revisi pengembangan kurikulum romawi · pada makin besarnya kewenangan sekolah dan guru dalam...

358
PENGEMBANGAN KURIKULUM (Tinjauan Teoritis) Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M.Ag.

Upload: duongdien

Post on 04-Aug-2019

291 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

i

PENGEMBANGANKURIKULUM(Tinjauan Teoritis)

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M.Ag.

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

ii

PENGEMBANGAN KURIKULUM (Tinjauan Teoritis)Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M.Ag.

All right reservedHak cipta dilindungi oleh undang-undang

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isibuku ini dengan cara apapun, tanpa izin tertulis dari penerbit

viii + 350 Halaman; 14.5 x 20.5 cmCetakan I: Juni2016

ISBN: 978-602-6791-55-9

Cover :Agung Istiadi

Layout :Iqbal Novian

Diterbitkan oleh:Aswaja Pressindo

Anggota IKAPI No. 071/DIY/2011Jl. Plosokuning V/73, Minomartani,

Sleman, YogyakartaTelp. (0274)4462377

E-mail : [email protected] : www.aswajapressindo.co.id

iii

Sekalipun keberadaan guru dan peserta didik sebagaisubsistem pendidikan dianggap yang paling menentukandalam proses dan keberhasilan pendidikan, namunkeberadaan kurikulum yang diposisikan sebagai isi dansekaligus sebagai proses pendidikan juga sangat menentu-kan. Dalam kata lain, bahwa eksestensi kurikulum dalamproses dan keberhasilan pendidikan juga tidak kalahpentingnya dibandingkan guru dan siswa. Bahkan sebuahupaya pendidikan tanpa adanya kurikulum dapatdikatakan upaya pendidikan tersebut tidak memiliki isidan arah yang jelas.

Meskipun keberadaan kurikulum dalam upayapendidikan dianggap begitu penting, hanya saja dalampraktiknya konsep, implementasi dan evaluasi kurikulumbanyak kurang dan bahkan kadangkala tidak dipahamisecara baik oleh guru dan peserta didik, dan stackeholderpendidikan lainnya. Akibatnya keberadaan atau fungsi danperan kurikulum menjadi tidak signifikan atau dipandang

KATA PENGANTAR

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

iv

tidak membawa pengaruh yang berarti bagi prosespendidikan. Bahkan sebaliknya, keberadaan kurikulumyang tidak dipahami konsep, implementasi dan evaluasi-nya sering dianggap sebagai sesuatu yang menyulitkanbagi pelaku pendidikan. Oleh karena itu, pemahamanseluruh stackeholder pendidikan, para guru, siswa, orangtua, pimpinan lembaga pendidikan dan lainnya terhadapkurikulum menjadi sangat orgen untuk diperhatikan.

Dalam perjalanan sejarahnya, kurikulum senantiasaberubah dan berganti. Hal itu telah menjadi sebuahkeniscayaan, karena kurikulum sebagai isi dan prosespendidikan harus senantiasa menyesuaikan dengan situasidan kondisi dimana dan kapan kurikulum tersebutdigunakan. Hal ini menambah penting pemahaman ter-hadap konsep setiap kurikulum yang ada, agar peng-implementasiannya sesuai dengan apa yang diharapkanoleh kurikulum itu sendiri.

Selain itu, semakin terbukanya penerapan disentrali-sasi dan otonomi di bidang pendidikan yang berdampakpada makin besarnya kewenangan sekolah dan guru dalampengelolaan pendidikan, termasuk di dalamnya pem-bagian kewenangan untuk mengembangkan danmenerjemahkan kurikulum dalam kegiatan pendidikan dimasing-masing lembaga pendidikan, menuntut kepadasemua stackeholder pendidikan, utamanya para guru,pimpinan lembaga pendidikan, dan pengawas pendidikanuntuk bukan saja sekedar memahami konsep kurikulum,tetapi juga konsep dan pengembangan kurikulum. Olehkarena itu, pemahaman terhadap konsep dan teoripengembangan kurikulum juga menjadi sangat orgenuntuk diperhatikan.

v

Buku ini adalah salah satu buku yang mencobamengetengahkan bahasan secara lebih komprehensiftentang konsep kurikulum dan pengembangan kurikulumdalam tinjauan teoritis. Sebagai bahasan teoritik yangdiarahkan untuk memberikan pemahaman yang lebih luaskepada para pembacanya, maka berbagai konsep dan teorikurikulum dan pengembangan kurikulum sengajadiperkaya dengan berbagai pandangan dan konsep yangdikemukakan oleh berbagai ahli kurikulum.

Disadari bahwa apa yang dikemukakan ini masih tidakbegitu sempurna, namun diharapkan setidaknya dapatdijadikan sebagai bahan awal untuk mengkajian danpembahasan lebih jauh lagi. Semoga ada manfaatnya.

Banjarmasin, Desember 2015Penulis,

SYAIFUDDIN SABDA

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

vi

vii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................... iKATA PENGANTAR ....................................................... iiiDAFTAR ISI ....................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN ......................................... 1BAB II KONSEP KURIKULUM ............................... 21BAB III MODEL-MODEL KURIKULUM................. 43BAB IV ANATOMI KURIKULUM ........................... 69BAB V MODEL-MODEL DESAIN

KURIKULUM ................................................. 113BAB VI MODEL-MODEL ORGANISASI

KURIKULUM ................................................. 153BAB VII PENGEMBANGAN KURIKULUM ............ 177BAB VIII IMPLEMENTASI KURIKULUM ................. 257BAB IX EVALUASI KURIKULUM ........................... 295

DAFTAR PUSTAKA ........................................................ 341BIODATA PENULIS ........................................................ 347

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

viii

1

BAB IPENDAHULUAN

Eksistensi kurikulum dalam pendidikan telah menjadiperhatian sejak masa Yunani klasik. Sebagaimanadikemukakan oleh Robert S. Zais dalam bukunya Curricu-lum Principles and Foundation (1976), bahwa konsepkurikulum telah dibicarakan sejak abad keempat sebelummasehi, yakni oleh para filosof Yunani khususnya Plato.Sebagaimana juga ditulis dalam Encyclopedia of EducationalResearch (Alkin: 1992:227) bahwa ketika itu Plato telahmenyusun materi aritmatika sebagai ringkasan belajaryang didalamnya mencakup geometri, astronomi, dangeometri, yang kesemuanya terkait dengan pelajaranmatematika. Argumen bahwa konsep kurikulum ini telahdiperbincangkan sejak masa Yunani tersebut didukungpula oleh catatan sejarah bahwa istilah kurikulum berasaldari bahasa Yunani (Latin), yakni currere (infinitif) atau corro(present active), yang berarti run, hurry, hasten, speed, move,travel, processed (transitive) dan of a race (transitive). Selanjut-nya istilah tersebut diadopsi ke dalam bahasa Inggeris,melahirkan istilah ‘course’, `racecourse` atau `racetrack`.

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

2

Istilah ̀ course` berarti “a direction or route taken or to be taken”.Dalam kamus Webster istilah course tersebut diartikandengan istilah currere (infinitif) atau corro (present active)dalam bhasa Yunani di atas, yaitu: lapangan pacuan kuda,jarak tempuh untuk lomba lari, perlombaan, pacuanbalapan, peredaran, gerak berkeliling, lapangan per-lombaan, gelanggang, kereta balap, dan lain-lain”(Webster, 1989:340).

Eksistensi kurikulum selanjutnya secara lebih nyatadan terkonsepsi dalam pendidikan dapat dilihat ketikakiblat kemajuan peradaban dan pendidikan berada didunia Islam. Pada masa hidup Nabi Muhammad SAW (570M-632 M) materi pendidikan Islam atau kurikulumpendidikan Islam juga sudah ada meski dalam bentuk yangsangat terbatas, karena pendidikan pada saat itu masihdilaksanakan dalam bentuk informal (di rumah-rasul danrumah-rumah para sahabat) dan sedikit dalam bentuk nonformal (tempat-tempat tertentu yang dijadikan tempatbelajar seperti halakah di masjid). Isi pendidikan ataukurikulum pada saat itu berupa ayat-ayat al-quran danhadis-hadis Nabi yang berisikan aqidah, syari‘ah, danmu‘amalah, pelajaran sastra dan tata bahasa Arab, pelajar-an membaca, menulis, dan Sya‘ir-syair Arab. Menurut AliAshraf (1985: 29-30) kurikulum pendidikan Islam saat ituberupa: al-Quran, al-Hadis, Tata Bahasa. Ahmad Salabi(1954: 16) menambahkan bahwa kurikulum pendidikanIslam saat itu berupa: Retorika dan Prinsip-prinsipHukum, Membaca, Menulis, dan Sya‘ir Arab. Pada peristi-wa perang Badr (tahun 2 H.) Rasulullah dapat menawanbeberapa orang musuh dan kemudian membebaskannyasetelah mereka mengajarkan membaca dan menulis bagikaum muslimin.

3

Kurikulum pendidikan Islam yang ada pada masaawal pendidikan Islam seperti tergambar di atas,selanjutnya berkembang sejalan dengan perkembanganperadaban Islam, khususnya di bidang ilmu pengetahuandan pendidikan. Ilmu pengetahuan Islam dan pendidikanIslam berkembang pesat setelah adanya kontak yangintensif dengan pemikiran filsafat Yunani yang dilakukanoleh sejumlah ilmuan dan filosof Muslim pada masapemerintahan Khalifah Abbasyiyah. Pengkajian filsafatdan ilmu pengetahuan Yunani secara besar-besaran terjadipada masa pemerintahan Abasyiyah (750-1250 M). Padamasa ini lahir sejumlah filosof, seperti al-Kindi (801-873M), al-Razi (865-925 M), al-Farabi (870-950 M), IbnMiskawaih (923-1030 M), Ibn Sina (980-1037 M), Ibn Bajah(w.1138 M), Ibn Tufail (1101-1185 M), Ibn Rusyd (1126-1198 M), al-Tusi (1201-1258 M), kelompok Ikhwa-an al-Safadan al-Ghazali (1058-1111 M).(Abd. al-Ghaniy Abud,1977:125).

Pemikiran tentang kurikulum pendidikan Islam yangpertama dapat dikatakan dimulai oleh seorang filosof,ilmuan dan ulama, yakni al-Farabi (870-950 M), khususnyaketika dia mengemukakanklasifikasi ilmu pengetahuan,sebagaimana dikemukakan dalam bukunya Enumerationof the Sciences (Ihs al-‘Ulum) yang di Barat dikenal denganjudul De Scientiis. (Syed Ali Ashraf, 1985: 29)

Al-Farabi mengklasifikasikan ilmu pengetahuan Is-lam atau kurikulum pendidikan Islam, sebagai berikut:1. Ilmu bahasa dan cabang-cabangnya, seperti: Tata

Bahasa, Pengucapan, Cara Berbicara, Ilmu Persajakan;2. Logika, yang meliputi: Pembagian, Definisi, Retorika,

Topik, Analisa Komposisi Pikiran Secara Sederhanadan Tinggi;

Pendahuluan

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

4

3. Ilmu propaedeutic: Ilmu Hitung, Ilmu Ukur, Optik,Astronomi, Musik, Ilmu Gaya Berat, Mekanika;

4. Fisika (ilmu alam) dan Metafisika (ilmu tentang Tuhandan prinsip-prinsip benda); dan

5. Ilmu kemasyarakatan: Yurisprudensi dan Ilmu Kalam.(Seyyed Hossen Nasr, 1976:15).

Sebagaimana terlihat di atas, al-Farabi tidak me-masukkan ilmu-ilmu keagamaan secara eksplisit, tetapiia mencoba mengintegrasikannya dengan pengetahuannon keagamaan. Secara khusus dimasukkan dalam cabangilmu Metafisika dan Ilmu Kemasyarakatan. Klasifikasisemacam itu dilatarbelakangi oleh dasar pemikiran filsafatyang ia kembangkan, yaitu pemikiran filsafat yang di-intrudosir dari pemikiran-pemikiran Yunani yang lebihmenekankan supremasi rasio dibandingkan denganwahyu. Secara terbuka al-Farabi menekankan, bahwafilsafat lebih dahulu dari agama dalam hal waktu, danagama adalah imitasi filsafat. Filosof sempurna adalahpenguasa tertinggi yang salah satu tugasnya adalahmenanamkan agama. (Seyyed Hossen Nasr, 1976: 31).

Filosof lain yang juga berbicara tentang bentuk danklasifikasi ilmu pengetahuan ialah para filosof yangtergabung dalam Ikhwan al-Safa. Sebagai kelompok filosofyang mencoba menggunakan pemikiran filasafat untukmembersihkan agama dari kebekuan, fanatisme dankejumudan. Ikhwan al-Safa adalah kelompok filosof yangjuga terlibat dalam kegiatan politik “bawah tanah”.Mereka bergerak dalam bidang pemikiran dan ilmu ber-bagai disiplin, merumuskan klasifikasi ilmu pengetahuanyang juga banyak dilatarbelakangi oleh filsafat Yunani,tetapi memberikan porsi secara eksplisit terhadap ilmu

5

pengetahuan keagamaan. Klasifikasi ilmu pengetahuanIslam mereka bagi atas tiga tingkatan, yaitu:1. Pendahuluan: Menulis, Membaca, Bahasa, Ilmu Hi-

tung, Puisi dan Ilmu Persajakan, Pengetahuan tentangPertanda dan yang Gaib, Keahlian dan Profesi;

2. Religius atau Positif: Al-Quran, Penafsiran Alegoris,Hadis, Sejarah, Hukum, Tasawuf dan Penafsiran Mimpi;

3. Filosofis atau Faktual (Haqiqiy): Metafisika - TeoriAngka, Ilmu Ukur, Astronumi, Musik, Logika denganRetorika dan Sofistikasi, Fisika - Prinsip (zat danbentuk), Cakrawala, Elemen-elemen, Meteorologi,Geologi, Botani, Zoologi, Metafisika (Teologi) - Tuhan,Kecerdasan, Jiwa (dari lingkungan ke bawah) pe-merintah - Nabi-nabi - Raja-raja, Jenderal, Khusus, In-dividual, dan Alam Baka. (Seyyed Hossen Nasr, 1976:31-33)

Meskipun Ikhwan al-Safa telah mencoba mewujudkanilmu pengetahuan keagamaan secara eksplisit, namundominasi filsafat masih jauh lebih besar dibandingkanpengetahuan keagamaan. Bahkan, ilmu pengetahuankeagamaan juga didekati dan dilihat secara filosofis.

Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan danperabadan Islam tersebut, khususnya ketika pendidikanIslam dilaksanakan juga dalam bentuk formal, kurikulumlembaga-lembaga pendidikan Islam juga mengalamipenyesuaian dan perkembangan. Lembaga-lembagapendidikan Islam telah memiliki kurikulum yang memuatsejumlah ilmu pengetahuan, baik pengetahuan syar‘iyahmaupun ghairu syar‘iyah. Menurut Nakosteen (1996: 71)mata atau materi pelajaran pada lembaga pendidikan Is-lam pada masa itu berupa: Matematika (Aljabar, Trigometri

Pendahuluan

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

6

dan Geometri); Sains (Kimia, Fisika dan Astronomi); IlmuKedokteran (Anatomi, Pembedahan, Farmasi, dan cabang-cabang ilmu kedoketaran khusus); Filasafat (Logika, Etikadan Metafisika); Kesusastraan (Filologi, Tata Bahasa, Puisidan Ilmu Persajakan) ilmu-ilmu sosial (Sejarah, Geografi,disiplin-disiplin yang berhubungan dengan politik,Hukum, Sosiologi, Psikologi dan Jurisprudensi (Fikih),Teologi (Perban-dingan Agama, Sejarah Agama, Studi al-Quran, tradisi religius (Hadis) dan topik-topik religuslainnya).

Klasifikasi ilmu pengetahuan yang dikemukakan olehpara filosof di atas umumnya pemikiran yang berpijak padapemikiran rasionalistik yang lebih mengutamakan ilmupengetahuan rasional dan cenderung melemahkan ilmupengetahuan yang bersumber dari wahyu. Hal semacamini menurut al-Ghazali sangat berbahaya bagi keselamatanagama masyarakat Islam. (Al-Ghazali, Al-Munqiz:: t.th.:39).Dalam rangka upaya mengkonter pemikiran seperti itu-lah, al-Ghazali merumuskan klasifikasi ilmu pengetahuanyang diintrodusir dari wahyu (al-qur‘an dan hadis) danspirit sebagai landasan pokok.

Al-Ghazali, merumuskan klasifikasi ilmu pengetahu-annya dengan berdasarkan pada mengembalikan do-minasi spirit dan memberi status dan keunggulan wahyusebagai sumber pengetahuan. Ia mencoba membuktikanbahwa rasa, nalar dan intelek manusia tanpa bantuanpengetahuan yang diwahyukan dan spirit tidak akanmencapai kepastian. Sumber pengetahuan tersebut di-sebutnya dengan al-nubuwwah, yang pada nabi-nabiberbentuk wahyu dan pada manusia biasa berbentukilham. ( Al-Ghazali, Al-Iqtisad: 1962:189).

7

Berdasarkan landasan berpikir inilah, al-Ghazali me-rumuskan klasifikasi ilmu pengetahuannya, sebagaimanadikemukakannya dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din (Al-Ghazali,Ihya juz I, t.th:14-32), sebagai berikut:1. Ilmu Syar’iyyah fard ‘ain.

Ilmu ini adalah yang berhubungan denngan kewajib-an pribadi yang berkaitan dengan i‘tiqad (kepercayaan),melakukan dan meninggalkan, yaitu tentang teori dancara pengamalan rukun Islam (Syahadat, salat, puasa,zakat dan haji), hal-hal yang diwajibkan dan diharam-kan dalam waktu dekat, hal-hal yang menyangkutdengan amaliah terpuji dan tercela dan tentang imankepada hari akhir.

2. Ilmu syar‘iyyah fard kifayaha. ‘Ilmu al-Usul terdiri dari: Kitab Allah (Alquran),

Sunnah Rasul saw., Ijma`al Umah (pendapatkolektif), dan Ijma` al-Sahabah (Pendapat parasahabat).

b. ‘Ilm al-Furu` terdiri dari: Ilmu fiqih (ilmu yang ber-hubungan dengan kepentingan dunia) dan Akhlaq(ilmu yang berhubungan dengan kepentinganakhirat).

c. ‘Ilm al-Muqaddimah (sebagai alat dasar yang takdapat ditinggalkan dalam mengejar ilmu usul),terdiri dari: Ilmu Bahasa dan Ilmu Nahwu.

d. ‘Ilm al-Mutammimah (ilmu pelengkap), teridiri dari:1) `Ulum al-Qur`an, `Ulum al-Hadis, 2) `Ulum al-Fiqh dan 3) ‘Usul Fiqh dan Tarikh (Sejarah).

3. Ilmu gair syar‘iyyah (‘aqliyyah).a. Ilmu fard kifayah yang terpuji. Ilmu ini terdiri dari:

Pendahuluan

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

8

1) Ilmu yang merupakan soko guru kehidupandunia, yaitu Pangan, Sandang, Papan, dan Politik;2) Ilmu penunjang soko guru kehidupan Dunia,yaitu Pandai Besi (ilmu teknik), Teknik PemintalanKapas dan Pemintalan benang; 3) Ilmu pelengkapbagi keahlian pokok, yaitu Penggilingan dan PabrikRoti (makanan pokok), teknik kompeksi danpertenunan.

b. Ilmu terpuji tetapi tidak termasuk fard kifayah,yaitupendalaman dan pengembangan dari semua ilmufardu kipayah tersebut dalam bentuk spesialisasi,kedokteran, matematika, teknik, astronomi danperindustrian.

c. Ilmu yang dibolehkan, seperti ilmu budaya, sastradan syair yang bertujuan meningkatkan sifat ke-utamaan dan akhlak yang mulia.

d. Ilmu-ilmu yang tercela, seperti: ilmu sihir danilmu guna-guna. Tercelanya ilmu dikarenakan men-datangkan kemudharatan bagi pemiliknya maupununtuk orang lain.

e. Ilmu yang dapat menjadi ilmu terpuji dan dapat pulamenjadi ilmu yang tercela, yaitu ilmu kalam. Keduailmu ini terpuji apabila berdasar al-Quran dan al-hadist. Keduanya menjadi tercela bila keluar darikedua dasar itu.

4. Filsafat. Al-Ghazali membagi filsafat kepada empatbagian, yaitu ilmu ukur dan hitung (matematika), ilmumantiq, ilmu ketuhanan (ilahiyyah) dan ilmu alam.Menurutnya semua ilmu itu bisa menjadi terpuji selamaberdasar Al-quran dan hadis dan dipelajari oleh yangtelah memiliki kemampuan. Akan tetapi dapat pula

9

menjadi, tercela sebaliknya, jika tidak didasari olehapalagi bertentangan dengan al-qur‘an dan al-hadist.Khusus filsafat ketuhanan sebagian ada yang kufur dansebagian bid‘ah, semua ilmu/atau pemikian filsaafat initercela.

Setelah al-Ghazali mengemukakan pemikirannyatentang ilmu pengetahuan yang dapat diajarkan di lem-baga pendidikan Islam, pemikiran-pemikiran filosof yangdiintrodusir dari filsafat, baik yang sebelumnya maupunyang sesudahnya menjadi melemah bahkan sebagiankaum Muslimin meninggalkannya. Pemikiran al-Ghazalitersebut memberikan pengaruh yang sangat besar danmendalam di kalangan Islam, khususnya kalangan Is-lam Sunni. Begitu besarnya pengaruh al-Ghazali, Mont-gomery Watt mengatakan bahwa popularitas al-Ghazalidi kalangan sebagian besar penganut Islam menempatiposisi kedua setelah Nabi Muhammad (Montgomery Watt:1963:180).

Ketika Islam memasuki zaman kemundurannya (1000-1800), kurikulum lembaga pendidikan Islam mengalamiperubahan. Salah satu perubahan yang sangat mendasarialah adanya dikotomisasi dan pembedaan pandangan dansikap atas ilmu pengetahuan agama dan umum. MenurutNasution, (986:987-99), sejak kurun itu pengetahuan umum(mata pelajaran umum) dianggap terpisah dari pe-ngetahuan keagamaan dan dianggap sebagai pengetahuanpelengkap dan bahkan “dimakruhkan”. Lebih jauh,menurut Azra (Stanton,1994: vii), setelah terjadi pergantiandominasi dari Mu`tazilah ke Sunni, ilmu pengetahuanumum yang sangat dicurigai dan dianggap “makruh” itudihapuskan dari kurikulum lembaga pendidikan Islam,

Pendahuluan

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

10

khususnya di madrasah. Mereka yang berminat mem-pelajari ilmu-ilmu umum terpaksa mempelajarinya secarasendiri-sendiri dan secara sembunyi-sembunyi atau “dibawah tanah”, karena ilmu-ilmu tersebut dipandangsebagai ilmu-ilmu “subversif” yang dapat dan akanmenggugat kemapanan doktrin Sunni, terutama dalambidang Kalam (Teologi) dan Fikih.

Akibat adanya pandangan dan sikap seperti di atas,maka kurikulum lembaga-lembaga pendidikan Islam,khususnya kurikulum pada madrasah, umumnya hanyaberisi ilmu-ilmu keagamaan saja, bahkan adakalanyadibatasi pada ilmu-ilmu keagamaan menurut mazhabtertentu saja. Bentuk kurikulum madrasah seperti itu dapatdilihat pada madrasah yang dikembangkan di masapemerintahan Nizham al-Muluk yang berorientasi padapengembangan ilmu Fiqh menurut mazhab Syafi‘ie danteologi Asy‘ariyah saja. (Maqdisi, 1961: 1-56).

Ketika pendidikan Islam beada dalam masa ke-mundurannya, utamanya ketika bangsa Erofa memasukiera “renaisant” (kebangkitan) yang dimulai antara abad ke14 hingga abad ke 17, kajian kurikulum mulai dilakukan.Bahkan mulai kurun abad ke 15 kajian kurikulumdisamping masih menjadi bagian dari kajian filsafat ataufilsafat ilmu, tetapi juga mulai lahir kajian kurikulumsebagai cabang kajian tersendiri.

Dalam banyak literatur yang ditulis oleh sarjana-sarjana pendidikan Barat dinyatakan bahwa kurikulummulai masuk ke sekolah baru dapat ditelusuri sejak abadke 16. Terdapat kekosongan catatan perkembangankurikulum yang cukup panjang dari masa klasik ke masarenaissant. Hal itu dapat dipahami karena kebangkitanilmu pengetahuan Barat diawali sejak abad ke 16 tersebut

11

atau ketika terjadi gerakan tranmisi ilmu pengetahuan darisunia Islam ke Barat yang kemudian melahirkan abadkebangkitan (renaissans) dan revolusi sains di dunia Barat.Kebangkitan ilmu pengetahuan Barat tersebut dimulai olehpengaruh yang besar dari pemikiran Rene Descartes (1596-1650) dan Sir Isaac Newton (1642-1727) yang didaulatsebagai bapak peradaban dunia modern. Sebagaimanabanyak ditulis bahwa Descartes dipandang sebagai bapakfilsafat modern yang sukses membangun sistem filsafatsecara sistematis dalam konsep “keterpilahan” (dualisme),yakni keterpilahan antara jiwa dan tubuh atau res cogitansdan res extensa. Descartes mengajukan sebuah adagiumterkenal yang merupakan primum philophicum (kebenaranfilsafat yang pertama): “Cogito ergo sum”; I think, hence Iam” (Saya berpikir, maka saya ada). Dalil ini mengandungkonsep pembedaan yang mencolok antara rasio (cogito,think, mind) dengan tubuh (body); substansi rasio adalahres cogitans (pemikiran), sedangkan substansi tubuh adalahres extensa (berkeluasan). Cogitans merupakan bidang jiwa,sedangkan extensa merupakan bidang materi, bidang ilmualam. Selain itu kata cogito bermakna berpikir atau sadardalam arti yang lebih luas, kesadaran cogito ini olehDescartes dicanangkan sebagai kesadaran “subjek yangrasional”. Cogito adalah atribut khas manusia. Pikiranadalah bebas dan dapat menentukan tindakan tubuh (body).Konsekuensi dari dalil ini adalah konsep tentang adanyakejelasan (clearly) dan keterpilahan (distinctly). Dengandemikian bagi Descartes segala sesuatu yang mengandung“kejelasan dan keterpilahan” adalah kebenaran. Ia berkata:“Segala sesuatu yang kita pahami dengan sangat jelas danterlipah pasti benar”. Untuk menunjukkan keaprioriancogito, ia menggunakan “metode kesangsian”. Desacartes

Pendahuluan

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

12

menyebut kesangsian itu sebagai “kesangsian metodisuniversal”. Menurutnya eksistensi segala sesuatu dapatdiragunkan, termasuk tubuhnya sendiri. Kesadaran tidakdapat menyangkal akan keraguan itu sendiri. Karena ke-raguan itu menunjukkan aktivitas berpikir, maka eksistensirasio terbukti dengan sendirinya (self-evident). Dengan katalain, segala sesuatu dapat diragukan kebenarannya kecualikesadaran subjek itu sendiri.

Untuk mencapai pengetahuan yang universalDescartes menggunakan metode universal yang memberipendasaran bagi kesatuan ilmu-ilmu. Ia membuat empatprinsip, sebagaimana disarikan oleh Heriyanto (2003: 33-34). Pertama, jangan pernah menerima apa pun sebagaibenar hal-hal yang tidak diketahui secara jelas dan terpilah(clearly and distinctly), dan hindari ketergesa-gesaan danprasangka. Kedua, membagi setiap kesulitan yang akandiuji atau diteliti menjadi bagian-bagian sekecil mungkinagar dapat dipecahkan lebih baik. Ketiga, menata urutanpikiran mulai dari objek yang paling sederhana dan pal-ing mudah untuk dimengerti, kemudian maju sedikit demisedikit menurut tingkatannya sampai pada pengetahuanyang lebihkompleks. Keempat, merinci keseluruhan danmeninjau kembali semua secara umum sedemikiansehingga diyakini tidak ada yang terabaikan.

Pandangan Descartes tersebut selanjutnya di-blow updan didukung oleh pemikiran Sir Isaac Newton (1642-1727). Newton membuat pandangan dunia Cartesian(Descartes) dapat dipertahankan melalui falsifikasi padadetail-detailnya. Dengan kata lain, meskipun fakta-fakta(ilmiah) Descartes dinilai salah dan teori-teorinya tidakdidukung oleh Newton, namun pandangan Descartesbahwa dunia ini adalah sebuah mesin besar yang terdiri

13

dari materi dan gerak yang tunduk kepada hukum-hukummatematika sepenuhnya divalidisasi oleh karya Newton.Begitu juga, sejalan dengan pandangan mekanistikDescartes, Newton mereduksi semua fenomena fisikmenjadi gerak partikel benda, yang disebabkan olehkekuatan yang tarik-menarik, kekuatan gravitasi.

Di tangan Newton, pandangan dualisme menjadibersifat linear-deterministik-reduksionistik-atomistik-instrumentalistik. Pandangan ini melihat segala sesuatusecara serba terpilah dan dikotomis. Realitas yangkompleks, kesalinghubungan dipandang hanya sebagaikumpulan balok atom. Layaknya puzzle realitas dicopotsatu per satu, kemudian dari pengamatan terpilah tersebutdigabungkan, dan kemudian dikuantifikasikan. Singkatnyacara pandang “Cartesian-Newtonian” ini telah menjelmasebagai cara pandang yang berkarakter dualistik, me-kanistik, atomistik, oposisi biner, reifikasi, dan ma-terialistik. Paradigma ini memperlakukan manusia dansistem sosial seperti mesin besar yang diatur menuruthukum-hukum objektif, mekanis, deterministik, linier, danmaterialistik. Cara pandang ini juga menempatkan“materi” sebagai dasar dari semua bentuk eksistensi, danmenganggap alam kosmos sebagai suatu kumpulan “objek-objek yang terpisah” yang dirakit menjadi sebuah mesinraksasa. Fenomena yang kompleks selalu dipahami dengancara “mereduksinya” menjadi balok-balok bangunandasarnya dan dengan mencari “mekanisme interaksinya”.(Heriyanto; 2003). Selanjutnya kebenaran suatu ilmupengatahuan atau sains harus diukur dari seajuh mana iadapat digunakan untuk memenuhi kepentingan-ke-pentingan material dan praktis. Oleh karena itu menurutJohn Ziman (1984: 1), sains modern menjadi terkait erat

Pendahuluan

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

14

dengan teknologi, karena dengan hal itu manusia modernmakin dapat mendominasi dan mengeksploitasi alam.Dalam konteks ini sains telah memiliki fungsi intrumentalisatau masuk dalam wilayah instrumentalisme.

Cara pandang yang berkarakter dualistik, mekanistik,deterministik, reduksionistik, atomistik, instrumentalistik,materialistik, dan saintifistik yang dikembangkan oleh“Cartesian-Newtonian” tersebut selanjutnya memberipengaruh yang besar terhadap dunia ilmu pengetahuansemasa dan sesudahnya dalam berbagai bidang ilmupengathuan dan praktik kehidupan, termasuk dalambidang pendidikan, baik pada tataran filosofi maupunpraktis, termasuk di dalamnya menyangkut paradigm dankonsep kurikulum.

Konsep-konsep pendidikan dan kurikulum yangdidasari oleh pandangan Descartes dan Issac Newton tigadasar pemikiran itulah yang pada akhirnya melahirkanpendidikan modern yang berlandaskan liberalisme, yangoleh William F. O‘neil digambarkan dalam beberapa dalilpokoknya yang meliputi hal-hal sebagai berikut:1. Seluruh hasil kegiatan belajar adalah pengetahuan

melalui pengalaman personal.2. Seluruh kegiatan belajar bersifat subjektif dan selektif.3. Seluruh hasil kegiatan belajar berakar pada keterlibatan

pengertian inderawi.4. Seluruh hasil-hasil kegiatan belajar didasari oleh proses

pemecahan masalah secara aktif dalam pola “cobabenar-salah” (trial and error).

5. Cara belajar terbaik diatur oleh perintah-perintahekspremental yang mencirikan metode ilmiah.

15

6. Pengetahuan terbaik adalah yang paling selaras dengan(atau yang paling mungkin berdasarkan) pembuktianilmiah yang sudah dianggap benar sebelumnya.

7. Pengalaman paling dini adalah yang paling ber-pengaruh terhadap perkembangan selanjutnya dankerena itu juga paling penting artinya.

8. Kegiatan belajar diarahkan dan dikendalikan olehkonsekuensi-konsekuensi emosional dari perilaku.

9. Sifat-sifat hakiki dan isi pengalaman soasialmengarahkan dan mengendalikan sifat-sifat hakiki danisi pengalaman personal serta mengendalikannya.

10. Penyelidikan kritis yang mempunyai arti penting hanyabisa berlangsung dalam masyarakat yang demokratisdan memiliki komitmen terhadap ungkapan umumpemikiran dan perasaan individual.

Paradigma atau cara pandang dunia “Cartesian-Newtonian” telah menghegemoni dunia ilmu pengetahuandan bidang kehidupan manusia modern dalam segalabidang dan telah menjadi cara pandang dunia manusiamodern. Pervasifnya pengaruh paradigma Cartesian-Newtonian itu, menurut Heriyanto (2003:25-26) telahberlangsung sedemikian rupa sehingga paradigma ini telahmenyatu dan built-in dalam berbagai sistem dan dimensikehidupan modern, baik dalam kegiatan dan wacanailmiah maupun dalam kehidupan sosial-budaya sehari-hari. Bahkan paradigma ini telah menjadi kesadarankolektif (collective consciousness) manusia modern berabad-abad sesudahnya, bahkan masih terasa hingga sekarang, termasukdalam konsep kurikulum. Hamilton menyatakan bahwaperan Descartes sangat besar dalam mengkonstruksi

Pendahuluan

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

16

kurikulum lembaga-lembaga pendidikan sesuai denganpandangan filosofinya.

Meskipun pembicaraan tentang kurikulum telah adasejak abad ke 16 di Barat atas pengaruh pemikiran “Carte-sian-Newtonian”, namun konsep yang mereka kemukakanmasih sangat terbatas. Sebagaimana ditulis dalam Ency-clopedia of Educational Research bahwa: “the specialization andmodern views that the natural order of the curriculum is not tobe found in knowledge but in the biological and psychologicalmake up the learner.” (Alkin: 1992).

Robert S. Zais (1978) selanjutnya mencatat bahwasetelah abad ke 16 pembahasan tentang kurikulum dalampendidikan berlanjut terus pada abad-abad berikutnyadengan tokoh-tokoh yang menonjol. Dia mencaatatComenius seorang Uskup Moravian dan pendidik padaabad ke 17. Kajian tentang kurikulum yang lebih intensifmulai subur pada abad ke 17 ini, Fleury dalam bukunyayang berjudul The History of Choice and Method of Studiesterbit tahun 1686, yang kemudian diterbitkan dalam bahasaInggris pada tahun 1695, menyatakan bahwa kurikulumtelah menjadi topik mpembahasan dalam praktik pen-didikan di Prancis. Selanjutnya, sebagaimana dikemukakanRobert S. Zais (1978: 4), bahwa pembicara yang yang agakserius dan secara khusus dan sistematik, baru dimulai diakhir abad ke 19 dan sepanjang abad ke 20. Pada semenjakhingga akhir abad ke 19 ketika pemikiran atau ide-idetentang pendidikan dari seorang filosof Jerman JohannFriederich Herbart (1776-1841) banyak diterima di Amerikaserikat (United State) pembicaraan tentang konsepkurikulum sangat intensif diperbincangkan. Teori Herbarttentang belajar dan mengajar (teaching and learning) yangmengemukakan pentingnya perhatian yang sistematis

17

terhadap seleksi dan organisasi materi pelajaran, mem-bangunkan kembali akan pentingnya materi kurikulum(curriculum content) dalam pendidikan Amerika.

Sepanjang abad ke 19 dan abad ke 20, sejumlah eventpendidikan yang konsern telah membahas tentangkurikulum telah berlangsung. Berkembangnya kurikulumsebagai sebuah kajian yang mandiri dan dilakukan secaraintensif tersebut ditandai dengan lahirnya berbagai karyatentang kurikulum. Pertama, pada tahun 1893 The Com-mittee of Ten sebuah kelompok praktisi dan ahli pendidikandi Amerika yang dipimpin oleh Charles W Eliot presidenHarvard University telah merekomendasikan berbagai halyang terkait dengan kurikulum, seperti perlunya materi-materi yang diperlukan dalam pembelajaran, materi untuksekolah persiapan ke perguruan tinggi, dan materi-materipraktis (Robert S. Zais (1978:4). Pada tahun 1902 JohnDewey (1859-1952) telah menulis sebuah buku yangberjudul “The Child and Curriculum”. Pada tahun 1918 JohnFranklin Bobbitt (1876-1956) telah menerbitkan sebuahbuku yang membahas kurikulum lebih sistematis danfokus, yang diberinya judul “The Curriculum”. Selanjutnyabeberapa buku lain yang yang berbicara atau terkaitdengan kurikulum di antaranya: How To Make a Curricu-lum (1924); Curriculum Making in Los Angeles (1922); Cur-riculum Investigations (1926); The Curriculum of Modern Edu-cation (1941). Setelah itu tokoh atau ahli pendidikan yangsangat berjasa untuk pengembangan kurikulum adalahW.W Charters (1875-1952) dengan kiprah dan karyanyayang luar biasa. Buku yang menjadi magnum opus dansangat besar pengaruhnya bagi lahirnya tokoh-tokohkurikulum selanjutnya ialah Curriculum Construction (1923).Sebagai seorang dosen dia telah melahirkan para pakar

Pendahuluan

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

18

kurikulum sesudahnya, seperti George S Counts, Ralph W.Tylor, dan Hilda Taba yang dikenal sebagai ahli kurikulum.

Apa yang berkembang di Erofa (Barat) tersebutdisahuti juga oleh dunia pendidika n Islam, khususnyaketika dunia Islam dihadapkan pada realitas adanyakemajuan yang pesat bangsa Barat, umat Islam menjadisadar akan kemunduran dan ketertinggalannya daribangsa yang sebelumnya jauh tertinggal dari bangsa Is-lam. Realitas tersebut pertama kali ditunjukkan oleh bangsaPerancis dalam bentuk kemajuan di bidang persenjataan,pendidikan dan teknologi yang dibawa bersama-samadengan pasukan penaklukannya di Mesir pada tahun 1798M, Kesadaran itulah yang mendorong lahirnya semangatpembaharuan, utamanya pembaharuan di bidangpendidikan Islam (Nasution, 1985). Sejak kurun itu lahirlahpara tokoh pembaharu pendidikan Islam di berbagaibelahan negara Muslim.

Pembaharu yang pertama kali muncul di Mesir ialahMuhammad Ali Pasya (1765-1848 M) dengan upayanyamengirim kader-kader muslim yang potensial untukbelajar ke Eropa (Inggeris dan Perancis) dan mendirikanlembaga-lembaga pendidikan baru di Mesir, yangdiorientasikan untuk mengejar keter-tinggalan umat Islamdi bidang ilmu pengetahuan umum dan teknologi. Pem-baharu Mesir lain yang sangat konsern dengan pendidikanadalah Rifa‘ah Badawi Rafi‘ Al-Tahtawi (1801-1873 M).Diantara pemikirannya ialah: 1) bahwa ajaran Islam bukanhanya mementingkan soal akhirat tetapi juga soal hidupdi dunia. Umat Islam juga harus memperhatikan hidupduniawinya; 2) Kaum ulama harus mempelajari filsafat danilmu-ilmu pengetahuan modern agar dapat menyesuaikansyari‘at dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat mod-

19

ern; 3) Pendidikan harus bersifat universal dan sama untuksemua golongan (Tahtawi, 1873). Atas dasar pemikiranTahtawi inilah lembaga-lembaga pendidikan Islam kembalimemakai kurikulum yang lebih komprehensif yangmeliputi ilmu-ilmu syar‘iyah (keagamaan) dan ghairusyar‘iyah (ilmu pengetahuan umum).

Setelah Ali Fasya dan Tahtawi, pembaharu-pembaharupendidikan Islam yang memiliki misi yang sama terusberlanjut. Dari sekian pembaharu pendidikan Islamtersebut dikenal nama-nama seperti: Muhammad Abduh(1849-1905 M) dan muridnya Rasyid Ridha (1865-1935) diMesir. Di Turki dikenal Sultan Mahmud II (‘1808-1839 M)dan Sadik Rif‘at (1807-1856 M). Di India juga muncul tokohpembaharu pendidikan yang dimulai oleh Sir SayyidAhmad Khan (1817-1898 M) , Nawab Muhsin Al Mulk,Viqar Al-Mulk, Altaf Husien Ali, Sayid Amir Ali, SalahAl-Din Khuda Bakhs dan Aga Khan, dan Muhammad Iqbal(1873-1938 M). Di Indonesia, pembaharuan pendidikanbanyak dilakukan baik oleh individu dan oleh organisasiIslam seperti Jami‘at al-Khair, Muhammadiyah, Perti,Nahdatul Ulama, Jam‘iyatul Washliyah dan sebagainya.Masing-masing tokoh dan kelompok tersebut memilikikonsep dan pandangan masing-masing tentang praktikkurikulum. Hanya saja kajian tentang filosofi, teori dankonsep kurikulum tidak banyak muncul di kalanganilmuan muslim.

Dengan adanya sejumlah kajian yang intensif danmendalam tersebut yang berlangsung hingga kini telahmenjadikan kurikulum menjadi sebuah bidang kajian yangberdiri sendiri (The subject of curriculum studies) dan telahmenjadi sebagai bidang kajian yang berkembang baiksecara teoritis maupun praktis.

Pendahuluan

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

20

21

BAB IIKONSEP KURIKULUM

A. Pengertian KurikulumPengertian kurikulum dapat dilihat pada tiga sudut

pandang; Pertama pengertian kurikulum dari sudutpandang etimologis (kebahasaan); Kedua pengertiankurikukum dari sudut pandang termenologis (menurutpengertian) tradisional; dan ketiga pengertian kurikulumdari sudut pandang termenologis modern.

1. Pengertian Etemologis KurikulumDari sudut pandang etimologis (kebahasaan), istilah

kurikulum dinyatakan berasal dari kata-kata dalam bahasaLatin, yakni currere (infinitif) atau corro (present active), yangberarti run, hurry, hasten, speed, move, travel, processed (tran-sitive) dan of a race (transitive). Selanjutnya istilah tersebutdiadopsi ke dalam bahasa Inggeris, melahirkan istilah‘course’, `racecourse` atau `racetrack`. Istilah `course` berarti“a direction or route taken or to be taken”. Dalam kamusWebster istilah course tersebut diartikan: lapangan pacuan

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

22

kuda, jarak tempuh untuk lomba lari, perlombaan, pacuanbalapan, peredaran, gerak berkeliling, lapangan per-lombaan, gelanggang, kereta balap, dan lain-lain”(Webster, 1989:340). Sedangkan istilah `racecourse` atau`racetrack` berarti: a long broad track, usually of grass, enclosedbetween rails, and with starting and finishing points markedupon it, over which hourse are raced (Collins English Dictio-nary, 2009). Pemakaian dan asimilasi istilah tersebutdisebutkan oleh Schubert (1986:33): “its interpretation fromthe race course etymology of curriculum, currere refers to therunning of the race...”. Selanjutnya dalam dunia pendidikanmuncul istilah curriculum (kata tunggal/singular), curriculaatau curriculums (kata jamak/plural) yang berarti: (1) acourse of study in one subject at school or college; (2) a list of allthe courses of study offered by a school or college; (3) anyprogramme or plan of activities (Collins English Dictionary,2009).

Dari gambaran di atas terlihat adanya asimilasi istilahbahasa dari bahasa latin ke bahasa Inggeris dan kemudianditransformasi ke dalam istilah yang dipakai dalam duniapendidikan. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan olehBrobacher (1962: 237): “according to its Latin origin a cur-riculum is a “runway”, a course which one runs to reach a goal,as in a race. This figure of a course has been carried over intoeducational parlance, where it is sometimes called a curriculum,sometimes a course of study. Dalam hal ini Brobachermenyatakan bahwa istilah kurikulum berasal dari bahasaLatin yang diartikan “runway” (landasan pacu) atau sebagaisebuah lapangan tempat berlari, dimana seseorang berlaridari satu titik start (tempat memulai) untuk menuju ataumencapai tujuan (goal). Kemudian setelah diadopsi kedalam dunia pendidikan, kadangkala diistilahkan dengan

23

istilah kurikulum (curriculum) dan kadangkala disebutdengan istilah mata/materi pelajaran yang dipelajari (acourse of study). Pemakaian istilah, yang semula dipakaidalam dunia olah raga tersebut, sepertinya didasarkanpada persesuaian makna atau hakikat yang dikandung olehistilah tersebut, baik yang dipakai dalam dunia olahragadan yang dilakukan dalam dunia pendidikan, yaitu adanyatempat dan jarak yang harus ditempuh untuk mencapaitujuan, yang di dalamnya terdapat proses yang harusdilalui mulai dari garis start sampai ke finish atau tujuan.

Pemakaian istilah kurikulum atas dasar persesuaianmakna tersebut juga dipakai dalam bahasa Arab. Dalambahasa Arab istilah kurikulum disebut “minhaj” yangberarti “jalan yang terang”; cara, metode, bagan, rencana.Dari istilah itu dikenal istilah “minhaj al ta`lim” yang berarti“rencana pengajaran atau kurikulum pembelajaran(Munawwir, 1984: 1567) Dalam bentuk lain dikenal pulaistilah “minjah al diraasi” (kurikulum mata pelajaran) atau“minjah al mardasah” (kurikulum sekolah/madrasah).

2. Pengertian Termenologis Kurikulum MenurutPandangan TradisionalMenurut pandangan tradisional, kurikulum dimaknai

sesuai arti etimologis kurikulum, yaitu sebagai sejumlahmata/materi pelajaran yang harus dikuasai oleh pesertadidik pada suatu sekolah. Hal itu sebagaimana di-kemukakan oleh Zais, (1976:7) dan Giroux (1981:35) bahwakurikulum adalah: “a recourse of subject matters to be mas-tered”. Senada dengan pemaknaan di atas, al-Syaibani(1979), sebagai tokoh pendidikan Islam, menggambarkanpengertian minhaj sebagai padanan istilah kurikulumdalam bahasa Arab yakni berupa pengetahuan-

Konsep Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

24

pengatahuan yang dikemukakan oleh guru atau sekolahdalam bentuk mata pelajaran-mata pelajaran atau kitab-kitab karya ulama terdahulu, yang dikaji begitu lama olehpara peserta didik dalam setiap tahapan pendidikannya.

Dalam pandang tradisional ini kurikulum diartikanhanya sebatas apa yang menjadi isi pendidikan ataupembelajaran yang harus dikuasai dan diberikan dlamsebuah proses pendidikan, khususnya pendidikan yangdilaksanakan di sekolah sekolah. Dengan demikian,pengertian tradisonal ini disebut juga pengertiankurikulum dalam pengertian yang sempit. Dinyatakansebagai kurikulum dalam pandangan sempit karenakurikulum dipandang sekedar atau sebatas sebagai isi/materi pendidikan/pembelajaran, yakni terbatas padamateri atau bahan yang diberikan dan harus dikuasai olehpeserta didik dalam sebuah kegiatan pendidikan ataupembelajaran yang diberikan secara formal di sekolah ataukelas. Sedangkan disebut sebagai pengertian tradisional,dikarenakan kurikulum dalam arti sempit ini umumnyadianut atau dipakai pada konsep dan praktik pendidikanmasa lalu. Akan tetapi, tidak berarti bahwa konsep danpraktik pendidikan pada saat ini tidak memakai lagipengertian dalam pandangan sempit ini. Masih banyaklembaga pendidikan dan dalam kondisi tertentu masihmenggunakan pengertian kurikulum dalam pandangansempit ini. Tegasnya jika sebuah lembaga pendidikan atausebuah mata pelajaran dalam pengembangan kurikulum-nya hanya memperhatikan isi atau materi saja sebagaisesuatu yang harus diajarkan atau dikuasai oleh siswa,maka kurikulum yang bersangkutan dapat dikategorikansebagai kurikulum yang memakai pandangan tradisionalatau sempit.

25

Kurikulum dalam pengertian tradisional atau sempitini, menurut Giroux (1981:35) biasanya berupa: “the data orinformation recorded in guides or textbooks and overlooks manyadditional element that need to be provided for in a learning plan”.Dalam hal ini kurikulum merupakan sesuatu yang ber-isikan sejumlah data atau informasi yang dipakai sebagaipetunjuk pembelajaran atau dalam bentuk buku teks yangberisikan sejumlah materi yang diperlukan untuk dicapaidalam sebuah rencana pembelajaran.

Dalam dunia pendidikan, pengertian kurikulumdalam pengertian tradisonal atau sempit ini juga banyakdipakai, bukan saja pada lembaga-lembaga pendidikanmasa lalu, tetapi juga masih ada pada lembaga-lembagapendidikan hingga saat ini. Masih banyak kurikulum yangdikembangkan oleh lembaga pendidikan Islam hingga kinihanya berisikan sejumlah mata/materi pelajaran yangdiprogramkan harus dikuasai oleh siswa.

3. Pengertian Kurikulum dalam Pandangan ModernMenurut pandangan modern kurikulum tidak hanya

sebatas isi atau mata/materi pelajaran yang harus dikuasaisiswa, tetapi juga memuat hal-hal lain yang dipandangdapat mempengaruhi proses pencapaian tujuan pen-didikan atau pembentukan siswa sesuai yang diinginkan.Hal tersebut dapat dilihat pada definisi kurikulum yangdikemukakan oleh para ahli sebagai berikut.

Stratemeyer (1957:9) mendefinisikan kurikulumsebagai: “the sum total of the school`s effort to influence learn-ing wither in the classroom, on playground or on out of school”.Dalam hal ini Stratemeyer memandang kurikulum sebagaisejumlah usaha sekolah untuk mempengaruhi pem-belajaran, baik di dalam kelas, lapangan bermain, atau di

Konsep Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

26

luar sekolah. Lebih jauh menurut Krug (1956:4), kurikulumadalah seluruh kegiatan yang dilakukan oleh sekolah untukmemberikan pengalaman belajar siswa, sebagaimanadinyatakannya: “all the means employed by the school to pro-vide students with opportunities for desirable learning experi-ence”. Sedangkan Beaucham (1964:4), memandangkurikulum sebagai: “all activities of children under the juris-diction of the school” (seluruh aktivitas anak di bawahtanggung jawab sekolah).

Berdasarkan berbagai pengertian kurikulum, menurutStratemeyer (1957:9) konsep kurikulum yang digunakandalam praktek pendidikan dapat dikelompokkan dalamtiga konsep, yaitu sebagai sejumlah mata/materi pelajarandan aktivitas kelas, sejumlah pengalaman kelas yangdisponsori oleh sekolah, dan seluruh pengalaman hidupyang dialami para pelajar, sebagaimana dinyatakannyaberikut: “The curriculum is currently defined in three ways:the courses and class activities in which children and youth en-gage; the total range of in-class and out of class experience spon-sored by the school; and the total life experiences of the learner”.

Dari definisi-definsi kurikulum di atas dapat dilihatbahwa kurikulum mengalami pergeseran dan perluasanmakna. Hal itu sejalan dengan perkembangan filosofi, teoridan konsep pendidikan dan kurikulum yang mengalamiperkembangan dan pergeseran makna dari hanya sebagaiisi (konten) pendidikan atau pembelajaran ke pengertiansebagai sebuah proses, dan pergeseran dari pengertiansempit ke konsep kurikulum dalam makna yang luas.

Kurikulum dalam pengertian sebagai sebuah prosesini tidak hanya diartikan sebagai sekedar seperangkatmateri atau mata pelajaran yang harus diberikan ataudikuasai oleh peserta didik secara formal di sekolah atau

27

di kelas saja, tetapi juga mencakup segala hal yang terjadiatau dilakukan dalam proses pendidikan atau pem-belajaran secara keseluruhan. Dalam kata lain telah terjadipergeseran dapandangan kurikulum dari sekedar sebagaiisi (konten) pendidikan atau pembelajaran kepada prosespendidikan atau pembelajaran secara keseluruhan, baikdalam bentuk intra, ko, ekstra dan hidden curriculum(kurikulum yang tersembunyi atau tidak tertulis). Hal itusebagaimana dikemukakan oleh Doll (1964:15) bahwa: “Thecommonly accepted definition of the curriculum has changed fromcontent of courses of study and list of subjects and courses to allexperiences which are offered to learners under the auspices ordirection of the school”. Doll menyatakan bahwa telah terjadiperubahan pengertian kurikulum dari sekedar isi (konten)pendidikan atau pembelajaran kepada seluruh pengalamanyang diberikan kepada peserta didik (siswa) yang ada dibawah tanggung jawab atau arahan sekolah. Sejalandengan pengertian Doll tersebut, Al-Kualy (1981) salahseorang pakar pendidikan Islam, menjelaskan pengertianminhaj sebagai padanan istilah kurikulum dalam bahasaArab sebagai seperangkat rencana dan media serta carauntuk mengantarkan lembaga pendidikan untukmewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan. Dalamdefinisi al-Kualy ini memandang kurikulum tidak hanyasekedar mengandung materi atau mata pelajaran yangharus diberikan tetapi juga mengandung media dan caramemberikannya (proses).

Meskipun telah terjadi perkembangan pemahamandan pandangan terhadap pengertian dan konsepkurikulum dari definisi dan pandangan tradisional kemodern atau dari definisi sempit ke luas, namun konsepkurikulum tradisional atau sempit tidak berarti telah

Konsep Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

28

ditinggalkan sama sekali. Pada hal-hal tertentu atau padasituasi tertentu masih tetap digunakan. Bahkan secara realdalam dunia pendidikan, para praktisi pendidikanumumnya masih menggunakan konsep kurikulum yangsempit atau pengertian tradisional, di samping juga telahmelaksnakan pengertian kurikulum modern. Dalamkonteks ini, jika para praktisi pendidikan seperti: guru,siswa, dan praktisi pendidikan lainnya ditanya tentangkurikulum, maka mereka pada umumnya memberikanjawaban sebagaimana digambarkan dalam pengertiansempit atau tradisional di atas, yakni sejumlah matapelajaran. Begitu juga, kegiatan belajar yang dilaksanakandan dihargai sebagai hasil belajar mayoritas dalam lingkuppemberian sejumlah mata/materi pelajaran yangdilaksanakan oleh para guru di sekolah, atau lebih khususlagi, yang diberikan dalam kegiatan tatap muka di dalamkelas (jam terjadwal).

4. Konsep Kurikulum dan PembelajaranSering terjadi kerancuan dalam membedakan antara

istilah dan konsep kurikulum dan pembelajaran. Hal itudisebabkan keduanya merupakan dua istilah yang tidakbisa dipisahkan atau merupakan dua hal yang salingterkait. Saylor and Alexander (1974:245) menyatakanbahwa pembelajaran adalah merupakan implementasikurikulum yang berlangsung dalam benuk interaksi guru-siswa di sekolah, sebagamana dintakayannya: “Instructionis …the implementation of the curriculum plan, usually, butnot necessarily, involving teaching in the sense of student-teacherinteraction in a school setting. Adapun Robert S Zais dalamGiroux (1981: 38) menyatakan: “all other planning (for ex-ample, of content, learning, activities, and evaluation procedures)

29

is viewed as instruction, not curriculum planning”. A live class-room situation is regarded as the implementation of the instruc-tional plane, not of the curriculum. And an implemented cur-riculum would logically consist only of achieved learning out-comes”. Lebih tegas Mcdonal (1965) menyatakanpembelajaran adalah tindakan nyata dalam bentukinteraksi pembelajaran formal, sebagaimana dinyatakan-nya bahwa: instruction is “the actions context within whichformal teaching and learning behaviors take place”.

Dalam bentuk lain Hilda Taba menyatakan bahwakurikulum dan pembelajaran merupakan dua sisi yangtidak bisa dipisahkan. Kurikulum berkenaan dengancakupan tujuan, isi dan metode yang lebih luas, sedangkanaspek yang lebih sempit dan spesifik menjadi bagian daripembelajaran. Hal itu digambarkannya sebagai berikut:

Lebih jauh dan lebih lemngkap tentang gambaran hu-bungan dan posisi kurikulum dan pembelajaran digambar-kan oleh Peter F. Olliva, (1988) adalah sebagai berikut:1. Model dualistik: kurikulum dan pembelajaran merupa-

kan dua konsep yang terpisah dan masing-masingberdiri sendiri.

Konsep Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

30

2. Model Berkaitan: kurikulum dan pembelajaranmerupakan dua konsep yang saling terkait.

3. Model Konsentris: kurikulum dan pembelajaran salingmenyatu dengan kemungkinan pembelajaran beradadalam kurikulum atau kurikulum berada dalampembelajaran

4. Model Siklus: kurikulum dan pembelajaran memilikihubungan timbal balik dan saling mempengaruhi.

B. Konsep KurikulumMenurut Schubert (1985:26-33) pandangan (image)

tentang kurikulum hingga kini masih sangat beragam. Iamenyebutkan, ada delapan pandangan atau pemahamantentang kurikulum, yakni sebagai berikut:1) curriculum as content or subject matter (kurikulum sebagai

isi atau materi pelajaran);2) curriculum as a program of planned avtivity (kurikulum

sebagai sebuah program aktivitas yang direncanakan);3) curriculum as intended learning outcomes (kurikulum

sebagai hasil belajar);

31

4) curriculum as cultural reproduction (kurikulum sebagaireproduksi budaya);

5) curriculum as experience (kurikulum sebagai sesuatuyang dialami siswa);

6) curriculum as disctrete tasks and conceps (kurikulum sebagaitugas dan konsep-konsep khusus);

7) curriculum as an agenda for social reconstruction(kurikulum sebagai sebuah agenda untuk rekonstruksisosial kemasyarakatan); dan

8) curriculum as “currere” (kurikulum sebagai sesuatu yangharus dijalani oleh siswa).

Adapun Oliva (1991:5-6) dalam bukunya “Developingthe Curriculum” mengemukakan sejumlah pandangan ataupemahaman tentang kurikulum yang dipakai hingga saatini menurutnya, adalah:1) Curriculum is that which is taught in school (kurikulum

adalah apa yang diajarkan di dalam sekolah);2) Curriculum is a set of subjects (kurikulum adalah sejumlah

mata pelajaran);3) Curriculum is content (kurikulum adalah isi materi);4) Curriculum is a program of studies (kurikulum adalah

suatu program studi/kajian);5) Curriculum is a set of materials (kurikulum adalah

sejumlah materi pelajaran);6) Curriculum is a sequence of courses (kurikulum adalah

suatu urutan materi pelajaran);7) Curriculum is a set of performance objectives (kurikulum

adalah sejumlah tujuan yang ingin dicapai);

Konsep Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

32

8) Curriculum is a course of study (kurikulum adalahsejumlah mata pelajaran yang dipelajari);

9) Curriculum is everything that goes on within the school, in-cluding extra-class activities, guidance, and interpersonalrelationships (kurikulum adalah segala sesuatu yangdilakukan di dalam sekolah, termasuk aktivitasdi luar(ekstra) kelas, bimbingan, dan hubungan antar pribadisiswa);

10)Curriculum is that which is taught both inside and outsideof school directed by the school (kurikulum adalah apa yangdiajarkan baik di dalam dan di luar sekolah yangdiarahkan oleh sekolah);

11)Curriculum is everything that is planned by school person-nel (kurikulum adala segala sesuatu yang direncanakanoleh sekolah);

12)Curriculum is a series of experiences undergone by learnersin school (kurikulum adalah serangkaian pengalamanyang dilakukan oleh siswa di sekolah);

13)Curriculum is that which an individual learner experiencesas a result of schooling (kurikulum adalah apa yangdialami oleh seorang individu siswa sebagai hasil darisekolah).

Dari berbagai pemaknaan tentang kurikulum di atas,menurut Hasan (1988:28) secara konsepsional kurikulumdapat dilihat pada empat sudut pandang (dimensi) lain,yakni: 1) kurikulum sebagai ide atau gagasan, 2) kurikulumsebagai rencana tertulis, 3) kurikulum sebagai kegiatan(proses), dan 4) kurikulum sebagai hasil belajar. Konsepkurikulum pada empat dimensi ini merujuk pada sudutpandang keberadaan kurikulum dalam tahapan pengem-bangannya, yakni mulai pengembangan idea atau gagasan,

33

kurikulum tertulis (desain kurikulum), implementasikurikulum, dan hasil kurikulum (kurikulum sebagai hasil).

Empat dimensi kurikulum di atas dapat digambarkansebagaimana gambar berikut:

Pada gambar di atas terlihat bahwa kempat dimensikurikulum adalah nyata adanya dan satu sama lain salingberkaitanatau merupakan sebuah sistem dan rangkaianyang berkesinambungan antara ide, rencana, proses danhasil. Dalam hal ini, ide adalah merupakan dimensi awalyang kemudian dituangkan dalam bentuk kurikulum ren-cana tertulis. Rencana tertulis itu kemudian diimplemen-tasikan dalam proses pembelajaran, yang kemudian dariimplementasi tersebut diharapkan menghasilkan hasilyang sesuai dengan apa yang direncanakan atau digagas.

1. Kurikulum sebagai ide atau gagasanSecara etimologis ide (idea) berarti: “A plane of action;

an intention’ something imagined or pictured in the mind;; anotion; an opinion; a fancy…(Webster, 1961:237)” Dalamdefinisi ini, ide atau gagasan adalah sebagai sesuatu yang

Konsep Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

34

direncanakan yang ada dalam benak atau tergambar dalampikiran. Sesuai dengan definisi tersebut, dapat dinyatakanbahwa kurikulum sebagai ide atau gagasan adalah me-rupakan sesuatu rencana atau keinginan yang ada dalambenak atau dalam pikiran dalam bentuk gagasan kuri-kulum yang bersifat umum. Oleh karena itu, sebagaimanadikemukakan oleh Hasan (1988:28-31), bahwa kurikulumsebagai sebuah ide atau gagasan adalah konsep kurikulumyang ada pada pikiran atau benak para perancangkurikulum maupun para praktisi, pelaksana, dan pemakaikurikulum. Ia ada bias berada pada pikiran kepala sekolah,guru, siswa, masyarakat, dan pada stackeholder pen-didikan lainnya.

Idea tau gagasan pada umumnya ada pada saat prosesawal perancangan kurikulum, atau pada ajang pendapat(deliberation), atau yang mendahului rancangan/desaintertulis kurikulum. Akan tetapi, dalam peraktiknya ideaatau gagasan dapat juga muncul ketika kurikulum tersebutdirancang dan dituangkan dalam program tertulis, ataupada saat diimplementasikan, atau bahkan pada saatdilakukan evaluasi (penilaian). Menurut Beaucham (1981)ide atau gagasan tersebut mesti sebagai sebuah rencanaatau gagasan dalam bentuk yang tidak terulis. Oleh karenaitu, kurikulum dalam dimensi idea atau gagasan ini tidaklain adalah sesuatu yang diharapkan atau diangankanuntuk dicapai dan dilaksnakan oleh guru, sekolah,masyarakat, dan stackeholder lainnya. Karenanya padaumumnya kurikulum dalam bentuk idea tau gagasan inibersifat sangat idealis dan perfeksionis (sangat sempurna),yang kadang tidak sesuai atau susah untuk dijangkaudalam realitasnya.

35

2. Kurikulum sebagai rencana tertulisPada dasarnya kurikulum sebagai rencana tertulis ini

menurut Hasan (1988:31) adalah terjemahan darikurikulum dalam dimensi ide atau gagasan. Dalam katalain, kurikulum dalam bentuk tertulis ini merupakanpenulisan segenap idea tau gagasan yang telah digagas.Beaucham (1981), sebagaimana dikemukakan di atas,menyebutnya sebagai kurikulum dalam bentuk dukumentertulis. Karenanya ia sering juga disebut sebagai ideal cur-riculum (kurikulum yang diharapkan), sebagai lawan darikurikulum real curriculum. Akan tetapi, dalam kenyataan-nya tidak selalu kurikulum dalam bentuk tertulis ini samapersis dengan kurikulum dalam dimensi idea tau gagasan.Ketidaksamaan itu bias terjadi karena keterbatasan dalampenuangan idea tau gagasan tersebut dalam bentuk tertulisatau karena berbagai kondisi lain, seperti karenadipandang perlu pembatasan atau dipandang perlu adapentahapan dalam perencanaan tertulisnya.

