salamatahari edisi 91: pancasila

20
salamatahari edisi 91: Pancasila

Upload: rizki-ramadan

Post on 14-Mar-2016

240 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Salamatahari adalah ucapan selamat untuk setiap hari dan salam yang hangat seperti matahari. www.salamatahari.com adalah zine-zine-an online yang terbit reguler setiap Kamis. Kenapa Kamis ? Karena Kamis adalah hari keseimbangan yang ada di antara Senin-Selasa-Rabu dan Jumat-Sabtu-Minggu. Merupakan proyek solo nirlaba Sundea yang terbuka untuk bentuk kolaborasi apapun. Zine-zine-an ini semacam "olahraga rutin" yang menjaga stamina dan ritme menulis Dea agar tidak kendur dan terputus.

TRANSCRIPT

Page 1: Salamatahari edisi 91: Pancasila

salamatahariedisi 91: Pancasila

Page 2: Salamatahari edisi 91: Pancasila

t

t Tak Berakar Tak Berpucuk

Sila pertama: Ketuhanan yang Maha Esa

Posting pertama di Salamatahari edisi ini bukan “inti matahari”. Bukan juga diambil dari sebuah event yang up to date. Tetapi tuhan tak pernah basi. Ia tak berakar, tak berpucuk, seperti tajuk pameran Handi Wirman di Galeri Nasional bebeberapa bulan

silam …

“Hai, Dea,” sapa monumen tuhan ketika Dea lewat di hadapannya. Warnanya putih. Ia lebih besar daripada tuhan yang pernah Dea temui di mana pun. “Jangan heran. Namanya juga monu-men, jadi pasti dibuat lebih mencolok daripada yang asli,” sambung monumen tuhan seakan menangkap isi pikiran Dea. Dea menanggapinya dengan senyum. Menyentuh simpul pitanya yang kaku.

kresekadalahtuhan

1 | Salamatahari edisi 91 Salamatahari edisi 91 | 2

Page 3: Salamatahari edisi 91: Pancasila

t

t Tak Berakar Tak Berpucuk “Bagaimana rasanya menjadi monumen tuhan?” tanya Dea. “Hmmm … rasanya seperti menjadi se-lebritis di dalam layar kaca. Tidak nyata. Hanya proyeksi bergerak dari sosok yang sesungguh-nya,” jelas monumen tuhan sungguh-sungguh. “Tapi selebritis di layar kaca kan nggak bisa diajak ngobrol, kamu bisa.” “Dea, kamu lupa, ya, kalau acara televisi bisa interaktif juga?”

Tuhan dan Dea terlibat pembicaraan yang tak berakar, tak berpucuk, tetapi me-nyenangkan. Ia yang biasanya mengapung di sungai-sungai jadi punya waktu untuk lebih dikenali melalui monumennya.

“Ketika ikut mengalir bersama sungai, sebetulnya kamu mau ke mana?” tanya Dea. “Kenapa kamu yang tanya? Bukannya aku hanya mengantarkan pesanmu?”

1 | Salamatahari edisi 91 Salamatahari edisi 91 | 2

Page 4: Salamatahari edisi 91: Pancasila

t

Diam-diam, di seberang, mengintai monumen tuhan hitam yang bertajuk “Tak Be-rakar, Tak Berpucuk no.3” . “Apakah dia musuhmu?” Dea berbisik-bisik pada monumen tuhan putih.“Di adalah aku yang lain.” Cahaya dan bayangan bertumpu pada satu obyek yang sama. Mungkin karena itulah tak ada “Tak Berakar, Tak Berpucuk no.1”.

3 | Salamatahari edisi 91 Salamatahari edisi 91 | 4

Page 5: Salamatahari edisi 91: Pancasila

t Tuhan adalah esensi yang sensitif. Dengan me-nyentuhnya, kita belajar mengerti dengan merasa.

Tanpa berusaha mencari akar, tanpa berusaha

mencapai pucuk.

