ruang #10 pemerintah vol 1 sistem

100
RUANG #10 P E M E R I N T A H VOL. 1 : SISTEM Amalia Defiani - Bambang Eryudhawan - Fath Nadizti - Hendro Sangkoyo - Indrawan Prabaharyaka - Ivan Nasution - Patrick Tantra - Rofianisa Nurdin - Sherly de Yong - Tiara Anggita - Yulia Nurliani Lukito - Yusni Aziz April 2016

Upload: ruang-arsitektur

Post on 29-Jul-2016

264 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

e-magazine arsitektur. ruang 10|2016, Vol.1 Pemerintah (Sistem) e-magazine arsitektur ruang hadir kembali dengan tema “Pemerintah”. Pada edisi 10|2016 volume 1 Pemerintah: Sistem, ruang menjabarkan aktor-aktor yang berperan dalam suatu sistem pemerintahan.

TRANSCRIPT

RUANG

#10P E M E R I N T A H

VOL. 1 : SISTEM Amalia Defiani - Bambang Eryudhawan - Fath Nadizti - Hendro

Sangkoyo - Indrawan Prabaharyaka - Ivan Nasution - Patrick Tantra - Rofianisa Nurdin - Sherly de Yong - Tiara Anggita - Yulia Nurliani Lukito

- Yusni Aziz

April 2016

2

edisi #10: Pemerintah

3

ruang | kreativitas tanpa batas

RUANG #10: PEMERINTAH

Vol. 1: SISTEM

Sherly de Yong

Patrick Tantra

Yulia Nurliani Lukito

Amalia Defiani

Yusni Aziz

Rofianisa Nurdin

Ivan Nasution

Fath Nadizti

Indrawan Prabaharyaka

Tiara Anggita

tidak akan terwujud tanpa kontribusi dari:

Kontrak sosial kepada sebuah entitas yang mengatur hak dan kewajiban tiap individu dan masyarakat dengan sistem hukum membentuk sebuah entitas yang sering kita sebut pemerintah.

Pemerintah menjadi kata yang berpolemik sejak Indonesia berusaha mencari bentuk negaranya. Sebelumnya, Moh. Hatta mencetuskan kata “pengurus” (n orang mengurus) yang berdasar kepada nilai-nilai kolektivisme – gotong royong dan usaha bersama. Sehingga, “pengurus” merupakan bagian dari rakyat. Sementara kata “penguasa” atau “pemerintah” membawa nilai individualisme yang patut dilindungi. Pemerintah menjadi sebuah kedudukan superior yang tercerai dengan rakyat. Hal ini membawa berbagai permasalahan terkait sistemik dan narasi yang terbentuk di ruang-ruang kota.

Permasalahan-permasalahan ini dipertanyakan, dikritisi, dan didefinisikan kembali oleh kontributor-kontributor pada edisi 10 ini. Ruang bersyukur mendapat masukan dari berbagai macam latar belakang disiplin keilmuan. Penyelenggara negara, praktisi arsitektur dan perencana kota, akademisi, seniman, aktivis, pengamat, serta pecinta arsitektur dan kota menawarkan beragam sudut pandang untuk membedah kompleksitas permasalahan tadi. Campuran antara bahasa Indonesia, bahasa Inggris, ataupun bahasa Indonesia-Inggris memperkaya kemungkinan-kemungkinan yang membebaskan, bukan malah memenjarakan. Semoga artikel-artikel ini memancing kita dengan pertanyaan-pertanyaan lanjutan.

Dalam edisi ini, kedelapan belas artikel yang terkumpul dapat dituturkan dalam dua kelompok besar. Beberapa artikel menyoroti soal visi dan peranan ideal beberapa komponen-komponen penyusun negara, kritik terhadap praktek-praktek hubungan diantara mereka hingga ide berkolaborasi dan bersinergi dalam sebuah “sistem”. Sementara sebagian lain menawarkan “narasi” dalam membaca praktek-praktek yang berlangsung, seperti realita lapangan yang seolah berjarak dengan visi, fenomena-fenomena politis keruangan atau pengaturan pengalaman ruang-ruang kota yang membentuk manusia.

Kategori “Sistem” akan dibuka oleh Sherly de Yong, yang membahas tentang sebuah mekanisme kekuasaan untuk mengatur perilaku individu-individu di dalam sebuah organisasi masyarakat melalui artikelnya “Panoptisisme dan Pemerintahan”. Sementara Patrick Tantra melihat sistem kota dari sudut pandang ICT (nformation and Communications Technology) dalam artikel “Government, Citizenship and Smart Cities”. Kemudian Yulia Nurliani Lukito mengedepankan tentang “Sinergi Antara Arsitek dan Pemerintah” dalam studi kasus pada aliran Konstruktivisme yang berkembang di Rusia. Sedangkan Amalia Defiani memaparkan argumen mengenai peranan visi dalam arah kebijakan pemerintah pada studi kasus Bandar Udara Soekarno-Hatta dan Bandar Udara Baru Karawang dalam artikel berjudul “Sistem Multi-bandara di Indonesia: Tinjauan dari Sudut Pandang Kebijakan”. Tim Ruang juga berkesempatan mewawancara Bambang Eryudhawan dari Pusat Dokumentasi Arsitektur, yang saat ini turut aktif memperjuangkan RUU Arsitek, untuk membagi pandangan dan pengalamannya dalam bergerak bersama pemerintah.

Selanjutnya, Ivan Nasution dalam artikel “Komunikasi Politik Media Sosial” mengedepankan tentang peranan media dalam spektrum politik di Indonesia, terutama media sosial sebagai ruang publik baru di era Internet. Fath Nadizti, dalam “Praktek Berarsitektur : Sebuah Krisis Jati Diri”, memotret dilema peran dan posisi arsitek dalam proyek pemerintah pada studi kasus pengembangan kawasan Old Oak Common dan Park Royal, London Barat. Tim Ruang juga mewawancarai Hendro Sangkoyo, Pendiri Sekolah Ekonomika Demokratika, mengenai kiprah sekolah tersebut sejak didirikannya di tahun 2007. Kemudian, Indrawan Prabaharyaka dan Tiara Anggita menutup wacana tentang “Sistem” mengritik dikotomi pemerintah dan rakyat melalui artikel yang berjudul “Kita adalah Pemerintah / pemerintah / pemerintahan”.

Dalam euforia memaknai kebebasan bicara dan berwacana secara lantang di ruang publik, fenomena di atas sedikit banyak memberi andil dalam melahirkan beragam subkultur yang memperkaya kehidupan di ruang kota. Meski pada akhirnya, bagaimana kita memaknai kehadiran mereka, akan kembali lagi kepada keberpihakan kita kepada nilai-nilai yang mereka bawa.

Selamat memilih sudut pandang, selamat menikmati Ruang!

PEMBUKARUANG

Panoptisisme dan PemerintahanSherly de Yong

Governance, Citizenship and Smart CitiesPatrick Tantra

Sinergi Antara Arsitek Dan PemerintahYulia Nurliani Lukito

Sistem Multi-Bandara di Indonesia: Tinjauan Dari Sudut Pandang KebijakanAmalia Defiani

Kopi Pagi Bersama Bambang Eryudhawan: Ada Apa Dengan RUU Arsitek?Yusni Aziz & Rofianisa Nurdni

Komunikasi Politik Media SosialIvan Nasution

Praktek Berarsitektur: Sebuah Krisis Jati DiriFath Nadizti

Hendro Sangkoyo: Tentang SDE Dan Gerilya Pemulihan KrisisYusni Aziz

Kita Adalah Pemerintah / Pemerintah / PemerintahanIndrawan Prabaharyaka & Tiara Anggita

ISIvol.1: Sistem

esai

essay

esai

esai

wawancara

esai

esai

esai

wawancara

7

17

27

33

43

55

65

75

89

AMALIA DEFIANI telah bekerja selama kurang lebih 7 tahun

sebagai Perencana Fasilitas Bandar Udara dan Penyusun Peraturan

Perundang-undangan di Direktorat Bandar Udara, Kementerian

Perhubungan. Ia berlatar belakang Arsitektur di Institut Teknologi

Bandung, Indonesia dan dual degree Magister Sistem dan Teknik Transportasi di Universitas Gadjah

Mada Indonesia dan Master of Transport Planning dari Institute

for Transport Studies, University of Leeds, Inggris.

FATH NADIZTI, alumnus program double-degree Arsitektur

ITS dan Saxion Hogeschool Belanda tahun 2013. Aktif di Bandung

bersama komunitas dan kegiatan action research. Melanjutkan

program magister Urban Studies di University College London karena

rasa ingin tahu terhadap politik kehidupan berkota.

INDRAWAN PRABAHARYAKA is a

researcher who has been working for urban and sanitation sector. Past

experiences includes UNESCO-IHE and international NGOs based

in Indonesia. Recently, he worked as Program Coordinator for the

National Task Force for Water and Sanitation (Pokja AMPL Nasional),

a cross-institutional government organization under the Ministry of

National Development Planning. Currently, he is a PhD researcher in Munich Center for Technology in Society, Technische Universität

München (TUM).

AD

FN

IP

IN

PT

RN

K O N T R I B U T O RIVAN NASUTION lulus dari arsitektur ITB, kemudian bekerja di Park+Associates Architect. Setelah menyelesaikan penelitian di Berlage Institute Rotterdam pada tahun 2011, kini ia menjadi research associate di Centre for Sustainable Asian Cities, NUS.

PATRICK TANTRA is interested in how context shapes the built environment and in a holistic approach to resolving design problems. He recently obtained his MSc in Smart Cities and Urban Analytics at the Bartlett, Center for Advanced Spatial Analysis (CASA)- UCL. He also holds architectural degrees from Curtin University and a Postgraduate Diploma from the Bartlett. Currently, he is developing a London open data platform at CASA and working freelance on private architecture projects. He is also the Vice Chief Officer for the Indonesian Institute of Architects-European Union chapter (IAI-EU).

ROFIANISA NURDIN menjadi sarjana Arsitektur ITB pada tahun 2012. Menggemari sastra dan arsitektur kota, dan diam-diam berkhayal ingin mengambil kuliah filologi. Ketertarikannya kepada kota, manusia, dan budaya membawanya ke dalam ranah industri kreatif dengan semangat kolaborasi melalui Vidour yang digagas pada tahun 2011 dan CreativeMornings Jakarta yang digagas pada tahun 2014. Memori kolektifnya tersebar di kota-kota Asia Tenggara: Bandung, Ubud, Jakarta, George Town (Penang), dan Singapura.

YUSNI AZIZ, alumnus dari double-degree bachelor program kerjasama antara ITS dan Saxion Hogeschool of Applied Sciences. Kemudian menyelesaikan riset di Berlage Institute pada tahun 2013. Saat ini menjadi pengajar di UPH, dan melakukan riset pribadi.

N A R A S U M B E R

HENDRO SANGKOYO lulus dari jurusan arsitektur ITB, dan melanjutkan studinya tentang Perencanaan Wilayah dan Kota, dan Kajian Asia Tenggara; yang kemudian disambungnya dengan dengan Planning Theory and Comparative Politics di Universitas Cornell, Amerika Serikat. Sempat mengajar di Cornell, Universitas Melbourne, Institut Teknologi Indonesia dan Royal Melbourne Institute of Technology. Saat ini sibuk dengan School of Democratics Economics (SDE) yang ia dirikan bersama rekannya di tahun 2007.

BAMBANG ERYUDHAWAN seorang arsitek lulusan ITB yang sempat menjabat sebagai anggota dewan BPPI, Ketua IAI Jakarta tahun 2000-2006, dan ketua tim sidang pemugaran DKI Jakarta. Aktif menerbitkan beberapa publikasi, salah satu yang teranyar adalah 100 Tahun SD Kartini Semarang (1913 - 2013)

SHERLY DE YONG menyelesaikan pendidikan di Jurusan

Desain Interior Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petra

Surabaya. Ia pernah bekerja sebagai konsultan desainer di sebuah perusahaan desain interior di

Singapura. Saat ini menjadi dosen jurusan Desain Interior Univesitas

Kristen Petra. Di tahun 2012, menjadi mahasiswa pascasarjana Teori, Sejarah, dan Kritik Arsitektur, Institut Teknologi

Sepuluh Nopember Surabaya.

YULIA NURLIANI LUKITO teaches at the Department of

Architecture, UI, where she got her bachelor degree in architecture.

She obtained her master in History and Theory of Architecture from

Graduate School of Design, Harvard University, and her doctorate degree

from RWTH Aachen University in Germany. Her research interests are mainly philosophy of design, history

and theory of architecture, modernity and vernacular architecture.

TIARA ANGGITA is an urban development enthusiast who has

been working for the Directorate of Housing and Human Settlement, the

Ministry of National Development Planning for the last 3 years. She

earned her bachelor degree in Urban and Regional Planning from Bandung Institute of Technology. She has been

working for strategic national housing projects such as self-help housing

(perumahan swadaya) and slum up-grading, where she is actively involved

in the policy making processes with different global/local actors.

SY

YNL

TA

YA

HS

BE

R U A N GEditorial Board :

Ivan Kurniawan NasutionMochammad Yusni Aziz

Rofianisa Nurdin

web : www.membacaruang.comfacebook : /ruangarsitekturtwitter : @ruangarsitektur

tumblr : ruangarsitektur.tumblr.comemail : [email protected]

segala isi materi di dalam majalah elektronik ini adalah hak cipta dan tanggung jawab masing-masing penulis. penggunaan gambar untuk

keperluan tertentu harus atas izin penulis.

“We are the Government”Desain : Yusni Aziz

PANOPTISISME DAN PEMERINTAHAN

Panoptisisme memanfaatkan unsur psikologis penataan ruang dan arsitektur untuk menerapkan kuasa. Penguasaan terhadap individu melalui mekanisme pemantauan searah dan arsitektur yang dibentuk sedemikian rupa inilah yang membentuk konsep panoptisisme. Lalu, bagaimana panoptikon ini bisa berdampak di dalam tata ruang?

ESAI

INDONESIA

Foucault, Panoptikon, Sistem pemerintahan

oleh Sherly de Yong

8

edisi #10: Pemerintah

8

edisi #10: Pemerintah

Michel Foucault, seorang pemikir strukturalis, membicarakan ide kuasa pendisiplinan (disciplinary power) dalam bukunya yang berjudul Discipline and Punish [1]. Kuasa pendisiplinan menurutnya adalah sebuah mekanisme kekuasaan untuk mengatur perilaku individu-individu dalam sebuah organisasi masyarakat. Ia bukanlah sebuah pemaksaan pendisiplinan masyarakat seperti pada prinsip kapitalisme demi produktivitas ekonomi semata. Melainkan penerapan kuasa melalui penataan ruang arsitektur dan kota yang akan mempengaruhi waktu, aktivitas, dan perilaku manusia di dalamnya.

Lalu bagaimanakah bentuk penerapan kuasa melalui penataan ruang ini?

Foucault membahas sebuah teknik dan mekanisme pengawasan yang disebut dengan panoptisisme (Panopticism) [1]. Panoptisisme memanfaatkan unsur psikologis penataan ruang dan arsitektur untuk menerapkan kuasa. Misalnya, seorang anak tertangkap basah oleh ibunya sedang bermain saat waktunya untuk belajar. Setelah kejadian ini, anak tadi akan merasa selalu diawasi oleh ibunya setiap kali dia hendak bermain saat waktunya untuk belajar, padahal belum tentu sang ibu melakukan itu. Perasaan sang anak ini bisa dikatakan perasaan psikologis dari panoptikon.

Lalu bagaimanakah sebenarnya bentuk panoptisisme ini?

Sebelumnya, kita akan melihat terlebih dahulu sejarah dan konsep panoptikon yang merupakan inspirasi dari panoptisisme. Kata “panoptisisme” yang diusulkan oleh Foucault terinspirasi dari rancangan penjara Panoptikon oleh seorang filsuf Inggris bernama Jeremy Bentham pada tahun 1790-an (lihat gambar 1). Penjara ini berbentuk melingkar dengan sel-sel penjara yang mengelilingi sebuah menara yang berada di tengah. Tiap individu di dalam sel bisa melihat menara pengawas, namun tidak mengetahui siapa yang berada di menara pengawas. Sementara itu, pengawas dapat secara terus-menerus memantau individu yang berada di dalam sel tanpa pernah dapat dilihat oleh mereka yang diawasi – “one is totally seen without ever seeing and one sees everything without ever being seen.”

9

ruang | kreativitas tanpa batas

Panoptikon merupakan contoh ruang yang memiliki bentuk karakter kekuasaan / kekuatan. Ia merupakan perwujudkan sebuah sistem pengawasan yang memiliki peranan penting untuk menonjolkan displin kuasa dan ilmu (knowledge). Bagi Foucault, ia bukanlah penjara, namun sebuah model yang merangkum karakteristik masyarakat yang berdasar pada kuasa pendisiplinan [2]. Penguasaan terhadap individu melalui mekanisme pemantauan searah dan arsitektur yang dibentuk sedemikian rupa inilah yang membentuk konsep panoptisisme.

10

edisi #10: Pemerintah

10

edisi #10: Pemerintah

Lalu, bagaimana panoptikon ini bisa berdampak di dalam tata ruang?

Seperti pada kasus penjara panoptikon, teknik penataan ruang tertentu (melalui penyekatan, pencahayaan, orientasi, hirarki ruang, letak menara penjaga, dan lain-lain) bisa membuat narapidana yang ada di dalamnya merasa selalu diawasi terus menerus, padahal belum tentu ada orang yang mengawasi di dalam menara penjaga. Pengawasan secara psikologis sekaligus efektif inilah yang melahirkan panoptikon. Dari sekilas gambaran mengenai teori panoptisisme Foucault, penulis akan membedah fenomena panoptisisme dan tata ruang dan keterkaitannya dengan pemerintahan.

Panoptisisme, Arsitektur dan Pemerintahan

Sebelum memahami prinsip panoptisisme Foucault, sebaiknya kita memahami terlebih dahulu pandangan Foucault tentang kuasa (power), pengetahuan (knowledge), dan disiplin (discipline), serta kaitannya terhadap ruang (space) dan panoptisisme.

Foucault menjelaskan lima metodologi yang dipertimbangkan dalam menganalisis kuasa. Kuasa meliputi: (1) tidak dipandu oleh kehendak subjektif individual, (2) bersandar pada hubungan kekuasaan di antara orang-orang, dan bukanlah pada

11

ruang | kreativitas tanpa batas

jumlah yang disyaratkan, (3) tidak terkonsentrasi pada satu individu atau kelas, (4) tidak mengalir hanya dari yang-lebih kepada yang-kurang berkuasa, tetapi lebih kepada yang berasal dari bawah, dan (5) memiliki dinamika tersendiri dan disengaja. Hubungan antar kuasa bisa diungkapkan dalam hubungan antara orang tua dan anak, sepasang kekasih, pengusaha dan karyawan [1]. Dalam setiap interaksi antar manusia, kekuasaan menyaratkan negosiasi. Dan setiap individu memiliki tempatnya dalam sistem hirarki, tanpa mengacuhkan kefleksibelan hubungan hirarki tersebut.Ada tiga teori dan ide utama mengenai kuasa. Pertama, konsep kuasa bukanlah sebuah “benda” atau “kapasitas” yang bisa dimiliki baik oleh negara atau individu tertentu, melainkan sebuah “hubungan” antara individu dan golongan lain yang hanya muncul ketika dijalankan. Foucault mengajukan sebuah hipotesa bahwa kuasa diperluas dengan adanya tubuh sosial (social body). Tidak ada kebebasan (freedom) yang luput dari hubungan kuasa, tetapi penolakan (resistance) muncul di manapun ada kuasa (power). Penolakan ini muncul pada setiap tingkat, termasuk pada tingkat rendah [3].

Kedua, Foucault mengkritik model yang melihat bahwa kuasa itu sepenuhnya berada pada negara atau admistratif dan badan eksekutif yang memerintah negara. Menurutnya pada praktiknya, keberadaan sebuah negara tergantung dari operasi kompleks beribu-ribu hubungan kuasa pada setiap tingkatan dari tubuh sosial. Dan yang ketiga, kuasa haruslah produktif secara sosial dan bukanlah penindasan terhadap individu, kelas sosial atau insting natural. Dengan ini kuasa akan menghasilkan jenis pengetahuan dan penataan budaya tertentu [3].

Selain ketiga makna dari kuasa tadi, mekanisme dari kuasa yang membentuk tipe-tipe dari berbagai macam pengetahuan juga penting. Hal ini bertujuan untuk menginvestigasi dan mengumpulkan informasi dari aktivitas manusia dan wujudnya. Pengetahuan yang dikumpulkan dengan cara ini akan membentuk latihan-latihan kuasa. Pengetahuan tidak memisahkan masyarakat, ilmu, atau negara pada sisi yang berlainan, melainkan suatu kesatuan kuasa-pengetahuan (power-knowledge). Kuasa dan pengetahuan beroperasi hampir secara bergantian. Hal ini didiskusikan secara sadar oleh Foucault dengan menggunakan istilah yang ditulis dengan tanda penghubung, dan ini menemukan lebih banyak perbedaan diantara dua kategori ini.

Foucault selalu merefleksikan dan mendiagnosis masa kini dengan mempelajari apa yang telah terjadi pada masa lampau. Segala sesuatunya dinilai sesuai dengan kerangka pengetahuan yang selamanya akan terus berubah [2]. Seperti pada hal kuasa, menurutnya, sejak dahulu pendisiplinan tubuh (body) telah ada sebagai upaya untuk menjadikan individu-individu lebih patuh, sehingga mereka mampu dimanfaatkan untuk melaksanakan tujuan-tujuan tertentu. Dalam hal ini tubuh

12

edisi #10: Pemerintah

12

edisi #10: Pemerintah

dijadikan sebagai obyek dan sasaran kekuasaan.

