sastra melayu sumatera utara - magisterseniusu.com · daftar isi i. pendahuluan 1 1.1 pengantar 1...
TRANSCRIPT
i
i
SASTRA MELAYU SUMATERA UTARA
Muhammad Takari bin Jilin Syahrial
Fadlin bin Muhammad Dja’far
Bartong Jaya Medan
2009
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
ii
Bartong Jaya
Alamat:
Jalan Pelajar, Gang Buku, No. 10, Medan, Indonesia
Terbitan Pertama 2009
(c) Bartong Jaya Hak cipta dilindungi oleh undang-undang, dilarang memperbanyak, menyalin, merekam sebahagian atau seluruh bahagian buk ini dalam bahasa atau bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit. ISBN: 979 764 704 7 Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT) Takari, Muhammad Sastra Melayu Sumatera Utara/Muhammad Takari bin Jilin Syahrial [dan] Fadlin bin Muhammad Dja’far. Medan: Studia Kultura, 2008. x, 252; ilus.; 20 cm; bibliografi; ISBN: 979 764 704 7 1. Sastra – Melayu. I. Fadlin, II. Judul.
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
iii
KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena atas berkah dan
karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan penulisan buku ini pada tahun 2009.
Begitu juga salawat dan salam untuk Nabi Muhammad, yang telah membawa
Islam dan kedamaian, yang kami harapkan kelak syafaatnya.
Adapun cita-cita menulis buku ini, telah lama kami renanakan. Namun
karena sulitnya mengumpulkan materi-materi yang akan diajangkau, yakni
begitu luasnya bahan yang mesti dicapai, maka kami perlu melakukan
penelitian demi penelitian kembali. Apalagi kami menyadari bahwa disiplin strata satu kami adalah etnomusikologi yang tak begitu mendalam mengkaji
sastra, khususnya Melayu.
Adapun inti utama buku ini adalah mendeskripsikan keberadaan sastra
Melayu Sumatera Utara. Dalam realitasnya, sastra Melayu Sumatera Utara,
hidup dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Masa animisme
dan dinamisme dilalui dari awal adanya orang Melayu sampai datangnya
Hindu-Budha di abad pertama Masehi. Kemudian pengaruh Hindu-Budha
sejak abad pertama sampai ketiga belas. Disusul Islam yang menjadi asas
terdalam pada kebudayaan Melayu Sumatera Utara. Sementara pengaruh
Eropa dimulai sejak awal abad keenam belas sampai akhirnya orang Melayu
merdeka di peruh kedua abad kedua puluh, menjadi negara-negara bangsa. Semua unsur ini, baik yang datang dari dalam berupa inovasi dan yang
datang dari luar, berupa akulturasi, menyatu dalam kebudayaan masyarakat
Melayu.
Sastra Melayu Sumatera Utara diwariskan baik melalui tradisi lisan
maupun tulisan. Tradisi ini hidup, berkembang, dan fungsional dalam
masyarakat. Genre-genre lahir secara alamiah, seperti: pantun, seloka,
gurindam, nazam, cerita rakyat, dan yang menjadi ciri sastra kawasan ini
adalah syair Puteri Hijau.
Tentu saja buku ini bagaikan tak ada gading yang tak retak. Untuk itu
kami mohon kritik dan saran untuk menyempurnakan buku ini di masa-masa
yang akan datang. Medan, Agustuas 2009
Wassalam,
Tim Penulis
Muhammad Takari & Fadlin
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
iv
DAFTAR ISI I. Pendahuluan 1 1.1 Pengantar 1 1.2 Guna dan Fungsi Sastra dalam Masyarakat 5 1.3 Sastra dalam Konteks Kritik Sosial 10 1.4 Model Kehidupan Ideal dan Moral dalam Karya Sastra 13 1.5 Mengukur Derajat Sastra 20 1.6 Agama sebagai Puncak Bersastra 21 1.7 Sastra dalam Seni Pertunjukan 25 II. Berbagai Teori dan Metodologi Saintifik dalam Mengkaji Seni dan astra 29 2.1 Pendahuluan 29 2.2 Seni dalam Kajian Estetika 31 2.2.1 Antropologi dan Seni 34 2.2.2 Interaksi 35 2.2.3 Etnomusikologi 36 2.2.4 Antropologi Tari 41 2.2.5 Kajian Pertunjukan Budaya dan/atau Antropologi Teater 42 2.2.6 Antropolinguistik 43 2.3 Pendekatan Ilmiah dan Teori-teori 48 2.3.1 Semiotika 49 2.3.1.1 Semiotika dalam Musik 58 2.3.1.2 Semiotika dalam Seni Pertunjukan 62 2.3.2 Teori Fungsionalisme 67 2.3.3 Teori Evolusi 76 2.3.4 Teori Difusi 77 2.3.5 Teori Siklus Kuint dan Lainnya 78 2.3.6 Teori Resepsi Sastra 80 2.3.7 Teori Takmilah 81 2.3.8 Teori Atqakum 86 2.3.9 Teori Neonostalgia 89 2.4 Metodologi 91 2.4.1 Penelitian Lapangan 92 2.4.2 Metode Transkripsi 94 2.4.3 Metode Penelitian 96 III. Masyarakat Melayu Sumatera Utara dalam Konteks Dunia Melayu 100 3.1 Pendahuluan 100 3.2 Dunia Melayu 102
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
v
3.3 Sumatera Utara 105 3.4 Etnik yang Majemuk di Sumatera Utara 111 3.5 Etnik Melayu di Sumatera Utara 119 3.5.1 Pengertian Melayu sebagai Kelompok Etnik 121 3.5.2 Asal-sul Istilah Melayu dari Kerajaan Melayu di Jambi 121 3.5.3 Pengertian Melayu sebagai Ras, Budaya, dan Orang yang Beragama Islam 124 3.5.4 Etnik Melayu Terbentuk dari Proses Campuran antara Ras Melayu 129 3.5.5 Sifat-sifat dan Adat Resam 130 3.5.6 Tingkatan Kebangsawanan Melayu 134 3.5.7 Sistem Kekerabatan 137 3.5.8 Simpulan tentang Identitas Etnik Melayu 140 3.6 Kesultanan di Sumatera Timur 141 3.6.1 Kesultanan Deli 141 3.6.2 Kesulanan Serdang 142 3.6.3 Kesultanan Langkat 145 3.6.4 Kesultanan Asahan 146 IV. Sastra Melayu Sumatera Utara dalam Konteks Dunia Melayu 148 4.1 Konsep Sastra 148 4.2 Sastra Melayu Klasik 149 4.3 Sastra Lisan Melayu Sumatera Utara 151 4.3.1 Cerita Bohong untuk Sultan Serdang 154 4.3.2 Datuk Megang 156 4.3.3 Harimau dengan Kucing 157 4.3.4 Imam Awang 158 4.3.5 Permata Bertuah dari Serdang Putih 163 4.3.6 Sri Dayang atau Asal Mula Burung Balam 164 4.3.7 Tuan Puteri Pucuk Kelumpang 166 4.3.8 Taubatnya Seorang Penjahat 169 4.4 Sinandong 171 4.5 Syair 173 4.5.1 Syair dalam Dunia Melayu 180 4.5.2 Struktur Musikal 188 4.5.3 Struktur melodi Selendang Delima 191 4.5.4 Syair di Sumatera Utara 203 4.5.5 Syair Puteri Hijau 203 4.5.6 Puteri Hijau dalam Teater Melayu 207 4.6 Nazam 214 4.7 Bongai 215
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
vi
4.8 Teromba 216 4.9 Dikir Barat 225 4.10 Mantera 225 4.11 Gurindam 229 4.12 Zikir 231 4.13 Teks (Sastra) Lagu-lagu Melayu 236 V. Penutup 256 5.1 Kesimpulan 256 5.2 Harapan 260 Daftar Pustaka 261
DAFTAR DIAGRAM, PETA, TABEL, GAMBAR, DAN NOTASI Diagram 2.1 Segi Tiga Maka dari Ogden dan Richard 56 Peta 3.1 Kelompok Pengguna Bahasa Melayu-Polinesia di Indonesia 107 Peta 3.2 Dunia Melayu 114 Peta 3.3 Sumatera Timur Dasawarsa 1940-an 115 Tabel 3.1 Jumlah Berbagai Etnik di Sumatera Timur Tahun 1930 116 Tabel 3.2 Jumlah Tenaga Kerja Perkebunan Sumatera Timur 116 Gambar 4.1 Contoh Rangkap (Bait) Syair dalam Tulisan Jawi 177 Notasi 4.1 Cuplikan Marhaban 183 Gambar 4.2 Contoh Rangkap (Bait) Syair dalam Kitab Barzanji 185 Notasi 4.2 Cuplian Melodi Barzanji 187 Notasi 4.3 Tiga Rentak Dasar dalam Musik Melayu Sumatera Utara 191 Notasi 4.4 Lagu atau Melodi Selendang Delima 192 Notasi 4.5 Bentuk Melodi Penyelng (Interlude) yang Diidentifikasi sebagai X 193 Notasi 4.6 Bentuk Melodi Isi A 194 Notasi 4.7 Bentuk Melodi Isi B 195 Notasi 4.8 Bentuk Melodi Isi B’ 195 Notasi 4.9 Bentuk Melodi Isi C 196 Gambar 4.3 Teknik Menghasilkan Empat Onomatopeik Bunyi Pada Gendang Ronggeng Melayu 196 Gambar 4.4 Biola 197 Gambar 4.5 Akordeon 197 Gambar 4.6 Tawak-tawak atau Gong 198 Gambar 4.7 Gendang Ronggeng 199 Gambar 4.8 Rebab Melayu 200 Notasi 4.10 Sistem Maqam dan Iqa’at dari Timur Tengah 202
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
vii
Notasi 4.11 Lagu Bismillah Mula-mula dari Genre Hadrah 210 Notasi 4.12 Lagu Dunia Fana dari Genre Nasyid 211 Notasi 4.13 Lagu Timamng dari Genre Lagu Menidurkan Anak 212 Notasi 4.14 Lagu Si La Lau Le dari Genre Lagu Menidurkan Anak 213 Notasi 4.15 Tanjung Katun 240 Notasi 4.16 Laksmana 244 Tabel 4.1 Daftar Sebagian Lagu-lagu Melayu Sumatera Utara Yang Juga Mengandung Unsur-unsur Sastra 248
1
BAB I
PENDAHULUAN 1.1 Pengantar
Berbicara tentang sastra, tampaknya tak akan lengkap tanpa
melihatnya dalam konteks yang lebih luas dan holistik, yaitu
melalui ranah budaya atau kebudayaan. Apa yang dipikirkan, diperbuat, dan dihasilkan oleh manusia, semuanya disebut
budaya. Kebudayaan manusia ini terdiri dari unsur-unsur
universalnya, yaitu: agama, bahasa, teknologi, ekonomi, pendidikan, organisasi sosial, dan kesenian. Kebudayaan manusia
dapat berwujud: gagasan, kegiatan, maupun benda-benda. Dalam
bentuk gagasan misalnya terdapat konsep dalihan na tolu
(daliken sitelu, rakut sitelu) dalam budaya masyarakat Mandailing-Angkola, Simalungun, Pakpak, Karo, dan Batak
Toba. Konsep ini melihat hubungan manusia secara universal
berdasarkan perkawinan dan keturunan atau darah. Dalam masyarakat Melayu dijumpai gagasan adat bersendikan syarak—
syarak bersendikan kitabullah. Artinya asas kebudayaan Melayu
adalah hukum Islam (syarak). Demikian pula berbagai kegiatan budaya dapat kita saksikan di seputar lingkungan kita di
Sumatera Utara. Misalnya kegiatan jula-jula atau arisan, kegiatan
sirombuk-rombuk masyarakat Mandailing-Angkola, kegiatan
merga silima masyarakat Karo, kegiatan wisuda di Universitas Sumatera Utara, dan lain-lainnya. Kita semua juga menghasilkan
dan mengkonsumsi benda-benda atau material budaya, seperti:
rumah, pakain, makanan, lukisan, gedung kuliah, bunga rampai, kemenyan, dupa, ayam goreng Kentucky, makanan hoka-hoka
bento, sate, dan lainnya. Masyarakat juga memiliki sistem
filsafat, hukum, adat, sistem perkawinan, rahasia kelompok, kearifan merespons perubahan, menghadapi peperangan, dan
Bab I: Pendahuluan
2
lain-lainnya. Semua ini adalah manifestasi dari kebudayaan. Termasuk juga bidang seni dan sastra.
Sastra dan seni adalah sebagai dua saudara kandung yang
saling berhubungan secara keilmuan, ruang lingkup studi, pendekatan, metode, dan teori-teori. Unsur utama sastra adalah
bahasa, terutama dengan berbagai peraturan yang mendasarinya.
Sementara kesenian menggunakan modus yang beraneka ragam. Jika menggunakan dimensi ruang (nada) dan waktu (ritme) maka
ia dapat dikategorikan sebagai seni musik. Jika menggunakan
dimensi waktu, ruang, dan tenaga, dengan subjek pelaku tubuh
manusia itu sendiri, maka disebut dengan seni tari. Sementara jika mengunakan komunikasi bahasa, dalam bentuk prolog,
dialog, epilog, kemudian dengan disertai adegan, pencahayaan,
musik, pelakon, dan sejenisnya maka dapat dikategorikan sebagai seni teater. Jika menggunakan titik, garis, warna, bentuk dalam
berbagai dimensi disebut dengan seni rupa.
Sastra juga kadang-kadang dimasukkan ke dalam kelompok
seni yaitu seni sastra. Namun secara keilmuan biasanya masuk ke rumpun bahasa, sastra, dan filsafat. Sementara seni musik,
tari, teater, rupa, dan media rekam dikelompokkan ke dalam
ilmu-ilmu seni. Seni pertunjukan, baik musik, tari, atau teater adalah sebuah
literatur kehidupan. Seni pertunjukan merupakan perwujudan
secara implisif realitas individu atau lingkungan. Alam surealis disublimasi menjadi realitas panggung. Seniman adalah pencipta
yang menerapkan gagasan-gagasannya melalui media panggung
atau pentas. Sastra merupakan signifikasi alam surealis yang
diwujudkan ke dalam realitas imajinatif pembaca atau pendengarnya. Realitas imajinatif pembaca dipancing dengan
paparan yang ditulis oleh pengarang. Hubungan keduanya adalah
alam surealis dan implisivisme. Sebagai paparan berbagai
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
3
gagasan, keduanya memiliki persamaan yaitu melahirkan imajinasi individu untuk dinikmati oleh banyak orang, yang tentu
saja dilatarbelakangi oleh kebudayaannya, agar fungsional dalam
masyarakat. Hal lain yang sangat penting adalah aspek estetis yang terkandung dalam seni pertunjukan maupun sastra.
Keduanya adalah realitas yang diselimuti oleh nilai-nilai estetika
secara rapi. Pelahiran karya implisif dari seorang sastrawan atau seniman adalah hasil dari kontemplasi terhadap realitas.
Sastra dan seni pertunjukan adalah sebagai media
kontemplasi empiris intelektual bagi penikmatnya. Dalam hal ini
proses komunikasi pasti terjadi ketika sastra dan seni pertunjukan dilakukan. Proses komunikasi itu melibatkan komunikator
(sastrawan dan seniman) dengan komunikan (masyarakat
penikmat) sastra atau seni pertunjukan. Komunikasi terjadi selama sastra dibaca atau seni pertunjukan ditonton. Baik sastra
maupun seni pertunjukan dalam proses komunikasi ini selalu
menggunakan unsur estetika, yang kadang terlalu dilebih-
lebihkan sehingga jika didekati dengan kacamata pemikiran awam pastilah tidak logis.
Putu Wijaya dalam Pertemuan Teater Indonesia di Surakarta
tahun 1980 menyatakan tentang seni pertunjukan sebagai berikut.
... Tidak semua yang bisa ditonton adalah tontonan. Apa
yang terjadi di sekitar kita sehari-hari betapa pun menarik atau
bisa dibuat “baru” karena upaya kita dalam menikmatinya,
belum cukup untuk membuat segala seuatu itu menjadi
tontonan (Putu Wijaya 1993:1).
Seni pertunjukan haruslah memiliki konsep dan proses yang jelas. Sebuah pertunjukan haruslah memiliki rencana. Tujuan seni
sastra atau pertunjukan adalah untuk memenuhi konsumsi ritual
empiris penikmatnya. Pertunjukan bukanlah tontonan semata-
Bab I: Pendahuluan
4
mata, tetapi lebih jauh dari itu ia berfungsi sosial yang multidimensional dalam masyarakat. Hal ini selaras dengan
pendapat penyair Supardi Djoko Damono yang menyatakan
bahwa sering dilupakan bahwa pada hakekatnya sebuah sajak (atau novel, atau cerpen, atau naskah drama) tidak membutuhkan
perantaraan dalam bentuk apapun (1990:35). Dengan demikian
seni pertunjukan dan sastra adalah dua bidang disiplin yang memiliki tujuan-tujuan dan hakikat filosofis yang sama, baik
ditinjau dari ontologis, epistemologis, maupun aksiologis.
Dalam sejarah perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan di
dunia ini, bidang linguistik, sastra, dan seni, saling memberikan pengaruh metode dan teori-teori. Dari linguistik, teori semiotika
yang dipelopori Saussure dan Peirce, kemudian berkembang di
bidang ilmu-ilmu seni, seperti dalam seni pertunjukan, seni tari, etnomusikologi, dan musikologi. Begitu juga teori
fungsionalisme dari sosiologi dan antropologi kemudian
dikembangkan di bidang linguistik, sastra, serta seni. Maka
muncullah ilmu-ilmu baru sebagai hasil fusi dari berbagai disiplin. Misalnya persinggungan antara lingusitik dengan
antropologi menjadi antropolingu-istik. Persinggungan
antropologi dengan tari menjadi antropologi tari atau etnokoreologi. Di ilmu-ilmu eksakta juga demikian, misalnya
persinggungan antara kimia dan biologi menjadi ilmu biokimia.
Sementara dua jenis metode penelitian dikembangkan dalam ilmu bahasa dan sastra serta ilmu-ilmu seni. Bahkan dalam ilmu-
ilmu seni, penelitian lapangan (field work) mendapatkan
perhatian dan fokus utama disiplin ini. Metode peneltian
kualitatif yang intens digunakan dalam ilmu-ilmu seni tak lepas dari tujuan utama ilmu-ilmu seni, yaitu pada akhirnya mengkaji
mengapa manusia melakukan seni sedemikian rupa, ada apa di
balik semua aktivitas dan hasil-hasil seni. Tujuannya adalah
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
5
untuk mencari makna-makna budaya yang terdapt di sebalik keberadaan kesenian. Dalam ilmu bahasa metode kualitatif dan
kuantitatif mendapatkan peranannya masing-masing.
1.2 Guna dan Fungsi Sastra dalam Masyarakat
Apakah sastra berguna dan berfungsi dalam masyarakat?
Karena seperti mahfum diketahui masyarakat umum, bahwa sastra adalah karya yang sifatnya imajinatif dan fiksional.
Dengan demikian sastra dipandang tak punya fungsi strategis
dalam kebudayaan masyarakat. Menurut Cassirer sastra hanyalah
karya manusia yang sifatnya mimesis, menirukan segala yang terjadi dalam kehidupan manusia. Lantas bagaimana sastra dapat
menerjemahkan budaya yang melahirkannya; mengungkapkan
keadaan masyarakat yang merasa memilikinya; dan menegejewantahkan ideologi yang disampaikan pengarangnya?
Sastra berfungsi sebagai jiwa masyarakat. Sebagai hasil
kebudayaan, sastra memberikan dan mendorong kesadaran dan
pemahaman kepada para pembacanya atas kebudayaan yang menjadi sumber terciptanya sastra. Kebudayaan yang dikandung
dalam karya sastra adalah cerminan perilaku dan konsep-konsep
masyarakatnya. Sastra lahir dari proses yang rumit yaitu merupakan
kegelisahan sastrawan atas kondisi masyarakat dan terjadinya
ketegangan dalam kebudayaannya. Sastra mengungkapkan keadaan pada masa dan ruang tertentu. Sastra memancarkan
semangat zamannya (zeithgeist). Dari sini sastra memberikan
pemahaman yang khas atas situasi sosial, kepercayaan, ideologi,
dan harapan-harapan individu, yang menghadirkan kebudayaan etnik atau bangsanya.
Sastrawan dipandang mewakili masyarakat tempat sumber ia
mencipta. Menurut Armijn Pane (1933) setiap masyarakat lain
Bab I: Pendahuluan
6
keseniannya dan setiap waktu lain pula keseniannya. Menurutnya lagi, sastrawan tidak sekedar mewakili pemikiran
dan kebudayaan masyarakatnya, tetapi juga mewakili semangat
dan dinamika sosial zaman ia berkarya. Menurut Wellek dan Warren (1989) sastra dianggap sebagai potret sosial dan
mengungkapkan zamannya. Sastra adalah ekspresi perasaan
masyarakat. Mempelajari sastra satu bangsa pada hakekatnya tidak
berbeda dengan usaha memahami kebudayaan bangsa yang
bersangkutan. Mempelajari kebudayaan suatu bangsa tidak akan
lengkap jika keberadaan susastra bangsa tersebut diabaikan. Sastra bukan saja cerminan dari kondisi sosial, tetapi juga
memantulkan pula perkembangan evolutif pemikiran
masyarakatnya. Menurut Sainte-Beuve (1804-1869) sastra tidak terpisahkan dari manusia dan alamnya. Sastra sebagai
pengetahuan pengarangnya juga adalah pengetahuan
masyarakatnya. Sastrawan dan masyarakat ibarat pohon dan
buah (tel abre tel fruit). Selanjutnya, menurut Taine (1828-1893) pengarang sastra tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh
bangsa, watak, dan lingkungan.
Kesusatraan Melayu (Asia Tenggara: Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunai, dan Pattani Thailand) pada dasarnya
merupakan potret sosial budaya masyarakatnya. Sastra berkaitan
dengan sejarah perjuangan bangsa, juga sebagai refleksi kegelisahan kultural bangsa. Sastra merupakan tanggapan
evaluatif sastrawan atas pelbagai peristiwa yang terjadi dalam
lingkungan masyarakatnya.
Pada zaman Balai Pustaka (1920-1933), kita melihat karya-karya sastra saat itu menunjukkan keterikatannya pada masalah
kebudayaan ketika bangsa Indonesia berhadapan dengan
kebudayaan Barat. Tarik-menarik antara tradisi dan pengaruh
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
7
Barat diungkapkan dalam bentuk-bentuk tokoh rekaan yang mewakili golongan tua (tradisional) dan golongan muda
(modern). Misalnya novel Siti Nurbaya (1922) karya Marah
Rusli, dan Salah Asuhan (1928) karya Abdul Muis, serta novel-novel lain yang diterbitkan masa itu menunjukkan terjadinya
tarik-menarik antara budaya tradisional dan modern.
Dalam puisi, masalah budaya ini tercermin dari masih kuatnya keterikatan pada bentuk kesusastraan tradisional, seperti
pantun atau syair. Meskipun Mohammad Yamin mengenalkan
soneta (Barat) dalam puisi-puisinya, karya beliau ini masih
terikat pada pola-pola dan norma-norma pantun, terutama rima setiap baris. Tema yang diangkatnya sebahagian besar adalah
tentang tanah air dalam konteks kebangsaan.
Dalam bidang teater, Rustam Effendi dalam Bebasari (1926) secara simbolis menawarkan perlawanan kepada Belanda.
Penculikan Sita (Ibu Pertiwi) oleh Rahwana (kolonial) pada
akhirnya dimenangkan oleh perjuangan gigih seorang Rama
(pemuda Indonesia). Jadi secara simbolis drama ini sudah mempersoalkan konsep nasionalisme dan pentingnya perjuangan
melawan penjajahan Belanda.
Karya-karya sastra banyak yang berisikan dan sinerji dengan nilai-nilai agama. Dalam agama Islam misalnya karya sastra
Barzanji yang dikarang oleh Sheikh Ahmad Al-Barzanji di abad
ke-15 dari Irak, menjadi sebuah karya monumental dalam Dunia Islam. Karya sastra yang selalu dinyanyikan ini, adalah sebuah
puisi yang berisikan riwayat hidup Nabi Muhammad, yang terdiri
dari beberapa rawi dan biasanya disajikan dengan menggunakan
sistem maqam (tangga nada dalam pengertian luas). Begitu pula puisi-puisi keagamaan lainnya seperti karya pujangga Amir
Hamzah dari Langkat, Chairil Anwar dari Medan, dan kawan-
kawannya di seluruh Indonesia.
Bab I: Pendahuluan
8
Di sisi lain, ada pula karya-karya sastra yang dianggap “menghujat” agama, misalnya novel The Satanic Verses karya
seorang India yang bernama Salman Rushdie, dianggap
sebahagian besar umat Islam menghujat ajaran Islam, sehingga masalah ini berkaitan pula dengan politik. Salman Rushdie
dijatuhi hukuman mati oleh Ayatullah Rohullah Khomeini,
pemimpin Islam Iran era 1990-an, dan hukuman ini belum dicabut sampai sekarang. Di sisi lain ia diberi anugerah Sir oleh
pemerintah Inggris akan karyanya ini, dan ia diberi perlindungan
di Inggris. Karya beliau ini sampai sekarang menuai kontroversi
di kalangan Dunia Islam, dan juga dalam konteks hubungan dunia Timur (Islam) dengan Barat (Yahudi-Kristen).
Hubungan antara sastra dan agama, khususnya oleh para
pengkaji sastra, dapat dikaji terutama dari perspektif kritik sastra, karena bahagian ini yang paling banyak memberikan gambaran
hubungan sastra dan agama. Dalam konteks negara Indonesia,
dunia sastra Indonesia tidak lupa dengan pernyataan Nota Rinkes
yaitu karya sastra tidak boleh dijadikan sarana untuk berpolitik, dan tidak pula menyinggung agama, artinya netral terhadap
agama, dan tidak menyinggung kesusilaan masyarakat (Teeuw
1955:60). Dalam kenyataan dunia sastra di Indonesia, karena para pengarangnya umumnya memiliki agama tertentu, maka isi sastra
yang dihasilkannya selalu berkait erat dengan agama yang
dianutnya. Sastra dan berbagai cabang kesenian lainnya biasanya
mengungkap-kan masalah dan pengalaman manusia di dunia ini.
Termasuk yang paling dasar adalah mengenai eksistensi dan
peran Tuhan dalam hidup manusia diekspresikan dalam kesenian dan sastra. Dengan dasar seperti itu, maka kesenian dan sastra
mestilah diberikan tempat yang wajar dan terhormat dalam
kehidupan kelompok beragama (Gaudium et Spes, No. 62 dalam
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
9
Veeger dkk. 2001:14). Sastra adalah sebagai salah satu media ungkapan pengalaman manusia terhadap adanya Tuhan dan peran
Tuhan dalam kehidupan.
Berdasarkan pendapat Abrams, setidaknya ada empat pendekatan terhadap karya sastra, yaitu: (a) ekspresif, (b)
pragmatik, (c) mimetik, dan (d) objektif. Keempat pendekatan ini
dibedakan dari peran yang ditonjolkan. Pendekatan ekspresif menonjolkan peran penulis sebagai pencipta karya sastra.
Pendekatan pragmatik menonjolkan pembaca sebagai penghayat
karya sastra. Pendekatan mimetik menonjolkan karya sastra
sebagai tiruan alam. Pendekatan objektif menonjolkan peran karya sastra sebagai sesuatu yang berdiri sendiri (Teeuw 1991:
59-60).
Dalam pendekatan ekspresif, karya sastra dipandang sebagai ekspresi sastrawan. Ketika menulis karya sastra, sastrawan tidak
bisa lepas dari sejarah sastra dan latar belakang budayanya
(Pradopo 1995: 108). Karya sastra tidak lahir dalam kekosongan
budaya (Teeuw 1980:11, 12). Karya sastra menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan diri
sendiri, lingkungan, dan Tuhan. Karya sastra berisi penghayatan
sastrawan terhadap lingkungannya. Karya sastra bukan hasil kerja lamunan belaka, melainkan juga penghayatan sastrawan terhadap
kehidupan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan
tanggungjawab sebagai sebuah karya seni (Nurgiyantoro 1998: 3).
Dalam berekspresi sastrawan bebas memperlakukan tokoh-
tokoh dalam karya sastra. Akan tetapi, sastrawan dituntut
membuat alur cerita yang logis bagi tokoh-tokohnya. Tokoh-tokoh yang dari awal dicitrakan dengan sifat tertentu, tidak
masuk akal bila memerankan cerita yang di luar kemampuannya.
Tidak masuk akal pula tokoh yang sejak awal dicitrakan
Bab I: Pendahuluan
10
berperilaku buruk kemudian menjadi baik tanpa sebab. Tokoh-tokoh rekaan itu harus dihormati kedaulatannya agar mereka
berbicara sendiri secara alamiah, bukan sesuka hati sastrawan
karena kekuasaannya. Agama, pandangan hidup, ideologi politik seorang sastrawan
juga berpengaruh pada karyanya.1 Namun kelogisan alur cerita
harus dipertahankan oleh sastrawan. Saat memilih tema cerita, sastrawan harus punya kepekaan terhadap keadaan masyarakat
dan zamannya. Sastrawan harus bisa menangkap berbagai
persoalan yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Agak naif bila
karya sastra hanya menggambarkan hal-hal yang indah dan baik saja, padahal masyarakat sekitarnya dalam kesulitan dan
kesusahan, seperti keadaan bngsa Indonesia sekarang ini, yang
baru saja dilanda tsunami, gempa bumi, tanah longsor, gunung meletus, krisis ekonomi, dan lain-lainnya—terutama krisis moral
di semua strata masyarakat Indonesia saat ini. Banyak novel
populer, tayangan televisi, dan film Indonesia yang
menggambarkan kehidupan mewah, padahal kebanyakan masyarakat Indonesia dalam kenyataan hidup yang getir.
1.3 Sastra dalam Konteks Kritik Sosial Karya sastra memiliki peran yang penting dalam
masyarakat, karena sastra merupakan ekspresi sastrawan
1Dalam konteks politik di Indonesia, tahun 1950 sampai 1960-an ideologi
politik dalam karya sastra begitu menonjol. Bahkan para seniman dan sastrawan memiliki dua polarisasi politik yaitu Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dianggap onderbouw Partai Komunis Indonesia dan di sisi lain ada Manifesto Kebudayaan (Mnikebu) yang beraliran ideologi nasionalisme dan agama. Sampai sekarang bekas-bekas pertentangan ini masih terasa, ditambah dengan campur tangannya pemerintah Indonesia di masa dan ruang tertentu, teradap karya-karya sastra, sehingga lengkaplah pertentangan sosial antara
kelompok ideologi ini.
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
11
berdasarkan pengamatannya terhadap kondisi masyarakat sehingga karya sastra itu menggugah perasaan orang untuk
berpikir dan merenungi kehidupan. Mengkaji dan membaca karya
sastra merupakan sumber moral dan ilmu kemanusiaan bagi seseorang untuk bertindak. Pihak eksekutif, legislatif, dan
yudikatif negeri ini sering melarang peredaran karya-karya sastra
yang dianggap membahayakan pemerintahannya. Buku-buku dimusnahkan dan sastrawannya diasingkan. Pramoedya Ananta
Toer pernah diasingkan ke Pulau Buru. Karya Mochtar Lubis
berjudul Senja di Jakarta juga pernah dilarang beredar oleh
Sukarno. Kekerasan ini terjadi karena sastrawan lewat karyanya berusaha melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan
penguasa. Demikian juga seniman-seniman di bidang seni
pertunjukan seperti Koes Plus dilarang manggung di zaman Sukarno. Iwan Fals, Rhoma Irama, Rendra, Teater Koma,
beberapa kali dicekal untuk melakukan pertunjukan yang sifatnya
kritis terhadap pemerintah Orde Baru.
Penentangan para sastrawan tidak hanya terhadap ketidakadilan pemerintah saja, tetapi juga terhadap aturan
kultural yang biasa berlaku dalam masyarakat. Pertanyaan ini
biasanya hampir selalu bermuara pada pertanyaan mengenai peraturan agama formal. Dengan karya sastranya, para sastrawan
sering mempertanyakan, bahkan meragukan efisiensi atau makna
agama sebagai institusi yang menampakkan diri reaksioner dan hanya berbicara tentang akhirat. Contohnya roman Tenggelamnya
Kapal van Der Wijk karya Buya Hamka.2
2Hamka adalah nama kependekan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah.
Ia selain sebagai sastrawan, seniman, dan juga sebagi ulama yang sangat dihormati. Ia berjuang demi tegaknya ajaran Islam di Nusantara. Ia pernah menjadi pemimpin majalah Pandji Masyarakat di Medan dasawarsa 1950-1960-
an. Ia pernah pula menjadi Ketua Majlis Ulama Indonesia yang kemudian
Bab I: Pendahuluan
12
Masalah perkawinan berdasar adat dan agama juga disinggung dalam roman Siti Nurbaya. Melalui roman ini
pengarang mempertanyakan longgarnya aturan poligami di
kalangan masyarakat Minangkabau dengan alasan agama agama Islam mengizinkannya. Namun di sisi lain keadilan bagi isteri-
isteri yag dipoligami tidak diterapkan oleh suaminya. Kaum
lelaki bisa dengan mudahnya menambah istri bila ada yang melamar. Menurut adat Minangkabau, perempuan “membeli”
laki-laki untuk menjadi suaminya. Suami-istri diikat dengan
hubungan uang bukan kasih sayang sehingga mudah sekali
bercerai. Di sini disampaikan kritik terhadap institusi adat ini. Selain itu dalam novel Keluarga Permana digambarkan
pertentangan antara dua agama, Islam dan Katolik. Farida, putri
Permana, yang beragama Islam, berkenalan dan berpacaran dengan Sumarto, yang beragama Katolik. Permana menolak
Sumarto menjadi menantunya, padahal Farida sedang
mengandung bayi, buah cintanya dengan Sumarto. Atas perintah
Permana, bayi itu digugurkan. Akan tetapi, cinta Farida sudah terlanjur hanya kepada Sumarto, maka dengan berat hati Permana
mengizinkan pernikahan mereka berdua. Demi cinta, Farida
pindah agama mengikuti Sumarto. Beberapa minggu setelah menikah, Farida jatuh sakit dan dirawat di rumah sakit. Ketika
sakitnya semakin keras dan hampir meninggal, seorang perawat
membimbingnya dengan tata cara Islam (Nurgiyantoro 1998:
diletakkan ya karena ketidaksetujuan beliau dengan Pemerintah Soeharto. Di masa Sukarno ia juga pernah dipenjara karena penentangannya terhadap ide-ide sekuler Bung Karno, namun saat di penjara ini ia menyelesaikan Tafsir Al-Quran Al-Azhar, yang kemudian diterbitkan dan digunakan masyarakat Nusantara, bukan saja Indonesia, tetapi Malaysia, Singapura, dan Brunai Darussalam. Hamka berasal dari organisasi Islam Muhammadiyah yang pemikirannya diterima juga di kalangan Nahdatul Ulama, Al-Washliyah, dan
lainnya.
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
13
330). Begitulah para sastrawan mempertanyakan atau mengkritik adat dan agama lewat karyanya. Tampaknya yang menjadi
ukuran sastrawan dalam konteks di atas adalah rasa humanisme,
yang dipertentangkan dengan ukuran agama yaitu wahyu, yang ditafsir oleh manusia. Padahal sejatinya seorang sastrawan yang
memiliki ilmu yang luas adalah bagaimana menjembatani aturan-
aturan atau dogma agama yang dinggap universal dengan konteks terapannya, karena humanisme juga harus ada asasnya, dalam
Islam wajib berasas kepada agama. Di sinilah diperlukan kearifan
sastrawan dalam mencipta karyanya.
1.4 Model Kehidupan Ideal dan Moral dalam Karya Sastra
Saat sastrawan menulis karya sastra, biasanya ia
menyampaikan model kehidupan yang diidealkan dan ditampilkan dalam cerita lewat para tokoh. Melalui karya
sastranya, sastrawan menawarkan pesan moral yang berhubungan
dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan
martabat manusia. Sifat-sifat itu pada hakikatnya universal, artinya diyakini oleh semua manusia. Pembaca diharapkan dalam
menghayati sifat-sifat ini dan kemudian menerapkannya dalam
kehidupan nyata (Nurgiyantoro 1998: 321). Moral dalam karya sastra yang akan disampaikan sastrawan selalu dalam pengertian
yang baik (walau ada segelintir sastrawan yang berbuat
sebaliknya)--karena pada awal mula semua karya sastra adalah baik (Mangunwijaya 1994:16). Jika dalam cerita disajikan
perlaku tokoh-tokoh yang tidak terpuji, terutama sebagai tokoh
antagonis, bukan berarti sastrawan menyarankan bertingkah laku
demikian. Sng sastrawan mengharapkan pembacanya mengambil hikmah sendiri dari cerita. Perlaku baik jakan lebih mencolok bila
dihadapkan dengan yang tidak baik (Nurgiyantoro 1998: 322).
Bab I: Pendahuluan
14
Pesan moral merupakan bentuk keagamaan yang paling tampak dalam karya sastra. Pesan moral ini merupakan isi sastra.
Pesan moral itu merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh
sastrawan kepada pembaca lewat karya sastranya. Pesan moral itu menjadikan saran yang ditujukan langsung kepada pembaca.
Sebagaimana tema, pesan moral itu hanya dapat ditangkap
melalui tafsiran cerita. Pesan moral adalah petunjuk praktis mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan masalah
kehidupan manusia, seperti: sikap, tingkah laku, sopan santun,
pergaulan, dan sejenisnya. Sastrawan menyampaikan pesan itu
melalui penampilan tokoh-tokoh ceritanya (Kenny dalam Nurgiyantoro 1998:320-321). Contoh pesan moral yang
disampaikan dalam karya sastra adalah kemitraan sosiobudaya
suami-istri seperti dalam roman Siti Nurbaya karya Marah Rusli. Tuntutan kemitraan karena banyaknya ketidakadilan yang
menimpa para istri. Para suami memperlakukan istrinya seperti
budak, sehingga mereka bebas memukul dan menyakiti,
sedangkan istri tidak bisa membalas. Para suami boleh pergi ke mana saja, sedangkan para istri harus selalu di rumah.
Seharusnya, rumah tangga dikelola oleh suami dan istri bersama-
sama dengan pembagian kerja yang adil, diistilahkan dengan berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Keduanya tidak boleh
melalaikan kewajiban keluarga. Suami dan istri adalah teman
sehingga harus berusaha menyenangkan dan jangan sampai menyakiti hati temannya. Kemitraan, keadilan, atau
keseimbangan hubungan inilah yang sebenarnya menjadi ajaran
agama (Pradopo 1995:192-194).
Model kehidupan ideal yang ditawarkan sastrawan bukan hanya melalui pesan moral yang biasanya menunjuk pada
kehidupan pribadi. Sastrawan juga menawarkan bentuk
kehidupan ideal dalam kehidupan sosial karena sesungguhnya
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
15
karya sastra merupakan “struktur yang berarti.” Karena mempunyai struktur, karya sastra harus koheren. Karena
mempunyai arti, karya sastra terkait dengan usaha manusia
memecahkan persoalan-persoalannya dalam kehidupan sosial yang nyata (Goldmann dalam Faruk 1999:19). Pemecahan
persoalan sosial lewat karya sastra terkait dengan konvensi-
konvensi kesusastraan. Konvensi-konvensi itu selalu ada dalam aktivitas kesusastraan karena konvensi-konvensi itu menentukan
sejauh mana suatu objek dapat dianggap sebagai karya sastra
pada umumnya atau sebagai karya yang baik atau yang buruk
pada khususnya. Sastrawan tidak dilarang untuk melakukan “pendobrakan” terhadap konvensi-konvensi sastra karena
masyarakat sastralah yang nanti akan menilai apakah
“pendobrakan” itu masih dalam batasan keindahan karya sastra atau tidak. Sastrawan juga perlu memperhatikan konvensi-
konvensi sastra yang berlaku sebelumnya karena “pendobrakan”
terhadap konvensi sastra akan terlihat maknanya jika
dipertentangkan dengan konvensi sebelumnya (Teeuw 1991:29). Ada hubungan yang menarik ketika konvensi sastra itu
dikaitkan dengan struktur sosial. Menurut Faruk (1999:44-47)
kemungkinan hubungan tersebut ada empat, yaitu: (1) hubungan kelembagaan, (2) hubungan permodelan, (3) hubungan
interpretatif, dan (4) hubungan pembatasan. Hubungan yang
pertama adalah hubungan kelembagaan yang menganggap konvensi-konvensi tersebut sebagai sebuah lembaga sosial yang
diterima dan dipertahankan oleh masyarakat. Perubahan pada
konvensi-konvensi tersebut akan berakibat perubahan pada
struktur sosial--dan perubahan pada struktur sosial akan berakibat perubahan pada konvensi-konvensi kesusastraan. Sebagai
contoh, pada awal tahun 1900-an terjadi penolakan terhadap
segala bentuk karya sastra lama, yang dianggap telah usang.
Bab I: Pendahuluan
16
Dalam konteks Indonesia, penolakan ini misalnya tercermin pada puisi karya Rustam Efendi, yang bertajuk “Bukan Beta Bijak
Berperi.” Rustam Efendi adalah sastrawan angkatan Balai
Pustaka. Dalam puisi tersebut, periodus (bagian yang sama dalam puisi dan biasa dipakai dalam puisi lama) dipakai secara teratur,
namun ia tidak memakai sampiran. Selain itu, Chairil Anwar
dalam puisinya yang bertajuk “Hampa,” sudah tidak banyak memakai periodus. Bahkan, dalam puisinya yang berjudul “1943”
periodus ini tidak begitu terlihat, karena menggunakan kalimat-
kalimat pendek. Pada puisi-puisi sekarang, sedikit sekali ada
periodus (Pradopo 1987:8-11). Hubungan yang kedua adalah hubungan permodelan.
Menurut Lotman, sastra merupakan suatu wacana yang
memodelkan semesta yang tidak terbatas dalam satu semesta imajiner yang terbatas. Dengan demikian, menurut Culler, karya
sastra berfungsi sebagai model yang dengannya masyarakat
memahami dirinya sendiri. Pembacaan dan penciptaan karya
sastra berpegang pada konvensi bahwa karya sastra adalah gambaran dari kehidupan nyata, sehingga perilaku menyimpang
dalam karya sastra akan menimbulkan reaksi. Contohnya
pengadilan terhadap Flaubert pada tahun 1857 di Perancis. Ia dikecam karena karyanya bertajuk Madame Bovary yang
mengisahkan tokoh pelaku zina bernama Emma. Perbuatan zina,
bagaimanapun, adalah dosa menurut agama (Katolik, Protestan, dan Yahudi) dan pelakunya harus dihukum. Namun, Emma tidak
mendapatkan hukuman. Hal ini dianggap oleh kaum borjuis
mengancam tata susila yang ada (Faruk 1999:47-48).
Yang ketiga adalah hubungan interpretatif. Hubungan ini terjadi ketika pandangan dunia atau struktur sosial diekspresikan
dalam karya sastra, menggunakan konvensi-konvensi sastra.
Misalnya dalam roman Siti Nurbaya karya Marah Rusli, terdapat
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
17
peristiwa politik, yaitu pemberontakan rakyat Minangkabau di Padang terhadap Belanda, karena kebijakan pajak. Samsul Bahri,
sebagai tokoh utama, terlibat dalam pertempuran rakyat
Minangkabau dengan Belanda, tetapi dia berada di pihak Belanda. Ia bertempur bukan karena tujuan politis atau jabatan
militer, melainkan karena mencari kematian untuk menyusul
kekasihnya, Siti Nurbaya. Keinginan Samsul Bahri ini bisa dipahami melalui interpretasi dari salah satu konvensi sastra,
yaitu konvensi sastra romantis (Faruk 1999:48-49).
Hubungan keempat adalah hubungan pembatasan. Pada abad
ke-18 konsep kesusastraan di Inggris tidak hanya dibatasi pada tulisan-tulisan kreatif atau imajinatif. Bila tulisan yang dianggap
memenuhi konvensi “sopan dan baik” oleh pembaca, itu sudah
dianggap sastra. Pada abad ke-19 terjadi penyempitan arti kesusastraan yang hanya sebagai karya-karya kreatif dan
imajinatif. Konvensi yang dipakai pada waktu itu adalah konvesi
sastra romantik. Pada waktu itu terjadi revolusi berupa perubahan
dari rezim kolonialis feodal ke rezim kelas menengah. Para sastrawan menciptakan karya sastra mengenai harapan karena
perubahan rezim. Akan tetapi, setelah kelas menengah berkuasa,
mereka melakukan pemerasan terhadap kelas pekerja, sehingga para pekerja melakukan protes. Protes ini diredam dengan
kekerasan oleh penguasa. Peristiwa ini juga ditanggapi oleh para
sastrawan secara romantik dengan karya sastra mengenai harapan akan keadilan. Konvensi sastra romantik ini membatasi gerak
imajinasi para sastrawan untuk menghasilkan karya sastra dengan
warna yang berbeda (Eagleton dalam Faruk 1999:49-52).
Apabila dalam pendekatan ekspresif karya sastra dipandang sebagai ekspresi pengarang, dalam pendekatan pragmatik, karya
sastra dipandang sebagai sarana mencapai tujuan pada pembaca.
Kriteria yang dikenakan adalah tercapainya tujuan tersebut. Peran
Bab I: Pendahuluan
18
pembaca menjadi sangat besar karena dari waktu ke waktu, karya sastra selalu mendapat tanggapan dan penilaian. Karya itu
memang tetap, tetapi tanggapan terhadapnya bisa berbeda-beda
(Wellek dalam Pradopo 1995:8). Perbedaan tanggapan itu disebabkan oleh horison atau
cakrawala harapan, yaitu konsep-konsep yang dimiliki oleh
masing-masing pembaca karena pendidikan, pengalaman hidup, norma yang dianut, dan lain-lain. Horison itu ditentukan oleh tiga
kriteria. Pertama, ditentukan oleh norma-norma yang terpancar
pada teks-teks yang dibaca. Kedua, ditentukan oleh pengetahuan
dan pengalaman atas karya sastra yang telah dibaca. Ketiga, ditentukan oleh kemampuan pembaca dalam memahami
kehidupan (Segers dalam Pradopo 1995:9, 116). Pembaca perlu
memberikan arti kepada karya sastra, sebab karya sastra itu hanya akan menjadi artifak bila tidak diberi arti oleh pembaca dengan
cara konkretisasi atau pemaknaan (Teeuw 1984:191). Dengan
pemaknaan makna yang tadinya tidak terlihat menjadi jelas.
Selain konkretisasi, pembaca juga melakukan rekuperasi, yaitu “perebutan” makna oleh pembaca sehingga makna itu menjadi
milik pembaca (Pradopo 1995:106). Peran pembaca dalam
memahami karya sastra ini menjadi dasar teori resepsi sastra. Di antara para pembaca karya sastra itu, banyak yang
merupakan para peneliti sastra atau yang biasa disebut kritikus
sastra. Tidak setiap pembaca karya sastra bisa menjadi kritikus karena banyaknya banyak ilmu yang harus dipelajari. Sebaiknya
seorang kritikus sastra perlu menguasai ilmu agama, filsafat,
sejarah, sosiologi, psikologi, dan ilmu pengetahuan lainnya,
sebagai sandaran dalam melakukan interpretasi tentang kehidupan sastrawan yang terpancar dalam karya-karyanya. Ilmu-
ilmu itu diperlukan agar kritik yang dilakukannya kokoh dan
kuat. Dalam melakukan kritik, kritikus bersikap seperti ahli-ahli
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
19
ilmu pengetahuan lainnya, yang obyektif dalam melakukan penelitian. Dengan kata lain, kritikus itu tidak “pandang bulu”
atau “tebang pohon” dalam melakukan sebuah kritik (Pradopo
1997:12). Pendekatan ketiga, setelah pendekatan ekspresif dan
pragmatik, yaitu pendekatan mimetik yang memandang karya
sastra sebagai tiruan alam atau kehidupan. Kriteria yang dikenakan adalah ketepatan karya sastra menggambarkan alam
atau kehidupan. Pendekatan mimetik ini sangat dekat dengan
hubungan permodelan seperti yang disampaikan Faruk. Perilaku
menyimpang dalam karya sastra akan ditanggapi negatif. Belum lama ini, juga terjadi kecaman terhadap Muhyiddin M. Dahlan
akibat novelnya yang berjudul Tuhan, Ijinkan Aku Jadi Pelacur.
Novel tersebut dianggap melecehkan komunitas dakwah yang ada di kampus karena Nidah Kirani, tokoh dalam cerpen tersebut,
digambarkan sebagai aktivis dakwah kampus yang kemudian
berubah menjadi “pendosa” karena kecewa kepada Tuhan. Semua
ini terjadi karena para pembaca menganggap bahwa karya sastra adalah tiruan kehidupan nyata.
Pendekatan terakhir adalah pendekatan objektif yang
memandang karya sastra sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Kriteria yang dikenakan adalah kemampuan karya sastra itu
untuk berdiri sendiri. Ada tiga paham tentang penilaian terhadap
karya sastra secara objektif, yaitu paham relativisme, absolutisme, dan perspektivisme.
Penilaian relativisme menyatakan bahwa bila sebuah karya
sastra dianggap bernilai pada suatu waktu dan tempat tertentu,
pada waktu dan tempat yang lain juga harus dianggap bernilai. Penilaian absolutisme menyatakan bahwa penilaian karya sastra
harus didasarkan pada ukuran dogmatis, misalnya, agama seperti
yang dikemukakan oleh Tolstoy: “Agama adalah eksponen (yang
Bab I: Pendahuluan
20
memegang peranan) pengertian kehidupan tertinggi yang mungkin diterima oleh sebagian besar masyarakat pada waktu
dan tempat tertentu. Agama merupakan suatu pengertian terhadap
hal-hal yang harus tak dielakkan dan kemajuan yang tidak dapat ditolak oleh semua anggota masyarakat. Karena itu, agama selalu
berlaku dan tetap berlaku sebagai dasar penilaian perasaan
manusia. Bila perasaan itu mendekatkan orang-orang kepada ideal yang ditunjukkan oleh agama mereka dan mereka selaras
dengannya, maka perasaan itu baik. Bila perasaan itu menjauhkan
orang-orang dari ideal yang ditunjukkan oleh agama mereka dan
mereka berlawanan dengannya, maka perasaan itu buruk.” Penilaian perspektivisme menyatakan bahwa penilaian karya
sastra harus dilakukan dari berbagai sudut pandang sejak karya
sastra itu tercipta sampai sekarang (Pradopo 1997:49-51).
1.5 Mengukur Derajat Sastra
Eliot berpendapat bahwa mengukur kesastraan sebuah karya
sastra adalah dengan kriteria estetik, sedangkan mengukur kebesaran karya sastra adalah dengan kriteria di luar estetik
(Lubis 1997:15). Salah satu kriteria estetik yang bisa dipakai
adalah kriteria norma sastra. Rene Wellek menyatakan bahwa karya sastra mengandung norma-norma karya sastra, yaitu tata
nilai impilisit yang harus ditarik dari karya sastra dan
menunjukkan karya sastra sebagai keseluruhan. Norma karya sastra itu terdiri dari beberapa lapis seperti yang dikemukakan
oleh Rene Wellek tentang analisis Roman Ingarden dengan
metode phenomenologi Edmund Husserl. Lapis-lapis itu adalah,
lapis suara (berupa kata), lapis arti (berupa kalimat), dan lapis objek (berupa dunia sastrawan). Roman Ingarden menambahkan
dua lapis lagi, yaitu lapis dunia (berupa sudut pandang sastrawan)
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
21
dan lapis metafisika, berupa renungan terhadap yang kudus (Pradopo 1997:54-55).
Lapis metafisika yang menjadi puncak lapis-lapis norma
dalam paparan Rene Wellek di atas merupakan satu tujuan puncak dalam sastra. Lapis-lapis norma ini mirip dengan konsep
keutuhan jiwa dari J. Elema yang menyatakan bahwa karya sastra
itu tidak bernilai tinggi bila tidak meliputi keutuhan jiwa. Dalam kaitannya dengan karya sastra, keutuhan jiwa ini diterangkan oleh
Subagio Sastrowardojo sebagai lima tingkatan jiwa manusia,
yaitu (a) niveau anorganis,(b) niveau vegetatif, (c) niveau
animal, (d) niveau human, dan (e) niveau religius. Pada tingkatan niveau anorganis, karya sastra itu berupa bentuk formal seperti
pola bunyi, kalimat, gaya bahasa, dan lain-lain. Pada tingkatan
niveau vegetatif, karya itu menghadirkan suasana kejiwaan, seperti romantis, mengerikan, marah, dan sebagainya. Pada
tingkatan niveau animal, karya sastra menghadirkan hasrat-hasrat
kebinatangan, seperti makan, minum, membunuh, dan lain-lain.
Pada tingkatan niveau human, karya sastra menghasilkan renungan-renungan batin, rasa belas kasihan, rasa simpati, dan
pengalaman-pengalaman lain yang hanya bisa dirasakan oleh
manusia. Pada tingkatan niveau religius, karya sastra menghadirkan renungan-renungan mengenai Tuhan, pengalaman
mistik, dan renungan-renungan lain yang sampai pada hakikat
(Pradopo 1997:57-58). Hakikat, makrifat, syariat, merupakan tahapan-tahapan atau makam dalam konteks keimanan di dalam
agama Islam.
1.6 Agama sebagai Puncak Bersastra Dari sini menjadi jelas bahwa Tuhan, dengan kata lain yang
kudus, merupakan puncak kegiatan bersastra yang dilakukan oleh
para sastrawan. Mengukur kebesaran sastra dengan kriteria di
Bab I: Pendahuluan
22
luar estetik seperti yang dikemukakan T.S. Eliot di atas bisa diwujudkan dengan menggunakan kriteria agama, walaupun
sejauh ini sulit sekali menemukan definisi final dari agama.
Sebagaimana yang sudah biasa disampaikan bahwa dalam bahasa Sansekerta, kata agama terdiri dari dua kata, yaitu a yang berarti
tidak dan gama yang berarti kacau. Dengan demikian, agama
berarti tidak kacau. Menurut Badudu (1996:11) agama diartikan sebagai kepercayaan kepada Tuhan atau dewa serta dengan ajaran
dan kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu. Arti agama
yang lain seperti yang disampaikan oleh Huijbers (1992:9), yaitu
cara tertentu untuk menghayati kepercayaan pada Allah. Agama dalam arti luas dapat didefinisikan sebagai penerimaan atas tata
aturan dari kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi daripada manusia
itu sendiri. Bentuk-bentuk yang khas dari kepercayaan dan aktivitas manusia yang merupakan aktivitas agama adalah
kebaktian, pemisahan antara yang sakral dan yang profan,
kepercayaan kepada jiwa, kepercayaan kepada dewa-dewa atau
tuhan, penerimaan wahyu yang supranatural, dan pencarian keselamatan (Bozman dalam Anshari 1987:119).
Sangat sulit menemukan definisi final agama. Akan tetapi,
dari definisi-definisi yang banyak ditulis oleh para ahli, ada dua pendekatan yang mungkin tepat bila dikatakan sebagai sudut
pandang mereka. Dua pendekatan itu adalah pendekatan “apa”
dan pendekatan “mengapa”. Pendekatan “apa” menimbulkan pertanyaan “Apa yang dilakukan orang ketika dia beragama?”.
Pendekatan “mengapa” menimbulkan pertanyaan “Mengapa
orang melakukan ajaran agama?” (Braden 1954:16). Di dalam
agama, secara umum manusia mengakui adanya yang suci. Manusia insaf bahwa ada suatu kekuasaan yang memungkinkan
dan melebihi segala yang ada. Kekuasaan inilah yang dianggap
sebagai asal atau khalik segala yang ada. Tentang kekuasaan ini,
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
23
bermacam-macam bayangan yang terdapat manusia, demikian juga cara membayangkannya. Demikianlah Tuhan dianggap oleh
manusia sebagai tenaga gaib di seluruh dunia dan dalam unsur-
unsur-Nya atau sebagai khalik rohani. Tenaga gaib ini menjelma antara lain dalam alam (animisme), dalam buku suci (Taurat),
atau dalam manusia (Kristus) (Mulia dan Hiddung dalam Anshari
1987:124). Yang mutlak dalam agama adalah unsur ilahi dan unsur ilahi itu adalah wahyu. Dalam agama, orang menjawab
dengan iman. Umat beragama dengan sendirinya mengungkapkan
iman mereka pada wahyu melalui wujud-wujud yang bermakna
bagi mereka dan wujud-wujud itu ditentukan oleh kebudayaan. Iman itu kontekstual karena menjawab keprihatinan-keprihatinan
dari konteks mereka sendiri (Suseno 1992:78-80).
Berbicara mengenai manusia dalam perspektif agama pada hakikatnya adalah berbicara tentang kepercayaan bahwa manusia
itu baik adanya. Apa bila dia gagal untuk baik, pada dasarnya
setiap agama selalu memberikan kesempatan kepada setiap orang
untuk memperbaiki diri karena setiap agama menuntun manusia menuju ke yang lebih baik. Berdasarkan ilusinya, manusia
kadang-kadang merasa telah mencapai kebaikan. Saat itulah
agama memberikan kesadaran bahwa penyempurnaan harus dilakukan terus-menerus. Di sana agama menjadi kebutuhan
objektif (Sumartana dalam Mangunwijaya 1995: 348).
Pengertian tunggal mengenai agama memang sulit dirumuskan, tetapi dalam beragama, Tuhan, yang kudus, juga
menjadi tujuan tertinggi sebagaimana dikemukakan oleh Iqbal
dalam Mangunwijaya (1994:40-41). Iqbal menyatakan bahwa
pengamalan agama dimulai dari tingkatan faith, yaitu penerimaan segala ajaran agama dengan taat tanpa syarat dan tanpa berpikir
kritis. Pada tingkatan faith, agama menjadi ritual rutin yang harus
dilaksanakan. Setelah tingkatan faith, pengamalan agama
Bab I: Pendahuluan
24
dilanjutkan ke tingkatan thought, yaitu memahami secara rasional segala sumber ajaran agama. Pada tingkatan ini, agama menjadi
amalan hidup yang dihayati dan diamalkan sebagai tali hubungan
manusia dengan Tuhan. Setelah tingkatan thought, pengamalan agama dilanjutkan
pada tingkatan mistik. Pada tingkatan ini, pengamalan agama
menjadi cermin dari pencapaian kepribadian yang merdeka, bukan karena pelepasan dari ikatan hukum ajaran agama,
melainkan berkat penemuan sumber-sumber terakhir dari hukum
di dalam hati nuraninya. Sebagaimana dikatakan sebelumnya,
lapis metafisika merupakan puncak lapis norma Roman Ingarden, sedangkan niveau religius merupakan puncak tingkatan
keutuhan jiwa J. Elema. Dua pendapat dari ranah sastra ini
bersentuhan dengan pendapat Iqbal yang menyatakan bahwa tingkatan tertinggi keberagamaan seseorang adalah tingkatan
mistik. Karya sastra dan pengarang dalam lapis metafisika dan
niveau religius serta seseorang dalam tingkatan mistik memiliki
kesamaan dalam perenungannya tentang keadaan sekitar, alam, manusia, dan Tuhan. Mereka prihatin dengan keadaan yang tidak
baik. Seorang mistik menghayati, sedangkan seorang pengarang
menyerap dan menuangkannya dalam karya sastra. Karya sastra itu akan sangat baik hasilnya jika pengarang
juga orang yang sudah mencapai tingkatan mistik dalam
beragama. Hubungan antara sastra dan agama lainnya yang tidak boleh dilupakan adalah hubungan ketandaan yang menjadi
pembahasan dunia semiotik. Dalam teori semiotik, karya sastra
dipandang struktur tanda yang bermakna. Teori semiotik
berangkat dari pendangan bahwa fenomena sosial dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Tanda itu mempunyai
dua aspek, yaitu penanda dan petanda. Penanda adalah bentuk
formal yang menandai sesuatu, sedangkan petanda adalah yang
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
25
ditandai dengan penanda. Sebagai contoh adalah kata “ibu” yang merupakan penanda bagi “orang yang melahirkan”. Orang yang
melahirkan itu menjadi petanda. Dalam teori semiotik, yang
dicari adalah tanda yang mengandung hubungan sebab akibat antara penanda dan petandanya, diistilahkan dengan indeks.
Misalnya kata diagnosa (sic.) yang merupakan penanda dunia
kesehatan dan kata kuliah yang berhubungan dengan perguruan tinggi (Pradopo 1995:118-120). Sebagai contoh adalah kata
ka’bah dalam judul roman Di Bawah Lindungan Ka’bah karya
Hamka. Kata ka’bah dalam roman tersebut tidak semata-semata
menunjuk pada Ka’bah yang ada di kota Mekkah, tetapi juga Ka’bah imajiner yang ada dalam roman tersebut. Pembaca bisa
memahami ka’bah dalam roman ini dengan melihat hubungan
antara Ka’bah dan seorang muslim. Mengunjungi Ka’bah adalah keinginan hampir setiap orang muslim karena di sanalah dia
merasa dapat bertemu Tuhan dan menemukan ketenangan. Kata
ka’bah bagaimanapun tetap dikatakan bersumber dari sebuah
agama, yaitu Islam, tetapi maknanya sudah dipindahkan oleh Hamka ke dalam romannya. Akan tetapi, tidak semua orang suka
bertemu dengan Tuhan. Demikian sekilas tentang jagad sastra
dan sastrawan dalam konteks menghasilkan karya-karya sastra yang tertulis.
