INTERNASIONAL Sihombing, Mardimpu.

Jurusan Teknologi Pendidikan, Program Pasca Sarjana

Universitas Negeri Medan

ABSTRAK

Penelitian ini berangkat dari pertanyaan Bagaimanakah pengembangan kurikulum di Indonesia,

dan bagaimanakah pengembangan kurikulum menuju taraf internasional? Salah satu upaya dalam

peningkatan kemampuan dan pengembangan SDM adalah pembangunan Sekolah Bertaraf

Internasional (SBI). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui: Untuk mengetahui perkembangan

kurikulum di Indonesia serta Untuk mengetahui perkembangan kurikulum menuju

taraf internasional. Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan rancangan

penelitian studi kasus. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah: (1) observasi, (2)

wawancara, dan (3) dokumentasi. Data yang diperoleh dari ketiga teknik tersebut diorganisasikan,

ditafsirkan dan dianalisis guna menyusun dan mengababstraksi temuan di lapangan. Keabsahan data

dimaksudkan untuk mengecek kebenaran data dengan menggunakan teknik triangulasi yaitu dengan

sumber data dan pengumpulan data.

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka disarankan kepada: (1) Kepala sekolah yang sekolahnya

dalam kurikulum notabene Bertaraf Internasional agar menelaah kembali tentang kurikulum RSBI,

dimana dalam kurikulum RSBI tersebut perlu adanya dukungan penuh dari pemerintah pusat

maupun pemerintah daerah, masyarakat serta sekolah itu sendiri sebagai pelaksana, (2) Guru

dengan sekolah Bertaraf Internasional dalam mengembangkan kegiatan belajar-mengajar agar lebih

berpacu pada tujuan pendidikan nasional yang mampu mengantarkan peserta didik untuk

merealisasikan kurikulum RSBI, (3) Ketua Jurusan Teknologi Pendidikan agar di jurusan

Teknologi Pendidikan ini dikembangkan mata kuliah manajemen kurikulum lebih mendalam, (4)

Peneliti lain agar dapat dimanfaatkan untuk bahan informasi dan referensi untuk penelitian

selanjutnya yang terkait kurikulum dengan latar yang berbeda.

Kata kunci: Kurikulum, rintisan sekolah bertaraf internasional

Page 182: Scanned by CamScanner - ULM

176 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Kurikulum sebagai suatu rancangan pendidikan mempunyai kedudukan yang sangat strategis

dalam seluruh aspek kegiatan pendidikan. Pentingnya peranan kurikulum di dalam pendidikan,

maka dalam penyusunan kurikulum tidak bisa dilakukan tanpa menggunakan landasan yang kokoh

dan kuat. Kurikulum erat kaitannya dengan peningkatan mutu pendidikan yang harus selalu

diadakan pembaharuan. Dengan adanya peningkatan mutu pendidikan, hal ini akan membawa

dampak besar terhadap tercapainya pendidikan nasional bahkan diharapkan mampu bersaing secara

internasional. Dari latar belakang tersebut itulah, pemerintah menetapkan beberapa sekolah di

Indonesia sebagai Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang merupakan langkah awal

sebelum menjadi sekolah bertaraf internasional (SBI). Penelitian ini berangkat dari pertanyaan

Bagaimanakah pengembangan kurikulum di Indonesia, dan bagaimanakah pengembangan

kurikulum menuju taraf internasional? Salah satu upaya dalam peningkatan kemampuan dan

pengembangan SDM adalah pembangunan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Program Rintisan

Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) sekolah menengah telah dikembangkan pemerintah melalui

Direktorat Pembinaan SMA, SMP dan SMK sejak tiga tahun silam. Dari sejumlah sekolah tersebut,

mungkin tidak semuanya akan berhasil menjadi SBI (Sekolah Bertaraf Internasional), namun

pemerintah berharap terjadi peningkatan mutu secaa signifikan di semua sekolah tersebut. RSBI

memerlukan guru yang berkualitas. Para guru SBI adalah guru yang terpilih, memiliki dedikasi

yang baik, menguasai bidang studi, menguasai pembelajaran yang mendidik, mampu menggunakan

TIK dan dapat mengajar dengan bahasa Inggris. Untuk itu, pemerintah perlu mempersiapkan

program untuk melatih para calon guru yang akan bertugas di sekolah-sekolah RSBI. Serangkaian

program telah disiapkan untuk mencapai hal tersebut. Salah satu program tersebut adalah

pengembangan program studi bertaraf internasional. Program studi bertaraf internasional

memerlukan persiapan dalam berbagai hal, meliputi dosen, sarana dan prasarana perkuliahan,

kurikulum, buku-buku referensi, peralatan laboratorium, ICT dan layanan yang memenuhi standard

internasional. Terkait dengan pengembangan kurikulum, maka kurikulum yang ada perlu diperbaiki

dan dikembangkan agar bertaraf internasional.

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui: Untuk mengetahui perkembangan kurikulum di Indonesia

serta Untuk mengetahui perkembangan kurikulum menuju taraf internasional

Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan rancangan penelitian studi kasus.

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah: (1) observasi, (2) wawancara, dan (3)

dokumentasi. Data yang diperoleh dari ketiga teknik tersebut diorganisasikan, ditafsirkan dan

dianalisis guna menyusun dan mengababstraksi temuan di lapangan. Keabsahan data dimaksudkan

untuk mengecek kebenaran data dengan menggunakan teknik triangulasi yaitu dengan sumber data

dan pengumpulan data.

Page 183: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 177

Berdasarkan hasil paparan data di lapangan ditemukan manajemen kurikulum yang terdiri dari

perencanaan kurikulum, pelaksanaan kurikulum, evaluasi kurikulum.

Pertama, perencanaan pada kurikulum RSBI adalah perencanaan yang sudah dilakukan yaitu

kurikulum RSBI disusun berdasarkan KTSP yang telah dikembangkan masing-masing oleh sekolah,

dalam hal ini sekolah ini merencanakan kurikulum berdasarkan SNP untuk kurikulum nasional, dan

SNP+X untuk kurikulum SBI, unsur X terdiri dari: penerapan tiga mata pelajaran dalam bahasa

Inggris yaitu English, mathematics, dan science. Perencanaan dilaksanakan setiap awal tahun ajaran

baru dengan membuat dokumen 1 yang terdiri dari segala hal yang ada di sekolah dan dokumen 2

yang berisi silabus dan RPP. Perangkat kerja tersebut disusun oleh tim penyusun kurikulum yang

terdiri dari kepala sekolah, pihak-pihak kurikulum, dewan guru, komite sekolah dan disahkan oleh

kepala Diknas kota Malang. Perencanaan kurikulum yang belum dilaksanakan adalah menjalin

hubungan sister school dengan negara di luar negeri, tetapi masih sebatas dalam wacana

mengadopsi kurikulum dari negara anggota.

Kedua, pelaksanaan kurikulum pada RSBI adalah sesuai dengan perencanaan kurikulum yaitu

melaksanakan kurikulum nasional dan kurikulum SBI dimana dalam pelaksanaan pembelajaran

kurikulum dilaksanakan dengan diterapkannya sistem semi full day school dengan pendekatan

PAKEM dan CTL yang mengedepankan pembelajaran berbasis ICT. Penyampaian materi di

sekolah ini menggunakan bilingual yakni dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Di sekolah ini

juga ada guru pendamping di hampir setiap kelas. Sekolah ini mempunyai program peningkatan

kemampuan guru yaitu: diklat, workshop, juga ada kegiatan yang di luar program yang tidak

terjadwal. Pelaksanaan yang belum dilakukan di sekolah ini adalah diterapkannya penggunaan

bahasa pengantar dengan bahasa Inggris sepenuhnya (monolingual). Sekolah juga belum meraih

prestasi tingkat nasional maupun internasional.

Ketiga, kegiatan evaluasi kurikulum pada RSBI berasal dari pihak tim kurikulum yang ditujukan

kepada guru di kelas dengan pemantauan melalui jurnal pribadi, jurnal harian dan jurnal kelas.

Selain itu guru juga mengevaluasi diri sendiri (self evaluation) dan mengevaluasi siswa dalam PBM

di kelas.

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka disarankan kepada: (1) Kepala sekolah yang sekolahnya

dalam kurikulum notabene Bertaraf Internasional agar menelaah kembali tentang kurikulum RSBI,

dimana dalam kurikulum RSBI tersebut perlu adanya dukungan penuh dari pemerintah pusat

maupun pemerintah daerah, masyarakat serta sekolah itu sendiri sebagai pelaksana, (2) Guru

dengan sekolah Bertaraf Internasional dalam mengembangkan kegiatan belajar-mengajar agar lebih

berpacu pada tujuan pendidikan nasional yang mampu mengantarkan peserta didik untuk

Page 184: Scanned by CamScanner - ULM

178 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

merealisasikan kurikulum RSBI, (3) Ketua Jurusan Teknologi Pendidikan agar di jurusan

Teknologi Pendidikan ini dikembangkan mata kuliah manajemen kurikulum lebih mendalam, (4)

Peneliti lain agar dapat dimanfaatkan untuk bahan informasi dan referensi untuk penelitian

selanjutnya yang terkait kurikulum dengan latar yang berbeda.

Page 185: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 179

HUBUNGAN ANTARA KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF DAN KEMAMPUAN MEMAHAMI GAMBAR BERSERI TERHADAP HASIL BELAJAR MENGARANG

SISWA KELAS V SEKOLAH DASAR

Mohamad Syarif Sumantri

Anita Wulan Diniarti

Universitas Negeri Jakarta

ABSTRACT

The objective of the research is to study the relationship between the ability of creative thinking, the

ability to understand the Serial drawings and the results of learning to arrangement. The research

was conducted at the five grade students of elementary school Tambun 2 Bekasi in 2016 with 44

student taken as sample using random sampling. The research method used is the survey. The

technique used to analyze the data was the statistical technique af regression and correlation. The

result of the research indicated that there was positive correlation between (1) the ability of creative

thinking and the results of learning to arrangement, (2) the ability to understand the pictures glow

(Serial drawings) and the results of learning to arrangement, and (3) the ability of creative thinking

and the ability to understand the pictures glow with the results of learning to arrangement. In the

other word, it generally can be concluded that in improving the results of learning to arrangement is

by improving the ability of creative thinking and the ability to understand the Serial drawings.

Kata kunci: Berpikir kreatif, gambar berseri, mengarang

Pendahuluan

Dalam sistem pendidikan Nasional di Indonesia, mata pelajaran Bahasa Indonesia sangat penting.

Hal ini disebabkan oleh peran bahasa Indonesia yang sangat strategis, yakni sebagai bahasa

pengantar pendidikan dan bahasa Nasional. Pada usia Sekolah Dasar bahasa merupakan hal

terpenting. Siswa membutuhkan bahasa untuk berbicara dengan orang lain, mendengarkan orang

lain, membaca dan menulis. Bahasa memungkinkan siswa untuk dapat mendeskripsikan kejadian-

kejadian di masa lalu secara terperinci serta untuk merencanakan masa depan. Berdasarkan survei

banyak lembaga internasional, budaya literasi masyarakat Indonesia kalah jauh dengan negara lain

di dunia. Literasi, Indonesia urutan 64 dari 65 negara, Tingkat membaca siswa, Indonesia urutan ke

Page 186: Scanned by CamScanner - ULM

180 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

57 dari 65 negara (https://www.oecd.org/pisa/pisaproducts/PISA%202012%20framework%20e-

book_final.pdf).

Dengan bahasa, manusia dapat mengutarakan buah pikiran, ide, pendapat, gagasan dan

perasaan mereka kepada sesamanya, serta dapat menjalin hubungan sosial satu sama lain. Bahasa

adalah alat komunikasi, baik yang digunakan antar individu dalam kehidupan sehari-hari maupun

digunakan oleh para ilmuan dalam mengkomunikasikan temuan-temuan yang bersifat ilmiah.

Hal ini menunjukkan, bahwa bahasa memainkan peranan penting dalam kelangsungan hidup

manusia.

Tujuan pelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar secara umum ialah agar siswa mampu dan

terampil berbahasa, baik itu secara lisan maupun tertulis. Dalam proses pembelajaran bahasa

Indonesia di Sekolah Dasar masih terdapat banyak kesulitan yang dialami oleh siswa untuk mampu

dan terampil dalam berbahasa. Dari hasil pengamatan dilapangan, kesulitan yang dialami siswa

disebabkan karena kurangnya kemampuan dan keterbatasan serta minimnya pengalaman dan

kurangnya sarana maupun prasarana yang memadai. Selama ini di sekolah siswa biasanya hanya

menyalin tulisan dari papan tulis. Hal ini dapat berakibat pada dangkalnya penguasaan kata untuk

mengungkapkan gagasan dan kreativitas mereka. Padahal kemampuan ini menjadi salah satu

indikator penilaian dalam keterampilan berbahasa seperti menulis atau mengarang.

Menurut UUD No.2 th 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tujuan pendidikan nasional

adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Tujuan

mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya memiliki kesejajaran dengan pengembangan

pendidikan yang mencangkup tiga matra seperti dikemukakan oleh Bloom, yaitu matra kongnitif,

psikomotorik, dan afektif. Pengembangan dari ketiga matra atau domain itu secara optimal

berimbang dan padu akan membuka peluang tumbuhnya kreativitas anak yang tinggi. Perbandingan

pengembangan ketiga matra ini dapat diperjelas dengan bagan berikut :

K = kongnitif

P = psikomotorik

A = afektif

KR = kreativitas

Gambar 1 Gambar 2

Pada Gambar 1 terlihat pengembangan ketiga matra yang seimbang, sehingga tumbuhnya

kreativitas anak sangat tinggi (terlihat ruang KR gambar 1 lebih luas dari pada KR gambar 2).

Sedangkan pada gambar KR 2 terlihat pengembangan matra kongnitif lebih ditekankan dari pada

Page 187: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 181

kedua matra lainnya. Akibatnya, peluang tumbuhnya kreativitas anak lebih terbatas dibandingkan

dengan yang terlihat pada gambar 1.

Fungsi imajinasi dan kreativitas yang terletak dalam belahan otak sebelah kanan banyak terabaikan,

karena banyak kegiatan seperti yang disebutkan di atas. Pembebanan belahan otak kiri dengan

pengetahuan hafalan, latihan, menyalin, ulangan dan drill yang berlebihan tidak sepenuhnya akan

mewujudkan penanjakan perkembangan kongnitif, bahkan akan menjadikan siswa tidak berpikir

kreatif dan menjadikan perkembangan kongnitif mengarah hanya pada hasil berpikir konvergen

saja. Dalam kemampuan berbahasa seperti mengarang diperlukannya kemampuan berpikir divergen

seperti, penguasaan kata untuk mengungkapkan gagasan dan kreativitas mereka.

Weiguo Pang (2015), dan Patti Drapeau (2014) menjelaskan bahwa setiap anak mempunyai potensi

untuk kreatif, potensi ini akan mengalami hambatan jika tidak diperlihatkan dan tidak dirangsang.

Dengan mengembangkan kemampuan berpikir kreatif, siswa akan mempunyai kemampuan untuk

memecahkan masalahnya sendiri dari berbagai sudut pandang dengan menggunakan ide dan

keterampilan yang mereka miliki.

Menurut Utami Munandar (1999) kemampuan berpikir kreatif seseorang juga turut menunjang

dalam membuat sebuah karangan dan dalam memahami sebuah cerita dalam gambar berseri.

Karena pada dasarnya mdenganalisis gambar berseri sangat membutuhkan pola pikir yang kreatif,

dengan cara ini seseorang akan mampu melihat peristiwa dan persoalan yang ada dari banyak

perspektif. Pasalnya, seorang pemikir kreatif akan menghasilkan lebih banyak alternatif dalam

memecahkan masalahnya sendiri. Seseorang yang memiliki kemampuan berpikir kreatif akan

mdenganalisis gambar berseri dari berbagai aspek, misalnya dari segi struktur dan gambar yang ada

pada sebuah cerita.

Tarigan (1993) mengatakan bahwa mengarang melalui media gambar merupakan salah satu

teknik mengajar menulis yang efektif. Gambar yang terlihat diam tetapi sebenarnya berkata bagi

mereka yang peka dan penuh kreativitas dan imajinasi. Oleh karena itu pemilihan gambar bagi

pengarang haruslah tepat dan menarik, serta merangsang kreativitas bagi penulis yang melihatnya.

Mengarang dengan media gambar berarti mempermudah diketahui isi karangan oleh para

pembacanya.

Blamires, Mike; Peterson, Andrew (2014) menjelaskan kreativitas merupakan salah satu komponen

terpenting dalam keterampilan berbahasa. Peningkatan kemampuan siswa dalam kemampuan

memahami gambar berseri adalah berkaitan erat dengan mempertajam perasaan, penalaran dan daya

imajinasi serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya dan lingkungannya. Kemampuan memahami

gambar berseri merupakan indikator kreativitas dalam memahami suatu media gambar. Siswa dapat

Page 188: Scanned by CamScanner - ULM

182 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

menangkap dan mengunakana panca indranya sewaktu melihat gambar, dapat berinteraksi

berdasarkan pengetahuannya, serta menjadikan pesan-pesan yang bermakna dalam suatu bentuk

tulisan maupun lisan dan menjadikannya sebuah cerita dan karangan yang padu.

Berdasarkan paparan di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang pola dan kadar

(besarnya) hubungan antara kemampuan berpikir kreatif dan kemampuan memahami gambar

berseri hasil belajar mengarang di sekolah dasar.

Penelitian ini dibatasi pada kemampuan berpikir kreatif dengan kemampuan memahami

gambar berseri terhadap hasil belajar mengarang pada siswa kelas V Sekolah Dasar. Hasil

penelitian ini diharapkan dapat dapat dimanfaatkan sebagai pedoman untuk meningkatkan kualitas

pembelajaran dalam meningkatkan hasil belajar mengarang di sekolah dasar dengan memanfaatkan

kreativitas yang mereka miliki dan dapat memudahkan siswa untuk mengarang dengan

memanfaatkan media pembelajaran.

Pengungkapan Hasil belajar mengarang bukanlah merupakan gabungan dari hasil belajar dengan

mengarang. Kedua kata tersebut mempunyai arti yang berbeda bahwa hasil belajar itu adalah

usaha siswa untuk meraih ranah kongnitif, afektif dan psikomotorik. Thomas L. Good and Jere E.

Brophy (1990), lebih lanjut mengatakan bahwa belajar adalah perubahan yang relatif tetap yang

disebabkan praktek atau pengalaman yang lampau.

Menurut Djago Tarigan, (1993) mengarang berarti ‘menyusun’ atau ‘merangkai’. Menulis dalam

mengarang menuntut pengalaman, waktu, kesempatan, latihan dan keterampilan-keterampilan

khusus dan pengajaran. Mengarang atau menulis merupakan suatu alat komunikasi yang terjadi

antara penulis dan pembaca yang disampaikan tanpa menggunakan ekspresi wajah. Membuat

sebuah karangan dalam bentuk lambing-lambang grafis tidak sekedar untuk membuat sebuah kata

atau kalimat, tetapi merupakan penuangan pikiran ke dalam bahasa yang lengkap, jelas dan utuh

sehingga dapat diterima oleh orang lain.

Finoza Lamuddin (2008) berpendapat bahwa mengarang adalah aktivitas siswa dalam hal tulis

menulis atau kapabilitas yang diperlihatkan oleh siswa dalam merangkai kata secara tertulis

berdasarkan tata bahasa Indonesia. Serta dapat mengetahui ide, diksi (pilihan kata), koherensi

(kesatuan) pikiran, hubungan antar paragraph yang satu dengan paragraph yang lain saling

berkaitan secara runtun, sehingga membentuk sebuah karangan yang indah dan padu.

Djago Tarigan, (1993) dan Hairston, Maxine C. (1992) mengemukakan bahwa komponen-

komponen yang dapat dianalisis dalam menilai hasil belajar menulis adalah sebagai berikut: (1)

komponen isi karangan, (2) komponen organisai, (3) komponen tata bahasa, contoh dalam pilihan

kata(diksi), (4) komponen gaya penulisa, contoh menyusun kalimat, (5) komponen mekanik.

Kemampuan mengarang lebih lanjut dikemukakan oleh Hairston yang memberikan rician skala

penilaian dalam menilai hasil belajar mengarang di antaranya : (1) isi karangan (30%), (2)

Page 189: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 183

organisasi (20%), (3) penggunaan bahasa (25%), (4) kosakata (20%), (5) mekanik, ejaan dan tanda

baca (5%).

Selain itu Tarigan (1993) berpendapat tentang beberapa tahapan yang harus dilalui dalam proses

menulis sebuah karangan. Pada umumnya terdiri dari tiga langkah-langkah yang dimulai dari tahap

Pra-penulisan (persiapan), tahap penulisan (pengembangan isi karangan) dan pasca-penulisan

(revisi penyempurnaan tulisan). Terdapat pula tahapan-tahapan sederhana dalam memudahkan

proses menulis. Menurut Kurniawan (2005) adapun tahapan-tahapan dalam menulis adalah sebagai

berikut; 1) prapenulisan, 2) pembuatan draf, 3) merevisi, 4) menyuting, dan 5) berbagi (sharing).

Spendel dan Stiggins (1990) mengatakan bahwa ada dua pendekatan yang sering dilakukan dalan

mengukur kemampuan menulis seseorang, yaitu pengukuran secara langsung dan tidak langsung.

Pengukuran langsung, seseorang diminta membuat sebuah tulisan yang sebenarnya, contoh

membuat artikel. Kemudian penilai membaca tulisan dan memberikan nilai berdasarkan kriteria

yang telah ditentukan. Pada pengukuran tidak langsung, penilaian ditentukan pada kemampuan

seseorang menguasai pengetahuan menulis. Dalam pengukuran ini seseorang diminta untuk

memberikan pendapatnya tentang tulisan orang lain.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, Hasil belajar mengarang adalah aktivitas siswa dalam hal

tulis menulis yang diperlihatkan oleh siswa dalam merangkai kata dalam mengungkapkan ide atau

gagasan secara tertulis dengan melewati tahapan-tahapan dalam menulis yaitu tahap perencanaan

(planning), penulisan (drafing) dan tahap revisi (revising). Dengan komponen yang

digunakan adalah 1) isi karangan, 2) organisai, 3) tata bahasa (diksi), 4) komponen

penggunaan bahasa, dan 5) mekanik ejaan dan tanda baca.

Berpikir dan bernalar merupakan dua istilah yang saling berkaitan, kedua istilah itu telah banyak

dikemukakan para ahli. Menurut Suriasumantri (1998) penalaran merupakan suatu proses berpikir

dalam menarik kesimpulan berupa pengetahuan.

Dalam berpikir dituntut adanya kesanggupan pengamatan yang kuat dan cermat, kesanggupan

melihat hubungan-hubungan, kejanggalan-kejanggalan, kesalahan yang tidak segera tampak apabila

tidak diperhatikan. Untuk itu orang yang sedang mengamati sesuatu secara seksama, tentu

melakukan konsentrasi terhadap suatu yang diamati dengan mengkait-kaitkan terhadap

pengalaman yang dimilikinya. Di situlah terjadi aktivitas oleh otak (pikiran) seseorang.

meningkatkan kualitas hidup. Kreativitas yang dimiliki manusia lahir bersamaan dengan lahirnya

manusia itu. Sejak lahir, manusia memperlihatkan kecenderungan dalam berpikir dan

mengaktualkan dirinya yang mencangkup kemampuan kreatif (Patti Drapeau, 2014).

Page 190: Scanned by CamScanner - ULM

184 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Menurut Utami Munandar, (1999) dan Hulbeck (1964), “Creative action is an imposing of one’s

own whole personality on the environment in an unique and characteristic way” yaitu: Tindakan

kreatif muncul dari keunikan keseluruhan kepribadian dalam interaksi dengan lingkungannya.

Definisi yang lebih baru tentang kreativitas diberikan dalam “three-facet model of creativity” oleh

Sternberg, yaitu “kreativitas merupakan titik pertemuan yang khas antara tiga atribut psikologis:

intelegensi, gaya kognitif dan kepribadian atau motivasi. Bersama ketiga segi dari alam

pikiran ini membantu memahami apa yang melatar belakangi individu yang kreatif.

Menurut Beghetto, Ronald A., Kaufman, James C. (2014) kreativitas melibatkan pemikiran

divergen atau pemikiran kreatif yang diwakili oleh kelancaran (fluency), kelenturan (flexibility),

originalitas (originality), dan elaborasi (elaboration). Orang yang tinggal dalam kelancaran

bergagasan, menghasilkan banyak gagasan pemecahan masalah dalam jangka waktu yang pendek.

Orang yang tinggi dalam kelenturan, dapat dengan mudah menyesuaikan gagasan pemecahan

masalah yang telah digunakan, jika suatu masalah baru menuntut pendekatan yang baru. Orang

yang tinggi dalam originalitas, dapat menghasilkan gagasan baru yang unik atau tidak lazim.

Elaborasi adalah kemampuan untuk menambah detail pada ide dasar yang dihasilkan. Orang yang

kreativitasnya tinggi dapat menghasilkan empat hal tersebut dengan baik.

Berdasarkan beberapa pendapat bahwa kemampuan berpikir kreatif adalah aktivitas mental

seseorang dalam melakukan hubungan antara bagian yang mencangkup konsep-konsep, gagasan

dan pengertian yang dimiliki oleh seseorang dengan menggunakan akal pikiran yang ditandai

dengan indikasi kelancaran, fleksibilitas (keluwesan), orisinilitas dan elaborasi.

Kemampuan memahami gambar berseri pada hakikatnya adalah suatu proses kreativitas dan daya

pikir siswa dalam memahami suatu media gambar. Secara kongnitif dikatakan bahwa seorang siswa

dapat menulis suatu karangan berdasarkan gambar yang telah dilihat dan divisualisasikan secara

tertulis dalam bentuk sebuah karangan secara produktif (menggunakan) dan secara reseptif

(pemahaman) berdasarkan daya nalar, imajinasi dan kreativitas yang dimiliki. (Spendel. V and

Richard j, 1990).

Suatu gambar atau suatu seri gambar dapat dijadikan bahan penyusunan karangan. Gambar atau seri

gambar pada hakikatnya adalah mengekspresikan suatu hal. Bentuk ekspresi tersebut dalam fakta

gambar bukan dalam bentuk bahasa. Pesan yang tersirat dalam gambar tersebut dapat dinyatakan

kembali dalam bentuk kata-kata atau kalimat. Penerjemahan pesan dari bentuk visual ke dalam

bentuk kata-kata atau kalimat sangat bergantung kepada kemampuan imajinasi dan kreativitas

siswa.

Arnone, Marilyn; Small, Ruth; Chauncey, Sarah; McKenna, (2011) menegaskan untuk mengetahui

kemampuan memahami gambar berseri siswa perlu diperhatikan beberapa syarat penilaian, di

antaranya; (1) Mengungkapkan makna (tema) media gambar berseri dengan tepat dan relevan

Page 191: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 185

dengan isi karangan bergambar, (2) Menangkap isi pesan yang terdapat dalam gambar berseri, (3)

Keterampilan memilih butir soal berdasarkan urutan media gambar berseri. Dalam kemampuan

memahami suatu gambar berseri setiap siswa tidak akan sama kemampuannya. Menurut Mahmoud

Hana perbedaan ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu : (1) tingkatan kecerdasan, (2) daya

tangkap dalam pemahaman gambar berseri, (3) daya imajinasi (kreativitas) dan memancing

pengetahuan umum, (4) penguasaan kosa kata.

Berdasarkan uraian peneliti menyimpulkan bahwa kemampuan memehami gambar berseri adalah

suatu proses kemampuan memahami gambar berdasarkan sImbol media gambar yang

membutuhkan proses berpikir kreatif dan daya pikir siswa dalam memahami suatu media gambar

dengan indikator; 1) mengungkapkan makna gambar, 2) mengungkapkan isi pesan yang terdapat

dalam gambar dan 3) keterampilan memilih urutan media gambar.

Metode

Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian survei dengan teknik korelasional

(Keterhubungan). Peneliti tidak melakukan perlakuan terhadap responden, tetapi hanya melakukan

pengukuran terhadap hal-hal yang nyata. Penelitain ini menggunakan teknik korelasional sederhana,

untuk menguji hipotesis yang menyatakan hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat.

Adapun desain dilihat pada gambar konstelasi hubungan antar variabel sebagai berikut :

Keterangan :

X1 : Kemampuan berpikir kreatif

X2 : Kemampuan memahami gambar seri

Y : Hasil belajar mengarang

Gambar 3.

Hubungan antar variabel penelitian

Dalam gambar hubungan antar variabel penelitian tersebut dapat dijelaskan bahwa

penelitian ini akan menjawab apakah terdapat hubungan antara variabel X1 dengan variabel Y,

antara variabel X2 dengan Y, dan antara variabel X1 dan X2 secara bersama-sama terhadap variabel

Y.

Penelitian dilakukan di SD Negeri Kabupaten Tambun, sampel penelkitan dengan teknik simpel

random diperoleh 44 siswa kelas V dari populasi terjangkau 220 siswa. Pengumpulan data

mengunakan instrument tes yaitu hasil belajar mengarang bahasa Indonesia dengan tes mengarang

mengunakan standar rubric dengan indicator (1) isi karangan (30%), (2) organisasi (20%), (3)

penggunaan bahasa (25%), (4) kosakata (20%), (5) mekanik, ejaan dan tanda baca (5%). Variable

X1

X2

Y

Page 192: Scanned by CamScanner - ULM

186 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

berfikir kreatif mengunakan tes uraian terbuka (open ended) menggunakan standar rubric dengan

indicator indikasi kelancaran, fleksibilitas (keluwesan), orisinilitas dan elaborasi serta tes

kemampuan memahami gambar berseri mengunakan tes visual. Dengan indicator 1)

mengungkapkan makna gambar, 2) mengungkapkan isi pesan yang terdapat dalam gambar dan 3)

keterampilan memilih urutan media gambar. Analisis data menggunakan bantuan program SPSS

versi 17. Uji coba instrument dilakukan di sekolah dasar negeri 04 Tambun selatan Kabupaten

Bekasi.

Hasil dan Pembahasan

Data yang menjadikan dasar deskripsi hasil penelitian adalah skor hasil belajar mengarang (Y),

Kemampuan berpikir kreatif (X1) dan kemampuan memahami gambar berseri (X2). Data yang

berhasil dikumpulkan dan diolah dengan menggunakan teknik statistic deskriptif, yang meliputi

perhitungan skor terendah dan skor tertinggi sehingga tampak rentan datanya, nilai rata-rata, srandar

deviasi, modus, median dan distribusi frekuensi. Secara keseluruhan deskripsi data skor hasil

belajar mengarang, skor kemampuan berpikir kreatif dan skor kemampuan memahami gambar

berseri terangkum pada tabel berikut ini :

Tabel 1.

No Aspek H.B Mengarang K.B Kreatif K.M.G. Berseri 1 Skor Total 3261 2342 3328 2 Skor minimum 64 46 64 3 Skor Maksimum 83 58 85 4 Range 19 12 21 5 Mean 74.11 53.25 75.64 6 Median 74 54 76 7 Modus 75 58 75 8 Standar Deviasi 5.868 3.577 5.388 9 Varians 34.429 12.797 29.027

Pengajuan Persyaratan Analisis

Dalam pengujian persyaratan analisis, dilakukan dua pengujian yang terdiri dari uji normalitas

data dan uji homogenitas varian.

Uji Normalitas

Berdasarkan hasil perhitungan data uji normalitas dengan Chi Square dan dengan bantuan program

SPSS for Windows release 17.0, didapatkan hasil sebagaimana terlihat pada tabel berikut :

Tabel.2 Rangkuman Data Uji Normalitas

Variabel N P value (Sig.) α Keterangan Y 44 0,235 0,05 Berdistribusi Normal X1 44 0,389 0,05 Berdistribusi Normal X2 44 0,108 0,05 Berdistribusi Normal

Page 193: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 187

Uji Homogenitas Varians

Langkah-langkah dalam proses pengujian adalah pertama membuat pengelompokkan data Y atas X,

selanjutnya dihitung nilai-nilai db, 1/db, varians Si², log Si², (db) log Si²,dan (db) Si². Dari nilai-

nilai yang diperoleh kemudian dihitung Chi kuadrat hitung dan Chi kuadrat tabel.

Tabel 3 Rangkuman Data Uji Homogenitas

No Varian data

Y atas X1 X2

db Chi kuadrat

hitung

Chi kuadrat

tabel

Keterangan

1 X1 43 10,13 55,75 Homogen 2 X2 43 0,312 55,75 Homogen

Hubungan Kemampuan Berpikir Kreatif dengan Hasil Belajar Mengarang

Berdasarkan hasil perhitungan regresi sederhana terhadap pasangan data penelitian kemampuan

berpikir kreatif terhadap hasil belajar mengarang diperoleh konstanta (a) sebesar 0,977 dan b

sebesar 1,373, sehingga bentuk hubungan antara kedua variabel dapat digambarkan melalui

persamaan regresi Ŷ = 0,977 + 1,373 X1. Hasil perhitungan uji signifikansi dan linieritas atas

persamaan regresi tersebut disajikan pada tabel ANAVA seperti terlihat pada :

Tabel 4. Coefficients Hasil Belajar Mengarang

Model Unstandardized

Coefficients

Standardized

Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta 1 (Constant) .977 7.384 .132 .895

X1 1.373 .138 .837 9.927 .000 a. Dependent Variable: Hasil Belajar Menggarang

Kekuatan hubungan antara kemampuan berpikir kreatif dengan hasil belajar mengarang dapat

dilihat dari koefisien korelasi. Hasil perhitungan koefisien korelasi dan uji-t dapat dilihat pada

tabel 1.5 sebagai berikut :

Tabel 5. Hasil Pengujian Keberartian Koefisien Korelasi Kemampuan

Berpikir Kreatif dengan Hasil Belajar mengarang

N

Db

t tabel t hitung α = 0,05 α = 0,01

44 42 0,837 11,8543* 1.6820 2,4185 Keterangan :

* : Koefisien korelasi sangat signifikan (t hitung = 11,8543 > t tabel = 1,6820 pada α = 0,05).

N : Jumlah responden db : Derajat bebas

rx1y : Koefisien korelasi antara X1 dan Y

Page 194: Scanned by CamScanner - ULM

188 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Sebagaimana terlihat pada tabel 1.5, dari hasil perhitungan signifikan koefisien korelasi tersebut

thit = 11,85 lebih besar dari ttabel = 1,68 pada α = 0,05. Dengan demikian, hipotesis penelitian yang

menyatakan bahwa terdapat hubungan positif variabel kemampuan berpikir kreatif dan variabel

hasil belajar mengarang teruji kebenarannya dan terdapat hubungan positif. Koefisien determinasi

merupakan kuadrat dari koefisien korelasi kemampuan berpikir kreatif dan hasil belajar

menggarang yaitu (rx1y)² = (0,837)² = 0,7005. Artinya, 70% variasi dalam Y (Hasil belajar

menggarang) dijelaskan oleh X1 (Kemampuan berpikir kreatif).

Untuk menggetahui hubungan kemampuan berpikir kreatif dan hasil belajar menggarang dengan

melakukan penggontrolan terhadap variabel kemampuan memahami gambar berseri dan dilakukan

perhitungan koefisien parsial. Koefisien korelasi parsial yang diperoleh antara Y dengan X1 apabila

dilakukan pengontrolan terhadap variabel X2 (ry.X1.2) = 0,485. Uji keberartian korelasi parsial

dilakukan dengan uji t. Hasil dari penggujian terdapat pada tabel di bawah ini :

Tabel 6 Koefisien Korelasi Parsial X1 dengan Y jika X2 dikontrol

Koefisien Korelasi

Parsial

t tabel t hitung α = 0,05 α = 0,01

ry1 = 0,485 3,550* 1.6820 2,4185

Keterangan :

* : Koefisien korelasi signifikan (t hitung = 3,550 > t tabel = 1,6820 pada α = 0,05).

ry1 : Koefisien korelasi parsial antara X1 dan Y jika X2 dikontrol

Dari hasil penggujian di atas adalah, jika dilakukan pengontrolan terhadap variabel kemampuan

memahami gambar berseri (X2), kemampuan berpikir kreatif (X1), mempunyai hubungan positif

dan signifikan dengan hasil belajar menggarang (Y).

Hubungan Kemampuan Memahami Gambar Berseri dengan Hasil Belajar

Mengarang.

Berdasarkan hasil perhitungan regresi sederhana terhadap pasangan data penelitian kemampuan

berpikir kreatif terhadap hasil belajar mengarang diperoleh konstanta a sebesar 5,682 dan b

sebesar 1,055 sehingga bentuk hubungan antara kedua variabel dapat digambarkan melalui

persamaan regresi Ŷ = 5,682 + 1,055 X2. Hasil perhitungan uji signifikansi dan linieritas atas

persamaan regresi tersebut disajikan pada tabel ANAVA seperti terlihat pada table .7

Page 195: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 189

Tabel 7 Coefficients X2 dengan Y

Model Unstandardized

Coefficients

Standardized

Coefficients

T Sig.

B Std. Error Beta 1 (Constant) -5.682 3.163 -1.797 .080

X2 1.055 .042 .969 25.293 .000 a. Dependent Variable: Hasil Belajar Menggarang

Kekuatan hubungan antara kemampuan memahami gambar berseri dengan hasil belajar

mengarang dapat dilihat dari koefisien korelasi. Hasil perhitungan koefisien korelasi dan uji-t

dapat dilihat pada tabel 8 sebagai berikut

Tabel. 8 Hasil pengujian keberartian koefisien korelasi X2 dan Y

N

db rx2y t tabel t hitung α = 0,05 α = 0,01

44 42 0,969 26,110* 1.6820 2,4185

Keterangan :

* : Koefisien korelasi sangat signifikan (t hitung = 26,110 > t tabel = 1,6820 pada α = 0,05).

N : Jumlah responden db : Derajat bebas

rx2y : Koefisien korelasi antara X2 dan Y

Sebagaimana terlihat pada tabel 8, dari hasil perhitungan signifikan koefisien korelasi tersebut thit

= 26,110 lebih besar dari ttabel = 1,68 pada α = 0,05. Dengan demikian, hipotesis penelitian yang

menyatakan bahwa terdapat hubungan positif variabel kemampuan memahami gambar berseri dan

variabel hasil belajar mengarang teruji kebenarannya dan terdapat hubungan positif. Koefisien

determinasi merupakan kuadrat dari koefisien korelasi kemampuan berpikir kreatif dan hasil belajar

menggarang yaitu (rx2y)² = (0,969)² = 0,938. Artinya, 93% variasi dalam Y (Hasil Belajar

Menggarang) dijelaskan oleh X2 (Kemampuan Memahami gambar berseri). Hasil ini relevan

dengan pendapat Arnone, Marilyn; Small, Ruth; Chauncey, Sarah; McKenna, H, (2011).bahwa

media berperan penting dalam meningkatkan hasil belajar siswa dan mendukung minat siswa

belajar sesuatu karena dengan media belajar menjadi lebih menarik.

Untuk mengetahui hubungan kemampuan memahami gambar berseri dan hasil belajar

menggarang dengan melakukan penggontrolan terhadap variabel kemampuan berpikir kreatif dan

dilakukan perhitungan koefisien parsial. Koefisien korelasi parsial yang diperoleh antara Y dengan

X2 apabila dilakukan pengontrolan terhadap variabel X1 (ry2.1) = 0,918. Uji keberartian korelasi

parsial dilakukan dengan uji t. Hasil dari penggujian terdapat pada tabel di bawah ini :

Page 196: Scanned by CamScanner - ULM

190 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Tabel 9 Koefisien Korelasi Parsial X2 dengan Y jika X1 dikontrol

Koefisien Korelasi

Parsial

t tabel t hitung α = 0,05 α = 0,01

ry2 = 0,918 14,803* 1.6820 2,4185 Keterangan :

* : Koefisien korelasi signifikan (t hitung = 14,803 > t tabel = 1,6820 pada α = 0,05).

ry2 : Koefisien korelasi parsial antara X2 dan Y jika X1 dikontrol

Dari hasil penggujian di atas adalah, jika dilakukan pengontrolan terhadap variabel kemampuan

berpikir kreatif (X1), kemampuan memahami gambar berseri (X2), mempunyai hubungan positif

dan signifikan dengan hasil belajar menggarang (Y).

Hubungan Kemampuan Berpikir Kreatif dan Kemampuan Memahami Gambar Berseri Secara

Bersama-sama Hasil Belajar Mengarang

Berdasarkan analisis regresi berganda terhadapa kemampuan berpikir kreatif dan kemampuan

memahami gambar berseri dengan hasil belajar mengarang menghasilkan konstanta (a) sebesar

10,065, (b1) sebesar 0,320 dan (b2) sebesar 0,887. Dengan demikian diperoleh persamaan regresi Ŷ

= 10,065 + 0,320 X1 + 0,887 X2. Hasil perhitungan uji signifikansi persamaan regresi tersebut

disajikan pada tabel berikut :

Tabel 10 Coefficients X1 dan X2 dengan Y

Model Unstandardized

Coefficients

Standardized

Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta 1 (Constant) -10.065 3.061 -3.289 .002

X2 .887 .060 .815 14.796 .000 X1 .320 .090 .195 3.547 .001

a. Dependent Variable: Hasil Belajar Menggarang

Kekuatan hubungan antara kemampuan berpikir kreatif (X1) dan kemampuan memahami gambar

berseri (X2) secara bersama-sama dengan hasil belajar mengarang (Y) ditujukan oleh Ry.1.2 =

0,976. Koefisien korelasi ganda tersebut ternyata sangat signifikan. Uji signifikansi koefisien

korelasi ganda dapat dilihat pada tabel berikut :

Page 197: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 191

Tabel 11. Uji Signifikansi Koefisien Korelasi Antara Kemampuan Berpikir Kreatif dan

Kemampuan Memahami Gambar Berseri Terhadap Hasil Belajar Mengarang

N Ry1.2 F tabel F hitung α = 0,05 α = 0,01

44 0,976 406,837* 3.23 5,18

Uji keberartian koefisien korelasi jamak dengan uji F diperoleh F hitung sebesar 406,837 dan F

tabel pada taraf signifikan α = 0,01 sebesar 5,18 dan pada α = 0,05 sebesar 3,23. Karena F hitung >

Ftabel. Maka dapat disimpulkan korelasi jamak sangat signifikan. Koefisien determinasi (Ry.1.2)

adalah sebesar 0,976 dan (Ry.1.2)² = (0,976)² = 0,952. Artinya 95,2 % variasi yang terjadi pada

hasil belajar menggarang (Y) dapat dijelaskan oleh variansi kemampuan berpikir kreatif (X1) dan

kemampuan memahami gambar berseri (X2).

Peringkat pengaruh dari masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat dapat dilihat

berdasarkan urutan besarnya koefisien korelasi parsial sebagaimana terlihat pada tabel berikut :

Tabel 12. Urutan Peringkat Menurut Besarnya Koefisien Korelasi Parsial

Koefisien Korelasi Parsial Peringkat

Kemampuan Berpikir Kreatif = 0,837 (70%) Kedua Kemampuan memahami gambar berseri = 0,969

(93 8%)

Pertama

Variabel bebas yang paling kuat hubungan secara parsial dengan variabel terikat adalah kemampuan

memahami gambar berseri (X2) dengan Ry.1.2 = 0,969 sebagai peringkat pertama kemudian diikuti

oleh kemampuan berpikir kreatif (X1) Ry.1.2 = 0,837 pada peringkat yang kedua.

Hasil pengujian hipotesis ketiga yang menunjukkan adanya hubungan positif antara

kemampuan berpikir kreatif dan kemampuan memahami gambar berseri dengan hasil belajar

mengarang semakin memperkuat hasil pengujian hipotesis pertama dan kedua. Dengan melihat

konstribusi kemampuan berpikir kreatif dan kemampuan memahami gambar berseri terhadap hasil

belajar menggarang yang cukup besar, maka dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi kemampuan

berpikir kreatif dan semakin tinggi kemampuan memamahami gambar berseri siswa maka

semakin tinggi pula hasil belajar mengarangnya. Koenig, Alan J, (1995) dan Ulfa, Andi Maria dkk

(2017) menegaskan terkait dengan temuan tersebut bahwa media memiliki peran dalam

mengembangkan kreativitas siswa.

Dari data deskripsi analisis yang telah dijabarkan menunjukkan bahwa dari kemampuan berpikir

kreatif diperoleh nilai rata-rata = 53,25, modus = 58, median = 54,00. Hal ini menunjukkan bahwa

Page 198: Scanned by CamScanner - ULM

192 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

siswa memiliki skor rata-rata untuk kemampuan berpikir kreatif yang bervariasi. Bervariasinya skor

yang diperoleh menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kreatif siswa berbeda-beda satu sama

lainnya. Hubungan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi skor kemampuan

berpikir kreatif maka semakin tinggi pula hasil belajar menggarangnya. Konstribusi dari

kemampuan berpikir kreatif terhadap hasil belajar menggarang ditandai dengan nilai (rx1y)² =

(0,837)² = 0,7005. Hal ini menunjukkan bahwa 70 % kemampuan berpikir kreatif berpengaruh

dan signifikan terhadap hasil belajar menggarang.

Berdasarkan pada hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan positif dan

signifikan antara kemampuan berpikir kreatif dan hasil belajar menggarang artinya semakin

tinggi kemampuan berpikir kreatif siswa maka semakin tinggi pula hasil belajar menggarang,

Deskripsi analisis menunjukkan bahwa total skor kemampuan memahami gambar berseri sebesar

3328 dan diperoleh nilai rata-rata = 75,64, modus = 75, median = 76. Dari perhitungan tersebut,

terlihat siswa memiliki skor yang beragam. Beragamnya skor tersebut, menunjukkan bahwa

kemampuan memahami gambar berseri antar siswa berbeda-beda. dari hasil pengamatan peneliti

secara garis besar adanya keragaman tersebut di sebabkan oleh siswa tidak terbiasa dalam

memecahkan soal dalam sebuah gambar seri dan ini juga merupakan hal yang baru buat siswa

dengan cara dan strategi belajar mengajar yang bervariasi.

Dari hasil hipotesis kemampuan memahami gambar berseri menunjukkan bahwa terdapat hubungan

positif dan signifikan antara kemampuan memahami gambar berseri dan hasil belajar menggarang,

hal ini ditunjukkan dari nilai (rx2y)² = (0,969)² = 0,938. Artinya 93,8 % sebanyak 93,8 %

kemampuan memahami gambar berseri berpengaruh dan signifikan terhadap hasil belajar

menggarang.

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, didapat kesimpulan bahwa ada hubungan positif dan

signifikan antara kemampuan memahami gambar berseri dan hasil belajar menggarang artinya

semakin tinggi kemampuan memahami gambar berseri siswa semakin tinggi pula hasil belajar

mengarangnya.

Hasil perhitungan koefisien korelasi ganda sebanyak (Ry1.2) adalah sebesar 0,976 dan koefisien

korelasi determinasi sebanyak (Ry1.2)² = (0,976)² = 0,952. Hal ini berarti sebanyak 95,2% hasil

belajar menggarang dipengaruhi oleh kemampuan berpikir kreatif dan kemampuan memahami

gambar berseri secara bersama-sama. Konstribusi setiap variabel secara individu, yaitu; konstribusi

kemampuan berpikir kreatif sebanyak 70% terhadap hasil belajar menggarang, dan konstribusi

kemampuan memahami gambar berseri sebanyak 93,8% terhadap hasil belajar menggarang. Artinya

bahwa hasil belajar menggarang akan jauh lebih baik apabila mereka juga memiliki kemampuan

berpikir kreatif dan kemampuan memahami gambar berseri yang baik pula.Temuan tersebut

didukung oleh hasil penelitian oleh Pratt, Amy; Logan, Jessica (2014) dan Blamires, Mike;

Page 199: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 193

Peterson, Andrew (2014) bahwa mengarang sangat terkait dengan aspek kemampuan kreativitas

siswa.

Kesimpulan, Implikasi dan Saran

Pertama, Kemampuan berpikir kreatif (X1) memiliki hubungan positif dengan hasil belajar

mengarang (Y). Hubungan ini dibuktikan dengan nilai koefisien korelasi (ry1) = 0,837 dan

koefisien determinasi (ry1)² = 0,7005, yang menunjukkan bahwa 70,05 % dari hasil belajar

menggarang dipengaruhi oleh kemampuan berpikir kreatif. Dengan demikian, kemampuan

berpikir kreatif secara konsisten memiliki hubungan langsung dengan hasil belajar mengarang.

Kedua, Kemampuan memahami gambar berseri (X2) memiliki hubungan positif dengan hasil

belajar mengarang (Y). Hubungan ini dibuktikan dengan nilai koefisien korelasi (ry2) = 0,969 dan

koefisien determinasi (ry1)² = 0,938, yang menunjukkan bahwa 93,8 % dari hasil belajar

menggarang dipengaruhi oleh kemampuan memahami gambar berseri. Dengan demikian,

kemampuan memahami gambar berseri secara konsisten memiliki hubungan langsung dengan hasil

belajar mengarang.

Ketiga, Kemampuan berpikir kreatif (X1) dan kemampuan memahami gambar berseri (X2) secara

bersama-sama memiliki hubungan positif dengan keterampilan menulis eksposisi (Y). Hal ini

dibuktikan dengan nilai koefisien korelasi ganda (Ry1.2) = 0,976, dan koefisien determinasi

(Ry1.2)² = 0,952. Menunjukkan sebanyak 95,2% dari hasil belajar menggarang dipengaruhi oleh

kemampuan berpikir kreatif dan kemampuan memahami gambar berseri secara bersama-sama.

Dengan demikian, kemampuan berpikir kreatif dan kemampuan memahami gambar berseri

bersama-sama secara konsisten memiliki hubungan langsung dengan hasil belajar menggarang.

Hasil penelitian yang telah dikemukakan pada kesimpulan di atas akan berdampak pada beberapa

hal sebagai wujud implikasinya, yaitu: akan terdapat upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk

meningkatkan hasil belajar mengarang khususnya pada siswa sekolah dasar. Hal ini dikarenakan

telah terbukti adanya hubungan kemampuan berpikir kreatif dan kemampuan memahami gambar

berseri terhadap hasil belajar mengarang, maka melalui upaya ini kualitas pembelajaran dalam

meningkatkan hasil belajar mengarang dapat ditingkatkan. Untuk meningkatkan hasil belajar

menggarang, siswa hendaknya diberikan dorongan dan motivasi untuk selalu mencari sesuatu yang

baru dalam tulisan dan dituntut untuk berusaha seunik mungkin dalam mengembangkan

gagasannya saat menulis.

Untuk meningkatkan hasil belajar mengarang<mengharuskan beberapa pihak terkait seperti guru,

guru dalam melaksanakan pengajaran menulis harus memilih bahan materi yang lebih kreatif,

Page 200: Scanned by CamScanner - ULM

194 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

mengajarkan siswa dengan menggunakan media-media yang lebih menarik perhatian siswa seperti

membuat sebuah gambar kemudian siswa menceritakan kembali dalam sebuah tulisan. Sebuah

media gambar lebih mudah diingat dari pada kata-kata. Gambar dapat membuat sebuah ide yang

abstrak menjadi lebih kongkrit dan berarti. Pengalaman yang kongkrit bisa memudahkan siswa

belajar dan meningkatkan hasil belajar.

Saran

Mengacu pada beberapa implikasi (dampak) yang telah dikemukakan di atas, maka berikut

adalah beberapa saran yang dapat menjadi acuan dalam menindaklanjuti implikasi tersebut

Pertama, Hasil belajar menggarang membutuhkan sebuah proses latihan dan frekuensi menulis yang

lebih sering. Sebagai dasar untuk memperbaiki hasil belajar menggarang siswa harus lebih banyak

menulis, menulis di mading, buku, majalah dan lain-lain. Sehingga dengan banyaknya siswa

menulis dari berbagai sumber, dapat memungkinkan siswa untuk mengembangkan gagasan dan ide-

ide juga dapat membuat siswa menjadi senang menulis.

Kedua, Siswa harus lebih aktif dan banyak bertanya dalam mengungkapkan sebuah bacaan.

Siswa juga harus bisa mengungkapkan kesan terhadap suatu bacaan apakah bacaan tersebut

menyenangkan, membosankan atau sekedar hanya bacaan yang tidak bermanfaat. Dengan siswa

dapat memperoleh kesan dalam sebuah bacaan maka siswa akan lebih mudah memperoleh

informasi dari bacaan yang dibaca dan akan lebih lama mengingatnya.

Ketiga, guru harus memberikan fasilitas dan media yang membuat siswa ingin berkreasi dan

mengungkapkan ide gagasan. Guru juga harus slektif dalam memilih media yang akan dijadikan

latihan bagi siswa. Guru memilih jenis media yang disenangi oleh siswa sehingga merangsang

keinginan dan minat siswa untuk menulis.

Daftar Pustaka

Arnone, Marilyn; Small, Ruth; Chauncey, Sarah; McKenna, H, (2011). Curiosity, interest and

engagement in technology-pervasive learning environments: a new research agenda. Educational

Technology Research & Development. Apr2011, Vol. 59 Issue 2, p181-198. 18p.

Beghetto, Ronald A., Kaufman, James C. (2014). Classroom contexts for creativity. High Ability

Studies. Jun 2014, Vol. 25 Issue 1, p53-69. 17p.

Blamires, Mike; Peterson, Andrew (2014), Can creativity be assessed? Towards an evidence-

informed framework for assessing and planning progress in creativity. Cambridge Journal of

Education. Jun 2014, Vol. 44 Issue 2, p147-162. 16p.

Djago Tarigan dan H.G. Tarigan, (1996). Teknik Pengajaran Keterampilan Berbahasa. Bandung:

Angkasa

Page 201: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 195

Djago Tarigan, (1993). Membina Keterampilan Menulis Paragraf dan Pengembangannya. Bandung:

Angkas

Finoza Lamuddin (2008), Komposisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Diksi insane Mulia.

Hairston, Maxine C. (1992). Succesfull Writing. New York: W.W. Norton & Company.

https://www.oecd.org/pisa/pisaproducts/PISA%202012%20framework%20e-book_final.pdf

Jujun S. Suriasumantri (1998), Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar. Jakarta: Sinar Harapan

Kurniawan K (2005), Model Pengajaran Menulis Bagi Penuntun Asing. Jakarta: Andi Offset.

Koenig, Alan J, (1995). Learning Media Assessment of Students With Visual Impairments: A

Resource Guide for Teachers New York: Publisher: Texas School for the Blind &; 2 edition

Ulfa, Andi Maria dkk (2017). The Effect of the Use of Android-Based Application in Learning

Together to Improve Students' Academic Performance. AIP Conference Proceedings. 2017, Vol.

1847 Issue 1, p1-6. 6p.

Pratt, Amy; Logan, Jessica (2014). Improving Language-Focused Comprehension Instruction in

Primary-Grade Classrooms: Impacts of the Let's Know! Experimental Curriculum. Educational

Psychology Review, Sep2014, Vol. 26 Issue 3, p357-377, 21p

Patti Drapeau (2014). Sparking Student Creativity: Sparking Student Creativity: Practical Ways to

Promote Innovative Thinking and Problem Solving, Publisher: Association for Supervision &

Curriculum Development

Spendel. V and Richard j, (1990). Stiggins Coaching Writers. London: Longman.

Thomas L. Good and Jere E. Brophy (1990), Education psychology: A Realistic Approach.

NewYork: Longman.

Utami Munandar, (1999). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Pustaka. Sinar

Harapan, 1999.

Weiguo Pang (2015), Promoting Creativity in the Classroom: A Generative View.Psychology of

Aesthetics, Creativity & the Arts. May2015, Vol. 9 Issue 2, p122-127

Page 202: Scanned by CamScanner - ULM

196 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

KURIKULUM BERBASIS KERANGKA KUALIFIKASI NASIONAL

Muhammad Iqbal Daulay, Juanda, Alexander Chrisse Ginting Munthe

Teknologi Pendidikan Program Pascasarjana UNIMED [email protected]

ABSTRAK

Kurikulum adalah keseluruhan pengalaman belajar yang direncanakan dan diarahkan oleh sekolah

untuk mencapai tujuan pendidikannya (Ralph Tyler: 1957). Dunia pendidikan nasional perlu

dirancang agar bisa melahirkan generasi atau sumber daya manusia yang memiliki keunggulan di

era globalisasi. Nilai ketrampilan generik sangat penting untuk dimiliki oleh siswa dalam upaya

meningkatkan kemampuan mereka bersaing di pasar global. Untuk universitas itu, dalam hal ini

program studi harus bisa memenuhi kebutuhan siswa melalui kegiatan belajar dan perangkat

mereka, yang akhirnya berada pada kurikulum. Untuk itu sejak 2012 Indonesia telah melakukan

standarisasi dengan merilis kurikulum berdasarkan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia

(KKNI). Diharapkan kualifikasi nasional akan memberikan panduan untuk memberdayakan sumber

daya manusia di satu negara untuk mencapai pembelajaran seumur hidup. Kurikulum yang

diharapkan bisa mengantisipasi kebutuhan lulusannya dengan pekerjaan menunggu di depan mata.

Indonesia adalah salah satu ekonomi utama di Asia Tenggara dan pemerintah telah menetapkan

tujuan ambisius untuk pembangunan sosial dan ekonominya, yang mana pengembangan sumber

daya manusia sangat penting. Meskipun ada perbedaan regional yang membatasi akses terhadap

pendidikan berkualitas bagi banyak orang, Indonesia telah membuat kemajuan yang mengesankan

di berbagai bidang di bidang pendidikan sejak krisis Asia 1997-98 seperti liputan pendidikan dasar.

Banyak tantangan tetap termasuk perluasan pendaftaran di pendidikan menengah dan tinggi,

meningkatkan kualitas dan relevansi dan membuat tata kelola dan keuangan lebih responsif.

Kata Kunci: Kurikulum, Kerangka Kualifikasi Indonesia

Pendahuluan

Dalam pengembangan kurikulum model lama, menurut para ahli teknologi pendidikan,

penyusunan kurikulum, penyusunan buku-buku serta perangkat kurikulum lainnya lebih bersifat

seni dan didasarkan atas kepentingan politik daripada landasan-landasan ilmiah dan teknologis.

Pengembangan kurikulum diarahkan pada pencapaian nilai-nilai umum, konsep-konsep, masalah

dan keterampilan yang akan menjadi isi kurikulum disusun dengan fokus pada nilai-nilai tadi.

Page 203: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 197

Pengembangan kurikulum teknologis berpegang pada beberapa kriteria, yaitu:

Prosedur pengembangan kurikulum dinilai dan disempurnakan oleh pengembang kurikulum yang

lain,

Hasil pengembangan terutama yang berbentuk model adalah yang bisa diuji coba ulang, dan

hendaknya memberi hasil yang sama.

Inti dari pengembangan kurikulum teknologis adalah penekanan pada kompetensi. Pengembangan

dan penggunaan alat dan media pengajaran buka hanya sebagai alat bantu tetapi bersatu dengan

program pengajaran dan ditujukan pada penguasaan kompetensi tertentu.

Sejarah kurikulum

Perkembangan teori kurikulum tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangannya.

Perkembangan kurikulum telah dimulai pada tahun 1890 dengan tulisan Charles dan Mr Murry,

tetapi secara definitif berawal pada hasil karya Franklin Babbit tahun 1918. Menurut Bobbit, inti

teori kurikulum itu sederhana, yaitu kehidupan manusia. Kehidupan manusia meskipun berbeda-

beda pada dasarnya sama, terbentuk oleh sejumlah kecakapan pekerjaan. Werrett W. Charters

(1923) setuju dengan konsep Bobbit tentang analisis kecakapan/ pekerjaan sebagai dasar

penyusunan kurikulum. Charters lebih menekankan pada pendidikan vokasional.

Ada dua hal yang sama dari teori kurikulum, teori Bobbit dan Charters.

Pertama, keduanya setuju atas penggunaan teknik ilmiah dalam memecahkan masalah-masalah

kurikulum. Dalam hal ini mereka dipengaruhi oleh gerakan ilmiah dalam pendidikan yang

dipelopori oleh E.L. Thorndike, Charles Judd, dan lain-lain.

Kedua, keduanya bertolak pada asumsi bahwa sekolah berfungsi mempersiapkan anak bagi

kehidupan sebagai orang dewasa.

Mulai tahun 1920, karena pengaruh pendidikan progresif, berkembang gerakan pendidikan yang

berpusat pada anak (child centered). Isi kurikulum harus didasarkan atas minat dan kebutuhan

siswa. Pendidikan menekankan kepada aktivitas siswa, siswa belajar melalui pengalaman.

Penyusunan kurikulum harus melibatkan siswa.

Perkembangan teori kurikulum selanjutnya dibawakan oleh Hollis Caswell. Dalam peranannya

sebagai ketua divisi pengembang kurikulum di beberapa negara bagian di Amerika Serikat

(Tennesee, Alabama, Florida, Virginia), ia mengembangkan konsep kurikulum yang berpusat pada

masyarakat atau pekerjaan (society centered) maka Caswell mengembangkan kurikulum yang

bersifat interaktif dalam pengembangan kurikulumnya, Caswell menekankan pada partisipasi guru-

guru, berpartisipasi dalam menentukan kurikulum, menentukan struktur organisasi dari penyusunan

Page 204: Scanned by CamScanner - ULM

198 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

kurikulum, dalam merumuskan pengertian kurikulum, merumuskan tujuan, memilih isi,

menentukan kegiatan belajar, desain kurikulum, menilai hasil dan sebagainya.

Pada tahun 1947 di Universitas Chicago berlangsung diskusi besar pertama tentang teori kurikulum.

Sebagai hasil diskusi tersebut dirumuskan tiga tugas utama teori kurikulum:

mengidentifikasi masalah-masalah penting yang muncul dalam pengembangan kurikulum dan

konsep-konsep yang mendasarinya,

menentukan hubungan antara masalah-masalah tersebut dengan struktur yang mendukungnya,

mencari atau meramalkan pendekatan-pendekatan pada masa yang akan datang untuk memecahkan

masalah tersebut.

Ralph W. Taylor (1949) mengemukakan empat pertanyaan pokok yang menjadi inti kajian

kurikulum:

Tujuan pendidikan yang manakah yang ingin dicapai oleh sekolah?

Pengalaman pendidikan yang bagaimanakah yang harus disediakan untuk mencapai tujuan tersebut?

Bagaimana mengorganisasikan pengalaman pendidikan tersebut secara efektif?

Bagaimana kita menentukan bahwa tujuan tersebut telah tercapai?

Dalam konferensi nasional perhimpunan pengembang dan pengawas kurikulum tahun 1963

dibahas dua makalah penting dari George A. Beauchamp dan Othanel Smith. Beauchamp

menganalisis pendekatan ilmiah tentang tugas-tugas pengembangan teori dalam kurikulum.

Menurut beauchamp, teori kurikulum secara konseptual berhubungan erat dengan pengembangan

teori dalam ilmu-ilmu lain. Hal-hal yang penting dalam pengembangan teori kurikulum adalah

penggunaan istilah-istilah teknis yang tepat dan konsisten, analisis dan klasifikasi pengetahuan,

penggunaan penelitian-penelitian prediktif untuk menambah konsep, generalisasi atau kaidah-

kaidah sebagai prinsip-prinsip yang menjadi pegangan dalam menjelaskan fenomena kurikulum.

Dalam makalah kedua, Othanel Smith menguraikan peranan filsafat dalam pengembangan

teori kurikulum yang bersifat ilmiah. Menurut Smith ada tiga sumbangan utama filsafat terhadap

teori kurikulum, yaitu dalam (1) merumuskan dan mempertimbangkan tujuan pendidikan, (2)

memilih dan menyusun bahan, dan (3) perumusan bahasa khusus kurikulum.

James B. MacDonald (1964) melihat teori kurikulum dari model sistem. Ada empat sistem

dalam persekolahan, yaitu: kurikulum, pengajaran (instruction), mengajar (teaching), dan belajar.

Interaksi dari empat sistem ini dapat digambarkan dengan suatu diagram Venn. Melihat kurikulum

sebagai suatu sistem dalam sistem yang lebih besar yaitu persekolahan dapat memperjelas

pemikiran tentang konsep kurikulum. Pengguna model sistem juga dapat membantu para ahli teori

kurikulum menentukan jenis dan lingkup konseptualisasi yang diperlukan dalam teori kurikulum.

Broudy, Smith, dan Bunett (1964) menjelaskan masalah persekolahan dalam suatu skema

yang menggambarkan komponen-komponen dari keseluruhan proses mempengaruhi anak.

Page 205: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 199

Content

Facts

Concept

Descriptive

Principles

Curriculum

Categories of instruction

Symbolic studies

Basic sciences

Developmental studies

Thesthetics studies

Sudents Learnings:

Cognitive maps

Evaluational maps

Attitudes and values systems

Associative meanings and images

Intellectual Operations

Executive Operations

Assessment system:

Examinations

Tests: Essay-Objective

Teacher Judgements

Self evaluation

Self inventory

Modes of Teaching

Situational

Modes

Operational

Modes

Beauchamp merangkumkan perkembangan teori kurikulum antara tahun 1960 sampai

dengan 1965. Ia mengidentifikasi adanya enam komponen kurikulum sebagai bidang studi, yaitu:

landasan kurikulum, isi kurikulum, desain kurikulum, rekayasa kurikulum, evaluasi dan penelitian,

dan pengembangan teori.

Thomas L. Faix (1966) menggunakan analisis struktural-fungsional yang berasal dari

biologi, sosiologi, dan antropologi untuk menjelaskan konsep kurikulum. Fungsi kurikulum

dilukiskan sebagai proses bagaimana memelihara dan mengembangkan strukturnya. Ada sejumlah

pertanyaan yang diajukan dalam analisis struktural-fungsional ini. Topik dan subtopik dari

pertanyaan ini menunjukkan fenomena-fenomena kurikulum. Pertanyaan-pertanyaan itu

menyangkut: (1) pertanyaan umum tentang fenomena kurikulum, (2) sistem kurikulum, (3) unit

analisis dan unsur-unsurnya, (4) struktur sistem kurikulum, (5) fungsi sistem kurikulum, (6) proses

kurikulum, (7) prosedur analisis struktural-fungsional.

Page 206: Scanned by CamScanner - ULM

200 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Alizabeth S. Maccia (1965) dari hasil analisisnya menyimpulkan adanya empat teori

kurikulum, yaitu: (1) teori kurikulum (curriculum theory), (2) teori kurikulum-formal (formal

curriculum theory), (3) teori kurikulum valuasional (valuational curriculu theory), dan (4) teori

kurikulum praksiologi (praxiologi curriculum theory).

Mauritz Johnson (1967) membedakan antara kurikulum dengan proses pengembangan

kurikulum. Kurikulum merupakan hasil dari sistem pengembangan kurikulum, tetapi sistem

pengembangan bukan kurikulum. Menurut Johnson kurikulum merupakan seperangkat tujuan

belajar yang terstruktur. Jadi kurikulum berkenaan dengan tujuan dan bukan dengan kegiatan.

Berdasarkan rumusan kurikulum tersebut, pengalaman belajar anak menjadi bagian dari pengejaran.

Johnson menganalisis enam unsur kurikulum, yaitu:

A curriculum is a structured series of intended learning outcomes

Selection is an essential aspect of curriculum formulation

Structure is an essential characteristic of curriculum

Curriculum guide instruction

Curriculum evaluation involeves validation of both selection and structure

Curriculum is the criterion for instructional evaluation

Jack R. Frymier (1967) mengemukakan tiga unsur dasar kurikulum, yaitu: aktor, artifak, dan

pelaksanaan. Aktor adalah orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan kurikulum. Artifak adalah

isi dan rancangan kurikulum. Pelaksanaan adalah proses interaksi antara aktor yang melibatkan

artifak. Studi kurikulum menurut Frymier meliputi tiga langkah: perencanaan, pelaksanaan, dan

evaluasi.

Ada beberapa masalah atau isu substansial dalam pembahasan tentang teori kurikulum,

yaitu: definisi kurikulum, sumber-sumber kebijaksanaan kurikulum, desain kurikulum, rekayasa

kurikulum, peranan nilai dalam pengembangan kurikulum, dan implikasi teori kurikulum.

Sejarah kurikulum di Indonesia

Kurikulum yang digunakan di Indonesia dipengaruhi oleh tatanan sosial politik Indonesia.

Negara-negara penjajah yang mendiami wilayah Indonesia ikut juga mempengaruhi sistem

pendidikan di Indonesia. Sistem pendidikan Belanda diatur dengan prosedur yang ketat dari mulai

aturan siswa, pengajar, sistem pengajaran, dan kurikulum. Sekolah-sekolah dibentuk dengan

membedakan pendidikan antara anak Belanda, anak timur asing, dan anak pribumi. Golongan

pribumi ini masih dipecah lagi menjadi masyarakat kelas bawah dan priyayi. Susunan persekolahan

zaman kolinial adalah sebagai berikut (Sanjaya, 2007:207).

Persekolahan anak-anak pribumi untuk golongan non priyayi menggunakan pengantar bahasa

daerah, namanya Sekolah Desa 3 tahun. Mereka yang berhasil menamatkannya boleh melajutkan ke

Sekolah Sambungan (Vervolg School) selama 2 tahun. Dari sini mereka bisa melanjutkan ke

Page 207: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 201

Sekolah Guru atau Mulo Pribumi selama 4 tahun, inilah sekolah paling atas untuk bangsa pribumi

biasa. Untuk golongan pribumi masyarakat bangsawan bisa memasuki His Inlandsche School

selama 7 tahun, Mulo selama 3 tahun, dan Algemene Middlebare School (AMS) selama 3 tahun.

Untuk orang timur asing disediakan sekolah seperti Sekolah Cina 5 tahun dengan pengantar bahasa

Cina, Hollandch Chinese School (HCS) yang berbahasa Belanda selama 7 tahun. Siswa HCS dapat

melanjutkan ke Mulo.

Sedangkan untuk orang Belanda disediakan sekolah rendah sampai perguruan tinggi, yaitu Eropese

Legere School 7 tahun, sekolah lanjutan HBS 3 dan 5 tahun Lyceum 6 tahun, Maddelbare

Meisjeschool 5 tahun, Recht Hoge School 5 tahun, Sekolah kedokteran tinggi 8,5 tahun, dan

kedokteran gigi 5 tahun.

Rencana pelajaran 1947

Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah leer plan. Dalam

bahasa Belanda, artinya rencana pelajaran, lebih popular ketimbang curriculum (bahasa Inggris).

Perubahan kisi-kisi pendidikan lebih bersifat politis: dari orientasi pendidikan Belanda ke

kepentingan nasional. Asas pendidikan ditetapkan Pancasila. Awalnya pada tahun 1947, kurikulum

saat itu diberi nama Rentjana Pelajaran 1947. Pada saat itu, kurikulum pendidikan di Indonesia

masih dipengaruhi sistem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang, sehingga hanya meneruskan

yang pernah digunakan sebelumnya.

Rencana Pelajaran 1947 baru dilaksanakan sekolah-sekolah pada 1950. Sejumlah kalangan

menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum 1950. Bentuknya memuat dua

hal pokok:

Daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya

Garis-garis besar pengajaran (GBP)

Rencana Pelajaran 1947 mengurangi pendidikan pikira dalam arti kognitif, namun yang diutamakan

pendidikan watak atau perilaku (value , attitude), meliputi :

Kesadaran bernegara dan bermasyarakat

Materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari

Perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.

Rencana Pelajaran Terurai 1952

Setelah Rentjana Pelajaran 1947, pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia mengalami

penyempurnaan. Pada tahun 1952 ini diberi nama Rentjana Pelajaran Terurai 1952. Kurikulum ini

sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Yang paling menonjol dan sekaligus ciri

Page 208: Scanned by CamScanner - ULM

202 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

dari kurikulum 1952 ini bahwa setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang

dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.

Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai

1952. “Silabus mata pelajarannya jelas sekali. seorang guru mengajar satu mata pelajaran,” kata

Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode 1991-1995. Ketika itu, di usia 16

tahun Djauzak adalah guru SD Tambelan dan Tanjung Pinang, Riau.Di penghujung era Presiden

Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964. Fokusnya pada pengembangan

Pancawardhana, yaitu :a) Daya cipta, b) Rasa, c) Karsa, d) Karya, e) Moral.

Kurikulum Rencana Pendidikan 1964

Pada akhir era kekuasaan Soekarno, kurikulum pendidikan yang lalu diubah menjadi

Rencana Pendidikan 1964. Isu yang berkembang pada rencana pendidikan 1964 adalah konsep

pembelajaran yang bersifat aktif, kreatif, dan produktif. Konsep pembelajaran ini mewajibkan

sekolah membimbing anak agar mampu memikirkan sendiri pemecahan persoalan (problem

solving). Rencana Pendidikan 1964 melahirkan Kurikulum 1964 yang menitik beratkan pada

pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral, yang kemudian dikenal dengan istilah

Pancawardhana. Disebut Pancawardhana karena lima kelompok bidang studi, yaitu kelompok

perkembangan moral, kecerdasan, emosional/artisitk, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah.

Pada saat itu pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis,

yang disesuaikan dengan perkembangan anak.

Cara belajar dijalankan dengan metode disebut gotong royong terpimpin. Selain itu

pemerintah menerapkan hari sabtu sebagai hari krida. Maksudnya, pada hari Sabtu, siswa diberi

kebebasan berlatih kegitan di bidang kebudayaan, kesenian, olah raga, dan permainan, sesuai minat

siswa. Kurikulum 1964 adalah alat untuk membentuk manusia pacasialis yang sosialis Indonesia,

dengan sifat-sifat seperti pada ketetapan MPRS No II tanun 1960. Penyelenggaraan pendidikan

dengan kurikulum 1964 mengubah penilaian di rapor bagi kelas I dan II yang asalnya berupa skor

10 – 100 menjadi huruf A, B, C, dan D. Sedangkan bagi kelas II hingga VI tetap menggunakan skor

10 – 100.

Kurikulum 1968

Usai tahun 1952, menjelang tahun 1964, pemerintah kembali menyempurnakan sistem

kurikulum di Indonesia. Kali ini diberi nama Rentjana Pendidikan 1964. Pokok-pokok pikiran

kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah: bahwa pemerintah mempunyai

keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD,

sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana (Hamalik, 2004), yaitu

pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan, dan jasmani. Kurikulum 1968

Page 209: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 203

merupakan pembaharuan dari Kurikulum 1964, yaitu dilakukannya perubahan struktur kurikulum

pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan

kecakapan khusus.

Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis: mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang

dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Tujuannya pada pembentukan manusia Pancasila sejati.

Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan

Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Djauzak menyebut Kurikulum 1968 sebagai

kurikulum bulat. “Hanya memuat mata pelajaran pokok-pokok saja,” katanya. Muatan materi

pelajaran bersifat teoritis, tak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya

pada materi apa saja yang tepat diberikan kepada siswa di setiap jenjang pendidikan.

Kurikulum 1968 lahir dengan pertimbangan politik ideologis. Tujuan pendidikan pada

kurikulum 1964 yang bertujuan menciptakan masyarakat sosialis Indonesia diberangus, pendidikan

pada masa ini lebih ditekankan untuk membentuk manusia pancasila sejati. Kurikulum 1968

bersifat correlated subject curriculum, artinya materi pelajaran pada tingkat bawah mempunyai

korelasi dengan kurikulum sekolah lanjutan. Bidang studi pada kurikulum ini dikelompokkan pada

tiga kelompok besar: pembinaan pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus.

Metode pembelajaran sangat dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pendidikan dan psikologi

pada akhir tahun 1960-an. Salah satunya adalah teori psikologi unsur. Contoh penerapan metode

pembelajaran ini adalah metode eja ketika pembelajaran membaca. Begitu juga pada mata pelajaran

lain, “anak belajar melalui unsur-unsurnya dulu”.

Kurikulum berorientasi pencapaian tujuan (1975 – 1994)

Setelah Indonesia memasuki masa orde baru maka tatanan kurikulumpun mengalami

perubahan dari “Rencana Pelajaran” menuju kurikulum berbasis pada pencapaian tujuan. Dalam

konteks ini adalah kurikulum subjek akademik, merupakan model konsep kurikulum yang paling

tua, sejak sekolah yang pertama dulu berdiri. Kurikulum ini menekankan pada isi

atau materi pelajaran yang bersumber dari disiplin ilmu. Penyusunannya relatif mudah, praktis, dan

mudah digabungkan dengan model yang lain. Kurikulum ini bersumber dari pendidikan klasik,

perenalisme dan esensialisme, berorientasi pada masa lalu. fungsi pendidikan adalah memelihara

dan mewariskan ilmu pngetahuan, tehnologi, dan nilai-nilai budaya masa lalu kepada generasi yang

baru.

Latar Belakang Diberlakukanya Kurikulum 1975

Page 210: Scanned by CamScanner - ULM

204 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Dalam Kata Pengantar Kurikulum 1975, Menteri Pendidikan Republik Indonesia Sjarif Thajeb,

menjelaskan tentang latar belakang ditetapkanya Kurikulum 1975 sebagai pedoman pelaksanaan

pengajaran di sekolah.

Sejak Tahun 1969 di Negara Indonesia telah banyak perubahan yang terjadi sebagai akibat lajunya

pembangunan nasional, yang mempunyai dampak baru terhadap program pendidikan nasional. Hal-

hal yang mempengaruhi program maupun kebijaksanaan pemerintah yang menyebabkan

pembaharuan itu adalah :(a) Selama Pelita I, yang dimulai pada tahun 1969, telah banyak timbul

gagasan baru tentang pelaksanaan sistem pendidikan nasional.(b) Adanya kebijaksanaan pemerintah

di bidang pendidikan nasional yang digariskan dalam GBHN yang antara lain berbunyi : “Mengejar

ketinggalan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mempercepat lajunya

pembangunan.(c) Adanya hasil analisis dan penilaian pendidikan nasional oleh Departemen

Pendidikan dan Kebudayaaan mendorong pemerintah untuk meninjau kebijaksanaan pendidikan

nasional.(d) Adanya inovasi dalam system belajar-mengajar yang dianggap lebih efisien dan efektif

yang telah memasuki dunia pendidikan Indonesia.(e) Keluhan masyarakat tentang mutu lulusan

pendidikan untuk meninjau sistem yang kini sedang berlaku.

Pada Kurikulum 1968, hal-hal yang merupakan faktor kebijaksanaan pemerintah yang berkembang

dalam rangka pembangunan nasional tersebut belum diperhitungkan, sehingga diperlukan

peninjauan terhadap Kurikulum 1968 tersebut agar sesuai dengan tuntutan masyarakat yang sedang

membangun.

Kurikulum 1984

Latar Belakang Diberlakukanya Kurikulum 1984

Kurikulum 1975 hingga menjelang tahun 1983 dianggap sudah tidak mampu lagi memenuhi

kebutuhan masyarakat dan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan sidang umum MPR

1983 yang produknya tertuang dalam GBHN 1983 menyiratakan keputusan politik yang

menghendaki perubahan kurikulum dari kurikulum 1975 ke kurikulum 1984. Secara umum dasar

perubahan kurikulum 1975 ke kurikulum 1984 di antaranya adalah sebagai berikut.

Terdapat beberapa unsur dalam GBHN 1983 yang belum tertampung ke dalam kurikulum

pendidikan dasar dan menengah.

Terdapat ketidakserasian antara materi kurikulum berbagai bidang studi dengan kemampuan anak

didik.

Terdapat kesenjangan antara program kurikulum dan pelaksanaannya di sekolah.

Terlalu padatnya isi kurikulum yang harus diajarkan hampir di setiap jenjang.

Pelaksanaan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) sebagai bidang pendidikan yang berdiri

sendiri mulai dari tingkat kanak-kanak sampai sekolah menengah tingkat atas termasuk Pendidikan

Luar Sekolah.

Page 211: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 205

Pengadaan program studi baru (seperti di SMA) untuk memenuhi kebutuhan perkembangan

lapangan kerja.

Ciri-ciri Kurikulum 1984.

Atas dasar perkembangan itu maka menjelang tahun 1983 antara kebutuhan atau tuntutan

masyarakat dan ilmu pengetahuan/ teknologi terhadap pendidikan dalam kurikulum 1975 dianggap

tidak sesuai lagi, oleh karena itu diperlukan perubahan kurikulum. Kurikulum 1984 tampil sebagai

perbaikan atau revisi terhadap kurikulum 1975. Kurikulum 1984 memiliki

ciri-ciri sebagai berikut.

Berorientasi kepada tujuan instruksional. Didasari oleh pandangan bahwa pemberian pengalaman

belajar kepada siswa dalam waktu belajar yang sangat terbatas di sekolah harus benar-benar

fungsional dan efektif. Oleh karena itu, sebelum memilih atau menentukan bahan ajar, yang

pertama harus dirumuskan adalah tujuan apa yang harus dicapai siswa.

Pendekatan pengajarannya berpusat pada anak didik melalui cara belajar siswa aktif (CBSA).

CBSA adalah pendekatan pengajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif

terlibat secara fisik, mental, intelektual, dan emosional dengan harapan siswa memperoleh

pengalaman belajar secara maksimal, baik dalam ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor.

Materi pelajaran dikemas dengan nenggunakan pendekatan spiral. Spiral adalah pendekatan yang

digunakan dalam pengemasan bahan ajar berdasarkan kedalaman dan keluasan materi pelajaran.

Semakin tinggi kelas dan jenjang sekolah, semakin dalam dan luas materi pelajaran yang diberikan.

Menanamkan pengertian terlebih dahulu sebelum diberikan latihan. Konsep-konsep yang dipelajari

siswa harus didasarkan kepada pengertian, baru kemudian diberikan latihan setelah mengerti. Untuk

menunjang pengertian alat peraga sebagai media digunakan untuk membantu siswa memahami

konsep yang dipelajarinya.

Materi disajikan berdasarkan tingkat kesiapan atau kematangan siswa. Pemberian materi pelajaran

berdasarkan tingkat kematangan mental siswa dan penyajian pada jenjang sekolah dasar harus

melalui pendekatan konkret, semikonkret, semiabstrak, dan abstrak dengan menggunakan

pendekatan induktif dari contoh-contoh ke kesimpulan. Dari yang mudah menuju ke sukar dan dari

sederhana menuju ke kompleks.

Menggunakan pendekatan keterampilan proses. Keterampilan proses adalah pendekatan belajar-

mengajar yang memberi tekanan kepada proses pembentukkan keterampilan memperoleh

pengetahuan dan mengkomunikasikan perolehannya. Pendekatan keterampilan proses diupayakan

dilakukan secara efektif dan efesien dalam mencapai tujuan pelajaran.

Latar Belakang Diberlakukanya Kurikulum 1994

Page 212: Scanned by CamScanner - ULM

206 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Adapun yang menjadi latar belakang diberlakukanya kurikulum 1994 adalah sebagai berikut.

Bahwa sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan upaya untuk mencerdaskan

kehidupan bangsa serta agar pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem

pengajaran nasional yang diatur dengan Undang-Undang.

Bahwa untuk mewujudkan pembangunan nasional di bidang pendidikan, diperlukan peningkatan

dan penyempurnaan pentelenggaraan pendidikan nasional, yang disesuaikan dengan perkembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian, perkembangan masyarakat, serta kebutuhan

pembangunan.

Dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem

Pendidikan Nasional maka Kurikulum Sekolah Menengah Umum perlu disesuaikan dengan

peraturan perundang-undangan tersebut.

Kurikulum 1994 dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai

dengan Undang-Undang no. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini berdampak

pada sistem pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem semester ke sistem

caturwulan. Dengan sistem caturwulan yang pembagiannya dalam satu tahun menjadi tiga tahap

diharapkan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk dapat menerima materi pelajaran cukup

banyak.

Kurikulum berbasis kompetensi dan KTSP (2004/ 2006)

Kurikulum yang berorientasi pada pencapaian tujuan (1975 – 1994) berimpilkasi pada

penguasaan kognitif lebih dominan namun kurang dalam penguasaan keterampilan (skill). Sehingga

lulusan pendidikan kita tidak memiliki kemampuan yang memadai terutama yang bersifat aplikatif,

sehingga diperlukan kurikulum yang berorientasi pada penguasaan kompetensi secara holistik.

Untuk itu upaya peningkatan mutu pendidikan harus dilakukan secara menyeluruh yang mencakup

pengembangan dimensi manusia Indonesia seutuhnya, yakni aspek-aspek moral, akhlaq, budi

pekerti, pengetahuan,keterampilan, seni, olah raga, dan perilaku.

Pengembangan aspek-aspek tersebut bermuara pada peningkatan dan pengembangan

kecakapan hidup (life skill) yang diwujudkan melalui pencapaian kompetensi peserta didikuntuk

bertahan hidup, menyesuaikan diri, dan berhasil di masa datang.dengan demikian peserta didik

memiliki ketangguhan, kemandirian, danjati diri yang dikembangkan melalui pembelajaran dan atau

pelatihan yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Penyempurnaan kurikulum untuk

mewujudkan peserta didik yang dimaksudkan itu telah diamanatkan dalam kebijakan-kebijakan

nasional sebagai berikut

Perubahan keempat UUD 1945 Pasal31 tentang Pendidikan.

Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN tahun 1999-2004.

Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Page 213: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 207

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Daerah sebagai

Daerah Otonom, yang antara lain menyatakan pusat berkewenangan dalam menentukan:kompetensi

siswa; kurikulum dan materi pokok; penilaian nasional;dan kalender pendidikan.

Atas dasar itulah maka Indonesia memilih untuk memberlakukan Kurikulum KBK sebagai

pedoman penyelenggaraan pendidikan serta penyempurnaannya dalam bentuk Kurikulum Tingkat

Satuan Pendidikan (KTSP).

Kurikulum 2013

Makna manusia yang berkualitas, menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional, yaitu manusia terdidik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha

Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang

demokratis dan bertanggung jawab.

Kurikulum 2013 adalah kurikulum yang dirancang baik dalam bentuk dokumen, proses, maupun

penilaian didasarkan pada pencapaian tujuan, konten dan bahan pelajaran serta penyelenggaraan

pembelajaran yang didasarkan pada Standar Kompetensi Lulusan. Konten pendidikan dalam SKL

dikembangkan dalam bentuk kurikulum satuan pendidikan dan jenjang pendidikan sebagai suatu

rencana tertulis (dokumen) dan kurikulum sebagai proses (implementasi). Dalam dimensi sebagai

rencana tertulis, kurikulum harus mengembangkan SKL menjadi konten kurikulum yang berasal

dari prestasi bangsa di masa lalu, kehidupan bangsa masa kini, dan kehidupan bangsa di masa

mendatang.

Kerangka kualifikasi nasional indonesia (KKNI)

Sebagai bagian dari dunia global, pada tahun 2015 pemerintah Indonesia harus terbuka

terhadap semua negara ASEAN dalam hal perdagangan global dan urusan lainnya karena

Masyarakat Ekonomi ASEAN akan diimplementasikan secara politis dan legal. Mobilitas para

profesional di seluruh negara ASEAN semakin sering terjadi. Profesional dengan berbagai tingkat

kompetensi dan dari berbagai bidang utama secara bergantian akan masuk dan keluar di antara

negara-negara ASEAN. Mengantisipasi kondisi ini, pemerintah Indonesia terpaksa memberikan

kualifikasi yang lebih baik kepada warganya; Jika tidak maka akan sangat disayangkan bagi

Indonesia sebagai negara yang berdaulat. Tentunya, memiliki pengakuan profesional internasional

untuk pekerja terampil Indonesia adalah suatu keharusan agar mereka dapat bersaing dengan semua

orang dari negara-negara ASEAN lainnya.

Kerangka Kerja Kualifikasi Indonesia (IQF) nampaknya merupakan jawaban untuk situasi

masa depan ini. IQF yang telah mendapat dukungan hukum berupa Keputusan Presiden No. 8/2012

Page 214: Scanned by CamScanner - ULM

208 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

menawarkan deskripsi tingkat kualifikasi untuk hasil belajar atau pernyataan sertifikat di sekolah-

sekolah Indonesia dari jurusan hingga pendidikan tinggi. Sebagaimana ditetapkan dalam keputusan

tersebut, IQF menetapkan sembilan tingkat kualifikasi dengan tiga lapisan keahlian yang berbeda,

yaitu tingkat 1 sampai dengan 3 untuk operator, level 4 sampai 6 untuk teknisi atau analis, dan level

7 sampai 9 untuk para ahli.

Pendidikan di Indonesia

Pendidikan dan keterampilan sangat penting bagi prospek pertumbuhan Indonesia pada

dekade berikutnya. Sekarang telah memiliki kesempatan untuk memanfaatkan progres yang sangat

substansial yang telah dicapai dalam memperluas akses terhadap pendidikan. Upaya ini telah

dilakukan pada tingkat investasi yang relatif tinggi untuk fasilitas pendidikan, pengajaran personil

dan materi pembelajaran. Meningkatkan kinerja pendidikan di Indonesia sangat penting untuk

memenuhi tantangan mencapai status pendapatan yang tinggi. Prioritas utama untuk Indonesia

adalah untuk meningkatkan hasil belajar dan untuk memungkinkan siswa membentuk keterampilan

dan pemahaman inti. Dukungan tambahan akan dibutuhkan untuk mengatasi rendahnya tingkat

kesiapan dan motivasi siswa. Kunci sukses akan terletak pada standar pengajaran dan

kepemimpinan sekolah.

Guru membutuhkan dukungan agar bisa mengembangkan kapasitas profesional lebih baik

dan dimintai pertanggungjawaban lebih untuk hasil yang dicapai. Pendidikan guru pra-layanan

Page 215: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 209

terutama di bidang pengembangan pelayanan profesional guru membutuhkan perbaikan besar.

Proses penilaian harus memberi tahu para guru, orang tua dan pembuat kebijakan tentang seberapa

baik siswa belajar, dan bagaimana sekolah-sekolah yang berbeda melakukan terhadap kerangka

standar pendidikan nasional. Pemeriksaan publik nasional perlu ditingkatkan namun metode

penilaiannya lebih beragam juga diperlukan, terutama penilaian formatif di kelas.

Di dalam dan luar sekolah, perhatian lebih dekat harus sesuai dengan relevans pendidikan

untuk pekerjaan dan pembangunan ekonomi. Indonesia membutuhkan sistem pendidikan kejuruan

yang lebih beragam dan terkoordinasi secara nasional dengan tingkat keterlibatan pengusaha yang

tinggi.

Tabel 1. Pencapaian pendidikan tahun 2011 menurut jenis kelamin dan klasifikasi perkotaan/

pedesaan

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), SUSENAS 2009 - 2011.

Tabel 1 menunjukkan pencapaian pendidikan penduduk Indonesia dari 15 tahun ke atas di tahun

2011. Sekitar 10,8% perempuan pedesaan dan 5.3% perempuan perkotaan berusia 10 tahun ke atas

tidak pernah hadir bentuk pendidikan, dibandingkan dengan 4,9% laki-laki pedesaan dan 1,8%

perkotaan laki-laki (BPS). Hampir 20% perempuan pedesaan tidak menyelesaikan sekolah dasar

sedangkan sekitar 10% penduduk perkotaan memiliki gelar universitas hanya 3% dari laki-laki

pedesaan dan perempuan memiliki. Tingkat pencapaian pendidikan nampaknya berkorelasi dengan

tingkat kemiskinan dan ketersediaan layanan di seluruh Indonesia.

Tabel 2 membandingkan Indonesia dengan beberapa negara Asia lainnya dalam sebuah angka

Indikator pembangunan manusia. Sementara Indonesia tampil relatif baik tentang berat badan anak-

anak, perkembangan sekolah dan melek huruf kaum muda, negara berkinerja kurang baik pada

penggunaan energi dan penggunaan internet.

|Tabel 2 Indikator perkembangan manusia komparatif untuk negara-negara Asia terpilih

Page 216: Scanned by CamScanner - ULM

210 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Sumber: Asian Development Bank, Statistik Dasar 2014.

Tahapan pembangunan menuju Jangka Panjang Nasional Visi Rencana Pembangunan adalah

sebagai berikut.

• Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Pertama Rencana Pembangunan Nasional)

(atau RPJMN 2005-2009) merupakan langkah awal reformasi yang dilakukan oleh pemerintah.

• Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Kedua (atau RPJMN 2010-2014) bertujuan

untuk mengkonsolidasikan reformasi dengan menekankan upaya peningkatan kualitas sumber daya

manusia dan memperkuat ekonomi daya saing.

Prioritas strategis untuk pendidikan, baik di bawah Kementerian Keuangan Pendidikan dan

Kebudayaan (MOEC) atau Kementerian Agama (Depag), ditetapkan dalam kerangka keseluruhan

rencana nasional. Pendidikan merupakan prioritas kedua setelah reformasi sektor publik, di tahun

2010- Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2014. Rencana strategis MOEC Untuk

2010-2014 memiliki lima misi yang menjadi basis pendidikan semua program. Mereka:

1. meningkatkan ketersediaan layanan pendidikan;

2. meningkatkan keterjangkauan layanan pendidikan;

3. meningkatkan kualitas dan relevansi layanan pendidikan;

4. meningkatkan kesetaraan dalam memperoleh layanan pendidikan;

5. meningkatkan kepastian / jaminan mendapatkan layanan pendidikan.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Ketiga (atau RPJMN 2015- 2019) akan

diarahkan untuk mencapai daya saing ekonomi atas dasar sumber daya alam dan kualitas sumber

daya manusia, dan meningkat kemampuan untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Keempat (atau RPJMN 2020-2025) bertujuan

mewujudkan Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur melalui percepatan pembangunan atas

dasar struktur ekonomi yang kokoh, didukung oleh manusia berkualitas tinggi dan kompetitif

sumber daya

Page 217: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 211

Sistem pendidikan di Indonesia sangat luas dan beragam. Dengan Lebih dari 60 juta siswa dan

hampir 4 juta guru dalam jumlah 340.000 lembaga pendidikan, ini adalah sistem pendidikan

terbesar ketiga di Wilayah Asia dan terbesar keempat di dunia (hanya di belakang Republik Rakyat

Cina, India dan Amerika Serikat). Dua kementerian bertanggung jawab Mengelola sistem

pendidikan, dengan 84% sekolah di bawah Kementerian Pendidikan Nasional Pendidikan dan

Kebudayaan (MOEC) dan sisanya 16% di bawah Kementerian Urusan Agama (Depag). Sekolah

swasta memainkan peran penting. Sementara hanya 7% sekolah dasar yang swasta, kenaikan

sahamnya menjadi 56% anak yunior sekolah menengah dan 67% orang tua senior.

References

Tyler, (2010). Basic PrinciplesOf Curriculum and Instruction. The University of Chicago Press,

Ltd., London

Mawardi, GLOBALISASI DAN KURIKULUM BERBASIS KKNI.

(file:///C:/Users/ika/Downloads/7-6-1-PB.pdf)

Marliyah, ANALISIS KEBIJAKAN KERANGKA KUALIFIKASI NASIONAL INDONESIA (

KKNI) (Strategi Meningkatakan Standar Kualitas SDM melalui Pendidikan formal, informal dan

non formal). Vol : XXII, No : 1, MEI 2015. (file:///C:/Users/ika/Downloads/389-1407-1-PB.pdf)

Susilo, CURRICULUM OF EFL TEACHER EDUCATION AND INDONESIAN

QUALIFICATION FRAMEWORK: A BLIP OF THE FUTURE DIRECTION, Dinamika Ilmu P-

ISSN: 1411-3031; E-ISSN: 2442-9651 2015, Vol. 15 No. 1.

(file:///C:/Users/ika/Downloads/Curriculum_of_EFL_Teacher_Education_And.pdf)

Nana S. Sukmadinata, PENGEMBANGAN KURIKULUM: Teori dan Praktek. 2001. PT REMAJA

ROSDAKARYA, Bandung.

Sumaryati, INDONESIAN QUALIFICATIONS FRAMEWORK: SEBUAH UPAYA

INTERNALISASI GENERIC SKILLS, Jurnal Pendidikan Ekonomi Indonesia P-ISSN: 2505 –

4987 2016: Vol 1: No 1. http://journal.aspropendo.org/index.php/jpei/article/view/3

Silitonga, THE EXPLORATORY STUDY ON NATIONAL QUALIFICATION FRAMEWORK

OF INDONESIA AND OTHER PIONEER IMPLEMENTOR COUNTRIES, International Journal

of Information Technology and Business Management 29th January 2013. ISSN 2304 – 0777.

Vol.9 No. 1. (http://www.jitbm.com/9th%20volume/Parlagutan%206.pdf)

Endrotomoits, KKNI SEBAGAI ACUAN KURIKULUM PENDIDIKAN TINGGI.

(file:///D:/Download/1.-Dasar-pengemb-kurikulum-endro.compressed.pdf)

Isailah, PERMEN DIKBUD 49/ 2014 STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN TINGGI.

(file:///D:/Download/02-SN-DIKTI-dan-KPT-Dr.-Illah-Sailah-red.pdf)

Page 218: Scanned by CamScanner - ULM

212 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Amiie, PENGERTIAN KURIKULUM MENURUT PARA AHLI.

(http://amiie23new.blogspot.co.id/2013/02/pengertian-kurikulum-menurut-para-ahli.html)

Muhakbargowa, sejarah perkembangan kurikulum di Indonesia, blog.umy.ac.id

(http://blog.umy.ac.id/muhakbargowa/files/2012/11/SEJARAH-PERKEMBANGAN-

KURIKULUM-DI-INDONESIA.pdf)

Fitriya, SEJARAH KURIKULUM DI INDONESIA 1945 – 2013, hidayatulfitriya.blogspot.co.id

(http://hidayatulfitriya.blogspot.co.id/2014/02/sejarah-kurikulum-di-indonesia-1945-2013.html)

Page 219: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 213

PENINGKATAN MOTIVASI DAN PENGUASAAN KOSAKATA SISWA DALAM PROSES PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS DENGAN MENGGUNAKAN HYPNOTEACHING

Amelia Rahmadaini1; Rizky Sofiya Ardilla2; Yusnina3

[email protected]

Universitas Negeri Medan

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan motivasi dan penguasaan kosakata

siswa dalam proses pembelajaran bahasa Inggris dengan menggunakan hypnoteaching dan untuk

mengetahui kompetensi siswa dengan menggunakan hypnoteaching. Populasi dalam penelitian ini

adalah siswa kelas dua tahun SMA Sw Free Methodist Medan tahun ajaran 2014 / 2015.Jalan

Sekolah no. 32 Helvetia Medan yang terdiri dari 33 siswa. Semua populasi diambil sebagai sampel

total. Penelitian ini dilakukan dengan penelitian tindakan kelas. Instrumen dalam mengumpulkan

data berupa rencana pembelajaran, tes, pertanyaan, dan catatan harian. Penelitian ini dianalisis

dengan data kualitatif dan kuantitatif. Penelitian ini mengambil dua siklus yaitu siklus I dan siklus

II. Pada pre-test, skor rata-rata adalah 52,51. Pada nilai rata-rata tes siklus pertama adalah 68,45 dan

pada tes siklus kedua skor rata-rata adalah 81,03. Pada tes kompetensi pertama tidak ada siswa yang

mendapat 70 dengan persentase 0%. Tes kompetensi kedua pada siklus I ada enam belas siswa yang

mendapat poin 70 dengan persentase 48,48%. Tes kompetensi ketiga pada siklus II ada tiga puluh

tiga siswa mendapat poin sampai 70 dengan persentase 100% yang berarti semua siswa Bisa lulus

dengan standart skor minimal. Perbaikannya adalah 90,90%. Ini menyiratkan bahwa Hypnoteaching

sangat efektif dalam memotivasi siswa dan meningkatkan kemampuan penguasaan kosakata siswa

dalam proses belajar bahasa Inggris.

Kata Kunci: Motivasi, Kosakata, Hypnoteaching

1. Improving

Based on shady, ”Improving is going through better work enviroment to reach. Improving concist

of three steps. They are good,better and best”

Doing a work in a simple way is called good.

Doing a work in different way but in acorrect is called better.

Doing a work in different way with a great quality and correctly is called the best.

Page 220: Scanned by CamScanner - ULM

214 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

2. Motivation

Teacher should do whatever necessary to motivate their students. The teacher can serve as a source

of comfort, hope, confidence, or inspiration as well as the source of frustration, discomfort, anger

and fear. They can provide whatever it takes to initiate therapeutic movement. They create a

therapeutic setting within which students will be motivated and confident enough to do the things

that will help them to discover the kind of thought and behavior that fits their unique circumstances.

The most important thing that a teacher can do is create a “healing environment.” This will motivate

the students to undergo the restructuring of events that allows them to apply their newly acquired

learning efficiently within a more creative view of themselves and their relationships. You don't

always need to know what the problem is in order to achieve a therapeutic closure. When you talk

strongly to the student you give them an inspiration. They believe they can do things. State it simply

and believe what you are saying. You can motivate a despairing students to do things when you

convey an understanding and sincere belief that they can use their power for change.

As a teacher we often consider student motivation to be up to the student. Such abstract concepts as

attitude and needs are personal and not easy for an instructor to address. Adult educators are dealing

with a group of individuals whose needs and motivations are very diverse. Life experience widens

the gap between students and creates a diversity that is important in learning. Teachers must meet

the challenge of designing instruction that is motivating. There are a number of motivational

techniques which have a great bearing on instructional design. The potential benefits of attention to

motivation in instructional design are many. Krashen claims that learners with high motivation,

self-confidence, a good self-image, and a low level of anxiety are better equipped for success in

second language acquisition. Low motivation, low self-esteem, and debilitating anxiety can

combine to 'raise' the affective filter and form a 'mental block' that prevents comprehensible input

from being used for acquisition. In other words, when the filter is 'up' it impedes language

acquisition. (Krashen: 1985).

2.1 Components of the Motivation to Learn

a) Curiosity

The behaviorist talks about reward and punishment as being the main influence on learning.

Behavior can be focused toward a reward or away from a punishment. Human behavior is far more

complex. People are naturally curious. They seek new experiences; they enjoy learning new things;

they find satisfaction in solving puzzles, perfecting skills and developing competence. A major task

in teaching is to nurture student curiosity and to use curiosity as a motive for learning. Providing

students with stimuli that are new but not too different from what they already know stimulates

Page 221: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 215

curiosity. Presenting stimuli that are completely foreign may create anxiety rather than curiosity.

There must be a balance between complexity and clarity. Ask students in a form of questions or

create a problem situation rather than presenting statements of fact. This increases student interest

and curiosity to learn more about the topic. Curiosity is a motive that is intrinsic to learning, and

thus continued learning is not dependent upon the teacher rewarding learning.

b) Self-Efficacy

The term self-efficacy reminds the author of a phrase our mother was always fond of “the power of

positive thinking.” This concept was again brought to mind at a lecture I attended given by a sports

psychologist who was hired by the Saskatchewan Roughriders prior to their winning the Grey Cup

in 1989. He had each player wrap a piece of tape on their ring fingers to represent the grey cup ring

they would be wearing after winning the grey cup. They were asked to believe in their ability to

win. This concept of self-efficacy can be applied to student learning. Students that harbor hesitate of

their ability to succeed are not motivated to learn. Dividing tasks into chunks and providing

students with early success is a method of developing confidence in the student. This is described

by Driscoll (1994) as performance accomplishments, one of four possible sources of self-efficacy.

The other three she describes include vicarious experience, verbal persuasion and physiological

states. Vicarious experience is when the learner observes a role model attaining success at a task.

Verbal persuasion is often used as others persuade a learner that he or she is capable of succeeding

at a particular task. The final possible source of self-efficacy is physiological states. This is the

“good feeling” that convinces a student of probable success or failure. For example a student may

feel physically sick when they arrive at an exam. There is little a teacher can do to alter a student’s

physiological state, other than to suggest relaxation exercises or desensitization training to

overcome fears and anxiety.

c) Attitude

Every educator has encountered students who are labeled as having a bad attitude. A teacher dealing

with a student with an “attitude” is instructed to deal specifically with accured behavior.

Performance evaluations are not to include the term, “bad attitude”.

Rather specific examples of actual situations must be cited of students’ assignment and

performance. In an educational setting the performance that we are striving for is learning, which in

some cases can be judged through behavior but not always. It is important to point out to students

specific behaviors that demonstrate an attitude. However the attitude of a student toward learning is

very much an intrinsic characteristic and is not always demonstrated through behaviors. The

Page 222: Scanned by CamScanner - ULM

216 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

positive behaviors exhibited by the student may only occur in the presence of the instructor, and

may not be apparent at other times. For example a person may have a poor attitude toward the

police but when confronted by a policeman they behave courteously and respectful. The behavior is

contrary to the attitude. Fleming and Levie (1993) summarize three approaches to attitude

change;“providing a persuasive message, modelling and reinforcing appropriate behavior and

inducing dissonance between the cognitive, affective and behavioral components of the attitude.”

They suggest that if a person is induced to perform an act that is contrary to that person’s own

attitude.

d) Need

The needs of individual students can vary greatly. The most well known and respected classification

of human need is Maslow’s hierarchy of needs. There are five levels of need in this hierarchy: (1)

Physiological (lower-level) (2) Safety (lower-level) (3) Love and belongings (higher needs) (4)

Esteem (higher need) (5) Self-Actualization (higher need). The importance of this to motivation is

the lower-level needs must be satisfied at one level before the next higher order of needs become

predominant in influencing behavior.

Education fits into the realm of achieving higher level needs. Students will not be ready to learn if

they have not had their lower level needs met. Children, who are sent to school in a condition

hungry, are not able to learn. Their lower needs must be met first.

e) Competence

Competence is an intrinsic motive for learning that is highly related to self efficacy. Students beings

receive pleasure from doing things well. Success in a subject for some students is not enough. For

students who lack a sense of efficacy teachers must not only provide situations where success

occurs but also give students opportunities to undertake challenging tasks on their own to prove to

themselves that they can achieve. Prerequisite skill development promotes competence in a field of

study. There is old sayings, give someone a fish and they will eat for a day, teach someone to fish

and they will eat for a lifetime. Learning a skill without an understanding of the process is doomed

to be lost. External support, respect and encouragement are important for the student to achieve

competence. The achievement of competence itself becomes the intrinsic motivating factor.

f) External Motivators

Active participation provides a stimulating environment and combats boredom.Learning strategies

should be flexible, creative and constantly applied. Stimulating learning environments provide

variety in of presentation style, methods of instruction and learning materials. Students will learn in

Page 223: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 217

boring situation provided with motivators such as fear, pressure and extrinsic goals (grades, job

status, and so on). The learning environment under those motivators is often tense and stressful.

Grade has value as an external motivator in learning if the process of evaluation is well planned

considering motivation theory. Reinforcement is another form of an external motivator. The value

of reinforcement as a motivator is questioned from those who suggest that once the reinforcement is

removed the behavior stops. Critics suggest students must have intrinsic motivation to accomplish

certain activities. In intrinsic motivation the “doing” is the main reason for finishing an activity.

With extrinsic motivation the value is placed on the ends of the action. The value of reinforcement

is on the road to intrinsic motivation. Students need confidence building reinforcement such as

praise and encouragement to guide them. Students can also provide their own self rewards for

accomplishing goals they have set. External motivators must be accepted, valued and endorsed by

students. They must feel that their perspectives are valued, and they have opportunities to share

their thoughts and feelings.“External conditions that support these internal conditions include;

provisions for relevancy, choice, control, challenge, responsibility, competence, personal

connection, fun, and support from others in the form of caring, respect and guidance in skill

development.” (Mc Combs :1996)

2.2 Motivation in Learning Foreign Language

Actually students motivation related to teach with students desirability to engage in learning

process. Motivation is very needed for effective learning process in the class. It is very important

role in learning process, not only in the process but also achievement result. Commonly, student

who has high motivation will be clutched successful process or result in learning process.

Motivation is an essential condition of learning. Result of study will be optimal if there is

motivation. It will be determined intensity of study effort to students. According to Sardiman (2009:

85) there are three function of motivation in learning foreign language they are:

1. To promote people to act

It means that motivation become a moving spirit or motor. Motivation is spirit of moving from

energy activity which will done by student.

2. To establish behavior direction

It means that motivation direct activity which is the aim. Thus motivation will give direction and

activity that should be done by proper goals in learning English from students.

3. To select people behavior

Page 224: Scanned by CamScanner - ULM

218 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

It means that motivation determine the activities that must reach of goal, by selecting the activities

that useful o student’s goals in learning English. Grade of motivation can determine student’s

activeness. Motivation is as the certain requirement in learning English. Usually, students in the

classroom feel bored, lazy, unhappy, etc. in this case shows that teacher have been yet to motivate

students in order to improve their spirit, mind, and energy in learning. Many children are

undeveloped because they did not get the suitable motivation for them. If students obtain the proper

motivation they will strength and reach what they want.

Motivation has the great part in learning process. The role of it is similarity with the fuel to run the

engine. If motivation is enough it will motivate students to be active in the classroom especially in

English learning. There are some values of motivation in learning English such as; motivation

determined the grade of success or failure in learning, learning based on motivation is necessity

needed for students, not only improve their creativity but also the essential part in teaching-learning

process.

3.Vocabulary

Vocabularies are units of language that express our experiences. It means that in teaching foreign

language for the teacher should have teach words firstly which student know to make students

express the most common of their experience. Usually, experiences of the young students come

center surround them. The vocabulary connected with these activities and experiences can be taught

to students without facing much difficulty.

Nowadays, vocabulary acquisition is more important to develop than grammar mastery. Students

who know hundreds it are able to use in sentences in all language skill.

It is the units to express ideas for them whereas vocabulary must be teach at first time. It can be

learned in a given was restricted. Rivers argued as quoted by Nunan that acquisition an adequate

vocabulary is important for successful in second language use, the reason is without vocabulary

student unable to use structure and function. The students may have learned it for comprehensible

communication. Nasr (1972:12) argued that teaching vocabulary is important to make students

understand and practice by using words in correct situation.

Learning meaning of the words into student’s mother tongue may not show successful because

when the students learn English and involved with their mother tongue they will confused and break

their focus. Vocabulary is a powerful carrier of meaning. In addition, 850 vocabulary items have

more than 850 of meaning. It shows that vocabulary has unique characteristic. Now, the problems

was faced by teacher is which one of these multiple meaning should be taught for their students.

The students must learn the strict meaning of words as they are used in special sentences and in

certain situation. There are three matters that teacher must remember when they teaching

vocabulary. (a) Words are not only important in meaning but also their distribution with other

Page 225: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 219

words. (b) Words have many meaning. Only one or a few of these meanings are same in two

languages. (c) Words taught to be understood by children or words taught to be used by them.

According to Finnochiaro (1984:87) give suggest that student’s vocabulary can be divided into two

kinds, namely: active vocabulary and passive vocabulary. Active vocabulary refers to students

understanding it. They can pronounce correctly and use them and use them constructively in

speaking and writing. Passive vocabulary is which students can understand about it when they are

reading some English text, listening in target language. Actually, passive vocabulary is appropriate

for the advanced learner because they had mastering active vocabulary first before starting to

learning active vocabulary. The teacher can explain the differences between active vocabularies

clearly. There are some steps in which can be used to improve vocabulary mastery such as:

1. Paying attention with words

Whenever we heard or read a word that we do not know please write down on your note.

2. Reading

Help the students to find new and interesting words. Read everything depend on their hobby such

as: magazine, newspaper, books etc.

3. Use dictionary

Later or sooner we will know most of the words and want to add more. Use the dictionary to find

the meaning of the words when we read. We can write down on our note.

4. Review vocabulary

Keep our note and study it whenever we have a few minute. Look at the words and try to remember

the definition.

5. Practice

Students can improve their vocabulary in oral and written by practices.

Hypnoteaching

Usually, hypnotic questioning serves to elicit the information more readily than can be done in the

waking state, but the entire process depends on the development of a good student-teacher

relationship rather than upon hypnotic technique, and the hypnosis is essentially a means by which

the client can give the information in a comfortable manner. Hypnotherapy generates effective

learning that will not be possible except by prolonged effort in non-hypnotic therapies. Successful

hypnotherapy should be systematically directed to a re-education of students, and the stimulation of

Page 226: Scanned by CamScanner - ULM

220 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

their strongest desires to reorganize themselves to the realities of life and their ability to cope with

the problems confronting them. Hypnosis cannot create new abilities within a person, but it can

assist in a greater and better utilization of abilities already possessed, even if these abilities will not

previously recognize, and trance is used for the student to discover he can do things.

Hypnosis allows freedom and ease in structuring the therapeutic situation and renders the student's

feelings much more accessible. In a hypnotic state the client gains a more acute awareness of his

needs and capabilities. He can be freed from mistaken beliefs, false assumptions, self-doubts and

fears which stand in the way of his fullest participation in life. Hypnosis enables students to learn

from experienced events which they would otherwise tend to overlook or distort. In hypnoteaching

the student can learn to look at things that are unpleasant – without fear, with a willingness to

understand, and with a willingness to cope in new ways. Re-education through hypnoteaching is a

complex restructuring of subjective experiences that can be initiated very simply and then gently

guided toward an English learning goal.

Then, as a result of some tangible performance, the student develops a profound feeling that the

repressive barriers have been broken, that the communication is actual understandable, and that its

meaning can no longer be kept at a symbolic level. It can enable students to team to trust, to

communicate with, and to use that vast range of hidden resources stored within their own

subconscious minds. The most important thing a teacher can teach the student during the pre-

induction, induction, and programming phases is that they can trust their subconscious mind

completely and rely upon it fully. The trance offers both student and teacher a ready access to the

student's subconscious mind. It permits a direct dealing with those individual life experiences which

are significant to the problems and which must be processed if creative results are to be achieved.

Hypnoteaching gives prompt and extensive access to the subconscious. Hypnoteaching concept is a

substance that must be mastered by every teacher in teaching.

This problem is part of the concept study Hypnoteaching in English teacher. Teacher as part of the

elements that exist within each school is a huge figure to materialize an advanced school and

professional. Therefore, the lecturers demanded not only make the learning process, but create

wonders in the classroom and unleash the potential of students in Hypnoteaching. So in this section

we will look at the ability of English teachers in Hypnoteaching concept.

1. Understanding Hypnoteaching currently, the term hypnotherapy and Hypnoparenting

appear most often discussed. Now comes a new term again, Hypnoteaching. Hypnoteaching

Actually what is it? A question that is quite intriguing and interesting to be discuss in depth. Why

do we need to learn this? Are not the skills of teachers already complete with the skills didactic

method? It turns out that all is not yet complete. Hypnosis comes from the word "Hypnos" which is

Page 227: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 221

the Greek God of sleep. The word "hypnosis" was first introduced by James Braid, a famous

English physician who lived between 1795-1860. Before the time of James Braid, hypnosis is

known as mesmerism or magnetism.

Some definitions about Hypnosis or already in Indonesian rising become: a. Hypnosis is a

technique or practice of influencing others to enter into a hypnotic trance b. Hypnosis is a condition

in which attention becomes much focused so that the level of suggestibility (the advice received)

rose to very high c. Hypnosis is the art of communication to influence someone to change the level

of consciousness. Achieved by lowering their brain waves from Beta to Alpha and Theta. d.

Hypnosis is the art of communication to explore the subconscious.

