psikologi belajar matematika (diktat).doc

192

Click here to load reader

Upload: uli-nuha

Post on 05-Dec-2014

185 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

BAB IPENGANTAR PSIKOLOGI BELAJAR

Salah satu ciri dari pembelajaran matematika masa kini adalah penyajiannya

didasarkan pada teori psikologi pembelajaran. Sesuai dengan ciri tersebut, pada

matakuliah psikologi belajar matematika akan dibahas mengenai konsep dasar psikologi

belajar, perkembangan berbagai teori pembelajaran dan penerapannya dalam

pengajaran matematika.

Pembicaraan mengenai matematika sekolah dan pembelajarannya tidak akan lepas

dari teori psikologi yang mendasarinya. Ibarat gula denggan manisnya yang tidak akan

terlepas. Jika lepas manisnya, maka namanya bukan gula lagi dan sebaliknya. Pada

pembicaraan mengenai pembelajaran matematika di sekolah, jika terlepas dari psikologi

pembelajaran yang mendasarinya, maka bukan lagi disebut dengan pembelajaran. Hai

ini dikarenakan, proses pembelajaran adalah pembentukan diri siswa untuk menuju pada

pembangunan manusia seutuhnya, jadi tidak melalui “trial and error”. Siswa adalah

manusia yang sedang mengembangkan diri secara utuh dan tidak boleh dianggap

sebagai kelinci percobaan. Dengan kata lain instrumental inputnya dalam pembelajaran

harus dijamin keberhasilannya.

A. Pengertian dan Klasifikasi Psikologi

Psikologi berasal dari kata Yunani psyche = jiwa dan logos = ilmu, sehingga

psikologi dapat didefinisikan: ilmu yang mempelajari gejala-gejala kejiwaan berupa

tingkah laku manusia. Gejala kejiwaan diklasifikasikan:

1. Gejala pengenalan (kognitif)

Meliputi:

a. Pengamatan: usaha manusia untuk mengenal dunia riil, baik mengenal diri

sendiri, maupun mengenal dunia sekitarnya melalui panca inderanya, yaitu

dengan: melihat, mendengar, membau, meraba, dan mengecap.

Agar orientasi pengamatan dapat berhasil dengan baik, maka diperlukan aspek

pengaturan terhadap objek yang diamati, yaitu:

1) Aspek pengaturan menurut sudut pandang ruang.

Dunia pengamatan dilukiskan dalam pengertian-pengertian: atas-bawah,

kanan-kiri, jauh-dekat, tinggi-rendah.

2) Aspek pengaturan menurut sudut pandang waktu.

Dunia pengamatan dilukiskan dalam pengertian-pengertian: masa lampau,

masa kini, dan masa yang akan datang.

3) Aspek pengaturan menurut sudut pandang Gestalt.

Obyek yang diamati diberi arti sebagai suatu kesatuan yang utuh, bukan

sebagai bagian yang terlepas-lepas. Misal: dalam melihat rumah dipandang

sebagai suatu bangunan secara utuh, bukan dipandang sebagai pakunya atau

batu batanya.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 1

Page 2: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

4) Aspek pengaturan menurut sudut pandang arti.

Obyek yang diamati diberi arti menurut artinya bagi kita. Misal: sebuah pabrik

dan sebuah sekolah dipandang dari segi bangunan banyak menunjukkan

persamaan, tetapi dipandang dari segi artinya menunjukkan hal yang sangat

berbeda.

b. Tanggapan: bayangan atau kesan yang tertinggal di dalam diri kita setelah kita

melakukan pengamatan terhadap suatu objek.

Tanggapan tidak hanya dapat menghidupkan kembali apa yang telah diamati

(masa lampau), tetapi juga dapat mengantisipasikan sesuatu yang akan datang,

atau yang mewakili saat ini. Sehubungan dengan hal tersebut, maka tanggapan

dibedakan menjadi 3 macam:

1) Tanggapan masa lampau/ tanggapan ingatan.

2) Tanggapan masa yang akan datang/ tanggapan mengantisipasikan.

3) Tanggapan masa kini/ tanggapan representatif.

Berdasarkan indera yang dipergunakan untuk melakukan pengamatan,

tanggapan dapat dibedakan menjadi:

1) Tanggapan visual – hasil pengamatan yang dilakukan dengan indera mata.

2) Tanggapan auditif – hasil pengamatan yang dilakukan dengan indera telinga.

3) Tanggapan olfaktorik – hasil pengamatan yang dilakukan dengan indera

hidung.

4) Tanggapan gustatif – hasil pengamatan yang dilakukan dengan indera

pengecap.

5) Tanggapan taktil – hasil pengamatan yang dilakukan dengan indera raba.

Tanggapan mempunyai peranan yang penting dalam proses belajar, terutama

dalam proses memperoleh pengertian. Proses tersebut melalui urutan sebagai

berikut:

1) Pengamatan

2) Bayangan pengiring – bayangan yang timbul setelah kita melihat sesuatu

warna untuk beberapa saat, kemudian mengalihkan pandangan ke suatu latar

belakang yang putih.

3) Bayangan eidetik – bayangan yang sangat jelas dan hidup, sehingga orang

yang memiliki tanggapan seolah-olah mengamati kembali obyek atau

peristiwanya.

4) Tanggapan

5) Pengertian.

c. Ingatan: kemampuan rohaniah untuk mencamkan, menyimpan, dan

mereproduksi kesan-kesan.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 2

Page 3: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

d. Fantasi: kemampuan jiwa untuk membentuk tanggapan-tanggapan baru dengan

pertolongan tanggapan-tanggapan yang telah ada, dan tanggapan yang baru

tidak harus sama atau sesuai dengan benda-benda yang ada.

Fantasi dibedakan menjadi:

1) Fantasi yang tidak disadari: melamun.

2) Fantasi yang disadari: fantasi mencipta (mengarang lagu, tarian), dan fantasi

terpimpin/ tuntunan (mendengarkan sandiwara radio).

Kegunaan fantasi:1) Fantasi merupakan sarana memahami orang lain.2) Fantasi memungkinkan subyek melepaskan diri dari keterikatannya terhadap

tempat dan waktu, sehingga memungkinkan bagi subyek untuk mempelajari ilmu bumi dan sejarah.

3) Fantasi dapat membantu subyek untuk bercita-cita.4) Fantasi memungkinkan orang untuk melepaskan diri dari kesukaran yang

dihadapi di alam riil.

Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya fantasi:1) Adanya waktu yang kosong.2) Tidak adanya kesibukan yang menentu.3) Adanya harapan-harapan (cita-cita) yang besar.4) Adanya berbagai kesulitan pemecahan masalah.5) Adanya berbagai macam kelemahan pribadi yang menyebabkan yang

bersangkutan lari ke fantasi untuk membuat ego defence.6) Sedang dirundung asmara, dll.

e. Asosiasi: hubungan antara tanggapan yang satu dengan tanggapan yang lain.

Misal: jika kita menyebut tikus, maka kita akan teringat kucing.

Asosiasi terjadi berdasarkan hukum asosiasi sebagai berikut:

1) Hukum berurutan: beberapa tanggapan yang dialami seseorang secara

berturutan, akan membentuk asosiasi.

2) Hukum serentak: beberapa tanggapan yang dialami secara serentak/ dalam

waktu yang bersamaan, cenderung berasosiasi satu dengan yang lain.

3) Hukum kesamaan/ kesesuaian: beberapa tanggapan yang serupa, atau mirip,

atau identik satu dengan yang lain akan berasosiasi.

4) Hukum berlawanan: tanggapan yang berlawanan satu dengan yang lain

cenderung berasosiasi.

f. Berpikir: proses dinamis dimana subjek membuat hubungan antara objek

dengan bagian-bagian pengetahuan yang sudah dimiliki.

Berpikir dibedakan menjadi:

1) Berpikir reflektif: kemampuan individu dalam menyeleksi pengetahuan (yang

revelan dengan tujuan masalah) yang pernah diperoleh.

Proses-proses mental yang menyertai dalam berpikir reflektif adalah sebagai berikut:a) Direction – perhatian dan minat yang diarahkan pada tujuan.b) Interpretation – interpretasi terhadap hubungan-hubungan yang terdapat

pada tujuan yang akan dicapai.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 3

Page 4: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

c) Selection – mengingat kembali dan memilih pengetahuan-pengetahuan yang sudah pernah diperoleh.

d) Insight – adanya pengertian individu tentang hubungan antara pengetahuan-pengetahuan dengan tujuan yang akan dicapai.

e) Creation – pembentukan pola-pola mental baru.f) Criticism – Penilaian terhadap kesanggupan menyelesaikan permasalahan.

Langkah-langkah berpikir reflektif:a) Individu merasakan adanya problem.b) Individu melokalisasi/ memberi batasan kesukaran pemahaman terhadap

problem.c) Individu menemukan hubungan-hubungan (memformulasikan hipotesis-

hipotesis).d) Individu mengevaluasi hipotesis-hipotesis.e) Individu menerapkan cara pemecahan persoalan kemudian

menyimpulkannya.2) Berpikir kreatif: proses berpikir melalui prosedur dengan cara-cara baru dan

tak dapat dikira-kira sebelumnya sehingga memperoleh hasil yang orisinil.

Langkah-langkah berpikir kreatif:

a) Tahap persiapan – bahan-bahan atau pengetahuan dikumpulkan dan disusun secara integral dan terus-menerus.

b) Tahap inkubasi – kemungkinan besar aspek-aspek pernyataan yang kreatif bersifat samar-samar.

c) Tahap insight/ pemahaman – hasil proses berpikir yang kontinu sehingga individu sadar akan hubungan-hubungan yang sebelumnya tidak diketahui hingga menemukan pemahaman baru.

g. Kecerdasan/ intelegensi: kemampuan mengendalikan aktivitas-aktivitas

dengan ciri-ciri sukar, kompleks, abstrak, ekonomis (tepat), bertujuan, bernilai

sosial, dan menampakkan adanya keaslian, serta kemampuan untuk

mempertahankan kegiatan-kegiatan seperti itu dalam kondisi yang memerlukan

konsentrasi energi dan berlawanan dengan kekuatan-kekuatan emosional.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan:

1) Faktor bawaan/ warisan: orang tua2) Faktor lingkungan: gizi yang dikonsumsi dan rangsangan-rangsangan yang

bersifat kognitif emosional.

2. Gejala perasaan (afektif)

Gejala psikis yang bersifat subyektif, berhubungan dengan gejala-gejala

mengenal, dialami dalam kualitas senang atau tidak senang dalam berbagai taraf.

Perasaan dibedakan sebagai berikut:

a. Perasaan jasmaniah:

1) Perasaan indriah: sedap, asin, pahit, dll.

2) Perasaan vital: segar, lemah, tak berdaya, dll.

b. Perasaan rohaniah: perasaan keagamaan, intelektual, kesusilaan, keindahan,

sosial dan harga diri.

3. Gejala kehendak/ psikomotorik/ motif (konatif)

keadaan dalam pribadi manusia yang mendorong untuk melakukan kegiatan-

kegiatan tertentu guna mencapai suatu tujuan.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 4

Page 5: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

Berdasarkan bentuknya, motif digolongkan sebagai berikut:

a. Motif bawaan: motif yang dibawa sejak lahir tanpa dipelajari. Misal: makan, tidur,

dll.

b. Motif yang dipelajari: motif yang ditimbulkan karena dipelajari. Misal: berteman,

bersahabat.

Berdasarkan sumber rangsangan, motif dibedakan sebagai berikut:

a. Motif ekstrinsik: motif yang terjadi karena pengaruh rangsangan dari luar.

b. Motif instrinsik: motif yang terjadi karena pengaruh rangsangan dari dalam diri

sendiri.

Berdasarkan isi, motif dibedakan sebagai berikut:

a. Motif jasmaniah. Misal: refleks, insting, nafsu, dan hasrat.

b. Motif rohaniah yaitu kemauan.

4. Gejala campuran (kombinasi)

campuran dari kognitif, afektif, dan konatif. Ada 3 macam gejala campuran yaitu:

a. Perhatian

Ada 2 macam arti perhatian:

1) Perhatian merupakan pemusatan tenaga psikis yang tertuju pada sesuatu

obyek.

2) Perhatian adalah pendayagunaan kesadaran untuk menyertai suatu aktivitas.

Berdasarkan cara kerjanya, perhatian dibedakan sebagai berikut:

1) Perhatian spontan: perhatian yang tidak disengaja atau tidak sekehendak

subyek.

2) Perhatian refleksif: perhatian yang disengaja atau sekehendak subyek.

Berdasarkan intensitasnya, perhatian dibedakan sebagai berikut:

1) Perhatian intensif: perhatian yang banyak menyertakan aspek kesadarannya.

2) Perhatian tidak intensif: perhatian yang tidak banyak menyertakan aspek

kesadarannya.

Berdasarkan luasnya, perhatian dibedakan sebagai berikut:

1) Perhatian terpusat: perhatian yang tertuju pada lingkup obyek yang sangat

terbatas.

2) Perhatian terpencar: perhatian yang tertuju pada lingkup obyek yang luas

atau tertuju kepada bermacam-macam obyek.

b. Sugesti – pengaruh yang diterima oleh seseorang yang datangnya dari luar atau

dalam diri sendiri yang mengesampingkan pikiran, perasaan, dan kemauan.

Oto sugesti: pengaruh yang datangnya dari dalam diri sendiri.

c. Kelelahan

Kelelahan terjadi jika orang melakukan banyak kegiatan, baik fisik yang bersifat

jasmani atau rohani, sedangkan energi yang dipakai untuk melakukan kegiatan

tersebut terbatas.

Kelelahan ada 2 macam:

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 5

Page 6: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

1) Kelelahan jasmani: kelelahan karena akibat kegiatan fisik.

2) Kelelahan rohani: kelelahan sebagai akibat aktivitas otak.

Psikologi dibedakan menjadi:

Psikologi khusus diklasifikasikan menjadi:

1. Psikologi perkembangan – psikologi yang mempelajari perubahan-perubahan tingkah

laku yang sejalan dengan umur (kehidupan sebelum lahir hingga usia tua).

2. Psikologi anak – psikologi yang mempelajari perkembangan masa anak-anak.

3. Psikologi sosial – psikologi yang mempelajari tingkah laku individu dalam

hubungannya dengan kelompok, terutama bagaimana tingkah laku individu

dipengaruhi kelompoknya.

4. Psikologi klinis – psikologi yang mempelajari kelainan-kelainan tingkah laku,

mengadakan diagnosis psikologik, serta psikoterapi, di samping mengadakan

penelitian-penelitian dan pengetesan dalam bidang tersebut.

5. Psikologi industri – psikologi yang mempelajari masalah-masalah perusahaan atau

industri.

6. Psikologi pendidikan – psikologi yang mempelajari penggunaan psikologi dalam

masalah pendidikan.

7. Psikologi kepribadian – psikologi yang mempelajari sifat dan watak manusia.

8. Psikologi abnormal – psikologi yang mempelajari perilaku-perilaku menyimpang dari

orang-orang yang mengalami gangguan atau kelainan mental.

9. Psikometri – psikologi yang mempelajari pengukuran dan mengembangkan tes.

B. Kedudukan Psikologi Pendidikan di Sekolah

Psikologi pendidikan merupakan ilmu pengetahuan yang menyelidiki segi-segi

psikologi dalam situasi pendidikan (sekolah). Psikologi pendidikan sebagai bagian dari

studi psikologi, berusaha sejauh mungkin untuk lebih berhasil dalam memformulasikan

tujuan pendidikan, penyususunan kurikulum dan pengorganisasian proses belajar

mengajar.

Psikologi pendidikan di sekolah berusaha memecahkan masalah-masalah, antara

lain:

1. Pengaruh pembawaan dan lingkungan atas belajar.

2. Teori dan proses belajar.

3. Hubungan antara taraf kematangan dengan taraf kematangan dengan taraf kesiapan

belajar.

