remote sensing - pemanfaatan hotspot untuk monitoring rawan kebakaran

Upload: brian-bagus-arianto

Post on 13-Oct-2015

36 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • KARYA TULIS

    PENGGUNAAN DATA HOTSPOT UNTUK MONITORING KEBAKARAN HUTAN DAN

    LAHAN DI INDONESIA

    OLEH: ACHMAD SIDDIK THOHA

    NIP 132 259 563

    DEPARTEMEN KEHUTANAN

    FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

    2008

    Achmad Siddik Thoha : Penggunaan Data Hotspot Untuk Monitoring Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository 2008

    0

  • KATA PENGANTAR

    Segala Puji bagi Allah SWT, dengan pertolongan-Nya tulisan ini bisa

    diselesaikan. Tulisan dengan judul Penggunaan Data Hotspot untuk Monitoring Kebakaran Hutan dan Lahan Di Indonesia .ini merupakan karya tulis untuk dapat dipakai sebagai salah satu pustaka bagi yang memerlukannya.

    Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih yang sebesar-

    besarnya kepada Bapak. Dr. Bambang Hero Saharjo dan Ibu Dr. Ir. Lailan

    Syaufina, M.Sc yang telah membuka wawasan dan ketrampilan dalam memahami

    ilmu kebakaran hutan dan lingkungan. Tidak lupa, terimakasih juga kepada rekan-

    rekan yang tidak dapat disebutkan namanya dalam karya tulis ini.

    Penulis sangat mengharapkan adanya koreksi untuk penyempurnaan tulisan

    ini. Semoga tulisan Iini bermanfaat bagi yang membutuhkan.

    Medan, Januari 2008

    Penulis

    Achmad Siddik Thoha : Penggunaan Data Hotspot Untuk Monitoring Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository 2008

    1

  • DAFTAR ISI

    Halaman

    KATA PENGANTAR.............................................................................................. i

    DAFTAR ISI........................................................................................................... ii

    DAFTAR TABEL.................................................................................................... iii

    DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... iv

    PENDAHULUAN ................................................................................................... 1

    PENGERTIAN HOTSPOT..................................................................................... 2

    PEMANFAATAN DATA HOTSPOT....................................................................... 3

    Prediksi Hotspot dan Asap Kebakaran............................................................ 5

    Deteksi Kejadian Kebakaran (active fire) ........................................................ 7

    Monitoring Kebakaran Hutan........................................................................... 9

    Pemetaan Tingkat rawan Kebakaran .............................................................. 11

    PERMASALAHAN PEMANFAATAN DATA HOTSPOT........................................ 13

    Karaktristik Data .............................................................................................. 13

    Standar Pengamatan dan Pemrosesan Citra NOAA....................................... 14

    Sistem Distribusi Data ..................................................................................... 17

    Keberlanjutan Ketersediaan Data.................................................................... 17

    UPAYA PENINGKATAN KUALITAS DATA HOTSPOT ........................................ 19

    KESIMPULAN ...................................................................................................... 21

    DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 22

    Achmad Siddik Thoha : Penggunaan Data Hotspot Untuk Monitoring Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository 2008

    2

  • DAFTAR TABEL No. Teks Halaman 1. Sea Scan AVHRR Fire Detection Configuration File ................................. 14

    2. AVHRR Fire Detection Configuration File dari ASMC (Malam Hari) ......... 15 3. AVHRR Fire Detection Configuration File dari ASMC (Siang Hari) ........... 15 4. Jumlah dan Lokasi Hotspot Tanggal 17 s/d 21 Agustus 2003................... 15 5. Jumlah Hotspot di Kalimantan Tanggal 17 s/d 21 Agustus 2003

    ( T: CH 3 yang berbeda-beda, Ch 3 > Ch4 = 15.0o) .................................. 16

    Achmad Siddik Thoha : Penggunaan Data Hotspot Untuk Monitoring Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository 2008

    3

  • Achmad Siddik Thoha : Penggunaan Data Hotspot Untuk Monitoring Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository 2008

    4

  • DAFTAR GAMBAR No. Teks Halaman 1. Sistem Distribusi Informasi Data Hotspot FFPMP-PHKA-JICA ................. 5 2. Persentase Jumlah Hotspot Rata-rata di Riau dan Sumatera Selatan...... 7

    3. Sebaran Hotspot Hasil Pengolahan Citra Satelit NOAA............................ 8 4. Peta Intensitas Kerusakan Kebakaran Hutan Menggunakan Data Hotspot, Peta Tutupan Lahan dan Peta Areal Terbakar........................... 10 6. Peta Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan dan Hotspot Di Sumatera pada Tahun La Nina 1998. ........................................................................ 12

    Achmad Siddik Thoha : Penggunaan Data Hotspot Untuk Monitoring Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository 2008

    0

  • PENDAHULUAN

    Kegiatan deteksi dini dalam penanggulangan kebakaran hutan memegang

    peranan sangat penting. Deteksi dini adalah upaya untuk mendapatkan keterangan

    secara dini adanya kebakaran hutran melalui penerapan teknologi sederhana hingga

    teknologi canggih (Direktorat Penanggulangan Kebakaran Hutan, 2001). Deteksi

    dini mencakup deteksi darat yakni melalui patroli darat, pengamatan menara dan

    penjagaan pada tempat-tempat rawan kebakaran. Disamping itu deteksi juga

    dilakukan melalui udara dengan helikopter, pesawat terbang dan satelit.

    Deteksi dini dapat menentukan pengambalian keputusan untuk menentukan

    kesiapsiagaan penanggulangan kebakaran hutan. Deteksi yang akurat akan dapat

    membantu tahap pemadaman kebakaran dan tahap penanganan paska kebakaran

    yang tepat. Disamping itu, pada pelaksanaan di lapangan, keakuratan proses

    deteksi akan menentukan alokasi dana, kelancaran operasi pemadaman dan

    kebutuihan investigasi dalam kasus pelanggaran hukum lingkungan.

    Informasi dari satelit pendeteksi api biasanya masih berupa keterangan

    lokasi dan arah penyebaran asap. Karena resolusi gambar dari satelit (citra satelit)

    sangat kasar (1.1 km x 1.1 km pada NOAA) sangat dimungkinkan keterangan lokasi

    akan mengalami penyimpangan sehingga kurang akurat dalam identifikasi

    kebakaran hutan. Informasi titik panas (Hotspot) yang menjadi dasar dalam sistem

    peringatan kejadian kebakaran, bisa menyesatkan pengambil keputusan apabila

    kenyataan di lapangan tidak ditemui kejadian kebakaran.

