makalah penanaman modal 2

20
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penanaman Modal Asing (PMA) menjadi salah satu sumber pembiayaan yang penting bagi wilayah yang sedang berkembang dan mampu memberikan kontribusi yang cukup besar bagi pembangunan. Sebagai salah satu komponen aliran modal, PMA dianggap sebagai aliran modal yang relatif stabil dibandingkan dengan aliran modal lainnya, misalnya investasi portofolio maupun utang luar negeri. Berbagai kebijakan telah di lakukan oleh pemerintah Indonesia guna untuk mencapai suatu tujuan yaitu menjadikan masyarakat Indonesia sejahtera dengan perekonomian yang ada saat ini, salah satu caranya yaitu dengan investasi (penanaman modal) baik yang dilakukan oleh investor Domestik maupun investor Asing. Pengembangan bidang usaha salah satunya di bidang pertambangan bagi penanaman modal, khususnya penanaman modal asing sangatlah penting. Oleh karena dengan adanya arah pengembangan per bidang usaha akan dapat pula diketahui kebijaksaan pemerintah guna lebih memberi kepastian berusaha bagi penanaman modal, khususnya penanaman modal asing. Bidang usaha pertambangan merupakan bidang usaha yang mendapatkan prioritas utama dari pemerintah baik dari sebelum sampai sesudah diterbitkannya UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal baik asing, maupun dalam negeri. Alasannya ialah kurang lebih 25 tahun lamanya bidang usaha pertambangan ini kurang mendapat perhatian dan mendapatkan garapan dari pemilik modal, khususnya penanaman modal asing. Untuk itu, pemerintah berusaha untuk dapat mengarahkan penanaman modal asing guna mengaplikasikan modalnya dalam mengusahakan dan mengelola sumber daya alam yang terletak dam bidang usaha pertambangan. Sejalan dengan hal tersebut, maka dalam arahan penanaman modal telah ditetapkan arah pengembangan bidang usaha pertambangan yang lebih diarahkan pada pemanfaatan sebesar-besarnya kekayaan tambang bagi pembangunan nasional demi peningkatan kesejahteraan rakyat. 1 1 Aminuddin Ilmar, Huk um Penanaman Modal Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2010, hlm. 162

Upload: dewipramitha

Post on 20-Jul-2015

517 views

Category:

Law


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah penanaman modal 2

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penanaman Modal Asing (PMA) menjadi salah satu sumber pembiayaan

yang penting bagi wilayah yang sedang berkembang dan mampu memberikan

kontribusi yang cukup besar bagi pembangunan. Sebagai salah satu komponen

aliran modal, PMA dianggap sebagai aliran modal yang relatif stabil dibandingkan

dengan aliran modal lainnya, misalnya investasi portofolio maupun utang luar

negeri. Berbagai kebijakan telah di lakukan oleh pemerintah Indonesia guna untuk

mencapai suatu tujuan yaitu menjadikan masyarakat Indonesia sejahtera dengan

perekonomian yang ada saat ini, salah satu caranya yaitu dengan investasi

(penanaman modal) baik yang dilakukan oleh investor Domestik maupun investor

Asing.

Pengembangan bidang usaha salah satunya di bidang pertambangan bagi

penanaman modal, khususnya penanaman modal asing sangatlah penting. Oleh

karena dengan adanya arah pengembangan per bidang usaha akan dapat pula

diketahui kebijaksaan pemerintah guna lebih memberi kepastian berusaha bagi

penanaman modal, khususnya penanaman modal asing.

Bidang usaha pertambangan merupakan bidang usaha yang mendapatkan

prioritas utama dari pemerintah baik dari sebelum sampai sesudah diterbitkannya

UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal baik asing, maupun dalam

negeri. Alasannya ialah kurang lebih 25 tahun lamanya bidang usaha pertambangan

ini kurang mendapat perhatian dan mendapatkan garapan dari pemilik modal,

khususnya penanaman modal asing. Untuk itu, pemerintah berusaha untuk dapat

mengarahkan penanaman modal asing guna mengaplikasikan modalnya dalam

mengusahakan dan mengelola sumber daya alam yang terletak dam bidang usaha

pertambangan. Sejalan dengan hal tersebut, maka dalam arahan penanaman modal

telah ditetapkan arah pengembangan bidang usaha pertambangan yang lebih

diarahkan pada pemanfaatan sebesar-besarnya kekayaan tambang bagi

pembangunan nasional demi peningkatan kesejahteraan rakyat.1

1 Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2010, hlm. 162

Page 2: Makalah penanaman modal 2

2

Undang-undang pertambangan melalui berbagai perubahan setelah pertama

kali diatur dalam Indonesische Mijnwet tahun 1907 dan berlaku pada waktu

kemerdekaan Indonesia diproklamirkan. Kemudian diganti dengan UU No. 37 Prp

tahun 1960. Undang-undang Pertambangan yang menggantikan dan mencabut

Indonesische Mijnwet pada tanggal 14 Oktober 1960. Selanjutnya UU No. 37 Prp

tahun 1960 itu kemudian tidak lagi dapat memenuhi tuntutan masyarakat yang ingin

berusaha dalam bidang pertambangan, ditambah lagi dengan perkembangan politik

dan pembaharuan kebijaksanaan landasan ekonomi, keuangan dan pembangunan

antara lain sebagaimana ditetapkan dalam Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966

maka regulasi mengenai pertambangan diubah dengan UU No. 11 Tahun 1967

tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan pada tanggal 2 Desember 1967.

Sampai akhirnya UU No. 11 Tahun 1967 tersebut dianggap materi muatannya

bersifat sentralistik sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi sekarang dan

tantangan di masa depan dan digantikan dengan UU No. 4 Tahun 2009 tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara yang diundangkan di Jakarta tanggal 12

Januari 2009 dan berlaku hingga sekarang.

