referat ikterus

62
DAFTAR ISI Halaman Halaman Judul………….......………………………………………………....... i Daftar Isi………………………………………………………………………... ii Bab I Pendahuluan 1.1 La tar Belakang………………………………………………............ 2 1.2 Tuj uan…………...………………………………………….………. 3 Bab II Tinjauan Pustaka 3.1 Definisi…………………….………………….…..................…… 4 3.2 Klasifikasi Ikterus Neonatorum…………....................………...... 4 3.3 Metabolisme Bilirubin……….......................…………..... ……..... 7 3.4 Etiologi dan Patofisiologi……. …………….................….……… 9 3.5 Patogenesis ………………………………………….………....... 14 3.6 Diagnosis……………………………………….………............... 16 3.7 Komplikasi kernikterus…………..……………. ………............... 20 3.8 Penatalaksanaan…………………………….................... ............. 20 3.9 Pencegahan.......……………………………………….……….... 35 3.10 Pro gnosis……......……………………………………………...... 36 Bab III Kesimpulan ………………………………………. ………................... 38 1

Upload: ferdy-setiawan

Post on 29-Oct-2015

127 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

Referat Ikterus pada Anak

TRANSCRIPT

Page 1: Referat Ikterus

DAFTAR ISI

Halaman Halaman Judul………….......………………………………………………....... iDaftar Isi………………………………………………………………………... iiBab I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang………………………………………………............ 21.2 Tujuan…………...………………………………………….………. 3

Bab II Tinjauan Pustaka 3.1 Definisi…………………….………………….…..................…… 43.2 Klasifikasi Ikterus Neonatorum…………....................………...... 43.3 Metabolisme Bilirubin……….......................………….....……..... 73.4 Etiologi dan Patofisiologi…….…………….................….……… 93.5 Patogenesis ………………………………………….………....... 143.6 Diagnosis……………………………………….………............... 163.7 Komplikasi kernikterus…………..…………….………............... 203.8 Penatalaksanaan……………………………................................. 203.9 Pencegahan.......……………………………………….……….... 353.10 Prognosis……......……………………………………………...... 36

Bab III Kesimpulan ……………………………………….………................... 38Daftar Pustaka ……………………………………….…………..….……….... 39Lampiran………………………………...................................……….………. 41

1

Page 2: Referat Ikterus

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikterus neonatorum telah sejak lama dikenal. Penggunaan istilah

Kernikterus telah digunakan sejak awal tahun 1900 untuk menyebutkan

pewarnaan kuning pada basal ganglia neonatus yang meninggal akibat ikterus

berat. Sejak tahun 1950 hingga 1970, terjadi peningkatan insiden penyakit Rhesus

hemolitik dan kernikterus sehingga pediatrisian menjadi lebih agresif dalam

penatalaksanaan ikterus. Meskipun demikian, beberapa faktor telah merubah

manajemen penatalaksanaan ikterus.1

Penelitian yang dilakukan pada tahun 1980 hingga 1990 menunjukkan

bahwa angka kejadian kernikterus sangat jarang dan terlalu banyak neonatus yang

mendapatkan pengobatan yang sebenarnya tidak diperlukan. Akan tetapi, banyak

juga bayi baru lahir yang dipulangkan dari Rumah Sakit lebih awal sehingga

membatasi kemampuan dokter untuk dapat mendeteksi terjadinya ikterus selama

periode ketika konsentrasi bilirubin serum cenderung mengalami peningkatan.1

Adanya fakta lain bahwa konsentrasi rendah bilirubin mempunyai

keuntungan sebagai antioksidan menimbulkan pendapat baru bahwa bilirubin

tidak boleh dieliminasi seluruhnya. Karena faktor-faktor tersebut, dokter menjadi

kurang memperhatikan penatalaksanaan ikterus pada neonatus, yang pada

akhirnya meningkatkan jumlah laporan kasus kernikterus yang mematikan. Fakta-

fakta tersebut akhirnya menggerakkan para dokter untuk mengembangkan suatu

pendekatan baru dalam prevensi, deteksi, dan pengobatan hiperbilirubinemia.1,2,3

Ikterus terjadi selama usia minggu pertama pada sekitar 60% bayi cukup

bulan dan 80% pada bayi prematur. Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi yang

lahir setiap tahunnya, sekitar 65% mengalami ikterus. Di Indonesia, didapatkan

data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan. Sebuah studi

cross-sectional yang dilakukan di RSCM selama tahun 2003, menemukan

prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58%  untuk kadar bilirubin di atas

5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada minggu

2

Page 3: Referat Ikterus

pertama kehidupan. RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi cukup bulan

sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki kadar

bilirubin di atas 13 mg/dL. Pemeriksaan dilakukan pada hari 0, 3 dan 5. Dengan

pemeriksaan kadar bilirubin setiap hari, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia

terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup bulan. Sedangkan pada bayi kurang

bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia ditemukan pada 95% dan 56%

bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1509

neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia. Data

yang agak berbeda didapatkan dari RS Dr. Kariadi Semarang, di mana insidens

ikterus pada tahun 2003 hanya sebesar 13,7%, 78% di antaranya merupakan

ikterus fisiologis dan sisanya ikterus patologis. Angka kematian  terkait

hiperbilirubinemia sebesar 13,1%. Didapatkan juga data insidens ikterus pada

bayi cukup bulan sebesar 12,0% dan bayi kurang bulan 22,8%.4,5

Sebagian besar ikterus pada neonatus tidak memiliki penyebab dasar atau

disebut ikterus fisiologis yang akan menghilang pada akhir minggu pertama

kehidupan pada bayi cukup bulan. Tetapi sebagian kecil memiliki penyebab

seperti hemolisis, septikemi, penyakit metabolik (ikterus patologik) sehingga

menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian. Ensefalopati

bilirubin merupakan komplikasi ikterus neonatorum yang paling berat.  Selain

memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa berupa

cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralisis dan displasia dental yang sangat

mempengaruhi kualitas hidup. Dalam keadaan tersebut penatalaksanaan ikterus

dilakukan sebaik-baiknya agar akibat buruk ikterus dapat dihindarkan.4,5,6

1.2 Tujuan

Tujuan pembuatan referat ini adalah untuk mengetahui definisi, etiologi,

patofisiologi, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis dari Ikterus

Neonatorum.

3

Page 4: Referat Ikterus

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa

karena adanya deposisi produk akhir katabolisme heme yaitu bilirubin. Jaringan

permukaan yang kaya elastin, seperti sklera dan permukaan bawah lidah, biasanya

menjadi kuning pertama kali. Pada orang dewasa, ikterus akan tampak apabila

serum bilirubin > 2 mg/dL (> 17 μmol/L, sedangkan pada neonatus baru tampak

apabila serum bilirubin sudah > 5 mg/dL (> 86 μmol/L). Bilirubin serum normal

adalah 0,1 – 0,3 mg/dl. Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin dalam

darah > 13 mg/dL. Pada bayi baru lahir, ikterus yang terjadi pada umumnya

adalah fisiologis.5,7,8

Bilirubin dalam darah terdiri dari dua bentuk, yaitu bilirubin direk dan

bilirubin indirek. Bilirubin direk larut dalam air dan dapat dikeluarkan melalui

urin. Sedangkan bilirubin indirek tidak larut dalam air dan terikat pada albumin.

Bilirubin total merupakan penjumlahan bilirubin direk dan indirek.4,9

2.2 Klasifikasi Ikterus Neonatorum

2.2.1 Ikterus Fisiologis

Ikterus neonatorum fisiologis merupakan hasil dari terjadinya fenomena

berikut:4,9,10

Peningkatan produksi bilirubin karena peningkatan penghancuran eritrosit

janin (hemolisis). Hal ini adalah hasil dari pendeknya umur eritrosit janin

dan massa eritrosit yang lebih tinggi pada neonatus (Kadar Hb neonatus

cukup bulan sekitar 16,8 gr/dl).

Kapasitas ekskresi yang rendah dari hepar karena konsentrasi rendah dari

ligan protein pengikat di hepatosit (rendahnya uptake) dan karena aktivitas

yang rendah dari glukuronil transferase, enzim yang bertanggung jawab

untuk mengkonjugasikan bilirubin dengan asam glukuronat sehingga

bilirubin menjadi larut dalam air (konjugasi).

4

Page 5: Referat Ikterus

Sirkulus enterohepatikus meningkat karena masih sedikitnya flora normal

di usus dan gerakan usus yang tertunda akibat belum ada intake nutrien.

Pada keadaan normal, kadar bilirubin indirek bayi baru lahir adalah 1-3

mg/dl dan naik dengan kecepatan < 5 mg/dl/24 jam, dengan demikian ikterus

fisiologis dapat terlihat pada hari ke-2 sampai ke-3, berpuncak pada hari ke-2 dan

ke-4 dengan kadar berkisar 5-6 mg/dL (86-103 μmol/L), dan menurun sampai di

bawah 2 mg/dl antara umur hari ke-5 dan ke-7. Secara umum karakteristik ikterus

fisiologis adalah sebagai berikut:4

Timbul pada hari kedua – ketiga.