1.7 Sastra dalam Seni Pertunjukan Bagaimanapun karya-karya sastra baik yang berupa karya
tulis ataupun yang hidup dalam tradisi lisan, berhubungan erat
dengan seni pertunjukan. Untuk lebih meluaskan pembaca atau
penikmat karya sastra, salah satu di antaranya adalah diteruskan ke dalam dimensi seni pertunjukan. Misalnya karya sastra India
yang sangat terkenal Ramayana dan Mahabrata, diluaskan
dalam bentuk seni pertunjukan wayang kulit purwa di Jawa dan
Bab I: Pendahuluan
26
Bali, wayang kulit Melayu, wayang kulit Siam, wayang golek Sunda, wayang wong Jawa, dan lainnya. Kemudian karya sastra
sejenis dihasilkan pula oleh sastrawan Nusantara seperti epos
Panji, yang diteruskan ke dalam seni pertunjukan wayang pula. Bahkan istilah sastra itu sendiri dipandang muncul dari sebuah
kitab yang bertajuk Natya Sastra, tulisan cerita dalam bentuk
sage yang dikarang oleh Bharata (sekitar abad kelima Masehi). Karya-karya sastra dan seni lainnya yang begitu kuat
mempengaruhi seni pertunjukan India sampai sekarang adalah di
antaranya tulisan Matanga yang bertajuk Brhaddesi; karya
Sarangadewa yang bertajuk Sangita Ratnakara, yang banyak juga dipengaruhi karya sastra dan seni dari Timur Tengah di abad ke-
13 yang dibawah oleh Imperium Moghul. Bahkan Taj Mahal
adalah sebagai titik kulminasi peradaban Moghul ini, yang termasuk kepada keajaiban dunia.
Di wilayah Nusantara, banyak pula dijumpai karya-karya
sastra yang tertulis atau sastra lisan rakyat, yang diwariskan dari
generasi ke generasi. Ada juga karya sastra lisan yang kemudian ditulis atau direka ulang oleh pengarang dalam masyarakatnya.
Dalam kebudayaan Melayu Sumatera Utara misalnya, karya
sastra berbentuk cerita tradisi lisan yang bertajuk Puteri Hijau telah ada sejak abad keenam belas, yang menceritakan tentang
sejarah dan legenda Puteri Hijau, kakak, dan adiknya yang sakti
dalam konteks menentang lamaran Sultan Aceh yang menginginkan Puteri Hijau dan menguasai kerajaan Gasip di
Sumatera Utara. Kemudian di pertengahan abad ke-20 A.
Rahman menuliskannya dalam sebuah karya sastra berbentuk
syair dalam buku sastra yang bertema cerita rakyat di atas. Karya sastra ini selalu juga dimainkan dalam teater bangsawan di
kawasan Sumatera Utara, yang mencapai puncaknya di tahun
1960-an sampai 1970-an.
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
27
Teater-teater tradisional di Nusantara ini seperti sandiwara, tonil, Opera Batak, ludruk, ketoprak, mamanda, wayang, randai,
dan lain-lainnya adalah bentuk-bentuk seni pertunjukan yang
meneruskan dimensi karya-karya sastra dalam bentuk lisan atau tulisan ke dalam bentuk seni pertunjukan teater. Karya-karya
sastra dalam bentuk seni pertunjukan ini memiliki guna adan
fungsi sosial yang multidimensional, dalam rangka meneruskan nilai-nilai yang terdapat dalam kebudayaan masyarakat tersebut.
Karya sastra dan seni pertunjukan ini akan memberikan nilai-nilai
didaktik kepada para penikmatnya berupa pembaca dan
penonton. Melalui tradisi seni pertunjukan ini masyarakat Nusantara meneruskan berbagai nilai dan makna kebudayaan dari
satu generasi ke generasi berikutnya.
Banyak karya sastra yang kemudian diangkat ke dunia film atau televisi (yang lazim disebut sinetron). Misalnya karya sastra
Si Doel Anak Sekolahan difilmkan oleh Rano Karno menjadi
puluhan episode dan menjadi bombing di dasawarwa 1990-an.
Ada juga yang kurang berhasil seperti cerita rakyat Melayu Sumatera Utara yang bertajuk Musang Berjanggut yang
difilmkan tahun 1970-an. Yang cukup spektakuler adalah karya
sastra Naga Bonar ketika difilmkan menjadi begitu populer dan disukai sebagian besar masyarakat Indonesia. Apalagi didukung
oleh peranan para pemainnya seperti Dedi Mizwar, Nurul Arifin,
dan kawan-kawan begitu baik memerankan peranannya masing-masing. Banyak pula karya-karya sastra lisan dari cerita rakyat
(folklor) yang diangkat ke dalam seni pertunjukan (film, teater,
atau sendratari) yang cukup mendapat sambutan seperti cerita
Lutung Kasarung, Batu Belah Batu Bertangkup, Ken Dedes, Malin Kundang, dan lainnya.
Contoh-contoh karya sastra yang kemudian diteruskan ke
dalam seni pertunjukan, yang terkini adalah novel Ayat-Ayat
Bab I: Pendahuluan
28
Cinta yang difilmkan tahun 2008 ini dan mendapat sambutan luar biasa di kalangan masyarakat Indonesia bahkan Malaysia. Di
mana dalam novel ini Fachri seorang pemuda Indonesia yang
menuntut ilmu di Mesir mendapatkan jodohnya di sana, dengan pengalaman hidupnya yang begitu kompleks dan keras.
Dalam kebudayaan masyarakat di Nusantara, unsur seni
pertunjukan sangat penting dalam rangka menyampaikan karya-karya sastra baik yang berupa sastra lisan maupun tulisan.
Misalnya dalam kebudayaan Melayu, pantun empat baris
mendapat peran utama dalam lagu-lagu tradisional Melayu.
Karena populernya pantun-pantun ini, maka antara satu lagu dengan lagu lainnya bisa saja menggunakan pantun yang sama.
Sehingga untuk membedakannya seorang peneliti atau pengkaji
harus memahami apa yang melatarbelakangi nama sebuah lagu. Ternyata dalam realitas sesungguhnya lagu-lagu Melayu judulnya
didasari oleh bentuk melodi, pantun bisa saling digunakan di
mana-mana tempat dalam lagu. Pantun yang disajikan dalam
lagu juga diberi nafas estetika dengan cara improvisasi, perulangan kata, penyisipan partikel, dan tentu saja improvisasi
melodi yang khas dibawakan oleh setiap penyanyi.
Genre sastra Melayu juga dibedakan oleh melodi di samping oleh aturan-aturan sastra. Misalnya syair memiliki melodi yang
berbeda dengan gurindam, yang juga berbeda dengan nazam.
Syair pun selain melodi yang biasa dikenal yaitu Selendang Delima, memiliki variasi lagi, yaitu melodi Dandan Setia, Puteri
Pucuk Kelumpang, Sinandung, Dedeng, dan lain-lain. Demikian
sekilas hubungan sastra dan seni pertunjukan. Untuk melihatnya
dalam konteks pengetahuan ilmiah maka kita perlu melihat teori-teori dan metode untuk mengkaji sastra dan seni pertunjukan
Melayu dalam bab berikut ini.
29
BAB II
BERBAGAI TEORI DAN METODE SAINTIFIK
DALAM MENGKAJI SENI DAN SASTRA
2.1 Pendahuluan
Untuk mengkaji kesenian dan sastra secara ilmiah, maka
selalu digunakan berbagai teori dan metode. Teori dan metode dalam bidang ilmu apa pun biasanya dikaji di peringkat
pendidikan tinggi, terutama strata satu, dua, dan tiga. Pentingnya
teori dan metode dalam mengkaji bidang keilmuan adalah untuk mendukung kajian yang disebut ilmiah, yang berlandas pada
aspek-aspek rasionalisme, empirisisme, hipotesis dan
pembuktian, pengujian, dan hasil yang diperoleh.
Untuk bidang kajian sastra, di peringkat perguruan tinggi di Indonesia, biasanya dilaksanakan di Fakultas Sastra, Ilmu
Budaya, atau Ilmu Pengetahuan Budaya. Di Universitas
Sumatera Utara, Fakultas Sastra membidangi tiga rumpun disiplin ilmu yaitu bahasa dan sastra; seni; dan sosial. Bidang
bahasa dan sastra terdiri dari program studi sastra Indonesia,
program studi sastra Batak, program studi Sastra Melayu,
program studi sastra Inggris, program studi sastra Jepang, program studi sastra China, program studi Sejarah. Bidang seni
adalah program studi Etnomusikologi. Sedangkan bisang sosial
adalah program studi ilmu perpustakaan. Di universitas-universitas lain di Indonesia, nama Fakultas Sastra ada yang telah
diubah menjadi Fakultas Ilmu Budaya seperti yang ada di
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Atau diubah menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya seperti di Universitas
Indonesia. Umumnya ilmu yang diasuh fakultas-fakultas ini
adalah ilmu-ilmu humaniora. Ilmu-ilmu seni diasuh oleh institut
atau sekolah tinggi seni di seluruh Indonesia. Di Universitas
Bab II: Teori dan Metode
30
Sumatera Utara ilmu seni khsusunya etnomusikologi, diasuh di
bawah Fakultas Sastra. Kajian-kajian terhadap seni pertunjukan (pertunjukan
budaya) telah lama dilakukan orang, terutama oleh para ahli
budaya, kurator museum, penyebar agama, antropolog, dan lainnya. Namun, dalam dan fokusnya kajian mereka secara
keilmuan, tergantung dari latar belakang pendidikan,
pengalaman, sikap, dan tujuan ia mengkaji kesenian. Kajian
secara mendalam melalui pendekatan saintifik (ilmiah) tentang kesenian, khususnya seni pertunjukan baru dimulai akhir abad
ke-19, saat berdirinya etnomusikologi di Dunia Barat
(Oksidental), yang kemudian disusul oleh tumbuhnya disiplin antropologi tari dan antropologi teater. Selain itu, kajian tentang
seni rupa juga sudah muncul lebih awal.
Berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia, mendirikan
berbagai Jurusan/Departemen/ Program Studi yang mengkaji seni. Di Eropa, Amerika, dan Australia, kajian seni ada di
universitas-universitas seperti: Universitas Durham di Inggris,
Universitas Jaap Kunst di Belanda, Universitas Alberta di Kanada, University Califomia at Los Angeles (UCLA) di
Amerika Serikat, Washington University di Amerika Serikat,
Univeristy Hawaii di Amerika Serikat, Monash University di Australia, The University of Sydney di Australia, dan
lain-lainnya. Di kawasan Asia Tenggara kajian seni ada di The
University National Philipine, begitu juga di Universiti Malaya
Malaysia, Universiti Sains Malaysia, dan lain-lainnya. Di Indonesia, kajian seni dilakukan baik itu di tingkat
universitas, sekolah tinggi, maupun sekolah menengah. Misalnya
Program Strata Dua (S-2) dan Strata Tiga (S-3) Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Universitas Gadjah Mada (UGM)
Yogyakarta, S-2 Pengkajian Seni di Sekolah Tinggi Seni
Indonesia (STSI) Surakarta dan Institut Seni Indonesia (ISI)
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
31
Yogyakarta. Untuk strata satu Jurusan Seni Rupa di Institut
Teknologi Bandung (ITB), Jurusan/Departemen Etnomusikologi
di Universitas Sumatera Utara, Jurusan Sendratasik (Seni Drama, Tari, dan Musik) di beberapa universitas negeri pengembangan
dari Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, misalnya Universitas
Negeri Medan (Unimed), Universitas Negeri Padang (UNP),
Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Univeritas Negri Jakarta (UNJ), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dan lainnya. Di
Yogyakarta didirikan Institut Seni Indonesia (ISI) yang
keseluruhan fakultasnya mengasuh ilmu-ilmu seni, begitu juga dengan Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Institut Seni Indonesia
(ISI) Denpasar Bali, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI)
Padangpanjang. Di tingkat sekolah menengah ada Sekolah
Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) atau Sekolah Menengah Musik Negeri (SMMN) yang kini digabung ke dalam rumpun
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Demikian gambaran umum
institusi pendidikan yang mengasuh kajian seni. Perkem-bangannya tampaknya tergantung pata tempat masing- masing.
Secara umum, perkembangan pengetahuan dan sains ini selalu
berkaitan dengan perkembangan ilmu antropologi--karena mempelajari seni tujuan akhimya adalah untuk mengetahui
tingkah laku manusia yang dikaji.
2.2 Seni dalam Kajian Estetika Dalam sejarah pengetahuan dan sains, studi terhadap
unsur-unsur keindahan, dilakukan dalam disiplin yang disebut
estetika (aesthetic) atau dalam bahasa Indonesia lazim disebut filsafat keindahan.
3 Dalam peradaban Barat, estetika dimulai dari
3Dalam bahasa Indonesia kata philosophy dalam bahasa Inggeris selalu
dipadankan dengan kata filsafat. Sementara dalam bahasa Melayu Malaysia
kata ini lebih sering dipadankan dengan kata falsafah. Ahli filsafat sering
Bab II: Teori dan Metode
32
sumber-sumbe budaya Yunani dan Romawi. Edward et al. (eds.)
membagi sejarah perkembangan filsafat Barat, termasuk estetika ke dalam periode-periode: (1) Plato, yang pada prinsipnya
memperbincangkan seni dan kerajinan (kriya), imitasi,
keindahan, seni dan pengetahuan, dan seni serta moralitas; (2) Aristoteles, yang memperbincangkan pengetahuan tentang
penikmatan seni, imitasi, penikmatan keindahan, keuniversalan
seni, serta katarsis; (3) filosof klasik yang lebih akhir, yang
umumnya berminat dalam puisi dan masalah semantik. Di antaranya Zeno, Cleanthes, dan Chrysippus; (4) Abad
Pertengahan yang ditokohi oleh St. Agustinus dan Thomas
Aquinas. Keduanya memisahkan unsur penikmatan dan hasil dari keindahan. (5) Renaisans, yang berkembang pada abad ke-15 dan
16. Pada saat ini dilakukan revivalisasi filsafat-filsafat Plato,
sehingga periode ini disebut juga dengan Neo-Platonisme; (6)
Rasionalisme Cartesian pada Zaman Pencerahan; (7) Empirisisme; (8) Idealisme Para Filosof Jerman yang ditokohi
oleh Immanuel Kant; (9) Romantisisme, yang menekankan
kepada unsur ekspresi emosional; serta (10) Perkembangan Kontemporer (Edward et al. 1967: volume I dan 2).
Sebagai sebuah gagasan, ada keterhubungan antara kesenian
dan estetika. Berbagai cabang seni dapat juga ditampilkan seperti dalam seni teater yang mencakup seni: visual, musik,
sastra, dan tari. Saling keterhubungan cabang-cabang seni ini
memperlihatkan adanya sumber-sumber yang sama, terutama
dalam tahap ide, walaupun menggunakan media yang berbeda-beda.
Berbagai kesenian merupakan petualangan manusia, dan
sebagian besar karya-karya tentang estetika pada masa kini,
disebut dengan filosof padanan dari kata philosopher dalam bahasa Indonesia,
sedangkan dalam bahasa Melayu Malaysia sering disebut dengan filosof.
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
33
dimulai dari perbedaan-perbedaan umum di antara.
cabang-cabang seni yang dihasilkan dalam kehidupan kita.
Namun demikian, dalam tahapan tertentu berbagai cabang kesenian ini mempunyai satu kesatuan, yang membentuk
identitas masyarakat pendukungnya.
Studi tentang estetika ini secara eksplisit dikemukakan oleh
Adler el al. (eds.) sebagai berikut: The discipline called aesthetics may be described
broadly as the study of beauty and, to a lesser extent, its
opposite ‘the ugly.’ It may include general or
theoretical studies of the arts and of related types of
experiences, such as those of the philosophy of art, arts
criticism, and the psychology and sociology of the arts. The world general is emphasized because a narrowly
specialized study of particular work of art or artist
would not ordinarily be regarded as an example of
aesthetics. Aesthetics has often defined more
specifically as the science of the beautiful, a definition
implying an organized body of knowledge covering a
special field of subject matter.
The arts may be include the visual and theatre arts,
music, dance, and literature. In the ancient world, there
was no clear distinction between aesthetic and useful art.
Aesthetic as a philosopher or scientific discipline is not
to be confused with art, though it may undertake to study the arts in a more or less intellectual, logical way.
(1986:161).
Estetika adalah disiplin terhadap keindahan atau seni.
Bahasan seni dalam estetika mencakup masalah filosofis (pengetahuan) dan sains sekali gus. Kemudian, secara bertahap
berkembanglah berbagai disiplin seni yang lebih mcngedepankan
aspek rasional dan empiris--yang didasari oleh interaksi
Bab II: Teori dan Metode
34
bangsa-bangsa di dunia ini. Dimulai oleh disiplin antropologi
yang kemudian bersentuhan dengan disiplin seni, seperti yang diuraikan berikut ini.
2.2.1 Antropologi dan Seni Antropologi adalah sebuah ilmu yang mempelajari manusia
(anthropos), sebagai sebuah disiplin integrasi dari berbagai ilmu
yang masing-masing mempelajari suatu kompleks
masalah-masalah khusus mengenai makhIuk manusia (lihat Koentjaraningrat 1980:1). Integrasinya ini mengalami proses
sejarah yang panjang, dimulai sejak kira-kira. awal abad ke-19.
Antropologi mulai mencapai bentuknya yang konkret setelah lebih dari 60 pakarnya dari berbagai negara Eroamenka bertemu
mengadakan simposium tahun 1951. Pendekatan ilmiah
antropologi adalah berdasarkan kepada kajian menyeluruh
(universal) terhadap manusia, yang mencakup bermacam jenis manusia, kebudayaannya, serta semua aspek pengalaman
manusia. Pendalaman bidang-bidang antropologi di antaranya
adalah antropologi fisik, antropologi budaya, arkeologi, antropolinguistik, dan etnologi.
Kesenian sebagai salah satu unsur dan ekspresi budaya, jelas
dapat dikaji oleh antropologi budaya. Namun dalam perkembangan selanjutnya, beberapa disiplin yang objeknya
adalah seni berdiri dan tetap memakai berbagai teori dan metode
dalam antropologi, seperti persinggungannya dengan musikologi
menghasilkan etnomusikologi, dengan tari menghasilkan antropologi tari, dengan teater menghasilkan antropologi teater,
dan seterusnya. Oleh karena itu akan dibahas apa itu musikologi
secara garis besar saja. Musikologi lahir di Dunia Barat, yang pada dasamya
mempelajari musik seni (art music) Barat seperti karya-karya
Bach, Beethoven, Stravinsky, musik gereja, trobadour, trouvere,
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
35
dan lainnya. Ilmu ini membuat dikotomi yang mencolok antara
"musik seni" dan "musik primitif' berdasarkan atas ada atau
tidaknya budaya tulis dan teori yang telah berkembang. Secara keilmuan, musikologi bersifat humanistis dan cenderung
mengesampingkan ilmu-ilmu pengetahuan lain, kecuali yang
bersinggungan saja. Secara mendasar, musikologi bersifat historis
budaya Barat dan objek studinya adalah musik sebagaimana adanya.
Berbanding terbalik dengan musikologi, antropologi
mempunyai ciri-ciri mempelajari manusia sepanjang masa; melihat semua aspek budaya manusia dan masyarakat sebagai
sekelompok variabel yang berinteraksi. Antropologi mempunyai
orientasi saintifik, yang metodologinya sebagian historis akan
tetapi pada dasarnya bersifat saintifik. Tujuan antropologi adalah untuk memahami tingkah laku manusia.
Musikologi dan antropologi bukanlah bentuk studi yang
sama. Yang pertama masuk pada studi humaniora, yang kedua adalah ilmu sosial. Setelah berpadu dalam disiplin baru
etnomusikologi, maka terjadi perkembangan-perkembangan lebih
lanjut, disertai ciri khas setiap kawasan yang mengasuh ilmu ini, walaupun dasar-dasarnya adalah ingin mengetahui manusia,
lewat jendela budaya musik secara universal. Dalam
perkembangan selanjutnya, para musikolog yang sadar akan
kemitraan dengan budaya di luar Barat, bahkan menjadi etnomusikolog. Atau ada juga etnomusikolog yang kajiannya
adalah musik Eropa, biasanya musik folk atau rakyat.
2.2.2 Interaksi
Secara ilmiah, interaksi positif terjadi antara antropologi
dengan teater, musik, dan tari. Yang pertama menghasilkan. disiplin antropologi teater, yang kedua etnomusikologi, dan
ketiga etnologi tari, atau disebut juga antropologi tari dan
etnokoreologi. Ketiga disiplin ilmu pengetahuan tersebut lahir di
Bab II: Teori dan Metode
36
Barat, dan etnomusikologi muncul paling dahulu, yaitu akhir
abad ke-19 (1890-an). Demikian pula di Indonesia, etnomusikologi lebih dahulu dibuka di Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara tahun 1979, yang kemudian diikuti
oleh institusi seni lainnya. Kemudian disusul oleh berdirinya ilmu antropologi tari dan antropologi teater.
2.2.3 Etnomusikologi
Berdasarkan sejarah perkembangan disiplinnya, etnomusikologi mengenal dua kelompok definisi. Kelompok
pertama adalah pengertian yang lebih dekat dengan studi
musikologi komparatif Barat. Definisi ini dapat dibedakan atas tiga macam. Pertama, definisi yang menekankan pada jenis musik
yang dipelajari yaitu musik dan alat musik dari semua bangsa
non-Eropa, termasuk suku yang disebut primitif, dan
bangsa-bangsa Timur yang berbudaya (Kunst 1950). Kedua, definisi yang menekankan musik sebagai tradisi lisan, yaitu
etnomusikologi pada dasamya mewarisi musik pada tradisi lisan
(List 1962). Definisi ketiga, merumuskan etnomusikologi sebagai bidang yang mempelajari musik di luar masyarakat peneliti atau
pengamat, yaitu etnomusikologi mempelajari musik bangsa-
bangsa lain (Wachsman 1969). Selanjutnya definisi kelompok kedua menekankan kepada
proses kepada ilmuwan etnomusikologi. Mereka mendefinisikan
etnomusikologi adalah studi tentang musik di dalam konteks
kebudayaan (Merriam 1964). Definisi-definisi yang menekankan pada proses kerja, memaksa peneliti untuk memusatkan kepada
totalitas bukan kepada seperangkat komponen dari bagian-bagian
tertentu, untuk memperlakukan deskripsi sebagai langkah awal dalam mengadakan studi, dan untuk membuat konsepsi suara
musik tidak terpisah, tetapi merupakan bagian dari totalitas
masyarakat dan budaya.
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
37
Etnomusikologi sebagai sebuah disiplin ilmu, merupakan
fusi atau gabungan dari dua induk ilmu yaitu etnologi
(antropologi) dan musikologi. Penggabungan ini sendiri telah menimbulkan dampak yang kompleks dalam perkembangan
etnomusikologi. Jika kemudian ia berfusi lagi dengan ilmu lain,
katakanlah arkeologi, maka akan terjadi sesuatu perkembangan
yang menarik. Dalam konteks etnomusikologi, bidang musikologi selalu dipergunakan dalam mendeskripsikan
struktur musik yang mempunyai hukum-hukum internalnya
sendiri--sedangkan etnologi memandang musik sebagai bagian dari fungsi kebudayaan manusia dan sebagai suatu bagian yang
menyatu dari suatu dunia yang lebih luas. Secara eksplisit
dinyatakan oleh Merriam sebagai berikut.
Ethnomusicology carries within itself the seeds of its
own division, for it has always been compounded of two
distinct parts, the musicological and the ethnological,
and perhaps its major problem is the blending of the
two in a unique fashion which emphasizes neither but
takes into account both. This dual nature of the field is
marked by its literature, for where one scholar writes
technically upon the structure of music sound as a
system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part
of a wider whole. At approximately the same time, other
scholars, influenced in considerable part by American
anthropology, which tended to assume an aura of intense
reaction against the evolutionary and diffusionist schools,
began to study music in its ethnologic context. Here the
emphasis was placed not so much upon the structural
components of music sound as upon the part music
plays in culture and its functions in the wider social and
cultural organization of man. It has been tentatively
suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to
Bab II: Teori dan Metode
38
characterize German and American "schools" of
ethnomusicology, but the designations do not seem quite
apt. The distinction to be made is not so much one of
geography as it is one of theory, method, approach, and
emphasis, for many provocative studies were made by
early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies
heve been devoted to technical analysis of music sound.4
Dari kutipan paragraf di atas, menurut Merriam para
pakar etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada benih-benih pembahagian ilmu, untuk itu selalu dilakukan
percampuran dua bagian keilmuan yang terpisah, yaitu
musikologi dan etnologi. Kemudian menimbulkan kemung-kinan-kemungkinan masalah besar dalam rangka mencam-pur
kedua disiplin itu dengan cara yang unik, dengan penekanan
pada salah satu bidangnya, tetapi tetap mengandung kedua
disiplin tersebut. Sifat dualisme lapangan studi ini, dapat ditandai dari literatur-literatur yang dihasilkannya--seorang
sarjana menulis secara teknis tentang struktur suara musik
sebagai suatu sistem tersendiri, sedangkan sarjana lain memilih untuk memperlakukan musik sebagai suatu bagian
dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai bagian yang
integral dari keseluruhan kebudayaan. Pada saat yang sama,
beberapa sarjana dipengaruhi secara luas oleh para pakar antropologi Amerika, yang cenderung untuk mengasumsikan
4Silahkan lihat lebih jauh Alan P. Merriam, 1964. The
Anthropology of Music. Chicago: North Western University. pp. 3-4.
Buku ini menjadi “bacaan wajib dan mendasar” bagi para pelajar
etnomusikologi seluruh dunia, dengan pendekatan kebudayan,
fungsionalisme, strukturalisme, sosiologis, dan lain-lainnya.
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
39
kembali suatu aura reaksi terhadap aliran-aliran yang
mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai dengan
melakukan studi musik dalam konteks etnologisnya. Di sini, penekanan etnologis yang dilakukan para sarjana ini lebih luas
dibanding dengan kajian struktur komponen suara musik sebagai
suatu bagian dari permainan musik dalam kebudayaan, dan
fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan manusia yang lebih luas.
Hal tersebut telah disarankan secara tentatif oleh Nettl
yaitu terdapat kemungkinan karakteristik "aliran-aliran" etnomusikologi di Jerman dan Amerika, yang sebenarnya
tidak persis sama. Mereka melakukan studi etnomusikologi
ini, tidak begitu berbeda, baik dalam geografi, teori, metode,
pendekatan, atau penekanannya. Beberapa studi provokatif awalnya dilakukan oleh para sarjana Jerman. Mereka
memecahkan masalah-masalah yang bukan hanya pada semua
hal yang berkaitan dengan struktur musik saja. Para sarjana Amerika telah mempersembahkan teknik analisis suara musik.
Dari kutipan di atas tergambar dengan jelas bahwa
etnomusikologi dibentuk dari dua disiplin dasar yaitu etnologi dan musikologi, walau terdapat variasi penekanan bidang yang
berbeda dari masing-masing ahlinya. Namun terdapat
persamaan bahwa mereka sama-sama berangkat dari musik
dalam konteks kebudayaannya. Berbagai definisi tentang etnomusikologi telah dikemukakan
dan dianalisis oleh para pakar etnomusikologi. Dalam edisi
berbahasa Indonesia, Rizaldi Siagian dari Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan Santosa dari Sekolah Tinggi Seni
Indonesia (STSI) Surakarta, telah mengalihbahasakan berbagai
definisi etnomusikologi, yang terangkum dalam buku yang bertajuk Etnomusikologi, 1995, yang disunting oleh Rahayu
Supanggah, terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia,
yang berkantor pusat di Surakarta. Dalam buku ini, Alan P.
Bab II: Teori dan Metode
40
Merriam mengemukakan 42 definisi etnomusikologi dari
beberapa pakar, menurut kronologi sejarah dimulai oleh Guido Adler 1885 sampai Elizabeth Hesler tahun 1976.
5
Dari 42 definisi tentang etnomusikologi dapat diketahui
bahwa etnomusikologi adalah fusi dari dua disiplin utama yaitu musikologi dan atropologi, pendekatannya cenderung multi
disiplin dan interdisiplin. Etnomusikologi masuk ke dalam
bidang ilmu humaniora dan sosial sekali gus, merupakan kajian
musik dalam kebudayaan, dan tujuan akhirnya mengkaji manusia yang melakukan musik sedemikian rupa itu. Walau awalnya
mengkaji budaya musik non-Barat, namun sekarang ini semua
jenis musik menjadi kajiannya namun jangan lepas dari konteks budaya. Dengan demikian, masalah definisi dan lingkup kajian
5R. Supanggah, 1995. Etnomusikologi. Surakarta: Yayasan bentang
Budaya, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Buku ini merupakan kumpulan enam tulisan oleh empat pakar etnomusikologi (Barat) seperti: Barbara Krader, George List, Alan P. Merriam, dan K.A. Gourlay; yang
dialihbahasakan oleh Santosa dan Rizaldi Siagian. Dalam buku ini Alan P. Merriam menulis tiga artikel, yaitu: (a) “Beberapa Definisi tentang ‘Musikologi Komparatif’ dan ‘Etnomusikologi’: Sebuah Pandangan Historis-Teoretis,” (b) “Meninjau Kembali Disiplin Etnomusikologi,” (c) “Metode dan Teknik Penelitian dalam Etnomusikologi.” Sementara Barbara Krader menulis artikel yang bertajuk “Etnomusikologi.” Selanjutnya George List menulis artikel “Etnomusikologi: Definisi dalam Disiplinnya.” Pada akhir tulisan ini K.A. Gourlay menulis artikel yang berjudul “Perumusan Kembali Peran
Etnomusikolog di dalam Penelitian.” Buku ini barulah sebagai alihbahasa terhadap tulisan-tulisan etnomusikolog (Barat). Ke depan, dalam konteks Indonesia diperlukan buku-buku panduan tentang etnomusikologi terutama yang ditulis oleh anak negeri, untuk kepentingan perkembangan disiplin ini. Dalam ilmu antropologi telah dilakukan penulisan buku seperti Pengantar Ilmu Antropologi yang ditulis antropolog Koentjaraningrat, diikuti oleh berbagai buku antropologi lainnya oleh para pakar generasi berikut seperti James Dananjaya, Topi Omas Ihromi, Parsudi Suparlan, Budi Santoso, dan lain-
lainnya.
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
41
etnomusikologi sendiri akan terus berkembang dan terus
diwacanakan tanpa berhenti.
2.2.4 Antropologi Tari
Antropologi tari adalah sebuah disiplin baru yang
sebelumnya dikenal sebagai etnologi tari, atau oleh sebagian
pakar disebut dengan etnokoreologi. Walau istilah etnologi tari baru tersebar luas, tetapi penelitian di bidang etnologi tari telah
berlangsung sejak tahun 1930-an. Jika di bidang etnomusikologi
ada tokoh Alan P. Merriam, maka dalam antropologi tari salah seorang perintisnya adalah Getrude Prokosch Kurath yang
kumpulan esainya diterbitkan tahun 1986 dengan judul Half
Century of Dance Research oleh Cross Cultural Dance Research
(CCDR, Flagstaff, Arizona, Amerika Serikat). Ada pula seorang tokoh yang dikenal cukup ahli baik di bidang etnomusikologi
maupun antropologi tari yaitu Curt Sachs.
Kurath menggunakan 20 tahun pertama karimya sebagai penari dan produser pertunjukan budaya, tetapi kemudian
menceburkan dirinya di bidang penelitian etnologi tari.
Menurutnya, metode penelitian etnologi tari terdiri dari tiga tahap: (1) melakukan studi secara aktif dan mendatangi
upacara-upacara masyarakat yang diteliti; (2) mentransfer
pola-pola tari ke dalam bentuk tulisan, dengan deskripsi verbal
dan layout visual; dan (3) menginterpretasikan fakta-fakta yang telah diorganisasikan.
Seperti dalam studi etnomusikologi, yang tergantung latar
belakang pendidikannya, dalam kajian tari pun ada peneliti-peneliti yang lebih menekankan salah satu disiplin:
antropologi atau tari. Seperti yang dikemukakan oleh Adrianne
Kaeppler, bahwa para ahli etnologi tari biasanya adalah berlatarbelakang sebagai penari--yang melihat tari terpisah dari
konteks budaya masyarakatriya. Mereka selalu mendeskrip-sikan
tari menurut pandangan mereka sendiri, bukan pandangan
Bab II: Teori dan Metode
42
masyarakat pelaku tari itu. Mereka mendeskrip-sikan secara.
struktural bagian-bagian tari itu seperti pola gerak, motif, garis, arah, dan repetisi tari.
Sebaliknya, para etnolog tari ingin mengetahui lebih dari itu.
Antropologi pada abad ke-20 telah berkembang dari pendekatan deskriptif dan natural ke pendekatan yang menekankan kepada
teori. Bagi antropolog, deskripsi tari dari seluruh dunia ini bukan
etnologi, hanya sekedar data, yang lebih jauh harus dianalisis
secara. etnografis, sehingga didapatkan makna-makna kulturalnya, baik dengan memakai teori maupun metode ilmiah.
Menurut Janet Adshead dalam bukunya Dance Analysis:
Theory and Practice (London, Dance Book, 1988:6) penelitian terhadap tari pada perkembangan sekarang ini memerlukan
bantuan disiplin lainnya, seperti: antropologi, sejarah, psikologi,
sosiologi, teologi, dan lainnya. Disiplindisiplin ini sangat
membantu untuk memahami tari dalam konteks yang lebih luas, serta menjelaskan fungsi-fungsinya dalam kehidup-an masyarakat
pendukungnya.
2.2.5 Kajian Pertunjukan Budaya dan/atau Antropologi
Teater
Kajian pertunjukan (performance study) adalah sebuah disiplin (ilmu) yang relatif baru, yang dalam pendekatan
saintifiknya berdasar kepada interdisiplin atau multidisiplin ilmu,
yaitu mempertemukan antara lain antropologi, kajian teater,
antropologi tari atau etnologi tari, etnomusikologi, folklor, semiotika, sejarah, linguistik, koreografi, kritik sastra, dan
lainnya. Dua orang tokoh terkemuka pada disiplin ini adalah
Victor Tumer (antropolog) dan Richard Schechner (aktor, sutradara teater, pakar pertunjukan, dan editor majalah The
Drama Review).
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
43
Sasaran kajian pertunjukan tidak terbatas kepada
pertunjukan yang dilakukan di atas panggung, tetapi juga yang
terjadi di luar panggung, seperi olah raga, permainan, sirkus, kamaval, perjalanan ziarah, nyekar, dan upacara. Dia menulis
buku yang terkenal From Ritual to Theatre: On the Edge of the
Bush: Anthropology as Experience, The Anthropology of
Performance, dan The Anthropology of Experience. Buku yang terakhir ini, disuntingnya bersama Victor Tumer dan Edward M.
Bruner tahun 1982 setahun sebelum ia meninggal dunia. Pada
karya-karyanya tersebut secara saintifik Schechner dan Tumer tampaknya menawarkan pentingnya pendekatan pengalaman,
pragmatik, praktik, dan pertunjukan dalam mengkaji kesenian.
Tentunya pendekatan ini diperlukan berdasarkan asumsi dasar
bahwa pengalaman yang kita alami tidak hanya dalam bentuk verbal, tetapi juga dalam bentuk imajinasi dan impresi (kesan).
2.2.6 Antropolinguistik Istilah antropolinguistik yang dalam bahasa Inggris
anthropology linguistic, yang digunakan pada dasawarsa 1950-
an, merujuk kepada sesuatu tradisi linguistik, terutama di Amerika Serikat, yang memusatkan perhatiannya kepada
penelitian bahasa-bahasa di Amerika Utara. Mereka yang terlibat
dalam penelitian dan pengklasafikasian bahasa-bahasa penduduk
asli Amerika Utara pada waktu itu, pada umumnya bukan kalangan akademis atau ahli bahasa melainkan orang-orang yang
mempunyai keterkaitan dengan badan-badan agama, seperti The
Summer Institute of Linguistics. Antropolinguistik adalah satu bidang disiplin antropologi
yang meneliti peranan bahasa dalam kehidupan manusia. Dengan
kata lain, antropolinguistik sebagai satu bidang pengkajian, berkembang dalam disiplin antropologi yang fokus penelitiannya
adalah tentang manusia. Antropolinguistik merupakan lanjutan
pengkajian terhadap manusia bersama-sama dengan bidang lain,
Bab II: Teori dan Metode
44
seperti antropologi ragawi (physical anthropology), antropologi
sosiobudaya (sociocultural anthropology), dan antropologi kognitif (cognitive anthropology). Istilah antropolinguistik sering
digunakan secara bergantian dengan istilah linguistik antropologi.
Kalau diteliti, pada kedua bidang ilmu ini umumnya ditemukan pengkajian antropolinguistik yang memperlihatkan
bahwa bidang ini kurang memberi perhaian kepada aspek-aspek
antropologi yang bersifat lebih teknis. Di samping
kekurangmahiran di kalangan ahli linguistik antropologi dalam antropologi dan ahli antropolinguistik dalam linguistik menjadi
petunjuk bahwa kedua-duanya adalah bidang yang berlainan.
Bagaimanapun kedua-duanya memiliki banyak kesamaan dan orientasi wilayah penelitian. Hal ini dapat dilihat pada
persamaan minat dan pengaruh dua disiplin yang berkaitan satu
sama lainnya, antropologi dan linguistik. Persamaan ini juga
menunjukkan bahwa hubungan bahasa dan budaya yang bersifat intrinsik adalah sesuatu yang penting dalam usaha para ahli
bahasa dalam menyelaraskan ilmu tentang kehidupan manusia.
Antropolinguistik menganggap bahwa faktor budaya tidak boleh ditinggalkan dalam penelitian bahasa, juga berpandangan
bahasa merupakan faktor yang harus dipertimbangkan dalam
kajian budaya dan kehidupan manusia. Dengan kata lain antropolinguistik adalah pengkajian budaya dalam konteks
disiplin linguistik, sedangkan linguistik antropologi adalah kajian
bahasa dalam konteks disiplin antropologi. Terjemahan istilah
anthropological linguistics dalam bahasa Indonesia adalah linguistik antropologi, sedangkan linguistics anthropology
terjemahannya adalah antropolinguistik.
Dengan kenyataan bahwa antropolinguistik adalah satu bidang dalam disiplin linguistik, hal ini dimaksudkan untuk
membedakannya dengan sosiolinguistik. Sejauh manakah
kebenaran hal ini? Walaupun kedua bidang ini memperlihatkan
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
45
persamaan pada beberapa hal, namun sosiolinguistik dan
antropolinguistik adalah dua bidang yang berbeda dari segi teori,
ranah bahasan, dan metodologinya. Terdapat sejumlah pemahaman tentang sosiolinguistik, di
antaranya ialah ia meneliti hubungan intrinsik antara bahasa dan
masyarakat. Dalam hal ini sosiolinguistik melihat bahasa
sebagai satu fenomena sosial. Dalam kerangka pemahaman yang serupa, antropolinguistik dapat dipahami sebagai penelitian
hubungan intrinsik antara bahasa dan budaya yang melihat
bahasa itu sebagai satu fenomena budaya. Walaupun kedua bidang ini memberi perhatian kepada
fungsi yang dimainkan oleh bahasa, tetapi fungsi bahasa itu
berbeda. Sosiolinguistik memberi fokus kepada aspek sosial,
artinya bahasa dilihat sebagai satu institusi/fenomena sosial, sedangkan linguistik antropologi menekankn perspektif budaya
dan menganggap bahasa sebagai suatu pranata atau fenomena
budaya. Nampaknya perbedaan mendasar antara sosiolinguistik dan
linguistik antropologi terletak pada ranah penelitian, yakni antara
sosial dan budaya. Pengertian “sosial” umumnya dikaitkan denga hal-hal yang berkenaan dengan kehidupan, kebajikan, organisasi,
serta perhubungan antara anggota-anggota dalam sebuah
masyarakat. Pengertian “budaya” pada umumnya dikaitkan pula
dengan adat istiadat, sistem kepercayaan, nilai, dan pandangan yang dimiliki bersama sebagai asas kehidupan sekelompok
manusia.
Merujuk pada premis ini, sosiolinguistik memberi penekanan kepada hal-hal sosial dalam analisis bahasanya,
sedangkan linguistik antropologi memberi perhatian kepada hal-
hal budaya dalam analisis linguistiknya. Dengan kata lain, sosiolinguistik meneliti bahasa dari dimensi sosial, sedangkan
linguistik antropologi beroperasi dalam hal yang sama, tetapi dari
sudut budaya. Perbedaan antara sosiolinguistik dan linguistik
Bab II: Teori dan Metode
46
antropologi terlihat dalam masing-masingkajian yang mengambil
judul language in society/language and society dan language in culture/language and culture.
Aspek sosial yang menjadi kajian dalam sosiolinguistik dan
language/language and society adalah seperti kelas sosial, kasta, status, prestise, pendapatan, tingkat pendidikan, afiliasi politik,
umur, jenis kelamin, jejaring sosial (social network), dan
kelompok etnik. Dengan kata lain, bagaimanapun faktor-faktor
yang berkaitan dengan proses sosial atau unsur-unsur yang membentuk struktur sosial. itu mempengaruhi penggunaan
bahasa atau bentuk bahasa tertentu yang menjadi bahasan dalam.
sosiolinguistik. Sistem kepercayaan., sistem nilai, moral, tingkah
laku/kelakuan, dan pandangan, yang berkaitan dengart proses
budaya atau unsur-unsur yang mencorakkan pola budaya suatu
kurnpulan itu, sering menjadi inti masalah kepada kajian antropolinguistik dan linguist and culture/languag. in. culture.
Kajian sosiolinguistik dapat bersifat kualitatif dan
kuantitatif. Hal ini adalah karena faktor yang. berkaitan dengan proses sosial/unsur yang dapat membina struktur sosial itu,
seperti: kelas, umur, jenis kelamin, yang dapat diamati dengan
jelas. Hal ini berbeda sekali dengan faktor yang berkaitan dengan proses budaya yang memberikan corak pada budaya itu, seperti
nilai dan pandangan dan tidak mudah diamati secara ilmiah
(Saville-Troike 1980:10).
Antropolinguistik melihat bahasa atau struktur bahasa yang terdiri dari: fonologi, morfologi, dan sintaksis hanya sebagai satu
komponen saja. Ini amat berbeda dengan sosioliguistik yang
mampu meneliti bahasa dalam tataran fonologi, morfologi, serta sintaksis.
Mazhab Praha berpegang teguh kepada pemahaman bahwa
bahasa tidak perlu mempunyai fungsi yang sama dalam setiap
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
47
masyarakat atau budaya. Strukturalisme "Neo-Bloom-field"
Amerika mengajukan pandangan behavi-ouris tentang bahasa,
terutama dalam penetitian makna, yang melihat situasi dan lingkungan itu penting sekali dalam penguraian makna sesuatu
bentuk bahasa (Malinowski 1923:307). Asas pernikiran ini yang
memberi perhatian kepada faktor situasi, konteks, dan lingkungan
yang memberi makna kepada bentuk bahasa itu, dilanjutkan dalam antropolinguistik. Tradisi ini diteruskan dalam bentuk,
yang melihat bahasa sebagai. sesuatu yang dinamis dengan
pengertian bahwa makna suatu bentuk tidak berbahasa itu tidak dilihat dari pengertian kamusnya,. tetapi berdasarkan sesuatu
yang diperoleh dan dipahami setelah dilihat dalam konteks
budaya, bagaimana bahasa itu diungkapkan.
Sebagaimana halnya ilmu lain, antropolinguistik tetap mempunyai dua fokus: (i) khusus dan (ii) umum. Pada fokus
khusus, penelitian antropolinguistik diarahkan untuk rnengu-
raikan serta, memahami tindak berbahasa dalam ranah budaya tertentu, dalam konteks masyarakat (budaya) yang bersangkutan.
Pada fokus umum, yang menjadi pusat perhatian adalah
pembentukan sebuah metateori tentang fenomena komunikasi bahasa dari dimensi budaya.
Sebagai kesimpulan, etnografi adalah pengamatan atau
pemerhatian langsung tentang situasi-situasi kongkret. Dalam
konteks antropolinguistik, etnografi meneliti tindak berbahasa yang berlaku, secara alamiah, yang dianggap sebagai budaya
yang berlaku dalam konteks keseluruhan sistem budaya
masyarakat yang bersangkutan. Antropolinguistik adalah ilmu antardisiplin yaitu antropologi
dan linguistik, yang merupakan dua bidang disiplin ilmu yang
mempunyai hubungan yang sangat erat. Maka untuk memahami antropolinguistik perlu adanya suatu kajian yang objektif dan
ilmiah tentang kehidupan masyarakat dalam bermasyarakat dan
dikait-kan dengan penggunaan bahasa dalam masyarakat tersebut.
Bab II: Teori dan Metode
48
Keseluruhan disiplin pertunjukan budaya di atas umumnya
mendasarkan kegiatanya pada pendekatan ilmiah dengan menggunakan teori-teori.
2.3 Pendekatan Ilmiah dan Teori-teori Ilmu pengetahuan (sains) adalah suatu disiplin yang
mempunyai tahap-tahap dan prosedur tertentu, yang sering
disebut dengan pendekatan ilmiah. Di antaranya adalah:
rasionalisme, empirisme, determinisme, hipotesis dan pembuk-tian, asumsi, pengamatan, penelitian, dan lainnya (Lihat Denzin
dan Lincoln 1995).
Pendekatan saintifik biasanya menggunakan teori tertentu. dalam mengkaji fenomena alam, biologi, sosial, budaya, dan
lain-lainnya. Teori memiliki peran penting dalam pendekatan
ilmiah. Dengan teori seorang ilmuwan dibekali dasar-dasar
bagaimana mencari dan mengolah data--sehingga didapatkan kesimpulan yang absah. Teori menurut Marckward (1990:1302)
memiliki tujuh pengertian: (1) sebuah rancangan atau skema
pikiran, (2) prinsip dasar atau penerapan ilmu pengetahuan, (3) abstrak pengetahuan yang antonim dengan praktik, (4) rancangan
hipotesis untuk menangani berbagai fenomena, (5) hipotesis yang
mengarahkan seseorang, (6) dalam matematika adalah teorema yang menghadirkan pandangan sistematik dari beberapa subjek,
dan (7) ilmu pengetahuan tentang komposisi musik. Jadi dengan
demikian, teori berada dalam tataran ide orang, yang
kebenarannya secara empiris dan rasional telah diujicoba. Dalam dimensi waktu teori-teori dari semua disiplin ilmu terus
berkembang. Teori-teori yang dipergunakan dalam mengkaji tari,
musik, teater/pertunjukan, seni rupa, sastra, diambil dari berbagai disiplin atau dikembangan sendiri secara khas, seperti beberapa
contoh yang dikemukakan berikut ini.
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
49
2.3.1 Semiotika
Teori semiotika, menurut penulis adalah salah satu teori
yang menjadi penghubung erat antara ilmu linguistik dan sastra dengan ilmu-ilmu seni. Dalam sejarah perkembangan ilmu,
belum pernah ada teori yang dipakai begitu meluas di bidang
bahasa, sastra, dan seni seperti semiotika ini. Bahkan kini
semiotika pun dipakai untuk bidang disiplin arsitektur. Pendekatan seni salah satunya mengambil teori semiotika
dalam usaha untuk memahami bagaimana makna diciptakan dan
dikomunikasikan melalui sistem simbol yang membangun sebuah peristiwa seni. Dua tokoh perintis semiotika adalah Ferdinand de
Saussure seorang ahli bahasa dari Swiss dan Charles Sanders
Pierce, seorang filosof dari Amerika Serikat. Saussure melihat
bahasa sebagai sistem yang membuat lambang bahasa itu terdiri dari sebuah imaji bunyi (sound image) atau signifier yang
berhubungan dengan konsep (signified). Setiap bahasa
mempunyai lambang bunyi tersen-diri. Peirce juga menginterpretasikan bahasa sebagai sistem
lambang, tetapi terdiri dari tiga bagian yang saling berkaitan: (1)
representatum, (2) pengamat (interpretant), dan (3) objek. Dalam kajian kesenian berarti kita harus memperhitungkan peranan
seniman pelaku dan penonton sebagai pengamat dari
lambang-lambang dan usaha kita untuk memahami proses
pertunjukan atau proses penciptaan. Peirce membedakan lambang-lambang ke dalam tiga kategori: ikon, indeks, dan
simbol. Apabila lambang itu menyerupai yang dilambangkan
seperti foto, maka disebut ikon. Jika lambang itu menunjukkan akan adanya sesuatu seperti timbulnya asap akan diikuti api,
disebut indeks. Jika lambang tidak menyerupai yang
dilambangkan, seperti burung garuda melambangkan negara Republik Indonesia, maka disebut dengan simbol.
Dengan mengikuti pendekatan semiotika, maka dua pakar
pertunjukan budaya, Tadeuz Kowzan dan Patrice Pavis dari
Bab II: Teori dan Metode
50
Perancis, mengaplikasikannya dalam pertunjukan. Kowzan
menawarkan 13 sistem lambang dari sebuah pertunjukan teater--8 berkaitan langsung dengan pemain dan 5 berada di luarnya.
Ketiga belas lambang itu adalah: kata-kata, nada bicara, mimik,
gestur, gerak, make-up, gaya rambut, kostum, properti, setting, lighting, musik, dan efek suara.
Pavis menyusun daftar pertanyaan yang lebih lugas dan detil
untuk mengkaji sebuah pertunjukan. Pertanyaan- pertanyaannya
menekankan perlunya dijelaskan bagaimana makna dibangun dan mengapa demikian. Pertanyaan ini menekankan pentingnya
sebuah proses pertunjukan. Adapun pertanyaan-pertanyaan itu
adalah mencakup: (1) diskusi umum tentang pertunjukan, yang meliputi: (a) unsur-unsur apa yang mendukung pertunjukan, (b)
hubungan antara sistem-sistem pertunjukan, (c) koherensi dan
inkoherensi, (d) prinsip-prinsip estetis produksi, (e)
kendala-kendala apa yang dijumpai tentang produksi seni, apakah momennya kuat, lemah, atau membosankan; (2)
skenografi, yang meliputi: (a) bentuk ruang
pertunjukan--mencakup: arsitektur, gestural, keindahan, imitasi tata ruang, (b) hubungan. antara tempat penonton dengan
panggung pertunjukan, (c) sistem pewarnaan dan konotasinya.,
(d) prinsip-prinsip organisasi ruang yang meliputi hubungan antara on-stage dan off-stage dan keterkaitan antara ruang yang
diperlukan dengan gambaran panggung pada teks drama; (3)
sistem tata cahaya; (4) properti panggung: tipe, fungsi, hubungan
antara ruang dan para pemain; (5) kostum: bagaimana mereka mengadakannya serta bagaimana hubungan kostum antar pemain;
(6) pertunjukan (a) gaya individu atau konvensional, (b)
hubungan antara pemain dan kelompok, (c) hubungan antara. teks yang tertulis dengan yang dilakukan, antara pemain dan peran,
(d) kualitas gestur dan mimik, (e) bagaimana dialog
dikembangkan; (7) fungsi musik dan efek suara; (8) tahapan
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
51
pertunjukan: (a) tahap keseluruhan dan (b) tahap-tahap tertentu.
sebagai sistem tanda seperti tata cahaya, kostum, gestur, dan
lain-lain, tahap pertunjukan yang tetap atau berubah tiba-tiba; (9) interpretasi cerita dalam pertunjukan: (a) cerita apa yang akan
dipentaskan, (b) jenis dramaturgi apa yang dipilih, (c) apa yang
menjadi ambiguitas dalam pertunjukan dan poin-poin apa yang
dijelaskan, (d) bagaimana. struktur plot, (e) bagaimana cerita dikonstruksikan oleh para pemain dan bagaimana
pementasannya, (f) termasuk genre apakah teks dramanya; (10)
teks dalam pertunjukan: (a) terjemahan skenario, (b) peran yang diberikan. teks drama dalam produksi, (c) hubungan antara teks
dan imaji; (11) penonton: (a) di mana pertunjukan dilaksanakan,
(b) prakiraan penonton tentang apa yang akan terjadi dalam
pertunjukan, (c) bagaimana reaksi penonton, dan (d) peran penonton dalam konteks menginterpretasikan makna-makna; (12)
bagaimana mencatat produksi pertunjukan secara: (a) teknis dan
(b) imaji apa yang menjadi fokus; (13) apa yang tidak dapat diuraikan dari tanda-tanda pertunjukan: (a) apa yang tidak dapat
diinterpretasikan dari sebuah pertunjukan, (b) apa yang tidak
dapat direduksi tentang tanda dan makna pertunjukan (dan mengapa), (14) apakah ada masalah-masalah khusus yang perlu
dijelaskan serta berbagai komentar dan saran lebih lanjut untuk
melengkapi sejumlah pertanyaan dan memperbaiki produksi
pertunjukan. Dua tokoh perintis semiotika adalah Ferdinand de Saussure
seorang pakar bahasa dari Swiss--dan Charles Sanders Peirce,
seorang filosof dari Amerika Serikat. Saussure melihat bahasa sebagai sistem yang membuat lambang bahasa itu terdiri dari
sebuah imaji bunyi (sound image) atau signifier, yang
berhubungan dengan konsep (signified). Setiap bahasa mempunyai lambang bunyi tersendiri.
Menurut Encylopedia Brittanica (2007) pengertian
semiotika itu adalah seperti yang dijabarkan berikut ini.
Bab II: Teori dan Metode
52
Semiotic also called Semiology, the study of signs
and sign-using behaviour. It was defined by one of its founders, the Swiss linguist Ferdinand de Saussure, as
the study of “the life of signs within society.” Although
the word was used in this sense in the 17th century by the
English philosopher John Locke, the idea of semiotics as
an interdisciplinary mode for examining phenomena in
different fields emerged only in the late 19th and early
20th centuries with the independent work of Saussure
and of the American philosopher Charles Sanders Peirce.
Peirce's seminal work in the field was anchored in
pragmatism and logic. He defined a sign as “something
which stands to somebody for something,” and one of his
major contributions to semiotics was the categorization of signs into three main types: (1) an icon, which
resembles its referent (such as a road sign for falling
rocks); (2) an index, which is associated with its referent
(as smoke is a sign of fire); and (3) a symbol, which is
related to its referent only by convention (as with words
or traffic signals). Peirce also demonstrated that a sign
can never have a definite meaning, for the meaning must
be continuously qualified.
Saussure treated language as a sign-system, and his
work in linguistics has supplied the concepts and
methods that semioticians apply to sign-systems other than language. One such basic semiotic concept is
Saussure's distinction between the two inseparable
components of a sign: the signifier, which in language is
a set of speech sounds or marks on a page, and the
signified, which is the concept or idea behind the sign.
Saussure also distinguished parole, or actual individual
utterances, from langue, the underlying system of
conventions that makes such utterances understandable;
it is this underlying langue that most interests
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
53
semioticians.
This interest in the structure behind the use of
particular signs links semiotics with the methods of
structuralism (q.v.), which seeks to analyze these
relations. Saussure's theories are thus also considered
fundamental to structuralism (especially structural
linguistics) and to poststructuralism.
Modem semioticians have applied Peirce and
Saussure's principles to a variety of fields, including
aesthetics, anthropology, psychoanalysis, communi-
cations, and semantics. Among the most influential of these thinkers are the French scholars Claude Lévi-
Strauss, Jacques Lacan, Michel Foucault, Jacques
Derrida, Roland Barthes, and Julia Kristeva.
Semiotika atau semiologi adalah kajian teradap tanda-tanda
(sign) serta tanda-tanda yang digunakan dalam perilaku manusia. Definisi yang sama pula dikemukakan oleh salah seorang pendiri
teori semiotika, yaitu pakar linguistik dari Swiss Ferdinand de
Sausurre. Menurutnya semiotika adalah kajian mengenai “kehidupan tanda-tanda dengan masyarakat yang menggunakan
tanda-tanda itu.” Meskipun kata-kata ini telah dipergunakan oleh
filosof Inggris abad ke-17 yaitu John Locke, gagasan semiotika sebagai sebuah modus interdisiplin ilmu, dengan berbagai contoh
fenomena yang berbeda dalam berbagai lapangan studi, baru
muncul ke permukaan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-
20, ketika munculnya karya-karya Sausurre dan karya-karya seorang filosof Amerika Serikat, Charles Sanders Peirce.
Dalam karya awal Peirce di lapangan semiotika ini, ia
menumpukan perhatian kepada pragmatisme dan logika. Ia mendefinisikan tanda sebagai “sesuatu yang mendukung
seseorang untuk sesuatu yang lain.” Salah satu sumbangannya
yang besar bagi semiotika adalah pengkategoriannya mengenai
tanda-tanda ke dalam tiga tipe, yaitu: (a) ikon, yang disejajarkan
Bab II: Teori dan Metode
54
dengan referennya (misalnya jalan raya adalah tanda untuk
jatuhnya bebatuan); (b) indeks, yang disamakan dengan referennya (asap adalah tanda adanya api) dan (c) simbol, yang
berkaitan dengan referentnya dengan cara penemuan (seperti
dengan kata-kata atau signal trafik). Peirce juga menginterpretasikan bahasa sebagai sistem
lambang, tetapi terdiri dari tiga bagian yang saling berkaitan: (1)
representatum, (2) pengamat (interpretant), dan (3) objek.
Dalam kajian kesenian, berarti kita harus memperhitungkan peranan seniman pelaku dan penonton sebagai pengamat dari
lambang-lambang dan usaha kita untuk memahami proses
pertunjukan atau proses penciptaan. Peirce membedakan lambang-lambang ke dalam tiga kategori: ikon, indeks, dan
simbol. Apabila lambang itu menyerupai yang dilambangkan
seperti foto, maka disebut ikon. Jika lambang itu menunjukkan
akan adanya sesuatu seperti timbulnya asap akan diikuti api, disebut indeks. Jika lambang tidak menyerupai yang
dilambangkan, seperti burung garuda melambangkan negara
Republik Indonesia, atau harimau melambangkan negara Malaysia, maka disebut dengan simbol atau lambang.
Secara saintifik, istilah semiotika berasal dari perkataan
Yunani semeion. Panuti Sudjiman dan van Zoest (1992) menyatakan bahwa semiotika berarti tanda atau isyarat dalam
satu sistem lambang yang lebih besar. Manakala bidang
pragmatik mengkaji kesan penggunaan lambang terhadap proses
komunikasi. Dengan menggunakan pendekatan semiotika, seseorang boleh menganalisis makna yang tersurat dan tersirat di
balik penggunaan lambang dalam kehidupan manusia sehari-hari.
Semiotika dapat menjelaskan persoalan yang berkaitan dengan lambang, termasuk: penggunaan lambang, isi pesan, dan cara
penyampaiannya (Berlo 1960:54). Dalam semiotika terdapat
hubungan tiga segi antara lambang, objek dan makna (Eco 1979:
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
55
15; Littlejohn 1992:64; Manning 1987:26; Barthes 1967:79).
Lambang itu mewakili objek yang dilambangkan. Penerima yang
menghubungkan lambang dengan objek dan makna, disebut interpretan, yang berfungsi sebagai perantara antara lambang
dengan objek yang dilambangkan. Oleh karena itu, makna
lambang hanya terwujud dalam pikiran interpretan, selepas saja
interpretan menghubungkan lambang dengan objek. Berdasarkan kepada diagram 2.1 berikut, yaitu segitiga
Makna Ogden & Richards (1923) maka dapat dikaji bahwa tidak
ada hubungan secara langsung antara lambang atau isyarat dengan objek yang menjadi rujukan. Hubungan tak langsung ini
digambarkan oleh garis terputus-putus antara lambang atau
isyarat dengan objek. Garis penghubung antara pemikiran
dengan lambang-lambang dan pemikiran dengan objek yang dirujuk adalah secara terus dan langsung. Hubungan ini
menunjukkan bahwa pemikiran seseorang akan menginterpretasi
makna lambang dengan objek atau peristiwa yang dirujuk. Ini bermakna bahwa pikiran seseorang mengkonseptualisasikan
sesuatu objek yang dirujuk berdasarkan rupa bentuk lambang
atau isyarat tertentu. Karena itu wujudlah hubungan secara tidak langsung antara lambang dengan objek walaupun pada
kenyataannya hubungan itu tidak mutlak.
Hubungan antara pemikiran, lambang, dan objek yang
dirujuk itu akan menghasilkan makna (Littlejohn 1992). Oleh karena itu, hubungan lambang dengan objek bersifat arbitrer
(Supardy 1990:29). Pengertian terhadap sesuatu lambang juga
berubah-ubah dari masa ke masa menurut keadaan dan kehendak masyarakat.
Makna digunakan untuk menyampaikan sesuatu pesan.
Pemancaran makna dan pesan itu melibatkan semua bentuk perlakukan dan konteks kewujudannya (Innis 1985:vii) baik
dalam bentuk bahasa ataupun perbuatan, atau kedua-duanya
sekaligus (Cherry 1957: 109-111). Pengirim akan memilih
Bab II: Teori dan Metode
56
lambang-lambang tertentu dan disusun secara sistematik untuk
mewujudkan makna tertentu (Berlo 1960:269). Oleh karena pengirim bebas memilih lambang-lambang yang hendak
digunakan, maka makna adalah bersifat subjektif. Oleh karena
itu, hubungan antara lambang dengan objek yang dilambangkan adalah berdasarkan imajinasi suatu objek (Littlejohn 1992:64).
Pikiran penerima harus menafsir (Blumer 1962:2; Barthes
1967:44) lambang yang digunakan oleh pengrim pesan.
Penafsiran penerima terhadap makna lambang adalah tergantung kepada situasi dan juga konteks (Eco 1979:15). Dalam hal ini
cara pengirim menggunakan lambang sangat penting untuk
merangsang fikiran penerima bagi mengkonseptualisasikan objek (Elam 1983:1; Anderson 1988:16; Panuti Sudjiman dan van
Zoest 1992:27).
Rangsangan itu juga sangat penting karena lambang
mempunyai makna yang versatil yaitu lambang bisa membawa makna konotatif pada suatu rasa, dan pada masa dan ruang yang
lain dapat membawa makna denotatif bergantung kepada
konteksnya.