Hypnosis is a state of increased awareness Definition of hypnosis created by the United State

Department of Education, Human Services Division, is: "Hypnosis is the by-pass of the critical

factors of the conscious mind Followed by the establishment of acceptable selective thinking" or

"hypnosis is a critical factor of the conscious mind penetrating followed by the acceptance of an

idea or suggestion ". Novian (2010: 4) Hypnoteaching is a blend of teaching that involves the

conscious mind and subconscious mind. Hypnoteaching is a blend of two words "hypnosis" which

shall mean suggesting and "Teaching" which shall mean teaching. Professional Affairs Board of the

British Psychological Society states that hypnosis can reduce anxiety, stress and other psychological

problems. In its development until now, hypnosis is very support in developing the performance of

self and the learning process.In a journal on newscientist.com, John Gruzelier, a psychologist at

Imperial College in London doing research using MRI, a tool to determine brain activity. He found

that person in a hypnotic state, activity in the brain increases. Particular section of the brain that

affect the process of higher-order thinking and behavior. He mentioned that humans are able to do

things that he himself do not dare dream of. So, hypnosis greatly impact in motivating and

improving performance. In the process of teaching and learning, hypnosis is also good to motivate

students, improve concentration, confidence, discipline, and organizational. Skills can be improved

with certainty through hypnosis therapy.

Hypnosis in daily activities, very often we actually experienced. However, we often do not realize

that what we have experienced is a series of activities in a conscious state of hypnosis. The

following simple events actually a hypnotic. Like when we watch a movie or soap operas on

television, sometimes our emotions are too carried away, sometimes crying or sometimes angry

about a certain character. Though we consciously know that it is manmade and not merely apparent.

This often happens in the classroom when the teacher ask all students to be quiet and all the

students and then silence, the class will silent. That's when the students have been hypnotized by

Page 228: Scanned by CamScanner - ULM

222 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

her professor. Similarly, when the lecturer gives the students a joke and laugh, in truth they have

been hypnotized by her professor.

2. Conscious Mind and Subconscious Mind Paul Maclean, the Quantum Learning, named

the three components of the brain is the organ with the name of the triune brain or brain three-in-

one. He mentioned that because in one human brain there are three sections, each of which develop

at different times throughout human evolutionary history. Each section also has specific neural

structures to organize the tasks to be done. The review is a recent study of the brain that are in

demand by many observers and perpetrators of education.In the brain three-in-one, each split into

two parts, namely the right and the left. At present, two hemispheres of the brain known as the right

brain and left brain. The workings of the brain known as the work left conscious brain (Conscious)

and serves as a"smart brain", Intelligent Quotient (IQ). Part of the brain is just struggling with the

level of discourse, logic, and cognition. While the right hemisphere of the brain called unconscious

and serves as a "dumb brain". Said to be stupid for any information communicated to him directly

received, believed, and acknowledged the truth.

The right brain is known as the Emotional and Spiritual Quotient (ESQ). It turned out that our

minds are filled by the subconscious mind. In his book "Peace of Mind" Sandy Mc Gregor said

"Hegemony" subconscious mind is so great and really mastery person's thinking as much as 88%.

The conscious mind, leaving only about 12% of total mastery. The result is predictable and follows

the plot. That by maximizing the potential of our minds, there will be an increase in intelligence that

is extraordinary in ourselves. All activities that are automated program will be stored in the

subconscious mind. The program must pass through the conscious mind in advance. The more

mature age of a person, then it became stronger and thicker. This led to the ability to absorb the

lessons to be longer. With hypnoteaching, this is made easier so that information can more easily

enter the brain. In this Hypnoteaching, learning more emphasis on the ability of the subconscious

brain. Under this scheme the role of the conscious brain and the subconscious mind in determining

success and failure of a person in his life sail.

5. Application of Hypnoteaching in Vocabulary

Many ways have been used to teach vocabulary more interest and pleasurable. Not only methods

applied by teacher in order to improve their vocabulary but also appropriate motivation in language

teaching such as; role play, picture, games, cards, etc. One of the methods to improve students

vocabulary mastery and motivation is hypnoteaching. It is can improve students interest and love of

English learning. Almost all the students very need motivation in English learning process. To get

successful in teaching vocabulary by applying hypnoteaching the teacher should consider:

a. Read the text or word several time, in order to the teacher mastering the material.

Page 229: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 223

B. Analyze the text, such as; words, pictures etc.

c. Visualize and Imagine sounds clearly so the students understand it.

The steps can be done to make hypnoteaching in English learning are:

1.Intention and self motivation.

The success of student depends on one's intention to struggle and hard work in English to achieve

success. Great intentions will bring a high motivation and commitment on the class in the school.

Ask your student, what their intention learning English? Why they are learning English?

2.Pacing

The second step is a very important step. Pacing means to equate the position, gesture, language,

and brain waves with other people or learners. The basic principle here is "people tend to, or prefer

to get together interact with the like have a lot in common". Naturally and instinctively, everyone

will feel comfortable and excited to gather with others who have in common with it so it will feel

comfortable in it. With the comfort that comes from the similarity of brain waves, then every

message transmitted from one person to other persons will be accepted and understood very well in

English learning.

3.Leading.

Leading means leading or directing us to do after pacing. After doing the pacing, the learners will

feel comfortable with us. That's when almost every anything we say or assign to students, then

students will do so willingly and happily. As difficult as any of the material, then the subconscious

mind of learners will capture our subject matter is easy, then as difficult as any exam questions are

tested, will come to be easy, and learners will be able to learn a glorious achievement.

4.Use Positive words.

The next step is to step in to support pacing and leading. The use of positive words in English

learning is consistent with the workings of the subconscious mind that will not accept a negative

word. The words given by the educators either directly or indirectly affect the psyche of learners.

Positive words from educators can make students feel more confident in accepting the material

provided. The words may be solicitation and appeals. So if there are things that should not be done

by learners, should use the pronoun positive to replace the negative words. For example if the

students will assume that English is difficult we can change their mind that English is easy.

5.Give praise.

One of the things that are important in learning is the 'reward and punishment'. Praise is a reward

increased self esteem. Praise is one way to establish a person's self concept that English is easy. So

Page 230: Scanned by CamScanner - ULM

224 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

give a sincere compliment to the learners. With compliments, someone will be encourage to do

more than ever.

6.Modelling

Modeling is the process of giving models or samples through the speech and behavior consistent. It

is very necessary and become one of the key hypnoteaching. After students become comfortable

with English learning. It is also necessary confidence (trust) of learners in our consolidated with our

behavior that is consistent with our speech and our words. So we always become a trusted figure.

To support and maximize a hypnoteaching, educators should be able to do things with the Master

the material comprehensively. Involve learners actively. Strive to conduct an informal interaction

with the learners. Give learners the authority and responsibility for learning. Convinced that the way

humans learn is different from each other. Assure students that they are capable. Give the

opportunity for learners to do something in a collaborative or cooperative. Strives contextual

material presented. Give feedback directly to and is descriptive. Adding experiences by increasing

flight hours. The suggestions of Hypnoteaching in English learning:

a. Creating the environmental hypnosis.

Be careful in act and behavior. The teacher is as one of programmer shaper of students mental.

Teacher’s behavior should be influence of student’s behavior.

b. Creating pleasure condition in the classroom.

Set up your classroom to improve their desire more colorful. Not only on the paint but also you can

tall in creation of your student like poem,

picture, short story, photo, etc. Therefore, our student more like in the class.

c. Using positive word and positive sentences.

Using positive word in our conversation and explanation in the class. English is easy better than

don’t worry English. Make motivation sentences, verse, and wise word in the classroom. So, our

students will have read every day.

d. Give example more than command.

The teacher is figure for the students. Give positive sample on act and behavior like as invite. The

students more like apply and realize than just command.

e. Teaching more spirit.

Showing our spirit that we are very like with your students, material, and teaching English class.

Gesture is very important, the teacher more apparently energetic, full spirit and fun. It is can

improve student’s motivation to learn English.

f. Avoiding negative label.

Give commend our students because commend can improve student’s motivation. For example: you

are good students, smart student, you are clever etc.

Page 231: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 225

g. Come up their interest of English.

Make a please condition on our classroom and teach friendly. Method of teaching is very important.

We can give joke, sometime you can teach on outclass or visit the place about your material.

h. Enclose of Game.

Create our class with variation game to improve student’s motivation in English learning. Usually,

the students more interest study with game, like as role play, picture, cards etc.

Telling waken and interest story.

Tell story about figure person from our environment or figure in the world. Most of students like the

story. Use it to pull their interest in our subject and material especially English learning.

j. Supporting their dream

Help and hermit our student to establish their dream in the future. When they are imagining their

dream, create condition like as their wish. Support their parent to guide their child creating purpose

in the future in order to facilitating children’s necessity.

6. Learning Process

Learning is a process of interaction between participant to learn with teacher instructors

learning specific learning goals. (Hamzah B, 2007: 54).Based on the above opinion, it is understood

that learning is a process which occur more frequently or experienced by students, while teaching is

the dominant activity experienced by students. In the other hand between teaching and learning is

different activity but having same goal that is how to change the optimal off on students.

Learning is development that comes from exercise and effort (Elizabeth B. Hurtlock: 1990: 28)On

the Article of Law our nation No. 20 0f 2003 on national education says that learning is a process of

interaction of learner and learning resources in a learning environment.Therefore, learning is a

deliberate process that causes students to learn in an environment to perform activities on a

particular.

Conceptual Framework

There are three aspects to be discussed in this paper; motivation,vocabulary mastery and

hypnoteaching. It must be considered about that.In the environmental inputs, the role of a teacher in

the success of a process of learning is enormous. Each teacher has a different way of teaching.

These difference is how teaching a class condition and this gave a different result. Learning in

Indonesia during this time use conventional learning methods in the teaching process of learning by

way of lectures in which the teachers tend to be active whereas the student tend. Some experts said

the method used is not feasible anymore. Now there is a method that is considered Hypnoteaching

Page 232: Scanned by CamScanner - ULM

226 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

method. The advantage of learning Hypnoteaching teaching-learning is that process is more

dynamic and there is good interaction between educators and learners.

Page 233: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 227

PENERAPAN MEDIA PEMBELAJARAN POWER POINT ANIMASI DAPAT MENINGKATKAN HOTS PADA ANAK USIA DINI DALAM MEMPELAJARI PERKALIAN SATU DIGIT SAMPAI

TIGA DIGIT DALAM PELAJARAN MATEMATIKA DI LAB SCHOOL IKIP PGRI JEMBER TAHUN AJARAN 2016-2017

Amin Silalahi, BA, MBA, DMS, Dosen di Teknologi Pembelajaran, Graduate School IKIP PGRI

Jember

ABSTRAK

Responden penelitian ini sebanyak 10 siswa PAUD, berumur 5 tahun 5 siswa (50%), 6 tahun

sebanyak 2 siswa ( 20%) dan 7 tahun sebanyak 3 (30%) di Lab School IKIP PGRI Jember dengan

mempergunakan metode judgment sampling, melakukan tes perkalian satu digit sampai tiga digit,

melakukan observasi melalui pengambilan foto pada waktu proses pembelajaran berlangsung mulai

dari jam 9.15 Am sampai 10.00 AM, penelitian ini juga mempergunakan statistik deskriptif

(frekuensi dan percentil) untuk menjawab perumusan masalah penelitian ini.

Hasil statistik deskriptif mengambarkan sebagai berikut: 1. Sebelum memberikan media

PowerPoint animasi, peneliti memberikan tes perkalian dengan hasil sebagai berikut: siswa Lab

School IKIP PGRI Jember tidak dapat menjawab perkalian satu digit sampai tiga digit. Hal ini

ditunjukkan dengan hasil observasi dan interview: Anak-Anak mengatakan tidak tahu jawabannya

3 (30%), Anak-Anak kebingungan mau menjawab soal perkalian yang diberikan. 3 (30%), Anak-

Anak ribut-ribut di kelas 1 (10%), Anak-Anak Jalan-Jalan di kelas 2 (20%), Anak-Anak diam saja

(tidak melakukan apa-apa) 1 (10%)

Hasil dari penelitian ini adalah: 1 Ada kontribusi/manfaat penerapan media pembelajaran power

point animasi dapat meningkatkan HOTS pada anak usia dini dalam mempelajari perkalian satu

digit sampai tiga digit dalam pelajaran matematika di LAB School IKIP PGRI Jember tahun ajaran

2016-2017 karena anak anak PAUD Lab School dapat menjawab soal perkalian (Kognitif),

mempraktekkan apa yang dilihat di power point (psikomotor), anak dapat bekerjasama dalam

diskusi kelompok untuk mempraktekkan perkalian yang ada di powerpoint animasi (afektif). 2.

Ada dampak media PowerPoint animaasi meningkatkan keatifan siswa anak usia dini dalam

mempelajari perkalian satu digit sampai tiga digit dalam pelajaran matematika di Lab School IKIP

PGRI Jember tahun ajaran 2016-2017 seperti yang disebutkan dalam narasi statistik deskriptif

nomor satu berkembang menuju hasil statistik deskriptif nomor dua di atas.

Kata Kunci: Media pembelajaran power point animasi dan HOTS

(Higher Order Thinking Skill).

Page 234: Scanned by CamScanner - ULM

228 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Pendidikan hendaknya memperhatiakan pencapaian HOTS di setiap pengajaran yang dilakukan di

kelas. HOTS sendiri sudah mengakomodasi tiga ranah yaitu kognitif, psikomotor dan afektif. Kalau

diperhatian dalam capaian pembelajaran yang ditulisakan dalam rancangan pembelajaran per

semester terdapat indikator HOTS, namun guru-guru kesulitan untuk mengimplementasikan HOTS

itu di tiga ranah yang diharapkan di HOTS dalam mata pelajaran Matematika.

Pelajaran Matematika bagi siswa PAUD adalah pelajaran yang sulit. Karena Siswa merasakan sulit

maka pengalaman awal belajar di tingkat usia dini akan mempengaruhi hasil belajar di tingkat SD

sampai perguruan Tinggi. Kalau pengalaman anak usia dini sudah mempersepsikan bahwa belajar

mate-matika tidak sulit maka, motivasi belajarnya juga akan bertambah dan mau belajar mandiri.

Pencapaian tujuan pemebalajaran HOTS, menigkatakan motivasi belajar dan belajar mendiri pada

mata pelajaran matematika, peneliti menentukan tujuan penelitian ini dengan menetapkan

perumusan masalah sebagai berikut: 1. Apakah ada kontribusi/manfaat penerapan media

pembelajaran powerpoint animasi dapat meningkatkan HOTS pada anak usia dini dalam

mempelajari perkalian satu digit (3 x5), dua digit (12x15) sampai tiga digit (125 x 149) dalam

pelajaran matematika di LAB School IKIP PGRI Jember tahun ajaran 2016-2017? 2. Apakah ada

dampak media powerpoint animaasi meningkatkan keatifan siswa anak usia dini dalam mempelajari

perkalian satu digit (3 x5), dua digit (12x15) sampai tiga digit (125 x 149) dalam pelajaran

matematika di Lab School IKIP PGRI Jember tahun ajaran 2016-2017?

Responden penelitian ini sebanyak 10 siswa PAUD, berumur 5 tahun 5 siswa (50%), 6 tahun

sebanyak 2 siswa ( 20%) dan 7 tahun sebanyak 3 (30%) di Lab School IKIP PGRI Jember dengan

mempergunakan metode judgment sampling, melakukan tes perkalian satu digit sampai tiga digit,

melakukan observasi melalui pengambilan foto pada waktu proses pembelajaran berlangsung mulai

dari jam 9.15 Am sampai 10.00 AM, penelitian ini juga mempergunakan statistik deskriptif

(frekuensi dan percentil) untuk menjawab perumusan masalah penelitian ini.

Hasil statistik deskriptif mengambarkan sebagai berikut: 1. Sebelum memberikan media

PowerPoint animasi, peneliti memberikan tes perkalian dengan hasil sebagai berikut: siswa Lab

School IKIP PGRI Jember tidak dapat menjawab perkalian satu digit sampai tiga digit. Hal ini

ditunjukkan dengan hasil observasi dan interview: Anak-Anak mengatakan tidak tahu jawabannya

3 (30%), Anak-Anak kebingungan mau menjawab soal perkalian yang diberikan. 3 (30%), Anak-

Anak ribut-ribut di kelas 1 (10%), Anak-Anak Jalan-Jalan di kelas 2 (20%), Anak-Anak diam saja

(tidak melakukan apa-apa) 1 (10%)

2. Dari tiga soal perkalian satu digit sampai tiga digit sebagai berikut: soal dengan satu digit sisawa

dari sepuluh orang menjawab benar 90% (9 orang), soal perkalian dua digit dari sepuluh orang

menjawab benar 70% (7 siswa), soal perkalian tiga digit menjawab benar dari 10 orang sebesar 60%

Page 235: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 229

(6 siswa). Anak-Anak mengatakan gampang menjawab soal yang diberikan 3 (30%), Anak-Anak

aktif menirukan setiap pergerakan yang ditampilkan di powerpoint 4 (40%), Anak-Anak Antusias

memperhatikan setiap pergerakan yang ditampilkan di layar projektor.3 (30%).

Hasil dari penelitian ini adalah: 1 Ada kontribusi/manfaat penerapan media pembelajaran power

point animasi dapat meningkatkan HOTS pada anak usia dini dalam mempelajari perkalian satu

digit sampai tiga digit dalam pelajaran matematika di LAB School IKIP PGRI Jember tahun ajaran

2016-2017 karena anak anak PAUD Lab School dapat menjawab soal perkalian (Kognitif),

mempraktekkan apa yang dilihat di power point (psikomotor), anak dapat bekerjasama dalam

diskusi kelompok untuk mempraktekkan perkalian yang ada di powerpoint animasi (afektif).

2. Ada dampak media PowerPoint animaasi meningkatkan keatifan siswa anak usia dini dalam

mempelajari perkalian satu digit sampai tiga digit dalam pelajaran matematika di Lab School IKIP

PGRI Jember tahun ajaran 2016-2017 seperti yang disebutkan dalam narasi statistik deskriptif

nomor satu berkembang menuju hasil statistik deskriptif nomor dua di atas.

Page 236: Scanned by CamScanner - ULM

230 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

PENGEMBANGAN SISTEM LAYANAN PERPUSTAKAAN BERBASIS TIK DENGAN MODEL AMALIA DALAM MENINGKATKAN MINAT MEMBACA SISWA SEKOLAH DASAR DI

TANJUNG GADING KABUPATEN BATU BARA Suci Amalia1*, Efendi Napitupulu2, Asih Menanti3

1Teknologi Pendidikan Program Pascasarjana Universitas Negeri Medan

2,3Dosen di Universitas Negeri Medan

[email protected]

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan layanan perpustakaan yang sebelumnya

dilakukan secara manual dengan menggunakan pembukuan dan kemudian diubah menjadi layanan

perpustakaan berbasis TIK. Transformasi perpustakaan berbasis TIK memberikan peran penting

dalam pengembangan, pengolahan, penelusuran, peminjaman dan pengembalian koleksi

perpustakaan. Sesuatu yang menarik dalam sistem pelayanan perpustakaan ini adalah keterlibatan

siswa dalam belajar menggunakan perangkat lunak (software) yang disediakan. Perangkat lunak

(software) dibuat dengan menggunakan bahasa pemrograman PHP dengan database MySQL dan

tentu saja Macromedia Flash untuk memberikan animasi yang dibutuhkan. Pengembangan sistem

layanan perpustakaan mengacu pada tahapan model AMALIA (Attention, Memoryzing,

Accelerating, Literal, Improving dan Assets). Tahapan-tahapan tersebut secara rinci berarti

Attention starts from alphabeth, Memoryzing by effect, Accelerating by exercise, Literal

comprehension from any literature book, Improving readiness by borrowing these books, dan be

own Assets by collecting these books. Penelitian ini diarahkan secara khusus untuk tingkat sekolah

dasar karena mengacu pada tahapan tersebut mengajarkan bagaimana seorang siswa dapat belajar

dari tidak dapat membaca sampai dapat membaca dan kemudian melakukan proses pelayanan

perpustakaan dalam hal peminjaman dan pengembalian buku serta tersedianya fasilitas mengkoleksi

buku. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa ada minat baca siswa yang cukup signifikan yang

dapat ditunjukkan dalam grafik kunjungan untuk setiap tingkatan kelas di sekolah yang diteliti.

Pemilihan sekolah yang diteliti yang memenuhi syarat untuk penerapan sistem layanan

perpustakaan berbasis TIK di wilayah Tanjung Gading adalah SD Swasta Islam Terpadu Al-Ihya

Tanjung Gading karena tersedianya beberapa unit komputer yang dapat digunakan untuk

merealisasikan produk penelitian ini. Tanjung Gading merupakan kawasan hunian PT. Indonesia

Asahan Aluminium (Inalum) dimana juga tersedia tingkatan sekolah mulai dari TK sampai dengan

SMA.

Kata Kunci: Sistem layanan perpustakaan, model AMALIA, minat membaca

Page 237: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 231

Pendahuluan

Perpustakaan merupakan salah satu sarana pembelajaran yang dapat menjadi sebuah kekuatan untuk

mencerdaskan bangsa. Perpustakaan tidak dapat dipisahkan dari pembelajaran siswa di sekolah

dalam mencari ilmu pengetahuan. Fasilitas yang disediakan sekolah ini sangat bermanfaat bagi

semua siswa apabila dapat memanfaatkan perpustakaan tersebut secara maksimal. Namun, tidak

semua perpustakaan menerapkan teknologi dalam proses layanan perpustakaan seperti dalam

pendaftaran anggota, pencarian buku, peminjaman buku, dan lain-lain. Pada umumnya pelayanan

perpustakaan dilakukan secara manual menggunakan pembukuan sehingga kurang efisien dalam

waktu serta kesulitan dalam mencari status keberadaan buku. Buku-buku yang tersedia juga belum

disusun menurut aturan klasifikasi bahan pustaka mencakup kelas klasifikasi dan kode klasifikasi

buku.

Perpustakaan erat kaitannya dengan minat membaca dan belajar membaca umumnya dimulai sejak

tingkat sekolah dasar sehingga dirasakan perlu adanya suatu media yang memudahkan anak dalam

tahapan membaca dari tahapan awal sampai lanjutan, kemudian melakukan peminjaman buku

sampai dengan kepemilikan buku yang mereka sukai, yang bisa mereka dapati melalui perpustakaan

di sekolahnya. Tahapan dalam model AMALIA yang meliputi Attention, Memoryzing,

Accelerating, Literal, Improving dan Assets diharapkan bisa memfasilitasi kebutuhan ini sehingga

berkembang menjadi reading habit (kebiasaan membaca) untuk menumbuhkan minat membaca

siswa. Inilah yang menarik dalam dalam model AMALIA ini yaitu keterlibatan siswa dalam belajar

menggunakan perangkat lunak (software) yang disediakan. Perangkat lunak (software) dibuat

dengan menggunakan bahasa pemrograman PHP dengan database MySQL dan tentu saja

Macromedia Flash untuk memberikan animasi yang dibutuhkan.

Kajian Teoretis

Minat Membaca

Secara harfiah minat membaca adalah keinginan kuat seseorang untuk membaca atau dalam

pengertian lain minat membaca adalah adanya kecenderungan kognitif dan afektif dalam diri siswa

terhadap aktivitas membaca, atau sesuatu yang diusahakan untuk tertarik kepada buku bacaan dan

mengembangkannya menjadi reading habit (kebiasaan membaca). Oleh sebab itu, minat membaca

siswa perlu sekali dikembangkan. Menumbuhkan minat membaca siswa sebaiknya diusahakan

sedini mungkin ketika seseorang baru mengenal tulisan (huruf).

Page 238: Scanned by CamScanner - ULM

232 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Minat yang berkembang pada seseorang disebabkan oleh beberapa faktor berikut ini: (a) Minat

tumbuh bersamaan dengan perkembangan fisik dan mental; (b) Minat bergantung pada kesiapan

belajar; (c) Minat bergantung pada kesempatan belajar; (d) Perkembangan minat mungkin terbatas;

(e) Minat dipengaruhi pengaruh budaya; (f) Minat berbobot emosional; (g) Minat itu egosentris. [1]

Karena pentingnya peran minat dalam kehidupan anak, minat yang akan membantu penyesuaian

pribadi dan sosial anak perlu sekali ditemukan dan dipupuk. Beberapa cara menemukan minat anak

melalui: (a) Pengamatan kegiatan; (b) Pertanyaan; (c) Pokok pembicaraan; (d) Membaca; (e)

Menggambar spontan; (f) Keinginan; (g) Laporan mengenai apa saja yang diminati [1]. Salah satu

cara menemukan minat anak adalah dengan membaca, bila anak-anak bebas memilih buku untuk

dibaca atau dibacakan, memilih bahasan topik yang menarik minatnya atau memilih perpustakaan

misalnya sebagai tempat untuk belajar dan menambah perbendaharaan ilmu.

Perpustakaan sebagai Sumber Belajar

Sumber Belajar (untuk Teknologi Pendidikan) meliputi semua sumber (data, orang, dan barang)

yang dapat digunakan oleh pelajar baik secara terpisah maupun dalam bentuk gabungan, biasanya

dalam situasi informal, untuk memberikan fasilitas belajar. Sumber itu meliputi Pesan, Orang,

Bahan, Peralatan, Teknik dan Latar (lingkungan) [2], sebagaimana tercantum dalam tabel berikut

ini:

Sumber atau

Komponen Definisi Contoh

Pesan Informasi yang akan disampaikan oleh

komponen lain; dapat berbentuk ide,

fakta, makna dan data.

Materi-materi dalam semua

bidang studi

Orang Orang-orang yang bertindak sebagai

penyimpan dan/atau menyalurkan

pesan.

Guru; siswa; pelaku; pembicara.

Bahan Barang-barang (lazim disebut media

atau perangkat lunak "software") yang

biasanya berisikan Pesan untuk

disampaikan dengan menggunakan

peralatan; kadang-kadang bahan itu

sendiri sudah merupakan bentuk

penyajian

Transparansi; slide; film-strip;

video tape; tape audio; bahan

pengajaran terprogram; program

pengajaran dengan menggunakan

komputer; buku jurnal dan lain-

lain

Page 239: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 233

Peralatan Barang-barang (lazim disebut

perangkat keras/ "hardware")

digunakan untuk menyampaikan

Pesan yang terdapat pada bahan.

OHP; proyektor slide; proyektor

filmstrip; perekaman tape video;

perekaman audio; pesawat

televisi; pesawat radio; mesin

komputer dan lain-lain.

Teknik Prosedur atau langkah-langkah

tertentu dalam menggunakan bahan,

alat, latar, dan orang untuk

menyampaikan pesan.

Komputer alat bantu pengajaran;

pengajaran terprogram; simulasi;

permainan; pengajaran dalam

bentuk tim; pengajaran individual;

ceramah; diskusi dan lain-lain.

Latar

(lingkungan)

Lingkungan dimana pesan diterima

oleh pelajar

Lingkungan fisik: gedung

sekolah; perpustakaan; ruang

kelas, dan lain-lain

Lingkungan non fisik:

penerangan; sirkulasi udara, dan

lain-lain

Perpustakaan merupakan salah satu sumber belajar dari aspek latar (lingkungan). Perpustakaan

menghimpun, mengelola, menyimpan, melestarikan, menyajikan, serta memberdayakan informasi.

Agar informasi yang dikelola mempunyai nilai manfaat yang produktif, informasi tersebut harus

memenuhi kriteria: benar, tepat, cepat, dikemas dengan menarik dan siap saji.

Komputerisasi Perpustakaan

Komputerisasi perpustakaan dalam arti yang sebenarnya adalah dipakainya komputer dalam setiap

tahap pekerjaan perpustakaan secara terintegrasi dengan menggunakan sistem tertentu [3]. Ini

berarti bahwa mulai dari tahap pengembangan, pengolahan, penelusuran sampai dengan

peminjaman dan pengembalian koleksi perpustakaan dikerjakan dengan sistem komputer yang

sama.

Adapun pemanfaatan teknologi, informasi dan komunikasi untuk kegiatan perpustakaan memiliki

beberapa tujuan. Pertama, meringankan pekerjaan. Kedua, memudahkan dan memperlancar

pelaksanaan tugas kepustakawanan. Ketiga, mempercepat proses temu kembali akan informasi.

Keempat, memperlancar kerja sama informasi. Kelima, meningkatkan pelayanan informasi dan

memanfaatkan teknologi, informasi dan komunikasi. [4]

Page 240: Scanned by CamScanner - ULM

234 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Klasifikasi Bahan Pustaka

Klasifikasi bahan pustaka dimaksudkan untuk memudahkan pengguna dalam mencari buku-buku

yang diperlukan secara cepat dan tepat. Untuk keperluan itu, setiap buku yang dimiliki harus

ditandai melalui proses klasifikasi sebelum digunakan oleh masyarakat pengguna. Untuk

melakukan proses klasifikasi, ada pedoman dan cara-cara tertentu sebagai kesepakatan secara

nasional dan internasional.

Merujuk pada panduan klasifikasi bahan pustaka yang diberikan oleh dinas pendidikan setempat,

Dinas Pendidikan Kabupaten Batubara, dari buku Pengantar Klasifikasi Persepuluhan Dewey [5],

DDC (Dewey Decimal Classification) merupakan sistem klasifikasi yang menganut prinsip

“desimal” yang cakupannya meliputi seluruh bidang ilmu pengetahuan (universal). Seluruh ilmu

pengetahuan dibagi ke dalam 10 kelas utama yang diberi kode/ lambang (selanjutnya disebut notasi)

000 s.d. 900 yang biasanya dinamakan Ringkasan Pertama (First Summary), sebagai berikut:

000 Karya Umum

100 Filsafat dan Psikologi

200 Agama

300 Ilmu-Ilmu Sosial

400 Bahasa

500 Ilmu-Ilmu Murni (Sains)

600 Ilmu-Ilmu Terapan (Teknologi)

700 Kesenian dan Olahraga

800 Kesusasteraan

900 Sejarah dan Geografi

Model AMALIA

Teori-teori yang berkaitan dengan Model AMALIA dalam penelitian ini adalah teori

behavioristik, teori kognitif serta teori pengolahan informasi, teori behavioristik menyangkut

perubahan perilaku yang dapat diamati dari stimulus dan respon, teori kognitif mengenai tahapan-

tahapan perkembangan kognitif yang dilalui serta teori pemrosesan informasi berkaitan dengan

proses sensori, pengulangan dan memori jangka panjang, masing-masing teori tersebut ikut

membangun prosedural dalam model ini dan beberapa istilah-istilah yang digunakan sebagai kata-

kata penyerta untuk menguatkan istilah-istilah dalam masing-masing tahapan.

Tahapan-tahapan model AMALIA dalam sistem layanan perpustakaan ditampilkan dalam gambar

berikut ini:

Page 241: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 235

Metodologi Penelitian

Tempat dan Waktu Penelitian

Pemilihan sekolah yang memenuhi kualifikasi penerapan sistem layanan perpustakaan berbasis TIK

di wilayah Tanjung Gading Kabupaten Batu Bara ini adalah SD Swasta IT Al-Ihya Tanjung Gading

karena ketersediaan beberapa unit komputer yang dapat digunakan untuk merealisasikan produk

dari penelitian ini, yang pelaksanaannya dimulai pada bulan April 2017 sampai dengan bulan Juni

2017. Tanjung Gading merupakan kawasan hunian PT. Indonesia Asahan Aluminium (Inalum)

dimana juga tersedia tingkatan sekolah mulai dari TK sampai dengan SMA.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V di SD Swasta IT Al-Ihya Tanjung

Gading Kabupaten Batu Bara berjumlah 87 siswa yang terhimpun dari 3 kelas, salah satu siswa

dinyatakan gugur karena berhalangan hadir ketika dilakukan pre-test minat membaca, sehingga

tercatat jumlah keseluruhan siswa yang ikut serta berjumlah 86 siswa. Untuk pengunjung

perpustakaan terbuka untuk semua tingkatan kelas.

Prosedur Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yang akan menghasilkan produk berupa sistem

layanan perpustakaan berbasis TIK dengan model AMALIA berdasarkan analisis kebutuhan di

ATTENTION A Attention starts from Alphabet

MEMORYZING M

Memoryzing by effect

ACCELERATING

A Accelerating by exercise

LITERAL

L Literal comprehension from any literature book

IMPROVING

I Improving readiness by borrowing these books

ASSETS

A Be own Assets by collecting these books

Gambar 2.1 Model AMALIA

Page 242: Scanned by CamScanner - ULM

236 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

lapangan. Borg & Gall [6] menyatakan bahwa penelitian pengembangan adalah suatu proses yang

dipakai untuk mengembangkan dan memvalidasi produk penelitian. Produk tersebut tidak selalu

berbentuk benda atau perangkat keras (hardware), seperti buku, modul, alat bantu pembelajaran di

kelas atau di laboratorium, tetapi bisa juga perangkat lunak (software), seperti program komputer

untuk pengolahan data, pembelajaran di kelas, perpustakaan atau laboratorium, ataupun model-

model pendidikan, pembelajaran, pelatihan, bimbingan, evaluasi, manajemen, dan lain-lain [7].

Penelitian ini mengikuti suatu langkah-langkah secara siklus.

Keterangan:

Research and information collecting; 2. Planning; 3. Develop preliminary form of product; 4.

Preliminary field testing; 5. Operasional field testing; 6. Operasional product revision; 7. Main

field testing; 8. Main product revision; 9. Final product revision; 10. Dessemination and

implementation.

Hasil dan Pembahasan

Hasil Pengembangan Produk

Sistem layanan perpustakaan berbasis TIK yang diterapkan merujuk pada tahapan-tahapan model

AMALIA (Attention, Memoryzing, Accelerating, Literal, Improving dan Assets) dengan harapan

melalui tahapan-tahapan tersebut dapat dijadikan sebuah media yang dapat membantu siswa dalam

meningkatkan minat membaca. Berikut ini tampilan hasil pengembangan produk beserta penjelasan

untuk masing-masing tahapannya:

A (Attention) : Attention starts from Alphabet

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Gambar 3.1 Siklus Penelitian dan Pengembangan

Page 243: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 237

Attention starts from alphabet, perhatian dimulai dari alphabet. Model ini diawali dengan

memberikan perhatian terhadap rangsangan yang mengarah kepada tercapainya tujuan belajar,

rangsangan tersebut dapat berupa bentuk, warna, atau yang lainnya yang dapat ditangkap oleh

panca indera. Rangsangan perhatian dalam model ini berupa bentuk huruf alphabet dengan

perbedaan tampilan warna di setiap alphabetnya.

M (Memoryzing) : Memoryzing by effect

Pada tahapan ini, setiap huruf alphabet memiliki animasinya masing-masing, ketika perintah

actionnya diaktifkan (tekan tombol) maka akan menunjukkan animasi penulisan setiap huruf

alphabet itu sendiri, dan dapat diulangi kembali dengan mengaktifkan kembali action scriptnya

Page 244: Scanned by CamScanner - ULM

238 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

sesuai kebutuhan sampai huruf alphabet tersebut terbentuk dalam struktur kognitif siswa atau

melekat dalam memorynya. Memoryzing by effect berarti melekat dalam memory karena

pengulangan effect.

A (Accelerating) : Accelerating by exercise

Setelah siswa dibentuk perhatiannya dengan pengenalan huruf alphabet kemudian memahami

animasi penulisan huruf-huruf alphabet dari efek animasinya, pada tahap ini siswa diperkenalkan

dengan cara membaca kata menuju suatu kalimat yang mengarah kepada judul-judul buku yang

tersimpan dalam data buku-buku perpustakaan disertai pembacaan ejanya ketika action scriptnya

diaktifkan, kondisi inilah yang dinamakan percepatan membaca dengan latihan (accelerating by

exercise) mengeja kata dalam satuan kalimat dengan mengikuti kaidah ejaan yang disempurnakan

(EYD).

L (Literal) : Literal comprehension from any literature book

Page 245: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 239

Membaca pemahaman literal yaitu membaca yang terdiri atas huruf-huruf dan kalimat-kalimat.

Tahapan ini siswa mulai mencoba untuk membaca beberapa kalimat dari buku-buku literatur yang

tersedia di perpustakaan. Jadi tampilan yang disajikan masih berupa abstraksi dari buku-buku yang

dipilih beserta informasi lainnya tentang buku tersebut ketika siswa memilih salah satu buku yang

dituju pada layar tampilan.

I (Improving) : Improving readiness by borrowing these books

Tahap inilah yang memfungsikan perpustakaan sebagaimana pada umumnya, yaitu tahap

peminjaman buku yang dipilih ketika mengklik bagian peminjaman pada tampilan layar. Kemudian

siswa mengisi beberapa kolom-kolom yang tersedia selain kolom-kolom yang sudah otomatis terisi

oleh sistem. Dalam hal ini improving readiness by borrowing these books (resources) berarti

meningkatkan kesediaan dalam hal ini kemampuan lanjut ke tahap berikutnya dengan meminjam

buku-buku yang dipilih.

A (Assets) : be own Assets by collecting these books

Aset diartikan sebagai segala sesuatu yang bernilai, dimiliki oleh seseorang atau suatu

organisasi (Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer). Dalam layanan ini disediakan fasilitas untuk

meng-copy beberapa lembar yang dianggap penting oleh pengguna (siswa/ guru) dari buku-buku

yang dipilih untuk keperluan pendidikan. Merujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Pasal 44 ayat 1, antara lain:

(1) Penggunaan, pengambilan, Penggandaan, dan/atau pengubahan suatu Ciptaan dan/atau produk

Hak Terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak

Cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap untuk keperluan:

Page 246: Scanned by CamScanner - ULM

240 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

a. pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan

suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta atau Pemegang Hak

Cipta;

b. keamanan serta penyelenggaraan pemerintahan, legislatif, dan peradilan;

c. ceramah yang hanya untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau

d. pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan

kepentingan yang wajar dari Pencipta.

Hasil Validasi

Sebelum dilakukan uji keefektifan perlu dilakukan uji persyaratan data yaitu persyaratan normalitas

dan homogenitas. Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah data berdistribusi normal

dengan menggunakan uji Lilliefors, sedangkan uji homogenitas untuk mengetahui apakah data

homogen dengan menggunakan uji Bartlett.

Dari hasil perhitungan uji normalitas dengan menggunakan uji Lilliefors untuk Pre-Test didapat Lo

= 0,0183, dengan n = 86 dan taraf nyata α = 0,05, dari Daftar Nilai Kritis L untuk Uji Lilliefors [7]

didapat L = 0,09554 (Lt = 0,886√𝑛𝑛

= 0,886√86

= 0,09554) yang lebih besar dari Lo = 0,0183 sehingga

hipotesis nol diterima. Kemudian untuk hasil perhitungan uji normalitas Post-Test didapat Lo =

0,0041, dengan n = 86 dan taraf nyata α = 0,05, dari Daftar Nilai Kritis L untuk Uji Lilliefors [8]

didapat L = 0,09554 yang lebih besar dari Lo = 0,0041 sehingga hipotesis nol juga diterima.

Kesimpulannya adalah bahwa populasi berdistribusi normal.

Selanjutnya hasil perhitungan uji homogenitas dengan menggunakan uji Bartlett

Sampel dk 1

𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑆𝑆𝑖𝑖2 log 𝑆𝑆𝑖𝑖2 (dk) log 𝑆𝑆𝑖𝑖2

1 85 0,0118 233,889 2,3690 201,365

2 85 0,0118 234,858 2,3708 201,518

Jumlah 170 - - 402,883

Varians gabungan: 𝑆𝑆2 = ∑(𝑛𝑛𝑖𝑖 − 1 )𝑆𝑆𝑖𝑖2

∑( 𝑛𝑛𝑖𝑖 − 1 ) = 234,3735 sehingga log 𝑆𝑆2 = 2,3699

B = (log 𝑆𝑆2) ∑(𝑛𝑛𝑖𝑖 − 1 ) = (2,3699)(170) = 402,885

Dengan uji Bartlett: 𝑋𝑋2 = (ln 10) { B - ∑(𝑛𝑛𝑖𝑖 − 1 ) log 𝑆𝑆𝑖𝑖2 } = 0,00461, dari daftar Chi-kuadrat

dengan dk = 1 pada α = 0,05 diperoleh X0,95 (1)2 = 3,84, ternyata X2 = 0,00461 < 3,84 sehingga

diperoleh Ho : 𝜎𝜎12 = 𝜎𝜎2

2 diterima dalam taraf nyata 0,05 (5%). Kesimpulannya karena 𝑋𝑋ℎ𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑛𝑛𝑖𝑖2 lebih

kecil dari 𝑋𝑋𝑖𝑖𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡2 maka kedua kelompok tersebut adalah homogen.

Page 247: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 241

Uji keefektifan dilakukan untuk melihat perbedaan yang signifikan antara minat membaca siswa

dengan menggunakan sistem layanan perpustakaan berbasis TIK dan layanan perpustakaan manual

menggunakan pembukuan dengan uji beda (uji t).

T = X1����− X2����

S� 1n 1

+ 1n 2

dimana S adalah varians gabungan yang dihitung dengan

rumus S2 = (n1−1)S12 +(n2−1)S2

2

n1+ n2−2

Dari hasil perhitungan didapati S = 15,31 dan T = 8,779. Rumus derajat kebebasan (dk) adalah dk =

𝑛𝑛1+ 𝑛𝑛2 – 2, sehingga dk = 170. Dari tabel diperoleh 𝒕𝒕𝟏𝟏𝟏𝟏𝟏𝟏 (0.05) = 1,96, kriteria korelasi yang

diperoleh dikatakan signifikan (hipotesis diterima) jika Thitung >Ttabel dalam taraf signifikan 0,05 (5

%), karena 8,779 > 1,96 maka dikatakan signifikan (hipotesis diterima).

Untuk menghitung keefektifan sistem yang diterapkan dengan menggunakan Likert Scale atau skala

Likert. Pertama-tama menentukan terlebih dahulu skor ideal. Skor ideal (kriterium) adalah skor

yang ditetapkan dengan asumsi bahwa setiap responden pada setiap pertanyaan memberikan

jawaban dengan skor tertinggi. [9]

P = skor hasil pengumpulan dataskor ideal

x 100%

Validasi ahli materi dilakukan oleh Staf – UPT Perpustakaan UNIMED, yaitu Ibu Tessa

Simahate, S.Sos., M.I.Kom. dan Ibu Catur Dedek Khadijah, S.Sos., MM., validasi materi mencakup

aspek format, isi dan bahasa. Selanjutnya validasi ahli media dalam penelitian ini dilakukan oleh

Bapak Prof. Dr. Muhammad Badiran, M.Pd. dan Ibu Dr. Samsidar Tanjung, M.Pd., selaku dosen

Teknologi Pendidikan, Program Pascasarjana Universitas Negeri Medan, validasi media mencakup

aspek tampilan, penyajian dan kegrafikan. Sedangkan untuk validasi guru SD dalam penelitian ini

dilakukan oleh 19 guru yang berasal dari masing-masing tingkatan kelas mulai dari kelas 1 sampai

dengan kelas 6 di SD Swasta IT Al-Ihya Tanjung Gading, validasi ini mencakup aspek tampilan,

penyajian, isi dan minat.

Tabel 4.1. Persentase Rerata Skor Penilaian Kelayakan Tiap Aspek

dan Pendapat Ahli serta Guru SD

No. Penilaian Skor

Maksimal

Validator

Ahli

Materi

Ahli

Media Guru SD

1 Aspek Format 44,00 36,50 - -

Page 248: Scanned by CamScanner - ULM

242 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

(82,96%)

2 Aspek Isi

Ahli Materi: 25,50 - -

32,00 (79,69%)

Guru SD: - -

23,47

24,00 (97,79%)

3 Aspek Bahasa 16,00 13,50

- - (84,38%)

4 Aspek

Tampilan

Ahli Media: -

49,00 -

52,00 (94,23%)

Guru SD: - -

19,31

20,00 (96,55%)

5 Aspek

Penyajian

Ahli Media: -

46,50 -

48,00 (96,88%)

Guru SD: - -

23,63

24,00 (98,46%)

6 Aspek

Kegrafikan 20,00 -

19,00 -

(95,00%)

7 Aspek Minat 8,00 - - 7,90

(98,75%)

Hasil Uji Coba Produk

Uji coba produk dilakukan setelah peneliti melakukan revisi berdasarkan hasil validasi ahli materi,

ahli media dan guru, hasil penilaian pada uji coba produk ini meliputi aspek tampilan, penyajian, isi

dan minat. Uji coba produk dilakukan bertahap dimulai dari uji coba perorangan sebanyak 5 siswa,

uji coba kelompok kecil sebanyak 10 siswa dan uji coba lapangan di kelas sebanyak 86 siswa.

Tabel 4.2. Presentase Rerata Skor Hasil Penilaian Tahap Uji Coba pada Tiap Aspek

No Penilaian Skor

Maksimal

Responden

Uji Coba

Perorangan

(5 siswa)

Uji Coba

Kelompok Kecil

(10 siswa)

Uji Coba

Kelompok

Lapangan Terbatas

(Sekolah/ 3 Kelas)

1 Aspek

Tampilan 20,00

15,2 15,00 16,00

(76,00%) (75,00%) (80,00%)

Page 249: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 243

2 Aspek

Penyajian 24,00

20,6 20,20 20,00

(85,83%) (84,17%) (83,33%)

3 Aspek Isi 24,00 19,20 18,60 20,00

(80,00%) (77,5%) (83,33%)

4 Aspek Minat 8,00 7,00 6,40 6,60

(87,5%) (80%) (82,5%)

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan hasil yang telah dicapai dari keseluruhan proses penelitian pengembangan sistem

layanan perpustakaan berbasis TIK dengan model AMALIA ini dapat disimpulkan bahwa

pengembangan sistem layanan perpustakaan ini telah dikembangkan sesuai dengan prosedur

penelitian pengembangan, kemudian ditinjau dari aspek format, isi, bahasa, tampilan, penyajian,

kegrafikan dan minat dari validasi ahli materi, ahli media dan guru SD, “layak” diterapkan di

perpustakaan tempat dilaksanakannya penelitian.

Harapan kedepannya adanya penambahan buku-buku yang bermanfaat dan datanya segera

di input di sistem agar sistem yang sudah berjalan terus berkesinambungan.

Daftar Pustaka

[1] Hurlock, E.B. 1978. Child Development (Perkembangan Anak) Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

[2] AECT. 1977. Definisi Teknologi Pendidikan: Satuan Tugas Definisi dan Terminologi AECT.

Terjemahan oleh Yusufhadi Miarso, dkk. 1986. Jakarta: Rajawali.

[3] Rahayuningsih, F. 2007. Pengelolaan Perpustakaan. Yogyakarta: Graha Ilmu

[4] Lasa, H.S. 2016. Manajemen Perpustakaan, Sekolah/Madrasah. Yogyakarta: Ombak.

[5] Hamakonda, T.P. & Tairas, J.N.B. 2002. Pengantar Klasifikasi Persepuluhan Dewey. Jakarta:

Gunung Mulia.

[6] Setyosari, P. 2012. Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan. Jakarta: Kencana Prenada

Media Group.

[7] Sukmadinata, N.S. 2009. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

[8] Sudjana. 2009. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.

[9] Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.

Bandung: Alfabeta

Page 250: Scanned by CamScanner - ULM

244 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

DIKLAT INSTRUKTUR, PENDIDIKAN ANAK USIA DINI, DICK AND CAREY

Sukriyah Batubara Juanda1; Natalia Novery Tarigan2

Email: [email protected]

Program Pascasarjana Universitas Negeri Medan

ABSTRAK

Pendidikan anak usia dini menjadi urgensi pendidikan diluar jalur sekolah untuk mempersiapkan

anak didik sebelum memasuki pendidikan sekolah dasar. Mutu pengelolaan pendidikan anak usia

dini dan pengajar menjadi elemen utama untuk mencapai tujuan pendidikan. Diklat instruktur tutor

pendidikan menjadi alternatif utama dalam mempersiapkan tujuan pendidikan. Makalah ini

bertujuan untuk mengetahui keterampilan beserta sikap peserta pelatihan dalam menigkatkan mutu

pendidikan pelayanan program pendidikan anak usia dini sesuai kebijakan yang telah ditetapkan

melalui pendekatan Beyond Centers and Circle Times. Bentuk desain diklat instruktur tutor

pendidikan anak usia dini menggunakan Desain Dick and Carey, dengan strategi instruksional: 1).

Kegiatan awal sebelum instruksional, 2) menyusun informasi, 3) Tes acuan patokan, 4) Tindak

Lanjut instruksional. sehingga tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus beserta

hasil kemampuan yang akan dicapai oleh peserta diklat dapat diperoleh secara maksimal dengan

model desain ini secara komperhensif berdasarkan penetapan kebijakan pada daerah masing-masing

peserta. Tujuan pencapaian peserta pelatihan diklat meliputi: 1) Kebijakan yang berhubungan

dengan pendidikan anak usia dini, 2) Materi tentang Beyond Centers snd Circle Times, 3) Materi

keamanan, kesehatan dan Nutrisi. Dalam mencapai tujuan akhir diklat ini proses implikasi

pembelajaran diklat ini menggunakan metode ceramah dan tanya jawab dengan sumber pengajaran

buku pedoman deteksi dini dan tumbuh kembang anak beserta panduan diklat yang menjadi acuan

dasar pelatihan. Dengan demikian dengan adanya diklat diklat instruktur tutor paud tingkat regional

angkatan pertama ini diharapkan dapat meningkatkan mutu pengelolaan dan kualitas pendidikan

anak usia dini berdasarkan kebijakan pemerintah pada daerah masing-masing.

Kata Kunci: Diklat Instruktur, Pendidikan Anak Usia Dini, Dick and Carey

Page 251: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 245

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dalam Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 pasal 54 disebutkan bahwa

pengelolaan satuan pendidikan dilaksanakan secara mandiri, efisien, efektif dan akuntabel.

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sebagai satuan pendidikan di jalur Pendidikan Luar Sekolah

adalah jenjang pendidikan yang sangat penting dalam mempersiapkan anak untuk mengikuti

pendidikan dasar sehingga perlu dikelola secara efektif dan efisien.

Pendidikan Anak Usia Dini merupakan upaya pembinaan yang ditujukan kepada

anak usia 0-6 tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu

pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki

pendidikan lebih lanjut. Bentuk penyelenggaraan PAUD melalui jalur pendidikan non formal oleh

Direktorat PAUD dilaksanakan dalam bentuk penyelenggaraan program Kelompok Bermain,

Tempat Penitipan Anak (TPA) dan bentuk satuan sejenis lainnya.

Untuk menjamin terlaksananya penyelenggaraan program pendidikan bagi anak usia

dini, hendaknya didukung oleh tenaga-tenaga yang berkemampuan dan berkelayakan karena

keberhasilan penyelenggaraan program PAUD tersebut tidak terlepas dari peran serta pendidik

PAUD. Mutu ketenagaan tersebut harus ditingkatkan secara bertahap, sistematik dan

berkesinambungan. Sehubungan dengan hal tersebut, pendidik PAUD dituntut dapat memenuhi

kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Untuk itulah para pendidik PAUD wajib memiliki

kemampuan teknis yang handal, sehingga dapat memberikan kontribusi bagi penyelenggaraan

program PAUD yang berkualitas, salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan dan

keterampilan tenaga pendidik PAUD tersebut adalah melalui kegiatan Diklat Instruktur/TOT bagi

Pelatihan Tutor PAUD.

Dalam rangka untuk mendukung pelaksanaan pendidikan dan pelatihan tutor PAUD

di daerah, maka pada tahun 2008 BP-PLSP Regional I akan menyelenggarakan kegiatan Pendidikan

dan Pelatihan Instruktur TOT bagi Diklat Tutor PAUD melalui pendekatan “BEYOND Centers and

Circle Times” atau (BCCT), sehingga akan diperoleh calon pelatih yang memiliki kemampuan

untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya sesuai dengan kompetensi yang

diharapkan.

Page 252: Scanned by CamScanner - ULM

246 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

B. DASAR

UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

UU Nomor 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak

PP No.73 tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah

SK Mendiknas RI No.115/O/2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja BPPLSP

SK Mendiknas RI No.041/O/2004 tentang Rincian dan Tata Kerja Tugas Balai Pengembangan

Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda

Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) berkenaan dengan pengembangan atau peningkatan

Sumber Daya Manusia

DIPA Direktorat Jenderal Pendidikan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidik Non

Formal 2007

C. TUJUAN

Tujuan Umum

Menerapkan dan menggali pengetahuan, keterampilan dan sikap peserta pelatihan dalam

meningkatkan mutu pelayanan penyelenggaraan program PAUD di daerah masing-masing sesuai

kebijakan yang ditetapkan.

Tujuan Khusus

Mentransfer dan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh kepada peserta

pelatihan/tutor PUD tentang :

Kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan PAUD

Materi BCCT

Materi tentang Keamanan, Kesehatan dan Nutrisi

BAB II

IDENTIFIKASI KEBUTUHAN

DAN TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM

A. IDENTIFIKASI KEBUTUHAN

Kebutuhan adalah kesenjangan keadaan saat ini dibandingkan dengan keadaan yang seharusnya.

Dengan perkataan lain setiap keadaan yang kurang dari yang seharusnya menunjukkan adanya

kebutuhan. Apabila kesenjangan itu besar atau menimbulkan lebih jauh sehingga perlu ditempatkan

sebagai prioritas untuk diatasi, kebutuhan itu disebut masalah. Proses identifikasi kebutuhan yang

dimulai dari mengidentifikasi kesenjangan antara keadaan yang diharapkan seringkali dilanjutkan

sampai pada proses pelaksanaan pemecahan masalah dan evaluasi terhadap efektivitas dan

Page 253: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 247

efisiensinya. Ada tiga kelompok orang yang dapat dijadikan sumber informasi dalam

mengidentifikasi kebutuhan instruksional tentang diklat instruktur/tot tutor PAUD tingkat regional

angkatan I tersebut yaitu :

a. Mahasiswa/siswa, terutama yang telah bekerja.

b. Masyarakat, yang akan menggunakan ketrampilan peserta setelah selesai mengikuti

pelatihan.

c. Pendidik, termasuk pengajar dan pengelola program pendidikan melalui wawancara.

Kemampuan yang akan dicapai

(Tujuan)

Mahasiswa/siswa Pendidik

Masyarakat yang Akan dilayani

MasukGambar. Hubungan Kerjasama dan Partisipasi Ketiga Pihak dalam Mengidentifikasi

Kebutuhan Instruksional

Dari hasil angket dan wawancara didapat satu kesimpulan bagaimana para peserta pelatihan

agar mempunyai pengetahuan dan ketrampilan dan sikap dalam meningkatkan mutu pelayanan

penyelenggaraan program PAUD didaerah masing-masing sesuai kebijakan yang ditetapkan agar

hasilnya lebih maksimal.

B. TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)

Dari kegiatan mengidentifikasi kebutuhan instruksional diperoleh jenis pengetahuan,

ketrampilan dan sikap yang tidak pernah dipelajari atau belum dilakukan dengan baik oleh

mahasiswa. Bloom (1977) membagi tujuan instruksional menjadi tiga kawasan menurut jenis

kemampuan yang tercantum di dalamnya. Ini dapat kita lihat dalam kawasan kognitif, afektif dan

kawasan psikomotor. Menurut Gane E. Hall dan Heward L. Jones (1976) dalam Gredler (1991)

Tujuan Instruksional Umum adalah pernyataan umum mengenai hasil suatu program pengajaran.

Dick and Carey (1978) menyatakan tujuan instruksional umum adalah suatu pernyataan yang

menjelaskan mengenai apakah kemampuan yang harus dimiliki oleh siswa setelah selesai mengikuti

suatu pengajaran.

Page 254: Scanned by CamScanner - ULM

248 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Dengan demikian dalam merancang pelatihan instruktur/tot tutor PAUD tingkat regional angkatan I

ini disusunlah tujuan instruksional umum (TIU) sebagai berikut : “Setelah selesai pelatihan, peserta

mempunyai keahlian yang profesional dalam menerapkan dan menggali pengetahuan, keterampilan

dan sikap peserta pelatihan dalam meningkatkan mutu pelayanan penyelenggaraan program PAUD

di daerah masing-masing sesuai kebijakan yang ditetapkan”.

BAB III

ANALISIS INSTRUKSIONAL

Analisis instruksional adalah proses menjabarkan kompetensi umum menjadi kompetensi

khusus yang tersusun secara logis dan sistematik. Menurut Atwi Suparman (1997) analisis

instruksional adalah proses menjabarkan perilaku umum menjadi perilaku khusus yang terusun

secara logis dan sistematik. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi perilaku-perilaku

khusus yang dapat menggambarkan perilaku umum secara terperinci.

Dengan melakukan analisis instruksional akan tergambar susunan perilaku khusus dari yang

paling awal sampai yang paling akhir. Melalui tahap perilaku-perilaku khusus tertentu peserta

pelatihan akan mencapai perilaku umum.

Bila kompetensi umum dirumuskan menjadi kompetensi khusus akan terdapat 4 (empat)

macam susunan yaitu hierarkial, prosedural, pengelompokkan dan kombinasi.

Struktur perilaku hierarkial merupakan kedudukan 2 perilaku yang menunjukkan bahwa salah satu

perilaku hanya dapat dilakukan bila telah dikuasai perilaku yang lain.

Struktur prosedural merupakan kedudukan beberapa perilaku yang menunjukkan bahwa tidak ada

yang menjadi perilaku prasyarat untuk yang lain.

Struktur pengelompokkan merupakan perilaku-perilaku khusus yang dapat diurutkan sebagai

hierarkial dan prosedural, terdapat perilaku-perilaku khusus yang tidak mempunyai ketergantungan

antara satu dengan yang lain, walaupun semuanya berhubungan.

Suatu kompetensi umum bila diuraikan menjadi kompetensi khusus sebagian besar akan terstruktur

secara kombinasi antara struktur hierarkikal, procedural dan pengelompokan. Sebagian dari

kompetensi khusus yang terdapat di dalam ruang lingkup kompetensi umum itu mempersyaratkan

kompetensi khusus yang lain. Selebihnya merupakan urutan kompetensi khusus dan umum.

Berdasarkan uraian di atas materi pelatihan yang akan dilatih adalah sebagai berikut:

Menjelaskan tentang deteksi dini tumbuh kembang anak.

Mendeskripsikan tentang keamanan, kesehatan dan nutrisi (gizi) atau KKG.

Menguraikan tentang evaluasi bermain anak.

Page 255: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 249

Menemukan tentang tiga jenis main (sensosimotor, peran dan pembangunan) dan penerapannya.

Menjelaskan tentang penataan lingkungan main.

Mendeskripsikan tentang perkembangan anak usia dini.

Melakukan micro teaching.

Mendemonstrasikan tentang bermain dan anak.

Mendeskripsikan tentang pengamatan anak.

Menjelaskan tentang penyelenggaraan PAUD melalui pendekatan “Beyond Centers and Circle

Times” atau BCCT.

Menjelaskan tentang kebijakan direktorat PAUD.

Menjelaskan tentang kebijakan direktorat PTK dan PNF.

Setelah perilaku khusus di identifikasi maka selanjutnya menyusun perilaku khusus

dalam satu daftar urutan yang logis dari perilaku umum ke perilaku khusus yang paling dekat

hubungannya dengan perilaku umum diteruskan sampai paling jauh dari perilaku umum serta

menulis Perilaku Khusus (PK) dalam satu kartu (kertas) ukuran 3 x 5 cm dan menyusunnya yang

mana prosedur dan hirarki (beri nomor).

Page 256: Scanned by CamScanner - ULM

250 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

STRUKTUR PERILAKU

Menerapkan dan Menggali Pengetahuan, Ketrampilan dan Sikap Peserta

Pelatihan dalam Penigkatan Mutu Pelayanan Penyelenggaraan Program

PAUD di Ti k t R i l

Melakukan Micro Teaching

Menemukan

tentang tiga jenis

main dan

Menjelaskan

tentang

penataan

lingkungan

Mendeskripsikan

tentang perkembangan

anak usia dini

Menjelaskan

tentang deteksi

dini tumbuh

Mendeskripsik

an tentang

keamanan,

kesehatan dan

Menguraikan tentang

evaluasi bermain anak

Mendemonstrasika

n tentang bermain

dan anak

Mendeskripsik

an tentang

pengamatan

Menjelaskan tentang

penyelenggaraan

PAUD melalui

Menjelaskan tentang kebijakan direktorat PTK-PNF

Menjelaskan tentang kebijakan direktorat PAUD

Page 257: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 251

BAB IV

IDENTIFIKASI PERILAKU

DAN KARAKTERISTIK AWAL PESERTA

Sebelum diadakan pelatihan, perlu diketahui perilaku karakteristik awal peserta pelatihan. Hal ini

dilakukan untuk memudahkan pengembangan instruksional. Perilaku awal adalah kemampuan

kemampuan yang dimiliki peserta sebelum dilakukan pelatihan instruktur/tot tutor PAUD tingkat

regional angkatan I ini. Perilaku awal ini dapat diperoleh dengan wawancara dan pengisian angket.

Perilaku awal yang sudah dimiliki peserta pelatihan adalah :

Para peserta pelatihan dapat membaca dan menulis.

Para peserta dapat melakukan tata cara dalam mengembangkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap

dalam meningkatkan mutu pelayanan penyelenggaraan program PAUD yang telah ditetapkan.

Para peserta memiliki keinginan untuk mengetahui bagaimana meningkatkan mutu pelayanan

penyelenggaraan program PAUD di daerah mereka nantinya setelah mereka mengikuti pelatihan

ini.

Dari gambar analisis instruksional dapat dilihat adanya garis entry behavior yang akan dicapai, oleh

karena itu materi pelatihan dapat dimulai dari memahami penjelasan tentang kebijakan direktorat

PTK dan PNF.

Karakteristik awal peserta pelatihan perlu diketahui agar pengelola dan tenaga pengajar/instruktur

dapat membuat program sesuai dengan latar belakang yang dimiliki peserta pelatihan yang secara

pasti masing-masing memiliki perbedaan.

Jadi karakteristik awal peserta pelatihan adalah sebagai berikut :

Peserta pelatihan adalah berasal dari masyarakat dan mahasiswa.

Peserta pelatihan memiliki ijazah lulusan SMA dan S-1.

Peserta pelatihan memiliki etos kerja yang tinggi.

BAB V

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS

Tujuan Instruksional Khusus adalah pernyataan yang menggambarkan hasil belajar yang

diharapkan setelah selesainya sebagian dari program pelatihan. Tujuan Instruksional Khusus

(Specifik Instructional Objective) adalah tujuan khusus yang menyatakan adanya sesuatu yang

dapat dikerjakan atau dilakukan oleh siswa (pebelajar) setelah pengajaran. Dick and Carey (1985)

Page 258: Scanned by CamScanner - ULM

252 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

mengulas bagaimana Robert Mager mempengaruhi dunia pendidikan di Amerika Serikat seperti

dikutip Atwi Suparman (1993) merumuskan tujuan instruksional khusus dengan kalimat yang jelas,

pasti dan dapat diukur. Manfaat TIK digunakan untuk menyususn tes. TIK harus mengandung

unsur-unsur yang dapat memberikan petunjuk kepada penyususn tes agar ia dapat mengembangkan

tes yang terdapat didalamnya. Unsur-unsur TIK adalah sebagai berikut :

A (audiens) yakni pebelajar atau peserta didik dengan segala karakteristiknya. Siapa pun peserta

didik, apa pun latar belakangnya, jenjang belajarnya, serta kemampuan prasyaratnya sebaiknya jelas

dan rinci. Penjelasan juga menyangkut triwulan, semester atau program pendidikan dan pelatihan

yang diikuti.

B (behavior) yakni perilaku belajar yang dikembangkan dalam pembelajaran. Perilaku belajar

mewakili kompetensi, tercermin dalam penggunaan kata kerja.

C (conditions) yakni situasi kondisi atau lingkungan yang memungkinkan bagi pebelajar dapat

belajar dengan baik. Penggunaan media dan metode serta sumber belajar menjadi bagian dari

kondisi belajar ini.

D (degree) yakni persyaratan khusus atau criteria yang dirumuskan sebagai dibaku sebagai bukti

bahwa pencapaian tujuan pembelajaran dan proses belajar berhasil.

Dengan demikian yang menjadi Tujuan Instruksional Khusus (TIK) pada pelatihan instruktur/tot

tutor PAUD tingkat regional angkatan I adalah :

Menjelaskan tentang deteksi dini tumbuh kembang anak.

Mendeskripsikan tentang keamanan, kesehatan dan nutrisi (gizi) atau KKG.

Menguraikan tentang evaluasi bermain anak.

Menemukan tentang tiga jenis main (sensosimotor, peran dan pembangunan) dan penerapannya.

Menjelaskan tentang penataan lingkungan main.

Mendeskripsikan tentang perkembangan anak usia dini.

Melakukan micro teaching.

Mendemonstrasikan tentang bermain dan anak.

Mendeskripsikan tentang pengamatan anak.

Menjelaskan tentang penyelenggaraan PAUD melalui pendekatan “Beyond Centers and Circle

Times” atau BCCT.

Menjelaskan tentang kebijakan direktorat PAUD.

Menjelaskan tentang kebijakan direktorat PTK dan PNF.

Page 259: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 253

BAB VI

TES ACUAN PATOKAN

Tes acuan patokan adalah butir-butir yang mengacu pada tujuan instruksional atau untuk

mengukur tingkat penguasaan siswa terhadap perilaku yang terdapat dalam tujuan instruksional

khusus (TIK). Tes acuan patokan terdiri dari butir-butir yang langsung mengukur. Patokan

menyatakan butir-butir soal itu memberi tanda untuk menyatakan kecukupan untuk kerja siswa

yang berkaitan dengan tujuan. Mengapa dibuat tes acuan patokan ? Supaya pelajar mencapai tujuan.

Tes acuan patokan dipergunakan tabel spesifikasi atau kisi-kisi yang sederhana. Penggunaan

tabel yang sederhana dapat memenuhi kebutuhan seorang pengajar untuk menyusun tes yang

konsisten dengan tujuan instruksional, baik yang bersifat kognitif, afektif dan psikomotor. Tes yang

telah dilambangkan digunakan untuk mengukur tingkat penguasaan peserta pelatihan dalam setiap

bagian pelajaran atau seluruh mata pelajaran.

Dengan maksud di atas tujuan acuan patokan adalah menyususn butir soal berdasarkan TIK

yang telah disusun dengan maksud untuk mengukur tingkat penguasaan setiap siswa terhadap

perilaku yang tercantum dalam menyususn TIK.

Untuk mengukur tujuan instruksional dari pokok bahasan dilakukan ujian formatif, apakah

dilakukan di tengah-tengah berlangsungnya kegiatan PBM, di akhir PBM atau di akhir selesainya

sebuah pokok bahasan hal ini disesuaikan dengan rancangan dan kondisi yang memungkinkan.

Ujian dapat berbentuk tes lisan, tertulis, hal ini tergantung pada materi dan waktu yang

tersedia, serta jumlah peserta pelatihan.

Langkah-langkah yang digunakan untuk membuat Tes Acuan Patokan pada Pelatihan Instruktur/Tot

Tutor PAUD Tingkat Regional Angkatan I ini adalah :

1. Membuat tabel spesifikasi (kisi-kisi) untuk penyusunan tes sesuai tabel di bawah ini :

No Kriteria Perilaku Bobot

Perilaku Jenis Tes Jumlah

1 Para peserta diklat akan dapat

menjelaskan tentang deteksi dini

tumbuh kembang anak.

10 %

Tes

Karangan 1

2 Para peserta diklat akan dapat

mendeskripsikan tentang

keamanan, kesehatan dan nutrisi

10 % Tes

Karangan 1

Page 260: Scanned by CamScanner - ULM

254 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

(gizi) atau KKG.

3 Para peserta diklat akan dapat

menguraikan tentang evaluasi

bermain anak.

10 % Tes

Karangan 1

4 Para peserta diklat akan dapat

menemukan tentang tiga jenis main

(sensosimotor, peran dan

pembangunan) dan penerapannya.

10 %

Tes

Karangan

1

5 Para peserta diklat akan dapat

menjelaskan tentang penataan

lingkungan main.

5 %

Tes

Karangan

1

6 Para peserta diklat akan dapat

mendeskripsikan tentang

perkembangan anak usia dini.

5 %

Tes

Karangan

1

7 Para peserta diklat akan dapat

melakukan micro teaching. 20 %

Tes

Karangan

1

8 Para peserta diklat akan dapat

mendemonstrasikan tentang

bermain dan anak.

5 %

Tes

Karangan

1

9 Para peserta diklat akan dapat

mendeskripsikan tentang

pengamatan anak.

5 %

Tes

Karangan

1

10 Para peserta diklat akan dapat

menjelaskan tentang

penyelenggaraan PAUD melalui

pendekatan “Beyond Centers and

Circle Times” atau BCCT.

10 %

Tes

Karangan

1

11 Para peserta diklat akan dapat

menjelaskan tentang kebijakan

direktorat PAUD.

5 %

Tes

Karangan

1

12 Para peserta diklat akan dapat

menjelaskan tentang kebijakan

direktorat PTK dan PNF.

5 %

Tes

Karangan

1

JUMLAH BOBOT PERILAKU 100 %

Page 261: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 255

Keterangan :

Bobot perilaku seluruhnya 100 %

Tes acuan yang dipergunakan pada pelatihan instruktur/tot tutor tingkat regional angkatan I ini

terdiri dari 1 jenis tes, yaitu :

- Tes karangan sebanyak 12 item.

2. Menyusun tes yang akan diujikan

Tes Karangan :

Petunjuk :

Bacalah soal di bawah ini dengan teliti dan cermat, lalu jawablah dengan singkat dan jelas.

Jelaskan bagaimana proses deteksi dini tumbuh kembang anak.

Jelaskan urutan KKG dalam PAUD.

Jelaskan bagaimana aplikasi tentang evaluasi bermain anak.

Jelaskan tata urutan tiga jenis main dalam PAUD berikut penerapannya.

Jelaskan tentang penataan lingkungan main pada PAUD.

Jelaskan tentang perkembangan anak usia dini.

Jelaskan tentang bagaimana cara melakukan micro teaching pada PAUD.

Jelaskan macam-macam bermain dalam PAUD.

Jelaskan bagaimana kriteria tentang pengamatan anak.

Jelaskan tentang penyelenggaraan PAUD melalui pendekatan “Beyond Centers and Circle Times”

atau BCCT.

Jelaskan bagaimana kebijakan direktorat PTK dan PNF dalam PAUD.

BAB VII

PENGEMBANGAN STRATEGI INSTRUKSIONAL

Pengembangan instruksional mencakup pengertian, metode-metode instruksional untuk

menciptakan suatu sistem atau program instruksional. Pengembangan ini merupakan suatu system

aktivitas professional berdasarkan pola yang telah dihasilkan di dalam perancangan dan merupakan

proses dan memakai prosedur-prosedur yang secara optimal dapat menciptakan suatu program

instruksional. Strategi instruksional merupakan cara yang sistematik dalam mengkomunikasikan isi

pelajaran kepada siswa (pebelajar) untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan demikian dapat

dikatakan membelajarkan si belajar atau proses mendesain, melaksanakan dan mengevaluasi

Page 262: Scanned by CamScanner - ULM

256 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

pelajaran. Penyusunan strategi instruksional haruslah didasarkan atas tujuan yang akan dicapai, juga

atas pertimbangan lain yaitu harus melihat hambatan yang dihadapi oleh pengajar.

Strategi instruksional menjelaskan komponen-komponen umum dari suatu bahan

instruksional dan prosedur-prosedur yang akan digunakan dalam mendesain bahan-bahan ajar untuk

menghasilkan hasil belajar tertentu pada siswa atau peserta pelatihan. Strategi instruksional

berkenaan dengan pendekatan pengajaran dalam mengelola kegiatan instruksional untuk

menyampaikan pelajaran secara sistematis, sehingga kemampuan yang diharapkan dapat dikuasai

peserta pelatihan secara efektif dan efisien.

Menurut Dick and Carey (1985) mengatakan lima komponen umum dari strategi

instruksional sebagai berikut :

Kegiatan Pra Instruksional

Penyusunan Informasi

Partisipasi peserta

Tes

Tindak lanjut

Dengan demikian dalam pelatihan instruktur/tot tutor PAUD tingkat regional angkatan I ini,

terdapat 12 strategi instruksional sesuai tujuan Instruksional yang telah ditetapkan pada

perancangan pelatihan instruktur/tot tutor PAUD tingkat regional angkatan I.

Page 263: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 257

Bidang Pelatihan : Instruktur/TOT Tutor PAUD Tingkat Regional Angkatan I

TIK No. 1 : Para peserta pelatihan akan dapat menjelaskan tentang deteksi dini tumbuh kembang

anak.

No Uraian Kegiatan Instruksional Metode Media

Waktu (Menit)

Guru Sis

wa

Jlh

1 2 3 4 5 6 7 8

P

E

N

D

A

H

U

L

U

Deskripsi

Singkat

Relevansi

Deteksi dini tumbuh

kembang anak :

- tumbuh berarti

bertambah dalam

ukuran. Tumbuh dapat

berarti bahwa sel tubuh

bertambah banyak.

Perkembangan anak

tidak sama dengan

pertumbuhannya.

Ceramah

Ceramah

OHP

dan

Transparan

OHP

5

5

-

-

5

5

P

E

N

Y

A

J

Uraian

Materi

Contoh

Penjelasan tentang :

*Deteksi dini tumbuh

kembang anak.

Menunjukkan beberapa

contoh dalam deteksi

dini tumbuh kembang

anak

Ceramah

Ceramah

Tanya

jawab

OHP

dan

Transparan

Lembaran

Tes

Lembaran

soal

20

15

10

10

30

25

P

E

N

U

T

Tes

Formatif

dan Umpan

balik

Melaksanakan tes dan

mengidentifikasi

kesulitan yang dihadapi

dalam menjalankan tes

Penjelasan kembali

Melaksan

akan te

dan

diskusi

Ceramah

Lembaran

soal

OHP

-

10

15

5

15

15

Page 264: Scanned by CamScanner - ULM

258 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Bidang Pelatihan : Instruktur/TOT Tutor PAUD Tingkat Regional Angkatan I

TIK No. 2 : Para peserta pelatihan akan dapat mendeskripsikan tentang KKG.

No Uraian Kegiatan Instruksional Metode Media

Waktu (Menit)

Guru Sis

wa

Jlh

1 2 3 4 5 6 7 8

P

E

N

D

A

H

U

L

Deskripsi

Singkat

Relevansi

Tujuan

Ruang lingkup seputar

keamanan, kesehatan

dan gizi.

- Dampak kekurangan

gizi dapat merusak

kesehatan anak dan

penyebab masalah gizi.

Para peserta pelatihan

Ceramah

Ceramah

Ceramah

OHP

dan

Transparan

OHP

dan

Transparan

OHP

5

5

5

-

-

-

5

5

5

P

E

N

Y

A

J

I

Uraian

Materi

Contoh

Penjelasan tentang :

*KKG.

Menunjukkan beberapa

contoh dalam KKG.

Jelaskan beberapa hal

yang mempengaruhi

Ceramah

Ceramah

Tanya

jawab

OHP

dan

Transparan

Lembaran

Tes

Lembaran

soal

20

15

-

10

10

20

30

25

20

P

E

N

U

T

Tes

Formatif

dan Umpan

balik

Melaksanakan tes dan

mengidentifikasi

kesulitan yang dihadapi

dalam menjalankan tes

Penjelasan kembali

Melaksa

nakan

tes dan

diskusi

Cerama

Lembaran

soal

OHP

-

10

15

5

15

15

Page 265: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 259

Bidang Pelatihan : Instruktur/TOT Tutor PAUD Tingkat Regional Angkatan I

TIK No. 3 : Para peserta pelatihan akan dapat menguraikan tentang evaluasi bermain anak.

No Uraian Kegiatan Instruksional Metode Media

Waktu (Menit)

Guru Sis

wa

Jlh

1 2 3 4 5 6 7 8

P

E

N

D

A

H

U

L

U

Deskripsi

Singkat

Relevansi

Penilaian bentuk

aktivitas bermain anak

dengan mendapatkan

informasi tentang

pengetahuan,

ketrampilan serta

kemajuan

perkembangan anak

dalam suasana bermain.

- Proses perencanaan

bermain anak.

Ceramah

Ceramah

OHP

dan

Transparan

OHP

dan

Transparan

5

5

-

-

5

5

P

E

N

Y

A

J

I

A

Uraian

Materi

Contoh

Penjelasan tentang :

*Evaluasi bermain

anak.

Menunjukkan beberapa

contoh dalam evaluasi

bermain anak.

Ceramah

Ceramah

Tanya

jawab

OHP

dan

Transparan

Lembaran

Tes

Lembaran

soal

20

15

-

10

10

20

30

25

20

Page 266: Scanned by CamScanner - ULM

260 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

P

E

N

U

T

U

Tes

Formatif

dan Umpan

balik

Tindak

Melaksanakan tes dan

mengidentifikasi

kesulitan yang dihadapi

dalam menjalankan tes

Penjelasan kembali

bagian yang belum

dimengerti

Melaksa

nakan

tes dan

diskusi

Ceramah

Lembaran

soal

OHP

dan

Transparan

-

10

15

5

15

15

Bidang Pelatihan : Instruktur/TOT Tutor PAUD Tingkat Regional Angkatan I

TIK No. 4 : Para peserta pelatihan akan dapat menemukan tentang tiga jenis main dan

penerapannya.

No Uraian Kegiatan Instruksional Metode Media

Waktu (Menit)

Guru Sis

wa

Jlh

1 2 3 4 5 6 7 8

P

E

N

D

A

H

U

L

Deskripsi

Singkat

Relevansi

Terdapat tiga criteria

yaitu main

sensorimotor, main

peran dan main

pembangunan.

- Kegiatan dalam jenis

main serta

penerapannya.

Ceramah

Ceramah

OHP

dan

Transparan

OHP

dan

Transparan

5

5

-

-

5

5

P

E

N

Y

A

J

I

Uraian

Materi

Contoh

Penjelasan tentang :

*Tiga jenis main dan

penerapannya.

Menunjukkan beberapa

contoh dalam kegiatan

bermain anak.

Ceramah

dan

Demonst

rasi

Demonst

rasi

OHP

dan

Transparan

Lembaran

Tes

20

15

10

10

30

25

Page 267: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 261

P

E

N

U

T

Tes

Formatif

dan Umpan

balik

Melaksanakan tes dan

mengidentifikasi

kesulitan yang dihadapi

dalam menjalankan tes

Penjelasan kembali

Melaksa

nakan

tes dan

diskusi

Cerama

Lembaran

soal

OHP

-

10

15

5

15

15

Bidang Pelatihan : Instruktur/TOT Tutor PAUD Tingkat Regional Angkatan I

TIK No. 5 : Para peserta pelatihan akan dapat menjelaskan tentang penataan lingkungan main.

No Uraian Kegiatan Instruksional Metode Media

Waktu (Menit)

Guru Sis

wa

Jlh

1 2 3 4 5 6 7 8

P

E

N

D

A

H

U

L

Deskripsi

Singkat

Relevansi

Ruang lingkup seputar

penataan lingkungan

main anak.

- Terdapat beberapa

kegiatan yaitu sebelum

main, sast main dan

sesudah main.

Ceramah

Ceramah

OHP

dan

Transparan

OHP

dan

Transparan

5

5

-

-

5

5

Page 268: Scanned by CamScanner - ULM

262 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

P

E

N

Y

A

J

I

Uraian

Materi

Contoh

Penjelasan tentang :

*Penataan lingkungan

main anak.

Menunjukkan beberapa

contoh dalam penataan

lingkungan main anak.

Ceramah

Ceramah

OHP

dan

Transparan

Lembaran

Tes

20

15

10

10

30

25

P

E

N

U

T

Tes

Formatif

dan Umpan

balik

Melaksanakan tes dan

mengidentifikasi

kesulitan yang dihadapi

dalam menjalankan tes

Penjelasan kembali

Melaksa

nakan

tes dan

diskusi

Cerama

Lembaran

soal

OHP

-

10

15

5

15

15

Bidang Pelatihan : Instruktur/TOT Tutor PAUD Tingkat Regional Angkatan I

TIK No. 6 : Para peserta pelatihan akan dapat menjelaskan tentang perkembangan anak usia dini.

No Uraian Kegiatan Instruksional Metode Media

Waktu (Menit)

Guru Sis

wa

Jlh

1 2 3 4 5 6 7 8

Page 269: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 263

P

E

N

D

A

H

U

L

U

Deskripsi

Singkat

Relevansi

Tujuan

Instruksiona

l h

PAUD adalah suatu

upaya pembinaan yang

ditujukan kepada anak

sejak lahir sampai

dengan 6 tahun.

- Terdapat fase

perkembangan anak.

Para peserta pelatihan

akan dapat menjelaskan

k b

Ceramah

Ceramah

Ceramah

OHP

dan

Transparan

OHP

dan

Transparan

OHP

d

5

5

5

-

-

-

5

5

5

P

E

N

Y

A

J

I

A

N

Uraian

Materi

Contoh

Latihan

Penjelasan tentang :

*Perkembangan anak

usia dini.

Menunjukkan beberapa

contoh dalam

perkembangan anak

usia dini.

Jelaskan beberapa hal

yang termasuk dalam

kategori proses

k b k

Ceramah

Ceramah

Tanya

jawab

OHP

dan

Transparan

Lembaran

Tes

Lembaran

soal

20

15

-

10

10

20

30

25

20

P

E

N

U

T

U

P

Tes

Formatif

dan Umpan

balik

Tindak

lanjut

Melaksanakan tes dan

mengidentifikasi

kesulitan yang dihadapi

dalam menjalankan tes

Penjelasan kembali

bagian yang belum

dimengerti

Melaksan

akan te

dan

diskusi

Ceramah

Lembaran

soal

OHP

dan

Transparan

-

10

15

5

15

15

Page 270: Scanned by CamScanner - ULM

264 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Bidang Pelatihan : Instruktur/TOT Tutor PAUD Tingkat Regional Angkatan I

TIK No. 7 : Para peserta pelatihan akan dapat melakukan micro teaching.

No Uraian Kegiatan Instruksional Metode Media

Waktu (Menit)

Guru Sis

wa

Jlh

1 2 3 4 5 6 7 8

P

E

N

D

A

H

U

L

U

A

N

Deskripsi

Singkat

Relevansi

Tujuan

Instruksiona

Ruang lingkup kajian

tentang micro teaching.

- Proses micro teaching.

Para peserta pelatihan

akan dapat melakukan

Ceramah

Ceramah

Ceramah

OHP

dan

Transparan

OHP

dan

Transparan

OHP

dan

5

5

5

-

-

-

5

5

5

P

E

N

Y

A

J

I

A

N

Uraian

Materi

Contoh

Latihan

Penjelasan tentang :

*Micro teaching.

Menunjukkan beberapa

contoh dalam kegiatan

micro teaching.

Jelaskan bagaimana

pelaksanaan micro

teaching secara tepat.

Ceramah

Ceramah

Tanya

jawab

OHP

dan

Transparan

Lembaran

Tes

Lembaran

soal

20

15

-

10

10

20

30

25

20

Page 271: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 265

P

E

N

U

T

U

P

Tes

Formatif

dan Umpan

balik

Tindak

lanjut

Melaksanakan tes dan

mengidentifikasi

kesulitan yang dihadapi

dalam menjalankan tes

Penjelasan kembali

bagian yang belum

dimengerti

Melaksa

nakan

tes dan

diskusi

Ceramah

Lembaran

soal

OHP

dan

Transparan

-

10

15

5

15

15

Bidang Pelatihan : Instruktur/TOT Tutor PAUD Tingkat Regional Angkatan I

TIK No. 8 : Para peserta pelatihan akan dapat mendemonstrasikan tentang bermain dan anak.

No Uraian Kegiatan Instruksional Metode Media

Waktu (Menit)

Guru Sis

wa

Jlh

1 2 3 4 5 6 7 8

P

E

N

D

A

H

U

L

U

A

N

Deskripsi

Singkat

Relevansi

Tujuan

Instruksiona

l Khusu

(TIK)

Ruang lingkup kajian

tentang bermain serta

hakikat bermain.

- Bentuk permainan dan

factor-faktor yang

mempengaruhi

bermain.

Para peserta pelatihan

akan dapat

mendemonstrasikan

tentang bermain dan

k

Cerama

h

Cerama

h

Cerama

h dan

Demons

i

OHP

dan

Transparan

OHP

dan

Transparan

OHP

dan

Transparan

5

5

5

-

-

-

5

5

5

Page 272: Scanned by CamScanner - ULM

266 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

P

E

N

Y

A

J

I

A

N

Uraian

Materi

Contoh

Latihan

Penjelasan tentang :

*Bermain dan anak.

Menunjukkan beberapa

contoh dalam kegiatan

bermain dan anak.

Jelaskan bagaimana

unsur interaksi social

dalam bermain

Cerama

h

Cerama

h dan

Demons

trasi

Tanya

jawab

OHP

dan

Transparan

Lembaran

Tes

Lembaran

soal

20

15

-

10

10

20

30

25

20

P

E

N

U

T

U

P

Tes

Formatif

dan Umpan

balik

Tindak

lanjut

Melaksanakan tes dan

mengidentifikasi

kesulitan yang dihadapi

dalam menjalankan tes

Penjelasan kembali

bagian yang belum

dimengerti

Melaks

anakan

tes dan

diskusi

Ceramah

Lembaran

soal

OHP

dan

Transparan

-

10

15

5

15

15

Page 273: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 267

Bidang Pelatihan : Instruktur/TOT Tutor PAUD Tingkat Regional Angkatan I

TIK No. 9 : Para peserta pelatihan akan dapat mendeskripsikan tentang pengamatan anak

No Uraian Kegiatan Instruksional Metode Media

Waktu (Menit)

Guru Sis

wa

Jlh

1 2 3 4 5 6 7 8

P

E

N

D

A

H

U

L

U

A

N

Deskripsi

Singkat

Relevansi

Tujuan

Instruksiona

l Khusu

(TIK)

Ruang lingkup kajian

tentang pengamatan

anak.

- Factor-faktor yang

mempengaruhi

pengamatan kegiatan

anak.

Para peserta pelatihan

akan dapat

mendeskripsikan

tentang pengamatan

anak.

Ceramah

Ceramah

Ceramah

OHP

dan

Transparan

OHP

dan

Transparan

OHP

dan

Transparan

5

5

5

-

-

-

5

5

5

Page 274: Scanned by CamScanner - ULM

268 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

P

E

N

Y

A

J

I

A

N

Uraian

Materi

Contoh

Latihan

Penjelasan tentang :

*Pengamatan anak.

Menunjukkan beberapa

contoh dalam kegiatan

pengamatan anak.

Jelaskan langkah-

langkah dalam proses

pengamatan kegiatan

anak.

Ceramah

Ceramah

Tanya

jawab

OHP

dan

Transparan

Lembaran

Tes

Lembaran

soal

20

15

-

10

10

20

30

25

20

P

E

N

U

T

U

P

Tes

Formatif

dan Umpan

balik

Tindak

lanjut

Melaksanakan tes dan

mengidentifikasi

kesulitan yang dihadapi

dalam menjalankan tes

Penjelasan kembali

bagian yang belum

dimengerti

Melaksa

nakan

tes dan

diskusi

Ceramah

Lembaran

soal

OHP

dan

Transparan

-

10

15

5

15

15

Page 275: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 269

Bidang Pelatihan : Instruktur/TOT Tutor PAUD Tingkat Regional Angkatan I

TIK No. 10 : Para peserta pelatihan akan dapat menjelaskan tentang penyelenggaraan PAUD

melalui pendekatan BCCT.

No Uraian Kegiatan Instruksional Metode Media

Waktu (Menit)

Guru Sis

wa

Jlh

1 2 3 4 5 6 7 8

P

E

N

D

A

H

U

L

U

A

N

Deskripsi

Singkat

Relevansi

Tujuan

Instruksiona

l Khusu

(TIK)

Konsep PAUD serta

metode BCCT.

- Ciri-ciri metode

BCCT.

Para peserta pelatihan

akan dapat menjelaskan

tentang

penyelenggaraan

PAUD melalui

pendekatan BCCT.

Ceramah

Ceramah

Ceramah

OHP

dan

Transparan

OHP

dan

Transparan

OHP

dan

Transparan

5

5

5

-

-

-

5

5

5

Page 276: Scanned by CamScanner - ULM

270 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

P

E

N

Y

A

J

I

A

N

Uraian

Materi

Contoh

Latihan

Penjelasan tentang :

*Penyelenggaraan

PAUD melalui

pendekatan BCCT.

Menunjukkan beberapa

contoh dalam kegiatan

penyelenggaraan

PAUD dan contoh

metode BCCT.

Jelaskan langkah-

langkah dalam proses

penyelenggaraan

PAUD malalui

pendekatan BCCT.

Ceramah

Ceramah

Tanya

jawab

OHP

dan

Transparan

Lembaran

Tes

Lembaran

soal

20

15

-

10

10

20

30

25

20

P

E

N

U

T

U

P

Tes

Formatif

dan Umpan

balik

Tindak

lanjut

Melaksanakan tes dan

mengidentifikasi

kesulitan yang dihadapi

dalam menjalankan tes

Penjelasan kembali

bagian yang belum

dimengerti

Melaksa

nakan

tes dan

diskusi

Ceramah

Lembaran

soal

OHP

dan

Transparan

-

10

15

5

15

15

Page 277: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 271

Bidang Pelatihan : Instruktur/TOT Tutor PAUD Tingkat Regional Angkatan I

TIK No. 11 : Para peserta pelatihan akan dapat menjelaskan tentang kebijakan direktorat PAUD.

No Uraian Kegiatan Instruksional Metode Media

Waktu (Menit)

Guru Sis

wa

Jlh

1 2 3 4 5 6 7 8

P

E

N

D

A

H

U

L

U

Deskripsi

Singkat

Relevansi

Tujuan

Instruksiona

l Khusu

(TIK)

Konsep kebijakan

direktorat PAUD.

- Kebijakan pemerintah

dalam pembinaan

tenaga pendidik PAUD.

Para peserta pelatihan

akan dapat menjelaskan

tentang kebijakan

direktorat PAUD.

Ceramah

Ceramah

Ceramah

OHP

dan

Transparan

OHP

dan

Transparan

OHP

dan

Transparan

5

5

5

-

-

-

5

5

5

P

E

N

Y

A

J

I

A

N

Uraian

Materi

Contoh

Latihan

Penjelasan tentang :

* Kebijakan direktorat

PAUD.

Menunjukkan beberapa

contoh dalam kegiatan

PAUD berdasarkan

kebijakan direktorat

PAUD.

Jelaskan langkah-

langkah yang dilakukan

pemerintah dalam

merumuskan kebijakan

PAUD.

Ceramah

Ceramah

Tanya

jawab

OHP

dan

Transparan

Lembaran

Tes

Lembaran

soal

20

15

-

10

10

20

30

25

20

Page 278: Scanned by CamScanner - ULM

272 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

P

E

N

U

T

U

P

Tes

Formatif

dan Umpan

balik

Tindak

lanjut

Melaksanakan tes dan

mengidentifikasi

kesulitan yang dihadapi

dalam menjalankan tes

Penjelasan kembali

bagian yang belum

dimengerti

Melaksa

nakan

tes dan

diskusi

Ceramah

Lembaran

soal

OHP

dan

Transparan

-

10

15

5

15

15

Bidang Pelatihan : Instruktur/TOT Tutor PAUD Tingkat Regional Angkatan I

TIK No. 12 : Para peserta pelatihan akan dapat menjelaskan tentang kebijakan direktorat PTK dan

PNF.

No Uraian Kegiatan Instruksional Metode Media

Waktu (Menit)

Guru Sis

wa

Jlh

1 2 3 4 5 6 7 8

P

E

N

D

A

H

U

L

U

A

N

Deskripsi

Singkat

Relevansi

Tujuan

Instruksiona

l Khusu

(TIK)

Konsep kebijakan

direktorat PTK dan

PNF.

- Kebijakan pemerintah

dalam pembinaan

tenaga pendidik dan

nonformal.

Para peserta pelatihan

akan dapat menjelaskan

tentang kebijakan

direktorat PNF dan

PTK.

Ceramah

Ceramah

Ceramah

OHP

dan

Transparan

OHP

dan

Transparan

OHP

dan

Transparan

5

5

5

-

-

-

5

5

5

Page 279: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 273

P

E

N

Y

A

J

I

A

N

Uraian

Materi

Contoh

Latihan

Penjelasan tentang :

* Kebijakan direktorat

PTK dan PNF.

Menunjukkan beberapa

contoh dalam kegiatan

kebijakan direktorat

PTK dan PNF.

Jelaskan langkah-

langkah yang dilakukan

pemerintah dalam

merumuskan kebijakan

PTK dan PNF.

Ceramah

Ceramah

Tanya

jawab

OHP

dan

Transparan

Lembaran

Tes

Lembaran

soal

20

15

-

10

10

20

30

25

20

P

E

N

U

T

U

P

Tes

Formatif

dan Umpan

balik

Tindak

lanjut

Melaksanakan tes dan

mengidentifikasi

kesulitan yang dihadapi

dalam menjalankan tes

Penjelasan kembali

bagian yang belum

dimengerti

Melaksa

nakan

tes dan

diskusi

Ceramah

Lembaran

soal

OHP

dan

Transparan

-

10

15

5

15

15

B A B VIII

PENGEMBANGAN BAHAN INSTRUKSIONAL

Pengembangan bahan instruksional adalah pengembangan bahan ajar yang dikelompokkan

ke dalam 3 (tiga) kelompok yaitu :

1. Pengembangan bahan ajar mandiri. Dalam belajar mandiri mahasiswa menggunakan bahan

belajar yang didesain secara khusus. Bahan tersebut dipelajarinya tanpa tergantung kepada

kehadiran pengajar.

2. Pengembangan bahan ajar konvensional. Kegiatan instruksional ini berlangsung dengan

menggunakan pengajar sebagai satu-satunya sumber belajar dan sekaligus bertindak sebagai penyaji

isi pelajaran.

Page 280: Scanned by CamScanner - ULM

274 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

3. Pengembangan bahan pengajar belajar siswa (PBS). Kegiatan instruksional PBS ini

menggunakan bahan belajar yang telah ada di lapangan. Bahan belajar itu dipilih oleh pengajar atas

dasar kesesuaiannya dengan strategi instruksional yang telah disusunnya.

A. Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP)

“Setelah selesai pelatihan, peserta mempunyai keahlian yang profesional dalam menerapkan

dan menggali pengetahuan, keterampilan dan sikap peserta pelatihan dalam meningkatkan mutu

pelayanan penyelenggaraan program PAUD di daerah masing-masing sesuai kebijakan yang

ditetapkan”.

B. Bahan Ajar

1. Deskripsi Materi Pelatihan

Pelatihan ini bertujuan agar peserta pelatihan agar mempunyai pengetahuan dan ketrampilan dan

sikap dalam meningkatkan mutu pelayanan penyelenggaraan program PAUD didaerah masing-

masing sesuai kebijakan yang ditetapkan agar hasilnya lebih maksimal.

Dengan demikian, “Setelah selesai pelatihan, peserta mempunyai keahlian yang profesional dalam

menerapkan dan menggali pengetahuan, keterampilan dan sikap peserta pelatihan dalam

meningkatkan mutu pelayanan penyelenggaraan program PAUD di daerah masing-masing sesuai

kebijakan yang ditetapkan”.

Tabel 1.1

Program Materi Diklat

NO. MATERI JAM PELAJARAN

TEORI PRAKTEK JUMLAH

A Materi Kebijakan

Kebijakan Direktorat PTK PNF

Kebijakan Direktorat PAUD

2

2

-

-

2

2

B Materi Pokok

Peyelenggara PAUD melalui

pendekatan BCCT

Bermain dan Anak

Evaluasi Perkembangan Anak

Usia Dini

2

2

2

-

2

2

2

4

4

Page 281: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 275

Penataan Lingkungan Main

Tiga Jenis Main dan Penerapannya

Perencanaan dan Evaluasi

Bermain Anak

Pengamatan Anak

Micro Teaching

2

2

2

-

-

3

2

4

7

7

5

4

6

7

7

C Materi Penunjang

Deteksi Dini Tumbuh Kembang

Anak

Keamanan, Kesehatan, dan Nutrisi

3

2

-

-

3

2

JUMLAH 23 27 50

2. Kegunaan Materi Pelatihan

Materi pelatihan ini diberikan kepada peserta pelatihan : Pelatihan ini bertujuan agar peserta

pelatihan agar mempunyai pengetahuan dan ketrampilan dan sikap dalam meningkatkan mutu

pelayanan penyelenggaraan program PAUD didaerah masing-masing sesuai kebijakan yang

ditetapkan agar hasilnya lebih maksimal.

3. Tujuan Instruksional Umum

“Setelah selesai pelatihan, peserta mempunyai keahlian yang profesional dalam menerapkan dan

menggali pengetahuan, keterampilan dan sikap peserta pelatihan dalam meningkatkan mutu

pelayanan penyelenggaraan program PAUD di daerah masing-masing sesuai kebijakan yang

ditetapkan”.

4. Urutan Bahan Ajar

Proses deteksi dini tumbuh kembang anak.

Urutan KKG dalam PAUD.

Aplikasi tentang evaluasi bermain anak.

Tata urutan tiga jenis main dalam PAUD berikut penerapannya.

Page 282: Scanned by CamScanner - ULM

276 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Penataan lingkungan main pada PAUD.

Perkembangan anak usia dini.

Cara melakukan micro teaching pada PAUD.

Macam-macam bermain dalam PAUD.

Kriteria tentang pengamatan anak.

Penyelenggaraan PAUD melalui pendekatan “Beyond Centers and Circle Times” atau BCCT.

Kebijakan direktorat PTK dan PNF dalam PAUD.

Petunjuk Bagi Peserta Pelatihan

a. Agar seluruh bahan pelatihan dipelajari dengan tekun hingga dapat memahaminya.

b. Hal-hal yang kurang jelas ditanyakan pada instruktur.

c. Laksanakan seluruh kegiatan sesuai dengan instruksi.

Petunjuk Bagi Instruktur

a. Menjelaskan bahan pelatihan sejelas mungkin.

b. Penyampaian materi dilakukan secara bertahap sesuai urutan yang telah ditetapkan.

c. Berikan latihan pada akhir pembahasan materi.

PERTEMUAN 1

TIK No. 1 : Para peserta pelatihan akan dapat menjelaskan tentang deteksi dini tumbuh

kembang anak.

Pokok Bahasan : Menjelaskan deteksi dini tumbuh kembang anak.

Deskripsi Singkat : Pada kegiatan ini peserta pelatihan akan dibimbing untuk dapat menjelaskan

tentang deteksi dini tumbuh kembang anak. Tumbuh berarti bertambah dalam ukuran. Tumbuh

dapat berarti bahwa sel tubuh bertambah banyak. Perkembangan anak tidak sama dengan

pertumbuhannya.

I. Bahan Bacaan : Mainaria, M. Pd. Deteksi Dini Tumbuh Kembang Anak.

II. Pertanyaan dan Kunci Tugas : Agar peserta diklat dapat memahami secara cepat, gunakan

pertanyaan : Jelaskan pengertian tentang konsep deteksi dini tumbuh kembang anak ?

III. Tugas Latihan : Paparkan penjelasan tentang konsep deteksi dini tumbuh kembang anak

dengan membaca sumber bacaan.

Page 283: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 277

MENJELASKAN KONSEP DETEKSI DINI TUMBUH KEMBANG ANAK

A. Pendahuluan

- Deskripsi Singkat : Pada kegiatan ini peserta pelatihan akan dibimbing untuk dapat menjelaskan

tentang deteksi dini tumbuh kembang anak. Tumbuh berarti bertambah dalam ukuran. Tumbuh

dapat berarti bahwa sel tubuh bertambah banyak. Perkembangan anak tidak sama dengan

pertumbuhannya.

- Relevansi : Pertumbuhan dipengaruhi oleh jumlah dan macam makanan yang dikonsumsi tubuh.

- TIU : Setelah selesai pelatihan ini, siswa atau peserta pelatihan dapat menjelaskan tentang konsep

deteksi dini tumbuh kembang anak

- TIK : Para peserta pelatihan akan dapat memahami deteksi dini dan tumbuh kembang

anak.

B. Penyajian

- Materi : Konsep deteksi dini dan tumbuh kembang anak

- Uraian : Penjelasan tentang deteksi dini tumbuh kembang anak. Menunjukkan beberapa contoh

dalam deteksi dini tumbuh kembang anak.

- Latihan : Jelaskan beberapa hal yang mempengaruhi deteksi dini tumbuh kembang anak.

C. Penutup

Tes Formatif :

Jelaskan apa yang dimaksud dengan deteksi dini dan tumbuh kembang anak ?

Jelaskan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi konsep deteksi dini tumbuh kembang anak

(baik eksternal maupun internal ?

Umpan Balik : Bandingkan materi yang diterima saat latihan dan penggunaan dalam

menjawab tes formatif

Tindak Lanjut : Bila pemahaman tentang materi konsep deteksi dini dan tumbuh kembang

anak masih kurang dapat diminta bantuan instrukur.

SATUAN ACARA PEMBELAJARAN (SAP)

Judul Mata Pelatihan : Penjelasan tentang deteksi dini tumbuh kembang anak

Materi Pokok : Deteksi dini dan tumbuh kembang anak

Alokasi Waktu : 120 menit

I. Tujuan Instruksional Umum (TIU)

Page 284: Scanned by CamScanner - ULM

278 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Setelah selesai pelatihan ini, siswa atau peserta pelatihan dapat menjelaskan tentang konsep

deteksi dini tumbuh kembang anak.

II. Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

Para peserta pelatihan akan dapat memahami deteksi dini dan tumbuh kembang anak.

III. Indikator

Peserta pelatihan/siswa dapat :

Menjelaskan deteksi dini dan tumbuh kembang anak

IV. Model Pembelajaran

- Model pembelajaran ceramah.

- Model pengajaran tanya jawab .

V. Sumber Pembelajaran

- Buku Pedoman Deteksi Dini dan Tumbuh Kembang Anak.

- Panduan Diklat.

VI. Alat dan Bahan

OHP dan transparan.

VII. Kegiatan Belajar Mengajar

Tahap Kegiatan Belajar Kegiatan Siswa

Media dan

alat

Pengajaran

Pen

Dahulu

an

(8 menit)

1. Menjelaskan cakupan materi pendukung yang

akan dipelajari.

2. Menjelaskan seputar tentang konsep deteksi

dini tumbuh kembang anak.

3. Menjelaskan kompetensi yang akan dicapai.

Mendengarkan

dan

memperhatikan

OHP dan

transparan

Page 285: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 279

Penyajia

n/

Kegiatan

inti

(76

menit)

4. Menjelaskan tentang deteksi dini tumbuh

kembang anak.

5. Menunjukkan beberapa contoh dalam deteksi

dini tumbuh kembang anak.

Mendengarkan

dan

memperhatikan

OHP dan

transparan

Penutup

(12menit

)

13. Memantapkan kembali uraian pokok

pengajaran yang telah dipaparkan.

14. Memerintahkan kepada peserta pelatihan

untuk membaca dan menjawab pertanyaan.

Mendengarkan

dan

memperhatikan

Peserta

mengerjakan

sesuai dengan

yang ditugaskan

Buku panduan

VIII. Evaluasi

Menugaskan kepada peserta untuk menjawab soal di bawah ini :

Jelaskan karakteristik apa saja yang dapat ditemui dalam konsep deteksi dini dan tumbuh kembang

anak.

Terangkan cara proses deteksi dini dan tumbuh kembang anak menurut tahap usia anak didik.

IX. Referensi

Mainaria, M. Pd. Deteksi Dini Tumbuh Kembang Anak.

Medan, 30 Juni 2017

Instruktur,

SUKRIYAH BATUBARA

JUANDA

NATALIA NOVERI TARIGAN

Page 286: Scanned by CamScanner - ULM

280 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

BAB IX

PENUTUP

Desain pelatihan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan/arahan dalam

penyelenggaraan Diklat Instruktur/TOT bagi pelatihan Tutor PAUD Tingkat Regional Angkatan I

ini, sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai secara optimal. Desain ini bersifat fleksibel

dan dapat disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan penyelenggaran pelatihan di lapangan. Semoga

desain ini bermanfaat.

REFERENSI

Dick & Carey, (2005). “The Systematic Design of Instruction”, 6th Edition. New York

Longman.Inc.

Suparman, Atwi. (2001). Desain Instruksional. Jakarta : Universitas Terbuka.

Prawiradilaga, Dewi Salma. (2007). Prinsip Desain Pembelajaran. Jakarta : Kencana Prenada Media

Group.

Atmodiwirio. (2002). Manajemen Pelatihan. Jakarta : Ardadizya Jaya.

Suparman dan Purwanto. (1997). Analisis Pembelajaran. Jakarta : Depdikbud.

Nasriah. (2006). Pendidikan Anak Usia Dini. Medan : FIP UNIMED.

Page 287: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 281

PEMANFAATAN DESAIN MEDIA AJAR INTERAKTIF DENGAN PROGRAM MICROSOFT POWER POINT DAN ISPRING DI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (FKIP)

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

Dr. H. Hamsi Mansur, M.M.Pd 1 Agus Hadi Utama, M.Pd 2

[email protected] [email protected]

Program Studi Teknologi Pendidikan

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Lambung Mangkurat

ABSTRAK

Fokus penelitian ini adalah Pemanfaatan Desain Media Ajar Interaktif dengan Program Microsoft

Power Point dan iSpring di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Lambung

Mangkurat. Data yang akan diungkap dalam penelitian ini adalah (1) Kondisi faktual pelaksanaan

pembelajaran yang dilakukan oleh para praktisi pendidikan di lingkungan Teknologi Pendidikan

FKIP ULM Banjarmasin, (2) Pemanfaatan desain media ajar interaktif dengan program microsoft

power point dan iSpring, dan (3) Implementasi pemanfaatan desain media ajar interaktif dengan

program microsoft power point dan iSpring. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah

desain pembelajaran model ASSURE, sedangkan metode penelitian yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode penelitian dan pengembangan (R & D).

Penelitian ini menghasilkan deskripsi tentang (1) Kondisi faktual pembelajaran sebelum di

implementasikannya media power point dan ispring (2) Perencanaan dan pemanfaatan media power

point dan ispring, dan (3) Implementasi dan evaluasi media ajar interaktif dengan program

microsoft power point dan iSpring.

Kata Kunci: Microsoft Power Point, iSpring, Model ASSURE

Page 288: Scanned by CamScanner - ULM

282 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Para praktisi pendidikan baik itu guru maupun dosen adalah orang yang ditugaskan secara sadar

bertanggung jawab dalam mendidik, mengajar dan membimbing peserta didik. Seorang guru

hendaknya memiliki kemampuan merancang program pembelajaran interaktif serta mampu menata

dan mengelola kelas agar peserta didik dapat belajar dan pada akhirnya dapat mencapai kedewasaan

sebagai tujuan akhir dari proses pendidikan. Guru yang profesional adalah mereka yang

menjalankan tugas pokok dan fungsi sebagai guru secara profesional sesuai perannya sebagai tutor,

motivator, dan fasilitator.

Sebagai fasilitator seorang Guru yang profesional dituntut untuk mampu menciptakan atau

menyempurnakan program/media/bahan ajar yang interaktif agar tujuan pendidikan dapat tercapai

dengan optimal, yaitu: efektif, efisien, dan bermakna. Proses pembelajaran yang masih berpusat

pada guru (teacher-oriented) dan dengan media/bahan ajar sederhana tidaklah cukup untuk

menjalankan tugas pokok sebagai fasilitator Guru yang profesional. Pembelajaran yang tidak

memanfaatkan multimedia/media/bahan ajar yang interaktif menyebabkan potensi peserta didik

menjadi pasif dan proses pembelajaran yang selalu monoton menyebabkan pembelajaran menjadi

tidak bermutu dan bermakna.

Jika hal ini berlangsung terus menerus maka kreativitas siswa tidak akan berkembang. Seharusnya

proses interaksi dalam kegiatan belajar mengajar di kelas melibatkan berbagai pihak yang saling

berkaitan. Pihak-pihak yang berkompeten dan profesional dalam proses pembelajaran saling bekerja

sama menciptakan model-model pembelajaran dan atau media pembelajaran yang interaktif sesuai

tujuan yang akan dicapai bersama.

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, peneliti mempunyai usulan program penelitian Fakultas,

khusunya Program Studi Teknologi Pendidikan FKIP Universitas Lambung Mangkurat

Banjarmasin (ULM) berupa pemanfaatan desain media ajar interaktif dengan memanfaatkan

program Microsoft Power Point dan iSpring.

Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas, maka ada beberapa permasalahan yang dapat diidentifikasi

seperti berikut:

Bagaimanakah kondisi faktual pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh para praktisi

pendidikan di lingkungan Teknologi Pendidikan FKIP ULM Banjarmasin?

Bagaimanakah pemanfaatan desain media ajar interaktif dengan program microsoft power point dan

iSpring?

Page 289: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 283

Mengapa pemanfaatan desain media ajar interaktif diperlukan dan atau diterapkan?

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Definisi Media Ajar Interaktif

Media berasal dari bahasa latin yang merupakan bentuk jamak dari “Medium” yang berarti

“Perantara” atau “Pengantar” yaitu perantara atau pengantar sumber pesan dengan penerima pesan.

Menurut wikipedia media pembelajaran interkatif adalah sebuah metode pembelajaran berbasis

teknologi informasi dan komunikasi. Media pembelajaran interaktif merupakan media penyampaian

pesan antara tenaga pendidik kepada peserta didik yang memungkinkan komunikasi antara manusia

dan teknologi melalui sistem dan infrastruktur berupa program aplikasi serta pemanfaatan media

elektronik sebagai bagian dari metode edukasinya.

Manfaat dari media pembelajaran interaktif adalah sebagai berikut :

1. Penyampaian materi pembelajaran yang dapat diseragamkan

Dengan bantuan media pembelajaran, penafsiran yang berbeda antar tenaga pendidik dapat

dihindari dan dapat mengurangi terjadinya kesenjangan informasi diantara peserta didik dimanapun

berada.

2. Proses pembelajaran menjadi lebih jelas dan menarik

Media dapat menampilkan informasi melalui suara, gambar, gerakan dan warna, baik secara alami

maupun manipulasi, sehingga membantu tenaga pendidik untuk menciptakan suasana belajar

menjadi lebih hidup, tidak monoton dan tidak membosankan.

3. Proses pembelajaran menjadi lebih interaktif

Dengan media akan terjadinya komukasi dua arah secara aktif.

4. Efisiensi dalam waktu dan tenaga

Dengan media tujuan belajar akan lebih mudah tercapai secara maksimal dengan waktu dan tenaga

seminimal mungkin. Tenaga pendidik tidak harus menjelaskan materi ajaran secara berulang-ulang,

sebab dengan sekali sajian menggunakan media, peserta didik akan lebih mudah memahami

pelajaran.

5. Meningkatkan kualitas hasil belajar peserta didik

Media pembelajaran dapat membantu peserta didik menyerap materi belajar lebih mandalam dan

utuh.

6. Media pembelajaran interaktif

Page 290: Scanned by CamScanner - ULM

284 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Proses belajar dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja. Media pembelajaran dapat dirangsang

sedemikian rupa sehingga peserta didik dapat melakukan kegiatan belajar dengan lebih leluasa

dimanapun dan kapanpun tanpa tergantung seorang guru.

7. Media dapat menumbuhkan sikap positif peserta didik terhadap materi dan proses belajar.

Media dapat membantu peserta didik agar lebih percaya diri terhadap kemampuan akademik dan

potensi bakat yang dimiliki.

8. Mengubah peran tenaga pendidik ke arah yang lebih positif dan produktif.

Tenaga pendidik menjadi tenaga yang kompeten karena mampu memanfaatkan teknologi yang tepat

guna.

B. Desain Pembelajaran Model ASSURE

Pembelajaran Model ASSURE adalah sebuah formulasi untuk kegiatan pembelajaran

yang berorientasi di kelas yang menekankan pemanfaatan teknologi dan media dengan baik

agar siswa belajar secara aktif. Model ASSURE mengacu kepada Analyze Learners, State

Objectives, Select Methods, Media and Materials, Utilize Media and Materials, Require Learner

Participation, Evaluate and Revise.

Model ASSURE dicetuskan oleh Heinich, dkk sejak tahun 1980-an dalam mendesain pelaksanaan

pembelajaran di ruang kelas secara sistematis dengan memadukan penggunaan teknologi dan media

yang dapat digunakan untuk membantu siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran. Metode

ini terus dikembangkan oleh Smaldino, dkk. sampai sekarang. Meskipun berorientasi Kegiatan

Belajar Mengajar (KBM), namun model ini tidak menyebutkan strategi pembelajaran secara

eksplisit seperti halnya Pembelajaran Model ADDIE. Strategi pembelajaran dikembangkan melalui

pemilihan dan pemanfaatan metode, media, bahan ajar, serta peran serta peserta didik di kelas.

Model pembelajaran ASSURE sangat membantu dalam merancang program pembelajaran dengan

menggunakan berbagai jenis media yang berfokus untuk menekankan pengajaran kepada peserta

didik dengan berbagai gaya belajar, dan konstruktivis belajar dimana peserta didik diwajibkan

untuk berinteraksi dengan lingkungan mereka dan tidak secara pasif menerima informasi. Model

ASSURE sangat sederhana dan relatif mudah untuk diterapkan sehingga dapat dikembangkan

sendiri oleh pengajar serta peserta didik dapat dilibatkan dalam persiapan untuk kegiatan belajar

mengajar.

D. Program Microsoft Power Point

Program Microsoft Powerpoint pertama kali dikembangkan oleh Bob Gaskins & Dennis Austin.

Pada masa itu Ms. Powerpoint digunakan sebagai presenter untuk perusahaan bernama Forethought,

Inc yang kemudian diubah namanya menjadi Powerpoint. Versi pertama Powerpoint adalah versi

1.0 dirilis pada tahun 1087. Saat itu dirilis untuk sistem operasi Apple Macintosh. Powerpoint msih

Page 291: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 285

menggunakan warna hitam putih, yang dapat membuat halaman teks & grafik untuk OHP

(Overhead Projector). Versi berikutnya muncul setahun kemudian dengan dukungan beragam

warna.

Pada 31 Juli 1987, Microsoft mengakuisisi Forethought, Inc dan perangkat lunaknya, Powerpoint,

seharga 14 juta dollar. Setelah itu versi Powerpoint 2.0 muncul ke pasaran pada tahun 1990. Sejak

saat itu Powerpoint telah menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam paket Microsoft Office.

Microsoft Powerpoint adalah salah satu program aplikasi Microsoft Office yang berguna untuk

membuat presentasi dalam bentuk slide. Aplikasi ini biasanya digunakan untuk keperluan

presentasi, mengajar, dan untuk membuat animasi sederhana. Hadirnya Powerpoint menggantikan

cara presentasi kuno yaitu dengan transparasi proyektor atau biasa disebut OHP (Over Head

Proyector). Dengan adanya Powerpoint, membuat presentasi menjadi sangat mudah karena

didukung dengan fitur-fitur yang canggih dan menarik. Microsoft powerpoint juga menyediakan

beragam template untuk memperindah presentasi.

Kegunaan atau fungsi Microsoft Powerpoint adalah sebagai berikut:

Membuat presentasi dalam bentuk slide-slide.

Menambahkan audio, video, gambar dan animasi dalam presentasi sehingga presentasi menjadi

lebih menarik dan hidup.

Mempermudah dalam mengatur dan mencetak slide.

Membuat presentasi dalam bentuk softcopy sehingga dapat diakses melalui perangkat komputer

lainnya.

