resume skenario 5 blok 16
TRANSCRIPT
RESUME SKENARIO 5 BLOK 16
PENYAKIT AUTOIMUN
ONKOLOGI & KEGANASAN
Oleh :
KELOMPOK G
Sheila Nurkhalesa 102010101005
Ahmad Barrun Nidhom 102010101045
Novita Fauziyah Rahmawati 102010101056
Adi Darma Effendi 102010101058
Dita Suci Permata Sari 102010101063
Fenny Megawati 102010101065
Carissa Ruly Komalasari 102010101068
Kevin Anggana Monda 102010101070
Risqi Mahardhika R. 102010101079
Pungky Setya Arini 102010101082
Nabilla 102010101088
Dhevy Wulandari 102010101092
Benny Wicaksono 102010101094
Tita Swastiana Adi 102010101098
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2013
SKENARIO
SKENARIO 5 :
PENYAKIT AUTOIMUN
Seorang perempuan usia 30 tahun datang ke tempat praktek dokter
keluarga. Dia mengeluhkan nyeri pada persendian. Selain itu juga terdapat bintik-
bintik merah di kedua kulit lengan tangannya. Keluhan ini dirasakan kurang lebih
sejak dua bulan yang lalu. Bintik merah itu awalnya terasa gatal, tapi lama-
kelamaan berubah nyei. Selama 1,5 bulan terakhir dia juga merasakan badannya
sumer-sumer dan sangat sering mengalami diare.
Dokter tersebut kemudian mengirim pasien ke laboratorium klinik
untuk dilakukan beberapa pemeriksaan. Hasil pemeriksaan laboratorium darah
didapatkan Hb : 7 mg/dl, Leukosit : 4.000/μl, Trombosit : 120.000/μl. Pada
pemeriksaan urin didapatkan proteinuria : +3
TUJUAN BELAJAR
SISTEM IMUN
DASAR IMUNOLOGI
IMUN SPESIFIK DAN NON SPESIFIK
ANTIGEN DAN ANTIBODI
REAKSI HIPERSENSITIVITAS
PATOLOGI AUTOIMUN
SISTEMIK
SLE
ARTHRITIS RHEUMATOID
DEMAM RHEUMA
LOKAL
ITP
AIHA
HASHIMOTO'S DISEASE
DEFISIENSI IMUN
AIDS/HIV
PEMBAHASAN
1. DASAR IMUNOLOGI
1.1. IMUN NON SPESIFIK DAN NON SPESIFIK
1.1.1. IMUN NON SPESIFIK
Sistem imun non spesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan
dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, karena
sistem imun spesifik memerlukan waktu sebelum memberikan
responnya. Sistem tersebut disebut nonspesifik, karena tidak
ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu. Sistem imun non
spesifik dapat dibagi menjadi:
a. Pertahanan Fisik
Kulit, selaput lendir, silia saluran napas, batuk dan bersin dapat
mencegah berbagai kuman patogen masuk ke dalam tubuh.
b. Pertahan larut
Pertahanan biokimia. Bahan yang disekresi mukosa saluran
napas, kelenjar sebaseus kulit, kelenjar kulit, telinga, spermin
dalam semen merupakan bahan yang berperan dalam pertahanan
tubuh.
- Asam hidroklorik dalam cairan lambung
- Lisosim dalam keringat, ludah, air mata, dan air susu. Lisosim
yang dilepas makrofag dapat menghancurkan kuman negatif-
Gram dengan bantuan komplemen.
- Laktoferin dan asam neuraminik (memiliki sifat antibakteri
terhadap E. coli dan stafilokok) dalam ASI. Laktoferin dan
transferin dalam serum dapat mengikat zat besi yang
dibutuhkan kuman pseudomonas untuk hidup.
c. Pertahanan humoral
Komplemen mengaktifkan fagosit dan membantu destruksi
bakteri dan parasit dengan jalan opsonisasi.
- Komplemen dapat menghancurkan sel membran banyak
bakteri
- Komplemen dapat berfungsi sebagai faktor kemotaktik yang
mengerahkan makrofag ke tempat bakteri
- Komplemen dapat diikat pada pemukaan bakteri yang
memudahkan makrofag untuk mengenal (opsonisasi) dan
memakannya (C3b,C4b)
Interferon adalah glikoprotein yang dihasilkan berbagai sel
manusia yang mengandung nukleus dan dilepas sebagai respon
terhadap infeksi virus. Interferon memiliki sifat antivirus dengan
jalan menginduksi sel-sel sekitar sel yang diserang virus. Selain
itu, interferon juga dapat mengaktifkan sel NK untuk membunuh
virus dan sel neoplasma.
Sel NK membunuh sel terinfeksi virus intraselular, sehingga
dapat menyingkirkan reservoir infeksi.
Sel NK memberikan respons terhadap IL-12 yang diproduksi
makrofag dan melepas IFN yang mengaktifkan makrofag untuk
membunuh mikroba yang telah dimakan.
d. Pertahanan selular
Fagosit. Meskipun berbagai sel dalam tubuh dapat melakukan
fagositosis, sel utama yang berparan pada pertahanan nonspesifik
adalah sel mononuklear (monosit dan makrofag) serta sel
polimorfonuklear seperti neutrofil. Kedua golongan sel tersebut
berasal dari sel hemopoietik yang sama. Fagositosis dini yang
efektif pada invasi kuman, akan mencegah timbulnya penyakit.
Proses fagositosis terjadi dalam beberapa tingkat yaitu
kemotaksis, menangkap, membunuh, dan mencerna.
Sel NK adalah sel limfosit tanpa ciri-ciri sel limfoid sistem
imun spesifik yang ditemukan dalam sirkulasi. Oleh karena itu
disebut juga sel non B non T atau sel populasi ketiga atau null
cell. Morfologis sel NK merupakan limfosit dengan granul besar,
oleh karena itu disebut juga Large Granular Lymphocyte/LGL.
Sel Nk dapat menghancurkan sel yang megandung virus atau
neoplasma.
Sel mast berperan dalam reaksi alergi dan juga dalam
pertahanan pejamu yang jumlahnya menurun pada sindrom
imunodefisiensi. Sel mast juga berperan pada imunitas terhadap
parasit dalam usus dan invasi bakteri. Berbagai faktor non imun
seperti latihan jasmani, tekanan, trauma, panas, dan dingin dapat
pula mengaktifkan dan menimbulkan granulasi sel mast.
1.1.2. IMUN SPESIFIK
Sistem imun spesifik memiliki kemampuan untuk mengenal
benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama
timbul akan segera dikenali, dan akan mensensitisasi sel imun. Bila
sel tersebut terpajan ulang dengan benda asing yang sama maka akan
dikenal dan dihancurkan lebih cepat.
a. Sistem Imun Spesifik Humoral
Yang berperan dalam system ini adalah sel B. bila sel B
dirangsang benda asing, sel tersebut akan berploriferasi dan
berdiferensiasi menjadi sel plasma yang dapat menghasilkan
antibody. Anribodi yang dilepas dapat ditemukan di dalam serum.
Fungsi utama antibody adalah mempertahankan tubuh terhadap
infeksi bakteri, virus, dan menetralisir toksin.
b. Sistem Imun Spesifik Seluler
Diperankan oleh sel T, fungsi secara umum
- Membantu sel B dalam memproduksi antibody
- Mengenal dan menghancurkan sel yang terkena virus
- Mengaktifkan makrofag dalam fagositosis
- Mengontrol ambang kualitas system imun.
Sel T dibentuk di dalam sumsum tulang, tetapi diferensiasi dan
proliferasinya di timus. Hanya 5-10 % saja yang meninggalkan
timus untuk dilepas ke sirkulasi dan kelenjar getah bening,
sisanya mati.
Jenis-jenis sel T :
- Sel T naïf (virgin)
Sel limfosit yang meninggalkan timus namun belum
berdiferensiasi, belum pernah terpajan dengan antigen, dan
menunjukkan molekul permukaan CD4RA.
Jika terpajan antigen akan berkembang menjadi sel Th0
yang selanjutnya berkembang menjadi sel efektor Th1 dan
Th2 .
Sel Th0 memprodiksi sitokin seperti IL-1, IFN dan IL-4.
- Sel T CD4+ (Th1 dan Th2)
Sel ini mengenal antigen yang dipresentasikan bersama
molekul MHC-II oleh APC dan berkembang menjadi subset
sel Th1 atau sel Tdht atau T2 yang tergantung dari sitokin
lingkungan.
IFN-γ dan IL-2 yang diproduksi APC merangsang
diferensiasi sel T CD4+ menjadi Th1/Tdht yang berperan
dalam reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Sel Tdht
berperan untuk mengerahkan makrofag dan sel-sel
inflamasi ke tempat terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe
lambat.
Atas pengaruh sitokin IL-4, IL-5, IL-10, IL-13 yang dilepas
sel mast yang terpajan antigen atau cacing, Th0 berkembang
menjadi sel Th2 yang merangsang sel b untuk
meningkatkan produksi antibody.
- Sel T CD8+
Mengenal adanya antigen yang dipresentasikan oleh
molekul MHC-I yang ditemukan pada semua sel tubuh yang
bernukleus.
Fungsi utamanya untuk meyingkirkan dan menghancurkan
sel terkena virus atau bakteri intraseluler.