    Pemahaman yang tepat mengenai karakteristik data hotspot sangat

    dibutuhkan oleh berbagai stakeholder. Kesalahan pemahaman akan bisa berakibat

    fatal dalam pengambilan keputusan, lebih-lebih pada pengambilan putusan hukum.

    Oleh karena itu, makalah ini akan mencoba memberikan gambaran beberapa hal

    berhubungan dengan data hotspot baik karakteristik, pemanfaatan, permasalahan

    data dan rekomendasi untuk menunjang peningkatan efektivitas data hotspot bagi

    penggunaan deteksi kebakaran di Indonesia.

    Achmad Siddik Thoha : Penggunaan Data Hotspot Untuk Monitoring Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository 2008

    1

  • PENGERTIAN HOTSPOT

    Kebakaran hutan dan lahan dapat dipantau dengan menggunakan data

    AVHRR-NOAA (Advanced Very High Resolution Radiometer- National Oceanic and

    Atmospheric Administration) yaitu melalui pengamatan hotspot. Hotspot merupakan

    titik-titik panas di permukaan bumi, dimana titik-titik tersebut merupakan indikasi

    adanya kebakaran hutan dan lahan (Arief, 1997 dalam Ratnasari, 2000). Menurut

    LAPAN (2004a) hotspot atau titik panas adalah parameter yang diturunkan dari data

    satelit dan dindikasikan sebagai lokasi kebakaran hutan dan lahan. Parameter ini

    sudah digunakan secara meluas baik di Indonesia maupun negara-negara lain untuk

    memantau kebakaran hutan dan lahan dari satelit.

    Hotspots mengindikasikan lokasi kebakaran vegetasi seperti terlihat pada

    monitor komputer atau peta yang dicetak, atau ketika dicocokkan dengan

    koordinatnya. Hal ini merupakan istilah yang sangat populer pada awal-awal

    pengenalan penggunaan citra NOAA untuk mendeteksi kebakaran vegetasi dan saat

    ini sangat dimengerti oleh semua pihak. Istilah yang lain lebih jelas untuk

    menggambarkan titik kebakaran adalah fire-spot dan berbagai kalangan

    mengusulkan bahwa sebenarnya banyak titik api tidak mengindikasikan kebakaran

    Bagi semua penggunaan praktis sebuah hotspot searti dengan fire-spot (Anderson,

    et. al., 1999a)

    Sensor AVHRR didisain untuk aplikasi ilmu meteorologi dan kelautan. Untuk

    dapat digunakan sebagai pendeteksi kebakaran, dilakukan modifikasi khusus pada

    alogaritma spektralnya. Saluran (channel) yang paling sesuai untuk pendeteksian

    kebakaran adalah dua saluran infra merah "thermal" yang pertama, yaitu saluran 3

    dan 4. Proses pendeteksian kebakaran berdasarkan pada pengukuran temperatur

    permukaan bumi yang diperoleh dari saluran 3. Sebuah piksel dideteksi sebagai

    piksel kebakaran atau hotspots ketika saluran 3 dipenuhi oleh temperatur spesifik

    vegetasi yang terbakar (Malingreau, 1990 dalam Redhahari, 2001).

    Lebih lanjut, Ratnasari (2000) menjelaskan bahwa data hotspot dari citra

    NOAA-AVHRR dapat dijadikan sebagai indikasi kebakaran hutan/lahan, baik

    kebakaran tajuk (Crown fire), kebakaran permukaan (Surface fire) maupun

    kebakaran bawah (Ground fire). Daerah sekitar lokasi hotspot merupakan daerah

    Achmad Siddik Thoha : Penggunaan Data Hotspot Untuk Monitoring Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository 2008

    2

  • yang rawan terhadap kebakaran, oleh sebab itu di daerah tersebut sebaiknya tidak

    dilakukan kegiatan pembakaran.

    Pada keadaan normal suhu kecerahan (Brightness temperature) dari piksel

    citra NOAA-AVHRR band 3 (Tb3) selalu lebih kecil dari Brightness temperature band

    4 (Tb4). Apabila Tb3>Tb4 maka terjadi anomali yang disebabkan oleh adanya

    sumber panas seperti kebakaran hutan atau dapat juga karena pengaruh kilauan

    matahari (sunglind). Apabila Tb3-Tb4>20 maka piksel tersebut adalah hotspot,

    karena dari pengalaman beberapa tahun untuk seri NOAA 12 dan NOAA 14

    konstanta sebesar 20 dilapangan mendekati kebenaran (Musawijaya, 1998 dalam

    Ratnasari, 2000).

    Musawijaya (1998) dalam Ratnasari (2000) menambahkan bahwa

    pengamatan hotspot beserta lokasinya dilakukan pada malam hari dengan

    menggunakan band 3. Kenampakan hotspot pada Citra NOAA_AVHARR sangat

    bervariasi. Pertama, interpretasi akan lebih mudah dilakukan bila menggunakan

    data malam hari dibandingkan data siang hari, karena pantulan sinar matahari dari

    awan dan asap dapat mengaburkan kenampakan dari hotspot. Kedua, mudah

    tidaknya mendeteksi hot spot tergantung pada ukuran obyek yang terbakar.

    Kebakaran hutan /lahan yang besar/luas akan sangat mudah diidentifikasi pada

    Citra NOAA-AVHRR band termal. Ketiga, hotspot yang sangat kecil seringkali sulit

    dideteksi karena bercampur dengan latar belakang dari citra.

    PEMANFAATAN DATA HOTSPOT

    Satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration), yang

    dibuat dan diluncurkan oleh National Aeronautics and Space Administration(NASA-

    USA) dengan tujuan untuk pemantauan iklim dan cuaca tersebut, sering digunakan

    untuk pendeteksian kebakaran di wilayah tersebut. Hal ini dikarenakan sensornya

    yang dapat membedakan suhu permukaan di darat ataupun laut. Kelebihan lain

    adalah seringnya satelit-satelit tersebut (ada 3 satelit yang beroperasi-NOAA 12, 16

    dan 17) mengunjungi tempat yang sama yaitu 2 kali sehari, siang dan malam.