Salah satu kasus di bidang pertambangan terkait dengan perizinan dalam

penanaman modal asing adalah kasus Churcill Mining Plc Mining .plc. Kronologi dari

kasus tersebut adalah Churchill Mining mengajukan gugatan ke ICSID setelah pada

2010 pemerintah daerah Kabupaten Kutai Timur mencabut izin usaha pertambangan

(IUP) yang dipegang PT Ridlatama pada empat tambang di Busang, Kalimantan

Timur. Ridlatama adalah perusahaan yang 75% sahamnya dipegang PT Indonesia

Coal Development (ICD), anak usaha Churchill Mining di Indonesia. Churchill

kemudian merasa dirugikan dan mengajukan gugatan atas aset proyek batu bara

yang nilainya disebut US$1,8 miliar.

Sedangkan, PT Ridlatama dianggap BKPM bukan perusahaan asing

sehingga izin operasionalnya tidak melalui BKPM. Dalam pemberitaan sebelumnya,

disebutkan bahwa Churchill Mining hanya boleh bekerja sesuai kontrak, tapi tidak

bisa meminta izin IUP secara langsung. Proyek batu bara yang dipermasalahkan

ialah East Kutai Coal Project yang dikembangkan Kutai Timur. Dokumen ICSID

menyebutkan proyek itu sebagai daerah dengan deposit batu bara terbesar ketujuh

di dunia, terbesar kedua di Indonesia, dengan cadangan batu-bara mencapai 2,7

miliar metrik ton.

Page 3: Makalah penanaman modal 2

3

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas maka masalah

yang akan kami bahas dalam makalah ini adalah:

1. Bagaimana perizinan dalam penanaman modal asing sebelum dan setelah

keluarnya UU No. 4 Tahun 2009?

2. Bagaimana kaitan sengketa penanaman modal asing antara Churcill Mining

Plc dengan Pemerintah Kalimantan Timur di Indonesia dengan UU No. 4

Tahun 2009?

Page 4: Makalah penanaman modal 2

4

BAB II

PEMBAHASAN

A. Perizinan Dalam Penanaman Modal Asing Setelah Keluar UU No. 4 Tahun

2009

Pertama harus diperhatikan apakah ada pembatasan bagi investor asing

untuk melakukan kegiatan usaha di bidang pertambangan batubara. Pembatasan

dapat dicek dalam Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang

Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan Di

Bidang Penanaman Modal (“Perpres DNI”). Dalam Perpres DNI ini tidak ada

pembatasan bagi investasi asing untuk penambangan batubara, oleh karena

itu boleh saja kepemilikan investor asingnya sebesar 90%. Yang harus perusahaan

tersebut lakukan adalah mendapatkan izin dari BKPM.

Setelah itu yang harus diingat adalah Undang-Undang No. 25 Tahun 2007

tentang Penanaman Modal (“UUPM”). Menurut pasal 5 ayat (2) UUPM, penanaman

modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas (“PT”). Jadi, nantinya bentuk

usaha Anda dan investor asing tersebut harus berupa PT. Kemudian, harus diingat

juga bahwa ada ketentuan divestasi bagi investor asing di bidang

pertambangan. Pasal 112 Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU Minerba”) mengatur bahwa setelah 5

tahun berproduksi, badan usaha pemegang izin usaha pertambangan yang

sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham. Divestasi ini

dilakukan pada Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan

usaha milik daerah, atau badan usaha swasta nasional. Pasal 97 Peraturan

Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha

Pertambangan Mineral dan Batubara (“PP 23/2010”) selanjutnya mengatur besaran

saham yang harus didivestasi, yaitu sehingga sahamnya paling sedikit 20% (dua

puluh persen) dimiliki peserta Indonesia. Jadi, walaupun saat ini investor asing

diperbolehkan untuk memegang saham sebesar 90%, namun 5 tahun sesudah

berproduksi nanti investor tersebut wajib melakukan divestasi saham sehingga

saham investor asing tersebut menjadi maksimal 80%.

Semenjak diberlakukannya UU Minerba, usaha pertambangan tidak lagi

dilakukan berdasarkan Kontrak Karya ataupun PKP2B, melainkan berdasar Izin

Usaha Pertambangan (“IUP”). Menurut pasal 1 angka 7 UU Minerba, IUP adalah izin

Page 5: Makalah penanaman modal 2

5

untuk melaksanakan usaha pertambangan. IUP terdiri atas dua tahap yaitu IUP

Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi. IUP Eksplorasi adalah izin usaha yang

diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan

studi kelayakan (lihat pasal 1 angka 8 UU Minerba). Sedangkan, IUP Operasi

Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUP

Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi. Kedua IUP tersebut

diberikan setelah perusahaan tersebut memperoleh Wilayah Izin Usaha

Pertambangan (WIUP), yaitu wilayah yang diberikan kepada pemegang IUP

(lihat pasal 6 ayat [4] PP No. 23/2010). Kemudian, di dalam pasal 8 ayat (3) PP

23/2010 dinyatakan bahwa WIUP diperoleh melalui cara lelang.

Dari tahun 1967 investasi di sektor tambang sangat besar meskipun tidak

sebesar migas. Sekarang sebetulnya dengan mengeluarkan kebijakan clean and

clear (CnC), sebetulnya dari sisi investasi ini sangat baik sekali, karena sekarang

investor yang ingin menanam saham di Indonesia itu hanya tinggal melihat saja.

Misalnya, perusahaan yang mau dimasuki itu bagus atau tidak, tinggal kita lihat saja

dari status CnC perusahaan yang bersangkutan. Tidak seperti membeli kucing

dalam karung. Banyak investor yang sudah menanam saham tapi ternyata izinnya

bodong atau statusnya tidak CnC. Sekarang dengan adanya kebijakan CnC ini maka

sudah lebih aman karena pemerintah sudah melakukan evaluasi terhadap izin-izin

yang sudah ada.