Ia lalu mengajukan hubungan antara kuasa-pengetahuan secara bertahap: (1) disciplinary power, yang dalam sejarah menggantikan bentuk lama dari kekuasaan yang berdaulat, fokusnya kepada penciptaan dan kontrol individu dengan melatih badan dan perilaku. (2) Biopower yang berfokus pada kehidupan, kematian dan kesehatan dari keseluruhan populasi. (3) Governmentality yang memungkinkan penggabungan kekuasaan ke dalam mekanisme yang menunjukkan jalan untuk perilaku orang di dalam tubuh sosial [3]. Istilah yang terakhir meninggalkan diskusi mengenai kuasa, malah lebih mendiskusikan soal kebebasan, kebenaran dan subyek, dan cara untuk memandu diri sendiri dan mengatur orang lain.

Bentuk kuasa pendisiplinan (disciplinary power) mendukung diskusi teoritis panoptisisme, karena kedisiplinan (disciplinary) merupakan dasar dari teknik dan prinsip mekanisme ini. Kuasa pendisiplinan pertama kali berkembang pada pada akhir abad ke-18, dengan menggantikan bentuk kuasa berdaulat. Sistem kuasa ini dianut masyarakat feudal yang memiliki figur otoritas seperti raja, imam, atau ayah yang ditunjuk sebagai pemegang kuasa [3]. Menurut Foucault, bentuk kuasa ini menyebabkan inefisiensi dalam pengaturan perilaku populasi di Eropa.

Kedisiplinan (Discipline), merupakan sebuah “teknologi” yang bertujuan untuk menjaga seseorang berada di dalam pengawasan. Hal ini termasuk cara mengontrol tindakan, perilaku, dan bakat seseorang, juga cara meningkatkan kinerjanya, kapasitasnya, dan menempatkannya pada posisi yang paling berguna (teknologi produktif). Teknologi ini mengeksploitasi manusia sebagai obyek dan sasaran kekuasaan, seperti yang dikatakan oleh Timothy Rayner:

“Sebuah ‘anatomi politik’ yang juga sebuah ‘mekanisme kekuasaan’ lahir; yang berarti seseorang dapat mengendalikan tubuh orang lain bukan hanya agar mereka dapat melakukan keinginanannya, tetapi agar mereka dapat bergerak sebagai satu keinginan, dengan teknik,kecepatan,danefisiensiyangditentukan.” [4, pp. 148-9]

Foucault mendata ada beberapa teknik atau prinsip yang menfasilitasi mekanisme kuasa pendisiplinan ini [3]. Yang pertama terkait dengan pengorganisasian ruang. Menurutnya, ruang merupakan hal yang fundamental dalam pelaksanaan sebuah kekuasaan. Pemikiran ini terkait dengan konsep kuasa dan ruang pada akhir abad ke-18 yang mengatakan bahwa arsitektur merupakan bagian dari politik dan kuasa dari sebuah pemerintahan [5]. Ia memiliki peranan penting dalam praktek

13

ruang | kreativitas tanpa batas

pemerintahan, terutama dalam kendali dan pembentukan teritori sebuah kota. Pemerintah saat itu beranggapan bahwa distribusi ruang, dari mulai pola penataan kota sampai kepada ruang yang paling privat, merupakan hal yang paling efisien dalam mengontrol sebuah kota dan teritorinya.

Perkembangan teknologi, terutama dalam konstruksi rel dan listrik, dan urbanisasi yang meningkat, pada abad ke-19, mempengaruhi pola keterkaitan kuasa dan ruang tadi. Pembentukan ruang di kota bukan lagi menjadi domain dari kuasa pemerintahan dan para arsitek, namun tergantikan oleh insinyur, teknisi, dan pembangun yang dapat mengontrol teritori, komunikasi, dan kecepatan [5]. Kuasa yang dibentuk dari pola penataan ruang tidak lagi dipegang oleh pemerintahan, namun beralih kepada masyarakat.

Pengorganisasian ruang dimulai dengan sebuah prinsip ‘berpagar’ (enclosure) yang mengunci seseorang pada ruang institusionalnya. Misalnya, penjahat di penjara atau anak-anak di sekolah. Prinsip ini menciptakan partisi-partisi kecil, yang membagi manusia dalam ‘peringkat-peringkat’ dan ‘kelas-kelas’nya. Pembagian ini nantinya memerlukan desain arsitektur yang menjaga ruang-ruang sosial ini tetap terorganisir secara fisik.

Teknik mekanisme kuasa yang kedua berhubungan dengan organisasi aktifitas dan perilaku. Pertama, mengembangkan sebuah jadwal bagi sekelompok orang untuk hadir pada saat yang bersamaan demi menjalankan tugas. Kemudian bentuk dari aktifitas grup ini diatur, orang-orang tadi dilatih untuk menampilkan gerakan yang sama secara bersamaan. Ketiga, digunakan metode pelatihan tubuh dan gestur untuk menyempurnakan pergerakan tadi agar tubuh menjadi semakin efisien di dalam aktifitas yang dilakukan [3]. Kesuksesan dari teknik kuasa pendisiplinan ini semakin terjamin dengan adanya tambahan dari pengawasan.

Arsitektur dapat membentuk pola aktivitas orang-orang melalui penataan ruang, pengarahan, dan pembagian sesuai aktivitas masing-masing melalui mekanisme panoptikon. Penataan ruang bisa mengukuhkan keberadaan kuasa untuk mengakomodasi aktivitas-aktivitas tersebut. Hal ini memerlukan sebuah keteraturan hirarkis dengan kuasa yang jelas dan terwujud dalam kebudayaan masyarakat. Misalnya, hirarki penataan ruang pada bangunan religius yang mengatur posisi masing-masing dalam aktivitas religius, dengan sendirinya akan mengatur hubungan hirarkis antara umat dan pemimpin umat.

Ada dua hal yang perlu diperhatikan untuk membentuk “arsitektur kontrol” (disciplinary architecture) yang dapat mengubah persepsi dan perilaku pengguna:

14

edisi #10: Pemerintah

14

edisi #10: Pemerintah

(1) penataan fisik dari elemen bangunan dan (2) perubahan sifat material. Elemen bangunan dapat berupa penentuan posisi, pemisahan, atau persembunyian. Sementara itu, sifat material dapat berupa tekstur, warna, dan jenis material. Pada hal pertama, arsitek dan desainer dapat memanfaatkan struktur fisik untuk mengontrol (mengarahkan atau melarang) perilaku / kegiatan tertentu pada ruang yang tersedia. Misalnya, seperti penggunaan pagar untuk mencegah seseorang mengakses daerah terlarang. Pada hal kedua, arsitek dan desainer dapat memanfaatkan sifat fisik desain untuk memberi efek psikologis seseorang untuk membentuk perilaku. Misalnya, dengan menggunakan warna-warna tertentu untuk mempengaruhi suasana hati pengguna. Selain kedua pola ini, ada juga pola pengawasan melalui perancangan tata ruang dan teknologi untuk menfasilitasi atau membatasi aktivitas atau jarak pandang sekelompok orang [6].

Penggunaan metode arsitektur kontrol ini cukup banyak dipraktekkan dalam arsitektur. Misalnya, desain bangku-bangku taman yang memiliki lengan di tengah-tengah bangku untuk mencegah orang tidur. Ataupun, penggunaan jendela pada tempat tinggi di ruang kelas untuk memaksimalkan pencahayaan yang masuk, namun mencegah para murid untuk terganggu dengan peristiwa di luar jendela [6].

Pencegahan kejahatan melalui desain lingkungan merupakan salah satu contoh aplikasi dari arsitektur kontrol. Ada 3 strategi utama, yaitu kontrol akses, pengawasan dan penguatan teritori. Contohnya, bangunan yang mengadaptasi sistem ini dapat dibangun sedemikian rupa sehingga orientasi jendela dan pintu dari ruang yang berpenghuni akan mengarah pada lingkungan sekitar. Hal dapat memaksimalkan pengawasan dari orang yang berlalu lalang (eyes on the street).

Bangunan panoptikon yang dibangun oleh Jeremy Bentham merupakan salah satu contoh aplikasi desain arsitektur kontrol. Panoptikon dalam hal ini tidak dipandang sebagai sebuah penjara, melainkan sebuah prinsip umum kontruksi, pengawasan, dan mesin optik untuk sekelompok manusia. Ide panoptikon ini digunakan untuk mendapatkan kontrol atas apa yang kelihatan (fisik narapidana) dan tidak kelihatan (psikologi dari narapidana). Panoptisisme memberi pengelihatan sepenuhnya kepada seseorang dan menghalangi penglihatan yang lain terhadapnya.

Mekanisme arsitektur panoptikon ini membentuk kuasa menjadi lebih efektif dan ekonomis dalam meningkatkan moral publik, penyebaran edukasi dan pengembangan ekonomi. Selain susunan bangunan panoptikon secara fisik, sistem ini juga diimbangi dengan adanya kontrol dan observasi. Hal ini dapat mengimbangi

15

ruang | kreativitas tanpa batas

desain fisiknya sehingga tercipta sistem mekanisme kuasa pendisiplinan yang lebih efisien. Bangunan panoptikon ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk merumuskan panoptisisme, siapa yang memiliki kuasa dan tidak, serta memberikan batasan yang jelas mengenai siapa yang diawasi dan siapa yang mengawasi.

Arsitektur dalam hal ini sangat terkait dengan panoptisisme dan pemerintahan, dengan tiga komponennya, penataan fisik elemen bangunan, material, dan pengawasan. Komponen ini dapat digunakan untuk melihat kuasa pendisiplinan di dalam sebuah desain. Pemerintahan bisa memanfaatkan pengawasan panoptikon ini ke dalam masyarakat. Dan arsitektur juga membantu pemerintahan di dalam pengawasan. Sebagai contohnya, pola penataan atrium / plaza yang terbuka bisa memberi kesempatan bagi orang-orang untuk mengawasi dan diawasi. Bangunan jika dirancangan dengan menggunakan prinsip panoptisisme, akan memberikan dampak kuasa melalui adanya pengawasan pasif. Atau pengawasan aktif melalui penggunaan peletakan CCTV di jalan-jalan protokol selain membantu pengawasan kemacetan, juga memantau tindak kejahatan yang mungkin bisa terjadi di jalanan. Pada satu sisi, hal ini dapat membantu pemerintahan untuk mengawasi masyarakat melalui tata ruang. Namun, di sisi lain, privasi individu bisa dilanggardengan pemanfaatan yang tidak tepat. Di beberapa negara yang sudah maju, mekanisme panoptisisme ini dinilai sebagai mekanisme yang melanggar privasi masyarakat.

PersantunanBeberapa bagian dalam artikel ini telah dipublikasikan dengan judul “The meaning of panopticism in architecture deterministic” dalam buku “Recent Trends in Social and Behaviour Sciences: Proceedings of the International Congress on Interdisciplinary Behaviour and Social Sciences 2013” (2014) yang ditulis bersama Murni Rachmawati and Josef Prijotomo.

Referensi[1] Foucault, M. (1977). Discipline and Punishment: The Birth of the Prison. Billing & Sons, London.[2] Leach, N. (1997). Rethinking Architecture: A cultural reader theory. Routledge, London.[3] O’Farrel, Clare. (2006). Michel Foucault. Sage Publication, London.[4] Rayner, T. (2001). Biopower and Technology: Foucault and Heidgger’s Way of Thinking. http://sydney.edu.au/contretemps/2may2001/rayner.pdf diakses 1 Juni 2014[5] Rabinow, Paul (1984). The Foucault Reader. Penguin Books, London

16

edisi #10: Pemerintah

16

edisi #10: Pemerintah

“Panoptisisme memberi penglihatan sepenuhnya kepada seseorang dan menghalangi penglihatan yang lain terhadapnya.”

Sherly de Yong

PANOPTISISME DAN PEMERINTAHAN

GOVERNANCE, CITIZENSHIP AND SMART CITIES

The birth of the “Smart City” as the new urban para-digm should not be seen only as the governments and corporations’ quest of increased efficiency, but also as a chance for citizen empowerment through the open data movement.

ESSAY

ENGLISH

Governance, Smart Cities, ICT

by Patrick Tantra

18

edisi #10: Pemerintah

18

edisi #10: Pemerintah

The military–industrial complex

The quest for improving efficiency in governments is not a new phenomenon. The German sociologist, Max Weber wrote extensively on how the organisational model pioneered by the 19th-century Prussian army, founded upon clear command structures and highly competent officers and soldiers, became the model for many government organisations and businesses.

The adoption of this management structure permits long-term stability and predictability. The quest for order and efficiency was transferred to 20th-century civil society through the standardisation of operations, educational curricula and in professions such as law, medicine and science. Likewise, rationalised time

No matter how impoverished a person, as long as they know their position and duties they are less likely to revolt. (Bismarck in Wilson, 1989)

Introduction

Cities are complex entities that are intrinsically crammed with a multitude of interdependencies and contradictions. In recent years, advancements in Information and Communications Technology (ICT) have made possible a new urban paradigm: The Smart City. Supposedly, once cities are equipped with networked ICT, their governments are on a better footing to make sense of the complexity and formulate the public good that is better aligned with its citizens’ needs.

The reasoning often used by governments and corporations to justify the smart city paradigm is the quest for increased efficiency. Historically, the improvement in efficiency has been achieved by militarising the bureaucratic structures that underpin societies and later on to corporations. The similarity caused the boundaries between politics and consumerism to blur, and making it possible to place both merchandise and politics under the tenets of consumption.

To remain relevant, the definition of public good must be reconstituted and placed within the contemporary construct. Here, the vital link lies with the formation of a stronger civil society in a networked city context. Moreover, and while the profit-making motives behind the corporate push for the adoption of the paradigm can be disdainful, technological progress also makes other alternatives possible. What is becoming increasingly visible is the range of non-corporate ICT initiatives that have begun to play a role in addressing citizens’ needs.

19

ruang | kreativitas tanpa batas

Figure 1. Emperor William II reviews Prussian troops (Röchling 1894)

and activities also found a place in business practices that profited from its implementation.

From the 1980s, Western democratic governments and the corporations operating in their realms gradually drifted away from the militarised models. A phenomenon that is also marked by a shift from manual labour to machine automation and the preference for short-term results. The immediate effect causes large institutions to splinter and the fragmentation of many people’s lives. In these societies, people are geared towards relocating rather than settling in, resulting in highly individualist societies that inhibits traditional communities from forming.

Shopping for democracy

A direct comparison can be drawn between the Wal-Mart superstore model and political firms. In a Wal-Mart store, customers are free to wander through

20

edisi #10: Pemerintah

aisle upon aisle of goods and everything that is purchasable is available in an instant. In the rare cases that contact between a consumer and salespersons happen, these occasions are typically sanitised from mediation and persuasion. Similar parallels can be observed with many governments and political parties. In these organisations, the decision on what policies to adopt becomes limited to global imaging and marketing. These are the instances where the line between consumption and politics is blurred.

In the smart city paradigm, corporate hand in dispensing public goods on behalf of governments is contested by for many. So what is this public good? In economics, the public good is defined as a good that can be used by everyone and where use by one individual does not reduce its availability to others. In philosophy and politics, the public good refers to mutual benefit at the societal level.

Up to the 19th century, the provision of the public good has largely been the domain of governments. They were the only organisations that are suitably equipped with the management structure and financial resources to deliver it efficiently to a large population. As corporations have become more important and equally- if not even more powerful, they can enter into complex arrangements with governments to provide the public good. As societies become increasingly connected through ICT networks another alternative is possible. A shift towards citizen empowerment.

Mostly what is sought by the act of purchasing the good is no longer the good’s function nor its materiality. Instead, what is desired is its potency and potential. When applied to the politics, this makes it possible—and acceptable—for politicians to emphasise selling ideas and making promises rather than acting substantively. (Sennett, 2007)

Figure 2. Wal-Mart aisles (Stephen Wilkes / Gallery Stock 2013)

21

ruang | kreativitas tanpa batas

Citizen empowerment via the open data infrastructure

In his book ‘Against The Smart City’, Adam Greenfield opined that the smart city model envisaged by corporations to be self-serving. For corporations, the city dweller’s participation is limited only to generating data that can be captured, analysed and acted upon by administrators. On the other hand, it would be presumptuous to assume that citizen participation automatically leads to public good. If citizens are empowered, and a genuinely open society created, then what type of information is shared and who decides?

In the most extreme cases, the kind of bigotry and fundamentalist ideas spread through the internet using the same networked infrastructure and ICT justifies the control that must be exerted to maintain collective security. These are just some instances that highlight the underlying tension between freedom of speech and state control. Hence, there are still scope for further deliberations on the balance between initiatives that are considered “top-down” — coming from the government to that which are considered “bottom-up” — initiated by the citizen.

When Tim Berners-Lee invented the World Wide Web (WWW) in 1989, it was intended as a platform for global information sharing. To our benefit, his creation was not patented and was made open without any royalties due. His position contrast to that of corporate ICT initiatives, which takes advantage of the free infrastructure, but seek profits from licences they issue in return for the use their patented products. To be in keeping with the spirit of openness championed by Berners-Lee, information ought to be considered as a form of public good, thus freely available. One form in which this approach has manifested into is the Open Data movement.

At the moment, much of the vital work done to encourage information sharing happens around the creation of a global standard. The non-profit organisation, Creative Commons, creates a variety of licenses that work alongside existing copyright rules and provide people the legal foundation to share, use and build upon licensed work. This protects the people who use the work, so they do not have to worry about copyright infringement.

“Opendata is definedas data that canbe freely used, reusedandredistributed by anyone—subject only, at most, to the requirement to attributeandshare-alike.” (Open Knowledge Foundation 2012: para.3)

22

edisi #10: Pemerintah

Millions of works have been licensed using Creative Commons, which is reflected by the ubiquity of its logo on the World Wide Web. While there are many positive aspects to the open data movement, the initiative is not without its pitfalls. As seen in Karnataka, India, open data can also be used to disempower citizens. In this example, a pro-poor initiative to digitise land titles was exploited by the rich to access previously restricted data and re-appropriate the lands of the poor instead.

Outcomes

Examples of work that are spurred by the open data movement can be represented by a number of non-corporate initiatives encompassing diverse fields. Part of the city of London’s open data initiative, the London Datastore is a website created by the Greater London Authority (GLA) that functions as a repository for London-related data. It was set up with the intention to give citizens open access and let them use it for any purpose, free of charge. They anticipated that by making it freely accessible, raw data can be turned into more useful information.

Figure 3. Creative Commons logo (Creative Commons n.d.)

Figure 4. Front page of to the London

Datastore webpage (Greater London

Authority n.d.)

23

ruang | kreativitas tanpa batas

An initiative from the construction industry, the WikiHouse is an open-source platform for designing and sharing house designs that anyone can use to manufacture and assemble a house in days, with no construction skills. All design information shared in the WikiHouse commons is shared under a Creative Commons License.

New forms of financing are also made possible by networked ICT. Crowdfunding is the practice of funding a project or venture to raise money from the public, typically via the Internet. The model usually brings together three parties: the project instigator, supporters and an organisation that functions as the moderator and platform for bringing the parties together.

The miniaturisation and affordability coupled by the explosion of information also nurture many tech-related grass root movements. The maker movement, for instance, is a subculture representing a technology-based extension of DIY. Makers can be engaged in various pursuits ranging from electronics to traditional

Figure 5. Wikihouse construction (Wikihouse NZ n.d.)

24

edisi #10: Pemerintah

arts and crafts. The emphasis of this subculture is on the sharing and reuse of designs that are published online and in maker-oriented publications. The movement runs counter to the generic mass-produced products by empowering individuals to become craftsmen and making it possible for consumers also to become producers.

Conclusion

The discourse surrounding the smart city is still in the process of being formulated, and, therefore, there is still a broad scope of opportunities for shaping it in the right direction. Critics are right to beckon caution when it comes down to adopting the corporation’s brand of smart city paradigm, but future initiatives should not discount their contribution altogether. While there is a danger that in smart cities, citizens may become mere idle data producers, the answer to the issue should not be about having to select rigidly between a profit-making or non-profit initiative to deliver public good. The two need not be in contrast. Instead, both corporations and civic society have a role to play in advancing the public good. The argument should instead be about whether to adopt an open or closed system. In an open system, external interactions are taken into account and thus, both top-down and bottom-up urban initiatives can exist together. Within this framework governments still have a vital role to play; to channel public money to build the network infrastructure and then to regulate its use.

Figure 6. Children tinkering at the 2013 World Maker Faire (Agency By Design 2013)

25

ruang | kreativitas tanpa batas

Bibliography

Bajarin, T., 2014. Why the Maker Movement Is Important to America’s Future. Times Magazine [online]. 19 May. Available from: http://time.com/104210/maker-faire-maker-movement/ [Accessed 25 April 2015]

Creative Commons, (n.d.). Creative commons: About [online]. Available from: http://creativecommons.org/about [Accessed 25 April 2015]

Financial Conduct Authority (FCA), 2014. Crowdfunding [online]. Available from: http://www.fca.org.uk/consumers/financial-services-products/investments/types-of-investment/crowdfunding [Accessed 25 April 2015]

Greenfield, A., 2014. Practices of the Minimum Viable Utopia [CASA Lecture]. 3 December. London: UCL.

