rifat khan
DESCRIPTION
Kumpulan CerpenTRANSCRIPT
KUMPULAN CERPEN
RIFAT KHAN
SURAT KEPADA LELAKIOleh : Rifat Khan
Kepada lelaki yang selalu menghujaniku dengan segala perhatian di tiap
pesannya. Hari ini kuluangkan sedikit waktu menulis untukmu. Lewat tinta yang
mengalir dari hati. Aku berucap, terima kasih. Kau sudah memberi warna indah dan
meyakinkanku bahwa ada orang yang sungguh menyayangiku. Bahwa ada orang yang
masih peduli dan mengikuti setiap detik kisahku. Bahwa ada seseorang yang paling tidak
bisa menyamai kasih-sayang yang kudapat dari seorang Bapak.
Kau tuang segenap madu namun sekian kali kuberi perih. Kau tak henti
memberi semua apa yang kubutuh. Walau aku terkadang jenuh. Kau tukar semua tawamu
untukku dan senantiasa tersenyum padaku. Walau aku terdiam dan terkadang jemu.
Memandangmu kelu.
Ingatkah kau, pertama kali bertemu. Aku yang mencoba menawarkan
perkenalan. Kuambil handphone-mu yang terdiam terlentang diatas meja kerjamu.
Kupahat namaku di dalam phonebook-nya dan kusimpan 12 digit nomerku. Angka yang
berbulan-bulan lamanya kau dekap dalam kepingan hatimu. Angka yang tiap hari selalu
kau pencet untuk menghubungiku berkali-kali. Angka yang membuatmu sering menitip
rindu pada bait-bait puisimu tentangku. Angka yang kemudian menjadi luka terdalam
disepanjang cerita perasaanmu. Terkadang aku menyesal, kenapa harus bertemu
ditanggal 8 Oktober itu. Kenapa kau harus menitip perasaan sebesar ini. Perasaan
berkabut seperti ombak besar yang setiap saat mencubit ujung jari kakiku. Ombak nan
biru yang sama sekali tak kutangkap indahnya. Yang sama sekali tak mampu membuatku
menitip satu pertanyaan saja.
Kenapa harus aku?. Aku tak mau bertanya karena kutau kau pasti akan
menjawab seperti biasa. “Cinta datang dengan sendiri, menetes di sela-sela rambut,
keluar dari ujung jemari dan bermuara pada sebuah hati. Cinta adalah perasaan tiba-tiba
dan berkekuatan lebih cepat melebihi udara. Cinta adalah senyum pagi hari setelah
menghirup kopi dan memberi salam pada kekasih tercinta. Cinta, ya cinta adalah kamu
yang dengan melihatmu sedetik saja aku akan tersenyum dan hatiku bergetar. Itulah cinta,
maka jangan pernah tanyakan lagi kenapa aku mencintaimu”.
Seperti itulah jawabanmu, aku senang mendengarnya. Aku senang melihatmu
mengucapnya dan aku benci dengan hatiku yang tak bisa sedikitpun memberi mu ruang
hanya untuk sekedar berteduh atau mengeringkan bajumu selepas hujan di ujung
Nopember.
Kepada lelaki yang sungguh-sungguh mencintaiku dengan hati. Telah kau
korbankan perasaan dan waktumu hanya untuk memikirkanku. Walau aku tak pernah
membuka hati sedetikpun memikirkanmu. Taukah kau, saat gerimis dan hujan disini. Kau
selalu datang menawarkan pelangi. Berwarna-warni, namun tak mampu kulihat
kebesaran hatimu. Kau selalu berkata, aku mencintaimu dengan caraku sendiri. Cara yang
indah dan membuatku jadi perempuan seutuhnya. Perempuan yang bingung, dan tak
mampu mencintaimu. Perempuan yang dewasa namun memiliki hati yang sempit.
Berulang kali, aku tegaskan padamu, jangan pernah berharap hanya kepada satu
orang saja. Sebab nantinya kau terluka dan menyesali. Namun kau pun menjawab,
“Bukankah cinta konsekuensinya adalah luka, dan bukankah luka adalah proses
kedewasaan. Aku tak pernah luka, aku tulus mencintaimu, maka tatkala kebetulan kita
berjumpa dan kau sedang merajut cerita cinta, berbaring dipeluknya, maka aku mencoba
tersenyum, menggaruk-garuk kepala atau mungkin meniti malam sepi di ranjang dan
bermain boneka”. Begitulah, begitu ringan kau menafsirkan kekecewaanmu, namun aku
tau matamu tak mampu berbohong. Matamu berair jauh dikedalamannya. Walau senyum
kau tebar, ku tau kan memendam luka dalam. Namun itulah kau, sebisa mungkin kau
terlihat tegar di depanku. Kau seperti tak pernah merasa sedih atau lemah. Walaupun
sesekali aku tau kau sering menangis dalam kamarmu. Tatkala hujan enggan membawa
wajahku atau disaat angin menerbangkannya jauh dari penglihatanmu. Kau akan
berteriak sekeras-kerasnya dalam hati dan akan mengirim seratus pesan yang sama dan
tak mampu kubalas. Karena aku pun enggan terlalu jauh memberi harapan yang kelak
bias menghancurkan dan menenggelamkanmu ke laut yang terdalam.
Kepada lelaki yang selalu memuji-muji dan membanggakanku disetiap bait
puisinya. Ya, puisi, kau memang terlalu sering berpuisi. Dan ku tau setiap puisi itu
sebagian besar adalah perasaanmu bahkan sesekali rasa kesalmu terhadapku. Aku
memang bukan pembaca yang baik. Aku memang tak pernah sekalipun membahas
bahkan menilai puisimu. Tapi secara tidak langsung aku faham makna dan inti setiap
puisimu. Ada satu puisi yang begitu membuatku sedikit terdiam dan memikirkanmu
sejenak, kira-kira seperti ini penggalan baitnya :
Dia seperti malaikat, membelai dan menunggui pagimu
Menyeka air mata dan menenteramkan sakitmu, selalu
Jarum jam yang kupunya terbatas, meniti pada kesibukan
Untuk segala mimpi-mimpiku tanpa harus mengabaikanmu
Andai saja jarum jam yang kau beri bisa lebih, mungkin aku bisa
Paling tidak hanya untuk sekedar menyamai apa yang ia beri untukmu
Aku mengerti, ini kau buat disaat pertama kali kau melihatku sedang lelap
dalam peluknya, meniti sakit yang panjang dan kau berniat menjenguk. Membawa
sekantong buah yang kau bungkus dengan keikhlasan. Menyisakan sedikit waktu dalam
kesibukanmu. Meninggalkan pekerjaan yang seharusnya menjadi kewajibanmu. Hanya
untuk melihatku yang sedang terbaring kaku. Namun apa yang kau dapat. Bulan yang kau
damba sedang begitu dekat dengan lelakinya. Namun kau begitu tegar, seakan yang kau
temui hanya aku. Tanpa peduli Ia masih disana menemaniku. Aku tau kau begitu terpukul
melihat kenyataan bahwa ada lelaki lain yang selalu dsisiku. Namun lagi-lagi kau
tersenyum.
Aku menangis waktu itu, bukan tangis kepedihan karena sakit yang menderaku,
tapi aku menangis menyalahkan waktu. Karena ku yakin kau pun tau sendiri bahwa
dilema terbesar bagi seorang perempuan adalah disaat ia bersama diantara dua orang
lelaki. lelaki yang mencintainya dan lelaki yang ia cintai. Dan malam itu kau pun berlalu
dan merangkul tanganku. Dingin sekali.
Kepada lelaki yang pernah mengantarkan sebuah kue dihari ulang tahunku.
Sebuah kejutan di malam yang beku. Saat lampu dirumahku gelap dan menyisakan
embun dalam perjalananmu. Maaf, terlalu banyak pengorbanan yang tak bisa kubalas.
Entah dengan apa membalas. Karena hati tak mungkin bisa dibagi atau pun diiris menjadi
dua potongan kecil. Dan kusuapkan masing-masing kepada kalian. Malam itu kau
mengantar hatimu penuh. Terbungkus rapi nan utuh. Kau tak pernah sadar dan tak pernah
mau tau, ia telah berkuasa penuh dihatiku. Kau tawarkan hatimu berulang kali. Namun,
terlalu sering kubuang hatimu percuma, bahkan kurobek dan kucampakkan di halaman
rumah. Dan terinjak-terinjak oleh kucing berkalung sekian bulan. Kucing yang malam itu
ikut menangis menatapmu. Namun kau begitu tulus, tak letih, tak penat dan tak henti
memberiku segenap rindu dan berbagai pelajaran hidup. Walau kau tau, aku lama hidup
bersamanya. Walau kau tau, aku merajut cinta dengannya dan sering membuatmu terluka
dan bahkan terhina. Hanya ada kata maaf, karena hidup tak selalu dan tak selamanya
harus meraih apa yang kita angan-angankan. Terima kasih banyak.
Nopember 2011
SEPOTONG SENJA RASA ES KRIMOleh : Rifat Khan
Setiap senja, beberapa pedagang menjajakan dagangannya. Memakai rombong
dan sepeda. Langit kian mendung dan mentari enggan tersenyum. Menanti gerimis disini,
membuka kisah dulu. Saat kau tersenyum menikmati es krim yang banyak menempel di
bibir dan bahkan dipipimu. Membuatku tertawa dan sesekali menjepret gambarmu
dengan handphone. Dan kau berkata, “Jangan foto, aku lagi jelek”. Namun aku tak
peduli, tetap ku jepret ribuan kali. “Kenapa sih difoto terus ?” Kamu nampak jengkel. Ku
jawab saja, “Aku senang memotretmu, aku senang melihat gambarmu dalam kondisi
apapun, karena kau tetap akan cantik dan senyummu selalu mampu membuatku
tersenyum tatkala sepi merajut hari-hariku”.
Namun senja sore ini beku, aku termenung sendiri melihat beberapa album foto di
handphone-ku. Ada banyak fotomu disini. Dengan berbagai gaya dan berbagai rupa. Aku
hanya tersenyum sendiri sembari mengisap eskrim yang lama membeku dan tak sempat
kumakan sedari tadi. Es krim yang selalu kau titip saat aku pulang kerja. Es krim yang
menjadi awal pertemuan kita dulu. Semuanya memang berawal dari es krim.
Aku begitu ingat sekita satu tahun lalu, tepat dibangku ini kau lagi asyik
menikmati es krim. Dan aku pura-pura tak melihat. Kemudian aku sengaja menabrak
tanganmu. Es krim itu jatuh, mencair dan menghilang dibawah kakimu. Aku sengaja
melakukannya karena aku ingin mengenalmu. Karena sudah tiga hari, setiap sore aku
selalu melihatmu sendiri duduk dibangku ini, memegang buku yang sama dan tangan
kananmu memegang sebuah eskrim. Matamu selalu tampak kosong, seakan titik-titik air
mata menggantung dan enggan untuk jatuh dan menetes di pipimu yang putih.
Betapa marahnya kamu saat itu. Matamu melotot memandangku, “Buta ya mas?
Belum aku sempat menjawab, kamu langsung berkata, “Kalau jalan makanya hati-hati,
lihat depan, jangan asyik aja nelpon sambil jalan mundur kayak badut. Nih lihat
akibatnya, es krim ku jatuh, mau ganti pake apa, ini es krim favorit ku lho, pedagangnya
juga sudah pergi. Bisa saja saya tuntut mas…!!!” Perkataannya bertubi-tubi, nampak
marah sekali. Sementara aku hanya tersenyum. Ia bengong melihatku tersenyum. Pipinya
memerah, “Lho, ni orang aneh, dimarahin kok malah tersenyum?”. Aku masih tersenyum
kecil, “Mbak nampak manis kalau marah, lihat pipi mbak, merah merona, kalau saja saya
seorang fotografer, saya pasti memotret mbak dan akan saya promosikan jadi model
internasional”. Ia sama sekali ga peduli dengan leluconku. ‘Udah ah mas, ga lucu,
sekarang saya mau pulang, mood saya hilang ketemu sama mas”.
Ia pun berlalu dengan sepeda mininya. Meninggalkanku yang masih ingin lebih
lama menatapnya. Yah, betapa senja telah mengantar senyumnya utuh kepadaku. Menitip
semua wajahnya disetiap cerita mimpiku. Membuatku sering melamun dan senyum-
senyum sendiri. Ia adalah bunga yang mekar dan hadir dihidupku disaat kekasih yang
lama hidup denganku meninggalkanku dan menikah dengan seorang lelaki yang jauh
lebih mapan dan lebih segala-segalanya ketimbang aku. Aku menemukan sosoknya,
sebuah sosok yang mirip dan dengan senyum yang hampir sama. Hanya saja Ia jauh lebih
lincah dibanding pacarku yang dulu. Karena pacarku yang dulu sifatnya keibu-ibuan dan
sangat patuh terhadap perintah orang tuanya. Sampai akhirnya Ia dijodohkan dengan anak
kolega bapaknya yang sedang memimpin sebuah perusahaan maju dan sukses.
Inilah takdir. Begitulah kata seorang teman mencoba menghiburku disaat aku
terdiam sepi dalam kamar dan mulai malas beraktivitas. Tenang kawan, hidup tak
berakhir disini, masih banyak perempuan lain yang bias menerima kita apa adanya.
Jomblo bukanlah akhir segalanya. Kata-kata itu membuatku sedikit membuka fikiran dan
tak mau berlarut-larut dalam kesedihan dan kekecewaan. Sejak itu aku mulai mencoba
semangat untuk bekerja dan mencari hal-hal baru, salah satunya memotret. Karena aku
yakin, waktu yang bisa merubah segalanya. Waktu pula yang bisa menghilangkan
bayangan mantan pacarku dan waktu jua yang kini mempertemukanku dengan gadis itu.
Keesokan harinya, senja masih sama seperti kemarin. Aku menyempatkan diri ke
taman itu. Memotret orang-orang yang ingin dipotret, memotret bunga yang pantas
dipotret, dan memotret senja yang masih beku dan mendung yang mulai mengintip dari
sela dedaunan. Dari balik lensa kameraku, pandanganku tertuju pada gadis itu. Gadis
kemarin yang sempat menitip marah dan jengkelnya serta menghardikku dengan ribuan
kata marah. Bagaimana caranya mendekatinya lagi. Aku mulai berfikir dalam hati.
