regulatory impact analysis (ria) - … filepenghambat nyala termasuk pbde. 2. adanya regulasi...

37
REGULATORY IMPACT ANALYSIS (RIA) REGULASI UNTUK PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN BAHAN PENGHAMBAT NYALA PBDEDr.-Ing. Anton Irawan, MT, IPM DESEMBER 2018

Upload: ngodat

Post on 01-Jul-2019

226 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

REGULATORY IMPACT ANALYSIS

(RIA)

“REGULASI UNTUK PENGENDALIAN DAN

PENGAWASAN BAHAN PENGHAMBAT NYALA PBDE”

Dr.-Ing. Anton Irawan, MT, IPM

DESEMBER 2018

i

DAFTAR ISI

Daftar Isi i

Daftar Gambar ii

Daftar Tabel iii

Rangkuman Eksekutif iv

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Identifkasi dan Analisis Masalah 4

1.3 Tujuan 9

BAB II REGULATORY IMPACT ANALYSIS (RIA) 10

2.1 Kerangka Konsep RIA 10

2.1.1 Pertanyaan RIA 15

2.1.2 Cost and Benefit Analysis (CBA) 18

2.2 PEMBAHASAN 25

BAB III STRATEGIS DAN IMPLEMENTASI 27

BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 29

4.1 KESIMPULAN 29

4.2 REKOMENDASI 29

DAFTAR PUSTAKA 30

ii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 XRF Portable untuk Pengecekan Kandungan Brom

dalam Suatu Produk 6

Gambar 2 Alur Material Bahan Penghambat Nyala dalam

Penggunaan untuk Menghasilkan Produk 8

Gambar 3 Keterlibatan Beberapa Kementerian dalam

Penerapan Aturan Pengendalian dan Pengawasan

Senyawa Penghambat Nyala 15

Gambar 4 Alur Proses Penyusunan Regulasi Pengendalian dan

Pengawasan 25

iii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Data Konsentrasi PCBs, PBDEs dan HCBD pada

lumpur, sediment dan ikan di area TPA Benowo

Surabaya

2

Tabel 2 Hasil Analisa Beberapa Produk yang

Menggunakan Flame Retardant 3

Tabel 3 Pertanyaan awal RIA untuk Penyusunan

Regulasan Pengawasan dan Pengendalian PBDE 16

Tabel 4 Analisis manfaat dan biaya opsi pertama tanpa

menyusun regulasi apapun untuk PBDE pada

Sektor Industri 20

Tabel 5 Analisis manfaat dan biaya opsi kedua dengan

menyusun regulasi pengawasan dan pengendalian

sektor Industri

22

Tabel 6 Analisis manfaat dan biaya opsi ketiga dengan

menyusun regulasi pengawasan dan pengendalian

secara komprehensif

24

iv

RINGKASAN EKSEKUTIF

Indonesia telah menandatangani Konvensi Stockholm tentang Persistent Organic Pollutans

(POPs) atau bahan pencemar organik yang persisten. Pada tahun 2009, Indonesia telah

meratifikasi Konvensi Stockholm melalui UU Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pengesahan

Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutant. Sebagai negara anggota, Indonesia

memiliki kewajban untuk menyusun kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan bahan-

bahan POPs yang telah diatur oleh konvensi Stockholm terkait dengan pelarangan dan/atau

penghapusan, pembatasan, pengurangan serta impor dan ekspor dalam produksi dan

penggunaaanya.

Pada tahun 2009, terdapat sembilan bahan POPs tambahan yang disetujui pada Konvensi

Stockholm, salah satunya yaitu bahan kimia Polybrominated Diphenyl Ethers (PBDEs) untuk

homolog tetra-BDE, penta-BDE, heksa-BDE dan hepta-BDE, namun belum ada kebijakan yang

mengaturnya. Tetra-BDE dan penta-BDE dikenal dengan produk komersial c-penta BDE,

sedangkan heksa-BDE dan hepta-BDE dikenal dengan produk komersial c-octa BDE. Pada

tahun 2017, produk komersial c-decaBDE juga telah terdaftar pada konvensi stockholm. PBDE

merupakan bahan aditif sebagai flame retardant (pelambat nyala) yang biasa digunakan untuk

produk-produk berbahan plastik seperti elektronika dan otomotif. Sebagai POPs, PBDE

memiliki sifat beracun, sulit terurai (persisten), biokamuluasi dan terangkut melalui udara, air

dan spesies berpindah dan melintasi batas internasional serta tersimpan jauh dari tempat

pelepasan, tempat bahan tersebut berakumulasi dalam ekosistem darat dan air.

Ada 4 potensi keberadaan senyawa PBDE di Indonesia yaitu

1. PBDE diimport langsung dalam keadaan murni sebagai bahan baku Industri

2. PBDE terdapat dalam produk yang diimport (Chemical In Product)

3. PBDE terdapat dalam produk – produk lama yang kemudian didaur ulang

4. PBDE terdapat pada produk – produk lama dalam bentuk limbah

Dengan adanya potensi keberadaan PBDE maka perlu dilakukan pelarangan terhadap

masuknya PBDE serta penggunaan PBDE di Industri. Pelarangan tersebut dapat dibuat dengan

melakukan terlebih dahulu suatu regulatory impact analysis (RIA). Dengan adanya RIA

dengan perihal pengendalian dan pengawasan penggunaan bahan penghambat nyala termasuk

PBDE maka produk – produk dari Industri diharapkan akan semakin ramah terhadap

lingkungan dan penggunaanya.

Pada saat menyusun RIA diperlukan opsi – opsi untuk regulasi yang akan disusun untuk

memperlihatkan beberapa kemungkinan pilihan yang bisa dilakukan. Selanjutnya dilakukan

Cost and Benefit Analysis(CBA) terhadap beberapa opsi tersebut. Adapun opsi – opsi dari RIA

ini yaitu :

1. Tidak adanya peraturan khususn yang melarang, mengendalikan atau mengawasi bahan

penghambat nyala termasuk PBDE.

2. Adanya regulasi pelarangan, pengendalian dan pengawasan dalam proses produksi

mulai dari penyediaan bahan baku hingga menghasilkan produk terhadap Industri yang

menggunakan bahan penghambat nyala.

3. Adanya regulasi secara komprehensif mulai dari impor baik untuk bahan baku maupun

produk yang mengandung bahan penghambat nyala termasuk PBDE, kemudian proses

produksi yang menggunakan bahan penghambat nyala, labelling terhadap daur ulang

plastik serta pengelolaan limbah yang mengandung bahan penghambat nyala PBDE.

v

Hasil CBA menunjukan bahwa pilihan nomor 2 menjadi hal yang bisa diimplementasikan

segera dan memberikan dampak terbaik. Adapun isi dari regulasi yang disusun adalah

1. Melarang pengggunaan PBDE untuk sector Industri sesuai dengan konvensi

Stockholm

2. Memberikan toleransi waktu bagi Industri yang masih menggunakan PBDE di

Industri dengan mempertimbangkan kondisi Industri untuk penyesuaian proses

produksnya hingga kualitas produk yang dihasilkan dengan perubahan bahan baku.