Sebagai sebuah dokumen tertulis, kurikulum dalamdimensi rencana harus memenuhi berbagai kriteria tentangbentuk dan lingkup cakupannya (Hasan, 1988:32). Banyakmodel dan cakupan kurikulum sebagai dokumen tertulisini, namun secara umum sebagai rencana tertulis padaumumnya, sebagaimana Tyler (1950:1-2), sebuah dokumenkurikulum minimal bersisi empat komponen yangmerupakan empat pertanyaan dasar yang harus dijawab,yaitu:(1) What educational purposes should the school seek to attain?(2) What educational experiences can be provided that are likely

to attain these purposes?

Konsep Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

36

(3) How can these educational experiences be effectively orga-nized?

(4) How can we determine whether these purposes are being at-tained?

Sedangkan menurut Meller & Siller (1985:175),komponen yang terdapat dalam dokumen kurikulummeliputi: 1) aims and objectives, 2) content, 3) teaching strate-gies/learning experiences, 4) organization of content an teach-ing strategies, and 5) evaluation (sometimes included and some-times separated).

Berdasarkan pendapat Tyler dan Meller & Siller di atas,anatomi sebuah kurikulum minimal meliputi: tujuan yangharus dicapai, pengamalan pendidikan atau isi/materiyang dianggap dapat memenuhi tujuan yang ingin dicapai,pedoman dan strategi pengorganisasian materi (pelaksa-naan) sehingga dapat mencapai tujuan yang diinginkan,dan yang terakhir adalah bagaimana mengevaluasipelaksanaan kegiatan dan hasil pencapaian kegiatantersebut. Keempat komponen anatomi kurikulum tersebutmerupakan suatu sistem atau suatu yang saling berkaitanantara satu sama lain dan saling mempengaruhi pelaksana-an dan keterpcapaian masing-masing.

3. Kurikulum sebagai kegiatan (proses)Kurikulum sebagai suatu kegiatan (proses) ini kadang

disebut juga: real curriculum (kurikulum sesungguhnya),actual curriculum (kurikulum yang nyata), functional cur-riculum (kurikulum yang terlaksana), dan operational cur-riculum (kurikulum yang dilaksanakan). Dengan mengutifdari Cohen, Deer, Harrison, dan Josephson, (1982), danGoodlad (1978) kurikulum dapat juga berupa kuriklum

37

realita atau sebagai eksperiensial. Istilah realita di-pergunakan karena kurikulum dalam dimensi ini adalahkurikulum yang sesungguhnya tertjadi di lapangan.Sedangkan eksperiensial dipergunakan karena kurikulumini merupakan sesuatu yang dialami siswa.

Di kalangan pakar kurikulum terjadi perbedaanpendapat mengenai apakah dimensi ini termasukkurikulum atau bidang yang berdiri sendiri. Bagi Mcdonal(1965) kurikulum (curriculum) hanyalah sebagai: a plane foraction, that is, a plane that guides instruction”. Jadi, kurikulumhanya dipandang sebagai sebuah rencana untuk tindakanpembelajaran, bukan sesuatu yang dialami secara nyataoleh siswa. Beaucham (1981:7), sebagaimana dikemukakandi atas juga memandang kurikulum sebagai sebuahdokumen tertulis atau tidak tertulis. Dalam hal ini ia me-mandang kurikulum hanya dalam bentuk ide dan rencanatertulis saja. Dalam kata lain kedua pakar inimemandangproses atau kegiatan pelaksanaan kurikulum ini tidakdisebutnya sebagai kurikulum. Sementara itu, Johnson(1967) memandang situasi nyata di dalam kelas dipandangsebagai implementasi dari rencana pembelajaran, bukanrencana kurikulum. Kurikulum hanya dalam bentukpencapaian tujuan belajar (Zais, 1976:9). Di pihak lain,Johnson juga memandang bahwa kurikulum adalahmerupakan hasil (output) dari sistem pengembangankurikulum dan menjadi bahan masukan (input) bagi sistempembelajaran. Demikian ia juga tidak menyatakan prosessebagai sebuah kurikulum.

Terlepas dari berbagai perbedaan pandangan tentangkonsep kurikulum tersebut, namun dalam prakteknyakurikulum sebagai proses adalah merupakan implementasikurikulum. Fullan (1982), dan Leithwood (1982) adalah di

Konsep Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

38

antara para pakar kurikulum yang memandang bahwaimplementasi adalah sebagai sebuah kurikulum dalamdimensi proses. Sebagaimana definisi yang dikemukakanoleh Fullan (1982:54) bahwa implementasi adalah: “the pro-cess of putting into practice an idea, program, or set of activitiesnew to the people attempting or expected to change”.

Sementara itu, istilah implementasi kurikulum inisering pula disamakan dengan pembelajaran (instruction).Dalam bahasa lain, bahwa sebuah kurikulum yang ada padaide atau gagasan yang kemudian dituangkan dalambentuk rancangan tertulis kelanjutannya akan diimplemen-tasikan. Dengan demikian implementasi (proses) adalahmerupakan pelaksanaan kurikulum ide dan kurikulumtertulis.

Meskipun pada dasarnya atau idealnya kurikulumdalam dimensi proses ini merupakan implementasi dariapa yang telah digagas dan dituangkan dalam programtertulis, namun bukan berarti kurikulum dalam dimensiproses ini semata mengimplementasikan apa yang digagasdan telah diprogramkan secara tertulis, sebaliknya ada-kalanya dalam proses ini dapat muncul hal-hal baru,merubah dan meniadakan apa yang telah digagas dandiprogramkan secara tertulis tersebut, karena ada situasidan kondisi yang mengharuskannya untuk terjadi dandilakukan perubahan.

4. Kurikulum sebagai hasil.Kurikulum sebagai suatu produk atau hasil belajar,

sebagaimana dikemukakan oleh Leithwood (1982), padadasarnya merupakan kelanjutan dan dipengaruhi olehkurikulum sebagai kegiatan. Ia juga merupakan dimensikurikulum yang dipengaruhi secara langsung oleh

39

kurikulum sebagai ide, terutama ide yang ada pada diriguru. Dengan demikian ia merupakan dimensi kurikulumtersendiri (Hasan, 1988).

Sebagai dimensi kurikulum tersendiri, ia merupakandimensi kurikulum yang banyak dibicarakan orang, se-hingga dalam kenyataan sehari-hari orang memperguna-kan produk ini sebagai indikator dan tolok ukur untukmenentukan keberhasilan pendidikan siswa. Bahkan iajuga digunakan orang untuk menentukan keberhasilankarier siswa tersebut dimasa pasca pendidikan. Denganperkataan lain, kurikulum sebagai dimensi hasil ini samapentingnya dengan kurikulum dalam dimensi lain, ataubahkan ada yang menganggap lebih penting dari dimensilainnya (Hasan, 1988:36).

Kurikulum sebagai hasil belajar ini juga menjadiperbincangan para pakar dan praktisi kurikulum, apakahia merupakan sebuah dimensi sen-diri atau hanyamerupakan bagian dari sistem atau aspek kurikulum.Hasan (1988) mengemukakan sebagai berikut:

…pada waktu kegiatan evaluasi secara formal dilakukan,evaluasi kurikulum berhubungan dengan hasil belajar tetapiorang tidak mengaitkan hasil belajar itu sebagai salah satudimensi pengertian kurikulum. Meskipun demikian, hasilevaluasi itu digunakan untuk memperbaiki ataupun menggantikurikulum dalam dimensi sebagai rencana. Usaha paling jauhyang dilakukan ialah memasukkan hasil belajar sebagai salahsatu komponen kurikulum sebagai rencana. Artinya, ia harusdikembangkan tetapi tidak dianggap sebagai kurikulum dalamdimensi sendiri.

Banyak pakar yang mengaggap hasil belajar hanyamerupakan bagian dari aspek kurikulum sebagai rencana,diantaranya Tyler (1950), Beaucham (1981), Zais (1976).

Konsep Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

40

Sebaliknya tidak sedikit juga yang memandang hasil belajarsebagai dimensi kurikulum tersendiri. Miller & Seller(1985) adalah salah satu pakar kurikulum yang menjadikanevaluasi sebagai salah satu dimensi tersendiri dari kuri-kulum. Dalam bukunya “Curriculum Perspektif and Prac-tice (1985)”, ia tidak memasukkan evaluasi sebagai salahsatu aspek kurikulum sebagai rencana, ia membahasnyatersenidiri. Pakar yang lebih tegas memandang kurikulumsebagai sebuah hasil belajar adalah Johnson (1967).Sebagaimana dikemukakan di atas, ia memandangkurikulum hanya merupakan “a structured series of intendedlearning outcomes” (Zais, 1976:9). Pakar lain, menurut Hasan(1988:35), seperti McDonal, Popham dan Baker, serta Inlow,juga menganggap kurikulum hanya sebagai hasil belajar,sedangkan dimensi pengertian lainnya tidak diakui.

Meskipun idealnya kurikulum demikian itu, namundalam prakteknya keempat dimensi tersebut tidak selalusejalan, sehingga dipandang sebagai kurikulum dalamdimensinya sendiri yang tidak sama antara satu denganyang lain. Dalam hal ini, sering terjadi ide tidak persis samadengan apa yang direncanakan secara tertulis; rencanatertulis tidak persis sama dengan apa yang dilaksanakan(proses); dan apa yang dilaksanakan tidak persis samadengan apa yang dihasilkan. Ketidak sesuaian dan ketidaksejalanan tersebut biasanya disebabkan kondisi-kondisidan tuntutan pada setiap tahap dimensi yang berbeda ataumuncul belakangan. Kondisi dan tuntutan ketika idekurikulum digagas sering tidak sama dengan ketikakurikulum tersebut dirancang secara tertulis, danseterusnya. Meskipun idealnya antara ide dan rancangantertulis semestinya sama karena keduanya merupakanideal/potensial kurikulum, namun sering keduanya tidak

41

bisa sama persis, karena ketika ide dituangkan dalamsebuah rencana tertulis sering terdapat hal-hal teknis yangmengharuskan adanya penyesuaian dengan kondisidimana ide itu akan dilaksnakan. Oleh karena itukurikulum dalam bentuk tertulis adalah merupakandimensi lain dari sebuah kurikulum yang sama.

Begitu juga ketika kurikulum dalam dimensirancangan/domumen tertulis diimplementasikan dalambentuk proses atau aktual kurikulum, sering kali terjadiketidaksejalanan atau mengharuskan adanya perubahanyang dikarenakan adanya kondisi dan situasi real ketikakurikulum diimplementasi-kan. Dengan demikian,impelemntasi kurikulum atau kurikulum dalam bentukproses ini juga dipandang sebagai kurikulum dalamdimensi proses atau actual kurikulum. Tidak jarang pe-ngaruh hidden curriculum (kurikulum tersembunyi) sangatdominan atau paling tidak memberikan warna tersendirisebuah proses implementasi kurikulum. Hidden curriculum(kurikulum tersembunyi) adalah kurikulum yang padadasarnya ada dalam setiap proses pendidikan, namun iatidak dinampakkan dalam sebuah konsep dalam dimensisendiri. Ia dapat berupa sesuatu yang memang di-rencanakan untuk dilaksnakan dan dicapai dalam sebuahproses pendidikan atau dapat pula berupa sesuatu yangmuncul dengan sendirinya dalam situasi dan kondisitertentu, khususnya ketika proses pelaksanaan kurikulum.Kurikulum tersembunyi yang tidak direncanakan,kemunculannya bias dipicu oleh kehadiran factor-faktorpendidikan/ pembelajaran atau interaksi dan sistuasi sertakondisi yang tercipta pada saat sebuah kurikulum di-ilmplementasikan dalam proses pendidikan/pembelajar-an. Hanya saja kurikulum tersembunyi tidak diwujudkan

Konsep Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

42

dalam rancangan tertulis bahkan kadang-kadang dalamide sekalipun. Kurikulum tersembunyi akan terbukti benar-benar ada ketika proses implementasi kurikulum dan hasilyang didapat.

Selanjutnya hasil yang didapatkan juga sering tidaksesuai dengan aktual kurikulum, rancangan tertulis danideal kurikulum, karena hasil juga dipengaruhi olehberbagai kondisi internal dan eksternal guru dan siswa itusendiri. Tidak jarang pengaruh hidden curriculum(kurikulum tersembunyi) yang muncul ketika ide akandiimplementasikan memberikan pengaruh dominanterhadap proses dan hasil yang dicapai atau kurikulumsebagai sebuah hasil.

43

BAB IIIMODEL-MODEL KURIKULUM

Secara teoritis setidaknya kurikulum dapatdikelompokkan dalam empat model, yaitu: (1) KurikulumSubyek Akademik; (2) Kurikulum Humanistik; (3)Kurikulum Rekonstruksi Sosial; dan (4) KurikulumTeknologis. Meskipun secara teoritis kurikulum umumnyadikelompokkan dalam empat model tersebut, namundalam kenyataanya terdapat juga model kurikulum yangmerupakan perpaduan dari keempat model tersebut,seperti model kurikulum yang berbasis kemampuanstandar yang juga akan diuraikan pada akhir bab ini.

A. Model Kurikulum Subyek AkademikKurikulum subjek akademik adalah kurikulum yang

dikembangkan berdasarkan/berbasis pada mata/materipelajaran dan bertujuan untuk memberikan pengetahuanyang sebanyak-banyaknya kepada peserta didik. Modelkurikulum ini sangat menonjolkan atau mengutamakan isiatau materi pengajaran dalam pendidikan. Materi yang

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

44

menjadi isi kurikulum dalam model kurikulum subjekakademik ini umumnya adalah materi-materi yangberkembang dimasa lalu atau merupakan warisan budayamasa lalu yang telah diakui dan dianggap harus dimilikioleh setiap orang. Dalam kata lain model kurikulum iniberorientasi pada pewarisan ilmu pengeahuan dan nilai/budaya masa lalu (zaman klasik dan pertengahan). Isikurikulum yang menjadi materi pendidikan diambil darisetiap disiplin ilmu yang bersumber dari teori pendidikanklasik, yaitu pandangan pendidikan perenialisme danesensialisme. Gambaran tersebut dapat dilihat sebagai-mana gambar berikut ini.

Aliran Filsafat Essensialisme

Alirang Filsafat Perennialisme

Karena model kurikulum ini menekankan padapentingnya pemberian atau transfer materi atau ilmupengetahuan kepada peserta didik, maka pendidikanmenurut konsep model ini harus berusaha memberikanpengetahuan dan penguasaan materi pengetahuan se-

45

banyak-banyaknya. Anak yang berhasil dalam pendidikanadalah anak yang menguasai seluruh atau sebagian besarisi atau materi pendidikan yang disiapkan oleh guru ataulembaga pendidikan yang bersangkutan. Lembagapendidikan yang baik dan berhasil adalah lembagapendidikan yang dapat memberikan ilmu pengetahuansebanyak-banyaknya kepada peserta didiknya. Hal itudigambarkan sebagaimana gambar berikut:

Pada gambar di atas terlihat bahwa isi atau materipelajaran adalah suatu komponen yang paling diutamakan(digambarkan secara menononjol) dari komponen lainnya.Selain itu, karena sangat mengutamakan pada penguasaanmateri, maka peran guru menjadi sangat dominan, khusus-nya jika dibandingkan dengan peran siswa. Guru adalahpelaku pendidikan yang sangat berkuasa, sementarapeserta didik adalah pihak yang hamper tidak berdaya danharus sispa menerima segala apapun yang diberikan olehguru. Secara ekstrem model kurikulum ini seringdigambarkan sebagaimana gambar berikut:

Model-model Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

46

Meskipun model kurikulum ini sangat mengutamakanpengetahuan, namun tidak berarti hanya menekankanpada meteri yang disampaikan. Dalam pelaksanaannyajuga memperhatikan kepada proses belajar yang dialamisiswa. Proses belajar yang dilakukan tergantung kepadasegi apa yang dipentingkan di dalam materi pelajarantersebut. Beberapa kegiatan belajar memberi kemungkinanuntuk mengadakan generalisasi, suatu pengetahuan dapatdigunakan dalam konteks yang lain daripada hanyasekedar yang dipelajarinya, siswa dibawa untukmenghubungkan dengan masalah lain.

Model kurikulum ini ternyata juga berkembang.Sekurang-kuarangnya, sebagaimana dikemukakan olehNana Syaodih (1988:88-89), ada tiga kecenderungan dalamperkembanagannya. Pertama, melanjutkan pendekatanstruktur pengetahuan. Murid-murid belajar bagaimanamemperolah dan menguji fakta-fakta dan bukan hanya

47

sekedar mengingat-inganya. Kedua, studi yang bersifatintegratif, dimana batas ilmu menjadi hilang. Pelajarantersusun atas satuan-satuan pelajaran dan tema-tema matapengajaran yang dikembangkan atas dasar fenomena-fenomena alam, proses kerja ilmiah dan problema-pro-blema yang ada. Ketiga, mata pelajaran yang dilaksanakansebagaimana apa yang berkembang pada sekolah-sekolahfundamental. Pelajaran ditekankan pada membaca,menulis, dan memecahkan masalah-masalah metematis.Pelajaran lain seperti ilmu kealaman, ilmu sosial, dll,dipelajari tanpa dihubungkan dengan kebutuhan praktispemecahan masalah dalam kehidupan.

Model kurikulum subyek akademik ini dilihat daridesain anatomi kurikulumnya dapat digambarkan sebagaiberikut:a. Tujuan

Tujuan dari kurikulum subyek akademik adalahmelatih para siswa untuk menggunakan ide-ide dan proses“penelitian”. Dengan menjadikan para siswa ber-pengathuan di dalam berbagai disiplin ilmu, para siswadiharapkan memiliki konsep-konsep dan cara-cara yangdapat terus dikembangkan dalam masyarakat yang lebihluas setelah selesai. Sekolah harus memberikan kesempatankepada para siswa untuk merealisasikan kemampuan me-nguasai warisan budaya dan jika mungkin memperkaya-nya (nana Syaodih, 1988:90).

b. MateriKarena model kurikulum ini sangat mengutamakan

isi atau materi pelajaran, maka kurikulum ini memberikanperhatian yang sangat besar pada ilmu pengetahuan yang

Model-model Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

48

akan diberikan. Oleh karena itu, nama-nama matapelajaran yang menjadi isi kurikulum hampir sama dengannama dan cakupan disiplin ilmu pengetahuan yangberkembang pada zamannya. Dalam kurikulum klasikdikenal nama mata pelajaran seperti aljabar, aritmatik,astronomi, seni, bahasa, dan sebagainya. Dalampendidikan Islam, pada zaman Nabi Muhammad, dikenalnama mata pelajaran seperti al-Quran, al-Hadis, TataBahasa, Retorika dan Prinsip-prinsip Hukum (Ashraf,1985: 29-30), Membaca, Menulis, dan Sya‘ir Arab (Salabi,1954: 16). Pada masa berikutnya, sejalan denganperkembangan pendidikan Islam, khususnya ketikapendidikan Islam dilaksanakan dalam bentuk formal, isikurikulum pada lembaga-lembaga pendidikan Islamtersebut juga mengalami perkembangan. Pada masakemajuan peradaban Islam, khususnya pada masapemerintahan al-Ma‘mun (813-833 M), lembaga-lembagapendidikan Islam telah memiliki kurikulum yang memuatsejumlah ilmu pengetahuan. Menurut Nakosteen (1996:71) lembaga pendidikan Islam pada masa itu mengajarkan:

Matematika (Aljabar, Trigometri dan Geometri); Sains (Kimia,Fisika dan Astronomi); Ilmu Kedokteran (Anatomi,Pembedahan, Farmasi, dan cabang-cabang ilmu kedoketarankhusus); Filasafat (Logika, Etika dan Metafisika); Kesusastraan(Filologi, Tata Bahasa, Puisi dan Ilmu Persajakan) ilmu-ilmusosial (Sejarah, Geografi, disiplin-disiplin yang berhubungandengan politik, Hukum, Sosiologi, Psikologi dan Jurisprudensi(Fikih), Teologi (Perbandingan Agama, Sejarah Agama, Studial-Quran, tradisi religius (Hadis) dan topik-topik religuslainnya).

Mata pelajaran yang menjadi isi kurikulum dalammodel kurikulum subyek akademik ini selalu berkembang,

49

namun pada intinya selalu melingkupi tiga bidang ilmupengetahuan, yaitu dalam bidang ilmu pengetahuankealaman, sosial, dan humaniora. Selain itu, tekanan ilmupengetahuan yang diberikan dalam kurikulum subyekakademik ini sangat dipengaruhi oleh pandangan filosofisyang melatar belakanginya. Lembaga pendidikan ataupelaku pendidikan yang beraliran essensialisme me-mandang bahwa ilmu pengetahuan yang harus diberikankepada peserta didiknya atau yang menjadi isi kurikulumyang terpenting adalah ilmu pengetahuan yang telah adadan berkembang pada masa lalu, sedangkan ilmupengetahuan masa untuk kepentingan masa kini apalagiuntuk yang diprediksi penting untuk kehidupanmendatang tidak dianggap perlu. Adapun bagi lembagaatau pelaku pendidikan yang beraliran perennialisme, ilmupengetahuan yang penting untuk diberikan kepada pesertadiedik adalah ilmu pengetahuan yang ada sekarang dandiperlukan untuk saat ini, pengetahuan masa lalu tidakbegitu penting, begitu juga yang akan datang. Gambarantersebut dapat dilihat sebagaimana gambar berikut ini.

Aliran Filsafat Essensialisme

Model-model Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

50

Alirang Filsafat Perennialisme

Materi pelajaran yang diberikan dalam kurikulummodel subyek akademik tersebut diorganisir dalamberbagai bentuk. Pola organisasi yang sering digunakanumumnya sebagai berikut:1) Sprataed subject, materi pelajaran diberikan sendiri-

sendiri tanpa dihubungkan dengan mata pelajaranlainnya.

2) Correlated, materi atau konsep yang dipelajaridihubungkan dengan pelajaran lainnya.

3) Integrated, suatu konsep atau keterampilan dipelajaridalam suatu satu kesatuan bahasan dari berbagaidisiplin yang serumpun atau berbada.

4) Unified atau Concentrated, behan pelajaran tersusundalam tema-tema pelajaran tertentu yang menjadi satukesatuan, mencakup materi dari berbagai pelajarandisiplin ilmu.

5) Problem Solving, memecahkan masalah sosial yang di-hadapi dalam kehidupan nyata dengan menggunakanpengetahuan dan keterampilan yang dipelajari dariberbagai mata pelajaran/disiplin ilmu.

c. MetodeMetode yang paling banyak digunakan dalam

kurikulum subyek akademik adalah metode ceramah dan

51

hapalan yang bertujuan agar peserta didik dapatmenguasai pengetahuan yang sebanyak-banyaknya. Disamping itu metode yang juga sering digunakan adalahmetode ekspositori dan inkuiri. Dalam metode ini ide-idediberikan oleh guru lalu dielaborasi oleh siswa sehinggadapat mereka kuasai. Konsep-konsep utama disusun secarasistematis, diberi ilustrasi yang jelas untuk selanjutnyadikaji bersama. Dalam disiplin ilmu yang diberikan dicariberbagai masalah yang penting, untuk kemudian dirumus-kan dan dicari cara pemecahannnya. Mereka mempelajaribuku-buku standar untuk memperkaya pribadinya, untukmemahami budaya masa lalu dan mengerti keadaan masakini. Oleh karena itu metode pembelajaran yang dignakanlebih banyak dalam bentuk, ceramah, penugasan, dantanya jawab.

d. EvaluasiSecara umum evaluasi lebih diarahkan pada upaya

untuk menguji penguasaan ilmu pengetahuan yangdiberikan (akademik-kognitif). Dengan demikian sangatkurang memperhatikan pada penalaran dan pengembang-an pengetahuan yang dikuasai peserta didik. Kurikulumsubyek akademik menggunakan bentuk evaluasi yangbervariasi disesuaikan dengan tujuan dan sifat matapelajaran. Di dalam pelajaran humaniora lebih senangmenggunakan uraian (essay) dariapada obyektif. Dalammata pelajaran matematika lebih menekankan padapenilaian untuk menguji penguasaan landasan aksiomanyadanbenar operasi penghitungannya. Dalam ilmu kealamanmenekankan pada jawaban yang benar tetapi juga kepadaproses berfikir yang siswa lakukan (Nana Syaodih:1988:91).

Model-model Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

52

B. Model Kurikulum HumanistikBerbeda dengan model kurikulum subyek akademik

yang sangat menekankan pada pengusaan materi ataupengetahuan pada anak, model kurikulum humanistiksangat menekankan pada pengembangan potensi-potensiyang ada pada masing-masing individu anak secara kese-luruhan. Hal ini tentu sesuai dengan namanya “humanis-tik” yang berarti sesuatu yang lebih bersifat kemanusiaan.Dengan demikian konsep kurikulum humanistik inidimaksudkan untuk mendidik anak sesuai dengan hakekatkemanusiaannya.

Model kurikulum ini dikembangkan oleh para ahliyang berpandangan atau beraliran pendidikan humanistik.Ada beberapa aliran yang termasuk dalam aliran pen-didikan humanistik, yaitu: aliran pendidikan Konfluen,Kritikisme Radikal, dan Mistikisme Modern. PendidikanKonfluen menekankan keutuhan pribadi, individu harusmerespon secara utuh (baik dari segi pikiran, perasaanmaupun tindakan), terhadap kesatuan yang menyeluruhdari lingkungan. Pendidikan Kritikisme Radikal me-mandang pendidikan sebagai upauya untuk membantuanak menemukan dan mengembangkan sendiri segalapotensi yang dimilikinya. Pendidikan merupakan upayauntuk menciptakan situasi yang memungkinkan anakberkembang optimal. Pendidikan mistikisme modernmenekankan latihan dan pengembangan kepekaanperasaan, kehalusan budi pekerti, melalui sensitivity train-ing, yoga, meditasi dan sebagainya.

Dilihat dari sisi psikologis, model kurikulumhumanistik ini banyak dipengaruhi oleh psikologi Gestalt,yang memandang anak sebagai satu kesatuan yang

53

menyeluruh. Sedangkan dari sisi filosofis, kurikulum inibanyak dipengaruhi oleh filsafat progressivisme danRomantisme.

Aliran filsafat progressivisme memandanga bahwapendidikan adalah sebagai cultural transition, yang berartibahwa pendidikan dianggap mampu merubah, dalam artimembina kebudayaan baru yang dapat menyelamatkanmanusia untuk hari depan yang makin kompleks danmenantang. Pendidikan adalah lembaga yang mampumembina manusia untuk menyesuaikan diri denganperubahan-perubahan kultural dan tantangan-tantanganzaman, demi survive-nya manusia. Progressivesme jugapercaya bahwa pendidikan dapat menolong manusiadalam menghadapi periode transisi antara zaman tra-disional yang segera berakhir untuk memasuki zaman yangprogressif (modern). Progressivesme mempunyai ciriutama, yakni mempercayai manusia sebagai subyek yangmemiliki kemampuan untuk menghadapi dunia danlingkungan hidupnya yang multikompleks dengan skilldan kekuatan sendiri. Dengan kemampuan itu manusiadapat memecahkan semua problemanya secara intelegen,dengan intelegensi yang aktif (Nursyam, 1986:227). Belajarsesungguhnya adalah pengalaman yang wajar dan dalamprosesnya harus disadari bahwa yang aktif adalah “thewhole child” bukan hanya “mind” saja. Seluruh tingkah lakuadalah pula perwujudan dari seluruh aspek kepribadian-nya secara utuh. Belajar selalu berkembang menurut liveldan kompleksitasnya, dan tingkat tertinggi dari fungsi ituialah intelegensi. Belajar sesungguhnya bukan semata-mataterjadi di dalam sekolah, tetapi belajar terjadi dalam semuakesempatan dan tempat. Berdasarkan pandangan dasar

Model-model Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

54

ini, maka menurut progressivesme, kurikulum pendidikanyang baik adalah:1. Kurikulum harus mempunyai nilai edukatif dan

sekolah yang baik ialah yang memperhatikan dengansungguh-sungguh semua jenis belajar (dan bahannya)yang emmbantu murid, pemuda, an orang dewasa,untuk berkembang (Dewey, 1961).

2. Pendidikan yang baik hendaknya memiliki kurikulumyang berfungsi sebagai laboratorium, dimana guru danmuridnya mendapatkan keleluasaan untuk melakukanfungsi ilmiawan. Karenanya kurikulum tidak bolehkaku, standar yang mekanis, penyelesaian-penyelesaiantradisional. Kurikulum pendidikan tidak boleh rigittetapi harus bervariasi dan isi kurikulum harus kaya,karenya tidak ada suatu isi tertentu, sistem pengajaran,metode yang universal dalam pengajaran yang selalutepat untuk semua jenis sekolah.

Berdasarkan pandangan filosofis dan psikologis yangmelatarbelakangi konsep kurikulum humanistik di atas,maka ada beberapa asumsi yang diperpegangi dalamdalam model kurikulum ini, yaitu: (1) anak atau siswaadalah sosok pribadi yang mempunyai potensi-potensi,kemampuan dan kekuatan untuk berkembang sendiri; (2)anak atau siswa merupakan pribadi yang utuh sebagaisuatu kesatuan yang menyeluruh; (3) anak atau siswaadalah sebagai subyek utama dan menjadi pusat kegiatanpendidikan. Berdasarkan asumsi-asumsi itu, makapendidikan humansitik diarahkan kepada pembinaanmanusia secara utuh, bukan saja dari segi fisik danintelektual, tetapi juga segi emosional, spiritual, dan lain-lain. Dalam kata lain, pendidikan dalam pandangan

55

humanistik lebih kepada penumbuhkembangkan potensi-potensi yang ada pada anak didik ke arah pertumbuhanatau perkembangan yang sempurna. Dengan demikiankonsep kurikulum humanistik agak bertolak belakangdengan konsep kurikulum Subyek Akademik yang sangatmenakankan pada materi atau penguasaan materi. Dalammodel kurikulum ini lebih menekankan pada pembinaanpribadi anak atau dengan kata lain menekankan padaupaya “memanusiakan manusia”. Gambaran modelkurikulum ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Progressive

Romatik

Pada gambar di atas terlihat ada dua aliran yang men-dasari model kurikulum ini, yaitu aliran progressive danRomatik. Kedua aliran ini meskipun memliki kesamaandalam memandang pendidikan, namun terdapatperbedaan dari substansi materi yang diberikan danpendekatan yang dilakukan. Pendidikan menurut aliranprogressivisme .....................

Model-model Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

56

Berdasarkan konsep dan visualisasi di atas dapatdisimpulkan karakteristik model kurikulum humanistikadalah sebagai berikut:a. Fungsi kurikulum menurut model kurikulum

humansitik ini adalah menyediakan pengalaman-pengalaman yang berharga bagi setiap anak didik untukmembantu memperlancar dan mengoptimalkanperkembangan pribadi anak didik.

b. Tujuan pendidikan menurut konsep kurikulumhumanistik ini adalah mengoptimalkan pertumbuhanpotensi dan tercapainya harmoni (keseimbangan)perkembangan seluruh aspek kepribadian, baik aspekkognitif, estetika, moral, bahkan spiritual.

c. Materi kurikulum harus mampu memberikanpengalaman yang menyeluruh, bukan pengalamanyang terpenggal-penggal. Bahan-bahan yang akandibahas dalam setiap kegiatan pembelajaran mencakuptopik-topik, bahan ajar, dan kegiatan belajar yang dapat

57

membantu siswa dalam merumuskan apa yang inginmereka pelajari. Kegiatan yng diutamakan adalahsesatu yang dapat membangkitkan rasa ingin tahu daripemahaman. Orientasi materi kurikulum lebihmengutamakan pengembangan untuk masa yang akandatang.

d. Pelaksaan kegiatan pembelajaran dalam bentuk pem-berian penagalaman-pengalaman yang menyenangkandan menuntut hubungan emosional yang baik abtaraguru dengan siswa. Guru harus dapat menciptakanhubungan yang hangat dengan siswa selain jugamampu menjadi manusia sumber. Guru harus mampumemberikan materi yang menarik dan mampumenciptakan situasi yang memperlancar prosespembelajaran. Guru harus dapat memberikan dorongankepada siswa atas dasar saling percaya. Guru tidakboleh memaksakan sesuatu yang tidak disenangi siswa.

e. Dalam evaluasi, kurikulum humanistik lebihmengutamakan proses daripada hasil. Oleh karena ituberbeda dengan kurikulum subyek akademik yangmemupynai kriteria pencapaian, dalam kurikulumhumanistik tidak ada kriteria pencapaian. Sasarankurikulum ini adalah perkembangan siswa supayamenjadi manusia yang lebih terbuka, mandiri. Kegiatanbelajar yang baik adalah yang memberikan pengalamanyang akan membantu para siswa memperluaskesadaran akan dirinya dan orang lain serta dapat

Model-model Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

58

mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya.Oleh karena itu penialaiannya bersifat subyektif baikdari guru maupun para siswa.

C. Model Rekonstruksi SosialBerbeda dengan dua model kurikulum di atas, model

ini lebih menekankan pada pembekalan anak didik untukdapat menghadapi berbagai persoalan dalah kehidupan-nya di masyarakat. Hal ini sesuai dengan namanya“rekonstruksi sosial” yang berarti membangun kembalikehidupan masyarakat menjadi lebih baik. Gagasan inimuncul di tahun 1920-an, antara lain dipelopori olehHarold Rug. Ia berpandangan bahwa telah terdapat ke-senjangan dan gap antara kurikulum dengan masyarakatpada saat itu. Oleh karena itu ia ingin para siswa memilikipengetahuan dan konsep baru. Dengan pengetahuan dankonsep baru tersebut dapat mengidentifikasi danmemecahkan berbagai permasalahan sosial, dan padagilirannya diharapkan dapat menciptakan masyarakat baruyang lebih baik. Theodore Brameld, pada awal tahun 1950-an mengemukakan gagasan, bahwa di dalam masyarakatdemokratis, seluruh warga masyarakat harus turut sertadalam perkembangan dan pembaharuan masyarakat.Untuk itu sekolah mempunyai posisi dan peran yangsangat strategis dan penting. Oleh karena itu, sekolahbukan saja harus dapat membantu individu mengembang-kan kemampuan sosialnya, tetapi juga harus dapat mem-bantu bagaimana berpartisipasi dengan sebaik-baiknyadalam kegiatan sosial. Siswa harus disiapkan untukmempunyai pengetahuan yang cukup tentang masalah-masalah sosial yang mendesak atau krusial dan bekerja-sama atau bergotong royong untuk memecahkannya.

59

Selain pandangan di atas, kurikulum rekonstruksisosial ini juga didasari oleh aliran pendidikan “Interak-sionis”, yang mempunyai pandangan bahwa pendidikanharuslah merupakan interaksi, kerjasama antara guru dansiswa,c antara siswa dengan siswa, maupun antara siswadengan sumber-sumber belajar lainnya. Dengan demikiankurikulum ini lebih menakankan pada kerjasama atauinteraksi antara guru dan siswa dalam menyuseskan pro-gram, sebagaimana dapat digambarkan sebagaimanagambar berikut:

Dari gambar di atas terlihat bahwa penguasaan materibukanlah sesuatu dituju untuk dikuasai, tetapi lebih padapemberian kemampuan pada siswa untuk memecahkanberbagai problem sosial yang dihadapi yang akan datangdengan berbekal pada pengetahuan masa lalu. Hal inisebagaimana tergambar sebagai berikut:

Model-model Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

60

Guna merealisasikan gagasan tersebut kurikulumpendidikan harus dirancang sebagai berikut:a. Tujuan utama dari pendidikan atau pembelajaran

adalah menghadapkan para siswa pada berbagaipersoalan, tantangan, ancaman, hmabatan, gangguanyang dihadapi manusia dalam kehidupan sosialnyapada berbagai bidangnya (ekonomi, sosial, psikologi,estetika, eteka, pengetahuan dan teknologi). Para siswadiberikan pengetahuan untuk menggali dan menemu-kan jalan pemecahannya yang terbaik.

b. Isi kurikulum merupakan sejumlah program pen-didikan yang berisikan sejumlah persoalan-persoalansosial nyata yang krusial dan mendesak untukdipecahkan. Program-program tersebut diorganisiratau disusun seperti sebuah roda. Ditengah-tengahnyaterdapat tema utama. Dari tema utama dijabarkandalam bentuk sub-sub tema. Semuanya dirangkumdalam satu kesatuan. Materi yang menjadi temabahasan disesuaikan dengan tingkatan pendidikannya,makin tinggi persoalan dan pembahasan masalahsosialnya makin kompleks.

c. Pola kegiatan dalam kurikulum rekonstruksi sosiallebih menekankan pada kerjasama antara guru dansiswa (interaksionis). Guru berusaha membantu parasiswa menemukan minat dan kebutuhannya. Para siswasesuai dengan minatnya masing-masing berusahamemecahkan masalah sosial yang diminati atau di-hadapinya. Kerjasama antar siswa sangat diutamakan,baik dalam kegiatan pleno, antar kelompok, maupunkelompok. Kerjasama ini juga terjadi antara para siswadengan nara sumber dari masyarakat. Dalam kegiatanbelajar tidak ada “kompetisi”, yang ada adalah

61

“kooperasi” atau kerjasama, saling pengertian dankonsensus. Anak-anak sejak sekolah dasar pun di-haruskan turut serta dalam survei kemasyarakatan sertakegiatan sosial lainya. Untuk kelas tertinggi selainmereka dihadapkan pada situasi nyata juga merekadiperkenalkan dengan situasi-sitauasi ideal. Dengan itusiswa diharapkan siswa dapat menciptakan model-model kasar dari situasi yang akan datang. Sebagaicontoh kegiatan untuk program pendidikan ekonomi-politik dengan tujuan membangun kembali duniaekonomi-politik yang baik. Program kegiatan yangdilakukan meliputi: (1) mengadakan survei kritisterhadap masyarakat, (2) mengadakan studi tentanghubungan antara keadaan ekonomi lokal denganekonomi nasional dan dunia, (3) mengadakan studitentang latar belakang historis dan kecenderungan-kecenderungan perkembangan ekonomi, hubungannyadengan ekonomi lokal, (4) mengkaji praktek politikdalam hubungannya dengan faktor ekonomi, (5)mamantapkan rencana prubahan praktek politik, (6)mengevaluasi semua rencana dengan kriteria apakahjelas memenuhi kepentingan sebagian terbesar orang.

d. Evaluasi dalam kurikulum rekonstruksi sosialdilakukan secara bersama. Para siswa dapat langsungberpartisipasi dalam mengevaluasi berbagai hal yangterkait dengan kurikulum dan kegiatan yang dilakukan.Partisipasi siswa terutama dalam memilih, menyusundan menilai bahan yang akan diujikan. Soal-soal yangakan diujikan diuji lebih dahulu baik ketepatan maupunkeluasan isinya, juga keampuhannya menilaipencapaian tujuan-tujuan pembangunan mayarakatyang sifatnya kualitatif. Evaluasi tidak hanya menilai

Model-model Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

62

apa yang dikuasai siswa, tetapi juga menilai pengaruhdari kegiatan sekolah terhadap masyarakat. Pengaruhtersebut terutama menyangkut perkembanganmasyarakat dan peningkatan tingkat kehidupanmasyarakat.

Berdasarkan gambaran di atas, desain anatomikurikulum rekonstruksi sosial dapat divisualisasikansebagai berikut:

D. Model TeknologisSesuai dengan namanya, model kurikulum ini lebih

menonjolkan aspek pemanfaatan teknologi dalampembelajarannya. Penggunaan teknologi dimaksud, baikteknologi dalam bentuk perangkat keras (hardware)maupun perangkat lunak (software). Penerapan perangkatkeras dalam pendidikan, sesungguhnya telah ada sejakdahulu, seperti papan tulis, buku tulis, kapur dan alat tulislainnya. Akan tetapi semuanya masih dalam bentuk alatyang sangat sederhana dan perannyapun masih sangat

63

sederhana dan terbatas. Dewasa ini sesuai denganperkembangnnya,a lat-alat yang digunakan semakincanggih, seperti: film, video, kumputer, internet, dan lain-lain.

Penerapan teknologi perangkat keras dalampendidikan dikenal sebagai teknologi alat (tools technology),sedangkan penerapan teknologi perangkat lunakdisebutjuga dengan teknologi sistem (system technology).Penggunaan teknologi alat (tools technology) lebihmenekankan kepada penggunaan alat-alat teknologi untukmenunjang efiiensi dan efektivitas pendidikan. Di dalamkurikulumnya berisikan rencana dan pedoman pengguna-an berbagai alat dan media, juga model-model pem-belajaran yang banyak menggunakan alat. Contoh darimodel pembelajaran tersebut adalah: Pembelajaran jarakjauh (distance learning), Pengajaran Modul, Pengajaranberbantuan Kumputer, Pengajaran Berbantuan Internet,dan lain-lain. Adapun penggunaan teknologi sistem (sys-tem technology), lebih menekankan kepada penyusunan pro-gram pembelajaran atau rencana pembelajaran denganmenggunakan pendekatan sistem. Program pembelajaranini bisa semata-semata program sistem, bisa juga programsistem, yang ditunjang atau dipadukan dengan alat danmedia. Contoh yang pertama antara lain: model pem-belajaran dengan sistem PPSI (Prosedur PengembanganSistem Intruksional), sistem CBSA (Cara Belajar SiswaAktif), Sistem Belajar Tuntas (mastery learning). Contohprogram pembelajaran yang menggabungkan teknologisistem dengan teknologi alat, antara lain: pembelajaranjarak jauh (distance learning), pembelajaran berbantuankomputer.

Model-model Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

64

Sebagaimana hakekat teknologis yang sangatmenekankan hal-hal yang berbau empirik sensual(teramati), tereduksi (terpecah dalam bagian-bagian kecildan detail), memiliki kekhususan-kekhususan (ter-spesialisasi), dan memiliki program yang jelas, maka modelkurikulum ini didesain sebagaimana hakekat teknlogitersebut. Gambaran desain kurikulum teknologis tersebutdapat dilihat sebagai berikut:a. Tujuan dalam kurikulum teknologis harus berbentuk

prilaku yang dibedakan dalam bentuk tujuan umumdan khusus yang terinci dan menggambarkanketerampilan-keterampilan yang jelas dan khusus.Tujuan tersebut hendaknya dapat diamati dan diukur.Tujuan pembelajaran harus ditentukan sebelumnya danakan diukur keberhasilannya secara jelas dan pasti.Kompretensi sebagai tujuan kurikulum ini diwujudkandalam bentuk penguasaan materi yang di ajarkan.

b. Bahan pembelajaran atau isi kurikulum banyak diambildari disiplin ilmu, dan disusun dengan menggunakanpendekatan kompetensi. Akan tetapi berbeda dengankurikulum subjek akademik yang menekankan padamateri masa lalu, kurikulum ini lebih menekankan padamateri yang berguna untuk masa yang akan datang.Satu bahan ajar atau kompetensi yang luas atau besarharus dirinci menjadi bagian-bagian atau sub-subkompetensi yang lebih kecil sehingga akhirnyaberbentuk suatu obyektif. Urutan obyektif-obyektif inipada dasarna menjadi inti dari organisasi bahan.

65

c. Kegiatan pembelajaran diprogram sedemikian rupadalam bentuk program yang yang jelas dan runtut.Setiap siswa secara individual menghadapi ataudihadapkan dengan serentetan tugas yang harusdikerjakan sesuai dengan yang telah diprogramkan.Kemajuan belajar siswa ditentukan berdasarkankecepatan masing-masing. Pada saat tertentu ada jugatugas-tugas yang harus dikerjakan secara kelompok.Setiap siswa dituntut untuk menguasai secara tuntastujuan-tujuan dari program pembelajaran. Semuakegiatan telah tertuang dalam lembar kerja siswa (LKS)Dalam hal tententu guru juga memiliki programkegiatan yang telah terprogram dalam bentuk lembarkerja guru (LKG). Dengan demikian baik siswa maupunguru telah terikat dengan program yang telah dirancangsedemikian ketat dan penuh perhitungan sebelumnya.\guna mencapai target atau tujuan yang telah ditetapkan.Dengan demikian dalam kurikulum ini lebih berpusatpada materi yang telah diprogramkan daripada padaaktivitas guru dan siswa. Hal ini dapat digambarkansebagai berikut:

Model-model Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

66

d. Evaluasi dalam model kurikulum teknologisdiprogramkan secara bertahap. Evaluasi keberhasilanpembelajaran dilakukan pada setiap saat, pada akhirsuatu pembelajaran (formatif) , suatu unit atau semes-ter (sumatif). Evaluasi yang digunakan umumnyaberbentuk tes obyektif. Sama halnya dengan rumusantujuan, rumusan evaluasi juga harus terinci, ter-spesialisasi, dan terukur dengan jelas.

Model kurikulum ini dapat digambarkan sebagaimanagambar berikut:

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa modelkurikulum teknologis sangat menekankan pada peranteknologi baik dalam bentuk teknologi alat maupunteknologi system (program) yang dirancang untukmengatur kegiatan guru dan siswa dalam prosespendidikan/pembelajaran secara terprogram.

Teknologi alat adalah kurikulum yang dirancangdengan dukungan teknologi alat (hard ware) seperti pro-gram kurikulum dengan dukungan teknologi komputer,

67

internet, dan sebagainya. Sedangkan kurikulum yangdrancang dengan teknologi sistem (program) adalahkurikulum yang dirancang dengan dukungan system (pro-gram) yang menggunakan prinsip-prinsip kerja teknologiyang serba terprogram, terukur, terinci (khusus). Segenapkomponen kurikulum dirancang dengan program yangterinci, terukur dan rigit. Tujuan yang dirancang dalambentuk tujuan instruksional khusus atau kompetensikhusus adalah merupakan contoh dari kurikulumteknologis.

Model-model Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

68

69

BAB IVANATOMI KURIKULUM

Anatomi kurikulum menggambarkan tentang jenisdan komponen-komponen yang seharusnya ada pada padakurikulum atau batang tubuh setiap kurikulum. Adapundesain kurikulum menggambarkan tentang bentuk desainsuatu kurikulum yang dapat dipilih dan dipakai padasebuah kurikulum.

A. Anatomi KurikulumMasing-masing kurikulum pada dasarnya memiliki

anatomi yang tidak sama, ada yang simpel dan ada pulayang sangat rinci. Meskipun demikian, menurut Tyler(1950:1-2) sebuah kurikulum minimal mengandung empatkomponen. Empat komponen tersebut merupakankomponen-komponen pokok dan mesti ada pada setiapkurikulum, baik secara tersurat maupun secara tersirat.Empat komponen tersebut merujuk pada empatpertanyaan dasar dalam sebuah kegiatan pendidikan ataupembelajaran, yaitu:

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

70

(1) What educational purposes should the school seek to attain?(2) What educational experiences can be provided that are likely

to attain these purposes?(3) How can these educational experiences be effectively orga-

nized?(4) How can we determine whether these purposes are being at-

tained?

Dari apa yang dikemukakan oleh Tyler di atas, sebuahkurikulum minimal berisikan: 1. perumusan tujuan yangingin dicapai; 2. pengamalan pendidikan atau isi/materiyang dianggap dapat memenuhi tujuan yang ingin dicapai;3) bagaimana pengorganisasian kegiatan (pelaksanaan)kurikulum tersebut sehingga dapat mencapai tujuan yangdiinginkan; dan 3). Bagaimana memastikan ataumengevaluasi tercapainya tujuan yang telah dirumuskanterasebut. Ringkasnya, sebuah kurikulum, menurut Tylerharus berisikan tujuan, materi, organisasi pelaksanaan, danevaluasi. Rumusan lain namun hampir sama dan lebihtegas dikemukakan oleh Meller dan Siller (1985:175), yangmenurutnya sebuah domumen kurikulum setidaknyaberisikan lima komponen, yaitu: 1) aims and objectives, 2)content, 3) teaching strategies/learning experiences, 4) organi-zation of content and teaching strategies, and 5) evaluation.

Dalam konsep kurikulum nasional (Indonesia), hal-halyang terkait dengan komponen kurikulum ini dikenaldengan istilah beberapa standar nasional, yaitu: 1. StandarHasil (Tujuan); 2. Standar Isi (Materi); 3. Standar proses(organisasi dan strategi pelaksanaan); dan 4. StandarEvaluasi (Evaluasi).

Berdasarkan dua pendapat tersebut dapat disimpul-kan bahwa sebuah kurikulum minimal berisikan empat

71

komponen atau yang lebih terinci lima komponen, yaitu:1. Tujuan; 2. Isi/materi; 3. Proses (Strategi pengajaran danpengalaman belajar dan Organisasi isi/materi), dan 4.Evaluasi. Secara sederhan dapat digambarkan sebagaiberikut:

Berdasarkan gambar di atas perlu dipahami bahwakelima komponen/anatomi kurikulum tersebut adalahmerupakan sebuah sistem yang menyatu dimana antarkomponen saling terkait dan harus singkron, dalam artiantara satu sama lain merupakan satu kesatuan yang salingterkait.

Masing-masing komponen kurikulum tersebutmemiliki karakteristik dan ketentuan atau persyaratanyang harus dipenuhi dengan baik. Gambaran dariketentuan dan persyaratan masing-masing komponenkurikulum tersebut adalah sebagaimana uraian berikut.

1. Komponen TujuanSecara teoritik dan praktis istilah tujuan yang sering

dipakai dalam perumusan tujuan dalam kurikulum adalahobjectives, goals dan aims. Istilah objectives dalam konteks

Anatomi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

72

perumusan sebuah tujuan memiliki makna yang khasdibandingkan dengan istilah aims dan goals. Menurut Zais(1976:306), istilah objectives berarti “as the most immediatespecific outcomes of classroom instruction”. Dalam hal initujuan memiliki pengertian bentuk keluaran (out put) yanglangsung dan bersifat spesifik dari sebuah kegiatanpendidikan/pembelajaran atau implementasi kurikulumdi kelas. Oleh karena itu menurutnya “in general, they referto the everyday business of the operative curriculum”, yaknisecara umum tujuan dalam term objective merujuk kepadakegiatan operasional kurikulum sehari-hari. Sebagaisebuah target rumusannya bersifat tertutup, dapat diukur(assessable) dan sangat visible (dapat diamati).

Berbeda dengan istilah objectives, istilah goals menurutZais (1976:306) memiliki pengertian yang lebih luas, yakni“refer to school outcomes” bahkan kadang-kadang “refer tooutcomes specified at the individual level”. Sebagai sebuahtarget goals lebih merujuk pada upaya pencapaian tujuanpada tingkat kelas atau istitusi yang merupakan pe-ngukuran tujuan kelas secara langsung atau bahkan tujuandari sebuah lembaga pendidikan.

Selanjutnya istilah aims memiliki pengertian yanglebih luas lagi ketimbang istilah goals dan objectives, atauberada lebih tinggi dari goals dan objective. Menurut Zais(1976:306), dengan mengutip pendapat Broudy, (1971:13),aims memiliki arti yang sangat umum sebagaimanadikemuka-kannya: “In general, curriculum aims are statementsthat describe expected life outcomes based on some value schemaeither consciously or unconsciously borrowed from philosophy”.Tujuan dalam bentuk aims adalah merupakan pernyatan-pernyataan yang menggambarkan harapan dari tujuanhidup yang secara sadar atau tidak banyak dipengaruhi

73

oleh pandangan filosofis. Dalam hal ini meskipun aims,secara langsung tidak berhubungan dengan rumusantujuan sekolah atau tujuan kelas (school or classrooms out-comes) tetapi ia harus diterjemahkan ke dalam keduanya.

Penggunakan istilah-istilah di atas (aims, goals, dan ob-jectives) dalam konsep kurikulum, khususnya konsepkurikulum pendidikan di kita (Indonesia) sering di-rancukan. Khususnya ketika dipakai dalam penyebutanistilah tujuan pendidikan, tujuan kurikulum, dan tujuanpembelajaran. Meskipun dalam tataran terminologis dankonsep ketiga istilah bisa dibedakan sebagaimana penjelas-an di atas, namun dalam penggunaannya sering dirancu-kan dan tidak dibedakan, dalam arti kadang-kadang apayang disebut tujuan pendidikan adalah merupakan tujuankurikulum dan sebaliknya. Begitu juga apa yang disebuttujuan pembelajaran juga pada dasarnya hal itulah yangyang menjadi tujuan kurikulum dan sebaliknya. Misalnyaketika disebutkan tujuan pendidikan nasional, maka padahakekatnya itulah yang menjadi tujuan kurikulum secaranasional atau pada tataran kurikulum pendidikan nasional.Apa yang disebut dengan tujuan institusional/lembaga,pada dasarnya rumusan itulah juga menjadi tujuankurikulum tingkat institusi. Begitu juga ketika menyebuttujuan penguasaan mata pelajaran, pada dasarnya itulahyang menjadi tujuan kurikuler untuk setiap mata pelajaran.Lebih jauh, apa yang disebut tujuan instruksional/pembelajaran untuk setiap satuan materi pembelajaran,pada dasarnya itu adalah merupakan rumusan tujuankurikulum untuk setiap satuan bahasan. Oleh karena itu,membicarakan tentang tujuan kurikulum sesungguhnyatidak bisa lepas dari tujuan pendidikan dan tujuanpembelajaran. Hal ini tentu ditentukan pada tataran mana

Anatomi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

74

tujuan kurikulum itu berada. Penyebutannyapun tidakselalu inklusif dengan istilah tujuan kurikuler.Penyebutannya kadangkala bisa disebut sebagai tujuanpendidikan atau tujuan pembelajaran, namun hakekat yangdikandungnya adalah merupakan tujuan kurikulum.

Dalam konsep pendidikan nasional kita (Indonesia),istilah-istilah tujuan tersebut dapat dilihat pada beberaparumusan tujuan pendidikan menurut jenjang dan hirarkikurikulum, yaitu kurikulum tingkat nasional, lokal,institusional, mata pelajaran, dan instruksional.

1. Tujuan Kurikulum/pendidikan Tingkat NasionalTujuan kurikulum tingkat nasional ini pada

hakekatnya merupakan tujuan pendidikan nasional.Tujuan ini merupakan tujuan umum pendidikan yangingin diwujudkan secara nasional dan berlaku secaranasional. Rumusannya bersifat umum yang merupakancita-cita bangsa dalam bidang pendidikan. Oleh karenaitu, secara teoritik atau konsepsional rumusan tujuanini dapat disebut sebagai aim, yang dirumuskan ber-dasarkan filosofi bangsa. Rumusan tujuan kurikulumpada tingkat nasional ini dapat dilihat pada rumusantujuan pendidikan nasional sebagaimana tercantumdalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentangSistem Pendidikan Nasional, yaitu:

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkankemampuan dan membentuk watak serta peradabanbangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskankehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnyapotensi peserta didik agar menjadi manusia yang berimandan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlakmulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadiwarga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

75

2. Tujuan Kurikulum/pendidikan Tingkat lokal dan Re-gional

Pada beberapa negara, di bawah tujuan pendidikannasional terdapat pula tujuan pendidikan untuk tingkatlokal dan regional. Tujuan kurikulum/pendidikantingkat lokal adalah rumusan tujuan kurikulum/pendidikan yang dirmuskan oleh daerah tertentu (diIndonesia disebut juga tujuan pendidikan tingkat ka-bupaten/kota). Rumusan tujuan ini untuk memberikanbobot dan kualitas peserta didik dalam takaran dantuntutan kompetensi yang dituntut oleh daerah yangbersangkutan, demi kepentingan pembangunan daerahyang bersangkutan. Tujuan kurikulum/pendidikanregional merupakan gabungan dari beberapa daerahtertentu yang berada pada satu kawasan yang memilikikesamaan dan kesatuan wilayah, misalnya tujuan pen-didikan/kurikulum untuk kawasan jawa, Kalimantan,Sulawesi, dan lain-lain.

3. Tujuan Kurikulum Tingkat InstitusionalTujuan kurikulum institusional adalah tujuan

pendidikan yang hendaknya dicapai oleh setiap satuanjenis dan tingkat pendidikan masing-masing. Tujuanpendidikan nasional yang merupakan pendidikan padatataran makroskopik tersebut selanjutnya dijabarkan kedalam tujuan institusional yaitu tujuan pendidikan yangingin dicapai dari setiap jenis maupun jenjang sekolahatau satuan pendidikan tertentu. Dalam rangka pe-nerapan kurikulum tingkat dasar dan menengahditetapkan dalam bentuk keputusan menteri tentangStandar Kompetensi Lulusan (SKL) untuk masing-

Anatomi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

76

masing tingkat satuan pendidikan yang mengacu padaKualifikasi Kompetensi Nasional Indonesia (KKNI).

Berdasarkan Keputusan Presiden RI No.8 Tahun2012 tentang Kerangka Kompetensi Nasional Indone-sia harus menjadi acuan perumusan tujuan kurikulumpada setiap jenjang pendidikan. Hal itu sejalan denganpengertian dan maksud dari KKNI tersebut, yaitua. Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, yang

selanjutnya disingkat KKNI, adalah kerangkapenjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapatmenyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasi-kan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihankerja serta pengalaman kerja dalam rangkapemberian pengakuan kompetensi kerja sesuaidengan struktur pekerjaan di berbagai sektor.

b. Capaian pembelajaran adalah kemampuan yangdiperoleh melalui internalisasi pengetahuan, sikap,ketrampilan, kompetensi, dan akumulasi pengala-man kerja.

Pada lampiran KKNI tersebut telah dirumuskankerangka kualifikasi untuk setiap jenjang pendidikan,yaitu:a. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.b. Memiliki moral, etika dan kepribadian yang baik di

dalam menyelesaikan tugasnya.c. Berperan sebagai warga negara yang bangga dan

cinta tanah air serta mendukung perdamaian dunia.d. Mampu bekerja sama dan memiliki kepekaan sosial

dan kepedulian yang tinggi terhadap masyarakatdan lingkungannya.

77

e. Menghargai keanekaragaman budaya, pandangan,kepercayaan, dan agama serta pendapat/temuanoriginal orang lain.

f. Menjunjung tinggi penegakan hukum serta memilikisemangat untuk mendahulukan kepentingan bangsaserta masyarakat luas.

Selanjutnya kerangka kompetensi disusun secaraberjenjang mulai dari jenjang 1 hingga jenjang 9, yaknisebagai berikut:a. Jenjang kualifikasi 1: 1) Mampu melaksanakan tugas

sederhana, terbatas, bersifat rutin, denganmenggunakan alat, aturan, dan proses yang telahditetapkan, serta di bawah bimbingan, pengawasan,dan tanggung jawab atasannya; 2) Memilikipengetahuan faktual; dan 3) Bertanggung jawab ataspekerjaan sendiri dan tidak bertanggung jawab ataspekerjaan orang lain.

b. Jenjang kualifikasi 2: 1) Mampu melaksanakan satutugas spesifik, dengan menggunakan alat, daninformasi, dan prosedur kerja yang lazim dilakukan,serta menunjukkan kinerja dengan mutu yangterukur, di bawah pengawasan langsungatasannya;2) Memiliki pengetahuan operasional dasar danpengetahuan faktual bidang kerja yang spesifik,sehingga mampu memilih penyelesaian yangtersedia terhadap masalah yang lazim timbul; 3)Bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dandapat diberi tanggung jawab membimbing oranglain.

c. Jenjang kualifikasi 3: 1) Mampu melaksanakanserangkaian tugas spesifik, dengan menerjemahkan

Anatomi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

78

informasi dan menggunakan alat, berdasarkansejumlah pilihan prosedur kerja, serta mampumenunjukkan kinerja dengan mutu dan kuantitasyang terukur, yang sebagian merupakan hasil kerjasendiri dengan pengawasan tidak langsung; 2)Memiliki pengetahuan operasional yang lengkap,prinsip-prinsip serta konsep umum yang terkaitdengan fakta bidang keahlian tertentu, sehinggamampu menyelesaikan berbagai masalah yanglazim dengan metode yang sesuai; 3) Mampu bekerjasama dan melakukan komunikasi dalam lingkupkerjanya; 4) Bertanggung jawab pada pekerjaansendiri dan dapat diberi tanggung jawab ataskuantitas dan mutu hasil kerja orang lain.

d. Jenjang kualifikasi 4: 1) Mampu menyelesaikan tugasberlingkup luas dan kasus spesifik dengan meng-analisis informasi secara terbatas, memilih metodeyang sesuai dari beberapa pilihan yang baku, sertamampu menunjukkan kinerja dengan mutu dankuantitas yang terukur; 2) Menguasai beberapaprinsip dasar bidang keahlian tertentu dan mampumenyelaraskan dengan permasalahan faktual dibidang kerjanya; 3) Mampu bekerja sama danmelakukan komunikasi, menyusun laporan tertulisdalam lingkup terbatas, dan memiliki inisiatif; 4)Bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dandapat diberi tanggung jawab atas hasil kerja oranglain.

e. Jenjang kualifikasi 5: 1) Mampu menyelesaikanpekerjaan berlingkup luas, memilih metode yangsesuai dari beragam pilihan yang sudah maupunbelum baku dengan menganalisis data, serta mampu

79

menunjukkan kinerja dengan mutu dan kuantitasyang terukur; 2) Menguasai konsep teoritis bidangpengetahuan tertentu secara umum, serta mampumemformulasikan penyelesaian masalah pro-sedural; 3) Mampu mengelola kelompok kerja danmenyusun laporan tertulis secara komprehensif; 4)Bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dandapat diberi tanggung jawab atas pencapaian hasilkerja kelompok.

f. Jenjang kualifikasi 6: 1) Mampu mengaplikasikanbidang keahliannya dan memanfaatkan ilmupengetahuan, teknologi, dan/atau seni pada bidang-nya dalam penyelesaian masalah serta mampuberadaptasi terhadap situasi yang dihadapi; 2)Menguasai konsep teoritis bidang pengetahuantertentu secara umum dan konsep teoritis bagiankhusus dalam bidang pengetahuan tersebut secaramendalam, serta mampu memformulasikan pe-nyelesaian masalah prosedural; 3) Mampumengambil keputusan yang tepat berdasarkan ana-lisis informasi dan data, dan mampu memberikanpetunjuk dalam memilih berbagai alternatif solusisecara mandiri dan kelompok; 4) Bertanggung jawabpada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggungjawab atas pencapaian hasil kerja organisasi.

g. Jenjang kualifikasi 7: 1) Mampu merencanakan danmengelola sumberdaya di bawah tanggungjawabnya, dan mengevaluasi secara komprehensifkerjanya dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan,teknologi, dan/atau seni untuk menghasilkan lang-kah-langkah pengembangan strategis organisasi; 2)Mampu memecahkan permasalahan ilmu penge-

Anatomi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

80

tahuan, teknologi, dan/atau seni di dalam bidangkeilmuannya melalui pendekatan monodisipliner; 3)Mampu melakukan riset dan mengambil keputusanstrategis dengan akuntabilitas dan tanggung jawabpenuh atas semua aspek yang berada di bawahtanggung jawab bidang keahliannya.

h. Jenjang kualifikasi 8: 1) Mampu mengembangkanpengetahuan, teknologi, dan/atau seni di dalambidang keilmuannya atau praktek profesionalnyamelalui riset, hingga menghasilkan karya inovatifdan teruji; 2) Mampu memecahkan permasalahanilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni didalam bidang keilmuannya melalui pendekatan in-ter atau multidisipliner; 3) Mampu mengelola risetdan pengembangan yang bermanfaat bagimasyarakat dan keilmuan, serta mampu mendapatpengakuan nasional dan internasional.

i. Jenjang kualifikasi 9: 1) Mampu mengembangkanpengetahuan, teknologi, dan/atau seni baru didalam bidang keilmuannya atau praktek profe-sionalnya melalui riset, hingga menghasilkan karyakreatif, original, dan teruji; 2) Mampu memecahkanpermasalahan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni di dalam bidang keilmuannya melaluipendekatan inter, multi, dan transdisipliner.

Mengacu pada rumusan KKNI tersebut selanjutnyadirumuskan tujuan tingkat satuan pendidikan ataustandar kompetensi lulusan (SKL) masing-masinglembaga pendidikan yang disesuaikan dengan karakterlembaga pendidikan pada tingkat dan jenjang masing-masing.