Diagram 2.1
Segi Tiga Makna dari Ogden dan Richard (1923) Sumber: Theories of Human Communiction oleh Stephen
Littlejohn, 1992:64, juga Zaleha Abu Hasan 1996: 57)
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
57
Menurut Morris (1946), dalam proses perlambangan,
lambang mempunyai nilai tertentu seperti pergantungan
(dependence), keterpisahan (detachment), dan keunggulan (dalam Littlejohn 1992:66). Nilai ini menunjukkan bahwa sistem
lambang bersifat mempengaruhi dan dipengaruhi. Ada lambang
yang dipengaruhi oleh lambang lain untuk membolehkannya
berfungsi. Lambang yang mempengaruhi dikatakan sebagai lambang yang dominan atau unggul. Lambang yang dipengaruhi
mempunyai nilai pergantungan, karena terpaksa bergantung
kepada lambang lain. Selain itu ada pula lambang yang dapat berdiri sendiri untuk menghasilkan makna. Berdasarkan nilai dan
fungsinya dalam komunikasi, lambang merupakan gambaran
perasaan dan perlakuan. Misalnya lambang bisa bermaksud
kumpulan orang, peristiwa luar biasa, pertanda kurang baik atau alamat yang baik (Schramm & Potter 1992: 74).
Echo (1976) memberikan empat cara manusia menggunakan
lambang. Pertama, melalui cara pengakuan yaitu menggunakan konteks untuk menyatakan sesuatu maksud. Kedua menunjukkan
peralatan sebenar. Ketiga melalui replika yaitu menggabungkan
lambang bahasa dengan lambang lain. Akhir sekali, keempat melalui ciptaan sesuatu yang baru seperti lukisan. Cara pertama
dan ketiga boleh memandu fikiran penerima untuk
menghubungkan lambang dengan objek yang dirujuk berdasarkan
mutu persamaan yang wujud pada cara perlambangan. Umumnya lambang mempunyai makna. Makna itu
merupakan lambangan sesuatu objek yang dilambangkan. Makna
yang ada pada sesuatu lambang tidak mutlak. Untuk memancarkan makna, sesuatu unit lambang tidak boleh berdiri
sendiri. Unit lambang itu harus berada dalam sistem yang
merupakan gabungan pelbagai lambang karena biasanya pesan hanya dapat digambarkan melalui kombinasi beberapa lambang
yang lebih kompleks (Langer 1942).
Bab II: Teori dan Metode
58
Hubungan antara lambang dengan makna dalam sesuatu
sistem adalah arbitrer karena lambang tidak mempunyai makna yang tetap (Berlo 1960:54); Scramm & Porter 1992:79). Suatu
lambang boleh berubah makna berdasarkan situasi dan konteks
tanpa menukar lambang dalam sesuatu sistem itu. Yang berubah hanyalah cara lambang digunakan. Bagaimanapun satu set
lambang tidak dapat menyampaikan semua informasi yang
diinginkan. Oleh karena itu, beberapa lambang lain seperti
perlakukan akan disatukan untuk menjadi unit yang lebih besar. Seterusnya unit-unit yang besar ini akan dikombinasikan untuk
menjadi sistem yang lebih besar. Setiap set pengucapan
merupakan kombinasi dari unit-unit lambang (Leach 1976:33). Makna sebenamya yang tersembunyi hanya dapat dilihat dalam
konteks yang menyeluruh. Kombinasi sistem lambang yang
kompleks dan pelbagai ini membolehkan pengirimnya
menyampaikan banyak pesan pada saat-saat tertentu. Sebagai suatu pendekatan, semiotika melihat sesebuah karya
sebagai satu sistem, yang berurusan dengan hal teknis dan
mekanisme penciptaan--di samping mengkhususkan kepada sudut ekspresi dan komunikasi (Mana Sikana 1990:20). Unsur-unsur
komunikasi itu mungkin dalam bentuk lisan atau bukan lisan.
Gabungan dan pertautan antara unit-unit kecil itu akan menghasilkan makna dan pesan tertentu.
2.3.1.1 Semiotika dalam Musik
Semiotika dipakai dalam berbagai disiplin ilmu, demikian juga dalam musikologi. Dalam konteks tulisan ini, teori
semiotika dalam musikologi yang penulis gunakan adalah dari
tulisan Martinez yang bertajuk “A Semiotis Theory of Music: According to a Peircean Rationale.” Ia menyatakan secara tegas
aspek komunikasi dalam musik seperti yang diuraikan berikut ini.
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
59
Perkembangan terakhir mengenai terapan teori umum Peirce
mengenai tanda (signs) pada musik, seperti yang dilakukan oleh
David Lidov (1986), Robert Hatten (1994) dan William Dougherty (1993 dan 1994), memperlihatkan bahwa pendekatan
ini mencakup baik itu konteks musikal maupun semiotika, yang
memusatkan perhatian pada kekuatan pertanyaan mengenai
pentingnya peristiwa yang membangun aspek musikal. Martinez dalam tulisan ini menghadirkan struktur teori semiotika musik,
sebagaimana yang dilakukan-nya dalam disertasi doktoralnya
yang bertemakan semiotika dalam musik Hindustani, yang diajukannya kepada University of Helsinski tahun 1997.
Peirce dalam kajian-kajian semiotikanya, memasukkan
berbagai pemikiran yang hanya mungkin terwujud dengan
mengkaji makna-makna tanda. Musik adalah salah satu bahagian dari pemikiran manusia, bahwa ide mengenai musik adalah
berupa tanda-tanda yang tergantung kepada proses-proses
signifikatif atau semiosis. Sebuah tanda musikal dapat berupa satu sistem, satu komposisi atau pertunjukan, satu bentuk
musikal, satu gaya, seorang komposer, seorang pemusik, alat-alat
musik dan seterusnya. Menurut pendapat Peirce, semiotika melibatkan hubungan triadik antara tanda, objek, dan interpretan,
yang dalam konteks musik tanda-tanda lainnya dibangun oleh
pikiran pendengar (penonton), pemusik, komposer, analis, dan
pengkritik. Di dalam sistem klasifikasi saintifik yang ditawarkan Peirce,
semiotika (atau semeiotik) memiliki tiga cabang, yaitu: (a)
grammar spekulatif, (b) kritik, dan (c) metodeutik (atau retorik spekulatif). Selaras dengan pendapat Nathan Houser, para
ilmuwan yang mengkaji gramar spekulatif biasanya melalui
pendekatan tanda-tanda intrinsik yang sifatnya alamiah dan semiosis. Para ilmuwan ini menjelaskan hubungan-hubungan
antara tanda-tanda, korelasi tiap bahagian dalam semiosis, tanda
trikotomi yang diajukan Peirce, dan sepuluh atau yang lebih luas
Bab II: Teori dan Metode
60
enam puluh enam klasifikasi tanda. Studi kritik biasanya
memusatkan perhatian kepada tanda-tanda dan hubungannya dengan objek. Lebih khusus lagi adalah kondisi pelbagai
referensi tanda dan hubungannya dengan signified object.
Konsekuensinya, studi kritik dalam teori semiotika ini adalah untuk mendapatkan kebenaran, yang dipandu oleh pemikiran
manusia yang logis. Atau melalui tiga jenis argumentasi yaitu:
abduksi, induksi, dan deduksi. Studi metodeutik mengenai tanda-
tanda adalah bagaimana melihat hubungan antara para interpretan. Dalam kaitan ini, semiosis memfokuskan kajian
pada tingkatan interpretan, dan bagaimana interpretan itu sendiri
dapat menafsirkan tanda-tanda selama terjadinya proses semiotika (Houser 1990:210-211).
Peirce membagi semiotika yang bersifat formal ke dalam
tiga wilayah kajian. Sementara kajian musikal juga dapat
diketahui melalui tiga lapangan yang saling berkaitan, yang memperhatikan aspek: (a) kondisi umum tanda-tanda, sebagai
unsur intrinsik semiosis, atau kajian tanda-tanda dan sistem
intemal yang saling berhubungan; (b) teori kondisi umum kerangkan simbol dan tanda-tanda lain dalam melihat objek, yang
dianggap sebagai hubungan antara tanda-tanda dan objek-
objeknya, dan (c) kondisi transmisi makna oleh tanda-tanda dari satu pikiran ke pikiran lain, atau dari seseorang ke orang lain,
yang boleh disebut juga sebagai hubungan antara tanda-tanda
kepada para interpretan, interpreter, dan sistem interpretasi.
Dalam tingkatan mikrokospik, pembagian yang sama juga dilakukan oleh teori semiotikanya Peirce, yaitu: (a) tanda itu
sendiri, (b) tanda dan hubungannya dengan objek-objek yang
mungkin, dan (c) tanda yang berhubungan dengan interpretan yang mungkin.
Sesuai dengan jalan pikiran di atas, Martinez menawarkan
tiga lapangan kajian yang saling berhubungan dalam semiotika
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
61
musik. Pertama adalah semiotika intrinsik musik, atau studi
mengenai tanda-tanda musik itu sendiri, yang memfokuskan
perhatian kepada bahagian intemal musik. Semiotika intrinsik musik ini terdiri dari aspek-aspek kualitas musikal, aktualisasi
karya-karya musik, dan pengorganisasian dalam musik yang
dipandang sebagai sistem-sistem musikal. Kedua adalah
referensi musikal, atau studi tanda-tanda musik dan hubungannya dengan objek-objek yang mungkin, yang memfokuskan perhatian
kepada signifikasi musik dengan objek-objek klasifikasi yang
lebih luas. Ketiga, interpretasi musikal, atau kajian tanda-tanda musikal yang berhubungan dengan pelbagai interpretannya, yang
memfokuskan perhatian kepada aksi tanda-tanda musikal dalam
pikiran manusia yang menerimanya atau lebih jauh dari itu. Isu-
isu interpretasi musik dapat dibagi lagi kepada tiga sub kajian, yaitu: (a) persepsi musik, (b) pertunjukan musik, dan (c)
intelektualisasi musik yang mencakup analisis, kritik, pengajaran,
pembuatan teori musik, semiotika musik, dan komposisi. Memandang kerangka teoretis tersebut di atas, Martinez
mendiskusikan beberapa kemungkinan untuk menganalisis
musik. Lapangan kajian semiotika musik intrinsik, dalam langkah pertama adalah kualitas musikal atau kualitas tanda.
Misalnya berbagai variasi suara vokal manusia dalam berbagai
budaya di dunia memperlihatkan pelbagai kualitas musik. Ada
perbedaan antara aktivitas musik pada vokal yang dipersembahkan masyarakat Inuit dalam konteks permainan bel
canto, musik Hindustani yang disebut khayal, nyanyian pada
teater no di Jepang, dan nyanyian para penyanyi griot Afrika. Setiap aktivitas musik yang dilatarbelakangi budayanya ini
memiliki kualitas dan makna-makna musikal tersendiri. Kualitas
ini tidak saja mencakup wama bunyi (timbral), ritme atau melodi, tetapi juga mencakup kualitas makna musikal.
Kajian referensi musikal menyangkut aspek hubungan antara
tanda dan objek, yang memperjelas kapasitas representasi
Bab II: Teori dan Metode
62
musikal, yang dapat ditandai sebagai objek-objek akustik atau
bukan akustik. Terdapat beberapa makna musik. Salah satu yang fundamental adalah bahwa tanda dan objek menghadirkan sebuah
keterhubungan identitas, bahwa tanda musikal adalah mumi
sebagai sebuah ikon. Bagaimanapun, musik memiliki kapasistas tanda. Beberapa ahli estetika musik, seperti Eduard Hanslick
(1989:61) dan para komposer seperti Pierre Boulez (1986:32),
John Cage (1961:96), dan Kostelanetz 1988:200),
mengemukakan bahwa estetika musik itu sangat bergantung kepada modus signifikasi. Sehingga ide musik mumi atau musik
absolut tak mungkin terwujud dalam membicarakan musik dalam
kebudayaan. Setiap tradisi musik di dunia ini memiliki asas dan konsepsi estetika yang berlainan.
Pentingnya mengkaji berbagai tanda ikonik dalam musik.
Peirce membagi tanda-tanda ikonik dalam pelbagai imej, diagram
dan metafor. Imaji adalah ikon yang menghadirkan karakter objek. Contoh musikal ikonik adalah mulai dari suara burung
sampai kepada musik sesungguhnya. Dalam analisis semiotika
ini, purlu pula bagi para pengkajinya memperhatikan pada aspek metafora. Musik adalah bidang semiotika yang kompleks, yang
dapat dikaji melalui berbagai titik pandang.
2.3.1.2 Semiotika dalam Seni Pertunjukan
Semiotika juga selalu dipergunakan oleh para ilmuwan seni
dan budaya di dalam pengkajian teater atau seni pertunjukan.
Teater itu sendiri merupakan wahana komunikasi yang begitu kompleks, karena ia melibatkan hubungan antara para pelakon
dengan khalayak penonton. Proses menghasilkan makna dalam
teater ini tertakluk sepenuhnya kepada sistem-sistem tertentu yang biasanya akan melibatkan gabungan dari pelbagai
lambang lisan dan lambang bukan lisan. Sistem ini akan
memperbolehkan orang ramai menafsirkan fenomena yag terjadi.
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
63
Teater merupakan wahana komunikasi yang kompleks
karena ia melibatkan hubungan antara para pelakon dengan
khalayak. Proses menghasilkan makna dalam teater, menurut kepada sistem tertentu yang melibatkan gabungan lambang lisan
dan lambang bukan lisan. Sistem itu penting untuk
membolehkan khalayak menginterpretasi fenomena yang
dipaparkan. Oleh karena seni pertunjukan merupakan media yang
unidimen-sional, satu-satu unit lambang itu tidak boleh berdiri
dengan sendirinya untuk menggambarkan sesuatu pesan. Ia harus dilihat sebagai satu gabungan yang menyeluruh dengan lambang-
lambang lain dalam konteks tertentu. Misalnya gerak isyarat,
mimik muka, dan bahasa digabung dan digunakan serentak untuk
menampakkan sesuatu makna secara keseluruhan. Satu lagi contoh ialah penggunaan keris. Bagi masyarakat Melayu, keris
bukan saja merupakan senjata untuk mempertahankan diri, tetapi
juga melambangkan kekuatan dan kuasa. Jikalau diselitkan di pinggang, keris itu boleh ditafsirkan sebagai lambang kegagahan
karena gambaran pakaian seorang wira Melayu dalam masyarakat
Melayu tradisional tidak lengkap jikalau tidak ada keris di pinggang. Pemancaran makna keris itu adalah tergantung kepada
cara ia digunakan. Kajian yang menggunakan pendekatan
semiotika mengupas segala unsur simbolik yang terdapat dalam
sesebuah karya. Dalam hal yang berkaitan dengan keris itu, bukan saja cara pemakaiannya, tetapi rupa bentuknya juga
berkaitan dengan kepercayaan dalam masyarakat Melayu.
Mukarovsky (1975) telah memulai kajian semiotika dalam teater (Elam 1983). Bagi Mukarovsky sesebuah teks pertunjukan
merupakan lambang makro yang maknanya hanya dapat difahami
dalam rentetan lambang-ambang lain secara keseluruhan. Dalam teater, lambang atau isyarat memberikan makna yang simbolik.
Oleh karena semua yang terdapat di atas pentas merupakan
lambang (Jiri Veltrusky, dipetik dalam Elam 1983:7), maka
Bab II: Teori dan Metode
64
segala objek dan perlakuan pelakon di atas pentas harus
mempunyai hubungan dengan objek yang dimaksudkan. Ini bermakna, lambang non-literal harus dapat berfungsi seperti yang
literal supaya khalayak mampu menafsirkan pesan yang
disampaikan. Sesuatu objek mungkin boleh diwakili oleh penggunaan beberapa lambang jika lambang-lambang itu mampu
menunjukkan kehadiran objek tersebut (Brusak dipetik dalam
Elam 1983:9). Misalnya, lambang-lambang yang dihasilkan
melalui pergerakan anggota badan boleh menukarkan seorang pelakon atau penari menjadi benda lain seperti seekor burung
garuda yang sedang terbang, sebuah pohon yang bergoyang
ataupun seekor gajah yang garang. Disebabkan makna sesuatu lambang tidak sama bagi semua orang, maka terpulang kepada
kreativitas pihak sumber untuk memilih lambang yang sesuai
untuk menonjolkan pesan yang dikehendaki.
Sifat lambang yang arbitrer menyebabkan penggunaannya dalam teater bebas dan tidak terbatas. Sejauh mana penggunaan
lambang-lambang dapat menjelaskan makna sebenarnya
berantung kepada konvensi semantik yang terdapat dalam lambang-lambang yang dipilih. Makna lambang-lambang
ditentukan oleh cara perlambangan. Jika lambang yang
digunakan jelas hubungannya dengan objek yang diwakilinya, maka jelas makna yang dimaksudkan. Sebaliknya jika hubungan
lambang dengan objek atau rujukan tidak jelas, maka akan
menjadi kabur. Oleh karena itu, setiap aspek pertunjukan dalam
teater seperti setting, perlakuan dan pertuturan pelakon saling bergantungan untuk menyumbang kepada pemaparan makna.
Menurut Elam (1983) tidak ada hubungan yang mutlak
antara sesuatu lambang dengan apa yang dilambangkan, karena lambang itu merupakan sesuatu yang dinamik. Pada prinsipnya
lambang-lambang yang digunakan di atas pentas boleh digunakan
untuk mewakili fenomena apa saja. Misalnya, adegan yang
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
65
dramatik tidak semestinya digambarkan melalui ruang, seni
bangunan ataupun gambar, tetapi boleh ditunjukkan dengan gerak
isyarat (seperti mimos), lisan, dan juga kesan bunyi. Makna juga dikaitkan dengan konteks. Sesuatu lambang akan memberikan
makna yang lain dalam konteks yang berbeda. Misalnya gerak
tari yang meniru gaya burung terbang boleh melambangkan
seekor burung. Dalam konteks yang lain gerak itu melambangkan kebebasan. Dalam shamanisme, gerak itu
dikaitkan dengan air dan jiwa atau ruh yang hilang (Danaan
1985:50). Dengan kata lain, gerak yang menggambarkan seekor burung, mempunyai makna berlainan dalam konteks yang
berbeda. Pentas lazimnya merupakan lambang ruang alam.
Begitu juga dengan pedang yang selalu digunakan dalam cerita-
cerita klasik Inggris lazimnya dipergunakan untuk menentang musuh. Pada masa yang lain boleh digunakan sebagai pengayuh
perahu, dengan hanya menukar cara memegangnya. Sifat arbitrer
lambang membenarkan pelbagai sistem lambang dikombinasikan untuk memberikan gambaran yang hampir serupa dengan objek
atau pesan yang dimaksud.
Dalam teater, lambang bukan lisan itu terdapat dalam sistem-sistem lambang yang mencakup ciri-ciri fisik, mimik
muka, gerak-gerik, sentuhan, artifak, alam sekitar, serta
penggunaan ruang dan masa. Semua ciri ini terdapat dalam
tarian. Ini menjadikan tarian sebagai lambang yang penting dalam teater. Selain untuk menarik perhatian khalayak, tarian
juga digunakan untuk menyampaikan pesan, karena tarian
merupakan himpunan lambang-lambang komunikasi yang kompleks (Hanna 1979:26). Menurut pendapat Hanna, semua
tarian mempunyai tujuan. Sekurang-kurangnya tarian berupa
hasil pergerakan yang melahirkan gagasan tertentu dengan menggunakan anggota badan sebagai mediumnya. Bagi Hanna
(1979:25-26) tarian itu boleh mengatasi kemampuan media
audio-visual dalam menyampaikan informasi kepada khalayak.
Bab II: Teori dan Metode
66
De Danaan (1985) yang mengkaji tarian Menghadap Rebab
dalam kebudayaan Melayu, mendapati gerak tari dan lirik dalam lagu tersebut saling melengkapi. Lambang-lambang gerak tari
dalam menghadap rebab menggambarkan “beberapa perenggan”
penyataan. Integrasi lirik lagu dan gerak tarinya menghasilkan satu penyataan yang lengkap karena lirik menggambarkan
pergerakan dan seterusnya pergerakan menampakkan makna
pada lirik. Menurut Danaan (1985) hubungan antara lirik dengan
pergerakan dalam tarian Menghadap Rebab sangat rapat. Sukar bagi seseorang untuk memahami pesan dalam tarian tersebut jika
tidak meneliti gerak tarian dan lirik lagunya.
Tarian dalam teater tidak semestinya diiringi oleh nyanyian atau sebaliknya. Ada kalanya dalam tempat tertentu, hanya tarian
digunakan untuk menyatakan sesuatu. Dalam hal ini pergerakan
ekspresif dalam tarian itu digunakan sepenuhnya sebagai
medium komunikasi. Pergerakan bukan saja menampakkan nilai estetika, tetapi juga membawa pesan tertentu sebagai
menggantikan perkataan (Russel 1958:21; Wigman 1966:10;
Hanna 1979:25; dan Laban 1988:85). Semiotika juga senantiasa dipergunakan dalam mengkaji
lagu dan tari. Dengan menuruti pendekatan semiotika, maka dua
pakar pertunjukan budaya, Tadeuz Kowzan dan Patrice Pavis dari Perancis, mengaplikasikannya dalam pertunjukan. Kowzan
menawarkan 13 sistem lambang dari sebuah pertunjukan teater--8
berkaitan langsung dengan pemain dan 5 berada di luamya.
Ketiga belas lambang itu adalah: kata-kata, nada bicara, mimik, gestur, gerak, make-up, gaya rambut, kostum, properti, setting,
lighting, musik, dan efek suara. Demikian sekilas teori semiotika
dalam berbagai disiplin ilmu.
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
67
2.3.2 Teori Fungsionalisme
Untuk mengkaji sejauh apa fungsi komunikasi dalam seni
pertunjukan, serta bagaimana fungsi lagu dan tari dalam masyarakat Melayu Sumatera Utara, penyelidik menggunakan
teori fungsionalisme. Mengiku Lorimer et al., teori
fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan
pada ilmu sosial, yang menekankan pada saling ketergantungan antara institusi-institusi dan kebiasaan-kebiasaan pada
masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana
susunan sosial didukung oleh fungsi-institusi-institusi seperti: negara, agama, keluarga, aliran dan pasar terwujud. Sebagai
contoh, pada masyarakat yang kompleks seperti Amerika
Serikat, agama dan keluarga mendukung nilai-nilai yang
difungsikan untuk mendukung kegiatan politik demokrasi dan ekonomi pasar. Dalam masyarakat yang lebih sederhana,
masyarakat tribal, partisipasi dalam upacara keagamaan
berfungsi untuk mendukung solidaritas sosial di antara kelompok-kelompok manusia yang berhubungan kekerabatannya.
Meskipun teori ini menjadi dasar bagi para penulis Eropa abad
ke-19, khususnya Emile Durkheim, fungsionalisme secara nyata berkembang sebagai sebuah teori yang mengagumkan
sejak dipergunakan oleh Talcott Parsons dan Robert Merton
tahun 1950-an. Teori ini sangat berpengaruh kepada para pakar
sosiologi Anglo-Amerika dalam dekade 1970-an. Bronislaw Malinowski dan A.R. Radcliffe-Brown, mengembangkan teori
ini di bidang antropologi, dengan memusatkan perhatian pada
masyarakat bukan Barat. Sejak dekade 1970-an, teori fungsionalisme dipergunakan pula untuk mengkaji dinamika
konflik sosial (Lorimer et al. 1991-112-113).
Dalam bidang komunikasi, ada beberapa pakar yang mengemukakan pendapatnya mengenai fungsi komunikasi.
Fungsi komunikasi memperlihatkan arus gerakan yang seiring
dengan masyarakat atau individu. Komunikasi berfungsi
Bab II: Teori dan Metode
68
menurut keperluan pengguna atau individu yang berinteraksi.
Lantaran itu fungsi komunikasi boleh dikaitkan dengan ekspresi (emosi), arahan, rujukan, puitis, fatik dan metalinguitik yang
berkaitan dengan bahasa (Ajid Che Kob 1991:16). Secara umum
fungsi komunikasi terdiri dari empat kategori utama yaitu: (1) fungsi memberitahu, (2) fungsi mendidik, (3) memujuk khalayak
mengubah pandangan dan (4) untuk menghibur orang lain.
Fungsi untuk memberi tahu, artinya adalah melalui
komunikasi berbagai konsep atau gagasan diberitahukan kepada orang lain (penerima komunikasi), dan penerima ini
menerimanya, yang kemudian dampaknya ia tahu tentang
gagasan yang dikomunikasikan tersebut. Akhirya isi komunikasi itu akan dibalas oleh penerima, boleh jadi dalam bentuk perilaku,
respons, dan lainnya. Pemberitahuan ini sangat penting dalam
konteks sosial kemasyarakatan. Misalnya orang yang diberitahu
bahwa salah seorang warganya meninggal dunia, melalui saluran komunikasi, seperti dalam bentuk lisan atau bukan lisan seperti
bunyi bedug dengan pukulan dan irama tertentu, atau lambang-
lambang, seperti bendera merah atau hijau di depan rumah, dan lainnya. Akibatnya penerima komunikasi akan menafsir pesan
komunikasi dalam bentuk lisan dan bukan lisan tadi, kemudian
datang bertakziah ke tempat warganya yang meninggal dunia. Fungsi komunikasi lainnya adalah mendidik. Artinya adalah
bahwa komunikasi berperan dalam konteks pendidikan manusia.
Komunikasi menjadi saluran ilmu dari seseorang kepada orang
lainnya. Ilmu pengetahuan dipindahkan dari sesorang yang tahu kepada orang yang belum tahu. Berkat terjadinya komunikasi
maka kelestarian kebudayaan akan terus berlanjut antara generasi
ke generasi, dan dampak akhimya masyarakat itu cerdas dan dapat mengelola alam melalui ilmu pengetahuan.
Komunikasi juga berfungsi untuk mengubah pandangan
manusia atau memujuk khlayak untuk merubah pandangannya.
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
69
Melalui komunikasi, pandangan seseorang atau masyarakat boleh
diubah, dari satu pandangan ke pandangan lain. Apakah
pandangan yang lebih baik atau lebih buruk menurut stadar norma-norma sosial. Dalam konteks bernegara misalnya,
pandangan yang tak sesuai dengan ideologi negara akan boleh
dipujuk untuk menuruti ideologi yang sesuai dengan negara.
Dalam konteks ini umumnya suatu kabinet di dalam negara, membentuk departemen komunikasi, informasi, atau penerangan.
Tujuan utamanya adalah memujuk masyarakat bangsa itu untuk
menurut ideologi dan program-program pembangunan yang dianut dan dilaksanaka oleh pemerintah.
Fungsi komunikasi lainnya adalah menghibur orang lain.
Maksudnya adalah bahwa melalui komunikasi seorang
penyampai atau sumber komunikasi akan menghibur orang lain sebagai penerima komunikasi, yang memang dalam konteks
sosial diperlukan. Fungsi komunikasi sebagai sarana hiburan ini
akan dapat membantu seseorang atau sekumpulan orang terhibur dari beban sosial budaya yang dialaminya. Hiburan ini dapat
berupa rasa simpati sumber kepada penerima. Bentuknya boleh
saja seperti ungkapan verbal turut merasakan apa yang dirasakan penerima komunikasi, atau juga seperti bernyanyi, bermain
musik, melucu dan lain-lainnya. Dengan demikian, melalui
komunikasi terjadi hiburan, yang juga melegakan diri dari
himpitan dan tekanan sosial. Teori fungsionalisme dalam ilmu antopologi mulai
dikembangkan oleh seorang pakar yang sangat penting dalam
sejarah teori antropologi, yaitu Bronislaw Malinowski (1884-1942). Ia lahir di Cracow, Polandia, sebagai putera keluarga
bangsawan Polandia. Ayahnya seorang guru besar dalam ilmu
sastra Slavik. Jadi tiadalah menghairankan apabila Malinowski memperoleh pendidikan yang kelak memberikannya suatu karir
akademik juga. Tahun 1908 ia lulus dari Fakultas Ilmu Pasti dan
Alam dari Universitas Cracow. Yang menarik, selama studinya ia
Bab II: Teori dan Metode
70
gemar membaca buku mengenai folklor dan dongeng-dongeng
rakyat, sehingga ia menjadi tertarik kepada ilmu psikologi. Ia kemudian belajar psikologi kepada Profesor W. Wundt, di
Leipzig, Jerman.
Perhatiannya terhadap folklor menyebabkan ia membaca buku J.G. Frazer, bertajuk The Golden Bough, mengenai ilmu
ghaib, yang menyebabkan ia menjadi tertarik kepada ilmu
etnologi. Ia melanjutkan belajar ke London School of
Economics, tetapi karena di Perguruan Tinggi itu tak ada ilmu folklor atau etnologi, maka ia memilih ilmu yang paling dekat
kepada keduanya, yaitu ilmu sosiologi empiris. Gurunya ahli
etnologi, yaitu C.G. Seligman. Tahun 1916 ia mendapat gelar doktor dalam ilmu itu, dengan menyerahkan dua buah karangan
sebagai ganti disertasi, yaitu The Family among the Australian
Aborigines (1913) dan The Native of Mailu (1913). Kemudian
ia berangkat ke Pulau Trobiand di utara Kepulaun Massim, sebelah tenggara Papua Nugini, untuk melakukan penelitian
tahun 1914. Sehabis perang dunia pertama pada tahun 1918, ia
pergi ke Inggeris karena mendapat pekerjaan sebagai asisten ahli di London School of Economics.
Ia mulai mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk
menganalisis fungsi dari kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori fungsional tetang kebudayaan, atau a functiol theory
of culture. Ia kemudian mengambil keputusan untuk menetap di
Amerika Serikat, ketika ia ditawari untuk menjadi guru besar
antropologi di University Yale tahun 1942. Sayang tahun itu juga ia meninggal dunia. Buku mengenai teori fungsional yang baru
yang telah ditulisnya, diredaksi oleh muridnya H. Caims dan
menerbitkannya dua tahun selepas itu (Malinowski 1944). Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode
etnografi berinteraksi secara fungsional yang dikembang-kannya
dalam syarahan-syarahannya. Isinya adalah tentang metode-
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
71
metode penelitian lapangan. Dalam masa penulisan ketiga buku
etnografi mengenai kebudayaan Trobiand selanjutnya,
menyebabkan konsepnya mengenai fungsi sosial adat, perilaku manusia, dan pranata-pranata sosial, menjadi lebih mantap. Ia
membedakan fungsi sosial dalam tiga tingkat abstraksi (Kaberry
1957:82), yaitu: (a) fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial
atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya terhadap adat, perilaku manusia dan
pranata sosial yang lain dalam masyarakat; (b) fungsi sosial dari
suatu adat, pranata sosial atau usur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya terhadap
keperluan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai
maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat
yang terlibat; (c) fungsi sosial dari suau adat atau pranata sosial pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya
terhadap keperluan mutlak untuk berlangsungnya secara
terintegrasi dari suatu sistem sosial tertentu. Malinowski juga mengemukakan teori fungsional tentang
kebudayaan. Kegemaran Malinowski terhaap ilmu psikologi juga
tampak ketika ia mengujungi University Yale di Amerika Serikat selama setahun, pada tahun 1935. Di sana ia berteu dengan ahli-
ahli psikologi seperti J. Dollard, yag ketika itu sedang
mengembangkan serangkaian penelitian mengenai proses belajar.
Menurut sarjana psikologi dari Yale itu, asas dari proses belajar adalah tidak lain dari ulangan-ulangan dari reaksi-reaksi suatu
organisme terhadap gejala-gejala dari luar dirinya, yang terjadi
sedemikian rupa sehingga salah satu keperluan naluri dari organisme tadi dapat dipuaskan. Teori belajar, atau leaming
theory, ini sangat menarik perhtian Malinowski, sehingga
dipakainya untuk memberi asas pasti bagi pemikirannya terhadap hubungan-hubungan berfungsi dari unsur-unsur sebuah
kebudayaan.
Bab II: Teori dan Metode
72
Seperti telah diuraikan di atas, saat Malinowski julung kali
menulis karangan-karangannya tentang pelbagai aspek masyarakat orang Trobiand sebagai kebulatan, ia tidak sengaja
mengenalkan pandangan yang baru dalam ilmu antropologi.
Namun reaksi dari kalangan ilmu itu memberinya dorongan untuk mengembangkan suatu teori tentang fungsi dari unsur-usur
kebudayaan manusia. Dengan demikian, dengan menggunakan
leaming theory sebagai asas, Malinowski mengembangkan teori
fungsionalismenya, yang baru terbit selepas ia meninggal dunia. Bukunya bertajuk A Scientific Theory of Culture and Other
Essays (1944). Dalam buku ini Malinowski mengembangkan
teori tentang fungsi unsur-unsur kebudayaan yang sangat kompleks. Namun inti dari teori itu adalah pendirian bahwa
segala kegiatan kebudayaan itu sebenamya bremaksud
memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah keperluan naluri
makhluk manusia yang berhubungkait dengan seluruh kehidupannya. Kesenian sebagai contoh dari salah satu usur
kebudayaan, terjadi karena mula-mula manusia ingin memuaskan
keperluan nalurinya akan keindahan; ilmu pengetahan juga timbul karena keperluan naluri manusia untuk ingin tahu. Namun
banyak juga kegiatan kebudayaan terjadi karena kombinasi dari
beberapa macam human needs itu. Dengan faham ini, kata Malinowski, seseorang penyelidik boleh mengkaji dan
menerangkan banyak masalah dalam kehidupan masyarakat dan
kebudayaan manusia.
Menurut penjelasan Ihromi (1987:59-61) Malinowski mengajukan sebuah orientasi teori yang dinamakan
fungsionalisme, yang ditulis Malinowski dalam artikel bertajuk
“The Group and the Individual in Functional Analysis”, dalam jumal American Joumal of Sociology, jilid 44 (1939), hal. 938-
964. Dalam artikel ini Malinowski beranggapan atau berasumsi
bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat di
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
73
mana unsur itu terdapat. Dengan kata lain, pandangan
fungsionalisme terhadap kebudayaan menyatakan bahwa setiap
pola kelakuan yang telah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bahagian dari kebudayaan dalam
suatu masyarakat, yang memenuhi beberapa fungsi mendasar
dalam kebudayaan bersangkutan. Menurut Malinowski, fungsi
dari satu unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa keperluan asas atau beberapa keperluan yang timbul
dari keperluan asas yaitu keperluan sekunder dari para warga
suatu masyarakat. Keperluan pokok atau asas adalah seperti makanan, reproduksi (melahirkan keturunan), merasa enak badan
(bodily comfort), keamanan, kesantaian, gerak dan pertumbuhan.
Beberapa aspek dari kebudayaan memenuhi keinginan-keinginan
asas itu. Untuk memenuhi keinginan asas ini, muncul keinginan jenis kedua (derived needs), keinginan sekundari yang juga harus
dipenuhi oleh kebudayaan. Misalnya unsur kebudayaan yang
memenuhi keinginan akan makanan menimbulkan keinginan sekunder yaitu keinginan untuk kerja sama dalam mengumpulkan
makanan atau yang untuk diproduksi. Untuk ini masyarakat
mengadakan bentuk-bentuk organisasi politik dan pengawasan sosial yang akan menjamin kelangsungan kewajiban kerjasama
itu. Sehingga menurut pandangan Malinowski mengenai
kebudayaan, semua unsur kebudayaan akhimya dapat dipandang
sebagai hal yang memenuhi keinginan asas para warga masyarakat.
Malinowski percaya bahwa pendekatan fungsional
mempunyai sebuah nilai praktikal yang penting. Pengertian nili praktikal ini dapat dimanfaatkan oleh mereka yang bergaul
dengan masyarakat primitif. Ia menjelaskan sebagai berikut:
“nilai yang praktis dari teori fungsionalisme ini adalah bahwa teori ini mengajar kita tentang kepentingan relatif dari berbagai
kebiasaan yang beraneka ragam; bagaimana kebiasaan-kebiasaan
itu tergantung satu dengan yang lainnya, bagaimana harus
Bab II: Teori dan Metode
74
dihadapi oleh para penyiar agama, oleh penguasa kolonial dan
oleh mereka yang secara ekonomi mengekploitasi perdagangan dan tenaga orang-orang masyarakat primitif.” (Malinowski
1927:40-41).6
Selain Malinowski pakar teori fungsionalisme dalam ilmu antropologi lainnya adalah Arthur Reginald Radcliffe-Brown.
Seperti Malinowski, ia mendasarkan teorinya mengenai perilaku
manusia pada konsep fungsionalisme. Namun berbeda dengan
Malinowski, Radcliffe-Brown merasa bahwa berbagai aspek perilaku sosial, bukanlah berkembang untuk memuaskan
keinginan individual, tetapi justeru timbul untuk
mempertahankan strukur sosial masyarakat. Struktur sosial sesebuah masyarakat adalah keseluruhan jaringan dari hubungan-
hubungan sosial yang ada (Radcliffe-Brown 1952).
Sebuah contoh nyata pendekatan yang bersifat struktural-
fungsional dari Radcliffe-Brown adalah kajiannya mengenai cara penanggulangan ketegangan sosial yang terjadi di antara orang-
orang yang terikat karena faktor perkawinan, yang terdapat dalam
pelbagai masyarakat yang berbeda. Untuk mengurangi kemungkinan ketegangan antara orang-orang yang mempunyai
6Keberatan utama terhadap teori fungsionalismenya Malinowski adalah
bahwa teori ini tidak dapat memberi penjelasan mengenai adanya aneka ragam kebudayaan manusia. Keinginan-keinginan yang diidentifikasikannya, sedikit banyak bersifat universal, seperti keinginan akan makanan yang semua
masyarakat harus memikirkannya kalau ingin hidup terus. Jadi teori fungsionalisme memang dapat menerangkan kepada kita bahwa semua masyarakat menginginkan pengelolaan soal mendapatkan makanan, namun teori ini tak dapat menjelaskan kepada kita mengapa setiap mesyarakat berbeda pengelolaanya mengenai pengadaan makanan mereka. Teori fungsionalisme tidak menerangkan mengapa pola-pola kebudayaan tertentu timbul untuk memenuhi suatu keinginan manusia, yang sebenamya boleh saja dipeuhi dengan cara yang lain yang boleh dipilih, dari sejumlah altematif, dan mungkin cara itu
lebih mudah.
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
75
hubungan kekerabatan karena perkawinan, misalnya orang
beripar atau berbesanan. Ia menjelasnkan bahwa masyarakat
boleh melakukan satu dari dua cara sebagai berikut: pertama dibuat peraturan yang ketat yang tidak membuka kesempatan
betemu muka antara orang yang mempunyai hubungan ipar atau
mertua seperti halnya pada suku Indian Navajo di Amerika
Serikat, yang melarang seorang menantu laki-laki bertemu muka dengan mertua perempuannya. Kemudian, yang kedua, hubungan
itu dianggap sebagai hubungan berkelakar seperti yang terdapat
pada orang-orang Amerika kulit putih yang mengenal banyak lelucon tentang ibu mertua. Dengan begitu, konflik antara
anggota keluarga dapat dihindarkan dan norma budaya, yaitu
aturan ketat pada orang Navaho dan lelucon pada orang kulit
putih Amerika, berfungsi dalam menjaga solidaritas sosial masyarakatnya.
Satu masalah terbesar dari pendekatan teori fungsionalisme
struktural adalah sulitnya menentukan apakah suatu kebiasaan tertentu pada kenyataannya berfungsi dalam erti membantu
pemeliharaan sistem sosial masyarakat. Dalam biologi,
bagaimana sumbangan dari suatu organ terhadap kesehatan tubuh manusia atau kehidupan hewan dapat dinilai dengan mencuba
menghilangkan organ tersebut misalnya. Namun kita tidak boleh
meniadakan sesuatu unsur kebudayaan masyarakat untuk melihat
apakah unsur itu memberi jasa dalam pemeliharaan struktur masyarakatnya. Mungkin saja suatu kebiasaan tertentu tidak akan
ada kaitan apa pun dengan pemeliharaan struktur masyarakat atau
mungkin bahkan merugikan. Kita tak boleh mengadakan asumsi, bahwa semua kebiasaan dalam sesebuah masyarakat memang
berfungsi hanya dengan melihat kenyataan bahwa masyarakat
pada masa itu ada dan beraktivitas. Seandainya pun kita berhasil menilai apakah sebuah kebiasaan tertentu berfungsi, namun
orientasi teoretis ini tak kan berhasil memberikan penjelasan
mengapa suatu masyarakat memilih cara pemenuhan keperluan
Bab II: Teori dan Metode
76
struktural sosial yang tertentu sifatnya. Tentu saja sebuah
masalah tertentu tidak semestinya dipecahkan menurut cara tertentu namun masih diperlukan penjelasan mengapa dipilih satu
cara dari sekian cara atau altematif yang ada.
Dalam kaitannya dengan penelitian tentang fungsi komunikasi dalam lagu dan tari Melayu Sumatera Utara yang
penulis lakukan, teori fungsionalisme dipergunakan untuk
mengkaji bagaimana fungsi komunikasi memenuhi keinginan
masyarakat Melayu akan komunikasi antara sesama mereka. Komunikasi ini berdasar dari teori fungsionalisme Malinowski
dan Radcliffe-Brown. Komunikasi melalui lagu dan tari Melayu
Sumatera Utara wujud karena komunikasi diinginkan oleh masyarakatnya, untuk menyampaikan berbagai keperluan sosial,
seperti pendidikan, tukar-menukar informasi, memberikan
hiburan, mengubah pandangan, integrasi masyarakat, dan
lainnya. Sementara kalau menurut teori fungsional dan struktural Radcliffe-Brown komunikasi dalam lagu dan tari Melayu
Sumatera Utara berfungsi untuk menjaga turai atau struktur
sosial, karena dalam lagu dan tari terkandung ajaran-ajaran dan norma-norma sosial adat Melayu yang dipegang kukuh oleh
orang Melayu dari generasi ke generasi. Struktur sosial
masyarakat Melayu ini termasuk di dalamnya aspek hubungan bangsawan dan rakyat kebanyakan, antara yang tua dan muda,
begitu juga pertuturan seperti ayah, emak, oyang, piut; urutan
generasi seperti ulong, andak, ngah, icik, uncu,dan seterusnya.
2.3.3 Teori Evolusi
Selain itu dalam seni dipergunakan pula teori evolusi. Pada
dasamya. teori evolusi menyatakan bahwa unsur kebudayaan berkembang sejalan dengan perkembangan ruang dan waktu, dari
yang berbentuk sederhana menjadi lebih. kompleks. Teori ini
dalam kesenian banyak digunakan untuk mengkaji sejarah seni.
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
77
Misalnya seperti yang dilakukan oleh Wan Abdul Kadir dari
Malaysia dalam tulisannya. yang bedudul Budaya Popular dalam
Masyarakat Melayu Bandaran (1988), yang mengkaji perkembangan kebudayaan Melayu dari masa kerajaan Melayu
Melaka sampai akhir Perang Dunia Kedua--yaitu. terdiri dari
masa Kerajaan Melayu Melaka 1400-an berkembang ke masa
pendudukan Pulau Pinang oleh Inggris tahun 1786, pembukaan Singapura 1819, Pemerintahan Kolonial sampai 1874, 1880-an
pertumbuhan teater bangsawan, 1908 film, 1914 piringan hitam,
1930 film Melayu, dan 1930-an radio. Wan Abdul Kadir melihat perkembangan budaya masyarakat Melayu dari yang sederhana
ke yang lebih kompleks dalam batasan waktu tahun 1400-an
sampai pertengahan abad ke-20 dan berdasarkan penemuan
teknologi baru.
2.3.4 Teori Difusi
Teori difusi juga dipergunakan dalam mengkaji seni. Pada prinsipnya, teori ini mengemukakan bahwa suatu kebudayaan
dapat menyebar ke kebudayaan lain melalui kontak budaya.
Karena teori ini berpijak pada alasan adanya suatu sumber budaya, maka ia sering ~isebut juga dengan teori monogenesis
(lahir dari suatau kebudayaan). Lawannya adalah teori
poligenesis, yang menyatakan bahwa beberapa kebudayaan
mungkin saja memiliki persamaan-persamaan baik ide, aktivitas, maupun benda. Tetapi sejumlah persamaan itu bukanlah menjadi
alasan adanya satu sumber kebudayaan. Bisa saja persamaan itu
muncul secara kebetulan, karena ada unsur universal dalam diri manusia. Misalnya bentuk dayung perahu hampir sama di
mana-mana di dunia ini. Namun itu tidak berarti bahwa ada satu
sumber budaya pembentuk dayung perahu. Teori ini banyak dipergunakan oleh para pengkaji seni yang mencoba mencari
adanya sebuah sumber budaya. Dalam kajian seni, misalnya
sebagian besar peneliti percaya bahwa zapin berasal dari Yaman.
Bab II: Teori dan Metode
78
Hal ini didukung oleh fakta-fakta sejarah dan persebaran
kesenian ini ke berbagai kawasan di Nusantara.
2.3.5 Teori Siklus Kuint dan Lainnya
Dalam mengkaji timbulnya tangga nada di dunia ini, para etnomusikolog telah mencapai tahap generalisasi, dengan
menggunakan teori siklus kuint (overblown fifth). Dari
bahan-bahan sejarah di China ditemui bahwa untuk membentuk
sebuah tangga nada, seorang rajanya bemama Huang Ti memerintahkan memotong bambu dalam ukuran-ukuran tertentu
berdasarkan siklus interval kuint dengan rasio matematis 3/4 dan
2/3. Di Yunani-Romawi, India, serta Timur Tengah, tangga nada diturunkan dari alat-alat musik bersenar dengan membagi rasio
panjangnya senar. Sehingga didapati tangga nada heptatonik (7
nada) yang dibagi ke dalam dua tetrakord (kumpulan empat nada
tangga nada). Tangga nada jenis ini dianalisis dalam teori devisif. Para pengkaji seni yang meminati upacara-upacara terutama
kematian, selalu menggunakan teori rites de passages yang
ditawarkan oleh antropolog Van Gennep. Bahwa sebuah kematian manusia adalah dalam kondisi transisi dari suatu dunia
ke dunia lain.
Para etnomusikolog juga dalam mengkaji struktur musik sering menggunakan teori kantometrik, yaitu sebuah teori
"general" untuk melihat bagaimana struktur umum budaya musik
yang diteliti melalui 37 jenis parameter dimensi ruang dan waktu
dalam musik. Selain itu juga dipergunakan teori weighted scale, yang melihat unsur-unsur pembentuk ,melodi, seperti: tangga
nada, wilayah nada, jumlah nada, interval, kontur, formula, dan
lainnya. Para etnolog tari, dalam mengkaji struktur tari juga selalu
menggunakan teori koreometrik, yang sama dasamya dengan
kantometrik namun dipergunakan untuk mengkaji struktur tari.
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
79
Unsur-unsur tari yang dibahas di antaranya: waktu, ruang, dan
tenaga.
Selain dari teori-teori ilmu sosial dan humaniora dalam kajian seni tak kalah pentingnya juga dipergunakan teori-teori
dalam ilmu eksakta. Misalnya untuk mendeskripsikan pengecoran
dalam pembuatan alat-alat musik,. dipergunakan teori reduksi
oksidasi (redoks) dan sejenisnya dari ilmu kimia. Atau untuk menguji aspek akustik dan timber bunyi alat-alat musik, biasanya
dipergunakan disiplin fisika gelombang. Salah satu karya
monumental di bidang akustik musik adalah karya John Backus yang berjudul The Acoustical Foundation ofMusic (1977).
Teori-teori yang dipergunakan dalam mengkaji seni akan
terus berkembang, scsuai dengan perkembangan pcradaban
manusia di muka bumi ini. Dengan demikian, seniman dan ilmuwan seni terus ditantang untuk mengabdikan dirinya untuk
kesejahteraan umat manusia secara umum atau secara khusus
kelompoknya. Temyata ilmu-ilmu pertunjukan budaya umumnya
cenderung untuk memakai pendekatan multidisiplin atau
interdisiplin. Orang-orang seni juga terbatas pengetahuannya berdasarkan latar belakang dan minat kajiannya. Untuk itu
diperlukan pemahaman lebih luas tentang teori dan metode-
metode ilmu-ilmu sosial, humaniora, dan eksakta, terutama yang
dapat mengambangkan ilmu-ilmu seni pertunjukan budaya. Abad ke-21 adalah abad persaingan dan kemitraan sekaligus. Hanya
mereka yang mampu mengkaji, mengarahkan, menerapkan
kebudayaan dilandasi jiwa religiositas yang akan. mampu menjawab tantangan jaman dan menjadi masyarakat madani.
Untuk itu marilah kita terus belajar sesuai dengan ilmu yang kita
miliki, sambil mempelajari ilmu-ilmu lain--tidak tejebak dalam cabang ilmu secara sentris.
Bab II: Teori dan Metode
80
2.3.6 Teori Resepsi Sastra
Penelitian sastra sebagaimana penelitian ilmu-ilmu lainnya haruslah menggunakan kerangka teori yang jelas dan sesuai
dengan objek penelitiannya (Teew 1982:17 dan 1983: vii). Teori
diperlukan sebagai tuntutan kerja untuk memahami objeknya dalam saat analisis (Sudaryanto 1983:79).
Dalam ilmu sastra teori yang menekankan kepada aspek
pembaca dikenal dengan nama teori resepsi. Pendekatannya
disebut dengan pendekatan reseptif. Pendekatan dengan titik berat kepada peranan pembaca sebagai penyambut karya sastra
termasuk kepada pendekatan pragmatik (Abrams 1976:14-21 dan
Teeuw 1984:50). Perhatian kepada peranan pembaca sebagai pemberi makna karya sastra dalam sejarah perjalanan ilmu sastra
merupakan perkembangan baru dan baru timbl sesudah tahun
1960 (Teeuw 1983:60-61). Analisis resepsi adalah satu sarana
atau alat dalam proses pemberian makna dan sebagai usaha ilmiah untuk memahami proses itu.
Tokoh utama dalam ilmu sastra yang menekankan peranan
pembaca adalah Hans Robert Jauss. Pada tahun 1967 ia menulis artikel “Literaturgeschichte als Provokation” (“Sejarah Sastra
sebagai Tantangan”) menggemparkan dunia ilmu sastra di Jerman
Barat. Tulisan ini kemudian dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris dengan tajuk “Literary History as a Chalenge to Literary
Theory” (Abrams 1981:155 dan Teeuw 1984:193). Jauss
menyebut pendekatannya terhadap sastra dengan
rezeptionsasthetik. Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan estetika penerimaan dan kemudian menjadi resepsi sastra.
Pembaca dalam konteks ini adalah pembaca yang cakap, mereka
itu para pakar dan kritikus sastra yang dipandang dapat mewakili para pembaca pada periodenya dan juga para ahli sejarah
(Rachmat 1985:186). Selaku pembaca tempat peneliti adalah
sebagai mata terakhir dalam rantai sejarah dan ikut dalam proses
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
81
penilaian (Teeuw 1984:200). Demikian sekilas tentang teori
resepsi sastra yang lazim digunakan oleh para ilmuwan pengkaji
sastra.
2.3.7 Teori Takmilah
Usaha mencari teori kritik sastra Melayu (Malaysia dan
Indonesia) oleh para sarjana kesusastraan dimulai tahun 1970-an. Pada masa itu minat masyarakat, organisasi dan pemimpin
pemerintahan terhadap sastra sedang hangat. Surat kabar dan
majalah memberi ruang kepada para penulis untuk mempublikasikan karya-karya mereka. Pemerintah Malaysia
melalui Dewan Bahasa dan Pustaka mengadakan sayembara dan
anugerah seperti Anugerah Pejuang Sastra dan Hadiah Karya
Sastra (kini dikenal dengan Hadiah Sastra Perdana). Usaha ini turut dilaksanakan oleh persatuan-persatuan penulis, organisasi
swadaya masyarakat, dan organisasi kebudayaan. Organisasi-
organisasi swasta seperti bank, yayasan, bertindak sebagai sponsor.
Tuntutan mencari karya yang terbaik atau usaha membina
karya bermutu telah memungkinkan pengadopsian beberapa teori dari Barat. Di antaranya ialah teori struktural, sosiologi sastra,
formalistik, psikoanalisis, Marxisme, dan sebagainya.
Penggunaan teori-teori Barat terhadap karya-karya sastra Melayu
ternyata tidak semuanya menyenangkan. Ada aspek-aspek tertentu dalam karya yang dapat dicernakan dengan baik dan
tidak kurang pula terlihat pertentangan nilai dan normal. Hal ini
menyebabkan timbul usaha dan minat para sarjana sastra Melayu untuk membangun teori sastra sendiri yang relevan dengan nilai,
normal, adat budaya, agama, dan mentalitas masyarakat.
Berkat usaha yang bersungguh-sungguh, maka lahir beberapa teori sastra di Malaysia, seperti: teori sastra Islam oleh
Shahnon Ahmad, teori teksdealisme oleh Mana Sikana, teori
persuratan baru oleh Mohammad Affandi Hassan, teori
Bab II: Teori dan Metode
82
taabudiyyah oleh Mana Sikana, teori puitika sastra Melayu oleh
Muhammad Haji Salleh, teori pengkaedahan Melayu oleh Hashim Awang, teori takmilah oleh Shafie Abu Bakar, teori
konseptual kata kunci oleh Mohamad Mokhtar Hassan, teori rasa
fenomenologi oleh Sohaimi Abdul Aziz, teori adat oleh Zahir Ahmad, teori pembentukan watak oleh Mohammad Anuar
Ridhwan, teori kritikan Melayu oleh S. Othman Kelantan, teori
hermeneutik kerohanian oleh Salleh Yaapar, teori gerak rasa
oleh Sahlan Mohammad Saman, teori semiotik Melayu oleh Sahlan Mohammad Saman, teori neonostalgia oleh Hashim
Ismail, dan lain-lain. Sebahagian teori-teori tersebut telah diuji
dalam kajian di peringkat sarjana dan doktor filsafat. Teori takmilah diperkenalkan oleh Shafie Abu Bakar,
mantan dosen di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Teori
ini dianggap sebagai teori kritik karya sastra Islam. Hal ini karena
teori tersebut berdasarkan tauhid dalam segala aspek keilmuan Islam dan berusaha melahirkan insan syumul yang bersifat
uluhiyah dan rubudiyah. Istilah takmilah bertalian dengan sifat
kamal Allah yang berarti sempurna. Takmilah menyempurnakan sesuatu yang dengannya akan menjadi sempurna. Maksudnya,
melalui teori takmilah sesuatu yang dianggap sempurna oleh
manusia (sebenarnya belum sempurna di sisi agama) akan menjadi lebih sempurna. Kesempurnaan itu dilihat dari segi
akidah, tauhid, akhlak, dan ilmu. Kesemuanya hadir dalam
kesatuan. Hubungan takmilah itu berkait pula dengan sifat-sifat
jamal, qahhar, dan jalal Allah. Kesatuan hubungan itu dapat difahami, misalnya dalam kasus cerpen “Langit Makin
Mendung” karya Ki Pandji Kusmin. Nilai sastranya tinggi dan
ceritanya juga menarik. Namun, dari awal cerita lagi Ki Pandji Kusmin menyatakan rasa tidak puas hati Nabi Muhammad
terhadap Tuhannya. Dari segi realitas peristiwa, sebenarnya tidak
ada petisi yang menandakan rasa tidak puas hati Nabi
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
83
Muhammad terhadap Allah. Walaupun dari segi teori
pembangunan karya, cerpen “Langit Makin Mendung” adalah
sempurna dan tepat, namun dari segi realitas peristiwa sebenar adalah fitnah.
Artinya, dari segi ilmunya ada, tetapi dari segi akidah dan
tauhid Islam adalah sebaliknya. Tidak ada kebersatuan antara
nilai akidah, tauhid, akhlak dan ilmu keislaman dengan nilai sastra (rujuk buku Pleidoi Sastra: Kontroversi Cerpen “Langit
Makin Mendung” Kipandjikusmin, 2004). Teori takmilah tidak
memisahkan nilai seni sebagai tuntutan hati nurani manusia mencintai dan mendekati tuhannya. Bahkan pada situasi tertentu,
seni juga dianggap salah satu jalan menuju ke rumah Tuhan.
Salah satu konsep seni dalam susastra Melayu ialah
penyempurnaan rohani bagi tujuan menyucikan jiwa, menambah ketakwaan, melahirkan suasana harmoni, dan membentuk
pemerintahan adil yang diridhai Allah (Maniyamin bin Haji
Ibrahim 2006:211-214). Menurut hadis riwayat Bukhari dari Ubay bin Ka’ab, Rasulullah s.a.w pernah bersabda yang
bermaksud: “Sebahagian syair mengandung hikmah
kebijaksanaan.” Teori takmilah diciptakan untuk aplikasi terhadap semua
karya bagi menilai dan mengukur nilai keislaman dalam karya.
Pada satu posisi mungkin karya itu bebas darinada keislaman,
tetapi setelah dianalisis baru nampak citra keislamannya. Demikian sebaliknya, sesebuah karya yang kelihatan bernada
keislaman, setelah dianalisis mengandung citra yang sebaliknya.
Mungkin di luar alam sadar pengarangnya. Teori takmilah menekankan tiga komponen penting yaitu
pengarang, karya, dan khalayak. Semuanya harus bermula dari
kesadaran tauhid pengarang yang menuangkan kesedaran itu ke dalam karya untuk membangkitkan kesedaran tauhid pembaca.
Ketiga-tiganya memperlihatkan sifat saling menyempurnakan,
yang menjadi sifat Allah dan lambang kesempurnaan-Nya. Karya
Bab II: Teori dan Metode
84
yang indah harus berdasar kepada kebenaran, kebaikan, dan
keadilan. Karya ini tercerna dalam hubungan sikap dan perlakuan manusia terhadap Allah, sikap dan perlakuan manusia sesama
makhluk Allah, serta sikap dan perlakuan manusia dengan alam
sekitarannya. Keindahan dan kesempurnaan karya sastra meliputi
keindahan isi dan bentuk. Jika isi baik tetapi disampaikan dalam
bentuk yang tidak sesuai, atau bentuk baik tetapi isi tidak sesuai,
maka karya itu dianggap tidak indah dan tidak sempurna. Isi dan bentuk karya harus sama-sama indah, sebagaimana maksud
susastra itu sendiri, dan karya sastra ini berpandukan ajaran Al-
Qur’an. Walaupun aspek struktur karya sama, namun teori ini melihat aspek strukturnya mesti tidak bertentangan dengan isi,
tepat dengan genre, bahasanya tepat, isinya mudah difahami, dan
tidak bertentangan dengan ajaran agama.
Dari segi isi pula karya itu mesti dapat memberi teladan atau hikmah kepada pembaca. Satu hal yang ditegaskan oleh
Shafie Abu Bakar bahwa teori takmilah melihat segala kejadian
atau peristiwa sebagai indah, baik peristiwa itu menggembirakan maupun menyedihkan. Misalnya peristiwa tsunami di Aceh. Di
dalamnya terkandung hikmah dan keteladanan, dalam konteks
tauhid kepada Allah Untuk menguatkan teori ini, Shafie Abu Bakar
mengemukakan tujuh prinsip, yaitu: (1) prinsip ketuhanan yang
bersifat kamal, (2) prinsip kerasulan sebagai insan kamil, (3)
prinsip keislaman yang bersifat akmal, (4) prinsip ilmu dengan sastra yang bersifat takamul, (5) prinsip sastra bercirikan estetis
dan bersifat takmilah, (6) prinsip pengkarya yang seharusnya
mengistikmalkan diri, dan (7) prinsip khalayak yang bertujuan memupuk mereka ke arah insan kamil.
Dalam sajak “Jiwa Hamba,” Usman Awang mencatat
sebagai berikut:
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
85
Termenung seketika sunyi sejenak
kosong di jiwa tiada penghuni hidup terasa diperbudak-budak
hanya suara melambung tinggi
berpusing roda beralihlah masa berbagai neka hidup di bumi
selagi hidup berjiwa hamba
pasti tetap terjajah abadi
kalau hidup ingin merdeka
tiada tercapai hanya berkata
ke muka maju sekata maju kita melemparkan jauh jiwa hamba
Ingatkan kembali kata sakti, dari bahang kesedaran berapi
di atas robohan Kota Melaka
Kita dirikan jiwa merdeka’
Sajak ini menyeru masyarakat Melayu Malaysia agar
membebaskan jiwanya. Kata Usman Awang, “hidup terasa
diperbudak-budak / hanya suara melambung tinggi,” sedang suara itu tidak langsung mendapat perhatian pihak yang
berkenaan. Hal ini disebabkan “jiwa hamba” yang menebali diri.
Kata Usman Awang lagi, selagi kita berjiwa hamba maka hidup kita akan terus dijajah. Beliau menyeru agar orang-orang Melayu
bangkit dari kesilapan masa lampau, yang dalam sajak ini,
ditandai dengan kejatuhan Kota Melaka. Seruan Usman Awang itu merupakan usaha mengembalikan kedaulatan dan kesakralan
bangsa. Kedaulatan dan kesakralan itu tentunya mengambil
contoh kegemilangan yang pernah dicapai pada zaman
Bab II: Teori dan Metode
86
Kesultanan Melayu Melaka. Walaupun sajak Usman Awang itu
tidak terlihat nada keislamannya, namun seruan Usman Awang itu menjadi tuntutan agama Islam. Dalam surah Ar-Ra’ad ayat 11
Allah menegaskan bahwa Dia tidak mengubah nasib sesuatu
kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya. Usman Awang menyeru orang-orang Melayu agar
membebaskan jiwa dari belenggu penjajahan dan berarti pula ia
mengajak orang-orang Melayu agar membuang jauh sikap dan
paradigma yang menyekat kemajuan diri. Jika seruan itu disadari pembaca, diikut dan diteladani, maka seruan itu telah
mendatangkan kebijakan atau hikmah yang membijaksanakan.
Individu berkenaan akan merasakan betapa nikmatnya kemerdekaan jiwa. Idealisme sajak ini bermula daripada
kesedaran jiwa Usman Awang yang diterapkan ke dalam karya
untuk dikongsi dan diteladani oleh pembaca.
Teori takmilah berusaha membentuk insan sempurna dan mulia yang mesra agama. Usaha Shafie Abu Bakar dan sarjana
sastra Malaysia membina teori kritikan sendiri sangat baik dan
perlu disdukung, baik oleh sarjana sastra Malaysia maupun sarjana sastra Indonesia, juga negara-negara Asia yang lain.
