referat saraf.docx

40
BAB I. PENDAHULUAN Nervus kranialis okulomotorius ( N.III), troklearis ( N.IV) dan abdusens (N. VI) merupakan nervus kranialis yang menginervasi otot-otot ekstrinsik dan intrinsik bola mata. Nervus III menginervasi muskulus rektus internus, muskulus rektus superior, muskulus rektus inferior, muskulus levator palpebrae dan serabut viseromotoriknya menginervasi muskulus sfingter pupilae (untuk kontraksi pupil), dan muskulus siliaris (menginervasi lensa mata). Nervus troklearis (N.IV) menginervasi muskulus oblikuus superior yang membuat mata dapat dilirikkan ke arah bawah nasal. Sedangkan nervus VI menginervasi muskulus rektus lateralis yang menyebabkan mata dapat melirik ke arah temporal ( Lumbantobing, 2010). Adanya lesi pada jaras yang menghubungkan serabut nervus III, IV, VI terhadap bola mata akan menimbulkan gangguan pada gerakan bola bola mata. Lesi dapat berupa kompresi di batang otak (tumor, aneurisma basilar), herniasi tentorial, aneurisma arteri komunikans posterior, adanya infark di batang otak. Lesi dapat pula terjadi karena adanya penyakit diabetes, 1

Upload: mahardk

Post on 24-Nov-2015

119 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

BAB I. PENDAHULUAN

Nervus kranialis okulomotorius ( N.III), troklearis ( N.IV) dan abdusens (N. VI) merupakan nervus kranialis yang menginervasi otot-otot ekstrinsik dan intrinsik bola mata. Nervus III menginervasi muskulus rektus internus, muskulus rektus superior, muskulus rektus inferior, muskulus levator palpebrae dan serabut viseromotoriknya menginervasi muskulus sfingter pupilae (untuk kontraksi pupil), dan muskulus siliaris (menginervasi lensa mata). Nervus troklearis (N.IV) menginervasi muskulus oblikuus superior yang membuat mata dapat dilirikkan ke arah bawah nasal. Sedangkan nervus VI menginervasi muskulus rektus lateralis yang menyebabkan mata dapat melirik ke arah temporal ( Lumbantobing, 2010).Adanya lesi pada jaras yang menghubungkan serabut nervus III, IV, VI terhadap bola mata akan menimbulkan gangguan pada gerakan bola bola mata. Lesi dapat berupa kompresi di batang otak (tumor, aneurisma basilar), herniasi tentorial, aneurisma arteri komunikans posterior, adanya infark di batang otak. Lesi dapat pula terjadi karena adanya penyakit diabetes, hipertensi, giant cell artritis, lupus, tuberkulosis, sifilis serta limfoma (Ginsberg, 2005).Gangguan gerak bola mata dipengaruhi oleh letak lesi. Lesi di korteks serebri, ganglia basalis dan daerah subkortikal akan menimbulkan deviation conjugee, lesi di serebelum akan menimbulkan nistagmus, sedangkan lesi di batang otak akan menimbulkan berbagai gerakan bola mata yang khas ( Marjono dan Sidharta, 2010).

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan fisiologi saraf kranialis nervus III, IV, dan VISaraf otak adalah saraf perifer yang berpangkal pada otak dan batang otak yang mempunyai fungsi sensorik, motorik, dan khusus. Fungsi khusus yang dimaksud adalah fungsi yang bersifat pancaindera, seperti penghiduan, penglihatan, pengecapan, pendengaran dan keseimbangan.Saraf otak terdiri dari 12 pasang. Saraf otak pertama langsung berhubungan dengan otak, tanpa melalui batang otak. Kesebelas saraf otak yang lain berasal dari batang otak. Saraf otak kedua dan ketiga berpangkal di mesensefalon, saraf otak keempat, kelima, keenam, ketujuh berasal dari pons, dan saraf otak kedelapan sampai kedua belas berasal dari medula oblongata ( Marjono dan Sidharta, 2010)