Sundea

3 | Salamatahari edisi 91 Salamatahari edisi 91 | 4

Page 6: Salamatahari edisi 91: Pancasila

t

Menjadi Garuda

(curhat mabim) Sila ke dua: Kemanusiaan yang adil dan beradab

-Bandung-Jatinangor, 1 Oktober 2011- Hari itu adalah Hari Kesaktian Pan-casila. Tetapi untuk Dea, siang sampai petang lebih terasa seperti malam G30S PKI. Entah mengapa mabim alias masa bimbingan bagi mahasiswa hampir se-lalu dibuat mencekam. Selalu ada tiga generasi yang menjadi pemain utama di sana: maba (mahasiswa baru), panitia mabim, dan senior. Di antara ketiganya “terjalin” hubungan politis yang berbau-bau feodalisme.

behind thescene

5 | Salamatahari edisi 91 Salamatahari edisi 91 | 6

Page 7: Salamatahari edisi 91: Pancasila

Tahun ini, Salamatahari datang ke kam-pus untuk berbagi cerita seputar penulisan kreatif. Menjelang keberangkatan menuju Jatinangor, sempat terjadi drama-drama sepu-tar keterlambatan, konfirmasi, dan kekusutan komunikasi. Singkat cerita, akhirnya datang rombongan sirkus yang menjemput Si Dea di Bandung. Pengemudinya langsung sang ketua mabim.

“Maaf, Teh, tadi harus ngambil mobil dulu, terus di mana-mana macet.” “Lah … kan gua bilang jemput pake mo-tor juga nggak apa-apa.” “Ya nggak enaklah, masa’ Teteh dijem-put pake motor?” “Ini kan Sabtu. Pasti macetlah. Lagian nggak enakan mana njemput gua pake motor sama kayak begini?” Kemudian perjalanan Jatinangor-Band-ung terasa sedikit mencekam.

Panitia dan Dea tiba pukul 14:30, tepat ketika setting forum berlangsung. Dari lantai tiga, terdengar bentak-bentak yang menggel-egar.

“Itu anak Sastra Indonesia?” tanya Dea. “Iya. Tapi cuma akting, kok, Teh,” sahut sang panitia.

Ketika Dea sampai di lantai tiga, meny-ergaplah suasana yang tidak menyenangkan. Mahasiswa baru berpingsanan. Panitia tampak tegang. “Eh, gue pengen complain, nih …” “Iya, Teh, maaf tadi telat …” “Bukan masalah telat aja. Gue banyak complain soal mabim ini sebenernya …” Mata panitia mulai berkaca-kaca. “Kenapa, sih, kalian seneng banget bikin suasana mencekam?” tanya Dea akhirnya. “Ini udah lebih lunak daripada taun-taun sebelumnya, Teh.” “Bukan itu masalahnya. Menurut gue be-ginian bikin anak-anak dapet takutnya doang. Jadinya kayak kalian gini. Ketakutan untuk hal yang seharusnya kalian nggak takut, tapi malah miss hal-hal yang menurut gue lebih penting.”

5 | Salamatahari edisi 91 Salamatahari edisi 91 | 6

Page 8: Salamatahari edisi 91: Pancasila

Untungnya, kemelut G30SPKI ala mabim kampus akhirnya berlalu. Dea digiring masuk ke dalam kelas. Meski sempat kagok karena keb-uru tidak enak hati, akhirnya suasana cair juga. Dea membagi resep penulisan kreatif ala Sal-amatahari: “Kata kuncinya adalah ‘bermain’. Jadi menulis itu bersenang-senang.”

Setelah materi diberikan, maba diajak duduk melingkar dan menulis dua kata per-tama di buku mereka: ‘Burung Garuda’. Selan-jutnya, mereka diajak menulis secara berantai. Cerita mereka diteruskan oleh teman sebelahn-ya lalu sebelahnya lagi dan begitu seterusnya hingga akhirnya kembali ke tangan mereka. Berikut ini adalah cuplikan tulisan Nunin:

Burung garuda. Gagah bertengger perkasa di bumi ibu per-tiwi. Pertiwi adalah anak Pak Jamal, Bapak RT 05. Pak RT Siapa? RT kam-pung sebelah yang kehilangan bu-rung! Oh tidak … Pak RT pun kebin-gungan karena burung satu-satunya hilang. Bagaimana ia bisa bertahan hidup …? Karena kesediaannya membagi kisah pada teman-teman sekelas, Nunin mendapat hadiah Salamatahari #2.

