referat evaluasi pengobatan hiv aids

40
Referat EVALUASI PENGOBATAN HIV/AIDS Oleh : Imam Syahuri Gultom, S.Ked. NIM. I1A008065 Pembimbing : dr. Djalaluddin SMF ILMU PENYAKIT DALAM FK UNLAM-RSUD ULIN BANJARMASIN Maret, 2013

Upload: imam-syahuri-gultom

Post on 12-Aug-2015

134 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

referat

TRANSCRIPT

Page 1: Referat Evaluasi Pengobatan HIV AIDS

Referat

EVALUASI PENGOBATAN HIV/AIDS

Oleh :

Imam Syahuri Gultom, S.Ked.

NIM. I1A008065

Pembimbing :

dr. Djalaluddin

SMF ILMU PENYAKIT DALAM

FK UNLAM-RSUD ULIN

BANJARMASIN

Maret, 2013

Page 2: Referat Evaluasi Pengobatan HIV AIDS

ii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3

A. Defenisi .......................................................................................... 3

B. Epidemiologi ................................................................................... 3

C. Etiologi ............................................................................................ 4

D. Faktor Risiko ................................................................................... 5

E. Patogenesis ...................................................................................... 7

F. Manifestasi Klinis ........................................................................... 9

G. Diagnosis ......................................................................................... 12

H. Pemeriksaan dan Tatalaksana .......................................................... 14

I. Tatalaksan Pemberian ARV ............................................................ 19

J. Pemantauan Klinis dan Laboratorium Selama Terapi ARV Lini

Pertama ............................................................................................ 23

K. Kegagalan Terapi ARV ................................................................... 30

L. Panduan Terapi ARV Lini Kedua ................................................... 34

BAB V PENUTUP 37

DAFTAR PUSTAKA

Page 3: Referat Evaluasi Pengobatan HIV AIDS

1

BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus / Acquired Immune Deficiency

Syndrome) merupakan salah satu masalah kesehatan yang menjadi prioritas dunia untuk

segera diselesaikan. Berdasarkan laporan UNAIDS tahun 2010 dengan menggunakan data

2009, mengestimasikan bahwa sekitar 33.000.000 orang hidup dengan HIV. Dengan angka

tertinggi di region Sub Sahara Afrika dengan jumlah penderita sebanyak 22.500.000,

kemudian setelah itu disusul oleh region Asia Selatan dan Asia Tenggara dengan jumlah

penderita sebanyak 4.100.000. Di region Asia Selatan dan Asia Tenggara, urutan kelima

besar negara dengan angka penderita tertinggi yaitu, India (2.400.000), Thailand

(530.000), Indonesia (310.000), Vietnam (280.000), dan terakhir Myanmar (240.000).1

Untuk Indonesia, jika dibandingkan antara laporan UNAIDS tahun 2008 dengan

2010, mengalami peningkatan kasus, dari 270.000 pada tahun 2008 menjadi 310.000 kasus

pada tahun 2010. Perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di

kawasan Asia meskipun secara nasional angka prevalensinya masih termasuk rendah.

Angka kejadian kasus AIDS di Indonesia, setiap tahun hampir selalu mengalami

peningkatan. Dalam triwulan Oktober - Desember 2012 dilaporkan tambahan kasus AIDS

sebanyak 2.145 sehingga total jumlah AIDS di Indonesia dari tahun 1987 – 2012 sebanyak

45.499 dengan kematian 8.235. Jika di analisis berdasarkan jumlah kasus perprovinsi,

jumlah kasus AIDS tertinggi pada terdapat di Papua sebanyak 7.795, sedangkan

Kalimantan Selatan diurutan ke 27 dengan 192 kasus HIV dan 134 kasus AIDS.1,2

Page 4: Referat Evaluasi Pengobatan HIV AIDS

2

HIV menyerang limfosit subjenis T helper atau disebut juga sebagai limfosit CD4.

Fungsi CD4 ini sangat penting dalam menjaga imunitas tubuh, yaitu untuk mengatur dan

bekerja sama dengan komponen sistem kekebalan yang lain sehingga, jika tubuh terserang

virus HIV, maka akan mudah sekali terinfeksi penyakit karena rusaknya sistem pertahanan

tubuh. Sistem pertahanan rusak secara perlahan lahan, dari tidak ada gejala sampai terjadi

gejala ringan seperti; (diare, pembesaran kelenjar getah bening, penurunan berat badan

sampai sariawan), sampai terjadi gejala berat (AIDS). Dari semua orang yang terinfeksi

HIV, menunjukkan gejala AIDS pada 3 tahun pertama infeksi hanya sedikit jumlahnya,

50% terjadi setelah 10 tahun infeksi, dan setelah 13 tahun hampir semua orang yang

terinfeksi menunjukkan gejala AIDS dan kemudian meninggal.3

Dari Laporan Situasi Perkembangan HIV & AIDS di Indonesia sampai dengan

September 2011 tercatat jumlah ODHA yang mendapatkan terapi ARV sebanyak 22.843

dari 33 provinsi dan 300 kab/kota, dengan rasio laki-laki dan perempuan 3 : 1, dan

persentase tertinggi pada kelompok usia 20-29 tahun.4 Berikut akan dibahas tentang

evaluasi pengobatan HIV/AIDS sesuai pedoman pengobatan nasional.

Page 5: Referat Evaluasi Pengobatan HIV AIDS

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFENISI

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala atau

penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi virus HIV

yang ditandai dengan adanya infeksi oportunistik dan berakibat fatal. Prosesnya

tidaklah terjadi seketika melainkan sekitar 5-10 tahun setelah seseorang terinfeksi oleh

HIV. Berdasarkan hal tersebut maka penderita AIDS dimasyarakat digolongkan

kedalam 2 kategori yaitu :

1. Penderita yang mengidap HIV dan telah menunjukkan gejala klinis (penderita

AIDS).

2. Penderita yang mengidap HIV tetapi belum menunjukkan gejala klinis (penderita

HIV).

