makalah penanaman modal 2
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penanaman Modal Asing (PMA) menjadi salah satu sumber pembiayaan
yang penting bagi wilayah yang sedang berkembang dan mampu memberikan
kontribusi yang cukup besar bagi pembangunan. Sebagai salah satu komponen
aliran modal, PMA dianggap sebagai aliran modal yang relatif stabil dibandingkan
dengan aliran modal lainnya, misalnya investasi portofolio maupun utang luar
negeri. Berbagai kebijakan telah di lakukan oleh pemerintah Indonesia guna untuk
mencapai suatu tujuan yaitu menjadikan masyarakat Indonesia sejahtera dengan
perekonomian yang ada saat ini, salah satu caranya yaitu dengan investasi
(penanaman modal) baik yang dilakukan oleh investor Domestik maupun investor
Asing.
Pengembangan bidang usaha salah satunya di bidang pertambangan bagi
penanaman modal, khususnya penanaman modal asing sangatlah penting. Oleh
karena dengan adanya arah pengembangan per bidang usaha akan dapat pula
diketahui kebijaksaan pemerintah guna lebih memberi kepastian berusaha bagi
penanaman modal, khususnya penanaman modal asing.
Bidang usaha pertambangan merupakan bidang usaha yang mendapatkan
prioritas utama dari pemerintah baik dari sebelum sampai sesudah diterbitkannya
UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal baik asing, maupun dalam
negeri. Alasannya ialah kurang lebih 25 tahun lamanya bidang usaha pertambangan
ini kurang mendapat perhatian dan mendapatkan garapan dari pemilik modal,
khususnya penanaman modal asing. Untuk itu, pemerintah berusaha untuk dapat
mengarahkan penanaman modal asing guna mengaplikasikan modalnya dalam
mengusahakan dan mengelola sumber daya alam yang terletak dam bidang usaha
pertambangan. Sejalan dengan hal tersebut, maka dalam arahan penanaman modal
telah ditetapkan arah pengembangan bidang usaha pertambangan yang lebih
diarahkan pada pemanfaatan sebesar-besarnya kekayaan tambang bagi
pembangunan nasional demi peningkatan kesejahteraan rakyat.1
1 Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2010, hlm. 162
2
Undang-undang pertambangan melalui berbagai perubahan setelah pertama
kali diatur dalam Indonesische Mijnwet tahun 1907 dan berlaku pada waktu
kemerdekaan Indonesia diproklamirkan. Kemudian diganti dengan UU No. 37 Prp
tahun 1960. Undang-undang Pertambangan yang menggantikan dan mencabut
Indonesische Mijnwet pada tanggal 14 Oktober 1960. Selanjutnya UU No. 37 Prp
tahun 1960 itu kemudian tidak lagi dapat memenuhi tuntutan masyarakat yang ingin
berusaha dalam bidang pertambangan, ditambah lagi dengan perkembangan politik
dan pembaharuan kebijaksanaan landasan ekonomi, keuangan dan pembangunan
antara lain sebagaimana ditetapkan dalam Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966
maka regulasi mengenai pertambangan diubah dengan UU No. 11 Tahun 1967
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan pada tanggal 2 Desember 1967.
Sampai akhirnya UU No. 11 Tahun 1967 tersebut dianggap materi muatannya
bersifat sentralistik sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi sekarang dan
tantangan di masa depan dan digantikan dengan UU No. 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara yang diundangkan di Jakarta tanggal 12
Januari 2009 dan berlaku hingga sekarang.
Salah satu kasus di bidang pertambangan terkait dengan perizinan dalam
penanaman modal asing adalah kasus Churcill Mining Plc Mining .plc. Kronologi dari
kasus tersebut adalah Churchill Mining mengajukan gugatan ke ICSID setelah pada
2010 pemerintah daerah Kabupaten Kutai Timur mencabut izin usaha pertambangan
(IUP) yang dipegang PT Ridlatama pada empat tambang di Busang, Kalimantan
Timur. Ridlatama adalah perusahaan yang 75% sahamnya dipegang PT Indonesia
Coal Development (ICD), anak usaha Churchill Mining di Indonesia. Churchill
kemudian merasa dirugikan dan mengajukan gugatan atas aset proyek batu bara
yang nilainya disebut US$1,8 miliar.
Sedangkan, PT Ridlatama dianggap BKPM bukan perusahaan asing
sehingga izin operasionalnya tidak melalui BKPM. Dalam pemberitaan sebelumnya,
disebutkan bahwa Churchill Mining hanya boleh bekerja sesuai kontrak, tapi tidak
bisa meminta izin IUP secara langsung. Proyek batu bara yang dipermasalahkan
ialah East Kutai Coal Project yang dikembangkan Kutai Timur. Dokumen ICSID
menyebutkan proyek itu sebagai daerah dengan deposit batu bara terbesar ketujuh
di dunia, terbesar kedua di Indonesia, dengan cadangan batu-bara mencapai 2,7
miliar metrik ton.
3
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas maka masalah
yang akan kami bahas dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana perizinan dalam penanaman modal asing sebelum dan setelah
keluarnya UU No. 4 Tahun 2009?
2. Bagaimana kaitan sengketa penanaman modal asing antara Churcill Mining
Plc dengan Pemerintah Kalimantan Timur di Indonesia dengan UU No. 4
Tahun 2009?