Kadar bilirubin indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg % pada

neonatus cukup bulan dan 10 mg % per hari pada neonatus kurang bulan

Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg % perhari

Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg %

Kadar bilirubin indirek pada bayi cukup bulan menurun sampai pada kadar

orang dewasa (1 mg/dl) pada umur 10-14 hari.

Tidak mempunyai dasar patologis.

Pada bayi prematur kenaikan bilirubin serum cenderung sama atau lebih

lambat daripada kenaikan bilirubin bayi cukup bulan, tetapi jangka waktunya

lebih lama, biasanya menimbulkan kadar yang lebih tinggi, puncaknya dicapai

pada hari ke-4 dan ke-7.4,10

2.2.2 Ikterus Patologik

Peningkatan level bilirubin indirek yang lebih tinggi lagi tergolong patologis yang

dapat disebabkan oleh berbagai keadaan. Beberapa keadaan berikut tergolong

dalam ikterus patologis, antara lain:4,11

Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan.

Bilirubin total/indirek untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi

kurang bulan >10 mg/dL.

Peningkatan bilirubin > 5 mg/dL/24 jam.

5

Page 6: Referat Ikterus

Kadar bilirubin direk > 2 mg/dL.

Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatabilitas darah, defisiensi

G6PD, atau sepsis)

Ikterus yang disertai oleh: Berat lahir <2000 gram, Masa gestasi 36

minggu, Asfiksia, hipoksia, sindrom gawat napas pada neonatus, Infeksi,

Trauma lahir pada kepala, Hipoglikemia

Ikterus klinis yang menetap setelah bayi berusia >8 hari (pada aterm) atau

>14 hari (pada prematur)

Tingginya kadar bilirubin yang dapat menimbulkan efek patologik tersebut

tidak selalu sama pada tiap bayi tergantung usia gestasi, berat badan bayi dan usia

bayi saat terlihat kuning. Penyebab yang sering adalah hemolisis akibat

inkompatibilitas golongan darah atau Rh (biasanya kuning sudah terlihat pada 24

jam pertama), dan defisiensi enzim G6PD. Digolongkan sebagai

hiperbilirubinemia patologis apabila kadar serum bilirubin terhadap usia neonatus

> 95 persentil menurut Normogram Bhutani.12

6

Page 7: Referat Ikterus

Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan (ikterus patologis) dapat

disebabkan oleh faktor/keadaan:9,13

Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus,

defisiensi G6PD, sferositosis herediter dan pengaruh obat.

Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi intra

uterin.

Polisitemia.

Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom, kontusio, trauma lahir.

Ibu diabetes.

Asidosis.

Hipoksia/asfiksia.

Penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat faktor

intrahepatik dan ekstra hepatik yang bersifat fungsional atau disebabkan

oleh obstruksi mekanik.

Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi

enterohepatik.

2.3 Metabolisme Bilirubin

Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh

tubuh. Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degradasi hemoglobin darah

dan sebagian lagi dari hem bebas atau proses eritropoesis yang tidak efektif.

Pembentukan bilirubin tadi dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan

biliverdin serta beberapa zat lain. Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan

menjadi bilirubin tak terkonjugasi atau bilirubin IX α. Zat ini sulit larut dalam air

tetapi larut dalam lemak, karenanya mempunyai sifat lipofilik yang sulit

diekskresi dan mudah melalui membran biologik seperti plasenta dan sawar darah

otak. Selain itu juga bersifat non-polar (bereaksi indirek).4,9,10

Metabolisme bilirubin bayi baru lahir berada dalam transisi dari stadium

janin dimana plasenta menjadi tempat utama eliminasi bilirubin yang larut lemak,

ke stadium dewasa dimana bentuk bilirubin yang terkonjugasi yang larut air

7

Page 8: Referat Ikterus

diekskresikan dari sel hati ke dalam sistem biliaris dan kemudian ke dalam saluran

pencernaan.4,9

Gambar 2.2 Metabolisme bilirubin9

Bilirubin bebas tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan

dibawa ke hepar. Dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga bilirubin

terikat oleh reseptor membran sel hepar dan masuk ke dalam hepar. Segera setelah

ada dalam sel hepar terjadi persenyawaan ligandin (protein Y), protein Z dan

glutation hepar lain yang membawanya ke retikulum endoplasma hepar, tempat

terjadinya konjugasi. Proses ini timbul berkat adanya enzim glukoronil transferase

8

Page 9: Referat Ikterus

yang kemudian menghasilkan bentuk bilirubin direk. Jenis bilirubin ini dapat larut

dalam air dan pada kadar tertentu dapat diekskresi melalui ginjal. Sebagian besar

bilirubin yang terkonjugasi ini diekskresi melalui duktus hepatikus ke dalam

saluran pencernaan dan selanjutnya didekonjugasikan oleh enzim B-glukoronidase

di usus menjadi bentuk yang tidak terkonjugasi. Selanjutnya diuraikan oleh

bakteri usus menjadi sterkobilinogen dan keluar dengan tinja sebagai sterkobilin.

Dalam usus, sebagian bentuk yang tak terkonjugasi tersebut diabsorpsi kembali

oleh mukosa usus dan terbentuklah proses absorpsi entero-hepatik.4,9

2.4 Etiologi

Peningkatan produksi bilirubin, defisiensi dari uptake hepar, gangguan

konjugasi bilirubin, dan peningkatan sirkulasi enterohepatik bilirubin menjadi

sebagian besar penyebab ikterus patologis pada bayi baru lahir.1,4,10

2.3.1 Peningkatan produksi

Peningkatan produksi bilirubin terjadi pada neonatus dengan berbagai ras,

sebanding dengan neonatus dengan inkompatibilitas golongan darah, defisiensi

enzim eritrosit, atau defek struktural dari eritrosit. Kecenderungan terjadinya

hiperbilirubinemia pada kelompok ras tertentu belum dimengerti secara jelas.1

Penyakit hemolitik atau peningkatan laju destruksi eritrosit merupakan

penyebab tersering dari pembentukan bilirubin yang berlebihan. Ikterus yang

timbul sering disebut sebagai ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen

empedu berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi melampaui

kemampuan hati. Hal ini mengakibatkan peningkatan kadar bilirubin tak

terkonjugasi dalam darah. Bilirubin tak terkonjugasi tidak larut dalam air,

sehingga tidak dapat di ekskresi dalam urin dan tidak terjadi bilirubinuria. Namun

demikian terjadi peningkatan pembentukan urobilinogen (akibat peningkatan

beban bilirubin terhadap hati dan peningkatan konjugasi serta ekskresi), yang

selanjutnya mengakibatkan peningkatan ekskresi dalam feses dan urine. Urine dan

feses berwarna lebih gelap.10,13

Beberapa penyebab lazim ikterus hemolitik adalah hemoglobin abnormal

(hemoglobin S pada anemia sel sabit), eritrosit abnormal ( sperositosis herediter),

9

Page 10: Referat Ikterus

antibodi dalam serum (inkompatibilitas Rh atau transfusi atau akibat penyakit

hemolitik autoimun), pemberian beberapa obat, dan peningkatan hemolisis.

Sebagian kasus ikterus hemolitik dapat disebabkan oleh suatu proses yang disebut

sebagai eritropoiesis yang tidak efektif. Proses ini meningkatkan dekstruksi

eritrosit atau prekursornya dalam sumsum tulang ( talasemia, anemia pernisiosa,

dan porfiria). Pada orang dewasa, pembentukan bilirubin berlebihan yang

berlangsung kronis dapat menyebabkan terbentuknya batu empedu yang

mengandung sejumlah besar bilirubin; diluar itu, hiperbilirubinemia ringan

umumnya tidak membahayakan. Pengobatan langsung ditujukan untuk

memperbaiki penyakit hemolitik.13

2. Gangguan ambilan bilirubin

Ambilan bilirubin tak terkonjugasi terikat-albumin oleh sel hati dilakukan dengan

memisahkan dan mengikatkan bilirubin terhadap protein penerima. Hanya

beberapa obat yang telah terbukti berpengaruh dalam ambilan bilirubin oleh hati :

asam flavaspidat (dipakai untuk mengobati cacing pita), novobiosin, dan beberapa

zat warna kolesistografi. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dan ikterus biasanya

menghilang bila obat pencetus dihentikan. Dahulu, ikterus neonatal dan beberapa

kasus sindrom gilbert dianggap disebabkan oleh defisiensi protein penerima dan

gangguan ambilan oleh hati. Namun pada sebagian besar kasus ditemukan adanya

defisiensi glukoronil transferase, sehingga keadaan ini paling baik dianggap

sebagai defek konjugasi bilirubin.

3. Gangguan konjugasi bilirubin

Defisiensi dari enzim uridine diphosphate glucuronosyltransferase (UDPGT),

enzim yang dibutuhkan dalam proses konjugasi bilirubin merupakan penyebab

lain yang penting pada ikterus neonatorum. Tiga gangguan herediter yang

menyebabkan defisiensi progresif enzim glukoronil transferase adalah: sindrom

Gilbert dan sindrom Crigler-Najjar tipe I dan tipe II. Meskipun seluruh bayi baru

lahir relatif kekurangan enzim tersebut, mereka yang menderita sindrom Crigler–

Najjar tipe 1, dimana defisiensi enzim tersebut cukup parah, dapat bermanifestasi

10

Page 11: Referat Ikterus

sebagai ensefalopati bilirubin pada hari-hari atau bulan-bulan pertama

kehidupannya. Sebaliknya, ensefalopati jarang terjadi pada sindrom Crigler–

Najjar tipe II, dimana kadar bilirubin serum jarang melebihi 20 mg/dl.

