referat stimulan revisi

55
DAFTAR ISI DAFTAR ISI KATA PENGANTAR BAB I. PENDAHULUAN BAB II. ISI 2. 1 Definisi 2.2 Jenis Zat Stimulan dan Gangguan yang Diakibatkan 2.2.1 Amphetamine 2.2.1.1 Metamphetamine 2.2.1.2 MDMA 2.2.2 Kokain 2.2.3 Nikotin 2.2.4 Khat 2.2.5 Kafein 2.3 Penatalaksanaan 2.4 Pemulihan BAB III. PENUTUP 3. 1 Kesimpulan DAFTAR PUSTAKA

Upload: santi-lestari

Post on 28-Dec-2015

65 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

referat stimulan

TRANSCRIPT

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

BAB I. PENDAHULUAN

BAB II. ISI

2. 1 Definisi

2.2 Jenis Zat Stimulan dan Gangguan yang Diakibatkan

2.2.1 Amphetamine

2.2.1.1 Metamphetamine

2.2.1.2 MDMA

2.2.2 Kokain

2.2.3 Nikotin

2.2.4 Khat

2.2.5 Kafein

2.3 Penatalaksanaan

2.4 Pemulihan

BAB III. PENUTUP

3. 1 Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

I. Pendahuluan

Ketergantungan dan penyalahgunaan zat bukan merupakan masalah baru di Indonesia.

Lebih dari 300 tahun yang lalu, salah satu bahan mentah sejenis opioid telah diperdagangkan

atau disalahgunakan oleh berbagai masyarakat di jawa dan Sumatera. Pada sekitar tahun

1990an, peredaran zat sikoaktif golongan opioid menanjak tajam terutama dari heroin, diikuti

golongan Amphetamine Type Stimulant (Amphetamin, ecstasy, shabu). Dewasa ini,

diperkirakan di Indonesia terdapat peningkatan jumlah penyalahgunaan narkotika,

psikotropika , dan zat aditf lainnya (NAPZA) dari tahun ke tahun. Pada tahun 2008 prevalensi

penggunaan NAPZA sebesar 1,99% dari penduduk Indonesia pada kelompok berumur 10-59

tahun (sekitar 3,6 juta jiwa) sedangkan pada tahun 2010 prevalensi tersebut naik menjadi

2,21% tahun 2015 naik menjadi 2,8% atau setara dengan 5,1-5,6 juta orang (Badan Narkotika

Nasional, 2008).

NAPZA sebenarnya dekat dengan kehidupan kita yang seringkali tidak kita sadari

digunakan, seperti contohnya adalah kafein yang biasa ditemukan pada coklat atau kopi.

Maka setelah mengkonsumsi coklat atau kopi, kita seringkali merasa tegang, nervus, ataupun

bersemangat. Kafein merupakan contoh yang ringan. Masih banyak obat stimulant lain yang

lebih kuat, beberapa diantaranya berbahaya dan illegal.

Stimulans adalah zat yang merangsang sistim saraf pusat sehingga mempercepat

proses-proses dalam tubuh, seperti meningkatnya detak jantung, pernapasan dan tekanan

darah. Stimulan dapat membuat orang lebih siaga dan menyembunyikan kelelahan. Contoh-

contoh zat yang termasuk dalam stimulans adalah amfetamin,met-amfetamin, kokain, nikotin,

kath, kafein dan MDMA.

Menurut United Nations Office on Drug and Crime di seluruh dunia diperkirakan

terdapat 26 juta orang yang menggunakan met-amfetamin pada tahun 2003-2004, sedangkan

yang menggunakan heroin 11 juta dan kokain 14 juta orang. Berarti penggunaan met-

amfetamin 2 kali lebih besar dari penggunaan heroin atau kokain. Penelitian Badan Narkotika

Nasional tahun 2008 menunjukkan adanya peningkatan bermakna atas sitaan met-amfetamin

dari 48,8 kg pada tahun 2001 menjadi 1241,2 kg pada tahun 2006, atau terjadi peningkatan 25

kali hanya dalam waktu 5 tahun. Survey yang sama menunjukkan bahwa met-amfetamin

Indonesia menduduki peringkat kedua jenis zat paling banyak digunakan setelah ganja. 1

Definisi Stimulan

Stimulan adalah zat yang merangsang sistim saraf pusat sehingga mempercepat proses-

proses dalam tubuh, seperti meningkatnya detak jantung, pernapasan dan tekanan darah.

Stimulan dapat membuat orang lebih siaga dan menyembunyikan kelelahan.

Epidemiologi

Metamfetamin terus mendominasi pasar ATS di Asia Timur dan Asia Tenggara,

Oceania dan Pasifik. Serangan ATS meningkat setiap tahun dari sekitar 13 ton pada tahun

2008 sampai hampir 40 ton di tahun 2012. Laju peningkatan serangan ATS beberapa tahun

ini, secara primer diakibatkan oleh peningkatan dari serangan met-amfetamin yang

meningkat 3 kali lipat, yang awalnya dari 12 ton pada 2008 mencapai 36 ton pada 2012.

Dengan peningkatan sebesar 0,1 ton pada tahun 2008 menjadi 2,3 ton pada tahun 2011,

serangan amfetamin mengalami penurunan kurang dari 0,2 ton pada 2012. 2

Antara tahun 2008 dan 2011, jumlah keseluruhan pabrik ATS yang terbongkar telah

meningkat hampir 90%, didominasi karena besarnya peningkatan pembongkaran dari pabrik

amfetamin dan met-amfetamin yang meningkat sekitar 300 pada 2009 dan hampir mencapai

590 pada 2010 dan 560 pada 2011. Angka pembongkaran pabrik ecstasy per tahun telah

menetap sekitar 30 antara tahun 2008 dan 2010, namun meningkat hingga hampir 140 pada

tahun 2011. 2

Penggunaan ATS merupakan masalah pokok pada sebagian besar daerah. Pada 2012,

pengguna ATS memiliki porsi terbesar kedua sekitar 19,1% pada penerima pengobatan di

tanah daratan China, di bawah jumlah penerima pengobatan pada pengguna opioid dengan

persentase 79,7%. Meski pengguna ATS terhitung sebanyak 35,7% (4.884 orang) dari total

jumlah pengguna yang mendapatkan pengobatan di Indonesia pada 2012, angka ini masih di

bawah jumlah pengguna opioid yang terobati dengan angka 53,1% (7.262 orang). 2

Pada survey terbaru tentang penggunaan zat, ditemukan prevalensi ecstasy berada

pada posisi ketiga substansi yang paling banyak digunakan oleh masyarakat usia antara 16-64

tahun dengan persentase 2,6% setelah cannabis (14,6%) dan halusinogen (3,2%).

Di Indonesia, serangan ecstasy telah meningkat secara kontinu dari 0,1 ton pada 2009 hingga

1,3 ton pada 2012. Hasil survey penggunaan zat di antara pekerja Indonesia usia antara 15 -

60 tahun pada 2012,ecstasy termasuk dalam urutan ketiga substansi yang banyak digunakan

dengan persentase 2,50% setelah cannabis (7,11%) dan tranquilizers and sedatives (4,09%).

Survey sekolah Indonesia di antara pelajar usia 15-19 tahun juga mengindikasikan

peningkatan prevalensi ecstasy dengan urutan kedua terbanyak setelah benzodiazepine

(0,34%) dan cannabis (1,3%). 2

II. Jenis Zat Stimulan

a. Amfetamin dan turunannya

Adalah senyawa kimia yang bersifat stimulansia ( lebih dikenal dengan Amphetamin Type

Stimulants atau ATS). Dulu amfetamin sulfat digolongkan dalam ilmu kedokteran sebagai

obat untuk obesitas, epilepsy, narkolepsi, dan depresi. Dewasa ini oleh sindikat

psikotropik illegal, derivat amfetamin dipasarkan di Indonesia dalam bentuk: ecstasy

(MDMA, 3,4 methilenedioxy-methamphetamine) dan shabu (methamphetamine). Ecstasy

dalam bentuk pin, tablet atau kapsul dan shabu dalam bentuk bubuk kristal putih (mirip

bumbu masak). Namajalanannya adalah speed, meth crystal, uppers, whizz dan sulphate.

Kedua zat ini digunakan sebagai alasan klasik: “for fun”, “recreational use”,

“meningkatkan libido dan memperkuat sex performance”.

Gambar 1. Shabu (kiri) dan Ecstasy (kanan)

Ada dua jenis amfetamin :

1. MDMA (Methylene-dioxy-methamphetamine), mulai di kenal sekitar tahun 1980

dengan nama Ecstacy atau Ekstasi yang berbentuk pil atau kapsul. Nama lain : xtc,

fantasy pils, inex, cece, cein.

2. Metamfetamin.

Cara penggunaan ATS tergantung pada jenis yang digunakan sebagai berikut:

1. Amfetamin: dapat berupa tablet atau suntikan.

2. Ecstasy: digigit dengan gigi sedikit demi sedikit kemudian ditelan.

3. Shabu : uap yang dipanaskan melalui tabung air kemudian dihisap melalui bibir

(dengan bong plastik).

Akibat penyalahgunaan amfetamin (termasukecstasy dan shabu) adalah :

1. Problem Fisik

a) Malnutrisi akibat defisiensi vitamin, kehilangan nafsu makan

b) Denyut jantung meninggi sehingga membahayakan bagi mereka yang pernah

mempunyai riwayat penyakit jantung

c) Gangguan ginjal, emboli paru dan stroke

d) HIV / AIDS bagi mereka yang menggunakan suntikan amfetamin

2. Problem Psikiatri

a) Perilaku agresif

b) Confusional state, psikosis paranoid sampai skizofrenia

c) Kondisi putus zat menyebabkan: lethargy, fatigue, exhausted, serangan panic,

gangguan tidur

d) Depresi berat sampai suicide

e) Halusinasi (terutama ecstasy dan shabu)

3. Problem Sosial

a) Suicide

b) Kecelakaan lalu lintas

c) Aktivitas kriminal

4. Sebab Kematian

a) Suicide

b) Serangan jantung

c) Tindak kekerasan, kecelakaan lalu lintas

d) Dehidrasi, sindrom keracunan air

Efek Fisik dan Psikologis

Efek dari metamfetamin lebih kuat dibandingkan efek dari amfetamin.Metamfetamin

diketahui lebih bersifat adiktif, dan cenderung mempunyai dampakyang lebih buruk.

