pustaka anestesi

49
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. FRAKTUR TULANG NASAL Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar daripada yang diabsorpsinya. Jadi, fraktur nasal merupakan rusak atau terganggunya kesatuan dari tulang-tulang hidung. 1 Fraktur nasal disebabkan oleh trauma dengan kecepatan rendah. Sedangkan jika disebabkan oleh trauma kecepatan tinggi biasanya berhubungan dengan fraktur wajah. Selain itu, injury nasal juga berhubungan dengan cedera leher atau kepala. 1 A. Gejala Klinis Bentuk hidung berubah Epiktasis/keluar darah dari hidung Krepitasi yaitu teraba tulang yang pecah Hidung serta daerah sekitarnya bengkak B. Pemeriksaan Fisik Pada fraktur nasal pada pemeriksaannya didapatkan epistaksis, deformitas hidung, obstruksi 1 | Presus Anestesi

Upload: muhammad-mirdza

Post on 05-Jan-2016

234 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

pustaka

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. FRAKTUR TULANG NASAL

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis

dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar daripada

yang diabsorpsinya. Jadi, fraktur nasal merupakan rusak atau terganggunya

kesatuan dari tulang-tulang hidung.1

Fraktur nasal disebabkan oleh trauma dengan kecepatan rendah.

Sedangkan jika disebabkan oleh trauma kecepatan tinggi biasanya berhubungan

dengan fraktur wajah. Selain itu, injury nasal juga berhubungan dengan cedera

leher atau kepala.1

A. Gejala Klinis

Bentuk hidung berubah

Epiktasis/keluar darah dari hidung

Krepitasi yaitu teraba tulang yang pecah

Hidung serta daerah sekitarnya bengkak

B. Pemeriksaan Fisik

Pada fraktur nasal pada pemeriksaannya didapatkan epistaksis,

deformitas hidung, obstruksi hidung ,dan anosmia. Serta, pada palpasi

ditemukan krepitasi akibat emfisema sukutan, teraba lekukan tulang hidung

dan tulang menjadi irregular.

Fraktur tulang hidung dapat mengakibatkan terhalangnya jalan pernafasan dan

deformitas pada hidung. Jenis dan kerusakan yang timbul tergantung pada

kekuatan, arah dan mekanismenya. Terdapat beberapa jenis fraktur hidung

antara lain2:

1 | P r e s u s A n e s t e s i

1. Fraktur Lateral

Adalah kasus yang paling sering terjadi, dimana hanya terjadi pada salah

satu sisi saja, kerusakan yang ditimbulkan tidak begitu parah.

2. Fraktur Bilateral

Merupakan salah satu jenis fraktur yang juga paling sering terjadi selain

fraktur lateral, biasanya disertai dislokasi septum nasal atau terputusnya

tulang nasal dengan tulang maksilaris.

2 | P r e s u s A n e s t e s i

3. Fraktur Direct Frontal

Yaitu fraktur os nasal dan os frontal sehingga menyebabkan desakan dan

pelebaran pada dorsum nasalis. Pada fraktur jenis ini pasien akan terganggu

suaranya.

2. Fraktur Comminuted

Adalah fraktur kompleks yang terdiri dari beberapa fragmen. Fraktur ini

akan menimbulkan deformitas dari hidung yang tampak jelas.

3 | P r e s u s A n e s t e s i

C. Pemeriksaan Penunjang

a. Rhinoskopi Anterior

Pada rhinoskopi anterior didapatkan deformitas pada hidung, deviasi

septum nasi dan nyeri tekan hidung.2

b. Water Positions

dari pemeriksaan water positions, pada foto anteroposterior, foto nasale

lateral didapatkan kesan fraktur os nasal dengan aposisi et alignment baik

dan tidak tampak pembesaran chonca nasalis bilateral.2

c. Radiologi

Pemeriksaan radiologis diindikasikan jika ditemukan keraguan dalam

mendiagnosa. Radiografi tidak mampu untuk mengidentifikasi kelainan

pada kartilago dan ahli klinis sering salah dalam mengintrepretasikan

sutura normal sebagai fraktur yang disertai dengan pemindahan posisi.

Bagaimanapun, ketika ditemukan gejala klinis seperti rhinorrhea

cerebrospinalis, gangguan pergerakan ekstraokular atau maloklusi dapat

mengindikasikan adanya fraktur nasal. 2

4 | P r e s u s A n e s t e s i

B. ANESTESIA UMUM

Anestesi umum adalah bentuk anestesi yang paling sering digunakan atau

dipraktikkan yang dapat disesuaikan dengan jumlah terbesar pembedahan, karena

dengan anestesi ini jalan nafas dapat terus dipertahankan dan nafas dapat

dikontrol. 3,4

Pada kasus ini anestesi yang digunakan adalah anestesi umum yaitu

hilangnya rasa sakit di seluruh tubuh disertai hilangnya kesadaran yang bersifat

sementara dan reversible yang diakibatkan oleh obat anestesi. Dalam memberikan

obat–obat pada penderita yang akan menjalani operasi maka perlu diperhatikan

tujuannya yaitu sebagai premedikasi, induksi, atau pemeliharaan. 5

5 | P r e s u s A n e s t e s i

1. Persiapan Pra Anestesi

Salah satu hal yang sangat penting dalam tindakan anestesi adalah

kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani anestesi dan

pembedahan, baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk

keberhasilan tindakan tersebut. Semua pasien yang masuk di bagian

kebidanan kemungkinan akan membutuhkan anestesi, baik elektif maupun

emergensi. Perlu dibuat anamnesis yang lengkap mengenai umur, paritas,

usia kehamilan, dan faktor-faktor yang mungkin menyebabkan komplikasi.3

Pada kasus elektif biasanya dilakukan satu sampai dua hari sebelum operasi

sedangkan pada kasus darurat waktu yang tersedia lebih singkat. Adapun

tujuan persiapan pra anestesi adalah untuk mempersiapkan mental dan fisik

secara optimal, merencanakan dan memilih tehnik serta obat – obat anestesi

yang sesuai dengan fisik dan kehendak pasien, menentukan status fisik

penderita dengan klasifikasi ASA (American Society Anesthesiology). 3

a. Macam-macam teknik anestesi 6 :

No. Teknik Resevoir bag Valve Rebreathing Soda lime

1. Open _ _ _ _

2. Semi open + + _ _

3. Semi closed + + + +

4. Closed + + + +

Open drop method: Cara ini dapat digunakan untuk anestesik yang

menguap, peralatan sangat sederhana dan tidak mahal. Zat anestetik

diteteskan pada kapas yang diletakkan di depan hidung penderita sehingga

kadar yang dihisap tidak diketahui, dan pemakaiannya boros karena zat

anestetik menguap ke udara terbuka.