Indonesia sekarang sudah punya satu Standard Operational Procedure terkait

dengan pemrosesan IUP CnC. Kalau ada perusahaan atau pemerintah daerah

mengajukan, syaratnya tidak lengkap maka akan diarahkan untuk melengkapi

sendiri syaratnya. Apabila sudah melengkapi syarat dengan bukti pemberian

sertifikat, maka dia diarahkan untuk datang sendiri ke Kementerian ESDM. Dalam

SOP pemerintah terkait menghindari adanya perantara-perantara atau jasa orang-

orang yang tidak bertanggung jawab yang menghubungkan antara pemerintah

dengan pihak perusahaan. Sekarang pelaku perusahaan langsung berhubungan

dengan pemerintah, bahkan sekarang kita sudah manjalankan sistem pelayanan

terpadu satu pintu untuk proses pemberian IUP CnC.

Secara rinci perbedaan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Pertambangan dan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan

Batubara adalah sebagai berikut:

Page 6: Makalah penanaman modal 2

6

No UU NO. 11 TAHUN 1967 UU NO. 4 TAHUN 2009

1

Kekayaan Tambang disebut

bahan galian

Penguasaan bahan galian

diselenggarakan

pemerintah (pasal 1)

Kekayaan tambang disebut Mineral

dan Batubara

Dikuasai negara, diselenggarakan

oleh pemerintah dan /atau

pemerintah daerah (pasal 4)

Pemerintah dan DPR menetapkan

kebijakan pengutamaan mineral

dan Batubara untuk kepentingan

nasional

Pemerintah berwenang

menetapkan produksi setiap

provinsi untuk mengendalikan

produksi dan ekspor (pasal 5)

2

Penggolongan Bahan Galian

- Strategis (golongan A)

- Vital (golongan B)

- Non Strategis dan Non Vital

(golongan C)

Penggolongan Usaha Pertambangan:

- Pertambangan Mineral

- Pertambangan Batubara

Penggolongan komoditas tambang

terdiri dari :

Mineral radio aktif

Mineral logam

Mineral bukan logam

Batuan

Batubara

3

Kewenangan Pengelolaan:

- Bahan galian strategis dan vital

oleh Menteri

- Bahan galian non strategis dan

vital oleh Pemerintah Daerah

Tingkat I

Kewenangan Pengelolaan

- Kebijakan dan pengelolaan skup

nasional oleh Pemerintah, ada 21

kewenangan (pasal 6)

- Kebijakan dan pengelolaan skup

wilayah provinsi oleh Pemerintah

Provinsi, ada 14 kewenangan (pasal

7)

- Kebijakan dan pengelolaan skup

kabupaten/kota oleh Pemerintah

Kabupaten/Kota, ada 12 kewenangan

(pasal 8)

4

Wilayah Pertambangan :

Tidak diatur terperinci yang

penting tidak meliputi kuburan,

tempat suci, kepentingan umum,

pertambangan lain, tempat

Wilayah Pertambangan :

- Wilayah Pertambangan (WP) adalah

bagian dari tata ruang nasional,

ditetapkan Pemerintah setelah

berkoordinasi dengan pemda dan

Page 7: Makalah penanaman modal 2

7

tinggal atau pabrik, DPR RI (pasal 10)

- Wilayah Pertambangan terdiri atas

wilayah usaha pertambangan (WUP),

wilayah pertambangan rakyat (WPR),

dan wilayah pencadangan nasional

(WPN), pasal 13.

- WUP, WPR dan WPN diatur

terperinci (pasal 14-33)

5

Bentuk Izin Usaha

Pertambangan:

Kontrak Karya (pasal 10)

Kuasa Pertambangan (pasal 15)

Surat Izin Pertambangan

Daerah

Surat Izin Usaha Pertambangan

Rakyat

Bentuk Izin Usaha Pertambangan:

- Izin Usaha Pertambangan (IUP)

- Izin Pertambangan Rakyat (IPR)

- Izin Usaha Pertambangan Khusus

(IUPK)

6

Tahapan Usaha Pertambangan:

- Penyelidikan umum

- Eksplorasi

- Eksploitasi

- Pengolahan dan pemurnian

- Pengangkutan

- Penjualan

Tahapan Usaha Pertambangan

1. Eksplorasi, meliputi :

penyelidikan umum

eksplorasi

studi kelayakan (pasal 36)

2. Operasi Produksi:

Konstruksi

Penambangan

pengolahan dan pemurnian

pengangkutan dan

penjualan (pasal 36)

7

Pelaku Usaha:

- Investor domestik (KP, SIPD,

PKP2B)

- Investor asing (KK, PKP2B)

- Luas usaha pertambangan tidak

dirinci

Pelaku Usaha:

- IUP diberikan pada badan usaha,

koperasi dan perseorangan (pasal 38)

- IPR diberikan pada penduduk

setempat baik perseorangan maupun

kelompok masyarakat, dan atau

koperasi (pasal 67), dengan luas yang

terperinci (pasal 68)

- IUPK diberikan pada badan usaha

berbadan hukum Indonesia, baik

BUMN, BUMD, maupun swasta.

BUMN dan BUMD mendapat

prioritas (pasal 75)

8

Prosedur Pemberian Izin:

Wilayah

KP/KK/PKP2B/SIPD/SIUPR

Prosedur Pemberian Izin:

- Wilayah Izin Usaha Pertambangan

(WIUP) mineral logam diberikan

Page 8: Makalah penanaman modal 2

8

diberikan kepada pengusaha

tambang dengan cara pengajuan

permohonan kepada pemberi

izin

kepada pengusaha tambang dengan

cara lelang (pasal 51)

- Wilayah Izin Usaha Pertambangan

(WIUP) batubara diberikan kepada

pengusaha tambang dengan cara

lelang (pasal 60)

- Wilayah Izin Usaha Pertambangan

(WIUP) mineral non logam dan

batuan diberikan kepada pengusaha

tambang dengan cara pengajuan

permohonan kepada pemberi izin

(pasal 54 dan 57)

9

Hak dan Kewajiban Pelaku

Usaha

- Keuangan :

- KP, sesuai peraturan

perundang-undangan yang

berlaku.

-KK/PKP2B, tetap pada saat

kontrak ditandatangani.