    Dengan demikian data yang cukup aktual (near real time) tersebut sangat

    bermanfaat bagi tim pemadam kebakaran untuk mengetahui lokasi kebakaran

    Achmad Siddik Thoha : Penggunaan Data Hotspot Untuk Monitoring Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository 2008

    3

  • secara cepat. Dengan cepatnya mengetahui nformasi lokasi kebakaran, maka

    tindakan pemadaman dini dapat dilakukan sebelum kebakaran tersebut menjadi

    lebih besar dan sulit dikendalikan (Solichin, 2004a)

    Satelit NOAA memiliki cakupan yang sangat luas. Hal ini memungkinkan user

    (pengguna) mampu menganalisa wilayah yang sangat luas dalam waktu yang relatif

    singka. Cakupan stasiun penerima NOAA Si Pongi di Jakarta misalnya, meliputi

    Pulau Sumatera, Borneo dan Semenanjung Malaysia.

    Keuntungan lainnya adalah, harganya yang relatif murah. Sebenarnya

    penggunaan satelit NOAA tidak dikenai biaya apapun, namun untuk mendapatkan

    citra (foto) dari satelit tersebut diperlukan hardware dan software yang cukup mahal.

    Di Indonesia stasiun penangkap satelit NOAA ada 7 stasiun, salah satunya berada

    di Palembang, yaitu di kantor Balai Pengukuhan Kawasan Hutan (BPKH II) yang

    merupakan bantuan dari Uni Eropa dan satu-satunya di pulau Sumatera. Namun

    sayangnya, stasiun tersebut dalam keadaan tidak berfungsi baik akibat kerusakan

    pada salah satu komponen motor penggerak antenna (Solichin, 2004a)

    Data hotspot saat ini dapat dengan mudah diakses oleh berbagai kalangan.

    Akses mudah, murah dan cepat dengan melalui internet pada berbagai sumber

    penyedia informasi data hotspot. Salah satu penyedia layanan tersebut yaitu

    FFPMP, Forest Fire Prevention Management Project, (proyek kerja sama Dephut

    dan JICA) dengan sistem penyebaran informasi seperti pada Gambar 1.

    Achmad Siddik Thoha : Penggunaan Data Hotspot Untuk Monitoring Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository 2008

    4

  • Gambar 1. Sistem Distribusi Informasi Data Hotspot FFPMP-PHKA-JICA (FFPMP2,

    2004)

    Berbagai kelebihan dari data Citra NOOA di atas, maka banyak kalangan

    memakainya khususnya untuk kegunaan pemantauan iklim dan kebakaran hutan

    dan lahan. Beberapa aplikasi data hotspot dari satelit NOAA dapat dijelaskan

    sebagai berikut :

    Prediksi Hotspot dan Asap Kebakaran

    Jika perilaku kebakaran hutan dan lahan di berbagai daerah telah dipahami

    dan perilaku asapnya pada berbagai kondisi udara/cuaca telah diketahui, maka hal

    ini dapat dijadikan dasar dalam memprediksi kebakaran hutan dan lahan. Prediksi

    diperlukan untuk mengetahui pertambahan/pengurangan jumlah hotspot dalam

    bulan-bulan yang akan datang dan mengetahui sebaran asapnya apakah akan

    makin berkembang menjadi kondisi yang mengkhawatirkan dalam bulan-bulan yang

    akan datang atau sebaliknya kebakaran hutan dan lahan akan mereda sehingga

    Achmad Siddik Thoha : Penggunaan Data Hotspot Untuk Monitoring Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository 2008

    5

  • tidak perlu dikhawatirkan terjadinya pencemaran asap yang dapat mencapai lintas

    batas negara (transboundary haze pollution).

    Untuk dapat memprediksi perkembangan jumlah hotspot dan penyebaran

    asapnya merupakan hal tidak mudah. Hal ini mengingat bahwa kebakaran hutan

    dan lahan merupakan masalah yang sangat kompleks yang melibatkan faktor-faktor

    alam (cuaca/iklim, bahan bakaran) maupun manusia (kegiatan pemanfaatan lahan,

    ekonomi, dan budaya) dan bahkan kelembagaan. Namun untuk mempermudah

    prediksi, maka dapat digunakan konsep peluang. Peluang yang dimaksud

    mencakup peluang jumlah hotspot pada bulan-bulan mendatang di beberapa daerah

    yang rawan kebakaran dan peluang pencemaran asap dari kebakaran hutan dan

    lahan. Adapun analisisnya dilakukan berdasarkan pada berbagai jenis data historis

    maupun prediksi dari sumber-sumber yang cukup dapat diandalkan (LAPAN, 2004a)

    Menurut kajian LAPAN (2004a), jumlah hotspot yang terjadi hingga bulan

    pertengahan Juni 2004, baik di Sumatera maupun Kalimantan, masih lebih rendah

    dibandingkan dengan jumlah rata-ratanya selama 7 tahun terakhir, dengan demikian

    terdapat peluang peningkatan jumlah hotspot hingga akhir Juni 2004. Pada bulan

    Juli 2004 jumlah hotspot di Riau berpeluang meningkat tetapi selanjutnya akan

    berkurang pada bulan Agustus 2004. Hal ini diperkuat dengan perkembangan

    cuaca di wilayah Sumatera bagian utara yang akan mengalami penurunan curah

    hujan hingga bulan Juli-Agustus. Jumlah hotspot akan benar-benar berkurang mulai

    bulan Oktober 2004 karena dua hal, yaitu mulai bulan tersebut curah hujan

    meningkat dan aktivitas yang berhubungan dengan pemanfaatan lahan (terutama

    pembersihan/pembukaan lahan) pada bulan tersebut umumnya sudah berakhir.

    Kecenderungan jumlah hotspot dan peluang terjadinya kebakaran disajikan pada

    Gambar 1.

    Achmad Siddik Thoha : Penggunaan Data Hotspot Untuk Monitoring Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository 2008

    6

  • 0.00

    5.00

    10.00

    15.00

    20.00

    25.00

    30.00

    35.00

    40.00Ju

    mla

    h H

    otsp

    ot B

    ulan

    an (

    %)

    1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

    Bulan

    Persentase Jumlah Hotspot Bulanan Rata2 Tahun 1996-2002

    RIAU

    SUMSEL

    Gambar 2. Persentase Jumlah Hotspot Rata-rata di Riau dan Sumatera Selatan (LAPAN, 2003)

    Deteksi Kejadian Kebakaran (Active Fire)

    Penginderaan jauh kebakaran dicapai dengan penggunaan berbagai sistem

    satelit/sensor. Sensor yang paling luas digunakan untuk deteksi kebakaran dalam

    monitoring kebakaran jangka panjang dan skala area yang luas adalah Advanced

    Very High Resolution Radiometer (AVHRR) terpasang pada satelit orbit polar NOAA.