Selain itu juga menghancurkan sel ganas dan sel
histokompatibel yang menimbulkan penolakan pada
transplantasi.
- Sel Ts (T supresor) atau Tr (T regulator)
Berperan untuk menekan aktivitas sel efektor T yang lain
dan sel B.
Menurut fungsinya dibagi menjadi sel Ts spesifik untuk
antigen tertentu dan Ts nonspesifik.
Kerja sel Tr diduga dapat mencegah respon sel Th1.
APC yang mempresentasikan antigen ke sel T naïf akan
melepas sitokin IL-12 yang merangsang diferensiasi sel T
naïf menjadi sel efektor Th1. Sel Th1 akan memproduksi
IL-γ yang mengaktifkan makrofag dalam fase efektor.
Sel Tr dapat mencegah aktivasi sel T melalui mekanisme
yang belum jelas.
Beberapa sel Tr melepas sitokin imunosupresif seperti IL-
10 yang mencegah fungsi APC dan aktivasi makrofag dan
TGF-b yang mencegah proliferasi sel T dan aktivasi
makrofag.
1.2. ANTIGEN DAN ANTIBODI
1.2.1.ANTIGEN
Antigen poten alamiah terbanyak adalah protein besar dengan
berat molekul lebih dari 40.000 dalton dan kompleks polisakarida
microbial. Glikolipid dan lipoprotein dapat juga bersifat imunogenik,
tetapi tidak demikan halnya dengan lipid yang dimurnikan. Asam
nukleat dapat bertindak sebagai imunogen dalam penyakit autoimun
tertentu, tetapi tidak dalam keadaan normal.
Pembagian Antigen:
a. Pembagian antigen menurut epitop:
- Unideterminan, univalen. Hanya satu jenis determinan/ epitop pada
satu molekul
- Unideterminan, multivalen. Hanya satu jenis determinan tetapi dua
atau lebih determinan tersebut ditemukan dalam satu molekul
- Multideterminan, univalen. Banyak epitop yang bermacam-macam
tetapi hanya satu dari setiap macamnya (kebanyakan protein)
- Multideterminan, multivalen. Banyak macam determinan dan
banyak dari setiap macam pada satu molekul (antigen dengan berat
molekul yang tinggi dan kompleks secara kimiawi)
b. Pembagian antigen menurut sifat kimiawi:
- Hidrat arang (polisakarida). Hidrat arang pada umumnya
imunogenik. Glikoprotein yang merupakan bagian permukaan
sel banyak mikroorganisme dapat menimbulkan respons imun
terutama mikroorganisme dapat menimbulkan respons imun
terutama pembentukan antibody. Contoh lain adalah respons
imun yang ditimbulkan golongan darah ABO, sifat antigen dan
spesifitas imunnya berasal dari polisakarida pada permukaan
sel darah merah
- Lipid. Lipid biasanya tidak imunogenik, tetapi menjadi
imunogenik bila diikat protein pembawa. Lipid dianggap
sebagai hapten, contohnya adalah sfingolipid
- Asam nukleat. Asam nukleat tidak imunogenik, tetapi dapat
menjadi imunogenik bila diikat protein molekul pembawa.
DNA dalam bentuk heliksnya biasanya tidak imunogenik.
Respons imun terhadap DNA terjadi pada pasien dengan
Lupus Eritematous Sistemik (LES)
- Protein. Kebanyakan protein adalah imunogenik dan pada
umumnya multideterminan dan univalent
c. Pembagian antigen menurut spesifitas:
- Heteroantigen, yang dimiliki oleh banyak spesies
- Xenoantigen, yang hanya dimiliki spesies tertentu
- Aloantigen (isoantigen), yang spesifik untuk individu dalam
satu spesies
- Antigen organ spesifik, yang hanya dimiliki organ tertentu
- Autoantigen, yang dimiliki alat tubuh sendiri
Antigen yang juga disebut imunogen adalah bahan yang dapat
merangsang respons imun atau bahan yang dapat bereaksi dengan
antibodi yang sudah ada tanpa memperhatikan kemampuannya untuk
merangsang produksi antibodi. Secara fungsional antigen dibagi
menjadi imunogen dan hapten. Bahan kimia ukuran kecil seperti
dinitrofenol dapat diikat antibodi, tetapi bahan tersebut sendiri tidak
dapat mengaktifkan sel B (tidak imunogenik). Untuk memacu
respons antibodi, bahan kecil tersebut perlu diikat oleh molekul
besar. Kompleks yang terdiri atas molekul kecil (disebut Hapten)
dan molekul besar (disebut carrier atau molekul pembawa) dapat
berperan sebagai imunogen.
Epitop atau determinan antigen adalah bagian dari antigen yang
dapat membuat kontak fisik dengan reseptor antibodi, meng-induksi
pembentukan antibodi; dapat diikat dengan spesifik oleh bagian dari
antibodi atau oleh reseptor antibodi. Makromolekul dapat memiliki
berbagai epitop yang masing-masing merangsang produksi antibodi
spesifik yang berbeda. Paratop ialah bagian dari antibodi yang
mengikat epitop. Respons imun dapat terjadi terhadap semua
golongan bahan kimia seperti hidrat arang, protein, dan asam nukleat
Lokasi epitop dan paratop (bagian dari antibodi) dalam interaksi
antara antigen dan TCR dan reseptor sel B. Epitop adalah bagian dari
antigen yang membuat kontak fisik dengan reseptor Ab = antibodi;
Ag = antigen.
Superantigen adalah molekul yang sangat poten terhadap mitogen
sel T. Mungkin lebih baik bila disebut supermitogen, oleh karena
dapat memacu mitosis sel CD4 tanpa bantuan APC. Superantigen
berikatan dengan berbagai region dari rantai β reseptor sel T. Ikatan
tersebut merupakan sinyal poten untuk mitosis, dapat mengaktifkan
sejumlah besar populasi sel T. Ikatan tersebut merupakan sinyal
poten untuk mitosis, dapat mengaktifkan sejumlah besar populasi sel
T. Sampai 20% dari semua sel T dalam darah dapat diaktifkan oleh
satu molekul superantigen.
1.2.2.ANTIBODI
Antibodi atau immunoglobulin (Ig) adalah golongan protein yang
dibentuk sel plasma (proliferasi sel B) setelah terjadi kontak dengan
antigen. Antibodi ditemukan dalam serum dan jaringan dan
mengikat antigen secara spesifik. Bila serum protein dipisahkan
secara elektroforetik, Ig ditemukan terbanyak dalam fraksi globulin
g meskipun ada beberapa yang ditemukan juga dalam fraksi globulin
a dan b.
Semua molekul Ig mempunyai 4 polipeptid dasar yang terdiri atas
2 rantai berat (heavy chain) dan 2 rantai ringan (light chain) yang
identik, dihubungkan satu dengan lainnya oleh ikatan disulfida. Unit
dasar antibodi yang terdiri atas 2 rantai berat dan 2 rantai ringan
yang identik, diikat menjadi satu oleh ikatan disulfida yang dapat
dipisahakan dalam berbagai fragmen.
A = rantai berat (berat molekul: 50.000-77.000)
B= rantai ringan (berat molekul: 25.000)
C = ikatan disulfide
Ada 2 jenis rantai ringan (kappa dan lambda) yang terdiri atas 230
asam amino serta 5 jenis rantai berat yang tergantung pada kelima
jenis immunoglobulin, yaitu Ig M, Ig G, Ig E, Ig A dan Ig D.
a. Ig G
Ig G merupakan komponen utama (terbanyak)
immunoglobulin serum, dengan berat molekul 160.000. Kadarnya
dalam serum yang sekitar 13 mg/ml merupakan 75% dari semua
Ig. Ig G ditemukan juga dalam berbagai cairan lain antaranya
cairan saraf sentral (CSF) dan juga urin. Ig G dapat menembus
plasenta dan masuk ke janin dan berperan pada imunitas bayi
sampai umur 6-9 bulan. Ig G dapat mengaktifkan komplemen,
meningkatkan pertahanan badan melalui opsonisasi dan reaksi
inflamasi. Ig G terdiri atas 4 subkelas yaitu Ig 1, Ig 2, Ig 3, Ig 4.
Ig 4 dapat diikat oleh sel mast dan basofil.
b. Ig A
Ig A ditemukan dalam jumlah sedikit dalam serum, tetapi
kadarnya dalam cairan sekresi saluran napas, saluran cerna,
saluran kemih, air mata, keringat, ludah dan kolostrum lebih
tinggi sebagai Ig A sekretori (sIg A). Baik Ig A dalam serum
maupun dalam sekresi dapat menetralisir toksin atau virus dan
atau mencegah kontak antara toksin/ virus dengan alat sasaran.
sIgA diproduksi lebih dahulu daripada Ig A dalam serum dan
tidak menembus plasenta. sIgA melindung tubuh dari patogen
oleh karena dapat bereaksi dengan molekul adhesi dari patogen
potensial sehingga mencegah adherens dan kolonisasi patogen
tersebur dalam sel penjamu.