E. Program iSpring

iSpring adalah sebuah program/aplikasi komputer yang bekerja sebagai add-in Powerpoint. Add-in

iSpring dimaksudkan untuk menjadikan file-file Powerpoint lebih menarik dan interaktif berbasis

Flash dan dapat dibuka di hampir setiap komputer atau platform lainnya. Beberapa fungsi add-in

iSpring adalah sebagai berikut:

iSpring dapat menyisipkan berbagai bentuk media, sehingga media pembelajaran yang dihasilkan

akan lebih menarik, diantaranya adalah dapat merekam dan sinkronisasi video presenter,

menambahkan Flash dan video YouTube, mengimpor atau merekam audio, menambahkan

informasi pembuat presentasi dan logo perusahaan, serta membuat navigasi dan desain yang lebih

menarik.

Mudah didistribusikan dalam format flash, yang dapat digunakan dimanapun dan dioptimalkan

untuk pengolahan web.

Page 292: Scanned by CamScanner - ULM

286 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Membuat kuis dengan berbagai jenis pertanyaan/soal yaitu : True/False, Multiple Choice, Multiple-

Response, Type-In, Matching, Sequence, Numeric, Fill in the Blank, Multiple Choice Text.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian dan pengembangan model ASSURE. Model

ASSURE adalah desain pembelajaran yang digunakan dalam proses penelitian dan pengembangan

mengacu pada suatu bentuk siklus yang didasarkan dari hasil kajian temuan penelitian, kemudian

ditindak lanjuti dengan perencanaan, proses pemanfaatan, dan implementasi. Metode ini merupakan

metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan suatu produk/konten tertentu, dan menguji

keefektifan implementasi produk/konten tersebut (Sugiyono, 2010).

Pengembangan produk dalam penelitian ini didasarkan pada studi pendahuluan, kemudian diuji

dalam situasi tertentu dan dilakukan revisi terhadap hasil uji coba, sampai akhirnya diperoleh suatu

produk akhir. Dalam penelitian ini, produk yang akan dihasilkan adalah desain media ajar interaktif

dengan program microsoft power point dan iSpring.

Subyek dan Lokasi Penelitian

Subyek dalam penelitian ini adalah para praktisi pendidikan di lingkungan FKIP ULM

Banjarmasin, meliputi tenaga pengajar (dosen) dan pihak-pihak lain yang berhubungan dengan

konteks penelitian. Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Program Studi Teknologi Pendidikan FKIP

ULM Banjarmasin.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN

A. KESIMPULAN

1. Kondisi faktual pelaksanaan pembelajaran

Kondisi faktual pembelajaran sebelum di implementasikannya media power point dan

ispring adalah sebatas tatap muka kegiatan perkuliahan dengan memanfaatkan media power point

biasa dan diskusi kelompok. Dengan memanfaatkan media power point dan ispring untuk

membantu proses pembelajaran dapat meningkatkan kinerja dosen, efisiensi dalam waktu dan

tenaga, serta meningkatkan kualitas hasil belajar peserta didik. Hal ini terbukti dari hasil uji coba

instrument menunjukkan poin “interaktif” sehingga proses pembelajaran menjadi lebih jelas dan

menarik.

Page 293: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 287

2. Pemanfaatan desain media ajar interaktif dengan program microsoft power point dan iSpring.

Kegiatan perencanaan desain bahan ajar interaktif dengan program microsoft power point

dan iSpring dalam penelitian ini berjalan dengan baik dan lancar. Hal ini membuktikan bahwa para

praktisi pendidikan dan mahasiswa program studi Teknologi Pendidikan siap sedia dalam

memanfatkan desain pembelajaran model ASSURE.

3. Implementasi desain media ajar interaktif dengan program microsoft power point dan iSpring

Implementasi desain bahan ajar interaktif dengan program microsoft power point dan iSpring dalam

penelitian ini dibagi 3 (tiga), yaitu: a) perencanaan media/bahan ajar interaktif dalam penelitian ini

berjalan dengan baik dan lancar, tidak ada kendala teknis. b) pemanfaatan media/bahan ajar

interaktif dalam penelitian ini membuktikan bahwa para praktisi pendidikan dan mahasiswa

program studi Teknologi Pendidikan siap sedia dalam memanfatkan desain pembelajaran model

ASSURE. c) evaluasi kinerja/hasil pembelajaran menunjukkan terjadinya interaktifitas antara dosen

dan mahasiswa dalam proses pembelajaran sehingga telah memenuhi syarat kriteria instrument

“interaktif”.

DAFTAR PUSTAKA

Borg. W.R. dan Gall, M.D. 1983. Educational Research: An Introduction. New York: Longman.

Sugiyono, 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Jakarta: Alfhabeta.

Sujadi, 2003. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta. Rineka cipta.

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2005. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Rosdakarya.

Smaldino, Sharon. Lowter, Deborah. Russel, James D. 2011. Teknologi Pembelajaran dan Media

untuk Belajar. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Sukmadinata, Nana Sy. 2004. Kurikulum dan Pembelajaran Kompetensi. Bandung: Kesuma Karya.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D.

Bandung: Alfabeta.

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Page 294: Scanned by CamScanner - ULM

288 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

PENGEMBANGAN MULTIMEDIA INTERACTIVE WHITEBOARD UNTUK ANAK USIA DINI BERLATIH MOTORIK HALUS

MELALUI BELAJAR MENULIS HURUF

Yerry Soepriyanto1, Achmad Abrori Prawiro K1, A.J.E. Toenlioe1,

1Teknologi Pendidikan, Universitas Negeri Malang

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan dari pengembangan ini adalah untuk menghasilkan sebuah produk multimedia Interactive

WhiteBoard (IWB) yang layak sebagai alat untuk berlatih motorik halus anak usia dini melalui

belajar menulis huruf. Teknologi IWB yang digunakan adalah rancangan dari Johnny Chung Lee

yang terdiri dari LCD projector, BlueTooth dongle, WII-mote, komputer serta papan penampil.

Pengembangan menggunakan model yang diadaptasi dari Borg-Gall. Model pengembangan terdiri

dari tujuh tahap, akan tetapi dalam pengembangan ini hanya sampai pada tahap revisi produk utama

atau tahap kelima. Hasil pengujian lapangan awal dari ahli media maupun ahli materi menunjukkan

bahwa multimedia valid dan layak digunakan untuk berlatih motorik halus melalui belajar menulis

huruf. Sedangkan dari hasil pengamatan anak-anak yang berlatih motorik halus dengan belajar

menulis huruf pada multimedia IWB ini menunjukkan bahwa segi kemenarikannya tinggi meskipun

dari segi kelancaran, kemudahan serta keamanan penggunaan di kelas masih belum bisa terpenuhi.

Kata Kunci: Multimedia, Interactive WhiteBoard, belajar menulis huruf,

IWB rancangan Johnny Chung Lee

Pendahuluan

Selama ini untuk belajar mengenal huruf pada pendidikan anak usia dini menggunakan media yang

terbuat dari busa serta menggunakan media 2 dimensi berupa papan tulis dan gambar – gambar atau

buku – buku penunjang lainnya. Begitu pula pada saat berlatih motorik halus, anak- anak

menggunakan buku yang berpola untuk membentuk sesuatu yang bisa berupa bentuk, huruf atau

apapun. Hal ini bisa menimbulkan kebosanan pada siswa, perilaku yang ditunjukkan adalah

cenderung tidak menghiraukan instruksi yang diberikan oleh guru saat pembelajaran dan lebih

memilih untuk bermain dengan benda yang ada disekitarnya. Sikap yang ditunjukkan tersebut

Page 295: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 289

memberikan gambaran bahwa alat atau media yang digunakan tidak terlalu menarik, dan menantang

sehingga antusiasme dan motivasi tidak muncul pada diri anak-anak.

Multimedia Interactive Whiteboard

Multimedia merupakan integrasi dan kombinasi komponen multimedia atau beberapa jenis media

yang meliputi suara, animasi, teks, grafis, dan video (Gungoren, 2013:14). Mayer (1997) dalam

teori kognitif multimedia belajar menyatakan bahwa pebelajar melakukan tiga proses kognitif yaitu

memilih, mengatur dan mengintegrasikan. Pemilihan dipakai untuk informasi visual,

mengorganisasikan dipakai untuk informasi verbal dan pada akhirnya informasi visual dan verbal

diintegrasikan secara bersama-sama. Dengan demikian Multimedia tidaklah hanya

mengintegrasikan atau kombinasi dari berbagai jenis media, akan tetapi lebih cenderung multimedia

adalah menyampaikan informasi visual dan mengorganisasikan informasi verbal melalui salah satu

atau kombinasi media yang tepat dari beberapa jenis media dan diintegrasikan secara bersama-sama

dengan pengetahuan sebelumnya.

Interactive WhiteBoard (IWB) adalah sebuah teknologi yang menggabungkan antara layar

proyektor LCD/LED dan komputer dengan papan yang bisa disentuh untuk pengendaliannya serta

program aplikasi yang berjalan pada sistem operasi komputer tersebut. Di pasaran tersedia berbagai

macam model papan sentuh interaktif, salah satunya adalah SMARTboard yang harganya sangat

mahal untuk sebuah institusi sekolah. Secara umum, saat membeli perangkat tersebut sudah

disediakan papannya, proyektor LCD, konektor yang dihubungkan dengan komputer dan perangkat

lunak untuk mengendalikan interaksi dengan papan dan program aplikasi yang digunakan untuk

menjalankan. Untuk perangkat IWB yang digunakan adalah rancangan dari Johny Chung Lee yang

lebih terjangkau harganya. Perancangan dimulai sejak tahun 2008, seiring dengan banyaknya

pengguna perangkat game Nitendo dengan WII console-nya. Perangkat pengendali konsol game

tersebut adalah WII-mote (Wireless Remote) yang menerima interaksi melalui penerima InfraRed

dan mengirimkan sinyal hasil penerimaan ke perangkat lain dengan Bluetooth.

Gambar 1 Penempatan perangkat IWB (Chung-Lee, 2008)

Page 296: Scanned by CamScanner - ULM

290 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Rancangan terdiri dari beberapa perangkat utama yaitu papan tulis putih (whiteboard), WIImote,

Bluetooth dongle, InfraRed pen, proyektor, komputer atau sejenis Laptop/notebook, serta software

pengendali interaksi yang terinstal pada komputer. Penempatan perangkat utama diperlihatkan pada

gambar 1 yaitu Wiimote diletakkan mengarah ke papan tulis dengan sensor InfraRed (IR)

menghadap ke whiteboard. Dongle bluetooth ditancapkan pada port USB sebuah komputer yang

sudah terinstall software pengendali interaksi dan LCD Projector. Untuk pena IR nya dipergunakan

sebagai alat untuk interaksi dengan whiteboard. Secara keseluruhan biaya yang dibutuhkan tidak

lebih dari $ 150 atau Rp. 2.000.000,- (Rp. 13.300/$1) dengan asumsi proyektor dan komputer sudah

ada di dalam kelas sebagai fasilitas pembelajaran standar. Untuk software pengendali perangkat

menggunakan rancangan Johny Chung Lee yang gratis dan bersifat open source. Dengan demikian

rancangan ini lebih murah dibandingkan dengan IWB yang diproduksi secara masal oleh

perusahaan pengembang perangkat yang punya nama semacam SMARTboard.

Pada dasarnya papan interaktif adalah teknologi yang dapat membuat penggunanya untuk

berinteraksi dengan konten yang diproyeksikan dari komputer pada permukaan papan. Apapun yang

dapat dilakukan secara virtual pada komputer, juga dapat dilakukan pada permukaan papan (Swan

dkk, 2010: 132). Papan interaktif/Interactive WhiteBoard ini akan hanya sekedar papan apabila

tidak ada muatan atau isi yang terkandung didalamnya dan dijadikan interaksi dengan pengguna.

Untuk itu multimedia menjadi sebuah content/isi agar papan interaktif berfungsi dan bermakna

sesuai dengan yang diharapkan. Multimedia akan sangat berbeda bila hanya sekedar dijalankan

pada sebuah komputer biasa dengan tampilan yang digunakan monitor dan alat yang dipakai adalah

mouse dan keyboard. Multimedia Interactive Whiteboard menyediakan kemampuan untuk

menggabungkan fasilitas grafis berskala besar, animasi, video dan audio. Hal ini menjadikan

teknologi ini dapat memperkuat proses belajar dengan cara yang tidak tersedia saat menggunakan

papan tradisional. Terlebih lagi papan bisa disentuh dan informasi bisa dimanipulasi memberikan

jangkauan yang lebih luas dalam keterlibatannya. IWB juga bisa memberikan bantuan dalam belajar

kinestetik yang memungkinkan anak menghubungkan informasi verbal dan visual dengan

keterlibatan aktif melalui manipulasi dan pergerakan objek yang sedang dibahas. Hal ini cenderung

memiliki dampak positif pada retensi dan keterlibatan di kelas (Miller, 2005).

Levy (2002) yang melakukan riset kecil terhadap sikap anak-anak dalam menggunakan teknologi

IWB menyatakan bahwa lebih menyenangkan dan menggairahkan mereka dalam belajar serta lebih

tertarik dibandingkan dengan whiteboard normal. Smith (2001) juga menunjukkan peningkatan

antusiasme dan motivasi yang dihasilkan oleh pengguna IWB. Bahkan North Islington Education

Action Zone berpendapat bahwa IWB dapat memperbaiki perilaku dan mendorong anak untuk

memperhatikan lebih lama, serta juga bisa memberi kontribusi pada tingkat pencapaian yang lebih

tinggi. Cuthell (2005) menyatakan bahwa bermain adalah elemen yang penting dari belajar dan

Page 297: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 291

IWB dapat secara efektif mengkombinasikan niat serius dengan bermain-main. Inilah yang disebut

“ostensiveness” oleh Cuthell dimana istilah tersebut adalah cara anak-anak belajar dengan

menunjuk obyek untuk memperkuat konsep.

Motorik Halus Anak Usia Dini

Perkembangan fisik motorik halus pada anak sangat berpengaruh. Banyak kegiatan yang dapat

dilakukan untuk meningkatkan gerak motorik halus anak salah satu contohnya adalah permainan

dot – to – dot permainan ini dapat mengkoordinasikan antara mata dengan tangan dalam

menghubungkan titik – titik yang akan membentuk suatu pola, gambar atau bahkan huruf. Sehingga

dapat meningkatkan gerak motorik halus pada anak, selain itu anak juga dapat mengenal huruf

ataupun hewan sekitar rumah. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) pada hakikatnya adalah

pendidikan yang diselenggarakan dengan tujuan untuk memfasilitasi pertumbuhan dan

perkembangan anak secara menyeluruh atau menekankan pada pengembangan seluruh aspek

kepribadian anak. Oleh karena itu, Lembaga PAUD memberi kesempatan bagi anak untuk

mengembangkan kepribadian dan potensi secara maksimal. Anak belajar melalui bermain, anak

belajar dengan cara membangun pengetahuannya, anak belajar secara alamiah, dan anak belajar

paling baik jika apa yang dipelajarinya mempertimbangkan keseluruhan aspek pengembangan,

bermakna, menarik, dan fungsional (Masitoh, 2009). Menurut Sujiono (2007:9) fisik motorik adalah

gerakan yang mungkin dapat dilakukan oleh seluruh tubuh. Perkembangan motorik adalah

perkembangan unsur kematangan dan pengendalian gerak tubuh, sedangkan keterampilan motorik

berkembang sejalan dengan kematangan syaraf dan otot. Karena Mengembangkan kemampuan

motorik sangat diperlukan anak agar mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.

Sedangkan dari hasil observasi yang dilakukan di TK Dharma wanita 3 malang, pada materi

pengenalan huruf alphabet media yang digunakan masih terbuat dari busa serta menggunakan media

2 dimensi berupa papan tulis dan gambar – gambar atau buku – buku penunjang lainnya. Karena

penggunanaan media tersebut secara terus menerus tanpa adanya inovasi dari media pembelajaran

yang digunakan menyebabkan siswa merasakan kebosanan. Kebosanan ini salah satunya

ditunjukkan dengan perilaku siswa yang cenderung tidak menghiraukan instruksi yang diberikan

oleh guru saat pembelajaran dan lebih memilih untuk bermain dengan benda yang ada disekitarnya.

Pemberian stimulus, dan penggunaan bahan pembelajaran bisa memberikan motivasi dan dorongan

dalam belajar serta sikap yang diharapkan. Penggunaan bahan pembelajaran mengenal huruf

didasarkan pada prinsip bahwa PAUD merupakan tempat yang menyenangkan dan menarik, tempat

anak bermain sambil mempelajari berbagai hal termasuk mengenal huruf.

Metode

Page 298: Scanned by CamScanner - ULM

292 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Dalam penelitian ini, menggunakan model penelitian dan pengembangan Borg and Gall yang telah

diadaptasi hingga diperoleh tujuh tahapan penelitian dan pengembangan. Tujuh tahapan tersebut

ditunjukkan dalam gambar berikut:

Gambar 2 Model Pengembangan yang diadaptasi dari Borg dan Gall (1983)

Multimedia Interactive WhiteBoard untuk anak usia dunia berlatih motorik halus melalui belajar

menulis huruf telah diujicobakan pada siswa TK A di TK Dharma Wanita 3 Malang. Sebelum

pelaksanakan uji coba lapangan, validasi dilakukan terhadap produk yang dikembangkan oleh ahli

media dan ahli materi untuk mengetahui kelayakannya. Berdasarkan hasil dari validasi ahli media

dan ahli materi diperoleh masukan yang digunakan sebagai bahan revisi produk. Setelah dilakukan

revisi produk, uji coba lapangan dilakukan. Dari uji coba lapangan diperoleh gambaran terhadap

produk multimedia interactive whiteboard yang dikembangkan. Dengan demikian hanya lima tahap

yang dilakukan dari tujuh tahap yang disarankan oleh model tersebut.

Produk pengembangan ini merupakan sebuah prototype multimedia papan interaktif. Alat yang

diperlukan adalah komputer atau laptop, dengan spesifikasi minimum komputer atau laptop pentium

4 menggunakan operating system Windows7, RAM 1GB dan terdapat CD-ROM di dalamnya.

LCD Proyektor, WII Remote, dan IR pen yang dilengkapi sensor LED infrared serta software

utama dan sofware pendukung. Software utama dalam pengembangan multimedia adalah Delphi

XE5 yang digunakan untuk membuat aplikasi multimedia pembelajaran. Software pendukung

dalam pembuatan media interaktif pengembang menggunakan software Adobe Photoshop CC untuk

editing gambar dan background dan software adobe audition CS6 untuk editing audio.

Analisis Data

Penelitian dan Pengumpulan Informasi

Perencanaan

Pengembangan Produk Awal

Uji Coba Awal

Revisi Hasil Uji Coba

Uji Coba Utama

Revisi dan Produk Akhir

Page 299: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 293

Teknik analisis data yang digunakan dalam dan evaluasi para ahli untuk uji produk adalah data

kualitatif dan data kuantitatif berupa presentase. Dari perolehan data tersebut akan dianalisis secara

kualitatif dan kuantitatif.

Data kuantitatif diperoleh dari ahli media dan ahli materi yang berupa angket kuisioner. Rumus

untuk mengolah data adalah sebagai berikut:

Keterangan :

P = Persentase

100 = Konstanta

Data Kualitatif diperoleh dari tanggapan dan saran ahli media dan ahli materi dan hasil observasi di

lapangan saat uji coba produk berupa kemenarikan, efisiensi, dan efektifitas saat menggunakan

produk multimedia interactive whiteboard untuk anak usia dini berlatih motorik halus melalui

belajar menulis huruf.

Pedoman yang digunakan untuk menilai kelayakan multimedia pengenalan huruf vokal pada papan

interaktif. digunakan kriteria tingkat kelayakan.

Tabel adaptasi kriteria tingkat kelayakan (Arikunto, 2010)

Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan pengolahan data dari hasil penyebaran dan pengisian angket kepada dua responden,

yakni satu orang ahli media dan satu orang ahli materi, maka dapat diinterpretasikan bahwa ahli

media menyatakan produk dalam kriteria valid dengan rata-rata 86,25%. Untuk ahli materi

memberikan pernyataan valid juga dengan rata-rata persentase sebesar 96,25%.

Dari sajian di atas dapat disimpulkan bahwa multimedia interactive whiteboard untuk anak usia dini

berlatih motorik halus melalui belajar menulis huruf dikatakan valid pada setiap validasi yang

dilakukan yaitu validasi ahli media dan ahli materi. Dengan kata lain multimedia interactive

Kategori Persentase keterangan Skor

A

B

C

D

76 – 100

51 – 75

26 – 50

0 – 25

Valid

Cukup valid

Kurang valid

Tidak valid

4

3

2

1

P =𝑗𝑗𝑖𝑖𝑗𝑗𝑡𝑡𝑡𝑡ℎ𝑑𝑑𝑡𝑡𝑘𝑘𝑡𝑡𝑡𝑡𝑖𝑖𝑘𝑘𝑖𝑖ℎ𝑡𝑡𝑛𝑛𝑗𝑗𝑡𝑡𝑎𝑎𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑛𝑛𝑘𝑘𝑡𝑡𝑘𝑘𝑎𝑎𝑎𝑎𝑛𝑛𝑑𝑑𝑡𝑡𝑛𝑛

𝑘𝑘𝑑𝑑𝑎𝑎𝑘𝑘𝑗𝑗𝑡𝑡𝑑𝑑𝑘𝑘𝑖𝑖𝑗𝑗𝑡𝑡𝑡𝑡𝑥𝑥 100

Page 300: Scanned by CamScanner - ULM

294 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

whiteboard untuk anak usia dini berlatih motorik halus melalui belajar menulis huruf valid dan

layak digunakan dalam kegiatan pembelajaran.

Dari hasil observasi pada saat uji coba lapangan diperoleh kesimpulan bahwa dari segi

kemenarikan media sudah terpenuhi tetapi dari segi keefisienan poin kelancaran penggunaan alat

permainan belum terpenuhi karena terdapat dua anak yang kesulitan ketika menggunakan IR Pen.

Keamanan permainan saat dipergunakan juga belum terpenuhi karena pada saat memainkan ada

seorang anak yang selalu mendekat pada perangkat keras yang terhubung dengan listrik serta

penyangga proyektor LCD/LED yang mudah goyang apabila tersenggol. Segi keefektifan pada butir

kemudahan menghubungkan titik belum terpenuhi karena terdapat dua anak yang kesulitan

menghubungkan titik dengan lurus. Dua anak tersebut sulit melihat titik yang akan dihubungkan

karena proyeksi dari LCD proyektor terhalang oleh tangan mereka, hal ini dikarenakan dua anak

tersebut tidak memposisikan tubuhnya dengan benar.

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan hasil pengembangan multimedia interactive whiteboard untuk anak usia dini berlatih

motorik halus melalui belajar menulis huruf, dapat disimpulkan bahwa produk ini valid dan layak

digunakan dalam kegiatan pembelajaran.

Dalam rangka pemanfaatan multimedia pengenalan huruf papan interaktif harus disertai dengan

bimbingan guru. Hal ini diperlukan karena peran guru adalah mencontohkan cara penggunaan atau

berinteraksi dengan content/isi dan membantu anak-anak yang mengalami kesulitan selama proses.

Selain itu guru juga berperan memberi pertanyaan singkat sebagai upaya evaluasi terhadap materi.

Sebelum disebarluaskan sebagai media penunjang pembelajaran perlu dilakukan kajian terhadap

sasaran yang dituju terlebih dahulu agar nantinya produk dapat dimanfaatkan sesuai dengan

kebutuhan sasaran. Produk juga masih terbatas pada huruf-huruf tertentu yang hanya melibatkan

bentuk titik, garis, lingkaran, dan kurva belum ke bentuk-bentuk yang lebih kombinasional dan

kompleks.

Daftar Rujukan

Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT. Rhineka Cipta.

Borg, W., & Gall, M. (1983). Educational Research: An Introduction. New York: Longman Inc.

Chung-Lee, J. (2008). http://johnnylee.net/projects/wii. Retrieved May 23, 2011.

Cuthell, J. P. (2005) Seeing the Meaning. The impact of interactive whiteboards on teaching and

learning. Proceedings of WCCE 05 Stellenbosch South Africa. Diperoleh dari:

http://crescerinteractivo.portodigital.pt/downloads/SeeingTheMeaning-

ImpactInteractiveWhiteboards.pdf (diakses tanggal 05.01.2010).

Page 301: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 295

Gungoren, O. C. (2013). Authentic Learning in Multimedia. Journal of Distance Education and e-

Learning, 1 (3), 14-19.

Levy, P. (2002) Interactive Whiteboards in Learning and Teaching in Two Sheffield Schools: A

Developmental Study. Department of Information Studies, University of Sheffield. Diperoleh dari:

www.dis.shef.ac.uk/eirg/projects/wboards.htm (diakses tanggal 03.04.06).

Mayer, R.E. (1997). Multimedia learning: Are we asking the right questions. Educational

Psychologist 32:1–19.

Mayer, R.E. (2001). Multimedia Learning. Boston: Cambridge University Press.

Miller, D.J., Glover, D. and Averis, D. (2005) Developing Pedagogic Skills for the Use of

Interactive Whiteboards in Mathematics. Glamorgan: British Educational Research Association.

Diperoleh dari:www.keele.ac.uk/depts/ed/iaw/docs/IAWResearch.pdf (diakses tanggal 15.06.06).

North Islington Education Action Zone (2002) Why Interactive Whiteboards Work For Us.

Diperoleh dari: www.virtuallearning.org.uk/whiteboards/Why_IWB_work_for_us.pdf (diakses

tanggal 13.10.06).

Smith, H (2001) SmartBoard™ Evaluation: Final Report. Maidstone: Kent NGFL. Diperoleh dari:

www.kented.org.uk/ngfl/ict/IWB/whiteboards/report.html#top (diakses tanggal 04.04.06).

Sujiono, B, dkk. (2008). Metode Pengembangan Fisik. Jakarta: Universitas Terbuka.

Swan, K., Kratcoski, A., Schenker, J., & Hooft, M. (2010). Interactive Whiteboards and Student

Achievement. Interactive Whiteboard For Education: Theory, Research and Practice, 1 (9), 131-

143.

Page 302: Scanned by CamScanner - ULM

296 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

IMPLEMENTASI MODEL PROBLEM BASED LEARNING PADA PROGRAM KEAHLIAN TATA BOGA GUNA MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN

Dr. Kokom Komariah, M.Pd1 /[email protected]

Prof. Dr. Herminarto Sofyan, M.Pd2 /[email protected],

Dr. Wagiran, M.Pd3 /[email protected]

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas model Problem Based Leaning (PBL) pada

program Keahlian Tata Boga dalam meningkatkan kualitas pembelajaran. Penelitian dilakukan di

SMK yang mempunyai Program Keahlian Tata Boga di Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu

SMKN 4 Yogyakarta, SMK N 3 Wonosari, dan SMKN 1 Sewon Bantul. Subjek penelitian adalah

guru yangmelakukan implementasi PBL. Data dikumpulkan melalui observasi yang dilakukan oleh

guru. Hasil penelitian implementasi PBL pada sejumlah aktivitas dalam pembelajaran Tata Boga

menunjukkan bahwa perilaku-perilaku posisif muncul dalam kriteria tinggi. Keterlibatan siswa

dalam proses pembelajaran dinilai sangat tinggi. Aktifitas siswa selama mengikuti pembelajaran

pada umumnya sangat tinggi, dan menurunnya aspek negative dalam pembelajaran misalnya ramai

tidak memperhatikan penjelasan guru, mengganggu temannya belajar dan ribut.

Kata Kunci: Problem Based Learning, SMK Tata Boga, Kualitas Pembelajaran

Pendahuluan

Kualitas sumberdaya manusia (SDM) merupakan faktor kunci yang menentukan kualitas

suatu bangsa. Penelitian yang dilakukan oleh Muchlas Samani, 2008:3) menunjukkan bahwa

kekuatan suatu Negara dalam era global akan ditentukan oleh faktor-faktor: 1) Inovasi dan

kreativitas (45%), networking (25%), teknologi (20%), dan sumberdaya alam (10%). Oleh karena

itu sumberdaya tidak akan efektif kalau kita hanya menggunakan sumberdaya alamnya saja.

Pendidikan mempunyai peran yang sangat signifikan dalam penyiapan sumberdaya

manusia untuk hidup pada era mendatang yang sarat dengan perubahan-perubahan dalam segala

aspek. Oleh karena itu pendidikan yang terencana dapat mengembangkan potensi sumberdaya

manusia secara holistic meliputi kecerdasan intelektual, spiritual, emosional, sosial dan kinestetis,

sehingga proses pendidikan harus berorientasi pada kemampuan adaptasi, mampu berfikir kritis

Page 303: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 297

dan berpikir tingkat tinggi. Pendidikan tidak lagi dilihat sebagai upaya menyiapkan peserta didik

untuk bekerja di masa depan, tetapi bisa hidup kapan dan dimanapun.

Guna mengembangkan semua potensi tersebut, dibutuhkan suatu strategi atau model

pembelajaran yang dapat melatih peserta didik untuk mengembangkan semua potensinya.

Pendekatan scientific merupakan salah satu bentuk unggulan kurikulum 2013. Salah satu

bentuk model pembelajaran yang sangat disarankan dalam implementasi kurikulum 2103 adalah

Problem Based Learning.

Program Kehlian Tata Boga di SMK merupakan program unggulan yang keberadaannya

cukup lama di Indonesia. Namun guru masih kesulitan memadukan kajian keilmuan bidang tata

boga antara imu (science) dan seni (art). Banyak materi-materi yang diberikan di sekolah masih

bersifat hafalan dan teks book. Buku-buku yang ada di sekolah saat ini belum sepenuhnya dapat

mengakomodir kebutuhan peserta didik dan kebutuhan lulusan di dunia kerja. Banyak materi

yang hanya sifatnya hafalan dan belum cukup mendalam, sehingga guru masih perlu

menambahkan materi dari sumber lain. Akibatnya guru tidak terbiasa menemukan konsep pada

pembelajaran tata boga.

Guna meningkatkan kualitas pembelajaran, salah satu solusi yang diterapkan adalah

model pembelajaran PBL (Problem based learning). PBL merupakan model pembelajaran yang

menyajikan masalah kontekstual, sehingga dapat merangsang peserta didik belajar untuk

memecahkan masalah, baik secara individu maupun kelompok.

Susanto (2015) menyatakan bahwa PBL akan membuat peserta didik terbiasa

menghadapi masalah-masalah dan tertantang untuk untuk menyelesaikan masalah baik di dalam

kelas, maupun di dalam kehidupan sehari-hari. Muhson (2009:171) menegaskan bahwa PBL

merupakan metode belajar menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan

dan mengintegrasikan pengetahuan baru, berfokus pada keaktifan peserta didik yang diharapkan

dapat mengembangkan pengetahuan mereka sendiri .

Salah satu hal yang menarik dalam mengimplementasikan PBL dalam pembelajaran Tata Boga

adalah apa yang ditulis oleh Fogaty (1997) dengan istilah KND (Know, Need, Do) yaitu apa

yang kita tahu, apa yang kita perlu tahu dan apa yang dapat kita kerjakan. Strategi KND dapat

dijadikan sebagai salah satu arahan guna mengembangkan kegiatan pembelajaran dengan model

PBL.

Jonassen (2004:3) menjelaskan bahwa dalam mengembangkan masalah dalam PBL dapat dilihat

berdasarkan empat hal, yaitu 1) struktur masalah, 2) kompleksitasnya, 3) dinamikanya, 4)

spesifikasinya atau sulit tidaknya difahami. Selanjutnya proses Problem Based Learning dalam

Page 304: Scanned by CamScanner - ULM

298 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

sebuah model pembelajaran di luar kelas yang dikembangkan oleh Fogarty (1997: 19-20)

mempunyai tahapan 1) meet the problem; 2) define the problem, 3) gather the facts, 4) generate

questions, 5) hypothesize, 6) researchs, 7) generate alternative, and 8) advocate solutions.

Implementasi model PBL dalam mata pelajaran Tata Boga diharapkan dapat melatih siswa

untuk belajar mandiri, menggunakan masalah dunia nyata sebagai konteks bagi peserta didik

untuk belajar dengan cara berpikir kritis dan keterampilan dalam memecahkan masalah kehidupan.

Langkah awal yang perlu dilakukan dalam menerapkan PBL adalah merubah pola pikir pengajar

tentang PBL. Perlu diyakinkan bahwa PBL merupakan pembelajaran yang dapat diterapkan dalam

mendukung pembelajaran di Kurikulum 2013. Seperti dikatakan oleh Arens, (2008:41-43) bahwa

PBL bertujuan untuk membantu peserta didik untuk mengembangkan keterampilan berikir dan

keterampilan mengatasi masalah, mempelajari peran orang dewasa dan menjadi pelajar yang

mandiri.

Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan kejuruan abad XXI adalah pendidikan untuk untuk

(1) membangun transformasi budaya tekno sains-sosio-kultural; (2) penguasaan tingkat

keterampilan menjalani dan memenuhi kebutuhan hidup (life skills) diri pribadinya dalam

berkeluarga, masyarakat, berbangsa dan bernegara, (3) penguasaan keterampilan belajar (learning

skills) sepanjang hayat dalam kehidupan nyata, (4) peningkatan inovasi penerapan kemampuan

berpikir kritis, kreatif, berkomunikasi, dan berkolaborasi dengan orang lain; (5) peningkatan

keterampilan menggunakan informasi multi media; (6) pemenuhan aspek efisiensi social untuk

mendapatkan atau memiliki pekerjaan yang layak, pantas, baik dan sopan (decent work); (7)

peningkatan kapabilitas posisikarier sehingga mandiri dalam berkesejahteraan (Sudira, 2016: 223)

Berdasarkan hal tersebut implementasi model pembelajaran Problem based learning dalam

pembelajaran merupakan suatu solusi yang dihadapkan mempunyai daya ungkit untuk

memperbaiki output pendidikan kejuruan agar sesuai dengan tuntutan abad XXI.

2. Metode

Penelitian dilakukan di SMK yang mempunyai Program Keahlian Tata Boga di Daerah Istimewa

Yogyakarta, yaitu : SMKN 4 Yogyakarta, SMK N 3 Wonosari, dan SMKN 1 Sewon Bantul.

Subjek penelitian adalah guru yang melakukan implementasi PBL. Data dikumpulkan melalui

observasi yang dilakukan oleh guru. Analisis data dilakukan secara deskriptif.

3. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Hasil penerapan Problem Based Learning yang dilakukan di SMK Tata Boga yang diwakili

oleh SMKN 4, SMK N 3, dan SMKN 1 Sewon Bantul perilaku siswa saat melaksanakan PBL

sebagai berikut

Hasil Observasi Perilaku dan Aktivitas Siswa dalam Implementasi Model Pembelajaran

Problem Based learning

Page 305: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 299

Proses penelitian yang dilaksanakan menggunakan dua angket yaitu guru dan siswa. Adapun hasil

pengamatan yang dilakukan guru selama proses penerapan Problem Based Learning sebagai

berikut:

Tabel 1. Pengamatan Perilaku Siswa oleh Guru

No Aspek yang diamati Skor Kriteria

1. Antusias dalam belajar 4,33 Sangat Tinggi

2. Menanggapi positif dorongan

guru/teman 4,00 Tinggi

3. Menentukan target penyelesaian

tugas 4,00 Tinggi

Rerata 4,11 Sangat Tinggi

Pada sejumlah aktivitas dalam pembelajaran Tata Boga menunjukkan bahwa perilaku-

perilaku posisif muncul, seperti antusiame dalam belajar sangat tinggi, menanggapi posisitif

dorongan teman/guru dan siswa rata-rata mempunyai target dalam penyelesaian tugas ada dalam

criteria tinggi .

Tabel 2. Tingkat Keterlibatan Siswa dalam Proses Pembelajaran

No Aspek yang diamati Skor Kriteria

1. Memperhatikan penjelasan guru 4,50 Sangat Tinggi

2. Memperhatikan petunjuk kerja 4,00 Tinggi

3. Memperhatikan proses

penyelesaian masalah 4,17 Sangat Tinggi

4. Memperhatikan pendapat siswa

lain 4,33 Sangat Tinggi

Rerata 4,25 Sangat Tinggi

Selama proses pembelajaran Problem Based Learning dilaksanakan secara umum siswa dinilai

tinggi dalam memperhatikan penjelasan guru, petunjuk kerja dan proses penyelesaian masalah serta

memperhatikan pendapat siswa lain. Hasil ini sesuai dengan apa yang dikemukan oleh Fogaty

(1997) yaitu penggalian apa yang mereka ketahui, apa yang mereka butuh untuk diketahui dan

apa yang perlu meraka kerjakan. Hal ini berdampak pada tingkat kerlbatan sisiwa dalam

pembelajaran sangat tinggi

Tabel 3. Tingkat Keaktifan Siswa dalam Proses Pembelajaran

Page 306: Scanned by CamScanner - ULM

300 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

No Keaktifan Siswa Skor Kriteria

1. Bertanya 4,00 Sangat Tinggi

2. Mengemukakan ide 3,83 Tinggi

3. Mengerjakan soal latihan 4,17 Sangat Tinggi

4. Melakukan

demonstrasi/presentasi 4,17 Sangat Tinggi

Rerata 4.04 Tinggi

Selain itu, aktifitas siswa selama mengikuti pembelajaran seperti bertanya, mengemukakan ide,

mengerjakan soal latihan, melakukan demonstrasi/ presentasi pada umumnya sangat tinggi.

Bertanya dalam hal ini terkait dengan apa yang perlu mereka ketahui, misalnya terkait metode

pengolahan makanan kering atau basah, prinsip-prinsipnya, prosedur kerja dan hal-hal apa yang

perlu mereka lakukan untuk mendapatkan hasil yang optimal.

Mengerjakan soal, terkait dengan menyunpulkan informasi, belajar memecahkan masalah, sesuai

dengan pendapat Komariyah & Manoy (2014: 188) menyatakan bahwa PBL merupakan

kerangka konseptual yang menggambarkan proses rincian dan penciptaan lingkungan belajar

yang menggunakan masalah kontekstual sebagai fous untuk mengembangkan keterampilan

pemecahan masalah.

Tahapan melakukan demonstrasi dan presentasi juga sangat tinggi, karena pada prinsipnya

tahapan dalam PBL ada kesamaan dengan scientific, dimana ada proses mengomunikasikan di

akhir pembelajaran.

Tabel 4. Menurunnya Aspek Negatif dalam Proses Pembelajaran

No Aspek yang diamati Skor Kriteria

1. Ada siswa yang ramai tidak

memperhatikan pelajaran 2,50 Rendah

2. Ada siswa yang mengganggu

temannya 1,83

Sangat

Rendah

3. Ada siswa yang ribut 1,67

Sangat

Rendah

Rerata 2,00

Sangat

Rendah

Penerapan model Problem Based Learning yang dinilai masih baru di SMK berpotensi dapat

menimbulkan beberapa kondisi yang membuat kurang kondisifnya kelas. Adanya kebebasan siswa

Page 307: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 301

dalam proses belajar seperti diskusi, presentasi dan lain-lain dapat menyebabkan terjadinya kelas

yang ramai, ribut serta mengganggu siswa lain dalam belajar. Hasil pengamatan yang dilakukan

tampak siswa yang ramai dan tidak memperhatikan tergolong rendah, artinya siswa ramai karena

terjadinya proses bertanya dan diskusi, tapi tidak menggannggu temannya, bukan ramai dan ribut

yang mengganggu berjalannya proses pembelajaran.

4. Kesimpulan

. Efektiivitas implementasi Model Problem Based Learning pada program keahlian Tata Boga

di Daerah Istimewa Yogyakarta dapat disimpulkan sebagai berikut

Penerapan PBL pada sejumlah aktivitas dalam pembelajaran Tata Boga menunjukkan bahwa

perilaku-perilaku posisif muncul, seperti antusiame dalam belajar sangat tinggi, menanggapi

posisitif dorongan teman/guru dan siswa rata-rata mempunyai target dalam penyelesaian tugas

ada dalam kriteria tinggi .

Selama proses pembelajaran Problem Based Learning secara umum keterlibatan siswa dalam

proses pembelajaran dinilai sangat tinggi, hal ini ditandai dengan keterlibatannya dalam

memperhatikan penjelasan guru, petunjuk kerja dan proses penyelesaian masalah serta

memperhatikan pendapat siswa lain.

Aktifitas siswa selama mengikuti pembelajaran seperti bertanya, mengemukakan ide, mengerjakan

soal latihan, melakukan demonstrasi/ presentasi pada umumnya sangat tinggi.

Penerapan model Problem Based Learning menunjukkan menurunnya aspek negative dalam

pembelajran misalnya ramai tidak memperhatikan penjelasan guru, mengganggu temannya belajar

dan ribut.

Sumber

Atmojo, S.E.( 2013). Penerapn Model Berbasis Masalah dalam Peningkatan Hasil Belajar

Pengolahan Lingkungan”. Jurnal Kependidikan 43 (2), 134-143

Fogaty. R. (1997). Problem based Learning & Curriculum Models for the Multiple Intelegences

cCassroom. Illinois: Sky Ligh Profesional Development

Harris,R. (1998) Introduction to Problem Solving. www.virtualSalt.

Jonassen, D.H (2011). Learning To Solve Problem. A Handbook for Desaining Problem Solving

Environment. New York: Routledge.

Komariyah, S., S & Manoy , J.T 2014. “ Penerapan Problem Based Learning (PBL) dengan metode

Creative Problem Solving (CPS) pada materi barisan dan eret Aritmatika Kelas X” Jurnal Ilmiah

pendidikan Matematika.

Page 308: Scanned by CamScanner - ULM

302 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Muchlas Samani. (2008). Pengembangan Life Skill: Tantangan bagi guru vokasi. Makalah

disampaikan dalam seminar nasional Mencetak Guru Profesional dan Kreatif bidang Vokasi,

diselenggarakan oleh Program Hibah Kompetisi A3 Juurusan PTBB FT, di Universitas Negeri

Yogyakarta.

Muhson . A. (2009). Peningkatan Minat Belajar dan Pemahaman Mahasiswa Melalui Penerapan

Problem Based Learning”. Jurnal Keendidikan, 39 (2) , 171 -182

Sofyan. H. (2016) Potential Implementation of Problem Based learning in Kurikulum 2013

Context at Vocational High School. Proceeedings the 2015. International Conference on Inovation

in Engeneering and Vocational Education. Indonesia: Bandung.

Sudira, P. (2016) .TVET Abad XXI Filosofi, Teori, Konsep, dan Strategi Pembelajaran Vokasional.

Yogyakarta: UNY Press.

Suya Dharma, (2013). Tantangan Guru SMK Abad 21 Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidik dan

Tenaga Kependidikan Pendidikan Menengah, Direktorat Jendral pendidikan Menengah Kementrian

Pendidikan dan Kebudayaan.

Wagiran. (2013). Kinerja Guru Teori, Penilaian dan Upaya Peningkatannya. Yogyakarta:

Deepublish.

Page 309: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 303

PEMBELAJARAN BERBASIS MULTIMEDIA UNTUK MENINGKATKAN PERBENDAHARAAN KATA SISWA TUNARUNGU KELAS I DI SLB B/ C PARAMITA GRAHA BANJARMASIN

Mirnawati, S.Pd., M.Pd1; Khairunnisa, S.Pd2

[email protected]

Program Studi Pendidikan Luar Biasa, FKIP ULM Banjarmasin

ABSTRAK

Seseorang dapat berinteraksi dengan adanya komunikasi, komunikasi dapat terjalin dengan baik

karena cukupnya perbendaharaan kata yang dimilikinya. Permasalahan yang terdapat pada siswa

tunarungu kurang dengar adalah miskinnya perbendaharaan kata yang dimilikinya, hal tersebut

membuat siswa tidak mengetahui nama-nama dari benda disekitar lingkungannya bahkan tidak

mampu mengucapkannya. Penelitian ini mengemukakan tentang penggunaan media pembelajaran

berbasis multimedia dalam meningkatkan perbendaharaan kata siswa tunarungu kurang dengar,

media tersebut merupakan media yang inovatif, kreatif dan menyenangkan agar bisa menarik

perhatian anak untuk mengikuti pembelajaran.Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah

quasi eksperimen dengan desain penelitian time series design (O1 O2 O3 O4 X O5 O6 O7 O8)

yang terdiri dari pre test yaitu pemberian tes sebelum diberikan perlakuan, treatmen yakni

menggunakan media pembelajaran berbasis multimedia dan post test yaitu pemberian tes setelah

diberikan perlakuan. Subjek dalam penelitian ini adalah seorang siswa tunarungu kurang dengar

kelas dasar I di SLB B/ C Paramita Graha Banjarmasin yang berinisial Nn. Teknik pengumpulan

data menggunakan tes, angket validasi, observasi dan dokumentasi. Instrumen pengumpulan data

menggunakan soal, lembar angket validasi, observasi dan alat dokumentasi. Teknik analisis data

dalam penelitian ini menggunakan analisis data statistik deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan

adanya peningkatan terhadap perbendaharaan kata siswa tunarungu yang berinisial NN kelas dasar I

di SLB B/ C Paramita Graha Banjarmasin. Adapun hasil pre test (O1=1)+(O2=2)+(O3=4)+(O4=4)=

11 yang menunjukkan hasil kemampuan awal anak masih rendah. Pada ke 3 kali treatmen

menggunakan media pembelajaran berbasis multimedia terbukti motivasi siswa, keaktifan siswa

dan tanggung jawab siswa tinggi. Hal ini terbukti dengan hasil post test

(O5=20)+(O6=22)+(O7=25)+(O8=28)= 95, yang menunjukkan hasil kemampuan yang meningkat.

Kesimpulan dalam peneitian ini adalah media pembelajaran berbasis multimedia dapat berpengaruh

positif pada kemampuan perbendaharaan kata siswa tunarungu kurang dengar kelas asar I di SLB B/

C Paramita Graha Banjarmasin.

Kata kunci: pembelajaran berbasis multimedia, perbendaharaan kata, siswa tunarungu

Page 310: Scanned by CamScanner - ULM

304 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Latar Belakang

Manusia selain sebagai makhluk individu juga berperan sebagai makhluk sosial yang kehidupannya

membutuhkan orang lain dalam aktifitas kesehariannya. Aktifitas tersebut untuk dapat berjalan

dengan baik dibutuhkan sebuah jalinan komunikasi dan interaksi yang baik antara lingkungan

sekitar baik lingkungan keluarga maupun masyarakat. Proses ini adalah sebuah hal yang sangat

dibutuhkan oleh seorang manusia sebab manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan

manusia lain untuk saling membantu dan berbagi sebagai keperluan dalam mencapai kebutuhan dan

kelangsungan hidupnya.

Menurut Desmita dalam Hidayati (2015:2) Interaksi dan komunikasi terbangun sejak dini, ketika

bayi dalam kandungan terlahir, tumbuh dan berkembang maka keluarga, ibu, ayah, adik, kakak dan

anggota keluarga lainnya membangun interaksi dengan berbagai cara dan ketika beranjak besar

mulai memerlukan orang lain untuk memperoleh berbagi informasi, pengetahuan, belajar dan

mengembangkan diri menjadi manusia yang lebih dewasa dalam sebuah struktur sosial yang sesuai

dengan tatanan kehidupan.

Komunikasi adalah proses terjadinya pengiriman pesan dari seseorang kepada orang lain. Oleh

karena itu dengan adanya komunikasi maka interaksi akan lebih bermakna. Melalui komunikasi

pula manusia dapat menyampaikan keinginannya, mengungkapkan perasaannya, memberikan

informasi, menyampaikan pendapat ide dan pikirannya baik secara verbal (lisan) maupun non

verbal (isyarat).

Komunikasi yang baik adalah komunikasi yang terjadi dua arah dengan adanya proses timbal balik

dan saling memahami apa yang disampaikan. Akan tetapi tidak semua orang dapat melakukan

komunikasi dengan baik terutama pada siswa berkebutuhan khusus tunarungu. Tunarungu adalah

sebuah keadaan dimana seseorang yang kehilangan pendengaran baik itu kurang dengar atau tuli

sehingga mengalami hambatan pada bahasa dan komunikasinya sebab mereka tidak dapat

mengetahui seperti apa mempersepsikn bunyi bahasa secara baik selain itu perbendaharaan kata

yang dimiliki siswa masih sangat sedikit. yang mengakibatkan seorang tunarungu mengalami

kesulitan dalam proses interaksi dan komunikasi. Keadaan tersebut menyebabkan anak tunarungu

mengalami kesulitan dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungannya, seperti dikemukakan

olehBintoro dalam Haenudin (2013:2):

Berdasarkan keterangan yang diberikan dari pihak sekolah dan guru kelas di SLB B/C Paramita

Graha Banjarmasin, khususnya pada siswa tunarungu yang yang berinisial NN umur 7 tahun yang

sekarang duduk dikelas I belum dapat melakukan komunikasi oral secara optimal yaitu komunikasi

yang baik dengan adanya proses timbal balik dan terjadi dua arah dan saling memahami apa yang

disampaikandan siswa mampu mengucapkan sebuah kata bahkan kalimat dengan komunikasi oral,

Page 311: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 305

akan tetapi hal ini belum dimampu dilakukan siswadikarenakan siswa masih sangat miskin

perbendaharaan kata yang dimilikinya, ditambah dengan interaksi siswa sesama tunarungu sering

menggunakan bahasa isyarat yang sering diterapkan dilingkungan keluarga atau masyarakat dan

sangat sedikit sekali menggunakan komunikasi oral. Saat ini siswa sudah mengenal isyarat alphabet

yang membuat dia sudah bisa membaca walau dengan bantuan, tetapi dalam kemampuan

pengucapan nama-nama benda yang sering siswa temui dilingkungannya siswa masih belum

mampu mengucapkan nama benda tersebut secara oral ketika ditanyakan.

Hal ini berdampak pula pada pemberian materi pembelajaran dikelas, siswa mengalami kesulitan

untuk memahami apa yang disampaikan oleh guru (pengajar) karena siswa yang miskin

perbendaharaan kata, akibatnya proses pembelajaran harus sering diulang. Selain itu berdampak

juga dengan komunikasi siswa dengan orangtua, karena siswa sulit mengungkapkan apa yang

diinginkannya dan orangtua sulit memahami apa yang diinginkan siswa. Hal inilah yang

menyebabkan komunikasi tidak berjalan dengan baik.

Salah satu media yang dianggap dapat membantu siswa belajar dalam perbendaharaan kata pada

siswa tunarungu adalah media pembelajaran berbasis multimedia.

Pembelajaran berbasis multimedia yang dibuat adalah berupa slide show yang menampilkan suatu

kata yang sering digunakan atau kata yang sudah tidak asing lagi dalam lingkungan sekitar siswa.

Slide show yang ditampilkan adalah gambar dari benda tampil gambar buku, klik lagi maka akan

muncul tulisan tampil tulisan “bu-ku” , selanjutnya klik lagi tampil videoyang mengucapkan

kata “buku” dan siswa melihat cara pengucapan kata “buku” dengan membaca bahasa bibir dan

mengikutinya. Media berbasis multimedia memungkinkan siswa tunarungu untuk memperbanyak

perbendaharaan kata serta dapat mengembangkan komunikasi oral siswa. Maka dengan kemampuan

komunikasi secara oral dengan benar yang akan dimiliki siswa akan membantu siswa dilingkungan

masyarakat sebagai alat komunikasi oral secara optimal agar mereka dapat melakukan komunikasi

dengan baik, baik komunikasi dilingkungan rumah maupun dilingkungan sekolah.

Hal inilah yang melatarbelakangi peneliti mengangkat permasalahan tentang: “Pembelajaran

Berbasis Multimedia untuk Meningkatkan Perbendaharaan KataSiswa Tunarungu Kelas I di SLB B/

C Paramita Graha Banjarmasin”.

Metodologi Penelitian

A. Jenis, tempat, dan subjek penelitian

Penelitian ini digolongkan dalam jenis penelitian eksperimen digunakan untuk mencari pengaruh

perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang terkendalikan. bentuk desain yang

Page 312: Scanned by CamScanner - ULM

306 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

digunakan adalah quasi eksperimen design, time series design O1 O2 O3 O4 X O5 O6 O7 O8.

Dilaksanakan di SLB B/ C Paramita Graha Banjarmasin yang beralamat di jalan kelayan B

gang.Bersama Banjarmasin. Dengan subjek penelitian tunarungu kelas I sekolah dasar di SLB B/ C

Paramita Graha Banjarmasin pada tahun ajaran 2016/ 2017 yang berjumlah 1 orang siswa

tunarungu dengan jenis kelamin perempuan

B. Prosedur penelitian

1. Pretest. Siswa tunarungu akan diberikan terlebih dahulu kartu bergambar dengan tema yang

sesuai dengan media yang diajarkan tanpa pemberian intervensi dan siswa diperintahkan untuk

melihat dan mengucapkan nama dari gambar tersebut secara mandiri

2. Treatmen. siswa tunarungu akan diberikan perlakuan, siswa akan dijelaskan tentang

penggunaan media pembelajaran berbasis multimedia

3. Postest. kondisi pengulangan dari fase pretest sebagai evaluasi sampai sejauh mana

intervensi atau treatmen yang diberikan berpengaruh kepada subjek.

C. Tekhnik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain.

1. Tes

2. Angket validasi

3. Observasi

4. Dokumentasi

D. Tekhnik analisis data

Tekhnik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

1. Analisis data kemampuan siswa Data tentang kemampuan siswa dalam pembelajaran

dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif kuantitatif.

2. Analisis Data Validasi Ahli

Data kuantitatif hasil penilaian validator untuk masing-masing perangkat pembelajaran yang

diperoleh melalui lembar validasi perangkat pembelajaran berupa angket dianalisis dengan

menggunakan statistik deskriptif dengan mencari rata-rata hitung (mean). Adapun kriteria dari

penilaian oleh validator untuk perangkat pembelajaran dapat dilihat pada tabel berikut:

No Rata-Rata Nilai dari Validator Keterangan

1 1 > Va ≤ 1,50 Tidak baik

2 1,50 >Va ≤ 2,50 Kurang baik

3 2,50 > Va ≤ 3,50 Cukup baik

4 3,50 > Va ≤ 4,50 Baik

5 4,50 > Va ≤ 5,0 Sangat baik

Page 313: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 307

Keterangan:

Va = tingkat kevalidan

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan skor tes kemampuan perbendaharaan kata terdapat perbedaan

yang cukup signifikan sebelum dan sesudah diberikan media pembelajaran berbasis

multimediadalam kemampuan pengucapan perbendaharaan kata. Nilai pre test siswa adalah O1=1

O2=2 O3=4 dan O4=4 namun setelah penerapan media pembelajaran berbasis multimedianilai

posttestsiswa adalah O5=20 O6=22 O7=25 dan O8=28. Jadi hasil penelitian tersebut dapat

dijelaskan bahwa media pembelajaran berbasis multimedia berpengaruh positif terhadap

kemampuan perbendaharaan kata siswa tunarungu kurang dengar kelas dasar I di SLB B/ C

Paramita Graha Banjarmasin.

Peningkatan perbendaharaan kata siswa tunarungu kurang dengar ini dipengaruhi oleh penggunaan

media pembelajaran berbasis multimedia yang menggunakan kata-kata yang sering terlihat siswa

disekitar lingkungannya atau kata-kata yang sederhana, sehingga siswa lebih mudah mengingat

nama-nama dari benda tersebut.

Multimedia Menurut Putra adalah sebuah sistem komputer yang memudahkan untuk

menggabungkan teks, grafik, audio, video dan animasi dalam bentuk presentasi yang dikendalikan

oleh program komputer yang interaktif, kreatif dan menyenangkan. Tujuan dari media pembelajaran

berbasis multimedia ini sebagai media yang dapat membantu proses pembelajaran yang akan

diberikan kepada siswa, serta membantu pemahaman siswa tunarungu yang memanfaatkan indera

penglihatan terhadap proses pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan perbendaharaan kata

siswa tunarungu. Selain itu, manfaat menggunakan media pembelajaran menurut Meimulyani dan

Caryoto (2013: 36) adalah dapat membantu untuk mengatasi berbagai macam hambatan diantaranya

mengurangi sifat verbalisme, mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan tipe belajar murid karena

kelemahan di salah satu indera, mengatasi kesulitan guru dalam memberikan pelayanan belajar

kepada murid untuk meringankan beban guru dan mempermudah belajar siswa.

Menurut (Rakim, 2008) Kelebihan dari media pembelajaran berbasis multimedia adalah mampu

menggabungan beberapa unsur antara teks, gambar, audio, video maupun animasi dalam satu

kesatuan yang saling mendukung sehingga menjadikan sebuah program pembelajaran interaktif,

kreatif dan menyenangkan. Selain itu bisa menampilkan benda yang sukar di lihat secara langsung

atau berbahaya tetapi dapat terlihat dalam media ini dengan aman, yang mana media pembelajaran

Page 314: Scanned by CamScanner - ULM

308 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

tersebut merupakan media yang sesuai untuk kebutuhan siswa tunarungu yg lebih mengutamakan

kemampuan visual dalam pembelajaran.

Simpulan dan Saran

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran

berbasis multimedia berpengaruh positif terhadap kemampuan meningkatkan perbendaharaan kata

pada siswa tunarungu kurang dengar kelas dasar I di SLB B/ C Paramita Graha Banjarmasin. Hal

ini ditunjukkan dari hasil belajar siswa setelah diberikan perlakuan (pos test)O5= 20 O6=22 O7=25

dan O8=28lebih tinggi dari hasil belajar siswa sebelum diberikan perlakuan (pre test)O1=1 O2=2

O3=4 dan O4=4.Dengan demikian dapat diajukan suatu rekomendasi bahwa media pembelajaran

berbasis multimedia dapat berpengaruh positif sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu media

pembelajaran alternatif untuk membantu meningkatkan kemampuan perbendaharaan kata pada

siswa tunarungu kurang dengar.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian, dikemukakan saran sebagai berikut:

1. Memilih media pembelajaran berbasis multimedia yang sesuai dengan hambatan yang

dimiliki siswa, media pemebelajaran ini sangat cocok untuk siswa tunarungu karena media ini

kreatif, inovatif dan menyenangkan dan mudah untuk dibuat

2. Guru hendaknya mempersiapkan secara cermat perangkat dan pendukung yang diperlukan

dalam proses pembelajaran karena sangat mempengaruhi efektivitas dan efisiensi pembelajaran

yang akhirnya berpengaruh pada peningkatan kemampuan siswa serta mengoptimalkan penggunaan

media pembelajaran dan penggunaan strategi pembelajaran yang bervariasi sehingga dapat

meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran. Hal ini disarankan para pendidik untuk

memilih media pembelajaran berbasis multimedia.

3. Media ini disarankan untuk membantu siswa dalam proses pembelajaran untuk

mengoptimalkan kemampuan yang dimilikinya, guna meningkatkan kemampuan perbendaharaan

kata siswa tunarungu.

4. Kepada sekolah untuk memberikan pelatihan kepada guru yang belum bisa menggunakan

komputer, karena perangkat yang ada dikomputer bisa dijadikan sebagai media pembelajaran yang

sesuai dengan kebutuhan anak, misalnya pada media pembelajaran berbasis multimedia ini.

5. Kepada segenap orang tua/wali siswa tunarungu kurang dengar, senantiasa membantu dan

memfasilitasi siswa tunarungu tersebutyang mengalami kesulitan dalam komunikasi dikarenakan

miskinnya kosa kata yang dimiliki siswa, agar kemampuan tersebut dapat berkembang secara

optimal dan bisa memilih media pembelajaran berbasis multimedia.

Page 315: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 309

Daftar Pustaka

Ading, Asep SH dan Ate Suandi, 2013. Bina Persepsi Komunikasi Bunyi dan Irama. Jakarta Timur:

PT. Luxima Metro Media.

Ariani, Niken dan Dany Haryanto, 2010. Pembelajaran Multimedia di Sekolah. Jakarta: PT. Prestasi

Pustakarya.

Arikunto, Suharmi. 2010. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara

Haenudin, 2013. Pendidikan Siswa Berkebutuhan Khusus Tunarungu. Jakarta Timur: PT. Luxima

Metro Media.

Hidayati, Sri. 2016. Penerapan Media Pembelajaran Bahasa Isyarat dalam Aplikasi Power Point

untuk Meningkatkan Perbendaharaan Kosakata Isyarat Anak Tunarungu Berat Kelas III di SDLB

Negeri Sungai Malang Amuntai

Junaidi, Akhmad. 2013.Pengaruh Penggunaan Media Kartu Kata Bergambar untuk Meningkatkan

Perbendaharaan Kosakata Anak Tunaungu Kelas III di SDLB Negeri Sungai Malang Amuntai.

Kristiani, Maya. 2014. Kelebihan dan Kekurangan Multimedia. Online: tersedia di

(http://mayakristiani.blogspot.co.id/2014/01/kelebihan-dan-kekurangan-multimedia.html) di akses

pada tanggal 05/01/2017 pukul 23.28

Rahman, Muzdalifah M. 2014. Memahami Prinsip Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus. di

akses pada tanggal 7 Mei 2017 20.57

https://www.google.com/search?q=jurnal+prinsip+pembelajara+anak+tunarungu&ie=utf-

8&oe=utf-8

Somantri, Sutjihati. 2013. Psikologi Siswa Luar Biasa. Online: tersedia di (http://endang-

k5113020.plbuns13.blogspot.com/2013/10/msalah-masalah-dan-dampak-ketunarunguan-html) di

akses pada tanggal 09/12/2016 pukul 12.14

Sugiyono, 2013. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta.

Wahyu, 2012. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Banjarmasin: Universitas Lambung Mangkurat

FKIP.

Yulianto, Dion, 2014. Pedoman Umum EYD dan Dasar Umum Pembentukan Istilah. Jogjakarta:

DIVA Press.

Page 316: Scanned by CamScanner - ULM

310 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

IMPROVING STUDENT OF IAIN GORONTALO TOWARDS HUMAN RIGHT AND DEMOCRACY THROUGH CONSTRUVIST INSTRUCTIONAL MODEL

Moh. Fahri Yasin

IAIN Gorontalo

ABSTRACT

University students have shown their important roles in improving the human right and democracy

in Indonesia. However some of them do not realize that they break the values of the human right

and democracy while doing their actions. The research was intended to develope an instructional

system to improve the attitudes of the students of IAIN of Gorontalo towards human rights and

democracy. The research was a participatory action research targeted to the first semester studens

(111 students) of civic object at the Faculty of Education, the Faculty of Low and Islamic Economy

and the Faculty of Islam Proselytizing of IAIN Gorontalo in the academic year of 2014/2015. The

research was conducted in the two cycles and and the data were collected through docoment study,

interview and observation in the pre-implementation during the implementation process. The data

anaylisis and interpretation lead to the conclusion that the constructivist instructi in design could

improve the student attitudes in implementing democratic values and human rights. The conclusion

implies that the constructivist intsructional design can be implemented to improve te students

towards human rights and democracy.

Key words: Attitude, constructivist instructional design, human rights, and

democracy

Page 317: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 311

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Berbagai peristiwa kemanusiaan yang terjadi dalam negeri ini, sebagian terindikasi adanya

pelanggaran hak azasi manusia dan terbatasnya ruang gerak pelaksanaan demokrasi. Akumulasi

dari berbagai peristiwa tersebut menyebabkan runtuhnya pemerintahan Orde Baru pada pertengahan

tahun 1998 dan dimulainya proses transisi menuju demokrasi, yang ditandai dengan munculnya

pemimpin-pemimpin politik nasional yang baru melalui mekanisme demokratis. Akan tetapi,

sampai sekarang belum terlihat secara keseluruhan tanda-tanda yang meyakinkan yang

mengindikasikan bahwa proses transisi demokrasi yang tengah berlangsung dapat benar-benar

berhasil mewujudkan demokrasi yang dilandasi dengan etika, moral, dan agama.

Peran mahasiswa tidak dapat disangkal bahwa merekalah yang mengantarkan terwujudnya proses

demokrasi di Indonesia. Mahasiswalah yang berani mengoreksi kebijakan yang dilakukan oleh

pemerintah. Namun, pada sisi lain sebagian mahasiswa cenderung melakukan aksinya yang tidak

memperhatikan lagi rambu-rambu, etika, dan aturan yang berlaku.

Hampir semua komponen bangsa termasuk para politisi kurang me-mahami apa yang disebut

dengan istilah yang dipakai oleh Hefner demokrasi keadaban (democratic civility).(Hefner: 2000)

Secara faktual kondisi seperti ini kita saksikan hampir setiap hari di berbagai media cetak,

elektronik, dan situs-situs internet misalnya konflik dan fragmentasi politik yang semakin meluas di

kalangan elitpolitik, parpol-parpol yang kian rentang konflik dan perpecahan, serta aksi-aksi

demonstrasi yang cenderung tergelincir menjadi anarkis.

Gambaran seperti di atas tidak kondusif bagi transisi Indonesia menuju demokrasi. Menurut

Azyumardi Azra ada tiga mekanisme demokrasi yang harus dibangun menuju demokrasi yang

semakin genuine dan otentik yaitu: pertama, reformasi sistem (constitutional reforms), yang

menyangkut perumusan kembali falsafah, kerangka dasar, dan perangkat sistem legal politik; kedua,

reformasi kelembagaan yang menyangkut pengembangan dan pemberdayaan (institutional reforms

and empowerment) lembaga-lembaga politik; ketiga, pengembangan kultur atau budaya politik

(political culture) yang lebih demokratis. (ICCI: 2000)

Poin pertama dan kedua tentunya yang harus mengembangkan adalah para legislatif, eksekutif, dan

yudikatif, sedangkan poin ketiga harus dikembangkan oleh semua elemen masyarakat termasuk

mahasiswa. Salah satu cara untuk mengembangkan budaya politik adalah melalui pendidikan

kewargaan (civic education). Murray Print mengemukakan bahwa pembentukan warga negara yang

Page 318: Scanned by CamScanner - ULM

312 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

memiliki keadaban demokratis dan demokrasi keadaban paling mungkin dilakukan secara efektif

hanya melalalui pendidikan kewargaan.

Pendidikan Kewargaan merupakan salah satu mata kuliah yang tergolong sebagai mata kuliah

pengembangan kepribadian. Mata kuliah ini merupakan bentuk modifikasi yang dilakukan oleh

UIN Syarif Hidayatullah sebagai pengganti mata kuliah Pancasila dan Kewiraan. Mata kuliah

Pancasila dan Kewiraan dianggap mata kuliah yang sifatnya dogmatis yang dipakai oleh

pemerintahan Orde Baru sebagai bentuk untuk mempertahankan status quo pemerintah dan militer

pada saat itu. Mata kuliah ini dianggap kurang akomodatif menampung proses transisi demokratis

yang sedang berlangsung dewasa ini.

Pendidikan kewargaan dirancang untuk mengedepankan masalah- masalah keadaban demokrasi

atau demokrasi keadaban melalui pemahaman terhadap konteks hak asasi manusia, hubungan sipil

militer, otonomi daerah, dan hubungan agama dan negara dalam upaya mewujudkan kultur

demokrasi yang bermuara pada pembentukan masyarakat madani. Dengan demikian, pendidikan

kewargaan sarat dengan muatan sikap, yaitu sikap dan perilaku dalam mengedepankan prinsip-

prinsip pluralisme, kebersamaan, serta saling menghargai dan menghormati sesama bangsa.

Kenyataan di masyarakat bahwa ketika mahasiswa memosisikan di-rinya sebagai agent of social

control cenderung melupakan rambu-rambu keadaban demokrasi, bahkan mahasiswa terjebak pada

dua sisi yaitu sisi pelanggaran HAM terhadap hak-hak sipil dan sisi lain pelanggaran HAM oleh

aparat terhadap mahasiswa yang anarkis. Kondisi seperti ini menurut Pradipa membuat masyarakat

tidak banyak berharap kepada gerakan mahasiswa, bahkan masyarakat mulai mencibir dan

melecehkan setiap gerakan mahasiswa (Pradipa Yoedhanegara: 2005) Gambaran seperti ini

bertentangan dengan tujuan pembelajaran Pendidikan Kewargaan (Civic Education) yaitu

“Menjadikan mahasiswa sebagai warga Negara yang cerdas, bertanggung jawab dan berkeadaban

(good citizen). Oleh sebab itu, mata kuliah ini perlu dikembangkan melalui aspek sikap yang

meliputi unsur kognitif, afeksi, dan konasi. Aspek lain yang juga terkait dengan itu adalah etika,

moral, dan agama. Kesemuanya itu diharapkan dapat menumbuhkan demokrasi di Indonesia yang

tidak menjadi ajang konfrontasi dan ajang saling menjatuhkan demi kepentingan sesaat. Demokrasi

semu yang dipaksakan dapat menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM. Pengembangan etika

moral dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara memerlukan keterlibatan semua komponen

masyarakat.

Pendidikan kewargaan yang diterima di perkuliahan selama ini tidaklah cukup untuk

mengembangkan sikap demokrasi dan sikap terhadap pemahaman, kepedulian, dan keikutsertaan

dalam memantau pelaksanaan hak asasi manusia. Oleh karena itu, salah satu upaya untuk

menggerakkan upaya kepedulian terhadap HAM dan demokrasi dan sekaligus meluruskan sikap

mahasiswa dalam membangun karakter bangsa perlu dilakukan kegiatan yang mengarah pada

Page 319: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 313

kegiatan yang sistematis dalam merancang kegiatan pembelajaran secara komprehensif, khususnya

tentang pembelajaran HAM dan demokrasi. Pengembangan kegiatan ini juga dikaitkan dengan

upaya penyadaran terhadap keseimbangan antara hak dan kewajiban mahasiswa. Hak dan

kewajiban tersebut bukan hanya dilihat dari persepsi HAM dalam bentuk universal, tetapi juga

terkait dengan bentuk pribadi baik dalam perspektif budaya lokal maupun dalam perspektif

keagamaan.

Pada Pengamatan awal oleh peneliti menemukan bahwa optimalisasi pembelajaran Pendidikan

Kewargaan (Civic Education) khususnya di IAIN Gorontalo belum terlaksana dengan baik yaitu

belum seimbangnya antara apa yang dipelajari dan apa yang diwujudkan dalam bentuk perilaku

sebagai perwujudan sikap mahasiswa. Hasil evaluasi yang berupa nilai semester pada umumnya

lulus dengan kategori baik, tetapi hasil sikap dalam bentuk perilaku belum tercermin sebagai

mahasiswa yang menghargai proses demokrasi. Dalam menyampaikan aspirasinya mahasiswa

cenderung memaksa agar tuntutan mereka dipenuhi.

Gambaran kondisi di atas diasumsikan ada kaitannya dengan kurang optimalnya pelaksanaan proses

perkuliahan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa efektivitas pembelajaran mata kuliah

Pendidikan Kewargaan yang dilakukan oleh para dosen mata kuliah tersebut cenderung kurang

melakukan analisis yang terkait dengan urutan dan keterkaitan materi dengan kondisi kampus.

Aspek penggunaan strategi penyampaian pembelajaran cenderung tidak variatif dan mendalam.

Demikian pula dengan sistem pengelolaan pembelajaran dan system evaluasinya. Kalau dilakukan

secara baik dan tepat, maka komponen-komponen dapat memberikan kontribusi dalam perbaikan

sikap mahasiswa. Dalam kaitan dengan penilaian sikap, para dosen tidak memiliki catatan yang

terkait dengan hasil pengamatan sikap.

Identifikasi Area dan Fokus Penelitian

Pendidikan Kewargaan merupakan salah satu mata kuliah pengembangan kepribadian yang

disingkat MPK. Dalam konteks ini, IAIN Gorontalo dijadikan sebagai situs penelitian dengan

pertimbangan bahwa lembaga ini sarat dengan ilmu-ilmu etika dan moral dan selain itu masalah

HAM dan Demokrasi menjadi inti dalam mata kuliah Pendidikan Kewargaan (Civic Education).

Mata kuliah ini ádalah mata kuliah lintas fakultas yang harus diambil oleh setiap mahasiswa IAIN

Gorontalo.

Mengingat cakupan pembahasan dalam mata kuliah Pendidikan Kewargaan dan terbatasnya alokasi

waktu pembelajaran maka dalam penilitian tindakan ini hanya dibatasi pada masalah Demokrasi

dan HAM yang dijadikan sebagai objek sikap bagi mahasiswa empat prodi di tiga fakultas yakni;

Page 320: Scanned by CamScanner - ULM

314 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Fakultas Tarbiyah dan Tadris, Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam dan Fakultas Ushuluddin dan

Dawah. Pertimbangan ditetapkannya empat prodi ini karena penelitian ini dilakukan secara

koloboratif dengan pengampu mata kuliah Pendidikan Kewargaan.

Pembatasan Fokus Penelitian

Mengingat banyaknya bahasan yang terkait dengan HAM dan Demokrasi, baik berupa

pengetahuan, sikap, dan ketrampilan maka sebagai objek sikap yang akan dikembangkan adalah (1)

HAM yang berkaitan dengan Declaration of Human Rights, Hakikat HAM dan KAM, HAM dalam

perspektif Islam, HAM dan Gender; (2) Hakekat Demokrasi, konsep demokrasi dan ajaran Islam,

demokrasi sebagai pandangan hidup, unsur-unsur penegak demokrasi, prinsip-prinsip dan parameter

demokrasi, partisipasi dalam penegakan demokrasi, serta masyarakat madani sebagai wujud

implementasi demokrasi dan penegakan HAM dan KAM.

Kedua pokok bahasan ini akan dikembangkan melalui pemberian tindakan yang berdasar pada

pendidikan nilai yang terkait dengan nilai-nilai pengetahuan, moral, dan agama melalui komponen

pembelajaran berupa strategi pengorganisasian isi pembelajaran, penyampaian, pengelolaan dan

sistim evaluasinya.

Perumusan Masalah Penelitian

Sesuai dengan latar belakang masalah penelitian dan identifikasi area fokus penelitian di atas maka

rumusan masalah penelitian adalah sebagai berikut.

1 Apakah penerapan model desain konstruktivis pada konsep Demokrasi dan HAM dalam

mata kuliah Pendidikan Kewargaan dapat mengembangkan sikap mahasiswa IAIN Sultan Amai

Gorontalo?

Bagaimana merancang desain pembelajaran Pendidikan Kewargaan yang dapat meningkatkan sikap

mahasiswa, khususnya yang terkait HAM dan Demokrasi.

Pengelolaan pembelajaran yang bagaimana yang bisa meningkatkan sikap mahasiswa.

Sistem evaluasi yang bagaimana yang dapat mengembangkan sikap yang konsisten dengan

pengetahuan yang dimiliki oleh mahasiswa?

Kegunaan Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bentuk kontribusi Teknologi

Pendidikan dalam meningkatkan kualitas pembelajaran HAM dan Demokrasi yang ada pada mata

kuliah Pendidikan Kewargaan dan umum pada pembelajaran mata kuliah pengembangan

kepribadian yang bermanfaat bagi mahasiswa dan tenaga pengajar dalam lingkungan IAIN.

Page 321: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 315

Untuk para ahli teknologi pendidikan, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk

mengembangkan bukti empirik sebagai bahan inovasi dalam bidang desain dan pengembangan

pembelajaran.

Secara teoretis penelitian ini berguna sebagai rintisan dasar untuk mengembangkan

teori-teori yang berkaitan dengan bagaimana pembelajaran ilmu-ilmu sosial dan humaniora dapat

dilakukan secara efektif dan efisien sehingga melahirkan produk yang dapat mengukur berbagai

bentuk dan tingkatan ranah pembelajaran.

KAJIAN TEORETIK DAN PENGAJUAN KONSEPTUAL INTERVENSI TINDAKAN

Acuan Teori dan Fokus yang Diteliti

Kawasan yang memungkinkan untuk dikaji dalam penelitian tindakan baik yang memakai analisis

kualitatif maupun kuantitatif meliputi bidang pendidikan, kesehatan, pekerja sosial, dan

pegembangan ekonomi. Khusus yang berkaitan dengan pendidikan antara lain, pengembangan

lembaga pendidikan, pengembangan kurikulum, evaluasi, dan proses pembelajaran. Kawasan yang

akan diteliti adalah yang terkait dengan proses pembelajaran berbentuk perbaikan sistem

pembelajaran yang bermuara pada perubahan sikap dalam memahami konteks HAM dan

Demokrasi. Ada beberapa kajian teori yang terkait dengan kegiatan ini.

Nilai, Sikap, dan Perilaku Manusia

Nilai dan sikap terkadang digunakan secara bergantian dalam konteks sikap. Sebenarnya kedua

istilah ini tidak sama persis maknanya. Nilai merupakan sebuah istilah yang tidak mudah untuk

diberikan batasan secara pasti sebab nilai merupakan sebuah realitas yang abstrak. Ndraha

menyatakan bahwa nilai bersifat abstrak oleh karena itu, nilai pasti termuat dalam sesuatu. Sesuatu

yang memuat nilai ada empat macam, yaitu raga, perilaku, sikap, dan pendirian dasar. (Ndraha:

1997) Patricia Cranton mengemukakan bahwa nilai adalah prinsip-prinsip social, tujuan-tujuan atau

standar yang dipakai atau diterima oleh individu, kelas, masyarakat dan lain-lain. (Patricia: 1992)

Perbincangan tentang nilai terkait erat dengan sikap, perilaku, dan kepribadian seseorang. Kalau

nilai dibandingkan dengan fakta, terkait dengan penilaian seseorang tentang fakta, peristiwa, dan

perilaku. Perilaku pada umumnya mendahului nilai dan perilaku melukiskan keadaan atau realitas

hidup sehari-hari. (Dimyati: 1996). Kebenaran sebuah nilai juga tidak menuntut adanya pembuktian

empirik, tetapi lebih terkait dengan penghayatan dan apa yang dikehendaki atau tidak dikehendaki

disenangi atau tidak disenangi oleh seseorang. Allport menyatakan bahwa nilai itu merupakan

kepercayaan yang dijadikan preferensi manusia dalam tindakannya. Manusia menyeleksi atau

memilih aktivitas berdasarkan nilai yang dipercayainya. Dalam kaitan ini terkandung pemikiran

Page 322: Scanned by CamScanner - ULM

316 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

dan keputusan seseorang mengenai apa yang dianggap benar, baik atau diperbolehkan. Nilai

memiliki dua atribut yaitu isi dan intensitasnya. Atribut isi adalah berkaitan dengan apakah sesuatu

itu penting sedangkan atribut intensitas menyangkut sejauh mana tingkat kepentingannya.

Dalam konteks pendidikan dan pembelajaran HAM dan Demokrasi, pendidikan HAM

adalah suatu kegiatan pendidikan yang termasuk ke dalam wilayah pendidikan nilai (value

education). Dalam wilayah ini terdapat tiga jenis kegiatan pendidikan, yaitu (1) pendidikan nilai

estetika, (2) pendidikan nilai sinoetika, dan (3) pendidikan nilai etika. Pendidikan nilai sinoetika

menurut Muchtar Buchori adalah pendidikan yang membimbing peserta didik untuk

mengembangkan kepekaan terhadap nilai-nilai yang berhubungan dengan masalah hubungan

antarpribadi. Nilai-nilai ini mendasari rasa empati yang ada pada diri kita terhadap orang lain.

Secara umum pendidikan nilai bertujuan membimbing peserta didik untuk mengenal,

memahami, menghayati, dan melaksanakan nilai-nilai yang dalam kehidupan masyarakat muncul

dalam bentuk norma-norma (patokan perilaku). Ketentuan terhadap nilai atau norma hidup yang

lahir dari pendidikan nilai ini harus bersifat sukarela dan pribadi. Oleh karena itu, pembelajaran

HAM hendaknya membimbing mahasiswa untuk mengenal, memahami, menghayati, dan menaati

nilai-nilai yang terdapat dalam ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam HAM.

Dalam upaya penerapan nilai-nilai khususnya yang terkait dengan nilai-nilai demokrasi dan

HAM, ada beberapa pendekatan dalam pendidikan nilai yang dapat dipertimbangkan dalam

pengimplementasian nilai. Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan

moral. Menurut Hersh, di antara berbagai teori pendidikan nilai yang berkembang, ada enam teori

yang banyak digunakan, yaitu pendekatan pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan,

pendekatan klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku

sosial. Selanjutnya, secara sederhana Elias mengklasifikasi pendekatan tersebut menjadi tiga, yaitu

pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku (Elias: 1989). Klasifikasi ini

menurut Rest didasarkan pada tiga unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi,

yakni: perilaku, kognisi, dan afeksi.

Mencerrmati pandangan Elias ada pendekatan nilai yang lebih jelas berdasarkan tipologi

yang dilakukan oleh Superka, dkk. ketika menyelesaikan pendidikan tingkat doktor dalam bidang

pendidikan menengah di University of California, Berkeley tahun 1973. Superka telah melakukan

kajian dan merumuskan tipologi dari berbagai pendekatan pendidikan nilai yang berkembang dan

digunakan dalam dunia pendidikan. Dalam kajian tersebut, dibahas delapan pendekatan pendidikan

nilai berdasarkan berbagai literatur dalam bidang psikologi, sosiologi, filsafat, dan pendidikan yang

berhubungan dengan nilai. Namun, berdasarkan hasil pembahasan dengan para pendidik dan alasan-

alasan praktis dalam penggunaaannya di lapangan, pendekatan-pendekatan tersebut telah diringkas

menjadi lima, yaitu (1) pendekatan penanaman nilai (inculcation approach), (2) pendekatan

Page 323: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 317

perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach), (3) pendekatan analisis

nilai (values analysis approach), (4) pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach), dan

(5) pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach).

Pada dasarnya semua pendekatan nilai di atas memungkinkan untuk diimplementasikan

pada proses pembelajaran. Namun, kalau dikaitkan dengan pendekatan konstruktivis, pendekatan

analisis nilai dan klarifikasi nilai lebih tepat.

Sikap (attitude) digunakan pertama kali oleh Herbert Spencer pada tahun 1862. Pada saat

itu, Spencer mengartikan sikap sebagai status mental seseorang. (Saifuddin Aswar: 1988) Sikap

merupakan susunan mental atau kecenderungan kesiapan merespon, dasar kejiwaan, ketetapan sifat

dasar, dan karakter.(Oskamp: 1977). Sikap pada dasarnya juga menyangkut tanggapan psikologis

seseorang terhadap objek tertentu, baik berupa benda maupun kegiatan yang datang dari luar dirinya

Fishben: 1975). Oleh karena itu, sikap merupakan keadaan, kesiapan, dan kecenderungan untuk

berbuat atau bereaksi dalam beberapa tindakan bila berhadapan dengan beberapa stimulus. Fisbein

dan Azjen mendefinisikan sikap sebagai kesiapan untuk merespon menurut cara yang konsisten

suka atau tidak suka terhadap suatu objek yang diberikan.

Dalam penerapannya sikap sebagai suatu sistem yang menetap dalam diri individu berupa penilaian

yang bersifat positif dan negatif, yakni kecenderungan untuk menyetujui dan menolak. Sikap positif

akan terbentuk atau timbul apabila rangsangan yang datang pada seseorang memberi pengalaman

yang menyenangkan. Sikap negatif akan timbul bila rang- sangannya memberi pengalaman yang

tidak menyenangkan (D. Krech: 1988). Tindakan seseorang pada saat ini maupun yang akan datang

tidak lepas dari rangkaian pengalaman belajarnya di masa lalu. Perilaku mereka bergantung pada

harapan dan penilaian yang diberikan terhadap objek yang dihadapinya. Oleh karena itu, sikap

merupakan salah satu unsur yang penting dalam kehidupan sehingga dalam situasi tertentu

seseorang akan bertindak sesuai dengan sikapnya.

Gagne dan Briggs berpendapat bahwa kekuatan sikap seseorang terhadap objek psikologis

diperlihatkan oleh banyaknya frekuensi memilih sesuatu dalam keadaan yang berbeda-beda (Gagne:

1979). Ada beberapa karakteristik untuk melihat konteks sikap. Pertama, ia berada pada komponen

kognitif yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, dan keyakinan terhadap objek sikap.

Kedua, ia memiliki komponen afektif yang berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang

terhadap objek sikap. Ketiga, ia memiliki komponen konatif yang menunjukkan suatu kecende-

rungan bertindak terhadap objek sikap. Ketiga komponen tersebut ada dalam sikap dan akan

menuntun dan memberi arah pada kegiatan belajar seseorang. Sikap seseorang dapat dibentuk dan

diubah. Aspek pembentukan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor genetik, fisiologis,

Page 324: Scanned by CamScanner - ULM

318 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

pengalaman langsung dengan objek sikap, dan komunikasi sosial. Dengan demikian, bentuk nyata

dari sikap kita tercermin dalam bentuk perilaku.

Perilaku manusia pada hakikatnya adalah tindakan nyata dari seseorang untuk menyesuaikan diri

dengan lingkungannya.(Zembardo: 1996) Teori fungsional Kutz yang dikutip oleh Azwar

mengemukakan bahwa salah satu fungsi sikap bagi individu adalah fungsi instrumental atau fungsi

manfaat.

Berdasarkan pendapat-pendapat yang dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap

merupakan (1) kecenderungan atau kesiapan seseorang memberikan respons dalam bentuk perilaku

tertentu terhadap suatu stimulus (rangsangan) terhadap lingkungan sekitar; (2) respons yang

diberikan terhadap suatu objek dapat dalam bentuk negatif atau positif.

Hovland dan kawan-kawannya telah meneliti faktor-faktor yang dapat mempengaruhi komunikasi

persuasif. Dalam penelitian mereka mendefinisikan komunikasi sebagai suatu proses yang

digunakan oleh komunikator untuk menyampaikan stimulasi yang biasanya dalam bentuk lisan

guna mengubah perilaku orang lain. Komunikasi lisan yang menggunakan media yang menarik

dan pesan yang berisi aspek kecerdasan jamak dapat mempercepat proses perubahan sikap.

Pendekatan Konstruktivis dalam Pembelajaran

Konstruktivisme bukanlah sesuatu yang baru, akan tetapi merupakan penggabungan dari berbagai

pendekatan. Menurut Von Glassersfeld pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad 20 dalam

tulisan Mark Baldwin yang dikemukakan oleh Piaget dan telah memperdalam dan

mengembangkannya secara luas. Sebenarnya jika ditelusuri lebih jauh lagi maka gagasan

konstruktivis ini telah dimulai oleh Vico (Von Glassersfeld: 1988)

Dari berbagai pandangan konstruktivisme ada dua pandangan yang mendominasi, yaitu individual

cognitive constructivist dan socio cultural constructivist. Teori individual cognitive constructivist

dikemukakan oleh Jean Piaget yang berfokus pada konstruktivis internal individu terhadap

pengetahuan. Menurut Duffy konstruktivis adalah suatu alternatif epistemologi bagi tradisi

objektivitas yang berisi pengalaman dari dunia nyata. (Thomas M. Duffy: 1992) Pandangan kedua,

sosial cultural constructivist banyak dikembangkan oleh Vygotsky yang berpendapat bahwa belajar

dari orang lain yang lebih kompeten dalam keterampilan sesuai dengan budaya dan teknologi

adalah batu penjuru teori pendidikan. Vygotsky mengkritik pendapat Piaget bahwa perkembangan

anak harus mengawali belajar. Vygotsky berpendapat bahwa belajar adalah suatu aspek penting dan

universal dari proses pengembangan budaya terorganisasi khususnya fungsi psikologis manusia.

Konstruktivisme memilki beberapa turunan teori pembelajaran. Menurut pandangan

konstruktivisme belajar merupakan proses aktif pembelajar mengonstruksi arti, baik tes, dialog,

maupun pengalaman fisis. Belajar merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan

Page 325: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 319

pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang telah dimiliki seseorang sehingga

pengertiannya dikembangkan. Proses tersebut memiliki beberapa ciri antara lain sebagai berikut:

Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh pembelajar dari apa yang mereka lihat,

dengar, rasakan, dan di amati. Makna konstruksi itu dipengaruhi oleh pengetahuan yang telah

dimiliki.

Makna konstruksi merupakan proses yang terus-menerus setiap kali berhadapan dengan fenomena

atau persoalan yang baru.

Belajar bukan kegiatan yang semata-mata mengumpulkan fakta, melainkan suatu pengembangan

pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar bukan hasil perkembangan melainkan

perkembangan itu sendiri yang menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.

Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang

merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi tidak seimbang adalah situasi yang baik untuk memacu

belajar.

Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman pembelajar dengan dunia fisik dan lingkungannya.

Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui pembelajar yaitu konsep-konsep,

tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari. Richard D.

Mayer yang dikutip oleh Reigeluth mengemukakan bahwa pembelajaran konstrutivis adalah proses

belajar terjadi apabila pembelajar secara aktif menciptakan pengetahuan mereka sendiri. Mayer

menjelaskan bahwa ada tiga hal pokok dalam pembelajaran konstruktivistik yaitu (1) pembelajaran

sebagai kekuatan respons, (2) pembelajaran sebagai pemerolehan pengetahuan, dan (3)

pembelajaran sebagai konstruksi pengetahuan (Paul Suparno: 1997).

Ada beberapa konsep tentang pembelajaran konstruktivis sebagaimana dikemukakan

oleh Bruce di antaranya adalah (1) pembelajar belajar ketika mereka aktif dalam pembelajaran

mereka sendiri; (2) melalui pertanyaan dan penemuan oleh mereka berupa penciptaan ulang dan

berinteraksi dengan lingkungan untuk membangun pengetahuannya; (3) belajar secara aktif

membimbing kemampuan berpikir secara kritis membimbing kemampuan berpikir secara kritis dan

pemecahan masalah melalui suatu pendekatan pembelajaran aktif pembelajar akan belajar tentang

isi, makna, dan proses pada saat yang bersamaan.

Belajar dalam pandangan ahli konstruktivis terkait dengan pengalaman yang dimiliki oleh

individu. Berdasarkan pandangan ini, tugas seorang guru atau instruktur adalah menciptakan

lingkungan belajar yang sering diisebut scenario of problems, yang mencerminkan adanya

pengalaman belajar yang otentik atau nyata dan dapat diaplikasikan dalam sebuah situasi yang

sesungguhnya.

Page 326: Scanned by CamScanner - ULM

320 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Peristiwa belajar berlangsung lebih efektif jika siswa berhubungan langsung dengan objek

yang sedang dipelajari dan ada di lingkungan sekitar. McCown mengemukakan bahwa siswa belajar

dan membangun pengetahuan mereka manakala mereka berupaya untuk memahami lingkungan

yang ada di sekitar mereka. Membawa siswa bersentuhan langsung dengan objek atau peristiwa

yang sedang dipelajari akan memberikan kemungkinan untuk membangun pemahaman yang baik

tentang objek atau peristiwa tersebut (Cruickshank: 2006).

Gagnon dan collay berpendapat bahwa siswa belajar dan membangun pengetahuan manakala dia

terlibat aktif dalam kegiatan belajar. Contoh aktivitas pembelajaran yang menandai si pembelar

melakukan konstruksi pengetahuan terdiri dari atas beberapa bentuk kegiatan, yaitu:

berpikir secara individual dalam memahami setiap peristiwa belajar.

Berpikir kolaboratif dalam membagi pengalaman

Mengaitkan pengetahuan yang dimikiki dengan fenomena yang dilihat,

berpikir kritis tentang isu-isu yang bersifat kompleks,dan

mengatasi masalah yang sedang dihadapi (G. W. Gagnon: 2001).

Konstruksi pengetahuan merupakan proses berpikir dan menafsirkan suatu peristiwa yang dialami.

Setiap individu memiliki pengalaman yang unik. Oleh karena itu pengetahuan yang dimiliki oleh

individu merupakan pengetahuan yang bersifat unik pula. Proses belajar dalam diri individu dapat

dikatakan telah terjadi apabila pengetahuan yang telah dimiliki dapat digunakan untuk menafsirkan

pengalaman baru secara utuh, lengkap, dan lebih baik dari pada sebelumnya. Siswa perlu

mengaitkan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan baru. Mengaitkan

pengetahuan lama dengan pengetahuan baru merupakan hal yang prinsipal untuk membangun ilmu

pengetahuan.

HAM dan Demokrasi

HAM dan demokrasi ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Di dalam unsur

penegakan demokrasi terdapat hak-hak individu yang harus dipenuhi yaitu hak untuk

mengemukakan pendapat dan hak untuk berserikat. Jack Donnely mengemukakan bahwa fungsi

utama HAM adalah untuk memperbaiki hubungan sosial (Jack Donnely: 1989).

Secara historis HAM menggantikan istilah Natural Rights menjadi Hak Asasi Manusia yang

dipahami sebagai natural righst dan merupakan suatu kebutuhan dan realitas sosial yang bersifat

universal. Dalam perkembangannya HAM telah mengalami perubahan-perubahan mendasar seiring

dengan keyakinan dan praktik-praktik sosial di lingkungan kehidupan masyarakat.

Pada awalnya, HAM dapat dirasakan di negara-negara maju. Sesuai dengan perkembangan

kemajuan transportasi dan komunikasi secara luas, maka negara berkembang seperti Indonesia mau

tidak mau, sebagai anggota PBB, harus menerimanya untuk melakukan ratifikasi instrumen HAM,

Page 327: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 321

Persoalan yang muncul dalam mengadopsi instrumen internasional adalah terkait dengan

kebijakan pemerintah khususnya dalam menjaga kedaulatan dan kesatuan wilayah Indonesia. Sikap

sebagian masyarakat seperti sebagian masyarakat Papua yang ingin mendirikan negara tesendiri

dengan meminta suaka politik kepada pemerintah Australia melahirkan sikap yang pro dan kontra.

Secara teoretis HAM dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai

manusia. Seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia pada Bab I pasal 1 yaitu Hak asasi manusia adalah seperangkat hak

yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan

merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara,

hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat

manusia. Sementara Nayyar Shamsi mengemukakan bahwa hak dasar manusia meliputi; (1) hak

untuk hidup, (2) hak untuk keamanan, (3) hak kaum perempuan untuk dihormati, (4) hak

memperoleh kehidupan yang terstandar, (5) hak dalam perlakuan hukum yang sama, (6) hak

kebebasan individu, (7) hak kesejajaran dengan yang lain, dan (8) hak untuk bekerja sama atau

tidak (Nayyar Shamsi: 2003). Konsep HAM secara normatif bertujuan mencegah kemungkinan

terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atau membatasi penggunaan sarana kekuasaan yang

berlebihan dan semena-mena.

Menurut R.E Havard HAM mutlak diperlakukan dunia modern di mana pun yang terjadi dan

apa pun pribadinya, HAM, pertama-tama dimaksudkan untuk melindungi individu tehadap negara

dan semua kekuatan kersif yang menyelinap di mana-mana yang biasa dilakukan oleh banyak

negara modern (Rhoda E. Howard: 2000).

Pada aspek lain, HAM adalah masalah hukum karena HAM merupakan usaha untuk

menerjemahkan keyakinan tentang martabat manusia ke dalam bahasa hukum yang konkret dengan

tujuan agar hak-hak itu seperlunya dapat dilaksanakan di depan pengadilan sebagai konsekuensi

ratifikasi dari hukum internasional tentang HAM.

Dengan demikian, persoalan HAM perlu disikapi dengan berbagai pertimbangan yang

komprehensif. Hukum HAM cukup kuat, tetapi kenyataannya banyak kasus HAM tidak dapat

diselesaikan. Salah satu upaya untuk meminimalisasi masalah HAM adalah sosialisasi yang ber-

imbang antara hak dan kewajiban. Keseimbangan hak dan kewajiban adalah acuan yang dapat

menciptakan demokrasi keadaban.

Demokrasi telah menjadi isu penting kehidupan masyarakat modern saat ini. Hampir tidak

ada satu pun negara di dunia yang tidak merespon ide-ide ini, bahkan oleh pemerintah paling korup

dan tiran sekalipun, sehingga muncul istilah-istilah seperti “Demokrasi Liberal”, “Demokrasi

Page 328: Scanned by CamScanner - ULM

322 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Terpimpin”, “Demokrasi Pancasila”, “Demokrasi Kerakyatan”, “Demokrasi Sosialis”, dan

seterusnya demi memberi ciri kepada rezim dan aspirasi mereka. Kenyataan tersebut tidak

mengecualikan pada masyarakat Islam. Didorong oleh keinginan untuk menghadirkan Islam

sebagai ideologi modern dan sistem pemerintahan yang progresif, para ilmuan dan penulis muslim

telah menafsirkan kembali teori politik dan yuridis Islam dalam istilah-istilah demokrasi. Paham-

paham seperti “pengakuan akan otoritas (bai`ah), musyawarah (syura), dan konsensus (ijma)”,

“kesejajaran manusia di hadapan Tuhan tanpa perbedaan ras, warna kulit dan etnis”, “kebebasan

berkepercayaan dan berpikir, baik muslim maupun non-muslim”, dan sejenisnya secara luas

diajukan. Semua dinyatakan untuk membuktikan watak Islam yang humanistik dan demokratis

dalam konstitusi politik dan kehidupan sosialnya.

Demokrasi, berasal dari bahasa Yunani demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan), adalah kekuasaan

oleh rakyat. Istilah ini, secara historis, telah dikenal sejak abad ke-5 SM yang pada awalnya

merupakan respons terhadap pengalaman buruk monarki dan kediktatoran di Negara-Negara Kota

Yunani Kuno. Saat itu, demorasi dipraktikkan sebagai sistem dimana seluruh warga Negara, karena

jumlahnya yang tidak lebih dari 10.000 jiwa, sehingga memungkinkan untuk membentuk lembaga

legislatif. Semua pejabat bertanggung jawab sepenuhnya kepada majelis rakyat ini. Ide-ide

demokrasi modern tidak lagi didasarkan atas pemikiran demokrasi Yunani tersebut melainkan

dikembangkan dari ide-ide dan lembaga-lembaga dari masa renaisans yang dimulai pada abad ke-

16. Ide-ide yang dimaksud adalah gagasan sekularisme yang diprakarsai Niccolo Macheavelli

(1469-1527), gagasan Negara Kontrak Thomas Hobbes (1588-1679), gagasan tentang konstitusi

negara dan liberalisme serta pemisahan antara kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif oleh

John Locke (1632-1704) yang kemudian disempurnakan Baron de Montesquieu (1689-1755), serta

ide tentang kedaulatan rakyat dan social contract yang diperkenalkan Jean-Jacques Rousseau (1712-

1878) (David After: 1977).

Acuan Teori Rancangan Alternatif Tindakan

Pembelajaran konstruktivis yang dijadikan sebagai acuan tindakan dalam penelitian ini mengacu

pada model yang dikembangkan oleh Gagnon dan Collay. Rancangan ini dikembangkan menjadi 6

elemen pada disain pembelajaran konstruktivis yaitu :

Situation, yaitu pandangan sebuah episode proses pembelajaran secara menyeluruh yang

berhubungan dengan hal-hal seperti apa tujuan episode pembelajaran yang akan dicapai,

menjelaskan proses pemecahan masalah, menjawab pertanyaan, membuat metafora, membuat

keputusan, kesimpulan gambar, atau menetapkan tujuan apa yang diharapkan setelah pebelajar

selesai dari kegiatan, bagaimana mengetahui bahwa pebelajar telah mencapai kompetensi yang

diharapkan, bagaimana deskripsi tugas yang telah diselesaikan.

Page 329: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 323

Questioning, yaitu langkah yang dapat mengukur keberhasilan setiap elemen yang ada dalam CLD

yang berujung pada penciptaan metafora, membuat keputusan, melakukan penyimpulan atau

penataan kompetensi.

Grouping, yaitu pengelompokan pembelajar berdasarkan karakte- ristik materi, karakteristik

pembelajar atau karakter lain. Semua itu bertujuan agar terjadi tukar pendapat dalam mengonstruksi

pengetahuan yang akan melahirkan sikap menghargai terhadap setiap perbedaan yang ada.

Bridge yaitu kegiatan awal bertujuan untuk mengetahui pengetahuan awal siswa dan untuk

membangun "jembatan" antara apa yang mereka sudah tahu dan apa yang dapat mereka pelajari

dengan menjelaskan situasi. Ini mungkin melibatkan hal-hal seperti memberi kesempatan kepada

mereka memecahkan masalah setelah diskusi kelas, bermain game, atau membuat daftar. Kadang-

kadang ini paling baik dilakukan sebelum peserta didik dalam kelompok dan kadang-kadang setelah

mereka dikelompokkan.

Exhibit, yaitu bagian yang melibatkan peserta didik membuat sebuah pemaparan untuk orang lain

dari rekaman yang mereka buat untuk mencatat pikiran mereka saat mereka menjelaskan situasi. Ini

dapat mencakup menulis deskripsi pada kartu dan memberikan presentasi lisan, membuat grafik,

diagram, atau representasi visual lainnya.

Reflection, yaitu pembelajar melakukan refleksi dalam menyelasaikan tugas mereka, dan apakah

pembelajar ingat kepada perasaan, imajinasi, dan bahasa yang sesuai dengan pemikirannya dan

sikap seperti apa yang diekspressikan oleh pembelajar setelah mengikuti kegiatan.

Bahasan Hasil Penelitian yang Relevan

Fokus utama penelitian ini adalah bagaimana mengembangkan proses pembelajaran pelatihan

untuk membangun sikap dan perilaku yang positif berkaitan dengan HAM dan Demokrasi bagi

mahasiswa. Dalam konteks ini hasil penelitian yang berkaitan dengan perubahan sikap antara lain

adalah seperti yang dilakukan oleh Hovland dan kawan-kawannya tentang faktor yang

memengaruhi komunikasi persuasif yang tepat. Dalam penelitian tersebut dikemukakan bahwa

apabila suatu komunikasi persuasif dilakukan secara tepat, sikap yang menjadi objek komunikasi

dapat berubah secara signifikan. Penelitian yang dilakukan oleh Salmah dengan judul “Kemampuan

Mengajar Guru Sekolah Dasar” menggambarkan bahwa simpulan hasil penelitiannya adalah bahwa

sikap terhadap profesi guru dengan kemampuan mengajar matematika memiliki koefisien 0,7374

dalam arti kontribusi sikap profesi terhadap kemampuan mengajar sebesar 73,74%. Selain itu,

masih ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan betapa pentingnya hubungan antara sikap dan

hasil objek tertentu, misalnya penelitian yang dilakukan oleh Ali Pada bahwa setiap satu skor

Page 330: Scanned by CamScanner - ULM

324 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

kenaikan sikap terhadap matematika akan menyebakan kenaikan skor hasil belajar matematika

sebesar 0,63. Selanjutnya, Adriman juga membuktikan bahwa hubungan antara sikap terhadap

profesi pelaut dengan motivasi berprestasi dalam belajar memiliki koefisien korelasi sebesar 0,405

yaitu semakin positif sikap taruna terhadap profesi pelaut, semakin tinggi motivasi belajar. Hasil

penelitian yang terkait dengan HAM oleh Nusa Putra tentang model pengembangan pembelajaran

pembentukan prilaku HAM melalui pelajaran Bahasa Indonesia adalah bahwa: (1) Pembentukan

perilaku HAM dapat diintegrasikan dalam pelajaran Bahasa Indonesia dengan strategi aktivitas

interaktif secara simultan dengan mengembangkan keterampilan emosional dan pengembangan

berpikir kreatif.

Pengembangan Konseptual Perencanaan

Model Pembelajaran Tindakan

Ciri khas model pembelajaran ditandai dengan adanya syntax yang menggambarkan suatu

keterurutan peristiwa dalam pembelajaran. Proses pembelajaran pada hakekatnya merupakan suatu

proses penataan Iingkungan secara sistematis sehingga pembelajar dapat belajar secara efektif dan

efesien. Proses pembelajaran dapat pula diartikan sebagai seperangkat kejadian atau peristiwa

internal dan eksternal yang mempengaruhi yang belajar sedemikian rupa sehingga membantu proses

belajar (Gagne: 1979) Dalam kegiatan pembeIajaran faktor-faktor internal seperti minat,

karakteristik, motivasi instrinsik dan prior knowledge harus dikelola dengan baik. Demikian juga

faktor eksternal seperti lingkungan, instrumen pemantuan, lembar kerja, media dan sumber-sumber

belajar. Atas dasar ini menjadi pertimbangan menentukan dan mengembangkan model pem-

belajaran. Dengan demikian istilah model pembelajaran di maknai sebagai seperangkat komponen

strategi yang terpadu seperti: cara mengurutkan ide-ide, konsep, prosedur dan kaedah sebagai

struktur isi pembelajaran, penggunaan tinjauan dan rangkuman, penggunaan contoh-contoh,

praktik-praktik dan penggunaan berbagai strategi untuk memotivasi pemelajar (Reigeluth: 1985)

Lebih lanjut disebutkan bahwa model pembelajaran membantu kita mengkonseptualisasikan

representasi suatu realitas hidup. Pendapat lain menyatakan bahwa model pembelajaran adalah

kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam pengorganisasian

pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi

para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas

proses pembelajaran. Dengan demikian proses pembelajaran merupakan kegiatan bertujuan dan

tertata secara sistematis.

Model pembelajaran merupakan rencana atau pola yang dapat digunakan untuk merancang berbagai

dumber belajar dan memandu aktivitas pembelajaran baik dalam kelas maupun di luar kelas. Oleh

karena itu model pembelajaran merupakan seperangkat komponen strategi pembelajaran yang akan

Page 331: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 325

dikembangkan dalam suatu tindakan. Dalam penelitian ini, model pembelajaran yang akan

diimplementasikan adalah salah satu model pembelajaran konstruktivistik.

Rancangan Model Pembelajaran Konstruktivistik

Perencanaan tindakan berupa model pembelajaran konstruktivistik didasarkan pada assumptions of

constructivism yang dikemukakan oleh Duffy and Jonassen, yaitu; 1) knowledge is constructed

from expelence, 2) there is no shared reality, learning is a personal interpretation of the world, 3)

learning is active, 4) meaning is negotiated from multiple perspectives, and 5) learning should occur

in realistic settings (Duffy: 1992).

Secara konseptual model konstruktivistik yang dirancang untuk diimplementasikan dalam

mengembangkan sikap positif terhadap HAM dan Demokrasi. Prinsip tersebut meliputi; pertama,

mengembangkan pengalaman melalui proses konstruksi pengetahuan. Prinsip ini meng-hendaki

agar melibatkan mahasiswa dalam menemukan makna dan nilai-nilai HAM dan Demokrasi pada

Setiap tema diskusi. Kedua, mengembangkan pengalaman belajar yang memungkinkan apresiasi

dan pengayaan wawasan sebagai alternatif dalam pemecahan masalah. Mereka mengevaluasi

alternatif pemecahan suatu problem serta memperkaya pemahaman mereka. Ketiga,

mengintegrasikan proses belajar dengan pengalaman nyata dan relevan. Sebaqian besar belajar

berlangsung di konteks kampus, hendaknya dosen merancang situasi nyata masuk dalam aktivitas

belajar. Keempat, memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk menentukan isi dan arah

belajar mereka sendiri. Hal mi merupakan intl dan pembelajaran konstruktivistik. Karena itu fungsi

dosen sebagai fasilitator mendorong mahasiswa dalam kerangka pencapaian penerapan nilai-nilai

HAM dan Demokrasi dalam berbagai aktivitas kehidupannya. Kelima, menanamkan belajar melalui

pengalaman bersosialisasi Perkembangan intelektual berkaitan dan dipengaruhi interaksi sosial.

Karena itu aktivitas belajar harus merupakan kolaborasi antara semua komponen. Keenam,

mendorong penggunaan berbagai bentuk komunikasi tersebut akan membatasi siswa dalam melihat

dunia. Ketujuh, mendorong peningkatan kesadaran mahasiswa dalam proses pemaknaan

pengetahuan dan realitas yang konsisten dengan sikap dan perilakumya. Kunci hasil belajar

konstruktivistik adalah mengetahui bagaimana kita tahu kemampuan mahasiswa untuk menjelaskan

mengapa atau bagaimana memecahkan suatu problem dengan cara tertentu; menganalisis

bagaimana proses mereka mengkonstruksi pengetahuan merupakan aktivitas refleksi diri yang

berorientasi pada kesadaran diri bahwa di atas hak ada kewajiban. Prinsip-prinsip tersebut akan

diimplementasikan ke dalam enam elemen Constructivist Learning Design.

Page 332: Scanned by CamScanner - ULM

326 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

METODE PENELITIAN

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan cara yang efektif dalam mengembangkan sikap positif

terhadap pemahaman dan implementasi konsep-konsep yang ada dalam HAM dan Demokrasi.

Secara rinci, tujuan penelitian yang diharapkan adalah sebagai berikut:

Memperbaiki dan meningkatkan mutu pembelajaran yang dilaksanakan oleh dosen demi

tercapainya tujuan pembelajaran.

Mengidentifikasi, menemukan solusi, dan mengatasi masalah pembelajaran di kelas agar

pembelajaran bermutu.

Meningkatkan dan memperkuat kemampuan dosen dalam memecahkan masalah-masalah

pembelajaran dan membuat keputusan yang tepat bagi mahasiswa dan kelas yang diajarnya.

Mengeksplorasi pembelajaran yang selalu berwawasan atau berbasis penelitian agar pembelajaran

dapat bertumpu pada realitas empiris kelas, bukan semata-mata bertumpu pada kesan umum atau

asumsi

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di IAIN Gorontalo. Penentuan lokasi penelitian didasarkan atas

pertimbangan (1) dari segi lembaga, IAIN Gorontalo adalah lembaga pendidikan Islam yang banyak

mengaji tentang nilai-nilai Islam. (2) Dari segi fungsi, lembaga ini merupakan lembaga yang

mengkaji persoalan nilai, moral, dan agama. Dengan demikian, masalah sikap sebagai cermin

kepribadian lembaga sangat perlu dikaji secara mendalam. (3) Dari segi pengembangan

pembelajaran HAM dan Demokrasi pada mata kuliah Pendidikan Kewargaan di IAIN Sultan Amai

Gorontalo. (4) Peneliti ingin menyumbangkan hasil pemikiran yang terkait dengan masalah

pembelajaran HAM dan Demokrasi yang termuat dalam Pendidikan Kewargaan secara khusus dan

secara umum apabila ada mata kuliah lain yang memiliki karakteristik yang sama.

Pelaksanaan penelitian dilakukan pada semester ganjil tahun akademik 2014/2015 yang berlansung

dari bulan Oktober sd Pebruari.

Metode dan Disain Tindakan/Rancangan Siklus Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan yang menggunakan metode pendekatan

kualitatif. Ada beberapa pertimbangan ketika peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Strauss

dan Corbin yang dikutip Hoepfl mengakui bahwa metode kualitatif dapat digunakan untuk

mengetahui suatu fenomena yang sekecil apapun. Selain itu, metode kualitatif juga dapat digunakan

untuk mengetahui suatu perspektif yang kemungkinan sukar bagi penelitian kuantitatif. (M. Hoepfl,

M: 1994).

Page 333: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 327

Kemmis dan Mc. Taggart menyatakan bahwa penelitian tindakan merupakan bentuk refleksi diri

secara kolektif yang melibatkan partisipan dalam situasi sosial untuk mengembangkan rasionalisasi

dan justifikasi praktik pendidikan, sebagaimana yang dialami dalam praktik sehari-hari (Mc

Taggart: 1996).

Penelitian tindakan memiliki beberapa tipe, yang cenderung berbeda-beda jika dilihat dari segi

tujuan dan pendekatan yang digunakan. Berdasarkan pernyataan McKernan, Hughes membagi tipe

penelitian tindakan menjadi tiga, (1) the scientific-technical view of problem solving; (2) practical-

deliberative action research; (3) critical-emancipatory action research (Ian Hughes: 1997).

Bob Dick mengatakan bahwa penelitian tindakan cenderung (1) bersiklus, tahapan cenderung

terulang pada urutan yang mirip; (2) partisipatif, klien dan informan terlibat sebagai partner atau

paling tidak partisipan aktif di dalam proses riset; (3) kualitatif, lebih berhubungan dengan bahasa

daripada angka-angka; dan (4) reflektif, refleksi kritis terhadap proses dan hasil merupakan bagian

penting dari tiap siklus (Bob Dick: 2000).

Dalam hal apakah penelitian tindakan bersifat kualitatif atau kuantitatif, Bob Dick memberikan

penegasan bahwa kebanyakan penelitian tindakan bersifat kualitatif. Akan tetapi beberapa

memadukan antara kualitatif dan kuantitatif.

Model intervensi tindakan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah model revisi Lewin

yang dikemukakan oleh Elliot. Desain penelitian tindakan Elliot seperti yang dikemukakan oleh

Dorothy Gabel memiliki karakteristik siklus seperti berikut. (1) Initially an exploratory stance is

adopted, where an understanding of problem is developed and plan are made for some form of

interventionary strategy. (The Reconnaissance & General Plan). (2) Then the intervention is carried

out (The Action in Action Research). (3) During and around the time of the intervention, pertinent

observations are collected in various forms (Monitoring the implementation by Observation). (4)

The new interventional strategies are carried out and the cyclic process repeats, continuing until a

sufficient understanding of (or implement able solution for) the problem is achieved (Reflection and

Revision) ( Dorothy Gabel: 1995).

Subjek/Pelaku Penelitian

Penelitian ini dilakukan oleh peneliti berkolaborasi dengan dosen pengampu mata kuliah

Pendidikan Kewargaan di lingkungan IAIN Sultan Amai Gorontalo. Penentuan dosen tersebut

berdasarkan atas pertimbangan kesamaan pandangan dengan peneliti yaitu ingin mengubah

kebiasaan yang kurang efektif dan efisien dalam pembelajaran Pendidikan Kewargaan.

Page 334: Scanned by CamScanner - ULM

328 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Subjek yang menjadi sasaran tindakan adalah mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Tadris, mahasiswa

Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam. dan mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Dakwah.

Mahasiswa yang dijadikan fokus tindakan adalah dua prodi untuk Fakultas Tarbiyah dan Tadris,

yakni prodi Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Prodi Tadris bahasa Inggris (TBI), satu prodi untuk

Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam yakni Prodi Akhwalu Syahsiah (AS), dan satu prodi untuk

Fakultas Ushuluddin dan Dakwah yakni prodi Aqidah Filsafat (AF). Jumlah keseluruhan

mahasiswa pada empat prodi yang ditetapkan sebagai subjek penelitian tindakan 111 (seratus

sebelas mahasiswa).

Tahapan Intervensi Tindakan

Karena strategi pembelajaran HAM dan Demokrasi menggunakan multi approach, pada tahapan

intervensi mengacu pada (1) Model Elliot, (2) Model Constructivist Learning Design, dan (3)

Model Hovland tentang perubahan sikap,

Kerangka umum penelitian tindakan ini dengan model Elliot yaitu (1) rekonaisan dan perencanaan

umum, (2) pelaksanaan intervensi, (3) pemantauan penerapan dengan observasi, dan (4) refleksi dan

revisi. Langkah-langkah ini juga dikembangkan oleh Gabel Untuk lebih jelasnya, dapat diikuti

penjelasan seperti berikut ini.