Pengguna metamfetamin dilaporkan lebih jelas menunjukkangejala ansietas, agresif,

paranoia dan psikosis dibandingkan pengguna amfetamin.Efek psikologis yang

ditimbulkan mirip seperti pada pengguna kokain, tapiberlangsung lebih lama. 1

Tabel 1. Efek Fisik Akut dan Psikologis Penggunaan Amfetamin1

Dosis rendah Dosis tinggi

Susunan Syaraf

Pusat,

neurologi, perilaku

Peningkatan stimulasi,

insomnia, dizziness, tremor

ringan

Euphoria/disforia, bicara

berlebihan

Meningkatkan rasa percaya

diri dan kewaspadaan diri

Cemas, panik

Menekan nafsu makan

Dilatasi pupil

Stereotipik atau perilaku

yang sukar ditebak

Perilaku kasar atau

irasional, mood yang

berubah-ubah, termasuk

kejam dan agresif

Bicara tak jelas

Paranoid, kebingungan

dan gangguan persepsi

Sakit kepala, pandangan

Peningkatan energi, stamina

dan penurunan rasa lelah

kabur, dizziness

Psikosis (halusinsi, delsi,

paranoia)

Dengan penambahan dosis

dapat meningkatkan libido

Sakit kepal

Gemerutuk gigi

Gangguan

serebrovaskular

Kejang

Koma

Gemerutuk gigi

Distorsi bentuk tubuh

secara keseluruhan

Kardiovskular Takikardia (mungkin juga

bradikardia)

Hipertensi

Palpitasi, aritmia

Stimulasi krdiak

(takikardia, angina, MI)

Vasokonstriksi /

hipertensi

Kolaps kardiovaskuler

Pernapasan Peningkatan frekuensi napas dan

kedalaman pernapasan

Kesulitan bernapas /

gagal napas

Gastrointestinal Mual dan muntah

Konstipasi,diare atau

kramabdominal

Mulut kering

Mual dan muntah

Kram abdominal

Kulit Kulit berkeringat, pucat

Hiperpireksia

Kemerahan atau flushing

Hiperpireksia, disforesis

Otot Peningkatan refleks tendon

Efek fisik dan psikologis jangka panjang :

1. Berat badan menurun, malnutrisi, penurunan kekebalan

2. Gangguan makan, anpreksia atau defisiensi gizi

3. Kemungkinan atrofi otak dan cacat fungsi neuropsikologis

4. Daerah injeksi: bengkak, skar, abses

5. Kerusakan pembuluh darah dan organ akibat sumbatan partikel amfetamin

padapembuluh darah yang kecll.

6. Disfungsi seksual

7. Gejala kardiovaskuler

8. Delirium, paranoia, ansietas akut, halusinasi, amphetamines induced psychosisakan

berkurang bila penggunaan napza dihentikan,bersamaan dengan diberikan medikasi

jangka pendek.

9. Depresi, gangguan mood yang lain (misal distimia), atau adanya gangguan makan

pada protracted withdrawal.

10. Penurunan fungsi kognitif, terutama daya ingat dan konsentrasi.

Perilaku sehubungan dengan kondisi intoksikasi:

1. Agresif / perkelahian

2. Penggunaan alkohol

3. Berani mengambil resiko

4. Kecelakaan

5. Sex tidak aman

6. Menghindar dari hubungan social dengan sekitarnya

7. Penggunaan obat-obatan lain

8. Problem hubungan dengan orang lain

Tabel 2 DSM-IV-TR Kriteria Diagnostik Intoksikasi Amphetamine1

A. Baru-baru ini menggunakan amphetamine atau substansi terkait (misal:

methylphenidate).

B. Secara klinis perubahan perilaku atau psikologis yang signifikan (misal: euphoria

atau afektif tumpul; perubahan dalam kemampuan bersosialisasi; hypervigilance;

sensitivitas interpersonal; kecemasan, ketegangan, atau marah; stereotip perilaku;

gangguan fungsi sosial atau pekerjaan) yang berkembang selama atau beberapa saat

setelah penggunaan amphetamin atau zat terkait.

Dua (atau lebih) dari tanda di bawah ini, berkembang selama atau beberapa saat

setelah penggunaan:

1. takikardia or bradikardia

2. dilatasi pupil

3. peningkatan atau penurunan tekanan darah

4. perspirationatauchills

5. nausea atau muntah

6. bukti adanya penurunan berat badan

7. agitasi psikomotor atau retardasi

8. kelemahan muscular, depresi pernapasan, nyeri dada atau aritmia jantung

9. konfusi, kejang, diskinesis, dystonia, atau koma

C. Gejala-gejalatidak disebabkan olehkondisi medis umumdantidaklebih baikdijelaskan

olehgangguan mentallain.

Tentukan jika:

Disertai gangguan persepsi

(From American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental

Disorders. 4th ed. Text rev. Washington, DC: American Psychiatric Association; copyright

2000, with

Tabel 3 DSM-IV-TR Kritesia Diagnostik Withdrawal Amphetamin1

A. Penghentian (atau pengurangan) penggunaan amfetamin(atau zat terkait) yang sudah

berat dan berkepanjangan.

B. Mood dysphoric dan dua (atau lebih) dari perubahan fisiologis berikut, berkembang

dalam beberapa jam sampai beberapa hari setelah kriteria A:

1. Kelelahan

2. Mimpi yang jelas, tidak menyenangkan

3 Insomnia atau hipersomnia.

4. Nafsu makan meningkat

5. Retardasi psikomotoratau agitasi

C. Gejala pada kriteria B menyebabkan The symptoms in Criterion B

D. menyebabkan distress yang bermakna secara klinisatau gangguandalam bidang sosial,

pekerjaan, ataufungsi penting.

E. Gejalatidak disebabkan olehkondisi medis umum dan tidak lebih baik dijelaskan oleh

gangguan mental lain.

(From American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental

Disorders. 4th ed. Text rev. Washington, DC: American Psychiatric Association; copyright

2000, with permission.)

b. Metamfetamin1

Disebut juga: Chalk, Crystal, Glass, Ice, Met, Speed, Tina, SS, crank. Metamfetamin

memiliki lama kerja lebih panjang di banding MDMA

(Methylenedioxymethamphetamine), yaitu dapat mencapai 12 jam dan efek

halusinasinya lebihkuat.

Gambar 2. Metamfetamin

Metamfetamine mempengaruhi otak dan membuat rasa nikmat, meningkatkan

energidan meningkatkan mood. Kecanduannya begitu cepat, sehingga peningkatan

dosisterjadi dalam jangka pendek. Gangguan kesehatannya meliputi irregularitas

detak jantung, kenaikan tekanan darah, dan berbagai masalah psikososial. Penggunaan

jangka panjang akan membuat seseorang terganggu mentalnya secara serius,

mengalami gangguan memori dan masalah kesehatan mulut yang berat.

Metamfetamin lebih bersifat adiktif dan cenderung mempunyai dampak yang lebih

buruk dibandingkan amfetamin. Pengguna metamfetamin dilaporkan menunjukkan

gejala ansietas, agresif, paranoia dan psikosis dibandingkan pengguna amfetamin.

Efek psikologis yangditimbulkan mirip seperti pada pengguna kokain, 1api

berlangsung lebih lama.

Cara penggunaan:

1. Dalam bentuk pil diminum per oral

2. Dalam bentuk kristal, dibakar dengan menggunakan kertas aluminium foil

danasapnya diihisap (intra nasal) atau dibakar dengan menggunakan botol kaca

yangdirancang khusus (bong). Metamphetamine hydrochloride, berbentuk kristal

diinhalasi dengan dibakar, karenanya disebut ice, crystal, glass dan tina.

3. Dalam bentuk kristal yang dilarutkan, dapat juga melalui intravena.

c. Kokain 1

Adalah sejenis stimulansia yang di Indonesia saat ini belum begitu popular. Namun

bertambahnya sitaan kokain secara illegal dan meningkatnya kasus-kasus pengguna

kokain akihir-akhir ini, bukan tidak mungkin epidemic kokain akan merajai pasaran

peredaran NAPZA dalam masa-masa mendatang.

Kokain dihasilkan dari daun tumbuhan yang disebut Erythroxylon coca. Tanaman

tersebut tumbuh subur di sebelah timur pegunungan Andes di Amerika Selatan.

Tanaman ini juga tumbuh di beberapa tempat di Asia Tenggara, Eropa dan Amerika

Serikat.

Bentuk kokain yang diperjualbelikan di Indonesia dalam bentuk bubuk putih.

Ada 3 cara penggunaan kokain untuk memasukkannya ke dalam tubuh, yaitu:

1. Bubuk kokain (dalam bentuk garam kokain hidrokhlorid) langsung diinhalasi

memalui lubang hidung (sering disebut dengan istilah snorting) dan kemudian

diabsorbsi ke dalam pembuluh darah melalui mukosa lubang hidung

2. Free-base cocain, adalah garam kokain yang dikonversikan dengan larutan yang

mudah menguap. Setelah dipanaskan, uap diinhalasi melalui bibir (seperti

merokok), dengan cepat diabsorbsi melalui membrane alveoli paru

3. Garam kokain yang disuntikkan melalui intravenous

Gambar 3. Kokain

Tabel 4 DSM-IV-TR Kriteria Diagnosti IntokikasiKokain1

A. Penggunaan kokain baru-baru ini

B. Secara klinisperubahan perilakuatau psikologisyangsignifikan (misal: euforia atau

afektif tumpul; perubahan dalam sosialisasi; hypervigilance; sensitivitas

interpersonal; ansietas; ketegangan, atau marah; stereotip perilaku; gangguan fungsi

sosial atau pekerjaan) yang berkembang selama atau beberapa saat setelah

penggunaan kokain.

C. Dua (atau lebih) dari tanda di bawah ini, berkembang selama atau beberapa saat

setelah penggunaan kokain:

1. takikardia or bradikardia

2. dilatasipupil

3. peningkatan atau penurunan tekanan darah

4. perspirationatauchills

5. nausea atau muntah

6. bukti adanya penurunan berat badan

7. agitasi psikomotor atau retardasi

8. kelemahan muscular, depresi pernapasan, nyeri dada atau aritmia jantung

9. konfusi, kejang, diskinesis, dystonia, atau koma

D. Gejala-gejalatidak disebabkan olehkondisi medis umumdantidaklebih baikdijelaskan

olehgangguan mentallain

Tentukan jika:

   Disertai gangguan persepsi

(From American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental

Disorders. 4th ed. Text rev. Washington, DC: American Psychiatric Association; copyright

2000, with permission.)

