resume skenario 5 blok 16

67
RESUME SKENARIO 5 BLOK 16 PENYAKIT AUTOIMUN ONKOLOGI & KEGANASAN Oleh : KELOMPOK G Sheila Nurkhalesa 102010101005 Ahmad Barrun Nidhom 102010101045 Novita Fauziyah Rahmawati 102010101056 Adi Darma Effendi 102010101058 Dita Suci Permata Sari 102010101063 Fenny Megawati 102010101065 Carissa Ruly Komalasari 102010101068 Kevin Anggana Monda 102010101070 Risqi Mahardhika R. 102010101079 Pungky Setya Arini 102010101082 Nabilla 102010101088 Dhevy Wulandari 102010101092 Benny Wicaksono 102010101094 Tita Swastiana Adi 102010101098

Upload: novita-fauziyah-rahmawati

Post on 13-Dec-2014

157 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

RESUME SKENARIO 5 BLOK 16

PENYAKIT AUTOIMUN

ONKOLOGI & KEGANASAN

Oleh :

KELOMPOK G

Sheila Nurkhalesa 102010101005

Ahmad Barrun Nidhom 102010101045

Novita Fauziyah Rahmawati 102010101056

Adi Darma Effendi 102010101058

Dita Suci Permata Sari 102010101063

Fenny Megawati 102010101065

Carissa Ruly Komalasari 102010101068

Kevin Anggana Monda 102010101070

Risqi Mahardhika R. 102010101079

Pungky Setya Arini 102010101082

Nabilla 102010101088

Dhevy Wulandari 102010101092

Benny Wicaksono 102010101094

Tita Swastiana Adi 102010101098

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS JEMBER

2013

SKENARIO

SKENARIO 5 :

PENYAKIT AUTOIMUN

Seorang perempuan usia 30 tahun datang ke tempat praktek dokter

keluarga. Dia mengeluhkan nyeri pada persendian. Selain itu juga terdapat bintik-

bintik merah di kedua kulit lengan tangannya. Keluhan ini dirasakan kurang lebih

sejak dua bulan yang lalu. Bintik merah itu awalnya terasa gatal, tapi lama-

kelamaan berubah nyei. Selama 1,5 bulan terakhir dia juga merasakan badannya

sumer-sumer dan sangat sering mengalami diare.

Dokter tersebut kemudian mengirim pasien ke laboratorium klinik

untuk dilakukan beberapa pemeriksaan. Hasil pemeriksaan laboratorium darah

didapatkan Hb : 7 mg/dl, Leukosit : 4.000/μl, Trombosit : 120.000/μl. Pada

pemeriksaan urin didapatkan proteinuria : +3

TUJUAN BELAJAR

SISTEM IMUN

DASAR IMUNOLOGI

IMUN SPESIFIK DAN NON SPESIFIK

ANTIGEN DAN ANTIBODI

REAKSI HIPERSENSITIVITAS

PATOLOGI AUTOIMUN

SISTEMIK

SLE

ARTHRITIS RHEUMATOID

DEMAM RHEUMA

LOKAL

ITP

AIHA

HASHIMOTO'S DISEASE

DEFISIENSI IMUN

AIDS/HIV

PEMBAHASAN

1. DASAR IMUNOLOGI

1.1. IMUN NON SPESIFIK DAN NON SPESIFIK

1.1.1. IMUN NON SPESIFIK

Sistem imun non spesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan

dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, karena

sistem imun spesifik memerlukan waktu sebelum memberikan

responnya. Sistem tersebut disebut nonspesifik, karena tidak

ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu. Sistem imun non

spesifik dapat dibagi menjadi:

a. Pertahanan Fisik

Kulit, selaput lendir, silia saluran napas, batuk dan bersin dapat

mencegah berbagai kuman patogen masuk ke dalam tubuh.

b. Pertahan larut

Pertahanan biokimia. Bahan yang disekresi mukosa saluran

napas, kelenjar sebaseus kulit, kelenjar kulit, telinga, spermin

dalam semen merupakan bahan yang berperan dalam pertahanan

tubuh.

- Asam hidroklorik dalam cairan lambung

- Lisosim dalam keringat, ludah, air mata, dan air susu. Lisosim

yang dilepas makrofag dapat menghancurkan kuman negatif-

Gram dengan bantuan komplemen.

- Laktoferin dan asam neuraminik (memiliki sifat antibakteri

terhadap E. coli dan stafilokok) dalam ASI. Laktoferin dan

transferin dalam serum dapat mengikat zat besi yang

dibutuhkan kuman pseudomonas untuk hidup.

c. Pertahanan humoral

Komplemen mengaktifkan fagosit dan membantu destruksi

bakteri dan parasit dengan jalan opsonisasi.

- Komplemen dapat menghancurkan sel membran banyak

bakteri

- Komplemen dapat berfungsi sebagai faktor kemotaktik yang

mengerahkan makrofag ke tempat bakteri

- Komplemen dapat diikat pada pemukaan bakteri yang

memudahkan makrofag untuk mengenal (opsonisasi) dan

memakannya (C3b,C4b)

Interferon adalah glikoprotein yang dihasilkan berbagai sel

manusia yang mengandung nukleus dan dilepas sebagai respon

terhadap infeksi virus. Interferon memiliki sifat antivirus dengan

jalan menginduksi sel-sel sekitar sel yang diserang virus. Selain

itu, interferon juga dapat mengaktifkan sel NK untuk membunuh

virus dan sel neoplasma.

Sel NK membunuh sel terinfeksi virus intraselular, sehingga

dapat menyingkirkan reservoir infeksi.

Sel NK memberikan respons terhadap IL-12 yang diproduksi

makrofag dan melepas IFN yang mengaktifkan makrofag untuk

membunuh mikroba yang telah dimakan.

d. Pertahanan selular

Fagosit. Meskipun berbagai sel dalam tubuh dapat melakukan

fagositosis, sel utama yang berparan pada pertahanan nonspesifik

adalah sel mononuklear (monosit dan makrofag) serta sel

polimorfonuklear seperti neutrofil. Kedua golongan sel tersebut

berasal dari sel hemopoietik yang sama. Fagositosis dini yang

efektif pada invasi kuman, akan mencegah timbulnya penyakit.

Proses fagositosis terjadi dalam beberapa tingkat yaitu

kemotaksis, menangkap, membunuh, dan mencerna.

Sel NK adalah sel limfosit tanpa ciri-ciri sel limfoid sistem

imun spesifik yang ditemukan dalam sirkulasi. Oleh karena itu

disebut juga sel non B non T atau sel populasi ketiga atau null

cell. Morfologis sel NK merupakan limfosit dengan granul besar,

oleh karena itu disebut juga Large Granular Lymphocyte/LGL.

Sel Nk dapat menghancurkan sel yang megandung virus atau

neoplasma.

Sel mast berperan dalam reaksi alergi dan juga dalam

pertahanan pejamu yang jumlahnya menurun pada sindrom

imunodefisiensi. Sel mast juga berperan pada imunitas terhadap

parasit dalam usus dan invasi bakteri. Berbagai faktor non imun

seperti latihan jasmani, tekanan, trauma, panas, dan dingin dapat

pula mengaktifkan dan menimbulkan granulasi sel mast.

1.1.2. IMUN SPESIFIK

Sistem imun spesifik memiliki kemampuan untuk mengenal

benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama

timbul akan segera dikenali, dan akan mensensitisasi sel imun. Bila

sel tersebut terpajan ulang dengan benda asing yang sama maka akan

dikenal dan dihancurkan lebih cepat.

a. Sistem Imun Spesifik Humoral

Yang berperan dalam system ini adalah sel B. bila sel B

dirangsang benda asing, sel tersebut akan berploriferasi dan

berdiferensiasi menjadi sel plasma yang dapat menghasilkan

antibody. Anribodi yang dilepas dapat ditemukan di dalam serum.

Fungsi utama antibody adalah mempertahankan tubuh terhadap

infeksi bakteri, virus, dan menetralisir toksin.

b. Sistem Imun Spesifik Seluler

Diperankan oleh sel T, fungsi secara umum

- Membantu sel B dalam memproduksi antibody

- Mengenal dan menghancurkan sel yang terkena virus

- Mengaktifkan makrofag dalam fagositosis

- Mengontrol ambang kualitas system imun.

Sel T dibentuk di dalam sumsum tulang, tetapi diferensiasi dan

proliferasinya di timus. Hanya 5-10 % saja yang meninggalkan

timus untuk dilepas ke sirkulasi dan kelenjar getah bening,

sisanya mati.

Jenis-jenis sel T :

- Sel T naïf (virgin)

Sel limfosit yang meninggalkan timus namun belum

berdiferensiasi, belum pernah terpajan dengan antigen, dan

menunjukkan molekul permukaan CD4RA.

Jika terpajan antigen akan berkembang menjadi sel Th0

yang selanjutnya berkembang menjadi sel efektor Th1 dan

Th2 .

Sel Th0 memprodiksi sitokin seperti IL-1, IFN dan IL-4.

- Sel T CD4+ (Th1 dan Th2)

Sel ini mengenal antigen yang dipresentasikan bersama

molekul MHC-II oleh APC dan berkembang menjadi subset

sel Th1 atau sel Tdht atau T2 yang tergantung dari sitokin

lingkungan.