- Lingkungan (sedikit diatur)

- Nilai tambah (hanya diatur

kontrak)

- Pemanfaatan tenaga kerja

setempat (tidak diatur)

- Program pengembangan dan

pemberdayaan masyarakat (tidak

diatur)

Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

- Keuangan :

Membayar pendapatan negara dan

daerah :

Pajak, PNBP, iuran (pasal 128-133).

- Lingkungan :

Good mining practices (pasal 95)

Reklamasi, pasca tambang dan

konservasi yang telah direncanakan,

beserta dana yang disediakan

(pasal 96 – 100)

Nilai tambah. Pemegang IUP Operasi

Produksi wajib melakukan pengolahan

dan pemurnian hasil tambang di dalam

negeri (pasal 103-104)

Mengutamakan pemanfaatan tenaga

kerja setempat (pasal 106)

Saat tahap operasi produksi, wajib

mengikutsertakan pengusaha lokal

(pasal 107)

Menyusun program pengembangan dan

pemberdayaan masyarakat (pasal 108)

Wajib menggunakan perusahaan jasa

pertambangan lokal dan/atau nasional

seperti konsultasi dan perencanaan

(pasal 124)

10 Divestasi :Tidak diatur

Divestasi :

Setelah 5 tahun beroperasi, badan

usaha pemegang IUP dan IUPK yang

sahamnya dimiliki asing, wajib

melakukan divestasi pada

Pemerintah, pemda, BUMN, BUMD,

Page 9: Makalah penanaman modal 2

9

atau badan usaha swasta

nasional (pasal 112)

11

Pembinaan dan Pengawasan

- Terpusat (khususnya KP, KK

dan PKP2B)

Pembinaan dan Pengawasan

IUP (Menteri, Bupati/Walikota-

sesuai kewenangan)- pasal 139-

142. Bentuk pengawasan sangat

terinci.

IPR (Bupati/Walikota) - pasal 143

12

Perlindungan Masyarakat

Pemegang KP wajib

mengembalikan tanah

sedemikian rupa. Sehingga tidak

menimbulkan penyakit atau

bahaya lain bagi masyarakat

(pasal 30)

Perlindungan Masyarakat

Masyarakat yang terkena dampak

negatif langsung berhak mendapat

ganti rugi yang layak, atau

mengajukan gugatan (pasal 145)

13 PenyidikanTidak diatur

Penyidikan (pasal 149)

- Penyidik Polri

- Penyidik PPNS

14

Ketentuan Pidana

- Diatur, tetapi sudah tidak sesuai

lagi dengan situasi dan kondisi

saat ini.

Misalnya : penjara selama-

lamanya 6 tahun dan/atau denda

setinggi-tingginya Rp. 500.000,-

bagi yang tidak mempunyai KP

tetapi melakukan usaha

pertambangan (pasal 31)

- Tidak ada sangsi pidana

terhadap pemberi/penerbit izin

- Tidak ada sangsi pidana

terhadap pemberi/penerbit izin

Ketentuan Pidana

- Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota

sesuai kewenangannya berhak

memberi sanksi administratif pada

pemegang IUP, IPR dan IUPK. Sanksi

mulai dari peringatan hingga

pencabutan ijin (pasal 151).

- Sanksi cukup keras. Misalnya, setiap

orang yang melakukan usaha

pertambangan tanpa IUP, IPR atau

IUPK dihukum maksimal 10 tahun dan

denda maksimal Rp. 10 Miliar

- Setiap orang yang mengeluarkan

IUP, IPR, atau IUPK yang

bertentangan dengan Undang-

Undang ini dan menyalahgunakan

kewenangannya diberi sanksi pidana

paling lama 2 (dua) tahun penjara dan

denda paling banyak

Rp200.000.000,00 (dua ratus juta

rupiah). (pasal 165)

Page 10: Makalah penanaman modal 2

10

B. Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal Asing antara Churcill Mining Plc

dengan Pemerintah Kalimantan Timur di Indonesia dengan UU No. 4 Tahun

2009

1. Churcill Mining Plc vs Republic of Indonesia

Sengketa antara Churcill Mining Plc sudah berlangsung sejak tahun 2008,

Kasus ini bermula dari pencabutan izin kuasa pertambangan (KP) milik 4

perusahaan tambang batubara yang tergabung dalam Grup Ridhatama oleh Bupati

Kutai Timur ditahun 2008. Keempat perusahaan ini, menurut klaim Churcill Mining

Plc, mayoritas sahamnya (75%) dimiliki oleh mereka. Karena itulah mereka merasa

dirugikan oleh kebijakan Bupati tersebut.

Di sisi lain, pihak Ridhatama sendiri membantah klaim Churcill Mining Plc

tersebut. Dalam suratnya kepada Bupati Kutai Timur tiga tahun lalu, pimpinan grup

ini menyatakan bahwa Grup Ridhatama berikut keempat perusahaan tambang yang

memiliki KP di Kutai Timur 100% dimiliki oleh pihak lokal. Hal ini juga sesuai dengan

undang-undang pertambangan 1967 yang tidak memperbolehkan pihak asing

memiliki KP, karena perusahaan asing telah diberi ‘wadah’ sendiri dalam industri

tambang nasional, yakni Kontrak Karya/KK (mineral) dan Perjanjian Karya

Pengusahaan Pertambangan Batubara/PKP2B (batubara). Jadi, klaim Churcill

Mining Plc bahwa mereka memiliki konsesi di Kutai Timur tidak dapat

dipertanggungjawabkan.

Adapun permasalahan antara Churcill Mining Plc Mining dengan Pemkab

Kutai Timur muncul setelah adanya perselisihan antara perusahaan tersebut dengan

mitra kerjanya, Grup Ridhatama tahun 2009 lalu. Sejak itulah Churcill Mining Plc

Mining mengklaim memiliki investasi di Kutai Timur dan melemparkan tuduhan pada

pemkab Kutai Timur terkait kegagalan aktivitas bisnisnya di Kutai Timur.