Greenfield, A., 2015. Make City Berlin 2015 interview Speedbird [online blog]. Available from: https://speedbird.wordpress.com/ [Accessed 25 April 2015]

Kitchin, R., 2014. The Data Revolution: Big Data, Open Data, Data Infrastructures and Their Consequences, Thousand Oaks: SAGE Publications Ltd.

Lathrop, D., & Ruma, L., 2010. Open Government: Collaboration, Transparency, and Participation in Practice, Beijing ; Cambridge MA: O’Reilly Media.

London Data Store, (n.d.). London Data Store [online]. Available from: ttp://data.london.gov.uk/ [Accessed 25 April 2015]

MOOC List, (n.d.). MOOC List: About/ FAQ [online]. https://www.mooc-list.com/content/about-faqs [Accessed 25 April 2015]

Open Knowledge Foundation, 2012. What is open data? [online]. Available from: http://opendatahandbook.org/en/what-is-open-data/ [Accessed 25 April 2015]

Open Data Institute (ODI), 2015. Sir Tim Berners-Lee [online]. Available from: https://theodi.org/team/timbl [Accessed 25 April 2015]

Sennett, R. (Ed.), 2007. The Culture of the New Capitalism. New Haven & London: Yale University Press.

Sunstein, C.R., 2007. Republic.com 2.0. Princeton: Princeton University Press.

Waal, M.D., 2013. The City as Interface - How New Media are Changing the City. Rotterdam: NAI Publishers.

WikiHouse, (n.d.). Wikihouse: About [online]. Available from: http://www.wikihouse.cc/about/ [Accessed 25 April 2015]

Wilson, J., 1989. Bureaucracy: What Government Agencies Do And Why They Do It. New York, NY: Basic Books.

Patrick Tantra

“Both corporations and civic society have a role to play in advancing the public good”

SINERGI ANTARA ARSITEK DAN PEMERINTAH

Sejarah mencatat hubungan antara arsitektur dengan penguasa atau pemerintah dapat menjadi sebuah kekuatan yang besar dan mempengaruhi masyarakat luas. Apa yang dapat kita pelajari dari Konstruktivisme di Rusia?

ESAI

INDONESIA

Konstruktivisme, Peran Arsitek, Sinergi, Sistem Pemerintahan

oleh Yulia Nurliani Lukito

28

edisi #10: Pemerintah

28

edisi #10: Pemerintah

“Beat the Whites with the Red Wedge” adalah karya El Lissitzky, 1919

Sejarah mencatat hubungan antara arsitektur dengan penguasa atau pemerintah dapat menjadi sebuah kekuatan yang besar dan mempengaruhi masyarakat luas. Pada masa arsitektur modern mulai berkembang di Eropa, terdapat aliran Konstruktivisme yang berkembang di Rusia. Aliran Konstruktivisme yang berkembang sekitar tahun 1913 hingga 1920 ini menghasilkan karya seni dan bangunan yang kreatif, yang mengetengahkan bentuk geometris serta kedinamisan sebagai pencerminan era kemajuan teknologi dan estetika mesin.

Para seniman Konstruktivisme adalah pelopor pembaharuan di Rusia atau dikenal dengan sebutan Russian avant-garde.

Para seniman dan desainer Konstruktivisme memiliki kesamaan visi dengan pemerintahan Bolsevik di Rusia pada saat itu yang menginginkan tatanan masyarakat baru yang bersifat optimis dan berdasarkan nilai-nilai komunal. Pemerintah pada akhirnya menobatkan Konstruktivisme sebagai seni resmi Negara Soviet sekaligus menjadi alat propaganda untuk program-program pemerintah.

Sebagai contoh adalah karya El Lissitzky Beat the Whites With the Red Wedge yang menjadi poster propaganda Lenin pasca Revolusi Bolshevik. Pada poster ini tampak ketegasan, kekontrasan, keberanian sekaligus bentuk yang lingkaran yang menggambarkan sesuatu yang terus bergerak dan dinamis.

29

ruang | kreativitas tanpa batas

Tokoh lain adalah seorang pemahat sekaligus arsitek bernama Vladimir Tatlin yang juga merupakan salah satu pelopor gerakan Konstruktivisme di Rusia. Setelah melakukan perjalanan ke Paris, Tatlin berpendapat bahwa seni harus bisa dinikmati oleh semua kalangan secara merata serta tidak boleh ada pembedaan seni untuk kaum borjuis atau kaum proletar. Karenanya Konstruktivisme berkembang menjadi seni terapan yang idenya merangkum pentingnya desain yang baik untuk kehidupan masyarakat eperti desain benda keseharian, patung, dan bangunan. Karenanya selain memakai kanvas, rancangan seniman dan desainer Konstruktivisme kebanyakan memakai media yang beragam seperti kayu, kaca, besi, dan baja.

Tatlin merancang sebuah monumen yang bernama Monument to the Third International yang rencananya akan dibangun melebihi tinggi menara Eiffel. Hal ini memperlihatkan ambisi Tatlin untuk memamerkan potensi kekuatan Rusia berupa ketajaman visi, kemampuan membangun, serta sumber alam dan manusia yang lebih bervariasi dibandingkan Perancis atau Negara Barat lain. Ukuran yang besar—bahkan rencananya dua kali ukuran Empire State Building di Amerika Serikat—menyimbolkan pemerintahan Rusia yang kuat dan dominan.

“Monument To The Third International” adalah salah satu karya fenomenal dari Vladimir Tatlin, 1920. (sumber: en.wikipedia.org)(sumber: en.wikipedia.org)

30

edisi #10: Pemerintah

Monumen ini memiliki garis rancangan yang tegas—rencananya menggunakan bahan baja—dan rangkaian elemen yang saling menopang serta membuat gerakan ke atas yang dinamis. Monumen ini juga menunjukkan komposisi asimetris dan menunjukkan gerakan spiral ke atas yang menyimbolkan perubahan masyarakat kearah yang lebih baik, produktif, dan saling menopang; seperti yang Tatlin inginkan bagi masyarakat Rusia di zaman modern.

Selama perang saudara di tahun 1918-1921 para pengikut gerakan Konstruktivisme mulai menggarap ruang publik dengan karya mereka sebagai pengejawantahan ide tentang masyarakat baru. Karena gerakan Konstruktivisme berorientasi ke masa depan atau bersifat futuristik, karya seniman dan perancang menggunakan material baru seperti besi, beton, dan kaca yang menunjukkan kemajuan teknologi. Para seniman dan desainer Konstruktivisme memiliki keinginan menjadikan karya mereka berguna untuk masyarakat. Beberapa seniman dan arsitek juga memiliki hubungan yang dekat dengan para tokoh pelopor sekolah desain modern Bauhaus di Jerman; El Lissitzky misalnya menjadi salah seorang pengajar di Bauhaus.

Di Jerman, pada saat yang hampir bersamaan dengan gerakan Russian avant-garde, terdapat sebuah perkumpulan seniman, arsitek,

dan kalangan industrialis yang disebut denganThe Deutscher Werkbund.

Terbentuknya perkumpulan ini menjadi sebuah momentum penting dalam perkembangan arsitektur modern dan penyatuan antara desain, arsitektur, dan industri. Tujuan awal pendirian perkumpulan yang didirikan pada tahun 1907 di Munich ini adalah menyatukan para profesional di bidang desain dengan kalangan industrialis, sehingga mampu meningkatkan daya saing produk-produk Jerman. Pemerintah sangat mendukung The Werkbund karena selama ini produk-produk Jerman dianggap belum bisa menyaingi produk-negara tetangga seperti Inggris dan Prancis. Sebagai pimpinan pertama The Werkbund adalah Hermann Muthesius yang pernah dikirim pemerintah Jerman ke Inggris untuk mempelajari gerakan Arts and Crafts, serta pengaruh desain terhadap perindustrian di Inggris.

The Deutcher Werkbund juga membuat pameran internasional seperti Cologne Exhibition pada tahun 1914 serta Stuttgart Exhibition pada tahun 1927—yang memamerkan rancangan rumah karya arsitek dunia dengan skala 1:1 atau dikenal dengan Weissenhofsiedlung. Moto dari the Deutscher Werkbund adalah Vom Sofakissen zum Städtebau (dari bantal sofa hingga pembangunan kota), yang mengindikasikan betapa besarnya ambisi Jerman untuk meningkatkan bidang desain, industri dan perdagangan.

31

ruang | kreativitas tanpa batas

Beberapa hal yang dapat kita pelajari dari gerakan Konstruktivisme di Rusia adalah betapa arsitektur mampu mendukung sebuah pemerintahan karena arsitektur merupakan media yang mampu menjangkau semua lapisan masyarakat. Hal ini dikarenakan kesamaan visi antara pemerintah dan para seniman dan desainer serta semangat untuk mengisi sebuah era baru yaitu era modern yang penuh dengan perubahan, perkembangan cepat, dan kemungkinan-kemungkinan baru.

Walaupun monumen buatan Tatlin tidak pernah terealisasi, namun dunia menyaksikan betapa idealisme dari seorang arsitek dapat mencapai lapisan masyarakat yang luas di Rusia, bahkan juga mempengaruhi arsitektur modern melalui keunikannya. The Deutcher Werkbund juga memperlihatkan kerjasama yang kuat antara para profesional dengan pemerintah, sehingga daya saing produk nasional Jerman dapat menjadi lebih baik.

Tanpa kesamaan visi dan kerjasama yang kuat antara seniman, arsitek dan pemerintah maka akan sulit menyatukan daya upaya demi kemajuan bersama.

***

Referensi:

Frampton, Kenneth. Modern Architecture: A Critical History (World of Art). Fourth edition. London: Thames & Hudson, 2007.

Curtis, William J. R. Modern Architecture Since 1900. Oxford: Phaidon Press, Oxford, 1982Wilson, J., 1989. Bureaucracy: What Government Agencies Do And Why They Do It. New York, NY: Basic Books.

Yulia Nurliani Lukito

“Beberapa hal yang dapat kita pelajari dari gerakan Konstruktivisme di Rusia adalah betapa arsitektur mampu mendukung sebuah pemerintahan karena arsitektur merupakan media yang mampu menjangkau semua lapisan masyarakat. ”

ruang | kreativitas tanpa batas

33

SISTEM MULTI-BANDARA DI INDONESIA: TINJAUAN DARI SUDUT PANDANG KEBIJAKAN

Perkembangan radikal transportasi udara menciptakan banyak pemasalahan baru. Sementara itu, pertumbuhan beban lalu lintas udara dan sulitnya mengatasi kelebihan kapasitas menjadi permasalahan terberat di Indonesia. Lalu, bagaimanakah strategi membagi beban kapasitas Jakarta yang menempati posisi ke-12 kota dengan bandara tersibuk di dunia tahun 2014?

ESAI

INDONESIA

Multi-bandara, Kebijakan, Pengembangan kawasan, KKOP

oleh Amalia Defiani

34

edisi #10: Pemerintah

34

edisi #10: Pemerintah

Bandar udara yang disingkat dengan bandara merupakan pintu gerbang suatu daerah atau bahkan negara. Karenanya, peran perencanaan dan desain kawasan bandara akan berpengaruh besar pada pertumbuhan kawasan secara berkesinambungan.

Perkembangan radikal transportasi udara menciptakan banyak pemasalahan baru, seperti kebutuhan atas pengamanan ruang udara atau Kawasan Keselamatan Operasional Penerbangan (KKOP)[1], ketersediaan lahan untuk pengembangan, serta akses menuju area metropolitan [1]. Seiring dengan kondisi area perkotaan yang semakin jenuh, bandar udara mengalami kesulitan dalam pengembangannya. Sistem multi-bandara yang diartikan sebagai kumpulan bandar udara yang melayani lalu lintas (udara) pada suatu area metropolitan dapat menjadi pilihan solusi [2].

Pertumbuhan penumpang domestik dan internasionalPertumbuhan beban lalu lintas udara dan sulitnya mengatasi kelebihan kapasitas menjadi permasalahan terberat di Indonesia. Pada akhir kuartal pertama tahun 2015, pertumbuhan jumlah penumpang baik domestik maupun internasional naik masing-masing sebesar 8,35 persen dan dan 11,86 persen dibanding pertengahan kuartal tersebut [3] .

Gambar 1. Pertumbuhan penumpang domestik kuartal pertama 2015 (dalam persen)(Sumber data: http://hubud.dephub.go.id)

Gambar 2. Pembagian total penumpang domestik kuartal pertama 2015 (dalam persen)(Sumber data: http://hubud.dephub.go.id)

35

ruang | kreativitas tanpa batas

Pada kuartal pertama 2015, terjadi peningkatan jumlah penumpang domestik di beberapa bandar udara pengumpul[2]. Peningkatan yang tertinggi terjadi di Bandar Udara Sultan Hasanuddin, Makassar (Gambar 1). Sementara itu, Bandara Soekarno-Hatta memiliki jumlah penumpang domestik terbesar, yaitu mencapai 1,5 juta orang atau 29,03 persen dari total penumpang domestik (Gambar 2). Angka ini diikuti oleh Bandara Juanda, Surabaya dengan 501,7 ribu orang atau 9,78 persen. Jumlah total penumpang angkutan udara domestik pada saat itu mencapai 15,3 juta orang, atau naik 13,07 persen dari periode sama pada tahun sebelumnya[3].

Sementara itu, pada waktu yang sama, perbandingan persentase pertumbuhan jumlah penumpang internasional di beberapa bandar udara pengumpul juga mengalami peningkatan. Jumlah penumpang terbesar ada pada Bandar Udara Juanda, Surabaya, namun terdapat penurunan persentase pertumbuhan penumpang pada Bandar Udara Ngurah Rai, Bali sebesar 4,86 persen (Gambar 3). Jumlah penumpang internasional terbesar melalui Bandara Soekarno-Hatta mencapai 554,6 ribu orang atau 49,99 persen dari seluruh penumpang internasional, disusul Ngurah Rai sebanyak 316,9 ribu orang atau 28,56 persen (Gambar 4).

Gambar 4. Pembagian total penumpang internasional kuartal pertama 2015 (dalam persen)(Sumber data: http://hubud.dephub.go.id)

Gambar 3. Pertumbuhan penumpang internasional kuartal pertama 2015 (dalam persen)(Sumber data: http://hubud.dephub.go.id)

36

edisi #10: Pemerintah

36

edisi #10: Pemerintah

Membagi beban JakartaJakarta menempati posisi ke-12 kota dengan bandara tersibuk di dunia tahun 2014 (Tabel 1) [4]. Beban simpul lalu lintas udara di Indonesia terpusat di Bandara Soekarno-Hatta didominasi oleh penerbangan domestik, sekitar 88 persen dari total penerbangan[4].

Pada tahun 2010, pertumbuhan penumpang di Bandara Soekarno-Hatta sudah mencapai empat kali lipat jumlah penumpang pada tahun 2000, sekitar 44 juta penumpang per tahun. (Gambar 5) Angka ini jauh melebihi kapasitas terminal yang hanya sanggup menampung 22 juta penumpang per tahun [6]. Kelebihan kapasitas ini mengakibatkan banyak permasalahan baik di sisi darat maupun sisi udara bandara[5].

Kapasitas penumpang dapat ditingkatkan hingga 70 juta penumpang per tahun dengan beberapa strategi, diantaranya penambahan landas pacu ketiga yang dikonfigurasikan secara close-paralel dengan landas pacu utara yang ada, pengembangan terminal 3, dan pembangunan Terminal 4 (lokasi di timur Terminal

Gambar 5. Pertambahan jumlah penumpang di Bandara Soekarno-Hatta (Sumber: JICA, 2011)

Tabel 1. Bandar udara tersibuk di dunia tahun 2014 (dari jumlah total penumpang tahunan) (Sumber: http://www.aci.aero/)

37

ruang | kreativitas tanpa batas

1). Strategi ini sudah dimulai dengan pengembangan Terminal 3, sementara itu pengembangan landas pacu mengalami kesulitan dalam hal pembebasan lahan. Sehingga, muncul keraguan apakah pengembangan bandara yang sudah jenuh bisa memberikan solusi atas kebutuhan penambahan kapasitas. Oleh karena itu, diperlukan solusi lain selain pengembangan di lokasi eksisting.

Sudut pandang kebijakanPada tahun 2010, pemerintah Republik Indonesia menandatangani perjanjian kerjasama dengan Pemerintah Jepang terkait pengembangan kawasan Jabodetabek. Studi rencana induk pengembangan infrastruktur di kawasan ini dibuat oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) dengan sembilan sektor prioritas yang diantaranya terkait fasilitas bandar udara serta rencana induk pengembangan bandara [7]. Salah satu hasil studi JICA menyangkut tidak optimalnya fungsi bandara-bandara sekitar Jakarta untuk penerbangan komersial berjadwal. Hal ini menunjukkan tidak memungkinkannya bandara-bandara terdekat, seperti Halim Perdana Kusuma, Pondok Cabe, dan Curug, untuk menjadi alternatif pengembangan sistem multi-bandara (Gambar 6).

Studi pra-kelayakan yang telah dilakukan oleh JICA bersama dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara pada tahun 2011 menunjuk beberapa kawasan potensial. Diantara hasilnya, alternatif lokasi W tidak sesuai karena konflik ruang udara dan termasuk KKOP. Sementara itu, dengan adanya Undang-Undang nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, maka

Gambar 6. Lokasi bandara-bandara di sekitar Jakarta (Sumber: JICA, 2011)

38

edisi #10: Pemerintah

38

edisi #10: Pemerintah

dengan sendirinya alternatif lahan E2 dan E3 yang merupakan areal persawahan digugurkan sebagai lahan pengembangan. Lahan E1 jelas terletak di area hutan lindung, sehingga tidak bisa dialihfungsikan. Sehingga, yang paling memungkinkan ialah pengalihfungsian area E4 yang sekarang masih berfungsi sebagai kawasan hutan produksi (Gambar 7) [7].

Terkait alih fungsi kawasan lahan hutan produksi, diperlukan justifikasi tertulis dari Kementerian Perhubungan kepada Kementerian Kehutanan perihal penggantian lahan hutan untuk kepentingan umum yang juga akan melibatkan Perum Perhutani. Langkah pertama yang perlu dilakukan yaitu penetapan lokasi oleh Menteri Perhubungan, setelah sebelumnya memasukkan pengembangan wilayah Karawang ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional [8].

Pembangunan bandara baru tersebut direncanakan berkapasitas sekitar 90 juta penumpang per tahun dengan empat landas pacu. Tahapan konstruksi pertama diusulkan dimulai pada tahun 2019 dengan mengakomodasi dua landas pacu

Gambar 7. Lokasi-lokasi alternatif pembangunan bandara baru Jakarta (Sumber: JICA, 2011)

39

ruang | kreativitas tanpa batas

close-paralel dan terminal penumpang dengan kapasitas 30 juta penumpang per tahun. Selain itu, perlu adanya kajian pengaruh Bandar Udara Internasional Jawa Barat (BIJB) di Kertajati, Majalengka, yang direncanakan akan beroperasi pada tahun 2017, kepada lalu lintas yang ada.

Permasalahan utama selain komitmen pemerintah untuk realisasi usulan ini yaitu aksesibilitas dan transportasi intermodal yang memerlukan kajian lebih lanjut. Pembebasan lahan dan kesiapan infrastruktur untuk moda transportasi alternatif mutlak diperlukan sebagai penunjang pengembangan kawasan.

Sudut pandang lainPenerapan sistem multi-bandara juga dapat dilihat dari sudut pandang finansial-ekonomis dan perencanaan infrastruktur. Kombinasi pertumbuhan ekonomi dan teritorial akan menjadi faktor penarik untuk pengembangan kawasan baru bandara. Hal ini akan mendorong setiap pemerintah daerah berlomba-lomba untuk memajukan pertumbuhan perekonomian daerahnya masing-masing.

40

edisi #10: Pemerintah

40

edisi #10: Pemerintah

Evaluasi kelaikan finansial dan ekonomis ini dapat ditinjau dari identifikasi benefits and costs (keuntungan/manfaat dan biaya yang dikeluarkan) juga analisis revenue (pendapatan) dari setiap pengeluaran pada proyek [1]. Dengan adanya proyek ini, penumpang maupun masyarakat sekitar akan mendapat manfaat langsung dan tidak langsung.

Seperti proyek pembangunan lainnya, perencanaan dan desain akan melibatkan banyak faktor teknis. Namun, pertimbangan tentang KKOP (Kawasan Keselamatan Operasional Penerbangan), pembagian area keamanan, dan faktor lingkungan[6] merupakan hal yang spesifik bagi perencanaan bandara. Dalam hal ini perencana dan perancang berperan besar untuk mengembangkan kawasan sesuai dengan identitas daerahnya tanpa mengorbankan fungsi dan kenyamanan. Perencanaan ini dapat menjadi bagian dari suatu sistem multi-bandara yang bersinergi.

Dalam hal perencanaan kawasan, perencana akan bertindak sesuai dengan arahan pemangku kebijakan. Walau selama ini, belum ada keterlibatan pengguna secara langsung terkait kebijakan pengembangan kawasan bandara, dikarenakan rumitnya proses perencanaan bandara itu sendiri. Keterlibatan pihak lain seperti penguasa ekonomi pun belum terlihat langsung pada pengembangan bandara umum, karena saat ini mayoritas pendanaan masih berasal dari sektor publik.