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perizinan Dalam Penanaman Modal Asing Setelah Keluar UU No. 4 Tahun
2009
Pertama harus diperhatikan apakah ada pembatasan bagi investor asing
untuk melakukan kegiatan usaha di bidang pertambangan batubara. Pembatasan
dapat dicek dalam Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang
Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan Di
Bidang Penanaman Modal (“Perpres DNI”). Dalam Perpres DNI ini tidak ada
pembatasan bagi investasi asing untuk penambangan batubara, oleh karena
itu boleh saja kepemilikan investor asingnya sebesar 90%. Yang harus perusahaan
tersebut lakukan adalah mendapatkan izin dari BKPM.
Setelah itu yang harus diingat adalah Undang-Undang No. 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal (“UUPM”). Menurut pasal 5 ayat (2) UUPM, penanaman
modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas (“PT”). Jadi, nantinya bentuk
usaha Anda dan investor asing tersebut harus berupa PT. Kemudian, harus diingat
juga bahwa ada ketentuan divestasi bagi investor asing di bidang
pertambangan. Pasal 112 Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU Minerba”) mengatur bahwa setelah 5
tahun berproduksi, badan usaha pemegang izin usaha pertambangan yang
sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham. Divestasi ini
dilakukan pada Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah, atau badan usaha swasta nasional. Pasal 97 Peraturan
Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara (“PP 23/2010”) selanjutnya mengatur besaran
saham yang harus didivestasi, yaitu sehingga sahamnya paling sedikit 20% (dua
puluh persen) dimiliki peserta Indonesia. Jadi, walaupun saat ini investor asing
diperbolehkan untuk memegang saham sebesar 90%, namun 5 tahun sesudah
berproduksi nanti investor tersebut wajib melakukan divestasi saham sehingga
saham investor asing tersebut menjadi maksimal 80%.
Semenjak diberlakukannya UU Minerba, usaha pertambangan tidak lagi
dilakukan berdasarkan Kontrak Karya ataupun PKP2B, melainkan berdasar Izin
Usaha Pertambangan (“IUP”). Menurut pasal 1 angka 7 UU Minerba, IUP adalah izin
5
untuk melaksanakan usaha pertambangan. IUP terdiri atas dua tahap yaitu IUP
Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi. IUP Eksplorasi adalah izin usaha yang
diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan
studi kelayakan (lihat pasal 1 angka 8 UU Minerba). Sedangkan, IUP Operasi
Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUP
Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi. Kedua IUP tersebut
diberikan setelah perusahaan tersebut memperoleh Wilayah Izin Usaha
Pertambangan (WIUP), yaitu wilayah yang diberikan kepada pemegang IUP
(lihat pasal 6 ayat [4] PP No. 23/2010). Kemudian, di dalam pasal 8 ayat (3) PP
23/2010 dinyatakan bahwa WIUP diperoleh melalui cara lelang.
Dari tahun 1967 investasi di sektor tambang sangat besar meskipun tidak
sebesar migas. Sekarang sebetulnya dengan mengeluarkan kebijakan clean and
clear (CnC), sebetulnya dari sisi investasi ini sangat baik sekali, karena sekarang
investor yang ingin menanam saham di Indonesia itu hanya tinggal melihat saja.
Misalnya, perusahaan yang mau dimasuki itu bagus atau tidak, tinggal kita lihat saja
dari status CnC perusahaan yang bersangkutan. Tidak seperti membeli kucing
dalam karung. Banyak investor yang sudah menanam saham tapi ternyata izinnya
bodong atau statusnya tidak CnC. Sekarang dengan adanya kebijakan CnC ini maka
sudah lebih aman karena pemerintah sudah melakukan evaluasi terhadap izin-izin
yang sudah ada.
Indonesia sekarang sudah punya satu Standard Operational Procedure terkait
dengan pemrosesan IUP CnC. Kalau ada perusahaan atau pemerintah daerah
mengajukan, syaratnya tidak lengkap maka akan diarahkan untuk melengkapi
sendiri syaratnya. Apabila sudah melengkapi syarat dengan bukti pemberian
sertifikat, maka dia diarahkan untuk datang sendiri ke Kementerian ESDM. Dalam
SOP pemerintah terkait menghindari adanya perantara-perantara atau jasa orang-
orang yang tidak bertanggung jawab yang menghubungkan antara pemerintah
dengan pihak perusahaan. Sekarang pelaku perusahaan langsung berhubungan
dengan pemerintah, bahkan sekarang kita sudah manjalankan sistem pelayanan
terpadu satu pintu untuk proses pemberian IUP CnC.