4. Perbedaan individu dan pengaruhnya terhadap hasil pendidikan.

5. Perubahan batiniah yang terjadi selama belajar.

6. Hubungan antara teknik mengajar dan hasil belajar.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 6

Page 7: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

7. Teknik evaluasi yang efektif atas kemajuan yang dicapai anak didik.

8. Perbandingan hasil pendidikan formal dan pendidikan informal atas individu.

9. Nilai sikap ilmiah terhadap pendidikan yang dimiliki para petugas pendidikan (guru).

10. Pengasuh kondisi sosial anak didik atas pendidikan yang diterima.

Mengingat pentingnya peran psikologi pendidikan di sekolah tersebut, maka

kedudukan psikologi pendidikan merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan tujuan

pendidikan dan tujuan proses belajar mengajar.

C. Manfaat Psikologi Pendidikan sebagai Calon Guru

Calon guru yang sedang menjalankan pre-service training dan guru yang menjalani

in-service training perlu memiliki pengetahuan tentang psikologik pendidikan, mengingat

syarat-syarat mengajar yang efektif bagi tercapainya tujuan. Berikut ini dikemukaan

persiapan psikologis sebelum menjadi guru:

1. Calon guru harus mempunyai pengetahuan dan pemahaman tentang dasar-dasar

psikologi perkembangan dan perilaku manusia.

2. Mempunyai keterampilan minimal dalam menggunakan teknik-teknik yang tepat

untuk mempelajari kemampuan, minat dan tingkat kesiapan belajar siswanya.

3. Mampu mempertimbangkan nilai-nilai psikologik dari bermacam-macam prosedur

mengajar.

4. Dalam menganalisis dan meneliti cara belajar, kekuatan dan kelemahan belajarnya

sendiri setelah mempelajari aspek-aspek psikologik dari pendidikan.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 7

Page 8: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

BAB IIPERBEDAAN INDIVIDUAL

A. Pendahuluan

Setiap individu adalah unik. Artinya setiap individu memiliki perbedaan antara yang

satu dengan yang lain. Perbedaan tersebut bermacam-macam, mulai dari perbedaan

fisik, pola berpikir dan cara merespon atau mempelajari hal-hal baru. Dalam hal belajar,

masing-masing individu memiliki kelebihan dan kekurangan dalam menyerap pelajaran

yang diberikan. Oleh karena itu, dalam dunia pendidikan dikenal berbagai metode untuk

dapat memenuhi tuntutan perbedaan individu tersebut. Di negara-negara maju sistem

pendidikan bahkan dibuat sedemikian rupa sehingga individu dapat dengan bebas

memilih pola pendidikan yang sesuai dengan karakteristik dirinya.

Di Indonesia seringkali kita mendengar keluhan dari orangtua yang merasa sudah

melakukan berbagai cara untuk membuat anaknya menjadi “pintar”. Orangtua

berlomba-lomba menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah terbaik. Selain itu

anak diikutkan dalam berbagai kursus maupun les privat yang terkadang menyita habis

waktu yang seharusnya bisa dipergunakan anak atau remaja untuk bermain atau

bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya. Namun demikian usaha-usaha tersebut

seringkali tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan, bahkan ada yang justru

menimbulkan masalah bagi anak dan remaja. 

Apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa anak-anak tersebut tidak kunjung pintar?

Salah satu faktor yang dapat menjadi penyebabnya adalah ketidaksesuaian cara belajar

yang dimiliki oleh sang anak dengan metode belajar yang diterapkan dalam pendidikan

yang dijalaninya termasuk kursus atau les privat. Cara belajar yang dimaksudkan disini

adalah kombinasi dari bagaimana individu menyerap, lalu mengatur dan mengelola

informasi. 

Otak Sebagai Pusat Belajar

Otak manusia adalah kumpulan massa protoplasma yang paling kompleks yang

ada di alam semesta. Satu-satunya organ yang dapat mempelajari dirinya sendiri dan

jika dirawat dengan baik dalam lingkungan yang menimbulkan rangsangan yang

memadai, otak dapat berfungsi secara aktif dan reaktif selama lebih dari seratus tahun.

Otak inilah yang menjadi pusat belajar sehingga harus dijaga dengan baik sampai

seumur hidup agar terhindar dari kerusakan.

Menurut Mac Lean, otak manusia memiliki tiga bagian dasar yang seluruhnya

dikenal sebagai triune brain/ three in one brain (dalam DePorter & Hernacki). Bagian

pertama adalah batang otak, bagian kedua adalah sistem limbik, dan yang ketiga adalah

neokorteks.

Batang otak memiliki kesamaan struktur dengan otak reptil, bagian otak ini

bertanggungjawab atas fungsi-fungsi motorik-sensorik-pengetahuan fisik yang berasal

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 8

Page 9: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

dari panca indera. Perilaku yang dikembangkan pada bagian ini adalah perilaku untuk

mempertahankan hidup, dan dorongan untuk mempertahankan spesies.

Di sekeliling batang otak terdapat sistem limbik yang sangat kompleks dan luas.

Sistem ini berada di bagian tengah otak manusia. Fungsinya bersifat emosional dan

kognitif yaitu menyimpan perasaan, pengalaman yang menyenangkan, memori dan

kemampuan belajar. Selain itu, sistem ini mengatur bioritme tubuh seperti pola tidur,

lapar, haus, tekanan darah, jantung, gairah seksual, temperatur, kimia tubuh,

metabolisme dan sistem kekebalan. Sistem limbik adalah panel kontrol dalam

penggunaan informasi dari indra penglihatan, pendengaran, sensasi tubuh, perabaan,

penciuman sebagai input yang kemudian informasi ini disampaikan ke pemikir dalam

otak yaitu neokorteks.

Neokorteks terbungkus di sekitar sisi sistem limbik, yang merupakan 80% dari

seluruh materi otak. Bagian ini merupakan tempat bersemayamnya “pusat kecerdasan

manusia”. Bagian inilah yang mengatur pesan-pesan yang diterima melalui penglihatan,

pendengaran dan sensasi tubuh manusia. Proses yang berasal dari pengaturan ini adalah

penalaran, berpikir intelektual, pembuatan keputusan, perilaku normal, bahasa, kendali

motorik sadar, dan gagasan non verbal. Dalam neokorteks ini pula kecerdasan yang

lebih tinggi berada, diantaranya adalah: kecerdasan linguistik, matematika, spasial/

visual, kinestetik/ perasa, musikal, interpersonal, intrapersonal dan intuisi.

B. Perbedaan Karakteristik Cara Belajar Individu

Berdasarkan kemampuan yang dimiliki otak dalam menyerap, mengelola dan

menyampaikan informasi, maka cara belajar individu dapat dibagi dalam tiga kategori.

Ketiga kategori tersebut adalah cara belajar visual, auditorial dan kinestetik yang

ditandai dengan ciri-ciri perilaku tertentu. Pengkategorian ini tidak berarti bahwa individu

hanya memiliki salah satu karakteristik cara belajar tertentu sehingga tidak memiliki

karakteristik cara belajar  yang lain. Pengkategorian ini hanya merupakan pedoman

bahwa individu memiliki salah satu karakteristik yang paling menonjol, sehingga jika ia

mendapatkan rangsangan yang sesuai dalam belajar maka akan memudahkannya untuk

menyerap pelajaran. Dengan kata lain jika individu menemukan metode belajar yang

sesuai dengan karakteristik cara belajar dirinya maka akan cepat ia menjadi “pintar”

sehingga kursus-kursus atau pun les privat secara intensif mungkin tidak diperlukan lagi.

Adapun ciri-ciri perilaku individu dengan karakteristik cara belajar seperti

disebutkan diatas, menurut De Porter & Hernacki, adalah sebagai berikut: 

1. Karakteristik perilaku individu dengan cara belajar visual 

Individu yang memiliki kemampuan belajar visual yang baik ditandai dengan ciri-ciri

perilaku sebagai berikut:

a. Rapi dan teratur.b. Berbicara dengan cepat.c. Mampu membuat rencana jangka pendek dengan baik.d. Teliti dan rinci.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 9

Page 10: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

e. Mementingkan penampilan.f. Lebih mudah mengingat apa yang dilihat daripada apa yang didengar.g. Mengingat sesuatu berdasarkan asosiasi visual.h. Memiliki kemampuan mengeja huruf dengan sangat baik.i. Biasanya tidak mudah terganggu oleh keributan atau suara berisik ketika

sedang belajar.j. Sulit menerima instruksi verbal (oleh karena itu seringkali ia minta

instruksi secara tertulis).k. Merupakan pembaca yang cepat dan tekun.l. Lebih suka membaca daripada dibacakan.m. Lupa menyampaikan pesan verbal kepada orang lain. n. Dalam memberikan respon terhadap segala sesuatu, ia selalu bersikap 

waspada, membutuhkan penjelasan menyeluruh tentang tujuan dan berbagai hal lain yang berkaitan.

o. Jika sedang berbicara di telpon ia suka membuat coretan-coretan tanpa arti selama berbicara.

p. Sering menjawab pertanyaan dengan jawaban singkat “ya” atau “tidak”.q. Lebih suka mendemonstrasikan sesuatu daripada berpidato/ berceramah.r. Lebih tertarik pada bidang seni (lukis, pahat, gambar) daripada musik.s. Seringkali tahu apa yang harus dikatakan, tetapi tidak pandai menuliskan

dalam kata-kata.

2. Karakteristik perilaku individu dengan cara belajar auditorial 

Individu yang memiliki kemampuan belajar auditorial yang baik ditandai dengan ciri-

ciri perilaku sebagai berikut:

a. Sering berbicara sendiri ketika sedang bekerja.b. Mudah terganggu oleh keributan atau suara berisik.c. Lebih senang mendengarkan (dibacakan) daripada membaca.d. Jika membaca maka lebih senang membaca dengan suara keras.e. Dapat mengulangi atau menirukan nada, irama dan warna suara.f. Mengalami kesulitan untuk menuliskan sesuatu, tetapi sangat pandai

dalam bercerita.g. Berbicara dalam irama yang terpola dengan baik.h. Berbicara dengan sangat fasih. i. Lebih menyukai seni musik dibandingkan seni yang lainnya.j. Belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan

daripada apa yang dilihat.k. Senang berbicara, berdiskusi dan menjelaskan sesuatu secara panjang

lebar.l. Mengalami kesulitan jika harus dihadapkan pada tugas-tugas yang

berhubungan dengan visualisasi.m. Lebih pandai mengeja atau mengucapkan kata-kata dengan keras

daripada menuliskannya.n. Lebih suka humor atau gurauan lisan daripada membaca buku humor/

komik. 

3. Karakteristik perilaku individu dengan cara belajar kinestetik 

Individu yang memiliki kemampuan belajar kinestetik yang baik ditandai dengan ciri-

ciri perilaku sebagai berikut:

a. Berbicara dengan perlahan.b. Menanggapi perhatian fisik.c. Menyentuh orang lain untuk mendapatkan perhatian mereka.d. Berdiri dekat ketika sedang berbicara dengan orang lain.e. Banyak gerak fisik.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 10

Page 11: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

f. Memiliki perkembangan otot yang baik.g. Belajar melalui praktek langsung atau manipulasi.h. Menghafalkan sesuatu dengan cara berjalan atau melihat langsung.i. Menggunakan jari untuk menunjuk kata yang dibaca ketika sedang

membaca.j. Banyak menggunakan bahasa tubuh (non verbal).k. Tidak dapat duduk diam di suatu tempat untuk waktu yang lama.l. Sulit membaca peta kecuali ia memang pernah ke tempat tersebut.m. Menggunakan kata-kata yang mengandung aksi.n. Pada umumnya tulisannya jelek.o. Menyukai kegiatan atau permainan yang menyibukkan (secara fisik).p. Ingin melakukan segala sesuatu

Dengan mempertimbangkan dan melihat cara belajar apa yang paling menonjol

dari diri seseorang maka orangtua atau individu yang bersangkutan (yang sudah

memiliki pemahaman yang cukup tentang karakter cara belajar dirinya) diharapkan

dapat bertindak secara arif dan bijaksana dalam memilih metode belajar yang sesuai.

C. Perbedaan Jenis Kelamin dalam Kemampuan Spesifik

Pria dan wanita memiliki nilai yang kira-kira sama pada tes inteligensia. (seperti

Stanford-Binet dan Wechsler Intelligence Scales). Sebagian besar tes inteligensia disusun

untuk meminimalkan perbedaan jenis kelamin dengan menghapus soal yang

menunjukkan perbedaan jenis kelamin atau dengan menyeimbangkan soal yang

menguntungkan pria dengan yang menguntungkan wanita.

Tetapi, sampai sekarang, tes kemampuan spesifik telah menunjukkan suatu

perbedaan antara pria dan wanita. Wanita rata-ratanya memiliki nilai yang lebih tinggi

dibandingkan pria pada kemampuan verbal. Pria rata-ratanya memiliki nilai yang lebih

tinggi dibandingkan wanita pada penalaran kecakapan matematika dan visual-spasial.

Kecakapan visual spasial diperlukan untuk tugas seperti mengkonseptualisasikan

bagaimana suatu benda di dalam ruang terlihat dari sudut pandang yang berbeda dan

membaca peta atau cetak biru.

Perbedaan jenis kelamin dalam kemampuan kognitif itu, yang telah diamati hampir

sejak awal pengujian sistematik, tampaknya semakin menghilang. Analisis selama lebih

dari 3 dasawarsa (dari 1947 sampai 1980) terhadap nilai tes kemampuan spesifik yang

diberikan kepada siswa sekolah lanjutan di seluruh Amerika menemukan bahwa

perbedaan antara anak pria dan wanita menurun secara progresif selama periode

tersebut.

Analisis terakhir yang meninjau ratusan penelitian perbedaan jenis kelamin pada

kemampuan yang dilakukan selama 20 tahun terakhir mencapai kesimpulan yang sama:

kecakapan verbal pria semakin meningkat dari tahun ke tahun sehingga menyamai

wanita, sedangkan kecakapan wanita pada tes penalaran matematika telah meningkat

sehingga menyamai pria. Satu-satunya tes yang terus menunjukkan perbedaan pada

kemampuan tersebut adalah SAT (Scholastic Aptitude Test); pria dan wanita memiliki

nilai yang kira-kira sama pada bagian verbal tetapi pria memiliki nilai yang lebih tinggi

secara bermakna pada bagian matematika.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 11

Page 12: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

Fakta bahwa perbedaan jenis kelamin telah menurun selama tahun demi tahun

menyatakan bahwa perbedaan nilai tes dahulu mencerminkan perbedaan latihan dan

harapan sosial: sampai belum lama ini, anak perempuan didorong untuk

mengembangkan minat dalam puisi dan literatur; anak laki-laki diharapkan lebih

memperhatikan hal-hal ilmiah dan mekanika. Walaupun masyarakat semakin mengakui

kesederajatan antara pria dan wanita, dan orangtua serta guru semakin tidak stereotipe

terhadap kemampuan yang mereka dorongkan, masih terdapat perbedaan dalam cara

bagaimana anak laki-laki dan perempuan diperlakukan sehingga banyak anak

perempuan kurang percaya diri dalam bidang matematika.

Orangtua masih percaya ilmu pengetahuan dan matematika kurang penting bagi

anak perempuan dibandingkan bagi anak laki-laki; mereka cenderung membesar-

besarkan kemampuan anak laki-laki mereka di dalam bidang tersebut dan meremehkan

kemampuan anak perempuannya. Dan mereka lebih sering membeli komputer dan

permainan ilmiah untuk anak laki-laki dibandingkan anak untuk perempuan. Guru

pelajaran ilmiah dan matematika juga cenderung memberikan lebih banyak dorongan

dan penguatan bagi anak laki-laki dibandingkan untuk anak perempuan.