Semi open drop method: Hampir sama dengan open drop, hanya

untuk mengurangi terbuangnya zat anestetik digunakan masker.

6 | P r e s u s A n e s t e s i

Karbondioksida yang dikeluarkan sering terhisap kembali sehingga dapat

terjadi hipoksia. Untuk menghindarinya dialirkan volume fresh gas flow

yang tinggi minimal 3x dari minimal volume udara semenit.

Semi closed method : Udara yang dihisap diberikan bersama oksigen

murni yang dapat ditentukan kadarnya kemudian dilewatkan pada vaporizer

sehingga kadar zat anestetik dapat ditentukan. Udara napas yang

dikeluarkan akan dibuang ke udara luar. Sistem sirkuit (semi closed) adalah

system aliran udara nafas yang merupakan lingkaran yang terdiri dari: dua

pipa karet/ plastic yang ujungnya dihubungkan dengan pipa “Y” dan

pangkalnya masing-masing dihubungkan dengan katup inspirasi dan katup

ekspirasi, selanjutnya katup-katup tersebut dihubungkan dengan canister

(tempat kapur penyerap gas CO2) dan kantong penampung udara. Di antara

canister dan kantong penampung udara diisi katup pembuangan udara,

sedangkan “inlet” aliran gas segar bisa ditempatkan di antara dua canister

atau pada tangkai inspirasi. Penyerap CO2 yang mengisi canister adalah

kapur soda atau barium yang berbentuk kerikil-kerikil kecil yang besarnya

hampir sama. Kapur-kapur ini akan mengikat CO2 melalui mekanisme

kimiawi.

Closed method: Cara ini hampir sama seperti semi closed hanya

udara ekspirasi dialirkan melalui soda lime yang dapat mengikat CO2,

sehingga udara yang mengandung anestetik dapat digunakan lagi.

b. Menentukan status fisik penderita dengan klasifikasi ASA (American

Society Anesthesiology), yaitu : 3,4

ASA I : Pasien dalam keadaan sehat, kelainan bedah

terlokalisir, tanpa kelainan faali, biokimia dan psikiatri. Angka

mortalitas mencapai 2 %.

7 | P r e s u s A n e s t e s i

ASA II : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai

sedang karena penyakit bedah maupun proses patofisiolgis. Angka

mortalitas mencapai 16 %.

ASA III : Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat

sehingga aktivitas harian terbatas . Angka mortalitas mencapai 36

%.

ASA IV : Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara

langsung mengancam kehidupannya dan tidak selalu sembuh

dengan operasi. Angka mortalitas mencapai 68 %.

ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil.Tindakan

operasi hampir tidak ada harapan.Tidak ada harapan hidup dalam

24 jam walaupun dioperasi atau tidak. Angka mortalitas mencapai

98 %.

Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri

dari kegawatan otak, jantung, paru, ibu dan anak.

c. pemeriksaan pra operasi anestesi 4

I. Anamnesis

1. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.

2. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.

3. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat menjadi

penyulit anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru

kronis (asma bronkhial, pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung,

hipertensi, dan penyakit ginjal.

4. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat,

dan obat yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi

dengan obat anestetik seperti kortikosteroid, obat antihipertensi,

antidiabetik, antibiotik, golongan aminoglikosid, dll.

8 | P r e s u s A n e s t e s i

5. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal,

jenis pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif

pasca bedah.

6. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan

anestesi seperti merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik

7. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi

maligna.

8. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum,

pernafasan, kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi,

neurologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.

II. Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan psikis : gelisah,takut, kesakitan

2. Keadaan gizi : malnutrisi atau obesitas

3. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi

cairan yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah

pembedahan.

4. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan,

serta suhu tubuh.

5. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui

adanya trismus, keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan

fleksi ekstensi leher, deviasi ortopedi dan dermatologi. Ada pula

pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari visualisasi pembukaan

mulut maksimal dan posisi protusi lidah.

Pemeriksaan mallampati sangat penting untuk menentukan

kesulitan atau tidaknya dalam melakukan intubasi. Penilaiannya

yaitu:

i. Mallampati I : palatum molle, uvula, dinding posterior

9 | P r e s u s A n e s t e s i

oropharynk, tonsilla palatina dan

tonsilla pharingeal

ii. Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula,

dinding posterior uvula

iii. Mallampati III : palatum molle, dasar uvula

iv. Mallampati IV : palatum durum saja

6. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung

7. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi

8. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia,

atau tanda regurgitasi.

9. Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal,

sianosis, adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-

tempat pungsi vena atau daerah blok saraf regional.

III. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain2

Lab rutin :

1. Pemeriksaan lab. Darah

2. Urine : protein, sedimen, reduksi

3. Foto rongten ( thoraks )

4. EKG

Pemeriksaan khusus, dilakukan bila ada indikasi :

1. EKG pada anak

2. Spirometri pada tumor paru

3. Tes fungsi hati pada ikterus

4. Fungsi ginjalpada hipertensi

5. AGD, elektrolit.

2. Premedikasi Anestesi

Tujuan premedikasi bukan hanya untuk mempermudah induksi dan

mengurangi jumlah obat – obatan yang digunakan, tetapi terutama untuk

10 | P r e s u s A n e s t e s i

menenangkan pasien sebagai persiapan anestesi. Premedikasi anestesi adalah

pemberian obat sebelum anestesi dilakukan. Tindakan ini biasanya dilakukan

sebelum pasien dibawa ke ruang operasi. 4

Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis

pasien yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan

demikian maka pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus

selalu dengan mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik,

derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya, riwayat

hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang

berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam

operasi, dan rencana anestesi yang akan digunakan6

Tindakan premedikasi ini mempunyai tujuan antara lain untuk

memberikan rasa nyaman bagi pasien, membuat amnesia, memberikan

analgesia, mencegah muntah, memperlancar induksi, mengurangi jumlah

obat – obat anestesi, menekan reflek – reflek yang tidak diinginkan,

mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas.6

Obat –obat yang sering digunakan sebagai premedikasi adalah :

1. Golongan hipnotik sedatif : Barbiturat, Benzodiazepin, Transquilizer.

2. Analgetik narkotik : Morfin, Petidin, Fentanil.

3. Neuroleptik : Droperidol, Dehidrobenzoperidol.

4. Anti kolinergik : Atropin, Skopolamin.

Sulfas Atropin

Sulfas atropin termasuk golongan anti kolinergik. Berguna mengurangi

sekresi lendir dan mengurangi efek bronkhial dan kardial yang berasal dari

11 | P r e s u s A n e s t e s i

perangsangan parasimpatis akibat obat anestesi atau tindakan operasi. Pada dosis

klinik (0,4–0,6 mg ) akan menimbulkan bradikardi yang disebabkan perangsangan

nervus Vagus. Pada dosis yang lebih besar (> 2 mg) akan menghambat nervus

Vagus sehingga terjadi takikardi. Efek lainnya yaitu melemaskan nervus otot

polos, mendepresi vagal reflek, menurunkan spasme gastrointestinal dan

mengurangi rasa mual serta muntah. 6

Obat ini juga dapat menimbulkan rasa kering di mulut serta penglihatan

kabur, maka lebih baik tidak diberikan pra anestesi lokal atau regional. Dalam

dosis toksik dapat menyebabkan gelisah, delirium, halusinasi, dan kebingungan

pada pasien. Tetapi hal ini dapat diatasi dengan pemberian Prostigmin 1 – 2 mg

intra vena. 6

Sedian : dalam bentuk Sulfat Atropin dalam ampul 0,25 mg dan 0,50 mg.

Dosis : 0,01 mg/kgBB dan 0,1 – 0,4 mg untuk anak – anak.

Pemberian : SC, IM, IV. 4

Pethidin

Absorbsi petidin berlangsung baik pada semua cara pemberian. Pada

pemberian IV kadarnya dalam darah akan turun cepat 1-2 jam pertama. Petidin

dimetabolisme di hati dan dikeluarkan lewat ginjal sekitar 1/3 dosis yang

diberikan. Preparat oral dalam tablet 50 mg, parenteral dalam bentuk ampul 50 mg

per cc. Dosis dewasa 50-100 mg disuntikkan SK atau IM. Jika secara IV efek

analgesiknya tercapai dalam waktu 15 menit. 4

Midazolam

Midazolam merupakan suatu golongan imidazo-benzodiazepin dengan sifat

yang sangat mirip dengan golongan benzodiazepine. Midazolam bersifat larut

dalam air serta merupakan benzodiazepin pilihan untuk pemberian parenteral.

Penting untuk diketahui bahwa obat ini dapat bersifat menjadi larut lemak pada pH

fisiologuis sehingga dapat dengan cepat menembus sawar darah otak dan

12 | P r e s u s A n e s t e s i

menimbulkan efek sentral. Merupakan benzodiapin kerja cepat yang bekerja

menekan SSP. Midazolam berikatan dengan reseptor benzodiazepin yang terdapat

di berbagai area di otak seperti di medulla spinalis, batang otak, serebelum system

limbic serta korteks serebri. Midazolam memiliki onset yang lebih cepat ,

eliminasi waktu paruh yang lebih pendek (2-4 jam), serta kurva dosis responsif

yang lebih curam daripada benzodiazepin lain yang tersedia. Oleh karena itu,

midazolam seringnya diberikan secara intravena sebelum pasien masuk ke dalam

kamar operasi. Efek induksi terjadi sekitar 1,5 menit setelah pemberian intra vena

bila sebelumnya diberikan premedikasi obat narkotika dan 2-2,5 menit tanpa

premedikasi narkotika sebelumnya. 5

Midazolam diindikasikan pada premedikasi sebelum induksi anestesi, basal

sedasion sebelum tindakan diagnostik atau pembedahan yang dilakukan di bawah

anestesi lokal serta induksi dan pemeliharaan selama anestesi. Obat ini

dikontraindikasikan pada keadaan sensitif terhadap golongan benzodiazepine,

pasien dengan insufisiensi pernafasan, dan acute narrow-angle glaucoma. 3

Pemberian intramuskular pada penderita yang mengalami nyeri sebelum

tindakan bedah, pemberian tunggal atau kombinasi dengan antikolinergik atau

analgesik. Dewasa : 0,07- 0,1 mg/kg BB secara IM sesuai dengan keadaan umum

pasien, lazimnya diberikan 5 mg. Dosis usia lanjut dan pasien lemah 0,025 – 0,05

mg/kg BB (IM). Untuk basal sedation pada dewasa tidak melebihi 2,5 mg IV 5-10

menit sebelum permulaan operasi, pada orang tua dosis harus diturunkan 1- 1,5 mg

dengan total dosis tidak melebihi 3,5 mg IV. 4

Fentanil

Fentanil merupakan salah satu preparat golongan analgesik opioid dan

termasuk dalam opioid potensi tinggi dengan dosis 100-150 mcg/kgBB, termasuk

sufentanil (0,25-0,5 mcg/kgBB). Bahkan sekarang ini telah ditemukan

remifentanil, suatu opioid yang poten dan sangat cepat onsetnya, telah digunakan

untuk meminimalkan depresi pernapasan residual. Opioid dosis tinggi yang

13 | P r e s u s A n e s t e s i

deberikan selama operasi dapat menyebabkan kekakuan dinding dada dan larynx,

dengan demikian dapat mengganggu ventilasi secara akut, sebagaimana

meningkatnya kebutuhan opioid potoperasi berhubungan dengan perkembangan

toleransi akut. Maka dari itu, dosis fentanyl dan sufentanil yang lebih rendah telah

