referat sinusitis
DESCRIPTION
tentang anatomi, patofisiologi dari sinusitisTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Hidung dan sinus paranasalis merupakan struktur berongga dalam
cranium yang berhubungan satu sama lain. Kedudukan dan hubungan cavum
nasi dengan sinus paranasalis serta terhadap organ di sekitarnya (orbita, gigi,
fossa cranii media, dll.) sangat penting dalam menjelaskan patofisiologi penyakit
di bidang THT.1
Sinus paranasalis sendiri terbentuk melalui suatu proses pneumatisasi
tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Secara
embriologis, sinus paranasalis berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung
sehingga memiliki lapisan mukosa yang sama dengan rongga hidung yaitu epitel
torak bertingkat semu bersilia yang mengandung sel- sel goblet. Mukosa ini
berperanan dalam mekanisme pertahanan terhadap infeksi melalui produksi
palut lendir dan daya pembersihan mukosa. Ada empat pasang sinus
paranasalis mulai dari yang terbesar, yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus
ethmoidalis dan sinus sphenoidalis. Sinus maksilaris dan sinus ethmoidalis
sudah terbentuk sejak lahir, sehingga kedua sinus ini sering terlibat dalam
sinusitis di masa kanak-kanak.1
Sinusitis adalah radang pada mukosa sinus paranasalis. Sinusitis
maksila paling sering ditemukan, kemudian diikuti oleh sinusitis ethmoidalis,
sinusitis frontalis dan sinusitis sphenoidalis. Hal ini disebabkan sinus maksila
merupakan sinus paranasalis terbesar yang apabila mengalami infeksi akan
lebih jelas menimbulkan gangguan. Dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi
(prosesus alveolaris), infeksi pada gigi dapat menyebabkan sinusitis maksilaris.
Letak ostium sinus letaknya lebih tinggi dari dasar menyebabkan drainase sinus
hanya tergantung pada gerakan silia, disamping itu letak ostium yang berada di
meatus nasi media, sekitar hiatus semilunaris yang sempit juga menyebabkan
ostium sering tersumbat. Secara klinis, sinusitis dibagi menjadi dua yaitu
sinusitis akut dan sinusitis kronik.1
1
Faktor predisposisi terjadinya sinusitis baik akut maupun kronik
diantaranya obstruksi mekanik pada hidung, infeksi saluran nafas atas, rhinitis
kronik dan alergi.1 Disamping itu faktor lingkungan juga dapat berpengaruh
antara lain: lingkungan berpolusi, udara dingin serta kering dapat
mengakibatkan perubahan pada mukosa serta kerusakan silia. Kuman
penyebab tersering adalah streptokokus atau stafilokokus, infeksi akibat
penjalaran gigi maka kuman penyebabnya adalah bakteri anaerob.1
Diagnosa sinusitis maksilaris ditegakkan melalui anamnesis yang tepat
pemeriksaan status lokalis (THT), serta pemeriksaan penunjang lainnya untuk
menyingkirkan kemungkinan penyakit lain dengan gejala sama atau bahkan
untuk mencari penyebab terjadinya sinusitis tersebut.1
Penanganan yang diberikan antara lain antibiotika golongan penicillin,
dekongestan local berupa tetes hidung, mukolitik dan analgetik.1
1.2 TUJUAN PENULISAN
Untuk mengetahui bagaimana etiologi, patofisiologi, gejala klinik,
komplikasi, penanganan dan prognosis dari sinusitis maksilaris.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. ANATOMI SINUS MAKSILARIS
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan
mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml saat dewasa.1
Sinus maksilaris berbentuk pyramid dengan basis di medial yaitu dinding
lateral cavum nasi dan apeknya pada prosesus zygomaticus ossis maxillaris.