Umumnya pengguna kokain memulai kebiasaannya dengan cara snorting dan

berakhir dengan menyuntik intravenous atau dengan cara merokok. Akibat

penyalahgunaan kokain adalah :

1. Problem Fisik

a) Dengan menggunakan snorting dapat terjadi komplikasi : pilek terus menerus,

sinusitis, epistaksis, luka-luka pada rongga hidung, perforasi septum nasi.

b) Dengan suntukan dapat menyebabkan: infeksi lokal pada kulit sampai sistemik

(virus, bakteri, parasite, atau jamur), abses daerh kulit, endocarditis bakteri,

hepatitis (B dan C), HIV/AIDS

c) Inhalasi melalui merokok dapat menyebabkan radang tenggorokan,

melanoptysis atau sputum berbercak-bercak darah, bronchitis kronis sampai

pneumonia.

d) Cocain baby (retardasi pertumbuhan intrauterine, bayi lahir lebih kecil sampai

prematur yang diikuti kelainan menta :irritable, gangguan tidur, kesukarn

makan).

2. Problem Psikiatri

a) Toleransi dan ketergantungan sifat toleransi tubuh terhadap kokain sanngat

cepat, kendati pengguna tidak menyadari dosis yang digunakan kian

meningkat. Akibatnya, ia tidak mampu mengendalikan diri, dan untuk

mencukup kebutuhnnya ia mengkonsumsi kokain dengan mencampurinya

dengan zat adiktif lain (speedball) untuk mendapatkan efek yang diinginkan

b) Gejala fisik putus zat kurang dikenal. Namun secara mental sangat merugikan

berupa: agitasi, depresi, fatigue, high craving, cemas, marah meledak-ledak,

gangguan tidur, mimpi aneh, makan berlebihan, mudah tersinggung, mual,

otot-otot pegal gingga lethargy.

3. Problem Sosial

a) Problem interpersonal: separasi perkawinan sampai perceraian, pertengkaran

dalam rumah tangga

b) Problem finansil: toleransi karena penggunaan kokain menyebabkan besarnya

biasa penyediaan kokain, terbatasnya penghasilan menyebabkan hutang yang

menumpuk

c) Problem pekerjaan: kehilangan pekerjaan karena rusaknya produktivitas diri,

angka absen yng meningkat, kehilangan professional licence atau certificate

d) Problem legal: ditahan, dihukum hingga dipidana

4. Sebab Kematian

a) Umumnya karena overdosis (lebih dari 1,2 sampai 1,5 gram bubuk kokain

asli)

b) Penyebab kematian karena: kelumpuhan alat pernapasan, artimia kordis,

kejang berulang kali, mati lemas karena merasa seperti dicekik, reaksi alergi,

stroke (karena naiknya tekanan darah secara mendadak), kehamilan

(perdarahan antepartum, aborsi)

c) Pada bayi dapat terjadi Sudden Infant Death Syndome

Efek akut pada dosis rendah :

1. Anastesi lokal

2. Dilatasi pupil

3. Vasokonstriksi

4. Peningkatan pernapasan

5. Peningkatan denyutjantung

6. Peningkatan tekanan darah

7. Peningkatan suhu tubuh

Efek akut pada dosis tinggi (reaksi toksik):

1. Stereotipik, perilaku repetitif

2. Ansietas/ agitasi berat/ panik

3. Agresif

4. Kedutan otot/tremor/hilang koordinasi

5. Peningkatan refleks

6. Gagal napas

7. Peningkatan tekanan darah yang bermakna

8. Nyeri dada/angina

9. Edema paru

10. Gagal ginjal akut

11. Konvulsi

12. Penglihatan kabur

13. Stroke akut

14. Kebingungan/delirium

15. Halusinasi, lebih sering halusinasi dengar

16. Dizziness

17. Kekakuan otot

18. Lemah, nadi cepat

19. Aritmia jantung

20. Iskemi miokardial dan infark

21. Berkeringat/suhu tubuh sangat tinggi (suhu rektal bisa mencapai 41°C)

22. Sakit kepala

23. Nyeri perut/mual/muntah

Efek pada penggunaan kronis :

1. Insomnia

2. Depresi

3. Agresif atau liar

4. Kehilangan nafsu makan dan penurunan berat badan

5. Kedutan otot

6. Ansietas

7. Psikosis - waham curiga, halusinasi

8. Hilang libido dan/atau impotensi

9. Peningkatan refleks

10. Peningkatan denyut nadi

Gejala putus kokain (terjadi setelah beberapa hari penggunaan kokain)

1. Mood disforia (anhedonia atau kesedihan mirip depresi) dan

a) Kelelahan

b) Insomnia atau hipersomnia

c) Agitasi psikomotor atau retardasi

d) Craving

e) Peningkatan nafsu makan

f) Mimpi buruk

2. Gejala putus alkohol mencapai puncaknya dalam 2-4 hari

3. Gejala disforia bisa berlangsung sampai 10 minggu

d. nikotin2,3

\

Ketergantungan nikotin atau ketergantungan tembakau merupakan suatu adiksi

terhadap produk tembakau yang disebabkan oleh nikotin. Nikotin adalah salah satu

bahan yang terdapat dalam rokok yang mebuat perokok menjadi ketergantungan.

Sekitar 70% perokok mengakui bahwa mereka ingin berhenti merokok tetapi tidak

dapat melakukannya. Orang yang berhenti, 90% oleh keinginan sendiri, tetapi hanya

sekitar 3-4% yang berhasil berhenti.

Nikotin menghasilkan efek yang menyenangkan pada otak yang mempengaruhi mood

dan perilaku secara sementara. Efek ini mendorong seseorang untuk terus

mengonsumsi tembakau dan mengakibatkan ketergantungan pada dirinya.

Ketergantungan nikotin disebabkan oleh senyawa kimia bernama nikotin yang

mendorong penggunanya untuk terus merokok karena sifatnya yang adiktif. Selain itu,

nikotin dapat meningkatkan pelepasan senyawa kimiawi otak yang disebut

neurotransmiter dan berfungsi mengatur mood serta perilaku seseorang. Salah satunya

adalah dopamine yang membuat seseorang merasakan kenyamanan atau kesenangan

yang juga menjadi bagian dari proses kecanduan. Ketergantungan ini juga diakibatkan

oleh perilaku merokok yang telah menjadi kebiasaan seseorang.

Penghentian pemakaian tembakau juga menyebabkan gejala putus obat, antara lain

kecemasan dan iritabilitas.

Gejala- gejala ketergantungan nikotin :

Tidak dapat berhenti merokok. Meskipun telah serius berusaha untuk berhenti

merokok, tetapi tetap tidak berhasil.

Mengalami gejala – gejala putus obat ketika mencoba untuk berhenti merokok,

misalnya keinginan yang kuat untuk merokok, kecemasan, irritabilitas, gelisah,

sulit brekonsentrasi, mood depresif, frustasi, marah, rasa lapar meningkat, sulit

tidur, konstipasi atau diare.

Tetap merokok meskipun mengalami gangguan kesehatan, misalnya masalah pada

paru-paru dan jantung.

Tidak mengikuti aktivitas sosial atau rekreasi karena ingin merokok.

e. Khat4,5

Katinona, (bahasa Inggris: Cathinone) atau benzoyletanamina (dipasarkan dengan

nama haggigat di Israel) atau bisa juga disebut Neropedron (bahasa Inggris:

Nerophedrone). adalah zat monoamina alkaloid yang terkandung dalam tumbuhan

semak Catha edulis (khat) dan secara kimiawi mirip dengan efedrina, katin, dan zat

amfetamin lainnya. Zat kationa adalah bentuk alami dari amfetamin.

Katinona menginduksi pelepasan dopamina dari preparasi striatal yang di pra-

labelkan dengan dopamina atau prekursornya. Katinona kemungkinan merupakan

kontributor utama bagi efek stimulan Catha edulis. Tidak seperti amfetamin lainnya,

katinona tergolong ke dalam kelompok fungsional keton. Zat amfetamin lainnya yang

juga berbagi struktur dengannya adalah antidepresan buprofiona dan stimulan

metkatinona.

Gambar. Daun khat

Tanaman yang tingginya bisa mencapai 2 meter itu juga disebut dengan nama khat,

gat, qat, atau teh arab. Khat Catha edulis berasal dari Afrika tengah dan Timur Tengah

terutama Yaman. Khat masuk ke Indonesia, khususnya daerah Cisarua, Kabupaten

Bogor, Jawa Barat, melalui para wisatawan dari Timur Tengah pada 2005. Sejak saat

itu, masyarakat di kawasan wisata Puncak, Kabupaten Bogor, mulai membudidayakan

khat.

Sedikit orang mengetahui bahwa pemerintah menetapkan zat katinona sebagai

psikotropika sejak 1997. Kemudian statusnya berubah menjadi narkotika golongan I

pada Undang-Undang No.35 tahun 2009. Asal-usul penetapan status narkotika bagi

katinona merujuk pada ketetapan WHO pada 1974 yang menetapkan katinona sebagai

obat-obatan terlarang golongan I.

Banyak ahli mengaitkan hubungan antara katinona yang terkandung dalam daun khat

dengan zat penenang seperti amfetamin. Khat juga sering disebutkan sebagai

amfetamin alami.  Dampak penggunaan katinona sama dengan golongan zat stimulan

pada umumnya. Efek katinona berpengaruh terhadap psikomotorik seseorang seperti

euforia, hiperaktif, dan insomia. Khat digolongkan menjadi narkotika, karena

menyebabkan ketergantungan.

Daun khat mengurangi jumlah serum kolestrol, tingkat konsentrasi, kolesterol jahat

atau LDL, kadar kolesterol total, dan glukosa. Khat juga dikemukakan bahwa ekstrak

khat dengan dosis tinggi justru menghambat perilaku seksual. Sebaliknya penggunaan

khat berdosis rendah meningkatkan motivasi seksual atau gairah.

Penggunaan katinona yang berlebihan dapat menyebabkan hilangnya nafsu makan,

gelisah, irritabel, insomnia, halusinasi dan serangan panik. Pengguna kronis beresiko

terkena gangguan kepribadian dan menderita infark miokard. Mefedrona, yaitu

turunan katinona yang tidak terbentuk secara alami, lebih potensial untuk melepaskan

serotonin dibandingkan dengan katinona atau metkatinona, sehingga efek

penggunaannya setara dengan ekstasi. Orang-orang yang menggunakan obat-obatan

ini bisa diuji serum atau uji urin untuk membuktikan kandungan katinona dan

norepedrina; metabolit utamanya.

Menurut Dr. Al Bachri Husein, SpKj, pengajar di Bagian Psikiatri Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia,  Cathinone merupakan zat stimulan untuk sistem

saraf pusat yang banyak digunakan sebagai club drug atau party drug. Zat tersebut

akan membuat orang senang menjadi lebih senang,  karena zat tersebut meransang

ujung – ujung saraf. Katinon ini memiliki kecenderungan menjadi candu karena efek

zat ini meransang saraf pusat. Zat katinon ini memiliki efek yang membuat orang

menjadi bersemangat, tidak mengantuk, euforia (rasa senang yang berlebihan), lebih

percaya diri dan sexual drive-nya meningkat. Efek ini berlansung selama 4 – 6 jam.