Jadi, perbedaan pada tes matematika SAT mungkin mencerminkan perbedaan

percaya diri pada laki-laki dan perempuan. Tampaknya pula pertanyaan matematika

menunjukkan bias ke arah pria. Sebagai contohnya, soal mengambil situasi dari olahraga

di mana laki-laki lebih mengenalnya.

Satu bidang kemampuan kognitif yang terus menunjukkan perbedaan jenis kelamin

yang konsisten adalah hubungan visual-spasial. Tes masih menunjukkan nilai yang lebih

tinggi untuk pria, terutama jika tugas itu ditentukan waktunya dan mengharuskan rotasi

mental terhadap objek. Perbedaan jenis kelamin pada kemampuan spasial mungkin turut

menyebabkan perbedaan jenis kelamin dalam kemampuan matematika, karena

visualisasi spasial adalah salah satu strategi untuk memecahkan soal matematika.

Akan menarik mencari tahu apakah perbedaan jenis kelamin di kemampuan spasial

akan berkurang tahun demi tahun kemudian, saat lingkungan untuk wanita berubah.

Sebagian peneliti berpendapat hal itu akan terjadi. Peneliti lain berpendapat bahwa

perbedaan jenis kelamin dalam kemampuan visual-spasial berakar dari pengaruh

hormon seks pada perkembangan otak selama periode janin. Mereka menyatakan bahwa

kemampuan memvisualisasikan objek secara mental berhubungan dengan kecepatan

pertumbuhan kedua hemisfer serebral; hormon pria, testosteron, mungkin

memperlambat perkembangan hemisfer kiri, yang menyebabkan hemisfer kanan yang

sangat terspesialisasi pada pria.

D. Pengaruh Faktor Keturunan dan Lingkungan

1. Pengaruh faktor keturunan (heriditer)

Menurut ahli biologi, terjadinya individu adalah akibat bertemunya sel jantan dan

sel betina. Baik sel jantan maupun sel betina terdiri dari chromosome-chromosome yang

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 12

Page 13: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

berupa benang-benang protoplasma yang berpasangan. Pada setiap species (jenis

makhluk) jumlah dan bentuk chromosome-nya selalu sama. Dan bila speciesnya

berbeda, akan berbeda pula jumlah dan bentuk chromosome-nya. Tiap chromosome

mengandung unsur-unsur yang mengandung gene-gene, berupa bintik-bintik dan

letaknya menyerupai mata kalung yang tersusun secara linier dan terikat pada

pasangan-pasangan chromosome. Gene yang berasal dari chromosome sel jantan saling

berpasangan dengan gene yang berasal dari chromosome sel betina.dengan cara yang

berbeda-beda. Cara yang berbeda-beda inilah yang menyebabkan perbedaan sifat

individu. Dan perbedaan sifat individu inilah yang akhirnya menjadi penyebab terjadinya

perbedaan individu manusia berdasarkan faktor keturunan.

2. Pengaruh faktor lingkungan (melieu)

Lingkungan membawa pengaruh pada individu yang berada di lingkungan tersebut.

Lingkungan meliputi:

a. Lingkungan Statis (keadaan tempat dan alam)

Orang yang tinggal di daerah pegunungan tentu akan beda dengan orang yang

tinggal di daerah ngarai. Dari segi jasmani, orang yang tinggal di daerah pegunungan

badannya akan lebih kuat, paru-parunya lebih bersih daripada orang yang tinggal di

daerah ngarai. Sebaliknya dari segi rohani, orang yang tinggal di daerah ngarai pada

umumnya lebih bisa menggunakan akalnya daripada orang yang tinggal di daerah

pegunungan. Jadi lingkungan statis berpengaruh terhadap perbedaan individu baik

dari segi jasmani maupun rohani.

b. Lingkungan Dinamis (keadaan sosial atau manusia)

Dari segi jasmani, orang yang tinggal di daerah perkampungan orang yang suka

olahraga untuk kesehatan, besar kemungkinan akan ikut-ikutan yang akhirnya

menjadi kebiasaan dan mendatangkan kesehatan bagi dirinya. Dari segi rohani,

orang yang tinggal di lingkungan atau daerah “hitam” besar kemungkinan akan

terpengaruh menjadi orang jahat. Sebaliknya orang yang tinggal di lingkungan orang-

orang yang “tekun beragama” sedikit banyak tentu akan mempengaruhinya, dan

besar kemungkinan dia akan menjadi orang baik-baik meskipun semula termasuk

orang jahat.

E. Pengaruh Faktor Kognitif, Afektif, Psikomotor dan Campuran

Kognitif, afektif, dan psikomotor adalah aspek-aspek kepribadian yang sering

disama-artikan dengan aspek cipta, karsa, dan karya. Ketiga istilah ini berasal dari ahli

yang berbeda. Kognitif (aspek penalaran) dikembangkan oleh Bloom; afektif (aspek budi

pekerti) dikembangkan oleh Krathwohl; psikomotor (aspek keterampilan psikomotor)

dikembangkan oleh Simpson.

1. Pengaruh faktor kognitif

Faktor kognitif secara garis besar dapat dijabarkan sebagai berikut:

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 13

Page 14: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

a. Mengetahui Mengenali kembali hal-hal yang umum dan khas,

mengenali kembali metode dan proses, mengenali kembali pola, struktur, dan

perangkat.

b. Mengerti Memahami

c. Mengaplikasikan Kemampuan menggunakan abstraksi di

dalam situasi-situasi konkrit.

d. Menganalisis Menjabarkan sesuatu ke dalam unsur-unsur,

bagian-bagian atau komponen-komponen sedemikian rupa, sehingga tampak

jelas susunan atau hirarki gagasan yang ada di dalamnya, atau tampak jelas

hubungan antara berbagai gagasan yang dinyatakan dalam sesuatu komunikasi.

e. Mensintesiskan Kemampuan untuk menyatukan unsur-unsur

atau bagian-bagian sedemikian rupa sehingga membentuk suatu keseluruhan

yang utuh.

f. Mengevaluasi Kemampuan untuk menetapkan nilai/ harga dari

suatu bahan dan metode komunikasi untuk tujuan-tujuan tertentu.

Cara penalaran (kognitif) seseorang terhadap sesuatu obyek selalu berbeda

dengan orang lain. Artinya, obyekyang sama, mungkin akan mendapat penalaran

yang berbeda dari dua orang atau lebih. Jadi karena berbeda dalam penalaran

(kognitif) berbeda pula dalam kepribadian maka terjadilah perbedaan

individu.

2. Pengaruh faktor afektif

Faktor afektif secara garis besar dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Menerima atau memperhatikan Kepekaan terhadap kehadiran

gejala dan perangsang tertentu.

b. Merespon Mereaksi perangsang atau gejala tertentu.

c. Menghargai, berikut pengertian bahwa suatu hal, gejala atau

tingkah laku mempunyai harga atau nilai tertentu.

d. Mengorganisasikan nilai, mencakup mengatur nilai-nilai menjadi

suatu sistem nilai, menyusun jalinan nilai-nilai itu dan menetapkan berlakunya

nilai-nilai yang dominan.

e. Mewatak suatu kondisi di mana nilai-nilai dari sistem nilai yang

diyakini telah benar-benar merasuk di dalam pribadi seseorang. Orang seperti itu

dapat dikatakan sebagai orang yang budipekertinya mendekati kesempurnaan.

Orang yang berbudipekerti luhur akan sangat berbeda dengan orang yang tidak

berbudi hapir dalam segala sepak terjang, tingkah laku, sifat-sifat dan

kepribadiannya. Jadi dengan kata lain, faktor afektif sangat besar pengaruhnya

terhadap terjadinya perbedaan individual.

3. Pengaruh faktor psikomotor

Faktor keterampilan psikomotor secara garis besar dapat dijabarkan sebagai berikut:

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 14

Page 15: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

a. Mengindera Kegiatan keterampilan psikomotor yang dilakukan

dengan alat-alat indera.

b. Menyiagakan diri Mengatur kesiapan diri sebelum melakukan

sesuatu tindakan dalam rangka mencapai suatu tujuan.

c. Bertindak secara terpimpin Melakukan tindakan-tindakan

dengan mengikuti prosedur tertentu.

d. Bertindak secara mekanik Bertindak mengikuti prosedur baku.

e. Bertindak secara kompleks Bertindak secara teknologi yang

didukung oleh kompetensi. Di dalamnya tercakup semua tindakan keahlian dari

berbagai bidang profesi. Ciri khas dari orang yang mampu bertindak secara

kompleks adalah mampu menyusun mekanisme kerja sesuai dengan situasi dan

kondisi yang dihadapinya dan mampu menciptakan teknologi baru.

Orang yang telah sampai pada tingkat puncak keterampilan psikomotor dalam

menanggapi sesuatu bisa sampai pada penciptaan teknologi baru. Jadi

keterampilan psikomotor berpengaruh terhadap perbedaan individual.

4. Pengaruh campuran (dari faktor kognitif, afektif, dan psikomotor)

Dari uraian di atas, faktor kognitif, afektif, dan psikomotor sangat besar pengaruhnya

terhadap perbedaan individual secara terpisah. Tetapi sebenarnya baik secara

sendiri-sendiri (terpisah) maupun secara bersama-sama (campuran), maka ketiga

faktor tersebut sangat besar pengaruhnya terhadap perbedaan individual.

Ada 4 kemungkinan campuran, yaitu:

a. Percampuran antara faktor kognitif, afektif, dan psikomotor.

b. Percampuran antara faktor kognitif dan afektif.

c. Percampuran antara faktor kognitif dan psikomotor.

d. Percampuran antara faktor afektif dan psikomotor.

Bagaimanapun variasi campurannya, semua berpengaruh terhadap perbedaan

individual.

F. Pengaruh dalam Aspek Kecakapan

Perbedaan dalam aspek ini, nampak pada diri seseorang untuk dapat bertindak

secara cepat (waktunya singkat) dan tepat (hasilnya sesuai dengan harapan) dan

dengan mudah tanpa menghadapi banyak hambatan maupun kesulitan. Berdasarkan

cepat-lambatnya atau tepat-tidaknya dalam bertindak, siswa dapat diklasifikasikan

sebagai berikut:

1. Ada siswa yang cepat dan tepat dalam bertindak, penuh kemudahan.2. Ada siswa yang cepat, tetapi tidak tepat.3. Ada siswa yang tidak cepat tetapi tepat.4. Ada siswa yang tidak cepat dan tidak tepat, bahkan banyak kesulitan dan

hambatan.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 15

Page 16: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

Masalah cepat dan tepatnya seseorang dalam bertindak ini lazimnya disebut orang

yang cakap. Dalam bidang psikologi, orang yang cakap disebut orang yang berperilaku

inteligen. Pengertian perilaku intelegen ada kaitannya dengan konsep intelegensi.

Intelegensi adalah kemampuan untuk memecahkan segala jenis masalah dalam segala

situasi. Seseorang yang memiliki kecakapan tertentu bukan semata-mata karena

kelahirannya saja melainkan juga karena perkembangan dan pengalamannya.

Kecakapan individu atau yang sering disebut abilitas (ability), dapat dibedakan

menjadi:

1. Kecakapan nyata aktual (actual ability)

Kecakapan yang segera dapat didemonstrasikan pada setiap saat, karena

merupakan hasil usaha belajar yang telah dijalaninya (prestasi belajar).

2. Kecakapan potensi (potensial ability)

Kecakapan yang masih terpendam dalam diri seseorang,

yang bersifat laten dan diperoleh melalui keturunan (pembawaan) yang meliputi

abilitas dasar umum (general, intelegence) dan abilitas dasar khusus dalam

bidang tertentu (bakat, talent, aptitudes).

Kedua macam kecakapan potensi ini dapat dideteksi dengan cara mengidentifikasi

perilakunya. Menurut Witherington, manifestasi dari indikator perilaku inteligen adalah:

a. Kecakapan dalam menggunakan bilangan.b. Ketepatan menggunakan bahasa.c. Kecepatan dalam persepsi.d. Kecakapan dalam mengingat.e. Kecakapan dalam memahami hubungan.f. Berimajinasi.

Dengan mengetahui indikator-indikator perilaku inteligen tersebut, para ahli telah

mengembangkan alat ukur yang telah dibakukan (standardized test) baik untuk

kecakapan dasar umum (general intelegence test) maupun kecakapan dasar khusus

(aptitude test). Kecakapan dasar umum dikategorikan sebagai berikut:

a. Orang yang superior atau genius orang yang dapat bertindak jauh lebih cepat, tepat dan penuh kemudahan.

b. Orang normal orang yang bertindak biasa-biasa saja kecepatan maupun ketepatannya, seperti yang tampak pada sebagian besar orang menurut batasan-batasan waktu dan tingkat kesukaran yang telah ditetapkan.

c. Orang sub normal atau mentally defective atau mentally retarded orang yang jauh lebih lambat kecepatannya dan jauh tidak tepat serta lebih banyak mengalami kesulitan.

Kecakapan dasar khusus dikategorikan sebagai berikut:

a. Bidang bilangan (numerical abilities).b. Bidang bahasa (verbal abilities).c. Bidang hubungan sosial (social abilities).d. Bidang gerak motorik (motorical abilities).

Dari uraian di atas, menunjukkan bahwa perbedaan dari segi kecakapan akan

mempengaruhi prestasi belajar siswa. Hal ini tampak, meskipun guru sudah bersungguh-

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 16

Page 17: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

sungguh dalam mengajar tetapi siswa tidak dapat memperoleh prestasi yang optimal

karena perbedaan pada kecakapan.

G. Pengaruh dalam Aspek Kepribadian (Personality)

Perbedaan pada aspek kepribadian akan tampak pada kualitas total perilaku

individu dalam melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungan secara unik. Unik

maksudnya menunjukkan bahwa totalitas perilaku seseorang bersifat khas, artinya

kualitas perilaku antara individu yang satu dengan yang lain berbeda. Keunikannya

tersebut didukung oleh struktur organisasi ciri-ciri jiwa dan raga, yang terbentuk secara

dinamis. Ciri-ciri jiwa dan raga tersebut meliputi konstitusi dan kondisi fisik, tampang dan

penampilan, kondisi dan proporsi horman, cairan dalam tubuh, keadaan emosionalnya,

aspek kognitif, afektif, psikomotornya, dll. Hal-hal tersebut mempengaruhi kualitas

perilaku seseorang, yang akan tampak dalam interaksinya dengan lingkungan, berupa

karakter, temperamen, sikap, stabilitas, emosional, tanggung jawab maupun sosiobilitas.

Dari keseluruhan indikator kepribadian inilah yang sangat mempengaruhi seseorang

dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan, baik lingkungan sekolah, masyarakat

ataupun keluarga.

H. Teori Tentang Perbedaan Individu dari Hippocrates-Galenus

Kepribadian seseorang ditentukan oleh proporsi cairan tubuh yang

mendominasinya, sehingga pribadi seseorang kan berbeda dengan orang lain, karena

pribadi yang berbeda-beda inilah yang menimbulkan terjadinya perbedaan individual.

Ada 4 tipe golongan manusia berdasarkan temperamen atau wataknya, sebagai berikut:

No.Cairan tubuh

yang dominan

Prinsip Tipe Sifat-sifat khas

1. Chole Tegangan (tension)

Choleris Besar semangat, daya juang besar, hatinya mudah terbakar, optimistis.

2. Melanchole Penegaran (regidity)

Melancholis Mudah kecewa, daya juang kecil, mudah dipengaruhi, setia.

3. Phlegma Ilastisita Phlegmatis

Tidak suka terburu-buru, tdak mudah dipengaruhi, setia.

4. Sanguis Ekspansivita

Sanguisis Hidup, mudah berganti haluan, mudah lekas bertindak namun juga lekas berhenti.