Atap sinus dibentuk oleh dasar orbita sedangkan dasar sinus merupakan
prosesus alveolaris ossis maxillaries. Dinding anteriornya memisahkan sinus
dengan fasies, sedangkan dinding posteriornya memisahkan dengan fossa
pterigopalatina.1,2
Sinus maksilaris disebut juga antrum High-more, merupakan sinus yang
sering terinfeksi, oleh karena 1) merupakan sinus paranasal yang terbesar, 2)
letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret (drainase) dari
sinus maksilaris hanya tergantung dari gerakan silia, 3) dasar sinus maksilaris
adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), hanya dipisahkan dengan lamina
tulang yang sangat tipis dan bahkan sama sekali tidak dipisahkan oleh tulang,
sehingga infeksi gigi geligi mudah naik keatas menyebabkan sinusitis, 4) ostium
sinus maksilaris terletak dimeatus medius, disekitar hiatus semilunaris yang
sempit sehingga mudah tersumbat oleh karena drainase kurang baik. 5)
Sinusitis maksilaris dapat menimbulkan komplikasi orbita melalui duktus
nasolakrimalis.1,2
3
Gambar 1. Sinus Paranasalis. Sumber: Clinical Anesthesiology 6th edition(2006).3
Sinus maksilaris bermuara ke dalam meatus nasi medius melalui hiatus
semilunaris yang sempit. Simon berpendapat bahwa ostium sinus maksilaris
berupa satu saluran karena dia menemukan ukuran dari ujung medial sampai
lateral lebih panjang 3 mm dari panjang rata-rata 5,55 mm. Hal ini penting
karena berhubungan dengan patofisiologi terjadinya sinusitis maksilaris, dimana
drainasenya mengandalkan pergerakan silia pada dinding sinus.2
Vaskularisasi sinus maksilaris sebagian besar berasal dari a. maksilaris
dan cabang-cabangnya yang menembus tulang sinus. Drainase vena pada
sinus mulai v.maksilaris dan v.facialis anterior menuju v.jugularis interna. Selain
itu v.maksilaris juga menuju pleksus pterygoid. Sedangkan drainase cairan limfe
ke limfonodi submandibular.2
Sinus maksilaris mendapat inervasi dari n. infraorbital, n. maxillaries
(n.V2). Inervasi sekretomotorik mukosa sinus berasal dari nucleus intermediate
n.fascialis. Membran mukosa sinus menerima inervasi dari postganglionic
parasimpatetik untuk sekresi mukus.2
2.2. FISIOLOGI SINUS MAKSILARIS
Beberapa teori menyebutkan sinus paranasalis mempunyai fungsi
sebagai berikut : mengurangi berat cranium, resonansi udara dan
mempengaruhi kualitas suara, penahan suhu (termal insulator), pengatur kondisi
udara (air conditioning), mempengaruhi gaya berat pada saat mengunyah ke
arah lateral sehingga tekanan tidak langsung mengenai orbita, sebagai peredam
perubahan tekanan udara seperti pada saat bersin atau membuang ingus,
4
membantu produksi mukus untuk membersihkan partikel yang masuk bersama
udara inspirasi ke dalam sinus.1
2.3. DEFINISI SINUSITIS
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus
yang terkena, dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis
frontal, dan sinusitis sphenoid. Bila mengenai beberapa sinus disebut
multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut
pansinusitis. Sinusitis maksilaris adalah peradangan atau inflamasi pada
mukosa sinus maksilaris.2
2.4. KLASIFIKASI
Berdasarkan konsensus pada Internasional Conference of Sinus Disease,
sinusitis maksilaris dibagi menjadi 2 yaitu :2,3
1. Sinusitis maksilaris akut
Sinusitis maksilaris akut adalah infeksi sinus maksilaris yang
berlangsung selama 7 hari sampai 8 minggu, dengan episode serangan
kurang dari 4 kali dalam setahun dan setelah diberikan terapi optimal,
mukosa sinus akan kembali normal.
2. Sinusitis maksilaris kronis
Sinusitis maksilaris kronis adalah infeksi sinus yang berlangsung lebih
dari 8 minggu sampai jangka waktu yang tidak terbatas, dengan episode
serangan lebih dari 4 kali dalam setahun dan walaupun diberikan terapi
yang optimal, mukosa tetap abnormal sehingga harus dibuang lewat
pembedahan.
2.5. ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI
Dalam keadaan fisiologis, sinus dalam keadaan steril. Etiologi dari
sinusitis maksilaris yakni Virus, bakteri atau infeksi jamur dari saluran
pernafasan :2,4
a. Virus
Virus merupakan penyebab tersering sinusitus maksilaris akut.5 Virus
yang didapat dari hasil kultur kavum sinus diantaranya : rhinovirus, virus
influenza A dan B, coronavirus, respiratory syncytial virus, adenovirus,
5
enterovirus, and virus parainfluenza. Umumnya sinusitis maksilaris akibat
virus gejalanya ringan dan jarang datang untuk berobat.
b. Bakteri
Infeksi bakteri sering menjadi komplikasi dari infeksi virus, superinfeksi ini
dapat terjadi sepanjang perjalanan infeksi virus pada saluran nafas atas.
Bakteri yang sering ditemukan pada sinusitis akut diantaranya :
Pneumococcus, Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae,
dan Moraxella catarrhalis dan Staphylococcus aureu,streptokokus lain,
dan anaerobes juga dapat dtemukan. Sedangkan pada sinusitis kronis
biasanya ditemukan infeksi campuran oleh berbagai macam mikroba
seperti kuman aerob S.aureus, S.viridans, H.influenza dan kuman
anaerob Peptostreptokokus dan Flusobakterium. Resistansi bakteri
sangat penting dalam mempengaruhi terapi antimikroba yang dapat
diberikan.5 Streptokokus yang resisten terhadap penicillin diperkirakan
25% sampai dengan lebih dari 50% dan resistensi pneumokokus
terhadap makrolide dapat mencapai 31%.
c. Jamur
Jamur dapat berkoloni pada sinus paranasal menyebabkan sinusitis akut
maupun kronis, namun jarang pada pasien yang imunokompeten.5,6 Pada
pasien dengan gangguan imunitas dan diabetes, sering didapatkan
Aspergillus dan zygomicoses serta jamur lain seperti :
phaeohyphomycosis, Pseudallescheria, dan hyalohyphomycosis.