Ig A juga bekerja sebagai opsonin, oleh karena netrofil,
minosit dan makrofag memiliko reseptor untuk Fca (Fca-R)
sehingga dapat meningkatkan efek bakteriolitik komplemen dan
menetralisir toksin. Ig A juga diduga berperan pada imunitas
cacing pita.
c. Ig M
Ig M (M berasal dari makroglobulin) mempunyai rumus
bangun pentamer dan merupakan Ig terbesar. Kebanyakan sel B
mengandung Ig M pada permukaan sebagai reseptor antigen. Ig
M dibentuk paling dahulu pada respons imun primer tetapi tidak
berlangsung lama, karena itu kadar Ig M yang tinggi merupakan
tanda adanya infeksi dini.
Bayi yang baru lahir hanya mempunyai Ig M 10% dari kadar
Ig M dewasa oleh karena Ig M tidak menembus plasenta. Fetus
umur 12 minggu sudah dapat membentuk Ig M bila sel B nya
dirangsang oleh infeksi intrauterin seperti sifilis congenital,
rubella,toksoplasmosis, dan virus sitomegalo. Kadar Ig M anak
mencapai kadar Ig M dewasa pada usia satu tahun. Ig M juga
merupakan antibodi yang dapat mengikat komplemen dengan
kuat dan tidak menembus plasenta.
d. Ig D
Ig D ditemukan dengan kadar yang sangat rendah dalam darah
(1% dari total immunoglobulin dalam serum). Ig D tidak
mengikat komplemen, mempunyai aktivitas antibodi terhadap
antigen berbagai makanan dan autoantigen seperti komponen
nukleus. Selanjutnya Ig D ditemukan bersama Ig M pada
permukaan sel B sebagai reseptor antigen pada aktivitasi sel B.
e. Ig E
Ig E ditemukan dalam serum dalam jumlah yang sangat
sedikit. Ig E mudah diikat mastosit, basofil, eosinofil, makrofag,
dan trombosit yang pada permukaannya memiliki respetor untuk
fraksi Fc dari Ig E . Ig E dibentuk juga setempat oleh sel plasma
dalam selaput lender saluran napas dan cerna. Kadar Ig E serum
yang tinggi ditemukan pada alergi, infeksi cacing, skistosomiasis,
penyakit hidatid, trikinosis,. Kecuali pada alergi, Ig E diduga juga
berperan pada imunitas parasit. Ig E pada alergi dikenal sebagai
antibodi regain.
1.3. REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Hipersensitivitas adalah respon imun yang berlebihan dan yang tidak
diinginkan karena dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. 4 tipe
reaksi menurut kecepatannya dan mekanisme imun yang terjadi :
a. Reaksi Tipe I atau Reaksi Cepat
disebut juga reaksi anafilaksis atau reaksi alergi dikenal sebagai
reaksi yang segera timbul sesudah alergen masuk ke dalam tubuh.
Antigen yang masuk ke dalam tubuh akan ditangkap oleh fagosit,
diprosesnya lalu dipresentasikan ke sel Th2. Sel yang akhir melepas
sitokin yang merangsang sel B untuk membentuk IgE seperti sel mast,
basofil dan eusinofil. Bila tubuh terpajan ulang oleh alergen yang sama,
alergen yang masuk tubuh akan didikat oleh IgE (spesifik) pada
permukaan sel mast yang menimbulkan degranulasi sel mast.
Degranulasi tersebut mengeluarkan berbagai mediator antara lain
histamin yang di dapat dalam granul-granul sel dan menimbulkan gejala
pada reaksi hipersensitivitas tipe I.
Penyakit-penyakit yang tibul segera setelah tubuh terpajan dengan
alergen adalah asma bronkial, renitis, urtikaria dan dermatitis atopik.
Disamping histamin mediator lain seperti prostaglandindan leukotrin
yang dihasilkan metabolisme asam arakidonat, berperan pada fase
lambat dari reaksi tipe I yang sering timbul beberapa jam setelah kontak
dengan alergen.
b. Reaksi Tipe II atau Reaksi Sitotoksik
Terjadi oleh karena dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM terhadap
antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Ikatan antibodi dan antigen
yang merupakan bagian dari sel pejamu tersebut akan mengaktifkan
komplemen dan menimbulkan lisis. Lisis sel dapat pula terjadi melalui
sensitasi sel NK sebagai efektor Antibody Dependent Cell Cytotoxicity.
Contoh reaksi tipe II adalah destruksi sel darah merah akibat reaksi
transfusi dan penyakit anemia hemolitik pada bayi yang baru dilahirkan
dan dewasa. Sebagian kerusakan jaringan pada penyakit autoimun
seperti miastenia gravis dan tirotoksikosis juga ditiimbulkan melalui
mekanisme reaksi tipe II.
c. Reaksi Tipe III atau Reaksi Kompleks Imun
Terjadi akibat endapan kompleks antigen-antibodi dalam jaringan
dan pembuluh darah. antibodi di sini biasanya jenis IgG atau IgM.
Kompleks tersebut mengaktifkan komplemen yang kemudian melepas
berbagai mediator seperti terutama macrophage chemotactic factor.
Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut akan merusak jaringan
sekitar tempat tersebut. antigen dapat berasal dari infeksi kuman
patogen yang persisten (malaria), bahan yang terhirup (spora jamur
yang menimbulkan alveolitis ekstrinsik alergi) atau dari jaringan sendiri
(penyakit autoimun). Infeksi tersebut disertai dengan antigen dalam
jumlah yang berlebihan namun tidak disertai dengan respon antibodi
efektif.
Antigen (Ag) dan antibodi (Ab) bersatu membentuk kompleks imun.
Selanjutnya kompleks imun mengaktifkan C yang melepas C3a dan C5a
dan merangsang basofil dan trombosit melepas berbagai mediator
antara lain histamin yang meningkatkan permeabilitas vaskular.
d. Reaksi Tipe IV atau Reaksi Hipersensitivitas Lambat
Timbul lebih dari 24 jam setelah tubuh terpajan dengan antigen.
reaksi tipe IV dibagi dalam Delayed Type Hypersensitivity yang terjadi
melalui sel CD4+ dan T cell Mediated Cytolysis yang terjadi melalui sel
CD8+.
e. Delayed Type Hypersensitivity (DTH)
Pada DTH sel CD4+ Th1 yang mengaktifkan makrofag berperan
sebagai sel efektor. CD4+Th1 melepas sitokin (IFN-γ) yang
mengaktifkan makrofag dan menginduksi inflamasi. Pada DTH
kerusakan jaringan disebabkan oleh produk makrofag yang diaktifkan
oleh enzim hidrolitik, oksigen reaktif intermediate, oksida nitrat dan
sitokin proinflamasi. Sel efektor yang berperan pada DTH adalah
makrofag. Contoh-contoh reaksi DTH adalah sebagai berikut :
- Reaksi Tuberkulin
adalah reaksi dermal yang berbeda dengan reaksi dermatitis
kontak dan terjadi 20 jam setelah terpajan dengan antigen. Reaksi
terdiri atas infiltrasi mononuklear (50% limfosit dan sisanya
monosit). Setelah 48 jam timbul infiltrasi limfosit dalam jumlah
besar sekitar pembuluh darah yang merusak hubungan serat-serat
kolagen kulit. Bila reaksi menetap, reaksi tuberkulin dapat berlanjut
menimbulkan kavitas atau granuloma.
- Dermatitis Kontak
Reaksi DTH dapat terjadi sebagai respon terhadap bahan yang
tidak berbahaya dalam lingkungan seperti nikel yang menimbulkan
dermatitis kontak. Reaksi maksimal terjadi setelah 48 jam dan
merupakan reaksi epidermal. Sel Langerhans sebagai antigen
presenting cell (APC), sel Th1 dan makrofag memegang peranan
pada reaksi tersebut.
- Reaksi Granuloma
Pada keadaan yang paling menguntungkan DTH berakhir dengan
hancurnya mikroorganisme oleh enzim lisosom dan produk
makrofag lainnya seperti peroksid radikal, dan superoksid. Pada
beberapa keadaan terjadi hal sebaliknya, antigan bahkan terlindung,
misalnya telur scistosoma dan mikobakterium yang ditutupi kapsul
lipid. DTH kronis sering menimbulkan fibrosis sebagai hasil sekresi
sitokin dan growth factor oleh yang dapat menimbulkan granuloma.
2. PATOLOGI AUTOIMUN
2.1. SISTEMIK
2.1.1.SLE
A. Definisi
Penyakit autoimun sistemik autoimun sistemik kronis, ditandai
dengan pembentukan berbagai antibody yang membentuk
kompleks imun dan menimbulkan inflamasi pada berbagai organ.
B. Etiologi
Genetik, lingkungan, dan hormone dianggap sebagai etiologi
SLE, yang mana ketiga factor ini saling terkait erat. Faktor
lingkungan dan hormone berperan sebagai pencetus penyakit
pada individu peka genetic.
Faktor lingkungan yang dianggap sebagai pencetus antara lain,
infeksi, sinar ultraviolet, pemakaian obat-obatan, stress mental
maupun fisik.
C. Patogenesis
Kerusakan organ pada SLE didasari oleh reaksi imunologi.