7 | Salamatahari edisi 91 Salamatahari edisi 91 | 8

Page 9: Salamatahari edisi 91: Pancasila

Tepat pukul 16:00, Si Dea harus pulang. Dea sudah ditunggu oleh Abdel dan Temon di rumah makan setempat. “Jangan kapok, ya, Teh,” pesan pani-tia ketika mengantar Dea bertemu Abdel dan Temon. “Enggak, kok. Untung akhirnya lancar, seneng juga. Anak-anaknya kayaknya emang suka nulis, ya …” “Iya, Teh, anak-anak angkatan sekarang emang kritis-kritis …” Dea lalu teringat masa-masa awal kuliah dulu. Mahasiswa baru datang dengan kepala jernih dan bersih. Lalu datang pengaruh dari kiri dan kanan, “Kalian jangan begini, nanti senior marah. Kalian jangan begitu, senior yang biasanya baik, di lapangan bisa beda banget.” Tiba-tiba keakraban jadi tertahan. Ketika Dea menjadi panitia mabim, isu yang beredar lebih gawat lagi. Kami para pani-tia dikondisikan untuk memperlakukan senior seperti singa tidur. Senior dianggap dapat menerkam sewaktu-waktu dan perlu diintai dengan waspada penuh kecurigaan.

Apa betul senior semengerikan itu? Entah, ya. Yang pasti, setelah berada di posisi ‘senior’, Dea tahu segala hal memparanoidkan itu hanya legenda. Sama seperti isu PKI yang menimbulkan huru-hara sampai bergenerasi-generasi. Apakah perlu? Burung garuda bertengger di kelas-kelas. Diapit foto presiden dan wakilnya, dipercaya sebagai lambang negara yang sakti. Garuda-garuda kecil Sastra Indonesia, jika kamu ingin menjadi sakti, terbanglah raya meninggalkan kelas sekali-sekali. Kenali dunia dengan matamu, bukan dari legenda. Di sastra kita menuliskan. Karenanya, tuliskan segala cerita versi dirimu sendiri … Sundea.

..terbanglah raya me-ninggalkan kelas sekali-sekali. Kenali dunia den-gan matamu, bukan dari legenda.

7 | Salamatahari edisi 91 Salamatahari edisi 91 | 8

Page 10: Salamatahari edisi 91: Pancasila

menulis huruf kecil-kecil selama lima belas hari bersama aan mansyur

Sila ke lima: Persatuan Indonesia

@hurufkecil adalah salah satu akun paling happening di dunia pertwitteran. Apalagi setelah ia menggiat #15harimenulisdiblog yang menyatukan para penggemar tulis-menulis.

Pria di balik akun ini bernama Aan Mansyur. Sebelumnya ia sudah terkenal dengan akun @aan-mansyur dan sebagai admin @fiksimini. Ke mana akun lamanya dan mengapa kini ia lebih aktif sebagai @hurufkecil? Ada cerita apa di balik gerakan #15harimenulisblog?

Ikuti kisahnya dalam wawancara berikut ini …Halo @hurufkecil … ternyata kamu Mas Aan Mansyur, ya? Hehehe … kenapa akun yang lama udah nggak aktif lagi?Eits, @aanmansyur masih aktif, aktif memantau sejumlah akun. Terus kenapa harus bikin akun baru?@hurufkecil sesungguhnya bukan akun baru, sudah lama. Akun ini awalnya saya bikin kare-na saya sedang ada proyek bikin novel. Tokoh utama novel itu namanya Nanti Kinan. Saya bikin akunnya dan seringkali saya ajak ngobrol. Sejumlah orang dulu sering melihat @aanman-syur dan @hurufkecil berbincang di linikala. Tweet-tweet awal @hurufkecil itu kebanyakan saya ambil dari dialog-dialog novel yang saya tulis itu. Hehe. Akun itu sering iseng saya gu-nakan bermain. Menulis semacam puisi. Eh, jadi ramai diikuti orang. Begitulah.