Tipologi yang menerangkan perbedaan individu atas dasar cairan yang ada dalam

tubuh ini belum dapat menerangkan keadaan yang terjadi dalam masyarakat, sebab

cairan dalam tubuh dibawa sejak lahir; sedangkan sifat kejiwaan tertentu tidak hanya

dipengaruhi oleh cairan yang mengalir dalam tubuhnya saja, tetapi pengaruh lingkungan

yaitu sesuatu yang berada di luar dirinya memilki pengaruh yang besar pula.

I. Teori Tentang Perbedaan Individu dari Kretschmer

Perbedaan individu ditinjau dari segi struktur badaniah. Ada 4 tipe golongan manusia

berdasarkan bentuk tubuhnya, sebagai berikut:

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 17

Page 18: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

No.

Struktur badan

Sifat-sifat khas

1. Athletis Ukuran-ukran tubuh seimbang, kokoh, kuat, tulang-tulang otot kuat, bahu lebar dan kuat, tengkorak besar, kepala dan leher tegak, muka bulat telur, mudah menyesuaikan diri.

2. Leptosom/ asthenis

Badan kurus jangkung, lengan dan kaki kurus, perut kecil, bahu sempit, muka bulat telur, berat badan kurang, mudah terkena kritik.

3. Pyknis Badan gemuk pendek, perut besar, leher pendek dan kuat, lengan dan kaki lemah, mudah bergaul.

4. Dysplastis Tipe ini merupakan penyimpangan dari ketiga tipe di atas, bentuk badannya tidak normal, tidak memiliki ciri-ciri yang khas.

J. Teori Tentang Perbedaan Individu dari C.G. Jung

Perbedaan-perbedaan individu ditinjau dari segi perkembangan sosial. Kepribadian

manusia didasarkan pada perkembangan sosial seseorang dalam masyarakatnya. Dan

perkembangan kepribadian itulah yang menjadi dasar, yang menyebabkan individu yang

satu berbeda dengan individu yang lain.

Ada 2 tipe kepribadian manusia yang penggolongannya didasarkan pada

perkembangan sosial, sebagai berikut:

1. Type introvert.

Memiliki sifat khas: menarik diri, pemalu, sukar bergaul, senang berangan-angan,

mendapat kepuasan dalam perasaaan dan angan-angan, menutup diri.

2. Type extrovert.

Memiliki sifat khas: mudah bergaul, mudah menyesuaikan diri, menaruh minat pada

orang lain serta kegiatan-kegiatan sosial, ramah, banyak teman.

Dari kenyataan yang ada, sesungguhnya orang berkeyakinan bahwa perilaku

manusia menunjuk pada sifat introvert dan extrovert secara bersama-sama, atau

termasuk campuran antara introvert dan extrovert dimana dalam hal ini mereka

termasuk dalam golongan ambivert.

K. Teori Tentang Perbedaan Individu dari E. Spranger

Perbedaan-perbedaan individu ditinjau dari nilai-nilai kebudayaan yang ada pada tiap

individu, yang dalam kenyataannya bahwa biasanya hanya salah satu nilai saja yang dominan

dan nilai yang dominan inilah yang memberi corak atau bentuk kepada kepribadian

seseorang. Manusia dikelompokkan ke dalam tipe-tipe, sebagai berikut:

No.

Nilai kebudayaan yang dominan

Tipe Tingkah laku manusia

1. Ilmu pengetahuan Manusia teori Berpikir2. Ekonomi Manusia

ekonomiBekerja

3. Kesenian Manusia esthetis

Menikmati keindahan

4. Keagamaan Manusia agama

Memuja

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 18

Page 19: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

5. Kemasyarakatan Manusia sosial Berbakti/ berkorban6. Politik Manusia kuasa (Ingin) memerintah

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 19

Page 20: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

BAB IIIKONSTRUKTIVISME DALAM PEMBELAJARAN

A. Gagasan Dasar Konstruktivisme

1. Dunia (alam semesta) dan ilmu pengetahuan

Popper membedakan tiga pengertian tentang alam semesta: a) dunia fisik atau

keadaan fisik, b) dunia kesadaran atau mental atau disposisi tingkah laku, dan c) dunia

dari isi objektif pemikiran manusia, khususnya pemikiran ilmiah, puitis, dan seni. Dunia

oleh Popper dipandang secara ontologis.

Menurut Driver dan Bell, ilmu pengetahuan bukanlah hanya kumpulan hukum atau

daftar fakta. IImu pengetahuan, terutama sains, adalah ciptaan pikiran manusia dengan

semua gagasan dan konsepnya yang ditemuan secara bebas. Menurut Einstein dan

Infeld, konsep atau teori tidak menuruti pengamatan induktif yang sederhana. Hal ini

terbukti dengan adanya banyak siswa yang mengalami kesulitan untuk

mengabstraksikan kenyataan-kenyataan yang mereka peroleh dari percobaan-

percobaan mereka. Abstraksi dan teorisasi itu melalui proses penemuan yang imaginatif,

tidak cukup hanya dengan mengamati objek yang ada. Ada dua dunia yang berbeda,

dunia kenyataan dan dunia pengertian. Untuk menjembatani keduanya, diperlukan

proses konstruksi imaginatif.

2. Hakikat pengetahuan

Cukup lama diterima bahwa pengetahuan harus merupakan representasi

(gambaran atau ungkapan) kenyataan dunia yang terlepas dari pengamat

(objektivisme). Pengetahuan dianggap sebagai kumpulan fakta. Namun akhir-akhir ini,

terlebih dalam bidang sains, diterima bahwa pengetahuan tidak lepas dari subjek yang

sedang belajar mengerti. Pengetahuan lebih dianggap sebagai suatu proses

pembentukan (konstruksi) yang terus-menerus, terus berkembang dan berubah. Konsep-

konsep yang dulu dianggap sudah tetap dan kuat, seperti Hukum Newton dalam ilmu

fisika, ternyata harus diubah karena tidak dapat lagi memberikan penjelasan yang

memadai. Menurut Piaget, sejarah revolusi sains menunjukkan perubahan konsep-

konsep pengetahuan yang penting.

Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa

pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Von Glasersfeld menegaskan

bahwa pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas). Pengetahuan

bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan

akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Seseorang

membentuk skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk

pengetahuan. Maka pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamat tetapi

merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh

dialaminya. Proses pembentukan ini berjalan terus menerus dengan setiap kali

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 20

Page 21: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru.

Para konstruktivis menjelaskan bahwa satu-satunya alat/ sarana yang tersedia bagi

seseorang untuk mengetahui sesuatu adalah indranya. Seseorang berinteraksi dengan

objek dan lingkungan dengan melihat, mendengar, menjamah, mencium, dan

merasakannya. Dari sentuhan indrawi itu seseorang membangun gambaran dunianya.

Misalnya, dengan mengamati air, bermain dengan air, mencecap air, dan menimbang

air, seseorang membangun gambaran pengetahuan tentang air. Para konstruktivis

percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui.

Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang (guru) ke kepala

orang lain (siswa). Siswa sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan

dengan menyesuaikan terhadap pengalarnan-pengalaman mereka.

Tampak bahwa pengetahuan lebih menunjuk pada pengalaman seseorang akan

dunia daripada dunia itu sendiri. Tanpa pengalaman itu, seseorang tidak dapat

membentuk pengetahuan. Pengalaman tidak harus diartikan sebagai pengalaman fisik,

tetapi juga dapat diartikan sebagai pengalaman kognitif dan mental.

Menurut Von Glasersfeld, pengetahuan itu dibentuk oleh struktur konsepsi

seseorang sewaktu dia berinteraksi dengan lingkungannya. Lingkungan dapat berarti

dua macam. Pertama, bila kita berbicara tentang diri kita sendiri, lingkungan menunjuk

pada keseluruhan objek dan semua relasinya yang kita abstraksikan dari pengalaman.

Kedua, bila kita memfokuskan diri pada suatu hal tertentu, lingkungan menunjuk pada

sekeliling hal itu yang telah kita isolasikan. Dalam hal ini, baik hal itu maupun

sekelilingnya merupakan lingkup pengalaman kita sendiri, bukan dunia objektif yang

lepas dari pengamat.

Struktur konsepsi tersebut membentuk pengetahuan bila struktur itu dapat

digunakan dalam menghadapi pengalaman-pengalaman mereka ataupun dalam

menghadapi persoalan-persoalan mereka yang berkaitan dengan konsepsi tersebut. Bila

konsep ataupun abstraksi seseorang terhadap sesuatu dapat menjelaskan macam-

macam persoalan yang berkaitan, maka konsep itu membentuk pengetahuan seseorang

akan hal itu. Misalnya, konsepsi seseorang akan ciri-ciri seorang wanita dibandingkan

dengan seorang lelaki akan menjadi suatu pengetahuan tentang "ciri-ciri wanita" bila

konsepsi itu dapat digunakan dalam menganalisis wanita-wanita lain yang dijumpainya

dan dapat membedakan antara wanita dan lelaki yang dijumpainya.

Bagi para konstruktivis, pengetahuan bukanlah tertentu dan deterministik, tetapi

suatu proses menjadi tahu. Misalnya saja, pengetahuan kita akan “kucing” tidak sekali

jadi, tetapi merupakan proses untuk semakin tahu. Pada waktu kecil dengan melihat

kucing, menjamah, dan bergaul dengan kucing di rumah, kita membangun pengertian

akan “kucing” sejauh dapat ditangkap dari kucing kita sendiri yang terbatas. Dalam

perjalanan selanjutnya, kita bertemu dengan jenis kucing-kucing lain dengan segala

macam bentuk dan sifatnya. Interaksi dengan macam-macam kucing ini menjadikan

pengetahuan kita akan kucing lebih lengkap dan rinci daripada gambaran waktu kita

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 21

Page 22: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

kecil.

Konstruktivis menyatakan bahwa semua pengetahuan yang kita peroleh adalah

konstruksi kita sendiri, maka mereka menolak kemungkinan transfer pengetahuan dari

seseorang kepada yang lain bahkan secara prinsipil. Tidak mungkinlah mentransfer

pengetahuan karena setiap orang membangun pengetahuan pada dirinya.

Pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat ditransfer begitu saja dari pikiran

yang mempunyai pengetahuan ke pikiran orang yang belum mempunyai pengetahuan.

Bahkan bila seorang guru bermaksud mentransfer konsep, ide, dan pengertiannya

kepada seorang siswa, pemindahan itu harus diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh

si siswa lewat perrgalamannya. Banyaknya siswa yang salah menangkap apa yang

diajarkan oleh gurunya menunjukkan bahwa pengetahuan itu tidak dapat begitu saja

dipindahkan, melainkan harus dikonstruksikan atau paling sedikit diinterpretasikan

sendiri oleh siswa.

Dalam proses konstruksi itu, menurut Von Glasersfeld, diperlukan beberapa

kemampuan, yaitu: a) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali

pengalaman, b) kemampuan membandingkan, mengambil keputusan (justitifikasi)

mengenai persamaan dan perbedaan, dan c) kemampuan untuk lebih menyukai

pengalaman yang satu daripada yang lain. Kemampuan mengingat dan mengungkapkan

kembali pengalaman sangat penting karena pengetahuan dibentuk berdasarkan

interaksi dengan pengalaman-pengalaman tersebut. Kemampuan membandingkan

sangat penting untuk dapat menarik sifat yang lebih umum dari pengalaman-

pengalaman khusus serta melihat kesamaan dan perbedaannya untuk dapat membuat

klasifikasi dan membangun suatu pengetahuan. Karena kadang seseorang lebih

menyukai pengalaman tertentu daripada yang lain, maka muncullah soal nilai dari

pengetahuan yang kita bentuk.

Piaget membedakan dua aspek berpikir dalam pembentukan pengetahuan ini,

yaitu: a) aspek figuratif dan b) aspek operatif. Aspek berpikir figuratif adalah imaginasi

keadaan sesaat dan statis. Ini mencakup persepsi, imaginasi, dan gambaran mental

seseorang terhadap sesuatu objek atau fenomena. Aspek berpikir operatif lebih

berkaitan dengan transformasi dari satu level ke level lain. Ini menyangkut operasi

intelektual atau sistem transformasi. Setiap level keadaan dapat dimengerti sebagai

akibat dari transformasi tertentu atau sebagai titik tolak bagi transformasi lain. Dengan

kata lain, aspek yang lebih esential dari berpikir adalah aspek operatif. Berpikir operatif

inilah yang memungkinkan seseorang untuk mengembangkan pengetahuannya dari

suatu level tertentu ke level yang lebih tinggi.

Tujuan mengetahui sesuatu bukanlah untuk menemukan realitas. Tujuannya lebih

adaptif, yaitu untuk mengorganisasikan “pengetahuan” yang cocok dengan pengalaman

hidup manusia, sehingga dapat digunakan bila berhadapan dengan tantangan dan

pengalaman-pengalaman baru. Secara ringkas gagasan konstruktivisme mengenai

pengetahuan dapat dirangkum sebagai berikut:

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 22

Page 23: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

a. Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu

merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.

b. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk

pengetahuan.

c. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang.

Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi tersebut berlaku dalam

berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.

3. Realitas dan kebenaran

Pengetahuan kita bukanlah realitas dalam arti umum. Konstruktivisme menyatakan

bahwa kita tidak pernah dapat mengerti realitas yang sesungguhnya secara ontologis.

Yang kita mengerti adalah struktur konstruksi kita akan sesuatu objek. Menurut

Bettencourt, memang konstruktivisme tidak bertujuan mengerti realitas, tetapi lebih

hendak melihat bagaimana kita menjadi tahu akan sesuatu. Boleh juga dikatakan bahwa

“realitas” bagi konstruktivisme tidak pernah ada secara terpisah dari pengamat. Yang

diketahui bukan suatu realitas “di sana” yang berdiri sendiri, melainkan kenyataan

sejauh dipahami oleh orang yang menangkapnya. Menurut Shapiro, ada banyak bentuk

kenyataan dan masing-masing tergantung pada kerangka dan interaksi pengamat

dengan objek yang diamati. Dalam kerangka pemikiran ini, bila kita bertanya, “Apakah

yang kita ketahui itu memang sungguh kenyataan yang ada?”, kaum konstruktivis akan

menjawab, “Kami tidak tahu, itu bukan urusan kami.”

Lalu, bagaimana halnya dengan kebenaran? Bagaimana orang tahu bahwa

pengetahuan yang kita konstruksikan itu benar? Beberapa paham ilmu pengetahuan

mengatakan bahwa suatu pengetahuan itu diangap benar bila pengetahuan itu sesuai

dengan kenyataannya. Misalnya, pengetahuan seseorang bahwa “angsa itu putih”

adalah benar bila dalam kenyataannya memang angsa itu putih dan tidak berwarna lain.

Dengan kata lain, orang membuktikan pengetahuannya dengan membandingkannya

dengan realitas ontologisnya. Bagi kaum konstruktivis, kebenaran diletakkan pada

viabilitas, yaitu kemampuan suatu konsep atau pengetahuan dalam beroperasi. Artinya,

pengetahuan yang kita konstruksikan itu dapat digunakan dalam menghadapi macam-

macam fenomena dan persoalan yang berkaitan dengan pengetahuan tersebut.

Misalnya, pengetahuan kita akan hukum gerak Newton dianggap benar karena dengan

hukum itu kita dapat memecahkan banyak persoalan tentang gerak. Dalam kaitan

dengan ini, maka kita dapat menangkap bahwa pengetahuan kita ada taraf-tarafnya:

dari yang cocok atau berlaku untuk banyak persoalan sampai dengan yang hanya cocok

untuk beberapa persoalan. Sekali lagi tampak bahwa pengetahuan itu bukan barang

mati yang sekali jadi, melainkan suatu proses yang terus berkembang.