Kemudian aku berlari ke arah pedagang es krim. Aku putuskan membeli dua buah es
krim. Setelah mendapat es krim tersebut, aku mendekatinya. Pandangannya sama sekali
tak tertuju padaku. Ia asyik membaca buku yang masih setia ia bawa. “Ehem…” sembari
aku duduk disampingnya, “Kok cuek mbak, aku bawain es krim lho, enak banget”. Ia
sama sekali tak merespon. “serius ne ga mau”. Sambil kulahap es krim di depannya. Ia
menolehku, bibirnya tampak menahan rasa ingin. “Ini ada satu lagi buat mbak, itung-
itung sebagai ganti es krim yang kemarin saya jatuhin”. Tak kuasa menahan, Ia
tersenyum dan mengambil es krim yang kutawarkan. “Makasih ya…” Suaranya nampak
lembut, sangat berbeda dari kemarin. Aku menatapnya melahap es krim itu. Diam-diam
aku mulai menaruh hati padanya.
Hari-hari pun berlalu. Ribuan sore kami lalui di taman itu. Sesekali mengajaknya
mencicipi bakso, bahkan nonton. Ia begitu baik, dan sangat mengerti. Kami pun merajut
hubungan, hampir selama satu tahun, kami hanya menuai tawa, bahagia dan sama sekali
tak ada masalah dalam cerita kami. Ia begitu hafal apa yang ku suka dan apa yang tak ku
suka. Ia begitu mengerti dan tak pernah memaksa keluar disaat aku harus menyelesaikan
beberapa tugas kantor. Aku simpulkan, aku bangga mengenalnya karena ia selalu
memberi tawa dan senyum disaat dunia memkasaku untuk mengeluh. Dia adalah
segalanya.
Namun hanya satu tahun, sebelum semuanya berubah menjadi tangis yang
menyesakkan dadaku. Bahkan sampai sekarang, disaat aku duduk dibangku ini.
Memandang gambarnya di handphone-ku, aku sering menitikkan air mata. Betapa aku
merasa kehilangannya. Seakan seperti jiwaku setengah telah dibawa olehnya.
Semua berawal ketika ada sedikit yang mengganjal dihatiku. Melihat perubahan
di dalam dirinya. Betapa tidak, sebagai seorang pacar melihat kekasihnya dalam kondisi
seperti itu, aku merasa sedih. Bibirnya tampak pucat sore itu, sepucat senja yang lupa
mengantongi sisa-sisa sinar mentari. Sepucat wajah Ibu yang terbaring lemas di
pembaringan. Suaranya sangat lemah dan langkahnya kian gontai. Berkali-kali aku
menanyakan ada apa sebenarnya. Sejuta kali aku anjurkan periksa ke dokter, Ia hanya
tersenyum dan berkata, “Cuma kecapean kok, ntar istirahat, tidur, pasti semuanya
membaik”. Ia selalu berusaha tegar sampai akhirnya Ia jatuh terkapar di taman,
rambutnya terlepas. Sejak itu aku tau kalau selama ini Ia menggunakan rambut palsu.
Kepalanya botak. Ya, botak. Selama ini aku tak pernah membelai rambutnya. Karena
memang aku bukan termasuk orang yang romantis.
Tangisku tak tertahankan menunggunya di ruang dokter. Sejak saat itu aku tau,
kalau Ia ternyata telah lama mengidap leukemia. Penyakit yang sebagian besar membawa
kepada kematian. Ia telah lama melakukan kemoterapi. Dan tinggal menunggu detik-
detiknya saja. Aku terdiam kaku mendengar penjelasan dokter itu. Langkahku gontai,
seperti tak menginjak tanah. Kepalaku berat bukan main. Aku diam menangis dibalik
tembok ruang rumah sakit.
Semua waktuku sejak itu kuberi untuknya. Sebisa mungkin aku menemaninya
melihat bunga-bunga yang layu di halaman rumah sakit, menyuapi tatkala ia malas
makan atau membawakannya film-film kartun yag Ia suka di laptop dan nonton bersama
dikamar rumah sakit.. “Kenapa tak pernah bercanda Mas?” Tiba-tiba ia berkata demikian.
“Mas sedih ya?”. Aku hanya terdiam melihat ketegaran hatinya menunggu maut. “Jangan
sedih Mas, bukankah hidup adalah menunggu mati. Hidup hanya sementara dan
maksimalkan untuk membuat orang yang kita sayang bisa tersenyum. Jikalau kita sudah
bisa berbagi kepada orang lain. Apalagi yang kita takuti jika maut itu datang
menjemput.” Air mataku jatuh mengalir deras dan menetes di bahunya. Aku rangkul
dengan sangat erat. “Bukannya mas sedih, hanya saja mas tak tau bagaimana mengarungi
hidup ini. Jika kamu harus pergi”. “Mas takut. Takut sekali. Pada siapa harus membagi
senyum dan tangis ini. Pada siapa harus berbagi es krim. Siapa yang akan menemani mas
duduk dibangku taman setiap senja. Siapa yang akan mas becandain.” Aku tak mampu
melanjutkan ucapanku. Nafasnya serasa tak berhembus. Kulitnya dingin. Dan bibirnya
masih tampak mengurai senyum. Pukulan yang sangat besar dalam hidupku. Ia pergi
selama-lamanya meninggalkanku dalam kesendirian. Menghembuskan nafas terakhirnya
dalam pelukanku.
Air mataku jatuh. Kumatikan handphone-ku setelah lama menatap photonya.
Maghrib sudah mau menjelang. Taman sudah sepi dan aku masih duduk dalam hening.
Mengenangnya. Merasakan cintanya seperti menikmati bisikan angin sepoi yang
berhembus di telinga. Bunga-bunga di taman ini mulai mekar dan selalu menitip
wajahnya pada setiap langkahku. Aku bahagia mengenalmu dan belajar banyak darimu.
Belajar tentang hakikat hidup yang sebenarnya dan menghargai kehidupan. Membuat
sesuatu yang berarti selama kita mampu. Aku harus pulang. Setiap hari selalu
kusempatkan ke taman ini. Hanya untuk mengenang dan bukan untuk menyesali.
Desember 2011
RISALAH HATIOleh : Rifat Khan
Serentak tangannya mengepal rokok ditangan. Raut mukanya begitu kasar dan
kian geram. Andi, ya demikian nama pemuda itu. Pemuda yang sehari-harinya sebagai
mahasiswa di salah satu perguruan tinggi swasta itu tampak marah. Ia kecewa mendengar
keputusan kekasihnya yang berniat pergi meninggalkannya. Gadis itu bernama Ayuni.
Gadis yang dua tahun terakhir ini masih setia bersamanya. Dan hampir tidak ada masalah
yang begitu besar dalam hubungan mereka. Bahkan teman-teman dikampus menganggap
mereka adalah pasangan paling romantis. Bagaimana tidak, selama dua tahun berpacaran,
Andi sangat setia mengantar jemput gadis itu ke kampus, dan mereka sangat romantis
dalam keseharian. Selalu terlihat senyum dan tawa dari pasangan ini. Sehingga teman-
temanya menjadi iri dan ingin seperti mereka.
Namun kali ini badai besar tampaknya menerpa jiwa Andi. Setelah membaca
sebuah pesan kekasihnya di inbox handphone-nya. Pesan yang membuat Andi terdiam
sejenak. Pesan itu berbunyi, “Andi, terima kasih banyak untuk semua waktu dan
pengorbananmu. Terima kasih telah menemani selama ini. Tapi jalan kita terlalu jauh.
Maaf, aku harus pergi meninggalkanmu. Mohon mengerti, karena kelak Tuhan pasti
mengirim seorang yang jauh lebih baik menjadi jodohmu dan menemani hidupmu
selamnya…”. Andi tak berniat membalas pesan tersebut. Ia langsung meluncur ke rumah
Ayuni kekasihnya.
Siang, sekitar jam dua belas lebih, Andi sudah sampai didepan rumah Ayuni.
Jalanan sepi, kebanyakan orang lebih senang menghabiskan waktu waktu dengan istirahat
dikamar. Karena beberapa minggu terakhir ini cuaca begitu panas dan menyebabkan
orang malas bepergian dan keluar rumah. Rumah Ayuni siang itu tampak lengang, tak
ada seorangpun diluar. Andi mengeluarkan HP dari kantong dan mencoba menghubungi
nomer kekasihnya. Alhasil, setelah beberapa kali ditelepon, nomer itu tak aktif. Andi
semakin bingung. Ia memberanikan diri untuk mengetuk pintu rumah itu. Setelah
beberapa kali diketuk, barulah seorang perempuan dengan sarung muncul membuka
pintu. Perempuan itu adalah Ibunda Ayuni.
“ Assalamu’alaikum Bu…” Andi mencoba memulai percakapan.
“Wa’alaikumsalam Nak…” Tampak suara Ibu itu kurang sehat.
Andi tersenyum kecil dan mencium tangan Ibu Ayuni. Seperti biasa, Ibu
separuh tua itu mengusap kepala Andi dan bibirnya komat-kamit seperti mendo’akan.
“Silahkan masuk Nak…” Ibu itu tampak membuka pintu lebar-lebar dan
masuk duluan ke rumah. Andi pun mengikuti dan duduk di sebuah karpet yang memang
sudah tersedia di ruang tamu. Andi sedikit kelelahan, karena cuaca begitu panas dan juga
jadwalnya jam kuliah dari pagi hari. Ibu Ayuni masuk ke dapur. Dan seseaat keluar
dengan segelas air putih. Ia begitu hafal kalau Andi nampaknya kehausan dan butuh
segelas air.
“Silahkan diminum dulu Nak…!!! Suara seorang ibu yang begitu lembut
sambil menyodorkan segelas air ke tangan Andi.
“Makasih Bu…” Balas Andi sambil mengambil gelas dan meminumnya
secukupnya. Ia kemudian menghela nafas dan sepertinya bingung harus memulai
percakapan dari mana.
“Bu, Ayuni-nya ada…?” dengan sedikit tersenyum, Andi langsung bertanya.
Ibu separuh baya itu hanya terdiam. Seakan ingin berkata, namun begitu berat sekali.
Beberapa saat Ia terdiam dengan air mata menggantung dimatanya. Tampak berat sekali
masalah menderanya. Tak seperti biasa, Ibu yang selalu ceria dalam kesehariannya. Ibu
yang selalu menenangkan hati Andi tatkala ia ada masalah kecil dengan anaknya. Andi
semakin bingung, ia juga terdiam melihat sang Ibu dengan tatapan kosong. Setelah
beberapa saat, Ia kembali bertanya.
“Sebenarnya ada apa Bu?” dengan wajah penasaran dan ingin tahu
sebenarnya apa yang menimpa kekasihnya sampai ia pergi meninggalkannya. Karena
terakhir kali bersama empat hari lalu hubungannnya sangat baik. Bahkan mereka sempat
keluar makan bakso bersama di warung bakso depan kampus, dan Ayuni tampak bahagia
malam itu.
Ibu itu mencoba tersenyum dan menjawab, “Tidak ada apa-apa Nak, semua
adalah jalan Tuhan dan Ibu yakin seberat apapun masalah, kamu pasti bisa tegar dan
ikhlas menerimanya”.
Kali ini Andi menghela nafas panjang dan rintik-rintik hujan mulai menetes
dimatanya. Fikirannya berkecamuk dan hatinya begitu remuk. Ia masih tak mengerti apa
yang diucapkan Ibunda Ayuni. Ia menunggu Ibu Ayuni mengucapkan sesuatu lagi.
Perkataan yang mungkin bias membuatnya menangis atau mungkin mengutuk takdirnya.
“Nak…” Ibunda Ayuni tampak melanjutkan ucapannya, “Ibu tau, Kamu
begitu sayang sama Ayuni. Kamu selalu ada buat Ayuni. Bahkan, Ibu sendiri sangat
sayang sama kamu Nak. Ibu sudah anggap kamu sebagai anak sendiri. Kamu sedikitpun
tidak pernah menyakiti Ayuni. Sedikitpun kamu tidak pernah membuatnya kecewa. Ibu
tau, karena apapun dan kemanapun kalian pergi, Ayuni selalu cerita dan curhatnya
kepada Ibu. Jadi Ibu tau semuanya. Bagaimana kamu meninggikan Ayuni dihatimu.
Walaupun terkadang kamu sedikit agak kecewa dengan sikapnya Ayuni yang agak sedikit
manja dan suka kekanak-kanakan. Jadi, Ibu mohon, tolong kamu maafkan semua
kesalahan yang pernah Ia perbuat, karena bagaimanapun Ia juga begitu menyayangimu.
Ia begitu menjaga hubungannya dengan kamu. Sekian banyak cowok yang Ibu lihat
dating bertau kerumah. Sedikitpun Ia tak pernah memberi hati. Karena satu-satunya
yang sangat Ia harapkan adalah kamu Nak”.
Air mata mulai tak terbendung dari mata sang Ibu. Air mata yang begitu
dalam seperti musim penghujan yang datang ditengah kemarau. Air mata seorang Ibu
yang begitu sayang sama anaknya. Andi juga tak mampu membendung air matanya
ditengah penasaran apa sebenarnya yang dialami kekasihnya. Apa sebenarnya yang
terjadi, ia dihantui beribu pertanyaan. Pertanyaaan yang seakan membuat jantungnya
berhenti sejenak. Pertanyaan yang seakan mengiris satu kepingan hatinya. Yah, betapa Ia
begitu menyayangi Ayuni. Ia sedikitpun tak pernah membuatnya sakit hati. Ia selalu
mengalah jika ada perdebatan kecil ditengah hubungan mereka.
Andi bersandar sejenak dan menghela nafas panjang dan pandangannya tak
henti menatap mata seorang Ibu yang duduk tak jauh didepannya. Mata yang sudah
terbungkus dan digenangi air mata. Mata yang persis seperti dua tahun lalu. Ketika Ibu
Andi menangis sebelum menemui ajalnya. Ia begitu melihat jelas Ibunya sendiri dalam
mata Ibu Ayuni.
“Bu, apapun yang terjadi kepada Ayuni, aku akan tetap menyayanginya.
Sedikitpun perasaan ku tak akan berubah. Tolong Bu, ceritakan sebenarnya apa yang
terjadi !”
Ibu separuh baya itu menyeka air matanya dengan sebuah tisu. Ia nampak tak
kuat untuk memberi tahu Andi apa sebenarnya yang terjadi. Ia begitu sadar hati Andi
akan terpukul mendengar kenyataan ini. Tapi melihat ketegaran dan bola mata yang
begitu tajam dari pemuda itu, akhirnya Ibu Ayuni mencoba menceritakan keadaan
sebenarnya.
“Nak, Ibu sebenarnya sangat berat menceritakan semua ini. Karena Ayuni
juga menitip pesan kepada Ibu untuk tidak menceritakanmu apa yang terjadi. Tapi Ibu
juga tak tega melihat kamu dilanda kebingungan seperti ini. Begini Nak, tiga hari lalu.
Tepatnya hari Selasa. Ketika Ayuni pergi dengan pamannya. Mereka mengalami
musibah dan…” perkataan Ibu itu terhenti, Ia tak kuasa menahan air matanya yang
mengalir deras dan membentuk muara kesedihan di pipinya. Kulitnya yang sedikit
keriput seakan dibalut sejuta kesedihan. Begitupun dengan Andi, Ia nampak kaget
mendengar ucapan sang Ibu.