Factor ini diawali dengan factor pencetus yang ada di lingkungan,
dapat berupa infeksi, sinar ultraviolet atau bahan kimia. Cetusan
ini menimbulkan abnormalitas respon imun di dalam tubuh, yaitu:
1) Sel T dan B menjadi otoreaktif
2) Pembentukan sitokin yang berlebihan
3) Hilangnya regulasi control pada system imun, antara lain:
a. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks
imun maupun sitokin di dalam tubuh
b. Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
c. Hilangnya toleransi imun : sel T mengenali molekul tubuh
sebagai antigen karena adanya mimikri molekul.
Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam
antibody di dalam tubuh yan gdisebut sebagai autoantibody.
Selanjutnya antibody-antibodi yang tersebut membentuk
kompleks imun. Kompleks imun tersebut terdeposisi pada
jaringan /organ yang akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau
kerusakan jaringan.
D. Gambaran Klinis
- Sistem Muskuloskeletal
Dapat berupa artralgia yang hampir dijumpai sekitar 70%
pasien, atau arthritis yang ditandai dengan sendi yang bengkak,
kemerahan yang kadang disertai efusi, sendi-sendi yang sering
terkena antara lain : sendi jari-jari tangan, pergelangan tangan,
siku, bahu, dan lutut. Artritis pada SLE kadan g menyerupai
arthritis rheumatoid, bedanya adalah arthritis pada SLE
sifatnya nonerosif.
- Sistem Mukokutaneus
1) Kutaneus lupus akut : Malar Rash (Butterfly rash)
merupakan tanda spesifik pada SLE.
2) Kutaneus Lupus subakut: simetrikal eritema sentrifugum,
anular eritema, psoriatic LE, pitiriasis, dan makulo papulo
fotosensitif.
3) Kutaneus Lupus kronis : lupus discoid yang berupa bercak
kemerahan dengan kerak keratotik pada permukaannya.
Bersifat kronil dan rekuren pada lesi yang kronik ditandai
dengan parut dan atropi pada daerah sentral dan
hiperpigmentasi pada tepinya
- Manifestasi Pada Paru
Dapat berupa pnemonitis, pleuritis, ataupun pulmonary
haemorrhage, emboli paru, hipertensi pulmonal. Pleuritis
ditandai dengan nyeri dada atau efusi pleura atau friction rub
pada pemeriksaan fisik.
- Manifestasi Pada Jantung
Dapat berupa perikarditis, efusi pericardium, miokarditis,
endokarditis, kelainan katup, penyakit koroner, hipertensi,
gagal jantung, dna kelaianan konduksi.
- Manifestasi Hematologi
Yang terbanyak adalah bentuk anemia karena penyakit
kronis, anemia hemolitik autoimun hanya didapatkan pada 10
% penderita. Selain anemia dapat dijumpai leucopenia,
limphopenia, nitropenia, dan trombopenia.
- Manifestasi Pada Ginjal
Dikenal dengan lupus nefritis. Gambaran klinisnya
bervariasi tergantung derajat kerusakan pada glomerulus dapat
berupa hematuro, proteinuria, selular cast.
- Manifestasi system Gastrointestinal
Dapat berupa hepatosplenomegali nonspesifik, hepatitis
lupoid, keradangan system saluran makan(lupus gut), kolotis.
- Manifestasi Klinis Pada Sistem Saraf Pusat
Bervariasi mulai dari depresi sampai psikosis, kejang,
stroke, dll.
E. Diagnosis
F. Tata Laksana
Saat ini mortalitas lupus pada decade 5 tahun terakhir
menunjukkan perbaikan. Five year survival ratenya saat ini
hamper 90 %, sedangkan 15 year survival ratenya berkisar 63-
79%. Kemajuan ini disebabkan karena pendekatan terapi yang
lebih agresif dan kemajuan pengunaan imunosupressan untuk
menekan aktivitas penyakit.
Prinsip pepengobatannya adalah unutk menekan aktivitas
penyakit, untuk mencegah progresivitas dan untuk memantau efek
samping obat.
Sampai sekarang steroid masih merupakan obat pilihan
pertama untuk mengendalikan aktivitas penyakit. Steroid adalah
hormone yang berfungsi sebagai antiinflamasi dan imuoregulator,
yang secara normal disekresi oleh kelenjar adrenal. Dosis yang
dianjurkan 1 mg/kgbb/hari diberikan selama 4 minggu yang
selanjutkan ditepring secara perlahan-lahan bila lupus mengenai
organ vital atau yang mengancam jiwa, maka diberikan steroid
megadosis yaitu pulse intravena Metylprednisolon (500-1000
mg/hari) selama 3 hari. Pemakaian jangka panjang steroid
menimbulkan beberapa efek samping, antara lain : cushing
syndrome,DM, dislipidemia, osteoporosis, osteoneokrosis atau
avaskuler nekrosis, hipertensi, arterosklerosis, meningkatnya
resiko infeksi, maka selam pemakainan steroid harus selalu
dipantau efek sampingnya. Glukokortkoid merupakan hormone
steroid yang sangat kuat dengan efek mineralokortikoid yang
ringan dibanding kortison.
Dosis glukokortikoid yang digunakan untuk terapi SLE:
a. pulse dengan dosis 15-30 mg/kgbb/hr atau 1 g/m2 luas tubuh
duberikan IV selama 1-3 hari. Indikasi manifestasi lupus
dengan organ yang mengancam jiwa : RPGN, myelopati,
kebingungan akut yang berat, perdarahan paru, vaskulitis,
optic pleuritis. Yang perlu diperhatikan adalah dosis yang
sangat besar akan menimbulkan overlod cairan hipertensi dan
neuropsikiatrik
b. dosis sangat tinggi (very high dose) yaitu > 1-2 mg/kgbb/hari
diberikan IV atau per oral digunakan untuk lupus dengan
manifestasi organ yang mnegancam jiwa. Hindari penggunaan
lebih daro 1-2 minggu. Efek sampingnya yaitu timbulnya
infeksi yang berat.
c. Dosis tinggi (high dose) ,125 – 0,5 mg/kgbb/hari diberikan
secara oral untuk neusitis, pleuritis yang berat, trombopeni.
d. Dosis ringan (low dose) < 0,125-<0,75 mg/kgbb/hari indikasi
arthritis yang tidak respon terhadap NSAID terapi maintenance
Sebagian besar lupus aktif akan merespon dalam waktu 1-2
minggu khususnya untuk lupus nefritis membutuhkan waktu 2-6
minggu. Bila dalam waktu 1-2 minggu tidak ada perubahan yan
gmencolok sebaiknya ditambahkan imunosupresif dan dosis
steroid segera diturunkan pelan-pelan 5 mg/minggu sampai
mencapai dosis 0,5 g/hari. Yang perlu diperhatikan bila dosis
diturunkan secara cepat atau diturunkan secara pelan akan
menimbulkan kekambuhan penyakit dan meningkatkan resiko
efek samping steroid. Bila terjadi kekambuhan selama
penurunana dosis maka sebaiknya dosis ditingkatkan seperti dosis
semula sehingga dapat mengontrol aktivitas penyakit.
2.1.2.ARTHRITIS RHEUMATOID
A. Definisi
Artritis reumatoid merupakan penyakit autoimun yang ditandai
denga terdapatnya sinovitis erosif simetris yang terutama
mengenai jaringan persendian, tapi seringkali juga melibatkan
organ tubuh lain. Penyakit ini merupakan penyakit kronik yang
gejalanya hilang timbul yang bila tidak diobati akan
menyebabkan terjadinya kerusakan persendian dan deformitas
sendi yang progressif yang menyebabkan disabilitas.
B. Etiologi
1) Hormon seks.
Pada wanita angka kejadiannya 3 kali lebih banyak daripada
laki-laki, terutama wanita dalam usia subur.
2) Faktor Infeksi
Dugaan infeksi menyebabkan artritis reumatoid karena
penyakit ini terjadi secara mendadak dan timbul dengan
disertai oleh gambaran inflamasi yang mencolok. Penyakit ini
diduga karena tercetusnya suatu proses autoimun oleh suatu
antigen tunggal. Agen infeksius yang diduga merupakan
penyebab AR adalah bakteri, mycoplasma, atau virus. Akhir-
akhir ini diduga virus Epstein Barr (EBV) menyebabkan
terjadinya perubahan respon imun.
C. Patogenesis
Patogenesisnya dimulai dengan terdapatnya suatu antigen yang
berada pada membran sinovial. Pada membran sinovial tersebut,
antigen tersebut akan di proses oleh antigen presenting cells
(APC), yang terdiri dari berbagai jenis sel seperti sel synoviocyte
A, sel dendritik atau makrofag dan semuanya mengekspresikan
determinan HLA-DR pada mebran selnya. Antigen yang telah
diproses oleh APC selanjutnya dilekatkan pada CD4+, suatu
subset sel T sehingga terjadi aktivasi sel tersebut. Untuk
memungkinkan terjadinya aktivasi CD4+, sel tersebut harus
mengenali antigen dan determinan HLA-DR yang terdapat pada
permukaan membran APC. Proses aktivasi CD4+ ini juga dibantu
oleh interleukin 1 yang disekresi oleh monosit dan makrofag. Dan
selanjutnya terjadi proses inflamasi hingga akhirnya terbentuk
kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas ke dalam ruang
sendi. Pengendapan kompleks imun pada membran sinovial akan
menyebabkan aktivasi sistem komplemen dan membebaskan
komplemen C5a, yang merupakan faktor kemotaktik yang selain
meningkatkan permeabilitas vaskular juga menarik lebih banyak
sel PMN yang memfagositir kompleks imun tersebut sehingga
mengakibatkan degranulasi mast cells dan pembebasan radikal
oksigen, leukotrine, enzim lisosomal, prostaglandin, dan
kolagenase yang semuanya bertanggung jawab atas terjadinya
kerusakan dan inflamasi jaringan seperti erosi rawan sendi dan
tulang.