Setelah efek zat katinon ini hilang, maka si pengguna akan kembali normal, lebih 

ngantuk, lebih lemas, dan depresi.

Efek merugikan katinon pada pemakaian jangka panjang, yaitu :

1. Meningkatkan tekanan darah sampai stoke

2. Depresi berat sampai bunuh diri

3. Anoreksia (tidak nafsu makan)

4. Kesulitan tidur

5. Halusinasi – halusinasi yang mengerikan esok paginya

6. Gangguan irama jantung

7. Gangguan jiwa berat (gangguan psikotik)

 

            Dalam situs National Institute on Drug Abuse, dilaporkan bahwa efek

cathinone mirip amfetamin dan kokain. Zat itu meransang peningkatan kadar

neurotransmitter dopamin yang menyebabkan timbul  rasa gembira dan lebih

bertenaga, serta meningkatkan kadar norepinefrin yang menyebabkan peningkatan

detak jantung dan  tekanan darah.  Cathinone  dapat menimbulkan halusinasi, akibat

peningkatan kadar serotonin. Efek lain yang dapat terjadi yaitu dehidrasi (kekurangan

cairan), kerusakan jaringan otot dan gagal ginjal yang dapat menimbulkan kematian.

Sementara itu, chatinone yang diproduksi secara sintetis lebih berbahaya dari

chatinone alami. Laporan mengenai keracunan dan bahaya bagi kesehatan akibat

penggunaan cathinone sintetis menyebabkan zat tersebut menjadi isu kesehatan

masyarakat dan keamanan yang serius di Amerika Serikat. Psikiater Danardi

Sosrosumihardjo menyatakan, cathinone sintetis bukan diekstrak dari daun khat,

melainkan disusun dari zat-zat prekursor.

f. Kafein6,7

Kandungan kafein dapat berkisar dari sebanyak 160 mg di beberapa minuman energi,

paling sedikit 4 mg dalam porsi 1 ons sirup rasa coklat. Kafein juga terdapat dalam

obat analgetik, antipiretik, dan pil diet. Produk-produk ini dapat mengandung

sesedikit 16 mg atau sebanyak 200 mg kafein. Bahkan, kafein adalah obat analgetik

ringan dan meningkatkan efektivitas pereda nyeri lainnya.

Kafein adalah stimulan sistem saraf pusat, dan penggunaan rutin kafein tidak

menyebabkan ketergantungan fisik ringan. Namun kafein tidak mengancam kesehatan

fisik, sosial, atau ekonomi seperti obat adiktif lainnya.

Menurut penelitian dari U.S. Food and Drug Administration (FDA) dan the American

Medical Association (AMA) mempertimbangkan 300 miligram (sekitar dua cangkir

kopi) batas atas dosis harian untuk mengkonsumsi kafein.

Bagi kebanyakan orang, jumlah kafein dalam dua sampai empat cangkir kopi sehari

tidak berbahaya. Gejala mengkonsumsi kafein yang berlebihan antara lain gelisah dan

gemetar, sulit untuk jatuh tertidur atau tetap tertidur, sakit kepala atau pusing, jantung

berdetak lebih cepat atau menyebabkan irama jantung abnormal, dehidrasi, intoleransi

kafein.

Gejala putus obat kafein antara lain sakit kepala, fatigue, ansietas, irritable, mood

depresi, sulit berkonsentrasi.

Tabel 1. Masalah gangguan kesehatan mental yang paling sering terkait dengan gangguan

penggunaan NAPZA

Jenis

NAPZA

Ggn.

Amn

Ggn

.

Deliri

um

Gg

n.

Ggn.

Psiko

Ggn.

Fs.

Gg

n.

esis Ce

mas

Mo

od

tik Seks

ual

Tid

ur

CNS

Stimulant

Amfetam

in

X X X X X X

Kafein X X

Kokain X X X X X X

Nikotin X X

III. PENATALAKSANAAN

Ketergantungan kokain

Tujuan pengobatan. Tujuan pengobatan farmakologis dari ketergantungan kokain adalah

sama seperti untuk setiap modalitas pengobatan lain. Artinya, untuk membantu pasien

menjauhkan diri dari penggunaan kokain dan pasien dapat kembali mengendalikan kehidupan

mereka. Pada mekanisme perilaku dimana pengobatan bisa mencapai tujuan terapi itu sangat

sulit untuk di presiksi dan berbeda-beda untuk setiap obat dan pasien. Secara teori,

pengobatan bisa membantu beberapa orang untuk jauh dari prilaku penggunaan kokain

melalui beberapa cara mekanisme. : (1) dengan mengurangi atau menghilangkan efek

kesenangan dari pemakaian dosis kokain (misalnya, dengan mengurangi euforia atau tinggi),

(2) dengan mengurangi atau menghilangkan keadaan subyektif (seperti keinginan) yang

mempengaruhi untuk mengambil kokain, (3) dengan mengurangi atau menghilangkan efek

buruk dari pemakaian kokain (seperti dengan mengurangi efek gejala putus obat), (4)

menganggap kokain sebagai musuh, atau (5) dengan meningkatkan efek positif yang

diperoleh dari perilaku tiaak menggunakan kokain. Saat ini tersedia obat yang dianggap

bertindak dalam satu atau lebih dari tiga mekanisme pertama, dan mekanisme ini adalah

fokus dari penelitian dalam pengembangan obat. Tidak ada penelitian membahas mekanisme

keempat (yang akan menjadi analog penggunaan disulfiram dalam mengobati

ketergantungan alkohol). Mekanisme kelima sangatlah penting untuk menentukan

keberhasilan perawatan karena memastikan bahwa beberapa perilaku lain memperkuat untuk

menggantikan atau menghentikan penggunaan kokain namun obat tersebut tidak ada. Dalam

prakteknya saat ini, mekanisme ini bergerak dengan intervensi psikososial yang membahas

isu-isu seperti rehabilitasi kejuruan, jaringan sosial pasien, dan penggunaan waktu luang.

Karena pentingnya mekanisme ini, serta faktor-faktor lain seperti kepatuhan terhadap

pengobatan, obat-obatan hampir tidak pernah digunakan tanpa beberapa komponen

pengobatan psikososial. Beberapa uji klinis terkontrol secara eksplisit membandingkan

efektivitas penggunaan obat dengan berbagai (atau tidak) pengobatan psikososial (5,6)

sehingga kontribusi relatif dari pengobatan farmakologis dan psikososial sebagian besar tidak

diketahui. Jenis, intensitas, dan durasi pengobatan psikososial yang seharusnya menyertai

pengobatan farmakologis yaitu berupa pertanyaan dengan sedikit data untuk dapat memandu

dalam pengambilan keputusan klinis. Minimal, ada satu pengharapam dimana dengan

mengatasi faktor psikologis akan berpengaruh dalam kepatuhan pengobatan yang juga akan

meningkatkan hasil pengobatan.

Mekanisme farmakologis

Setidaknya ada empat pendekatan farmakologis yang berpotensi dalam pengobatan

ketergantungan kokain (7). Pendekatan ini adalah (1) terapi substitusi dengan stimulan cross-

toleran (analog dengan metadon sebagai pengobatan pemeliharaan ketergantungan opioid).

(2) pengobatan dengan obat antagonis yang menghambat pengikatan kokain di jalan kerjanya

(antagonis farmakologis murni, analog dengan pengobatan naltrexone dari ketergantungan

opioid), (3) pengobatan dengan obat yang fungsinya sebagai antagonis dari efek kokain

(seperti mengurangi efek atau keinginan untuk menggunakan kokain), dan (4) perubahan

farmakokinetik kokain sehingga pada pemakaian obat yang sedikit sudah bisa mencapai

jalan kerjanya di otak.

Saat ini tidak ada obat yang disetujui oleh Badan Makanan dan Obat pemerintah Amerika

Serikat (FDA) atau otoritas kesehatan nasional lainnya untuk pengobatan ketergantungan

kokain, terutama karena tidak ada obat-obatan yang telah memenuhi standar ilmiah ketat,

keberhasilan yang signifikan secara statistik dalam replikasi, percobaan klinis terkontrol.

Sebagian besar perhatian klinis dan penelitian saat ini telah difokuskan pada pendekatan

kedua dan ketiga yang disebutkan di atas: mengurangi atau menghambat cara kerja dari

kokain, baik secara langsung di jalan ikatan saraf (antagonis farmakologis murni) atau tidak

langsung sebaliknya dengan cara mengurangi efek yang memperkuat. Pendekatan pertama

telah dievaluasi dalam sejumlah kecil atau uji klinis, dengan hasil campuran. Pendekatan

keempat telah menjanjikan dalam studi hewan dan uji klinis fase awal II (8)

Kokain memiliki dua cara kerja neurofarmakologis mayor: blokade presynaptic pompa

neurotransmitter reuptake, sehingga menghasilkan efek stimulan psikomotor, dan blokade

saluran ion natrium dalam membran saraf, sehingga efek terjadi anestesi lokal.

Memperkuat efek positif dari pemakaian kokain berasal dari blokade pompa dopamin

reuptake, yang menyebabkan presynaptic merilis dopamine agar tetap dalam sinaps dan

meningkatkan neurotransmisi dopaminergik (9). Efek anestesi local dari pemakaian kokain

diyakini berkontribusi terhadap maraknya penggunaan kokain, fenomena dimana penggunaan

kokain sebelumnya akan mensensitisasi individu jadi pada pemakaian selanjutnya dengan

dosis rendah akan menghasilkan peningkatan respon.

Pilihan pengobatan

Antidepresan

Heterosiklik antidepresan tryciclic dan antidepresan heterosiklik lainnya adalah golongan

yang paling banyak digunakan dan paling dipelajari untuk pengobatan ketergantungan

kokain.Penggunaan antidepresan ini menduduki peringkat kedua terbaik untuk mengobati

gejala depresi sering terjadi pada pecandu kokain.Mekanisme farmakologisnya adalah dengan

meningkatkan aktivitas amina biogenik neurotransmitter di sinaps.Peningkatan tersebut

dicapai terutama dengan menghambat re-uptake pompa presinaptik neurotransmitter.