Sindrom Gilbert merupakan suatu penyakit familial ringan yang dicirikan

dengan ikterus dan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi ringan (2-5 mg/ml) yang

kronis. Penelitian terbaru telah mengidentifikasi adanya dua bentuk sindrom

Gilbert. Bentuk pertama pasien dengan bukti hemolisis dan peningkatan

penggantian bilirubin. Bentuk kedua memiliki bersihan bilirubin yang menurun

dan tidak terdapat hemolisis. Kedua bentuk ini dapat terjadi pada pasien yang

sama dan dalam waktu yang sama. Pada sindrom Gilbert, derajat ikterus berubah-

ubah dan sering kali memburuk pada puasa lama, infeksi, stres, operasi, dan

asupan alkohol yang berlebihan. Awitan paling sering terjadi semasa remaja. Uji

fungsi hati serta kadar urobilinogen urin dan feses normal. Neonatus dengan

Gilbert’s syndrome juga mengalami penurunan ringan aktivitas enzim UGT.

Penurunan ini terjadi sebagai akibat ekspansi timin-adenin (TA) yang berulang

dalam regio promoter gen UGITA, gen utama yang mengkode enzim tersebut.

Variasi ras dalam jumlah pengulangan TA dan korelasinya aktivitas enzim UGT

menunjukkan kontribusi polimorfisme terhadap variasi metabolisme bilirubin.

Keadaan ini dapat diobati dengan fenobarbital, yang merangsang aktivitas enzim

glukoronil transferase.

Sindrom Crigler najjar tipe 1 merupakan gangguan herediter yang jarang

terjadi. Penyebabnya adalah suatu gen resesif, dengan tidak adanya glukoronil

transferase sama sekali sejak lahir. Oleh karena itu tidak terjadi konjugasi

bilirubin sehingga empedu tidak berwarna dan kadar bilirubin tak terkonjugasi

melampaui 20 mg/100ml. Hal ini menyebabkan terjadinya kernikterus. Fototerapi

dapat mengurangi hiperbilirubinemia tak terkonjugasi untuk sementara waktu,

tetapi biasanya bayi meninggal pada usia satu tahun. Sindrom Cigler–Najjar tipe

II adalah bentuk penyakit yang lebih ringan, diwariskan sebagai suatu sifat

genetik dominan dengan defisiensi sebagian glukoronil transerase. Kadar bilirubin

tak terkonjugasi serum lebih frendah (6-20 mg/dl) dan ikterus mungkin tidak

11

Page 12: Referat Ikterus

terlihat sampai usia remaja. Fenobarbital yang meningkatkan aktivitas glukoronil

transferase seringkali dapat menghilangkan ikterus pada pasien ini.

Pada ras Asia, varian DNA (Gly71Arg) menyebabkan perubahan asam

amino dalam protein enzim UDPGT, yang berhubungan dengan

hiperbilirubinemia neonatus.

4. Penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi

Gangguan ekskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor fungsional maupun

obstruktif, terutama menyebabkan terjadinya hiperbilirubinemia terkonjugasi.

Bilirubin terkonjugasi larut dalam air, sehingga dapat diekskresi dalam urine dan

menimbulkan bilirubinuria serta urine yang gelap. Urobilinogen feses dan

urobilinogen urine sering menurun sehingga feses terlihat pucat. Peningkatan

kadar bilirubin terkonjugasi dapat disertai bukti-bukti kegagalan ekskresi hati

lainnya, seperti peningkatan kadar fosfatase alkali, AST, kolesterol, dan garam

empedu dalam serum. Kadar garam empedu yang meningkat dalam darah

menimbulkan gatal-gatal pada ikterus. Ikterus akibat hiperbilirubinemia

terkonjugasi biasanya lebih kuning dibandingkan akibat hiperbilirubinemia tak

terkonjugasi. Perubahan warna berkisar dari oranye–kuning muda atau tua sampai

kuning–hijau muda atau tua bila terjadi obstruksi total aliran empedu. Perubahan

ini merupakan bukti adanya ikterus kolestatik, yang merupakan nama lain ikterus

obstruktif. Kolestatis dapat berupa intrahepatik (mengenai sel hati, kanalikuli, atau

kolangiola) atau ekstrahepatik (mengenai saluran empedu diluar hati). Pada kedua

keadaan ini terdapat gangguan biokimia yang serupa.

Penyebab tersering kolestasis intrahepatik adalah penyakit hepatoselular

dengan kerusakan sel parenkim hati akibat hepatitis virus atau berbagai jenis

sirosis pada penyakit ini, pembengkakan dan dis organisasi sel hati dapat menekan

dan menghambat kanalikuli atau kolangiola. Penyalit hepato selular biasanya

mengganggu semua pase metabolisme bilrubin-ambilan, konjugasi, dan ekskresi-

tetapi ekskresi biasanya paling terganggu, sehingga yang paling menonjol adalah

hiperbilirubinemia terkonjugasi. Penyebab kolestasis intrahepatik yang lebih

jarang adalah pemakaian obat-obat tertentu, dan gangguan herediter Dubin-

12

Page 13: Referat Ikterus

Johnson serta sindrom Rotor (jarang terjadi). Pada keadaan ini terjadi gangguan

trasfer bilirubin melalui membran hepatosik yang menyebabkan terjadinya retensi

bilirubin dalam sel. Obat yang sering mencetuskan gangguan ini adalah halotan

(anastetik), kontrasepsi oral, estrogen, steroid anabolik, isoniazit, dan

klorpomazin.

Penyebab tersering kolestasis ekstrahepatik adalah sumbatan batu empedu,

biasanya pada ujung bawah duktus koledokus; karsinoma kaput pankreas

menyebabkan tekanan pada duktus koledokus dari luar; demikian juga dengan

karsinoma ampula Vateri. Penyebab yang lebih jarang adalah striktur paska

peradangan atau setelah operasi, dan pembesaran kelenjar limfe pada porta

hepatis. Lesi intrahepatik seperti hepatoma kadang-kadang dapat menyumbat

duktus hepatikus kanan atau kiri. Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh

beberapa mikroorganisme atau toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan

darah merah seperti infeksi, toksoplasmosis, syphilis, hepatitis neonatus.

5. Gangguan transportasi

Akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya hipoalbuminemia atau karena

pengaruh obat-obat tertentu misalnya sulfadiazine.

6. Peningkatan sirkulasi enterohepatik, misalnya pada ileus obstruktif

Tabel 2.1 Faktor resiko hiperbilirubinemia neonatorum1

Maternal factors Perinatal factors Neonatal factorsRace or ethnic group

Asian Native American Greek Islander

Birth trauma Cephalhematoma Ecchymoses

PrematurityHipoglikemiaHipoalbuminemia

Complications during pregnancy Diabetes mellitus Rh incompatibility ABO incompatibility

Infection Bacterial Viral Protozoal

Genetic factors Familial disorders of

conjugationGilbert’s syndromeCrigler–Najjar syndrome types I and II

Other enzymatic defectsGlucose-6-phosphate dehydrogenase deficiencyPyruvate kinase

13

Page 14: Referat Ikterus

deficiencyHexokinase deficiencyCongenital erythropoietic porphyria

Erythrocyte structural defectsSpherocytosisElliptocytosis

Use of oxytocin in hypotonic solutions during labor

Polycythemia

Breast-feeding Breast milk is a competitive inhibitor of hepaticUGT (breast-milk jaundice)

Drugs Streptomycin Chloramphenicol Benzyl alcohol Sulfisoxazole

Low intake of breast milk (breast-feeding jaundice)