B. EPIDEMIOLOGI

Infeksi HIV merupakan kejadian pandemik. Infeksi tersebut telah menjadi

penyebab utama kematian secara infeksius, dimana posisi sebelumnya ditempati oleh

infeksi tuberkulosis. Dalam tahun 2006, telah diestimasikan 2,9 juta orang meninggal

akibat AIDS di seluruh dunia. Penularan HIV melalui cairan tubuh yang mengandung

virus melalui hubungan seksual, jarum suntik, transfuse komponen darah. Oleh karena

itu kelompok risiko tinggi adalah pengguna narkotika, pekerja seks, dan narapidana.

Berikut gambar persebaran global infeksi HIV. 5,6

Page 6: Referat Evaluasi Pengobatan HIV AIDS

4

Gambar 1. Infeksi HIV di seluruh dunia tahun 2006.5

C. ETIOLOGI

HIV merupakan satu dari dua human T-cell lymphotropic retrovirus yang

utama. (human T-cell leukemia virus -HTCLV- adalah retrovirus utama lainnya).

Dikenal dua tipe HIV, yaitu HIV-1 yang ditemukan pada tahun 1983, dan HIV-2 yang

ditemukan pada tahun 1986 pada pasien AIDS di Afrika Barat.7

Virus tersebut akan menginfeksi dan membunuh limfosit T-helper (CD4), dan

menyebabkan host kehilangan imunitas seluler dan memiliki probabilitas yang besar

untuk terjadinya infeksi oportunistik. Sel-sel lain, seperti makrofag dan monosit, yang

memiliki protein CD4 pada permukaannya juga dapat terinfeksi oleh HIV.7

Page 7: Referat Evaluasi Pengobatan HIV AIDS

5

Gambar 2. (Green WC: Mechanisms of Disease: The Molecular Biology of Human Immunodeficiency Virus Type I Infection. NEJM 1991, Vol. 324, No. 5, p. 309. Copyright ©

1991 Massachusetts Medical Society. All rights reserved.) 4

HIV termasuk dalam golongan retrovirus dengan subgroup lentivirus, yang

dapat menyebabkan infeksi secara “lambat” dengan masa inkubasi yang panjang. Gen

gag mengkode protein “inti” bagian dalam, yang merupakan protein terpenting yaitu

p24, yang juga merupakan suatu antigen dalam tes serologik HIV.7

D. FAKTOR RISIKO

HIV dapat menyebar melalui kontak seksual, pajanan parenteral ke dalam darah,

dan transmisi maternal. Transmisi melalui kontak seksual dapat secara oral, vaginal,

dan anal, sedangkan transmisi melalui darah, dapat melalui transfusi darah, kecelakaan

jarum suntik, serta pemakaian jarum suntik secara bergantian, untuk transmisi

maternal dapat terjadi melalui plasenta, saat proses kelahiran, atau melalui ASI. Telah

diperkirakan 50% dari infeksi neonatal timbul saat proses kelahiran, dan sisanya tidak

jauh berbeda antara transmisi transplasental maupun melalui ASI.5,8

Page 8: Referat Evaluasi Pengobatan HIV AIDS

6

Infeksi dapat terjadi baik akibat transfer sel yang terinfeksi HIV maupun virus

HIV yang bebas. Walaupun ditemukan virus HIV dalam jumlah yang sedikit dalam

cairan tubuh yang lain, seperti air liur dan air mata, tidak ada bukti bahwa hal tersebut

berperan dalam infeksi. Secara umum, transmisi mengikuti pola infeksi hepatitis B,

kecuali bahwa infeksi HIV kurang efisien dalam hal transfer, misalnya dosis yang

dibutuhkan untuk terjadinya infeksi HIV lebih banyak dibandingkan untuk infeksi

hepatitis B. Infeksi mikroorganisme seperti Treponema pallidum and herpes simplex

virus merupaka ulserasi genital yang penting terkait transmisi virus HIV. Selain itu,

patogen yang bertanggung jawab sebagai PMS yang nonulseratif seperti Chlamydia

trachomatis, Neisseria gonorrhoeae, dan Trichomonas vaginalis juga terkait dengan

risiko yang meningkat dalam transmisi infeksi HIV. Vaginosis bakterial, suatu infeksi

yang terkait perlakuan seksual, namun bukan suatu PMS, juga dapat dihubungkan

dengan risiko yang meningkat dalam risiko terjadinya infeksi HIV. Infeksi HIV tidak

menular melalui kontak kasual seperti berpelukan, gigitan nyamuk, participasi dalam

olahraga, barang-barang yang telah disentuh oleh individu yang telah terinfeksi HIV.

Laki-laki yang tidak disunat memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terinfeksi.6,7

Cara penularan yang jarang namun dapat terjadi termasuk melalui luka akibat

tusukan jarum yang tidak disengaja, inseminasi artifisial dengan semen yang terinfeksi

HIV, transplantasi organ dengan organ yang terinfeksi HIV. Bank darah dan program

donor organ akan menskrining pendonor, baik darah, maupun jaringan untuk

mencegah risiko terjadinya infeksi. Transmisi HIV melalui transfusi darah telah

menurun secara drastis dengan adanya skrining darah yang akan didonasi akan adanya

antibodi terhadap HIV. Di lain pihak, terdapat periode jendela (window period) pada

Page 9: Referat Evaluasi Pengobatan HIV AIDS

7

saat infeksi awal HIV dimana darah dari orang yang terinfeksi telah mengandung virus

HIV namun tidak dapat terdeteksi dengan tes antibodi. Bank darah kini melakukan tes

antigen p24 untuk mendeteksi darah yang mengandung HIV. 7,9

E. PATOGENESIS

Setelah transmisi HIV melalui mukosa genital yang merupakan transmisi utama,

sel dendritik (DC) yang ada di lamina propria mukosa vagina akan menangkap HIV.