Melalui teori-teori beridealismekan budaya dan pemikiran
sendiri, kita dapat memurnikan karya-karya pengarang kita.
2.3.8 Teori Atqakum
Teori ini dikemukakan oleh Sanat (1998). Istilah atqakum
diambil dari surah Al-Hujurat (49:13) yang maknanya adalah kamu yang lebih bertakwa. Di sini merujuk kepada manusia
yang lebih mulia di sisi Allah ialah yang lebih bertakwa. Di
dalam Al-Qur’an, terdapat maksud seperti takwa, bertakwa, ketakwaan, ketakwaannya, dan bertakwalah. Menurut Indeks Al-
Qur’an (1999:440-441), bermaksud bertakwalah dikolokasikan
kepada Allah, yaitu merujuk kepada perintah suruhan. Jika
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
87
maksudnya kepada selain Allah, ungkapannya akan merujuk
pertanyaannya seperti berikut.
Artinya:
Dan kepunyaan-Nya-lah segala apa yang ada di langit
dan di bumi, dan untuk-Nya-lah ketaatan itu selama-
lamanya. Maka mengapa kamu bertakwa kepada selain
Allah? (Al-Qur’an surah an-Nahl, 16:52)
Ungkapan tanya dalam ayat 52 tersebut sebenarnya tidak ada
jawaban pilihan kepada manusia melainkan bertakwa kepada
Allah, karena maksud ungkapan yang mendahuluinya merujuk kepada pemilihan Allah segala yang ada di langit dan di bumi;
dan kepada-Nya saja tertuju ibadah dan ketaatan untuk selama-
lamnya.
A. Chaedar Alwasilah (1993:28) menyatakan bahwa teori adalah suatu sistem dari hipotesis yang melukiskan hubungan
antara fakta. Jika hipotesis diartikan sebagai dugaan kuat yang
sifatnya sementara dan akan dibuktikan kebenarannya, maka setelah terbukti kebenarannya, hipotesis menjadi teori. Teori
memungkinkan pengetahuan tentang sesuatu objek atau objek
lain yang sama yang sedang diteliti atau semua yang lain yang berkeadaan sama. Dengan demikian teori memberikan persiapan
untuk menghadapi kejadian silam atau kejadian apa pun. Teori
adalah defenisi yang diperluas.
Bab II: Teori dan Metode
88
Lamb dalam artikelnya yang bertajuk “On the Aims of
Linguistics” dalam Copelanded (1984:1-16) menyatakan bahwa Hjelmslev berpendapat teorui linguistik bertujuan bukan saja
untuk mengabsahkan sistem linguistik seutuhnya, tetapi juga
manusia dan masyarakat di sebalik bahasanya. Semua upaya pengetahuan manusia melalui bahasa. Puncak pencapaian teori
linguistik itu ialah manusia dan keuniversalan atau humanitas et
universitas.
Teori atqakum yang dimaksud oleh Sanat adalah melampaui pengertian teori biasa, teori ini merujuk langsung kepada
perintah Allah untuk menjadi manusia bertakwa. Manusia wajib
melakuknnya dalam konteks hubungan dengan Sang Khalik. Penunaian kewajiban itu adalah sebagai tanda ketaatan dan
kesyukuran yang manfaatnya akan didapati manusia yang
melaksanakannya. Sebaliknya, keingkaran kepada Allah tidak
akan mengurangi kemuliaan dan kekuasaan Allah. Hal ini terekam di dalam Al-Qur’an seperti berikut ini.
Artinya:
Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada
Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan
barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka
sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
89
barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya
Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji." (Al-Qur’an, surah
Lukman, 31:12)
Teori atqakum menggagaskan bahwa menjadi lebih
bertakwa merupakan hukum perintah yang tidak ada pilihan pada saat apa pun dan tempat mana pun. Dengan syarat taklif syar’i.
Penunaian teori dalam semua bidang kehidupan atau disiplin ilmu
sebagai tanda ketaatan dan kesyukuran yang membawah
khasanah di dunia dan akhirat. Teori ini menjadi supraordinat kepada teori lain dalam subdisiplin, termasuk linguistik (Lebih
jauh dan rinci lihat Sanat Md. Nasir, 2005)
Demikian contoh-contoh teori yang lazim digunakan dalam disiplin ilmu-ilmu seni dan sastra. Termasuk perkembangan-
perkembangannya yang dicipta dan dikaji oleh para ahli-ahli
linguistik, sastra, dan seni. Bagaimanapun, teori-teori tersebut akan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan
tuntutan disiplin ilmu di Dunia Melayu. Selanjutnya kita lihat
bagaimana metodologi penelitian dalam ilmu-ilmu seni, yang
tampaknya agak sedikit berbeda dengn ilmu bahasa dan sastra. Ilmu bahasa dan sastra biasanya menekankan kepada penelitian
literatur, walau ada juga yang melakukan penelitian lapangan.
Sementara menurut pengalaman akademik penulis, ilmu-ilmu seni cenderung menggunakan penelitian lapangan dengan
menumpukan pada pendekatan kualitatif. Sementara dalam ilmu
linguistik dan sastra pendekatan kuantitatif dan kualitatif
mendapatkan perannya yang lebih seimbang.
2.3.9 Teori Neonostalgia
Teori neonostalgia adalah teori di bidang sastra yang dikemukakan oleh Hashim Ismail. Menurutnya teori neonostalgia
merupakan pandangan konseptualnya terhadap apa yang berlaku
dalam perkembangan sastra Melayu di Nusantara. Teori
Bab II: Teori dan Metode
90
neonostalgia, bagi Hashim Ismail merupakan satu gagasan
kawasan ini untuk mengembalikan marwah masyarakat Melayu dalam menghadapi kemelut globalisasi. Juga persoalan-persoala
yang dibawa karena benturan pemikiran Barat dengan Timur,
atau antara Islam dengan bukan Islam, yang kini tampak menjurus ke arah multikulturalisme, serta cabang-cabang lain
dalam masa pascamodernisme.
Epistemologi neonostalgia awal kali dimunculkan Hashim
Ismail dalam sebuah seminar kritik sastra di Kuala Lumpur tahun 2001. Ia membicarakan tradisi moralitas kolektif yang menjadi
teras wahana penghasilan teks Melayu. Menurutnya moralitas
kolektif ini adalah sebagai bentukan dari moralitas tua (the old morality) yang harus diangkat dan diketengahkan. Kita akan
kembali kepada satu bentuk nostalgia kolektif, seperti yang
dikutipnya dari Fred Davis tentang nostalgia, yang menggunakan
istilah simple nostalgia (nostalgia sederhana). Dari segi konsep, nostalgia kolektif merujuk keadaan objek-
objek simbolik yang sangat dierima umum, tersebar luas, dan
sudah menjadi kelaziman, dan merupaka sumber simbolis dari masa lalu yang disalurkan dalam keadaan yang terkawal atau
terbentuk—dapat memacu gelombang demi gelombang perasaan
nostalgia jutaan manusia dalam masa yang sama. Tidak saja pandangan Fred yang menyebabkan Hashim
membuat epistemologi, namun dalam membicarakan teori pada
era posmodernisme, semakin banyak kebutuhan ke arah itu untuk
dirasionalkan. Pembacaan terhadap kupasan Fred ditemukan the beautiful past and the unattractive present. Fred juga
menggunakan ungkapan things were better then now.
Sejarah boleh dikonstruksi kembali dalam bentuk baru yang memiliki maksud baru untuk tujuan tertentu. Keberadaan sejarah
bisa ditemukan dalam bentuk nostalgia baru, kembali kepada
keagungan silam. Tujuannya untuk menunjukkan sebuah maksud
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
91
baru yang mungkin tidak lagi merujuk kepada sejarah realitas
tetapi sejarah yang berdialog, yang bersifat intertekstualitas, dan
merupakan moralitas baru yang semakin diperlukan untuk memperkokoh jati diri bangsa tersebut.
Teori neonostalgia adalah teori moralitas kolektif masa
lampau yang diterapkan pada masa sekarang. Moralitas masa
lampau ini memiliki berbagai keunguulan dalam rangka membentuk jati diri kelompok manusia. Pemikiran neonostalgia
merupakan suatu bentuk pemikiran yang bukan lagi untuk
muncul mengenangkan kembali masa silam yang indah—tetapi meruakan suatu pembentukn pemikiran yang megangkat pola-
pola nostalgia sejarah silam, tradisi kolektif, dan moralitas
kolektif untuk diberikan makna baru, seupaya bangsa itu dapat
memahami keagungan masa silam.
2.4 Metodologi Masalah metodologi penelitian dalam ilmu pengetahuan seni
dan sastra, adalah tidak jauh berbeda dengan metodologi
penelitian bidang-bidang sains lainnya—meskipun dalam
aplikasinya selalu merujuk kepada konteks, latar belakang masalah, dan tujuan penelitian. Sebelum seorang peneliti bidang-
bidang seni tertentu melakukan aktivitasnya, sebaiknya ia
mengenal dengan baik sains yang melingkupi kajian seni. Begitu
juga dengan berbagai pendekatan, dan konsep-konsep peristilahan yang lazim digunakan dalam konteks kajian seni.
Ilmu pengetahuan yang membidangi kajian seni dalam sejarah
perkembangan sains juga relatif baru, meskipun seni itu sendiri sama tuanya dengan eksistensi manusia. Di antara sains seni itu
adalah: etnomusikologi, antropologi teater, etnokoreologi, kajian
seni pertunjukan, musikologi, media rekam, dan seni rupa (tampak).
Metodologi yang dimaksud dalam tulisan ini adalah hal-hal
yang berkaitan dengan aspek-aspek: teoretis, konseptual, metode
Bab II: Teori dan Metode
92
dan teknikal, terutama yang umum dipergunakan dalam sains-
sains kesenian. Konsep metodologi seperti itu, selari pula dengan pendapat Gorys Keraf sebagai berikut.
Yang dimaksud dengan metodologi di sini
adalah kerangka teoretis yang dipergunakan oleh
penulis untuk menganalisa, mengerjakan, atau
mengatasi masalah yang dihadapi itu. Kerangka teoretis atau kerangka ilmiah merupakan metode-
metode ilmiah yang akan diterapkan dalam
pelaksanaan tugas itu. Melalui metode-metode yang
digunakan, penerima usul dapat menilai apakah dapat
diharapkan hasil yang memuaskan atau tidak pada
tempat, dan kondisi tertentu.
Di lain pihak penerima usul akan
mendiskusikan semua tawaran yang masuk pertama-
tama dengan menilai kerangka teoretis yang disarankan
untuk digunakan. Semakin komprehensif metodologi yang diusulkan untuk mengerjakan masalah yang
dihadapi itu, semakin akan meyakinkan penerima usul.
Masalah biaya dan sebagainya dapat dimasukkan
dalam pertimbangan kedua (Keraf 1984:310-311).
Jadi metodologi berhubungkait dengan masala teori yang
digunakan untuk mengkaji permasalahan penelitian. Berbeda dengan metode yang maknanya sealu dikaitkan dengan masalah-
masalah teknis.
2.4.1 Penelitian Lapangan Penelitian lapangan yang dimaksud di sini adalah
kegiatan yang dilakukan peneliti, yang berkaitan dengan
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
93
pengumpulan data di lapangan, yang terdiri dari pengamatan,
wawancara, dan perekaman.
(1) Pengamatan yang dilakukan adalah secara langsung, contoh seperti yang penulis lakukan yaitu melihat langsung
pertunjukan lagu dan tari Melayu Sumatera Utara. Tujuan
observasi ini adalah untuk memperoleh informasi tentang
kelakuan manusia seperti yang terjadi dalam kenyataan. Dengan pengamatan dapat kita peroleh gambaran yang lebih jelas tentang
kehidupan sosial. Berasaskan jenisnya, maka observasi yang
selalu digunakan dalam penelitian seni adalah partisipasi pengamat sebagai pertisipan (insider) yaitu sebagai anggota
masyarakat yang ditelitinya walau harus tetap menjaga jarak.
Menurut S. Nasution (1989:123) keuntungan cara ini adalah
penyelidik merupakan bagian yang menyatu dari keadaan yang dipelajarinya, sehingga kehadirannya tidak mempengaruhi
keadaan itu dalam kewajarannya.
(2) Wawancara. Untuk memperoleh data-data yang tidak dapat dilakukan melalui pengamatan tersebut (seperti konsep-
konsep etnosainsnya tentang estetika), peneliti seni biasanya
melakukan wawancara. Dalam kaitan ini yang dilakukan adalah wawancara yang sifatnya terfokus yaitu terdiri dari
pertanyaan yang tidak mempunyai struktur tertentu, tetapi
selalu terpusat kepada satu pokok yang tertentu (Koentjaraningrat
1980:139). S. Nasution membagi jenis wawancara sebagai berikut. Berdasarkan fungsinya: (a) diagnostik, (b) terapeutik
dan (c) penelitian. Berdasarkan jumlah respondennya: (a)
individual dan (b) kelompok. Berdasarkan lamanya wawancara: (a) singkat dan (b) panjang. Berdasarkan penanya dan
responden: (a) terbuka, tak berstruktur, bebas, non-direktif atau
client centered dan (b) tertutup, berstruktur (S. Nasution 1989:135).
Bab II: Teori dan Metode
94
2.4.2 Metode Transkripsi Dalam sains-sains seni, transkripsi dan analisis merupakan
bagian dari kerja laboratorium. Meskipun demiki-an,
pentraskripsian bunyi musik atau gerak tari dapat dilakukan di
lapangan pada saat melakukan penelitian. Namun, dalam konteks pertunjukan, transkripsi secara langsung tentu lebih
sulit dilakukan--terutama karena terbatasnya waktu yang
dipergunakan untuk mentranskripsi, sehingga akan menghasil-
kan transkripsi yang sulit dipertanggungjawabkan ketepatannya. Oleh itu, penyelidik sebaiknya mencatat hal-hal yang dapat
mendukung transkripsi di laboratorium nantinya, pada saat
rekaman langsung di lapangan. Seperti mencatat nama, posisi, dan teknik pemain, seperti: teknik memukul gendang,
improvisasi, cara masuk, cara membentuk tekstur, daerah
tumpuan pukulan onomatopeik gendang, tenaga, gerak, pola
lantai, improvisasi, dan sejenisnya. Transkripsi merupakan pencatatan (notasi) bunyi musik
atau gerak-gerik tari yang dihasilkan seseorang atau sekelompok
pemusik atau penari, ke dalam bentuk lambang-lambang atau gambaran tertentu. Pada dasarnya, secara kasar bentuk-bentuk
notasi musik dapat dikelompokkan kepada dua jenis: (1) notasi
tablatura dan (2) notasi grafik. Notasi tablatura merupakan cara pencatatan bunyi musik atau gerak tari yang diwujudkan ke
dalam bentuk simbol, dengan tidak mewujudkan lintasan
gerakan naik turunnya frekuensi nada. Contoh notasi ini adalah
nota angka Barat, yang pada awalnya diperkenalkan oleh Guido de Arrezo dan Cheve tahun 1850. Contoh lain adalah nota dalam
musikologi Jepang, untuk nada-nada G, A, C, D, E, dan G',
ditulis dengan simbol ( ). Juga dalam musik Jawa dikenal sistem notasi kepatihan dan
sari swara yang mempergunakan angka-angka Arabik. Nota
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
95
grafik merupakan sistem pencatatan bunyi musik yang
diwujudkan ke dalam bentuk simbol dengan menuruti lintasan
gerak naik turunnya frekuensi nada atau lintasan melodi (melodic line). Contoh notasi seperti ini adalah notasi balok
(noten balk) Barat. Disadari bahwa selain kelebihannya, notasi
balok juga mempunyai kekurangan-kekurangan (Nettl 1946:33).
Menurut Nettl, kenyataan menunjukkan bahwa beberapa ritme dan tangga nada dari tradisi non-Barat tidak selalu cocok
dengan sistem notasi Barat--sehingga agak menyulitkan untuk
memproduksi ulang kembali ke dalam notasi konvensional. Beberapa pentranskripsi menambah simbol-simbol khusus
dari notasi konvensional tersebut, dengan simbol yang
diinginkan, sesuai dengan suara yang dihasilkan. Misalnya
interval yang lebih besar dari setengah langkah ditambahi tanda "tambah" atau yang lebih kecil ditambahi tanda "kurang" di atas
notnya (Nettl 1946:31).
Untuk mendapatkan hasil transkripsi yang akurat dan objektif, dapat dipergunakan berbagai mesin yang dapat
mengukur nada dan mentranskripsi musik, seperti
monokord--yaitu sebuah senar yang diregangkan di atas sebuah vibrator yang mempunyai skala. Monokord ini mula-
mula diperkenalkan oleh Jaap Kunst, yang selanjutnya dijadikan
dasar cara bekerjanya osiloskop dan komputer, alat yang lebih
peka mentranskripsi bunyi musik. Dalam menotasikan gerak tari, umumnya peneliti
mempergunakan notasi Laban. Menurut Hutchinson tujuan
notasi Laban adalah: (1) sebagai makna komunikasi intemasional, (2) ekuivalen terhadap notasi musik, (3)
preservasi koreografi, (4) membantu teknologi film, (5)
peralatan pendidikan gerak, (6) untuk mengembangkan konsep-konsep gerak, (7) latihan dalam mengamati gerak, (8) peralatan
untuk meneliti gerak, (9) pengembangan profesi baru dan (10)
pendirian perpustakaan tari (Hutchinson 1990: 6-10).
Bab II: Teori dan Metode
96
Selanjutnya dalam kaitannya mengkaji tari, menurut
Soedarsono tampaknya orang merasa perlu menggunakan notasi tari setelah disadari betapa pentingnya sarana dan wahana ini
bagi preservasi bentuk tari. Notasi ini diharapkan dapat
menolong mengungkapkan kembali tari-tari pada masa lampau (Soedarsono 1986:34).
Assuming that we include dance as a proper
subject for anthropological investigation then we must
insist that dance study conform the same standards and
procedures that anthropologists use in studying other
aspects of human kind. Structure views dance from the pesrpective of form, function from the perspective of
context and contribution to context. ... Europeans
emphasized form and the Americans function. The
desirability of marrying structure and function
(Royce1980:37).
Diasumsikan bahwa kita memasukkan tari sebagai suatu subjek studi yang pantas untuk penelitian pakar antropologi.
Sementara itu kita harus menegaskan bahwa studi tari
menyesuaikan diri dengan beberapa penggunaan prosedur dan
standar yang dilakukan para pakar antropologi dalam melakukan studi aspek-aspek manusia lainnya. Struktur melihat tari dari
perspektif bentuk, fungsi dari perspektif konteks dan
sumbangan terhadap konteks. Orang-orang Eropa lebih menekankan studi terhadap bentuk dan orang-orang Amerika
lebih menekankan studi terhadap fungsi, yang diinginkan adalah
mengawinkan antara struktur dan fungsi.
2.4.3 Metode Penelitian Menurut Merriam dalam etnomusikologi, dikenal istilah
teknik lapangan dan metode lapangan. Teknik mengandung arti
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
97
pengumpulan data-data secara rinci di lapangan. Metod
lapangan sebaliknya mempunyai cakupan yang lebih luas,
meliputi dasar-dasar teoretis yang menjadi acuan bagi teknik penelitian lapangan. Teknik menunjukkan pemecahan masalah
pengumpulan data hari demi hari, sedangkan metode mencakup
teknik-teknik dan juga berbagai-bagai pemecahan masalah
sebagai bingkai kerja dalam penelitian lapangan (Merriam 1964:39-40). Selain itu dalam penelitian seni dikenal metode
penelitian kualitatif dan kuantitatif. Penelitian kualitatif pada
hakekatnya bertujuan untuk mencari makna-makna yang terkadung dari kegiatan atau artifak tertentu. Selanjutnya
peneltian kuantitatif biasanya bertujuan untuk mengukur
fenomena yang ada berdasarkan rentangan-rentangan kuantitas
tertentu. Sejauh pengamatan penulis, kajian seni lebih banyak didekati oleh metode kualitatif, walaupun demikian bukan berarti
metode kuantitatif tidak diperlukan dalam mengkaji seni. Yang
perlu difahami adalah kedua metode digunakan cocok untuk membahas permasalahan apa. Misalnya untuk mengkaji seberapa
banyak degradasi jumlah ronggeng Melayu di Sumatera Utara,
tentu metode yang cocok adalah metode kuantitatif. Sebaliknya untuk mengetahui sejauh mana makna semiotis yang ingin
dikomunikasikan seniman dalam pertunjukan guro-guro aron,
tentulah lebih sesuai didekati dengan metode kualitatif. Dalam
konteks penelitian tertentu, bahkan kedua-dua metode diperlukan. Denzin dan Lincoln menyatakan secara eksplisit tentang
penelitian kualitatif berdasarkan sejarah perkembangan ilmu
pengetahuan, terutama dalam aliran Chicago, di bidang disiplin antropologi sebagai berikut.
QUALITATIVE [sic.] research has a long and
distinguished history in human disiplines. In sociology
the work of the "Chicago school" in the 1920s and
1930s established the importance of qualitative
Bab II: Teori dan Metode
98
research for the study of human group life. In
anthropology, during the same period, ... charted the
outlines of the field work method, where in the observer
went to a foreign setting to studycustoms and habits of
another society and culture. ...Qualitative research is a
field of inquiry in its own right. It crosscuts disiplines, fields, and subject matter. A complex, interconnected,
family of terms, concepts, and assumtions surround the
term qualitative research (Denzin dan Lincoln 1995:1).
Lebih jauh Nelson mentrakrifkan menegnai apa itu
penelitian kualitatif itu menurut keberadaannya dalam dunia ilmu pengetahuan adalah seperti yang dikemukakan berikut ini.
Qualitative research is an interdisiplinary,
transdisi-plinary, and sometimes counterdisiplinary field.
It crosscuts the humanities and the social and physical sciences. Qualitative research is many things at the
same time. It is multiparadigmatic in focus. Its
practitioners are sensitive to the value of the
multimethod approach. They are commited to the
naturalistic perspective, and to the interpretive
understanding of human experience. At the same time,
the field is inherently political and shaped by multiple
ethical and political positions (Nelson dan Grossberg
1992:4).
Dari kedua kutipan di atas secara garis besar dapat
dinyatakan bahwa penelitian kualitatif umumnya ditujukan
untuk mempelajari kehidupan kumpulan manusia. Biasanya manusia di luar kumpulan peneliti. Penelitian ini melibatkan
berbagai-bagai jenis disiplin, sama ada dari ilmu kemanusiaan,
sosial ataupun ilmu alam. Para penyelidiknya percaya
kepada perspektif naturalistik, serta menginter-pretasi untuk
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
99
mengetahui pengalaman manusia, yang oleh karena itu biasanya
inheren dan dibentuk oleh berbagai nilai etika posisi politik.
Namun demikian, penelitian seni dengan metode kualitatif juga selalu melibatkan data-data yang bersifat kuantitatif. dengan
melihat kepada pemyataan S. Nasution bahwa setiap penelitian
(kualitatif dan kuantitatif) harus direncanakan. Untuk itu
diperlukan desain penelitian. Desain penelitian merupakan rencana tentang cara pengumpulan dan menganalisis data agar
dapat dilaksanakan secara ekonomis serta serasi dengan tujuan
penelitian itu. Dalam desain antara lain harus dipikirkan: (a) populasi sasaran, (b) metode sampling, (c) besar sampling, (d)
prosedur pengumpulan data, (e) cara-cara menganalisis data
setelah terkumpul, (f) perlu tidaknya menggunakan statistik, (g)
cara mengambil kesimpulan dan sebagainya (Nasution 1982:31). Dengan demikian, untuk mengkaji seni secara ilmiah,
diperlukan teori-teori dari berbagai bidang disiplin ilmu, baik
ilmu humaniora, sosial, maupun eksakta. Sejalan dengan perkembangan zaman, sudah selayaknya teori-teori yang
dipergunakan dalam rangka mengkaji seni terus dikembangkan
baik secara intensif maupun secara ekstensif. Sesuai dengan filsafat ilmu-ilmu seni, bahwa tujuan akhir mengkaji seni adalah
mengapa manusia pelaku dan pendukung seni itu menghasilkan
kesenian yang sedemikian rupa. Kajian kesenian bukan hanya
sampai pada bagaimana struktur seni itu dihasilkan manusia.
100
BAB III
MASYARAKAT MELAYU SUMATERA UTARA
DALAM KONTEKS DUNIA MELAYU
3.1 Pendahuluan
Untuk dapat memahami karya sastra dan seni Melayu Sumatera Utara, merupakan suatu keharusan pula setiap
pengkaji mengetahui latar belakang etnografis masyarakat
Melayu Sumatera Utara, termasuk dalam konteks Dunia Melayu. Hal ini dilakukan menimbang bahwa tujuan akhir
mengkaji karya sastra atau seni adalah manusia pendukungnya.
Mengapa mereka berkarya dan melakukan pertunjukan sedemikian rupa? Ada apa di balik karya sastra dan seni ini?
Bagaimana gagasan-gagasan kreatif para seniman dan
sastrawan?
Pada masa sekarang ini, masyarakat Melayu mendiami kawasan Asia Tenggara yang terdiri dari beberapa negara
seperti: Thailand Selatan, Malaysia, Brunai Darussalam,
Singapura, Filipina Selatan, Indonesia dan di beberapa negeri lain. Secara geobudaya mereka disebut dengan Melayu
Polinesia atau Melayu Austronesia. Pengertian Melayu
Polinesia pula mencakup ras Melayu yang terdapat di kawasan Oseania yaitu terdiri dari gugusan kepulauan Mikronesia,
Polinesia, dan Melanesia. Kadang termasuk pula orang-orang
ras Melayu di Madagaskar. Sementara itu diaspora Melayu juga
merentasi berbagai kawasan, seperti Afrika Selatan, Suriname, Sri Langka, Indochina, dan lain-lain. Aspek kemelayuan yang
universal, termasuk ras dan alur bahasa yang sama--serta
identitas lokal, menjadi bahagian identitas kebudayaan kelompok-kelompok masyarakat Dunia Melayu ini.
Indonesia adalah sebuah negara bangsa yang mayoritas
penduduknya terdiri dari ras Melayu, baik Melayu Tua maupun
Melayu Muda. Namun biasanya rasa kemelayuan mereka tidaklah begitu kuat, dibandingkan kesukuan kecilnya. Namun
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
101
dalam konteks integrasi budaya biasanya mereka sama-sama
sadar sebagai rumpun Melayu, yang terdiri dari berbagai suku atau etnik seperti: Gayo, Alas, Aceh Rayeuk, Simeuleu, Karo,
Dairi, Simalungun, Toba, Minangkabau, Banjar, Jawa, Sunda,
Bugis, Makasar, Sasak, Ambon, dan masih banyak lagi yang
lainnya. Namun ada juga yang langsung menyebut kelompoknya dan diakui oleh kelompok lain sebagai Melayu,
seperti yang ada di Sumatera Utara, Tamiang Aceh, Riau,
Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Kalimantan, dan lain-lain tempat.
Penduduk di Sumatera Utara secara rasial, mayoritas
adalah pribumi Melayu, namun terdiri dari berbagai etnik dalam rumpun Melayu, seperti: Pesisir Barat, Dairi, Karo,
Simalungun, Toba, Mandailing-Angkola dan Nias. Bahkan
pada masa sekarang jumlah etnik terbesar di Sumatera Utara
yang berpenduduk sekitar 13 juta jiwa adalah Jawa yaitu sekitar 35 %.
Walau demikian, kebudayaan Melayu mendapat peran
strategis dalam konteks Sumatera Utara. Orang yang menganut sistem religi animisme atau agama lain yang masuk Islam
dianggap masuk Melayu. Kebudayaan Melayu seperti upacara
perkawinan berbagai unsurnya diserap oleh etnik lain. Bahasa Melayu menjadi bahasa pengantar sehari-hari, baik di rumah
atau komunikasi antar etnik di Sumatera Utara. Pakaian
Melayu seperti songkok, baju gunting China, seluar, baju
kurung, baju kebaya, umum digunakan oleh semua etnik rumpun Melayu di Sumatera Utara. Demikian juga kesenian
Melayu didukung oleh etnik-etnik rumpun Melayu ini. Yang
menarik perhatian, mereka yang tergolong kepada rumpun Melayu yang beragama Islam selalu juga menyebut dirinya
sebagai Melayu.
Masyarakat Melayu di Sumatera Utara memiliki kesenian
yang khas berasal dari kawasan ini, seperti: sinandong, gubang, dedeng dan lainnya. Begitu pula kesenian yang umum dijumpai
Bab III: Masyarakat Melayu Sumatera Utara
102
pada Dunia Melayu seperti: zapin, dondang, nasyid, kasidah,
joget atau ronggeng, bangsawan—tak lupa karya-karya sastra
baik itu yang bersifat lisan maupun tulisan seperti: pantun, seloka, gurindam, dedeng, nazam, sinanandong, dan syair.
Genre yang terahir, yaitu syair biasanya disampaikan dengan
cara menyanyikannya. Syair ini khas Sumatera Utara, terutama
tema ceritanya. Secara budaya, kebudayaan Melayu di Sumatera Utara
adalah sebagai salah satu pembentuk Dunia Melayu.
Kebudayaan Melayu Sumatera Utara juga telah dikenal sebagai penyumbang peradaban kepada Dunia Melayu. Misalnya
berbagai puisi Amir Hamzah dari Langkat, seperti yang
terangkum dalam Buah Rindu dan Nyanyi Sunyi dikaji dan
diamalkan di Dunia Melayu. Tarian Serampang Dua Belas yang menjadi tari nasional Indonesia sejak dekade 1960-an kini
dipraktikkan dan dipelajari di semua kawasan di Dunia Melayu.
Dalam konteks Indonesia sendiri, bahasa Indonesia baku yang dianggap standar adalah bahasa Melayu yang dipergunakan
masyarakat Sumatera Utara, dengan ikonnya kota Medan.
Masyarakat Sumatera Utara pula, selain menganggap bagian dari Indonesia, mereka juga bahagian dari Dunia Melayu.
3.2 Dunia Melayu
Selama ini, pegertian dan pemahaman mengenai Melayu itu berbeda-beda, baik yang dikemukakan oleh para ilmuwan
ataupun masyarakat awam. Perbedaan itu menyebabkan makna
Melayu boleh meluas atau menyempit menurut definisi dan konsep yang dipergunakan. Namun demikian, istilah Melayu
memang telah wujud dan dipergunakan baik oleh masyarakat
atau etnik yang disebut Melayu atau oleh para ilmuwan pengkaji kebudayaan Melayu. Dalam perkembangan terkahir
pula muncul istilah Dunia Melayu atau Alam Melayu serta
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
103
Dunia Melayu Dunia Islam, terutama yang digagas para pakar
kebudayaan dan ahli politik dari Negeri Melaka, Malaysia. Menurut Ismail Hussein (1994) kata Melayu merupakan
istilah yang meluas dan agak kabur. Istilah ini maknanya
merangkumi suku bangsa serumpun di Nusantara yang pada
zaman dahulu dikenal oleh orang-orang Eropa sebagai bahasa dan suku bangsa dalam perdagangan dan perniagaan.
Masyarakat Melayu adalah orang-orang yang terkenal dan
mahir dalam ilmu pelayaran dan turut terlibat dalam aktivitas perdagangan dan pertukaran barang dagangan dan kesenian dari
berbagai wilayah dunia.
Istilah Melayu, maknanya selalu merujuk kepada Kepulauan Melayu yang merangkumi kepulauan di Asia
Tenggara. Perkataan ini juga bermakna sebagai etnik atau
orang Melayu Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu dan
tempat-tempat lain yang menggunakan bahasa Melayu. Melayu juga selalu dihubungkan dengan kepulauan Melayu yang
mencakup kepulauan Asia Tenggara dan ditafsirkan menurut
tempat dan kawasan yang berbeda seperti Sumatera. Istilah Melayu dikaitkan dengan masyarakat yang tinggal di sekitar
kawasan Palembang; dan di Borneo (Kalimantan) pula
perkataan Melayu dikaitkan dengan masyarakat yang beragama Islam—sementara di Semenanjung Malaysia arti Melayu
dikaitkan dengan orang yang berkulit cokelat atau sawo matang.
Istilah Melayu berasal dari bahasa Sanskerta yang dikenali
sebagai Malaya, yaitu sebah kawasan yang dikenali sebagai daratan yang dikelilingi lautan (Hall 1994).
Kelompok ras Melayu dapat digolongkan kepada
kumpulan Melayu Polinesia atau ras berkulit coklat yang mendiami Gugusan Kepuluan Melayu, Polinesia dan
Madagaskar. Gathercole (1983) seorang pakar antropologi
Inggeris telah melihat bukti-bukti arkeologi, linguistik dan
etnologi, yang menunjukkan bahwa bangsa Melayu-Polinesia ialah golongan pelaut yang pernah menguasai kawasan
Bab III: Masyarakat Melayu Sumatera Utara
104
Samudera Pasifik dan Hindia. Ia menggambar-kan bahwa ras
Melayu-Polinesia sebagai kelompok penjajah yang dominan
pada suatu masa dahulu, yang meliputi kawasan yang luas di sebelah barat hingga ke Madagaskar, di sebelah timur hingga ke
Kepulauan Easter, di sebelah utara hingga ke Hawaii dan di
sebelah selatan hingga ke Selandia Baru.
Sementara itu Wan Hasim (1991) mengemukakan bahwa Melayu dikaitkan dengan beberapa perkara seperti sistem
ekonomi, politik, dan juga budaya. Dari sudut ekonomi,
Melayu-Polinesia adalah masyarakat yang mengamalkan tradisi pertanian dan perikanan yang masih kekal hingga ke hari ini.
Dari sudut ekonomi, orang Melayu adalah golongan pelaut dan
pedagang yang pernah menjadi penguasa dominan di Lautan
Hindia dan Pasifik sebelum kedatangan kuasa Eropa. Dari segi politik pula, sistem kerajaan Melayu berasaskan pemerintahan
beraja bermula di Campa dan Funan, yaitu di Kamboja dan
Selatan Vietnam pada awal abad Masehi. Dari kerajaan Melayu tua ini telah berkembang pula kerajaan Melayu di Segenting
Kra dan di sepanjang pantai timur Tanah Melayu, termasuk
Kelantan dan Terengganu. Kerajaan Melayu Segenting Kra ini dikenal dengan nama Kerajaan Langkasuka kemudian menjadi
Pattani (Wan Hashim 1991).
Untuk menentukan kawasan kebudayaan Melayu, ada dua
perkara menjadi kriterianya, yaitu kawasan dan bahasa. Dari segi kawasan, Dunia Melayu tidak terbatas kepada Asia
Tenggara saja, namun meliputi kawasan di sebelah barat
mencakup Lautan Hindia ke Malagasi dan pantai timur benua Afrika; di sebelah timur merangkumi Gugusan Kepulauan
Melayu-Mikronesia dan Paskah di Lautan Pasifik, kira-kira
103,6 kilometer dari Amerika Selatan; di sebelah selatan meliputi Selandia Baru; dan di sebelah utara melingkupi
kepulauan Taiwan dan Hokkaido, Jepang (Ensiklopedia Sejarah
dan Kebudayaan Melayu 1994). Dari sudut bahasa pula,
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
105
Melayu memiliki ciri-ciri persamaan dengan rumpun keluarga
bahasa Melayu-Austronesia, menurut istilah arkeologi--atau keluarga Melayu-Polinesia, menurut istilah linguistik (Haziyah
Husein 2006:6).
Demikian pula keberadaan masyarakat Melayu di
Sumatera Utara, mereka menyadari bahwa mereka adalah berada di negara Indonesia, menjadi bahagian dari Dunia
Melayu, dan merasa saling memiliki kebudayaan Melayu.
Mereka merasa bersaudara secara etnisitas dengan masyarakat Melayu di berbagai tempat seperti yang disebutkan tadi. Secara
budaya, baik bahasa atau kawasan, memiliki alur budaya yang
sama, namun tetap memiliki varian-varian yang menjadi ciri khas atau identitas setiap kawasan budaya Melayu.
Secara geopolitik pula, Dunia Melayu umumnya
dihubungkan dengan negara-negara bangsa yang ada di
kawasan Asia Tenggara dengan alur utama budaya Melayu. Di antaranya adalah: Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam,
Selatan Thailand, Selatan Filipina, sebahagian etnik Melayu di
Kamboja, Vietnam, dan lain-lain tempat.
3.3 Sumatera Utara
Berdasarkan letak geografi, kebudayaan Melayu itu meliputi berbagai negara yang terbentang di kawasan Asia
Tenggara, yaitu: Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand
(khususnya daerah Patani), dan Brunai Darussalam. Di
Indonesia sendiri, etnik Melayu mendiami daerah budaya: Pesisir Timur Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan,
dan Pesisir Kalimantan. Etnik Melayu pesisir Timur
Sumatera Utara, berdasarkan ciri khusus kebudayaannya, dapat dikelompokkan lagi ke dalam daerah: Langkat, Deli, Serdang,
Asahan, dan Labuhan Batu.7
7Tentang wilayah budaya Melayu ini dapat dilihat dari tulisan-tulisan:
(1) Tengku Luckman Sinar (1994); (2) Ismail Hussein (1984); (3) Mohd Anis
Bab III: Masyarakat Melayu Sumatera Utara
106
Pada masa Kesultanan Melayu di kawasan ini, wilayah
mereka lebih lazim disebut dengan Sumatera Timur, dan
kemudian setelah masa kemerdekaan disebut Sumatera Utara (yang termasuk di dalamnya wilayah kebudayaan masyarakat
Batak dan Nias). Masyarakat yang mendiami wilayah
Provinsi Sumatera Utara terdiri dari delapan etnik setempat:
(1) Melayu, (2) Batak Toba, (3) Mandailing-Angkola, (4) Simalungun, (5) Karo, (6) Pakpak-Dairi, (7) Pesisir Barat dan
(8) Nias. Selain itu ditambah pula oleh etnik pendatang seperti:
Jawa, Sunda, Minangkabau, Aceh, Banjar, Tamil, Benggali, Tionghoa, dan Eropa (Usman Pelly 1994).
Etnik Melayu ini dalam konteks kebijakannya menghadapi
kontinuitas dan perubahan kebudayaan, menggunakan empat
klasifikasi adat: (1) adat yang sebenarnya adat, yaitu hukum alam yang secara tabi’i harus terjadi menurut waktu dan
ruang--jika dikurangi merusak, jika dilebihi mubazir.
Selanjutnya (2) adat yang diadatkan, yaitu adat yang berasal dari musyawarah dan mufakat masyarakatnya,
8 yang
dipercayakan kepada pemimpinnya. Kemudian (3) adat yang
teradat, yaitu kebiasaan-kebiasaan yang lama kelamaan atau tiba-tiba menjadi adat. Yang terakhir (4) adat istiadat, yaitu
adat yang merupakan kumpulan dari berbagai-bagai
Md Nor (1990:66-67); (4) J. C. van Eerde (1920:17-20) dan (5) C. Lekkerkerker (1916:119).
8Masyarakat (society) adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu, dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Lihat Koentjaraningrat (1974:11). Menurut J.L. Gillin dan J.P. Gillin, yang dimaksud masyarakat
adalah: "... the largest grouping in which common customs, traditions, attitudes and feelings of unity are operative,"--yang artinya: "kelompok manusia yang terbesar, yang secara umum memiliki adat istiadat, tradisi, sikap, dan rasa bersatu, yang merupakan kesatuan tingkah laku mereka." Lebih jauh lihat J.L. Gillin dan J.P. Gillin (1954:139).
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
107
kebiasaan, dan cenderung diartikan sebagai upacara-upacara
khusus (Lah Husni 1986:206-211).
Peta 3.1
Kelompok Pengguna Bahasa Melayu-Polinesia di Indonesia
Sumber: Goldsworthy (1979:32)
Dalam bahagian ini, penulis mendeskripsikan secara
umum geografi dan etnografi masyarakat Sumatera Utara,9
9Pada masa penjajahan Belanda, di Sumatera Utara terdapat dua provinsi (afdeeling), yaitu Sumatera Timur dan Tapanuli. Ada perbedaan pengertian antara Sumatera Utara dengan Sumatera Timur. Wilayah Sumatera Timur (Oostkust van Sumatra dalam Bahasa Belanda atau East
Coast of Sumatra dalam Bahasa Inggeris) mencakup Provinsi Sumatera Utara sekarang di luar Tapanuli, ditambah daerah Bengkalis Provinsi Riau--secara budaya termasuk pula Tamiang di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Lebih jauh lihat Blink, Sumatra's Oostkust: In Here Opkomst en Ontwikkelings Als Economisch Gewest, (s'Gravenhage: Mouton & Co., 1918), pp. 1 dan 9. Kini Sumatera Utara adalah salah satu dari 33 Provinsi di
Bab III: Masyarakat Melayu Sumatera Utara
108
yang biasanya dalam konteks pemerintahan Republik Indonesia
dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) delapan etnik tempatan
yang terdiri dari: Melayu, Karo, Simalungun, Pakpak-Dairi, Batak Toba, Mandailing-Angkola, Pesisir, dan Nias; (2) etnik
pendatang dari Nusantara: Minangkabau, Acheh, Banjar, Jawa;
serta (3) etnik pendatang dari luar negeri: Tionghoa, Tamil,
Benggali, dan Eropa. Pada masa sekarang sebagian besar masyarakat Sumatera
Utara, menerima cara pembagian kelompok-kelompok etnik
setempat ke dalam delapan kategori, seperti yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia. Keberadaan etnik setempat
dijelaskan oleh Goldsworthy sebagai berikut.
The three major [North] Sumatran ethnic
groups are the Batak, coastal Malay and Niasan ...
North Sumatrans often divide the indigenous (that is,
non-immigrant) population of the province into nine
more narrowly defined ethnic groups (suku-suku). ...
The broad Batak ethnic group is ussually divided
into six main communities - Pakpak Dairi, Toba,
Angkola-Sipirok, Mandailing, Karo and Simalungun.
All six groups have a broadly similar social
organisation (patrilineal, exogamus clans) and related
Indonesia, yang terdiri dari 27 Kabupaten dan Kota, yaitu: (1) Kabupaten Asahan, (2) Kabupaten Batubara, (3) Kabupaten Dairi, (4) Kabupaten Deli Serdang, (5) Kabupaten Humbang Hasundutan, (6) Kabupaten Karo, (7) Kabupaten Labuhan Batu, (8) Kabupaten Langkat, (9) Kabupaten Mandailing Natal, (10) Kabupaten Nias, (11) Kabupaten Nias Selatan, (12) Kabupaten Pakpak Bharat, (13) Kabupaten Samosir, (14) Kabupaten Serdang Bedagai, (15) Kabupaten Simalungun, (16) Kabupaten Tapanuli Selatan, (17)
Kabupaten Tapanuli Tengah, (18) Kabupaten Tapanuli Utara, (19) Kabupaten Toba Samosir, (20) Kabupaten Batubara (baru dimekarkan tahun 2007), (21) Kota Binjai, (22) Kota Medan, (23) Kota Padang Sidempuan, (24) Kota Pematangsiantar, (25) Kota Sibolga, (26) Kota Tanjung Balai dan (27) Kota Tebing Tinggi.
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
109
languages, but important social, religious and
linguistic differences also divide them. The
sharpest linguistic division is between the
Karo/Pakpak Dairi groups in the north and west
and the Toba/Mandailing/ Angkola-Sipirok groups
in the south. The Simalungun group falls between the two extreme points of contrast (Golsworthy 1979:6).
Tiga kelompok etnik besar Sumatera Utara adalah Batak,
Melayu Pesisir, dan Nias. Orang-orang Sumatera Utara biasanya dibagi ke dalam sembilan populasi setempat (yaitu
mereka yang bukan imigran), yang biasa disebut dengan
suku-suku.
Kelompok etnik Batak yang lebih luas, biasanya dibagi pada lima komuniti utama, yaitu: Pakpak-Dairi, Batak Toba,
Angkola-Sipirok, Mandailing, Karo, dan Simalungun.
Keenam komunitas utama ini mempu-nyai organisasi sosial yang sama, yaitu berdasar pada sistem patrilineal dan klen
yang eksogamus.10
Mereka mempunyai sistem sosial, religi,
dan linguistik yang berbeda. Perbedaan linguistik paling
jelas adalah antara kelompok Karo dan Pakpak-Dairi di utara dan barat--dengan kelompok Toba, Mandailing,
Angkola, dan Sipirok di Selatan. Simalungun berada di antara
dua sistem linguistik ini. Di Indonesia, etnik Melayu mendiami daerah Tamiang di
Daerah Istimewa Aceh, Pesisir Timur Sumatera Utara, Riau,
Kalimantan, Jambi, dan Sumatera Selatan. Sumatera adalah salah satu pulau besar di Indonesia yang terdiri dari sekitar
4Yang dimaksud klen eksogamus adalah sistem kemasyarakatan dalam
sebuah suku, yang norma pemilihan pasangan hidupnya berasal dari kelompok luar tertentu. Lihat Paul B. Horton dan Chester L. Hunt (1993:400). Dalam konteks masyarakat Batak, klen yang sama dilarang kawin.
Bab III: Masyarakat Melayu Sumatera Utara
110
3.000 pulau-pulau. Pulau Sumatera ini mencakup wilayah
sebesar 473.606 km (Fisher 1977:455-457).
Pulau ini mempunyai panjang lebih dari 1.920 km yang membentang dari barat laut ke tenggara, dan mempunyai lebar
maksimum sebesar 384 km. Sumatera adalah pulau di
sebelah barat Indonesia, yang terentang dari 6˚ Lintang Utara
sampai 6˚ Lintang Selatan secara latitudinal dan 95˚ sampai 110˚ Bujur Timur secara longitudinal (Whitington 1963:203).
Sumatera juga dikelilingi oleh pulau-pulau di sekitarnya,
baik yang berdekatan dengan pantai barat ataupun timurnya. Pulau-pulau ini secara administratif ikut ke dalam
pemerintahan daerah di Sumatera. Struktur geologi Pulau
Sumatera didominasi oleh rangkaian Pegunungan Bukit
Barisan. Rangkaian pegunungan ini sampai ke wilayah Selat Sunda. Sumatera dibagi menjadi lima Provinsi. Sumatera
adalah kawasan yang sangat tepat untuk bidang pertanian dan
perikanan (Whitington 1963:539). Majoriti penduduk Sumatera tergolong ke dalam ras proto-Mongoloid (Fisher
1977:456), dan berbahasa sama dengan kelompok bahasa
Austronesia atau Melayu-Polinesia (Howell 1973:80-81). Sumatera sendiri dihuni oleh beberapa kelompok etnik
setempat, yaitu: Aceh, Alas, Gayo, Batak, Melayu,
Minangkabau, Rejang, Lampung, Kubu, Nias, Mentawai dan
Enggano. Di Pesisir Timur Sumatera Utara, yang pada masa kesultanan lazim disebut Sumatera Timur, etnik Melayu
mendiami wilayah yang meliputi empat Kabupaten, yaitu:
Kabupaten Langkat, Deli Serdang, Asahan dan Labuhan Batu. Pada masa-masa pemerintahan sistem kesultanan, etnik Melayu
di Sumatera Timur ini berada dalam tiga kesultanan besar,
yaitu: Langkat, Deli, dan Serdang, dan ditambah sultan-sultan yang secara geografis dan politis lebih kecil, yaitu: Asahan,
Bilah, Kotapinang, dan Kualuh.
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
111
Wilayah Sumatera Timur terbentang dari perbatasan
Acheh sampai kerajaan Siak mempunyai batas-batas geografis sebagai berikut: (1) sebelah utara dan barat berbatasan
dengan wilayah Aceh; (2) sebelah timur berbatasan dengan
Selat Melaka; (3) sebelah selatan dan tenggara berbatasan
dengan daerah Riau; dan (4) sebelah barat berbatasan dengan daerah Tapanuli (Volker 1928:192-193). Luasnya 94.583 km²
atau sekitar 20 % dari luas pulau Sumatera (Pelzer 1985:31).
Di antara daerah Aceh di utara serta Riau di selatan dan tenggara inilah terletak kesultanan-kesultanan Melayu Sumatera
Timur.
3.4 Etnik yang Majemuk di Sumatera Utara Sejarah kebudayaan di Sumatera Timur, erat kaitannya
dengan saling berinteraksinya antara penduduk tempatan
dengan pendatang. Dengan keberadaan budaya yang majemuk ini, sampai sekarang, Sumatera Utara tidak memiliki budaya
dominan. Mereka berada antara hidup segregatif di satu sisi
dan integrasi di sisi lainnya. Para pendatang ini melakukan pola migrasi.
11 Istlah migrasi dapat didefinisikan sebagai gerakan
11Patersen mendefinisikan migrasi sebagai perpindahan seseorang
yang relatif permanen dalam jarak yang cukup bererti. Namun definisi ini
tidak dapat dipastikan, dan sifatnya relatif. Misalnya seberapa permanenkah atau berapa jauhkan jarak perpindahan tersebut. Harus dilihat kasus per kasus. Misalnya sesorang yang pidah ke negara lain untuk menghabiskan sisa hidupnya, ini dapat dikategorikan sebagai migrasi. Contoh lain seseorang yang pergi ke sebuah kota yang dekat dengan kotanya, tetapi berada di negara lain, hanya untuk berjalan-jalan selama dua jam, tidak dapat dikategorikan sebagi migrasi. Lihat, William Patersen 1995:286). Secara matematis, migrasi ini digambarkan oleh Patersen, sebagai berikut:
"It is reasonable to suppose that the number of migrants within any area homogenous with respect to all to other factors that affect the propensity to migrate will be inversely related to the distance covered. One can express this relation inequation, as follows: M=aX/Db, where M stands for the number of migrants, D for the distance over the shortest transportation route, and X for any other factor that is though to be relevant, a and b are consants,
Bab III: Masyarakat Melayu Sumatera Utara
112
pindah penduduk dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan
maksud mencari nafkah atau menetap. Migrasi tersebut ada
yang terjadi karena didatangkan oleh seseorang atau suatu lembaga, ada juga yang terjadi berdasarkan kemauan sendiri.
Pola migrasi di Sumatera Utara umumnya bermotif ekonomi,
yang didukung oleh faktor sosial, seperti: berbedanya tingkat
kemakmuran antara desa dengan kota, tingkat konsumsi dan produksi rata-rata per kapita di pedesaan lebih rendah
dibandingkan di perkotaan, pertumbuhan ekonomi di pedesaan
lebih lambat dibandingkan di perkotaan (Suwarno dan Leinbach 1985:68).
Sumatera Utara adalah termasuk ke dalam salah satu
daerah tujuan migrasi yang terkenal di Indonesia bahkan
kawasan Asia, karena didukung oleh perkembangan ekonominya yang pesat. Daerah ini memerlukan jumlah tenaga
kerja yang relatif banyak, dan memerlukan pekerja-pekerja
yang terampil dan berkemauan keras untuk maju di dalam bidangnya. Para migran pun sadar akan harapan-harapan yang
realistik yang dijanjikan di daerah ini. Faktor lain tingginya
migrasi ke Sumatera Utara disebabkan oleh faktor budaya majemuk. Orang yang bermigrasi ke wilayah ini dapat
langsung membaur dengan kelompok etniknya--tidak harus
melebur dalam budaya lain. Latar belakang orang
bermigrasi ke Sumatera Utara juga beraneka ragam antara lain, yaitu: mencari kesempatan kerja, pindah kerja,
ditugaskan oleh kantor, tertarik dengan kehidupan kota,
bosan tinggal di desa, ingin mandiri dari orang tua, ikut orang tua, sekolah, dan sebagainya. Sejak zaman Belanda hingga
sekarang imigrasi ke Sumatera Utara terus berlangsung.
usually set at unity. In one version of this equation, the so-called P1P2/D hypothesis, the populations of the end points of the movement are taken as the X factor." (Patersen 1995:287).
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
113
Daerah Sumatera Timur mengalami peningkatan jumlah
penduduk sebesar 300% sejak tahun 1905 sampai 1930, yang disebabkan oleh berkurangnya peperangan, perbaikan
kesehatan, menurunnya jumlah kematian anak, dan terutama
kedatangan migran dari luar daerah, yang umumnya
didatangkan untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan di Sumatera Utara (Langenberg 1976:37-38). Khususnya
ekspansi pertanian perkebunan di Sumatera Timur mempunyai
pengaruh yang mencolok dalam keadaan demografis, yaitu dalam waktu singkat penduduk asli Sumatera Timur yang
terdiri dari Melayu, Karo, dan Simalungun jumlahnya
dilampaui oleh suku-suku pendatang, terutama Jawa dan Tionghoa.
Pada tahun 1930, kepadatan penduduk di areal
perkebunan di Sumatera Timur mencapai 200 jiwa/km², yakni
tertinggi di Pulau Sumatera (Langenberg 1976: 40). Perkem-bangan perkebunan yang diikuti pembangunan berbagai
prasarana seperti jalan raya, jalur kereta api, dan jembataan,
menjadi daya tarik bagi pendatang-pendatang yang bermigrasi ke Sumatera Timur ini. Sehubungan dengan pembuatan
prasarana-prasarana ini, sultan-sultan, para pedagang, pejabat-
pejabat pemerintah Belanda dan semua orang kecuali para nelayan mulai pindah ke pedalaman sepanjang jalan raya atau
jalur kereta api, khususnya kota-kota baru. Sebagai contoh
perpidahan, dari Tanjung Pura ke Binjai, dari Rantau
Panjang ke Lubuk Pakam, dan sebagainya (Pelzer 1985:88). Pada awal abad ke-20, lima kota di Sumatera Timur,
yaitu: Medan, Pematang Siantar, Tebing Tinggi, Tanjung
Balai, dan Binjai ditetapkan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai gemeente (kotapraja), dan dengan demikian
berkembang sebagai pusat ekonomi, politik, dan sosial serta
budaya. Lain halnya dengan daerah Tapanuli, di Sumatera
Timur terlihat bertumbuhnya kelas menengah berpendidikan dan golongan pekerja (proletariat). Kekuatan-kekuatan sosial
Bab III: Masyarakat Melayu Sumatera Utara
114
yang muncul di kota, memegang peranan penting dalam
perkembangan sosial, politik dan kebudayaan.
Peta 3.2
Dunia Melayu
Sumber: The Encyclopedia of Malaysia (jilid 4, p. 76)
Dengan demikian, di Sumatera Timur, mobilitas sosial
yang tinggi termasuk urbanisasi merupakan faktor utama dari
terjadinya perubahan sosial. Jika kita memberi perhatian pada kedatangan para migran yang menonjol di Sumatera Timur,
maka kita dapat temui bahwa banyak kuli didatangkan oleh
para pengusaha perkebunan melalui agen-agen, terutama masyarakat Tionghoa dan Tamil pada mulanya, dan kemudian
disusul etnik Jawa.
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
115
Peta 3.3
Sumatera Timur Dasawarsa 1940-an
Sumber: Langenberg (1975:45)
Bab III: Masyarakat Melayu Sumatera Utara
116
Tabel 3.1
Jumlah Berbagai Etnik di Sumatera Timur Tahun 1930
Etnik Jumlah %
Eropa 11,079 0.7
China 192,822 11.4
India dan lainnya 18,904 1.1
Subtotal Non-Pribumi 222,805 13.2
Jawa 589,836 35
Batak Toba 74,224 4.4
Mandailing-Angkola 59,638 3.5
Minangkabau 50,677 3
Sunda 44,107 2.6
Banjar 31,266 1.8
Aceh 7,795 0.5
Lain-lain 24,646 1.5
Subtotal Pendatang 882,189 52.3
Melayu 334,870 19.9
Batak Karo 145,429 8.6
Batak Simalungun 95,144 5.6
lain-lain 5,436 0.3
Subtotal Pribumi Sumatera Timur 580,879 34.5
Jumlah seluruhnya 1,685,873 100
Sumber: Anthony Reid (1987:85)
Tabel 3.2
Jumlah Tenaga Kerja Perkebunan Berdasarkan
Masyarakat Tionghoa, Jawa, India dan lainnya di Sumatera
Timur 1884-1929
Tahun 1884 1900 1916 1920 1925 1929
Tionghoa 21,136 58,516 43,689 23,900 26,800 25,934
Jawa 1,771 25,224 150,392 212,400
168,400 239,281
India dll 1,528 2,460 - 2,000 1,500 1,019
Sumber: Anthony Reid (1987:61)
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
117
Setelah selesai dari kontrak dengan perkebunan para bekas kuli banyak yang menjadi petani penyewa tanah.
Masyarakat Tionghoa bekas kuli, selain menjadi petani
penanam sayur-sayuran, banyak juga yang berpindah ke kota-
kota memasuki sektor perdagangan. Etnik Jawa bekas kuli banyak mendirikan pemukiman yang selalu disebut sebagai
Kampung Jawa, atau menjadi tenaga kerja di kota-kota di
Sumatera Timur. Kawasan ini juga menjadi tujuan para perantau dari Minangkabau, Mandailing dan Angkola--yang
daerah asal mereka masuk pada kekuasaan Belanda sejak paruh
pertama abad ke-19, beberapa dasawarsa sebelum Belanda masuk ke Sumatera Timur. Mereka sebagian besar bergerak di
bidang perdagangan dan jasa, dan banyak yang diterima
menjadi pegawai di perkantoran, karena mereka sudah
berpendidikan di bawah kebijakan Belanda. Keadaan ini membantu para pengusaha Belanda merekrut tenaga kerja yang
berpendidikan, untuk dipekerjakan sebagai juru tulis, mantri
ukur, ahli mesin, atau untuk kedudukan-kedudukan kecil lainnya. Ketiga golongan tersebut adalah pemeluk agama Islam,
dan karena itu dapat diterima oleh masyarakat Islam yang
dominan di daerah Pesisir Sumatera Timur (Pelzer 1985:83). Orang Batak Toba dari dataran tinggi Tapanuli Utara
juga banyak bermigrasi ke Sumatera Timur, sejak awal abad
ke-20, terutama sebagai petani penanam padi yang diperlukan
untuk memenuhi permintaan makanan yang bertambah banyak di areal perkebunan dan sebagai pegawai pemerintah, dan ahli
teknologi yang telah berpendidikan di sekolah-sekolah
Kristen. Namun karena mereka umumnya beragama Kristen (Protestan), maka kurang diterima baik oleh orang-orang
Islam di daerah pesisir ini (Pelzer 1985:83).
Sedangkan fihak pemerintah Belanda mendukung
kedatangan migran suku Batak Toba yang beragama Kristen ini ke Sumatera Timur dengan maksud menentang gerakan
Bab III: Masyarakat Melayu Sumatera Utara
118
perlawanan terhadap Belanda oleh orang-orang Islam
(Langenberg 1976:42). Dengan demikian, tidaklah mengheran-
kan jika di daerah Sumatera Timur, khususnya di kota-kota terbentuk masyarakat heterogen dalam beberapa dasawarsa
pada awal abad ke-20 sebagaimana yang dapat dilihat pada
Tabel 3.2. Namun kota-kota tersebut tidak berfungsi sebagai
wadah pembauran (melting pot) (Pelzer 1985:47-48). Di antara kelompok-kelompok etnik tidak terjadi
integrasi dan asimilasi dengan satu sama lain, akan tetapi lebih
mencolok terbentuknya pemukiman-pemukiman yang dihuni oleh kelompok warga satu etnik yang tertentu, yang
memisahkan dirinya dengan etnik lain. Setiap kelompok
dipersatukan oleh ikatan adat yang dibawa dari tempat asalnya
dan perlindungan atas warganya masing-masing. Begitu juga dengan pendatang dari luar Nusantara seperti orang
Tionghoa, Arab, India, dan Eropa, yang membentuk
pemukiman masing-masing. Pada umumnya pemukiman elit orang Eropa dan pemukiman pendatang asal suku Tionghoa,
Arab, India, masing-masing menempati pusat kota, dan di
sekelilingnya terdapat pemukiman-pemukiman kelompok etnik pribumi. Pendatang baru mendapat kemudahan untuk
menyesuaikan diri dengan kehidupan di rantau di bawah
perlindungan pemukiman tersebut. Di dalam pemukiman itu
sendiri setiap kelompok masyarakat biasanya menggunakan bahasa daerahnya masing-masing dan menjaga kelangsungan
kehidupan berdasarkan norma-norma tradisional dan
agamanya. Dengan demikian budaya yang dibawa dari tempat asal
masing-masing kelompok terjaga. Mereka masing-masing
membentuk jaringan sosial dengan para migran baru yang berasal dari kelompok etnik yang sama.
Sesudah terwujudnya kemerdekaan Republik Indonesia, di
kota-kota Sumatera Utara muncul kelompok orang kaya baru
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
119
yang terdiri dari beberapa golongan, seperti: pegawai,
pengusaha, politikus, pemodal besar, ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), ahli teknologi dan lain-lain
(Pelly 1986:11).
Mereka yang merupakan elit pribumi baru membentuk
pemukiman baru yang bersifat netral, dan kehadirannya dipandang sebagai kelas eksekutif. Dengan demikian, di kota-
kota Sumatera Utara tersusun masyarakat majemuk yang
segregatif. Orang hidup berdampingan secara fisik, tetapi karena perbedaan suku, agama, dan status sosial, mereka
terpisah dalam kelompok-kelompok atau unit-unit sosial yang
segregatif (Pelly 1985:70). Kehidupan masyarakat perkotaan yang segregatif ini diperkuat oleh kesamaan dalam kehidupan
sosial, ekonomi, dan agama seperti pemilihan jenis pekerjaan,
organisasi-organisasi sosial atau agama dan pendidikan formal
dan informal (Pelly 1985:5). Dalam hal ini tidak jarang terjadi dominasi dari satu
kelompok suku dalam kegiatan ekonomi dan distribusi
pendapatan dapat menimbulkan kesenjangan sosial dan suasana tidak akrab. Akibatnya membuat masyarakat terikat
pada pandangan stereotip dan berbagai prasangka terhadap
kelompok lain. Namun di sisi lain, tuntutan berbangsa dan bernegara
memaksa mereka untuk bersatu pula, demi terwujudnya
stabilitas dan keharmonisan sosial. Salah satu wujud sikap
persatuan dan kesatuan ini, terdapat dalam seni Melayu. Keadaan ini menjadi keunikan tersendiri dalam konteks
budaya heterogen di Sumatera Utara. Dengan demikian,
keadaan ini menggambarkan bhinneka tungal ikanya kebudayaan di daerah ini dan Indonesia umumnya.