Meningkatnya sirkulasi enterohepatik bilirubin dalam keadaan puasa dapat

pula menyebabkan hiperbilirubinemia yang berlebihan. Bayi baru lahir yang tidak

diberi asupan yang benar atau yang mendapatkan ASI ekslusif memiliki kadar

bakteria intestinal yang rendah, sementara bakteri tersebut dapat mengubah

bilirubin menjadi derivatnya yang tidak dapat diresorbsi, sehingga sirkulasi

enterohepatik bilirubin dapat meningkat pada bayi tersebut

2.5 Patogenesis

Efek toksik seluler dari bilirubin

Perhatian utama terhadap hiperbilirubinemia yang berlebihan ini yaitu

potensiasinya untuk menyebabkan efek neurotoksik, tetapi injuri sel secara umum

dapat pula terjadi. Bilirubin dapat menghambat enzim mitokondrial dan dapat

mengganggu sintesis DNA, menginduksi penghancuran untaian DNA, dan

menghambat sintesis protein dan fosforilasi.1

Bilirubin memiliki afinitas terhadap membran fosfolipid dan menghambat

uptake tirosin, yang merupakan penanda transmisi sinaps. Bilirubin juga

menghambat fungsi reseptor N-methyl-D-aspartate kanal ion. Hal tersebut

menunjukkan bahwa bilirubin dapat mengganggu sinyal neuroeksitasi dan

menyebabkan kelainan konduksi saraf (terutama saraf auditori). Bilirubin dapat

menghambat pertukaran ion dan transpor air di sel-sel renal, yang dapat

14

Page 15: Referat Ikterus

menjelaskan fenomena pembengkakan neuronal pada ensefalopati bilirubin

(kernikterus). Penelitian yang dilakukan pada tikus percobaan yang imatur

menunjukkan bahwa peningkatan kadar laktat, penurunan kadar glukosa seluler,

dan gangguan metabolisme glukosa serebral berhubungan dengan

hiperbilirubinemia.1

Faktor yang mempengaruhi efek neurotoksik bilirubin

Konsentrasi bilirubin di dalam otak dan durasi paparan terhadap bilirubin

merupakan determinan penting efek neurotoksik bilirubin, dimana korelasi antara

konsentrasi bilirubin serum dan ensefalopati bilirubin pada bayi tanpa hemolisis

tidak begitu bermakna. Satu alasan untuk korelasi yang lemah ini adalah durasi

hiperbilirubinemia juga menjadi determinan penting paparan otak terhadap

bilirubin. Konsentrasi bilirubin serum tidak menunjukkan estimasi produksi

bilirubin yang sebenarnya, konsentrasi bilirubin jaringan, atau konsentrasi

bilirubin yang terikat albumin. Lebih lanjut, fototerapi dapat mengubah

konfigurasi bilirubin dan hasil fotoisomer-nya yang dapat diekskresikan,

mempersulit penentuan konsentrasi pasti bilirubin serum pada bayi yang

mendapat terapi dengan bayi yang tidak diterapi. Sebaliknya, konsentrasi puncak

bilirubin serum > 20 mg/dl biasanya menunjukkan outcome yang buruk pada bayi

dengan penyakit hemolitik Rh, tetapi bayi-bayi lain yang memiliki konsentrasi

bilirubin ≥ 25 mg/dl dapat normal.1

Resiko pengaruh toksik dari meningkatnya kadar bilirubin tak terkonjugasi

dalam serum bertambah dengan adanya faktor-faktor berikut:

1. Faktor-faktor yang menurunkan jumlah ikatan bilirubin-albumin. Bilirubin

dapat memasuki otak jika tidak berikatan dengan albumin atau berada

dalam bentuk tidak terkonjugasi. Albumin dapat mengikat bilirubin pada

ratio molar 1 - 8,2 mg bilirubin per gram albumin. Oleh karena itu, bayi

baru lahir yang memiliki konsentrasi albumin serum 3 gr/dl, dapat

memiliki konsentrasi bilirubin serum yang terikat albumin sebanyak 25

mg/dl. Jika konsentrasi albumin serum rendah, jumlah bilirubin yang dapat

terikat oleh albumin juga rendah sehingga meningkatkan resiko

15

Page 16: Referat Ikterus

kernikterus. Obat-obatan seperti sulfisoxazole dan benzyl alkohol dapat

menggeser ikatan bilirubin dari albumin sehingga dapat meningkatkan

resiko kernikterus.1,4

2. Faktor-faktor yang meningkatkan retensi bilirubin dalam sirkulasi seperti

asidosis, kenaikan sekunder kadar asam lemak bebas akibat hipoglikemia,

kelaparan, atau hipotermia.4

3. Faktor-faktor yang meningkatkan kerentanan sel otak terhadap toksisitas

bilirubin. Pada otak sendiri, kerentanan untuk terjadinya efek neurotoksik

dari bilirubin bervariasi tergantung tipe sel, maturitas otak, dan

metabolisme otak. Bilirubin tidak terkonjugasi merupakan substrat bagi

protein membran plasma yang tergantung ATP (ATP-dependent plasma-

membrane protein) dan P-glikoprotein dalam sawar darah otak. Kondisi-

kondisi yang dapat mengubah sawar darah otak seperti keadaan infeksi,

asidosis, asfiksia, sepsis, prematuritas, dan hiperosmolaritas dapat

mempengaruhi masuknya bilirubin ke dalam otak. Sekali bilirubin

memasuki otak, presipitasi bilirubin pada pH yang rendah dapat berefek

toksik. Terutama neuron yang sedang mengalami diferensiasi juga rentan

terhadap injuri akibat bilirubin. Hal ini dapat menjelaskan mengapa

prematuritas merupakan predisposisi terjadinya ensefalopati bilirubin.1,4

2.6 Diagnosis

Ikterus dapat timbul saat lahir atau setiap saat selama masa neonatus,

tergantung pada etiologinya. Ikterus biasanya dimulai pada daerah wajah dan

ketika kadar serum bilirubin bertambah akan turun ke abdomen dan selanjutnya ke

ekstremitas. Untuk menegakkan diagnosis diperlukan langkah-langkah mulai dari

anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium.12

Anamnesis12

1. Waktu terjadinya onset ikterus. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti

penting pula dalam diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat

timbulnya ikterus mempunyai kaitan erat dengan etiologinya.

2. Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu DM, gawat

janin, malnutrisi intra uterin, infeksi intranatal)

16

Page 17: Referat Ikterus

3. Usia gestasi

4. Riwayat persalinan dengan tindakan atau komplikasi

5. Riwayat ikterus, kernikterus, kematian, defisiensi G6PD, terapi sinar,

atau transfusi tukar pada bayi sebelumnya

6. Inkompatibilitas darah (golongan darah ibu dan janin)

7. Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa.

8. Munculnya gejala-gejala abnormalitas seperti apnu, kesulitan menyusu,

intoleransi susu, dan ketidakstabilan temperatur.

9. Bayi menunjukkan keadaan lesu, dan nafsu makan yang jelek

10. Gejala-gejala kernikterus

Pemeriksaan Fisik12

Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau

beberapa hari kemudian. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang

cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat

dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang kulitnya gelap.

Tekan kulit secara ringan memakai jari tangan untuk memastikan warna kulit dan

jaringan subkutan. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang

mendapatkan terapi sinar.

Hal-hal yang perlu diperiksa pada ikterus ini antara lain:

Kondisi umum, penentuan usia gestasi neonatus, berat badan, tanda-tanda

sepsis, status hidrasi

Tanda-tanda kernikterus seperti letargi, hipotonia, kejang, opistotonus,

high pitch cry

Pallor, plethora, sefalhematom, perdarahan subaponeurotik

Tanda-tanda infeksi intrauterin seperti pateki, splenomegali.

Progresi sefalo-kaudal pada ikterus berat

Penilaian klinis derajat ikterus neonatal menurut Kramer, yaitu:

Kramer I Daerah kepala (Bilirubin total ± 5 – 7 mg)

Kramer II Daerah dada – pusat (Bilirubin total ± 7 – 10 mg%)

Kramer III Perut dibawah pusat - lutut (Bilirubin total ± 10 – 13 mg)

17

Page 18: Referat Ikterus

Kramer IV Lengan sampai pergelangan tangan, tungkai bawah sampai

pergelangan kaki (Bilirubin total ± 13 – 17 mg%)

Kramer V hingga telapak tangan dan telapak kaki (Bilirubin total >17

mg%)

Pemeriksaan Laboratorium4,5,12

Pemeriksaan serum bilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada

neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau

bayi-bayi yang tergolong risiko tinggi terserang hiperbilirubinemia berat. Namun

pada bayi yang mengalami ikterus berat, lakukan terapi sinar sesegera mungkin,

jangan menunda terapi sinar dengan menunggu hasil pemeriksaan kadar serum

bilirubin.

Transcutaneous bilirubinometer (TcB) atau ikterometer dapat digunakan

untuk menentukan kadar serum bilirubin total dengan cara yang non-invasif tanpa

harus mengambil sampel darah. Namun alat ini hanya valid untuk kadar bilirubin

total < 15 mg/dL (<257 μmol/L), dan tidak ‘reliable’ pada kasus ikterus yang

sedang mendapat terapi sinar. Alat ini digunakan untuk menskrining bayi.

Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan

penyebab ikterus antara lain :

• Golongan darah dan Coombs test

• Darah lengkap dan hapusan darah tepi

• Hitung retikulosit, skrining G6PD

• Bilirubin total, direk, dan indirek

Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia

bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga perlu diukur.

18

Page 19: Referat Ikterus

Gambar 2.3 Bagan Diagnosis Ikterus.