Gambar 1. Saraf kranialis

2.1.1Nervus okulomotorius (N. III)Nervus okulomotorius terdiri dari dua serabut saraf yaitu berkas saraf somatomotorik (General Somatic Efferent fibers / GSE) yang menginervasi muskulus extraokular serta berkas saraf viseromotorik (General Visceral Efferent (GVE) fibers) yang merupakan bagian dari saraf autonom parasimpatis sistem saraf tepi ( Drake et al, 2007). Saraf otak ketiga ini berasal dari kelompok inti-inti dari kedua sisi garis tengah di bawah akuaduktus Sylvii, setinggi kolikulus superior ( Marjono dan Sidharta, 2010).Inti-inti nervus okulomotorius dihubungi oleh serabut saraf dari (1) jaras kortikonuklear dari kedua belahan otak, (2) fasikulus longitudinalis medialis, (3) jaras tektobulbar, (4) area pretektal kedua sisi ( Marjono dan Sidharta, 2010).Serabut serabut kortikonuklear kedua sisi, sebagian menuju inti somatomotorik nervus okulomotorius pada tingkat inti, tetapi sebagian dari serabut kortikonuklear meninggalkan pedunkulus serebri pada tingkat yang lebih rostral. Serabut ini melintasi lemnikus medialis dan menuju ke inti nervus okulomotorius. Sebagian dari serabut berakhir langsung di inti nervus okulomotorius dan sebagian lainnya berakhir di interneuron ( Marjono dan Sidharta, 2010).Dengan perantara fasikulus longitudinalis medialis inti nervus okulomotorius dihubungkan dengan inti-inti nervus troklearis, nervus abdusens dan nervus oktavus ( Marjono dan Sidharta, 2010).Hubungan yang diadakan oleh karas tektobulbar berimplikasi membuka lintasan kortiko-kolikulo-okulomotor, sedangkan koneksi dengan area pretektal kedua sisi merupakan lintasan untuk refleks pupil ( Marjono dan Sidharta, 2010).Akson-akson dari kolom sel lateral, dorsal, ventral dan medial bergabung dengan akson-akson dari kolom sel sentral kaudal serta serabut-serabut saraf parasimpatik preganglioner dan dinamakan radiks nervi okulomotorii selama mereka melintasi mesensefalon. Setelah keluar melalui permukaan mesensefalon, berkas itu dikenal dengan nervus okulomotorius( Marjono dan Sidharta, 2010).Di daerah itu, yang dikenal sebagai fosa interpendikularis, nervus okulmotorius diapit oleh arteri serebri posterior dan arteri serebeli superior. Kemudian ia menembus duramater di dekat prosesus klinoideus posterior untuk memasuki dinding sinus kavernosus. Ia melanjutkan perjalanan ke rostral di dalam bagian atas dinding lateral sinus kavernosus. Di belakang fisura obitalis superior ia meninggalkan dinding tersebut dan berada di daerah dimana sebelah medialnya terdapat sinus kavernosus dengan di dalamnya arteri karotis interna dan di sebelah lateralnya terdapat lobus temporalis ( Marjono dan Sidharta, 2010).Setelah memasuki ruang orbita melalui fisura orbitalis superior, ia bercabang dua. Cabang superior menginervasi m. Levator palpebrae superioris dan m. Oblikus inferior. Cabang inferior mengandung serabut viseromotorik yang disampaikan ke ganlion siliare. Serabut postganglioner dari ganglion siliare menuju mm. Siliares dan m. sfingter pupillae ( Marjono dan Sidharta, 2010).M. rektus superior melakukan elevasi bola mata, m. Rektus medialis melakukan aduksi bola mata, sedangkan m. Rektus inferior berfungsi untuk depresi bola mata, terutama pada sikap yang berabduksi. M. Oblikus inferior untuk elevasi bola mata dan muskulus levator palpebrae superior mengangkat kelopak mata atas ( Marjono dan Sidharta, 2010).Otot sfingter pupil mengncupkan pupil. Kontraksi otot siliar akan mengendurkan tekanan kapsul lensa mata sehingga lensa menjadi lebih konveks sebagaimana terjadi gerakan konvergensi bola mata dan akomodasi ( Marjono dan Sidharta, 2010).Gambar 2. A: Nukleus nervus okulomotorius dan koneksi sentralnya, B: Distribusi nervus okulomotorius (Snell, 2010)

2.1.2Nervus troklearis (N. IV)Pusat nervus troklearis terdapat di mesensefalon, kaudal dari nervus okulomotorius setinggi kolikulus inferior. Saraf-sarafnya berjalan dengan saraf otak lainnya, berjalan ke arah dorsal dan menyilang garis median dan meninggalkan mesensefalon di bagian dorsolateral. Nervus troklearis kiri menginervasi muskulus oblikuus superior mata kanan dan sebaliknya. Setelah meninggalkan mesensefalon, nervus IV berjalan di dalam duramater di bawah nervus okulomotorius (Markam dan Yani, 1978). Fungsi dari muskulus oblikuus superior adalah memungkinkan bola mata bergerak ke bawah. Gerakan ini dapat diperjelas jika mata mengarah ke dalam (nasal) ( Marjono dan Sidharta, 2010).Gambar 3. A: Nukleus nervus troklearis dan koneksi sentralnya, B: Distribusi nervus troklearis (Snell, 2010). 2.1.3Nervus abdusen (N. VI)Serabut nervus abdusens terdiri dari serabut yang berasal dari inti di pons dekat kawasan fasikulus longitudinalis medialis. Akar nervus abdusens melintasi tegmentum pontis di sebelah luar fasikulus longitudinalis medialis, fasikulus predorsalis dan lemnikus medialis yang kemudian pada bagian ventral dan tegmentum pontis membelok agak ke lateral dan muncul pada permukaan lateral pons membelok ke piramis. Dari sini ia melanjutkan ke ruang orbital untuk berakhir pada muskulus rektus lateralis ( Marjono dan Sidharta, 2010). Fungsi dari muskulus rektus lateralis adalah menggerakkan mata terutama abduksi (Ilyas dan Yulianti, 2012).

Gambar 4. A: Nukleus abdusens dan koneksi sentralnya, B: Distribusi nervus abdusens (Snell, 2010). 2.2 Fungsi Nervus III, IV dan VI dalam pergerakan bola mataPergerakan mata diatur oleh tiga pasang otot: (1) rektus medialis dan lateralis, (2) rektus superior dan inferior, (3) oblikus superior dan inferior. Otot rektus medialis dan lateralis berkontraksi untuk menggerakkan mata dari satu sisi ke sisi lainnya. Otot rektus superior dan inferior juga berkontraksi untuk menggerakkan mata ke atas dan ke bawah. Otot oblikus terutama berfungsi untuk memutar bola mata agar lapang pandangan tetap pada posisi tegak (Guyton dan Hall, 2006).

Gambar 5. Aksi otot-otot mata dan posisi memandang (Fite dan Walker, 1990)

2.2.1 Otot-otot Sinergistik dan Antagonistik (Hukum Sherington) Otot-otot sinergistik adalah otot-otot yang memiliki bidang kerja yang sama, dengan demikian untuk pandangan arah vertikal, otot rektus superior dan oblikus inferior bersinergi menggerakkan mata ke atas. Otot-otot yang sinergistik untuk suatu fungsi mungkin antagonistik untuk fungsi yang lain. Misalnya, otot rektus superior dan oblikus inferior bekerja sebagai antagonis pada gerak torsi, rektus superior menyebabkan intorsi dan oblikus superior menyebabkan inferior ekstorsi. Otot-otot ekstraokular, seperti otot rangka, memperlihatkan persarafan otot-otot antagonistik yang timbale balik (hukum Sherington), dengan demikian pada dekstroversi (menatap ke kanan), otot rektus lateralis medialis kanan dan lateralis kiri mengalami inhibisi sementara otot rektus lateralis kanan dan medialis kiri terstimulais (Vaughan dan Asbury, 2007).