1 Rekonaisan dan Perencanaan

Setelah peneliti menemukan masalah penelitian, yakni belum adanya upaya sistematis berkaitan

dengan pembelajaran sikap khususnya pembelajaran HAM dan demokrasi yang merupakan bagian

dari kegiatan dan kebijakan kurikuler maka akan disusun perencanaan sebagai berikut. (1)

Mengadakan diskusi dan penjelasan terhadap dosen pengasuh mata kuliah Civic Education,

pembantu dekan III, ketua jurusan, penasehat akademik, dan ketua-ketua lembaga kemahasiswaan

tentang rencana model pembelajaran HAM dan Demokrasi. (2) Merancang proses pembelajaran

peningkatan pemahaman pokok bahasan yang disesuaikan dengan model yang akan digunakan

dalam penelitian tindakan ini. (3) Menyiapkan buku, makalah, jurnal, majalah, surat kabar, atau

teks-teks lain dan cuplikan video clip yang diperlukan sebagai bahan ajar. (4) Menyiapkan alat

bantu pembelajaran yang diperlukan sesuai dengan program kegiatan. (5) Merancang dan

mempersiapkan perangkat untuk memonitor proses pembelajaran dan hasil pembelajaran sikap dan

perilaku dari setiap pokok bahsan yang dipilih.

Pelaksanaan Tindakan dengan Intervensi

Tindakan yang dilakukan oleh peneliti adalah bekerja sama dengan dosen mata kuliah Pendidikan

Kewargaan. Peneliti mengarahkan pelaksanaan penelitian tindakan dalam kegiatan pembelajaran

dengan bentuk sosialisasi langkah-langkah yang ditempuh dalam proses pembelajaran mencacu

pada model CDL yang terdiri dari 6 elemen, yaitu (1) situasional/orientasi pembelajaran, (2)

Page 335: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 329

pengelompokan, (3) pertanyaan, (4) penghubung, (5) eksibisi, dan (6) refleksi. baik antara sesama

mahasiswa maupun mahasiswa dengan dosen.

Pemantauan dengan Observasi

Pemantauan dilakukan secara terus-menerus, baik yang menyangkut proses belajar maupun hasil

belajar. Dalam kaitannya dengan proses pembelajaran pada beberapa pokok bahasan, sejak

dilaksanakan tindakan, pengamatan secara jeli, teliti, dan terencana terhadap semua fenomena perlu

dilakukan. Demikian juga terhadap hasil pembelajaran, pelaksanaan pengamatan untuk mengetahui

peningkatan hasil belajar.

Refleksi dan Revisi

Refeksi seperti yang diungkapkan oleh Dewey yang dikutip oleh Jenniver bahwa refleksi muncul

ketika ada sesuatu masalah atau situasi yang kurang baik. Refleksi dalam penelitian ini merupakan

kegiatan kajian, pengamatan, dan perenungan kembali hasil atau dampak dari tindakan telah dicatat

dalam pengamatan. Hasilnya dianalisis, diinterpretasikan, dan disimpulkan bersama peneliti dan

kolaborator. Kesimpulan ini menjadi acuan dalam memperbaiki rencana untuk diterapkan pada

tingkatan berikutnya.

Data dan Sumber Data

Data yang telah dikumpulkan dapat dikelompokkan menjadi; (1) proses pembelajaran; (2)

pengorganisasian pesan/isi pembelajaran, penyampaian pembelajaran; (3) pengelolaan

pembelajaran dan; (4) hasil perolehan hasil belajar sikap.

Sumber data utama dalam penilitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan. Kata-kata dan

tindakan itu sendiri dapat diperoleh dari orang, peristiwa, dan benda. Ketiga bentuk data tersebut

dirinci sebagai berikut.

Sumber berupa orang adalah dosen pengampu dan mahasiswa semester satu yang mengambil mata

kuliah Pendidikan Kewargaan. .

Sumber berupa peristiwa adalah peristiwa yang terjadi pada saat pembelajaran berlangsung.

Peristiwa ini dapat berbentuk interaksi antara dosen dengan mahasiswa, mahasiswa dengan

mahasiswa, mahasiswa dengan pimpinan.

Sumber berupa benda adalah berbagai bentuk sumber belajar.

Sumber berupa hasil wawancara dan pengamatan yang berbentuk pernyataan-pernyataan

mahasiswa.

Page 336: Scanned by CamScanner - ULM

330 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Instrumen Pengumpul Data yang Digunakan

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan berbagai teknik sebagai berikut.

Studi dokumen atau sering juga disebut dengan analisis kegiatan. Teknik ini dipergunakan dalam

rangka penjaringan data yang berkaitan dengan komponen-komponen pembelajaran (Nawawi:

1995)

Wawancara, yaitu teknik yang digunakan dalam menjaring data yang ada kaitannya dengan faktor

keapaan dan kemengapaan membuat dan bertindak yang berhubungan dengan proses pembelajaran

HAM dan Demokrasi dan untuk membandingkan dengan hasil perolehan teknik pengumpulan data

yang lain. Wawancara ini dilaksanakan dalam dua bentuk, pertama, wawancara dilaksanakan secara

bebas untuk membangun suatu persepsi yang sama dan suasana keakraban dengan menanyakan hal

yang terkait dengan suasana kekerabatan. Kedua, wawancara dilakukan secara terstruktur dengan

menggunakan jadwal wawancara yang telah dipersiapkan secara cermat untuk memperoleh

informasi yang relevan dengan masalah penelitian. Selain itu hal yang perlu siperhatikan selama

wawancara adalah ketepatan waktu yang telah disepakati, hornat dan sopan dalam menawarkan

pertanyaan dam saran (Kerlenger: 1977).

Observasi, yaitu teknik yang digunakan untuk melihat secara langsung apa yang sesungguhnya

terjadi dalam kegiatan ini. Hal yang menjadi objek pengamatan adalah bagaimana para kolaborator

melakukan tindakan yang telah disepakati sebelumnya dengan peneliti dan bagaimana gambaran

perilaku mahasiswa terhadap konsekuensi dari suatu perlakuan

Teknik Pengumpulan Data

Teknik mengumpulkan data terkait dengan pencatatan data di lapangan. Menurut Bogdan

dan Biklen catatan tertulis adalah tentang apa yang dilihat, didengar, dan dipikirkan ketika

mengumpulkan dan merefleksikan data dalam penelitian kualitatif yang dibuat sesegera mungkin

setiap kali melakukan kegiatan tersebut di lapangan (Bogdan: 1982). Dalam konteks ini peneliti

merasakan betapa pentingnya catatan lapangan dibuat sehingga pencatatan data di lokasi penelitian

sudah dilaksanakan sejak studi pendahuluan dan berlangsung selama pengumpulan data

berlangsung, termasuk pada pengamatan, wawancara, dan studi dokumen. Untuk mempermudah

penggunaan catatan ini dilakukan peringkasan catatan setiap kegiatan penelitian. Selain itu diadakan

perbaikan dan kelengkapan data.

Page 337: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 331

Teknik Pemeriksaan Keterpercayaan

Credibility

Teknik pengecekan data melalui kredibilitas sangat diperlukan supaya hasil penelitian dapat

dipercaya. Dalam konteks ini terdapat tujuh cara yang ditempuh, yakni: 1) memperpanjang masa

pengamatan dan memperbaiki sIstem tindakan yang dilakukan dalam penelitian tindakan, 2)

melakukan observasi secara terus menerus dan sungguh-sungguh dalam jangka waktu tertentu

sehingga informasi yang ditemukan sesuai dengan yang diharapkan, 3). melibatkan teman sejawat

yang tidak ikut meneliti untuk membicarakan dan bahkan mengritik segenap proses dan hasil

penelitian, sehingga peneliti dapat memperoleh masukan atas kelemahan yang terjadi selama dalam

proses penelitian; 4) mengecek kesesuaian rekaman, interpretasi, dan simpulan-simpulan hasil

penelitian dengan apa yang telah diperoleh dari para partisipan selama penelitian berlangsung; dan

5) melakukan triangulasi.

Triangulasi data sumber adalah membandingkan data hasil lapangan dan teori. Triangulasi

teori atau sering diistilahkan dengan penjelasan banding. Terkadang ada suatu fakta tidak dapat

dideteksi tingkat kepercayaannya hanya melalui satu teori, tetapi diperlukan teori lain untuk

menjelaskannya. Teknik ini berlangsung pada saat pengumpulan data. Triangulasi metode adalah

dilakukan dengan sasaran dan jenis permasalahan data yang sama, seperti metode wawancara,

observasi, dokumen, dan angket. Hal ini sangat memungkinkan terjadi pada pelaksanaan

pembelajaran HAM dan Demokrasi yang bukan hanya didasarkan pada teori ilmu-ilmu

pembelajaran, tetapi ada sentuhan spritualitas yang susah dilacak keberadaannya dalam diri

manusia.

Untuk menghindari atau mengurangi kesalahan dalam penyusunan proposisi yang disusun

peneliti, hasil mekanisme pelaksanaan penelitian sampai pada penyimpulan hasil penelitian

deperhadapkan dengan rambu-rambu yang berkaitan dengan teknik

Transferability

Tenik ini merupakan pertanyaan pengalaman yang tidak dapat dijawab oleh peneliti. Yang

bisa menjawab adalah para pembaca laporan penelitian. Kalau pembaca laporan penelitian

memperoleh gambaran yang begitu jelas terhadap latar atau konteks tentang apa suatau hasil

penelitian yang dapat diberlakukan maka laporan tersebut memenuhi standar transferabilitas

“benarnya" penelitian dalam mengkosep-tualisasikan apa yang diteliti.

Page 338: Scanned by CamScanner - ULM

332 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Confirmability

Teknik ini hampir sama dengan dependabilitas yang khususnya berkaitan dengan mutu hasil

penelitian dengan memperhatikan dukungan catatan data lapangan dan kesatuan internalnya dalam

penyajian interpretasi dan kesimpulan hasil penelitian. Pemeriksaan teknis dapat dilakukan secara

bersamaan dengan teknik dependabilitas.

Analisis Data dan Interpretasi Hasil Analisis

Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Secara

kualitatif ditempuh untuk menganalisis proses data, yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan,

membandingkan, meng-kategorikan, dan menginterpretasikan. Kemudian, data akan dianalisis

melalui tiga tahapan. Ketiga tahapan tersebut meliputi (1) reduksi data, (2) penyajian data, dan (3)

penarikan kesimpulan. Kesimpulan adalah hasil dari analisis data induktif. Data yang telah

dilakukan adalah polarisasi dan kategorisasi data yang memiliki kesamaan karakteristik secara

substansial. Penyajian data atau pemaparan data adalah penyajian hasil temuan baik pada pra

tindakan maupun pada proses tindakan. Penarikan simpulan merupakan hasil sintesa yang

didasarkan pada analisis setiap komponen-komponen tindakan.

Dalam pedoman penulisan tesis dan disertasi yang mengutip pendapat Lawrence

dikemukakan bahwa “Subtantial theory is developed for a specific area concern… Format theory is

developed for a broad conceptual area in general theory”. Dengan demikian, dari hasil verifikasi

atau kesimpulan data akan dirumuskan beberapa pernyataaan yang sifatnya preposisi cikal bakal

teori yang berkaitan dengan hasil tindakan yang dilakukan oleh peneliti. Karakteristik dari proposisi

ini pada tahap awal masih bersifat idiografik.

Tindak Lanjut/Pengembangan Perencanaan Tindakan

Sesuai dengan sifat penelitian tindakan, setiap proses atau tahapan dalam setiap siklus maka

rekomendasinya adalah apakah penelitian tindakan ini berhenti pada siklus pertama atau harus

dilanjutkan dengan siklus berikutnya karena pada intinya adalah melakukan refleksi setiap tindakan

yang dilakukan berdasarkan harapan yang ingin dicapai yang telah diproyeksikan sebelumnya

DESKRIPSI, ANALISIS DATA, INTERPRETASI HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Gambaran Sikap Mahasiswa IAIN Sultan Amai Gorontalo

Mahasiswa IAIN Gorontalo yang tersebar di tiga fakultas seperti disebutkan sebelumnya

memiliki berbagai latar belakang yang berbeda. Selain memiliki latar belakang disiplin ilmu yang

berbeda, mahasiswa IAIN juga memiliki karakteristik yang berbeda, baik dari sisi organisasi ekstra

seperti HMI, PMII, dan IMM maupun organisasi intern seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM),

Page 339: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 333

Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), Pramuka, Himpunan Mahasiswa Pencinta Alam

(MAPALA), dan lain sebagainya,

Dalam kaitan penelitian ini, yang menjadi objek penelitian adalah gambaran sikap

mahasiswa prodi Akhwalu Syahsiah (AS), prodi Aqidah Filsafat (AF), prodi Pendidikan Agama

Islam (PAI), dan prodi Tadris Bahasa Inggeris (TBI) yang tersebar di tiga Fakultas (Tarbiyah,

Syariah, dan Ushuluddin). Pada setiap prodi yang akan menjadi kajian analisis adalah bagian

karakteristik yang diduga berpengaruh pada sikap mahasiswa, yaitu (1) organisasi ektra seperti yang

telah disebutkan di atas, (2) organisasi intern, dan (3) pendidikan sebelum masuk ke IAIN.

Jumlah mahasiswa yang dijadikan subjek penelitian adalah sebanyak 111 orang yang

tersebar di empat kelas prodi yang berbeda. Setiap mahasiswa dilacak karakteristiknya masing-

masing yang diduga dapat mempengaruhi sikap mahasiswa.

Gambaran tentang sikap mahasiswa diperoleh melalui (1) pengamatan secara cermat ketika

mereka mengikuti perkuliahan Pendidikan Kewargaan, (2) hasil wawancara langsung dengan

mahasiswa, dan (3) melalui dengan catatan lapangan ketika mereka mengikuti perkuliahan dan

ketika mereka berdemonstrasi, baik di tingkat fakultas maupun tingkat institut

Sikap mahasiswa melalui pengamatan dalam perkuliahan Pendidikan Kewargaan

menunjukkan bahwa tema atau topik diskusi menentukan tinggi rendahnya perhatian dan respons

mahasiswa. Ketika mahasiswa membica-rakan masalah yang terkait dengan materi yang sifatnya

normatif, antara lain materi tentang identitas negara dan kontitusi, sikapnya kurang serius, tetapi

ketika mereka berdiskusi tentang hal-hal yang faktual terjadi di masyarakat seperti isu pelaksanaan

pilkada, isu politik atau otonomi daerah, mahasiswa sebagian besar ikut terlibat dalam memberikan

apresiasi yang berkaitan dengan masalah aktual tersebut.

Bentuk apresiasi mahasiswa secara umum, sikap mereka kelihatan berada pada posisi

prasangka yang negatif terhadap kebijakan yang diambil oleh para pengambil keputusan, mulai, dari

level lokal, regional, dan nasional. Level lokal misalnya kebijakan yang dilakukan oleh Rektor

tentang kenaikan SPP, Badan Hukum Pendidikan (BHP), dan Badan Layanan Umum (BLU). Hal

ini tampak ketika dosen memberi contoh kasus tentang bagaimana sikap mahasiswa terhadap suatu

kebijakan yang dilakukan oleh pengambil keputusan. Kembali kepada persoalan sikap mahasiswa

terhadap HAM dan Demokrasi, yang menarik bagi mahasiswa tergantung pada sejauh mana

perasaan keterkaitan subtopik dengan pribadi mahasiswa.

Gambaran awal sikap mahasiswa melalui dengan wawancara pada dasarnya tidak terlalu

berbeda dengan apa yang teramati lewat observasi di kelas. Perbedaan sedikit terlihat pada ekspresi

mahasiswa ketika memberikan respons pada peneliti yaitu tidak sebebas mengemukakan pendapat

Page 340: Scanned by CamScanner - ULM

334 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

ketika mereka mengemukakan gagasannya kepada teman-teman mereka. Selanjutnya, gambaran

sikap lewat catatan lapangan ketika mahasiswa berdemonstrasi berbeda dengan sikap mereka di

dalam kelas. Sikap mereka dalam menyampaikan orasi cenderung tidak etis dan bahkan dengan

melakukan anarkis. Ketika melakukan demonstrasi, mereka mengatasnamakan kelompok peduli

kampus.

Aspek lain dari sikap mahasiswa yang terkait dengan demokrasi juga menggambarkan

perbedaan sikap, baik dari sisi objek sikap pada topik yang sama, maupun pada instrumen yang

berbeda. Demikian pula halnya dengan topik HAM yang berbeda. Sikap mahasiswa terhadap HAM

ada beberapa tema yang didiskusikan, yaitu tema tentang kesetaraan gender, perkawinan lintas

budaya dan agama, kekerasan terhadap wanita pada bidang domestik, dan perbedaan aliran dalam

satu keyakinan. Pemilihan pimpinan, pelecehan dan tindak kekerasan terhadap seseorang maupun

kelompok juga menjadi bahan yang didiskusikan.

Deskripsi Upaya Pengembangan Sikap Mahasiswa

Pengembangan sikap mahasiswa dilakukan dengan pendekatan konstruktivis, baik secara

konseptual maupun secara implementatif, Upaya pengembangan sikap secara terencana melalui

perbaikan sistem pembelajaran mata kuliah Pendidikan Kewargaan. Secara sistematis perencanaan

tindakan ini diawali dengan (1) pengamatan awal pra tindakan dan wawancara dengan mahasiswa

dan dosen mata kuliah Pendidikan Kewargaan pada pra tindakan, (2) penyusunan program, (3)

implementasi program, (4) pengamatan, (5) refleksi, dan (6) rencana tindak lanjut.

Pengamatan Awal Pratindakan

Sesuai dengan hasil pengamatan kurang lebih satu semester, yaitu pada tahu akademik

2007/2008 terhadap mahasiswa di tiga fakultas secara intensif, baik di kelas perkuliahan maupun di

luar kelas, maka dapat digambarkan bahwa pada umumnya kondisi pembelajaran yang dilakukan

oleh para dosen Pendidikan Kewargaan didominasi pada kecenderungan diskusi monoton dengan

mahasiswa tertentu saja yang berbicara. Dosen kurang memberikan dorongan kepada mahasiswa

yang kurang aktif, sehingga dosen mengalami kesulitan ketika mau menggambarkan sikap

mahasiswa secara keseluruhan. Suasana seperti ini hampir terlihat di semua kelas perkuliahan.

Pengorganisasian waktu dalam kaitannya dengan ketuntasan pokok bahasan sering kali tidak

tercapai apalagi terkait dengan target hasil belajar sikap yang ditargetkan pada setiap pokok

masalah yang didiskusikan. Komentar tentang pokok diskusi sering kali keluar dari subtansi materi.

Selain itu dosen kurang mengarahkan pada subtansi. Mereka melihat pada aspek penyampaian

pendapat meskipun tidak tepat sasaran.

Aspek lain yang kurang dilakukan oleh dosen adalah terkait dengan bagaimana

mengorganisasikan isi materi secara sistematis. Analisis yang terkait dengan hubungan antara satu

Page 341: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 335

konsep dengan konsep yang lain kurang diperhatikan, demikian pula keterkaitan dan identifikasi

antara fakta yang satu dengan fakta yang lain juga kurang mendapat penekanan. Selanjutnya materi

yang terkait dengan prosuderal, fakta, konsep, dan kaidah juga kurang penjelasan dari dosen.

Terkait dengan masalah strategi pengelolaan pembelajaran hampir tidak tersentuh, artinya

analisis karakteristik mahasiswa dan analisis sumber belajar dan kondisi pembelajaran tidak

mendapat penekanan yang serius. Aspek pengelolaan pembelajaran sangat menentukan dalam

melahirkan sikap yang positif baik terhadap perilaku mahasiswa maupun perilaku mahasiswa

terhadap dosen dan mata kuliah

Model pembelajaran yang selama ini diterapkan oleh dosen dirasakan dampaknya, yaitu

bahwa mahasiswa cenderung berpikir secara normatif parsial. Dosen juga merasakan bahwa untuk

mengetahui bagaimana sebenarnya kondisi sikap mahasiswa terhadap sesuatu masalah masih sulit

untuk dideskripsikan oleh dosen. Selain itu, belum ada upaya sistematis bagaimana menganalisis

tentang konsistensi pengetahuan dan sikap dari masing-masing mahasiswa.

Setelah dosen Pendidikan Kewargaan melakukan perenungan atas beberapa pertanyaan yang

peneliti lontarkan, mereka menyadari bahwa berbagai kelemahan proses pembelajaran yang telah

dilakukan, baik dari segi strategi pengorganisasian isi pembelajaran, strategi penyampaian, strategi

pengelolaan pembelajaran, maupun sistem evaluasi, mereka berpendapat bahwa kami belum

mampu menempatkan mahasiswa sebagai subjek yang belajar memiliki hak untuk menentukan

pengetahuan yang mereka bangun sendiri yang dapat melahirkan sikap konsisten dengan apa yang

mereka bangun.

Berdasarkan gambaran kondisi di atas maka klasifikasi masalahnya dapat dikemukan bahwa

mahasiswa belum memperoleh kesempatan secara menyeluruh untuk membangun pemahamannya

secara komprehensif terhadap objek masalah, khususnya yang berkaitan dengan Demokrasi dan

HAM. Hal ini terindikasi pada kegiatan-kegiatan dosen ketika melakukan proses pembelajaran di

kelas. Pada umumnya dosen kurang melatih mahasiswa mengkonstruk realita yang ada yang dapat

membangun sikap mereka. Misalnya, dosen kurang membiasakan mahasiswa bagaimana membuat

peta konsep terhadap pokok-pokok bahasan yang akan dibahas dalam satu semester, demikan pula

halnya dengan pembuatan peta konsep dalam satu pokok bahasan. Setiap awal tatap muka pertama

dosen perlu bersama-sama dengan mahasiswa membuat peta konsep dan sekaligus memberi label

keterkaitan antara konsep yang satu dengan yang lainnya yang mengambarkan relasi hierarkis,

prosedur, dan kluster. Hasil pengamatan di kelas perkuliahan Pendidikan Kewargaan mereka hanya

langsung membagi topik/pokok bahasan yang akan dibahas selama dalam satu semester.

Page 342: Scanned by CamScanner - ULM

336 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Dalam proses pembelajaran juga tampak bahwa mahasiswa berpikir secara subjektif, yang

seakan-akan pendapatnya sendiri yang benar. Hal ini berkonsekuensi terhadap lahirnya sikap dari

mahasiswa yang tidak simpatik pada temanya yang menganggap pendapatnya sajalah yang paling

benar. Demikian juga sebaliknya, secara tidak sadar juga melakukan hal yang sama.

Selain pengamatan di dalam kelas, juga ada satu fenomena yang menarik untuk dikaji di luar

dari masalah materi perkuliahan, yakni mahasiswa dalam menyampaikan aspirasinya sebagai

bentuk kepedulian terhadap kampus lebih senang dalam bentuk demo, sehingga demo sudah

menjadi kegiatan rutinitas bagi sebagian mahasiswa. Hal ini sangat mengganggu tingkat

kenyamanan perkuliahan sehingga terkadang antar mahasiswa yang demo dan belajar terjadi

insiden di antara mereka. Kalau memperhatikan tuntutan mereka sebagai tema kritik dalam

demonstrasi mereka, yang lebih dominan adalah persoalan politik kampus dari pada masalah yang

terkait dengan kepentingan kesuksesan mereka belajar di perguruan tinggi.

Dengan gambaran permasalahan di atas maka yang menjadi area dan fokus penelitian

tindakan ini adalah bentuk pembelajaran yang mampu meningkatkan/mengembangkan adalah sikap

mahasiswa dalam melihat persoalan-persoalan demokrasi dan HAM. Selanjutnya, pokok

permasalahn ini dirinci menjadi:

apakah penerapan model desain konstruktivis pada konsep Demokrasi dan HAM dalam mata kuliah

Pendidikan Kewargaan dapat mengembangkan sikap mahasiswa IAIN Sultan Amai Gorontalo?

bagaimana merancang desain pembelajaran Pendidikan Kewargaan, yang dapat meningkatkan sikap

mahasiswa khususnya yang terkait dengan HAM dan Demokrasi;

pengelolaan pembelajaran yang bisa meningkatkan sikap mahasiswa;

sistem evaluasi yang dapat mengembangkan sikap konsisten dengan pengetahuan yang dimiliki

oleh mahasiswa;

Untuk menganalisis dan meyelesaikan persoalan di atas, perlu dibuat langkah-langkah

sistematis dalam menerapkan suatu tindakan yang dapat mengembangkan sikap mahasiswa.

Rencana Program Tindakan Siklus Pertama

Program tindakan pada siklus pertama berbentuk lesson plan kemudian dikonversi ke dalam

format rancangan enam elemen rancangan belajar konstruktivis yang disebut dengan Constructivist

Learning Design (CLD). Rencana pembelajaran mahasiswa didorong untuk meningkatkan perhatian

mahasiswa dalam mengkaji masalah-masalah HAM dan Demokrasi. Untuk meningkatkan atau

mengubah sikap mahasiswa digunakan teknik brain storming pada awal kegiatan pendahuluan.

Teknik ini digunakan untuk mengidentifikasi konsep apa saja yang harus dimunculkan dalam setiap

pokok pembahasan yang berkaitan dengan demokrasi dan HAM. Dari hasil brain storming tersebut,

mahasiswa diminta untuk menyeleksi sendiri mana konsep inti dan mana konsep turunan kemudian

mereka diminta untuk membuat peta konsep.

Page 343: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 337

Supaya mahasiswa bisa termati proses perkembangan sikapnya setiap elemen CLD, yaitu

pengkondisian (situation), pengelompokan (grouping), penghubung (bridge), pertanyaan

(questioning), eksibisi, dan refleksi dilakukan pengamatan.

Salah satu contoh gambaran lengkap tentang lesson plan pada prodi yang diteliti pada siklus

pertama adalah sebagai berikut.

Lesson Plan untuk mahasiswa Prodi Akhwalu Syahsiah (AS) Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam

Pokok Bahasan : Demokrasi (Teori dan Aksi)

Sub Pokok Bahasan : mengkritisi wacana hubungan Islam dan Demokrasi

Mahasiswa :Tarbiyah Prodi AS Semester I Tahun Akademik 2007/2008

1 Pengantar (Overview)

Dalam konteks pemahaman demokrasi di Indonesia masih terdapat beberapa pandangan yang

berbeda, baik dari sisi teori, maupun pada sisi penerapan. Islam sebagai jumlah penduduk mayoritas

di Indonesia memiliki banyak konsep-konsep ideal tentang kemasyarakatan, tetapi cukup miskin

pengalaman dalam praktik berdemokrasi. Di belahan negera-negara Muslim masih tumbuh subur

rezim-rezim otoriter, sedangkan di negera Barat sudah pada dataran praktek berdemokrasi.

2 Tujuan Pembelajaran

1 Mahasiswa mampu menjelaskan beberapa istilah dalam Islam yang terkait dengan prinsip

prinsip demokrasi yang sesuai dengan Islam.

2 Mahasiswa mampu menjelaskan sikap mereka tentang parameter tegaknya demokrasi yang

tidak bertentangan dengan ideologi negara.

3 Mahasiswa mampu memberikan solusi alternatif supaya proses demokrasi tumbuh dan

berkembang dengan cepat di Negara Islam.

4 Mahasiswa mau dan sadar memberikan apresiasi terhadap perbaikan dan pelaksanaan nilai-

nilai demokrasi kapan dan di mana pun mereka berada.

3 Strategi Pembelajaran

Elisitas ( inventarisasi pendapat dengan selektif)

Asosiasi ( mahasiswa diperlihatkan gambar video kemudian diminta responnya)

Ice breaking

Information search

Page 344: Scanned by CamScanner - ULM

338 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

4 Bahan dan Media Pembelajaran

Bahan : Tranparansi, spidol, kertas HVS

Media : OHP atau Laptop, LCD (in focus)

5 Prosedur Pembelajaran

Motivasi

Pernyataan penyadaran tentang peranan mahasiswa dalam menumbuhkan nilai-nilai demokrasi

Questioning

Presentasi Dosen

Gambaran singkat tentang konsep inti dalam materi demokrasi dan istilah-istilah yang terkait

dengan Islam

Aktivitas

Dosen menyampaikan materi sebagai pengantar

Memberikan pertanyaan sebagai bahan yang akan didiskusikan

Hasilnya ditampilkan dan diseleksi yang berhubungan dengan materi

Refleksi/klarifikasi nilai

Motivasi

Evaluasi

Memberikan beberapa pertanyaan inti yang berkaitan dengan sikap mahasiswa tentang demokrasi.

Tugas Terstruktur

Menugaskan mahasiswa secara individu untuk mengamati lingkungan domisilinya tentang perilaku

berdemokrasi (laporan dalam bentuk tertulis).

Gambaran lesson plan di atas dikonversi menjadi rancangan belajar konstruktivis seperti

yang tergambar pada tabel berikut:

Tabel 4.1 Konversi Lesson Plan ke Rangcangan Belajar Konstruktivistik

No Komponen Aktivitas Pembelajaran

1 Situasi Maksud dan tujuan dari sesi perkuliahan ini adalah

bagaimana mahasiswa memahami dan meng-klarifikasi

nilai-nilai yang terkait dengan materi demokrasi secara

umum yang meliputi demokrasi sebagai pandangan

hidup, unsur penegak demok-rasi, prinsip dan parameter

demokrasi, model-model demokrasi di Indonesia yang

Page 345: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 339

dibandingkan dengan istilah-istilah, baik yang relevan,

maupun yang tidak yang ada dalam ajaran Islam.

Selanjutnya kompetensi yang diharapkan pada

perkuliahan ini adalah terwujudnya kemampuan

penguasaan pengetahuan kewargaan (civic knowledge),

keca-kapan sikap kewargaan (civic disposition), secara

konsisten sehingga mahasiswa mampu meng-

artikulasikan keterampilan kewargaan (civic skills) dalam

berdemokrasi.

2 Pengelompokan Mahasiswa dikelompokkan menjadi tiga kelompok,

dosen mengelomkpokkan mahasiswa dengan cara

menghitung sampai tiga, secara berulang hingga semua

mahasiswa memiliki nomor masing-masing, semua yang

menyebutkan nomor satu bergabung menjadi kelompok

satu demikian seterusnya. Masing-masing kelompok

diberi satu topik untuk didiskusikan. Kelompok satu

membahas hakikat demokrasi sebagai pandangan hidup,

kelompok dua membahas prinsip dan unsur-unsur

parameter negara demokratis, kelompok tiga membahas

Islam dan demokrasi.

3 Pengaitan Sebelum mahasiswa berdiskusi berdasarkan information

search, dosen melakukan review singkat yang terkait

dengan materi sebelumnya, yaitu tentang konstitusi.

Dosen memberikan waktu 10 menit untuk membaca

materi yang sudah disiapkan oleh dosen.

4 Pertanyaan Setelah selesai diskusi, dosen meminta setiap kelompok

mengajukan pertanyaan yang kritis yang terkait dengan

yang norma dan realitas yang ada

5 Ekshibisi Setiap kelompok peserta diminta untuk mengemukakan

pendapat tentang hasil bacaan dan diskusi kelompok.

Pada saat pemaparan hasil diskusi, mahasiswa, melalui

kelompoknya mem-berikan tanggapan, pertanyaan, saran,

dan solusi tentang permasalahan yang muncul dari setiap

Page 346: Scanned by CamScanner - ULM

340 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

kelompok. Hal ini dilakukan secara bergantian.

6 Refleksi Pada akhir sesi pembelajaran, dosen meminta pendapat

atau pandangan mahasiswa tentang pengetahuan yang

telah diperoleh dari proses pembelajaran tentang

demokrasi. Dosen meminta mahasiswa untuk

merenungkan kembali selama dalam proses

pembelajaran apakah mahasiswa sudah menerapkan nilai-

nilai demokrasi baik ketika bertanya maupun ketika

menanggapi pertanyaan dari teman-temannya

Implementasi Tindakan Siklus Pertama

Ada dua kegiatan yang dirancang pada kegiatan awal perkuliahan, yakni; (1)

kegiatan pada tatap muka pertama dalam perkuliahan satu semester, (2) kegiatan pendahuluan

setiap tatap muka dalam perkuliahan.

Kegiatan pendahuluan pada awal perkuliahan adalah melakukan perkenalan. Dalam

hal ini hanya satu kelas yang dideskripsikan pada uraian ini, sebab kegiatan yang dilakukan oleh

dosen pada kegiatan ini teknisnya sama yaitu perkenalan, penyampaian kontrak perkuliahan.

Salah seorang dosen yang melakukan kegiatan tatap muka awal adalah dosen yang

mengajar pada prodi PAI. Pertama-tama dosen meminta mahasiswa untuk memperkenalkan diri

dengan cara silang, yaitu si A memperkenalkan si B, dan si B memperkenalkan si C, dan

seterusnya. Langkah ini merupakan langkah awal untuk menanamkan sikap keingintahuan terhadap

teman yang lainnya. Lewat perkenalan ini, dosen dapat mengamati bagaimana struktur awal

mahasiswa dalam mengelaborasi teknik memperkenalkan orang lain di hadapan teman-temannya.

Setelah kegiatan perkenalan selesai, dosen mulai melakukan kegiatan pengondisian dengan

menggambarkan secara menyeluruh dari setiap episode kegiatan perkuliahan dengan pernyataan

yang jelas tentang tujuan mata kuliah, tugas seperti apa yang harus dilakukan oleh mahasiswa dan

kesepakatan kode etik selama mengikuti perkuliahan termasuk masalah kehadiran tepat waktu.

Untuk membangun pemahaman mahasiswa terhadap mata kuliah yang akan diterima

dan sekaligus mengetahui karakteristik pengetahuan awal yang dimiliki mahasiswa, pertama yang

dilakukan oleh dosen adalah meminta mahasiswa untuk mencurahkan pendapatnya tentang konsep-

konsep apa saja yang menjadi inti materi dalam perkuliahan Pendidikan Kewargaan. Pertanyaan

pertama yang dilontarkan oleh dosen adalah "Coba Anda kemukakan apa saja yang Anda ketahui

tentang Pendidikan Kewargaan? Hanya ada sembilan dari 30 mahasiswa yang menjawab. Jawaban

mereka bervariasi, ada yang mengatakan bahwa Pendidikan Kewargaan adalah pengganti mata

kuliah Kewiraan yang materinya bersifat dogmatis, yang lain mengatakan mata kuliah ini

seharusnya membahas tentang bagaimana masyarakat memahami kedudukannya sebagai warga

Page 347: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 341

negara yang memiliki hak dan kewajiban yang seimbang, Ada pula yang berpendapat bahwa mata

kuliah ini isinya adalah membicarakan nilai-nilai Pancasila yang sudah banyak dilupakan oleh para

pemimpin kita.

Langkah selanjutnya dosen mengakomodasi sekian pendapat dan tanggapan dengan

teknik elisitasi yaitu dosen menulis di papan tulis kemudian dosen kembali merumuskan konsep inti

yang ada pada mata kuliah Pendidikan Kewargaan. Ada tiga konsep inti yang dirumuskan secara

bersama, yaitu (1) demokrasi, (2) HAM dan KAM, dan (3) masyarakat madani (civil society).

Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh dosen adalah menyampaikan semua materi

perkuliahan yang merupakan akumulasi dari konsep inti yang terdiri atas sembilan bagian

(terlampir). Kesembilan bagian tersebut diorganisir sesuai dengan prinsip-prinsip struktur materi

yaitu fakta, konsep, prosedur dan prinsip atau kaidah. Dosen menjelaskan bahwa ada tiga strategi

yang dikembangkan dalam mata kuliah ini, yaitu (1) strategi pengorganisasian materi yang bersifat

konsep dan prinsip diurutkan berdasarkan dengan pendekatan herarkis, materi yang bersifat fakta

diurutkan berdasarkan dengan pendekatan cluster atau pengelompokan, dan materi yang bersifat

prosedural didekati dengan pendekatan tahapan teknis, (2) strategi penyampain yang melibatkan

dosen dan mahasiswa memilih berbagai teknik dan model pembelajaran, Ada beberapa teknik yang

disebutkan, yaitu teknik pengambilan keputusan, klarifikasi nilai dan pemecahan masalah, dan (3)

strategi pengelolaan pembelajaran yang antara lain bagaimana mengatur perbedaan karakteristik

mahasiswa dan bagaimana melaksanakan hasil kesepakatan antara mereka. Selanjutnya juga

disepakati tentang sistem penilaian dan aspek-aspek penentuan nilai akhir.

Kegiatan pada tatap muka selanjutnya yang merupakan implementasi tindakan

penelitian adalah tidak semua materi seperti yang disebutkan di atas, tetapi hanya dua bagian inti

materi yaitu Demokrasi dan HAM.

Penyajian materi yang telah diseleksi dirancang khusus dan implementasinya juga

dibatasi pada empat prodi yaitu (1) Prodi AS, AF, PAI dan TBI.

Kelas Prodi AS (pertemuan 2)

Pendahuluan: dosen mengawali dengan salam dan dimulai mengucapakan syukur kepada

Allah. Kuliah dimulai dengan melakukan brainstorming, yaitu menanyakan apa itu demokrasi.

Mahasisiwa menjawab bahwa demokrasi itu adalah pemerintahan dari rakyat untuk rakyat.

Mahasiswa kedua menjawab dari segi etimologisnya, yaitu demokrasi terdiri dari dua kata yaitu

demos dan kratos. Demos adalah rakyat dan kekuasaan. Dosen merumuskan beberapa perpektif

tentang demokrasi. Antara lain dikatakan bahwa demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang

Page 348: Scanned by CamScanner - ULM

342 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

mengakomodir apa yang diinginkan oleh rakyat dengan demikian dapat juga dimaknai bahwa

demokrasi merupakan kekuasaan di tangan rakyat.

Sebelum kegiatan inti dimulai, dosen terlebih dahulu membagi mahasiswa menjadi tiga

kelompok yang rata-rata terdiri dari sembilan orang berdasarkan tempat duduk. Setelah kelompok

terbentuk, dosen menggunakan strategi information search, yaitu masing-masing ditugasi untuk 1)

membaca materi selama 10 menit, 2) mendiskusikan hasil bacaannya, dan 3) memplenokan hasil

rumusan tugasnya. Ada tiga topik diskusi yang diberikan. Kelompok satu membahas “hakikat

demokrasi sebagai pandangan hidup”. Kelompok dua membahas “prinsip dan parameter Negara

demokratis”. Kelompok tiga membahas “kelompok tiga membahas Islam dan demokrasi. Ketika

mereka berdiskusi, dosen berkeliling mengawasi diskusi kelompok. Setelah selesai, dosen meminta

perwakilan masing-masing kelompok untuk menyampaikan hasil diskusinya. Kelompok yang

pertama tampil adalah kelompok dua yang menyampaikan prinsip dan parameter negara demokrasi

yang menemukan tiga kesimpulan yaitu persamaan, kebebasan, dan pluralisme. Kelompok dua yang

membahas “hakekat demokrasi sebagai pandangan hidup” menyimpulkan tujuh hal, yaitu;

pemaknaan demokrasi sebagai bentuk kerja, kesadaran atas kemajemukan, musyawarah, konsistensi

antara cara dan tujuan, norma kejujuran dalam permufakatan, kebebasan nurani, dan upaya selalu

mencoba meskipun terkadang salah. Kelompok tiga yang membahas “Islam dan Demokrasi”

menyimpulkan bahwa Islam dan Demokrasi memiliki persamaan dan perbedaan, Di kalangan umat

Islam perbedaan secara teoretis dan secara implementatif memiliki rentang dari yang ekstrem

sampai yang moderat. Persamaan lebih banyak pada tataran aplikasi, yaitu bahwa setiap orang

memiliki hak yanag sama.

Penutup: sebagai kegiatan terakhir dalam tatap muka, dosen menyimpulkan secara bersama-sama

apa saja yang menjadi inti hakikat dan implementasi demokrasi di Indonesia. Dosen dan

mahasiswa kembali mempertegas hakikat demokrasi, yaitu nilai yang menghargai pluralisme,

keadaban, dan kesamaan derajat. Untuk menggugah afeksi mahasiswa, dosen kembali menyebutkan

manfaat dari materi yang telah dipelajari secara bersama. Dalam kegiatan ini, dosen memberikan

tugas investigasi tentang bentuk penyampaian aspirasi mahasiswa melalui pengamatan di

lingkungan domisili masing-masing mahasiswa secara berkelompok. Selain itu dosen juga

memberikan sejumlah pertanyaan untuk dijawab dan inventarisasi nilai-nilai yang terkandung

dalam materi yang telah didiskusikan. Kemudian dosen menutup perkuliahan dengan ucapan

semoga Anda sukses dalam studi wassalamu alaikum.

Observasi Pengaruh Tindakan Siklus I

Pada tahap ini observasi dilakukan untuk mengetahui sejauh mana tindakan siklus I mempengaruhi

peningkatan sikap sebagaimana yang diharapkan dalam penelitian ini. Berdasarkan observasi yang

Page 349: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 343

dilakukan secara intensif, ternyata melalui pendekatan pembelajaran konstruktifistik terjadi

peningkatan sikap secara kualitatif terhadap masalah HAM dan Demokrasi. Komponen-komponen

yang mengalami perubahan, yaitu adanya perubahan sikap mahasiswa yang menolak dan bahkan

ekstrem terhadap beberapa konsep demokrasi, misalnya demokrasi itu tidak sama dengan konsep

syura dalam Islam. Demokrasi dalam bentuk pemilihan langsung tidak sesuai dengan praktik Islam.

Demikian pula dengan masalah HAM yang berkaitan dengan isu gender, kawin lintas agama,

poligami, pindah agama. Penolakan tersebut menjadi lebih moderat dan bahkan ada yang menerima

setelah mengikuti proses diskusi dan memahami sumber-sumber bacaan yang telah disiapkan.

Selain itu, terjadi peningkatan kemampuan dan keterampilan dosen untuk menata dan mengelola

pembelajaran, misalnya dosen membuat kesepatan awal bagaimana kode etik yang harus dipatuhi

dalam mengikuti perkuliahan, bagaimana teknik membagi kelompok yang heterogen, bagaimana

memberikan tugas kepada mahasiswa yang variatif berdasarkan karakteristik mahasiswa.

Kemudian, unsur lain yang meningkat adalah pelaksanaan sistem penilaian yang menekankan pada

setiap elemen desain tindakan mulai dari kondisi sampai pada elemen refleksi. Penilaian dan

keputusan dilakukan dengan pelaksanaan penilaian yang semakin terimplementasi dengan baik,

yang sebelum pelaksanaan tindakan tidak ada catatan secara terprogram tentang bagaimana bentuk

dan tingkatan sikap mahasiswa. Komponen lain yang tidak kalah pentingnya adalah peningkatan

secara kuantitatif dan kualitatif partisipasi mahasiswa dalam mendiskusikan masalah HAM dan

Demokrasi. Bagaimana proses itu terjadi pada salah satu prodi yang diteliti adalah deskripsinya

sebagai berikut:

Kondisi perubahan sikap mahasiswa

Prodi AS

Jumlah keseluruhan mahasiswa Prodi AS yang mengikuti perkuliahan pada pertemuan II sejumlah

25 orang. Instrumen yang digunakan untuk mengetahui bagaimana perubahan sikap mahasiswa

adalah pengamatan dan sejumlah daftar pertanyaan. Objek pengamatan adalah sebagai berikut: (1)

kualitas pertanyaan yang diajukan oleh mahasiswa, (2) kualitas jawaban tanggapan mahasiswa, (3)

kewajaran saran yang diajukan, dan (4) solusi permasalahan yang diajukan. Adapun instrumen

pertanyaan yang diajukan kepada mahasiswa untuk mengetahui sikap mahasiswa, yaitu (1)

Setujukah Anda tentang konsep demokrasi yang dilaksanakan di Indonesia (pasca orde baru) jika

anda tidak setuju atau setuju, jelaskan alasannya; (2) kalau saudara tidak setuju dengan konsep

demokrasi, apa solusi yang Anda tawarkan, (3) dalam kehidupan sehari-hari, utamanya di

lingkungan kampus dan di lingkungan domisili Anda, apakah anda merasa/melihat bahwa nilai-nilai

Page 350: Scanned by CamScanner - ULM

344 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

demokrasi sudah terlaksana; (4) bagaimana pendapat Saudara tentang hakikat demokrasi yang

sesuai dengan latar belakang budaya, agama, ras/suku, dan tingkat kesejahteraan; (5) bagaimana

kecenderungan sikap anda terhadap dua konsep demokrasi, yaitu demokrasi langsung dan

demokrasi tidak langsung.

Selama dalam pengamatan terlihat bahwa mahasiswa Prodi AS mengalami perubahan sikap

meskipun secara keseluruhan belum representatif. Indikator yang dijadikan penilaian adalah: (1)

jawaban dari sejumlah pertanyaan yang diberikan kepada setiap mahasiswa pada akhir kegiatan

tatap muka dan (2) pengamatan aktifitas mahasiswa selama mengikuti kegiatan perkuliahan.

Identifikasi atas jawaban pertanyaan yang diberikan kepada mahasiswa memiliki jawaban yang

bervariasi, tergantung pada perspektif yang digunakan oleh mahasiswa. Variasi jawaban tersebut

adalah sebagai berikut:

Jawaban soal tentang konsep demokrasi yang dilaksanakan di Indonesia pasca Orde Baru adalah (a)

konsep demokrasi yang diterapkan sekarang belum tepat, (b) konsep demokrasi sudah tepat, tetapi

disalahgunakan oleh kelompok-kelompok yang berambisi dengan kekuasaan, (c) euforia demokrasi

sekarang ini sama dengan ”demo crazy”, (d) konsep demokrasi yang sebenarnya yang harus

diterapkan di Indonesia adalah seperti yang ada dalam konsep ajaran Islam seperti konsep ”syuraa”.

Jawaban soal nomor dua tentang ketidaksetujuan dengan demokrasi yang dianut di Indonesia adalah

(a) realitas yang belum menganut sistem demokrasi dari rakyat untuk rakyat seperti di Cina,

Malaysia, Singapura dan beberapa negara lain di dunia tingkat income per kapitanya lebih tinggi

dibandingkan dengan Indonesia yang sudah menganut sistem demokrasi; (b) biaya pelaksanaan

sebuah demokrasi begitu mahal dibandingkan dengan membiayai masyarakat yang memiliki

ekonomi lemah; (c) hasil produk berupa peraturan, kebijakan yang prosesnya dianggap sudah

demokratis terkadang tidak memenuhi rasa keadilan, dan (d) menyuburkan praktik money politics.

Jawaban soal nomor tiga tentang pernyataan mahasiswa atas tanggapan penerapan nilai demokratis

di lingkungan keluarga, masyarakat, dan kampus: (a) sebagian besar mahasiswa merasa masih

banyak hal yang tidak demokratis atas keputusan yang dilakukan oleh orang tua dan anak, misalnya

pilihan jodoh, pekerjaan, dan pendidikan; (b) pengamatan mereka atas pola kehidupan dan interaksi

antara masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dan instansi pemerintahan, dan lembaga/institusi

swasta yang melanggar prinsip-prinsip demokrasi, misalnya penggusuran, pemutusan hubungan

kerja, dan pelayanan jasa; (c) pemaksaan kehendak terhadap kelompok masyarakat yang satu

dengan masyarakat lainnya; (d) kalau dibandingkan dengan era Orde Baru dengan era roformasi,

pelaksanaan nilai demokrasi sudah lumayan dari segi proses, tetapi dari segi subtansi masih terjadi

penyalahgunaan wewenang.

Jawaban soal nomor empat tentang konsep demokrasi terhadap pluralisme budaya, suku, agama dan

kepercayaan: (a) konsep demokrasi semestinya tidak harus sama karena masing-masing

Page 351: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 345

suku/budaya memiliki nilai-nilai dan konsep demokrasi masing-masing; (b) Subtansi demokrasi

dari nilai kesejajaran, kekeluargaan harus menjadi unsur utama pada semua aspek perbedaan yang

ada pada masyarakat bangsa dan negara; (c) nilai demokrasi yang sudah dilaksanakan secara turun

temurun harus dipertahankan dan jangan dikorbankan dengan alasan menghargai budaya orang lain.

5. Jawaban soal nomor lima tentang demokrasi langsung dan tidak langsung yaitu: (a) mereka lebih

suka/cenderung kepada demokrasi langsung sebab dengan demokrasi langsung mereka akan bisa

mengaspirasikan apa yang menjadi keinginan secara pribadi, tanpa harus banyak persoalan-

persoalan lain (b) mereka lebih cenderung pada demokrasi langsung dengan semboyan “biarkan

rakyat yang berbicara”; (c) mereka lebih cenderung kepada demokrasi lansung karena dengan

demokrasi langsung kita bebas berekspresi (d) konsep ini sama dengan yang telah diajarkan dalam

Islam melalui musyawarah.

Aspek lain yang teramati adalah aktivitas mahasiswa selama mengikuti kegiatan

perkuliahan, seperti pelaksanaan diskusi kelompok dan diskusi kelas. Aktivitas setiap kelompok

tercermin bahwa pada umumnya anggota kelompok berkontribusi dalam merumuskan hasil diskusi

kelas, meskipun ada satu atau dua orang yang tidak berkomentar sama sekali dan sebaliknya masih

ada anggota kelompok yang mendominasi pembicaraan dalam diskusi kelas. Jenis aktivitas yang

muncul selama diskusi antara lain: memberikan saran dan tanggapan, bertanya, menjawab dan

memberikan solusi. Aktivitas yang dominan adalah memberi tanggapan dalam perumusan diskusi.

Kegiatan diskusi kelas didominasi oleh kegiatan bertanya, menanggapi, dan kadang-kadang

muncul suasana debat yang cukup keras. Kegiatan diskusi kelas dilakukan secara bergantian setiap

kelompok. Setiap kelompok menyampaikan hasil rumusan diskusi kelompok, kemudian dilanjutkan

dengan kegiatan tanya jawab. Setiap kelompok yang tampil rata-rata ditanggapi oleh beberapa

penanya. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan cukup kritis dan biasanya keluar dari apa yang telah

dirumuskan oleh kelompok penyaji.

Refleksi Tindakan Siklus I

Refleksi bukan hanya bagian dari proses penelitian tindakan, melainkan juga merupakan bagian dari

desain pembelajaran konstruktifis. Komponen yang digunakan dalam melakukan refleksi atas

tindakan siklus satu disederhanakan sesuai dengan tahapan-tahapan dalam pembelajaran, yaitu (1)

pendahuluan, (2) penyajian inti, dan (3) penutup. Dalam hal ini refleksi tidak dilakukan pada setiap

prodi, tetapi dilakukan secara umum.

Pendahuluan berdasarkan refleksi antara dosen dan peneliti, terdapat beberapa hal terkait penerapan

model konstruktivistik yang perlu diperhatikan, yakni:

Page 352: Scanned by CamScanner - ULM

346 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Terjadi perubahan kebiasaan yang merepotkan dosen pada saat melakukan pembukaan perkuliahan

karena dosen harus melalui dengan kegiatan pengondisian. Salah satu kegiatan yang ada pada

elemen pengodisian adalah melakukan brainstorming, yaitu untuk memotivasi mahasiswa dalam

mengonstruksi pengetahuannya.

Dosen memiliki keterbatasan dalam mengidentifikasi materi yang bersifat fakta, konsep, prosedur,

dan kaidah.

Keterlibatan mahasiswa secara refresentatif dalam melakukan curah pendapat belum maksimal.

Direkomendasikan pada siklus berikutnya untuk khususnya pada tahap pembukaan perkuliahan,

dosen memaksimalkan upaya menarik perhatian mahasiswa dengan cara: (a) Pendahuluan bukan

hanya brainstorming, tetapi juga diperlukan dorongan sikap untuk merasakan dan memiliki

keprihatinan terhadap persoalan HAM dan Demokrasi yang dialami oleh mahasiswa ataupun orang

lain, (b) Pelibatan mahasiswa bukan hanya merumuskan tentang topik pembicaraan materi,

melainkan juga diberikan tugas berupa simbol-simbol, gambar, dan karikatur untuk dimaknai.

Penyajian, ada kebiasaan dosen pada pratindakan dalam penyajian materi semuanya diserahkan

kepada mahasiswa. Dosen hanya mengamati kegiatan diskusi tanpa bekerja keras. Pada siklus

pertama ternyata dosen telah bekerja keras untuk mengimplementasi elemen CLD.

Elemen grouping, pengaitan, dan ekshibisi yang masuk pada tahapan penyajian telah dilakukan oleh

dosen meskipun hasilnya belum maksimal karena kegiatan itu pengalaman baru bagi dosen. Dosen

telah merasakan bahwa dengan pendekatan CLD betul meningkatkan sikap mahasiswa. Indikator itu

terlihat bahwa mahasiswa semakin aktif dalam berdiskusi, semakin serius mengikuti perkuliahan

dan mahasiswa mulai memperlihatkan sikap kooperatif dan toleransinya. Namun demikian masih

terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan dalam tahap penyajian yang terkait dengan elemen CLD

sebagai berikut.

Pemanfaatan media pembelajaran otomatis terkait langsung dengan penyampaian materi

pembelajaran. Pada umumnya dosen sudah menggunakan powerpoint sebagai media penyampaian

pesan. Namun, tampilannya belum memenuhi unsur keterkaitan konsep.

Mahasiswa belum memanfaatkan media tersebut dalam mempre-sentasikan laporan/makalah.

Mahasiswa masih kesulitan dalam membuat peta konsep pada pemaparan hasil-hasil diskusinya.

Mahasiswa masih sulit dalam mengkonkretkan konsep-konsep yang ada pada HAM dan Demokrasi

Mahasiswa masih enggan melakukan pengungkapan hasil penilaian diri di hadapan kelas

Perlu dilakukan revisi pada siklus kedua pada tahapan penyajian yang meliputi:

Penggunaan media oleh mahasiswa sekaligus melatih diri untuk mengembangkan kreasinya.

Kegiatan investigasi sebagai pengalaman langsung ditingkatkan

Mendorong mahasiswa yang kurang aktif untuk berani mengemukakan pendapatnya

Penutup

Page 353: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 347

Pada setiap akhir pembahasan suatu materi dosen memberikan sejumlah pertanyaan sikap sebagai

alat penilaian sudah sejauh mana perubahan sikap mahasiswa terhadap masalah HAM dan

Demokrasi. Selain pemberian pertanyaan, dosen juga melakukan refleksi bersama dengan

mahasiswa. Kegiatan ini dimaksudkan sebagai bahan masukan untuk pembelajaran berikutnya.

Tindak Lanjut Siklus I

Ada beberapa komponen yang dapat direkomendasikan sebagai tindak lanjut untuk perbaikan pada

siklus II yang berhubungan dengan model pembelajaran konstruktivistik dalam upaya

meningkatkan sikap mahasiswa terhadap masalah HAM dan Demokrasi sebagai berikut:

Mendorong dan mengondisikan terjadinya peningkatan sikap terhadap nilai-nilai HAM dan

Demokrasi. Peningkatan sikap mahasiswa terhadap HAM dan Demokrasi adalah target perbaikan

sikap, sikap itu bisa terinternalisasi dalam kehidupan keseharian mahasiswa

Pengelolaan pembelajaran termasuk unsur penting dalam upaya mengubah sikap mahasiswa, seperti

yang disebutkan pada bagian sebelumnya bahwa pengelolaan pembelajaran meliputi identifikasi

karakteristik mahasiswa, karakteristik sumber belajar dan karakteristik materi bahan ajar, dan

karakteristik sumber belajar. Dengan demikian, tindak lanjut yang harus dilakukan oleh dosen

adalah menginventarisasi berbagai komponen yang dapat mempengaruhi hasil belajar. Komponen

kondisi yang berupa karakteristik mahasiswa, struktur materi, dan pengelolaan kelas harus menjadi

acuan dalam pengembangan strategi pengorganisasian dan strategi penyampaian pembelajaran.

Sistem evaluasi ditingkatkan secara terus-menerus untuk mengikuti perkembangan kondisi

pembelajaran. Titik penekanannya adalah pembuatan indikator-indikator pencapaian setiap aspek

unjuk kerja mahasiswa. Umpan balik hasil penilaian senantiasa dikomunikasikan dengan

mahasiswa.

Peningkatan aktivitas mahasiswa sangat ditentukan oleh sejauh mana kreativitas guru untuk

mendorong mahasiswanya aktif dalam berbagai kegiatan. Dosen harus mampu menciptakan

suasana kondusif yang memotivasi mahasiswa untuk bersikap yang elegan.

Pengamatan Pascasiklus Satu

a. Deskripsi Situasi

Dengan selesainya tindakan pada siklus satu, dapat dikemukakan bahwa tindakan dengan

pendekatan CLD dapat meningkatkan sikap mahasiswa dalam memandang masalah HAM dan

Demokrasi dikaitkan dengan eksistensinya sebagai mahasiswa perguruan tinggi Islam. Indikator itu

Page 354: Scanned by CamScanner - ULM

348 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

terlihat dalam bentuk perilaku dan argumentasi yang dikemukakan oleh keempat prodi yang

menjadi subjek penelitian tindakan.

Mahasiswa di empat prodi telah menunjukkan sikap kesungguhan dalam mengikuti

perkuliahan dari awal sampai akhir, tetapi pada sisi kenderungan masih lebih banyak yang bertanya

belum pada subtansi permasalahan. Mereka bertanya masih didominasi dengan kesan subjektif,

misalnya tentang pernyataan demokrasi sebagai produk barat yang hanya dipakai sebagai siasat

untuk memperluas pengaruhnya pada negara-negara berkembang.

Untuk meminimalisasi asumsi-asumsi subjektivitas mahasiswa maka dosen harus bekerja

keras untuk memberikan referensi dan pandangan-pandangan dan bukti-bukti peristiwa yang dapat

mempengaruhi perasaan subjektivitas mahasiswa tanpa mereduksi nilai-nilai yang tertanam pada

diri mahasiswa.

b. Masalah

Mengacu pada hasil pengamatan pascasiklus pertama, masih dijumpai beberapa masalah

yang perlu dianalisis untuk menemukan jalan keluar pada rancangan tindakan siklus kedua.

Masalah-masalah tersebut terkait dengan penekanan terhadap beberapa elemen-elemen LDC,

sebagai berikut.

Elemen pengondisian sudah mampu mendorong motivasi mahasiswa. Namun, belum seluruhnya

dirasakan oleh mahasiswa.

Elemen questioning sebagian sudah dapat mempengaruhi mahasiswa, tetapi belum mendorong

secara optimal mahasiswa berpikir lebih dalam.

Elemen refleksi sebagai inti dalam pembelajaran konstruktivis telah mampu memberikan kesadaran

pada mahasiswa tentang kekurangan dan kelebihan yang mereka miliki, tetapi refleksi pada

pengamatan siklus satu belum optimal. Salah satu penyebabnya adalah faktor waktu dan faktor

bimbingan dari dosen

Sistem penilaian dan sistem pengelolaan pembelajaran dapat mendeskripsikan perubahan sikap

mahasiswa tetapi masih perlu dipertajam intrumen dan indikatornya.

c. Analisis Masalah

Kalau dicermati lebih mendalam belum optimalnya pencapaian tujuan penelitian tindakan

ini pada siklus pertama itu disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut.

1) Dosen masih terbatas kemampuan untuk mempengaruhi sikap mahasiswa

2) Dosen masih sulit mengimplementasikan secara tepat desain pembelajaran konstruktivis

3) Dosen kewalahan dalam menilai dan mencatat secara keseluruhan aspek-aspek penilaian sikap

bagi mahasiswa

Page 355: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 349

Pemeriksaan Keabsahan Data

Kredibilitas

Sebagai instrumen penelitian dalam penelitian kualitatif adalah peneliti sendiri sehingga

dimungkinkan dalam pelaksanaan di lapangan terjadi kecenderungan bias dan untuk menghindari

hal tersebut, data yang diperoleh perlu diuji kredibilitasnya dan derajat kepercayaannya.

Pengecekan kredibilitas atau derajat kepercayaan perlu dilakukan untuk membuktikan

apakah yang diamati oleh peneliti benar-benar telah sesuai dengan apa yang sesungguhnya terjadi

secara wajar di lapangan. Derajat kepercayaan data dalam penelitian kualitatif digunakan dalam

upaya memenuhi kriteria (nilai) kebenaran yang bersifat emic, baik bagi pembaca maupun bagi

subjek yang diteliti

Menurut Lincoln dan Cuba bahwa untuk memperoleh data yang valid dapat ditempuh

dengan empat cara: (1) observasi yang dilakukan secara terus-menerus, (2) triangulasi sumber data,

metode, dan peneliti lain, (3) pengecekan anggota, diskusi teman sejawat, dan (4) pengecekan

mengenai kecukupan referensi.

Keempat cara tersebut di atas semuanya digunakan dalam penelitian ini dan bahkan

ditambah lagi dengan cara lain, yaitu perpanjangan waktu penelitian.

Cara pertama, observasi dilakukan secara sungguh-sungguh dan terus menerus baik pada pra

tindakan maupun pada proses tindakan siklus satu dan dua. Observasi sebelum tindakan

dimaksudkan untuk mengetahui; 1. Keadaan umum tentang sikap mahasiswa dalam berdemokrasi

dan berperilaku dalam menghargai hak-hak orang lain dan juga perilaku dalam melaksanakan

kewajibannya, 2. Keadaan secara spesifik tentang kebiasaan-kebiasaan mahasiswa dan dosen dalam

mengikuti perkuliahan Pendidikan Kewargaan. Kemudian, observasi yang dilakukan selama dalam

masa tindakan baik pada siklus satu maupun siklus dua dimaksudkan untuk mengetahui segala

bentuk aktivitas mahasiswa sebagai konsekuensi penerapan pendekatan konstruktivistik semua

dicatat baik dalam bentuk rekaman audio, visual, maupun dengan catatatan lapangan. Semua

aktivitas baik yang terkait maupun yang tidak terkait dengan proses pembelajaran itu diamati lalu

dideskripsikan untuk selanjutnya dianalisis. Observasi setelah selesai proses pembelajaran

dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh tindakan mengubah sikap mahasiswa.

Cara kedua, triangulasi sumber data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara

membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh dari

informan yang satu dengan yang lainnya, misalnya dari dosen yang satu ke dosen yang lainnya, dari

mahasiswa prodi yang satu ke mahasiswa prodi yang lain. Triangulasi metode dilaksanakan dengan

cara memanfaatkan penggunaan beberapa metode yang berbeda untuk mengecek balik derajat

Page 356: Scanned by CamScanner - ULM

350 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

kepercayaan suatu informasi yang diperoleh, misalnya hasil observasi dibandingkan atau dicek

dengan interview, kemudian dicek lagi melalui dokumen yang relevan. Pengecekan data dengan

member check dilakukan pada subjek wawancara melalui dua cara. Cara pertama langsung pada

saat wawancara dalam bentuk penyampaian ide yang tertangkap oleh peneliti saat wawancara. Cara

kedua tidak langsung dalam bentuk penyampaian rangkuman hasil wawancara yang sudah dibuat

oleh peneliti. Dalam hal ini, tidak setiap fokus penelitian mendapat member chek. Namun,

pengakuan kebenaran data oleh pihak-pihak tertentu yang dianggap sumber informasi dari yang

sudah diwawancarai dan dinyatakan memadai mewakili sumber informasi sasaran wawancara.

Cara ketiga, rentang waktu yang digunakan dalam penelitian ini cukup lama, dimulai bulan

Oktober 2014 sampai dengan bulan Pebruari 2015. Waktu lima bulan pertama, semester ganjil

tahun akademik 2014/2015 penelitian pratindakan dan lima bulan berikutnya, semester ganjil tahun

akademik 2014/2015, penelitian tindakan. Ini merupakan suatu bukti bahwa penelitian ini tidak

dilakukan secara tergesa-gesa. Setiap data yang terkumpul tidak langsung disimpulkan, tetapi

diperlukan data lain untuk dibandingkan lalu diambil satu kesimpulan.

2. Transferabilitas

Transferabilitas atau keteralihan dalam penelitian kualitatif dapat dicapai dengan cara ”Uraian

Rinci”. Untuk penelitian ini peneliti berusaha melaporkan hasil penelitian secara rinci. Uraian

laporan diusahakan dapat mengungkap secara khusus segala sesuatu yang diperlukan oleh pembaca

agar para pembaca dapat memahami temuan-temuan yang diperoleh. Penemuan itu sendiri bukan

bagian dari uraian rinci, melainkan penafsirannya yang diuraikan secara rinci dengan penuh

tanggung jawab berdasarkan pada kejadian-kejadian yang ada. Dalam konteks ini tentunya peneliti

tidak bisa menentukan apakah hal ini bisa dialihkan ke tempat lain karena pembacalah yang

menentukan. Peneliti hanya berusaha secara maksimal merancang penelitian ini dengan jelas.

Dependabilitas

Dependabilitas atau ketergantungan dilakukan untuk menanggulangi kesalahan-kesalahan dalam

konseptualisasi rencana penelitian, pengum-pulan data, interpretasi temuan, dan pelaporan hasil

penelitian. Untuk itu diperlukan dependent ouditor. Sebagai dependent ouditor dalam penelitian ini

adalah para promotor.

4. Konfirmabilitas

Konfirmabilitas atas kepastian diperlukan untuk mengetahui apakah data yang

diperoleh objektif atau tidak. Hal ini bergantung pada persetujuan beberapa orang terhadap

pandangan, pendapat, dan temuan seseorang. Jika telah disepakati oleh beberapa atau banyak

orang, dapat dikatakan objektif. Namun, penekanannya tetap pada datanya. Untuk menentukan

kepastian data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengonfirmasikan data dengan para

Page 357: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 351

informan atau para ahli. Kegiatan ini dilakukan bersama-sama dengan pengauditan dependabilitas.

Perbedaannya jika pengauditan dependabilitas ditujukan pada penilaian proses yang dilalui selama

penelitian, sedangkan pengauditan konfirmabilitas adalah untuk menjamin keterkaitan antara data,

informasi, dan interpretasi yang dituangkan dalam laporan serta didukung oleh bahan-bahan yang

tersedia.

Analisis dan Interpretasi Data

Pada dasarnya analisis data sudah dilakukan sejak penyusunan perencanaan dan

implementasi pada siklus satu dan siklus dua. Analisis dan interpretasi data pada bagian ini adalah

pada aspek: (1) rancangan pendekatan pembelajaran konstruktivis. (2) Sistem pengelolaan pembela-

jaran. (3) Sistem evaluasi.

Perubahan sikap mahasiswa

Data mengenai perubahan sikap mahasiswa pada semua prodi yang diberikan tindakan pada

siklus pertama dan kedua dari aspek keseriusan dalam mengikuti perkuliahan/pembelajaran,

intensitas pertanyaan, intensitas menjawab, intensitas menanggapi, dan intensitas memberikan

solusi menunjukkan ada kemajuan seperti yang tergambar pada tabel berikut.

Tabel 4.35 Akumulasi Peningkatan Aktivitas Mahasiswa Semua Prodi

No.

Tepat waktu

siklus

Bertanya

siklus

Menjawab

siklus

Menanggapi

siklus

Solusi

siklus

Ket.

I II I II I II I II I II

AS 19 27 15 17 5 10 7 5 4 8

AF 17 25 10 14 4 11 5 6 6 8

PAI 25 27 15 15 9 10 8 8 5 9

TBI 20 22 10 12 6 10 5 7 3 6

Data hasil pengamatan di atas menunjukkan bahwa jenis aktivitas mengalami peningkatan

pada setiap prodi. Kedatangan tepat waktu terjadi karena dalam pengelolaan pembelajaran telah

disepakati antara dosen dan mahasiswa membuat kesepakatan tentang batas toleransi kehadiran

mahasiswa dan dosen. Disepakati dalam penyampaian kontrak perkuliahan pada tatap muka

pertama bahwa mahasiswa menyepakati lewat dari 5 menit jadwal perkuliahan tidak diperkenankan

lagi masuk ruangan kuliah. Kata kunci atau makna yang dapat diambil dari peristiwa ini adalah

”komitmen”. Manusia yang memiliki komitmen yang tinggi adalah manusia yang menghargai

Page 358: Scanned by CamScanner - ULM

352 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

sesamanya tanpa melihat latar belakangnya. Komitmen salah satu indikator status mental seseorang,

seprti yang dikemukakan oleh Saefuddin Azhar.

Aktivitas bertanya juga mengalami peningkatan intensitas dan kualitasnya. Aktivitas ini telah

menjadi salah satu elemen penting dalam CLD. Bertanya merupan suatu potensi manusia dalam

memperoleh pengetahuan dan aktivitas perlu dikondisikan karena tidak semua manusia terampil

dalam bertanya. Pada pengantar pembukaan kegiatan pembelajaran dosen sudah menyampaikan

bahwa salah satu komponen penilaian akhir mata kuliah Pendidikan Kewargaan adalah aktivitas

bertanya, menanggapi, menjawab dan memberikan solusi terhadap permasalahan yang muncul

dalam diskusi kelompok maupun diskusi kelas. Aktivitas bertanya dalam rancangan tindakan ini

dianalisis dari dua sisi, yaitu sisi intensitas dan sisi kualitas. Dosen telah mengondisikan bagaimana

mahasiswa semuanya mendapat giliran untuk bertanya. Sisi lain adalah bagaimana mahasiswa bisa

bertanya secara fokus/terarah dan kritis. Kalau diperhatikan pada tabel no. 4.9 – 4.12 (Pengamatan

Kategorisasi sikap) tergambar bahwa ada peningkatan, dari asal bertanya ke bertanya secara fokus

mengalami peningkatan kecuali pada prodi AF. Kenaikan ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu

seperti yang dikemukakan oleh salah sorang dosen Pendidikan Kewargaan bahwa teknik

pembelajaran konstruktivis dari dosen, keluasan referensi, dan keluasan pengalaman termasuk

pengalaman berorganisasi dapat meningkatkan kualitas pertanyaan mahasiswa terhadap suatu objek

sikap. Peningkatan pertanyaan terarah ke pertanyaan kritis tidak mengalami perubahan intensitas.

Hal ini disebabkan oleh faktor nilai yang dianut oleh mahasiswa. Kata kunci atau makna yang dapat

diambil dari aktivitas ini adalah ”penerapan motivasi dan keberanian menentang main stream”.

Aktivitas menjawab dan menanggapi adalah proses internalisasi dan struktur kognitif seseorang.

Semakin banyak diberi tugas menjawab pertanyaan, semakin mendewasakan cara berpikir

seseorang. Jawaban dan tanggapan kritis tidak akan muncul pada seseorang kalau seseorang itu

hanya memakai pendekatan behavioristik (teori stimulus-respon) Peningkatan intensitas menjawab

terarah mengalami perubahan yang berarti pada semua prodi. Hal ini dipengaruhi oleh desain

elemen ekshibisi pada tahapan penyajian atau strategi penyampaian pembelajaran. Mahasiswa yang

mengetahui bahwa dirinya dikompetisikan dengan teman-temannya berpengaruh pada tingkat

keseriusannya. Kata kunci atau makna yang bisa ditarik dari aktivitas ini ”mahasiswa memiliki

potensi luar biasa yang perlu didorong untuk dimaksimalkan”.

Aktivitas memberikan solusi adalah aktivitas berpikir tingkat tinggi (advance organizer). Salah satu

teknik yang diterapkan oleh dosen Pendidikan Kewargaan memetapan konsep (concept mapping).

Konsep pemetaan adalah salah satu elemen advance organizer. Kelemahan tenaga pendidik secara

umum adalah kurang mendorong dan kurang memfasilitasi berpikir tingkat tinggi. Meskipun

demikian, dosen telah membuktikan bahwa mahasiswa di seluruh prodi mengalami peningkatan

Page 359: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 353

intensitas pada siklus dua, seperti yang tergambar pada kolom 5 tabel no. 4.33 (Hasil kategorisasi

sikap melalui pertanyaan) di atas.

Keseluruhan jenis aktivitas tersebut sangat didukung oleh semua elemen CLD. Dengan demikian,

bahwa rancangan ini secara sistem memiliki pengaruh pada peningkatan sikap mahasiswa. Menurut

Krathwohl, Bloom, dan Masea ada lima tingkatan sikap, yaitu mulai dari menerima, merespon,

menghargai, mengorganisasi, dan bertindak konsisten. Kelima level sikap ini kalau dikaitkan

dengan kelima jenis aktivitas maka tergambar bahwa yang paling dominan sikap mahasiswa pada

siklus pertama adalah level sikap menerima dan merespon. Namun, kalau diperhatikan pada

kecenderungan hasil aktivitas pada siklus kedua maka terlihat bahwa level sikap mahasiswa semua

prodi bergerak pada level menghargai dan mengorganisasi. Ada perbedaan rata-rata peningkatan

sikap di setiap prodi. Perbedaan itu setelah dicermati dengan teliti maka mahasiswa yang tidak

mengikuti suatu organisasi aktifitas dalam mengomunikasikan ide agak susah. Berbeda dengan

mahasiswa yang aktivis organisasi, mereka berani dalam mengomunikasikan idenya. Persoalan

dalam berpendapat ekstrem, seperti yang tergambar pada sebagian mahasiswa setelah

diinventarisasi, mereka memiliki latar belakang organisasi ekstra yang fanatik terhadap suatu

doktrin aliran tertentu.

Data lain yang dianalisis adalah instrumen pertanyaan yang dirancang oleh dosen pada

siklus kedua yang sifatnya dilematis, juga mempengaruhi sikap mahasiswa. Untuk mengembangkan

daya nalar kritis mahasiswa salah satunya cara adalah melalui rancangan pertanyaan yang

dilematis. Ada beberapa pertanyaan dilematis yang digunakan oleh dosen untuk memahami

bagaimana sikap mahasiswa terhadap masalah demokrasi dan HAM. Pertanyaan itu, seperti yang

tertera pada tabel 4.29 – 4.32 (Hasil pengamatan kategori sikap). Mahasiswa didorong untuk

mengoptimalkan daya nalarnya dan motivasi untuk membaca referensi lebih banyak.

Selain analisis data, pengamatan seperti diuraikan di atas juga ada instrumen daftar pertanyaan

wawancara kepada semua mahasiswa untuk memahami bagaimana sikap mereka terhadap masalah

demokrasi dan HAM yang diperhadapkan dengan nilai-nilai Islam. Daftar pertanyaan wawancara,

temanya masalah demokrasi dan HAM. Pertanyaan pada siklus satu berbeda dengan pertanyaan

pada siklus dua. Namun, subtansinya sama.

Analisis sikap mahasiswa semua prodi pada siklus satu terhadap argumentasi jawaban atas

pertanyaan setuju tidaknya demokrasi dan implementasinya yang tertera pada tabel 4.13 – 4.16

(Hasil kategorisasi sikap lewat pertanyaan tentang Demokrasi dan HAM) dan analisis pada siklus

dua terhadap argumentasi jawaban atas pertanyaan sikap memilih dan menolak tentang HAM dan

demokrasi yang tertera pada tabel 4.29 - 4.32 (Hasil Pengamatan kategorisasi sikap).

Page 360: Scanned by CamScanner - ULM

354 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Data pada tabel no. 4.13 – 4.16 (Hasil kategorisasi sikap lewat pertanyaan tentang

Demokrasi dan HAM) menunjukkan bahwa dari enam pertanyaan, sikap menerima yang paling

dominan, kemudian sikap menolak yang paling sedikit adalah sikap akomodatif. Sikap penerimaan

terhadap demokrasi dan implementasinya adalah tentunya sikap yang diharapkan sebagai warga

negara Indonesia yang baik. Sikap penerimaan ini sedikit banyaknya dipengaruhi oleh hasil bacaan

dari materi yang dirancang oleh dosen dan hasil klarifikasi nilai. Penanaman nilai melalui klarifikasi

nilai banyak digunakan oleh para pendidik. Sikap menolak sistem demokrasi dari sebagian kecil

mahasiswa prodi AS rupanya mereka terlalu fanatik dengan simbol-simbol keagamaan. Mereka

memiliki latar belakang organisasi keislaman yang berorientasi pemaknaan ibadah/syariat.

Kemudian, yang akomodatif adalah mahasiswa yang memiliki wawasan yang luas tentang

demokrasi dan tentang keislaman.

Data pada tabel no. 4.29 – 4.32 (Hasil Pengamatan kategorisasi sikap). yang terdiri dari dua

bentuk pertanyaan yaitu pertanyaan tentang demokrasi dan implementasinya terdiri dari lima

pertanyaan dan pertanyaan tentang implementasi HAM yang terdiri atas empat pertanyaan. Format

pertanyaan yang sifatnya dilematis, yaitu dua pernyataan, yang keduanya dianggap benar dari setiap

perspektif yang harus dipilih, salah satunya atau diakomodasi keduanya sebagai penentuan sikap.

Ada tiga pilihan sikap, yaitu apakah mahasiswa menerima atau menolak salah satu dari dua

pernyataan yang ada, kemudian pilihan ketiga adalah mengakomodasi kedua pernyataan yang

kelihatan bertentangan. Untuk menjelaskan kepada pembaca supaya tidak salah persepsi dalam

membaca kolom kategorisasi sikap, pernyataan pertama dalam setiap pertanyaan patokan, misalnya,

kalau setuju dengan pernyataan pertama berarti datanya pada kolom menerima dan kalau tidak

setuju pada pernyataan pertama, berarti pilihannya pada kolom menolak. Kalau kedua pernyataan

diterima, pilihannya pada kolom akomodatif.

Prodi AS dan TBI pada umumnya bersikap akomodatif terhadap masalah demokrasi dan

syura dalam pengambilan keputusan, jika dibandingkan dengan dua pilihan lainnya. Demikian pula

masalah kriteria pemimpin, Sikap akomodatif mencerminkan bahwa pilihan sikap mereka

menunjukkan keluasan wawasan baik secara umum maupun khusus (Islam). Aspek lain yang

berpengaruh adalah latar belakang jurusan. Jurusan TBI kajian keilmuannya banyak diinspirasi oleh

logika-logika umum sehingga pola pikir mereka seimbang dengan pengetahuan keislamannya.

Prodi AS yang menggeluti ilmu hukum baik hukum Islam maupun hukum positif juga

mempengaruhi sikap toleransi mahasiswa.

Sikap mahasiswa prodi TBI dan AF dalam menyikapi masalah implementasi HAM seperti

hak tentang hidup, hak tentang perlindungan fisik, hak memilih agama dan berpendapat, pada

umumnya bersikap sesuai dengan syariat agama. Ada aspek tertentu yang dominan sikap

akomodatifnya, yaitu yang terkait dengan hukuman potong tangan bagi pencuri. Mereka

Page 361: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 355

memberikan pikiran-pikiran analisis tentang makna potong tangan sebagai makna yang perlu

diinterpretasi ulang.

Perubahan sikap memilih atau menolak sesuatu ke sikap akomodatif bagi mahasiswa pada

setiap prodi sedikit banyaknya dipengaruhi oleh perlakuan dosen. Perlakuan dosen terhadap

mahasiswa adalah menghargai semua pendapat, kemudian secara bertahap memberikan pikiran-

pikiran banding, baik secara lisan maupun secara tertulis dan juga melalui tayangan lewat multi

media.

Sistem Pengelolaan Pembelajaran

Kontribusi pengelolaan pembelajaran dalam kaitannya dengan perubahan sikap mahasiswa

tidak kalah penting dengan rancangan materi pembelajaran, rancangan strategi penyampaian

pembelajaran, dan rancangan sistem evaluasi. Pengelolaan pembelajaran yang dilakukan oleh dosen

dalam dua siklus mengacu pada (1) hasil identifikasi gaya belajar mahasiswa, (2) catatan tentang

kemajuan belajar mahasiswa, (3) identifikasi sumber belajar, (4) identifikasi karakteristik

mahasiswa, dan (5) penataan pengelolaan lingkungan belajar.

Hasil identifikasi gaya belajar mahasiswa yang secara teoretis dibagi atas: gaya belajar

visual, auditorial, dan kinestetik untuk mahasiswa tidak secara langsung memberikan pengaruh

pada perubahan sikap, tetapi masih memerlukan rancangan yang teritegrasi dalam memilih dan

menetapkan media pembelajaran. Dari hasil pengamatan, gaya belajar auditorial dan gaya belajar

visual hampir sama sehingga dalam penggunaan media pembelajaran lebih banyak menggunakan

multimedia yang menggabungkan antara audio, visual, dan gerak. Efektivitas dan efesiensi

pembelajaran dapat diwujudkan dengan penggunaan program powerpoint yang tidak hanya

mengakses informasi yang ada dalam file komputer, tetapi juga dapat mengakses langsung dari

internet dengan menggunakan fasilitas hot spot yang disediakan oleh kampus. Penggunaan media

ini sekaligus bentuk pengondisian sebagai salah satu elemen konstruktivistik.

Catatan tentang kemajuan belajar sebagai bentuk perubahan sikap mahasiswa, telah dicatat

oleh dosen dengan menggunakan instrumen pengamatan yang berisi data tentang intensitas aktivitas

mahasiswa dan bentuk kualitas pernyataan mahasiswa. Instrumen tersebut adalah bukti objektivitas

yang dilakukan oleh dosen dalam memberikan penilaian formatif untuk bahan perbaikan sistem,

termasuk bahan untuk pembimbingan kepada mahasiswa dalam rangka perbaikan sikap. Untuk

memperbaiki dan mendorong mahasiswa untuk bisa berpikir pada level yang lebih tinggi maka

dosen juga telah memberikan tugas kepada mahasiswa untuk membuat laporan dari hasil suatu

investigasi dan hasil pekerjaan tugas tersebut untuk menilai sejauh mana penguasaan materi,

kekuatan argumentasi, dan ketepatan tujuan suatu tugas. Mahasiswa juga diberi sejumlah

Page 362: Scanned by CamScanner - ULM

356 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

pertanyaan sikap untuk mengetahui bagaimana sebenarnya konsep nilai yang dianut. Semua

kegiatan itu adalah bentuk dari suatu pengelolaan pembelajaran. Pengelolaan atau manajemen

pembelajaran merupakan salah satu komponen yang mengatur sistem link yang bersama-sama

mendukung tercapainya tujuan pembelajaran.

Identifikasi sumber belajar juga menjadi bagian penting dalam mengubah persepsi mahasiswa yang

terkadang persepsi itu dianggap sebagai sikap. Salah satu komponen yang telah berpengaruh pada

perubahan sikap mahasiswa adalah elemen pengondisian (situation). Elemen pengondisian

pembelajaran dapat terwujud kalau difasilitasi dengan berbagai sumber belajar. Materi yang telah

disiapkan oleh dosen belum cukup, masih perlu penambahan sumber lain. Dalam hal ini dosen perlu

menguasai informasi yang terkait dengan informasi subtansi dan pendukung terhadap materi yang

didiskusikan. Dalam penelitian ini dosen telah memberikan informasi sumber yang berupa bahan

printed material yang disampaikan pada tatap muka pertama, yaitu berupa naskah kontrak

perkuliahan. Selain informasi dari buku dan sejenisnya, juga diberikan informasi yang ada di

beberapa website. Pengenalan karakteristik mahasiswa merupakan faktor penting dalam mengubah

sikap mahasiswa. Untuk menciptakan komunikasi dengan seseorang perlu memahami latar

belakang status seseorang tersebut. Komunikasi akan tercipta apabila ada unsur kesamaan antara

pemberi pesan dan penerima pesan. Upaya yang telah dilakukan oleh dosen adalah melacak hal-hal

yang dapat dijadikan bahan kajian yang digunakan untuk mempengaruhi, dengan mudah,

mahasiswa. Salah satu dari unsur karakteristik mahasiswa yang didata oleh dosen adalah latar

belakang organisasi mahasiswa dan latar belakang pendidikan, sebelum masuk ke IAIN Sultan

Amai Gorontalo. Mahasiswa yang diberikan perlakuan tindakan memiliki latar belakang organisasi

ekstra seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII),

dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Jumlah anggota HMI dan PMII seimbang,

sementara anggota IMM hanya sedikit. Prodi PAI dan AF didominasi oleh HMI, sementara prodi

AS didominasi oleh PMII. Latar belakang organisasi ekstra memiliki pengaruh terhadap wawasan

berpikir mahasiswa. Dosen yang memiliki latar belakang organisasi ekstra yang sama dengan

mahasiswanya cukup berpengaruh dalam komunikasi. Dosen yang memiliki organisasi yang

berbeda dengan mahasiswanya cenderung komunikasi batinnya agak terganggu. Salah satu upaya

yang dilakukan oleh dosen adalah melakukan pendekatan lain, yaitu memperlihatkan kedekatan

dalam sisi pembimbingan. Aspek lain yang berpengaruh dalam perubahan sikap adalah latar

belakang pendidikan. Mahasiswa yang berlatar belakang pesantren, berlatar belakang madrasah,

dan berlatar belakang sekolah umum memperlihatkan perbedaan sikap dalam menanggapi suatu

masalah. Pada umumnya mahasiswa prodi AF dan AS berlatar belakang madrasah dan prodi PAI

dan TBI berimbang antara yang berlatar belakang sekolah umum dan madrasah.

Page 363: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 357

Penataan lingkungan belajar sebagai salah satu aspek pengelolaan pembelajaran juga berpengaruh

langsung terhadap perubahan sikap mahasiswa. Salah satu rancangan pengelolaan yang telah

dilakukan oleh dosen adalah kegiatan investigasi. advokasi, dan resolusi konflik. Kegiatan

investigasi yang ditugaskan kepada mahasiswa secara individu untuk mendorong tingkat kepedulian

mahasiswa. Mahasiswa yang melakukan investigasi, seperti mewawancarai korban kekerasan

rumah tangga langsung secara nyata merasakan bagaimana penderitaan yang dialami oleh korban

kekerasan. Prodi AS dan AF diberi tugas simulasi advokasi terhadap korban pemerkosaan di luar

jam tatap muka. Kegiatan ini memberikan pengaruh kepada mahasiswa dalam mengantisipasi suatu

kasus. Prodi PAI dan TBI secara kelompok diberikan tugas mendampingi masyarakat yang putus

sekolah pada tingkat SLTA. Hal ini berkaitan dengan hak asasi untuk memperoleh akses

pendidikan, Mahasiswa dilatih untuk mengembangkan keterampilan intelektualnya dalam

pendampingan masyarakat yang bermasalah akibat dari suatu kebijakan pemerintah.

Sistem Penilaian

Sistem penilaian yang telah dilakukan oleh dosen semakin sistematis jika dibandingkan dengan

kegiatan pratindakan. Tradisi penilaian yang dilakukan oleh dosen kurang memberikan tindak

lanjut terhadap apa yang dinilai. Mahasiswa tidak mengetahui apa yang harus diperbaiki terhadap

unjuk kerjanya. Penilaian yang dilakukan oleh dosen baik pada siklus satu maupun siklus dua telah

mendorong motivasi mahasiswa untuk tampil lebih baik dan lebih bergairah karena merasa

diperhatikan oleh dosen. Rekaman tentang kemajuan sikap mahasiswa tercatat secara baik

meskipun dosen mengalami kerepotan dalam merekam perkembangan belajar mahasiswa.

Dengan catatan rekaman dari semua elemen desain pembelajaran konstruktivistik ini bukan hanya

menilai unjuk kerja mahasiswa, melainkan juga menilai unjuk kerja dosen sendiri dengan membuat

instrumen sejumlah pertanyaan, apakah saya sebagai dosen sudah melaksanakan rambu-rambu

pendekatan konstruktivistik?

Pembahasan Temuan Penelitian dan Keterbatasan

Temuan

Ada empat temuan dalam penelitian tindakan ini, yaitu 1) Penerapan desain pembelajaran

konstruktivistik dapat mempengaruhi perubahan sikap mahasiswa, 2) Pengelolaan pembelajaran

mendorong ke arah perubahan sikap, 3) Sistem penilaian berbasis proses mendorong kesadaran

mahasiswa dalam memperbaiki sikap, dan 4) Pembelajaran dengan pendekatan konstruktivistik

dapat menjadikan sikap lebih konsisten antara pemahaman dan ekspresi sikap.

Page 364: Scanned by CamScanner - ULM

358 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Pembahasan

Temuan tentang ”Penerapan desain pembelajaran konstruktivistik dapat mempengaruhi

perubahan sikap mahasiswa”, penerapan model pembelajaran konstruktivistik dengan rancangan

enam elemen merupakan rancangan yang terintegrasi yang menghasilkan keempat temuan di atas.

Sebelum desain ini dilaksanakan, para dosen Pendidikan Kewargaan telah menerapkan

sebagian ciri-ciri pembelajaran yang konstruktivis, seperti pembelajaran aktif, diskusi kelompok,

dan pemaparan. Namun, secara sistematik dan holistik belum dilaksanakan sehingga para dosen

mengalami kesukaran dalam melaksanakan pembelajaran yang konstruktivistik. Pembelajaran yang

dilaksanakan oleh dosen Pendidikan Kewargaan pada pratindakan, tidak bervariasi dan tidak ada

pencatatan kemajuan belajar mahasiswa.

Penelitian ini mengembangkan model pembelajaran konstruktivistik dalam mata kuliah

Pendidikan Kewargaan dengan fokus pada kajian HAM dan Demokrasi sebab kedua konsep ini

menjadi materi inti dalam mata kuliah ini. Model pembelajaran ini telah memberi peluang yang

banyak kepada mahasiswa untuk mengonstruksi sendiri pengetahuan dan sikapnya. Dengan

demikian, sikap akan berubah sesuai dengan pengetahuan yang telah dikonstruksi. Rekonstruksi

pengetahuan muncul akibat dari perpaduan pengalaman belajar dan informasi yang baru.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosen yang konsisten dalam menerapkan rancangan

konstruktivis yang enam elemen ini menunjukkan bahwa mahasiswa mengalami perubahan sikap.

Mahasiswa yang pada awal-awal diskusi, misalnya, menolak perempuan menjadi pucuk pimpinan

karena wawasan permaknaan ayat-ayat Al-Quran yang dipahami secara tekstual, tetapi setelah

terjadi dialog yang panjang akhirnya berubah sikap, yaitu mulai menerima kalau perempuan itu bisa

menjadi pucuk pimpinan

Temuan tentang ” Pengelolaan pembelajaran mendorong ke arah perubahan sikap”.

Pengelolaan pembelajaran konstruktivistik berbasis pada karakteristik mahasiswa dan materi

mampu mengembangkan sikap mahasiswa. Mengenali karakteristik mahasiswa, seperti

pengetahuan awal, karakteristik, dan gaya belajar sangat membantu dosen untuk memilih dan

menetapkan materi yang pas dan strategi pembelajaran yang pas. Materi yang pas dan strategi yang

pas mendorong ketertarikan mahasiswa untuk mempelajari konsep dan aplikasi demokrasi dan

HAM.

Pengelolaan pembelajaran terkait dengan semua elemen yang ada dalam rancangan

tindakan. Khususnya pada elemen situation, questioning, dan pengelompokan harus didasarkan

pada karakteristik mahasiswa. Dalam elemen pengelompokam terkait pemilihan dan pemanfaatan

media pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran. Salah satu unsur yang menonjol dalam

pengelolaan pembelajaran konstraktivistik adalah mengondisikan mahasiswa supaya tidak terbebani

oleh konsep-konsep pemikiran main stream yang ada. Mahasiswa dapat mengemukakan

Page 365: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 359

pemikiranya meskipun kontradiksi dengan pendapat umum. Pemikiran mereka akan bertahan atau

berubah melalui proses debat dan diskusi.

Pengelolaan pembelajaran dengan pendekatan konstruktivistik bukan hanya pada tataran

teoritis dan konsep, tapi melainkan menyentuh pada tataran teknis, misalnya, pada penataan kelas

ynag dinamis. Posisi tempat duduk mahasiswa yang melingkar memungkinkan kontak mata di

antara mereka. Ekspresi wajah salah satu indikator untuk mengenali bagaimana kondisi sikap

mahasiswa terhadap objek sikap. Penataan kelas tidak selamanya dalam in, door tetapi juga ditata

dalam bentuk out door. Kegiatan out door dilakukan oleh dosen Pendidikan Kewargaan dalam

bentuk kegiatan investigasi. Kegiatan investigasi telah dilakukan oleh mahasiswa yang dikerjakan

berdasarkan pada rambu-rambu yang diberikan oleh dosen.

Penataan kelas baik dalam kegiatan in door maupun out door disesuaikan dengan

karakteristik materi dan kondisi mahasiswa. Penataan teknis yang monoton dapat mempengaruhi

sikap karakteristik mahasiswa. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan De Porter dan Henacki

bahwa jika saya harus menyebutkan satu alasan mengapa program-program kami begitu sukses

dalam membantu seseorang menjadi pelajar yang lebih baik, ini karena kami berjuang untuk

menentapkan lingkungan optimal, baik secara fisik maupun mental. Lebih lanjut juga dikemukakan

oleh dosen dan mahasiswa bahwa kelas dinamis tidak membosankan.

Temuan tentang ”Sistem penilaian berbasis proses mendorong kesadaran mahasiswa dalam

memperbaiki sikap” Sistem Penilaian dalam pembelajaran dengan pendekatan konstruktivistik

adalah suatu proses dari pengambilan keputusan yang berbasis penilaian berkelanjutan yang terkait

dengan kondisi kelas, hubungan antarmahasiswa, pemikiran kolaboratif, dan belajar individu.

Permasalahan dosen Pendidikan Kewargaan sebelum dilakukan tindakan adalah persiapan penilaian

secara periodik belum mendorong peningkatan belajar mahasiswa. Dengan demikian, dosen perlu

mengklarifikasi bagaimana mahasiswa membuat pemahaman mereka sendiri dan mengonstruksikan

pengetahuan dengan yang lain maka dosen dapat mendorong siswa belajar baik secara individual

maupun kelompok.

Temuan tentang ”Pembelajaran dengan pendekatan konstruktivistik dapat menjadikan sikap

lebih konsisten antara pemahaman dan ekspresi sikap”. Menurut pandangan behavioristik bahwa

pembentukan sikap melalui pembiasaan dari awal. Sikap juga bisa terbentuk dan berubah akibat

pengidolaan terhadap seseorang. Teori konsistensi afektif yang dikemukakan oleh Rosenberg

bahwa komponen kognitif sikap tidak hanya menyangkut apa yang diketahui tentang objek, tetapi

juga meliputi apa yang diyakini mengenai hubungan antara objek sikap dan nilai-nilai penting

lainnya dalam individu. Secara empirik ditemukan bahwa perolehan pengetahuan melalui

Page 366: Scanned by CamScanner - ULM

360 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

pengonstruksian pengetahuan melahirkan sikap yang konsisten. Sementara pengetahuan yang

diperoleh dengan pendekatan behavioristik kemungkinan terjadi kontradiksi antara pengetahuan

yang dipahami berbeda dengan sikap yang diekspressikan, misalnya orang mengetahui salah satu

fungsi shalat adalah mencegah perbuatan keji, tetapi kenyataannya tetap melakukan perbuatan yang

tercela. Kemungkinan gambaran seperti demikian adalah akibat dari pemerolehan pengetahuan

agama secara dogmatis atau dengan istilah transfer pengetahuan.

Keterbatasan Penelitian

Paling tidak ada dua keterbatasan dalam penelitian ini, yaitu dari segi dosen dan peneliti,

juga dari segi metodologi khususnya terkait dengan validitas. Seperti diketahui bahwa tujuan dari

pelaksanaan penelitian tindakan ini untuk mengetahui kondisi awal sikap mahasiswa tentang

implementasi nilai-nilai demokrasi di kampus. Kemudian, dari kondisi tersebut, peneliti berusaha

mengubah sikap mahasiswa yang menjadi sikap yang menghargai nilai-nilai demokrasi dan

memiliki sikap yang menghargai hak-hak asasi manusia.

Untuk mengubah suatu sikap bukanlah pekerjaan ringan, butuh waktu dan proses yang

panjang, butuh keterlibatan banyak orang, dan keleng-kapan perangkat aturan. Sementara dalam

penelitian ini hanya mencoba untuk memperbaiki sistem pembelajaran dari salah satu mata kuliah,

yaitu Pendidikan Kewargaan. Dengan keterbatasan waktu dan biaya maka hanya mengambil dua

materi inti, yaitu Demokrasi dan HAM untuk dijadikan objek sikap. Pertimbangan memilih materi

Demokrasi dan HAM karena materi ini tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan keseharian

manusia.

Meskipun penelitian ini hanya terbatas pada aspek perbaikan pembelajaran HAM dan

Demokrasi, tetapi tetap merupakan langkah awal dari suatu upaya perbaikan sikap. Permasalahan

sikap yang kompleks tidak dapat menunggu sampai ada biaya yang besar karena kalau dibiarkan

akan terjadi hal-hal yang dapat memperburuk academic atsmosphire.

Dari sisi peneliti dan dosen memiliki keterbatasan komunikasi yang intens dalam

mendiskusikan hal teknis dan subtansi terhadap suatu rancangan tindakan yang segera

diimplementasikan. Kondisi ini menyebabkan terjadinya tugas dan wewenang yang tumpang tindih

yang menyebabkan keterbatasan bertindak.

Dari sisi subtansi penelitian tindakan mengacu pada penyelesaian masalah yang butuh suatu

produk atau sistem yang sifatnya lokal yang diduga dapat menyelesaikan masalah pembelajaran.

Namun, keter-batasannya adalah terletak pada prosedur penentuan sampelnya tidak seketat dengan

penentuan sampel dalam penelitian kuantitatif. Selain itu, juga karena menggabungkan dua jenis

kegiatan, yaitu penelitian dan pengembangan.

Page 367: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 361

Secara khusus keterbatasan penelitian ini karena hanya mengambil empat prodi dari sepuluh prodi

yang ada di IAIN Sultan Amai Gorontalo, tetapi dari sisi ketentuan penelitian kualitatif sudah

memenuhi standar kegiatan ilmiah. Kemudian, dari sisi metodologi positivistik hasil penelitian ini

tidak bisa digeneralisasi sehingga tidak bisa dipakai sebagai rujukan utama pada penelitian yang

lain. Meskipun demikian, jika di tempat yang lain, juga dilaksanakan penelitian tindakan dan

karakteristik subjek dan objek penelitian memiliki kesamaan maka dalam pengecekan keabsahan

data dalam penelitian nonpositivistik ada yang disebut dengan transferable, artinya hasil penelitian

dianggap sahih.

KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

Kesimpulan

Mengacu pada temuan dan pembahasan, penelitian ini menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut.

Penerapan Desain Pembelajaran Konstruktivistik pada materi pembelajaran Demokrasi dan HAM

mampu mengembangkan sikap mahasiswa dalam memaknai demokrasi dan hak asasi manusia. Hal

ini digambarkan dengan adanya; (1) perubahan sikap terhadap cara menilai permasalahan dari sikap

menolak atau menerima ke sikap akomodatif. (2) perubahan cara berpikir tidak fokus ke cara

berpikir terarah dan kritis. (3) peningkatan intensitas aktivitas berupa kegiatan; datang tepat waktu,

bertanya, menjawab, menanggapi, dan memberikan solusi terhadap permasalahan yang dibicarakan

baik dalam diskusi kelompok maupun diskusi kelas.

Pengorganisasian isi pembelajaran materi Demokrasi dan HAM dikembangkan dengan teknik

elaborasi yang mengacu pada klasifikasi karakteristik materi dan karakteristik mahasiswa yang

kemudian diurutkan sesuai dengan sifat materi apakah materi itu berupa fakta, konsep, prosedur,

dan kaidah. Pengorganisasian materi divisualisasikan dalam bentuk struktur atau bagan berupa peta

konsep yang menggambarkan status dan keterkaitan materi yang satu dengan yang lainnya.

Pengorganisasian materi mempengaruhi sikap mahasiswa dalam hal ketertarikannya terhadap

materi dan cara berpikir mahasiswa yang lebih komprehensif.

Strategi penyampaian pembelajaran dengan berbagai pendekatan, seperti brainstorming, learning

start by question, elisitasi, information search, critical insident, interactive learning, snaw balling,

concept mapping, reading guide, small discussion telah dilakukan oleh dosen Pendidikan

Kewargaan. Penggunaan strategi tersebut disesuaikan dengan kondisi waktu, sifat materi, dan

target pencapaian sikap yang diharapkan bersama. Penggunaan media pembelajaran seperti LCD in

focus dengan menggunakan program presentasi powerpoint menambah daya tarik mahasiswa

Page 368: Scanned by CamScanner - ULM

362 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

mengikuti kegiatan pembelajaran. Dengan penggunaan media seperti ini telah meningkatkan

efsiensi dan efektivitas pembelajaran demokrasi dan HAM.

Strategi pengelolaan pembelajaran yang dilakukan oleh dosen tidak terlepas dari kegiatan penataan

materi, analisis karakteristik mahasiswa dan strategi penyampaian pembelajaran. Pengenalan

terhadap gaya belajar mahasiswa yang dilakukan pada awal tatap muka memberikan kemudahan

kepada dosen untuk memilih dan menata media pembelajaran yang digunakan. Demikian pula

dengan pengenalan latar belakang kemampuan kognitif, sikap. dan latar belakang organisasi

mahasiswa. Hal ini telah dijadikan acuan untuk menata proses pelaksanaan pembelajaran. Kesemua

upaya itu telah mempengaruhi sikap mahasiswa dalam mengikuti perkuliahan.

Sistem evaluasi proses dan penilaian autentik mendorong mahasiswa untuk bersikap dan

berperilaku yang baik. Setiap hasil pengamatan selama dalam proses pembelajaran dijadikan

sebagai bahan perbaikan sistem. Perekaman peristiwa dicatat dengan baik sesuai dengan indikator

yang dijadikan sebagai rambu-rambu penilaian, seperti dalam menjawab pertanyaan sejauh mana

mahasiswa memahami pertanyaan, seberapa baik argumentasi yang dikemukakan, kejelasan

jawaban, dan informasi akaurat yang disampaikan. Penilaian autentik dilakukan dengan cara secara

lisan oleh setiap mahasiswa secara acak untuk mengemukakan apa menjadi kelebihan dan

kekurangan dalam menangkap makna dari setiap peristiwa yang terjadi selama mengikuti kegiatan

pembelajaran.

Implikasi

Mengacu pada hasil dan temuan penelitian, implikasi penelitian ini terbagi pada dua

implikasi, yaitu implikasi teoretis dan implikasisi praktis.

Implikasi Teoretis

Penerapan desain pembelajaran konstruktivistik secara langsung mempengaruhi perubahan sikap

mahasiswa, berpengaruh terhadap sistem pengelolaan pembelajaran, dan juga berpengaruh pada

sistem penilaian proses maupun penilaian hasil pembelajaran

Penerapan desain pembelajaran konstruktivistik memberi peluang terhadap perubahan sikap

seseorang secara konsisten antara pengetahuan dan ekspresi sikap.

Sistem penilaian dengan pemberian feed back secara langsung terhadap penilaian proses dan hasil,

dapat mempengaruhi perubahan sikap mahasiswa

Penataan konstruksi pertanyaan yang dilematis mendorong mahasiswa untuk berpikir secara kritis

yang mengarah kepada pikiran yang kreatif yang terindikasi pada sikap mencintai profesi.

Implikasi Praktis

Desain pembelajaran pembelajaran konstruktivistik dapat diterapkan sebagai model pembelajaran

mata kuliah pengembangan kepribadian.

Page 369: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 363

Penerapan desain ini memerlukan kesadaran dari dosen betapa pentingnya mengubah cara berpikir

tanpa strategi ke cara berpikir strategis, cara berpikir given ke cara berpikir kritis, dan cara berpikir

sederhana ke cara berpikir multiperspektif.

Penerapan desain ini memerlukan dukungan akademik yang kondusif dan tidak kaku dengan aturan

tekstual dan prosedural. Desain ini memerlukan waktu yang relatif banyak yang dirancang di luar

pertemuan tatap muka yang formal,

Dengan tingkat kompleksitas desain ini, memerlukan dukungan dana dan infrastruktur oleh lembaga

untuk menunjang terlaksananya kegiatan pembelajaran.

Saran

Mengacu pada temuan dan implikasi penelitian maka diajukan beberapa saran sebagai berikut.

Pada mata kuliah Pendidikan Kewargaan atau mata kuliah pengem-bangan kepribadian lainnya

maka sebaiknya setiap dosen hendaknya selalu melakukan refleksi terhadap desain pembelajaran

yang digunakan sehingga sikap ketertarikan mahasiswa terhadap masalah khusus demokrasi dan

HAM dalam mata kuliah Pendidikan Kewargaan tetap terjaga.

Perlu sosialisasi yang intensif bagi dosen pengampu mata kuliah pengembangan kepribadian

tentang penjabaran lebih kompleks desain pembelajaran konstruktivistik sehingga mahasiswa dapat

bersikap objektif dalam melihat persoalan kemanusian dengan melahirkan solusi yang cerdas

intelektual, emosial, dan spritual.

Penataan lingkungan belajar bukan hanya dalam kampus, melainkan juga dirancang untuk kegiatan

di masyarakat, lembaga/instituís, dan di media massa.

Sistem penilaian perlu dikembangkan indikator-indikatornya yang disesuaikan dengan sifat materi

dan aktivitas belajar sehingga penilaian tidak bias.

Referensi

Abdillah, Masykuri. Demokrasi di Persimpangan Makna. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.

Anderson, Orin W. & David R. Krathwohl (eds.). A Taxonomy for Learning, Learning, Teaching

and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives. New York: Longman,

2001.

Baehr, Peter R., Hak Asasi Manusia dalam Politik luar Negeri.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

1998.

Bogdan, R.C & Biklen SK.. Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and

Method. Boston: Allyn and Bacon, Inc, 1982.

Page 370: Scanned by CamScanner - ULM

364 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Brannen, J.. Memadu Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Penerjemah H. Nuktah Arfawie Kurde,

Iman Syafii, dan Noerhadi. Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Samarinda dan Pustaka

Pelajar, 1997.

Buchori, Muchtar, “Pendidikan HAM dalam Transformasi Indonesia,” Makalah disampaikan dalam

Workshop Perumusan Kurikulum Pengajaran HAM di Fakultas Hukum pada PT Negeri dan

Swasta, PUSHAM UII dan NCHR, Yogyakarta 29-30 Mei 2005

Creswell, John W. Research Design Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches.

United States of Amarica: Sage Publication, Inc, 2003

Degeng, I N.S. Strategi Pembelajaran: Mengorganisasi Isi dengan Model Elaborasi. Malang, IKIP

MALANG dan IPTPI, 1997.

Departemen Agama RI. Al Quran dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1989.

Dick, W dan Reiser. A.R. Planning Effective Instruction. USA: Allyn and Bacon, 1989.

Dimyati, M. Penelitian Pendidikan Nilai. Malang: Program Pascasarjana IKIP Malang,1996.

Donnely, Jack. Universal Human Right in Theory and Practice. Ithaca New York: Cornell

University Press, 1989.

Fosnot, Twamey, Cathrine. (ed.). Constructivism: Theory, Prespectives, and Practice. New York:

Teachers College Press, 1996

Fraenkel, J.R. How to Teach Values: an Analytic Approach. New Jersey. Englewood Cliffs:

Printice Hall Ind, 1977.

Gagne, R. M. The Condition of Learning and Theory of Instruction. New York: Holt, Rinehart and

Winston,1985.

Gagnon Jr, George W. dan Michelle Collay. Dsigning for Learning Six Elements in Constructivist

Classroom. New DelhiL Corwin Press, Inc, 2001.

Glassersfeld, Von. Cognition, Construction of Knowledge, and Teaching. Washington D.C:

National Science Foundation, 1988.

Hefner, Robert W. Civil Islam: Muslim and Democratization in Indonesia. United States of

America: Princeton University Press, 2000

Hartley, J. dan Davies. Preinstructional Strategies: The role of pretest, behavior objectives,

overviews, and advance organizers. Review of Educational Research,1976.

Harun Nasution. “Pengantar” dalam Harun Nasution dan Bahtiar Effendy (ed.), Hak-Hak Azazi

Manusia dalam Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1978.

Idrus, Junaidi. Rekonstruksi Pemikiran Nurcholis Madjid Membangun Visi dan Misi Baru Islam

Indonesia. Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004.

J..L. Elias, Moral Education: Secular and Relegious. Florida: Robert E Krieager Publishing Co. Inc.

1989

Page 371: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 365

K. Brohi. “Islam and Human Right” dalam Altar Gauhar (ed.). The Challenge of Islam, Islamic

Council of Europe. London, 1978.

Kember, David, Action Learning and Action Research, London: Kogan Page Limited, 2000

Krech, at.al. Individual in Society, Tokyo: McGraw Hill Book Company. 1988

Kurnia, Slamet Titon. Reparasi (Reparation) terhadap Korban Pelanggaran HAM di Indonesia.

Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006.

Madjid, Nurcholish. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 1989.

Mayer, R.E. An Evaluation of the elaboration model of instruction from the perspective of

assimilation theory. Journal Instructional Development, 1981.

Marlowa, Bruce A & Marilyn L. Page. Creating and Sustaining the Construtivist Classroom.

California: Corwin Press. Inc, 2005

McGill, Ian and Liz Beaty. Action Learning: Guide for Professional, Management, and Educational

Development. London, UK: Kogan Page Limited, 2002.

M. Duffy, Thomas & David H. Jonassen (ed). Contructivism and the Technology of Instruction.

New Jersey Lawrence Erlbaum Associates,1992

Merril, M. D “Component Display Theory” Dalam C.M. Reigeluth (Ed) Instructional Design

Theories and Models: An overview of their current status. Hillsdale: N.J Lawrence Erlbaum

Associates, 1983.

M. Hardjon, Philipus. Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia. Surabaya: Bina Ilmu, 1987.

Mills, Geoffery E. Action Research: A Guide for teacher Researccher.New Jersey: Merril an

imprint of Prentice Hall, 2000.

Miles, M.B. & Huberman, Michael, A. Analisis data kualitatif. Jakarta: UI-Press, 1992.

M. Najjar, Fauzi, “Demokrasi dalam Filsafat Politik Islam”, dalam Jurnal al-Hikmah, No. 2.

Bandung, tahun, 1990.

Moon, Jennefer. Reflection in Learning: Professional Development Theory and Practice. London,

UK: Kogan Page Limited. 1995.

Nainggolan, Zainuddin. Inilah Islam. Jakarta: Dea, 2000.

Nawawi, H. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press,1995.

Norman P. Barry, An Introduction to Modern Political Theory. New York: Martins Press, 1981.

Oppenheim, A.N. Design a Questionaire and Disegn Attitude Measurement, London: Heinemam

Educational Book, Ltd, 1970

Page 372: Scanned by CamScanner - ULM

366 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Pada, Ali “Hubungan Sikap terhadap Matematika, Motivasi Berprestasi dan Kemampuan Penalaran

dengan Hasil Belajar Matematika di SMU Negeri Padangsidempuan” (Disertasi). Jakarta: PPS UNJ,

2004.

P. Huntington, Samuel. “Democracy’s Third Wave” dalam Journal of Democracy, vol. 2, no. 2,

Tahun 1991.

Putra, Nusa, “Pembentukan Perilaku HAM: Pengembangan Model Pembelajaran Bahasa Indonesia

Terpadu di SD Disertasi Jakarta; PPS UNJ 2007

Rahman, Fazlur, “Non-Muslim Minority on an Islamic State”, dalam Journal Institute of Muslem

Minority Affairs, (vol. 7. no. 1), Tahun 2000.

Rahmat, Jalaluddin. “Islam dan Demokrasi” Dalam Maqnis Suseno. Agama dan Demokrasi.

Jakarta: P3M, 1992.

Rais, M. Amin, “Etika kehidupan Antar Umat Beragama”, Dalam Nourruzzaman Shiddiqui. Etika

Pembangunan dalam Pemikiran Islam. Jakarta: Rajawali, 1986.

Reigeluth, C.M. Instructional Design Theories and models A New Paradigm of Instructional

Theory. Mahwa NJ 07430 : Lawrence Erlbaum Associates, Inc, 1999.

Seels, B.B. & Richey, R.. Instructional Technology: The Definition and Domains of the Field.

Washington D.C: AECT, 1994

Shamsi, Nayyar. Human Rights and Islam. New Delhi: Reference Press, 2003.

Siagler, Cognitive Psychology, dikutip dari James P. Byrnes Cognitive Development and Learning

in Instructional Context. Boston: Allyn and Bacon,1997

Simpson, E. J. The Classification of Educational Objectives: Psychomotor domain. Urbana:

University of Illinois Press, 1966.

Smith, L. P dan Ragan, T.J. Instructional Design, New York: Merril an Imprint of Macmillan

Publishing Company,1993.

Spooncer, Attitude 2004, p. 1

http:/www.cultsock.inderect.co.uk/MUhome/cshtm/psy/att1.htm

Oskamb, Stuar, Attitude and Opinions. Englewood Cliffs, New Jersey Pritice Hall, Inc, 1977.

Sukardjo, H. Ahmad dan Ahmad Sudirman Abbas. Demokrasi dalam Perspektif Islam. Jakarta:

Anglo Media, 2005

Suparno, Paul. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1997.

The New Encyclopedia Britannica, vol. 4. Chicago, University of Chicago Press, 1988.

Tim penyusun PUSLIT IAIN Syarif Hidayatullah. Pendidikan Kewargaan. Jakarta: ICCE UIN

Jakarta, 2000.

Yoedhanegara, Pradipa, Disentralisasi Gerakan Mahasiswa. Jakarta: DPP Aliansi Wartawan, 2005.

Page 373: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 367

TEKNOLOGI PENDIDIKAN MASA KINI DALAM PERSPEKTIF MULTI DISIPLIN ILMU (Tinjauan Pendidikan Islam, Manajemen dan Ekonomi Islam)

Dr. Zainal Abidin Arief. M.Si

Program Studi Teknologi Pendidikan Program Pascasarjana UIKA Bogor

ABSTRAK

Teknologi pendidikan masa kini sejatinya berorentasi pada basis keterampilan yang berkaitan erat

dengan kemampuan berpikir tingkat tinggi atau higher order thinking (HOT) yang meliputi:

kegiatan berkreasi, mengevaluasi, dan menganalisis, berbeda dengan permasalahan yang dihadapi

manusia pada masa sebelumnya. Oleh karena itu, dalam perspektif teknologi pendidikan masa kini,

kualitas manusia perlu ditingkatkan agar mampu menghadapi dan mengatasi berbagai permasalahan

dan tantangan dalam kehidupan. Seperti telah kita pahami bersama bahwa peningkatan kualitas

manusia hanya dapat diperoleh melalui proses pendidikan yang berkualitas. Proses pendidikan yang

berkualitas merupakan salah satu kajian dalam bidang studi teknologi pendidikan, dimana teknologi

pendidikan dapat memfasilitasi pembelajaran untuk mencapai hasil pembelajaran yang maksimal

dengan memanfaatkan teknologi dan berbagai potensi sumber daya pembelajaran secara optimum.

Dalam perspektif teknologi pendidikan masa kini akan ditinjau pula dari sudut pandang berdasarkan

disiplin ilmu Pendidikan Islam, Manajemen dan Ekonomi Islam.

Kata kunci: Teknologi Pendidikan, Multidisiplin Ilmu

PENDAHULUAN

Inovasi di bidang teknologi pendidikan terutama teknologi informatika dan komunikasi telah

merubah wajah dunia pendidikan dari sistem korespondensi menjadi sistem pembelajaran, yang

dikenal dengan istilah belajar jarak jauh. Bahkan jauh sebelum itupun sudah dikenal istilah

teknologi pendidikan melalui education personal, maka sejak itu pulalah perubahan besar di bidang

pendidikan telah terjadi melalui perkembangan teknologi komunikasi yang menggunakan jasa

satelit, transmisi gelombang mikro, kabel optik dan komputer yang memungkinkan terjadinya

komunikasi sangat cepat efektif dan efesien. Penggunaan interaktif teknologi canggih itulah yang

mengubah wajah dunia pendidikan dengan cepat diantaranya: produksi bahan pembelajaran,

merancang medIa dan bahan pembelajaran itu sendiri, kini telah tersedia sangat banyak dan begitu

Page 374: Scanned by CamScanner - ULM

368 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

canggih, tidak ketinggalan perpustakaanpun telah mulai menyediakan video, disc, dan perangkat

lunak komputer.