2.6 Kernikterus

Kernikterus adalah sindrom neurologis akibat pengendapan bilirubin tak

terkonjugasi di dalam sel-sel otak. Gambaran klinis kernikterus bervariasi, dan >

15% bayi baru lahir tidak menunjukkan gejala neurologis yang nyata. Penyakit ini

dapat dibagi menjadi bentuk akut dan kronik.1,4

19

Page 20: Referat Ikterus

Bentuk akut biasanya memiliki tiga fase. Sedangkan bentuk kronik

dikarakteristikkan dengan hipotonia pada tahun pertama, dan setelah itu terjadi

abnormalitas ekstrapiramidal dan ketulian sensorineural. Perubahan spesifik yang

tampak pada gambaran MRI yaitu berupa peningkatan intensitas sinyal dalam

globus palidus pada gambaran T2-weighted menunjukkan korelasi yang erat

dengan terjadinya deposisi bilirubin dalam ganglia basalis.1

Beberapa perubahan akan menghilang secara spontan atau dapat

dibalikkan dengan transfusi tukar. Pada sebagian besar bayi dengan

hiperbilirubinemia sedang hingga berat, respon yang ditimbulkan dapat

menghilang setelah 6 bulan, dan pada sebagian kecilnya yang lain abnormalitas

tersebut dapat menjadi permanen. Pada sebuah penelitian yang melakukan follow-

up setelah 17 tahun mendapatkan bahwa terdapat hubungan antara bayi yang

mengalami hiperbilirubinemia berat (konsentrasi bilirubin serum ≥ 20 mg/dl)

dengan IQ yang rendah pada anak laki-laki saja, tidak pada anak perempuan.1,14,15

2.8 Penatalaksanaan

Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk

mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat

menbimbulkan kernikterus atau ensefalopati bilirubin, serta mengobati penyebab

langsung ikterus. Dianjurkan agar dilakukan fototerapi, dan jika tidak berhasil

transfuse tukar dapat dilakukan untuk mempertahankan kadar maksimum bilirubin

20

Tabel 2.2 Gambaran klinis kernikterus1

Page 21: Referat Ikterus

total dalam serum dibawah kadar maksimum pada bayi preterm dan bayi cukup

bulan yang sehat. Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme

bilirubin (plasma atau albumin), mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian

kolesteramin), terapi sinar atau transfusi tukar, merupakan tindakan yang juga

dapat mengendalikan kenaikan kadar bilirubin. Dikemukakan pula bahwa obat-

obatan IVIG (Intra Venous Immuno Globulin) dan Metalloporphyrins dipakai

dengan maksud menghambat hemolisis, meningkatkan konjugasi dan ekskresi

bilirubin.1,4,5

Tabel 2.3 Kadar bilirubin indirek maksimum (bayi preterm)4

BB lahir (g) Tidak ada komplikasi Ada komplikasi

< 1000 12-13 10-12

1000-1250 12-14 10-12

1251-1499 14-16 12-14

1500-1999 16-20 15-17

2000-2500 20-22 18-20

Komplikasi: Asfiksia, asidosis, hipoksia, hipotermia, hipoalbuminemia, meningitis, PIV, hemolisis, hipoglikemia atau tanda-tanda kernikterus.

Tabel 2.4 Kadar bilirubin indirek pada bayi cukup bulan yang sehat.4

Umur (jam) Fototerapi Fototerapi&persiapan transfusi tukar

Transfusi tukar jika fototerapi gagal

< 24 - - -24-48 15-18 25 2049-72 18-20 30 25> 72 20 30 25> 2 Minggu Transfusi tukar Transfusi tukar Transfusi tukar

Fototerapi

Pengaruh sinar terhadap ikterus telah diperkenalkan oleh Cremer sejak 1958.

Banyak teori yang dikemukakan mengenai pengaruh sinar tersebut. Teori terbaru

mengemukakan bahwa terapi sinar menyebabkan terjadinya isomerisasi bilirubin.

Energi sinar mengubah senyawa yang berbentuk 4Z, 15Z-bilirubin menjadi

senyawa berbentuk 4Z, 15E-bilirubin yang merupakan bentuk isomernya. Bentuk

isomer ini mudah larut dalam plasma dan lebih mudah diekskresi oleh hepar ke

21

Page 22: Referat Ikterus

dalam saluran empedu. Peningkatan bilirubin isomer dalam empedu menyebabkan

bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam usus, sehingga peristaltik

usus meningkat dan bilirubin akan lebih cepat meninggalkan usus halus.1,16

Gambar 2.4 Prinsip Fototerapi.16

Fototerapi tetap menjadi standar terapi hiperbilirubinemia pada bayi.

Fototerapi yang efisien dapat menurunkan konsentrasi bilirubin serum secara

cepat. Pembentukan lumirubin, komponen yang larut air merupakan prinsip

eliminasi bilirubin dengan fototerapi. Dua faktor yang menentukan rata-rata

pembentukan lumirubin antara lain:5,16

1. Spektrum cahaya

Karena bilirubin adalah pigmen kuning maka lebih mudah mengabsorbsi

cahaya biru (dengan panjang gelombang 450 nm). Oleh karena itu cahaya

biru paling efektif dalam menurunkan hiperbilirubinemia, tetapi

ketegangan pada mata dan kesulitan untuk mendeteksi adanya sianosis

pada bayi membatasi rumah sakit untuk menggunakannya. Gelombang

yang lebih panjang (hijau) dapat menembus kulit lebih dalam dan lebih

22

Page 23: Referat Ikterus

efektif berinteraksi dengan bilirubin yang terikat albumin, tetapi cahaya

putih fluoresens adalah yang paling umum digunakan dalam fototerapi.

2. Dosis total cahaya

Dosis cahaya yang masuk atau penyinaran tergantung pada kekuatan

cahaya dan jaraknya dari bayi. Untuk fototerapi standar, delapan bohlam

lampu putih fluoresens digunakan untuk menghantarkan 6 -12 μW/cm2

luas permukaan tubuh yang terpapar tiap nanometer (nm) panjang

gelombang. Terdapat hubungan antara dosis dengan degradasi bilirubin

sampai dosis saturasi tercapai. Hal ini bisa dicapai dengan memberikan

paparan pada permukaan kulit secara maksimum dari 40 mW/cm2 per nm

cahaya yang sesuai. Di atas titik saturasi, peningkatan intensitas tidak

memberikan efek tambahan apa-apa.

3. Efikasi terapi sinar meningkat dengan meningkatnya konsentrasi bilirubin,

tetapi tidak efektif untuk menurunkan konsentrasi bilirubin di bawah 100

mmol/l. Penurunan sebanyak 50% dapat dicapai dalam 24 jam dengan

kadar bilirubin >15 mg/dL menggunakan cahaya biru yang memiliki

spektrum emisi yang sama dengan spektrum absorpsi bilirubin.

4. Faktor lain adalah usia bayi, umur gestasi, berat badan dan etiologi ikterus.

Terapi sinar  paling efektif untuk bayi prematur yang sangat kecil dan

paling tidak efektif untuk bayi matur yang sangat kecil (gangguan

pertumbuhan yang sangat berat) dengan peningkatan hematokrit. Selain

itu, makin tinggi kadar bilirubin pada saat memulai fototerapi, makin

efektif.

5. Faktor yang mengurangi efikasi terapi sinar  adalah paparan kulit yang

tidak adekuat, sumber cahaya terlalu jauh dari bayi (radiasi menurun

secara terbalik dengan kuadrat jarak), lampu fluoresens yang terlalu panas

menyebabkan perusakan fosfor secara cepat dan emisi spektrum dari

lampu yang tidak tepat. Idealnya, semua ruang perawatan perinatologi

memiliki peralatan untuk melakukan terapi sinar  intensif.

23

Page 24: Referat Ikterus

Gambar 2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas fototerapi.16

Fototerapi yang intensif dapat membatasi kebutuhan akan transfusi tukar.

Fototerapi (penyinaran 11-14 μW/cm2/nm) dan pemberian asupan sesuai

keperluan (feeding on demand) dengan formula atau ASI dapat menurunkan

konsentrasi bilirubin serum > 10 mg/dl dalam 2-5 jam. Saat ini, banyak bayi

mendapatkan fototerapi dalam dosis di bawah rentang terapeutik yang optimal.

Tetapi terapi ini cukup aman, dan efeknya dapat dimaksimalkan dengan

meningkatkan area permukaan tubuh yang terpapar dan intensitas dari sinar.1,16

Bayi yang diterapi dengan fototerapi ditempatkan di bawah sinar (delapan

bohlam lampu fluoresens) dan lebih baik dalam keadaan telanjang dengan mata

tertutup. Temperatur dan status hidrasi harus terus dipantau. Fototerapi dapat

sementara dihentikan selama 1 – 2 jam untuk mempersilahkan keluarga

berkunjung atau memberikan ASI atau susu formula. Waktu yang tepat untuk

memulai fototerapi bervariasi tergantung dari usia gestasi bayi, penyebab ikterus,

berat badan lahir, dan status kesehatan saat itu. Fototerapi dapat dihentikan ketika

konsentrasi bilirubin serum berkurang hingga sekitar 4-5 mg/dl.16

24

Page 25: Referat Ikterus

Gambar 2.6 Petunjuk penggunaan fototerapi pada neonatus dengan usia gestasi ≥ 35 minggu.12

Terapi sinar  konvensional dan intensif

Secara umum terapi sinar dibagi menjadi terapi sinar konvensional dan intensif.

Terapi sinar konvensional menggunakan panjang gelombang 425-475 nm.

Intensitas cahaya yang biasa digunakan adalah 6-12 mwatt/cm2 per nm. Cahaya

diberikan pada jarak 35-50 cm di atas bayi. Sedangkan fototerapi intensif

menggunakan intensitas penyinaran > 12 μW/cm2/nm dengan area paparan

maksimal.1

Jumlah bola lampu yang digunakan berkisar antara 6-8 buah, terdiri dari

biru (F20T12), cahaya biru khusus (F20T12/BB) atau daylight fluorescent tubes.