2.2.2. Otot-otot Pasangan Searah (Hukum Hering)

Agar gerakan kedua mata berada dalam arah yang sama, otot-otot agonis yang berkaitan harus menerima persarafan yang setara (hukum Hering). Pasangan otot agonis dengan kerja primer yang sama disebut pasangan searah (yoke pair). Otot rektus lateralis kanan dan rektus lateralis kiri adalah pasangan searah untuk menatap ke kanan. Otot rektus inferior kanan dan oblikus superior kiri adalah pasangan searah untuk memandang ke kanan bawah (Vaughan dan Asbury, 2007).Gambar 6. Enam posisi cardinal pandangan mata dan yoke muscle. IO, Oblikus inferior; IR, rektus inferior; LR, rektus lateral; MR, rektus medial; SO, oblikus superior; SR, rektus superior (Remington, 2012)

2.2.3 Jaras Saraf untuk Pengaturan Gerakan Mata Tampak adanya hubungan antara nukleus nervus kranialis III, IV, dan VI yang melewati jaras persarafan fasikulus longitudinalis medial. Masing- masing dari ketiga susunan otot untuk tiap mata diinervasi secara timbal balik sehingga satu otot dari setiap pasang otot itu akan berelaksasi sementara otot yang lainnya berkontraksi (Guyton dan Hall, 2006). Jaras saraf untuk pengaturan gerakan konjugat mata memperlihatkan pengaturan kortikal terhadap apparatus okulomotor, menunjukkan penyebaran sinyal yang berasal dari area penglihatan di korteks oksipitalis melewati traktus oksipitotektal dan traktus oksipitokolikular menuju area pretektal dan kolikulus superior pada batang otak. Dari area pretektal dan area kolikulus superior, sinyal pengaturan okulomotor selanjutnya akan menuju ke nukleus saraf okulomotor di batang otak. Juga ada sinyal kuat yang menjalar dari pusat pengatur keseimbangan tubuh di batang otak ke sistem okulomotor yang berasa dari nukleus vestibular melewati fasikulus longitudinalis medial (Guyton dan Hall, 2006)2.2.4 Gerakan Fiksasi Mata

Gerakan mata yang paling penting mungkin adalah gerakan yang menyebabkan mata itu terfiksasi pada bagian yang luas dari lapang pandangan. Gerakan fiksasi ini diatur oleh dua mekanisme saraf. Yang pertama adalah pengaturan yang menyebabkan orang dapat menggerakkan mata secara voluntar untuk menemukan objek dalam penglihatannya yang kemudian akan difiksasinya; gerakan ini disebut sebagai mekanisme fiksasi voluntar. Yang kedua adalah mekanisme yang dapat menahan mata secara tetap pada objek seketika objek itu ditemukan oleh mata; keadaan ini disebut sebagai mekanisme fiksasi involuntar (Guyton dan Hall, 2006). Gerakan fiksasi voluntar diatur oleh bagian kortikal yang terletak bilateral di regio premotor kortikal lobus frontalis. Disfungsi bilateral atau kerusakan pada area ini menyebabkan orang itu sukar atau hampir tidak mungkin memindahkan matanya dari titik fiksasi dan selanjutnya menggerakkan mata ke titik yang lain. Biasanya orang tersebut perlu mengedipkan mata atau menutup mata dengan tangan untuk waktu yang singkat, setelah itu baru dapat menggerakkan mata (Guyton dan Hall, 2006). Sebaliknya, mekanisme fiksasi yang mennyebabkan mata dapat terpaku pada suatu objek yang menjadi perhatiannya ketika objek itu ditemkan, diatur oleh area penglihatan sekunder di korteks oksipitalis, yang terutama terletak di sebelah anterior korteks penglihatan primer. Bila area fiksasi ini mengalami kerusakan bilateral pada binatang, binatang akan mengalami kesulitan untuk memfiksasi matanya ke titik fiksasi atau dapat menjadi benar-benar tak mampu melakukan gerakan tersebut (Guyton dan Hall, 2006). Secara ringkas, lapangan mata involuntar di korteks oksipitalis sebelah posterior dengan otomatis akan memaku mata pada suatu titik pada lapangan pandang yang diinginkan sehingga, dapat mencegah terjadinya gerakan bayangan menyilang retina. Untuk melepaskan diri dari fiksasi penglihatan ini, sinyal voluntar harus dijalarkan dari lapangan mata voluntar kortikal yang terletak di korteks frontal (Guyton dan Hall, 2006).2.2.5 Gerakan sakadik mataBila bayangan penglihatan bergerak secara terus menerus di depan mata, misalnya sewaktu seseorang sedang mengendarai mobil, mata akan terfiksasi pada satu sorotan cahaya ke sorotan cahaya lain dalam lapangan pandang, melompat-lompat dari satu tempat ke tempat lain dengan kecepatan dua sampai tiga lompatan per detik. Lompatan ini disebut sakade dan gerakannya disebut gerakan optokinetik (Guyton dan Hall, 2006). Gerakan sakadik ini begitu cepatnya sehingga waktu yang dibutuhkan untuk menggerakkan mata tersebut tidak lebih dari sepuluh persen waktu total, sedangkan 90% dipakai untuk memfiksasi. Juga, selama timbul gerakan sakadik ini, otak akan menekan bayangan penglihatan sehingga orang itu tidak akan merasakan adanya gerakan perpindahan dari satu titik ke titik lain (Guyton dan Hall, 2006). Fungsi gerakan sakadik ini adalah membawa gambar dari suatu objek agar segera terpusat pada fovea. Gerakan sakadik dapat terjadi secara voluntar dan involuntary. Gerakan sakadik involuntar dibangkitkan oleh stimulus perifer, visual, atau auditorik (Khurana, 2007).2.2.6 Gerakan vergensi mataGerakan vergensi menjaga penglihatan binokular (Fite an Walker, 1990). Untuk memberikan persepsi penglihatan yang lebih berarti, bayangan penglihatan dalam kedua mata normal berfusi satu sama lain titik korespondensi di kedua retina. Korteks penglihatan berperan penting dalam fusi (Guyton dan Hall, 2006). Titik korespondensi kedua retina menjalarkan sinyal penglihatan ke berbagai lapisan sel saraf di korpus genikulatum laterlis, dan sinyal ini kemudian dihantarkan ke sel saraf yang sejajar dalam korteks penglihatan. Terjadi interaksi di antara sel-sel saraf korteks ini yang menyebabkan eksitasi gangguan dalam sel saraf yang spesifik bila kedua gambaran penglihatan tidak tercatat, yakni tidak terjadi fusi dengan tepat. Rangsangan ini mungkin memberikan sinyal yang dijalarkan ke apparatus okulomotor yang menyebabkan gerakan mata konvergen, divergen, atau rotasi supaya fusi dapat dibentuk kembali. Sekali titik korespondensi kedua retina dicatat, eksitasi gangguan dalam sel spesifik di korteks penglihatan akan menghilang (Guyton dan Hall, 2006).