3.5 Etnik Melayu di Sumatera Utara Kesenian Melayu adalah cerminan dari identitas etnik
Melayu. Seperti sudah dikemukakan sebelumnya, di dalam
Bab III: Masyarakat Melayu Sumatera Utara
120
seni persembahan Melayu terdapat unsur heterogenitas budaya,
akulturasi, pemungsiannya pada segenap strata sosial (awam
dan bangsawan), dan lain-lain. Keberadaan seni Melayu ini didasari oleh identitas etnik Melayu. Untuk dapat
memahami siapakah orang Melayu, yang menjadi pendukung
seni Melayu, maka sebelumnya dijelaskan pengertian
kelompok etnik (ethnic group). Naroll memberikan pengertian kelompok etnik sebagai suatu populasi yang: (1) secara
biologis mampu berkembang biak dan bertahan; (2)
mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya; (3) membentuk
jaringan komunikasi dan interaksi sendiri; dan (4)
menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh
kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain (Narol 1965:32).
Selain dari itu, pendekatan untuk menentukan sebuah
kelompok etnik harus melibatkan beberapa faktor: etnosains, yaitu pendapat yang berasal dari masyarakatnya; bantuan
ilmu-ilmu pengetahuan dan ilmuwan dari beberapa disiplin;
wilayah budaya; masalah-masalah pembauran (integrasi), disintegrasi, kepribadian, perkawinan, kekerabatan, sistem
galur keturunan, religi, dan sejumlah faktor sosial lain-nya.
Kelompok etnik (suku bangsa) merupakan golongan sosial
yang dibedakan dari golongan-golongan sosial lainnya, karena mempunyai ciri-ciri yang paling mendasar dan umum berkaitan
dengan asal-usul, tempat, serta budayanya. Kelompok etnik
adalah segolongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitasnya yang diperkuat oleh kesamaan bahasa. Kesamaan
dalam kesenian, adat-istiadat, dan nenek moyang merupakan
ciri-ciri sebuah kelompok etnik. Jika ras lebih dilihat dari perbedaan fisik, maka etnik lebih dilihat dari perbedaan
kebudayaan dalam arti yang luas. Satu ras boleh terdiri dari
berbagai macam kelompok etnik yang berbeda.
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
121
Di dalam sebuah kelompok etnik bisa saja terjadi
diferensiasi sosial. Sebuah kelompok etnik terbentuk dari sejumlah orang yang menghendaki hidup bersama, dalam
waktu yang lama, dan di suatu tempat yang sama. Mereka
mengadakan interaksi yang tetap, memiliki sistem nilai,
norma, dan kebudayaan yang mengikat mereka menjadi satu kesatuan. Dengan adanya berbagai kesamaan yang
mereka miliki, mereka menjadi satu kesatuan dalam
masyarakat. Namun, di dalam suatu masyarakat ada pemisahan dan pembagian karena adanya perbedaan tertentu,
seperti: jenis kelamin, klen, pekerjaan, politik, dan lainnya.
Perbedaan-perbedaan sosial ini menyebabkan masyarakat terbagi dalam kelompok-kelompok tertentu, namun tidak
bererti terpisah dari masyarakatnya. Keadaan ini disebut
diferensiasi sosial, yang dapat diartikan sebagai suatu
proses setiap individu di dalam masyarakat memperoleh hak-hak dan kewajiban yang berbeda dengan orang lain di dalam
masyarakat, atas dasar perbedaan-perbedaan sosial. Demikian
pula yang terjadi dalam kebudayaan Melayu.
3.5.1 Pengertian Melayu Sebagai Kelompok Etnik Sampai sekarang, definisi Melayu belum disepakati
oleh para ilmuwan, karena pengertian Melayu itu maknanya
dapat berbeda-beda sesuai dengan konteksnya. Untuk dapat
memahami pengertian Melayu sebagai kelompok etnik,
biasanya selalu ditelusuri melalui munculnya istilah Melayu, yaitu sebuah kerajaan di daerah Jambi, yang ada pada masa
Kerajaan Sriwijaya.
3.5.2 Asal-usul Istilah Melayu dari Kerajaan Melayu di
Jambi Jika kita menelusuri sumber sejarah yang menyangkut
Melayu, maka kata Melayu sudah disebut-sebut dalam catatan I-Tsing yang mengunjungi Sriwijaya pada tahun 672. Kata
Bab III: Masyarakat Melayu Sumatera Utara
122
Melayu dipakai sebagai nama tempat yang menunjukkan
Jambi sekarang (Tsurumi Yoshiyuki 1981:78). Berdasarkan
kronik Dinasti T'ang di China, terdapat nama kerajaan di Sumatera yang disebut Mo-Lo-Yue pada tahun 644 dan 645
Masehi. Seorang pendeta Budha China yang bernama I-Tsing
dalam perjalanannya ke India pernah tinggal di Sriwijaya
(She-li-fo-she) untuk mempelajari bahasa Sanskerta selama enam bulan. Dari Sriwijaya ini I-Tsing menuju ke
Kerajaan Melayu dan tinggal di sana selama enam bulan,
sebelum berangkat ke Kedah dan ke India. Dalam perjalanannya pulang ke China pada tahun 685 dia singgah di
Kerajaan Melayu, yang sudah ditaklukkan oleh Sriwijaya
(tahun 645-685 M). Menurut I-Tsing, pelayaran dari
Sriwijaya ke Melayu memerlukan waktu lima belas hari (Luckman Sinar 1994:2).
Menurut Casparis, Kerajaan Melayu ditaklukkan Sriwijaya
sebelum tahun 688, sesuai dengan prasasti di Karang Berahi di tepi Sungai Merangin, yaitu cabang Sungai Batang Hari, di
Hulu Sungai Jambi. Pada masa akhir abad ke-11 sampai tahun
1400, Kerajaan Melayu pulih kembali. Kerajaan Melayu bekerjasama dengan Kerajaan Singasari dari Jawa, yang
mengirimkan pasukan dalam jumlah besar, untuk
menghancurkan Sriwijaya. Peristiwa itu terkenal dengan
ekspedisi Pamalayu, terjadi tahun 1275--serta dikirimnya arca Amoghapasa Lokeswara tahun 1286 di Padang Roco, yang
membuat rakyat Kerajaan Melayu gembira, terlebih lagi rajanya
Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa. Selanjutnya tahun 1347 di belakang arca itu kemudian ditulis prasasti Raja
Adityawarman, raja Melayu Damasraya, penerus Kerajaan
Melayu ini. Kerajaan Melayu dan Sriwijaya menggunakan bahasa dan aksara Melayu kuna (Luckman Sinar 1994:3).
Pada abad ke-12 sampai ke-14, Jambi merupakan salah
satu dari tiga bandar penting di Pesisir Timur Sumatera, yaitu:
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
123
(1) Jambi, (2) Palembang di sebelah selatan, dan (3) Kota
China di Kerajaan Haru/Deli tepatnya di Labuhan Deli sebelah utara (Hasan M. Hambari 1980:51-63).
Kerajaan Melayu di Jambi ini, dalam tulisan-tulisan
sejarah berbahasa Arab dan Persia disebut dengan Kerajaan
Zabaq--yang dapat diidentifikasikan dengan nama tempat Muara Sabak di daerah Tanjung Jabung di muara Sungai
Batanghari. Letak pusat Kerajaan Melayu di hulu Sungai
Batanghari itu hanya dapat dijangkau dengan naik sampan, dengan alasan kemananan, tetapi kerajaan ini mengawasi
sumber tambang emas dari daerah pedalaman Sumatera Barat.
Meskipun kemudian Kerajaan Melayu yang berpusat di hulu Sungai Jambi itu di masa Raja Adityawarman (1347)
dipindahkan ke wilayah Saruaso Minangkabau, dia tidak
pernah menyebut kerajaan ini dengan Kerajaan Minangkabau,
tetapi sebagai Kanakamedininindra Suwarnabhumi (Penguasa Negeri Emas), yang dahulunya dikuasai Kerajaan Melayu dan
Sriwijaya (Luckman Sinar 1994:3).
R. C. Rajumdar mengatakan bahwa ada satu suku di India yang bernama Malaya, yang disebut orang Yunani sebagai
Malloi. Selain itu ada gunung Malaya yang menjadi sumber
kayu sandal, yang di dalam kitab Purana disebut sebagai salah satu dari tujuh batas (kulaparvatas) pegunungan di
India. Banyak lagi nama-nama tempat di Asia Tenggara dan
Nusantara yang namanya berasal dari India. Ada legenda pada
orang Melayu Minangkabau bahwa leluhur mereka berasal dari India, yaitu Sang Sapurba yang turun dari Bukit
Siguntang Mahameru bersama dua saudaranya yang lain
(Luckman Sinar 1994:6). Kerajaan Sriwijaya dan Melayu mulai pudar karena
serangan Majapahit tahun 1365. Selanjutnya orang-orang Jawa
menguasai daerah ini. Namun bahasa Melayu yang telah
menjadi bahasa pengantar di Nusantara sejak disebarkannya oleh Kerajaan Sriwijaya dan Melayu sejak abad keenam, serta
Bab III: Masyarakat Melayu Sumatera Utara
124
adat-istiadat raja-rajanya yang dibawa Parameshwara ke
Melaka tahun 1400, memberikan kontribusi pada budaya
Jawa. Setelah hancurnya Kerajaan Sriwijaya, Melayu, dan Damasraya, maka budaya Melayu berpusat di Pasai dan
Melaka. Kerajaan Melayu di Melaka yang didirikan oleh
Paramesywara pada tahun 1400. Imperium ini mengembangkan
budaya Melayu, termasuk agama Islam awalnya ke pesisir timur Sumatera. Kemudian Kalimantan, dan ke seluruh
Semenanjung Tanah Melayu sampai Patani di Thailand sebelah
selatan
3.5.3 Pengertian Melayu sebagai Ras, Budaya, dan Orang
yang Beragama Islam
Istilah Melayu biasanya dipergunakan untuk mengiden-tifikasi semua orang dalam rumpun Austronesia yang meliputi
wilayah Semenan-jung Malaya, kepulauan Nusantara,
kepulauan Filipina, dan Pulau-pulau di Lautan Pasifik Selatan. Dalam pengertian umum, orang Melayu adalah
mereka yang dapat dikelompokkan pada ras Melayu. Dengan
demikian, istilah Melayu sebagai ras ini mencakup orang-orang yang merupakan campuran dari berbagai suku di
kawasan Nusantara.
Ras Melayu yang sudah memeluk agama Islam pada abad
ke-13, identitas budanyanya selalu dipandang berbeda dengan masyarakat ras Proto-Melayu pedalaman, yaitu orang
Batak Toba, Karo, Simalungun, Pakpak-Dairi, yang masih
menganut kepercayaan mereka sendiri; baik oleh mereka sendiri mahupun orang luar. Namun demikian, di sisi lain
terjadi adaptasi/asimilasi orang Batak dengan orang Melayu
jika masuk agama Islam Ada perbedaan mengenai pengertian Melayu ini di
Indonesia, Malaysia, dan Singapura, seperti yang dikemukakan
oleh Vivienne Wee.
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
125
As we shall see further below, it is clear that
'Malayness' in Indonesia is indeed different from
'Malayness' in Singapore and Malaysia. This difference is directly related to the perception of the respective
governments. The Singapore government regards
'Malay' as a 'race', a genetically engendered category in
the state-imposed system of ethnicity. ... In Singapore, a
Christian English speaking 'Malay' is still legally
considered 'Malays'. Indeed there is apparently a
sufficient number of Christian 'Malays', that they are
considering setting up a Malay Christian Association. ...
In Malaysia, however, 'Malayness' is constitutionally
tied to Islam, such that a 'Malay' convert to Christianity
would no longer the legally considered 'Malay'. This was stated to me categorically by Anwar
Ibrahim, a Minister in the Malaysian Cabinet. But
not all Malaysian Muslims qualify as 'Malays': the
constitutional category 'Malay' includes only Muslims
who speak Malay, conform to Malay custom, and who
were borm in Malaysia or born of Malaysia parents.
In contrast to the governments of Singapore
and Malaysia, the Indonesian government evidently has
no interest in giving a legal definition of 'Malayness'. In
Indonesia, 'Malay' or Melayus just one label in the loose
array of regional identitases that people may profess. In
other words, from the Indonesian governement's point of view, anyone who wants to identify herself/himself as
Melayu may do so; conversely, if she/he does not want
to do so, then she/he may choose practically any other
regional identity. The Indonesian government's laissez-
faire attitude towards the ethnic labelling of the
population is evident in the identity cards issued to all
citizens. Whereas the identity cards issued by the
Singapore and Malaysia governments stipulate the
respective ethnic labels of their citizens, the
Indonesian identity card does not include any ethnic
Bab III: Masyarakat Melayu Sumatera Utara
126
labelling. So in Indonesia, 'Malayness' is a matter of
subjective-identification, rather than objective category
belonging to legally imposed set (Vivienne Wee 1985:7-
8).
Menurut Wee, di Indonesia arti Melayu berbeda dengan yang di Singapura dan Malaysia. Perbedaan ini secara
langsung berkaitan erat dengan persepsi pemerintahan masing-
masing. Pemerintah Singapura memandang Melayu sebagai
sebuah ras, sebuah kategori yang dihasilkan berdasar keturunan dalam sistem etnisitasnya. Di Singapura, seorang
yang rasnya Melayu, beragama Kristen, dan berbahasa
Inggeris, secara syah dianggap sebagai Melayu. Dalam kenyataannya terdapat sejumlah kecil orang Melayu Kristen,
dan mereka dipandang sebagai suatu Asosiasi Kristen Melayu
di Singapura. Di Malaysia, Melayu secara konstitusional diikat
identitasnya dengan agama Islam, dan jika seorang Melayu
menjadi Kristen, dia tidak dipandang lagi sebagai Melayu.
Namun demikian, tidak semua orang Islam Malaysia dipandang sebagai Melayu: konstitusi Malaysia menyatakan
bahwa orang Melayu itu hanyalah orang Islam yang
berbahasa Melayu, mengikut adat-istiadat Melayu, lahir di Malaysia, atau lahir dari orang tuanya yang berkebangsaan
Malaysia.
Berbeda dengan pemerintah Singapura dan Malaysia, pemerintah Indonesia, tidak begitu berminat memberikan
definisi secara legal terhadap Melayu. Di Indonesia, Melayu
adalah satu istilah yang mengandung makna identitas regional
berdasar pengakuan penduduknya. Dengan kata lain, dalam pandangan pemerintah Indonesia, seseorang dapat saja
menyatakan dirinya sendiri sebagai atau bukan sebagai orang
Melayu, dan dia boleh saja memilih identitas regional. Pemerintah Indonesia tidak mencantumkan label etnik dalam
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
127
kartu tanda penduduk bagi seluruh warga negaranya.
Pemerintah Singapura dan Malaysia mencantumkan label etnik ini. Menurut Wee, pengertian Melayu di Indonesia bersifat
subjektif.
Untuk menjangkau pengertian Melayu dalam wawasan
yang lebih luas, perlu juga diperhatikan pendapat dari orang-orang dari luar Melayu. Dalam pandangan orang-orang Eropa
pada umumnya, yang dimaksud Melayu itu selalu dikaitkan
dengan istilah yang dipakai oleh I-Tsing.
Malayan; Malay; (occasionally) Moslem, e.g.
masok Melayu (to turn Mohammedan). In early times
the word did not cover the whole Malay word; and
even Abdullah draws a distinction between anak
Melaka [Melaka native] and Orang Melayu (Hikayat
Abdullah 183). It would seem from one passage
(Hang Tuah 200) that the word limited geographically to one area, became associated with a
standard of language and was extended to all who
spoke 'Malay'. The Malay Annals speak as a sungai
Melayu [Melayu River]; I-tsing speaks of Sri Vijaya
conquering the 'Moloyu' country; Minangkabau has
a 'Malayu' clan (suku); Rajendracola's conquests (A.D.
1012 to 1042) covered Melayu and Sri Vijaya as a
separate countries; the Siamese records claim Malacca
and Melayu as a separate entities. Rouffaer identifies
Melayu with Jambi (Wilkinson 1959:755).
Menurut Wilkinson seperti dikutip di atas, seorang
Melayu adalah beragama Islam. Misalnya masuk Melayu
bererti masuk Islam. Pada zaman dahulu, kata Melayu tidak mencakup keseluruhan Dunia Melayu (Alam Melayu1)
12 yang
12Istilah dunia dan alam dalam bahasa Melayu, diserap dari bahasa
Arab, yang ertinya adalah dunia yang kita tempati sekarang ini. Istilah alam berkaitan pula ertinya dengan konsep-konsep mistis dalam Islam, seperti
Bab III: Masyarakat Melayu Sumatera Utara
128
sekarang ini. Misalnya Abdullah bin Abdulkadir Munsyi,
seorang pujangga Melayu ternama, membedakan antara anak
Melaka dan Orang Melayu. Kata Melayu menunjukkan sebuah kawasan, yang dikaitkan dengan bahasa yang
mereka pakai yaitu bahasa Melayu. Dalam Sejarah Melayu
diceritakan tentang sebuah sungai yang bernama Sungai
Melayu. I-Tsing menceritakan bahwa Sriwijaya menguasai negeri Moloyu. Masyarakat Minangkabau mempunyai
sebuah suku yang disebut Melayu. Rajendra Coladewa (1012
sampai 1042) yang menak-lukkan Melayu dan Sriwijaya sebagai dua negeri yang terpisah. Rekaman-rekaman sejarah
di Thailand menyatakan bahwa Melaka dan Melayu adalah
sebuah entitas yang terpisah. Rouffaer mengidentifikasikan
Melayu dengan Jambi. Ketika orang-orang Portugis dan orang-orang Barat
lainnya (Inggris, Belanda) datang ke kawasan ini, maka
mereka mengenal orang Melayu yang dikaitkan erat dengan agama Islam. Oleh karena bahasa Melayu sudah menjadi
bahasa pengantar (lingua franca) di kawasan Nusantara dan
sebagian besar mereka beragama Islam, maka orang-orang Barat ini memandang secara umum semua penghuni Nusantara
ini sebagai orang Melayu, walau dalam kenyataannya
masyarakat di Nusantara terdiri dari berbagai etnik dan
menggunakan bahasa daerahnya masing-masing pula. Dalam kebudayaan Melayu, garis keturunan ditentukan
berdasarkan pada garis keturunan bilateral, yaitu garis
keturunan dari pihak ayah ataupun ibu--namun dengan
alam kandungan, alam arwah, alam barzakh, alam samar, alam malakul,
alam al-mithai, alam al-insan al-kamil. Dalam bahasa Arab, kata alam mempunyai beberapa arti. Misalnya Allahu Alam berarti (Allah Yang Maha Tahu), al-ghuyub berarti mengetahui hal-hal yang bersifat rahasia. Lihat: (1) Wilkinson (1959:16); (2) Awang Sujai Hairul dan Yusoff Khan (ed.) (1986); (3) W. J. S. Poerwadarminta (ed.) (1965); (4) Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) (5) William Marsden (1984) dan (6) R. J. Wilkinson (1970).
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
129
masuknya agama Islam dalam kehidupan etnik Melayu yang
dijadikan pandangan hidupnya, maka garis keturunan cenderung ke arah garis keturunan patriachart, yaitu berdasar
kepada pihak ayah.
Meskipun akar kebudayaan etnik Melayu itu satu rumpun,
namun juga ada perbedaan-perbedaan kecil yang membedakan etnik Melayu di daerah yang satu dengan
daerah lainnya. Sebagai contoh konkret, misalnya dialek etnik
Melayu di Deli Serdang dengan Asahan berbeda--misalnya menyebutkan kata kemana, etnik Melayu Deli Serdang akan
menyebutnya kemane sedangkan etnik Melayu Asahan akan
menyebutnya kemano. Menurut Zein, yang dimaksud dengan Melayu adalah
bangsa yang menduduki sebagian besar pulau Sumatera serta
pulau- pulau Riau-Lingga, Bangka, Belitung, Semenanjung
Melaka, dan Pantai Laut Kalimantan. Banyak orang menyangka bahwa nama Melayu itu artinya lari, yang
berasal dari bahasa Jawa--yaitu lari dari bangsa sendiri dan
menganut agama Islam. Namun nyatanya nama Melayu sudah lama terpakai sebelum agama Islam datang ke
Nusantara ini. Jadi menurut Zein pernyataan di atas adalah
salah. Menurutnya, istilah Melayu itu adalah kependekan dari Malayapura, yang artinya adalah kota di atas bukit Melayu,
kemudian dipendekkan menjadi Malaipur, kemudian menjadi
Malaiur, dan akhirnya menjadi Melayu (Zein 1957:89).
3.5.4 Etnik Melayu Terbentuk dari Proses Campuran
Antara Ras Melayu
Menurut Tengku Lah Husni, orang Melayu adalah kelompok yang menyatukan diri dalam ikatan perkawinan antar
suku, dan selanjutnya memakai adat resam serta bahasa
Melayu dalam kehidupan sehari-hari (Lah Husni 1975:7).
Selanjutnya Husni menyebutkan lagi, bahwa orang Melayu Pesisir Sumatera Timur merupakan turunan campuran antara
Bab III: Masyarakat Melayu Sumatera Utara
130
orang Melayu yang memang sudah menetap di Pesisir
Sumatera Timur dan suku-suku Melayu pendatang, seperti
Johor, Melaka, Riau, Aceh, Mandailing, Jawa, Minangkabau, Karo, India, Bugis, dan Arab, yang selanjutnya memakai
adat resam dan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar
dalam pergaulan antara sesamanya atau dengan orang dari
daerah lain, serta yang terpenting adalah beragama Islam. Suku Melayu itu berdasarkan falsafah hidupnya, terdiri
dari lima dasar: Islam, beradat, berbudaya, berturai, dan
berilmu (Lah Husni 1975:100). Berturai maksudnya adalah mempunyai susunan-susunan sosial, dan berusaha menjaga
integrasi dalam perbedaan-perbedaan di antara individu.
Ketika seorang pejabat pemerintah Inggeris, yang
bernama John Anderson berkunjung ke Sumatera Timur pada tahun 1823, dia menjelaskan bahwa pemukiman orang
Melayu merupakan jalur yang sempit terbentang di sepanjang
pantai. Penghuni-penghuni di Sumatera Timur tersebut, diperkirakan sebagai keturunan para migran dari berbagai
daerah kebudayaan, seperti: Semenanjung Melaka, Jambi,
Palembang, Jawa, Minangkabau, dan Bugis, yang telah menetap dan bercampur baur di daerah setempat (Pelzer
1985:18-19).
Percampuran dan adaptasi Melayu dalam pengertian
sebagai kelompok etnik dengan kelompok etnik lain, terjadi di sepanjang pantai pulau Sumatera, Semenanjung Malaysia, dan
pesisir Kalimantan.
3.5.5 Sifat-sifat dan Adat Resam Sifat-sifat orang yang dikategorikan dalam Melayu
sering dibicarakan dalam berbagai kesempatan, yaitu mereka yang tingkah lakunya lemah lembut, ramah-tamah,
mengutamakan sopan-santun, menghormati tamu-tamu. Ini
semua tidak mengherankan jika dikaitkan dengan adanya
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
131
pengaruh-pengaruh dari luar dan sejumlah pendatang yang
mengunjungi daerah pesisir yang dihuni mereka. Kepentingan dagang menghendaki orang Melayu menciptakan suasana
penegakan orde dan hukum. Mereka pemberani, perajin, dan
mementingkan keharmonisan dalam melaksanakan mata
pencaharian mereka. Kesemuanya tidak bertentangan dengan agama Islam yang mereka anut (Luckman Sinar 1985:3).
Metzger yang mengkaji kekuatan dan kelemahan orang
Melayu berdasar sifat-sifat dan tingkah-lakunya, secara tegas menyatakan bahwa orang Melayu itu "unggul" dalam
bahasa, adat-istiadat, dan sistem pemerintahan. Kelemahan
orang Melayu [tertama di Malaysia] adalah suka mencampurbaurkan bahasa, misalnya: "I telefon you nanti."
Selain itu, kelemahan orang Melayu adalah kurang
menghargai budaya lama, "pemalas," dan kurangnya sifat
ingin tahu (Metzger 1994:158-175). Apa yang dikemukakan Metzger ini mungkin ada benarnya, namun kalau melihat asas
kebudayaan Melayu itu Islam, tentu sifat tersebut hanyalah
distorsi dari nilai-nilai positif Islam, dan sifatnya tidaklah umum.
Hal mendasar yang dijadikan identitas etnik Melayu
adalah adat resam, termasuk aplikasinya dalam lagu dan tari. Dalam bahasa Arab adat berarti kebiasaan, lembaga,
peraturan, atau hukum. Sedangkan dalam bahasa Melayu dapat
dipadankan dengan kata resam. Resam adalah jenis tumbuhan
pakis besar, tangkai daunnya biasanya dipergunakan untuk kalam, alat tulis untuk menulis huruf-huruf Arab. Arti lain kata
resam adalah adat. Jadi dalam bahasa Melayu yang sekarang
ini, adat dan resam sudah digabung menjadi satu yaitu adat resam.
Menurut Lah Husni adat pada etnik Melayu tercakup
dalam empat ragam, yaitu: (1) adat yang sebenar adat; (2)
adat yang diadatkan; (3) adat yang teradat, dan (4) adat istiadat. (1) Adat yang sebenar adat adalah apabila menurut
Bab III: Masyarakat Melayu Sumatera Utara
132
waktu dan keadaan, jika dikurangi akan merusak, jika dilebihi
akan mubazir (sia-sia). Proses ini berdasar kepada: (a) hati
nurani manusia budiman, yang tercermin dalam ajaran adat: Pisang emas bawa belayar, Masak sebiji di dalam peti; Hutang
emas dapat dibayar, Hutang budi dibawa mati. (b) kebenaran
yang sungguh ikhlas, dengan berdasar pada: berbuat karena
Allah bukan karena ulah; (c) keputusan yang berpadan, dengan berdasar kepada: hidup sandar-menyandar, pisang seikat
digulai sebelanga, dimakan bersama-sama. yang benar itu
harus dibenarkan, yang salah disalahkan. Adat murai berkicau, tak mungkin menguak. Adat lembu menguak, tak
mungkin berkicau. Adat sebenar adat ini menurut konsep
(etnosains) Melayu adalah: penuh tidak melimpah, berisi tidak
kurang, yang besar dibesarkan, yang tua dihormati, yang kecil disayangi, yang sakit diobati, yang bodoh diajari, yang
benar diberi hak, yang kuat tidak melanda, yang tinggi tidak
menghimpit, yang pintar tidak menipu, hidup berpatutan, makan berpadanan. Jadi ringkasnya, hidup itu seharusnya
harmonis, baik mencakup diri sendiri, seluruh negara, dan
lingkungan hidupnya. Tak ada hidup yang bernafsi-nafsi. Inilah adat yang tak boleh berubah (Lah Husni 1986:51).
(2) Adat yang diadatkan adalah adat itu bekerja pada
suatu landasan tertentu, menurut mufakat dari penduduk
daerah tersebut--kemudian pelaksanaannya diserahkan oleh rakyat kepada yang dipercayai mereka. Sebagai pemangku adat
adalah seorang raja atau penghulu. Pelaksanaan adat ini
wujudnya adalah untuk kebahagiaan penduduk, baik lahir ataupun batin, dunia dan akhirat, pada saat itu dan saat yang
akan datang. Tiap-tiap negeri itu mempunyai situasi yang
berbeda dengan negeri-negeri lainnya, lain lubuk lain ikannya lain padang lain belalangnya. Perbedaan keadaan,
tempat, dan kemajuan sesuatu negeri itu membawa resam dan
adatnya sendiri, yang sesuai dengan kehendak rakyatnya, yang
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
133
diwarisi dari leluhurnya. Perbedaan itu hanyalah dalam
lahirnya saja, tidak dalam hakikinya. Adat yang diadatkan ini adalah sesuatu yang telah diterima untuk menjadi kebiasaan
atau peraturan yang diperbuat bersama atas mufakat menurut
ukuran yang patut dan benar, yang dapat dimodifikasi
sedemikian rupa secara fleksibel. Dasar dari adat yang diadatkan ini adalah: penuh tidak melimpah, berisi tidak
kurang, terapung tidak hanyut, terendam tidak basah (Lah Husni
1986:62). (3) Adat yang teradat adalah kebiasaan-kebiasaan yang
secara berangsur-angsur atau cepat menjadi adat. Sesuai
dengan patah: sekali air bah, sekali tepian berpindah, sekali zaman beredar, sekali adat berkisar. Walau terjadi perubahan
adat itu, inti adat tidak akan lenyap: adat pasang turun-naik,
adat api panas, dalam gerak berseimbangan, antara akhlak
dan pengetahuan. Perubahan itu hanya terjadi dalam bentuk ragam, bukan dalam hakiki dan tujuan semula. Umpamanya
jika dahulu orang memakai tengkuluk atau ikat kepala dalam
suatu perhelatan, kemudian sekarang memakai kupiah itu menjadi pakaian yang teradat. Jika dulu berjalan berkeris atau
disertai pengiring, sekarang tidak lagi. Jika dulu warna
kuning hanya raja yang boleh memakainya, sekarang siapa pun boleh memakainya (Lah Husni 1986:62).
(4) Adat istiadat adalah kumpulan dari berbagai
kebiasaan, yang lebih banyak diartikan tertuju kepada
upacara khusus seperti adat: perkawinan, penobatan raja, dan pemakaman raja. Adat istiadat dalam pengertian upacara ini
mencakup siklus hidup orang Melayu. Dimulai ketika masih
janin dalam upacara melenggang perut. Kemudian saat lahir diadakan upacara menyambut bayi lahir, menabalkan nama
anak, dan akikah. Kemudian ketika remaja diadakan ritual
khitanan. Kemudian yang terbesar adalah perkawinan dengan
berbagai tahapannya. Sampai meninggal dunia diadakan upacara kematian. Jika hanya adat saja maka kecenderungan
Bab III: Masyarakat Melayu Sumatera Utara
134
penger-tiannya adalah sebagai himpunan hukum, misalnya:
hukum ulayat, hak azasi, dan lainnya
3.5.6 Tingkatan Kebangsawanan Melayu Seni persembahan Dunia Melayu bukan hanya didukung
oleh masyarakat kebanyakan (rakyat), tetapi juga oleh
golongan bangsawan. Oleh karena itu dikaji pula tingkatan kebangsawanan Melayu. Dalam kebudayaan Melayu dikenal
beberapa tingkat kebangsawanan. Menurut Tengku Luckman
Sinar (wawancara pada 23 September 2006), bangsawan dalam konsep budaya Melayu adalah golongan yang
dipercayakan secara turun-temurun menguasai sautu
kekuasaan tertentu. Namun demikian,seorang bangsawan
yang berbuat salah dalam ukuran norma-norma yang berlaku dalam kebudayaan, dapat saja dikritik bahkan diturunkan dari
kekuasaannya, seperti yang tercermin dalam konsep raja adil
raja disembah, raja lalim raja disanggah. Hirarki kekuasaan adalah dari Allah, kemudian berturut-turut ke
negara, raja, pimpinan, rakyat, keluarga, dan keturunannya.
Dalam kebudayaan Melayu, tingkatan golongan bangsawan itu adalah sebagai berikut: (1) Tengku (di Riau
disebut juga Tengku Syaid) adalah pemimpin atau guru--baik
dalam agama, akhlak, maupun adat-istiadat. Menurut
penjelasan Tengku Lah Husni (wawancara 17 Maret 1988), istilah Tengku pada budaya Melayu Sumatera Timur, secara
resmi diambil dari Kerajaan Siak pada tahun 1857. Dalam
konteks kebangsawanan, seseorang dapat memakai gelar Tengku apabila ayahnya bergelar Tengku dan ibunya juga
bergelar Tengku. Atau ayahnya bergelar Tengku dan ibunya
bukan Tengku. Jadi gelar Tengku secara genealogis diwariskan berdasarkan hubungan darah secara patrilineal.
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
135
(b) Syaid, adalah golongan orang-orang keturunan Arab
dan dianggap sebagai zuriat dari Nabi Muhammad. Gelar ini terdapat di Riau adalah Semenanjung Malaysia.
(c) Raja, yaitu gelar kebangsawanan yang dibawa dari
Inderagiri (Siak), ataupun anak bangsawan dari daerah
Labuhan Batu: Bilah, Panai, dan Kota Pinang. Pengertian raja di daerah Melayu tersebut adalah sebagai gelar yang
diturunkan secara genealogis, bukan seperti yang diberikan
oleh Belanda. Oleh pihak penjajah Belanda, gelar raja itu diberikan baik mereka yang mempunyai wilayah
pemerintahan hukum yang luas ataupun hanya mengepalai
sebuah kampung kecil saja. Pengertian raja yang diberikan Belanda ini adalah kepala atau ketua. Menurut keterangan
Sultan Kesebelas Kesultanan Deli, Tengku Amaluddin II,
seperti yang termaktub dalam suratnya yang ditujukan kepada
Gubernur Sumatera Timur tahun 1933, jika seorang wanita Melayu bergelar Tengku nikah dengan seorang bangsawan
yang bergelar Raden dari Tanah Jawa atau seorang bangsawan
yang bergelar Sutan dari Minangkabau (Kerajaan Pagaruyung), maka anak-anak yang diperoleh dari perkahwinan ini berhak
memakai gelar raja.
(d) Wan. Jika seorang wanita Melayu bergelar Tengku kawin dengan seorang yang bukan Tengku, dengan seseorang
dari golongan bangsawan lain atau masyarakat awam, maka
anak-anaknya berhak memakai gelar wan. Anak lelaki
keturunan mereka seterusnya dapat memakai gelar ini, sedangkan yang wanita tergantung dengan siapa dia menikah.
Jika martabat suaminya lebih rendah dari wan, maka gelar ini
berubah untuk anaknya, mengikuti gelar suaminya--dan hilang jika kawin dengan orang kebanyakan.
(e) Datuk. Terminologi kebangsawanan datuk ini,
awalnya berasal dari Kesultanan Acheh, baik langsung ataupun
melalui perantaraan Wakil Sultan Aceh di Deli. Gelar ini diberikan kepada seseorang yang mempunyai kekuasaan
Bab III: Masyarakat Melayu Sumatera Utara
136
daerah pemerintahan otonomi yang dibatasi oleh dua aliran
sungai. Batas-batas ini disebut dengan kedatuan atau
kejeruan. Anak-anak lelaki dari datuk dapat menyandang gelar datuk pula. Sultan atau raja dapat pula memberikan
gelar datuk kepada seseorang yang dianggap berjasa untuk
kerajaan dan bangsanya. Di Malaysia gelar datuk diperoleh
oleh orang-orang yang dianggap berjasa dalam pengembangan budaya Malaysia. Kemudian tingkatan datuk lainnya adalah
datuk seri dan datuk wira.
(f) Daeng, yang terdapat di Riau adalah golongan bangsawan yang merupakan keturunan bangsawan daripada
masyarakat Bugis dari Sulawesi. Seperti diketahui bahwa
masyarakat Bugis banyak yang menetap di kawasan Melayu
dan menjadi bagian dari etnik Melayu tempatan. (g) Kaja. Gelar ini dipergunakan oleh anak-anak wanita seorang datuk.
(h) Encik dan Tuan adalah sebuah terminologi untuk
memberikan penghormatan kepada seseorang, lelaki atau wanita, yang mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu dalam
berbagai bidang sosial dan budaya seperti: kesenian, dagang,
bahasa, agama, dan lainnya. Panggilan itu bisa diucapkan oleh sultan, raja, bangsawan, atau masyarakat kebanyakan
13
Sesuai dengan peralihan zaman, maka penggolongan
kebangsawanan ini tidak lagi dominan dan memberi pengaruh
yang luas dalam konteks sosial budaya etnik Melayu di Sumatera Utara, walaupun biasanya golongan bangsawan tetap
mempergunakan gelarnya. Kini yang menjadi orientasi
kehidupan sebagian besar etnik Melayu adalah menyerap ilmu
13Tingkatan-tingkatan bangsawan Melayu Sumatera Timur ini, diolah
dari penjelasan yang dikemukakan para narasumber: (1) Tengku Lah Husni, (2) Tengku Luckman Sinar, (3) Encik Tairani, (4) Datuk Filiansyah, (5) Datuk Ahmad Fauzi, (6) Encik Dahlia Abu Kasim Sinar, (7) Wan Saifuddin, dan lain-lainnya. Wawancara dilakukan selama tahun 2000 sampai 2007.
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
137
pengetahuan dan teknologi, dengan didasari oleh adat-
istiadat Melayu.
3.5.7 Sistem Kekerabatan Dalam kebudayaan Melayu sistem kekerabatan berdasar
baik dari pihak ayah maupun ibu, dan masing-masing anak wanita atau pria mendapat hak hukum adat yang sama. Dengan
demikian termasuk ke dalam sistem parental atau bilateral.
Pembagian harta pusaka berdasarkan kepada hukum Islam (syara'), yang terlebih dahulu mengatur pembagian yang
adil terhadap hak syarikat, yaitu harta yang diperoleh bersama
dalam sebuah pernikahan suami-isteri. Hak syarikat ini tidak mengenal harta bawaan dari masing-masing pihak. Harta
syarikat dilandaskan pada pengertian saham yang sama
diberikan dalam usaha hidup, yang ertinya mencakup: (1)
suami berusaha dan mencari rezeki di luar rumah; (2) isteri berusaha mengurus rumah tangga, membela, dan mendidik
anak-anak. Hak masing-masing adalah 50 %, separuh dari
harta pencaharian. Hukum ini dalam budaya Melayu Sumatera Utara, awal kali ditetapkan oleh Sultan Gocah Pahlawan, pada
saat menjadi Wakil Sultan Aceh, Iskandar Muda, di Tanah
Deli. Sampai sekarang hukum ini tetap berlangsung (wawancara dengan Tengku Muhammad Daniel, Al-Haj, 12
September 2000).
Sistem kekerabatan etnik Melayu di Sumatera Utara,
berdasar kepada hirarki vertikal adalah dimulai dari sebutan yang tertua sampai yang muda: (1) nini, (2) datu, (3) oyang
(moyang), (4) atok (datuk), (5) ayah (bapak, entu), (6) anak,
(7) cucu, (8) cicit, (9) piut, dan (10) entah-entah. Hirarki horizontal adalah: (1) saudara satu emak dan ayah, lelaki dan
wanita; (2) saudara sekandung, yaitu saudara seibu, laki-laki
atau wanita, lain ayah (ayah tiri); (3) saudara seayah, yaitu
saudara laki-laki atau wanita dari satu ayah lain ibu (emak tiri); (4) saudara sewali, yaitu ayahnya saling bersaudara; (5)
Bab III: Masyarakat Melayu Sumatera Utara
138
saudara berimpal, yaitu anak dari makcik, saudara perempuan
ayah; (6) saudara dua kali wali, maksudnya atoknya saling
bersaudara; (7) saudara dua kali impal, maksudnya atok lelaki dengan atok perempuan bersaudara, (8) saudara tiga kali
wali, maksudnya moyang laki-lakinya bersaudara; (9)
saudara tiga kali impal, maksudnya moyang laki-laki sama
moyang perempuan bersaudara. Demikian seterusnya empat kali wali, lima kali wali, empat kali impal, dan lima kali
impal. Sampai tiga kali impal atau tiga wali dihitung alur
kerabat yang belum jauh hubungannya. Dalam sistem kekerabatan Melayu Sumatera Utara dikenal
tiga jenis impal: (1) impal larangan, yaitu anak-anak gadis dari
makcik kandung, saudara perempuan ayah. Anak gadis
makcik ini tidak boleh kawin dengan pihak lain tanpa persetujuan dari impal larangannya. Kalau terjadi, dan impal
larangan mengadu kepada raja, maka orang tua si gadis
didenda 10 tail atau 16 ringgit. Sebaliknya jika si gadis itu cacat atau buruk sekali rupanya, impal larangan wajib
mengawininya untuk menutup malu "si gadis yang tak laku;"
(2) impal biasa, yaitu anak laki-laki dari makcik; (3) impal langgisan, yaitu anak-anak dari emak-emak yang bersaudara.
Terminologi kekerabatan lainnya untuk saling menyapa
adalah sebagai berikut: (1) ayah, (2) mak (emak, asal
katanya mbai); (3) abang (abah); (5) akak (kakak); (6) uwak, dari kata tua, yaitu saudara ayah atau mak yang lebih tua
umurnya; (7) uda, dari kata muda, yaitu saudara ayah atau
mak yang lebih muda umurnya; (8) uwak ulung, uwak sulung, saudara ayah atau mak yang pertama baik laki-laki atau
perempuan; (9) uwak ngah, uwak tengah, saudara ayah atau
emak yang kedua baik laki-laki atau perempuan; (10) uwak alang atau uwak galang (benteng), saudara ayah atau mak yang
ketiga baik laki-laki atau perempuan; (11) uwak utih, uwak
putih, saudara ayah atau mak yang keempat baik laki-laki
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
139
atau perempuan; (12) uwak andak, wak pandak, saudara ayah
atau mak yang kelima baik laki-laki atau perempuan; (13) uwak uda, wak muda, saudara ayah atau mak yang keenam
baik laki-laki atau perempuan; (14) uwak ucu, wak bungsu,
saudara ayah atau mak yang ketujuh baik laki-laki atau
perempuan; (15) wak ulung cik, saudara ayah atau mak yang kedelapan baik laki-laki atau perempuan; dilanjutkan ke uwak
ngah cik, uwak alang cik, dan seterusnya. Jika anak yang
dimaksud adalah naka dari andak misalnya, maka panggilan pada nomor 8 sampai 11 tetap uwak, dan nomor 11 dan
seterusnya ke bawah disebut dengan: (1) ayah uda, (2) ayah
ucu, (3) ayah ulung cik, (4) ayah ngah cik, (5) ayah alang cik, dan seterusnya.
Terminologi kekerabatan lainnya adalah sebagai
berikut.(1) mentua atau mertua, kedua orang tua isteri; (2)
bisan (besan) sebutan antara orang tua isteri terhadap orang tua sendiri atau sebaliknya; (3) menantu, panggilan kepada
suami atau isterinya anak; (4) ipar, suami saudara perempuan
atau isteri saudara laki-laki, demikian juga panggilan pada saudara-saudara mereka; (5) biras, suami atau isteri saudara
isteri sendiri. Misalnya Ahmad berbiras dengan Hamid,
karena isteri Ahmad adalah kakak kandung isteri Hamid. Kedua saudara itu dalam keadaan bersaudara kandung. Dapat
juga sebaliknya. (6) semerayan (semberayan), yaitu manantu
saudara perempuan dari mertua perempuan; (7) kemun atau
anak kemun, yaitu anak laki-laki atau perempuan dari saudara-saudara kita; (8) bundai, yaitu panggilan aluran ibu
yang bukan orang bangsawan; (9) bapak, kata asalnya pak,
yang berarti ayah atau entu (ertinya suci), dapat juga dipanggil abah; (10) emak, berasal dari kata mak, yang bererti ibu atau
bunda, yang melahirkan kita (embai); (11) abang, yang berasal
dari kata bak atau bah yang ertinya saudara tua laki-laki;
(12) kakak, berasal dari kata kak, yang berarsaudara tua perempuan; (13) adik, yang berasal dari kata dik, ertinya
Bab III: Masyarakat Melayu Sumatera Utara
140
saudara lelaki atau perempuan yang lebih muda; (14) empuan,
ertinya sama dengan isteri, tempat asal anak; (15) laki, yaitu
suami.
3.5.8 Simpulan tentang Identitas Etnik Melayu Dari pendapat-pendapat tentang Melayu di atas,
selanjutnya diambil kesimpulan, yang jangan diartikan sebagai kesimpulan akhir definisi tentang identitas etnik
Melayu. Kesimpulan ini hanya bersifat sementara, dan masih
harus didiskusikan dengan para cerdik-cendikiawan yang ahli dalam masalah Melayu secara umum. Tujuan utama penulis,
mempergunakan kesimpulan ini adalah untuk mengkaitkan
antara siapa orang Melayu itu, bagaimana budayanya, dan
bagaimana pencerminannya dalam sastra dan seni. Identitas etnik Melayu sebagai berikut: (a) di Singapura
menitikberatkan pada ras dan keturunan; (b) di Malaysia
menitikberatkan pada agama Islam, ras dan budaya Melayu, serta berkewarganegaraan Malaysia; (c) di
Indonesia identitas sebagai etnik Melayu diserahkan kepada
masing-masing orang berdasar daerah budayanya; (d) menurut pandangan sebagian besar orang Barat, Melayu itu adalah
ras, orang yang berbahasa Melayu, dan beragama Islam.
Istilah Melayu berasal dari sebuah tempat (sungai dan
Kerajaan) di Jambi; (e) berdasarkan wilayah budayanya orang Melayu mendiami sebagian besar Sumatera dan
pulau-pulau sekitarnya, Semenanjung Malaysia, dan Pantai
Laut Kalimantan; (f) etnik Melayu terbentuk dari proses campuran antar suku bangsa di kawasan Nusantara; (g) etnik
Melayu mempunyai sistem adat resam, sifat-sifat,
penggolongan strata sosial (bangsawan dan awam), dan sistem kekerabatan yang khas.
Dari kesimpulan di atas, penulis mereduksi identitas
etnik Melayu kepada dua pengertian umum. (1) Dalam
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
141
pengertian Melayu sebagai ras, maka seluruh ras Melayu
(Proto-Melayu dan Deutro-Melayu) dapat menyebut dirinya sebagai Melayu. (2) Dalam pengertian sebagai orang yang
tergolong ke dalam ras Melayu, mempergunakan budaya
Melayu, dan beragama Islam, mencakup orang-orang Melayu
yang ada di Malaysia, Singapura, Sumatera Utara, Riau, Kalimantan, Sumatera Selatan, Jambi, dan lainnya. Dalam
perkembangan selanjutnya, etnik Betawi dan Minangkabau
juga sering menyebutkan dirinya sebagai etnik Melayu dengan tambahan Melayu Betawi atau Melayu Minangkabau.
Etnik Melayu Sumatera Utara mengidentitaskan
kelompok etniknya dalam pengertian seperti kesimpulan nomor (2) di atas. Melayu adaplah orang yang tergolong ke dalam
ras Melayu, mempergunakan budaya Melayu, dan beragama
Islam.
Seterusnya karena sastra dan seni didukung dan mengekspresikan budaya para bangsawan di Sumatera Utara,
maka alangkah baiknya dideskripsikan kesultanan di Sumatera
Timur (sekarang Sumatera Utara), dan trasformasinya hingga sekarang ini. Ini bertujuan untuk melihat bagaimana struktur
kerajaan Melayu di Sumatera Utara.
3.6 Kesultanan di Sumatera Timur
3.6.1 Kesultanan Deli Kesultanan Deli terletak di antara Selat Melaka, dari
muara Sungai Labu Dalam di utara perbatasan Langkat sampai Sungai pematang Oni di selatan perbatasan Serdang, yakni
pada daerah 4˚57' sampai 4˚39' Lintang Utara, dan 98˚25'
sampai 98˚47' Bujur Timur (Veth 1977:153). Di dalam Staatsblad 13 April 1911, Nomor 17, ditetapkan
batas-batas Kesultanan Deli yang meliputi kawasan sebagai
berikut: (1) di sebelah utara berbatasan dengan Selat
Melaka, (2) sebelah selatan berbatasan dengan Tanah Karo, batas yang pada dasarnya adalah daerah perbukitan, yaitu
Bab III: Masyarakat Melayu Sumatera Utara
142
bagian dari Bukit Barisan, (3) di timurnya adalah Kesultanan
Serdang, dan (4) di sebalah barat adalah Kesultanan Langkat.
Daerah Padang dan Bedagai yang letaknya di sebelah timur Serdang masih termasuk Deli.
Para sultan yang memerintah di Kerajaan Deli, berdasar
penyelidikan penulis adalah: (1) Sultan Gojah Pahlawan (1590-
1653); (2) Sultan Panglima Perungkit/Perungkat (1643-1700); (3) Sultan Panglima Paderap/Pidali (1654-1720); (4) Sultan
Panglima Pasutan (1720-1743); (5) Sultan Gandar Wahid; (6)
Sultan Amaludin Magendar Alam; (7) Sultan Osman atau Perkasa Alam (sampai 1856); (8) Sultan Mahmud Perkasa
Alam (1837-1872), Sultan Mahmud ini ditetapkan oleh
pemerintah Belanda menjadi Sultan Deli pada tanggal 22
Agustus 1862); (9) Sultan Makmun Al-Rasyid (1873-22 Oktober 1924), Sultan Makmun Al-Rasyid ini memberikan
konsesi tanah kepada pemerintah Belanda terutama untuk
perkebunan tembakau Deli; (10) Sultan Amaluddin Shani Perkasa Alamsyah (22 Oktober 1924-12 Maret 1924); (11)
Sultan Osman Perkasa Alam (1900-1967); (12) Sultan Azami
Perkasa Alamsyah 1967 sampai 2006 dan (13) Sultan Abdul Aziz Lamanzizi yang merupakan sultan yang masih muda
usianya.
3.6.2 Kesultanan Serdang Di kawasan lain Sumatera Timur, berjarak lebih kurang
39 kilometer dari Kota Medan menuju ke arah timur, terdapat
kesultanan Serdang. Kesultanan ini berbatasan dengan sebelah utara kesultanan Langkat dan selat Melaka, sebalah
selatan dengan Simalungun dan Kesultanan Deli, sebelah timur
dengan kesultanan Asahan dan Selat Melaka, sebelah barat dengan Tanah Karo dan Tapanuli.
Serdang adalah salah satu dari empat kesultanan besar di
Sumatera Timur. Di masa Sultan Basyaruddin (1850-1880)
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
143
istana berada di Rantau Panjang. Digantikan oleh Sultan
Sulaiman Syariful Alamsyah, istana pindah ke Perbaungan. Pengangkatan dan pemberhentian orang besar (Landsgrooten)
kesultanan harus mendapat persetujuan pemerintah Belanda
Sulaiman (1881-1946) memasuki kejayaan karena konsesi-
konsesi tanah yang dibagi-bagikan kepada pengusaha swasta Eropa yang ingin menginvestasikan modalnya dalam industri
perkebunan.
Di masa Sultan Thafsinar Basyarshah yang lebih dikenal sebagai Sultan Besar (1790-1850), ibu negeri Serdang berada
di Rantau Panjang. Karena letaknya dekat dengan pantai,
kerajaan ini cepat berkembang dan menjadi salah satu bandar terkenal di Sumatera Timur. Serdang di kala itu
menghasilkan lada dan diekspor ke bandar perdagangan
internasional, seperti Melaka. Di masa pemerintahan Sultan
Besar Serdang banyak dilalui kapal-kapal dengan tujuan perdagangan. Sebelum berlayar ke negeri Sumatera Timur,
biasanya kapal lebih dahulu singgah di Rantau Panjang. Jika
kapal akan ke Penang sering berlayar melewati Deli, Langkat, dan Serdang untuk memgambil lada (Broersma 1919:16).
Menurut Anderson yang melawat ke Serdang pada tahun
1823, di Rantau Panjang dijumpai tempat pembuatan kapal dan jumlah penduduknya tiga ribu orang Melayu dan delapan ribu
orang Batak. Mereka gemar menghibur diri dengan melaga
burung puyuh (Anderson 1971:302-305).
Unsur magis dalam kerajaan acapkali dihidup-hidupkan untuk memberi legitimasi sultan. Istana beserta
perangkatnya memiliki daya magis yang luar biasa. Ibukota
kerajaan bukan saja sebagai pusat politik dan kebudayaan, tetapi juga pusat magis (Geldern 1972:6).
Sultan dianggap pribadi sempurna. Namun dalam
kebudayaan Melayu, bisa saja rakyat berontak, dengan
menuruti konsep: raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah. Sumber kekuasaan Sultan lain yang dapat
Bab III: Masyarakat Melayu Sumatera Utara
144
mengukuhkan legitimasinya adalah alat-alat kebesaran, di
antaranya: (1) alat-alat musik seperti gendang nobat, serunai,
seruling, dan terompet; (2) beberapa lencana jawatan seperti kayu gamit, puan naya, taru, kumala, surat ciri, cap halilintar,
ubor-ubor, bantal, dan langsir; (3) senjata-senjata seperti
pedang, tombak, dan keris. Yang terakhir ini dipercayai
mampu menjelma sendiri dan dipenuhi kuasa sakti sehingga dapat memusnahkan siapa saja yang memegangnya tanpa ijin
(Gullick 1972:73-74).
Pada tahun 1891 Sultan menikah dengan Tengku Darwisyah. Perkawinannya ini merupakan perkawinan
politis. Tengku Darwisyah adalah saudara tiri Sultan Deli,
yang saat itu sering berselisih dengan Kesultanan Serdang
karena soal batas kerajaan. Untuk menyelesaikan wilayah ini pemerintah Belanda campur tangan melalui perkawinan
antara Sultan dengan Tengku Darwisyah (Mohammad Said t.t.:
67). Kehidupan istana Serdang tidak ketat dengan ritus
upacara yang rumit. Upacara besar dalam istana adalah
penabalan Sultan. Sultan Serdang lebih senang bepergian di tempat tertentu sambil menonton seni pertunjukan. Putera
Mahkota Tengku Rajih Anwar adalah seorang pemusik
yang sangat berbakat. Ia pandai memainkan piano, gendang,
serunai, dan terutama gesekan biolanya yang khas. Dia juga pernah sekolah musik ke Jerman.
Bentuk administrasi birokrasi kesultanan Melayu
Sumatera Timur bercorak patrimonial, dan memprioritaskan status sosial dalam hirarki jabatan. Sultan Melayu yang
beragama Islam dalam kekuasaannya tetap didukung oleh
bermacam-macam atribut suci dan sakti, walau pada kenyatannya bukan merupakan jaminan loyalitas abadi para
bawahannya (Ratna 1990:xi).
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
145
Dalam rangka memperluas apresiasi budaya, Kesultanan
Serdang mengadakan hubungan dengan Kesultanan Yogyakarta, yang pada tahun 1922 menerima seperangkat
gamelan Jawa dan sekalian dengan para pemainnya dari Sultan
Yogyakarta. Dalam perkembangan sosial dan politik setelah
Indonesia merdeka, para Keturunan Sultan Serdang sangat dikenal di Sumatera Utara, sebagai ahli-ahli intelektual,
budayawan, dan militer. Generasi Sinar ini menduduki
beberapa posisi strategis dalam tata pemerintahan di Sumatera Utara. Bahkan kesenian-kesenian dikembangkan oleh mereka,
seperti: makyong, mendu, ronggeng, dan bangsawan.
Para sultan yang memerintah Negeri Serdang adalah: (1) Raja Osman atau Teuku Umar; (2) Sultan Pahlawan
Alamsyah; (3) Sultan Thaf Sinar Basyarah (1790-1850); (4)
Sultan Basyarudin (1809-1850); (5) Sultan Sulaiman (1862-
1946), Sultan Sulaiman ini ditetapkan oleh Belanda menjadi Sultan Serdang tanggal 29 Januari 1887); (6) Sultan
pemangku budaya Melayu Serdang pada masa kini adalah
Tuanku Luckman Sinar Basharsyah Al-Haj.
3.6.3 Kesultanan Langkat
Setelah itu Kesultanan Langkat berjarak kira-kira enam puluh kilometer dari Kota Medan memiliki batas-batas
teritorialnya: sebelah utara dan barat berbatasan dengan
daerah Aceh, sebelah timur dengan Selat Melaka, dan sebelah
selatannya dengan Kesultanan Deli (ENI, II 1918:530). Kesultanan Langkat ini berada pada 34º14' sampai
40º31' Lintang Utara dan 90º52' sampai 98º45' Bujur Timur--
dengan ketinggian rata-rata 45 meter di atas permukaan laut. Di daerah-daerah kesultanan Melayu Sumatera Timur
tersebut terdapat banyak sungai yang dapat dilayari oleh
kapal-kapal pada masa lalu. Sungai-sungai tersebut adalah:
Sungai Panai, Sungai Belawan (Deli), Sungai Langkat, Sungai Bilah, Sungai Kualuh, Sungai Asahan, Sungai Lepan, Sungai
Bab III: Masyarakat Melayu Sumatera Utara
146
Gebang, Sungai Babalan, Sungai Besitang, Sungai Salahaji,
Sungai Bedagai, Sungai Batubara, Sungai Padang, Sungai
Pagurawan, dan Sungai Serangjaya (ENI, III, 1919:40). Sungai-sungai yang sering membawa banjir ini, dan
kemudian menggenangi tanah-tanah di kiri kanannya telah
memberi keuntungan tersendiri bagi daerah Sumatera Timur.
Air Bah membantu membawa kesuburan pada tanah-tanah Deli, Serdang, serta Langkat (ibid.:140).
3.6.4 Kesultanan Asahan Terminologi Asahan dan Tanjung Balai adalah negeri dan
bandar yang termasuk tertua di kawasan Sumatera Timur
(Utara). Nama asahan dibuat oleh masyarakat Batak Toba
kuna, karena penduduk daerah Asahan umumnya berasal dari sebelah hulu sungai Asahan. Terminologi Asahan berasal dari
kata sahan yakni suatu alat yang dibuat dari tanduk kerbau,
yang di dalamnya berisi air yang digunakan untuk menyiram tubuh ibu-ibu, terutama yang mandul, dan dianggap sebagai
saluran "air bahagia." Sahan ini khusus dipergunakan oleh
para Datu atau Guru, dengan cara meniupkan air yang ada di dalam sahan tersebut ke tubuh para ibu terutama yang mandul
tadi. Kegiatan ini dilakukan pada upacara yang disebut horbo
santi. Tujuan upacara ini adalah agar para ibu tersebut
diberkahi oleh Debata Mulajadi Nabolon dan arwah para leluhurnya dengan harapan semoga ibu yang mandul tersebut
kelak memperoleh anak. Air yang terpancar dari sahan
tersebu diibaratkan sebagai air terjun yang mengalir dari Tao Toba, pangkalnya agak besar dan lebar, akan tetapi semakin ke
hilir semakin sempit dan kecil serta deras terjun ke dalam
Ngarai Sigura-gura dan Siarimo, lalu lepas memutih seperti kapas menjadi air terjun raksasa. Dari sinilah asal kata Asahan
sebagai nama tempat, termasuk Kesultanan Asahan (Batara
Sangti 1977:61).
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
147
Berdasarkan informasi yang penulis terima dari Kantor
Departemen Pendidikan Tanjung Balai 2006, ada beberapa sultan Melayu yang pernah memerintah di Asahan, yaitu: (1)
Sultan Abdul Jalil (1620 sampai waktu yang tidak diketahui
masa pemerintahannya); (2) Sultan Saidisyah; (3) Sultan
Muhammad Rumsyah (kedua sultan ini tidak diketahui tahun masa pemerintahannya); (4) Sultan Abdul Jalilsyah (1760-
1762); (5) Sultan Dewasyah (1763-1800), (6) Sultan Musa
Syah (1800-1813); (7) Sultan Ali Syah (1814-1843); (8) Sultan Husinsyah (1843-1856); (9) Sultan Ahmadsyah (1856-1888);
(10) Sultan Muhammad Husinsyah (1888-1915); dan (11)
Sultan Abdul Jalil (1933-1945). Setelah zaman kemerdekaan Indonesia, Asahan ditetapkan
menjadi sebuah kabupaten atau Daerah Tingkat II, yang di
dalamnya bernaung beberapa kota, yaitu: Tanjung Balai,
Tanjung Tiram, Kisaran, Lima Puluh, Air Joman, dan lainnya. Pada masa kini, Tanjung Balai merupakan pemerintahan kota
sendiri, yang secara administratif pemerintahannya berdiri
sendiri di luar Kabupaten Asahan. Kisaran sebagai ibukota Kabupaten Asahan telah menjadi kota administratif. Secara
budaya etnik Melayu di kawasan ini dapat dibagi lagi ke
dalam ciri khasnya: Tanjung Balai, Batubara, dan Asahan secara umum. Sejak Januari 2007 yang lalu kawasan Batubara
memekarkan diri menjadi kabupaten tersendiri, dengan
ibukotanya di Kota Limapuluh.
Latar belakang Sumatera Utara sebagai salah satu daerah perkembangan ekonomi yang pesat di Indonesia,
menyebabkan terjadinya migrasi, baik dari dalam negeri
maupun luar negeri. Kemudian terbentuklah budaya hetero-gen. Keadaan ini turut pula mempengaruhi kebudayaan Melayu,
termasuk seni dan sastra. Selanjutnya mari kita bahas mengenai
sastra Melayu (termasuk yang klasik) di Sumatera Utara sebagai
inti kajian.
148
BAB IV
SASTRA MELAYU SUMATERA UTARA
DALAM KONTEKS DUNIA MELAYU
4.1 Konsep Sastra
Yang dimaksud sastra Melayu klasik dalam tulisan ini
adalah sastra dalam tradisi budaya Melayu Sumatera Utara, yang telah muncul mengikuti sejarah kebudayaan dan peradaban
masyarakat Melayu Sumatera Timur (Utara) selama ratusan
tahun. Sastra Melayu klasik ini, bagi masyarakat pendukungnya dipandang sebagai hasil kebudayaan yang telah memenuhi norma
estetika dalam strukturnya dan telah diuji keberadaannya dalam
sejarah budaya Melayu.