digunakan sebagai premedikasi dan sebagai suatu tambahan baik dalam anestesi

inhalasi maupun intravena untuk memberikan efek analgesi perioperatif.3

Sebagai analgesik, potensinya diperkirakan 80 kali morfin. Lamanya efek

depresi nafas fentanil lebih pendek dibanding meperidin. Efek euphoria dan

analgetik fentanil diantagonis oleh antagonis opioid, tetapi secara tidak bermakna

diperpanjang masanya atau diperkuat oleh droperidol, yaitu suatu neuroleptik yang

biasanya digunakan bersama sebagai anestesi IV. Dosis tinggi fentanil

menimbulkan kekakuan yang jelas pada otot lurik, yang mungkin disebabkan oleh

efek opioid pada tranmisi dopaminergik di striatum. Efek ini di antagonis oleh

nalokson. Fentanyl biasanya digunakan hanya untuk anestesi, meski juga dapat

digunakan sebagai anelgesi pasca operasi. Obat ini tersedia dalam bentuk larutan

untuk suntik dan tersedia pula dalam bentuk kombinasi tetap dengan droperidol.5

Fentanyl dan droperidol (suatu butypherone yang berkaitan dengan haloperidol)

diberikan bersama-sama untuk menimbulkan analgesia dan amnesia dan

dikombinasikan dengan nitrogen oksida memberikan suatu efek yang disedut

sebagai neurolepanestesia.4

Ondansetron

Merupakan suatu antagonis 5-HT3 yang sangat efektif yang dapat menekan

mual dan muntah karena sitostatika misalnya cisplatin dan radiasi. Ondansetron

mempercepat pengosongan lambung, bila kecepatan pengosongan basal rendah.

Tetapi waktu transit saluran cerna memanjang sehingga dapat terjadi konstipasi.

Ondansetron dieliminasi dengan cepat dari tubuh. Metabolisme obat ini terutama

secara hidroksilasi dan konjugasi dengan glukonida atau sulfat dalam hati.5 Dosis

14 | P r e s u s A n e s t e s i

ondansentron yang biasanya diberikan untuk premedikasi antara 4-8 mg/kgBB.

Dalam suatu penelitian kombinasi antara Granisetron dosis kecil yang diberikan

sesaat sebelum ekstubasi trakhea ditambah Dexamethasone yang diberikan saat

induksi anestesi merupakan suatu alternatif dalam mencegah muntah selama 0-2

jam setelah ekstubasi trakhea daripada ondansetron dan dexamethasone.6

3. Induksi

Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya

stadium pembedahan (III) yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemeliharaan

anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah

induksi. 4

Macam-macam stadium anestesi 3:

Stadium I (analgesia)

- mulai pemberian zat anestesi sampai dengan hilangnya kesadaran .

- mengikuti perintah, rasa sakit hilang.

Stadium II ( Delirium )

- mulai hilangnya kesadaran sampai dengan permulaan stadium bedah.

- gerakan tidak menurut kehendak, nafas tidak teratur, midriasis,

takikardi.

Stadium III (Pembedahan):

1. Tingkat 1: nafas teratur spontan, miosis, bola mata tidak menurut

kehendak, nafas dada dan perut seimbang.

2. Tingkat 2:nafas teratur spontan kurang dalam, bola mata tidak

bergerak, pupil mulai melebar, mulai relaksasi otot.

3. Tingkat 3: nafas perut lebih dari nafas dada, relaksasi otot sempurna.

4. Tingkat 4:nafas perut sempurna, tekanan darah menurun, midriasis

maksimal, reflek cahaya ( - )

15 | P r e s u s A n e s t e s i

Stadium IV. (Paralisis) : nafas perut melemah, tekanan darah tidak

terukur, denyut nadi berhenti dan meninggal.

Pada kasus ini digunakan Propofol.

Propofol

Propofol merupakan derivat isoprofilfenol yang digunakan untuk induksi

dan pemeliharaan anestesi umum. Propofol secara kimia tidak ada hubungannya

dengan anestesi IV lain. Pemberian IV ( 2 mg/kg BB ) menginduksi anestesi

secara cepat seperti Tiopental. Anestesi dapat dipertahankan dengan infus Propofol

yang berkesinambungan dengan Opiat, N2 dan atau anestesi inhalasi lain.4

Keuntungan Propofol, bekerja lebih cepat dari Tiopental, mempunyai induksi

yang cepat, masa pulih sadar yang cepat, sehingga berguna pada pasien rawat jalan

yang memerlukan prosedur cepat dan singkat. 3

Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup berarti

selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri perifer dan

venodilatasi.10 Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi

efek ini disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada penurunan curah jantung.

Tekanan sistemik kembali normal dengan intubasi trakea. Propofol tidak

menimbulkan aritmia, atau iskemik otot jantung, tidak merusak fungsi hati dan

ginjal. 4

Sediaan :ampul atau vial 20 ml ( 200 mg ) 10 mg/ml Propofol.