2.3 Pengaturan akomodasi dan diameter pupil Mata dipersarafi oleh serabut saraf simpatis dan parasimpatis. Serabut preganglion prasimpatis muncul dari nukleus Edinger-Westphal (bagian nukleus viseral saraf ketiga) dan kemudian berjalan dalam saraf ketiga ganglion siliaris, yang terletak di belakang mata. Di sini serabut preganglion bersinaps dengan sel saraf parasimpatis postganglionic yang kembali mengirimkan serabut-serabut melalui nervus siliaris ke dalam bola mata. Nervus ini merangsang (a) otot siliaris yang mengatur lensa mata untuk berfokus dan (b) sfingter iris yang menyebabkan konstriksi pupil (Guyton dan Hall, 2006). Persarafan simpatis mata berasal dari dalam sel kornu intermediolateral segmen torakal pertama medulla spinalis. Dari sini, serabut simpatis memasuki rantai simpatis dan berjalan ke atas ke ganglion servikalis superior, tempat serabut simpatis tersebut bersinaps dengan sel saraf postganglionik. Serabut simpatis postganglionik kemudian menyebar sepanjang permukaan arteri karotis dan berturut-turut dari arteri yang lebih kecil sampai serabut saraf tersebut mencapai mata. Serabut simpatis ini mempersarafi serabut radialis iris (yang membuka pupil) dan beberapa otot ekstraokular mata (Guyton dan Hall, 2006). 2.3.1 Pengaturan Akomodasi

Mekanisme akomodasi, yaitu mekanisme yang memfokuskan sistem lensa mata, penting untuk tajam penglihatan tingkat tinggi. Akomodasi terjadi akibat kontraksi atau relaksasi muskulus siliaris mata. Kontraksi menyebabkan peningkatan kekuatan bias lensa dan relaksasi menyebabkan penurunan kekuatan (Guyton dan Hall, 2006). Area korteks otak yang mengatur akomodasi terletak paralel dengan area yang mengatur pergerakan fiksasi mata, dengan integrasi akhir berupa sinyal penglihatan dalam area 18 dan 19 korteks Brodmann dan menjalarkan sinyal motorik ke muskulus siliaris melalui area pretektal dalam batang otak dan kemudan masuk ke dalam nukleus Edinger-Westphal dan akhirnya serabut saraf parasimpatis menuju mata (Guyton dan Hall, 2006).

2.3.2 Pengaturan Diameter Pupil

Rangangan saraf parasimpatis juga merangsang otot sfingter pupil, sehingga memperkecil celah pupil; ini disebut miosis. Sebaliknya, rangsangan saraf simpatis merangsang serabut radial iris dan menimbulkan dilatasi pupil, yang disebut midriasis (Guyton dan Hall, 2006). Jika disinari oleh cahaya, pupil akan mengecil, reaksi ini disebut refleks cahaya pupil. Bila cahaya mengenai retina, terjadi beberapa impuls yang mula-mula berjalan melalui nervus optikus menuju nukleus pretektalis. Dari sini, impuls sekunder berjalan ke nukleus Edinger-Westphal dan akhirnya kembali melalui saraf parasimpatis untuk mengkonstriksikan sfingter iris. Sebaliknya, dalam keadaan gelap, refleks ini dihambat sehingga mengakibatkan dilatasi pupil (Guyton dan Hall, 2006).