Desipramine menghambat reuptake norepinefrin, dengan beberapa tindakan pada re-uptake

serotonin, ini merupakan obat pertama yang ditemukan efektif untuk pasien rawat jalan,

double-blind, uji klinis terkontrol; sebuah temuan yang menerima publisitas luas bahkan

sebelum studi lengkap diterbitkan dalam jurnal atau review. Sehingga desipramine hasil studi

yang terbaik sebagai tricyclic anti depresan, dengan lebih dari setengah lusin uji klinis

terkontrol dalam literatur yang diterbitkan.Dosis tipikal adalah 150-300 mg/hari (sekitar 2,5

mg/kg), mirip dengan yang digunakan dalam pengobatan depresi.

Perbedaan karakteristik pasien, pengobatan yang bersamaan, dan konsentrasi plasma

desipramine dapat menjelaskan beberapa variabilitas dalam keberhasilan dalam penggunaan

desipramine.Misalnya pasien dengan depresi dan tanpa gangguan kepribadian antisosial

mungkin merespon baik pada penggunaan desipramine. Pasien ketergantungan kokain dan

opiat akan merespon lebih baik pada despiramine, jika terapi ketergantungan opioid dengan

buprenorfin daripada dengan metadon. Ada bukti bahwa pasien dengan konsentrasi plasma

desipramine di atas 200 mg/ml akan memberikan progonosis buruk, prognosis baik pada

konsentrasi sekitar 125mg/mL.

Penelitian dengan antidepresan heterosiklik lainnya telah menunjukkan bukti yang sedikit

dalam keberhasilan.Reboxetine dan maproline, yang memblokir re-uptake norepinephrine,

hanya efektif pada beberapa trail.Imipramine, prekursor dari desipramine, yang memblokir

re-uptake serotonin, lebih banyak daripada reuptake norepinefrin, tidak menunjukkan

keberhasilan dalam dua uji klinis terkontrol.Nefazodone dan venlafaxine, yang memblokir re-

uptake serotonin dan norepinefrin, juga tidak efektif dalam uji klinis terkontrol.Mircazapine

yang meningkatkan aktivitas serotonin dan norepinefrin otak dengan memblokir

autoregulatory α2 adrenergic dan penerimaan 5-HT2 hanya menunjukkan beberapa manfaat

dalam percobaan kecil.

Tidak ada efek samping yang ditemukan tidak terduga atau efek samping medis yang serius

yang dilaporkan dalam uji klinis dari penggunaan antidepresan heterosiklik.

Selective Serotonin reuptake inhibitors

Antidepresan yang selektif memblokir pompa presynaptic re-uptake serotonin telah menarik

minat karena peran serotonin dan reseptornya dalam modulasi dopaminergik otak dan

perilaku dari efek kokain.Beberapa uji klinis terkontrol belum menemukan keuntungan dari

fluoxetine (20,40,atau 60 mg/hari), paroxetine (20 mg/hari), atau sertraline (100 mg/hari)

dibandingkan plasebo.Sebuah uji klinis baru-baru ini menemukan citalopram (20 mg/hari)

secara signifikan lebih baik daripada plasebo.Penelitian tersebut, tidak seperti studi

sebelumnya, yang digunakan manajemen kontingensi selain terapi kognitif-perilaku,

menunjukkan pengaruh pentingnya pengobatan psikososial pada keberhasilan pengobatan.

Monoamine Oxidase Inhibitors

Dasar pemikiran untuk menggunakan monoamine oxidase (MAO) inhibitor terletak pada

efeknya dalam meningkatkan kadar neurotransmiter otak amina biogenik dengan

menghambat enzim katabolik utama. Penelitian pada phenelzine, pada dosis antidepresant

dari 30-90 mg/hari, menunjukkan bahwa obat ini dapat mengurangi penggunaan kokain, dan

stimulan lain. Namun, tindakan klinis manfaatnya mungkin dibatasi oleh kebutuhan untuk

makanan dan obat-obatan secara bersamaan, untuk menghindari terjadinya krisis hipertensi,

karena secara teoriditemukan bahwa efek pecandu kokaindapat kembali relaps/kambuh pada

pasien untuk penggunaan kokain pada saat masih minum menjalani pengobatan.

Penelitian akhir-akhir ini berfokus pada selektif MAO inhibitor yang hanya berperan pada

MAO tipe B, tipe predominan di otak, sedangkan MAO tipe A, tipe predominan ditractus

gastrointestinal.Ini adalah penghambatan MAO di GIT yang menghasilkan krisis hipertensi

setelah konsumsi makanan yang mengandung tyramine atau obat catecholaminergic tertentu.

Selegiline, pasar untuk perawatan dari parkinson dan, dalam bentuk transdermal untuk

pengobatan depresi pada cukup selektif untuk jenis MAO B pada dosis yang dianjurkan (10

mg/hari untuk parkinson, 12 mg/hari untuk depresi) dan sedang dipelajari sebagai pengobatan

ketergantungan kokain. Sebuah uji kontroler terbaru multisite menggunakan selegiline

diberikan melalui patch kulit (transdermal system selegiline) ditemukan tidak ada bukti dari

keberhasilannya.

Antidepresan lain

Bupropion menarik perhatian dari para peneliti karena merupakan inhibitor lemah

monoamine reuptake dan memiliki beberapa stimulan yang samaseperti efek perilaku pada

hewan. Uji klinis pada metadon-maintained, pasien ketergantung kokain ditemukan tidak ada

efek yang signifikan terhadap penggunaan kokain, kecuali dalam subjek juga menerima

pengobatan manajemen berkelanjutan.

Ritanserin a-5-HT2 antagonis reseptor dikembangkan sebagai antidepresan, menarik minat

karena mengurangi pemberian kokain di beberapa (tetapi tidak semua) hewan

penelitian.Namun, dua uji klinis terkontrol menemukan ritancerine tidak lebih baik

dibandingkan plasebo dalam mengurangi penggunaan kokain.

Agonis Dopamin (Agen Anti-Parkinson)

Variasi dari pengobatan agonis dopamine langsung dan tidak langsung telah dievaluasi, berdasarkan hipotesi deplesi dopamine untuk ketergantungan kokain, walaupun data yang mendukung hipotesis tersebut pada manusia adalah serupa, agonis dopamine, yang menstimulasi aktivitas sinaps dopamine, akan memperbaiki efek penurunan aktivitas dopamine yang diakibatkan dari peningkatan penggunaan kokain. Yang termasuk dari efek penggunaan kokain adalah antara lain, anhedonia, anergia, depresi, dan cocaine craving. Pada tikus, reseptor agonis dopamine seperti bromocriptine dan lisuride mengurangi metabolism kokain, membalikkan tingkat metabolism dan peningkatan ambang stimulasi intracranial dalam memproduksi mesokortikolimbik dopaminergic stelah pemakaian kronik kokain. Bromokriptin, pergolide, dan amantadine, semua dijual untuk pengobatan Parkinson (atau dalam keadaan defisiensi dopamine lainnya), adalah pengobatan dopamine agonis yang paling banyak diteliti.

Amantadine adalah agonis dopamine tidak langsung yang bekerja engan melepaskan dopamine pada presinaps, obat ini juga merupakan antagonis lemah pada reseptor N-Methyl D-Aspartate glutamate. Namun, dari enam penelitian tentang obat ini, hanya satu yang menunjukkan bahwa amantadine (200-400 mg/hari) lebih baik dari placebo dalam pengobatan penyalahgunaan kokain.

Asam aminio L-DOPA, precursor untuk katekolamin sintetik yang digunakan untuk terapi Parkinson telah digunakan untuk meningkatkan level dopamine pada otak dalam pengobatan ketergantungan kokain. Biasa digunakan sebagai monoterapi maupun terapi kombinasi dengan carbidopa, inhibitor dekarboksilasi asam amino perifer, yang mencegah perubahan L-DOPA menjadi dopamine di luar otak. Pada empat penelitian yang dilakukan bahwa pengobatan tersebut memiliki keunggulan dibandingkan pengobatan dengan placebo.

L-thyrosine, precursor asam amino dari L-DOPA, mengurangi Cocaine carving pada sekelompok kecil pasien (dua belas banding lima puluh dua) pada penelitian double blind, dan ditemukan kurang efektif dalam pengurangan pemakaian kokain.

Disulfiram dapat dikelompokka menjadi agen agonis dopamine karena cara kerjanya yang memblokir konversi dopamine ke norepinefrin melalui enzim dopamine-B-Hidroksilase, yang mengakibatkan peningkatan level dopamine.ketertarikan penggunaan disulfiram untuk terapi ketergantungan kokain dikarenakan banayaknya ketergantungan kokain yang berbarengan dengan ketergantungan alcohol. Pada penelitian, ditemukan bahwa disulfiram (250 mg/hari) meningkatkan abstinensi penggunaan kokain dibandingkan dengan placebo. Walapun disulfiram ditemukan efektof dalam pengobatan ketergantungan kokain, tetapi muncul pertanyaan tentang keamanan pemakaiannya dalam praktik klinik. Pada penelitian ditemukan bahwa premedikasi disulfiram (250 mg/ hari selama 3 hari) secara signifikan akan memperpanjang kadar waktu paruh plasma kokain, meningkatkan konsentrasi plasma kokain, dan mempotensiasi efek takikardia dan hipertensipada pemakaian kokain intranasal. Namun demikian, disulfiram tetap dianggap sebagai terapi baru yang menjanjikan dalam pengobatan ketergantungan kokain, terlepas dari adanya efek samping yang mungkin dapat disebabkan oleh obat ini.

Stimulan dari analogi dengan terapi manteinans metadon pada ketergantungan opiate atau nikotin dalam pengobatan pengganti pada ketergantungan tembakau, penggunaan zat stimulant sebagai terapi maintenans pada ketergantungan kokain dapat menjadi salah satu cara untuk dapat mengatasi penggunaan kokain dan cocaine craving.seperti metadon, keuntungan dari terapi substitusi stimulant adalah rendahnya risiko medis karena merupakan terapi oral, penggunaan medikasi yang murni yang telah diketahui potensinya, dan penggunaan medikasi yang mempunyai onset lambat dan efek yang panjang. Beberapa pengobatan psikomotor stimulant sekarang digunakan untuk pengobatan pada penyakit Attention deficit/hyperactivity disorder (ADHD), narkolepsi, dan penekan nafsu makan. Dari penelitian – penelitian yang dilakukan, dilaprkan tidak ada efek samping yang bearti, yang memberikan suatu kemungkinan bahwa terapi substitusi ini mempunyai tingkat keamanan yang baik dalam pengobatan ketergantungan kokain. Modafinil, digunakan sebagai terapi narkolepsi, OSA, serangan kantuk, dan kelainan tidur, dapat dikelompokkan sebagai stimulant lemah, mekanisme kerjanya belum jelas, tetapi termasuk dalam blok transporter dopamine presinaps yang kemudian akan meningkatkan pelepasan glutamate pada otak dan akan menurunkan kadar pelepasan GABA. Pada penelitian, disebutkan bahwa penggunaan sebanyak 200 - 400 mg/hari secara teratur dapat meningkatkan abstinensi pada penggunaan kokain. Modafinil adalah agen stimulant yang sangat aman dan dapat ditoleransi dengan baik, tidak pernah dilaporkan penggunaan agen ini dapat mengakibatkan cocaine craving maupun menyebabkan euphoria. Pada prinsipnya, kokain sendiri, dalam formulasi onset lambat, dapat digunakan sebagai terapi agonis maintenans, sama seperti pada nikotin transdermal onset lambat atau transbukal untuk terapi ketergantungan nikotin onset cepat (cigarettes). Kapsul garam kokai oral (100 mg, 4 kali sehari) dapat menjadi terapi pengganti pada penggunaan kokain intravena (25 mg) dan mengurangi konsumsi rokok rasa kokain di Peru (dimana kokain oral merupakan barang industry legal).