DC bertindak sebagai antigen presenting cell (APC) dan mempresentasikan HIV ke

sel limfosit CD4 sehingga dapat merangsang limfosit T naive. Setelah HIV tertangkap,

DC akan menuju kelenjar limfoid dan mempresentasikannya kepada sel limfosit T

naive. Di samping mengangkut HIV ke kelenjar limfe, DC juga mengaktivasi sel

limfosit CD4, dengan demikian akan meningkatkan infeksi dan replikasi HIV pada sel

limfosit Th.5

Gambar 3. Kejadian awal infeksi HIV (Adapted from Haase, 2005.)6

Page 10: Referat Evaluasi Pengobatan HIV AIDS

8

Replikasi virus HIV yang terjadi secara cepat berkaitan dengan mutasi yang

berkontribusi dalam ketidakmampuan antibodi tubuh untuk menetralisasi virus dalam

satu waktu secara bersamaan. Selain itu, kloning sel limfosit T sitotoksik yang

memperbanyak diri selama infeksi primer HIV, yang diperkirakan menjadi respon

imun yang sangat efektif dalam mengeliminasi virus HIV ternyata tidak dapat

dideteksi lagi setelah ekspansinya yang pertama disebabkan oleh replikasi virus yang

persisten dan kelelahan respon sel limfosit T sitotoksik.6,7

Gambar 4. Siklus Replikasi HIV

Replikasi HIV mengikuti siklus retroviral pada umumnya (Gambar 4). Langkah

awal dari masuknya virus HIV ke dalam sel host adalah pentautan gp120 dari protein

selubung virion dengan protein CD4 pada permukaan sel host. Kemudian protein

gp120 virion berinteraksi dengan protein kedua pada permukaan sel, suatu reseptor

Page 11: Referat Evaluasi Pengobatan HIV AIDS

9

kemokin. Reseptor kemokin seperti protein CXCR4 dan CCR5 dibutuhkan dalam

proses masuknya HIV ke dalam sel yang memiliki protein CD4. Virus HIV dengan

strain yang sel-T-tropik bertautan dengan reseptor CXCR4, sedangkan HIV dengan

strain yang makrofag-tropik bertautan dengan reseptor CCR5. Mutasi pada

pengkodean gen CCR5 dapat menyebabkan seorang individu memiliki proteksi

tersendiri terhadap infeksi HIV. 6,7

F. MANIFESTASI KLINIS

Infeksi HIV pada manusia merupakan suatu kontinuitas yang secara kasar dapat

dibagi menjadi empat fase: (a) infeksi HIV primer, (b) infeksi asimtomatik, (c) infeksi

simtomatik, dengan ekslusi AIDS, dan (d) AIDS. Kecepatan progresi dari penyakit ini

bervariasi antara individu yang satu dengan individu yang lain, tergantung pada faktor

virus dan faktor host.8

Page 12: Referat Evaluasi Pengobatan HIV AIDS

10

Gambar 5. Perjalanan penyakit dari infeksi HIV. (From Weiss RA: How Does HIV Cause AIDS? Science 1993; 260:1273. Reprinted with permission from AAAS.)

Fase Infeksi Primer

Fase pertama dari penyakit ini terjadi secara singkat. Fase ini terjadi selama 1

sampai 4 minggu setelah transmisi. Sindroma tersebut terdiri dari beberapa gejala

seperti demam, berkeringat, letargi, malaise, myalgia, arthralgia, sakit kepala,

photopobia, diare, sariawan, limfadenopati, dan lesi mucopapular pada ekstremitas.

Gejala-gejala tersebut timbul secara mendadak dan hilang dalam waktu 3 sampai 14

hari. Antibodi terhadap HIV muncul setelah hari ke-10 sampai ke-14 infeksi, dan

kebanyakan akan mengalami serokonversi setelah infeksi minggu ke 3 sampai 4.

Perhatikan ketidakmampuan untuk deteksi antibodi saat waktu tersebut bisa

menyebabkan tes serologik yang "false-negative". Hal tersebut memiliki implikasi

yang penting karena HIV bisa bertransmisi selama periode ini.7,8

Fase Seropositif yang Asimtomatik

Fase kedua dari infeksi HIV ini merupakan fase yang paling lama terjadi

dibandingkan dengan 4 fase lainnya, dan paling bervariasi antar masing-masing

individu. Tanpa pengobatan, fase ini biasanya terjadi sekitar 4 sampai 8 tahun.

Walaupun pasien dalam keadaan asimtomatik dan viremia terjadi dalam tingkat rendah

atau hampir tidak ada, jumlah yang besar dari HIV telah diproduksi di limfe nodus,

namun tetap berada di dalam limfe nodus. Hal ini mengindikasikan bahwa selama

periode laten secara klinis ini, virus HIV sendiri tidak memasuki fase laten. 7,8

Page 13: Referat Evaluasi Pengobatan HIV AIDS

11

Gambar 6. Perjalanan penyakit infeksi HIV, penurunan CD4, dan infeksi oportunistik serta

keganasan. (James Gita Hakim. Sount Sudan Medical Journal)

Fase Seropositive yang Simtomatik

Onset dari fase ketiga infeksi HIV ini menunjukkan bukti fisik pertama dari

disfungsi sistem imun. Limfadenopati persisten generalisata kadang merupakan tanda

awal fase ini. Infeksi jamur yang terlokalisir di ibu jari, jari-jari, dan mulut sering kali

muncul. Pada wanita, sering timbul keputihan akibat jamur dan infeksi trikomonas.

Oral hairy leukoplakia merupakan gejala yang paling sering terlewatkan pada infeksi

HIV dan sering ditemukan pada lidah. Gejala konstusional seperti keringat malam,

penurunan berat badan, dan diare sering terjadi. Tanpa pengobatan, durasi dari fase ini

berkisar antara 1 sampai 3 tahun.8

Page 14: Referat Evaluasi Pengobatan HIV AIDS

12

Gambar 7. Oral hairy leukoplakia (human immunodeficiency virus and aids the

course of the disease. Richard Hunt. University of South Carolina, School of Medicine)

Fase Acquired Immunodeficiency Syndrome - AIDS

Fase AIDS diartikan sebagai supresi imun yang signifikan. Supresi ini memicu

perkembangan infeksi oportunistik dan keganasan yang tidak biasa. Gejala pulmoner,

gastrointestinal, neurologik, dan sistemik merupakan gejala yang biasa terjadi.8

G. DIAGNOSIS HIV

Terdapat beberapa jenis pemeriksaan laboratorium untuk memastikan

diagnosis infeksi HIV. Secara garis besar dapat dibagi menjadi pemeriksaan serologik

untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dan pemeriksaan untuk mendeteksi

keberadaan virus HIV.5

Infeksi HIV

Badan CDC (Centers for Disease and Prevention) telah membuat kriteria untuk infeksi