4. Hal yang membatasi konstruksi pengetahuan

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 23

Page 24: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

Bettencourt menyebutkan beberapa hal yang dapat membatasi proses konstruksi

pengetahuan manusia, antara lain: a) konstruksi kita yang lama, b) domain pengalaman

kita, dan c) jaringan struktur kognitif kita. Hasil dan proses konstruksi pengetahuan kita

yang lampau dapat menjadi pembatas konstruksi pengetahuan kita yang mendatang.

Unsur-unsur yang kita abstraksikan dari pengalaman yang lampau, cara kita

mengabstraksi dan mengorganisasikan konsep-konsep, aturan main yang kita gunakan

untuk mengerti sesuatu, semuanya punya pengaruh terhadap pembentukan penge-

tahuan berikutnya. Misalnya, pengetahuan kita akan hukum Newton akan selalu

membatasi kita dalam menganalisis suatu gerak. Pandangan kita mengenai suatu objek,

misalnya tikus, akan mewarnai dan dapat membatasi pengertian kita akan binatang lain

yang mirip dengan tikus. Pengalaman yang sudah kita abstraksikan, yang telah menjadi

suatu konsep, dalam banyak hal akan membatasi pengertian kita tentang sesuatu yang

ada kaitannya dengan konsep tersebut. Bahkan ini terjadi juga dalam pengertian kita

mengenai orang. Misalnya, pengalaman bentrok kita dengan seorang teman yang telah

kita jadikan suatu konsep “bahwa teman itu tidak baik”, akan dapat mempengaruhi

pandangan dan gagasan kita tentang orang itu selanjutnya, meskipun mungkin orang itu

sudah berubah.

Pengalaman kita yang terbatas akan sangat membatasi perkembangan

pembentukan pengetahuan kita pula. Pengalaman akan fenomena yang baru akan

menjadi unsur yang sangat penting dalam pengembangan pengetahuan kita dan

kekurangan dalam hal ini akan membatasi pengetahuan kita pula. Dalam bidang ilmu

fisika, biologi, kimia, geologi, atau astronomi sangat jelas peranan pengalaman ataupun

percobaan-percobaan dalam perkembangan hukum, teori, maupun konsep-konsep ilmu

tersebut. Dalam bidang ilmu matematikapun pengalaman mengkonsepsi maupun

memecahkan persoalan-persoalan baru, akan sangat mempengaruhi perkembangan

pengetahuan seseorang tentang matematika sendiri. Dalam bidang pengetahuan sosial,

pengalaman berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungan yang semakin luas akan

juga memperluas pemahaman pengetahuan sosial seseorang.

Struktur kognitif merupakan suatu sistem yang saling berkaitan. Konsep, gagasan,

gambaran, teori, dan sebagainya yang membentuk struktur kognitif saling berhubungan

satu dengan yang lain. Inilah yang oleh Toulmin disebut ekologi konseptual. Setiap

pengetahuan yang baru harus juga cocok dengan ekologi konseptual tersebut, karena

manusia cenderung untuk menjaga stabilitas ekologi sistem tersebut. Kecenderungan ini

dapat menghambat perkembangan pengetahuan.

5. Faktor yang memungkinkan perubahan pengetahuan

Banyak situasi yang memaksa atau membantu seseorang untuk mengadakan

perubahan dalam pengetahuannya. Perubahan ini mengembangkan pengetahuan

seseorang. Bettencourt menyebutkan beberapa situasi atau konteks yang membantu

perubahan, yaitu: a) konteks tindakan, b) konteks membuat masuk akal, c) konteks

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 24

Page 25: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

penjelasan, dan d) konteks pembenaran (justifikasi).

Bila seseorang harus cepat bertindak atau memecahkan sesuatu secara terencana,

ia akan terdorong untuk menganalisis situasi dan persoalan yang dihadapi. Dalam situasi

seperti itu ia dapat bertindak secara efisien dan membentuk pengetahuan atau konsep

yang baru. Juga bila seseorang berhadapan dengan suatu persoalan atau kejadian baru

yang tidak disangka-sangka, ia ditantang untuk mencari arti dan makna hal itu dengan

menggunakan gagasan, ide-ide, maupun konsep-konsep yang telah ia punyai. Bila

konsepnya tidak cocok, lalu ia terpaksa harus mengubah konsepnya. Dengan demikian ia

mengembangkan pengetahuan yang baru.

Pertanyaan “Apa yang kamu maksudkan dengan ini, bagaimana kamu dapat

menjelaskan hal ini?” memacu orang untuk mengkonstruksi sesuatu dan mengerti

sesuatu. Juga bila seseorang harus mempertahankan dan membenarkan gagasannya

terhadap kritikan orang lain, ia didorong untuk menciptakan konstruksi yang baru.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa situasi atau konteks yang memaksa seseorang

untuk menyadari “sesuatu”, dapat membantu orang itu mengubah atau paling sedikit

memperkembangkan pengetahuannya. Dalam bidang pengajaran sains dan matematika,

kadang perlu ditunjukkan persoalan atau gejala yang berlawanan dengan yang telah

dipikirkan siswa. Gejala tersebut, yang dinamakan gejala anomali, dapat memacu siswa

mengubah dan memperkembangkan pengetahuan mereka. Misalnya, bila kebanyakan

siswa beranggapan bahwa benda padat selalu akan tenggelam dalam zat cair, tunjukkan

kepada mereka gabus yang tidak tenggelam dalam air.

B. Asal-Usul Konstruktivisme

Pemikiran awal konstruktivisme dikemukakan oleh Giambatissta Vico (1668–1774)

seorang ahli filsafat ilmu pengetahuan pada tahun 1710 dalam De Antiquissima Italorum

Sapientia, mengungkapkan “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah

tuan dari ciptaan”. Dijelaskan bahwa “mengetahui” berarti “mengetahui bagaimana

membuat sesuatu”. Ini berarti bahwa seseorang baru mengetahui sesuatu jika jika ia

dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Hanya Tuhan sajalah

yang dapat mengerti alam raya ini karena hanya Dia yang tahu bagaimana membuatnya

dan dari apa Ia membuatnya. Sementara orang hanya dapat mengetahui sesuatu yang

telah dikonstruksikannya. Bagi Vico, pengetahuan selalu menunjuk kepada struktur

konsep yang dibentuk. Ini berbeda dengan kaum empirisme yang menyatakan bahwa

pengetahuan itu harus menunjuk kepada kenyataan luar. Menurut Vico, pengetahuan

tidak lepas dari orang (subjek) yang tahu. Pengetahuan merupakan struktur konsep dari

pengamat yang berlaku. Sayangnya, menurut banyak pengamat, Vico tidak

membuktikan teorinya.

Berdasarkan identifikasi “mengetahui sesuatu” dengan “membuat sesuatu”, Vico

mengatakan bahwa matematika adalah cabang pengetahuan yang paling tinggi.

Alasannya, dalam matematika orang menciptakan dalam pikirannya semua unsur dan

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 25

Page 26: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

aturan-aturan yang secara lengkap dipakai untuk mengerti matematika. Orang sendirilah

yang menciptakan matematika, sehingga orang dapat mengerti secara penuh.

Sedangkan dalam pengetahuan fisika dan terlebih humaniora, manusia tidak dapat

mengerti secara penuh dan hanya Tuhan yang dapat mengerti secara penuh karena

Tuhanlah yang menciptakan mereka. Karena itu bagi Vico, mekanika kurang pasti

daripada matematika, fisika kurang pasti daripada mekanika, dan kegiatan-kegiatan

manusiawi kurang pasti daripada fisika. Dengan cara ini Vico membedakan taraf-taraf

pengetahuan manusia.

Rorty menilai konstruktivisme sebagai salah satu bentuk pragmatisme, terlebih

dalam soal pengetahuan dan kebenaran, karena hanya mementingkan bahwa suatu

konsep itu berlaku atau dapat digunakan. Para konstruktivis sekarang melihat

kesesuaian Vico dengan model ilmiah yang digunakan untuk menganalisis dan mengerti

pengalaman fenomena baru.

Cukup lama gagasan Vico tidak diketahui orang dan seakan dipendam. Piaget

menuliskan gagasan konstruktivisme dalam teori tentang perkembangan kognitif dan

juga dalam epistemologi genetiknya Piaget mengungkapkan teori adaptasi kognitifnya,

yaitu bahwa pengetahuan kita diperoleh dari adaptasi struktur kognitif kita terhadap

lingkungannya, seperti suatu organisme harus beradaptasi dengan lingkungannya untuk

dapat melanjutkan kehidupan. Gagasan Piaget ini lebih cepat tersebar, melebihi gagasan

Vico.

C. Macam Konstruktivisme

Von Glasersfeld membedakan adanya tiga taraf konstruktivisme, yaitu:

1. Konstruktivisme radikal

Kaum konstruktivis radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan

kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran. Bagi konstruktivis radikal, pengetahuan

tidak merefleksikan suatu kenyataan ontologis objektif, tetapi merupakan suatu

pengaturan dan organisasi dari suatu dunia yang dibentuk oleh pengalaman seseorang.

Menurut Von Glasersfeld, Piaget termasuk konstruktivis radikal. Konstruktivisme radikal

berpegang bahwa kita hanya dapat mengetahui apa yang dibentuk/ dikonstruksi oleh

pikiran kita. Bentukan itu harus “jalan” dan tidak harus selalu merupakan representasi

dunia nyata. Adalah suatu ilusi bila percaya bahwa apa yang kita ketahui itu memberikan

gambaran akan dunia nyata.

Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari seseorang yang mengetahui, maka

tidak dapat ditransfer kepada penerima yang pasif. Penerima sendiri yang harus

mengkonstruksi pengetahuan itu. Semua yang lain, entah objek maupun lingkungan,

hanyalah sarana untuk terjadinya konstruksi tersebut.

Dalam pandangan konstruktivisme radikal sebenarnya tidak ada konstruksi sosial,

di mana pengetahuan itu dikonstruksikan bersama karena masing-masing orang harus

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 26

Page 27: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

menyimpulkan dan menangkap sendiri makna terakhir. Pandangan orang lain adalah

bahan untuk dikonstruksikan dan diorganisasikan dalam pengetahuan yang sudah

dipunyai orang itu sendiri.

Konstruktivisme ini tidak pernah mengklaim objektivitas. Menurut mereka, kita

tidak dapat melihat dunia pengalaman kita dari luar. Kita membentuknya dari dalam

dan hidup dengannya lama sebelum kita mulai bertanya dan mana dan apa itu

sebenarnya.

2. Realisme hipotetis

Menurut realisme hipotetis, pengetahuan (ilmiah) kita dipandang sebagai suatu

hipotesis dan suatu struktur kenyataan dan berkembang menuju suatu pengetahuan

yang sejati, yang dekat dengan realitas. Menurut Manuvar, pengetahuan kita

mempunyai relasi dengan kenyataan tetapi tidak sempurna. Menurutnya pula, Lorenz

dan Popper dan banyak epistemolog evolusioner dapat dikatakan termasuk realisme

hipotetis.

3. Konstruktivisme yang biasa

Aliran ini tidak mengambil semua konsekuensi konstruktivisme. Pengetahuan kita

merupakan gambaran dari realitas itu. Pengetahuan kita dipandang sebagai suatu

gambaran yang dibentuk dari kenyataan suatu objek dalam dirinya sendiri.

D. Konstruktivisme Piaget

Piaget memandang pembelajaran berlangsung dalam situasi kolaborasi yang

difasilitasi oleh konflik kognitif secara kontinu diantara bentuk-bentuk berpikir

antagosnistik. Pendapat Piaget ini dilengkapi oleh pendapat Vygotsky yang memandang

bahwa pengetahuan dikonstruksi secara kolaborasi antarindividu dan selanjutnya

keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh individu. Proses penyesuaian itu ekivalen

dengan penkonstruksian secara individual.

Secara implisit terkandung pengertian bahwa pembelajaran dengan

konstruktivisme adalah membantu siswa membangun pengetahuan dan

mengembangkan kemampuan belajar siswa melalui pendekatan interaksi. Dengan dasar

ini, pembelajaran harus dikemas menjadi proses penkonstruksian bukan menerima

pengetahuan. Dalam pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuannya melalui

keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar dimana siswa menjadi pusat

kegiatan bukan guru.

Untuk memahami teori Piaget, kita perlu mengerti beberapa istilah baku yang

digunakan untuk menjelaskan proses seseorang mencapai pengertian.

1. Skema/ skemata

Sebagaimana tubuh kita mempunyai struktur tertentu agar dapat berfungsi,

pikiran kita juga mempunyai struktur yang disebut skema atau skemata (jamak). Skema

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 27

Page 28: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

adalah suatu stuktur mental atau kognitif yang dengannya seseorang secara intelektual

beradaptasi dan mengkoordinasi lingkungan sekitarnya. Skemata itu akan beradaptasi

dan berubah selama perkembangan mental anak. Skemata bukanlah benda nyata yang

dapat dilihat, melainkan suatu rangkaian proses dalam sistem kesadaran orang, maka

tidak memiliki bentuk fisik dan tidak dapat dilihat. Skemata adalah hasil kesimpulan

atau bentukan mental, konstruksi hipotetis, seperti intelek, kreativitas, kemampuan, dan

naluri.

Skema juga dapat dipikirkan sebagai suatu konsep atau kategori. Orang dewasa

mempunyai banyak skema. Skema ini digunakan untuk memproses dan

mengidentifikasi rangsangan yang datang. Seorang anak yang baru lahir punya sedikit

skema, yang dalam perkembangannya kemudian menjadi lebih umum, lebih terperinci,

dan lebih lengkap.

Skema tidak pernah berhenti berubah atau menjadi lebih rinci. Skemata seorang

anak berkembang menjadi skemata orang dewasa. Gambaran dalam pikiran anak

menjadi semakin berkembang dan lengkap. Misalnya, anak yang sedang berjalan dengan

ayahnya melihat seekor lembu. Ayahnya bertanya, “Nak, lihat binatang itu? Apa itu?”

Anak itu melihat. Andaikan saja anak itu belum pernah melihat lembu tetapi sudah

pernah melihat kambing, maka dia sudah mempunyai skema dalam pikirannya tentang

kambing. Anak itu lalu menjawab, “itukambing”. Anak itu melihat ada sesuatu yang

sama antara lembu dengan konsep kambing yang ia punyai. Misalnya, berkaki empat,

bermata dua, berjalan merangkak, dan bertelinga dua. Anak itu belum dapat melihat

perbedaannya, melainkan melihat kesamaan antara kambing dan lembu. Bila si anak

mampu melihat perbedaan-perbedaannya, ia akan memperkembangkan skemanya

tentang lembu, tidak sebagai kambing lagi.

2. Asimilasi

Asimilasi adalah proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan

persepsi, konsep, ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada

di dalam pikirannya. Asimilasi dapat dipandang sebagai suatu proses kognitif yang

menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan yang baru dalam

skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Setiap orang selalu secara

terus-menerus mengembangkan proses ini. Menurut Wadsworth, asimilasi tidak

menyebabkan perubahan/ pergantian skemata, melainkan memperkembangkan

skemata. Misalnya, seseorang yang baru mengenal konsep balon. Dalam pikiran orang

itu, ia punya skema “balon”. Kalau ia meniup balon itu atau mengisinya dengan air

sampai besar atau malah memecahkan balon itu, ia tetap mempunyai skema yang sama

tentang balon. Perbedaannya adalah bahwa skemanya tentang balon diperluas dan

diperinci lebih lengkap, bukan hanya sebagai balon yang kempes belum tertiup,

melainkan balon dengan macam-macam sifatnya. Asimilasi adalah salah satu proses

individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 28

Page 29: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

sehingga pengertian orang itu berkembang.

3. Akomodasi

Dapat terjadi bahwa dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman yang baru,

seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru itu dengan skema yang

telah ia punyai. Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan

skema yang telah ada. Dalam keadaan seperti ini orang itu akan mengadakan

akomodasi, yaitu: a) membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru

atau b) memodifikasi skema yang ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Misalnya,

seorang anak mempunyai skema bahwa semua binatang harus berkaki dua atau empat.