Kenapa pake nama “hurufkecil” ?Wah, sebenarnya itu username lama yang saya sering saya pakai sejak zaman masih belajar ngeblog. Saya gunakan lagi di twit-ter. Saya penyuka huruf kecil. Huruf kapital kadang terlihat angkuh, bagi saya. Hehe.

Mas Aan, cerita, dong, tentang kegiatan Mas Aan sehari-hari …Hari-hari terakhir ini saya mengerjakan sejum-lah proyek pribadi, menulis novel dan beber-apa riset sederhana. Selebihnya, bersama sejumlah teman, saya belajar dan bekerja di sebuah komunitas.

penyalama-tahari

9 | Salamatahari edisi 91 Salamatahari edisi 91 | 10

Page 11: Salamatahari edisi 91: Pancasila

Katanya lagi bikin #15harimenulisdiblog, ya di twitter ? Coba diceritakan …Iya, itu permainan yang semula iseng. Na-manya juga permainan. Beberapa hari sebe-lumnya, saya ngomong soal blog di linikala. Seorang teman, @elnaa_ namanya, tiba-tiba berjanji mau bikin proyek #15harimenulisdiblog untuk diri sendiri. Dia sudah lama tidak menulis di blognya. Dia berjanji kepada saya melaku-kan itu. Beberapa hari setelah berjanji, dia hanya mampu menulis satu postingan, hanya tentang janjinya itu. Hehe. Dia memperbaharui janjinya. Saya mengiyakan saja. Tapi beberapa jam kemudian, saya bilang ke dia: bagaimana kalau proyekmu itu kita bikin jadi permainan. Dia senang. Ternyata banyak orang tertarik ikut. Begitulah. Semula iseng dan buat seorang teman saja.

Sebelumnya kan udah ada #30harimenulis, #30harimenulissuratcinta, dan beberapa ger-akan serupa. Apa gerakan-gerakan itu men-ginspirasi #15harimenulisdiblog ini?Ciye, gerakan. Serius sekali istilahnya.

Iya, dong, edisi ini kan temanya “Keping-keping Kerang Pancasila”, jadi bahasanya harus agak-agak PSPB, gitu … hehehe … terus, terus …Kami menyebut ini permainan. Seperti saya bilang sebelumnya, ini semula proyek @elnaa_.

Iya, tentu proyek-proyek semacam itu ikut men-ginspirasi permainan ini. Saya juga ikut bebera-pa proyek itu.

Kenapa harus 15 hari?Mungkin karena 30 hari terdengar melelahkan! Hehe.

Sejauh ini, gimana respon temen-temen baik yang ikutan maupun simpatisan?Saya baru saja selesai membaca semua tulisan hari kelima. Respon orang mengejutkan. Saya tidak menyangka ada sebanyak itu orang yang ikut bermain. Awalnya saya pikir hanya akan diikuti paling banyak 30 orang. Ternyata di hari pertama hampir 120-an orang dan itu terus bertambah. Di hari kelima jumlahnya sudah lebih 160 orang. Semoga hari-hari se-lanjutnya bertambah banyak lagi. Meskipun, sejujurnya membaca 160 postingan sehari itu melelahkan! Tetapi seru, menyenangkan sekali.

Apa tulisan yang seru dan menarik sejauh ini?Wah, banyak yang seru dan menarik. Karena setiap hari tema yang harus ditulis peserta berganti-ganti, maka seru saja membaca kisah berbeda dari mereka. Hari pertama, misalnya, saya membaca hampir 120 tulisan tentang ciuman pertama. Seru!