81

4. Tujuan Kurikulum Tingkat Mata PelajaranTujuan tingkat mata pelajaran ini biasanya disebut

dengan tujuan kurikuler yakni tujuan yang hendaknyadicapai dalam setiap mata pelajaran/bidang studisetelah penyelesaian pelaksanaan mata mata pelajaran/bidang studi masing-masing.

Pada berbagai konsep kurikulum, terkait dengantujuan kurikulum tingkat mata pelajaran istilah: 1.Tujuan kurikuler atau standar kompetensi lulusanmasing-masing mata pelajaran; 2. Kompetensi Inti; 3.Tujuan Instruksional/pembelajaran umum; dan 4.Tujuan instruksional/Pembelajaran khusus. Padakurikulum 2013, ada beberapa jenis tujuan yangterdapat pada masing mata pelajaran, yaitu: 1. StandarKompetensi Lulusan (SKL) masing-masing matapelajaran, 2. Kompetensi Inti, dan 3. Kompetensi dasar.

Standar kompetensi lulusan adalah kriteriamengenai kualifikasi kemampuan lulusan yangmencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan.Standar Kompetensi Lulusan digunakan sebagai acuanutama pengembangan standar isi, standar proses,standar penilaian pendidikan, standar pendidik dantenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana,standar pengelolaan, dan standar pembiayaan.

5. Tujuan Tingkat Materi PelajaranTujuan pada tingkat mata pelajaran ini disebut juga

dengan instruksional (Tujuan Instruksional Umum danTujuan Instruksional Khusus), yakni tujuan yanghendaknya dicapai dalam setiap penyelesaianpelaksanaan setiap materi pelajaran/pokok bahasan.

Anatomi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

82

Tujuan pendidikan institusional tersebut diataskemudian dijabarkan lagi ke dalam tujuan kurikuler;yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari setiapmata pelajaran yang dikembangkan di setiap sekolahatau satuan pendidikan. Beberapa contoh tujuankurikuler yang berkaitan dengan pembelajaran eko-nomi, sebagaimana diisyaratkan dalam PermendiknasNo. 23 Tahun 2007 tentang Standar Kompetensi:

Tujuan-tujuan pendidikan mulai dari pendidikannasional sampai dengan tujuan kurikuler atau matapelajaran yang masih bersifat abstrak dan konseptualselanjutnya dioperasionalkan dan dijabarkan lebihlanjut dalam bentuk tujuan instrukional (pembelajaran).Tujuan ini merupakan tujuan pendidikan yang lebihoperasional, yang hendak dicapai dari setiap kegiatanpembelajaran dari setiap mata pelajaran. Rumusantujuan dirumuskan dalam bentuk tujuan instruksionalumum dan khusus atau dalam istilah sekarang disebutkompetensi dasar. Dalam konteks diberlakukannyakurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) sekarang,rumusan tujuan ini dapat dilihat pada rumusan StandarKompetensi (KS) dan Kompetensi Dasar (KD) padasetian satuan materi/konsep bahan pembelajaran.

Rumuasan tujuan pada tingkat SK dan KD yangoperasional ini dirumuskan lebih bersifat spesifik danlebih menggambarkan tentang apa yang dapat dicapaioleh peserta didik. Sebagaimana dikemukakan olehRowntree dalam Nana Syaodih Sukmadinata (1997)sebagai “what will the student be able to do as result of theteaching that he was unable to do before”. Dengan kata lain,tujuan pendidikan tingkat operasional ini lebihmenggambarkan perubahan perilaku spesifik apa yang

83

hendak dicapai peserta didik melalui proses pem-belajaran.

Rumusan tujuan instruksional atau pembelajaranumumnya dirancang dengan memperhatikantaksonomi Gagne dan Briggs (1974:23-24) yaitu:“intelectual skill, cognitive strategies, verbal information,motor skill and attitudes.” Atau taksonomi Bloom (1956)Krathwohl, Bloom, dan Masia (1964), yaitu: cognitive,affective, dan psychomotor.

Kognitif domain (cognitive domain) adalah bentuk-bentuk tujuan yang melingkupi tugas-tugas yangbersifat intelektual (intellectual talks). Domain inimelingkupi hal-hal sebagai berikut:(1) Knowledge: the simple recall of specifics, method, struc-

ture, etc.(2) Comprehension: understanding of a type which does not

include the ability to see its fullest implications(3) Application: the ability to use generalizations or rules in

specific situations(4) Analysis: the ability to divide a communication into a

hierarchically arranged organization of its componentideas

(5) Synthesis: the ability to arrange and combine a numberof unstructured elements into an organized whole

(6) Evaluation: the assessment of material, method, etc, us-ing selected criteria.

Afektif domain (affective domain) adalah bentuk-bentuk tujuan yang melingkupi tujuan-tujuan yangberhubungan dengan dimensi pera-saan (feelling), sikap

Anatomi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

84

(attitudinal), atau penilaian (valuing). Domain inimelingkupi hal-hal sebagai berikut:(1) Receiving: sensitivity to the existence of certain phenom-

ena(2) Responding: active attention to phenomena, reflecting

interest but not commitment(3) Valuing: perception of worth or value in phenomena(4) Organization: arrangement of value as organized system(5) Characterization: the development and internalization of

the “organi-zation” level to extent of representing o phi-losophy of life.

Psikomotor domain (psychomotor domain) adalahbentuk-bentuk tujuan yang melingkupi pengembanganketerampilan motorik, seperti mengoprasional-kansebuah mesin dengan benar. Domain ini melingkupihal-hal sebagai berikut:(1) Observing: attending to the performance of more experi-

enced person(2) Imitating: basic rudiments of the skill acquired(3) Practicing: repetition of the sequence of phenomena as

conscious effort decreases(4) Adapting: perfection of the skill, although further improve-

ment is possible (Bloom 1956 ).

Selain berbagai hal di atas, pembahasan tentangtujuan kurikulum terkait pula dengan filsafat yangmelandasinya. Jika kurikulum yang dikembangkanmenggunakan dasar filsafat klasik (perenialisme,essensialisme, eksistensialisme) sebagai pijakanutamanya maka tujuan kurikulum lebih banyak

85

diarahkan pada pencapaian penguasaan materi dancenderung menekankan pada upaya pengembanganaspek intelektual atau aspek kognitif. Apabila kuri-kulum yang dikembangkan menggunakan filsafatprogresivisme sebagai pijakan utamanya, maka tujuanpendidikan lebih diarahkan pada proses pengembang-an dan aktualisasi diri peserta didik dan lebih ber-orientasi pada upaya pengembangan aspek afektif.Pengembangan kurikulum dengan menggunakanfilsafat rekonstruktivisme sebagai dasar utamanya,maka tujuan pendidikan banyak diarahkan pada upayapemecahan masalah sosial yang krusial dan kemampu-an bekerja sama. Sementara kurikulum yang dikem-bangkan dengan menggunakan dasar filosofi teknologipendidikan dan teori pendidikan teknologis, makatujuan pendidikan lebih diarahkan pada pencapaiankompetensi.

Meskipun pengaruh yang mendasari pengembang-an tujuan kurikulum tersebut ada, namun dalamimplementasinnya hampir tidak mungkin untukmerumuskan tujuan-tujuan kurikulum dengan hanyaberpegang pada satu filsafat, teori pendidikan ataumodel kurikulum tertentu secara konsisten dan kon-sekuen. Oleh karena itu, dalam realitasnya akomodasidan upaya mengambil hal-hal yang terbaik danmemungkinkan dari seluruh aliran filsafat dan teoriyang ada mutlak harus dilakukan, sehingga dapatmelahirkan tujuan tujuan pendidikan yang lebih luwesdan efektif serta tepat harapan bisa diwujudkan.

Anatomi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

86

2. Komponen Isi KurikulumPemaknaan terhadap isi atau materi kurikulum (cur-

riculum content) pada dasarnya adalah merupakan sebuahjawaban atas pertanyaan sebagaimana yang diajukan olehTyler, yakni: What educational experiences can be provided thatare likely to attain these purposes?. Dalam hal ini Tylermengambarkan bahwa yang dimaksud dengan materi atauisi kurikulum adalah berupa pengalaman pendidikan (edu-cational experiences). Hal ini mengandung makna bahwayang dimaksud isi atau materi kurikulum bukan dalambentuk materi atau mata pelajaran yang tertuang dalamfisik buku teks dan bahan ajar lainnya atau apa yangdiberikan oleh guru semata, tetapi apa yang ada di balikitu semua yaitu apa yang dapat dialami dan didapat dalamproses interaksi peserta didik dengan segenap pihak dandalam berbagai hal keadaan. Berdasarkan hal itu, dapatdinyatakan bahwa isi atau materi kurikulum dapat berupasegala sesaatu yang terdapat dalam proses pendidikan ataupembelajaran berupa: buku teks, media pembalajaran,interaksi antara siswa dengan guru, interaksi antar siswa,dan dengan lingkungan pembelajaran.

Pemaknaan isi kurikulum yang direfresentasikansebagai segala apa saja yang dialami dan mempengaruhipembentukan peserta didik di bawah tanggung jawabsekolah adalah merupakan pemaknaan isi kurikulum yangmemandang bahwa kurikulum adalah segala apa saja yangmempengaruhi proses pendidikan/pembalajaran dalamsebuah proses pendidikan atau yang disebut denganpengertian kurikulum dalam arti luas (modern). Sedang-kan pemaknaan isi kurikulum dalam pengertian yangsempit (tradisional), isi kurikulum tidak lain adalah sebataspada materi atau mata pelajaran yang diberikan dalam

87

proses pendidikan. Dalam konteks kurikulum pendidikannasional, sebagaimana disebutkan pada PP 19 Tahun 2005tentang Standar Nasional Pendidikan, Bab I pasal 1 ayat 5,bahwa:

Standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensiyang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan,kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dansilabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didikpada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.

Selanjutnya lebih tegas dijelaskan pada Bab III pasal 5tentang Standar Isi disebutkan:(1) Standar isi mencakup lingkup materi dan tingkat

kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan padajenjang dan jenis pendidikan tertentu.

(2) Standar isi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)memuat kerangka dasar dan struktur kurikulum, bebanbelajar, kurikulum tingkat satuan pendidikan, dankalender pendidikan/akademik.

Selain itu, isi kurikulum juga sangat ditentukan olehmodel kurikulum yang dipakai. Isi atau bahan kurikulummodel klasik adalah materi-materi yang merupakanwarisan masa lalu (zaman klasik) dan sedikit sekali materi-materi yang merepresentasikan untuk masa kini dan akandatang. Isi atau materi kurikulum dengan model humanis-tik lebih bentuk pengalaman belajar anak atau apa yangdialami oleh siswa untuk pembentukan potensi dirinya.Isi kurikulum dalam bentuk rekonstruksi sosial adalahpada berbagai kasus yang berkembang atau actual di ma-syarakat sebagai bahan pembelajaran untuk memecahkanmasalah-masalah sosial kemasyarakatan. Sedangkan isi

Anatomi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

88

kurikulum dalam bentuk teknologis lebih pada ilmu-ilmupengetahuan yang berkembang sekarang dan akan datang.

Dalam menentukan isi atau materi kurikulum tidakbisa dilepaskan dari filsosofi dan teori pendidikan yangdgunakan. Seperti telah dikemukakan di atas bahwapengembangan kurikulum yang didasari filsafat klasik(perenialisme, essensialisme, eksistensialisme) penguasaanmateri menjadi hal yang utama. Dalam hal ini, materikurikulum disusun secara logis dan sistematis, dalambentuk :1. Teori; seperangkat konstruk atau konsep, definisi atau

preposisi yang saling berhubungan, yang menyajikanpendapat sistematik tentang gejala denganmenspesifikasi hubungan – hubungan antara variabel-variabel dengan maksud menjelaskan dan meramalkangejala tersebut.

2. Konsep; suatu abstraksi yang dibentuk oleh organisasidari kekhususan-kekhususan, merupakan definisisingkat dari sekelompok fakta atau gejala.

3. Generalisasi; kesimpulan umum berdasarkan hal-halyang khusus, bersumber dari analisis, pendapat ataupembuktian dalam penelitian.

4. Prinsip; yaitu ide utama, pola skema yang ada dalammateri yang mengembangkan hubungan antarabeberapa konsep.

5. Prosedur; yaitu seri langkah-langkah yang berurutandalam materi pelajaran yang harus dilakukan pesertadidik.

6. Fakta; sejumlah informasi khusus dalam materi yangdianggap penting, terdiri dari terminologi, orang dantempat serta kejadian.

89

7. Istilah, kata-kata perbendaharaan yang baru dan khususyang diperkenalkan dalam materi.

8. Contoh/ilustrasi, yaitu hal atau tindakan atau proses yangbertujuan untuk memperjelas suatu uraian ataupendapat.

9. Definisi:yaitu penjelasan tentang makna atau pengertiantentang suatu hal/kata dalam garis besarnya.

10. Preposisi, yaitu cara yang digunakan untuk menyampai-kan materi pelajaran dalam upaya mencapai tujuankurikulum.

Isi atau materi pembelajaran yang didasarkan padafilsafat progresivisme lebih memperhatikan tentangkebutuhan, minat, dan kehidupan peserta didik. Olehkarena itu, materi pembelajaran harus diambil dari duniapeserta didik dan oleh peserta didik itu sendiri. Materipembelajaran yang didasarkan pada filsafat kons-truktivisme, materi pembelajaran dikemas sedemikianrupa dalam bentuk tema-tema dan topik-topik yangdiangkat dari masalah-masalah sosial yang krusial,misalnya tentang ekonomi, sosial bahkan tentang alam.Materi pembelajaran yang berlandaskan pada teknologipendidikan banyak diambil dari disiplin ilmu, tetapi telahdiramu sedemikian rupa dan diambil hal-hal yangesensialnya saja untuk mendukung penguasaan suatukompetensi. Materi pembelajaran atau kompetensi yanglebih luas dirinci menjadi bagian-bagian atau sub-subkompetensi yang lebih kecil dan obyektif.

Isi atau bahan kurikulum juga dapat dilihat daritingkatasn kurikulumnya. Dilihat dari tingkatannya, isikurikulum biasanya disusun mulai dari kurikulum tingkatnasional, lokal, institusional, dan mata pelajaran. Isi

Anatomi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

90

kurikulum pada tingkat kurikulum nasional adalah me-rupakan materi-materi/mata pelajaran dan pengalaman-pengalaman inti yang wajib dimiliki oleh segenap pesertadidik di suatu Negara. Sebagai contoh, Negara telah me-netapkan bahwa setiap siswa harus memiliki pengetahuan,keterampilan, dan sikap dalam hal beragama (pelajaranagama); berbahasa (bahasa Indonesia), berkewarga-negaraan yang baik (kewarganeraan), dan berpengatahuan(sain dan teknologi). Adapun isi kurikulum pada tingkatInstitusional (lembaga) adalah materi-materi ataupengalaman-pengalaman yang harus dimiliki oleh seluruhsiswa sesuai dengan jenjang dan jenis lembaga pendidikan-nya. Dalam konteks kurikulum nasional negara kita telahditetapkan jenis-jenis bidang pelajaran yang wajib di-berikan kepada siswa. Sebagai contoh, berdasarkanUUSPN Nomor 20 Tahun 2003 adalah sebagai berikut:1. Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan

dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesiadengan memperhatikan:a. peningkatan iman dan takwa;b. peningkatan akhlak mulia;c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta

didik;d. keragaman potensi daerah dan lingkungan;e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional;f. tuntutan dunia kerja;g. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan

seni;h. agama;i. dinamika perkembangan global; dan

91

j. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.Selanjutnya disebutkan bahwa:

2. Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajibmemuat:a. pendidikan agama;b. pendidikan kewarganegaraan;c. bahasa;d. matematika;e. ilmu pengetahuan alam;f. ilmu pengetahuan sosial;g. seni dan budaya;h. pendidikan jasmani dan olahraga;i. keterampilan/kejuruan; danj. muatan lokal.

2. Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat:a. pendidikan agama;b. pendidikan kewarganegaraan; danc. bahasa.

Selain itu, berdasarkan prinsip pengembangankurikulum yang telah digariskan oleh UUSPN No 20 tahun2003 bahwa kurikulum pada semua jenjang dan jenispendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasisesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, danpeserta didik, maka dalam penentuan isi kurikulumdiberikan ruang untuk memasukkan unsur dan kebutuhandaerah (muatan lokal) di samping dikembangkan lebih jauhdalam bentuk yang sesuai dengan satuan pendidikan

Anatomi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

92

masing-masing atau yang disebut sekarang dengan istilah“Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)”. Dengandemikian, isi kurikulum untuk setiap jenis dan jenjangpendidikan di samping tetap mempertahankan standar isiyang berlaku secara nasional, setiap jenis dan jenjangpendidikan dapat mengembangkan dan menyesuaikandengan kebutuhan daerah dan lembaga pendidikanmasing-masing.

3. Strategi Pelaksanaan KurikulumKomponen kurikulum yang ketiga menurut Tyler

adalah, “How can these educational experiences be effec-tively organized?” yaitu bagaimana semua itu dapat di-organisir dan dikelola dengan sebaik-baiknya. SedangkanMeller dan Siller (1985:175), menyebutnya dengan teach-ing strategies/learning experiences. Menurut Hasan (1988komponen ini sebagai kegiatan (proses), dan sebagai hasilbelajar. Mengacu pada pendapat tersebut, tampaknyastrategi pelaksanaan kurikulum dapat dimasukan padatataran konsep kurikulum sebagai kegiatan (proses). Halini sejalan dengan penjelasan Hasan (1988:34) bahwa padahakekatnya dilihat dari sudut pengembangan kurikulum,kurikulum sebagai proses sebenarnya adalah implementasikurikulum sebagai rencana.

Pandangan bahwa ilmpelentasi kurikulum sebagaiproses dapat juga dilihat dari berbagai pengertianimplementasi kurikulum yang dikemukakan olehbebertapa pakar. Beaucham (1975:164) menyatakan bahwaimplementasi kurikulum adalah: “putting the curriculum towork”. Pengertian membawa kurikulum ke dalam bentukkerja tersebut tidak lain adalah merupakan penerapan ataupelaksanaan konsep kurikulum. Fullan (1982: 54) lebih

93

tegas sebagaimana definisi implementasi kurikulum yangdikemukakannya, bahwa “implementation as the process ofputting into the practice an idea, program, or set of activitiesnew to the people attempting or expected to change”. Dalamdefinisi ini Fullan memandang implementasi sebagaisebuah “proses” menerapkan sebuah ide atau programbaru dengan harapan akan terjadi sebuah perubahan.Pandangan yang senada dikemukakan oleh Leithwood(1982:253), ia mendefinisikan implementasi sebagai “a pro-cess of behavioral change in direction suggested by the innova-tion, occurring in stages, over time, if obstacles to such growthare overcome”. Di samping itu ia menjelasakan bahwaimplementasi kurikulum: “involves reducing the differencesbetween exiting practices and practices suggested by the inno-vation”.

Dalam tataran praktis makna implementasi kurikulumdimaknai oleh Sylor dan Alexander (1974:245) sebagaikegiatan pembelajaran (instruction). Hal ini sebagaimanadefinisi Pembelajaran (instruction) yang dikemukakannya,yakni: “the implementation of curriculum plan, usually, but notnecessarily, involving teaching in the sense of student-teacherinteraction in school setting”.

Beberapa definisi di atas menyatakan bahwa im-plementasi disamping dipandang sebagai sebuah proses,implementasi juga dipandang sebagai penerapan sebuahinovasi dan senantiasa melahirkan adanya perubahan kearah inovasi atau perbaikan, implementasi dapat ber-langsung terus menerus sepanjang waktu, implementasiharus dapat menyelesaikan perbe-daan antara praktekyang diharapkan dengan kenyataan.

Berangkat dari berbagai pengertian implementasikurikulum , Miller & Seller (1985:246-247) menyimpulkan,

Anatomi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

94

bahwa pada dasarnya ada tiga pendekatan dalam men-definisikan istilah “implementation”, yakni: Pertama,Implementasi didefinisikan sebagai sebuah perstiwa(event). Peristiwa itu terjadi, sebagai sebuah aktivitaspengembangan profesional, ketika sebuah dokumen pro-gram baru didistribusikan kepada guru; Kedua, im-plementasi dipandang sebagai proses interaksi antara pe-ngembang kurikulum dengan para guru. Proses interaksiitu berlangsung ketika pengembang kurikulum inginmelaksanakan sebuah konsep baru dan meminta kepadapara guru untuk mengujicobanya dan memberikanmasukan guna menyempurnaan konsep kurikulum barutersebut; Ketiga, implementasi kurikulum dipandangsebagai komponen yang terpisah dalam siklus kurikulum.Dalam rangka pengembangan dan adopsi sebuah programbaru, diperlukan sebuah perencanaan yang terorganisir,yang memerlukan pengkajian terhadap berbagai alternatif,sumber dan strategi. Sebuah program baru pertama kalidigambarkan dan dijabarkan, kemudian dipresen-tasikankepada guru dalam bentuk dokumen.

Dalam praktek penerapan kurikulum di Indonesiastrategi implementasi adalah merupakan sejumlahpedoman penjabaran atau pengembangan kurikulum dibawahnya. Dengan demikian pengembangan kurikulumpada tataran instruksional dalam bentuk pengembangandesain perencanaan pembelajaran adalah merupakanbentuk implementasi dari kurikulum setiap mata pelajaran.Penjabaran kurikulum dalam bentuk mata pelajaran adalahmerupakan bentuk implementasi kurikulum tingkatinstitutsional. Begitu juga pengembangan kurikulum padatingkat institusional adalah merupakan pengembanganatau impelementasi dari kurikulum tingkat nasional.

95

Pada dekade terakhir ini kita mengenal KTSP yangpada dasarnya adalah bentuk implementasi atau pen-jabaran dari kurikulum kurikulum tingkat nasional yangdirumuskan dalam bentuk “standar komopetensi” dan“standar isi/materi”, dan “stadar hasil/evaluasi” serta“kompetensi-komtensi dasar” yang terdapat dalam setiapmateri pelajaran. Dalam hal ini, sesuai dengan namananya(KTSP), maka strategi implementasi kurikulumnyadisesuaikan dengan kebutuhan dan kondisional masing-masing satuan pendidikan di mana kurikulum tersebutdilaksnakan. Akan tetapi, meskipun demikian, strategiimplementasi yang dikembangkan di satuan pendidikanmanapun, secara umum harus tetap mengacu pada kaedah-kaedah, konsep-konsep dan teori-teori yang dipandangtepat untuk setiap kondisi jenjang dan jenis pendidikanyang bersangkutan.

Syaodih (1980), Joni (1995) mengemukakan bahwadalam proses implementasi setidaknya ada tiga tahapanatau langkah yang harus dilaksanakan, yaitu: tahap peren-canaan, pelaksanaan, dan evaluasi kulminasi. SedangkanJoni (1995) juga mengemukakan tiga tahapan atau langkahyang harus dilakukan, yaitu: tahap perencanaan, pe-laksanaan, dan kulminasi. Kedua pendapat ini meskipunmemiliki istilah yang berbeda untuk tahapan ketiga, namunpada intinya dilihat dari segi maksud dan isinya tidakberbeda, sebab dalam kulminasi kegiatan utamanya adalahevaluasi dan evaluasi pada hakekatnya merupakankegiatan kulminasi.

Realisasi aspek-aspek perencanaan di atas dapatdiwujudkan dalam bentuk perencanaan tertulis dan tidaktertulis. Perencanaan tidak tertulis adalah perecanaandalam bentuk kesiapan mental dan ilmu pengetahuan (baik

Anatomi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

96

berupa ilmu pengetahuan yang berhubungan denganmateri pembelajaran maupun ilmu pengetahuan yangberhubungan dengan berbagai ilmu terkait sebagaiwawasan). Sedangkan persiapan tertulis adalah persiapanyang berbentuk dokumen tertulis yang secara praktispersiapan tertulis yang harus dipersiapkan untukpenerapan kurikulum meliputi menurut pedoman prosespembelajaran meliputi: pembuatan Analisis MateriPembelajaran (AMP), Rencana Pembelajaran, dan berbagaiperangkat pembelajaran, seperti lembar kerja siswa danlembar evaluasi. Atau berdasarkan tuntutan kurikulumKBK sekarang, setidaknya harus direncanakan mulai darirekayasa silabus, pengembangan skenario pembelajaran,dan prangkat pembelajaran lainnya, seperti lembar kerjasiswa dan lembar evaluasi. Pelaksanaan adalah merupakanbentuk kegiatan pembelajaran yang ditempuh, baik me-nyangkut pengaturan penyampaian informasi, pengaturanaktivitas guru dan aktivitas siswa. Sebagai tahapan terakhirdari kegiatan implementasi kurikulum dituntut adanyaketuntasan aktivitas dan keterukuran hasil yang dicapai.Oleh karena itu pada tahap ini diperlukan adanya kegiatanevaluasi.

4. Evaluasi KurikulumPerlu dibedakan antara evaluasi pembelajaran dengan

evaluasi kurikulum. Evaluasi pembelajaran adalah evaluasiyang dilakukan dalam kegiatan pembelajaran, baik di awal(pre-test, proses, dan post-test). Sedangkan evaluasikurikulum adalah kegiatan evaluasi atas dokumen, proses,dan hasil implementasi kurikulum.

Para pakar kurikulum sepakat bahwa evaluasikurikulum adalah salah satu dimensi kurikulum atau

97

pengembangan kurikulum yang sangat penting. Hanyasaja, mereka berbeda pendapat dalam hal memaknai danmemandang kedudukan serta lingkup cakupan kajianevaluasi kurikulum.

Hasan (1988:27) menunjukkan bahwa adanya per-bedaan pendapat tentang batasan kurikulum telah mem-pengaruhi batasan tentang evalusi kurikulum. Menurut-nya Tyler (1949) dalam bukunya Basic Principles of Curricu-lum and Instruction menunjukkan pengertian kurikulumsebagai evaluasi terhadap pencapaian hasil belajar,karenanya evaluasi kurikulum juga berkenaan denganevalusi terhadap pencapaian hasil belajar tersebut.Phopham (1970) memandang evaluasi kurikulum hampirsama dengan Tyler, Bagi Phopham kurikulum adalahrumusan tujuan yang akan dicapai dan karenanya evaluasikurikulum adalah berhubungan dengan upaya pencapaiantujuan tersebut. Sedangkan Stake (1967) dalam tulisannyamengenai Countenance evaluation mengemukakanpengertian yang berbeda dari Tyler. Bagi Stake kurikulumadalah termasuk apa yang direncanakan oleh guru, prosespelaksanaan rencana tersebut, serta hasil dari pelaksanaanrencana tersebut. Oleh karena itu, evaluasi kurikulummenurutnya bukan hanya sekedar evaluasi terhadap hasilbelajar, tetapi mencakup juga evaluasi terhadap apa yangdirencanakan dan proses pelaksanaan rencana tersebut.Pakar lain yang melihat kurikulum dalam pengertian yanglebih luas adalah Lewy (1977). Baginya evalusi kurikulumsesuai dengan aspek-aspek kegiatan kurikulum, yaknimeliputi: perencanaan, pengembangan komponen,implementasi serta hasil belajar.

Selain perbedaan dalam memberi makna kurikulum,sebagaimana dikemu-kakan di atas terdapat juga

Anatomi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

98

perbedaan dalam memandang kedudukan evaluasikurikulum khususnya dalam hubungannya dengankurikulum itu sendiri. Madaus & Kelleghan (dalam Jack-son, 1992: 14)) menyatakan bahwa terdapat dua pandangantentang kedudukan evaluasi kurikulum. Tyler (1949) danbeberapa pakar kurikulum lain yang sejalan (Tylerian)memandang evaluasi kurikulum adalah merupakan bagianintegral dari dari kurikulum itu sendiri. Oleh karena ituevaluasi kurikulum dipandang sebagai: “…being defined bythe curriculum, following from its goals, and reflecting instruc-tion that has taken place.” Dalam kaitan ini evaluasikurikulum tidak lain merupakan bagian dari kurikulumitu sendiri dan evaluasi kurikulum sebagai evaluasiterhadap pencapaian hasil belajar. Karenanya evaluasikurikulum juga berkenaan dengan evaluasi terhadappencapaian hasil belajar tersebut. Sementara itu, terdapatsejumlah pakar kurikulum lain yang memandangkedudukan evaluasi kurikulum merupakan suatu yangberdiri sendiri. Para pakar yang tergabung dalampandangan ini antara lain: Phopham, Cruse, Ranjin,Sandifer, dan William (1992). Phopham (1970) meskipunmemandang evaluasi kurikulu hampir sama dengan Tyler,yakni bahwa evaluasi kurikulum adalah usaha untukmengevaluasi pencapaian tujuan kurikulum. Akan tetapi,bagi Phopham evaluasi kurikulum bukan merupakanbagian integral dari kurikulum.

Hasan (1988), sesuai dengan pandangannya tentangempat dimensi kurikulum yang saling berhubungan satudengan lainnya, yakni: dimensi ide atau konsepsi, dimensirencana tertulis, dimensi kegiatan (proses), dan dimensihasil belajar, maka evaluasi kurikulum juga melingkupiempat dimensi tersebut, yakni (1) evaluasi terhadap

99

kurikulum sebagai suatu ide atau konsepsi; (2) evaluasiterhadap kurikulum sebagai suatu rencana tertulis; (3)evaluasi terhadap kurikulum sebagai suatu kegiatan(proses); dan (4) evaluasi terhadap kurikulum sebagai suatuhasil belajar.

Berdasarkan berbagai pandangan para pakar di atastentang makna dan kedudukan, dapat dilihat perbedaandalam hal apa yang menjadi lingkup atau wilayah eveluasikurikulum. Kelompok yang memaknai kurikulum terbataspada hasil belajar cenderung memandang lingkup evaluasikurikulum secara sempit. Kelompok pertama ini di-antaranya diwakili oleh Tyler dan Phopham di atas.Sedangkan kelompok yang memaknai kurikulum secaraluas, memandang lingkup evaluasi kurikulum secara lebihluas. Zais (1976:378) menyebutnya dengan istilah “com-prehensive curriculum evaluation”. Evaluasi ini menurutnya:involves not only the assessment of a written document (the “in-ert curriculum: or curriculum plane) but more important, of theimplemented curriculum as a functional corpus of phenomenainvolving the interaction of students, teachers, materials, andenvironments.” Dengan demikian, kelompok terakhir inimemandang lingkup evaluasi kurikulum tidak terbataspada evelausi hasil tetapi mencakup proses, rancanganprogram dan bahkan ide atau konsepsi kurikulum itusendiri. Kelompok ini diantaranya diwakili oleh Stake,Lewy Zais dan juga Hasan.

Dengan mengutif berbagai pendapat para pakar(seperti Tyler) dan berbagai data kegiatan evaluasi yangdilakukan pada berbagai negara, termasuk Indonesia,Hasan (1988:50) mengemukakan bahwa terdapat bahwapada awalnya evaluasi hasil inilah yang dimaksud denganevaluasi. Bahkan hasil yang dimaksus terbatas pada

Anatomi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

100

evaluasi hasil belajar dalam pengertian pengetahuan.Dalam hal ini jumlah pengetahuan siswa merupakanindikator keberhasilan suatu kurikulum. Makin banyak/makin tinggi pengetahuan yang dimiliki siswa makinberhasil suatu kurikulum.

Pandangan tentang evaluasi hasil di atas, walaupuncukup dominan, namun akhir-akhir ini telah terjadipergeseran pandangan tentang ruang lingkup kegiatanevaluasi hasil. Menurut Hasan (1988:52) Tyler sendiri yangsemula berpandangan bahwa evaluasi kurikulum adalahidentik dengan evaluasi hasil telah berubah pandanganbahwa evaluasi tidak sekedar hasil pengetahuan. Dalambukunya yang berjudul Specific approach Curriculum Devel-opment (1981), Tyler berpandangan bahwa selain evaluasiharus meliputi evaluasi terhadap ide, implementasi danefektivitas kurikulum, juga berpendapat bahwa evaluasihasil menentukan sampai sejauh mana perilaku yang ingindikembangkan kurikulum telah dimiliki siswa.

Lebih lanjut Hasan (1988:52) mengemukakan bahwaevaluasi hasil tidak hanya memperhatikan hasil belajaryang bersifat pengetahuan saja. Akan tetapi banyak aspekkehidupan siswa yang hendak dikembangkan dalamrangka mempersiapkan siswa untuk kehidupannya, baikuntuk persiapan kehidupan jangka pendek seperti ujian,melamar pekerjaan, maupun kehidupan jangka panjang,seperti persiapan sebagai anggotam asyarakat, persiapandalam menghadapi perubahan kehidupan, dan lain-lain.Lebih jauh, bidang perhatian evaluasi hasil juga berkenaandengan dampak kurikulum terhadap masyarakat.

Tyler (1949) sebagaimana dikutip oleh Hasan me-nyebutkan fungsi evaluasi kurikulum adalah untuk mem-perbaiki kurikulum. Pendapat yang sama dikemukakan

101

oleh Provus (1971). Sementara Cronbach (1963) menyata-kan bahwa fungsi evaluasi kurikulum adalah memberikanbantuan untuk memperbaiki kurikulum dan untukmemberikan penghargaan. Lewy (1977) sebagaimanadikutif oleh Miller & Seller (1985:302) memberikangambaran yang lebih luas, yakni:

Evaluation essentially is the provision of information for the sakeoffacilitating decision making at various stages of curriculum develop-ment. This information may pertain to the program as acompleteantity or only to some of its components. Evaluation alsoimplies the selection of criteria, the collection of data, and data analy-sis.

Sementara itu Nana Syaodih (1980:190) secara umummenggambarkan fungsi dan peranan evealuasi kurikulumsebagai berikut:

evaluasi kurikulum memegang peranan penting baik dalampenentuan kebijaksanaan-kebijaksanaan pendidikan padaumumnya, maupun pada pengambilan keputusan dalamkurikulum khususnya. Hasil dari suatu evaluasi kurikulumdapat dipergunakan oleh para pengembang kurikulum danpara pemegang kebijaksanaan pendidikan dalam memilih danpenetapkan kebijaksanaan pengembangan kurikulum danpengembangan sistem pendi-dikan. Hasil dari suatu evaluasikurikulum juga dapat digunakan oleh guru-guru, kepalasekolah dan peleksana pendidikan lainnya dalam memahamidan membantu perkembangan siswa, memilih bahan pelajaran,memilih metode dan alat-alat pelajaran dan sebagainya.Pakar yang mengemukakan fungsi kurikulum yang

lebih konsepsional, menurut Hasan (1988:38) dan Miller &Seller (1985:124) adalah Scriven (1967). Scrivenmembedakan dua macam fungsi evaluasi. Fungsi pertamadinamakan fungsi formatif. Fungsi kedua dinamakan fungsisumatif. Fungsi formatif evaluasi dilaksanakan apabila hasil

Anatomi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

102

yang diperoleh dari kegiatan evaluasi diarahkan untukmemperbaiki bagian tertentu atau sebagian besar bagiankurikulum yang sedang dikembangkan. Jadi bukan untukmengganti kurikulum. Bagian yang diperbaiki tersebutdapat saja kurikulum sebagai ide atau konsepsi, rencana,proses kegiatan ataupun hasil. Perbaikan tersebut dapatdilakukan ketika melakukan evaluasi terhadap bagianlainnya. Fungsi sumatif evaluasi dilakukan apabila evaluasimemberikan perhatian terhadap hasil dari suatukurikulum. Dengan demikian menurut Hasan (1988:38)fungsi sumatif baru dapat dilakukan jika kurikulumtersebut telah dianggap final (selesai) pengembangannya.Tujuan utamanya ialah untuk menentukan apakah suatukurikulum masih dapat dipertahan-kan atau harus diganti.Jika dinilai masih dapat dipertahankan, maka evaluasiharus dapat menentukan bagian mana yang tetapdipertahankan dan bagian mana yang harus diganti ataudiperbaharui.

Pengertian selesai dan tidak selesai sebuah pengem-bangan kurikulum sangat bersifat relatif, artinya bisa sajasatu pihak menganggap pengembangan kurikulum telahselesai, namun bagi pihak yang lain belum selesai. MenurutHasan (1988:42) ada beberapa patokan yang dapatdigunakan: (1) pendapat dari para pengembang kuri-kulum; (2) Pendapat dari para pengelola pendidikansetelah mereka menilai stabil tidaknya semua komponenkurikulum; (3) adanya perkembangan atau perubahanyang terjadi di masayarakat yang dianggap sebagaidampak dari penerapan kurikulum.

Suatu hal yang perlu mendapat perhatian dalam halevaluasi formatif ialah bahwa evaluasi dilaksanakan ketikakurikulum tersebut belum dianggap sebagai sebuah kuri-

103

kulum yang sudah final. Pandangan atas apakah kuri-kulum sudah dianggap final atau tidak ini sangat penting,karena akan menimbulkan perbedaan pendapat tentangpelaksanaan fungsi formatif evaluasi. Bagi mereka yangberanggapan bahwa kurikulum telah dianggap final jikatelah dilaksanakan secara umum di sekolah, maka evaluasiformatif tidak perlu lagi dilaksanakan, yang dilaksnakanadalah fungsi sumatif evaluasi (Hasan, 1988: 39).

Menurut Hasan (1988:44), sejalan dengan pandangantentang dimensi dan fungsi kurikulum, maka jenis evaluasikurikulum juga dapat dikelompokkan pada empat bentuk,yakni evaluasi reflektif, evaluasi rencana, evaluasi proses,dan evaluasi hasil (fungsi formatif dan sumatif).

(1) Evaluasi ReflektifSecara etimologis istilah reflektif berasal dari

bahasa Inggris “reflective” yang berarti: tending to thinkdeeply about things Oxpord (1995:980).” Terjemahanistilah reflective dalam bahasa Indonesia: 1. yangmemantulkan cahaya. 2 merenung, tepekur (Echols &Shadily, 1983:473). Pengertian tepekur dan merenungtersebut itulah yang barangkali dapat dikaitkan denganide atau konsepsi, yakni mencoba untuk mengevaluasiatau merefleksi ide atau konsep yang telah dibuat.

Menurut Hasan (1988:44) istilah evaluasi reflektifsebagai jenis evaluasi kurikulum ini diambil dari tulisanCohen (1976). Evaluasi reflektif dipergunakan untukmenyebut jenis evaluasi yang memusatkan perhatian-nya terhadap kurikulum sebagai ide. Jenis evaluasi inimencoba mengkaji mengenai ide yang dikembangkandan dijadikan landasan bagi kurikulum dalam dimensilainnya.

Anatomi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

104

Evaluasi reflektif terhdap ide tersebut menurutHasan (1988:44-45) dapat dilakukan dalam beberapacara:(a) Evaluasi reflektif terhadap ide dilakukan pada

waktu pertama kali suatu ide dikemukakan olehseseorang. Dalam hal ini dapat juga dilakukan padawaktu terjadi proses deliberasi ketika suatu kuri-kulum sebagai rencan akan dikembangkan oleh tim.

(b) Evaluasi reflektif terhadap ide dilakukan pada wak-tu kurikulum sebagai rencana sedang dikembang-kan atau ketika telah selesai ditulis.

(c) Evaluasi reflektif terhadap ide dilakukan apabilakurikulum dalam setiap dimensinya telah di-kembangkan.

(2) Evaluasi RencanaSesuai dengan namanya, evaluasi ini ditujukan

kepada kurikulum sebagai sebuah rencana. Akan tetapi,menurut Hasan (1988:45-47), evaluasi rencan ini tidakhanya dilakukan hanya melihat atau mengkaji rencanaitu sendiri tetapi dapat pula dilakukan dalam bentuksuatu studi lapangan. Evaluasi terhadap rencana itusendiri dilakukan untuk melihat, seperti: format,keterbacaan, hubungan antar komponen, organisasivertikal dan horizontal dari pengalaman belajar. Dalamhal ini studi lebih bersifat studi documenter.

Evaluasi yang dilakukan sebagai studi lapangan,sebagaimana dikutif oleh Hasan (1988:47), bahwaCronbach (1963) misalnya menunjuk pada studilapangan untuk melihat apakah dokumen yang telahdikembangkan dapat dilaksanakan atau tidak. Akantetapi, menurut Hasan sendiri, bahwa bahwa studi

105

lapangan tidak harus selalu bertujuan untuk melihatapakah suatu dikumen dapat dilaksnakan atau tidak.Studi lapangan dapat juga dilakukan untuk mengetahuipendapat guru mengenai kurikulum. Kalau guruberpendapat negatif terhadap kurikulum, maka harusdiketahui bagian mana yang dianggap negarif tersebut.Hal ini penting untuk memperbaiki dokumen kuri-kulum, karena bear kemungkinan komponen yangtidak disenangi guru tersebut tidak sesuai dengankebutuhan dan kenyataan dilapangan.

Sebagaimana gambaran di atas, maka evaluasirencana ini dapat dilakukan baik pada waktu prosespenulisan kurikulum sebagai rencana sedang berlang-sung maupun pada waktu penulisan itu telah selesaidikerjakan. Evaluasi yang dilakukan pada waktu prosespenulisan kurikulum dilakukan tentu akan lebih cepatdapat memberikan umpan balik bagi rencana yangdisusun bahkan tahap demi tahap, komponen demikomponen. Hasan (1988:46) mengemukakan, bahwajika evaluasi dilakukan pada waktu proses pembuatanrencana dapat dilakukan oleh pengembang kurikulumatau oleh evaluator yang merupakan bagian dari tim.Sedangkan apabila evaluasi rencana dilakukan setelahkurikulum berada di lapangan, maka evaluator dapatberada di luar dari tim pengembang.

(3) Evaluasi ProsesIstilah evaluasi proses menurut Hasan (1988:47)

dapat disamakan dengan istilah evaluasi implementasi.Oleh karena itu keduanya dapat digunakan secarabergantian. Kedua istilah tersebut memiliki maksuddan tunjuan yang sama, yakni mengevaluasi kurikulum

Anatomi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

106

sebagai kegiatan. Meskipun dalam evaluasi proses(implementasi) ini perhatian evaluator tidak hanyadiarahkan kepada apa yang terjadi dengan kurikulumsebagai kegiatan, tetapi evaluator juga telah melihatberbagai faktor yang berhubungan dengan pelaksanaankurikulum sebagai kegiatan. Evaluasi terhadapkepemimpinan kepala sekolah, sikap dan kinerja guru,faktor siswa serta peralatan belajar adalah merupakanfokus yang penting. Demikian pula dengan interaksiyang terjadi dalam proses kegiatan belajar-menagajar.Bahkan sistem supervisi yang dilakukan oleh parapengawas tidak terlepas dari kajian evaluasi proses ini.

Mengutip hasil evaluasi yang dilakukan oleh Beeby(1979) yang mengetengahkan gambaran kesenjanganantara kurikulum sebagai rencana dengan kurikulumsebagai kegiatan, Hasan (1988:49) berkesimpulan bahwaperan evaluasi proses ini sangat penting dan mem-berikan konstribusi yang sangat besar, utamanya untukmembantu memperkecil kesenjangan yang ada antaradua kurikulum tersebut. Dengan adanya evaluasiproses ini setiap orang yang terlibat dalam pengem-bangan kurikulum sebagai kegiatan mendapatkaninformasi, mana bagian kurikulum yang belumberfungsi dengan baik dan mengapa bagian tersebutbelum berfungsi, sehingga perbaikan dapat segeradilakukan. Infromasi tentang hal di atas juga bergunawaktu evaluator dalam melakukan fungsi sumatifevaluasi, agar gambaran yang lebih tepat tentang hasilkurikulum dapat dikemukakan.

107

(4) Evaluasi HasilDengan mengutip berbagai pendapat para pakar

(seperti Tyler) dan berbagai data kegiatan evaluasi yangdilakukan pada berbagai negara, termasuk Indonesia,Hasan (1988:50) mengemukakan bahwa terdapat bahwapada awalnya evaluasi hasil inilah yang dimaksuddengan evaluasi. Bahkan hasil yang dimaksud terbataspada evaluasi hasil belajar dalam pengertian pe-ngetahuan. Dalam hal ini jumlah pengetahuan siswamerupakan indikator keberhasilan suatu kurikulum.Makin banyak/makin tinggi pengetahuan yang dimilikisiswa makin berhasil suatu kurikulum.

Pandangan tentang evaluasi hasil di atas, walaupuncukup dominan, namun akhir-akhir ini telah terjadipergeseran pandangan tentang ruang lingkup kegiatanevaluasi hasil. Menurut Hasan (1988:52) Tyler sendiriyang semula berpandangan bahwa evaluasi kurikulumadalah identik dengan evaluasi hasil telah berubahpandangan bahwa evaluasi tidak sekedar hasil pe-ngetahuan. Dalam bukunya yang berjudul Specific ap-proach Curriculum Development (1981), Tyler ber-pandangan bahwa selain evaluasi harus meliputievaluasi terhadap ide, implementasi dan efektivitaskurikulum, juga berpendapat bahwa evaluasi hasilmenentukan sampai sejauh mana perilaku yang ingindikembangkan kurikulum telah dimiliki siswa.

Lebih lanjut Hasan (1988:52) mengemukakanbahwa evaluasi hasil tidak hanya memperhatikan hasilbelajar yang bersifat pengetahuan saja. Akan tetapibanyak aspek kehidupan siswa yang hendak dikem-bangkan dalam rangka mempersiapkan siswa untukkehidupannya, baik untuk persiapan kehidupan jangka

Anatomi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

108

pendek seperti ujian, melamar pekerjaan, maupunkehidupan jangka panjang, seperti persiapan sebagaianggotam asyarakat, persiapan dalam menghadapiperubahan kehidupan, dan lain-lain. Lebih jauh, bidangperhatian evaluasi hasil juga berkenaan dengan dampakkurikulum terhadap masyarakat.

Dalam PP 19 tahun 2005 tentang “Standar NasionalPendidikan” disebutkan bahwa evaluasi atau penilaianpendidikan pada pendidikan dasar dan menengahterdiri atas: a. Penilaian hasil belajar oleh pendidik, b.Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan, dan c.penilaian hasil belajar oleh Pemerintah. Sedangkanpenilaian pendidikan pada jenjang pendidikan tinggiterdiri atas: a. Penilaian hasil belajar oleh pendidik, danpenilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan tinggi(Bab X pasal 63). Penilaian hasil belajar oleh pemerintahdapat dikategorikan sebagai penilaian kurikulum secaranasional atau pada tingkat kurikulum nasional.Penilaian hasil belajar oleh sekolah adalah penilaiankurikulum pada tingkat institusional atau kurikulumnasional, Sedangkan penilaian hasil belajar oleh guruadalah penilaian kurikulum pada tingkat bidang studi(mata pelajaran) atau kurikuler dan satuan pembelajran.

Penilaian hasil belajar oleh pendidik atau penilaiankurikuler dan satuan pembelajaran, sebagaimanadisebutkan pada pasal 64 disebutkan sebagai berikut:(1) Penilaian hasil belajar oleh pendidik dilakukan

secara berkesinambungan untuk memantau proses,kemajuan, dan perbaikan hasil dalam bentukulangan harian, ulangan tengah semester, ulanganakhir semester, dan ulangan kenaikan kelas.

109

(2) Penilaian sebagaimana dimaksud di atas digunakanuntuk: menilai pencapaian kompetensi pesertadidik; bahan penyusunan laporan kemajuan hasilbelajar; dan memperbaiki proses pembelajaran.

(3) Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaranagama dan akhlak mulia serta kelompok matapelajaran kewarganegaraan dan kepribadiandilakukan melalui:a. Pengamatan terhadap perubahan perilaku dan

sikap untuk menilai perkembangan afeksi dankepribadian peserta didik, serta

b. ujian, ulangan, dan/atau penugasan untukmengukur aspek kognitif peserta didik.

(4) Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran ilmupengetahuan dan teknologi diukur melalui ulangan,penugasan, dan/atau bentuk lain yang sesuaidengan karakteristik materi yang dinilai.

(5) Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaranestetika dilakukan melalui pengamatan terhadapperubahan perilaku dan sikap untuk menilaiperkembangan afeksi dan ekspresi psikomotorikpeserta didik.

(6) Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajranjasmani, olah raga, dan kesehatan dilakukan melalui:a. Pengamatan terhadap perubahan perilaku dan

sikap untuk menilai perkembangan psiko-motorik dan afeksi peserta didik, dan

b. Ulangan, dan/atau penugasan untuk mengukuraspek kognitif peserta didik.

Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan atau

Anatomi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

110

penilaian kurikulum tingkat institusional sebagaimanadisebutkan dalam Bab X pasal 65 disebutkan untukmenilai pencapaian “standar kompetensi lulusan untuksemua mata pelajaran.” Pencapaian hasil belajardimaksudkan adalah penilaian untuk semua matapelajaran pada kelompok mata pelajaran agama danakhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarga-negaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaranestetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan merupakan penilaian akhir untukmenentukan kelulusan peserta didik dari satuanpendidikan. Selanjutnya disebutkan bahwa:1. Penilaian untuk semua mata pelajaran di atas

dimaksud harus mempertimbangkan hasil penilaianpeserta didik oleh pendidik sebagaimana dimaksuddalam pasal 64.

2. Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan untuksemua mata pelajaran pada kelompok ilmupengetahuan dan teknologi dilakukan melalui ujiansekolah/madrasah untuk menentukan kelulusanpeserta didik dari satuan pendidikan.

3. Untuk dapat mengikuti ujian sekolah/madrasahsebgaimana disebutkan pada poin dua di atas,peserta didik harus mendapatkan nilai yang samaatau lebih besar dari nilai batas ambang kompetensiyang dirumuskan oleh BSNP, pada kelompok matapelajaran kewarganegaraan dan kepribadian,kelompok mata pelajaran estetika, serta kelompokmata pelajaran jasmani, olah raga, dan ksesehatan.

Penilaian hasil belajar oleh Pemerintah ataupenilaian kurikulum tingkat nasional, sebagaimana

111

disebutkan pada Bab X pasal 66, bertujuan untuk me-nilai pencapaian kompetensi lulusan dalam kelompokmata pelajaran ilmu pengetahuan teknologi dandilakukan dalam bentuk “ujian nasional.” Hasil ujiannasional digunakan sebagai “salah satu pertimbangan”:1. pemetaan mutu satuan pendidikan dan/atau pro-

gram pendidikan;2. dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya;3. penentuan kelulusan peserta didik dari program

pendidikan dan/atau satuan pendidikan;4. pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan

pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkanmutu pendidikan.

Bentuk-bentuk mata pelajaran yang diujikan secaranasional, sebagaimana dalam Bab X pasal 70 ditentukansebagai berikut:1. Pada jenjang SD/MI/SLDB, atau bentuk lain yang

sederajat, Ujian Nasional mencakup mata pelajaranBahasa Indonesia, Matematika, dan Ilmu Pengetahu-an Alam (IPA).

2. Pada program paket A, Ujian Nasional mencakupmata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, IlmuPengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial(IPS) dan Pendidikan Kewarganegaraan.

3. Pada jenjang SMP/MTs/SMPLB, atau bentuk lainyang sederajat, Ujian Nasional mencakup pelajaranBahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, danIlmu Pengetahuan Alam (IPA).

4. Pada program paket B, Ujian Nasional mencakupmata pelajran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris,

Anatomi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

112

Pengetahuan Sosial (IPS) dan Pendidikan Kewarga-negaraan.

5. Pada SMA/MA/SMALB atau bentuk lain yangsederajat, Ujian Nasional mencakup mata pelajaranBahasa Indoensia, Bahasa Inggris, Matmatika, danmata pelajaran yang menjadi ciri khas programpendidikan.

6. Pada program paket C, Ujian Nasional mencakupmata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris,Matematika, dan mata pelajaran yang menjadi cirikhas program pendidikan.

7. Pada jenjang SMK/MAK atau bentuk lain yangsederajat, Ujian Nasional mencakup pelajaranBahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, danmata pelajaran kejuruan yang menjadi ciri khas pro-gram pendidikan.

Jika dicermati apa yang dikemukakan dalamundang-undang di atas, dapat disimpulkan bahwaevaluasi dimaksud lebih banyak berkaitan denganevaluasi hasil, bukan pada evaluasi proses, desain danide. Oleh karena itu, setiap lembaga pendidikan danguru sebagai ujung tembak pelaku pendidikan harusdapat melakukan evaluasi proses, evaluasi desain danevaluasi ide. Hal ini sangat penting dilakukan dalamkonteks implementasi kurikulum tingkat satuanpendidikan.

113

BAB VMODEL DESAIN KURIKULUM

Istilah desain kurikulum (curriculum design) mengan-dung arti sebagai pengaturan (arrangement) komponen-komponen atau elemen-elemen atau anatomi kurikulum,yang meliputi tujuan, isi/materi, aktivitas pembelajaran,dan evaluasi (Zais, 1976:16). Sedangkan fokus per-masalahan dari desain kurikulum adalah berkenaandengan persoalan scope, sequence, continuity, and integrationkurikulum (Taba, 1962:382). Menurut Zais (1976:395) desainkurikulum dapat dikelompokkan kedalam dua dimensi,yaitu dimensi vertical dan horizontal. Dimensi verticalmerujuk pada permasalahan sequence dan continuity, atauberkenaan dengan penyusunan sistematika bahan/isikurikulum berdasarkan tingkat kesulitannya, misalnyadari yang mudah ke yang sulit atau sebaliknya. Dapat pulaberdasarkan tingkat kesiapan siswa (kematangan usiamaupun intelektual) dalam menerima materinya memilikitingkat kesulitan yang bertingkat dan berkelanjutan ataumemiliki sequence dan continuity. Adapun dimensi hori-zontal merujuk pada permasalahan scope dan integration

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

114

atau berkenaan dengan penyusunan isi kurikulum yangsering diintegrasikan dalam suatu proses pembelajarannya,misalnya pengintegrasian beberapa materi yang samadalam kegiatan pembelajaran bersama.

Ada dua hal pokok yang akan dikemukakan dalampembahasan tentang desain kurikulum ini, pertamatentang model-model desain kurikulum dan kedua tentangproblem kritis dalam bagi kurikulum.

MODEL-MODEL DESAIN KURIKULUMAda banyak model desain kurikulum yang ber-

kembang, Stratemeyer dan kawan-kawan mengemukakansejumlah model desain yang berkembang dan menjadidasar pertimbangan untuk menetapkannya saat itu,sebagai berikut:

Subject centered, experience centered; correlated, integrated, fused;broad field, major social fungtions, conters of interest; core, unit, prob-lem-in many combinations and under as many logics-these are amongthe terms used to desereble modern curriculum design (Stratemeyeret al, 1957:86).

Berbagai moel desain kurikulum di atas, menurut Zais(1976) dapat dikelompokkan pada beberapa model, yaitu:1. Subject centered design; 2. Learner centered design; 3. Prob-lem Centered design; 4. The Unencapsulation design, dan 5.Beckers‘s humanistic design yang akan dijelaskan berikut.

1. Subject Centered DesignDesain kurikulum “subject centered design” ini

berkembang dari konsep pendidikan Klasik yangmemandang pentingnya pengetahuan, keterampilan, dan

115

nilai-nilai masa lalu bagi anak didik. Oleh karena itupendesainan kurikulum model ini berbasiskan pada materipelajaran yang telah terstuktur dalam bentuk sejumlahmata-mata pelajaran yang ada masa lalu. Nama atausebutan lain bagi “subject centered design” adalah “subjeckacademic”. Hal itu dikarenakan sifatnya yang meng-utamakan isi atau subject matter. Setidaknya ada tiga poladari “subject centered design” ini, yaitu: (1) The Subject De-sign, (2) The Discipline design, (3) The Broad Fields Design.

1.1. The Subject DesignModel ini merupakan bentuk yang paling murni dari

subject centered design yang benar-benar menitikberatkanpada materi/isi pembelajaran. Pada model desain kuri-kulum ini mata pelajaran diorganisir secara terpisah-pisahdalam bentuk sejumlah materi/mata-mata pelajaran. Olehkarenanya kurikulum ini sering disebut pula “separatedsubject curriculum”.

Materi atau mata-mata pelajaran pada kurikulum yangdidesain dalam bentuk “subject centered design” ini diambilatau bersumber dari apa yang berkembang pada masaKlasik atau oleh para ahli masa lalu. Materi atau mata-matapelajaran yang dianggap penting untuk diwariskan atauditransfer kepada generasi berikutnya secara turun te-murun, seperti logika, retorika, gramatika, matematika,geomitri, astronomi, ekonomi, politik, dan lain-lain. Materiatau mata-mata pelajaran tersebut diambil dari warisanorang-orang Yunani dan kemudian Romawi atau padalembaga pendidikan Islam diambil juga dari warisan masaklasik Islam (sejak masa Rasul Muhammad saw hinggamasa kemajuan Islam di masa Dinasti Abbasyiyah. Padamasa Yunani dan Romawi dikenal dengan istilah Trivium

Model Desain Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

116

dan Quadrivium. Trivium terdiri dari gramatika, logika, danretorika. Quadrivium terdiri dari: matematika, geometri,astronomi dan musik. Mata-mata pelajaran tersebut adayang tetap dan selalu dianggap penting hingga sekarang,dan ada pula yang merupakan tambahan baru sesuaidengan perkembangan ilmu pengetahuan pada zamannya.

Kritik terhadap model desain kurikulum denganmodel “subject centered design” ini, antara lain:1. model ini dipandang bertentangan dengan kenyataan,

bahwa pengetahuan itu sesungguhnya merupakan satukesatuan yang tidak terpilah.

2. Model ini juga dianggap menjadi pasif bagi siswakarena lebih mengutamakan bahan ajar yangmenekankan pada pengetahuan, sehingga dianggapverbalistis dan tidak praktis.

3. Karena isi kurikulum diambil dari masa lalu, makasering tidak cocok dan terlepas dari kejadian yangdibutuhkan siswa untuk saat ini.

4. Model ini juga dianggap telah mengabaikan minat,kebutuhan dan pengalaman siswa sebagai anak didik.

Meskipun banyak dikritik, model ini sangat banyakdipakai dalam pendidikan, sebab model desain inikenyataannya lebih mudah disusun, dilaksanakan,dievaluasi dan disempurnakan. Pelaksanannya juga tidakmenuntut persiapan dan persyaratan yang rumit. Asalkanmenguasai materi siapapun dapat melaksanakankurikulum model ini. Selain itu, model ini dinilai sangatbaik untuk upaya melestarikan dan pewarisan budaya danpengetahuan masa lalu kepada generasi berikutnya.

117

1.2. The Disciplines DesignModel “the disciplines design” adalah sebagai bentuk

pengembangan dari dari model kurikulum yang berbasispada materi atau mata pelajaran (subject centered design).Terdapat beberapa perbedaan model ini dengan model “thesubject design”. Pertama, perbedaannya terletak padaketegasan kriteria tentang apa yang disebut subjek ilmu.Pada “the subject design” belum terdapat kriteria yang tegastentang apa yang disebut subject (ilmu), sedangkan pada“the discipline design” kriteria subjek (ilmu) sudah cukuptegas. Kalau pada “the subject design” belum ada perbedaanantara matematika, psikologi, teknik, ekonomi, atau caramengemudi, dan lain-lain, semuanya disebut subject (ilmu).Pada “the discipline disain” kriterianya sudah tegas yangmembedakan apakan pengetahuan itu ilmu atau bukansebagai batang tubuh keilmuan. Nama mata-mata pelajarandan apa yang disajikan kepada siswa diorganisirberdasarkan nama disiplin ilmu, seperti: fisika, biologi,psikologi dan lain-lain. Kedua, dalam kurikulum “the dis-cipline design,” kurikulum sudah disusun atau diorganisirberdasarkan disiplin ilmu. Sekolah dipandang sebagaimikrokosmos dari duania intelek dan batu pertama darihal itu adalah isi kurikulum. Oleh kerena itu para penganutini memegang teguh atas disiplin-disiplin ilmu seperti;fisika, biologi, psikologi dan lain-lain. Perbedaan lain, padamodel ini lebih menekankan pada pemahaman, logika,konsep ide dan prinsip (inquiry dan discovery). Ketiga, pada“the discipline design” tidak menggunakan pendekatanekspositori yang menyebabkan siswa pasif seperti padamodel “the subject design”, tetapi telah menggunakanpendekatan inkuiri dan diskaveri. Dalam hal ini unsur-

Model Desain Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

118

unsur progresitivisme dari Dewey telah mendapatperhatian dalam model ini.

Model ini jika dibandingkan dengan “the subject de-sign” memiliki kelebihan, yakni di samping memilikiorganisasi yang sistimatik dan efektif, model ini juga dapatmemelihara integritas intelektual dari pengetahuanmanusia. Di samping itu pula, dengan model ini para siswatidak hanya menguasai serentetan fakta, prinsif sebagaihasil hafalan, tetapi menguasai konsep, hubungan danproses-proses intelektual yng berkembang dari diri siswasendiri.

Meskipun telah menunjukkan beberapa kelebihan,khususnya bila dibanading dengan model “the subject de-sign”, model ini masih memiliki beberapa kekurangan, diantaranya:1. model desain kurikulum ini belum dapat memberikan

pengetahuan yang terintegrasi secara luas;2. meskipun dibandingkan dengaan subject design model

desain ini sudah cukup luas, namun secara akademisdan intelektual masih sempit.

3. model desain kurikulum ini belum mampu menginte-grasikan sekolah dengan masyaratakat atau kehidupannyata;

4. model desain kurikulum ini belum memberikan per-hatian terhadap minat dan kebutuhan atau pengalamansiswaa;

5. desain kurikulumnya belum efisien, baik untukkegiatan belajar maupun untuk penggunaanya;

6. meskipun telah ada pengintegrasian bidang-bidangilmu, namun pada model desain ini masih menunjuk-

119

kan dan mempraktikkan pemisahan antara materipelajaran.

1.3. The Broad Fields DesignSecara etimologis “broad” berarti luas dan “field” dapat

diartikan bidang, lapangan, medan. Dengan demikianmodel ini dapat dipahami sebagai sebuah desain kuri-kulum yang memiliki atau memperhatikan bidang yangluas. Pada esensinya model ini berupaya menggabungkandua atau lebih materi atau mata pelajaran yangterfragmentasi menjadi satu kesatuan. Model ini tidak lagimemisahkan antara subject matter (materi atau matapelajaran) sebagaimana yang terjadi pada the subject designdan the discipline design. Oleh karena itu, ciri utama yangmemonjol dari model ini adanya penggabungan diantarabidang studi yang berdekatan seperti; sejarah, geogari, danekonomi digabung menjadi Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).Aljabar, ilmu ukur, berhitung menjadi matematik. Tujuanutama dari model ini adalah untuk menyiapkan para siswaagar dapat hidup dalam dunia yang sifatnya spesialistisdan memiliki pemahaman yang menyeluruh.

Tujuan utama dari pengembangan model ini adalahdalam rangka menyiapkan dan membekali siswa untukmenghadapi tuntutan dan tantangan hidup dan pekerjaanyang cenderung menuntut spesialiasi pada bidang-bidangkeilmuan tertentu. Dengan model seperti itu, model inimenurut para ahlinya, memiliki kelebihan atau ke-unggulan, di antaranya:1. Kesiapan siswa yang betul-betul tuntas, sempurna dan

menyeluruh pada bidang keilmuannya lebih mudahdan memungkinkan dicapai oleh siswa;

Model Desain Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

120

2. dengan desain kurikulum seperti ini diharapkanlembaga pendidikan akan dapat melahirkan siswa yangbenar-benar siap dan ahli dibidang disiplinnya masing-masing, seperti ilmu pengetahuan sosial (IPS), ilmupengetahuan alam (IPA), Matematika, Bahasa, dan lain-lain;

3. karena model ini mengintegrasikan beberapa matapelajaran memungkinkan siswa melihat dan menguasaihubungan antar berbagai hal, khususnya di bidangnya.