Secara rinci perbedaan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pertambangan dan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara adalah sebagai berikut:
6
No UU NO. 11 TAHUN 1967 UU NO. 4 TAHUN 2009
1
Kekayaan Tambang disebut
bahan galian
Penguasaan bahan galian
diselenggarakan
pemerintah (pasal 1)
Kekayaan tambang disebut Mineral
dan Batubara
Dikuasai negara, diselenggarakan
oleh pemerintah dan /atau
pemerintah daerah (pasal 4)
Pemerintah dan DPR menetapkan
kebijakan pengutamaan mineral
dan Batubara untuk kepentingan
nasional
Pemerintah berwenang
menetapkan produksi setiap
provinsi untuk mengendalikan
produksi dan ekspor (pasal 5)
2
Penggolongan Bahan Galian
- Strategis (golongan A)
- Vital (golongan B)
- Non Strategis dan Non Vital
(golongan C)
Penggolongan Usaha Pertambangan:
- Pertambangan Mineral
- Pertambangan Batubara
Penggolongan komoditas tambang
terdiri dari :
Mineral radio aktif
Mineral logam
Mineral bukan logam
Batuan
Batubara
3
Kewenangan Pengelolaan:
- Bahan galian strategis dan vital
oleh Menteri
- Bahan galian non strategis dan
vital oleh Pemerintah Daerah
Tingkat I
Kewenangan Pengelolaan
- Kebijakan dan pengelolaan skup
nasional oleh Pemerintah, ada 21
kewenangan (pasal 6)
- Kebijakan dan pengelolaan skup
wilayah provinsi oleh Pemerintah
Provinsi, ada 14 kewenangan (pasal
7)
- Kebijakan dan pengelolaan skup
kabupaten/kota oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota, ada 12 kewenangan
(pasal 8)
4
Wilayah Pertambangan :
Tidak diatur terperinci yang
penting tidak meliputi kuburan,
tempat suci, kepentingan umum,
pertambangan lain, tempat
Wilayah Pertambangan :
- Wilayah Pertambangan (WP) adalah
bagian dari tata ruang nasional,
ditetapkan Pemerintah setelah
berkoordinasi dengan pemda dan
7
tinggal atau pabrik, DPR RI (pasal 10)
- Wilayah Pertambangan terdiri atas
wilayah usaha pertambangan (WUP),
wilayah pertambangan rakyat (WPR),
dan wilayah pencadangan nasional
(WPN), pasal 13.
- WUP, WPR dan WPN diatur
terperinci (pasal 14-33)
5
Bentuk Izin Usaha
Pertambangan:
Kontrak Karya (pasal 10)
Kuasa Pertambangan (pasal 15)
Surat Izin Pertambangan
Daerah
Surat Izin Usaha Pertambangan
Rakyat
Bentuk Izin Usaha Pertambangan:
- Izin Usaha Pertambangan (IUP)
- Izin Pertambangan Rakyat (IPR)
- Izin Usaha Pertambangan Khusus
(IUPK)
6
Tahapan Usaha Pertambangan:
- Penyelidikan umum
- Eksplorasi
- Eksploitasi
- Pengolahan dan pemurnian
- Pengangkutan
- Penjualan
Tahapan Usaha Pertambangan
1. Eksplorasi, meliputi :
penyelidikan umum
eksplorasi
studi kelayakan (pasal 36)
2. Operasi Produksi:
Konstruksi
Penambangan
pengolahan dan pemurnian
pengangkutan dan
penjualan (pasal 36)
7
Pelaku Usaha:
- Investor domestik (KP, SIPD,
PKP2B)
- Investor asing (KK, PKP2B)
- Luas usaha pertambangan tidak
dirinci
Pelaku Usaha:
- IUP diberikan pada badan usaha,
koperasi dan perseorangan (pasal 38)
- IPR diberikan pada penduduk
setempat baik perseorangan maupun
kelompok masyarakat, dan atau
koperasi (pasal 67), dengan luas yang
terperinci (pasal 68)
- IUPK diberikan pada badan usaha
berbadan hukum Indonesia, baik
BUMN, BUMD, maupun swasta.
BUMN dan BUMD mendapat
prioritas (pasal 75)
8
Prosedur Pemberian Izin:
Wilayah
KP/KK/PKP2B/SIPD/SIUPR
Prosedur Pemberian Izin:
- Wilayah Izin Usaha Pertambangan
(WIUP) mineral logam diberikan
8
diberikan kepada pengusaha
tambang dengan cara pengajuan
permohonan kepada pemberi
izin
kepada pengusaha tambang dengan
cara lelang (pasal 51)
- Wilayah Izin Usaha Pertambangan
(WIUP) batubara diberikan kepada
pengusaha tambang dengan cara
lelang (pasal 60)
- Wilayah Izin Usaha Pertambangan
(WIUP) mineral non logam dan
batuan diberikan kepada pengusaha
tambang dengan cara pengajuan
permohonan kepada pemberi izin
(pasal 54 dan 57)
9
Hak dan Kewajiban Pelaku
Usaha
- Keuangan :
- KP, sesuai peraturan
perundang-undangan yang
berlaku.
-KK/PKP2B, tetap pada saat
kontrak ditandatangani.
- Lingkungan (sedikit diatur)
- Nilai tambah (hanya diatur
kontrak)
- Pemanfaatan tenaga kerja
setempat (tidak diatur)
- Program pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat (tidak
diatur)
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
- Keuangan :
Membayar pendapatan negara dan
daerah :
Pajak, PNBP, iuran (pasal 128-133).
- Lingkungan :
Good mining practices (pasal 95)
Reklamasi, pasca tambang dan
konservasi yang telah direncanakan,
beserta dana yang disediakan
(pasal 96 – 100)
Nilai tambah. Pemegang IUP Operasi
Produksi wajib melakukan pengolahan
dan pemurnian hasil tambang di dalam
negeri (pasal 103-104)
Mengutamakan pemanfaatan tenaga
kerja setempat (pasal 106)
Saat tahap operasi produksi, wajib
mengikutsertakan pengusaha lokal
(pasal 107)
Menyusun program pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat (pasal 108)
Wajib menggunakan perusahaan jasa
pertambangan lokal dan/atau nasional
seperti konsultasi dan perencanaan
(pasal 124)
10 Divestasi :Tidak diatur
Divestasi :
Setelah 5 tahun beroperasi, badan
usaha pemegang IUP dan IUPK yang
sahamnya dimiliki asing, wajib
melakukan divestasi pada
Pemerintah, pemda, BUMN, BUMD,
9
atau badan usaha swasta
nasional (pasal 112)
11
Pembinaan dan Pengawasan
- Terpusat (khususnya KP, KK
dan PKP2B)
Pembinaan dan Pengawasan
IUP (Menteri, Bupati/Walikota-
sesuai kewenangan)- pasal 139-
142. Bentuk pengawasan sangat
terinci.