IkhtisarSistem multi-bandara dapat menjadi alternatif untuk mengatasi permasalahan kurangnya kapasitas Bandara Soekarno–Hatta. Hasil studi pra-kelayakan oleh JICA dan Ditjen Perhubungan Udara menyatakan bahwa lokasi ideal untuk pengembangan bandara baru berada daerah Karawang. Untuk menindaklanjutinya diperlukan beberapa pemenuhan seperti penetapan lokasi secara resmi oleh Menteri Perhubungan serta pengalihfungsian lahan. Secara finansial-ekonomis juga diperlukan kajian lebih mendalam terkait benefits and costs juga analisis revenue dari pengeluaran proyek. Dari sudut pandang perencanaan infrastruktur, perencanaan dan desain akan melibatkan banyak faktor teknis namun lebih spesifik kepada faktor keamanan dan keselamatan penerbangan, lingkungan, dan pelayanan.

Catatan kaki[1] Kawasan Keselamatan Operasional Penerbangan (KKOP) dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2009, Pasal 206 tentang Penerbangan.[2] Definisi tercantum pada Peraturan Menteri (PM) 69 tahun 2013, Pasal 17 tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional.

41

ruang | kreativitas tanpa batas

[3] Pada tahun 2014, total penumpang tercatat sebanyak 13,5 juta orang. Jumlah penumpang terbesar ada di Bandara Soekarno-Hatta yang mencapai 4,5 juta orang atau 29,52 persen dari seluruh penumpang domestik diikuti Bandara Juanda sebanyak 1,5 juta orang atau 10,08 persen.[4] Dominasi penerbangan domestik di Indonesia adalah imbas dari maraknya penerbangan berbiaya murah atau LCC (Low-Cost Carrier); untuk referensi lebih lanjut perihal pengaruh LCC pada pasar domestik [5].[5] Bandar udara dibagi menjadi dua bagian secara fungsi pelayanan yaitu sisi udara yang bersinggungan langsung atau dekat dengan pesawat udara (mis: landas pacu, landas hubung, dan landas parkir) dan sisi darat yang berhubungan dengan penumpang dan atau manusia (mis: bangunan terminal penumpang, terminal kargo, bangunan operasional, dll.)[6] Faktor keamanan penerbangan semakin menjadi perhatian sejak kasus 9/11 sedangkan faktor lingkungan adalah isu yang marak seiring dengan tren bangunan hijau dan sustainability (keberlangsungan hidup).

Referensi[1] Horonjeff, R., McKelvey, F. X., Sproule, W. J., dan Young S. B., 2010. Planning and Designing of Airports. New York; Chicago; San Fransisco: McGraw-Hill.[2] de Neufville, R., 1995. Management of Multiple-Airport system: A development strategy. Journal of Air Transport Management, 2 (2), pp. 99-110.[3] Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, 2015. Jumlah penumpang moda transportasi udara meningkat. Informasi Terkini per 5 Mei 2015, tersedia pada alamat: http://hubud.dephub.go.id/?id/news/detail/2549[4] ACI Media Releases, 2015. ACI World releases preliminary world airport traffic and rankings for 2014, tersedia pada alamat: http://www.aci.aero/News/Releases/Most-Recent/2015/03/26/ACI–World-releases-preliminary-world-airport-traffic-and-rankings-for-2014–DXB-becomes-busiest-airport-for-international-passenger-traffic-[5] O’Connell, J. F dan Williams, G., 2005. Passengers’ perceptions of low cost airlines and full service carriers: A case study involving Ryanair, Aer Lingus, Air Asia and Malaysia Airlines. Journal of Air Transport Management, 11(4), pp. 259-272. DOI: http://dx.doi.org/10.1016/j.jairtraman.2005.01.007[6] ITOCHU Corporation, SHIMIZU Corporation, Japan Airport Terminal Co., Ltd., Nikken Sekkei Ltd, Nikken Sekkei Research Institute, and Japan Economic Research Institute Inc., 2012. Study on Soekarno Hatta International Airport Expansion and Upgrading Project in Jakarta in The Republic of Indonesia: Final report. [pdf] diakses dari: http://www.meti.go.jp/meti_lib/report/2012fy/E001969-2.pdf[7] Japan International Cooperation Agency (JICA), 2012. Project for the Master Plan Study on Multiple-Airport Development for Greater Jakarta Metropolitan Area in the Republic of Indonesia: Final Report Summary. [pdf] diakses dari: http://open_jicareport.jica.go.jp/pdf/12067872_01.pdf[8] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah kabupaten Karawang, 2014. Booklet Gambaran Umum Kabupaten Karawang Tahun 2013.

42

edisi #10: Pemerintah

42

edisi #10: Pemerintah

Amalia Defiani

“Sistem multi-bandara dapat menjadi alternatif untuk mengatasi permasalahan kurangnya kapasitas Bandara Soekarno –Hatta.”

KOPI PAGI BERSAMA BAMBANG ERYUDHAWAN : ADA APA DENGAN RUU ARSITEK ?

Melalui sebuah diskusi singkat bersama Yusni Aziz dan Rofianisa Nurdin, Bambang Eryudhawan menuturkan panjang lebar mengenai isi dan proses pengajuan RUU Arsitek Indonesia. Beberapa hal termasuk situasi apa saja yang akan diatur dan liku perjuangan yang telah ditem-puh untuk dapat mengesahkan RUU ini di dalam DPR.

WAWANCARA

INDONESIA

RUU Arsitek, Pasar Bebas, Arsitek dalam Pemerintahan, Kritik Arsitektur

oleh Yusni Aziz dan Rofianisa Nurdin

44

edisi #10: Pemerintah

44

edisi #10: Pemerintah

Pada hari Minggu pagi di kawasan Menteng, jarum jam dinding menunjukkan pukul delapan kurang lima menit saat seorang pria melangkah ringan ke arah kami. Senyumnya lebar, matanya berbinar penuh semangat. Sambil menenteng helm sepedanya, ia lalu menjabat tangan kami satu persatu dengan hangat.

Sosok itu adalah Bambang Eryudhawan. arsitek lulusan ITB yang saat ini turut aktif memperjuangkan RUU Arsitek. Sebelumnya, ia juga pernah menjabat sebagai Anggota Dewan Pimpinan Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI), Ketua IAI Jakarta tahun 2000 – 2006, dan Ketua Tim Sidang Pemugaran DKI Jakarta. Di bidang pengetahuan, ia juga aktif menerbitkan beberapa publikasi, dan salah satu yang teranyar adalah 100 Tahun SD Kartini Semarang (1913 – 2013).

Bambang Eryudhawan. ©RUANG

45

ruang | kreativitas tanpa batas

Dengan banyak pengalaman bergerak bersama pemerintah, kami percaya ia dapat membagi perspektif yang bermanfaat untuk para sahabat mengenai isu tersebut. Singkat setelah menyelesaikan sarapan bersama, kami segera memulai diskusi.

***

YUSNI (Y): Selamat pagi pak Bambang.Kami mempunyai banyak pertanyaan mengenai RUU arsitek. Pertama mengenai kebutuhan Architect’s Act di Indonesia, kenapa itu diperlukan dan apa yang diatur di dalamnya?

BAMBANG ERYUDHAWAN (BE): Hari ini profesi arsitek masih menumpang kepada undang-undang jasa konstruksi untuk sesuatu yang sifatnya mengatur hubungan kerja. Padahal ia termasuk sebagai salah satu profesi kunci. Tahun depan juga sudah mulai masuk pasar bebas ASEAN, dan profesi ini adalah salah satu elemen yang akan diperdagangbebaskan. Kita perlu kuat dan tertib di dalam dahulu supaya bisa bersaing di luar.

Undang-undang arsitek itu adalah kelengkapan, bukan tujuan akhir. Sudah saatnya profesi-profesi kunci di Indonesia tidak hanya dilindungi tetapi juga jelas hak dan tanggung jawabnya.

Selain itu, kita mengharapkan UU arsitek mampu melindungi masyarakat dari praktik-praktik arsitektural yang tidak kompeten. Kami juga ingin memastikan adanya persaingan sehat antara para arsitek yang sudah kompeten. Jadi UU arsitek tidak hanya untuk profesi ini, tetapi juga untuk masyarakat dan negara.

Ujung-ujungnya, kami juga berharap UU ini dapat memberikan semangat untuk arsitektur Indonesia yang lebih berkepribadian di tengah arus global yang makin menyeragamkan karakteristik kota.

Rofianisa (R): Berkepribadian yang seperti apa?

BE: Pasca kemerdekaan, kita mengalami sebuah proses transisi dari masa penjajahan menjadi Indonesia. Nah, becoming atau menjadi Indonesia adalah sebuah proyek raksasa, yang tidak hanya menyangkut politik tetapi juga kebudayaan, dan termasuk arsitektur. Karya anak bangsa tahun 50-an hingga 70-an masih membicarakan menuju arsitektur Indonesia, tetapi saat ini seperti surut berbarengan dengan globalisasi yang makin menguat. Proyek menjadi Indonesia dicemooh, seakan mengada-ada. Padahal itu sangat penting di abad ke-21 ini.

Kemudian kerinduan pada jati diri kita malah kembali terlalu jauh, seperti ke rumah tradisional di Wae Rebo dan Sumatera Barat. Itu bukti bahwa kita kehilangan

46

edisi #10: Pemerintah

46

edisi #10: Pemerintah

orientasi itu. Tidak ada yang salah, tetapi kenapa rujukan karya-karya paruh pertama abad ke-20 diabaikan?

Kita serap saja esensinya. Saya lebih fokus bagaimana semua elemen itu dipadukan menjadi Indonesia. Seperti saat Maclaine Pont melakukan sintesis elemen-elemen arsitektur tradisional Nusantara untuk membangun kampus ITB. Proyek yang kemudian dilanjutkan Silaban dengan pendekatan tropisnya. Saya rasa ini perjalanan yang menarik, dan mudah-mudahan kita kembali ke rel yang sebenarnya, mencari arsitektur Indonesia.

Kembali lagi ke UU arsitek, ia nantinya bersifat melengkapi UU bangunan gedung, jasa konstruksi dan cagar budaya yang terlahir lebih dulu. Perdagangan bebas tidaklah adil, karena semuanya dianggap setara padahal kita masih belum sejajar dengan negara lain. Semoga UU arsitek dapat membantu menciptakan langkah strategis di dalam aspek ini.

Aula Timur ITB oleh Henri Maclaine Pont. ©Joko Sarwono

47

ruang | kreativitas tanpa batas

Y: Ada 2 pasal dalam draft UU arsitek yang sangat jelas mengatur arsitek asing itu siapa, dan sanksi pelanggarannya. Dalam architects’ act Singapura tidak tercantum pasal-pasal yang mengatur arsitek asing sedetail itu. Apakah itu adalah bentuk kontrol arsitek asing yang akan masuk ke Indonesia?

BE: Asumsi saya mungkin di Singapura hal itu telah diatur dalam UU ketenagakerjaan. Sementara kita masih suka khawatir dalam masalah kontrol. Seperti di Bali misalnya, hampir tidak ada kontrol bagaimana arsitek asing dapat beroperasi. Padahal sudah ada PEMDA. Nah, berbeda dengan Singapura yang sudah mapan, kita masih banyak bocornya. Jadi pasal-pasal tersebut bertujuan untuk menambal kemungkinan yang akan terjadi. Sebenarnya bisa ditekankan di UU keimigrasian dan ketenagakerjaan, tetapi kami ingin menguatkan itu kembali.

Saya percaya untuk menghadapi pasar bebas, kita harus memperbanyak jumlah arsitek yang kompeten. Tetapi di sisi lain saya juga berharap dapat mengurangi jumlah sekolah arsitektur. Mereka sudah terlalu banyak, susah dikontrol. Akhirnya siapa saja bisa menjadi arsitek. Masih lebih banyak jumlah sekolah arsitektur di Indonesia daripada Amerika. Kita ingin sekolahnya sedikit saja, tetapi berkualitas dan memenuhi rasio. Semoga UU ini juga bisa mengarahkan ke kualitas dan jumlah sekolah arsitektur.

Y: Jadi ada rencana untuk mengaitkan UU arsitek dengan sistem edukasi arsitektur?

BE: Ada, salah satunya kami menyebutkan prerequisite arsitek ke depan adalah pendidikan selama 5 tahun. Tetapi kita tidak mengelaborasi lagi, kami akan menyerahkan itu ke mereka yang mengurusi pendidikan.

Y: Terkait dengan jumlah sekolah arsitektur, apakah Indonesia saat ini sudah terlalu banyak arsitek jika dibandingkan dengan jumlah penduduk atau sebenarnya masih kurang?

BE: Terlalu banyak arsitek, tapi terlalu sedikit yang kompeten. Nanti di UU arsitek akan dijelaskan siapa yang disebut sebagai arsitek. Kata arsitek akan dilindungi, not everybody can declare himself or herself as an architect, Jadi kalau tiba-tiba ada orang mengaku sebagai arsitek nanti akan ditanyai, “Kamu arsitek ? Coba lihat bukti-buktinya!”. Jika ternyata tidak memenuhi syarat, akan dipidana. Tapi tentu penegakannya tidak akan mudah. Negara ini luas, penduduknya banyak, masih banyak toleransi di dalam kultur. Namun cita-cita yang kami harapkan adalah seperti itu.

R: Lantas, apa sudah ada strategi untuk melindungi kata “arsitek” tersebut?

48

edisi #10: Pemerintah

48

edisi #10: Pemerintah

BE: Ide banyak, tetapi masih belum ada yang konkrit. Nanti akan institusi baru bernama “Dewan Arsitek”. Itu merupakan lembaga yang akan menetapkan siapa arsitek dan siapa yang bukan. Nanti juga mereka yang akan mengurusi pengaduan arsitek gadungan, dan bisa juga mempidanakan.

Y: Tetapi kemudian yang dikatakan tidak kompeten dalam berpraktik arsitektur itu kategorinya seperti siapa saja?

BE: Nanti dewan arsitek akan mengeluarkan surat tanda registrasi arsitek yang merupakan muara seorang calon arsitek setelah bersekolah 5 tahun, magang 2 tahun dan mengikuti ujian. Jika sudah menempuh itu, dan lulus, maka merekalah yang kompeten.

Perlu distrategikan dua tingkat kualitas, satu yang memenuhi standar internasional, satu lagi yang cukup memenuhi kebutuhan pasar domestik. Seingat saya Tiongkok menerapkan sistim itu. Tetapi bayangkan jika semua diharapkan di level yang sangat tinggi itu, misalnya mau bikin rumah tinggal di Kediri atau Ngawi dan konsumennya masyarakat menengah ke bawah. Why bother talking about urban design? Kita buat aturan setempat saja. Takutnya jika standarnya terlalu tinggi, jumlah tidak akan tercapai. Yang berarti supply-demand juga tidak bertemu. Jika tidak bertemu, nanti banyak praktik gadungan lagi. Jangan sampai itu terjadi.

Y: Kalau begitu bagaimana dengan situasi architecture without architects, orang-orang yang membangun dan merenovasi rumah sendiri. Apakah ada kontrol, karena bagaimanapun itu juga berdampak pada wajah kota?

Situasi pembangunan yang tidak menggunakan arsitek juga menjadi topik pembahasan UU Arsitek. ©Rahayu Basuki

49

ruang | kreativitas tanpa batas

BE: Banyak variasi di berbagai negara mengenai pengaturan pembangunan oleh non-arsitek, namun kami masih belum menemukan formula yang paling sesuai. Misalnya ada yang mengatakan jika rumahnya tidak lebih dari 200 meter persegi bisa dibangun oleh non arsitek. Tetapi jika sifatnya sudah bangunan publik, kompetensi menjadi sebuah keharusan.

Dan kemudian jika ada sekelompok non arsitek membuat desain, mungkin ada fase dimana arsitek kompeten mengintervensi untuk menilai apakah usulan mereka sudah memenuhi syarat keselamatan, kesehatan, dan sebagainya sesuai dengan UU bangunan gedung. Jadi ia tidak harus ada dari awal, tetapi bisa hadir di fase akhir sebagai pengurus perijinan sekaligus penanggung jawab.

R: Lantas, mengapa UU arsitek itu belum jadi sampai sekarang? Apa yang terjadi dalam prosesnya?

BE: Permasalahannya adalah masih banyak persepsi apakah arsitek harus diformalkan? Karena itu dukungan juga masih belum terlalu banyak dari orang pemerintahan. Ya, rencananya harusnya tahun ini sudah jadi karena kita sudah masuk MEA, pasar bebas ASEAN. Kawan-kawan dari luar juga sudah dilindungi oleh UU di negaranya masing-masing.

Y: Sudah berapa lama proses pembuatan RUU ini?

BE: Jika dari penggodokan ide, ada kawan senior bilang sudah dimulai sejak akhir 80-an. Proses mulai menyadari bahwa kita perlu. Kemudian tahun 1998 muncul UU Jasa Konstruksi dan 2002 lahir UU bangunan gedung.

Secara serius kami membicarakannya di DPR baru tahun 2004. Sebelumnya hanya wacana, tidak menjadi konkrit. Dalam perjalanan kami sering gagal, karena materi yang belum matang dan diantara arsitek juga banyak perbedaan pendapat. Seperti ada yang ingin memasukkan arsitektur tradisional di dalamnya, padahal UU ini kan lebih fokus pada siapa arsitek dan siapa yang bukan.

Y: Tapi lambatnya proses ini apakah juga karena minimnya arsitek yang bergerak di bidang pemerintahan?

BE: Tidak ada hubungannya menurut saya. Saya pikir lebih kearah minimnya persepsi pemerintah terhadap pentingnya peran arsitek dan arsitektur.

Untuk arsitek di dalam pemerintahan, saya kurang tahu jumlahnya karena tidak ada data valid yang menjelaskan. Tetapi minimal beberapa arsitek sudah menjadi walikota seperti bu Risma dan pak Ridwan Kamil. Sekarang di Departemen Pekerjaan Umum juga sudah banyak arsitek, bahkan ada yang mengambil S2

50

edisi #10: Pemerintah

50

edisi #10: Pemerintah

untuk jenjang jabatan. Tapi harapannya tentu kita harap lebih banyak yang ada di pemerintahan agar bisa mempengaruhi pengambilan keputusan dan kebijakan yang ikut meningkatkan peran arsitek dan arsitektur bagi kesejahteraan masyarakat.

R: Kemudian untuk sistem lelang dan tender apakah ada yang perlu diperbaiki dari sisi pemerintahan?

BE: Ada. Sistem lelang kita umumnya memandang sebagai beli gambar, bukan beli ide. Padahal gambar itu kan hanya representasi dari ide. Hitungannya jadi lembar. Makanya usul kami jika ide itu harusnya kontrak bayaran lump sum. Jadi misalnya, “Ok, proyeknya ini. lump sum, 2 miliar ya?”

Saya pernah membantu sebuah perusahaan mencari arsitek asing untuk proyek mereka. Ada biro arsitek kelas dunia dari Inggris yang mengajukan angka sekitar 8 juta USD, ada pula dari Belanda mengajukan sekitar 2 juta USD dan dari Amerika sekitar 2,5 juta USD. Disini kan terbukti bahwa setiap arsitek pendekatannya berbeda-beda. Jadi sebaiknya fee arsitek dicari standar minimumnya, di atas itu boleh, di bawah itu tidak. Sementara sekarang mereka ingin serendah mungkin, bahkan gratis lebih bagus. Itu tidak boleh.

Arsitek yang sedang atau pernah menjabat sebagai walikota di Indonesia. Kiri ke kanan: Fauzi Bowo (Jakarta 2007 – 2012), Tri Rismaharini (Surabaya, 2010 – 2021), Danny Pomanto (Makassar, 2014 – 2019), Ridwan Kamil (Bandung, 2013 – 2018). Sumber: berbagai sumber.

51

ruang | kreativitas tanpa batas

Dalam kontrak lelang itu ditulis lump sum saja. Jadi misalnya ketika ide dituangkan sampai tahap, misalnya preliminary design, ya lump sum saja. Tidak usah menghitung berapa orang yang terlibat, berapa kali pengeluaran ATK, transportasi, dan sebagainya. Pendekatan tiap tim arsitek berbeda-beda. Harusnya gambar dikasih, misalnya tahap pra-rencana, serah terima, sudah.

Lump sum itu bukan berarti arsitek ingin kaya, we just want to say that ideas are the priority, bukan barang gambar yang diproduksi lewat kalkir, print dan sebagainya. Arsitek mudah-mudahan bisa lebih dihargai karena ide itu mahal. Sekarang mereka melihatnya, “Kok tipis banget ini gambar?”. Dia tidak melihat kontennya.

Y: Kemudian, RUU arsitek menyebutkan bahwa ultimate client-nya adalah masyarakat. Jadi menurut bapak bagaimana peran arsitek seharusnya terhadap masyarakat ?

BE: Untuk membangun dunia arsitektur yang baik itu tidak bisa dilakukan sepihak. Dengan demikian, orientasi super client-nya itu masyarakat sudah tentu otomatis. Ya tentu dalam aspek tertentu saat keterlibatan pengguna menjadi minim, mungkin kebebasan arsitek jadi lebih besar. Tapi apalah artinya eksplorasi itu kalau kemudian tidak direspon positif oleh penggunanya juga. Akibatnya dia menjadi barang asing juga.

Saat menara Eiffel baru dibangun, semuanya protes. Minta dibongkar setelah eksposisi selesai. Ditunggu-tunggu kok tidak dibongkar juga, alasannya untuk menara telekomunikasi. Tapi pelan-pelan masyarakat melihat, “Akhirnya bagus juga ya?”. Menara Eiffel itu bukti bahwa persepsi masyarakat bisa berubah juga.