Istilah sastra yang dalam bahasa asalnya Sansekerta, dalam huruf Romawi lazim ditulis dengan çastra, berarti “tulisan” atau
“karangan.” Sastra dalam konteks ilmu pengetahuan dan seni,
biasanya didefinisikan sebagai karangan dengan bahasa yang indah dan isi yang dinilai baik. Bahasa yang indah maknanya
dapat menimbulkan kesan yang dalam dan menghibur
pembacanya. Kemudian, isi yang baik artinya adalah berguna dan mengandung nilai-nilai enkulturasi. Indah dan baik ini menjadi
fungsi sastra yang terkenal dengan istilah dulce et utile. Bentuk
fisik dari sastra disebut karya sastra. Penulis karya sastra disebut
sastrawan (Bagyo S. (ed.) 1986::7). Sastra umumnya memiliki ciri-ciri: kreasi, otonom, koheren,
sintesis, dan mengungkapkan hal yang tidak terungkapkan.
Sebagai kreasi, sastra tidaklah wujud dengan sendirinya. Sastrawan menciptakan dunia baru, meneruskan penciptaan itu,
dan terkahir menyempurnakannya. Sastra dalam konsep sains di
Dunia Barat bersifat otonom karena tidak mengacu pada sesuatu
yang lain. Sastra bersifat koheren, yaitu mengandung keselarasan yang mendalam antara bentuk dan isi. Sastra juga menyuguhkan
sintesis dari hal-hal yang bertentangan di dalamnya. Melalui
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
149
struktur bahasanya, sastra mengungkapkan hal yang tidak
terungkapkan (Luxemburg dkk. terjemahan Hartoko 1989: 5-6).
Sementara dalam Islam, sastra haruslah mencerminkan nilai-nilai
universal agama Islam, jadi tak berdiri sendiri, kemudian sastra mestilah fungsional, artinya berguna bagi pengarang dan
masyarakat pembaca dan pendukungnya—bukan semata-mata
seni untuk seni saja. Untuk mengkaji sastra dipergunakan ilmu sastra, yang saat
ini sudah menjadi disiplin ilmu tersendiri. Wellek dan Warren
menyatakan bahwa ilmu sastra terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: (a) teori sastra, (b) sejarah sastra, dan (c) kritik sastra. Teori
sastra bergerak di bidang teori, misalnya mengenai pengertian
sastra, makna-makna dalam sastra, simbol dalam sastra, hakikat
sastra, gaya sastra, aliran sastra, dan lain-lain. Kemudian sejarah sastra bergerak di bidang perkembangan sastra dalam ruang dan
waktu yang dilaluinya. Kritik sastra pula bergerak di bidang
penilaian baik-buruknya karya sastra (Pradopo 1997: 9).
4.2 Sastra Melayu Klasik
Bagi sebahagian pengkaji budaya dan sastra Melayu, zaman keemasan yang disebut masa klasik budaya Melayu adalah dalam
kurun abad ke-16 sampai ke-17. Apa yang dikenal sebagai
Melaka, Aceh, Minangkabau, Jambi, dan Palembang, adalah
kelompok-kelompok pusat kekuasaan di sekitar Selat Melaka yang sering berpindah, tergantung kepada jatuh dan bangunnya
penguasa di sekitar selat ini. Demikian juga di seluruh Nusantara
yang sering kelihatan terdiri dari dua gugusan kuasa besar: Jawa dan Melayu. Gagasan ini begitu terasa ketika meneliti beberapa
hasil karya sastra Melayu klasik yang diwarisi sejak abad ke-16.
Meskipun karya-karya ini agak baru menurut zaman, mungkin
telah berada di dalam himpunan kepustakaan Melayu lama, sebelum disebarluaskan ke seluruh penjuru Nusantara.
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
150
Karya-karya sastra di zaman itu di antaranya adalah Sejarah
Melayu (Sulalatussalatin) yang di dalamnya meliputi kawasan Tanah Jawa, Jambi, Palembang, Aceh, dan Melaka. Karya sastra
klasik Melayu ini dapat menjadi milik Indonesia dan Malaysia
sekarang ini.
Karya sastra Melayu klasik lainnya adalah Hikayat Hang Tuah, yang dikarang pada abad ke-17. Karya ini dapat diterima
sebagai hasil budaya Alam Melayu, dan memiliki variasi-variasi
di setiap kawasan. Semua versi yang terdapat baik di wilayah Melayu maupun Jawa adalah sebahagian dari proses difusi
hikayat ini di seantero Nusantara. Liputan hikayat ini adalah
lebih luas dan besar. Inilah hikayat yang membicarakan konteks
holistik zamannya, tentang Dunia Melayu atau Nusantara dalam hubungannya dengan dunia luar seperti China dan India, sampai
ke Arab dan Romawi (Istambul). Karena upaya yang meluas dan
besar, maka hikayat ini mestilah diberi perhatian besar pula, dalam rangka mengkaji karya sastra Melayu dalam melihat dan
merekam gagasan Nusantara atau Dunia Melayu.
Karya sastra Melayu klasik lainnya yang sezaman adalah Bustanussalatin (Taman Raja-raja) dan juga Tajussalatin
(Mahkota Raja-raja). Bustanussalatin adalah sebuah karya sastra
berbahasa Melayu, yang berkaitan dengan Aceh, tetapi meliputi
wilayah yang jauh lebih luas, khususnya dalam konteks sejarah Islam di rantau ini. Karya ini lebih bersifat sebuah treaties atau
pembicaraan secara ilmiah tentang sistem pemerintahan, sejarah
manusia umumnya dan setempat, juga hikayat dari tradisi Islam. Ruang lingkup pemikirannya adalah mencakup interaksi manusia
dan kekuasaan kenegaraan yang empiris.
Tajussalatin membicarakan ilmu politik berbahasa Melayu menurut tradisi Islam yang disesuaikan untuk kegunaan wilayah
Melayu. Dengan menimba pelbagai sumber klasik Islam tentang
sistem pemerintahan dari tulisan-tulisan ulama besar, karya ini
menjelaskan segala fungsi dan ciri yang harus dipegang oleh para
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
151
pemegang kuasa pemerintahan di Alam Melayu dalam
mengendalikan kekuasaan serta hubungan manusia dalam
birokrasi. Karya ini amat konseptual dan universal sifatnya tanpa
ikatan dengan sebarang wilayah yang spatial.
4.3 Sastra Lisan Melayu Sumatera Utara
Masyarakat Melayu di Sumatera Utara memiliki karya sastra lisan dan tulisan, atau juga ceritera rakyat (folklor), yang terdiri
dari jenis mite, legenda dan dongeng. Mite (myth) adalah
bahagian dari folklor (ceritera rakyat). Dari bentuk atau genre folklor, yang paling banyak diteliti para ahli folklor adalah cerita
prosa rakyat. Menurut Bascom, ceritera prosa rakyat bisa dibagi
ke dalam tiga golongan besar, yaitu: (1) mite (myth), (2) legenda
(legend), dan (3) dongeng (folktale). Mite adalah ceritera prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh
yang empunya cerita. Mite ditokohi para dewa atau makhluk
setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain, atau di dunia yang bukan seperti kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau.
Legenda adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri-ciri yang
mirip dengan mite, yaitu dianggap pernah benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci—namun legenda ditokohi oleh
manusia, meski kadangkala memiliki sifat-sifat luar biasa, dan
sering juga dibantu makhluk-makhluk ajaib. Tempat terjadinya
adalah di dunia seperti yang kita kenal sekarang, waktu terjadinya belu begitu lama. Dogeng adalah prosa rakyat yang tidak
dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita, serta
tidak terikat oleh waktu dan ruang. (Parafrase pengertian tiga bentuk cerita rakyat ini dikutip dari James Danandjaja 1984:50-
51).
Sebagai hasil kebudayaan tradisional, karya sastra yang
terdapat dalam kebudayaan masyarakat Melayu Sumatera Utara merupakan khasanah kebudayaan bangsa. Dalam karya sastra ini
tersirat dan tersurat gambaran mengenai kehidupan masyarakat
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
152
Melayu Sumatera Utara. Gambaran tentang kehidupan itu antara
lain berupa: (a) kemampuan berbuat kebaikan dan kebajikan menurut norma budaya Melayu; (b) kesetiaan pada norma-norma
dan aturan budaya Melayu; (c) sopan santun dan etika menurut
budaya Melayu; (d) rendah hati; (e) patuh dan taat kepada orang
tua dan adat; (f) arif dan bijaksana, dan (g) teguh memegang amanah, dan lain-lainnya.
Nilai-nilai gambaran kehidupan masyarakat Melayu
Sumatera Utara yang terdapat dalam karya sastra perlulah diungkapkan, dikaji, digali, dan diketahui oleh masyarakat
pendukungnya. Dengan demikian gambaran kehidupan dan
sistem berpikir masyarakat Melayu Sumatera Utara tidak hanya
sebagai nilai budaya saja, tetapi amatlah berguna bagi kehidupan masyarakat Melayu Sumatera Utara di masa kini, yang tidak
terlepas dari nilai-nilai budaya nenek moyang orang-orang
Melayu. Sebagai bukti kultural, pada masa sekarang masih dijumpai
budaya tradisi lisan dan tulisan masyarakat Melayu Sumatera
Utara dalam bentuk pantun dan syair yang menceritakan kisah hidup dan kehidupan masyarakat Melayu Sumatera Utara. Ada
juga karya-karya sastra yang telah pun dibukukan seperti:
Hikayat Si Miskin, Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Hang
Tuah, Terjadinya Bukit Tinggi Raja, Datuk Megang, Lubuk Pakam, Asal Mula Pantai Cermin, dan lain-lain. Karya-karya
sastra ini umum pula disampaikan dengan media melodi (syair,
gurindam, atau nyanyian Melayu). Terciptanya karya sastra senantiasa mencerminkan latar
belakang sosiobudaya, sebagai gambaran kehidupan masyarakat
tempat karya itu dituturkan. Dengan demikian karya sastra ini jelas tidak terlepas dari konvensi artistiknya. Sastra yang tidak
ditulis pada suatu kurun waktu tertentu, langsung berkaitan
dengan norma-norma dan adat-istiadat zaman itu. Sastra secara
tradisional menurut kemampuannya agar bisa menyenangkan
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
153
dan mengajarkan kepada para pembaca atau pendangar. Sastra
mestilah memberi kesan kepada pembaca, berhubungan dengan
masalah-masalah emosional, sehingga sambil membaca karya
sastra masyaakat pembaca dan pendengarnya dapat menilai langsung karya sastra sebagai cerminan kehidupan sosial
sesebuah masyarakat. Melalui membaca karya sastra maka dapat
difahami makna-makna yang tersembunyi di dalamnya. Bila ditinjau dari sudut strukturnya, maka karya sastra itu haruslah
dikaji dalam konteks latar belakang konvensi-konvensi artistik
dan estetika dan menempakannya dalam kerangka kesedaran pencipta atau pengarang dan penikmatnya (Mukarovsky 1978:4).
Adapun karya-karya sastra yang terdapat di dalam
kebudayaan masyarakat Melayu di Sumatera Utara adalah seperti
yag diuraikan berikut ini. (1) Karya sastra yang berbentuk legenda: (a) Datuk Megang; (b) Terjadinya Bukit Tinggi Raja; (c)
Asal Mula Pantai Cermin; (d) Permata Bertuah dari Serdang
Putih; (e) Lubuk Pakam atau Lubuk Pualam; (f) Asal Mula Terjadinya Danau Laut Tador, Syair Puteri Hijau, dan lain-lain.
(2) Karya sastra berbentuk mite; (a) Sumpah Sakti Suku Melayu;
(b) Tuai dengan Tujuh Puteri dan lainnya. (3) Karya sastra berbentuk fabel: (a) Kucing dengan Harimau; (b) Ular Piar dan
Ular Tedung; (c) Kuau dengan Gagak dan lain-lain. (4) Selain
dari karya sastra di atas, dijumpai pula karya sastra berbentuk
puisi nyanyian rakyat, yang sering dikategorikan sebagai senandung atau sinandung, terdiri dari: (a) senandung ibu atau
senandung nasib; (b) senandung anak; (c) senandung nelayan; (d)
senandung muda-mudi; (e) senandung hiburan dan (f) senandung dabus.
Berikut akan diuraiakan isi beberapa karya sastra dalam
bentuk prosa di dalam kebudayaan masyarakat Melayu di
Sumatera Utara.
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
154
4.3.1 Cerita Bohong untuk Sultan Serdang
Cerita ini berasal dari daerah Pasar Bengkel, Serdang, Sumatera Utara, yang pada masa kini menjadi daerah pusat
perbelanjaan pariwisata di Sumatera Utara. Adapun ringkas
ceritanya adalah sebagai berikut.
Pada awal abad kedua puluh di Kerajaan Serdang hiduplah seorang sultan, yang adil, berwibawa, dan menaungi rakyatnya
dengan memerintah mengikut petunjuk sunnatullah. Sultan itu
bernama Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah. Ia dicintai rakyatnya dan termasyhur ke seantero negeri di kawasan ini.
Untuk dekat dengan rakyat, dan ia menanggap dirinya sebagai
wakil Tuhan untuk memerintah dan melayani rakyatnya. Oleh
karena itu, ia selalu mengadakan pertunjukan di istananya yaitu Istana Kota Galuh di Perbaungan, seperti zapin, bangsawan,
makyong, joget dan ronggeng, dan lain-lainnya. Ia juga selalu
mengadakan festival dan sayembara, untuk kemajuan kebudayaan dan seni di Kesultanan Serdang. Wilayah kebudayaan Serdang
ini didiami oleh suku Melayu, Simalungun (Batak Timur Raya),
dan Karo. Suatu hari, ia menitahkan para pembantu kerajaannya untuk
mengadakan sayembara atau perlombaan cerita bohong, yang
terbuka kepada siapa saja. Adapun setiap pencerita dipersilahkan
membuat cerita bohong, sampai sultan benar-benar tidak percaya bahwa cerita bohong itu benar-benar bohong.
Setelah diumumkan sayembara ini, maka datanglah para ahli
cerita bohong. Yang pertama adalah pencerita bohong dari Tanah Karo. Ia bercerita bahwa pada hari sayembara ini ia
sedang bertapa di atas sebuah pohon yang paling besar dan tinggi
di Tanah Karo. Karena tingginya ketika ia turun ia menjatuhkan beberapa keping uang logam. Ia kemudian turun, dan ketika ia
sampai di bawah tanah, ia menunggu beberapa menit sampai
akhirnya uang yang dijatuhkannya dari atas pohon tadi sampai ke
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
155
tanah, setelah ia lebih dahulu sampai. Jawaban Sultan Sulaiman,
“Boleh jadi.”
Kemudian datang pula pencerita bohong dari daerah
Langkat, yang menyatakan bahwa ketika ia datang mengikuti sayembara ini, ia harus menyeberangi sebuah sungai yang lebar.
Namun karena ia mempunyai keahlian khusus, ketika hendak
menyeberang ia jumpa dengan buaya-buaya yang hendak memangsanya. Ia bilang pada buaya-buaya itu agar berbaris
bersaf dari tepi sungai sampai ke seberang sungai, agar tahu
berapa jumlahnya dan dapat mengira-ngira berapa dagingnya untuk masing-masing buaya. Akhirnya buaya tersebut berbaris
dan ia berjalan di atas punggung-punggng buaya itu dan akhirnya
sampai di seberang, dan mengucapkan terima kasih kepada
buaya-buaya tersebut. Jawaban Sultan Sulaiman tetap saja, “Boleh jadi.”
Kemudian datanglah seorang pencerita bohong dari
Perbaungan. Ia bercerita kepada Sultan Serdang itu, “Ampun beribu ampun Paduka, hamba sebenarnya malu nak menceritakan
hal ini pada Tuanku.” Jawab Sultan Sulaiman, “Tak apa-apa
ceritakan sajalah apa yang nak engkau ceritakan wahai pencerita.” Lalu ia menceritakan, ”Kata Allahyarham Ayah saya,
ayah Tuanku, Sultan Serdang sebelumnya, punya hutang 500
ringgit, dan belum dikembalikan.” Maka Sultan pun terkejut, dan
berkata, “Mana mungkin seorang sultan yang kaya berhutang pada rakyatnya.” Sambil kemudian mengucapkan,
“Astaghfirullah, engkau telah berhasil memancing emosi saya,
dan beta sebagai raja menyatakan bahwa cerita bohongmu itu tak benar.”
Akhirnya pencerita ini memenangkan sayembara cerita
bohong tersebut. Ia selalu dipanggil sultan unuk bercerita tentang
apa saja di istana sultan dalam waktu-waku tertentu.
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
156
4.3.2 Datuk Megang
Tokoh pelaku utama dalam karya sastra ini adalah Datuk Megang. Tokoh pembantunya adalah Si Balut, lima pembantu,
Pak Deman, Pak Syahir, Syekh Yusuf, dan Sobana. Datuk
Megang memiliki sifat keras hati; semangat hidupnya tinggi,
yakin kepada usaha, selalu ingin berhasil dalam kehidupan, tidak pemalas, pengasih kepada semua manusia, disegani dan
dihormati sebagai seorang pendekar. Sementara itu Si Balut
adalah penduduk sekampung Datuk Megang, sahabat yang selalu menyadarkan dan memberi pandangan-pandangan hidup kepada
Datuk Megang. Pak Syahir, paman Datuk Megang tinggal di
Melaka. Ia berhasil membimbing Datuk Megang menjadi
pemeluk Islam dari awalya seorang animis. Syekh Yusuf pula sangat alim menjalankan perintah Allah, dan luas ilmu
keislamannya, mengajar Datuk Megang tentang rukun Islam dan
rukun iman, serta tata cara berbadah terutama shalat. Di lain sisi, Sobana adalah seorang wanita cantik, janda, kemenakan isteri
Pak Deman, sebagai wanita yang cantik dan bermoral secara
alamiah. Dari isi cerita Datuk Megang, dapat diambil gambaran
kehidupan masyarakat Melayu Sumatera Utara. Datuk Megang
merupakan seorang lelaki Melayu yang tabah, tidak putus asa di
dalam hidup, terus giat bekerja dan berusaha. Datuk Megang adalah, lelaki Melayu yang memiliki sifat pengasih dan penolong
serta tidak sombong. Walau ia dikategorikan sebagai orang kaya,
ia selalu memberikan harta bendanya kepada yang memerlukan, dan tidak suka dipuji. Datuk Megang merupakan gambaran
lelaki Melayu yang tidak suka kesedihan menimpa beberapa kali.
Terlihat dari usul Pak Deman supaya ia menikah lagi, ia tidak langsung menyatakan bersedia, tetapi menceritakan ia lebih
senang menyendiri dan membantu orang lain. Ia adalah seorang
figur lelaki Melayu yang sayang kepada keluarga, anak, dan
isteri. Ketika anak sakit ia menjual hartanya demi kesembuhan si
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
157
anak. Setelah anaknya meninggal, beberapa masa kemudian
isterinya pula yang meninggal dunia. Menjelang nafas terakhir
isterinya bertanya bagaimana cinta suaminya kepadanya selepas
ia meninggal. Dijawabnya tidak akan nikah lagi. Umumnya dalam kebudayaan Melayu di Sumatera Utara, jika lelaki
menyatakan demikian, ia tidak akan menikah lagi. Datuk
Megang merupakan ikon lelaki Melayu Sumatera Utara yang lengkap kebaikannya.
4.3.3 Harimau dengan Kucing Konon pada zaman dahulu kala kucing pandai bermain silat.
Segala yang disebut penjaga diri sudah dimiliki kucing.
Kepandaian kucing bersilat ini rupanya sudah termasyhur ke
mana-mana. Tersebutlah kisah, datanglah seekor harimau mau menuntut ilmu belaiar silat kepada kucing. Setelah ada
persesuaian, kucing pun mulai mengajar ilmu silat kepada
harimau, diajarnya bagaimana caranya membuat langkah kiri, langkah kanan., putar kiri, putar kanan, balik sana, balik sini,
lompat sana, lompat sini, begitulah caranya bersilat.
Kebetulan rupa kucing dengan harimau mirip sekali hanya kebetulan kucing badannya lebih kecil. Setelah beberapa lama
belaiar main silat itu, berkatalah harimau satu hari kepada kucing,
“Sudah cukup lama rasanya aku belajar denganmu, sekarang
berilah aku ini pemutus.” Kucing pun lalu menjawab, “Tidak bisa, tidak bisa, kalau ku bagi engkau pemutus, nanti aku bisa
berbahaya.” “Jadi bagaimana belajar silat tidak dibagi pemutus,”
kata harimau. Kemudian marahlah harimau kepada kucing segera mau diterkamnya. Ketika harimau mau menerkam kucing, kucing
pun mengelak, melompat, kemudian naik ke atas pohon karena
badan harimau lebih besar dari kucing dia tidak dapat memanjat
seperti kucing itu. Sangat marah dia kepada kucing, karena tidak dapat menerkamnya. Setelah kucing berada di atas pohon tadi,
harimau pun berkata, “Kalau begitu, biarpun engkau adalah
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
158
guruku, tapi bila saja pun engkau terus kucari.” Kemudian
menjawab kucing, katanya, “Jangankan mencari aku, taikku (kotoranku) takkan kau dapat,” sambil dia pun berlalu dari tempat
memanjatnya tadi.
Begitulah cerita harimau yang berguru ilmu silat kepada
kucing. Itulah pula sebabnya sampai sekarang ini kalau kucing mau buang air besar dikoreklah lobang cepat-cepat ditutupnya
kotorannya itu dengan tanah karena takut kalau-kalau beriumpa
dengan harimau.
4.3.4 Imam Awang
Alkisah tersebut cerita Imam Awang. Ditemani oleh ketiga
anaknya, sampailah dia ke Kampung Tapak Kuda di daerah
Langkat. Imam sendiri adalah searang laki-laki setengah baya, dan anaknya yang tiga orang: terdiri dari dua laki-laki dan
seorang perempuan. Dua orang yang laki-laki masing-masing
bernama Abdurrasyid dan Hasyim sedangkan yang perempuan bernama Halimah.
Imam Awang berasal dari Kedah di Tanah Semenanjung dan
dengan menumpang sebuah sagor merantaulah ke darat di sebuah
Selat Malaka di pantai Timur pulau Sumatera. Empat beranak itu meninggalkan kampungnya di Kedah, karena ingin melupakan
rasa sedih akibat musibah yang menimpa keluarga. Isteri Imam
Awang telah meninggal, dan itu merupakan kesedihan baginya dan anak-anaknya. Untuk itulah pada mulanya maka dia sampai
ke kampung Tapak Kuda.
Sesampainya di Kampung itu merapatlah dia ke rumah penghulu. Karena hari sudah sore dan tak tahu di mana dia dan
anak-anaknya harus bermalam, maka dimintanyalah kepada
penghulu agar diizinkan bermalam di rumah penghulu. Hal itu
diterima penghulu dengan segala senang hati.
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
159
Dari kampung Tapak Kuda Imam Awang empat beranak
melanjutkan perjalanan dengan menumpangi perahu arah ke hulu
sungai. Sesampainya di Bubun dilihatnya banyak sampan besar
dan kecil tertambat di bagan. Orang pun sangat banyak pula di sana, masing-masing sangat sibuk seperti ada sesuatu sedang
teriadi. Imam Awang yang merasa tertarik melihat hal itu, dengan
ingin tahu bertanyalah dia kepada salah secrang di kampung itu: “Apakah yang terjadi maka orang sangat sibuk di sini?” “Raja
dan pamilinya sedang berada di kampung kita ini, karena Langkat
sudah dimasuki musuh,” begitu jawab orang tersebut. “Raja Langkat akan mengungsi ke Kampung Pusung,” tambah orang itu
lagi. Karena negeri sedang dalam keadaan perang, maka
dinasehatinya Imam Awang supaya berhati-hati di jalan. Lagi
pula jangan banyak-banyak bercerita mungkin membahayakan diri sendiri. Imam Awang pun menyatakan terima kasihnya atas
nasehat tersebut. Kemudian dilanjutkannya perjalanannya arah ke
hulu. Sampai mereka di kampung Hinai. Di sebelah tempat di tepi
sungai mereka melihat banyak orang. Mungkin karena mengingat
nasihat orang di kampung Bubun, empat beranak itu terus saja berkayuh, dan tak mau bertanyakan apa yang terjadi dengan
orang banyak itu. Namun dalam berkayuh itu didengarnya orang
berteriak di pinggir sungai menyuruh mereka mendekat. Setelah
menambatkan perahunya, mereka pun naik ke darat. Di sebuah rumah besar tak jauh dari tepi sungai nampak banyak orang
berkumpul-kumpul. Macam- macam tingkah laku mereka, ada
yang sedang bercakap-cakap dengan air muka yang bersungguh-sungguh. Di tempat lain terlihat pula sekelompok
pemuda tetapi dengan kesibukan lain.. Mereka sedang mengasah
senjata tajam, seperti parang, lembing, dan tombak.
Keempat beranak itu dibawa orang naik ke rumah. Didapatinya di situ ada pula sekumpulan orang yang rata-rata
berbadan tegap dan besar. Di tengah-tengah mereka ada seorang
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
160
yang paling besar dan tegap badannya. Mukanya penuh jambang
dan janggot. Dialah Datuk Kampung Hinai, dan biasa panggil dengan Datuk Janggut. Kepada Datuk janggut itulah Imam
Awang dihadapkan. Ditanyalah empat beranak itu, “Hai, orang
yang baru datang,, siapakah namamu, dari mana datang, dan
hendak menuju kemana gerangan kalian ini?” Dijawab oleh Imam Awang segala pertanyaan. Datuk itu dengan hormat dan
sopannya. Dimintanya pula agar diperbolehkan menjadi
penduduk kampung Hinai. Oleh Datuk Janggut permintaannya itu dikabulkan, tetapi dengan syarat agar Imam Awang bersedia
membantu kampung itu yang sedang terlibat dalam perang
dengan musuh. Akhirnya disetujuilah, bahwa tugas Imam Awang
ialah mengajari penduduk tentang agama Islam, sambil turut serta menjaga di kampung, berhubung tidak amannya keadaan.
Sebagai guru agama banyaklah murid Imam Awang itu,
tetapi dia masih belum puas dengan keadaannya, dia ingin pindah lagi dari sana menuju ke hulu sungai. Berjalanlah empat beranak.
Waktu itu masih hujan, jalan banyak yang licin. Di sebuah tempat
jatuh Imam Awang, terjerembab ke sawah orang. Banyak padi orang itu yang rusak ditimpa badannya. Ketika diketahui oleh
yang empunya padi, marah mereka kepada Imam Awang.
Dimintanya maaf, namun tak diterima orang itu. Karena
ribut-ribut, maka berdatanganlah orang kampung ke tempat tersebut. Mereka semua bersepakat mempersalahkan Imam
Awang. Beberapa orang mulai main pukul dan main terjang. Pak
Imam Awang masih sabar menghadapi mereka. Namun serangan mereka tambah menjadi-jadi, sehingga mulailah naik darah Imam
Awang. Kemarahannya diperlihatkannya dengan menerjang
sebatang pohon pinang yang tinggi dan berbuah lebat. Akibat terjangannya itu bergoncanglah pohon itu, dan buahnya yang ada
berguguran ke tanah.
Melihat hal itu banyak orang mulai sadar, bahwa orang
yang mereka keroyok beramai-ramai itu bukan orang
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
161
sembarangan. Mulailah timbul rasa takut mereka kalau~kalau
Imam Awang akan membalas. Mereka pun cepat-cepat minta
maaf atas tindakan yang telah mereka lakukan. Oleh Imam
Awang permintaan maaf mereka diterima. Kepada yang empunya padi dikatakannya, bahwa semua batang padi yang rusak akan
didoakannya agar tumbuh kembali dengan subur. Hal itu memang
menjadi kenyataan beberapa masa kemudian. Maka menetaplah pula Imam Awang di kampung Nangka. Kerjanya sama seperti di
tempat-tempat sebelumnya, yakni mengajari penduduk tentang
agama Islam. Datanglah musim menugal padi. Musim itu didahului
dengan upacara membuat bubur tiktik. Dinamakan bubur tiktik,
karena caranya membuat ialah melalui saringan tempurung
kelapa yang dilubangi, sehingga ketika jatuhnya tepung berasnya berbunyi tiktik. Namun demikian, bunyi tiktik itu juga
dihubungkan dengan harapan dihati penduduk petani agar hujan
turun dari langit, supaya padi mereka tumbuh dengan subur. Kepada penduduk diajarkan Imam Awang cara-cara yang harus
dilakukan agar tanaman padi nanti berhasil dengan baik. Di
ladang itu mula-mula dibuatnya sebuah perigi bersegi empat kira-kira seluas semeter bujur sangkar. Di tengah-tengah persegi
empat itu dibuatnya lukisan Tapak Nabi Sulaiman, dan di sanalah
diletakkannya tepung tawar. Sesudah itu dimulai-nyalah
menunggal sebanyak tujuh lubang dan diisinya dengan padi. Lalu dibacakan jampi oleh Imam Awang. Ternyata bahwa padi yang di
tanam dengan cara demikian tumbuhnya sangat subur dan
hasilnya pun luar biasa banyaknya. Maka makin menghormatlah orang pada Imam Awang.
Pada suatu waktu negeri Stabat sedang berperang. Maka
didatangi dua orang Panglima Stabat Imam Awang dengan
maksud mengajaknya untuk berperang di pihak Stabat. Namun maksud mereka yang sebenarnya ialah untuk menyingkirkan
Imam Awang dari kampung itu, karena pengaruhnya sudah
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
162
terlalu besar. Malam hari datang lima orang Panglima Stabat di
antaranya Wan Patah dan Aja Ranggi ke rumah Imam Awang. Dinyatakannya maksudnya tetapi ditolak oleh Imam Awang
baik-baik dan secara lemah lembut. Dicobanya kembali
mengaijak, tetapi juga ditolak. Akhirnya datanglah marah mereka
dengan suara keras dan kasar didatanginya Imam itu berkelahi. Permintaan itu dilayaninya. Maka berkelahilah dua orang lawan
satu namun dapat dihadapi oleh Imam Awang. Segala
kepandaiannya berupa silat dan ketangkasan telah dikeluarkan oleh kedua Panglima Stabat, namun tak berdaya menghadapi
Imam Awan. Habislah akal mereka. Lalu dicobalah menghadapi
Imam Awang dengan menggunakan senjata. Wan Patah
mencabut kelewangnya dan Aja Ranggi memakai keris. Itupun tidak dapat menundukkan Awang. Pada suatu kesempatan
ditangkapnya tangan Aja Ranggi sesudah tangannya lepas maka
dilipat Imam Awang kedua tangan itu ke belakang. Aja Ranggi tak berkutik karena tak berdaya melepaskan tangannya. Diancam
Awang: “Ku patahkan tangan ini, atau kalian tunduk saja.”
Mendengar hal itu Wan Patah cepat-cepat menyerah. Kedua orang dari Stabat itu kemudian menyatakan maksudnya ingin
berguru kepada Imam Awang. Oleh Imam Awang diajukan syarat
kepada keduanya, bahwa mereka tidak boleh berperang di pihak
Stabat, dan harus menggunakan pengaruhnya agar Negeri Stabat menghentikan perang. Belajarlah kedua panglima itu kepada
Imam Awang tentang rupa-rupa ilmu pencak dan silat. Mereka
pun menepati janjinya mengusahakan mempengaruhi orang Stabat—untuk tidak dilanjutkan perang,, tetapi kurang berhasil,
karena tidak semua orang di sana dapat dipengaruhinya.
Bertahun-tahun di kampung Nangka ini taatlah orang menjalankan agama karena pengaruh dan teladan yang diper-
lihatkan oleh Imam Awang kepada masyarakat sekelilingnya. Di
belakang hari Imam Awang meninggalkan dua orang isteri di
kampung itu. Masing-masing bernama Mas dan Kwang. Anak-
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
163
anaknya dari kedua isterinya itupun banyak dan semua tetap
tinggal di kampung Nangka. Kedua anaknya yang dibawanya dari
Kedah tinggal di kampung Hinai. Di sana pula keduanya tinggal
sampai tua dengan anak cucunya. Kuburan Imam Awang dijumpai di kampung itu di tepi
sungai. Kuburan itu dianggap penduduk sebagai tempat keramat.
Tidak kurang di antara penduduk yang meminta dan memohon ke sana. Tetapi semakin maju penduduk karena pendidikan dan
penerangan-penerangan agama, maka semakin berkurang pula
perhatian mereka terhadap kuburan Imam Awang. Sekarang kuburan itu tinggal dalam keadaan tidak terawat di kampung
Nangka.
4.3.5 Permata Bertuah dari Serdang Putih Pelaku-pelaku utama dalam cerita Permata Bertuah dari
Serdang Putih adalah: Permata, Bogak, Baginda Alamsyah, serta
tentera Berhala. Permata memiliki sifat sebagai perwira yang keras, jujur, pantang menyerah, pembela rakyat yang lemah serta
bijaksana. Sementara Bogak adalah seorang penjudi, tetapi
akhirnya insyaf dan boleh membela Kerajaan Serdang Putih hingga diangkat menjadi raja muda. Baginda Alamsyah pula
adalah seorang raja yang pandai membalas budi, adil dalam
memutuskan perkara ,dan disenangi oleh rakyatnya. Tentara
Berhala merupakan kumpulan antagonis di dalam kisah ini. Mereka mempunyai watak yang keji, dengki, irihati, tamak dan
loba, dan merampas harta orang lain. Setelah Permata dapat
mengalahkan mereka, lalu mereka bertobat dan berjanji tidak mengulangi perbuatan tersebut.
Dari perwatakan kisah ini dapat diambil kesimpulan bahwa
masyarakat Melayu di Sumatera Utara kukuh dengan sikap
pengabdian yang dilambangkan oleh Permata. Pengabdian tanpa pamrih itu mendukung sosok seorang Melayu dalam mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat. Dalam kebudayaan masyarakat
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
164
Melayu Sumatera Utara nilai berbudi dan berbahasa dianggap
suatu nilai yang dipandang tinggi, dan dijadikan teladan dalam kehidupan. Sementara itu Bogak dan Permata melambangkan
persaudaraan dalam adat Melayu yang berasas pada keikhlasan.
Bahwa kalau saudara memerlukan sesuatu dahulukan pertolongan
untuknya. Di sisi lain, kesetiaan Permata kepada raja, merupakan gambaran seorang Melayu yang setia raja. Bak kata pepatah raja
adil raja disembah, raja lalim raja disanggah.
4.3.6 Sri Dayang atau Asal Mula Burung Balam
Pada zaman dahulu kala terdapat sebuah negeri antah
berantah, sebahagian besar rakyatnya kerja berladang untuk
mencari makan sehari-hari. Di negeri ini hiduplah seorang petani dengan anak tunggaInya yang bernama Sri Dayang. Wajahnya
cantik sekali tak ada bandingnya dan dia juga sangat penurut
kepada orang tuanya. Pada suatu hari pergilah emaknya ke ladang dan tinggallah Sri Dayang searang diri. Kalau orang sudah
ke ladang, maka kampung akan sunyi dan Sri Dayang tinggal
secrang diri di rumah dan dikuncilah dari luar hanya dari jendela saia dia melihat ke luar.
Pada suatu hari pergilah orang penebas rimba untuk
membuka ladang, berkatalah Sri Dayang, “O, … mak, ikutlah aku
mak,” maka jawab emaknya. “Janganlah anakku orang masih menebas rimba, tidak ada anak-anak yang ikut ke ladang.” Maka
Sri Dayang pun terdiam. Tibalah saatnya membersihkan tanah.
Maka Sri Dayang berkata lagi. “Mak, ikutlah aku ke ladang, kepingin sekali aku melihat ladang.” “Jangan nak, nanti kena
sabit pula kakimu.” Sampailah pula masa menanam padi, Sri
Dayang berkata, “0, .. mak, ramainya orang di ladang, Sri Dayang ingin beramai-ramai dengan mereka. Kata emaknya lagi,
“Jangan nak, tunggulah sedikit lagi sampai padi subur.” Sri
Dayang berkata lagi, “0, … mak, ikutlah aku mak.” Jawab
ibunya, “Jangan nak terik sekali matahari.”
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
165
Masa menuai padi Sri Dayang ingin ikut lagi tetapi emaknya
terus melarang dengan menyatakan: “Jangan ikut nak, sekarang
masanya kalau pagi turun hujan, kalau siang panas terik, nanti
kau sakit.” Begitulah sampai saat menuai padi dia tidak juga diberi aleh emaknya melihat ladang tersebut. Sri Dayang hatinya
meniadi sangat sedih, kesunyian tidak tertahankan olehnya lagi.
Maka terbukalah hatinya dan meminta kepada Tuhan. “Wahai… Tuhan jadikanlah aku manusia yang bebas, jangan terkurung saja
begini, ingin sekali aku melihat indahnya ladang, lebatnya hutan,
mengapalah aku selalu terkurung begini.” Sewaktu dia berkata demikian, masuklah asap lama-kelamaan asap itu menjelma
menjadi manusia. Wujud manusia itu berkata, “Wahai Sri
Dayang, aku ini adalah Datok Pertapa, apa yang kau keluhkan
selama ini aku tahu, pedih sekali rupanya hatimu,” kata Datok Pertapa.”Wahai Datok Pertapa yang sakti, tolonglah aku ini, aku
ingin bebas walaupun wujudku tidak berupa manusia lagi. Jadilah
aku seekor burung, biar aku bebas melayang-layang menyaksikan keindahan dunia ini, sudah cukup lama aku menuruti kata-kata
kedua orang tuaku, namun tidak ada kebebasan untukku.”
“Baiklah”, kata Datok Pertapa. Tidak berapa lama mengepul-lah asap di depan Sri Dayang, dan tiba-tiba berubahlah wujud Sri
Dayang menjadi seekor burung, yaitu burung Balam, dan
terbanglah burung Balam ini dari jendela menuju ke ladang
emaknya. Dilihatnya orang sedang ramai sekali di ladang, di sana bernyanyilah ia,
0 … emak ... emak tahukah emak, Si Sri Dayang berubah wujud,
Kalau dimakan Balam padilah emak,
Si Sri dayang yang memakannya,
Wahai emak relakan hati, Si Sri Dayang berubah wujud.
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
166
Mendengar nyanyian itu terkejudlah orang yang berada di ladang,
semua melihat ke Burung Balam itu. Emak dan Bapaknya pun menangis dengan sangat menyesaInya mereka berkata, “Wahai
anakku, maafkanlah kami nak, turunlah engkau kembalilah
menjadi manusia. “Tetapi sudah tidak bisa lagi karena Sri
Dayang sudah disumpah tidak bisa berubah wujud lagi. Maka kata Sri Dayang, “0 … Tuhan, aku tidak pernah menyesal, Cuma
ku harap suatu hari nanti hendaknya manusia jugalah yang
memelihara aku nanti.” Oleh karena itulah maka orang suka memelihara burung balam, jadi yang berbintik-bintik di leher
Burung Balam itu adalah kalung yang diberi oleh emaknya
dahulu.
4.3.7 Tuan Puteri Pucuk Kelumpang
Cerita ini dimulakan pada zaman dahulu kala, ketika agama
Islam belum masuk ke wilayah budaya Melayu, di sebuah negeri hiduplah seorang saudagar kaya dengan isterinya yang cantik
jelita. Selepas ia kawin dengan isterinya, ia pun pergi berniaga
ke negeri seberang. Lamanya ia meninggalkan isteri sampai dua belas tahun. Saat itu isteriny telah mengandung.
Pada saat hendak pergi berniaga ke negeri seberang ia
berpesan kepada isterinya: “isteriku, Abang merantau ke negeri
sebelrang untuk berniaga dan untuk kebahagian kita sekeluarga di hari kelak. Doakan agar Abangnda berhasil dalam berniaga ini.
Namun Abang merantau ke negeri seberang ‘tu selama dua belas
tahun. Kalau anak kita lelaki berilah nama sesuai dengan nama-nama orang Melayu lazimnya, kalau boleh Awang Laksmana.
Namun kalau ia perempuan, sesuai dengan kebiasaan puak kita,
maka bunuhlah ia dan tanamlah agar tidak membuat malu keluarga kita.” Kemudian pesan suaminya tersebut disetujui dan
difahami oleh sang isteri tercinta.
Ringkas cerita, sang saudagar pergi berlayar berniaga ke
negeri seberang dengan dihantar oleh sang isteri sampai di
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
167
pelabuhan pemberangkatan. Keduanya pun saling bersedih
karena berpisah dalam masa yang begitu lama. Padahal mereka
sendiri pun baru saja menjadi pengantin baru.
Dalam perjalanan waktu, maka si iseri saudagar kaya tersebut mengandung hingga sembilan bulan, maka lahirlah
seorang anak, dengan dibantu mak bidan anak. Namun bukan
kebahagiaan yang didapat, tetapi pilu hati si isteri saudagar. Adapun permasalahan besarnya adalah ia melahirkan seorang
anak perempuan. Gunda-gulanalah hatinya menghadapi
kenyataan ini. Apalagi para manusia dan hewan saat itu dapat berkomunikasi. Mereka ini semua melihat bahwa sang isteri
saudagar melahirkan bayi berjenis kelamin perempuan. Sang
isteri saudagar berdasarkan naluriah keibuannya tak tega
membunuh anaknya ini sesuai pesan yang dari suaminya tatkala hendak pergi berniaga ke negari seberang.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti
tahun. Maka tumbuhlah anak perempuan saudagar itu, dan menjelasng ayahnya pulang ia ditempatkan di pucuk pohon
kelumpang. Di pohon kelumpang ini ia menyulam pakaia n untuk
ayahnya jika nanti pulang. Makanan dikirim sehari-hari oleh ibunya ke pohon tersebut.
Dua belas tahun pun telah berlalu, sejak sang saudagar pergi
ke negeri seberang. Rindu dendanm dengan isteri selama dua
belas tahun ditumpahkannya dalam peremuan ini. Ia pun membawa keuntungan yang sangat besar, dalam bentuk uang,
emas, berlian, dan lain-lainnya. Tentu saja ia pun bertanya
apakah anak mereka lelaki atau perempuan. Sang isteri menjawab anak mereka perempuan. Kemudian sang saudagar
melanjutkan pertanyaan: “Apakah anak perempuan kita itu elah
dibunuh?” Jawab sang isteri: “Sudah kakanda, anak perempun
kita sudah dibunuh.” Kemudian dilanjutkan lagi pertanyaan saudagar, “Mana bukti anak perempuan itu telah adinda bunuh?”
Maka, sag isteri saudagar mengambil sebuah bukti yaitu sebuah
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
168
hati dari seekor kera, yang telah kering—yang dianggap sebagai
pengganti ati anak perempuannya, yang masih hidup hinga saat ini di pohon pucuk kelumpang. Untuk sementar sang saudagar
percaya pada isterinya.
Namun kenyataan tersebut tak bertahan lama. Di antara
hewan-hewan yan menyaksikan, tak semuanya menyimpan rahasia. Ada seekor elang buta, yang membo-corkan rahasia ini
kepada sang saudagar, karena ia merasa tak dipedulikan oleh
isteri saudagar. Elang buta ini kemudian melaporkan kejadian sebenarnya kepada sang saudagar. Maka mengertilah saudagar
kaya itu, apa yang terjadi. Ia tidak memarahi isterinya. Ia
berniat akan membunuh anaknya. Ia pun pergi ke pohon pucuk
kelumpang, dan menyanyi:
Tuan Puteri Pucuk Kelumpang,
Ayahmu pulang darilah seberang, Ayah membawa kain dan selendang,
Serta perhiasan subang dan gelang.
Si anak pun mendengar suara ayahnya ini, kemudian
menyahuti dari pucuk pohon kelumpang,”Ananda rindu pada
ayah, ke mana saja gerangan ayah selama ini?”
Dengan adanya sahutan dari sang puterinya ini, maka sang saudagar membawa senapan tembak dan akan membunuh
anaknya. Ia pun menembaki anaknya tersebut. Satu per satu
badan sang puteri jatuh ke bumi. Kaki, pinggang, tangan, leher, hingga hati, dan wajahnya jatuh satu per satu. Saudagar melihat
anaknya yang sangat cantik walau teah meninggal. IA sedih,
karena mengikut perauan yang tidak manusiawi ini dipegang oleh masyaraktnya.
Akhirnya, ia pin berani menentang aturan adat tersebut, dan
menyatakan sejak detik ini, ia dan keturunanya aau siapapun
yang mau mendukungnya, agar tidak membunuh anak
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
169
perempuan. Hargailah mereka, karena tanpa adanya perempuan,
siapa yang akan meneruskan generasi keturunan manusia. Kisah
ini tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat Melayu
Serdang dan Bedagai di Sumatera Utara.
4.3.8 Taubatnya seorang Penjahat
Cerita ini berasal dari daerah Serdang Bedagai, yang dipelihara kelangsungannya oleh masyarakat Melayu setempat
sampai sekarang ini. Cerita ini juga mengandung unsur didaktik
dan jenaka. Alkisah dimulai dari, pada masa dahulu kala, di sebuah
desa hiduplah seorang penjahat yang terkenal karena
perbatannya, seperti: merompak, membunuh, mencuri, dan
merusak apa pun yang menggangu keinginanya. Ia menjadi penjahat nomor satu di seantero kawasan itu. Bahkan hukum pun
tak berani mengusiknya. Hukum berada di bawah kendalinya,
karena ia bekerjasama dengan aparat penegak hukum, seberti menyuap, mengertak, dan membunuh penegak hukum yang
menghalanginya. Hidup sebagai penjahat ini dilakukannya
selama puluhan tahun. Nasib dan takdir manusia hanya Allah yang tahu. Hingga
satu masa ia bertobat, karena putra kesayangannya yang semata
wayang meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan, ketika
bersamanya merampok sebuah rombongan orang-orang sakti. Ia pun ditaklukkan oleh rombongan orang-orang sakti itu, yang
kemudian melepaskannya dengan syarat ia harus bertobat dengan
taubatan nasuhah. Akhirnya ia bertobat, dan kemudian rajin melaksanakan
shalat lima waktu dan shalat sunat di mesjid di kampungnya. Ia
pun kemudian diangkat menjadi pengurus mesjid. Ia rajin
bekerja dan bertanggung jawab atas kepercayaan masyarakat yang diberikan kepadanya.
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
170
Satu masa imam mesjid meninggal. Oleh masyarakat secara
musyawarah dan mufakat, beliau dipercayakan untuk menggantikan imam mesjid yang telah wafat. Ia tak bisa
menolak. Namun ia pun tak mampu untuk menjadi imam shalat
dan khutbah Jumat. Dengan terpaksa ia terima kepercayaan yang
diberikan masyarakat ini. Tiba masa shalat Jumat yang pertama ia menjabat sebagai imam mesjid. Sebagaimana biasa, pada
siang hari setelah sampai masa shalat, azanlah muazin untuk
segera shalat Jumat. Masyarakat desa berbondong-bondong datang ke mesjid untuk melaksanakan shalat fardhu Jumat.
Kemudian salah satu rukunnya, adalah khutbah Jumat. Naiklah
tokoh kita ini ke atas mimbar Jumat. Namun tidak lazim seperti
khutbah Jumat sebelumnya. Karena sang imam mesjid yang baru ini, sadar ia tidak mampu memberikan khutbah, maka ia
memberikan arahan: “ Asalamu’alaikum, Bapak-bapak sidang
Jumat yang mulia, karena sesuatu hal, saya selaku imam mesjid mengumumkan bahwa shalat Jumat hari ini ditiadakan,
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Riuh-
rendahlah respos para jamaah shalat Jumat. Namun mereka mengikuti perintah sang imam mesjid.
Tak berapa lama kemudian, Allah murka karena pembatalan
shalat Jumat ini oleh sang imam mesjid. Allah menurunkan petir
membakar bahagian atas mesjid. Para jemaah pun berkomentar, “Hebat benar imam mesjid kita ini, tahu apa yang akan terjadi.
Coba kalau kita tadi shalat tentu akan tersengat petir.”
Demikian contoh-contoh cerita rakyat Melayu Sumatera Utara, yang sebenarnya di lapangan masih banyak lagi dan perlu
diteliti oleh para pakar sastra dan budaya pada umumnya.
Namun bagaimanapun inti dari cerita rakyat adalah sebenarnya pembelajaran menurut sistem nilai dan norma-norma masyarakat
Melayu. Cerita rakyat tersebut secara alamiah adalah hasil
kreativitas imajinatif pengarangnya yang tidak dapat lagi dilacak
siapa pengarangnya. Atau berdasarkan cerita rakyat itu kemudian
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
171
ditulislah karya sastra oleh pengarang tertentu dalam budaya
Melayu.
4.4 Sinandong Sinandong atau senandung adalah sebuah genre sastra lisan
yang hidup dan tumbuh di kawasan Batubara, Asahan, dan
Labuhanbatu, Sumatera Utara. Istilah sinandong ini sendiri memiliki hubungan dengan istilah sejenis dalam kebudayaan
rumpun Melayu Tua, misalnya andung dalam kebudayaan Batak
Toba, mersukut-sukuten dalam budaya Pakpak-Dairi, dan tangis-tangis dalam kebudayaan Karo.
Dalam kebudayaan Melayu Sumatera Utara, sinandong ini
diperkirakan tercipta seiring dengan munculnya cerita rakyat
Melayu yang mengisahkannya. Syahdan di suatu kerajaan di Sumatera Timur, hiduplah seorang nelayan yang bernama Si
Nandang. Ia jatuh cinta kepada seorang puteri raja yang elok
paras rupanya. Rasa cinta ini tidak bertepuk sebelah tangan—puteri raja juga jatuh cinta kepadanya. Namun ada jurang
pemisah untuk bertautnya hati dan cinta mereka berdua, yaitu
status sosial. Sang putri raja tentu saja sebagai bangsawan memiliki status sosial tertinggi dalam masyrakat. Sementara sang
nelayan adalah dipandang berstatus sosial rendah. Dari pihak
sang puteri yaitu terutama raja tentu saja tidak setuju dengan
hubungan yang seperti ini. Karena dihalang-halangi pihak raja untuk memadu kasih dan
cinta, sang puteri raja jatuh sakit. Dalam kenyataannya ketika
seluruh dukun atau bomoh (datu) diundang untuk menyembuhkan Tuan Puteri, tak ada satu pun yang bisa menyembuhkannya.
Kemudian Si Nandang pemuda nelayan menyamar menjadi
dukun dan membaca mantera dengan cara bersyair
(bersinndong), sang puteri raja sembuh dari penyakitnya. Si Nandang ini kemudian dikenali secara luas sebagai Si Nandung.
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
172
Setelah sang pteri raja sembuh, gejolak cinta antara dia
dengan Si Nandung semakin bergelora. Namun tetap saja sang puteri raja mendapat halangan dari ayahandanya dan
keluarganya. Untuk memutuskan jalinan asmara antara dua satus
sosial yang berbeda ini, pihak raja menuduh Si Nandung
mengguna-gunai sang puteri raja. Kemudian Si Nandung ditangkap untuk selanjutnya dibunuh. Setelah dibunuh, maka
sang puteri merasa kesepian dan kesendirian. Akhirnya ia jatuh
sakit dan meninggal. Ia berharap dapa bertemu di alam lain dengan sang kekasih pujaan hati, sebagai simbol abadinya cinta
mereka berdua.
Dalam zaman-zaman berikutnya sinandong ini, berkembang
menurut fungsinya dalam masyarakat Melayu di Sumatera Utara. Di antaranya adalah sinandong mengenang nasib atau sinandong
ibu.
Hoi ... menumbok kunun jang di losung batu
Antan dibuat jang batang galenggang
Hoi ... saketlah sunggoh dagang piatu Kaenlah basah koreng di pinggang ...
Hoi ... naek raket mengambek kupang
Pukat dilaboh tepi kualo Sungguhlah saket badan menumpang
Aer yang koroh diminum jugo
Pada waktu malam hari saat tidur malam, ketika sang bayi
terbangun dari tidurnya dan minta untuk disusui, sambil
menyusui sang ibu menyanyikan senandung, sebagai berikut.
Dadong dadong dadong didadong ...
Dadong didadong nak dadong di dado ... Kalaulah gugor nak gugorlah nangko
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
173
Usah ditimpah nak si ghanting paoh
Kalau nak tidor nak tidorlah mato
Jangan dicinto ayah nan jaoh
Dadong dadong dadong didadong ... Dadong didadong nak dadong di dado ...
4.5 Syair Genre sastra Melayu (termasuk Sumatera Utara) disebut
syair ialah suatu bentuk puisi Melayu tradisional yang sangat
populer. Kepopularen syair sebenarnya bersandar pada sifat penciptaannya yang berdaya melahirkan bentuk naratif atau
cerita, sama seperti bentuk prosa, yang tidak dipunyai oleh
pantun, seloka, atau gurindam.
Dari bentuk kata atau istilahnya jelas bahwa kata ini berasal dari bahasa Arab. Kamus al-Mabmudiyah (1934) karangan Syed
Mahmud ibnu Almarhum Abdul Qadir al-Hindi memberikan
makna kata syair sebagai "karangan empat baris yang sama sajak (s-j-?)nya pada akhir keempat-empat kalimat dan sama
pertimbangan perkataannya" (Syed Mahmud 1934:159). Dari
konteksnya kita faharmi apa yang dimaksudkan dengan sajak (s-j-?) ialah persamaan bunyi di akhir tiap-tiap baris atau rawi.
Tentu saja keterangan yang terdapat dalam Kamus Al-
Mahmudiyah sangat ringkas, karena penyusun kamus ini
menyadari bahwa semua orang Melayu pasti tahu apa itu syair (Siti Hawa Haji Salleh 2005:1).
Begitu pentingnya kedudukan syair ini dalam kebudayaan
Islam atau Melayu. Maka Al-Qur’an pun memuat perbincangan tentang syair ini dalam beberapa ayat. Dalam Al-Qur’an Asy
Syu’araa’ (26:224) dijelaskan bahwa para penyair itu diikuti oleh
orang-orang yan g sesat.
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
174
Artinya:
Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat.
Kemudian dalam surat yang sama Al-Qur’an Asy Syu’araa’ (26:225), bahwa para penyair itu mengembara di tiap-tiap
lembah.
Artinya: Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap- tiap lembah
Yang dimaksud dalam ayat ini ialah bahwa sebagian penyair-penyair itu suka mempermainkan kata-kata dan tidak mempunyai
tujuan yang baik yang tertentu dan tidak punya pendirian.
Di ayat lain yaitu ayat 226, diterangkan bahwa penyair itu hanya suka mengatakan tetapi tidak melakukan apa yang
dikatakannya. Selengkapnya firman Allah dalam Al-Qur’an Asy
Syu’araa’(26: 226) adalah sebagai berikut.
Artinya: dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)?
Setelah memberikan peringatan bagi para penyair yang
“menyimpang,” di ayat 227 Allah memuji dan memberikan jaminan kepada para penyair yang beriman dan beramal saleh,
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
175
walau awalnya mereka menderita dan dizalimi. Selengkapnya
Al-Qur’an surat Asy Syu’araa’(26: 227) sebagai berikut.
Artinya: Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang
yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.
Di dalam Al-Qur’an surah Yaasiin (36;69), sebagai
pernyataan bahwa Al-Qur’an itu bukan ciptaan Nabi Muhammad tetapi adalah wahyu Allah melalui Malaikat Jibril, Allah
berfirman sebagai berikut
Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al Qur.an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang berisi tentang penyair dan syair
tersebut di atas, tampaknya adalah ingin meluruskan ide dan praktik terhadap sastra syair ini dalam rangka tauhid kepada
Allah, bukan sebaliknya “bermain dengan kata-kata” untuk
ingkar kepada Tuhan, dan memilih jalan syetan.
Dalam Dunia Melayu, lebih lanjut menurut Harun Mat Piah para pengkaji yang meneliti syair sepakat menyatakan baawa
kata syair berasal dari bahasa Arab sy’r yang umumnya merujuk
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
176
kepada pengertian puisi dalam apa-apa jua jenisnya seperti yang
difahami dalam istilah Inggris poem atau poetry (Harun Mat Piah 1989:210). Sementara itu, dalam bahasa Arab kata sy’r
melahirkan kata sya’ir dengan membawa maksud penulis atau
pencipta puisi, penyair, atau penyajak.
Dalam bentuk asalnya, syair tidak mungkin dikelirukan dengan seloka dan gurindam karena cara penulisannya. Syair
yang pada mulanya ditulis dalam tulisan Jawi (Arab Melayu),
ditulis berpasang-pasangan, yaitu dua kalimat (ayat) pada baris pertama dengan dipisahkan oleh suatu tanda hiasan atau bunga di
tengah-tengahnya. Biasanya dua pasangan ayat (yaitu empat
baris) mempunyai bunyi akhir sama, walaupun kadang-kadang
ditemui sepasang ayat sahaja yang mempunyai rima akhir yang sama (Siti Hawa Haji Salleh 2005:4).
Kekeliruan terjadi ketika syair dalam tulisan Jawi
diperturunkn ke dalam tulisan rumi (Romawi) dan mungkin karena keterbatasan ruang, empat baris syair berpasang-pasangan
terpaksa diletakkan sebagai suatu rangkap yang terdiri dari
empat baris. Baris-baris syair ini biasanya ditransliterasikan dalam bentuk yang sangat berbeda dengan yang asalnya dalam
tulisan jawi.
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
177
Gambar 4.1
Contoh Rangkap (Bait) Syair dalam Tulisan Jawi
Sumber: Siti Hawa Haji Salleh (2005:4)
Hijrat’l-Nabi ‘alaihi’l-salam,
Seribu tiga ratus bilangan Islam, Bertambah empat bilangan malam,
Buan Jumadi’l-awal sepuluh malam.
Hari Thalatha mula disurat,
Syair dikarang fakir yang larat,
Dari hai sangat kelurat, Disuratkan sedikit tamsil ibarat.
Baris-baris membawa maksud atau amanat syair, semuanya
membawa maksud amanat yang berkaitan dan jika ditransliterasikan ke dalam tulisan Latin dalam bentuk rangkap
empat baris, maka mudah dikelirukan dengan seloka (Siti Hawa
Haji Salleh 2005:5).
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
178
Za’ba dalam bukunya Ilmu Mengarang Melayu (1962
dan sebelumnya) menyatakan bahwa penulisan syair tidaklah terkungkung pada monorima saja. Beliau mengemukakan
beberapa contoh yang memperlihatkan variasi yan berbeda,
seperti syair dua baris serangkap berima a/b, a/b, a/b, dan
seterusnya; syair tiga baris serangkap dengan rima a/a/b, a/a/b, dan seterusnya; syair empat baris serangkap berima a/a/a/b,
c/c/c/d, dan seterusnya.
Contoh dua baris serangkap berima a/b, a/b:
Dihitung banyak tidak terkira,
Apabila dijumlahkan menjadi satu.
Melompat tak seperti kera,
Hanya tak pandai memanjat pintu.
Menghidupi memelihara,
Tetapi orang benci bercampur bersatu.
(Za’ba 1962:236 dalam Harun Mat Piah 1989:232).
Contoh syair tiga baris serangkap berima a/a/b, a/a/b:
Islam kita wei kejatuhan,
Sebab karut masuk tembahan,
Quran hadis terbulang-baling.
Hadis firman dapat ubahan,
Maksud hakiki perpecahan, Punding bengkok kena perguling.
(Za’ba 1962:235 dalam Harun Mat Piah 1989:232)
Contoh syair empat baris serangkap berima a/b/a/b.
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
179
Kamilah raja tuan di sini,
Harta pun kami yang punya,
Orang yang duduk di bumi ini, Mendengar kami gentar semuanya.
Bukalah pintu kami titahkan, Nabi Sulaiman empunya perintah,
Jangan sekali kamu ingkarkan,
Derhaka kamu jika dibantah. (Za’ba 1962:234 dalam Harun Mat Piah 1989:234)
Contoh syair empat baris serangkap berima a/a/a/b,
c/c/c/d
Wahai Ramadhan syahar berpangkat,
Tuan kemana lenyap berangkat? Dukanya kami tidak bersukat,
Hendak menurut tidak berdaya.
Sekali setahun tuan bermegah,
Menjelang kami sebulan singgah,
Kami bercengkerama belum semenggah,
Tuan pun lenyap dari dunia.
Syair empat baris serangkap berima a/a/a/b, c/c/c/d, e/e/e/f,
dan diulang semula:
Kalau kita ditanya orang:
Kemudi manusia apakah gerang?
Berilah jawab dengannya terang: Akal, akal, akal, akal.
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
180
Kalau kita lagi ditanya:
Haluan manusia apa ditanya? Berilah jawab yang sempurna:
Hati, hati, hati, hati.
Kalau kita ditanya pula: Perahu manusia nayatakan sila,
Terangkan dengan berhati rela:
Ilmu yang sihat, ilmu yang sihat. (Za’ba 1962:107-8 dalam Harun Mat Piah 1989:237)
4.5.1 Syair dalam Dunia Melayu
Meskipun menggunakan pendekatan yang berbeda, seperti A. Teeuw yang menggunakan pendekatan ekstensif (emik) dan
Syed Naquib al-Attas yang menggunakan pendekatan intensif,
para sarjana ini tidak dapat menafikan bahwa dalam realitinya Hamzah Fansuri yang memesatkan penggunaan syair dalam
perkembangan kesusastraan Melayu. Oleh karenanya, soalan
yang perlu dibagi jawaban ialah sangat menentukan seperti yang dikemukakan Harun Mat Piah (1989:216):
Pertamanya, apakah syair itu merupakan bentuk
puisi Melayu-Indonesia yang asli (purba), ertinya telah ada
sebelum kedatangan Islam atau, keduanya, benarkah syair
dikarang dandicipta oleh Hamzah Fansuri dan hanya
dikenali dan berkembang selepas Hamzah Fansuri (m. 1630 Masihi)
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
181
Harun Mat Piah mengemukakan empat kesimpulan berasaskan
kepada berbagai-bagai pendapat dan polemik yang timbul
berhubung dengan syair yang dikemukakan oleh para sarjana.
Tanpa mengulangi satu per satu penghujahan yang dikemukakan oleh para sarjana dan mengulangi lagi asal-usul syair dan lain-
lain yang berkaitan dengannya, kita lihat keempat simpulan
mengenai syair yang dikemukakan oleh Harun Mat Piah (1989:209-210).
(1) Bahwa istilah syair berasal dari bahasa Arab; dan
penggunaannya dalam bahasa Melayu hanya sebagai istilah teknik.