IFN-γ dan IL-2 yang diproduksi APC merangsang

diferensiasi sel T CD4+ menjadi Th1/Tdht yang berperan

dalam reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Sel Tdht

berperan untuk mengerahkan makrofag dan sel-sel

inflamasi ke tempat terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe

lambat.

Atas pengaruh sitokin IL-4, IL-5, IL-10, IL-13 yang dilepas

sel mast yang terpajan antigen atau cacing, Th0 berkembang

menjadi sel Th2 yang merangsang sel b untuk

meningkatkan produksi antibody.

- Sel T CD8+

Mengenal adanya antigen yang dipresentasikan oleh

molekul MHC-I yang ditemukan pada semua sel tubuh yang

bernukleus.

Fungsi utamanya untuk meyingkirkan dan menghancurkan

sel terkena virus atau bakteri intraseluler.

Selain itu juga menghancurkan sel ganas dan sel

histokompatibel yang menimbulkan penolakan pada

transplantasi.

- Sel Ts (T supresor) atau Tr (T regulator)

Berperan untuk menekan aktivitas sel efektor T yang lain

dan sel B.

Menurut fungsinya dibagi menjadi sel Ts spesifik untuk

antigen tertentu dan Ts nonspesifik.

Kerja sel Tr diduga dapat mencegah respon sel Th1.

APC yang mempresentasikan antigen ke sel T naïf akan

melepas sitokin IL-12 yang merangsang diferensiasi sel T

naïf menjadi sel efektor Th1. Sel Th1 akan memproduksi

IL-γ yang mengaktifkan makrofag dalam fase efektor.

Sel Tr dapat mencegah aktivasi sel T melalui mekanisme

yang belum jelas.

Beberapa sel Tr melepas sitokin imunosupresif seperti IL-

10 yang mencegah fungsi APC dan aktivasi makrofag dan

TGF-b yang mencegah proliferasi sel T dan aktivasi

makrofag.

1.2. ANTIGEN DAN ANTIBODI

1.2.1.ANTIGEN

Antigen poten alamiah terbanyak adalah protein besar dengan

berat molekul lebih dari 40.000 dalton dan kompleks polisakarida

microbial. Glikolipid dan lipoprotein dapat juga bersifat imunogenik,

tetapi tidak demikan halnya dengan lipid yang dimurnikan. Asam

nukleat dapat bertindak sebagai imunogen dalam penyakit autoimun

tertentu, tetapi tidak dalam keadaan normal.

Pembagian Antigen:

a. Pembagian antigen menurut epitop:

- Unideterminan, univalen. Hanya satu jenis determinan/ epitop pada

satu molekul

- Unideterminan, multivalen. Hanya satu jenis determinan tetapi dua

atau lebih determinan tersebut ditemukan dalam satu molekul

- Multideterminan, univalen. Banyak epitop yang bermacam-macam

tetapi hanya satu dari setiap macamnya (kebanyakan protein)

- Multideterminan, multivalen. Banyak macam determinan dan

banyak dari setiap macam pada satu molekul (antigen dengan berat

molekul yang tinggi dan kompleks secara kimiawi)

b. Pembagian antigen menurut sifat kimiawi:

- Hidrat arang (polisakarida). Hidrat arang pada umumnya

imunogenik. Glikoprotein yang merupakan bagian permukaan

sel banyak mikroorganisme dapat menimbulkan respons imun

terutama mikroorganisme dapat menimbulkan respons imun

terutama pembentukan antibody. Contoh lain adalah respons

imun yang ditimbulkan golongan darah ABO, sifat antigen dan

spesifitas imunnya berasal dari polisakarida pada permukaan

sel darah merah

- Lipid. Lipid biasanya tidak imunogenik, tetapi menjadi

imunogenik bila diikat protein pembawa. Lipid dianggap

sebagai hapten, contohnya adalah sfingolipid

- Asam nukleat. Asam nukleat tidak imunogenik, tetapi dapat

menjadi imunogenik bila diikat protein molekul pembawa.

DNA dalam bentuk heliksnya biasanya tidak imunogenik.

Respons imun terhadap DNA terjadi pada pasien dengan

Lupus Eritematous Sistemik (LES)

- Protein. Kebanyakan protein adalah imunogenik dan pada

umumnya multideterminan dan univalent

c. Pembagian antigen menurut spesifitas:

- Heteroantigen, yang dimiliki oleh banyak spesies

- Xenoantigen, yang hanya dimiliki spesies tertentu

- Aloantigen (isoantigen), yang spesifik untuk individu dalam

satu spesies

- Antigen organ spesifik, yang hanya dimiliki organ tertentu

- Autoantigen, yang dimiliki alat tubuh sendiri

Antigen yang juga disebut imunogen adalah bahan yang dapat

merangsang respons imun atau bahan yang dapat bereaksi dengan

antibodi yang sudah ada tanpa memperhatikan kemampuannya untuk

merangsang produksi antibodi. Secara fungsional antigen dibagi

menjadi imunogen dan hapten. Bahan kimia ukuran kecil seperti

dinitrofenol dapat diikat antibodi, tetapi bahan tersebut sendiri tidak

dapat mengaktifkan sel B (tidak imunogenik). Untuk memacu

respons antibodi, bahan kecil tersebut perlu diikat oleh molekul

besar. Kompleks yang terdiri atas molekul kecil (disebut Hapten)

dan molekul besar (disebut carrier atau molekul pembawa) dapat

berperan sebagai imunogen.

Epitop atau determinan antigen adalah bagian dari antigen yang

dapat membuat kontak fisik dengan reseptor antibodi, meng-induksi

pembentukan antibodi; dapat diikat dengan spesifik oleh bagian dari

antibodi atau oleh reseptor antibodi. Makromolekul dapat memiliki

berbagai epitop yang masing-masing merangsang produksi antibodi

spesifik yang berbeda. Paratop ialah bagian dari antibodi yang

mengikat epitop. Respons imun dapat terjadi terhadap semua

golongan bahan kimia seperti hidrat arang, protein, dan asam nukleat

Lokasi epitop dan paratop (bagian dari antibodi) dalam interaksi

antara antigen dan TCR dan reseptor sel B. Epitop adalah bagian dari

antigen yang membuat kontak fisik dengan reseptor Ab = antibodi;

Ag = antigen.

Superantigen adalah molekul yang sangat poten terhadap mitogen

sel T. Mungkin lebih baik bila disebut supermitogen, oleh karena

dapat memacu mitosis sel CD4 tanpa bantuan APC. Superantigen

berikatan dengan berbagai region dari rantai β reseptor sel T. Ikatan

tersebut merupakan sinyal poten untuk mitosis, dapat mengaktifkan

sejumlah besar populasi sel T. Ikatan tersebut merupakan sinyal

poten untuk mitosis, dapat mengaktifkan sejumlah besar populasi sel

T. Sampai 20% dari semua sel T dalam darah dapat diaktifkan oleh

satu molekul superantigen.

1.2.2.ANTIBODI

Antibodi atau immunoglobulin (Ig) adalah golongan protein yang

dibentuk sel plasma (proliferasi sel B) setelah terjadi kontak dengan

antigen. Antibodi ditemukan dalam serum dan jaringan dan

mengikat antigen secara spesifik. Bila serum protein dipisahkan

secara elektroforetik, Ig ditemukan terbanyak dalam fraksi globulin

g meskipun ada beberapa yang ditemukan juga dalam fraksi globulin

a dan b.

Semua molekul Ig mempunyai 4 polipeptid dasar yang terdiri atas

2 rantai berat (heavy chain) dan 2 rantai ringan (light chain) yang

identik, dihubungkan satu dengan lainnya oleh ikatan disulfida. Unit

dasar antibodi yang terdiri atas 2 rantai berat dan 2 rantai ringan

yang identik, diikat menjadi satu oleh ikatan disulfida yang dapat

dipisahakan dalam berbagai fragmen.

A = rantai berat (berat molekul: 50.000-77.000)

B= rantai ringan (berat molekul: 25.000)

C = ikatan disulfide

Ada 2 jenis rantai ringan (kappa dan lambda) yang terdiri atas 230

asam amino serta 5 jenis rantai berat yang tergantung pada kelima

jenis immunoglobulin, yaitu Ig M, Ig G, Ig E, Ig A dan Ig D.

a. Ig G

Ig G merupakan komponen utama (terbanyak)

immunoglobulin serum, dengan berat molekul 160.000. Kadarnya

dalam serum yang sekitar 13 mg/ml merupakan 75% dari semua

Ig. Ig G ditemukan juga dalam berbagai cairan lain antaranya

cairan saraf sentral (CSF) dan juga urin. Ig G dapat menembus

plasenta dan masuk ke janin dan berperan pada imunitas bayi

sampai umur 6-9 bulan. Ig G dapat mengaktifkan komplemen,

meningkatkan pertahanan badan melalui opsonisasi dan reaksi

inflamasi. Ig G terdiri atas 4 subkelas yaitu Ig 1, Ig 2, Ig 3, Ig 4.