Cahaya biru khusus memiliki kerugian karena dapat membuat bayi terlihat biru,

walaupun pada bayi yang sehat, hal ini secara umum tidak mengkhawatirkan.

Untuk mengurangi efek ini, digunakan 4 tabung cahaya biru khusus pada bagian

tengah unit terapi sinar  standar dan dua tabung daylight fluorescent pada setiap

bagian samping unit.1

25

Page 26: Referat Ikterus

Persiapan Unit Terapi sinar

Hangatkan ruangan tempat unit terapi sinar ditempatkan sehingga suhu di

bawah lampu antara 28 0C - 30 0C.

Nyalakan mesin dan pastikan semua tabung fluoresens berfungsi dengan baik.

Ganti tabung/lampu fluoresens yang telah rusak atau berkelip-kelip

(flickering):

o Catat tanggal penggantian tabung dan lama penggunaan tabung tersebut.

o Ganti tabung setelah 2000 jam penggunaan atau setelah 3 bulan, walaupun

tabung masih bisa berfungsi.

Gunakan linen putih pada basinet atau inkubator, dan tempatkan tirai putih di

sekitar daerah unit terapi sinar ditempatkan untuk memantulkan cahaya

sebanyak mungkin kepada bayi1.

Pemberian Terapi Sinar :

o Tempatkan bayi di bawah sinar terapi sinar.

o Bila berat bayi ≥ 2 kg, tempatkan bayi dalam keadaan telanjang pada

basinet. Tempatkan bayi yang lebih kecil dalam inkubator.

o Letakkan bayi sesuai petunjuk pemakaian alat dari pabrik.

o Tutupi mata bayi dengan penutup mata, pastikan lubang hidung bayi tidak

ikut tertutup. Jangan tempelkan penutup mata dengan menggunakan selotip.

o Balikkan bayi setiap 3 jam

o Pastikan bayi diberi makan. Motivasi ibu untuk menyusui bayinya dengan

ASI ad libitum, paling kurang setiap 3 jam:

- Selama menyusui, pindahkan bayi dari unit terapi sinar  dan lepaskan

penutup mata

- Pemberian suplemen atau mengganti ASI dengan makanan atau cairan

lain (contoh: pengganti ASI, air, air gula, dll) tidak ada gunanya.

o Bila bayi menerima cairan per IV atau ASI yang telah dipompa, tingkatkan

volume cairan atau ASI sebanyak 10% volume total per hari selama bayi

masih diterapi sinar .

26

Page 27: Referat Ikterus

o Bila bayi menerima cairan per IV atau makanan melalui NGT, jangan

pindahkan bayi dari terapi sinar .

o Selama menjalani terapi sinar, konsistensi tinja bayi bisa menjadi lebih

lembek dan berwarna kuning. Keadaan ini tidak membutuhkan terapi

khusus.

o Teruskan terapi dan tes lain yang telah ditetapkan. Pindahkan bayi dari

unit terapi sinar  hanya untuk melakukan prosedur yang tidak bisa

dilakukan di dalam unit terapi sinar . Bila bayi sedang menerima oksigen,

matikan sinar terapi sinar  sebentar untuk mengetahui apakah bayi

mengalami sianosis sentral (lidah dan bibir biru)

o Ukur suhu bayi dan suhu udara di bawah sinar terapi sinar  setiap 3 jam.

Bila suhu bayi lebih dari 37,5 0C, sesuaikan suhu ruangan atau untuk

sementara pindahkan bayi dari unit terapi sinar  sampai suhu bayi antara

36,5 0C – 37,5 0C.

o Ukur kadar bilirubin serum setiap 24 jam, kecuali kasus-kasus khusus:

Hentikan terapi sinar bila kadar serum bilirubin < 13mg/dL

Bila kadar bilirubin serum mendekati jumlah indikasi transfusi tukar,

persiapkan kepindahan bayi dan secepat mungkin kirim bayi ke rumah

sakit tersier atau pusat untuk transfusi tukar. Sertakan contoh darah

ibu dan bayi.

o Bila bilirubin serum tidak bisa diperiksa, hentikan terapi sinar  setelah 3

hari.

o Setelah terapi sinar  dihentikan:

Observasi bayi selama 24 jam dan ulangi pemeriksaan bilirubin serum

bila memungkinkan, atau perkirakan keparahan ikterus menggunakan

metode klinis.

Bila ikterus kembali ditemukan atau bilirubin serum  berada di atas

nilai untuk memulai terapi sinar, ulangi terapi sinar seperti yang telah

dilakukan.

o Bila terapi sinar sudah tidak diperlukan lagi, bayi bisa makan dengan baik

dan tidak ada masalah lain selama perawatan, pulangkan bayi.

27

Page 28: Referat Ikterus

o Ajarkan ibu untuk menilai ikterus dan beri nasihat untuk membawa

kembali bayi bila bayi bertambah kuning1.

Komplikasi terapi sinar umumnya ringan, sangat jarang terjadi dan reversibel.

Tabel 2.5 Komplikasi terapi sinar.1

Kelainan Mekanisme yang mungkin terjadi

Bronze baby syndrome Berkurangnya ekskresi hepatik hasil penyinaran

bilirubin

Diare Bilirubin indirek menghambat laktase

Hemolisis Fotosensitivitas mengganggu sirkulasi eritrosit

Dehidrasi Bertambahnya Insensible Water Loss (30-100%)

karena menyerap energi foton

Ruam kulit Gangguan fotosensitasi terhadap sel mast kulit

dengan pelepasan histamin

Transfusi tukar

Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil darah yang

dilanjutkan dengan pemasukan darah dari donor dalam jumlah yang sama. Teknik

ini secara cepat mengeliminasi bilirubin dari sirkulasi. Antibodi yang bersirkulasi

yang menjadi target eritrosit juga disingkirkan. Transfusi tukar sangat

menguntungkan pada bayi yang mengalami hemolisis oleh sebab apapun. Satu

atau dua kateter sentral ditempatkan, dan sejumlah kecil darah pasien dikeluarkan,

kemudian ditempatkan sel darah merah dari donor yang telah dicampurkan

dengan plasma. Prosedur tersebut diulang hingga dua kali lipat volume darah telah

digantikan. Selama prosedur, elektrolit dan bilirubin serum harus diukur secara

periodik. Jumlah bilirubin yang dibuang dari sirkulasi bervariasi tergantung

jumlah bilirubin di jaringan yang kembali masuk ke dalam sirkulasi dan rata-rata

kecepatan hemolisis. Pada beberapa kasus, prosedur ini perlu diulang untuk

menurunkan konsentrasi bilirubin serum dalam jumlah cukup. Infus albumin

dengan dosis 1 gr/kgBB 1 – 4 jam sebelum transfusi tukar dapat meningkatkan

jumlah total bilirubin yang dibuang dari 8,7 – 12,3 mg/kgBB, menunjukkan

kepentingan albumin dalam mengikat bilirubin.1

28

Page 29: Referat Ikterus

Sejumlah komplikasi transfusi tukar telah dilaporkan, antara lain

trombositopenia, trombosis vena porta, enterokolitis nekrotikan, gangguan

keseimbangan elektrolit, graft-versus-host disease, dan infeksi. Oleh sebab itu

transfusi tukar hanya didindikasikan pada bayi dengan kriteria sebagai berikut:

1. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu

2. Penyakit hemolisis berat pada bayi baru lahir

3. Gagal fototerapi intensif

4. Kadar bilirubin direk > 3,5 mg/dl di minggu pertama

5. Serum bilirubin indirek > 25 mg/dl pada 48 jam pertama

6. Hemoglobin < 12 gr/dl

7. Bayi pada resiko terjadi ensefalopati bilirubin

8. Munculnya tanda-tanda klinis yang memberikan kesan kernikterus pada

kadar bilirubin berapapun

Penggunaan transfusi tukar menurun secara drastis setelah pengenalan

prosedur fototerapi, dan optimalisasi fototerapi lebih lanjut dapat membatasi

penggunaannya.1

Transfusi pengganti digunakan untuk:

1. Mengatasi anemia akibat proses isoimunisasi.

2. Menghilangkan sel darah merah yang tersensitisasi

3. Menghilangkan serum bilirubin

4. Meningkatkan albumin bebas sehingga meningkatkan jumlah bilirubin yang

terikat albumin.

Darah Donor Untuk Tranfusi Tukar

1. Darah yang digunakan harus golongan O.

2. Gunakan darah baru (usia < 7 hari), whole blood. Kerjasama dengan

dokter kandungan dan Bank Darah adalah penting untuk persiapan

kelahiran bayi yang membutuhkan tranfusi tukar.

3. Pada penyakit hemolitik rhesus, jika darah disiapkan sebelum persalinan,

harus golongan O dengan rhesus (-), crossmatched terhadap ibu. Bila

29

Page 30: Referat Ikterus

darah disiapkan setelah kelahiran, dilakukan juga crossmatched terhadap

bayi.

4. Pada inkompatibilitas ABO, darah donor harus golongan O, rhesus (-) atau

rhesus yang sama dengan ibu dan bayinya. Crossmatched terhadap ibu dan

bayi yang mempunyai titer rendah antibodi anti A dan anti B. Biasanya

menggunakan eritrosit golongan O dengan plasma AB, untuk memastikan

bahwa tidak ada antibodi anti A dan anti B yang muncul.