Meskipun ada juga yang indah tapi matinya cepat. Seperti kedutaan Perancis karya Suyudi, yang dibongkar. Bagus, tetapi pemiliknya bilang sudah kekecilan. Mau bagaimana lagi? Jadi arsitektur ada yang bernasib baik dan buruk. Dan terkadang itu di luar kehendak arsitek.

Tapi ujung-ujungnya arsitektur tentu menyumbangkan elemen ke kota, baik dia bagus maupun jelek. Akhirnya bukan kesalahan pemerintah kota sepenuhnya, karena kita juga mungkin yang memiliki taste yang jelek. Kita juga yang mendatangkan bukan?

Kita butuh diskursus. Di Singapura, jika ada proyek besar langsung masuk headline koran. Kalau di Indonesia hanya sebagai iklan. Jika ada artikel itu juga cuma sekedar DPR membangun gedung baru, tetapi tidak ada usaha untuk membangun opini masyarakat tentang arsitektur dari segi kelebihan dan kekurangannya. Akhirnya persepsi masyarakat, arsitektur itu ya iklan. Komoditas, bukan bagian dari kebudayaan.

52

edisi #10: Pemerintah

52

edisi #10: Pemerintah

Arsitek juga dinilai seperti itu. Kamu orang sewaan kapitalis, bukan agen perubahan yang membawa misi kebudayaan. “Arsitek? Oh, yang bikin apartemen?” begitu. Makanya kehadiran ARKOM jadi penting untuk membuka wacana bahwa arsitek tidak hanya mengurusi yang komersial dan mewah saja.

Nah lucunya, kemudian yang disebut arsitektur berbudaya adalah yang dari masa lalu. Kalau tidak yang tradisional, ya kolonial. Yang baru tidak berbudaya, karena persepsinya komersial. Tiba-tiba terbentuk saja dua dunia di dalam arsitektur. Itu mungkin karena kita tidak pernah membicarakan arsitektur kontemporer dalam konteks budaya, jadi ia kehilangan kualitas budayanya. New York Times memiliki kolom kritik arsitektur yang selalu jalan setiap minggu. Koran kita, kenapa tidak membangun tradisi itu?

Review dari kritik arsitektur ternama, Michael Kimmelman, terhadap karya Steven Holl untuk New York Times. ©Stevenholl.com

53

ruang | kreativitas tanpa batas

Kenapa fashion dan makanan kita obrolin tiap minggu, tetapi arsitektur tidak? Arsitektur lebih permanen, lebih banyak pengaruhnya kepada kota baik secara visual maupun fungsi. Arsitektur perlu dibicarakan dalam ranah budaya.

Karena kita tidak memahami arsitektur dan kota sebagai aset budaya, kita diam saja ketika terjadi public crime. Seperti ketika trotoar yang merupakan aset publik karena dibangun dengan anggaran publik, kenapa suka dibongkar oleh PDAM? Kita maklumi saja, karena kita berpikir nanti akan dibetulkan lagi. Tetapi tetap saja akhirnya tidak pernah bagus kembali.

Y: Semisalnya tuntutan publik mengenai kota sebagai aset publik dan budaya apakah dapat memungkinkan untuk menang di Jakarta?

BE: Sayangnya hukum kita dalam konteks pengadilan masih tidak mengerti arsitektur, ruang publik dan rencana kota. Ada kasus yang parah saat saya masih menjadi ketua IAI Jakarta. Saya diminta menjadi saksi ahli di saat salah satu anggota kami, seorang arsitek, tidak dibayar padahal sudah mengerjakan gambarnya. Hakimnya bertanya ke saya, “Saya mau tanya. Ini ada pekerjaan, terus tidak dibayar karena klien mengembalikan gambarnya. Ya sudah, kan harusnya tidak perlu dibayar toh?”

Lah ini bagaimana? Memang ini beli tempe, saya engga jadi makan, jadi tidak usah bayar! Ya akhirnya hakim memenangkan klien dengan asumsi itu. Hakim masih berpikir bahwa arsitektur itu gambarnya, bukan ide dan proses pengerjaannya. Karena itulah, saya selalu yakin pekerjaan rumah kita masih banyak untuk pendidikan arsitektur untuk publik.

Bambang Eryudhawan

“Arsitektur lebih permanen, lebih banyak pengaruhnya kepada kota baik secara visual maupun fungsi. Arsitektur perlu dibicarakan dalam ranah budaya. ”

KOMUNIKASI POLITIK MEDIA SOSIAL

Keterhubungan ini membuka komunikasi dua arah. Individu tidak lagi sebatas konsumen informasi, namun berpeluang untuk memproduksinya. Salah satu modanya adalah berpendapat dan berorasi di media sosial. Namun, apakah implikasi dari kecepatan pola konsumsi-produksi ini terhadap isi informasi dan keterlibatan politik penggunanya?

ESAI

INDONESIA

Media sosial, Komunikasi politik, Ruang publik

oleh Ivan Nasution

56

edisi #10: Pemerintah

Koneksi internet membuat “dunia ini mengecil” dengan menghubungkan individu tanpa batas ruang dan waktu. Keterhubungan ini membuka komunikasi dua arah. Individu tidak lagi sebatas konsumen informasi, namun berpeluang untuk memproduksinya. Salah satu modanya adalah berpendapat dan berorasi di media sosial. Gegap gempita pemilu presiden 2014 di Facebook, misalnya, dianggap sebagai momen kebangkitan keterlibatan politis netizen muda Indonesia. SocialBaker mencatat 40,8 juta interaksi seputar pemilu dalam bentuk like, komentar, dan share [1]. Kampanye daring membludak karena kecepatan produksi dan konsumsi informasi melalui moda ini.

Evolusi Komunikasi Politik Media DijitalKomunikasi politik di media sosial berjejaring (khususnya Facebook) dipermudah oleh keterhubungan citra visual, tekstual, dan verbal. Komunikasi politik dalam hal ini berarti cara menyampaikan pesan politis atau berpolitik dengan mempengaruhi orang lain. Komunikasi sendiri berarti mekanisme perpanjangan informasi, pemikiran dan/atau kekuasaan.

Televisi (TV), yang juga mampu menghadirkan ketiga citra tadi, merupakan salah satu instrumen perpanjangan kuasa yang berpengaruh di Indonesia sejak 50 tahun lalu. Perkembangan komunikasi politiknya dapat dibagi dalam tiga fase, sebagai (1) corong negara, (2) corong pasar, dan (3) corong pengusaha. Kehadiran media sosial menambahkan fase lain sebagai (4) corong individu. Hal ini tentu mempengaruhi perubahan isi informasi, rezim, publik, dan ruang komunikasi antara rezim dan publik.

Namun, apakah implikasi dari kecepatan pola konsumsi-produksi ini terhadap isi informasi dan keterlibatan politik penggunanya?

57

ruang | kreativitas tanpa batas

Media Televisi sebagai Corong NegaraTelevisi Republik Indonesia (TVRI) berdiri sebagai “sebuah instrumen komunikasi [Orde Lama] dalam pembangunan mental, spiritual, dan fisik… bangsa Indonesia… [yang] sosialis.” (KEPPRES No. 27 tahun 1963). Setelah Orde Lama tumbang, Orde Baru mengarahkan TVRI untuk memajukan persatuan dan kesatuan nasional, stabilitas nasional, dan stabilitas politik [2]. Terlepas dari perbedaan fundamental kedua orde, ia tetap berfungsi sebagai corong untuk mencangkok ideologi dan mempropagandakan tujuan nasional. Pemberitaan menjadi tayangan dogmatis sebagai usaha penyamaan persepsi.

Publik terdefinisi secara abstrak, bangsa. Pemerintah, melalui TVRI, merasa bertanggung jawab sebagai “ayah” untuk menyaring informasi dan mendidik massa yang “masih bodoh” [4]. Ruang yang terbentuk bersifat patriarkis dan searah. Fakta yang disebar berupa wacana keberhasilan kebijakan pemerintah, hasil pembangunan, ataupun diskusi antara para petani dan nelayan dengan presiden [3].

Media Televisi sebagai Corong PasarKebosanan terhadap kualitas acara TVRI menstimulasi beberapa pengusaha di lingkaran pemerintahan untuk menginisiasi saluran televisi swasta guna menghadirkan hiburan alternatif yang “berkualitas”. Di akhir 80-an, Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) milik anak presiden Soeharto, Bambang Trihatmodjo, memulai siaran komersial pertamanya di Jakarta. Hal ini diikuti oleh kemunculan stasiun TV swasta lainnya.

Pada awal kemunculannya, isi siaran TV swasta selalu berada dalam pengawasan TVRI. Mereka diwajibkan untuk melaporkan muatan acara secara berkala (KEPMENPEN RI No. 111 tahun 1990). Sementara itu, hak pewartaan berita eksklusif milik TVRI, yang lain hanya berkewajiban untuk merelainya pada waktu yang bersamaan. Walaupun begitu, TV swasta menemukan celah dengan menarasikan informasi dalam bentuk tuturan (features) dan reportase penyelidikan [5]. Publik terekspos dengan realita “kebakaran di daerah kumuh yang bakal didirikan kondominium, pemogokan para

58

edisi #10: Pemerintah

buruh, demo mahasiswa dan LSM di gedung DPR/MPR, pembunuhan, banjir, atau kasus-kasus pengadilan [6].”

Ruang komunikasi yang dimonopoli TVRI melemah oleh beragam alternatif fakta dan siaran hiburan. TV swasta berlomba-lomba menarik penonton dengan memberikan program yang mereka minati. Ketertarikan ini memberi timbal-balik rating sebagai daya tawar bagi pihak ketiga untuk memasang iklan. Publik dibombardir oleh hiburan dan iklan yang menawarkan berbagai komoditas dan standar gaya hidup baru. Ruang komunikasi dogmatis beralih menjadi ruang transaksional antara pembeli dan penjual.

Media sebagai Corong PengusahaPengunduran diri Presiden Soeharto pada Mei 1998 meruntuhkan otoritas pemerintah terhadap fakta. Relai berita TVRI seketika dihentikan dan UU penyiaran no. 32 tahun 2002 secara resmi menghapus kewajiban tersebut. Pemerintah, melalui TVRI dan Badan Pertimbangan dan Pengendalian Penyiaran Nasional (BP3N), tidak lagi menguasai dan mengendalikan informasi. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang tersusun oleh warga negara kompeten yang netral (non-partisan dan non-media) mengambil alih fungsi ini. Hak, kewajiban, dan tanggung jawab publik untuk mengawasi dan mengembangkan kualitas penyiaran terdefinisi dengan lebih jelas.

Walaupun begitu, pemain TV swasta tidak banyak berubah. Raja-raja media yang tumbuh sejak Orde Baru masih menguasai sebagai pemilik, penyandang dana, pemegang saham, atau “tangan tak terlihat” [7]. Pergantian orde membuat intervensi pemerintah melemah dan regulasi berpihak pada pengusaha TV. Mereka semakin tidak terkendali, Oligopoli terjadi. Beberapa pengusaha memiliki lebih dari satu stasiun TV. Misalnya, PT Media Nusantara Citra (MNC) milik Hary Tanoe menguasai RCTI, TPI, dan Global TV; PT Trans Media Corporation milik Chairul Tanjung menguasai Trans TV dan Trans7; atau PT Cakrawala Andalas Televisi milik Anindya Bakrie menguasai ANTV dan TV One.

TV swasta seolah memiliki kendali akan “fakta” dan menyesuaikannya dengan pandangan politik pemiliknya. Terjadi aliansi antara penguasa media dan kekuatan politik. Surya Paloh (pemilik Metro TV) dan Aburizal Bakrie (ayah Anindya Bakrie), misalnya, memanfaatkan stasiun TV miliknya dalam kampanye presiden di tahun 2004 dan 2009 untuk mewakili kepentingan golongan. Pada kampanye presidensial 2014 pun, beberapa stasiun TV swasta terlihat sengit membeberkan “fakta” pro-kontra calon presiden unggulannya dengan kadar yang berbeda, bahkan hasil pemungutan suara resmi sempat berbeda.

59

ruang | kreativitas tanpa batas

Fakta tidak lagi tunggal, tetapi majemuk sesuai dengan TV yang memberitakan. Publik dibingungkan dengan realitas yang simpang siur. Ruang transaksional berubah menjadi ruang pembentukan opini yang semakin menyegmentasi publik. Kecurigaan publik terhadap netralitas TV swasta muncul. Dan mereka mencari alat komunikasi politik alternatif, sebagian menemukan media sosial berjejaring sebagai salah satu opsi tandingannya.

Media Jejaring sebagai Corong IndividuPenetrasi ponsel cerdas (smart phone) membuat media sosial mudah dijangkau oleh sebagian besar penduduk di Indonesia. Di tahun 2014, sekitar 23% dari jumlah populasi menggunakan ponsel cerdas [8], sementara itu pengguna media sosial berjejaring Facebook mencapai 69 juta jiwa [9]. Dengan angka yang signifikan, Facebook memiliki massa kritis untuk membuatnya fungsional. Massa ini terikat kontrak sosial secara elektronik sebagai warga.

Gambar 1. Media sosial berjejaring ©Ivan Nasution

60

edisi #10: Pemerintah

Facebook menitikberatkan pada keautentikan warganya dalam memproduksi dan mendistribusikan muatan (content) melalui jejaring “teman”. Setiap warga memiliki hak suara untuk berbagi berita, menyatakan opini, atau mengungkapkan emosinya yang membentuk informasi. Setelah berjejaring, ia dapat menyebarluaskannya, dan ditanggapi oleh jejaringnya menjadi informasi baru. Setiap individu berpeluang berkomunikasi politik dengan mengonsumsi dan memproduksi informasi.

Ada dua komponen utama Facebook yang terkait dengan komunikasi politik, yaitu wall dan newsfeed. Wall merupakan “ruang” privat individu untuk berekspresi, sementara newsfeed berisi informasi publik. Kedua komponen ini saling mempengaruhi. Kecuali pengaturan standar diubah, informasi yang diproduksi di wall akan muncul secara otomatis di newsfeed. Hal ini menjadikan Facebook menjadi sebagai sebuah panggung tempat mendengar-melihat dan didengar-dilihat, sebuah ruang penampakan. Ruang publik di Facebook akhirnya berisi agregat ruang-ruang privat individu-individu yang menginvasinya. Kota Facebook menjadi “a collective shield or armor plate, an extension of the castle of our very skins” [10].

Individu dalam dunia Facebook direpresentasikan oleh sebuah avatar, sebuah persona. Individu membangun keunikan personanya dengan mengoleksi “citra” – potongan-potongan informasi di wall. Hal ini terkait dengan aktivitas yang dilakukan, informasi yang dibaca, opini yang disampaikan, hingga preferensi dalam kehidupan sehari-hari – misalnya, musik, film, atau makanan. Penggalan-penggalan ini membentuk sebuah gambaran ideal seorang individu yang ingin ditampilkan kepada individu lain.

Dengan hadirnya persona, definisi rezim, publik, dan ruang relasi diantaranya dipertanyakan ulang. Rezim, oleh media ini, tidak lagi dipandang sebagai satu badan dengan satu suara, namun terpenggal-penggal persona per persona. Begitu pula publik yang makin tersegmentasi menjadi individu-individu unik. Fokus pandangan politik beralih dari ideologi yang diusung golongan menjadi citra yang dibawa oleh seorang persona. Komunikasi dua arah juga membuat ruang relasi antara publik dan rezim menjadi intim dan personal.

Walaupun berwujud ideal, citra hanyalah sebuah representasi yang memiliki jarak dengan realita. Representasi memiliki cacat dengan berasumsi bahwa tanda dan realita itu sebanding – apa yang diperlihatkan citra merupakan realita [11]. Padahal,

61

ruang | kreativitas tanpa batas

citra akan mendegradasi realita dalam empat tahap: (1) ia akan mencerminkan realita, (2) menutupi dan menyalahgunakan realita, (3) menutupi ketidakhadiran realita, dan akhirnya (4) citra tidak menanggung realita tadi dan menjadi simulakra sejati.

Simulakra adalah salinan tanpa aslinya, sehingga ia tidak memiliki tempat dalam realita. Simulakra tidaklah menutupi kebenaran, tetapi menampilkan kebenaran yang tidak ada. Dalam bahasa populer, simulakra hampir bermakna serupa dengan “hoax” – kebohongan yang dirupa sebagai kebenaran.

Simulakra telah ramai didiskusikan semenjak hadirnya televisi dan konsumerisme massal sebagai alat propaganda. Sepotong fakta yang dibungkus opini dapat menjadi tajuk utama di layar kaca. Atau, sepotong realita yang diberitakan secara berlebihan dapat mengubur realita lain di saat bersamaan. Ia menciptakan “hiperrealitas” –realita yang lebih nyata dari realitanya itu sendiri.

Simulakra menjadi lebih kompleks ketika sebuah proses penyalinan dan penyebaran dapat berlangsung dengan cepat, misalnya, pada media sosial berjejaring. Walaupun ada kesempatan, ternyata hanya 1% penggunanya yang secara aktif memproduksi muatan, sementara itu 9% berinteraksi dengan muatan tadi dan 90% lainnya merupakan pembaca pasif [12]. Interaksi ini pun tumpang tindih antara muatan orisinal individu dan yang bersumber dari media massa, atau campuran keduanya. Hiperrealita media massa dapat dipercepat proses simulakranya oleh jejaring. Ataupun sebaliknya, muatan dari individu yang belum diverifikasi dapat langsung dikutip sebagai opini publik. Keduanya saling meminjam “fakta” dari yang lain.

EpilogMedia sosial hanyalah sebuah katalis yang memberi keleluasaan untuk memelihara weak ties – hubungan pertemanan yang efektif untuk penyebaran informasi, namun lemah dalam mengembangkan ikatan modal sosial [13]. Ruang komunikasi, mungkin, tidak lagi didominasi oleh corong negara, pasar, atau pengusaha. Mereka hadir beriringan dan tidak saling mengeliminir. Ruang corong individu pun tak luput dari masalah kesubjektivitasan yang dapat mempertajam friksi antar individu atau antara individu dengan rezim yang lebih personal dan emosional – antara kami dan kalian. Antara kubu pro-Jokowi dan kubu pro-Prabowo, kubu anti-Jokowi dan

62

edisi #10: Pemerintah

anti-Prabowo, kubu Islam Liberal dan anti-Islam Liberal, antara pro-ASI dan pro-Susu Formula. Masih perlu waktu agar bijak dalam menggunakan media ini sebagai alat komunikasi politik.

Kemudahan penyebaran dan berpartisipasi juga membawa clicktivism – rasa aktivisme dengan klik, misalnya, sebuah petisi daring. Situs change.org mengklaim 6 kemenangan besar petisi di tahun 2015, termasuk pengunduran diri ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akibat pelanggaran kode etik. Namun, petisi belum memiliki kekuatan hukum sehingga tidak mewajibkan pemerintah untuk merespon dan hanya mampu memberi tekanan moral dan penggiringan opini publik. Pada September 2015, Uber, sebuah perusahaan transportasi daring asal Amerika yang mempertemukan persediaan dengan permintaan mobilitas, meluncurkan petisi untuk “melawan” aksi penertiban hukum oleh pemerintah. Sekitar 25,000 orang setuju dengan argumen bahwa ribuan orang akan kehilangan pekerjaan dan alternatif transportasi. Sementara itu, menurut pemerintah, Uber belum berizin resmi beroperasi sehingga lolos pajak dan tak mengasuransikan penumpangnya. Hal ini menyamarkan pembelaan keberadaan komuter sosial atau cair hukum terhadap hal yang menguntungkan pribadi dengan dalih terbatasnya ketersediaan transportasi umum.

Kecepatan produksi-konsumsi memberikan tekanan kepada aktualitas informasi. Publik seolah tidak diberikan waktu untuk merefleksikan informasi, karena akan selalu diperbaharui. Individu menjadi reaktif untuk menyuarakan opininya dengan segera. Opini mengalahkan verifikasi. Fakta tak lagi menjadi dogma milik pemerintah atau transaksi pengusaha, melainkan berada di tangan individu. Karenanya, kita dituntut lebih kritis dan skeptis terhadap informasi dengan: (1) mempelajari isi berita, (2) memeriksa keutuhan informasi, (3) mengenali sumbernya, (4) mengevaluasi bukti-bukti yang ditawarkan, (5) menyelidiki kemungkinan penjelasan lain, dan (6) menanyakan kegunaan informasi tersebut [14].

Kecepatan arus informasi malah mempersulit kejelasan sebuah fakta yang harus disaring dari opini, emosi, dan fakta lain yang mengalihkan. Fakta identik dengan paradoks kucing Schrodinger yang tidak akan benar-benar nyata sebelum kita membuka kotaknya dan melihat sendiri bahwa kucingnya hidup atau mati.