Ig 4 dapat diikat oleh sel mast dan basofil.

b. Ig A

Ig A ditemukan dalam jumlah sedikit dalam serum, tetapi

kadarnya dalam cairan sekresi saluran napas, saluran cerna,

saluran kemih, air mata, keringat, ludah dan kolostrum lebih

tinggi sebagai Ig A sekretori (sIg A). Baik Ig A dalam serum

maupun dalam sekresi dapat menetralisir toksin atau virus dan

atau mencegah kontak antara toksin/ virus dengan alat sasaran.

sIgA diproduksi lebih dahulu daripada Ig A dalam serum dan

tidak menembus plasenta. sIgA melindung tubuh dari patogen

oleh karena dapat bereaksi dengan molekul adhesi dari patogen

potensial sehingga mencegah adherens dan kolonisasi patogen

tersebur dalam sel penjamu.

Ig A juga bekerja sebagai opsonin, oleh karena netrofil,

minosit dan makrofag memiliko reseptor untuk Fca (Fca-R)

sehingga dapat meningkatkan efek bakteriolitik komplemen dan

menetralisir toksin. Ig A juga diduga berperan pada imunitas

cacing pita.

c. Ig M

Ig M (M berasal dari makroglobulin) mempunyai rumus

bangun pentamer dan merupakan Ig terbesar. Kebanyakan sel B

mengandung Ig M pada permukaan sebagai reseptor antigen. Ig

M dibentuk paling dahulu pada respons imun primer tetapi tidak

berlangsung lama, karena itu kadar Ig M yang tinggi merupakan

tanda adanya infeksi dini.

Bayi yang baru lahir hanya mempunyai Ig M 10% dari kadar

Ig M dewasa oleh karena Ig M tidak menembus plasenta. Fetus

umur 12 minggu sudah dapat membentuk Ig M bila sel B nya

dirangsang oleh infeksi intrauterin seperti sifilis congenital,

rubella,toksoplasmosis, dan virus sitomegalo. Kadar Ig M anak

mencapai kadar Ig M dewasa pada usia satu tahun. Ig M juga

merupakan antibodi yang dapat mengikat komplemen dengan

kuat dan tidak menembus plasenta.

d. Ig D

Ig D ditemukan dengan kadar yang sangat rendah dalam darah

(1% dari total immunoglobulin dalam serum). Ig D tidak

mengikat komplemen, mempunyai aktivitas antibodi terhadap

antigen berbagai makanan dan autoantigen seperti komponen

nukleus. Selanjutnya Ig D ditemukan bersama Ig M pada

permukaan sel B sebagai reseptor antigen pada aktivitasi sel B.

e. Ig E

Ig E ditemukan dalam serum dalam jumlah yang sangat

sedikit. Ig E mudah diikat mastosit, basofil, eosinofil, makrofag,

dan trombosit yang pada permukaannya memiliki respetor untuk

fraksi Fc dari Ig E . Ig E dibentuk juga setempat oleh sel plasma

dalam selaput lender saluran napas dan cerna. Kadar Ig E serum

yang tinggi ditemukan pada alergi, infeksi cacing, skistosomiasis,

penyakit hidatid, trikinosis,. Kecuali pada alergi, Ig E diduga juga

berperan pada imunitas parasit. Ig E pada alergi dikenal sebagai

antibodi regain.

1.3. REAKSI HIPERSENSITIVITAS

Hipersensitivitas adalah respon imun yang berlebihan dan yang tidak

diinginkan karena dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. 4 tipe

reaksi menurut kecepatannya dan mekanisme imun yang terjadi :

a. Reaksi Tipe I atau Reaksi Cepat

disebut juga reaksi anafilaksis atau reaksi alergi dikenal sebagai

reaksi yang segera timbul sesudah alergen masuk ke dalam tubuh.

Antigen yang masuk ke dalam tubuh akan ditangkap oleh fagosit,

diprosesnya lalu dipresentasikan ke sel Th2. Sel yang akhir melepas

sitokin yang merangsang sel B untuk membentuk IgE seperti sel mast,

basofil dan eusinofil. Bila tubuh terpajan ulang oleh alergen yang sama,

alergen yang masuk tubuh akan didikat oleh IgE (spesifik) pada

permukaan sel mast yang menimbulkan degranulasi sel mast.

Degranulasi tersebut mengeluarkan berbagai mediator antara lain

histamin yang di dapat dalam granul-granul sel dan menimbulkan gejala

pada reaksi hipersensitivitas tipe I.

Penyakit-penyakit yang tibul segera setelah tubuh terpajan dengan

alergen adalah asma bronkial, renitis, urtikaria dan dermatitis atopik.

Disamping histamin mediator lain seperti prostaglandindan leukotrin

yang dihasilkan metabolisme asam arakidonat, berperan pada fase

lambat dari reaksi tipe I yang sering timbul beberapa jam setelah kontak

dengan alergen.

b. Reaksi Tipe II atau Reaksi Sitotoksik

Terjadi oleh karena dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM terhadap

antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Ikatan antibodi dan antigen

yang merupakan bagian dari sel pejamu tersebut akan mengaktifkan

komplemen dan menimbulkan lisis. Lisis sel dapat pula terjadi melalui

sensitasi sel NK sebagai efektor Antibody Dependent Cell Cytotoxicity.

Contoh reaksi tipe II adalah destruksi sel darah merah akibat reaksi

transfusi dan penyakit anemia hemolitik pada bayi yang baru dilahirkan

dan dewasa. Sebagian kerusakan jaringan pada penyakit autoimun

seperti miastenia gravis dan tirotoksikosis juga ditiimbulkan melalui

mekanisme reaksi tipe II.

c. Reaksi Tipe III atau Reaksi Kompleks Imun

Terjadi akibat endapan kompleks antigen-antibodi dalam jaringan

dan pembuluh darah. antibodi di sini biasanya jenis IgG atau IgM.

Kompleks tersebut mengaktifkan komplemen yang kemudian melepas

berbagai mediator seperti terutama macrophage chemotactic factor.

Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut akan merusak jaringan

sekitar tempat tersebut. antigen dapat berasal dari infeksi kuman

patogen yang persisten (malaria), bahan yang terhirup (spora jamur

yang menimbulkan alveolitis ekstrinsik alergi) atau dari jaringan sendiri

(penyakit autoimun). Infeksi tersebut disertai dengan antigen dalam

jumlah yang berlebihan namun tidak disertai dengan respon antibodi

efektif.

Antigen (Ag) dan antibodi (Ab) bersatu membentuk kompleks imun.

Selanjutnya kompleks imun mengaktifkan C yang melepas C3a dan C5a

dan merangsang basofil dan trombosit melepas berbagai mediator

antara lain histamin yang meningkatkan permeabilitas vaskular.

d. Reaksi Tipe IV atau Reaksi Hipersensitivitas Lambat

Timbul lebih dari 24 jam setelah tubuh terpajan dengan antigen.

reaksi tipe IV dibagi dalam Delayed Type Hypersensitivity yang terjadi

melalui sel CD4+ dan T cell Mediated Cytolysis yang terjadi melalui sel

CD8+.

e. Delayed Type Hypersensitivity (DTH)

Pada DTH sel CD4+ Th1 yang mengaktifkan makrofag berperan

sebagai sel efektor. CD4+Th1 melepas sitokin (IFN-γ) yang

mengaktifkan makrofag dan menginduksi inflamasi. Pada DTH

kerusakan jaringan disebabkan oleh produk makrofag yang diaktifkan

oleh enzim hidrolitik, oksigen reaktif intermediate, oksida nitrat dan

sitokin proinflamasi. Sel efektor yang berperan pada DTH adalah

makrofag. Contoh-contoh reaksi DTH adalah sebagai berikut :

- Reaksi Tuberkulin

adalah reaksi dermal yang berbeda dengan reaksi dermatitis

kontak dan terjadi 20 jam setelah terpajan dengan antigen. Reaksi

terdiri atas infiltrasi mononuklear (50% limfosit dan sisanya

monosit). Setelah 48 jam timbul infiltrasi limfosit dalam jumlah

besar sekitar pembuluh darah yang merusak hubungan serat-serat

kolagen kulit. Bila reaksi menetap, reaksi tuberkulin dapat berlanjut

menimbulkan kavitas atau granuloma.

- Dermatitis Kontak

Reaksi DTH dapat terjadi sebagai respon terhadap bahan yang

tidak berbahaya dalam lingkungan seperti nikel yang menimbulkan

dermatitis kontak. Reaksi maksimal terjadi setelah 48 jam dan

merupakan reaksi epidermal. Sel Langerhans sebagai antigen

presenting cell (APC), sel Th1 dan makrofag memegang peranan

pada reaksi tersebut.

- Reaksi Granuloma

Pada keadaan yang paling menguntungkan DTH berakhir dengan

hancurnya mikroorganisme oleh enzim lisosom dan produk

makrofag lainnya seperti peroksid radikal, dan superoksid. Pada

beberapa keadaan terjadi hal sebaliknya, antigan bahkan terlindung,

misalnya telur scistosoma dan mikobakterium yang ditutupi kapsul

lipid. DTH kronis sering menimbulkan fibrosis sebagai hasil sekresi

sitokin dan growth factor oleh yang dapat menimbulkan granuloma.

2. PATOLOGI AUTOIMUN

2.1. SISTEMIK

2.1.1.SLE

A. Definisi

Penyakit autoimun sistemik autoimun sistemik kronis, ditandai

dengan pembentukan berbagai antibody yang membentuk

kompleks imun dan menimbulkan inflamasi pada berbagai organ.

B. Etiologi

Genetik, lingkungan, dan hormone dianggap sebagai etiologi

SLE, yang mana ketiga factor ini saling terkait erat. Faktor

lingkungan dan hormone berperan sebagai pencetus penyakit

pada individu peka genetic.