5. Pada penyakit hemolitik isoimun yang lain, darah donor tidak boleh berisi

antigen tersensitisasi dan harus di crossmatched terhadap ibu.

6. Pada hiperbilirubinemia yang nonimun, darah donor ditiping dan

crossmatched terhadap plasma dan eritrosit bayi.

7. Tranfusi tukar biasanya memakai 2 kali volume darah (2 volume

exchange) yaitu sekitar 160 ml/kgBB (dengan asumsi volume darah bayi

baru lahir adalah 80 ml/kgBB, sehingga diperoleh darah baru sekitar 87%.

8. Simple Double Volume. Push-Pull Tehcnique.

Jarum infus dipasang melalui kateter vena umbilikalis atau vena saphena

magna. Darah dikeluarkan dan dimasukkan bergantian.

9. Isovolumetric. Darah secara bersamaan dan simultan dikeluarkan melalui

arteri umbilikalis dan dimasukkan melalui vena umbilikalis dalam jumlah

yang sama.

10. Partial Exchange Tranfusion. Tranfusi tukar sebagian, dilakukan biasanya

pada bayi dengan polisitemia.

11. Di Indonesia, untuk kasus kedaruratan, transfusi tukar pertama

menggunakan golongan darah O rhesus positif.5

12. Setiap 4-8 jam kadar bilirubin harus di cek. Hemoglobin harus diperiksa

setiap hari sampai stabil.7

Transfusi tukar harus dihentikan apabila terjadi:

-          Emboli, trombosis

-          Hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia

-          Gangguan pembekuan karena pemakaian heparin

30

Page 31: Referat Ikterus

-          Perforasi pembuluh darah(1).

Komplikasi tranfusi tukar

-          Vaskular: emboli udara atau trombus, trombosis

-          Kelainan jantung: aritmia, overload, henti jantung

-          Gangguan elektrolit: hipo atau hiperkalsemia, hipernatremia, asidosis

-          Koagulasi: trombositopenia, heparinisasi berlebih

-          Infeksi: bakteremia, hepatitis virus, sitomegalik, enterokolitis nekrotikan

-          Lain-lain: hipotermia, hipoglikemia(1).

Perawatan pasca tranfusi tukar

-          Lanjutkan dengan terapi sinar

-          Awasi ketat kemungkinan terjadinya komplikasi(1)

Persiapan Tindakan Tranfusi Tukar :

1. Berikan penjelasan tentang tujuan dan risiko tindakan, mintakan

persetujuan tertulis dari orang tua penderita

2. Bayi jangan diberi minum 3 – 4 jam sebelum tindakan. Bila tranfusi harus

segera dilakukan isi lambung dikosongkan dengan sonde dan

menghisapnya.

3. Pasang infus dengan tetesan rumatan dan bila tali pusat telah mengering

kompres dengan NaCl fisiologis

4. Bila memungkinkan 2 jam sebelumnya berikan infus albumin terutama

jika kadar albumin < 2,5 gr/dL. Diharapkan kapasitas ikatan albumin-

bilirubin di dalam darah meningkat sebelum tranfusi tukar sehingga resiko

kernikterus menurun, kecuali ada kontraindikasi atau tranfusi tukar harus

segera dilakukan.

5. Pemeriksaan laboratorium pra tranfusi tukar antara lain semua elektrolit,

GDS, hemoglobin, hematokrit, retikulosit, trombosit, kadar bilirubin

indirek, albumin, golongan darah, rhesus, uji coombs direk dan indirek,

kadar G6PD dan enzim eritrosit lainnya serta kultur darah.

6. Koreksi gangguan asam basa, hipoksia, dan hipotermi sebelum memulai

tranfusi tukar.

31

Page 32: Referat Ikterus

7. Periksa ulang apakah donor yang diminta telah sesuai dengan permintaan

(cek label darah).1

Jumlah Darah Donor yang Dipakai

Jika darah donor yang diberikan berturut-turut 50 ml/kgBB, 100 ml/kgBB, 150

ml/kgBB dan 200 ml/kgBB maka darah bayi yang terganti berturut-turut adalah

45%, 70%, 85-85% dan 90%.1

Pelaksanaan Tranfusi Tukar

1. Mula-mula darah bayi dihisap sebanyak 10–20 mL atau tergantung berat

badan bayi, jangan melebihi 10 % dari perkiraan volume darah bayi

2. Darah dibuang melalui pipa pembuangan dengan mengatur klep pada three

way stopcock. Jika ada pemeriksaan yang belum lengkap dapat memakai

darah ini karena belum bercampur dengan darah donor

3. Masukkan darah donor dengan jumlah yang sama secara perlahan-lahan.

Kecepatan menghisap dan mengeluarkan darah sekitar 2 ml/kgBB/menit

4. Setelah darah masuk ke tubuh ditunggu selama 20 detik, agar beredar

dalam sirkulasi

5. Hisap dan masukkan darah berulang kali dengan cara yang sama sampai

target transfusi tukar selesai

6. Catat setiap kali darah yang dikeluarkan dan yang masuk pada lembaran

observasi transfusi tukar

7. Jika memakai darah dengan pengawet asam sitrat atau stearat fosfat

(ACD/PCD) setiap tranfusi 100 mL diberikan 1 mL kalcium glukonas 10

% intra vena perlahan-lahan. Pemberian tersebut terutama bila kadar

kalsium sebelum tranfusi < 7,5 mg/dL. Bila kadarnya di atas normal maka

kalsium glukonas tidak perlu diberikan. Pemberian larutan kalsium

glukonas harus dilakukan secara perlahan-lahan karena bila terlalu cepat

dapat mengakibatkan timbulnya bradikardi atau cardiac arest. Beberapa

peneliti menganjurkan untuk tidak memberikan kalsium kecuali pada

pemeriksaan fisik dan elektrokardiografi menunjukkan adanya tanda-tanda

hipokalsemia

32

Page 33: Referat Ikterus

8. Selama tindakan semua tanda-tanda vital harus diawasi dengan neonatal

monitoring

9. Setelah transfusi tukar selesai, darah bayi diambil untuk pemeriksaan

pasca transfusi tukar

10. Jika tidak diperlukan transfusi tukar ulang, lakukan jahitan silk purse

string atau ikatan kantung melingkari vena umbilikalis. Ketika kateter

dicabut, jahitan yang mengelilingi tali pusat dikencangkan1.

Gambar 2.7 Pedoman transfusi tukar pada neonatus dengan usia gestasi ≥ 35 minggu.12

Tabel 2.6 Pedoman fototerapi dan transfusi tukar neonatus usia gestasi ≥ 35

minggu.12

33

Page 34: Referat Ikterus

Terapi farmakologis

Fenobarbital telah digunakan sejak pertengahan tahun 1960 untuk meningkatkan

konjugasi dan ekskresi bilirubin dengan mengaktivasi enzim glukoronil-

transferase, tetapi penggunaanya kurang efektif. Percobaan yang dilakukan pada

mencit menunjukkan fenobarbital mengurangi metabolisme oksidatif bilirubin

dalam jaringan saraf sehingga meningkatkan resiko efek neurotoksik. Pemberian

fenobarbital akan membatasi perkembangan ikterus fisiologis pada bayi baru lahir

bila diberikan pada ibu dengan dosis 90 mg/24 jam sebelum persalinan atau pada

saat bayi baru lahir dengan dosis 10 mg/kg/24 jam. Meskipun demikian

fenobarbital tidak secara rutin dianjurkan untuk mengobati ikterus pada neonatus

karena:1,5

a. Pengaruhnya pada metabolisme bilirubin baru terlihat setelah beberapa hari

pemberian.

b. Efektivitas obat ini lebih kecil daripada fototerapi dalam menurunkan kadar

bilirubin.

c. Mempunyai pengaruh sedatif yang tidak menguntungkan.

d. Tidak menambah respon terhadap fototerapi.

Beberapa penelitian juga menguji efektivitas dari enzim bilirubin oksidase

yang diperoleh dari fungi. Bilirubin tidak terkonjugasi dimetabolisme oleh enzim

34

Page 35: Referat Ikterus

bilirubin oksidase. Ketika darah melalui filter yang mengandung bilirubin

oksidase tersebut maka > 90% bilirubin didegradasi dalam sekali langkah.

Prosedur tersebut terbukti bermanfaat dalam terapi hiperbilirubinemia

neonatorum, tetapi belum diujikan secara klinis. Lebih lanjut, kemungkinan dapat

terjadi reaksi alergi pada penggunaan prosedur tersebut karena enzim diperoleh

dari fungus.1

Indikasi untuk merujuk ke RS12

Ikterus timbul dalam 24 jam kehidupan

Ikterus hingga di bawah umbilikus

Ikterus yang meluas hingga ke telapak kaki harus dirujuk segera karena

kemungkinan membutuhkan transfusi tukar.

Riwayat keluarga dengan penyakit hemolitik yang signifikan atau

kernikterus

Neonatus dengan keadaan umum yang kurang baik

Ikterus memanjang > 14 hari.