Dosis : 1,5 – 2 mg/kgBB iv (anak)

2 – 2,5 mg/kgBB iv (dewasa)

Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini didistribusikan

cepat dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi sebagai akibat depresi

langsung pada otot jantung dan menurunnya tahanan vaskuler sistemik. Propofol

tidak mempunyai efek analgesik. Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih

sadar lebih cepat dan jarang terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah

propofol memiliki efek antiemetik. 3

16 | P r e s u s A n e s t e s i

Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi

pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem kardiovaskuler

berupa hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi. Pada susunan syaraf

pusat adanya sakit kepala, pusing, euforia, kebingungan, dll. Pada daerah

penyuntikan dapat terjadi nyeri sehingga saat pemberian dapat dicampurkan

lidokain (20-50 mg).3

Ketamine

Merupakan larutan yang tidak berwarna, stabil pada suhu kamar dan relatif

aman. Ketamin mempunyai sifat analgesik, anestetik dan kataleptik dengan kerja

singkat. Sifat analgesiknya sangat kuat untuk sistem somatik tetapi lemah untuk

sistem viseral. Ketamin dapat meningkatkan tekanan darah, frekuensi nadi dan

curah jantung sampai 20%. 6

Mekanisme aksi ketamine adalah memblokade membran terhadap efek

eksitasi neurotranmiter asam glutamat pada reseptor subtipe NMDA. Ketamine

merupakan obat yang sangat lipofilik dan dengan cepat didistribusikan ke dalam

organ yang perfusinya baik seperti otak, hati dan ginjal. Kemudian, ketamine

diredistribusi ke dalam jaringan-jaringan yang berperfusi kurang baik bersamaan

dengan metabolisme hepatik dan diikuti dengan ekskresi urin dan bilier. Ketamine

merupakan satu-satunya anestesi intravena yang memiliki efek analgesik dan

mampu menghasilkan stimulasi cardiovaskular yang berkaitan dengan dosis. Nadi,

tekanan darah arteri dan cardiac output dapat meningkat secara signifikan di atas

nilai normal. Variabel-variabel ini mencapai puncaknya 2-4 menit setelah injeksi

bolus intravena, kemudian menurun ke nilai normal selama 10-20 menit kemudian.

Ketamine menghasilkan efek terhadap kardiovaskuler ini dengan menstimulasi

sistem saraf simpatis pusat, kurang lebih, dengan menghambat reuptake

norepinefrin pada terminal saraf simpatis. Peningkatan kadar epinefrin dan

noerpinefrin plasma terjadi selama 2 menit setelah bolus ketamine intravena dan

kembali ke kadar normal dalam kurang dari 15 menit. Ketamine secara nyata

17 | P r e s u s A n e s t e s i

meningkatkan aliran darah otak, konsumsi oksigen dan tekanan intrakranial.

Sebagaimana anestesi yang menguap, ketamine merupakan sebuah obat yang

secara potensial berbahaya ketika tekanan intrakranial meningkat. Meskipun

ketamine menurunkan laju pernapasan, tonus otot pernapasan bagian atas tetap

dipertahankan dengan baik dan refleks-refleks jalan napas biasanya tetap

dipelihara.3, 4,5

Penggunaan ketamine telah dihubungkan dengan disorientasi, ilusi sensori

dan persepsi serta mimpi yang nyata postoperasi (sehinggan disebut dengan

fenomena emergence). Diazepam (0,2-0,3 mg/kgBB) atau midazolam (0,025-0,05

mg) secara intravena, yang diberikan sebelum pemberian ketamine dapat

mengurangi insidensi efek-efek negatif ini. Meskipun demikian, penggunaan

ketamin dosis rendah dalam kombinasi dengan anestesi inhalasi dan intravena

yang lainnya telah menjadi alternatif pilihan daripada analgesik opioid dalam

meminimalkan depresi pernapasan. Selain itu, ketamine sangat bermanfaat bagi

pasien geriatri dan pasien dengan resiko tinggi terjadi syok kardiogenik atau syok

sepsis dikarenakan efek kardiostimulasinya. Ketamin dosis rendah juga digunakan

bagi pasien-pasien rawat jalan yang dikombinasikan dengan propofol serta bagi

anak-anak yang menjalani prosedur yang menyakitkan (seperti penggatian

dressing pada luka bakar).3

Untuk induksi ketamin diberikan secara IV dengan dosis 2 mg/kgBB (1-4,5

mg/kgBB) dalam waktu 60 detik; stadium operasi dicapai dalam 5-10 menit.

Untuk mempertahankan anestesi dapat diberikan dosis ulangan setengah dari

semula. Ketamin IM untuk induksi diberikan 10 mg/kgBB (6,5-13 mg/kgBB),

stadium operasi terjadi dalam 12-25 menit.4

4. Pemeliharaan

18 | P r e s u s A n e s t e s i

Maintenance atau pemeliharaan adalah pemberian obat untuk

mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah induksi. Pada kasus

ini menggunakan Sevofluran, N2O, dan O2.5

a. Sevofluran

Sevofluran (Ultane) merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari

anestesi lebih cepat dibanding dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan

tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi

inhalasi disamping halotan. 3.4

Efek terhadap kardiovaskuler cukup stabil, jarang menyebabkan

aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat seperti isofluran dan belum ada

laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian dihentikan, sevofluran cepat

dikeluarkan oleh badan.3,4

Walaupun dirusak oleh sodalim namun belum ada laporan

membahayakan terhadap tubuh manusia.

b. Dinitrogen Oksida/Gas Gelak/N2O

Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau amis, dan tidak iritasi.

Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium

induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut dalam darah. Gas ini tidak

mempunyai relaksasi otot, oleh karena itu operasi abdomen dan ortopedi perlu

tambahan dengan zat relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi

yang berarti. Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena

Dinitrogen Oksida mendesak oksigen dengan ruangan–ruangan tubuh.

Hipoksia difus dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi

beberapa menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya dipakai

perbandingan atau kombinasi dengan oksigen. 6

Perbandingan N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40 % ; 70% :

30% atau 50% : 50%. 4

5. Obat Pelumpuh Otot (Muscle Relaxant)

19 | P r e s u s A n e s t e s i

Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular sehingga

menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme kerjanya, obat

ini dibagi menjadi 2 golongan yaitu obat penghambat secara depolarisasi resisten,

misalnya suksinil kolin, dan obat penghambat kompetitif atau non depolarisasi ,

misal kurarin. Dalam anestesi umum , obat ini memudahkan dan mengurangi

cedera tindakan laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi otot

yang dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi kendali. 4

Dua golongan obat pelumpuh otot3,4,6:

A. Depolarisasi.

- Ada fasikulasi otot

- Berpotensiasi dengan antikolinesterase

- Tidak menunjukkan kelumpuhan bertahap pada perangsangan tunggal atau

tetanik

- Belum dapat diatasi dengan obat spesifik

- Kelumpuhan berkurang dengan penambahan obat pelumpuh otot non

depolarisasi dan asidosis

- Contoh: suksametonium (suksinil kolin)

B. Non depolarisasi

- Tidak ada fasikulasi otot

- Berpotensiasi dengan hipokalemia, hipotermia, obat anestetik inhalasi, eter,

halothane, enfluran, isoflurane

- Menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan tunggal atau

tetanik

- Dapat diantagonis oleh antikolinesterase

- Contoh: tracrium (atrakurium besilat), pavulon (pankuronium bromida),

norkuron (pankuronium bromida), esmeron (rokuronium bromida).