4. meskipun dalam model ini telah terjadi penyatuanantara beberapa mata atau materi pelajaran, namunupaya pewarisan budaya secara sistematis dan teraturmasih dimungkinkan;

Meskipun tampaknya model ini memiliki keunggulan,akan tetapi oleh banyak pakar masih memiliki kelemahan,di antaranya:1. meskipun telah terdapat pengintegrasian subjek

pelajaran, namun masih terbatas pada bidangnya,sehingga tidak atau belum mampu memberikanpengalaman yang sesungguhnya bagi siswa;

2. karena dengan adanya penggabungan beberapa subjekpelajaran, maka konsekuensinya pembahasan menjaditidak dapat terlalu mendalam;

3. meskipun memiliki medan bahasan yang cukup luas,namun model ini tetap menekankan tujuan penguasaanbahan dan informasi, kurang menekankan pada prosespencapaian tujuan yang sifatnya afektif dan kognitiftingkat tinggi;

4. meskipun penerapan model ini cocok untuk tingkatsekolah dasar, namun menyiapkan tenaga pendidik

121

yang memiliki penguasaan dan wawasan keilmuanyang dapat memenuhi persyaratan ideal agak susah,lebih-lebih untuk tingkat yang lebih tinggi sepertitingkat SMP dan SMA dan bahkan di perguruan tinggi.

1.3. The Integrated Curriculum DesignCukup banyak model kurikulum terintegrasi yang

dikembangkan oleh para pakar kurikulum yang dapatdimodifikasi menjadi sebuah model kurikulum yangmemadukan semua atau sebagian bidang ilmu. Diantarapakar yang paling lengkap mengemukakan modelkurikulum terintegrasi tersebut adalah Fogarty (1991). Iamengemukakan ada 10 model pemaduan kurikulum yangdikelompokkannya dalam tiga kelompok, yaitu: (1) withinsingle disciplines, meliputi: (a) Fragmented, (b). Connected, dan(c) nested; (2) across several disciplines, meliputi: (d) sequenced,(e) shared, (f) webbed, (g) threaded, dan (h) integrated; (3) withinand across learners, meliputi: (i) immersed dan (j) networked.Kesepuluh model di atas memiliki pola organisasi materimasing-amsing sebagaimana gambar berikut:

Dari apa yang dikemukakan oleh Fogarty di atas,model kurikulum yang memadukan sainstek dengan imtaqyang dapat dikembangkan antara lain, sebagai berikut:

Model Desain Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

122

1. Model satu bidang studiModel kurikulum satu bidang studi adalah model

pemaduan sainstek dengan imtaq yang dikembangkandalam bentuk pemaduan materi/pokok bahasan/subpokok bahasan, konsep/sub konsep, keterampilan ataunilai yang ada dalam satu bidang studi. Dalam hal inipemaduan tidak melibatkan bidang studi lain.Pemaduan semacam ini dapat dilakukan jika konsepdan isi kurikulum bidang studi umum (seperti Biologi,Fisika, Kimia) telah didesain dan berisikan materi/pokok bahasan/sub pokok bahasan, konsep/subkonsep, keterampilan atau nilai sainstek dan sekaligusimtaq di dalamnya. Menurut Fogarty ini dapat di-lakukan dalam bentuk model Fragmented, (b). Connected,atau (c) nested.

2. Model antar bidang studiModel kurikulum yang memamdukan antar

bidang studi adalah model pemaduan sainstek denganimtaq yang dikembangkan dalam bentuk pemaduanmateri/pokok bahasan/sub pokok bahasan, konsep/sub konsep, keterampilan atau nilai yang ada dalamdua atau beberapa bidang studi/mata pelajaran. Modelyang berbentuk antar dua bidang studi/mata pelajaran,seperti antara mata pelajaran Biologi dengan Fikih).Model yang berbentuk antar berbagai bidang studi/mata pelajaran dapat dikembangkan dalam bentukantar satu mata pelajaran umum dengan beberapa matapelajaran agama Islam, seperti antar mata pelajaranBiologi dengan fikih, Qur’an Hadits, dan Aqidah-Akhlaq, atau sebaliknya antara satu mata pelajaranagama Islam dengan beberapa mata pelajaran umum.

123

Model yang berbentuk antar berbagai bidang studi/mata pelajaran dapat dikembangkan dalam bentukantar beberapa mata pelajaran umum dengan beberapamata pelajaran agama Islam.

Selanjutnya lebih jauh, jika kesepuluh modelkurikulum terintegrasi yang dikembangkan olehFogarty di atas tersebut dipakai dalam model kuri-kulum yang memadukan sainstek dengan imtaq, makadapat dilihat sebagai berikut:(a) Fragmented

Sesuai dengan istilah yang digunakanyakni fragmented, yang berarti pecahan,maka bentuk organisasi kurikulum inijuga berbentuk pemisahan yang tegasantara berbagai bidang studi. Fogarty

(1991:5) menggambarkannya sebagaimana ungakap-an berikut: the pragmented curriculum like a raccination:“math is no science, Science is not English, English isnot History”. Dalam hal ini secara langsung tidak adapenyatuan antara satu mata pelajaran yang satudengan mata pelajaran lainya, kecuali hubunganakan mungkin bias terjadi dalam diri siswa sendiriketika ia telah menerima berbagai materi yang samaatau berhubungan dari berbagai mata pelajarantersebut.

(b). ConnectedPemaduan dalam model ini adalah

dalam bentuk pemaduan topik dengantopik lainnya, konsep dengan konseplainnya, skill dengan skill lainnya yang

Model Desain Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

124

berlangsung dalam rentang satu masa pembelajaran.Pemaduan ini hanya berlangsung di dalam disiplinyang bersangkutan saja tanpa mengaitkan dengandisiplin lain (Fogarty, 1991:14).

(c) NestedSebagaimana model fragmented dan

connected di atas, model nested juga masihdalam satu disiplin atau mata pelajaran.Oleh karenanya maka organisasi materipada model ini juga hanya dilakukan di

dalam atau terbatas pada satu bidang studi saja.Organisasi materi disusun atas dasar upayamenghubungkan berbagai keterampilan belajarsiswa (multiple skill), baik dalam bentuk konsep (con-cepts), sikap (attitudes) dan keterampilan (skills)secara berlapis. Dalam konteks ini Fogarty (1991:28)nyatakan sebagai berikut: “within a content, the teacheruses the subject matter as the frame for a number of skills,concepts, and attitudes. The topic or unit provides thevehicle to carry along learning in related areas”.

(d) SequencedWalaupun pada dasaarnya masih

mengakui adanya pemisahan antarbidang studi atau mata pelajaran, namundalam model ini telah ada upaya untukmelakukan hubungan antara dua bidang

studi atau mata pelajaran yang berbeda. Hanya sajasesuai dengan namanya sequenced yang berartiurutan, maka penghubungan keduanya juga masihterbatas dan belum benar-benar menjadi sebagai

125

sebuah kesatuan yang utuh. Model ini mencobauntuk melakukan pemaduan melalui pembuatanurutan pada masing-masing (dua) bidang studi yangakan dihubungkan berdasarkan kesamaan ide ataukonsep untuk kemudian dapat disajikan secaraparalel atau berbarengan dalam waktu yangbersamaan atau berdekatan.

(e) SharedSesuai dengan namanya shared yang

berarti saling mengisi atau memberi,maka model ini diatur dengan caramenggabungkan materi yang ada padadua bidang studi atau mata pelajaran.

Konsep (concepts), sikap (attitudes) dan keterampilan(skills) yang memiliki kesamaan atau overlappingdigabungkan untuk saling melengkapi dan salingmendukung.

(f) WebbedModel ini merupakan sebuah model

kurikulum terintegrasi yang mengga-bungkan tidak hanya dua mata pelajarantetapi berbagai mata pelajaran denganmenggunakan sebuah tema subur (fertile

theme) untuk menjaring konsep, topik dan ide-ideyang dianggap penting. Dalam konteks pemaduansainstek dan imtaq, tema subur yang dipilihdiharapkan dapat menjadi perajut bagi berbagaikonsep, topik dan ide-ide yang terdapat pada matapelajaran umum (Biologi, Fisika dan Kimia) ataupada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam

Model Desain Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

126

(Qur‘an-Hadits, Aqidah-Akhlak, Fikih, dan SKI).Tema subur dapat diambil dari salah satu topik,konsep atau ide yang terdapat pada mata pelajaranumum atau imtaq dan dapat pula diambil dari luar,misalnya tema-tema aktual yang sedang hangat didalam dunia pendidikan atau di masyarakat,misalnya “Pencemaran Lingkungan” sebagai salahsatu sub topik dalam Mata Pelajaran Biologi, dapatdijadikan tema pemaduan bagi sejulah matapelajaran lain, baik mata pelajaran umum maupunPendidikan Agama Islam.

(g) ThreadedFogarty menyebut model ini sebagai

metacurricular, yang bermakna sebuahkurikulum yang memiliki sasarankegiatan bukan penguasaan materipelajaran yang tersurat, tetapi dalam

bentuk skill yang tersirat di balik materi tersebutyang dipelajari oleh siswa melalui penyajian materiyang dilakukan dalam proses pembelajaran olehbeberapa guru mata pelajaran. Dalam modelkurikulum ini yang menjadi sasaran adalah berbagaibentuk keterampilan (skills) seperti thinking skills,social skills, multiple intelligentces, technology, dan studyskills yang mungkin didapat dari penyajian materi-materi yang terdapat pada berbagai mata pelajaranyang terkait (Fogarty, 1991:64-65).

Sesuai dengan istilah yang digunakan “threaded”yang berarti benang penjalin, maka dalam model inimerangkai berbagai materi bahasan pada berbagaibidang studi untuk melatihkan satu atau beberapa

127

bentuk keterampilan (skills). Bentuk keterampilan(skills) inilah yang dijadikan sebagai perekatberbagai materi yang disajikan pada berbagai matapelajaran/bidang studi (Fogarty, 1991: 70).

(h) IntegratedModel ini merupakan salah satu

model interdisipliner yang melibatkanbanyak mata pelajaran yang dikokohkandalam sebuah team teaching. Organisasimateri dalam model ini didesain dengan

mencari konsep-konsep, skills dan attitudes yangoperlaping pada berbagai mata pelajaran untukkemudian menjadikannya sebagai prioritas atau tar-get pembahasan bagi masing-masing mata pelajaranyang terkait (Fogarty, 1991: 76-80).

(i) ImmersedSebagaimana dikemukakan pada

pembahasan tentang berbagai modelkurikulum terintegrasi di atas, model initermasuk salah satu model yang berfokuspada kerja siswa/mahasiswa (learner).

Organisasis materi pembahasan dalam model inidiatur secara mandiri oleh siswa/mahasiswa yangbersangkutan sesuai dengan topik dan rangkaianaktivitas kajian yang dipilih dan direncanakannya.Topik yang dipilih dicari bahasannya pada berbagaimata pelajaran/bidang ilmu (Fogarty, 1991: 85-88).

Model Desain Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

128

(j) Networked.Sama halnya dengan model immersed

di atas, model ini juga berfokus padaaktvitas siswa/mahasiswa, hanya sajamodel ini melibatkan juga beberapa pakaryang terkait untuk mendukung proyek

kajiannya. Organisasi materi kajian di sampingdilakukan sebagaimana pada model immersed di atasditambah pula dengan kerjasama kajian denganbeberapa pakar tertentu yang dianggap terkait(Fogarty, 1991: 95-99). Secara singkat Fogarty(1991:xv) menggambarkan model ini denganlambang Prisma yaitu: “a view that creates multipledimensions and directions of focus.”

2. The Learner Centered DesignKonsep learner centered design bersumber dari konsep

Rousseau tentang pendidikan alam yang menekankanperkembangan anak. Merurut pendangan model ini, dalampendidikan dan pengajaran yang menjadi subyek (peme-gang peran utama) adalah anak. Guru hanya berperanmenciptakan situasi belajar, mendorong, membimbingsesuai dengan kebutuhan anak sebab anak punya potensiuntuk berbuat, berperilaku dan berkembang. Ciri utamadari model ini adalah pentingnya eksistensi siswa dalamproses pendidikan. Perorganisasian kurikulum didasarkanpada minat, kebutuhan dan tujuan siswa. Ada duakarakteristik utama dari model desain kurikulum learnercentered design ini, yaitu: Pertama, pengembangan desainkurikulumnya bertolak pada anak dan bukan pada isi/materi; Kedua, model ini bersifat not preplanned (kurikulumtidak disusun sebelumnya) tetapi dikembangkan bersama

129

anatara guru dan siswa dalam menyelesaikan tugas-tugaspendidikan. Isi (materi) kurikulum dari masalah-masalahatau topik yang menarik perhatian dan sekuensnyadisesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa(Stratemeyer, 1975: 104).

Ada beberapa variasi dari model ini, seperti: the activ-ity/experience design, humanistic design, the open free design,dan lain-lain. Akan tetapi yang paling terkenal ialah “Theactivity atau experience design.”

The activity atau experience design adalah sebuah modeldesain kurikulum yang pengembangannya didasarkanpada pemikiran atau filsafat Jean-Jacques Rousseau (1712—1778) dan Johann Heinrich Pestalozzi (1746 – 1827), yangberkembang di abad 18, yang memandang bahwa pen-didikan harus didasarkan dan dilaksanakan sesuai dengankeadaan anak secara alamiah (natural). Rousseauberpendapat bahwa: “ human beings are basically good bynature, but were corrupted by the complex historical events thatresulted in present day civil society”. Pandangan Rousseauini kemudian banyak dikembangkan dalam pendidikanoleh Pestalozzi. Dari sekian pandangannya tentangpendidikan anak adalah pandangannya yang memandanganak sebagai sosok yang memiliki potensi sendiri untukberkembang sesuai dengan potensi alamiahnya. Pendidiktidak boleh menggangu apalagi merusaknya, kecualimembantu memeliharanya, sebagaimana dikemukakan-nya sebagai berikut:1. Personality is sacred. This constitutes the inner dignity of

each individual for the young as truly as for the adult.2. As a little seed… contains the design of the tree, so in each

child is the promise of his potentiality. ‘The educator only

Model Desain Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

130

takes care that no untoward influence shall disturb nature’smarch of developments’.

Sejalan dengan pandangan Rousseau dan Pestalozzidi atas, beberapa asumsi yang mendasari model inimenurut Taba (1962:401), sebagaimana dikemukakannyasebagai berikut adalah:

People learn only what they experience. Only that learning which isrelated to active purposes and is rooted in experience translates itselfinto behavior changes. Children learn best those things that are at-tached to solving actual problems, that help them in meeting realneeds or that connect with some active interest. Learning in its truesense is an active transaction.

Beberapa ciri utama desain kurikulum model “the ac-tivity atau experience design” adalah: Pertama; strukturkurikulum ditentukan oleh kebutuhan dan minat anak.Dalam implementasinya menuntut guru; a) menemukanminat dan kebutuhan anak, b) membantu siswa memilihmana yang paling esensial. Kedua: kerikulum tidakdisusun sebelumnya tetapi disusun bersama siswa danguru, baik tujuan, sumber dan alat, kegiatan belajar danevaluasinya (teacher pupil planning). Ketiga; desainkurikulum ditekankan pada prosedur pemecahan masalah.Oleh karenanya, dalam proses belajar siswa dibawa untukmelakukan hal yang nyata, sungguh-sungguh, bermakna,hidup dan relevan dengan kehidupannya.

Salah satu contoh desain kurikulum “the activity atauexperience design”, misalnya dapat dilihat pada modeldesain kurikulum yang dirancang oleh John Dewey. Iamendesain kurikulum Sekolah Laboratoriumnya denganstruktur yang memperhatikan seputar kebutuhan anakyang lazim atau pada umumnya dihadapi oleh setiap or-

131

ang. Struktur kurikulum disusun berdasarkan kebutuhanmanusia, kebutuhan sosial, kebutuhan untuk membangun,kebutuhan untuk meneliti dan bereksperimen, kebutuhanuntuk brekspresi dan kebutuhaan akan keindahan. Untuksekolah dasar dipuastkan pada observasi, permainan,ceritera dan kerajinan tangan. Selanjutnya berkembangpengorganisasiannya dengan dasar pada apa yang disebut“pusat-pusat minat” (centers of interest), yaitu kehidupandalam keluarga, kehidupan alam, masyarakat, makanandan sebagainya.

Berdasarkan gambaran karakteristik utama di atas,dapat dikemukakan beberapa kelebihan dari model desainkurikulum ini: Pertama, karena struktur kurikulum dankegiatan pembelajaran ditentukan dan disusun atas dasarkebutuhan dan minat anak, maka semua yang terkaitdengan kegiatan pembelajaran akan terjadi secara dinamisdan aktif karena dimotivasi dari dalam diri anak sendiri.Begitu juga dengan demikian pembelajaran akan benar-benar bermakna. Kedua, karena proses belajar siswadibawa untuk melakukan hal-hal nyata, bermakna, danrelevan dengan kehidupannya, maka pencapaian tujuandan hasil belajar akan lebih mudah dicapai.

Meskipun pada satu sisi terdapat kelebihan dari desainmodel ini, utamanya dilihat dari sisi perhatian yang baikterhadap minat dan tuntutan anak, namun pada sisi lainmodel ini juga memiliki kekurangan. Pertama, kurikulumpendidikan yang dibuat atas dasar minat dan tuntutan anaksaja dipandang tidak cukup dalam menjawab berbagaipermasalahan dan tantangan kehidupan, lebih-lebih dalamkonteks permasalahan kehidupan modern yang sangatkompleks seperti saat sekarang ini. Anak belum tentumampu melihat dan mendeteksi kebutuhan-kebutuhan

Model Desain Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

132

essensial yang penting untuk dipelajari. Kedua, model “theactivity atau experience design” ini dinilai sangat lemah dalamkontinuitas dan sekuens bahan, Minat dan tuntutankebutuhan siswa tidak dapat memberikan landasan yangkuat untuk menyusun sekuens, sebab minat mudah sekaliberubah oleh perkembangan dan lingkungan. Di sampingitu masing-masing individu siswa memiliki minat yangsangat beragam, yang )mana hal ini tentu menjadi sebuahkesulitan yang tidak mudah untuk menyusun sebuahkurikulum. Ketiga, karena model ini memerulukanpemahaman yang baik terhadap perkembangan psikologissiswa, karenanya model ini tidak bisa dilakukan oleh gurubiasa atau guru bidang studi/mata pelajaran. Kurikulumini menuntut guru yang memiliki pengetahuan psikologiyang baik dan pengetahuan pendidikan yang general.

Beberapa pemikiran dan upaya untuk mengatasiberbagai kritikan di atas para penggagas atau penganjurmodel kurikulum ini mengemukakan beberapa pemikiran,antara lain: Pertama, untuk menjawab kritikan bahwamodel ini lemah dalam kontinuitas dan sekuens dapat di-atasi dengan membangun sekuens kurikulum berdasarkan“pusat-pusat minat (centers of interest)”, seperti yangdikembangkan oleh Dewey. Kedua, untuk menjawabkritikan bahwa dasar minat siswa tidak dapat dijadikandasar untuk menyusun sekuens, dicarikan jalan keluar de-ngan usaha menemukan sekuens perkembangan ke-mampuan mental anak, seperti perkembangan kemampu-an kognitif dari Peaget.

3. The Problems Centered DesignModel desain kurikulum “problems centered design”,

sebagaimana juga model desain kurikulum “learner cen-

133

tered design” berpangkal pada pandangan filsafat yangmengutamakan peran manusia (man centered). Akan tetapiyang membedakannya, bahwa model desain ini tidaksemata memandang anak sebagai makhluk individualtetapi juga sebagai makhluk sosial dan lebih menekankanpada individu dalam kesatuan kelompok. Di samping itu,dalam pandangan ini kehidupan ini manusia selalumenghadapi masalah bersama yang harus dipecahkanbersama pula, mereka berkooprasi, berinteraksi dalammemecahkan masalah sosial yang mereka hadapi untukmeningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkankonsep inilah desain kurikulum model ini dikembangkan.Kurikulum disusun berdasarkan pada masalah-masalahsosial yang dihadapi anak-anak sekarang dan yang akandating. Sistematika bahan disusun berdasarkan padakebutuhan, kepentingan dan kemampuan siswa.

Karena fokus model “problems centered design” padaproblem-problem kehidupan, baik individual maupunsosial, maka problem-problem kehidupan yang menjadibidang-bidang kehidupan dari model ini sangat banyakdan terbuka (inklusif). Oleh karena itu variasi tema danfokus dari model desain kurikulum ini juga sangat luasdan inklusif, seperti: situasi kehidupan yang berkembangterus menerus, fungsi-fungsi sosial yang utama, problem-problem sosial kontemporer, bidang-bidang kehidupan,kecenderungan (konsern) anak muda baik secara indi-vidual dan/atau sosial, dan bahkan proyek-proyekkegiatan sosial untuk konstruksi masyarakat.

Berbeda dengan “learner centered design”, kurikulumyang didesain dengan model ini disusun sebelumnya(preplanned). Hal ini disebabkan kurikulum adalahmerupakan haasil dari konsern siswa terhadap problem-

Model Desain Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

134

problem kehidupan yang asli (genuine), yang dipandangpenting untuk dipelajari dan dipecahkan dalam prosespembelajaran anak. Oleh karena itu pula topik atau temayang diambil bersifat fleksibel.

Organisasi horizontal model desain kurikulum iniditentukan oleh skope dan klasifikasi area problem yangdikaji. Oleh karena itu, isi (content) dipilih berdasarkanrelevansinya dengan problem yang dikaji yang hampirseluruhnya bersilangan dengan sistematika materi pelajar-an (subject line). Begitu juga sekuen materi pembelajarandisusun berdasarkan klasifikasi problem dan atas dasarkebutuhan, kepentingan dan kemampuan anak/siswa.Dengan demikian “problems centered design” menekankan,baik isi (content) maupun pengembangan siswa (develop-ment of learners).

Berdasarkan gambaran tentang karakteristik modeldesain kurikulum “problems centered design” di atas,sebagaimana dikemukakan oleh Zais (1976:414), minimalada dua variasi dari model ini, yaitu “The Areas of LivingDesign” dan “The Core Design”.

3.1. The Area of Living DesignMenurut Zais (1976:418), selain organisasi isi kurikulum

yang bersifat tidak disiapkan sebelumnya (preplanned),model Areas of living design ini memiliki karakteristik lain,yaitu: Pertma, model ini adalah model desain kurikulumyang menekankan pada prosedur belajar melaluipemecahan masalah (problem solving) atas masalah-maslahkehidupan. Dalam proses pembelajaran tujuan yangbersifat proses (processes objectives) dan tujuan yang bersifatisi (content objectives) secara fungsional diintegrasikan. Akantetapi bukan berarti siswa tidak mempelajari materi

135

pelajaran. Dalam hal ini materi pelajaran diiluminasikanke dalam bidang-bidang problematika kehidupan (problem-atic areas of living). Kedua, pada model ini menggunakanpengalaman dan situasi-situasi nyata dari siswa sebagaipintu gerbang untuk mempelajari bidang-bidangkehidupan yang mendasar. Akan tetapi, menurut Zais(1976:418) model ini berbeda dengan activity/experience de-sign, sebagaimana dikemukakannya sebagai berikut:

That curriculum as a matter of principle, basis its content and learn-ing activity on students felt needs and interests. In contrast the areasof living design, as a matter of strategy, employ student immediateconcerns as a starting point. This is simply the recognition and utili-zation of a fundamental low of learning.

Perhatian terhadap bidang-bidang kehidupan (area ofliving) sebagai dasar penyusunan desain kurikulum telahdimulai sejak abad ke 19, di antaranya Herbert Spencertahun 1985 telah menerbitkan essay yang berjudul “WhatKnowledge Is of Most Worth?. Menurut Spencer ada limabidang-bidang kehidupan yang yang penting bagi semuakehidupan masyarakat, yaitu: (1) pemeliharaan kehidupanlangsung, (2) pemeliharaan diri secara tidak langsung(seperti: sandang, pangan, papan), (3) keluarga, (4)kewarga negaraan, dan (5) kegiatan waktu senggang.

Rumusan penting lainnya yang menganjurkan modelkurikulum “the Area of Livinf Design) datang dari Commis-sion on the Reorganization of Secondary Educaation pada tahun1918. Komisi ini mengusulkan klasifikasi bidang-bidangkehidupan (areaa of living) yang diunggulkan, yang dikenaldengan “The SeventCardinal Prinsiples), yaitu: “Health, Com-mand of fundamental process, Worthy home membership, voca-tion, Citizenship, Worthy use of leisure time, and Ethical char-acter”. Pada tahun1944 Educational Policies Commission of

Model Desain Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

136

the National Education Assosiation, merekomendasikanrumusannya sebagai berikut: “Civic responsibility and com-petence, Economic understanding, Family relationship, Intelli-gent, Consumer action, Appreciation of beauty, and Languageorificiency.”

Ada banyak model bidang-bidang kehidupan yangdapat dijadikan sebagai bidang kajian dalam pembelajaran,hal ini tergantung pada apa yang dipandang perlu olehpara pendidik dengan mengikuti kebutuhan yang dituntutdalam kehidupan anak baik saat sekarang maupun untukkehidupan masa depan. Oleh karena itu rumusan bidang-bidang kehidupan dalam model desain kurikulum iniselalu berkembang mengikuti perkembangan zaman dankebutuhan manusia.

Taba (1962:396) menyatakan sebagai berikut:

Organizing the curriculum around the activities of mankind will notonly bring obout a needed unification of knowledge but will also per-mit such a curriculum to be a maximum value to students’ day-by-day life, as well as to prepare them for participation in a culture.

Meskipun strategi yang sama juga digunakan dalamsubject centered design, tetapi dalam pelaksanaanya meng-alami kesulitan, sebab dalam desain tersebut hubunganmata pelajaran dengan bidang dan pengalaman hidup anaksangat terbatas/kecil. Sebaliknya dalam the areas of livingdesign, hubungannya sangat besar. Setiap pengalamansiswa sangat erat hubungannya dengan bidang-bidangkehidupan, sehingga dapat dinyatakan model ini dapatmerangkumkan pengalaman-pengalaman sosial siswa.Dengan demikian desain ini sekaligus dapat membawasiswa berminat dan membawa tujuan-tujuan kurikulumke dalam hubungan yang fungsional.

137

Berdasarkan gambaran di atas, dapat disimpulkanbahwa model ini memiliki beberapa keunggulan. Pertama,model didesain secara terintegrasi, yang mana pemisahanbahan pelajaran dipangkas atau dihilangkan dengan fokuspada hubungan dengan persoalan kehidupan social.Kedua, karena kurikulum didesain berdasarkan problema-problema hidup individu anak dalam kehidupan sosial,maka desain kurikulum ini mendorong prosedur belajarpemecahan masalah (problem solving). Dengan demikianproses belajar aktif, seperti keterampilan berfikir kritis (criti-cal thingking skill), menerima tekanan mereka yangsesungguhnya (receive their proper emphasis), dan sebagai-nya. Ketiga, model ini menyajikan bahan pelajaran dalambentuk yang relevan. Isi (materi) pelajaran diambil untukdigunakan sebagai solusi atas problem-problem sosial yangnyata, kertimbang hanya sebagai konsumsi bagi kepenting-an sendiri atau kepentingan guru. Dengan kata lain dalammodel ini siswa mentransformasikan isi (materi) pelajarankedalam pengetahuan (knowledge) dan mereka menjelajahdan menginternaliasikan makna-makna (meanings). Ke-empat, desain ini menghadirkan isi (materi) pelajaran kedalam bentuk yang fungsional, sebab diarahkan padapemecahan masalah siswa dan secara langsung dipraktik-kan dalam situasi kehidupan.yang akan datang. Lebih dariitu, model ini membawa siswa dan masyarakat ke dalamhubungan yang erat, sehingga ia membuat konstribusibesar bagi pengembangan individu dan kemajuan masya-rakat. Kelima, terkait dengan keunggulan kedua, makaasiswa tidak membutuhkan motivasi belajar dari luar,karena mereka belajar terkait dengan apa yang menjadikonsern mereka.

Model Desain Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

138

Beberapa kritikan atau kekurangan dari model the ar-eas of living design ini adalah: Pertama, penentuan skopedan sekuens dari bidang-bidang kehidupan yang sangatesensial (penting) sangat sukar. Sebagaimana kenyataanbahwa terdapat perbedaan dan bahkan kadangkala konflikatas skema organisasi isi kurikulum yang diusulkan.Kedua, sebagai akibat dari kesulitan pertama, makalemahnya atau kurangnya integritas daan kontinuitasorganisasi isi kurikulum. Ketiga model ini dinilai telahmengabaikan warisan budaya (cultural heritage), padahalapa yang ditemukan pada masa lalu penting untukmemahami dan memecahkan masalah masa kini. Keempat,karena model kurikulum ini hanya memusatkan perhatianpada pemecahan masalah-masalah social pada masasekarang, maka ada kecenderungan untuk menginduktri-nasi siswa dengan kondisi yang ada, siswa tidak melihatalternatif lain baik mengenai untuk masa lalu maupununtuk masa yang akan datang. Sehingga model inicenderung kepada mempertahakan status quo kehidupansosial. Kelima, sama halnya dengan kritik terhadap activ-ity/experience design, baik guru maupun buku teks danbahan-bahan/alat-alat pembelajaran yang diperlukanlainnya tidak banyak disiapkan untuk penerapan modelini.

3.2. The core designModel desain kurikulum ini muncul sebagai reaksi atas

model pragmentasi dan pembelajaran yang terpisah satudemi satu (piecemeal learning) yang diberikan dalam desainkurikulum “separated subject” (desain kurikulum terpisah-pisah) (Smith, Stanley, and Shores, 1957:311-312). Sebagaiupaya untuk menghubungkan dan menyatukan dari

139

sejumlah kurikulum/bahan ajar, mata pelajaran ataumateri pelajaran tertentu dijadikan sebagai inti (core),sementara mata atau materi pelajaran lainnya sebagai yangdikaitkan atau subordinat. Ada yang memandang pen-didikan yang didasarkan pada core design ini sebagai modelpendidikan yang mengarah pada pendidikan umum.Pengaruh yang terjadi di Indonesia misalnya denganmunculnya kelompok matakuliah/pengajaran dasarumum diarahkan kepada kemampuan pribadi dan sosial.Sedangkan kelompok matakuliah spesialisasi masuk padakelompok keahlian, kejuruan tertentu.

Sebelum tahun 1920-an aliran pendidikan progresif(progressivism) menggerakkan secara radikal teori “core de-sign”. Menurut paham aliran ini kurikulum harus men-dorong pengembangan individu dan kompetensi socialdemokrasi. Tokoh-tokoh progressive mengusulkan ke-butuhan individu dan sosial yang menjadi pusat studi (acore of studies). Dari sinilah muncul istilah “areas of living(social function) core” dan “the social problems core”. Selainitu, “the activity/experience” sebagai bagian dari progressivebergerak mengembngkan “core design” yang menggunakanprinsip-prinsip yang diambil dari “learned centered (activ-ity/experience) design.”

Berdasarkan sejarah latar belakang seperti di atas,maka tidaklah mengejutkan apabila istilah “core” telahmuncul digunakan secara luas dan dengan berbagai cara/bentuk. Dari situ ada banyak istilah lain yang muncul, yangsering dinyatakan sebagai sinonim dari “core design”,seperti: “common learning”, “univied studies”, “basic educa-tion”, dan “block time classes”. Dengan adanya hal ini, makatelah terjadi kerancuan pemahaman terhadap konsep“core” yang sesungguhnya. Upaya awal yang dilakukan

Model Desain Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

140

mengatasi hal tersebut dimulai dengan “the core” atau“kebutuhan yang universal”, dengan demikian komponenyang disebut core kurikulum adalah suatu modelpendidikan atau program pendidikan yang memberikanpendidikan umum (common learnings or general education)kepada semua siswa. Oleh karena itu, bagian dari kuri-kulum yang diajarkan adalah konsep-konsep keterampilandan sikap yang umum dan dibutuhkan oleh seluruhindividu yang fungsional di masyarakat. Karakteristikumum lainnya dari core kurikulum ialah apa yang Vars(1968:515) sebutkan, yakni “body”, yaitu secara adminis-tratif cara kerjanya dalam bentuk “the block-time class”.Kelas “block time” adalah suatu bentuk desain kurikulumyang terdiri atas dua atau lebih periode normal untukmengajarkan komponen inti (core component). Sementaraitu tim spesialis materi kadangkala diberikan tanggung-jawab untuk kelas block time, dan sering kali block tuime classini ditangani (dihandel) oleh seorang guru yang jugaberfungsi sebagai guru kelas tetap (class’s homeroom teacher).

Berdasarkan karakteristik “core design” di atas, adabanyak bentuk desain kurikulum “core design”. MenurutZais (1976:423) empat sampai duabelas atau lebih macam“core design”. Menurutnya, Alberty and Alberty (1962–204-255) ada lima type core; Taba (1962:408) mengemukakanenam type core; dan Smith, Stanly dan Shores (1957– 337-381) mengemukakan ada enam macam. Berdasarkanberbagai type core yang oleh para pakar tersebut, menurutZais, 1976:423) jika dilihat perbedaan corenya, setidaknyaada enam bentuk core curriculum, yaitu: (1) the separated sub-ject core, (2) the correlated core, (3) the fused core, (4) the activ-ity/experience core, (5) the areas-of-living core, dan (6) the so-cial problems core.

141

(1) The separated subject coreModel ini adalah sebuah model core yang ditujukan

untuk mengatasi keterpisahan antara mata pelajaran,yang mana beberapa mata pelajaran yang dipandangmendasari dari mata pelajaran lain dijadikan core.Misalnya; bahasa dan studi sosial diajarkan oleh satuorang guru dalam satu blok waktu. Dengan demikian,sparated subject core semata-mata sebagai sebuah sigmen(bagian) dari materi kurikulum yang dibutuhkan olehseluruh siswa. Dalam hal ini mata pelajaran bahasaIngris dijadikan sebagai core.

(2) The correlated core.Model ini juga berakar dari tradisi subject centered

pada umumnya, akan tetapi dalam model ini berupayamenyediakan pembelajarran yang bersifat umum dalamsatu bentuk yang perhubungan (coherent) denganmnunjukkan keterhubungan diantara dua atau lebihmateri pelajaran yang digabungkan disatukan dalampembelajaran ini (core). Dalam prakteknya ada dua halyang bentuk correlated core. Pertama, mengintegrasikanbeberapa mata pelajaran yang terpisah namun memilikihubungan didesain bahan pelajaran yang berhubungandiberikan pada waktu yang sama atau berurutan;kedua; dengan cara mengumpulkan bahan-bahan yangsama untuk disusun kembali dalam satu tema umumyang nantinya membentuk unit-unit masalah polakedua biasanya diberikan oleh guru spesialis.

(3) The fused coreSebagaimana the correlated core, model ini juga

berakar dari tradisi subject centered pada umumnya,

Model Desain Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

142

akan tetapi dalam model ini bahan pelajarandiintegrasikan secara total (total integration) atau “fu-sion” dua atau lebih materi pelajaran dari matapelajaran yang berbeda. Misalnya, sejarah, geografi,antropologi, sosiologi, ekonomi disatukan dandiajarkan sebagai mata atau materi pembalajarn “so-cial studies”. Fisika, kimia, ilmu tumbuhan, dan ilmuhewan sebagai “general science”. Dalam studi inidikembangkan tema-tema masalah umum yang dapatditinjau dari berbagai sudut pandang (disiplin ilmu).Jadi model ini bermaksud mengadakan integrasi penuh,sekalipun dalam kenyataannya tidak bisa dilakukansecara penuh. Dalam hal tertentu tetap menggunakanbentuk correlated core.

Disebabkan tidak mungkin mengingerasikanmateri yang lemah relasi hubungannya, maka the fusecore jarang dilakukan pada pelajaran umum, sepertimatematika dan sain jarang ditemui dialkukan dalambentuk “cire”, bahkan lebih sering dalam bentuk sparatedsubject dan di luar block-times yang ada. Dengandemikian jelaslah, bahwa karakteristik utama dari thefused core adalah unifikasi dan integrasi secara maksimaldari materi pelajaran terpisah. Hal ini berbeda dengancorrelated core yang lebih dalam tingkatan daripadadalam bentuk. Namun perlu dicatat, bahwa dalambanyak hal sebagai unifikasi (penyatuan) dari materipelajaran yang berhubungan, adalah juga merupakansifat utama dari broad fields design. Dalam kaitan ini thefused core sesungguhnya merefresentasikan tidak lebihdari sebuah segmen dari broad fields yang telah di-buatkan syarat pembelajaran yang umum (universal)dalam sebuah blok waktu (block-times class). Dengan

143

demikian dapat dikatakan bahwa kurikulum “core”yang telah digambarkan pada dasarnya adalahmerupakan varian dari subject atau broad fields design,sebab core design ini jarang dianggap sebagai core desainyang autentik oleh para spesialis kurikulum.

(4) The Activity/Experience CoreSebagai produk dari tradisi “progressive learner cen-

tered”, model ini mengaskan pendidikan umum (gen-eral education) dalam hubungan dengan kebutuhan yangdirasakan dan minat para siswa. Seperti bentuk learnedcentered design lainnya, model ini menapikanperencanaan sebelumnya (preplanning) dan strukturyang formal. Materi dan organisasi kurikulumdidasarkan pada perencanaan dan kepurusan guru dansiswa ketika berada di kelas. Filosofi yang mendassarimodel ini ialah minat individu siswa yang biasanyadirekomendasikan dalam kelas “core”. Materi khususyang telah dipikirkan biasanya dilempar sebagai dasarpilihan yang biasanya pada wilayah yang tidak dapatdihandel oleh guru “core”, misalnya, proyek desainuntuk mengeleminasi polusi di sungai, guru dan mu-rid memutusukan sebuah proyek, merencanakanaktivitas, dan menetapkan kriteria evaluasinya.

Sementara para pendukung desain yang tidakterstruktur ini mengelu-elukan bahwa hanya inilah coreyang sesungguhnya, sebagian besar para spesialiskurikulum menganggapnya sebagai the activity/experi-ence curriculum yang disusun kedalam sebuah pem-belajaran blok-waktu (block-time class). Alasan merekabahwa, meskipun desaain tersebut sering dikaitkandengan konten (materi) dalam term problem-problem

Model Desain Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

144

lingkungan (problems area), tetapi yang lebih utamaadalah learned centered ketimbang probles centered.Dengan demikian, karakteristik utama, kelemahan dankekuatan ini pada hakekatnya sama dengan the activ-ity/experience design.

(5) The Areas-of-Living CoreModel ini juga berakar dari tradisi progressive, tetapi

preplanned (dipersiapkan sebelumnya). Model ini disamping disebut the areas-of-living juga disebut socialfungtion, karena program umum pendidikanyadidasarkan pada problema-problema yang muncul dariaktivitas-aktivitas umum orang-orang yang ada dimasyarakat. Lebih jauh model ini didiskripsikan sebagaiberikut: (1) model ini lebih problems centered ketimbangsubject atau learned centered, (2) preplanned (tidakdipersiapkan/direncanakan sebelumnya), (3) terdiridari penggabungan (integrasi), mewajibkan pem-belajaran umum (general education), dan (4) umumnyadalam bentuk pengajaran blok waktu (block-time class)oleh guru yang juga melakukan fungsi bimbingan.Sementara model ini menggambarkan lebih berat padasubjek area untuk kontennya, yang basic rientasinyapada kebutuhan umum, problema-problema, dankecenderungan para siswa sebagai partisipan dalampengembangan dirinya dan masyarakatnya. Tipe “core”ini kadangkala membolehkan kepada guru dan siswauntuk membuat perencanaan, khsusnya ketikaperencanaan dilaksnakan, ia harus dalam kerangkaframework basic struktur kurikulum ini.

Keunggulan model ini yakni sebagai programpendidikan umum banyak kesamaannya dengan the

145

areas of living design, yaitu: mengintegrasikan danmenyatukan isi, mendorong pemecahan masalah,bahan ajar sesuatu yang relevan dan fungsional, danmotivasi dating dari dalam (intrinsik). Selain itu Albertyand Alberty (1962:220-221) mencatat bahwa model inidapat memberikan jawaban langsung terhadap segalakebutuhan anak muda dan problema yang menerpamereka pada kebingungan budaya saat ini. Model inijuga dapat membantu untuk memecahkan segalarintangan kelas social yang ditata dalam kurikulumsubject matter, membantu perkembangan praktikdemokrasi di kelas, dan mendorong penggunaanmasyarakat sebagai laboratorium pembelajaran.

Meskipun model ini memiliki banyak kelebihandan tipe “core” ini dipromosikan sebagai desain untukpendidikan umum dalam masyarakat yang kon-temporer, tetapi moel ini sangat sedikit digunakan disekolah Amerika Serikat saat itu. Ada beberapa hal yangmenyebabkannya. Pertama, model ini dipandang masihmempresentasikan desain subject centered curriculum,tetapi mengingkari fundamennya sendiri dan meng-gunakan pendekatan yang terlalu lemah (soft pedagogy).Kedua, dalam penggunaan model ini sangat sulitmenemukan sumber materi pada buku-buku kon-vensional dan guru yang terlatih. Ketiga, core curricu-lum yang bersifat pendidikan umum kurang disenangi(utamanya oleh masyarakat Amaerika), karenamemereka lebih menghargai pendidikan vokasionaldan spesialis. Mereka lebih m,enyenangi pendidikanyang “learning a living” daripada “learning how to live”.

Model Desain Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

146

(6) The social problems coreModel ini juga merupakan produk dari pendidikan

progresif. Dalam beberapa hal model ini sama denganarea of living core. Perbedaannya antara lain: Pertama,pada areas of living core lebih didasarkan pada kegiatan-kegiatan manusia yang universal dan tidak bersifatkontroversial, sedangkan pada social problems coredidasarkan pada problema-problema mendasar danbersifat kontroversial. Seperi masalah, kemiskinan,kelaparan yang harus segera dipecahkan, perang senjatanuklir, dan sebagainya. Kedua, areas of living corecenderung memelihara dan mempertahankan kondisiyang ada, sedangkan pada social problems core mencobamemberikan penilaian yang bersifat kritis dari sudutsistem nilai sosial dan pribadi yang berbeda.

Disamping memberikan tekanan pada nilai-nilaiyang komflik, model desaain the social problems corehampir sama dengan the areas of living design, yakni: 1.model ini berfokus pada pemecahan masalah (problemcentered), 2. disipakan sebelumnya (preplanned), 3. terdiriatas tuntutan pembelajaran yang bersifat umum, dan4. diajarkan dalam sebuah pembelajaran dengan blokwaktu (block-time class).

Skop (scope)materi pembelajaran dalam the socialproblems core dikaitkan dengan identifikasi berbagainproblem social yang kontemporer. Hal ini melahirkanbeberapa pertanyaan berikut: 1. Kriteria apa yang akandigunakan untuk mengidentifikasi problem-problemkrusial? 2. Apa yang telah teridentifikasi, selanjutnyabagaimana pengorganisirannya? Dan 3. Apakah hal itumerupakan pola kerja terintegrasi yang dapatmengakomodasi seluruh sifat problem-problem sosial?.

147

Adapun sekuens (sequence) dari core desain diaturberdasarkan faktor psikologi seperti kemaatangan, latarbelakang pengalaman, prioritas pembelajaran, minatdan tingkat kesulitan. Bagaimanapun, sekuens problemyang diterapkan adalah “nilai-nilai sosial dan tujuan-tujuan apa yang menuntun pikiran dan tindakan publik(masyarakat) terkait dengan isu-isu sosial yang tidakterpecahkan”

Konstruksi unit kurikulum yang didasarkan padaproblem sosial dapat diilustrasikan dalam empatpertanyaan berikut:1. Bagaimana gambaran masyarakat yang ada saat ini?2. Apa konsekuensinya bila mempertahankan kondisi

yang ada tersebut?3. Bagaimana gambaran situasi yang ideal, yang betul-

betul bernilai?4. Jika gambaran pertanyaan ketiga berbeda dengan

pertanyaan kedua, usaha apa yang diperlukan untukmengatasinya, baik secara individu maupunkelompok.

Menyadari bahwa problema sosial tidaklahsederhana dan makin kompleks dari waktu ke waktu,Metcalf dan Hunt (1970: 360) mengajukan struktur so-cial problems core dengan empat pertanyaan berikut:1. Bagaimana keadaan masyarakat yang ada sekarang,

dan apa saja yang menjadi trend dominan di dalam-nya?

2. Bagaimana keadaan masyarakat yang mungkinuntuk untuk dimunculkan dalam waktu dekat.. yangmenunjukkan keberlanjutannya?

Model Desain Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

148

3. Bagaimana keadaan masyarakat yang lebih baik danbernilai?

4. Jika masyarakat yang diinginkan dan telah terjadiperbedaan dari masyarakat yang disiapkan, apayang dapat dilakukan individu, baik secaraperoarangan maupun kelompok, dan apa yangdilakukan kedepan untuk mengeleminasi kesenjang-an antara yang terjadi dengan yang disiapkan, antaraekspektasi dengan kerusakan?

Apa yang diajukan Metcalf dan Hunt di atasmemberikan pengaruh bagi sebuah perencanaan yangterintegrasi secara menyeluruh problem-problem sosialinti (social problems core). Komponen utamanya adalahproblem-problem spesifik masyarakat yang berkonstri-busi untuk menyatukan berbagai bentuk problemmasyarkat yang terjadi, yang bertentangan dengan apayang diharapkan. Pola kerja ini memerlukan mediumyang ekselent untuk mengembangkan tantangan utamadari problem-problem sosial inti (social problems core),misalnya: mempelajari standar-standar nilai danbagaimana menggunakannya dalam proses-prosesberpikir kritis.

Meskipun model desain kurikulum dengan modeldesain the social problems core ini memiliki keunggulandalam memberikan pembelajaran dan pengalaman bagisiswa dalam memecahkan berbagai problem sosialaktual yang dihadapi dalam kehidupan masyarakat,namun dalam penerapannya bukanlah tanpa hambatanatau kesulitan. Sebagaimana dinyatakan oleh Zais(1976:428) bahwa dalam catatan sejarah tidak ada sistempendidikan yang terbebas dari control negara. Sejak

149

kurikulum social problems core menganjurkan adanyaupaya kajian yang sungguh-sungguh terhadapkebijakan tetang sosial yang mutakhir dan membawakedalam kritik pengujian orientasi nilai dasar budaya,kita tidak akan dikejutkan lagi bahwa ia telah menerimapertimbangan yang kritis. Tuduhan bahwa tujuan so-cial problems core untuk membentuk kembali masyarakatberdasarkan pada formula yang dibuat oleh perencanakurikulum dan para pendidik dadasarkan pada seuatudesain yang miskonsepsi adalah tidak benar.Sebagaimana Stanle dan Shores (1957:380) nyatakan,bahwa para guru dan siswa memiliki kapasitas yangterbatas untuk “memecahkan” problem-problem sosial,dan sekolah-sekolah jarang mencocokkan untukmemecahkan isu-isu tersebut.

Karena model desain the social problems core designdipandang hampir sama dengan the areas of living de-sign, maka berbagai kelebihan dan kelemahan darimodel desain kurikulum ini juga tidak jauh berbeda.Perlu dicatat, bahwa kategore problem-problem sosial(social problems) pada hakekatnya jauh kurang stabildaripada kategori area-area-kehidupan (areas of living),yang tidak terlihat dengan jelas perubahannyasepanjang waktu. Oleh karena itu, the social problemscore dsign memerlukan upaya yang lebih besar dalammelakukan revisi secara terus menerus untuk menjagarelevansi dan keuptodetannya daripada the areas of liv-ing design atau model desain kurikulum lainnya.

4. The “Unencapsulation” Design Secara bahasa unencapsulation adalah lawan atau

kebalikan kata dari encapsulation, yang berarti: 1. The act of

Model Desain Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

150

inclosing in a capsule; 2. the growth of a membrane around (anypart) so as to inclose it in a capsule; 3. the condition of beingenclosed (as in a capsule); 4. the process of enclosing (as in acapsule). Jadi unencapsulation adalah: suatu tindakan ataupertumbuhan atau kondisi atau proses yang tidak dibatasiatau terbatas.

Menurut Joseph Royce (1964:13), sebagai pengagasdari model ini, model ini dikembangkan dalam rangkanmemitigasi (menghilangkan) berbagai efek dari pem-batasan (encapsulation). Desain ini didasari oleh pandanganbahwa secara umum manusia memiliki persepsi danpemahaman tentang realitas sesuai dengan kenyataannya.Akan tetapi disebabkan berbagai keterbatasan, dia hanyamemiliki image yang parsial dan terdistorsi dari apa yangada pada kenyataan sesungguhnya. Berdasarkan hal itu,maka tujuan dari model kurikulum ini adalah untukmenghasilkan “manusia yang lebih baik” yang memilikibehavior yang dibangun dengan pengetahuan yangumumnya diperlukan dan berimbang (sound and balancedknowledge), bukan dengan persepsi yang terdistorsi danperasangka buruk yang tidak disadari. Jelasnya, desain inidiperuntukan untuk pendidikan umum (general education),bukan untuk profesi kerja dan bentuk pendidikan khususlainnya.

Menurut Royce, pengetahuan yang umumnyadiperlukan dan berimbang (sound and balanced knowledge)tersebut didapatkan hanya jika seluruh kesempatanberpikir dan persepsi dilaksanakan dalam pengembangankonsep dan gagasan. Meskipun dia mengakui bahwadalam kenyataanya ada banyak teori-teori pengetahuan,namun menurutnya berdasarkan kebutuhan psikologismanusia hanya perlu mengetahui empat bidang

151

pengetahuan, yang disitilahkannya dengan empat prosesdasar (four basic processes), yaitu: rasionalism, intuitionism,empirism, dan authoritarianism. Oleh karena itu, menurutnyakurikulum “enuncapsulation” harus diorganisir seputarempat pengetahuan dasar tersebut (Royce, 1964:13).

Pengetahuan rasional (rasionalism) diperlukan agardapat memberikan kemampuan rasional bagi pesertadidik, sehingga mereka dapat mengetahui mana yang logisdan mana yang tidak logis dalam kenyataan kehidupan.Pengetahuan emperisme (empericim)

Model: Curriculum design based on Royce‘s four processes of knowing.

Model Desain Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

152

Selain model-model di atas, masih banyak model-model desain kurikulum baru, misalnya pada lembagapendidikan Islam, seperti pesantren tradisional kurikulumyang sejak dulu diterapkan, yakni kurikulum yangberdasarkan kitab-kitab dalam disiplin tertentu dari ulamatertentu tertentu yang dianggap wajib dikuasai olehseluruh santri sebagai syarat kelulusan. Desain kurikulumini dapat disebut dengan istilah book design centered cur-riculum model (kurikulum yang berpusat pada buku/kitab).Model desain kurikulum ini tidak sama dengan subjectmatter yang berbasis pada subjek atau mata/bidang studiberdasarkan disiplin ilmu.

153

BAB VIMODEL-MODEL ORGANISASI

KURIKULUM

A. PendahuluanTerkait dengan organisasi kurikulum ini Oliva

mengemukakan, bahwa literatur yang membicarakantentang organisasi kurikulum sering mangajukan duaasumsi untuk dipilih, yakni: (1) Para perencana kurikulumbiasanya memiliki kesempatan untuk menginisiasi sebuahkurikulum bagi sebuah sekolah baru (atau barangkali jugabagi sekolah lama) yang belum memiliki pola kurikulumsebelumnya; atau (2) Para pengembangan kurikulumsecara otomatis memiliki otoritas dan kebebasan untukmengganti organisasi yang telah ada dan menggantinyadengan bentuk organisasi yang mereka pilih. Akan tetapi,menurut Oliva, kedua asumsi tersebut sepertinya tidaksepenuhnya benar, sebab para pengembang kurikulumtidak mungkin untuk mengembangkan sebuah kurikulumyang original untuk sebuah sekolah baru, karena padadasarnya sebuah sekolah tumbuh dan berubah di dalamlingkungan masyarakat. Oleh karena itu, apa yang

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

154

diputuskan atau dipilih oleh para pengembang kurikulummasih bersifat asumtif atau hipotetik. Dalam kata lain, polaoragnisasi dan implementasi yang ditawarkan dapat sajadipakai atau tidak atau dirubah oleh para pelaksanakurikulum di sekolah sesuai dengan situasi dan kondisisekolah yang bersangkutan.

Model kebijakan pendidikan, termasuk di dalamnyakebijakan penetapan kurikulum pada berbagai Negaraberbeda-beda, ada yang menganut kebijakan sentralisasi,disentralisasi, dan otonomi. Suatu Negara yang menganutkebijakan pendidikan secara sentralisasi, kebijakan danpengaturan tentang kurikulum ditentukan spenuhnya olehpemerintah pusat, daerah dan lembaga pendidikan/sekolah hanya sebagai pelaksana di lapangan yang harusmelaksanakan apa yang telah diuptuskan dan dirancangoleh pemerintah pusat. Dalam hal ini model organisasikurikulum sesuai dengan bentuk atau model apa yangtelah ditetapkan di tingkat pusat. Negara yang menganutkebijakan pendidikan dalam bentuk disentralisasiadakalanya menempuh pola disentralisasi penuh da nadajuga yang sebagian (adanya pembagian kewenangan antarapusat, daerah, dan lembaga pendidikan/sekolah). Dalamkonteks yang kedua ini, biasanya urusan kurikulum dibagiberdasarkan tingkat kewenagan yang dimiliki masing-masing. Pemerintah pusat, seperti kasus di Indonesiaketikan menerapkan kurikulum tingkat satuan pendidikan(KTSP), hanya menetapkan kurikulum standar dalambentuk standar kompetensi (standar isi, standar proses, danstandar hasil, serta beberapa pedoman lainnya, sepertipedoman pembelajaran dan pedoman evalauasi),selebihnya penjabaran lebih lanjut sesuai dengankebutuhan dan kondisi daerah dan sekolah masing-masing

155

dikembangkan di daerah atau di sekolah masing-masing.Dalam Negara yang menempuh kebijakan disentralisasiini, sekolah atau guru memliki sebagian kewenangan untukmenentukan bentuk atau model organisasi sesuai dengankondisi dan situasi sekolahnya. Adapun kebijakan dalambentuk otonomi, adakalanya hampir sama dengankebijakan disentraliasi dengan pembagian kewenangan,yang disebut dengan otonomi terbatas. Akan tetapikebijakan pendidikan dan kurikulum yang menempuhotonomi penuh, memberikan kebesan sepenuhnya kepadadaerah atau sekolah, bahkan guru untuk menentukanbentuk organisasi kurikulumnya.

Masing-masing bentuk kebiajakan dan pola kewe-nangan penentuan organisasi dan impelementasi kuri-kulum di atas memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Bagi Negara yang kecil dan homogen dalamberbagai hal,seperti ras, agama, bahasa, kondisi daerah, dansebaainya, tentu sistem sentralisasi akan lebih tepat diambilkarena relatif dalam impelemntasinya tidak menghadapikeragaman yang cukup berarti. Adapun negera yang besardan memiliki hiteroginitas dalam hal ras, agama, bahasa,dan kondisi daerah atau sekolah masing-masing, tentumodel disentralisasi akan lebih tepat. Sedangkan Negarayang telah memiliki lembaga pendidikan yang mapandalam hal sumber daya manusia untuk mengembangkandan menentukan sendiri pola kurikulumnya, tentu akansangat tepat menggunakan model otonomi.

B. Model-model Organisasi KurikulumBerdasarkan kajian Oliva terhadap praktik dan

berbagai upaya pengembangan model organisasi yangterdapat pada berbagai lembaga pendidikan di Amerika

Model-model Organisasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

156

Serikat, ia mengememukakan beberapa model organisasikurikulum, baik yang dilaksanakan pada sekolah tingkatdasar (elementary school), sekolah menengah pertama (jun-ior high school), dan sekolah menengah atas (senior highschool). Beberapa model tersebut, di antara model tersebut,tentu model organisasi kurikulum paling umum di-gunakan pada berbagai tempat dan berbagai tingkat adalahmodel adalah organisasi kurikulum yang diistilahkannyadengan organisasi kurikulum berdasarkan tingkat, disamping berbagai model organisasi lainnya.

1. The Graded School (sekolah bertingkat).The graded school (sekolah bertingkat) adalah sebuah

bentuk oraganisasi kurikulum yang memiliki danmemberlakukan sistem tingkat atau kelas. Sistem kelasyang lazim untuk sekolah dasar adalah enam tahun ataulima tahun. Dengan mengikuti sistem kelas ini, makakurikulum diorganisasikan dan diimplementasikanberdasarkan sistem tingkat kelas ini. Baik tujuan, materi,strategi, dan evaluasi kurikulum disusun berdasarkanorganisasi ini. Biasanya kurikulum diorganisir secarabertingkat dan diimplementasikan secara bertahap darikelas satu hingga kelas akhir. Kegiatan implementasikurikulum dalam model ini dilakukan secara klasikal,siswa dikumpulkan dalam satu kelas dengan berbagai latarbelakang disuguhi kurikulum yang sama, baik tujuan,materi, strategi, dan evaluasi yang sama.

Sebagaimana kurikulum sekolah menengah pertamadan atas, kurikulum sekolah dasar mengadopsi kerangkaorganisasi kurikulum yang menekankan pada ketuntasanmateri pelajaran (mastery of subject matter). Kerangka

157

organisasi kurikulum ini umumnya merujuk kepada sub-ject matter curriculum, yang akan diuji secara dekat.

1) The Activity Curriculum (kurikulum berbasis aktivitas)The activity curriculum (kurikulum berbasis

aktivitas) adalah sebuah model organisasi kurikulumyang sering disebut juga dengan istilah The Activity andExperience Curriculum (kurikulum berbasis aktivitas danpengalaman siswa). Model organisasi kurikulum iniadalah sebuah upaya para pendidik untuk meninggal-kan sistem sekolah berdasarkan tingkat (graded school).

Model ini depelopori oleh Jihn Dewey sebagai hasildari pengembangannya pada Laboratory School padaChicago University dan oleh J.L. Meriam pada Universi-tas Elementary School di University of Missouri. Model iniadalah sebagai upaya untuk menerjemahkan pan-dangan progresif ke dalam kurikulum, yaitu yangmemamndang siswa adalah sosok pribadi yang unikdan memiliki potensi dan karakter pribadi yang tidaksama satu sama lain. Potensi-potensi tersebut dapatberkembang dan dikembangan dengan cara dankapasitas sesuai individu siswa masing-masing. Deweydan yang sepaham dengannya menganjurkan pem-bebasan siswa dari kungkungan “subject matter curricu-lum” dan menciptakan sebuah lingkungan yangmelayani kebutuhan dan minat siswa.

Sehubungan dengan model ini, ada dua hal yangmendasari dan menjadi ciri dari model kurikulum ini,yakni human impuls (minat manusia), human activities(aktivitas manusia), dan Subject Matter from Child‘s World(Materi Pelajaran menurut Dunia Anak).

Model-model Organisasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

158

Model The Activity and Experience Curriculum dalambentuk “human impuls” menurut B. Othanel Smith, Wil-liam O. Stanley, dan J. Harlan Shores, laboraturiumSekolah Dewey merancang kurikulumnya didasarkanpada empat dorongan dalam diri manusia (human im-pulse), yaitu:1. The social impulse, dorongan yang menunjukkan

keinginan anak-anak untuk membagi pengalamanmereka dengan oorang-orang di sekeliling mereka;

2. The constructive impulse, dorongan yang dimanifes-tasikan pada saat pertama bermain, dalam ritmeperalihan, dalam membuat keyakinan, dankemudian dalam bentuk yang lebih tinggi dalammemelihara masukan materi ke dalam objek-objekysng berguna;

3. The impulse to investigate and experiment, doronganuntuk menemukan sesuatu, diungkapkan dalamkecenderungan dari anak untuk melakukan sesuatuhanya untuk melihat apa yang akan terjadi;

4. The expressive or artistic impulse, dorongan yangmenunjukkan kehalusan budibahasa dan ekspresilebih lanjut tentang minat yang komunikatif dankonstruktif .

Model kurikulum Dewey dijauhkan dari organisasimaterii yang biasa dan difokuskan pada pekerjaandimana semua laki-laki dan perempuan dilibatkan-seperti tukang kayu, ahli masak, dan penjahit.

Model The Activity and Experience Curriculum dalambentuk “human activities” pertma kali dikembangkanoleh University Elementaary School di University of Mis-souri dengan mengikuti anjran dari Junius L. Meriam

159

seorang penganut pndidikan progressivism atau human-istic. Struktur program model yang danjurkannya tidakberdasarkan materi-materi pelajaran (subjects) tetapisekitar “human activities” (aktivitas manusia), bermain,sejarah, dan pekerjaan tangan (keterampilan). Bentuk-bentuk kegiatan yang dipilih berdasarkan observasi danpengamalan atas hal-hal yang menarik bagi siswa.Sebagai contoh, The California State Curriculum Commis-sion membuat outline sebuah kurikulum aktivitasharian dengan gambaran sebagai berikut:1. Aktivitas belajar siswa disusun berdasarkan ber-

bagai program harian dengan berbagai jeniskegiatan, seperti bidang berhitung, kesehatan,bahasa, dan lain-lain.

2. Tujuan dari berbagai aktivitas tersebut untukmemberikan pengalaman dan keterampilan bagisiswa, disamping melalui kegiatan kelompok akanlahir kemampuan inisiatif, sikap bertanggungjawab(responsibility), dan kerjasama (cooperation).

3. Aktivitas dilaksanakan dengan waktu yang relativependek tidak lebih dari satu jam per bidang kegiatan

4. Aktivitas dikemas dengan bentuk-bentuk kegiatanyang sederhana dan berdasarkan apa yang telahdianggap menarik bagi siswa, misalnya dalambidang berhitung (Aritmatical Enterprises) dikemasdengan materi: playstores, banking activities, handlingof school supplies dan sebagainya. Dalam bidang

Model The Activity and Experience Curriculum dalambentuk “Subject Matter from Child`s World”adalah modelorganisasi kurikulum yang dikembangkan oleh gurubekerjasama dengan orang tua. Subject matter (materi

Model-model Organisasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

160

pelajaran) dikembangkan berdasarkan dunai anakbukan dunia orang dewasa. Meskipun guru mengaju-kan berbagai aktivitas atau permaslahan-permasalahkepada siswa, namun ketertarikan atau minat siswamenjadi pertimbangan yang dominan. William H.Kilpatrick (Oliva,1991:290) menganjurkan aktivitasmasyarakat dalam bentuk projek-projek, sebagaimanaterdapat dalam bukunya “The Project Method” dimanasiswa mengambil posisi sebagai orang yang mengerja-kan pikiran dan rencananya sendiri. Bentuk lain darimodel ini ialah sebagaimana yang dikemukakan olehDewey dalam bentuk metode “problems solving” dengankonsep “reflective thinking”. Menurut Oliva (1991: 290),pengalaman dalam proses pemecaahan masalah (prob-lems solving), menurut para pendukung berpikir progres-sive, adalah sangat penting daripada pencapaian atausolusi terhadap problem itu sendiri. Model ini terlihatmenjadi sangat bagus, ketika melihat bahwa dalamkenyataanya, aktivitas kurikulum tidak selalu lengkap/sempurna dalam perencanaanya. Konsekuensinya, “ac-tivity curriculum” akan dapat digambarkan hanyasetelah selesai dilaksanakan, begitu juga guru tidakdapat yakin akan kesempurnaan itu ketikan minat parasiswa telah dapat dipastikan.

Unit didesain oleh guru bekerjasama dengan mu-rid-murid untuk memenuhi berbagai macam aktivitasuntuk melayani berbagai individu yang berbeda.Sekedul kegiatan bersifat pleksibel denga jatah waktusesuai variable aktivitas. Siswa dikelompokkanberdasarkan minat dan kemampuan, meniadakantuntutan tingkatan yang tetap. Beberapa sekolah

161

mengabaikan nilai, kartu laporan, dan aumsi adanyakeharusan penyelesaianatau pencapaian setiap tingkat.

Guru dalam “activity curriculum” menemukanaturan (role) nya sendiri tidak sebagai spesialis matapelajaran tetapi sebagai menuntun dan fasilitatorpembelajaran. Konsep kunci dari apa yang paraprogresivist rajut kedalam aktivitas kurikulum adalahaturan yang aktif ketimbang aturan yang pasif dari parasiswa dan sharing pengalaman para siswa dengan guruantara satu sama lain.