Faktor predisposisi sinusitis maksilaris yakni :2,4
1. Penularan dari infeksi sinus di dekatnya, seperti faringitis, tonsilitis atau
radang pada gigi geraham atas (odontogen).
2. Rhinitis alergi dan rhinitis kronik. Pada keadaan ini terjadi hipersekresi
cairan mukus yang dapat menyumbat osteum sinus dan menjadi media
bagi pertumbuhan kuman
3. Obstruksi mekanik seperti kelainan septum (spina septum, deviasi
septum, dislokasi septum), hipertropi konka media, benda asing dalam
hidung, polip dan tumor di rongga hidung akan menyebabkan salah satu
atau kedua rongga hidung menjadi lebih sempit
4. Trauma kapitis yang melibatkan sinus maksilaris dan polusi udara.
6
Kasus odontogen bisa disebabkan oleh :2,4
a. Granuloma pada akar gigi sebagai fokal infeksi yang menuju sinus
maksilaris.
b. Ekstrasi gigi yang menyebabkan akar gigi masuk ke dalam sinus.
c. Tindakan yang menyebabkan akar gigi masuk ke dalam sinus.
d. Adanya alat yang merusak lapisan epitel sinus.
e. Tindakan pada gigi impaksi M3, bicuspid atau yang masuk kedalam
sinus.
f. Fraktur prosesus maksilaris yang melibatkan beberapa gigi sehingga
sinus terbuka.
g. Adanya radicular cyst yang menyangkut kedalam sinus.
h. Adanya dry socket akibat pencabutan gigi, dimana socketnya tidak terisi
bekuan darah, sehingga mudah kemasukan sisa makanan yang
menyebabkan infeksi dan menjalar ke dalam sinus.
i. Abses akar gigi yang mengalami gangren.
2.6. PATOFISIOLOGI
Sinus paranasalis mempunyai sistem pertahanan terhadap infeksi.
Mekanisme pertahanan tersebut didapat dengan adanya daya untuk
menghancurkan kuman oleh lisozim. Lisozim yang terdapat pada lapisan mukus
bersifat destruktif terhadap sebagian bakteri. Mekanisme pertahanan yang lain
diperoleh dari daya gerak silia.2
Sistem pertahanan sinus paranasalis dipengaruhi oleh beberapa factor yaitu :2
1. Transport mukosilia
Seperti mada mukosa hidung, didalam sinus juga terdapat mukosa
bersilia dan palut lendir (mucous blanket) diatasnya. Didalam sinus silia
bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium
alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya. Kuman
atau benda asing yang masuk ke dalam sinus akan diselubungi oleh
mucous blanket, kemudian gerakan silia akan mengalirkan ke arah
ostium dan akhirnya keluar. Apabila gerakan silia mengalami gangguan
maka drainase sinus akan terganggu sehingga terjadi penimbunan
mukus. Lendir yang berasal dari sinus maksilaris yang bergabung di
infundulum etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara Tuba
7
Eustachius. Inilah sebabnya pada sinusitis didapatkan sekret pasca
nasal ( post nasal drip), tetapi belum tentu ada sekret dirongga hidung.
2. Ostium sinus.
Ostium merupakan titik paling lemah dari mekanisme pertahanan sinus.
Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus sehingga
drainase dan ventilasi kurang baik, lagipula drainase juga harus melalui
infundibulum yang sempit, infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid
anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini
dapat menghalangi drainase sinus maksilaris dan selanjutnya
menyebabkan sinusitis.
3. Pertukaran O2.
Pertukaran O2 sering terganggu pada pembentukan ostium. Kadar O2
dalam sinus mempunyai hubungan dengan ukuran dan terbukanya
ostium. Bila ostiumnya tersumbat, kadar O2 akan berkurang sehingga
aktivitas mukosilia juga berkurang.
4. Peredaran darah dalam mukosa sinus.
Absorbsi oksigen terjadi secara perfusi dan jumlahnya tergantung dari
jumlah darah pada daerah tersebut. Adanya gangguan peredaran darah
dalam sinus akan menyebabkan gangguan absorbsi oksigen.