IPR (Bupati/Walikota) - pasal 143
12
Perlindungan Masyarakat
Pemegang KP wajib
mengembalikan tanah
sedemikian rupa. Sehingga tidak
menimbulkan penyakit atau
bahaya lain bagi masyarakat
(pasal 30)
Perlindungan Masyarakat
Masyarakat yang terkena dampak
negatif langsung berhak mendapat
ganti rugi yang layak, atau
mengajukan gugatan (pasal 145)
13 PenyidikanTidak diatur
Penyidikan (pasal 149)
- Penyidik Polri
- Penyidik PPNS
14
Ketentuan Pidana
- Diatur, tetapi sudah tidak sesuai
lagi dengan situasi dan kondisi
saat ini.
Misalnya : penjara selama-
lamanya 6 tahun dan/atau denda
setinggi-tingginya Rp. 500.000,-
bagi yang tidak mempunyai KP
tetapi melakukan usaha
pertambangan (pasal 31)
- Tidak ada sangsi pidana
terhadap pemberi/penerbit izin
- Tidak ada sangsi pidana
terhadap pemberi/penerbit izin
Ketentuan Pidana
- Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota
sesuai kewenangannya berhak
memberi sanksi administratif pada
pemegang IUP, IPR dan IUPK. Sanksi
mulai dari peringatan hingga
pencabutan ijin (pasal 151).
- Sanksi cukup keras. Misalnya, setiap
orang yang melakukan usaha
pertambangan tanpa IUP, IPR atau
IUPK dihukum maksimal 10 tahun dan
denda maksimal Rp. 10 Miliar
- Setiap orang yang mengeluarkan
IUP, IPR, atau IUPK yang
bertentangan dengan Undang-
Undang ini dan menyalahgunakan
kewenangannya diberi sanksi pidana
paling lama 2 (dua) tahun penjara dan
denda paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah). (pasal 165)
10
B. Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal Asing antara Churcill Mining Plc
dengan Pemerintah Kalimantan Timur di Indonesia dengan UU No. 4 Tahun
2009
1. Churcill Mining Plc vs Republic of Indonesia
Sengketa antara Churcill Mining Plc sudah berlangsung sejak tahun 2008,
Kasus ini bermula dari pencabutan izin kuasa pertambangan (KP) milik 4
perusahaan tambang batubara yang tergabung dalam Grup Ridhatama oleh Bupati
Kutai Timur ditahun 2008. Keempat perusahaan ini, menurut klaim Churcill Mining
Plc, mayoritas sahamnya (75%) dimiliki oleh mereka. Karena itulah mereka merasa
dirugikan oleh kebijakan Bupati tersebut.
Di sisi lain, pihak Ridhatama sendiri membantah klaim Churcill Mining Plc
tersebut. Dalam suratnya kepada Bupati Kutai Timur tiga tahun lalu, pimpinan grup
ini menyatakan bahwa Grup Ridhatama berikut keempat perusahaan tambang yang
memiliki KP di Kutai Timur 100% dimiliki oleh pihak lokal. Hal ini juga sesuai dengan
undang-undang pertambangan 1967 yang tidak memperbolehkan pihak asing
memiliki KP, karena perusahaan asing telah diberi ‘wadah’ sendiri dalam industri
tambang nasional, yakni Kontrak Karya/KK (mineral) dan Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara/PKP2B (batubara). Jadi, klaim Churcill
Mining Plc bahwa mereka memiliki konsesi di Kutai Timur tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
Adapun permasalahan antara Churcill Mining Plc Mining dengan Pemkab
Kutai Timur muncul setelah adanya perselisihan antara perusahaan tersebut dengan
mitra kerjanya, Grup Ridhatama tahun 2009 lalu. Sejak itulah Churcill Mining Plc
Mining mengklaim memiliki investasi di Kutai Timur dan melemparkan tuduhan pada
pemkab Kutai Timur terkait kegagalan aktivitas bisnisnya di Kutai Timur.
Sementara itu, terkait dengan pencabutan izin KP milik grup Ridhatama,
Pemkab Kutai Timur mendasarinya dengan laporan audit khusus Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) mengenai KP-KP yang dikeluarkan pada tahun 2006-2008. Audit
BPK ini dilaksanakan sejak September 2008 dan mengeluarkan hasil berupa laporan
yang mengindikasikan adanya lima KP yang palsu di Kabupaten Kutai Timur.
Gugatan yang diajukan oleh perusahaan tambang yang berpusat di London
Inggris itu dimulai sejak tahun 2010. Namun di Pengadilan Negeri (PN) Kutai Timur,
Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur, Mahkamah Agung (MA), hingga Pengadilan
11
Tata Usaha Negara (PTUN), pihak penggugat selalu kalah. Kekalahan secara
beruntun di pengadilan Indonesia itu membuat Churchill mengajukan gugatan ke
Arbitrase Internasional.
Grup Ridlatama adalah perusahaan yang memiliki empat izin tambang batu
bara di Kabupaten Kutai Timur Kalimantan Timur, namun kemudian izinnya dicabut
oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Timur karena menjual perusahaan kepada pihak
asing, yakni Churchill Mining Plc dengan komposisi saham 25 persen berbanding 75
persen. Churchill Mining Plc mengakuisisi Ridlatama secara diam-diam, padahal
perusahaan asing tidak boleh memegang izin usaha pertambangan (IUP). Hal itulah
yang membuat Pemkab Kutai Timur mencabut izin Grup Ridlatama. Selain itu, IUP
Grup Ridlatama diduga di atas hutan produksi yang harus mendapat Izin pinjam
pakai kawasan hutan terlebih dulu dari Kementerian Kehutanan. Merasa dirugikan,
Churchill Mining menggugat pemerintah pusat dan Pemerintah Kabupaten Kutai
Timur sebesar 2 miliar dolar AS lewat PTUN dan ICSID.