“Astagfirullahalazim, terus dimana Ayuni sekarang? Bagaimana
keadaannya? Apa dia baik-baik saja?” rentetan pernyaan secara spontan keluar dari bibir
yang agak pucat itu. Pertanyaan yang begitu lazim terucap disaat seseorang shock
mendengar kabar mengharukan dari seorang yang Ia sayangi.
“Ayuni sekarang berada di Rumah Sakit Nak, sudah tiga hari ini dia opname.
Dia mengalami koma selama dua hari, itu sebabnya Ia tak pernah menghubungimu. Itu
juga sebabnya kenapa handphen-nya tak pernah aktif. Baru tadi pagi Ia sadarkan diri,
dan mencoba memberi kabar kepadamu. Ia sangat sedih dengan apa yang Ia alami.
Pertama kali tersadar pun Ia tak henti menyebut namamu sambik menangis. Yang sabar
ya Nak”
Air mata mengalir dari mata pemuda itu. Ia seakan tak mampu berkata apa-
apa. Ia mengingat apa yang dikatakan kekasihnya saat terakhir bersamanya. Ayuni
mengajaknya untuk menikah. Namun Ia tidak menjawab apapun, dikarenakan Ia masih
kuliah dan belum mepunyai pekerjaan tetap.
“Lantas kenapa Ayuni harus berkata meninggalkanku Bu? Kenapa Ia harus
berkata seperti itu?” Pertanyaan terucap lagi dari bibir pemuda itu.
“Nak, kecelakaan siang itu hampir merenggut nyawanya. Syukur dia bias
selamat dan tersadar dari komanya. Namun, kenyataan pahit harus Ia terima Nak,
kakinya lumpuh karena tergilas mobil truk dalam kecelakaan itu. Salah satu kakinya
sudah tidak berfungsi. Dokter menyarankan amputasi untuk menghindari penyebaran ke
anggota tubuh yang lain. Kalau keluarga sudah menyetujui, insyaAllah operasinya akan
dilaksanakan dua hari lagi setelah lebaran”
Tubuh Andi lemas mendengar pernyataan itu. Seperti dihujam badai yang
beitu besar. Tubuhnya yang perkasa itu seakan roboh dan tak kuat menahan terpaan.
Matanya kosong, hambar dan tak berwarna. Gadis yang Ia sayangi harus menerima
kenyataan seperti ini. Gadis yang riang dan selalu bercita-cita tinggi. Selepas mendengar
penjelasan sang Ibu, Andi langsung beranjak dan bergegas ke Rumah Sakit.
***
Sesampainya di Rumah Sakit, tepatnya diruang IGD, Ia melihat tubuh Ayuni
terbaring tak berdaya. Ia langsung menggemgam erat tangan gadis itu dan mencium
keningnya.
“Kenapa Ayuni? Kenapa harus seperti ini? Kenapa bukan aku saja yang
mengalaminya? Aku menyesal, seandainya hari itu aku yang mengantarmu pergi,
mungkin keadaan tak seperti ini. Maafkan Aku sayang, Aku penyebab semuanya. Aku tak
bias menjagamu. Padahal aku berjanji akan selalu menjaga dan mewujudkan semua
keinginanmu”. Sambil terisak-isak Ia terus mendekap kekasihnya. Sementara Ayuni
hanya terdiam kaku melihat kekasihnya yang terus menangis dipelukannya. Hanya
matanya yang berkaca-kaca. Seakan menangis dengan jeritan yang dalam dihatinya.
Tangis yang dahulu pernah membawanya ke pelukan Andi. Tangis yang dulu sempat
membuatnya mengerti betapa hidup memang tak selalu seperti apa yang kita inginkan.
Andi kembali melanjutkan perkataanya, “Ingatkan sayang, terakdir kali kita
bertemu. Kamu meminta aku untuk menikahimu. Sekarang aku siap sayang, aku siap
lahir bathin untuk menjadi pendamping hidupmu. Lelaki yang akan selalu menjaga dan
melindungi kehormatanmu. Lelaki yang akan lebih dulu menangis sebelum kau
menangis. Lelaki yang akan selalu membuatmu tertawa dalam keadaan apapun. Apakah
kau mau menjadi istriku saying?” Andi menatap dalam-dalam mata kekasihnya.
Sementara Ayuni terdiam sesaat dan menatap mata Andi, dan dengan terbata-
bata ia bericap, “Ia sayang, aku mau dan siap lahir bathin menjadi istrimu”.
Andi tersenyum bahagia mendengar ucapan kekasihnya dan memeluknya
dengan segenap kasih saying yang dalam. Sementara sang Ibu yang dari tadi berdiri
dibelakang mereka tersenyum sambil menitikkan air matanya.
Oktober 2011
SIMPHONI KUCING MALANGOleh : Rifat Khan
Namaku Lina. Aku adalah seekor kucing betina. Hidupku biasa saja seperti kucing
lainnya. Baru dua hari ini aku melahirkan seorang anak. Namun entah apa yang terjadi
sehingga anakku kini tak lagi bersamaku. Begitulah, sejak Ia menghilang aku selalu
termenung disini sendiri. Menikmati hari-hariku dalam kesepian. Entah bagaimana
caranya aku bisa menemukan anakku. Tak ada satu pun surat kabar yang mau
mengiklankan beritanya. Setiap sudut kota ini kudatangi. Namun tak pernah ada titik jelas
dimana Ia berada.
Pagi ini gerimis sudah menghilang. Mentari diam-diam mulai mengintip. Ayam-ayam
tetangga mulai keluar mencari makan. Yah, ayam adalah seorang teman baikku. Ia selalu
perhatian terhadap apa yang menderaku. Tapi sayang, Ia tak bisa membantu lebih
banyak. Ia hanya turut berbela sungkawa atas apa yang menimpaku. Aku mengerti,
karena mereka pun sibuk mencari makan dan menyelesaikan urusan mereka sendiri.
Dari balik pintu, Nyonya Erna keluar membawa sejumlah koper besar. Matanya kosong,
kesedihan menyelimutinya sama sepertiku. Nyonya Erna adalah majikan ku yang sudah
lama mengurus dan membiarkanku tinggal dirumahnya. Tapi setelah hari ini, beliau akan
pergi meninggalkanku. Ia digugat cerai oleh suaminya. Putusan sidang sudah keluar dan
hasilnya adalah mereka cerai. Betapa remuk batinnya pagi ini, sama seperti batinku. Ia
diceraikan lantaran tak bisa mempunyai keturunan. Mereka sudah berumah tangga
selama 10 tahun. Aku sadar, selama aku berada dirumah itu. Yang sering terjadi adalah
pertengkaran antara suami istri itu. Hal-hal sepele bisa berujung menjadi masalah yang
besar dan mengharuskan mereka beradu mulut sampai mengumpat dengan kata-kata
kasar.
Kalau menurut kesimpulanku sih, semua berawal dari itu. Setelah beberapa bulan lalu
melakukan tes, ternyata Nyonya Erna dinyatakan mandul. Dua adiknya yang lain pun
dikabarkan demikian, tidak bisa mempunyai anak. Nyonya Erna berkali-kali memberi
alternative kepada suaminya untuk mengadopsi seorang anak. Namun suaminya yang
memiliki beberapa perusahaan maju selalu menolak usul tersebut. “Aku hanya butuh
keturunan yang berasal dari darah dagingku sendiri. Aku butuh seorang anak yang bisa
meneruskan dan memimpin perusahaan-perusahaanku kelak. Buat aapa aku susah-susah
bekerja dari pagi ampe malam kalau toh akhirnya aku tak punya keturunan”. Begitulah,
dia selalu berkata demikian dan ujung-ujung Nyonya Erna akan menangis lirih dan begitu
dalam. “Apa yang bisa kuperbuat Tuhan, apa yang bisa kulakukan agar suamiku bisa
mengerti dan faham bahwa engkau masih belum memberiku anak?” pertanyaan it uterus
berulang terdengar dari bibirnya yang sesekali terkena tetesan air mata yang jatuh dari
mata dan menetes dari pipi dan sampai ke bibirnya.
Setelah koper-koper diangkat oleh sopir ke dalam mobil. Nyonya Erna menghampiriku.
Ia tersenyum dan membelai-belai rambutku. Ia tampak sedih karena harus kehilanganku.
Ia akan kembali ke rumah Ibunya diluar daerah dan mungkin ini adalah terakhir kali kami
saling melihat. Aku pun hanya terdiam. Betapa beban dan masalah-masalah ini begitu
berat. Nyonya Erna memintaku untuk ikut dengannya. Tapi aku berniat untuk
menemukan anakku terlebih dahulu. Ia pun begitu mengerti betapa kehilangan anak
begitu sangat menyakitkan walaupun Ia sama sekali tak bisa mempunyai anak.
Setelah lama memelukku, Ia pun masuk ke dalam mobil. Desiran angin membawa mobil
itu melaju dan perlahan menghilang dari tatapanku. Majikan yang teramat baik sudah
pergi, kini saatnya aku bangkit. Harus berjuang untuk hidup dan menemukan anakku.
Anakku yang terlahir dari perutku. Betapa aku merindukannya. Entah siapa yang telah
merampas dan membuatku terpisah dengannya. Bayangkan saja, kurang dari satu hari
aku bisa melihat matanya, aku belum bisa memberi makan. Ia sudah menghilang.
Hari menjelang siang. Matahari tepat berada di atas kepala. Ayam-ayam mulai berdiam
dibawah pepohonan beristirahat. Pohon anggur di depan tampak kering. Sesekali
menjatuhkan daunnya yang sudah tak mampu lagi berdiam di dahannya. Adzan zuhur
tampak menggema dari cerobong-cerobong masjid. Aku melangkah pelan keluar dari
gerbang rumah. Hari ini aku bertekad harus menemukan kabar tentang anakku. Siang itu
aku berjalan dan terus mencari. Kota ini ramai juga, siang-siang masih banyak orang
yang melakukan aktivitasnya. Ada yang asyik menjaga took boneka. Ada yang menjaga
took sepeda. Bahkan sekilas ada yang tertidur karena kelelahan.
Begitulah manusia, mereka memiliki kesempatan luas untuk memenuhi kebutuhannya.
Pekerjaan terlampau banyak buat mereka. Tapi kenapa dikoran-koran selalu diberitakan
tentang banyaknya sarjana yang pengangguran. Tentang banyaknya remaja yang bunuh
diri lantaran susah mencari kerja dan kebutuhan hidup tak terpenuhi. Entahlah, mereka
mempunyai jalan fikiran masing-masing. Aku hanya bisa menyimak dari Koran yang
kebetulan berserakan di Meja saat Nyonya Erna mulai enggan membaca. Tapi kenapa,
untuk memasukkan iklan pencarian sebuah kucing tak pernah termuat. Apa manusia itu
sudah tak peduli dengan kehidupan kami. Atau mereka menganggap kami tak pantas
memiliki hidup.
Di depan sebuah toko buku, tanpa sengaja aku bertemu dengan Leo. Leo adalah seekor
anjing tetangga yang begitu jahat. Ia berulang kali ingin mencelakanku. Bahkan pernah
pula dia menggigit kakiku yang membuatku harus berdiam dan istirahat selama
seminggu. Siang itu Leo tampak kebingungan, aku menatapnya dari jejauhan. “Sialan,
semoga Ia tak melihatku”. Aku terus berucap do’a dalam hati.
Namun akhirnya dia mendekati juga. Mungkin bau ku sudah tak begitu asing tercium
oleh hidungnya. Leo adalah seekor anjing rakus. Ia selalu masuk ke dalam rumah
majikanku dan memakan apa saja yang bisa dimakan. Leo tak pernah peduli meskipun
akhirnya ia sering kena lempar oleh para pemilik rumah. Kami pun berhadapan kurang
dari satu meter. Matanya terlihat begitu buas dan nafasnya tak teratur terengah-engah.
Seperti baru saja berlari menghindari kejaran Tuan rumah yang telah ia selinapi untuk
mencari makan.
“Kamu kemana Lina?”
Aku hanya terdiam. Kenapa harus bertemu saat ini. Kenapa harus bertemu Leo disaat aku
harus mencari anakku.
“Aku mencari sesuatu”
“Sesuatu ? apakah itu?”
“Tak penting kamu tau”
“ayolah Lina, siapa tau aku bisa membantumu”
Sorot matanya mulai beku. Entah kenapa, tumben hari ini ia tak galak. Tumben hari ini ia
mau berdiskusi. Karena biasanya ia langsung menerkam dan mengejarku sampai aku
kabur terbirit-birit. Akhirnya aku pun mencoba mengatakan semuanya padanya.
“Aku mencari anakku Leo”
Ia terkaget mendengar ucapanku. Matanya bening seperti ada air menggantung. Aku
hanya terdiam melihat perubahan Leo setelah mendengar ucapanku. Baru aku tersadar
dan mengingat. Beberapa bulan lalu Leo juga pernah kehilangan anaknya. Ia menemukan
bangkai anaknya terkujur di dekat selokan rumah. Darah mengucur dari telinga dan
matanya. Ia nampak terpukul setelah kejadian itu. Oleh sebab itulah ia mulai menjadi
brutal. Ia seakan tidak terima dengan takdir yang menimpa anaknya. Ia mulai memangsa
siapa saja. Ia mulai sering bikin onar di dalam rumah-rumah warga. Beribu cacian setiap
hari terucap untuknya. Tapi hari ini aku melihat sosok berbeda dari dirinya. Ia hanya
terdiam, sembari debu-debu jalanan menghampiri bulu-bulu ditubuhnya. Tanpa berucap
lagi, ia pun melengok membalik arah meninggalkanku.
Aku masih tak bergeming, karena kakiku sudah mulai pegal menyusuri kota. Dan malam
sudah menyapa. Rembulan bersinar pucat. Angin-angin bertiup segala arah. Para
pedagang mulai menutup toko dan pulang beristirahat. Aku termenung sendiri. Perutku
hanya terisi makanan seadanya. Sambil berlagu dalam hati, aku pun terlelap didepan
sebuah toko mainan. Tak peduli dingin menyelimuti. Dan sesekali nyamuk membuatku
terjaga dimalam hari.
****
Keesokan harinya, mentari sudah mulai keluar dari peraduan. Ayam-ayam terdengar
berkokok dan jalanan sudah mulai terisi oleh lalu lalang kendaraan. Aku membuka mata
dan terkaget. Disekelilingku, di rolling dor-rolling dor toko, dipersimpangan jalan, di
setiap batang pohon tertempel iklan pencarian kucing. Lengkap dengan ciri-ciri dan
alamat yang bisa dihubungi. Aku melihat beberapa kawanan anjing sibuk menempel iklan
itu. Salah satu diantaranya adalah Leo. Aku tersenyum dan tak menyangka Leo sebaik
ini. Aku pun berlari mendekatinya dan mengucap beribu terima kasih padanya. Leo
hanya menjawab, “Terus berjuang kawan, kau harus bisa menemukan anakmu”. Ia pun
tersenyum dan meninggalkanku.