Komplek osteomeatal terdiri dari infundibulum ethmoid yang terdapat di
belakang prosesus uncinatus, resesus frontalis, bula ethmoid dan sel-sel
ethmoid anterior dengan ostiumnya dan osteum sinus maksila merupakan faktor
yang sangat menentukan dalam patofisiologi sinusitis paranasalis. Struktur ini
mempunyai lebar hanya beberapa millimeter, sehingga merupakan celah yang
amat sempit dan ditutup oleh permukaan mukosa yang saling berhadapan dan
bahkan kadang-kadang saling menempel, seperti leher botol. Bila terjadi edema,
mukosa yg berhadapan akan saling bertemu, shg silia tak dapat bergerak dan
lendir tak dapat dialirkan.1,2
Terjadi gangguan drainase dan ventilasi dari sinus maksila dan frontal
sehingga aktifitas silia terganggu dan terjadi genangan lendir. Lendir menjadi
lebih kental, media yang baik bagi bakteri patogen. Bila edema lama akan terjadi
hipoksia dan retensi lendir, bakteri anaerob akan berkembang biak dan terjadi
kerusakan silia. Bila proses berlanjut dapat terjadi perubahan jaringan mis.
jaringan polipoid, hipertrofi, polip, kista.1,2
8
2.7. GEJALA DAN TANDA
2.7.1 Sinusitis Maksilaris Akut
Gejala objektif sinusitis maksilaris akut meliputi gejala sistemik dan lokal.
Gejala sistemik berupa demam sampai menggigil, malaise, lesu serta nyeri
kepala terutma pada sisi yang sakit. Gejala lokal dapat berupa rasa nyeri tumpul
dan menusuk di daerah pipi atau di bawah kelopak mata yang bisa menyebar ke
alveolus sehingga sering dikelirukan sebagai sakit gigi. Nyeri alih lain bias juga
dirasakan di dahi dan di depan telinga. Nyeri semakin berat jika kepala
digerakkan secara mendadak, misalnya sewaktu naik turun tangga. Sekret
mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk bahkan
bercampur darah. Batuk serta kurangnya sensitifitas dalam merasakan rasa dan
bau.2
Gejala subjektif didapatkan melalui pemeriksaan fisik, pada inspeksi di
dapatkan pembengkakan di daerah muka yaitu pipi dan kelopak mata bawah.
Pada palpasi dan perkusi di daerah tersebut akan terasa nyeri. Dengan
rhinoskopi anterior akan tampak mukosa konka hiperemis dan edema serta
tampak adanya sekret mukopurulen di meatus nasi media. Pada rhinoskopi
posterior tampak sekret mukopurulen di nasofaring( post nasal drip). Dengan
pemeriksaan transiluminasi akan tampak gambaran bulan sabit di bawah rongga
mata yang menjadi lebih suram/gelap dibandingkan dengan normal.1,3
2.7.2 Sinusitis Maksilaris Kronis
Gejala sinusitis maksilaris kronis umumnya sangat bervariasi. Gejala
dapat dirasakan berat sehingga menghalangi penderita untuk bekerja atau dapat
ringan tetapi berlangsung lama. Selama eksaserbasi akut, gejala-gejala mirip
dengan gejala sinusitis akut, sedangkan di luar masa tersebut akan didapatkan
gejala-gejala sesuai dengan faktor predisposisinya, disertai gejala-gejala
subjektif yang meliputi :1,2
a. Gejala pada hidung dan nasofaring antara lain sekret hidung berupa pus
atau mukopus yang disertai bau busuk, post nasal drip dan epistaksis.
b. Gejala pada faring yaitu rasa tidak nyaman di tenggorokan.
c. Gejala pada telinga, berupa pendengaran terganggu oleh karena
tersumbatnya tuba eusthachius
9
d. Rasa nyeri dan sakit kepala.
e. Gejala pada mata yaitu epifora dan konjungtivitis oleh karena penjalaran
infeksi melalui duktus nasolakrimalis.
f. Gejala saluran pernafasan berupa batuk dan terdapat komplikasi di paru
berupa bronkitis atau bronkiektasis atau asma bronkiale, sehingga terjadi
penyakit sinobronkitis.
g. Gejala pada saluran pencernaan oleh karena mukopus yang tertelan
dapat menyebabkan gastroenteritis, sering terjadi pada anak.