3. Meminta kepada Industri yang tidak menggunakan PBDE dalam produknya untuk

mendeklarasikan dengan memberikan label bahwa produknya bebas PBDE

4. Melakukan pengecekan secara random terhadap produk -produk yang telah

mendeklarasikan bebas PBDE,

Selanjutnya secara bersamaan, pemerintah akan mempercepat hasil penelitian atau

rekomendasi alternative terbaik bahan pengganti PBDE dengan mempertimbangkan fungsi

yang sama dengan PBDE serta harga yang bersaing dengan PBDE. Kemudian pengguat

terhadap kualitas produk dapat juga dilakukan dengan membuat SNI wajib bagi produk -produk

tertentu yang mengandung bahan penghambat nyala.

1

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Persistant Organic Pollutans (POPs) merupakan senyawa kimia yang memiliki sifat

beracun, sulit terurai, bioakumulasi dan mudah terangkut baik itu melalui udara dan air,

serta mudah berpindah sebelum bioakumulasi. Senyawa tersebut dapat terakumulasi dalam

ekosistem darat dan air termasuk ikan sehingga bisa membahayakan manusia yang

memakan ikan yang mengandung senyawa PoPs. Pada tahun 2001 telah dihasilkan

konvensi Stockholm yang ditanda tangani lebih dari 152 dan 179 pihak yang berpartisipasi

termasuk Indonesia ikut menandatangani konvensi tersebut. Konvensi Stockholm

awalnya mengidentifikasi 12 bahan kimia untuk penghapusan dan pengurangan, kemudian

pada tahun 2009 ditambahkan 11 senyawa baru PoPs termasuk didalamnya PBDE pada

kelompok Annex A yang harus dimusnahkan dan tidak boleh diproduksi.

Polybrominated diphenyl ethers (PBDEs) merupakan suatu kelompok senyawa aromatik

organobromin yang telah digunakan sebagai zat tambahan yang berfungsi sebagai

penghambat nyala di berbagai produk. Zat penghambat nyala (flame retardant) termasuk

PBDE ditambahkan pada suatu produk agar terjadi penghambatan nyala apabila produk

tersebut terbakar. Dengan adanya penghambat nyala diharapkan api dapat dipadamkan

segara atau tidak meluas nyala dari api tersebut. Bahan aditif flame retardant (pelambat

nyala) yang biasa digunakan untuk produk-produk berbahan plastik seperti elektronika dan

otomotif serta produk – produk tekstil yang mudah menyala.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti Indonesia dengan Jepang pada tahun 2011-

2013 yang telah dipublikasikan menunjukkan ada beberapa kandungan PBDE untuk

lokasi sedimen sungai di Indonesia sebesar 8-36 ng/gram kering (Ilyas et,all, 2011, 2013).

Lokasi selanjutnya yaitu pengambilan sampel air lindi di lokasi tempat pembuangan akhir

(TPA) Kota Surabaya di Benowo didapatkan kandungan hingga 45 ppb (Tabel 1).

2

Tabel 1. Data Konsentrasi PCBs, PBDEs dan HCBD pada lumpur, sediment dan ikan di area TPA Benowo Surabaya

Sumber: Ilyas et,all, 2011, 2013

3

Dengan ditemukan kandungan PBDE pada lokasi tersebut mengindikasikan potensi adanya

PBDE pada beberapa lokasi lain. Ada beberapa kemungkinan sumber timbulnya PBDE

dari hasil temuan tersebut yaitu bahan plastic yang mengandung PBDE tersebut berasal

dari material lama sebelum adanya konvensi stockhom atau beberapa produk yang

didapatkan dari luar mengandung PBDE. Kemudian hasil analisa dari suatu laboratorium

analisa ditampilkan hasil produk - produk mengandung PBDE hingga lebih dari 6000 ppm

(Tabel 2) baik berupa deca dan nona BDE. Adapun parameter besarnya kandungan PBDE

pada suatu produk berdasarkan standar RoHS maksimum 1000 ppm sehingga nilai lebih

dari 1000 ppm menunjukkan kondisi yang membahayakan. Pada tahun 2017, produk

komersial c-decaBDE juga telah terdaftar pada konvensi stockholm.

Tabel 2. Hasil Analisa Beberapa Produk yang Menggunakan Flame Retardant

Sebagai POPs, PBDE memiliki sifat beracun, sulit terurai (persisten), biokamuluasi dan

terangkut melalui udara, air dan spesies berpindah dan melintasi batas internasional serta

tersimpan jauh dari tempat pelepasan, tempat bahan tersebut berakumulasi dalam

ekosistem darat dan air. Menurut penelitian-penelitian yang telah dilakukan di berbagai

negara termasuk Indonesia, senyawa PBDE telah terdeteksi pada biota laut (ikan dan

kerang-kerangan), sedimen, tanah, debu, udara, dan air susu ibu (ASI). Dampak negatif

PBDE bagi kesehatan menurut beberapa penelitian dapat menyebabkan kanker, turunnya

berat badan, keracunan ginjal, thyroid dan hati, penyakit kulit, serta penurunan kecerdasan

pada anak.

4

Temuan -temuan kandungan PBDE pada beberapa produk bisa dijadikan dasar untuk

pemerintah dalam menyusun suatu aturan dalam mengendalikan dan mengawasi bahan

kimia atau produk -produk yang berpotensi mengandung PBDE. Dengan adanya peraturan

tersebut maka potensi penyalagunaan dalam penggunaan bahan kimia dengan kandungan

PBDE dapat dicegah dari awal. Pemerintah telah meratifikasi Konvensi Stockholm

melalui Undang Undang No 19 tahun 2009 tentang pengesahan Konvensi Stokholm terkait

bahan pencemar organik yang persisten (POPs). Hingga saat ini, pemerintah Indonesia

belum memiliki peraturan turunan dari UU NO 19 tahun 2009 untuk mengatur penggunaan

PBDE sehingga peraturan untuk membatasi atau bahkan melarang penggunaan flame

retardant jenis halogen (PBDE) sangat diperlukan. Regulasi pemerintah yang harus segera

dilakukan adalah melakukan pengawasan dan pengendalian penggunaan PBDEs mulai dari

penyediaan bahan baku PBDE, proses pembuatan sampai dengan limbah dari proses serta

pengawasan produk yang menggunakan bahan baku flame retardant. Sebelum dibuat suatu