2.4 Paralisis nervus kranialis III, IV dan VI2.4.1 Paralisis nervus kranialis III, IV dan VIParalisis adalah kehilangan atau gangguan fungsi motoris pada suatu bagian akibat lesi pada mekanisme saraf atau otot, juga secara analogi gangguan fungsi sensoris (Dorland, 2002).Etiologi dan lokasi gangguan pada kelumpuhan saraf motorik mata sangat bervariasi (Vaughan dan Asbury, 2007). Tabel 1. Penyebab Paralisis Nervus Kranialis IIICause No. of Cases (%)

Tidak teridentifikasi 67 (23.1)

Trauma kepala 47 (16.2)

Neoplasma 34 (11.7)

Vaskular* 60 (20.7)

Aneurisma^ 40 (13.8)

Lain-lain 42 (14.5)

Jumlah 290 (100)

*25 Pasien menderita diabetes melitus, 22 menderita hipertensi, 10 menderita atherosklerosis, dan 3 lainnya menderita lebih dari salah satu kondisi tersebut.^Termasuk 8 kasus perdarahan subarakhnoidSumber: Rush dan Young, 1981

Sebagian besar kasus paralisis nervus kranialis III, etiologinya tidak teridentifikasi. Dari 60 pasien paralisis nervus kranialis III yang disebabkan oleh penyakit vaskular, 25 diantaranya mengalami diabetes mellitus, 22 hipertensi, dan sepuluh atherosklerosis. Hanya tiga dari kelompok tersebut yang memiliki faktor kombinasi. Empat puluh dua kasus lainnya (other) disebabkan oleh: komplikasi operasi intrakranial, multipel sklerosis, migrain, dan penyakit neurologis lain.

Tabel 2. Penyebab Paralisis Nervus Kranialis IV Cause No. of Cases (%)

Tidak teridentifikasi 62 (36.0)

Trauma kepala 55 (32.0)

Neoplasma 7 ( 4.1)

Vaskular* 32 (18.6)

Aneurisma^ 3 ( 1.7)

Lain-lain 13 ( 7.6)

Jumlah 172 (100)

*11 Pasien menderita diabetes melitus, 10 menderita hipertensi, 10 menderita aterosklerosis, dan 1 menderita lebih dari salah satu gejala tersebut. ^Termasuk 1 kasus perdarahan subarakhnoid Sumber: Rush dan Younge, 1981

Trauma kepala merupakan penyebab tersering yang diketahui dari paralisis nervus kranialis IV. Tiga belas kasus lain (other) terdiri atas penyakit vaskular kolagen, komplikasi operasi intrakranial, hidrosefalus, herpes zooster optalmikus, komplikasi dari angiografi koroner, dan infeksi saluran pernafasan atas.

Tabel 3. Penyebab Paralissi Nervus Kranialis VICause No. of Cases (%)

Tidak teridentifikasi 124 (29.6)

Trauma kepala 70 (16.7)

Neoplasma 61 (14.6)

Vaskular* 74 (17.7)

Aneurisma^ 15 ( 3.6)

Lain-lain 75 (17.9)

Jumlah 419 (100)

*24 Pasien menderita diabetes melitus, 22 menderita hipertensi, 9 menderita atherosklerosi, and 19 menderita lebih dari salah satu dari gejala tersebut. ^Termasuk 1 kasus perdarahan subarakhnoid. Sumber: Rush dan Younge, 1981

Sama halnya seperti paralisis nervus kranialis III dan IV, pada paralisis nervus kranialis VI penyebab tersering masih belum teridentifikasi. Penyebab tersering yang dapat ditemukan adalah penyakit vaskular.

2.4.2Gangguan gerakan bola mata menurut lokasi lesi (Mardjono dan Sidharta, 2010)

2.4.2.1 Lesi di korteks serebriLesi di korteks serebri harus dibedakan dalam lesi iritatif dan lesi destruktif paralitik. Lesi iritatif di area 8 menimbulkan deviasi kedua bola mata dan kepala ke sisi kontralateral. Gejala ni timbul pada umumnya sebagai gejala dini serangan epilepsi fokal. Pada keadaan tersebut bola mata dan kepala berputar ke sisi badan yang berkejang tonik. Setelah itu dapat muncul kejang tonik klonik dengan hilangnya kesadaran. Lesi destruktif atau lesi paralitik biasanya terjadi karena infark serebri (stroke). Lesi menimbulkan deviasi kedua bola mata dan kepala ke sisi ipsilateral. Jadi kedua bola mata dan kepala tidak mau menghadapi belahan tubuh yang lumpuh.Deviasi kedua bola mata dikenal dengan deviation conjugee atau gaze paralysis. deviation conjugee ke kanan sama artinya dengan gaze paralysis to the left. Istilah deviation conjugee menjelaskan sikap tonik dari kedua mata, sedangkan gaze paralysis menjelaskan ketidakmampuan untuk melirikkan mata ke suatu jurusan. Pada deviation conjugee ke kanan, kedua bola mata tidak dapat dilirikkan atau bayi, kedua bola matanya dapat digerakkan secara konjugat dengan memutarkan kepalanya. Bila kepala diputar ke kanan gerakan melirik akan muncul saat mata bergerak ke kiri. Lirikan kedua mata ke kanan dapat dijumpai jika kepala diputar ke kiri. Fenomena ini disebut juga dolls head eye movemement .Deviation conjugee dapat juga terjadi pada lesi di ganglia basalis dan daerah subkortikal yang mengandung serabut saraf aferen atau eferen dari korteks lobus frontalis.

2.4.2.2 Lesi di serebelumGangguan gerakan bola mata yang timbul akibat lesi di serebelum disebut nistagmus. Gerakan tersebut bolak balik, bisa sama cepatnya atau lebih cepat satu arah. Gerakan bolak balik dengan fase cepat dan lambat disebut dengan nistagmus ritmik. Gerakan bolak balik yang tidak mempunyai fase cepat dan lambat tetapi sama cepatnya atau sama lambatnya disebut nistagmus pendular. Sikap atau kedudukan bola mata ditentukan oleh impuls proprioseptif dan mpuls optik. Impuls tersebut diolah dan diurus secara terintegrasi oleh serebelum dan inti vestibular. Melalui serabut fasikulus longitudinalis medialis impuls tersebut disampaikan kepada inti N. III, IV, dan VI yang selanjutnya mengurus gerakan kedua bola mata secara konjugat atau diskonjungtif sesuai pesan dari korteks serebri. Pada lesi yang unilateral di serebelum, nistagmus yang muncul terdapat pada kedua bola mata. Namun nistagmus tampak lebih jelas jika mata melirik ke arah lesi.