HIV pada pasien dengan usia lebih dari 18 bulan, yaitu:

Hasil positif dari tes skrining antibodi HIV, (seperti Immunoassay Enzim

Reaktif yang berulang), diikuti dengan hasil positif dari tes konfirmasi antibodi

HIV (seperti Western blot atau Tes antibodi imunoflourecence), atau

Hasil positif atau laporan dari jumlah yang dapat dideteksi dari salah satu tes

virologik (non-antibodi) berikut ini: deteksi asam nukleat HIV, DNA atau

RNA, yaitu DNA Polymerase Chain Reaction [PCR] atau konsentrasi RNA

HIV dalam plasma; tes antigen HIV p24, termasuk Assay neutralisasi; dan

isolasi HIV (kultur virus).6,8

Page 15: Referat Evaluasi Pengobatan HIV AIDS

13

Gambar 8. Sindroma HIV akut. (Adapted from G Pantaleo et al: N Engl J Med 328:327, 1993. Copyright 1993 Massachusetts Medical Society. All rights reserved.)6

AIDS

Pada tahun 1993, CDC telah membuat kriteria dari definisi AIDS, yaitu:

Hitung limfosit-T CD4+ kurang dari 200 sel/mm3 dan bukti laboratorium dari

infeksi HIV, atau

Adanya penyakit indikator AIDS (candidiasis dari esophagus, trachea,

bronchus, atau paru; keganasan cervix yang invasif; coccidiomycosis

ekstrapulmoner; cryptococcosis ekstrapulmoner; cryptosporidiosis dengan

diare dalam waktu lebih dari 1 bulan; infeksi cytomegalovirus dari beberapa

organ selain hati, limpa, or limfonodus; infeksi herpes simplex dengan ulcus

mucocutaneous dalam waktu lebih dari 1 bulan atau bronchitis, pneumonitis,

or esophagitis; histoplasmosis ekstrapulmoner; dementia terkait HIV; HIV-

Page 16: Referat Evaluasi Pengobatan HIV AIDS

14

associated wasting; isosporiasis dengan diare lebih dari 1 bulan; Sarcoma

Kaposi pada pasien yang lebih muda dari 60 tahun; Mycobacterium avium

disseminata; intra dan ekstrapulmoner; Pneumocystis jiroveci pneumonia;

Pneumonia bakterial yang rekuren; multifocal leukoencephalopathy yang

progresif; Salmonella septicemia (nontyphoid) yang rekuren; and

toxoplasmosis) disertai bukti laboratorium dari infeksi HIV.8,10

H. PEMERIKSAAN DAN TATALAKSANA4

Setelah dinyatakan terinfeksi HIV maka pasien perlu dirujuk ke layanan PDP untuk

menjalankan serangkaian layanan yang meliputi penilaian stadium klinis, penilaian

imunologis dan penilaian virologi. Hal tersebut dilakukan untuk: 1) menentukan apakah

pasien sudah memenuhi syarat untuk terapi antiretroviral; 2) menilai status supresi imun

pasien; 3) menentukan infeksi oportunistik yang pernah dan sedang terjadi; dan 4)

menentukan paduan obat ARV yang sesuai.

1. Penilaian Fisik Lengkap dan Lab untuk Mengidentifikasi IO

Pemeriksaan CD4 dan viral load juga bukan kebutuhan mutlak dalam pemantauan

pasien yang mendapat terapi ARV, namun pemantauan laboratorium atas indikasi

gejala yang ada sangat dianjurkan untuk memantau keamanan dan toksisitas pada

ODHA yang menerima terapi ARV. Hanya apabila sumberdaya memungkinkan maka

dianjurkan melakukan pemeriksaan viral load pada pasien tertentu untuk

mengkonfirmasi adanya gagal terapi menurut kriteria klinis dan imunologis.

Page 17: Referat Evaluasi Pengobatan HIV AIDS

15

Gambar 9. Bagan Alur Layanan HIV4

Page 18: Referat Evaluasi Pengobatan HIV AIDS

16

Dibawah ini adalah pemeriksaan laboratorium yang ideal sebelum memulai

ART apabila sumber daya memungkinkan:

Darah lengkap* Jumlah CD4* SGOT / SGPT* Kreatinin Serum* Urinalisa* HbsAg* Anti-HCV (untuk ODHA IDU atau

dengan riwayat IDU) Profil lipid serum Gula darah VDRL/TPHA/PRP Ronsen dada (utamanya bila curiga

ada infeksi paru)

Tes Kehamilan (perempuan usia reprodukstif dan perluanamnesis mens terakhir)

PAP smear / IFA-IMS untuk menyingkirkan adanya Ca Cervix yang pada ODHA bisa bersifat progresif)

Jumlah virus / Viral Load RNA HIV** dalam plasma (bila tersedia dan bila pasien mampu)

* adalah pemeriksaan yang minimal perlu dilakukan sebelum terapi ARV karena berkaitan dengan pemilihan obat ARV. Tentu saja hal ini perlu mengingat ketersediaan sarana dan indikasi lainnya. ** pemeriksaan jumlah virus memang bukan merupakan anjuran untuk dilakukan sebagai pemeriksaan awal tetapi akan sangat berguna (bila pasien punya data) utamanya untuk memantau perkembangan dan menentukan suatu keadaan gagal terapi.

2. Penentuan Stadium Klinis11

Stadium klinis harus dinilai pada saat kunjungan awal dan setiap kali kunjungan untuk

penentuan terapi ARV dengan lebih tepat waktu.

3. Skrining TB

4. Skrining IMS, Sifilis, Malaria untuk BUMIL

5. Pemeriksaan CD4 (bila tersedia) untuk menentukan PPK dan ART

Sebelum mendapat terapi ARV pasien harus dipersiapkan secara matang dengan

konseling kepatuhan karena terapi ARV akan berlangsung seumur hidupnya.