Peraturan yang berhubungan dengan PBDE maka perlu dilakukan suatu Regulatory Impact

Analysis (RIA) sesuai dengan Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia

No 40/M-IND/PER/11/2017 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Perundang-

Undangan di Lingkungan Kementerian Perindustrian Dengan adanya tahapan RIA

diharapkan kualitias peraturan PBDE akan menjadi lebih baik. Adapun tahapan dalam

melakukan RIA adalah

• Identifikasi dan Analisis Masalah

• Penetapan Tujuan

• Pengembangan Pilihan/Opsi untuk mencapai Tujuan

• Penilaian Terhadap pilihan

• Pemilihan Pilihan Terbaik

• Penyusunan Strategi Implementasi

1.2 Identifikasi dan Analisis Masalah Terkait Regulasi Pengendalian dan Pengawasan

PBDE

PBDE merupakan salah satu jenis penghambat nyala yang paling banyak digunakan karena

karakteristik dari PBDE mengganggu mekanisme rantai radikal dalam proses pembakaran

sehingga sangat efektif untuk menghambat nyala api. Selain itu penambahan bahan

penghambat nyala PBDE tidak terlalu banyak dibandingkan jenis bahan penghambat nyala

5

lainnya yang harus ditambahkan dalam jumlah banyak dan berakibat mengganggu

karakteristik produk yang dihasilkan. Dengan tambahan aditif bahan penghambat nyala

yang banyak juga menimbulkan biaya tambahan sehingga PBDE lebih kecil biayanya

dibandingkan dengan jenis flame retardant yang lainnya.

Ada 4 potensi untuk keberadaan dari senyawa PBDE di Indonesia yaitu

1. PBDE bisa diimpor langsung dalam kondisi murni

Impor produk PBDE ke Indonesia untuk dipergunakan bagi Industri secara langsung.

Dari hasil diskusi dengan Bea Cukai dan Kementerian Perdagangan Direktorat Import

diperoleh informasi bahwa harmonized system (HS) number untuk PBDE belum ada.

Dengan demikian, potensi impor PBDE dalam kondisi murni belum bisa dipastikan

karena kemungkinan PBDE bisa diimport dalam bentuk senyawa lainnya. Dengan

demikian pengawasan bahan – bahan yang mengandung brom perlu diperketat karena

ada potensi impor secara langsung PBDE dengan nama yang berbeda. Pengawasan ini

bisa dilakukan pada wilayah kerja bea cukai dengan terlebih dahulu pihak – pihak yang

langsung terlibat dapat dibekali pemahaman tentang senyawa PBDE.

2. PBDE terdapat dalam product yang diimport.

Dari hasil analisa beberapa komponen yang mengandung PBDE (Tabel 1) dapat diduga

bahwa keberadaaan PBDE pada produk – produk elektronika, tekstil serta biji plastik.

Pemerintah perlu mendalami lebih jauh untuk besaran kandungan PBDE dalam produk

karena hasil analisa pada produk biji plastik polystyrene (PS) pada tabel 1 didapatkan

besaran kandungan Deca PBDE diatas 6000 ppm. Potensi masuknya PBDE melalui

chemical in product sangat besar sehingga perlu langkah – langkah untuk bisa

mengetahui produk – produk yang mengandung PBDE. Pengecekan secara langsung

terhadap produk -produk yang diduga mengandung PBDE bisa dilakukan dengan

menggunakan XRF Portable untuk mendapatkan kandungan Brom dalam suatu

produk.

6

Gambar 1. XRF Portable untuk Pengecekan Kandungan Brom dalam Suatu Produk

3. Penggunaan material daur ulang dari produk sebelum 2001.

Produk – produk yang menggunakan flame retardant sebelum tahun 2001 seperti TV

tabung diduga masih mengandung PBDE. Apabila produk – produk tersebut dipergunakan

kembali maka PBDE yang terdapat di dalam plastik dari TV tersebut bisa terbawa terus

menerus. Umumnya, plastik daur ulang akan dipergunakan untuk produk -produk yang

lebih rendah seperti kantong atau wadah plastik. Apabila kantong dan wadah plastik

tersebut terkena langsung dengan makanan pada suhu tinggi maka potensi tersebarnya

PBDE akan semakin meluas dan bisa bioakumulasi.

4. Masih adanya produk -produk berupa limbah untuk produk khususnya

elektronika yang diduga mengandung PBDE.

Produk – produk tersebut hingga saat ini masih tersimpan pada konsumen yang

menggunakannya seperti TV Tabung atau peralatan listrik lainnya seperti kabel listrik yang

terpasang pada bangunan yang terbangun sebelum adanya larangan penggunaan senyawa

penghambat nyala PBDE. Kondisi ini membahayakan karena masyarakat masih

memakainya atau menyimpannya sehingga potensi terpapar bahaya PBDE dapat dengan

muda masuk kepada penghuninya.

7

Dari alur material bahan penghambat nyala termasuk jenis PBDE terlihat masalah- masalah

yang timbul apabila tidak terjadi pengendalian dan pengawasan senyawa PBDE . Adapun

masalah masalah saat ini yang berhubungan dengan PBDE

• Tidak terlacaknya masuknya PBDE baik dalam kondisi murni atau tercampur dalam

suatu produk. Hal ini terjadi karena belum dimilikinya HS Number untuk bahan

penghambat nyala jenis PBDE.

• Tidak terawasinya keberadaan senyawa penghambat nyala dalam proses produksi di

pabrik – pabrik pengguna penghambat nyala. Pemerintah belum memiliki data-data

jenis industri yang menggunakan bahan penghambat nyala sehingga menyulitkan

dalam proses pengawasan industri penggunaa bahan penghambat nyala.

• Tidak terawasinya penggunaan kembali bahan plastik daur ulang yang kemungkinan

mengandung PBDE. Keberadaan produk produk lama mengandung PBDE sebelum

Konvensi Stockholm bisa didaur ulang untuk mengoptimalkan bahan baku pada industri

pengguna seperti daur ulang produk plastik.

• Kurang pahamnya masyarakat akan bahaya senyawa PBDE dibuktikan dengan masih

banyaknya peralatan elektronika lama yang disimpan atau digunakan oleh masyarakat.

8

Gambar 2 Alur Material Bahan Penghambat Nyala dalam

Penggunaan untuk Menghasilkan Produk

9

Dengan adanya masalah - masalah yang terkait dengan bahan penghambat nyala PBDE maka

regulasi yang berhubungan pengendalian dan pengawasan sangat diperlukan untuk

menghilangkan masalah -masalah yang timbul tersebut. Regulasi yang disusun harus bisa

membuat iklim usaha dan perdagangan semakin membaik sehingga pihak – pihak yang

menggunakan bahan penghambat nyala dapat terus berbisnis dengan baik dan tidak terganggu

dengan keberadaaan regulasi tersebut. Selain itu regulasi tersebut harus bermanfaat buat

masyarakat agar mendapatkan produk -produk yang digunakan tidak mengandung senyawa -

senyawa yang membahayakan.