2. Nongraded Elementary School (Sekolah DasarTanpa Tingkat)Model Nongraded Elementary School (Sekolah Dasar

Tanpa Tingkat) adalah model yang berlawanan denganmodel organisasi berdasarkan tingkat (graded). Model inidipelopori oleh John I Goodlad dan Robert H. Anderson,sebagai reaksi terhadap kelemahan sekolah bertingkat.Model ini adalah sebuah model organisasi kurikulum yangmengikuti prinsip pendidikan progressive, sebagaialternatif pengembangan dari sekolah bertingkat. Thenongrades atau sekolah berkelanjutan (continuos progress)adalah sebuah reaksi untuk meningkatkan sekolahbertingkat yang kaku dengan sebuah inovasi untukmelayani pendidikan anak yang lebih efisien. Pada modelini tingkat kelas dan standar-standar untuk tingkatantersebut ditinggalkan. Siswa dikelompokkan menurutpembelajaran berdasarkan kebutuhan dan kemajuantertentu yang dimiliki oleh setiap siswa. Kegiatanpembelajaran dibuat untuk setiap individu atau bersifatindividualiasi atau personalisasi.

Model-model Organisasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

162

Herbert I. Von Haden dan Jean Marie King (1974:30-31) menjelaskan beberapa prinsif yang mendasari the non-graded school, sebagai berikut:

Nograding is a philosophy of teaching and learning which recog-nizes that children learn as defferent rates and different ways andallowes them to progress as individual rather than classes. Such des-ignations as grade one or grade three are eliminated. Flexible group-ings allow the pupil to proceed from one level of work to anotherwhenever he is ready. Thus, the child‘s progress is not dependentupon that of others in the room. He own readiness, interest, and ca-pacity set the pace for each pupil…. Flexible grouping permit eachchild to move ahead with other children of approximately the samelevel of ability. Grouping are different for each subject area and canbe changed at any time. Failure, retention, and skipping of grades arereplaced by continuos progress as the pupil proceeds at his own rate.Slower children are not forced to go on with the class group beforethey are ready. Faster workers are not compelled to wait for the oth-ers. Individualization and continuous progress are the key elementsof nongrading.

3. Open Education and Open Area-Space (PendidikanTerbuka dan Ruang –Area Terbuka)Open-space or Open-area Education (Pendidikan ruang

terbuka atau area-terbuka) adalah sebuah respon yangbersifat teknis atas sebuah konsep yang bersifat filosofisdan organisasi yang lebih luas yang disebut open educa-tion, the open classroom,atau open school. Dalam praktiknya,istilah tersebut sering saling tertukar, misalnya, kekuatansebuah kelas dioperasikan menurut prinsip-prinsip openeducation. Pada saat yang sama, kelas ini mungkin sebuahopen area, meskipun open space tidak sama dengan open edu-cation. Sebuah open school (sekolah terbuka) mungkinsebuah sekolah yang mengimplementasikan konsep open

163

education, atau mungkin open space school tersebutmerupakan semua kelas tanpa dinding.

Menurut C.M. Charles (1978:118) dan pendukungnyamenyatakan bahwa “banyak orang yang mengira bahwaopen space dan open education adalah sama, padahal tidak.Dalam faktanya keduanya dapat berbeda, meskipun tidakselalu berbeda. Charles menjelaskan bahwa open schoolbukan sebagai open-space school tetapi sebagai sebuahsekolah dengan beberapa kelas terbuka (open classrooms)yang mengikuti prinsip-prinsip open education. Open-spaceschools secara normal sedikitnya menganut beberapaprinsip open education.

Charles dalam pembahasannya menggunakan istilah“open school”, “open classroom”, dan “open education” ketikamembicarakan konsep pendidikan secara luas, sedangkanpenggunakaan istilah “open space” atau “open area” ketikamembicarakan tentang arsitektur aransemen kelas tanpadinding (classroom without walls). Konsep kelas tanpadidinng ini tidak sama dengan sekolah tanpa didnding(schools without walls). Sekolah tanpa dinding diperasikantanpa memiliki gedung sekolah, mereka mengirim siswakemanapun mereka yang mereka maununtuk mengirimpada wilayah untuk menerima pendidikan yang merekaperlukan. Oleh karena itu siswa mungkin belajar padaagensi masyarakat atau mungkin didaftarkan padasekolah-sekolah lain.

Charles dengan singkat menjelaskan konsep open edu-cation sebagai berikut:

Open education refers to organization and management that allowmuch student choice and self-direction. The teacher helps, but domi-nates neither the planning nor the learning activities. Instead, the

Model-model Organisasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

164

teacher “facilitates” student learning. This facilitation is done throughtalking, exploring, suggesting options, helping find resources, anddeciding on ways of working that suit the group. Emphasis falls con-tinually on maintaining relationships, interacting positively withothers, fostering a sense of personal and group worth, and providingfor the development of individual potential.

Selain berbagai model organisasi kurikulum yangdikemukakan di atas, menurut Oliva ada banyak modellain yang juga pernah diterapkan pada sekolah dasar.Antara lain:1. Basic Skill model. Model ini berupaya untuk membina

peserta didik tidak pada basis subject matter atau sub-ject areas, tetapi berorientasi atau bertumpu padaberbagai keterampilan dasar (basic skills). Dalam modelini siswa diarahkan untuk menguasai berbagaiketerampilan dasar. Materi yang dipelajari dipilih dariberbagai keterampilan dasar yang diperlukan olehmereka untuk kehidupan nyata sehari-hari.

2. Teaching Thinking Skills (Pengajaran KetrampilanBerpikir), yakni organisasi kurikulum yang dikembang-kan untuk membangun kemampuan atau keterampilansiswa untuk berpikir. Kurikulum mengajarkan antaratentang bagaimana memecahkan berbagai problem,membuat keputusan, menganalisis issue-isue yangberkembang, dan memikirkan secara kritis dan kreatifberbagai persoalan.

3. Provision For Student With Special Needs (Bekal untukSiswa dengan Kebutuhan Khusus). Sekolah menyedia-kan pelayanan khusus sesuai dengan kebutuhannya.Dalam hal ini, sekolah mengembangkan berbagaimacam kurikulum untuk melayani siswa, khususnyayang terkait dengan siswa yang memiliki hambatan

165

secara psikis, seperti gangguan emosional, hambatanmental, dan gangguan orientasi sikap lainnya.

4. Cooperative Learning (Belajar secara Kooperatif). Modelini mulai berkembang sejak tahun 1990-an hinggasekarang sudah amat banyak dilakukan, namun diberbagai sekolah hanya sebagai sebuah pendekatanpembelajaran. Dalam hal ini sekolah mengembangkankurikulum berdasarkan kelompok-kelompok yangbelajar secara bersama saling membantu danmenyokong.

5. Whole Language, adalah sebuah organisasi kurikulumyang mempokoskan semua kegiatan pembelajaran padabahasa atau mengintegrasikan keterampilan berbahasadengan mata atau materi pelajaran lainnya. Sekarangdapat dikategorikan pembelajaran tematik denganmenjadikan bahasa sebagai pusat tematik.

4. The School In BetweenModel ini menurut Oliva utamanya banyak digunakan

pada sekolah tingkat menengah pertama (junior highschools). Istilah the School In Between (sekolah antara)menurut Oliva (1976) adalah istilah yang menunjukkanpada eksistensi siswa sekolah menangah pertama (junior/middle hight school) yang berada dipertengahan antarasekolah dasar (elementary school) dengan sekolah menengahatas (senior hight school). Siswa yang berada di antara keduasekolah dasar dan menengah atas tersebut melahirkanpandangan bahwa kemampuan dan kebutuhan sisiwasekolah menengah pertama, satu sisi masih dipandangsebagai bagian dari sekolah dasar, dan pada sisi lain siswajuga dipandang telah dikategorikan sebagai sekolahmenengah. Ada berbagai persepsi yang dialamatkan

Model-model Organisasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

166

kepada tingkat sekolah menengah pertama ini, yakni: (1)apakah ia merupakan kelanjutan dari sekolah dasar (el-ementary high school)?; (2) apakah ia merupakan ekstensiyang berada di bawah sekolah menengah (senior highschool)?; (3) apakah ia merupakan tingkatan yang bertujuanuntuk memberikan pelayanan kepada siswa yang berdadaantara pubertas dengan orang dewasa atau ia merupakansebuah sekolah persiapan untuk masuk ke sekolahmenengah tingkat atas (senior high school)?; (4) Apakah iadilaksanaka dalam gedung sekolah yang sama dengansekolah menengah tingkat atas atau dalam sekolah yangterpisah?.

Kondisi tersebut itulah yang menuntut adanyakurikulum khusus untuk sekolah menengah pertama.Salah satu dari contoh kurikulum yang dikembangkanberdasarkan asumsi tersebut adalah James B. Conant yangdikenal dengan “Conant`s Recommendations” yang banyakditerima. Kurikulum untuk sekolah menengah pertamayang diusulkan oleh Conant lebih kepada bentuk “the sub-ject curriculum (kurikulum berdasarkan mata pelajaran” .Diantaranya mata pelajaran yang diusulkan oleh Conantialah 1. Bahasa Inggeris yang menekankan pada “readingskill” dan “composition”. 2. Social Studies yang menakannkanpada sejarah dan geografi. 3. Matematika yang menekan-kan pada aritmatika, dan 4. Sain. Di samping itu adaditambahkan pula mata pelajaran seni, music dan olahraga. Diswa perempuan menerima pembelajaran ekonomirumah tangga, sedangkan siswa laki-laki menerimapembelajaran seni industry.

Beberapa catatan tambahan yang dianjurkan olehConant adalah sebagai berikut:

167

1. Sebuah perbedaan kecil pada para siswa pada aljabar(sebagai salah satu bagian dari matematika) dimualipada kelas delapan. Beberapa atau mungkin semuasiswa memulai kajian bahasa asing modern yangberbasis pada compersation dengan guru bilingual dikelas tujuh.

2. Pembelajaran keterampilan dasar (basic skills) yangdimulai pada sekolah dasar akan diteruskan sepanjangsiswa dapat melakukannya dan menguntungkan.Keterampilan dasar yang dimaksud meliputi pelajaranmembaca dan berhitung. Siswa yang memiliki ke-mapuan rata-rata dan superior diberikan satu tingkatdi atas tingkatannya, sedangkan siswa yang memilikikemapuan di bawah rata-rata bisa sampai kelassembilan.

3. Blok waktu dan pembagian tingkat ditetapkan untukmemberikan jaminan transisi siswa dari orang dewasamuda dari sekolah dasar ke sekolah menengah dapatberlangsung dengan lancar.

4. Jadwal kelas harian harus cukup fleksibel untukmenghindari keperluan para siswa untuk membuatpilihan , misalnya sain dan bahasa asing.

5. Program kurikulum untuk tingkat sembilan harusmenyediakan program pilihan yang biasa deprogrampada sekolah umum.

6. Koordinasi pembelajaran mata pelajaran harusdiperhatikan secara hati-hati.

Selain berbagai bentuk rekomendasi di atas, Conantmenganjurkan untuk peningkatan bidang akademik pro-gram sekolah menengah pertama dengan melibatkan The

Model-model Organisasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

168

Commission on the Education of Adolesscent of the Associationfor Supervision and Currculum Develepoment (ASCD).Sebagaimana yang dikemukakan oleh Jeand D Grambs dankawan-kawan, bahwa karena para siswa sekolahmenengah pertama berada dibawah tekanan, maka merekamenyarankan variasi dalam periode keles yang panjangdan sebuah program, blok waktu yang diberikan setiaptahun untuk tiga tahun pada sekolah menengah pertama.Program blok waktu tersebut berlangsung dua atau tigajam setiap hari di sekolah.

Ada perbedaan antara program yang dianjurkan olehConant dengan ASCD, yakni kalau anjuran Conant lebihkepada subject centered curriculum, sedangkan anjuranASCD lebih cenderung kepada learner centered curriculum.Akan tetap keduanya sama-sama dapat dijadikan sebagaipetunjuk untuk mengembangkan implementasi kurikulumpada tingkat sekolah menengah pertama.

5. The Core Curriculum (Kurikulum Inti)Selain apa yang telah dikemukakan pada pembahasan

tentang model desain kurikulum pada bab sebelumnya,Oliva (1991) mengemukakan model organisasi kurikulumdalam bentuk yang banyak berlaku pada sekolahmenegaah pertama.

Oliva (1991: 304) dengan mengutif pendapat JohnnLounsbury dan Gordon F Vars, mengemukakan bahwa“coore curriculum” adalah “Specifically, core is a form of cur-riculum orgazitaion, usually operating within an extended blockof time in the daily schedule, in which learning experiences arefocoused diterctly on problems of significance to student”.

169

Oliva (1991: 305) mengemukakan ada enam karak-teristik dari core curriculum, yaitu:1. Ia merupakan satu bagian dari kurikulum yang diperlu-

kan oleh semua siswa;2. Ia menyatukan atau menggabungkan materi pelajaran,

biasanyaa Bahasa Inggeris dan Sosial Stuies;3. Isi materinya mengkonter problem-problem yang

mengabaikan disiplin ilmu. Meode pembelajaranutamanya adalah problem solving, menggunkan seluruhmateri pelajaran yang dapat dipakai.

4. Core dorganisasi dalam bentuk “blovk time (blok waktu)“, yang basanya dalam bentuk dua atau tiga waktu dibawah asuhan seorang guru mata pelajaran inti (a coreteacher) atau dapat pula bila mungkin menggunakanguru tambahan dan sumber belajar lainnya.

5. Ia mendorong para guru untuk merencanakan kuri-kulumnya bersama dengan para siswa.

6. Ia memerlukan pembimbingan bagi siswa.

Berdasarkan karakteristik core di atas, menurut Oliva(1991:306) Harold B. Alberty dan Elsie J. Alberty (1962),mengemukakan beberapa bentuk yang dapat diimplemen-tasikan pada sekolah menengah tingkat pertama adalahsebagai berikut:1. Bentuk 1: Sejumlah mata pelajaran (secara konstan)

diberikan kepada seluruh siswa. Materi pelajarandiajarkan secara terpisah (sparated) dengan sedikit ataumungkin tidak ada sama sekali usaha untukmenghubungkannya satu sama lain.

2. Bentuk 2: Dua atau lebih mata pelajaran dikorelasikan.Meskipun mata pelajaran tetap terpisah dan diajarkan

Model-model Organisasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

170

secara terpisah, namun usaha untuk menghubungkansatau sama lain dilakukan.

3. Bentuk 3: Dua atau lebih mata pelajaran digabungkan.Bentuk ini yang paling banyak dilakukan oleh sekolah.Misalnya Bahasa Inggeris dan Sosial Studies digabung-kan atau diintegrasikan dan diskedulkan dalam satublok waktu, biasanya dalam dua atau tiga periode.

4. Bentuk 4: Sebuah blok waktu ditetapkan untukmengkaji mengenai orang dewasa dan atau berbagaiproblem social, seperti kehidupan sekolah, kehidupankeluarga, problem-problem ekonomi, komunikasi,hubungan multicultural, kesehatan, problem-probleminternasional, konservasi, dan pemahamandiri sendiri.

5. Bentuk 5: Aktivitas pembelajaran dikembangkan secarakooperatif oleh para guru dan siswa, setiap orang bebasuntuk mengusulkan masalah/topik atau problemapapun yang menarik yang mereka inginkan. Program“core” ini mirip dengan “unstructured experiencecuuriculum (kurikulum berdasarkan pengalaman yangtidak berstruktur) pada sekolah dasar.

Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa core curricu-lum cenderung untuk memakai sebuah “block of time” yangterdiri dari dua atau tiga waktu dari hari sekolah. Waktu-waktu yang tetap diperuntukkan untuk kecenderunganpara siswa yang chusus (sepecial). Menurut William VanTil, Gordon F.Vers, dan John H. Laounsbury (1967, block-time class (kelas blok waktu)” adalah sebuah istilah yangkadang-kadang disamakan dengan “core”. Dengan katalain “block-time class” dapat atau tidak menjadi “core class”.Ia dapat mengandung skedul mata-mata pelajaran dalamsatu blok-waktu tetapi diajarkan secara terpisah (sparated).

171

Grace S Wright sebagaimana dikutif oleh Oliva (1991:307) mencatat ada empat bentuk program “block-time class”,sebagai berikut:1. Bentuk A: Setiap mata pelajaran menahan identitasnya

dalam “block-time class”, yakni mata pelajaran yangterpisah diajarkan: (1) dengan perencanaan berkorelasiyang terus-menerus, (2) dengan perencanaan yang tidakberkorelasi.

2. Bentuk B: Mata-mata pelajaran yang termasuk dalam“block-time class” di satukan atau digabungkan diseputartema-tema pusat atau unit-unit kerja atau problem-problem dari satu atau lebih topic-tpik materi dalam“block-time class”.

3. Bentuk C: Wilayah problem yang disiapkan sebelumnyadidasari atas kebutuhan sosial pribadi orang dewasa-baik berbagai kebutuhan yang teridentifikasi oleh or-ang dewasa sendiri dan berbagai kebutuhansebagaimana yang dirasakan oleh masyarakat yangditentukan sebagai skope program core kurikulum.Siswa dapat mimilih atau tidak darbeberapa problemarea tersebut. Mereka bertanggung jawab atas pilihanaktivitas dalam pengembangan unit-unit pelajaran.

4. Bentuk D: Skop core kurikulum tidak ditentukan. Siswadan guru bebas memilih permasalahan-permasalahanberdasarkan apa yang mereka ingin kerjakan. Isi ataucontent materi pelajaran dibawa sebagaimana yangdibutuhkan untuk mengembangkan atau untukmembantu memecahkan permsalahan.

Pada sekolah menengah atas menurut Oliva terdapatbeberapa bentuk organisasi implementasi kurikulum,yaitu: Subject Matter Curriculum,Broad-Fields Curriculum,

Model-model Organisasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

172

Team Teaching, Flexible and Modular Scheduling, TheNongrades High Scholl, A Comprehensive High School, Require-ments for Graduation, dan beberapa bentuk hasil study danupaya reformasi kurikulum untuk Senior High Shooolyang dikembangkan oleh berbagai ahli, seperti Adler(1982), Boyer (1983), Gardner (1983), Goodlad (1984), danSezer (1984).

Model-model seperti Subject Matter Curriculum,Broad-Fields Curriculum, Team Teaching, Flexible and Modular Sched-uling, The Nongrades High Scholl, A Comprehensive HighSchool, Requirements for Graduation adalah model-modelorganisasi kurikulum yang sudah lazim digunakan padabanyak sekolah menengah atas dan bagaimana bentukorganisasinya juga sudah tidak asing lagi dalam duniapendidikan. Oleh karena itu, dalam hal ini hanya akandikemukakan bebefapa model yang dikembangkan olehAdler (1982), Boyer (1983), Gardner (1983), Goodlad (1984),dan Sezer (1984).

Menurut Oliva (1991: 355) tiga dari model tersebut,bukan saja untuk sekolah menengah atas (high schools),tetapi model Adler, Gardner, dan Goodlad ini juga dapatditujukan untuk sekolah dasar dan sekolah menengah (el-ementary and secondary levels). Model-model organisasikurikulum yang dikemukakan oleh para ahli di atas tidakseluruhnya menggunakan model oraganisasi tradisionaldalam bentuk sistem kelas. Selanjutnya Oliva (1991: 356)mengemukakan ringkasan kurikulum mayor dari paratokoh di atas sebagaimana table berikut.

173

Tabe

l 6.1

.: M

ajor

Cur

ricu

lum

reco

mm

enda

tions

for t

he h

igh

scho

ol

Model-model Organisasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

174

Sesu

nggu

hnya

bel

akan

gan

atau

pas

ca d

ekad

e 80-

an b

anya

k ju

ga m

uncu

l mod

el-m

odel

orag

nisa

si d

an im

plem

enta

si k

urik

ulum

yan

g ba

ru, s

eper

ti m

odel

org

anis

asi k

urik

ulum

untu

k pe

ndid

ikan

inkl

usi,

akse

lera

si, k

elas

e-lea

ring,

dan

seba

gain

ya. O

liva

men

ekan

kan

perl

u ad

anya

pol

a at

au m

odel

org

anis

asi k

urik

ulum

yan

g se

suai

den

gan

tunt

utan

mas

ade

pan.

Dia

men

gaitk

anny

a de

ngan

pen

dapa

t Pe

ter

Slei

ght

(198

0: 3

) te

ntan

g m

odel

pers

ekol

ahan

(typ

e of d

esch

oolin

g) y

ang

efek

tif d

i era

com

pute

r, se

baga

i ber

ikut

:

175

It may be that children won‘t attend schools at all, but attend classesin their own homes, taking through the computer, with the teachertalking to them through a video image.

Through the same network, the teacher will know whether a stuidentis tuned in and can take “attendance” in the old-fashioned sense.

Homework for the children will also be change. No longer will theybe bringing home texbooks and doing assignments on paper. Instead,they may plug into the school data base to receive their assignments,execute them on the computer screen at home and “send” it to theirteacher via the computer hook-up.

Dengan adanya perkembangan kondisi, situassi, danbudaya, sain, dan teknologi yang makin lama makincanggih dan pesat, maka tidak mau harus ada upaya untukmenemukan model organisasi kurikulum yang tepat danefektif untuk menunju kberhasilan pembelajaran danpendidikan yang diharapkan.

Model-model Organisasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

176

177

BAB VIIPENGEMBANGAN KURIKULUM

A. Konsep Pengembangan KurikulumIstilah pengembangan kurikulum sering dirujuk dari

istilah “development curriculum” (pengembangankurikulum). Menurut Zais (1976), development curriculumadalah: “a process that determines how curriculum construc-tion will proceed” (Giroux, 19981:45). Lebih jauh, menurutSchubert (1986:41), kadang-kadang istilah curriculum de-velopment, disamakan dengan curriculum design dan cur-riculum planning. Dalam konteks pertama, curriculum de-velopment dinyatakan: “refers to the process of deciding whatto teach and learn”. Sedangkan dalam konteks istilah keduacurriculum development, diartikan sebagai suatu upayamerancang kuriku-lum (creation of curriculum). Selain itu,Zais (1976: 18) lebih cenderung menggunakan istilah cur-riculum engineering (rekayasa kurikulum), karenamenurutnya istilah ini lebih mencakup kegiatan lainnya.Menurutnya, curriculum engineering adalah “the collectiveprocesses of curriculum construction, development, and imple-

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

178

mentation”. Pendapat Zais ini didasari oleh pendapatBeaucham (1968:108) yang menyatakan curriculum engineer-ing adalah sebagai “all of the processes necessary to make acurriculum system funtional in school”. Kurikulum sistemitu sendiri menurutnya memiliki tiga fungsi utama, yaitu:(1) to produce a curriculum, (2) to implement the curriculum,and (3) to appraise the effectiveness of the curriculum and thecurriculum system”. Menurut David Pratt (1980: 4-5)kegiatan yang dilakukan dalam pengembangan kurikulumlebih bersifat konseptual daripada material. Kegiatantersebut meliputi: penyusunan, pelaksanaan, penilaian, danpenyempurnaan (Winarno Surachmad 1977: 15). Dengandemikian, kegiatan pengembangan kurikulum adalahmerupakan kegiatan menghasilkan kurikulum. Dalamlingkup upaya pengembangan sebuah kurikulum, menurutSchubert (1986:416) “everyone concerned with curriculumshould cultivate a vision of what might be, what ought to be, andhow it could be achieved”.

Terlepas dari perdebatan tentang istilah yang di-gunakan untuk istilah pengembangan kurikulum, seba-gaimana dikemukakan di atas, secara garis besarpengembangan kurikulum dapat dikelompokkan dalamdua bentuk, yaitu:1) Pengembangan kurikulum yang baru (curriculum con-

struction). Pengembangan kurikulum ini adalahpengembangan kurikulum yang dilakukan untuk satulembaga pendidikan yang baru, atau untuk sebuah matapelajaran baru, atau dapat juga untuk sebuah kegiatanpembelajaran yang baru, yang sebelumnya sama sekalibelum ada kurikulumnya.

2) rnenyempunakan kurikulum yang telah ada (curricu-lum reconstruction). Pengembangan kurikulum yang

179

merupakan rekonstruksi kurikulum yang telah adaadalah pengembangan kurikulum yang telah dianggapketinggalan Pengembangan kurikulum dalam bentukmemperbaiki kurikulum yang telah ada menjadi sebuahkonsep kurikulum yang baru. Dalam hal ini lingkupkegiatannya dapat diacu dari apa yang dikemukakanoleh R.G. Havelock (1976) sebagaimana dikutip olehNasution (1987:158-159) digolongkan dalam enam jenis:a) Substitusi, penggantian atau penukaran, misalnya

mengganti komponen kurikulum yang lama denganyang baru.

b) Alterasi atau mengadakan perubahan dalam strukturyang ada, misalnya struktur organisasi kurikulumyang lama dengan yang baru yang sesuai dengankebutuhan sekarang.

c) Penambahan, tanpa mengganggu pola yang lama,misalnya menambahkan sarana dan alat bantu,bahan pelajaran baru, dan lain-lain.

d) Re-strukturisasi, misalnya mengadakan reorganisasikurikulum dan jadwal pelajaran yang dapat memer-lukan perubahan yang mendalam tentang hubung-an antar pribadi, misalnya dengan menjalankanteam-teaching, pendekatan terpadu.

e) Penghapusan cara-cara lama, misalnya menghapus-kan metode yang hanya menggunakan satu bukupelajaran sebagai sumber satu-satunya dan meng-utamakan proses belajar dengan memanfaatkanbanyak sumber seperti perpus-takaan, lingkungan,dan sebagainya, penghapusan pengajaran klasik,pengha-pusan sistem ujian, penghapusan bukurapor tradisional, dan lain-lain.

Pengembangan Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

180

f) Penguatan yang lama, yaitu memantapkan cara-caralama akan tetapi dilengkapi dengan pengetahuanyang mutakhir sesuai dengan perkembangan ilmupengetahuan melalui penataran dan penyegaran.

Pada sisi lain pengembangan kurikulum dapat dilihatdari sisi sebagai sebuah upaya menyusun seluruhperangkat kurikulum mulai dari dasar-dasar kurikulurn,struktur dan sebaran mata pelajaran, garis-garis besar pro-gram pengajaran, sampai dengan pedoman-pedomanpelaksanaan, yang diistilahkan dengan pengembangankurikulum secara makro (macro curriculum). Pada sisilainnya berkenaan dengan penjabaran kurikulum(Kurikulum Standar) yang telah disusun oleh tim pusatmenjadi rencana dan persiapan-persiapan menuajar yanglebih khusus, yang dikerjakan oleh guru-guru di sekolah,seperti penyusunan Program Tahunan, Program Semes-ter, Silabus, Rencana Program Pembelajaran (RPP), danlain-lain, yang diistilahkan dengan pengembangankurikulum secara mikro (micro curriculum).

Tugas dan tanggung jawab dari para pengembangkurikulum akan dipermudah jika mengikuti prinsip-prinsip pengembangan kurikulum. Dalam hal ini Oliviamengajukan sepuluh prinsip (axiom) pengembangankurikulum, yaitu :a. Perubahan kurikulum adalah sesuatu yang tidak dapat

dihindarkan dan bahkan diperlukan.b. Kurikulum merupakan produk dari masa yang

berkelanjutan.c. Perubahan kurikulum masa lalu sering sering terdapat

secara bersamaan bahkan tumpang tindih denganperubahan kurikulum masa kini.

181

d. Perubahan kurikulum akan terjadi dan berhasil sebagaiakibat dan jika ada perubahan pada orang-orang ataumasyarakat.

e. Pengembangan kurikulum adalah kegiatan kerjasamakelompok.

f. Pengembangan kurikulum pada dasarnya adalahproses menentukan pilihan dari sekian alternative yangada.

g. Pengembangan kirikulum adalah kegiatan yang tidakakan pernah berakhir.

h. Pengembangan kurikulum akan barhasil jika dilakukandengan komprehensif, bukan aktivitas bagianperbagian yang terpisah.

i. Pengembangan kurikulum akan lebih efektif jika dilaku-kan dengan mengikuti suatu proses yang sistematis.

j. Pengembangan kurikulum dilakukan barangkat darikurikulum yang ada.

Sehubungan dengan beberapa batasan di atas, meng-acu pada empat dimensi kurikulum yang dikemukakanoleh Hasan (1988), maka dapat pula dinyatakan bahwadilihat dari aspek-aspek yang menjadi lingkup kajian danpengembangan kurikulum dapat meliputi: pengembangankurikulum dalam tataran ide atau gagasan, pengembanganrencana tertulis, pengembangan rencana implementasikurikulum, dan pengembangan evaluasi hasilimplementasi (hasil pembelajaran).

B. Dasar-dasar Pengembangan KurikulumRobert S. Zais (1976) dalam bukunya yang berjudul

“Curriculum Principles and Foundations” mengemukakan

Pengembangan Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

182

ada empat hal yang melandasi lahirnya sebuah kurikulum,yaitu: 1. Pandangan filosofis tentang hakekat pengetahuan(Philosophy Nature of Knowledge), 2. Pertimbangan dasartentang Masyarakat dan Budaya (Society and Culture BasicConsideration), 3. Pertimbangan tentang individual (TheIndividual Basic Considerations), dan 4. Pandangan tentangTeori-teori Belajar (Learning Theories). Keemat hal tersebutsecara asasi semuanya berdasarkan “pandangan filosofis(philosophical assumtions)”. Berdasarkan empat landasandasar yang didasari oleh pandangan filosofis tersebut itulahanatomi kurikulum disusun dan ditetapkan, yang meliputi:Tujuan (Aims, Goals, and Objectives); Isi kurikulum (Con-tent); Aktivitas pembelajaran (Learing activities); danEvaluasi (Evaluation). Gambaran tentang hal itu dapatdilihat sebagamana gambar berikut:

183

Stratemeyer (1957: 21,22), sebelumnya, mengemuka-kan landasan dasar atau pondasi kurikulum yang lebihsimple, yaitu: 1. Pondasi sosial (The Social Foundations), 2.Pondasi psikologis (psychological Foundations), dan Pondasifilosofis (The Philosophical foundations), sebagaimanadikemukakannya sebagai berikut:

... the firs relates to the nature of society and the values it holds andseeks to attain (the social foundations); the second, to the learner as adeveloping organism and to the nature of the learning process (thepsychological foundation); and the third, to the values and beliefswhich make up one‘s philosophies of life and of Education (the philo-sophical foundations).

Berikut ini akan dijelaskan mengapa, untuk apa, danapa yang dikehendaki dengan landasan dasar atau fondasikurikulum tersebut.

1. Landasan Dasar FilosofisFilsafat adalah pengetahuan tentang sesuatu yang non

empirik dan non eksperimental yang diperoleh manusiamelalui usahanya dengan pikirannya yang mendalam.Objek material filsafat adalah tentang apa saja (semuaobjek) yang tidak ada perbedaan dengan ilmu pe-ngetahuan. Adapun objek formal dari filsafat berbedadengan objek formal ilmu pengetahuan, yakni mengenaisesuatu yang menyangkut sifat dasar, arti, nilai dan hakikatdari sesuatu. Jadi bukan sesuatu yang dapat dijangkaudengan indra dan percobaan, tapi dengan pemikiran yangmendalam, logis dan rasional.

Pertanyaan mendasarnya terkait dengan pembicaraantentang dasar filosofis kurikulum ini ialah “Apa hubunganfilsafat dengan kurikulum?”. Zais (1967:105-106) secaragamblang dan cukup sederhana menjelaskan, bahwa setiap

Pengembangan Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

184

masyarakat secara bersama-sama memiliki filosofi yangdiyakini dapat menuntutn untuk sebuah kehidupan yangbaik (a guide for living the good life). Kemudian, setiap orangtua pada suatu masyrakat ingin mewariskan fislosofi ataupengetahuan tentang hal yang baik tersebut kepada anak-anak mereka, sebab dengan begitu kedepan hidup merekamenjadi lebih terjamin dan memuaskan.

Pada masyarakat primitif pewarisan hal-hal yangdipandang baik tersebut dilakukan secara informal dariayah ke anak laki-laki dan dari ibu ke anak perempuan.Sedangkan pada masyarakat yang lebih tinggi per-kembangannya, sekolah dipercayakan untuk meng-induktrinasikan hal-hal yang dipandang baik oleh orangtua tersebut. Oleh kerana itu kurikulum sekolah harusmelakukan hal itu. Hal-hal yang harus dilakukan olehsekolah terkait dengan kurikulumnya ialah: Pertama danyang paling penting ialah mendesain kurikulum yangdapat menarik hati dan pikiran para pemuda (pesertadidik) dengan ide-ide dan prinsip-prinsip yang bijaksana,misalnya keputusan-keputusan yang secara konsekuendiarahkan kepada konsep hidup yang baik dari orang tua(the adult conception of the good life). Oleh karena itu,kurikulum harus seutuhnya diisi dengan filosofi buadayahidup yang oleh seorang filosof pendidikan telahdisarankan untuk menulis “Apa yang manusia benar-benarpercayai biasanya lebih jelas terungkap dalam apa yangdia ajarkan kepada anaknya daripada apa yang dianyatakan terhadap publik” (Thus, 1957:16).

Disamping itu hubungan antara filsafat dan kurikulumdalam kenyataannya memiliki pendekatan yang bervariasiatas sebuah permasalahan yang sama. Menurt Morris,1961:224), filsafat mendekati sebuah persoalan dengan

185

pendekatan “macro”, sedangkan kurikulum mendekatinyadengan pendekatan “micro”. Tampaklah dalam perspektifini, kerja kurikulum, dianatara hal lainnya, adalah sebuahaspek khusus yang sederhana dari filsafat, sementarafilsafat sesungguhnya sebuah teori general pendidikan“general theory of educatioan” (Dewey, 1916:383).

Sebelum mengerjakan berbagai aspek dari kerjakurikulum, para spesialis (pekerja) kurikulum, pertamaharus memastikan dan memahami asumsi-asumsi dasardan komitmen-komitmen dari pandangan filosifinyasendiri. Untuk melakukan hal ini, sangatlah penting, untukmenginspeksi pikiran dan perasaan terdalam dari dirinyaguna menguji keyakinan yang disoport oleh budayanyadan guna membandingkan hal itu dengan alternative-alternatif yang diusulkan pada waktu dan tempat yang lain.Kesulitan dan tantangan tugas terbesar, bahwa prosespencarian filosofis sendiri (process of philosophical self-dis-covery) ini dapat menjadi sesuatu apa yang disederhanakandengan melakukannya dalam cara yang sistimatik. Untukini para pekerja (spesialis) kurikulum dapat dibantu olehpola pencarian filosofis (the pattern of philosophical inquiry)yang telah dikembangkan oleh sejumlah besar filosofprofesional dalam bentuk kategori pengorganisasianpencarian yang bersifat filosofis. Diantara kategori tersebut,adalah: Metaphysics or ontology (hakekat kosmos danhakekat realitas); epsitemologi (hakekat pengetahuan danproses mengetahui); logic (sistimatika pengukuran darirelasi idea-idea); dan axiology (hakekat baik dan buruk, danprinsip-prinsip penataan kreasi dan apresiasi tentangkeindahan).Oleh karena itu, bidang kajian filsafat danhubungannya dengan kurikulum dapat dikaitkan dengan

Pengembangan Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

186

tiga bidang tersebut, yaitu ontotologi, epistemology, danaxiology, sebagaimana dapat digambarkan sebagai berikut:

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa ontologyadalah problem filosofis (philosophical problem) yangmengkaji tentang hakekat realitas dengan pertanyaandasar: Apa hakekat realitas sesuatu? (what is real?).Pertanyaan ini tampaknya seperti pertanyaan yang bodohdan membuang waktu sebab pertanyaan tersebut sangatjelas. Akan tetapi realitas sesuatu yang dipertanyakansecara ontolis tersebut tidak sekedar menggambarkangambaran seperti yang nampak dalam penglihatan semata(eksplisit), tetapi mengacu kepada realitas di balik yangnampak tersebut. Di samping itu tidak semua realitasnampak dalam wujud mata kepala, tetapi banyak pula

187

yang disebut realitas yang nampak dalam kenyataan yangdiyakini, seperti kenyataan adanya surga, neraka, dansebagainya atau konsep-konsep abstrak lainya yangterdapat di dalam konsep dan ide-ide pendidikan ataukurikulum, seperti keadilan, loyalitas, demokrasi, dansebagainya. Adapun epistemology adalah problemfilosofis (philosophical problem) yang mengkaji tentanghakekat pengetahuan dan hakekat mengetahui atau prosesuntuk mendapatkan pengetahuan. Pertanyaan dasar dariefistemology adalah: Apa hakekat kebenaran (what is true)?,bagaimana caranya agar kita dapat mengetahui kebenarantersebut (how do we know the truth)?, dan bagaimana kitamengetahui bahwa kita tahu (how do we know that we know)?.Selanjutnya axiology adalah problem filosofis (philosophi-cal problem) yang mengkaji tentang persoalan nilai untukmenjawab pertanyaan dasarnya, yaitu: Apakah baik itu(what is good)?, apa yang harus manusia siapkan (what shoulman prefer)?, dan apakah sungguh-sungguh diperlukan(what is really desiable)?. Nilai yang dikaji umumnya dibagikedalam dua kategori pokok, yaitu nilai-nilai etika (ethics)dan nilai-nilai estetika (aesthetics). Nilai-nilai etikaberkenaan dengan konsep-konsep benar dan salah, baikdan buruk yang berlaku dalam tingkah laku manusia.Adapun nilai-nilai estetika berhubungan dengan dengankualitas kindahan dalammhubungannya denganpengalaman manusia.

Hubungan antara filsafat, khususnya filasafat pen-didikan, dengan pendidikan adalah merupakan hubunganyang tidak terpisahkan. Menurut Brauner dan Burns,tujuan pendidikan juga merupakan tujuan filsafat. Begitupula, kebijaksanaan dan jalan yang ditempuh oleh filsafatjuga merupakan kebijaksanaan dan jalan yang dilalui oleh

Pengembangan Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

188

pendidikan (Barouner & Burns, 1955: 6). Kilpatrick dalambukunya ”Philosophy of Education” mengemukakan, bahwaberfilsafat dan mendidik adalah dua pase dalam satuusaha. Berfilsafat ialah memikirkan dan mempertimbang-kan nilai-nilai dan cita-cita yang lebih baik, sedangkanmendidik ialah usaha merealisasikan nilai-nilai dan cita-cita itu ke dalam kehidupan dan kepribadian manusia.Mendidik ialah mewujudkan nilai-nilai yang dapatdisumbangkan filsafat (Kilpatrik, 1957:32). ”Sehubungandengan ini, Umar Muhammad al-Toumi al-Syaibani,sebagai seorang pakar pendidikan Islam mengemukakan,bahwa filsafat pendidikan Islam, sebagaimana juga filsafatpendidikan umumnya, adalah merupakan pedoman bagiperancang dan orang-orang yang bekerja dalam bidangpendidikan dan pengajaran Islam (al-Syaibani, 1966:33). ”

Berdasarkan pandangan di atas dapat dipahamibahwa filsafat, khususnya filsafat pendidikan adalahmerupakan dasar bagi lahirnya teori pendidikan yang didalam terdapat teori dan praktik kurikulum. Dengandemikian, kurikulum sebagai salah satu aspek dari teoridan praktik pendidikan, dengan sendirinya pengem-bangannya harus didasari dengan filsafat pendidikan.Hubungan filsafat dengan pendidikan baik scara teoritikdan praktis dapat digambarkan sebagaimana gambarberikut

189

Hubungan antara persoalan filasafat dengankurikulum juga dapat dilihat pada ketiga aspek persoalanfilsafat, baik ontology, epistemology, maupun axiologydengan kurikulum. Persoalan ontologi hubungannyadengan kurikulum sebagaimana dikemukakan di atasbahwa terdapat hubungan langsung antara manusia,masyarakat, dan kurikulum. Pada tempat pertama, sym-bol-simbol dan manipulasinya adalah hal utama bagimanusia dalam menghadapi dunia dan alam semesta.Selanjutnya simbol-simbol membuat mungkin jagat besarkomunikasi dan informasi serta ide-ide dibutuhkan dalammasyarakat teknologis. Kenyataan pentingnya simbol-simbol ini bagi urusan manusia telah mengarahkan banyakpendidik untuk menyimpulkan bahwa realitas simbol-simbol adalah benar-benar dibutuhkan untuk refresentasiberfikir mereka. Untuk itu, kurikulum yang merekaanjurkan cenderung kepada kajian yang abstrak yangkeseluruhannya dalam bentuk materi simbolik, sepertibahasa Inggris dan Tata Bahasa Latin, geometry, aljabar,trigometry dan kalkulus, yang sedikit sekali atau hampir

Pengembangan Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

190

tidak ada hubungannya dengan realitas empirik. Selain itu,aktivitas belajar dengan kurikulum semacam itu sangateksklosif dan berpusat pada manipulasi simbol-simbol bacatulis (paper-and pencil).

Kebalikan dari hal di atas, sebuah pendidikan yangmenempatkan nilai ontology yang lebih tinggi padaberpikir ketimbang pada simbol-simbol, cenderungmenganjurkan sebuah kurikulum yang menekankanmateri-materi alamiah sebagai laboratorium fisika/biologi/kimia. Aktivitas belajar pada kurikulum inicenderung menempatkan siswa dalam kontak langsungdengan lingkungan dan perjalanan yang melingkupinya,demonstrasi dengan objek-objek fisik, dan proyek-proyekyang meliputi manipulasi seluruh materi yng benar-benarnyata.

Hubungan efistemology dengan kurikulum dapatterlihat sebagaimana disebutkan dimatas, bahwapertanyaan efistemology adalah sangat tergantung padapandangan atau filosofi dari para spesialis kurikulum.Sebagai ilustrasi tentang hal ini, yakni ketika menentukanatau menjawab tentang apa itu kebenaran (what is true)?dan bagaimana cara mengetahuinya (how can we know)?Yang dihadapkan kepada agamawan dan Darwiniantentang pandangan terhadap asal usul manusia yangterdapat dalam kurikulum. Menurut agamawan bahwaasal usul manusia, tentu saja, bahwa materi pengetahuanadalah apa yang datang dari Tuhan dan caramendapatkannya melalui wahyu dari Tuhan. Sementaramenurut Darwinian, bahwa pengetahuan adalah apa yangdihasilkan dan diperoleh melalui pencarian secara ilmiah(scientifically).

191

Sama halnya juga dengan hubungan antara aksiologidengan kurikulum. Tujuan dan isi pendidikan tidakmungkin meniadakan nilai-nilai (afeksi) yang hidup dalamkehidupan orang tua dan massyarakat sebagai bagian yangtelah diyakini sebagai sesuatu yang baik dan bernilai. Nilai-nilai sebagai isi kurikulum tidak saja terwujud dalamkurikulum formal (intra kurikuler) tetapi juga dalambentuk apa yang hidup dalam keseharian di sekolah.Kurikulum yang berisikan nilai yang baik tentu akanmelahirkan anak yang baik pula. Moris (1961:10)memberikan ilustrasi, bahwa “anak anak yang pergi kesekolah yang kotor dan jorok akan berbeda dalam hal rasadan selera (taste) arsitektur, seni dan desain interior merekadibandinhkan dengan siswa yang pergi ke sekolah yangbersih, cerah dan atraktif.

Sebagai sebuah produk berpikir bebas dari setiap or-ang, filsafat memiliki banyak corak pemikiran/paham,yang secara garis besar dapat dikelompokkan pada tigaposisi, yaitu filsafat yang konsern terhadap alam (eart cen-tered), filsafat yang konsern pada manusia (man centered),dan filsafat yang konsern pada alam luar (other worldly).Secara rinci pengelompokkan dan ragam aliran filsafattersebut dapat dilihat sebagaimana gambar berikut:

Pengembangan Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

192

Konsep dan praktek pendidikan dan termasukdidalamnya kurikulum yang digunakan dan dikembang-kan oleh setiap komunitas bangsa, negara, atau bahkanorang perorangan sangat ditentukan oleh faham filosofisapa yang dianut atau dipakai. Secara umum, menurutBrameld dalam bukunya “Philosofies of Education ini Cul-tural Perspektive” ada empat aliran filsafat yang banyakmempengaruhi konsep dan praktek pendidikan dankurikulum, yaitu: (1) Essentialism, (2) Progressivism, (3)Perennialism,dan (4) Reconstructionism. Berikut ini akandikemukakan konsep pendidikan menurut empat alirantersebut.(1) Konsep Pendidikan Aliran Essentialisme

Menurut aliran ini pendidikan adalah sebagaipemelihara kebudayaan (education as cultural conserva-tion). Oleh karena itu aliran ini dianggap sebagai aliran

193

yang ingin kembali kepada kebudayaan lama yang telahada sejak awal peradaban manusia yang telah mem-buktikan kebaikannya bagi kehidupan manusia.Kebudayaan yang telah diwariskan oleh nenek moyangmasa lalu yang telah teruji oleh zaman, kondisi sosial,dan sejarah. Kebudayaan sebagai sumber itu tersimpuldalam ajaran para filosof masa klasik, seperti pemikiran-pemikiran filosofis Plato, Aristoteles, Democritus. Kuri-kulum, menurut aliran ini harus memuat pengetahuandan nilai-nilai yang baik yang telah diwariskan olehnenek moyang masa lalu yang telah teruji oleh zman.

a. PerenialismePerenialisme merupakan aliran filsafat pendi-

dikan yang paling tua dan konservatif. Perenialis-me adalah aliran filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat universal danabadi. Menurut aliran ini tujuan pendidikan adalahmengembangkan manusia yang rasional danintelektual serta untuk mengungkap kebenaran uni-versal. Tugas guru berkenaan dengan pencapaiantujuan pendidikan tersebut adalah membantu siswaberpikir rasional dengan menerapkan metodeSocratic. Menurut Lasley II, Metczynski, & Rowley(2002: 352) metode Socratic digunakan untukmelibatkan peserta didik dalam kegiatan berpikirkritis. Kurikulum yang sesuai dengan aliran filsafatperenialisme adalah kurikulum yang berpusat padamata pelajaran yang terpisah-pisah dan bersifattetap. Mata pelajaran yang mendapat penekananadalah sastra, matematika, bahasa, dan humanioratermasuk sejarah.

Pengembangan Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

194

b. EsensialismeEsensialisme merupakan filsafat pendidikan

yang berakar pada idealisme dan realisme.Esensialisme menekankan pada pendidikan untukmenguasai keterampilan, fakta-fakta, dan konsep-konsep penting yang membentuk dasar suatu matapelajaran. Oleh karena itu, pendidikan menurutesensialisme bertujuan meningkatkan pertumbuhanintelektual individu dan mendidik manusia agarmenjadi individu yang kompeten. Menurut esen-sialisme kurikulum hendaknya mencakupketerampilan utama yaitu Three R’s (writing, reading,and arithmetic – calistung: membaca, menulis, danberhitung) untuk sekolah dasar serta mata pelajaranpenting yaitu bahasa Inggris, matematika, sains,sejarah, dan bahasa asing untuk sekolah lanjutanpertama. Menurut aliran filsafat esensialisme, guruadalah ahli dalam disiplin ilmu dan merupakanmodel yang diteladani. Guru yang memegangkendali dalam pembelajaran dan yang menentukankurikulum dengan sedikit melibatkan siswa.

c. ProgresivismeFilsafat progresivisme berkembang dari filsafat

pragmatisme dan sebagai protes terhadap pemikiranperenialisme dalam pendidikan. Progresivismemenentang guru yang otoriter, penekanan terhadapbuku teks yang berlebihan, hafalan tentang fakjtadan keterampilan melalui latihan, tujuan dan materipelajaran yang statis yang menolak perubahan,penggunaan hukuman fisik sebagai alat pem-bentukan disiplin, serta upaya mengasingkan pen-

195

didikan dari pengalaman individu dan kenyataansosial (Ornstein & Hunkins, 1998: 46). Progresisvis-me dipandang sebagai gerakan reformasi kontem-porer dalam bidang pendidikan, sosial, dan politik.

Tujuan pendidikan progresisvisme adalahmeningkatkan kehidupan sosial dan demokratis(Ornstein & Hunkins, 1998: 56). Untuk itu pesertadidik harus dibekali dengan keterampilan dan alat-alat yang bermanfaat untuk berinteraksi denganlingkungan yang berada dalam proses perubahansecara terus-menerus (Sadulloh, 1994: 141).Keterampilan dan alat-alat tersebut adalah metodepemecahan masalah dan penemuan ilmiah. Olehkarena itu, pengalaman belajar yang disediakanhendaknya memebrikan kesempatan kepada pesertadidik untuk mengembangkan perilaku kooperatifdan disiplin diri yang merupakan hal penting bagikehidupan demokratis.

Kurikulum yang sesuai dengan aliranprogresivisme adalah kurikulum yang didasarkanpada minat siswa, melibatkan penerapan masalahdan kegiatan kemanusiaan, serta mata pelajaranyang bersifat interdisipliner. Progresivismemenekankan pada bagaimana berpikir bukan padaapa yang dipikirkan. Dengan demikian tugas guruadalah membimbing peserta didik dalam melakukanpemecahan masalah dan penemuan ilmiah.

d. RekonstruksionismeFilsafat pendidikan rekonstruksionisme di-

dasarkan pada filsafat pragmatisme. Rekonstruk-sionist memandang progresivisme terlalu ber-

Pengembangan Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

196

orientasi pada peserta didik dalam pendidikannya(child-centered education) yang lebih melayaniindividu peserta didik dan kelompok menengah.Sementara itu, yang dibutuhkan adalah pendidikanyang lebih berorientasi masyarakat (society-centerededucation) yang lebih memperhatikan kebutuhanmasyarakat (bukan individual) dan melayani se-luruh lapisan masyarakat (Ornstein & Hunkins,1998:50; Longstreet & Shane, 1993: 115). Masyarakatmenghadapi sejumlah masalah yang membingung-kan yang menuntut adanya rekonstruksi terhadapsemua sistem nilai yang ada. Untuk mengatasi ma-salah tersebut, para pendukung filsafat rekonstruk-sionisme mengembangkan pandangan yang sis-tematis dalam memikirkan dan mendorongperubahan sosial.

Rekonstruksionisme mengharapkan semua orangmenjadi agen perubahan, untuk mengubah dirinyasendiri dan masyarakat di sekelilingnya, termasukmasyarakat global. Oleh karena itu, rekonstruksionismesangat menekankan prinsip masyarakat dunia,persaudaraan, dan demokrasi dalam pelaksanaan pendidikan dan kehidupan masyarakat. Dengan demikian,menurut filsafat rekonstruksionisme pendidikandilaksanakan untuk memperbaiki dan membangunkembali masyarakat. Oleh karena itu, pendidikandiarahkan untuk meningkatkan kemampuan pesertadidik sebagai agen perubahan yang efisien dan efektifuntuk memperbaiki masyarakat sesuai denganperubahan sosial yang berkesinambungan.

197

Kaum Rekonstruksionist mengusahakan agarpeserta didik sesering mungkin keluar kelas memasukimasyarakat. Melalui interaksi dengan masyarakatpeserta didik dapat belajar dari masyarakat danmenerapkan apa yang telah dipelajari di kelas dalamkehidupan masyarakat. Berkenaan dengan hal tersebut,Ornstein & Hunkins (1998: 43) menyatakan bahwakurikulum yang ideal menurut filsafat rekonstruk-sionisme adalah kurikulum yang didasarkan pada isu-isu dan layanan sosial. Isi pendidikan adalahketerampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untukmengidentifikasi dan mengatasi masalah-masalahdalam masyarakat. kurikulum dituntut untuk ber-orientasi kegiatan (action-oriented) dengan melibatkanpeserta didik dalam berbagai proyek. Peserta didiktidak hanya belajar dari buku tetapi juga dilibatkandalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Keterlibatanpeserta didik dalam berbagai kegiatan kemasyarakatanmemberikan kesempatan kepada mereka untuk dapatmemberikan sumbangan yang nyata terhadap masya-rakat sambil belajar. Untuk itu, kurikulum rekons-truksionisme menekankan pada ilmu-ilmu sosial dansains, serta metode penelitian sosial; pengujianmasalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik; sertakecenderungan sekarang dan masa depan juga isu-isunasional dan internasional. (Ornstein & Hunkins, 1998:56). Dalam pelaksanaan pendidikan, guru dituntutuntuk berperan sebagai agen perubahan dan reformasiserta bentindak sebagai pemimpin pelaksanaankegiatan proyek dan penelitian.

Pengembangan Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

198

2. Landasan PsikologisPsikologi adalah ilmu yang membahas tentang

perilaku atau kegiatan manusia sebagai individu dalaminteraksinya dengan lingkungan. Dua bidang psikologiyang berkenaan dengan pendidikan atau pembelajaranadalah psikologi perkembangan dan psikologi belajar.Psikologi perkembangan mengkaji tentang karakteristikperilaku individu dalam berbagai tahap perkembangandan polapola perkembangan individu. Sementara itu,psikologi belajar mengkaji tentang proses belajar yangterjadi pada individu.

Tujuan pendidikan adalah membantu perkembanganpeserta didik secara optimal (Sukmadinata, 2005: 45-46).Perkembangan yang dicapai peserta didik sebagian besarmerupakan hasil belajar. Oleh karena itu, salah satulandasan yang perlu diperhatikan dalam merancang danmelaksanakan pendidikan adalah landasan psikologis, baikpsikologi perkembangan maupun psikologi belajar.

Berkenaan dengan perlunya memahami landasanpsikologis dalam pendidikan, Ornstein & Hunkins (1998:100) mengemukakan bahwa psikologi merupakan dasaruntuk memahami proses belajar dan mengajar. Hal inidikarenakan psikologi memusatkan perhatiannya padapertanyaan “bagaimana orang belajar dan bagaimanasebaiknya orang mengajar” (Ornstein & Hunkins ,1998:101). Sementara itu Dewey mengemukakan bahwapsikologi merupakan dasar untuk memahami bagaimanapeserta didik berinteraksi dengan objek dan orang yangada di lingkungannya; dan Tyler memandang kurikulumsebagai “screen” untuk membantu menentukan tujuan danproses belajar (Ornstein & Hunkins, 1998: 101). MenurutLongstreet & Shane (1993: 125) pandangan kita tentang

199

pengertian belajar, proses terjadinya belajar, dankarakteristik peserta didik yang mempengaruhi belajarmerupakan pertimbangan utama dalam merancang danmelaksanakan kurikulum. Bagaimana peserta didik belajarmengarahkan pertimbangan pendidik tentang bagaimanadan kapan mengajarkan kurikulum serta materi apa yangsebaiknya disediakan dalam kurikulum. Lebih tegas Zais(1976: 238) mengemukakan adanya hubungan langsungdan sangat penting antara dasar-dasar individu dengantujuan kurikulum, materi, kegiatan belajar, dan evaluasi.Hal senada dikemukakan oleh Sukmadinata (2005: 46)bahwa psikologi belajar dan psikologi perkembangan di-perlukan dalam merumuskan tujuan, memilih dan me-nyusun bahan ajar, memilih dan menerapkan metodepembelajaran, serta menentukan teknik-teknik penilaian.Dalam kaitannya dengan pengembangan kurikulum, Zais(1976:244) mengemukakan bahwa kurikulum yang logisdan efektif adalah kurikulum yang didasarkan teori belajaryang cukup beralasan (well-founded).

Menurut Ornstein & Hunkins (1998: 101) terdapat tigateori belajar utama, yaitu teori behavioris dan asosiasi, teorikognitif-proses informasi, serta teori fenomenologi danhumanistik. Pengelompokan teori belajar ini berbedadengan penglompokan oleh ahli lain. Zais (1976: 251)mengelompokkan teori belajar ke dalam dua kategori yaituteori asosiasi dan teori field. Pengelompokan yang samadikemukakan juga oleh Longstreet & Shane, hanya denganmenggunakan nama yang berbeda. Longstreet & Shane(1993: 127) mengemukakan dua kelompok teori belajaryang mendominasi pada abad 20 yaitu teori behavioris danteori field. Sementara itu, Morris L. Bigge & Maurice P.Hunt (1980 dalam Sukmadinata, 2005: 53) mengemukakan

Pengembangan Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

200

tiga rumpun teori belajar yang berbeda dengan yangdikemukakan oleh Ornstein & Hunkins. Ketiga rumpunteori belajar tersebut adalah teori Disiplin Mental,Behaviorisme, dan Cognitive Gestalt Field.

Teori belajar behavioris dan asosiasi merupakan teoribelajar yang tertua yang terkait dengan berbagai aspekstimulus-respons dan penguat. Menurut teori belajar be-havioris dan asosiasi, belajar adalah serangkaian hubunganantara stimulus-respons yang dikondisikan, dimodifikasi,atau dibentuk melalui penguatan (reinforcement) dan hadiah(rewards) (Ornstein & Hunkins, 1998: 101). Berkenaandengan pengembangan kurikulum, teori belajar behaviorisdan asosiasi menuntut pengorganisasian kurikulum secarabertahap sehingga peserta didik menguasai materi kuri-kulum. Materi kurikulum diorganisasikan yang mudahmenuju yang kompleks, mulai dari bagian-bagian menujuperilaku yang utuh. Kegiatan pembelajaran hendaknyadilakukan secara bertahap, sederhana, dan sedikit demisedikit, serta berurutan sesuai dengan kesiapan pesertadidik.

Teori belajar koginitif-pemrosesan informasimemandang peserta didik dalam hubungannya denganlingkungan secara keseluruhan dan mempertimbangkancara peserta didik menerapkan informasi. Menurut teoriini, proses belajar difokuskan pada tahap-tahap per-kembangan peserta didik dan berbagai bentuk kecerdasan,serta pemecahan masalah, berpikir kritis, dan kreativitas(Ornstein & Hunkins, 1998: 101). Teori belajar ini sesuaidengan teori belajar daya menurut Zais. Teori belajar dayamenyatakan bahwa belajar adalah pengembangan daya-daya atau potensi yang ada pada manusia. Menurut teoribelajar kognitif-pemrosesan informasi, belajar merupakan

201

hasil interaksi individu dengan lingkungannya (Ornstein& Hunkins, 1998: 133).Dalam kaitannya dengan pe-ngembangan kurikulum, teori belajar kognitif menuntutkurikulum yang memberikan kesempatan kepada pesertadidik untuk belajar bagaimana belajar. Peserta didikhendaknya dilibatkan secara aktif dalam berinteraksidengan lingkungan atau mengikuti kegiatan-kegiatankreatif. Hal ini diperlukan agar peserta didik banyakberlatih memecahkan masalah sehingga transfer belajarpada diri peserta didik akan meningkat.

Kelompok teori belajar ketiga adalah teori belajarfenomenologis dan humanistik. Teori belajar ini sesuaidengan teori belajar gestalt yang dikemukakan Zais (1976:259), yang menyatakan bahwa belajar adalah prosespemahaman. Belajar terjadi apabila individu terlibat aktifdalam pembentukan persepsi pada situasi secarakeseluruhan. Teori gestalt memandang bahwa keseluruhanlebihbermakna daripada bagian-bagian. Kelompok teoriini memandang peserta didik secara utuh, yang mencakupperkembangan sosial, kognitif, dan psikologis (Ornstein& Hunkins,1998: 101). Berkenaan dengan pengembangankurikulum, teori ini menuntut kurikulum yang berorientasipada kebutuhan psikologis, sosial, fisik, dan kognitifpeserta didik secara komprehensif. Selain itu, kebebasanmerupakan salah satu isu penting dalam fenomenologi.Oleh karena itu, kurikulum hendaknya menyediakan danmeningkatkan kesempatan dan alternatif belajar bagipeserta didik tanpa mengurangi otoritas pendidik. Untukitu, perlu dirancang kurikulum yang membantu pesertadidik menyadari potensi yang mereka miliki sepenuhnya.

Pengembangan Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

202

3. Landasan SosiologisLandasan sosiologis atau sosial-budaya dalam

pengembangan kurikulum berkenaan dengan adat istiadat,keyakinan, nilai, bahasa, agama, dan lembaga-lembagasosial yang turut berpengaruh terhadap pengembangankurikulum. Sekolah berada dalam konteks sosial. Melaluikurikulum, sekolah mempengaruhi budaya orang yangdilayaninya. Sebaliknya, budaya membentuk danmempengaruhi kurikulum dan sekolah. Sekolah melaluikegiatan pembelajaran dapat mengubah masyarakat,sementara itu dan sosial-budaya masyarakat turutmembentuk sekolah dan kurikulum. Hal ini menunjukkanbahwa sekolah dan kurikulum memiliki hubunganyangerat dengan keadaan sosial dan budaya di mana sekolahberada. Kita tidak dapat menghindari bahwa pengem-bangan dan pelaksanaan kurikulum menggambarkanhubungan antara sekolah dan masyarakat. Oleh karenaitu, faktor sosial-budaya merupakan salah satu landasanpengembangan kurikulum.

Faktor-faktor sosial-budaya yang perlu dipertimbang-kan dalam pengembangan kurikulum adalah ras, kelassosial, dan gender (Ornstein & Hunkins, 1998: 146). Rasberkenaan dengan kelompok etnik yang merupakansekelompok orang yang memiliki kesamaan bahasa,agama, keyakinan, atau moral yang berbeda dengankelompok lainnya. Isu penanganan perbedaan ras ini akanterus berpengaruh terhadap bidang kurikulum denganberkembannya konsep asimilasi berbagai kelompok etnisdan konsep pluralitas dalam pendidikan di sekolah.

Isu kelas sosial juga perlu diperhatikan dalampengembangan kurikulum. Hal ini disebabkan setiap

203

kelompok kelas sosial menganut nilai-nilai yang berbedaantara kelompok sosial yang satu dengan yang lainnya,yang berpengaruh terhadap perilaku. Cara berinteraksidengan orang lain, pandangan tentang masa depan,persepsi tentang keberhasilan, dan ide-ide yang berkenaandengan pendidikan akan berbeda antara satu kelompoksosial dengan kelompok lainnya.

Gender tidak berkaitan dengan faktor biologis tetapilebih menekankan pada faktor sosial budaya. Berkenaandengan pengembangan kurikulum, pendidik bertanggungjawab untuk mempersiapkan anak laki-laki dan anakperempuan untuk dapat menjalankan tugasnya di dalammasyarakat secara keseluruhan. Kurikulum hendaknyatidak memihak pada satu jenis kelamin tertentu.Kurikulum hendaknya memungkinkan individu untukmengembangkan, meningkatkan, dan mengoptimal-kanpotensi yang dimilikinya.

Selain tiga landasan pokok tersebut di atas, beberapaahli kurikulum juga ada yang menambahkan secaraspesifik landasan dasar kurikulum lainnya, di antaranya:

3. Landasan HistorisLandasan historis pengembangan kurikulum adalah

berbagai pengalaman sejarah (masa lampau) yangberpengaruh terhadap kurikulum yang dikembangkan.Pengkajian tentang landasan historis akan memberikanpemahaman yang lebih jelas tentang bidang kurikulumbaik yang sekarang maupun yang telah lalu, serta akanmemberikan pemahaman terhadap masa depan yang harusdiantisipasi dalam pengembangan kurikulum.

Pengembangan Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

204

Dalam pengembangan kurikulum inti, pespektifsejarah atau historis sangat penting. Oleh karena itu,pengembang kurikulum perlu memiliki perspektif historisagar dapat mengintegrasikan pengalaman masa lalu dansekarang dalam kurikulum yang dikembangkan. Denganmemahami sejarah masa lalu, selain diharapkan tidakterulangnya kesalahan yang dilakukan pada masa lampau,tetapi juga wawasan tersebut akan membantu pengembangkurikulum mempersiapkan kurikulum dengan lebih baik.

Sejarah pendidikan memungkinkan praktisi memaha-mi hubungan antara apa yang sudah dipelajari pesertadidik dan apa yang sedang dipelajarinya. Selain itu, melaluipemahaman sejarah, pengembang kurikulum memilikikesempatan untuk menambah dimensi moral dalampendidikan akademik. Dengan perspektif sejarah,pengembang kurikulum memiliki pemahaman yang lebihbaik tentang hubungan antara konten dan proses dalambidang pelajaran. Dengan demikian, pemahaman tentanglandasan historis dalam pendidikan membantu pe-ngembang kurikulum dalam mengintegrasikan kurikulum,pembelajaran, dan mengajar.