Sementara itu, terkait dengan pencabutan izin KP milik grup Ridhatama,

Pemkab Kutai Timur mendasarinya dengan laporan audit khusus Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK) mengenai KP-KP yang dikeluarkan pada tahun 2006-2008. Audit

BPK ini dilaksanakan sejak September 2008 dan mengeluarkan hasil berupa laporan

yang mengindikasikan adanya lima KP yang palsu di Kabupaten Kutai Timur.

Gugatan yang diajukan oleh perusahaan tambang yang berpusat di London

Inggris itu dimulai sejak tahun 2010. Namun di Pengadilan Negeri (PN) Kutai Timur,

Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur, Mahkamah Agung (MA), hingga Pengadilan

Page 11: Makalah penanaman modal 2

11

Tata Usaha Negara (PTUN), pihak penggugat selalu kalah. Kekalahan secara

beruntun di pengadilan Indonesia itu membuat Churchill mengajukan gugatan ke

Arbitrase Internasional.

Grup Ridlatama adalah perusahaan yang memiliki empat izin tambang batu

bara di Kabupaten Kutai Timur Kalimantan Timur, namun kemudian izinnya dicabut

oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Timur karena menjual perusahaan kepada pihak

asing, yakni Churchill Mining Plc dengan komposisi saham 25 persen berbanding 75

persen. Churchill Mining Plc mengakuisisi Ridlatama secara diam-diam, padahal

perusahaan asing tidak boleh memegang izin usaha pertambangan (IUP). Hal itulah

yang membuat Pemkab Kutai Timur mencabut izin Grup Ridlatama. Selain itu, IUP

Grup Ridlatama diduga di atas hutan produksi yang harus mendapat Izin pinjam

pakai kawasan hutan terlebih dulu dari Kementerian Kehutanan. Merasa dirugikan,

Churchill Mining menggugat pemerintah pusat dan Pemerintah Kabupaten Kutai

Timur sebesar 2 miliar dolar AS lewat PTUN dan ICSID.

Tindakan Churcill telah melanggar beberapa peraturan perundang-undangan

di Indonesia terkait dalam bidang pertambangan. Seperti dalam pasal 93 ayat 1 UU

No 4 Tahun 2009 menyebutkan, pemegang IUP dan IUPK tidak boleh memindahkan

IUP dan IUPK-nya kepada pihak lain. Pasal ini kemudian dipertegas dalam Pasal 7

huruf A Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas

Peraturan Menteri Energi Dan Sumber daya Mineral Nomor 28 Tahun 2009 tentang

Penyelenggaraan Usaha Jasa Pertambangan Mineral Dan Batubara. PP tersebut

menyatakan, sebagai berikut:

“(1) pemegang IUP dan IUPK tidak boleh memindahkan IUP dan IUPK-nya

kepada pihak lain (2) pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi badan usaha yang

51 persen atau lebih sahamnya tidak dimiliki oleh pemegang IUP atau

IUPK.”

Churchill menggugat Indonesia juga dengan dasar bilateral investment treaty

(BIT) antara Indonesia dan Inggris dan antara Australia dan Indonesia, BIT adalah

perjanjian penanaman modal yang disepakati oleh dua negara. Berdasarkan

perjanjian tersebut, dua negara sepakat untuk saling melindungi setiap bentuk

kegiatan penanaman modal yang dilakukan oleh investor antar kedua negara.

BIT juga menjadi dasar bagi kedua negara untuk mengeluarkan kebijakan

yang dapat mendukung, mengamankan, dan mempromosikan penanaman modal di

masing-masing negara. Komitmen ini kemudian direpresentasikan dengan cara

Page 12: Makalah penanaman modal 2

12

saling melindungi setiap bentuk kegiatan penanaman modal dari aksi nasionalisasi

atau pengambilalihan perusahaan oleh negara dan pembatasan aturan dalam

penanaman investasi.

Kebebasan investor juga dijamin ketika melakukan transfer dana. Karena itu,

BIT sering diterjemahkan sebagai investment guarantee agreement (IGA) atau

perjanjian peningkatan dan perlindungan penanaman modal (P4M). Perjanjian BIT

ini ditandatangani Indonesia beberapa puluh tahun yang lalu dikarenakan posisi

Indonesia yang pada saat itu masih lemah dan membutuhkan investor.

2. Proses Arbitrase ICSID

Majelis Arbitrase pada International Center forSettlement of Investment

Dispute (ICSID) pada 24 Maret 2014 yang terdiri dari GabrielleKaufmann-Kohler

(berkebangsaan Swiss), Albert Jan van Den Berg(berkebangsaan Belanda), dan

Michael Hwang (berkebangsaan Singapura), telah membuat putusan.

Majelis ini memeriksa gugatan yang diajukan Planet Mining Pty Ltd yang

didirikan berdasarkan hukum Australia dan merupakan anak perusahaan Churchill

Mining Plc yang didirikan berdasarkan hukum Inggris dan Wales (Churchill), sebagai

claimant terhadap pemerintah Indonesia selaku respondent. Dalam putusan tersebut

dinyatakan bahwa Majelis Arbitrase memiliki kewenangan (jurisdiction) atas

sengketa yang diajukan.

Sengketa yang membawa pemerintah Indonesia ke ICSID kali ini merupakan

gugatan Churchill yang didaftarkan pada 22 Juni 2012. Yakni, sengketa terkait

dengan hak untuk mengeksploitasi batu bara di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan

Timur. Putusan ICSID yang dibuat belumlah menyentuh pokok perkara. Oleh

karenanya, pemerintah tidak dapat dikatakan ‘kalah’. Putusan masih terkait dengan

kewenangan Majelis Arbitrase untuk memeriksa perkara. Untuk dipahami, dalam

proses beperkara di lembaga peradilan, termasuk di ICSID, pada intinya ada tiga

tahapan yang harus dilalui.

Pertama menentukan apakah lembaga peradilan memiliki kewenangan untuk

memeriksa suatu perkara yang diajukan. Istilah hukum yang dikenal diIndonesia

ialah eksepsi. Majelis yang memeriksa perkara akan menentukan apakah dirinya

berwenang atau tidak melalui sebuah putusan.