1.3 TUJUAN

Adapun tujuan dilakukan Regulatory Impact Analysis (RIA) adalah mendapatkan kondisi

terbaik untuk berbagai alternative dalam menyusun suatu peraturan yang berhubungan dengan

pengawasan dan pengendalian dalam penggunaan bahan penghambat nyala di Industri. Dari

RIA ini akan dihasilkan peraturan berkualitas dengan memberikan manfaat sebesar-besarnya

bagi pemangku kepentingan yang menggunakan material penghambat nyala.

10

BAB II

KONSEP REGULASI IMPACT ANALYSIS (RIA)

PADA REGULASI PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN PBDE

Regulatory Impact Analysis (RIA) merupakan salah satu cara untuk menganalisis dampak dari

suatu peraturan dengan didukung data-data. RIA tersebut harus dikomunikasikan kepada

pemangku kepentingan yang akan terkena dampak dari peraturan tersebut baik dari manfaat

ataupun biaya. Dengan melakukan RIA ini diharapkan akan dihasilkan suatu regulasi yang

berkualitas sehingga dampak negative dari suatu peraturan dalam dihilangkan.

2.1 Kerangka Konsep Regulatory Impact Analysis (RIA) dalam Pengendalian dan

Pengawasan Bahan Penghambat Nyala

Dalam penyusunan suatu peraturan maka perlu diidentfikasi peraturan -peraturan terkait

dengan senyawa PBDE sebagai bahan kimia yang diperdagangkan untuk kebutuhan sektor

industri. Beberapa peraturan yang terkait dengan rencana penyusunan regulasi pengawasan dan

pengendalian bahan penghambat nyala adalah:

a. Undang Undang No 19 tahun 2009 tentang Ratifikasi Konvensi Stockholm

Pada ratifikasi konvensi Stockholm tersebut disampaikan bahwa adopsi konvensi

Stockholm harus diikut dengan langkah-langkah selanjutnya yaitu

• mendorong Pemerintah untuk mengembangkan peraturan nasional dan

kebijakan serta pedoman teknis mengenai pengelolaan bahan POPs

• mempersiapkan kapasitas Daerah untuk mengelola timbunan residu bahan POPs

dan melakukan pengawasan dan pemantauan bahan POPs

• mengembangkan kerja sama riset dan teknologi terkait dengan dampak bahan

POPs sesuai dengan Best Available Techniques (BAT) dan Best Environmental

Practices (BEP) yang disusun oleh Konvensi berdasarkan keputusan Sidang

Para Pihak atau Conference of the Parties (COP)

• mengembangkan upaya penggunaan bahan kimia alternatif yang ramah

lingkungan dalam proses produksi

11

• meningkatkan upaya untuk mengurangi emisi dioxin dan furan dalam proses

produksi

• memperkuat upaya penegakan hukum berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku atas bahan POPs yang dilarang

• mengembangkan Rencana Penerapan Nasional atau National Implementation

Plan (NIP) untuk pelaksanaan Konvensi Stockholm di Indonesia.

Dengan mengamati tahapan selanjutnya terlihat bahwa peraturan nasional dan

kebijakan sangat diperlukan agar implementasi dari isi konvensi Stockholm dapat

berjalan dengan baik.

b. Undang – Undang No 3 tahun 2014 tentang Perindustrian

Pada pasal 3 ayat c bahwa perindustrian diselenggarahakan dengan tujuan mewujudkan

Industri yang mandiri, berdaya saing, dan maju, serta Industri Hijau. Kemudian pada

pasal 77 disampaikan bahwa Industri hijau dapat terwujud dengan langkah yang

dilakukan oleh pemerintah yaitu

• perumusan kebijakan

• penguatan kapasitas kelembagaan;

• standardisasi

• pemberian fasilitas.

Salah satu bentuk perumusan kebijakan adalah pembuatan suatu regulasi yang

mendukung terbentuknya industri yang ramah terhadap lingkungan termasuk

penggunaan bahan baku (pasal 79 ayat 2) yang tidak berakibat berbahaya bagi

lingkungan dan manusia.

c. Undang – Undang No 7 tahun 2014 tentang Perdagangan

Pada pasal 35 ayat 1 poin d bahwa pemerintah melakukan pelarangan dan pembatasan

perdagangan barang dan/atau jasa untuk kepentingan nasional dengan alasan

melindungi kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, ikan, tumbuhan dan

lingkungan hidup. Kemudian diperkuat pada pasal 50 ayat 2 poin c bahwa pemerintah

melarang ekspor dan impor untuk kepentingan nasional dengan alasan untuk

melindungi kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, ikan, tumbuhan dan

lingkungan hidup.

12

d. Peraturan Pemerintah No 74 tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya

dan Beracun

Pada pasal 5 ayat 1 ditunjukan tentang klasifikasi bahan berbahaya dan beracun (B3)

dengan salah poin yaitu beracun (h), berbahaya (i) dan berbahaya terhadap lingkungan

(l). PBDE belum masuk list pada B3 yang diatur dalam PP ini dan rencananya PBDE

akan dimasukan dalam revisi PP 74 tahun 2001 yang rencananya akan dikeluarkan pada

tahun 2018.

e. Peraturan Pemerintah No 101 tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan

Berbahaya dan Beracun

Salah satu karakteristik limbah B3 pada pasal 5 ayat 2 poin f yaitu beracun sehingga

produk- produk yang mengandung PBDE dan tidak digunakan lagi menjadi limbah

perlu penanganan tertentu sesuai PP 101 tahun 2014. Penanganan tertentu meliputi

fasilitas penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan kembali dan pemusnaaan B3 diatur

dalam PP tersebut.

f. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 24/M-IND/PER/5/2006

tentang Pengawasan Produksi dan Penggunaan Bahan Berbahaya

Untuk Industri.

Pada peraturan Menteri perindustrian ini diatur hanya untuk 6 bahan yang diperlihatkan

pada pasal 2 ayat 1 dengan ketentuan bahwa bahan tersebut akan diawasi baik yang

diproduksi di dalam negeri atau impor.