Untuk ODHA yang akan memulai terapi ARV dalam keadaan jumlah CD4 di

bawah 200 sel/mm3 maka dianjurkan untuk memberikan Kotrimoksasol

Page 19: Referat Evaluasi Pengobatan HIV AIDS

17

(1x960mg sebagai pencegahan IO) 2 minggu sebelum terapi ARV. Hal ini

dimaksudkan untuk: 1. Mengkaji kepatuhan pasien untuk minum obat,dan 2.

Menyingkirkan kemungkinan efek samping tumpang tindih antara kotrimoksasol

dan obat ARV, mengingat bahwa banyak obat ARV mempunyai efek samping

yang sama dengan efek samping kotrimoksasol.

Gambar 13. Stadium Klinis HIV/AIDS menurut WHO11

Page 20: Referat Evaluasi Pengobatan HIV AIDS

18

6. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksazol (PPK)

Beberapa infeksi oportunistik (IO) pada ODHA dapat dicegah dengan pemberian

pengobatan profilaksis. Kotrimoksazole untuk pencegahan sekunder diberikan

setelah terapi PCP atau toksoplasmosis selesai dan diberikan selama 1 tahun. PPK

dianjurkan bagi:

ODHA yang bergejala (stadium klinis 2, 3, atau 4) termasuk perempuan

hamil dan menyusui. Walaupun secara teori kotrimoksasol dapat

menimbulkan kelainan kongenital, tetapi karena risiko yang mengancam

jiwa pada ibu hamil dengan jumlah CD4 yang rendah (<200) atau gejala

klinis supresi imun (stadium klinis 2, 3 atau 4), maka perempuan yang

memerlukan kotrimoksasol dan kemudian hamil harus melanjutkan

profilaksis kotrimoksasol.

ODHA dengan jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm3 (apabila tersedia

pemeriksaan dan hasil CD4).

Page 21: Referat Evaluasi Pengobatan HIV AIDS

19

7. Indentifikasi solusi terkait adherence (kepatuhan)

8. Konseling positive prevention

9. Konseling KB

I. TATALAKSANA PEMBERIAN ARV (ANTIRETROVIRAL)4

Jika tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi ARV adalah

didasarkan pada penilaian klinis. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah

CD4 <350 sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya. Terapi ARV dianjurkan

pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan koinfeksi Hepatitis B tanpa

memandang jumlah CD4.

Infeksi oportunistik dan penyakit terkait HIV lainnya yang perlu pengobatan atau

diredakan sebelum terapi ARV dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

Page 22: Referat Evaluasi Pengobatan HIV AIDS

20

1. Anjuran pemilihan obat ARV lini pertama

Paduan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama adalah

2NRTI + 1NNRTI

2. Pilihan pemberian tripel NRTI

Regimen triple NRTI digunakan hanya jika pasien tidak dapat menggunakan obat

ARV berbasis NNRTI, seperti dalam keadaan berikut:

Ko-infeksi TB/HIV, terkait dengan interaksi terhadap Rifampisin

Ibu Hamil, terkait dengan kehamilan dan ko-infeksi TB/HIV

Hepatitis, terkait dengan efek hepatotoksik karena NVP/EFV/PI

Page 23: Referat Evaluasi Pengobatan HIV AIDS

21

Anjuran paduan triple NRTI yang dapat dipertimbangkan adalah

AZT + 3TC + TDF

Penggunaan Triple NRTI dibatasi hanya untuk 3 bulan lamanya, setelah itu

pasien perlu di kembalikan pada penggunaan lini pertama karena supresi

virologisnya kurang kuat.

3. Sindrom Pulih Imun (SPI- Immune Reconstitution Syndrom = IRIS)

Sindrom Pulih Imun (SPI) atau Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome

(IRIS) adalah perburukan kondisi klinis sebagai akibat respons inflamasi

berlebihan pada saat pemulihan respons imun setelah pemberian terapi

antiretroviral. Sindrom pulih imun mempunyai manifestasi dalam bentuk penyakit

infeksi maupun non infeksi. Manifestasi tersering pada umumnya adalah berupa

inflamasi dari penyakit infeksi. Sindrom pulih imun infeksi ini didefinisikan

sebagai timbulnya manifestasi klinis atau perburukan infeksi yang ada sebagai

akibat perbaikan respons imun spesifik patogen pada ODHA yang berespons baik

terhadap ARV.

Mekanisme SPI belum diketahui dengan jelas, diperkirakan hal ini merupakan

respon imun berlebihan dari pulihnya sistem imun terhadap rangsangan antigen

tertentu setelah pemberian ARV.

Insidens sindrom pulih imun secara keseluruhan berdasarkan meta analisis adalah

16.1%. Namun, insidens ini juga berbeda pada tiap tempat, tergantung pada

rendahnya derajat sistem imun dan prevalensi infeksi oportunistik dan koinfeksi

dengan patogen lain.

Page 24: Referat Evaluasi Pengobatan HIV AIDS

22

Pada saat ini dikenal dua jenis SPI yang sering tumpang tindih, yaitu sindrom

pulih imun unmasking (unmasking IRD) dan sindrom pulih imun paradoksikal.

Jenis unmasking terjadi pada pasien yang tidak terdiagnosis dan tidak mendapat

terapi untuk infeksi oportunistiknya dan langsung mendapatkan terapi ARV-nya.

Pada jenis paradoksikal, pasien telah mendapatkan pengobatan untuk infeksi

oportunistiknya. Setelah mendapatkan ARV, terjadi perburukan klinis dari penyakit

infeksinya tersebut.

Manifestasi klinis yang muncul sangat bervariasi dan tergantung dari bahan

infeksi atau non-infeksi yang terlibat, sehingga diagnosis menjadi tidak mudah.

Pada waktu menegakkan diagnosis SPI perlu dicantumkan penyakit infeksi atau

non infeksi yang menjadi penyebabnya (misal IRIS TB, IRIS Toxoplasmosis).

International Network Study of HIV-associated IRIS (INSHI) membuat konsensus

untuk kriteria diagnosis sindrom pulih imun sebagai berikut.