20 | P r e s u s A n e s t e s i

1. Succynil Choline

Merupakan pelumpuh otot depolarisasi dengan mula kerja cepat,

sekitar 1 – 2 menit dan lama kerja singkat sekitar 3 – 5 menit sehingga obat

ini sering digunakan dalam tindakan intubasi trakea. Lama kerja dapat

memanjang jika kadar enzim kolinesterase berkurang, misalnya pada

penyakit hati parenkimal, kakeksia, anemia, dan hipoproteinemia. 4

Komplikasi dan efek samping dari obat ini adalah bradikardi,

bradiaritma dan asistole, takikardi dan takiaritmia, peningkatan tekanan

intra okuler, hiperkalemi dan nyeri otot fasikulasi. 3

Obat ini tersedia dalam flacon berisi bubuk 100 mg dan 50 mg.

Pengenceran dengan garam fisiologis / aquabidest steril 5 atau 25 ml

sehingga membentuk larutan 2% sebagai pelumpuh otot jangka pendek.

Dosis untuk inhalasi 1 – 2 mg / kgBB.3

2. Atrakurium besilat (Tracrium)

Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relative baru

dengan struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman Leontice

Leontopeltatum.

Keunggulan atracurium adalah :

- metabolisme terjadi di dalam darah

- tidak mempunyai efek kumulasi pada pemberian berulang

- tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskular yang bermakna

Kemasan dibuat dalam ampul berisi 5 ml yang mengandung 50 mg

atrakurium besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung penyimpanan pada

suhu dingin dan perlindungan terhadap penyinaran. 4

Dosis intubasi : 0,5 - 0,6 mg / Kg BB / IV

Dosis relaksasi otot : 0,5 – 0,6 mg / Kg BB / IV

Dosis pemeliharaan : 0,1 – 0,2 mg / Kg BB / IV

21 | P r e s u s A n e s t e s i

6. Analgetik

Ketorolac

Ketorolac dapat diberikan secara oral, intramuskuler, atau intravena.

Setelah suntikan intramuscular atau intravena efek analgesinya dicapai dalam 30

menit, maksimal setelah 1-2 jam dengan lama kerja sekitar 4-6 jam dan

penggunaannya dibatasi untuk 5 hari. 5

Cara kerja ketorolac ialah menghambat sintesis prostaglandin di perifer

tanpa mengganggu reseptor opioid di system saraf pusar. Seperti NSAID lain

tidak dianjurkan digunakan untuk wanita hamil, menghilangkan nyeri persalinan,

wanita sedang menyusui, usia lanjut, anak usia < 4 tahun, gangguan perdarahan

dan bedah tonsilektomi. 6

Sifat analgetik ketorolac setara dengan opioid, yaitu 30 mg ketorolac = 12

mg morfin = 100 mg pethidin, sedangkan sifat antipiretik dan antiinflamasinya

rendah. Ketorolac dapat digunakan secara bersamaan dengan opioid. 4

Dosis awal 10-30 mg dan dapat diulang setiap 4-6 jam sesuai kebutuhan.

Untuk pasien normal dosis sehari dibatasi maksimal 90 mg dan untuk berat < 50

kg, manula atau gangguan faal ginjal dibatasi maksimal 60 mg.

Sediaan : dalam ampul 5mg / 5ml

Pemberian : IM atau IV

7. Intubasi Trakea

Merupakan suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea,

sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah di monitor dan

dikendalikan.

Tindakan intubasi trakea ini bertujuan untuk :

1. Mempermudah pemberian anestesi.

2. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas dan demi kelancaran

pernafasan.

3. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.

22 | P r e s u s A n e s t e s i

4. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.

5. Untuk pemakaian ventilasi yang lama.

6. Mengatasi obstruksi laring akut. 4

8. Terapi Cairan

Dalam suatu tindakan operasi terapi cairan harus diperhatikan dengan

serius, terapi cairan perioperatif bertujuan untuk :

1. Mencukupi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama

operasi.

2. Replacement dan dapat untuk tindakan emergency pemberian obat. 6

Pemberian cairan operasi dibagi : 5

1. Pra operasi

Pada pasien pra operasi dapat terjadi defisit cairan yang

diakibatkan karena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan isi

lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada ileus

obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain – lain. Kebutuhan cairan untuk

dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kgBB / jam. Bila terjadi dehidrasi

ringan maka diperlukan cairan sebanyak 2% BB, dehidrasi sedang perlu

cairan sebanyak 5% BB, dan dehidrasi berat sebesar 7% BB. Setiap

kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah 10 – 15 %.

2. Selama operasi

Selama tindakan operasi ini dapat terjadi kehilangan cairan karena

proses operasi. Kebutuhan cairan pada dewasa untuk operasi ringan

4ml/kgBB/jam, sedang 6ml/kgBB/ jam, berat 8 ml/kgBB/jam. Bila terjadi

perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10% EBV

maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali volume

darah yang hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat

dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran dengan dosis 1 – 2

23 | P r e s u s A n e s t e s i

kali darah yang hilang. Sedangkan apabila terjadi perdarahan lebih dari

20% akan dipertimbangkan untuk dilakukannya transfusi.

3. Setelah operasi

Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit

cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari – hari pasien.