Selain itu pada pasal 6 dan 7 memuat tentang pelaporan yang harus dilakukan oleh

produsen atau pengguna bahan berbahaya tersebut. Kemudian pada pasal 9 terdapat

bagian pembinaan dan pengawasan bagi produsen dan industri pengguna bahan

berbahaya tersebut. Peraturan ini bisa dikembangkan untuk menaungi beberapa bahan

berbahaya lainnya yang termasuk dalam konvensi Stockholm dengan ketentuan bisa

dibuat lebih komprehensif.

g. Peraturan Menteri Perdagangan No 75 tahun 2014 tentang Perubahan Kedua atas

Peraturan Menteri Perdagangan No 44 tahun 2009 tentang Pengadaan, Distribusi

dan Pengawasan Bahan Berbahaya

Pada pasal 2 ayat 1 bahwa Jenis Bahan Berbahaya (B2) yang diatur tata niaga impor

dan distribusinya terdiri dari bahan kimia yang membahayakan kesehatan dan merusak

13

kelestarian lingkungan hidup. Bila ditelaah lebih bahwa PBDE termasuk bahan

berbahaya sehingga perlu diatur tata niaga impor dan distribusinya tetapi pada lampiran

permendag tersebut tidak dimuat PBDE termasuk pada revisi kedua Permendag No 75

tahun 2014 dengan adanya tambahan bahan berbahaya menjadi 407 dari sebelumnya

351 bahan pada Permendag 44 tahun 2009.

h. Peraturan Menteri Perdagangan No 94 tahun 2017 tentang Perubahan Ketiga atas

Peraturan Menteri Perdagangan No 87 tahun 2015 tentang Ketentuan Import

Produk Tertentu

Pada peraturan ini ada ketentuan barang -barang yang dikendalikan impornya termasuk

bahan -bahan yang mengandung bahan penghambat nyala. Adapun contoh barang -

barang yang diduga mengandung bahan penghambatnya nyala yaitu

• HS Number 6114.30.20 yaitu pakaian digunakan untuk pelindung dari

api

• HS Number 85.28 yaitu monitor dan proyektor, tidak digabung dengan

aparatus penerima televisi; aparatus penerima untuk televisi, digabung

dengan penerima siaran radio atau aparatus perekam atau pereproduksi suara

atau video, maupun tidak.

i. Peraturan Menteri Perdagangan No 36 tahun 2018 tentang Pelaksanaan

Pengawasan Kegiatan Perdagangan

Pada Bab II tentang ruang lingkup pengawasan kegiatan perdagangan khususnya pada

pasal 2 poin b yaitu pengawasan perdagangan barang yang diawasi, dilarang dan atau

diatur serta poin d tentang pendaftaran barang produk dalam negeri dan asal impor

terkait dengan keamanan, keselamtan , kesehatan, dan lingkungan hidup.

14

Dari telaah beberapa peraturan tersebut maka instansi – instansi yang terlibat dalam

pengendalian dan pengawasan bahan berbahaya meliputi

1. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merupakan titik awal dari

masuknya suatu bahan itu tergolong berbahaya dan beracun. PBDE sebagai salah satu

bahan yang bisa digolongkan berbahaya dan beracun bisa dimasukan ke dalam

list pada perbaikan PP 74 tahun 2001 sehingga langka -langka dalam pengendalian

dan pengawasan terhadap PBDE akan lebih mudah.

2. Kementerian Perdagangan melalui Direktorat Impor menjadi pintu awal masuk dalam

memberikan ijin impor barang tertentu termasuk kemungkinan bahan penghambat nyala

PBDE. Direktorat impor akan melarang atau mengendalikan bahan tertentu apabila ada

ketentuan dalam suatu peraturan misalkan PBDE masuk list dalam perbaikan PP 74

tahun 2001. Kemudian pada direktorat perdagangan jendral perlindungan

konsumen dan tertib niaga akan melakukan pengawasan atas barang beredar termasuk

bahan berbahaya yang terkandung dalam suatu produk.

3. Kementerian Keuangan melalui Bea Cukai akan melakukan pemeriksaan awal

terhadap kedatangan barang tersebut di border atau post border termasuk PBDE apabila

masuk list dalam bahan berbahaya dan beracun (B3).

4. Kementerian Perindustrian melalui direktorat industri kimia hulu dan hilir,direktorat

elektronika dan direktorat industri tekstil merupakan industri -industri yang

menggunakan bahan penghambat nyala pada produk – produk yang dihasilkan.

Direktorat- direktorat tersebut bersama -sama dengan dinas perindustrian propinsi serta

kabupaten/kota bisa melakukan pengawasan atas penggunaan bahan penghambat nyala

dalam proses produksinya.

15

Gambar 3. Keterlibatan Beberapa Kementerian dalam Penerapan Aturan Pengendalian

dan Pengawasan Senyawa Penghambat Nyala

2.1.1 Pertanyaan RIA

Langkah selanjutnya dalam penyusunan suatu regulatory impact analysis (RIA) yaitu

menjawab 10 pertanyaan awal sebelum dilakukan langkah lanjutnya. Dari pertanyaan -

pertanyaan tersebut bisa disimpulkan sementara pentingnya regulasi tersebut disusun. Tabel 3

memperlihatkan pertanyaan dan jawaban atas pertanyaan awal dalam melakukan RIA.

PENGENDALAIAN DAN

PENGAWASAN SENYAWA

PENGHAMBAT NYALA

KEMENTERIAN LINGKUNGAN

HIDUP DAN KEHUTANAN

KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN

KEMENTERIAN KEUANGAN

KEMENTERIAN PERDAGANGAN

16

NO PERTANYAAN JAWABAN

1 Apakah masalahnya didefinisikan dengan baik? Kebutuhan industri akan bahan penghambat nyala berpotensi menggunakan bahan

yang bisa membahayakan bagi pengguna yaitu adanya senyawa PBDE dalam bahan

penghambat nyala

2 Apakah keterlibatan pemerintah memang

diperlukan?

Indonesia tidak memproduksi bahan penghambat nyala jenis PBDE sehingga bahan

tersebut didatangkan dari luar negeri. Kondisi ini memerlukan pemerintah untuk

mengawasi datangnya bahan penghambat nyala jenis PBDE yaitu kementerian

perdagangan, bea cukai dan kementerian perindustrian.

3 Apakah regulasi merupakan bentuk terbaik dari

keterlibatan pemerintah?

Regulasi dalam pengawasan dan pengendalian bahan penghambat nyala sangat

diperlukan untuk mengetahui adanya pengguna senyawa PBDE yang digunakan

oleh Industri.

4 Apakah regulasi memiliki dasar hukum? Regulasi tentang pengawasan dan pengendalian bahan penghambat nyala mengacu

kepada Undang – Undang No 19 tentang ratifikasi konvensi Stockholm serta

Undang – Undang No 3 tahun 2014 tentang Perindustrian khususnya pasal 3 ayat c

tentang Industri Hijau

5 Siapakah para pemangku kepentingan dalam

penyusunan RPermeperin yang dimaksud?