Antipsikotik antipsikotik generasi pertama, yang dimana merupakan reseptor antagonis dopamine poten, tidak secara signifikan merubah penggunaan ataupun cocaine craving, yang pada pengalaman klinik, pasien skizofrenia yang menyalahgunakan kokain selama pengobatan kronik antipsikotik. Kegunaan yang lebih besar diharapkan pada generasi kedua antipsikotik, yang dikarenakan spectrum mekanisme kerjayang lebih luas dari obat tersebut pada pengikatan reseptor ( pada dopamine dan serotonin ). Walaupun demikian, pemakaian

obat ini belum dapat dibuktikan melalui penelitian pada pengguna kokain tanpa disertai adanya gangguan psikotik. Pada penelitian, olanzapine digunakan pada 18 pasien ketergantungan opiate dan kokain (yang juga diterapi substitusi dengan metadon) mengalami penurunan pemakaian kokain sebanyak 53.2%. Kewaspadaan tetap harus diteliti dalam penggunaan antipsikotik pada pengguna kokain karena potensinya yang dapat mengakibatkan terjadinya neuroleptic malignant syndrome, yang didasarkan pada penurunan level dopamine pada pengguna kokain. Pengguna kokain dan amphetamine juga dapat berada di risiko yang meningkat dalam terjadinya dyskinesia yang disebabkan oleh antipsikotik.

Antikonvulsan

Antikonvulsan telah dicoba dalam pengobatan ketergantungan kokain karena antikonvulsan memblokir perkembangan kokain. Antikonvulsan mampu meningkatkan sensitivitas saraf untuk obat karena paparan intermiten sebelumnya. Di tingkat neurotransmitter, antikonvulsan mungkin efektif karena mampu meningkatkan penghambatan aktivitas GABA dan / atau menurunkan rangsang aktivitas glutamat di otak, baik yang akan mengurangi respon terhadap kokain dalam dopaminergik, cortico mesolimbic otak.

Carbamazepine merupakan antikonvulsan yang paling dipelajari. Empat dari lima

pasien penggunaa kokain yang dilakukan trial terapi rawat jalan dengan carbamazepine

ditemukan efeknya tidak berpengaruh signifikan terhadap penggunaan kokain. Sedangkan,

untuk Gabapentin ditemukan tidak efektif dalam tiga uji klinis terkontrol, seperti lamotrigin,

dan asam valproik dalam uji tunggal.

Beberapa antikonvulsan lain telah menunjukkan hasil yang lebih baik. Tiagabine,

yang meningkatkan aktivitas GABA dengan menghambat reuptake presynapticnya, secara

signifikan mengurangi penggunaan kokain dalam dua uji klinis terkontrol pada dosis 12 atau

24 mg setiap hari, tetapi tidak memiliki efek dalam uji klinis ketiga pada 20 mg per hari.

Semua tiga percobaan menggunakan bersamaan terapi kognitif-perilaku. Topiramate, yang

menurunkan aktivitas glutamat dengan memblokir AMPA-jenis reseptor glutamat dan

meningkatkan aktivitas GABA, secara signifikan mengurangi penggunaan kokain dalam

percobaan klinis terkontrol sampai dengan 200 mg sehari, dalam hubungannya dengan terapi

kognitif-perilaku.

Vigabatrin (ɤ-vinyl-GABA), yang meningkatkan aktivitas GABA dengan

menghambat pemecahan GABA oleh GABA-transaminase, mengurangi penggunaan kokain.

Vigabatrin tidak dipasarkan di Amerika Serikat karena efek sampingnya pada penglihatan,

tapi tidak ada yang diamati selama studi jangka pendek. Fenitoin (300 mg sehari) secara

signifikan mengurangi kokain digunakan dalam satu percobaan klinis terkontrol, terutama

pada konsentrasi serum di atas 60 µg / ml.

Baclofen merupakan antispasmotic, yang mekanisme kerjanya meningkatkan aktivitas

GABA dengan berperan sebagai agonis pada reseptor GABAβ. Satu percobaan klinis

terkontrol menemukan bahwa baclofen (60 mg sehari) tidak secara signifikan mengurangi

penggunaan kokain, kecuali pada kelompok pengguna kokain berat.

Suplemen Gizi dan Produk Herbal

Suplemen gizi. Penggunaan campuran asam amino, baik sendiri atau dengan

suplemen gizi lainnya (vitamin dan mineral), telah dipublikasikan secara luas dalam bidang

pengobatan penyalahgunaan narkoba berdasarkan peraturan yang diberlakukan pada obat-

obatan resep dan keselamatan, suplemen gizi ini dirasakan dapat digunakan dan kecilnya efek

samping. Tirosin (asam amino prekursor L-DOPA) dan L-triptofan (asam amino prekursor

serotonin, telah ditandai dengan klaim keberhasilan, tetapi dalam suatu penelitian 28 hari,

ditemukan bahwa campuran tirosin dan triptofan tidak berpengaruh signifikan (1 gram setiap

hari) pada ketergantungan kokain atau gejala witdrawal. Percobaan klinis terkontrol yang

lebih baru ditemukan L-tryptophan, bahkan ketika digabungkan dengan pengobatan

manajemen kontingensi, tidak lebih baik dibandingkan plasebo dalam mengurangi

penggunaan kokain. L-carnitine (500 mg / hari) ditambah koenzim Q10 (200 mg / hari) tidak

lebih baik dibandingkan plasebo dalam uji klinis 8 minggu. Sebuah uji klinis terkontrol yang

kecil yang menemukan bahwa magnesium L-aspartat (732 mg setiap hari), bentuk yang

mudah diserap dari magnesium, tidak lebih baik dari plasebo.

Produk herbal. Berbagai produk herbal dan derivat tanaman telah disebut-sebut

sebagai pengobatan untuk penyalahgunaan narkoba, tetapi hanya sedikit yang dilakukan

evaluasi klinis. salah satu yang telah menerima publisitas substansial, tetapi belum evaluasi

klinis, adalah ibogaine, alkaloid indol yang ditemukan di kulit akar semak Tabernanthe iboga

di Afrika Barat. Senyawa ini telah diklaim untuk menekan penggunaan terhadap kokain (dan

opioid dan alkohol) untuk beberapa bulan setelah dosis oral tunggal. Ginkgo Biloba (120 mg

/ hari selama 8 minggu) tidak lebih baik dibandingkan plasebo dalam uji klinis terkontrol.

Penghambat Kanal Kalsium/Calsium Channel Blockers. Calsium channel blocker

telah diusulkan sebagai pengobatan untuk ketergantungan kokain karena pengaruhnya

terhadap pelepasan neurotransmiter dan penghambatan efek psikologis kokain di beberapa

orang, tapi tidak semua, pada studi penelitian. Namun, amlodipine tidak menunjukkan

keberhasilan dalam uji klinis terkontrol.

Obat-obatan Lainnya. Berbagai macam obat lain telah dievaluasi untuk pengobatan

ketergantungan kokain, sering atas dasar laporan kasus atau penelitian pada hewan

menunjukkan bahwa obat-obat tersebut dapat mempengaruhi dalam memperkuat efek kokain.

Ondansentron, antagonis reseptor 5-HT3 yang digunakan untuk mengurangi mual dan

muntah, secara signifikan mengurangi penggunaan kokain dalam uji klinis skala kecil.

Efeknya signifikan hanya pada dosis tertinggi (4 mg dua kali sehari).

Naltrexone, antagonis reseptor mu-opioid dipasarkan untuk pengobatan

ketergantungan alkohol dan ketergantungan opioid, menunjukkan beberapa keberhasilan pada

50 mg / hari pada pasien yang sudah tanpa alkohol atau ketergantungan opioid, tetapi hanya

bila dikombinasikan dengan terapi pencegahan kekambuhan ketergantungan kokain.

Banyak obat telah ditemukan tidak lebih baik dibandingkan plasebo dalam (biasanya

skala kecil) uji klinis terkontrol. Ini termasuk mecamylamine, antagonis reseptor nicotinic

kolinergik; Donepezil, inhibitor acetylcholinesterase; propranolol, antagonis reseptor beta-

adrenergik; reserpine, yang menguras neurotransmitter monoamine presynaptic; hydergine,

antagonis pada reseptor dopamin serotonin dan antagonis pada reseptor alpha-adrenergik

yang menstimulasi aliran darah; pentoxifylline, inhibitor phosphodiesterase; riluzole,

penghambat pelepasan glutamat; celecoxib, obat anti-inflamasi nonsteroid; lithium; dan

dehydroepiandrosterone (DHEA), suatu prekursor steroid endogen androstenedion, dimana

merupakan prekursor hormon androgenik dan estrogenik. DHEA juga merupakan agonis

reseptor sigma-1.

Kombinasi pengobatan

Penggunaan bersamaan dua obat yang berbeda yang dipelajari dengan harapan bahwa kombinasi tersebut akan meningkatkan kemanjuran sambil meminimalkan efek samping, baik dengan bertindak pada sistem tunggal neurotransmiter oleh dua mekanisme yang berbeda atau bertindak atas dua sistem neurotransmiter yang berbeda. Penggunaan bersamaan agen dopaminergik, bupropion dan bromocriptine pada pasien ketergantungan cocain telah ditemukan aman, meski dari hasil penelitian menunjukkan sedikit keberhasilan. Penggunaan bersamaan pergolide (antagonis reseptor D1 D2 dopamin) dirancang untuk menghasilkan aksi agonis D1 relatif murni, juga menemukan sedikit bukti kemanjuran, begitu juga pada kombinasi penggunaan amantadine dan propranolol.