Faktor lingkungan yang dianggap sebagai pencetus antara lain,

infeksi, sinar ultraviolet, pemakaian obat-obatan, stress mental

maupun fisik.

C. Patogenesis

Kerusakan organ pada SLE didasari oleh reaksi imunologi.

Factor ini diawali dengan factor pencetus yang ada di lingkungan,

dapat berupa infeksi, sinar ultraviolet atau bahan kimia. Cetusan

ini menimbulkan abnormalitas respon imun di dalam tubuh, yaitu:

1) Sel T dan B menjadi otoreaktif

2) Pembentukan sitokin yang berlebihan

3) Hilangnya regulasi control pada system imun, antara lain:

a. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks

imun maupun sitokin di dalam tubuh

b. Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis

c. Hilangnya toleransi imun : sel T mengenali molekul tubuh

sebagai antigen karena adanya mimikri molekul.

Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam

antibody di dalam tubuh yan gdisebut sebagai autoantibody.

Selanjutnya antibody-antibodi yang tersebut membentuk

kompleks imun. Kompleks imun tersebut terdeposisi pada

jaringan /organ yang akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau

kerusakan jaringan.

D. Gambaran Klinis

- Sistem Muskuloskeletal

Dapat berupa artralgia yang hampir dijumpai sekitar 70%

pasien, atau arthritis yang ditandai dengan sendi yang bengkak,

kemerahan yang kadang disertai efusi, sendi-sendi yang sering

terkena antara lain : sendi jari-jari tangan, pergelangan tangan,

siku, bahu, dan lutut. Artritis pada SLE kadan g menyerupai

arthritis rheumatoid, bedanya adalah arthritis pada SLE

sifatnya nonerosif.

- Sistem Mukokutaneus

1) Kutaneus lupus akut : Malar Rash (Butterfly rash)

merupakan tanda spesifik pada SLE.

2) Kutaneus Lupus subakut: simetrikal eritema sentrifugum,

anular eritema, psoriatic LE, pitiriasis, dan makulo papulo

fotosensitif.

3) Kutaneus Lupus kronis : lupus discoid yang berupa bercak

kemerahan dengan kerak keratotik pada permukaannya.

Bersifat kronil dan rekuren pada lesi yang kronik ditandai

dengan parut dan atropi pada daerah sentral dan

hiperpigmentasi pada tepinya

- Manifestasi Pada Paru

Dapat berupa pnemonitis, pleuritis, ataupun pulmonary

haemorrhage, emboli paru, hipertensi pulmonal. Pleuritis

ditandai dengan nyeri dada atau efusi pleura atau friction rub

pada pemeriksaan fisik.

- Manifestasi Pada Jantung

Dapat berupa perikarditis, efusi pericardium, miokarditis,

endokarditis, kelainan katup, penyakit koroner, hipertensi,

gagal jantung, dna kelaianan konduksi.

- Manifestasi Hematologi

Yang terbanyak adalah bentuk anemia karena penyakit

kronis, anemia hemolitik autoimun hanya didapatkan pada 10

% penderita. Selain anemia dapat dijumpai leucopenia,

limphopenia, nitropenia, dan trombopenia.

- Manifestasi Pada Ginjal

Dikenal dengan lupus nefritis. Gambaran klinisnya

bervariasi tergantung derajat kerusakan pada glomerulus dapat

berupa hematuro, proteinuria, selular cast.

- Manifestasi system Gastrointestinal

Dapat berupa hepatosplenomegali nonspesifik, hepatitis

lupoid, keradangan system saluran makan(lupus gut), kolotis.

- Manifestasi Klinis Pada Sistem Saraf Pusat

Bervariasi mulai dari depresi sampai psikosis, kejang,

stroke, dll.

E. Diagnosis

F. Tata Laksana

Saat ini mortalitas lupus pada decade 5 tahun terakhir

menunjukkan perbaikan. Five year survival ratenya saat ini

hamper 90 %, sedangkan 15 year survival ratenya berkisar 63-

79%. Kemajuan ini disebabkan karena pendekatan terapi yang

lebih agresif dan kemajuan pengunaan imunosupressan untuk

menekan aktivitas penyakit.

Prinsip pepengobatannya adalah unutk menekan aktivitas

penyakit, untuk mencegah progresivitas dan untuk memantau efek

samping obat.

Sampai sekarang steroid masih merupakan obat pilihan

pertama untuk mengendalikan aktivitas penyakit. Steroid adalah

hormone yang berfungsi sebagai antiinflamasi dan imuoregulator,

yang secara normal disekresi oleh kelenjar adrenal. Dosis yang

dianjurkan 1 mg/kgbb/hari diberikan selama 4 minggu yang

selanjutkan ditepring secara perlahan-lahan bila lupus mengenai

organ vital atau yang mengancam jiwa, maka diberikan steroid

megadosis yaitu pulse intravena Metylprednisolon (500-1000

mg/hari) selama 3 hari. Pemakaian jangka panjang steroid

menimbulkan beberapa efek samping, antara lain : cushing

syndrome,DM, dislipidemia, osteoporosis, osteoneokrosis atau

avaskuler nekrosis, hipertensi, arterosklerosis, meningkatnya

resiko infeksi, maka selam pemakainan steroid harus selalu

dipantau efek sampingnya. Glukokortkoid merupakan hormone

steroid yang sangat kuat dengan efek mineralokortikoid yang

ringan dibanding kortison.

Dosis glukokortikoid yang digunakan untuk terapi SLE:

a. pulse dengan dosis 15-30 mg/kgbb/hr atau 1 g/m2 luas tubuh

duberikan IV selama 1-3 hari. Indikasi manifestasi lupus

dengan organ yang mengancam jiwa : RPGN, myelopati,

kebingungan akut yang berat, perdarahan paru, vaskulitis,

optic pleuritis. Yang perlu diperhatikan adalah dosis yang

sangat besar akan menimbulkan overlod cairan hipertensi dan

neuropsikiatrik

b. dosis sangat tinggi (very high dose) yaitu > 1-2 mg/kgbb/hari

diberikan IV atau per oral digunakan untuk lupus dengan

manifestasi organ yang mnegancam jiwa. Hindari penggunaan

lebih daro 1-2 minggu. Efek sampingnya yaitu timbulnya

infeksi yang berat.

c. Dosis tinggi (high dose) ,125 – 0,5 mg/kgbb/hari diberikan

secara oral untuk neusitis, pleuritis yang berat, trombopeni.

d. Dosis ringan (low dose) < 0,125-<0,75 mg/kgbb/hari indikasi

arthritis yang tidak respon terhadap NSAID terapi maintenance

Sebagian besar lupus aktif akan merespon dalam waktu 1-2

minggu khususnya untuk lupus nefritis membutuhkan waktu 2-6

minggu. Bila dalam waktu 1-2 minggu tidak ada perubahan yan

gmencolok sebaiknya ditambahkan imunosupresif dan dosis

steroid segera diturunkan pelan-pelan 5 mg/minggu sampai

mencapai dosis 0,5 g/hari. Yang perlu diperhatikan bila dosis

diturunkan secara cepat atau diturunkan secara pelan akan

menimbulkan kekambuhan penyakit dan meningkatkan resiko

efek samping steroid. Bila terjadi kekambuhan selama

penurunana dosis maka sebaiknya dosis ditingkatkan seperti dosis

semula sehingga dapat mengontrol aktivitas penyakit.

2.1.2.ARTHRITIS RHEUMATOID

A. Definisi

Artritis reumatoid merupakan penyakit autoimun yang ditandai

denga terdapatnya sinovitis erosif simetris yang terutama

mengenai jaringan persendian, tapi seringkali juga melibatkan

organ tubuh lain. Penyakit ini merupakan penyakit kronik yang

gejalanya hilang timbul yang bila tidak diobati akan

menyebabkan terjadinya kerusakan persendian dan deformitas

sendi yang progressif yang menyebabkan disabilitas.

B. Etiologi

1) Hormon seks.

Pada wanita angka kejadiannya 3 kali lebih banyak daripada

laki-laki, terutama wanita dalam usia subur.

2) Faktor Infeksi

Dugaan infeksi menyebabkan artritis reumatoid karena

penyakit ini terjadi secara mendadak dan timbul dengan

disertai oleh gambaran inflamasi yang mencolok. Penyakit ini

diduga karena tercetusnya suatu proses autoimun oleh suatu

antigen tunggal. Agen infeksius yang diduga merupakan

penyebab AR adalah bakteri, mycoplasma, atau virus. Akhir-

akhir ini diduga virus Epstein Barr (EBV) menyebabkan

terjadinya perubahan respon imun.