Aku bersyukur ada yang mau peduli denganku. Aku bersyukur dan lebih semangat lagi
untuk mencari. Aku mulai memasuki kawasan elit. Disana pun ribuan iklan itu sudah
terpampang. Di pusat-pusat kota dan disetiap halte bis. Nampak seorang petugas
kebersihan mulai mencabut iklan-iklan itu. Iklan yang mungkin menurut mereka bisa
merusak pemandangan kota. Aku kecewa melihatnya. Betapa lelah kawanan Leo
menempelnya dan dia tanpa merasa berdosa seenaknya mencabut dan membuang ke tong
sampah.
Air mataku menitik. Betapa mereka tak mau peduli. Apalagi membantuku. Aku berjalan
lagi. Tampak di samping kiriku seorang anak kecil dan Ibunya memandang poster iklan
itu. “Bu, Lihat, kucing ini cantik sekali” sembari tanggan anak itu menunjuk poster itu.
“Cantik? Biasa aja, apanya yang cantik, ayo jalan!” Ibu itu menarik tangan anaknya dan
anak itu masih saja menengok poster itu meskipun ibunya memaksanya jalan.
Selama satu jam berjalan. Aku melihat kerumunan aparat berjaga-jaga. Memegang
senjata lengkap dengan mobil-mobil baja. Ada apa sebenarnya, ribuan orang dari
kejauhan menonton. Warga yang juga penasaran sama sepertiku. Setelah mendengar
gonjang-ganjing warga yang berduyun-duyun dating. Ternyata hari itu terjadi baku
tembak antara aparat dengan seorang yang diduga teroris. Seorang yang membawa bom
dibadannya dan berniat mengebom istana Negara. Orang itu diseret beserta dua
kawannya yang nampak sudah tewas. Darah mengucur.
Aku berlari ke pinggir jalan, menyelinap masuk dan dibalik gerbang itu aku menemukan
sosok yang kucari. Yah, anakku, anak yang selama ini begitu kurindukan. Aku terkujur
mendekapnya. Ia pun hanya tergeletak. Tak ada nafas. Darah juga mengucur dari teling
dan matanya. Dadanya tertembus peluru. Aku meraung-raung menangis sekeras-kerasnya
sambil mendekapnya. Badannya dingin kaku. Betapa aku merindukanmu Nak, dan aku
menemukanmu dalam keadaan seperti ini.
Manusia-manusia itu berlalu lalang. Mereka masih saja tak peduli. Aparat-aparat yang
berjuta mulai acuh dan sesekali kakinya menyenggol badan kami. Sebuah peluru
menembus dadanya. Peluru nyasar atau apapun namanya, yang pasti anakku telah tiada.
Hujan pun menetes membawa perlahan darah yang masih mengucur dari badannya.
Awan tampak mulai gelap dan aku pulang membawa bangkainya.
Petir bergelegar. Aku terbangun dari mimpi. Mimpi yang teramat panjang. Mimpi yang
mungkin bisa menjawab pertanyaanku tentang siapa yang membunuh anakku. Tanpa
sadar, sudah sehari penuh aku tertidur pulas di atas kuburannya. Aku pun terbangun dan
merapikan kembang-kembang diatas kuburannya.
Desember 2011
AKU CINTA KAU PELACUROleh : Rifat Khan
“Dasar pelacur, cuiiiih…!!!!” seraya mulut pemuda itu meludah tepat di muka
Marni. Sembari ia melempar selembar uang lima puluh ribu. Marni hanya menangis,
entah apa kesalahannya terhadap pemuda itu. Berulang kali aku melihat kejadian seperti
itu menimpa Marni. Pernah juga seorang Om-om menampar pipinya lantaran Marni
mengeluh tak mau lagi menemaninya tidur. Dikarenakan Marni sedang dating bulan.
Berbagai penjelasan dia ucap, namun Om-om itu tak peduli dan menyangka Marni mulai
tidak berminat padanya.
Begitulah sehari-hari apa yang dikerjakan Marni. Ia berangkat dari desa
meninggalkan bapak Ibunya yang sudah renta. Ia ke kota dengan alasan mencari kerja
yang layak untuk bisa memenuhi kebutuhan Ibu, Bapak dan dua orang adiknya yang
masih duduk di bangku sekolah. Aku memang tak terlalu mengenal Marni secara dekat.
Aku lebih senang menatapnya tiap malam sambil meminum sebotol bir di meja lain.
Sebelum para tamu berduit datang dan membawa Marni pergi menghabiskan malam dan
merajut surga sampai shubuh.
Seperti malam itu, badanku sudah remuk dan gontai. Beberapa botol minuman
sudah kuteguk dengan teman-temanku. Mataku menyala-nyala. Aku mendekati Marni
yang sedang dibujuk oleh seorang pemuda. Aku memperhatikan mereka dari setengah
jam tadi, Marni tampak enggan dan tak mau meladeni pemuda itu. Namun pemuda itu
terus membujum Marni, sesekali mengelus rambut Marni. Namun apa daya, Marni hanya
terdiam dan tak ingin melawan. Ia tak mau ada keributan lagi. I amalu sudah terlalu
sering membuat keributan ditempat ini.
Aku memegang tangan pemuda itu, Ia pun menyingkirkan tanganku dan
melawan. “ada apa bung?” Ia melotot menatapku. “Tolonglah, jangan ganggu Marni”
Aku mencoba memberi saran. “Apa urusannya dengan anda” Pemuda itu mulai nyolot
dan seakan tidak menerima apa yang kuperbuat padanya.
“Hei Bung, bukankah Marni ini adalah pelacur, dan aku berhak merayunya, aku
punya banyak uang” Ia mulai berdiri dan membusungkan dadanya tepat didepanku.
“Sekarang saya minta anda pergi, Marni tak butuh uangmu” aku pun mulai
berbicara lantang. Sembari kukeluarkan sebuah pisau kecil mengancamnya. Pemuda itu
tampak gemetar. Para pengunjung sekeliling yang memperhatikan kami mencoba melerai
dan akhirnya semua pun berhasil di amankan. Aku dipaksa keluar oleh security.
Begitulah kejadian malam itu. Aku paling tidak suka jika ada seorang yang memaksakan
kehendaknya. Bukankah pelacur adalah manusia yang juga punya hak dan kebebasan
untuk menolak atau pun menerima pelanggannya.
Namun disisi lain, aku bingung. Gerangan apa yang membuatku begitu peduli
sama Marni. Bukankah Ia hanya pelacur biasa, sama seperti si Siti atau Aminah yang
biasa menemaniku tiap malam. Menghamburkan uang yang kudapat dari malak di pasar
setiap hari. Bukankah Marni juga sudah tidur dengan ratusan pria, bukankah Marni juga
pernah tidur bersama abangku. Yah, abangku. Sosok yang begitu kuat dan tak pernah
putus asa. Sosok yang membuatku terinspirasi. Demi memenuhi permintaan istrinya
membeli sebuah rumah sederhana. Ia nekad merampok di sebuah bank. Sebelum
akhirnya timah panas membuat nafasnya berhenti berhembus. Dua peluru menembus
dadanya. Aku kecewa melihatnya mayatnya yang dikirim kerumah. Aku kecewa dan
prihatin terhadap nasib istri dan anaknya. Begitulah kehidupan kami, kehidupan yang
keras dan penuh menantang bahaya.
Malam ini, aku masih bertanya-tanya dalam hati sembari menatap wajah Marni.
Sudah dua hari perempuan ini ku ikat kaki dan tangannya di sebuah gudang yang jauh
dari warga. Ia kupenjarakan disini. Tapi tetap kuberi makan seperlunya. Entah kenapa,
aku mengikat dan membiarkan dia disini. Aku tak mengerti. Apakah aku mencintainya?
Apakah aku mencintainya sehingga aku tak rela Ia dihujam dan diperlakukan tak senonoh
oleh beberapa pelanggannya. Ga mungkin aku jatuh cinta sama Marni. Aku terus
melawan-lawan dan menjawab sendiri pertanyaan itu.
Setiap pagi aku meninggalkannya untuk mencari uang dan siangnya aku
kembali membawa sejumlah makanan dan minuman untuk kami makan bersama.
Berulang kali Ia mencoba melawan. Namun, Ia hanya perempuan dan badannya tak
setangguh lelaki. Ia hanya bisa meronta-ronta dan sesekali meludahiku disaat aku
mencoba menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. Bahkan ketika aku mencoba
mengganti pakaiannya, Ia menendang dadaku. Dengan keras sekali sembari mencaci-
maki.
“Dasar penjahat, apa yang kamu mau?”
“Apa yang kamu ingin dariku, kenapa kau terus mengikatku disini”
“Apakah kau akan membiarkanku mati disini”
“Apa kamu seorang gila??”
Berkali-kali pertanyaan dan cacian itu terlontar dari mulutnya. Seperti gerimis
hujan yang tak henti jatuh dan menetes dari genteng gudang yang bocor. Maklum,
gudang ini berumurlebih lima puluhan tahun. Dan konon juga dijadikan tenpat
pembantaian PKI saat peristiwa tanggal 30 September. Gudang ini tak pernah terpakai.
Pemiliknya pun seperti enggan menjual atau menyewakannya. Pemiliknya sibuk
berbisnis tembakau di luar kota. Gudang ini biasanya kami gunakan ngumpul sambil
minum-minuman bersama beberapa teman. Saat hasil palak di pasar memenuhi target.
Kami menghamburkannya dengan berbotol-botol minuman dan sesekali bermain judi
hingga pagi. Uang hanya sesaat berdiam di kantong dan akhirnya lenyap dalam waktu
sesaat. Orang bilang, uang panas. Tidak akan bisa bertahan lama.
“Kenapa kamu diam?”
“Jawab, apa kamu mulai bisu?”
“Apa kamu sudah tak mampu berkata apa-apa di depanku”
Marni nampak mulai geram. Sesekali ia berteriak, menjerit sekeras apa yang Ia
bisa. Angina, gemuruh, badai mulai menerpa. Hujan besar terus menyeruak. Langit gelap.
Musim hujan terlalu akrab dengan desa ini. Setiap tahun hujan lebih sering membasahi
disbanding panas. Desa yang dulu pernah membuat usaha tembakau bakap bangkrut dan
menelan kerugian beratus-ratus juta. Sebelum akhirnya bapak menggantung dirinya di
dalam gudang ini. Mayatnya ditemukan sudah kaku dan diperkirakan sudah meninggal
berminggu-minggu sebelum akhirnya ditemukan warga setempat. Sejak saat itu, warga
mulai takut dan menjauhi gudang ini.
Yah, gudang ini memiliki berbagai kenangan. Banyak orang berkata tenpat
banyak setannya. Tapi aku tak pernah takut berdiam disini. Aku sering menghabiskan
waktu disini sendiri. Menikmati malam sepi dan jauh dari hingar-bingar dan sorak sorai
warga. Tempat ini sangat bersahabat denganku. Tempat yang juga membuatku mendapat
inspirasi penuh dalam menulis. Aku lumayan gemar menulis. Menulis tentang hidup,
mimpi, darah dan berbagai ketidak keseimbangan dalam kehidupan.
Aku masih saja terdiam menatap Marni. Bibir tipisnya tampak gemetar
menahan dingin. Matanya berair dan pipinya tampak layu. Aku membuka jaket yang
kupakai dan mengenakan dibadannya. Aku menyentuh keningnya. Sedikit terasa panas
dan seperti sakit akan menimpanya. Aku memeluknya erat, Ia sama sekali tak menolak.
Ia juga mendekapku. Merasakan kehangatan di badanku.
Sudah dua hari kami tidak makan apa-apa. Disebabkan hujan tak pernah
berhenti. Hujan badai yang besar. Disertai gemuruh angin. Sedangkan pemukiman
penduduk terlalu jauh. Orang-orang yang jualan di pasar enggan untuk keluar berdagang.
Mereka lebih memilih menyimpan barang dagangannya untuk memenuhi kebutuhan
mereka sendiri selama hujan badai melanda. Karena baisanya diperkirakan selama
seminggu hujan tak akan berhenti.
Marni kelihatan lemah sekali. Aku membuka semua ikatan ditubuhnya.
Tubuhnya terbaring lemas. Sakit sudah tiga hari menderanya. Panas badannya drastic
meningkat kian hari. Sementara aku hanya menahan lapar. Tubuhku kosong sehingga
tenagaku pun habis terkuras. Aku juga hanya bisa terbujur lemas disampingnya. Aku
mendekatkan bibirku ditelinganya. Membisikinya kata yang sangat lama ingin
kuungkapkan. Kata yang juga membuat bertindak senekad ini.
“Marni, satu hal yang sangat ingin kukatakan padamu. Terlalu lama aku
memendamnya. Karena aku masih ragu, sebenarnya perasaan apa yang kumiliki padamu.
Aku ragu, apakah aku hanya mengagumi keindahan tubuhmu yang biasa terbungkus
dengan pakaian serba mini atau aku hanya menaruh simpati padamu atas perlakuan kasar
dari pemuda-pemuda yang mengaku langgananmu. Aku bingung Marni, selama hidup
aku pernah berucap takkan pernah jatuh hati pada siapapun. Karena dunia terlanjur
menjerumuskan kami ke dalam hidup yang penuh dengan kekerasan dan kebencian.
Hidup yang sehari-hari hanya terisi dengan omongan kotor dan sesekali diwarnai darah
para musuh yang membangkang. Musuh, ya kami menyebutnya sebagai musuh. Adalah
orang-orang yang menentang dan tak mematuhi peraturan kelompok kami. Orang-orang
yang malas memberi kami uang. Orang yang merasa kami adalah pencuri. Kami adalah
buronan Marni, beberapa kasus di desa ini. Si Udin terbunuh di dekat jembatan, Si
Amang dipenggal kepalanya shubuh-shubuh, bahkan Bu Maniah yang harus kehilangan
suaminya lantaran ia membangkang. Semua kami binasakan dengan bersih dan tanpa
cacat. Para polisi tak henti mengendus langkah kami. Namun aku begitu yakin Marni, aku
begitu tak punya rasa takut. Aku santai saja menikmati hidup, berpoya-poya dan bahkan
mengelar pesta minum dan judi setiap malam. Ditemani wanita-wanita cantik yang rela
memberi kehormatannya hanya untuk selembar uang”.