Tindakan Churcill telah melanggar beberapa peraturan perundang-undangan
di Indonesia terkait dalam bidang pertambangan. Seperti dalam pasal 93 ayat 1 UU
No 4 Tahun 2009 menyebutkan, pemegang IUP dan IUPK tidak boleh memindahkan
IUP dan IUPK-nya kepada pihak lain. Pasal ini kemudian dipertegas dalam Pasal 7
huruf A Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Energi Dan Sumber daya Mineral Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Penyelenggaraan Usaha Jasa Pertambangan Mineral Dan Batubara. PP tersebut
menyatakan, sebagai berikut:
“(1) pemegang IUP dan IUPK tidak boleh memindahkan IUP dan IUPK-nya
kepada pihak lain (2) pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi badan usaha yang
51 persen atau lebih sahamnya tidak dimiliki oleh pemegang IUP atau
IUPK.”
Churchill menggugat Indonesia juga dengan dasar bilateral investment treaty
(BIT) antara Indonesia dan Inggris dan antara Australia dan Indonesia, BIT adalah
perjanjian penanaman modal yang disepakati oleh dua negara. Berdasarkan
perjanjian tersebut, dua negara sepakat untuk saling melindungi setiap bentuk
kegiatan penanaman modal yang dilakukan oleh investor antar kedua negara.
BIT juga menjadi dasar bagi kedua negara untuk mengeluarkan kebijakan
yang dapat mendukung, mengamankan, dan mempromosikan penanaman modal di
masing-masing negara. Komitmen ini kemudian direpresentasikan dengan cara
12
saling melindungi setiap bentuk kegiatan penanaman modal dari aksi nasionalisasi
atau pengambilalihan perusahaan oleh negara dan pembatasan aturan dalam
penanaman investasi.
Kebebasan investor juga dijamin ketika melakukan transfer dana. Karena itu,
BIT sering diterjemahkan sebagai investment guarantee agreement (IGA) atau
perjanjian peningkatan dan perlindungan penanaman modal (P4M). Perjanjian BIT
ini ditandatangani Indonesia beberapa puluh tahun yang lalu dikarenakan posisi
Indonesia yang pada saat itu masih lemah dan membutuhkan investor.
2. Proses Arbitrase ICSID
Majelis Arbitrase pada International Center forSettlement of Investment
Dispute (ICSID) pada 24 Maret 2014 yang terdiri dari GabrielleKaufmann-Kohler
(berkebangsaan Swiss), Albert Jan van Den Berg(berkebangsaan Belanda), dan
Michael Hwang (berkebangsaan Singapura), telah membuat putusan.
Majelis ini memeriksa gugatan yang diajukan Planet Mining Pty Ltd yang
didirikan berdasarkan hukum Australia dan merupakan anak perusahaan Churchill
Mining Plc yang didirikan berdasarkan hukum Inggris dan Wales (Churchill), sebagai
claimant terhadap pemerintah Indonesia selaku respondent. Dalam putusan tersebut
dinyatakan bahwa Majelis Arbitrase memiliki kewenangan (jurisdiction) atas
sengketa yang diajukan.
Sengketa yang membawa pemerintah Indonesia ke ICSID kali ini merupakan
gugatan Churchill yang didaftarkan pada 22 Juni 2012. Yakni, sengketa terkait
dengan hak untuk mengeksploitasi batu bara di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan
Timur. Putusan ICSID yang dibuat belumlah menyentuh pokok perkara. Oleh
karenanya, pemerintah tidak dapat dikatakan ‘kalah’. Putusan masih terkait dengan
kewenangan Majelis Arbitrase untuk memeriksa perkara. Untuk dipahami, dalam
proses beperkara di lembaga peradilan, termasuk di ICSID, pada intinya ada tiga
tahapan yang harus dilalui.
Pertama menentukan apakah lembaga peradilan memiliki kewenangan untuk
memeriksa suatu perkara yang diajukan. Istilah hukum yang dikenal diIndonesia
ialah eksepsi. Majelis yang memeriksa perkara akan menentukan apakah dirinya
berwenang atau tidak melalui sebuah putusan.
Dalam perkara Churchill, putusan Majelis Arbitrase ada pada tahap ini. Di
tahap ini pemerintah memiliki upaya hukum berupa pembatalan (annulment) atas
13
putusan terkait dengan kewenangan Majelis Arbitrase. Hal tersebut diatur dalam
Pasal 52 ayat 1 Konvensi ICSID. Jangka waktu yang diberikan untuk melakukan
upaya hukum ini ialah 120 hari sejak putusan diterbitkan.
Namun, tahap berikutnya, bila pemerintah tidak menggunakan upaya hukum
pembatalan, Majelis Arbitrase akan memasuki tahap pemeriksaan atas pokok
perkara. Tahap pemeriksaan pokok perkara akan terkait dengan apa yang menjadi
dasar gugatan dan jawaban atas gugatan. Dalam proses ini, Majelis Arbitrase akan
memeriksa saksi fakta, bukti, termasuk juga penyampaian keterangan ahli.