2.4.2.3 Lesi di batang otakLesi di batang otak yang menimbulkan gangguan gerakan okular dibedakan dalam lesi supranuklear, nuklear, internuklear, dan radikular. Lesi supranuklear berarti lesi yang memutuskan jaras yang menghantarkan impuls kepada inti nervus okulomotorius, troklearis, dan abdusens. Lesi nuklear menduduki inti atau salah satu saraf okular. Lesi internuklear memutuskan hubungan antara kedua belah inti saraf okular. Lesi radikular adalah lesi yang memutus saraf okular sebelum ia muncul pada permukaan batang otak. a. Lesi supranuklear di mesensefalonParalisis gerakan konjugat ke atas dikorelasikan dengan lesi di bagian ostral kolikulus superior. Jika lesi menduduki bagian posterior kolikulus superior, maka paralisis gerakan konjugat ke bawah yang timbul. Dismaping itu gerakan konvergensi tidak dapat dilaksanakan. Paralisi gerakan konjugat vertikal ke atas dikenal dengan sindrom Perinaud.b. Lesi supranuklear di ponsLesi di pons yang menimbulkan gangguan gerakan okular selamanya bersifat destruktif paralitik. Lesi kebanyakan vaskular dan sebagian kecil neoplasmik. Gangguan gerakan okular yang timbul semuanya gangguan gerakan melirik horizontal. Yang rusak adalah serabut yang menghubungkan inti vestibular dan ini nervus abdusens. Sebelum gangguan gerakan melirik horisontal timbul, dapat dijumpai nistagmus pada waktu melirik ke arah lesi. Fase cepat nistagmus mengarah ke sisi lesi. c. Lesi supranuklear di medula oblongataLesi di medula oblongata yang menimbulkan gangguan gerakan okluar karena terputusnya hubungan antara inti saraf okular dengan saraf vestibular. Gangguan gerakan okular yang timbul terdiri dari nistagmus, baik yang horizontal, maupun vertikal dan rotatorik dan hilangnya gerakan konvergensi. Paralisis konvergen ini tidak memperlihatkan kelumpuhan atau kelemahan gerakan bola mata ke nasal jika si penderita disuruh melirik ke samping.

Tabel 4. Perbedaan deviation conjugee serebral dan pontinDeviation conjugee serebralDeviation conjugee pontin

Sering dijumpai Jarang terjadi

Selalu bersifat sementaraSelalu menetap

Sering merupakan lesi iritatifSelalu merupakan manifestasi lesi destruktif paralitik

Biasanya terdapat penurunan kesadaranTidak terdapat penurunan kesadaran

Umumnya timbul pada kejang fokal dan deviasi kedua mata ke sisi yang berkejang. Jika timbul pada hemiplegia, deviasi kedua mata ke sisi lesiUmumnya disertai paralisis nervus fasialis pada sisi ke mana kedua mata tidak dapat dilirikkan

d. Lesi internuklearFasikulus longitudinalis medialis menghantarkan impuls yang diperlukan untuk melakukan gerakan konjugat. Gejala yang timbul disebut dengan oftalmoplegia internuklearis.Gejala tersebut dibedakan dalam oftalmoplegia internuklearis anterior dan oftalmoplegia internuklearis posterior. Tetapi yang mempunyai arti diagnostik adalah yang tersebut pertama. Lesi pada tingkat pontin bisa unilateral bisa bilateral. Jika lesi unilateral, gejala oftalmoplegia internuklearis anterior terdiri dari :1. Paralisis dari salah satu atau kedua belah sisi otot rektus internus pada saat melakukan gerakan konjugat horisontal.2. Nistagmus terlihat pada mata yang berdeviasi ke samping3. Bola mata pada lesi tampaknya berkedudukan agak tinggi4. e. Lesi nuklear Lesi nuklear di inti nervus abdusen menimbulkan paralisis gerakan bola mata ke arah lesi. Pada umumnya gejala tersebut disertai paralisis nervus fasialis ipsilateral, karena genu dari radiks nervus fasialis terletak di sekitar inti nervus abdusens. Paralisis nervus abdusens secra bilateral dapat dijumpai pada agenesis nukleus abdusens bilateral (terdapat pada sindrom mobius) dan dapat juga timbul pada penyakit demielinisasi, perdarahan pontin dan infeksi virus. Lesi nuklear di inti troklearis ipsilateral menimbulkan kelumpuhan otot oblikuus superior kontralateral. Gejala tersebut jarang terjadi secara sendiri.

2.4.3 Manifestasi klinisGangguan total nervus okulomotorius ditandai oleh: 1. Muskulus levator palpebra lumpuh, mengakibatkan ptosis. 2. Paralisis otot m. rektus superior, m. rektus internus, m. rektus inferior, dan m. oblikus inferior. 3. Kelumpuhan saraf parasimpatis, yang mengakibatkan pupil lebar (midriasis) yang tidak bereaksi terhadap cahaya dan konvergensi.

Dua otot mata lainnya tidak ikut lumpuh, yaitu m. rektus lateralis (diinervasi oleh nervus kranialis IV) dan oblikus superior (diinervasi oleh nervus kranialis VI). Hal ini mengakibatkan sikap bola mata ialah terlirik ke luar dan bawah (Lumbantobing, 2011)

Gambar 7. Lesi pada nervus okulomotorius kiri: (i) strabismus lateral, (ii) ptosis, (iii) dilatasi pupil, (iv) kehilangan akomodasi lensa, (v) deviasi mata ke luar dan bawah (Sumber: Patestas dan Gartner, 2006)

Gambar 8. (A) Normal: Saat kepala dimiringkan, mata berputar ke arah berlawanan. (B) Paralisis oblikus superior kiri: mata yang terkena mengalami eksorsi dengan konsekuensi penglihatan ganda. Untuk meminimalisir penglihatan ganda, individu memiringkan kepala ke arah sisi yang sehat yang mengintrosi mata normal (Sumber: Patestas dan Gartner, 2006).