    AVHRR mempunyai dua manfaat utama dalam monitoring kebakaran. Pertama,,

    cakupan pengamatan di seluruh bumi setiap hari pada resolusi sedang (1 km2)

    dimana merupakan terdepan dalam operasi monitoring kebakaran global. Kedua,

    mempunyai kisaran spektral yang luas dari visible (ch. 1, 0.63 m), near-infrared

    (ch.2, 0.83 m), mid-infrared (ch. 3, 0.37 m) dan gelombang panjang termal (ch. 4-

    5, 10-12 m). Masing-masing kanal menyangkut pada attribut tertentu dari

    kebakaran. (Li et.al. 1997 dalam Sunuprapto, 2000).

    Beberapa proyek yang telah dilakukan di beberapa negara telah dengan

    sukses mengembangkan sistem deteksi kejadian kebakaran (active fire) utamanya

    Achmad Siddik Thoha : Penggunaan Data Hotspot Untuk Monitoring Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository 2008

    7

  • mereka menggunakan data hotspot dari NOAA AVHRR mempertimbangkan

    keunggulan sistem NOAA. Tetapi alasan paling penting penggunaan sistem ini

    adalah penyediaan data yang berbasis harian pada harga yang pantas, khususnya

    ketika sistem seperti itu harus diaplikasikan untuk negara-negara sedang

    berkembang. Di Indonesia sendiri terdapat beberapa stasiun penerima NOAA:

    Palembang Sumatera (MoF-EU), Bogor Jawa (MoF-JICA), Samarinda Kalimatan

    (MoF-GTZ), Jakarta Jawa (LAPAN-Bappedal). Sistem serupa juga dikembangkan

    pada negara-negara sedang berkembang agara dapat mendeteksi kejadian

    kebakaran dalam basis harian (Sunuprapto, 2000).

    Deteksi kejadian kebakaran yang paling cepat dalam penyediaan dan

    distribusi datanya yaitu data hotspot, baik berupa lokasi hotspot (letak geografis)

    maupun peta sebaran hotspot. Data hotspot bahkan tersedia secara bebas dan

    mudah di akses dari internet. Sumber-sumber data hotspot yang dapat diakses

    dengan mudah seperti LAPAN (Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional),

    Departemen Kehutanan Republik Indonesia, FFPMP (Forest Fire Prevention

    Management Project -MoF-JICA) dan sumber lain dari luar negeri. Gambar 2.

    memperlihatkan sebaran hotspot yang diolah dari citra NOAA.

    Gambar 3. Sebaran Hotspot Hasil Pengolahan Citra Satelit NOAA (FFPMP, 2004)

    Achmad Siddik Thoha : Penggunaan Data Hotspot Untuk Monitoring Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository 2008

    8

  • Monitoring Kebakaran Hutan Penelitian dan pekerjaan operasional untuk menyediakan negara-negara

    dengan peralatan untuk melaksanakan monitoring langsung kejadian kebakaran

    vegetasi melalui penerima langsung dari data satelit tengah berlangsung. Ceecato

    et al (1999) dalam Sunuprapto (2000) pada papernya yang berjudul Monitoring of

    Vegetation Fires in Sumatera, Indonesia: A burning issue mendokumentasikan

    penggunaan metodologi dan teknik-teknik, dimana memadukan NOAA-AVHRR data

    satelit dengan sokongan Sistem Informasi Geografis (SIG) menyediakan deteksi

    dan monitoring kebakaran yang berhubungan dengan faktor-faktor lingkungan.

    Musim kebakaran di Sumatera ditampilkan selama tahun 1996-1997. Metodologi

    dan hasil menunjukkan bagaimana informasi baru yang tersedia dapat membantu

    tanggung jawab tersebut bagi manajemen kebakaran dalam mengimplementasikan

    program-program operasional untuk manajemen kebakaran tingkat lokal, nasional

    dan regional.

    Anderson et al (1999a) pada Forest Fire Prevention and Control yang

    didukung oleh Uni Eropa (European Union) dan Kementrian Kehutanan dan

    Perkebunan (EU-MoF) telah melaporkan sejarah kebakaran di propinsi Sumatera.

    Kejadian kebakaran vegetasi di bagian selatan-tengah propinsi-propinsi Sumatera

    telah dimonitor melalui perekaman dan prosesing data satelit NOAA dari Januari

    1996-Desember 1998. Teknik NOAA hanya merekam kejadian kebakaran (active

    fires) dengan nyala api yang melebihi 20-30 meter. Kebakaran permukaan kecil

    atau kebakaran bawah tidak terekam atau kebakaran tidak tertangkap jelas karena

    liputan awan tebal dan asap.

    Monitoring kebakaran hutan bisa mencakup pemantauan lokasi kejadian

    kebakaran, perkiraan luas dan dampak kebakaran pada hutan dan lahan, perkiraan

    resiko kebakaran dan intensitas kerusakan akibat kebakaran hutan. Dengan SIG,

    maka dapat dibangun sebuah model statistik ke dalam model prediksi spasial.

    Persamaan statistik diperoleh dari analisis statistik yang diaplikasikan pada software

    GIS (Geographical Information System) untuk menghasilkan sebuah peta.

    Sunuprapto (2000), menemukan sebuah persamaan regresi linear ganda

    berbasis spasial, menggunakan fungsi map calculator pada software ArcView, yang

    menyatakan hubungan antara intensitas kebakaran hutan di Sumatera Selatan

    dengan variable-variabel penduganya yaitu :

    Achmad Siddik Thoha : Penggunaan Data Hotspot Untuk Monitoring Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository 2008

    9

  • Predicted Damage Intensity Map = -0.709 + 0.206 landcover + 0.02531 landuse + 0.160 soil type + 0.0000001881 distance to railroad 0.00001769 distance to river + 0.00004779 distance to settlement. dimana koefisien korelasi = 0.54 dan koefisien akurasi overall = 67.10%.