Skema ini didapat dari abstraksinya terhadap binatang-binatang yang pernah

dijumpainya. Pada suatu hari ia berjalan ke sawah dan menemukan banyak binatang

yang kakinya lebih dari empat. Anak tadi mengalami bahwa skema lamanya tidak cocok

lagi; terjadi konflik dalam pikirannya. Ia harus mengadakan perubahan terhadap skema

lamanya. Ia mengadakan akomodasi dengan membentuk skema baru bahwa binatang

dapat berkaki dua, empat, dan lebih dari empat.

Skemata seseorang dibentuk dengan pengalaman sepanjang waktu. Skemata

menunjukkan taraf pengertian dan pengetahuan seseorang sekarang tentang dunia

sekitarnya. Karena skema ini suatu konstruksi, maka bukan tiruan dari kenyataan dunia

yang ada. Menurut Piaget, proses asimilasi dan akomodasi ini terus berjalan dalam diri

seseorang. Dalam contoh anak di atas, ia akan terus mengembangkan skemanya

tentang kaki binatang bila dijumpainya pengalaman-pengalaman yang berbeda,

misalnya bahwa ada pula binatang yang tak berkaki.

4. Equilibration

Proses asimilasi dan akomodasi perlu untuk perkembangan kognitif seseorang.

Dalam perkembangan intelek seseorang, diperlukan keseimbangan antara asimilasi dan

akomodasi. Proses itu disebut equilibrium, yakni pengaturan diri secara mekanis untuk

mengatur keseimbangan proses asimilasi dan akomodasi. Disequilibrium adalah keadaan

tidak seimbang antara asimilasi dan akomodasi. Equilibration adalah proses dari

disequilibrium ke equilibrium. Proses tersebut berjalan terus dalam diri orang melalui

asimilasi dari akomodasi. Equilibration membuat seseorang dapat menyatukan peng-

alaman luar dengan struktur dalamnya (skemata). Bila terjadi ketidakseimbangan, maka

seseorang dipacu untuk mencari keseimbangan dengan jalan asimilasi atau akomodasi.

5. Teori adaptasi intelek

Bagi Piaget, mengerti adalah suatu proses adaptasi intelektual yang dengannya

pengalaman-pengalaman dan ide-ide baru diinteraksikan dengan apa yang sudah

diketahui oleh seseorang yang sedang belajar untuk membentuk struktur pengertian

yang baru. Menurut Piaget, dalam pikiran seseorang ada struktur pengetahuan awal

(skemata). Setiap skema berperan sebagai suatu filter dan fasilitator bagi ide-ide dan

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 29

Page 30: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

pengalaman-pengalaman yang baru. Skemata mengatur, mengkoordinasi, dan

mengintensifkan prinsip-prinsip dasar. Melalui kontak dengan pengalaman baru, skema

dapat dikembangkan dan diubah, yaitu dengan proses asimilasi dan akomodasi. Bila

pengalaman baru itu masih bersesuaian dengan skema yang dipunyai seseorang, maka

skema itu hanya dikembangkan melalui proses asimilasi. Bila pengalaman baru itu

sungguh berbeda dengan skema yang ada, sehingga skema yang lama tidak cocok lagi

untuk menghadapi pengalaman yang baru, skema yang lama diubah sampai ada

keseimbangan lagi. Inilah proses akomodasi.

Contoh:

a. Seorang siswa mempunyai skema dalam pikirannya bahwa air mendidih pada suhu 100℃. Dalam percobaan dan juga pengalaman memanaskan beberapa macam air, ia menemukan bahwa ada yang mendidih pada suhu 90℃ dan ada yang 110℃ dan ada pula yang 80℃. Setelah mengamati keadaan airnya, ia menemukan bahwa beberapa macam air tidak murni, tercampur dengan beberapa zat lain. Akhirnya siswa itu mengembangkan skemanya dengan menyatakan bahwa air yang murni mendidih pada suhu 100℃. Siswa ini masih tetap menggunakan skema yang lama tetapi dengan lebih merincikan syarat-syaratnya, yaitu bahwa air itu harus murni. Skema lama dikembangkan lebih rinci sehingga dapat digunakan untuk menjawab beberapa perbedaan pengalaman yang ada.

b. Seseorang mempunyai gambaran bahwa semua ikan bertelur dalam perkembangbiakannya. Pada suatu hari ia pergi ke akuarium laut dan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa ikan paus beranak dan tidak bertelur. Orang ini menjadi bingung dan mengalami proses ketidakseimbangan dalam pikirannya. Ia mulai tidak yakin akan gambaran awalnya. Ia mengalami bahwa gambarannya tentang “semua ikan bertelur” tidak sejalan lagi berhadapan dengan pengalaman baru ini. Orang ini akhirnya mengubah gambaran awalnya dengan menyatakan “tidak semua ikan bertelur”. Orang ini sekarang membentuk pengetahuan yang baru. Ia telah mengubah skema lama dan membentuk skema baru yang lebih cocok dengan pengalamannya yang baru.

Menurut Piaget, skema berkembang sejalan dengan perkembangan intelektual,

khususnya dalam taraf operasional formal. Piaget membedakan empat taraf

perkembangan kognitif seseorang, yaitu: a) taraf sensori-motor (0 – 2 tahun), b) pra-

operasional (2 – 7 tahun), c) taraf operasional konkret (7 – 11 tahun), dan d) taraf

operasional formal (11 – 15 tahun). Selama taraf sensori-motor, seorang anak belum

berpikir dan menggambarkan suatu kejadian atau objek secara konseptual meskipun

perkembangan kognitif sudah mulai ada, yaitu mulai dibentuknya skemata. Pada taraf

pra-operasional, mulailah berkembang kemampuan berbahasa dan beberapa bentuk

pengungkapan. Penalaran pra-logika juga mulai berkembang. Pada taraf operasional

konkret, anak mengembangkan kemampuan menggunakan permikiran logis dalam

berhadapan dengan persoalan-persoalan yang konkret. Pada taraf operasional formal,

anak sudah mengembangkan pemikiran abstrak, dan penalaran logis untuk macam-

macarn persoalan. Dalam ketiga taraf kognitif di atas skema seseorang berkembang.

Karena skema berkembang dalam taraf perkembangan kognitif, maka dapat

dimengerti bahwa skema seorang anak mengenai suatu kejadian atau objek mungkin

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 30

Page 31: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

tidak seirama dengan skema yang dimiliki orang tua. Dalam hal ini, skema anak itu tidak

salah karena skemanya merupakan pemahamannya akan suatu kejadian sesuai dengan

perkembangan pemikirannya saat itu. Oleh karena itu, tidak ada “salah” dalam skema

anak, tetapi mungkin itu “tidak cocok” untuk taraf pemikiran yang lebih tinggi.

Secara konseptual perkembangan kognitif berjalan dalam semua level

perkembangan pemikiran seseorang dari lahir sampai dewasa. Pengetahuan dibentuk

oleh individu terus-menerus dan skemata dewasa dibangun dari skemata anak. Dengan

asimilasi seseorang mencocokkan rangsangan dengan skemata yang ada, dan dengan

akomodasi ia mengubah skema yang ada agar menjadi cocok dengan rangsangan yang

dihadapi. Equilibration adalah mekanisme internal yang mengatur kedua proses itu.

Bagi Piaget, kenyataan bukanlah sesuatu yang eksternal dan sudah jadi, bukan

melainkan diperoleh melalui kegiatan konstruksi yang menghasilkan skemata baru.

Kenyataan adalah fenomena yang kita alami melalui konstruksi.

Menurut Piaget, perkembangan kognitif seseorang mempunyai tiga unsur: isi,

fungsi, dan struktur. Isi adalah apa yang diketahui oleh seseorang. Ini menunjuk kepada

tingkah laku yang dapat diamati – sensori motor dan konsep yang mengungkapkan

aktivitas intelek. Isi inteligensi berbeda-beda dari umur ke umur dan dari anak ke anak.

Fungsi menunjuk kepada sifat dari aktivitas intelektual – asimilasi dan akomodasi – yang

tetap dan terus menerus dikembangkan sepanjang perkembangan kognitif. Struktur

menunjuk pada sifat organisatoris yang dibentuk (skemata) yang menjelaskan terjadinya

perilaku khusus.

Sistem pemikiran Piaget di atas menuntut seorang anak itu bertindak aktif terhadap

lingkungannya jika perkembangan kognitifnya jalan. Perkembangan struktur kognitif

hanya berjalan bila anak itu mengasimilasikan dan mengakomodasikan rangsangan

dalam lingkungannya. Ini hanya mungkin bila nalar anak dibawa ke situasi lingkungan

tertentu. Baru bila seseorang bertindak terhadap lingkungannya; bergerak dalam ruang,

berinteraksi dengan objek, mengamati dan meneliti, serta berpikir, ia berasimilasi dan

berakomodasi terhadap alam. Perbuatannya itu mengakibatkan perkembangan skemata

dan juga pengetahuannya.

Dari sini dapat dimengerti bahwa bagi Piaget, belajar adalah merupakan proses

perubahan konsep. Dalam proses tersebut, si siswa membangun konsep baru melalui

asimilasi dan akomodasi skema mereka. Oleh sebab itu, belajar merupakan proses yang

terus-menerus, tidak berkesudahan.

Bila anak menjadi besar, kegiatan fisik yang menyebabkan perubahan kognitif

dapat berkurang. Namun, perbuatan yang perlu untuk perkembangan kognitif bukan

hanya perbuatan secara fisik, melainkan termasuk juga setiap tingkah laku non-fisik

yang merangsang struktur intelektual anak. Tingkah laku itu menciptakan disequilibrium

dan membiarkan asimilasi dan akomodasi terjadi. Kegiatan fisik dan mental dalam

lingkungan adalah perlu tetapi tidak cukup untuk perkembangan kognitif. Pengalaman

sendiri tidak menjamin perkembangan, tetapi perkembangan tidak dapat terjadi tanpa

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 31

Page 32: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

pengalaman. Perlulah dalam perkembangan itu proses asimilasi dan akomodasi.

E. Teori Pengetahuan Menurut Piaget

Bagi Piaget semua pengetahuan adalah suatu konstruksi (bentukan) dari kegiatan/

tindakan seseorang. Pengetahuan ilmiah itu berevolusi, berubah dari waktu ke waktu.

Pemikiran ilmiah adalah sementara, tidak statis, dan merupakan proses. Pemikiran ilmiah

merupakan proses konstruksi dan reorganisasi yang terus menerus. Pengetahuan

bukanlah sesuatu yang ada di luar, tetapi ada dalam diri seseorang yang

membentuknya. Setiap pengetahuan mengandaikan suatu interaksi dengan

pengalaman. Tanpa interaksi dengan objek, seorang anak tidak dapat mengkonstruksi

gambaran korespondensi satu-satu dalam matematika untuk memahami pengertian

akan bilangan.

Piaget membedakan adanya tiga macam pengetahuan, yaitu:

1. Pengetahuan fisis

Pengetahuan fisis adalah pengetahuan akan sifat-sifat fisis dari suatu objek/

kejadian seperti bentuk, besar, kekasaran, berat, serta bagaimana objek-objek-itu

berinteraksi satu dengan yang lain. Anak memperoleh pengetahuan fisis tentang suatu

objek dengan mengerjakan/ bertindak terhadap objek itu melalui indranya. Pengetahuan

fisik ini didapat dari abstraksi langsung akan suatu objek. Misalnya, anak yang bermain

pasir dapat menuang pasir dari tempat yang satu ke tempat yang lain, memegang-

megang pasir, merasakan kekerasannya, meletakkan di mulut, dll. Dari tindakan-

tindakan itu ia membentuk dan membangun pengetahuannya akan pasir. Dalam

pembentukan pengetahuan fisis, bendanya sendiri (pasir) memberitahukan kepada si

anak apa yang dapat ia buat dan yang tidak dapat ia buat. Si anak tidak dapat

membentuk skema yang akurat tentang pasir kecuali ia bertindak aktif terhadap pasir.

Pengetahuan yang akurat akan suatu objek tidak dapat diperoleh dari membaca, melihat

gambar, mendengarkan orang bicara, tetapi hanya dapat diperoleh melalui campur

tangan si anak terhadap benda itu. Benda itu sendirilah akan membiarkan kita untuk

mengerti sifat -sifatnya.

2. Matematis-logis

Pengetahuan matematis-logis adalah pengetahuan yang dibentuk dengan berpikir

tentang pengalaman dengan suatu objek atau kejadian tertentu. Pengetahuan ini

didapatkan dari abstraksi berdasarkan koordinasi, relasi ataupun penggunaan objek.

Pengetahuan matematis-logis dapat berkembang hanya bila si anak bertindak terhadap

benda itu. Tetapi peran dari tindakan dan benda itu berbeda. Anak itu membentuk/

menciptakan pengetahuan matematis logis karena pengetahuan itu tidak ada dalam

objek sendiri seperti pengetahuan fisis. Pengetahuan itu harus dibentuk dari perbuatan

berpikir si anak terhadap benda itu. Benda di sini hanya menjadi medium untuk

membiarkan konstruksi itu terjadi. Misalnya, pengetahuan tentang konsep bilangan. Si

anak dapat bermain dengan himpunan 10 keping uang. Ia mengatur uang itu berderet

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 32

Page 33: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

dan menghitungnya sepuluh. Ia meletakkan keping-keping itu di gelas, ia dapat

menyusunnya vertikal, ia dalam meletakkannya dalam bakul. Waktu ia menghitungnya,

selalu didapatkan 10. Melalui berbagai kegiatan itu, si anak membentuk konsep akan

bilangan 10 yang tetap, meskipun keping-keping itu diletakkan di tempat yang berbeda-

beda bentuknya. Konsep 10 itu sendiri tidak terdapat dalam keping uang itu, tetapi

diciptakan oleh si anak. Pengetahuan ini tidak dapat diperoleh dari membaca atau

mendengarkan orang bicara tetapi dibentuk dari tindakan seseorang terhadap suatu

objek.

Pada taraf tertentu, abstraksi pengalaman matematis tersebut dapat disimbolkan

menjadi suatu logika dan matematika yang murni. Dari sini dapat dimengerti bahwa

logika murni dan matematika murni dapat mengatasi pengalaman karena tidak terbatas

kepada sifat-sifat fisis objek itu sendiri. Sementara itu, pengetahuan fisis tidak menjadi

murni karena didasarkan kepada sifat-sifat langsung objek atau pengalaman yang

diamati. Namun, pada taraf tertentu pengetahuan fisis ini dapat digabungkan dengan

konsep-konsep matematis logis untuk menemukan suatu persepsi yang lebih tinggi.

3. Pengetahuan sosial

Pengetahuan sosial adalah pengetahuan yang didapat dari kelompok budaya dan

sosial yang secara bersama menyetujui sesuatu. Contohnya adalah aturan, hukum,

moral, nilai, sistem bahasa, dll. Pengetahuan ini muncul dalam kebudayaan tertentu

maka dapat berbeda antara kelompok yang satu dengan yang lain. Pengetahuan sosial

tidak dapat dibentuk dari suatu tindakan seseorang terhadap suatu objek, tetapi

dibentuk dari interaksi seseorang dengan orang lain. Ketika anak berinteraksi dengan

orang lain, kesempatan untuk membangun pengetahuan sosial dikembangkan.

Hal yang terpenting dari pembentukan pengetahuan itu adalah tindakan/ kegiatan

anak terhadap suatu benda dan interaksi dengan orang lain. Pengetahuan yang akurat

tidak dapat diturunkan langsung dari membaca atau dari mendengarkan orang bicara.