63

ruang | kreativitas tanpa batas

Referensi[1] Noviandari, L., 2014. “Facebook temukan 200 juta perbincangan seputar pemilu presiden 2014 di Indonesia.” TechinAsia [online] 11 Juli. Diakses dari: https://id.techinasia.com/facebook-temukan-200-juta-perbincangan-seputarpemilu-2014-indonesia/ [Diakses 2 Oktober 2015].[2] Alfian and Chu, G. C., 1981. Satellite Television in Indonesia. Jakarta: LEKNAS/LIPI.[3] Panjaitan, E. L. dan Iqbal, D., 2006. Matinya Rating Televisi. Jakarta: Yayasan Obor.[4] Anderson, B. R. O’G., 1972. “The Idea of Power in Javanese Culture.” Dalam Culture and Politics in Indonesia, ed. Claire Holt. Ithaca, N.Y.: Cornell University Press.[5] Depari, E. 1996. “Trend Jurnalistik Elektronika.” Dalam Profil Pers Indonesia: 50 Tahun PWI Mengabdi Negeri. Semarang: Citra Almamater.[6] Wardhana, V., 1997. Kapitalisme Televisi dan Strategi Budaya Massa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.[7] Ida, R., 2011. “Reorganisation of Media Power in Post-authoritarian Indonesia: Ownership, Power and Influence of Local Media Entrepreneurs.” Dalam Politics and the Media in Twenty-first Century Indonesia, eds. Krishna Sen dan David T. Hill. London dan New York: Routledge.[8] Nielsen, 2014. “The Asian Mobile Consumer Decoded.” Nielsen [online] 14 Januari. Diakses dari: http://www.nielsen.com/ph/en/insights/news/2014/asian-mobile-consumers.html [Diakses 2 Oktober 2015].[9] Purnell, N., 2014. “Facebook Users in Indonesia Rise to 69 Million.” WallStreetJournal [online] 27 Juni. Diakses dari: http://blogs.wsj.com/digits/2014/06/27/facebook-users-in-indonesia-rise-to-69-million/ [Diakses 2 Oktober 2015].[10] McLuhan, M., 2001. The Medium is the Massage. Great Britain: Allen Lane The Penguin Press.[11] Baudrillard, J. 2002. Jean Baudrillard: Selected Writings. California: Stanford University Press.[12] Marichal, J., 2012. Facebook Democracy. Farnham dan Burlington: Ashgate.[13] Gladwell, M., 2010. “Small Change: Why the revolution will not be tweeted.” The New Yorker [online] 4 Oktober. Diakses dari: http://www.newyorker.com/magazine/2010/10/04/small-change-malcolm-gladwell [Diakses 2 Oktober 2015].[14] Kovach, B., 2010. Blur. New York: Bloomsbury USA.

64

edisi #10: Pemerintah

Ivan Nasution

“Kecepatan produksi-konsumsi memberikan tekanan kepada aktualitas informasi. Individu menjadi reaktif untuk menyuarakan opininya dengan segera. Opini mengalahkan verifikasi.”

PRAKTEK BERARSITEKTUR : SEBUAH KRISIS JATI DIRI

Dalam perjalanannya di London, penulis mempertan-yakan dimanakah seharusnya arsitek mengambil posisi dalam pembangunan kota yang terus terjadi. Apakah arsitek harus selalu menjadi suporter visi pembangunan pemerintah ? Atau dapatkah arsitek menjadi penengah di antara pemerintah dan warganya ?

ESAI

INDONESIA

Partisipasi Publik, Peran Arsitek, Pemerintah, Pemban-gunan Kota

oleh Fath Nadizti

66

edisi #10: Pemerintah

66

edisi #10: Pemerintah

Saya melihat layar ponsel sambil setengah berlari. Aplikasi citymapper yang selalu saya percaya sebagai penunjuk arah di kota London tampaknya kali ini salah. Destinasi saya adalah sebuah gereja, tapi saya malah berakhir disebuah bangunan kecil dengan jendela-jendela besar berkaca transparan. Saya menengadah, memandang rintik hujan di luar dari sebuah menara bergaya victorian. Yang meyakinkan saya, ini adalah gereja yang saya cari. Saya lalu masuk ke ruangan kaca yang sudah ramai orang.

“Apa bisa kita membuat sebuah kawasan beridentitas dengan menyediakan ruang publik, akses, dan infrastruktur?”

John, seorang warga setempat, menanyakannya selang beberapa menit setelah saya duduk bergabung di acara itu. Sore itu, ruang ibadah gereja disulap sementara menjadi ruang berkumpul warga. Akhirnya, untuk pertama kalinya saya menghadiri sebuah community meeting di London.

67

ruang | kreativitas tanpa batas

Community meeting, atau temu warga adalah salah satu metode yang dilakukan oleh pemerintah kota London untuk melibatkan warganya dalam pengembangan kota. Rapat kali itu dihadiri oleh warga dari lokasi pembangunan, dan pemerintah dari level borough1 hingga kota.

Acara ini merupakan kesempatan untuk mendiskusikan dan merubah rencana pembangunan. Dalam rapat tersebut, para peserta duduk melingkar. Menyisakan ruang yang cukup besar di tengah untuk

membuka semua dokumen yang mengatur pengembangan kawasan Old Oak Common dan Park Royal.

Kawasan Old Oak Common dan Park Royal terletak di London barat. Dengan luasnya sekitar 155 hektar, area ini dianggap mampu menyediakan ruang bagi pertumbuhan populasi kota London yang diprediksi akan mencapai 10 juta penduduk di 2030. Selain itu, kawasan ini termasuk strategis dimana Ia terhubung dengan pusat kota London dan bandara Heathrow melalui jaringan kereta di atas dan bawah tanah.

Boris Johnson, walikota London, melihat dua hal tersebut sebagai peluang. Di dalam dokumen Opportunity Area Planning Framework, atau OAPF, untuk kawasan Old Oak Common dan Park Royal, sebuah stasiun baru akan dibangun. Stasiun ini akan mengakomodasi kereta super cepat yang memperpendek waktu tempuh antara London, Manchester, Birmingham, dan bandara Heathrow. Dengan begitu, kawasan ini akan menjadi sebuah ‘super-hub’. Pembangunan stasiun juga nantinya akan menarik pembangunan berbagai gedung tinggi untuk hunian, komersial, dan perkantoran di sekitarnya.

Temu warga pertama, Januari 2015. ©Fath Nadizti

1. Setingkat Kecamatan

68

edisi #10: Pemerintah

68

edisi #10: Pemerintah

Batas kawasan Old Oak Common dan Park Royal. ©Fath Nadizti

Dokumen OAPF kawasan Old Oak Common dan Park Royal mengatur pembangunan secara fisik dan non-fisik. Hal tersebut dilakukan sesuai arahan prinsip perencanaan Lifetime Neighborhood2 yang menempatkan warga sebagai pusat dari pembangunan. Kawasan ini diharapkan dapat menjadi lingkungan buatan yang inklusif, mudah dijangkau, ramah lingkungan; dan yang paling krusial, memiliki identitas.

Di dalam esai berjudul “Local Distinctiveness”, Gillian Darley mengatakan bahwa memiliki identitas berarti meninggalkan memori. Bagi sebuah tempat yang sudah memiliki durasi keberadaan, memori akan dengan sendirinya ada karena akumulasi waktu.

Seperti Buckingham Palace atau London Eye yang menjadi identitas kota London. Kedua ikon tersebut

memliki durasi keberadaan yang cukup lama untuk menjadi memori yang ditinggalkan di kepala warga London. Begitu juga dengan Old Oak Common bagi penghuni area tersebut.

Dalam usaha memahami identitas, saya akhirnya mencoba menjadi penonton kegiatan sehari-hari warga di bakal lokasi pembangunan. Saya menyusuri jalan-jalan yang sepi dari hiruk pikuk kota London. Melihat seorang ibu yang mengantarkan anaknya berjalan ke luar rumah untuk bersekolah. Mendengarkan perbincangan John dengan teman-temannya yang setengah berteriak karena bising kereta yang lewat . Kemudian berbelok menuruni tangga yang membawa saya ke kanal.

Beberapa orang berlari sambil mengunakan pemutar musik, melewati saya yang mulai mati rasa karena angin musim dingin. Keseharian yang terakumulasi hingga puluhan tahun

2. Lifetime Neighborhood

adalah prinsip-prinsip

pengembangan kota/kawasan di

Inggris Raya yang menekankan keterlibatan

warga dalam pengembangan

kota/kawasan utuk mencapai ‘well-beingness’ dan

lingkungan yang berkelanjutan.

69

ruang | kreativitas tanpa batas

Visualisasi rencana pengembangan kawasan. ©The Economist

menjadi memori John dan warga lainnya, dan melahirkan ikatan yang kuat dan personal dengan Old Oak Common.

Saya menjadi lebih paham tentang apa yang sebenarnya dipertanyakan John. Bagi mereka, pengembangan ini bukan soal patah hati karena kehilangan romantisme masa lalu. Mereka mendukung visi pemerintah untuk menciptakan ‘super-hub’ global, namun tidak ingin identitas lokalnya tergerus pada saat yang sama. Gambar skematik dan kalimat panduan desain yang mereka lihat sore itu cenderung mengagungkan visi ‘super-hub’, dan identitas lokal seakan hadir hanya sebagai janji yang diumbar untuk memperoleh persetujuan warga.

Salah satunya adalah ruang terbuka yang digambarkan dengan ramah, yang akan menjadi tempat warga

dengan penjual sandwich dan kopi. Orang saling berteriak bukan untuk menandingi suara kereta, tapi karena hangatnya kegiatan yang “akan” terjadi di sana. Representasi tersebut berusaha memproyeksi memori romantis dengan latar belakang kawasan yang baru. Tapi apakah identitas Old Oak Common di masa depan hanya akan diwujudkan seperti itu?

Rebecca, salah satu warga, kemudian merespon, “Bagaimana bisa interaksi manusia diprediksi? Apakah dengan meletakkan pohon, rumput, dan bangku taman orang-orang akan beinteraksi dan kemudian kawasan ini menjadi kawasan yang sukses? Yang memiliki identitas?”

Temu warga sore itu berakhir tanpa kesimpulan berarti dan menempatkan pemerintah sebagai perusak hubungan dengan segala rencana masa depannya.

70

edisi #10: Pemerintah

70

edisi #10: Pemerintah

Pertanyaan Rebecca juga seakan menekankan bahwa arsitek menjadi tangan kanan pemerintah dengan segala usahanya untuk meromantisasi rencana pembangunan, melalui arsitektur dan representasinya.

Di Jakarta pun tidak jauh berbeda. Di era Sukarno, arsitektur digunakan sebagai tanda sebuah bangsa yang merdeka. Kemudian di era Suharto, arsitektur mulai digunakan sebagai alat untuk meningkatan pertumbuhan ekonomi. Neoliberalisme dan globalisasi menjadi pemicu investasi asing yang mengalir deras ke Indonesia, lebih tepatnya Jakarta. Tanah kota Jakarta menjadi seloyang kue yang dipotong-potong dan diobral untuk kepentingan ekonomi. Ditaburi gedung-gedung tinggi berarsitektur barat serta fasilitas lengkap. Potongan-potongan tersebut didesain hampir mirip antara satu dengan yang lain. Membuat kota

Jakarta semakin diterima secara global dan, pada saat yang sama, menjauhi identitas lokal seperti kampung dan budaya betawi.

Kevin Archer dalam buku “The Basic: The City” melihat fenomena globalisasi lingkungan buatan tersebut sebagai cara untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi para investor untuk mengawasi siklus investasi dalam jangka waku tertentu. Membuat Ibukota menjadi tempat untuk mengakumulasi kapital atau ‘machine growth’ dan kawasan-kawasan mandiri tersebut sebagai ‘hub’ atau titik temu siklus investasi..

Dengan sudut pandang tersebut, London pun menjadi ‘machine growth’. Pemerintah dan warga adalah komponen mesin yang berotasi kearah berbeda sehingga rentan gesekan. Arsitektur yang digunakan untuk membentuk identitas lokal ‘super-hub’ pun belum tentu bisa

Salah satu visualisasi proyeksi suasana kawasan Old Oak Common dan Park royal. (Sumber: Dokumen OAPF)

71

ruang | kreativitas tanpa batas

menepati janjinya. Kawasan Old Oak Common terancam menjadi menjadi alat pertumbuhan ekonomi belaka. Dengan itu, praktek berarsitektur cenderung sejalan dengan pemerintah dengan support berupa visualisasi rencana kawasan yang hiperbolis.

Menyadari realita ini, saya mulai skeptis dengan proses partisipasi publik di London. Namun didorong rasa penasaran yang sama besarnya, saya tetap mengunjungi sesi public drop-in yang diadakan beberapa minggu setelah rapat sore itu.

Sesi public drop-in diadakan di sebuah lobi hotel yang terletak di sebelah stasiun North Acton. Dari pagi hingga sore, warga dapat mengunjungi dan terlibat dalam proses pengembangan kawasan melalui dialog langsung dengan para arsitek. Dokumen-dokumen pembangunan tidak lagi bisu, karena di acara tersebut para arsitek

berjaga di sekitar papan-papan yang berisi detil rancangan kawasan. Siap menghadapi segala pertanyaan, saran, dan kritik. Menariknya, dialog yang terjadi terasa lebih santai dibandingkan temu warga yang saya hadiri. Warga datang dan pergi sesuka hati. Melihat papan dan bertanya langsung pada perancang. Berbincang sambil menikmati minuman dan makanan ringan yang tersedia di sudut ruangan.

Beberapa warga kemudian menuliskan kritik dan saran di sebuah formulir sebagai masukan untuk rancangan berikutnya. Hari itu, arsitek tidak tampak sebagai tangan kanan pemerintah yang menutup mata dan telinga ke calon pengguna desainnya. Mereka berotasi searah dengan warga. Menjadi pendengar yang juga dapat memperjuangkan suara mereka.

Namun pertanyaan Rebecca masih menggantung. Dan menghadiri sesi itu justru melahirkan pertanyaan baru. Dimana posisi arsitek sebenarnya

Suasana kawasan Old Oak Common dan Park Royal. ©Fath Nadizti

Salah satu visualisasi proyeksi suasana kawasan Old Oak Common dan Park royal. (Sumber: Dokumen OAPF)

72

edisi #10: Pemerintah

72

edisi #10: Pemerintah

dalam sebuah kota? Kemana arah rotasi arsitek di dalam ‘machine growth’?

Setelah jam makan siang, lobi hotel terasa agak lengang. Saya mencoba mengambil kesempatan untuk berdiskusi dengan si ‘tangan kanan pemerintah’. Arsitek yang saya temui bernama Peter. Peter sadar tentang posisinya yang dekat dengan pemerintah. “Namun,” ujar Peter. “Itu terjadi jika kita melihat arsitek hanya sebagai profesi.”

Dari sudut pandang arsitektur sebagai sebuah keilmuan, arsitek juga dapat berperan sebagai penerjemah dua arah antara pemerintah dan warga. Visi pemerintah divisualisasikan oleh arsitek agar lebih mudah dipahami warga dan membuka dialog. Dan sebaliknya, opini warga yang didapat selama proses partisipasi publik diolah untuk pengembangan rancangan kawasan.

Utopia. Menurut saya jawaban Peter seperti sebuah utopia. Karena menjadi penengah semacam itu adalah pekerjaan yang sulit. Peter harus memahami kedua pihak dengan sangat baik untuk kemudian menemukan ekuilibriumnya. Ditambah lagi representasi visual yang ada rentan menimbulkan gesekan antara pemerintah dan warga, daripada memperjelas dan menyatukan visi kedua belah pihak.

Saya akhirnya mengutarakan pendapat skeptis tentang pembentukan identitas.

Representasi kawasan Old Oak Common dan Park Royal, baik pada skala makro maupun mikro, tidak memperlihatkan identitas lokal yang selalu disebut dalam dokumen perencanaan. Standarisasi desain dan manajemen pengembangan kawasan oleh pemerintah membuat ruang menjadi homogen dan kehilangan karakternya. Persis seperti modernisasi yang terjadi di Jakarta. Praktik kedua hal tersebut dapat dilihat di ruang-ruang komersial sebuah kawasan. Contohnya kawasan Stratford di London timur yang menggunakan international chain stores seperti Starbucks, McDonalds, dan lain-lain untuk mempercepat pengembangan. Perbedaan area tersebut di London dan Jakarta menjadi hampir tidak ada, selain gaya interior atau denah lantai. Keduanya memiliki identitas komersial yang sama dari toko-toko tersebut. Lalu identitas apa yang sebenarnya dibuat oleh Peter dan timnya? Dan jika homogenisasi terjadi, bukankah arsitek menjadi perusak identitas sebuah kawasan, bahkan kota?

Peter tidak bisa mengelak dari kenyataan bahwa desain pengembangan Old Oak Common dan Park Royal berpotensi membuat area tersebut kehilangan identitas lokalnya, dan menjadikannya kawasan yang generik. Ilustrasi yang mereka buat pun hanya imajinasi yang belum tentu terjadi. Karena jika pertokoan pada ilustrasi itu diisi oleh Starbucks, bukan kedai kopi lokal seperti yang diimpikan, maka skenario pembentukan identitas lokal tidak akan terjadi. Identitas lokal memang hanya janji belaka, seperti

73

ruang | kreativitas tanpa batas

kekhawatiran para warga. Niat baik Peter untuk mengurangi gesekan antara dua komponen ‘machine growth’ menjadi gagal.

***

Rekayasa identitas ruang tidak hanya membuka dialog antara pemerintah dan warga, tapi juga mempertanyakan posisi arsitek. Dimana arsitek harus menempatkan diri dalam ‘machine growth’ jika arsitek bukan salah satu dari komponen mesin maupun pelumasnya?

Pertanyaan ini menambah daftar panjang kompleksitas profesi arsitek seperti yang dibahas Jeremy Till di bukunya, “Architecture Depends”. Jawaban dari posisi arsitek di sebuah kota akan tergantung pada konteks dan kompleksitas; dan tingginya kompleksitas di sebuah kota membuat praktek berarsitektur menjadi sebuah kekacauan. Namun bagi Jeremy, “Mess is the law (of architecture)

(of architecture) and be proud of it”. Kompleksitas praktik berarsitektur merupakan sebuah kesempatan bagi arsitek untuk menyusup ke berbagai lapisan problematika kota dan berperan sebagai apa saja. Mulai dari koalisi pemerintah, translator dua pihak yang berdialog, hingga pengumbar janji belaka.

Dilema jati diri Peter sebagai seorang arsitek memang belum terjawab. Ada tuntutan dari tiap peran yang dia jalani. Peter sebagai pegawai pemerintah kota London, sebagai ahli dalam bidang arsitektur, atau sampai yang paling sederhana, sebagai kepala keluarga yang mencari nafkah. Mungkin arsitek tidak harus mendefinisikan dirinya, pun memilih posisi tertentu dan arah rotasi dalam sebuah kota sebagai ‘machine growth’. Tapi yang jelas, arsitek lebih dari sekedar profesi penyambung hidup. Karena setiap garis yang digambar akan merubah hidup orang banyak, bahkan ketika garis itu hanya sebuah janji.

Peter (kiri) saat menjelaskan rencana pengembangan kawasan. ©Fath Nadizti

Fath Nadizti

“Kompleksitas praktik berarsitektur merupakan sebuah kesempatan bagi arsitek untuk menyusup ke berbagai lapisan problematika kota dan berperan sebagai apa saja.”

HENDRO SANGKOYO: TENTANG SDE DAN GERILYA PEMULIHAN KRISIS

Dalam pembicaraannya bersama Yusni Aziz, Hen-dro Sangkoyo bercerita tentang Sekolah Ekonomika Demokratika yang didirikan di tahun 2007. Berawal dari perjalanan untuk memahami krisis di kepulauan Indone-sia pada 20 tahun lalu, Hendro bersama rekannya akh-irnya berinisiatif mendirikan SED sebagai ruang bertutur tandingan untuk menciptakan logika pembalikan krisis tersebut. Apa yang kemudian ia dan regunya lakukan?

WAWANCARA

INDONESIA

Sekolah Ekonomika Demokratika, SDE, Krisis Sosial Ekologis

by Yusni Aziz

76

edisi #10: Pemerintah

76

edisi #10: Pemerintah

Sore itu, di sebuah kafe di kawasan Kemang, ia tidak datang sendirian. Di belakangnya saya lihat dua orang mengikutinya secara perlahan, mengimbangi derap langkahnya yang penuh kehati-hatian. Saya spontan berdiri setelah melihatnya, dan tersenyum lebar. “Halo pak Yoyok”, sambut saya yang dibalas hangat jabat tangannya. Ia kemudian memperkenalkan saya ke kedua rekannya. Dinar, seorang ahli biologi yang saat itu tengah hamil besar, dan Sanca, suaminya, seorang peneliti yang juga aktivis seni rupa.

Mereka bertiga adalah sebagian dari pengurus Sekolah Ekonomika Demokratika (SED), atau juga disebut School of Democratic Economics (SDE). Sekolah yang kiprahnya membuat tim RUANG penasaran, dan kami rasa sangat patut untuk diketahui oleh para sahabat.

Hendro Sangkoyo, atau biasa dipanggil Yoyok, merupakan salah satu pendiri sekolah tersebut. Setelah lulus dari jurusan Arsitektur ITB, ia melanjutkan studi tentang Perencanaan Wilayah dan Kota dan Kajian Asia Tenggara, dan kemudian menyambungnya dengan Planning Theory and Comparative Politics di Universitas Cornell, Amerika Serikat. Sebelum pendirian SED di tahun 2007, ia sempat mengajar di Institut Teknologi Indonesia, menjadi peneliti dan pengajar tamu di Royal Melbourne Institute of Technology, Universitas Melbourne, dan Cornell. Setelah semuanya telah memesan makanan dan minum, pembicaraan pun kami mulai.

Yusni Aziz (YA): Sebelum pertemuan ini, kami sudah berusaha mencari informasi tentang SED di internet. Namun sangat minim sekali data yang kami dapatkan. Apa pak Yoyok bisa menceritakan lebih jauh mengenai sekolah ini?