    Kemudian Sunuprapto juga membuat model prediksi untuk luas area yang

    terbakar (Predicted Burnt Area Model) dengan metode yang sama dimana diperoleh

    hasil berupa persamaan logistic regression sebagai berikut :

    Log (ODDS) Burnt Area = -18.03 + 1.6848 landcover + 0.9784 landuse + 2.3129 soil type + 0.0003 distance to railroad 0.0002 distance to river and canal + 0.0003 distance to settlement. dimana koefisien korelasi = 0.48 dan koefisien akurasi overall = 72 %.

    Pada Gambar 3. ditampilkan hasil pemetaan intensitas kerusakan akibat

    kebakaran hutan dengan model yang telah disebtkan di atas.

    Gambar 4. Peta Intensitas Kerusakan Kebakaran Hutan Menggunakan Data Hotspot, Peta Tutupan Lahan dan Peta Areal Terbakar.

    Achmad Siddik Thoha : Penggunaan Data Hotspot Untuk Monitoring Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository 2008

    10

  • Pemetaan Tingkat Rawan Kebakaran

    Kajian tingkat kerawanan kebakaran dengan menggunakan data hotspot

    telah dilakuakan oleh LAPAN (2004b). Berdasarkan analisis terhadap curah hujan,

    NDVI (Normalized Difference Vegetation Indeks) atau Indeks Vegetasi, jenis

    penutup lahan, jenis lahan, dan jarak terhadap jalan dan sungai yang digabungkan

    dengan analisis frekuensi hotspot, baik secara temporal maupun spasial, diperoleh

    bahwa setiap faktor memberikan kontribusi yang berbeda terhadap potensi

    terjadinya kebakaran hutan.

    Dari analisis diperoleh bahwa NDVI merupakan representasi dari keadaan

    bahan bakar, baik dari sisi tingkat kehijauan vegetasi hidup maupun serasah. Oleh

    sebab itu parameter NDVI memberikan kontribusi terbesar terhadap kerawanan

    kebakaran hutan. Selanjutnya curah hujan merupakan parameter penentu tingkat

    kadar air bahan bakar. Pada keadaan NDVI dan jenis bahan bakar yang sama,

    curah hujan yang berbeda memberikan pengaruh kadar air yang berbeda terhadap

    bahan bakar (vegetasi hidup maupun serasah), sehingga curah hujan memberikan

    kontribusi terbesar kedua sesudah NDVI. Jenis penutup lahan memberikan

    kontribusi terhadap frekuensi hotspot terutama karena berkaitan dengan aktivitas

    konversi lahan. Dari peta hotspot tahun 1996 hingga 2002 menunjukkan bahwa

    frekuensi hotspot terbesar terjadi pada lahan pertanian, diikuti hutan sekunder,

    semak belukar, dan perkebunan. Faktor keempat yang menentukan kerawanan

    kebakaran adalah jenis lahan yang berdasarkan peta UNEP (2002), Sumatera

    secara garis besar dibedakan atas lahan kering dan lahan gambut (LAPAN, 2004b)

    Berdasarkan faktor-faktor tersebut telah disusun kriteria dan bobot untuk

    menentukan tingkat kerawanan kebakaran hutan. Kelas kerawanan kebakaran hutan

    dibagi atas 6 kelas yang menunjukkan tingkat kemudahan untuk terbakar mulai dari

    sangat sulit hingga sangat mudah, sehingga kelas kerawanan kebakaran hutan

    dibagi atas: sangat rendah, rendah, sedang, agak tinggi, tinggi, dan sangat tinggi.

    Selanjutnya peta kerawanan kebakaran hutan berbasis sistem informasi geografis

    telah dibuat dengan menggunakan perangkat lunak ArcView.

    Achmad Siddik Thoha : Penggunaan Data Hotspot Untuk Monitoring Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository 2008

    11

  • Gambar 5. Peta tingkat kerawanan kebakaran hutan dan hotspot di Sumatera pada

    tahun La Nina 1998 (LAPAN, 2004b)

    Achmad Siddik Thoha : Penggunaan Data Hotspot Untuk Monitoring Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository 2008

    12

  • PERMASALAH PEMANFAATAN DATA HOTSPOT

    Berbagai aplikasi data hotspot untuk kepentingan pemantauan kondisi hutan dan lahan dirasa banyak memiliki kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut

    bahkan membuat kualitas input bagi pengambilan keputusan menjadi bias sehingga

    informasi yang disebarluaskan ke masyarakat kurang valid. Beberapa kelemahan

    dari data hotspot dapat diuraikan sebagai berikut :

    Karaktristik Data

    Pertama, kelemahan pada sensor satelit NOAA. Menurut SSFFMP (2004),

    eberapa kelemahan tetap melekat pada satelit NOAA. Salah satunya adalah

    sensornya yang tidak dapat menembus awan, asap atau aerosol. Kelemahan

    tersebut sebenarnya terjadi pada semua satelit yang memiliki sensor optis (sinyal

    pasif ). Berbeda dengan sensor radar yang memiliki sinyal aktif dan dapat

    menembus awan serta dapat berfungsi juga pada malam hari. Kelemahan tersebut

    akan sangat merugikan bila kebakaran besar terjadi sehingga wilayah tersebut

    tertutup asap. Kejadian seperti itu sangat sering sekali terjadi di musim kebakaran,

    sehingga jumlah hotspot yang terdeteksi jauh lebih rendah dari yang seharusnya.

    Karena itu untuk mengurangi kesalahan, informasi tentang penutupan awan atau

    asap diperlukan pula sebagai informasi tambahan.

    Kedua, resousi spasial yang rendah pada citra NOAA. Rendahnya resolusi

    citra NOAA, yaitu sekitar 1,1 km x 1,1 km, juga merupakan kelemahan yang sangat

    mendasar dari sistem pendeteksian kebakaran. Dalam luasan sekitar 1 km persegi

    tersebut, kita tidak dapat mengetahui di mana lokasi kebakaran secara persis. Selain

    itu, walaupun jumlah titik kebakaran dalam luasan tersebut lebih dari satu, maka

    luasan tersebut tetap akan diwakili oleh sebuah titik hotspot dengan lokasi tepat di

    tengah luasan persegi tersebut. Karena itu, penentuan luasan daerah yang terbakar

    berdasarkan data hotspot satelit NOAA sebaiknya tidak dilakukan karena akan me-

    nyebabkan bias yang sangat besar.