Kemenperin, Kemendag, Bea Cukai, KLHK, Asosiasi Industri Plastik, Asosiasi

Industri Tekstil, Asosiasi Industri Elektronika dan Alat Listrik

6 Apakah manfaat lebih besar dari biayanya? Sangat bermanfaat untuk kesehatan dan keselamatan dalam melakukan aktivitas

produksi di Industri

Tabel 3. Pertanyaan awal RIA untuk Penyusunan Regulasan Pengawasan dan Pengendalian PBDE

17

7 Apakah ada transparasi distribusi dampak? Iya, semua pihak yang terkena dampak dalam penerapan peraturan ini harus

mengetahui sehingga penerapan dari peraturan ini harus dapat diawasi

8 Apakah regulasi jelas, konsisten, komprehensif dan

mudah diakses?

Regulasi tentang pengawasan dan pengendalian bahan penghambat nyala harus

jelas dan komprehensif serta diterapkan secara konsisten

9 Apakah semua pihak terkait punya kesempatan

untuk mengemukakan pandangannya?

RIA ini akan disosialiasikan kepada pihak -pihak terkait agar bisa dikritisi secara

bersama -sama untuk nantinya regulasi yang akan dibuat menjadi lebih berkualitas.

10 Bagaimana pelaksanaan regulasi tersebut? • Pemerintah akan menerapkan secara bertahap peraturan ini untuk

memberikan kesempatan kepada Industri yang masih menggunakan bahan

penghambat nyala berbahaya jenis PBDE. Dengan adanya rentang waktu

tersebut maka tahapan awal dilakukan pembinaan kepada seluruh Industri

yang menggunakan bahan penghambat nyala jenis PBDE.

• Bagi industri yang menyatakan tidak menggunakan bahan penghambat jenis

PBDE dapat mendeklarasikan bahwa produk yang dihasilkan bebas dari

bahan PBDE.

• Pemerintah melalui kementerian perindustrian selaku Pembina industri akan

melakukan pengecekan secara random terhadap berbagai produk dari

industri yang mendeklarasikan bahwa produknya bebas terhadap PBDE.

18

Dari pertanyaan awal tersebut maka dikembangkan opsi – opsi dengan mempertimbangkan

kondisi aktual, ruang lingkup regulasi, keterlibatan pemangku kepentingan serta dampak yang

diberikan dari regulasi tersebut. Berdasarkan pertimbangan -pertimbangan tersebut didapatkan

3 opsi untuk pilihan dalam melakuakn RIA ini yaitu

1. Tidak adanya peraturan khusus yang mengendalikan dan mengawasi bahan

penghambat nyala berbahaya (PBDE) seperti kondisi saat ini

2. Adanya peraturan sectoral industri yang menggunakan bahan penghambat nyala

berbahaya (PBDE) dalam proses produksinya dengan kementerian perindustrian

yang melakukan pengawasan dan pengendalian.

3. Adanya peraturan komprehensif yang melibatkan seluruh kementerian terkait mulai

dari pengendalian impor, pengawasan barang beredar , pengawasan sector produksi

dan pengawasan dan pengendalian pada limbah -limbah yang mengandung PBDE.

Pada peraturan komprehensif ini akan melibatkan kementerian

perdagangan,kementerian perindustiran, kementerian KLHK dan kementerian

keuangan.

2.1.2 Cost and Benefit Analysis (CBA)

Dari 3 pilihan tersebut dilakukan Cost and Benefit Analysis (CBA) untuk mendapatkan pilihan

terbaik. Adapun yang dimaksud dengan Cost atau biaya adalah pengeluaran yang harus

dikeluarkan oleh pemangku kepentingan dalam mengimplementasikan peraturan tersebut

sedangan Benefit atau manfaat merupakan sisi positif yang didapatkan dari implementasi

peraturan tersebut. CBA dilakukan terhadap seluruh pemangku kepentingan yang akan terlibat

dalam opsi tersebut dengan memberiakn penilaian kuantitatif dari perkiraan Cost atau Benefit

yang didapatkan pada setiap pemangku kepentingan. Adapun penilaian kuantitaif dinilai mulai

-3, -2, -1,+1,+2 dan +3 untuk setiap Cost and Benefit pemangku kepentingan. Kemudian nilai

total akan menjadi acuan dalam memilih opsi terbaik.

19

TAHAPAN UNTUK COST AND BENEFIT ANALYSIS SEBAGAI BERIKUT

1. Identifikasi pemangku kepentingan dari setiap alternatif

2. Buat parameter biaya dan manfaat dari setiap pemangku kepentingan

3. Berikan penilaian parameter dari pemangku kepentingan baik untuk biaya dan manfaat

4. Adapun penilaiannya dari rentang -3 hingga +3

5. Buatlah total penilaian baik untuk biaya dan manfaat

6. Total penilaian yang tertinggi akan menjadi alternative terbaik dari beberapa pilihan

alternatif

20

Tabel 4. Analisis manfaat dan biaya opsi pertama tanpa menyusun regulasi apapun untuk PBDE pada Sektor Industri

No Kelompok Biaya Nilai

Biaya Manfaat

Nilai

Manfaat

1 PEMERINTAH

KEMENTERIAN

PERINDUSTRIAN

Tidak memerlukan biaya apapun

dengan kondisi saat ini +1

Kementerian Perindustrian tidak melakukan peranan

apapun meskipun kondisi lapangan terdapat Industri

mengunakan bahan penghambat nyala PBDE

-1

2 INDUSTRI/PELAKU USAHA

INDUSTRI

Tidak memerlukan biaya apapun

dengan tidak berubah jenis bahan

penghambat nyala

+1

Industri tetap menggunakan bahan penghambat nyala

yang digunakan termasuk kemungkinan menggunaan

bahan penghambat nyala PBDE

-1

3 MASYARAKAT

MASYARAKAT

Masyarakat tidak memerlukan

biaya tambahan dengan adanya

produk bahan penghambat nyala

yang digunaakan tetapi Masyarakat

memerlukan biaya tambahan pada

kesehataanya akibat adanya potensi

bahaya bahan penghambat nyala

PBDE yang kemungkinan berada

-3 Masyarakat mendapatkan produk yang murah +1

21

dalam tubuh melalui produk yang

mengandung bahan penghambat

nyala PBDE

Total Manfaat -1 Total Biaya -1

22

Tabel 5. Analisis manfaat dan biaya opsi kedua dengan menyusun regulasi pengawasan dan pengendalian sektor Industri