(2) Bahwa syair Melayu itu, walau ada kaitannya dengan
puisi Arab, tetapi tidak berasal dari syair Arab dan
Persia, atau sebagai penyesuaian dari mana-mana genre puisi Arab atau Persia. Dengan perkataan lain,
syair adalah cipataan asli masyarakat Melayu.
(3) Ada kemungkinan syair itu berasal dari puisi Melayu Malaysia-Indonesia asli.
(4) Bahwa syair Melayu dicipta dan dimulakan
penyebarannya oleh Hamzah Fansuri dan beracuankan puisi Arab-Persia.
Pengkaji lainnya yaitu Mohd. Yusof Md. Nor dan Abdul
Rahman Kaeh (1985:vii) mengemukakan empat kesimpulan juga,
namun sedikit berbeda dengan kesimpulan yang dikemuakakn oleh Harun Mat Piah, yaitu:
(1) Karena kata syair datangnya dari Arab-Persia, maka
syair dianggap datang dari luar. (2) Meskipun kata syair ada kaitannya dengan bahasa
Arab-Persia, tetapi bentuk syair ialah ciptaan orang
Melayu di Nusantara ini.
(3) Syair sudah ada sejak abad kelima belas di Melaka. (4) Syair dikarang oleh Hamzah Fansuri dan
berkembang selepasnya.
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
182
Sementara Siti Hawa Salleh menambahkan bahwa selain simpulan seperti di atas ada sebuah lagi aspek yang berkaitan
dengan eksistensi syair di dunia Melayu. Menurutnya, kegiatan
keagamaan dalam tradisi merayakan Maulidur Rasul (Maulid
Nabi) memperkenalkan dan merapatkan masyarakat Melayu dengan puisi barzanji. Mungkin pada mulanya puisi
didendangkan dalam bahasa Arab asalnya dan kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu sambil memberi perhatian kepada rima akhir setiap baris. Akhirnya para penyair
Melayu sendiri mencipta puisi-puisi dengan berpandukan
penulisan puisi barzanji. Contoh-contoh yang dipetik dari buku
barzanji memperlihatkan bahwa bentuk penciptaan puisi itu ialah bentuk syair seperti yang wujud sekarang. Kegiatan
menyanyikan puisi barzanji dalam majlis Maulidur Rasul (maulid
Nabi) setiap tahun pasti meninggalkan kesan terhadap selera puisi masyarakat Melayu. Dengan itu, tentulah sedikit sebanyak lagu
barzanji ini memainkan peranan dalam menyebarkan penciptaan
puisi jenis ini yang akhirya bernamakan syair. Selain itu, tidak dapat dinafikan bahwa minda masyarakat Melayu lebih mudah
menerima puisi barzanji dengan struktur kalimat dan rima
akhirnya karena kebiasaan mereka dengan bentuk puisi yang
sedia ada dalam kesusastraannya sendiri.
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
183
Notasi 4.1
Cuplikan Marhaban
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
184
Dengan wujudnya berbagai-bagai jenis syair dalam
kesusastraan Melayu, ternyata bahwa puisi jenis ini amat disukai oleh masyarakat Melayu zaman silam. Syair menyediakan satu
lagi cara untuk menyampaikan cerita selain bentuk prosa.
Walaupun pantun berkait berdaya menyam-paikan sesuatu kisah
yang panjang, menuruti penceritaannya dapat memberikan tekanan kepada pembaca atau pendengar karena struktur pantun
berkait yang terpaksa mengulang sebut maksud dalam rangkap
awal sebelum mengungkapkan informasi dalam rangkap yang berikutnya. Oleh itu, pantun berkait tidak digunakan secara
meluas untuk menyampaikan cerita yang panjang-panjang seperti
yang dapat dilakukan oleh syair (Siti Hawa Salleh 2005:23).
Dalam Dunia Melayu hampir setiap genre kesusastraan Melayu tradisional mempunyai versinya dalam bentuk syair,
selain dalam bentuk prosa—hingga terdapat satu kumpulan karya
yang besar tercipta dalam bentuk syair. Dengan demikian, daam perbendaharaan kesusastraan Melayu terdapat syair agama, syair
sejarah, syair hikayat, syair nasehat, dan lain-lain. Syair juga
muncul dalam karya prosa tradisional, baik untuk selingan mauun penghias bahasa dan juga dapat sebagai penyampai alternatif.
Kepopularannya dikekalkan melalui iramanya yang tersendiri
hingga syair termasuk ke dalam kumpulan dendangan irama
asli14
, menjadi sebahagian dari nyanyian dalam persembahan bangsawan dan mempunyai peminat atau audiensnya sendiri.
14Sebenarnya syair ini tidak boleh dikategorikan sebagai irama asli
atau kalau di Sumatera Utara disebut irama senandung, yang temponya lambat yaitu sekitar 60 ketukan asas per minitnya. Ditulis dalam birama atau sukatan 4/4. Dalam satu siklus (pusingan) memerlukan delapan ketukan asas. Dengan onomatopeik bunyi 4 ketukan awal diisi oleh suara tak, dan empat berikutnya dang, dang , tung, tung, dang, dang dan tung. Dengan nota lengkap sebagai
berikut: . Pada bahagian melodi selang (interlude) digunakan rentak inang atau mak inang dalam 4/4 dan bahagian isi meter bebas bukan rentak ata irama asli.
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
185
Contoh syair dalam Dunia Melayu: (a) syair sejarah (Syair Sultan
Maulana, Syair Perang Mengkasar, Syair Muko-Muko), (b) syair
keagamaan (Syair Makrifat, Syair Mekah dan Medinah, Syair
Hari Kiamat), (c) syair hikayat/hiuran/romantis (Syair Harith Fadzillah, Syair Gul Bakawali, Syair Jauhar Manikam), (d) syair
hikayat panji (Syair Ken tambuhan, Syair Panji), syair nasihat
(Syair Nasihat, Syair Nasihat Pengajaran untuk Memelihara Diri, Syair Nasihat kepada Pemerintah), dan (e) syair
perlambangan, kiasan atau sindiran (Syair Ikan Terubuk, Syair
Ikan Tongkol, Syair Bereng-bereng) (Siti Hawa Haji Salleh 2005:24).
Gambar 4.2
Contoh Rangkap (Bait) Syair dalam Kitab Barzanji
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
186
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
187
Notasi 4.2
Cuplikan Melodi Barzanji
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
188
4.5.2 Struktur Musikal
Selain peraturan struktural sastra, seperti sudah diuraikan di atas, struktur syair yang tak kalah pentingnya adalah melodi dan
rentak musikalnya. Syair ini selalu dipersembahkan dengan
menggunakan bentuk melodi tertentu, yang memiliki struktur
internal pula. Bahkan dalam satu bait pada Syair Puteri Hijau dinyatakan sebagai berikut.
Sampai disini sja’irpun tammat, Sadjaknya banjak a’ betul amat,
Mengarangkan dia habislah tjermat,
Pinggang dan tengkuk rasanja lumat.
Sedikit sadja saja pohonkan,
Membatja sja’ir hendaklah lagukan,
Supaja gembira jang mendengarkan, Paedahnja banjak tentu didapatkan.
(Rahman 1962:92)
Dari nukilan atau cuplikan syair di atas jelaslah bahwa
dalam mempersembahkan syair, haruslah dilagukan bukan dibaca
verbal biasa saja. Demikian pentingnya lagu ini, maka menurut
penulis, lagu dalam syair Melayu memainkan peran utama dalam aspek strukruralnya mahupun fungsionalnya Artinya lagu dalam
syair ini memberikan identitas dan jati diri kepada syair selain
dari struktur teks sastranya. Bagaimana-pun, melodi syair berbeda dengan melodi gurindam dan berbeda pula dengan
melodi nazam, dan genre sastra Melayu lainnya. Dengan
demikian melodi syair wajib dibagi perhatian serius pula di samping struktur sastranya.
Di Sumatera Utara, melodi pengiring syair disebut dengan
Lagu Selendang Delima. Dari mana asal-usul tajuk melodi ini
belum dapat dipastikan lagi. Namun kemungkinan besar,
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
189
menurut penulis adalah melodi tersebut awalnya berasal dari
sebuah lagu tradisional Melayu baik yang berada di Sumatera
Utara atau Semenanjung Tanah Melayu, yang bertajuk Lagu
Selendang Delima, dengan teksnya tersendiri, atau teks berbentuk pantun, yang boleh pantun mana saja masuk ke dalamnya.
Karena lagu ini memang tepat untuk dimasuki sesebuah pantun.
Kemudian karena ia bentuk asli atau senandung dan sedikit meter bebas melodinya, maka lagu ini tepat pula dipergunakan untuk
menyampaikan syair. Demikian hipotesis penulis.
Nama tajuk Lagu Selendang Delima ini tak banyak yang mengetahuinya. Hanya ada beberapa pemusik saja di kalangan
seniman Melayu, yang mengetahuinya, terutama di kalangan
pemusik yang berusia relatif tua. Mereka menjelaskan bahwa
lagu ini memang bertajuk demikian sejak mereka mengenalnya awal kali. Bila itu tercipta dan siapa penciptanya mereka tidaklah
tahu.
Di Sumatera Utara, melodi Lagu Selendang Delima untuk mempersembahkan syair ini cukup populer, karena pada dekade
1960-an sampai 1970-an, masyarakat Melayu Sumatera Utara
biasanya pencinta berat acara Drama dalam Syair yang disiarkan oleh Radio Singapura, Singapore Broadcasting Coorporation
(SBC). Pada ketika itu, pemain drama ini yang cukup popular di
kalangan masyarakat Melayu Sumatera Utara adalah Jahlelawati
dan Haji Syarif Medan Singapura. Adapun cerita-cerita yang dipersembahkan umumnya adalah sama dengan yang
dipersembahkan dalam genre teater bangsawan.
Melodi Lagu Selendang Delima ini dalam konteks megiringi syair, di wilayah Sumatera Utara, biasanya untuk suara lelaki
memakai nada dasar D sedangkan untuk mengiringi penyair
perempuan menggunakan tangga nada G (wawancara dengan
Ahmad Setia 22 September 2007 di Jalan Antara Medan). Nada dasar ini diperlukan sebagai sarana memosisikan suara agar tidak
terlalu rendah atau terlalu tinggi, disesuaikan dengan ambitus
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
190
suara penyair. Namun demikian, setiap penyair boleh saja
meminta nada dasar yang lebih sesuai untuk suaranya, misalnya E, Es atau F untuk lelaki, As atau A untuk perempuan, dan lain-
lainnya, menurut kehendak dan kemampuan suara penyair itu.
Rentak yang digunakan pada melodi syair ini adalah
menggunakan dua jenis rentak yaitu (a) mak inang, ditulis dalam birama 2/4 atau 4/4, dengan menggunakan onomatopeik: tak,
ding, dang dan tung. Keseluruhannya adalah delapan birama atau
32 ketukan asas. Kemudian rentak yang kedua (b) adalah meter bebas atau free meter. Pada bahagian ini diutamakan
persembahan teks syair yang terdiri dari empat baris dalam satu
baitnya. Rentak meter bebas ini sedikit mengarah kepada rentak
senandung namun tidak terikat oleh tanda birama atau metrum Dengan demikian kita boleh melihat adanya pengutamaan teks
saat isi ini sehingga boleh dikategorikan sebagai musik
melogenik, yaitu musik yang mengutamakan unsur teks dibanding ritme atau melodi. Ini menjadi ciri utama pula dalam
persembahan kesenian Melayu pada umumnya, jarang yang
mengutamakan unsur musik saja, namun lebih menumpukan pada teks.
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
191
Notasi 4.3
Tiga Rentak Dasar dalam Musik Melayu Sumatera Utara
(Senandung, Mak Inang, dan Lagu Dua)
Rentak Mak Inang adalah Asas pada Melodi Penyelang Syair
4.5.3 Struktur Melodi Selendang Delima Struktur melodi Lagu Selendang Delima yang biasa
digunakan untuk menyanyikan syair, nampaknya hampir sama di
kawasan Dunia Melayu, khususnya Indonesia dan Malaysia. Secara struktural lagu ini terdiri dari satu bentuk interlude atau
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
192
melodi penyelang (dalam hal ini diidentifikasi sebagai bentuk X).
Ditambah tiga bentuk isi, yaitu (A-B-B’-C). Bentuk isi ini digunakan untuk menyanyikan teks yang terdiri dari empat baris
dalam satu bait. Selengkapnya melodi Selendang Delima itu
adalah seperti Notasi 4.4 berikut ini.
Notasi 4.4
Lagu atau Melodi Selendang Delima
yang Biasa Digunakan Untuk Menyanyikan Syair
Melodi Selendang Delima di atas dapat dianalisis lagi menurut bentuknya. Bentuk melodi selang atau bentuk X, menggunakan
birama 4/4. Dimulai dari tanda istirahat seperdelapan dilanjut ke
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
193
nada b di bawah c tengah yang berdurasi seperdelapan, meloncat
ke nada e dengan durasi not setengah, selepas itu ke nada g dan a
masing-masing not seperdelapan Nada dan durasi ini mengisi
birama pertama. Selanjutnya birama kedua diisi oleh nada b, c, a, b, g, a, fis, dan g dengan menggunakan durasi masing-masing not
seperdelapan. Sementara itu pada birama ketiga diisi oleh nada e
dengan durasi tiga perempat dilanjut ke nada g, fis, a, g, fis masing-masing berdurasi not seperdelapan. Birama keempat diisi
oleh nada dan durasi not yang sama dengan birama ketiga.
Kemudian birama kelima diisi oleh nada e, d, cis, b yang masing-masing berdurasi not seperdelapan dilanjut ke nada cis dan d
masing-masing not seperempat. Birama keenam pula diisi sama
dengan birama tiga atau empat. Birama ketujuh sama dengan
birama kelima, dan birama kedelapan diisi oleh satu nada saja yang berdurasi dua pertiga ditambah tanda istirahat seperempat.
Lihat Notasi 4.5 berikut ini.
Notasi 4.5
Bentuk Melodi Penyelang (Interlude) yang Diidentifikasi Sebagai
X
Bentuk melodi Selendang Delima bahagian isi, yang
bermeter bebas, terdiri dari bentuk A, B, B’ dan C. Bentuk A dimulai dari tanda istirahat seperdelapan dilanjutkan dengan nada
e berdurasi relatif seperdelapan. Kemudian dilanjutkan dengan
repetisi tiga buah nada a masing-masing berdurasi seperdelapan,
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
194
dilanjut ke nada a bahagian ujung frase yang berdurasi not
setengah. Bahagian ini kemudian dilanjutkan dengan nada gis, b, a, g, yang masing-masing berdurasi not seperdelapan, dilanjut ke
nada f durasi tiga perdelapan, terus ke nada f lagi dengan durasi
seperdelapan, nada a seperdelapan, nada b seperempat, nada d
seperempat, nada c seperdelapan, nada b seperempat, nada a seperenam belas, dan bentuk ini diakhiri oleh nada b yang
berdurasi tiga perdelapan. Selengkapnya lihat bentuk A ini pada
Notasi 6 berikut ini.
Notasi 4.6
Bentuk Melodi Isi A
Bentuk B dimulai dari nada b dan c yang masing-masing berdurasi seperdelapan. Dilanjutkan dengan nada dis berdurasi
seperenam belas, kemudian nada e berdrasi seperdelapan, nada e
setengah, kemudian ke nada cis dengan durasi seperdelapan, dianjutkan ke nada e, d, c masing-masingberdurasi seperdelapan
dan kemudian diakhiri sementara oleh nada b dengan durasi not
setengah. Kemudian perjalanan melodi dilanjutkan dengan nada a, c, b dan a masing-masing berdurasi not seperdelapan,
kemudian ditambah dengan nada g seperempat durasinya, dengan
dilanjutkan nada f, a, g yang masing-masing berdurasi not
seperdelapan dan bentuk ini diakhiri oleh nada e sebagai nada dasarnya dengan durasi not setengah. Bentuk B ini selengkapnya
dapat dilihat pada Notasi 4.7 berikut ini.
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
195
Notasi 4.7
Bentuk Melodi Isi B
Bentuk B’ hampir sama dengan bentuk B, yang berbeda adalah
bahagian awal—dimulai empat nada yang berbeda dengan bentuk B yaitu menggunakan nada e berdurasi seperdelapan langsung
meluncur ke atas nada d sebanyak tiga kali dengan durasi
masing-masing not seperdelapan. Selangkapnya lihat Notasi 4.8 berikut ini.
Notasi 4.8 Bentuk Melodi Isi B’
Bentuk C yaitu bentuk terakhir isi melodi syair, dimulai dari nada e berdurasi seperdelapan, dianjutkan ke nafa fis berdurasi
seperdelapan, nada g seperdelapan, nada b seperenam belas, nada
a seperdelapan, nada b seperenam belas, nada a tiga perdelapan, nada f berdurasi seperdelapan, nada e berdurasi seperenam belas,
nada dis berdurasi not seperdelapan. Kemudian dilanjutkan e
nada a dua kali masin-masing berdurasi not seperdelapan, nada f tiga perenam belas, nada a seperdelapan, nada g seperdelapan,
nada fis seperdelapan dan diakhiri nada e sebesar tiga perempat
sebagai nada paling akhir dari keseluruhan nada melodi ini.
Bentuk C ini dapat dilihat pada Notasi 4.9 sebagai berikut.
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
196
Notasi 4.9 Bentuk Melodi Isi C
Gambar 4.3
Teknik Menghasilkan Empat Onomatopeik Bunyi Pada Gendang Ronggeng Melayu,
Termasuk untuk Mengiringi Sastra Melayu yang Dinyanyikan
Gambar tangan: Muhammad Takari, 1997
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
197
Gambar 4.4
Biola
Salah Satu Alat Musik untuk
Pembacaan Sastra yang Dilagukan
Sumber: www.concertgoersguide.org
Gambar 4.5
Akordeon
Salah Satu Alat Musik Terpenting untuk Mengiringi Sastra yang Dilagukan
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
198
Gambar 4.6 Tawak-tawak atau Gong
Untuk Mengiringi Sastra yang Dilagukan
Gambar tangan: Muhammad Takari, 1997
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
199
Gambar 4.7 Gendang Ronggeng yang biasa Digunakan
untuk Mengiringi Musik Melayu
termasuk Sastra yang Dilagukan
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
200
Gambar 4.8
Rebab Melayu
Digunakan untuk Mengiringi Sastra yang Dilagukan terutana Gurindam
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
201
Tangga nada (scale) yang dipergunakan dalam syair atau Lagu Selendang Delima secara umum adalah tangga nada minor:
minor natural, melodis, harmonis dan zigana sekali gus. Unsur
maqam dari Asia Barat juga terwujud dalam lagu ini. Dengan demikian, musik memainkan peran penting pula di
samping peran seni sastra di dalam persembahan syair dalam
konteks Sumatera Utara atau yang lebih luas Dunia Melayu. Melodi Lagu Selendang Delima menjadi salah satu identitas atau
jati diri khas syair dalam kebudayaan Melayu, yang
membedakannya dengan syair dalam tradisi budaya Arab dan
Persia. Melodi ini terebar secara luas di kawasan Asia Tenggara atau juga di wilayah diaspora Melayu. Dengan demikian,
seorang penyair yang bagus dalam kebudayaan Melayu haruslah
pandai menyanyikan syair dengan melodi asas yang telah ada disertai dengan gerenek (ornamentasi) melodi yang boleh saja
menjadi ciri seorang penyair. Melalui melodi ini pula seseorang
dapat membedakan persembahan-persembahan sejenis dalam kebudayaan Melayu seperti nazam, gurindam, dondang sayang
dan lain-lainnya. Jadi unsur musikal dan sastra menjadi satu
kesatuan yang saling berkaitan dalam konteks pertunjukan syair,
baik dalam bentuk pertunjukan semata-mata syair, atau dalam bangsawan, toneel dan yang lainnya.
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
202
Notasi 4.10
Sistem Maqam dan Iqa’at dari Timur Tengah yang Diadopsi dalam Melodi Sastra Melayu yang Dinyanyikan
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
203
4.5.4 Syair di Sumatera Utara
Syair yang terdapat dalam kebudayaan Melayu Sumatera
Utara, ada yang umum terdapat dalam Dunia Melayu, namun ada pula yang khusus terdapat di kawasan ini. Adapun di antara syair
yang terdapat di Sumatera Utara dan umum dijumpai di dunia
Melayu adalah: Syair Kitab al-Nikah, Syair Hukum Faraid, Syair Sinar Gemala Mastika Alam yang kesemuanya dikarang oleh
pengarang Melayu ternama Raja Ali Haji. Selain itu terdapat
juga Syair Siti Sianah, Syair Siti Zubaidah, Perang Cina, dan Syair Ken Tambuhan, yang mencerminkan eksistensi kaum
wanita dalam Dunia Melayu. Adapun syair yang menjadi ciri
khas utama masyarakat Melayu Sumatera Utara adalah Syair
Puteri Hijau, yang berunsur sejarah dan legenda sekali gus.
4.5.5 Syair Puteri Hijau
Di Sumatera Timur ada sebuah cerita sejarah yang berbalut legenda dan sangat populer yaitu Puteri Hijau. Menurut cerita
yang disajikan secara lisan, pada abad ke-15, di bahagian pesisir
timur pulau Sumatera atau pulau Andalas, atau pulau Perca berdiri sebuah kerajaan yang bernama Gasip. Wilayahnya
membentang dari Teluk Aru sampai Sungai Rokan. Kerajaan ini
selalu mendapat serangan dari kerajaan Aceh yang lebih kuat.
Untuk menghindarkan bencana yang lebih dahsyat, maka Kerajaan Gasip memindahkan ibu negerinya dari tepi pantai Selat
Melaka ke Deli Tua. Raja Gasip bersahabat baik dengan orang-
orang Portugis yang datang berniaga dari Melaka. Persahabatan itu menjadikan pihak Portugis dan pihak Kerajaan Gasip
mengadakan persahabatan sosial melalui perkawinan.
Termasuklah Puteri Hijau yang hidup di masa ini yaitu sekitar
abad ke-15 adalah hasil keturunan dari perkawinan orang Portugis dengan Melayu.
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
204
Ketika Sultan Deli Tua yang bernama Sultan Sulaiman
berpulang ke rahmatullah, maka baginda meninggalkan tiga orag putera. Yang paling tua yaitu lelaki bernama Mambang Yazid,
yang tengah perempan bernama Puteri Hijau dan yang bungsu
laki-laki bernama Mambang Khayali. Ketiganya hidup rukun dan
sentosa. Puteri Hijau sangatlah cantik parasnya, mahal didapat dan sukar dicari tolok bandingnya. Puteri ini dinamakan
demikian karena tubuhnya selalu memancarkan cahaya berwarna
hijau, terutama ketika ia bermain di taman saat sedang bulan purnama. Ketiga orang anak sultan ini dianggap rakyatnya
sebagai penjelmaan para dewa, sangat dimuliakan dan dipuja dan
sebagai orang sakti. Mayoritas rakyat Deli paham cahaya hijau
berasal dari tubuh sang puteri di Deli Tua. Pada suatu malam Sultan Aceh, Ali Mukhayat Syah (1497-
1530), sedang bersenang-senang di atas mahligainya, tiba-tiba
terlihat oleh baginda suatu cahaya yang berwarna hijau, letaknya kira-kira arah sebelah timur pulau Sumatera. Baginda segera
memanggil wazirnya dan menunjukkan cahaya yang tampak itu,
dan menanyakannya pada wazir, namun tiada jawaban karena wazir tak tahu. Maka keesokan harinya dititahkanlah beberapa
orang yang dipercayai untuk pergi melihat cahaya itu.
Mereka berangkat meninggalkan Aceh menuju pesisir timur
Pulau Perca. Akhrinya selepas beberapa pekan sampailah mereka di Labuhan Deli, yang pada masa itu terasuk sebuah bandar yang
ramai. Dari daerah ini mereka mengadakan penyelidikan, yang
kemudian mendapat keterangan bahwa itu adalah cahaya Puteri Hijau di Deli Tua. Secepat mungkin mereka berangkat menuju
Deli Tua dan langsung menghadap Sultan. Oleh Sultan mereka
diberi tempat tinggal dekat dengan istana. Mereka pada satu saat dapat melihat paras Puteri Hijau, yang kemudian terpesona
karena begitu cantiknya bagaikan dewi dari kayangan.
Selepas orang-orang kepercayaan Sultan Aceh itu
mempersaksikan bagaimana cantiknya paras Puteri Hijau itu,
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
205
maka mereka segera bergegas minta diri kepada Sultan Deli Tua
untk kembali ke Negeri Aceh. Setibanya di Aceh sekalian yang
nampak oleh mereka dijelaskan kepada Sultan, yang
menyebabkan Sultan Aceh bertambah gairah. Sultan Aceh sendiri dengan kelengkapan yang besar
berangkat menuju Deli. Setibanya di Labuhan Deli, dititahkanya
utusan pergi menghadap Sulta Deli Tua utu meminang Puteri Hijau yang akan dijadikan permaisuri. Kemudian Sultan Deli
Tua bermufakat dengan adindanya, namun Puteri Hijau tetap
menolak pinangan Sultan Aceh. Karena penolakan ini maka kemudian terjadilah peperangan antara pasukan Aceh dengan
Deli Tua. Dalam peperangan itu Aceh hampir dikalahkan oleh
Deli Tua. Kemudian Sultan Aceh bermufakat dengan perdana
menterinya dan orang-orang besarnya, mencari tipu muslihat untuk menaklukkan Deli Tua dan menawan Puteri Hijau. Tipu
muslihatnya adalah pasukan Aceh menembakkan uang ringgit ke
sebelah pohon-pohon aur berduri yang berfungsi sebagai benteng kota Deli Tua. Berpuluh-puluh goni uang ringgit ditembakkan
oeh pasukan Aceh. Kemudian pasukan ini kembali ke Aceh
untuk melihat perkembangan lebih lanjut. Setelah rakyat Deli Tua melihat bahwa musuhnya telah tidak menyerang lagi, mereka
berebut mencari dan mengumpulkan uang ringgit yang
bertaburan di sekeliling kota Deli Tua, hingga benteng yang
terbuat dari aur berduri pun mereka tebas habis. Kemudian tentara Aceh datang kembali menyerang Deli
Tua. Pertempuran berkecamuk dan lebih hebat dari peperangan
awal. Dalam peperangan ini Mambang Khayali menjelma menjadi meriam dan menggempur musuhnya terus-menerus.
Ketika pertempuran sedang memuncak, Mambang Khayali
kehausan dan meminta pada Puteri Hijau supaya diberi air.
Puteri Hijau menasehatkan dalam keadaan demikian Mambang Khayali tak boleh minum, namun ia memaksa, sehingga
permintaannya dikabulkan. Akibatnya Mambang Khayali
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
206
mengalami lemah sekujur tubuhnya yang telah berubah menjadi
meriam. Ketika meriam ini menembak musuh maka putuslah meriam itu, kepalanya melayang ke Aceh dan sebelah
belakangnya tetap di tempat.
Melihat hal yang demikian, maka Mambang Yazid (telah
menjadi Sultan menggantikan ayahandanya) telah melihat firasat bahwa mereka akan kalah, lalu ia memberi nasihat pada Puteri
Hijau, bahwa jika kelak ditawan oleh Sultan Aceh, agar ia
meminta dimasukkan ke dalam keranda yang terbuat dari kaca, dan sebelum sampai di Aceh, ia tak boleh disentuh atau dipegang
oleh Sultan Aceh. Sesampainya di Aceh nanti Puteri Hijau
meminta kepada Sultan Aceh untuk memerintahkan segenap
rakyatnya masing-masing membawa sebutir telur ayam dan segenggam bertih, dan dilonggokkan di tepi pantai kemudian
dibuang ke laut. Saat ini Puteri Hijau keluar sebentar dari dalam
keranda kaca tempatnya berbaring, membakar kemenyan dan menyeru nama Mambang Yazid. Mudah-mudahan ia akan
mendapat pertolongan. Selepas saja memberi nasehat kepada
adindanya, maka Mambang Yazid pun menghilang secara ghaib. Puteri Hijau tinggal seorang diri duduk menangis dan menatap.
Beberapa saat kemudian Sultan Aceh masuk ke istana Deli Tua
dan menawan Puteri Hijau. Kemudian Puteri Hijau meyampaikan
semua pesan Mambang Yazid kepada Sultan Aceh. Selepas itu Puteri Hijau bersama Sultan Aceh dan
rombongannya pergi ke Aceh. Kapal yang dinaiki Sultan Aceh
bernama Tanjung Jambu Air. Oleh Sultan Aceh seluruh rakyat diperintahkan untuk membawa persembahan seperti yang diminta
Puteri Hijau. Dengan sekejap mata terkumpulah telur ayam di
tepi pantai dan kemudian dibuang ke laut. Kemudian Puteri Hijau keluar dari keranda kaca dan memanggil Mambang Yazid
dan asap kemenyan mengepul ke udara. Dengan takdir Allah
tiba-tiba turunlah angin ribut dan hujan badai, serta halilintar
sambung menyambung. Dalam keadaan kacau balau ini, ombak
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
207
laut bergulung-gulung dan kelihatanlah seekor naga yang amat
besar, datang berenang mendekati kapal Sultan Aceh. Setelah
dekat dengan kapal tersebut, maka naga tadi melibaskan ekornya
ke kapal Sultan Aceh. Kapal ini terbelah dua dan tenggelam bersama-sama dengan beberapa orang korban. Namun mujur
bagi Sultan Aceh ia dapat diselamatkan oleh para pengawalnya
dan kemudian dibawa ke tepi pantai. Keranda kaca bersama Puteri Hijau tinggal terapung-apung di atas permukaan laut.
Naga penjelmaan Mambang Yazid itu mengangkat keranda
tersebut lalu diangkat dengan kepalanya dan dibawanya berenang ke Selat Melaka. Tinggallah Sultan Aceh bermenung seorang diri
merindukan Puteri Hijau yang telah dilarikan oleh naga sakti itu.
Demikian ringkasan cerita Puteri Hijau seperti yang ditulis dalam
Syair Puteri Hijau. (Lebih rinci dan jauh lihat A. Rahman 1962).
4.5.6 Puteri Hijau dalam Teater Melayu
Kisah Puteri Hijau ini selain populer dalam masyarakat Melayu Sumatera Utara, yang dikisahkan melalui seni tradisi
lisan maupun tulisan berupa syair, terutama yang ditulis oleh A.
Rahman diterbitkan tahun 1962 oleh Pustaka Andalas Medan. Cerita ini juga populer dipersembahkan melalui teater
bangsawan, toneel, dan juga ludruk Jawa yang ada di Sumatera
Utara. Penulis sendiri sebagai saksi dalam tahun 1967 menonton
kisah Puteri Hijau ini di dalam ludruk Jawa di Tebing Tinggi yang bernama Sopo Nyono. Kelompok ludruk ini biasanya main
di perkebunan-perkebunan atau desa-desa di seluruh Sumatera
Utara dengan cara berpindah-pindah selama menetap sebulan di masing-masing tempat. Begitu juga dengan teater bangsawan
yang ada di Labuhan Batu dan Asahan. Biasanya pertunjukan
dilakukan di Gedung Balai Desa setempat atau di lapangan
dengan ditutup tenda-tenda. Cerita Puteri Hijau biasanya dipersembahkan pada setiap akhir masa teater Melayu ini tinggal
di suatu tempat.
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
208
Aspek yang menarik adalah bahwa cerita Puteri Hijau ini
berkaian dengan alam gaib dalam sistem kosmologi Melayu. Masyarakat Melayu Sumatera Utara meyakini bahwa Puteri Hijau
adalah sebuah sejarah dan legenda sekali gus. Untuk
mempertunjukkannya dalam seni persembahan ada syarat-syarat
yang mesti dipenuhi, yaitu meminta izin kepada Puteri Hijau atau keturunannya dan mengorbankan seekor kambing.
Banyak realitas yang memperlihatkan kepada masyarakat
Melayu di Sumatera Utara, mereka yang tidak meminta izin untuk mementaskan kisah Puteri Hijau ini dan memenuhi syarat-
syaratnya maka akan mengalami bala dan bencana. Misalnya
seperti yang pernah terjadi di Kota Medan tahun 1950-an,
menurut pejelasan dari Ahmad Setia, seorang pemain akordeon Melayu ternama saat ini.
Tahun-tahun 1950-an itu cerita Puteri Hijau pernah dibuat
sandiwara. Dipentaskan di kota Medan. Datanglah masyarakat Medan untuk mengetahui kisah Puteri Hijau.
Pernah satu saat di tahun 1950-an ini seorang sutradara
bernama Pak Dali yang tinggal di Kampung Baru
(sekarang Jalan Brigradir Jenderal Katamso). Ia juga
seorang penjual sirih. Pak Dali membuat panggung
sandiwara, tepatnya di Gedung Nasional Medan. Menurut
orang-orang Melayu Deli seharusnya sebelum
dipertunjukkan, kisah Puteri Hijau di dalam teater,
hendaknya mohon izin dahulu kepada keturunan Puteri
Hijau, yaitu kerabat yang sekarang ini mendiami rumah-
rumah atau bilik di sekitar Istana Maimoon Medan. Izin
itu biasanya berupa penyem-belihan seekor kambing, kemudian dagingnya dibagikan kepada fakir miskin dan
kepalanya dihanyutkan ke laut atau sungai. Pada saat itu
Pak Dali dan kawan-kawannya tidak meminta izin kepada
keturunan Puteri Hijau. Akibatnya ia dilanggar mobil
Kobun dan kakinya patah. Sementara itu pemeran Puteri
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
209
Hijau (saya lupa namanya), berputar-putar di lantai
belakang pentas pertunjukan. Akhirnya pertun-jukan
Puteri Hijau ini gagal (wawancara dengan Ahmad Setia 22
September 2007).
Dekade 1950-an sampai 1970-an cerita Puteri Hijau begitu populer dipersembahkan melalui seni teater Melayu. Biasanya
kisah Puteri Hijau ini dipersembahkan selama dua atau tiga
malam berturut-turut di akhir masa tinggal suatu kumpulan teater.
Kemudian di dekad 1980-an hingga kini teater-teater Melayu mengalami kepupusan dan degradasi secara perlahan. Ia
digantikan oleh televisi. Namun bentuk teater tradisional Melayu
ini, kurang diperhatikan untuk diangkat ke televisi, termasuk cerita tradisional Melayu seperti Puteri Hijau. Di antara kisah-
kisah cerita rakyat Sumatera Utara yang difilmkan atau
ditayangkan di televisi Indonesia di antaranya adalah Musang
Berjanggut, Pertempuran Medan Area, Naga Bonar, Buaya Deli dan lainnya.
Gambar 4.9 Wayang Melayu, Rama dan Siti Dewi
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
210
Notasi 4.11
Lagu Bismillah Mula-mula dari Genre Hadrah
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
211
Notasi 4.12
Lagu Dunia Fana dari Genre Nasyid
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
212
Notasi 4.13
Lagu Timang dari Genre Lagu Menidurkan Anak
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
213
Notasi 4.14
Lagu Si La Lau Le dari Genre Lagu Menidurkan Anak
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
214
4.6 Nazam
Nazam adalah salah satu genre sastra Melayu klasik yang umum dijumpai di kawasan Semenanjung Malaysia, dan ada juga
sedikit pengaruhnya di Sumatera Utara. Nazam adalah bentuk
puisi yang digubah oleh para ulama Melayu Islam menurut aturan
puisi Arab, namun dalam bahasa Melayu. Temanya berkaitan dengan ajaran-ajaran agama Islam, termasuk pendidikan dan
keilmuan yang penting diraih oleh semua orang Melayu.
Biasanya nazam terdiri dari dua baris dalam satu bait, dengan jumlah perkataan dan suku kata dalam sebaris tidak ditetapkan
secara mutlak. Skema rimanya adalah aa atau ab, cb, db, dan
lainnya. Nazam memiliki fungsi komunikasi yang ingin
menyampaikan informasi dan pendidikan menurut tuntutan agama Islam, dan peristiwa-peristiwa agama Islam yang penting
(Mutiara Sastera Melayu 2003:327).
Perkembangan nazam di Melaka sekarang selalu mengutarakan ulasan dan pandangan terhadap peristiwa-peristiwa
semasa, seperti menyambut hari kemerdekaan, bulan bahasa dan
sastra, dan lain-lain. Biasnya nazam disampaikan melalaui lisan dan dilagukan. Sebagai media komunikasi, nazam digunakan
untuk tujuan mendidik. Berikut ini adalah contoh nazam yang
ditulis oleh Haji Ahmad Mufti Melaka bertajuk Rukun Islam.
Rukun Islam
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Allahumashalliwasalim wabarik alaihi Bismillahirrahmanirrahim
Allah Allah, Azzawajal, Tuhan kami, Kami minta, ampun akan, dosa kami.
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
215
Dengan Allah, kami mula nazam ini,
Sebab dengan, Dia jadi, kitab ini.
Segala puji, bagi Allah, yang menyuruh, Dirikan sembahyang, dengan ikhlas, dengan
sungguh.
Hai saudara, sembahyang itu, rukun Islam,
Fardu ain, atas kamu, siang malam.
Agama Islam, dipersusun, atas lima,
Mengucap syahadah, itu rukun, yang pertama.
Yang kedua, solat itu, tiang agama, Yang ketiga, puasa Ramadan, bulan utama.
Yang keempat, bayar zakat, jika sampai, Nisab harta, jangan leka, jangan lalai.
Yang kelima, naik haji, ke Baitullah, Jika ada, kuat kuasa, hai wajiblah.
Allah Allah, Azzawajal, Tuhan kami,
Kami minta, ampun akan, dosa kami.
Dari Allah, kami datang, dan asalnya,
Kepada Allah, kami kembali, akhirnya.
4.7 Bongai
Nyanyian bongai pula sering didendangkan di majelis
perkawinan, berkhitan, bercukur, berehat, dan sebagainya. Di antara fungsi komunikasi nyanyian bongai, pasangan suarni isteri
yang telah bercerai boleh rujuk semula apabila mendengar dan
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
216
menghayati bongai. Biasanya pantun-pantun yang dinyanyikan
akan mengusik dan menyindir kedua suami isteri yang telah berpisah sehingga menyebabkan mereka terusik atau kecut hati
lalu tersenyum dan tersipu malu mengenangkan kisah manis
bersama. Komunikasi tanpa lisan melalui mata yang bertentangan
dan di hati seolah-olah menggamit dan melarnbai untuk kembali hidup bersama. dan melupakan waktu-waktu gerhana. yang
menjadi sebab utama perpisahan mereka. Sebaik saja selesai
persembahan, kedua-duanya akan berjalan beriringan pulang ke rumah untuk rujuk semula (Ismail Hadi, 1996:17).
4.8 Teromba
Teromba sebagai alat komunikasi memaparkan kepribadian Melayu atau Malayness yang terangkum indah di antara bait-bait
dan baris di dalamnya. Baris dan bait-bait komunikasi teromba
bertaut indah secara integratif ibarat struktur luaran dan dalaman, lahir dan batin, bertaut menjadi satu. Susunan suku kata,
perkataan, sasaran, dan tujuan komunikasi teromba serta makna
adalah penghubung antara kedua struktur binaan dalam komunikasi teromba.
Teromba juga adalah hasil kerja akal atau mental yang
terhasil secara lisan. Oleh karena itu pengolahan isi dan kata
memancarkan nilai indah dalam berkomunikasi. Sebagai hasil kerja lisan, isi dan makna hendaklah tepat dengan maksud yang
hendak disampaikan. Unsur komunikasi amat jelas di dalam
teromba, apabila dikaji fungsi dan penggunaannya. Komunikasi melalui teromba dilakukan secara kisan dan ibarat, yaitu melalui
kiasan dan ibarat nasihat, falsafah, tunjuk ajar, sindiran, dan
termasuk penceritaan. Kebanyakannya disampaikan secara bertemu muka, yaitu berbentuk komuni-kasi dua arah.
Komunikasi teromba dapat kita bagi kepada dua bentuk,
yaitu kaedah langsung dan kaedah tidak langsung. Kaedah
langsung adalah kaedah yang digunakan untuk meminta atau
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
217
memberikan suatu informasi secara terus terang. Kaedah tak
langsung pula merupakan kebalikan dari kaedah langsung. Dalam
kaedah ini penutur teromba tidak menyatakan sesuatu secara
terus terang, tetapi berlindung di balik kata-kata yang dituturkan. Kaedah tak langsung digunakan oleh penutur sebagai
landasan untuk menyatakan suatu maksud sebenarnya. Menurut
Asmah Hj. Omar (1992:175-186) terdapat empat kategori kaedah tak langsung yang digunakan oleh masyarakat Melayu dalam
komunikasi mereka yaitu "beating about the bush" (BAB),
penggunaan "imagery" (kiasan), "contradicting" (mengatakan hal yang sebaliknya) dan penggunaan “surrogate" (orang perantara).
Menurut beliau, dalam BAB penutur akan menyatakan suatu
perkara lain yang tidak mempunyai kaitan dengan perkara yang
hendak dinyatakan. Perkara itu merupakan landasan yang digunakan untuk penutur sebagai pembuka komunikasi supaya
komunikasi seterusnya dapat berjalan dengan lancar dan.
kemudian diikuti oleh perkara sesunggunya yang hendak disampaikan.
Melalui kiasan, suatu perkara tidak disampaikan oleh
penutur secara terus terang tetapi dikiaskan dengan benda lain, seperti alam dan keindahan alam. Bahasa kiasan digunakan untuk
menambah kejelasan. sesuatu yang diperkatakan atau diceritakan
di samping menguatkan maknanya (Za’ba 1965:190-191).
Berdasarkan pembahagian oleh Asmah, jelas bahwa masyarakat pengamal teromba kerap menggunakan unsur
"contradicting" sebagai kaedah tak langsung dalam startegi
komunikasi mereka. Pengkaji menganggap unsur "contra-dicting" yang digunakan sudah memadai guna menyatakan
sesuatu pesan kepada penerima komunikasi teromba dan
khalayaknya.
Mengatakan hal yang sebaliknya atau "contradicting" merupakan salah satu strategi komunikasi yang sering digunakan
oleh pengamal teromba. Penggunaan ini bertujuan sebagai
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
218
merendah diri. Di samping itu, "contradicting " turut digunakan
untuk mengelakkan sikap bangga diri atau mementingkan diri sendiri karena sikap ini bertentangan dengan ajaran agama Islam
dan tidak diterima oleh masyarakat pengamal teromba.
Unsur ini meluas penggunaannya dalam komunikasi
teromba terutama dalam bagian. awal. Sebelum pesan sesungguhnya disampaikan, unsur merendah diri akan
ditampilkan. Penampilan itu menggambarkan kelembutan budi
dan bahasa masyarakat yang mengamalkan komunikasi teromba.
Carik-carik pokok kerakap
Pokok kemkap condong ke baruh
Tabik-tabik saya nak bercakap
Takut terkena darah gemuruh
Kelapa bali dalam puan
Datang dari Bangkahulu
Apa nak kata katalah tuan Ampun maaf terlebih dahulu
Buah cempedak di luar pagar
Ambil galah tolong jolokkan Saya budak baru belajar
jika salah tolong tunjukkan
Saya ini umur baru setahun jagung
Darah baru setampuk pinang
Akar baru selilit telunjuk Ibarat belukar muda
Perjalanan belum jauh
Pemandangan belum luas
Berkata belum pandai
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
219
Bercakap belum tahu
Ibarat belalang lanjung
Hinggap di tepi bondar Nak menjunjung kepala runcing
Nak memikul bahu runtuh
Pikul bahu kanan runtuh Pikul bahu krii runtuh
Namun bahu tidak juga ada
Daun sirih daun kerakap
Daunnya tumbuh berjela-jela
Tak dapat saya menyusun cakap Teromba Dato' bernas belaka
(Khalid Bonget, Batu Kikir, Negeri Sembilan, 26 Januari
2001)
Teromba di atas, digunakan pada bahagian awal sebelum pesan
sebenarnya disampaikan. Sifat merendah diri melalui kata-kata
ini membuatkan wujud suasana gembira, tenang dan akrab semasa komunikasi dua arah sedang berjalan. Sudah menjadi sifat
masyarakat pengamal teromba yang tidak suka menujuk-nunjuk
dan sentiasa menjaga suasana mesra ketika berkomunikasi. Bahasa merendah diri dan puitis menggambarkan ketianggian
budi pekerti masyarakat pengamal teromba.
Tegasnya sebelum transaksi komunikasi teromba boleh
berlaku, maka suasana yang penuh mesra hendaklah diwujudkan oleh komunikator. Kemesraan merupakan prasyarat sebelum
komunikasi teromba dapat berlaku khususnya komunikasi
bertatap muka. Bahasa merendah diri adalah salah satu cara membina kemesraan.
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
220
Bahasa merendah diri yang puitis itu terdapat dalam istiadat
pinang meminang dan kerap kali pantun digunakan sebagai mukadimah atau pembuka kata. Pihak yang menanti
(perempuan) biasanya akan bertanya kepada pihak yang
mendatangi (lelaki) akan hajat mereka berkunjung. Aktivitas
berbalas-balas pantun diselang-selingi dengan lawak jenaka serta gelak ketawa sambil menyorong tepak sirih.
Lawak jenaka atau unsur-unsur bersenda gurau adalah satu
perkara yang tidak kurang pentingnya dalam komunikasi. Unsur ini memainkan peran penting karena bisa menimbulkan suasana
mesra, riang dan bisa mengurangi ketegangan. Hubungan yang
berlaku secara serius tanpa diselipkan dengan unsur-unsur gurau
senda akan menimbulkan rasa tertekan, terikat, tidak seronok, dan mau cepat diakhiri perhubungan (Aziz Saleh 2002: 119).
Melalui lawak jenaka, komunikasi kata yang digunakan bisa
menggugah hati dan membuat orang ketawa atau ingin ketawa, walaupun dalam keadaan marah. Ketika berkomunikasi masing-
masing mencoba mempertahankan pendirian yang lebih baik dari
yang lain dan juga coba mempengaruhi pihak lawan. Dalam suasana yang ditandai dengan konflik, lawak jenaka digunakan
sebagai alat untuk menajamkan pendapat, melembutkan suasana,
menimbulkan minat pendengar, dan sebagainya (Asmah Haji
Omar, 2000:84-85). Biasanya sebelum adat peminangan diadakan, upacara
merisik telah terlebih dahulu dibuat, supaya urusan pertunangan
tidak terkendala. Pantun yang diungkapkan mungkin seperti berikut:
Perahu kolek di hilir tanjung Sarat bermuat tali temali
Salam tersusun sirih junjung
Apa hajat sampai ke mari?
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
221
Bukan batang sebarang batang
Batang berduri sukar dipanjat
Bukan datang sebarang datang
Datang kami membawa hajat
Malam-malam pasang pelita
Pelita dipasang di atas peti Kalau sudah bagai dikata
Sila terangkan hajat di hati
Buah pauh di celah batang
jatuh sebiji di tengah laman
Dari jauh kami datang
Ingin menyunting bunga di taman
Kacang hijau dibuat inti
Pisang salai dalam perahu Bunga di taman masih sunti
Mengaji tak pandai, ke dapur tak tahu
(Md. Ali Bachik, 1989: 63-64)
Dalam komunikasi teromba menolak cincin tanya, juga
terdapat nilai merendah diri di bahagian tengah teromba tersebut.
Nilai merendah diri bukan menunjukkan kelemahan, akan tetapi menjelaskan perkara yang sebenar tanpa merusakkan perasaan
seseorang. Orang yang hadir menghantar cincin tanya tersebut
adalah tetamu dan kehadiran tetamu haruslah dihormati. Setiap kata yang bakal dikeluarkan akan disusun dengan suasana mesra
tanpa ada pihak yang akan tersinggung (Abdul Latiff Abu Bakar
2004).
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
222
Beginilah, kakak abang semua
Sakit bermula mati bersebab Hujan berpokok kata berpangkal
Sampai janji ditepati
janji yang kita buat itu Dahlah dimufakatkan
Tapi kata orang
Rezeki, maut, tanah terbaris, jodoh pertemuan Semuanya di tangan Tuhan
Jadi, kakak dan semua yang ada di sini
Nampaknya jodoh budak ini belumlah ada lagi
Kalaulah yang keras jodohnya
Asam di darat ikan di laut pun bertemu
Inikan pula kita Dekat rumah dekat kampung
Sehalaman sepermainan
Seperigi sepermandian
Segayung sepergeleran
Sejamban seperulangan
Bukan apa-apa kakak
Ibunya mengatakan
Anaknya masih kecil Menyapu ingus belum reti
Mengikat tali belum faham
Masak memasak belum pandai Kok suruh jerang nasi mentah
Kok suruh goreng ikan hangus
Kok ke sawah main lumpur kerjaanya
Lagi pun dia itu dalarn niat
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
223
Tengoklah lepas niat nanti
Jadi inilah kami datang ini
Membawa salam dan sembah Orang seadat seresam kami
Meminta maaf
Dari ujung rambut hingga ke ujung kaki Kok ada salah dan silap
Baik tutur jua kata
Berbanyak-banyak ampun Sahajalah kami pinta
Jadi inilah nang dijanjikan dahulu
Orang membeli kerbau dengan talinya Mengikat kata dengan tanda
janji tawai janji tanya
Kalau oso sekata kata dikembalikan Tak oso sekata tanda dikembalikan
Maka kakak abang sernua ini kami kembalikan tanda dahulu
Harap terimalah semula
(Abdul Hamid Sabtu, Tanjung 1poh, Negeri Sembilan,
10 Februari 2001)
4.9 Dikir Barat
Dikir barat atau zikir barat adalah satu contoh wansan seni persembahan yang populer di Kelantan. Dikir barat menggunakan
kaedah komunikasi lisan dan tanpa lisan berinteraksi dengan
penonton. la mengandung pelbagai jenis rentak dan irama dan ia
dipimpin oleh seorang juara sebagai penyanyi utama. Lagu juara mementingkan nyanyian suara ramai yang mengulang nyanyian
juara dari awal hingga akhir rangkap utama, dalam teknik
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
224
responsorial. Di samping menyanyi, ahli kumpulan yang
dipanggil awak-awak akan menggerakkan tangan dengan aktif bagi menunjukkan suasana gembira dan keceriaan.
Dikir Perpaduan
(Lagu Juara)
Terus gemilang di mata dunia
Terus bersatu seia bersama Berganding bahu bekerjasama
Pautan mesra kita bersma.
Marilah kita tidak kira siapa jalinkan hubungan sesama kita
jaulah dari sengketa
Hormat-menghormati jadikan budaya
Manis berseri cahaya di mata
Seruan murni sahut bersama Masa hadapan pasti berguna.
(Wau Bulan)
Ai la ewau, wau bulan, wau bukan teraju tiga
Assalamualaikurn hamba pada sernua
Pada saudara dan saudari yang rnana ada.
Masyarakat kita hidup aman bahagia Nikrnat nierdeka sama-sama kita rasa.
Sekian dulu dikir barat pada kali ini
Segala pesan kena simpan di dalarn dada.
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
225
4.10 Mantera Mantera dikenal sebagai jampi, serapah, puja, cuca, tangkal,
dan sebagainya. Mantra dituturkan oleh seorang pawang atau bomoh atau dukun dan dipercayai dapat menimbulkan kesan
ghaib untuk menyembuhkan penyakit atau memohon
perlindungan (Harun Mat Piah 1989). Isi mantera mengandung kata-kata pujian yang mengandungi irama dan nada tertentu.
Mantra juga berfungsi menyembuhkan penyakit atau mengghalau
makhluk halus, mencari pemanis, pengasih, dan turut digunakan pada upacara-upacara adat istiadat (Mutiara Sastera Melayu
2003:361). Di bawah ini dimuat mantera Merawat Tulang Patah
yang dijadikan media komunikasi untuk memohon kepada Allah
supaya disembuh-kan penyakitnya.
Mantera Merawat Tulang Patah
Bismillahi Rahmanir Rahim,
Jong sengkang kemudi sengkang,
Tarik layar kembang sena, Urat yang kendur sudah ku tegang,
Urat yang putus sudah ku sambung,
Teguh Allah, tegang Muhammad,
Sendi anggota Baginda Ali, Tulang gajah, tulang mina,
Ketiga dengan tulang angsa, Patah tulang berganti sendi,
Badan jangan rosak binasa,
Berkat sidi kepada guru,
Sidi menjadi kepada aku, Lailahaillallah, Muhammadar Rasulullah.
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
226
Mantera wayang kulit pula memohon semangat atau roh
untuk menjaga keselamatan selama pertunjukan wayang kulit diadakan. Mantra wayang kulit di sebelah utara Semenanjung
Malaysia digunakan bahasa Siam. Maharaja Sri Rama yang
menjadi watak utama cerita dalarn wayang kulit yang
dipersembahkan. Disamping itu, mantera ini akan menceritakan kisah dan latar belakang Maharaja Sri Rama yang berasal dari
keturunan yang baik. Sebelum memulai pertunjukan di belakang
tirai/kelir, biasanya Tok Dalang akan memanggil roh atau semangat lain untuk masuk ke dalam tubuhnya dengan gaya
gerak tangannya (sebagai tanda menjemput) roh atau semangat
masuk dalarn tubuhnya. Tok Dalang penuh perasaan
menggunakan mimik mukanya (menggambarkan suasana kehadiran roh atau semangat) dan gerak jarinya yang menggamit
bagi menandakan kehadiran roh atau semangatnya.
Mantra Wayang Kulit
Laaa... rak cak tar o doho bucat buceh
sunnati nato sagar sagen
akan tati lima pergawenan pinak pine
ro doho anak wong tajar patik.
Kisahkan dari dulu tirnbul nak royak
bapak sirat mah raja serama
baik baka bangsawan saktinobaro
gerba timbul.
Kumembacakan isim urakedi
ganiwak sadoroko bermok tiga
lapan doho
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
227
anak panah berusur
anak panah berasur
nak setak sabilah
ganiwak sodoroko bermok tiga lapan doho
paspa logan inderalogan
baben kala aden kala baben kala aden niva.
Selain itu, mantera dalam sastra Melayu dapat juga digunakan untuk tujuan utama memperkuat fisik manusia.
Kedudukan ketahanan dan kekuatan fisik masing-masing tokoh
itu dalam kehidupan anggota masyarakat dianggap mampu
menguasai penjaga dan penguasa di laut, separti Laksamana Mambang Tali Arus, Mambang Jeruju, Katimah Panglima Merah
dan Datu’ Panglima Babu Rahman dan Babu Rahim (Syaifuddin
2006). Teks mantera yang dinyatakan itu, seperti berikut;
Mantera Ritual Tolak Bala
...jangan engkau masuk tapak guru aku
jikalau engkau masuk tapak guru aku
aku sumpah engkau dengan perkataaan
nabi Allah Sulaiman. Aku sumpah engkau dengan perkataan
Laailaahaillallah,
Muhammadarrasuuulullaah. Bismillahirrahmanirrahim
Hai ... Mambang Bumi
Hai ... mambang tanah
Hai ... Mambang laut yang menjaga Pusak Tasek Pauh Jenggi.
Hai ... Datu’ mambang kuning
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
228
Hai ... Datu’ Mambang merah
Hai ... Datu’ Mambang hitam...”
... Hai ... Datok ketam
Hai... Datok sontok
Hai... Nini kencong Hai... nini menti ...
Di kiri datu Gamad
Di kanan datu Saeh Di muka datu Sai
Di belakang datu Cong.
Wala tak wala tam
Tubuhku tubuh mulia Tak mempan di tetak
Tak mempan ditikam
Berkat Laillahaillallah Berkat Muhammadarasullullah.
Bismi’llahi’l-Rahmani’l-Rahim
Jibril Mikail
Israfil
Izrail
minta aku turun engkau menurunkan Syehk Abbdul Kadir Jaelani
tawar Syehk Lukman Hakim.
Bukan aku mempunyai tawar nur hak nur Baginda
Bismi’llahi’l-Rahmani’l-Rahim
berkat Muhammad s.a.w. Aku memahami sabuk besi sanukani
Pemberian nabi Allah Khaidir. ...
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
229
Mantera juga digunakan untuk tujuan komunikasi antara
manusia dengan alam. Kesadaran dalam membentuk perilaku
menjaga alam sekitar tidak hanya dalam masa-masa tertentu,
melainkan untuk selamanya. Kesadaran itu dalam teks mantera ritual puja pantai dan tolak bala dikemukakan seperti berikut:
Mantera Puja Pantai dan Tolak Bala
... bukan aku melepas bala mustaka
jin taru melepas bala mustaka
bukan aku melepas bala mustaka jin yang tua melapas bala mustaka.
... Nenek air jembalang air yang duduk di atas air di tepi air
nenek yang alus bahasa alus
anak cucu yang kasar bahasa kasar
maaf beribu maaf ampun beribu ampun....
Datu’ Mat Kuis
jangan dihalangi lagi anak cucu jangan diulangi ...
... terimalah jamuan kami ini
inilah pemberian kami. Jagalah semua anak cucumu yang berada disini
dari semua marabaya
berilah anak cucumu rezeki yang banyak ...
4.11 Gurindam
Gurindam berasal dari bahasa Sanskerta dan menurut Za’ba (1962) gurindam merupakan puisi yang mengandung pikiran
yang bernas dan digubahkan dalam bahasa yang indah untuk
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
230
dinyanyikan bagi tujuan hiburan. Gurindam berfungsi untuk
hiburan dan pendidikan. Bahasanya selalu padat dan isinya cenderung kepada riang, suka cita, jenaka, gurau senda, kelakar,
sindiran, dan menggelikan hati. Sedangkan seloka pula isinya
suka bersindir, sinis, mengejek, perasaan iba, sedih-sayu,
angan-angan, khayal, dan lain-lain. Berikut ini adalah Gurindam Dua Belas, Fasal Kelapan dan
Kesembilan, karya Raja Ali Haji dari Riau yang dijadikan media
komunikasi yang berfungsi untuk mendidik dan menasehati manusia Melayu untuk berbuat kebaikan.
Ini Gurindam Fasal yang Kelapan
Barang siapa khianat akan dirinya,
Apa lagi kepada lainnya.
Kepada dirinya ia aniaya,
Orang itu jangan engkau percaya.
Lidah yang suka membenarkan dirinya,
Daripada yang lain dapat kesalahannya.
Daripada memuji diri hendaklah sabar, Biar daripada orang datangnya khabar.
Orang yang suka menampakkan jasa, Setengah daripada syirik mengaku kuasa.
Kejahatan diri sembunyikan, Kebajikan diri diamkan.
Keaiban orang jangan dibuka,
Keaiban diri hendaklah sangka.
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
231
Ini Gurindam Fasal Kesembilan
Tahu pekerjaan tak baik tetapi dikerjakan, Bukannya manusia ia itulah syaitan.
Kejahatan seorang perempuan tua, Itulah iblis punya penggawa.
Kepada segala hamba-hamba raja, Di situlah syaitan tempatnya manja.
Kebanyakan orang yang muda-muda,
Di situlah syaitan tempat berkuda.
Perkumpulan lelaki dengan perernpuan,
Di situlah syaitan punya jamuan.
Adapun orang tua yang hemat,
Syaitan tak suka membuat sahabat.
Jika orang muda kuat berguru,
Dengan syaitan jadi berseteru.
(Raja Ali Haji; Dipetik dari Harun Aminurrashid (ed.),
1990. Kajian Puisi Melayu. Singapura: Pustaka Melayu)
4.12 Zikir Zikir dalam bahasa Arab berarti puji-pujian terhadap Allah
dan Nabi Muhammad SAW. Fungsi zikir dabus pula adalah
sebagai hiburan di majlis-majlis keramaian seperti maulidur Rasul (Maulid Nabi) dan zikir mempunyai nilai estetika. Zikir ini
dijadikan media komunikasi dengan Allah meminta perlindungan
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
232
dari kejahatan orang lain. Di samping memuji keesaan Allah,
orang yang berzikir menggunakan komuniksi tanpa lisan untuk menunjukkan rasa gembira dengan menggerakkan tangan dan
menari-nari dengan diiringi pukulan gendang.
Zikir dabus disebut berulang-ulang untuk memohon
perlindungan kepada Allah SWT. Komunikasi tanpa lisan melalui pukulan gendang dan gerak tari digunakan untuk memohon
keridhaan Allah SWT.
Lailahaillallah
Muhammad ya Rasulullah
Lailahaillallah
Nabi Muhammad ya Rasulullah (dinyanyikan berulang-ulang)
Solallah mahkota alam
Bukit Somad kubu aulia Dituntut besi yang tajam
Buat penawar besi yang bias.
Biasanya, dengan izin Allah, tetakan senjata yang tajam di
anggota badan pemain dabus tidak mengalami luka atau
kecacatan. Ketua atau khalifahnya akan memainkan peranan
penting berkomunikasi dengan Allah memohon perlindungan. Berikut adalah teks lengkap zikir dabus.
Zikir Dabus
Allah hee Allah huu ya Allah,
Baddal hee ya maula, Allah hee Allah huu ya Allah,
Hudal le ma ti habur sere, ya Allah.
Allah humma salli Allah,
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
233
Allah he salli dona Allah,
Allah Muhammadun sahu, ya Allah,
Hee Allah Allah wabiza aalihi.
Pada kasih penghulu kita Muhammad,
Cahaya bulan empat belas petunjuk yang sempuma,
Hati rindu kepada Nabi Muhammad, Sentiasalah didapat daripada yang sempuma.
Allah hee Allah huu ya Allah, Baddal hema ya maula,
Allah hee Allah huu ya Allah,
Baddal hema habur sere, ya Allah.
Tiada aku kasih selain Nabi Muhammad,
Sebaik-baik Rasul yang didatangkan wahyu yang mulia,
Kasih sangat kepada Muhammad, Walau wafat tetap ingat Muhammad.
Allah huma salli Allah, Allah he salli dona amma,
Allah Muhammadun sahu, ya Allah,
Hee Allah Allah wabiza aalihi.
Perhimpunan Mahsyar kita dapat neraka jahanam,
Terlepas daripada kesengsaraan neruka jahanam, Dilahirkan penghulu kita Nabi Muhammad,
Pusat pemerintahan negara yang mulia.