C. Patogenesis

Patogenesisnya dimulai dengan terdapatnya suatu antigen yang

berada pada membran sinovial. Pada membran sinovial tersebut,

antigen tersebut akan di proses oleh antigen presenting cells

(APC), yang terdiri dari berbagai jenis sel seperti sel synoviocyte

A, sel dendritik atau makrofag dan semuanya mengekspresikan

determinan HLA-DR pada mebran selnya. Antigen yang telah

diproses oleh APC selanjutnya dilekatkan pada CD4+, suatu

subset sel T sehingga terjadi aktivasi sel tersebut. Untuk

memungkinkan terjadinya aktivasi CD4+, sel tersebut harus

mengenali antigen dan determinan HLA-DR yang terdapat pada

permukaan membran APC. Proses aktivasi CD4+ ini juga dibantu

oleh interleukin 1 yang disekresi oleh monosit dan makrofag. Dan

selanjutnya terjadi proses inflamasi hingga akhirnya terbentuk

kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas ke dalam ruang

sendi. Pengendapan kompleks imun pada membran sinovial akan

menyebabkan aktivasi sistem komplemen dan membebaskan

komplemen C5a, yang merupakan faktor kemotaktik yang selain

meningkatkan permeabilitas vaskular juga menarik lebih banyak

sel PMN yang memfagositir kompleks imun tersebut sehingga

mengakibatkan degranulasi mast cells dan pembebasan radikal

oksigen, leukotrine, enzim lisosomal, prostaglandin, dan

kolagenase yang semuanya bertanggung jawab atas terjadinya

kerusakan dan inflamasi jaringan seperti erosi rawan sendi dan

tulang.

Prostaglandin E2 memiliki efek vasodilator yang kuat dan

dapat merangsang terjadinya resorpsi tulang osteoklasik dengan

bantuan IL-1 dan TNF-β. Pengendapan kompleks imun juga

menyebabkan masuknya sel T ke dalam membran sinovial dan

akan merangsang terbentuknya pannus yang merupakan elemen

yang paling bersifat destruktif pada patogenesis AR. Pannus

merupakan jaringan granulasi yang terdiri dari makrofag yang

teraktivasi, sel fibroblast yang berploriferasi dan jaringan

mikrovaskular. Pannus dapat menginvasi jaringan kolagen dan

proteoglikan rawan sendiri serta tulang sehingga menghancurkan

struktur persendian. Jika proses pembentukan pannus tidak

berhenti proses tersebut akan mengakibatkan terjadinya ankilosis.

D. Gambaran Klinis

Berupa serangan poliartritis akut yang berkembang cepat

dalam beberapa hari, tapi umumnya perlahan dalam beberapa

minggu. Dapat bermanifestasi palindromic reumatism, yaitu

timbulnya gejala monoartritis yang hilang timbul berlangsung

antara 3-5 hari dengan diselingi masa remisi sempurna. Juga

dapat bermanifestasi sebagai pauciarticular rheumatism, yaitu

gejala poliartritis yang melibatkan 4 persendian atau kurang.

E. Diagnosis

Kriteria diagnosis Rheumatoid Arthritis menurut ACR :

no kriteria Definisi

1 Kaku pagi hari Kekakuan pagi hari pada

persendian dan sekitarnya

sekurangnya selama 1 jam

2 Artritis pada 3 daerah

persendian atau lebih

Pembengkakan jaringan lunak

atau persdendian pada sekurang

kurangnya 3 sendi secara

bersamaan

3 Artritis pada persendian

tangan

Sekurang kurangnya terjadi

pembengkakan 1 persendian

tangan seperti tertera diatas

4 Artritis simetris Keterlibatan sendi yang sama

5 Nodul reumatoid Nodul subkutan pada penonjolan

tulang atau permukaan ekstensor

6 Faktor reumatoid serrum + Terdapat titter abnormal faktor

reumatoid serrum yang diperiksa

7 Perubahan gambaran

radiologis

Pada sinar X khas pada tangan

posterior atau pergelangan

tangan yang harus menunjukkan

adanya erosi atau dekalsifikasi

tulang yang berlokasi pada sendi

atau daerah yang berdekatan

pada sendi

Pasien bisa didiahnosis menderita arthritis rheumatoid jika

memenuhi minimal 4 kriteria. Untuk butir 1-4 gejala minimal

timbul selama 6 minggu

F. Tata Laksana

Sebagai awal, pasien bisa diberi edukasi tentang penyakitnya

lalu untuk terapi farmakologis bisa diberi obat2an OAINS,

DMARDS, dan juga steroid

2.1.3.DEMAM RHEUMA

A. DEFINISI

Demam rheuma adalah penyakti sistemik yang berisfat subakut

atau khronik yang dalam perjalanan penyakit selanjutnya dapat

sembuh dengan sednririnya (self limited) atau menjurus pada

deformitas ktup jantung. Penyakit ini masih banyak dijumpai

Negara – negara yang sedang berkembang di mna insiden infeksi

Streptokokus β Hemolitikus masih tinggi.

Demam rheuma paling banyak mengenal golongan usia 5 – 15

tahun, dan jarang dijumpai pada usia kurang dari 4 tahun atau di

atas 50 tahun.

B. ETIOLOGI

Penyakit ini adalah akibat dari respon reaksi antigen –

antobodi yang terjadi dalam jangka waktu antara 1 – 4 minggu

setelah terjadinya infeksi dengan Streptokokus β Hemolitikus

grup A misalnya : tonsillitis nasofaringitis atau otitis media.

C. GAMBARAN KLINIS

Pada umumnya didapatkan keluhan panas badan (febris) atau

arthritis pada penderita yang 2 – 3 minggu sebelumnya terkena

infeksi Streptokokus β Hemolitikus

Febris, Biasanya tidak terlalu tinggi, hanya subferis dan

sifatnya intermittent, meskipun pada kasus – kasus yang berat di

mana dijumpai adanya perikarditis atau miokarditis febris dapat

mencapai 30°C. Lamanya dapat berminggu – minggu atau

berbulan – bulan disertai malaise, asthenia dan penurunan berat

badan. Keadaan ini kriteria minor karena masih banyak lagi

penyakit lainnya dapat memberi keluhan seperti tersebut diatas.

Nyeri Sendi, Nyeri dirasakan di dalam sendi dan jaringan

periartikuler serta sistemotot (Polyarthralgia) merupakan gejala

Demam Rheuma akan tetapi tidak spesifik.

Arthritis, Arthritis dan eusi yang bersifat migratori (berpindah,

pindah), polyartfitis, mengenai sendi – sendi besar, panas, merah,

bengkak, keras serta fungsi terganggu. Kadang – kadang disertai

pula dengan panas badan. Pada orang dewasa dapat hanya

mengenai sendi – sendi kecil saja dan selanjutnya sembuh

spontan dalam 1 – 5 minggu tanpa defortimitas. Arthritis

dimasukkan sebagai kriteria mayor hanya bila didapatkan efusi

dan tanda – tanda inflamsi. Keadaan tersebut memberikan respon

yang baik terhadap pemberian salisilat.

Karditis pada Demam Rheuma biasanya ringan. Keluhan yang

menonjol pada umumnya adalah nyeri di darah dada saat

bernafas, nyeri yang berhubungan dengan posisi tubuh atayu

nyeri daerah epigastrum. Apabila sampai terjadi gagal jantung,

baru akan timbul keluhan sesak nafas. Rasa berdebar – debar

adalah akibat dari peningkatan denyut nadi (takhikardia).

D. DIAGNOSIS

Untuk mendiagnosis Demam Rheuma dikenal adanya Kriteria

Mayor dan Kriteria Minor. Kriteria Mayor terdiri dari : Peri, Mio,

Endokarditis (Karditis), Sydenhams Chorea, Sub Cutaneus

Nodule, Erythema Marginatum dan Poly Arthritis, sedangkan

Kriteria Minor terdiri dari : Febris, malaise, nyeri perut,

lekositosis. Peningkatan laju endap darah (LED), peningkatan

titer anti streptosilin O (ASO).

Diagnosa ditegakkan bila didapatkan

1. Dua kriteria mayor

2. Satu kriteria mayor + dua kriteria minor + bukti adanya

infeksi Streptokokus β Hemolitikus grup A

E. TATA LAKSANA

Secara Umum, Penderita tirah baring sampai semua keluhan

dan gejala Demam Rheuma sudah hilang. Kriterianya adalah

sebagai berikut : panas badan sduah normal dengnpenderit

akeadaan tirah baring tanpa oabt, frekuensi denyut nadi saat

istirahat < 100 / menit pada dewasa, EKG kembali normal.

Menjaga keadaan gizi yang baik

Preparat Salisilat secara nyata dapat menurunkan panas badan,

menghilangkan nyeri sendi – sendi, serta dapat mengurangi

pembengkakan sendi. Akan tetapi belum ada nukti bahwa

Salisilat dapat mempengaruhi perjalanan penyakit. Terapi ini

dilanjutkan selama ada keluhan / gejala panas badan, nyeri dan

pembengkakan sendi. Bila terjadi kekambuhan dari keluhan /

gejala di atas pada saat Salisilat dihentikan, maka dianjurkan

untuk segera memulainya lagi.

Penisilin diberikan selama perjalanan penyakit untuk eradikasi,

Sreptokokus. Obat yang diberiakn obat adalah injeksi bentaxhine

penisilin G 1.2 juta unis sekali sehari. Pilihan obat per oral adalah

penisilin G 200.000 – 250.000 unit 4 kali sehari. Bagi penderita

yang alergi terhadap penisislin dapat diberi erithromisin 250 mg 4

kali sehari. Lama pengobatan 10 hari

Tidak didapatkan bukti bahwa pemberian Kortikosteroid dapat

mencegah atau meringankan kerusakanpada Jantung, meskipun

diberikan sejak awal dan dengan dosis yang tinggi. Kortikosteroid

lebih berguna dibandingkan Salisilat dalam hal menenangkan fase

eksudatif akut pada Demam Rheuma. Pemberian kortikosteroid

jangka pendekbiasanya menyebabkan perbaikan dengan cepat

manifetasi akut dari Demam Rheuma. Indikasinya adalah untuk

Demam Rheuma yang diserati panas tinggi, perikarditis,

miokraditis yang aktif, takhikardia, serat pembengkan dan nyeri

sendi. Panas badan, malaise, takhikardia dan polyarthritis akan

segera membaik. Perbahan pada EKG serta LED akan kembali

normal dalam beberapa minggu.