Kadang-kadang gejala sangat ringan yang mengganggu pasien. Sekret
pasca nasal yang terus menerus akan menyebabkan batuk kronik. Nyeri kepala
pada sinusitis kronis biasanya terasa pada pagi hari, dan akan berkurang
setelah siang hari. Penyebabnya belum diketahui dengan pasti, tapi mungkin
karena pada malam hari terjadi penimbunan ingus dalam rongga hidung dan
sinus serta adanya stasis vena.1,2
Gejala objektif pada sinusitis kronis pada pemeriksaan klinis tidak
seberat sinusitis akut. Pada inspeksi tidak didapatkan pembengkakan pada
wajah. Pada rinoskopi anterior didapatkan akibat hipertropi mukosa hidung dan
konka mengakibatkan obstruksi hidung. Ditemukan sekret kental purulent dari
meatus medius atau meatus superior. Pada rhinoskopi posterior tampak sekret
kental purulent di nasofaring atau turun ke tenggorokan (Post Nasal Drip).1,2
2.8. DIAGNOSIS
2.8.1 Anamnesis.
Dicurigai sinusitis akut apabila terjadi infeksi saluran nafas yang menetap
dalam 7-10 hari, terutama jika infeksinya berat dan disertai demam tinggi, sekret
purulen dari hidung, atau edema periorbital. Batuk pada malam hari adalah
gejala nomor 2 tersering atau tanda dari sinusitis yang diikuti oleh rhinitis
purulen. Sakit kepala, nyeri wajah atau edema tidak sering ditemukan.2
Gejala dari sinusitis kronik adalah tidak spesifik dan bervariasi. Bila ada
demam, suhu badan tidak begitu tinggi. Malaise, cepat lelah dan anoreksia
mungkin ada. Sekret dari hidung bervariasi dari tipis sampai tebal, dari serus
sampai purulen. Bau mulut dilaporkan lebih sering pada orangtua daripada
anak. Obstruksi hidung ditandai dengan bernafas melalui mulut dan adanya
nyeri tenggorok.2
10
Beberapa anak kecil dengan sinusitis maksilaris kronik, orang tuanya mungkin
menemukan secara kebetulan pada pagi hari, mata yang bengkak dan tanpa
rasa nyeri. Anak yang lebih besar mungkin mengeluh hilangnya kemampuan
perasa oleh karena hubungannya dengan obstruksi nasal dan anosmia (hilang
atau menurunnya indra penciuman). Gejala pada malam hari mungkin juga
termasuk mengorok dan batuk oleh karena hubungannya dengan post nasal
drip.2
2.8.2 Pemeriksaan Fisik
Untuk melihat tanda-tanda klinis dapat dilakukan pemeriksaan antara lain ; 2,5
a. Rhinoskopi anterior, tampak mukosa hidung hiperemis dan edema,
terlihat pus pada meatus nasi media.
b. Rhinoskopi posterior, tampak sekret kental di nasofaring (post nasal
drip).
c. Transiluminasi. Pada sinus normal tampak gambaran bulan sabit yang
terang di bawah mata, dan bila ada sinusitis, sinus yang sakit akan
menjadi suram atau gelap. Pemeriksaan transiluminasi bermakna apabila
salah satu sisi sinus yang sakit, sehingga tampak lebih suram
dibandingkan sisi yang normal.
Tabel 1. Kriteria diagnosis sinusitis
Mayor Minor
Nyeri atau rasa tertekan pada wajah Sakit kepala
Sekret nasal dan post nasal purulen Batuk
Demam (fase akut) Rasa lelah
Kongesti nasal Halitosis (bau mulut)
Obstruksi nasal Nyeri gigi
Hiposmia atau anosmia Nyeri atau rasa tertekan /penuh pada
telinga
Diagnosis memerlukan dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dengan dua kriteria minor pada pasien dengan gejala lebih dari 7 hari.Sumber: Boies ET. (2001)5
11
2.8.3 Pemeriksaan Mikrobiologik Dan Laboratorium.
Untuk pemeriksaan mikrobiologik sebaiknya diambil sekret dari meatus
medius atau meatus superior. Pada sinusitis akut, kemungkinan akan ditemukan
bermacam-macam bakteri yang merupakan flora normal di hidung atau kuman
patogen, seperti Pneumococcus, Sterptococcus, Sthaphylococcus dan
H.influenza atau bahkan virus/jamur. Sedangkan pada sinusitis kronis biasanya
ditemukan infeksi campuran oleh berbagai macam mikroba seperti kuman aerob
S.aureus, S.viridans, H.influenza dan kuman anaerob Peptostreptokokus dan
Flusobakterium.5
Adanya kultur sinus adalah satu-satunya cara definitif untuk
mengkonfirmasi diagnosa dari sinusitis yang infeksius. Kultur bisa diperoleh dari
meatus nasi media dibawah tuntunan endoskopi atau melalui tehnik punksi.
Organisme spesifik dipertimbangkan patogen saat lebih dari 104 koloni
terbentuk, spesies-spesies ini timbul pada kultur atau saat hitung jenis PMN
lebih dari 5000 ml.5
Pemeriksaan endoskopi pada sinus maksilaris disebut sinuskopi atau
antroskopi. Caranya adalah kanul dan trokar dimasukkan ke dalam antrum
melalui dinding lateral meatus nasi inferior dengan memakai anestesi lokal.