    Karena sifatnya yang sensitif terhadap suhu permukaan bumi ditambah

    dengan resolusinya yang rendah, kesalahan perkiraan titik kebakaran cukup sering

    terjadi. Misalnya cerobong api dari tambang minyak atau gas seringkali terdeteksi

    sebagai hotspot. Namun dengan pengalaman operator, hal ini dapat diatasi. Kasus

    Achmad Siddik Thoha : Penggunaan Data Hotspot Untuk Monitoring Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository 2008

    13

  • lain, areal tanah kosong yang relative lebih panas dibandingkan daerah sekitar yang

    bervegetasi juga dapat terdeteksi sebagai hotspot. Pembakaran untuk menyiapkan

    ladang sebelum ditanam juga dapat terdeteksi sebagai hotspot. Hal ini sangat

    sering terjadi di wilayah-wilayah pasang surut di Sumatera Selatan yang banyak

    menerapkan sawah padi sonor atau lebak lebung.

    Standar Pengamatan dan Pemrosesan Citra NOAA Perbedaan hasil data hotspot juga diakibatkan oleh belum adanya standar

    internasional, khususnya dalam sistem pendeteksian hotspot. Dari hasil

    inventarisasi permasalahan mengenai pengamatan dan pemrosesan Citra NOAA

    yang ada khususnya pada kegiatan dan metodologi deteksi dan pemantauan

    kebakaran hutan/lahan dengan data hot spot maka dapat diuraikan beberapa

    masalah sebagai berikut:

    Pertama, perbedaan penentuan threshold antar stasiun pengamat.

    Perbedaan jumlah hotspot yang terpantau biasanya disebabkan karena algoritma

    yang digunakan oleh setiap stasiun bumi yang berlainan misalnya ambang batas

    (threshold) suhu yang digunakan untuk menentukan sebuah titik adalah hotspot atau

    bukan. Menurut Hidayat, et. al. (2003), adanya perbedaan jumlah hot spot yang

    dihasilkan oleh beberapa stasiun pengamatan sering kali dikeluhkan oleh pengguna

    informasi hot spot terutama oleh Kementerian Lingkungan Hidup (d/h BAPEDAL).

    Parameter untuk mendeteksi host spot yang selama ini dipergunakan oleh LAPAN

    adalah seperti disajikan pada Tabel 1.

    Tabel 1. Sea Scan AVHRR Fire Detection Configuration File

    Nilai ambang (threshold) berbagai parameter yang digunakan oleh LAPAN

    dalam mendeteksi hot spot berbeda dengan stasiun pengamat lainnya seperti

    Achmad Siddik Thoha : Penggunaan Data Hotspot Untuk Monitoring Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository 2008

    14

  • PONGI (Dept. Kehutanan) di Bogor, dan ASMC (Singapura) yang sekarang menjadi

    rujukan di ASEAN. Nilai ambang yang digunakan oleh ASMC untuk mendeteksi hot

    spot adalah terlihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.

    Tabel 2. AVHRR Fire Detection Configuration File dari ASMC (Malam Hari)

    Tabel 3. AVHRR Fire Detection Configuration File dari ASMC (Siang Hari)

    Akibat perbedaan tersebut menghasilkan jumlah hot spot yang berbeda-beda

    antar stasiun pengamat. Tabel 4. sekedar memberikan gambaran perbedaan yang

    dimaksud:

    Tabel 4. Jumlah dan Lokasi Hotspot Tanggal 17 s/d 21 Agustus 2003

    Achmad Siddik Thoha : Penggunaan Data Hotspot Untuk Monitoring Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository 2008

    15

  • Hidayat et. al. (2003) telah melakukan verifikasi untuk mendapatkan hasil

    yang mendekati sama dengan ASMC dengan membuat nilai threshold yang sama

    yaitu perbedaan temperature (Ch3>Ch4) adalah 15o. Hasil yang diperoleh seperti

    ditampilkan pada Tabel 5.

    Tabel 5. Jumlah Hotspot di Kalimantan Tanggal 17 s/d 21 Agustus 2003 ( T: CH 3 yang berbeda-beda, Ch 3 > Ch4 = 15.0o)

    Dari kedua hal di atas, yaitu masih terdapatnya perbedaan jumlah hotspot

    antara LAPAN dengan ASMC (sekalipun threshold-nya sudah disamakan), dan

    banyak kejadian kebakaran yang tidak terpantau oleh LAPAN, berarti ada faktor lain

    yang mempengaruhinya.

    Kedua, waktu pengamatan yang berbeda antar stasiun pengamatan.

    Hidayat et. al. (2003) lebih lanjut menjelaskan, salah satu kemungkinan penyebab

    terjadinya perbedaan itu adalah tidak dilakukannya pengamatan pada malam hari.

    Sehingga banyak kejadian kebakaran yang lolos dari pengamatan LAPAN. Terdapat

    perbedaan waktu pengamatan antara LAPAN dengan ASMC, dimana LAPAN hanya

    melakukan pengamatan (perekaman data) setiap hari dari pukul 06.00 hingga 19.00

    WIB, sementara ASMC melakukannya selama 24 jam setiap hari.

    Menurut Solichin (2004b), waktu lintasan satelit sangat berpengaruh

    terhadap pendeteksian kebakaran karena terkait dengan adanya perilaku

    pembakaran lahan di beberapa tempat di Indonesia atau dengan adanya perubahan

    penyebaran awan yang bergerak dalam hitungan beberapa menit, sehingga

    mempengaruhi kemampuan satelit dalam pemantauan hotspot.

    Ketiga, Menurut Hidayat et. al. (2003) kemungkinan lain adalah, sistem

    pengolahan hot spot LAPAN (Sea Scan) yang operasional saat ini tidak bisa

    mengolah data NOAA 15 dan 16. Jadi ada kemungkinan ada hot spots yang

    Achmad Siddik Thoha : Penggunaan Data Hotspot Untuk Monitoring Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository 2008

    16

  • seharusnya bisa dipantau dengan NOAA 15 dan 16, menjadi tidak terpantau oleh

    LAPAN.

    Sistem Distribusi Data Kecepatan pengiriman data hasil olahan juga sangat penting, khususnya bila

    menjelang atau pada saat musim kebakaran terjadi. Hal ini seringkali menjadi

    kendala di dalam menentukan strategi pengelolaan kebakaran di lapangan.