Berdasarkan pandangan historis, kegiatan kurikulumberada dalam gambaran faktor-faktor yang dibatasi olehwaktu dan konteks. Oleh karena itu, pemahaman historistentang kurikulum memungkinkan pengembang kuri-kulum untuk menyadari dan menyenangi fakta bahwabidang kurikulum bersifat dinamis dan terus berkembang(Orstein,& Hunkins,1998: 96).

2. Landasan Perkembangan IPTEKSekolah hendaknya dipertimbangkan sebagai salah

satu sumber pengetahuan, dalam hal (1) pemilihan

205

pengetahuan yang sesuai dengan tujuan masyarakatterhadap pendidikan, (2) identifikasi jenis-jenis pengetahu-an yang penting, dan (3) penentuan apa yang dapat dansebaiknya diajarkan (Ornstein & Hunkins, 1998: 150).Pengetahuan dalam perjalanannya sudah mengalamiperkembangan yang sangat pesat begitu juga denganperkembangan teknologi dan informasi. Dalam lingkunganyang sudah menerapkan teknologi tinggi dan masyarakatilmiah, pengetahuan dan teknologi memiliki pengaruhyang sangat kuat terhadap standar hidup dan kehidupan.Sekolah sebagai lembaga pendidikan memiliki tugas untukmembantu individu dalam meningkatkan standar hidupdan kehidupannya melalui pendidikan. Hal ini berartibahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologihendaknya dijadikan landasan dalam pengembangankurikulum. Untuk dapat mengikuti perkembangan ilmupengetahuan dan teknologi, kurikulum perlu diorganisasi-kan agar kondusif terhadap perubahan dan memungkin-kan para akademisi dan praktisi bekerja sama dan mengujiide-idenya dalam konteks perubahan-perubahan masalahdan isu-isu masyarakat. Oleh karena itu kurikulum harusmengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologiagar tidak ketinggalan zaman dan ilmu pengetahuan didapat oleh siswa senantiasa fungsional dn uptodate.

C. Prinsip-prinsip Pengembangan KurikulumPrinsip-prinsip pengembangan kurikulum adalah

merupakan hal-hal dan kaidah-kaidah yang sangat orgenuntuk diperhatikan dalam mengembangkan kurikulum.Dengan memperhatikan prinsip-prinsip tersebutkurikulum yang dihasilkan akan lebih sempurna dan tepatguna. Prinsip dalam pengembangan kurikulum, pada

Pengembangan Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

206

dasarnya dapat dibagi dalam dua, yaitu prinsip-prinsipumum dan prinsip-prinsip khusus. Prinsip-prinsip umumadalah perinsip-prinsip yang menjadi pertimbangan yangharus diperhatikan pada setiap pengembangan kurikulumoleh siapapun dan di manapun. prinsip-prinsip umumpengembangan kurikulum tersebut meliputi: prinsipefektivitas, efisiensi, relevansi, fleksibilitas, kontinuitas,dan sebagainya. Adapun prinsip-prinsip khusus adalahprinsip-prinsip yang harus diperhatikan terkait denganpengembangan aspek-aspek yang terdapat dalam anatomikurikulum, seperti prinsip khusus dalam pengembangantujuan kurikulum, isi, strategi impelemntasi, dan evaluasi.Selain itu, prinsip khusus juga dikaitkan denganpengembangan kurikulum untuk sebuah jenis kurikulumtertentu pada suatu Negara atau sekolah yang dianggappenting secara khusus oleh Negara atau sekolah yangbersangkutan. Sebagai contoh, prinsip-prinsip pengem-bangan kurikulum KTSP yang menghendaki prinsipkhusus pengembangan kurikulumnya, meliputi: (1)Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dankepentingan siswa dan lingungan; (2) Beragam danterpadu; (3) Tanggap terhadap perkembangan ilmupengetahuan dan teknologi dan seni; (4) Relevan dengankebutuhan kehidupan; (5) menyeluruh dan ber-kesinambungan; (6) Belajar sepanjang hayat; dan (7)Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingadearah.

1. Prinsip-prinsip UmumDi antara prinsip-prinsip umum yang penting untuk

diperhatikan dalam pengembangan kurikulum ialah:

207

1) Prinsip relevansiKurikulum sebagai kegitan pendidikan, baik secaraideal maupun aktual harus senantiasa menjagarelevansinya, baik secara internal maupun eksternal.Relevansi internal menuntut suatu kurikulum memilikirelevansi di antara komponen-komponen kurikulum(tujuan, bahan, strategi, organisasi dan evaluasi).Sedangkan relevansi secara eksternal yang mana setiapaspek dari komponen-komponen tersebut memilikirelevansi dengan tuntutan ilmu pengetahuan danteknologi (relevansi epistomologis), tuntutan danpotensi peserta didik (relevansi psikologis) sertatuntutan dan kebutuhan perkembangan masyarakat(relevansi sosiologis).

2) Prinsip fleksibilitasPengembangan kurikulum harus mengusahakan agaryang dihasilkan memiliki sifat luwes, lentur danfleksibel dalam pelaksanaannya, memungkinkanterjadinya penyesuaian-penyesuaian berdasarkansituasi dan kondisi tempat dan waktu yang selaluberkembang, serta kemampuan dan latar bekangpeserta didik.

3) Prinsip kontinuitasPrinsip kontinuitas adalah adanya kesinambungandalam kurikulum. Pengalaman-pengalaman belajaryang disediakan kurikulum harus memperhatikankesinambungannya, sehingga peserta didik tidakmendapatkan informasi, pengetahuan dan pengalamanyang terpustus atau ada yang tidak didapatkan (miss-ing link). Kesinambungan dimaksud, baik di dalam

Pengembangan Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

208

tingkat kelas, antar jenjang pendidikan, maupun antarajenjang pendidikan dengan jenis pekerjaan.

4) Prinsip efisiensiPrinsip efisensi adalah suatu upaya agar dalampengembangan kurikulum dapat mendayagunakanwaktu, biaya, dan sumber-sumber lain yang ada secaraoptimal, cermat dan tepat sehingga hasilnya memadai.

5) Prinsip efektivitasPrinsip efektivitas ialah uapaya agar kegiatanpengembangan kurikulum mencapai tujuan yang tepatsasaran sesuai denga apa yang menjadi tujuan atauditergetkan, baik secara kualitas maupun kuantitas.

Zais (1976:443) dalam bukunya yang berjudul “Cur-riculum Principles and Foundations” mengemukakansebuah prinsip pengembangan kurikulum yang sangatfundamental dan sekaligus menjadi salah satu problemfundamental, yaitu prinsip “keseimbangan (balance).Menurutnya ada tujuh pertanyaan dasar yang perludiperhatikan terkait dengan prinsip keseimbangan ini,yaitu:1) Bagaimana keseimbangan tersebut dapat dijamin?

Apa jaminan yang dapat dipakai dalam bidang ke-hidupan dimana murid atau guru tidak merasakanmasalah-masalah yang tidak terlupakan?

2) Bagaimana kurikulum dapat terus menerus ber-tumbuh tahun demi tahun tanpa adanyapengulangan hal-hal yang tidak diinginkan atau gapdalam pembelajaran yang tidak diinginkan?

3) Bagaimana agar ilmu pengetahuan yang sangatdiinginkan dapat dijamin? Bagaimana mencegah

209

para pelajar dari pengetahuan yang dangkal tentangberbagai hal dan pemahaman yang dangkal?

4) Bagaimana penguasaan yang dalam dari materi-materi khusus yang penting dapat dijamin?

5) Bagaimana menjamin bahwa anak-anak danpemuda akan mengetahui segala sesuatu dengansumber-sumber alam yang luas yang merupakansebagian dari warisan budaya dan memiliki skilldalam bidangnya serta dapat menggunakan sumber-sumber tersebut dalam situasi kehidupan nyata?

6) Bagaimana menjamin bahwa pilihan permasalahantidak bersifat coba-coba dan tidak menjadiketertarikan (minat) yang tidak kekal melainkanmenjadi perhatian yang mendasar?

7) Bagamaina menjadikan kelompok permasalahan-permasalahan tersebut menjadi sesuatu yang asli(genuine)? Akankah nanti tidak benar-benar dalambanyak kesempatan ketika motivasi ekstrensikdiperlukan jika kelompok setudi diperlukan?Bukankah pandangan tersebut secara logika mudahdikerjakan ketika secara individual sulit?

Selain prinsip-prinsip di atas, menurut Oliva (…)ada sepuluh prinsip (axioma) umum dalampengembangan kurikulum. Dengan memperhatianprinsip-prinsip tersebut, tugas dan tanggung jawab daripara pengembang kurikulum akan dipermudah.Menurutnya prinsip-prinsip tersebut meliputi:k. Perubahan kurikulum adalah sesuatu yang tidak

dapat dihindarkan dan bahkan diperlukan.

Pengembangan Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

210

l. Kurikulum merupakan produk dari masa yangberkelanjutan.

m. Perubahan kurikulum masa lalu sering seringterdapat secara bersamaan bahkan tumpang tindihdengan perubahan kurikulum masa kini.

n. Perubahan kurikulum akan terjadi dan berhasilsebagai akibat dan jika ada perubahan pada orang-orang atau masyarakat.

o. Pengembangan kurikulum adalah kegiatankerjasama kelompok.

p. Pengembangan kurikulum pada dasarnya adalahproses menentukan pilihan dari sekian alternatifyang ada.

q. Pengembangan kirikulum adalah kegiatan yangtidak akan pernah berakhir.

r. Pengembangan kurikulum akan barhasil jikadilakukan dengan komprehensif, bukan aktivitasbagian perbagian yang terpisah.

s. Pengembangan kurikulum akan lebih efektif jikadilakukan dengan mengikuti suatu proses yangsistematis.

t. Pengembangan kurikulum dilakukan barangkat darikurikulum yang ada.

i. Prinsip-prinsip Khusus

Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa prinsipkhusus adalah prinsip-prinsip yang berhubungandengan prinsip pengembangan masing-masing anatomikurikulum, yaitu prinsip pengembangan tujuan, isi,strategi implementasi (pembelajaran), dan evaluasi.

211

6) Prinsip Khusus dalam Pengembangan TujuanKurikulum

Tujuan kurikulum adalah salah satu komponenkurikulum yang sangat penting, karena tujuan merupa-kan titik sentral dari desain dan proses sertakeberhasilan sebuah kurikulum. Oleh karena itu dalampenyusunannya harus benar-benar memperhatikanprinsip yang terkait. Sesungguhnya dalam perumusantujuan kurikulum tidak bisa lepas dari prinsip-prinsipumum di atas, yakni perinsip efektivitas, efisiensi,kontinuitas, pleksibelitas, dan relavansi. Akan tetapidalam perumusan tujuan kurikulum terdapat beberapahal yang perlu ditekankan, di antaranya:a. Karena tujuan kurikulum adalah merupakan

refresentasi kehendak dari pemegang kebijakanpendidikan, maka tujuan tidak boleh bertentangandengan filosofi, pandangan, dan tujuan daripemegang kebijakan pendidikan tersebut.Kehendaak tersebut biasanya terwujud dalam visi,misi dan tujuan lembaga pendidikan yangbersangkutan. Oleh karena itu dalam perumusantujuan kurikulum harus memperhatikan kesesuaiandengan visi, misi, dan tujuan lembaga pendidikan.

b. Karena sekolah adalah merupakan sebuah lembagayang dipercayai oleh masyarakat (pengguna, seperti:pemerintah, pengguna lulusan, orang tua), makadalam merumuskan tujuan pendidikan harusmemperhatikan relevansinyaa dengan segalatuntutan berbagai pihakn tersebut.

c. Karena kurikulum diperuntukkan bagi anak,utamanya rumusaan tujuan adalah sesuatu yang

Pengembangan Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

212

harus dicapai oleh peserta didik, maka dalam me-rumuskan tujuan pendidikan harus memperhatikantingkat kemampuan dan keragaman peserta didik.

d. Tujuan kurikulum pada dasarnya adalah me-rupakan menjabaran atau penterjemahan lebih jauhdari tujuan suatu bangsa, negara, atau komunitastertentu, maka rumusan tujuan kurikulum harusbenar-benar dapat menterjemahkan tujuan diatasnya.

e. Dalam merumuskan tujuan kurikulum harus jugamempertimbangkan aspek-aspek kurikulumlainnya, seperti kemungkinan tersedianya materi,kemampuan dan kemudahan guru dan muridmewujudkannya dengan metode dan strategi,sumber belajar dan sarana yang tersedia, sertakemungkinan untuk dievaluasi.

7) Prinsip Khusus Pengembangan Isi (Konten)Sama halnya dengan prinsip perumusan tujuan,

dalam perumusan isi (konten) kurikulum juga padadasarnya mengacu kepada prinsip-prinsip umumsebagaimana dikemukakan di atas, namun tentu jugaada hal-hal khusus yang perlu diperhatikan. Di natrahal-hal kusus tersebut ialah:a. Isi kurikulum harus dapat memberikan informasi

dan pengalaman belajar yang memungkinkanterwujudnya tujuan kurikulum.

b. Isi kurikulum harus meliputi segi-segi pengetahuan,sikap, dan keterampilan secara proforsional

c. Isi kurikulum harus disusun dengan sistimatikayang logis dan sistematis.

213

d. Isi kurikulum harus fungsional (benar-benardibutuhkan) sesuai dengan tuntutan.

e. Rumusan isi kurikulum ditetapkan harus denganmempertimbangkan ketersedian sumbernya, baikdalam bentuk sumber cetakan, sumber factual dialam dan masyarakat, elektronik, dan sebagainya.

8) Prinsip Khusus Pengembangan Proses dan StrategiImplementasi (Pembelajaran)

Pemilihan proses dan strategi pembelajaran disamping memperhatikan prinsip-prinsip umum di atas,menurut Nana Syaodih Sukmadinana (1988:171) jugaharus memperhatikan prinsip-prinsip khusus sebagaimana pertanyaan-pertanyaan berikut:a. Apakah metode/teknik pembelajaran yang

digunakan cocok untuk mengajarkan bahan ajar?b. Apakah metode/teknik pembelajaran tersebut

memberikan kegiatan yang bervariasi sehinggadapat melayani perbedaan individu siswa?

c. Apakah metode/teknik pembelajaran memberikanurutan kegiatan yang bertingkat-tingkat?

d. Apakah metode/teknik pembelajaran dapatmenciptakan kegiatan untuk mencapai tujunkognitif, afektif, dan psikomotorik?

e. Apakah metode/teknik pembelajaran tersebut lebihmengaktifkan guru atau murid atau kedua-duanya?

f. Apakah metode/teknik pembelajaran mendorongberkembangnya kemampuan baru?

g. Apakah metode/teknik pembelajaran tersebutmenimbulkan jalinan kegiatan pembelajaaran di

Pengembangan Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

214

sekolah dan di rumah, juga mendorong penggunaansumber yang ada di rumah dan masyarakat?

h. Untuk belajar keerampilan sangat dibutuhkankegiatan belajar yang menekankan “learning by do-ing” di samping “learning by seeing and knowing”.

9) Prinsip Khusus Pengembangan Media PembelajaranMedia pembelajaran adalah salah satu komponen

kurikulum yang harus ditetapkan dengan mem-perhatikan prinsip-prinsip khusus, di samping prinsip-prinsio umum di atas. Di antara prinsip-prinsip khusustersebut adalah:a. Media atau alat yang ditetapkan harus benar-benar

dapat mendukung proses penyajian materi (pem-belajaran) dan mencapai tujuan pembelajara yangditetapkan lebih baik lagi.

b. Media atau alat pembelajaran yang ditetapkan harusbenar-benar tersedia atau memungkinkan untukdibuat pengadaannya.

c. Media atau alat yang ditetapkan telah memper-hatikan kemungkinannya untuk digunakan tanpamendatangkan kesulitan baik bagi siswa maupunguru.

d. Media atau alat yang ditetapkan sebaiknya dapatmemberikan motivasi dan antusiasme bagi siswauntuk belajar.

e. Media atau alat yang ditetapkan harus diper-timbangkan efek samping dan efek pengiring (saideffect and nurturant effect) yang positif dan tidakmendatangkan efek negatif.

215

10)Strategi Khusus Pengembangan EvaluasiEvaluasi atau penilaian adalah merupakan bagian

integral dari sebuah kurikulum dan proses pembelajar-an. Dalam penyusunannya di samping memperhatikanprinsip-prinsip umum di atas, menurut Nana SyaudihSukmadinata (1988:172) ada beberapa hal khusus yangharus diperhatikan, yaitu:a. Dalam penyusunan evaluasi hendaknya mem-

perhatikan langkah-langkah penyusunan evaluasisebagai berikut:• Merumuskan tujuan-tujuan pendidikan yang

umum dalam ranah kognitif, afektif, danpsikomotorik.

• Menguraikan ke dalam bentuk tingkah laku-tingkah laku yang dapat diamati (rumusanoperasional)

• Menghubungkan dengan bahan ajar,dan• Menuliskan butir-butir test.

b. Dalam merencakan suatu evaluasi hendaaknyamemperhatikan beberapa hal di abawah ini:• Bagaimana kelas, usia, dan tingkat kemampuan

kelompok yang akan di test.• Berapa lama waktu dibutuhkan untuk pelak-

sanaannya.• Pakah test tersebut berbentuk urian atau

obyektif?• Apakah test tersebut diadministrasikan oleh guru

atau oleh murid?c. Dalam pengolahan suatu hasil hendaknya

diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

Pengembangan Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

216

• Norma apa yang digunakan di dalam pengolahanhasil test?

• Apakah digunakan formula quessing?• Skor standar apa yang digunakan?• Untuk apakah hasil test digunakan?

Selain lima prinsip khusus yang terkait dengan prinsippenyusunan anatomi kurikulum di atas, prinsip khususjuga terkait dengan pengembangan kurikulum suatuNegara atau sekolah yang dianggap penting secara khususoleh Negara atau sekolah yang bersangkutan.Terkaitdengan ditetapkan kebijakan pendidikan tentangPengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan,terdapat sejumlah prinsip-prinsip yang harus dipenuhi,yaitu:1) Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan

kepentingan peserta didik dan lingkungannya.Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwapeserta didik memiliki posisi sentral untuk me-ngembangkan kompetensinya agar menjadi manusiayang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang MahaEsa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,mandiri dan menjadi warga negara yang demokratisserta bertanggung jawab. Untuk mendukung pen-capaian tujuan tersebut pengembangan kompetensipeserta didik disesuaikan dengan potensi, per-kembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didikserta tuntutan lingkungan.

2) Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikankeragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah,dan jenjang serta jenis pendidikan, tanpa membedakan

217

agama, suku, budaya dan adat istiadat, serta statussosial ekonomi dan gender. Kurikulum meliputisubstansi komponen muatan wajib kurikulum, muatanlokal, dan pengembangan diri secara terpadu, sertadisusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yangbermakna dan tepat antarsubstansi.

3) Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan,teknologi, dan seni. Kurikulum dikembangkan atasdasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologidan seni berkembang secara dinamis, dan oleh karenaitu semangat dan isi kurikulum mendorong pesertadidik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepatperkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

4) Relevan dengan kebutuhan kehidupan. Pengembangankurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangkukepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansipendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk didalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dandunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keteram-pilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilansosial, keterampilan akademik, dan keterampilanvokasional merupakan keniscayaan.

5) Menyeluruh dan berkesinambungan. Substansi kuri-kulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi,bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yangdirencanakan dan disajikan secara berkesinambunganantarsemua jenjang pendidikan.

6) Belajar sepanjang hayat. Kurikulum diarahkan kepadaproses pengembangan, pembudayaan dan pem-berdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjanghayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara

Pengembangan Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

218

unsur-unsur pendidikan formal, nonformal dan infor-mal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutanlingkungan yang selalu berkembang serta arahpengembangan manusia seutuhnya.

7) Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingandaerah. Kurikulum dikembangkan dengan memper-hatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerahuntuk membangun kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan bernegara. Kepentingan nasional dankepentingan daerah harus saling mengisi dan mem-berdayakan sejalan dengan motto Bhineka Tunggal Ikadalam kerangka Negara Kesatuan RepublikIndonesia.

D. Model-model Pengembangan KurikulumPengembangan kurikulum dapat dilakukan dengan

berbagai sistem atau cara, yang dituangkan dalam berbagaimodel. Banyak sekali model yang dapat digunkan danyang telah dikembangkan oleh para ahli kurikulum. Zais(1976:445-469) dalam bukunya “Developing Curriculum Prin-ciples and Foundation” mencatat dan mengemukakan adasembilan model rekayasa atau pengembangan kurikulumyang pernah dilakukan dan diperkenalkan oleh para ahlipengembangan kurikulum, yaitu: 1. The AdministrativeModels, 2. The Grass-Roots Model, 3. The Demonstration Model,4. Beauchamps System, 5. Tabas`s Inverted Model, 6. RogersInterpersonal Relations Model, 7.The Syistematic Action-Re-search Mode, 8. Emerging Technical Models. dan 9. Curricu-lum Engineering as Research and Development/R&D). Selainsembilan model yang dikemukakan oleh Zais di atas,belakangan muncul juga model-model pengembanganbaru, seperti yang dikembangkan oleh Olliva, Miller danSeller, Gagne (Transmition Model).

219

Mengnenal berbagai model pengembangan kuri-kukulum tersbut sangat penting, karena masing-maingmodel memeliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, di samping masing-masing model memilikikecocokan untuk kondisi dan sistuasi di mana modelkurikulum tersebut dikembangkan serta model kurikulumseperi apa yang mau dikembangkan. Dalam sajian berikutakan dideskripsikan model-model sebagaimanadikemukakan oleh Zais tersebut, di samping model-modellain yang dikembangkan oleh para pakar kurikulum lainyang tidak disebutkan oleh Zais.

1. The Administrative (Line-Staff) ModelModel pengembangan kurikulum ini adalah model

yang paling familiar dan sudah lama dikenal. Model inipertama kali identifikasinya didikalsisifikasikan dandideskripsikan oleh Smith, Stanley, dan Shores dalambukunya yang berjudul “Fundamentals of Curriculum De-velopment” terbit tahun 1957, khususnya pada halaman 426sampai dengan 436. Mereka menyebutkan bahwa modelini digunakan untuk merevisi kurikulum di Kota Denverpada tahun 1923.

Istilah lain dari “the administrative model (modeladministraif) adalah “Line-Staff (garis-staf)”. Dinamakandengan istilah-istilah tersebut karena inisiatif dan gagasanpengembangan datang dari para administrator (pen-didikan) dan menggunakan prosedur kerja secara admin-istratif berdasarkan alur hirarki jabatan (line-staff). Olehkarena itu, model ini, sering juga disebut dengan istilahmodel “top-downward (dari atas ke bawah)”.

Pengembangan Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

220

Sesuai dengan istilah-istilah yang dipakai tersebut, carakerja model ini dilakukan dengan model dan prosedursebagai berikut:1) Pejbat yang berwenang (pada struktur jabatan paling

atas) dalam bidang pendidikan memandang perlu danberinisiatif untuk mengembangkan kurikulum.

2) Pejabat yang berwenang tersebut membentuk “KomitePengarah (Steering Committee)” pengembangankurikulum yang beranggotakan para pejabat yangberada di bawahnya, para kepala sekolah, dan parasupervisor dan guru-guru ahli (key teachers). KomitePengarah ini bertugas merumuskan rencana atau ke-bijakan umum, pengembangkan pedoman, merumus-kan filosofis dan tujuan kurikulum untuk seluruhsekolah pada wilayah cakupannya. Selain itu, TimPengarah juga menetapkan Komite Penasehat yangakan bekerja dengan para personel sekolah dalammempormulasikan perencanaan, prinsip-prinsip, dantujuan-tujuan kurikulum.

3) Setelah mengembangkan sebuah kebijakan umum,Komite Pengarah menyeleksi dan mengangkat KomiteKerja (The Working Committee) dari para staf pengajaryang bertugas menyusun kurikulum. Kurikulum yangdisusun oleh komite ini dalam bentuk dokumenkurikulum yang lengkap, meliputi: tujuan yang lebihsepesifik (goals dan objektives), materi (content), aktivitaspembelajaran, dan lainnya, berdasarkan panduan yangtelah dibuat oleh Komite Pengarah.

4) Setelah Komite Kerja selesai menyusun dokumenkurikulum dengan desain yang lengkap, selanjutnyadireview, baik oleh Komite Pengarah atau komite lain

221

yang tingkatannya lebih tinggi yang dibentuk untuktujuan itu. Komite ini bertugas untuk: 1. Menetapkankoherensi skope (cakupan) dan sekuens (urutan) pro-gram, berkoordinasi dengan Komite kerja dari paraguru secara terpisah; 2. Menjamin bahwa seluruhdokumen kurikulum sesuai dengan kebijakan kuri-kulum yang telah ditetapkan oleh Komite Pengarah;dan 3. Memastikan bahwa bentuk dan format perbaikanatau perubahan seperti apa yang menjadi kebutuhanprioritas untuk dikirim sebagai materi yang akandipublikasikan.

5) Dokumen kurikulum yang telah direvisi dan meng-hasilkan bentuk yang final akan diimplementasikanoleh Komite Administrasi lain (yang biasanya terdiridari para kepala sekolah) dan para guru yang ditunjukuntuk mengimplementasikannya. Komite ini mengkajipara personal professional yang tidak menggunakanproduk kurikulum sesuai dengan filosofi, rasional,tujuan dan metodologinya.

6) Sebagai sebuah kurikulum baru diujicoba di bawahkondisi pembelajaran yang sebenarnya (actual teaching).Untuk mengetahui efektivitasnya dimonitor melaluikunjungan kelas, diskusi, evaluasi siswa, dan dengancara lainnya. Selanjutnya bila perlu dibuat atau di-lakukan modifikasi sesuai dengan indikasi dari hasiluji coba.

7) Setelah diimplementasikan dan dimodifikasi, makasebuah kurikulum baru dinyatakan siap diterapkanatau dioperasionalkan dalam sistem sekolah.

Model pengembangan kurikulum ini dinilai memilikibeberapa permaslahan atau kelemahan, di antaranya:

Pengembangan Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

222

1) Karena kurikulum ini dikonsep, diinisiasi, dandiarahkan dari atas ke bawah (top downward) melaluisaluran hirarki garis-staf, maka pengembangankurikulum dengan cara ini dinilai atau dikritik tidakmenerapkan prinsip demokrasi.

2) Kritik lain, berdasarkan pengalaman pengembangankurikulum dengan model ini telah menunjukkan bahwaia bukan benar-benar sebagai alat atau cara yang efektifuntuk membawa dan keberlanjutan perubahankurikulum secara signifikan.

3) Alasan lain yang sangat komplik yang terkait eratdengan kegiatan pengembangan atau perubahankurikulum adalah terkait dengan perubahan masya-rakat (people change) yang tidak dapat hanya semata-mata dibawa dengan manipulasi organisasi sepertiKomite Organisasi saja.

4) Lebih khusus lagi, kelemahan model ini adalah konsep“dua fase”, yaitu konsep yang merubah dari kurikulumlama ke baru yang dilakukan secara uniform dalam satuwaktu melalui sistem sekolah dengan dua fase yangberbeda, yaitu: (1). Menyiapkan dokumen kurikulumbaru dan (2) implementasi dokumen.

Disebabkan kritik-kritik seperti disebutkan di atas,menurut Zais (1976:448), model administratif ini jarangdigunakan oleh para spesialis kurikulum. Meskipunbanyak sekolah lokal (scholl districs ) secara terus menerusmemakai model manajemen garis-staff (line-staff) inimungkin karena otoritas nomenklatur yang melakat)sebagai penunaian tugas mereka.

223

2. The Grass-Roots ModelDalam bahasa Inggeris “grass” berarti rumput,

sedangkan “root” berarti akar. Jadi “grass-root” berarti akarrumput, sebuah kata kiasan yang berarti orang-orang yangberada pada starata yang laing bawah atau pada tingkatbawah. Dengan demikian secara harfiah “The Grass-RootsModel” dapat diartikan sebagai sebuah model pengem-bangan kurikulum yang dikembangkan dari akar rumputatau dari bawah, yang dalam dunia pendidikan tidak lainadalah para guru sebagai pelaku atau pelaksana kurikulumdi sekolah.

Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwapengembangan kurikulum dimulai dari inisiatif oleh paraguru secara pribadi atau kelompok guru atau seluruh gurupada suatu sekolah bermaksud untuk memecahkanpermasalahan kurikulum yang mereka hadapi di sekolah-nya dengan cara menyempurnakan, memperbaiki ataumengembangkannya. Pengembangan kurikulum ini dapatberkenaan dengan suatu komponen kurikulum, satu ataubeberapa bidang studi atau seluruh bidang studi danseluruh komponen kurikulum.

Model ini dikembangkan berdasarkan dua aksioma,Pertama, bahwa sebuah kurikulum diimplementasikansangat ditentukan oleh sejauhmana para guru dilibatkandalam proses konstruksi dan mengembangkan kurikulumtersebut. Kedua, bahwa tidak hanya para professionalkurikulum, tetapi juga siswa, orang tua, dan kelompokmasyarakat (stake holders) harus dilibatkan dalam prosesperencanaan atau pengembangan kurikulum. Keunggulanguru sebagai kunci efektivitas pengembangan kurikulumdirefleksikan dalam empat prinsip dasar dari model “grass-

Pengembangan Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

224

roots”, yaitu sebagaimana dikemukakan oleh Smith, dkk(1957:429), sebagai berikut:1. The curriculum will improve only as the professional compe-

tence of teachers improves.2. The competence of teacher will be improved only as the teach-

ers become involved personally in the problems of curricu-lum revision.

3. If teacher share in shaping the goals to be attained, in select-ing, defining, and solving the problems to be encountered,and in judging and evaluating the results, their involvmentwill be most nearly assured.

4. As people meet in face-to-face groups, they will be able tounderstand one another better and to rech a consensus onbasic principles, goals, and plans.

Dengan prinsip-prinsip di atas menjadikan operatifpara guru didorong untuk bekerja secara kooperatif dalammerencanakan kurikulum baru. Dorongat tersebut terjadiketika administrator menyediakan “kepemimpinan”,waktu luang, material, dan stimulant yang kondusif ter-hadap perencanaan kurikulum. Dalam beberapa wilayahtertentu worksop diorganisir untuk mendorong prosestersebut: pada akhir tahun worsop cenderung untuk fokuspada revew kurikulum dan pengukuran kebutuhan (needassisment), sementara sebelumnya untuk pembukaansekolah mereka mungkin dapat berhasil mengkonstruksikurikulum baru. Worksop idealnya diikuti oleh para ad-ministrator sekolah, guru-guru, siswa, orang tua, dansejumlah kelompok masyarakat, serta ditambah pula parakonsultan dan nara sumber spesialis. Para partisipanmenyelesaikan problem-problem khusus dari situasi yangada pada daerah mereka sendiri dan memecahkan prob-

225

lem-problem tersebut secara demokrasi dengan carakonsensus. Perlu dicatat dalam hal ini bahwa desebabkanpara guru begitu sangat terlibat dalam proses perencanaandan pengambilan keputusan, pengetahuan dan komitmenmereka menghalangi berbagai tuntutan prosedur-prosedurimplementasi khusus yang diharapkan oleh administratifmodel.

Meskipun model ini di satu sisi dinilai sangat baik,karena digagas dan dikembangkan oleh pelaku kurikulumlangsung, sehingga berbagai persoalan yang sesungguhnyadihadapi oleh sekolah, guru, murid, orang tua, danmasyarakat lainnya dapat dipahami betul dan dapatdipecahan atau diperbaiki lebih akurat. Akan tetapi modelini juga memeliki kelemahan, utamanya model ini me-nerapkan metode demokrasi partisipatori (keikutsertaanstakholder) yang memerlukan sebuah teknik yang sangattinggi, kompleks, dan proses khusus. Menyatukan berbagaipendapat yang muncul dalam pengembangan kurikulumyang melibatkan banyak orang memerlukan upaya kerasuntuk menghasilkan sebuah keputusan yang baik dancepat. Kelemahan lain yang perlu dicatat juga bahwa modelini memberikan konstribusi yang tidak dapat diukur untukperluasan basis pembuatan keputusan kurikulum dandalam hal itu pada akhirnya sebagian tanggung jawabuntuk untuk meningkatkan kurangnya tanggungjawabterhadap kurikulum dari masyarakat menjadi terabaikan.

3. The Demonstration ModelModel demonstratif ini pada dasarnya hampir sama

atau bersifat “grass-roots”. Hanya saja model ini didesainuntuk pengembangan kurikulum dalam skala kecil atauterbatas, untuk suatu komponen kurikulum atau seluruh

Pengembangan Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

226

komponen kurikulum, untuk kurikulum satu ataubeberapa sekolah. (Zais, 1976: 450). Pengembangankurikulum dengan model ini ditujukan untuk menggantiatau merubah kurikulum yang sudah ada. Oleh karena itu,pengembangan dengan model ini sering mendapattantangan dari pihak-pihak tertentu.

Menurut Smith, dkk (1957: 435) model ini dapatditerapkan dalam dua bentuk. Pertama, sekelompok guruyang berbeda di dalam suatu sekolah ditugaskan untukmengembangkan proyek kurikulum eksperimental. Tugasdari proyek ini adalah mengadakan penelitian danpengembangan (R and D). Hasil akhir dari proyek iniadalah menghasilkan kurikulum dengan harapan dapatditerapkan di seluruh sekolah. Kegiatan penelitian danpengembangan ini biasanya diprakarsai dan diorganisiroleh instansi pendidikan yang berwenang atau intansi yangmengelola dan bertanggung jawab terhadap pendidikan.Kedua, beberapa guru yang merasa tidak puas dengankurikulum yang berlaku melakukan penelitian danpengembangan kurikulum sendiri. Mereka mencari ataumengembangkan hal-hal baru selain dari kurikulum yangberlaku sebagai kurikulum alternatif. Selanjutnyadiharapkan kurikulum yang dihasilkan dapat digunakandan diakui untuk diterapkan pada daerah yang lenbih luas.Dengan demikian, bentuk pengembangan kurikulum inibersifat atau sama dengan pendekatan grass root.

Ada beberapa kebaikan dari pengembangankurikulum dengan model ini. Pertama, Disebabkankurikulum yang diproduk melalui model ini melalui prosesyang telah teruji melalui proses eksperemen nyata, makakurikulum atau aspek tertentu dari kurikulum yangdihasilkan lebih praktis dan dapat diterapkan (workable).

227

Kedua, perubahan kurikulum dalam bentuk yang spesifikdan dapat diterapkan, sedikit sekali untuk ditolak olehadministrator atau penanggungjawab pendidikan,dibandingkan dengan prubahan kurikulum yangmenyeluruh. Ketiga, pengembangan kurikulum denganskala kecil dan spesifik seperti yang dilakukan denganmodel demonstratif ini dapat menghindari tidakterlaksananya dan tidak sejalannya antara dokumendengan pelaksaanaannya. Keempat, model dengan sifatnyayang “grass-root” yang mana menempatkan guru sebagaipengambil inisiatif dan nara sumberpengembangankurikulum dapat mendorong para administrator untuklebih tertarik untuk mengembangkan program ataukurikulum baru.

Kelemahan model ini adalah lebih pada implementasidan deseminasi produk yang dihasilkan untuk bisaditerima dalam sekala yang lebih luas. Biasanya guru-guruyang tidak dilibatkan dalam ekspremen pembentukan ataulahirnya produk perbaikan kurikulum dari model inicenderung enggan untuk menerima dan menerapkannya,bahkan ada kemungkinan untuk menolaknya. Untuk itu,menurut Smith dkk (1957:436) diperlukan atau pentingadanya komonikasi antara kelompok guru pengembang(ekspremental) dengan pihak lain di sekolah tersebut, agarsemua gagasan dan hasil kerja dapat diketahui dengan baikdan diterima.

4. Tabas‘s Inverted ModelModel ini adalah sebuah model pengembangan

kurikulum yang digagas oleh Hilda Taba (1902-1967)utamanya sebagaimana yang terdapat dalam bukunyayang berjudul “Curriculum Development: Theory and Prac-

Pengembangan Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

228

tice” yang terbit pertama kali pada tahun 1962. Model yangdikembangkan oleh Hilda taba ini kemudian terkenaldengan nama “Taba`s Inverted Moel (Model terbalik dariTaba)”. Minculnya gagasan atau model pengembangankurikulum ini berdasar penilaiannya terhadap kelemahanmodel pengembangan kurikulum yang didasarkan modelpengembangan yang bersifat tradisional dikembangkandengan cara deduktif, yaitu suatu model pengembangankurikulum oleh komitte terpilih dengan cara: (1) menentu-kan prinisp-prinsip dan komitmen-komitmen dasar; (2)merumuskan desain kurikulum yang bersifat menyeluruhberdasarkan komitmen yang telah ditetapkan; (3)menyusun unit-unit kurikulum sesuai dengan desainkerangka kerja yang menyeluruh (the overall designframwork); (4) implementasi kurikulum di kelas (Taba:1962:439). Beberpa kelemahan pengembangan kurikulumdengan model tradsional “deduktif” tersebut menurutnyaadalah: Pertama, proses pengembangan kurikulum secaradeduktif ini cenderung untuk mereduksi kemungkinanlahirnya inovasi kreatif, sebab ia membatasi kemungkinanadanya eksprementasi ide-ide dan konsep-konsepkurikulum baru yang dapat dimunculkan. Kedua, denganproses pengembangan model deduktif ini, dapatdinyatakan bahwa perencanaan-perencanaan kurikulumyang tampaknya tepat, namun ketika implementasidilakukan kadang-kadang ia tidak memenuhi, apabilasubstansi porsi-porsi dari desain secara empirik tidak ada.Ketiga, karena proses deduktif ini tidak disusunberdasarkan kenyataan, maka kurikuoum yang dihasilkancenderung sangat general, dan abstrak, dan sebagai for-mula pembelajaran yang baku, sehingga sedikit sekalimemberikan tuntunan (guidance) bagi adanya konversi ke

229

dalam pratik pembelajaran. Berdasarkan tiga problemtersebut, menurut Taba (1962:441), sangat signifikanmengakibatkan munculnya pertentangan atau gap antarateori dan praktik, sebagaimana dituturkannya sebagaiberikut:

Theoretical designs of curricula are developed with meager founda-tion in experimentation with practice, and implementation is carriedon with insufficient understanding of theory. This gives theory anunreal quality and fosters blach and white thinking (Taba, 1962:441).

Berdasarkan tiga problem tersebut, Taba menawarkansebuah model terbalik dari urutan (sequence) prosessebagaimana yang dikembangkan dalam model tradisional(deduktif) tersebut. Dia mengusulkan bahwa langkahpertama direncanakan oleh guru-guru atau melibatkanpihak lain sebuah unit–unit pembelajaran yang spesifik.Unit-unit tersebut setelah diujicoba atau diimplementasi-kan di kelas akan digunakan sebagai sebuah basis empirisuntuk menetapkan desain umum (lengkap). Dengan caraitu, kelebihan pertama dari model ini menurut Taba(1962:442-442) ialah dapat menjembatani pertentangan(gap) antara teori dan praktik, sebab produk unit-unitpembelajaran tersebut dapat mengkombinasikankomptensi teoritis dan pengamalan empirik pembelajaran.Kelebihan kedua dari model terbalik (inverted) ini, ialahkurikulum disiapkan dari unit-unit pembelajaran yangkonkret yang disusun oleh para guru, maka ia akan lebihmudah untuk dikenalkan dengan bagian-bagian yang adadi sekolah. Hal itu, karena ia lebih mudah dimengertiketimbang kurikulum yang general dan abstraksebagaimana yang dikembangkan dengan modeltradisional. Adapun kelebihan ketiga dari model ini ialah,kurikulum ini mengandung dua hal sekaligus yaitu

Pengembangan Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

230

kerangka kerja umum (general framwork) dan unit-unitpembelajaran nyata yang lebih sesuai dengan praktik dikelas daripada melakukan rencana kurikulum baru.

Model terbalik Taba (Taba‘s inverted Model) inimencakup lima tahap atau langkah berikut:

Langkah pertama adalah membuat unit-unit ekspremenoleh kelompok-kelompok guru. Dalam pembuatan unit-unit ekspremen ini harus dipastikan hubungan antara teoridan praktik dengan memperhatikan: (1) perencanaandidasarkan pada pertimbangan teoritis yang didapat darihasilpenelitian yang tersedia; (2) setting ekspremen yangberkesesuaian di kelas diambil untuk menyediakan dataempirik bagi prinsip-prinsip teoritik yang dapat diasses.Ada delapan langkah dalam kegiatan ini, yaitu:1) Diagnosis kebutuhan2) Merumusan tujuan-tujuan khusus3) Menetapkan isi4) Mengorganisasikan isi5) Memilih pengalaman belajar6) Mengorganisasikan pengemalan belajar7) Mengevaluasi8) Menegecek sekuens dan keseimbangan .

Langkah kedua adalah pengujian unit-unit eksperimen.Meskipun unit ekspremen ini telah diuji dalampelaksanaan di kelas eksprement, tetapi masih harus diujidi kelas-kelas atau tempat-temat lain untuk mengetahuivaliditas dan kepraktisannya, serta menghimpun data bagipenyempurnaanya. Pada langkah ini mengumpulkan databerkenaan dan modifikasi yang diperlukan serta saran-

231

saran tentang alternatif materi dan kegiatan yangdigunakan pada berbagai populasi siswa.

Langkah ketiga adalah melakukan revisi dan konsolidasiunit-unit kurikulum. Pada tahap pengujian unit-unitekspremen telah dikumpulkan beberapa data dan unit-unitdiuji generalisasinya untuk digunakan pada seluruh tipesituasi kelas. Begitu juga pada tahap tersebut telah telahdilakukan pengujian atas konsistensi teoritis. Apa yangdidapat dan dilakukan pada tahap tersebut digunakanuntuk melakukan perbaikan dan penyempurnaan (revisi).Selain itu dilakukan pula konsolidasi, yaitu dengan caramenguji atau mengkonfirmasi keberlakuan unit-unit padasekolah yang lebih luas.

Langkah keempat adalah pengembangan kerangkakeseluruhan desain kurikulum. Unit-unit kurikulum terpisahyang telah diuji, direvisi dan dikonsolidasi perlu dikumpulkan menjadi sebuah kerangka keseluruhankurikulum. Pengembangan kerangka keseluruhankurikulum ini dilakukan oleh para ahli kurikulum danorang-orang yang berkompeten dalam konstruksikurikulum dengan tugas utamanya menguji skop, sekuens,dan koherensinya. secara keseluruhan untuk mengujiketepatan ruang lingkup (scope) dan urutan (sequence) sertakelogisan (coherence). Selain itu, pada langkah ini dilakukanhal-hal berikut: (1) membentuk sebuah kelompok revisi,(2) konsolidasi unit-unit rencana, dan (3) jika perluperubahan akan dilakukan, menstrukturisasi menjadikurikulum utuh dan keselarasannya. Termasuk dalamlangkah ini, pada dokumen finalnya adnya statemenrasionalitas teoritik kurikulum yang dihasilkan, termasukfilosofinya.

Pengembangan Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

232

Langkah kelima adalah implementasi dan diseminasi.Pada langkah ini dilakukan kegiatan penerapan kurikulumdan penyebarannya ke sekolah-sekolah. Akan tetapibiasanya, seuatu yang baru akan tidak mudah dilaksnakandan diterima oleh guru. Oleh karena itu pelatihan denganberbagai bentuk terhadap para guru perlu dilakukan untukpemantapan pelaksanaannya, seperti: workshop, in-servicecourses (pelatihan bagi guru sebelum bertugas), danberbagai bentuk kegiatan in-cervis lainnya. Pelatihan inidiperlukan untuk memantapkan pemahaman terhadappenguasaan materi, keterampilan, dan pemahamanterhadap teori yang mendasari program.

5. Beauchamps System ModelModel pengembangan kurikulum ini dikembangkan

oleh George Beauchamp seorang ahli kurikulum,khsusunya sebagaimana yang terdapat dalam bukunyayang berjudul “Curriculum Theory”. Beauchamp me-ngemukakan lima rangkaian kegiatan dalam pengem-bangan kurikulum. Pertama, metapkan arena (lingkupwilayah) yang menjadi skop (cakupan) dari pengembangansuatu kurikulum. Sebagai contoh, arenanya melingkupihanya satu kelas, satu sekolah, satu daerah, satu Negara,atau bahkan satu bangsa. Kebijakan penentuan cakupanwilayah pengembangan kurikulum ini diambil olehpengambil kebijakan dalam pengembangan kurikulum danberdasarkan tujuan pengembangan kurikulum itu sendiri.Penentuan luas tidaknya arena yang diambil tidakmempengaruhi luas tidaknya kegiatan proses konstruksikurikulum. Menurut Beauchamp apapun bentuk luasanarena, dalam proses konstruksi kurikulum tetap akan

233

menggunakan atau dilakukan dalam wilayah kelas indi-vidual sebagai ilot proyek.

Kedua, menyeleksi dan dan menetapkan orang yangdilibatkan dalam pengembangan kurikulum. MenurutBeauchamp, berdasarkan sejarah dan pengemalanpengembangan kurikulum di Amerika Serikat, yangdilibatkan dalam pengembangan kurikulum melibarkanpersonil nmeliputi: (1) para ahli pengembangankurikulum/pendidikan, seperti yang ada pada pusatpengembangan kurikulum atau ahli bidang ilmu yangberada di luar. (2) kelompok representatif yang terdiri daripara ahli dan guru-guru kelas terpilih. (3) seluruhprofesional kurikulum/pendidikan yang berada dalamsistem sekolah, dan (4) seluruh professional lain sebagairepresentasi masyarakat. Model pengembangan kurikulummodel Beauchamp ini mencoba melibatkan para ahli dantokoh-tokoh seluas mungkin, termasuk mereka yang tidakberhubungan secara langsung dengan pengembangankurikulum, para penulis dan penerbit buku, para pejabatpemerintah, politikus, pengusaha, dan kelompok-kelompok yang memiliki ketertarikan dengan kurikulum/pendidikan. Penetapan personalia ini disesuaikan dengantingkat dan luasnya cakupan atau arena kurikulum yangakan dikembangkan. Untuk tingkat nasional dan wilayahtidak terlalu banyak melibatkan para guru. Sebaliknyauntuk tingkat kabupaten, sekolah dan bahkan kelas perlulebih banyak melibatkan para guru. Mengenmai ke-terlibatan personal dan kelompok ini, menurut Beauchampditentukan berdasarkan pada tiga pertanyaan: (1)Haruskah kelompok-kelompok tersebut dilibatkan dalampengembanmgan kurikulum? (2) Jika ia, apakah perananmereka? Dan (3) Apakah mungkin dikembangkan cara-

Pengembangan Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

234

cara dan alat-alat yang paling efektif untuk melaksanakanperan tersebut?

Ketiga, organisasi dan prosedur pengembangan kurikulum.Tahap ini berkenaan dengan menetapkan organisasi danprosedur perencanaan kurikulum, termasuk di dalamnyapenentuan tujuan umum dan khusus kurikulum, pemilihanmateri dan kegiatan belajar, serta penentuan rencana secarakeseluruhan. Tahap ketiga ini terdiri atas lima langkahberikut.1) Pembentukan tim pengembang kurikulum sebagai

koordinator semua kegiatan.2) Penilaian terhadap praktek pelaksanaan kurikulum

yang sedang berlangsung.3) Pengkajian terhadap materi kurikulum alternatif dan

baru.4) Perumusan kriteria untuk menentukan kurikulum baru.5) Perancangan dan penulisan kurikulum baru.

Keempat, implementasi kurikulum. Tahap ini merupa-kan kegiatan pengimplementasian atau pelaksanaankurikulum yang telah dihasilkan. Dalam hal ini benar-benar dapat dipastikan bahwa kurikulum yang dihasilkanbenar-benar dapat dilaksnakan secara real. Hal ini tentubukan suatu yang sederhana, sebab membutuhkankesiapan yang menyeluruh komponen, baik guru, siswa,fasilitas, bahan maupun biaya, di samping kesiapanmanajerial dari pimpinan sekolah atau administratorsetempat.

Kelima, evaluasi kurikulum. Evaluasi yang dilakukandalam tahap ini mencakup paling tidak empat dimensi,yaitu: (1) Evaluasi pelaksanaan kurikulum oleh guru; (2)

235

Evakluasi terhadap desain kurikulum; (3) Evaluasiterhadap hasil belajar siswa; dan (4) Evaluasi terhadapsistem pengembangan kurikulum. Data yang diperolehdari evaluasi sistem ini digunakan untuk meningkatkanproses pengembangan dan untuk kepentingan keberlanjut-an dan pertumbuhan kurikulum dari tahun ke tahun.

6. Rogers Interpersonal Relations ModelMeskipun Carl Roger (1902-1987) bukanlah seorang

ahli kurikulum, melainkan ahli psikologi atau psikoterapi,tetapi konsep-konsepnya tentang psikoterapi yang terkaitdengan bagaimana membimbing individu dapat diterap-kan dalam bidang pendidikan dan pengembangan kuri-kulum. Roger banyak sekali mengemukakan konseptentang perkembangan dan perubahan individu, yangkemudian banyak sekali memberikan konstribusi terhadapliteratur pengembangan kurikulum.

Model pengembangan kurikulum Roger didasarkanpada kebutuhan-kebutuhan (jika masyarakat dihadapkanpada perubahan-perubahan kontemporer) untukmengkreasi dan menata iklim perubahan yang kondusif.Dia berpegang pada pandangan bahwa “kita tidak dapatberistirahat dari pertanyaan-pertanyaan yang disiapkanoleh masa lalu, tetapi kita harus yakin dalam proses itudengan problem-problem baru yang ditemui”. Oleh karenaitu, sebuah kurikulum yang diperlukan adalah yang akan“mengembangkan individu-individu yang terbuka untukberubah, yang pleksibel dan adaptif, dan yang mempelajaribagaimana belajar (learned how to learn)(Roger, 1967:717).

Kurikulum sebagaimana yang diinginkan di atas, tentudapat dikonstruksi dan diimplementasikan hanya olehpara pendidik profesional yang dirinya sendiri telah

Pengembangan Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

236

memiliki sifat terbuka, pleksibel, dan berorientasi proses(process oriented). Apa yang diperlukan untuk menghasilkantipe profesional ini adalah sebuah sistem pendidikan yangbercirikan “sebuah iklim kondusif untuk pertumbuhanindividu, sebuah iklim yang di dalamnya terdapat inovasiyang tidak ditakutkan, sebuah iklim yang di dalamnyakemampuan kreatif para administrator, para guru, dansiswa-siswa terjaga dan terekspresikan (Roger, 1967:718).Alat untuk efektifnya kebutuhan akan perubahan ituadalah dengan adanya “the intensive group experience(kelompok pengalaman intensif).”

Kelompok pengalaman intensif (the intencive groupeksperince) biasanya dibentuk dari 10 sampai 15 orang,ditambah seorang fasilitator atau leder. Grop ini relativetidak terstruktur dan menyiapkan lingkungan yang mem-bebaskan setiap pribadi untuk berekspresi, komunikasiinterpersonal, dan eksplorasi perasaan. Dari iklim dankegiatan yang tercipta dalam kelompok intensif tersebutakan terjadi perubahan pada individu-individu yangterlibat dalam kelompok tersebut, utamanya lahirnyaindividu-individu yang terbuka, inovatif, dan kreatif.

Roger menggunakan “intensive group experience”tersebut sebagai sarana untuk pengembangan kurikulum.Roger memetakan sebuah model urutan atau langkahpengembangan atau perencanaan kurikulum yang“revolosioner” dalam bentuk yang dikenalkannya sebagaiperubahan mendasar pada diri seseorang. Langkah pertamaadalah the selection of a target educational system (pemilihansebuah target dari sistem pendidikan). Satu-satunyakriteria yang menjadi pegangan adalah kesediaan daripejabat pendidikan (seperti: kepala sekolah atau adminis-trator tingkat tinggi lainnya) untuk turut serta dalam

237

kegiatan kelompok pengalaman intensif (intencive groupexperience). Menurut Roger (1967:722), biasanya dalam satuminggu para pejabat pendidikan/administrator membaurdan melakukan kegiatan dalam kelompok tersebut, merekaakan mengalami perubahan-perubahan sebagai berikut.1. He is less protective of his own beliefs and can listen more

accurately.2. He finds is easier and less threatening to accept innovative

ideas.3. He has less need to protect bureaucratic rules.4. He communicates more clearly and realistically to superiors,

peers, and suburdinates because he is more open and less self-protective.

5. He is more person oriented and democratic.6. He openly conpronts personal emotional friction between him-

self and collegues.7. He is more able to accept both positive and negative feedback

and use it constructively.

Langkah kedua adalah “involves intensive group expe-rience for teacher (melibatkan guru dalam pengalamankelompok yang intensif). Sama halnya dengan keterlibatanpara pimpinan atau pejabat administrator, guru jugadilibatkan dalam kegiatan “kelompok pengalamanintensif”. Keterlibatan guru tersebut bersifat sukaarela dantidak boleh dipaksanakan, walaupun kadangkala diawalkegiatan akan sulit mendapatkan guru yang mau terlibat,tetapi dengan informassi dan nilai-nilai positif dari kegiatanini selanjutnya akan dapat memotiovasi para guru untukikut dalam kegiatan ini. Kegiatan ini lebih baik dilakukanselama satu minggu, tetapi dapat juga kurang dari satu

Pengembangan Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

238

minggu. Menurut Roger (1967:724), efek yang akandidapatkan oleh para guru sama dengan yang didapatkanoleh para pimpinan dan administrator. Akan tetapi selainitu guru-guru juga akan mendapatkan beberapa hal sebagaiberikut:1. He is more able to listen to student.2. He accepts innovative, “toruablesome” ideas from student

rather than insisting on conformity.3. He pays as much attention to his relationship with student

as he does to course content.4. He work out problems with student rather than responding

in a disciplinary and punitive manner.5. He develops an aqualitarian and democratic classroom cli-

mate.

Langkah ketiga adalah the development of an intensivegroup experience for a class or course unit (pengembanganpengalaman kelompok intensif untuk satu kelas ataupelejaran). Pada langkah ini siswa dilibatkan dalamkegiatan pengalaman kelompok intensif. Menurut Rogerkegiatan ini dapat dilakukan semala lima haru penuh (fulldays) diakrabkan dengan pengalaman. Seorang fasilitatorluar mungkin membantu untuk menciptakan iklimdemokrasi, tetapi pengalaman utama dari para guru danadministrator agaknya merupakan konstribusi yang sangatsignifikan untuk keberhasilan menghadapi tantangan.Menurut Roger (1967:724-725), efek yang akan didapatkanoleh siswa dari keterlibatannya dengan kemlompokpengelaman intensif tersebut adalah sebagai berikut:1. He feels feer to express both positive and begative feelings in

class.

239

2. He works thought these feelings toward a realistic solution.3. He has more energy for learning because he has less fear of

constant evaluation and punishment.4. He discovers that he is responsible for his own learning.5. His awe and feer of authority diminish as he finds teachers

and administrators to be fallible human being.6. He finds that the learning process enables him to deal with

his life.

Langka keempat adalah the involvement parents in inten-sive group experience (keterlibatan para orang tua dalampengalaman kelompok intensif). Menurut Roger kegiatanini dapat dilaksanakan dalam bentuk: kegiatan akhirminggu (weekend group experience), sesi tiga jam di sore hariselama seminggu, atau dapat pula 24 jam secara terus-menerus (maratoin). Kegiatan ini dapat difasilitasi olehorganisaasi orangtua siswa. Tujuan dari pelibatan paraorangtua ini adalah untuk memperkaya para orangtuadalam hubungan sesame orangtua, dengan anak dan guru.

Model pengembangan kurikulum dari Roger initampaknya berbeda dengan model-model pengembangankurikulum lainnya. Dalam model Roger ini tidak ada suatuperencanaan kurikulum tertulis, yang ada hanyalahrangkaian kegiatan kelompok dan penciptaan iklim yangdialami. Dengan pengalaman tersebut dan interaksiindividu yang terdapat dalam kelompok setiap individuakan mengalami perubahan kea rah yang lebih baik.

7. Miller dan Seller ModelMiller dan Seller melukiskan pengembangan

kurikulum pada tiga posisi orientasi, yaitu transmisi,

Pengembangan Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

240

transaksi dan transformasi. Perbedaan memilih posisiorientasi kegiatan pengembangan kurikulum tersebut,karena dalam hal memandang beberapa aspek pokok yaitu:a. Tujuan pendidikan: menunjukkan arah kegiatanb. Konsep tentang anak; pandangan mengenai anak

apakah sebagai pelaku yang aktif atau pasif.c. Konsep tentang proses belajar; menyangkut aspek

transpersonal, kehidupan batin anak dan perubahantingkah laku.

d. Konsepsi tentang lingkungan; pengaturan lingkunganuntuk memperlancar belajar.

e. Konsepsi tentang peranan guru; apakah guru lebihotoritatif, direktif, atau sebagai fasilitator.

f. Bagaimana belajar dievaluasi; apakah mengacu padates, eskperimental, atau bersifat terbuka?

Berdasarkan aspek-aspek tersebut, maka posisiorientasi pengembangan kurikulum digolongkannya padatiga posisi, yaitu: transmisi, transaksi, dan tranformasi(Seller dan Miller, 1985: 5 – 8). Langkah-langkah pengem-bangan kurikulum menurut Model yang dikembanganSeller – Miller adalah:a. Klarifikasi orientasi pengembang kurikulum (transmisi,

tansaksi, atau transformasi)b. Mengembangkan tujuan umum, tujuan perkembangan,

dan tujuan khusus/pembelajaran berdasarkan orientasi.c. Mengidentifikasi pengalaman belajar dan strategi

mengajard. Implementasi kurikulum yang mencakup adaptasi

kurikulum sehingga praktek, materi, dan keyakinanyang baru terintegrasi ke dalam wawasan guru.

241

Rancangan implementasi mencakup: kajian program,identifikasi sumber-sumber, peran masing-masing yangterlibat, pengembangan profesional, jadwal, sistemkomunikasi, serta monitoring implementasi.

e. Evaluasi sesuai dengan orientasi yang ditetapkan.

8. Gagne (Transmisi)Model ini berfokus pada usaha mereduksi dan

menyederhanakan komponen kurikulum dalam unsur-unsur yang terumus dengan jelas dan dapat diukur. Gagnemenyarankan menggunakan pendekatan sistem untukmendisain kurikulum/pengajaran yang berdasarkan padaberpikir sistematis, logis dan penemuan lapangan.Pengembangan kurikulum berdekatan dengan sainspendidikan (science of education), Keuntungan pendekatanyang demikian mempunyai dasar pertanggungan jawab.Model pengembangan menurut Gagne terdiri dari 12langkah yaitu:1) Analisis kebutuhan. Analisis kebutuhan merupakan

langkah pertama. Gagne menggolongkan kebutuhandalam rangka pengembangan kurikulum atas tiga jenis:a) kebutuhan untuk melaksanakan pengajaran lebih

efektif dan efisien, dalam berbagai mata pelajaran.b) kebutuhan untuk memperbaharui, menghidupkan

(revitalisasi) baik bahan maupun metode beberapamata pelajaran.

c) kebutuhan untuk mengembangkan suatu programbaru.

Karena perubahan masyarakat terus berlangsungmaka kebutuhan pendidikanpun harus sering ditinjau agar

Pengembangan Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

242

tidak terjadi kepincangan atau jurang antara pendidikandan pembangunan masyarakat.1) Analisis tujuan/objektif. Langkah ini adalah

merumuskan tujuan dalam sistem pendidikan bergerakdari tujuan umum sampai ketujuan khusus. Tujuankhusus atau spesifik harus dirumuskan dalam bentuktingkah laku yang dapat diukur.

2) Analisis cara (alternatif) mengenai tujuan. Langkah inimenyangkut apa yang diajarkan dan bagaimanamengajar, Berbagai alternatif yang perlu bebas), apakahproblem solving, proses, atau bahan yang menjadipusat.

3) Mendisain komponen instruksional. Desain diper-timbangkan apakah pengajaran klasifikal, penggunaanlaboratorium, bekerja dalam kelompok, bekerja sendiri(studi komponen-komponen instruksional. Dalam langkahini berlaku prosedur berikut:a. merencanakan bahan yang akan dipelajari.b. memperinci metode sesuai dengan bahan.c. memperinci, bahan untuk belajar sendiri dan untuk

kelas.d. mengidentifikasi kegiatan siswa berhubung dengan

bahan dan tujuan.e. merencanakan bagaimana mengarahkan, mem-

pertahankan belajar siswa, kemajuan belajar mereka.f. mengidentifikasi peranan guru dalam kelas

sehubu,igan dengan bahan clan kemajuan siswa.g. menyusun daftar kegiatan kelompok dan metode

yang digunakan.

243

h. menetapkan batas waktu ataukah sifatnya terbuka,luwes.

i. menilai performans.j. merencanakan bimbingan dari penyuluhan.

4) Analisis Sumber dan Hambatan. Dalam langkah inisetiap komponen dikaji sumber dan hambatannya.Misalnya apakah bahan perlu dibeli atau dibuat sendiri.Adakah kesulitan yang akan dihadapi berhubungdengan kegiatan yang akan diadakan.

5) Tindakan/usaha mengatasi rintangan. Hambatan yangutama sering berupa kekurangan biaya. Karena ituusaha yang dapat dilakukan antara lain mencari sumberdana atau sponsor maupun bantuan lainnya.

6) Memilih dan mengembangkan bahan. Dalam langkahini para diasiner memilih bahan yang relevan. Hal iniakan dibahas lebih lanjut dalam disain kurikulum.

7) Disain penilaian performans siswa. Dalam langkah inidisainer perlu merencanakan tes formatif maupunSumatif. Tes memungkinkan guru melihat penguasaansiswa maupun kekurangan siswa. Jika hasil tes menun-jukkan banyak yang gagal, maka hal ini menandakanperlunya peninjauan tentang metode dan bahan.

8) Mengadakan tes formatif (tes lapangan). Untuk teslapangan dapat dipergunakan sampel kecil. lika inimerunjukkan hasil barulah program dijalankan dalamwilayah yang Iebih luas. Tes lapangan dapat merupakanevaluasi formatif untuk memperbaiki program.

9) Penyesyesuaian/revisi dan evaluasi lehih lanjut.Sesudah program baru diimplementasi selanjutnyaperlu diadakan perbaikan-perbaikan. Dalam hal iniumpan balik dari guru dapat dimanfaatkan. Gagne

Pengembangan Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

244

menggunakan standar tujuan (design objectives). Sistembaru dipandang memuaskan jika 90% dari murid lulusstandar minimal yang ditentukan untuk 90% dari tujuanpengajaran, bila program itu diajarkan oleh gurudengan teratur dalam kondisi yang normal.

10)Evaluasi Sumatif. Evaluasi sumatif dilaksanakansesudah kurikulum diimplementasi sepenuhnya, telahdilakukan modifikasi seperlunya, melalui evaluasiformatif dan sistem telah berlangsung lama dalamkondisi yang normal.

11)Instalasi operasional. Sesudah evaluasi sumatifdilakukan dan hasilnya meyakinkan, program ternyataefektif, maka kurikulum baru disebarluaskan.Penyesuaian masih perlu diadakan menurut keadaandaerah.

Model Gagne telah diikuti dan diterima secara luasjaman sekarang meskipun model ini tidak luput darikelemahan-kelemahan. Model ini terutama berorientasipada keterampilan dasar dan penguasaan bahan. Ke-terampilan kognitif yang tinggi tingkatnya dan kurikulumyang integratif kurang mendapat tempat dalam model ini.

9. Model Peter F. OlivaModel Peter F. Oliva adalah sebuah model cukup

komprehensif. Model ini mengintegrasikan model umumpengembangan kurikulum dengan model umumpembelajaran (Oliva, 1992: 174). Oleh karena itu, modelOliva dapat digunakan untuk berbagai kepentingan:pengembangan kurikulum sekolah secara lengkap,pembuatan keputusan programatik yang memusatkanperhatian pada komponen-komponen kurikulum, dan

245

pengembangan pembelajaran. Selain itu, model inimemiliki bentuk yang linear, deduktif, dan bersifat pres-criftive (disiapkan untuk dapat langsung dipraktikkan).