TEKNOLOGI PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF MULTI DISIPLIN ILMU

Dalam perspektif teknologi pendidikan, proses pembelajaran selain terkandung konsep-konsep yang

mempengaruhi cara berpikir, bertindak, juga ada upaya untuk meningkatkan proses dan hasil belajar

peserta didik sebagai salah satu indikator kualitas pendidikan. Dalam menyelenggarakan proses

pembelajaran di Universitas Ibn Khaldun khususnya pada Program Studi Teknologi Pendidikan

harus berlandaskan pada motto: iman, ilmu dan amal, sehingga masing-masing mata kuliah harus

terkandung dan terintegrasi dengan nilai-nilai Islami. Begitu pula dalam merefleksikan hakekat

teknologi pendidikan sesungguhnya sangat erat dengan makna: “Iqra” dalam surat Al – Alaq

sebagai wahyu pertama yang disampaikan Malaikat Jibril kepada Rasulullah Muhammad SAW.

Artinya: "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan

manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah, yang mengajarkan

(manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya". (QS.

Al Alaq 1-5)

Ayat tersebut memberi makna bahwa umat Islam di wajibkan untuk menjadi pembelajar sepanjang

hayat hal ini seiring dengan makna teknologi pembelajaran. Dalam surat Al Alaq, Allah SWT

memerintahkan rasul-Nya, Muhammad SAW untuk membaca (Iqra), yang berarti belajar.

Iqra (baca) dalam prespektif teknologi pendidikan, memiliki tafsir yang luas, yaitu sebagai

“pembelajaran.” Oleh karena itu makna pembelajaran atau Iqra adalah teknologi pendidikan yang

bersifat interaktif, inspiratif, berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup untuk

mengembangkan kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik

peserta didik, karena teknologi pendidikan adalah perekayasa pembelajaran, bagaimana belajar

yang efektif, efisien dan menyenangkan, sehingga hasil belajar dapat tercapai secara maksimal.

Dengan demikian Teknologi Pendidikan tidak sekedar student centre tetapi juga harus student

creator yang berorientasi pada iman, ilmu dan amal.

Menurut definisi AECT tahun 2004 teknologi pendidikan memiliki beberapa kelebihan sebagai

berikut: sebagai suatu konsep bidang garapan dalam memfasilitasi praktek pembelajaran,

didefinisikan sebagai berikut: “Educational technology is the study and ethical practices of

facilitating learning and improving performance by creating, using, and managing, appropriate

technology process and resources (AECT, 2008)”. Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat

diartikan bahwa teknologi pendidikan adalah studi dan praktek etis untuk memfasilitasi

pembelajaran dan meningkatkan kinerja dengan menciptakan, menggunakan dan mengelola sumber

daya serta memanfaatkan teknologi tepat guna. Dengan demikian hakekat teknologi pendidikan

Page 375: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 369

adalah perekayasa pembelajaran, bagaimana belajar yang efektif, efesien dan menyenangkan dalam

meningkatkan kinerja peserta didik, pendidik dan Institusi pendidikan itu sendiri.

Konsep kinerja dalam perspektif teknologi pendidikan memiliki tafsir yang luas artinya berusaha

sunguguh-sungguh untuk memperoleh hasil terbaik dan benar, meningkatkan kinerja dengan

menciptakan, menggunakan dan mengelola sumber daya serta memanfaatkan teknologi tepat guna.

Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Ankabut ayat 69:

لمع المحسنين والذين جاهدوا فينا لنهدينهم سبلنا وإن ا�

yang artinya: Dan orang-orang yang berjihad untuk mencari keridhaan Kami, benar-benar akan

Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami, dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta

orang-orang yang berbuat baik. Ayat tersebut memberi makna bahwa pembelajar, pengajar dan

Intitusi pengajaran harus sungguh berjihad di jalan Allah SWT untuk menciptakan dan

meningkatkan kinerja dengan benar dalam meningkatkan kinerja peserta didik, pendidik dan

Institusi pendidikan..

TEKNOLOGI PENDIDIKAN MASA KINI

Pada tahun 2004, AECT meluncurkan definisi teknologi pendidikan menurut referensi dari

Januszewski dan Molenda (2004) sebagai berikut: “Education technology is the study and ethical

practice of facilitating learning and improving performance by creting, using, and managing

appropriate technological processes and resources”. Struktur definisi tahun 2004 ini memiliki alur

pemikiran yang lengkap sebagai suatu profesi. Komponen awal yang dirumuskan adalah keterkaitan

antara teori dan praktik. Teori rumusan bangunan atau ilmu menjadi acuan dan panduan untuk

melaksanakan praktik atau terapan. Panduan tersebut mengatur pola berpikir seorang teknolog

pembelajaran untuk bekerja. Praktik atau terapan adalah pengujian kemampuan teknologi

pembelajaran tersebut untuk memecahkan masalah di lapangan. Kesenjangan antara teori dan

praktik sering terjadi, tentu saja hal ini harus diterima sebagai sesuatu yang biasa. Perlu kiranya

dianalisis bahwa kesenjangan tersebut bukan karena kesalahan teori, akan tetapi kesenjangan

tersebut diasumsikan sebagai gejala untuk mengkaji ulang teori. Dengan demikian, setiap teori

dapat diperbaiki karena adanya kesempatan dari praktik atau terapan yang mengujinya dilapangan.

Rumusan 2004 memayungi kesenjangan dan keterkaitan antara teori dan praktik yang sebenarnya

selama ini telah dilakukan oleh para pakar teknolog pendidikan namun luput dari pengamatan.

Berdasarkan rumusan definisi dari AECT 2008 tersebut maka dapat diartikan bahwa teknologi

pendidikan adalah studi dan praktek etis untuk memfasilitasi pembelajaran dan meningkatkan

kinerja dengan menciptakan, menggunakan dan mengelola sumber daya serta memanfaatkan

Page 376: Scanned by CamScanner - ULM

370 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

teknologi tepat guna. Dengan demikian hakekat teknologi pendidikan adalah perekayasa

pembelajaran, bagaimana belajar yang efektif, efesien dan menyenangkan dalam meningkatkan

kinerja peserta didik, pendidik dan Institusi pendidikan itu sendiri.

Studi, artinya pemahaman secara teoritis bagaimana konsep teknologi pendidikan membutuhkan

perbaikan pengetahuan berkelanjutan melalui penelitian dan merefleksikan dalam praktek, dimana

tercakup terminologi studi yang menujukkan pengumpulan informasi dan analisis melalui

penelitian.

Praktek Etik, praktek merupakan kegiatan yang tidak bertentangan dengan norma dan nilai yang

berhubungan dengan nilai profesi yang akan dilakukan, seperti kode etik dalam suatu pekerjaan.

Komite Etika AECT telah meningkatkan kewaspadaan etika professional. Kode etik professional

dibedakan menjadi 3 kategori yaitu: 1) komite individu, seperti perlindungan hak untuk

mendapatkan materi dan hasil, melindungi keselamatan dan kesehatan pada profesional; 2) komite

social, seperti kejujuran pada publik berdasarkan masalah dalam bidang pendidikan atau adil dalam

praktek yang patut dengan pelayanan pada profesi.; dan 3) komite profesi, seperti meningkatkan

pengetahuan profesioal; dan keterampilan memberikan ketepatan pratek untuk bekerja dan publikasi

ide.

Memfasilitasi Pembelajaran, Peristiwa pembelajaran dapat dilakukan dan diatur face-to-face atau

dalam lingkungan virtual, sebagaimana belajar jarak jauh. Fasilitas pembelajaran dapat mengatur

pembelajaran dan membantu menciptakan lingkungan belajar lebih mudah dan menarik.

Pembelajaran dapat dikategorikan menurut taksonomi. Salah satu yang dinyatakan oleh Perkins

(1992). Jenis pembelajaran sederhana adalah penyimpanan (retention) informasi. Tujuan

pembelajaran dapat termasuk pemahaman (understanding) sebagaimana penyimpanan.

Improving Performance. Teknologi Pendidikan meningkatan kinerja dan efektivitas bahwa proses

pembelajaran harus berkualitas, dan mengacu pada kemampuan pembelajar untuk menggunakan

kapabilitas baru yang diperoleh. Konsep Improving Performance yang berkaitan dengan teknologi

kinerja manusia. Kajian ini juga menyebutkan menciptakan, memanfaatkan dan mengelola.

Menciptakan menunjukkan pada penelitian, teori dan praktek termasuk dalam generalisasi materi

pembelajaran, lingkungan dan sistem pembelajaran dalam arti luas.

Pemanfaatan menunjukkan teori dan praktek berhubungan dengan membawa pembelajar kepada

kontak dengan kondisi dan sumber belajar. Pemanfaatan dimulai dengan memilih sumber dan

proses yang layak antara metode dan materi, dengan kata lain selama pemilihan dilakukan oleh

pembelajar dan instruktur.

Pengelolaan merupakan salah satu tanggung jawab professional dalam kawasan teknologi

pendidikan. Proses produksi media, dan pengembangan pembelajaran yang menjadi semakin rumit

Page 377: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 371

dalam skala besar, membutuhkan kemampuan dan keterampilan serta keahlian manajemen proyek

dalam pengelolaan.

Appropriate, terminology ini berarti keserasian mengaplikasikan proses dan sumber, pantas

tidaknya dan cocok dengan tujuan yang diharapkan. Terminology kelayakan teknologi digunakan

secara luas di kawasan komunitas pengembangan dibandingkan alat atau praktek yang sederhana

dan kebanyakan dimulai dengan pemecahan masalah.

Technology, merupakan terminologi yang menjelaskan pendekatan kegiatan manusia berdasarkan

aplikasi sistematis berdasarkan keilmuan atau mengorganisasi keilmuan untuk tugas praktek

(Janusweski and Molenda, 2004).

Proses: kajian proses sebagai seri aktivitas yang terus menerus mengarah pada hasil. Teknologi

Pendidikan memakai proses khusus untuk merancang, mengembangkan, dan memproduksi sumber

belajar, digolongkan pada proses besar pengembangan pembelajaran.

Sumber, banyak sumber belajar yang terpusat untuk mengidentifikasi kawasan. Sumber adalah

orang, alat, teknologi, dan desain materi untuk membantu pembelajar. Sumber dapat termasuk

system ICT canggih, sumber komunikasI seperti perpustakaan, kebun binatang, museum, dan

orang-orang dengan pengetahuan khusus atau expert.

Konsepsi teknologi pendidikan ini akan berkembang sepanjang bidang dimiliki, dan mereka terus

berkembang, oleh karena itu konsepsi hari ini adalah bersifat sementara, terikat oleh ruang dan

waktu. Kajian 10 tahun kedepan merupakan pengembangan dari kawasan sebelumnya, dan tiap

kawasan melanjutkan perkembangannya. Definisi pada tahun 2008, misalnya juga masih sama yang

dikeluarkan oleh AECT pada tahun 2004 yang dikemukakan oleh Januszewski, & M. Molenda

(Eds.) pada buku Definition In Educational Technology: A Definition with Commentary.

Kajian 2008, lebih spesifik menekankan pada studi & etika praktek. Kajian Teknologi Pendidikan

dari AECT Tahun 2008. Educational Technology is the study and ethical practice of facilitating

learning and improving performance by creating, using, and managing appropriate technological

process and resources”. Teknologi Pendidikan adalah studi dan etika praktek untuk memfasilitasi

pembelajaran dan meningkatkan kinerja melalui penciptaan, penggunaan, dan pengaturan proses

dan sumber daya teknologi. Teknologi pendidikan sebagai salah satu sarana untuk meningkatkan

kinerja. Menurut penjelasan The Association for Educational Communications and Tecnology

(AECT, 2008) ada tiga kinerja yang harus ditingkatkan yaitu:

Kinerja peserta didik

Page 378: Scanned by CamScanner - ULM

372 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Kinerja pendidik dan perancang pendidikan

Kinerja organisasi pendidikan.

Pertanyaannya adalah bagaimana meningkatkan kinerja peserta didik, kinerja pendidik dan

perancang pendidikan serta kinerja organisasi pendidikan itu sendiri? Hal ini terkait dengan

perkembangan infomasi dan teknologi, model, strategi, pendekatan, paradigma pembelajaran dan

metode pembelajaran menjadi sesuatu yang harus dikembangkan dalam kaitannya dengan teknologi

pendidikan, walaupun sebenarnya yang kaitannya dengan teknologi hanyalah bagian terkecil dari

tujuan peningkatan kinerja pembelajaran peserta didik, pendidik dan perancang pendidikan serta

kinerja institusi pendidikan. Domain secara tersirat dinyatakan dalam rentang lebih luas, yaitu

kajian (the study) atas apa yang sebelumnya telah dikerjakan, yaitu sejarah kemunculan garapan dan

kajian sejak masa kelahiran disiplin ilmu ini sampai masa kini, yaitu era kreativitas abad ke-21 yang

meliputi antara lain:

Pembelajaran Keterampilan di Masa Kini

Pembelajaran keterampilan di Era abad ke 21 ini merupakan keterampilan yang dibutuhkan oleh

peserta didik untuk menghadapi perubahan dunia, karena banyak perubahan yang terjadi pada era

globalisasi ini, seperti perubahan tempat kerja, otomatisasi, kebijakan yang menuntut tanggung

jawab individu.

Keterampilan Abad ke-21

Keterampilan yang dibutuhkan oleh peserta didik atau pembelajar untuk menghadapi perubahan

dunia, sehingga mereka mampu menjalani kehidupan dengan baik, efektif dan efesien yaitu dengan

memanfaatkan sumberdaya dan teknologi tepat guna. Teknologi pendidikan dapat membantu

memfasilitasi peserta didik untuk mengembangkan keterampilan peningkatan inovasi pembelajaran

melalui keterampilan informasi, media dan teknologi yang harus dikuasai oleh peserta didik untuk

meraih keterampilan kehidupan (life skill). Keterampilan abad ke-21 berdasarkan kajian Koay,

Suan See (HOTS“21st 2014), didasarkan pada subjek inti dan tema abad ke-21. Subjek inti terdiri

dari membaca bahasa Inggris, bahasa Arab dan bahasa seni, bahasa dunia, seni, matematika,

ekonomi, ilmu pengetahuan, geografi, sejarah, dan pemerintahan serta kewarganegaraan. Tema

abad ke-21 adalah kesadaran global; keuangan, ekonomi, bisnis, dan literasi kewirausahaan;

pengetahuan sipil; literasi kesehatan; dan keaksaraan lingkungan. Keterampilan abad ke-21 ini

harus didukung oleh sistem pendidikan, seperti standar penilaian, kurikulum dan pengajaran,

pengembangan profesional, dan lingkungan belajar.

Keterampilan informasi, media, dan teknologi terdiri dari melek informasi, melek komunikasi, dan

melek media, yang berkaitan dengan:

Informasi keaksaraan, ini meliputi akses dan mengevaluasi informasi, penggunaan dan pengelolaan

informasi yang meliputi penggunaan informasi akurat dan kreatif untuk isu atau masalah yang

Page 379: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 373

dihadapi, mengelola aliran informasi dari berbagai sumber, dan menerapkan pemahaman mendasar

dari masalah etika/hukum di sekitar akses dalam penggunaan informasi.

Media literacy (melek media), meliputi analisis media dan menciptakan produk media.

Menganalisis media terdiri dari memahami kedua makna mengapa pesan media yang dibangun dan

untuk tujuan apa serta bagaimana mengkaji individu menginterpretasikan pesan yang berbeda,

bagaimana nilai-nilai dari sudut pandang yang berbeda dan disertakan atau dikecualikan, serta

bagaimana media dapat mempengaruhi kepercayaan dan perilaku dalam menerapkan pemahaman

mendasar dari masalah hukum/etika seputar akses dan penggunaan media.

Melek TIK yaitu kemampuan untuk menerapkan teknologi secara efektif. Kemampuan ini terdiri

dari penggunaan teknologi sebagai alat untuk penelitian, mengatur, mengevaluasi, dan

mengkomunikasikan informasi; menggunakan teknologi digital (misalnya, komputer, pemutar

media, GPS, dll), alat komunikasi/jaringan, dan jaringan sosial tepat guna untuk mengakses,

mengelola, mengintegrasikan, mengevaluasi, dan menciptakan informasi yang dapat berfungsi

dalam pengetahuan keterampilan dan menerapkan pemahaman mendasar dari masalah hukum dan

etika seputar akses dan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi tepat guna dan tepat

sasaran.

Keterampilan dalam kehidupan untuk meniti karier meliputi keterampilan sosial lintas budaya,

produktivitas dan akuntabilitas yang kreatif dan pengarahan diri sendiri serta kepemimpinan yang

bertanggung jawab.

Pembelajaran Bermakna.

Proses pembelajaran bermakna dalam persfektif teknologi pendidikan seharusnya dimulai dengan

pemecahan masalah dan berorientasi pada peserta didik dengan menggunakan sistem dan sumber

belajar dalam arti luas, sehingga pendidik (guru) dan peserta didik keduanya secara bersamaan aktif

berinteraksi dan berkomunikasi dalam proses pembelajaran, maka dengan demikian proses

komunikasi dapat berjalan dengan baik. Semakin baik kualitas interaksi maka diharapkan akan

semakin baik pula hasil pembelajaran yang bermakna dan akhirnya peserta didik mempunyai

pengalaman belajar yang mendalam dan mengesankan serta mampu meningkatkan optimalisasi

proses pembelajaran.

Pembelajaran bermakna dalam konteks teknologi pendidikan merupakan pembelajaran yang

menjadikan peserta didik membangun sendiri pengetahuannya, tidak ditransmisikan oleh guru

kepada peserta didik. Untuk mengalami pembelajaran bermakna, peserta didik harus melakukan

kegiatan yang lebih dari sekedar mengakses atau mencari informasi, mereka perlu tahu bagaimana

cara untuk memeriksa, memahami, menafsirkan dan mendalami informasi tersebut. Pembelajaran

Page 380: Scanned by CamScanner - ULM

374 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

bermakna mensyaratkan bahwa pendidik (guru) harus mengubah peran mereka dari pemberi untuk

pembimbing, karena peserta didik belajar dari pemikiran tentang apa yang sedang mereka kerjakan,

pendidik (guru) berperan dalam merangsang dan mendukung kegiatan yang melibatkan peserta

didik dalam berpikir. Guru juga harus menerima bahwa boleh jadi pemikiran peserta didik tersebut

melampaui pemahaman mereka sendiri. Ketika seorang pembelajar menghubungkan informasi baru

yang diperolehnya atau pengetahuan dasar yang sudah diperoleh sebelumnya, maka informasi-

informasi tersebut akan dikonsolidasikan ke dalam memori jangka panjang dan dapat digunakan di

lain waktu pada kesempatan yang berbeda.

Pembelajaran bermakna dalam perspektif teknologi pendidikan memiliki karakteristik sebagai

berikut:

1. Aktif memanipulatif. Para peserta didik secara aktif terlibat dengan tugas yang berarti di

mana mereka memanipulasi objek dan parameter lingkungan serta mengamati hasil manipulasi

mereka.

2. Artikulatif dan reflektif. Para pembelajar mengartikulasikan apa yang mereka miliki,

menyelesaikan dan merefleksikan pada aktivitas dan observasi serta merenungkan pengalaman baru

dengan pengetahuan mereka sebelumnya.

3. Disengaja dan diarahkan. Ketika peserta didik secara aktif dan sengaja berusaha mencapai

tujuan kognitif, mereka berpikir dan belajar lebih banyak karena mereka memenuhi niat

4. Pembelajaran otentik bersifat kompleks/kontekstual harus tertanam dalam kehidupan nyata,

sebagai konteks yang berguna.

5. Koperatif dan kolaboratif. Biarkan peserta didik untuk bekerja sama, memanfaatkan

keterampilan masing-masing dan mengambil alih pengetahuan masing-masing untuk memecahkan

masalah dan melakukan tugas. Ketika peserta didik berkolaborasi dan berkomunikasi, maka mereka

belajar bahwa ada lebih dari satu cara untuk melihat dunia dan ada beberapa solusi untuk

menyelesaikan masalah-masalah kehidupan.

Dengan demikian pembelajaran disebut bermakna jika setelah belajar peserta didik memahami

materi pembelajaran dan dapat menerapkannya untuk memecahkan masalah mereka. Setelah

belajar, peserta didik memiliki banyak keterampilan yang digunakan untuk memecahkan masalah

dalam hidup mereka. Guru harus mengintegrasikan keterampilan dalam pengajaran pada mata

pelajaran akademik inti.

KESIMPULAN

Teknologi pendidikan masa kini. AECT, 2008. Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat diartikan

bahwa teknologi pendidikan adalah studi dan praktek etis untuk memfasilitasi pembelajaran dan

meningkatkan kinerja dengan menciptakan, menggunakan dan mengelola sumber daya serta

Page 381: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 375

memanfaatkan teknologi tepat guna. Dengan demikian hakekat teknologi pendidikan adalah

perekayasa pembelajaran, belajar bagaimana belajar yang efektif, efesien dan menyenangkan.

Teknologi pendidikan dalam perspektif pendidikan Islam bahwa Iqra (baca) dalam prespektif

teknologi pendidikan, memiliki tafsir yang luas, yaitu sebagai “pembelajaran.” Oleh karena itu

makna pembelajaran atau Iqra adalah teknologi pembelajaran yang bersifat interaktif, inspiratif,

berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup untuk mengembangkan kreativitas, dan

kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik peserta didik, karena teknologi

pendidikan adalah perekayasa pembelajaran, bagaimana belajar yang efektif, efisien dan

menyenangkan, sehingga hasil belajar dapat tercapai secara maksimal. Dengan demikian Teknologi

Pendidikan tidak sekedar student centre tetapi juga harus student creator yang berorientasi pada

iman, ilmu dan amal.

Teknologi pendidikan dalam perspektif manajemen dan ekonomi Islam.

Kajian Teknologi Pendidikan masa kini dari AECT Tahun 2008 menyatakan bahwa studi dan etika

praktek untuk memfasilitasi pembelajaran dan meningkatkan kinerja melalui penciptaan,

penggunaan, dan pengaturan proses dan sumber daya teknologi. Teknologi pendidikan sebagai

salah satu sarana untuk meningkatkan kinerja. Menurut penjelasan Association for Educational

Communications and Tecnology (AECT, 2008). Ada tiga kinerja yang harus ditingkatkan yaitu: a)

kinerja peserta didik, b) kinerja pendidik dan perancang Pendidikan serta c) kinerja

organisasi/Institusi pendidikan.

Konsep kinerja dalam perspektif teknologi pendidikan memiliki tafsir yang luas artinya berusaha

sunguguh-sungguh untuk memperoleh hasil terbaik dan benar, meningkatkan kinerja dengan

menciptakan, menggunakan dan mengelola sumber daya serta memanfaatkan teknologi tepat guna.

Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Ankabut ayat 69.

REFERENSI

AECT Task Force on Definition and Terminology The Definition of Educational

technology.Washington, DC; Associtation for Educational Communication and Tecnhology. 1977

Alan Januszewski & Michael Molenda. Educational Technology: A Definition with Commentary.

Lawrence Erlbaum Associates, 2008.

Arief Zainal Abidin, Landasan Teknologi Pendidikan Penerbit UIKA PRESS, Bogor 2015

Arief Zainal Abidin, Teknologi Kinerja dalam Proses Pembelajaran, Penerbit UIKA PRESS, Bogor

2016

Barbara B. Seels & Rita C. Richey. Instructional Technology: The Definition and Domains of the

Field. Association for Educational Communication and Technology (AECT), 1994.

Page 382: Scanned by CamScanner - ULM

376 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Barbara L. Martin and Leslie J. Briggs, The Affective and Cognitive Domains: Integration for

Instruction and Research Englewood Cliffs N.J.: Educational Technology Publication Inc, 1986.

Koay, Suan See. Higher Order Thinking Skills (HOTS): “21st Century Skills in Secondary Science,

“Enhancing Higher Order Thinking Skills and Integrated Values Education”: Customised Course

for Indonesian Secondary Science Educator. Penang, Malaysia: SEAMO RECSAM. 2014

Januszewski dan Persichitte in januszewski dan Molenda, Educational Tecnhology: A Definition

with Commentay. New York: Taylor dan Francis Group- Lawrence Erlbaum, pp. 259-282. Chp. 11

Andrew Yearman.2008.

Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an, Mizan Media Utama, Bandung. 1994

Quraish Shihab dkk. Sejarah dan Ulumul Qur’an, Pustaka Firdaus, Jakarta.. 2001,

Page 383: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 377

MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS PROJECT UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN

SEBAGAI IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013

Sukirman

Jurusan Teknologi Pendidikan

Universitas Negeri Semarang

[email protected]

ABSTRAK

Implementasi Kurikulum 2013 yang harus dikuasai oleh guru adalah penguasaan model

pembelajaran berbasis proyek (Project Based Learning / PBL). Dijadikannya PBL sebagai salah

satu model pembelajaran yang diharapkan dapat diimplementasikan dalam Kurikulum 2013, karena

Model Pembelajaran Berbasis Proyek menuntut keaktifan siswa, dapat memberikan pengalaman

langsung serta menuntut pembelajaran yang tidak terbatas hanya sebagai pengetahuan saja. Namun

demikian, tidak semua materi pembelajaran menggunakan model. Untuk itu, guru harus dapat

memilih sesuai karakteristik materi model pembelajaran dan karakteristik materi yang akan

diajarkan. Kurikulum 2013 menggunakan 3 (tiga) model pembelajaran utama (Permendikbud No.

103 Tahun 2014) yang diharapkan dapat membentuk perilaku saintifik, perilaku sosial serta

mengembangkan rasa keingintahuan. Ketiga model tersebut adalah: model Pembelajaran Berbasis

Masalah (Problem Based Learning), model Pembelajaran Berbasis Projek (Project Based Learning),

dan model Pembelajaran Melalui Penyingkapan/Penemuan (Discovery/Inquiry Learning).

Disamping model pembelajaran di atas dapat juga dikembangkan model pembelajaran Production

Based Education (PBE) sesuai dengan karakteristik pendidikan menengah kejuruan. Model

pembelajaran Projek based Learning adalah model pembelajaran yang menggunakan

proyek/kegiatan dalam pembelajaran peserta didik. Dalam hal ini peserta didik di arahkan

melakukan kegiatan lapangan untuk mengeksplorasi, mengobservasi, mengamati, menginterpretasi,

dan menggali informasi sebanyak-banyaknya tentang materi pembelajaran. Dalam model PJBL

peserta didik di bawa dalam aktivitas yang nyata untuk mengumpulkan dan mengintegrasikan

pengetahuannya sehingga menghasilkan pengalaman belajar yang berguna dan bermanfaat. Dalam

PJBL pembelajaran di mulai dari proses menemukan (inquiri) dengan memunculkan pertanyaan

penuntun (a guiding question). Kemudian dibimbing dalam sebuah proyek kolaboratif yang

mengintegrasikan materi pelajaran dengan kegiatan-kegiatan nyata di lapangan.

Kata Kunci : Kurikulum 2013, Model Pembelajaran Berbasis Proyek

Page 384: Scanned by CamScanner - ULM

378 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Top of Form

Model Pembelajaran dalam Kurikulum 2013

Pembelajaran adalah proses interaksi antarpeserta didik, antara peserta didik dan pendidik, dan

antara peserta dan sumber belajar lainnya pada suatu lingkungan belajar yang berlangsung secara

edukatif, agar peserta didik dapat membangun sikap, pengetahuan dan keterampilannya untuk

mencapai tujuan yang telah ditetapkan.Proses pembelajaran merupakan suatu proses yang

mengandung serangkaian kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga penilaian.

Menurut Joyce dan Weil (dalam Rusman, 2012:133), model pembelajaran adalah suatu rencana atau

pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang),

rancangan bahan- bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain.

Selanjutnya secara lebih jelas Rusman menyebutkan bahwa model pembelajaran merupakan suatu

cara yang sistematis dalam mengidentifikasi, mengembangkan, dan mengevaluasi seperangkat

materi dan strategi yang diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (Rusman, 2012:155).

Kurikulum 2013 menggunakan 3 (tiga) model pembelajaran utama (Permendikbud No. 103 Tahun

2014) yang diharapkan dapat membentuk perilaku saintifik, perilaku sosial serta mengembangkan

rasa keingintahuan. Ketiga model tersebut adalah: model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem

Based Learning), model Pembelajaran Berbasis Projek (Project Based Learning), dan model

Pembelajaran Melalui Penyingkapan/Penemuan (Discovery/Inquiry Learning). Disamping model

pembelajaran di atas dapat juga dikembangkan model pembelajaran Production Based Education

(PBE) sesuai dengan karakteristik pendidikan menengah kejuruan.

Tidak semua model pembelajaran tepat digunakan untuk semua KD/materi pembelajaran. Model

pembelajaran tertentu hanya tepat digunakan untuk materi pembelajaran tertentu. Sebaliknya materi

pembelajaran tertentu akan dapat berhasil maksimal jika menggunakan model pembelajaran

tertentu.Oleh karenanya guru harus menganalisis rumusan pernyataan setiap KD, apakah cenderung

pada pembelajaran penyingkapan (Discovery/Inquiry Learning) atau pada pembelajaran hasil karya

(Problem Based Learning dan Project Based Learning).

Pengertian Model Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning)

Model Pembelajaran Berbasis Proyek adalah metoda pembelajaran yang menggunakan

proyek/kegiatan sebagai media. Peserta didik melakukan eksplorasi, penilaian, interpretasi, sintesis,

dan informasi untuk menghasilkan berbagai bentuk hasil belajar.

Model Pembelajaran Berbasis Proyek adalah model atau metode belajar yang menggunakan

masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru

berdasarkan pengalamannya dalam beraktivitas secara nyata. Pembelajaran Berbasis Proyek

dirancang untuk digunakan pada permasalahan komplek yang diperlukan peserta didik dalam

melakukan insvestigasi dan memahaminya.

Page 385: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 379

Melalui Model Pembelajaran Berbasis Proyek, proses inquiry dimulai dengan memunculkan

pertanyaan penuntun (a guiding question) dan membimbing peserta didik dalam sebuah proyek

kolaboratif yang mengintegrasikan berbagai subjek (materi) dalam kurikulum. Pada saat pertanyaan

terjawab, secara langsung peserta didik dapat melihat berbagai elemen utama sekaligus berbagai

prinsip dalam sebuah disiplin yang sedang dikajinya. PBL merupakan investigasi mendalam tentang

sebuah topik dunia nyata, hal ini akan berharga bagi atensi dan usaha peserta didik. Mengingat

bahwa masing-masing peserta didik memiliki gaya belajar yang berbeda, maka Pembelajaran

berbasis proyekmemberikan kesempatan kepada para peserta didik untuk menggali konten (materi)

dengan menggunakan berbagai cara yang bermakna bagi dirinya, dan melakukan eksperimen secara

kolaboratif.

Pembelajaran berbasis proyek dapat dikatakan sebagai operasionalisasi konsep “Pendidikan

Berbasis Produksi” yang dikembangkan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). SMK sebagai

institusi yang berfungsi untuk menyiapkan lulusan untuk bekerja di dunia usaha dan industri harus

dapat membekali peserta didiknya dengan “kompetensi terstandar” yang dibutuhkan untuk bekerja

dibidang masing-masing. Dengan pembelajaran “berbasis produksi” peserta didik di SMK

diperkenalkan dengan suasana dan makna kerja yang sesungguhnya di dunia kerja. Dengan

demikian model pembelajaran yang cocok untuk SMK adalah pembelajaran berbasis proyek.

Pembelajaran Berbasis proye kmemiliki karakteristik sebagai berikut:

peserta didik membuat keputusan tentang sebuah kerangka kerja

adanya permasalahan atau tantangan yang diajukan kepada peserta didik

peserta didik mendesain proses untuk menentukan solusi atas permasalahan atau tantangan yang

diajukan

peserta didik secara kolaboratif bertanggungjawab untuk mengakses dan mengelola informasi untuk

memecahkan permasalahan

proses evaluasi dijalankan secara kontinyu

peserta didik secara berkala melakukan refleksi atas aktivitas yang sudah dijalankan

produk akhir aktivitas belajar akan dievaluasi secara kualitatif, dan

situasi pembelajaran sangat toleran terhadap kesalahan dan perubahan.

Peran instruktur atau guru dalam Pembelajaran Berbasis Proyek sebagai fasilitator, pelatih,

penasehat dan perantara untuk mendapatkan hasil yang optimal sesuai dengan daya imajinasi, kreasi

dan inovasi dari siswa. Namun demikian, ada beberapa hambatan dalam implementasi metode

Pembelajaran Berbasis Proyek antara lain berikut ini.

Page 386: Scanned by CamScanner - ULM

380 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Pembelajaran berbasis proyek memerlukan banyak waktu yang harus disediakan untuk

menyelesaikan permasalahan yang komplek.

Banyak orang tua peserta didik yang merasa dirugikan, karena menambah biaya untuk memasuki

sistem baru.

Banyak instruktur merasa nyaman dengan kelas tradisional, dimana instruktur memegang peran

utama di kelas. Ini merupakan suatu transisi yang sulit, terutama bagi instruktur yang kurang atau

tidak menguasai teknologi.

Banyaknya peralatan yang harus disediakan, sehingga kebutuhan listrik bertambah.

Untuk itu disarankan menggunakan team teaching dalam proses pembelajaran, dan akan lebih

menarik lagi jika suasana ruang belajar tidak monoton, beberapa contoh perubahan lay-out ruang

kelas, seperti: traditional class (teori), discussion group (pembuatan konsep dan pembagian tugas

kelompok), lab tables (saat mengerjakan tugas mandiri), circle (presentasi). Atau buatlah suasana

belajar menyenangkan, bahkan saat diskusi dapat dilakukan di taman, artinya belajar tidak harus

dilakukan di dalam ruang kelas.

Berdasarkan urian di atas dapat disimpulan bahwa Pembelajaran Berbasis Projek adalah kegiatan

pembelajaran yang menggunakan projek/kegiatan sebagai proses pembelajaran untuk mencapai

kompetensi sikap, pengetahuan dan ketrampilan. Penekanan pembelajaran terletak pada aktivitas-

aktivias peserta didik untuk menghasilkan produk dengan menerapkan keterampilan meneliti,

menganalisis, membuat, sampai dengan mempresentasikan produk pembelajaran berdasarkan

pengalaman nyata. Produk yang dimaksud adalah hasil projek dalam bentuk desain, skema, karya

tulis, karya seni, karya teknologi/prakarya, dan lain-lain. Pendekatan ini memperkenankan pesera

didik untuk bekerja secara mandiri maupun berkelompok dalam menghasilkan produk nyata.

Karakteristik dan Prinsip-prinsip Pembelajaran Berbasis Proyek (project based learning)

1. Karakteristik Pembelajaran Berbasis Proyek (project based learning)

Menurut Buck Institute for Education (1999) dalam Trianto (2014: 43) menyebutkan bahwa project

based learning memiliki karakteristik, yaitu:

siswa sebagai pembuat keputusan, dan membuat kerangka kerja

terdapat masalah yang pemecahannya tidak ditentukan sebelumnya

siswa sebagai perancang proses untuk mencapai hasil.

siswa bertanggungjawab untuk mendapatkan dan mengelola informasi yang dikumpulkan.

melakukan evaluasi secara kontinu.

siswa secara teratur melihat kembali apa yang mereka kerjakan.

hasil akhir berupa produk dan dievaluasi kualitasnya.

Kelas memiliki atmosfir yang memberi toleransi kesalahan dan perubahan.

Page 387: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 381

Karakteristik pembelajaran berbasis proyek adalah memposisikan siswa sebagai pemain utama

dalam pembelajaran. Siswa aktif dalam hal membuat keputusan, merancang solusi, bertanggung

jawab mencari dan mengelola informasi, dan merefleksikan apa yang mereka lakukan. Selain itu,

ada masalah atau tantangan tanpa solusi yang telah ditetapkan sebelumnya, evaluasi berlangsung

terus menerus, dan adanya produk akhir, serta ruang kelas memiliki suasana yang mentolerir

kesalahan dan perubahan. Karakteristik pembelajaran berbasis proyek (project based learning),

terdiri dari:

Siswa di pusat dari proses pembelajaran.

Proyek fokus pada tujuan penting pembelajaran yang selaras dengan spesifikasi kurikulum.

Proyek didorong oleh Curriculum-Framing Questions.

Proyek melibatkan terus-menerus dan beberapa jenis asesmen.

Proyek ini memiliki koneksi dunia nyata.

Siswa menunjukkan pengetahuan melalui sebuah produk atau kinerja.

Teknologi mendukung dan meningkatkan pembelajaran siswa

Keterampilan berpikir merupakan bagian integral dari pekerjaan proyek.

Strategi instruksional yang bervariasi dan mendukung gaya belajar beberapa.

Karakteristik pembelajaran berbasis proyek menurut intel ini pada dasarnya memiliki kesamaan

seperti yang telah disebutkan di atas, namun konsepnya lebih lengkap. Kesamaannya pada posisi

siswa yang aktif dalam belajar, adanya masalah yang diuraikan dalam bentuk pertanyaan. Hal yang

menjadi pembeda dengan karakteristik di atas adalah adanya hubungan dengan dunia nyata.

Prinsip-prinsip pembelajaran Berbasis Proyek

Pembelajaran berbasis proyek dapat diidentifikasi melalui ciri-cirinya, pembelajaran berbasis

proyek merupakan pembelajaran yang meningkatkan pengetahuan dan keterampilan melalui

pembuatan produk. Produk yang dibuat dengan serangkaian kegiatan perencanaan, pencarian,

kolaborasi. Dalam kajiannya Krajcik, et al. dalam Abdurrahim (2011) menyarankan lima ciri-ciri

dari pembelajaran berbasis proyek, yakni: driving question, investigation, artifacts, collaboration

dan technological tools.

Thomas (2000), menguraikan lima kriteria pokok dari suatu pembelajaran berbasis proyek. Kriteria

ini bukan merupakan definisi dari pembelajaran berbasis proyek, tetapi didesain untuk menjawab

pertanyaan “apa yang harus dimiliki proyek agar dapat digolongkan sebagai pembelajaran berbasis

proyek?”. Lima kriteria itu adalah keberpusatan (centrality), berfokus pada pertanyaan atau masalah

(driving question), investigasi konstruktif (constructive investigation) atau desain, otonomi siswa

Page 388: Scanned by CamScanner - ULM

382 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

(autonomy), dan realisme (realism). Kriteria-kriteria ini dapat dijadikan sebagai prinsip-prinsip

pembelajaran berbasis proyek.

1. Centrality (keberpusatan)

Proyek dalam pembelajaran berbasis proyek adalah pusat atau inti kurikulum, bukan pelengkap

kurikulum. Bell dalam Abdurrahim (2011) mengatakan, “PBL is not suplementery activity to

support learning; It is a basic of the curriculum”. Di dalam pembelajaran berbasis proyek, proyek

adalah model pembelajaran; siswa mengalami dan belajar konsep-konsep inti suatu disiplin ilmu

melalui proyek. Ada kerja proyek yang mengikuti pembelajaran tradisional dengan cara proyek

tersebut memberi ilustrasi, contoh, praktek tambahan, atau aplikasi praktek yang diajarkan

sebelumnya dengan maksud lain. Akan tetapi, menurut kriteria di atas, aplikasi proyek tersebut

tidak dapat dikategorikan sebagai pembelajaran berbasis proyek. Kegiatan proyek yang

dimaksudkan untuk pengayaan di luar kurikulum juga tidak termasuk pembelajaran berbasis

proyek.

2. Driving Question (berfokus pada pertanyaan atau masalah)

Proyek dalam pembelajaran berbasis proyek adalah terfokus pada pertanyaan atau masalah, yang

mendorong siswa menjalani (dengan kerja keras) konsep-konsep dan prinsip-prinsip inti atau pokok

dari disiplin. Kriteria ini sangat halus dan agak susah diraba. Definisi proyek (bagi siswa) harus

dibuat sedemikian rupa agar terjalin hubungan antara aktivitas dan pengetahuan konseptual yang

melatarinya yang diharapkan dapat berkembang menjadi lebih luas dan mendalam (Baron, et. al.

dalam Abdurrrahim, 2011). Biasanya dilakukan dengan pengajuan pertanyaan-pertanyaan atau ill-

defined problem (Thomas, 2000). Proyek dalam pembelajaran berbasis proyek mungkin dibangun

melalui unit tematik, atau gabungan (intersection) topik-topik dari dua atau lebih disiplin, tetapi itu

belum sepenuhnya dapat dikatakan sebuah proyek. Pertanyaan-pertanyaan yang mengajar siswa,

sepadan dengan aktivitas, produk, dan unjuk kerja yang mengisi waktu mereka, harus digubah

(orchestrated) dalam tugas yang bertujuan intelektual (Blumenfeld, et. al. dalam Abdurrahim,

2011).

3. Constructive Investigation (investigasi konstruktif)

Proyek melibatkan siswa dalam investigasi konstruktif. Investigasi mungkin berupa proses desain,

pengambilan keputusan, penemuan masalah, pemecahan masalah, discovery, atau proses

pengembangan model. Akan tetapi, agar dapat disebut proyek memenuhi kriteria pembelajaran

berbasis proyek, aktivitas inti dari proyek itu harus meliputi transformasi dan konstruksi

pengetahuan (dengan pengertian: pemahaman baru, atau keterampilan baru) pada pihak siswa. Jika

pusat atau inti kegiatan proyek tidak menyajikan “tingkat kesulitan” bagi anak, atau dapat dilakukan

dengan penerapan informasi atau keterampilan yang siap dipelajari, proyek yang dimaksud adalah

tak lebih dari sebuah latihan, dan bukan proyek pembelajaran berbasis proyek yang dimaksud.

Page 389: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 383

Membersihkan peralatan laboratorium mungkin sebuah proyek, akan tetapi mungkin bukan proyek

dalam pembelajaran berbasis proyek (Bereiter, et al. dalam Abdurrahim, 2011).

4. Autonomy (otonomi siswa)

Proyek mendorong siswa sampai pada tingkat yang signifikan. Proyek dalam pembelajaran berbasis

proyek bukanlah ciptaan guru, tertuliskan dalam naskah, atau terpaketkan. Latihan laboratorium

bukanlah contoh pembelajaran berbasis proyek, kecuali jika berfokus pada masalah dan merupakan

inti pada kurikulum. Proyek dalam pembelajaran berbasis proyek tidak berakhir pada hasil yang

telah ditetapkan sebelumnya atau mengambil jalur (prosedur) yang telah ditetapkan sebelumnya.

Proyek pembelajaran berbasis proyek lebih mengutamakan otonomi, pilihan, waktu kerja yang tidak

bersifat ketat (tanpa diawasi), dan siswa lebih bertanggung jawab daripada proyek tradisional dan

pembelajaran tradisional (Bereiter, et al. dalam Abdurrahim, 2011).

5. Realism (realisme)

Proyek adalah realistik. Karakteristik proyek memberikan keontetikan pada siswa. Karakteristik ini

boleh jadi meliputi topik, tugas, peranan yang dimainkan siswa, konteks di mana kerja proyek

dilakukan, kolaborator yang bekerja dengan siswa dalam proyek, produk yang dihasilkan, kriteria di

mana produk-produk atau unjuk kerja dinilai. Pembelajaran berbasis proyek melibatkan tantangan-

tantangan kehidupan nyata, berfokus pada pertanyaan atau masalah otentik (bukan simulatif), dan

pemecahannya berpotensi untuk diterapkan di lapangan yang sesungguhnya (Baron, et al. dalam

Abdurrahim, 2011). Wena (2012) dalam Nashriah (2014) menurut Thomas pembelajaran berbasis

proyek mempunyai beberapa prinsip, yaitu:

Prinsip sentralistis (centrality) menegaskan bahwa kerja proyek merupakan esensi dari kurikulum.

Prinsip pertanyaan pendorong/penuntun berarti bahwa kerja proyek berfokus pada pertanyaan atau

permasalahan yang dapat mendorong siswa untuk berjuang memperoleh konsep utama suatu bidang

tertentu.

Prinsip investigasi konstruktif (constructive investigation) merupakan proses yang mengarah

kepada pencapaian tujuan, yang mengandung kegiatan inkuiri, pembangunan konsep dan resolusi.

Prinsip otonomi (autonomy) diartikan sebagai kemandirian siswa dalam melaksanakan proses

pembelajaran, yaitu bebas menentukan pilihannya sendiri, bekerja dengan minimal supervisi, dan

bertanggung jawab.

Prinsip realistis (realism) berarti bahwa proyek merupakan sesuatu yang nyata.

Hal yang sama diungkapkan oleh ...bahwa pembelajaran berbasis proyek adalah pembelajaran

dengan menggunakan tugas proyek sebagai metode pembelajaran. Para siswa bekerja secara nyata,

Page 390: Scanned by CamScanner - ULM

384 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

seolah-olah ada di dunia nyata yang dapat menghasilkan produk secara nyata atau realistis. Prinsip

yang mendasari pada pembelajaran berbasis proyek adalah:

Pembelajaran berpusat pada siswa yang melibatkan tugas-tugas proyek pada kehidupan nyata untuk

memperkaya pembelajaran.

Tugas proyek menekankan pada kegiatan penelitian berdasarkan suatu tema atau topik yang telah

ditentukan dalam pembelajaran.

Penyelidikan atau eksperimen dilakukan secara otentik dan menghasilkan produk nyata yang telah

dianalisis dan dikembangkan berdasarkan tema/topik yang disusun dalam bentuk produk (laporan

atau hasil karya). Produk tersebut selanjutnya dikomunikasikan untuk mendapat tanggapan dan

umpan balik untuk perbaikan produk.

Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Berbasis Proyek

Kelebihan dan kekurangan pada penerapan Pembelajaran Berbasis Proyek dapat dijelaskan sebagai

berikut.

1. Kelebihan/Keuntungan Model Pembelajaran Berbasis Proyek

Meningkatkan motivasi belajar peserta didik untuk belajar, mendorong kemampuan mereka untuk

melakukan pekerjaan penting, dan mereka perlu untuk dihargai.

Meningkatkan kemampuan pemecahan masalah.

Membuat peserta didik menjadi lebih aktif dan berhasil memecahkan problem-problem yang

kompleks.

Meningkatkan kolaborasi.

Mendorong peserta didik untuk mengembangkan dan mempraktikkan keterampilan komunikasi.

Meningkatkan keterampilan peserta didikdalam mengelola sumber.

Memberikan pengalaman kepada peserta didik pembelajaran dan praktik dalam mengorganisasi

proyek, dan membuat alokasi waktu dan sumber-sumber lain seperti perlengkapan untuk

menyelesaikan tugas.

Menyediakan pengalaman belajar yang melibatkan peserta didik secara kompleks dan dirancang

untuk berkembang sesuai dunia nyata.

Melibatkan para peserta didik untuk belajar mengambil informasi dan menunjukkan pengetahuan

yang dimiliki, kemudian diimplementasikan dengan dunia nyata.

Membuat suasana belajar menjadi menyenangkan, sehingga peserta didik maupun pendidik

menikmati proses pembelajaran.

2. Kelemahan Model Pembelajaran Berbasis Proyek

Memerlukan banyak waktu untuk menyelesaikan masalah.

Membutuhkan biaya yang cukup banyak.

Page 391: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 385

Banyak instruktur yang merasa nyaman dengan kelas tradisional, di mana instruktur memegang

peran utama di kelas.

Banyaknya peralatan yang harus disediakan.

Peserta didik yang memiliki kelemahan dalam percobaan dan pengumpulan informasi akan

mengalami kesulitan.

Ada kemungkinanpeserta didikyang kurang aktif dalam kerja kelompok.

Ketika topik yang diberikan kepada masing-masing kelompok berbeda, dikhawatirkan peserta didik

tidak bisa memahami topik secara keseluruhan

Untuk mengatasi kelemahan dari pembelajaran berbasis proyek di atas seorang pendidik harus dapat

mengatasi dengan cara memfasilitasi peserta didik dalam menghadapi masalah, membatasi waktu

peserta didik dalam menyelesaikan proyek, meminimalis dan menyediakan peralatan yang

sederhana yang terdapat di lingkungan sekitar, memilih lokasi penelitian yang mudah dijangkau

sehingga tidak membutuhkan banyak waktu dan biaya, menciptakan suasana pembelajaran yang

menyenangkan sehingga instruktur dan peserta didik merasa nyaman dalam proses pembelajaran.

Pembelajaran berbasis proyek ini juga menuntut siswa untuk mengembangkan keterampilan seperti

kolaborasi dan refleksi. Menurut studi penelitian, Pembelajaran berbasis proyek membantu siswa

untuk meningkatkan keterampilan sosial mereka, sering menyebabkan absensi berkurang dan lebih

sedikit masalah disiplin di kelas. Siswa juga menjadi lebih percaya diri berbicara dengan kelompok

orang, termasuk orang dewasa.

Pelajaran berbasis proyek juga meningkatkan antusiasme untuk belajar. Ketika anak-anak

bersemangat dan antusias tentang apa yang mereka pelajari, mereka sering mendapatkan lebih

banyak terlibat dalam subjek dan kemudian memperluas minat mereka untuk mata pelajaran

lainnya. Antusias peserta didik cenderung untuk mempertahankan apa yang mereka pelajari, bukan

melupakannya secepat mereka telah lulus tes.

Langkah langkah pelaksanaan Model Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning)

Langkah-langkah pelaksanaan Pembelajaran Berbasis Proyek antara lain.

Penentuan pertanyaan mendasar (Start With the Essential Question).

Pembelajaran dimulai dengan pertanyaan esensial, yaitu pertanyaan yang dapat memberi penugasan

peserta didik dalam melakukan suatu aktivitas. Mengambil topik yang sesuai dengan realitas dunia

nyata dan dimulai dengan sebuah investigasi mendalam. Pengajar berusaha agar topik yang

diangkat relevan untuk para peserta didik.

Mendesain perencanaan proyek (Design a Plan for the Project).

Page 392: Scanned by CamScanner - ULM

386 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Perencanaan dilakukan secara kolaboratif antara pengajar dan peserta didik. Dengan emikian

peserta didik diharapkan akan merasa “memiliki” atas proyek tersebut. Perencanaan berisi tentang

aturan main, pemilihan aktivitas yang dapat mendukung dalam menjawab pertanyaan esensial,

dengan cara mengintegrasikan berbagai subjek yang mungkin, serta mengetahui alat dan bahan

yang dapat diakses untuk membantu penyelesaian proyek.

Menyusun jadwal (Create a Schedule)

Pengajar dan peserta didik secara kolaboratif menyusun jadwal aktivitas dalam menyelesaikan

proyek. Aktivitas pada tahap ini antara lain: (1) membuat timeline untuk menyelesaikan proyek, (2)

membuat deadline penyelesaian proyek, (3) membawa peserta didik agar merencanakan cara yang

baru, (4) membimbing peserta didik ketika mereka membuat cara yang tidak berhubungan dengan

proyek, dan (5) meminta peserta didik untuk membuat penjelasan (alasan) tentang pemilihan suatu

cara.

Memonitor peserta didik dan kemajuan proyek (Monitor the Students and the Progress of the

Project)

Pengajar bertanggungjawab untuk melakukan monitor terhadap aktivitas peserta didik selama

menyelesaikan proyek. Monitoring dilakukan dengan cara menfasilitasi peserta didik pada setiap

roses. Dengan kata lain pengajar berperan menjadi mentor bagi aktivitas peserta didik. Agar

mempermudah proses monitoring, dibuat sebuah rubrik yang dapat merekam keseluruhan aktivitas

yang penting.

Menguji hasil (Assess the Outcome)

Penilaian dilakukan untuk membantu pengajar dalam mengukur ketercapaian standar, berperan

dalam mengevaluasi kemajuan masing- masing peserta didik, memberi umpan balik tentang tingkat

pemahaman yang sudah dicapai peserta didik, membantu pengajar dalam menyusun strategi

pembelajaran berikutnya.

Mengevaluasi pengalaman (Evaluate the Experience)

Pada akhir proses pembelajaran, pengajar dan peserta didik melakukan refleksi terhadap aktivitas

dan hasil proyek yang sudah dijalankan. Proses refleksi dilakukan baik secara individu maupun

kelompok. Pada tahap ini peserta didik diminta untuk mengungkapkan perasaan dan pengalamanya

selama menyelesaikan proyek. Pengajar dan peserta didik mengembangkan diskusi dalam rangka

memperbaiki kinerja selama proses pembelajaran, sehingga pada akhirnya ditemukan suatu temuan

baru (new inquiry) untuk menjawab permasalahan yang diajukan pada tahap pertama pembelajaran.

Peran guru dan peserta didik dalam pelaksanaan Model Pembelajaran Berbasis Proyek (Project

Based Learning)

Page 393: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 387

Peran guru dan peserta didik dalam pelaksanaan Pembelajaran Berbasis Proyek sebagai berikut.

1) Peran Guru

Merencanakan dan mendesain pembelajaran.

Membuat strategi pembelajaran.

Membayangkan interaksi yang akan terjadi antara guru dan siswa.

Mencari keunikan siswa.

Menilai siswa dengan cara transparan dan berbagai macam penilaian.

Membuat portofolio pekerjaan siswa.

2) Peran Peserta Didik

Menggunakan kemampuan bertanya dan berpikir.

Melakukan riset sederhana.

Mempelajari ide dan konsep baru.

Belajar mengatur waktu dengan baik.

Melakukan kegiatan belajar sendiri/kelompok.

Mengaplikasikan hasil belajar lewat tindakan.

Melakukan interaksi sosial (wawancara, survey, observasi, dll).

Sistem Penilaian dalam pelaksanaan Model Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning)

Penilaian pembelajaran dengan metoda Pembelajaran berbasis proyek harus diakukan secara

menyeluruh terhadap sikap, pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa dalam

melaksanakan pembelajaran berbasis proyek. Penilaian pembelajaran berbasis proyek dapat

menggunakan teknik penilaian yang dikembangkan oleh Pusat Penilaian Pendidikan Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan yaitu penilaian proyek atau penilaian produk. Penilaian tersebut dapat

dijelaskan sebagai berikut.

Penilaian Proyek

Pengertian Penilaian proyek

Penilaian proyek merupakan kegiatan penilaian terhadap suatu tugas yang harus diselesaikan dalam

periode/waktu tertentu. Tugas tersebut berupa suatu investigasi sejak dari perencanaan,

pengumpulan data, pengorganisasian, pengolahan dan penyajian data. Penilaian proyek dapat

digunakan untuk mengetahui pemahaman, kemampuan mengaplikasikan, kemampuan penyelidikan

dan kemampuan menginformasikan peserta didik pada mata pelajaran tertentu secara jelas. Pada

penilaian proyek setidaknya ada 4 (empat) hal yang perlu dipertimbangkan, yaitu:

Page 394: Scanned by CamScanner - ULM

388 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Pengelolaan

Kemampuan siswa dalam memilih topik, mencari informasi, dan mengelola waktu pengumpulan

data, serta penulisan laporan.

Relevansi

Topik, data, dan produk sesuai dengan KD.

Keaslian

Produk (misalnya laporan) yang dihasilkan siswa merupakan hasil karyanya, dengan

mempertimbangkan kontribusi guru berupa petunjuk dan dukungan terhadap proyek siswa.

Inovasi dan kreativitas

Hasil proyek siswa terdapat unsur-unsur kebaruan dan menemukan sesuatu yang berbeda dari

biasanya.

Teknik Penilaian Proyek

Penilaian proyek dilakukan mulai dari perencanaan, proses pengerjaan, sampai hasil akhir proyek.

Untuk itu, guru perlu menetapkan hal-hal atau tahapan yang perlu dinilai, seperti penyusunan

disain, pengumpulan data, analisis data, dan penyiapkan laporan tertulis. Laporan tugas atau hasil

penelitian juga dapat disajikan dalam bentuk poster. Pelaksanaan penilaian dapat menggunakan alat/

instrumen penilaian berupa daftar cek ataupun skala penilaian. Penilaian Proyek dilakukan mulai

dari perencanaan , proses pengerjaan sampai dengan akhir proyek. Untuk itu perlu memperhatikan

hal-hal atau tahapan yang perlu dinilai. Pelaksanaan penilaian dapat juga menggunakan rating scale

dan checklist.

Penilaian Produk

Pengertian Penilaian Produk

Penilaian produk adalah penilaian terhadap proses pembuatan dan kualitas suatu produk. Penilaian

produk meliputi penilaian kemampuan peserta didik membuat produk-produk teknologi dan seni,

seperti: makanan, pakaian, hasil karya seni (patung, lukisan, gambar), barang-barang terbuat dari

kayu, keramik, plastik, dan logam. Pengembangan produk meliputi 3 (tiga) tahap dan setiap tahap

perlu diadakan penilaian yaitu:

Tahap persiapan, meliputi: penilaian kemampuan peserta didik dan merencanakan, menggali, dan

mengembangkan gagasan, dan mendesain produk.

Tahap pembuatan produk (proses), meliputi: penilaian kemampuan peserta didik dalam menyeleksi

dan menggunakan bahan, alat, dan teknik.

Tahap penilaian produk (appraisal), meliputi: penilaian produk yang dihasilkan peserta didik sesuai

kriteria yang ditetapkan.

Page 395: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 389

Teknik Penilaian Produk

Penilaian produk biasanya menggunakan cara holistik atau analitik.

Cara holistik, yaitu berdasarkan kesan keseluruhan dari produk, biasanya dilakukan pada tahap

appraisal.

Cara analitik, yaitu berdasarkan aspek-aspek produk, biasanya dilakukan terhadap semua kriteria

yang terdapat pada semua tahap proses pengembangan.

Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Proyek untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran

Kurikulum 2013 mengisyaratkan bahwa pembelajaran di kelas harus menggunakan pendekatan

saintifik. Pendekatan saintifik mengharuskan guru menyusun strategi atas lima kegiatan. Di antara

limat kegiatan itu adalah mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosi, dan

mengkomunikasikan. Kelima langka tersebut harus secara integratif terlaksana dalam kegiatan

pembelajaran.

Dari pendekatan saintifik terdapat model pembelajaran yang relevan di antaranya Pembelajaran

Berbasis Proyek. Jika kita amati proses pembelajaran di kelas, guru biasa menyampaikan materi

pembelajaran secara abstrak. Peserta didik tidak di bawa ke arah yang kongkrit atau ke arah dunia

nyata sehingga anak hanya hapal bukan paham. Dampak dari pelaksanaan pembelajaran tersebut

anak tidak mampu menghubungkan antara materi pembelajaran yang dipelajari dengan bagaimana

pengetahuan yang telah diperoleh itu diterapkan dalam konteks kehidupan sehari-hari. Konsep-

konsep yang telah dipelajari hanya diingat sebentar. Karena memang peserta didik hanya

menghapal kemudian hilanglah semua konsep-konsep itu dalam beberapa saat yang tidak lama. Hal

ini mengakibatkan pembelajaran yang berlangsung tidak berdampak apa-apa dalam kehidupannya.

Melalui model pembelajaran PJBL diharapkan mampu meminimalisasi semua permasalahan di atas.

Siswa tidak hanya menghapal tetapi juga paham, mengingat lebih lama, dan mampu

mengaplikasikan materi yang telah dipelajarinya dalam konteks kehidupan sehari-hari. Atau

setidaknya siswa mampu melakukan tindakan untuk menyusun dan mempraktikan semua materi

pembelajaran yang telah dipelajarinya. Hal ini karena PJBL dirancang agar mampu menyelesaikan

permasalahan yang kompleks dengan melakukan investigasi lapangan dan memahaminya. Model

pembelajaran Projek based Learning adalah model pembelajaran yang menggunakan

proyek/kegiatan dalam pembelajaran peserta didik. Dalam hal ini peserta didik di arahkan

melakukan kegiatan lapangan untuk mengeksplorasi, mengobservasi, mengamati, menginterpretasi,

dan menggali informasi sebanyak-banyaknya tentang materi pembelajaran.

Dalam model PJBL peserta didik di bawa dalam aktivitas yang nyata untuk mengumpulkan dan

mengintegrasikan pengetahuannya sehingga menghasilkan pengalaman belajar yang berguna dan

Page 396: Scanned by CamScanner - ULM

390 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

bermanfaat. Dalam PJBL pembelajaran di mulai dari proses menemukan (inquiri) dengan

memunculkan pertanyaan penuntun (a guiding question). Kemudian dibimbing dalam sebuah

proyek kolaboratif yang mengintegrasikan materi pelajaran dengan kegiatan-kegiatan nyata di

lapangan.

Daftar Pustaka

Aunurrahman . 2011. Belajar Dan Pembelajaran. Alfabeta. Bandung.

Hamzah. 2010. Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar Yang Kreatif Dan

Efektif. Bumi Aksara. Jakarta.

Iskandar. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Gaung Persada (GP) Press. Ciputat.

Kamdi, W. 2007. Model Pembelajaran Project Based Learning. UNS Press. Semarang.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2013). Modul Pelatihan Kurikulum 2013,

Jakarta:Kemdikbud

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2016). Modul Pelatihan Kurikulum 2013,

Jakarta:Kemdikbud.

Made Wena. 2011. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer. Bumi Aksara. Jakarta.

Markham, T. (2003). Project-Based Learning Handbook (2nd ed.). Novato, CA: Buck Institute for

Education.

Masnur Muslich. 2011. Melaksanakan PTK Itu Mudah. Bumi Aksara. Jakarta.

Muhibbin Syah. 2006. Psikologi Belajar. PT.Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Mulyasa. 2010. Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bumi Aksara. Jakarta.

Rusman. 2012. Model – Model Pembelajaran. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta.

Page 397: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 391

Sabar Nurohman. 2008. Pendekatan Project Based Learning Sebagai Upaya Internalisasi Scientific

Method Bagi Mahasiswa Calon Guru. (Online), http://Shobru.files.wordpress.com/2008/08/Project-

Based-Learning.pdf. (diakses 6 April 2014).

Slameto. 2010. Belajar Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya. Rineka Cipta. Jakarta.

Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R & D. Alfabeta. Bandung.

Wina Sanjaya. 2010. Penelitian Tindakan Kelas. Kencana. Jakarta.

Page 398: Scanned by CamScanner - ULM

392 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

WEB-SUPPORTED SYSTEM FOR COLLABORATION LEARNING SEBAGAI PENGEMBANG KAPABILITAS PEBELAJAR

Henry Praherdhiono

[email protected]

Universitas Negeri Malang

ABSTRAK

Pengembangan kapabilitas pebelajar merupakan cara dalam mengembangkan performa lulusan

perguruan tinggi. Perkembangan penelitian pada Jurusan Teknologi Pendidikan (TEP) Fakultas

Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri Malang (UM) telah mengarah dalam pembelajaran

kolaboratif pada Sistem Aplikasi Pembelajaran Online (SAPROL) sejak tahun 2007. Tujuan

penelitian adalah mengembangkan Web-Supported System for Collaboration Learning (WSSCL)

dalam SAPROL TEP FIP UM untuk mendukung kurikulum life based learning (pembelajaran) TEP

FIP UM. Konten pengembangan adalah produk fitur kolaborasi online dan kajian empiris pada

WSSCL dalam rangka memastikan kesiapan pembelajar dengan WSSCL dalam kurikulum yang

dirancang oleh TEP FIP UM. Kajian empiris difokuskan pada deskripsi informasi pelaksanaan

WSSCL.

Kata Kunci: Kapabilitas, Web-Supported System For Collaboration Learning (WSSCL), life based

learning

Page 399: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 393

PENDAHULUAN

Perkembangan teknologi mempengaruhi perkembangan pembelajaran (Abulibdeh & Hassan, 2011).

Jurusan Teknologi Pendidikan (TEP) Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri Malang

(UM) telah bergeser pada pembelajaran kolaboratif (Annamalai, Tan, & Abdullah, 2016). Sistem

pembelajaran di TEP FIP UM berbasis web yang dikembangkan untuk melayani karakteristik

individu maupun kolaborasi. Perkembangan berikutnya, Peneliti jurusan TEP FIP UM bergeser

pada bagaimana mengembangkan pembelajaran berbasis web untuk kebutuhan pembelajaran

kolaborasi. Pembelajaran secara kolaboratif dan pembelajaran kolaboratif perlu didukung oleh

perangkat komputer (Deutsch, Coleman, & Marcus, 2011; Johnson & Johnson, 1999). Model

transmisi pesan langsung dari pembelajaran dengan menciptakan peluang untuk mengkonstruksi

pengetahuan dan terlibat dalam pembelajaran secara bersama (L. Kim, 1998). Pembelajaran

kolaboratif, yang didukung oleh perangkat komputer, memiliki fokus studi tentang bagaimana

orang belajar bersama dengan dukungan komputer pribadi yang dimiliki pebelajar, dan dukungan

tersebut merupakan intersubjektif arti keputusan yang membuat bidang kajian keilmuan yang unik

pada masing-masing individu (Stahl, Koschmann, & Suthers, 2006).

Pedagogi tidak dapat dipisahkan dari perkembangan teknologi (Farah, Ireson, & Richards, 2016).

Hal ini terlihat dalam perkembangan kurikulum Universitas Negeri Malang mengalami perubahan

mendasar. Perubahan yang terjadi adalah era kompetensi menuju era pengembangan kapabilitas

pebelajar. TEP FIP UM juga mengalami perubahan penguatan lulusan. Landasan pengembangan

adalah kebutuhan kekinian dalam konteks kehidupan. Selain profesional juga harus memiliki

kapabilitas di era perkembangan keilmuan dan pengetahuan (He & Yang, 2016; Yeung, 1999).

Lingkungan belajar dalam konteks kehidupan telah berkembang pada penggabungan lingkungan

kerja dengan lingkungan belajar dalam sebuah sistem Pendidikan (Luppicini, 2005). Model

pembelajaran juga merupakan respon terhadap konteks perubahan penggunaan teknologi pada

lingkungan belajar. Beberapa pengembangan model yang telah mengidentifikasi kebutuhan untuk:

a) pendekatan peningkatan kapasitas daripada kepatuhan pendekatan dalam lingkungan belajar

(Yeung, 1999), b) memenuhi sifat perubahan dan kebutuhan dunia kerja (Coffield, 2000) , c)

pendekatan pedagogis baru untuk belajar dan mengajar dan inovasi (Higgins, 2016), d) strategi

pembelajaran yang menggunakan teknologi akan memecah banyak hambatan pada pebelajar (Farah

et al., 2016), dan e) meningkatkan integrasi antara bekerja dengan belajar (Birt & Cowling, 2016).

Pengembangan Web-Supported System For Colaboration Learning (WSSCL) merupakan

kebutuhan dasar pada sistem pembelajaran. Landasan keilmuan pengembangan WSSCL pada

Page 400: Scanned by CamScanner - ULM

394 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

pembelajaran adalah kapabilitas mahasiswa untuk mampu mengembangkan makna dan praktik

(Koschmann, 2002). WSSCL memerlukan sistem pembuatan makna-dalam konteks kegiatan

bersama, dan cara-cara di mana praktik-praktik ini dimediasi melalui media yang dirancang dengan

sistem kolaborasi (Dascalu et al., 2015). Ungkapan praktik pembuatan makna-dalam konteks

kegiatan bersama berkaitan erat dengan konsep pengetahuan konstruktivisme sosial (Mayer,

Moreno, Boire, & Vagge, 1999). Sosial-budaya memiliki perspektif dari pembelajaran kolaboratif

yang didukung oleh komputer merupakan suatu proses sosial yang riil di mana individu mengambil

tanggung jawab untuk membangun pemahaman dan pengetahuan mereka sendiri melalui interaksi

sosial (Veletsianos & Navarrete, 2012). Dari perspektif sosial budaya pembelajaran kolaboratif

yang didukung oleh komputer, mampu memberi otonomi yang tinggi untuk menentukan tujuan

kelompok, proses kelompok memantau, dan produk kelompok (Kuo, Walker, Schroder, & Belland,

2014).

WSSCL dalam pembelajaran merupakan pengembangan unggulan sistem pembelajaran on-line

yang telah dikembangkan TEP FIP UM. Mengingat sifat dari agen pebelajar yang tinggi dan

otonomi yang dapat dilakukan pada WSSCL, maka dapat menjadi pengembangan yang strategis

dalam mengembangkan pengalaman belajar yang bermakna (Hadjerrouit, 2010). Tidak semua

mahasiswa dapat memanfaatkan potensi dalam lingkungan belajar online (Phielix, Prins, &

Kirschner, 2010). Kondisi belajar pada jurusan TEP FIP UM termasuk menjadi masalah dalam

peningkatan disonansi kognitif, waktu yang lebih lama untuk mencapai konsensus bersama, dan

tingkat partisipasi rendah. Mahasiswa yang tidak siap menggunakan SAPROL karena cenderung

untuk diri sendiri. Permasalahan kolaborasi secara signifikan menghambat hasil belajar (Shumar &

Renninger, 2002). Hal ini terkait dengan frustrasi mahasiswa dalam lingkungan pembelajaran

kolaboratif secara online (Capdeferro & Romero, 2012). Masalah yang nampak dalam di

permukaan adalah mahasiswa tidak memiliki komitmen kolaborasi dikarenakan sikap

ketidaksenangan dan persaingan. Masalah lain adalah ketegangan pembagian kerja, kesulitan

komunikasi dan masalah negosiasi.

Penelitian kesiapan pebelajar dalam penggunaan kolaborasi berbasis web telah banyak dilakukan di

berbagai bidang, seperti kesiapan pebelajar di bidang pendidikan (Annamalai et al., 2016), kesiapan

psikologis untuk mengubah kebiasaan hidup dalam terapi medis (Carey, Purnine, Maisto, & Carey,

1999), kesiapan aktivitas fisik dalam latihan fisik (Marcus, Rakowski, & Rossi, 1992), dan kesiapan

masyarakat dalam sosial budaya (Beebe, 2001).

Kesiapan pebelajar menggunakan web untuk kolaborasi secara teori masih menimbulkan beberapa

perbedaan pendapat. Konsep '' kesiapan '' dalam berbagai studi memiliki makna umum kemampuan

sampai batas tertentu, yang merupakan tingkat kesiapan psikologis atau fisik untuk beberapa

tindakan, baik untuk mengubah perilaku pribadi atau untuk meningkatkan kualifikasi pribadi untuk

Page 401: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 395

memenuhi beberapa kriteria yang telah ditetapkan (Liaw, Chen, & Huang, 2008). Studi kesiapan

mengenai masalah kolaborasi juga telah dilakukan di bidang komunikasi sosial (Nardi, 2005) dan

pengembangan kolaborasi laboratorium (Olson, Teasley, Bietz, & Cogburn, 2002). Terdapat

peneliti yang mengusulkan beberapa kriteria untuk mengevaluasi para negara dari kesiapan

komunikatif, yang meliputi tiga dimensi dari koneksi, yaitu afinitas, komitmen, dan

perhatian. Penilaian tiga dimensi ini menyediakan seperangkat pedoman untuk mempromosikan

kesiapan komunikasi antar kolaborator (Nardi, 2005). Demikian pula, sebagian yang lain

menunjukkan bahwa ada beberapa faktor penentu keberhasilan pembangunan kolaborasi, termasuk

kesiapan kolaborasi, kesiapan infrastruktur kolaboratif, dan kesiapan teknologi kolaboratif (Olson et

al., 2002). Mereka telah lanjut mengidentifikasi beberapa komponen kesiapan kolaborasi, yang

motivasi untuk berkolaborasi, prinsip-prinsip bersama kolaborasi, dan pengalaman dengan spesifik

elemen kolaborasi. Kriteria ini digunakan untuk mengevaluasi kondisi kesiapan web kolaborasi.

Faktor yang berhubungan dengan kesiapan pebelajar Universitas Negeri Malang telah dipelajari

dalam konteks pembelajaran online. Kesiapan pebelajar untuk terlibat dalam kolaborasi online

dapat diidentifikasi dengan kemampuan untuk terlibat dalam dialog secara online, literasi teknologi

yang baik dan keterampilan pembelajaran kooperatif (Johnson & Johnson, 1999; Kemery, 1999;

Toh, So, Seow, Chen, & Looi, 2013). Selain itu, Vonderwell (2004) berpendapat bahwa

mempromosikan kesiapan mahasiswa adalah penting untuk sukses pengalaman belajar

online. Mereka mengidentifikasi 'regulasi diri, motivasi, dan kesadaran perubahan peran dalam

konteks pembelajaran online sebagai indikator dari kesiapan untuk belajar online.

Beberapa penelitian menyelidiki kesiapan pebelajar secara online 'dengan mengidentifikasi struktur

internal dari instrumen yang diusulkan. Validasi diperlukan untuk melihat kesiapan untuk belajar

kuesioner online (Smith*, 2005; Smith, Murphy, & Mahoney, 2003).

Pengembangan web kolaborasi pada jurusan TEP telah menggunakan pendekatan pengembangan

skala yang luas. Skala pengembangan adalah pengembangan 1) keterampilan menggunakan

komputer (Afreen, 2014), 2) kemampuan belajar mandiri (Broadbent & Poon, 2015), 3)

Mengurangi ketergantungan belajar (Abulibdeh & Hassan, 2011), 4) penguatan belajar online

(Veletsianos & Navarrete, 2012) dan 4) keterampilan akademik (Tondeur, Devolder, & van Braak,

2016). Pendekatan pengembangan selanjutnya digunakan sebagai instrumen untuk melihat efek

kesiapan mahasiswa dalam belajar secara online pada pola partisipasi mereka. Secara khusus dilihat

dalam keaktifan diskusi online dengan pola asynchronous (H. K. Kim & Bateman, 2007). Instrumen

dalam mengukur kesiapan mahasiswa TEP dalam konteks pembelajaran online untuk menilai secara

online kesiapan pebelajar.

Page 402: Scanned by CamScanner - ULM

396 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Web-Supported System For Collaboration Learning (WSSCL) dalam SAPROL TEP FIP UM perlu

dideskripsikan bagaimana pembelajaran berbasis on-line mampu mendukung pembelajaran secara

makro. Bagian utama yang perlu dideskripsikan adalah 1) kajian konten pengembangan, 2) kajian

uji kelayakan dan 3) kajian empiris pada WSSCL. Sehingga dapat memastikan kapabilitas

mahasiswa TEP FIP UM dalam mengunakan dan mengelola WSSCL di pembelajaran online yang

telah dirancang oleh UM. Kajian terfokus pada dasar deskriptif informasi pelaksanaan WSSCL.

METODE

Penelitian dilakukan dengan mendiskripsikan WSSCL. Secara keseluruhan model deskripsi yang

memiliki karakteristik yang dominan pada pengembangan berbasis web.

Metode dalam mengkaji web-supported system for collaboration learning memiliki fase-fase

pelaksanaan antara lain : 1). Analisa pebelajar; 2). Mengkaji Rancangan Evaluasi yang

dipersiapakan dalam WSSCL 3) Mengkaji Fase Serentak yang meliputi desain, pengembangan

sistem, ujicoba dan Implementasi dan evaluasi Formatif.; 4). Mengkaji implementasi pembelajaran

menggunakan WSSCL;

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1. Pengumpulan hasil belajar mahasiswa

Kegiatan WSSCL memiliki pengaruh terhadap kapabilitas yang berbentuk kapasitas dan

kepemilikan etos kerja tinggi. Mahasiswa secara umum berhasil mengumpulkan hasil belajar sesuai

jadwal yang ditentukan. Mahasiswa yang mengikuti matakuliah secara individu mampu

menunjukkan kinerja optimal dengan mengumpulkan sesuai jadwal yang ditentukan. Perbedaan

waktu pengumpulan hasil belajar mahasiswa tidak lagi dalam rentang minggu. Perbedaan

pengumpulan memiliki rentang hari. Mahasiswa telah menyadari pentingnya menunjukkan hasil

Page 403: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 397

belajar dalam proses pembelajaran. Penggunaan WSSCL memberikan kapabilitas untuk meregulasi

dirinya sendiri (Broadbent & Poon, 2015).

Mahasiswa memiliki kemampuan mengembangkan konten pemebalajaran sebagai tugas secara

orisinil. Pada data video yang diunggah mahasiswa dalam sistem pembelajaran blended, mahasiswa

meng-upload hasil belajar berupa proses pengembangan web pribadi. Mahasiswa secara runtut

mampu memaparkan, konten web hingga keunggulan web site melalui video. Hal ini menunjukkan

mahasiswa memiliki kesiapan berkolaborasi melalui aktifitas berbagi video secara akademik

(Gernsbacher, 2015; Guo, Kim, & Rubin, 2014).

Gambar 2. Kemampuan berbagi konten pembelajaran

Kondisi mahasiswa telah memiliki metafora konten yang tinggi. Mahasiswa mampu

memperkenalkan conceptual distance antara pebelajar lain dengan materi objek atau subjek dan

mendorong pemikiran-pemikiran orisinil. Contoh kegiatan adalah, dengan meminta mahasiswa

berpikir web site sebagai sebuah sumber belajar buku pada umumnya, sehingga mahasiswa

sebenarnya tengah menyediakan sebuah struktur metafora, di mana mahasiswa dapat berpikir

tentang sesuatu dengan cara yang baru. Sebaliknya, dosen dapat meminta mahasiswa untuk berpikir

tentang topik baru, konten web pembelajaran, dengan cara yang lama, yakni dengan meminta

mereka membandingkan melalui Learning Manajemen System. Aktivitas metafora kemudian

tergantung pada dan berasal dari pengetahuan mahasiswa, membantu mereka menghubungkan

gagasan-gagasan dari materi yang familiar pada gagasan-gagasan dari materi yang baru, atau

melihat materi yang familiar dari perspektif yang baru (Caione, Guido, Martella, Paiano, &

Pandurino, 2016). Strategi-strategi sinektik yang kemudian menggunakan aktivitas metaforis

dirancang untuk menyediakan sebuah susunan yang darinya mahasiswa dapat membebaskan diri

Page 404: Scanned by CamScanner - ULM

398 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

mereka dalam mengembangkan imajinasi dan wawasan dalam setiap aktivitas sehari-hari. Tiga jenis

analogi digunakan sebagai basis latihan sinektik: analogi personal (personal analogy), analogi

langsung (direct analogy), dan konflik padat (compressed conflict) (Joyce, 2015).

Gambar 3. Pemberian pengetahuan baru melalui pembelajaran on-line

Hakikat analogi personal yang telah tercapai dalam mahasiswa adalah pada keterlibatan secara

empatik. Analogi personal mengharuskan lepasnya identitas diri sendiri (keakuan) menuju ruang

atau objek lain (Publish) (Joyce, 2015). Antara dosen dengan mahasiswa atau mehasiswa dengan

mahasiswa tidak lagi memiliki jarak. Menurunnya jarak secara konseptual tercipta oleh hilangnya

diri atau identitas seseorang (mahasiswa) menjadi wujud kemampuan berbagi atau berkolaborasi

aktif. Mahasiswa lebih kreatif dan inovatif membuat analogi tersebut. Empat tingkat keterlibatan

dalam analogi personal pada pengembangan web site pribadi sesuai dengan tahapan

1. Deskripsi Mahasiswa pertama terhadap fakta fakta. Mahasiswa tersebut menceritakan web

site yang terkenal, tetapi tidak menghadirkan cara baru dalam memandang objek dan tidak

menunjukkan keterlibatan empatik..

2. Identifikasi Mahasiswa pertama terhadap emosi. Mahasiswa tersebut menceritakan emosi-

emosi umum, tetapi tidak menghadirkan wawasan-wawasan baru yaitu Mahasiswa merasa mampu

mengembangkan webs ite pribadi".

3. Identifikasi empatik terhadap makhluk hidup. Mahasiswa mengidentifikasi secara emosional

dan kinestetik subjek analogi yaitu Mahasiswa memberikan ekspresi pada saat pengembangan video

hasil belajar sehingga mengundang empati mahasiswa lainnya.

4. Identifikasi empatik terhadap perangkat. Level ini mengharuskan komitmen penuh.

Mahasiswa tersebut melihat dirinya sendiri sebagai objek dan mencoba mengeksplorasi masalah:

Mahasiswa mampu merasakan terbantu dengan perangkat-perangkat pembelajaran disekitarnya baik

berupa software dan hardware.

Page 405: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 399

KESIMPULAN

Web-Supported System for Collaboration Learning (WSSCL) dalam SAPROL TEP FIP UM

merupakan pendukung life based learning khususnya dalam pengembangan kapabilitas mahasiswa

dalam berkolaborasi. Konten pengembangan yang dikonstruksi dosen dan mahasiswa saling

bersinergis. kelayakan dan bukti empiris pada WSSCL dapat mengukur dan memastikan kesiapan

pebelajar (Smith et al., 2003). dengan WSSCL dalam kurikulum yang dirancang oleh UM. Kajian

terfokus pada dasar deskriptif informasi pelaksanaan WSSC. Penyiapan sistem WSSCL untuk

mewadahi tindakan kolaborasi seperti sikap mahasiswa terhadap kolaborasi, keterampilan

berkolaborasi, berbagi pengalaman sebelumnya, dan jaringan sosial. Sebagai akibat wajar,

Kesenjangan yang dirasakan terutama terletak pada rendahnya kesiapan pembelajaran dalam

kegiatan kolaborasi melalui komputer (Kemery, 1999). Meskipun penelitian telah dilaksanakan,

mungkin perlu melihat kembali pentingnya faktor kolaborasi dalam proses pembelajaran hingga

hasil. Mengingat bahwa beberapa studi penelitian sampai saat ini hanya mampu mengevaluasi

kesiapan atau menyarankan pendekatan sistematis untuk menilai keadaan mahasiswa. Konteks

WSSCL, diperlukan mahasiswa dalam Kurikulum pembelajaran di berbagai universitas. oleh karena

itu, Pengembangan WSSCL diperlukan untuk: 1) Pengembangan aplikasi literatur, 2)

Pengembangan dan implementasi kongkrit teknologi yang mendukung pembelajaran. Penelitian ini

membantu menjembatani kesenjangan dalam memahami nuansa kolaborasi dan memberikan

dengan memberikan panduan praktis untuk mengukur kesiapan mahasiswa. Yang pada akhirnya

meningkatkan proses dan hasil belajar mahasiswa

Daftar Pustaka

Abulibdeh, E. S., & Hassan, S. S. S. (2011). E-learning interactions, information technology self

efficacy and student achievement at the University of Sharjah, UAE. Australasian Journal of

Educational Technology, 27(6).

Afreen, R. (2014). B ring your own device (BYOD) in higher education: opportunities and

challenges. International Journal of Emerging Trends & Technology in Computer Science, 3(1),

233–236.

Annamalai, N., Tan, K. E., & Abdullah, A. (2016). Teaching Presence in an Online Collaborative

Learning Environment via Facebook. Pertanika Journal of Social Sciences & Humanities, 24(1).

Beebe, J. (2001). Rapid assessment process: An introduction. AltaMira Press.

Birt, J., & Cowling, M. A. (2016). Mixed reality in higher education: Pedagogy before technology.

Page 406: Scanned by CamScanner - ULM

400 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Broadbent, J., & Poon, W. L. (2015). Self-regulated learning strategies & academic achievement in

online higher education learning environments: A systematic review. The Internet and Higher

Education, 27, 1–13.

Caione, A., Guido, A. L., Martella, A., Paiano, R., & Pandurino, A. (2016). Knowledge base

support for dynamic information system management. Information Systems and E-Business

Management, 14(3), 533–576.

Capdeferro, N., & Romero, M. (2012). Are online learners frustrated with collaborative learning

experiences? The International Review of Research in Open and Distributed Learning, 13(2), 26–

44.

Carey, K. B., Purnine, D. M., Maisto, S. A., & Carey, M. P. (1999). Assessing readiness to change

substance abuse: A critical review of instruments. Clinical Psychology: Science and Practice, 6(3),

245–266.

Coffield, F. (2000). The necessity of informal learning (Vol. 4). Policy press.

Dascalu, M.-I., Bodea, C.-N., Moldoveanu, A., Mohora, A., Lytras, M., & de Pablos, P. O. (2015).

A recommender agent based on learning styles for better virtual collaborative learning experiences.

Computers in Human Behavior, 45, 243–253.

Deutsch, M., Coleman, P. T., & Marcus, E. C. (2011). The handbook of conflict resolution: Theory

and practice. John Wiley & Sons.

Farah, M., Ireson, G., & Richards, R. (2016). A Content, Pedagogy and Technology [CPT]

Approach to TPACK. Imperial Journal of Interdisciplinary Research, 2(12).

Gernsbacher, M. A. (2015). Video captions benefit everyone. Policy Insights from the Behavioral

and Brain Sciences, 2(1), 195–202.

Guo, P. J., Kim, J., & Rubin, R. (2014). How video production affects student engagement: An

empirical study of mooc videos. In Proceedings of the first ACM conference on Learning@ scale

conference (pp. 41–50). ACM.

Hadjerrouit, S. (2010). A conceptual framework for using and evaluating web-based learning

resources in school education.

He, W., & Yang, L. (2016). Using wikis in team collaboration: A media capability perspective.

Information & Management, 53(7), 846–856.

Higgins, S. (2016). New (and Old) Technologies for Learning: Innovation and Educational Growth.

Johnson, D. W., & Johnson, R. T. (1999). Making cooperative learning work. Theory into Practice,

38(2), 67–73.

Joyce, B. R. (2015). Models of teaching (Ninth edition). Boston: Pearson.

Kemery, E. R. (1999). Developing on-line collaboration. Web-Based Learning and Teaching

Technologies: Opportunities and Challenges, 227–245.

Page 407: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 401

Kim, H. K., & Bateman, B. (2007). Student characteristics and participation patterns in online

discussion. In Society for Information Technology & Teacher Education International Conference

(Vol. 2007, pp. 2381–2387).

Kim, L. (1998). Crisis construction and organizational learning: Capability building in catching-up

at Hyundai Motor. Organization Science, 9(4), 506–521.

Koschmann, T. (2002). Dewey’s contribution to the foundations of CSCL research. In Proceedings

of the Conference on Computer Support for Collaborative Learning: Foundations for a CSCL

Community (pp. 17–22). International Society of the Learning Sciences.

Kuo, Y.-C., Walker, A. E., Schroder, K. E., & Belland, B. R. (2014). Interaction, Internet self-

efficacy, and self-regulated learning as predictors of student satisfaction in online education

courses. The Internet and Higher Education, 20, 35–50.

Liaw, S.-S., Chen, G.-D., & Huang, H.-M. (2008). Users’ attitudes toward Web-based collaborative

learning systems for knowledge management. Computers & Education, 50(3), 950–961.

Luppicini, R. (2005). A systems definition of educational technology in society. Educational

Technology & Society, 8(3), 103–109.

Marcus, B. H., Rakowski, W., & Rossi, J. S. (1992). Assessing motivational readiness and decision

making for exercise. Health Psychology, 11(4), 257.

Mayer, R. E., Moreno, R., Boire, M., & Vagge, S. (1999). Maximizing constructivist learning from

multimedia communications by minimizing cognitive load. Journal of Educational Psychology,

91(4), 638.

Nardi, B. A. (2005). Beyond bandwidth: Dimensions of connection in interpersonal

communication. Computer Supported Cooperative Work (CSCW), 14(2), 91–130.

Olson, G. M., Teasley, S., Bietz, M. J., & Cogburn, D. L. (2002). Collaboratories to support

distributed science: the example of international HIV/AIDS research. In Proceedings of the 2002

annual research conference of the South African institute of computer scientists and information

technologists on enablement through technology (pp. 44–51). South African Institute for Computer

Scientists and Information Technologists.

Phielix, C., Prins, F. J., & Kirschner, P. A. (2010). Awareness of group performance in a CSCL-

environment: Effects of peer feedback and reflection. Computers in Human Behavior, 26(2), 151–

161.

Shumar, W., & Renninger, K. A. (2002). Introduction: On conceptualizing community. Building

Virtual Communities, 1–19.

Page 408: Scanned by CamScanner - ULM

402 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Smith*, P. J. (2005). Learning preferences and readiness for online learning. Educational

Psychology, 25(1), 3–12.

Smith, P. J., Murphy, K. L., & Mahoney, S. E. (2003). Towards identifying factors underlying

readiness for online learning: An exploratory study. Distance Education, 24(1), 57–67.

Toh, Y., So, H.-J., Seow, P., Chen, W., & Looi, C.-K. (2013). Seamless learning in the mobile age:

A theoretical and methodological discussion on using cooperative inquiry to study digital kids on-

the-move. Learning, Media and Technology, 38(3), 301–318.

Tondeur, J., Devolder, A., & van Braak, J. (2016). Examining Scaffolding Support in a Computer-

Based Learning Environment for Elementary School Learners. International Journal of Academic

Research in Education, 2(1).

Veletsianos, G., & Navarrete, C. (2012). Online social networks as formal learning environments:

Learner experiences and activities. The International Review of Research in Open and Distributed

Learning, 13(1), 144–166.

Yeung, A. K. (1999). Organizational learning capability. Oxford University Press on Demand.

Page 409: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 403

PENGEMBANGAN BAHAN AJAR DALAM RANGKA MEWUJUDKAN PEMBELAJARAN YANG BERKUALITAS

Agus Wedi

Email: [email protected]

Program Studi Teknologi Pendidikan – Universitas Negeri Malang

ABSTRAK

Di antara standar pokok yang menjadi acuan dalam penyediaan pendidikan di seluruh wilayah

negara Republik Indonesia adalah standar isi materi pembelajaran. Isi/konten pembelajaran (materi

pembelajaran) harus distandarisasi dan dijamin yang menghasilkan pembelajaran yang berkualitas,

sehingga siswa dapat mencapai kompetensi yang diharapkan. Pertanyaannya adalah apakah guru

memiliki kesempatan berperan dalam pengembangan materi pembelajaran? Jika iya, bagaimana

seharusnya pengembangan dilakukan. Pengembangan materi pembelajaran sangat penting (urgent)

dilakukan dengan sebaik-baiknya. Jika tidak, maka bisa menjadi masalah yang serius dalam upaya

mencapai kompetensi belajar siswa. Dalam konteks ini, karakteristik jenis materi dalam

pembelajaran merupakan aspek penting yang harus dipahami oleh guru. Fenomena yang terjadi

selama acara ini, sebenarnya masih banyak guru yang tidak mengerti sifat dan konstruksi konten

yang akan dipelajari siswa. Makalah ini berusaha untuk menjelaskan jenis bahan ajar dan panduan

pengembangannya dalam upaya mewujudkan penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran yang

berkualitas.

Kata Kunci: Jenis materi, pengembangan pembelajaran

PRELIMINARY

Quality instruction depends on student motivation and creativity of teachers and learning materials

are delivered and how its development. As a teacher of teachers are required to master the teaching

materials are taught and skilled in teaching it. In the process of teaching and learning, mastery of

the subject matter and how to deliver a very essential requirement. To be able to master the subject

matter, the teacher must first need to understand the types of subject matter.

The phenomenon shows that not all teachers have an understanding of how the characteristics of the

subject matter as well as the construction of learning materials developed and prepared. As a result,

Page 410: Scanned by CamScanner - ULM

404 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

not only will have difficulty in teaching it but also learners will encounter difficulty in mastering the

material, even to achieve the expected high learning competency.

As a consequence of the publication of the Law of the Republic of Indonesia number 20 of 2003 on

National Education System and Government Regulation (PP) number 19 of 2005 on National

Education Standards (SNP), the Government, in this case the Minister of National Education, has

issued various regulations to implementation education in the entire territory of the Republic of

Indonesia (NKRI) can meet a certain benchmark or standard. The standards are: (1) the content

standards, (2) competency standards, (3) a standard process, (4) the standard of teachers and, (5) the

standard of facilities and infrastructure, (6) management standards, (7) financing standards, and (8)

the assessment standards of education.

According DPSMA (2008), in achieving content standards (SI), which contains standards of

competence (SK) and basic competence (KD) to be achieved by learners after through learning in a

ladder and a certain time, so that in turn achieve competency standards (SKL) after completing the

learning in the educational unit completely certain. So that learners can achieve SK, KD, and SKL

expected, need to be supported by a variety of other standards, including standard processes and

standards teachers and education personnel.

To help learners achieve a wide range of expected competencies, performance or the learning

process needs to be arranged so interactive, inspiring, fun, challenging, motivating the students to

actively participate and provide ample opportunity for innovation, creativity, and independence in

accordance with their talents, interests, and physical and psychological development of learners.

Analysis on the standards of competence and basic competences is also a very important part in

supporting the whole component of the learning materials (Sunardi & Sujadi, 2016).

Instruction/Learning message design is an important stage to be done by the teacher, in the early

stages of designing the message begins by analyzing learners (pretest), set goals, define tasks /

teaching materials and describe the material and conceptual framework, it is that the teaching and

learning can take place effectively, By designing learning materials in advance, will allow teachers

in implementing the learning process in the classroom. Message design represents the final

conclusions from the data processing market share and design concepts. This conclusion reflects the

main theme of a thorough and represent the design submitted to be accepted or is the main point of

a design for the intended audience (http://rdrizaldimtp.blogspot.co.id/2013/03/desain-pesan-

pembelajaran-strategi .html

Based on the Regulation of the Minister of Education and Culture No. 103 of 2014 on Education in

Primary and Secondary Education, Pedagogic core Competency Standards Subject Teachers

develop curriculum include competence related to the subject of teaching. Sub competence include:

(1) Understanding the principles of curriculum development, (2) determine the learning objectives

Page 411: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 405

of teaching, (3) determine the learning experiences appropriate to achieve the learning objectives of

teaching, (4) Choose the learning materials of teaching related to the experience learning and

learning objectives, (5) Reforming learning materials in strict accordance with the approach chosen

and the characteristics of learners, and (6) Develop indicators and assessment instruments.

In the teacher's professional learning activities are required to have the ability to organize learning

environment as well as possible. In most of the implementation of learning in areas of the country to

put the learning resources such as textbooks or module as the primary learning materials used by

teachers to achieve the learning objectives outlined in the curriculum. The material in textbooks or

instructional materials typically have been developed at the central level or at least in the area,

while teachers in schools only use granted directly.

In the Government Regulation No. 19 of 2005 Article 20, hinted that teachers are expected to

develop learning materials, which are then reinforced by Education Minister Regulation number 41

of 2007 on the Standard Process, which among other things regulates the planning of the learning

process that requires the educator in the educational unit for develop a lesson plan. One element in

the RPP is a source of learning. Thus, teachers are expected to develop learning materials as a

source of learning and teaching reference.

In addition, the attachment of the National Education Minister Regulation number 16 of 2007 on

Academic Qualification Standards and Competencies Teacher, also arranged on various

competencies that must be owned by educators, both core competencies and competency subjects.

For teachers in the educational unit level High School, both in the demands of pedagogical

competence and professional competence, related to the ability of teachers in developing learning

resources and learning materials.

Therefore, besides being the implementation of Ministerial Regulation No. 25 of 2006 on the

Details Duty Work Unit in the of Higher primary and secondary education directorate that details

tasks Sub-Learning - Directorate of PSMA (which among other things stated that carrying out the

preparation of materials preparation of guidelines and procedures for the implementation of

learning, including the preparation of guidelines for implementation curriculum) deemed necessary

to develop a guide for high school teachers so that they can be used as a reference in the

development of learning materials.

Defintition of Learning Materials

The success of the overall learning is highly dependent on the success of teachers to design learning

materials. Learning Materials is essentially an integral part of the syllabus, namely planning,

predictions and projections on what will be done during the learning activities.

Page 412: Scanned by CamScanner - ULM

406 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Broadly speaking, it can be argued that the learning materials (instructional materials) are the

knowledge, skills, and attitudes that must be mastered learners in order to meet the competency

standards set by the Ministry of National Education (DPSMA, 2008).

Learning material occupies a very important position of the overall curriculum, which must be

prepared for the implementation of learning to achieve the target. The targets must match the

Competence Standard and Basic Competence to be achieved by learners. That is, the material

specified for the learning activities should be material that really support the achievement of

standards of competence and basic competence, and achievement indicators.

Learning materials have been selected as optimal as possible to help learners to reach the standard

of competence and basic competences. Things that need to be considered with regard to the

selection of instructional materials is the type, scope, sequence, and treatment (treatment) to the

learning materials.

So that teachers can make the preparation of efficient and effective, required to understand the

various aspects related to the development of learning materials, both with regard to the nature,

function, principles, and procedures development of materials and measure the effectiveness of

these preparations.

Types of Learning Materials

The types of learning materials can be classified in the following table.

The types

of

learning

materials

Definition and Example

Facts Everything that bewujud reality and truth, include the names of objects, historical

events, symbols, place names, names of people, names of parts or components of an

object, and so on. Examples in the subjects of History: Events around the

Proclamation of August 17, 1945 and the establishment of the Government of

Indonesia.

Concept Any tangible new understandings that could arise as a result of thought, including

the definition, understanding, special character, the essence, the core/content and so

on. For example, in Biology: Tropical rain forests in Indonesia as a source of

germplasm, Businesses Indonesia biodiversity conservation in-situ and ex-situ, and

so forth.

Principle The main form of things, staple, and has the most important position, covering

Page 413: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 407

proposition, formula, adage, postulate, paradigms, theorems, and the relationship

between concepts that describe the implications of causation. For example, in the

subjects of Physics: Newton's laws of motion, Newton's Laws 1, 2 Newton's Laws,

Newton's Laws 3, Static Friction and Kinetic Friction, and so forth.

Procedure A systematic steps or sequentially in doing an activity and chronology system. For

example, in the subjects of ICT: Steps to access the internet, tricks and strategies of

use Web Browser and Search Engine, and so forth.

Attitude

or Value

Is the result of learning aspects of attitudes, for example the value of honesty,

compassion, mutual help, enthusiasm and interest in learning and work, and so on.

For example, in the subjects of Geography: The use of the environment and

sustainable development, namely environmental sense, components of the

ecosystem, the environment as a resource, sustainable development.

DPSMA (2008)

Principles of Material Development

Principles as basis in determining the learning material is suitability (relevance), constancy

(consistency), and adequacy (adequacy).

a. Relevance means conformity. Learning materials should be relevant to the achievement of

standards of competence and achievement of basic competence. If the expected ability of learners

mastered the form of memorizing facts, then the learning material that is taught must be a fact, not a

concept or principle or any other kind of material. For example: the basic competencies that must be

mastered learner is "Explain the law of demand and the law of supply and underlying assumptions"

(Economy class X semester of 1) the selection of instructional materials submitted should

"Reference to the law of supply and demand" (material concept) and not Drawing demand and

supply curves of a list of transactions (material procedure).

b. Consistency means constancy. If the basic competencies that must be mastered, there are four

kinds of learners, the materials must be taught also have to include four kinds. For example the

basic competencies that must be mastered learners Operation Algebra numbers of the root (Math

Class X Semester 1) which includes addition, subtraction, multiplication, and division, then the

material taught should also include engineering as addition, subtraction, multiplication, and

rationalizing fractional form root.

c. Adequacy means adequacy. The material taught should be sufficient to help learners master the

basic competencies that are taught. The material should not be too little, and should not be too

Page 414: Scanned by CamScanner - ULM

408 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

much. If too little then less help to achieve the standards of competence and basic competences.

Conversely, if too much will result in a delay in the achievement of the curriculum (overall

achievement SK and KD).

As for the development of learning materials teachers must be able to identify Learning Materials to

consider things such as: (a) the potential of learners; (B) the relevance of the characteristics of the

area; (C) the level of development of physical, intellectual, emotional, social, and spiritual learners;

(D) the usefulness for learners; (E) the structure of science; (F) timeliness, depth and breadth of

learning materials; (G) relevance to learners' needs and demands of the environment; and (h) the

allocation of time (http://iinapriliyani.blogspot.co.id/2012/09/pengembangan-materi-

pembelajaran.html).

Principles of Learning Materials Packaging

The subject matter is essentially message we want to convey to the students to master. The message

needs to be understood by the students, because when not understood the message would not be

meaningful information. In order for the message you want convey meaningful as learning

materials.

Packaging materials and instructional messages can be done in two ways namely visual packaging

and packaging in printed form. Some technical considerations in presenting the content or subject

matter into learning materials are: (a) conformity with the goals to be achieved, (b) simplicity, (c)

the basic elements of the message, (d) organizing materials, and (e) show how to use.

Determination of Scope and Sequence of Learning Materials

1. Determination of the scope of learning materials

The order of presentation (sequencing) teaching materials is very important to determine the

sequence of study or teach. Without the proper order, if among some learning materials have a

relationship that is a prerequisite (prerequisite) will make it difficult for students to learn. For

example material number operations as addition, subtraction, multiplication, and division. Students

will have difficulty learning multiplication if the sum of the material has not been studied. Students

will have difficulty split if the material reduction has not been studied. Learning material that has

been determined the scope and depth can be sorted through two basic approaches, namely: a

procedural approach, and hierarchical. The procedural approach that procedural sequence learning

materials describe the steps in the order in accordance with the steps carrying out a task. Eg

measures calling, measures operate a video camera equipment. While the hierarchical approach

describes the sequence that is tiered from the bottom up or top down. Earlier material to be studied

first as a precondition for the next study material.

Page 415: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 409

In determining the scope or the scope of learning materials should pay attention to whether the

material is in the form of cognitive (facts, concepts, principles, procedures) affective, or

psychomotor aspects, because when it is implemented in the learning process so each type of

description of the material requires a strategy and media different learning.

Criteria for selection of teaching materials that will be developed in the system instructional and

underlie the determination of strategies of teaching and learning: (1) criteria for instructional

purposes, (2) the subject matter in order detailed, (3) are relevant to the needs of students, (4)

compliance with the conditions, (5 ) the subject matter contains aspects of ethics, (6) arranged in the

subject matter and scope of the systematic and logical sequence, (7) the subject matter derived from

standard source book, a personal expert teachers and society.

In addition to considering the kind of material must also consider the principles that should be used

to determine the scope of learning materials relating to the breadth and depth of the material.

Breadth of coverage means that the material describes how much material is put into a learning

materials. The depth of the material concerning the details of the concepts contained therein to be

learned by the learners.

For example, the process of photosynthesis can be taught in elementary, junior high and high

school, also in college, but the breadth and depth of each education level will vary. The higher the

level of education will be more extensive coverage aspects of the process of photosynthesis are

studied and the more detail every aspect also studied. In elementary and junior high chemical

aspects briefly mentioned without indicating the chemical reaction. In high school chemical

reactions began to be studied in universities and the chemical reaction of photosynthesis has been

deepened.

Adequacy or inadequacy of the range of material is also noteworthy. Inadequate coverage material

aspects of a learning material will greatly help achieve the mastery of basic competencies that have

been determined. For example, if the study is intended to provide the ability for learners in the field

of buying and selling, then the description of the material include (a) mastery of the concept of

purchasing, sales, profits and losses; (B) formula calculates profit and loss if known purchases and

sales; and (c) the implementation / application of the formula calculating profit and loss.

Coverage or scope of the material needs to be determined to know whether the material to be taught

too much, too little, or have inadequate resulting in conformity with the basic competencies to be

achieved.

Page 416: Scanned by CamScanner - ULM

410 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

2. Sequence of Learning Materials

The order of presentation is useful to determine the order of the learning process. Without the

proper order, if among some learning materials have a relationship that is a prerequisite

(prerequisite) will make it difficult for learners to learn. For example, material number operations as

addition, subtraction, multiplication, and division. Learners will have difficulty studying subtraction

sum if the material has not been studied. Learners will have difficulty doing multiplication division

if the material has not been studied.

Learning material that has been determined the scope and depth can be sorted through two basic

approaches, namely: procedural and hierarchical approach.

Procedural Approach

Procedural sequence learning materials describe the steps in the order in accordance with the steps

carrying out a task. Such as steps: the call, in operating the video camera equipment, how to install

the computer program, and so forth.

Example: Procedural Order (procedures); On the subjects of Information and Communication

Technology (ICT), students must achieve basic competency "Setting the peripherals on the

operating system (OS) computer". So that learners achieve it, must perform sequential steps ranging

from how to read images peripherals up to test its success.

The hierarchical approach

Hierarchical sequence learning materials describes the sequence that is tiered from the bottom up or

top down. Earlier material to be studied first as a precondition for the next study material. Example:

Order Hierarchical (tiered); About the story of the Income Statement in the Sale and Purchase.

So that learners are able to calculate the profit or loss in the buying and selling (application of the

formula / proposition), students must first learn the concepts / terms of profits, losses, sales,

purchasing, capital base (mastery of concepts). After that students need to learn the formula /

proposition calculate profit and loss (mastery proposition). Furthermore, learners apply the

proposition or principle of trading (mastery of the application of the proposition).

Determination Learning Resources

A variety of learning resources can be used to support specific learning materials. The

determination must still refer to any standard of competence and basic competences that has been

set. Several types of learning resources, among others, (a) books, (b) report the results of the

research, (c) journal (publication of research results and scientific thought), (d) a scientific

magazine, (e) assessment experts in the study, (f) the work of professional , (g) the book

Page 417: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 411

curriculum, (h) periodicals such as daily, weekly, and monthly, (i) internet sites, (j) multimedia

(TV, video, VCD, audio cassettes, etc.), (k) the environment ( natural, social, cultural arts,

engineering, industry, economy), (l) speakers.

Keep in mind that if a teacher is not appropriate to rely on one type of source as the only source of

learning. Learning Resources is a referral, meaning from a variety of learning resources that a

teacher should do analysis and collect the appropriate materials to be developed in the form of

teaching materials. In addition, learning activities is not an attempt to resolve the entire content of a

book, but to help learners achieve competence. Therefore, teachers should use a source of learning

and instructional materials are varied, for the development of teaching materials can be guided to

guide development of teaching materials issued by the Directorate of SMA.

Before packing the subject matter should be determined first goals to be achieved in the form of

interest in the form of behavioral changes of a general nature, as well as the behavior of the

indicators measured in the form of learning outcomes.

Simplicity. Simplicity packaging aims to facilitate student learning. Simplicity in the packaging of

this form of simplicity in presentation, communicative language and easy to grasp their meaning,

and more practical.

These design elements message

In each package there are elements of the image that should be easy to understand.

organizing materials

Study materials should be written in the parts to the whole. Each student completed studying the

particular unit immediately give feedback so that students master the material as a whole and

complete.

Instructions for use. In any form of packaging material must be accompanied by instructions on

how to use.

Principle of Packaging Learning/Instructional Materials

The subject matter is essentially message we want to convey to the students to master. The message

needs to be understood by the students, because when not understood the message would not be

meaningful information. In order for the message you want convey meaningful as learning

materials, there are a number of criteria that need to be noticed in them are as follows: (1) novelty,

meaning that a message will be meaningful if be new or cutting-edge, (2) proximity, meaning that

the message delivered must be in accordance with the student experience, (3) conflict, meaning that

Page 418: Scanned by CamScanner - ULM

412 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

messages are presented should be packaged in a way that stirs emotions, and (4) humor, meaning

that the message conveyed should be packed so displays funny impression.

Packaging materials and instructional messages can be done in two ways namely visual packaging

and packaging in printed form. Some technical considerations in presenting the content or subject

matter into learning materials which are: (a) conformity with the goals to be achieved, (b)

simplicity, (c) the basic elements of the message, (d) the organization of material, and (e) show how

to use.

STRATEGY OF IMPLEMENTATION LEARNING MATERIALS

Steps of Learning Materials Determination

1. Identification of the standards and basic competencies

Before determining the learning material first needs to identify aspects of the integrity of

competency to be learned or mastered learners. These aspects need to be determined, for each

standard and basic competencies require the kind of material of different learning activities. It

should be determined whether the standards and basic competencies that must be mastered learners

including cognitive, psychomotor or affective.

- Competence of Cognitive Domains if the competencies set includes knowledge,

comprehension, application, analysis, synthesis and evaluation.

- Competence of Psychomotor Domains if the competencies set includes initial motion, semi

routine, and routine.

- Competence of Affective Domains if the set includes the provision of a response, appreciation,

assessment, and internalization.

2. Identify the Types of Learning Materials

Identification is done with regard to the suitability of learning materials with the level of activity /

learning domains. The material is suitable for the cognitive behavior is determined by emphasizing

the intellectual aspects, such as knowledge, understanding, and thinking skills. Thus, the type of

material that is appropriate for the cognitive are facts, concepts, principles and procedures.

Learning materials appropriate to the affective domain is determined by the behavior which

emphasizes aspects of feelings and emotions, such as interests, attitudes, appreciation, and how

adjustment. Thus, the type of material that is suitable for the affective domain includes taste and

appreciation, such as giving a response, reception, internalization, and assessment.

Learning materials are suitable for psychomotor determined based behaviors that emphasize aspects

of motor skills. Thus, the type of material that is suitable for psychomotor consists of the initial

Page 419: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 413

motion, semi-routine and routine. For example handwriting, typing, swimming, operate a computer,

operate machinery, and so on.

The material to be covered to be identified accurately to the achievement of competence can be

measured. In addition, by identifying the types of material to be covered, then the teacher will get

accuracy in learning methodology. Therefore, any kind of learning materials requires strategy,

methods, media and evaluation system is different. For instance method or rote learning material

facts could use "mnemonics", "bridge of memory" (mnemonics), while learning method procedure

material by means of a "demonstration".

The easiest way to determine the type of learning material to be covered is by asking questions

about the basic competencies that must be mastered learners. With reference to the basic

competence, we will know whether we are teaching the material must be facts, concepts, principles,

procedures, aspects of attitude, or motor skills.

Here are the guiding questions to identify the types of material:

Is the basic competencies that must be mastered learners be given the name of an object, a symbol

or an event? If the answer is "yes" then the learning material to be taught is the "fact". Example:

The name and symbols of chemical substances, the names of human organs.

Is the basic competencies that must be mastered learners in the form of the ability to express a

definition, write something characteristic, classify or categorize some examples of objects in

accordance with a definition? If the answer is "yes" means that the material to be taught is the

"concept". Example: A teacher of Biology showed some herbs, then classified the students were

asked to or grouping which includes fibers and rooted plants which are rooted riding.

Is the basic competencies that must be mastered learners be explained or perform the steps or

procedures in sequence or create something? If "yes" then the material to be taught is "procedure".

Example:

• A teacher Citizenship Education educate how the process of drafting measures to overcome the

problems in achieving equality of Human Rights.

• A teacher of Physics explains how to make artificial magnets. A chemistry teacher teaches how to

make soap.

Is the basic competencies that must be mastered learners determine the relationship between some

concepts, or apply the relationship between the various concepts? If the answer is "yes", it means

learning material should be taught included in the category of "principle". Example:

• A teacher of Mathematics explains how to calculate the area of a triangle using trigonometry rules.

Page 420: Scanned by CamScanner - ULM

414 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Formula for the area of a triangle is half of a multiplication of two adjacent sides times the sine of

the angle which is enclosed.

• A teacher of Economics explained the relationship between supply and demand of goods traffic in

the economy. If demand rises while the supply remains, then the price will rise.

Is the basic competencies that must be mastered learners chose to do or not to do based on the

consideration of good and bad, like it or not, beautiful is not beautiful? If the answer is "Yes", then

the learning material to be taught in the form of aspects of attitudes or values. Example: Budi chose

not to obey traffic signs rather than late to school even has teached the importance of obeying traffic

regulations.

Is the basic competencies that must be mastered learners such acts physically? If the answer is

"Yes", then the learning material to be taught is the motor aspect. Example: In the high jump

lessons, learners are expected to jump over the bar as high as 125 centimeters. Learning material to

be taught is the technique of high jump.

In order to be clearer in identifying learning materials are included cognitive (facts, concepts,

principles, and procedures), affective and psychomotor aspects, presented the following flowchart

(flowchart) measures the determination of learning materials. In addition to describing the steps that

show you how to think, the diagram below also shows the keywords to determine the type or types

of learning materials in relation to the formulation of basic competencies that must be mastered

learners.

Delivery Sequencing Strategy

1. Strategy of simultaneous delivery order

If teachers have to submit more than one learning material, then according to the order submission

strategies simultaneously, the overall material presented simultaneously, then deepened one by one

(global method). For example, a teacher of chemistry to submit items of chemical bond that consists

of several types of bonds, the stability of the element, lewis structure, ionic and covalent bonding,

covalent compounds polar and non-polar, metal bond. First of all the teacher presents a general

overview as well as an outline, then any kind of bond is presented in depth.

2. Strategy successive delivery order

If the teacher should deliver learning materials more than one, then the strategy according to the

order of successive delivery, a material one by one presented in depth and then sequentially presents

the next material in depth anyway. The same example, a teacher of chemistry to submit items of

chemical bonds consisting of several types of bonds, the stability of the element, structure, ionic and

Page 421: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 415

covalent bonding, covalent compounds polar and non-polar, metal bond. After the first bond types

are presented in depth, and then present the following types are ionic, covalent and so on.

Strategy of Materials Types Delivery

Broadly speaking, the measures deliver learning materials is very dependent on the type of material

that will be presented. Measures and strategies outlined in this guide is still in the stage of minimal.

Development, submitted to the creativity of teachers, to the extent not violate the rules that have

been described in previous chapters.

Delivery Strategy of Facts

If the teacher should deliver the learning material facts types (object names, place names, historical

events, the person's name, emblem or symbol name, etc.). Step-by-step instructional material

educates the kinds of "facts":

1) Present the facts

2) Provide assistance for the material to be memorized

3) Give the issues recall (review)

4) Provide feedback

5) Give the test.

Example: Strategies delivery of materials Physics Class X of Refractive Index Light.

Step 1:

Presentation Facts

Serve the material of the refractive index of the medium, ie for diamond and glass. If a medium has

a dense molecular structure will have a large refractive index, and vice versa. Use verbal, verbal and

image or a slide presentation.

Step 2:

Give Help

Help memorize refractive index difference between diamond and glass. To help memorize, can use

a couple glass association with a small (focus on the letter k and c), whereas for intan taken the

opposite values, is big. Thus, the diamond has a refractive index greater than glass.

Page 422: Scanned by CamScanner - ULM

416 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Step 3:

Problems Review

Give matters relating to the implementation of the density of the molecular makeup.

Step 4:

Provide Feedback

Give feedback or information whether the answer is right or wrong learners. If properly provide

confirmation, if any provide the correction or rectification.

Step 5:

Test

Give tests to assess whether learners really have to understand the difference of refractive index

medium. Of test item should be different from the examples of cases that have been given at the

time of submission of the facts.

Strategy in Delivery the concept

Learning material in the form of concepts is a matter of definition or understanding. The purpose of

studying the concept is to make the students understand, can show the characteristics, elements,

differentiate, compare, generalize, and so on.

Measures to teach or convey the kind of learning material "concept":

1) Serve Concepts

2) Provide assistance (in the form of core content, the fundamental characteristics, examples and are

not examples)

3) Provide practice questions and tasks

4) Provide feedback

5) Give the test.

Example: Presentation of the concept of the crime of theft

Step 1:

Presentation of concept

In accordance with article 362 of Criminal Code, "Whoever intentionally taking the property of

others unlawfully with the intent to have punished with imprisonment of at least years."

Step 2:

To provide assistance

The first students are helped to understand the concept with the sentence itself, does not have to

memorize the verbal to the concept being studied (in this case Article theft). Both show the essential

elements of the concept of the crime of theft, namely: (a) take the goods (economic value); (B) the

item belonging to someone else; (C) unlawfully (without the permission of the owner); (D) with

Page 423: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 417

intent owned (taking money for snacks). Positive example. Wawan night the yard of Ali by

destroying the gate (intentionally) taking (illegal) building materials such as concrete iron (the

property of others), then sold, the money to buy rice (with a view owned). Examples of negative /

false (not an example but similar). Badu Gani borrow bikes are not returned but are sold, the money

to buy food. From a negative example or a bad example this, elements of "deliberately take the

property of another person with the intent possessed" are met, but there is one element that is not

met, that is "against the law", for "borrowing". So taking the permission of the owner of the goods.