Hendro Sangkoyo (HS): Ide awalnya muncul sekitar 20 tahun yang lalu, dari rangkaian perjalanan pribadi untuk belajar memahami krisis di kepulauan Indonesia. Ceritanya di mana-mana seperti ini. Di Kalimantan Barat, seorang tetua yang bertahun-tahun merintis gerakan akar-rumput di situ mengajak ikut keluyuran belajar. Suatu ketika saya berdiskusi mendalam dengan sekitar seratus anak muda Dayak, mendengarkan tuturan mereka tentang perubahan di kampung halaman mereka; kapan terakhir kali mereka masuk sungai; kenapa tidak ke sana lagi, dan sebagainya. Ternyata, sungai-sungai yang melekat dengan sejarah sosial dan pembentukan permukiman mereka pelan-pelan terpenggal oleh kegiatan pembalakan, ditimbun untuk jalan-kayu gelondongan, banyak anak sungai akhirnya mati tersumbat. Ruang hidup di pedalaman pulau raksasa itu memang sejak 1970an diperlakukan sebagai lansekap operasional / operational landscape1 dari proses perluasan industri dan wilayah perkotaan – suatu aksi membongkar dan mengeruk hasil alam yang seringkali kita tak acuhkan.

Pada tahun 2007, menjelang pembukaan SDE, kawan-kawan yang ikut merintis

77

ruang | kreativitas tanpa batas

awal pendiriannya bertimbang tentang berbagai bentuk organisasi dominan sampai akhir abad keduapuluh, seringkali di bawah rubrik “masyarakat sipil”, tidak jarang yang cukup miskin imajinasi sosialnya. Karena moda energetikanya, acapkali gerakan warga terpelajar ini lebih repot dengan urusan manajerial dalam diri dan jaringannya, atau menjadi birokratis seperti komponen-komponen hirarkis dari alur perakitan di pabrik, seperti taylorism.2

Untuk menghindari salah paham, perlu dikatakan bahwa menghimpun kesepakatan untuk bertindak menjawab krisis secara kompak (“pengorganisasian”) itu tak tergantikan pentingnya. Tak kalah pentingnya adalah bagaimana membuka ruang-tutur tandingan buat orang biasa untuk mengemukakan dan mempertukarkan pengetahuan akan lintasan perubahan yang dialaminya. Dalam hal ruang bertutur tandingan tersebut, imajinasi rhizomatic learning dari Deleuze dan Guattari atau berbagai pengalaman menyejarah di negara dunia ketiga juga tidak bisa diabaikan. Rizoma artinya perambatan horizontal dari organisme bawah tanah, seperti akar pohon beringin atau sulur-suluran. Dari permukaan nampak tunggal, tetapi di bawahnya jauh lebih rumit. Proses belajar dengan pemahaman macam ini penting, karena membuka ruang bagi semua orang untuk dapat membalik krisis dengan model belajar yang non-hirarkis dan tidak menunggu siapa-siapa. Sebaliknya, kapan sebuah tindakan kolektif harus dilakukan belum tentu perlu mengacu pada tuntutan kemendesakan atau jadwal-jadwal acara dari “organisasi pendamping”, patronnya, atau kantor-kantor pengurus publik.

SDE mengajak menyuburkan ruang bertutur tandingan yang berdimensi kemanusiaan dan ekologis, arena bagi warga biasa untuk mengemukakan cerita-cerita perubahan yang selama ini didominasi oleh representasi sempit bahkan distortif oleh jejaring pembentukan pengetahuan yang mengasingkan pengalaman kolektif. Kata kunci utamanya adalah krisis. Ruang ini akan menjadi arena perlawanan terhadap proses yang membuat krisis ini semakin dalam dan belum pernah mengalami pembalikan. Demikian pula, arena tersebut memungkinkan banyak orang berperan dalam tindakan menyembuhkan/memulihkan kerusakan yang terus meluas.

YA: Krisis seperti apa yang dimaksud bapak ?

1. Operational Landscape adalah zona untuk pengerukan sumber daya, wilayah industri agrikultur, infrastruktur logistik dan komunikasi, turisme dan pembuangan limbah, yang mencakup area tepi kota, daerah terpencil yang juga termasuk “pedesaan” atau “alam terbuka”.... Hal ini merupakan bentuk pemekaran kapitalisme yang mengandalkan pencakupan dan pengoperasian sebuah wilayah dalam skala besar di luar kota untuk mendukung aktivitas sosial ekonomi, siklus metabolik dan kepentingan pertumbuhan kota – (Neil Brenners. Implosions/Explosions : Towards a Study of Planetary Urbanization. 2014)

2.Taylorism: Teori manajemen yang menganalisa dan mensintesa alur produksi. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan efisiensi secara ekonomi, terutama produktivitas pekerjanya. –

78

edisi #10: Pemerintah

78

edisi #10: Pemerintah

HS: Sebuah krisis berskala global yang sejarahnya bisa ditarik jauh ke masa revolusi industri, saat terjadi peningkatan kebutuhan akan bahan mentah. Di masa awal itu Karl Marx misalnya telah mengenali ada gap yang membesar antara dua jenis metabolisme. Pertama, metabolisme untuk kepentingan reproduksi yang instruksinya genetik. Misalnya, kalau kamu makan 10 hari sekali juga tidak akan makin sehat dan sejahtera. Kebutuhanmu kan tetap. Nah, yang kedua ini biang keroknya – teknometabolisme. Dia melayani bukan cuma reproduksi, juga akumulasi dari sistem pendukung kehidupan rakitan/jadi-jadian. Misalnya, kebutuhan akan kota yang lebih fancy meskipun tidak pernah mengatasi masalahnya sendiri—jalan macet memunculkan layanan helikopter bagi yang mampu. Kebutuhan rakitan yang dipicu oleh sektor pasokan tersebut tidak ada batasnya, ad infinitum.

Metabolisme yang pertama bersifat tetap, namun teknometabolisme memperbesar gap di antara metabolisme masyarakat manusia dengan metabolisme reproduksi sistem kehidupan di biosfera. Pembesaran gap itu disebut sebagai metabolic rift, sobekan metabolis, atau ecological rift.

SED mengajukan penglihatan bahwa harus ada imperatif untuk membalik logika pemburukan krisis ini. Kami ajukan agenda belajar tandingan yang ujung tombaknya bersisi tiga. Pertama, harus ada rasionalitas tandingan dari konsumsi ruang, bahan dan energi—termasuk penggunaan tenaga dan waktu kerja orang untuk melayani reproduksinya sendiri. Misalnya, sekarang anak-anak di kampung yang tidak punya pekerjaan layak bersedia menyabung nyawa dengan waktu kerja lebih dari 12 jam

Pertumbuhan kota tanpa batas menjadi sumber meningkatnya krisis sosial ekologis.Sumber: cipturaworldjakarta.com

79

ruang | kreativitas tanpa batas

sebagai TKI atau TKW di pinggiran kota bahkan di seberang lautan. Berapa juta hektar wilayah daratan pulau yang dikuasai untuk industri ekstraktif? Harus ada rasionalitas tandingan. Apa tandingannya?

Harus ada respons sosial besar-besaran dan sistematis untuk menolak perusakan syarat-syarat keselamatan manusia dan keutuhan biosfera, serta pemulihan ruang-ruang hidup. Ini bukan gagasan abstrak, melainkan sesuatu yang bisa dikerjakan siapa saja di ruang-ruang hidupnya sendiri—yang secara generik kami kodifikasi sebagai historical social-ecological entity, atau kesatuan sosial ekologis menyejarah. Jadi, kami melihat kampung bukan sebagai penanda tempat, seperti apa yang terjadi pada Kampung Ambon atau Kampung Kebun Kacang di Jakarta sekarang, misalnya. Tetapi kampung dengan subyek sejarah di situ, beserta sejarah sosial ekologisnya. Kenapa suatu kampung berada di lembah, karena kedekatannya dengan aliran air. Jika kita paham konteks reproduksi sosial dari sebuah kesatuan semacam itu, kita bisa mengerti sistem pendukung kehidupan yang harus mati-matian dipertahankan di situ.

Kedua, apa protokol atau framework dari rasionalitas tandingan ini. Mengurus gitu ya, tapi kepengurusan yang seperti apa? Saya lihat pengurus publik saat ini begitu sempitnya melihat apa yang harus dikembangkan dan apa yang justru harus dijaga supaya tidak berubah; sistem kenegaraan untuk memelihara aset bersama terpenting yaitu ruang-ruang hidup bersama dan keselamatan warga-negara, justru sulit sekali dicari dalam kenyataan. Misalnya, apa masih bisa kita biarkan jika menteri atau presiden masih terus berbicara tentang menaikkan pertumbuhan, apalagi sudah masuk dalam klub G20, tanpa pertimbangan sama-sekali mengenai hal-hal tadi? Tunggu dulu... sektor-sektor yang difasilitasi habis-habisan di garis depan pertumbuhan itu, seperti logging, perkebunan sawit, pertambangan ekspor berskala raksasa, jelas merusak jaminan jangka panjang kehidupan di kepulauan Indonesia. Ada tidak yang merespons dengan kritis rencana menaikkan pendapatan domestik brutto yang gegabah seperti itu? Rasionalitasnya harus dikoreksi dulu, baru protokolnya.

Ujung tombak ketiga ini paling sulit, cara belajarnya. Anda arsitek, lalu saya, misalnya, insinyur teknik sipil, dia ahli ekologis, dan kita bersama melihat persoalan yang lebih besar. Belajarnya seperti apa? Bagaimana mengajak lawan-belajar, para manajer negara yang sekarang sedang dipimpin oleh Jokowi ini, untuk mulai mendengar?

Lantas agenda belajarnya apa? Apa yang kita musti pelajari? Sebagai ilustrasi, di tahun 2015 ini kami bersama berbagai regu-regu belajar lainnya menginjak tahun kedua belajar bersama dengan jejaring komunitas dengan ±50.000 warga, di lereng utara Gunung Halimun. Proses perubahan sosial-ekologis selama duapuluhlima tahun terakhir, yang dipicu oleh pembongkaran bentang alam untuk pertambangan, telah menjadi sebuah krisis yang terus memburuk, dan dampak dari cerita pembongkaran

80

edisi #10: Pemerintah

80

edisi #10: Pemerintah

di lereng itu meluas sampai dengan kehidupan terumbu karang dan biota laut di kepulauan Seribu. Agenda belajarnya tidak mungkin ditemukan lewat pengkajian, perencanaan atau perumusan anggaran di kota. Dalam tempo kurang dari satu generasi kehidupan warga berubah dramatis. Sebutir tomat harus dibeli seharga 500 rupiah. Penghargaan pada tani-pangan dan tani pekarangan hampir hilang. Siklus kehidupan lereng gunung dihancurkan. Kesadaran akan dimensi melingkar/siklis dari waktu menghilang, juga pada warga usia muda.

Dalam cerita seperti itu, proses belajarnya tidak bisa cepat seperti “ayo sekarang kita berubah!” Kehadiran para pelajar-tamu seperti kami hanyalah sebagai semacam tali penghubung untuk menciptakan ruang bertutur bagi banyak orang biasa, tentang bagaimana perubahan menurut pengalaman batin warga sendiri. Soalnya bukan pengelolaan pengetahuan, tapi pengelolaan proses belajar. Bagaimana melancarkan proses belajar yang rumit, yang melibatkan warga kampung dengan berbagai kecakapan dan keterbatasannya, arsitek, ahli ekonomi, etnografer, dokter, akhli kesehatan masyarakat, akhli geologi tata-lingkungan dan sebagainya—yang juga serba terbatas pengetahuannya—untuk memahami dan mencoba mengatasi krisis ini bersama-sama.

Memahami imajinasi konstruksi politik, atau political construct, yang membuat kita “jauh dari tanah”, juga penting. Misalnya, untuk ngomongin terobosan dalam pemerintah, maka makna dari institusinya itu harus kita lucuti dari konotasi

Tambang Emas Pongkor, Jawa Barat.Sumber: http://warmada.staff.ugm.ac.id/Photos/tambang/images/pongkor1.jpg

81

ruang | kreativitas tanpa batas

kolonialnya. Kami tidak pernah memakai kata “pemerintah”, kami selalu memakai istilah “pengurus publik” untuk institusi publik. PEMDA gimana? Ya, pengurus daerah. Karena akar kata “pemerintah” itu dalam penggunaan sehari-hari adalah“perintah.” Artinya, di dalam sikap mental kita, kita/warga harus patuh pada sang perintah itu. Kalau kita gunakan kata-kunci “urus”/kepengurusan, para pegawai di berbagai kantor pengurus publik kita tempatkan pada peran utamanya, yaitu pelayan, atau jongos. Sekarang siapa kepala jongosnya? Ya, Jokowi namanya. Jadi dengan sendirinya ada satu proses demokratisasi di dalam pikiran.

Nah sekarang, siapa yang sesungguhnya mengendalikan perubahan? Pengurus publik? Perluasan kapital industrial sekarang berlangsung di bawah koordinasi dan bayang-bayang dari kapital keuangan/perbankan yang mengalami kemajuan pesat dalam proses akumulasi, terutama sejak 1980an. Hal ini juga perlu dimengerti oleh dunia pendidikan dan profesi arsitektur. Akumulasi berlebihan pada saat ini dipicu oleh kapital keuangan, yang lebih memudahkan pencaplokan ruang dan valuasi ekonomik atas infrastruktur sosial-ekologis, seperti pegunungan dan wilayah resapan air di pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya. Tapi, kita tidak pernah mempelajarinya selain sebagai peluang bagi profesi, bukan pertimbangan kunci untuk menetapkan persyaratan bagi penciptaan dan perluasan ruang-ruang perkotaan.

Henri Lefebvre juga mengajukan bahwa sekarang kita sebetulnya sudah memasuki era “urbanisasi berskala planeter.” Salah satu pelajar gejala ini, Neil Brenner dari laboratorium perkotaan universitas Harvard, misalnya, mendorong lebih jauh pengamatan Lefebvre, bahwa untuk mempertahankan keberlanjutan proses urbanisasi/industrialisasi tersebut, wilayah-wilayah “bukan urban” berperan vital sebagai “lansekap operasional”. Warga di banyak lansekap operasional urbanisasi/industrialisasi paham mengenai gejala ini, bahkan menjadi korbannya. Wilayah-wilayah pedalaman Kalimantan dibongkar untuk memasok batubara bagi pembangkitan energi dan industri di Jakarta. Sumber-sumber energi primer dari daratan dan perairan kepulauan dikeruk dan diekspor untuk mendukung kehidupan kota/industri di Jepang atau di Guangzhou.

YA: Jadi hanya ada sebagian yang menjadi kota dan sebagian lainnya operational landscape?

HS: “Urbanisasi planeter” dalam fikiran Lefebvre melahirkan bagi-kerja spasial di antara lansekap-operasional dan situs proses urbanisasi/industrialisasi. Kota selalu membesarkan selubung-selubung dari sistem pendukungnya, dalam sebuah proses tak kunjung usai yang disebut sebagai “perusakan kreatif.” Kampung-kampung kota dengan sejarah sosial panjang dalam satu generasi sejak 1980an telah berubah menjadi “segitiga emas” bagi industri properti, dengan kerumunan superblok untuk penghuni barunya. Jadi kota sendiri telah menjadi sebuah lansekap operasional di

82

edisi #10: Pemerintah

82

edisi #10: Pemerintah

mana manusia boleh dipindah-pindahkan atau dikorbankan, karena ada kebutuhan perusakan-kreatif tanpa-batas itu tadi. Ini semua bonanza untuk dunia penciptaan arsitektur. Meskipun misalnya hal ini terjadi di masa lalu tanpa campur-tangan generasi baru arsitek yang baru muncul, tetapi seharusnya kita ikut bertanggung jawab atau ikut pening untuk mencegah proses serupa berjalan tanpa kendali.

Nah sekarang, bagaimana kita membayangkan arsitektur dan urbanisme yang mengandung unsur terobosan untuk mengatasi krisis, dan mampu menyuburkan daya cipta gila-gilaan dari anak muda yang sedang belajar arsitektur itu?

YA: Lantas apakah bapak pernah terlibat dalam penggodokan kurikulum studi arsitektur dan apa ada yang harus diubah?

HS: Bukan hanya menghimbau, tetapi sejak dulu mencoba mengintervensi langsung, meski bisa dibilang gagal. Saya mengemukakan tantangan, apakah kearifan dan pengetahuan pokok yang harus disiapkan untuk menghadapi krisis yang membesar dengan cepat ini? Bagaimana pembentukan pengetahuannya? Mungkin mahasiswa semester pertama tidak perlu mengkaji banyak teori. Lihat dulu kenyataan, lalu berpikir sendiri, apa yang sebenarnya berlangsung dulu dan sekarang, bagaimana duduk-perkaranya, dan apa yang harus dilakukan?

Setiap daerah di kepulauan kita mencatat lintasan pembangkitan dan pemburukan krisisnya sendiri-sendiri, menurut kekhasan sejarah sosial-ekologis di situ. Oleh karenanya terobosan atau pemecahan masalah yang muncul dari profesi-profesi keteknikan juga harus “membumi”, bertumpu pada pemahaman yang baik atas lintasan perubahan di situ. Kalau sekarang ini, kita seperti cowok atau cewek panggilan saja. Persis seperti itu. Karena kita tidak mau membicarakan apalagi menjawab masalah krisis yang besar atau genting, kita mirip dengan seseorang yang hanya mencari kesenangan dari daya cipta kita... aku, aku, aku.

Misalnya, keterkaitan arsitektur dengan pengurusan perubahan. Apakah aturan yang memperbolehkan pencaplokan lahan/land grab besar-besaran menjadi gosip politik sehari-hari di antara kita? Menurut berbagai data resmi, sekitar 5,1 juta hektar lahan sawit di Indonesia itu dikuasai oleh 29 orang saja lho! Dari sebuah riset kecil, kami menemukan bahwa ada lima instrumen hukum/perundang-undangan yang secara tidak langsung memperbolehkan monopoli penggunaan dan pencaplokan ruang-ruang daratan hingga 100 tahun lamanya. Saya tidak heran melihat pendidikan kita miskin sekali. Seluruh imajinasi kita tentang pembentukan pengetahuan, konteks zaman, basis krisis, daya dobrak itu miskin. Belum lagi membicarakan cara belajar yang dikelola oleh kanal-kanal pendidikan resmi.

83

ruang | kreativitas tanpa batas

YA: Saya ingin mengaitkan dengan metode penataan kota. Pak Yoyok pernah mengatakan, dalam sebuah wawancara, bahwa modernisme perlu dikritisi lebih lanjut. Lantas apakah sudah terpikirkan alternatif tandingan terhadap modernisme yang dipakai pemerintah kita dalam mengembangkan kota Indonesia?

HS: Saya tidak yakin sebetulnya bahwa beberapa generasi pengurus publik kita selama ini secara kolektif mengerti dan secara sadar memilih ideologi modernisasi. Daya pukau modernisasi itu sendiri sudah lama rontok di negeri-negeri industri maju. Eropa, ujung depan dari modernisasi sendiri, sekarang harus memeriksa jati-diri kolektifnya dan pencapaian pencerahan dari masa lampaunya. Ketika proporsi warga dari negara bekas jajahan di ruang-ruang hidupnya di Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Latin yang menetap atau mencoba peruntungan di negara-negara maju membesar, rasisme tumbuh sebagai persoalan kelas.

Ilustrasi lain tentang ilusi modernisasi adalah keyakinan dan petuah bahwa “negara-negara sedang berkembang” seperti Indonesia akan mampu untuk menempuh lintasan modernisasi ekologis/ecological modernization. Memang sekarang kita harus main bongkar, memacu industri keruk. Tapi ketika nilai uang dari produksi dan konsumsi telah mencapai tingkat yang memadai, kita akan menjadi jauh lebih

Pencakupan hutan untuk lahan kelapa sawit di Kalimantan. ©Rhett A. Butler

84

edisi #10: Pemerintah

84

edisi #10: Pemerintah

pembersih dan ramah pada alam dan manusia. Salah satu penjelasan formal dari kepercayaan tersebut adalah kurva-lingkungan hidup dari Kuznets3, yang menunjukkan korelasi di antara pendapatan dengan moda transaksi dengan alam. Dulu Jerman dan Inggris berkembang lewat industrialisasi yang jorok sekali. Tetapi, ketika GDP-nya sudah menembus angka tertentu, sistem produksi barang di situ menjadi “bersih.” Apa yang tidak dituturkan di sini adalah bahwa dalam rerantai-pasokan barang industrial, komponen-komponen industri yang paling buruk, mencemari, atau paling rendah nilai-tukar yang diciptakannya pindah lokasi ke negara-negara yang jauh lebih lunak regulasi lingkungan hidupnya.

Lalu tepat sepuluh tahun lalu, Mathias Wackernagel dan William Rees mengembangkan kerangka tuturan telapak-ekologis/ecological footprint4. Telapak ekologis Tokyo di tahun 2009 sudah lima kali lipat luas seluruh kepulauan Jepang. Ke mana dia dibebankan atau dipindahkan? Antara lain juga ke kita di sini. Pasar industri otomotifnya, ekstraksi logam dasarnya. Ironi dalam tuturan modernitas, misalnya, bisa dipelajari dari salah satu pulau terkering di Indonesia timur, yaitu pulau Adonara. Begitu kecilnya lubang lesung yang mereka pakai menumbuk menunjukkan sangat terbatasnya produksi bulir-buliran di situ. Kalau di sekitar April hujan turun, mereka bisa menyimpan jagung. Jika tidak ada hujan, mereka kemungkinan harus membeli sumber zat tepung untuk setahun. Ketika mereka melakukan proses reproduksi di tingkat keluarga, mereka dilatih untuk bersabar, seperti melakukan hibernasi. Tingkat konsumsinya pelan, dan anak-anak dilatih untuk puas dalam berkonsumsi serba terbatas. Sejarah ruang waktu dari sejarah ekologis dan sosial di situ tidak mungkin kita plot pada angan-angan tentang trajektori perubahan menjadi “yang modern.” Kontras sekali dengan citra modernitas di kota-kota besar yang konsumsinya dan penggunaan energinya besar sekali. Kalau warga kepulauan diminta untuk berbagi impian tentang konsumsi ruang, waktu, bahan dan energi seperti di simpul-simpul perkotaan kita, artinya sistem pengurusan publik kita bisa dikatakan buta krisis. Kita bahkan tidak perduli untuk menghancurkan rumah kita sendiri, dengan mempercepat transformasi dalam konsumsi sosial, seperti aksi bunuh diri besar-besaran.