Allah hee Allah huu ya Allah, Baddal humal hee ya maula,
Allah hee Allah huu ya Allah,
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
234
Hudalle ma habur sere ya Allah.
Malam hidup masa Muhammad,
Tuannya sejahtera selamanya,
Minta tolong akan dikau,
Penghulu segala rasul yang terdahulu.
Allah humma salli Allah,
Allah he salli dona amma, Allah Muhammadun sahu ya Allah,
Hee Allah Allah wabiza aalihi.
Aku minta pertolongan, ya Muhammad, Hari kiamat diberi nikmat dan selamat,
Mengharap pettolongan daripada Muhammad,
Jikalau ada aku mengegakan yang khurafat.
Allah hee Allah huu ya Allah,
Baddal hemal hee ya maula, Allah hee Allah huu ya Allah,
Hudalle ma ti habur sere ya Allah.
Dan kelepasan-kelepasan kami, ya Muhammad, Hari kesusahan dengan dia kami dikumpulkan,
Dan cahaya telah datang dengan dia Nabi Muhammad,
Sebenamya yang nyata waktu kami memohon.
Allah huma salli Allah,
Allah he salli dona anima, Allah Muhammadun sahu ya Allah,
Hee Allah Allah wabiza alihi.
Malaikat di langit memanggil nama Muhammad,
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
235
Jibril berkata baginya yang telah terdahulu,
Tentera sewaktu peperangan Nabi Muhammad,
Setengah daripada mereka malaikat bertandu.
Allah hee Allah huu ya Allah,
Baddal hemal hee ya maula,
Allah hee Allah huu ya Allah, Hadalle mal habur sere ya Allah.
Agama Islam telah zahir oleh Muhammad, Yang ingkar akan binasa,
Moga-moga Allah memberi rahmat ke atas Muhammad,
Dan ahli keluarga semuanya salam sejahtera.
Allah huma salli Allah,
Allah he salli dona amma,
Allah Muharnmadun sahu ya Allah, Hee Allah Allah wabiza alihi.
Mudah-mudahan Allah memberi rahmat ke atas Muhammad,
Dan ke atas sahabatnya salam sejahtera,
Engkau memberi rahmat dan kesejahteraan,
Semoga berkat ke atasmu Muhammad.
Allah hee Allah hee ya Allah,
Baddal huma hee ya maula, Allah hee Allah huu ya Allah,
Hudal le mal habur sere ya Allah.
Allah huma salli Allah, Allah hee salli dona amma,
Allah Muhammadun sahu ya Allah,
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
236
Hee Allah Allah wabiza alihi.
Sumber: Didokurnentasikan oleh Ahmad Ali Salikin,
1996. Lumut, Perak.
4.13 Teks (Sastra) Lagu-lagu Melayu Pengguaan pantun banyak mendapatkan peran utama dalam
lagu-lagu musik Melayu. Oleh karena itu, pantun menjadi ciri
khas dari sebuah pertunjukan musik Melayu. Lagu-lagu yang digarap berdasarkan pantun, teksnya selalu diubah terus-menerus.
Perubahan teks tersebut menjadi karakteristik khas musik
Melayu. Untuk lagu yang berjudul sama, oleh seorang penyanyi
yang sama, dalam selang waktu beberap menit, jika diulang, biasanya akan menghasilkan teks yang berbeda.
Lagu-lagu Melayu adalah lebih mengutamakan garapan teks
dibandingkan garapan melodi atau instrumentasinya. Hal ini dapat dilihat dari garapan teks yang terus menerus berubah,
sedangkan melodinya sama atau hampir sama. Dengan demikian
musik Melayu ini dapat dikategorikan sebagai musik logogenik.15
Teksnya berdasar kepada pantun empat baris, kuatrin, yang
terdiri dari dua baris sampiran dan dua baris isi. Kecenderungan
15Jika sebuah genre musik mengutamakan aspek melodi dan ritme saja,
dapat dikategorikan sebagai musik melogenik. Contoh pertunjukan musik yang dikategorikan sebagai logogenik adalah pertunjukan ronggeng dan joget Melayu yang memang mengutamakan teks berbentuk pantun yang disajikan oleh ronggeng dan pengunjung. Aspek jual beli pantun secara spontanias merupakan
ruh pertunjukan ronggeng. Sementara contoh pertunjukan musik melogenik, yang hanya mengutamakan aspek nada atau ritme saja, misalnya adalah pertunjukan gonrang bolon di Simalungun, yang tanpa menggunakan vokal penyanyi, hanya mengutamakan melodi sarune bolon dan bunyi gonrang sipitu-pitu, serta gong.
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
237
mempergunakan ulangan-ulangan apakah itu sampiran atau
isinya.
Dalam konteks ronggeng misalnya teks disajikan bersahut-
sahutan (litany) antara penari wanita dan mitra prianya yang biasanya berasal dari pengunjung atau pemusik yang merangkap
sebagai penyanyi. Kehebatan teknis seroangronggeng salah satu
di antaranya, ditandai dengan kehebatannya dalam berbalas pantun dalam nyanyian ronggeng. Untuk itu perlu diketahui
konsep-konsep pantun.
Menurut Harun Mat Piah, pantun ialah sejenis puisi pada umumnya, yang terdiri dari: empat baris dalam satu rangkap,
empat perkataan sebaris, mempunyai rima akhir a-b-a-b, dengan
edikit variasi dan kekecualian. Tiap-tipa rangkap terbagi ke
dalam dua unit: pembayang (sampiran) dan maksud (isi). Setiap rangkap melengkapi satu ide. Ciri-ciri pantun Melayu dapat
dibicarakan dari dua aspek penting, yaitu eksternal dan internal.
Aspek eksternal adalah dari segi struktur dan seluruh ciri-ciri visual yang dapat dilihat dan didengar, yang termasuk hal-hal
berikut ini.
(1) Terdiri dari rangkap-rangkap yang berasingan. Setiap rangkap terdiri dari baris-baris yang sejajar dan berpasangan, 2,
4, 6, 8, 10 dan seterusnya, tetapi yang paling umum adalah empat
baris (kuatrin). (2) Setiap baris mengandung empat kata dasar.
Oleh karena kata dalam bahasa Melayu umumnya dwisuku kata, bila termasuk imbuhan, penanda dan kata-kata fungsional, maka
menjadikan jumlah suku kata pada setiap baris berjumlah antra 8-
10. Berarti unit yang paling penting ialah kata, sedangkan suku kata adalah aspek sampingan. (3) Adanya klimaks, yaitu
perpanjangan atau kelebihan jumlah unit suku kata atau perkataan
ada dua kuplet maksud. (4) Setiap stanza terbagi kepada dua unit
yaitu pembayang (sampiran) dan maksud (isi); karena itu sebuah kuatrin mempunyai dua kuplet: satukuplet pembayang dan satu
kuplet maksud. (5) Adanya skema rima yang tetap, yaitu rima
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
238
akhir a-b-a-b, dengan sedikit variasi a-a-a-a. Mungkin juga
terdapat rima internal, atau rima pada perkataan-perkataan yang sejajar, tetapi tidak sebagai ciri penting. Selain rima,
asonansijuga merupakan aspek yang dominan dalam
pembentukan sebuah pantun. (6) Setiap stanza pantun, apakah itu
dua, empat, enam, dan seterusnya, mengandung satu pikiran yang bulat dan lengkap. Sebuah stanza diapndang sebagai satu
kesatuan.
Aspek-aspek internal adalah unsur-unsur yang hanya dapat dirasakan secara subjektif berdasar pengalaman dan pemahaman
pendengar, termasuk: (7) Penggunaan lambang-lambang yang
tertentu berdasarkan tanggapan dan dunia pandangan (world
view) masyarakat. (8) Adanya hubungan makna antara pasangan pembayang dengan pasangan maksud, baik itu hubungan konkrit
atau abstrak atau melalui lambang-lambang (Harun Mat Piah
1989: 91,123, 124). Dalam lagu-lagu Melayu Sumatera Utara, ciri-ciri pantun
seperti yang dikemukakan Harun Mat Piah tersebut juga berlaku.
Namun, karena pantun ini disajikan secara musikal, aka ada lagi beberapa ciri pantun lagu-lagu Melayu, yaitu: (1) pantun biasanya
disajikan berulang-ulang mengikuti ulangan-ulangan melodi. (2)
Walau prinsipnya teks lagu-lagu Melayu mempergunakan pantun,
namun pantun ini tidak sembarangan dimasukkan, misalnya untuk lagu-lagu seperti Hitam Manis, Selendang Mayang, Siti
Payung, sudah ada melodi yang khusus dipergunakan untuk teks
yang menjadi ciri utama lagu-lagu tersebut. Pada bagian ini pantun tak boleh masuk. (3) Pantun dalam lagu-lagu Melayu
juga selalu dapat diulur atau dipadatkan sesuai dengan kebutuhan
melodi musik yang dimasukinya. (4) Pantun-patun dalam lagu-lagu Melayu juga dapat disisipi oleh kata-kata seperti: ala sayang,
sayang, hai, ala hai, abang, bang, Tuan, Puan, Pak Ucok, Bang
Ucok, akak, abah, juga judul-judul lagu seperti Gunung Sayang,
Dondang Sayang, Serampang Laut, dan lain-lainnya, di tempat-
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
239
tempat awal, tengah, atau akhir baris. (5) Selain itu, dalam satu
baris tidak harus mutlak terdiri dari empat kata atau sepuluh suku
kata, tetapi bisa lebih melebar dari ketentuan pantun secara
umum. Hal ini memungkinkan terjadi, karena teks tersebut disampaikan secara melodis, bukan dalam gaya berpantun.
Misalnya untuk memperpanjang beat, dapat dipergunakan dengan
teknik melismatik, sebaliknya dengan teknik silabik dengan durasi yang relatif pendek. Keadaan seperti ini terjadi pada
keseluruhan repertoar kesenian Melayu, yang berdasarkan kepada
pantun. Sifatnya lebih fleksibel terhadap tata aturan pantun, dibanding dengan seni pantun yang disampaikan dengan cara
berpantun. Contoh-contoh masuknya pantun dalam lagu Melayu
secara fleksibel adalah sebagai berikut.
(1) lagu: Tanjung Katung
pantun asal: Tanjung Katung airnya biru,
Tempat hendak mencuci muka,
Lagi sekampung hatiku rindu, Konon pula jauh di mata.
Digarap menjadi: Tanjung Katung airnya biru (nyawa),
Tempat hendak mencucilaj muka,
Tanjung Katung airnya biru (sayang), Tempat hendak (ah muka) mencuci muka,
Lagi sekampung hatiku rindu,
Konon pula (ah mata) jauh di mata,
Lagi sekampung hatiku rindu (nyawa), Konon (ah konon mata) jauh di mata.
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
240
Digarap ke dalam melodi musik menjadi sebagai berikut.
Notasi 4.15
Tanjung Katung
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
241
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
242
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
243
(2) Lagu: Laksmana
pantun asal:
Sayang Laksmana mati dibunuh, Mati ditikam Radin Amperi,
Mujurlah kilat menjadi suluh,
Barulah tampak tanah daratan. digarap menjadi:
Sayang Laksmana mati dibunuh (Laksmana sayang),
Matilah ditikam Radin Amperi,
Sayang Laksmana mati dibunuh (Laksmana sayang), Matilah ditikam Radin Pangeran,
Mujurlah kilat menjadi suluh (Laksmana sayang),
Barulah tampak tanah daratan, Mujurlah kilat menjadi suluh (Laksmana sayang),
Barulah tampak tanah daratan.
Digarap ke dalam melodi musik menjadi sebagai berikut.
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
244
Notasi 4.16
Laksmana
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
245
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
246
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
247
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
248
Tabel 4.1
Daftar Sebahagian Lagu-lagu Melayu Sumatera Utara Yang Juga Mengandung Unsur-unsur Sastra
No. Tajuk Lagu Jenis/Genre Pencipta Keterangan
1 Abdukal Miskin irama Padang Pasir Ahmad Baqi bahasa Arab
2 Adikku Sayang nasyid Nurasiah Jamil pesan sayang kepada adik
3 Ahbabina irama Padang Pasir Ahmad Baqi bahasa Arab
4 Al-Ayyam irama Padang Pasir Ahmad Baqi bahasa Arab
5 Al-Quran nasyid Nurasiah Jamil mesej Al-Qur'an kitab suci
6 Ambil Madu Lebah lagu rakyat anonim memuja lebah
7 Anak Berbudi nasyid Nurasiah Jamil nasehat
8 Anak Kala lagu dua anonim cerita tentang anak kala
9 Anak Tiung lagu dua anonim cerita tentang anak tiung
10 Anakku Sayang nasyid Nurasiah Jamil kasih terhadap anak
11 Asholatu Ala Nabi nasyid Nurasiah Jamil pujian kpd Nabi Muhammad
12 Assalamu Alaik nasyid Nurasiah Jamil ucapan salam
13 Babussalam nasyid Nurasiah Jamil keselamatan
14 Bahtera Merdeka senandung anonim cerita tentang kemerdekaan
15 Batu Belah senandung anonim cerita rakyat Melayu
16 Bercerai Kasih lagu dua anonim
kerinduan karena bercerai
kasih
17 Bisikan Dunia nasyid anonim Nasehat tentang kehidupan
18 Bismillah Mula-Mula hadrah anonim Kebenaran Islam
19 Bismillah Mula-Mula nasyid anonim/Takari Kebenaran Islam
20 Bonda irama Padang Pasir Ahmad Baqi Kasih sayang Ibunda
21 Bunga Tanjung (A) senandung anonim Kisah tenang bunga tanjung
22 Bunga Tanjung (B) senandung anonim Kisah tentang bunga tanjung
23 Burug Nuri lagu dua anonim Cerita tentang burung nuri
24 Cek Minah Sayang mak inang anonim Pujian terhadap Cek Minah
25 Cinta Hampa mak inang Perdana/A.Cha-lik Cinta yang tak tulus
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
249
26 Cintaku Terbagi Dua dangdut Jefri Bule Lagu dangdut, cinta mendua
27 Cintaku irama Padang Pasir Ahmad Baqi Cinta pada Allah
28 Cintamu dan Cintaku mak inang anonim Tentang kasih sayang
29 Ciptaan-Mu nasyid Kahfi/Takari Tentang alam ciptaan Tuhan
30 Da'i Lawton nasyid Nurasiah Jamil Cinta tanah air
31 Dalam Kesunyian ghazal anonim Keadaan sepi
32 Damai Dunia nasyid Kahfi/Takari Keinginan dunia damai
33 Damak senandung anonim Cerita tentang Damak
34 Dedeng Mulaka Nukal senandung anonim Nyanyian menanam padi huma
35 Dedeng Padang Rebah senandung anonim Nyanyian membuka lahan
36 Demi Masa nasyid Nurasiah Jamil Keadaan dimensi waktu
37 Di Ambang Sore senandung Said Effendi Menanti kekasih sore hari
38 Doa dalam Irama irama Padang Pasir Ahmad Baqi Nyanyian berisi doa
39 Doa dalam Kenangan nasyid Nurasiah Jamil Tema doa
40 Doa Ibu nasyid Nurasiah Jamil Doa seorang ibu
41 Dodoi Didodoi mak inang anonim Menidurkan anak
42 Dondang Siti Fatimah senandung anonim Mengayun anak
43 Dua Belas Rabiul Awal nasyid Kahfi/Irwan Lahirnya Nabi Muhammad
44 Embun Pagi nasyid Nurasiah Jamil Keadaan pagi hari
45 Fajar Menyingsing nasyid Nurasiah Jamil saat matahari pagi terbit
46 Fatwa Pujangga senandung Said Effendi surat dari kekasih
47 Gunung Sayang nasyid anonim Nyanyian pembuka joget
48 Gunung Seulawah nasyid Mukhlis Gamabaran GunungSeulawah
49 Hanya Nyanyian senandung anonim Harapan hanya nanyian
50 Harapan Hampa mak inang anonim Harapan hampa
51 Harapan Kecewa senandung anonim Harapan kecewa
52 Harta Dunia nasyid Ahmad Baqi
Jangan leka dengan harta
dunia
53 Hati Merana senandung anonim Gambaran hati merana
54 Hayal dan Penyair ghazal Husin Bawafie Hayalan penyair
55 Hilang Tak Berkesan mak inang/dangdut M. Mashabi Cinta hilang tak berkesan
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
250
56 Hitam Manis lagu dua anonim Pujian kecantikan
57 Hujan di Malam Minggu dangdut Jefri Bule Hujan di malam minggu
58 Ibda' bi Nafsi nasyid Nurasiah Jamil Cinta keluarga
59 Inang Lenggang mak inang anonim Musik tari inang
60 Ingatlah nasyid Kahfi Ingat keadaan dalam hidup
61 Injit-Injit Semut mak inang anonim Lagu rakyat
62 Insan dan Bunga senandung anonim Manusia bagai bunga
63 Iradat Tuhan nasyid Nurasiah Jamil Allah Maha berkehendak
64 Isra' Mi'raj nasyid Nurasiah Jamil Gambaran Nabi Isra’ Mi’raj
65 Iya ya Ilahi nasyid Kahfi Doa kepada Allah
66 Iyolah Molek mak inang anonim Lagu anak Asahan
67 Jandaku ghazal/dangdut anonim Permohonan pada bekas istri
68 Jangan Lekas Percaya lagu dua anonim
Nasehat jangan mudah
percaya
69 Jangan Tangisi irama Padang Pasir Ahmad Baqi Jangan tangisi yang kembali
70 Jaya Bahagia lagu dua anonim Kejayaan
71 Jodoh Tak Kemana ghazal anonim Kalau jodoh tak kemana
72 Johor Sport Club lagu dua anonim Pantun-pantun cinta
73 Kalaulah Kaca Jadi Intan ghazal anonim Abgaikan kaca jadi intan
74 Kasih Ibu nasyid Nurasiah Jamil Kasih ibu
75 Kasih Sekejap senandung Suhaimi Kasih sebentar saja
76 Kata Hati nasyid Nurasiah Jamil Kata hati
77 Katakanlah Mama senandung anonim Katakanlah ibu
78 Kau Laksana Bulan ghazal P. Ramlee Pujian pada gadis sep bulan
79 Kau Pergi Tanpa Relaku senandung anonim Kekasih pergi tanpa relaku
80 Keagungan Tuhan senandung A. Chalik Keagungan Tuhan
81 Kecak Lenggang mak inang anonim Musik tari inang
82 Khana dangdut Rhoma Irama Pujian pada Gadis Khana
83 Kinabalu mak inang anonim Gambaran Kinabalu
84 Ku Kenang Hingga Abadi mak inang anonim Kenangan selamanya
85 Ku Tak Kan Bercinta lagu dua anonim Patah hati
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
251
Lagi
86 Kuala Deli senandung anonim Keadaan Kuala Deli
87 Kuala Deli senandung anonim Keadaan Kuala Deli
88 Laksemana senandung anonim Gambaran Laksemana
89 Lambaian Iman nasyid Nurasiah Jamil Iman pendorong kebaikan
90 Lancang Kuning zapin anonim Hidup bagai lancang kuning
91 Lebah nasyid Nurasiah Jamil Khasiat dan contoh dari lebah
92 Maafkanlah mak inang anonim Memaafkan
93 Madah Terakhir Nasyid Ahmad Baqi Lambaian terakhir ketika azan
94 Mak Inang Kayangan mak inang anonim Lagu tari inang
95 Mak Inang Pulau Kampai mak inang anonim Lagu tari inang
96 Mak Inang Selendang mak inang anonim Lagu tari inang
97 Makan Sirih senandung anonim Lagu pembukaan acara
98 Mali Ila Ahadi nasyid Mukhlis Bahasa Arab irama pd pasir
99 Mawar Nasyid Mukhlis Mawar sebagai simbol
100 Mega Mendung senandung anonim Nasehat
101 Menempuh Hidup irama Padang Pasir Ahmad Baqi Nasehat
102 Mengapa Ku Tak Tahu lagu dua anonim Mengapa tidak tahu
103 Menuntut Ilmu nasyid Anonim Nasehat menuntut ilmu
104 Merapi Singgalang nasyid Anonim Keadaan Gunung Singgalang
105 Mohon Ampunan irama Padang Pasir Ahmad Baqi Doa mohon ampunan Tuhan
106 Muhasabah nasyid Kahfi Berzikir dalam setiap saat
107 Mukjizat nasyid Kahfi Gambaran Mukjizat Nabi-Nabi
108 Musafir nasyid Anonim Jiwa pengelana musafir
109 Nabi Salam Nasyid Anonim Salam kepada Nabi Muhammas
110 Nasyidul Amal nasyid Anonim Nyanyian untuk beramal
111 Pahlawan nasyid Anonim Keutamaan pahlawan
112
Pak Ketipak Ketipung
(Rentak 106) lagu dua Ahmad C.B. Suara gendang Melayu
113 Pak Malau Inang anonim Lagu tarian inang
114 Pancang Jermal lagu dua anonim Lagu tarian joget
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
252
115 Pancang Jermal lagu dua anomim Lagu tarian joget
116 Panggilan Jihad nasyid anonim Keutamaan jihad
117 Panggilan Ka'bah nasyid anonim Ibadah haji
118 Pangglan Ka'bah nasyid anonim Ibadah haji
119 Patah Hati senandung anonim Patah hati
120 Patah Kemudi senandung Hajah Dahlia Patah kemudi di laut lepas
121 Patam-patam patam-patam anonim Lagu iringan silat
122 Patam-Patam Tempo patam-patam anonim Lagu iringan silat
123 Pautan Hati mak inang anonim Cinta yang universal
124 Pemberian Ikhlas Irama Padang Pasir ahmad Baqi Pemberian ikhlas
125 Perjuangan Irama Padang Pasir anonim Tema perjuangan
126 Petani Irama Padang Pasir anonim Gambaran tentang petani
127 Petuah Guru Irama Padang Pasir Ahmad Baqi Nasihat dari guru
128 Pilihan Terakhir nasyid Anonim
Keadaan menjelang akhir
hayat
129 Pilu ghazal Husein Aidid Rasa rindu
130 Pucuk Pisang mak inang Anonim Pantun kasih
131 Pulau Puteri mak inang anonim Tema pantun pulau puteri
133 Pulau Sari lagu dua anonim
Lagu iringan Tari Pulau Sari
yang kemudian menjadi
Serampang XII
133 Pura-pura lagu dua anonim Tentang kepura-puraan
134 Ramadhan nasyid Nurasyiah Jamil Keutamaan Ramadhan
135 Raudatunabi nasyid Kahfi Kisah tentang umrah
136 Renungan Masa nasyid anonim Demi masa manusia merugi
137 Ridha-Mu nasyid Kahfi Ridha Allah
138 Romantika Hidup nasyid anonim Gambaran hidup di dunia
139 Sakitnya Dimadu Lagu dua anonim Derita perempuan dimadu
140 Sambas ghazal anonim Pantun dengan tema Sambas
141 Sayang Musalmah senandung anonim Cerita tentang Musalmah
142 Seandung China senandung anonim
Senandung t nada pentatoik
Asia
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
253
143 Selamat Datang nasyid anonim Ucapan selamat datang
144 Selawat Al-Banjari nasyid Kahfi
Salawat yang menggunakan
unsur rentak dari Kalimantan
145 Selayang Pandang lagu dua Lily Suheiry Tentang selayang pandang
146 Selimut Putih Irama Padang Pasir Ahmad Baqi Cerita tentang kematian
147 Semalam di Malaysia senandung Syaiful Bahri Cerita duka di Negeri Malaysia
148 Semerah Padi ghazal anonim Cerita Semerah Padi
149 Senandung Asahan senandung anonim Kesedihan yang dinyanyikan
150 Serampang Dua Belas lagu dua anonim
Lagu iringan tari Serampang
XII
151 Serampang Laut lagu dua anonim
Pantun tentang Serampang
Laut
152 Seratus Enam lagu dua Ahmad C.B. Pantun dalam nyanyian
153 Seribu Impian nasyid anonim Seribu impian di dunia
154 Seringgit Dua Kupang mak inang anonim
Pantun tentang seringgit dua
kupang
155 Sholat Nasyid Nurasiah Jamil Keutamaan shalat
156 Si Baju Merah lagu dua anonim Lagu joget
157 Sibacong mak ianng anonim Setting Asahan
158 Siput Air lagu dua anonim Nasehat
159 Siti Payung senandung anonim Pujian pada Gadis Siti Payung
160
Sorga di Bawah Telapak
Kaki Ibu senandung Said Effendi
Sorga di bawah telapak kaki
ibu
161 Sri Banang senandung anonim Keadaan Sri Banang
162 Sri Kedah senandung anonim Keadaan Kedah Malaysia
163 Sri Langkat mak inang anonim Keadaan Langkat Sumut
164 Sri Mersing senandung anonim Keadaan Mersing Malaysia
165 Sri Serawak senandung anonim Keadaan Serawak Kalimantan
166 Sri Siantan senandung anonim Keadaan Siantan
167 Sri Siantar senandung anonim Keadaan Siantar
168 Sri Taman senandung anonim Keadaan Taman
169 Sri Tamiang ghazal anonim Keadaan tamiang
170 Stanggi Dua mak inang anonim Tentang Stanggi Dua
Bab IV: Sastra Melayu Sumatera Utara
254
171 Subhanallah nasyid Ahmad Baqi Maha Suci Allah
172 Surat Merah mak inang anonim Surat bersampul merah
173 Tabah Menanti ghazal anonim Tabah menanti kekasih hati
174 Tak Mau Bercinta Lagi Mak inang anonim Patah hati karena cinta
175 Tamtambuku mak inang anonim Lagu anak-anak
176 Tanjung Katung lagu dua anonim Pantun Tanjung Katung
177
Tari Lenggang/Joget
Pahang lagu dua anonim Lagu joget dari Pahang
178 Tebak-tebakan nasyid anonim Lagu untuk anak
179 Teganya Hatimu mak inang anonim Khianat kekasih
180 Teluk Simeuleu nasyid anonim Tentang Teluk Simeuleu
181 Tudung Periuk senandung anonim Falsafah kain yang buruk
182 Tudung Periuk lagu dua anonim Falsafah kain yang buruk
183 Tudung Saji senandung anonim Pantun tentang tudung saji
184 Untuk Bungamu Wals Said Effendi Pujian pada bunga
185 Untukmu Bunga Irama padang pasir anonim Pujian bagi bunga
186 Wak Uteh mak inang Jalaut Hb
setting budaya Asahan, irama
roncah
187 Ya Habibi nasyid anonim Muhammad kekasih Allah
188 Ya Maqsit nasyid anonim Keluhuran Islam
189 Ya Maulidan nasyid anonim Kelahiran Nabi
190 Ya Rabbi nasyid anonim Pujian pada Allah
191 Ya Rabbi Barik nasyid anonim Pujian pada Allah
192 Ya Rasulullah nasyid anonim Pujian pada Nabi Muhammad
193
Zapin Laksmana Raja di
Laut Zapin anonim dari Riau
194 Katak Bortung mak inang Jalaut Hb Asahan dan Batubara
195 Sakit Gigi mak inang Jalaut Hb Asahan dan Batubara
196 Batongkar mak inang Jalaut Hb Asahan dan Batubara
196 Wak Ali mak inang Jalaut Hb Asahan dan Batubara
198 Pulau Kampai mak inang anonim setting budaya Langkat
199 Dadong lagu rakyat anonim menidurkan anak
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
255
200 Ada Apa Dengan Cinta mak inang Jalaut Hb Asahan dan Batubara
201 Nasib mak inang Jalaut Hb Asahan dan Batubara
202 Mencari Ganti mak inang Jalaut Hb Asahan dan Batubara
203 Penjual Jamu mak inang Jalaut Hb Asahan dan Batubara
256
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan Sastra dalam masyarakat Melayu Sumatera Utara adalah
mencerminkan kebudayaannya. Sastra diciptakan oleh pengarang
berdasarkan sistem nilai dan norma yang berlaku menurut ruang dan waktu. Sastra dalam masyarakat Melayu Sumatera Utara, ada
yang disajikan berbentuk tulisan karangan para sastrawan atau
seniman. Namun yang tak kalah pentingnya adalah sastra juga diungkapkan dalam tradisi lisan, terutama dalam bentuk cerita
rakyat. Ada juga karya sastra tulisan yang tercipta setelah
munculnya cerita rakyat dalam tradisi lisan, misalnya Kisah
tentang Putri Hijau di Kerajaan Deli. Secara struktural dan kontekstual karya-karya sastra Melayu
Sumatera Utara berkaitan erat dengan struktur sosial masyarakat
Melayu di kawasan ini. Bahwa masyarakat Melayu di Sumatera Utara memiliki hubungan kultural dengan masyarakat Melayu
lainnya seperti di Semenanjung Malaysia, Riau dan Kalimantan.
Selain itu meskipun secara etnik selalu dipandang kecil, yaitu nomor empat atau lima dari sejumlah etnik di Sumatera Utara,
namun jika merujuk kepada kebudayaan Islam atau kebudayaan
yang universal etnik-etnik di Sumatera Utara dikategorikan sebagai
Melayu, atau kadang mengelempokkan etniknya sebagai Melayu. Masyarakat Melayu menggunakan bahasa, adat, norma-norma,
etika dan falsafah Melayu, yang berasaskan konsep adat bersendi
syarak, syarak bersendi kitabullah. Masyarakat Melayu Sumatera Utara memiliki turai atau
struktur sosial yang juga dipakai di belahan Dunia Melayu lainnya,
namun ada pula yang khas ada di kawasan ini. Stuktur sosial ini
juga memberikan dampak kepada eksistensi kesenian dan sastra. Di antara fungsi sastra adalah untuk enkulturasi nilai-nilai dan
filsafat Melayu. Sastra mentransmisikan cerita rakyat (folklor)
Melayu, dan sastra berfungsi sebagai sarana untuk berlansungnya kontinuitas dan perubahan kebudayaan Melayu secara umum.
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
257
Masyarakat Melayu di Sumatera Utara memiliki karya sastra
lisan dan tulisan, atau juga ceritera rakyat (folklor), yang terdiri
dari jenis mite, legenda dan dongeng. Sebagai hasil kebudayaan
tradisional, karya sastra yang terdapat dalam kebudayaan masyarakat Melayu Sumatera Utara merupakan khasanah
kebudayaan etnik dan sekaligus bangsa Indonesia. Dalam karya
sastra ini tersirat dan tersurat gambaran mengenai kehidupan masyarakat Melayu Sumatera Utara. Gambaran tentang ajaran-
ajaran positif dan universal dalam kehidupan supaya berbuat baik
itu antara lain adalah kemampuan berbuat kebaikan dan kebajikan menurut norma budaya Melayum kesetiaan pada norma-norma dan
aturan budaya Melayu, sopan santun dan etika menurut budaya
Melayu, rendah hati, patuh dan taat kepada orang tua dan adat, arif
dan bijaksana, teguh memegang amanah, menjadi insan kamil dan bertakwa, dan lain-lainnya.
Nilai-nilai gambaran kehidupan masyarakat Melayu Sumatera
Utara yang terdapat dalam karya sastra perlulah dikemukakan, dikaji, digali, dan diketahui oleh masyarakat pendukungnya.
Dengan demikian gambaran kehidupan dan sistem berpikir
masyarakat Melayu Sumatera Utara tidak hanya sebagai nilai budaya saja, tetapi amat berguna bagi kehidupan masyarakat
Melayu Sumatera Utara di masa kini, yang tidak terlepas dari nilai-
nilai budaya nenek moyang orang-orang Melayu.
Sebagai bukti budaya, pada masa sekarang masih dijumpai budaya tradisi lisan dan tulisan masyarakat Melayu Sumatera Utara
dalam bentuk pantun dan syair yang menceritakan kisah hidup dan
kehidupan masyarakat Melayu Sumatera Utara. Ada juga karya-karya sastra yang telah dibukukan seperti: Hikayat Si Miskin,
Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Hang Tuah, Terjadinya
Bukit Tinggi Raja, Datuk Megang, Lubuk Pakam, Asal Mula
Pantai Cermin dan lain-lain. Karya-karya sastra ini umum disampaikan dengan media melodi (syair, gurindam, sinandong,
atau nyanyian Melayu).
Karya-karya sastra yang terdapat di dalam kebudayaan masyarakat Melayu di Sumatera Utara adalah seperti yang
Bab V: Penutup
258
dihuraikan berikut ini. (1) Karya sastra yang berbentuk legenda: (a)
Datuk Megang; (b) Terjadinya Bukit Tinggi Raja; (c) Asal Mula
Pantai Cermin; (d) Permata Bertuah dari Serdang Putih; (e) Lubuk Pakam atau Lubuk Pualam; (f) Asal Mula Terjadinya
Danau Laut Tador, Syair Puteri Hijau, dan lain-lain. (2) Karya
sastra berbentuk mite; (a) Sumpah Sakti Suku Melayu; (b) Tuai
dengan Tujuh Puteri dan lainnya. (3) Karya sastra berbentuk fabel: (a) Kucing dengan Harimau; (b) Ular Piar dan Ular
Tedung; (c) Kuau dengan Gagak dan lain-lain. (4) Selain dari
karya sastra di atas, dijumpai pula karya sastra berbentuk puisi nyanyian rakyat, yang sering dikategorikan sebagai senandung atau
sinandung, terdiri dari: (a) senandung ibu atau senandung nasib; (b)
senandung anak; (c) senandung nelayan; (d) senandung muda-
mudi; (e) senandung hiburan dan (f) senandung dabus. Sastrawan Melayu Sumatera Utara juga terus bermunculan
dalam waktu dan ruang yang ditempuhnya. Daerah ini
emnyumbang sastrawan-sastrawan terkemuka seperti Amir Hamzah, Sutan Takdir Alisyahbana, Chairil Anwar, Merari
Siregar, dan lain-lainnya. Kemudian masa sekarang ini, Sumatera
Utara juga memiliki sastrawan seperti: AdiMujabir, Baharuddin Saputra, Danil Eneste, Darwis Rifai Harahap, Azmansyah, Ezra
Dalimunthe, arun Al-Rasyid, Hidayat Banjar, Maulana Syamsuri,
Romulus Z.I. Siahaan, O.K. Syahril, Thomson H.S., dan masih
banyak lagi yang lain-lainnya. Sastra dalam kebudayaan Melayu di Sumatera Utara ada juga
yang berbentuk dalam tradisi lagu-lagu rakyat, yang lebih dikenal
dengan lagu Melayu. Sastra dalam bentuk lagu-lagu ini biasanya menggunakan unsur-unsur pantun, syair, nazam, dan lainnya. Di
antara genre-genre nyanyian Melayu Sumatera Utara adalah:
marhaban, barzanji, dedeng, sinandong, hadrah, nasyid, kasidah, irama padang pasir, ghazal, endeng-endeng, rodat, dan lain-lain.
Sastra dalam bentuk nyanyian ini sangat mengutamakan teks dan
melodi serta rentak sekali gus. Dalam bentuk sedemikian rupa
aspek dimensi ruang (nada) dan waktu menjadi begitu penting diungkapkan di samping struktur dan seni teksnya. Dalam bentuk
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
259
seperti ini karya-karya sastra mengalami pengemebangan esoteris
estetik, sesuai dengan jiwa dan kemampuan musikal penyair atau
penyanyinya. Improvisasi adalah bagian dari proses pengindahan
teks dalam nyanyian Melayu. Improvisasi ini berada dalam tahapan paling asas dalam ruh musik Melayu. Improvisasi dan
warna suara akan menjadi begitu berdaya pukau dalam komunikasi
seni pertunjukan yang melibatkan aspek-aspek sastra. Orang Melayu Sumatera Utara akan dapat menikmati keindahan pantun
atau syair yang dinyanyikan Nurjannah, Ibu Senang, Nafsiah,
Nurainun, Laila hasyim, Syaiful Amri, dan lain-lainnya. Semua ini didasari oleh improvisasi, warna suara, gaya, dan jiwa lagu yang
dinyanyikan mereka.
Melodi dan sastra memiliki hubungan yang sinerji dalam
kebudayaan Melayu. Melodi menjadi asas utama tajuk lagu-lagu Melayu di kawasan ini. Misalnya pantun yang sama jika
dinyanyikan dengan melodi yang berbeda maka pantun tersebut
akan diberi tajuk yang berbeda dalam konteks lagu-lagu Melayu tertentu. Begitu pentingnya aspek musikal dalam menyajikan
karya sastra, maka sudah sewajarnya apabila karya-karya sastra
dan seni Melayu Sumatera Utara didekati dengan pendekatan multi disiplin dan interdisiplin ilmu. Katakanlah dalam mengkaji syair
misalnya, diperlukan peneliti-peneliti dari disiplin linguistik,
sastra, etnomusikologi, antropologi, dan fisika akustik. Begitu pula
untuk mengkaji puisi-puisi karya Amir Hamzah, perlu melibatkan para pakar sastra, linguistik, ahli prosodi, ahli akustik, ahli
etnomusikologi, ahli agama, ahli filsafat, ahli tasawuf, dan lainnya.
Sudah saatnya pula para pakar sastra tidak hanya menumpukan perhatian pada karya sastra tertulis, tetapi juga karya-karya sastra
rakyat yang sifatnya lisan. Oleh karena itu perlu mengkajinya
melalui penelitian-penelitian lapangan. Sebaiknya pula setiap
pengkaji sastra atau sastrawan dibekali pula oleh ilmu seni, untuk lebi menarik pertunjukan sastra di depan khlalayaknya.
Bab V: Penutup
260
5.2 Harapan
Bagaimana pun sastra Melayu Sumatera Utara, merupakan
hasil kebudayaan masyarakatnya, yang didukung oleh sastrawan, seniman, penonton, pembaca, penikmat, kritikus, dan semua orang
yang terlibat dan merasa memilikinya. Sastra dan seni adalah salah
satu media ungkap peradaban atau tamadun, yang dipandu oleh
wahyu dan akal yang diberikan Tuhan. Semoga saja masyarakat Melayu Sumatera Utara dapat terus mengembangkan diri baik
melalui sistem inovasi yang bersumber dari diri orang melayu itu
sendiri maupun melalui sistem akulturasi, yaitu mengolah kebudayaan-kebudayaan luar untuk menjadi bagian yang integral
dalam kebudayaan Melayu, dan untuk memperkuat identitas
kebudayaanya.
Seperti dibuktikan dalam sejarah masyarakat Melayu adalah pelopor lingua franca di Nusantara ini. Artinya bahasa Melayu
mampu menjadi bahasa pengantar rumpun Melayu Tua dan Muda
di Nusantara untuk berinteraksi secara bahasa. Mereka semua merasa memiliki dan merasa bagian dari identitas bahasa Melayu
itu, walau kemudian berkembang menjadi bahasa Indonesia atau
bahasa Melayu Malaysia, bahasa Melayu Brunai, namun akarnya sama yaitu bahasa Melayu. Demikian pula sastra Melayu klasik
seperti Bustanussalatin, Sulalatussalatin, Hikayat Hang Tuah, yang
tercipta di abad ke-16 sampai 17 menjadi monumen sastra yang
tiada bandingnya di Nusantara ini, dan mampu mengintegrasikan rumpun Melayu di Nusantara.
Ke depan tampaknya sangatlah logis dan relevan jika budaya
Melayu selain sebagai lingua franca juga akan menjadi kultura franca. Artinya setelah bahasa Melayu menjadi perajut integrasi
budaya masyarakat rumpun Melayu, maka secara alamiah
kebudayaan Melayu secara umum, mencakup bahasa, kesenian, organisasi, teknologi, nilai-nilai religi, ekonomi, dan pendidikan—
akan menjadi perajut rumpun Melayu Nusantara. Namun
kebudayaan etnik dalam rumpun Melayu juga perlu terus
dikembangkan dalam menghadapi tantangan zaman dan menjadi pemerkaya khasanah budaya rumpun melayu. Semua usaha ini
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
261
tentu saja tak akan berhasil tanpa berdoa dan berserah diri pada
Allah semata. Insya Allah.
Daftar Pustaka Adler, Mortimer J. et al. (eds.) Encyclopaedia Britannica (Vol. XII). Chicago: Helen
Hemingway Benton. Adshead, Janet 1988 Dance Analysis: Theoy and Practice.London: Dance Book. Agar, Michael H., 1980. The Professional Stranger: An Informal Introductions to
Ethnography. New York: Academic Press. A. Rahman, 1962. Sja’ir Puteri Hidjau: Tjerita Jang Benar Terdjadi pada Abad ke-15 di
Tanah Deli Sumatera Timur. Medan: Pustaka Andalas. A.R. Radcliffe-Brown, 1952. Structure and Function in Primitive Society. Glencoe: Free
Press. Abdul Monir Yaacop dan Sarina Othman (ed.), 1995. Pemerintahan Islam dalam
Masyarakat Majmuk. Kuala Lumpur: Institut Kefahaman Islam Malaysia (IKIM).
Abdullah, Mohd. Ghazali, 1995. Teater Tradisional Melayu. Kuala Lumpur: Kemenerian Kebudayaan, Kesenian dan Pelancongan Malaysia.
Abu Bakar Bin Yang. 2000. Islam, Rekreasi, dan Seni Lakon. Kuala Lumpur: Penyelidik IKIM.
Abu Hassan Sham, 1995. Syair-syair Melayu Riau. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negeri Malaysia.
Adler, Mortimer J. Et al. (eds.). 1983. Encyclopaedia Britannica (Vol. XII). Chicago: Helen Hemingway Benton.
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, 1968. The Origin of the Malay Syair. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
Anderson, John, 1971. Mission to the east Coast of Sumatra in 1823. Singapura: Oxford University Press.
Aston, Elaine dan George Savona. 1991. Theatre as Sign-System: A Semiotics of Text and Performance. London dan New York: Routledge.
Backus, John 1977 The Acoustical Foundation of Music. New York: W.W. Norton Company.
Bambang Suwarno dan Thomas R. Leinbach, 1985. “Migrasi Penduduk Desa ke Kota dan Kesempatan Kerja: Survey di Tiga Kota Sumatera Utara,” Majalah Demografi Indonesia, tahun 13, No. 25, Juni 1985, Jakarta.
Batara Sangti. 1971. Sejarah Batak. Balige: Karl Sianipar. Blagden, C.O., 1989 “The Name Melayu”, Journal of the Straits Branch of the Royal
Asiatic Society. Blink, 1918. Sumatra’s Oostkust: In Here Opkomst en Ontwikkelings Als Economisch
Gewest. S’Gravenhage: Mouton & Co.
Bab V: Penutup
262
Bonvillian, Nancy. 1993. Language, Culture, and Communication. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall.
Braden, Charles Samuel. 1954. The Worlds of Religions: A Short History. New York: Abingdon Press
Burhan Nurgiyantoro, 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
C.A. Fisher, 1977. “Indonesia: Physical and Social Geography,” The Far East and Australasia 1977-78: A Survey and Directory of Asia and Pacific. London: Europe Publications Ltd.
Denzin, Norman K. Dan Yvonna S. Lincoln (eds.). 1995. Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks, London, dan New Delhi: Sage Publications.
Deraman, A. Azis, 2002. Himpunan Kertas Kerja: Isu dan Proses Pembukaan Minda Umat Melayu Islam. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
D. Kemalawati dan Sulaiman Tripa, 2005. Ziarah Ombak Sebuah Antologi Puisi. Banda Aceh: LAPENA
Dt. Idrus Hakimi Rajo Penghulu, 1978. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau, Bandung: Rosda.
Edwards, Paul et at. (eds.) 1967 The Encyclopedia ofPhilosophy (vol. I dan 2), New York dan London: Collier Macmillan Publisher.
Elydawati Pasaribu, 1993. Tradisi Musik Vokal Marhaban dalam Upacara Menabalkan Anak di Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deli Serdang. Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Endang Saifuddin Anshari. 1987. Ilmu, Filsafat, dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu.
Faruk, 1999. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Frans Magnis Suseno. 1992. Filsafat-Kebudayaan-Politik: Butir-butir Pemikiran Kritis.
Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. Gazalba, Sidi. 1989. Masjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Indonesia. Goldsworthy, David J. 1979. Melayu Music of North Sumatra: Continuities and Changes.
Sydney: Monash University. Grillo, Ralph (ed.), 1989. Social Anthrophology and Politics of Language. London:
Roudledge. Gumperz, John J. dan H. Hymes Dell (ed.). 1972. Directions in Sociolinguis-tics and
Anthrophology. New York: Harper & Row. Gumperz, John. J., 1983. Essays in The History of Linguistic Anthrophology.
Amsterdam: John Benjamin Publishing Company. Hajjah Noresah bt Baharon dkk. (eds.), 2002. Kamus Dewan Edisi Ketiga. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Hamzah Hamndani (ed.), 2005. Islam di Malaysia dan Sastera Nusantara. Kuala
Lumpur: Gapeniaga. Harun Mat Piah, 1989. Puisi Melayu Tradisional: Suatu Perbincangan Genre dan
Fungsi. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
263
Hasan M. Hambari, 1980. "Peranan Beberapa Bandar Utama di Sumatera Abad Ke-7 sampai 16 M dalam Jalur Darat Melalui Lautan,” dalam Saraswati. Jakarta: Pusat Penyelidikan Arkeologi Nasional.
Hasbi Makhmud, 1993. “Studi Komparatif terhadap Aspek-aspek Muzikal dalam Penyajian Azan oleh Empat Muazin di Kotamadya Medan.” Skripsi Sarjana Seni, Universitas Sumatera Utara Medan.
Hashim Ismail, 2005. “Karakteristik Melayu dalam Sastera Nusanara: Perspektif Neonostalgia.” dalam Hamzah Hamndani (ed.) Islam di Malaysia dan Sastera Nusantara. Kuala Lumpur: Gapeniaga.
Hasym Said, 1993. Nasyid di Kelurahan Sitirejo II Kecamatan Medan Amplas Kajian Tekstual dan Musikologis. Skripsi Universitas Sumatera Utara Medan.
Herlina Ginting dkk., 1994. Folklor Lisan Melayu Serdang. Medan: Lembaga Penelitian Universitas Sumaera Utara.
Ismail Husein, 1984. Antara Dunia Melayu dengan Dunia Indonesia. Kuala Lumpur: University Kebangsaan Malaysia.
James Danandjaja, 1972. An Annotated Biliography of Javanese Folklore. California: Center for Shorthand Southeast Asia Studies.
James Danandjaja, 1982. Folklor Indonesia. Jakarta: Grafiti Press. J.L. Gillin dan J.P. Gillin, 1954. For A Science of Social Man. New York: McMillan. Khadijah Shalihah, 1983. Perkembangan Seni Baca Al-Quran dan Qiraat Tujuh di
Indonesia. Jakarta: Al-Husna. Koentjaraningrat, 1980. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Ul Press. Kunst, Jaap, 1959. Ethnomusicology (edisi ke-3). The Hague: Martinus Nijhoff. Kurath, Getrude Prokosch, 1986. Century of Dance Research. Arizona: Cross Cultural
Dance Research. Langenberg, Michael van, 1976. “National Revolution in North Sumatra: Sumatra
Timur and Tapanuli 1942-1950,” tesis doktor falsafah, Sydney: University of Sidney.
Lavandera, Beatriz R. 1988. The Study. of Language in Its Socio-Cultural Context dalarn Fredrick. J. Newmeyer (ed.). Linguistics. The Canbridge Survey (Volume IV). Language: The Socio-Cultural Context. Cambridge: Cambridge University Press.
Legge, J.D., 1964. Indonesia. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall. List, George 1962, "Ethnomusicology in Higher Education." Music-Joumal. 20:20. Lomax, Alan P. (1968), Folk Song Style and Culture. Transaction Books New Jersey. M. Amin Abdullah, 2002. Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam. Bandung:
Mizan Pustaka. Malinowski, 1987 "Teori Fungsional dan Struktural," dalam Teori Antroplologi I
Koentjaraningrat (ed.), Jakarta: Universitas Indonesia Press. Malinowski, Bronislaw. 1923. “The Problem of Meaning in Primitive Language” dalam
Charles. K. Ogden dan I.A. Richards (ed.). The. Meaning of Meaning: A Study of Th. Influence of Language Upon Thought And of the Science of Symbolism.California: Harcourt Brace Javanovich, Inc.
Bab V: Penutup
264
Mana Sikana, 2005. Teori & Kritikan Sastera Malaysia & Singapura. Singapura: Pustaka Karya.
Maniyamin bin Haji Ibrahim “Menggali Keintelektualan Silam Membina Seni Masa Kini” dlm. Mohamad Saleeh Rahamad, S.M. Zakir dan Shamsudin Othman, 2006. Persuratan dan Peradaban Nasional. Kuala Lumpur: Persatuan Penulis Nasional Malaysia (PENA).
Maniyamin bin Haji Ibrahim, 2005. Citra Takmilah: Analisis Terhadap Kumpulan Puisi Islam. Selangor Darul Ehsan: Karisma Publications Sdn. Bhd.
Marckward, Albert H. et al. (eds.) 1990. Webster Comprehensive Dictionary (Vol. 2). Chicago: Ferguson.
Marsden, W. 1966. The History of Sumattra. Kuala Lumpur: Oxford University Press. Mc Cormack, William. C. dan Stephen A. Wurm (ed.) 1979.. Language, and Society..
Anthrophological Issues. The Hague: Mouton Publishers.
Merriam, Alan P. (1964), The Anthropology of Music. Chicago Nortwestern University. Metzger, Laurent, 1994. "Kekuatan dan Kelemahan Orang Melayu: Suatu Pandangan
Seorang Asing," Alam Melayu, Yaacob Harun (ed.), Kuala Lumpur: Akademi Pengkajian Melayu Universiti Malaya.
Mochtar Naim, 1984. Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Mohammed Ghouse Nasharuddin. 2002. Teater Tradisional Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Mohd Anis Md Nor, 1990 The Zafin Melayu Dance of Johor: From Village to A National Performance Tradition, disertasi doktoral, Michigan: The University of Michigan.
Mohd Anis Md. Nor, "Lenggang dan Liuk dalam Tari Pergaulan Melayu," Tirai Panggung, jilid 1, nomor 1, 1995.
Mohd. Yusof Md. Nor dan Abd. Rahman Kaeh (ed.), 1985. Puisi Melayu Tradisi. Petaling Jaya: Penerbit Fajar Bakti Sdn. Bhd.
Mohd. Zain Hj. Hamzah, 1961. Pengolahan Muzik dan Tari Melayu. Singapura: Dewan Bahasa dan Kebudayaan kebangsaan.
Murgiyanto, 1995. "Cakrawala Pertunjukan Budaya, Mengkaji Batas dan Arti Pertunjukan." Seni Pertunjukan Indonesia, Jumal Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Murray, Stephen 0., 1983. Group Formations in Society Science. Edmonton. Alberta: Linguistic Research.
Murtadha Muthahhari. 2002. Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran Shadra. Bandung: Mizan Pustaka.
Narrol,R., 1965. "Ethnic Unit Classification," Current Anthropology, volume 5 No. 4. Nettl, Bruno, Folk and Traditional of Western Continents, Englewood Cliffs, New Jersey:
Prentice Hall, 1973). Noorsiah Sabri, 1998. Pembangunan Kebudayaan untuk Pembinaan Negara dan
Bangsa. Kuala Lumpur: Kementerian Kebudayaan, Kesenian dan
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
265
Pelancongan Malaysia.
Omar A. Hoesin, 1981. Kultur Islam: Sejarah Perkembangan Kebudayaan Islam dan Pengaruhnya dalam Dunia Internasional. Jakarta: Bulan Bintang.
Onong U. Effendy, 1988. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek,Remadja Rosdakarya, Bandung.
Othman Mod. Yatim dan Abdul Halim Nasir, 1990. Epigrafi Islam Terawal di Nusantara. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Patersen, William, 1995. "Migration: Social Aspects," International Encyclopedia of the Sosial Sciences, volume 9, David L. Sills (ed.), New York dan London: The Macmillan Publishers.
Paulus Heru Wibowo Kurniawan. 2001. “Bahasa Puisi Subagyo Sastrowardoyo dalam Dan Kematian Makin Akrab”: Analisis Formalisme dan Semiotika Riffaterr. Skripsi S1 Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta.
Pelzer, Karl J. 1985. Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria 1863-1947. Terjemahan J. Rambo. Jakarta: Sinar Harapan.
Rachmat Joko Pradopo. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Rachmat Joko Pradopo. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rachmat Joko Pradopo,.1997. Prinsip-prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
R. Sadarmo dan R. Suyono, 1985. “Keserasian Sosial dalam Kearifan Tradisional Masyarakat Jawa-Deli,” Makalah Seminar Keserasian Sosial Masyarakat Majemuk di Perkotaan, Medan.
Radcliffe-Brown, A.R., 1952., Structure and Function in Primitive Society. Glencoe: Free Press.
Rogayah A. Hamid dan Wahyunah Abd. Gani (peny.), 2005. Pandangan Semesta Melayu: Syair. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
Sadie, Stanley (ed.). 1980, The New Grove Dictionary Music and Musicians. London: Macmillan.
Saville-Troike, Muriel, 1989. The Etnography of Communicatiow An Introduction. (Second Edition). New York:Bash Blackwell.
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, 1964. Setangkai Bunga Rampai Sosiologi. Jakarta: FE UI.
Schechner, Richard. 1980, The End ofHumanism: Writing on Performance. New York: PAJ Publication.
Shadily, Hassan, 1983. Ensiklopedi Indonesi. Jakarta: Ikhtiar Baru-Vanhoeve. Shafie Abu Bakar, 1995a. “Takmilah: Teori Sastera Islam” dlm. S. Faafar Husin (peny.)
Nadwah Ketakwaan Melalui Kreativiti. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Shafie Abu Bakar, 1995b. “Kau dan Aku: Analisis Takmilah” dlm. Dewan Sastera, Januari. Shafie Abu Bakar, 1997. “Takmilah: Teori, Falsafah dan Prinsip” dlm. Mana Sikana (ed.)
Teori Sastera dan Budaya dalam Kajian Akademik. Bangi: Jabatan Persuratan
Bab V: Penutup
266
Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia.
Shafie Abu Bakar, 1997. “Estetika dan Takmilah” dlm. Mana Sikana (peny.) Pembangunan Seni dan Sastera. Bangi: Jabatan Persuratan Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia.
Sheppard, Mubin, 1972. Taman Indera: Malay Decorative Arts and Pastimes. London: Oxford University Press.
Sidi Gazalba, 1989. Masjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Indonesia. Siti awa Haji Salleh, 2005. “Suatu Perbincangan tentang Sejarah dan Asal Usul Syair,
dalam Rogayah A. Hamid dan Wahyunah Abd. Gani (peny.), Pandangan Semesta Melayu: Syair. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
S. Nasution, 1982. Metode Research. Bandung: Jemmars.
Soerjanto Poespowardjojo, 1978. Manusia. Jakarta: Gramedia.
Swettenham, F.A., 1895. Malay Sketches, London: t.p. Syed Alwi Sheikh Al-Hadi, 1986. Adat Resam dan Adat Istiadat Melayu. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia. Syed Mahmud ibni Almarhum Abdul Qadir al-Hndi. 1934. Kamus al-Mahmudiyah.
Cetakan ke-4. Kelantan: Al-Kamaliah Press. Teeuw. A. 1955. Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia. Jilid I.
Pembangunan: Jakarta
Teeuw. A. 1980. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya
Teeuw. A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Pustaka Jaya: Jakarta.
Teeuw. A. 1991. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Tenas Effendy, 2000. Pemimpin dalam Ungkapan Melayu. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka. Tenas Effendy, 2004. Tunjuk Ajar Melayu: Butir-butir Budaya Melayu Riau. Yogyakarta:
Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu dan Penerbit Adicita. Tengku Lah Husni, 1986, Butir-butir Adat Budaya Melayu Pesisir Sumatera Timur.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tengku Lah Husni, 1975. Lintasan Sejarah Peradaban dan Budaya Penduduk
Melayu Pesisir Sumatera Timur 1612-1950. Medan: B.P. Husny. Tengku Luckman Sinar, 1994. Jatidiri Melayu. Medan: Majelis Adat Budaya Melayu
Indonesia. Tengku Luckman Sinar, 1990. Pengantar Etnomusikologi dan Tarian Melayu. Medan:
Perwira. Tengku Luckman Sinar, 1971. Sari Sejarah Serdang. Medan: t.p. Tengku Luckman Sinar, 1985. “Keserasian Sosial dalam Kearifan Tradisional
Masyarakat Melayu.” Makalah Seminar Keserasian Sosial dalam Masyarakat Majemuk di Perkotaan, Medan.
Tsurumi Yoshiyuki, 1981. Malaka Monogatari: Sebuah Kisah di Melaka. Tokyo: Jiji Tsuushinsa.
Tumer, Victor. 1980, From Ritual to Theater: The Human Seriousness of Play. New
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
267
York: PAJ Publication. Tumer Victor dan Edward M. Bruner (eds.)The Anthropology of Performance. Urbana
dan Chicago: University Illinois. Ulack, Richard (2007). Encyclopædia Britannica. Encyclopædia Britannica 2007 Ultimate
Reference Suite. Chicago: Encyclopædia Britannica. Umar Junus, 1971. “Kebudayaan Minang kabau,” Manusia dan Kebudayaan di
Indonesia, Koentjaraningrat (ed.), Jakarta: Gramedia. Usman Pelly, 1985. “Menciptakan Pra Kondisi Keserasian Hidup dalam Masyarakat
Majemuk: Kasus Kotamadya Medan,” Medan: Makalah Seminar Keserasian Sosial dalam Masyarakat Majemuk di Perkotaan.
Usman Pelly, 1994. Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing. Jakarta: LP3ES.
Usman Pelly, 1986. Lokasi Lembaga Pendidikan, Sosial, dan Agama dalam Tata Ruang Permukiman Masyarakat Majemuk yang Menopang Integrasi Sosial: Kasus Kotamadya Medan. Tokyo: The Toyota Foundation.
van Langenberg, Michael, 196. National Revolution in North Sumatra: Sumatra Timur and Tapanuli 1942-1950. Disertasi doktor falsafah. Sydney: University of Sidney.
Veeger, V. J. 2001. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Prenhallindo Veth, P.J. (peny.), 1882. Midden-Sumatra: Reizen en Onderzoekingen der Sumatra-
Expeditie (4 volume). Leiden: E.J. Brill. Volker, T., 1928. Van Oerbosch tot Cultuurgebied. Medan: De Deli Planters Vereeniging. Wilkinson, R.J. , 1959. A Malay-English Dictionary (2 volume) London: Macmillan and
Co. Ltd. Withington, W.A. 1963. "The Distribution of Population in Sumatra, Indoensia, 1961, The
Journal of Tropical Geography, 17. Wachsman, K.P. 1967, "Music." Joumal of the Folklore Institute. 6:164-191. Wahyunah Abdul Ghani dan Mohamad Shaidan, 2000. Puisi Melayu Lama Berunsur
Islam. Kuala Lmpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Wan Abdul Kadir, 1988. Budaya Popular dalam Masyarakat Melayu Bandaran, (Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Y.B. Mangunwijaya, Y.B. 1994. Sastra dan Religiositas. Yogyakarta: Kanisius.
Y.B. Mangunwijaya, 1995. Mendidik Manusia Merdeka. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Yahaya, Mahayudin Hj. 2001. Tamadun Islam. Shah Alam Selangor Dahrul Ehsan:
Penerbit Fajar Bakti Sdn. Bhd. Yuyun S. Suriasumantri, 1983, Rmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor dan
Leknas Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Zainal Abididin Borhan dkk. (penyelenggara), 1990. Adat-istiadat Melayu Melaka. Kuala
Lumpur: Institut Kajian Sejarah dan Patriotisme Malaysia, Kerajaan Negeri Melaka dan Akademi Pengajian Melayu.
Zalila Sharif dan Jamilah Hj. Ahmad, 1993. Kesusastraan Melayu Tradisional. Kuala Lumpur; Dewan Bahasa dan Pustaka.
Bab V: Penutup
268
Zein, St. Muhammad, 1957. Kamus Bahasa Indonesia Modern. Jakarta: t.p. Zulham, 1993. Bahasa Senandung Dialek Asahan Ditinjau dari Segi Morfologi. Medan:
Skripsi Sarjana Sastra Melayu.
Muhammad Takari dan Fadlin, Sastra Melayu Sumatera Utara
269
Biodata Penulis
(a) Muhammad Takari, dosen Etnomuzikologi Fakultas Sastra USU, lahir pada tanggal 21 Disember 1965 di Labuhanbatu. Menamatkan Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas di Labuhanbatu. Tahun 1990 menamatkan studi sarjana seninya di Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Selanjutnya tahun 1998 menamatkan studi magister humaniora pada Program Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Sekarang sedang studi S-3 Pengajian Media (Komunikasi) di Universiti Malaya, Malaysia. Aktif sebagai dosen, peneliti, penulis di berbagai media dan jurnal dalam dan luar negeri. Juga sebagai seniman khususnya musik Sumatera Utara, dalam rangka kunjungan budaya dan seni ke luar negeri. Kini juga sebagai Staf Ahli Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Kantor: Jalan Universitas No. 19 Medan, 20155, telefon/fax.: (061)8215956. Rumah: Tanjungmorawa, Bangunrejo, Ds I, No. 40/3, Deliserdang, 20336. E-mail: [email protected].
(b) Fadlin atau nama lengkapnya Fadlin bin Muhammad Dja’far adalah seorang dosen di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara. Dilahirkan di Medan tanggal 20 Februari 1961. Menamatkan Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas di Kota Tebingtinggi. Tahun 1980 masuk menjadi mahasiswa Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara dan menamatkannya tahun 1988. Setelah itu ia diangkat menjadi dosen di Jurusan Etnomusikologi FS USU, dan kemudian menjabat sekretaris Jurusan tahun 1990 sampai 1999. Ia juga menjadi ketua Lembaga Kesenian USU, dan aktif melakukan kajian dan pertunjukan kesenian. Kini sedang menuruti pendidikan master di Akademi Pengajian Melayu Jabatan Sosiobudaya Melayu, sedang menulis tesis dengan tema songket Batubara. Kantor: Jalan Universitas No. 19 Medan, 20155, telefon: (061)6618947, handphone: 08126026137. Rumah: Kapten Muctar Basri No. 110, Medan. E-mail: [email protected].