Therefore, the act is not a criminal offense of theft, but evasion.

Step 3:

Exercise

First, the students were asked to memorize the sentence itself (memorized paraphrasing) Then the

students were asked to provide examples of theft cases other than that exemplified by the teacher to

know the students understanding of the material the crime of theft.

Step 4:

Feedback

Give feedback or information on whether the learner is right or wrong in giving an example. If

properly provide confirmation, if any provide the correction or rectification.

Step 5:

Test

Give tests to assess whether learners really understand the material a criminal offense of theft. Of

test item should be different from the examples of cases that have been given at the time of

submission of concepts and exercises to avoid the disciples only memorized but not understood.

The strategy to deliver principle learning material

Includes learning materials are the principle types of proposition, formula, law (law), postulates,

theorems, etc. Measures to teach or convey the kind of learning material "principle"

1) Give the principle

2) Provide assistance in the form of an example of the application of the principle

3) Provide practice questions

4) Provide feedback

5) Give the test.

Page 424: Scanned by CamScanner - ULM

418 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Example: The strategy to deliver material value Trigonometry Functions

in various Quadrant Angle.

Step 1:

Presentation Material Principle

Serve with verbal material, writing, pictures or slide presentation. Show me the value of

trigonometric functions in each quadrant through comparison with an acute angle, in order to obtain

a sign of positive or negative number for each function sine, cosine and tangent in each quadrant.

Step 2:

Give Help

Provide assistance to the learner to apply the formulas given. To memorize the signs numbers of

each value Trig functions in each quadrant, can also be given assistance to memorize. (Remember!

Help significant delivery of materials, such as using certain way of thinking to help memorize. This

form of delivery significantly, using the bridge memory, mnemonics, or mnemonics, associations

pairs, and so on). For example, to memorize the sign of the value of the trigonometric functions

used way of thinking: what, by whom, using materials, tools, techniques, and what kind of

environment? Based on the framework, help remember the signs of the value of the trigonometric

functions using mnemonics, bridge memory (mnemonics).

Step 3:

Problems Review

Give matters relating to the implementation of the determination of the value of Trig functions in

different quadrants

Step 4:

Provide Feedback

Give feedback or information whether the answer is right or wrong learners. If properly provide

confirmation, if any provide the correction or rectification.

Step 5:

Test

Give tests to assess whether learners really understand the value of Trig functions in different

quadrants. Of test item should be different from the examples of cases that have been given at the

time of submission of facts and exercises to avoid the disciples only memorized but did not grasp.

Delivery Strategy of Procedures

Page 425: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 419

The purpose is to learn the procedures so that learners can perform the procedure or practice, not

just understood or memorized. Includes learning materials these types of procedures are the steps in

a task sequence. Such as steps turn on the television, turn on and turn off the computer.

Measures to teach procedures include:

1) The present procedure

2) the provision of assistance by way of demonstrating how to implement the procedure

3) provide training (practice)

4) to provide feedback

5) gives the test.

For example, ICT Subject: Procedure installing UTP cable to the RJ-45 connector on the local

network.

Step 1:

Present procedure

Serve steps or procedures to install UTP cable with RJ-45 connectors using an image or a slide

presentation.

Step 2:

Provide assistance

You can help to make the students familiar about the color of the cable, the order of the appropriate

connection type, how to hold the RJ-45 connector and use crimping pliers.

Step 3:

Provide training

Assign students to practice to practice with or without crimping for one type of connection, such as

straight.

Step 4: Provide feedback

Tell what do learners in practice is correct or incorrect. You can confirm if it is true, and correction

if any.

Step 5:

Provide test

Give tests install cables with different connection types, such as crossover.

The strategy to deliver the material aspects of attitude (affective)

Including learning material aspects of attitude (affective) according to Bloom (1978) is giving a

response, acceptance of a value, internalization, and assessment. Some strategies for teaching

aspects of attitudes among other things: the creation of conditions, model or example,

Page 426: Scanned by CamScanner - ULM

420 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

demonstrations, simulations, delivery doctrine or dogma. Example: on the subjects of Sociology

class X provides examples of the role of values and norms in society.

Strategy Creation of Conditions: In order to have a normative attitude in public life, in front of the

booth mounted track to line up in the form of an iron fence that can only be passed one by one in

turn. Modeling strategy or Example: Expressed example or model someone who does not have a

normative attitude, someone who does not want an orderly in line.

Learning Strategies of Learning Materials

Viewed from the side of teachers, treatment (treatment) of the learning material in the form of

activity or instruction, teachers convey to students (teaching activity). Conversely, in terms of the

learners, the treatment of the learning material in the form of study or interact with learning

materials (learning activity) (Ministry of National Education, DPSMA, 2008).

In particular in the study, the activities of learners can be grouped into memorize, use, find and

select. The following explanations and examples are minimal. Teachers are welcome to develop

customized with more sophisticated methods owned:

Memorize

There are two types of memorization, ie memorizing verbal (remember verbatim) and memorize

paraphrase (remember paraphrase). Memorizing verbal was to memorize exactly as it is. There are

learning materials that had to be memorized exactly as it is, for example, the person's name, place

name, agent name, emblem, historical events, names of parts or components of an object, and so on.

Conversely there is also a learning material that does not have to memorize exactly as you are, but

can be expressed in the language or the sentence itself (memorized paraphrasing). What is

important students know or understand, for example, understand the core content of the 1945

Constitution, the definition of shares, the argument of Archimedes, etc.

Use / apply

Learning materials after memorized or understood then used or applied. So in the learning process

of students need to be able to use, implement or apply materials that have been studied. The use of

facts or data is to be used as evidence in the context of decision making. For example, based on the

results of excavations it was discovered the presence of gold jewelry that has been finished, semi-

finished, jewelry has been damaged, furnace, material gold bullion in the former colonial heritage

Wonoboyo village, Klaten, Central Java. By using these facts, the historians concluded that the

location is the former site of the goldsmiths.

Page 427: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 421

The use of materials concept is to draw up a proposition, the proposition, or formula. As is known,

the proposition or formula is the relationship between several concepts. For example, in the trade "If

the sale is greater than the capital, there will be a gain or profit". Concepts in the sale and purchase

includes sales, cost of capital, profit, profit, and the concept of "bigger".

In addition, possession of a concept used to generalize -or- and differentiate. For example, a child

who has understood the concept of the "clock is a timepiece", will be able to generalize, however,

that vary in size and shape, it can be concluded that the object was an hour.

The application or use of the principle is to resolve issues in other cases. For example, a learner who

has been able to calculate the area of a rectangle after studying the formulas, can determine the area

of a rectangle anywhere, no matter how big the length and width of the rectangle to be calculated

extent. The use of the material the procedure is to be done or practiced. A learner who has mastered

and practiced riding a motorcycle, the motorcycle can ride.

Use of the procedure (psychomotor) is to perform a task or perform an act. For example, learners

can ride a motorcycle after mastering the steps or procedures riding a motorcycle.

Use of the material is behaving according to the value attitude or attitudes that have been studied.

For example, learners economize water in the shower and wash after getting a lesson about the

importance of being frugal.

Find

The discovery here is to find ways to solve new problems using facts, concepts, principles and

procedures that have been studied. Find, is the result of high-level learning. Gagne (1987) refer to it

as the application of cognitive strategies. For example, after studying the law of communicating

vessels of a learner can make sprinklers equipment hanging pots using PVC pipes. Another

example, after studying the properties of wind that can rotate the propeller learners can create

prototypes, models or mockups wells windmills to get ground water

Choose

Selecting here concerns the affective aspects or attitudes. The purpose of selecting here is to choose

to do or not do something. For example, choose to read novels instead of reading the scientific

literature. Choosing obey traffic rules but late to school or pick abuse but not too late, and so forth

(http://iinapriliyani.blogspot.co.id/2012/09/pengembangan-materi-pembelajaran.html)

Page 428: Scanned by CamScanner - ULM

422 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

LEARNING MATERIALS DEVELOPMENT ROLE IN THE CREATION OF LEARNING

QUALITY

Learning that educates be described as learning that provide meaningful experiences for students.

Learning to maximize student potential to grow. Learning that educates only be realized if they are

designed well, not least the material being studied, has been adapted to the principles of the

development of learning materials. With the material resulting from the development of good, and

students interact with the learning materials, directly or indirectly, will realize the learning activities

that educate.

Special or operational principle is a scientific professional development, where the overall material

and activities that are within the competence of the charge and the indicator must be correct and

verifiable scientifically.

Especially with the development of curriculum changes that apply in Indonesia, the of participants

will explore and Utilize the philosophical and educational principles fundamental to the effective

creation of learning materials to the elementary classroom. The criteria for developing

manipulatives as well as various techniques and principals in creating and using Reviews These

materials will be presented. Thematic units and Directly integrated curricula that will enhance,

enrich and supplement any content Also the area will be developed (Capangpanga, 2012).

CONCLUSION

Basically, the teacher is curriculum developers and project learning at the instructional level

(classes), because the teacher was also instrumental in the development of learning content.

Although during this teacher has been using a book that was given by the government, at least in

using teaching materials that teachers can know and understand the procedure as well as the

development of learning materials of construction. Thus, conscious, teachers educate the students of

the subject matter by using the existing books continue to act based on an understanding of the

construction and arrangement of the material development of true learning. Moreover, if the teacher

is not only to use the book as the only source of learning but sources other messages that can be

selected and developed for the benefit of student learning. This is where the importance of

procurement teachers about the characteristics of the type of material the students will learn well.

Bibliography

Capangpanga, R. S. 2012. Different Types of Instructional Materials.

https://www.myncta.org/products/developing-instructional-materials-for-the-classroom. Accessed

on 08-09-2016.

Page 429: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 423

Ministry of National Education (DPSMA). 2008. Learning Materials Development Guide. Jakarta:

Directorate General of Primary and Secondary Education, Directorate of High School. Jakarta:

Directorate General of Higher primary and secondary education directorate, DPSMA.

Regulation of the Minister of Education and Culture No. 103 of 2014 on Education in Primary and

Secondary Education.

Sunardi & Sujadi, I. 2016. Pedagogic Material: Supporting Learning Resources PLPG. Jakarta:

Ministry of Education and Culture, Directorate General of Teachers and Education Personnel.

http://bandono.web.id/2009/04/02/pengembangan-bahan-ajar.php. (date accessed 12-08-2016).

http://cerpenik.blogspot.co.id/2011/11/pengembangan-kompetensi-pedagogik-dan-profesional.html.

(date accessed 12-08-2016).

http://iinapriliyani.blogspot.co.id/2012/09/pengembangan-materi-pembelajaran.html. (date

accessed 12-09-2016).

http://rdrizaldimtp.blogspot.co.id/2013/03/desain-pesan-pembelajaran-strategi.html. (date accessed

12-09-2016).

Page 430: Scanned by CamScanner - ULM

424 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

TEKNOLOGI PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN ABAD 21 Haryono

[email protected]

Pascasarjana Universitas Negeri Semarang

ABSTRAK

Teknologi pendidikan adalah studi dan praktik secara beretika untuk memfasilitasi belajar dan

peningkatan kinerja melalui penciptaan, pemanfaatan, dan pengelolaan aneka sumber dan teknologi

secara tepat. Dalam kontek masyarakat abad 21 yang merupakan masyarakat berpengetahuan

dengan mega kompetisi dalam setiap segi kehidupan, untuk memperoleh peluang partisipasi di

dalamnya menuntut kompetensi yang lebih dari sebatas kemampuan dasar berupa membaca,

menulis, dan berhitung. Kehidupan masyakat global menuntut warganya untuk menguasai

kompetensi abad 21, yaitu berpikir kritis dan kemampuan memecahkan masalah, komunikasi,

kolaboratif, kreatif dan inovatif. Hal ini diperlukan untuk dapat berpartisipasi, memperoleh peluang

untuk bertahan dan terus eksis di dalamnya. Untuk menyiapkan manusia abad 21, diperlukan model

pembelajaran yang tidak saja bersifat deduktif tetapi juga induktif. Teknologi pendidikan hadir

berkontribusi mewujudkan model pembelajaran yang yang kondusif bagi berkembangnya

kemampuan dasar individu yang memungkinkan untuk berkembang dan mencipta diri secara

optimal.

Kata Kunci: teknologi pendidikan, kompetensi, pembelajaran abad 21

Pendahuluan

Perubahan sistem nilai dan pola kehidupan sebagai dampak laju perkembangan IPTEK dan proses

globalisasi, secara tidak langsung telah menuntut prasyarat kemampuan manusia untuk memperoleh

peluang partisipasi di dalamnya. Dalam konteks keterbukaan dunia, manusia hidup dalam

masyarakat mega kompetisi yang terus menerus mengejar kualitas dan keunggulan (Tilaar, 1999).

Masyarakat masa depan, masyarakat global menuntut manusia bercirikan kreatif kritis, fleksibel,

terbuka, inovatif, tangkas (“dexterity”), kompetitif, peka terhadap masalah, menguasai informasi,

mampu bekerja dalam “team work” lintas bidang, dan mampu beradaptasi terhadap perubahan

(Semiawan, 1998). Untuk memperoleh peluang partisipasi dalam masyarakat mega kompetisi,

dibutuhkan kemampuan mengubah tantangan dan atau hambatan menjadi peluang, suatu ketahan-

malangan atau Adversity Quotient (“AQ”) yang merupakan kerangka kerja konseptual baru dan

peralatan yang diperlukan untuk memahami dan mencapai kesuksesan tertentu (Stoltz, 2000).

Page 431: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 425

Peserta didik untuk menghadapi masyarakat pengetahuan, tidak cukup dibekali dengan kemampuan

membaca, menulis, dan berhitung atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Tree Rs” (reading,

writting, arithmetic), tetapi juga memerlukan kompetensi masyarakat global, yaitu komunikasi,

kreatif, berpikir kritis, dan kolaborasi yang selanjutnya dikenal dengan sebutan “Four Cs”

(communicators, creators, critical thingkers, and collaborators) (NEA, 2012).

Model pembelajaran yang dikembangkan dengan mengacu pada paradigma (lama) bahwa siswa

adalah individu yang belum dewasa, individu yang pasif sebagai objek dalam proses interaksi

belajar mengajar, dan menempatkan guru sebagai pusat kegiatan belajar mengajar (Zamroni, 2000),

tidak lagi memadai untuk menyiapkan sumber daya manusia abat 21, warga masyarakat global.

Model pembelajaran yang menekankan proses deduksi, proses transfer pengetahuan oleh guru

kepada siswa tidak mampu menjangkau percepatan perubahan yang terjadi. Penumpukan

pengangguran terdidik dan pembengkakan jumlah pengangur lulusan perguruan tinggi adalah salah

satu indikasi dari ketidakmampuan model pembelajaran yang menekankan proses transfer

pengetahuan dalam memenuhi tuntutan pasar tenaga kerja yang berkembang.

Pembelajaran dalam konteks mempersiapkan sumber daya manusia ke depan harus lebih mengacu

pada konsep belajar yang dicanangkan oleh Komisi UNESCO dalam wujud “the four pillars of

education” yaitu belajar untuk mengetahui (“learning to know”), belajar melakukan sesuatu

(“learning to do”), belajar hidup bersama sebagai dasar untuk berpartisipasi dan bekerjasama

dengan orang lain dalam keseluruhan aktivitas kehidupan manusia (“learning to life together”), dan

belajar menjadi dirinya (“learning to be”) (Delors, 1996 dalam Haryono, 2006). Hasil pembelajaran

yang terpenting adalah dimilikinya kekuatan dan kemampuan belajar yang tinggi untuk dapat

mendidik dan mengembangkan diri lebih lanjut, bukan saja diperolehnya sejumlah pengetahuan,

keterampilan, dan sikap tetapi yang lebih penting adalah pengembangan metakognisi, yaitu

bagaimana pengetahuan, keterampilan, dan sikap itu diperoleh (Schunk, 2012).

Dalam kerangka mempersiapkan manusia abad 21 yang hidup dalam nuansa masyarakat

pengetahuan dan mega kompetisi dengan gelombang perubahan yang sedemikian cepat, dibutuhkan

suatu model pembelajaran yang tidak saja bersifat deduktif tetapi juga induktif. Model

pembelajaran yang dibutuhkan adalah yang mampu menjamin peserta didik memiliki keterampilan

belajar dan berinovasi, keterampilan menggunakan teknologi dan media informasi, serta dapat

bekerja dan bertahan dengan menguasai sejumlah keterampilan untuk hidup (life skills).

Pembelajaran dengan pendekatan saintifik merupakan pilihan untuk mempersiapkan peserta didik

menjadi warga masyarakat global, masyarakat pengetahuan yang penuh dengan tantangan sekaligus

peluang. Melalui pendekatan pembelajaran saintifik yang menjadi satu paket kebijakan pendidikan,

Page 432: Scanned by CamScanner - ULM

426 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

yaitu Kurikulum 2013 adalah langkah strategis menyiapkan generasi emas bagi Indonesia di kancah

pergaulan dunia yang terbuka. Ada tiga konsep dasar yang dibenamkan dalam Kurikulum 2013,

yaitu keterampilan abad 21, pendekatan saintifik, dan penilaian autentik (Murti, 2013).

Terkait dengan upaya mencari dan mengembangkan model pembelajaran yang efektif untuk

mempersiapkan peserta didik menghadapi masyarakat global, teknologi pendidikan hadir

memberikan solusi. Teknologi pendidikan adalah studi dan praktik secara etis untuk memfasilitasi

pembelajaran dan meningkatkan kinerja melalui penciptaan, penggunaan, dan pengaturan proses

dan sumber daya teknologi secara tepat (Januszewski and Molenda, 2008). Teknologi pendidikan

merupakan terapan disiplin pengetahuan dengan suatu tujuan meningkatkan belajar, pembelajaran,

dan atau kinerja (Spector, 2016). Teknologi pendidikan sebagai disiplin ilmu terapan, berkembang

oleh adanya kebutuhan di lapangan yaitu kebutuhan untuk belajar secara lebih efektif, efisien, luas,

banyak, cepat, dan fungsional (Haryono, 2008).

Pertanyaan yang perlu didiskusikan lebih lanjut adalah bagaimana teknologi pendidikan berperan

dan berkontribusi dalam pengembangan model-model pembelajaran yang mampu membekali para

peserta didik dengan sejumlah kompetensi yang diperlukan dalam konteks masyarakat abad 21. Apa

yang dapat dikontribusikan oleh bidang teknologi pendidikan sebagai studi dan praktik dalam

mewujudkan kinerja pembelajaran yang mampu menyiapkan peserta didik memperoleh peluang

partisipasi di kancah masyarakat global yang penuh tantangan dan peluang tersebut.

Untuk mengawali bahan diskusi, berikut diuraikan sepintas perihal kompetensi abad 21,

pembelajaran untuk membekali pesrta didik dengan kompetensi abad 21, dan peran teknologi

pendidikan dalam mengembangkan pembelajaran yang konstruktif terhadap pencapaian kompetensi

abad 21. Selanjutnya lontaran ide yang masih sangat terbatas ini biarlah menjadi stimulan dan

menginspirasi kepada semua yang terpanggil untuk terus mengembangkan gagasan, mencari solusi

atas persoalan, dan beraksi membumikan teknologi pendidikan untuk kepentigan anak negeri.

Kompetensi Abad 21

Kompetensi lebih dari sekedar pengetahuan dan atau keterampilan, di dalamnya mencakup

kemampuan untuk memenuhi tuntutan yang kompleks, merepresentasi dan memobilisasi sumber

daya psikologis seperti keterampilan dan sikap khusus (Ontario, 2016). Antara kompetensi dan

keterampilan memang sering digunakan secara bersamaan, tetapi memiliki makna yang sangat

berbeda. Kompetensi menunjuk pada kemampuan dalam mengaplikasikan capaian pembelajaran

(learning outcomes) secara adekuat dalam konteks pendidikan, pekerjaan, personal atau

pengembangan profesional. Kompetensi tidak terbatas pada komponen kognitif seperti penggunaan

teori, konsep, dan atau pengetahuan, tetapi juga meliputi aspek-aspek fungsional keterampilan

teknis, atribut interpersonal, dan nilai etik. Semetara keterampilan – “skill” menunjuk pada

Page 433: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 427

kemampuan dalam menyelesaikan tugas dan atau memecahkan masalah. Betapapun kompetensi

merupakan konsep yang lebih luas dari sekadar keterampilan.

Seiring laju perubahan dan perkembangan yang terjadi pada era global yang telah jauh berbeda

dengan era dua puluh atau tiga puluh tahun yang lalu, tuntutan akan kompetensi manusia untuk bisa

hidup, bekerja, dan meraih peluang partisipasi di dalamnya, jauh lebih kompleks dan berkelas

tinggi. Pergeseran lapangan kerja dari model industri produksi ke arah ekonomi pengetahuan,

kebutuhan tenaga kerja mengalami transformasi dari pekerjaan rutin secara manual yang cukup

dengan keterampilan dan kemampuan kognitif rendah bergeser pada pekerjaan non rutin yang

memelukan keahlian berpikir (Trilling and Fabel, 2009). Ekonomi pengetahuan (knowledge

economy) berbasis teknologi dan tekoneksi secara global membutuhkan kompetensi yang sesuai

dengan tuntutan perubahan dan dinamika sosial yang tidak dapat diperkirakan (Ontario, 2016).

Pendidikan dan pembelajaran harus mampu mengotimalkan perkembangan kompetensi peserta

didik, menjamin nahwa perserta pada saatnya mampu hidup, bekerja, dan berpartisipasi dalam

masyarakat abad 21, masyarakat berpengetahuan, dan masyarakat ekonomi global.

Kompetensi abad 21 secara substantif dapat dirumuskan sebagai berikut.

Kompetensi abad 21 berhubungan dengan perkembangan ranah kognitif, interpersonal, dan

intrapersonal. Secara konvensional kompetensi kognitif yang meliputi berpikir kritis, analitis, dan

problem solving dapat diharapkan menjadi indikator kunci kesuksesan. Tetapi perubahan ekonomi,

teknologi, dan konteks sosial pada abad 21 menjadikan kompetensi interpersonal dan intrapersonal

lebih menentukan kesuksesan seseorang. Perusahaan (para pemilik pekerjaan) semakin menghargai

soft skill seperti teamwork dan leadership skills (Ontario, 2016). Keterampilan sosial seseorang

menjadi faktor penentu pekerjaan, soft skills yang dimiliki oleh orang muda berdampak pada

prospek pekerjaan di masa tuanya (Pellegrino and Hilton, 2012).

Kompetensi abad 21 memiliki manfaat yang terukur untuk beberapa area kehidupan. Konpetensi

kunci dapat diidentifikasi berdasarkan seberapa memberi kontribusi terhadap pencapaian

pendidikan, relasi, pekerjaan, kesehatan dan kesejahteraan. Kompetensi ini berhubungan dengan

berpikir kritis, komunikasi, kolaborasi, kreativitas dan inovasi. Berpikir kritis dalam hal ini

dideskripsikan sebagai kemampuan untuk merancang dan mengelola proyek, memecahkan masalah,

dan membuat keputusan secara efektif dengan memanfaatkan perangkat dan sumber yang

bervariasi. Berpikir kritis diperlukan untuk memperoleh, memproses, merasionalisasi, dan

mengkritisi berbagai informasi yang bertentangan untuk dipilih secara tepat. Komunikasi menunjuk

tidak hanya pada kemampuan berkomunikasi secara efektif baik secara oral dan tulis dengan

perangkat digital yang bervariasi, tetapi juga keterampilan dalam mendengarkan (listening skills).

Page 434: Scanned by CamScanner - ULM

428 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Kolaborasi yang dimaksud dalam hal ini adalah kemampuan untuk bekerja dalam tim, belajar dari

yang lain dan berkontribusi terhadap yang lain, menggunakan keterampilan jejaring sosial, dan

menunjukkan empati dalam berkerja. Kolaborasi diperlukan untuk mengembangkan kecerdasan

kolektif, mengkonstruk makna, dan mencipta konten personal. Kreativitas dideskripsikan sebagai

pengejaran atas gagasan, konsep, produk baru yang dibutuhkan oleh dunia. Inovasi merupakan

elemen atau unsur dari kreativitas dan sering dimaknai sebagai realisasi atas ide baru yang

selanjutnya mampu memberikan sumbangan berarti bagi kehidupan (Ontario, 2016).

Kompetensi pada ranah intrapersonal memberikan sumbangan yang berarti bagi kesejahteraan,

pengembangan karakter, dan kesuksesan seseorang. Kompetensi non akademik, kompetensi

intrapersonal seperti ketekunan (perseverance), ketabahan (grit), keuletan (tenacity), dan pola pikir

(mindset) memiliki hubungan yang kuat terhadap kapasitas individu dalam menghadapi tantangan

dan mencapai kesuksesan jangka panjang (Ontario, 2016).

Kompetensi berkenaan dengan metakognisi dan perkembangan pola pikir merupakan esensi

pencapaian kesuksesan di abad 21. Pemahaman tentang bagaimana orang belajar dan seberapa

dirinya mampu belajar, adalah hasil pendidikan dan pembelajaran yang penting dalam

menghantarkan seseorang untuk mencapai kesuksesan dalam hidupnya. Oleh karenanya belajar

tentang proses bagaiamana belajar perlu menjadi inti dan tujuan pendidikan abad 21 (Ontario,

2016). Metakognisi dapat dipahami sebagai kemampuan untuk memperoleh keterampilan,

pengetahuan, dan sikap yang diperlukan untuk keperluan hidupnya (Schunk, 2012).

Kompetensi berkenaan dengan kewarganegaraan lokal, global, dan digital meningkatkan

kemampuan individu dalam merespon secara konstruktif terhadap perubahan dan tantangan yang

dihadapi. Kompetensi kewarganegaraan (citizenship) adalah kompetensi personal dan sosial, melek

warganegara (civic literacy), kesadaran global, dan keterampilan lintas budaya. Kompetensi

kewarganegaraan merupakan pengetahuan global, sensitifitas dan respek terhadap budaya lain, aktif

terlibat dalam isu-isu kemanusian dan lingkungan, dan secara khusus mampu berkolaborasi secara

lintas budaya dan negara (Ontario 2016).

Kompetensi berkenaan dengan kreativitas dan inovasi menjadi unsur penting dalam aktivitas

kewirausahaan (entrepreunership). Kewirausahaan adalah proses penciptaan dan penerapan ide-ide

inovatif terkait dengan peluang ekonomi dan masalah sosial, melalui penciptaan usaha, peningkatan

dan pengembangan produk, atau memperbarui mode organisasi. Kompetensi kewirausahaaan

adalah kombinasi dari kompetensi interpersonal, intrapersonal, dan kognitif yang meliputi

kreativitas dan inovasi, kolaborasi, kerja tim, kepemimpinan, dan ketekunan (Ontario, 2016).

Rangkuman kerangka internasional kompetensi abad 21 yang dirumuskan oleh The Assesment and

Teaching of 21st Century Skills (ATC21S) Project, meliputi; (1) cara berpikir, terdiri atas

kreativitas dan inovasi, berpikir kritis, problem solving, dan membuat keputusan; (2) cara bekerja,

Page 435: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 429

terdiri atas komunikasi dan kolaborasi; (3) perangkat bekerja, terdiri atas literasi informasi, dan

literasi TIK; (4) hidup di dunia, terdiri atas kewarganegaraan lokal dan global, keterampilan hidup

dan karir (mencakup adaptif terhadap perubahan, mengelola tujuan dan waktu, menjadi pembelajar

mandiri, mengelola kegiatan/projek, bekerja efektif dalam tim, fleksibel, membimbing dan

memimpin orang lain), tanggung jawab secara personal dan sosial (Ontario, 2016). Sementara

Fullan and Scott (2014) mengidentifikasi kompetensi abad 21 ke dalam “The Six Cs”, yaitu; (1)

Character education, mencakup karakter jujur, pengaturan diri dan tanggung jawab, tekun, empati

untuk memberikan rasa aman dan kebermaknaan bagi orang lain, percaya diri, kepribadian yang

sehat dan sejahtera, keterampilan hidup dan karir. (2) Citizenship, mencakup aspek pengetahuan

global, sensitifitas dan respek terhadap budaya lain, aktif terlibat dalam kegiatan kemanusiaan dan

lingkungan. (3) Communication, mencakup kemampuan berkomunikasi secara efektif baik dalam

bentuk oral, tulis, dan pemanfaatan perangkat digital, serta keterampilan dalam mendengar. (4)

Critical thinking and problem solving, berpikir secara kritis dalam merancang dan mengelola

kegiatan (project), memecahkan masalah, dan membuat keputusan dengan memanfaatkan perangkat

digital dan sumber yang bervariasi. (5) Collaboration, mencakup kemampuan bekerja dalam tim,

belajar dari yang lain dan berkontrinbusi tehadap yang lain, keterampilan social networking, dan

empati terhadap perbedaan dalam bekerja. (6) Creativity and imagination, mencakup kompetensi

entrepeunership secara ekonomi dan sosial, memperhatikan dan mendorong lahirnya berbagai ide

baru, dan kepemimpinan.

Dalam konteks menyiapkan generasi menjadi warganegara masyarakat global, masayarakat

informasi, dan masyarakat berpengetahuan, NEA (2012) merekomendasikan tentang pentingnya

pengembangan “Four Cs” untuk melengkapi pelajaran inti (core subject) dari suatu program

pendidikan. Four Cs yang dimaksud adalah; (1) Critial thinking and problem solving, di dalamnya

mencakup kemampuan berargumen secara efektif, berpikir sistemik, membuat pembenaran dan

keputusan, dan memecahkan masalah. (2) Communication, mampu menyampaikan pikiran dan

gagasan secara efektif dalam bentuk oral, tulis, dan non verbal lainnya, terampil mendengar

(listening skills), mampu menggunakan perangkat komunikasi secara efektif dan fungsional,

mampu berkomunikasi dengan berbagai kalangan, berbagai tujuan, dan berbagai konteks budaya.

(3) Collaboration, kemampuan bekerja secara efektif dalam tim, fleksibel dan mau membantu

untuk berkompromi demi tercapainya tujuan bersama, dan mampu berbagi tanggung jawab dan

menghargai kontribusi dari anggota tim. (4) Creativity and Innovation, adalah kemampuan untuk

berpikir kreatif, bekerja secara kreatif dengan yang lain, mampu mengimplementasikan ide-ide

kreatif dalam praktik.

Page 436: Scanned by CamScanner - ULM

430 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Pembelajaran untuk Membelajarkan Kompetensi Abad 21

Pembelajaran adalah proses menjadikan orang belajar. Pembelajaran adalah suatu usaha yang

disengaja, bertujuan, dan terkendali agar orang lain belajar (Miarso, 2004), malakukan pengubahan

pengetahuan, keterampilan, strategi, keyakinan, sikap, dan perilaku (Schunk, 2012). Usaha

menjadikan orang lain belajar dapat dilakukan oleh seseorang atau tim yang memiliki kemampuan

dalam merancang, mengembangkan, memanfaatkan, mengelola, dan menilai proses dan sumber

belajar. Pembelajaran mengandung makna yang lebih dari pengajaran sebagaimana dipahami

sebagai penyajian bahan ajar. Belajar adalah suatu proses mental yang bersifat personal,

berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan untuk menghasilkan perubahan-perubahan

dalam kemampuan, sikap, keyakinan, pengetahuan, dan atau keterampilan (Spector, 2016). Hal ini

menunjukkan secara jelas bahwa belajar adalah suatu proses untuk menghasilkan sesuatu.

Membelajarkan kompetensi abad 21 kepada peserta didik adalah sebuah keniscayaan.

Pembelajaran yang dikembangterapkan pada abad 21 adalah pembelajaran yang mampu

mengembangkan kompetensi secara utuh, tidak saja membekali peserta didik dengan sejumlah core

subject sesuai peminatan, tetapi juga perlu membekali dengan kompetensi non akademik yang lebih

bersifat interpersonal dan intrapersonal. Pembelajaran yang dikembangkan harus mengarah pada

upaya memberdayakan peserta didik, yaitu mampu membantu pertumbuhan dan perkembangan

daya kekuatan untuk melakukan sesuatu (power to), membangun kerjasama (power with), dan

mengembangkan kekuatan dalam diri pribadi (power within). Pembelajaran harus dapat membantu

seseorang untuk dapat memiliki kemampuan berpikri, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi,

guna mengambil keputusan, memecahkan masalah, dan mengembangkan keterampilan tertentu

sesuai dengan kebutuhan. Hal ini diperlukan agar orang mampu mengambil tanggung jawab atas

kehidupannya, memberi inspirasi agar orang dapat mengembangkan perasaan harga diri dan

kesediaan untuk mengambil sikap, berani bersikap kritis terhadap dirinya, dan reflektif terhadap

tindakan-tindakannya. Di samping itu pembelajaran juga harus membantu seseorang untuk

membangun kemampuan bekerjasama dengan orang lain, solidaritas atas dasar komitmen pada

tujuan dan pengerttian bersama, memecahkan masalah bersama demi tercapainya kesejahteraan

bersama. Pembelajaran harus dapat menumbuhkembangkan suatu caring society, komunitas

persaudaraan yang memperhatikan kepentingan semua pihak. Selanjutnya pembelajaran juga harus

mampu berfungsi sebagai pemberdayaan kekuatan batin seseorang, mengembangkan potensi dalam

diri seseorang untuk menjadi kekuatan yang mampu menumbuhkan harga diri, kepercayaaan diri,

dan harapan akan masa depannya (Sastrapratedja, 2004).

Untuk mewujudkan model pembelajaran yang relevan dan kondusif untuk menyiapkan peserta

didik menjadi wargaegara masyarakat gobal, masyakatat informasi, dan masyarakat pengetahuan

abad 21, diperlukan langkah dan atau strategi sebagai berikut.

Page 437: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 431

Fokus pembelajaran pada praktik belajar lebih dalam (deeper learning) dan belajar kemitraan baru.

Belajar lebih dalam adalah proses dimana individu menjadi mampu mengambil apa yang dipelajari

dari satu situasi dan mengamplikasikannya pad situasi lain. Belajar lebih dalam melibatkan lintas

kompetensi kognitif, interpersonal, dan intrapersonal. Pembelajar adalah mitra bagi eserta didik

dalam proses belajar lebih dalam melalui proses eksplorasi, keterhubungan pada dunia nyata yang

lebih luas (Ontario, 2016).

Strategi pembelajaran mengaplikasikan strategi pedagogi yang mendukung praktik deeper learning

dan kemitraan baru. Untuk menyiapkan peserta didik mampu mencapai kesuksesan dalam

masyarakat pengetahuan dan ekonomi yang dinamis yang dicirikan dengan kompleksitas, tidak

terprediksi, keterhubungan global, perubahan yang sekaligus peluang, pembelajaran harus bergeser

dari model pembelajaran langsung ke arah model pembelajaran penemuan (inquiry based model).

Pembelajaran berbasis masalah merupakan salah satu strategi yang dapat dikembangkan,

pembelajar tidak hanya mempresentasikan informasi tetapi dalam jangka panjang juga menjadikan

peserta didik lebih terampil dalam pemecahan masalah (Ontario, 2016).

Pemanfaatan teknologi diarahkan pada upaya membantu peserta didik dalam mengembangkan

keterampilan teknologis sebagai bagian dari kompetensi abad 21. Pemanfaatan teknologi dalam

dimensi produk maupun proses diarahkan untuk meningkatkan keterlibatan peserta didik dalam

proses belajar dan peningkatan pecapaian prestasi. Teknologi memungkinkan individu oleh

memperoleh akses informasi (real-time data), memberikan simulasi tentang suatu objek

sebagaimana adanya (real world), dan peluang untuk terkoneksi dengan berbagai objek belajar

sesuai minat. Teknologi dapat membantu dalam asesmen perkembangan performansi peserta didik,

memfasilitasi proses komunikasi dan kolaborasi (Ontario, 2016).

Pendidikan informal dan belajar pengalaman berperan penting dalam mengmebangkan kompetensi

peserta didik. Artinya pembelajaran yang dikembangterapkan bagi peserta didik harus

mempertimbangkan pengalaman belajar yang diperoleh di luar kelas, dan perlu mengembangkan

berbagai aktivitas untuk memperkaya pengalaman belajar peserta didik di luar kelas (Ontario,

2016).

Assesmen dilakukan dengan pendekatan pedagogik transformatif. Assesmen yang dikembangkan

untuk mendukung keberhasilan proses pembelajaran berorientasi pada pencapaian kompetensi abad

21, adalah yang mampu menjangkau seluruh aspek capain pembelajaran(Ontario, 2016). Assesmen

autentik memungkinkan untuk mengkur capaian pembelajaran secara komprehensif, mulai dari

dimensi kognisi, keterampilan, hingga sikap dan sistem nilai, tidak hanya beorientasi pada produk

(capaian hasil) semata, tetapi juga dari dimensi proses pencapainya.

Page 438: Scanned by CamScanner - ULM

432 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Dukungan infrastruktur pembelajaran berperan penting dalam pencapaian komptensi abad 21.

Ruang fisik di mana dan kapan peserta didik melakukan proses belajar menjadi faktor pendukung

yang signifikan. Ruang fisik (physical space) mencakup aspek desain yang fleksibel, memfasilitasi

keterhubungan yang konstruktif, konfigurasi perpustakaan yang menjadi pusat belajar, dan desain

yang memudahkan berhunungan dengan dunia luar, dengan komunitas yang labih luas Ontario,

2016).

Dengan langkah dan atau strategi di atas, diharapkan dapat mewujudkan suatu model pembelajaran

yang mampu menjadikan peserta didik aktif belajar untuk membangun pengetahuan, keterampilan,

dan sikap sesuai tuntutan perubahan dan tantangan jaman. Keaktifan peserta didik dalam

pembelajaran dicirikan oleh aktif dalam berpikir – mind on dan aktif dalam berbuat – hand on

(Suparno, 2002). Kedua bentuk keaktifan ini saling terkait. Tindakan riil peserta didik dalam

pembelajaran adalah hasil keterlibatan berpikir terhadap objek belajar, pengalaman dari hasil

tindakan diolah dengan menggunakan kerangka pikir dan pengetahuan yang sudah dimiliki untuk

membangun sebuah pemahaman baru. Dengan demikian peserta didik mengembangkan

pengetahuan dan bahkan mengubah pengetahuan sebelumnya menjadi lebih baik, lebih lengkap,

dan lebih komprehensif. Lebih dari itu berangkat dan pengetahuan dan pemahaman barunya, peserta

didik melakukan pengolahan dan refleksi yang dapat melahirkan suatu tindakan lain sebagai

perwujudan dari keingintahuannya yang terus berlanjut. Proses aktif belajar yang ditumbuhkan

dalam pembelajaran merupakan proses yang tiada henti (Haryono, 2005).

Peran Teknologi Pendidikan

Teknologi pendidikan adalah studi dan praktik secara beretika untuk memfasilitasi belajar dan

peningkatan kinerja melalui penciptaan, pemanfaatan, dan pengelolaan aneka sumber dan teknologi

secara tepat (Januszewski and Molenda, 2008). Teknologi pendidikan merupakan bidang yang

berkepentingan dengan usaha memudahkan proses belajar dan peningkatan kinerja melalui

perancangan, pengembangan, pemroduksian, pendayagunaan, dan pengelolaan sumber dan

teknologi secara tepat. Teknologi pendidikan merupakan bidang ilmu terapan yang

mengintegrasikan secara sinergis beberapa disiplin ilmu dengan maksud memudahkan terjadinya

proses belajar, meningkatkan mutu pembelajaran, dan meningkatkan kinerja. Proses studi

(pengkajian) dan praktik dalam teknologi pendidikan harus dilakukan secara bertetika.

Teknologi pendidikan adalah proses bersistem dalam membantu memecahkan masalah belajar

manusia sepanjang hayat, di mana saja, kapan saja, dengan cara apa saja, dan oleh siapa saja

(Miarso, 2004). Masalah belajar utama yang sering menjadi kendala dalam pelaksanaan tugas

profesional pendidik adalah berkenaan dengan proses membelajarkan konsep abstrak, konsep yang

rumit/kompleks, peristiwa yang sudah lewat, pemahaman terhadap bahan yang diceramahkan,

memberikan pengalaman langsung dan pengalaman berinteraksi dengan objek yang terlalu besar

Page 439: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 433

atau kecil. Permasalahan belajar dalam konteks mikro ini dapat diatasi dengan menerapkan prinsip-

prinsip teknologi pendidikan, seperti pemanfaatan media yang relavan dalam proses pembelajaran,

pengembangan model pembelajaran yang tepat sesuai karakteristik peserta didik dan kompetensi

yang akan dicapai, dan pendayagunaan aneka sumber belajar yang tersedia. Pemecahan masalah

belajar yang terjadi di ruang-ruang kelas pembelajaran dapat dilakukan dengan menerapkan teori

dan praktik teknologi pendidikan (Haryono, 2008).

Dalam konteks membelajarkan kompetensi abad 21, peran teknologi pendidikan dapat

diwujudnyatakan dalam aplikasi fungsi penciptaan, pemanfaatan, dan pengelolaan sumber dan

teknologi untuk meningkatkan mutu pembelajaran dalam jangka pendek dan peningkatan kinerja

sebagai capaian pembelajaran jangka panjang. Untuk mengembangkan kompetensi abad 21

dibutuhkan model pembelajaran yang fokus pada belajar lebih dalam (deeper learning) dan

kemitraan baru (new partnership) dengan strategi pedagogi yang lebih luas, didukung dengan

pemanfaatan dan pengelolaan aneka sumber dan teknologi secara tepat dan fungsional. Ini semua

adalah tantangan yang sekaligus peluang bagi bidang teknologi pendidikan untuk menunjukkan

eksistensi dan peran strategisnya.

Terapan teknologi pendidikan berpotensi mendorong berkembangnya sistem pembelajaran yang

lebih inovatif, pendayagunaan produk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mendukung

aktivitas pembelajaran, dan berkembangnya pola pembelajaran yang bervariasi. Sistem

pembelajaran inovatif sebagai bentuk terapan teknologi pendidikan, telah berhasil

diciptakembangkan dan beberapa diantaranya dilembagakan dalam sistem pendidikan nasional.

Sistem pendidikan terbuka seperti SMP Terbuka, SMA Terbuka, Universitas Terbuka adalah bentuk

riil dari terapan teknologi pendidikan dalam inovasi pembelajaran yang telah melembaga dan

menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. Sistem pembelajaran jarak jauh, pembelajaran

berbasis web, e-learning adalah terapan teknologi pendidikan untuk memenuhi kebutuhan belajar

yang prospektif ke depan seiring laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama

dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi (Haryono, 2008).

Terkait dengan model pembelajaran untuk mengembangkan kompetensi abad 21, para teknolog

pendidikan ditantang untuk mampu menciptakembangkan berbagai rancangan pembelajaran yang

efektif bagi tercapainya suatu proses belajar yang mendalam dan terbangunnya kemitraan baru,

rancangan pembelajaran yang fungsional memberikan pengalaman pemecahan masalah,

mengembangkan kemampuan untuk berbuat, bekerja dengan orang lain, dan kekuatan batin peserta

didik. Berangkat dari rancangan pembelajaran yang dikembangkan, teknolog pendidikan harus juga

mampu mengembangkan dan meproduksi perangkat pembelajaran (bahan ajar, media, dan alat ukur

Page 440: Scanned by CamScanner - ULM

434 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

keberhasilannya) yang diperlukan. Setelah itu teknolog pendidikkan masih harus melakukan uji

kelayakan dan keefektivan atas produk yang berhasil diciptakembangkan. Jauh sebelum melakukan

perancangan, pengembangan, pemroduksian, dan penerapan suatu karya, teknolog pendidikan juga

harus melakukan pengkajian baik secara konseptual teoretik maupun praksis empirik lapangan.

Bidang teknologi pendidikan memiliki peran strategis dalam mewujudkan pembelajaran abad 21

yang yang harus mengembangkan kompetensi kognitif, interpersonal, dan intrapersonal, membekali

peserta didik dengan core subject yang kuat dilengkapi dengan kompetensi non akademik yang

sangat diperlukan dalam lapangan kerja pada era global, masyarakat informasi, dan masyarakat

pengetahuan. Kompetensi berpikir kritis dan pemecahan masalah, komunikasi, kolaborasi, kreatif

dan inovatif menjadi faktor determinan terhadap keberhasilan seeorang dalam kehidupan dan

perjalanan karirnya. Melalui fungsi penciptaan, pemanfaatan, dan pengelolaan aneka sumber dan

teknologi secara tepat, teknologi dapat berkontribusi secara bermakna dalam upaya mewujudkan

pembelajaran yang mampu mengembangkan kompetensi akademik dan non akademik sesuai

tuntutan perubahan.

Penutup

Kehadiran teknologi pendidikan adalah untuk memberikan solusi terhadap permasalahan belajar

manusia, lahir dan berkembang untuk berkontribusi pada uaya peningkatan mutu pembelajaran dan

peningkatan kinerja. Dalam kontek pembelajaran untuk menyiapkan warganegara pada masyarakat

global, masyarakat informasi, dan masyarakat pengetahuan, teknologi pendidikan mampu

berkontribusi melalui fungsi penciptaan, pemanfaatan, pengelolaan aneka sumber dan teknologi.

Eksistensi dan perkembangan teknologi pendidikan selanjutnya akan lebih banyak bergantung pada

seberapa para teknolog pendidikan yang mau dan mampu berinovasi dalam implementasi teknologi

pendidikan secara nyata untuk praksis pendidikan dan pembelajaran. Bidang teknologi pendidikan

memiliki peran strategis dalam upaya peningkatan mutu pembelajaran dan kinerja seiring

perkembangan jaman dan tuntutan perubahan.

Pustaka Acuan

Fullan, M. 2013. Great to Excellent: Launching the next stage of Ontario,s education agenda.

Diunduh Juni 2017 dari http://michaelfullan.ca/great-to-excellent-launching-the-next-stage-of-

ontarios-education-agenda/

Haryono. 2005. “Aplikasi Teori Belajar dalam Desain Pembelajaran”. Makalah. Diunduh Juni 2017

dari http://blog.unnes.ac.id/fransharyono.

Haryono. 2006. “Model Pembelajaran Berbasis Peningkatan Keterampilan Proses Sains”. Jurnal

Pendidikan Dasar. Vol. 7 No. 1 Maret 2006. Hal. 1-10. Diunduh Juni 2017 dari

http://blog.unnes.ac.id/fransharyono.

Page 441: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 435

Haryono. 2008. “Kesalahan Terapan Teknologi Pendidikan dalam Praksis Pembelajaran”. Makalah

Promosi Guru Besar Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Semarang (UNNES), Semarang, 26

Februari 2008. Diunduh Juni 2017 dari http://blog.unnes.ac.id/fransharyono.

Januszewski, Alan and Michael Molenda. 2008. Educational Technology: A Definition with

Commentary. New York: Taylor & Francis Group.

Murti, Kuntarti Eri. 2013. “Pendidikan Abad 21 dan Implementasinya pada Pembelajaran di SMK

untuk Paket Keahlian Desain Interior”. Artikel Kurikulum 2013 SMK. Diunduh Juni 2107 dari

http://p4tksb-jogja.com/index.php/more/topic/525-artikel-widyaswara.

NEA (National Education Association). 2012. Preparing 21st Century Students for a Global

Society: An Educator’s Giude to the “Four Cs”. Author: NEA. Diunduh September 2016 dari

www.nea.org/assets/docs/A-Guide-to-Four-Cs.pdf.

Ontario Ministry of Education. 2016. 21st Century Competencies: Towards defining 21st Century

Competencies for Ontario. Toronto: Author. Diunduh September 2016 dari

www.ksbe.edu/_assets/spi/pdfs/21_century_skills_full.pdf.

Pallegrino, J.W. and Margaret L. Hilton. 2102. Education for Life and Work: Developing

Transferable Knowledge and Skills in the 21st Century. Diunduh Juni 2017 dari

http://www.nap.edu/catalog.php?record_id=13398.

Sastrapratedja, M. 2004. “Apa dan Siapakah Manusia” dalam Widiastono, Tonny D. 2004.

Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Schunk, Dale H. 2012. Learning Theories: An Educational Pespective. (Alih Bahasa: Eva Hamidah,

Rahmat Fajar). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Semiawan, Conny R. 1998. Pendidikan Tinggi: Peningkatan Kemampuan Manusia Sepanjang

Hayat Seoptimal Mungkin. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.

Spector, J. Michael. 2016. Foundations of Educational Technology. New York: Routledge.

Stoltz, Paul G. 2000. Adversity Quotient, Mengubah Hambatan Menjadi Peluang. Alih Bahasa: T.

Hermaya. Jakarta: Grasindo.

Suparno, Paul., dkk. 2002. Reformasi Pendidikan: Sebuah Rekomendasi. Yogyakarta: Kanisius.

Tilaar, H. A. R. 1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21.

Magelang: Tera Indonesia.

Trilling, Bernie and Charles Fadel. 2009. 21st Century Skills: Learning for Life in Our Time. San

Francisco: Jossey-Bass.

Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing.

Page 442: Scanned by CamScanner - ULM

436 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN INTERAKTIF UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Moh. Iqbal Assyauqi, M. Pd

H. Ahmad Hifni, S.Pd.i, M.Pd

Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin

[email protected]

[email protected]

ABSTRAK

Pengembangan dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu: analisis kebutuhan, desain

pengembangan pembelajaran, pengembangan produk, produk awal, evaluasi, dan produk akhir.

Tahap analisis kebutuhan merupakan langkah awal dari pengembangan produk yaitu

mengumpulkan informasi yang relevan dengan produk yang akan dikembangkan. Tahap desain

pengembangan pembelajaran yaitu tahap menetapkan kompetensi, menyusun strategi pembelajaran,

mengembangkan materi pembelajaran, dan merencanakan bentuk penilaian. Tahap pengembangan

produk mencakup sub-tahapan, membuat flow chart, mengumpulkan bahan-bahan pendukung,

membuat story board, memproduksi produk, dan menampilkan bahan-bahan pendukung. Tahap

produk awal merupakan hasil pengembangan produk yang pertama. Tahap evaluasi adalah tahap

dimana produk awal dievaluasi yang terdiri dari lima sub-tahapan, yaitu evaluasi ahli media,

evaluasi ahli materi, uji coba perorangan (dua orang), uji coba kelompok kecil (enam orang), dan uji

coba lapangan (dua puluh lima orang). Tahap produk akhir merupakan tahap dimana produk yang

telah diujicobakan akan diproduksi dan siap disebarluaskan kepada masyarakat yang membutuhkan.

Data dikumpulkan melalui angket, observasi, dan wawancara. Data dari hasil observasi dan

wawancara dianalisis secara deskriptif kualitatif, sedangkan data yang diperoleh dari angket

dianalisis secara deskriptif kuantitatif.

Hasil pengembangan menunjukkan bahwa pada umumnya seluruh aspek dianggap baik oleh siswa

dengan rerata skor 3,88 dari rentang skor 1-5. Aspek instruksional memiliki rerata skor 3,91, aspek

isi 3,82, aspek tampilan 4,03, dan aspek pemrograman 3,77. Seluruh rerata pada aspek-aspek

tersebut tergolong pada kriteria baik.

Kata Kunci: Pengembangan, Media Pembelajaran Interaktif, Anak Berkebutuhan Khusus.

Page 443: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 437

PENDAHULUAN

Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat

belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan.

Dengan demikian pendidik (dosen, guru, instruktur dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan

keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna (Artistiana, 2013: 9).

Secara garis besar tugas dan tanggung jawab seorang guru adalah mengembangkan kecerdasan yang

ada dalam diri setiap anak didiknya. Kecerdasan ini dikembangkan agar anak didik dapat tumbuh

dan besar menjadi manusia yang cerdas dan siap menghadapi segala tantangan di masa depan.

Diantara kecerdasan yang perlu dikembangkan oleh guru adalah sebagai berikut :

Kecerdasan Intelektual

Kecerdasan Intelektual atau biasa disebut Intelligence Quotient (IQ) adalah kemampuan potensial

seseorang untuk mempelajari segala sesuatu dengan alat-alat berpikir. Kecerdasan intelektual ini

dapat diukur dari sisi kekuatan verbal dan logika seseorang.

Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional biasa disebut Emotional Quotient (EQ). Kecerdasan ini setidaknya terdiri

dari lima komponen pokok yaitu kesadaran diri, manajemen emosi, motivasi, empati dan mengatur

sebuah hubungan sosial. Kecerdasan ini juga dikembangkan pada sekolah-sekolah formal, namun

porsinya jauh dibawah kecerdasan Intelektual. Padahal, menurut beberapa penelitian dibidang

kecerdasan dan psikologi, termasuk menurut Daniel Goleman, bahwa kontribusi IQ bagi

keberhasilan seseorang hanya sekitar 20% dan sisanya yang 80% ditentukan oleh sederetan faktor

yang disebut sebagai kecerdasan emosional. Disinilah dibutuhkan seorang guru yang dapat

mengembangkan kecerdasan emosional murid-muridnya.

Kecerdasan Spritual

Kecerdasan spiritual yang biasa disebut sebagai Spiritual Quotient (SQ) adalah kecerdasan yang

mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri sehingga seseorang memiliki kemampuan

dan kepekaan dalam melihat makna yang ada dibalik sebuah kenyataan atau kejadian tertentu

(Azzet, 2014:19).

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam bidang pendidikan mengalami

kemajuan yang sangat pesat. Keadaan tersebut menuntut adanya perubahan yang besar dalam

sistem pendidikan di Indonesia. Perubahan yang diharapkan adalah pendidikan akan lebih

berorientasi kepada siswa, pilihan sumber belajar semakin banyak tersedia dan siswa dapat belajar

kapan saja dan di mana saja. Melalui TIK kita dapat meningkatkan mutu pendidikan, yaitu dengan

Page 444: Scanned by CamScanner - ULM

438 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

cara membuka lebar-lebar terhadap akses ilmu pengetahuan dan teknologi informasi dalam rangka

penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas dan menyenangkan (Rusman, dkk., 2012:5).

Perkembangan teknologi tersebut telah memberikan pengaruh yang besar bagi masyarakat, dalam

hal ini terutama siswa dan guru. Peranan TIK yang sedang berkembang saat ini dalam bidang

pendidikan adalah kemudahan dalam akses internet. Internet merupakan jaringan komputer yang

menghubungkan beberapa rangkaian komputer di seluruh dunia yang memiliki miliaran informasi,

baik dalam bentuk tulisan, tabel, grafik, gambar, animasi maupun video. Dampak yang ditimbulkan

dengan pemanfaatan internet dalam proses pembelajaran yaitu, guru-guru mengakui dengan adanya

internet telah merubah anak untuk menjadi lebih kritis, kreatif dan tidak hanya berpegang pada

materi pelajaran yang ada di buku teks (Sinaga dan Zainuddin, 2013:35).

Dalam proses pembelajaran seorang guru harus mempunyai perangkat pembelajaran yang telah

disusun secara matang, sehingga dapat membuat pembelajaran menjadi menyenangkan bagi peserta

didik, diantara perangkat tersebut adalah media pembelajaran. Media pembelajaran yang

dipergunakan dalam proses pembelajaran dapat berupa perangkat lunak seperti: Program Microsoft

Powerpoint, lembar transparansi, gambar, CD maupun perangkat keras seperti : OHP, LCD, VCD

Player, piranti demonstrasi ataupun piranti eksperimen.

Di dalam media pembelajaran terdapat bahan ajar yang menurut strukturnya terdapat tujuh

komponen, yaitu judul, petunjuk belajar, kompetensi dasar atau materi pokok, informasi

pendukung, latihan, tugas atau langkah kerja dan penilaian. Dan menurut bentuknya bahan ajar

tersebut dapat berupa bahan ajar interaktif (interactive teaching material) yakni kombinasi dari dua

atau lebih media (audio, teks, grafiks, gambar, animasi dan video) yang oleh penggunanya

dimanipulasi atau diberi perlakuan untuk mengendalikan suatu perintah dan/atau perilaku alami dari

suatu presentasi (prastowo, 2014: 41).

Keberhasilan seorang guru dalam menyampaikan suatu materi pelajaran, tidak hanya dipengaruhi

oleh kemampuannya (kompetensi guru) dalam menguasai materi yang akan disampaikan, tetapi ada

faktor-faktor lain yang harus dikuasainya sehingga ia mampu menyampaikan materi secara

profesional dan efektif. Seorang guru harus memiliki kemampuan merancang dan

mengimplementasikan berbagai model pembelajaran yang dianggap cocok dengan materi

pembelajaran, termasuk di dalamnya memanfaatkan sumber dan media pembelajaran untuk

menjamin efektivitas pembelajaran (Sumarmi, 2015:3)

Untuk memahami anak tunagrahita atau terbelakang mental ada baiknya memahami terlebih dahulu

konsep Mental Age (MA), Mental age adalah kemampuan mental yang dimiliki oleh seorang anak

pada usia tertentu. Sebagai contoh, anak yang mempunyai usia enam tahun akan mempunyai

kemampuan yang sepadan dengan kemampuan anak usia enam tahun pada umumnya. Artinya anak

yang berumur enam tahun akan memiliki MA enam tahun. Jika seorang anak memiliki MA lebih

Page 445: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 439

tinggi dari umurnya (Cronology Age), maka anak tersebut memiliki kemampuan mental atau

kecerdasan di atas rata-rata. Sebaliknya jika MA seorang anak lebih rendah daripada umurnya,

maka anak tersebut memiliki kemampan kecerdasan dibawah rata-ata. Anak tunagrahita selalu

memiliki MA yang lebih rendah daripada CA secara jelas. Oleh karena itu, MA yang sedikit saja

kurangnya dari CA tidak termasuk tunagrahita. MA dipandang sebagai indeks dari perkembangan

kognitif seorang anak. Dari IQ tersebut dibagi ke dalam tiga kelompok yaitu anak tunagrahita

ringan, anak tunagrahita sedang dan anak tunagrahita berat (Somantri, 2013: 103).

Dalam penelitian ini, peneliti bermaksud mengembangkan bahan ajar berupa media pembelajaran

interaktif dari program Microsoft PowerPoint yang ditunjang dengan aplikasi I-spring untuk anak

tunagrahita ringan. Alasan pengembangan menggunakan media powerpoint ini karena program

Microsoft PowerPoint merupakan program yang tidak asing lagi bagi para pendidik ataupun sudah

familiar dikalangan guru, sedangkan aplikasi I-spring merupakan add-in atau tambahan program

yang dapat disatukan dalam program Microsoft PowerPoint yang memiliki kemampuan menjadikan

program tersebut menjadi aplikasi flash yang bisa digunakan dalam komputer manapun tanpa harus

diinstall terlebih dulu, dan program flash tersebut merupakan media pembelajaran yang biasa

digunakan dalam pembuatan media pembelajaran. Keunggulan dari program I-spring ini dapat

digunakan sebagai media secara online dan memudahkan dalam pembuatan soal bersifat acak

disetiap membuka soal tersebut. Jadi, penyusun ingin membuat suatu media pembelajaran interaktif

berupa Microsoft powerpoint dengan aplikasi I-Spring sebagai media interaktif bagi anak

tunagrahita sehingga dapat memudahkan guru untuk menyampaikan bahan ajar kepada anak

tunagrahita. Selain itu Microsoft powerpoint dengan aplikasi I-Spring juga dapat menarik perhatian

siswa untuk lebih memperhatikan materi yang dijelaskan oleh guru.

Dalam media tersebut berisi materi yang sesuai dengan kompetensi yang akan dikuasai oleh peserta

didik yang akan menjadi responden dalam penelitian ini. Untuk mengetahui keefektifan media,

siswa akan diberi pretest untuk mengetahui kemampuan awal. Setelah itu, siswa akan diberi

pembelajaran dengan media dalam Microsoft powerpoint dengan aplikasi I-Spring. Kemudian pada

pertemuan akhir siswa akan diberi posttest; tes yang sama, sehingga akan diketahui keefektifan

media tersebut dari hasil tes berdasarkan latar belakang di atas, perlu dilakukan penelitian

untuk mengetahui keefektifan sebuah media pembelajaran untuk anak berkebutuhan khusus. Oleh

karena itu, dalam hal ini penulis tertarik melakukan penelitian dengan menggunakan media

Microsoft powerpoint dengan aplikasi I-Spring sebagai media interaktif dalam pembelajaran anak

tunagrahita.

Page 446: Scanned by CamScanner - ULM

440 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

METODE

Pengembangan media pembelajaran menggunakan program Microsoft PowerPoint dengan aplikasi

I-Spring ini memiliki tahapan prosedur yang harus dilakukan. Pada penelitian ini penulis

mengunakan berbagai macam model pengembangan diantaranya adalah model pengembangan dari

Dick & Carey, medel Brog & Gall, model pengembangan Kemp & Dayton serta model

pengembangan dari Rob Phillips. Dari keempat model tesebut di atas, kemudian peneliti

memodifikasinya sedemikian rupa sehingga menjadi suatu model yang praktis dan sederhana

sehingga mudah dalam pelaksanaanya. Mengikuti saran M. Atwi Suparman (2001: 52), seorang

pengembang sebaiknya memilih salah satu di antaranya yang dianggapnya sesuai atau

mengkombinasikan beberapa di antaranya untuk menyusun model baru. Hal itu karena setiap model

itu baik dan sesuai untuk kondisi tertentu. Kondisi yang dimaksud adalah besar-kecil atau

kompleks-tidaknya suatu lembaga pendidikan, ruang lingkup tugas pendidikan, serta kemampuan

pengelola.

Karena setidaknya terdapat lima criteria yang dapat dipakai sebagai pedolaman dalam memilih

model pengembangan yang baik: (1) Sederhana; (2) Lengkap; (3) Mungkin diterapkan; (4) Luas;

dan (5) Teruji (Mukminan, 2004: 18-19). Oleh karena itu peneliti mencoba untuk menjadikannya

sebagai rujukan dalam memodifikasi model pengembangan. Dimana pada model yang telah di

modifikasi oleh peneliti ini memuat lima kriteria tersebut. Secara lebih garis besar dalam model

penelitan dan pengembangan tersebut dapat lihat pada gambar 1:

Gambar 6. Model Pengembangan Media Permainan Bergambar berbantuan Komputer Terhadap

Pembelajaran Kosakata Bahasa Arab

(Adaptasi Dick & Carey (2005), Borg & Gall (1983)

Kemp & Dayton (1985) Rob Phillips (1997))

Untuk dapat menghasilkan produk tertentu digunakan penelitian yang bersifat analisis kebutuhan

dan untuk menguji keefektifan produk tersebut supaya dapat berfungsi dimasyarakat luas, maka

diperlukan penelitian untuk menguji keefektifan produk tersebut (Sugiono, 2006: 407)

Penelitian dimulai dengan menganalisa kebutuhan dari siswa. Kebutuhan itu didasarkan kepada

perihal hak dan kewajiban mereka dalam pendidikan, dan kegiatan sehari-hari siswa baik disekolah

Analisis Kebutuhan

Perencanaan Pengembangan Pembelajaran

Pengembangan

Produk

Produk Awal

Evaluasi Produk Akhir

Page 447: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 441

maupun dirumah sejak pagi sampai dengan malam. Data awal yang didapatkan dengan wawancara

terhadap guru dan siswa, bahwa mereka kadang masih tidak ada gambaran jelas tentang kegiatan

yang dilakukan setiap hari. Selanjutnya, penelitian dilanjutkan dengan mendesain bahan ajar untuk

gambaran materi dan video tentang kegiatan sehari-hari,

Setelah produksi atas purwarupa bahan ajar untuk materi tentang kegiatan sehari-hari selesai, maka

dilakukanlah uji validasi oleh ahli media dan uji validasi ahli materi yang telah ditunjuk. Jika

diperlukan revisi, maka produk yang sudah dibuat direvisi sesuai dengan saran ahli untuk kemudian

dilakukan uji coba produk.

Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data pada penelitian ini berupa kuesioner dan

untuk mengetahui efektivitas penggunaan media permainan bergambar menggunakan post test dan

pretest. Instrumen berupa ckuesioner disusun untuk mengevaluasi kualitas software pembelajaran.

Adapun kisi-kisi pertanyaan yang ada diangket adalah:

Tabel I

Kisi-Kisi Instrumen Kuesioner Untuk Ahli Materi

No. Komponen

Penilaian

Indikator Jumlah

Butir

1. Isi Kebenaran isi 1

Kecukupan materi 1

Penyajian materi pembelajaran berurut 1

Urgensi tiap materi 1

Kesesuaian materi dengan kurikulum 3

Relevansi soal dengan materi 1

2. Pembelajaran/

Instruksional

Kejelasan sasaran 1

Kejelasan tujuan pembelajaran 1

Struktur materi 1

Ketepatan evaluasi 1

Konsisten antara tujuan dan materi

evaluasi

1

Pemberian musik dan narasi 2

Pemberian umpan balik untuk motivasi 1

Jumlah 16

Page 448: Scanned by CamScanner - ULM

442 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Tabel II

Kisi-Kisi Instrumen Kuesioner Untuk Ahli Media

No. Komponen

Penilaian

Indikator Jumlah

Butir

1. Komunikasi Struktur program 1

Logika berpikir 1

Interaksi pengguna dengan media 1

Pemberian umpan balik 1

Penggunaan bahasa 1

2. Tampilan Jenis dan ukuran teks(huruf) 2

Warna, grafis dan animasi 3

Sound (musik) penggiring dan narasi 2

Penggunaan bahasa 2

Screen design 1

3. Program Urutan sajian 1

Tombol 1

Kejelasan petunjuk program 1

Navigasi 1

Kemudahan penggunaan 1

Efesiensi tampilan 2

Kecepatan 1

Jumlah 23

Tabel III

Kisi-Kisi Instrumen Kuesioner Untuk Pengguna

No

.

Komponen Penilaian Indikator Jumlah

Butir

1. Kualitas materi

pembelajaran

Kebenaran materi 1

Ketepatan cakupan materi 1

Kejelasan Materi 1

Urutan Materi 1

Penggunaan bahasa 1

Penggunaan Bahasa dlm 1

Page 449: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 443

Menjelaskan Konsep, Materi, &

Latihan Soal

Petunjuk Penggunaan

Permainan

1

Kesesuaian Materi dengan

Permainan

1

Kesesuaian Permainan Dengan

Karakteristik Pengguna

1

Kualitas Item Soal dlm

Permainan

1

Variasi Bentuk Soal Permainan 1

2. Kualitas strategi

pembelajaran

Kualitas pendahuluan 1

Kebebasan memilih materi

untuk dipelajari

1

Keterlibatan dan peran siswa

dalam aktivitas belajar

1

Kualitas umpan balik 1

Kualitas pengayaan 1

3. Kualitas teknis Kejelasan petunjuk penggunaan

program

1

Keterbacaan teks atau tulisan 1

Kemudahan Navigasi 1

Kualitas tampilan gambar 1

Sajian animasi 1

Komposisi warna 1

Kejelasan suara atau narasi 1

Daya dukung musik 1

Kemudahan penggunaan

software

1

Jumlah 25

Page 450: Scanned by CamScanner - ULM

444 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

MENU UTAMA

Materi Permainan

Penyusun Exit

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Kebutuhan

Pada tahapan ini, analisis dilakukan dengan studi literatur dan studi lapangan. Studi literatur yang

dilakukan bermaksud untuk mengkaji beberapa literatur-literatur yang sudah ada sebagai bahan

awal dalam menyusun produk desain materi pembelajaran tentang kegiatan sehari-hari. Literatur

yang dimaksud bisa berupa buku cetak maupun pedoman-pedoman lain yang menyangkut tentang

materi pembelajaran tentang kehidupan sehari-hari. Sedangkan pada studi lapangan bermaksud

untuk mengumpulkan untuk kemudian dianalisis kepada siswa, wali murid,guru dan beberapa ahli

dalam pendidikan tetang materi kegiatan sehari-hari. Model pengumpulan data tersebut dilakukan

dengan metode kuisionar maupun wawancara. Setelah data didapatkan, maka hal yang selanjutnya

adalah melakukan analisa untuk kemudian ditindak lanjuti sebagai bahan desain pengembangan

media pembelajaran berupa Powerpoint dengan aplikasi I Spring.

Perencanaan Pengembangan Bahan Ajar

Tahapan perencanaan dilakukan untuk menyusun hal-hal yang berkaitan dengan penelitian mulai

yang berkaitan langsung dengan produk penelitian maupun segala perihal yang ikut mendukung

penelitian. Selain itu, skenario penelitian juga mulai dilakukan guna mengefisienkan dan

memaksimalkan proses penelitian yang dilangsungkan. Pada tahapan ini, peneliti mulai

merumuskan isi materi tentang media pembelajran tentang kehidupan sehari-hari yang tercantum

dalam pelaksanaan dalam kehidupan. Perumusan desain juga dapat membantu untuk memperjelas

arah pembelajaran pada bahan ajar untuk kegiatan sehari-hari. tahapan ini memuat isi, tujuan, dan

storyboard mengenai materi kegiatan sehari-hari.

Tabel IV

Storyboard pengembangan Media Interaktif untuk ABK

Keterangan Visual Audio

Setelah memasukan CD/DVD

pembelajaran interaktif untuk Anak

Berkebutuhan Khusus, maka mereka

akan langsung masuk kedalam menu

pembelajaran yg berisikan tentang

materi pembelajaran, dalam hal ini

materi tersebut berisikan tentang

kebiasan sehari-hari, kemudian ada

Permainan, Profil Penyusun dan

tombol Keluar(exit)

Musik

Instrument

Page 451: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 445

Materi

Pagi Sore Siang

Materi Kegatan Pagi, siang

dan sore Hari

Materi Video Gambar

Permaian

Labirin Tebak

jawaban Tebak

gambar

Ketika mereka menekan tombol

materi akan masuk kedalam menu

materi kegiatan sehari-hari. Menu

teresebut berisikan tentang materi

kegiatan pada pagi hari, siang hari

dan sore hari.

Musik

Pada materi pagi, siang dan sore

hari akan tampil kegiatan pada pagi

hari diiringi gambar dan video. Pada

bagian ini para siswa diberikan

tombol next dan back untuk melihat

apa saja kegiatan pada pagi hari

Narasi

mengenai

materi

disertai

music

penggiring

Pada bagian permainan para peserta

didik diajak untuk memilih

permainan berdasarkan keingin

mereka masing-masing sesuai

dengan materi yang dipelajari pada

bagian materi kegiatan sehari-hari,

ada tiga jenis permainan yaitu

labirin, tebak gambar dan temukan

jawaban. Setiap permainan ada

tombol untuk kembali ke menu

permainan.

Next Back

Page 452: Scanned by CamScanner - ULM

446 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Pengembangan Produk (Produk Awal)

Gambar 1:

Menu Awal Media Interaktif untuk Anak Berkebutuhan Khusus

Gambar 2

Menu Materi

Page 453: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 447

Gambar 3

Materi Kegiatan Pagi Hari

Gambar 3

Menu Permainan

Evaluasi

Produk awal di atas kemudian dievaluasi sesuai dengan prosedur pengembangan yang telah

dikemukakan di atas. Melalui proses evaluasi ini diperoleh empat set kumpulan data dalam

penelitian ini, yaitu data hasil uji coba ahli media, data hasil uji coba ahli materi, data hasil uji

kelompok kecil, dan data hasil uji coba lapangan.

Page 454: Scanned by CamScanner - ULM

448 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Data-data yang diperoleh berupa skor tanggapan baik dari ahli media, ahli materi ataupun

mahasiswa tentang media permainan bergambar terhadap pembelajaran bahasa Arab yang menjadi

produk penelitian ini. Data dari ahli media dan ahli materi digunakan sebagai acuan untuk merevisi

prduk awal sebelum diujicobakan ke lapangan.

Ahli media menitikberatkan evaluasi produk pada aspek-aspek media di antaranya adalah aspek

komunikasi, aspek tampilan dan aspek pemprograman. Sedangkan untuk ahli materi

menitikberatkan evaluasi produk pada aspek-aspek materi, materi yang dimaksud adalah materi

yang terkandung dalam produk yang dikembangkan seperti aspek isi dan aspek

pembelajaran/instructional. Data-data yang diperoleh adalah data tentang tanggapan baik dari ahli

media, ahli materi, dan siswa tentang media. Data dari ahli media dan ahli materi digunakan sebagai

pijakan untuk merevisi produk awal sebelum diujicobakan ke lapangan.

Data uji coba kelompok kecil dimaksudkan untuk mengetahui beberapa kelemahan atau hambatan

produk penelitian. Dengan uji coba kelompok kecil ini, diketahui bagian mana yang menjadi

kendala ketika produk tersebut diujicobakan ke lapangan. Uji coba kelompok kecil digunakan

sebagai pengalaman awal sebelum produk diujicobakan ke lapangan.

Uji coba lapangan menghasilkan data yang nantinya akan mengukur kelayakan dari produk yang

dikembangkan, serta untuk mengetahui bagaimana manfaat produk tersebut bagi para pemakainya.

Data-data yang digali dari uji coba lapangan meliputi beberapa aspek kualitas materi pembelajaran,

aspek strategi pembelajaran dan aspek teknis. Selanjutnya deskripsi masing-masing data tersebut

dijelaskan dalam uraian sebagai berikut:

Deskripsi Data Uji Coba Ahli Media (Media Expert).

Ahli media yang menjadi validator dalam produk pengembangan ini adalah DR. Ani Cahyadi, M.

Pd. yang merupakan salah satu dosen Pascasarjana UIN Antasari Banjarmasin, dan menjabat

sebagai Sekretaris LPM UIN Antasari. Kompetensi dan kiprahnya dalam bidang media

pembelajaran menjadi alasan kuat memilihnya menjadi ahli media. Data diperoleh dengan cara

memberikan angket kepada ahli media setelah mencoba menggunakan produk. Beberapa

pertanyaan seputar produk ditanyakan kepada peneliti. Hasil uji coba ahli media dapat

dideskripsikan sebagai berikut:

Aspek komunikasi

Aspek ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana tanggapan ahli media tentang berbagai

macam hal yang berkaitan dengan komunikasi dalam produk ini terhadap penggunannya. Dengan

berpedoman pada tanggapan ahli media tersebut di lihat pada table 5 di bawah ini:

Page 455: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 449

Table 5.

Hasil Tanggapan Ahli Media Terhadap Aspek Komunikasi

No Indikator Skor Kategori

1 Struktur program 4 Baik

2 Logika berpikir 4 Baik

3 Interaksi pengguna dengan media 4 Baik

4 Pemberian umpan balik 4 Baik

5 Penggunaan bahasa 4 Baik

Σ Skala Penilaian 20 Baik

Rerata Skala = Σ Skala Penilaian / 5 4

Keterangan: = Sangat Baik = Baik = Cukup Baik = Kurang = Sangat Kurang Kriteria akhir dari aspek komunikasi di atas diperoleh dari hasil konversi data kuantitatif ke data

kualitatif dengan skala 5, lihat tabel 6 dan uraian berikut ini:

Tabel 6.

Konversi Data Kuantitatif ke Data Kualitatif dengan Skala 5

Data

Kuantitatif Rentang Data Kualitatif

5 X > Xi + 1,80 Sbi Sangat baik

4 Xi + 0,60 Sbi< X ≤ Xi + 1,80Sbi Baik

3 Xi – 0,60Sbi < X ≤ Xi + 0,60Sbi Cukup

2 Xi – 1,80Sbi < X ≤ Xi – 0,60 Sbi Kurang

1 X ≤ Xi – 1,80Sbi Sangat kurang

Keterangan:

Xi (Rerata Ideal) = ½(skor mak ideal + skor min ideal)

Sbi (Simpangan baku ideal) = 1/6(skor mak ideal – skor min ideal)

X = Skor Aktual

Page 456: Scanned by CamScanner - ULM

450 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Berdasarkan rumus konversi data di atas, maka setelah didapatkan data-data kuantitatif, untuk

mengubahnya ke dalam data kualitatif pada pengembangan ini diterapkan konversi sebagai berikut:

Skor Mak = 5

Skor Min = 1

Xi = ½ (5+1)

= 3

Sbi = 1/6 (5-1)

= 0,6

Skala 5= X > 3 + (1,8 x 0,6)

= X > 3 + 1,08

= X > 4,08

Skala 4 = 3 + (0,6 x 0,6) < X ≤ 4,08

= 3 + 0,36 < X ≤ 4,08

= 3,36 < X ≤ 4,08

Skala 3 = 3 – 0,36 < X ≤ 3,36

= 2,64 < X ≤ 3,36

Skala 2 = 3 – (1,8 x 0,6) < X ≤ 2,64

= 3 - 1,08 < X ≤ 2,64

= 1,92 < X ≤ 2,64

Skala 1 = X ≤ 1,92

Atas dasar perhitungan di atas maka konversi data kuantitatif ke data kualitatif skala 5 dapat

disederhanakan sebagai berikut: (Tabel 7)

Tabel 7.

Pedoman Hasil Konversi Data Kuantitatif ke Data Kualitatif

Skor Rentang Kategori

5 X > 4,08 Sangat baik

4 3,36 < X ≤ 4,08 Baik

3 2,64 < X ≤ 3,36 Cukup

2 1,92 < X ≤ 2,64 Kurang

1 X ≤ 1,92 Sangat kurang

Selanjutnya dengan berpedoman pada tabel hasil konversi di atas, seluruh data kuantitatif skala 5

dikonversi ke dalam data kualitatif untuk menentukan kriteria akhir dari masing-masing aspek.

Page 457: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 451

Tabel 5 diketahui bahwa seluruh item yang dinilai dari aspek komunikasi masuk dalam kategori

baik dengan jumlah skor 20 dan rerata skor 4. Selain memberikan tanggapan ahli media juga

memberikan komentar atau saran umum yang berkaitan dengan aspek komunikasi: (a) Bila

menjawab salah, siswa perlu diberi petunjuk (clue), atau pada akhir permainan diberi kunci

jawaban, dan (b) Pada akhir soal (permainan) diberikan ringkasan skor hasil.

Aspek tampilan

Aspek ini dimaksudkan untuk mengetahui tanggapan ahli media mengenai berbagai hal yang

berkaitan dengan tampilan produk program pembelajaran ini. Dengan berpedoman pada tanggapan

ini, perlu tidaknya perbaikan tahap pertama pada aspek ini akan dilakukan. Tabel 8 sebagai berikut:

Tabel 8.

Hasil Tanggapan Ahli Media Terhadap Aspek Tampilan

No Indikator Skor Kategori

1 Jenis huruf 4 Baik

2 Ukuran huruf 4 Baik

3 Penggunaan warna 4 Baik

4 Grafis background 4 Baik

5 Pemilihan animasi 4 Baik

6 Penggunaan musik pada tampilan 4 Baik

7 Penggunaan suara 4 Baik

8 Penggunaan bahasa Indonesia 4 Baik

9 Penggunaan Video 4 Baik

10 Screen design 4 Baik

Σ Skala Penilaian 40 Baik

Rerata Skala= Σ Skala Penilaian / 10 4

Tabel 8 menunjukkan bahwa item yang dinilai dari aspek tampilan masuk dalam kategori baik,

yaitu dengan jumlah skor 40 dan rerata skor 4

Aspek pemprograman

Page 458: Scanned by CamScanner - ULM

452 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Tabel 9

Hasil Tanggapan Ahli Media Terhadap Aspek Pemrograman

No Indikator Skor Kategori

1 Urutan penyajian 4 Baik

2 Konsistensi tombol 4 Baik

3 Kejelasan petunjuk program 4 Baik

Σ Skala Penilaian 12 Baik

Rerata Skala= Σ Skala Penilaian / 3 4

Tabel 9 di atas diketahui bahwa aspek pemrograman masuk dalam kategori baik, hal ini dapat

dilihat dari jumlah skala penilaian yaitu 12 dan rerata skor yaitu 4, oleh karena itu berdasarkan hasil

dari tabel 7, 4 termasuk dalam kategori baik.

Deskripsi Data Uji Coba Ahli Materi (Content Expert).

Ahli materi yang menjadi validator dalam produk penelitian ini adalah Tsauban Abqorie, S.Pd.I.

Beliau merupakan guru SLB di SLB Martapura. Beliau juga merupakan salah satu guru teladan dan

juga pengembang media pembelajaran untuk anak berkebutuhan khusus. Adapun data diperoleh

dengan cara memberikan angket yang mencakup aspek instruksional dan aspek isi, setelah

menggunakan produk. Selain itu, ahli materi juga mengevaluasi hasil print-out materi-materi yang

terkandung dalam produk ini. Dalam beberapa keadaan, ahli materi juga mencoba menanyakan

langsung tentang hal-hal yang berkaitan dengan materi yang terkandung dalam produk.

Adapun hasil uji coba ahli materi dideskripsikan sebagai berikut:

Aspek isi

Aspek yang dimaksudkan yaitu untuk mengetahui tanggapan ahli materi mengenai berbagai hal

yang berkaitan dengan isi materi pembelajaran yang dalam dalam CD/DVD Pembelajaran Interaktif

untuk Anak Berkebutuhan Khusus. Adapun hasil dari tanggapan ahli materi seperti pada tabel 10

dibawah ini:

Tabel 10.

Hasil Tanggapan Ahli Materi Terhadap Aspek Isi

No Indikator Skor Kategori

1 Kebenaran isi 4 Baik

2 Kecukupan materi 4 Baik

3 Penyajian materi pembelajaran berurut 4 Baik

4 Urgensi tiap materi 4 Baik

5 Kesesuaian materi dengan standar 4 Baik

Page 459: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 453

kompetensi

6 Kesesuaian materi dengan kompetensi

dasar

4 Baik

7 Kesesuaian indikator dengan

kompetensi dasar

4 Baik

8 Relevansi game dengan materi 5 Sangat Baik

Σ Skala Penilaian 33 Sangat Baik

Rerata Skala = Σ Skala Penilaian / 8 4,13

Berdasarkan tabel konversi diatas yang seluruh data kuantitatif skala 5 dikonversi ke dalam data

kualitatif untuk menentukan kategori akhir dari masing-masing aspek. Sehingga dari tabel 10

diketahui bahwa seluruh item yang dinilai dari aspek isi termasuk kedalam kategori sangat baik, ini

berdasarkan pada perhitungan jumlah skala penilaian aspek isi yaitu 33 dan rerata skala yaitu 4,13.

Aspek pembelajaran/Instruksional

Tabel 12.

Hasil Tanggapan Ahli Materi Terhadap Aspek Pembelajaran/Instruksional

No Indikator Skor Kategori

1 Kejelasan sasaran 4 Baik

2 Kejelasan tujuan pembelajaran 4 Baik

3 Struktur materi 4 Baik

4 Ketepatan evaluasi 4 Baik

5 Konsisten antara tujuan dan materi

evaluasi

4 Baik

6 Pemberian musik 5 Sangat Baik

7 Pemberian narasi 5 Sangat Baik

8 Pemberian umpan balik untuk

motivasi

4 Baik

Σ Skala Penilaian 34 Sangat Baik

Rerata Skala = Σ Skala Penilaian / 8 4,25

Page 460: Scanned by CamScanner - ULM

454 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Tabel 12 di atas, dapat diketahui bahwa hasil tanggapan ahli materi terhadap aspek

pembelajaran/instruksional termasuk kedalam kategori sangat baik, hal ini dapat dilihat dari jumlah

skala penilaian yaitu 34 dan rerata skala yaitu: 4,25. Berdasarkan data konversi di atas, bahwa rerata

skala 4,25 termasuk kedalam skala 5 atau sangat baik

KESIMPULAN

Pengembangan media pembelajaran menggunakan Microsoft PowerPoint dengan aplikasi I-Spring

ini telah melalui tahap yaitu: (1) tahap analisis, pada tahapan ini dilakukan indentifikasi tujuan

media pembelajaran dan karateristik siswa, (2) tahap perancangan, pada tahapan ini yang dilakukan

adalah mengembangkan story board, menentukan layout, mendesign block diagram dan

mengumpulkan bahan-bahan baik berupa grafik, image, sound, picture , animasi, menentukan

program aplikasi yang akan digunakan dan sebagainya, (3) tahap produksi, pada tahapan ini

dilakukan pengorganisasian lay-out, design, dan bahan-bahan yang sudah dipersiapkan untuk

menjadi suatu produk media pembelajaran, (4) tahap evaluasi, pada tahapan ini akan dievaluasi dan

dinilai oleh tim ahli materi dan ahli media. Hasil pengembangan program Microsoft PowerPoint

dengan aplikasi I-Spring ini di kemas didalam Compact Disk (CD). Program pembelajaran yang

dikembangkan ini telah memenuhi kelayakan dari aspek-aspek penilaian dari ahli materi yaitu: pada

aspek isi, dan aspek pembelajaran/instruksional. Hasil evaluasi ahli materi menunjukkan bahwa

produk pembelajaran ini masuk kategori sangat baik pada aspek isi dengan rerata skala 4,13. Untuk

aspek pembelajaran/instruksional dengan rerata skala yaitu 4,25 masuk dalam kategori sangat baik.

Daftar Pustaka

Akhmad Muhaimin Azzet, 2014, Menjadi Guru Favorit, Ar-Ruzz Media, Cet.III, Jogjakarta

Dick, W., Carey, L., & Carey, J.O. (2001). The systematic design of instruction (5th ed). New

York: Longman.

Dra. Hj. T. Sutjihati Somantri, M.Si.,psi, Psikologi Anak Luar Biasa, Refika Aditama

Gall, M.D., Gall, J.P., & Borg, W.R. (2003). Educational research. An introduction (7th ed.). New

York: Pearson Educational Inc.

Kemp, J. E. & Dayton, D. K. (1985). Planning and producting instructional media (4th ed.). New

York: Harper & Row, Publisher, Inc.

Mukminan. (2004). Desain Pembelajaran. Yogyakarta : Program Pascasarjana. Universitas Negeri

Yogyakarta.

Nenden Rilla Artistiana, 2013, Mengenal dan Mempraktekkan Model-Model Pembelajaran, CV

Sahala Adiyatama, Cet.1, Jakarta

Page 461: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 455

EVALUASI PEMANFAATAN SUMBER BELAJAR BERBASIS INTERNET DI LINGKUNGAN FKIP UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

Dr. Nina Permata Sari / [email protected]

Mastur, M.Pd / [email protected]

Universitas Lambung Mangkurat

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi pemanfaatan sumber belajar di lingkungan FKIP ULM

dan untuk mendeskripsikan (1) Efektivitas Pemanfaatan sumber belajar berbasis Internet di FKIP

ULM Banjarmasin. (2) Apa saja hambatan dan kendala yang dihadapi mahasiswa dalam

memanfaatkan sumber belajajar berbasis internet di FKIP ULM Banjarmasin. Penelitian

menggunakan pendekatan evaluasi berorientasi tujuan (goal oriented evaluation). Teknik

pengumpulan data dilakukan melalui observasi dan angket. Analisis data menggunakan analisis

deskriptif kuantitatif. Hasil penelitian diperoleh: (2) Kegiatan pembelajaran dengan menggunakan

internet sebagai sumber belajar dapat membuat siswa menjadi lebih aktif dan mandiri sehingga

pembelajaran lebih efektif. (2) Mahasiswa dan dosen menemukan banyak kendala dalam mengakses

internet yang disediakan fakultas. Kendala ini didasari rendahnya kapasitas bandwidth yang dimiliki

fakultas sehingga penggunaan internet utamanya di jam-jam perkuliahan antara pukul 8.00-17.00

WITA susah mengaksesnya.

Kata Kunci: evaluasi, sumber belajar, internet

Pendahuluan

Perkembangan teknologi jaringan Internet telah mengubah paradigma dalam mendapatkan

informasi dan berkomunikasi, yang tidak lagi dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu. Melalui

keberadaan internet mereka bisa mendapatkan informasi yang dibutuhkan dimanapun dan kapanpun

waktu yang diinginkan. Salah satu bidang yang tersentuh dampak perkembangan teknologi ini

adalah dunia pendidikan. Sebagai sebuah sumber informasi yang hampir tak terbatas, maka jaringan

internet memenuhi kapasitas dijadikan sebagai salah satu sumber pembelajaran dalam dunia

pendidikan. Bahkan beberapa perguruan tinggi dan utamanya program studi Teknologi Pendidikan,

mencanangkan lahirnya sistem pembelajaran yang berbasiskan teknologi jaringan ini, seperti

Page 462: Scanned by CamScanner - ULM

456 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

lahirnya konsep tentang distance learning, web-based education, dan e-learning, yang kalau ditinjau

dari implementasinya mempunyai wujud yang hampir sama, yaitu memanfaatkan fasilitas jaringan

internet sebagai salah satu sarana dan media dalam pendidikan dan pembelajaran. Melihat

perkembangan fenomena ini, akan sangat tertinggal dunia pendidikan kita, jika tidak bisa

memanfaatkan teknologi internet. Walaupun belum akan menyelenggarakan pembelajaran maupun

pendidikan berbasiskan internet, setidaknya dosen mampu dan menganjurkan pemanfaatan

resources yang ada di internet sebagai salah satu sumber pembelajaran maupun bahan

pembelajaran.

Perkembangan Internet yang begitu cepat telah mengubah banyak aspek dalam proses komunikasi

data komputer, setelah jaringan internet barubah menjadi jaringan global, banyak aplikasi baru

berkembang untuk menunjang keefektifan dan kefleksibelan lintas data dalam jaringan internet, dan

Internet berubah menjadi topik yang selalu up to date untuk dibicarakan pada tingkat riset dan

materi perkuliahan di perguruan tinggi diseluruh dunia. Perubahan yang amat pesat ini akhirnya

mengubah pola pemafaatan internet oleh perguruan tinggi, yang semula hanya digunakan untuk

riset, menjadi sarana untuk mempublikasikan hasil riset tersebut, dan akhirnya bagaimana

memanfaatkan jaringan ini sebagai sarana dalam proses pendidikan. Ide-ide tentang pemanfaatan

jaringan global ini sebagai sarana pembelajaran telah melahirkan banyak hal, yang semula hanya

berupa CBT (Computer-Based Training) menjadi WBT (Web-Based Training) (Horton, 2000).

Selain di perguruan tinggi, penggunaan Internet di bidang pendidikan sangat berguna dalam proses

belajar mengajar di sekolah, dimana para siswa dapat melengkapi ilmu pengetahuannya, sedangkan

guru dapat mencari bahan ajar yang sesuai dan inovatif melalui internet. Murid dapat mencari apa

saja di Internet, mulai dari mata pelajaran hingga ilmu pengetahuan umum semuanya bisa di cari di

internet. Sedangkan guru bisa mencari informasi yang dapat dijadikan bahan untuk mengajarkan

materi kepada siswanya selain dari buku (Supriyanto, 2007:2).

Penggunaan Internet sebagai media pendidikan dapat dianggap sebagai suatu hal yang sudah jamak

digunakan di kalangan pelajar. Untuk itu setiap lembaga pendidikan dari semua jenjang bisa

menjadikan Internet sebagai sarana untuk belajar selain dari buku dan agar mampu menjadi solusi

dalam mengatasi masalah yang selama ini terjadi, misalnya minimnya buku yang ada di

perpustakaan, keterbatasan tenaga ahli, jarak rumah dengan lembaga pendidkan, biaya yang tinggi

dan waktu belajar yang terbatas. Menyadari bahwa di Internet dapat ditemukan berbagai informasi

apa saja, maka pemanfaatan Internet menjadi suatu kebutuhan. Dalam setiap aktifitas belajar

mengajar, guru dan dosen adalah seorang yang memberikan bimbingan kepada peserta didiknya,

dan juga seorang guru juga harus mempunyai profesionalitas yang tinggi terhadap keahliannya.

Selain itu guru juga harus mempunyai suatu keahlian lain dibidang teknologi Informasi terutama

Internet, karena pada zaman sekarang guru dituntut untuk untuk bisa menggunakan Internet karena

Page 463: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 457

bisa menggali lebih banyak lagi informasi selain yang ada di buku (Uno, 2008:3). Bagi para siswa

atau mahasiswa di perguruan tinggi, penggunaan internet sebagai alat dalam menggali informasi

yang berupa materi yang menyangkut dengan pelajaran yang akan dapat memicu sekaligus dapat

meningkatkan motivasi dalam proses pembelajaran mereka. Menurut Oetomo (2002:5) ketersediaan

informasi yang up-to-date telah mendorong tumbuhnya motivasi untuk membaca dan mengikuti

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) yang terjadi di berbagai belahan dunia.

Begitu juga dengan pemanfaatan internet oleh mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

(FKIP) Universitas Lambung Mangkurat (ULM) sebagai alat dalam mengali informasi yang berupa

pendidikan, akan dapat memicu sekaligus dapat meningkatkan motivasi dalam proses pembelajaran

mereka. Mahasiswa dengan cepat dapat mengakses berbagai informasi sesuai kebutuhan belajarnya.

Bahkan informasi yang tidak dapat diperoleh dari sumber-sumber di perpustakaan FKIP ULM

dengan mudah diperoleh hanya dengan berselancar di internet. Inilah salah satu kelebihan dari

pemanfaatan internet untuk sumber belajar. Dan sekarang pertanyaannya, sejauh manakah

mahasiswa mengoptimalkan peran internet yang disediakan FKIP ULM untuk kegiatan

pembelajaran? Sudah sesuaikan kapasitas Bandwith yang disediakan kampus untuk kebutuhan

mahasiswa dalam mengakses informasi dan refrensi?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut penting dan mendesak dicari jawabannya. Mengingat di era Big

Date ini ketergantungan mahasiswa terhadap informasi lebih tinggi dengan sebelum-seblumnya.

Apalagi hasil pra-penelitian mengungkapkan data bahwa tingkat kepuasan mahasiswa dan dosen

terhadap layanan internet di lingkungan FKIP ULM sangat minim. Mereka mengeluh koneksi

internet kampus yang kecepatannya justru lebih rendah dibandingkan kecepatan akses internet

melalui jaringan seluler mereka. Padahal sejatinya, FKIP ULM sebagai institusi pendidikan,

kebutuhan “data informasi yang bersifat elektronik” lebih besar daripada mahasiswa. Begitupun

halnya dengan dosen yang dituntut serba cepat memperoleh informasi dan up to date dengan

perkembangan teknologi. Dan hal ini tidak terwujud apabila FKIP tidak menyediakan sarana dan

fasilitas internet yang baik untuk perkembangan keilmuan di lingkungan kampus.

Berangkat dari pertanyaan dan beberapa uraian di atas, kiranya sangat menarik apabila dikaji dan

dievaluasi secara mendalam perihal pemanfaatan internet FKIP ULM sebagai sumber belajar. Oleh

karenanya dalam penyusunan penelitian ini penulis mengangkat judul “Evaluasi Pemanfaatan

Sumber Belajar Berbasis Internet di FKIP Universitas Lambung Mangkurat”. Mengingat selama ini

pemanfaatan dan penggunaan internet di lingkungan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan ULM

belum dievaluasi. Sehingga stakeholder belum mengetahui timbal balik dari penyediaan internet

oleh Fakultas.

Page 464: Scanned by CamScanner - ULM

458 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Penelitian ini bertujuaan untuk mendiskripsikan; efektivitas Pemanfaatan sumber belajar berbasis

Internet di FKIP ULM Banjarmasin. Dan, Apa saja hambatan dan kendala yang dihadapi

mahasiswa dalam memanfaatkan sumber belajajar berbasis internet di FKIP ULM Banjarmasin ?

Metode

Penelitian ini adalah penelitian evaluatif yang dirancang untuk memperoleh informasi yang akurat

tentang pemanfaatan sumber belajar berbasis internet di lingkungan FKIP ULM. Untuk menunjang

keberhasilan penelitian ini maka peneliti menggunakan model evaluasi yang dikemukakan oleh

Tyler, yaitu model evaluasi goal oriented evaluation atau evaluasi yang berorientasi pada tujuan,

yaitu sebuah model yang menekankan peninjauan pada tujuan sejak awal kegiatan berlangsung

secara berkesinambungan. Sedangkan pendekatan penelitian yang digunakan ialah pendekatan

deskripti kualitatif. Pendekatan deskriptif kualitatif dipilih dengan pertimbangan penelitian ini akan

mendeskripsikan keadaan yang sebenarnya dari populasi penelitian berdasarkan data yang diperoleh

dalam penelitian dengan berdasarkan pada data yang diperoleh dari observasi, wawancara, dan

dokumentasi.

Penelitian ini dilaksanakan di FKIP ULM yang berlokasikan di Jl. Brigjen H. Hasan Basri,

Banjarmasin Kalimantan Selata. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) ini memiliki

puluhan program studi kependidikan yang guru maupun non guru. Penelitian ini dilakukan pada

pertengahan bulan April 2017, tepatnya dilaksanakan pada tanggal 15 April 2017 – 30 Mei 2017

atau selama satu setengah bulan.

Subjek penelitian ini adalah Dosen, Mahasiswa, dan Pengelola Internet FKIP ULM. Objek

penelitian ini bertempat FKIP ULM yaitu pemanfaatan sumber belajar berbasis internet. Pada

penelitian ini peneliti mengambil mahasiswa dan doses secara sampling yang dijadikan sebagai

responden untuk dimintai keterangan tentang evaluasi pemanfaatan sumber belajar Internet.

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan Pengamatan,

wawancara, dan dokumentasi. Berdasarkan metode yang digunakan, maka alat pengumpulan data

yang diperlukan berupa lembar observasi, pedoman wawancara, dan pedoman dokumentasi.

Dalam penelitian ini analisis data dilakukan secara terus-menerus sejak awal pengumpulan data.

Pada prosesnya terdiri dari atas tiga tahapan yang saling terkait yaitu reduksi data, penyajian data,

dan pengambilan kesimpulan. Proses analisis data dilakukan mulai proses awal sampai dengan

akhir pengumpulan. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan model

analisis interaktif yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman.

Hasil Penelitian

Adapun hasil deskripsi persentase dari 175 mahamahasiswa dari berbagai program studi (Prodi) di

lingkungan FKIP ULM dapat dilihat lebih jelas pada tabel 4.1 berikut:

Page 465: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 459

Tabel 4.1. Pemanfaatan Internet sebagai Sumber Belajar

Variabel Jumlah Skor Kriteria

Frekuensi %

Pemanfaatan Internet Untuk Sumber

Belajar

153 87,43 Tinggi

Pemanfaatan Internet Untuk Non

Sumber Belajar

22 12,57 Sedang

Jumlah 175 100

Berdasarkan tabel 4.1 terlihat bahwa pemanfaatan internet sebagai sumber belajar untuk

mahamahasiswa FKIP ULM termasuk dalam kategori tinggi. Hal ini dapat dilihat dalam tabel

sebanyak 87,43% responden menyatakan bahwa pemanfaatan internet sebagai sumber belajar

termasuk dalam kategori tinggi, sebanyak 12,57% responden menyatakan bahwa pemanfaatan

internet sebagai sumber informasi lainnya (wifi hp, sosmed, dll) termasuk dalam kategori sedang.

Secara terperinci hasil analisis persentase variabel pemanfaatan internet sebagai sumber belajar dan

penggunaan internet untuk kegiatan non pembelajaran pada setiap sub variabel dapat dijabarkan

sebagai berikut:

Frekuensi Penggunaan Internet

Berdasarkan hasil penelitian pada mahamahasiswa FKIP ULM dapat diketahui seberapa besar

frekuensi penggunaan internet sebagai sumber belajar. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada

lampiran 10 dan terangkum dalam tabel 4.2 berikut:

Tabel 4.2. Frekuensi Penggunaan Internet

Variabel Jumlah Skor Kriteria

Frekuensi %

Frekuensi Penggunaan Internet di

kalanganan mahamahasiswa FKIP

ULM

137 78,29 Tinggi

38 21,71 Sedang

0 0,0 Rendah

Jumlah 175 100

Dari tabel 4.2 di atas dapat diketahui mengenai frekuensi penggunaan internet diperoleh hasil

sebesar 78,29% atau 137 responden termasuk dalam kategori tinggi, sebesar 21,71% atau 38

Page 466: Scanned by CamScanner - ULM

460 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

responden termasuk dalam kategori sedang dan yang dalam kategori rendah mengenai frekuensi

penggunaan internet tidak ada.

Dari uraian di atas maka dapat digambarkan bahwa frekuensi penggunaan internet oleh

mahamahasiswa FKIP ULM termasuk dalam kriteria tinggi, hal ini dikarenakan hampir setiap hari

atau lebih dari 6 kali dalam seminggu mahasiswa mengakses internet fakultas. Frekuensi

penggunaan internet fakultas termasuk dalam kriteria sedang dikarenakan mahamahasiswa hanya

mengakses internet 1 sampai 4 kali dalam seminggu.

Untuk kriteria rendah tidak ada dikarenakan hampir setiap mahasiswa mengakses internet walaupun

1 atau 2 kali dalam seminggu. Pada dasarnya mahasiswa mahasiswa FKIP ULM mengakses internet

dengan tujuan mencari referensi atau materi bahan materi kuliah dan mengerjakan tugas yang

diberikan oleh Dosen, tetapi ada juga mahasiswa yang mengakses internet untuk hiburan seperti

mengakses facebook, game online dan lain sebagainya.

Cara Memanfaatkan Internet

Berdasarkan hasil penelitian pada mahasiswa FKIP ULM dapat diketahui seberapa besar cara

memanfaatkan internet. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.3 serta berikut:

Tabel 4.3. Cara Memanfaatkan Internet

Sub Variabel Jumlah Skor Kriteria

Frekuensi %

Cara Memanfaatkan Internet di

kalanganan mahamahasiswa FKIP

ULM

132 75,43 Tinggi

43 24,57 Sedang

0 0,0 Rendah

Jumlah 175 100

Dari tabel 4.3 dan gambar 7 di atas dapat diketahui mengenai cara memanfaatkan internet diperoleh

hasil sebesar 75,43% atau 132 responden termasuk dalam kategori tinggi, sebesar 24,57% atau 43

responden termasuk dalam kategori sedang dan yang dalam kategori rendah mengeni cara

memanfaatkan internet tidak ada.

Dari uraian di atas maka dapat digambarkan bahwa cara memanfaatkan internet termasuk dalam

kriteria tinggi. Hal ini dikarenakan sebagian besar mahasiswa mahasiswa FKIP ULM sudah dapat

menggunakan internet sebagai sumber belajar dalam mencari refrensi dan mengerjakan tugas

dengan baik. Pada akhirnya mahasiswa FKIP ULM dapat memahami materi perkuliahan dengan

mudah.

Cara memanfaatkan internet termasuk dalam kriteria sedang dikarenakan mahasiswa kurang dapat

memanfaatkan internet sebagai sumber belajar tetapi mahasiswa lebih memilih buku pegangan atau

Page 467: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 461

sumber belajar lain. Alasan lain rendahnya penggunaan internet fakultas sebagai sumber belajar

karena faktor kurang maksimalnya jaringan internet atau koneksi internet yang lemot.

Jenis Informasi yang Diakses di Internet

Berdasarkan hasil penelitian pada mahasiswa FKIP ULM dapat diketahui jenis informasi yang

diakses di internet oleh mahasiswa mahasiswa FKIP ULM. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada

lampiran 10 dan terangkum dalam tabel 4.4 berikut:

Tabel 4.4. Jenis Informasi yang diakses di Internet

Sub Variabel Jumlah Skor Kriteria

Frekuensi %

Jenis Informasi yang Diakses di

Internet mahasiswa FKIP ULM

128 73,14 Tinggi

47 26,86 Sedang

0 0,0 Rendah

Jumlah 175 100

Dari tabel 4.4 di atas dapat diketahui mengenai jenis informasi yang diakses di internet diperoleh

hasil sebesar 73,14% atau 128 responden termasuk dalam kategori tinggi, sebesar 26,86% atau 47

responden termasuk dalam kategori sedang dan yang dalam kategori rendah mengenai jenis

informasi yang diakses di internet tidak ada.

Dari uraian di atas, jenis informasi yang diakses di internet oleh mahasiswa FKIP ULM termasuk

dalam kriteria tinggi. Hal ini dapat digambarkan bahwa sebagian besar mahasiswa memanfaatkan

internet dalam proses pembelajaran sebagai sumber belajar optimal. Di internet menyediakan

banyak informasi yang sangat membantu mahasiswa dalam memperoleh referensi yang berkaiatan

dengan materi perkuliahan.

Jenis informasi yang diakses di internet termasuk dalam kriteria sedang dapat digambarkan bahwa

mahasiswa kurang dapat memanfaatkan internet sebagai sumber belajar yang semestinya digunakan

untuk mencari informasi atau referensi yang berkaitan dengan materi perkuliahan. Untuk kriteria

rendah tidak ada dapat digambarkan bahwa rata-rata mahasiswa hanya memanfaatkan internet

untuk hiburan saja. Mahasiswa mengakses internet tidak untuk tujuan mencari referensi atau

informasi yang berkaitan dengan materi perkuliahan melainkan hanya untuk hiburan saja.

Page 468: Scanned by CamScanner - ULM

462 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Internet sebagai Sumber Belajar Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi

Berdasarkan hasil penelitian pada mahasiswa FKIP ULM untuk materi perkuliahan dapat diketahui

internet sebagai sumber belajar berbasis TIK. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.5 serta

berikut:

Tabel 4.5. Internet sebagai Sumber Belajar Berbasis TIK

Sub Variabel Jumlah Skor Kriteria

Frekuensi %

Internet sebagai Sumber Belajar

Berbasis TIK

136 77,71 Tinggi

39 22,29 Sedang

0 0,0 Rendah

Jumlah 175 100

Dari tabel 4.5 dan gambar 10 di atas dapat diketahui mengenai internet sebagai sumber belajar

berbasis TIK diperoleh hasil sebesar 77,71% atau 136 responden termasuk dalam kategori tinggi,

sebesar 22,29% atau 39 responden termasuk dalam kategori sedang dan yang dalam kategori rendah

mengenai internet sebagai sumber belajar berbasis TIK tidak ada.

Dari uraian di atas maka dapat digambarkan bahwa internet sebagai sumber belajar berbasis TIK

termasuk dalam kriteria tinggi. Hal ini dikarenakan sebagian besar mahasiswa FKIP ULM dapat

memanfaatkan internet sebagai sumber belajar dengan baik dengan tujuan untuk mencari referensi

atau informasi yang berkaitan dengan materi perkuliahan. Internet sebagai sumber belajar berbasis

TIK termasuk dalam kriteria sedang dikarenakan mahasiswa dalam memperoleh referensi atau

informasi mengenai materi perkuliahan lebih mengandalkan buku pegangan daripada internet.

Untuk kriteria rendah tidak ada dikarenakan rata-rata mahasiswa hanya memanfaatkan internet

untuk hiburan.

Tanggapan Dosen Mengenai Pemanfaatan Internet sebagai Sumber Belajar Berbasis TIK dalam

Proses Pembelajaran

Pemanfaatan internet sebagai sumber belajar sangat penting dan memberikan kontribusi positif

dalam menunjang kualitas proses pembelajaran di FKIP ULM. Melalui internet dosen maupun

mahasiswa FKIP ULM dapat memperoleh informasi terkait dengan materi perkuliahan yang sulit

didapatkan dari buku-buku pegangan yang ada ataupun dari sumber belajar lain. Berikut tabel

tanggapan Dosen mengenai pemanfaatan internet sebagai sumber belajar berbasis TIK dalam proses

pembelajaran.

Page 469: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 463

Tabel 4.6. Tanggapan Dosen Mengenai Pemanfaatan Internet sebagai Sumber Belajar Berbasis TIK

dalam Proses Pembelajaran

Sub Variabel Jumlah Skor Kriteria

Frekuensi %

Tanggapan Dosen Mengenai

Pemanfaatan Internet sebagai

Sumber Belajar Berbasis TIK dalam

Proses Pembelajaran.

136 77,71 Tinggi

39 22,29 Sedang

0 0,0 Rendah

Jumlah 175 100

Berdasarkan tabel 4.6 diatas dapat diketahui tanggapan dari 39 Dosen FKIP ULM mengenai

pemanfaatan internet sebagai sumber belajar berbasis TIK dalam proses pembelajaran tergolong

tinggi. Kemampuan mengoperasikan internet diperoleh hasil sebesar 87,18% atau 34 Dosen

termasuk dalam kategori tinggi. Ketersediaan internet diperoleh hasil sebesar 89,74% atau 35 Dosen

termasuk dalam kategori tinggi. Frekuensi penggunaan internet diperoleh hasil sebesar 92,31% atau

36 Dosen termasuk dalam kategori tinggi.

Cara memanfaatkan internet diperoleh hasil sebesar 87,18% atau 34 Dosen termasuk dalam kategori

tinggi. Jenis informasi yang diakses di internet diperoleh hasil sebesar 80,74% atau 35 Dosen

termasuk dalam kategori tinggi. Internet sebagai sumber belajar berbasis TIK diperoleh hasil

sebesar 84,62% atau 33 Dosen termasuk dalam kategori tinggi.

Dosen FKIP ULM rata-rata sudah memiliki kemampuan yang baik untuk memanfaatkan internet

sebagai sumber belajar dan hampir setiap hari memanfaatkannya dalam menunjang kegiatan belajar

mengajar. Dosen FKIP ULM juga sudah mampu mengakses internet seperti memanfaatkan search

engine atau website yang ada untuk mencari bahan ajar materi perkuliahan untuk digunakan dalam

kegiatan belajar mengajar.

Dosen FKIP ULM menggunakan metode ceramah bervariasi dan diskusi dalam menyampaikan

materi perkuliahan di kelas. Materi perkuliahan yang diajarkan di dalam proses pembelajaran selalu

diperkaya referensinya dari internet. Penggunaan internet dapat memudahkan Dosen dalam

mengembangkan materi perkuliahan. Dosen FKIP ULM sebagian besar menyuruh mahasiswanya

untuk mengakses internet guna mencari materi pelajaran atau referensi serta penyelesaian tugas.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa setiap Prodi di lingkungan

FKIP ULM sudah mempunyai jaringan internet yang sangat menunjang proses pembelajaran. Prodi-

Page 470: Scanned by CamScanner - ULM

464 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

prodi FKIP ULM rata-rata menggunakan wifi Fakultas untuk akses internet dengan kualitas dan

kecepatan signal yang baik guna memperlancar proses pembelajaran.

Ketersediaan jaringan internet sangat membantu Dosen maupun mahasiswa dalam memperoleh

informasi yang berkaitan dengan materi perkuliahan. Dosen dapat memperoleh bahan ajar yang

dapat digunakan dalam mempermudah penyampaian materi perkuliahan. Informasi yang diperoleh

dari internet sangat membantu mahasiswa mempermudah pemahaman materi perkuliahan yang

pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar.

Ketersediaan jaringan internet juga didukung dengan ketersediaan laptop pribadi yang dimiliki

masing-masing mahasiswa FKIP ULM. Sebagian besar mahasiswa FKIP ULM sudah mempunyai

laptop yang memadai untuk digunakan dalam mengakses internet.

Pembahasan

Pemanfaatan sumber belajar merupakan penggunaan secara sistematis dari sumber belajar sehingga

tercapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien. Tidak semua konsep-konsep dalam materi

perkuliahan bisa dijelaskan secara lisan dan verbal, tapi perlu dijelaskan secara konkret, sehingga

mahasiswa tidak menangkap konsep itu secara abstrak. Dengan pemanfaatan internet sebagai

sumber belajar, proses pembelajaran akan menjadi kreatif, inovatif, meningkatkan minat dan

motivasi mahasiswa serta hasil belajar materi perkuliahan akan meningkat.

Kemampuan dan kemahiran mahasiswa dalam memanfaatkan teknologi internet sangat diperlukan.

Melalui internet, mahasiswa dapat mengakses berbagai informasi dan ilmu pengetahuan sesuai

kebutuhan yang relevan dengan mata pelajaran materi perkuliahan. Pemanfaatan internet sebagai

sumber belajar juga akan membantu mempermudah dan mempercepat penyelesaian tugas-tugas

mata pelajaran materi perkuliahan yang diberikan oleh Dosen di kelas. Oleh karena itu, Dosen

sebagai motivator dan dinamisator hendaknya memberikan dorongan serta motivasi agar mahasiswa

selalu memanfaatkan internet fakultas dalam pembelajaran secara optimal.

Banyak manfaat yang diperoleh dari pemanfaatan internet sebagai sumber belajar dalam proses

pembelajaran. Internet dapat memberikan kemudahan dalam mencari referensi atau informasi yang

berkaitan dengan pokok bahasan mata pelajaran materi perkuliahan. Mahasiswa dapat mencari

segala informasi atau referensi yang dibutuhkan melalui internet dengan cepat dan tidak

membutuhkan waktu yang lama.

Berdasarkan hasil penelitian pemanfaatan internet sebagai sumber belajar pada FKIP ULM

termasuk dalam kategori tinggi yaitu sebesar 87,43%. Pemanfaatan internet sebagai sumber belajar

dalam proses pembelajaran mata pelajaran materi perkuliahan FKIP ULM termasuk dalam kategori

tinggi. Hal ini memberikan gambaran bahwa internet sebagai sumber belajar di FKIP ULM benar-

benar dimanfaatkan secara optimal oleh mahasiswa dalam proses pembelajaran dan sebagian besar

mahasiswa dapat mengoperasikan internet. Melihat kondisi tersebut, diharapkan dapat

Page 471: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 465

meningkatkan minat dan motivasi mahasiswa dalam pemahaman materi pelajaran materi

perkuliahan secara optimal yang berdampak pada hasil belajar materi perkuliahan yang semakin

tinggi.

Frekuensi Penggunaan Internet

Frekuensi penggunaan internet dalam proses pembelajaran sangat berpengaruh terhadap tercapainya

tujuan pembelajaran. Semakin tinggi frekuensi penggunaan internet semakin tinggi pula tujuan

pembelajaran yang akan dicapai. Sebaliknya, semakin rendah frekuensi penggunaan internet

semakin rendah pula tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Mahasiswa yang sering memanfaatkan

internet memiliki pemahaman yang berbeda dengan mahasiswa yang jarang atau bahkan tidak

pernah sama sekali memanfaatkan internet dalam proses pembelajaran. Mahasiswa yang sering

memanfaatkan internet memiliki pemahaman yang baik dan hasil belajarpun tinggi. Mahasiswa

yang sering memanfaatkan internet sebagai sumber belajar akan lebih memahami materi pelajaran

materi perkuliahan yang diajarkan oleh Dosen. Sebaliknya, mahasiswa yang tidak pernah

memanfaatkan internet sebagai sumber belajar memiliki pemahaman materi pelajaran yang kurang

baik.

Frekuensi penggunaan internet dalam proses pembelajaran di FKIP ULM termasuk dalam kriteria

tinggi. Mahasiswa dalam memanfaatkan internet dalam proses pembelajaran belum menjamin

dalam pemanfaatannya itu digunakan sebagai sumber belajar berkaitan dengan materi pelajaran

materi perkuliahan. Akan tetapi pemanfaatan internet tersebut juga dapat dimanfaatkan sebagai

hiburan saja.

Hasil penelitian menunjukan bahwa frekuensi penggunaan internet pada mahasiswa FKIP ULM

termasuk dalam kriteria tinggi dengan diperoleh hasil persentase 78,29%. Berdasarkan pengamatan

yang dilakukan oleh peneliti bahwa mahasiswa FKIP ULM dalam memanfaatkan internet

disebabkan karena adanya dorongan dan perintah dari Dosen materi perkuliahan yang

mengharuskan untuk mencari referensi atau informasi yang berkaitan dengan mata pelajaran materi

perkuliahan. Selain itu juga, adanya tugas yang diberikan oleh Dosen materi perkuliahan yang

mengharuskan mahasiswa untuk mengakses internet dalam mengerjakan tugas tersebut.