Selanjutnya, proses pemeriksaan pokok perkara akan berakhir dengan suatu
putusan. Putusan berisi dikabulkan tuntutan penggugat untuk seluruhnya,
dikabulkan tuntutan untuk sebagian, atau tuntutan ditolak.
Setelah putusan atas pokok perkara, tahap berikutnya ialah tahap
pelaksanaan (enforcement) dari putusan. Tahap ini bukanlah hal yang mudah.
Tenaga, waktu, dan biaya masih dibutuhkan, terutama bila pihak yang dikalahkan
tidak mau menjalankan putusan secara sukarela.
Churchill Mining Plc mengajukan gugatan ke ICSID pada 22 Mei. Lalu, pada
30 Mei 2012 silam, ICSID telah mengirim pemberitahuan kepada pihak tergugat,
yaitu Presiden Indonesia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM),
Menteri Kehutanan, Menteri Luar Negeri, Kepala Badan Koordinasi Penanaman
Modal (BKPM), dan Bupati Kutai Timur. Dalam gugatannya, Churchill menuntut ganti
rugi sebesar USD2 miliar kepada pemerintah Indonesia dengan nilai gugatan
mencapai U$ 2 Milyar (18 Triliyun Rupiah), dan sekarang turun menjadi U$ 1,1 (10
Trilyun Rupiah)
Pada Perjalanannya, Putusan Arbiter perihal bahwa ICSID mempunyai
kewenangan mengadili, dan menolak Juridictional challenges dari pihak Indonesia,
Indonesia menganggap bahwa untuk diselesaikan dibadan arbiter, haruslah ada
persetujuan kedua belah pihak, dan Indonesia tidak bersedia kasus ini diselesaikan
di lembaga ISCID , dengan ditolaknya hal tersebut oleh badan arbiter maka Churchiil
mining plc dan pihak Indonesia akan melanjutkan ketahap berikutnya yakni proses
pemeriksaan pokok perkara yang masih berlangsung sampai sekarang .
3. Indonesia Mencabut 66 Bilateral Investment Treaty (BIT)
Salah satu hal yang tidak menguntungkan posisi Indonesia adalah, perihal
masalah Bilateral Investment Treaty, dan memang dari BIT ini posisi Indonesia
14
menjadi lemah, dikarenakan posisi tawar Indonesia pada saat BIT tersebut dibuat
masih sangat lemah, jika dikaitkan dengan kasus Churchill ini, Badan Arbitrase
menolak argumen Indonesia tentang pencabutan Izin Churchill Mining dengan dalih
bahwa Indonesia telah melanggar BIT dengan Inggris Raya, dan mengharuskan
Indonesia membayar denda U$1,1M, meskipun putusan ini belum final dan terkesan
kontroversial, namun hal ini memusingkan pemerintah Indonesia dan bahkan
membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) geram, dan
menginstruksikan agar pemerintah untuk melakukan upaya bmaksimal di arbitrase
internasional.
Edy Burmansyah, pengamat dari Resistance and Alternatives to Globalization
(RAG) yang mendalami isu-isu kerja sama internasional, mengatakan bahwa
keputusan pengakhiran BIT oleh pemerintah layak diapresiasi karena menunjukkan
iktikad pembelaan atas kepentingan nasional. Menurut Edy, sejak disahkannya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA)
yang kemudian diganti dengan UU No. 25/2007, Indonesia telah secara agresif
melakukan BIT dengan berbagai negara. BIT pertama dilakukan dengan Amerika
Serikat (AS) pada 7 Januari 1967 untuk masa berlaku 20 tahun dan otomatis
diperpanjang jika salah satu negara tidak menyatakan keberatan. ’’Total sejak 1967
hingga sekarang, Indonesia sudah menandatangani 66 BIT,” katanya.
Edy menambahkan, pengakhiran BIT juga harus dilakukan karena justru
tumpang tindih dengan berbagai perjanjian dalam payung World Trade Orgazition
(WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia maupun free trade agreement
(FTA/perjanjian perdagangan bebas) yang ditandatangani Indonesia. Dari fakta-fakta
diatas, pemerintah Indonesia melakukan langkah berani namun sedikit terlambat
dengan menakhiri 66 perjanjian BIT dengan beberapa negara termasuk dengan
Belanda dan Inggris.
BIT menjadi pendorong dua negara untuk saling menyajikan kebijakan yang
dapat mendukung dan mempromosikan penanaman modal di masing-masing
negara. Komitmen tersebut mereka tuangkan dengan cara saling melindungi setiap
bentuk kegiatan penanaman modal dari aksi nasionalisasi, atau pengambilalihan
perusahaan oleh negara. Mereka juga menjamin kebebasan investor ketika
melakukan transfer dana. Karena itu, BIT sering diterjemahkan sebagai Perjanjian
Peningkatan dan Perlindungan Penanaman Modal (P4M), atau Investment
Guarantee Agreement (IGA).
15
Sering kali dua negara yang terikat di dalam BIT telah sepakat untuk
merumuskan mekanisme penyelesaian sengketa secara adil, serta menjalankan
perlakuan non-diskriminatif. Di sana mereka berjanji untuk tidak saling membedakan
investor di antara mereka. Maksud perlakuan sama tentunya dalam mematuhi
kebijakan publik di bidang penanaman modal yang berlaku di kedua negara. BIT
juga mengakui subrogasi dalam kasus pembayaran asuransi oleh lembaga penjamin
yang ditunjuk oleh investor itu sendiri.