Kemudian trokar dicabut dan antroskop dimasukkan ke dalam sinus melalui
kanul. Apabila dalam sinus masih banyak terdapat cairan maka terlebih dahulu
dilakukan irigasi.5
Pemeriksaan sinoskopi ini untuk mengetahui mukosa masih reversible
atau tidak. Pada sinusitis maksilaris kronis dijumpai gambaran mukosa yang
menebal, edema atau polipoid dan pada bagian tertentu kemungkinan terjadi
fibrosis serta dilapisi oleh sekret berupa pus atau mukopus.5
Tujuan dilakukan punksi sinus maksilaris selain untuk membantu
menegakkan diagnosis juga bertujuan untuk memberikan terapi dengan
melakukan irigasi memakai cairan fisiologis.5
2.8.4 Pemeriksaan Radiologi
Evaluasi radiologi berguna bila diagnosis sinusitis akut yang meragukan
setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan radiologi sinus (posisi
water’s, PA dan lateral) mempunyai nilai prediksi 72-96% dalam mendiagnosa
sinusitis akut. Posisi water’s sendiri mempunyai nilai prediksi yang sama untuk
12
mendiagnosa sinusitis maksilaris. Pada sinusitis maksilaris akut ditemukan
penebalan mukosa, air fluid level dan perselubungan sinus. Kelemahan dari
pemeriksaan radiologi adalah adanya variasi hasil pemeriksaan, ketidak
mampuan untuk membedakan polip atau tumor dan visualisasi yang buruk dari
sinus etmoid dan sinus sphenoid.5,6
Pemeriksaan radiologi pada individu dengan sinusitis kronik
menunjukkan respon osteoblastik yang mempengaruhi dinding sinus, penebalan
mukoperiosteum, perselubungan rongga sinus dan kadang menyempitnya
rongga sinus.. Akhir-akhir ini, CT scan merupakan gold standard diagnosis
sinusitis karena mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit
dalam hidung dan sinus secara keseluruhan serta perluasannya dan untuk
membedakan penyebaran orbita dan intracranial dapat menggunakan MRI.2,5,6
2.8.5 Pemeriksaan Gigi
Infeksi gigi berperanan pada 10% kasus sinusitis maksilaris, sehingga
perlu dilakukan pemeriksaan gigi rahang atas. Penyebab tersering adalah gigi
premolar dan molar 1 yang mengalami gangren pulpa, abses pada apeks gigi
akibat cabut gigi dan periodontis kronis.5,6
2.9. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dari sinusitis maksilaris akut adalah :1,2
1. Rhinitis alergi
2. Infeksi gigi geraham atas
3. Benda asing dalam rongga hidung
Dignosis banding dari sinusitis maksilaris kronik adalah :
1. Karsinoma sinus maksila
2. Ozaena
3. Benda asing dalam rongga hidung.
2.10. PENATALAKSANAAN
Terapi sinusitis maksilaris umumnya terdiri dari :1,2
1. Istirahat
2. Antibiotika
Antibiotika yang dipilih adalah antibiotika spectrum luas yang relative
murah dan aman. Lama pemberian antibiotika yang disarankan oleh
13
beberapa kepustakaan juga bervariasi tergantung kondisi penderita.
Pada kasus akut, antibiotika diberikan selama 5 7 hari sedangkan
pada kasus kronik diberikan selama 2 minggu hingga bbas gejala
selama 7 hari. Antibiotika yang dapat diberikan antara lain :
a. Amoksisilin 3 kali 500 mg
b. Ampicillin 4 kali 500 mg
c. Eritromisin 4 kali 500 mg
d. Sulfametoksasol – TMP
e. Doksisiklin
3. Dekongestan lokal (tetes hidung) atau sistemik (oral) merupakan
Alpha adrenergik agonis menyebabkan vasokontriksi, sehingga
memperlancar drainase sinus
a. Sol efedrin 1-2 % sebagai tetes hidung
b. Sol.Oksimetasolin HCL 0,05%(semprot hidung untuk dewasa.
c. Oksimetasolin HCL 0,025%(semprot hidung untuk anak-anak)
d. Tablet pseudoefedrin 3 kali 60mg (dewasa)
4. Analgetika dan antipiretik: parasetamol atau metampiron
5. Antihistamin
Antagonis histamine H1 yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada
reseptor H1 sel target. Bekerja dengan menghambat hipersekresi
kelenjar mukosa dan sel goblet dan menghambat peningkatan
permeabilitas kapiler sehingga mencegah rinore dan sebagai
vasokontriksi sinusoid untuk mencegah hidung tersumbat.
Antihistamin berguna untuk mengurangi obstruksi KOM pada pasien
alergi yang menderita sinusitis akut. Terapi antihistamin ini tidak
direkomendasikan untuk penggunaan rutin pada pasien dengan
sinusitis akut, karena dapat menimbulkan komplikasi melalui efeknya
yang mengentalkan dan mengumpulkan sekresi sinonasal.
6. Mukolitik
Secara teori, mukolitik seperti bromehexin atau ambroxol hidroklorida
memiliki kelebihan dalam mengurangi sekresi dan memperbaiki
drainase. Namun tidak biasa digunakan dalam praktek klinis untuk
mengobati sinusitis akut.
7. Tindakan operatif
14
a. Pungsi dan Irigasi sinus maksilaris (antrum wash out) Tujuan
dilakukan Irigasi antrum adalah 1) sebagai tindakan diagnostic untuk
memastikan ada tidaknya sekret pada sinus maksilaris, 2) untuk
mengeluarkan sekret yang terkumpul didalam rongga sinus
maksilaris, 3) memperbaiki aliran mukosiliar, 4) jika dalam waktu 10
hari, penderita tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan dengan
terapi konservatif, atau telah didapatkan adanya air fluid level dalam
antrum, 5). untuk memperoleh material yang dapat digunakan untuk
kultur dan tes sensitifitas.