Jadwal yang dianjurkan adalah sebagai berikut : segera dimulai

begitu Diagnosa Demam Rheuma sudah ditegakkan. Prednison 5

– 10 mg setiap 6 jam selama 3 minggu. Selanjutnya dihentikan

secara bertahap selam 3 minggu, dengan cara mula – mula

mengurangi dosis untuk selanjutnya menghentikannya dimulai

dari sodis malam hari, siang hari dan selanjutnya pagi hari.

2.2. LOKAL

2.2.1. ITP

A. Definisi

'Idiopathic'berarti 'tidak diketahui penyebabnya'.'Thrombo-

cytopenic' berarti 'darah yang tidak cukup memiliki sel darah

merah (trombosit). 'Purpura' berartiseseorang memiliki luka

memar yang banyak (berlebihan). Anda mungkin juga mendengar

istilah ITP ini sebagai singkatan dari 'Immune Thrombocytopenic

Purpura'.

Dalam tubuh seseorang yang menderita ITP, sel-sel darahnya

kecuali sel darah merah berada dalam jumlah yang normal. Sel

darah merah (Platelets) adalah sel-sel sangat kecil yang menutupi

area tubuh paska luka atau akibat teriris/terpotong dan kemudian

membentuk bekuan darah. Seseorang dengan sel darah merah

yang terlalu sedikit dalam tubuhnya akan sangat mudah

mengalamiluka memar dan bahkan mengalami perdarahan dalam

periode cukup lama setelah mengalami trauma luka. Kadang

bintik-bintik kecil merah (disebut Petechiae) muncul pula pada

permukaan kulitnya. Jika jumlah sel darah merah ini sangat

rendah, penderita ITP bisa juga mengalami mimisan yang sukar

berhenti, atau mengalami perdarahan dalam organ ususnya.

B. Etiologi

Penyebab ITP ini tidak diketahui. Seseorang yang menderita

ITP, dalam tubuhnya membentuk antibodi yang mampu

menghancurkan sel-sel darah merahnya. Dalam kondisi normal,

antibodi adalah respons tubuh yang sehat terhadap bakteri atau

virus yang masuk ke dalam tubuh. Tetapi untuk penderita ITP,

antibodinya bahkan menyerang sel-sel darah merah tubuhnya

sendiri.

C. Klasifikasi

Ada 2 tipe ITP.

1) Tipe pertama umumnya menyerang kalangan anak-anak,

sedangkan tipe lainnya menyerang orang dewasa. Anak-anak

berusia 2 hingga 4 tahun yang umumnya menderita penyakit

ini.

ITP yang dialami anak-anak berbeda dengan yang dialami oleh

orang dewasa. Sebagian besar anak yang menderita ITP

memiliki jumlah sel darah merah yang sangat rendah dalam

tubuhnya, yang menyebabkan terjadinya perdarahan tiba-tiba.

Gejala-gejala yang umumnya muncul di antaranya luka memar

dan bintik-bintik kecil berwarna merah di permukaan kulitnya.

Selain itu juga mimisan dan gusi berdarah.

2) Sedangkan ITP untuk orang dewasa, sebagian besar dialami

oleh wanita muda, tapi dapat pula terjadi pada siapa saja. ITP

bukanlah penyakit keturunan.

Penyakit ITP untuk penderita orang dewasa dapat berlangsung

lebih lama dibandingkan yang dialami anak-anak. Pada saat

dilakukan diagnosa, sebagian besar penderita dewasa ITP

umumnya telah mengalami adanya perdarahan yang terus

meningkat dan mudah sekali mengalami luka memar dalam

kurun waktu beberapa minggu,atau bahkan bulan. Untuk

pasien wanita, meningkatnya aliran darah menstruasi juga

merupakan tanda-tanda utama.

Banyak orang dewasa yang mengalami thrombocytopenia

(jumlah sel darah merah dalam darah relatif sedikit) yang tidak

terlalu parah. Pada kenyataannya,sebagian kecil orang bahkan

tidak mengalami gejala-gejala perdarahan. Kalangan ini

umumnya didiagnosa ITP saat melakukan tes pemeriksaan

darah untuk suatu keperluan, dan ternyata salah satu hasilnya

menunjukkan jumlah sel darah merah yang sedikit.

D. Diagnosis dan Tata Laksana

Karena sebagian besar anak penderita ITP dapat pulih tanpa

penanganan medis, banyak dokter yang merekomendasikan untuk

melakukan observasi ketat dan sangat hati-hati terhadap penderita

serta penanganan terhadap gejala-gejala perdarahannya. Penderita

tidak perlu dirawat di Rumah Sakit jika penanganan dan

perawatan intensif dan baik ini tersedia di rumah. Akan tetapi,

beberapa dokter merekomendasikan penanganan medis singkat

dengan pengobatan oral (Prednisone) atau pemasangan infus

berisikan zat gamma globulin untuk meningkatkan jumlah sel

darah merah penderita dengan cepat. Kedua jenis obat ini

memiliki beberapa efek samping.

Penanganan medis terhadap penyakit ITP yang diderita orang

dewasa lebih ditujukan untuk meningkatkan jumlah sel darah

merahnya. Ini tidak sama dengan menyembuhkan penyakit ITP-

nya. Penderita ITP mungkin diharuskan untuk mengkonsumsi

obat Prednisone selama beberapa minggu, atau bahkan lebih

lama. Akan tetapi, saat pengobatan oral ini dihentikan, jumlah sel

darah merah dalam tubuh penderita mungkin saja akan rendah

kembali.

Jika pengobatan (Prednisone) tidak juga banyak membantu,

organ limpa penderita mungkin akan dikeluarkan melalui

tindakan operasi. Organ ini yang memproduksi sebagian besar

antibodi yang selama ini menghancurkan sel-sel darah merah

dalam tubuhnya sendiri. Organ ini juga berfungsi untuk

menghancurkan sel-sel darah yang tua atau rusak. Di lain pihak,

bagi orang dewasa yang sehat, tindakan operasi pengeluaran

organ limpa bukanlah kategori tindakan medis yang serius.

Diagnosis ITP selama kehamilan cukup sulit dilakukan, karena

jumlah sel-sel darah merah pada wanita hamil memang cukup

rendah. Sekitar 5% wanita hamil memiliki jumlah sel darah

merah yang normalnya juga cukup rendah di masa kehamilan

tuanya. Penyebabnya juga tidak diketahui. Tetapi kondisi ini akan

kembali normal sesaat setelah proses bersalin dilakukan.

Bayi yang lahir dari seorang ibu yang menderita ITP

kemungkinan juga memiliki jumlah sel darah merah yang rendah

dalam tubuhnya. Kodisi ini bisa berlangsung selama beberapa

hari hingga beberapa minggu setelah ia dilahirkan. Setelah lahir,

bayi umumnya tetap dirawat di rumah sakit untuk keperluan

observasi beberapa hari. Sampai diperoleh kepastian bahwa tidak

ada masalah, bayi boleh dibawa pulang ke rumah

2.2.2.AIHA

A. Definisi

Anemia hemolitik autoimun (autoimmune hemolytic

anemia=AIHA/AHA) merupakan suatu kelainan dimana terdapat

antibidy terhadap sel-sel eritrosit sehingga umur eritrosit

memendek.

B. Patofisiologi

Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini terjadi

melalui aktivasi sistem komplemen, aktivasi mekanisme seluler,

atau kombinasi keduanya.

Aktivasi sistem komplemen

Secara keseluruhan aktivesi sistem komplemen akan

menyebabkan hancurnya membran sel eritrosit dan terjadilah

hemolisis intravaskular yang ditandai dengan hemoglobin dan

hemoglobinuria.

Sistem komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik

ataupun jalur altenatif. Antibodi-antibodi yang memiliki

kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah IgM, IgG1, IgG2,

IgG3. IgM disebut sbagai aglutinin tipe dingin, sebab antibodi ini

berikatan dengan antigen polisakarida pada permukaan sel darah

merah pada suhu di bawah suhu tubuh. Antibodi IgG disebut

aglutinin hangat karena bereaksi dengan antigen permukaan sel

eritrosit pada suhu tubuh.

Aktivasi Komplemen Jalur Klasik

Reaksi diawali dengan aktivasi C1 suatu protein yang dikenal

sebagai recognition unit. C1 akan berikatan dengan kompleks

imun antigen antibodi dan menjadi aktif serta mampu

mengkatalisis reaksi-reaksi pada jalur klasik. Fragmen C1 akan

mengaktifkan C4 dan C2 menjadi suatu kompleks C4b,2b

(dikenal sebagai C3-convertase). C4b2b akan memecah C3

menjadi fragmen C3a dan C3b. C3b mengalami perubahan

konformasional sehingga mampu berikatan secara kovalen

dengan partikel yang mengaktifkan komplemen (sel darah merah

berlabel antibodi). C3 juga akan membelah menjadi C3d,g dan

C3c. C3d dan C3g akan tetap berikatan pada membran sel darah

merah dan merupakan produk final aktivasi C3. C3b akan

membentuk kompleks dengan C4b2b menjadi C4b2b3b (C5

convertase). C5 convertase akan memecah C5 menjadi C5a

(anafilatoksin) dan C5b yang berperan dalam kompleks

penghancur membran. Kompleks penghancur membran terdiri

dari molekul C5b, C6, C7, C8, dan beberapa molekul C9.