Secara garis besar model Oliva ini memiliki 12 bentukdan langkah kegiatan, dikelompokkan ke dalam tigalangkah (phase), yaitu (1) Pase perencanaan (langkah I-IVdan VI-IX), (2) Pase perencanan dan operasional (langhaV) dan (3) pase operasional (langkah X-XII). Langkah-langkah pengembangan kurikulum model Oliva ini dapatdilihat sebagaimana gambar berikut:

Pengembangan Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

246

LAN

GK

AH

-LA

NG

KA

H P

ENG

EMBA

NG

AN

KU

RIK

ULU

M M

OD

EL O

LIV

A

247

Jika dilihat dari 12 langkah pengembangan kurikulumOliva di atasterdapat 17 bentuk kegiatan yang dilakukan,yaitu:1. menentukan kebutuhan siswa secara umum,2. menentukan kebutuhan masyarakat,3. menuliskan pernyataan filsafat dan tujuan pendidikan,4. menentukan kebutuhan siswa di suatu sekolah,5. menentukan kebutuhan menyarakat di mana sekolah

berada,6. menentukan kebutuhan mata pelajaran,7. menentukan tujuan umum kurikulum di suatu sekolah,8. menentukan tujuan khusus kurikulum di suatu sekolah,9. mengorganisasikan dan mengimplementasikan

kurikulum,10. menentukan tujuan umum pembelajaran,11. menentukan tujuan khusus pembelajaran,12. memilih strategi pembelajaran,13. seleksi awal strategi evaluasi,14. mengimplementasikan strategi pembelajaran,15. seleksi akhir strategi evaluasi,16. menilai pembelajaran dan memodifikasi komponen-

komponen pembelajaran, serta,17. menilai kurikulum dan memodifikasi komponen-

komponen kurikulum.

Langkah 1 sampai dengan 9 dan 17 merupakan lang-kah-langkah dalam model pengembangan kurikulum,sedangkan langkah 10 sampai dengan 16 merupakanlangkah-langkah pengembangan pembelajaran. Akan

Pengembangan Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

248

tetapi, meskipun rangkaian pembelajaran (insturction)merupapakan rangkaian tersendiri (dapat dikembangkansendiri oleh guru di sekolah), namun rangkaian tersebutbukan merupakan bagian yang terpisahkan dari prosespengembangan kurikulum. Rangkaian pembelajarantersebut tidak lain merupakan bagian dari organisasi danimplementasi dalam real di lapangan. Hal yang jugamenarik dari model Oliva ini adalah keberadaan fungsikegiatan evaluasi kurikulum (kegiatan ke 17) yang sangatvital, yakni: Pertama evaluasi dilakukan untukmengevaluasi keseluruhan komponen kurikulum,utamanya untuk memastikan ketercapaian tujuankurikulum (curriculum goals). Kedua evaluasi kurikulumdilakukan setelah selesainya trangkaian kegiatanpembelajaran sebagai implementasi real kurikulum dilapangan.

10. The Syistematic Action-Research ModeModel Penelitian Tindakan (Action Research Model)

didasarkan pada asumsi bahwa perubahan kurikulummerupakan perubahan sosial. Berdasarkan asumsi tersebut,pandangan dan harapan semua pihak yang terlibat dalampendidikan harus dipertimbangkan dalam pengembang-an/penyusunan kurikulum. Pada dasarnya, penelitiantindakan adalah studi tentang situasi nyata dengan tujuanuntuk memperbaiki kualitas tindakan dan hasil tindakanyang telah dilaksanakan (Schmuck, 1997: 28). Penelitiantindakan dilakukan untuk meningkatkan pemahaman(wawasan), mengembangkan praktek refleksi, mem-pengaruhi perubahan positif dalam lingkungan sekolahatau praktek pendidikan pada umumnya, sertamemperbaiki hasil belajar siswa dan kehidupan semua

249

pihak yang terlibat (Mills, 2000: 8). Tahap-tahappengembangan kurikulum dengan menerapkan ModelPenelitian Tindakan adalah sebagai berikut.1) Mempelajari dan mengkaji masalah kurikulum secara

cermat, melalui kegiatan:a) menemukan fakta untuk memperjelas masalah; danb) mengidentifikasi faktor-faktor, kekuatan-kekuatan,

dan kondisi-kondisi yang perlu diperhatikan untukmengatasi masalah yang dihadapi. Berdasarkankegiatan-kegiatan tersebut, dihasilkan rencanakeseluruhan untuk mengatasi masalah yangdihadapi dan keputusan yang berkenaan dengantindakan pertama yang akan dilakukan.

2) Implementasi keputusan tentang tindakan pertamayang akan dilakukan yang diikuti dengan kegiatanpengumpulan data dan penemuan fakta. Pada tahapini dilakukan evaluasi dan modifikasi terhadap rencanatindakan yang telah ditetapkan.

Langkah-langkah dalam Model Penelitian Tindakanini merupakan siklus. Hasil yang diperoleh dari im-plementasi tindakan pertama akan diikuti dengan tindakanberikutnya yang diikuti dengan pengumpulan data danpenemuan fakta. Sebagaimana dapat dilihat seperti gambarberikut:

Langkah kegiatan yang dilakukan dalam pem-bentukan model ini adalah: pertama dilakukan penentuandan perumusan model yang akan dikembangkan.Selanjutnya dilakukan proses penyempurnaan modeldengan menggunakan tahapan dan prinsip kerja action re-search (penelitian tindakan). Penggunaan model penelitian

Pengembangan Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

250

tindakan itu sejalan dengan maksud dan kegunaanpenelitian tindakan, sebagaimana dinyatakan oleh Marsh& Stafford (1988: 116), bahwa kegiatan penelitian tindakan(action research) adalah suatu kegiatan “involves groups ofteachers systematically analyzing an educational problems ofconcern to them, planning action programs, executing them,evaluating their efforts, and repeating the cycle in necessary”.Sebagaimana juga dikemukakan oleh Hopkins (1993: 1),bahwa penelitian tindakan (action research) adalah: “an actundertaken by teachers to enhance their own or a colleagues teach-ing to test the assumptions of educational theory in practice, oras a means of evaluating and implementing whole school priori-ties”.

Proses dan rangkaian aktivitas yang dilakukan dalamkegiatan pembentukan model dengan menggunakanpenelitian tindakan, menurut Kember dan Keliy (1993: 6)kegiatan tersebut dilakukan secara berangkai atau yangdiisitilah-kannya dengan bentuk spiral, dengan rangkaiankegiatan: initial reflect, planning, action, observation, reflec-tion. Mc Kernan (1991), menggambarkannya sebagaimanagambar berikut:

251

Berdasarkan model kerja penelitian tindakan yangdigambarkan oleh Kember dan Keliy, dan Mc Kernan diatas, maka dalam pembentukan model kurikulum terpaduini dilakukan rangkaian kegiatan sebagai berikut: (a)penyusunan rancangan model kurikulum; (b) implemen-tasi model kurikulum (tindakan); (c) evaluasi modelkurikulum; dan (d) refisi model kurikulum. Kegiatan iniberlanjut hingga model dianggap sempurna.

2. Research and DevelopmentModel research and development (penelitian dan

pengembangan), sebagaimana dikemukakan oleh Borg &Gall (1979: 624), adalah: “a process used to develop and vali-date educational products”. Selain itu, sebagaimanadikemukakan oleh Gay (1990) bahwa penelitian dan

Pengembangan Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

252

pengembangan adalah suatu usaha untuk mengembang-kan suatu produk yang efektif berupa material pem-belajaran, media, strategi pembelajaran untuk digunakandi sekolah, bukan untuk menguji teori.

Penggunaan model penelitian ini dalam mengembang-kan kurikulum menurut Zais (1967:480) telah banyakdigunakan sejak tahuan 1960-an, khususnya ketika pe-merintah Amerika Serikat mendidrikan dan memberikantugas dan kewenangan kepada lembaga Research and De-velopment (R&D) Centers untuk melakukan mengembangankurikulum dalam skala yang lebih luas, komprehensif danintensif. Penggunaan yang banyak dalam bidang kuri-kulum karena model ini dinilai memiliki beberapa keung-gulan dibandingkan dengan model lain, sebagaimanadikemukakan pula oleh Zais (1967:480), “although the com-parative success of R & D centers in accomplishing needed edu-cational reform is still a much debated question, a few specialistsbelieve that they have greater potential for effecting curriculumchange than of the more traditional methods of curriculum engi-neering.” Beberapa keunggulan model penelitian danpengembangan ini, di antaranya:

No other method of curriculum engineering is designed to promoteso consistenly this systematic recycling of research and developmentprocesses until the desired effects are achieved. And, according to itsproponents, it is this emphasis on systematic, “scientific” recyclingof R & D activities that provides the greatest potential for curricu-lum change and improvement (Zais, 1967:481)”.

Sebagaimana juga dikemukakan oleh Chase, (1971:144-145), sebagai berikut:

A systematic attempt to work out cycles of need assessment, specifi-cations of objectives, analysis of alternative strategies and treatments

253

leading to choices among alternatives, construction of partial or ten-tative systems among prototypes on the basis of testing under fieldconditions in a variety of situations, and continuing evaluation andrefinement.

Salah satu dari model pengembangan kurikulumdengan model R&D ini antara lain dikemukakan oleh Borg& Gall (1979: 775-776). Model ini menurutnya dilakukandengan rangkaian kegiatan sebagai berikut:1. Research and information collecting—Includes review of lit-

erature, classroom observations, and preparation of refort ofstate of the art;

2. Planning—Includes defining skills, stating objectives deter-mining course sequence, and small scale feasibility testing;

3. Develop preliminary form of product—Includes preparationof instruct-ional materials, handbooks, and evaluation devices;

4. Preliminary field testing—Conducted in form 1 to 3 schools,using 6 to 12 subject. Interview, observational and question-naire data collected and analyzed;

5. Main product revision—Revision of product as suggestedby the preliminary filed test results;

6. Main field testing—Conducted in 5 to 15 schools with 30 to100 subjects. Quantitative data on subjects’ pre-course andpost-course performance are collected. Results are evaluatedwith respect to course objectives and are compared with con-trol group data, when appropriate;

7. Operational product revision—Revision of product as sug-gested by main field-test results;

8. Operational field testing—Conducted in 10 to 30 schoolsinvolving 40 to 200 subjects. Interview, observational andquestionnaire data collected and analyzed;

Pengembangan Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

254

9. Final product revision—Revision of product as suggested byopera-tional field-test results;

10. Dissemination and implementation—Report on product atprofessional meetings and in journals. Work with publisherwho assumes commercial distribution. Monitor distributionto provide qua-lity control.

11. Emerging Technical Models.Model ini muncul karena perkembangan teknologi

dan ilmu pengetahuan serta nilai-nilai bisnis. Terdapat tigamodel pengembangan kurikulum yang termasuk Emerg-ing Technical Model yaitu The Behavioral Analysis Model, TheSystem Analysis Model, dan The Computer-Based Model (Zais,1976: 467).1) The Behavioral Analysis Model, menekankan pada

rancangan sistem instruksional atau pembelajaran yangberorientasi pada penguasaan perilaku atau ke-mampuan. Ciri penerapan model ini adalah penjabaranperilaku atau kemampuan kompleks menjadi perilakuatau kemampuan yang sederhana yang tersusun secarahierarkhis.

2) The System Analysis Mode, dikembangkan berdasarkangerakan efisiensi bisnis dalam pendidikan. Langkah-langkah yang dilalui dalam pengembangan kurikulumdengan model ini adalah sebagai berikut.a) Menentukan seperangkat hasil belajar yang

diharapkan dikuasai siswa.b) Mengembangkan alat evaluasi untuk mengukur

hasil belajar siswa.c) Mengidentifikasi tingkat ketercapaian hasil belajar

dan memperkirakan biaya.

255

d) Membandingkan secara kuantitatif biaya relatfdengan keuntungan dari beberapa program lainnya.

3) The Computer-Based Model, merupakan modelpengembangan kurikulum yang memanfaatkankomputer. Pengembangan kurikulum dengan modelini diawali dengan mengidentifikasi sejumlah besarunit-unit kurikulum yang masing-masing unitnya berisibanyak hasil-hasil belajar yang diharapkan. Siswa danguru diminta untuk mengisi angket yang berhubungandengan unit-unit tersebut. Hasilnya serta data ke-cerdasan dan hasil belajar dari masing-masing siswadisimpan dalam komputer. Komputer memanfaatkandata tersebut untuk menentukan materi awal bagimasing-masing siswa. Sekali lagi, reaksi siswa dan gurudimasukkan ke dalam komputer bersama-sama denganinformasi tentang kecerdasan dan hasil belajar; dankomputer akan mengubah secara otomatis “aturan-keputusan” untuk mengoptimalkan hasil belajar,mengatasi hambatan terhadap minat dan keterbatasan.

Pengembangan Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

256

257

BAB VIIIIMPLEMENTASI KURIKULUM

A. PendahuluanTerdapat berbagai pemaknaan terhadap implementasi

kurikulum. Miller & Seller (1990:246-247) mengemukakanbahwa implementasi kurikulum adalah sebuah bagian dariproses atau tahapan pemberlakuan sebuah kurikulum,khususnya sebuah kurikulum baru atau yang telahdiperbaharui (diinovasi) atau hasil dari sebuah kegiatanpengembangan kurikulum. Menurutnya ada empattahapan dalam proses adanya sebuah kurikulum baru,yaitu: orentasi, pengembangan, implementasi, danevaluasi, yang digambarkannya sebagaimana gambarberikut:

Gambar: 7.1: Tahapan pemberlakukan kurikulum Miller & Seller

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

258

Miller & Seller dengan merujuk kepada pandanganbeberapa pakar kurikulum sebelumnya, mengemukakanbahwa setidaknya ada tiga pandangan tentang pim-plementasi kurikulum, yaitu: (1) implementasi kurikulumsebagai sebuah event (kejadian); (2) implementasikurikulum sebagai proses interaksi antara pengembangkurikulum dan para guru; dan (3) implementasi kurikulumsebagai sebuah komponen yang terpisah dari rangkaiankurikulum.

Pertama, pandangan bahwa implementasi kurikulumsebagai sebuah “event” memandang bahwa implementasikurikulum adalah sebuah peristiwa yang terjadi ketika parapengembang kurikulum mengembangkan ataumemproses sebuah kurikulum baru hingga pengembangankurikulum baru tersebut lengkap, selanjutnya para gurudiharapkan dapat mengajarkan sebuah program barutersebut. Dengan kata lain, implementasi kurikulum tidaklain adalah merupakan bagian dari rangkaian kegiatandalam proses pengembangan sebuah kurikulum baru olehpara pengembang kurikulum. Dalam konteks ini, Fullan(1982: 54) mendefinisikan implementasi kurikulum sebagai“… the process of putting into the practice an idea, program, orset of activities new to the people attempting or expected tochange”. Dalam definisi ini Fullan memandang im-plementasi sebagai sebuah “proses” menerapkan sebuahide, program atau seperangkat aktivitas baru untukmendapatkan perubahan. Proses tersebut diharapkandapat mendatangkan perubahan dalam praktik padasebagian dari guru dan siswa yang berefek pada hasil out-come.

Kedua, pandangan bahwa implementasi kurikulumsebagai sebuah “proses” menyatakan bahwa implementasi

259

kurikulum adalah merupakan sebuah proses interaksiantara para pengembang kurikulum dengan para guru.Dalam hal ini para pengembangkan kurikulum bekerjadengan input dari para guru yang mengajarkan programmata pelajaran yang dikembangkan atau menyiapkangambaran rinci dari metode-metode pembelajaran terbaru.Dengan informasi tersebut para pengembang mendesainpendekatan baru, menguji sumber-sumber baru, ataumengintegrasikan konten materi baru ke dalam programyang ada. Guru selanjutnya diminta untuk mencoba revisitersebut. Para pengembang kemudian menilai programberdasarkan hasil dari uji lapangan tersebut. Ketika revisidilakukan pada program baru, maka implementasidinyatakan telah lengkap. Dalam konteks ini Leithwood(1982:254) mendifinisikan implementasi kurikulum sebagai“a process of behavioral change in direction suggested by theinnovation, occurring in stages, over time, if obstacles to suchgrowth are overcome”. Di samping itu ia menjelasakanbahwa implementasi kurikulum: “involves reducing the dif-ferences between exiting practices and practices suggested bythe innovation”. Dalam hal ini dinyatakan bahwaimplementasi tidaklah sekedar melaksanakan apa yangtelah direncanakan tetapi di dalamnya terkadung jugaupaya inovasi dan penambahan hal-hal baru yangmungkin di dalam ide dan rencana tertulis belum ada.Seller & Miller (1985)termasuk yang memandangimplementasi kurikulum adalah sebagai sebuah prosesbukan sebagai sebuah event.

Ketiga, pandangan hang menyatakan bahwaimplementasi kurikulum adalah sebagai sebuah komponenyang terpisah dari rangkaian kurikulum. Meller dan Seller(1985: 247) menjelaskan bahwa implementasi ini

Implementasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

260

merupakan kegiatan yang menyertai pengembangan danadopsi program atau kurikulum baru, dalam bentuksebuah perencanaan untuk memperkenalkannya.Perencanaan ini mengandung lebih dari sekedar sebuahworkshop. Hal itu disebabkan penggunaan sebuah pro-gram baru akan memerlukan perubahan dalam sumber-sumber dan metode pembelajaran, perencanaan alterna-tive ujian yang diperlukan, sumber belajar, dan strategipembelajaran. Sejumlah program baru tersebut pertamadigambarkan dan dibuatkan daftarnya, dan kemudiandipresentasikan kepada para guru dalam sebuah dokumen(booklet rujukan untuk mendampingi program/kurikulumbaru) dan atau mereka dapat membentuk sebuah kegiatanworkshop pengenalan. Ketika perencanaan ini selesai,maka implementasi dinyatakan telah lengkap. Dalamkonteks ini apa yang dilakukan oleh Diniel L. Stufflebeamdan kawan-kawan (1971), dalam konsep evaluasi CIPP nya,termasuk yang memandang bahwa implementasi kuri-kulum tidak lain adalah program, desain dan pelaksnaan“kurikulum dalam sebuah proses.” Begitu juga, serta Oliva(1991).

Diskursus lain yang terkait dengan ilmplementasikurikulum ini adalah pandangan apakah implementasikurikulum identik dengan kegiatan pembelajaran atautidak, dalam arti ia bagian dari pengembangan kurikulum.Pandangan yang memandang bahwa implementasikurikulum tidak lain adalah sebagai sebuah kegiatanpembelajaran, di antaranya dikemukakan oleh Sylor danAlexander (1974:245). Ia menyatakan bahwa implementasikurikulum adalah sebagai kegiatan pembelajaran (instruc-tion) yang terjadi di kelas antara guru dan murid. Hal inisebagaimana definisi yang dikemukakannya, yakni: “the

261

implementation of curriculum plan, usually, but not necessar-ily, involving teaching in the sense of student-teacher interac-tion in school setting”. Oliva (1991) memandang im-plementasi kurikulum tidak sama dengan pembelajaran,walaupun pembelajaran tidak bisa dipisahkan dengankurikulum atau merupakan bagian dari kurikulum. Halitu sebagaimana ketika dia membicarakan tentang konseppengembangan kurikulum, dia menempatkan organisasidan implementasi kurikulum sebagai bagian darikurikulum, sedanhgkanpembelajaran (instrukction) adalahbentuk kegiatan yang merupakan penjabaran dariorganisasi dan implementasi kurikulum dalam bentuk rieldi lapangan.

Selain persoalan di atas, konsep organisasi danimpplementasi kurikulum, Oliva (1991: 26), sebagaimanadikemukakannya dalam bukunya “Depveloping Curricu-lum”, mengartikan implementasi kurikulum sebagai “trans-lating plans into action (menerjemahkan rencana kedalamtindakan)”. Kemudian dijelaskannnya bahwa pada tahapanperencanaan kurikulum pola organisasi atau re-organisasinya telah dipilih. Pola-pola itulah yang diambiluntuk diooperasionalisasikan pada tahap implementasikurikulum. Berdasarkan pengertian tersebut, Olivamemahami implementasi kurikulum sebagai suatu upayaatau kegiatan para pelaksana kurikulum di sekolah ataudi kelas yakni para guru dalam upaya mengimplementasi-kan konsep kurikulum berdasarkan bentuk implementasidan organisasi yang telah dipilih oleh pengembangkurikulum yang kemudin diterjemahkan oleh para gurudalam bentuk kegiatan pembelajaran. Hal ini dapat dilihatsebagaimana alur model pengembangan kurikulum yangdikembangkan oleh Oliva sebagaimanaterdapat pada bab

Implementasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

262

VI sebelumnya. Pada gambar tersebut Oliva memandangimplementasi (dalam hal itu ia menebutnya organisasi danimplementasi kurikulum) adalah merupakan salah satubagian dari rangkaian kegiatan pengembangan kurikulum.Yang menarik dari konsep implementasi Oliva adalah iamemandang rangkaian pembelajaran merupakan bagiandari implementasi itu sendiri atau merupakan peng-implementasian dan menjabaran dalam kondisi real disekolah oleh para guru sebagai pelaksana kurikulum.

Dari beberapa pandangan tentang implementasikurikulum diatas dapat dipahami bahwa implementasikurikulum tidak lain adalah sebagai kegiatan me-laksanakan desain kurikulum yang telah dikembangkan,baik sebuah kurikulum yang sama sekali baru ataupunkurikulum sebagai hasil inovasi atau perbaikan. Implemen-tasi tersebut sudah barang tentu dilaksanakan di lembagapendidikan/sekolah sebagai tempat berlangsungnyapendidikan. Dengan demikian, jika kurikulum tersebutmerupakan hasil pengembangan atau rekayasa oleh timpengembang kurikulum yang berdiri sendiri, makaimplementasi dilakukan oleh sekolah dalam hal ini gurudan siswa sebagai pelaku pendidikan. Akan tetapi jikakurikulum tersebut dikembangkan oleh sekolah atau gurusendiri, maka implementasi dilakukan oleh sekolah/guru,baik dalam rangka proses pengembangan kurikulumtersebut atau implementasi ketika kurikulum tersebut telahsempurna dikembangkan dan siap untuk diimplemen-tasikan secara penuh. Begitu juga jika kurikulum tersebutsebagai sebuah kurikulum yang diadopsi dari hasildideseminasikan kurikulum baru atau hasil rekayasa, makaimplementasi dilakukan oleh sekolah/guru lain yang yangmengadopsi kurikulum tersebut.

263

B. Model-model Implementasi KurikulumSejaan dengan ragam pengertian dan pemaknaan

terhadap implmentasi kurikulum tersebut, model-modelimplementasi kurikulum juga menjadi beragam. Dalampembahasan ini akan dikemuakan berbagai model evaluasiyang dikemukakan oleh Miller & Seller, sebagaimanaterdapat dalam bukunya yang berjudul “Curriculum, Per-spectives and Practice (1985) dan berbagai modelimplementasi yang dikemukakan oleh Peter F. Oliva dalambukunya “Developing the Curriculum” (1990).

Miller & Seller (1985) mengemukakan ada tiga modelimplementasi kurikulum, yaitu: “Concern-Based AdoptionModels (CBAM), The Inovations Profile Models, dan TrustOpening Realization Independence (TORI) Model”. Lebihjelasnya akan dijelaskan berikut ini:

1. Concern-Based Adoption Model (CBAM)Model implementasi kurikulum ini menurut Liller &

Seller adalah salah satu dari dua model implementasi yangdikembangkan berdasarkan orientasi kurikulum trasaksi(transaction models). Dalam model ini, implementasididefinisikan sebagai proses pemantapan penggunaansebuah inovasi (Loucks, 1978: 1).

Model ini menurut Miller & Seller dikembangkan olehHall dan Loucks pada tahun 1978, sebagai hasil dari resettentang implementasi dan inovasi pada sekolah dan kolegyang didukung oleh Pusat Reset dan Pengembanagn Uni-versitas Texas. Riset tersebut telah mengkaji penggunaanhasil inovasi oleh para guru. Model implementasikurikulum ini mengidentifikasi berbagai tingkatanperhatian guru terhadap suatu pembaharuan danbagaimana guru mengadakan pembaharuan di dalam

Implementasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

264

kelas. Walaupun bersifat deskriptif, tetapi model ini dapatmembantu pengembang kurikulum dan para gurumengembangkan strategi-strategi implementasi.

Model CBAM menghadirkan dua dimensi untukmenggambarkan perubahan: 1) Tingkat perhatian terhadapinovasi (Stage of Concern about the Innovation) yangmenggambarkan perasaan para guru terhadap perubahan,dan 2) Tingkat penggunaan perubahan (Levels of Use of theInnovation), yang menggambarkan performan para gurudalam menggunakansebuah program/kurikulum baru.1) Tingkat perhatian terhadap inovasi (Stage of Concern

about the Innovation)Hall et al (1977) menyatakan bahwa perhatian para

guru terhadap inovasi relatif sangat tergantung padapersonality individu para guru itu sendiri dan padapengetahuan dan pengalamannya pada spesifikasiperubahan. Oleh karena itu, setiap individu guru akanmemeberikan cara mereaksi yang berbeda terhadapsebuah inovasi. Misalnya, sebuah program/kurikulumbaru dapat menjadi masalah bagi seorang guru,sementara yang lain relative dapat memahami programbaru tersebut, sementara yang lain lagi dapat secaralangsung siap mencobanya dalam kelas.

Hall et.al (1978: 41) mengemukakan tujuah ting-katan perhatian guru terhadap inovasi, yang dimulaindari yang terbawah peringkat 0 sampai yang tertinggiperingkat 6, sebagaimana tabel 7: 1. Menurut Miller &Siller (1985: 253), apa yang terlihat dari tahapan ke-tertarikan terhadap inovasi, sebagaimana dikemukakanoleh Hall et.al. di atas, dari perhatian yang paling dasar,melalui pengimplementasian penuh terhadap

265

perubahan, menuju ke implikasi menyeluruh dankemungkinan alternative-alternatif. Tingkatan-tingkatan tersebut dapat dikelompokkan ke dalamempat tingkat pengembangan yang lebih besar.

Hall et al. (1977) menganjurkan, karena selamaimplementasi, perbedaan ketertarikan akan turun naiksecara intent, maka pariasi-pariasi tersebut dapatdigunakan untuk memplot progres implementasi.Sebagai contoh: ketertarikan yang ditemukan padatingkat 0, 1, dan 2 sangat intensif pada permulaanimplementasi, maka manajemen ketertarikan padatingkat 4-6 menjadi lebih intensif lagi bagi para guruuntuk memulai penggunaan program/kurikulum barudan tingkat ketertarikan sebelumnya terpecahkan.

Implementasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

266

Tabe

l 7.1

: Tin

gkat

an k

eter

tari

kan

inov

asi m

enur

ut H

all d

an k

awan

-kaw

an.

267

Tabe

l 7.2

: Pen

gelo

mpo

kkan

ting

kata

n ke

tert

arik

an te

rhad

ap in

ivas

i men

urut

Mill

er &

Sill

er.

Implementasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

268

2) Tingkat penggunaan atas inovasi (Levels of Use of theInnovation)

Tingkat penggunaan atas produk inovasi ini tentusebagai kelanjutan dari tingkat ketertarikan terhadapproduk inovasi selebelumnya. Hall et.al (1977) telahmemetakan berbagai tingkat penggunaan produkinovasi ini dari tingkatan 0-VI, yang digambarkanmereka sebagaimana table 7:2. Pada tabel tersebut,tingkat penggunaan inovasi dinyatakan sebagaipernyataan perbedaan yang menunjukkan bentuk-bentuk perbedaan yang dapat dilihat dari behavior danpola-pola penggunaan inovasi yang ditunjukkan olehindividu-individu atau kelompok. Tingkatan-tingkatantersebut menggambarkan perkembangan penggunaandalam mendapatkan skil dan berbagai penggunaaninovasi baru. Setiap tingkatan mencakup sebuah tingkattingkah laku, yang dibatasi oleh seperangkat poin ke-putusan yang dapat diidentifikasi. Untuk mendiskripsi-kan berbagai tujuan, setiap tingkatan dijelaskan dengantujuh kategori. Masing-masing tingkatan dikategorikandengan tiga kategori, yaitu kategori pengetahuan(knowledge); Pengumpulan pengetahuan (acquiring in-formation); dan sharing (sharing). Pengetahuan adalahapa yang pengguna ketahui tentang karakteristikinovasi, bagaimana menggunakannya, dan berbagaikonsekuensi penggunaannya. Pengetahuan dimaksudadalah pengetahuan kognitif yang berhubungandengan penggunaan inovasi, bukan perasaan atausikap. Pengumpulan informasi adalah pengumpulaninformasi tentang inovasi dalam berbagai cara, meliputipertanyaan terhadap sumber-sumber perorangan,korespondensi dengan agen-agen sumber, review

269

terhadap sumber tertulis, dan melakukan berbagaikunjungan. Sharing adalah kegiatan dalam bentukdiskusi-diskusi tentang inovasi dengan pihak lainmengenai perencanaan kegiatan sharing, gagasan-gasan, sumber-sumber, berbagai outcome, dan berbagaiproblem yang berhubungan dengan penggunaaninovasi.

Implementasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

270

271

Implementasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

272

273

Implementasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

274

Tabe

l 7.4

: Kat

egor

i-kat

egor

Pen

ggun

aan

Inov

asi

KA

TEG

ORI

-KA

TEG

ORI

PEN

GG

UN

AA

N IN

OV

ASI

275

Implementasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

276

2.Th

e In

ovat

ions

Pro

file

Mod

elM

odel

“th

e in

nova

tion

prof

ile”

ini

men

urut

Mill

er &

Sel

ler

dike

mba

ngka

n ol

ehLe

ithw

ood

dan

Mon

tgom

ery

pada

tah

un 1

982.

Im

plem

enta

si m

erek

a ad

alah

“ p

rose

sm

engu

rang

i jur

ang

pem

isah

(ga

p) a

ntar

a be

rbag

ai a

pa y

ang

diha

rapk

an/d

ibay

angk

an(im

ages

) dan

ber

baga

i pen

capa

ian

(out

com

es) (

1980

: 3)”

. “I

mag

es”

dim

aksu

dkan

ber

baga

iha

rapa

n ya

ng d

ihar

apka

n ol

eh m

asya

raka

t da

ri se

oran

g ya

ng m

enda

pat p

endi

dika

n at

aube

rpen

didi

kan

(edu

cate

d pe

rson

). K

ebija

kan

dan

kuri

kulu

m m

ener

jem

ahka

nnya

ked

alam

277

program sekolah yang masyarakat percayai. Dalamstrategi implementasi menurut Leithwood dan Montgom-ery ini implementasi sebuah program baru melibatkan paraguru merubah praktik-praktik mereka sesuai dengan pro-gram baru.

Sebuah jurang pemisah diasumsikan sebagai apa yangterdapat antara tujuan-tujuan umum (goals) yangdiharapkan oleh masyarakat dan mencapaian-pencapaianyang didapat oleh siswa. Tujuan memperkenalkan pro-gram-program baru ke dalam sekolah adalah sebagai alatuntuk menyempitkan jurang pemisah tersebut.Berdasarkan definsi implementasi ini, berbagai aktivitasyang memeungkinkan, misalnya perubahan organisasisekolah atau pelatihan bagi para guru (in-service training).

Leithwood dan Montgomery (1980) berasumsi bahwaimplementasi adalah sebuah proses saling beradaptasi(mutual adaptation); baik pengembang maupun guru dikelas bebas untuk membuat penilaian terhadap programbaru. Hal ini dimaksudkan bahwa guru di kelas memilikiberbagai tingkatan hak otonom (autonomy) selama masaimplementasi untuk membuat keputusan penggunaan pro-gram baru.

Asumsi lebih jauh bahwa seluruh guru tidak akanberada pada level yang sama dalam hal kesiapan untukmenggunakan sebuah program baru. Karenanya perlu adavariasi keterampilan kurikulum bagi mereka, guru yangberbeda akan memiliki perbedaan kebutuhan selamaimplementasi. Oleh karena itu, ukuran jurang pemisahantara praktik yang ada dan praktik yang dianjurkan olehinovasi akan sangat bervariasi antara satu guru denganguru lainnya.

Implementasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

278

Strategi dari model ini untuk menutup jurang pemisahtersebut didasarkan pada sebuah asumsi bahwa jurangpemisah tidak ditutup pada satu langkah tetapi lebih darisejumlah langkah yang akan diambil untuk mempersempitketidaksesuaian (discripancy). Individu guru tumbuh terjadidalam perpindahan dari satu langkah ke langkahberikutnya. Sejumlah langkah memiliki berbagai tingkatkesulitan (complexity) inovasi. Umumnya dia buka sebagailangkah kebanyakan sebagaimana dalam pembelajaranuntuk menggunakan teksbook baru tetapi memerlukanadopsi sebuah metodologi pembelajaran baru.

Akhirnya, model ini berasumsi bahwa perkembanganmungkin terjadi pada sekali langkah yang dilakukan telahtelah teridentifikasi. Perpindahan yang dari satu tingkatke tingkat yang lain dicapai dengan mengatasi berbagairintangan yang ada. Pemahaman atas stimulant danpenghambat perkembangan ini adalh kunci darikesuksesan implementasi.

Gambaran mengani model “The Inovations ProfileModel“ ini dapat dilihat pada gambar 8. 3. berikut:

279

Gambar 7.2. Strategi implementasi inovasi kurikulum (Leithwood(1982)

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa dalam “inno-vation profile model” terdiri dari delapan langkah, yangdikelompokkan dalam tiga bidang, yaitu diagnosis,penerapan, dan evalusi.1). Kegiatan Diagnosis

Menurut Leithwood (1982: 249) seperangkatkegiatan diagnosis pertama yang sangat penting yangharus dilakukan dalam implemetnasi sebuah programbaru, sebagai berikut:1. Image or platform: Kepercayaan atau orientasi-

orientasi pada apa yang mendasari berbagai pro-gram.

Implementasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

280

2. Objectives: Tujuan umum pembelajaran yangdiharapkan bagi para siswa.

3. Sudent entry behaviors: Ekkspektasi pencapaian parasiswa sebelum dimulainya program.

4. Content: Materi pelajaran (the subject matter).5. Instructionmaterial: Sumber-sumber yang akan

digunakan oleh siswa.6. Teaching strategies: Tindakan/tingkaj laku yang

diusulkan guru untuk memfasilitasi pembelajaranpara siswa.

7. Learning experiences: Aktivitas-aktivitas siswa, men-tal atau phisik.

8. Time: Jumlah waktu yang akan dihabiskan siswauntuk melaksankan kegiatan.

9. Assessment tools or procedures: Alat yang akandigunakan untuk mengukur pencapaian ataukeberhasilan siswa.

Kegiatan diagnosis kedua menurut Lethwood(1982), adalah mengidentifikasi perbedaan antarapraktik yang ada dengan apa yang diharapkan olehprogram baru. Untuk menyelasaikan perbedaantersebut, sebuah “profil pengguna” dikembangkanuntuk setiap guru, yang menghadirkan posisi setiapguru dalam hubungannya dengan tahapan-tahapanperkembangan. Informasi dapat dikumpulka melalubebera interviu dan observasi. Perbedaan (gap) antarapraktik yang ada dengan praktik baru kemudian dapatdiidentifikasi pada setiap guru. Dapat dipasstikanbahwa akan aka nada berbagai tingkatan guru dalampermulaan implementasi hal-hal baru.

281

Kegiatan atau tugas ketiga dari kegiatan diagnosisadalah memastikan berbagai halangan atau hambatanyang spesifik yang akan dialami oleh para guru dalammenerapkan inovasi baru. Hambatan dimaksud adalahhambatan yang dapat menghalangi para guru berpin-dah dari sati livel ke livel berikutnya dla implementasiprogram baru. Dalam hal ini, ada beberapa halanganyang perlu diperhatikan: Pertama, halangan dalamberbentuk ketidakcukupan pengetahuan tentang con-tent (materi) merupakan salah satu sumber rintangan.Kedua, halangan yang didasari oleh sikap/ Halanganini lebih sulit untuk dihindarkan, oleh karena itu harusdipelajari secara hati-hati, rasa ketidakcukupan dapatberkembang dari kekuarangan atau ketiadaan pe-ngetahuan dan sikap. Karena perubahan sebuah praktikadalah merupakan pengambilan sebuah risiko aktivitas,maka iklim yang mendukung sangat penting. Ketiga,halangan yang berhubungan dengan strukturorganisasi dan sumber-sumber yang diperlukan untukmendukung perpindahan ke tahapan berikutnya.

2) Kegiatan PenerapanKetika pengujian pertama dan analisis inovasi telah

lengkap, seperangkat kegiatan kedua baru dimulai.Pada tahapan ini fokus kegiatan dilaksanakan di dalamkelas. Tujuannya adalah untuk memfasilitasi terjadinyaperubahan praktrik yang diusulkan oleh program baru.Dalam hal ini strategi untuk mengatasi rintangan yangteridentifikasi juga perlu dikembangkan.

Proses pengembangan dan membawa berbgai ben-tuk strategi adalah hal yang substantif dari tiga kegiatanaplikasi. Leigtwood (1982) merujuk hal ini sebagai

Implementasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

282

“sebuah kurikulum para guru yang harus dikembang-kan oleh diri mereka sendiri”. Strategi-strategi yangdigunakan untuk memecahkan berbagai halangantersebut sangat tergantung pada keberadaan halanganyang sesungguhnya.

Berbagai strategi yang dapat dilakukan, misalnyamengikuti workshop dan observasi kelas di mana pro-gram tersebut digunakan dapat direncanakan; pem-biayaan harus disiapkan untuk menjamin perlengkapanpenting dapat disediakan; jika ada antisifasi sikap siswaakan menjadi halangan, maka kelas khusus harus di-rencanakan untuk menjelaskan tujuan dan operasionali-sasi program baru. Semua kegiatan tersebut dijadwal-kan menurut waktu yang tersedia selama masaimplementasi.

3) Kegiatan EvaluasiKegiatan evaluasi diselenggarakan berdasarkan

kriteria yang dikembangkan sebelum kegiatan. Tujuandari evaluasi formatif dalam kegiatan ke tujuh adalahuntuk melihat apakah berbagai halangan yangteridentifikasi telah terpecahkan. Kegiata evalusi padakegiatan ke delapan adalah sebagai penilaiansummative dari inovasi, dilakukan ketika dipastikanbahwa semua halangan telah terpecahkan semua.

Disebabkan model ini menetapkan sebuahrangkaian langkah dan mengidentifikasi berbagaihalangan, ia tepat diterapkan untuk situasi-situai ketikasebuah jadwal waktu yang detail diperlukan untukimplementasi. Gambaran khusus untuk langkahantisipasi yang diperlukan dapat digunakan untuk

283

memastikan kompleksitas implementasi dan untukmengukur ketidaktetapan jadwal waktu yang cocok.

Menurut Miller & Seller (1985) model ini adalahterbaik digunakan ketika orang-orang yang dilibatkandalam implementasi sebuah program baru dapat ber-temu bersama seseringmungkin, sebab hakekat peren-canaan dan berbagai diskusi intensif yang diperlukanoleh berbagai kegiatan mengharuskan banyakpertemuan.

Meskipun berbagai program dengan berbagaiorientasi dapat menggunakan model ini, namun modelini lebih cocok untuk model kurikulum orientasi-transaksi (transaction-oriented currcula). Hal itudisebabkan berbagai deskripsi aktivitas-aktivitas gurudan dan penetapan tujuan yang jelas adalah sulit dalampenggunaan model ini.

3. Trust Opening Realization Interdepending (TORI)ModelModel ini menurut Miller & Seller dikembangkan oleh

Jack Gibb pada tahun 1978, yang didasarkan kepadaorientasi kurikulum transformasional (transformation cur-riculum). Model implementasi kurikulum ini memfokuskanpada perubahan pribadi dan sosial. Model TORI ini mem-berikan suatu skala yang membantu para guru meng-identifikasi seberapa besar lingkungan sekolah dapatmenerima dan mengimplementasikan suatu inovasi(termasuk dalam implementasi kurikulum); sertamemberikan panduan untuk memudahkan implementasiperubahan.

Implementasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

284

Menurut Gibb (1978: 20) ada empat proses yangmenjadi asumsi dasar dari model TORI, yaitu:1) Discovering and creatin who I am. turning into my own

uniqueness, bing aware of my own eseence, “trusting” me -being who I am. (T)

2) Discovering and creating ways of “opening” and revealingmyself to myself and to others, disclosing my essence, dis-covering yours, communing with you - showing me. (O).

3) Discovering and creating my own pathts, flows, and rhythms,creating my emerging and organizing nature, and becom-ing, actualizing, or “realizing” this nature - doing what Iwant. (R).

4) Discovering and creatingwhit you owr interbeing, the wayswe can live toghether in “interdepending” community, infreedom and intimacy – being with you (I).

Dari empat proses yang dikemukakan oleh Gibb diatas terlihat bahwa implementasi sebuah kurikulum baruakan dapat berjalan harus dimulai dari adanya “ke-percayaan (trust) oleh para pengguna kurikulum. Tanpadidahului oleh adanya kepercayaan ini sebuah kurikulumbaru yang dikenalakan kepada para guru tidak akanmungkin dapat diterapkan. Langkah kedua harus ada“keterbukaan (opening)” , baik keterbukaan atas hal-halbaru atau dalam bentuk kesediaan untuk menerima danmelaksanakan hal-hal baru. Dengan adanya keterbukaanini maka selanjutnya akan muncul kesediaan untuk“merealisasikan (realizing) hal-hal baru tersebut dalampelaksanaannya. Terakkhir baru akan terjadi adanya salingketergantungan atau saling percaya serta kedekatan antarapengembang kurikulum dengan para pelaksana kurikulum

285

atau para guru. Dengan demikian implementasi kurikulumbaru telah dapat berlangsung dengan baik.

Menurut Gibb dalam proses implementasi sangatditentukan oleh 10 tingkatan yang ada pada diri seseorangatau organisasi ketika sebuah kurikulum baru akandiimplementasikan, yang disebutnya “environmental qual-ity” sebagaimana tertuang dalam table berikut:

Implementasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

286

Tabel 7.5: The Development Environmental quality (Gibb, 1978: 51)

Menurut Gibb 10 skala keadaan tersebut diterapkanuntuk perkembangan seseorang, evolusi arena, evolusitahayul dan kepercayaan, dan pengembangan upaya kitauntuk “mengelola” bebagai proses dan orang. Setiaptingkatan baru membawa seperangkat kebutuhan,seperangkat asumsi baru tentang orang-orang, dan prob-lem-problem baru. Menurutnya pula, “sebuah livel barumengintegrasikan perubahan-prubahan tersebut,memberikan aturan terhadap proses-proses yang muncul.”

287

Gibb (1987: 123) menawarkan panduan secara garusbesar (guidlines) untuk memfasilitasi pertumbuhan ke livelyang tertinggi dari 10 livel tersebut, yaitu:1) Freedom of flow (Kebebasan untuk bergerak): Setiap or-

ang dibebaskan untuk bergerak menurut irama atauritme percepatan mereka secara harmony. Hal ituadalah hal yang paling mendasar untuk lebih meng-utamakan orang-orang dapat diberikan kebebasandalam sebuah organisasi seperti sekolah.

2) Trusting the process (Kepercayaan terhadap proses):Organisasi memberikan kepercayaan kepada orang-orang pada proses yang lahir dari dirinya sendiri.Dalam hal ini memberikan kebebasan kepada seorangguru untuk mengambil resiko di dalam kelas yangbertentangan dengan pengembangan strukturlingkungan pembelajaran yang lebih tinggi.

3) Creating vision and clarity (Mengkreasi visi dankejelasan): Dalam pandangan Gibb, penting bahwasetiap organisasi, seperti sekolah, menetapkan misimereka atau pendirian kemana dia akan menuju.

4) Caring for the self and for the system‘s self (Kepedulianuntuk diri sendiri dan untuk sistem diri): Gibbmenyatakan: Ada banyak cara aplikasi prinsipkepedulian diri ini untuk kehidupan professional daanorganisasi. Misalnya, Saya seorang guru di sebuah kelas,pertimbangan pertama saya adalah: Bagaimana sayadapat membuat sebuah kondisi lingkungan yangmembuat saya berbuat, apakah saya akan melihat kedepan, pada yang mana saya temukan cinta keseharian,dan dimana saya melakukan apa yang saya inginlakukan? Ketika saya melakukan hal ini untuk diri sayasendiri, kondisi lingkungan tidak dapat menolong tetapi

Implementasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

288

menjadikan sesuatu yang baik untuk para siswa. Disanaaka nada pembelajaran, pertumbuhan, dan komunitas.

5) Encouraging the open life and the open system (Mendoronghidup terbuka dan sistem terbuka): Keterbukaanmenjadikan seseorang dapat mengunci “blokade” be-havior dan mengeluarkan energy yang diperlukan bagigangguan emosi/perasaan sebagai upaya untukmembangkitkan behavior, sedikit banyak untukkebutuhan depensif, dan menolong untuk mengurangihal-hal yang bersifat negative. Gibb menganjurkanuntuk adalah “ruang terbuka” di sekolah dan kelas danagenda-agenda pertemuan terbuka.

6) Focusing energy (Memfokuskan energi): Orang-orangmenfokuskan energy mereka pada apa yang merekasenang kerjakan atau apa yang dimotivasi secaraintrensik. Ketikan orang-orang bekerja pada livel ini,mereka mencapai kepuasan yang paling dalam dariupaya mereka.

7) Reducing constraints (Pengurangan ketidakleluasaan):Mengurangi ketidakleluasaan dalam sebuah organisasiatau kelas memungkinkan orang-orang untuk menjadiorang yang tidak sekedar responsif terhadap ekspektasipihak luar yang tidak masuk akal.

8) Focusing on environmental design (Fokus pada desainlingkungan). Sebuah desain lingkungan yang efektifyang mana ada batas-batas tegas pemisahan siswa dariguru menciptakan hubungan secara timbal balik danarus di dalam sebuah sekolah atau kelas.

9) Building community (Membangun komunitas): Sebuahpersaan mendalam hubungan antar personal dalamsebuah organisasi atau sekolah adalah suatu hal yang

289

mendukung. Para guru merasa bertanggungjawab satusama lain.

10)Sensing the cosmic all in all (Merasakan cosmic secarakeseluruhan): Hal ini melingkupi sebuah kedamaiandari dalam, sebuah persepektif hidup yang lebihlengkap, sebuah kesadaran ketuhanan dalam z\setiapkehidupan, sebuah keterbukaan terhadap pengalaman,dan sebuah apresiasi atas yang tidak rasional dan tidakverbal.

Dalam model TORI, para pekerja kurikulumdifokuskan pada pengembangan personal dan organisasi,yang menyediakan kondisi-kondisi yang penting untuksebuah probahan yang positif. Guru atau pekerjakurikulum menggunakan model ini mengidentifikasidimana keberadaan mereka pada skala “environmental qual-ity” dan dimana yang mereka pergi sebagai sebuah kelas,sekolah, atau sistem. Mereka kemudian akan menerapkanpanduan TORI dalam usaha untuk meningkatkan “envi-ronmental quality” dari unit tersebut.

Menurut Gibb (1978: 222), penerapan TORI dalampendidikan biasanya menghasilkan hasil-hasil sebagaiberikut:

“Ketika komunitas TORI digunakan sebagai sebuah mediapendidikan, esensi pendidikan menjadi sebuah proses kreatif,keterlibatan dalam inquiry, mempelajari pengetahuan dan skillyang mendesak, tidak sekedar proses belajar-mengajar. Fokuspemikiran, tinkaan, dan tanggungjawab adalah pada pelajarketimbang pada guru. Motivasi belajar datang dari dalam diripelajar dan proses belajar, dan dari reward dan punishmentdari dalam diri yang terjadi pada berbagai proses interaksi.Kurikulum dating dari pelajar dan mempersyaratkanprosesinquiry ketimbang dari sumber-sumber ekternal para pelajar.”

Implementasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

290

“Kehidupan komunitas pembelajaran adalah sebuahkontinuitas, proses mengalir, Seluruh aktivitas menyuguhkandiri mereka sendiri sebagai pengayaan terhadap moment,proses dan tujuan-tujuan. Pendidikan klasik dipandang sebagaiyang dipersiapkan belakangan dan lebih signifikan, danmemerlukan ketidakleluasaan tersebut, penundaan tujuan-tujuan, dan disiplin. Dalam komunitas pembelajaran, tujuan-tujuan disetting oleh para pelajar sebagaimana merekamunculkan dari proses, ketimbang oleh aturan, perintah, atausistem. Reward dan punishment adalah informal,dimunculkan, dan bersifat intrinsic bagi proses yang terkaitdengan inquiry dan interaksi; mereka tidak menetapkan,menformalkan, ekstrinsik, atau menggunakan sebuah control.”

Menurut Miller dan Seller (1985: 273), kekuatan dankelemahan dari model skala “environmental quality” dariGibb adalah:1. Kekuatannya adalah, yang mana Gibb telah mengem-

bangkan sebuah kerangka kerja yang membangkitkanminat untuk menganalisis rang lingkungan-lingkungan(environments) yang kita temukan di sekolah.Lingkungan-lingkungan tersebut berhubungan denganmetaorientasi yang dihadirkan dalam teks ini. Livelpunitive, autocratic, dan benevolent dapat dipandangsebagai tranmisi lingkungan. Lingkungan advisory, par-ticipative, dan emergent dikaitkan dengan posisitransaksi. Lingkungan organic, holistic, transcendent dancosmicberada dalam transformasi posisi. Oleh karenaitu, skala lingkungan memberikan keleluasaan bagipekerja kurikulum untuk memadankan program danoorientasi mereka sesuai dengan lingkungan lokalmasing-masing.

2. Kelemahan dari model Gibb pada dasarnya ada padapedoman kerja transformasi dan tidak aplikatif pada

291

tungkatan yang rendah dari skala “environmental qual-ity”. Begitu juga, disebaabkan pandaun kerja Gibbsangat umum, dimana rata-rata guru atau pekerja ku-rikulum akan ditinggalkan dengan sedikit guidan yangspesifik pada bagaimana untuk menyiapkan ling-kungan khusus untuk perubahan.

Selain tiga model di atas, Ornstain dalam Hasanmengemukakan bahwa terdapat empat beberapa modelimplementasi kurikulum lain, yaitu:1. Overcoming Resistance to Change Model (Model ORC).

Model implementasi kurikulum ini, didasarkanpada asumsi yaitu sukses atau gagalnya usahaperubahan secara organisasi yang direncanakan.Implementasi inovasi di sekolah dan lembagapendidikan, dapat dikelompokan menjadi empat tahap: (a) Unrellated Concern: pada tingkatan ini guru tidakmerasakan hubungan antar mereka disarankanperubahan. (b) Personal Concern: pada tahap ini reaksiindividual; pada inovasi berkaitan dengan situasi per-sonal. Berkonsentrasi pada bagaimana program barudibandingkan dengan program yang sedang berjalan,khususnya pada apa yang dia lakukan. (c) Task-RelatedConcern: berkaitan dengan manfaat aktual inovasi kelas.(4) Impact-Relatde Concern: ketika reaksi pada tahap ini,guru lebih berpusat pada bagaimana inovasi bisamempengaruhi lainnya dalam hal ini organisasikeseluruhan. Guru tertarik dalam hal bagaimana pro-gram baru dapat memengaruhi siswa, lembaga danmasyarakat.

Implementasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

292

2. Organization Divelopment Model (OD)Model ini merupakan pengembangan organisasi

digunakan untuk memberi makna pendekatan yanglebih khusus untuk membawa perubahan dan per-baikan dalam suatu organisasi. Model OD memandangproses implementasi sebagai proses interaktif yangterjadi. Tugas dari implementasi tidak pernah berakhirdimana selalu ada ide baru untuk membawa programbaru, material baru dan metode yang diharapkan untukmuncul.

3. Educational parts, unit, and loop.Model implementasi kurikulum ini memandang

implementasi dari sudut keorganisasian, organisasi bisamenciptakan kondisi-kondisi yang secara signifikanmemengaruhi individu dalam menerima inovasi dancara mereka dilibatkan dalam pengimplementasiannya.Program baru yang sedang diimplementasikan disekolah memberikan kesempatan bagi semua pihakterkait seperti peserta didik, guru, dan kepala sekolah.Bagaimanapun, implementasi sukses akan membutuh-kan energi, waktu dan kesabaran.

4. Educational Change Model. Model implementasikurikulum ini, memandang bahwa efektivitas dalammemanfaatkan implementasi tergantung seberapa baikorang menyerap keseluruhan konsep implementasi.Setiap orang yang ingin menerapkan kurikulum yangbaru perlu memahami karakteristik perubahan perludipertimbangkan.

Model-model implementasi kurikulum tersebut,menawarkan berbagai macam model implementasi yang

293

dikembangkan oleh guru. Model ORC misalnyamenekankan pentingnya manajemen guru dan pemimpin.Model OD menekankan adanya perubahan dan perbaikandalam suatu organisasi.

Berbeda dengan Miller & Seller, model-modelimplmentasi yang dikemukakan lebih berorientasi padakegiatan penerapan model kurikulum baru atau inovasikurikulum. Menurut Peter F. Oliva (1991) mengemukakanmodel implementasi tidak bisa dipisahkan dengan modelorganisasi kurikulum atau dalam kata lain modelimplementasi yang dijalankan harus sejalan dengan modelorganisasi yang dipilih atau ditetapkan. Dalam modelOliva, ada model organisasi dan implmentasi yangdikembangkan oleh pengembang kurikulum dan adamodel implementasi yang dilakukan oleh pengembangkurikulum atau oleh para guru sendiri dalam implementasisecara real di lapangan atau disebut model pembelajaran(instruction model). Sehubungan dengan itu, menurut Olivamodel organisasi dan implementasi yang dikembangkanoleh para pengembang kurikulum dijabarkan lebih ditaildalam bentuk rangkaian kegiatan pembelajaran (lihatmodel pengembangan kurikulum model Oliva). Dalammodel tersebut, model oragnisasi dan implementasi yangtelah dipilih dan ditetapkan oleh pengembang kurikulum,selanjutnya dan dijabarkan ke dalam rangkaian desain danpelaksanaan pembelajaran (instruction). Ada beberapakegiatan implementasi dalam rangkaian pembelajarantersebut, yakni: (1) Menetapkan tujuan umum pem-belajaran (specification of instructional goals), (2) Menetapkantujuan khusus pembelajatan (specification of instructionalobjectives), (3) Memilih strategi-strategi pembelajaran (se-lection of strategies), (5) Menyiapkan awal teknik-teknik

Implementasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

294

evaluasi (preliminary selection of evaluatin techniques), (6)Implementasi strategi (implementation of strategies), (7)Pinalisasi pemilihan teknik-teknik evaluasi (final selectionof evaluatin teckniques), dan terakhir (8) Evaluasipembelajaran (Evaluation of instuction).

295

BAB IXEVALUASI KURIKULUM

A. Konsep Evaluasi KurikulumEvaluasi kurikulum adalah sebuah konsep yang

memiliki makna dan cakupan yang sangat luas danberagam. Oleh karena itu, konsep yang digunakan olehpara ahli dan praktisi kurikulum juga sangat beragam.Terjadinya keragaman tersebut utamanya disebabkan olehberagamnya pemaknaan atas kurikulum dan konseptujuan evaluasi itu sendiri.

Sebagaimana dikemukakan pada bab II bahwakurikulum dapat dimaknai secara sempit atau luas.Kurikulum dapat pula dimaknai secara tradisional yanglebih menekankan kurikulum hanya sebagai isi atau materipendidikan/pembelajaran atau dimaknai secara modernyang menaknkan kurikulum bukan sekedar sebagai isi ataumateri tetapi juga sebagai sebuah proses pendidikan/pembelajaran. Kurikulum yang dimaknai secara sempitatau luas dan tradisional atau modern akan berdampakpada konsep dan cakupan evaluasi kurikulum yang

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

296

digunakan dan dirancang. Hal ini juga berdampak padasimpel atau kompleknya konsep evaluasi yang dirancang.

Sementara itu evaluasi juga memupunyai makna dantujuan evaluasi yang beragam. Menurut Sanders andSullins (2006:1), program evaluasi adalah “the process ofsystematically determining the quality of a program and how itcan be improved”. Fitzpatrick, Sanders, dan Worthen (2004)menyimpulkan bahwa program evaluasi adalah tindakanyang dilakukan secara sistematis dan objektif yangdilaksnakan secara sistematis dan objectif dalam bentukpengumpulan data, melakukan analisis, dan meng-interpretasikan informasi yang didapat. Pengertian yanglebih spesifik, program evaluasi juga dinyatakan sebagaiupaya pengumpulan data dan pendokumentasian in-formasi tentang program tertentu untuk membuatkeputusan yang terkait dengan sebuah aspek tertentu dariprogram tersebut (Mc Namara,2000). Tujuan akhir dariprogram evaluasi menurut Fitz patrick et al. adalah untukarrive at a definitive, intelligent, objective, and valid con-clusion regarding specified objectives and questions relatedto a program’s over all effectiveness. Selain itu, Educationlegislation, such as the No Child Left Behind Act and the 2007Reauthorization of the Elementary and Secondary Education Act(ESEA), telah mengemukakan peningkatan penting terkaitdengan efektivitas dan efisiensi program evaluasi. Programevaluasi digunakan mengukur proges pencapaian tujuan,peningkatan program implementasi, mengumpulkanakuntabilitas informasi kepada stakeholder, penjaminantemuan institusi tentang keefektifan, meningkatkan sup-port masyarakat untuk memberikan insiatif-inisiatif, danmenginformasikan kebijakan keputusan-keputusan. Lebihspesifik Posavac and Carey (2007: 2) menyatakan bahwa

297

program evaluasi adalah “a collection of methods, skills, andsensitivities necessary to determine whether a human serviceis needed and likely to be used, whether the services is suffi-ciently intensive to meet the unmet needs identified, whetherthe serviceis offered as planned,and whether the service actuallydoes help people in need at a reasonable cost.”

Tidak jauh berbeda dengan berbagai definisi programevaluasi di atas, evaluasi kurikulum menurut Oliva (1991)tidak lain adalah untuk memastikan apakah tujuankurikulum (the curriculum goals and objectives) dapat dicapai,termasuk di dalamnya evaluasi pembelajaran (instructionalevaluation) dan berbagai hal yang terkait dengan dengandokumen dan proses pencapaian tujuan tersebut. Cakupanevaluasi kurikulum tersebut, menurut Oliva sebagimanadikemukakan oleh Albert I. Oliver (1965), mencakup “Thefive P`s”, yakni: program, prosedures, products, and processeskurikulum. Pemaknaan evaluasi menurut Oliva ini sejalandengan definisi evaluasi kurikulum yang dikemukakandalam Peraturan Menteri Pendidikan dan KebudayaanRepublik Indonesia Nomor 81A Tahun 2013 tentangImplementasi Kurikulum, bahwa yang dimaksud denganevaluasi kurikulum ialah serangkaian tindakan sistimatisdalam mengumpulkan informasi, pemberian per-timbangan dan keputusan mengenai nilai dan maknakurikulum. Pertimbangan dan keputusan mengenai nilaiberkenaan dengan kaajekan ide, desain, implementasi, danhasil kurikulum. Sedangkan pertimbangan dan keputusanmengenai makna atau arti berkenaan dengan dampakpositif kurikulum terhadap masyarakat.

Konsep evaluasi kurikulum ini tentu berbeda denganevaluasi pembelajaran dan evaluasi pendidikan, yangdalam praktiknya sering ada kerancuan atau ketidak-

Evaluasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

298

tegasan wilayah dan cakupannya. Oleh karena itu perluadanya kejelasan definisi dan wilayah kerja ketiga bentukevaluasi tersebut. Menurut Oliva (1991) evaluasipendidikan (educational evaluation) adalah “all kinds of evalu-ations that come under the aegis of the school. It includes evalu-ation not only of curriculum and instruction but also of thegrounds, buildings, administrations, supervision, personal,transfortation, and so on.” Adapun evaluasi pembelajaran(instructional evaluation) adalah: “an assessment of (1) pupils`achievement, (2) the instruction`s performance, and (3) the ef-fectiveness of a particular approach or methodology.

Selain persoalan keragaman pemaknaan atas konsepkurikulum di atas, dampak dari keragaman atas posisi danperan evaluasi dalam proses pengembangan kurikulumjuga sangat signifikan. Ada pandangan bahwa evaluasi dankurikulum merupakan dua disiplin yang berdiri sendiri.Ada juga yang berpendapat bahwa antara keduanya tidakada hubungan, tetapi ada pula pihak lain yang berpendapatbahwa kduanya mempunyai hubungan yang tidak dapatdipisahkan. Pihak-pihak yang berpendapat keduanya tidakada hubungan menyatakan bahwa konsep dan kegiatankeduanya berjalan masing-masing. Kurikulum memilikikonsep dan wilayah sendiri, sementara evealuasi jugamemiliki konsep dan wilayah sendiri. Tugas para evalua-tor pendidikan mengevaluasi pendidikan secarakeseluruhan, termasuk di dalamnya evaluasi terhadapkurikulum, yang hasilnya digunakan untuk perbaikanpendidikan secara keseluruhan. Konsep dan prosedur yangdigunakan adalah sebagaimana konsep dan teori evaluasipendidikan. Sementara pihak yang berpendapat evaluasidan kurikulum adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkanberpendpat bahwa evaluasi dan kurikulum bersifat organis

299

dan prosesnya berlangsung secara evolusioner. Konsep-konsep kurikulum yang lama yang sudah tidak sesuaidengan tuntutan jaman secara berangsur-angsur digantidengan hal-hal baru yang lebih sesuai. Selain itu, R.A.Brobacher, misalnya, berpendapat bahwa tiap programpengembangan kurikulum memiliki style dan karakteristiktertentu, dan evaluasi dari program tersebut jugamenggunakan style yang sesuai dengan style kurikulumyang dikembangkan.

Evaluasi kurikulum yang dipandang sebagai bagiankurikulum yang tidak terpisahkan atau salah satu aspekdari sebuah desain kurikulum, dalam konsep evaluasinyajuga beragam. Ada yang memandang evaluasi tersebutdilakukan hanya untuk menilai keberhasilan pencapaiantujuan. Pandangan yang lain membnerlakukan evaluasikurikulum bukan sekedar mengevaluasi keberhasilantujuan tetapi mengevaluasi seluruh aspek kurikulum, baiktujuan, isi, strategi implementasi dan evalusi itu sendiri.

B. Permasalahan Evaluasi KurikulumPersoalan klasik yang sering menyebabkan evaluasi

kurikulum tidak terlaksana dan berjalan dengan baik,menurut Daniel L. Stufflebeam (1970: 4-9) yang dinyatakansebagai evaluasi kurikulum yang menjadi tidak bermakna(ill and suffered) disebabkan oleh berbagai gelaja (symptoms)terhadap evaluasi, antara lain sebagaimana dikemukakan-nya berikut:1. Gejalan menghindar (The avoidance symptom),

disebabkan evaluasi dipandang sebagai sebuah prosesyang menyakitkan, oleh karena itu setiap orang akanmenghindar walaupun dipandang sangat penting.

Evaluasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

300

2. Gelaja kekhawatiran (The anxiety symptom), yangmengakibatkan adanya ambiguitas terhadap prosesevaluasi.

3. Gejala ketiadaan upaya yang sungguh-sungguh (Theimmobilization symptom). Sekolah-sekolah tidakmemberikan respon terhadap evaluasi dengan cara-carayang berarti.

4. Gelaja skeptis (The skepticism symptom). Banyak personyang beralasan bahwa sedikit sekali dari perencanaanevaluasi yang dapat dilaksanakan.

5. Gejala ketiadaan pedoman (The lack-of-guidlaine symp-tom). Diantara ahli evaluasi mencatat ketiadaanpedoman evaluasi yang bermakna dan operasional.

6. Gejala tidak adanya pelayanan (The misadvice symptom).Para konsultan evaluasi, banyak yang ahli secarametodologi dalam penelitian pendidikan, secara terusmenerus memberikan saran yang jelek terhadapm parapraktisi.

7. Gelaja tidak adanya perbedaan yang signifikan (The no-significant-difference symptom). Evaluasi, sangat seringtidak mampu membongkar berbagai informasi yangsignifikan.

8. Gelaja kehilangan elemen-elemen (The missing-elements).Ada sebuah kehilangan elemen krusial yang dibutuh-kan ketika evaluasi dibuat untuk langkah ke depan.Kehilangan elemen yang nyata adalah ketiadaan teoriyang memadai.