No Kelompok Biaya Nilai

Biaya Manfaat

Nilai

Manfaat

1 PEMERINTAH

KEMENTERIAN

PERINDUSTRIAN

Biaya untuk melatih dalam

melakukan pengawasan dan

pengendalian produk -produk

Industri yang mengandung bahan

penghambat nyala

-1

Kementerian Perindustrian mengendalikan kualitas

produk termasuk pada sisi kesehatan dan dampak

bahaya bagi masyarakat

+3

2 INDUSTRI/PELAKU USAHA

INDUSTRI

Industri akan memerlukan

tambahan biaya karena harga bahan

penghambat nyala selain PBDE

lebih mahal

-2 Industri menghasilkan produk – produk berkualitas serta

aman bagi konsumen +3

3 MASYARAKAT

MASYARAKAT

Masyarakat membeli produk

dengan harga lebih tinggi dari

sebelumnya

-1 Masyarakat mendapatkan produk yang aman bagi

kesehatan dan lingkungan +3

Total Manfaat -5 Total Biaya +9

23

Tabel 6. Analisis manfaat dan biaya opsi ketiga dengan menyusun regulasi pengawasan dan pengendalian secara komprehensif

No Kelompok Biaya Nilai

Biaya Manfaat

Nilai

Manfaat

1 PEMERINTAH

KEMENTERIAN

PERINDUSTRIAN

Biaya untuk melatih dalam melakukan

pengawasan dan pengendalian produk

-produk Industri yang mengandung

bahan penghambat nyala

-1

Kementerian Perindustrian mengendalikan

kualitas produk termasuk pada sisi kesehatan

dan dampak bahaya bagi masyarakat

+3

KEMENTERIAN

PERDAGANGAN

Biaya untuk melatih dalam melakukan

pengawasan dan pengendalian produk

-produk Industri yang mengandung

bahan penghambat nyala

-1

Kementerian Perdagangan dapat melakukan

pengendalian barang -barang mengandung bahan

penghambat nyala

+1

KEMENTERIAN

LINGKUNGAN

HIDUP DAN

KEHUTANAN

KLHK harus mempersiapkan alat-alat

uji serta kemampuan personal dalam

melakukan analisa dari bahan baku

serta bahan buangan yang

mengandung PBDE

-2 Lingkungan semakin membaik terbebas dari

bahan yang mengandung bahaya bagi masyarakat +2

BEA CUKAI Biaya untuk melatih dalam melakukan

pengawasan dan pengendalian produk -2

Barang -barang yang masuk ke Indonesia lebih

selektif dan aman bagi masyarakat penggunanya +1

24

-produk Industri yang mengandung

bahan penghambat nyala

Beban kerja semakin meningkat

dengan adanya tambahan HS Code

untuk pengawasan bahan penghambat

nyala

2 INDUSTRI/PELAKU USAHA

INDUSTRI

Industri akan memerlukan tambahan

biaya karena harga bahan penghambat

nyala selain PBDE lebih mahal

-2 Industri menghasilkan produk – produk

berkualitas serta aman bagi konsumen +3

PELAKU USAHA

Importir produk -produk yang

mengandung bahan penghambat nyala

akan melalui tahapan lebih Panjang

yang memerlukan tambahan biaya

-2 Barang yang masuk ke Indonesia lebih aman +2

3 MASYARAKAT

MASYARAKAT Masyarakat membeli produk dengan

harga lebih tinggi dari sebelumnya -1

Masyarakat mendapatkan produk yang aman

bagi kesehatan dan lingkungan +3

Total Manfaat -12 Total Biaya +15

25

2.2 KANDUNGAN REGULASI PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN

Hasil dari cost and benefit analysis (CBA) padaTabel 4,5 dan 6 memperlihatkan opsi 2

menjadi pilihan terbaik pada saat ini karena sector industri merupakan pengguna utama dalam

melakukan proses produksi dengan menggunakan bahan penghambat nyala. Penyusunan suatu

regulasi yang berhubungan dengan berbagai instansi terkait seperti pada opsi 3 memerlukan

harmonisasi juga dengan peraturan -peraturan yang sudah ada. Pemerintah dalam hal ini

kementerian lingkungan hidup dan kehutanan sedang melakukan revisi dan perbaikan terhadap

Peraturan Pemerintah No 74 tahun 2001 tentang pengelolaan bahan berbahaya dan beracun.

Dengan adanya revisi tersebut maka PBDE sebagai salah satu bahan yang berbahaya dan

beracun dapat dimasukan ke dalam list pada perbaikan PP No 74 tahun 2001. Dengan adanya

list PBDE sebagai bahan berbahaya dan beracun maka tahapan selanjutnya adalah membuat

regulasi untuk pengendalian dan pengawasan terhadap bahan penghambat nyala yang

berbahaya termasuk PBDE pada sector Industri sesuai dengan opsi 2.

Gambar 4. Alur Proses Penyusunan Regulasi Pengendalian dan Pengawasan Bahan

Penghambat Nyala

26

Bersamaan dengan penyusunan regulasi maka kepastiaan dari ketersediaan bahan alternatif

pengganti PBDE yang lebih ramah terhadap lingkungan dan manusia serta biaya yang

dikeluarkan tidak terlalu membebani sektor industri. Beberapa industri pengguna bahan

penghambat nyala menggunakan bahan alternative berupa Decabromo Diphenyl Ethane

(DBDPE). Bahan ini relative lebih ramah terhadap lingkungan dan belum termasuk yang

dilarang dalam konvensi Stockholm. Pemerintah juga perlu mendukung penelitian dan produksi

bahan alternative yang dapat dihasilkan di dalam negeri sehingga industri memiliki pilihan

dalam penggunaan bahan penghambat nyala sesuai dengan kebutuhannya.

Regulasi pengendalian dan pengawasan bahan penghambat nyala ini akan lebih efektif apabila

didukung dengan standarisasi terhadap produk -produk yang mengandung bahan penghambat

nyala. Bentuk standarisasi bisa Standar Nasional Indonesia sesuai dengan Peraturan Menteri

Perindustrian Nomor 86 tahun 2009 tentang Standar Nasional Indonesia Bidang Industri.

Apabila SNI tentang produk -produk industri telah dibuat maka langkah selanjutnya adalah

pengawasan dari SNI tersebut dengan acuan pada Peraturan Menteri Perindustrian No 4 tahun

2018 tentang Tata Cara Pengawasan Pemberlakuan Standarisasi Industri Secara Wajib.

Draft Peraturan Pengendalian dan Pengawasan Bahan Penghambat Nyala serta pembuatan dan

pengawasan terhadap SNI produk -produk mengandung bahan penghambat nyala harus

disosilisasikan terlebih dahulu kepada para pemangku kepentingan. Adapun pemangku

kepentingan dengan bahan penghambat nyala adalah

• Import bahan penghambat nyala

• Industri penguna bahan penghambat nyala (industri compound, industri elektronika dan

alat listrik dan industri tekstil)

• Industri pengolahan daur ulang produk mengandung bahan penghambat nyala

Dari sosialiasi ini akan didapatkan suatu masukan dan perbaikan atas draft regulasi

pengendalian dan pengawasan bahan penghambat nyala. Langkah selanjutnya perbaikan

terhadap regulasi untuk nantinya bisa segera diproses pada biro hukum untuk dijadikan

peraturan resmi dari pemerintah perihal pengendalian dan pengawasan bahan penghambat

nyala.