    Semakin cepat informasi diterima, semakin memudahkan stakeholder di dalam

    melakukan tindakan yang sesuai. Panjangnya rantai distribusi juga menyebabkan

    keterlambatan informasi yang diterima di tingkat lapangan. Karenanya seiring

    dengan proses desentralisasi, rantai distribusi perlu dipersingkat lagi, misalnya data

    instansi pengolah data dapat dikumpulkan atau diterima langsung di tingkat

    kabupaten atau perusahaan terkait (Solichin, 2004b).

    Hal lain yang terkadang menjadi kendala adalah saat sebuah instansi

    pengolah data mengalami kendala teknis sehingga memerlukan waktu yang cukup

    lama untuk memperbaiki dan tidak memungkinkan untuk mengirimkan data tepat

    pada waktunya. Dalam kondisi seperti ini, ketergantungan terhadap satu sumber

    data akan menyulitkan di dalam kegiatan lapangan. Karenanya menggunakan

    beberapa sumber data juga dapat dipertimbangkan atau dimanfaatkan sebagai

    sistem cadangan (back-up system)

    Keberlanjutan Ketersediaan Data Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa tingkat keberlanjutan sebuah

    proyek bantuan luar negeri di Indonesia seringkali cukup rendah, khususnya bila

    terkait dengan perawatan dan perbaikan peralatan yang canggih dan sangat mahal.

    Proyek FFPCP (Forest fire Prevention and Control Project) yang didanai oleh Uni

    Eropa telah melakukan investasi yang sangat besar sekitar 250 juta rupiah untuk

    instalasi stasiun penerima satelit NOAA di Palembang. Anggaran yang minim dari

    instansi pemerintah tidak mungkin melakukan perawatan berkala dan apalagi

    perbaiakan suku cadang yang harus diimpor dari eropa atau negara maju lainnya.

    Hal yang sama juga terjadi dengan proyek IFFM (Integrated Forest Fire

    Management) Jerman, belum stahun setelah fase handling over, tejadi kerusakan

    Achmad Siddik Thoha : Penggunaan Data Hotspot Untuk Monitoring Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository 2008

    17

  • pada perangkat keras sistem penerima satelit NOAA yang menyebabkan kegagalan

    menangkap sinyal (Solichin, 2004b)

    Karenanya untuk menjamin keberlanjutan penyediaan informasi, peningkatan

    mutu pelayanan oleh instansi pemerintah seperti LAPAN, BPPT, BMG atau

    Departemen Kehutanan yang memilki kapasitas dan kemampuan di dalam teknologi

    penginderaan jauh atau data iklim dan cuaca masih terus diperlukan bagi

    stakeholder di tingkat propinsi dan kabupaten. Inisiatif untuk mendiskusikan

    standarisasi data dan informasi kebakaran karenanya perlu dimulai lagi.

    Masalah lain yang perlu dipertimbangkan adalah teknologi satelit NOAA yang

    sepertinya mulai digantikan oleh MODIS (Moderate Resolution Imaging

    Spectroradiometer). Satelit NOAA yang sudah dikembangkan sejak tahun 1978,

    diperkirakan tidak akan dilanjutkan lagi. Sebagai gantinya NASA mengembangkan

    sensor MODIS yang dibawa oleh satelit Terra dan Aqua. Sebagai salah satu sensor

    hyperspectral (36 kanal) dengan resolusi menengah (beberpa kanal memiliki

    resolusi 250 m2). MODIS dapat digunakan untuk pemantauan global dengan

    berbagai tujuan. Terlebih lagi, NASA membuka akses yang cukup luas bagi

    pengguna MODIS si seluruh dunia. Kaenanya penggunaan MODIS di dalam

    pemantauan kebakaran merupakan sebuah langkah yang harus dikembangkan di

    masa depan (Solichin, 2004b)

    Achmad Siddik Thoha : Penggunaan Data Hotspot Untuk Monitoring Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository 2008

    18

  • UPAYA PENINGKATAN KUALITAS DATA HOTSPOT

    Mengingat keterbatasan tersebut di atas, maka beberapa hal perlu dketahui

    dan dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas data hotspot untuk

    aplikasi pemantauan kebakaran hutan antara lain :

    1. Perbandingan jumlah hotspot antar stasiun pasti terjadi, mengingat adanya

    perbedaan ambang batas suhu dan penggunaan satelit (terkait dengan

    waktu lintasan). Diperlukan standar internasional untuk dapat menghasilkan

    informasi yang yang tidak berbeda jauh pada lokasi monitoring kebakaran

    yang sama.

    2. Informasi jumlah hotspot hanya dapat digunakan sebagai penentu tingkat

    bahaya yang terjadi bila didukung oleh informasi tentang peringkat bahaya

    kebakaran yang didasari atas informasi cuaca.

    3. Dalam kaitannya dengan kegiatan sistem peringatan dan deteksi dini, cek

    lapangan harus tetap dilakukan. Pengecekan langsung di lapangan sangat

    diperlukan, terutama di perusahaan perkebunan atau HTI, pengawasan

    melalui patroli atau menara api masih sangat diperlukan. Menurut Hiroki dan

    Prabowo, (2003) dalam Suratmo et al. (2003), hasil dari cek lapangan ini

    bisa dipakai juga sebagai umpan balik (feed back) untuk lebih

    menyempurnakan sistem deteksi yang digunakan (misalnya untuk penentuan

    nilai ambang yang lebih sesuai/tepat). Dengan demikian, maka sistem

    deteksi ini akan terus berkembang menjadi lebih sempurna dan dapat

    menghasilkan interpretasi dengan tingkat ketelitian yang lebih baik

    4. Informasi hotspot sangat baik digunakan sebagai indikasi tingkat kebakaran

    secara umum, karenanya analisa lanjutan dengan menumpangtindihkan

    dengan peta-peta lain seperti batas penggunaan lahan atau penutupan lahan

    memberikan informasi yang baik tentang perlu tidaknya melakukan

    pemadaman secara cepat.

    5. Pengembangan kerja sama antar instansi pemerintah daerah, instansi teknis

    penyedia data (LAPAN, BMG, BAPEDAL) dan lembaga sumber data agar

    system distribusi dan keberlanjutan data bisa terjamin.