Aku terdiam sejenak. Kutatap Marni, matanya tak berkedip. Air matanya
menetes pelan. Ia menatap mataku. Ia seperti ingin tersenyum, berkata dan mungkin ingin
mencaciku dengan ribuan kata kasar. Entahlah, Entah apa yang Ia ingin ungkap ditengan
kesakitan yang menimpanya.
“Marni, terlalu banyak penyesalan dan kesedihan yang harus ditangisi.
Membuatku enggan dan malas hanya untuk sekedar menitik air mata. Bagaimana
bapakku meninggal gantung diri saat aku masih berumur tujuh tahun. Bagaimana
abangku tertembak polisi di saat aku harus membutuhkan banyak dana melanjutkan
sekolahku selepas tamat di SMP. Aku enggan menangis. Aku enggan menangisi hanya
untuk sekedar menangisi hidup. Tapi lihat malam ini Marni, air mataku menetes dengan
derasnya. Lihatlah air mataku yang sesekali jatuh ke pipimu. Hangat bukan?. Aku tak tau
kenapa ia sampai jatuh,aku tak tau kenapa aku harus membawa mu ke tempat ini dan
meniti berbagai penderitaan. Tanpa makan, tanpa minum. Mungkin kau akan
membunuhku, menyiapkan rencana untuk menghabisi nyawaku. Mungkin kau akan
mencincan-cincang tubuhku dan memberi kepada anjing-anjing diluar sana. Terserah
Marni, tapi taukah engkau. Aku hanya ingin melihatmu Marni, aku ingin melihatmu lebih
lama. Aku hanya ingin menatapmu sebagai orang pertama tatkala aku terbangun. Maaf
marni, jauh dikedalaman hatiku, aku berucap, aku begitu mencintaimu. Aku begitu
mencintai dan menyayangimu. Meskipun aku tak pernah tau apa yang dinamakan cinta.
Meskipun bapak enggan membahas dan mengajariku arti cinta. Aku hanya bias meraba-
raba arti sebuah cinta, tatkala abangku harus meninggal demi memenuhi keinginan
istrinya. Mungkin itu arti cinta, atau tatkala kau tidur dengan ratusan lelaki setiap malam.
Entahlah, aku tak bias mendefinisikannya. Tapi, aku sadar. Sejak pertama menatapmu,
ada semacam keinginan yang menarikkku untuk ingin kembali melihat senyummu. Ingin
mendengar suaramu dan bahkan mencium aroma tubuhmu yang sesekali menerpaku saat
kau berjalan dengan seorang pemuda melewatiku. Itulah kenapa aku selalu
menyempatkan diri duduk dan minum di tempat mu kerja. Marni, aku mencintaimu”.
Marni meneteskan air mata lagi. Hujan tak pernah reda. Di luar sana, jejak-jejak
kaki mulai terdengar. Sebuah tembakan melesat di udara. Tubuh Marni bergetar
memelukku. Nampaknya polisi sudah mulai mengendus tempat ini. Aku ingin mati disini.
Desember 2011
PERCAKAPAN SINGKAT DI LOBI BANDARAOleh : Rifat Khan
“Jenggotmu sudah panjang, cukur saja” Begitulah temanku mencoba bercanda
pagi itu. Saat pelanggan mulai berdatangan di toko yang saya kelola bersama istri. Kami
sudah tinggal hampir selama sepuluh tahun di Negara ini. Saya memiliki seorang anak
yang masih berumur tujuh tahun. Anak yang sangat lucu dan menjadi penenang di saat
galau. Menjadi tawa disaat air mata harus menetes.
Setiap hari aktivitasku hanyalah menunggu sebuah toko. Lebih tepatnya sebagai
manager di toko sendiri. Pegawai kami lumayan banyak, maklum toko yang saya rintis
sepuluh tahun lalu ini lumayan berkembang pesat. Dan alhamdulillah saya makmur hidup
dan menetap disini. Kami memiliki sebuah rumah di kota ini, California, USA. Orang-
orang disini sangat ramah. Tetangga-tetangga satu komple biasanya berkumpul sore-sore.
Selalu ada aja hal menarik yang dibahas.
Seperti sore itu, ada seorang tetanggaku, namanya Mr. Robert, lelaki setengah
baya yang masih giat dalam lembaga sosial. Ia adalah seorang yang alim. Selalu
menenteng kitab sucinya kemana pun ia pergi. Berkata seperti Nabi, hampir tak ada cacat
dalam setiap perkataannya. Selalu sabar, apapun masalah yang menimpanya. Sore itu
cuaca masih menyisakan panas. Jalanan berdebu, Mr. Robert berjalan disekitar komplek
rumah. Ia memelihara due ekor kelinci. Kelinci lucu yang masing-masing bernama Alan
dan Johnson. Ia memelihara dua kelinci itu sekian lama. Ia nampak begitu sayang dengan
kelinci-kelincinya. Rutinitas sehari-harinya hanya mengurus kelinci itu setelah beribadat
di gereja.
Tapi alangkah kagetnya dia sore itu melihat satu ekor kelincinya meninggal sore
itu. Wajahnya pucat sore itu, tubuhnya gemetar, jenggotnya seakan gugur satu-satu. Ia
menangis mendekap bangkai kelinci itu. Melihat keadaan itu aku mendekatinya.
“Kenapa Pak?”
“Kelinciku meninggal”
“meninggal kenapa?”
“Aku juga tak tahu, tiba-tiba aku menemukannya dalam kondisi begini”
Hidungnya tak henti mencium kelinci itu. Sesekali ia batuk karena memang Mr.
Robert sudah lama mengidap penyakit batuk dan ashma. Ia tampak sedih sore itu.
“Apakah tuan mau melaporkan kejadian ini ke pihak berwajib” aku mencoba
bertanya. Karena disini binatang juga berhak mendapatkan perlindungan. Ia menatapku
dan perlahan beranjak berdiri. Ia memegang pundakku.
“Mr. Ahmad, segala sesuatu kejadian sudah ada dalam fikiran Tuhan. Ia telah
lama merancang segalanya. Tuhan itu penyayang. Tuhan itu penyabar. Ia mungkin
sedang menguji kesabaranku jua. Yakinlah, Tuhan selalu memberi yang terbaik. Tuhan
tak pernah salah. Akan ada rancangan terbaik untuk kita. Termasuk pula untuk kelinci
ini.”
Begitulah Mr. Robert menjelaskanku, betapa Ia adalah seorang yang baik. Ia
sekali pun selama sepengetahuanku tak pernah membuat orang sakit hati. Ia sangat rukun
dalam bertetangga. Segala sesuatu yang terjadi selalu Ia yakini adalah keinginan Tuhan.
Sehingga dengan itu ia bisa ikhlas dan selalu tersenyum.
Begitu pula dengan tetangga-tetangga yang lain. Semua baik-baik saja, semua
sangat ramah dan tak pernah menggunjing atau pun memberi perlakuan berbeda kepada
kami sekeluarga. Meskipun kami adalah pendatang dan sendirian seorang muslim disini.
Mereka tak pernah menyinggung dan menyepelekan masalah agama. Mereka berfikiran
Tuhan itu satu dan Tuhan amatlah baik.
Tapi semua berubah. Orang di sini tak lagi ramah kepada kami. Orang di sini
mulai mengernyitkan dahi setiap melihat kami. Orang di sini mulai enggan dan menjauh
dari kami. Semua berawal dari tragedi 11 September. Tragedi yang merenggut ribuan
nyawa dan sebagian besar orang beranggapan penyebab itu adalah orang muslim. Orang
muslim yang dianggap sebagai teroris. Dan teroris adalah musuh Negara. Sebuah tuduhan
yang mungkin berlebihan. Mungkin, tapi inilah kenyataannya. Sebagian besar warga
trauma setelah kejadian itu. Dendam tertanam dalam hati mereka. Bahwa semua orang
muslim adalah musuh. Pendiskriminasian mulai terjadi. Dimana-mana.
Semua serba sulit. Di setiap tempat umum, pemeriksaan berulang terjadi. Apalagi
aku menyandang nama Ahmad. Jenggotku pun lumayan panjang. Aku enggan menyukur
dan karena hampir lima belas tahun aku berjenggot. Jadi ada yang berbeda jika aku harus
mencukurnya. Tak apalah. Toh aku bukan teroris meskipun aku seorang muslim.
Istriku sore itu begitu khawatir melihat perubahan-perubahan orang-orang sana.
“Apa ga sebaiknya mencukur jenggot aja mas!” Ia menyarankanku berulang kali. Aku
hanya tersenyum dan menjawab, “Ga apa-apa dek, Mas pasti baik-baik saja”. Istriku pun
mencoba tersenyum, walau ku tau kegelisahan masih menetes deras di wajahnya. Karena
bagaimana pun seorang istri pasti gelisah melihat pendirianku yang tak ingin mecukur
jenggot.
Karena di berbagai berita di televisi selalu memberitakan tentang ada seorang
muslim dikeroyok sampai harus opname dirumah sakit. Bahkan seorang wanita dipaksa
melepas jilbabnya. Berita-berita itu terus menumbuhkan kekhawatiran dan sedikit
ketakutan dalam diriku. Ketakutan terhadapat keselamatan anak dan istriku. Apalagi
anakku sempat bercerita sepulang sekolah. Bahwa ada tiga orang temannya mengolok-
ngolok dan mengatakan dia seorang anak teroris. Dikarenakan ada nama Ahmad
dibelakang namanya. Anakku mulai takut ke sekolah sendiri. Ia mulai malas. Aku
berfikir lama malam itu. Apakah aku harus pergi dan kembali ke Indonesia.
Omset penjualan toko menurun drastis. Pelanggan yang biasa berdatangan tampak
mulai sepi. Mereka sudah tak mau lagi berbelanja. Sempat juga aku mendengar obrolan
seorang pelanggan kami, “buat apa beli di toko seorang musuh. Ia telah banyak
membunuh warga kita, cuiiiiih” Ia pun meludah di depan toko dan pergi. Sampai suatu
malam, jalanan nampak sepi, hanya terlihat seorang tua renta mengais-ngais sampah. Aku
dan istriku berniat untuk nutup. Tiba-tiba sebuah botol melayang dan tepat mengenai
etalase toko. Tepatnya tiga buah lemparan datang, aku mendekap istriku supaya Ia tak
terkena pecahan kaca. Para pelaku kabur setelah melempar toko kami.
Akhirnya, setelah kejadian mengerikan itu aku berfikir harus segera pindah ke
Indonesia. Karena bapak dan ibu di rumah juga selalu khawatir dengan keadaan kami.
Pagi-pagi sekali aku mengantar istri dan anakku ke bandara. Mereka harus balik duluan.
Karena aku harus mengurus tentang pemindah sahaman toko dan masalah sekolah
anakku yang harus pindah. Air mata istriku jatuh deras saat ku peluk di bandara. “Hati-
hati Ya Mas, secepatnya mas juga harus pulang”. Aku hanya tersenyum dan memeluk
mereka.
Setelah beberapa hari, urusan semuanya selesai. Kebetulan ada teman yang mau
membayar toko itu. Dengan syarat Ia harus mengganti nama toko yang semula
menggunakan namaku. Aku pun akhirnya berniat pulang.
Di bandara. Izin dan passport tambah ribet. Perlakuan mereka tak adil. Orang asli
warga sana semudahnya saja keluar masuk. Sementara aku harus melalui berpuluh-puluh
peneyelidikan. Semua badanku diperiksa. Polisi-polisi berbadan besar dan tegap. Mulai
banyak Tanya. Aku pun menjawab seadanya. Sampai akhirnya aku dipersilahkan ke lobi
bandara. Orang-orang disekitar melihatku dengan wajah sinis dan banyak yang
memperhatikan jenggotku. Aku fikir dalam hati mereka berkata, “Dasar teroris, kau
sudah banyak membunuh warga kami, jenggotmu ingin kubakar saja”. Aku tak
menanggapi mereka, aku hanya membaca sebuah buku yang dari tadi kupegang.
Sampai beberapa menit akhirnya seorang perempuan duduk disampingku.
Perempuan kulit putih dengan tinggi sedikit lebih dari badanku. Rambutnya berwarna
hitam tebal, matanya lebar dan bibirnya agak tipis. Aku seksama memperhatikannya
karena Ia duduk hanya beberapa senti saja disebelahku. Ia tersenyum tatkala pandangan
kami tepat berhadapan. Senyumnya manis sekali.
“Hello” Ia menyapaku. Aku pun tersenyum dan membalas “Hello”. Kami pun
mulai berbincang-bincang dengan bahasa Inggris. Ia orang prancis dan nampaknya juga
masih belum bisa berbahasa Inggris dengan baik.
“Mau kemana Tuan?”
“Mau balik ke Indonesia”
“Ow, kenapa harus balik?”
“Emang saatnya saya harus balik. Kebetulan istri sama anak sudah menunggu
disana. Kalo Nona mau kemana?” aku mencoba bertanya.
“Saya mau balik ke Prancis. Saya seorang wartawan yang ditugaskan disini. Saya
baru sebulan disini. Amerika memberi banyak hal baru” Ia hanya tersenyum.
“Jenggot” Ia menunjuk jenggotku.
Aku bingung kenapa ia menunjuk jenggotku.
“Kenapa?” Aku mencoba bertanya.
“Aku suka sama pria berjenggot” Ia nampak polos dalam berbicara.
“Apa kau seorang muslim?”
Aku kaget mendengar pertanyaanya.”Iya, kenapa Nona?
“Pacarku adalah seorang muslim. Ia sangat baik. Dia sudah lima tahun berkerja di
sebuah perusahaan di Perancis. Tapi, dua bulan kemarin Ia dipindah bekerja di cabang
perusahaan di sini. Ia meninggal dua minggu kemaren. Dibantai oleh dua orang pemuda
yang sedang mabok. Karena ia berjenggot. Setelah pemuda itu tertangkap. Ternyata Ia
menyimpan dendam dikarenakan Bapaknya juga meninggal dalam kejadian 11
September itu. Begitulah orang di sini. Terlalu cepat menyimpulkan. Apakah setiap
muslim teroris dan patut dibunuh? Apakah setiap orang berjenggot adalah pengikut Bin
Laden?. Apakah setiap orang muslim adalah musuh?. Aku selalu bertanya seperti itu.
Bahkan aku pernah membuat artikel seperti itu di koran. Aku dikritik oleh banyak pihak.
Tapi sesungguhnya aku hanya mencari sebuah kebenaran. Kebenaran yang sulit sekali
disini. Kebenaran yang mungkin hanya dimiliki Tuhan. Itulah sebabnya aku mengajukan
untuk pindah ke sini. Aku ingin mencari jawaban tuntas untuk masalah ini.”
Aku hanya tertegun mendengar penjelasannya. Matanya berkaca-kaca. Ia nampak
sedih harus kehilangan kekasihnya yang dibantai dengan sadis. Apa salah mereka, apa
daging mereka halal untuk di bantai dan di makan di negeri ini.