9 | Salamatahari edisi 91 Salamatahari edisi 91 | 10

Page 12: Salamatahari edisi 91: Pancasila

Punya tujuan tertentu dengan ngegiat gerakan ini?Ide permainan ini sederhana saja: mau melihat @elnaa_ sembuh dari penyakit blogger’s block yang sudah dia idap bertahun-tahun. Kalau ternyata bisa menyembuhkan penyakit yang sama yang diidap orang lain, wah, keren juga.

Siapa aja yang bisa ikutan dan gimana caran-ya?Siapa saja boleh ikut bermain. Syaratnya: punya blog dan mau menulis. Caranya? Ting-gal menulis di blog masing-masing sesuai tema yang kami lemparkan di linikala. Kalau tulisan-nya sudah kelar, mereka tinggal mention ke saya shortlink-nya untuk saya ¬share agar bisa dibaca orang lain. Sesederhana itu. Yang ikutan juga tidak perlu mulai dari hari pertama. Siapapun boleh bergabung dengan langsung mengikuti tema yang sedang berjalan.

Salamatahari edisi ini kan temanya Pancasila. Menurut Mas Aan, kalau disuruh ngaitin sila “Persatuan Indonesia” sama program 15Hari-menulisblog .... ?Salamatahari ini memang suka absurd dan suka-sukanya. Sigh. Oh, iya, setelah lima hari bermain, satu hal lain yang menyenangkan adalah blogwalking. Jika saya membayangkan internet itu Indonesia, maka ketika blogwalking ke blog-blog peserta permainan ini, saya seper

ti mengunjungi berbagai pulau. Saya pikir, satu hal yang jarang dilakukan lagi di internet sejak maraknya jejaringan sosial, ya, blogwalking itu. Apa hubungannya dengan ‘Persatuan Indone-sia’? Ya, begitu deh, hubungkan sendiri! Sudah ya, saya harus membaca tulisan-tulisan teman yang sudah masuk. Salamatahari.

Wahahaha … Ok …. Selamat menyembuhkan @elnaa_ dan menyatukan Indonesia dengan huruf-huruf kecil dan menulis bareng-bareng, ya … =)

Jadi begitu ceritanya teman-teman. Ke-giatan menulis bersama-sama seperti ini menjalin keakraban. Membaca membuat teman-teman saling mengenal dan mema-hami. Mungkin juga membuka kemungki-nan untuk bekerja sama.

Jika kamu suka menulis juga, tertarik untuk mencoba? Jika kamu mengidap blogger’s block juga, terapi ini boleh juga, lho, di-coba …

Sundea

11 | Salamatahari edisi 91 Salamatahari edisi 91 | 12

Page 13: Salamatahari edisi 91: Pancasila

11 | Salamatahari edisi 91 Salamatahari edisi 91 | 12

Page 14: Salamatahari edisi 91: Pancasila

Sila ke empat: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

Setelah bermusyawarah, keempat posting Salamatahari yang awalnya kebingungan menguntai diri dalam sebuah tema akh-irnya bersepakat: “Kita adalah keping-keping kerang mutiara Pancasila!”

Mengapa keping-keping kerang mutiara Pancasila? Karena jika mengandung butir-butir mutiara, berarti setiap sila Pancasila adalah kepingan kerang. Kepingan kerang itu mendasari posting-posting yang hadir di Salamatahari edisi ini.

Minggu ini hadir karya Handi Wirman: “Tak Berakar, Tak Berpucuk” sebagai penafsiran sila pertama, curhat “senior” seputar mabim sebagai penafsiran sila ke dua, Aan Mansyur dan gerakan #15harimenulisdiblog yang digalangnya sebagai penafsiran sila ke tiga, inti matahari sebagai penafsiran sila ke empat, dan acara Dheg Dheg Plat di Rumah Buku sebagai penafsiran sila ke lima.

Meski masih banyak yang belum terungkap seputar sejarah Hari Kesaktian Pancasila (1 Oktober), raya ya raya saja. Mari kita pesta tiram, Teman-teman =D

Semoga Pancasila akan sakti dan menjaga bumi pertiwi dari sakit. Tidak ada salahnya berdoa dengan tulus dan harap.