Kelumpuhan nervus troklearis tersendiri jarang dijumpai. Kelumpuhan nervus kranialis IV menyebabkan terjadinya diplopia (penglihatan ganda, melihat kembar) bila mata dilirikkan ke arah ini. Penderitanya juga mengalami kesukaran bila naik atau turun tangga dan membaca buku karena harus melirik ke arah bawah (Lumbantobing, 2011). Lesi nervus kranialis VI melumpuhkan otot rektus lateralis, jadi melirik ke arah luar terganggu pada mata yang terlibat, yang mengakibatkan diplopia horizontal. Bila pasien melihat lurus ke depan, posisi mata yang terlibat sedikit mengalami adduksi, disebabkan oleh aksi yang berlebihan dari otot rektus medialis yang tidak terganggu (Lumbantobing, 2011).

2.5 Penegakan diagnosis

Fungsi nervus kranialis III, IV,dan VI saling berkaitan dan diperiksa bersama-sama. Saraf-saraf tersebut bertugas menggerakkan otot-otot mata ekstraokular dan mengangkat kelopak mata. Serabut otonom nervus kranialis III mengatur otot pupil (Lumbantobing, 2011). Saat melakukan wawancara, perhatikan celah matanya, apakah ada ptosis, eksoftalmus, enoftalmus, dan strabismus. Selain itu, apakah ia cenderung memejamkan matanya yang kemungkinan disebabkan oleh diplopia. Setelah itu, lakukan pemeriksaan yang lebih teliti mengenai ptosis, besar pupil, reaksi cahaya pupil, reaksi akomodasi, kedudukan bola mata, gerakan bola mata, dan nistagmus (Lumbantobing, 2011). Berikut ini merupakan pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menilai fungsi nervus kranialis III, IV, dan VI menurut Lumbantobing (2011): a. Ptosis Kelumpuhan nervus kranialis III dapat menyebabkan terjadinya ptosis, yaitu kelopak mata terjatuh, mata terutup, dan tidak dapat dibuka. Hal ini disebabkan oleh kelumpuhan m. levator palpebrae. Kelumpuhan m. levator palpebrae yang total mudah diketahui, karena kelopak mata sama sekali tidak dapat diangkat; mata tertutup. Pada kelumpuhan m. levator palpebrae ringan kita bandingkan celah mata; pada sisi yang lumpuh celah mata lebih kecil dan kadang-kadang kita lihat dahi dikerutkan (m. frontalis) untuk mengkompensasi menurunnya kelopak mata. Untuk menilai tenaga m. levator palpebrae pasien disuruh memejamkan matanya, kemudian ia disuruh membukanya. Waktu ia membuka mata, kita tahan gerakan ini dengan jalan memegang (menekan enteng) ada kelopak mata. Dengan demikian dapat dinilai kekuatan mengangkat kelopak mata (m. levator palpebrae). Pada pemeriksaan ini perlu diberi tekanan pada alis mata dengan tangan satu lagi.

b. Pupil Perhatikan besarnya pupil pada mata kiri dan kanan, apakah sama (isokor) atau tidak sama (anisokor). Juga perhatikan bentuk pupil, apakah bundar dan rata tepinya atau tidak. Bila pupil mengecil, hal ini disebut miosis dan bila membesar, disebut midriasis. Otot polos yang mengecilkan pupil (pupilokonstriktor) dipersarafi oleh serabut parasimaptis nervus kranialis III, sedangkan otot yang melebarkan pupil (pupilodilator) dipersarafi oleh serabut simpatis (torakolumbal). Reaksi cahaya pupil terdiri atas reaksi cahaya langsung dan tidak langsung. Pada pemeriksaan ini, pasien diminta melihat jauh (memfiksasi pada benda yang jauh letaknya), setelah itu mata kita senter (beri cahaya) dan dilihat apakah ada reaksi pada pupil. Pada keadaan normal, pupil mengecil dan disebut reaksi cahaya langsung positif. Kemudian perhatikan pula pupil mata satu lagi, apabila pupilnya ikut mengecil oleh penyinaran mata yang lainnya, maka disebut reaksi cahaya tidak langsung positif. Pada kelumpuhan nervs III, reaksi cahaya langsung dan tidak langsung ialah negatif.

Gambar 9. Defek pupil aferen yang terdeteksi pada swinging flashlight test (sumber: Guluma, 2007)Selama pemeriksaan harus dicegah agar pasien tidak memfiksasi matanya pada lampu senter, sebab hal tersebut akan menimbulkan refleks akomodasi yang juga menyebabkan mengecilnya pupil. Oleh karena itu, pasien harus selalu melihat jauh selama pemeriksaan ini.

c. Refleks Akomodasi

Penderita diminta melihat jauh, kemudian ia diminta melihat dekat, misalnya jari kita (benda) yang ditempatkan dekat dengan matanya. Refleks akomodasi dianggap positif bila terlihat pupil mengecil. Pada kelumpuhan nervus III, hal ini negatif.