Penggunaan gabungan phentermine , dopamin release dan serotonin release, fenfluramine yang masing-masing yang dipasarkan sebagai penekan nafsu makan, dan menerima publisitas substansial selama tahun 1990-an yang dikenal dengan “phen-fen”

yang dipakai pada obesitas dan gangguan adiktif. Kombinasi obat ini telah mengacaukan hasil pengobatan rawat jalan pada pasien dengan ketergantungan cocain. Sejak penarikan fenfluramine, kombinasi ini tidak lagi tersedia dikarenakan adanya hubungan antara hipertensi pulmonal dan penyakit katup jantung. Kombinasi lain yang menggantikan fenfluramine dengan inhibitor reuptake serotonin selektif (SSRI) seperti fluoxetine yang belum dievaluasi secara sistematis.

Kombinasi yang tepat dari flumazenil intravena ( reseptor benzodiazepine antagonis ) dan gabapentin oral dan hydroxyzine ( histamin antagonis ) secara substansial mengurangi metamfetamin yang digunakan.

Ketergantungan Amphetamine

Banyak dari obat-obatan yang dievaluasi untuk pengobatan ketergantungan kokain juga telah diteliti untuk pengobatan ketergantungan amfetamin, sering untuk alasan farmakologis sama. Seperti dengan ketergantungan kokain, kebanyakan hasil uji klinis tidak menunjukkan kemanjuran.

Pendekatan yang paling menjanjikan yaitu antara substitusi agonis dengan stimulans dan peningkatan aktivitas gaba. Dua dari tiga uji klinis terkontrol dengan d-amphetamine (satu menggunakan formulasi berkelanjutan) ditemukan penurunan yang signifikan dalam menggunakan amfetamin dibandingkan dengan plasebo. Ada kejadian buruk tidak signifikan dalam studi apapun. Pelepasan lambat methylphenidate (54 mg sehari) mengurangi penggunaan amfetamin secara signifikan lebih daripada plasebo dalam satu uji klinis terkontrol. Modafanil (200 mg dua kali sehari) berkurangnya amfetamin yang digunakan dalam laporan kasus dan saat ini mengalami sebuah uji klinis terkontrol.

Vigabatrin, antikonvulsan yang meningkatkan aktivitas GABA dengan menghambat pemecahan GABA oleh GABA-transaminase, secara substansial mengurangi pemakaian methamphetamine dalam dua uji label terbuka. Vigabatrin tidak dipasarkan lagi di amerika serikat dikarenakan adanya efek samping ophthalmologik, tetapi tidak pernah diamati selama studi jangka pendek ini. Baclofen, antispasmotic yang meningkatkan aktivitas GABA dengan bertindak sebagai agonis di GABAB reseptor, sama sekali tidak memiliki efek pada pengguna metamfetamin pada sebuah uji klinis terkontrol tetapi secara signifikan menunjukkan pengurangan pada penggunaan pada subgrup patuh obat. Gabapentin merupakan antikonvulsan yang mekanisme aksinya tidak diketahui , ini tidak berbeda dari plasebo, bahkan di subgrup patuh.

Obat lain yang menjanjikan pada penelitian uji klinis termasuk naltrexone, bupropion dan risperidone. Bupropion sebagai antidepresan sama sekali tidak menunjukkan kemanjuran dalam dua uji klinis tetapi secara signifikan menunjukkan pengurangan pada subgrup pengguna methamphetamin dengan tingkat penggunaan methamphetamine dosis rendah. Antipsikotik risperidone, baik pemakaian secara oral atau disuntikkan, menunjukkan pengurangan pada pengguna methamphetamin dalam dua uji label terbuka. Generasi kedua antipsikotki yang lain, aripiprazole (15 mg sehari) menunjukkan tidak berkhasiat pada sebuah uji klinis yang kecil.

Obat-obatan yang tidak menunjukkan efektivitas dalam pengobatan ketergantungan amfetamin dalam uji klinis termasuk antidepresan trisiklik (misalnya, imipramine,

despiramine), inhibitor reuptake serotonin selektif (e.g.,fluoxetine, sertraline, paroxetine), ondansetron (antagonis reseptor 5-HT3), dan calcium shannel blocker seperti amlodipine.

A. Terapi kondisi Intoksikasi

1. Intoksikasi amfetamin atau zat yang menyerupai

a) Simptomatik tergantung kondisi klinis, untuk penggunaa oral : merangsang muntah

dengan activated charcoal atau kuras lambung adalah penting

b) Antipsikotik : haloperidol 2-5 mg per kali pemberian atau chlorpromazine mg/kgBB

oral setiap 4-6 jam

c) Antihipertensi bila perlu, tekana darah diatas 140/100 mmHg

d) Kontrol termperatur dengan selimut dingin atau chlorpromazine untuk mencegah

temperature tubuh meningkat

e) Aritmia cordis, lakukan cardiac monitoring : contoh untuk palpitasi diberikan

propanolol 20-80 mg/hari

f) Bila ada gejala ansietas berikan ansiolitik golongan benzodiazepine:diazepam 3x5 mg

atau chlordiazeprox de 3x25 mg

g) Asamkan urin dengan ammonium chloride 2,75 mEq/kg atau ascorbic acid 8 mg/hari

sampai pH urin < 5 akan mempercepat ekskresi zat

B. Terapi pada kondisi putus zat

1. Putus zat amfetamin dan zat yang menyerupai

a) Observasi 24 jam untuk menilai kondisi fisik dan psikiatrik

b) Rawat inap diperlukan apabila gejala psikotik berat, gejala depresi berat atau

kecenderungan bunuh diri, dan komplikasi fisik lain

c) Terapi : antipsikotik (haloperidol 3 x 1,5-5 mg, atau risperidon 2 x 1,5-3 mg),

antiansietas (alprazolam 2 x 10 mg), atau diazepam 3x5-10 mg, atau clobazam 2x10 mg)

atau antidepresi golongan SSRI atau trisiklik/tertrasiklik sesuai kondisi klinis

Psikoterapi

Cognitive Behavioral Therapy (Terapi Kognitif Perilaku)

Terapi Kognitif Perilaku adalah suatu bentuk psikoterapi yang ditekankan pada apa

yang pasien pikirkan dan lakukan. Terapi kognisi-perilaku (CBT) merupakan suatu proses

mengajar, melatih dan menguatkan perilaku positif. Terapi ini memebantu seorang individu

untuk mengidentifikasi pola kognitif atau pikiran dan emosi yang berhubungan dengan

perilaku. Terapi ini merupakan gabungan antara terapi kognitif dengan terapi perilaku. Terapi

ini menganggap kesulitan-kesulitan emosional berasal dari pikiran atau keyakinan yang salah

(kognisi) yang menyebabkan perilaku yang tidak produktif. Kondisi-kondisi psikiatrik

tampaknya membaik apabila cara berpikir pasien menjadi lebih akurat dan jika perilaku

individu lebih tepat. Oleh karena itu, terapis bekerjasama dengan pasien mengidentifikasi dan

mengoreksi salah persepsi dan perilaku yang salah. Terapi ini sangat berdasar pada realitas

dan menekankan “hal yang terjadi di sini dan saat ini” (apa yang dipikirkan pasien saat ini;

bagaimana perilaku pasien saat ini).

Prinsip - prinsip Terapi Perilaku- Kognitif

Prinsip dasar dari terapi perilaku kognitif adalah mengajarkan kepada pasien bahwa

kepercayaan dan pemikiran tidak rasional adalah penyebab dari gangguan emosional dan tingkah laku

(Hoffman, 1984). Sebelum proses terapi dimulai, terapis perlu terlebih dahulu menjelaskan susunan

terapi kepada subjek, yang meliputi penjelasan tentang sudut pandang teori modifikasi perilaku dan

teori terapi kognitif terhadap perilaku yang tidak adaptif, prinsip yang melandasi prosedur modifikasi

perilaku kognitif, dan tentang langkah-langkah di dalam terapi. Penjelasan ini penting perannya untuk

meningkatkan motivasi individu dan menjalin kerjasama yang baik. Perlu pula dijelaskan bahwa

fungsi terapis hanyalah sebagai fasilitator timbulnya perilaku yang dikehendaki, dan individu yang

berperan aktif dalam proses terapi (Ivey, 1993). Oleh karena itu individu harus benar-benar terampil

menggunakan prinsip-prinsip terapi kognitif dan modifikasi perilaku dengan masalah yang

dialaminya, dan peran terapis penting dalam mengajak individu memahami perasaannya dan teknik

terapi yang efektif untuk terjadinya perubahan perilaku yang dikehendaki. Terkait dengan perlunya

pemahaman tentang prinsip-prinsip modifikasi perilaku-kognitif, Meichenbaum (dalam Ivey, 1993)

mengemukakan 10 hal yang harus diperhatikan seorang terapis dalam penggunaan modifikasi

perilaku-kognitif, yaitu:

1. Terapis perlu memahami bahwa perilaku klien ditentukan oleh pikiran, perasaan, proses

fisiologis, dan akibat yang dialaminya. Terapis dapat memasuki sistem interaksi dengan

memfokuskan pada pikiran, perasaan, proses fisiologis, dan perilaku yang dihasilkan klien.

2. Proses kognitif sebenarnya tidak menyebabkan kesulitan emosional, namun yang

menyebabkan kesulitan emosional adalah karena proses kognitif itu sendiri merupakan

proses interaksi yang kompleks. Bagian penting dari proses kognisi adalah meta-kognisi

yaitu klien berusaha untuk memberi komentar secara internal pada pola pemikiran dan

perilakunya saat itu. Struktur kognisi yang dibuat individu untuk mengorganisasi

pengalaman adalah personal schema. Terapis perlu memahami personal schema yang

digunakan oleh klien untuk lebih mamahami masalah yang dialami klien. Perubahan

personal skema yang tidak efektif adalah bagian yang penting dari terapi

3. Tugas penting dari seorang terapis adalah menolong klien untuk memahami cara klien

membentuk dan menafsirkan realitas.

4. Modifikasi perilaku-kognitif memahami persoalan dengan pendekatan psikoterapi yang

diambil dari sisi rasional atau objektif.

5. Modifikasi perilaku-kognitif ditekankan pada penjabaran serta penemuan proses

pemahaman pengalaman klien

6. Dimensi yang cukup penting adalah untuk mencegah kekambuhan kembali.

7. Modifikasi perilaku-kognitif melihat bahwa hubungan baik yang dibangun antara klien dan

terapis merupakan sesuatu yang penting dalam proses perubahan klien.

8. Emosi memainkan peran yang penting dalam terapi, untuk itu klien perlu dibawa ke dalam

suasana terapi yang mengungkap pengalaman emosi.

9. Terapis perlu menjalin kerjasama dengan pihak keluarga ataupun pasangan klien.

10. Modifikasi perilaku-kognitif dapat diperluas sebagai proses pencegahan timbulnya

perilaku maladaptif.