Kembali ke pendidikan, apakah mereka mau kembali berada di tengah atau sedang minggir teratur, decentering? Melakukan divestasi dan melayani pasar saja?

YA: Jadi, SED juga mempelajari sistem hidup beberapa kepulauan Indonesia untuk diolah lebih lanjut guna mencari tandingan terhadap krisis?

3. Environmental Kuznets Curve: Hipotesa dari sebuah hubungan antara berbagai macam indikasi dari degradasi lingkungan dan pendapatan per kapita. Di tahap awal dari pertumbuhan ekonomi, perusakan lingkungan dan polusi naik. Tetapi setelah pendapatan per kapita mencapai level tertentu, tren menjadi terbalik. Peningkatan ekonomi dalam level yang tinggi juga membawa peningkatan kualitas lingkungan. – (David I. Stern. The Environmental Kuznets Curve. 2003)

4. Ecological Footprint: sebuah ukuran dari dampak kegiatan manusia terhadap lingkungan – (WWF)

85

ruang | kreativitas tanpa batas

HS: Ada satu interaksi yang terus menerus dan tidak ada habisnya untuk ikut dalam proses pembentukan pengetahuan tandingan dan bertindak, bolak-balik. Ada tiga sektor belajar. Pertama, Regu Belajar orang biasa. Bisa sebuah kampung/KSEM, atau beberapa guru-besar, atau jejaring aktivis akar-rumput, misalnya

Sektor belajar kedua mencakup berbagai regu, badan pendidikan atau riset. Yang paling susah berubah adalah mereka yang mendapat manfaat terbesar dari status quo ini. Misalnya, semua disiplin yang menyangkut penataan keuangan dan ruang binaan. Profesi arsitektur sudah barang tentu secara umum masuk dalam golongan ini secara umum, karena dia terkait erat dengan proses pembesaran lansekap operasional itu tadi.

Yang ketiga adalah gugus belajar pengurus publik, misalnya pengurus lokal seperti kepala desa atau pemimpin komunitas. Kami bisa bergerak dengan siapa saja, tanpa mau sok jago. Pengetahuan itu seharusnya tidak seperti imajinasi korporasi yang bisa dikuasai, bahkan harus dilengkapi dengan copyright.

YA: Lantas pemilihan lokasi belajarnya berdasarkan apa?

HS: Dengan berbagai keterbatasan dan beberapa pertimbangan lain, siasat belajar yang kami pilih tidak sepenuhnya berbeda topologinya dari imajinasi moda belajar rhizomatik yang disinggung tadi. Lansekap belajar utama kami adalah Asia Timur, terutama kepulauan Indonesia. Lokasi belajar bukan hasil pilihan acak, karena permintaan selalu muncul dari garis depan krisis. Selain riset mandiri kami sendiri, kegiatan kolaboratif kami umumnya berdasarkan undangan belajar bersama. Kami juga belajar bersama dan dari mitra belajar di tempat-tempat lain di Asia daratan, Sebaliknya, berbagi catatan tentang bagaimana menghadapi dinamika krisis di Indonesia juga menjadi penting untuk kawan-kawan di wilayah Bumi lainnya.

Nah, baru-baru ini kami juga sedang belajar bersama teman-teman Maluku. Mungkin Sanca bisa menceritakannya.

Sanca (SP): Bulan Februari kemarin kami diajak teman-teman untuk melihat persoalan di Maluku. Lokasi belajarnya di kampung orang gunung yang sederhana sekali gaya-hidupnya. Mereka hidup tanpa memakai baju, berbalut kain kepala merah. Mereka biasanya berburu dan meramu tanaman. Persoalan pertama yaitu pola hidup berburu dan meramu mereka terbatasi dengan hadirnya taman nasional. Mereka selalu dituduh sebagai perusak. Padahal mereka sudah di sana terlebih dahulu.

Kami melanjutkan ke pulau Buru, tempat tahanan politik dahulu. Di zaman Soekarno, pulau Buru sudah dilihat sebagai pulau yang cocok untuk transmigrasi karena penduduknya masih sedikit dan dataran rendahnya baik untuk pertanian.

86

edisi #10: Pemerintah

86

edisi #10: Pemerintah

Namun ide itu tidak jadi dilaksanakan, karena yang dikirim malah para tapol. Setelah itu baru masuk transmigran dari Jawa dan Madura yang menggarap sawahnya sendiri. Saat ini, persoalannya datang dari tambang emas. Aneh, tetapi tambang emas yang kita temukan selalu di tempat-tempat sumber kehidupan seperti sawah, atau di hulu, sumber air. Tambang emasnya gila-gilaan, hingga mengundang kedatangan puluhan ribu penambang luar.

Persoalan lain muncul dari penggunaan merkuri yang berdampak pada pencemaran padi dan ikan-ikan. Kasus bayi cacat juga sudah ada.

YA: Jadi, sebelumnya dilakukan pemetaan terhadap krisis yang terjadi, kemudian belajar bersama masyarakat untuk mencoba menandingi itu?

SP: Iya. Akhirnya, dengan beberapa teman dari pulau Seram, kami mencoba jenis ekonomi yang cocok untuk warga setempat. Melihat keadaan alam dan kemampuan mereka bertani, kami mencoba menanam kopi. Pada tahun 1970-an, masyarakat setempat pernah mendapat bibit kopi dari pemerintah sebagai alternatif dari cengkeh. Ketika harga cengkeh jatuh, mereka mulai menanam kopi. Namun, ketika harga cengkeh naik lagi, kopi mulai ditebang. Akhirnya, kami berdialog dengan keluarga setempat, belajar untuk memilah kopi dan semuanya dimulai dari nol.

YA: Dalam satu kawasan perkampungan?

SP: Operasinya di seluruh pulau Seram. Teman-teman Regu Belajar kesulitan karena transportasi yang kurang memadai. Sehingga, mereka terbiasa membawa motor dari satu ujung ke ujung lain. Kadang motornya dipanggul jika melewati sungai yang tidak ada jembatannya.

YA: Jadi sekarang perkembangannya seperti apa?

Perkampungan ilegal penambang emas di Pulau Buru. Sumber: http://beritaenam.com/view.

87

ruang | kreativitas tanpa batas

SP: Itu mereka sendiri yang atur, jadi tidak ada target. Yang penting mereka dapat memahami logika perubahan sosial ekologis. Itulah yang kami pelajari bersama untuk mencari jalan keluar atau proses belajar berikutnya.

HS: Mungkin saya bisa menambahkan contoh kasus lain. Seluruh belahan utara pulau Flores sedang terancam. Pada awal tahun 1990-an sebuah penelitian dari Jepang yang menemukan bahwa wilayah tersebut sedang mengalami desertifikasi atau penggurunan. Sejak akhir 1990an wilayah tersebut Mangan untuk dikirim ke Tiongkok dengan operasi semut. Padahal tiga kabupaten ini, Manggarai Barat, Manggarai dan Manggarai Timur merupakan bagian gemuk dari pulau Flores. Jadi, daerah yang sumber airnya paling banyak, dihajar selama bertahun-tahun. Padahal mereka terancam akan menjadi gurun juga.

Kami bolak-balik ke sana sebagai pelajar, atas undangan teman-teman yang selalu mengabari jika ada sesuatu yang baru atau krisis baru terjadi. Banyak yang kami temukan. Misalnya, petir di satu tanjung, pertanda alam penting untuk awal musim tanam, tidak datang lagi ketika tanjung dibongkar oleh pertambangan. Semua kami dokumentasikan. Sampai saat ini desa-desa dan institusi pengurus warga utama di situ terus berikhtiar untuk melakukan proses penyembuhan dari kehidupan warga dan ruang-ruang hidupnya.

Sesungguhnya subyek telaah dan urusan dari arsitektur adalah ruang hidup. Akal budi kita kan tidak mencipta, tetapi hanya menggubah.

Kembali ke pemerintah kita yang buta krisis. Karena krisisnya tidak terkodifikasi apalagi terukur, arah perubahan sekarang justru menjadi tawanan dari sektor pasokan. Kantor yang mana yang siap menjawab pertanyaan mengenai duduk perkara dan bangunan krisis untuk pulau Sulawesi atau pulau Taliabu misalnya? Nah, sekarang kemanusiaan dan biosfera sedang dirusak cepat. Apa benar ada pemampatan waktu perubahan? Ada.

Agenda perlawanan dan pemulihan sekarang bertujuan mengembalikan syarat keselamatan manusia dan keselamatan biosfera dalam perubahan. Kami sebisa-bisanya menuturkan ceritanya dalam berbagai bahasa si pelajar. Kami akan bekerja sama di lapangan bersama rekan-belajar lain untuk mendengarkan dan mempelajari tuturan tandingan mengenai kekhasan lintasan krisis di situ, dari warga yang paling paham tentang ruang hidup mereka sendiri.

“Sesungguhnya subyek telaah dan urusan dari arsitektur adalah ruang hidup. Akal budi kita kan tidak mencipta, tetapi hanya menggubah. ”

Hendro Sangkoyo

89

ruang | kreativitas tanpa batas

KITA ADALAH PEMERINTAH/PEMERINTAH/PEMERINTAHAN

Meski terdapat tujuan-tujuan agung, Pemerintah / pemerintah / pemerintahan adalah orang-orang yang berkuasa, tercerai dari masyarakat. Di sisi lain, dari sudut pandang aktivisme, Pemerintah / pemerintah / pemerintahan berada dalam posisi ambigu: sebagai musuh bersama dan sumber malapetaka tetapi sekaligus menjadi tampuk kuasa yang mesti diraih untuk perubahan demi perbaikan.

ESAI/ESSAY

INDONESIA & ENGLISH

Institutional ethnography, policy-making, ambiguity

oleh Indrawan Prabaharyaka dan Tiara Anggita

90

edisi #10: Pemerintah

90

edisi #10: Pemerintah

1. Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara

2. Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, dan demokratis

(Poin 1 dan 2 dari Nawa Cita – Joko Widodo & Jusuf Kalla)

We begin with a casual writing style to show our daily life as regular citizens who speak in ‘everyday’ language.

Later, as this article develops, however, the writing styles will straddle from one style to another: from English to Bahasa Indonesia, from academic to policy language, from XXX to XYZ.

Why? Because we are inherently limited by the language that we use. The Government formally structures Bahasa Indonesia. Hence, our (Indonesian) worldview is structured as well, by the way, the Government structures the language. In fact, the use of English for the preface is a tactic to have a temporary vacation from Government structure. Nevertheless, it is the purpose of this article to expose the linguistic barrier of direct translation from ‘Government’ to ‘Pemerintah / pemerintah / pemerintahan’.

This article (and the methodology) can be termed as ‘institutional ethnography’, a method of inquiry based on our everyday personal experiences working with, in, and within the Government as institutions. In between, we touch upon ‘space’: the area, site, and dominion of Government. We begin with exploration on Government as an entity, without necessarily fix the limitation of its definition. After that, rather than being limited to a ‘Leviathan’ definition on ‘the body of Government’, we dissect the body as a non-homogenous entity. Finally, we conclude with a homing message: we are (part of) Government too.

Pemerintah / pemerintah / pemerintahanBila Pemerintah dapat dikatakan sepadan dengan Government, maka rujukan terkuat dan terdekat untuk pemeriksaan tekstual adalah Undang-undang Dasar

91

ruang | kreativitas tanpa batas

1945 (UUD ‘45). Kata ‘Pemerintah’ pertama kali disebut pada paragraf ke-empat Pembukaan UUD ‘45: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia…”. Berdasarkan paragraf tersebut, dapat disarikan beberapa hal yang membentuk konsepsi entitas Pemerintah, sebagai berikut:• Pemerintah adalah representasi dari kedaulatan rakyat.• Pemerintah wajib “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia”.

• Dasar dari kewajiban Pemerintah tersebut yaitu kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Selanjutnya, kata-kata turunan dari Pemerintah, pemerintahan, dan pemerintah (dengan huruf P tidak kapital) disebutkan pada Pasal 4 UUD ‘45. ‘Pemerintahan’ berasosiasi dekat dengan kekuasaan—yang dipegang oleh Presiden—dan sang pemegang kuasa tersebut “menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”. Dalam ayat-ayat pasal tersebut, kita bisa menyaksikan penciptaan konsepsi kepemerintahan secara tekstual dan kemudian mengakar dalam pemikiran subjeknya—rakyat Indonesia.

Meski terdapat tujuan-tujuan agung dari Pemerintah / pemerintah / pemerintahan seperti pencapaian kesejahteraan umum, interpretasi di atas menimbulkan mispersepsi bahwa Pemerintah / pemerintah / pemerintahan adalah orang-orang yang berkuasa, tercerai dari masyarakat, atau bahkan dikerdilkan dalam kotak ‘Pegawai Negeri Sipil’ (PNS). Interpretasi teks-teks tersebut memancing anggapan bahwa pemerintah merupakan pihak yang paling bertanggungjawab dalam pencapaian kesejahteraan rakyat Indonesia, sebagai entitas superior tunggal yang

92

edisi #10: Pemerintah

92

edisi #10: Pemerintah

tingkat kepenghunian.

Selain itu, pendefinisian output dari Pemerintah / pemerintah / pemerintahan bisa jadi sangat arbitrary (acak atau tak tentu) karena yang diukur hanyalah neraca fiskal atau apa-apa yang dibiayai oleh APBN. Sebagai contoh, bila PNS melakukan aktivitas ekonomi sehingga pelaku pembangunan lainnya mengeluarkan investasi, hal tersebut tak akan diakui sebagai bagian dari output Pemerintah / pemerintah / pemerintahan karena tidak tercatat sebagai APBN.

Di sisi lain, dari sudut pandang aktivisme, Pemerintah / pemerintah / pemerintahan berada dalam posisi ambigu: sebagai musuh bersama dan sumber malapetaka tetapi sekaligus menjadi tampuk kuasa yang mesti diraih untuk perubahan demi perbaikan. Lebih lanjut lagi, ke-ekslusif-an dan keterbatasan cakrawala dari pihak-pihak di luar pemerintahan formal (termasuk kita di dalamnya) membawa kontra-produktivitas. Semestinya kita dapat bertindak, baik secara langsung

“harus melakukan segala macam cara” untuk memenuhi tujuan tersebut.

Di satu sisi, hal tersebut membuat pemerintah seringkali melakukan hal-hal yang berada di luar kapasitasnya sehingga terjadi inefisiensi kebijakan dan program. Sebagai contoh, dalam konteks pembangunan perumahan, tuntutan untuk segera menangani backlog perumahan menjadikan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, bertindak seperti pembangun / pengembang (developer) dengan membangun hunian sebanyak-banyaknya. Padahal kemampuan pemerintah dalam membangun tidak akan pernah setara dengan kemampuan pihak pengembang yang memang secara spesifik bergerak di sektor konstruksi dan pengadaan lahan, baik dari segi kapasitas maupun kecepatan. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya pembangunan rumah rakyat yang dibangun di lokasi yang tidak tepat dengan konstruksi yang tidak memadai, sehingga berujung pada rendahnya

93

ruang | kreativitas tanpa batas

ataupun tidak langsung juga dengan berbagai macam cara, terhadap jalannya pemerintahan dan usaha penciptaan kesejahteraan masyarakat.

Pemerintah / pemerintah / pemerintahan as a Non-homogenous EntityAfter elaborating the standardized definition of Pemerintah / pemerintah / pemerintahan and its ambiguous interpretations, we then continue with showing that Pemerintah / pemerintah / pemerintahan is a non-homogenous entity. Inside their body, there are young progressive workers, yet there are old inert workers in it too. Idealism and behaviours of one Ministry / Institution vary to another. To further elaborate the non-homogeneity, we use the case study of 100-0-100 target that has been declared by Pemerintah / pemerintah / pemerintahan. The case comprises of 100% access to safe drinking water, 0% urban slum settlement, and 100% access to basic sanitation facility, as stipulated in Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019 that those essential services are to be achieved by 2019.

Dalam konteks penanganan permukiman kumuh, pemerintah berada dalam ambiguitas definisi 0% permukiman kumuh perkotaan. Satu direktorat di sebuah kementerian beranggapan bahwa 0% merupakan kondisi ketika seluruh area permukiman kumuh telah hilang sepenuhnya sehingga pendekatan pembangunan pemukiman secara fisik lebih digunakan. Meskipun demikian satu direktorat di kementerian lain beranggapan bahwa 0% merupakan kondisi ketika seluruh masyarakat permukiman kumuh telah mampu merencanakan permukimannya kembali untuk menjadi lebih layak. Dalam hal ini, pemberdayaan masyarakat, suatu pendekatan pembangunan sosial, lebih diutamakan dibandingkan upaya-upaya pembangunan fisik yang melemahkan masyarakat.

Kemudian dalam kasus 100% akses air dan sanitasi, terdapat perbedaan pemaknaan pula antara satu direktorat di sebuah kementerian dengan direktorat

94

edisi #10: Pemerintah

94

edisi #10: Pemerintah

di kementerian lain. Yang satu menganggap bahwa 100% akses adalah semata-mata sebuah ‘gerakan’, sementara yang lain mendorong agar 100% akses menjadi sebuah ‘target’ yang terbungkus dalam sebuah ‘program’. Di sini kembali kita melihat tensi linguistik: ‘gerakan’ adalah taktik untuk mempersepsikan 100% akses sebagai sesuatu yang ‘sunnah’ sementara ‘target’ mau tidak mau membuat 100% akses menjadi sesuatu yang ‘wajib’.

Meski nampak seperti kompleksitas birokrasi, selisih definisi antara Kementerian/Lembaga tersebut terjadi karena arus reformasi birokrasi yaitu perhatian atas akuntabilitas posisi masing-masing dalam konstelasi kepemerintahan. Dasar acuan dari prinsip akuntabilitas tersebut adalah tugas dan fungsi yang telah tercantum dalam sistem kepemerintahan yaitu Peraturan Presiden, sementara cetak-biru-nya terdapat pada regulasi-regulasi yang diproduksi oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara & Reformasi Birokrasi.

Dan lalu…Terakhir, kami ingin mengebumikan realita: bahwa sesungguhnya kita semua merupakan bagian dari penyelenggaraan Negara. Misalnya, label ‘non-governmental organisation’ (NGO) atau ‘lembaga swadaya masyarakat’ (LSM) diasosiasikan sebagai entitas di luar pemerintah yang hadir untuk melakukan terobosan yang selama ini tidak atau belum dilaksanakan oleh Pemerintah / pemerintah / pemerintahan, yang diposisikan sebagai pihak yang tidak memihak masyarakat. Sayangnya pihak-pihak tersebut (baik yang melabeli dirinya sebagai pemerintah atau non-pemerintah) tidak saling menjembatani diri satu sama lain, tetapi malahan mengungkung ruang geraknya dalam wadahnya masing-masing.

Kita sama-sama memiliki cita-cita mulia, tujuan yang luhur: masyarakat Indonesia yang sejahtera. Namun, sayangnya kita belum berhasil menyelaraskan cara-cara untuk mencapai mimpi yang sama tersebut. Kita semestinya bisa membuka ruang

95

ruang | kreativitas tanpa batas

seluas-luasnya untuk berkolaborasi. Partisipasi yang sesungguh-sungguhnya dimulai dari disensus (identifikasi perbedaan pendapat), bukan langsung melompat ke konsensus. Berbeda sudut pandang itu lazim. Tapi, apakah kita harus berhenti berdialog hanya karena perbedaan sudut pandang? Berangkat dari perbedaan ini, justru tugas kita bersama yaitu mencari titik temu, kemudian memformulasikan strategi kolaborasi secara jangka panjang.

Alih-alih menulis dengan ‘kegenitan intelektual’, kami berusaha menulis dengan bahasa yang lebih membumi, sebab kita semua sesungguhnya merupakan bagian dari Pemerintah / pemerintah / pemerintahan[1]. Kita semua merupakan bagian dari penyelenggaraan Negara. Seorang desainer yang sedang merancang bangunan Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) sesungguhnya sedang melaksanakan pembangunan kota. Seorang arsitek yang berani melangkahkan kakinya ke panggung politik juga sesungguhnya sedang melaksanakan tugas membangun negara. Seorang insinyur yang menulis kertas kritis dalam forum Ekonomi Hijau global juga sedang melaksanakan upaya membangun dunia yang lebih baik.

Kami mengakhiri artikel ini dengan kalimat stereotipikal yang berulangkali muncul di akhir surat-surat resmi pemerintahan:

“Demikian kami sampaikan. Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih.”

–[1] Kecuali anda merupakan seorang anarkis tulen yang hidup di ruang hampa.

AcknowledgementWe thank Ira Lubis from the Ministry of Development Planning for her generous critical review and support for bureaucratic reformation.

PEMERINTAH VOL. 1SISTEM

PEMERINTAH VOL. 1SISTEM

98

edisi #10: Pemerintah

RUANGKREATIVITAS TANPA BATAS

©2016