Sejak membuka diri terhadap kedatangan aliran investasi asing yang
dikukuhkan melalui Undang-Undang Nomor 78 Tahun 1958 tentang Penanaman
Modal Asing (kemudian diganti oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing, dan sekarang berlaku Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal), Indonesia langsung melibatkan diri dengan P4M.
Dimulai pada 7 Januari 1967, Indonesia menyepakati P4M dengan Amerika dengan
masa berlaku 20 tahun. Kemudian bersama Denmark, Indonesia juga telah
menyepakati P4M pada 30 Januari 1968.
Di tahun yang sama, Indonesia membuat IGA bersama Denmark, yakni pada
8 November 1968. Karena habis masa berlakunya, rumusan BIT disepakati ulang di
Jakarta pada 14 Mei 2003, untuk masa berlaku 10 tahun ke muka. Di perjalanan
tahun berikutnya, yakni pada 24 November 1969, Indonesia menyepakati P4M
dengan Norwegia yang ditandatangani di Jakarta. Perkembangan P4M Indonesia
lainnya, telah berhasil dirumuskan bersama negara:
1. Aljazair, disepakati di Alger pada 21 Maret 2000, masa berlaku 10 tahun;
2. Amerika Serikat, disepakati di Jakarta pada 7 Januari 1967, masa berlaku 20
tahun;
3. Argentina, disepakati di Buenos Aires pada 7 November 1995, masa berlaku
10 tahun;
4. Australia, disepakati di Jakarta pada 17 November 1992, masa berlaku 15
tahun;
5. Bangladesh, disepakati di Dhaka pada 9 Februari 1998, masa berlaku 10
tahun;
6. Belanda, disepakati di Jakarta pada 6 April 1994, masa berlaku 10 tahun;
7. Belgia, disepakati di Jakarta pada 15 Januari 1970;
16
8. Bulgaria, disepakati di Jakarta pada 13 September 2003, masa berlaku 10
tahun;
9. Kanada, disepakati di Jakarta pada 16 Maret 1973;
10. Chile, disepakati di Santiago pada 7 April 1999, masa berlaku 10 tahun;
11. China, disepakati di Jakarta pada 18 November 1994, masa berlaku 10 tahun;
12. Ceko, disepakati di Praha (Prague) pada 17 September 1998, masa berlaku
10 tahun;
13. Denmark, disepakati pada 30 Januari 1968;
14. Filipina, disepakati di Jakarta pada 12 November 2001, masa berlaku 10
tahun;
15. Finlandia, disepakati di Helsinki pada 12 September 2006, masa berlaku 15
tahun;
16. Guyana, disepakati di Guyana pada 30 Januari 2008;
17. Hongaria, disepakati di Jakarta pada 20 Mei 1992, masa berlaku 10 tahun;
18. India, disepakati di Montego Bay pada 8 Februari 1999, masa berlaku 15
tahun;
19. Inggris, disepakati di London pada 27 April 1976, masa berlaku 5 tahun;
20. Iran, disepakati di Teheran pada 22 Juni 2005, masa berlaku 10 tahun;
21. Italia, disepakati di Roma pada 25 April 1991, masa berlaku 10 tahun;
22. Jamaika, disepakati di Montego Bay pada 8 Februari 1999, masa berlaku 10
tahun;
23. Jepang, disepakati di Jakarta pada 20 Agustus 2007;
24. Jerman, disepakati di Jakarta pada 14 Mei 2003, masa berlaku 10 tahun;
25. Jordania, disepakati di Jakarta pada 12 November 1996, masa berlaku 10
tahun;
26. Kamboja, disepakati di Jakarta pada 16 Maret 1999, masa berlaku 10 tahun;
27. Korea Selatan, disepakati di Jakarta pada 16 Februari 1991, masa berlaku 10
tahun;
28. Korea Utara, disepakati di Jakarta pada 21 Februari 2000, masa berlaku 10
tahun;
29. Kroasia, disepakati di Jakarta pada 10 September 2001;
30. Kuba, disepakati di Havana pada 19 September 1997, masa berlaku 10
tahun;
31. Kyrgyzstan, disepakati di Jakarta pada 18 Juli 1995, masa berlaku 10 tahun;
17
32. Laos, disepakati di Jakarta pada 18 Oktober 1994, masa berlaku 10 tahun;
33. Libya, disepakati di Tripoli pada 4 April 2009;
34. Malaysia, disepakati Jakarta pada 22 Januari 1994, masa berlaku 10 tahun;
35. Maroko, disepakati di Jakarta pada 14 Maret 1997, masa berlaku 10 tahun;
36. Mauritius, disepakati di Port Louis pada 5 Maret 1997, masa berlaku 10
tahun;
37. Mesir, disepakati di Jakarta pada 19 Juni 1994, masa berlaku 10 tahun;
38. Mongolia, disepakati di Jakarta pada 4 Maret 1997, masa berlaku 10 tahun;
39. Mozambique, disepakati di Maputo pada 26 Maret 1999, masa berlaku 10
tahun;
40. Norwegia, disepakati di Jakarta pada 26 November 1991, masa berlaku 10
tahun;
41. Pakistan, disepakati di Jakarta pada 8 Maret 1996, masa berlaku 15 tahun;
42. Perancis, disepakati di Jakarta pada 14 Juni 1973, masa berlaku 10 tahun;
43. Polandia, disepakati di Warsawa pada 7 Oktober 1992, masa berlaku 10
tahun;
44. Qatar, disepakati di Doha pada 18 April 2000, masa berlaku 10 tahun;
45. Rumania, disepakati di Bukares pada 26 Juni 1997, masa berlaku 10 tahun;
46. Rusia, disepakati di Jakarta pada 6 September 2007;