Tindakan ini dapat dilakukan dengan :
Mukosa hidung disemprot dengan larutan 10% kokain dan
adrenalin 1/1000. kemudian dengan sepotong kapas yang
dibasahi dengan larutan yang sama ditempatkan pada
meatus inferior. Ditunggu selama 15 menit.
Dengan menggunakan trokar (misal Trokar dari Lichwits)
dibuat drainase melalui meatus inferior atau celah bukalis gusi
menembus fosa insisiva dengan menempatkan ujung trokar
pada bagian atas dari meatus nasi inferior, kearah kanthus
lateralis 1-1/2 inch dari lobang hidung atau tepi atas daun
telinga. Trokar didorong masuk dengan arah sedikit memutar
sampai terasa menembus tulang. Trokar dicabut dengan
meninggalkan kanul.
Dilakukan irigasi antrum dengan larutan salin steril hangat ke
dalam antrum maksilaris. Selanjutnya mengalirkan larutan
saline hangat, akan mendorong pus ke luar melalui ostium
alami ke rongga hidung atau mulut. cairan irigasi ditampung
dan dikirim untuk pemeriksaan bakteriologi dan uji kepekaan
kuman.
Antrum wash out dilakukan lima-enam kali dengan selang
waktu 4- 5 hari (2 kali dalam seminggu). Bila tidak ada
perbaikan dan klinis masih tetap banyak sekret purulen,
berarti mukosa sinus tidak dapat kembali normal (perubahan
irreversible), maka perlu dilakukan operasi radikal.
15
Antibiotika diberikan sesuai dengan pemeriksaan bakteriologi
dan tes uji kepekaan.
8. Pembedahan radikal
Indikasi pembedahan radikal ini adalah 1) kegagalan respon terapi
konservatif yakni sinusitis kronik refrakter terhadap terapi medis yang
maksimal terhadap terapi antibiotik, 2) tindakan irigasi terutama pada
sinusitis kronik dan persisten dengan mukosa sinus yang irreversible.
Sinusitis akut jarang membutuhkan pembedahan, kecuali jika terjadi
komplikasi seperti bentukan mukopiokele dengan kecurigaan
penyebaran ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat
karena ada sekret tertahan oleh sumbatan.
Terapi radikal dilakukan dengan pembedahan Caldwel-luc, yaitu
dengan mengangkat mukosa yang patologis dan membuat
drainasesinus.
9. Pembedahan tidak radikal
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) atau Functional
Endoscopic Sinus Surgery (FESS) merupakan tehnik penanganan
terkini dari sinusitis oleh karena pembedahan dengan metode
Caldwel-luc sudah jarang dipakai. Prinsipnya ialah membuka dan
membersihkan daerah KOM yang menjadi sumber penyumbatan dan
infeksi, sehingga ventilasi sinus dan drainase sinus dapat lancer
kembali melalui ostium alami dan mengembalikan fungsi mukosilier.
Pendekatan terdahulu untuk membuat saluran nasoantral dalam
sinus maksilaris (untuk memfasilitasi gravitasi drainase) adalah tidak
efektif, karena pembersihan normal mukosilier adalah satu arah dan
melawan gravitasi. Oleh karena itu, pembersihan normal mukosilier
tidak akan berubah walaupun telah dibuatkan saluran nasoantral.
2.11. PENCEGAHAN
Pasien dengan rhinitis alergi yang sudah menunjukkan gejala dan tanda
dari edema mukosa harus segera diobati karena edema mukos dapat
16
menyebabkan obstruksi sinus yang berperanan untuk terjadinya sinusitis
sekunder. Bila adenoid mengalami infeksi, meghilangkan itu berarti eliminasi
sarang infeksi dan dapat mengurangi infeksi sinus. Menjaga kebersihan gigi dan
mulut adalah salah satu upaya untuk mengurangi resiko terjadinya sinusitis
maksilaris.2
2.12. KOMPLIKASI
Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyat setelah ditemukannya
antibiotic. Menurut David E. Schuller(1994),komplikasi sinusitis maksilaris jarang
terjadi. Dianggap tidak berbahaya kecuali osteomielitis dari maksila superior.
Komplikasi biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronik dengan
eksaserbasi akut. Apabila antibiotika diindikasikan, harus diteruskan sampai
infeksi reda, tidak kurang dari 10 hari. Komplikasi yang terjadi antara lain : 2
1. Lokal.
a. Ostomielitis tulang maksila, dapat menyebabkan timbulnya fistula
oroantral.
b. Mukokel, yaitu berupa kista yang mengandung mukus terletak di
dalam sinus.
c. Piokel yaitu mukokel yang terinfeksi.