Kompleks ini akan menysisp ke dalam membran sel sebagai suatu

aluran transmembran sehingga permeabilitas membran normal

akan terganggu. Air dan ion akan masuk ke dalam sel sehingga

sel membengkak dan ruptur.

Aktivasi Komplemen Jalur Alternatif

Aktivator jalur alternatif akan mengaktifkan C3, dan C3b yang

terjadi akan berikatan dengan membran seldarah merah. Faktor B

kemudian melekat pada C3b, dan oleh D faktor C dipecah

menjadi Ba dan Bb. Bb merupakan suatu protease serin, dan tetap

melekat pada C3b. Ikatan c3bBb selanjutkan akan memecah

molekul C3 menjadi C3a dan C3b. C5 akan berikatan dengan C3b

dan oleh Bb dipecah menjadi C5a dan C5b. Selanjutnya C5b

berperan dalam penghancura membran.

Aktivasi selular yang menyebabkan hemolisis ekstravaskular

Jika sel darah disensitisasi dengan IgG yang tidak berikatan

dengan komplemen atau berikatan dengan komplemen namun

tidak terkadi aktivasi komplemen lebih lanjut, maka sel darah

merah tersebut akan dihancurkan oleh sel-sel retikuloendotelial.

Proses immune adherence ini sangat penting bagi kerusakan sel

eritrosit yang diperantarai sel. Immunoadherence, terutama yang

diperantarai IgG-FcR akan menyebabkan fagositosis.

C. Etiologi

Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas,

kemungkinan terjadi karena gangguan central tolerance, dan

gangguan pada proses pembatasan limfosit autoreaktif residual.

D. Klasifikasi

Anemia hemolitik imun dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

- AIHA tipe hangat

a. idiopatik

b. sekunder (karena cll, limfoma, SLE)

- AIHA tipe dingin

a. idiopatik

b. sekunder (infeksi mycoplasma, mononucleosis, virus,

keganasan limforetikuler)

E. Diagnosis

Pemerikasaan untuk mendeteksi autoantibodi pada eritrosit

Direct Antiglobulin Test (Direct Coomb’s Test)

Sel eritrosit pasien dicuci dari protein-protein yang melekat dan

direaksikan dengan antiserum atau anti bodi monoclonal terhadap

berbagai imunoglobulin dan fraksi komplemen, terutama IgG dan

C3d. Bila pada permukaan sel terdapat salah satu atau kedua IgG

dan Cd3 maka akan terjadi aglutinasi.

Indirect Antiglobulin Test (Indirect Coomb’s Test)

Untuk mendeteksi autoantibodi yang terdapat pada serum. Serum

pasien direaksikan dengan sel-sel reagen. Imunoglobulin yang

beredar pada serum akan melekat pada sel-sel reagen, dan dapat

dideteksi dengan antiglobulin serta dengan terjadinya aglutinasi.

2.2.3.HASHIMOTO DISEASE

A. Definisi

Tiroiditis Hashimoto adalah tiroiditis yang disebabkan oleh

proses autoimun dan berdasarkan waktu kejadian termasuk

tiroiditis kronik. Jika jaringan tiroid yang mengalami tiroiditis

diperiksa dibawah mikroskop maka akan tampak gambaran

peradangan berupa infiltrasi sel-sel limfosit

Tiroiditis autoimun yang terserang terutama wanita berusia

antara 30 – 50 tahun dan dicirikan dengan adanya kelenjar tiroid

yang keras, membesar difus, tak nyeri. Pasien biasanya eutiroid

atau hipotiroid dan jarang hipertiroid. Hipotiroid terjadi jika

hormon tiroid yang diproduksi tidak mencukupi kebutuhan tubuh.

Kelenjar tiroid juga bisa membesar membentuk goiter.

B. Etiologi

Penyakit tiroid autoimun (PTAI) adalah penyakit yang

kompleks, dengan faktor penyebab multifaktorial berupa interaksi

antara gen yang suseptibel dengan faktor pemicu lingkungan,

yang mengawali respon autoimun terhadap antigen tiroid.

Walaupun etiologi pasti respon imun tersebut masih belum

diketahui, berdasarkan data epidemiologik diketahui bahwa faktor

genetik sangat berperan dalam patogenesis PTAI. Selanjutnya

diketahui pula pada PTAI terjadi kerusakan seluler dan perubahan

fungsi tiroid melalui mekanisme imun humoral dan seluler yang

bekerja secara bersamaan. Kerusakan seluler terjadi karena

limfosit T tersensitisasi (sensitized T-lymphocyte) dan/atau

antibodi antitiroid berikatan dengan membran sel tiroid,

mengakibatkan lisis sel dan reaksi inflamasi. Sedangkan

gangguan fungsi terjadi karena interaksi antara antibodi antitiroid

yang bersifat stimulator atau blocking dengan reseptor di

membran sel tiroid yang bertindak sebagai autoantigen.

C. Gambaran Klinis

Penyakit Hashimoto tidak memiliki tanda-tanda dan gejala

selama bertahun-tahun dan tidak terdiagnosis sampai

ditemukannya pembesaran kelanjar tiriod atau hasil pemeriksaan

darah yang abnormal pada pemeriksaan kesehatan rutin. Gejala

yang berkembang berhubungan dengan efek tekanan lokal pada

leher yang disebabkan pembesaran kelenjar tiroid tersebut, atau

akibat penurunan kadar hormon tiroid dalam darah. Tanda

pertama penyakit ini mungkin berupa bengkak tidak nyeri pada

leher depan bagian bawah. Efek tekanan lokal akibat pembesaran

kelenjar tiroid dapat menambah gejala seperti kesulitan menelan.

Tanda-tanda dan gejala hipotiroidisme sangat bervariasi,

tergantung pada tingkat keparahan kekurangan hormon.

Gambaran klinis awalnya didahului dengan gejala-gejala

hipertiroid (kadar hormon tiroid meningkat) lalu normal

(eutoroid) dan akhirnya berubah menjadi hipotiroid (kadar

hormon menurun) berkepanjangan. Pada awalnya, mungkin

gejala jarang terlihat, seperti kelelahan dan kelesuan, atau tanda-

tanda menua. Tetapi semakin lama penyakit berlangsung, gejala

dan tanda makin jelas.

Pasien tiroiditis Hashimoto yang berkembang mengalami

hipotiroid biasanya menunjukkan tanda dan gejala meliputi

kelelahan dan kelesuan, sering mengantuk, jadi pelupa, kesulitan

belajar, kulit kering dan gatal, rambut dan kuku yang rapuh,

wajah bengkak, konstipasi, nyeri otot, penambahan berat badan,

peningkatan sensitivitas terhadap banyak pengobatan, menstruasi

yang banyak, peningkatan frekuensi keguguran pada wanita yang

hamil.

D. Diagnosis

Pada tiroiditis Hashimoto, pemeriksaan goiter yang terbentuk

dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan fisik, dan keadaan

hipotiroid diketahui dengan identifikasi gejala dan tanda fisik

yang khas, serta melalui hasil pemeriksaan laboratorium.

Peningkatan antibodi antitiroid merupakan bukti laboratorik

paling spesifik pada tiroiditis Hashimoto, namun tidak semuanya

dijumpai pada kasus.  Pemeriksaan hormon tiroid biasanya

diperiksa kadar TSH dan FT4. Dikatakan hipotiroid apabila

peningkatan kadar TSH disertai penurunan FT4.

Diagnosis pasti hanya dapat ditegakkan secara histopatologis

melalui biopsi. Kelainan histopatologisnya dapat bermacam –

macam yaitu antara lain infiltrasi limfosit yang difus, obliterasi

folikel tiroid, dan fibrosis. Aspirasi jarum halus biasanya tidak

dibutuhkan pada penderita tiroiditis ini, namun dapat dijadikan

langkah terbaik untuk diagnosis pada kasus yang sulit dan

merupakan prosedur yang dibutuhkan jika nodul tiroid terbentuk.

E. Tata Laksana

Jika penyakit Hashimoto dengan goiter tiroid, atau

menyebabkan kekurangan hormon tiroid, penderita memerlukan

terapi penggantian hormon tiroid yang bertujuan mengatasi

defisiensi tiroid serta mengecilkan ukuran nodul goiter.

Pengobatan dengan penggunaan sehari-hari dari hormon tiroid

sintetis sepertii levotiroksin (levothroid, Levoxyl, Synthroid).

Levotiroksin sintetis identik dengan tiroksin, versi alami hormon

ini dibuat oleh kelenjar tiroid.

Kadang tidak diperlukan pengobatan karena strumanya kecil

dan asimtomatik. Bila kelenjar tiroid sangat besar mungkin

diperlukan tindakan pengangkatan, sebaiknya operasi ini ditunda

karena kelenjar tiroid tersebut dapat mengecil sejalan dengan

waktu. Pemberian tiroksin dapat mempercepat hal tersebut.