Prostaglandin E2 memiliki efek vasodilator yang kuat dan
dapat merangsang terjadinya resorpsi tulang osteoklasik dengan
bantuan IL-1 dan TNF-β. Pengendapan kompleks imun juga
menyebabkan masuknya sel T ke dalam membran sinovial dan
akan merangsang terbentuknya pannus yang merupakan elemen
yang paling bersifat destruktif pada patogenesis AR. Pannus
merupakan jaringan granulasi yang terdiri dari makrofag yang
teraktivasi, sel fibroblast yang berploriferasi dan jaringan
mikrovaskular. Pannus dapat menginvasi jaringan kolagen dan
proteoglikan rawan sendiri serta tulang sehingga menghancurkan
struktur persendian. Jika proses pembentukan pannus tidak
berhenti proses tersebut akan mengakibatkan terjadinya ankilosis.
D. Gambaran Klinis
Berupa serangan poliartritis akut yang berkembang cepat
dalam beberapa hari, tapi umumnya perlahan dalam beberapa
minggu. Dapat bermanifestasi palindromic reumatism, yaitu
timbulnya gejala monoartritis yang hilang timbul berlangsung
antara 3-5 hari dengan diselingi masa remisi sempurna. Juga
dapat bermanifestasi sebagai pauciarticular rheumatism, yaitu
gejala poliartritis yang melibatkan 4 persendian atau kurang.
E. Diagnosis
Kriteria diagnosis Rheumatoid Arthritis menurut ACR :
no kriteria Definisi
1 Kaku pagi hari Kekakuan pagi hari pada
persendian dan sekitarnya
sekurangnya selama 1 jam
2 Artritis pada 3 daerah
persendian atau lebih
Pembengkakan jaringan lunak
atau persdendian pada sekurang
kurangnya 3 sendi secara
bersamaan
3 Artritis pada persendian
tangan
Sekurang kurangnya terjadi
pembengkakan 1 persendian
tangan seperti tertera diatas
4 Artritis simetris Keterlibatan sendi yang sama
5 Nodul reumatoid Nodul subkutan pada penonjolan
tulang atau permukaan ekstensor
6 Faktor reumatoid serrum + Terdapat titter abnormal faktor
reumatoid serrum yang diperiksa
7 Perubahan gambaran
radiologis
Pada sinar X khas pada tangan
posterior atau pergelangan
tangan yang harus menunjukkan
adanya erosi atau dekalsifikasi
tulang yang berlokasi pada sendi
atau daerah yang berdekatan
pada sendi
Pasien bisa didiahnosis menderita arthritis rheumatoid jika
memenuhi minimal 4 kriteria. Untuk butir 1-4 gejala minimal
timbul selama 6 minggu
F. Tata Laksana
Sebagai awal, pasien bisa diberi edukasi tentang penyakitnya
lalu untuk terapi farmakologis bisa diberi obat2an OAINS,
DMARDS, dan juga steroid
2.1.3.DEMAM RHEUMA
A. DEFINISI
Demam rheuma adalah penyakti sistemik yang berisfat subakut
atau khronik yang dalam perjalanan penyakit selanjutnya dapat
sembuh dengan sednririnya (self limited) atau menjurus pada
deformitas ktup jantung. Penyakit ini masih banyak dijumpai
Negara – negara yang sedang berkembang di mna insiden infeksi
Streptokokus β Hemolitikus masih tinggi.
Demam rheuma paling banyak mengenal golongan usia 5 – 15
tahun, dan jarang dijumpai pada usia kurang dari 4 tahun atau di
atas 50 tahun.
B. ETIOLOGI
Penyakit ini adalah akibat dari respon reaksi antigen –
antobodi yang terjadi dalam jangka waktu antara 1 – 4 minggu
setelah terjadinya infeksi dengan Streptokokus β Hemolitikus
grup A misalnya : tonsillitis nasofaringitis atau otitis media.
C. GAMBARAN KLINIS
Pada umumnya didapatkan keluhan panas badan (febris) atau
arthritis pada penderita yang 2 – 3 minggu sebelumnya terkena
infeksi Streptokokus β Hemolitikus
Febris, Biasanya tidak terlalu tinggi, hanya subferis dan
sifatnya intermittent, meskipun pada kasus – kasus yang berat di
mana dijumpai adanya perikarditis atau miokarditis febris dapat
mencapai 30°C. Lamanya dapat berminggu – minggu atau
berbulan – bulan disertai malaise, asthenia dan penurunan berat
badan. Keadaan ini kriteria minor karena masih banyak lagi
penyakit lainnya dapat memberi keluhan seperti tersebut diatas.
Nyeri Sendi, Nyeri dirasakan di dalam sendi dan jaringan
periartikuler serta sistemotot (Polyarthralgia) merupakan gejala
Demam Rheuma akan tetapi tidak spesifik.
Arthritis, Arthritis dan eusi yang bersifat migratori (berpindah,
pindah), polyartfitis, mengenai sendi – sendi besar, panas, merah,
bengkak, keras serta fungsi terganggu. Kadang – kadang disertai
pula dengan panas badan. Pada orang dewasa dapat hanya
mengenai sendi – sendi kecil saja dan selanjutnya sembuh
spontan dalam 1 – 5 minggu tanpa defortimitas. Arthritis
dimasukkan sebagai kriteria mayor hanya bila didapatkan efusi
dan tanda – tanda inflamsi. Keadaan tersebut memberikan respon
yang baik terhadap pemberian salisilat.
Karditis pada Demam Rheuma biasanya ringan. Keluhan yang
menonjol pada umumnya adalah nyeri di darah dada saat
bernafas, nyeri yang berhubungan dengan posisi tubuh atayu
nyeri daerah epigastrum. Apabila sampai terjadi gagal jantung,
baru akan timbul keluhan sesak nafas. Rasa berdebar – debar
adalah akibat dari peningkatan denyut nadi (takhikardia).
D. DIAGNOSIS
Untuk mendiagnosis Demam Rheuma dikenal adanya Kriteria
Mayor dan Kriteria Minor. Kriteria Mayor terdiri dari : Peri, Mio,
Endokarditis (Karditis), Sydenhams Chorea, Sub Cutaneus
Nodule, Erythema Marginatum dan Poly Arthritis, sedangkan
Kriteria Minor terdiri dari : Febris, malaise, nyeri perut,
lekositosis. Peningkatan laju endap darah (LED), peningkatan
titer anti streptosilin O (ASO).
Diagnosa ditegakkan bila didapatkan
1. Dua kriteria mayor
2. Satu kriteria mayor + dua kriteria minor + bukti adanya
infeksi Streptokokus β Hemolitikus grup A
E. TATA LAKSANA
Secara Umum, Penderita tirah baring sampai semua keluhan
dan gejala Demam Rheuma sudah hilang. Kriterianya adalah
sebagai berikut : panas badan sduah normal dengnpenderit
akeadaan tirah baring tanpa oabt, frekuensi denyut nadi saat
istirahat < 100 / menit pada dewasa, EKG kembali normal.
Menjaga keadaan gizi yang baik
Preparat Salisilat secara nyata dapat menurunkan panas badan,
menghilangkan nyeri sendi – sendi, serta dapat mengurangi
pembengkakan sendi. Akan tetapi belum ada nukti bahwa
Salisilat dapat mempengaruhi perjalanan penyakit. Terapi ini
dilanjutkan selama ada keluhan / gejala panas badan, nyeri dan
pembengkakan sendi. Bila terjadi kekambuhan dari keluhan /
gejala di atas pada saat Salisilat dihentikan, maka dianjurkan
untuk segera memulainya lagi.
Penisilin diberikan selama perjalanan penyakit untuk eradikasi,
Sreptokokus. Obat yang diberiakn obat adalah injeksi bentaxhine
penisilin G 1.2 juta unis sekali sehari. Pilihan obat per oral adalah
penisilin G 200.000 – 250.000 unit 4 kali sehari. Bagi penderita
yang alergi terhadap penisislin dapat diberi erithromisin 250 mg 4
kali sehari. Lama pengobatan 10 hari
Tidak didapatkan bukti bahwa pemberian Kortikosteroid dapat
mencegah atau meringankan kerusakanpada Jantung, meskipun
diberikan sejak awal dan dengan dosis yang tinggi. Kortikosteroid
lebih berguna dibandingkan Salisilat dalam hal menenangkan fase
eksudatif akut pada Demam Rheuma. Pemberian kortikosteroid
jangka pendekbiasanya menyebabkan perbaikan dengan cepat
manifetasi akut dari Demam Rheuma. Indikasinya adalah untuk
Demam Rheuma yang diserati panas tinggi, perikarditis,
miokraditis yang aktif, takhikardia, serat pembengkan dan nyeri
sendi. Panas badan, malaise, takhikardia dan polyarthritis akan
segera membaik. Perbahan pada EKG serta LED akan kembali
normal dalam beberapa minggu.