Pengetahuan si anak akan dunia bukanlah tiruan dari dunia yang nyata. Setiap individu,

sepanjang perkembangannya, membentuk pengetahuan dan kenyataan melalui

asimilasi dan akomodasi. Pengetahuan fisis, matematis, dan sosial itu diperoleh

langsung dari konstruksi oleh anak itu sendiri.

Dalam The Psychology of Intelligence, Piaget menyatakan bahwa struktur yang

sangat diperlukan dalam pemikiran orang dewasa, seperti struktur matematis-logis,

bukanlah sesuatu yang menetap pada anak, melainkan sesuatu yang mereka bentuk

pelan-pelan. Setiap struktur dibentuk pelan-pelan dari konstruksi awal dan

dikembangkan dalam konstruksi-konstruksi berikutnya.

Meski kelihatannya banyak anak mempunyai konsepsi sama tentang sesuatu hal,

tidak berarti bahwa konstruksi pribadi tidak ada. Dunia ini penuh dengan benda-benda

fisis dan sosial yang bermacam-macam. Setiap anak membentuk pengetahuan mereka

akan hal-hal itu melalui asimilasi dan akomodasi. Semua benda yang ada itu

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 33

Page 34: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

memungkinkan anak membentuk pengetahuan fisis dan matematis-logis mereka. Bila

benda-benda dan lingkungan yang mereka hadapi sama, ada kemungkinan bahwa

konstruksi anak-anak itu ada kesamaannya. Misalnya, anak-anak menghadapi pohon

cemara yang sama dalam tempat dan lingkungan yang sama. Dapat diharapkan bahwa

anak-anak itu akan mempunyai skema yang mirip. Anak-anak yang melihat pohon

cemara di tempat lain dalam lingkungan yang lain mungkin membentuk persepsi yang

lain tentang pohon cemara. Dari sini dapat dimengerti peran lingkungan, situasi, dan

prasarana yang membantu persepsi anak.

Perkembangan struktur kognitif dan pengetahuan adalah proses yang evolusioner

dalam diri setiap individu. Ini terjadi dalam skemata individu yang setiap kali berubah

atau berkembang. Proses asimilasi menunjukkan bahwa skemata bukanlah tiruan dari

kenyataan (realitas). Akomodasi menjelaskan bahwa konstruksi itu berelasi dengan

dunia nyata.

F. Konstruktivisme Personal dan Sosial

Matthews membedakan dua tradisi besar dari konstruktivisme, yaitu

konstruktivisme psikologis dan sosiologis. Kostruktivisme psikologis bertitik tolak dari

perkembangan psikologis anak dalam membangun pengetahuannya, sedangkan

konstruktivisme sosial lebih mendasarkan pada masyarakatlah yang membangun

pengetahuan. Konstruktivisme psikologis bercabang dua, yaitu yang lebih personal

(Piaget) dan yang lebih sosial (Vygotsky); sedangkan konstruktivisme sosiologis berdiri

sendiri. Berdasarkan pembedaan itu, maka ada tiga konstruktivisme dalam kaitannya

dengan pembentukan pengetahuan, yaitu yang lebih pribadi, sosial, ataupun yang

menyangkut keduanya.

1. Konstruktivisme psikologis personal

Konstruktivisme psikologis dimulai dari karya Piaget mengenai bagaimana seorang

anak membangun pengetahuan kognitifnya. Piaget menyebut dirinya sendiri epistemolog

genetik. Epistemologi genetik menjelaskan pengetahuan dengan melihat sejarah

pembentukannya dan khususnya dasar psikologis dari pengertian dan operasi yang

digunakan dalarn mendapatkan pengetahuan itu. Tetapi juga tetap memperhatikan

formalisasi logis yang digunakan dalam struktur pemikiran serta transformasi pemikiran

dari satu taraf ke taraf yang berikutnya dalam perkembangan pemikiran manusia.

Dengan kata lain, epistemologi genetik menggunakan psikologi sebagai dasar penjelasan

pembentukan dan perkembangan pengetahuan seseorang. Dalam teori pengetahuan

Piaget, psikologi mengambil peranan penting dalam analisa.

Epistemologi genetik memikirkan pengetahuan dan validitas pengetahuan itu.

Epistemologi harus bersifat interdisipliner karena menyangkut soal fakta dan validitas.

Bila hanya menekankan soal validitas epistemologi akan menjadi logika saja. Bila hanya

memperhatikan soal fakta, epistemologi akan menjadi psikologi belaka. Jadi, perlu ada

kerja sama antara keduanya. Model pendekatan inilah yang digunakan Piaget dalam

epistemologi genetiknya. Yang juga menarik dari metode Piaget adalah bahwa dia

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 34

Page 35: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

membatasi epistemologinya agar tidak terlalu menjadi general. Dia membatasi diri

dengan persoalan yang positif seperti bagaimana pengetahuan itu berkembang dari taraf

seorang anak dan bagaimana seorang anak mulai mengerti sesuatu, membentuk

pengetahuannya, dan mengembangkannya. Karena itu, Piaget tidak bicara soal

“pengetahuan manusia” secara umum, melainkan secara nyata “bagaimana

pengetahuan seorang anak berkembang”. Itulah sebabnya banyak penelitiannya

dilakukan dalam lingkup anak.

Konstruktivisme psikologis bercabang dua, yaitu: a) yang lebih personal, individual,

dan subjektif seperti Piaget dan pengikut-pengikutnya; b) yang lebih sosial seperti

Vygotsky (socioculturaiism). Piaget menekankan aktivitas individual dalam pembentukan

pengetahuan, sedangkan Vygotsky menekankan pentingnya masyarakat bahasa.

Piaget menyoroti bagaimana seorang anak pelan-pelan membentuk skema,

mengembangkan skema, dan mengubah skema. Ia lebih menekankan bagaimana

individu sendiri mengkonstruksi pengetahuan dari berinteraksi dengan pengalaman dan

objek yang dihadapi. Ia menekankan bagaimana seorang anak mengadakan abstraksi,

baik secara sederhana maupun secara refleksi, dalam membentuk pengetahuan fisis dan

matematisnya. Tampak bahwa tekanan perhatian Piaget lebih pada keaktifan individu

dalam membentuk pengetahuan. Bagi Piaget, pengetahuan lebih dibentuk oleh si anak

itu sendiri yang sedang belajar.

Memang Piaget juga bicara soal pengaruh lingkungan sosial terhadap

perkembangan pemikiran anak, tetapi tidak secara jelas memberikan model bagaimana

hal itu terjadi. Bagi Piaget, dalam taraf-taraf perkembangan kognitif yang lebih rendah

(sensori-motor dan pra-operasional), pengaruh lingkungan sosial lebih dipahami oleh

anak sebagai sarana dengan objek-objek yang sedang diamati anak. Anak belum dapat

menangkap ide-ide dari masyarakatnya. Baru pada taraf perkembangan yang lebih tinggi

(operasional konkret, terlebih operasional formal), pengaruh lingkungan sosial menjadi

lebih jelas. Dalam taraf ini, bertukar gagasan dengan teman-teman, mendiskusikan

bersama pendirian masing-masing, dan mengambil konsensus sosial sudah lebih

dimungkinkan. Namun, tekanan Piaget memang lebih pada pembentukan pengetahuan

anak secara individual.

2. Sosiokulturalisme

Vygotsky juga mulai meneliti pembentukan dan perkembangan pengetahuan anak

secara psikologis. Namun Vygotsky lebih memfokuskan perhatian kepada hubungan

dialektik antara individu dan masyarakat dalam pembentukan pengetahuan tersebut. Dia

memperhatikan akibat interaksi sosial, terlebih bahasa dan budaya pada proses belajar

anak. Menurut Vygotsky, belajar merupakan suatu perkembangan pengertian. Dia

membedakan adanya dua pengertian, yang spontan dan yang ilmiah. Pengertian

spontan adalah pengertian yang didapatkan dari pengalaman anak sehari-hari.

Pengertian ini tidak terdefinisikan dan terangkai secara sistematis logis. Pengertian

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 35

Page 36: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

ilmiah adalah pengertian yang didapat dari kelas. Pengertian ini adalah pengertian

formal yang terdefinisikan secara logis dalam suatu sistem yang lebih luas. Dalam proses

belajar terjadi perkembangan dari pengertian yang spontan ke yang lebih ilmiah.

Menurut Vygotsky, pengertian ilmiah itu tidak datang dalam bentuk yang jadi pada

seorang anak. Pengertian itu mengalami perkembangan. Ini tergantung kepada tingkat

kemampuan anak untuk menangkap suatu model pengertian yang lebih ilmiah. Dalam

proses belajar, kedua pengertian tersebut saling berelasi dan saling mempengaruhi.

Pengertian ilmiah seakan bekerja ke bawah, yaitu menekankan logika kepada pikiran

anak, sehingga pengertian yang spontan diangkat atau dianalisis secara lebih ilmiah.

Sedangkan pengertian spontan seakan bekerja ke atas, yaitu berusaha bertemu dengan

pengertian yang lebih ilmiah dan membiarkan diri menerima segi logis formal dari

pengertian ilmiah tersebut. Dengan demikian semakin seseorang belajar, ia akan

semakin mengangkat pengertiannya menjadi pengertian yang ilmiah.

Vygotsky menggunakan istilah “zo-ped” yaitu suatu wilayah tempat bertemu antara

pengertian spontan anak dengan pengertian sistematis logis orang dewasa. Wilayah ini

berbeda dari setiap anak dan ini menunjukkan kemampuan anak dalam menangkap

logika dari pengertian ilmiah.

Dalam meneliti bahasa anak-anak, Piaget menyimpulkan bahwa bahasa anak

adalah egosentris sifatnya. Mereka berbicara keras kepada diri sendiri, daripada kepada

orang lain. Menurut Vygostky, bahasa merupakan aspek sosial sejak awalnya.

Menurutnya, pembicaraan egosentrik adalah permulaan dari pembentukan inner speech

(kemampuan bicara yang pokok) yang akan digunakan sebagai alat dalam berpikir.

Menurut Vygostky, inner speech berperan dalam pembentukan pengertian spontan.

Pengertian spontan mempunyai dua segi, yaitu: suatu pengertian dalam dirinya sendiri

dan pengertian untuk yang lain. Pengertian yang terakhir ini menjelaskan pengertian

yang diletakkan dalam pembicaraan untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain. Dua

pengertian itu membentuk ketegangan dialektik sejak awal. Anak terus berusaha untuk

mengungkapkan pengertian mereka dengan simbol yang sesuai untuk berkomunikasi

dengan orang lain.

ltulah sebabnya Vygotsky menekankan pentingnya interaksi sosial dengan orang-

orang lain terlebih yang punya pengetahuan lebih baik dan sistem yang secara kultural

telah berkembang dengan baik. Ia menekankan dialog dan komunikasi verbal dengan

orang dewasa dalam perkembangan pengertian anak. Dalam interaksi verbal dengan

“orang dewasa”, anak ditantang untuk lebih mengerti pengertian ilmiah dan

mengembangkan pengertian spontan mereka. ltulah sebabnya banyak implikasi

pendidikan yang membuat siswa berpartisipasi dalam aktivitas para ahli. Dalam interaksi

dengan mereka itulah, para siswa ditantang untuk mengkonstruksikan pengetahuannya

lebih sesuai dengan konstruksi para ahli.

Dengan diilhami oleh karya Vygotsky, sosiokulturalisme lebih menekankan praktek-

praktek kultural dan sosial dalam lingkungan pelajar. Menurut para sosiokulturalis,

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 36

Page 37: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

aktivitas mengerti selalu dipengaruhi oleh partisipasi seseorang dalam praktek-praktek

sosial dan kultural yang ada, yaitu: situasi sekolah, masyarakat, teman, dll. Misalnya

Minick mempertanyakan apakah belajar matematika itu proses pembentukan pengertian

yang aktif atau proses inkulturasi dalam suatu praktek masyarakat. Bagi Minick,

sosiokulturalisme meneliti seseorang dalam kegiatan sosialnya. Mereka menerapkan

partisipasi individu dalam praktek dan kegiatan yang diorganisasikan secara kultural,

misalnya dalam interaksi di kelas.

Cobern menyatakan bahwa konstruktivisme bersifat kontekstual. Siswa selalu

membentuk pengetahuan mereka dalam situasi dan konteks yang khusus. Misalnya,

dalam situasi tekanan udara yang rendah seseorang akan menemukan bahwa titik didih

air berlainan dengan situasi tekanan udara sangat tinggi. Dalam situasi masyarakat yang

berbeda, pengertian tentang kesehatan pun dapat berbeda.

Cukup lama dirasakan seperti ada konflik antara sosiokulturalisme dan

konstruktivisme kognitif personal. Ada perdebatan tentang apakah pikiran itu terletak di

kepala seseorang yang sedang berpikir atau dalam pribadi seseorang yang sedang

berinteraksi dengan lingkungan dan situasi sekitarnya, apakah belajar itu merupakan

suatu proses pengaturan kognitif seseorang sendiri atau lebih merupakan proses

inkulturasi dalam masyarakat. Apakah proses konstruksi pengetahuan terjadi secara

pribadi atau lebih bersifat sosial-kultural? Menurut Cobb, kedua perspektif itu sama-sama

mengimplikasikan pentingnya keaktifan siswa dalam belajar, hanya saja yang satu lebih

menekankan pentingnya keaktifan individu, sedangkan yang lain lebih menekankan

pentingnya lingkungan sosial-kultural. Sehubungan dengan pendidikan matematika,

Cobb menyarankan agar konstruktivisme personal dikombinasikan dengan perspektif

sosiokultural. Bagi Cobb, dua perpektif itu saling melengkapi, yaitu bahwa belajar

matematika harus dilihat sebagai baik suatu proses pembentukan individual yang aktif

dan proses inkulturasi dalam praktek masyarakat matematika yang lebih luas.

Sesungguhnya seorang dilahirkan dalam suatu lingkungan sosial dan kultural di

mana semua objek dan kejadian yang ditemukan mempunyai arti yang khusus yang juga

dikonstruksikan. Melalui interaksi dengan unsur-unsur yang hidup dan yang tidak hidup

dalam lingkungan semua cara belajar berlangsung secara sosial. Dengan cara seperti itu,

dalam pengetahuan ada komponen sosial dan tidak dapat dilihat sebagai konstruksi

individual melulu. Karena tidak mungkin seseorang memisahkan unsur-unsur

sosiokultural dari apa yang ia ketahui, konstruktivisme tidak dapat dipikirkan sebagai

suatu keyakinan yang lepas dari unsur sosial dan kultural. Oleh karena itu, studi tentang

belajar dan mengajar perlu juga memperhatikan segi sosial dalam pembentukan arti.

3. Konstruktivisme sosiologis

Konstruktivisme sosiologis berpandangan bahwa pengetahuan itu merupakan hasil

penemuan sosial dan sekaligus juga merupakan faktor dalam perubahan sosial.

Kenyataan dibentuk secara sosial dan ditentukan secara sosial. Berger mendasarkan

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 37

Page 38: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

pengetahuannya pada kenyataan sehari-hari. Dia melihat bahwa kenyataan hidup sehari-

hari merupakan dunia yang dialami bersama dengan orang lain. Dunia ini nyata bagi

“saya” dan bagi orang lain. “Saya” tidak dapat berhenti berkomunikasi dengan yang lain.

Pengetahuan sosial dibentuk dan ditransmisikan dari generasi ke generasi yang lain.

Validitas pengetahuan hidup sehari-hari diterima begitu saja oleh “saya” dan yang lain,

sampai terjadi konflik. Organisme manusia berkembang secara biologis dalam relasi

dengan lingkungan. Jelas bahwa proses menjadi manusia ada dalam konteks interelasi

dengan lingkungannya, baik yang alamiah maupun manusiawi. Dalam pengertian itu

dapat dikatakan bahwa manusia ada hanya dalam relasi dengan manusia lain.