2. Orbita
Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkantinuitatum.
Infeksi intra orbita seperti edema palpebra, selulitis orbital, abses
subperiosteal, abses orbita dan cavernous sinus trombosis.
3. Intrakranial
a. Meningitis akut.
b. Epidural
c. Subdural abses.
d. Abses otak
4. Sistemik
17
a. Kelainan paru, seperti bronchitis kronik dan bronkiektasis, nosokomial
empyema. Adanya kelainan sinus paranasal disertaidengan kelainan
paru disebut sinobronkitis.
b. Sepsis.
c. Empyema.
2.13. PROGNOSIS
Pasien dengan sinusitis maksilaris akut, apabila diobati dengan
antibiotika yang tepat biasanya menunjukkan perbaikan yang cepat, apabila
tidak ada respon dalam 48 jam atau gejala makin memburuk, pasien dievaluasi
kembali. Prognosis tergantung dari ketepatan serta cepatnya penanganan yang
diberikan. Semakin cepat maka prognosis semakin baik. Pemberian antibiotik
serta obat-obat simptomatis bersama dengan penanganan faktor penyebab
dapat memberikan prognosis yang baik.6
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional akan mengembalikan fungsi sinus dan
gejala akan sembuh secara komplit atau moderat sekitar 80-90% pada pasien
dengan sinusitis kronis rekuren atau sinusitis kronis yang tidak responsif
terhadap terapi medikamentosa.6
BAB III
18
KESIMPULAN
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal yang paling sering
ditemukan ialah sinusitis maksila. Sinusitis maksilaris dapat terjadi akut,
berulang atau kronis.
Sinusitis akut dapat disebabkan oleh rinitis akut, infeksi faring, infeksi gigi
rahang atas (dentogen), trauma. Gejala klinis dapat berupa demam dan rasa
lesu. Pada hidung dijumpai ingus kental. Dirasakan nyeri di daerah infraorbita
dan kadang-kadang menyebar ke alveolus. Penciuman terganggu dan ada
perasaan penuh di pipi waktu membungkuk ke depan. Pada pemeriksaan
tampak pembengkakan di pipi dan kelopak mata bawah. Pada rinoskopi anterior
tampak mukosa konka hiperemis dan edema. Pada rinoskopi posterior tampak
mukopus di nasofaring (post nasal drip). Terapi medikamentosa berupa
antibiotik selama 10-14 hari. Pengobatan lokal dengan inhalasi, pungsi
percobaan dan pencucian.
Sinusitis kronik dapat disebabkan oleh pneumatisasi yang tidak
memadai, makanan yang tak memadai, reaksi atopik, lingkungan kotor, sepsis
gigi dan variasi anatomi. Gejala berupa kongesti atau obstruksi hidung, nyeri
kepala setempat, sekret di hidung, sekret pasca nasal (post nasal drip),
gangguan penciuman dan pengecapan. Pada rinoskopi anterior ditemukan
sekret kental purulen dari meatus medius. Pada rinoskopi posterior tampak
sekret purulen di nasofaring. Pengobatan sinusitis kronik dilakukan secara
konservatif dengan antibiotik selama 10 hari, dekongestan lokal dan sistemik,
juga dapat dilakukan diatermi gelombang pendek selama 10 hari di daerah sinus
maksila, pungsi dan irigasi sinus. Jika gagal dapat dilakukan operasi Caldwell-
Luc dan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional.
Komplikasi dari sinusitis dapat berupa komplikasi lokal, orbital,
intracranial dan sistemik.
DAFTAR PUSTAKA
19
1. Mangunkusumo E, Damayanti S. Sinus Paranasal. Dalam: Supardi EA,
Iskandar N, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala Leher. Ed 5. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI; 2001.
p.115 – 119
2. Mangunkusumo E, Rifki N. Sinusitis. Dalam: Supardi EA, Iskandar N,
editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala
Leher. Ed 5. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI; 2001. p.120-124
3. Anesthesia for Otorhinolaryngological Surgery. In: Morgan GE, Mikhail
MS, Murray MJ, editors. Clinical Anesthesiology. 6th ed. New York, NY:
McGraw Hill; 2006. p. 837-847
4. Rubin MA, Gonzales R, Sande MA. Infections of the Upper Respiratory
Tract. In: Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL,
Jameson JL, editors. Harrison’s Principle of Internal Medicine. 16th ed.
New York, NY: McGraw Hill; 2005. p. 185-193
5. Boies ET. Sinusitis. In: Harwood-Nuss A, Wolfson AB, Linden CA,
Shepherd SM, Stenklyft PH. The Clinical Practice of Emergency
Medicine. 3rd ed. Philadelphia, PA: Lippincott Williams & Wilkins
Publishers; 2001
6. H, Hinthorn D. Sinusitis. January 16, 2003. Available from:
http://www.emedicine.com. Di akses pada Desember 02; 2012
20