Jadwal yang dianjurkan adalah sebagai berikut : segera dimulai
begitu Diagnosa Demam Rheuma sudah ditegakkan. Prednison 5
– 10 mg setiap 6 jam selama 3 minggu. Selanjutnya dihentikan
secara bertahap selam 3 minggu, dengan cara mula – mula
mengurangi dosis untuk selanjutnya menghentikannya dimulai
dari sodis malam hari, siang hari dan selanjutnya pagi hari.
2.2. LOKAL
2.2.1. ITP
A. Definisi
'Idiopathic'berarti 'tidak diketahui penyebabnya'.'Thrombo-
cytopenic' berarti 'darah yang tidak cukup memiliki sel darah
merah (trombosit). 'Purpura' berartiseseorang memiliki luka
memar yang banyak (berlebihan). Anda mungkin juga mendengar
istilah ITP ini sebagai singkatan dari 'Immune Thrombocytopenic
Purpura'.
Dalam tubuh seseorang yang menderita ITP, sel-sel darahnya
kecuali sel darah merah berada dalam jumlah yang normal. Sel
darah merah (Platelets) adalah sel-sel sangat kecil yang menutupi
area tubuh paska luka atau akibat teriris/terpotong dan kemudian
membentuk bekuan darah. Seseorang dengan sel darah merah
yang terlalu sedikit dalam tubuhnya akan sangat mudah
mengalamiluka memar dan bahkan mengalami perdarahan dalam
periode cukup lama setelah mengalami trauma luka. Kadang
bintik-bintik kecil merah (disebut Petechiae) muncul pula pada
permukaan kulitnya. Jika jumlah sel darah merah ini sangat
rendah, penderita ITP bisa juga mengalami mimisan yang sukar
berhenti, atau mengalami perdarahan dalam organ ususnya.
B. Etiologi
Penyebab ITP ini tidak diketahui. Seseorang yang menderita
ITP, dalam tubuhnya membentuk antibodi yang mampu
menghancurkan sel-sel darah merahnya. Dalam kondisi normal,
antibodi adalah respons tubuh yang sehat terhadap bakteri atau
virus yang masuk ke dalam tubuh. Tetapi untuk penderita ITP,
antibodinya bahkan menyerang sel-sel darah merah tubuhnya
sendiri.
C. Klasifikasi
Ada 2 tipe ITP.
1) Tipe pertama umumnya menyerang kalangan anak-anak,
sedangkan tipe lainnya menyerang orang dewasa. Anak-anak
berusia 2 hingga 4 tahun yang umumnya menderita penyakit
ini.
ITP yang dialami anak-anak berbeda dengan yang dialami oleh
orang dewasa. Sebagian besar anak yang menderita ITP
memiliki jumlah sel darah merah yang sangat rendah dalam
tubuhnya, yang menyebabkan terjadinya perdarahan tiba-tiba.
Gejala-gejala yang umumnya muncul di antaranya luka memar
dan bintik-bintik kecil berwarna merah di permukaan kulitnya.
Selain itu juga mimisan dan gusi berdarah.
2) Sedangkan ITP untuk orang dewasa, sebagian besar dialami
oleh wanita muda, tapi dapat pula terjadi pada siapa saja. ITP
bukanlah penyakit keturunan.
Penyakit ITP untuk penderita orang dewasa dapat berlangsung
lebih lama dibandingkan yang dialami anak-anak. Pada saat
dilakukan diagnosa, sebagian besar penderita dewasa ITP
umumnya telah mengalami adanya perdarahan yang terus
meningkat dan mudah sekali mengalami luka memar dalam
kurun waktu beberapa minggu,atau bahkan bulan. Untuk
pasien wanita, meningkatnya aliran darah menstruasi juga
merupakan tanda-tanda utama.
Banyak orang dewasa yang mengalami thrombocytopenia
(jumlah sel darah merah dalam darah relatif sedikit) yang tidak
terlalu parah. Pada kenyataannya,sebagian kecil orang bahkan
tidak mengalami gejala-gejala perdarahan. Kalangan ini
umumnya didiagnosa ITP saat melakukan tes pemeriksaan
darah untuk suatu keperluan, dan ternyata salah satu hasilnya
menunjukkan jumlah sel darah merah yang sedikit.
D. Diagnosis dan Tata Laksana
Karena sebagian besar anak penderita ITP dapat pulih tanpa
penanganan medis, banyak dokter yang merekomendasikan untuk
melakukan observasi ketat dan sangat hati-hati terhadap penderita
serta penanganan terhadap gejala-gejala perdarahannya. Penderita
tidak perlu dirawat di Rumah Sakit jika penanganan dan
perawatan intensif dan baik ini tersedia di rumah. Akan tetapi,
beberapa dokter merekomendasikan penanganan medis singkat
dengan pengobatan oral (Prednisone) atau pemasangan infus
berisikan zat gamma globulin untuk meningkatkan jumlah sel
darah merah penderita dengan cepat. Kedua jenis obat ini
memiliki beberapa efek samping.
Penanganan medis terhadap penyakit ITP yang diderita orang
dewasa lebih ditujukan untuk meningkatkan jumlah sel darah
merahnya. Ini tidak sama dengan menyembuhkan penyakit ITP-
nya. Penderita ITP mungkin diharuskan untuk mengkonsumsi
obat Prednisone selama beberapa minggu, atau bahkan lebih
lama. Akan tetapi, saat pengobatan oral ini dihentikan, jumlah sel
darah merah dalam tubuh penderita mungkin saja akan rendah
kembali.
Jika pengobatan (Prednisone) tidak juga banyak membantu,
organ limpa penderita mungkin akan dikeluarkan melalui
tindakan operasi. Organ ini yang memproduksi sebagian besar
antibodi yang selama ini menghancurkan sel-sel darah merah
dalam tubuhnya sendiri. Organ ini juga berfungsi untuk
menghancurkan sel-sel darah yang tua atau rusak. Di lain pihak,
bagi orang dewasa yang sehat, tindakan operasi pengeluaran
organ limpa bukanlah kategori tindakan medis yang serius.
Diagnosis ITP selama kehamilan cukup sulit dilakukan, karena
jumlah sel-sel darah merah pada wanita hamil memang cukup
rendah. Sekitar 5% wanita hamil memiliki jumlah sel darah
merah yang normalnya juga cukup rendah di masa kehamilan
tuanya. Penyebabnya juga tidak diketahui. Tetapi kondisi ini akan
kembali normal sesaat setelah proses bersalin dilakukan.
Bayi yang lahir dari seorang ibu yang menderita ITP
kemungkinan juga memiliki jumlah sel darah merah yang rendah
dalam tubuhnya. Kodisi ini bisa berlangsung selama beberapa
hari hingga beberapa minggu setelah ia dilahirkan. Setelah lahir,
bayi umumnya tetap dirawat di rumah sakit untuk keperluan
observasi beberapa hari. Sampai diperoleh kepastian bahwa tidak
ada masalah, bayi boleh dibawa pulang ke rumah
2.2.2.AIHA
A. Definisi
Anemia hemolitik autoimun (autoimmune hemolytic
anemia=AIHA/AHA) merupakan suatu kelainan dimana terdapat
antibidy terhadap sel-sel eritrosit sehingga umur eritrosit
memendek.
B. Patofisiologi
Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini terjadi
melalui aktivasi sistem komplemen, aktivasi mekanisme seluler,
atau kombinasi keduanya.
Aktivasi sistem komplemen
Secara keseluruhan aktivesi sistem komplemen akan
menyebabkan hancurnya membran sel eritrosit dan terjadilah
hemolisis intravaskular yang ditandai dengan hemoglobin dan
hemoglobinuria.
Sistem komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik
ataupun jalur altenatif. Antibodi-antibodi yang memiliki
kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah IgM, IgG1, IgG2,
IgG3. IgM disebut sbagai aglutinin tipe dingin, sebab antibodi ini
berikatan dengan antigen polisakarida pada permukaan sel darah
merah pada suhu di bawah suhu tubuh. Antibodi IgG disebut
aglutinin hangat karena bereaksi dengan antigen permukaan sel
eritrosit pada suhu tubuh.
Aktivasi Komplemen Jalur Klasik
Reaksi diawali dengan aktivasi C1 suatu protein yang dikenal
sebagai recognition unit. C1 akan berikatan dengan kompleks
imun antigen antibodi dan menjadi aktif serta mampu
mengkatalisis reaksi-reaksi pada jalur klasik. Fragmen C1 akan
mengaktifkan C4 dan C2 menjadi suatu kompleks C4b,2b
(dikenal sebagai C3-convertase). C4b2b akan memecah C3
menjadi fragmen C3a dan C3b. C3b mengalami perubahan
konformasional sehingga mampu berikatan secara kovalen
dengan partikel yang mengaktifkan komplemen (sel darah merah
berlabel antibodi). C3 juga akan membelah menjadi C3d,g dan
C3c. C3d dan C3g akan tetap berikatan pada membran sel darah
merah dan merupakan produk final aktivasi C3. C3b akan
membentuk kompleks dengan C4b2b menjadi C4b2b3b (C5
convertase). C5 convertase akan memecah C5 menjadi C5a
(anafilatoksin) dan C5b yang berperan dalam kompleks
penghancur membran. Kompleks penghancur membran terdiri
dari molekul C5b, C6, C7, C8, dan beberapa molekul C9.