47. Saudi Arabia, disepakati di Jeddah pada 15 September 2003;
48. Singapura, disepakati di Singapura pada 16 Februari 2005, masa berlaku 10
tahun;
49. Slovakia, disepakati di Jakarta pada 12 Juli 1994, masa berlaku 10 tahun;
50. Spanyol, disepakati di Jakarta pada 30 Mei 1995, masa berlaku 10 tahun;
51. Sri Lanka, disepakati di Jakarta pada 10 Juni 1996, masa berlaku 10 tahun;
52. Sudan, disepakati di Khartoum pada 10 februari 1998, masa berlaku 10
tahun;
53. Suriah, disepakati di Jakarta pada 27 Juni 1997, masa berlaku 10 tahun;
54. Suriname, disepakati di Paramaribo pada 28 Oktober 1995, masa berlaku 10
tahun;
55. Swedia, disepakati di Jakarta pada 17 September 1992, masa berlaku 10
tahun;
56. Tajikistan, disepakati di Jakarta pada 28 Oktober 2003, masa berlaku 10
tahun;
18
57. Swiss, disepakati di Jakarta pada 6 Februari 1974, masa berlaku 10 tahun;
58. Thailand, disepakati di Jakarta pada 17 Februari 1998, masa berlaku 10
tahun;
59. Tunisia, disepakati di Denpasar pada 13 Mei 1992, masa berlaku 10 tahun;
60. Turki, disepakati di Jakarta pada 25 Februari 1997, masa berlaku 10 tahun;
61. Turkmenistan, disepakati di Jakarta pada 2 Juni 1994, masa berlaku 10
tahun;
62. Ukraina, disepakati di Jakarta pada 11 April 1996, masa berlaku 10 tahun;
63. Uzbekistan, disepakati di Jakarta pada 27 Agustus 1996, masa berlaku 10
tahun;
64. Vietnam, disepakati di Jakarta pada 25 Oktober 1991, masa berlaku 10 tahun;
65. Yaman, disepakati di Jakarta pada 20 Februari 1998, masa berlaku 1o tahun;
66. Zimbabwe, disepakati di Montego Bay pada 8 Februari 1999, masa berlaku
10 tahun.
19
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Perizinan dalam penanaman modal asing sebelum dan setelah keluarnya UU
No. 4 Tahun 2009 memang pada dasarnya dipermudah, dikarenakan UU no
4 tahun 2009 menggunakan proses 1 pintu, dan serta dengan pengaturan
yang lebih ketat diharapkan dapat menumbuhkan iklim investasi yang sehat
2. Kasus Churchill Mining Plc dengan Pemerintah Indonesia memang masih
harus menunggu penyelesaiannya di forum arbitrase, mengingat banyak hal
yang dipertimbangkan salah satunya UU No. 4 Tahun 2009 serta dengan
perjanjian BIT antara Indonesia dengan Inggris dan Australia dengan
Indonesia.
B. Saran
1. Ketentuan mengenai penanaman modal khususnya mengenai penyelesaian
sengketa harus dicermati lagi, terutama mengenai perlindungan hukum bagi
penanam modal asing yang melakukan penyelesaian sengketa melalui peradilan
nasional, dimana hal tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum di
Indonesia, yang pada akhirnya akan mengakibatkan penanam modal asing
khususnya di bidang pertambangan enggan melakukan penanaman modal di
Indonesia.
2. Belajar dari kasus Churchill Mining yang menggugat Indonesia, maka Indonesia
harus memperbaiki kebijakan mengenai ketentuan hukum dibidang
pertambangan khususnya mengenai ijin pertambangan. Apabila terdapat
penanam modal asing yang akan menanamkan modalnya di bidang
pertambangan maka terlebih dahulu harus memiliki ijin pertambangan sehingga
permasalahan/kejadian yang serupa tidak terjadi lagi dikemudian hari.
3. Implementasi Otonomi Daerah yang masih lemah, dimana dapat dilihat dari
Pemerintahan Daerah yang mengeluarkan ijin, namun tidak didaftarkan ke
Pemerintah Pusat. Hal ini harus diperbaiki agar tidak lagi terjadi kasus yang
serupa dengan kasus Churchill Mining di Indonesia.
20
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2010
Internet:
Forum Penanaman Modal, Perjanjian Peningkatan dan Perlindungan Penanaman
Modal, 20 April 2010, diakses di http://forum-penanaman-
modal.blogspot.com, tanggal 19 Mei 2014 pukul 21.00WIB
Martin Bagya Kertiyasa, Jalan Menuju Putusan Arbitrase Masih Panjang 02 maret
2014, diakses di www.okezone.com, tanggal 19 Mei 2014 pukul 20.10 WIB
Rachmad Faisal Harahap, Sengketa Churchill, Buah Kesepakatan yang Rugikan RI,
04 maret 2014, diakses di www.okezone.com, tanggal 19 Mei 2014 pukul
20.00 WIB
Shanti Rachmadsyah, Izin Pertambangan Pihak Asing, 29 September 2010, diakses
di www.hukumonline.com, tanggal 15 Mei 2014 pukul 13.42 WIB
Sony Heru Prasetyo, Penataan IUP Terus Dilakukan, 26 Maret 2014, diakses di
www.hukumonline.com, tanggal 15 Mei 2014 pukul 13.25 WIB
Peraturan Perundang-undangan :
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Energi Dan Sumber daya Mineral Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Penyelenggaraan Usaha Jasa Pertambangan Mineral Dan Batubara