Disamping itu tiroksin juga dapat diberikan pada keadaan

hipotiroidisme.

Pada pasien usia tua, dosis dimulai dengan yang rendah dan

ditingkatkan secara bertahap. Pasa pasien usia muda, dapat

langsung dimulai dengan dosis besar. Aksi hormon tiroid sangat

lambat pada tubuh, sehingga pengobatan memerlukan waktu

beberapa bulan sambil melihat perkembangan gejala atau ukuran

goiter. Karena secara umum gejala hipotiroid pada penyakit ini

bersifat menetap, maka kadang dibutuhkan pengobatan seumur

hidup dengan dosis yang disesuaikan dari waktu ke waktu sesuai

keadaan individual pasien.

Dosis yang tidak adekuat dapat mengakibatkan bertambah

besarnya goiter, dan gejala hipotiroid terus-menerus. Kondisi ini

dihubungkan pula dengan peningkatan kolesterol serum,

peningkatan resiko atherosklerosis dan penyakit jantung.

Sedangkan apabila dosis berlebihan, dapat menimbulkan gejala

hipertiroid, mengakibatkan kerja jantung yang berlebihan dan

meningkatkan resiko osteoporosis.

Bila terjadi hipertiroidisme dapat diberikan obat antitiroid.

Pemberian glukokortikoid dapat menyebabkan regresi struma dan

mengurangi titer antibodi. Tetapi mengingat efek samping dan

kenyataan bahwa aktivitas penyakit dapat kambuh kembali

sesudah pengobatan dihentikan, maka pemakaian obat golongan

ini tidak dianjurkan pada keadaan biasa.

2.3. DEFISIENSI IMUN

2.3.1.AIDS/HIV

A. Definisi

AIDS ( Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah

kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan menurunnya

kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV(Human

Immunodeficiency Virus). AIDS adalah tahap akhir dari infeksi

HIV.

B. Epidemiologi

Penularan melalui cairan tubuh yang mengandung infeksi virus

HIV yaitu melalui hubungan seksual, jarum suntik, transfusi

komponen darah, dan dari ibu yang terinfeksi HIV

C. Patogenesis

Limfosit CD 4+ adalah target utama dari infeksi HIV karena

virus mempunyai afinitas terhadap molekul CD 4+.

SIV (Simian Immunodeficiency Virus) mampu untuk

menginfeksi limfosit CD 4+ dan mukosa vagina.

Virus dibawa oleh APC ke KGB regional

Sel individual di KGB dapat

mengekspresikan virus

Respon imun spesifik (CD8+) membuat jumlah sel individual turun.

Antibody umumnya dideteksi pada fase steady state. Virus

dapat menghindari netralisasi dari antibodi dengan melakukan

adaptasi yaitu mengubah situs glikosiliasinya sehingga netralisasi

tidak terjadi.

D. Patofisiologi

Orang yang terinfeksi HIV akan selamanya terinfeksi karena

virus akan menembus membran dan bergabung dengan DNA

pasien.

Virus dapat dideteksi dalam 5 hari

Viremia dideteksi dalam 7-14 hari

Fase steady state selama beberapa bulan sampai tahun

Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian masuk tahap

AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi pasien

AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua

yang menunjukkan gejala AIDS dan kemudian meninggal.

Perjalan penyakit kronis dan menunjukkan perusakan sistem

kekebalan tubuh yang bertahap.

Tanpa pengobatan ARV, sistem kekebalan tubuh akan semakin

buruk

Gejala klinis makin berat masuk tahap AIDS

E. Gejala

- Infeksi akut 3-6 minggu setelah infeksi yaitu demam, nyeri

menelan, pembengkakan KGB, ruam, diare, batuk

- Infeksi asimptomatik 8-10 tahun yaitu tanpa gejala.

Pada waktu ini replikasi virus sangat tinggi dimana 10 partikel

setiap hari disertai dengan mutasi HIV, hancurnya limfosit CD

4+. Tetapi untungnya tubuh masih mengkompensasi dengan

pembentukan limfosit CD 109 setiap hari.

- Kekebalan tubuh yang turun BB turun, demam lama, rasa

lemah, pembesaran KGB, diare, tuberkulosis, infeksi jamur,

herpes.

- Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika.

>80 % juga menderita hepatitis C. Selain itu juga terinfeksi

tuberkulosis, pneumonia, penyakit katup jantung. Infeksi-

infeksi ini membuat virus HIV membelah lebih cepat sehingga

jumlahnya meningkat serta menyebabkan reaktivasi virus di

dalam limfosit T sehingga penyakit lebih progresif.

F. Diagnosis

Manifestasi awal kerusakan mikroarsitektur folikel KGB dan infeksi yang luas di jaringan limfoid

- Konseling pra test pasien mendapat informasi yang sangat

jelas tentang HIVagar dapat mengambil keputusan yang

terbaik untuk dirinya dan siap menerima hasil tes.

- Pemeriksaan yang lebih mudah dilaksanakan adalah

pemeriksaan terhadap antibodi HIV. Sebagai penyaring biasa

digunakan adalah ELISA. Hal yang perlu diperhatikan adalah

masa jendela. Masa jendela adalah waktu sel tubuh terinfeksi

HIV sampai timbulnya antibodi . Antibodi mulai terbentuk 4-8

minggu setelah infeksi.

- Jika pemeriksaan penyaring + pemeriksaan konfirmasi

menggunakan Western blot.

- Konseling pasca tes memberitahu hasil tes. Jika (+)

informasi mengenai pengobatan dan jika (-) informasi

bagaimana mempertahankan perilaku yang tidak beresiko.

WHO 3 stategi yang dapat dipakai dalam pemeriksaan HIV.

- Strategi I 1x pemeriksaan. Bila hasil reaktif dianggap

terinfeksi HIV. Reagensia yang dipakai harus memiliki

sensitivitas yang tinggi.

- Strategi II 2x pemeriksaan.

Pemeriksaan I

Non reaktif (-) (+) reaktif

Diulang lagi

(-) non reaktif (+) reaktif

↓ ↓

Diulang lagi dengan 2 metode terinfeksi HIV

Hasil tidak sama

Indeterminate

Pemeriksaan I reagen lebih sensitif dan pemeriksaan II

reagen lebih spesifik dimana berbeda antigen dan

tekniknya.

- Stategi III 3x pemeriksaan.

a. Pemeriksaan I, II, III reaktif terinfeksi HIV.

I,II reaktif dan III non reaktif

Atau

I reaktif , II, dan III non reaktif

Equivocal / indeterminate Orang ini non reaktif orang ini

memiliki riwayat paparan terhadap HIV tidak memiliki riwayat

dan punya resiko tinggi tertular HIV. Paparan dan tidak punya

resiko tinggi tertular HIV

Pemeriksaan III berbeda spesifitasnya dimana berbeda asal

antigen dan tekniknya.

G. Penatalaksanaan

1) ARV (anti retroviral) menekan replikasi virus HIV.

Golongan obat ARV : nucleoside reverse trancriptase

inhibitor, nucleotide reverse trancriptase inhibitor, non

nucleoside reverse trancriptase inhibitor, dan inhibitor

protease.

- Diberikan jangka panjang

- Indikasi : pasien yang telah menunjukkan gejala, pasien

yang telah menunjukkan gejala berat, asimptomatik dengan

limfosit cd4+ < 200 sel / mm3, asimptomatik dengan limfosit

cd4+ > 350 sel / mm3 dan viral load > 100.000 kopi/ml.

- Yang dianjurkan WHO adalah kombinasi 3 obat yaitu

zidovudin(ZDV), lamivudin (3TC), nevirapin(NVP).

- Pengobatan profilaksis pada orang yang terpapar cairan

tubuh.

- Pencegahan penularan dari ibu ke bayi.

- Interaksi OAT dan ARV perlu diperhatikan terutama pada

golongan non nukleosida dan inhibitor protease. Obat ARV

yang dianjurkan adalah evafirenz. Rifampizin menurunkan

kadar nelfinavir sampai 82% dan nevirapin sampai 37 %.

Namun jika evafirenz tidak memungkinkan, maka

rifampizin diberikan bersama nevirapin. Tapi dosis

nevirapin tidak pelu dinaikkan.

2) Pengobatan untuk mengobati infeksi dan kanker yang

menyertai HIV

3) Pengobatan suportif makanan yang mempunyai nilai gizi

yang baik, dukungan psikososial, dukungan agama, menjaga

kebersihan.

H. Pencegahan

- Pendidikan kesehatan reproduksi remaja dan dewasa muda.

- Program penyuluhan sebaya (peer group education) untuk

berbagai kelompok sasaran.

- Program kerjasama dengan media cetak dan elektronik.

- Paket pencegahan komprehensif untuk pengguna narkotika;

termasuk program pengadaan jarum suntik steril

- Program pendidikan agama

- Program pelayanan pengobatan infeksi menular seksual

- Program promosi kondom di lokalisasi pelacuran dan panti

pijat

- Pelatihan ketrampilan hidup

- Program pengadaan tempat-tempat untuk tes HIV dan

konseling

- Dukungan untuk anak jalanan dan pengentasan porstitusi anak

- Integrasi program pencegahan dengan program pengobatan,

perawatan dan dukungan untuk ODHA

- Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dengan

pemberian obat ARV