Sebagian besar mahasiswa FKIP ULM hampir setiap hari memanfaatkan internet baik di sekolah

pada saat proses pembelajaran materi perkuliahan berlangsung atau pada waktu istirahat tetapi juga

dapat dilakukan pada saat mahasiswa di rumah. Mahasiswa memanfaatkan internet sebagai sumber

belajar lebih dari 5 kali dalam seminggu dengan tujuan untuk mencari materi pelajaran atau

referensi materi perkuliahan serta penyelesaian tugas yang diberikan oleh Dosen. Selain digunakan

Page 472: Scanned by CamScanner - ULM

466 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

untuk mencari hal tersebut di atas, mahasiswa juga sering memanfaatkan internet sebagai hiburan

seperti mengakses facebook, twitter, dan sebagainya.

Cara Memanfaatkan Internet

Kemampuan mengoperasikan internet sangat mempengaruhi pemanfaatan internet dalam proses

pembelajaran. Mahasiswa harus memiliki kemahiran mengakses internet dalam kaitannya sebagai

sumber belajar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cara memanfaatkan internet termasuk dalam

kriteria tinggi dengan diperoleh persentase sebesar 75,43%. Berdasarkan penelitian yang telah

dilakukan peneliti memberikan gambaran bahwa sebagian besar mahasiswa FKIP ULM telah

memiliki kemampuan yang tinggi dalam memanfaatkan internet sebagai sumber belajar materi

perkuliahan. Mahasiswa FKIP ULM sudah memanfaatkan internet sebagai sumber belajar dengan

baik, yaitu untuk mencari referensi atau materi mata pelajaran materi perkuliahan dan mengerjakan

tugas yang diberikan oleh Dosen, walaupun mereka kadang-kadang memanfaatkan internet hanya

untuk hiburan seperti mengakses facebook, twitter, atau situs yang lainnya.

Mahasiswa FKIP ULM dapat mengakses referensi mata pelajaran atau literature materi perkuliahan

dan dapat diakses kapan saja tanpa batas waktu biayanya lebih murah. Mahasiswa akan

memperoleh banyak materi pelajaran materi perkuliahan sehingga mempunyai pandangan luas

tentang materi yang diajarkan oleh Dosen di sekolah dan dapat membantu mereka dalam

pemahaman materi pelajaran materi perkuliahan.

Jenis informasi yang diakses di internet

Internet memberikan banyak informasi yang lengkap dan relevan dengan materi pelajaran materi

perkuliahan dalam proses pembelajaran di sekolah. Begitu banyak informasi diperoleh melalui

pemanfaatan internet sebagai sumber informasi belajar yaitu memberikan kemudahan dalam

berinovasi dalam proses pembelajaran di sekolah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis informasi yang diakses di internet termasuk dalam

kriteria tinggi dengan diperoleh persentase sebesar 73,14%. Berdasarkan pengamatan yang

dilakukan oleh peneliti bahwa informasi yang diperoleh mahasiswa FKIP ULM dari internet yaitu

berhubungan dengan materi pelajaran materi perkuliahan. Mahasiswa mengakses website seperti

google, blogger, detik, wordpress, National Geography Chanel, dan website lainnya.

Mahasiswa FKIP ULM mengakses internet dengan tujuan untuk mencari materi pelajaran atau

referensi materi perkuliahan seperti proses terjadinya tsunami, gunung meletus, gempa, proses

terjadinya hujan, dan materi materi perkuliahan yang lainnya. Selain itu, mahasiswa dapat

menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Dosen. Dan tidak menutup kemungkinan mahasiswa

mengakses website facebook, game online, twitter dan lain sebagainya, tetapi hanya untuk sekedar

hiburan saja. Mereka mengakses website tersebut hanya semata untuk menghilangkan kejenuhan

dalam proses pembelajaran.

Page 473: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 467

Internet sebagai Sumber Belajar Berbasis TIK

Internet adalah sumber informasi, sehingga sangat tepat jika internet dijadikan sebagai sumber

belajar. Banyak hal yang dapat kita jadikan sebagai sumber informasi melalui internet. Mulai dari

pengetahuan umum, pengetahuan khusus, pengetahuan popular.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa internet sebagai sumber belajar berbasis TIK termasuk dalam

kriteria tinggi dengan diperoleh persentase sebesar 77,71%. Berdasarkan pengamatan yang

dilakukan oleh peneliti bahwa pemanfaatan internet sebagai sumber belajar berbasis TIK di FKIP

ULM sudah baik dan sesuai dengan pembelajaran materi perkuliahan di sekolah.

Pemanfaatan internet sebagai sumber belajar materi perkuliahan yang tinggi juga sangat

dipengaruhi oleh ketersediaan jaringan internet di sekolah. Berdasarkan hasil pengamatan pada

FKIP ULM menunjukkan bahwa rata-rata FKIP ULM sudah mempunyai jaringan internet. Hal itu

sangat memudahkan mahasiswa dalam memanfaatkan internet sebagai sumber belajar secara

optimal.

Mahasiswa FKIP ULM tidak lagi mengandalkan sumber belajar yang diberikan oleh Dosen saja

tetapi mereka mempunyai kesadaran yang tinggi akan pentingnya pemanfaatan internet dalam

membantu proses pembelajaran di sekolah terutama mencari referensi atau membantu penyelesaian

tugas materi perkuliahan yang diberikan oleh Dosen. Mahasiswa FKIP ULM merasa sumber belajar

yang diberikan oleh Dosen belum cukup dalam menunjang proses pembelajaran.

Mereka membutuhkan sumber belajar lain yaitu informasi dari internet sebagai penunjang

pembelajaran di sekolah sehingga pengetahuan dan pemahaman tentang materi pelajaran materi

perkuliahan. Pemanfaatan internet sebagai sumber belajar juga dapat memberikan kemudahan bagi

mahasiswa dalam proses pembelajaran yang berdampak pada meningkatnya hasil belajar materi

perkuliahan.

Penutup

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan. Hal ini

diketahui dari hasil observasi pada saat penelitian sehingga dengan demikian dapat disimpulkan

bahwasanya: a) Kegiatan pembelajaran dengan menggunakan internet sebagai sumber belajar dapat

membuat siswa menjadi lebih aktif dan mandiri sehingga pembelajaran lebih efektif. b) Mahasiswa

dan dosen menemukan banyak kendala dalam mengakses internet yang disediakan fakultas.

Kendala ini didasari rendahnya kapasitas bandwidth yang dimiliki fakultas sehingga penggunaan

internet utamanya di jam-jam perkuliahan antara pukul 8.00-17.00 WITA susah mengaksesnya.

Page 474: Scanned by CamScanner - ULM

468 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

UPAYA GURU PAUD DALAM MENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN MELALUI ORIGAMI

Nurussa'adah

Educational Technology Department, Education Faculty,

State Semarang University

Email: [email protected]

ABSTRACT

Proses pembelajaran di PAUD , dapat disebut kegiatan bermain sambil belajar merupakan kegiatan

yang menyenangkan bagi anak-anak. Anak usia 4 – 6 tahun pada masa pendidikan anak usia dini

atau masa pendidikan Taman Kanak-kanak, anak-anak sudah sangat membutuhkan alat untuk

bermain dalam rangka mengembangkan kemampuannya, bakatnya, menatnya sesuai dengan apa

yang ia lihat dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan sekitarnya. Bermain dengan menggunakan

alat permainan dapat memenuhi seluruh aspek kebahagiaan anak. Pada saat anak merasakan senang

, maka pertumbuhan otak anak pun menjadi meningkat menuju sempurna, sehingga akan makin

memudahkan anak dalam melakukan proses pembelajarannya. Oleh karena itu alat permainan ini

tidak dapat dipisahkan dari kebutuhan anak. Pembelajaran anak usia dini dapat berhasil apabila

kegiatan yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan tahapan tumbuh kembang anak. Guru

dituntut kreatif dalam pengembangan media pembelajaran dengan memanfaatkan bahan-bahan di

sekitar kita; seperti kertas, lim, nasi yang dapat digunakan sebagai bahan media pembelajaran

Origami / seni melipat kertas dari Jepang. Kreatifitas guru dituntut agar proses pembelajaran dapat

berlangsung menyenangkan dan variatif sehingga anak-anak tidak merasa bosan, dengan

bervariasinya media yang digunakan dalam pembelajaran anak usia dini, tujuan pembelajaran dapat

tercapai. Dalam mengembangkan media pembelajaran Origami tetap mengutamakan aspek

kemudahan, kenyamanan, ramah lingkungan dan menyenangkan bagi anak.

Kata kunci : Guru PAUD, media pembelajaran, dan origami.

PENDAHULUAN

Anak memiliki potensi kecerdasan masing-masing. Dengan kecerdasan dan kreativitas akan

muncul menjadi bakat apabila diasah dan distimuli dengan baik. Kecerdasan yang dimiliki anak itu

tentunya tidak muncul begitu saja, melainkan dengan adanya stimuli, peranan lingkungan dan

media yang mendukung dalam proses tumbuh kembang anak dan proses pembelajaran di sekolah.

Page 475: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 469

Aktivitas kerja pendidikan, pada hakekatnya memiliki tujuan yang hakiki yakni humanisasi.

Pendidikan memiliki makna dasar, mamanusiakan manusia. Membuat manusia menjadi cerdas dan

kreatif guna mencapai perkembangan hidup yang penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Pendidikan berupaya memberikan motivasi anak didik berani menghadapi problematika kehidupan,

mampu menciptakan karya melalui kreativitas dan kecerdasan yang dimiliki.

Keberhasilan suatu pendidikan tidak lepas dari peranan guru. Guru Pendidikan Anak Usia

Dini atau guru Taman Kanak-kanakmengemban tugas yang sangat mulia, yakni menjaga agar bahan

/ materi pembelajaran di TK dapat dimanfatkan dengan baik. Di tangan guru yang kreativ dan dapat

melaksanakan tugasnya dengan baik, anak-anak dapat tumbuh menjadi manusia-manusia yang

berfikir, berjiwa dan berkarya, dan mencapai kemandirian dalam kehidupannya.

Pendidikan Anak Usi Dini ( PAUD ) menjadi penting , karena pendidikan manusia pada

empat tahun pertama sangat menentukan kualitas hidup selanjutnya. Pembentukan berbagai konsep

bagi anak, seperti konsep diri, konsep hidup, dan konsep belajar dipengaruhi oleh bagaimana

lingkungannya memperlakukan dirinya.

Guru PAUD dan Taman Kanak-kanak mempunyai tugas penting dan mulia, dapat disebut

setiap guru menyadari akan tugas utamanya : mendidik dan mengasuh anak usia dini. Selain

kemampuan secara akademik , juga perlu didukung aspek lain yang mampu membantu keberhasilan

pembelajaran. Adanya guru yang berkualitas secara akademik, kurikulum yang sesuai dengan

kebutuhan peserta didik, serta media pembelajaran yang memadai.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin mendorong upaya-upaya

pembaharuan dalam pemanfaatanhasil-hasil teknologi dalam proses belajar di kelas maupun di luar

kelas. Para guru dituntut agar mampu menggunakan alat-alat yang dapat disediakan oleh sekolah,

dan tidak menutup kemungkinan bahwa alat-alat tersebut sesuai dengan perkembangan dan tuntutan

zaman. Guru sekurang-kurangnya dapat menggunkan alat yang murah dan efisien yang meskipun

sederhana dan nyaman, tetapi merupakan keharusan dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran

yang diharapkan. Disamping mampu menggunakan alat-alat yang tersedia, guru juga dituntut untuk

dapat mengembangkan keterampilan membuat media pembelajaran yang akan digunakannya

apabila media tersebut belum tersedia. Untuk itu guru harus memiliki pengetahuan dan pemahaman

yang cukup tentang media pembelajaran.

Peran media dalam pembelajaran khususnya dalam pendidikan anak usia dini semakin

penting artinya mengingat perkembangan anak pada saat itu berada pada masa berfikir konkrit.

Oleh karena itu salah satu prinsip pendidikan untuk anak usia dini harus berdasarkan realita artinya

bahwa anak diharapkan dapat mempelajari sesuatu secara nyata. Dengan demikian dalam

Page 476: Scanned by CamScanner - ULM

470 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

pendidikan untuk anak usia dini harus menggunakan media pembelajaran yang memungkinkan

anak dapat belajar secara nyata.

Origami adalah keterampilan yang memerlukan latihan dengan tahapan-tahapan tertentu,

dan ketika telah menguasainya, seseorang akan merasa bangga dengan apa yang telah dicapainya.

Tentunya hal ini akan menumbuhkan rasa percaya diri anak. Rasa bahwa diri mampu melakukan

sesuatu, adalah bagian yang paling penting dalam proses belajar, terutama bagi anak-anak yang

tidak berbakat dalam bidang akademis (slow learner), yang biasanya tidak dihargai di dalam system

pendidikan mainstream yang terlalu berorientasi akademik. Mereka umumnya merasa tidak mampu

dan minder. Menurut seorang ahli dalam bidang ini anak-anak yang berkebutuhan khusus sering

menemui kegagalan dalam proses belajar, karena mereka merasa tidak mampu (minder), yang

membuat mereka tidak mau mencoba atau berusaha karena percaya bahwa dirinya akan menemui

kegagalan lagi. Dalam Ratna Megawangi (2010:25): Pengalaman Martha Lady dalam menangani

anak-anak yang demikian adalah dengan memberikan pelatihan origami, untuk memberikan

pengalaman bahwa mereka bisa berhasil untuk menciptakan sesuatu.Ratna Megawangi (2010:25) :

Origami memberikan peluang bagi anak untuk melakukan kesalahan, dan kesalahan tersebut bisa

diperbaiki, sehingga dengan pengarahan, origami selalu memberikan hasil nyata. Perasaan bahwa

diri telah berhasil membuat sesuatu secara nyata, ternyata telah menumbuhkan semangat dan

kepercayaan diri anak.

PEMBAHASAN

MEDIA PEMBELAJARAN

Media berasal dari bahasa latin merupakan bentuk jamak dari “Medium” yang secara harfiah

berarti “Perantara” atau “Pengantar” yaitu perantara atau pengantar sumber pesan dengan penerima

pesan. Dalam proses belajar mengajar di kelas, Media berarti sebagai sarana yang berfungsi

menyalurkan pengetahuan dari guru kepada peserta didik. Kelancaran aplikasi model pembelajaran

banyak ditentukan oleh Media Pembelajaran yang digunakan. Media pembelajaran adalah segala

sesuatu yang dapat menyalurkan pesan, dapat merangsang fikiran, perasaan, dan kemauan peserta

didik sehingga dapat mendorong terciptanya proses belajar pada diri peserta didik.

Dalam proses kegiatan belajar mengajar guru dituntut tidak hanya dapat menggunakan

media pembelajaran yang sudah tersedia saja, melainkan juga dituntut untuk dapat mengembangkan

media berbagai bahan dan alat, banyak media yang dapat dikembangkan sesuai dengan tingkat

keterampilan dan kreativitas guru. Tujuan dari penggunaan dan pengembangan media adalah agar

dapat menyampaikan pesan kepada peserta didik dapat lebih efektif da efisien. Untuk menggunakan

dan mengembangkan media pembelajaran guru harus memperhatikan beberapa landasan dan prinsip

Page 477: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 471

media. Telah diketahui oleh guru bahwa dalam interaksi belajar mengajar dapat berjalan efektif dan

efisien perlu digunakan media yang tepat. Ketepatan yang dimaksud tergantung pada tujuan

pembelajaran, pesan ( isi ) pembelajaran dan karakteristik peserta didik yang terlibat dalam kegiatan

pembelajaran. Ada 4 tinjauan, yaitu tinjauan psikologis, teknologis, empiric, dan filosofis.

Landasan Psikologis Belajar adalah proses yang kompleks dan unik; artinya seorang yang belajar

mellibatkan segala aspek kepribadiannya, baik fisik maupun mental. Keterlibatan dari semua aspek

kepribadian ini akan tampak dari perilaku belajar orang itu. Perilaku belajar yang tampak adalah

unik; artinya perilaku itu hanya terjadi pada orang itu dan tidak pada orang lain. Setiap orang

memunculkan perilaku belajar yang berbeda. Keunikan perilaku belajar ini disebabkan oleh adanya

perbedaan karakteristik yang menentukan perilaku belajar, seperti: gaya belajar (visual vs auditif),

gaya kognitif (field independent vs field dependent), bakat, minat, tingkat kecerdasan, kematangan

intelektual, dan lainnya yang bisa diacukan pada karakteristik individual peserta didik. Perilaku

belajar yang kompleks dan unik ini menuntut layanan dan perlakuan pembelajaran yang kompleks

dan unik pula untuk setiap siswa. Komponen pembelajaran yang bertanggung jawab untuk

menangani masalah ini adalah strategi penyampaian pembelajaran, lebih khusus lagi media

pembeljaran. Media pembelajaran haruslah dipilih sesuai dengan karakteristik individual peserta

didik. Guru sedapat mungkin harus memberikan layanan pada setiap peserta didik sesuai dengan

karakteristik belajarnya. Perubahan perilaku sebagai akibat dari belajar dapat dikelompokkan

menjadi 3 aspek, yaitu: pengetahuan, sikap dan keterampilan. Setiap aspek menuntut penggunaan

media pembelajaran yang berbeda. Kajian psikologi menyatakan bahwa anak akan lebih

mudahmempelajari hal yang konkrit dari pada yag abstrak. Landasan Teknologis sasaran akhir dari

teknologi pembelajaran adalah memudahkan belajar siswa. Untuk mencapai sasaran akhir ini,

teknolog-tegnolog di bidang pembelajaran mengembangkan berbagai sumber belajar untuk

memenuhi kebutuhan setiap siswa sesuai dengan karakteristiknya. Dalam upaya itu, teknologi

bekerja mulai dari pengembangan dan pengujian teori-teori tentang berbagai media pembelajaran

melalui penelitian ilmiah, dilanjutkan dengan pengembangan desainnya, produksi, dan memilih

media yang telah diproduksi, pembuatan katalog untuk memudahkan layanan penggunaannya,

mengembangkan prosedur penggunannya dan akhirnya menggunakannya baik pada tingkat kelas

maupun pada tingkat yang lebih luas lagi. Dengan demikian dalam kaitannya dengan teknologi,

media pembelajaran merupakan proses kompleks dan terpadu yang melibatkan orang, prosedur, ide,

peralatan, dan organisasi untuk menganalisis masalah, mencari cara pemecahan, melaksanakan,

mengevaluasi, dan mengelola pemecahan masalah-masalah dalam situasi kegiatan belajar mengajar

itu mempunyai tujuan yang terkontrol. Dalam teknologi pembelajaran, guru dalam melaksanakan

Page 478: Scanned by CamScanner - ULM

472 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

pemecahan masalah yang dilakukan dalam bentuk kesatuan komponen-komponen system

pembelajaran yang telah disusun dalam disain yang lengkap, sehingga menjadi suatu system

pembelajaran yang lengkap. Landasan Empirik , berbagai temuan penelitian menunjukkan bahwa

ada interaksi antara penggunaan media pembelajaran dan karakteristik belajar siswa dalam

menentukan hasil belajar siswa. Maksudnya bahwa siswa akan akan mendapat keuntungan yang

signifikan apabila ia belajar dengan menggunakan media yang sesuai dengan karakteristiknya.

Siswa yang memiliki gaya belajar visual akan lebih senag apabila pembelajaran menggunakan

media visual, seperti film, video, gambar, atau diagram. Sedangkan siswa yang memiliki gaya

belajar auditif akan lebih senang apabila kegiatan pembelajarannya menggunakan media

pembelajaran auditif, seperti rekaman suara, radio atau ceramah dari guru. Berdasarkan landasan

rasional empiris tersebu, maka pemilihan media pembelajaran hendaknya mempertimbangkan

kesesuaian antara karakteristik pebelajar, karakteristik materi pelajaran dan karakteristik media itu

sendiri. Atas dasar uraian tersebut, maka prinsip penyesuaian jenis media yang akan digunakan

dalam kegiatan pembelajaran dengan karakteristik individual siswa menjadi semakin mantap.

Pemilihan dan penggunaan media pembelajaran tidak didasarkan pada kesukaan atau kesenangan

guru, melainkan dilandaskan pada kesuaian media dengan karakteristik siswa, dengan tidak

mengabaikan kriteria lain yang telah disebutkan sebelumnya. Landasan filosofi , dengan bebagai

media pembelajaran siswa dapat mempunyai banyak pilihan , bagi guru dapat menggunakan media

yang lebih sesuai dengan karekteristik siswa. Dengan kata lain siswa dihargai harkat

kemanusiaannya diberi kebebasan untuk menentukan pilihan, baik cara maupun alat belajar sesuai

dengan kemampuannya. Dengan demikian, penerapan teknologi dan pengembangan media

pembelajaran yang dilakukan akan menggunakan pendekatan humanis.

FUNGSI \MEDIA PEMBELAJARAN

Levie dan Lentz (1982) mengemukakan empat fungsi media pembelajaran, khususnya

media visual, yaitu:

Fungsi atensi media visual merupakan inti, yaitu menarik dan mengarahkan perhatian siswa untuk

berkonsentrasi kepada isi pelajaran yang berkaitan dengan makna visual yang ditampilkan atau

menyertai teks materi pelajaran. Seringkali pada awal pelajaran siswa tidak tertarik dengan materi

pelajaran, sehingga mereka tidak memperhatikan. Media gambar dapat menenangkan dan

mengarahkan perhatian mereka kepada pelajaran yang akan mereka terima. Dengan demikian,

kemungkinan untuk memperoleh dan mengingat isi pelajaran semakin besar.

Fungsi afektif media visual dapat terlihat dari tingkat kenikmatan siswa ketika belajar ( atau

membaca ) teks yang bergambar. Gammbar atau lambing visual dapat menggugah emosi dan sikap

siswa, misal informasi yang menyangkut masalah social atau ras.

Page 479: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 473

Fungsi kognitif media visual terlihat dari temuan-temuan penelitian yang mengungkapkan bahwa

lambing visual atau gambar memperlancar pencapaian tujuan untuk memahami dan mengingat

informasi atau pesan yang terkandung dalam gambar.

Fungsi kompensatoris media pembelajaran memberikan konteks untuk memahami teks membantu

siswa ya ng lemah dalam membaca untuk mengorganisasikan informasi dalam teks dan mengingat

kembali. Dengan kata lain , media pembelajaran dapat berfungsi untuk mengakomodasikan /

membantu siswa yang lemah dan lambat menerima dan memahami isi pelajaran yang disajikan

dengan teks atau secara verbal

ORIGAMI

Mengajarkan Origami pada Anak-anak Usa Dini

Dalam kurikulum Montessori termasuk dalam Practical life (kecakapan hidup praktis) untuk

membantu pengembangan fungsi control dan koordinas motorik agar dapat terampil dalam aktivitas

si lingkungan rumah dan sekolahnya. Untuk memperkenalkan origami pada usia dini beberapa anak

dalam lipatan pertama. Karena apabila pertama kali anak merasa kesulitan dan menemui kegagalan,

hal ini akan membuat kesan pertama yang negetif, sehingga akan menurunkan minat dan motivasi

anak selanjutnya.

Pertama-tama anak perlu mengetahui manfaat lipat melipat dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya

di meja makan, orangtua dapat mengajarkan bagaimana melipat serbet makan. Selain langsung

dapat dilihat kegunaannya, melipat serbet adalah tahapan yang paling mudah bagi anak, sehingga

anak merasa mampu, yang akan meningkatkan semangat dan kepercayaan dirinya. Gunakan serbet

dari kain yang agak tebal (hindari kain yang licin seperti satin atau sutera yang sulit untuk dilipat).

Bisa juga melipat handuk , atau baju sehingga dapat disusun di lemari dengan rapih.

Aktivitas dimeja makan ini juga dapat dijadikan wahana untuk memperkenalkan bentuk-

bentuk geometri, misalnya melipat kain bujur sangkar, menjadi segi tiga, membongakarlipatan segi

tiga menjadi bujur sangkar lagi. Biarkan anak membongkar lipatan untuk dilipat lagi, sehingga anak

akan hafal tahapanya. Hal ini akan menumbuhkan rasa kepercayaan dirinya, sehingga ia akan

tertarik dengan bentuk-bentuk lain yang lebih sulit. Hindari memulai lipatan yang rumit, karena

anak akan menemui kesulitan sehingga tidak akan tertarik untuk melanjutkannya. Perlu diingat

bahwa pada tahapan-tahapan awal, anak harus merasa berhasil, dan berikan apresiasi terhadap

pekerjaannya.

Ketika menggunakan kertas, berikan anak kesempatan untuk mengikuti garis lipatan yang

sudah terbentuk terlebih dahulu (dengan membongkar kertas yang sudah dilipat), dengan melipat

Page 480: Scanned by CamScanner - ULM

474 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

mengikutigaris horizontal, diagonal, atau vertikas. Apabila nak sudah terampil dengan mengikuti

garis, maka tahap selanjutannya bisa diberikan kertas yang baru.

Untuk permulaan lakukanlah dengan origami yang sesederhana mungkin, jangan terlalu

banyak lipatan dan rumit nanti bisa membuat anak stress dan tidak mau belajar. Kita bisa mulai

dengan hanya satu lipatan saja misalkan :

1 2 3

Selembar kertas origami kita lipat menjadi 2 bagian

Kemudian , diambil secarik potongan kertas kecil dan tempelkan diatas origami tersebut.

Dan terbentuklah sebuah buku.

Kemudian ke tingkat berikutnya, kita bisa membuat lemari. Caranya :

1 2 3

Kertas origami kertas lipat menjadi 2 untuk membuat garis ketengahnya.

Kemudian sisi kiri dan kanan kita tekuk ke tengah sehingga menerupai lemari 2 pintu

Beri potongan kertas berbentuk bulat yang menerupai gagang lemari/pintu

Selanjutnya, lakukanlah dengan lipatan yang lebih banyak lagi.

Page 481: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 475

Untuk membuat origami lainya dapat melihat di sumberr-sumber yang tersedia di internet atau

membeli buku-buku tentang origami. Banyak sekali pelajaran origami yang dapat diakses di

internet dengan gratis, diantaranya adalah sebagai berikut :

http://www.tammyyee.com/origamishirt.html

http://www.origami.com/diagrams.htm

http://www.origami-intructions.com

http://www.ssanggar-origami.com

http://www.origami-club.com

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengajarkan origami ini :

Ketika melipat, lakukanlah di tempat yang datar seperti, lantai, meja, buku yang tebal, papan

berjalan, dll.

Perhatikan pada lipatan pertama, usahaman serapi mungkin karena mempengaruhi lipatan

berikutnya. Jika lipatan pertamamya kurang rapi, maka akan mendapatkan hasil yang kurang

memuaskan.

Jika sudah mahir, bisa melakukan lipatan di udara, jadi tidak perlu dialasi dengan alas yang tebal

KESIMPULAN

Pemanfaatan Origami ( seni melipat kertas dari Jepang ) sebagai media pembelajaran bagi

anak usia dini sangat bermanfaan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan anak.

Keragaman media yang disajikan tentunya tergantung dari kreatifitas guru dalam menyajikan

tentunya bergantung dari kreatifitas guru dalam menyajikan pembelajaran yang berkualitas dan

menyenangkan bagi anak.

Semua bahan kertas dapat dipakai menjadi media pembelajaran dengan syarat memenuhi unsur-

unsur media yang dapat dipakai untuk pembelajaran anak usia dini. Bahan kerta mudah diperoleh

atau dijangkau , murah , aman , kreatif, menyenangkan dan bisa dibuat serta dimainkan kapan saja.

Kreatifitas guru maupun orang tua dalam mendampingi anak-anak bermain akan memotivasi

anak untuk menjadi kreatif dengan rangsangan media pembelajaran yang disajikan dalam setiap

kegiatan. Guru Diharapkan le3bih kreatif dalam mengembangkan media pembelajaran. Guru dapat

memanfaatkan bahan-bahan kertas untuk digunakan sebagai media dan alat permainan bagi anak

usia dini.

Page 482: Scanned by CamScanner - ULM

476 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad Azhar. 2013, Media Pembelajaran, Jakarta: Rajawali Pers.

Hamalik, Oemar. 1994, Media Pendidikan, Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Sariati Megawangi Ratna, Dewi RYK. 2011, Origami untuk Membangun Karakter,

Jakarta: Indonesia Heritage Foundation.

Yusuf Syamsu, Sugandhi Nani M. 2012, Perkembangan Peserta Didik, Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada.

Page 483: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 477

PENGEMBANGAN MEDIA VIDEO TUTORIAL PEMBELAJARAN PADA MATA KULIAH MEDIA 3D DAN ANIMASI UNTUK MAHASISWA PRODI TEKNOLOGI PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT Rafiudin

[email protected]

Universitas Lambung Mangkurat

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mengembangkan Media Video Tutorial Pembelajaran pada Mata Kuliah

Media 3D dan Animasi untuk Mahasiswa Prodi Teknologi Pendidikan Universitas Lambung

Mangkurat yang teruji kelayakannya. Secara khusus tujuannya adalah untuk (1) mengetahui

kebutuhan mahasiswa terhadap media video tutorial pembelajaran (2) memperoleh penilaian dan

saran perbaikan ahli terhadap media video tutorial pembelajaran media 3D dan animasi serta respon

dari pengguna produk. Metode penelitian yang akan diterapkan dalam penelitian ini memuat tiga

komponen utama yaitu: (1) jenis penelitian akan menerapkan research and development / penelitan

dan pengembangan, (2) Model desain menggunakan model Dick and Carey (Borg & Gall.

2006:590) yang terdiri sepuluh tahapan pengembangan, dan (3) uji coba produk yang terdiri atas uji

coba ahli dan uji coba pengguna produk. Berdasarkan hasil validasi oleh ahli materi/isi, (1)

komponen kelayakan isi memperoleh skor total 27 dengan persentase sebesar 84% dengan kategori

sangat layak; (2) Aspek penyajian secara keseluruhan memperoleh skor sebesar 33 dengan

persentase 92% dengan kategori sangat layak; (3) secara keseluruhan aspek kelayakan bahasa

memperoleh skor 23 dengan persentase sebesar 82% termasuk dalam kategori sangat layak. Aspek

kegrafikan media video tutorial pembelajaran ini memperoleh skor 28 dengan persentase sebesar

77% dengan kategori layak digunakan.

Hasil validasi tersebut kemudian di lakukan perbaikan dan di uji coba perorangan, uji coba

kelompok kecil, dan uji coba kelompok besar dengan hasil komponen pertama sebanyak 22

mahasiswa senang mengikuti pembelajaran menggunakan media tersebut dengan persentase 88%,

100% mengaku senang dengan suasana perkuliahan menggunakan media tersebut, 80% senang

dengan cara dosen mengajar menggunakan media tersebut, 100% mahasiswa menyatakan tertarik

menggunakan media video tutorial dalam perkuliahan, 100% merasa terbantu dengan media

tersebut, dan 88% menyatakan bahwa matakuliah media 3D dan animasi mudah dipelajari dengan

menggunakan media video tutorial pembelajaran. Dengan demikian, hasil pengembangan media

video tutorial pembelajaran pada mata kuliah media 3D dan animasi untuk mahasiswa prodi

teknologi pendidikan universitas lambung mangkurat layak di gunakan.

Kata kunci: Pengembangan, Media Pembelajaran, Video Tutorial, Animasi

Page 484: Scanned by CamScanner - ULM

478 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

PENDAHULUAN

Media merupakan salah satu komponen pembelajaran yang mempunyai peranan penting

dalam kegiatan belajar mengajar. Pemanfaatan media dalam pembelajaran akan mempermudah

proses pembelajaran di kelas, meningkatkan efisiensi proses pembelajaran, menjaga relevansi antara

materi pelajaran dengan tujuan belajar, dan membantu konsentrasi pebelajar dalam proses

pembelajaran. Menurut Miarso (2004) media pembelajaran adalah segala sesuatu yang digunakan

untuk menyalurkan pesan serta dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan si

pebelajar sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar. Pengertian media tersebut,

mengindikasikan bahwa segala sesuatu yang dimanfaatkan dalam proses pembelajaran untuk

menyampaikan pesan kepada peserta didik dan dapat memacu mereka untuk belajar, di golongkan

sebagai media pembelajaran.

Media pembelajaran merupakan bagian yang harus mendapat perhatian pengajar atau

fasilitator dalam setiap kegiatan pembelajaran. Dosen atau fasilitator perlu mempelajari bagaimana

menetapkan media pembelajaran yang sesuai agar dapat mengefektifkan pencapaian tujuan

pembelajaran dalam proses belajar mengajar.Pemilihan media yang tepat dalam pembelajaran,

dapat dilakukan dengan menggunakan model dimana perancang dapat menentukan klasifikasi

umum dalam suatu tujuan dan kemudian memaksimalkan kemampuan media pembelajaran untuk

memuat tujuan tersebut.Proses pemilihan media diawali dengan mengembangkan tujuan

pembelajaran, spesifikasi tujuan pembelajaran, menentukan media berdasarkan tujuan pembelajaran

yang di tetapkan, mengevaluasi sumber yang tersedia, mencocokkan tujuan, strategi, dan

karakteristik media, kemudian menentukan biaya keefektifan sistem yang dipilih, dan setelah itu

menetapkan sistem belajar.Namun, pada kenyatannya media pembelajaran masih

seringterabaikandengan berbagai alasan, antara lain: terbatasnya waktu untuk membuat persiapan

mengajar, sulit mencari media yang tepat, tidak tersedianya biaya, dan lain-lain. Hal ini sebenarnya

tidak perlu terjadi jika setiap guru/fasilitator telah mempunyai pengetahuan dan keterampilan

mengenai media pembelajaran.

Penggunaan media pembelajaran merupakan hal yang sangat penting dalam peningkatan

proses pembelajaran. Sehingga, setiap dosen dituntut menciptakan suasana pembelajaran yang lebih

inovatif yang mampu mendorong mahasiswa belajar secara optimal baik dalam belajar mandiri

maupun dalam pembelajaran di kelas.Sebaliknya, penggunaan media yang kurang tepat akan

menciptakan suasana belajar yang tidak nyaman bagi siswa, sehingga tujuan pembelajaran tidak

tercapai. Suatu pengamatan yang dilakukan peneliti di prodi teknologi pendidikan mengindikasikan

sebuah proses pembelajaran yang kurang menarik bagi mahasiswa khususnya pada mata kuliah

media 3D dan animasi.Proses belajar mengajar pada mata kuliah inisepenuhnya dengan bimbingan

dosen tanpa ada sebuah media yang bisa memudahkan mahasiswa dalam belajar baik secara

Page 485: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 479

mandiri maupun terbimbing. Sementara itu, mata kuliah 3D dan animasi merupakan mata

kuliahyang bertumpuh pada praktikum yang memerlukan keterampilan dalam penguasaan sebuah

perangkat lunak.Mata kuliah 3D dan animasi memerlukan sebuah media tutorial yang mampu

memandu mahasiswa dalam membuat animasi secara mandiri dan terbimbing sehingga mampu

mengefisiensikan waktu belajar.Salah satu media yang bisa digunakan dalam belajar mandiri yaitu

melalui video tutorial pembelajaran animasi.

Video pembelajaran merupakan media yang terdiri atas beberapa unsur yaitu auditorial, visual dan

unsur gerak yang membantu dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran terutama mampu menarik

perhatian dan motivasi mahasiswa dalam kegiatan pembelajaran. Unsur suara yang ditampilkan

berupa narasi, dialog, sound effect dan musik, sedangkan unsur visual berupa gambar/foto diam

(still image), gambar bergerak (motion picture), animasi, dan teks.Menurut Anderson (1987:105)

media video memiliki kelebihan, antara lain: penggunaan video (disertai suara atau tidak), dapat

menunjukan kembali gerakan tertentu, menggunakan efek tertentu dapat diperkokoh baik proses

belajar maupun nilai hiburan dari penyajian, informasi dapat disajikan secara serentakn pada waktu

yang sama di lokasi (kelas) yang berbeda dan dengan jumlah penonton atau peserta yang tak

terbatas dengan jalan menempatkan monitor dikelas, dan dengan video mahasiswa dapat belajar

secara mandiri. Sehingga, dengan media ini mahasiswa lebih termotivasi dalam belajar baik secara

terbimbing maupun mandiri.

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan terhadap mahasiswa prodi teknologi

pendidikan, mereka kurang termotivasi dan kurang bersemangat dalam mengikuti pembelajaran

materi kuliah Animasi. Proses belajar mengajar pada mata kuliah animasi masih sepenuhnya

dengan bimbingan dosen, misalnya: dosen menjelaskan tahap demi tahap proses pembuatan

animasi, jika tidak di bimbing oleh dosenmahasiswa sering kali tidak melakukan semua tahapan

proses pembuatan animasi dan sering mereka ketinggalan tahapan sehingga hasil pembuatan

animasinya tidak selesai, kecuali bagi mereka yang dapat dengan cepat memahaminya. Hal tersebut

disebabkan Karena tidak tersedianya media pembelajaran yang membuatmahasiswa mampu belajar

secara mandiri dengan mengikuti tahapan-tahapan dalam pembuatan animasi.

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tuntutan ketersediaan media video tutorial pembelajaran

pada mata kuliah 3D dan animasi sangat di harapkan. Sehingga, penelitian dan pengembangkan

sebuah media video tutorial pembelajaran pada mata kuliah media 3D dan animasi bagi mahasiswa

prodi teknologi pendidikan FKIP ULM sangat penting untuk dilakukan.

Page 486: Scanned by CamScanner - ULM

480 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini merupakan jenis penelitian pengembangan atau research and development (R&D)

karena mengembangkan sebuah produk yaitu media video tutorial pembelajaran Animasi.Sugiyono

(2013:297) menyatakan bahwa penelitian pengembangan adalah metode penelitian yang digunakan

untuk menghasilkan produk tertentu, dan menguji keefektifan produk tersebut. Selain itu, Borg dan

Gall (2007:589) mendefinisikan bahwa penelitian dan pengembangan adalah model pengembangan

berbasis industri di mana temuan-temuan penelitian digunakan untuk merancang produk baru dan

prosedur, yang kemudian secara sistematis diuji di lapangan, dievaluasi, dan disaring sampai

memenuhi kriteria efektifitas, kualitas dan memenuhi standar yang ditetapkan.

Model Dick and Carey merupakan model desain pendekatan sistem yang digunakan untuk

mendesain, mengembangkan,mengimplementasikan, dan mengevaluasi pembelajaran. Model

pengembangan ini melalui tahapan yang sangat teliti antara setiap komponen, khususnya hubungan

antara strategi pembelajaran dan hasil pembelajaran yang akan dicapai.

Tahap pertama, pengembang menentukan tujuan umum pembelajaran dalam pengembangan media.

Tujuan umun pembelajaran berdasarkan tujuan pengajaran materi animasi. Kemudian,

melakukakan analisis kebutuhan, yang meliputi analisis peserta didik, strategi pembelajaran, proses

pembelajaran, kurikulum dan materi-materi pembelajaran, sehingga dapat mengindikasi tujuan

pembelajaran.

Tahap kedua, pengembang mengidentifikasi pengetahuan dan ketrampilan yang harus ada pada

pembelajaran, kemudian menganalisis pembelajaran terhadap tujuan pembelajaran umum melalui

dua tahap. Pertama, menggolongkan pernyataan tujuan umum menurut jenis kapabilitas belajar.

Kedua, melakukan analisa lanjutan untuk mengidentifikasi keterampilan bawahan. Setelah itu,

melakukan analisis tujuan umum pembelajaran dan kemudian menggolongkan berdasarkan

kemampuan siswa, sehingga pengetahuan dan keterampilan siswa dapat diketahui.

Tahap ketiga pengembang melakukan analisis terhadap karakteristik siswa yang akan belajar dan

konteks pembelajaran. Kedua langkah tersebut dilakukan secara bersamaan atau paralel. Analisis

konteks meliputi kondisi-kondisi terkait dengan keterampilan yang dipelajari oleh siswa dan situasi

yang terkait dengan tugas yang dihadapi oleh siswa kemudian menerapkan pengetahuan dan

keterampilan yang dipelajari. Setelah itu, melakukan analisis terhadap karakteristik mahasiswayang

meliputi kemampuan aktual yang dimiliki oleh siswa, gaya belajar, dan sikap terhadap aktivitas

belajar. Hasil identifikasi tentang karakteristiksiswakemudian dijadikan acuan dalam memilih dan

menentukan strategi pembelajaran yang akan digunakan.

Tahap keempat, pengembang menulis tujuan khusus pembelajaran yang merupakan pernyataan

tentang apa yang akan dicapai siswa setelah mereka selesai mengikuti kegiatan pembelajaran.

Beberapa hal yang dilakukan oleh pengembang dalam merumuskan tujuan pembelajaran khusus,

Page 487: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 481

yaitu:Pertama, menentukan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh siswa setelah

menempuh proses pembelajaran. Kemudian, menganalisa kondisi yang diperlukan agar siswa dapat

melakukan unjuk kemampuan dari pengetahuan yang telah dipelajari. Setelah itu, menentukan

indikator atau kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan keberhasilan siswa dalam

menempuh proses pembelajaran. Kriteria yang relevan tersebut berupa kecermatan, waktu

(kecepatan), kesesuaian dengan prosedur, kuantitas atau kualitas hasil akhir.

Tahap kelima mengembangkan alat atau instrumen penilaian validasi produk dan instrumen

penilain. Pengembang mengembangkan instrumen validasi yang terdiri dari instrumen validasi

media pembelajaran dan instrumen materi pembelajaran. Instrumen validasi dikembangkan

berdasarkan komponen kelayakan isi, kelayakan penyajian, kelayakan bahasa, dan komponen

kegrafikan. Instrumen penilaian yang dikembangkan terdiri dari tes pendahuluan (pre test)dan post

test)

Tahap keenam pengembang mengembangkan strategi pembelajaran dengan mengelompokkan

dalam lima komponen yaitu: 1).aktivitas pra pembelajaran, 2).penyajian materi atau isi, 3)

partisipasi pebelajar, 4) penilaian dan 5) aktivitas lanjutan yaitu meninjau lagi strategi secara

keseluruhan untuk menentukan berhasilnya proses belajar.

Tahap ketujuh adalah mengembangkan strategi pembelajaran, pengembang kemudian

mengembangkan media pembelajaran. Pada tahap ini, pengembang melakukan analisis kebutuhan

untuk mengetahui materi pembelajaran seperti apa yang sesuai dengan karakteristik mahasiswa,

tingkat pemahaman, dan tujuan yang hendak dicapai. Setelah analisis kebutuhan dilakukan, tahap

kedua adalah melakukan penelusuran ketersediaan materi-materi pembelajaran. Materi-materi

pembelajaran tersebut ditelusuri dari berbagai sumber yang menyediakaan berbagai materi-materi

pembelajaran dan kemudian dievaluasi untuk mengetahui apakah materi-materi pembelajaran

tersebut layak untuk dijadikan sebagai bahan pembelajaran. Materi-materi pembelajaran yang telah

dievaluasi, kemudian dicocokkan dengan tujuan pembelajaran dan ditentukan berdasarkan

keterampilan-keterampilan dan tujuan yang hendak dicapai. Setelah itu, materi yang telah

ditentukan di uji persyaratan hak cipta, direvisi ketersediaan materinya dan kemudian

mengembangkan materi-materi pembelajaran baru yang dibutuhkan.

Tahap kedelapan adalah pengembang merancang dan melakukan evaluasi formatif pembelajaran.

Evaluasi formatif yang dirancang dalam pengembangkan produk atau program pembelajaran ini,

yaitu: evaluasi perorangan, kelompok kecil, kelompok besar, dan lapangan. Pengembang

melakukan evaluasi perorangan melalui kontak langsung dengan minimal tiga orang calon

pengguna program untuk memperoleh masukan tentang kesalahan-kesalahan yang tampak dalam

Page 488: Scanned by CamScanner - ULM

482 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

bahan ajar dan memperoleh petunjuk awal, daya guna bahan ajar dan reaksi mahasiswa pada isi

bahan ajar. Kemudian, melakukan evaluasi kelompok kecil dengan mengujicobakan program

terhadap kelompok kecil calon pengguna untuk menentukan efektivitas perubahan yang telah dibuat

setelah evaluasi perorangan dan mengidentifikasi masalah yang mungkin masih ada. Setelah itu,

melakukan evaluasi lapangan untuk menguji cobakan program terhadap sekelompok besar calon

pengguna program sebelum program tersebut digunakan dalam situasi pembelajaran yang

sesungguhnya.

Tahap kesembilan adalah melakukan perbaikan atau penyempurnaan terhadap draf program

pembelajaran berdasarkan masukan dari validator dan uji pelaksanaan lapangan. Tahap uji coba

dalam penelitian produk pengembanagan ini merupakan tahap dilaksanakan evaluasi formatif yang

teridiri dari uji coba perorangan (ahli) dan uji coba kelompok kecil. Desain uji coba terdiri dari uji

coba ahli, uji coba kelompok kecil, dan uji coba lapangan atau kelompok besar.

Tahap kesepuluh adalah melakukan evaluasi sumatif setelah program selesai dievaluasi secara

formatif dan direvisi sesuai dengan standar yang digunakan oleh pengembang. Evaluasi sumatif

tidak melibatkan perancang program, tetapi melibatkan penilai independen. Hal ini merupakan satu

alasan untuk menyatakan bahwa evaluasi sumatif tidak tergolong ke dalam proses desain sistem

pembelajaran.

Desain uji coba terdiri dari uji coba ahli, uji coba kelompok kecil, dan uji coba lapangan atau

kelompok besar. Berikut penjelasan uji coba yang diterapkan dalam penelitian pengembangan ini:

Uji Coba Ahli

Pengujian pada tahap ini digunakan untuk menguji kelayakan produk berdasarkan

pedoman angket uji kelayakan. Meliputi; (1) ahli media yang akan menilai rancangan media yang

dibuat, dan (2) ahli materi yang akan menilai rancangan materi yang akan dijadikan sebagai bahan

ajar dalam media video tutorial pembelajaran.

Uji Coba Kelompok Kecil

Pada tahapan ini, pengujian akan dilakuakan dengan pebelajar sebagai pengguna produk. Uji coba

produk, dalam hal ini adalah media pembelajaran menyimak berita wawasan kebangsaan diperlukan

untuk mengetahui sejauh mana produk dari hasil pengembangan berpengaruh terhadap hasil belajar

siswa. Uji coba produk juga melihat sejauh mana produk yang dibuat dapat mencapai sasaran dan

tujuan. Serta untuk mendapatkan masukan perbaikan agar dilakukan revisi sebelum dillakukan uji

coba kelompok besar.

Page 489: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 483

Uji Coba Kelompok Besar dan Lapangan

Uji coba kelompok besar dilakukan untuk mengetahui efektifitas media

pembelajaran yang dikembangkan dalam proses pembelajaran sebelum diterapkan terhadap

pengguna produk (lapangan) dalam situasi pembelajaran yang sesungguhnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Acuan pengembangan media video tutorial dalam penelitian ini di peroleh dari hasil penyebaran

angket terhadap pengguna produk. Hasil angket tersebut teridentifikasi kebutuhan mahasiswa

terhadap media video tutorial yang akan dikembangkan. Kebutuhan mahasiswa terhadaap media

video tutorial meliputi 4 aspek, yaitu: (a) aspek jenis media; (b) aspek karakteristik media; (c) aspek

materi; (d) aspek sampul CD.

Pada aspek jenis media menunjukan respon mahasiswa terhadap jenis atau kemasan media

video tutorial pembelajaran, sebanyak 9 mahasiswa memilih media video pembelajaran dikemas

dalam bentuk file MP3. Mereka berpendapat bahwa jika media video tutorial pembelajaran ini

dikemas dalam bentuk file MP3, akan lebih mudah proses pembuatannya. Kemudian ada 32

mahasiswa memilih media video tutorial pembelajaran dikemas dalam bentuk file MP4 dalam CD.

Sebagian besar dari mereka berpendapat jika media video tutorial pembelajaran dikemas dlam

bentuk CD, akan lebih menarik dan praktis. Dari data yang diperoleh maka peneliti memilih media

pembelajaran dikemas dalam bentuk kaset CD, akan lebih menarik dan praktis. Dari data yang

diperoleh maka peneliti memilih media pembelajaran dalam bentuk file MP4 dalam kaset CD.

Pada aspek sampul CD terdiri atas judul media video tutorial pembelajaran pada

pembungkus, jenis huruf pembungkus CD, warna pembungkus CD, dan gambar cover CD media

tutorial pembelajaran. Bagian judul media video tutorial pembelajaran ada 10 mahasiswa yang

memilih “Video Tutorial Blender Animasi 3D-Mudah dan Interaktif.” Menurut mereka judul

tersebut sesuai dengan isi CD tersebut.Kemudian, ada 23 mahasiswa yang memilih judul “Tutorial

Blender - Belajar Cepat Membuat Animasi 3D” judul ini dinilai lebih menarik oleh sebagian besar

mahasiswa. Selain itu, ada 8 mahasiswa yang memilih pendapat lain mengenai pemilihan judul

media video tutorial pembelajaran ini. Selanjutnya, pada aspek jenis huru pada pembungkus CD ada

sebanyak 12 mahasiswa memilih hjenis huruf Times New Roman, 10 mahasiswamemilih jenis

huruf Arial, dan 19 mahasiswa memilih jenis huruf Comic. Sebagian mereka sependapat, bahwa

jenis huruf yang mereka pilih lebih menarik bagi mereka dan ada 4 mahasiswa mengemukakan

jawaban lain. Kemudian pada bagian warna pembungkus CD, sebanyak 8 mahasiswa memilih

warna merah.Warna biru dipilih oleh 12 mahasiswa. Alasannya hampir sama, mereka lebih tertarik

dengan warna yang mereka pilih. Ada 16 mahasiswa berpendapat warna pembungkus CD

Page 490: Scanned by CamScanner - ULM

484 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

disesuaikan kebutuhan.Selain itu, ada 4 mahasiswa mempunyai jawaban lain dengan pendapat

berbeda. Sebanyak 24 mahasiswa memilih gambar Animasi 3D untuk dijadikan cover CD dan

pembungkus CD media video tutorial pembelajaran. Alasan mereka adalah disesuaikan dengan

materi yang dibahas.Kemudian 10 mahasiswa memilih gambar objek 3D, dengan alasan sesuai

dengan fungsi dari software tersebut.Ada 6 mahasiswa juga memilih abstrak untuk dijadikan cover.

Beberapa mahasiswa juga memilih jawaban lain. Terakhir adalah harapan dan masukan terhadap

media video tutorial pembelajaran ini, yaitu sebagian besar mahasiswa berpendapat agar dibuat

suatu media video tutorial pembelajaran 3D dan Animasi yang menarik dan mudah dipelajari.

Berdasarkan analisis tiap aspek di atas, dapat disimpulkan bahwa mahasiswa membutuhkan media

video tutorial pembelajaran 3D dan animasi yang menarik dan inovatif. Berupa CD tutorial yang

berisi petunjuk penggunaan dan panduan belajar yang dapat merangsang kemampuan mahasiswa

dalam membuat obyek 3D dan animasi sehingga dapat memudahkan dalam mempelajarinya dan

dapat dipelajari secara mandiri.

Ada tiga aspek utama yang di validasi dalam materi media video tutorial pembelajaran ini

yaitu komponen kelayakan isi, komponen kelayakan penyajian, dan komponen kelayakan bahasa.

Hasil validasi komponen kelayakan isi memperoleh skor total 27 dengan persentase sebesar 84%.

Hal ini menunjukan bahwa aspek komponen kelayak isi dalam media video tutorial pembelajaran

pada mata kuliah media 3D dan animasi berkualitas baik dan sangat layak di terapkan dalam proses

pembelajaran.

Aspek penyajian secara keseluruhan memperoleh skor sebesar 33 dengan persentase

92%.Dengan demikian kriteria penyajian media video tutorial pembelajaran termasuk dalam

kategori sangat baik atau sangat layak. aspek kelayakan bahasa memperoleh skor 23 dengan

persentase sebesar 82%. Dengan demikian kriteria penyajian media video tutorial pembelajaran

sangat baik atau sangat layak untuk di terapkan dalam proses pembelajaran media 3D dan animasi.

Secara keseluruhan aspek kegrafikan media video tutorial pembelajaran ini memperoleh skor 28

dengan persentase sebesar 77%. Dengan demikian, kriteria penyajian media tersebut termasuk

dalam kategori layak digunakan dalam proses pembelajaran mata kuliah media 3D dan animasi.

Setelah melewati proses peninjauan oleh ahli materi dah ahli medi pembelajaran, maka

langkah berikutnya yang dilakukan adalah melakukan uji coba perorangan terhadap media video

tutorial pembelajaran yang telah direvisi sebelumnya. respos 3 mahasiswa terhadap proses

pembelajaran dengan menggunakan media video tutorial pembelajaran pada uji coba perorangan.

Dari 3 mahasiswa yang mengikuti uji coba, semua mahasiswa atau 100% mengaku senang dengan

suasana perkuliahan menggunakan media video tutorial pembelajaran. Dari segi kecepatan waktu

memahami mata kuliah, ada 66,7% mahasiswa merasa mudah memahami dan 33,3 kurang cepat

Page 491: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 485

memahami dengan menggunakan media video tutorial pembelajaran pada mata kulia media 3D dan

animasi.

Setelah uji coba perorangan, langkah berikutnya adalah dilakukan uji coba kelompok kecil

pada 9 orang responden.Uji coba ini dilakukan untuk mengidentifikasi keurangan-kekurangan yang

tidak terdeteksi pada uji coba perorangan. Berdasarkan tabel di atas, diketahui tanggapan

mahasiswa yaitu: komponen pertama ada 9 mahasiswa senang dalam mengikuti pembelajaran

dengan media video tutorial pembelajaran dengan persentase 100%; komponen kedua ada 9

mahasiswa merasa senang dengan perkuliahan menggunakan media video tutorial; sedangkan pada

cara dosen mengajar ada 7 mahasiswa merasa senang dengan persentase 88,9% dan hanya 3

mahasiswa yang tidak senang.

Selanjutnya, komponen ketiga 100% merasa tertarik dengan menggunakan media,

komponen ke empat ada 77,8% cepat memahami perkuliahan dengan menggunakan media,

komponen kelima ada 88,9% mengaku lebih memahami perkuliahan dengan menggunakan media

video tutorial. Kemudian, komponen ke enam ada 66,7% merasa terbantu belajar dan komponen

ketujuh 77,8% mengaku mata kuliah media 3D dan animasi tidaklah sulit jika menggunakan video

tutorial pembelajaran.

Setelah melewati uji coba kelompok besar, maka langkah berikutnya adalah dilakukan uji

coba kelompok besar kepada 25 mahasiswa. respon mahasiswa terhadap media video tutorial

pembelajaran. Komponen pertama sebanyak 22mahasiswa senang dalam mengikuti pembelajaran

menggunakan media tersebut dengan persentase 88%, 100% mengaku senang dengan suasana

perkuliahan menggunakan media tersebut, 80% senang dengan cara dosen mengajar menggunakan

media tersebut, 100% mahasiswa menyatakan tertarik menggunakan media video tutorial dalam

perkuliahan, 100% merasa terbantu dengan media tersebut, dan 88% menyatakan bahwa mata

kuliah media 3D dan animasi mudah dipelajari dengan menggunakan media video tutorial

pembelajaran.

Media Video Tutorial Pembelajaran ini memiliki keunggulan yaitu media ini masih jarang

digunakan di lapangan, penggunaannnya praktis, dan materi pembelajaran animasi 3D dikatakan

lengkap.Pengunaan video pembelajaran model tutorial ini sangat cocok untuk digunakan dalam

pembelajaran karena bersifatnya praktek. Keunggulan mampu memperlihatkan bagaimana sesuatu

bekerja. Misalnya dalam mendemonstrasikan bagaimana cara membuat desain animasi, membuat

objek 3D, atau membuat pewarnaan, editing, membuat efek suara, benda bergerak, membuat objek

banguan dan lain sebagainya. Semua itu akan terasa lebih simpel, mendetail, dan bisa diulang-

ulang.

Page 492: Scanned by CamScanner - ULM

486 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Video tutorial pembelajaran merekam kegiatan motorik mahasiswa juga memberikan

kesempatan pada mereka untuk mengamati dan mengevaluasi kerja praktikum mereka, baik secara

pribadi maupun feedback dari teman-temannya. Media ini juga dapat meningkatkan kompetensi

interpersonal, video tutorial memberikan kesempatan pada mereka untuk mendiskusikan apa yang

telah mereka saksikan.

Berdasarkan tanggapan mahasiswa terhadap medio video tutorial yang dikembangkan,

menyatakan jika media video tutorial pembelajaran pada mata kuliah media 3D dan animasi sangat

menarik, menambah minat belajar mahasiswa, mudah dipahami, dan sangat bermanfaat untuk

mahasiswa dalam mengatasi kesulitan belajar. Dengan demikian, media video tutorial pembelajaran

mata kuliah media 3D dan animasi yang dikembangkan disetujui oleh pengguna produk dan bisa

diterapkan dalam proses perkuliahan untuk mata kuliah media 3D dan animasi di Program Studi

Teknologi Pendidikan FKIP Universitas Lambung Mangkurat.

KESIMPULAN DAN SARAN

Penelitian ini menghasilkan media video tutorial pembelajaran pada mata kuliah media 3D

dan animasi, yaitu secara umum produk yang dihasilkan diwujudkan dalam bentuk CD video

tutorial pembelajaran. CD video tutorial pembelajaran ini didesain sesuai kebutuhan mahasiswa

yaitu menarik, mudah dipahami, dan memiliki cakupan materi pembelajaran Animasi 3D yang

lengkap. Media ini berisi materi, fungsi dan cara pengoperasian program software blander yan

menyajikan materi secara terbimbing serta merangsang siswa untuk belajar. Berdasarkan hasil

penelitian dan pengembangan tersebut, maka diperoleh simpulan sebagai berikut:

Media video tutorial pembelajaran pada mata kulia 3D dan animasi di Program Studi Teknologi

Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat yang dikembangkan telah teruji dari segi validitas dan

layak untuk digunakan sebagai media dan materi pembelajaran dalam perkuliahan.

Media video tutorial pembelajaran yang dikembangkan dapat meningkatkan kreativitas dan

motivasi belajar mahasiswi program studi teknologi pendidikan.

Berdasarkan hasil penelitian, peneliti memberikan saran-saran sebagai berikut:

Saran Pemanfaatan

Media video tutorial pembelajaran ini dapat digunakan oleh sisw-siswa SMK, mahasiswa ilmu

komputer, teknik komputer dan dosen sebagai bahan pembelajaran pada mata kuliah animasi 3D di

perguruan tinggi yang bisa digunakan saat perkuliahan maupun di saat di luar perkuliahan.

Materi-materi animasi 3D banyak pula tersedia di internet, sehingga untuk memperkaya materi dan

meningkatkan pemahaman Animasi 3D dapat ditelusuri di internet.

Page 493: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 487

Saran Desiminasi

Media video tutorial pembelajaran yang dihasilkan menggunakan model sistem pembelajaran Dick

and Carey (dalam Borgh and Gall, 2007:590) telah mampu meningkatkan motivasi dan hasil belajar

mahasiswa program studi teknologi pendidikan. Media video tutorial ini dapat disebarluaskan dan

digunakan sebagai bahan pembelajaran animasi 3D.

Saran Pengembangan Produk Lebih Lanjut

Penelitian dan pengembangan media video tutorial pembelajaran hendaknya terus dilakukan

sehingga dapat menghasilkan produk yang baik dan bermanfaat dalam meningkatkan kualitas

pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Arif S Sadiman. 2003. Media Pendidikan. Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Astuti, Dwi. 2006. Teknik membuat Animasi Profesional Menggunakan Macromedia Flash 8. Semarang: Penerbit Andi. Arsyad, Azhar. 2003. Media Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Briggs. L.J. and Gagne.R.M. (1979).Princples of Instructional Design. Florida State University: United States of America. Borgh, W.R. and Gall, W.R. (20017). Educational Research. New York: Pearson Education, Inc. Cheppy Riyana. 2007. Pedoman Pengembangan Media Video. Jakarta: P3AI UPI. Daryanto. 2010. Media Pembelajaran. Yogyakarta: Gava Media. https://ayobelajarmultimedia.wordpress.com/home-3/camtasia-studio-6-0/ Miarso, Y (2009). Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Rusman. 2012. Belajar dan Pembelajaran Berbasis Komputer. Bandung: Alfabeta. S. Wojowasito.2006. Kamus Bahasa Indonesia.Malang: C.V Pengarang. Sugiono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Page 494: Scanned by CamScanner - ULM

488 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

PENGEMBANGAN E-LEARNING BERBASIS PENDEKATAN ILMIAH PADA MATA PELAJARAN IlMU PENGETAHUAN ALAM JENJANG SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

Developing of E-learning Based on Scientific Approach on Natural Sciences Lesson

Heru Amrul Mu’arif

TP, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat

[email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menghasilkan produk e-learningberbasis pendekatan ilmiah pada

mata pelajaran ilmu pengetahuan alam bagi siswa kelas VIII SMP dengan spesifikasi model dan isi

yang ditetapkan, (2) mengetahui kelayakan produk e-learning, (3) mengetahui hasil belajar siswa

setelah menggunakan e-learning. Jenis penelitian ini adalah penelitian dan pengembangan (R&D)

dan diadaptasi dari model Alessi dan Trollip. Prosedur pengembangan meliputi tahap perencanaan,

desain, dan pengembangan. Penelitian berhasil menunjukan hasil sebagai berikut. (1) Produk e-

learning berbasis pendekatan ilmiah berhasil dikembangkan dengan sebuah sistem manajemen

pembelajaran (LMS) online yang dibuat dengan software aplikasi moodle. E-learning berbasis

pendekatan ilmiah dikembangkan untuk pokok bahasan sistem tata surya dan kehidupan di bumi (2)

Produk e-learning berbasis pendekatan ilmiah pada mata pelajaran ilmu pengetahuan alam telah

memenuhi kriteria dan dinyatakan layak sebagai media pembelajaran berdasarkan validasi ahli

media, ahli materi, dan siswa, kelayakannya mencapai rerata skor 4,15 dengan kategori baik. (3)

Keefektifan pembelajaran IPA lebih baik setelah menggunakan e-learning dibuktikan melalui

peningkatan hasil belajar. Hasil belajar siswa kelas VIII SMP di Yogyakarta mengalami

peningkatan setelah menggunakan e-learning.

Kata kunci: e-learning, pendekatan ilmiah, ilmu pengetahuan alam.

Page 495: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 489

Pendahuluan

Perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat dalam hal teknologi informasi menyebabkan

terbuka luasnya area pembelajaran. Perkembangan teknologi informasi juga telah mengubah

kondisi pembelajaran yang selalu terikat dengan ruang dan waktu menjadi pembelajaran yang bisa

dilaksanakan kapan saja dan dimana saja. Ruang belajar bukan jadi penghalang atau sekat yang

membatasi kegiatan siswa dalam belajar. Bahkan dunia merupakan ruang belajar manusia tanpa

batas seperti pepatah “The World is The Classroom”. Jika aktivitas pembelajaran masih terkendala

ruang dan waktu maka akan sangat bertentangan dengan keilmuan teknologi pembelajaran.

Teknologi pembelajaran hadir sebagai solusi dari masalah-masalah yang muncul dalam proses

belajar dan pembelajaran. Landasan ontologi timbulnya konsep teknologi pendidikan/pembelajaran

antara lain: (1) adanya sejumlah besar orang yang belum terpenuhi kesempatan belajarnya, (2)

adanya sumber yang belum dapat dimanfaatkan untuk keperluan belajar, (3) perlu adanya usaha

untuk menggarap sumber-sumber tersebut agar dapat terpenuhi hasrat belajar setiap orang, (4)

perlunya pengelolaan sumber-sumber belajar agar bisa digunakan secara optimal untuk keperluan

belajar (Miarso, 2005, p.166). Sebagai teknolog pembelajaran sudah seharusnya dapat berkontribusi

dalam membantu penentu kebijakan mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan.

Pada tahun 2013, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada eranya mulai

memberlakukan kurikulum baru guna memperbaharui kurikulum sebelumnya yakni kurikulum

tingkat satuan pendidikan (KTSP) menjadi kurikulum 2013. Kurikulum 2013 diberlakukan pada

jenjang sekolah dasar hingga menengah.

Kurikulum 2013 mengamanatkan penggunaan pendekatan ilmiah dalam proses pembelajaran

sebagaimana tercantum dalam Permendiknas No. 65 Tahun 2013 (Mendikbud, 2013a, p.9) tentang

standar proses. Pendekatan ilmiah ini diyakini sebagai sarana yang tepat dalam pengembangan

sikap, pengetahuan, dan keterampilan di abad 21. Pada abad 21, siswa tidak hanya dituntut untuk

berpengetahuan saja, namun juga dapat memanfaatkan dan mengaplikasikan pengetahuan yang

diperoleh untuk kehidupannya kelak.

Proses pembelajaran pada Kurikulum 2013 untuk jenjang SMP dan SMA atau yang sederajat

dilaksanakan menggunakan langkah-langkah pendekatan ilmiah. Seluruh mata pelajaran

diintegrasikan dengan pendekatan ilmiah termasuk proses pembelajaran mata pelajaran IPA. Proses

pembelajaran menyentuh tiga ranah, yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Harapannya hasil

akhirnya adalah peningkatan dan keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi manusia yang

baik (soft skills) dan manusia yang memiliki kecakapan dan pengetahuan untuk hidup secara layak

(hard skills) dari siswa yang meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan.

Page 496: Scanned by CamScanner - ULM

490 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Kurikulum 2013 menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran, yaitu

menggunakan langkah-langkah pendekatan ilmiah. Langkah-langkah Pendekatan ilmiah dalam

pembelajaran sebagaimana dimaksud meliputi mengamati, menanya, menalar, mencoba dan

membentuk jejaring atau lebih sering disingkat dengan 5M. Pendekatan ilmiah menjadi pendekatan

yang perlu dilaksanakan pada seluruh mata pelajaran untuk jenjang pendidikan menengah, tanpa

terkecuali mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).

Pembelajaran IPA pada jenjang Sekolah Dasar dan Menengah bertujuan untuk mengembangkan

kemampuan proses ilmiah, mendorong pemahaman konsep dan mengembangkan sikap positif

terhadap ilmu pengetahuan. Sikap positif terhadap ilmu pengetahuan membutuhkan sumber belajar

dan media pembelajaran yang beragam (Surjono, 2013, p.15). Faktanya sumber belajar dan media

pembelajaran yang dapat mendukung kegiatan pembelajaran IPA yang dapat mendukung langkah-

langkah pendekatan ilmiah masih sangat terbatas. Sumber belajar yang digunakan masih berupa

buku cetak. Siswa dituntut untuk mengakses sumber belajar lainnya melalui internet tanpa kontrol

dan acuan yang jelas.

Prasurvey yang dilakukan di SMP Negeri 5 Yogyakarta dan SMP Al Azhar 26 Yogyakarta

kemudian diperoleh hasil identifikasi masalah sebagai berikut, (1) belum optimalnya interaksi

pembelajaran (2) belum adanya media pembelajaran yang tepat dan menarik untuk mengakomodir

interaksi pembelajaran IPA yang menggunakan langkah pendekatan ilmiah. (3) pertemuan tatap

muka yang terbatas mengakibatkan ada beberapa materi yang sulit untuk dipelajari dengan tatap

muka khususnya pada materi yang dipelajari di akhir semeseter. (4) sumber belajar yang

terintergrasi dengan kurikulum 2013 dan pendekatan ilmiah masih terbatas sehingga siswa kesulitan

untuk melakukan pengamatan. (5) belum optimalnya pemanfaatan fasilitas laboratorium komputer

dan jaringan internet dalam mendukung kegiatan pembelajaran IPA. (6) rendahnya hasil belajar

siswa kelas VIII SMP Negeri 5 Yogyakarta pada mata pelajaran IPA.

Berdasarkan analisis terhadap kendala dan permasalah yang muncul pada pembelajaran maka

diperlukan solusi yang tepat dan bermanfaat agar pembelajaran IPA dapat mencapai tujuan dan

kompetensi yang diinginkan. Pembelajaran yang memanfaatkan teknologi dan media pembelajaran

serta berbasis pendekatan ilmiah akan memudahkan siswa untuk mengakses sumber belajar dan

tujuan pembelajaran akan mudah dicapai. Upaya untuk memberikan akses terhadap sumber belajar

yang memadai dapat dilakukan melalui e-learning.

E-learning yang kini menjadi sangat populer karena flexibilitas dan efektivitasnya merupakan cara

penyampaian materi pembelajaran yang cukup baik. Melalui e-learningdan sumber daya memadai

materi pembelajaran dapat diakses kapan saja dan dimana saja (Surjono, 2013, p.19). Hasil

penelitian tentang e-learning (Yuliastuti, dkk, 2014, p.1) menujukan bahwa apabila e-learning

Page 497: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 491

dikembangkan dengan baik maka dapat digunakan dalam kegiatan belajar tatap muka di kelas,

pembelajaran jarak jauh, serta menjadi sarana belajar mandiri bagi siswa

Berdasarkan hasil identifikasi masalah dan solusi yang ditawarkan maka dirumuskan permasalahan

yakni, bagaimana produk e-learning berbasis pendekatan ilmiah pada mata pelajaran Ilmu

Pengetahuan Alam yang layak dan dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIII SMP. Adapun

tujuan penelitian ini adalah menghasilkan produk e-learning berbasis pendekatan ilmiah pada mata

pelajaran IPA yang layak dan dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIII SMP. Melalui e-

learning berbasis pendekatan ilmiah diharapkan menjadi solusi terhadap masalah yang

terindentifikasi.

Konsep e-learning secara umum yaitu suatu pembelajaran elektronik berbasis web atau TIK yang

dibuat dengan prinsip dan metode tertentu sehingga dapat digunakan sebagai media pembelajaran

open source yang menarik. Pembelajaran dengan e-learning memungkinkan siswa belajar secara

individual, kolaboratif, aktif, konstruktif, kontekstual, reflektif, serta mengasah berfikir tingkat

tinggi, baik melalui internet maupun intranet.

Kearn, S.K. (2010, p.6) menyatakan bahwa e-learning memiliki kelebihan yaitu: (1) hemat biaya,

(2) fleksibel tempat, (3) pengguna dapat melakkan akses dimana saja, dan kapan saja setiap saat, (4)

standarisasi konten antar instruktur diseluruh organsisasi, (5) tugas yang interaktif, (6)

kompatibilitas, (7) peserta didik segera mendapat umpan balik, (8) pelacakan kinerja peserta didik

mudah diketahui. E-learning juga mempunyai kelemahan karena sangat bergantung dengan jaringan

internet.

Pemanfaatan internet untuk pembelajaran atau e-learning juga tidak terlepas dari berbagai

kekurangan. Adapun kelemahan e-learning menurut Clarey, J. (2009, p.52), yaitu: (1) kemampuan

akses, (2) kecepatan internet, (3) biaya dan waktu pengembangan, (4) keterbatasan pengembangan,

(5) tidak semua materi cocok untuk e-learning, (6) butuh motivasi dan inisatif dari peserta didik. E-

learning yang baik tentunya harus memenuhi kriteria berdasarkan aspek-aspek yang dinilai

Alessi M.S. & Trollip R.S (2001, p.404) mengemukakan beberapa aspek yang penting untuk dinilai

pada media pembelajaran khususnya e-learning. Adapun aspek-aspek tersebut yakni, infomasi

tambahan (auxiliary information), pertimbangan sikap pengguna (affective considerations),

hubungan pengguna dengan program (interface), navigasi (navigation), pegagogi (pedagogy), fitur

tak tampak (invisible features), dan materi tambahan (supplementary materials). E-learning efektif

jika dikembangkan dengan basis pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran seperti

pendekatan ilmiah.

Page 498: Scanned by CamScanner - ULM

492 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Kurikulum 2013 menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran, yaitu

menggunakan pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah (scientific appoach) dalam pembelajaran

sebagaimana dimaksud meliputi mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyajikan,

menyimpulkan, dan mencipta untuk semua mata pelajaran. Pada mata pelajaran, materi, atau situasi

tertentu, sangat mungkin pendekatan ilmiah ini tidak selalu tepat diaplikasikan secara prosedural.

Pada kondisi seperti ini, tentu saja proses pembelajaran harus tetap menerapkan nilai-nilai atau

sifat-sifat ilmiah dan menghindari nilai-nilai atau sifat-sifat non ilmiah.

Esensi pendekatan ilmiah yang digunakan pada e-learning nantinya akan membantu peserta didik

untuk mengakses banyak sumber dan melaporkan setiap temuan-temuan yang dipelajari kepada

pendidik. Interaksi dan forum diskusi yang ada pada e-learning juga memudahkan peserta didik

untuk mengeksplore banyak sumber-sumber belajar. Melalui e-learning, langkah dan kegiatan

Pendekatan ilmiah bisa diakomodir.

Penggunaan pendekatan ini diharapkan dapat membuat pembelajaran menjadi lebih bermakna bagi

siswa dan juga untuk meningkatkan kecakapan abad 21, yaitu way of thinking, way of working,

tools for working, and living in the world (Brinkley, 2010, pp.1-2). Pendekatan illmiah diyakini

dapat mendorong siswa untuk mengembangkan seluruh kemampuannya terutama kecakapan hidup

di abad 21, yaitu bagaimana berpikir, bekerja, sebagai suatu alat mendapatkan pekerjaan, dan

bagaimana hidup di masyarakat. Jadi, secara tidak langsung siswa sedang diajak untuk

merencanakan karir masa depannya. Tentunya karir masa depannya bergantung pada skill dan

kompetensi yang ia miliki sejak dibangku sekolah.

Pembelajaran mata pelajaran IPA lebih menekankan pada pengalaman langsung untuk

mengembangkan kompotensi agar peserta didik mampu memahami alam sekitar melalui proses

“mencari tahu dan berbuat”, hal ini akan membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman

yang lebih mendalam. Melalui e-learning berbasis pendekatn ilmiah, pembelajaran IPA akan

dilakukan dengan: (1) memberikan proses pengalaman pada peserta didik sehingga siswa

menguasai materi yang dipelajari, (2) menanamkan peserta didik pentingnya pengamatan empiris

dalam menguji suatu pernyataan ilmiah (hipotesis), (3) memberikan akses sebesar besarnya untuk

mencari sumber-sumber belajar melalui media pembelajaran seperti e-learning, dan (4)

memperkenalkan dunia teknologi melalui kegiatan kreatif dalam kegiatan perancangan dan

pembuatan alat-alat sederhana maupun penjelasan berbagai gejala dalam keilmuan ipa serta

menjawab berbagai masalah yang dialami siswa sehari-hari.

Materi pelajaran sebagai konten yang dikembangkan harus dikelola sesuai sesuai dengan

karakteristik peserta didik sebagai calon pengguna produk. Implementasi nyata dari kajian

mengenai karakteristik peserta didik terhadap e-learning yang dikembangkan dapat dilihat dari

penentuan sasaran pengguna, desain layout yang akan digunakan, materi yang disajikan, umpan

Page 499: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 493

balik yang diberikan, gambar, video dan penggunaan kalimat yang mudah dipahami oleh calon

pengguna.

Metode Penelitian

Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan atau dikenal dengan istilah Research and

Development (R & D), yang menghasilkan sebuah produk berupa e-learning berbasis pendekatan

ilmiah pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam bagi siswa kelas VIII SMP Negeri 5

Yogyakarta.

Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu penelitian dimulai dari bulan Maret hingga Juni 2015. Lokasi penelitian atau uji coba produk

yakni di SMP Negeri 5 Yogyakarta. Pada pelaksanaannya uji coba dilakukan secara bertahap

sebanyak 4 kali pertemuan.

Target/Subjek Penelitian

Target/sasaran penelitian dan uji coba produk yakni siswa kelas VIII SMP Negeri 5 Yogyakarta.

Subjek atau responden yang terlibat dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP Negeri 5

Yogyakarta. Penetapan subjek berdasarkan pertimbangan bahwa materi yang diajarkan sesuai

dengan analisis kebutuhan dan pelajaran pada semester II. Untuk lebih jelasnya subjek uji coba

sebagai berikut : (1) subjek untuk analisis kebutuhan yang terdiri dari 33 orang siswa kelas VIII

SMP Negeri 5 Yogyakarta dengan pertimbangan bahwa hasil rekapitulasi nilai UAS Semester 1

menunjukkan bahwa kelas tersebut masih memperoleh nilai di bawah rata-rata yang sudah

ditetapkan sekolah dan kelas lainnya, (2) Subjek untuk uji coba test alpha dilakukan oleh ahli media

dan Media yang terdiri dari 2 Ahli Materi dan 2 Ahli Media dengan dasar pertimbangan bahwa Ahli

media dan materi tidak berkeberatan, berkompeten dibidangnya dan bersedia menilai instrumen.

Ahli materi terdiri dari 1 dosen dan 1 guru mata pelajaran IPA, (3) subjek ujicoba tes beta dilakukan

oleh 30 orang siswa kelas VIII SMP Negeri 5 Yogyakarta yang dipilih secara acak dengan dasar

pertimbangan tidak menggangu proses pembelajaran dan bersedia dalam menguji produk, dan (4)

Subjek dalam penilaian sumatif (produk final) melibatkan 30 orang siswa kelas VIII SMP Negeri 5

Yogyakarta yang dipilih secara acak dengan dasar pertimbangan tidak menggangu proses

pembelajaran.

Prosedur

Prosedur pengembangan e-learning berbasis pendekatan ilmiah mata pelajaran IPA kelas VIII SMP

Negeri 5 Yogyakarta, diadaptasi dari prosedur pengembangan yang sudah dikembangkan oleh

Alessi dan Trollip yang kemudian oleh peneliti disesuaikan dengan kemampuan dan keterbatasan

Page 500: Scanned by CamScanner - ULM

494 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

penelitian. Sebelum melakukan pengembangan untuk menentukan karakteristik materi dan

karakteristik pengguna, peneliti telah melakukan analisis kebutuhan terlebih dahulu. Analisis ini

mengacu pada kurikulum 2013 yang digunakan pada jenjang SMP, Khususnya SMP Negeri 5

Yogyakarta.

Model pengembangan ini memiliki tiga atribut dan tiga fase, tiga fase tersebut meliputi standard,

ongoing evaluation, dan project management. Sedangkan tiga fase meliputi perencanaan (planning),

desain (design) dan pengembangan (development).

Data, Intrumen, dan Teknik Pengumpulan Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini merupakan data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif

didapat dari uji coba produk e-learning. Data kuantitatif didapat dari ahli media dan ahli materi (uji

alpha) juga dari siswa (uji beta). Data tersebut dibutuhkan agar nantinya dapat memberikan

gambaran mengenai kelayakan e-learning dan kualitas teknik tampilan produk serta peningkatan

pemahaman siswa setelah menggunakan produk e-learning.

Instrumen yang digunakan untuk penelitian dikembangkan dari aspek-aspek penilaian e-learning

yang dikemukakan Allesi dan Trollip (2001: p401) serta didukung oleh pendapat Graham Attwel

(2006: p.43) melalui kriteria penilaian e-learning. Instrumen yang digunakan untuk penelitian

terlebih dahulu dilakukan validasi oleh ahli instrumen.

Validasi instrument meliputi penentuan expert judgement ahli media, ahli materi, dan siswa.

Validasi yang dilakukan berupa validitas konstruk ahli media dan ahli materi. Validasi instrumen

dilakukan oleh validator instrumen.

Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh pada saat prasurvey dan analalsismelalui guru, analisis kebutuhan siswa dan

laboran IPA dipakai dalam menentukan ide awal pengembangan e-learning berbasis pendekatan

ilmiah pada mata pelajaran IPA. Selain itu saran dari ahli media, ahli materi, dan siswa dihimpun

dan dianalisis untuk memperbaiki e-learning berbasis pendekatan ilmiah pada mata pelajaran IPA.

Tabel 1. Konversi Data Penilaian Produk E-learning

Nilai Kriteria Skor

Rumus Perhitungan

A Sangat baik X>Xi+1,8Sbi X>4,21

B Baik Xi+0,6Sbi<X≤Xi+1,8Sb

i 3,40<X≤4,21

C Cukup baik Xi-0,6Sbi<X≤Xi+0,6Sbi 2,60<X≤3,40

D Kurang Xi-1,8Sbi<X≤Xi-0,6Sbi 1,79<X≤2,60

E Sangat kurang X≤Xi-1,8Sbi X≤1,79

Page 501: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 495

Data yang diperoleh dari validasi ahli media, materi, dan tanggapan siswa dianalisis menggunakan

statistik deskriptif kemudian dikonversi ke dalam data “5” (Sukardjo, 2006, p.53).Konversi data

untuk menentukan kategori penilaian dapat dilihat pada Tabel 1.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Produk yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah e-learning berbasis pendekatan ilmiah pada

mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam. Pendekatan ilmiah yang menjadi basis produk e-learning

dapat diketahui melalui implementasinya dari kurikulum, sajian materi, pengelolaan materi dan

langkah pembelajaran yang digunakan. E-learning dapat diakses melalui situs

marbelscience.web.id. Tampilan depan portal e-learning dapat dilihat melalui Gambar 1.

Gambar 1. Tampilan portal e-learning

Gambar 2. Tampilan Depan E-learning

Setelah e-learning dikembangkan maka dilanjutkan dengan validasi oleh 2 orang ahli materi dan 2

orang ahli media. Validasi dilakukan untuk memperoleh penilaian terhadap e-learning. Adapun

hasil penilaian oleh kedua ahli materi dapat diketahui melalui Gambar 3.

Page 502: Scanned by CamScanner - ULM

496 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Penilaian ahli materi 1 terhadap seluruh indikator/aspek yang divalidasi diperoleh rata-rata

penilaian sebesar 4,1 dengan kategori "Baik" dan dinyatakan layak untuk diujikan pada tahap

berikutnya.

Penilaian ahli materi 2 terhadap seluruh indikator/aspek yang divalidasi diperoleh rata-rata

penilaian sebesar 4,2 dengan kategori “Sangat Baik” dan dinyatakan “Layak” atau sudah siap untuk

diujikan pada tahap berikutnya yakni oleh ahli media.

Adapun hasil penilaian oleh kedua ahli media dapat diketahui melalui gambar 4.

44,5 4,33 4,25

4 4

00,5

11,5

22,5

33,5

44,5

5

Pendahuluan Penyajian judul

Pendalaman Materi

Partisipasi siswa

Aktivitas tindak lanjut

Penilaian

Skor

Aspek yang dinilai

Ahli Materi 1

Ahli Materi 2

0,0

1,0

2,0

3,0

4,0

5,0

6,0

Skor

Aspek yang dinilai

Ahli Media 1

Ahli Media 2

Gambar 4. Hasil Penilaian Ahli Media

Gambar 3. Hasil Penilaian Ahli Media

Page 503: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 497

Hasil validasi/uji alpha yang dilakukan oleh ahli media 1 diperoleh rata-rata penilaian yakni 3,91

dengan kategori “Baik” dan dinyatakan “Layak” serta dapat dilakukan ujicoba berikutnya. Hasil

validasi oleh ahli media 2 diperoleh rata-rata penilaian 4,52 dengan kategori “Sangat Baik” dan

dinyatakan “Layak” serta dapat dilakukan uji coba berikutnya. Langkah berikutnya adalah uji beta

yang dilakukan oleh siswa sebagai calon pengguna.

Uji beta atau tes beta merupakan tes akhir yang sepenuhnya dilakukan oleh siswa sebagai peserta

uji coba. Uji beta dilakukan secara formal dengan prosedur pembelajaran yang telah disepakati pada

rencana pelaksanaan pembelajaran. Uji beta dilakukan secara bertahap sebanyak 4 kali pertemuan.

Peserta yang melakukan uji beta berjumlah 34 siswa yang terdiri dari siswa kelas VIII.3 SMP

Negeri 5 Yogyakarta. Hasil analisis data uji beta dapat diketahui melalui Tabel 2.

Berdasarkan hasil rekapitulasi data uji beta terhadap e-learning berbasis pendekatan ilmiah

diperoleh rata-rata penilaian 4,07.Hasil analisis terhadap data dan persentase hasil penilaian subyek

coba pada uji beta diketahui bahwa kualitas e-learning berbasis pendekatan ilmiah mata pelajaran

IPA bagi siswa kelas VIII SMP termasuk kategori baik dan layak untuk digunakan pada proses

pembelajaran.

Evaluasi sumatif dilakukan untuk mengetahui hasil belajar siswa setelah menggunakan e-learning

berbasis pendekatan ilmiah. Evaluasi dilakukan dalam bentuk pretest dan posttest. Pretestdilakukan

Tabel 2. Hasil analsis data uji beta

No Aspek/Indikator yang divalidasi Nilai Rata-Rata Kriteria

1 Daya tarik produk 140 4,12 Baik

2 Kedalaman Materi 130 3,82 Baik

3 Motivasi 134 3,94 Baik

4 Dukungan Terhadap Belajar 142 4,18 Baik

5 Waktu dan Kesempatan Belajar 133 3,91 Baik

6 Tampilan dan Bahan yang Ditampilkan 139 4,09 Baik

7 Kemudahan akses 133 3,91 Baik

8 Konsistensi tampilan dan navigasi 133 3,91 Baik

9 Fasilitas interaksi 148 4,35 Sangat Baik

10 Kesesuaian materi dengan kehidupan 134 3,94 Baik

Jumlah 1366 40,17

Rata-rata 136,6 4,07 Baik

Page 504: Scanned by CamScanner - ULM

498 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

pada pertemuan awal yakni pada tanggal 22 Mei 2015 sebelum siswa memperoleh materi

menggunakan e-learning. Posttest dilakukan pada pertemuan terakhir yakni pada tanggal 29 Mei

2015 atau setelah siswa memperoleh materi dan belajar menggunakan e-learning. Pretest dan

posttest diberikan kepada kelas VIII SMP sebagai subjek coba penggunaan e-learning. Adapun hasil

belajar siswa dalam bentuk uji kompetensi yang diperoleh melalui posttest dan pretest dapat dilihat

pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil analisis data evaluasi sumatif.

Data Nilai Pretest Postest

NilaiTertinggi 90 100

NilaiTerendah 65 80

Jumlah 2680 3210

Rata-Rata 78,82 94,41

Gain 15,59 Berdasarkan analisis terhadap hasil belajar siswa kelas VIII SMP Negeri 5 Yogyakarta diperoleh

rata-rata pretest 78,82 dan rata-rata posttest 94,41. Setelah dianalisa tedapat selisih rata-rata sebesar

15,59. Data hasil belajar ini menjadi rekomendasi bagi pengembang untuk menyimpulkan bahwa e-

learning berbasis pendekatan ilmiah dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

Pada saat dilaksanakan uji beta peneliti juga melakukan pengamatan terhadap reaksi dan sikap

pengguna e-learning melalui laporan aktivitas pengguna dari aplikasi moodle. Aplikasi moodle

memberikan laporan aktivitas berdasarkan intensitas keaktifan siswa dari forum, chatt, dan Quiz (uji

kompetensi). Penilaian juga dilakukan ketika siswa menggunakan secara langsung e-learning pada

pertemuan tatap muka. Penilaian pengamatan reaksi dan sikap pengguna terhadap e-learning

diperoleh dari penilaian terhadap beberapa aspek meliputi, antusiasme, kemudahan dalam

menggunakan media, respon postif, rasa ingin tahu, sikap aktif. Adapun hasil analisis penilaian

terhadap reaksi dan sikap dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Hasil analisis penilaian terhadap reaksi dan sikap pengguna

No Aspek Yang diamati Nilai Rata-rata 1 Antusiasme 147 4,32 2 Kemudahan dalam menggunakan media 148 4,35 3 Respon Postif 142 4,17 4 Rasa Ingin Tahu 143 4,2 5 Sikap Aktif 148 4,35 Jumlah 728 21,39 Rata-Rata 145,6 4,27 Kategori Baik

Page 505: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 499

Respon yang positif ditunjukan oleh siswa terhadap e-learning diketahui dari hasil pengamatan selama penggunaan e-leaning diperoleh rata-rata 4,28 dengan katerogi baik. Dengan demikian, e-learning berbasisi pendekatan ilmiah dinilai sebagai media pembelajaran yang valid dan layak untuk

digunakan pada pembelajan IPA khususnya bagi jenjang kelas VIII SMP. Pengembangan e-learning berbasis pendekatan ilmiah dilakukan sejak bulan april sampai bulan juni

2015 (tiga bulan). Pengembangan e-learning berbasis pendekatan ilmiah berupa portal e-learning

dengan menggunakan aplikasi editing web dreamweaver dan LMS (Learning Management System)

melalui aplikasi moodle. Moodle merupakan perangkat lunak open source yang mendukung

implementasi e-learning.

Berdasarkan analisis kebutuhan di SMP Negeri 5 Yogyakarta dan SMP Al Azhar 26 Yogyakarta

diperoleh informasi dan data yang menguatkan peneliti untuk mengembangkan sebuah media

berupa e-learning. E-learning yang dikembangkan juga dikaitkan dengan penerapan kurikulum

2013. Penerapan kurikulum 2013 erat kaitannya dengan pendekatan ilmiah pada seluruh mata

pelajaran termasuk ilmu pengetahuan alam. Melalui e-learning berbasis pendekatan ilmiah ini siswa

SMP dapat mengakses materi yang diinginkan khususnya materi yang dikembangkan dalam bentuk

digital.

Portal e-learning yang diberi identitas mari belajar sains ini dapat diakses siswa melalui internet

dimana saja dan kapan saja dengan URL marbelscience.web.id. Cakupan materi e-learning meliputi

materi mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam kelas VIII semester genap dengan pokok bahasan

Sistem Tata Surya dan Kehidupan di Bumi. E-learning bersera konten yang diupload pada e-

learning telah melalui validasi oleh ahli materi dan ahli media, serta telah mengikuti tahap-tahap

dalam pengembangan.

Pada tahap uji alpha, e-learning berbasis pendekatan ilmiah divalidasi oleh 4 orang ahli yang

meliputi 2 orang ahli materi dan 2 orang ahli media. Validasi oleh kedua ahli materi dilakukan

012345

SKor

Aspek yang diamati

Rata-rata

Gambar 5. Hasil penilaian reaksi dan sikap pengguna

Page 506: Scanned by CamScanner - ULM

500 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

mulai tanggal 18 Mei sampai 26 Mei 2015. Penilaian ahli materi 1 terhadap seluruh indikator/aspek

yang divalidasi diperoleh rata-rata penilaian sebesar 4,1 dengan kategori "Baik" dan dinyatakan

layak digunakan dan telah direvisi sesuai saran. Penilaian ahli materi 2 terhadap seluruh

indikator/aspek yang divalidasi diperoleh rata-rata penilaian sebesar 4,2 dengan kategori “Sangat

Baik” dan dinyatakan layak dan telah direvisi sesuai saran.

Validasi oleh kedua ahli media dilakukan mulai tanggal 19 Mei sampai 23 Mei 2015. Hasil

validasi/uji alpha yang dilakukan oleh ahli media 1 diperoleh rata-rata penilaian yakni 3,91 dengan

kategori “Baik” dan dinyatakan layak serta telah direvisi sesuai saran. Hasil penilaian oleh ahli

media 2 diperoleh rata-rata penilaian 4,52 dengan kategori “Sangat Baik” dan dinyatakan layak

serta telah direvisi sesuai saran.

Pada tahap uji beta, e-learning berbasis pendekatan ilmiah telah diujicobakan pada 34 peserta yang

berasal dari kelas VIII.3 SMP Negeri 5 Yogyakarta. Uji coba dilakukan mulai tanggal 23 Mei

sampai tanggal 29 Mei 2015. Pada akhir pertemuan dilakukan penilaian terhadap produk e-learning

ini dan diperoleh rata-rata penilaian sebesar 4,07 dengan kategori baik serta dinyatakan layak

digunakan dalam proses pembelajaran.

Pengukuran hasil uji belajar melalui pemberian pretest dan posttest pada evaluasi sumatif dilakukan

juga pada 34 siswa kelas VIII.3 SMP Negeri 5 Yogyakarta. Pretest dilakukan pada saat sebelum

siswa menggunakan atau mengakses e-learning yakni pada tanggal 20 Mei 2015. Sedangkan posttes

dilakukan setelah siswa mengunakan atau mengakses e-learning yakni pada tanggal 29 Mei 2015.

Hasil pretest kemudian dibandingkan dengan hasil posttest untuk diperoleh data hasil belajar.

Berdasarkan analisis terhadap hasil prettest dan posttest diketahui adanya kenaikan hasil belajar

setelah menggunakan e-learning sebesar 15,58%. Efek positif dari kenaikan hasil belajar tersebut

yakni pembelajaran IPA kelas VIII Semester genap menggunakan e-learning berbasis pendekatan

ilmiah dapat meningkatkan kompetensi kognitif dan pemahaman konsep.

Nilai fleksibilitas e-learning dapat dilihat dari dokumentasi pada lampiran 25, kegiatan yang

menunjukan bahwa siswa bisa mengakses dimana saja, kapan saja tanpa harus terikat waktu dan

jam pelajaran tatap muka. E-learning berbasis pendekatan ilmiah mendapat respon baik dari

sekolah, guru mata pelajaran dan siswa sebagai pengguna. Respon yang positif ditunjukan oleh

siswa terhadap e-learning diketahui dari hasil pengamatan selama penggunaan e-leaning diperoleh

rata-rata 4,28 dengan katerogi baik. Dengan demikian, e-learning berbasisi pendekatan ilmiah

dinilai sebagai media pembelajaran yang valid dan layak untuk digunakan pada pembelajan IPA

khususnya bagi jenjang kelas VIII SMP Negeri 5 Yogyakarta.

Adapun keterbatasan dalam penelitian ini (1) penerapan e-learning dalam pembelajaran akan lebih

efektif jika dilaksanakan dengan pertemuan pembelajaran lebih banyak, minimal tiga kali

pertemuan. Namun, dalam penelitian dan pengembangan ini peneliti mengalami kesulitan dalam

Page 507: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 501

mengatur alokasi waktu pembelajaran karena terkait masa studi peneliti, (2) instrumen ranah

keterampilan dalam penelitian ini belum dikembangankan karena tidak termasuk dalam analisis

data atau pembahasan. Hal ini dikarenakan keterbatasan waktu peneliti dan fokus peneliti, (3)

penelitian dan pengembangan hanya dilakukan sampai tahap uji coba dan tes sumatif, sedangkan uji

coba dengan skala luas belum bisa dilakukan karena keterbatasan dana dan waktu peneliti, (4)

subjek uji coba dalam penelitian dan pengembangan yang terbatas, menyebabkan tidak semua

populasi siswa di SMP pilot project Kurikum 2013 di Yogyakarta dapat diuji coba. Jumlah populasi

yang semakin banyak dan bervariasi dapat memberikan informasi tambahan terkait temuan-temuan

lapangan yang dapat digunakan untuk menyempurnakan e-learning yang dikembangkan.

Simpulan dan Saran

Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut. Hasil penelitian

dan pengembangan berupa produk e-learning berbasis pendekatan ilmiah pada mata pelajaran Ilmu

Pengetahuan Alam bagi siswa kelas VIII SMP Negeri 5 Yogyakarta. Software yang digunakan

untuk mengembangkan e-learning ini menggunakan moodle. Fitur yang ada pada aplikasi moodle

berupa forum, chat, sajian materi, dan penilaian disesuaikan dengan langkah pendekatan ilmiah.

Produk e-learning berbasis pendekatan ilmiah telah layak sesuai kriteria yang ditentukan

berdasarkan hasil uji alpha dan uji beta dan seluruh rangkaian kegiatan penelitian dan

pengembangan. Hasil belajar yang diketahui melalui evaluasi sumatif terhadap penggunaan e-

learning berbasis pendekatan ilmiah pada mata pelajaran IPA di SMP Negeri 5 Yogyakarta

menunjukan bahwa terdapat peningkatan pencapaian hasil belajar siswa sebesar 15,58%. Nilai rata-

rata pretest 78,82 meningkat pada posttest menjadi 94,41 dengan presentase ketuntasan belajar

siswa 100%

Saran

Produk e-learning berbasis pendekatan ilmiah ini perlu implementasi lebih lanjut agar diketahui

kelemahan dan kekurangannya dalam proses pembelajaran, materi yang disajikan di e-learning

tidak hanya mata pelajaran IPA tetapi mata pelajaran lainnya yang basis kurikulumnya 2013, Selain

itu pendidik/guru diharapkan mampu memanfaatkan e-learning ini untuk meningkatkan hasil belajar

siswa.

Page 508: Scanned by CamScanner - ULM

502 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Daftar Pustaka

Alessi, M.S. & Trollip, R.S. (2001). Multimedia for learning, methods and development. United

States: Pearson Education Inc.

Attwell, G. (2006). Evaluating e-learning; A guide to the evaluation of e-learning (3thed). Bremen:

Druck Perspektiven Offset.

Brinkley, M. (2010). Defining 21st century skills. Diambil pada tanggal 20 Maret 2014, dari

http://atc21s.org/wp-content/uploads/2011/11/1-Defining-21st-Century-Skills.pdf, 1-2(20), 52.

Clarey, J. (2009). E-learning 101: An intriduction to e-learning, learning tools, and technologies.

Brandon Hall Research.

Kearn, S.K. (2010). E-learning in avation. England: Ashghate Publising Limited.

Kukuh, S.P. (2005). Membangun e-learning dengan moodle. Yogyakarta: Andi.

Sagan, C. (1980). The Scientific Approach. Diambil pada tanggal 30 Oktober 2013,

http://www.sagepub.com/upm-/32355_chapter2.pdf

Smaldino, dkk. (2005). Instructional technology and media for learning (8thed). New Jersey:

Merrill prentice Hall.

Sukardjo. (2006). Kumpulan Materi Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarta: UNY Press.

Surjono, H. D.(2013). Membangun course e-learning berbasis moodle-2rd.Ed. Yogyakarta: UNY

Press.

Yuliastuti, dkk. (2014). Pengembangan media pembelajaran IPA terpadu berbasis e-learning dengan

moodle untuk siswa sekolah menengah pertama pada tema pengelolaan sampah [versi elektronik].

Jurnal Pendidikan Fisika Universitas Sebelas Maret Surakarta. Diambil pada tanggal 26 Agustus

2014, dari http;//google.com/3730-8259-1-sm.pdf.1 (5), 10.

Yusufhadi Miarso. (2005). Menyemai benih teknologi pendidikan. Jakarta: Prenata Media.

Page 509: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 503

Profil Penulis

Heru Amrul Muarif, lahir di Desa Siku, kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, pada tanggal 22

Februari 1991. Pendidikan terakhir S1 Sarjana Pendidikan dari Jurusan Teknologi Pendidikan,

Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta. Kemudian melanjutkan studi di Program

Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta pada program studi Teknologi Pembelajaran.

Page 510: Scanned by CamScanner - ULM

504 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS KARAKTER PENDEKATAN SCIENTIFIC MULTIKULTURAL PADA PENDIDIKAN SEJARAH

Samsidar, Tanjung, dan Hidayat

Teknologi Pendidikan Pascasarjana Unimed

[email protected]

ABSTRAK

Pembelajaran sejarah nasional sebagai unsur pegembangan nasionalisme kultural sangat berfungsi

untuk menjadi mediasi dalam memantapkan hubungan antara unsur-unsur masyarakat plural.

Menghadapi berbagai tantangan kehidupan baik lokal, regional maupun internasional dalam

pendidikan, tidak terlepas dari budaya dan multikultur yang dikemas dalam pendidikan sejarah.

Maka diperlukan pendidikan dengan penerapan Model Pembelajaran Berbasis Karakter Pendekatan

Scientific Multikultural melalui kurikulum yang terintegrasi budaya lokal. Pendidikan yang

demikian berorientasi pada pembentukan karakter dan berbudaya yaitu pendidikan yang

memberikan jiwa keberanian dan kemauan menghadapi permasalahan hidup dan kehidupan secara

wajar, berjiwa mandiri, tangguh dan berdaya saing, dan berjiwa kreatif untuk mencari solusi dalam

mengatasi permasalahan masyarakat yang berkembang. Mata kuliah Pendidikan Sejarah diharapkan

mampu memberikan pembelajaran, pelatihan, penugasan lapangan, survei, dan praktik kerja.

Kata Kunci: Model pembelajaran berbasis karakter, pendekatan scientific, multicultural

Page 511: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 505

PENDAHULUAN

Salah satu dampak krisis secara keilmuan, hampir semua disiplin ilmu dipertanyakan ”kontribusi

keampuhannya” untuk memulihkan krisis multidimensional tersebut, termasuk peranan

pembelajaran sejarah dalam mempertahankan integrasi bangsa. Beberapa sejarawan dan pengamat

sosial berpendapat bahwa nasionalisme yang menyangkut inte-grasi bangsa perlu ”direvitalisasi”

dalam arti luas menyangkut beralihnya pandangan ahistoris ke historis, berkembangnya ke arah

egalitarism, justice, clean governance dan clean government yang mempercepat terwujudnya civil

society agar tidak kehilangan aktualitasnya (Hobsbawm, 1990:210-211; Abdullah, 2001:73;

Guibernau, 1996: 150; Kleden, 2001:73; Simatupang, 2002: 45).

Pentingnya perubahan paradigma pendidikan sejarah tersebut bukan semata-mata karena adanya

gerakan reformasi yang terjadi belakangan ini, gerakan reformasi itu sendiri hanyalah sebagai

faktor pemicu terjadinya gerakan ke arah itu. Robinson (1965) telah merintis perubahan dari Sejarah

Lama (The Old History) ke Sejarah Baru (The New History), merupakan reaksi terhadap Sejarah

Lama yang terlalu kaku membatasi diri pada sejarah politik. Perluasan pengkajian pada Sejarah

Baru mencakup aspek-aspek ekonomi, sosial budaya, pertanian, pendidikan, psiko-logi, teknologi,

dan sebagainya secara inter/multidisipliner. Sejarah Baru ini dengan demikian lebih luas, dan

hanya-lah sebagai faktor pemicu terjadinya gerakan ke arah itu. Robinson (1965) telah merintis

perubahan dari Sejarah Lama (The Old History) ke Sejarah Baru (The New History), merupakan

reaksi terhadap Sejarah Lama yang terlalu kaku membatasi diri pada sejarah politik.

Perluasan pengkajian pada Sejarah Baru mencakup aspek-aspek ekonomi, sosial budaya, pertanian,

pendidikan, psikologi, teknologi, dan sebagainya secara inter/multidisipliner. Sejarah Baru ini

dengan demikian lebih luas, dan menurut Burke (1993:3-4) merupakan Sejarah Baru sejarah sosial.

Tampaknya telah terjadi perubahan/pergeseran begitu kuat perubahan ini dalam filsafat pendidikan

sejarah dari perenialism yang menekankan “transmission of the glorious past” ke arah suatu posisi

di mana berbagai aliran filsafat seperti essensialism bahkan social reconstructionism bergabung

terlebur di dalamnya secara eklektik (Hasan, 1999: 9).

Pembelajaran sejarah yang bersifat eklektik tersebut tidak saja menjadi wahana pengembangan

kemampuan intelektual dan kebanggaan masa lampau, tetapi juga merupakan wahana upaya

memperbaiki kehidupan masyarakat dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya. Pembelajaran

sejarah juga memiliki nilai praktis-pragmatis bagi mahasiswa, tidak sekedar nilai-nilai teoretik-

idealisme konseptual. Sebagai konsekuensi logis dari pergeseran filsafat pembelajaran sejarah

tersebut, menurut Hasan (1999:9), terdapat tiga hal baru; (1) keterkaitan pelajaran sejarah dengan

kehidupan sehari-hari mahasiswa; (2) pemahaman dan kesadaran akan karakteristik cerita sejarah

Page 512: Scanned by CamScanner - ULM

506 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

yang tidak bersifat final; dan (3) perluasan tema sejarah politik dengan tema-tema sejarah sosial,

budaya, ekonomi, dan teknologi.

Pembelajaran sejarah nasional sebagai unsur pegembangan nasionalisme kultural sangat berfungsi

untuk menjadi mediasi dalam memantapkan hubungan antara unsur-unsur masyarakat plural.

Anderson (1983:12-16) menyebutkan peran sejarah nasional sebagai identitas nasional dan

perkembangan kesadaran nasional. Selanjutnya ia juga melihat arti penting identitas nasional

sebagai pengaruh yang paling kuat dan bertahan lama dalam identitas kultural kolektif. Kemudian

Vanderburg (1985:272) menambahkan bahwa melalui pembelajaran sejarah nasional, juga berupaya

membentuk model-model perilaku yang me-mupuk nasionalisme kultural untuk menciptakan pola

hubungan yang mengatasi lingkungan temporal dan spasial serta dimensi-dimensi lainnya.

Dalam rangka pengembangan pembelajaran sejarah agar lebih fungsional dan terintegrasi dengan

berbagai bidang keilmuan lainnya, maka terdapat berbagai bidang yang seyogianya mendapat

perhatian, yaitu: pertama, untuk menjawab tantangan masa depan, kreativitas dan daya inovatif

diperlukan agar suatu bangsa bukan hanya sekedar manjadi konsumen IPTEK, konsumen budaya,

maupun penerima nilai-nilai dari luar secara pasif, melainkan memiliki keunggulan kompetitif

dalam hal penguasaan IPTEK. Oleh karenanya, sikap, motivasi, dan kreativitas perlu

dikembangkan melalui penciptaan situasi proses belajar mengajar yang dinamis di mana pengajar

mendorong vitalitas dan kreativitas peserta didik untuk mengembangkan diri. Kedua, peserta didik

akan dapat mengembangkan daya kreativitasnya apabila proses belajar mengajar dilaksanakan

secara terprogram, sistemis dan sistematis, serta ditopang oleh ketersediaan sarana dan prasarana

yang memadai. Ketiga, dalam proses pengembangan kematangan intelektualnya, peserta didik perlu

dipacu kemampuan berfikirnya secara logis dan sistematis.

Dalam proses belajar mengajar, pengajar harus memberi arahan yang jelas agar peserta didik dapat

memecahkan suatu persoalan secara logis dan ilmiah. Keempat, peserta didik harus diberi

internalisasi dan keteladanan, dimana mereka dapat berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran.

Fenomena ini dalam hal-hal tertentu dapat membentuk semangat loyalitas, toleransi, dan

kemampuan adaptabilitas yang tinggi. Dalam pendekatan ini perlu diselaraskan dengan kegiatan

proses belajar mengajar yang memberi peluang kepada mereka untuk berprakarsa secara dinamis

dan kreatif. Oleh karena itu, diperlukan kinerja dosen yang mendukung pencapaian kualitas

tersebut.

Makalah ini akan membahas tentang: model pembelajaran berbasis karakter dengan

pendekatan scientific multikultural untuk meningkatkan kualitas pembelajaran pada pendidikan

sejarah.

Page 513: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 507

PEMBAHASAN

Pengembangan model pembelajaran berbasis karakter dengan pendekatan scientific

multikultural untuk meningkatkan kualitas pembelajaran pada pendidikan sejarah di Perguruan

Tinggi dilaksanakan untuk menerangkan eksistensi ataupun sosio-genesis negara-nasional kita. Ini

berarti bahwa identitas nasional kita terikat pada Sejarah Nasional itu, maka dapat pula Sejarah

Nasional itu dipandang sebagai lambang identitas bangsa Indonesia. Dipandang kepentingannya

dalam pembangunan bangsa, Sejarah Nasional berperan sangat strategis dan fundamental, terutama

dalam membangun kesadaran nasional khususnya dan pendidikan naional umumnya. Oleh karena

itu tidak berlebihan jika dalam Sejarah Nasional tersebut berperan sebagai sumber inspirasi dan

aspirasi pada generasi muda yang mencakup heroisme, yaitu cerita-cerita kepahlawanan tanpa

memperluas kultus individu.

Pembelajaran sejarah nasional sebagai unsur pegembangan nasionalisme kultural sangat berfungsi

untuk menjadi mediasi dalam memantapkan hubungan antara unsur-unsur masyarakat plural. Peran

sejarah nasional sebagai identitas nasional dan perkembangan kesadaran nasional selanjutnya

merupakan arti penting identitas nasional sebagai pengaruh yang paling kuat dan bertahan lama

dalam identitas kultural kolektif. Melalui pembelajaran sejarah nasional, juga berupaya membentuk

model-model perilaku yang memupuk nasionalisme kultural untuk menciptakan pola hubungan

yang mengatasi lingkungan temporal dan spasial serta dimensi-dimensi lainnya.

Keutamaan penelitian ini adalah mewujudkan suatu model pembelajaran berbasis karakter

pendekatan scientifik multikultural sebagai proses terjadinya kegiatan pembelajaran sebagai upaya

untuk pencapaian tujuan terjadinya proses belajar untuk memahami gambaran pengalaman kolektif

terhadap masalah-masalah global (internasional) yang aktual untuk membantu pemahaman dimensi

proses globalisasi yang beragam manifestasinya. Sehingga penting dalam pengembangan model

pembelajaran sejarah berbasis karakter melalui pendekatan multikulrutal ini dilakukan karena

mampu memberikan: (1) Interaksi antar etnik, dalam definisi ini diartikan sebagai proses hubungan

timbal balik antar etnis di Indonesia yang bermakna baik secara sukarela maupun atas dasar

kewajiban yang memupuk integrasi bangsa. Aspek-aspek yang dikaji mencakup: (a) pergaulan

lintas etnis di sekolah dan masyarakat, (b) penghargaan dan keingintahuan terhadap budaya sendiri

dan orang lain yang berbeda di masyarakat, (c) sikap penerimaan terhadap komunitas yang

heterogen; dan (2) Rasa solidaritas bangsa, dalam definisi ini memiliki arti suatu kesadaran

menyangkut perasaan setia kawan dan tanggung jawab sebagai warganegara, merasa terikat satu

kesatuan dengan segala kebanggaan dan kekurangannya yang menumbuhkan kebersamaan emosi

sebagai bangsa Indonesia. Aspek-aspek yang diukur mencakup: (a) rasa kesetaraan dan keadilan

Page 514: Scanned by CamScanner - ULM

508 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

sebagai bangsa Indonesia (b) merasa bagian dari bangsa Indonesia dan karenanya merasa memiliki

sebagai bangsa (c) mengembangkan sikap dan perilaku kebersamaan bangsa dengan menghargai

perbedaan etnis, budayanya, agama, dan kedaerahannya.

Historis-Epistemologis Kurikulum Multikultur dalam Pendidikan Sejarah

Evolusi historis-epistemologis kurikulum multikultur, berawal pada tahun 1960 ketika muncul

gerakan hak-hak sipil sebagai koreksi terhadap kebijakan de facto tentang asimilasi kelompok

minoritas ke dalam politik "melting pot" budaya Amerika yang dominan. Gerakan ini bertujuan

untuk mempromosikan perlunya penyediaan pendidikan yang sama bagi semua ras (equal education

for all races) (Sobol, dalam Gary, 1994; Fillion, 2011). Kredo pedagogis-epistemologis gerakan ini

adalah bahwa proses pembentukan pengetahuan bukan sebatas sebuah tindakan individual,

melainkan berdasarkan makna-makna yang tercipta, terbentuk, dan terbangun di dalam sebuah

konteks-situasional (personal, sosial, historikal, politik, linguistikal, dan kultural) (Dantas, 2007);

dan bahwa pendidikan perlu dibangun berdasarkan perspektif dan kesadaran akan arti pentingnya

keberagaman sosio-kultural masyarakat (Banks, 2000; Fillion, 2011).

Untuk mewujudkan misi pendidikan sejarah berbasis multikultur ini, di kalangan pakar muncul 3

tipologi program pendidikan multikultur yang diintegrasikan ke dalam kurikulum. Ketiga tipologi

program tersebut adalah: program yang berorientasi pada konten (content-oriented programs);

program yang berorientasi pada peserta didik (student-oriented programs); dan program yang

berorientasi sosial (socially-oriented programs). Pakar yang menjadi proponen gerakan baru ini

adalah Banks, Sleeter, dan Grant (Gary, 1994). Diskursus akademik ini, menjadi awal munculnya

pemikiran tentang pendidikan sejarah berbasis multikultur dan pendidik sebagai intelektual dan

pengembang kurikulum multikultur.

Dasar-dasar pedagogis dan epistemologis gerakan ini, dikemukakan oleh Banks melalui sebuah

”canon debate”, yang kemudian merumuskan 5 tipologi pengetahuan (Banks, 1996), yaitu

pengetahuan personal/kultural, populer, akademik mainstream, akademik transformatif, dan

pengetahuan akademik. Terpenting dari tipologi pengetahuan tersebut, adalah tipologi dikotomistis

antara “pengetahuan akademik mainstream” (mainstream academic knowledge) vs “pengetahuan

akademik transformatif” (transformative academic knowledge).

Pada perkembangan selanjutnya, pedagogi dan epistemologi “baru” ini mendapatkan dukungan

berbagai kajian bahasa dan budaya dari perspektif multikultur, diantaranya oleh Jegede &

Aikenhead (2000), Zamroni (2001), Stanley & Brickhouse (2001), Ogawa (2002). Hasil-hasil

penelitian mereka menegasikan kredo pedagogis dan epistemologis tentang ”kurikulum

esensialistik” yang dibangun berdasarkan pengetahuan akademik mainstream. Menurut mereka,

keniscayaan kurikuler esensialistik dapat menghambat perkembangan tahapan progresif kognitif

Page 515: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 509

peserta didik, mendistorsi atau merusak “genuine concepts”, “indigenous science”, atau

“spontaneous concept” mereka tentang alam semesta yang dibangun dan dikembangkan dari

keseharian pengalaman personal, sosial dan kulturalnya di masyarakat. Kurikulum esensialistik,

juga dapat mencabut peserta didik dari situasi nyata yang menjadi basis pembentukan dan

penggunaannya; juga kurang bermakna bagi mereka, serta menunjukkan adanya “hegemoni atau

imperialisme pendidikan” atas diri peserta didik. Bahkan, kurikulum esensialistik dapat mendistorsi

atau merusak self-concept peserta didik yang merupakan faktor esensial bagi pembentukan

identitas atau karakter peserta didik (Sumantri, 2002).

Model Pembelajaran Berbasis Karakter Pendekatan Scientific Multikultur

Unsur utama dalam pembentukan karakter bangsa adalah nilai-nilai budaya. Karena itu,

pengembangan pendidikan nilai budaya merupakan penentu totalitas kepribadian/ karakter bangsa

yang berawal pada akar perjalanannya dan ditentukan oleh hasil proses aktualisasi nilai-nilai budaya

tersebut. Pembangunan karakter suatu bangsa adalah suatu proses yang sifatnya berkelanjutan

menuju pada kondisi karakter bangsa yang diinginkan. Identitas suatu bangsa adalah pilihan dan

terbentuk dari pancaran karakter bangsa yang sudah melembaga/ mendarah daging atau menjadi

kebiasaan sehari-hari sehingga menjadi karakter atau jati diri bangsa.

Menurut Samsuri (2009:1) dan Zuchdi (2008:5) pendidikan karakter, pendidikan nilai, dan

pendidikan moral sering disamakan. Pendidikan karakter merupakan upaya untuk

menginternalisasikan nilai-nilai utama atau nilai-nilai positif kepada warga masyarakat agar

menjadi warga bangsa yang percaya diri, tahan uji, dan bermoral tinggi, demokratis dan

bertanggung jawab serta survive dalam kehidupan bermasyarakat. Karakter mencerminkan

kepribadian yang berkaitan dengan moralitas namun kualitas moral itu sedemikian khas sehingga

berbeda kualitas dengan orang lain atau kelompok masyarakat yang lain.