9. Pemulihan

Pasca anetesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi

yang biasanya dilakukan diruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan

untuk observasi pasien pasa operasi atau anestesi.Ruang pulih sadar adalah batu

loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan

perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi

dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh

anestesinya.3

Di ruang pulih sadar dimonitor jalan nafasnya apakah bebas atau tidak,

ventilasinya cukup atau tidak, dan sirkulasinya sudah baik ataukah tidak. Selain

obstruksi jalan nafas karena lidah yang jatuh ke belakang atau karena spasme

laring, pasca bedah dini juga dapat terjadi muntah yang dapat menyebabkan

aspirasi.3

Monitor kesadaran merupakan hal yang penting karena selama pasien belum

sadar dapat terjadi gangguan jalan nafas. Tidak sadar yang berkepanjangan adalah

akibat dari pengaruh sisa obat anestesi, hipotermi, atau hipoksia, dan

hiperkarbi.Hipoksia dan hiperkarbi terjadi pada pasien dengan gangguan jalan

nafas dan ventilasi. Menggigil yang terjadi pasca bedah adalah akibat efek

vasodilatasi obat anestesi. Menggigil akan menambah beban jantung dan sangat

berbahaya pada pasien dangan penyakit jantung.4

Tabel 1. Steward Scoring System

24 | P r e s u s A n e s t e s i

Kriteria Skor

Kesadaran

Jalan nafas

Gerakan

Bangun

Respon terhadap stimuli

Tak ada respon

Batuk atas perintah

Mempertahankan jalan nafas dengan baik

Perlu bantuan untuk mempertahankan

Menggerakkan anggota badan dengan tujuan

Gerakan tanpa maksud

Tidak bergerak

2

1

0

2

1

0

2

1

0

Tabel 2. Robertson Scoring System

Kriteria Skor

Kesadaran

Jalan nafas

Aktivitas

Sadar penuh, mata terbuka, berbicara

Tertidur ringan, sekali-kali mata terbuka

Mata terbuka atas perintah atau respons bila

dipanggil namanya

Respon terhadap cubitan telinga

Tak ada respon

Membuka mulut dan atau batuk atas perintah

Tak ada batuk volunter, jalan nafas bebas

tanpa bantuan

Obtruksi jalan nafas bila leher fleksi tetapi

tanpa bantuan ekstensi

Tanpa bantuan terjadi obstruksi

Mengangkat tangan dengan perintah

Gerakan tak berarti

Tak bergerak

4

3

2

1

0

3

2

1

0

2

1

0

25 | P r e s u s A n e s t e s i

Tabel 3. Aldrette Scoring System

Kriteria Recovery score

in 15 30 45 60 out

Aktivitas Dapat

bergerak

volunter

atau atas

perintah

4 anggota

gerak

2 2 2 2 2 2

2 anggota

gerak

1 1 1 1 1 1

0 anggota

gerak

0 0 0 0 0 0

Respirasi

Sirkulasi

Mampu benafas dan batuk

secara bebas

2 2 2 2 2 2

Dyspnea, nafas dangkal

atau terbatas

1 1 1 1 1 1

Apnea 0 0 0 0 0 0

Tensi Pre

op…mmHg

Tensi ± 20

mmHg preop

2 2 2 2 2 2

Tensi ± 20-50

mmHg preop

1 1 1 1 1 1

Tensi ± 50

mmHg preop

0 0 0 0 0 0

Kesadaran Sadar Penuh 2 2 2 2 2 2

Bangun waktu dipanggil 1 1 1 1 1 1

Tidak ada respon 0 0 0 0 0 0

Warna

kulit

Normal 2 2 2 2 2 2

Pucat kelabu 1 1 1 1 1 1

Sianotik 0 0 0 0 0 0

26 | P r e s u s A n e s t e s i

Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi

yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.

27 | P r e s u s A n e s t e s i

BAB III

PEMBAHASAN

Pada pasien diatas dari pre operasi (anamnesis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan penunjang) didapatkan status fisik pasien diklasifikasikan sebagai ASA

I, pasien dalam keadaan sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faali,

biokimia dan psikiatri.

 Secara keseluruhan, tidak didapatkan aspek-aspek yang dapat memperberat

proses anestesi selama pembedahan. Namun, ada beberapa aspek yang perlu

diperhatikan selama masa pembiusan. Refleks laring mengalami penurunan selama

anesthesia. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas

merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk

meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif

dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode

tertentu sebelum induksi anestesia.

Tindakan premedikasi sendiri, yaitu  pemberian obat sebelum induksi

anestesia bertujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia

diantaranya untuk meredakan kecemasan dan ketakutan, memperlancar induksi

anestesia, mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan jumlah

obat anestetik, mengurangi mual-muntah pasca bedah, menciptakan amnesia,

mengurangi isi cairan lambung, mengurangi refleks yang membahayakan.

Alasan pemilihan penggunaan golongan midazolam sebagai agen

anestesi  antara lain karena tidak mengganggu pola tidur, lebih aman jika terjadi

overdosis, tidak menginduksi interaksi buruk pada metabolisme enzim obat, tidak

menginduksi enzim hepar, pilihan utama sebagai anti ansietas, paling cepat

diinaktifkan dibandingkan benzodiazepin lain pada penggunaan intravena untuk

memperoleh efek cepat.

Berdasarkan status fisik pasien tersebut, jenis anestesi yang paling baik

digunakan dalam reposisi fraktur os nasal adalah general anestesi. Teknik anestesi

28 | P r e s u s A n e s t e s i

umum yang dipilih adalah teknik balance anesthesia, nafas kendali

dengan endotracheal tube nomor 6,5. Teknik ini dimulai dengan pemberian obat

pelumpuh otot non depolar, setelah itu dilakukan pemasangan endotrakeal tube.

Nafas dikendalikan dengan respiratoir atau secara manual. Apabila menggunakan

respiratoir, setiap inspirasi (volum tidal) diusahakan 6-10 ml/kgBB dengan frekuensi

10-14 x/menit. Apabila nafas dikendalikan secara manual harus diperhatikan

pergerakan dada kanan kiri simetris. Pada pasien ini, nafas dikendalikan secara

manual.