Dalam perkara Churchill, putusan Majelis Arbitrase ada pada tahap ini. Di

tahap ini pemerintah memiliki upaya hukum berupa pembatalan (annulment) atas

Page 13: Makalah penanaman modal 2

13

putusan terkait dengan kewenangan Majelis Arbitrase. Hal tersebut diatur dalam

Pasal 52 ayat 1 Konvensi ICSID. Jangka waktu yang diberikan untuk melakukan

upaya hukum ini ialah 120 hari sejak putusan diterbitkan.

Namun, tahap berikutnya, bila pemerintah tidak menggunakan upaya hukum

pembatalan, Majelis Arbitrase akan memasuki tahap pemeriksaan atas pokok

perkara. Tahap pemeriksaan pokok perkara akan terkait dengan apa yang menjadi

dasar gugatan dan jawaban atas gugatan. Dalam proses ini, Majelis Arbitrase akan

memeriksa saksi fakta, bukti, termasuk juga penyampaian keterangan ahli.

Selanjutnya, proses pemeriksaan pokok perkara akan berakhir dengan suatu

putusan. Putusan berisi dikabulkan tuntutan penggugat untuk seluruhnya,

dikabulkan tuntutan untuk sebagian, atau tuntutan ditolak.

Setelah putusan atas pokok perkara, tahap berikutnya ialah tahap

pelaksanaan (enforcement) dari putusan. Tahap ini bukanlah hal yang mudah.

Tenaga, waktu, dan biaya masih dibutuhkan, terutama bila pihak yang dikalahkan

tidak mau menjalankan putusan secara sukarela.

Churchill Mining Plc mengajukan gugatan ke ICSID pada 22 Mei. Lalu, pada

30 Mei 2012 silam, ICSID telah mengirim pemberitahuan kepada pihak tergugat,

yaitu Presiden Indonesia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM),

Menteri Kehutanan, Menteri Luar Negeri, Kepala Badan Koordinasi Penanaman

Modal (BKPM), dan Bupati Kutai Timur. Dalam gugatannya, Churchill menuntut ganti

rugi sebesar USD2 miliar kepada pemerintah Indonesia dengan nilai gugatan

mencapai U$ 2 Milyar (18 Triliyun Rupiah), dan sekarang turun menjadi U$ 1,1 (10

Trilyun Rupiah)

Pada Perjalanannya, Putusan Arbiter perihal bahwa ICSID mempunyai

kewenangan mengadili, dan menolak Juridictional challenges dari pihak Indonesia,

Indonesia menganggap bahwa untuk diselesaikan dibadan arbiter, haruslah ada

persetujuan kedua belah pihak, dan Indonesia tidak bersedia kasus ini diselesaikan

di lembaga ISCID , dengan ditolaknya hal tersebut oleh badan arbiter maka Churchiil

mining plc dan pihak Indonesia akan melanjutkan ketahap berikutnya yakni proses

pemeriksaan pokok perkara yang masih berlangsung sampai sekarang .

3. Indonesia Mencabut 66 Bilateral Investment Treaty (BIT)

Salah satu hal yang tidak menguntungkan posisi Indonesia adalah, perihal

masalah Bilateral Investment Treaty, dan memang dari BIT ini posisi Indonesia

Page 14: Makalah penanaman modal 2

14

menjadi lemah, dikarenakan posisi tawar Indonesia pada saat BIT tersebut dibuat

masih sangat lemah, jika dikaitkan dengan kasus Churchill ini, Badan Arbitrase

menolak argumen Indonesia tentang pencabutan Izin Churchill Mining dengan dalih

bahwa Indonesia telah melanggar BIT dengan Inggris Raya, dan mengharuskan

Indonesia membayar denda U$1,1M, meskipun putusan ini belum final dan terkesan

kontroversial, namun hal ini memusingkan pemerintah Indonesia dan bahkan

membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) geram, dan

menginstruksikan agar pemerintah untuk melakukan upaya bmaksimal di arbitrase

internasional.

Edy Burmansyah, pengamat dari Resistance and Alternatives to Globalization

(RAG) yang mendalami isu-isu kerja sama internasional, mengatakan bahwa

keputusan pengakhiran BIT oleh pemerintah layak diapresiasi karena menunjukkan

iktikad pembelaan atas kepentingan nasional. Menurut Edy, sejak disahkannya

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA)

yang kemudian diganti dengan UU No. 25/2007, Indonesia telah secara agresif

melakukan BIT dengan berbagai negara. BIT pertama dilakukan dengan Amerika

Serikat (AS) pada 7 Januari 1967 untuk masa berlaku 20 tahun dan otomatis

diperpanjang jika salah satu negara tidak menyatakan keberatan. ’’Total sejak 1967

hingga sekarang, Indonesia sudah menandatangani 66 BIT,” katanya.

Edy menambahkan, pengakhiran BIT juga harus dilakukan karena justru

tumpang tindih dengan berbagai perjanjian dalam payung World Trade Orgazition

(WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia maupun free trade agreement

(FTA/perjanjian perdagangan bebas) yang ditandatangani Indonesia. Dari fakta-fakta

diatas, pemerintah Indonesia melakukan langkah berani namun sedikit terlambat

dengan menakhiri 66 perjanjian BIT dengan beberapa negara termasuk dengan

Belanda dan Inggris.

BIT menjadi pendorong dua negara untuk saling menyajikan kebijakan yang

dapat mendukung dan mempromosikan penanaman modal di masing-masing

negara. Komitmen tersebut mereka tuangkan dengan cara saling melindungi setiap

bentuk kegiatan penanaman modal dari aksi nasionalisasi, atau pengambilalihan

perusahaan oleh negara. Mereka juga menjamin kebebasan investor ketika

melakukan transfer dana. Karena itu, BIT sering diterjemahkan sebagai Perjanjian

Peningkatan dan Perlindungan Penanaman Modal (P4M), atau Investment

Guarantee Agreement (IGA).