Oleh karena itu menurutnya menghindari berbagaisymptom (gejala-gejala) yang tidak menguntungkan ataudapat membuat kegiatan evaluasi kurikulum menjadi tidak

301

atau kehilangan makna dan signifikansinya sebagaimanadikemukakan oleh Stufflebeam di atas perlu mendapatperhatian bagi pelaksana evaluasi kurikulum.

Selain berbagai problema evaluasi di atas, sebenarnyaproblem evaluasi juga terdapat pada ketiadaan sumberdaya manusia yang benar-benar ahli dlam evaluasikurikulum dan punya komitmen dan kesungguhan untukmmelaksanakan dan memanfaatkan evaluasi kurikulumuntuk perbaikan pendidikan. Ketiadaan sumber dayamanusia yang ekspert dank komet ini, baik yang ada disetiap lembaga pendidikan (guru, kepala sekolah dantenaga lainya) maupun juga yang ada di instansi yangbertanggung jawab terhadap kurikulum dan pendidikansecara kjeseluruhan.

C. Tujuan dan Cakupan Evaluasi kurikulumSebagaimana dikemukakan pada definisi kurikulum

di atas, bahwa tujuan dan cakupan evaluasi kurikulumbukan sekedar untuk memastikan tercapainya tujuankurikulum, tetapi mencakup program, prosedures, products,and processes. Tujuan dan cakupan evaluasi kurikulumtersebut sejalan dengan definisi evaluasi itu sendiri,sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa pakarevaluasi sebagai dikemukakan oleh Ross, Ellipse, dan Free-man (2004) bahwa evaluasi adalah: “A systematic, rigorous, andmeticulous application of scientific methods to assess the design,implementation, improvement, or outcomes of a program. It is aresource-intensive process, frequently requiring resources, suchas, evaluate expertise, labor, time, and a sizable budget”.

Menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Ke-budayaan RI, evaluasi kurikulum mencakup evaluasiterhadap ide, dokumen, proses, dan hasil. Sebagai bagian

Evaluasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

302

dari pengembangan kurikulum, evaluasi kurikulummerupakan kegiatan yang dilakukan sejak awalpengembangan ide kurikulum, pengembangan dokumen,implementasi, dan sampai kepada saat dimana hasilkurikulum sudah memiliki dampak di masyarakat.Evaluasi terhadap proses pengembangan ide dan dokumenkurikulum dilakukan untuk mendapatkan masukanmengenai kesesuaian ide dan desain kurikulum untukmengembangkan kualitas yang dirumuskan dalam tujuankurikulum. Evaluasi terhadap implementasi dilakukanuntuk memberikan masukan terhadap proses pelaksanaankurikulum untuk memberikan masukan terhadap prosespelaksanaan kurikulum agar sesuai dengan apa yang telahdirancang dalam dokumen. Evaluasi terhadap hasilmemberikan keputusan mengenai dampak kurikulumterhadap individu warga Negara, masyarakat, dana bang-sa. Di samping itu, evaluasi terdapat ide dan dokumenkurikulum dilakukan sebagai upaya mencari informasi danmemberikan pertimbangan berkenaan dengan keajekankonsistensi ide kurikulum untuk mengembangkan kualitasyang diharapkan, dan keajekan desain kurikulum denganmodel dan prinsip pengembangan kurikulum.

Evaluasi kurikulum merupakan suatu kegiatan yangsangat luas dan berkelanjutan untuk mengetahui hasil-hasilpenggunaan isi dan proses pendidikan dalam mencapaitujuan yang telah ditentukan. Evaluasi kurikulum jugamencakup cakupan yang sangat luas, dari yang sangat in-formal sampai dengan yang bersifat formal, dari yangsaangat sempit (terbatas) dsampai dengan yang cakupan-nya sangat luas. Komponen-komponen kurikulum yangdievaluasi juga sangat luas. Program evalusi kurikulumyang sangat luas, menurut Taba (1962:310) mencakup:

303

“Objective, it scope the quality of personel in charger of it, thecapacities of the students, the relative importance of various sub-ject, the degree to which objectives are implemented, the equip-ment and materials and so on.” Adapun evaluasi yangdilakukan secara sempit lebih pada bentuk evaluasi untukmengetahui capaian yang telah dicapai oleh siswa. Wright,1966:303) menyatakan: “evaluation may be define as the esti-mation of the growth and process of students toward objectivesor values of the curriculum.” Atau sebagaimana devinisievaluasi yang dikemukakan oleh Reeve, J; Paperboy, D.(2007), yakni sebagai “the critical assessment, in as objective amanner as possible, of the degree to which a service or its compo-nent parts fulfills stated goals.”

Luas atau sempitnya suatu program evaluasikurikulum banyak ditentukan oleh apa yang ingin ditujudan diharapkan dari evaluasi kurikulum tersebut. Adaevaluasi yang ditujukan untuk mengevaluasi keseluruhansistem atau kompoenen kurikulum atau hanya salah satuatau sebagian komponennya saja. Oliva (1991: 447-479)menggambarkan evaluasi yang sempit, yakni yang hanyamengevaluasi keberhasilan tujuan kurikulum (curriculumgoals) yang dinamakannya “Curriculum model with one feed-back line”, sebagaimana gambar berikut:

Gambar 10.1: Model one feedback line evaluation

Evaluasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

304

Adapun evaluasi kurikulum yang lebih lengkapdinamainya “Curriculum model with all feedback lines” yangdilakukan untuk semua komponen kurikulum, baik tujuan,organisai dan impelemntasi kurikulum. Hal itu se-bagaimana gambar berikut:

Gambar 10.2: Model all feedback lines evaluation

Sedangkan evaluasi kurikulum yang lebih lengkap lagidinamainya “Continuous nature of curriculum evaluation”.Evaluasi kurikulum pada model ini dilakukan secara terusmenerus dan setiap tahapan dari aspek kurikulum. Padamodel ini menurut Oliva (1991:447), evaluasi kurikulumtidaklah semata-mata kegiatan pada akhir dariimplementasi program, tetapi juga pada kegiatan yangterjadi sebelumnya, selama, dan setelah selesaiimplementasi program tersebut. Gambaran hal itusebagaimana terlihat pada gambar berikut:

305

Gambar 10.3: Model Continuous nature of evaluation

Model evaluasi yang lengkap ini menurut Olivadidalamnya terdapat empat bentuk evaluasi, yaitu evaluasikonteks (context evaluation), evaluasi input (input evaluation),evaluasi proses (process evaluation), dan evaluasi produk(product evaluation), seperti yang akan dijelaskan atauterlihat pada gambar 10.6.

Empat bentuk evaluasi sebagaimana disebut di atas,dalam bentuk yang tidak jauh berbeda disebut juga denganistilah evaluasi reflektif, evaluasi dokumen, evaluasiimplementasi, dan evaluasi hasil. Evaluasi reflektif adalahevaluasi kurikulum yang dilakukan untuk mengkritisikonsep dan dokumen kurikulum secara utuh, baikmengenai landasan filosofis, teoritik, dan model kurikulumitu sendiri. Evaluasi ini biasanya dilakukan oleh parapengembang kurikulum dan para ahli kurikulum. Evaluasidokumen adalah kegiatan evaluasi yang dilakukan untukmengevaluasi dokumen kurikulum secara utuh, baikdokumen kurikulum dengan segala elemennya, dokumenpedoman-pedoman kurikulum, dan dokumen lainnya.Evaluasi implementasi adalah evaluasi kurikulum yangdilkaukan untuk mengkaji keterlaksanaan dan dampakdari penerapan kurikulum. Evaluasi hasil kurikulummerupakan evaluasi ketercapaian standar pencapaian

Evaluasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

306

lulusan pada setiap peserta didik, baik melalui penilaianindividu, hasil ujian sekolah, dan hasil ujian yang bersifatnasional.

Sementara itu, Robert S. Zais (1976:381) mengemuka-kan bahwa pada intinya evaluasi kurikulum dapat dibagidalam dua bentuk, yaitu evaluasi formatif (formativeevaluatin) dan evaluasi sumatif (summative evaluation),sebagaimana dikemukakannnya sebagai berikut:

Summative evaluation, as its name implies, is conducted in order toobtain summative evaluation ordinarily takes place at the completedof the curriculum development process and provides a terminal judg-ment on the completed product overall, general terms.

Formative evaluation, by contrast, while providing assessment ofcurriculum quality, is conducted during the curriculum developmentprocess for the additional purposes of providing data that can be useto “form” a better finished points during the denelopment of curricu-lum and in connection with relatively more specific aspect of it.

Terlepas dari apakah evaluasi kurikulum tersebutdalam bentuk menyeluruh atau sebagian saja, menurutDoll (1976:326-363) yang paling penting adalah bahwaevaluasi tersebut harus memenuhi persyaratan sehinggabermakna. Persyaratan-persyaratan tersebut menurut Dolladalah: “acknowledge presence of values and valuaing, orienta-tion to goals, comprehensiveness, continuity, diagnostic worthand validity and integration.”

D. Model-model Evaluasi KurikulumDisebabkan luas dan sempitnya cakupan dan tujuan

evaluasi kurikulum yang dilakukan berbeda-beda, adayang sempit, sedang, dan ada yang sangat luas, makamodel-model evaluasi juga menjadi bermacam-macam.

307

Apa yang digambarkan oleh Oliva tentang cakupanevaluasi di atas di atas, sekaligus menunjukkan beberapamodel evaliuasi kurikulum, yakni ada model evaluasikurikulum yang sempit atau terbatas yaitu model evaluasitujuan. Ada model evaluasi yang mengevaluasi seluruhkomponen kurikulum, baik yang dilakukan sekaligussetelah kurikulum tersebut selesai diimplementasikan,tetapi ada juga model evaluasi yang dilakukan pertahapan.

Di samping model yang tergambar di atas, ada be-berapa model evaluasi kurikulum yang telah dikembang-kan oleh beberapa ahli kurikulum, yang masing-masingmemiliki karakteristik masing-masing sesuai dengantujuan dan lingkup evaluasi yang diinginkan. Dengandemikian ada evaluasi yang simple dan ada yangkompleks, seperti model evaluasi kurikulum yangdikembangkan oleh Saylor, Alexander, dan Lewes yangmenurut Oliva (1991) sebagai model yang komprehensifnamun lebih mudah difahami. Sementara model yangdikembangkan oleh Phi Delta Kappa National Study Com-mittee on Evaluation, yang dinilai oleh Oliva (1991) sebagaimodel yang cukup kompleks yang menggunakan istilah-isilah teknikal.

Berikut ini akan dikemukakan dua model evaluasikurikulum tersebut, di samping model evaluasi kurikulumyang dikembangkan oleh Oliva (1991) dan beberapa ahlikurikulum lainnya, seperti Tyler dan lain-lain.

1. Model Saylor, Alexander, dan LewisJ. Galen Saylor, William M. Alexander, dan Arthur J.

Lewis adalah tiga orang pakar kurikulum yangmengembangkan kurikulum dengan model pendekatanatau model administraif. Oleh karena itu evaluasi

Evaluasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

308

kurikulum yang mereka lakukan juga dilakukan denganmenggunakan pendekatan administratif, yakni melibatkanpihak-pihak berwenang sesuai bidangnya atau tanggungjawabnya dan dilakukan dengan prosedur kerja adminis-tratif.

Model evaluasi kurikulum Saylor, Alexander, danLewis ini dirancang dengan memakai lima komponentahapan evaluasi, sebagai berikut:1. Evaluation of the goals, subgoals, and objectives;2. Evaluation of the program of education as a totally;3. Evaluation of the specific segments of the education program;4. Instruction; and5. Evaluation of evaluatin program.

Masing-masing komponen tahapan evaluasi tersebutdievaluasi dalam bentuk evaluasi, yaitu: evaluasi forma-tive (formatif) dan evaluasi summatve (sumatif). Evaluasiformatif adalah evaluasi yang dilakukan ketika komponenitu sedang dilaksnakan, sedangkan evaluasi sumatif adalahevaluasi yang dilakukan setelah komponen itu selesaidilaksanakan.

Bentuk, skop, dan sasaran kegiatan evaluasi kurikulummodel Saylor, Alexander, dan Lewis ini dapat dilihat padagambar berikut:

309

Gambar 10.4. Bentuk dan kegiatan evaluasi kurikulum

Evaluasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

310

Pada gambar tersebut, hubungan antar komponenditunjukkan dengan tiga panah di antara kotak-kotak,dengan pusat arah pada komponen kedua. Komponenpertama, ketiga, dan keempat memberikan konstribusi ataumemberi pengaruh terhadap komponen kedua (evaluasiprogram pendidikan secara menyeluruh). Sedangkankomponen kelima (evaluasi program), merupakan evaluasimeneluruh yang dilakukan untuk mengevaluasi programevaluasi itu sendiri, yakni dengan mengevaluasi seluruhkomponen dari program evaluasi baik komponen satu,dua, tiga, dan empat. Pada kotak komponen kelima initidak ada panah yang ditunjukkan, sebab evaluasi terhadapevaluasi program dipandang sebagai kegiatan yangindependen yang memiliki implikasi terhadap seluruhproses evaluasi.

Kegiatan evaluasi pada setiap komponen dapatdijelaskan sebagai berikut:a. Evaluation Tujuan (Goals, Subgoals, and Objectives)

Sebagaimana terlihat dalam gambar di atas, bahwaevaluasi tujuan ini diarahkan untuk mengevaluasitujuan dalam bentuk “goals, “subgoals”, dan “objectives”.Sebagaimana dikemukakan pada bab II, bahwa “goals”dalam istilah kurikulum dikategorikan sebagai tujuansetelah semua program pembelajaran pada satu matapelajaran pada satu jenis dan jenjang pendidikantertentu telah selesai dilaksanakan, yang dalam istilahlain disebut juga tujuan kurikuler. Adapun “subgoals”disebut tujuan bagian mungkin dalam bentuk tujuanperkelas atau persemester. Sedangkan “objectives”adalah tujuan pada setiap pokok bahasan dan subpokok bahasan yang harus dikuasai siswa setiap kalipembelajaran.

311

Evaluasi dalam bentuk formatif dilakukan denganmelihat konsistensi dengan data yang dasar, harmonidengan nilai-nilai dasar, dan pengakuan dari orang-orang yang kompeten. Sedangkan evluasi dalam bentuksumattif dilakukan dengan cara melihat kualitas pe-ngembangan dan kualitas pencapaian, dan keterangan-keterangan lainya.

Secara umum evaluasi tujuan-tujuan dalam bentukformatif, menurut Oliva (1991:481) dilakukan dengancara:1) Analisis terhadap kebutuhan masyarakat2) Analisis terhadap kebutuhan individu siswa3) Menyerahkan tujuan (goals, subgoals), dan tujuan

khusus (Objectives) kepada berbagai kelompok.4) Menyerahkan (goals, subgoals), dan tujuan khusus

(Objectives) kepada para ahli bidang ilmu (matapelajaran)

5) Menggunakan berbagai data evaluasi summativeyang telah ada.

Para perencana kurikulum harus membuat analisismereka, dengan cara mempertemukan tujuan umum(goals), subtujuan (subgoals) atau objektif dengankebutuhan masyarakat dan kebutuhan para siswa.Mereka harus menemukan pendapat para siswa (jikamereka cukup dewasa), para guru, orangtua, dan pihak-pihak lain serta para ahli mata pelajaran untukmemastikan apakah tujuan umum (goals), subtujuan(subgoals) atau objektif tepat untuk disiplin tertentu.Data yang diperoleh dari berbagai kegiatan uji cobaprogram akan digunakan untuk merevisi tujuan umum

Evaluasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

312

(goals), subtujuan (subgoals) atau objektif yangdiprioritaskan untuk percobaan berikutnya. Dalamkegiatan praktis, selain merujuk kepada setiap tujuanumum (goals), sub-tujuan (subgoals) atau objektif padasemua kelompok orang yang disebutkan di atas, paraperencana kurikulum dapat juga memilih untukmemperbaiki tujuan umum (goals) untuk validisinyapada semua kelompok dan untuk subtujuan (subgoals)dan objective validasinya hanya pada para guru, ahlimata pelajaran dan ahli kurikulum lain.

Sebagaimana telah dilihat, bahwa tujuan umum(goals), subtujuan (subgoals), dan objektif ditetapkanuntuk seluruh program sekolah. Mereka jugaditetapkan untuk komponen program yang spesifik danpembelajaran. Kesempurnaan tujuan kurikulum (cur-riculum goals), sub-tujuan (subgoals), dan objektifdinyatakan melalui sebuah evaluasi program secaramenyeluruh, evaluasi segmen-segmen khusus, danevaluasi pembelajaran.

b. Evaluasi Segmen Spesifik Program PendidikanEvaluasi untuk segmen-segmen spesifik program

pendidikan, menurut Saylor, Alexander dan Lewis,meliputi: segmen rencana untuk domain-domainorganisasi kurikulum, desain atau desain-desain setiapdomain kurikulum, mata pelajaran yang ditawarkan,bentuk lain dari seperangkan pembelajaran yang di-sediakan, aktivitas pembelajaran ekstra yang di-sponsori, pelayanan siswa yang disediakan, dansejumlah hubungan informal yang mempengaruhiiklim pembelajaran.

313

Evaluasi ini didasarkan pada tingkat konstribusipencapaian tujuan dan koordinasi dengan berbagaipihak. Evaluasi dalam bentuk formatif dilakukan dalambentuk tryout-tryout, data dari orang-orang padasekolah yang sama dan rekomendasi dari kelompokyang ada di pusat (tingkat nasinal). Sedangkan evaluasidalam bentuk sumatif dilakukan melalui data hasil test,pernyataan dari pihak ahli, komparasi data, danmengukuran outcome program pendidikan.

Asismen data dalam evaluasi ini bersumber daridaerah, propinsi, dan nasional (pusat) yang dikumpul-kan oleh perencana kurikulum untuk tujuan evaluasiformatif segmen-segmen program spesifik. Padatingkatan ini data dari pusat (nasional) adapat dipakaiuntuk membantu, bahkan asismen data dari lembagainternational juga dapat dipakai, Akan tetapi, asismendata pada tingkat poripinsi dan daerah yang lebih fo-cus, sebagaimana yang mereka lakukan terhadap siswapada tingkat propinsi dan secara lokal, barangkali lebihbermakna dalam kepentingan ini.

Kriteria evaluasi yang dibuat oleh lembaga evaluasitingkat nasional (pusat) juga dapat dipakai untukmengumpulkan data empirik tentang segmen-segmenyang sesuai dengan kriteria yang ada. Instrumentersebut mengasis wilayah kajian yang spesifik dansegmen-segmen spesifik lainnya dari program, sepertiaktivitas siswa, media pembelajaran, dan layanan siswa.Revisi secara priodik terhadap perangkat standarkhusus digunakan oleh lembaga asosiasi akreditasi re-gional dari perguruan tinggi dan sekolah. Cakupantingkat skala dan arah pertanyaan-pertanyaan darikriteria tersebut diberikan oleh staf pengajar di

Evaluasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

314

perguruan tinggi dengan menganalisis prinsip-prinsiphal-hal yang berhubungan dengan program-programkhusus, teknik evaluasi yang digunakan, rencana untukpeningkatan, dan kondisi mutakhir.

Para perencana kurikulum (curriculum planners)harus mendesain pengukuran untuk evaluasi sumatifguna memastikan apakah tujuan-tujuan umum (goals)dan tujuan-tujuan pembelajaran (objectives) dari segmen-segmen spesifik telah tercapai. Salah satu contoh desainpengukuran tersebut, mislanya apakah 75 % dari siswayang telah berhasil mencapai tujuan yang ditetapkandapat dinyatakan bahwa tujuan tersebut telah tercapai.

c. Evaluasi Pembelajaran (Instructional Evaluation)Evaluasi pembelajaran ini dinilai berdasarkan pada

sejauhmana dapat memberikan kontribusi untukpencapaian tujuan baik “goals” maupun”objectives”.Saylor, Alexander dan Lewis (1981:350-352) menyaran-kan bahwa setelah tujuan instruksional dan tujuanpembelajaran disepesifikasi dan divalidasi sebagaibagian dari proses evaluasi formatif, kondisi sesung-guhnya harus diuji dalam sebuah proses yang ditunjukoleh beberapa evaluator seperti evaluasi isi (contentevaluation). Lingkungan pendidikan para siswa secarakeseluruhan, karakteristik para siswa dan guru,interaksi di dalam kelas, dan desain kurikulum semua-nya dievaluasi, dan mungkin pengaruh pemilihantujuan-tujuan umum (goals) dan tujuan-tujuanpembelajaran (objectives). Penggunaan acuan kriteriadan acuan test dan teknik-teknik evaluasi lainnya dalampenyiapan data formatif dan sumatif menentukansuksesnya pembelajaran.

315

Evalusi dalam bentuk formatif terhadappembelajaran dilakukan dalam bentuk tryout berbagaiinovasi dan peluang dari berbagai cara yang dilakukan,penjelasan dari para guru lain, dan rekomendasi-rekomendasi dari para ahli. Adapun evaluasi dalambentuk sumatif terhadap pembelajaran dilakukandengan cara melakukan berbagai bentuk tes danberbagai pengukuran atas ketercapaian tujuan dalambentuk “goals”, keputusan-keputusan, berbagai reaksisiswa, dan berbagai kesuksesan pada pembelajaranlebih jauh dan karir yang didapatkan siswa.

d. Evalusi Program Pendidikan MenyeluruhEvalusi terhadap program pendidikan secara

menyeluruh (Program Of Education As A Totally)dilakukan untuk mepelajari apakah tujuan umumpendidikan sebagaimana terdapat dalam kurikulum(curriculum goals) dan tujuan-tujuan khusus (curiculumobjectives) dari kurikulum secara keseluruhan telahdapat direalisasikan. Dalam evaluasi ini diukurberdasarkan kekomprehensifan, keberlanjutan danprioritas-prioritas.

Kriteria evaluasi, sebagaimana dikemukakan diatas, pemberikan peluang untuk peninjauan secara luasterhadap kurikulum sekolah dengan wilayah evaluasiyang general, meliputi bidang-bidang: sekolah danmasyarakat, Filosofi dan tujuan umum/tujuank husus,kurikulum/desain kurikulum, desain pembelajaran,dan prioritas utama pendidikan. Kriteria evaluasi jugamembuat tersedianya kesempatan untuk guru, siswa,dan orang tua untuk mencatatkan persepsi-persepsimereka teantang sekolah dan programnya.

Evaluasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

316

Evaluasi program secara menyeluruh inididefinisikan sebagai sebuah audit. Audit kurikulumadalah sebuah proses menguji dokumen-dokumen danpraktik-praktik yang muncul di dalam institusi tertentuyang secara normal dinamai sebuah “sekolah” yangberada pada waktu yang berlangsung, budaya, danmasyarakat. Melalui dokumen-dokumen, interviw-in-terview, dam kunjungan-kunjungan nhata, auditor,yang kadang kala berasal dari luar, mencoba me-mastikan sejauhmana program-program berfungsi danapakah bernilai efektif. Inti dari kurikulum audit adalah:apakah proses dan produk dalam hal mana auditorterlibat dalam mengoleksi dan menganalisis data danmenyiapkan sebuah laporan yang menggambarkanhasil. Standar aplikasi terhadap sebuah kurikulumsekolah wilayah tertentu meliputi control terhadap or-ang-orang, program, dan sumber-sumber; kejelasantujuan program; dokumentasi program-progmanya; pe-nggunaan asismen wilayah; dan program peningkatan.

Saylor, Alexander dan Lewis (1981:334) me-rekomendasikan untuk evaluasi formatif sebuah pro-gram pendidikan yang dilakukan secara menyeluruhdengan cara melihat pernyataan orang-orang yangkompeten, melihat data penelitian tentang kebutuhanmanusia, rekomendasi grop-grop studi. Sedangkanuntuk evaluasi sumatif dilakukan dengan cara survey-survey; kajian tindak lanjut; pendapat para ahli,masyarakat, dan siswa; serta tes data.

Evaluasi sumatif program menyeluruh dilakukandalam beberapa cara. Data empiric dikumpulkan untukmemastikan apakah tujuan kurikulum telah tercapaidengan baik.Data tes sekolah dianalisis. Kajian tindak

317

lanjut menunjukkan sukses atau gagalnya siswa setelahmeninggalkan sekolah. Akhirnya, surpey menanyakanpara guru, orang tua, siswa, dan penilai programsekolah lainnya.

e. Evaluasi terhadap Program EvaluasiProgram evaluasi terhadap kurikulum harus dinilai

secara terus menerus. Pernyataan tentang bagaimanaevaluasi akan dilaksanakan telah dibuat sebelumsebuah inovasi atau perubahan dilaksanakan secarapraktis. Teknik-teknik untuk evaluasi berjalan (formatif)dan evaluasi final (sumatif) harus direncanakan secarahati-hati dan ditindaklanjuti.

Evalusi terhadap proram ini didasarkan padakefektifan persiapan, data yang diperlukan, dan te-muan-temuan. Evaluasi dalam bentuk formatif di-lakukan dengan melakukan komparasi dengan model-model dari orang-orang yang memiliki otoritas,pengalaman sekolah-sekolah lain dan para agensi, sertapernyataan dari para konsultan. Sedangkan evaluasidalam bentuk formatif dilakukan dengan melihatpenrnyataan para pengambil keputusan, pernyuataanpara guru, kejelasan dari pertanyaan yang takterjawabatau ketidakcukupan data, serta reaksi para wargakota/warganegara.

Menurut Saylor, Alexander, dan Lewis, kadangkalaberguna untuk mendapatkan layanan dari seorangspesialis evaluasi untuk mereview tehnik-tehnikevaluasi yang diajukan oleh para persencana kuri-kulum. Pertanyaan-pertanyaan yang haarus dijawabseperti apakah instrument-instrumen yang digunakanrelabel dan valid; apakah program evaluasi sudah

Evaluasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

318

komprehensif, memenuhi seluruh dimensi kurikulumyang harus dievaluasi; dan apakah prosedurprosedurtepat dan cocok. Reaksi dan saran-saran tentangprosedur evaluasi akan didapat dari orang-orang yangsangat terkait untuk menyingkap hal tersebut, yaitusiswa dan guru.

Jika reset studi ingin dilaksanakan, para spesialisbaik dari dalam maupun dari luar sistem harusmereview teknik-teknik penelitian yang diajukan untukmemastikan apakah ia memenuhi standar penelitianyang akseptabel.

Jika data telah terkumpul, para perencana memintabantuan para spesialis evaluasi untuk mengolah danmenafsirkan data. Ia harus dipastikan apakah seluruhvariable telah dipertimbangkan dan dikontrol dengantepat dan apakah penguruan evaluasi didesain untukmenguji tujuan (objectives) dengan tepat. Misalnya,sebuah tujuan kognitif dalam mata pelajaran sejarahtidak akan mengases (menguji) performance kete-rampilan kewarganegaraan siswa.

2. The Context, Input, Process, Product (CIPP) ModelPhi Delta Kappa National Study Committee on Evalu-

ation, yang diketuai oleh Daniel L Stufflebeam,memproduksi dan mendiseminasikan sebuah model yangdikutif secara luas tentang evaluasi yang dikenal sebagaimodel CIPP (Context, Input, Process, Product).

Stufflebeam dan koleganya mendefiniskan evaluasisebagai berikut: “Evalution adalah proses membuat (de-lineating), memberlakukan (obtaining), dan menyediakan(providing) informasi yang bermanfaat untuk menentukan

319

berbagai alternatif keputusan.” Proses evaluasi, menurutStufflebeam (1970: 129) mencakup tiga langkah pokok,yaitu: membuat (delineating), memberlakukan (obtaining),dan menyediakan (providing). Langkah-langkah tersebutmemenjadi dasar bagi metodologi evaluasi. Lebih lengkapmenurut Stuffleabeam apa yang dimaksud dengan setiapbagian dari definisi tersebut adalah sebagai berikut:1. Process. Sebuah penjelasan mengenai keberlanjutan dan

perputaran aktivitas penggolongan berbagai metodedan pelibataan sejumlah langkah operasional.

2. Delineating. Memfokuskan berbagai informasi yangdiperlukan oleh evaluasi melalui langkah-langkahseperti spesifikasi, pendefinisian, dan penjelasan.

3. Providing. Mempantaskan secara bersama ke dalam sis-tem atau subsitem mengenai layanan terbaik kebutuhanatau arah evaluasi.

4. Useful. Memastikan bahwa kriteria-kriteria yang telahdisipkan sebelumnya meningkatkan seluruh interaksievaluator dan klient

5. Information. Mendiskripsikan atau menginterpretasidata tentang kenyataan (yang nyata maupun tidaknyata) dan hubungannya.

6. Judging. Menentukan bobot menurut sebuah kerangkanilai yang dispesifikasikan, kriteria-kriteria yangdiambil dari nilai yang dispesifikasikan itu, daninformasi yang menghubungkan kriteria untuk setiapkenyataan yang telah teruji.

7. Decision Alternatives. Seperangkat respon pilihan ataspertanyaan sebuah keputusan yang ditetapkan.

Evaluasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

320

Menurut Stufflebeam proses evaluasi kurikulummemiliki tiga bentuk evaluasi, yaitu bentuk-bentukevaluasi (types of evaluation), bentuk-bentuk keputusan(types of decisions), dan bentuk-bentuk perubahan (types ofchanges). Proses eva;luasi kurikulum yang mengandungketiga bentuk evaluasi tersebut secara lengkap dapat dilihatpada gambar 10.5.

Pada gambar 10.5 tersebut dapat dilihat ada tigabentuk empat persgi panjang, sudut enam, oval, sebuahlingkaran, sebuah benntuk E, garis bersambung dan putus-putus dengan panah, dan tiga corak. Corak bintik-bintikkecil gelap berbentuk segi enam menunjukkan keputusan(decisions), Corak garis-garis berbentuk oval, lingkaran danE besar menunjukkan aktivitas (activities). Corak bintik-bintik besar terang menunjukkan evaluasi (evaluations).

Bentuk-bentuk evaluasi tersebut dapat dilihatsebagaimana penjelasan berikut.

1. Evaluasi (Evaluation)Menurut Sebagaimana disebutkan di atas, The Phi

Delta Kappa Committee menetapkan empat bentukevaluasi, yaitu evaluasi konteks (contexs), input (input),proses (process), dan Produk (product). Evaluasi konteksadalah: “seluruh bentuk yang mendasari evaluasi”.Tujuan dari evaluasi ini untuk mendapatkan sebuahalasan guna memastikan tujuan (objectives). Poin pentingdari model evaluasi ini adalah, perencana evaluasikurikulum mendefiniskan lingkungan kurikulum danmemastikan berbagai tuntutan yang tidak pantas danalasan mengapa berbagai tuntutan tidak pantas. Dengandemikian, tujuan (goals dan objectives) ditetapkanberdasarkan evaluasi konteks.

321

Evaluasi input (input evaluation) adalah evaluasiyang bertujuan untuk menggali informasi gunamemastikan bagaimana memanfaatkan sumber-sumberuntuk mencapai tujuan (objectives). Sumber-sumber danberbagai desain yang menopang kurikulum dipikir-kan/dipersipakan. Pada bentuk evaluasi ini perencanaevaluasi memutuskan prosedur yang digunakan. Pihakyang dilibatkan dalam evaluasi input ini adalah: komitepertimbangan (committee deliberation), ahli pengetahuandi bidangnya, konsultan, dan pilot projek eksprement.

Evaluasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

322

Gam

bar 1

0.5.

Mod

el P

rose

s Eva

luas

i Stu

fleab

eam

.

323

Evaluasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

324

Tabe

l, 10

.1. K

egia

tan

eval

uasi

dal

am e

valu

asi k

urik

ulum

Eval

uasi

pro

ses (

proc

ess e

valu

atio

n) m

enen

tuka

n um

pan

balik

seca

ra p

riod

ik k

etik

aku

rikul

um se

dang

diim

plem

enta

sika

n. M

enur

ut S

tuffl

ebea

m “e

valu

asi p

rose

s mem

iliki

tiga

tuju

an p

okok

”, y

akni

per

tam

a ad

alah

unt

uk m

ende

teks

i at

au m

empr

edik

sike

lem

ahan

pro

cedu

ral d

esai

n at

au im

plem

enta

siny

a se

lam

a ta

hapa

n im

plem

enta

si.

Tuju

an p

okok

ked

ua a

dala

h un

tuk

men

yedi

akan

info

rmas

i unt

uk m

empr

ogm

akan

kepu

tusa

n. T

ujua

n po

kok

ketig

a ad

alah

unt

uk m

enja

ga s

uatu

rek

am je

jak

pro

sedu

rse

baga

iman

a ya

ng te

rjadi

.Ev

alua

si p

rodu

k (p

rodu

ct ev

alua

tion)

ada

lah

eval

uasi

yan

g pa

da u

mum

nya

untu

km

enge

valu

asi h

asil

sete

lah

sebu

ah p

rogr

am b

erak

hir.

Aka

n te

tapi

men

urut

Stu

ffleb

eam

325

evaluasi ini sebuah evaluasi final yang bertujuansebagaimana dikemukakannya berikut:

To measure and interpret attainments not only at theend of a project cycle, but as often as necessary during theproject term. The general method of product evaluation in-cludes devising operational definitions of objectives, measur-ing criteria associated with the objectives of the activity, com-paring these measurements with predetermined absolute orrelative standars, and making rational interpretations of theoutcomes using the recorded context, input, and process in-formation.

2. Bentuk-bentuk KeputusanSetelah melakukan proses evaluasi dengan empat

bentuk evaluasi sebagaimana dijelaskan di atas(evaluasi konteks, input, proses, dan produk) dilakukanpembuatan keputusan-keputusan (decisions). Se-bagaimana terlihat pada gambar 10.5 tentang modelproses evaluasi menurut model CIPP dari Stufflebeam,ada empat model rencana dan hasil perubahan yangdilakukan, yaitu: neomobilistic, incremental, homeostatic,dan metamorphic.

Neomobilistic (perubahan dengan adanya mobilitasbaru) adalah bentuk rencana dan hasil perubahan yangterjadi dalam skala besar yang muncul berbasiskaninformasi yang rendah. .Incremental (perubahan dalambentuk tambahan) adalah bentuk rencana dan hasilperubahan yang terjadi dalam bentuk rangkaianperubahan kecil berbasiskan informasi yang rendah.Homeostatic (perubahan yang statis) adalah bentukrencana dan hasil perubahan yang umumnya terjadodalam pendidikan, yakni sebuah perubahan dalam

Evaluasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

326

skala kecil berbasis informasi yang tinggi. Metamorphic(perubahan dengan peralihan bentuk) adalah bentukrencana dan hasil perubahan yang terjadi dalam skalayang dengan berbasis informasi yang tinggi. Akantetapi, menurut Oliva (1991) hal ini sangat jarang danini tidak ditunjukkan pada model CIPP.

Selain itu, sebagaimana terlihat pada gambar 10.5di atas, ada empat tahapan atau tempat pengambilankeputusan, yaitu:(1) Pembuatan keputusan-keputusan (planning decisions)

dalam bentuk dan tahapan perencanaan dilakukansetelah melakukan evaluasi konteks. Keputusanpada tahap ini dibuat dalam rangkan menentukanbentuk perencanaan perubaahan apa yang akandiputuskan atau diambil dan dilakukan. Keputusanpada tahap ini juga pencerahan pada program yangtidak berubah (enlightened persistence).

(2) Pembuatan keputusan-keputusan (planning decisions)dalam bentuk dan tahapan melakukan strukturisasikurikulum (structuring decisions). Bentuk dantahapan pengambilan keputusan strukturisasikurikulum ini dilakukan pada dua tempat/jalur,yakni: Pertama, pengambilan keputusan setelahevaluasi input yang keputusannyaakan diujicoba;Kedua pengambilan keputusan setelah melakukanrencana dan hasil perubahan dalam bentuk homeo-static change (prubahan yang statis). Keputusan inidiambil untuk kehiatan pengukuhan (installation).

(3) Pembuatan keputusan-keputusan (planning decisions)dalam bentuk dan tahapan implementasi (implmen-tations) dan pengulangan (recycle) kurikulum.

327

Pengangmbilan keputusan-keputusan implementasidilakukan setelah dilakukan evaluasi proses,sedangkan pengambilan keputusan-keputusanpengulangan (recycle) dilakukan setelah evaluasiproduk. Dua kegiatan pengambilan keputusan inidapat menjadi rangkaian untuk perbaikan kegiatanujicoba kemudian dievaluasi dan diimplementasil-kan lagi. Dua kegiatan pengambilan keputusan inijuga menjadi bahan evaluasi atas keputusanperencanaan, evaluasi input dan evaluasi atasstruktur kurikulum yang telah diputuskan. Khususuntuk kegiatan pengambilan keputusan dalambentuk recycle akan melahirkan kegiatan peng-hentian siklus (termination) dan kegiatan instalasi.

3. Aktivitas-aktivitas evaluasiSebagaimana terlihat pada gambar 10.5 di atas,

aada tujuah bentuk aktivitas atau kegiatan yangdilakukan dalam proses evaluasi kurikulum dalammodel CIPP, yaitu: planning change, trial, termination,installation, enlightened persistence, adjust the contextevaluatoion mechanism, dan program operation. Ketujuhkegiatan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:(1) Planning change (merencanakan perubahan) adalah

kegiatan yang dilakukan setelah adanya keputusan(planning decision) tentang apa yang dipandang perludirubah dan dalam bentuk perubahan seperti apa.Sebagaimana dikemukakan di atas ada empat modelperubahan yang dapat dipilih, yaitu: neomobilistic,incremental, homeostatic, dan metamorphic. Bentukperubahan apa yang dipilih ditentukan oleh apayang telah diputuskan berdasarkan hasil evaluasi

Evaluasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

328

kontek. Bentuk perubahan tersebut kemudiandilakukan evaluasi dalam bentuk evaluasi inputberupa analisis terhadap hal-hal yang dinilaimenjadi input masukan bagi penentuan strukturkurikulum yang akan dikembangkan.

(2) Trial (uji coba) adalah kegiatan yang dilakukansetelah adanya keputusan tentang strukturkurikulum yang akan dikembangkan sebagai haasildari evaluasi input. Uji coba terhadap[ strukturkurikulum ini kemdian dievaluasi baik dalambentuk evluasi proses maupun hasil.

(3) Rermination (penghentian siklus) adalah kegiatanyang dilakukan untuk kemudian dilanjutkan dengankegiatan operasional program.

(4) Enlightened persistence (pencerahan program yangtetap/diteruskan) adalah kegiatan untuk men-cerahkan kembali program yang telah ada tanpaperlu dilakukan prubahan.

(5) Adjust the context evaluation mechanism (menyesuai-kan mekanisme evaluasi konteks) adalah kegiatansebagai tindaklanjut dari struktur kurikulum yangtelah dinstalasi dengan cara menyesuaikan denganmekanisme evaluasi konteks.

(6) Program operatins (operasional program) adalah salahsatu kegiatan akhir dari seluruh rangkaian prosesevaluasi, baik sebagai hasil dari program yangdihasilkan dari proses sycle (pengulanan), strukturkurikulum yang telah dinstalasi dan disesuaikandengan mekanisme evaluasi konteks, maupun yangdatang dari hasil pencerahan program yangditetapkan tidak berubah.

329

Jika dilihat proses kegiatan utuh dari modelevaluassi CIPP ini, tampak bahwa model evaluassicukup sistimatik dan komprehensif. Hanya saja bolehjadi pelaksaanaanya membutuhkan waktu yangpanjang dan berproses. Menurut Stufflebeam dankawan-kawan, sebagai penggas dariu model ini,evaluasi ini tidak akan berjalan dengan baik jika tidakmemenuhi standar evaluasi umumyang ditentukan,yaitu: utility, feasibility, propriety, dan accuracy. Unilityadalah

3. Model Peter F. OlivaSebagaimana dikemukakan pada bab pengembangan

kurikulum, bahwa Oliva menempatkan kegiata evaluasikurikulum sebagai rangkaian kegiata terakhir (kegiatan ke17) setelah diselesaikannya rangkaian kegiaatan sebagairangkaian bentuk organisasi dan implementasi kurikulumdalam bentuk real di lapangan. Akan tetapi evaluasikurikulum tersebut bukan semata mengevaluasi produkatau ketercapaian tujua kurikulum (curriculum goals), tetapijuga mengevaluasi berbagai komponen dari kurikulum.Oliva (1991) menamakan model evaluasinya dengan nama“Model With Types of Evaluatin”. Model Oliva inidistrukturkan dengan tujuh tahapan evaluasi, yang didalamnya terdapat evaluasi konteks (context evaluation),evaluasi input (input evaluatin), evaluasi proses (processevaluation), dan evaluasi hasil (product evaluation). Modelevlauasi Oliva ini pada dasarnya merupakan subbagiandari model pengembangan kurikulum yang dikembang-kannya. Type-type evaluasi satu sampai tujuh dijelsakan-nya sebagai berikut:

Evaluasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

330

(1) Mengukur sejumlah kebutuhan (needs assisment) yangmerupakan bagian dari evaluasi konteks.

(2) Memvalidasi tujuan umum kurikulum (curriculum goals)(3) Memvalidasi tujuan khusu kurikulum (curriculum ob-

jectives)(4) Evaluasi konteks dimulai dengan asisment kebutuhan

dan berlanjut pada tahapan implementasi kurikulum.(5) Evaluasi input dilaksanakan diantara spesifikasi tujuan

khusus kurikulum (curriculum objectives) danimplementasi kurikulum.

(6) Evaluasi proses dijalankan selama tahapan implemen-tasi. Dalam hal ini Michael Scriven (1967: 49-51)menggambarkan tiga type proses penelitian (research),yaitu: “noninferential studies, Investigations of causal claimabout process, and formative evaluation.”a. noninferential studies (studi yang tidak membutuhkan

kesimpulan), adalah observasi dan investigasitentang apa yang terjadi secara aktual di dalam kelas.

b. Investigations of causal claim about process, merujukkepada beberapa pendidik dalam bentuk sebagaipenelitian tindakan (action research). Bentuk studi inibertujuan untuk mencari model komponen ku-rikulum tertentu yang lebih baik dari yang lainnya.

c. Formative evaluation, adalah pengukuran yangdilakukan selama program atau kegiatan kurikulumberlangsung.

(7) Evaluasi produk adalah merupakan evaluasi sumatif(summative evaluation) atas seluruh proses. Type evaluasiini kadangkala merujuk pula sebagai evaluasi keluaran(outcome evaluation) atau evaluasi program (program

331

evaluation). Program evaluasi, digunakan tidak hanyadalam bentuk evaluasi sumatif tetapi juga sebagaisynonim dari evaluasi kurikulum secara keseluruhan.Oleh karena itu, model evaluasi kurikulum mungkinjuga disebut model evaluasi program.

Selain itu, menurut Oliva (1991:494) perlu ditambah-kan satu bentuk penelitian lain, yaitu “descriptive research”yang mana studi yang noninferential dari guru dan siswadalam perilaku di kelas direfresentasikan dalam satubentuk.

Gambaran tentang model yang dikembangkan olehOliva tersebut dapat dilihat sebagaimana gambar 10.6,sebagai berikut:

Evaluasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

332

Gam

bar 1

0.3:

Mod

el C

ontin

uous

nat

ure o

f eva

luat

ion

333

Perlu dicatat bahwa Oliva membedakan antaraevaluasi kurikulum dengan evaluasi pembelajaran (instruc-tional), walaupun dalam model konsep evaluasinya hampirsama dengan model evaluasi kurikulum di atas.Menurutnya evaluasi kurikulum mengevaluasi tujuan(goals, objectives of curriculum), materi kurikulum (contentof curruculum), orgazation and implementation of curriculum,dan evaluation of curriculum kurikulum, sedangkan evaluasipembejaran mengevaluasi tujuan pembelajaran (goals andobjectives of instruction), materi pelajaran, metode danstrategi pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran.

Selain berbagai aspek evalusi yang dikemukakan olehThe Joint Committee on Standards for Educational Evaluationdan Oliva di atas, menurut Robert S. Zais (1976: 384-388)dalam evaluasi kurikulum, selain melakukan evaluasiformatif dan sumatif yang fokusnya pada elemen-elemenkurikulum, yang sangat penting adalah mengevaluasikonsistensi kurikulum. Ada dua bentuk konsistensimenututnya, yakni konsisten tujuan dan evaluasi, dankonsistensi antar elemen kurikulum. Evaluasi kosstensitujuan dan evaluasi menurutnya sangat menentukanapakah evaluasi tersebut berhasil dengan baik dan gepatuntuk mengevaluasi kurikulum. Adapaun evaluasikonsistensi elemen-elemen kurikulum, menurutnya yangperlu diperhatikan antara lain konsistensi tujuan dengancontent, konsistensi tujuan dengan aktivitas pembelajaran/implementasi, konsistensi konten dengan aktivitaspembelajaran, konsistensi aktivitas pembelajaran denganevaluasi, dan sebagainya.

Evaluasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

334

C. Standar EvaluasiThe Joint Committee on Standards for Educational

Evaluation yang dipimpin oleh Daniel Stufflebeammengidentifikasi lima strandar yang penting diperhatiakandalam pelaksanaan evaluasi, yaitu: utility standards (standarkebermanfaastan), feasibility (standar keberlakuan), propri-ety (standar kesopanan), accuracy (standar ketepatan), danaccountability standards (standar pertanggungjawaban).Kelima type standar tersebut dijelaskan sebagai berikut.

1. Standar Kegunaan (Utility Standards)Standar kegunaan (utility standard) adalah standar

yang dimaksudkan untuk meningkatkan para stakeholderprogram evaluasi menemukan proses dan produk lebihbernilai sesuai dengan apa yang mereka butuhkan.Menurut The Joint Committee on Standards for Educa-tional Evaluation ini, ada delapan standar kebermanfaatan(utility standards), yaitu:(1) Evaluator Credibility (kredibilitas penilai). Evaluasi

hendaknya dilakukan oleh orang yang kridibel dalammelakukan evaluasi kurikulum.

(2) Attention to Stakeholders (memberikan perhatianterhadap semua stakeholder). Evaluasi harusmemberikan perhatian secara penuh segenap lapisanindividu dan kelompok yang ikut memberikankonstribusi terhadap program dan memberi pengaruhterhadap evaluasinya.

(3) Negotiated Purposes (Negosiasi tujuan). Tujuanevaluasi harus mengidentifikasi dan melakukannegosiasi secara berkelanjutan berdasarkan padakebutuhan para stakeholder.

335

(4) Explicit Values (Nilai-nilai yang eksplisit). Evaluasiharus menjelaskan dan menspesikasikan nilai-nilaiindividu dan budaya yang menjadi dasar tujuan proses,dan penilaian.

(5) Relevant Information (informasi yang relevan).Informasi evaluasi harus dapat memberikan identifikasidan hambatan kebutuhan yang muncul dari para stake-holder.

(6) Meaningful Processes and Products (proses dan hasilyang bernilai). Evaluasi harus membangun aktivitas-aktivitas, deskripsi-deskripsi, dan pengakuan-pengaku-an dalam cara-cara yang mendorong para partisipanuntuk menemukan kembali, menginterperetasikankembali, atau merevisi pemahaman-pemahaman dantingkahlaku mereka.

(7) Timely and Appropriate Communicating and Report-ing (ketepatan waktu dan keakuratan komonikasi danlaporan). Evaluasi harus mengikuti kebutuhan-kebutuhan informasi berkelanjutan dari berbagaiaudien.

(8) Concern for Consequences and Influence (konsernterhadap konsekuensi dan pengaruh). Evaluasi harusmenunjukkan tanggung jawab dan adaptif ketikamengawal berbagai konsekuensi negatif yang tidakdiharapkan dan kekeliruan penggunaan.

2. Standar Keberlakuan (feasibility standards)Standar keberlakukan (the feasibility standards) adalah

hal-hal yang diharapkan untuk meningkatkan efektivitasdan efisiensi evaluasi. Menurut The Joint Committee on Stan-

Evaluasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

336

dards for Educational Evaluation, ada empat hal terkaitdengan standar keberlakuan (feasibility standards), yaitu:(1) Project Management (manajemen proyek). Evaluasi

harus menggunakan manajemen proyek strategis yangefektif.

(2) Practical Procedures (prosedur yang praktis). Prosedurevaluasi harus praktis dan responsif terhadap caraoperasional program.

(3) Contextual Viability (kelangsungan hidup yangkontekstual). Evaluasi harus mengenali, memonitor,dan seimbang antara kultur dan kecenderungan dantuntutan-tuntutan politis dari para individu dankelompok-kelompok.

(4) Resource Use (penggunaan sumber). Evaluasi harusmenggunakan sumber-sumber secara efektif danefisien.

3. Propriety Standards (standar kesopanan)Standar kesopanan (the propriety standards) mendukung

apa yang pantas, jujur, legal, benar, dan abasah dalamevaluasi. Menurut The Joint Committee on Standards for Edu-cational Evaluation, ada tujuh hal yang terkait denganstandar kesopanan ini, yaitu:(1) Responsive and Inclusive Orientation (Orientasi yang

responsif dan inklusif) ). Evaluasi harus responsiveterhadap stakeholder dan segenap komunitas.

(2) Formal Agreements (Kesepakatan-kesepakatan yangformal). Kesepakatan-kesepakatan dalam evaluasiharus dinegosiasikan untuk membuat kewajibanmenjadi eksplisit dan membawanya kedalam

337

perhitungan kebutuhan-kebutuhan, harapan-harapan,dan kontks kultural dari para klien dan stakeholder.

(3) Human Rights and Respect (respek dan hak-hakkemanusiaan). Evaluasi harus didesain dan dilaksnakanuntuk melindungi kemanusiaan dan hak-hak hukumserta menjaga martabat partisipan dan stakeholderlainnya.

(4) Clarity and Fairness (kejelasan dan kejujuran). Evaluasiharus dapat dipahami dan jujur dalam menyebarkankebutuhan-kebutuhan dan tujuan-tujuan para stake-holder.

(5) Transparency and Disclosure (transparansi dan tidaktertutup). Evaluasi harus menyiapkan deskripsi secarakomplit berbagai temuan, keterbatasan, dan simpulan-simpulan kepada semua stakeholder, tidak terkecualiperbuatan yang melanggar aturan dan kewajiban sosila.

(6) Conflicts of Interests (Kompleks interes). Evaluasiharus terbuka dan tulus mengenali serta menyikapikenyataan atau mempersepsi kompliks interes yangdapat membahayakan evaluasi.

(7) Fiscal Responsibility (tanggungjawab fiskal). Evaluasiharus menghitung seluruh sumber-sumber yangdibelanjakan dan patuh dengan prosedur dan prosesfiscal.

4. Accuracy Standards (Standar Ketepatan)Standar ketepatan (the accuracy standards) adalah

standar-standar yang dimaksudkan untuk meningkatkankeandalan dan keaslian berbagai representasi, proporsi,dan berbagai temuan, khususnya untuk mendukungkualitas berbagai interpretasi dan pengakuan atas evalausi

Evaluasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

338

ynag dilakukan. Menurut The Joint Committee on Standardsfor Educational Evaluation, ada delapan hal yang terkaitdengan standar akurasi ini, yaitu:(1) Justified Conclusions and Decisions (keabsahan

simpulan-simpulan dan keputusan-keputusan).Berbagai simpulan dan keputusan evaluasi harus benar-benar diakui di dalam budaya dan koteks dimanaevaluasi tersebut memberikan konsekuensinya.

(2) Valid Information (informasi yang absah). Informasievaluasi harus mendukung tujuan dan keabsahaninformasi yang diharapkan.

(3) Reliable Information (informasi yang dapat dipercaya).Prosedur evaluasi harus cukup dapat dipercaya daninformasinya konsisten bagi penggunaan yangdiharapkan.

(4) Explicit Program and Context Descriptions (kejelasandeskripsi program dan konteks). Evaluasi harusmemiliki dokumen program dan monteks yang jelasdengan skope dan rincian yang sesuai dengan tujuanevaluasi.

(5) Information Management (Manajemen informasi).Evaluasi harus menyediakan koleksi, review, veifikasi,dan metode penyimpanan informasi yang sistimatik.

(6) Sound Designs and Analyses (bentuk desain dananalisis). Evaluasi harus menyediakan secara teknisbentuk desain dan analisis yang cukup yang sesuaidengan tujuan evaluasi.

(7) Explicit Evaluation Reasoning (pertimbangan evaluasiyang jelas). Pertimbangan (reasoning) evaluasi yangditurunkan dari informasin dan analisis terhadap

339

berbagai temuan, interpretasi, simpulan dan pengakuanharus memiliki dokumen yang jelas dan komplit.

(8) Communication and Reporting (Komunikasipelaporan). Berbagai komunikasi evaluasi harusmemiliki skope dan terhindar dari kesalahan konsepsi,bias, distorsi, dan kesalahan.

5. Evaluation Accountability Standards (Standarakontabilitas Evaluasi)Standar akuntabilitas evaluasi (The evaluation account-

ability standards) menghendaki dokumentasi evaluasi yangmemadai dan sebuah metaevaluasi yang persepektif yangdifokuskan pada peningkatan dan akuntabilitas proses danproduk evaluasi. Menurut The Joint Committee on Standardsfor Educational Evaluation, ada tiga hal yang terkait denganstandar akuntabilitas evaluasi ini, yaitu:(1) Evaluation Documentation (Pedokumentassian

evaluasi). Evaluasi harus memiliki dokumen tujuanyang akan diupayakan dan desain implementasi,prosedur-prosedur, data, dan outcome yang lengkap.

(2) Internal Metaevaluation (Metaevaluasi internal).Evaluasi harus menggunkan metaevaluasi internal danstandar aplikasi lainnya untuk menguji akuntabilitasdesain evaluasi, prosedur-prosedur yang digunakan,informasi yang dikumpulkan, dan berbagai outcome.

(3) External Metaevaluation (eksternal metaevaluasi). Pro-gram evaluasi para sponsor, client, evaluator, and stake-holders lainnya harus digunakan sebagai metaevaluasieksternal yang menggukanakan standar evaluasitersebut dan standar-standar yang dapat dipakailainnya.

Evaluasi Kurikulum

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

340

341

DAFTAR PUSTAKA

Abd. al-Ghaniy Abud, (1977). Fiy al-Tarbiyyat al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabiyyah.

Ahmad Salabi, (1954). History of Muslim Education (Beirut:Dar al-Kasysyaf,.

Ahmad Fuaad al-Ahwani, (t.th.). Al-Tarbiyat fi- al-Islam(Kairo: Dar al-Ma’arif,

Beauchamp, G. (1968). Curriculum Theory. Wilmette, Illi-nois: Kagg Press.

Bloom, B. S. (1979). Taxonomy of Educational Objectives: Book1 Cognitive Domain.. London, Longman Group.

Bloom, B.S., Hastings, J.T. & Madaus, G.F. (1971). Hand-book Formatif and Sumative Evaluation of studentLearning. New York: McGraw-Hill Company.

Brobacher, John S. (1962). Modern Philosophies of Education.New York: McGraw Hill Book Company.

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

342

C.M. Charles, et. Al. (1978). Scholling, Teaching, and Learn-ing: American Education. St Luuis: The CV MosbyCo.

Collins, Gillian & Hazel, Dixon (1991). Integrated LearningPlanned Curriculum Units, Stage 3. Australia: Book-shelf Publishing Australia and Multimedia Inter-national (UK) Ltd.

Doll, Ronald C. (1974), Curriculum Improvement DecisionMaking and Process , Boston: Ally and Bacon, Inc.

Conant, Jean D. et.al (1961). The Junior High School New Need.Alexandria, Va, Assiciation for Supervision andCurriculum Development.

Giroux, Henry A., Penna, Arthur N., and Pinnar, William,F (1981). Curriculum and Instruction: Alternatives inEducartion. Barkeley, Calif: Mc Cutchan.

Goodlad, John I. and Robert H. Anderson (1987). The Non-graded Elementary School, rev. ed.: New York: Teach-ers Colledge Press.

Hasan, S. Hamid. (1988) Evaluasi Kurikulum. Jakarta:DEPDIKBUD DIRJEN PT Proyek PengembanganLPTK

J. Galen Saylor. William M. Alexander dan Arthur J. Lewis,1981 Curriculum Plaining for Better Teaching andLearning,

Herbert I. Von Haden dan Jean Marie King (1974). Educa-tional Innovation‘s Guid. Worthington Ohio: CharlesA. Jones.

Joyce, Bruce & Weil, Marsha (1972). Models of Teaching. NewJersey: Printice Hall, Inc.

343

Kaber, Achasius (1988) Pengembangan Kurikulum. Jakarta:DEPDIKBUD DIRJEN PT Proyek PengembanganLPTK

Keputusan Menteri Agama RI No. 302 Tahun 1993, tentang:Kurukulum Madrasah Aliyah.

Lapp, Diane, et.al. (1975). Teaching and Learning; Philosophi-cal, Psychological, Curriculum Applications. NewYork: Macmillan Publishing Co. Inc.

Miller, John P. (1996). The Holistic Curriculum, Revised andExpanded Edition. Ontario: OISE Press.

Miller, John P., Seller, Wayne. (1985). Curriculum, Perspec-tives and Practice. New York & London: Longman

Nasution, S (1964). Asas-asas Kurikulum, Bandung: Tarate.Oliva, Peter, (1992), Developing The Curriculum, New York:

HarperCollinsPublishersPratt, David, (1980) Curriculum Design and Development,

Harcout Brace Jovanovich, Inc, New YorkPusat Kurikulum, (2001). Kurikulum Kurikulum Berbasis

Kompetensi Kebijakan Umum Pendidikan Dasar danMenengah, Jakarta: Departemen PendidikanNasional

Schubert, WH (1986) Curriculum: Perspective, Paradigm andPossibility, New York: Macmillan Pub.

Schubert, William H.1986, Curriculum: Perspective, Paradigm,and Possibility, Collier Macmillan Publishers, Lon-don

Daftar Pustaka

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

344

Seyyed Hossen Nasr, (1976). Islamic Science an IllustratedStudy (Roland Michaud: World of Islamic Festi-val Publishing Company Ltd.

Smith, B.O, Stanley, W.O. dan Shores, J.H., 1957, Funda-mentals of Curriculum Development, Harcourt Braceand World, New York

Sukmadinata, Nana Syaodih, Prof., Dr. (1997).Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek.Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Taba, Hilda (1962). Curriculum Development; Theory and Prac-tice. San Francisco: Harcourt, Brace & World, Inc.

Tanner, Daniel, dan Tanner, Laurel N, 1975, CurriculumDevelopment: Theory into Pracyice, Macmillan Pub-lishing Company, Inc., New York

Webster, Noah (1980). Webster‘s New Twentieth CenturyDictionary of The English Language. Buenos Aires:William Collins Publisher Inc., Second Edition,

Zais, Robert S, (9176) Curriculum Principle and Foundation,Thoms Ciowell Company, New York

Al-Ghazali, (t.th.). Al-Munqiz min al-Dalal (Beirut: Al-Maktabat al-Sa‘biyyah.

Al-Ghazali, (1962). Al-Iqtisad fi- al-I’tiqad, Ed. Ibrahim AgahCubukcu dan Husseyin Atay (Ankara: AnkaraUniversity.

Al-Ghazali, (t.th.), Ihya’ ‘Ulum al-Din, Juz I (Semarang:Maktabat wa Matba‘at Toha Putra.

Ross, P.H.; Ellipse, M.W.; Freeman, H.E. (2004). Evaluation: Asystematic approach (7th ed.). Thousand Oaks: Sage.

345

Reeve, J; Paperboy, D. (2007). “Evaluating the evaluation: Un-derstanding the utility and limitations of evaluation asa tool for organizational learning”. Health EducationJournal 66 (2): 120–131.

Hurteau, M.; Houle, S.; Mongiat, S. (2009). “How Legitimateand Justified are Judgments in Program Evaluation?”.Evaluation 15 (3): 307–319. doi:1.

Daftar Pustaka

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

346

347

BIODATA PENULIS

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M.Ag. lahir di Kota BarabaiKabupaten Hulu Sungai Tengah Kalimantan Selatan padatanggal 21 Juni 1958. Pendidikan yang pernah ditempuhSDN dan Madrasah Islamiyah tamat tahun 1970, PGAN 4tahun, tamat tahun 1994 dilanjutkan dengan PGAN Negeri6 Tahun, tamat tahun 1970. Kemudian melanjutkan kuliahpada Fakultas Tarbiyah Barabai (Program Sarjana Muda),lulus tahun 1980. Setelah itu melanjutkan kuliah programSarjana pada Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Banjar-masin, lulus tahun 1984. Program Magister ditemupuhpada IAIN Alauddin Ujung Pandang (Makassar) dalambidanf Studi Islam. Program doctor ditempuh di Universi-tas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, lulus tahun 2008.

Pengalaman mengajar dimulai bekerja sebagai guruBahasa Inggeris honorer di SMA di Barabai dan sebagaiDosen Bahasa Inggeris di Fakultas Tarbiyah Barabai tahun1980-1981, Guru honorer dalam mata pelajaran BahasaInggeris di SMA Pemuda Banjarmasin dan Pengajar Bahasa

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

348

Inggeris pada Lembaga Bahasa IAIN Antasari tahun 1984-1986. Setelah diangkat Menjadi Dosen IAIN Antasari tahun1986 mengajar beberapa mata kuliah disamping padabidang keahlian Pengembangan Kurikulum, seperti BahasaInggeris, Ilmu Pendidikan dan Filsafat Pendidikan. Sejaktahun 2009 diangkat sebagai Guru Besar dalam bidang IlmuPendidikan dan mengajar pada bidangnya , pengembang-an kurikulum, filsafat pendidikan dan Manajemenpendidikan, baik deprogram sarjana maupu di Pasca-sarjana.

Jabatan struktural yang pernah dipegang, yaitusebagai Kepala Pusat Penelitian IAIN Antasari tahun 2001-2004, Dekan Fakultas Tarbiyah dua periode , yaitu 2004-2008 dan periode 2008-2012. Direktur Pascasarjana IAINAntasari selama Sembilan bulan Sembilan hari pada tahun2013. Sekarang menjabat sebagai Wakil Rektor BidangAkademik dan Pengembangan Lembaga IAIN AntasariBanjarmasin periode 2013-2017.

Karya Ilmiyah yang pernah diteritkan (1) TipologiKurikulum Pondok Persantren di Kalimantan Selatan; (2)Model Kurikulum Terpadu Iptek dan Imtaq (Teori,Pengembangan, dan Implementasi); (3) Konsep KurikulumPendidikan Islam (Refleksi atas Pemikiran Al-Ghazali; (4)Model Pengembangan Kurikulum yang Memadukan Iptekdan Imtaq (Sebuah Pengembangan Kurikulum MataPelajaran Umum dengan Mata Pelajaran PendidikanAgama Islam di Madrasah/ Sekolah); (4) PengembanganKurikulum (tinjauan Teoritis). Selain itu, berbagai tulisandalam bentuk makalah yang disampaikan pada berbagaiseminar dan diterbitkan pada berbagai jurnal ilmiah.

Hasil penelitian yang penah dilakukan dan dihasilkan,antara lain: (1) Studi Komparatif Pembinaan Profesi

349

Keguruan pada Sekolah Pendidikan Guru Negeri (SPGN)dan Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) Barabai; (2)Studi Analisis Konsep Kurikulum Pendidikan Islammenurut al-Ghazali; (3) Relevansi Kurikulum FakultasTarbiyah dengan Tuntutan Profesi Keguruan (Studi atasAlumni Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Banjaramsin); (4)Potret Pesantren Hidayatullah Balikpapan; (4) TypologiKurikulum Pesantren di Kalimantan Selatan; (5) PotensiKompliks Antar Etnis di Kalimantan Selatan; (6) StudiKelayakan Pembangunan Pesantren Modern di Kaliman-tan Selatan; (7) Efektivitas Metode Tamyiz terhadapKemampuan Menterjemahkan al-Qur‘an dan MembacaKitab Berbahasa Arab di IAIN Antasari Banjarmasin; (8)Digital Native dan Digital Imigran (Studi pada Guru-gurupada Madrasah Aliyah di Kaliamntan Selatan).

Biodata Penulis

Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, M. Ag.

350