Ia pun melanjutkan pembicaraannya, “Buat apa agama kalo toh pada akhirnya
perpecahan terjadi karena agama. Apa lebih baik tidak ada saja agama tersebut. Cukup
kita meletakkan tuhan dihati kita dan berdo’a dalam kamar sendiri. Mengunci pintu rapat-
rapat. Saya selalu mendapatkan pelajaran agama dari semenjak kecil. Kebetulan ayah
saya adalah seorang yang taat. Ia selalu menjunjung tinggi Tuhan. Ia selalu mengajarkan
bahwa Tuhan itu baik, Tuhan itu selalu tersenyum dan Tuhan tak pernah diam. Lantas
apakah dengan ada kejadian seperti ini kita lantas menyalahkan satu agama. Karena saya
pun begitu tau tentang Islam. Saya banyak belajar membaca di buku-buku. Islam itu
agama yang baik. Semua agama juga baik. Hanya ada beberapa pihak saja yang
berkepentingan dan melakukan itu. Jadi tak sepantasnya kita mendeskriminisaikan
sebuah agama dan berstatemen, Islam itu Teroris. Islam itu agama yang paling keras dan
menghalalkan segala macam tindakan sadis. Itu sangat tidak benar. Karena sesungguhnya
Tuhan hanya satu dan kita menyembah dengan berbagai cara. Tapi tujuan kita hanya satu.
Memuji dan mengagungkan Tuhan. Menjalankan perintah Tuhan dengan penuh ikhlas.”
“Lihatlah beberapa kejadian, pembantaian, perang antar agama yang banyak
terjadi di setiap belahan dunia, apa motivasi mereka? Apakah mereka ingin membuktikan
agama mereka lah yang paling benar. Apa mereka ingin membuktikan Tuhan mereka
yang paling kuat. Sehingga agama lain harus dimusnahkan. Tuhan tak perlu di bela.
Tuhan itu segala maha. Ia tak perlu dibela dan diperjuangkan dengan kekerasan. Tuhan
itu di hati kita. Ia selalu menunggu dan menemani kita. Puji Tuhan”.
Matanya berkaca-kaca, waktu pun harus memisahkan kami. Pesawat akan
berangkat dan dia memberikan kartu identitasnya kepadaku. Sungguh sosok yang begitu
tegar dan berpandangan luas. Seandainya setiap orang berfikiran seperti Nona ini dan
berkelakuan seperti Mr. Robert. Tentunya dunia ini akan damai dan tak ada perang dan
ketakutan lagi. Tak ada tangis yang akhirnya merobek hati. Semua saling rangkul dan
mendukung. Pasti hidup terasa indah. Aku pun berjalan meninggalkan nona itu dan
berharap semoga usahanya tak ada yang sia-sia. Semoga jawaban yang selama ini dia cari
bias didapatkan. Dan semoga ia baik-baik saja.
*SELESAI*
AKU BUKAN PEMBUNUH BAYARAN ???
Malam legam di desaku. Aku hanya terdiam berbaring dalam kamar. Setiap
malam begitu sunyi, ngeri dan mencekam. Warga lebih banyak memilih menghabiskan
waktu dalam rumah. Bercengkerama dengan keluarga sambil nonton TV. Adapula yang
asyik bermain kartu di Pos Ronda. Nama desaku adalah Desa Rembung Papan. Aku juga
tidak begitu mengerti kenapa namanya seperti itu, dan apa arti nama itu. Tapi disinilah
aku besar, disini aku mulai mengenal hidup. Hidup yang bisa dikatakan keras dan penuh
dengan kecurangan. Para pengusaha kaya seenaknya saja mengambil tanah warga dan
membayar dengan harga relative rendah. Kemudian memperkerjakan warga sebagai kuli.
Kuli yang sehari penuh bekerja dan tersengat mentari. Hanya mendapat upah yang begitu
minim dan terkadang harus pula berhutang kepada para tengkulak.
Tapi apa boleh buat, warga di sini sebagian besar hanya berpendidikan rendah.
Tidak mempunyai fikiran luas untuk melawan pihak yang kaya. Mereka hanya pasrah
dan cukup tersenyum saat dibagikan uoah sore harinya. Upah yang hanya cukup untuk
makan. Upah yang membuat mereka sering sakit-sakitan karena pekerjaan yang berat dan
uang berobat yang lumayan tinggi. Ujung-ujung mati tanpa pernah mendapat pelayanan
yang maksimal. Yah, Uang. Uang adalah segalanya. Uang adalah Tuan. Uang begitu
dipuja dan diagung-agungkan. Demikian juga dengan aku, apapun akan kulakukan demi
uang. Apapun itu.
Aku masih saja termenung. Mak ku di kamar sebelah sakit-sakitan. Batuknya
berdentang sepanjang malam. Yah sudah bertahun-tahun batuk itu semakin menjadi-jadi.
Batuk yang terkadang membuatku takut. Batuk yang membuatku selalu berfikir apa aku
harus kehilang begitu cepat sosok seorang Ibu. Ibu adalah satu-satunya yang kupunya
setelah bapak dan kakakku meninggal tertabrak kereta dua tahun lalu. Waktu aku masih
duduk di kelas tiga SMA. Aku kehilangan beliau. Aku terguncang waktu itu, betapa
tidak, Beliau adalah satu-satunya penopang keluarga. Sementara tekad ku saat itu adalah
menyelesaikan SMA dan hendak kuliah di luar kota. Kuliah, demi semua cita-citaku
untuk meningkatkan taraf hidup keluarga. Jujur saja, aku bosan dengan kemiskinan. Aku
bosan dengan segala kekurangan. Aku bosan mendengar ibu dan bapak bertengkar hanya
karena masalah ekonomi.
Namun apa daya, sejak bapak meninggal. Kehidupan keluargaku semakin sulit.
Ibu harus bekerja siang dan malam. Sampai akhirnya ia hanya diam kaku dirumah
menikmati sakitnya. Selepas SMA, aku putuskan untuk bekerja di pasar. Menjadi kuli
tepatnya. Mengandalkan tenaga mengangkat berkintal-kintal beras setiap harinya dengan
upah yang begitu minim. Aku hanya ingin melihat Ibuku sehat dan bahagia sehingga apa
pun akan kulakukan demi dia. Dia adalah kekuatan yang membuat saya bertahan
mengarungi semua ini.
Tiba-tiba desa ini tak lagi sunyi. Suara warga riuh di luar. Seperti sedang ada
pembagian beras atau zakat dari orang-orang berduit. Ibuku yang lagi sakit pun berusaha
keluar kamar mencari tau ada apa sebenarnya diluar. Aku hanya membuka tirau jendela
dan melihat keluar. Kebetulan kamarku terletak pas di pinggir jalan. Begitu dekat dengan
kumpulan warga yang ricuh. Aku melihat dengan jelas seorang satpam menggelatakkan
sekujur tubuh. Tubuh seorang lelaki yang nampak kekar. Kacamatanya masih terpasang.
Bercampur darah. Tubuh yang sudah kehilangan nyawa. Dengan lubang peluru tepat
dikeningnya. Memang kejam.
Para tetangga mulai sibuk bertanya dan menerka-nerka. Setelah sekian lama
diketahui mayat itu adalah mayat seorang pengusaha yang sekian tahun menguasai pasar.
Semua warga mengambil stok barang dari dia. Mendapat upah minim sedang dia
mendapat upah sekian lipat dari barangnya. Tubuh itu diam. Malam semakin gelap.
Warga semakin berduyun melihat kejadian. Aku hanya melihat dari balik jendela. Aku
hanya termenung melihat kejadian itu. Sontak, dusun ini menjadi ngeri. Semakin ngeri
sejak penemuan mayat itu.
Orang-orang bertanya-tanya. Siapa yang membunuhnya?. Pertanyaan it uterus
mengalir beberapa hari.
“Ah, paling dibunuh sama saingan bisnisnya”
Yang lain berkata,
“Mungkin ada yang tidak suka dengan sikapnya selama hidupnya. Biasalah, orang
ini kan pelit. Selalu makan dari keringat warga. Wajarlah ada berbagai pihak yang
dendam dan membunuhnya.”
Begitulah obrolan sehari-hari yang kudengar. Mulai di warung kopi, ibu-ibu yang
lagi asyik ngumpul. Bahkan di pasar, semua membicarakan hal itu. Aku seperti biasa
hanya terdiam tak pernah menanggapi apa pun. Aku memilih untuk tidak berkata apa-
apa. Sementara di rumah, ibuku mulai sakit-sakitan. Batuknya tambah parah. Aku
memutuskan mengajak meriksa ke puskesmas. Ibu semula menolak, “Biarlah, uang itu
pakai aja membeli beras, besok juga baikan kok”, Ia selalu berkata demikian. “Ada uang
lebih Bu” Aku mengeluarkan sejumlah uang dikantongku. Ibu ku nampak heran melihat
uang dalam jumlah lumayan banyak. “Uang dari mana nak?” tanyanya. “Kebetulan tadi
pagi banyak kerjaan, lumayanlah dapat banyak”. Ibu diam, ia tak bertanya lagi, ia tak
pernah terlalu bertanya. Karena Ia sadar aku sudah dewasa.
Akhirnya Ibu pun mau kubawa ke puskesmas. Sepulang dari puskesmas, aku
menyempatkan diri ke took. Membeli spring bed, dikarenakan aku tak tahan melihat Ibu
hanya beralaskan tikar dalam keadaan sakit begini. Ibu hanya tersenyum, “Makasih Nak,
mudah-mudahan Gusti Allah selalu melimpahkan rezekinya untukmu” Ibu seakan ingin
menetes air mata. Tangannya masih mengusap rambutku. Aku senang dan bahagia
melihat Ibuku juga tersenyum.
Hari itu kami makan enak, aku membeli dua bungkus nasi di warung makan
sebelah. Tanpa sengaja di warung tersebut, aku bertemu dengan Pak Sulaiman. Pak
Sulaiman adalah seorang pengusaha tembakau yang kaya raya. Tanahnya di mana-
dimana dan bahkan Ia sering ke luar kota mengurus bisnis-bisnisnya. Aku pernah bekerja
setahun lalu di kebunnya. Mengurus kebun dan beberapa binatang piaraannya. Ia
memberiku sebungkus rokok dan mengajakku ngobrol sebentar. Hari itu ia nampak
galau. Seperti ada beban dalam kepalanya, seperti ada urusan yang harus ia selesaikan
dengan meminta bantuanku. Setelah mengobrol, aku pun pulang membawa dua bungkus
nasi untuk ku makan bersama ibu.
Ibu tampak lahap makan siang ini. Dikarenakan lapar atau mungkin tumben
makan dengan menu seenak ini. Dengan daging, paha ayam dan cumi goring. Aku
tersenyum memandang Ibu. “Kamu gak makan Nak?”. Ia menyapaku karena melihatku
yang hanya diam tidak menyuapkan nasi sedari tadi. Aku pun tersenyum dan mulai
menyuapkan nasi. Ibu istirahat sehabis makan, ia tampak lelah karena lumayan jauh
perjalan ke puskesmas tadi.
Aku masuk ke kamar, membuka sebuah lemari yang selalu ku kunci rapat. Aku
mengeluarkan sebuah kotak kecil dan mulai berfikir. Sambil mulutku tak henti megisap
rokok yang terus menyala mengeluarkan asap. Asap putih yang terbang dan keluar dati
balik jendela. Aku akhirnya keluar dan pamit sama Ibu. Ibu sangat ikhlas melepasku
maghrib itu. Suasana desa mulai sepi lagi. Mendung menyelimuti. Gumpalan awan tebal
seakan enggan memberi sedikit saja celah untuk sinar bulan. Hanya ada dua orang satpam
yang mulai bermain kartu dan berjaga di pos ronda. Aku pun menyapa mereka.
“Permisi bapak-bapak, asyik kayaknya main kartunya”.
“Eh, mas Ilham, mau kemana?” satpam yang agak kurus menyapaku.
“mau nyari kopi Pak, dingin…”
“Oalah dingin, makanya buruan kawin” Mereka seperti biasa mencandaiku.
“Kalo Jodoh mah pasti datang kalo dah waktunya”
“Ya kalo ga dicari mana bisa dating” mereka serempak tertawa.
Aku hanya tersenyum. Mereka selalu mencandaiku seperti itu. Selalu nyuruh
kawin. Padahal umurku baru 22 tahun. Aku rasa belum saatnya memikirkan itu. Aku
harus bias membuat Ibuku bahagia dan paling tidak bias membeli sebuah rumah yang
layak untuk kami tempati. Baru berani ngawinin anak orang. Begitulah pola pikirku.
Meskipun banyak teman sebayaku sudah kawin dan malahan banyak yang sudah punya
anak satu. Tak sedikit pula yang harus cerai karena terbelit masalah ekonomi. Itulah yang
sangat aku takutkan. Sangat kutakutkan. Akhirnya aku pun permisi kepada kedua satpam
itu. Mereka melanjutkan lagi permainannya. Malam pun semakin gelap. Hujan besar
membasahi penjuru dewasa. Petir menggelegar dan sesekali menyambar. Membuat
sebagian orang mengunci pintu rumah rapat-rapat.
***
Tepat jam satu malam aku pulang. Ibu ku keluar membukakan pintu. Seperti
biasa, Ia tak pernah bertanya sudah dari mana. Ia hanya tersenyum dan berkata,
“makanan ada di dapur Nak, Ibu masak telur hari ini. Kebetulan masih ada sisa uang
kematin yang kamu kasi”. Aku hanya tersenyum dan langsung masuk ke kamar. Melihat
tetesan hujan yang sesekali menyelinap dari genteng rumah yang bocor. Petir
bergemuruh, lagi-lagi warga riuh. Ada yang berteriak dan ada pula yang berlari. Pak
satpam lagi-lagi menemukan mayat. Seperti biasa ia geletekkan di pinggir jalan. Persis di
dekat jendela kamar. Aku hanya membuka jendela dan mulai memperhatikan dengan
seksama.
Seonggok badan kurus. Dengan rambut ikal dan sudah beruban. Sebuah peluru
menembus dadanya. “Saya temukan dipinggiran sungai, saya waktu itu mau buang air,
eh, ketemu mayat lagi” Begitulah pengakuan satpam itu. Aku mendengarkan dengan
seksama. Petugas mulai berdatangan menyelidiki. Hujan menetes membawa darah yang
mengucur ditubuh mayat itu. Para warga mulai terbiasa dengan kondisi itu. “Ah, mayat
lagi. Pak Idris ya?” Nampak seorang warga bertanya. “Biasalah, saingan bisnis, pak Idris
baru saja mendapat kontrak oleh Bupati untuk beberapa proyek.”. “Ga usah berkata
begitu, ga baik” nampak seorang menegurnya. Tangis pilu dari keluarganya pun
terdengar. Mayat itu dibungkus rapi, namun darah masih tampak mengucur menembus
kain tipis yang menutupi tubuh itu.