Semoga keping-keping kerang ini menghasilkan mutiara-mutiara hikmatmu sendiri.

Salamatahari, semogaselaluhangat dan cerah, Sundea

Keping-keping Kerang Pancasilainti matahari

13 | Salamatahari edisi 91 Salamatahari edisi 91 | 14

Page 15: Salamatahari edisi 91: Pancasila

Sila ke empat: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

Setelah bermusyawarah, keempat posting Salamatahari yang awalnya kebingungan menguntai diri dalam sebuah tema akh-irnya bersepakat: “Kita adalah keping-keping kerang mutiara Pancasila!”

Mengapa keping-keping kerang mutiara Pancasila? Karena jika mengandung butir-butir mutiara, berarti setiap sila Pancasila adalah kepingan kerang. Kepingan kerang itu mendasari posting-posting yang hadir di Salamatahari edisi ini.

Minggu ini hadir karya Handi Wirman: “Tak Berakar, Tak Berpucuk” sebagai penafsiran sila pertama, curhat “senior” seputar mabim sebagai penafsiran sila ke dua, Aan Mansyur dan gerakan #15harimenulisdiblog yang digalangnya sebagai penafsiran sila ke tiga, inti matahari sebagai penafsiran sila ke empat, dan acara Dheg Dheg Plat di Rumah Buku sebagai penafsiran sila ke lima.

Meski masih banyak yang belum terungkap seputar sejarah Hari Kesaktian Pancasila (1 Oktober), raya ya raya saja. Mari kita pesta tiram, Teman-teman =D

Semoga Pancasila akan sakti dan menjaga bumi pertiwi dari sakit. Tidak ada salahnya berdoa dengan tulus dan harap.

Semoga keping-keping kerang ini menghasilkan mutiara-mutiara hikmatmu sendiri.

Salamatahari, semogaselaluhangat dan cerah, Sundea

Keping-keping Kerang Pancasila

13 | Salamatahari edisi 91 Salamatahari edisi 91 | 14

Page 16: Salamatahari edisi 91: Pancasila

Keadilan dalam Perjalanan Piringan Hitam

Sila ke-5: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Di atas turn table, piringan hitam berputar. Dengan adil, ia memberi kesempatan setiap lagu yang tersimpan dalam perutnya bercerita; bergiliran sesuai antrian di daftar lagu.

ulin

15| Salamatahari edisi 91 Salamatahari edisi 91 | 16

Page 17: Salamatahari edisi 91: Pancasila

Keadilan dalam Perjalanan Piringan Hitam

Sila ke-5: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Di atas turn table, piringan hitam berputar. Dengan adil, ia memberi kesempatan setiap lagu yang tersimpan dalam perutnya bercerita; bergiliran sesuai antrian di daftar lagu.

Di sore yang cerah itu, teman-teman yang membawa piringan hitam kesayangan mereka ke Ruku Kineruku pun mendapat kesempatan bercerita. Adil dan bergiliran. Saya baru tahu ada banyak musisi masa kini yang masih memproduksi musik dengan piringan hitam. Dan ternyata ada berbagai kisah menarik di balik kepe-milikan piringan hitam tersebut. Riar, misal-nya, memiliki salah satu dari piringan hitam Mournphagy (1997) yang hanya dirilis lima copy. “Saya beli dari black metal fan yang ‘bertobat’. Kalau dikurs ke Indonesia, harg-anya cuma Rp 70.000,00, lagi,” ungkapnya bungah.