Kompleks ini akan menysisp ke dalam membran sel sebagai suatu
aluran transmembran sehingga permeabilitas membran normal
akan terganggu. Air dan ion akan masuk ke dalam sel sehingga
sel membengkak dan ruptur.
Aktivasi Komplemen Jalur Alternatif
Aktivator jalur alternatif akan mengaktifkan C3, dan C3b yang
terjadi akan berikatan dengan membran seldarah merah. Faktor B
kemudian melekat pada C3b, dan oleh D faktor C dipecah
menjadi Ba dan Bb. Bb merupakan suatu protease serin, dan tetap
melekat pada C3b. Ikatan c3bBb selanjutkan akan memecah
molekul C3 menjadi C3a dan C3b. C5 akan berikatan dengan C3b
dan oleh Bb dipecah menjadi C5a dan C5b. Selanjutnya C5b
berperan dalam penghancura membran.
Aktivasi selular yang menyebabkan hemolisis ekstravaskular
Jika sel darah disensitisasi dengan IgG yang tidak berikatan
dengan komplemen atau berikatan dengan komplemen namun
tidak terkadi aktivasi komplemen lebih lanjut, maka sel darah
merah tersebut akan dihancurkan oleh sel-sel retikuloendotelial.
Proses immune adherence ini sangat penting bagi kerusakan sel
eritrosit yang diperantarai sel. Immunoadherence, terutama yang
diperantarai IgG-FcR akan menyebabkan fagositosis.
C. Etiologi
Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas,
kemungkinan terjadi karena gangguan central tolerance, dan
gangguan pada proses pembatasan limfosit autoreaktif residual.
D. Klasifikasi
Anemia hemolitik imun dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
- AIHA tipe hangat
a. idiopatik
b. sekunder (karena cll, limfoma, SLE)
- AIHA tipe dingin
a. idiopatik
b. sekunder (infeksi mycoplasma, mononucleosis, virus,
keganasan limforetikuler)
E. Diagnosis
Pemerikasaan untuk mendeteksi autoantibodi pada eritrosit
Direct Antiglobulin Test (Direct Coomb’s Test)
Sel eritrosit pasien dicuci dari protein-protein yang melekat dan
direaksikan dengan antiserum atau anti bodi monoclonal terhadap
berbagai imunoglobulin dan fraksi komplemen, terutama IgG dan
C3d. Bila pada permukaan sel terdapat salah satu atau kedua IgG
dan Cd3 maka akan terjadi aglutinasi.
Indirect Antiglobulin Test (Indirect Coomb’s Test)
Untuk mendeteksi autoantibodi yang terdapat pada serum. Serum
pasien direaksikan dengan sel-sel reagen. Imunoglobulin yang
beredar pada serum akan melekat pada sel-sel reagen, dan dapat
dideteksi dengan antiglobulin serta dengan terjadinya aglutinasi.
2.2.3.HASHIMOTO DISEASE
A. Definisi
Tiroiditis Hashimoto adalah tiroiditis yang disebabkan oleh
proses autoimun dan berdasarkan waktu kejadian termasuk
tiroiditis kronik. Jika jaringan tiroid yang mengalami tiroiditis
diperiksa dibawah mikroskop maka akan tampak gambaran
peradangan berupa infiltrasi sel-sel limfosit
Tiroiditis autoimun yang terserang terutama wanita berusia
antara 30 – 50 tahun dan dicirikan dengan adanya kelenjar tiroid
yang keras, membesar difus, tak nyeri. Pasien biasanya eutiroid
atau hipotiroid dan jarang hipertiroid. Hipotiroid terjadi jika
hormon tiroid yang diproduksi tidak mencukupi kebutuhan tubuh.
Kelenjar tiroid juga bisa membesar membentuk goiter.
B. Etiologi
Penyakit tiroid autoimun (PTAI) adalah penyakit yang
kompleks, dengan faktor penyebab multifaktorial berupa interaksi
antara gen yang suseptibel dengan faktor pemicu lingkungan,
yang mengawali respon autoimun terhadap antigen tiroid.
Walaupun etiologi pasti respon imun tersebut masih belum
diketahui, berdasarkan data epidemiologik diketahui bahwa faktor
genetik sangat berperan dalam patogenesis PTAI. Selanjutnya
diketahui pula pada PTAI terjadi kerusakan seluler dan perubahan
fungsi tiroid melalui mekanisme imun humoral dan seluler yang
bekerja secara bersamaan. Kerusakan seluler terjadi karena
limfosit T tersensitisasi (sensitized T-lymphocyte) dan/atau
antibodi antitiroid berikatan dengan membran sel tiroid,
mengakibatkan lisis sel dan reaksi inflamasi. Sedangkan
gangguan fungsi terjadi karena interaksi antara antibodi antitiroid
yang bersifat stimulator atau blocking dengan reseptor di
membran sel tiroid yang bertindak sebagai autoantigen.
C. Gambaran Klinis
Penyakit Hashimoto tidak memiliki tanda-tanda dan gejala
selama bertahun-tahun dan tidak terdiagnosis sampai
ditemukannya pembesaran kelanjar tiriod atau hasil pemeriksaan
darah yang abnormal pada pemeriksaan kesehatan rutin. Gejala
yang berkembang berhubungan dengan efek tekanan lokal pada
leher yang disebabkan pembesaran kelenjar tiroid tersebut, atau
akibat penurunan kadar hormon tiroid dalam darah. Tanda
pertama penyakit ini mungkin berupa bengkak tidak nyeri pada
leher depan bagian bawah. Efek tekanan lokal akibat pembesaran
kelenjar tiroid dapat menambah gejala seperti kesulitan menelan.
Tanda-tanda dan gejala hipotiroidisme sangat bervariasi,
tergantung pada tingkat keparahan kekurangan hormon.
Gambaran klinis awalnya didahului dengan gejala-gejala
hipertiroid (kadar hormon tiroid meningkat) lalu normal
(eutoroid) dan akhirnya berubah menjadi hipotiroid (kadar
hormon menurun) berkepanjangan. Pada awalnya, mungkin
gejala jarang terlihat, seperti kelelahan dan kelesuan, atau tanda-
tanda menua. Tetapi semakin lama penyakit berlangsung, gejala
dan tanda makin jelas.
Pasien tiroiditis Hashimoto yang berkembang mengalami
hipotiroid biasanya menunjukkan tanda dan gejala meliputi
kelelahan dan kelesuan, sering mengantuk, jadi pelupa, kesulitan
belajar, kulit kering dan gatal, rambut dan kuku yang rapuh,
wajah bengkak, konstipasi, nyeri otot, penambahan berat badan,
peningkatan sensitivitas terhadap banyak pengobatan, menstruasi
yang banyak, peningkatan frekuensi keguguran pada wanita yang
hamil.
D. Diagnosis
Pada tiroiditis Hashimoto, pemeriksaan goiter yang terbentuk
dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan fisik, dan keadaan
hipotiroid diketahui dengan identifikasi gejala dan tanda fisik
yang khas, serta melalui hasil pemeriksaan laboratorium.
Peningkatan antibodi antitiroid merupakan bukti laboratorik
paling spesifik pada tiroiditis Hashimoto, namun tidak semuanya
dijumpai pada kasus. Pemeriksaan hormon tiroid biasanya
diperiksa kadar TSH dan FT4. Dikatakan hipotiroid apabila
peningkatan kadar TSH disertai penurunan FT4.
Diagnosis pasti hanya dapat ditegakkan secara histopatologis
melalui biopsi. Kelainan histopatologisnya dapat bermacam –
macam yaitu antara lain infiltrasi limfosit yang difus, obliterasi
folikel tiroid, dan fibrosis. Aspirasi jarum halus biasanya tidak
dibutuhkan pada penderita tiroiditis ini, namun dapat dijadikan
langkah terbaik untuk diagnosis pada kasus yang sulit dan
merupakan prosedur yang dibutuhkan jika nodul tiroid terbentuk.
E. Tata Laksana
Jika penyakit Hashimoto dengan goiter tiroid, atau
menyebabkan kekurangan hormon tiroid, penderita memerlukan
terapi penggantian hormon tiroid yang bertujuan mengatasi
defisiensi tiroid serta mengecilkan ukuran nodul goiter.
Pengobatan dengan penggunaan sehari-hari dari hormon tiroid
sintetis sepertii levotiroksin (levothroid, Levoxyl, Synthroid).
Levotiroksin sintetis identik dengan tiroksin, versi alami hormon
ini dibuat oleh kelenjar tiroid.
Kadang tidak diperlukan pengobatan karena strumanya kecil
dan asimtomatik. Bila kelenjar tiroid sangat besar mungkin
diperlukan tindakan pengangkatan, sebaiknya operasi ini ditunda
karena kelenjar tiroid tersebut dapat mengecil sejalan dengan
waktu. Pemberian tiroksin dapat mempercepat hal tersebut.
Disamping itu tiroksin juga dapat diberikan pada keadaan
hipotiroidisme.