Beberapa kejadian mulai banyak terjadi. Beberapa mayat sering ditemukan
dimalam itu. Polisi terus mencari apa penyebab kematian itu. Apa mungkin penjahatnya
begitu professional hingga jejaknya belum bias diendus. Atau mungkin ada sosok
pembunuh yang bekerjasama dengan jin. Begitulah opini-opini warga. Karena
masyarakat sini masih sangat percaya dengan hal-hal yang berbau tahayul.
***
Sekian malam, keadaan semakin mengerikan. Aku memutuskan untuk keluar. Ibu
ku nampak khawatir malam itu. Biasanya dia melepasku dengan senyuman manis di
bibirnya. Tapi entah kenapa malam ini Ia hanya terdiam, bibirnya datar tak menyungging
senyum. Aku mencium tangannya dan ia hanya berkata, “Cepet pulang ya Nak”.
Aku pun beranjak dan melangkah jauh dari teras rumah. Hujan mulai deras.
Hamper setiap malam hujan turun dan lampu pasti mati. Maklum, dusun ini belum
mendapat aliran listrik yang layak. Dan setiap malam selalu bergantian mati dengan
dusun tetangga. Kadang-kadang jatahnya sama-sama seminggu. Begitulah setiap
malamnya.
Malam pun semakin lurut. Ibu sendirian di rumah. Mungkin ia sedang asyik
bertasbih atau berdo’a tak henti-henti untuk keselamatan anaknya. Atau mungkin juga
sedang terbaring lesu dengan kesakitannnya. Entahlah, ia hanya sendiri di rumah. Aku
meninggalkannya sejak maghrib tadi.
Riuh warga mulai terdengar. “ada mayat lagi..!!”. Sorak sorai warga menembus
malam. Ibuku terkaget dan keluar ditemani lampu senter yang redup. Ia nampak mulai
masuk di kerumunan warga yang sedang ramai. Betapa kagetnya ia, melihat sekujur
tubuhku tergeletak dengan dada ditembus dua peluru. Jerit tangisnya menyeruak
membelah malam. Matanya bening dan pipinya merah merekah. Aku bisa melihatnya
sebelum aku benar-benar menghembuskan nafas terakhir.
“Ia ditembak polisi”. Begitulah warga menjelaskan.
*SELESAI*
AKU SEORANG SAKSI YANG DILEMAOleh : Rifat Khan
Tepat jam sembilan pagi. Aku sudah berada di ruang sidang. Menjadi saksi.
Sebuah hal baru dalam hidupku. Karena sampai saat ini aku belum pernah sama sekali
berurusan dengan yang namanya hukum. Tapi hari ini, mau tak mau aku harus duduk di
sini dan berbicara sejujur mungkin tentang apa yang menimpa kakakku. Satu-satunya
kakak lelaki yang terbunuh beberapa hari lalu. Dan aku berada di sana pada saat itu.
Sebuah kejadian yang selalu membuatku menitik air pada sampai pada hari
ini. Kakakku bernama Toni, seorang mahasiswa semester akhir. Ia lumayan cerdas dan
sering mendapat beasiswa beberapa tahun terakhir. Bahkan Ia akan direkomendasikan
untuk mendapatkan beasiswa S2 dan melanjutkan sekolah ke luar negeri. Namun apa
daya, malam Kamis yang begitu na’as. Ia menghembuskan nafas terakhir setelah
beberapa botol lebur menghujam kepalanya. Sangat perih. Aku hanya terdiam melihat
nafasnya terengah dan sakit menahan sekarat.
Ruang sidang masih sepi dan sang hakim baru saja duduk ditempatnya. Para
pengunjung sudah mulai nampak berdatangan. Dapat kulihat dengan jelas, Bapak, Ibu
dan seorang adikku yang duduk berjejer di deretan bangku depan. Bapak mulai sakit-
sakitan sejak kematian Toni. Pukulan yang sangat berat bagi seorang bapak seperti dia.
Betapa Toni adalah seorang anak kebanggaan bapak. Anak yang cerdas dan sangat rajin
membantu orang tua. Bagaimana tidak, sehabis pulang kuliah, ia selalu menyempatkan
diri ke pasar membantu bapak untuk berjualan. Dan pada malam hari ia bekerja disebuah
toko untuk mencari uang jajan sendiri. Ia tak pernah merepotkan orang tuanya. Betapa
kuliahnya pun sama sekali tak pernah minta uang kepada bapak. Bahkan sesekali ia
memberi adiknya uang jajan jika ada uang lebih ia dapatkan.
Aku masih ingat jelas, setiap pagi bapak selalu memarahiku setiap aku telat
bangun, “Lihat kakakmu si Toni. Ia selalu bangun shubuh-shubuh ke musholla, adzan,
kamu ini apa, cewek kok bangun seginian, rezekimu duluan dipatok ayam. Dasar anak
cewek, maunya dimanjain aja” Begitulah ayah selalu dan hampir membanding-
bandingkan anak-anaknya. Selalu ia menyuruh kami mencontoh pada Toni. Sama sekali
tak ada celanya di mata ayah.
Karena memang demikian, menurutku juga Ia sosok yang sangat baik. Ia
selalu peduli dan jauh mementingkan kebutuhan adik-adiknya ketimbang kebutuhannya
sendiri. Ia sangat jarang jajan di luar dan ia juga memang tidak merokok. Sebagian besar
uang yang ia peroleh digunakan untuk biaya kuliah, biaya adik-adiknya dan sebagian
mungkin di tabung. Namun terkadang ada hal yang tidak ku suka darinya. Ia selalu
mengurus masalah ku. Dengan siapa aku pacaran, bagaimana sikap pacarku dan siapa
pacarku. Aku sadar, semua ia lakukan karena ia sayang padaku. Ia tak ingin aku memilih
seorang pacar yang menurutnya tidak baik.
Ruang sidang sudah mulai penuh. Para jaksa penuntut dan seorang pengacara
sudah memasuki bangku persidangan. Dan yang ditunggu-tunggu tampak berjalan pelan
menuju ruang sidang. Tersangka, begitulah ia disebut. Namanya Aldi. Nama yang begitu
dekat denganku beberapa bulan terakhir ini. Kami pacaran selama 7 bulan dan Aldi
merupakan teman sekelasku dan kami sedang menginjak kelas dua di bangku SMA saat
ini. Aldi, sebagian orang di ruangan ini mungkin membencinya. Sebagian lagi mungkin
mencaci dan menghujatnya. Matanya tampak beku. Ia sesaat menatapku, tatapannya
kosong namun dapat kurasakan kasih sayangnya masih sama seperti kemarin-kemarin.
Sedetik ia mencoba tersenyum padaku. Aku hanya bisa memandangnya, mukanya pucat
dan sebuah goresan luka dipipinya yang masih mengandung darah. Ia nampak tegar.
Seorang yang begitu pernah mengisi kekosonganku selama ini.
Beberapa kali ia pernah ribut dengan para preman di jalan. Lantaran si preman
terlampau sering menggodaku. Aku ingat dengan jelas, malam itu Aldi meneleponku
memintaku menemuinya ditempat ia biasa nongkrong dengan teman-temannya. Tempat
yang tak begitu jauh dari rumahku. Ia bilang ia begitu kangen dan belum berani ke rumah
dikarenakan mas Toni, kakakku yang sudah meninggal, tak pernah ramah padanya.
Karena mas Toni sudah mengenal betul siapa Aldi. Mas Toni sering berkata, “Dek,
tolonglah kakak minta untuk tidak terlalu dekat dengan Aldi. Bukannya kakak sok ikut
campur mengurus semuanya. Tapi kakak hanya ingin adek mendapat yang jauh lebih
baik. Aldi tidak begitu baik. Setiap malam sehabis dari toko, kakak selalu melihat mereka
ngumpul dengan botol-botol minuman berserakan dengan beberapa temannya. Ada yang
sampai pungsan dan terkujur di jalan. Ada yang ngoceh sembarangan dan teriak-teriak.
Cobalah berfikir dek, sesayang apapun kita sama seseorang. Jikalau sifat dan perilakunya
seperti itu. Kakak yakin, rasa sayang itu bisa hilang. Apa yang bisa diandalkan dari lelaki
seperti itu. Apakah ia bisa menjadi seorang pemimpin kelak bagi kamu dan anak-anakmu
kalau setiap malam ia hanya mabok-mabokan. Paling-paling adek hanya jadi pelampiasan
marahnya. Dengarlah kakak sekali saja”. Aku hanya bisa terdiam mendengar ucapannya.
Aku tak pernah melawan tapi tak pernah juga berhenti menyayangi Aldi. Ia terlampau
baik bagiku. Ia selalu ada kapan pun di saat aku butuh. Di depanku ia begitu sopan dan
ramah, meskipun kebanyakan orang berkata ia hanya sampah masyarakat. Dan sampah
sepatutnya ada di bak samapah. Aku tak peduli. Aku sayang sama dia. Toh, walaupun dia
sering mabuk, tapi ia selalu tak pernah bohong dan tak pernah menyakiti.
Begitulah, selain bertemu di sekolah, kami selalu bersembunyi tiap kali
ketemu dari penglihatan mas Toni, aku selalu menemuinya kapan pun ia minta.
Terkadang aku berlasan keluar motocopy atau mungkin pergi membeli jajan. Ayah selalu
curiga dan selalu ngomel tiap aku minta izin. Tapi itulah kekuatan cinta yang kami miliki,
aku selalu tak peduli dan terlanjur sangat sayang padanya. Sedikit pun tak ada keburukan
darinya. Yang ia tanam hanya senyum. Senyum yang begitu berbeda kulihat di ruangan
ini. Aldi nampak memakai sehelai kemeja putih. Dengan rambut yang mulai agak
gondrong. Dan nampaknya berhari-hari tak disisir. Aku bisa menangkap keresahan dan
ketakutan yang menggantung dibenaknya.
Sesekali ia memandangku. Aku pun sesekali memandangnya. Namun aku
sangat bingung. Aku berada di sidang ini sebagai musuhnya. Sebagai seorang saksi yang
akan menjerumuskannya ke penjara. Beberapa tahun atau mungkin bisa saja seumur
hidupnya. Fikiranku begitu kosong, di pihak lain keluargaku berharap aku mengatakan
sejujur-jujurnya tentang kejadian itu. Sehingga pembunuh kakak ku bisa merasakan
balasan yang setimpal dengan apa yang di dapat anaknya. Di sisi lain lagi aku harus
membuat orang yang begitu kusayang dan juga sangat mencintaiku mendekam di dalam
jeruji besi. Namun kebenaran tetap akan menjadi kebenaran. Kebenaran akan terkuak
sejauh mana pun orang menyembunyikannya. Kebenaran adalah sebuah kebenaran.
Tibalah saatnya, seorang hakim meminta menghadirkan seorang saksi tunggal.
Aku pun berjalan ke tengah ruang sidang. Duduk di sebuah kursi dengan detak jantung
berdegup tinggi. Aku memandang semua keluargaku yang masuh duduk sedari tadi
kemudian mengalihkan pandanganku ke arah Aldi. Ia hanya menunduk dan
pandangannya tak tertuju padaku. Air mataku menitik sesaat sebelum seseorang
mangangkat sebuah Al-quran tepat di atas kepalaku. Bibirku gemetar dan tanganku serasa
berat. Aku pun berbicara.
“Malam itu, tepatnya malam Kamis. Aku meminta izin kepada bapak untuk
membeli sebuah buku. Bapak enggan memberiku izin. Namun aku terus merengek
meminta izin pada Bapak. Dan ia mengizinkanku keluar paling lama hanya setengah jam.
Aku sangat bahagia keluar teras rumah. Dikarenakan aku berhasil membohongi bapak.
Aku berkali-kali membohongi beliau. Maafkan aku Pak.”
Sambil aku menoleh bapak yang masih duduk kaku dibangku paling
depan.Bapak pun memandangku dengan tajam. Mata itu tampak berair. Aku pun
melanjutkan pembicaraan.
“Aku pun berjalan, karena tujuanku sebenarnya adalah menemui kekasihku.
Kekasihku adalah Aldi, yang kini menjadi tersangka. Aldi, kekasih yang sangat baik dan
selalu memenuhi semua keinginanku. Namun sayang, kakakku yang kini jadi korban,
Toni, selalu memandangnya sinis. Selalu beranggapan bahwa Aldi hanya seorang
pemabuk dan tak pantas sama sekali dekat denganku. Karena kami dari keturunan baik-
baik. Mengingat ayah kami adalah seorang imam Masjid. Begitulah, mas Toni tak pernah
memandang kebaikan kepada tersangka Aldi.”
Para pengunjung sidang mulai riuh mendengar setengah penjelasanku. Ada
yang mulai keluar karena sidang tidak menarik atau memang ada kewajiban yang harus
dikerjakan. Hakim memintaku melanjutkan penjelasanku. Dengan gemetar aku pun
berucap, “Mas Toni seperti biasa berjualan di Toko setiap malam dan pulang sekitar jam
setengah sepuluh malam. Mungkin bapak dan dan Ibu dirumah sangat khawatir karena
sampai jam segini aku belum pulang jua. Biasanya aku hanya setengah jam bertemu
dengan Aldi. Tapi malam itu entah kenapa sudah hampir dua jam aku masih bersamanya.
Aldi malam itu bercerita masalah orang tuanya yang sering bertengkar. Bapaknya sering
meninggalkan Ibunya dan pulang pagi. Ibu nya selalu menuduh bapaknya selingkuh.
Sehingga orang tuanya selali ribut dan berujung pada pertengkaran. Sebagai seorang
pacar, aku mendengar curhatnya malam itu. Sesekali menjawab dan memberi masukan.
Berharap ia bisa sedikit tenang. Aldi, malam itu seperti biasa habis menenggak berbotol-
botol minuman keras. Namun malam itu Ia sendiri. Teman-temannya tak ada satu pun.
Karena biasanya mereka selalu kumpul. Kami hanya berdua malam itu. Malam sangat
sepi sekali. Aku sesekali mengelus rambutnya memberinya perhatian. Karena aku sadar
dia hanya bisa bercerita padaku. Menceritakan segala keluh kesahnya karena ia hanya
percaya padaku.”
“Bagaimana pun orang bilang, Aldi adalah seorang yang super baik
terhadapku. Seorang yang bisa disebut sebagai pacar sebenarnya. Ia mampu
melindungiku dan menjaga harga diriku sebagai seorang wanita. Meskipun tampangnya
agak ugal-ugalan. Meskipun cemo’oh warga tak henti menghina dan merendahkannya. Ia
selalu senyum walau jauh dikedalaman hatinya ia sedih dan menangis sekeras-kerasnya.