1. Menunjukkan respons terhadap terapi ARV dengan:

a. mendapat terapi ARV

b. penurunan viral load > 1 log kopi/ml (jika tersedia)

2. Perburukan gejala klinis infeksi atau timbul reaksi inflamasi yang terkait

dengan inisiasi terapi ARV

3. Gejala klinis tersebut bukan disebabkan oleh:

a. Gejala klinis dari infeksi yang diketahui sebelumnya yang telah berhasil

disembuhkan (Expected clinical course of a previously recognized and

successfully treated infection)

b. Efek samping obat atau toksisitas

Page 25: Referat Evaluasi Pengobatan HIV AIDS

23

c. Kegagalan terapi

d. Ketidakpatuhan menggunakan ARV

Beberapa faktor risiko terjadinya SPI adalah jumlah CD4 yang rendah saat

memulai terapi ARV, jumlah virus RNA HIV yang tinggi saat memulai terapi

ARV, banyak dan beratnya infeksi oportunistik, penurunan jumlah virus RNA

HIV yang cepat selama terapi ARV, belum pernah mendapat ARV saat diagnosis

infeksi oportunistik, dan pendeknya jarak waktu antara memulai terapi infeksi

oportunistik dan memulai terapi ARV.

Tatalaksana SPI meliputi pengobatan patogen penyebab untuk menurunkan

jumlah antigen dan meneruskan terapi ARV. Terapi antiinflamasi seperti obat

antiiflamasi non steroid dan steroid dapat diberikan. Dosis dan lamanya

pemberian kortikosteroid belum pasti, berkisar antara 0,5- 1 mg/kg/hari

prednisolon.

J. PEMANTAUAN KLINIS DAN LABORATORIUM SELAMA TERAPI

ARV LINI PERTAMA4

1. Pasien yang Belum Memenuhi Syarat Terapi ARV

Pasien yang belum memenuhi syarat terapi antiretroviral (terapi ARV) perlu

dimonitor perjalanan klinis penyakit dan jumlah CD4-nya setiap 6 bulan sekali.

Evaluasi klinis meliputi parameter seperti pada evaluasi awal termasuk pemantauan

berat badan dan munculnya tanda dan gejala klinis perkembangan infeksi HIV.

Parameter klinis dan jumlah CD4 tersebut digunakan untuk mencatat

perkembangan stadium klinis pada setiap kunjungan dan menentukan saat pasien

mulai memenuhi syarat untuk terapi profilaksis kotrimoksazol dan atau terapi ARV.

Page 26: Referat Evaluasi Pengobatan HIV AIDS

24

Berbagai faktor mempengaruhi perkembangan klinis dan imunologis sejak

terdiagnosis terinfeksi HIV. Penurunan jumlah CD4 setiap tahunnya adalah sekitar 50

sampai 100 sel/mm3. Evaluasi klinis dan jumlah CD4 perlu dilakukan lebih ketat

ketika mulai mendekati ambang dan syarat untuk memulai terapi ARV.

2. Pemantauan Pasien dalam Terapi ARV

2.1 Pemantauan klinis

Frekuensi Pemantauan klinis tergantung dari respon terapi ARV. Sebagai

batasan minimal, Pemantauan klinis perlu dilakukan pada minggu 2, 4, 8, 12

dan 24 minggu sejak memulai terapi ARV dan kemudian setiap 6 bulan bila

pasien telah mencapai keadaan stabil.

Pada setiap kunjungan perlu dilakukan penilaian klinis termasuk tanda dan

gejala efek samping obat atau gagal terapi dan frekuensi infeksi (infeksi

bakterial, kandidiasis dan atau infeksi oportunirtik lainnya) ditambah

konseling untuk membantu pasien memahami terapi ARV dan dukungan

kepatuhan.

2.2 Pemantauan laboratorium

Direkomendasikan untuk melakukan pemantauan CD4 secara rutin

setiap 6 bulan, atau lebih sering bila ada indikasi klinis. Angka limfosit

total (TLC = total lymphocyte count) tidak direkomendasikan untuk

digunakan memantau terapi karena perubahan nilai TLC tidak dapat

digunakan untuk memprediksi keberhasilan terapi

Untuk pasien yang akan memulai terapi dengan AZT maka perlu

dilakukan pengukuran kadar Hemoglobin (Hb) sebelum memulai

Page 27: Referat Evaluasi Pengobatan HIV AIDS

25

terapi dan pada minggu ke 4, 8 dan 12 sejak mulai terapi atau ada

indikasi tanda dan gejala anemia

Pengukuran ALT (SGPT) dan kimia darah lainnya perlu dilakukan bila

ada tanda dan gejala dan bukan berdasarkan sesuatu yang rutin. Akan

tetapi bila menggunakan NVP untuk perempuan dengan CD4 antara

250 – 350 sel/mm3 maka perlu dilakuan pemantauan enzim

transaminase pada minggu 2, 4, 8 dan 12 sejak memulai terapi ARV

(bila memungkinkan), dilanjutkan dengan pemantauan berdasar gejala

klinis

Evaluasi fungsi ginjal perlu dilakukan untuk pasien yang mendapatkan

TDF

Keadaan hiperlaktatemia dan asidosis laktat dapat terjadi pada

beberapa pasien yang mendapatkan NRTI, terutama d4T atau ddI.

Tidak direkomendasi untuk pemeriksaan kadar asam laktat secara

rutin, kecuali bila pasien menunjukkan tanda dan gejala yang

mengarah pada asidosis laktat

Penggunaan Protease Inhibitor (PI) dapat mempengaruhi metabolisme

glukosa dan lipid. Beberapa ahli menganjurkan pemeriksaan gula

darah dan profil lipid secara reguler tetapi lebih diutamakan untuk

dilakukan atas dasar tanda dan gejala

Pengukuran Viral Load (VL) sampai sekarang tidak dianjurkan untuk

memantau pasien dalam terapi ARV dalam keadaan terbatas fasilitas

dan kemampuan pasien. Pemeriksaan VL digunakan untuk membantu

Page 28: Referat Evaluasi Pengobatan HIV AIDS

26

diagnosis gagal terapi. Hasil VL dapat memprediksi gagal terapi lebih

awal dibandingkan dengan hanya menggunakan pemantauan klinis

dan pemeriksaan jumlah CD4

Jika pengukuran VL dapat dilakukan maka terapi ARV diharapkan

menurunkan VL menjadi tidak terdeteksi (undetectable) setelah bulan

ke 6.