Lain lagi dengan Adhit dari Telkom yang dengan penuh semangat mempro-mosikan band favoritnya, Brown Recluse

delphia. “Saya yakin ini the next big thing,” ujarnya dengan mata bersinar-sinar. Sambil memutarkan album “Evening Tapestry” dari Brown Recluse, Adhit bercerita bagaimana dengan sangat niat adanya ia mencari in-formasi seputar band tersebut. “Waktu saya googling ‘Brown Recluse’, yang muncul malah tentang laba-laba. Akhirnya saya dapet myspace-nya, tapi udah nggak keurus karena personilnya udah sibuk sendiri-sendiri. Tapi di situ ada alamat email, jadi saya kirim email ke situ,” cerita Adhit. Secara mengejutkan, keeso-kan harinya Adith mendapat friend request langsung dari akun facebook sang personil. Pertemanan Adhit dan Brown Recluse pun ter-jalin. Brown Recluse bahkan bersedia tampil di Indonesia tanpa bayaran, cukup tanggungan akomodasi. “Mungkin ada yang bersedia …,” tawar Adhit di akhir penuturannya.

15| Salamatahari edisi 91 Salamatahari edisi 91 | 16

Page 18: Salamatahari edisi 91: Pancasila

Piringan hitam mengharuskan kita me-nerima seisi album apa adanya. Karenanya, kita jadi memiliki keintiman tertentu dengan apa yang kita dengarkan. Dheg Dheg Plat tercetus ketika Anto Arief merasa jenuh dengan playlist MP3 yang dapat berganti-ganti secara instan dan mudah. Tahu-tahu saja ia ingin mendengarkan musik dengan player konven-sional. Merindukan rasa akrab dengan urutan lagu dan waktu jeda di antaranya yang khas. Merindukan effort dalam mendengarkan musik sehingga musik jadi terasa lebih dari sekedar sesuatu yang numpang lewat. Anto Arief, gitaris 70’s Orgasm Club, band bernuansa lagu funk lawas tersebut, akhirnya memulai kembali ke-biasaan mendengarkan musik dengan piringan hitam alias plat.

Bicara soal lawas, Mas Budi Warsito dari Ruku Kineruku ternyata mempunyai album lagu lawas anak-anak Balonku yang dinyanyikan oleh Endi dan Adi. “Kita selalu bingung sama urut-urutan warna di balonku. Merah dulu atau hijau dulu. Ketuker-tuker sama lagu Pelangi, Lihat Kebunku, dan lagu anak-anak yang lain. Coba dengerin urutan warna balon di lagu ini,” katanya ketika tiba giliran piringan hitamnya diperdengarkan.

“Kuning, hijau, kelabu, merah muda, dan ungu ….”

Lho? Kok malah beda sama sekali?

17| Salamatahari edisi 91 Salamatahari edisi 91 | 18

Page 19: Salamatahari edisi 91: Pancasila

Rencananya Deg Deg Phlat akan dige-lar secara rutin di Ruku Kineruku. Tunggu saja infonya, ya, rajin-rajin berkunjung ke http://zine.rukukineruku.com/. Selain sebagai ajang bertukar cerita, kamu juga dapat membawa piringan hitam yang tidak kamu sukai. Acara ini dapat menjadi ajang barter juga.

Ketika saya sudah harus pulang, acara masih berlanjut. Sebuah piringan hitam milik Rekti Yuwono, personil The S.I.G.I.T yang juga ikut berbagi di acara itu, tengah berputar. Adil memberi kesempatan setiap lagu untuk me-nyatakan dirinya.

Saya berjalan kaki dari Hegarmanah menuju Setiabudi. Jalan menurun lurus, tidak melingkar. Tapi saya mencoba menapakinya selangkah demi selangkah secara adil …

Sundea

17| Salamatahari edisi 91 Salamatahari edisi 91 | 18

Page 20: Salamatahari edisi 91: Pancasila

Salamatahari adalah ucapan selamat untuk setiap hari dan salam yang hangat seperti matahari.

www.salamatahari.com adalah zine-zine-an online yang terbit reguler setiap Kamis. Kenapa Kamis ? Karena Kamis

adalah hari keseimbangan yang ada di antara Senin-Selasa-Rabu dan Jumat-Sabtu-Minggu.

proyek Salamatahari edisi 91 versi offline ini adalah sebuah kolaborasi Sundea dengan:

terlalurisky sebagai ini-itunya seputaran disain.

Salamatahari.com