Tujuan Pendekatan Terapi Perilaku Kognitif

Pendekatan terapi perilaku kognitif adalah pendekatan pemberian bantuan yang bertujuan

mengubah suasana hati dan perilaku individu dengan mempengaruhi pola berfikirnya (Beck, 1985;

Burns, 1986). Pada dasarnya pendekatan terapi perilaku kognitif bertujuan untuk mengenali kejadian

yang memberi tekanan, mengenali dan memantau gangguan-gangguan kognitif yang muncul dalam

menanggapi kejadian atau peristiwa, dan mengubah cara berfikir dalam menginterpretasikan dan

menilai kejadian dengan cara-cara yang lebih sehat.

Teknik pemantauan dan kontrol diri

Pemantauan dan kontrol diri merupakan langkah awal untuk merubah perilaku target.

Seseorang itu harus mengetahui terlebih dahulu perilaku yang mana yang menjadi target terapi

perilaku kognitif. Kedua teknik tersebut mengkaji seberapa sering perilaku target itu timbul dan resiko

yang apa yang muncul kalau tidak segera ditangani. Pada tehnik ini, klien sangat berperan penting

(Taylor, 1983). Teknik ini berfungsi sebagai alat pengumpul data sekaligus berfungsi terapeutik.

Dasar pemikiran teknik ini adalah pemantauan diri terkait dengan evaluasi diri dan pengukuhan diri

(Kanfer, 1975). Subjek memantau dan mencatat perilakunya sendiri, sehingga lebih menyadari

perilakunya setiap saat. Beberapa langkah dalam teknik pemantauan diri adalah sebagai berikut:

mendiskusikan dengan subjek tentang pentingnya subjek memantau dan mencatat perilakunya secara

teliti, subjek dan terapis secara bersama-sama menentukan jenis perilaku yang hendak dipantau,

mendiskusikan saat-saat pemantauan dilaksanakan, terapis menunjukkan pada subjek cara mencatat

data perilakunya.. Pemantauan diri hendaknya dilakukan untuk satu jenis perilaku dan relatif

merupakan respon yang sederhana (Kanfer, 1975). Kontrol diri dapat diterapkan dalam teknik terapi

apapun. Satu-satunya syarat adalah orang tersebut harus menginplementasikan prosedurnya sendiri

setelah menerima instruksi dari terapis. Ada tiga kriteria yang terkandung dalam semua konsep

kontrol diri yaitu :

a. Hanya ada sedikit kontrol eksternal yang dapat menjelaskan perilaku (tidak ada pengawasan

atau pemaksaan dari luar atau orang lain)

b. Kontrol adalah suatu hal yang cukup sulit sehingga orang yang bersangkutan harus berupaya

cukup keras (melakukan suatu kegiatan yang sangat tidak diinginkan dan merasa gembira dan

bebas setelah kegiatan itu selesai)

c. Perilaku dilakukan dengan pertimbangan dan pilihan secara sadar

Individu secara aktif memutuskan untuk melakukan kontrol diri baik dengan melakukan suatu

tindakan atau dengan menahan dirinya untuk tidak melakukan sesuatu. Orang yang

bersangkutan tidak melakukan ini secara otomatis dan tidak dipaksa oleh orang lain untuk

melakukan suatu tindakan.

Reinforcement (Penguatan diri)

Penguatan diri adalah teknik yang paling menarik apabila kita belajar teori terapi perilaku

kognitif. Penguatan diri meliputi pemberian pujian atau hukuman pada diri sendiri untuk

meningkatkan atau meminimalkan beberapa kejadian perilaku target. Pujian itu terbagi atas dua

bagian yaitu pujian positif dan pujian negatif. Pujian positif yaitu memberikan pujian yang

sepantasnya pada diri sendiri karena telah berhasil merubah atau memodifikasi perilaku target. Pujian

negatif adalah pujian melalui modifikasi faktor pencetus perilaku target di linkungan klien. Seperti

pemberian pujian pada diri sendiri, hukuman juga dibagi dua bagian yaitu hukuman yang positif dan

hukuman yang negatif. Akan tetapi jarang digunakan dalam memanajemen atau memodifikasi

perilaku (Taylor, 1983). Reinforcement dihubungkan dengan hemodialisa adalah hal yang sangat tepat

untuk mencapai berat badan yang idel untuk pasien, dan pada umumnya merupakan intervensi yang

paling sering diberikan para medis ke pasiennya (Sagawa, 2001).

Distraksi (pengalihan perhatian)

Distraksi mengalihkan perhatian klien ke hal yang lain yang lebih menyenangkan sehingga

klien mampu mengabaikan pemikiran yang tidak menyenangkan yang sedang dialami. Distraksi

bekerja memberi pengaruh paling baik untuk jangka waktu yang singkat. Perawat dapat mengkaji

aktivitas-aktivitas yang dinikmati klien sehingga dapat dimanfaatkan sebagai distraksi. Aktivitas

tersebut dapat meliputi kegiatan menyanyi, berdoa, mendengarkan musik, menonton TV, membaca,

bercerita, dan lain-lain. Sebagian besar distraksi dapat digunakan di rumah sakit, di rumah , atau pada

fasilitas perawatan jangka panjang (Potter, 2005). Distraksi dapat berkisar dari hanya pencegahan

monoton sampai menggunakan aktivitas fisik dan mental yang sangat kompleks. Ada orang tertentu

yang akan mampu mengalihkan perhatiannya hanya dengan memainkan suatu permainan yang butuh

konsentrasi penuh sperti main catur. Keefektifan distraksi tergantung pada kemampuan pasien untuk

menerima dan membangkitkan input sensori selain sensori yang sedang dialami ( Smeltzer, 2001).

Distraksi visual Melihat pertandingan, menonton televisi, membaca koran, melihat pemandangan dan

gambar termasuk distraksi visual

Distraksi pendengaran Diantaranya mendengarkan musik yang disukai atau suara burung serta

gemercik air, individu dianjurkan untuk memilih musik yang disukai dan musik tenang seperti musik

klasik, dan diminta untuk berkosentrasi pada lirik dan irama lagu. Klien juga diperbolehkan untuk

menggerakkan tubuh mengikuti irama lagu seperti bergoyang, mengetukkan jari atau kaki (Tamsuri,

2007). Musik klasik salah satunya adalah musik Mozart. Dari sekian banyak karya musik klasik,

sebetulnya ciptaan milik Wolfgang Amadeus Mozart (1756-1791) yang paling dianjurkan. Beberapa

penelitian sudah membuktikan, Mengurangi tingkat ketegangan emosi atau nyeri fisik. Penelitian itu

di antaranya dilakukan oleh Dr. Alfred Tomatis dan Don Campbell. Mereka mengistilahkan sebagai

“Efek Mozart”. Dibanding musik klasik lainnya, melodi dan frekuensi yang tinggi pada karya-karya

Mozart mampu merangsang dan memberdayakan daerah kreatif dan motivatif di otak. Yang tak kalah

penting adalah kemurnian dan kesederhaan musik Mozart itu sendiri. Namun, tidak berarti karya

komposer klasik lainnya tidak dapat digunakan (Andreana, 2006)

Distraksi pernafasan yaitu bernafas ritmik, anjurkan klien untuk memandang fokus pada satu objek

atau memejamkan mata dan melakukan inhalasi perlahan melalui hidung dengan hitungan satu sampai

empat dan kemudian menghembuskan nafas melalui mulut secara perlahan dengan menghitung satu

sampai empat (dalam hati). Anjurkan klien untuk berkosentrasi pada sensasi pernafasan dan terhadap

gambar yang memberi ketenangan, lanjutkan tehnik ini hingga terbentuk pola pernafasan ritmik.

Distraksi intelektual, antara lain dengan mengisi teka-teki silang, bermain kartu, melakukan

kegemaran (di tempat tidur) seperti mengumpulkan perangko, menulis cerita

Tehnik pernafasan, seperti bermain, menyanyi, menggambar atau sembayang. Imajinasi

terbimbing adalah kegiatan klien dengan membuat suatu bayangan yang menyenangkan dan

mengonsentrasikan diri pada bayangan tersebut serta berangsur-angsur membebaskan diri dari dari

perhatian terhadap stimulus yang kurang menyenangkan

Proses Pemulihan (Recovery Process)

Proses pemulihan adiksi napza bukan hanya melepaskan si pecandu dari

ketergantungan napza, tetapi juga mencegah mereka kembali menggunakannya. Proses

pemulihan adalah suatu perjalanan panjang yang menyakitkan bagi para pasien adiksi napza,

mulai dari lepasnya napza dari tubuh sampai ke pola hidup sehat. Dalam proses pemulihan,

seorang adiksi harus membuat perubahan intrapersonal dan interpersonal. Proses pemulihan

dari berhenti menggunakan napza atau abstinensia

Ciri-ciri ideal dari proses pemulihan :

- Abstinensia

- Menjauhkan diri dari teman, tempat, benda dan hal lain yang dapat menimbulkan

keinginan menggunakan napza kembali

- Berhenti mempersalahkan diri sendiri

- Belajar mengendalikan eprasaan

- Belajar merubah pola pikir adiktif

- Belajar mengenali permasalahn diri sendiri, orang lain dan sekitarnya

www.nacbt.org

www.rcpsych.ac.uk

Daftar Pustaka

1. Kurniadi H. Wreksoatmodjo B. Napza dan Tubuh Kita. Jakarta : Yayasan Jendela;

2004.

2. UNODC

3. Husin AB, Siste K. Gangguan penggunaan zat. Dalam: Buku ajar psikiatri.

Jakarta: FKUI; 2014.h. 143-71.

4. Sadock BJ, Sadock VA, Eds. Comprehensive Textbook of Psychiatry. Edisi X.

Philadelphia, Baltimore, New York: Lippincott Williams &Wilkins, 2007.

5. Caffeine. 2014. Diunduh dari : http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/caffeine.html

( 11 Juni 2014)

6. Chatinone, a natural amphetamine. 2013. Diunduh dari:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1508843 (13 Juni 2014)

7. Katinon. 2013. Diunduh dari :

http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2013/08/20/716/mengenal-katinon

(15 Juni 2014)

8. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI. Pedoman

Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa III. Departemen Kesehatan RI, h. 103-2.

9. Keputusan Menteri 420

10. Preda A. Stimulants. 2013. Diunduh dari: www.medscape.com/article. ( 15 Juni

2014).

11. Pamusu D, Amir N, Effendi J, Khamelia, Kembaren L, Aritonang I, et al. Pedoman Nasional

Pelayanan Kedokteran (PNPK) Jiwa/Psikiatri. 2012. h. 18-28

12. Addiction. American Psychiatric Association. 2014.