2.3 Pemantuan pemulihan jumlah sel CD4

Pemberian terapi ARV akan meningkatkan jumlah CD4. Hal ini akan berlanjut

bertahun-tahun dengan terapi yang efektif. Keadaan tersebut, kadang tidak

terjadi, terutama pada pasien dengan jumlah CD4 yang sangat rendah pada

saat mulai terapi. Meskipun demikian, pasien dengan jumlah CD4 yang sangat

rendah tetap dapat mencapai pemulihan imun yang baik tetapi memerlukan

waktu yang lebih lama.

Pada pasien yang tidak pernah mencapai jumlah CD4 yang lebih dari 100

sel/mm3 dan atau pasien yang pernah mencapai jumlah CD4 yang tinggi tetapi

kemudian turun secara progresif tanpa ada penyakit/kondisi medis lain, maka

perlu dicurigai adanya keadaan gagal terapi secara imunologis.

Data jumlah CD4 saat mulai terapi ARV dan perkembangan CD4 yang

dievaluasi tiap 6 bulan sangat diperlukan untuk menentukan adanya gagal

terapi secara imunologis. Pada sebagian kecil pasien dengan stadium lanjut

dan jumlah CD4 yang rendah pada saat mulai terapi ARV, kadang jumlah CD4

tidak meningkat atau sedikit turun meski terjadi perbaikan klinis.

Page 29: Referat Evaluasi Pengobatan HIV AIDS

27

2.4 Kematian dalam terapi ARV

Sejak dimulainya terapi ARV, angka kematian yang berhubungan dengan HIV

semakin turun. Secara umum, penyebab kematian pasien dengan infeksi HIV

disebabkan karena penanganan infeksi oportunistik yang tidak adekuat, efek

samping ARV berat (Steven Johnson Syndrome), dan keadaan gagal fungsi

hati stadium akhir (ESLD - End Stage Liver Disease) pada kasus ko-infeksi

HIV/HVB.

Paradigma baru yang menjadi tujuan global dari UNAIDS adalah Zero AIDS-

related death. Hal ini dapat tercapai bila pasien datang di layanan HIV dan

mendapat terapi ARV secepatnya.

Page 30: Referat Evaluasi Pengobatan HIV AIDS

28

3. Efek Samping

4. Penatalaksanaan Toksisitas

Dalam menangani toksisitas atau efek samping perlu mengikuti langkah sebagai

berikut

Tentukan derajat keseriusan toksisitas

Evaluasi obat lain yang digunakan dan tentukan apakah toksisitas berhubungan

dengan obat ARV atau obat non-ARV yang digunakan bersamaan

Pertimbangkan proses penyakit lain (misal hepatitis viral pada pasien dengan

ARV yang menjadi kuning/jaundice) karena tidak semua masalah yang terjadi

selama terapi adalah diakibatkan obat-obat ARV

Tangani efek samping sesuai tingkat keparahan

Page 31: Referat Evaluasi Pengobatan HIV AIDS

29

Berikan motivasi untuk tetap makan obat terutama untuk toksisitas ringan dan

sedang

Berikan obat simtomatik sesuai dengan gejala yang timbul jika diperlukan

Apabila dinilai perlu penghentian ARV karena toksisitas yang mengancam

jiwa maka semua ARV harus dihentikan sampai pasien stabil.

5. Subsitusi Obat ARV

Pada dasarnya penggantian atau substitusi individual dari obat ARV karena

toksisitas atau intoleransi harus diambil dari kelas ARV yang sama, contoh: AZT atau

TDF untuk menggantikan d4T oleh karena neuropati, TDF dapat menggantikan AZT

karena anemia, atau NVP menggantikan EFV karena toksisitas SSP atau kehamilan.

Bila toksisitas yang mengancam jiwa muncul, semua obat ARV harus dihentikan

segera hingga secara klinis sembuh. Pada saat pasien sembuh maka dimulai dengan

paduan terapi ARV yang lain.

Page 32: Referat Evaluasi Pengobatan HIV AIDS

30

K. KEGAGALAN TERAPI ARV4

Apabila setelah memulai terapi minimal 6 bulan dengan kepatuhan yang tinggi

tetapi tidak terjadi respon terapi yang kita harapkan, maka perlu dicurigai

kemungkinan terjadinya Gagal Terapi.

Kriteria gagal terapi adalah menggunakan 3 kriteria, yaitu kriteria klinis,

imunologis dan virologis. Jumlah virus (VL) yang menetap di atas 5000 copies/ml

mengkonfirmasi gagal terapi. Bila pemeriksaan VL tidak tersedia, untuk menentukan

gagal terapi menggunakan kriteria imunologis untuk memastikan gagal terapi secara

klinis.

Kegagalan terapi menurut kriteria WHO

Page 33: Referat Evaluasi Pengobatan HIV AIDS

31

1. Kegagalan klinis

Munculnya IO dari kelompok stadium 4 setelah minimal 6 bulan dalam terapi

ARV. Beberapa penyakit yang termasuk dalam stadium klinis 3 (TB paru, infeksi

bakteri berat) dapat merupakan petunjuk kegagalan terapi.

Page 34: Referat Evaluasi Pengobatan HIV AIDS

32

2. Kegagalan Imunologis

Definisi dari kegagalan imunologis adalah gagal mencapai dan mempertahankan

jumlah CD4 yang adekuat, walaupun telah terjadi penurunan/ penekanan jumlah

virus.

Jumlah CD4 juga dapat digunakan untuk menentukan apakah perlu mengubah

terapi atau tidak. Sebagai contoh, munculnya penyakit baru yang termasuk dalam

stadium 3, dimana dipertimbangkan untuk mengubah terapi, maka bila jumlah

CD4 >200 /mm³ tidak dianjurkan untuk mengubah terapi.

3. Kegagalan Virologis:

Disebut gagal virologis jika:

viral load tetap > 5.000 copies/ml (lihat gambar.4), atau

viral load menjadi terdeteksi lagi setelah sebelumnya tidak terdeteksi.