Page 15: Makalah penanaman modal 2

15

Sering kali dua negara yang terikat di dalam BIT telah sepakat untuk

merumuskan mekanisme penyelesaian sengketa secara adil, serta menjalankan

perlakuan non-diskriminatif. Di sana mereka berjanji untuk tidak saling membedakan

investor di antara mereka. Maksud perlakuan sama tentunya dalam mematuhi

kebijakan publik di bidang penanaman modal yang berlaku di kedua negara. BIT

juga mengakui subrogasi dalam kasus pembayaran asuransi oleh lembaga penjamin

yang ditunjuk oleh investor itu sendiri.

Sejak membuka diri terhadap kedatangan aliran investasi asing yang

dikukuhkan melalui Undang-Undang Nomor 78 Tahun 1958 tentang Penanaman

Modal Asing (kemudian diganti oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang

Penanaman Modal Asing, dan sekarang berlaku Undang-Undang Nomor 25 Tahun

2007 tentang Penanaman Modal), Indonesia langsung melibatkan diri dengan P4M.

Dimulai pada 7 Januari 1967, Indonesia menyepakati P4M dengan Amerika dengan

masa berlaku 20 tahun. Kemudian bersama Denmark, Indonesia juga telah

menyepakati P4M pada 30 Januari 1968.

Di tahun yang sama, Indonesia membuat IGA bersama Denmark, yakni pada

8 November 1968. Karena habis masa berlakunya, rumusan BIT disepakati ulang di

Jakarta pada 14 Mei 2003, untuk masa berlaku 10 tahun ke muka. Di perjalanan

tahun berikutnya, yakni pada 24 November 1969, Indonesia menyepakati P4M

dengan Norwegia yang ditandatangani di Jakarta. Perkembangan P4M Indonesia

lainnya, telah berhasil dirumuskan bersama negara:

1. Aljazair, disepakati di Alger pada 21 Maret 2000, masa berlaku 10 tahun;

2. Amerika Serikat, disepakati di Jakarta pada 7 Januari 1967, masa berlaku 20

tahun;

3. Argentina, disepakati di Buenos Aires pada 7 November 1995, masa berlaku

10 tahun;

4. Australia, disepakati di Jakarta pada 17 November 1992, masa berlaku 15

tahun;

5. Bangladesh, disepakati di Dhaka pada 9 Februari 1998, masa berlaku 10

tahun;

6. Belanda, disepakati di Jakarta pada 6 April 1994, masa berlaku 10 tahun;

7. Belgia, disepakati di Jakarta pada 15 Januari 1970;

Page 16: Makalah penanaman modal 2

16

8. Bulgaria, disepakati di Jakarta pada 13 September 2003, masa berlaku 10

tahun;

9. Kanada, disepakati di Jakarta pada 16 Maret 1973;

10. Chile, disepakati di Santiago pada 7 April 1999, masa berlaku 10 tahun;

11. China, disepakati di Jakarta pada 18 November 1994, masa berlaku 10 tahun;

12. Ceko, disepakati di Praha (Prague) pada 17 September 1998, masa berlaku

10 tahun;

13. Denmark, disepakati pada 30 Januari 1968;

14. Filipina, disepakati di Jakarta pada 12 November 2001, masa berlaku 10

tahun;

15. Finlandia, disepakati di Helsinki pada 12 September 2006, masa berlaku 15

tahun;

16. Guyana, disepakati di Guyana pada 30 Januari 2008;

17. Hongaria, disepakati di Jakarta pada 20 Mei 1992, masa berlaku 10 tahun;

18. India, disepakati di Montego Bay pada 8 Februari 1999, masa berlaku 15

tahun;

19. Inggris, disepakati di London pada 27 April 1976, masa berlaku 5 tahun;

20. Iran, disepakati di Teheran pada 22 Juni 2005, masa berlaku 10 tahun;

21. Italia, disepakati di Roma pada 25 April 1991, masa berlaku 10 tahun;

22. Jamaika, disepakati di Montego Bay pada 8 Februari 1999, masa berlaku 10

tahun;

23. Jepang, disepakati di Jakarta pada 20 Agustus 2007;

24. Jerman, disepakati di Jakarta pada 14 Mei 2003, masa berlaku 10 tahun;

25. Jordania, disepakati di Jakarta pada 12 November 1996, masa berlaku 10

tahun;

26. Kamboja, disepakati di Jakarta pada 16 Maret 1999, masa berlaku 10 tahun;

27. Korea Selatan, disepakati di Jakarta pada 16 Februari 1991, masa berlaku 10

tahun;

28. Korea Utara, disepakati di Jakarta pada 21 Februari 2000, masa berlaku 10

tahun;

29. Kroasia, disepakati di Jakarta pada 10 September 2001;

30. Kuba, disepakati di Havana pada 19 September 1997, masa berlaku 10

tahun;

31. Kyrgyzstan, disepakati di Jakarta pada 18 Juli 1995, masa berlaku 10 tahun;

Page 17: Makalah penanaman modal 2

17

32. Laos, disepakati di Jakarta pada 18 Oktober 1994, masa berlaku 10 tahun;

33. Libya, disepakati di Tripoli pada 4 April 2009;

34. Malaysia, disepakati Jakarta pada 22 Januari 1994, masa berlaku 10 tahun;

35. Maroko, disepakati di Jakarta pada 14 Maret 1997, masa berlaku 10 tahun;

36. Mauritius, disepakati di Port Louis pada 5 Maret 1997, masa berlaku 10

tahun;

37. Mesir, disepakati di Jakarta pada 19 Juni 1994, masa berlaku 10 tahun;

38. Mongolia, disepakati di Jakarta pada 4 Maret 1997, masa berlaku 10 tahun;

39. Mozambique, disepakati di Maputo pada 26 Maret 1999, masa berlaku 10

tahun;

40. Norwegia, disepakati di Jakarta pada 26 November 1991, masa berlaku 10

tahun;

41. Pakistan, disepakati di Jakarta pada 8 Maret 1996, masa berlaku 15 tahun;

42. Perancis, disepakati di Jakarta pada 14 Juni 1973, masa berlaku 10 tahun;

43. Polandia, disepakati di Warsawa pada 7 Oktober 1992, masa berlaku 10

tahun;