2.9 Pencegahan

Reduksi bilirubin dalam sirkulasi enterohepatik

Bayi baru lahir yang tidak diberi asupan secara adekuat dapat meningkatkan

sirkulasi enterohepatik bilirubin, karena keadaan puasa dapat meningkatkan

akumulasi bilirubin. Peningkatan jumlah asupan oral dapat mempercepat ekskresi

bilirubin, sehingga pemberian ASI yang sering atau asupan tambahan dengan susu

formula efektif dalam menurunkan kadar bilirubin serum pada bayi yang sedang

menjalani fototerapi. Sebaliknya, asupan tambahan dengan air atau dekstrosa

dapat mengganggu produksi ASI, sehingga dapat meningkatkan konsentrasi

bilirubin.1

Tidak ada obat-obatan atau agen-agen lain yang dapat menurunkan

sirkulasi enterohepatik bilirubin. Pada tikus percobaan, karbon aktif dapat

berikatan dengan bilirubin dan meningkatkan ekskresinya, tetapi efikasi dari

karbon aktif tersebut pada bayi belum pernah diujikan. Pada sebuah penelitian,

35

Page 36: Referat Ikterus

penggunaan agar pada bayi yang sedang menjalani fototerapi secara signifikan

dapat menurunkan durasi fototerapi dari 48 jam menjadi 38 jam. Cholestyramine

yang digunakan untuk terapi ikterus obstruktif, dapat meningkatkan ekskresi

bilirubin melalui ikatan dengan asam empedu di dalam intestinal dan membentuk

suatu kompleks yang tidak dapat diabsorbsi.1,5

Inhibisi produksi bilirubin

Metalloporfirin sintetis dapat menghambat produksi bilirubin dengan menjadi

inhibitor kompetitif enzim heme-oksigenase. Pada bayi prematur dengan berat

lahir 1500-2500 gram, dosis tunggal mesoporfirin timah intramuskular (6

μmol/kg) yang diberikan dalam 24 jam pertama kelahiran dapat menurunkan

kebutuhan fototerapi sebesar 76%, dan menurunkan konsentrasi puncak bilirubin

serum sebesar 41%. Satu-satunya efek yang merugikan adalah eritema sementara

akibat fototerapi. Walaupun tampak sangat menjanjikan, metalloporfirin saat ini

belum disetujui penggunaannya pada bayi baru lahir.1

Pencegahan ensefalopati bilirubin

Sekali bilirubin terakumulasi, peningkatan pH otak dapat membantu mencegah

ensefalopati, karena bilirubin lebih mudah larut dalam suasana alkali. Pada bayi

baru lahir dengan hiperbilirubinemia berat, alkalinisasi yang cukup (pH 7,45 –

7,55) dapat diperoleh dengan infus bikarbonat atau dengan menggunakan strategi

ventilator untuk menurunkan tekanan parsial karbon dioksida sehingga pH

meningkat.1

2.10 Prognosis

Dengan menggunakan kriteria patologis, sepertiga bayi (semua umur

kehamilan) yang penyakit hemolitiknya tidak diobati dan kadar bilirubinnya lebih

dari 20 mg/dl, akan mengalami kernikterus. Kernikterus didapatkan pada 8% bayi

dengan hemolisis Rh yang memiliki konsentrasi bilirubin serum 19-24 mg/dl,

33% pada bayi dengan konsentrasi bilirubin 25-29 mg/dl, dan 73% pada bayi

dengan konsentrasi bilirubin 30-40 mg/dl.5

36

Page 37: Referat Ikterus

Tanda-tanda neurologis yang jelas mempunyai prognosis yang jelek, ada

75% atau lebih bayi-bayi yang demikian meninggal, dan 80% yang bertahan

hidup menderita koreoatetosis bilateral dengan spasme otot involunter. Retardasi

mental, tuli, dan kuadriplegia sapstis lazim terjadi. Bayi yang berisikio harus

menjalani skrining pendengaran.4,5

BAB III

KESIMPULAN

37

Page 38: Referat Ikterus

Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa

karena adanya deposisi produk akhir katabolisme heme yaitu bilirubin. Pada

kebanyakan kasus ikterus neonatorum, kadar bilirubin tidak berbahaya dan tidak

memerlukan pengobatan. Sebagian besar tidak memiliki penyebab dasar atau

disebut ikterus fisiologis yang akan menghilang pada akhir minggu pertama

kehidupan pada bayi cukup bulan. Sebagian kecil memiliki penyebab seperti

hemolisis, septikemi, penyakit metabolik (ikterus patologis).

Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk

mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat

menbimbulkan kernikterus atau ensefalopati bilirubin, serta mengobati penyebab

langsung ikterus. Dianjurkan agar dilakukan fototerapi, dan jika tidak berhasil

transfusi tukar dapat dilakukan untuk mempertahankan kadar maksimum bilirubin

total dalam serum dibawah kadar maksimum pada bayi preterm dan bayi cukup

bulan yang sehat.

DAFTAR PUSTAKA

38

Page 39: Referat Ikterus

1. Ennery, P., Eidman, A., Tevenson, D., 2001. Neonatal Hyperbilirubinemia. New England Journal of Medicine, Vol. 344, No. 8.

2. Neimark, Ezequiel & Leleiko, Neal S. 2009. Antioxidant Effect of Bilirubin And Pediatric Nonalcoholic Fatty Liver Disease Pediatrics; 124; E1240-E1241.

3. Sedlaka, Thomas W., Salehb, B. Masoumeh, Higginsonb, Daniel S., Paulb, Bindu D., Julurib, Krishna R., Snyder, Solomon H. 2009. Bilirubin And Glutathione Have Complementary Antioxidant And Cytoprotective Roles. The National Academy Of Sciences Of The USA Vol. 106 No. 13 Hal 5171–5176.

4. Kliegman, Robert M. 2004. Neonatal Jaundice And Hyperbilirubinemia Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB Editors. Nelson Textbook Of Pediatrics. 17Th Edition. Philadelphia, Pennsylvania : Saunders.

5. Etika, R., Harianto, A., Indarso, F., Damanik, Sylviati M. 2004. Hiperbilirubinemia Pada Neonatus. Divisi Neonatologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fk Unair/Rsu Dr. Soetomo - Surabaya

6. Kliegman, Robert M. 2004. Kernicterus. Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB Editors. Nelson Textbook Of Pediatrics. 17Th Edition. Philadelphia, Pennsylvania : Saunders.

7. Camilia R.M, Cloherty J.P. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam: Cloherty

J.P et al Manual of Neonatal Care 5th Ed., Lippincott Williams & Wilkins, 2004 : 185-221.

8. Gomella T.L. Hyperbilirubinemia Direct (Conjugated) & Indirect (Unconjugated). Dalam: Neonatology, Management, Procedures, On call

Problems, Diseases & Drugs 4th Ed, A Lange clinical manual/Mc Graw-Hill, 1999 : 230-6.

9. Hansen, Thor Willy Ruud. 2010. Core Concepts: Bilirubin Metabolism. Neoreviews vol. 11; hal. E316-E322.

10. Gartner, Lawrence M. 1994. Neonatal Jaundice. Pediatrics Review. Vol. 15; hal. 422-432

11. Depkes RI. 2001. Klasifikasi Ikterus Fisiologis dan Ikterus Patologis. Dalam : Buku Bagan MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda Sakit). Metode Tepat Guna untuk Paramedis, Bidan dan Dokter. Depkes RI.

39

Page 40: Referat Ikterus

12. American Academy of Pediatrics, Subcommittee on Hyperbilirubinemia. 2004. Management Of Hyperbilirubinemia In The Newborn Infant 35 Or More Weeks Of Gestation. Pediatrics; 114;297-316.

13. Maisels, M. J., & Mcdonagh, Antony F. 2008. Phototherapy For Neonatal Jaundice. New England Journal of Medicine; 358:920-8.

14. Seidman DS, Paz I, Stevenson DK, Laor A, Danon YL, Gale R. 1991. Neonatal hyperbilirubinemia and physical and cognitive performance at 17 years of age. Pediatrics; vol. 88: hal. 828-833.

15. Johnson LH, Sivieri E, Bhutani V. 1999. Neurologic outcome of singleton > 2500g CORE Project babies not treated for hyperbilirubinemia. Pediatrics Res; vol. 45: 203A

16. Maisels, M. J., & Mcdonagh, Antony F. 2008. Phototherapy For Neonatal Jaundice. New England Journal of Medicine; 358:920-8.

17. Peter Cooper, A.Suryono, Indarso F, et al. 2003. Jaundice. In : Managing Newborn Problems : a guide for doctor, nurses and midwives, WHO : F-77-F-89.

18. Maisels M.J, Ostrea E.W, Touch S., et al. 2004. Evaluation of a new transcutaneous bilirubinometer. Pediatrics; 113 : 1628.

19. Ebbesen F, Agati G and Pratesi R. Phototherapy with turquoise vs blue light. Arch Dis Child Fetal-Neonatal 2003; 88 : 430-1.

20. Jayashree Ramasethu. Exchange Transfusions. In : Mac Donald MG, et. al.

Atlas of Procedures in Neonatology 3th Ed, Lippincott Williams & Wilkins, 2002 : 348-56.

Lampiran

Algoritma Penatalaksanaan ikterus neonatorum

40

Page 41: Referat Ikterus

41