Page 35: Referat Evaluasi Pengobatan HIV AIDS

33

Kriteria klinis untuk gagal terapi yang timbul dalam 6 bulan pertama pengobatan

tidak dapat dijadikan dasar untuk mengatakan gagal terapi. Perlu dilihat kemungkinan

penyebab lain timbulnya keadaan klinis tersebut, misal IRIS.

Kriteria virologi dimasukkan dalam menentukan kegagalan terapi di buku ini, untuk

mengantisipasi suatu saat akan tersedia sarana pemeriksaan viral load yang terjangkau.

Viral load masih merupakan indikator yang paling sensitif dalam menentukan adanya

kegagalan terapi. Kadar viral load yang optimal sebagai batasan untuk mengubah paduan

ARV belum dapat ditentukan dengan pasti. Namun > 5.000 copies/ml diketahui

berhubungan dengan progresi klinis yang nyata atau turunnya jumlah CD4.

1. Alur Tatalaksana Gagal Terapi ARV Kriteria Virologis (WHO)

Page 36: Referat Evaluasi Pengobatan HIV AIDS

34

2. Alur tatalaksana Gagal Terapi ARV Kriteria Klinis

L. PANDUAN TERAPI ARV LINI KEDUA4

Rekomendasi paduan lini kedua :

2NRTI + Boosted-PI

Page 37: Referat Evaluasi Pengobatan HIV AIDS

35

Boost PI adalah suatu obat dari golongan Protease Inhibitor (PI) yang

sudah ditambahi (boost) dengan Ritonavir sehingga obat tersebut akan

ditulis dengan kode ..../r (misal LPV/r = Lopinavir/ritonavir)

Penambahan (Booster) dengan ritonavir ini dimaksudkan untuk

mengurangi dosis dari obat PI-nya karena kalau tanpa ritonavir maka

dosis yang diperlukan menjadi tinggi sekali

Paduan lini kedua yang direkomendasikan dan disediakan secara gratis oleh

pemerintah adalah:

TDF atau AZT + 3TC + LPV/r

Apabila pada lini pertama menggunakan d4T atau AZT maka gunakan TDF +

(3TC atau FTC) sebagai dasar NRTI pada paduan lini kedua. Apabila pada lini

pertama menggunakan TDF maka gunakan AZT + 3TC sebagai dasar NRTI sebagai

dasar NRTI pada paduan lini kedua.

Page 38: Referat Evaluasi Pengobatan HIV AIDS

36

Gambar 14. Pemantauan Klinis dan Laboratorim Sebelum dan Selama Terapi ARV Lini Kedua

Page 39: Referat Evaluasi Pengobatan HIV AIDS

37

BAB III

KESIMPULAN

Program penanggulangan AIDS di Indonesia mempunyai 4 pilar, yang

semuanya menuju pada paradigma Zero new infection, Zero AIDS-related death dan

Zero Discrimination. 4

1. Pencegahan; yang meliputi pencegahan penularan HIV melalui transmisi seksual

dan alat suntik, pencegahan di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan,

pencegahan HIV dari ibu ke bayi (Prevention Mother to Child Transmission,

PMTCT), pencegahan di kalangan pelanggan penjaja seks, dan lain-lain.

2. Perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP); yang meliputi penguatan dan

pengembangan layanan kesehatan, pencegahan dan pengobatan infeksi

oportunistik, pengobatan antiretroviral dan dukungan serta pendidikan dan

pelatihan bagi ODHA. Program PDP terutama ditujukan untuk menurunkan angka

kesakitan dan rawat inap, angka kematian yang berhubungan dengan AIDS, dan

meningkatkan kualitas hidup orang terinfeksi HIV (berbagai stadium). Pencapaian

tujuan tersebut dapat dilakukan antara lain dengan pemberian terapi antiretroviral

(ARV).

3. Mitigasi dampak berupa dukungan psikososio-ekonomi.

4. Penciptaan lingkungan yang kondusif (creating enabling environment) yang

meliputi program peningkatan lingkungan yang kondusif adalah dengan

penguatan kelembagaan dan manajemen, manajemen program serta penyelarasan

kebijakan dan lain-lain.

Page 40: Referat Evaluasi Pengobatan HIV AIDS

DAFTAR PUSTAKA

1. UNAIDS. Global report UNAIDS report on the global AIDS epidemic 2010.

Geneva, 2010.

2. Ditjen P2PL. Statistik Kasus HIV/AIDS Di Indonesia. Jakarta: Kemenkes RI,

2012

3. Djoerban, Zubairi. Membidik AIDS. Jogjakarta: Galang Press Jogjakarta, 1999.

4. Ditjen P2PL. Pedoman nasional tatalaksana klinis infeksi HIV dan terapi

antiretroviral pada orang dewasa. Kemenkes RI. Jakarta, 2011.

5. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam

Jilid I. Jakarta : FK UI, 2006.

6. Fauci A, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and Related

Disorders. In : Longo D, Fauci A, Fauci A, Kasper D, Braunwald E, Hause S,

Jameson J Loscalzo. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18th Ed. United

States of America: McGraw-Hill. 2011 p241-50.

7. Levinson W. Human Immunodeficiency Virus. In: Review of Medical

Microbiology and Immunology. 11th Ed. Philadelphia: McGraw Hill. 2010. p299-

308.

8. Boswell SL. Approach to the Patient with Human Immunodeficiency Virus (HIV)

Infection. In: Goroll AH, Mulley AG. Primary Care Medicine: Office Evaluation

and Management of the Adult Patient. 6th Ed. 2009. p87-101.

9. David C. Dugdale. HIV infection. Medline Plus, 2012. Accessed on: Maret 2012.

Available at: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000602.htm

10. WHO. Antiretroviral Therapy for HIV Infection in Adults and Adolescents,

Recommendations for a public health approach 2010 Revision. Geneva: WHO

Departement of HIV/AIDS, 2010.

11. WHO. WHO chase definition of HIV for surveillance and revised clinical staging

and immunological classification of HIV-related disease in adults and children.

Geneva: WHO Departement of HIV/AIDS, 2007.