Pada pasien ini diberikan obat pelumpuh otot athracurium 40 mg IV, yang

merupakan nondepolaritation intermediete acting. Athracurium sebagai obat

pelumpuh otot non depolarisasi dipilih sebagai agen penginduksi karena mempunyai

beberapa keunggulan antara lain metabolisme terjadi di dalam darah (plasma)

terutama melalui suatu reaksi kimia unik yang disebut eliminasi Hofman. Reaksi ini

tidak tergantung pada fungsi hati atau ginjal.Selain itu tidak mempunyai efek

akumulasi pada pemberian berulang dan tidak menyebabkan perubahan fungsi

kardiovaskular.

Ektubasi dapat segera diberikan setelah spontan normal kembali dengan

volume tidal 300 ml. O2 diberikan terus ( 5-6 L ) selama 2-3 menit untuk mencegah

hipoksia difusi. Apabila nafas tetap lemah setelah ditunggu beberapa menit dapat

diberi obat anti pelumpuh otot non depolarisasi sebelum diekstubasi yaitu neostigmin

(prostigmin) dosis 0,04 mg/kg, piridostigmin 0,1-0,4 mg/kg, atau fisostigmin 0,01-

0,03 mg/kg. Penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik menyebabkan hipersalivasi,

keringatan, bradikardi, kejang bronkus, hipermotilitas usus, dan pandangan kabur,

sehingga pemberiannya harus disertai oleh obat vagolitik seperti atropin dosis 0,01-

0,02 mg/kg.

Induksi anestesi merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar

menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi. Obat-obatan yang

sering digunakan untuk induksi antar lain tiopental, propofol dan ketamin. Pada

pasien ini diberikan propofol (recofol) 90 mg IV dan ketamin 100 mgIV.

29 | P r e s u s A n e s t e s i

Pada pasien ini diberikan maintenance O2 + N2O + sevofluran. Oksigen

diberikan untuk mencukupi oksigen jaringan. Pemberian anestesi dengan N2O harus

disertai O2 minimal 25%, gas ini bersifat sebagai anestetik lemah tetapi  analgetiknya

kuat. Sevoflurane merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih anestesi lebih cepat

dibandingkan isoflurane. Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang

menyebabkan aritmia. Setelah pemberian dihentikan, sevoflurane cepat dikeluarkan

oleh tubuh.

Setelah operasi selesai pasien dibawa ke Recovery Room (RR). Di ruang

inilah pemulihan dari anestesi umum atau anestesi regional dilakukan. RR terletak

berdekatan dengan ruang operasi sehingga apabila terjadi suatu kondisi yang

memerlukan pembedahan ulang tidak akan mengalami kesulitan. Pada saat di RR,

dilakukan monitoring seperti di ruang operasi, yaitu meliputi tekanan darah, saturasi

oksigen, denyut nadi hingga kondisi stabil. Oksigen selalu diberikan sebelum pasien

sadar penuh. Pasien sebaiknya jangan dikirim ke ruangan sebelum sadar, tenang,

reflek jalan nafas sudah aktif, tekanan darah, nadi dalam batas normal. Pasien dapat

keluar dari RR apabila sudah mencapai skor Lockherte/Aldrete lebih dari delapan.

Sedangkan pada pasien diatas, didapatkan skornya 9 sehingga pasien dapat

dipindahkan ke tempat perawatan selanjutnya.

Pada kasus ini dipakai semi closed anestesi karena mempunyai

beberapa keuntungan :

1). Konsentrasi inspirasi relatif konstan.

2). Konservasi panas dan uap.

3). Menurunkan polusi kamar.

4). Menurunkan resiko ledakan dengan obat yang mudah terbakar.

30 | P r e s u s A n e s t e s i

BAB IV

KESIMPULAN

Dalam suatu tindakan anestesi banyak hal yang harus diperhatikan agar

tindakan anestesi tersebut dapat berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan anestesi.

Dalam hal ini pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap

operasi yang melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang baik dan teliti memungkinkan

kita mengetahui kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul

sehingga dapat mengantisipasinya serta dapat menentukan teknik anestesi yang akan

dipakai. Selain itu, pemilihan obat dan dosisnya harus benar- benar diperhatikan agar

tidak menimbulkan efek samping yang membahayakan pasien.

Anestesi umum adalah pilihan anestesi untuk tonsilektomi. Status fisik pasien

termasuk dalam ASA I sehingga secara keseluruhan, tidak didapatkan aspek-aspek

yang dapat memperberat proses anestesi maupun pembedahan. Tindakan premedikasi

sendiri, yaitu  pemberian obat sebelum induksi anestesia bertujuan untuk melancarkan

induksi, rumatan dan bangun dari anestesia. Pasien dapat keluar dari recovery

room apabila sudah mencapai skor Lockherte/Aldrete lebih dari delapan .Hal ini

penting dilakukan untuk menilai kondisi paska operasi pasien.

Dalam laporan ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi umum pada

operasi reposisi tulang nasal pada pasien perempuan, umur 21 tahun, status fisik

ASA I. Dengan diagnosis tonsilitis kronisdengan menggunakan teknik general

anestesi inhalasi semi closed dengan ET no 6,5.

Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung

dengan baik tanpaada kendala yang berarti.

31 | P r e s u s A n e s t e s i

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonym. 2012. Analisis dari Differential Diagnosis Fraktur Nasal. Diakses

dari http://www.scribt.com tanggal 25 Agustus 2012.

2. Artawiyata, A. 2011. Diakses dari

http://www. catatanradiograf.blogspot.com/ fraktur -tulang-hidung tanggal 25

Agustus 2012.

3. Latief, S.A., Suryadi, K.A., Dachlan, R. 2002. Petunjuk Praktis

Anestesiologi. Edisi Kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif. Jakarta:

FK UI

4. Pramono, A., 2008. Study Guide Anestesiologi dan Reanimasi. Yogyakarta :

FK UMY.

5. Wirdjoatmodjo, K., 2000. Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar untuk

Pendidikan S1 Kedokteran. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional

6. Pratiwi, A. 2010. Pengelolaan Anestesi Umum pada Kistektomi. Bagian SMF

ilmu Anestesi. FK UNS

32 | P r e s u s A n e s t e s i