27

BAB III

STRATEGI dan IMPLEMENTASI REGULASI

Setelah melakukan cost and benefit analysis (CBA) didapat opsi 2 dengan menyusun suatu

regulasi pengawasan dan pengendalian bahan penghambat nyala. Adapun strategi dan

implementasi dari regulasi yang akan disusun sebagai berikut :

1. Pemerintah akan melarang penggunaan bahan PBDE untuk sektor industri sesuai

dengan konvensi Stockholm.

Pelarangan penggunaan bahan penghambat nyala jenis PBDE akan berpengaruh

terhadap industri – industri yang menggunakan PBDE. Bagi Industri yang

menggunakan bahan penghambat non – PBDE akan semakin kompetitif produk yang

dihasilkan dari regulasi tersebut. Kemudian bagi yang menggunakan bahan penghambat

nyala PBDE akan membebani pada sector pembelian bahan penghambat nyala serta

potensi untuk penyesuaian proses produksi yang perlu dilakukan.

2. Pemerintah masih memberikan toleransi dalam jangka waktu tertentu kepada

Industri untuk dapat menyesuaikan bahan baku serta proses produksinya.

Pemerintah dalam hal ini kementerian perindustrian selaku Pembina Industri perlu

memberikan toleransi waktu untuk Industri – industri pengguna bahan penghambat

nyala jenis PBDE. Pada bagian ini juga pemerintah masih memberiakn toleransi hingga

1000 ppm bagi sector elektronika sesuai dengan standar pada RoHS.

3. Industri yang tidak menggunakan bahan PBDE dapat mendeklarasikan bahwa produk

yang dihasilkan bebas terhadap bahan PBDE.

Pemerintah memberikan kebebasan pada Industri untuk dapat mendeklarasikan bahwa

produk yang dihasilkan bebas dari PBDE (free – PBDE). Seiring dari deklarasi tersebut

maka pemerintah perlu juga mensosialisasikan perihal produk – produk bebas PBDE

sehingga masyarakat diedukasi untuk pemahaman akan POPs serta PBDE bagi

kesehatan dan lingkungan.

28

4. Kementerian Perindustrian akan melakukan random cek terhadap produk -produk

yang dihasilkan dari industri dengan kandungan bahan penghambat nyala terutama bagi

produk yang berlabel bebas PBDE (free- PBDE).

Dengan adanya produk -produk dengan label Free- PBDE maka pemerintah perlu

mempersiapkan sarana prasarana serta personal dalam melakukan pengecekan terhadap

produk - produk tersebut. Perlu dibangun suatu sarana laboratorium yang standar serta

modern yang dapat melakukan pengecekan kandungan PBDE hingga ke skala ppb.

29

BAB IV

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

4.1 KESIMPULAN

• Regulatory Impact Analysis (RIA) terhadap regulasi pengendalian dan pengawasan

bahan penghambat nyala telah dibuat sebagai acuan dalam penyusunan regulasi

terkait. RIA ini perlu disampaikan agar efektif dan asas kemanfaatan dari regulasi

pengendalian bahan penghambat nyala dapat berjalan dengan baik.

• Hasil dari RIA menunjukkan bahwa regulasi pengendalian dan pengawasan pada

sector Industri menjadi pilihan dari beberapa opsi.

• Regulasi yang disusun akan melarang penggunan PBDE dan diikuti pemberian

toleransi terhadap Industri yang beralih dari PBDE ke bahan penghambat nyala

lainnya

4.2 REKOMENDASI

• Langkah selanjutnya menyusun regulasi pengawasan dan pengendalian bahan

penghambat nyala dengan memasukan masa transisi dalam penggunaa bahan

penganti

• Secara bersamaan untuk mendukung penerapan regulasi tersebut bisa dibuat SNI

terhadap produk – produk mengandung bahan penghambat nyala serta pengembangan

produk pengganti PBDE.

30

DAFTAR PUSTAKA

Badan Kepegawaian Negara. (2016). Penggunaan Metode Regulator Impac Assesment (RIA)

dalam Pembentukan Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara.

Chai, C.Y., Yu, S.Y., Liu, Y., Tao, S., Liu, W.X. (2018). PBDE emission from E-wastes during

the pyrolytic process: Emission factor, compositional profile, size distribution and gas particle

partitioning. Environmental Pollution, Vol 235, pages 419-428

He, J., Robrock, K. R., dan L. Alvarez-Cohen. (2006). Microbial Reductive Debromination of

PBDEs. Environmental Science & Technology, Vol. 40 pages 4429 – 4434

Ilyas, M., Sudaryanto, A., Setiawan, I.E., Riyadi, A.S., Isobe, T., Ogawa, S., Takahashi, S.,

Tanabe, S. (2011). Charcterization of polychlorinated biphenyls and brominated flame

retardants in surface soils from Surabaya, Indonesia. Chemosphere, Vol: 83, 783-791

Ilyas, M., Sudaryanto, A., Setiawan, I.E., Riyadi, A.S., Isobe, T., Tanabe, S. (2013).

Charcterization of polychlorinated biphenyls and brominated flame retardants in sludge,

sediment and fish from municipal dumpsite at Surabaya, Indonesia. Chemosphere, Vol: 93,

1500 -1510

Parry, E., Zota, A.R., Park, J.S., Woodruff, T.J., (2018). Polybrominated diphenyl ethers

(PBDEs) and hydroxylated PBDE metabolites (OH-PBDEs): A six year temprat trend in

Nothern California pregnant woman, Chemosphere, Vol 195, 777- 783

Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia No 40/M-IND/PER/11/2017 tentang

Pedoman Penyusunan Peraturan Perundang – Undangan di Lingkungan Kementerian

Perindustrian

31

Susanto, D.A., Suprapto., Hadiyanto, J. (2016). Regulatory Impact Analysis Terhadap

Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia Biskuit Secara Wajib.

Suska (2012). Prinsip Regulatory Impact Assesment dalam Proses Penyusunan Peraturan

Perundang – Undangan Sesuai UU No 12 tahun 2012.

USAID. (2016). Regulatory Impac Assesment (RIA) – Dokumentasi Uji Coba Pendekatan RIA

untuk Review Regulasi Air Bersih dan Sanitasi.

United States Environmental Protection Agency (EPA). (2014). Technical Fact Sheet

Polybrominated Diphenyl Ether (PBDEs) and Polybrominated Biphenyls (PBBs).

United States Health and Human Service. (2017). Toxicological Profile Polybrominated

Diphenyl Ethers (PBDEs).