Pada pasien usia tua, dosis dimulai dengan yang rendah dan
ditingkatkan secara bertahap. Pasa pasien usia muda, dapat
langsung dimulai dengan dosis besar. Aksi hormon tiroid sangat
lambat pada tubuh, sehingga pengobatan memerlukan waktu
beberapa bulan sambil melihat perkembangan gejala atau ukuran
goiter. Karena secara umum gejala hipotiroid pada penyakit ini
bersifat menetap, maka kadang dibutuhkan pengobatan seumur
hidup dengan dosis yang disesuaikan dari waktu ke waktu sesuai
keadaan individual pasien.
Dosis yang tidak adekuat dapat mengakibatkan bertambah
besarnya goiter, dan gejala hipotiroid terus-menerus. Kondisi ini
dihubungkan pula dengan peningkatan kolesterol serum,
peningkatan resiko atherosklerosis dan penyakit jantung.
Sedangkan apabila dosis berlebihan, dapat menimbulkan gejala
hipertiroid, mengakibatkan kerja jantung yang berlebihan dan
meningkatkan resiko osteoporosis.
Bila terjadi hipertiroidisme dapat diberikan obat antitiroid.
Pemberian glukokortikoid dapat menyebabkan regresi struma dan
mengurangi titer antibodi. Tetapi mengingat efek samping dan
kenyataan bahwa aktivitas penyakit dapat kambuh kembali
sesudah pengobatan dihentikan, maka pemakaian obat golongan
ini tidak dianjurkan pada keadaan biasa.
2.3. DEFISIENSI IMUN
2.3.1.AIDS/HIV
A. Definisi
AIDS ( Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah
kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan menurunnya
kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV(Human
Immunodeficiency Virus). AIDS adalah tahap akhir dari infeksi
HIV.
B. Epidemiologi
Penularan melalui cairan tubuh yang mengandung infeksi virus
HIV yaitu melalui hubungan seksual, jarum suntik, transfusi
komponen darah, dan dari ibu yang terinfeksi HIV
C. Patogenesis
Limfosit CD 4+ adalah target utama dari infeksi HIV karena
virus mempunyai afinitas terhadap molekul CD 4+.
SIV (Simian Immunodeficiency Virus) mampu untuk
menginfeksi limfosit CD 4+ dan mukosa vagina.
Virus dibawa oleh APC ke KGB regional
↓
Sel individual di KGB dapat
mengekspresikan virus
↓
Respon imun spesifik (CD8+) membuat jumlah sel individual turun.
Antibody umumnya dideteksi pada fase steady state. Virus
dapat menghindari netralisasi dari antibodi dengan melakukan
adaptasi yaitu mengubah situs glikosiliasinya sehingga netralisasi
tidak terjadi.
D. Patofisiologi
Orang yang terinfeksi HIV akan selamanya terinfeksi karena
virus akan menembus membran dan bergabung dengan DNA
pasien.
Virus dapat dideteksi dalam 5 hari
Viremia dideteksi dalam 7-14 hari
Fase steady state selama beberapa bulan sampai tahun
Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian masuk tahap
AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi pasien
AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua
yang menunjukkan gejala AIDS dan kemudian meninggal.
Perjalan penyakit kronis dan menunjukkan perusakan sistem
kekebalan tubuh yang bertahap.
Tanpa pengobatan ARV, sistem kekebalan tubuh akan semakin
buruk
↓
Gejala klinis makin berat masuk tahap AIDS
E. Gejala
- Infeksi akut 3-6 minggu setelah infeksi yaitu demam, nyeri
menelan, pembengkakan KGB, ruam, diare, batuk
- Infeksi asimptomatik 8-10 tahun yaitu tanpa gejala.
Pada waktu ini replikasi virus sangat tinggi dimana 10 partikel
setiap hari disertai dengan mutasi HIV, hancurnya limfosit CD
4+. Tetapi untungnya tubuh masih mengkompensasi dengan
pembentukan limfosit CD 109 setiap hari.
- Kekebalan tubuh yang turun BB turun, demam lama, rasa
lemah, pembesaran KGB, diare, tuberkulosis, infeksi jamur,
herpes.
- Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika.
>80 % juga menderita hepatitis C. Selain itu juga terinfeksi
tuberkulosis, pneumonia, penyakit katup jantung. Infeksi-
infeksi ini membuat virus HIV membelah lebih cepat sehingga
jumlahnya meningkat serta menyebabkan reaktivasi virus di
dalam limfosit T sehingga penyakit lebih progresif.
F. Diagnosis
Manifestasi awal kerusakan mikroarsitektur folikel KGB dan infeksi yang luas di jaringan limfoid
- Konseling pra test pasien mendapat informasi yang sangat
jelas tentang HIVagar dapat mengambil keputusan yang
terbaik untuk dirinya dan siap menerima hasil tes.
- Pemeriksaan yang lebih mudah dilaksanakan adalah
pemeriksaan terhadap antibodi HIV. Sebagai penyaring biasa
digunakan adalah ELISA. Hal yang perlu diperhatikan adalah
masa jendela. Masa jendela adalah waktu sel tubuh terinfeksi
HIV sampai timbulnya antibodi . Antibodi mulai terbentuk 4-8
minggu setelah infeksi.
- Jika pemeriksaan penyaring + pemeriksaan konfirmasi
menggunakan Western blot.
- Konseling pasca tes memberitahu hasil tes. Jika (+)
informasi mengenai pengobatan dan jika (-) informasi
bagaimana mempertahankan perilaku yang tidak beresiko.
WHO 3 stategi yang dapat dipakai dalam pemeriksaan HIV.
- Strategi I 1x pemeriksaan. Bila hasil reaktif dianggap
terinfeksi HIV. Reagensia yang dipakai harus memiliki
sensitivitas yang tinggi.
- Strategi II 2x pemeriksaan.
Pemeriksaan I
Non reaktif (-) (+) reaktif
↓
Diulang lagi
(-) non reaktif (+) reaktif
↓ ↓
Diulang lagi dengan 2 metode terinfeksi HIV
↓
Hasil tidak sama
↓
Indeterminate
Pemeriksaan I reagen lebih sensitif dan pemeriksaan II
reagen lebih spesifik dimana berbeda antigen dan
tekniknya.
- Stategi III 3x pemeriksaan.
a. Pemeriksaan I, II, III reaktif terinfeksi HIV.
I,II reaktif dan III non reaktif
Atau
I reaktif , II, dan III non reaktif
Equivocal / indeterminate Orang ini non reaktif orang ini
memiliki riwayat paparan terhadap HIV tidak memiliki riwayat
dan punya resiko tinggi tertular HIV. Paparan dan tidak punya
resiko tinggi tertular HIV
Pemeriksaan III berbeda spesifitasnya dimana berbeda asal
antigen dan tekniknya.
G. Penatalaksanaan
1) ARV (anti retroviral) menekan replikasi virus HIV.
Golongan obat ARV : nucleoside reverse trancriptase
inhibitor, nucleotide reverse trancriptase inhibitor, non
nucleoside reverse trancriptase inhibitor, dan inhibitor
protease.
- Diberikan jangka panjang
- Indikasi : pasien yang telah menunjukkan gejala, pasien
yang telah menunjukkan gejala berat, asimptomatik dengan
limfosit cd4+ < 200 sel / mm3, asimptomatik dengan limfosit
cd4+ > 350 sel / mm3 dan viral load > 100.000 kopi/ml.
- Yang dianjurkan WHO adalah kombinasi 3 obat yaitu
zidovudin(ZDV), lamivudin (3TC), nevirapin(NVP).
- Pengobatan profilaksis pada orang yang terpapar cairan
tubuh.
- Pencegahan penularan dari ibu ke bayi.
- Interaksi OAT dan ARV perlu diperhatikan terutama pada
golongan non nukleosida dan inhibitor protease. Obat ARV
yang dianjurkan adalah evafirenz. Rifampizin menurunkan
kadar nelfinavir sampai 82% dan nevirapin sampai 37 %.
Namun jika evafirenz tidak memungkinkan, maka
rifampizin diberikan bersama nevirapin. Tapi dosis
nevirapin tidak pelu dinaikkan.
2) Pengobatan untuk mengobati infeksi dan kanker yang
menyertai HIV
3) Pengobatan suportif makanan yang mempunyai nilai gizi
yang baik, dukungan psikososial, dukungan agama, menjaga
kebersihan.
H. Pencegahan
- Pendidikan kesehatan reproduksi remaja dan dewasa muda.
- Program penyuluhan sebaya (peer group education) untuk
berbagai kelompok sasaran.
- Program kerjasama dengan media cetak dan elektronik.
- Paket pencegahan komprehensif untuk pengguna narkotika;
termasuk program pengadaan jarum suntik steril
- Program pendidikan agama
- Program pelayanan pengobatan infeksi menular seksual
- Program promosi kondom di lokalisasi pelacuran dan panti
pijat
- Pelatihan ketrampilan hidup
- Program pengadaan tempat-tempat untuk tes HIV dan
konseling
- Dukungan untuk anak jalanan dan pengentasan porstitusi anak
- Integrasi program pencegahan dengan program pengobatan,
perawatan dan dukungan untuk ODHA
- Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dengan
pemberian obat ARV