Malam itu, sudah jam sembilan lebih, aku sebenarnya sangat ingin pulang. Namun apa
dayaku. Aldi sangat membutuhkanku malam ini. Aku tak kuasa untuk
meninggalkannya.”
“Dari kejauhan aku melihat sebuah lampu sepeda motor. Hal yang kutakutkan
benar-benar terjadi. Mas Toni lewat sepulang dari toko. Tepat sekali, lampu sepeda
motornya mengarah pada kami yang lagi duduk berdua dalam kondisi Aldi memelukku.
Sepeda motor itu berhenti. Mas Toni beranjak turun dari motornya”.
“Apa-apain ini” mas toni berteriak dan menarik tanganku. “Pulang
kamu…!!!” sementara Aldi langsung terbangun memegang tubuhku. “Santai aja Mas”
Aldi mencoba melerai tangan mas Toni. Mas Toni tak kuasa menahan marahnya.
Gumpalan tangan kanannya menonjok pipi Aldi. Aldi tersungkur. Mas Toni terus
menarik tanganku sekuat-kuatnya. Aldi beranjak bangkit dan memegang sebuah botol.
“Dasar anak nakal, malam-malam gini masih bersama bajingan, bajingan selamanya
bajingan. Lihat keluarga pacarmu itu. Bapak sama anak semuanya ga bermoral. mau jadi
apa kamu?” mas Toni terus ngomel dan mencaci sembari menarik tanganku untuk naik di
motornya. Dan tiba-tiba dari belakang, aldi sudah memegang dua buah botol minuman.
Dalam hitungan detik aku hanya mendengar suara botol pecah di kepala mas Toni. Aku
terkaget dan coba melerai aldi. Namun apa dayaku sebagai perempuan, tangan Aldi
terlalu kuat dan Ia terus memukul kepala mas Toni. Hampir lima pukulan dengan dua
buah botol. Mas Toni tergeletak, tubuhnya yang tegap jatuh dengan darah mengalir keras
di kepalanya. Aldi hanya terdiam melihat kejadian itu. Sementara aku menangis sekeras-
kerasnya melihat tubuh kakak ku terbaring tak berdaya. Dan warga mulai berdatangan.
Sebelum sampai dirumah sakit mas Toni menghembuskan nafas terakhirnya karena
terlampau kehilangan banyak darah.”
“Begitulah Pak Hakim cerita sebenarnya”. Aku mengusap air mataku yang
mulai jatuh dengan sebuah tisu. Aldi tertunduk lesu memandangku. Aku lega bisa
mengatakan kejadian sebenarnya dan resah menanti hukuman apa yang diberi kepada
Aldi.
Desember 2011
*SELESAI*
INGATAN TENTANG PEREMPUAN YANG MENCINTAI PUISI
Sore ini, aku seperti biasa pergi untuk menginap di masbagik bersama seorang kawan. Mungkin setiap satu kali dalam seminggu aku membiasakan diri ke masbagik setelah merasa penat dengan kondisi di Pancor. Paling tidak di sana aku bisa merasakan suasana sunyi dan sedikit suasana persawahan. Perjalanan kali ini tak seperti biasanya, karena sama sekali tidak diiringi gerimis atau pun hujan. Karena mungkin kebetulan atau apa, biasanya setiap ke Masbagik selalu diiringi hujan atau pun gerimis. Mungkin pula karena sore tadi gadis itu menyempatkan diri berkunjung dan ngobrol disampingku selama kurang lebih setengah jam. Ah, kenapa aku mengingat gadis itu. Ya, aku harus mengingatnya dalam perjalanan ini. Sore tadi, ia berbicara tentang kecintaanya terhadap menulis. Khususnya puisi. Karena beberapa tahun terakhir ini pun aku merasakan perasaan cinta yang tulus terhadap puisi. Cinta yang mungkin bisa memberi nyaman, tanpa sakit hati dan cemburu. Aku mencintai segala hal tentang puisi. Mungkin demikian pula dengan gadis itu. Ia mulai giat menulis dan bertanya tentang puisi. Kepada siapa saja yang ia rasa cukup mampu menjawab segala tanyanya.
Aku menamakan gadis itu Aida. Entahlah, mungkin terlalu jauh dari kebiasaan orang memanggilnya. Gadis yang begitu mencintai puisi. Gadis yang seringkali menunggu gerimis jatuh dikamarnya, bahkan sering juga menatap bulan yang mengintip dari jendela sembari ia menggores pena pada selembar kertas. Menulis tentang perasaan cinta, sedih, rindu, benci bahkan
tentang kesepian yang seringkali mengetuk-ngetuk hati dan mengisi jiwanya.
Kesepian ? Gadis secantik itu bisa kesepian ? mungkin pertanyaan ini akan muncul dari kamu atau siapa saja yang pernah secara langsung menatap gadis ini. Matanya yang tajam dan indah. Alisnya yang tumbuh beriring. Hidung dan bibirnya yang serasi dalam satu garis. Atau mungkin dagunya yang tajam dengan wajah yang manis. Senyum yang ramah dan tutur yang agak lembut. Pasti banyak lelaki yang ikhlas mengemas seluruh cintanya dalam kotak-kotak emas dan dipersembahkan utuh untuknya. Mungkin saja, karena ia pun pernah bertutur tentang sekian banyak lelaki yang menaruh hati padanya. Di antara sekian lelaki itu, ada yang menyatakan cintanya dengan biasa saja dan sewajarnya. Tak jarang pula yang melakukan pendekatan berlebihan, dengan mengisikan pulsa setiap hari, mentraktir makan di setiap kesempatan, bahkan menelpon hampir di setiap menit. Dengan pertanyaan-pertanyaan umum, lagi apa ? Sudah makan ? apa kabar ? sudah mandi?. Paling tidak pertanyaan seperti itu.
Namun seperti biasa, gadis itu hanya tersenyum dan berucap terima kasih kepada siapa saja yang menaruh perhatian kepadanya. Ia tak mau terlalu jauh memberi harapan atau pun menanam benih cinta kepada salah satunya. Mungkin ia enggan membuka hati terhadap lelaki. Mungkin pula ia mempunyai janji untuk fokus terhadap kuliah dan menjadikan cinta dan pacaran bukan sebagai prioritas utama sebelum mencapai wisuda dan memberi senyum terindah di wajah ayahnya. Entahlah, yang pasti saat ini ia selalu sendiri dan tetap sendiri.
Lumayan lama mengingat gadis itu. Tidak terasa perjalanan sudah sampai ke masjid Dasan Lekong. Ingatan-ingatan tentangnya masih membias. Gadis yang mulai suka menyanyikan lagu Adele yang judulnya Someone Like You. Mungkin sebagian besar cewek sedang mengganderungi lagu ini. Dan dia salah satunya. Aku tak pernah mendengarnya bernyanyi secara langsung. Mungkin karena ia terbiasa agak sedikit malu. Bibirnya kadang kelu jika di suruh bernyanyi langsung. Entah kenapa ia suka dengan lagu ini. Apakah karena lagu ini lumayan mellow atau karena sura khas penyanyinya yang awalnya dia mengira bahwa yang menyanyikannya adalah seorang cowok. Someone like you berarti seseorang yang sepertimu. Jika dilihat arti lagu ini secara umum menceritakan tentang bagaimana seorang perempuan mencoba bertahan setelah ditinggal kekasihnya menempuh hidup baru bersama perempuan lain. Dan ia mempunyai satu harapan suatu saat nanti akan menemukan seorang yang mirip atau mungkin sama dengan kekasihnya tersebut. Mungkin karena ceritanya pula ia menggemari lagu ini. Atau teringat dengan cinta pertamanya waktu di bangku sekolah dulu. Mungkin saja, karena ia pernah berucap kalau ia hanya pernah sekali pacaran waktu SMA. Ia pernah tersakiti karena ditinggal sama kekasihnya itu. Sehingga sampai sekarang ia masih tak mau lagi mengikat janji hati dengan seorang lelaki. Aku hanya menebak, mungkin pula ia masih mencari lelaki yang paling tidak mirip dengan kekasihnya dulu. Lelaki yang mungkin dia anggap menyerupai nabi. Seperti yang sering ditulis di beberapa puisinya. Karena aku juga sering membaca puisi-puisinya. Ia sosok wanita yang cukup tegar. Ia tak pernah takut
sendiri meski jauh dari kedua orang tuanya. Namun sesekali ia pun kadang lemah dan menangis. Ini sangat wajar karena ia wanita.
Pernah juga ia berkata untuk berhenti menulis. Dikarenakan ia merasa tulisan-tulisannya hanya sebuah sampiran, tidak mempunyai makna yang pasti. Tanpa pernah Ia sadari bahwa setiap tulisan yang muncul dari hati pasti mempunyai makna. Paling tidak bagi si penulisnya sendiri. Seperti aku, aku merasa menulis puisi adalah salah satu cara mengingat sejarah tentang diri kita sendiri. Karena aku yakin, sebagian besar penulis menulis apa yang sedang ia rasakan saat itu. Namun keputusasaannya tentang menulis terjawab sudah setelah pesannya masuk di handphoneku berbunyi, “Puisi ku hari ini berjudul Aku menunggumu di jendela ini”. Aku hanya berucap dalam hati, alhamdulillah ia menulis lagi. Karena terus terang saja. Aku sangat menyukai seorang yang suka menulis. Apalagi ia perempuan. Mungkin aku juga merasa telah salah mencintai seseorang yang sama sekali tak pernah membaca dan menghargai puisiku. Padahal sudah berpuluh-puluh puisi yang ku tulis tentangnya. Mungkin ini adalah kesalahan sejarah seperti yang sering diucap oleh seorang kawan. Sudahlah, lupakan tentang perempuan yang satu ini. Aku mulai lagi menutur tentang gadis pencinta puisi ini. Satu hal lagi yang sering membuat aku terkesan adalah ketika tiba-tiba dia mengirim pesan ke handphone ku. Ia terlalu sering mengirim kata-kata yang ada dalam puisiku. Itu merupakan sebuah penghargaan yang luar biasa. Paling tidak ada yang membaca dan mengingat beberapa larik puisiku.
Aku tak pernah sekalipun mengunjungi tempat kostnya. Walaupun ia sesekali menyuruh berkunjung disana. Mungkin di dinding kamar kostnya banyak tertempel beberapa lembar puisi. Puisi tentang Ibu atau mungkin puisi tentang rindu yang sering mengganggu. Aku terlalu takut terkurung dalam definisi puisi yang sampai sekarang aku tak tau definisi pastinya. Aku terlalu takut jika tak mampu menjawab berbagai pertanyaan tentang tulis menulis. Karena jujur saja, teori yang kufahami masih sangat minim. Aku pun terlalu takut lama memandangnya sehingga aku tak bisa mengelak untuk selalu mengingat dan menuangkannya dalam berbagai puisi yang akan kutulis nantinya. Ketakutan semacam ini sudah pula kualami beberapa bulan lalu. Ketakutan yang terus kutuang dalam berbagai puisi dan mendeskripsikan setiap geraknya melalui bait-bait yang mungkin menurut beberapa orang indah. Mungkin pula menurut beberapa orang hanya sebuah tulsian tanpa makna.
Perjalanan kali ini sudah sampai di perempatan masbagaik. Di sana kami putuskan untuk berhenti sejenak mencari warung untuk membeli lauk makan malam. Akhirnya kami pun berhasil menemui sebuah warung dengan menu sederhana dan pastinya juga dengan harga yang bisa terjangkau. Karena beberapa bulan terakhir keuangan di kantong sangat minim. Hehehe. Aku menyempatkan diri mengirim sebuah pesan kepada gadis ini. Pesan itu berbunyi, “Aku menggambar wajahmu di perempatan masbagik”. Beberapa saat kemudian datanglah sebuah pesan balasannya, “Hehehe, asal jangan digambar di tempat parkir”. Begitulah ia membalas dengan sederhana. Tentunya diawali dengan ketawa yang terbiasa ia tulis di setiap
awal pesan. Aku tak mungkin menggambarnya di tempat parkir. Dan jika pun mungkin, tempat apa pun tak akan bisa menghalangi. Bisa saja jika tempat parkir itu memberi kenyamanan dan lantas membuat hati bahagia. Sehingga kita memperoleh surga disana. Yah surga, lagi-lagi pertanyaan yang sering ia ucap. Apa surga itu, bagaimana bentuknya dan apa warnanya. Pertanyaan yang satu orang pun belum bisa menjawab dengan pasti. Dan aku hanya mendeskripsikan surga itu adalah suatu kebahagiaan. Jika semua kebahagiaan hati dan jiwa sudah bisa kita dapat. Maka surga itu sudah ada dalam diri kita. Itu menurutku. Bagi orang lain, mungkin akan banyak definisi-definisi tentang surga itu.
Akhirnya tepat pukul tujuh lewat lima belas menit kami pun sampai dirumah. Sembari menghela sedikit nafas menunggu hidangan makan malam. Selepas makan malam aku lantas menulis tulisan ini. Hingga saat menulis paragraph terakhir ini, hujan deras berjatuhan di atas genteng. Rasa dingin yang harus dilawan dengan segelas kopi hangat. Karena cuaca di daerah ini lumayan dingin. Tapi aku harus menuntaskan tulisan ini.
Dengan segenap rasa yang rasa. Dengan segenap ketulusan aku menulis untuknya sebagai penghargaan atas segala tutur dan tegar sifatnya. Atas segala kecintaan hati dan keikhlasannya menulis. Aku hanya bisa menghargainya dengan tulisan ini pula. Semoga setiap mimpi dan harapnya menjadi nyata. Semoga apa yang dipesan bunda dan ayahnya bisa terwujud. Semoga kebahagiaan selalu mewarnai setiap langkahnya. Karena aku percaya, semua tak ada yang sia-sia. Semangat dan tetap menulis. Paling tidak setiap apa yang tertulis
bisa bermanfaat bagi diri sendiri. Dan alhamdulillah jika bisa pula bermanfaat bagi orang-orang sekitar. Tersenyumlah karena aku terlalu bahagia menatap senyumanmu.
Selesai__
BIODATA PENULIS
RIFAT KHAN. Lahir pada tanggal 24 April 1985 di Pancor, Lombok Timur, NTB. Menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 1 Selong pada tahun 2004. Menulis puisi dan cerpen sejak kelas 1 SMP dan Aktif di Komunitas Menulis Rumah Sungai Lombok Timur. Beberapa karyanya pernah dimuat di Majalah Lokal seperti Buletin Embun Lombok Timur. Puisinya juga pernah dimuat di Blog Penyair Nusantara dan salah satu puisinya dimuat dalam buku antologi puisi Kado Untuk Padang. Sekarang Bermukim di Lombok Timur, NTB.
Email : [email protected]
Blog : rifatkhanblog.blogspot.com
HP. : 087763151315