44. Qatar, disepakati di Doha pada 18 April 2000, masa berlaku 10 tahun;

45. Rumania, disepakati di Bukares pada 26 Juni 1997, masa berlaku 10 tahun;

46. Rusia, disepakati di Jakarta pada 6 September 2007;

47. Saudi Arabia, disepakati di Jeddah pada 15 September 2003;

48. Singapura, disepakati di Singapura pada 16 Februari 2005, masa berlaku 10

tahun;

49. Slovakia, disepakati di Jakarta pada 12 Juli 1994, masa berlaku 10 tahun;

50. Spanyol, disepakati di Jakarta pada 30 Mei 1995, masa berlaku 10 tahun;

51. Sri Lanka, disepakati di Jakarta pada 10 Juni 1996, masa berlaku 10 tahun;

52. Sudan, disepakati di Khartoum pada 10 februari 1998, masa berlaku 10

tahun;

53. Suriah, disepakati di Jakarta pada 27 Juni 1997, masa berlaku 10 tahun;

54. Suriname, disepakati di Paramaribo pada 28 Oktober 1995, masa berlaku 10

tahun;

55. Swedia, disepakati di Jakarta pada 17 September 1992, masa berlaku 10

tahun;

56. Tajikistan, disepakati di Jakarta pada 28 Oktober 2003, masa berlaku 10

tahun;

Page 18: Makalah penanaman modal 2

18

57. Swiss, disepakati di Jakarta pada 6 Februari 1974, masa berlaku 10 tahun;

58. Thailand, disepakati di Jakarta pada 17 Februari 1998, masa berlaku 10

tahun;

59. Tunisia, disepakati di Denpasar pada 13 Mei 1992, masa berlaku 10 tahun;

60. Turki, disepakati di Jakarta pada 25 Februari 1997, masa berlaku 10 tahun;

61. Turkmenistan, disepakati di Jakarta pada 2 Juni 1994, masa berlaku 10

tahun;

62. Ukraina, disepakati di Jakarta pada 11 April 1996, masa berlaku 10 tahun;

63. Uzbekistan, disepakati di Jakarta pada 27 Agustus 1996, masa berlaku 10

tahun;

64. Vietnam, disepakati di Jakarta pada 25 Oktober 1991, masa berlaku 10 tahun;

65. Yaman, disepakati di Jakarta pada 20 Februari 1998, masa berlaku 1o tahun;

66. Zimbabwe, disepakati di Montego Bay pada 8 Februari 1999, masa berlaku

10 tahun.

Page 19: Makalah penanaman modal 2

19

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Perizinan dalam penanaman modal asing sebelum dan setelah keluarnya UU

No. 4 Tahun 2009 memang pada dasarnya dipermudah, dikarenakan UU no

4 tahun 2009 menggunakan proses 1 pintu, dan serta dengan pengaturan

yang lebih ketat diharapkan dapat menumbuhkan iklim investasi yang sehat

2. Kasus Churchill Mining Plc dengan Pemerintah Indonesia memang masih

harus menunggu penyelesaiannya di forum arbitrase, mengingat banyak hal

yang dipertimbangkan salah satunya UU No. 4 Tahun 2009 serta dengan

perjanjian BIT antara Indonesia dengan Inggris dan Australia dengan

Indonesia.

B. Saran

1. Ketentuan mengenai penanaman modal khususnya mengenai penyelesaian

sengketa harus dicermati lagi, terutama mengenai perlindungan hukum bagi

penanam modal asing yang melakukan penyelesaian sengketa melalui peradilan

nasional, dimana hal tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum di

Indonesia, yang pada akhirnya akan mengakibatkan penanam modal asing

khususnya di bidang pertambangan enggan melakukan penanaman modal di

Indonesia.

2. Belajar dari kasus Churchill Mining yang menggugat Indonesia, maka Indonesia

harus memperbaiki kebijakan mengenai ketentuan hukum dibidang

pertambangan khususnya mengenai ijin pertambangan. Apabila terdapat

penanam modal asing yang akan menanamkan modalnya di bidang

pertambangan maka terlebih dahulu harus memiliki ijin pertambangan sehingga

permasalahan/kejadian yang serupa tidak terjadi lagi dikemudian hari.

3. Implementasi Otonomi Daerah yang masih lemah, dimana dapat dilihat dari

Pemerintahan Daerah yang mengeluarkan ijin, namun tidak didaftarkan ke

Pemerintah Pusat. Hal ini harus diperbaiki agar tidak lagi terjadi kasus yang

serupa dengan kasus Churchill Mining di Indonesia.

Page 20: Makalah penanaman modal 2

20

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2010

Internet:

Forum Penanaman Modal, Perjanjian Peningkatan dan Perlindungan Penanaman

Modal, 20 April 2010, diakses di http://forum-penanaman-

modal.blogspot.com, tanggal 19 Mei 2014 pukul 21.00WIB

Martin Bagya Kertiyasa, Jalan Menuju Putusan Arbitrase Masih Panjang 02 maret

2014, diakses di www.okezone.com, tanggal 19 Mei 2014 pukul 20.10 WIB

Rachmad Faisal Harahap, Sengketa Churchill, Buah Kesepakatan yang Rugikan RI,

04 maret 2014, diakses di www.okezone.com, tanggal 19 Mei 2014 pukul

20.00 WIB

Shanti Rachmadsyah, Izin Pertambangan Pihak Asing, 29 September 2010, diakses

di www.hukumonline.com, tanggal 15 Mei 2014 pukul 13.42 WIB

Sony Heru Prasetyo, Penataan IUP Terus Dilakukan, 26 Maret 2014, diakses di

www.hukumonline.com, tanggal 15 Mei 2014 pukul 13.25 WIB

Peraturan Perundang-undangan :

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Pertambangan

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan

Menteri Energi Dan Sumber daya Mineral Nomor 28 Tahun 2009 tentang

Penyelenggaraan Usaha Jasa Pertambangan Mineral Dan Batubara