d. Kedudukan atau Posisi Bola Mata

Perhatikan apakah kedudukan bola mata menonjol (eksoftalmus) atau seolah-olah masuk ke dalam (enoftalmus). Pada eksoftalmus celah mata tampak lebih bear, sedangkan pada enoftalmus lebih kecil. Kelumpuhan salah satu otot mata dapat mengakibatkan kontraksi atau tarikan yang berlebihan dari otot antagonisnya, dan menyebakan strabismus (juling, jereng). Lumpuhnya m. rektus eksternus didapatkan strabismus konvergen (mata yang lumpuh melirik lebih medial). Pada kelumpuhan m. rektus internus didapatkan strabismus divergen (mata yang lumpuh melirik lebih ke lateral). Strabismus divergen dijumpi juga pada penderita koma. Strabismus dapat juga disebabkan oleh kelainan otot, misalnya oto rektus eksternus lebih panjang dalam hal ini diperoleh strabismus konvergen, dan tidak didapatkan kelumpuhan gerakan bola mata. Miastenia gravis dapat mengakibatkan kelumpuhan gerakan bola mata dan strabismus. Pada kejadian ini, lesi berada di hubungan saraf-otot (myoneural junction). Pada kelainan serebelum kadang dijumpai skew deviation, yaitu mata di sisi lesi melihat ke bawah dan ke dalam, sedangkan mata yang satu lagi melihat ke atas dan ke luar.

e. Gerakan Bola Mata Untuk memeriksa gerakan bola mata, penderita diminta mengikuti jari-jari pemeriksa yang digerakkan ke arah lateral, medial atas, medial bawah, dan ke arah yang miring, yaitu: atas-lateral, bawah medial, atas-medial dan bawah-lateral. Perhatikan apakah mata pasien dapat mengikutinya, dan perhatikan bagaimana gerakan bola mata, apakah lancar dan mulus atau kaku.

f. Diplopia

Penglihatan ganda (diplopia) dijumpai pada kelumpuhan otot penggerak bola mata. Tentukan pada posisi mana (dari mata) timbul diplopia. Bila satu mata ditutup, bayangan mana yang hilang. Pasien diminta menunjukkan posisi dari sbayangan. Arah posisi bayangan yang salah menunjukkan arah gerakan otot yang lumpuh; jarak bayangan menjadi bertambah besar.

g. Nistagmus

Nistagmus adalah gerakan bolak-balik bola mata yang involunter dan ritmuk. Untuk maksud ini penderita disuruh melirik terus ke satu arah (misalnya ke kanan, ke kiri, ke atas, dan ke bawah) selama jangka waktu lima atau enam detik. Jika ada nistagmus hal ini akan terlihat dalam jangka waktu tersebut. Akan tetapi, mata jangan jauh dilirikkan, sebab hal demikian dapat menimbulkan nistagmus pada orang yang normal. Pada nistagmus, yang harus diperiksa: 1. Jenis gerakannya: penduler (gerakan bolak balik yang sama cepatnya), ada komponen cepat dan lambat, jerk nystagmus. 2. Bidang gerakannya: horisontal, vertikal, rotatoar, atau campuran. 3. Frekuensinya: cepat atau lambat 4. Arah gerakannya, yaitu arah dari komponen cepatnya. Bila dikatakan nistagmus horisontal kanan, ini berarti komponen cepatnya ialah ke horisontal kanan. Sebetulnya lesi berada di arah komponen lambatnya, karena komponen lambat inilah yang esensial pada nistagmus: timbulnya nistagmus ialah karena lemahnya mata untuk mengadakan deviation conjugee yang volunter. 5. Amplitudonya (besar atau kecil, kasar atau halus). 6. Derajatnya: derajat I nistagmus timbul bila melirik ke arah komponen cepat; derajat II juga ada bila melihat ke depan; derajat III juga ada bila melirik ke arah komponen lambat. 7. Lamanya: apakah menetap (permanen), atau berlalu (menghilang setelah beberapa waktu, hari, dan minggu).

Di samping itu perlu pula diselidiki hal berikut: 1. Apakah nistagmusnya fisiologis atau patologis. 2. Apakah kongenital atau didapat 3. Apakah vestibular (perifer, yaitu kelainannya pada= labirin, nervus VIII), atau sentral. 4. Apakah ada nistagms sikap. Nistamus sikap (nistagmus posisional) adalah nistagmus yang terjadi atau bertambah hebat pada posisi tertetu dari kepala.

BAB III. KESIMPULAN

Nervus kranialis okulomotorius (III), troklearis (IV) dan abdusen (VI) merupakan nervus kranialis yang menginervasi otot otot ekstrinsik dan intrinsik bola mata. Adanya lesi pada ketiga nervus tersebut akan mempengaruhi gerakan bola mata. Gerakan bola mata yang berbeda dipengaruhi oleh letak lesi yang berbeda. Gerakan bola mata karena lesi di korteks serebri berbeda dengan gerakan bola mata yang karena lesi di pons serta medula oblongata.Pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mengevaluasi fungsi nervus kranialis okulomotorius (III), troklearis (IV) dan abdusen (VI) adalah pemeriksaan pupil, ptosis, refleks akomodasi, kedudukan bola mata, gerakan bola mata, diplopia, serta nistagmus.

DAFTAR PUSTAKA

Drake, L Richard., Wayne Vogl.,Adam W.M Mitchell. 2007. Grays Anatomy for Students. Elsevier Inc. Dorland. 1998. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Jakarta : EGCGinsberg, lionel. 2005. Lecture Notes-Neurologi Edisi Kedelapan. Jakarta : Erlangga.Guyton and Hall. 2007. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit Edisi Revisi. EGC: Jakarta.Ilyas, Sidarta dan Sri Rahayu. 2012. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas IndonesiaLumbantobing, S. M. 2011. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas IndonesiaMardjono, Mahar dan Sidharta Priguna. 2010. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian RakyatMarkam, Soemarmo dan Achir Yani. 1978. Neuro-Anatomi. Jakarta : PT IndiraSnell,Richard S, . 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran; alih bahasa Liliana Sugiharto; Ed 6. EGC : Jakarta.

3