    6. Tidak mungkin menentukan luasan areal yang terbakar berdasarkan

    penyebaran kumulatif titik-titik hotspot tersebut Oleh karena itu perlu

    Achmad Siddik Thoha : Penggunaan Data Hotspot Untuk Monitoring Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository 2008

    19

  • mengintegrasikan data hotspot dengan analisis lanjutan menggunakan

    sistem penginderaan jauh dan sistem informasi geografis. Hal ini bisa

    dilakukan dengan memadukan hotspot dengan citra Landsat TM., Citra

    SPOT dan lain-lain, untuk memperoleh analisa secara spasial dan

    permodelan dari indikasi yang diperlihatkan oleh data hotspot.

    7. MODIS dapat digunakan sebagai alternatife data lain selain NOOA untuk

    untuk pemantauan global khususnya deteksi kebakaran hutan dan lahan.

    Terlebih lagi, NASA membuka akses yang cukup luas bagi pengguna MODIS

    si seluruh dunia. Karenanya penggunaan MODIS di dalam pemantauan

    kebakaran merupakan sebuah langkah yang harus dikembangkan di masa

    depan.

    8. Pemanfaatan informasi yang disediakan oleh berbagai lembaga luar negeri,

    juga perlu dipertimbangkan sebagai salah satu sumberdata reguler,

    mengingat sumber yang berasal dari luar negeri seperti Singapura, Malaysia

    atau Amerika Serikat, biasanya cenderung lebih stabil dan berkelanjutan.

    Hal ini biasanya didukung dengan komitmen yang tinggi dalam hal

    pengorganisasian dan penyediaan anggaran untuk perawatan serta

    pengembangan teknologinya.

    Achmad Siddik Thoha : Penggunaan Data Hotspot Untuk Monitoring Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository 2008

    20

  • KESIMPULAN

    Data hotspot dengan keunggulannya dapat bermanfaat bagi upaya deteksi, monitoring maupun pengembangan sistem peringatan dini kebakaran hutan dan

    lahan. Disamping itu, terdapat kelemahan pada aplikasi penggunaan data hotspot

    yang berhubungan dengan karakteristik data, standar dan pemrosesan data, sistem

    distribusi data dan keberlanjutan ketersediaan data.

    Peningkatan kualitas dapat diupayakan dengan mengadakan cek lapangan,

    penetapan standar ambang batas dan waktu pengamatan secara internasional,

    peningkatan kerja sama antar lembaga dalam distribusi data, integrasi sistem

    penginderaan jauh dan sistem informasi geografis dan penggunaan alternatif satelit

    dengan resolusi spasial yang lebih tinggi.

    Achmad Siddik Thoha : Penggunaan Data Hotspot Untuk Monitoring Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository 2008

    21

  • DAFTAR PUSTAKA

    Anderson, I P, Manda, I D dan Muhnandar. 1999a. Vegetation Fires in Sumatera

    Indonesia: The Presentasion and Distribution of NOAA-Derived Data. Palembang: Forest Fire Prevention and Control Project. European Union and Indonesian Ministry of Forestry and Estate Crops

    ________. 1999b. Vegetation Fires in Indonesia: The The fire History of The

    Sumatera Provinces 1996 1998 as A predictor of Future Areas at Risk. Forest Fire Prevention and Control Project. European Union and Indonesian Ministry of Forestry and Estate Crops. Palembang.

    Direktorat Penanggulangan Kebakaran Hutan. 2001. Perangkat Organisasi

    Penanggulanagn Kebakaran Hutan Propinsi dan Kabupaten/Kota. Makalah dalam Pelatihan Kebakaran Hutan Tingkat Manajemen Medan, 26 27 Juni 2001. Medan: Unit Manajemen Leuser

    [FFPMP2] Forest Fire Prevention and Management Project (phase 2) 2004. Sistem

    Deteksi dan Peringatan Dini. http://ffpmp2.hp.infoseek.co.jp/ earlypageindo.htm[23 April 2004]

    Hidayat, A. Kushardono D, Asriningrum W, Zubaedah A dan Efendy, I. 2003. Laporan Verifikasi dan Validasi Metode Pemantauan Mitigasi Bencana Kebakaran Hutan dan Kekeringan. Jakarta: Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh-LAPAN.

    [LAPAN] Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional. 2004a. Kebakaran Hutan/Lahan Dan Sebaran Asap di Sumatera dari Data Satelit Lingkungan dan Cuaca. Bidang Pemantauan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). http://www.lapanrs.com/SMBA/smba.php?hal=3&data_id=hn_hr_20040626_all [23 Juli 2004]

    ________ 2004b. Model Prediksi Dampak El Nino / La Nina Untuk Mitigasi

    Bencana Kebakaran Hutan. http://www.lapanrs.com /INOVS/IDE2_/view_doc.php? doc_id=35 [25 April 2004]

    Ratnasari, E. 2000. Pemantauan Kebakarn Hutan dengan Menggunakan Data Citra NOAA-AVHRR dan Citra Landsat TM: Studi KAsus di Daerah Kalimantan Timur. [skripsi]. Bogor. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor

    Achmad Siddik Thoha : Penggunaan Data Hotspot Untuk Monitoring Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository 2008

    22

  • Redhahari. 2001. Pembangunan Sistem Peringatan Dini Kebakaran Hutan dengan Indeks Kekeringan Keetch/Byram dan Sistem Informasi Geografis di Kalimantan Timur. [tesis]. Samarinda : Program Pascasarjana Magister, Universitas Mulawarman

    Solichin. 2004a. Hotspot Tidak Selalu Titik Kebakaran (Mengenal Hotspot Bagian

    1). Palembang: South Sumatera Forest Fire Management Project (SSFFMP) Newsletters Hotspot,. Februari 2004; 1: 2-3

    ______. 2004b. Panduan Pengumpulan informasi Kebakaran Hutan dan Lahan

    melalui Internet. Palembang : SSFFMP. Sunuprapto, H. 2000. Forest Fire Monitoring and Damage Assesment Using

    Remotely Sensed Data and Geographical Information Systems (A Case Study in South Sumatera Indonesia). [Thesis]. Enschede The Netherlands: Internastional Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences (ITC) (tidak dipublikasi)

    Suratmo, G, Jaya, INS dan Husaeni, EA. 2003. Pengetahuan Dasar Pengendalian

    Kebakaran Hutan. Bogor: IPB Press .

    Achmad Siddik Thoha : Penggunaan Data Hotspot Untuk Monitoring Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository 2008

    23