Fungsi utama dari pendidikan nilai ini bersifat abstrak, yakni penanaman nilai-nilai budaya sebagai

pembentuk pribadi (pada skala individu) dan sebagai pembentuk jati diri bangsa (pada skala

kebangsaan). Sedangkan bagian yang konkrit adalah pembelajaran, yaitu upaya-upaya untuk

mengalihkan pengetahuan dari dosen kepada mahasiswa. Ukuran keberhasilan dari aspek

pembelajaran ini lebih jelas karena itu umumnya orang menganggap bahwa hasil pembelajaran

inilah yang betul-betul dibutuhkan dalam dunia kerja. Dengan demikian maka pendidikan yang

berfungsi mencerdaskan bangsa itu harus menghasilkan manusia-manusia yang berdaya guna dalam

dunia kerja, sekaligus kreatif dan berbudaya.

Page 516: Scanned by CamScanner - ULM

510 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Zamroni (1993: 147-8) menjelaskan bahwa dari kenyataan tersebut maka untuk membangun

karakter dan bangsa diperlukan political will atau komitmen dari pemerintah atau penguasa.

Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu pendidikan yang melibatkan aspek

pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Lickona (1992), tanpa

ketiga aspek ini maka pendidikan karakter tidak akan efektif, dan pelaksanaannya pun harus

dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Dengan pendidikan karakter, seorang anak akan

menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak

menyongsong masa depan, karena dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi

segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.

Secara akademik, pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti,

pendidikan moral, pendidikan watak yang tujuannya mengembangkan kemampuan peserta didik

untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik itu, dan mewujudkan kebaikan

itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Muatan pendidikan karakter secara psikologis

mencakup dimensi moral reasoning, moral feeling, dan moral behaviour (Lickona, 1991) atau

dalam arti utuh sebagai morality yang mencakup moral judgment and moral behaviour baik yang

bersifat prohibition-oriented morality maupun pro-social morality (Piaget, 1967; Kohlberg, 1975;

Berg, 1981).

Secara pedagogis, pendidikan karakter sebaiknya dikembangkan dengan menerapkan holistic

approach, dengan pengertian bahwa “Effective character education is not adding a program or set of

programs. Rather it is a tranformation of the culture and life of the school” (Berkowitz, 2010).

Sementara itu Lickona (1992) menegaskan bahwa “In character education, it’s clear we want our

children are able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they

believe to be right-even in the face of pressure form without and temptation from within”.

Dalam pengembangan pendidikan karakter di perguruan tinggi, institusi pendidikan atau sekolah

harus menjadi lingkungan yang kondusif. Menurut Lewis (1996:8) pendidikan karakter akan

senantiasa mengembangkan akhlak mulia dan kebiasaan yang baik bagi para peserta didik. Bulach

(2002:80) menjelaskan dosen dan orang tua perlu membuat kesepakatan tentang nilai-nilai utama

apa yang perlu di belajarkan misalnya: respect for self, others, and property; honesty; self-

control/discipline. Dalam kaitan ini, Lickona (2000: 48) menyebutkan beberapa nilai kebaikan

yang perlu dihayati dan dibiasakan dalam kehidupan peserta didik agar tercipta kehidupan yang

harmonis di dalam keluarga dan masyarakat. Beberapa nilai itu antara lain kejujuran, kasih sayang,

pengendalian diri, saling menghargai atau menghormati, kerjasama, tanggung jawab, dan

ketekunan. Pendidikan karakter bukan sekadar memiliki dimensi integratif, dalam arti

mengukuhkan moral intelektual peserta didik atas dasar nilai-nilai kebaikan sehingga menjadi

Page 517: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 511

pribadi yang mantap dan tahan uji, pribadi-pribadi yang cendekia, mandiri, dan bernurani tetapi

juga bersifat kuratif secara personal maupun sosial.

Koesoema (2007:116) berpendapat bahwa pendidikan karakter dapat menjadi salah satu langkah

untuk menyembuhkan penyakit sosial. Dalam konteks keindonesiaan pendidikan karakter adalah

proses menyaturasakan sistem nilai kemanusiaan dan nilai-nilai budaya Indonesia dalam dinamika

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pendidikan karakter bangsa merupakan suatu

proses pembudayaan dan transformasi nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai budaya bangsa

(Indonesia) untuk melahirkan insan atau warga negara yang berperadaban tinggi dan warga negara

yang berkarakter. Karakter bangsa adalah sebuah keunikan suatu komunitas yang mengandung

perekat kultural bagi setiap warga negara. Karakter bangsa menyangkut perilaku yang mengandung

core values dan nilai-nilai yang berakar pada filosofi Pancasila dan simbol-simbol keindonesiaan.

Secara formal, internalisasi nilai-nilai moral melalui pengembangan kemampuan ke dalam domain

afektif kognitif, afektif, dan psikomotorik sudah dirumuskan dalam kebijakan pendidikan di

Indonesia tetapi kurang jelas implementasinya karena lebih menekankan pada pengembangan

kognitif. Dikemukakan oleh Ringness (1975: 5) bahwa: “One finds affective behavior in any school

situation–indeed, in any situation- but compared to cognitive learning, relatively little affective

learning has been deliberately introduced into the curriculum”.

Dalam rangka membangun kepribadian utuh diperlukan keseimbangan ketiga aspek tersebut.

Pendidikan karakter yang esensinya adalah internalisasi nilai-nilai moral termasuk dalam

pengembangan domain afektif. Domain afektif berkaitan dengan aspek batiniah (the internal side)

yang tidak dapat diamati maka dalam pemahamannya sering ditemukan konsep yang tumpang-

tindih. Domain afektif berhubungan dengan perasaan, emosi, rasa senang-tidak senang, apresiasi,

sikap, nilai-nilai, moral, karakter dan lain-lain. Adanya tumpang-tindih konsep terlihat dalam

pendapat Ringness (1975: 5) yang menyatakan sebagai berikut. ”The affective domain includes all

behavior connected with feelings and emotions. Thus, as was earlier stated, emotions, tastes and

preferences, appreciations, attitudes and values, morals and character, and aspects of personality

adjustment or mental health are included”.

Proses internalisasi nilai-nilai moral ke dalam domain afektif meliputi beberapa jenjang dan jenjang

afeksi yang paling dalam adalah karakterisasi pembentukan karakter). Krathwohl dkk (1964)

mengemukakan taksonomi domain afektif yang cakupannya secara hirarkhis, meliputi: (1)

receiving, (2) responding, (3) valuing, (4) organization, and (5) characterization (Bloom, et.al,

1981: 301-302; Ringness, 1975: 21). Dengan demikian karakterisasi adalah proses internalisasi

nilai yang telah mencapai tingkatan paling tinggi/dalam. Penghayatan terhadap suatu nilai, pada

Page 518: Scanned by CamScanner - ULM

512 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

tingkatan yang sangat dalam maka nilai itu telah mengkarakter atau menjadi penanda khas

kepribadian orang yang bersangkutan.

Scientific multikulturalisme dalam praktek merupakan suatu strategi dari integrasi sosial di mana

keanekaragaman budaya benar-benar diakui dan dihormati, sehingga dapat difungsikan secara

efektif dalam menengarai setiap isu separatisme dan disintegrasi sosial. Pengalaman mengajarkan,

bukan semangat kemanunggalan atau ketunggalan (tunggal ika) yang paling potensial yang bisa

melahirkan persatuan kuat, tetapi justru pengakuan terhadap adanya pluralitas (kebhinnekaan)

budaya bangsa inilah yang lebih menjamin persatuan bangsa menuju pembaruan sosial yang

demokratis. Pengalaman konflik yang cukup frekuentif yang terjadi pada beberapa tempat dapat

dijadikan tolak ukur bahwa negeri ini masih merangkak dalam memahami subtansi

multikulturalisme.

Pengembangan faham multikultural dalam masyarakat tidak akan pernah terbentuk dengan

sendirinya. Dibutuhkan proses yang panjang dan sistematis. Paham multikultural sebagai entitas

yang paling asasi dalam membentuk hubungan harmonis kemasyarakatan ini harus tertanam

semenjak dini, dan salah satu lembaga yang tepat untuk menanamkan dan mengembangkannya

adalah lembaga sekolah, melalui kurikulum pendidikan yang akomodatif terhadap kepentingan ini.

Pendidikan multikultural adalah sebuah tawaran model pendidikan yang mengusung ideologi yang

memahami, menghormati, dan menghargai harkat dan martabat manusia di manapun dia berada dan

dari manapun datangnya (secara ekonomi, sosial, budaya, etnis, bahasa, keyakinan, atau agama, dan

negara). Pendidikan multikultural merupakan dambaan semua orang, lantaran keniscayaannya

konsep “memanusiakan manusia”. Pasti manusia yang menyadari kemanusiaanya dia akan sangat

membutuhkan pendidikan model pendidikan multikultural ini. (Mahfud, 2006: 70). Dengan melihat

dan memperhatikan berbagai pengertian pendidikan multikultural, disimpulkan bahwa pendidikan

multikultural adalah sebuah proses pengembangan yang tidak mengenal sekat-sekat dalam interaksi

manusia. Sebagai wahana pengembangan potensi, pendidikan multikultural adalah pendidikan yang

menghargai heterogenitas dan pluralitas, pendidikan yang menjunjung tinggi nilai kebudayaan,

etnis, suku, dan agama.

Dalam konteks ini, tentu saja pembelajaran agama Islam yang diajarkan di sekolah-sekolah harus

memuat kurikulum berbasis keanekaragaman (multikultur). Pendidikan merupakan interaksi antara

orang dewasa dengan orang yang belum dapat menunjang perkembangan manusia yang

berorientasikan pada nilai-nilai dan pelestarian serta perkembangan kebudayaan yang berhubungan

dengan usaha pengembangan kehidupan manusia. Tujuan pendidikan yang ditentukan oleh negara

merupakan kesepakatan bersama yang patut dihormati. Sebagai suatu kesepakatan, tujuan

pendidikan bukanlah merupakan suatu dogma yang tidak berubah bahkan merupakan patokan yang

Page 519: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 513

terus bergerak ke depan untuk lebih menyempurnakan upaya memerdekakan warganya. (Tilaar,

2006: 112).

Prinsip Dasar Implementasi Pendidikan Multikultural di Indonesia

Prinsip Dasar Implementasi Pendidikan Multikultural di Indonesia kultur oleh etnis dan kultur

“mayoritas” WMPA. Oleh karena itu, maka untuk menerapkan pendidikan multikultural di

Indonesia haruslah hati-hati, tepat, dan bijaksana, karena belum tentu sama dengan Amerika.

Bagaimana pendidikan multikultural dapat diimplementasikan di negara lain di luar Amerika

Serikat? Bagaimana mentransfer konsep pendidikan multikultural ala Amerika Serikat menjadi

model yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan bangsa Indonesia? Sudah barang tentu perlu

penyesuaian dan pemahaman yang benar. (Zamroni, 2011a:159; cetak tebal dari Penulis). Dengan

kata lain, jika pendekatan pendidikan multikultural akan diimplementasikan di Indonesia, haruslah

berdasarkan realita Indonesia dan kearifan lokal (local wisdom atau indigenous knowledge) dalam

makna luas, tegasnya dengan memperhatikan karakteristik bangsa dan budaya Indonesia sendiri.

Sebelum lanjut, dalam konteks implementasinya di Indonesia, pendidikan multilkultural itu dapat

dilihat atau diposisikan sebagai berikut.

1. Sebagai falsafah pendidikan; yaitu pandangan bahwa kekayaan keberagaman budaya Indonesia

hendaknya dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mengembangkan dan meningkatkan sistem

pendidikan dan kegiatan belajar-mengajar di Indonesia guna mencapai masyarakat Indonesia yang

adil dan makmur (berbarkat) dan bahagia dunia akhirat.

2. Sebagai pendekatan pendidikan; yaitu penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan yang

kontekstual, yang memperhatikan keragaman budaya Indonesia. Nilai budaya diyakini

mempengaruhi pandangan, keyakinan, dan perilaku individu (pendidik dan peserta didik), dan akan

terbawa ke dalam situasi pendidikan di sekolah dan pergaulan informal antar individu, serta

mempengaruhi pula struktur pendidikan di sekolah (kurikulum, pedagogi dan faktor lainnya).

Meminjam “teori” Zamroni (2011a: 149), kedudukan nilai budaya dalam struktur statis pendidikan

(bawaan mahasiswa, bawaan dosen, kurikulum, dan pedagogi atau “the art of teaching”) akan

tampak sebagai berikut.

Page 520: Scanned by CamScanner - ULM

514 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Gambar 1.

Nilai Budaya Akademik Pendekatan Scientific Multikultur Melalui Proses Pembelajaran

Pendidikan Sejarah dan Pedagogik Berbasis karakter

3. Bidang kajian dan bidang studi; yaitu disiplin ilmu yang dibantu oleh sosiologi dan antropologi

pendidikan menelaah dan mengkaji aspek-aspek kebudayaan, terutama nilai-nilai budaya dan

perwujudannya (norma, etiket atau tatakrama, adat-istiadat atau tradisi dan lain-lain mencakup

“manifestasi budaya” agama) untuk/dalam penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan. Hasil

telaah dan kajian ini akan dapat menjadi bidang studi yang diajarkan secara operasional (dan

kontekstual) kepada para calon pendidik yang mungkin akan berhadapan dengan keragaman

budaya (tidak harus untuk semua). Sebaliknya, “proses pendidikan yang multikultural” itu pun

harus juga terus dikaji ditelaah, baik efektivitas dan efisiensinya, maupun dan terutama

kesesuaiannya dengan situasi dan kondisi Indonesia, dan ketepatan sesuai dengan hakekatnya.

Samsidar (2013) dalam penelitiannya tentang “Pengaruh Media Pembelajaran dan Gaya

Kognitif Terhadap Hasil Belajar Sejarah”, menunjukkan bahwa (1) hasil belajar Sejarah mahasiswa

yang diajarkan dengan menggunakan media pembelajaran peta lebih tinggi dari hasil belajar

mahasiswa yang diajarkan dengan menggunakan media pembelajaran berbasis TIK dengan Fhitung

= 5,94 dan Ftabel = 4,02 pada taraf signifikan α = 0,05 dengan dk = (1:56), (2) hasil belajar Sejarah

mahasiswa yang memiliki gaya kognitif tinggi lebih tinggi dari hasil belajar siswa yang memiliki

gaya kognitif rendah dengan Fhitung = 162,23 dan Ftabel = 4,02 pada taraf signifikan α = 0,05

dengan dk = (1:56), (3) terdapat interaksi antara media pembelajaran buku ajar dengan gaya

Bawaan Mahasiswa

Bawaan Dosen

Kurikulum Pendidikan

Sejarah

Pedagogik Berbasis

Karakter

Nilai Budaya Akademik

Pendekatan Scientifik

Page 521: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 515

kognitif terhadap hasil belajar Sejarah dengan Fhitung = 14,08 dan Ftabel = 4,02 dengan taraf

signifikansi α =0,05 dengan dk = (1:56).

Samsidar (2014) dalam penelitiannya tentang “Model Pembelajaran Wisata Sejarah Dalam

Meningkatkan Minat Belajar Sejarah” menunjukkan bahwa minat belajar mahasiswa sangat tinggi

sebesar 87% terhadap hasil belajar sejarah melalui pembelajaran wisata sejarah, dengan melalui

wisata sejarah dapat meningkatkan hasil belajar sejarah. Keberhasilan belajar mahasiswa dalam

proses pembelajaran sangat dipengaruhi oleh minat yang ada pada dirinya. Minat memiliki

beberapa efek terhadap belajar mahasiswa: minat mempengaruhi secara langsung terhadap perilaku

yang diarahkan pada tujuan tertentu. Minat mendorong meningkatnya semangat dan usaha. Minat

meningkatkan ketekunan dalam kegiatan. Minat mempertinggi proses berpikir. Minat mendorong

perbaikan kinerja.

PENUTUP

Peran sejarah nasional sebagai identitas nasional dan perkembangan kesadaran nasional selanjutnya

merupakan arti penting identitas nasional sebagai pengaruh yang paling kuat dan bertahan lama

dalam identitas kultural kolektif. Melalui pembelajaran sejarah nasional, juga berupaya membentuk

model-model perilaku yang memupuk nasionalisme kultural untuk menciptakan pola hubungan

yang mengatasi lingkungan temporal dan spasial serta dimensi-dimensi lainnya.

Pendidikan karakter merupakan upaya untuk menginternalisasikan nilai-nilai utama atau nilai-nilai

positif kepada warga masyarakat agar menjadi warga bangsa yang percaya diri, tahan uji, dan

bermoral tinggi, demokratis dan bertanggung jawab serta survive dalam kehidupan bermasyarakat.

Karakter mencerminkan kepribadian yang berkaitan dengan moralitas namun kualitas moral itu

sedemikian khas sehingga berbeda kualitas dengan orang lain atau kelompok masyarakat yang lain.

Scientific multikulturalisme dalam praktek merupakan suatu strategi dari integrasi sosial di mana

keanekaragaman budaya benar-benar diakui dan dihormati, sehingga dapat difungsikan secara

efektif dalam menengarai setiap isu separatisme dan disintegrasi sosial. Pengalaman mengajarkan,

bukan semangat kemanunggalan atau ketunggalan (tunggal ika) yang paling potensial yang bisa

melahirkan persatuan kuat, tetapi justru pengakuan terhadap adanya pluralitas (kebhinnekaan)

budaya bangsa inilah yang lebih menjamin persatuan bangsa menuju pembaruan sosial yang

demokratis.

Page 522: Scanned by CamScanner - ULM

516 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

REFERENSI

Abdullah, Taufik. (1999). “Nasionalisme Indonesia: Dari asal-usul ke prospek masa depan” dalam

Sejarah , Jakarta: MSI dan Arsip Nasional RI.

Anderson, Benedict. (1983). Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of

Nationalism, London: The Thetford Press Ltd. Vanderburg (1985:272)

Banks, J.A. (1988). Approaches to multicultural curriculum reform. Multicultural Leader, 1(2), 1-3.

Diunduh 12 Agustus 2011, dari http://people. ucsc.edu/~marches /PDFs/Approaches% 20to%20

Multicultural %20Reform, %20Banks.PDF.

Banks, J.A. (1995). Transformative challenges to the social sciences disciplines: implications for

social studies teaching and learning. Theory and Research in Social Education, XXIII(1), 2-20.

Banks, J.A. (1997). Teaching strategies for ethnic studies (6th ed.). Boston: Allyn and Bacon.

Banks, J.A. (1999). An introduction to multicultural education (2nd ed.). Boston: Allyn and Bacon.

Banks, J.A. (Ed.). (1996). Multicultural education: Transformative knowledge and action: historical

and contemporary perspectives. New York, Teachers College Press.

Banks, J.A., Cortes, C.E., Gay, G., Garcia, R.L., & Ochoa, A. (1992). Curriculum guidelines for

multicultural education (Rev. ed.), Washington, DC: National Council for the Social Studies.

Dantas, M.L. (2007). Building teacher competency to work with diverse learners in the context of

international education. Teacher Education Quarterly, Winter 2007.

Fillion, S.E. (2011). Multicultural curriculum. Diunduh 11 Agustus, 2011 dari

www.txstate.edu/edphd/PDF/multicultural.pdf

Gary, B. (1994). Varieties of multicultural education: An introduction. ERIC Digest 98. diunduh 12

Agustus 2011, dari http://www.ericdigests.org/1995-1/multicultural.htm

Hasan,.S.H. (1999). “Pendidikan Sejarah Untuk Membangun Manusia Baru Indonesia”, dalam

Mimbar Pendidikan, Nomor 2 Tahun XVIII, Bandung IKIP Bandung, hlm.4-11.

Hobsbaum E.J. (1990). Nasionalisme Menjelang Abad XXI, Penerjemah: Hajartian Silawati,

Yogyakarta: Tiara Wacana. Abdullah, Taufik, Ed. 1990. “Di Sekitar Sejarah Lokal di Indonesia”,

dalam Sejarah Lokal di Indonesia, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Kleden, Ignas. (2001). Menulis Politik: Indonesia Sebagai Utopia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Mahfud, Chairul. (2006). Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ogawa, M (2002). Science as the culture of scientist: How to cope with scientism?. Diunduh 27

Januari 2005 dari www.ouhk.edu.hk/cridal/misc/ogawa.htm.

Peter. (1993). History and Social Theory, New York: Cornel University Press.

Robinson, James Harvey. (1965). The New History, New York: The Free Press. Burke,

Page 523: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 517

Stanley, W.B. & Brickhouse, N.W. (2000), The multicultural question revisited. Science Education.

85(1). 35-48. diunduh 12 Agustus 2011, dari http://faculty.ed.uiuc.edu/m-

osbor/507SE06/stanleybrickhouse2001.pdf

Simatupang, Maurits (2002). Budaya Indonesia yang Supraetnis, Jakarta: Sinar Sinanti.

Sumantri, M. (2002). Pengembangan potensi peserta didik dengan kurikulum terpadu untuk

menjadi manusia indonesia seutuhnya. Pidato pengukuhan jabatan Guru Besar tetap dalam bidang

Ilmu Perencanaan Kurikulum pada FIP-UPI. Bandung:UPI.

Tilaar, H.A.R, (2006). Manifesto Pendidikan Nasional, Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme

dan Studi Kultural. (Jakarta: Kompas, 2006), hlm. 112.

Zamroni. (2001). School and university colaboration for improving science and mathematics

instruction in school. Paper presented at the National Seminar on Science and Mathematic

Education. Bandung, August, 21, 2001.

Zamroni. (2011a). Pendidikan demokrasi pada masyarakat multikultural. Yogyakarta: Gavin

Kalam Utama.

Page 524: Scanned by CamScanner - ULM

518 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

PEMBELAJARAN BERBASIS KARAKTER MELALUI PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME DALAM LESSON STUDY

Abdul Hasan Saragih, R. Mursid, dan Harun Sitompul

Teknologi Pendidikan Pascasarjana Unimed

[email protected]

ABSTRAK

Perencanaan Pembelajaran merupakan salah satu mata kuliah wajib bagi mahasiswa calon guru di

LPTK. ternyata pada proses pembelajaran yang berlangsung masih teacher centered. Mahasiswa

cenderung pasif sepanjang proses pembelajaran berlangsung, dan dosen mendominasi dengan

metode ceramah. Melalui pendekatan konstruktivisme dan berkarakter, yaitu pendekatan yang

berpusat pada mahasiswa, diharapkan pengetahuan dibangun sendiri oleh individu yang belajar.

Melalui kegiatan lesson study, perlu dikaji tentang bagaimana keaktifkan dan ketuntasan belajar

mahasiswa dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan konstrutivisme. Sesuai

dengan objek yang ingin dikaji maka penelitian dan pengembangan sangat penting dilakukan untuk

mengembangkan model pembelajaran.

Kata Kunci: Pembelajaran berbasis karakter, konstruktivisme, lesson study

PENDAHULUAN

Sejalan dengan bergulirnya Kurikulum KKNI yang mengharuskan adanya perubahan orientasi

pembelajaran berpusat kepada mahasiswa aktif dengan pendekatan konstruktivisme, serta

keseriusan para dosen dalam merancang strategi pembelajaran, maka diperlukan sebuah terobosan

yang mampu mengakomodir kebutuhan tersebut. Kebutuhan akan orientasi baru dalam merancang

pembelajaran terasa begitu kental dan nyata dalam berbagai aspek dengan memperhatikan

komponen dan bidang kajian. Para pendidik dan praktisi pendidikan sudah seharusnya mampu

merespon perubahan yang terjadi dan mengubah paradigma pendidikan. Salah satu cara untuk

menjawab dan mengatasi perubahan yang terjadi secara terus menerus adalah dengan

mengimplementasikan model sebagai acuan penting penyelenggaraan pembelajaran.

Berdasarkan realita yang ada selama ini dalam perkuliahan Perencanaan Pengajaran, masih banyak

mahasiswa mengalami kesulitan dalam membuat skenario pembelajaran yang menggiring siswa

bisa aktif belajar, mempunyai inovasi dan kreativitas. Selain itu, diantara mahasiswa yang kurang

serius, kurang mampu dalam merancang pembelajaran. Mereka pada umumnya jika harus ada

produk Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) enggan merancang, dan mengambil yang sudah

Page 525: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 519

jadi di sekolah-sekolah. Mereka tidak menyadari bahwa rancangan pembelajaran tidak bisa secara

instan meniru dari orang lain atau mengambil yang sudah jadi karena semuanya akan

mempertimbangkan kondisi dan karakteristik siswa yang dihadapi, dan pola atau strategi apa yang

akan kita gunakan.

Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia secara tidak langsung menunjukkan rendahnya kualitas

pembelajaran, dan rendahnya kualitas pembelajaran salah satunya disumbangkan oleh rendahnya

kualitas guru. Sebagai agen pembelajaran, guru merupakan kunci utama keberhasilan pendidikan,

sehingga tidak mengherankan jika kemudian guru menjadi pihak yang dianggap paling bertanggung

jawab terhadap baik-buruknya kualitas pendidikan. Sebagai agen pembelajaran, fungsi utama guru

adalah meningkatkan mutu pendidikan nasional (UU No.14 tahun 2005).

Dalam rangka memenuhi tuntutan Undang-undang tersebut, maka pemerintah menetapkan empat

kompetensi yang harus dimiliki oleh guru dalam menjalankan tugasnya, yaitu kompetensi

pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial (PP No.19 tahun

2005 Bab VI pasal 28 , UU No.14 tahun 2005 Bab IV pasal 10). Dalam penjelasan keempat

kompetensi tersebut, seorang guru profesional diharapkan tidak hanya menguasai materi pelajaran

sesuai bidang keilmuannya (kompetensi profesional), tetapi mampu mengelola pembelajaran

dengan baik (kompetensi pedagogik), memiliki kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif,

berwibawa dan menjadi teladan bagi peserta didik (kompetensi kepribadian), serta mampu

berkomunikasi secara efektif dan efisien dengan peserta didik (kompetensi sosial) dalam rangka

mewujudkan tujuan pembelajaran.

Selama ini, proses pembelajaran pada matakuliah Perencanaan Pengajaran dilihat dari ketuntasan

belajar dan hasil belajar mahasiswa, tidak terdapat indikasi masalah yang berarti seperti pada mata

kuliah-mata kuliah di rumpun pendidikan. Namun demikian, pada proses pembelajaran yang

berlangsung di kelas hingga saat ini, masih berpusat pada dosen atau sering disebut juga teacher

centered atau dikenal dengan pendekatan tradisional (Utami, et al : 2011). Dalam pembelajaran

tersebut, dosen sebagai individu yang lebih aktif dalam mengajar dan mahasiswa berperan sebagai

objek yang menerima pengetahuan dengan pasif. Meskipun beberapa metode sudah coba diterapkan

seperti metode diskusi, namun mahasiswa masih belum merespon baik. Mereka masih pasif dalam

mengemukakan pendapat, diskusi lebih banyak didominasi oleh dosen. Jika hal ini dibiarkan,

dikhawatirkan, mahasiswa akan membawa pengalaman belajarnya ketika di bangku kuliah sampai

ke lapangan yaitu kelas-kelas mereka kelak pada saat menjadi guru.

Untuk dapat mewujudkan hal tersebut, proses pembelajaran para calon guru sudah sepantasnya

diarahkan pada ranah-ranah kompetensi tersebut seperti yang diungkapkan oleh Sarna (2007)

Page 526: Scanned by CamScanner - ULM

520 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

bahwa Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) mempunyai tugas utama menghasilkan

tenaga guru profesional yang mampu berperan sebagai agen pembelajaran yang tercermin dalam

kompetensi pedagogik, profesional, personal, dan sosial yang padu.

Kompetensi guru secara holistik merupakan suatu hal yang tidak bisa ditawar lagi, salah satunya

adalah kompetensi dalam merencanakan pembelajaran, termasuk didalamnya pembelajaran pada

Pendidikan Teknik Mesin. Perencanaan pembelajaran dipilih sebagai tema penelitian ini mengingat

pentingnya perencanaan bagi keberhasilan pembelajaran. Perencanaan yang baik adalah jantung

pengajaran dan pembelajaran yang efektif. Jika kita memiliki perencanaan yang baik, maka dapat

dipastikan para siswa menguasai hasil belajar yang ditentukan kurikulum seraya membuat

kemajuan yang bagus. Sementara pengalaman mengajar akan membantu Anda untuk membangun

kepercayaan diri. Pengajaran tanpa perencanaan atau gagal merencanakan, seperti kata pepatah,

adalah sama dengan merencanakan untuk gagal.

Secara teknis administratif, kompetensi guru dalam merencanakan pembelajaran adalah dalam

bentuk menyusun RPP. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran adalah rencana kegiatan pembelajaran

tatap muka untuk satu pertemuan atau lebih. RPP dikembangkan dari silabus untuk mengarahkan

kegiatan pembelajaran peserta didik dalam upaya mencapai Kompetensi Dasar (KD) (Pemendikbud

65 Tahun 2013). Lebih lanjut ditegaskan bahwa setiap guru pada satuan pendidikan berkewajiban

menyusun RPP secara lengkap dan sistematis agar pembelajaran berlangsung secara interaktif,

inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi siswa untuk berpartisipasiaktif, serta

memberikan ruang yang cukup bagi bagi siswa untuk mengembangkan prakarsa, kreativitas, dan

kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.

Seiring implementasi kurikulum baru yang dikenal kurikulum 2013, guru harus menyesuaikan

perubahan kurikulum. Pembelajarannya harus menerapkan scientific approach (pendekartan ilmiah)

dan Authentic Assessment atau penilaian autentik, maka hal tersebut harus tertuang dalam RPP.

Dalam makalah ini permasalahan yang akan dipaparkan adalah model pembelajaran berbasis

karakter melalui pendekatan konstruktivisme dalam lesson study pada matakuliah perencanaan

pembelajaran.

PEMBAHASAN

Perencanaan pembelajaran berbasis karakter merupakan seperangkat materi dan alat yang

dipersiapkan mahasiswa calon dosen ketika akan mengajar dengan mengedepankan aspek afektif

dan nilai-nilai karakter yang luhur dalam perencanaanya untuk diinternalisasikan ke dalam diri

mahasiswa. Perencanaan pembelajaran berbasis karakter melalui pendekatan konstruktivisme

adalah proses perencanaan nilai-nilai moral atau karakter bagi mahasiswa. Ada banyak dimensi

yang harus diperhatikan dalam menyusun perencanaan pembelajaran berbasis karakter. Perencanaan

Page 527: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 521

pembelajaran berbasis karakter melalui pendekatan konstruktivisme sangat bermanfaat bagi

mahasiswa calon guru dalam mempersiapkan dirinya terjun ke masyaakat untuk dapat

membelajarkan nilai-nilai karakter agar peserta didik mampu menjadikan dirinya berkembang dan

mempunyai nilai-nilai budi pekerti yang baik.

Melalui pendidikan, dosen sebagai tenaga kependidikan berusaha mengajar, melatih dan

membimbing mahasiswa. Untuk dapat melakukan hal itu semua, tenaga kependidikan tersebut

haruslah seorang yang profesional dalam bidang profesinya. dengan hal ini, diharapkan akan lebih

meningkatkan mutu pendidikan. Walaupun pada hakikatnya mutu pendidikan itu bukan hanya

ditentukan oleh dosen, melainkan juga oleh mahasiswa, sarana penunjang dan faktor lainnya.

Namun pada akhirnya semua itu tergantung pada kualitas pengajaran, dan kualitas pengajaran

tergantung pada kualitas dosen (Samana, 2002:21).

Pembentukan kompetensi professional keguruan memerlukan pengintegrasian antara pendekatan

teoritis dan praktek kerja, pengintegrasiaan antara tujuan, bahan ajar, metode kerja, media serta

teknologi pengajaran dan sumber pengajaran secara berdaya guna. Kegiatan pembelajaran

merupakan kegiatan yang sistematis dan berurutan. Berhubung dengan itu kegiatan pembelajaran

perlu direncanakan dengan baik. Salah satu kompetensi yang harus dikuasai Dosen adalah

merencanakan pembelajaran. Sebagai seorang administrator pembelajaran Dosen perlu memiliki

Kompetensi merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasil dan proses pembelajaran.

Dengan mempelajari bahan latihan perencanaan pembelajaran ini diharapkan para Dosen akan

menjadi lebih profesional dalam merencanakan pembelajaran. Secara garis besar, setelah

mempelajari modul ini, diharapkan Anda menguasi konsep, prinsip dan prosedur perencanaan

pembelajaran berbasis kompetensi serta menerapkannya dalam merencanakan pembelajaran sesuai

matapelajaran. Secara khusus, dari mata ini, diharapkan Anda mampu: (1) menjelaskan konsep,

prinsip, dan prosedur perencanaan pembelajaran secara sistematis; (2) merumuskan kompetensi;

(3) mengidentifikasi karakteristik mahasiswa; (4) menentukan materi pelajaran; (5) menentukan

strategi pembelajaran; (6) memilih alat dan media pembelajaran (7) menentukan prosedur dan alat

evaluasi; (8) menentukan alokasi waktu dan sumber bahan.

Pengembangan model pembelajaran berbasis karakter melalui pendekatan konstruktivisme dalam

lesson study pada mata kuliah perencanaan penmbelajaran di Perguruan Tinggi Unimed

dilaksanakan untuk meningkatkan kompetensi pembelajaran mahasiswa calon guru pada

mahasiswa.

Page 528: Scanned by CamScanner - ULM

522 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Perencanaan Pembelajaran

Perencanaan pembelajaran merupakan aktivitas penetapan tujuan, penyusunan bahan dan

sumber belajar, pemilihan media, pemilihan pendekatan dan strategi, pengaturan lingkungan

belajar, perancangan sistem penilaian hasil belajar, dan perancangan prosedur pembelajaran dan

perancangan prosedur pembelajaran.

Briggs (1978:20) memberikan definisi disain atau rencana pembelajaran sebagai berikut:

keseluruhan proses analisis kebutuhan dan tujuan belajar serta pengembangan sistem

penyampaiannya untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan belajar, termasuk di dalamnya

pengembangan paket pembelajaran, kegiatan pembelajaran, uji coba dan revisi paket pembelajaran,

dan terakhir kegiatan mengevaluasi program dan hasil belajar.

Perencanaan pembelajaran merupakan disain pembelajaran salah satu komponen kegiatan

teknologi pendidikan. Hal ini dapat dipahami kalau diingat bahwa teknologi pendidikan merupakan

“Suatu bidang garapan yang ikut serta berusaha untuk memberikan fasilitas (kemudahan) proses

belajar manusia dengan jalan memanfaatkan secara optimal sumber-sumber belajar melalui fungsi

pengembangan dan fungsi pengelolaan”. (Gafur, 1979:2). Sesuai dengan definisi tersebut

komponen kegiatan dalam rangka mengaplikasikan konsep teknologi pendidikan adalah sebagai

berikut: (1) memahami the learner dengan segala karakteristik dan kebutuhannya. Teknologi

pendidikan sangat memperhatikan karakteristik, keadaan individual, dan kebutuhan masing-masing

siswa. Hal ini didasarkan atas anggapan bahwa keunikan masing-masing individu sangat

berpengaruh terhadap hasil belajar; (2) memanfaatkan secara penuh segala sumber belajar untuk

meningkatkan proses pembelajaran. Sumber belajar ini meliputi: pesan, orang, bahan, alat, teknik,

dan lingkungan atau “setting”. Sumber belajar meliputi sumber belajar yang direncanakan (learning

resource by design) dan sumber belajar yang digunakan (learning resource by utilization); (3)

melakukan kegiatan pengembangan; di sini kegiatan itu meliputi : riset, mengembangkan disain,

produksi paket pengajaran, evaluasi, pengadaan bahan, alat dan biaya, serta pemanfaatannya; (4)

mengelola semua kegiatan mulai dari penyusunan rencana, pelaksanaan monitoring, revisi dan

evaluasi. Pengelolaan ini meliputi pengelolaan organisasi dan personel; dan (5) mengevaluasi hasil

dan proses pembelajaran.

Perencanaan Pembelajaran Berbasis Karakter

Perencanaan pembelajaran merupakan sesuatu hal yang paling penting bagi guru dalam

menjalankan tugasnya. Perencanaan pembelajaran adalah proyeksi tentang sesuatu yang akan

dilakukan oleh guru dalam proses belajar mengajar. Pembelajaran akan lebih optimal jika guru

terlebih dahulu menyiapkan perencanaan pembelajaran. Perencanaan pembelajaran perlu dilakukan

oleh guru untuk mengkoordinasikan komponen-komponen pembelajaran. Perencanaan pebelajaran

Page 529: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 523

berbasis karakter berarti menyusun rencana pembelajaran yang lebih mengedepankan aspek sikap,

perilaku, karakter yang akan diinternalisasikan ke dalam diri peserta didik.

Perencanaan adalah menyusun langkah-langkah yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan

yang telah ditentukan. Perencanaan tersebut dapat disusun berdasarkan kebutuhan dalam jangka

waktu tertentu sesuai dengan keinginan pembuat perencanaan. Namun lebih utama adalah

perencanaan yang dibuat harus dapat dilaksanakan dengan mudah dan tepat sasaran. Perencanaan

merupakan suatu cara yang memuaskan untuk membuat kegiatan dapat berjalan dengan baik,

disertai dengan berbagai langkah yang antisipatif guna memperkecil kesenjangan yang terjadi

sehingga kegiatan tesebut mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian dapat

didefinisikan bahwa perencanaan adalah proses penyusunan berbagai keputusan pembelajaran yang

akan dilaksanakan pada masa kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan. Dengan perencanaan,

membantu membantu guru secara sistematik dan menganalisis kebutuhan pelajar dan menyusun

kemungkinan yang berhubungan dengan kebutuhan. Karena dengan perencanaan pembelajaran guru

dapat memproyeksikan kegiatan apa yang akan dilakukan agar abak didik dapat mencapai tujuan

pembelajaran.

a. Komponen-Komponen Perencanaan Pembelajaran

Rencana pembelajaran yang baik menurut Gagne dan Briggs hendaknya mengandung lima

komponen yang disebut anchor point, yaitu: (1) Tujuan pengajaran; (2) Materi pelajaran/bahan

ajar, (3) pendekatan dan metode mengajar, media pengajaran dan pengalaman belajar; (4)

Alat/Media dan Sumber Belajar (5) Evaluasi keberhasilan. Uraian singkat dari kelima komponen

di atas sebagai berikut.

1) Tujuan

Mager (1962) mengemukakan bahwa tujuan pembelajaran adalah perilaku yang hendak dicapai atau

yang dapat dikerjakan oleh siswa pada kondisi dan tingkat kompetensi tertentu. Tujuan merupakan

suatu cita-cita yang ingin dicapai dari pelaksanaan pembelajaran. Tujuan-tujuan pembelajaran harus

berpusat pada perubahan perilaku siswa yang di inginkan, dan karenanya harus dirumuskan secara

operasional, spesifik, dapat diukur dan dapat diamati ketercapaiannya.

Hamalik (2005) menyebutkan bahwa tujuan pembelajaran adalah suatu deskripsi mengenai tingkah

laku yang diharapkan tercapai oleh siswa setelah berlangsung pembelajaran. Meski para ahli

memberikan rumusan tujuan pembelajaran yang beragam, tetapi semuanya menunjuk pada esensi

yang sama, bahwa: (1) Tujuan pembelajaran adalah tercapainya perubahan perilaku atau

Page 530: Scanned by CamScanner - ULM

524 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

kompetensi pada siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran; (2) Tujuan dirumuskan dalam

bentuk pernyataan atau deskripsi yang spesifik.

2) Materi Pelajaran

Materi pelajaran merupakan unsur belajar yang harus mendapatkan perhatian penting dari guru.

Materi pelajaran merupakan medium untuk mencapai tujuan pembelajaran yang ”dikonsumsi” oleh

siswa. Oleh karena itu, penentuan materi pelajaran mesti berdasarkan tujuan yang hendak dicapai,

dalam hal ini adalah hasil-hasil yang diharapkan misalnya berupa pengetahuan, keterampilan, sikap,

dan pengalaman lainnya.

Bahan ajar atau materi pembelajaran (instructional materials) secara garis besar terdiri dari

pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar

kompetensi yang telah ditentukan.Secara terperinci, jenis-jenis materi pembelajaran terdiri dari

pengetahuan, keterampilan, dan sikap atau nilai.

3) Pendekatan, strategi, model dan metode pembelajaran

Dalam kegiatan belajar mengajar, guru dan siswa terlibat dalam sebuah interaksi dalam materi

pelajaran sebagai mediumnya. Dalam interaksi itu siswalah yang lebih aktif bukan guru. Interaksi

itu terwujud karena adanya pendekatan, strategi, model, dan metode pembelajaran yang diterapkan.

Keaktifan siswa tentu mencakup kegiatan fisik dan mental, individual dan kelompok. Oleh karena

itu, interaksi dikatakan maksimal bila terjadi antara guru dengan semua siswa, antara siswa dengan

guru, antara siswa dengan siswa, siswa dengan materi pelajaran dan media pembelajaran, bahkan

siswa dengan dirinya sendiri, namun tetap dalam kerangka mencapai tujuan yang telah di tetapkan

bersama.

Agar memperoleh hasil optimal, sebaiknya guru memperhatikan perbedaan individual siswa, baik

aspek biologis, intelektual, dan psikologis. Ketiga aspek ini diharapkan memberikan informasi

kepada guru, bahwa setiap siswa dapat mencapai prestasi belajar yang optimal, sekalipun dalam

tempo yang berlainan.

4) Alat/Media dan Sumber Belajar

Istilah media berasal dari bahasa latin yang merupakan bentuk jamak dari medium. Secara harfiah

berarti perantara atau pengantar. Pengertian umumnya adalah segala sesuatu yang dapat

menyalurkan informasi dari sumber informasi kepada penerima informasi. Media menurut AECT

adalah segala sesuatu yang digunakan orang untuk menyalurkan pesan. Sedangkan Gagne

mengartikan media sebagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsang

Page 531: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 525

mereka untuk belajar. Briggs mengartikan media sebagai alat untuk memberikan perangsang bagi

siswa agar terjadi proses belajar.

Media pembelajaran adalah media yang digunakan dalam pembelajaran, yaitu meliputi alat bantu

guru dalam mengajar serta sarana pembawa pesan dari sumber belajar ke penerima pesan belajar.

Sebagai penyaji dan penyalur pesan, media belajar dalam hal-hal tertentu bisa mewakili guru dalam

menyajikan informasi belajar kepada siswa. Jika program media itu didesain dan dikembangkan

secara baik, maka fungsi itu akan dapat diperankan oleh media meskipun tanpa keberadaan guru.

Media merupakan segala sesuatu yang dapat digunakan dalam rangka mencapai tujuan

pembelajaran. Dawyer (1967) berpendapat bahwa belajar yang sempurna hanya dapat tercapai jika

menggunakan bahan-bahan audio visual yang mendekati realitas. Sumber belajar adalah segala

sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai tempat dimana materi pelajaran terdapat. Menurut

Nasution (2000) sumber belajar dapat berasal dari masyarakat dan kebudayaannya, perkembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebutuhan siswa. Pemanfaantan sumber-sumber belajar

tersebut tergantung pada kreatifitas guru, waktu, biaya serta kebijakan-kebijakan lainnya.

5) Evaluasi

Evaluasi adalah suatu proses yang sistematis dan berkelanjutan untuk menentukan kualitas dari

sesuatu, berdasarkan pertimbangan dan kriteria tertentu dalam rangka pembuatan keputusan.

Berdasarkan pengertian ini, ada beberapa hal yang perlu dijelaskan lebih lanjut, yaitu evaluasi

adalah suatu proses bukan suatu hasil. Hasil yang diperoleh dari kegiatan evaluasi adalah kualitas

sesuatu, baik yang menyangkut tentang nilai atau arti, sedangkan kegiatan untuk sampai pada

pemberian nilai dan arti itu adalah evaluasi. Membahas tentang evaluasi berarti mempelajari

bagaimana proses pemberian pertimbangan mengenai kualitas sesuatu. Tujuan evaluasi adalah

untuk menentukan kualitas sesuatu, terutama yang berkenaan dengan nilai dan arti.Pemberian nilai

dan arti ini dalam bahasa yang dipergunakan Scriven (1967) adalah formatif dan sumatif.Jika

formatif dan sumatif merupakan fungsi evaluasi, maka nilai dan arti adalah hasil kegiatan yang

dilakukan oleh evaluasi.

Pendekatan Konstruktivisme dalam Perencanaan Pembelajaran

Konstruktivisme lahir dari gagasan Piaget dan Vigotsky. Ke duanya menekankan bahwa perubahan

kognitif hanya terjadi jika konsepsi-konsepsi yang telah dipahami sebelumnya diolah melalui proses

disequilibrium dalam upaya memahami informasi-informasi barn (Nur, 2000). Konstruktivisme

memandang bahwa pengetahuan merupakan konstruksi kognitif melalui aktifitas seseorang.

Page 532: Scanned by CamScanner - ULM

526 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Konstruktivisme menekankan bahwa manusia mengkonstruksi obyek dan hubungannya yang

mereka rasakan untuk memperluas konsepsi mereka yang sesuai dengan lingkungan. Brown dikutip

Duffy (1992:4) mengemukakan bahwa construktivists emphasize "situating" cognitive experiences

in authentic activities.

Ide-ide konstruktivisme modern banyak dilandasi oleh teori Vigotsky. Terdapat empat prisip kunci

dari teori Vigotsky yang memegang peranan penting yatu (1) penekanan pada hakekat sosial; (2)

konsep daerah perkembangan terdekat; (3) pemagangan kognitif; dan (4) scaffolding. Vygotsky

menekankan bahwa scaffolding atau mediated learning atau dukungan tahap demi tahap untuk

belajar dalam pemecahan masalah sebagai suatu hal yang penting dalam pemikiran krostruktivisme

modem. (Kozulin & Presseisen, 1995).

Teori konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan

mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan

gagasan yang bane, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupkan himpunan dan

pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan

dan menjadi lebih dinamis. Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum

seperti: (1) pelajar aktif membina pengetahuan berdasarkan pengalaman yang sudah ada; (2) dalam

konteks pembelajaran, pelajar sehanisnya membina sendiri pengetahuan mereka; (3) pentingnya

membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling mempengaruhi antara

pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru; (4) unsur terpenting dalam teori ini ialah

seseorang membina pengetahuan dirinyasecara aktif dengan cara membandingkan informasi barn

dengan pemahamannya yang sudah ada; (5) ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi

pembelajaran yang utama. Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar inenyadari gagasan-

gagasannya tidak konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah; dan (6) bahan pengajaran yang

disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik minat pelajar

("http://id.wikipedia.org/wilci/Konstruktivisme ")

Untuk mengatasi pennasalahan di atas, dalam penelitian ini dilakukan tindakan aktif yang

mengaplikasikan pendekatan belajar kotruktivisme. Dalam mengarahkan materi perkuliahan dan

pemberian contoh-contoh pembelajaran bermutu serta tugas- tugas yang harus dikerjakan oleh

mahasiswa dilakukan simulasi, agar mahasiswa benar-benar dapat melihat secara jelas seperti apa

betul pembelajaran yang akan dilatihkan pada mahasiswa tersebut. Jadi mahasiswa akan benar-

benar dilatih untuk membuat perangkat pembelajaran matematika yang bersifat kontekstual dan

melaksanakannya di depan kelas sehingga dapat membuat pembelajaran menjadi menarik.

Page 533: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 527

Lesson Study dengan Penerapan Karakter

Lesson study merupakan suatu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian

pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berdasarkan pada prinsip-prinsip kolegalitas oleh

sekelompok dosen untuk membangun sebuah komunitas belajar (learning community). Lesson

Study bukan merupakan suatu strategi ataupun metode pembelajaran, tetapi kegiatan lesson study

dapat menerapkan berbagai strategi dan metode pembelajaran yang dapat disesuaikan dengan

situasi dan kondisi serta permasalahan yang dihadapi dosen pada setiap proses pembelajaran.

Lesson study merupakan suatu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian

pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan

mutual learning untuk membangun komunitas belajar (Hendayana, 2007). Model pembinaan lesson

study dapat digunakan sebagai model bimbingan mengajar bagi dosen terhadap mahasiswa

(Rustono, 2008). Salah satu upaya meningkatkan kualitas dan profesionalisme pengajar dalam

memfasilitasi proses pembelajaran. Mata kuliah Perencanaan Pengajaran sengaja dipilih karena

konten dari mata kuliah ini yaitu upaya memberikan bekal keterampilan kepada para calon guru

untuk mampu merancang pembelajaran. Dari berbagai mata kuliah perencanaan pembelajaran

muaranya adalah bagaimana mahasiswa calon guru mampu merancang berbagai komponen yang

mendukung terselenggaranya pembelajaran sehingga menghasilkan acuan yang sejalan dengan

kemauan pemangku kepentingan dan pemerintah melalui kurikulumnya.

Lesson study dilaksanakan dalam tiga tahapan, yaitu: perencanaan, pelaksanaan dan tahap

refleksi. Tahap perencanaan bertujuan untuk merancang pembelajaran yang dapat mengajarkan

mahasiswa bagaimana berpartisipasi aktif dalam kegiatan pembelajaran. Tahap pelaksanaan

merupakan tahap penerapan rancangan pembelajaran yang telah disusun sebelumnya. Selama

proses pembelajaran berlangsung pengamat menfokuskan perhatian kepada aktivitas mahasiswa

yaitu interaksi sesama mahasiswa, mahasiswa dengan dosen, mahasiswa dengan bahan ajar serta

interaksi mahasiswa dengan lingkungan.

Setelah selesai proses pembelajaran, langsung dilakukan diskusi antara dosen model dengan

pengamat. Mula-mula dosen model menyampaikan kesan-kesan selama proses pembelajaran

berlangsung, lalu dilanjutkan oleh para pengamat. Pengamat harus menyampaikan fakta temuannya

di kelas secara jujur dan bijak demi perbaikan proses pembelajaran. Dosen model harus dapat

menerima masukan dari pengamat untuk perbaikan pembelajaran pada tahap berikutnya. Pada

prinsipnya, semua orang yang terlibat dalam kegiatan lesson study harus memperoleh lesson learn.

Dengan demikian kegiatan lesson study dapat digunakan untuk membangun komunitas belajar

(learning community) (Rusman. 2011).

Page 534: Scanned by CamScanner - ULM

528 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Karakter dapat dimaknai sebagai nilai dasar yang membangun pribadi seseorang, terbentuk baik

karena pengaruh hereditas maupun pengaruh lingkungan, yang membedakannya dengan orang lain,

serta diwujudkan dalam sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Secara sederhana

pendidikan karakter diartikan sebagai hal positif apa saja yang dilakukan dosen dan berpengaruh

kepada karakter mahasiswa yang diajarnya. Pendidikan karakter semata-mata merupakan bagian

dari pembelajaran yang baik dan merupakan bagian yang fundamental dari pendidikan yang baik

(Samani, M. dan Hariyanto. 2011).

PENUTUP

Perencanaan pembelajaran berbasis karakter melalui pendekatan konstruktivisme adalah proses

perencanaan nilai-nilai moral atau karakter bagi mahasiswa. Ada banyak dimensi yang harus

diperhatikan dalam menyusun perencanaan pembelajaran berbasis karakter. Perencanaan

pembelajaran berbasis karakter melalui pendekatan konstruktivisme sangat bermanfaat bagi

mahasiswa calon guru dalam mempersiapkan dirinya terjun ke masyaakat untuk dapat

membelajarkan nilai-nilai karakter agar peserta didik mampu menjadikan dirinya berkembang dan

mempunyai nilai-nilai budi pekerti yang baik. Rencana pembelajaran yang baik menurut Gagne dan

Briggs hendaknya mengandung lima komponen yang disebut anchor point, yaitu: (1) Tujuan

pengajaran; (2) Materi pelajaran/bahan ajar, (3) pendekatan dan metode mengajar, media

pengajaran dan pengalaman belajar; (4) Alat/Media dan Sumber Belajar (5) Evaluasi

keberhasilan.

Lesson Study bukan merupakan suatu strategi ataupun metode pembelajaran, tetapi kegiatan lesson

study dapat menerapkan berbagai strategi dan metode pembelajaran yang dapat disesuaikan

dengan situasi dan kondisi serta permasalahan yang dihadapi dosen pada setiap proses

pembelajaran. Mata kuliah Perencanaan Pengajaran sengaja dipilih karena konten dari mata kuliah

ini yaitu upaya memberikan bekal keterampilan kepada para calon guru untuk mampu merancang

pembelajaran.

REFERENSI

Armis. (2013). Penerapan pendekatan konstruktivisme dalam perkuliahan perencanaan pengajaran

matematika. Jurnal Edumatica, Volume 03 Nomor 01, ISSN: 2088-2157, April 2013

Herlina. (2003). Penggunaan Pendekatan Konstruktivisme untuk Meningkatkan Aktivitas dan

Konsepsi Mahasiswa pada Matakuliah Fisika Matematika (Studi Kasus pada Mahasiswa PS Fisika

FKIP UNILA). Laporan Penelitian. FKIP Universitas Lampung.

Page 535: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 529

Guatafson, (1981). Survey of Instructional Development Model. Geogia: Clearing House In

Information Resources, Syracause University.

John W. (2009). Educational Psyhology. America New York: McGraw-Hill.

Joyce, Bruce and Marsha Weil & Emily Calhoun, (2009). Models of Teaching. Boston: Ally and

Bacon.

Kozulin, A. (1995). Mediated Learning Experience and Psychologist tools, - Vygotsky"s and

Feuerstein"s perspectives in astudy of student learning, Educational Psychologist.

Kemp, J.E. (1977). Instruksional Design. Belmont: Fearon Tilman Publisher, Inc.

Lewis, C. (2002). Lesson study: A handbook of teacher-led instructional change. Research for

Better Schools: Philadelphia.

Nadzir, M. (2013). Perencanan Pembelajaran berbasis karakter .Jurnal Pendidikan Agama Islam,

Vol. 02. No. 02, Nopember 2013. Hal: 351-352

Novalita, Rahmi. (2014) Pengaruh perensanaan pembelajaran terhadap pelaksanaan pembelajaran.

Jurnal Lentera, Vol. 14, No. 2. Maret 2014.

Nur, Mohamad, dkk. (2000). Pengajaran berpusat Kepada Siswa dan Pendekatan Konstruktivis

dalam Pengajaran. Pusat Studi Matematika dan IPA Sekolah Universitas Negeri Surabaya.

Plomp, Tj. (1997). Educational Design: Introduction. From Tjeerd Plomp (eds). Educational &

Training System Design: Introduction. Design of Education and Training (in Dutch).Utrecht (the

Netherlands): Lemma. Netherland.Faculty of Educational Science and Technology, University of

Twente.

Plomp, Tj & Wolde, J. van den. (1992). The General Model for Systematical Problem Solving.

From Tjeerd Plomp (Eds.). Design of Educational and Training (in Dutch). Utrecht (the

Netherlands): Lemma. Netherland. Faculty of Educational Science and Technology, University of

Twente. Enschede the Netherlands.

Reigeluth, C.M. (1999). Instructional-Design Theories and Models Volume II: A New Paradigm of

Instructional Theory. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers.

Rusman. (2011). Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada

Samana, A. (2002). Profesionalisme Keguruan. Yogyakarta: Karnisius Santrock,

Sarna, Ketut. (2007). Pendidikan Guru Profesional Melalui Pembelajaran Bertahap, Terpadu dan

Holistik. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran Undiksha. P 440-451.

Samani, M. dan Hariyanto. (2011). Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT.

Rosdakarya Remaja

Page 536: Scanned by CamScanner - ULM

530 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Sujana, Nana. (1989). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung : Remaja Rosdakarya

Utami, B et al. (2011). Penerapan Pendekatan Konstruktivisme Melalui Model Pembelajaran Think

Pair Share (TPS) dalam Kegiatan Lesson Study untuk Meningkatkan Kualitas Proses dan Hasil

Belajar Strategi Belajar-Mengajar. Jurnal Inovasi Pendidikan Jilid 12 Nomor 1 p 1 -18.

Woolfolk, Anita. (2009). Educational Psychology Active Learning Edition, Boston: Allyn and

Bacon.

Page 537: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 531

PENGEMBANGAN TIK DALAM PENDIDIKAN BERBASIS HIGHER ORDER THINKING SKILLS (HOTS): MODEL, STRATEGI, DAN ASSESMENT

R. Mursid, Abdul Hasan Saragih, Naeklan Simbolon

Teknologi Pendidikan Pascasarjana Universitas Negeri Medan

[email protected]

ABSTRAK

TIK dalam pendidikan berbasis HOTS sangat penting untuk membantu dosen/guru dan pebelajar

dalam mengkreasi, menata, dan mengorganisasi pembelajaran sehingga memungkinkan peristiwa

belajar terjadi dalam rangka mencapai tujuan belajar. Model pembelajaran TIK dalam pendidikan

berbasis HOTS sangat diperlukan untuk memandu proses belajar secara efektif yang memiliki

landasan teoretik yang humanistik, lentur, adaptif, berorientasi kekinian, memiliki sintak

pembelajaran yang sedehana, mudah dilakukan, dapat mencapai tujuan dan hasil belajar yang

disasar berdasarkan kemampuan dalam berpikir tingkat tinggi. Tahapan pembelajaran TIK dalam

pendidikan berbasis HOTS dilakukan mengacu pada pembelajaran: active learning, constructive,

collaborative, intentional/antusiastik, conversational/dialogis, contextualized, reflective,

multisensory, high order thingking skill training. Sedangkan output yang dihasilkan dalam

pelaksanaan pembelajaran TIK dalam pendidikan berbasis HOTS adalah produk nyata berdasarkan

hasil investigasi dalam pembelajaran; berinovatif, kreatif dan produktif; bertanggungjawab dan

berkarakter; berkarya dan melakukan pekerjaan dengan hasil yang baik; hasil berlajar penguasaan

aspek kognitif, afektif, dan psikomorotik; dan memiliki kecakapan/skills.

Kata Kunci: Tik dalam pendidikan, higher order thinking skills, model, strategi, assesment

PENDAHULUAN

Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dan aspek paedogogi dalam pembelajaran tidak

dapat dipisahkan satu sama lain. Kehadiran TIK dalam pendidikan dalam proses pembelajaran

justru menambah khazanah pengetahuan dan perkembangan aspek-aspek pedagogi. Instruksi-

instruksi yang digunakan pada prinsipnya sangat membantu dalam hal meningkatkan

pemahaman pebelajar, membantu dalam mengeksplorasi sumber belajar dan menanamkan sikap

kritis pebelajar. Terjadinya interaksi dan hubungan antara TIK dan pedagogi secara komplek telah

Page 538: Scanned by CamScanner - ULM

532 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

dipaparkan. Intinya, kehadiran TIK dalam pendidikan dapat menambah wawasan bagi para

perancang pembelajaran untuk menuju model pembelajaran yang inovatif dan kreatif. Tujuan

umum mengintegrasikan TIK dalam pendidikan adalah membantu pebelajar dalam belajar serta

mengetahui bagaimana menggunakan TIK sebagai media dalam mempelajari materi pelajaran.

Sedangkan untuk Guru/Dosen untuk meningkatkan ketrampilan dalam memanfaatkan TIK sebagai

media dan sumber belajar.

Menurut Onwu, O.G. et al (2009) secara khusus memberi petunjuk dalam mengintegrasikan TIK

dalam pendidikan adalah memfasilitasi belajar pebelajar. Melalui proses pembelajaran diharapkan

pebelajar dapat: (1) menerapkan prinsip-prinsip pedagogi secara kritis dengan bantuan TIK; (2)

mengembangkan dan memfasilitasi aktivitas pembelajaran berbasis TIK; (3) menganalisis dan

menggunakan TIK mengevaluasi materi pelajaran dengan; (4) menggunakan berbagai alat

komunikasi dan media multimendia (e-mail, web dan laboratorium virtual) dalam proses

pembelajaran; (5) menggunakan TIK dalam kegiatan penelitian, membantu pemecahan masalah

materi pelajaran; (6) menggunakan TIK dalam rangka mengembangkan profesionalitas dalam

pembelajaran; dan (7) mengintegrasikan TIK dalam kurikulum yang dapat menghantarkan

TIK mencakup dua aspek yaitu teknologi informasi dan teknologi komunikasi. Teknologi

informasi meliputi segala hal yang berkaitan dengan proses, penggunaan sebagai media, manipulasi,

dan pengelolaan informasi. Sedangkan pengertian untuk teknologi komunikasi yaitu semua hal yang

berkaitan dengan penggunaan media untuk memproses dan mentransfer data dari perangkat satu ke

perangkat lainnya. Maka sekarang kita tau bahwa teknologi informasi dan teknologi komunikasi

merupakan dua aspek yang sangat erat hubungannya sehingga tidak bisa dipisahkan satu sama

lainnya. Sehingga teknologi informasi dan komunikasi memiliki pengertian yang sangat luas yaitu

semua kegiatan yang berkaitan dengan pemrosesan, manipulasi data, pengelolaan, pemindahan

informasi. Sehingga dikatakan TIK merupakan simbol dari kemajuan untuk suatu bangsa, sehingga

sekarang kita tau peran TIK di Negara kita terutama dalam dunia pendidikan.

Dalam makalah ini permasalahan yang hendak di paparkan adalah: (1) pengembangan model

integrasi TIK dalam pembelajaran berbasis HOTS; (2) pengembangan strategi pembelajaran TIK

dalam pembelajaran berbasis HOTS; dan (3) pengembangan assesmen TIK dalam pembelajaran

berbasis HOTS.

PEMBAHASAN

Pengembangan Model Integrasi TIK dalam Pembelajaran

Salah satu model integrasi TIK dalam pembelajaran telah dikembangkan oleh Wang & Lao

(2007). Model perencanaannya, didasarkan pada cakupan materi yang dipelajari yakni

pembagian makro, meso dan mikro. Berdasarkan cakupan, materi pelajaran, integrasi TIK dapat

Page 539: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 533

terjadi di tiga wilayah yakni wilayah makro pada tataran kurikulum, meso pada wilayah topik

pelajaran dan mikro pada wilayah matakuliah. Banyak model desain instruksional yang telah

dikembangkan untuk membantu guru/dosen dalam mengintegrasikan TIK dalam kurikulum.

Misalnya, model ASSURE yang terdiri dari (analisis peserta belajar, menyebutkan tujuan belajar,

memilih metoda yang sesuai, pemilihan media dan materi pelajaran, permintaan yang dibutuhkan,

evaluasi dan revisi model, dalam Wang (2007).

Atas dasar itu, mata kuliah TIK dalam pendidikan pada tataran kurikulum berfungsi untuk

mendukung semua materi pelajaran dan pengalaman belajar untuk keseluruhan matakuliah.

Misalnya, integrasi TIK suatu multimedia yang disampaikan, dalam bentuk CD-ROM atau

matakuliah berbasis web. Sementara itu, TIK dapat digunakan sebagai bahan paket pendukung

dalam mempelajari topik tertentu. Sedangkan pada tingkat (mikro) yakni materi pelajaram TIK

dapat digunakan untuk membantu pemahaman konsep dalam hal menjelaskan konsep tertentu.

TIK atau yang dikenal dalam bahasa Inggris dengan istilah Information and Communication

Technologies (ICT) merupakan suatu program yang mencakup seluruh peralatan teknis untuk

memproses, untuk media , manipulasi, dan menyampaikan informasi. UNESCO (2004)

mendefenisikan bahwa TIK adalah teknologi yang digunakan untuk berkomunikasi dan

menciptakan, mengelola dan mendistribusikan informasi. Defenisi umum TIK adalah computer,

internet, telepon, televisi, radio, dan peralatan audiovisual. Teknologi yang dimaksud termasuk

komputer, internet, teknologi penyiaran (radio dan televisi), dan telepon. Penguasaan TIK berarti

kemampuan memahami dan menggunakan alat TIK secara umum termasuk computer (Computer

literate) dan memahami informasi (Information literate).

Sebenarnya sasaran yang ingin dicapai melalui implementasi teknologi dan system informasi adalah

guna menjawab tantangan yang dihadapi dalam suatu pembelajaran dalam era globalisasi yaitu: (1)

perkembangan peserta didik; (2) peningkatan kualitas pembelajaran; (3) efisiensi dan efektifitas

proses belajar mengajar; dan (4) SDM Untuk mecapai sasaran yang diinginkan dibutuhkan system

informasi yang dapat memenuhi kriteria berikut: reliability, availability; transparancy, accuracy;

scalability; optimalisasi; flexibility; best practise; knowledge enhancement; and competency match.

Pengembangan Strategi Pembelajaran TIK dalam Pendidikan Berbasis HOTS

Pembelajaran melibatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi memerlukan kejelasan komunikasi

tertentu mengurangi ambiguitas dan kebingungan dan memperbaiki sikap Pebelajar tentang tugas

berpikir. Strategi pembelajaran harus mencakup pemodelan dalam keterampilan berpikir, contoh

pemikiran terapan, dan adaptasi untuk beragam kebutuhan pebelajar scaffolding (memberi

Page 540: Scanned by CamScanner - ULM

534 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

dukungan di awal pembelajaran dan secara bertahap mengharuskan pebelajar untuk

melaksanakannya secara mandiri) membantu pebelajar mengembangkan skill yang lebih tinggi.

Strategi pembelajaran berguna dalam: latihan, elaborasi, organisasi, dan metakognisi. Pembelajaran

dirancang khusus untuk strategi pembelajaran yang spesifik. Pembelajaran langsung (informasi

yang berpusat pada guru/dosen) harus digunakan dengan hemat. Pembelajaran harus singkat dan

ditambah dengan latihan untuk subskill dan pengetahuan.

Kegiatan kelompok kecil seperti diskusi pebelajar, peer tutoring, dan pembelajaran kooperatif dapat

efektif dalam pengembangan kemampuan berpikir. Strategi pembelajaran harus melibatkan

tantangan dalam tugas, dorongan, dan umpan balik yang terus berlanjut. Komunikasi dan

pembelajaran melalui komputer dapat memberikan akses dan memungkinkan kolaborasi. Hal ini

bisa efektif dalam membangun keterampilan di bidang-bidang seperti analogi verbal, pemikiran

logis, dan penalaran induktif/deduktif.

Tabel 1. Development of Higher Order Thinking Skills

Situations Skills Outcomes

Situasi beberapa

kategori, yang belum

dimiliki pebelajar

jawaban yang

dipelajari, sebaiknya

reallife konteks

Keterampilan multidimensi

penerapan lebih dari satu

aturan atau transformasi

konsep atau aturan yang

diketahui sesuai dengan

situasi

Hasil yang tercipta melalui proses

berpikir, tidak dihasilkan dari Hafalan

tanggapan belajar pengalaman

sebelumnya

• ambiguities

• challenges

• confusions

• dilemmas

• discrepancies

• doubt

• obstacles

• paradoxes

• problems

• puzzles

• questions

• uncertainties

• complex analysis

• creative thinking

• critical thinking

• decision making

• evaluation

• logical thinking

• metacognitive thinking

• problem solving

• reflective thinking

• scientific experimentation

• scientific inquiry

• synthesis

• systems analysis

• arguments

• compositions

• conclusions

• confirmations

• decisions

• discoveries

• estimates

• explanations

• hypotheses

• insights

• inventions

• judgments

• performances

• plans

• predictions

• priorities

• probabilities

• problems

• products

• recommendations

• representations

• resolutions

• results

• solutions

Page 541: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 535

Kauchak dan Eggen (1998) menemukan bahwa strategi berikut berkontribusi pada hal-hal tertentu

Jenis komunikasi instruksional yang diperlukan untuk mengembangkan kemampuan berpikir

tingkat tinggi.

1. Sejajarkan tujuan pembelajaran, tujuan, gagasan dan keterampilan konten, tugas belajar,

penilaian kegiatan, dan bahan dan media .

2. Menetapkan kegiatan dan rutinitas terorganisir.

a. Siapkan analisis tugas tentang kemampuan berpikir untuk dipelajari: identifikasi yang spesifik

kemampuan berpikir untuk dipelajari, pengetahuan dan keterampilan prasyarat, urutan subskill

terkait, dan kesiapan pebelajar untuk belajar (diagnosis prasyarat pengetahuan dan kemampuan).

b. Siapkan contoh masalah, contoh, dan penjelasan.

c. Siapkan pertanyaan yang melampaui sekadar mengingat kembali informasi faktual yang harus

dipusatkan tingkat pemahaman yang lebih tinggi, seperti bagaimana? mengapa? dan seberapa baik?

d. Merencanakan strategi untuk diagnosis, bimbingan, latihan, dan remediasi.

e. Jelaskan dan ikuti rutinitas yang telah ditetapkan, seperti mulai tepat waktu dan mengikuti Urutan

kegiatan yang direncanakan.

f. Sampaikan antusiasme, perhatian tulus pada topik, kehangatan, dan bisnis pendekatan dengan

persiapan dan organisasi yang menyeluruh, waktu transisi minimal antara aktivitas, ekspektasi yang

jelas, dan yang nyaman, tidak mengancam suasana.

3. Jelaskan tugasnya dengan jelas.

a. Tetapkan tujuan di awal tugas.

b. Berikan contoh produk jadi.

c. Hindari terminologi yang kabur dan ambigu seperti "mungkin," "sedikit lagi," "beberapa,"

"Biasanya," dan "mungkin." Istilah ini menyarankan disorganisasi, kekurangan persiapan, dan

kegugupan.

d. Perkenalkan tugas dengan kerangka pengorganisasian yang jelas dan sederhana seperti diagram,

bagan, pratinjau, atau satu gambaran paragraf.

e. Perkenalkan konsep dan istilah kunci sebelum penjelasan lebih lanjut dan studi.

f. Gunakan pertanyaan yang memusatkan perhatian pada informasi penting.

g. Berikan penekanan dengan pernyataan lisan, perilaku nonverbal, pengulangan, dan tulisan

sinyal.

h. Buat ide dengan gambar, diagram, contoh, demonstrasi, model, dan perangkat lain.

4. Berikan sinyal transisi untuk mengkomunikasikan bahwa satu gagasan berakhir dan yang lainnya

dimulai.

Page 542: Scanned by CamScanner - ULM

536 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

5. Berikan umpan balik pada interval yang sering dengan umpan balik korektif untuk memperjelas

kesalahan atau sebagian tanggapan salah.

Pengembangan Assesment TIK dalam Pembelajaran Berbasis HOTS

Penilaian yang valid terhadap kemampuan berpikir tingkat tinggi mengharuskan pebelajar untuk

tidak terbiasa dengan pertanyaan atau tugas yang mereka minta untuk menjawab atau melakukan

dan bahwa mereka sudah cukup pengetahuan sebelumnya untuk menggunakan kemampuan berpikir

tingkat tinggi dalam menjawab pertanyaan atau melakukan tugas. Penelitian secara psikologis

menunjukkan bahwa keterampilan yang diajarkan dalam satu domain bisa di generalisasi ke orang

lain. Dalam jangka waktu yang lama, individu mengembangkan keterampilan tingkat tinggi

(kemampuan intelektual) yang berlaku untuk permasalahan yang kompleks.

Tiga tugas dalam mengukur ketrampilan tingkat tinggi: (a) seleksi, termasuk item pilihan ganda,

pencocokan, dan rangking; (b) generasi, yang mencakup pertanyaan singkat, esai, dan item kinerja

atau tugas; dan (c) penjelasan, yang meliputi pemberian alasan untuk tanggapan seleksi atau umum.

Guru/dosen menyadari pentingnya memiliki pebelajar mengembangkan keterampilan tingkat tinggi,

namun sering tidak menilai kemajuan pebelajar mereka. Beberapa model berbasis kinerja tersedia

untuk membantu mereka dalam mengajar dan menilai keterampilan ini.

Terdapat beberapa prinsip umum penggunaan teknologi, dalam ICT, yaitu sebagai berikut:

a. Efektif dan efisien Penggunaan ICT harus memperhatikan manfaat dari teknologi ini dalam

hal mengefektifkan belajar, meliputi perolehan ilmu, kemudahan dan keterjangkauan, baik waktu

maupun biaya. Dengan demikian, penggunaan ICT yang justru membebani akan berakibat tidak

berjalannya pembelajaran secara efektif dan efisien.

b. Optimal dengan menggunakan ICT, paling tidak pembelajaran menjadi bernilai “lebih” daripada

tanpa menggunakannya. Nilai lebih yang diberikan ICT adalah keluasan cakupan, kekinian (up to

date), kemodernan dan keterbukaan.

c. Menarik Artinya dalam prinsip ini, pembelajaran di kelas akan lebih menarik dan

memancing keingintahuan yang lebih. Pembelajaran yang tidak menarik dan memancing

keingintahuan yang lebih akan berjalan membosankan dan kontra produktif untuk pembelajaran.

Kemampuan berpikir tingkat tinggi mencakup pemikiran kritis, pemecahan masalah, pengambilan

keputusan, dan pemikiran kreatif (Lewis & Smith, 1993). Mereka mencakup keterampilan yang

didefinisikan di Bloom's taksonomi tujuan pendidikan (Bloom, 1956); Hirarki kemampuan belajar

yang dikemukakan oleh Briggs and Wager (1981), Gagné (1985), dan Gagné, Briggs, and Wager

(1988); dan sejumlah konseptualisasi lainnya yang kurang terkenal. Contohnya adalah matriks

Gubbins keterampilan berpikir kritis (seperti yang dikutip dalam Legg, 1990), yang mencakup (1)

Page 543: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 537

pemecahan masalah, (2) Pengambilan keputusan, (3) kesimpulan-penalaran induktif dan deduktif,

(4) pemikiran yang berbeda, (5) pemikiran evaluatif, dan (6) filsafat dan penalaran.

Metode penilaian untuk mengukur pemikiran tingkat tinggi mencakup item pilihan ganda, Item

pilihan ganda dengan pembenaran tertulis, item tanggapan yang dibangun, tes kinerja, dan

portofolio. Metode ini dapat digunakan baik dalam penilaian kelas maupun di seluruh negara

bagian, namun untuk nyaman, pertimbangkan dua macam penilaian secara terpisah.

Merangsang daya kreatifitas berpikir Pebelajar .

Pebelajar akan terus berusaha untuk mencoba sesuatu yang baru mereka lihat di dalam internet, dari

ketertarikan itu mereka bisa dimungkinkan untuk membuat sesuatu inovasi baru. Reeves (1998)

memaparkan hasil investigasi 10 tahun oleh proyek Apple Classrooms of Tomorrow (ACOT), dan

menyimpulkan bahwa inovasi-inovasi pedagogis dan hasil-hasil positif pembelajaran dapat

diperoleh dengan penerapan teknologi (ICT) disekolah. Dalam mengintegrasikan teknologi ke

dalam proses pembelajaran, para ahli meneliti dan mengembangkan berbagai model.

Woodbridge (2004) dan imodifikasi/dikembangkan lebih lanjut oleh penulis. Beberapa catatan

penting dari model tersebut adalah sebagai berikut:

(1) Teknologi (ICT) berperan pada tiga fungsi: pertama, menciptakan kondisi belajar yang

menyenangkan dan mengasyikan (efek emosi); kedua, membekali kecakapan pebelajar untuk

menggunakan teknologi tinggi. Ini menjawab tantangan relevansinya dengan dunia di luar sekolah.

Ketiga, teknologi berfungsi sebagai learning tools dengan program-program aplikasi dan

penggunaan, selain mempermudah dan mempercepat pekerjaan, juga memperbanyak variasi dan

teknik-teknik analisis dan interpretasi.

(2) Emosi positif, keterampilan menggunakan teknologi, dan kecakapan dalam memanfaatkan

program-program dan penggunaannya itu merupakan bekal dan kondisi yang positif bagi

pengembangan kemampuan intelektual pebelajar melalui pengembangan kemampuan mencipta,

memanipulasi, dan belajarberlatih dengan tugastugas yang berbasis penyelesaian masalah

membangun lingkungan belajar konstruktivis.

ICT memegang peran yang sangat besar dalam suatu proses salah satunya dalam bidang pendidikan

untuk memfasilitasi proses pembelajaran. Terdapat beberapa penggunaan ICT dalam Pengajaran

dan Pembelajaran, yaitu:

(1) Tutorial ICT digunakan untuk pembelajaran tutorial apabila digunakan untuk

menyampaikan pelajaran berdasarkan urutan yang telah ditetapkan. Pembelajaran tutorial meliputi:

(a) pembelajaran ekspositori yaitu penjelasan. terperinci. (b) demonstrasi dan latihan.

Page 544: Scanned by CamScanner - ULM

538 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

(2) Eksplorasi penggunaan ICT untuk pembelajaran berlaku apabila ICT digunakan sebagai

media untuk: (a) mencari dan mengakses informasi dari internet. (b) melihat demonstrasi sesuatu

kejadian sesuai urutan dengan soft ware dan hard ware.

(3) Alat aplikasi. ICT dikatakan sebagai alat aplikasi apabila membantu murid melaksanakan

tugas contoh: membuat dan menganalisa diagram dalam pelajaran matematika.

(4) Komunikasi. ICT dikatakan sebagai alat untuk memudahkan komunikasi antara tenaga

pendidik dengan murid dalam mengirim dan menerima informasi. Dengan demikian tujuan ICT

akan sejalan dengan tujuan pendidikan itu sendiri ketika digunakan dalam pembelajaran.

Penggunaan ICT justru tidak menjadi penghambat dalam pembelajaran namun akan memberikan

manfaat yang lebih dalam pembelajaran.

Kriteria Pengembangan Sistem

Hal yang dominan dalam pemanfaatan fasilitas belajar jarak jauh adalah sebagai alat untuk

menyebarkan bahan ajar secara cepat kepada para pebelajar. Namun demikian hal yang terjadi

adalah bahan perkuliahan di dalam web ternyata tidak dapat memecahkan permasalahan belajar

pebelajar (Evans et al, 2004). Lebih jauh Evans et al (2004) menjelaskan bahwa apabila bahan

perkuliahan tersebut disajikan dengan mempertimbangkan faktor pedagogis dan mudah ditelusuri

pebelajar akan meningkatkan kualitas belajar pebelajar. Pengembangan aturan pengajaran online,

dukungan kelembagaan, kedisiplinan dan tambahan variasi pilihan bahan ajar (O’Reilly et al, 2000)

akan memungkinkan web berubah dari sekedar sebagai sumber bahan kuliah menjadi sesuatu yang

dapat meningkatkan pengalaman belajar pebelajar. Perlu pula diperhatikan berbagai hal dari sudut

pandang guru/dosen sebagai fasilitator perkuliahan dan pebelajar sebagai peserta perkuliahan

dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi tersebut.

Lebih jauh Institute for Higher Education Policy, Amerika (dalam Govindasamy, 2002)

mensyaratkan tujuh parameter yang perlu diperhatikan dalam menerapkan e-learning yang

mempertimbangkan prinsip-prinsip pedagogis, yaitu: (1) institutional support; (2) course 10

development; (3) teaching and learning; (4) course structure; (5) student support; (6) faculty

support; dan (7) evaluation and assessment. Karenanya, dalam bahasa yang lain, Soekartawi (2003)

mengidentifikasi bahwa keberhasilan implementasi e-learning sangat tergantung kepada penilaian

apakah: (a) e-learning itu sudah menjadikan suatu kebutuhan; (b) tersedianya infrastruktur

pendukung seperti telepon dan listrik (c). tersedianya fasilitas jaringan internet dan koneksi internet;

(d) software pembelajaran (learning management system); (e) kemampuan dan ketrampilan orang

yang mengoperasikannya; dan (f) kebijakan yang mendukung pelaksanaan program e-learning.

Komunikasi yang dimediasi komputer memberi kesempatan akses ke data jarak jauh Sumber,

kolaborasi proyek kelompok dengan Pebelajar di lokasi lain, dan pembagian kerja Evaluasi atau

Page 545: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 539

tanggapan oleh pebelajar lain (Kauchak & Eggen, 1998). Dibantu komputer Instruksi (CAI) dan

instruksi berbasis komputer (CBI), bila dikombinasikan dengan instruksi reguler, "Meningkatkan

sikap, motivasi, dan prestasi pebelajar," (Crowl et al., 1997, hlm. 35). Berikut adalah aplikasi dari

komunikasi yang dimediasi oleh komputer semacam itu efektif dalam meningkatkan pembelajaran

prasyarat dan keterampilan berpikir tingkat tinggi:

• Mempraktikkan keterampilan inferensi dan strategi pemecahan masalah (Kauchak & Eggen,

1998);

• pengembangan keterampilan di bidang-bidang seperti analogi lisan, penalaran logis, dan

Pemikiran induktif/deduktif (Kapas, 1997); dan

• pengeboran dan latihan, yang menggabungkan probe atau tes (Crowl et al., 1997).

Menurut Friedman (2006) dalam memasuki abad ke-21, bisnis digital di berbagai sektor mulai

marak di banyak negara. Keadaan ini menyebabkan pergeseran paradigma pembelajaran harus

dihadapi untuk mempersiapkan pendidikan menyongsong era global. Dalam hal ini, salah

satu keterampilan abad ke-21 menuntut terjadinya perubahan evolusi berpikir. Setiap Pebelajar di

abad ini, diharapkan memiliki keterampilan berpikir yaitu bagaimana berpikir kritis (high order

thinking skill atau Iebih dikenal dengan nama HOTS), mencari solusi, kreatif, berinovasi,

komunikasi, kolaborasi, serta memiliki keterampilan informasi dan media (lCT literacy).

Pengertian ICT literacy dapat dimaknai yaitu menggunakan teknologi digital, alat komunikasi dan

atau jaringan untuk mengakses, mengatur, meneliti, mengevaluasi, menciptakan informasi untuk

keperluan komunikasi. Terkait dengan kriteria keterampilan abad ke-21 tersebut maka pada

penelitian ini dibahas keterampilan berpikir yang disebut high order thinking skill (HOTS) dan ICT

literacy. Berpikir merupakan bagian intelektual manusia dalam proses kognitif tingkat tinggi

(Wilson, 2000). Skill dapat dimaknai sebagai bentuk keterampilan dan merupakan kemampuan

untuk melakukan sesuatu dengan baik (Lawson,2002).

Terkait dengan integrasi TIK dalam pembelajaran ternyata computer dapat digunakan sebagai alat

untuk melibatkan pebelajar dalam berpikir (]onassen, 2000). Wegerif (2002) menunjukkan bahwa

ada tiga langkah bagaimana penggunaan TIK dapat memperkaya pengajaran dan pembelajaran yang

menstimulasi keterampilan berpikir. Ketiga langkah tersebut adalah: (a) mendukung dinamika

penyampaian informasi (b) berlaku sebagai guru/dosen untuk mendorong pembelajaran namun

pada saat yang sama berlaku sebagai sumber belajar ketika pebelajar berdiskusi dan mengeksplorasi

ide (c) adanya komputer jaringan membuat pebelajar dapat berkreasi secara langsung dengan

pebelajar lain tanpa dibatasi ruang dan waktu.

Page 546: Scanned by CamScanner - ULM

540 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Selanjutnya, dalam DfES (2002), keterampilan berpikir juga dapat diklasifikasikan ke dalam

kategori (a) keterampilan memproses informasi, (b) keterampilan memberi argumentasi, (c)

keterampilan menemukan sesuatu yang baru dan (d) keterampilan berpikir kreatif (e) keterampilan

mengevaluasi. Fischer et al (1995) menyoroti beberapa faktor yang mempengaruhi proses berpikir

yaitu: (a) kemampuan kognitif dan memori pebelajar, (b) pengalaman masa lalu, usia, dan

kebiasaan dan (c) sikap Pebelajar misalnya motivasi, tekanan, ketertarikan, kepercayaan terhadap

orang lain, percaya diri, mengatur emosi, ketekunan, dan daya retensi terhadap materi pelajaran.

Setiap pebelajar perlu menggunakan HOTS (Zohar, 2004). Resnick (1987) menekankan bahwa

HOTS harus merupakan salah satu program sekolah bahkan dimulai dari jenjang taman kanak-

kanak pada setiap materi pelajaran. Menurut Lavonen dan Meisalo (1998), baik kreativitas, berpikir

kritis, dan kemampuan memecahkan masalah adalah termasuk HOTS. Zoller (2001) menyatakan

bahwa HOTS adalah mengajukan pertanyaan, menyelesaikan masalah, membuat keputusan,

berpikir kritis, dan mengevaluasi dalam konteks materi kimia. Menurut Zohar dan

HOTS menekankan dalam memberi argumen, mengajukan pertanyaan, membuat perbandingan,

mengidentifikasi asumsi yang tersembunyi, memformulasi hipotesis, merencanakan eksperimen,

dan membuat kesimpulan. Menurut Schwartzer (2002) membagi HOTS menjadi tiga bagian yaitu:

(a) inquiry skills, data processing skills, dan additional critical thinking skllls. Domin (1999)

menyatakan contoh implementasi HOTS misalnya pada kompetensi pebelajar untuk bersikap dalam

berpendapat, mengambil kesimpulan, merencanakan, menilai. Marland, Patching, dan Putt (1992)

membahas pembelajaran jarak jauh juga menciptakan HOTS dalam sikap menganalisis,

mengantisipasi, membandingkan, mengkonflrmasi hubungan, meta kognisi, mengingat kembali,

merencanakan strategi, dan transformasi. Nastasi dan Clements (1992) mengklasifikasi HOTS

dalam pembelajaran berbasis komputer ke dalam sikap sosial-kognitif yang meliputi baik kolaborasi

maupun non kolaborasi, teman sebaya sebagai sumber belajar guru/dosen sebagai sumber belajar,

konflik sosial, dan konflik kognitif. Partisipasi Pebelajar , dukungan guru/dosen, interaksi Pebelajar

, termasuk kegiatan praktis, motivasi, dan umpan balik memberi hubungan pengaruh positif

tumbuhnya HOTS (Hart, 1990). Implementasi lebih luas yaitu pada hasil penelitian topik tugas

berbasis web yang merupakan akses informasi dan aktivitas tanpa batas seperti yang dikemukakan

oleh Coleman, King, Ruth dan Stary (2001); Tal dan Hochberg (2003). Pada saat pebelajar

mempresentasikan hasil penelitiannya di depan kelas, kemampuan berpikir tingkat tinggi ini akan

terbukti (Maor, 2000). Sementara itu pembelajaran jarak jauh yang dikemukakan dalam Waterhouse

(2005) menyatakan mampu memberikan pengaruh terhadap peningkatan keterampilan berpikir

kritis, kemampuan memecahkan masalah, berkolaborasi, menumbuhkan keterampilan terhadap

penguasaan teknologi, dan menciptakan pembelajaran yang efektif, interaktif, dan memberi feed

back kepada Pebelajar . Melalui refleksi dari pengalamannya akan diperoleh informasi,

Page 547: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 541

menginterpretasi informasi, menganalisis, membuat hubungan sebabakibat, dan sintesis tentang apa

yang mereka telah pelajari serta dapat menghasilkan pengetahuan yang baru.

Adapun penerapan dalam pembelajaran, menurut Domin (1999), suatu langkah yang paling

memungkinkan untuk mendorong tumbuhnya HOTS dalam laboratorium adalah menempatkan

pebelajar pada posisi sebagai pendesain, pengembang, dan mengatur eksperimennya sendiri melalui

pendekatan pendekatan berbasis masalah (problem based learning). Penerapan TIK dalam

pembelajaran di kelas memberi kesempatan bagi pebelajar untuk mengembangkan HOTS yang

bermakna yang diingat sepanjang hayat (Bass dan Perkins (1984), Nastasi dan Clements (1992),

Linn (1998)).

Untuk mendukung proses integrasi TIK di dalam pembelajaran, maka Manajemen Sekolah,

guru/dosen dan Pebelajar harus memahami 9 (sembilan) prinsip integrasi TIK dalam pembelajaran

yang terdiri atas prinsip-prinsip:

1. Aktif: memungkinkan pebelajar dapat terlibat aktif oleh adanya proses belajar yang menarik dan

bermakna.

2. Konstruktif: memungkinkan pebelajar dapat menggabungkan ide-ide baru kedalam pengetahuan

yang telah dimiliki sebelumnya untuk memahami makna atau keinginan tahuan dan keraguan yang

selama ini ada dalam benaknya.

3. Kolaboratif: memungkinkan pebelajar dalam suatu kelompok atau komunitas yang saling

bekerjasama, berbagi ide, saran atau pengalaman, menasehati dan memberi masukan untuk sesama

anggota kelompoknya.

4. Antusiastik: memungkinkan pebelajar dapat secara aktif dan antusias berusaha untuk mencapai

tujuan yang diinginkan.

5. Dialogis: memungkinkan proses belajar secara inherent merupakan suatu proses sosial dan

dialogis dimana pebelajar memperoleh keuntungan dari proses komunikasi tersebut baik di dalam

maupun luar sekolah .

6. Kontekstual: memungkinkan situasi belajar diarahkan pada proses belajar yang bermakna (real-

world) melalui pendekatan ”problem-based atau case-based learning”

7. Reflektif: memungkinkan pebelajar dapat menyadari apa yang telah ia pelajari serta

merenungkan apa yang telah dipelajarinya sebagai bagian dari proses belajar itu sendiri. (Jonassen

(1995), dikutip oleh Norton et al (2001)).

8. Multisensory: memungkinkan pembelajaran dapat disampaikan untuk berbagai modalitas belajar

(multisensory), baik audio, visual, maupun kinestetik (dePorter et al, 2000).

Page 548: Scanned by CamScanner - ULM

542 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

9. High order thinking skills training: memungkinkan untuk melatih kemampuan berpikir tingkat

tinggi (seperti problem solving, pengambilan keputusan, dll.) serta secara tidak langsung juga

meningkatkan ”ICT & media literacy” (Fryer, 2001).

PENUTUP

Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) atau dalam bahasa Inggris dikenal

dengan istilah Information and Communication Technologies (ICT) merupakan media atau bantu

untuk melakukan kegiatan seperti pemrosesan, manipulasi, pengelolaan, dan transfer/pemindahan

informasi. ICT terdiri dari dua aspek yaitu teknologi informasi dan teknologi komunikasi.

Teknologi informasi meliputi segala hal yang berkaitan dengan proses, penggunaan sebagai media,

manipulasi, dan pengelolaan informasi. Sedangkan pengertian untuk teknologi komunikasi yaitu

semua hal yang berkaitan dengan penggunaan media untuk memproses dan mentransfer data dari

perangkat satu ke perangkat lainnya. Sehingga teknologi informasi dan komunikasi memiliki

pengertian yang sangat luas yaitu semua kegiatan yang berkaitan dengan pemrosesan, manipulasi

data, pegelolaan, pemindahan informasi. ICT sangat diperlukan dalam pembelajaran di era sekarang

ini. Dengan prinsip penggunaan ICT yang efektif dan efisien, optimal, menarik, dan merangsang

daya kreativitas, ICT menjadi salah satu media pembelajaran yang banyak digunakan di berbagai

bidang pendidikan karena meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam proses pembelajaran.

Penggunaan ICT dalam pembelajaran antara lain sebagai tutorial, eksplorasi, alat aplikasi, dan

komunikasi. Penggunaan ICT di Indonesia ini sangat diperlukan untuk memajukan kualitas

pendidikan yang ada di Indonesia serta menjadi pemicu bangsa Indonesia untuk lebih berkembang.

Kini di era pendidikan berbasis TIK, peran guru/dosen tidak hanya sebagai pengajar semata namun

sekaligus menjadi fasilitator, kolaborator, mentor, pelatih, pengarah dan teman belajar bagi

pebelajar . Karenanya guru/dosen dapat memberikan pilihan dan tanggung jawab yang besar

kepada pebelajar untuk mengalami peristiwa belajar. Dengan peran guru/dosen sebagaimana

dimaksud, maka peran pebelajarpun mengalami perubahan, dari partisipan pasif menjadi partisipan

aktif yang banyak menghasilkan dan berbagi (sharing) pengetahuan/ keterampilan serta

berpartisipasi sebanyak mungkin sebagaimana layaknya seorang ahli. Disisi lain pebelajar juga

dapat belajar secara individu, sebagaimana halnya juga kolaboratif dengan pebelajar lain.

Model pembelajaran TIK dalam pendidikan berbasis HOTS sangat diperlukan untuk memandu

proses belajar secara efektif yang memiliki landasan teoretik yang humanistik, lentur, adaptif,

berorientasi kekinian, memiliki sintak pembelajaran yang sedehana, mudah dilakukan, dapat

mencapai tujuan dan hasil belajar yang disasar berdasarkan kemampuan dalam berpikir tingkat

tinggi. Sedangkan startegi pembelajaran yang baik harus melalui tahapan evaluasi. Evaluasi

dilakukan melalui beberapa cara, meliputi; tes formatif dan sumatif, pendekatan PAN/PAP,

Page 549: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 543

pendekatan afektif, kognitif dan psikomotorik, tugas rutin, critical books review, critical journal

review, mini research, rekayasa ide, project, dan portopolio. Tahapan pembelajaran TIK dalam

pendidikan berbasis HOTS dilakukan mengacu pada pembelajaran: active learning, constructive,

collaborative, intentional/antusiastik, conversational/dialogis, contextualized, reflective,

multisensory, high order thingking skill training. Sedangkan output yang dihasilkan dalam

pelaksanaan pembelajaran TIK dalam pendidikan berbasis HOTS adalah: produk nyata berdasarkan

hasil investigasi dalam pembelajaran; berinovatif, kreatif dan produktif; bertanggungjawab dan

berkarakter; berkarya dan melakukan pekerjaan dengan hasil yang baik; hasil berlajar penguasaan

aepek kognitif, afektif, dan psikomorotik; dan memiliki kecakapan/skills.

DAFTAR PUSTAKA

Bloom, B. S. (Ed). (1956). Taxonomy of educational objectives. Handbook I: Cognitive

domain. New York: McKay.

Briggs, L. J., & Wager, W. (1981). Handbook for procedures for the design of instruction.

Englewood Cliffs, NJ: Educational Technology Publications.

Crowl, T. K., Kaminsky, S., & Podell, D. M. (1997). Educational psychology: Windows on

teaching. Madison, WI: Brown and Benchmark.

DfES. 2002. Qualifying to teach: Professional standards for qualified teacher status and

requirements for initial teacher training. London: The Stationery Office.Fischer et al (1995)

Evan, C., Gibbons, N. J., Shah, K. and Griffin, D. K. (2004) Virtual Learning in the biological

sciences: pitfalls of simply “putting notes on the web” Computer & Education, 43, 49-61

Gagné, R. M. (1985). The conditions of learning (4th ed.). New York: Holt, Rinehart and Winston,

Inc.

Gagné, R. M., Briggs, L. J., & Wager, W. W. (1988). Principles of instructional design. New York:

Holt, Rinehart and Winston, Inc.

Govindasamy, T. (2002). Successful Implementation of e-Learning: Pedagogical Considerations.

Internet and Higher Education, 4, 287–299.

Hart, K. A. 1990. Teaching Thinking in College: Accent on improving college teaching and

learning. Ann Arbor, MI: National Center for Research to Improve Postsecondary Teaching and

Learning.

Jonassen, D. 1991. Thinking Technology: context is everything. Educational Technology. 3l(6): 35-

37 .

Page 550: Scanned by CamScanner - ULM

544 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Kauchak, D. P., & Eggen, P. D. (1998). Learning and teaching: Research-based methods (3rd ed.).

Boston: Allyn and Bacon.

Lavonen, and Meisalo, Y. 2002. Research-Based Design of Learning Materials for Technology-

oriented Science Education. Themes in Educatio. 1 ( 3): 107 – 131.

Legg, S. M. (1990). Issues in critical thinking. Paper prepared for the College of Pharmacy at the

University of Florida, Gainesville, FL.

Lewis, A., & Smith, D. (1993). Defining higher order thinking. Theory into Practice,

32(3), 131−137.

Linn, R. L. (1993). Educational assessment: Expanded expectations and challenges (CSE Tech.

Rep. No. 351). Los Angeles: University of California, National Center for Research on Evaluation,

Standards, and Student Testing.

Maor, D. & Fraser, B.I. 1996. The Development and Use of a classroom Instrument in the

Evaluation of Inquiry-based ComputerAssisted Learning. International lournal of science

Education, lB, 401 -421.

Marland, P., Patching, W. and Putt, I. 1992. Thinking While Studying: A Process Tracing Study of

Distance Learners. Distance Education. ]j (2): t93 - 2r7.

Nastasi, B. K., and clements, D. H. 1992. social-ccognitive Behaviour and Higher order Thinking in

Educational computer Environments. Learning and Instruction. 2 (195): 215 – 238

O’Reilly, M., Ellis, A. and Newton, D. (2000) The Role of University Web Pages in Staff

Development: Supporting Teaching and Learning Online, In AUsWb2K, Sixth Australian

Wide Web Conference Cairns, Australia. Tersedia di

http://ausweb.scu.edu.au/aw2k/papers/o_reilly/paper.htm

Soekartawi (2003). E-Learning di Indonesia dan Prospeknya di Masa Mendatang. Presentasi

pada Seminar e-Learning perlu e-Library, Universitas Petra, Surabaya, 3 Februari.

Wang, Q & Woo, H.L (2007), Systemic planning for ICT Integration in Topic Learning,Journal of

Educational Technology and Society, 10 (1), 148_156.

Waterhouse, S. 2005. The Power of e-Learning. The Essensial Guide for Teaching in the Digital

Age. California: Allyn & Bacon.

Zohar, A. 2004. Higher Order Thinking in Science Classroom: Students' Learning and Teachers'

Professional Development. Science & Technology Educational Library. volume 22. D orchrecht:

Kluwer.

Page 551: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 545

PEMBELAJARAN BERMAIN REKORDER SOPRAN MELALUI YOUTUBE DI PROGRAM STUDI GURU MI UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN ARSYAD AL-BANJARI

Muhammad Najamudin

[email protected]

Program Studi Pendidikan Seni Drama, Tari dan Musik

Universitas Lambung Mangkurat

ABSTRAK

Inovasi pembelajaran merupakan pembaharuan atau penemuan baru dalam dunia pembelajaran

untuk kemajuan pendidikan disampaikan dalam dunia pendidikan memberi makna agar lebih

memiliki arti penting. Mengadakan perubahan prilaku yang sejujur-jujurnya, dan setulus-tulusnya

yang mempunyai daya nalar, memiliki inspirasi dan daya pikir tinggi, yang dapat menjunjung

harkat dan martabat manusia peserta didik. Penelitian ini, melihat fenemona di eraglobalisasi tidak

ada lagi manusia yang tidak memiliki smartphone. Penelitian bertujuan untuk mendeskripsikan

pembelajaran rekorder sopran melalui youtube. Metode digunakan meliputi: 1). Observasi, 2).

Wawancara dan 3). Dokumentasi. Berdasarkan seluruh pembahasan serta analisis yang telah

dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1). Terjadi peningkatan Hasil belajar mahasiswa

dikarenakan penggunaan teknik pembelajaran melalui youtube, semua itu terbukti dengan

terjadinya peningkatan hasil belajar yang signifikan dari mahasiswa. 2). Penggunaan teknik

pembelajaran youtube mempunyai pengeruh positif terhadap keaktifan mahasiswa, yang

ditunjukkan dengan peningkatan nilai keaktifan mahasiswa yang signifikan.

Kata Kunci: Inovasi, Pembelajaran, Youtube

PENDAHULUAN

Pendidik merupakan jabatan yang amat strategis dalam nenunjang proses dan hasil kinerja

pendidikan secara keseluruhan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pendidik merupakan

gerbang awal sekaligus representasi kondisi dan kinerja pendidikan. Dalam hubungan ini,

penampilan seorang pendidik harus terwujud sedemikian rupa secara efektif sehingga dapat

menunjang dinamika dan keefektifan pendidikan. Kinerja penampilan pendidik didukung sejumlah

Page 552: Scanned by CamScanner - ULM

546 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

kompetensi tertentu dan berlandaskan kualitas kepribadian yang harus dapat terwujudkan secara

nyata. Dengan demikian sifat utama seorang pendidik adalah kemampuannya dalam

mewujudkan penampilan kualitas kepribadian dalam interaksi dengan lingkungan pendidikan

agar kebutuhan dan tujuan dapat tercapai secara efektif.

Pendidikan merupakan kunci untuk semua kemajuan dan perkembangan yang berkualitas, sebab

dengan pendidikan manusia dapat mewujudkan semua potensi dirinya baik sebagai pribadi

maupun sebagai warga masyarakat. Dalam rangka mewujudkan potensi diri menjadi multiple

kompetensi harus melewati proses pendidikan yang diimplementasikan dalam proses

pembelajaran. Suatu realita sehari-hari, didalam suatu ruang kelas ketika Kegiatan Belajar

Mengajar (KBM) berlangsung, nampak beberapa atau sebagian besar mahasiswa belum belajar

sewaktu dosen mengajar.

Apabila masalah ini dibiarkan dan berlanjut terus, lulusan sebagai generasi penerus bangsa

akan sulit bersaing dengan lulusan negara-negara lain. Lulusan yang diperlukan tidak sekedar

yang mampu mengingat dan memahami informasi tetapi juga yang mampu menerapkannya

secara kontekstual melalui beragam kompetensi. Di era pembangunan yang berbasis ekonomi dan

globalisasi sekarang ini diperlukan pengetahuan dan keanekaragaman keterampilan agar mahasiswa

mampu Memberdayakan dirinya untuk menemukan, menafsirkan , menilai dan menggunakan

informasi, serta melahirkan gagasan kreatif untuk menentukan sikap dalam

pengambilan keputusan.

Proses belajar mengajar antara pelajar dengan para pengajar sangatlah penting dalam mencapai

tujuan yang di ingikan dari kedua belah pihak. Pengajar sangat diharapkan dapat memberikan

segala ilmu yang di ajarkan kepada mahasiswa, sedangkan mahasiswa diharapkan juga menyerap

apa yang telah di sampaikan pengajar. Dalam proses kegiatan belajar mengajar tersebut terkadang

terdapat berbagai kendala dalam hal pemahaman terhadap suatu meteri.

Dalam dunia pendidikan memahami akan materi yang disampaikan adalah mutlak harus

dipenuhi. Seorang mahasiswa wajib mengerti akan materi yang diajarkan tidak hanya sekedar tahu

akan materi yang telah di sampaikan. Seiring perkembangan zaman metode pembelajaran harus

memiliki inovasi dan tidak terlihat hidup monoton. Salah satunya melalui pembelajaran lewat video

yaitu youtube. Oleh karena itu, media pembelajaran dengan menggunakan video di youtube di

harapkan dapat membantu pemahaman bagi mahasiswa.

Fenomena sekarang mahasiswa tidak ada lagi yang tidak memiliki smartphone, karena kegunaan

ponsel itu bisa melakukan tugas di luar fungsi normalnya. Dulu sebuah handphone hanya bisa di

gunakan untuk sms ataupun menelepon, atau untuk jenis handphone tertentu bisa juga untuk

mengakses data, namun pada saat ini sebuah smartphone bisa diibaratkan dengan mempunyai

Page 553: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 547

fungsi yang hampir sama dengan laptop atau PC. Berdasarkan latar belakang inilah peneliti tertarik

untuk memanfaatkan era teknologi dalam kegiatan pembelajaran seni.

Inovasi adalah suatu gagasan (ide), praktek atau obyek yang dapat dipahami sebagai sesuatu yang

baru, atau mempunyai makna lain yaitu mengadopsi dari sesuatu yang sebenarnya bukan

benar-benar baru, kalau diukur sejak ditemukan pertama kali, namum dipahami sebagai sesuatu

yang baru yang memiliki karakteristik :

Memiliki tingkat hubungan keuntungan, yaitu adanya pemahaman bahwa ide tersebut harus

lebih baik daripada yang digantikannya, dapat diukur oleh istilah istilah ekonomi, prestise sosial,

keramah-tamahan dan faktor penting adalah dapat memuaskan.

Memiliki tingkat kecocokan, yaitu adanya kosistensi dengan nilai yang mapan, pengalaman

masa lalu dapat memenuhi kebutuhan.

Memiliki tingkat kerumitan yaitu kesadaran bahwa inovasi memiliki kesulitan untuk dipahami

dan dipergunakan.

Dapat dicoba, yaitu bahwa inovasi bersifat terbatas.

Dapat diobservasi, yaitu sebuah inovasi yang dapat terlihat untuk diteliti (EverettM Roges, 1995 :

11-16).

Inovasi, dapat digambarkan sebagai upaya peningkatan pemikiran, dan kaitannya dalam

proses pembelajaran sebgai penghasilan produk atau kaidah yang baru kearah pelaksanaan

kurikulum. Konsep inovasi meliputi aktivitas yang melibatkan pembaharun dan perubahan

yang positif.

Pembaharuan itu menjelma melalui cara, kaidah, teknik atau pendekatan baru yang meningkatkan

pembelajaran. Inovasi dapat dipahami sebagai dasar kontribusi pribadi dan bukan sekedar

untuk pemenuhan dari suatu keadaan yang dibutuhkan atau sekedar budaya kebiasaan. Basis

untuk berinovasi adalah lebih pada tingkat dasar dari kegiatan atau perbaikan seseorang. Inovasi

adalah lebih pada pengembangan produk dan respon perilaku terhadap perbedaan-perbedaan

(Stephen Carter, 1999:44).

Tenaga pengajar yang inovatif adalah yang aktif mencari ide-ide baru, dan mengalami proses

pelaksanaan yang terus berkesinambungan, tidak terhenti dalam satu waktu saja melainkan

terus berlangsung. Dan mengalami proses perubahan. Perubahan ini mesti menunjukkan sifat-sifat

baru dan asli untuk mencapai keberhasilan dalam pelaksanaan kurikulum di sekolah.

Kecakapan dan keberhasilan penggunaan pendekatan yang inovatif perlu disesuaikan dengan

biaya, waktu, tenaga dan penggunaannya.

Page 554: Scanned by CamScanner - ULM

548 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Media merupakan bentuk jamak dari kata medium. Kata ini berasal dari bahasa Latin yang secara

harfiah berarti perantara atau pengantar (Sadiman dkk, 2009: 6). Media seperti yang dikutip dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001: 726) adalah (1) alat; (2) sarana komunikasi seperti koran,

majalah, radio, televisi, film, poster, dan spanduk; (3) yang terletak antara dua pihak; (4) perantara,

penghubung. Sedangkan dalam Kamus Kata Serapan, media adalah benda/alat/sarana, yang menjadi

perantara untuk menghantarkan sesuatu (Martinus, 2001: 359-360).

Pendekatan pembelajaran merupakan istilah yang melingkupi seluruh proses pembelajaran.

Pendekatan dan strategi pembelajaran mempunyai makna yang sama untuk menjelaskan bagaimana

proses seorang guru mengajar dan peserta didik belajar dalam mencapai tujuan. Penggunaan kedua

istilah ini sering dipertukarkan. Burden (1998) menyatakan bahwa strategi pembelajaran adalah

sebuah metode untuk menyampaikan pelajaran yang dapat membantu peserta didik mencapai

tujuan belajar.

Secara umum, pendekatan atau strategi pembelajaran dibedakan menjadi dua yaitu

pendekatan/strategi yang berpusat pada peserta didik dan pendekatan yang berpusat pada dosen.

Disisi lain, strategi pembelajaran juga dapat diklasifikasikan menjadi strategi pembelajaran

klasikal, kelompok dan individu.

Youtube adalah sebuah situs website media sharing video online terbesar dan paling populer di

dunia internet. Saat ini pengguna youtube tersebar di seluruh dunia dari berbagai kalangan usia, dari

tingkat anak-anak sampai dewasa. Para pengguna youtube dapat mengupload video, search video,

menonton video, diskusi/tanya jawab tentang video dan sekaligus berbagi klip video secara gratis.

Setiap hari ada jutaan orang yang mengakses youtube sehingga tidak salah jika youtube sangat

potensial untuk dimanfaatkan sebagai media pembelajaran.

METODE

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. sasaran utama penelitian ini adalah pembelajaran

rekorder sopran melalui youtobe. Instrument penelitian adalah peneliti sendiri. Teknik pengumpulan

data menggunakan wawancara terarah dan tidak terararh, observasi partisipan dan studi

dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada analisis

Miles dan Huberman (1994:10), dimana proses analisis data yang digunakan secara serampak mulai

dari proses pengumpulan data, mereduksi, mengklarifikasi, mendeskripsikan, menyimpulkan dan

menginterpretasikan, menyimpulkan dan menginterpretasikan semua informasi secara selektif.

Pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian ini, memakai dependabilitas dan konfirmabilitas

(Lincoln dan Guba dalam Jazuli, 2001 : 34).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tahap Perencanaan Pembelajaran rekorder sopran diajarkan pada semester genap 2016/2017,

pembelajaran ini mengacu pada kurikulum, yang ditetapkan Program Studi Guru Madrasah

Page 555: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 549

Ibtidaiyah. Penelitian ini dilakukan selama 3 kali pertemuan dan media yang digunakan dalam

kegiatan belajar adalah rekorder. Rekorder adalah alat musik yang berupa tabung dengan sumber

suara yang dilengkapi dengan lubang-lubang yang berfungsi sebagai pengatur tinggi nada, terbuat

dari bambu, kayu, ebonite, logam dan plastik.

Dalam pelaksanaan ada beberapa metode yang diterapkan ialah sebagai berikut :

Metode ceramah

Metode ceramah dalam pembelajaran rekorder digunakan sebelum atau sesudah latihan alat musik

yang dilakukan. Tujuan metode ceramah yang digunakan untuk menjelaskan kepada mahasiswa

tentang organologi, ketentuan bermain alat musik melodis dan ritmis, menjelaskan tanda musik

yang dipergunakan pada partitur musik,

Metode demonstrasi

Metode demontrasi yang dilakukan dalam pembelajaran ialah guna memberikan pengetahuan

tentang alat musik rekorder, teknik tiupan yang benar, cara memegang alat musik.

Pertemuan 1

Pada pertemuan pertama sebelum memasuki dan membahas materi pembelajaran yang akan

diberikan pada mahasiswa, terlebih dahulu mengabsen yang tidak hadir pada saat pembelajaran di

lakukan.

Kegiatan inti :

Menjelaskan tentang teori musik.

Mengenalkan dan menjelaskan beberapa jenis instrument musik.

Mengenalkan dan menjelaskan cara memegang alat musik dengan baik dan benar.

Mengenalkan bagian-bagian alat musik rekorder sopran meliputi :

Kepala sebagai sumber bunyi.

Tempat bidang tiupan.

Pada akhir pertemuan, mendiskusikan materi pelajaran yang telah di pelajari dan menanyakan

kepada mahasiswa kesulitan yang dihadapi siswa dalam mempelajari materi pembelajaran. Peneliti

berpendapat langsung dilapangan langkah-langkah pembelajaran yang diberikan kepada mahasiswa

dapat disimpulkan bahwa dalam pembelajarannya berjalan dengan baik dan lancer.

Pertemuan 2

Page 556: Scanned by CamScanner - ULM

550 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan

Pada pertemuan kedua ini, sebelum memasuki dan membahas materi pembelajaran yang akan

diberikan pada mahasiswanya terlebih dahulu mengabsen yang tidak hadir pada saat pelajaran

berlangsung.

Kegiatan inti yaitu:

Menonton bersama-sama tutorial bermain rekorder sopran malalui aplikasi youtobe.

Mengenalkan dan menjelaskan cara memegang alat musik dengan baik dan benar.

Memainkan lagu dengan nada yang baik dan benar. Seluruh mahasiswa di minta memainkan lagu 1

suara yang telah dibagikan memakai rekorder, dan dosen mencontohkan bermain musik rekorder.

mahasiswa duduk ditempatnya masing-masing, sambil dosen mencontohkan mahasiswa

memperhatikannya..

Mencontohkan memainkan lagu 1 suara yang partiturnya sudah di bagikan kepada mahasiswa.

Pada akhir pertemuan, mendiskusikan materi pelajaran yang telah di pelajari dan menanyakan

kepada mahasiswa mengenai kesulitan yang dihadapi mahasiswa dalam mempelajari materi

pembelajaran. Serta memberi penugasan memainkan lagu “Ibu Kita Kartini 2 suara secara

kelompok.

Pertemua 3

Pada pertemuan ini ketiga sebelum memasuki dan membahas materi pembelajaran yang akan

diberikan terlebih dahulu mengabsen yang tidak hadir pada saat pelajaran berlangsung.

Pada pertemuan ke tiga inimengadakan evaluasi bermain rekorder secara kelompok. Menyimak dan

apabila terjadi kesalahan dalam memainkan lagu tersebut, akan memperbaikinya.

Kegiatan inti :

Memberikan evaluasi mahasiswa dalam cara memainkan lagu dengan menggunakan teknik tiupan,

serta bermain dengan baik dan benar.

Memberikan evaluasi pada mahasiswa tentang cara memainkan lagu dengan nada yang baik dan

benar.

Penilaian praktek dilaksanakan secara kelompok. Aspek penilaian meliputi : ketepatan intonasi

lagu, irama lagu, kekompakan dalam bermain alat musik, dan teknik memainkan alat musik.

Dapat disimpulkan pada pertemuan ke tiga ini, setelah menganalisis, mengamati peneliti lihat

langsung dilapangan, tidak ada kendala yang menyulitkan mahasiswa dalam kegiatan pembelajaran

berlangsung. Hasil yang didapatkan sangat signifikan dalam proses pembelajarannya.

Setelah dilakukan analisis data, rata-rata minat belajar mahasiswa menjadi meningkat yang artinya

sebagian besar anak menyukai pembelajaran melalui youtobe banyak yang mendapatkan nilai tuntas

yang artinya sebagian besar mahasiswa minat belajarnya sudah meningkatkan dari pada sebelum

diberi perlakuan. Indikator yang paling kuat dari indikator yang lain yaitu antusias ketika

melakukan kegiatan alasannya mahasiswa menjadi lebih merespon dosen saat dosen menjelaskan

Page 557: Scanned by CamScanner - ULM

Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 551

kegiatan apa yang akan dilakukan hari ini serta konsentrasi anak terhadap tutorial yang

diperlihatkan oleh dosen, mahasiswa pun menjadi lebih tertib dan teratur dari biasanya.

PENUTUP

Dari hasil penelitian dan pembahasan yang dituturkan dapat dikemukakan kesimpulan sebagai

berikut : Ada perbedaan nilai sebelum dan sesudah perlakuan. hal itu menunjukkan bahwa minat

belajar mahasiswa dengan menggunakan media youtobe.

Saran

Berdasarkan hasil analisis di atas, diharapkan pihak kampus menjadikan media ini sebagai media

pembelajaran untuk meningkatkan minat belajar.

Dosen sebaiknya menguasai pembelajaran yang bervariasi yaitu dengan bermain sambil belajar,

sesekali pembelajaran dilakukan di luar kelas tidak di dalam kelas terus menerus, salah satunya bisa

menggunakan pembelajaran dengan menggunakan media sehingga mahasiswa akan menjadi lebih

tertarik dan bersemangat untuk mengikut proses belajar mengajar.

DAFTAR PUSTAKA

Rogers, Everett m, Diffusion of Inovations. USA, 1995.

Jazuli, M. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Miles dan Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Ter. Tjejep Rohendi Rohidi. Jakarta: Penerbit

UI Press.

Sudjana, Nana &Rivai. 2010. Media Pembelajaran. Bandung: Sinar Baru