Konstruktivisme sosiologis menekankan bahwa pengetahuan ilmiah merupakan

konstruksi sosial, bukan konstruksi individual. Kelompok ini menekankan lingkungan,

masyarakat, dan dinamika pembentukan ilmu pengetahuan. Mereka cenderung

mengambil fungsi dan peran masyarakat begitu saja dalam pembentukan pengetahuan

manusia. Tentu ini bertentangan dengan konstruktivisme radikal, yang beranggapan

bahwa pengetahuan seseorang itu merupakan konstruksi orang itu sendiri sehingga tidak

dapat bahwa masyarakat menentukan konstruksi pengetahuan seseorang, melainkan

orang itu sendiri yang tetap harus menginterpretasikan dan mengambil makna.

Konstruktivisme sosiologis mempertahankan bahwa pengetahuan ilmiah dibentuk

dan dibenarkan secara sosial. Suasana, lingkungan, dan dinamika pembentukan ilmu

pengetahuan adalah sangat penting. Mekanisme psikologis individu dikesampingkan.

Sebaliknya, mereka lebih menekankan bahwa lingkungan sosial yang menentukan

kepercayaan individu.

G. Hubungan Konstruktivisme dengan Beberapa Teori Belajar

Selama dua puluh tahun terakhir ini konstruktivisme telah banyak mempengaruhi

pendidikan sains dan matematika di banyak negara Amerika, Eropa, dan Australia.

Secara garis besar, prinsip-prinsip konstruktivisme yang diambil adalah: 1) pengetahuan

dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun sosial; 2) pengetahuan tidak

dapat dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali hanya dengan keaktifan siswa sendiri

untuk menalar; 3) siswa aktif mengkonstruksi terus menerus, sehingga selalu terjadi

perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan

konsep ilmiah; dan 4) guru sekadar membantu menyediakan sarana dan situasi agar

proses konstruksi siswa berjalan mulus. Inti teori ini berkaitan dengan beberapa teori

belajar seperti Teori Perubahan Konsep, Teori-Belajar-Bermakna Ausubel, dan Teori

Skema. Berikut ini akan diuraikan isi ketiga teori tersebut dan juga perbedaan

konstruktivisme sebagai teori belajar behaviorisme dan maturasionisme.

1. Teori perubahan konsep

Kuhn dalam buku The Structure of Scientific Revolutions menyatakan bahwa sains

lebih dicirikan oleh paradigma para ilmuwan. Paradigma adalah suatu skema konseptual

yang dengannya seorang ilmuwan memandang persoalan-persoalan dalam suatu disiplin

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 38

Page 39: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

tertentu. Persoalan yang diteliti dan metode yang digunakan untuk memecahkan

persoalan itu terutama ditentukan oleh paradigma mereka yang relevan. Menurut Kuhn,

secara historis paradigma-paradigma itu selalu berubah dan perubahannya kadang

sangat tiba-tiba dan mencolok. Kuhn menguraikan dua kegiatan ilmiah: puzzle solving

dan penemuan paradigma baru. Dalam puzzle solving, para ilmuwan membuat

percobaan dan mengadakan observasi. Bila paradigmanya tidak dapat digunakan untuk

memecahkan persoalan penting atau malah mengakibatkan konflik, suatu paradigma

baru harus diciptakan. Paradigma baru inilah yang mencetuskan perubahan besar dalam

ilmu pengetahuan.

Toulmin menguraikan bahwa bagian terpenting dari pemahaman manusia adalah

perkembangan konsep secara evolutif. Dalam perkembangan konsep itu seseorang

mengubah ide-idenya. Menurutnya, seseorang itu mengungkapkan rasionalitasnya, tidak

melalui komitmennya terhadap suatu ide yang sudah mantap, prosedur yang stereotip,

atau konsep yang sudah tidak terubahkan, melainkan melalui suatu cara dan

kesempatan di mana ia mengubah gagasan, prosedur, dan konsepnya.

Gertzog menjelaskan adanya dua langkah yang tidak dapat dipisahkan dari filsafat

sains, yaitu: a) central commitments dan b) perubahan central commitments. Dalam

central commitments, para ilmuwan menelaah dan mendefmisikan persoalan, strategi

untuk memecahkan persoalan itu, dan kriteria pemecahannya. Dalam langkah kedua,

mereka perlu mengubah central commitment bila mereka berhadapan dengan tantangan

baru yang berlawanan dengan asumsi dasar mereka.

Menurut Posner dkk, dalam proses belajar ada proses perubahan konsep yang mirip

dengan yang ada dalam filsafat sains tersebut. Tahap pertama perubahan konsep itu

disebut asimilasi dan tahap kedua disebut akomodasi. Dengan asimilasi siswa

menggunakan konsep-konsep yang telah mereka punyai untuk berhadapan dengan

fenomena yang baru. Dengan akomodasi siswa mengubah konsepnya yang tidak cocok

lagi dengan fenomena baru yang mereka hadapi. Akomodasi disebut juga perubahan

konsep secara radikal.

Agar terjadi akomodasi, dibutuhkan beberapa keadaan dan syarat seperti berikut:

a. Harus ada ketidakpuasan terhadap konsep yang telah ada. Siswa mengubah

konsepnya jika mereka yakin bahwa konsep mereka yang lama tidak dapat

digunakan lagi untuk menelaah situasi, pengalaman, dan gejala yang baru.

b. Konsep yang baru harus dapat dimengerti, rasional, dan dapat memecahkan

persoalan atau fenomena yang baru

c. Konsep yang baru harus masuk akal, dapat memecahkan dan menjawab persoalan

yang terdahulu, dan juga konsisten dengan teori-teori atau pengetahuan yang sudah

ada sebelumnya.

d. Konsep baru harus berdaya guna bagi perkembangan penelitian dan penemuan yang

baru.

Menurut Posner dkk, salah satu penyebab terbesar ketidakpuasan terhadap konsep

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 39

Page 40: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

lama adalah adanya peristiwa anomali. Suatu peristiwa yang bertentangan dengan yang

dipikirkan siswa. Suatu peristiwa di mana siswa tidak dapat mengasimilasikan

pengetahuannya untuk memahami fenomena yang baru. Misalnya, bagi siswa yang

berpikir bahwa percepatan benda jatuh bebas tergantung pada masa benda itu, akan

menjadi bingung bila mereka mengamati bahwa benda yang jatuh bebas punya

percepatan yang sama. Bagi siswa yang berpikiran bahwa reaksi kimia yang mereka

buat pasti akan menghasilkan warna merah dan bersuhu tinggi, mengamati bahwa

ternyata warna reaksi tersebut hijau dan bersuhu tetap akan menjadi peristiwa anomali.

Peristiwa seperti itu akan menantang siswa untuk lebih berpikir dan mempersoalkan

mengapa pemikiran awal mereka tidak benar.

Banyak pendidik sains menggunakan data anomali untuk memacu perubahan

konsep pada anak. Mereka menyediakan data-data dan percobaan-percobaan yang

memberikan data berbeda dengan keyakinan anak atau prediksi anak. Misalnya, bagi

anak-anak yang yakin bahwa massa jenis benda padat selalu lebih besar daripada massa

jenis air, seorang pendidik dapat memberikan beberapa benda padat yang massa

jenisnya lebih kecil daripada air. Data anomali juga ternyata berperan besar dalam

perubahan konsep dalam sejarah sains. Namun, data anomali kadang juga gagal

mendorong perubahan konsep karena para ilmuwan dan siswa kadang menemukan cara

untuk mengabaikan data-data yang berlawanan tersebut. Menurut Chinn, ada beberapa

cara orang bereaksi terhadap data anomali: a) mengabaikan dan menolaknya; b)

mengecualikan data itu dari teori yang telah ada; c) mengartikan kembali data itu; d)

mengartikan kembali data itu dengan sedikit perubahan; dan e) menerima data itu dan

mengubah teori atau konsep sebelumnya.

Carey menguraikan adanya dua perubahan konsep, yaitu: restruktunsasi kuat dan

restrukturisasi lemah. Dalam restrukturisasi kuat seseorang mengubah konsep lama

yang telah mereka punyai, sedangkan dalam proses restrukturisasi lemah seseorang

tidak mengubah konsep lama mereka, melainkan hanya memperluasnya. Restrukturisasi

kuat mirip dengan proses akomodasi sedangkan restrukturisasi lemah mirip dengan

asimilasi. Banyak peneliti menerapkan strategi mengajar yang mempercepat perubahan

konsep. Mereka menekankan agar siswa dibiasakan mempertanyakan keyakinan dan

konsepnya. Mereka membuat strategi yang menimbulkan ketidakseimbangan dalam

pikiran siswa, yang menimbulkan konflik dalam pikiran siswa, sehingga ia tertantang

untuk mengubah konsep yang telah dipunyai.

Dalam penelitiannya, Vygotsky membedakan dua macam konsep, yaitu: konsep

spontan dan konsep ilmiah. Konsep spontan diperoleh siswa dari kehidupan sehari-hari

dan konsep ilmiah diperoleh dari pelajaran di sekolah. Kedua konsep itu saling

berhubungan terus-menerus. Apa yang dipelajari siswa dalam sekolah mempengaruhi

perkembangan konsep yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari dan sebaliknya.

Perbedaan yang mencolok dari kedua konsep itu adalah ada atau tidak adanya sistem.

Konsep spontan didasarkan pada kejadian khusus dan tidak merupakan bagian yang

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 40

Page 41: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

bertalian secara logis dari suatu sistem pemikiran, sedangkan konsep ilmiah disajikan

sebagai suatu bagian dari suatu sistem. Dengan menggunakan teori Vygotsky, Howe

menyarankan agar guru atau pendidik tidak mengatakan bahwa suatu konsep spontan

siswa itu “salah”. Pendidik sebaiknya tidak menolak konsep spontan siswa, melainkan

membantunya agar konsep itu diintegrasikan dengan konsep yang ilmiah. Menurut

Howe, konsep spontan itu meski tidak cocok sebagai penjelasan atas persoalan yang

lebih luas, kerap kali cocok untuk penalaran siswa dalam persoalan yang lebih sempit.

Misalnya, seorang anak beranggapan bahwa matahari itu mengitari bumi. Konsep ini

diperoleh dari pengamatan sehari-hari bahwa mataharilah yang seakan berjalan

mengitari bumi, sedangkan bumi diam. Konsep ini meski tidak sesuai dengan konsep

ilmiah tata angkasa, menjelaskan dan juga memecahkan beberapa persoalan sehari-hari

yang dihadapi siswa. Misalnya, ia dapat berkomunikasi dengan tetangga yang

mengatakan matahari terbit di timur dan terbenam di barat, ia dapat juga menjelaskan

bagaimana membuat jam matahari.

Kalau kita yakin bahwa konsep dan pengetahuan seseorang itu terus berkembang

mulai dari kanak-kanak sampai dewasa dan setiap saat seseorang itu mempunyai

pemahaman tertentu akan sesuatu hal, maka tidak dapat dikatakan bahwa pemahaman

seorang anak salah, melainkan bahwa pemahaman mereka itu terbatas. Tugas seorang

pendidik dalam hal ini adalah membantu agar pemahaman mereka berkembang semakin

mendekati pemahaman para ilmuwan.

Teori perubahan konsep cukup banyak senada dengan teori konstruktivis dalam arti

bahwa dalam proses pengetahuan seseorang mengalami perubahan konsep.

Pengetahuan seseorang itu tidak sekali jadi, melainkan merupakan proses

perkembangan yang terus-menerus. Dalam perkembangan itu ada yang mengalami

perubahan besar dengan mengubah konsep lama melalui akomodasi, ada pula yang

hanya mengembangkan dan memperluas konsep yang sudah ada melalui asimilasi.

Proses perubahan terjadi bila si siswa aktif berinteraksi dengan lingkungannya.

Dalam banyak penelitian diungkapkan bahwa teori perubahan konsep dipengaruhi

atau didasari oleh filsafat konstruktivisme. Konstruktivisme menekankan bahwa

pengetahuan dibentuk oleh siswa yang sedang belajar. Teori perubahan konsep

menjelaskan bahwa siswa mengalami perubahan konsep terus-menerus yang sangat

berperanan dalam menjelaskan mengapa seorang siswa bisa salah mengerti dalam

menangkap suatu konsep yang ia pelajari. Konstruktivisme membantu untuk mengerti

bagaimana siswa membentuk pengetahuan yang tidak tepat. Dengan demikian, seorang

pendidik dibantu untuk mengarahkan siswa dalam pembentukan pengetahuan yang

lebih tepat. Teori perubahan konsep sangat membantu karena mendorong pendidik agar

menciptakan suasana dan keadaan yang memungkinkan perubahan konsep yang kuat

pada siswa sehingga pemahaman mereka lebih sesuai dengan pemahaman ilmuwan.

Konstruktivisme dan teori perubahan konsep memberikan pengertian bahwa setiap

orang dapat membentuk pengertian yang berbeda dengan pengertian ilmuwan. Namun

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 41

Page 42: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

pengertian yang berbeda tersebut bukanlah akhir perkembangan karena setiap kali

mereka masih dapat mengubah pengertiannya sehingga lebih sesuai dengan pengertian

ilmuwan. Menurut teori konstruktivisme dan teori perubahan konsep, “Salah pengertian”

bukanlah akhir dari segala-galanya, melainkan justru menjadi awal untuk perkembangan

yang lebih baik.

2. Teori belajar bermakna Ausubel

Menurut Ausubel ada dua jenis belajar, yaitu: a) belajar bermakna (meaningful

learning) dan b) belajar menghafal (rote learning). Belajar bermakna adalah suatu

proses belajar di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang

sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Belajar bermakna terjadi bila siswa

mencoba menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Ini

terjadi melalui belajar konsep, dan perubahan konsep yang telah ada, yang akan

mengakibatkan pertumbuhan dan perubahan struktur konsep yang telah dipunyai si

pelajar.

Bila konsep yang cocok dengan fenomena baru itu belum ada dalam struktur

kognitif seseorang, informasi baru harus dipelajari lewat belajar menghafal. Dalam

proses ini informasi yang baru tidak diasosiasikan dengan konsep yang telah ada dalam

struktur kognitif. Belajar menghafal ini perlu bila seseorang memperoleh infonnasi baru

dalam dunia pengetahuan yang sama sekali tidak berhubungan dengan apa yang telah

ia ketahui.

Menurut Ausubel, seseorang belajar dengan mengasosiasikan fenomena baru ke

dalam skema yang telah ia punyai. Dalam proses itu seseorang dapat

memperkembangkan skema yang ada atau dapat mengubahnya. Dalam proses belajar

ini siswa mengkonstruksi apa yang ia pelajari sendiri.

Teori belajar bermakna Ausubel ini sangat dekat dengan inti pokok konstruktivisme.

Keduanya menekankan pentingnya siswa mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan

fakta-fakta baru ke dalam sistem pengertian yang telah dipunyai. Keduanya menekankan

pentingnya asimilasi pengalaman baru ke dalam konsep atau pengertian yang sudah

dipunyai siswa. Keduanya mengandaikan bahwa dalam proses belajar itu siswa aktif.

3. Teori skema

Pengetahuan disimpan dalam suatu paket informasi, atau skema, yang terdiri dari

konstruksi mental gagasan kita. Skema suatu objek, kejadian, atau ide terdiri dari suatu

set atribut yang menjelaskan objek tersebut, maka dari itu membantu kita untuk

mengenal objek atau kejadian itu. Atribut ini memuat juga hubungan dengan skema

yang lain. Hubungan antara skema inilah yang memberikan makna dan arti kepada

gagasan kita. Misalnya, skema tentang pesawat terbang akan memuat macam-macam

atribut seperti sayap, mesin jet, jendela, badan, tempat duduk, terbang, dll. Sedangkan

skema “pesawat terbang” ini akan berkaitan dengan skema yang lebih luas seperti

skema “transportasi”. Setiap orang dalam pikirannya punya macam-macam skema

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 42

Page 43: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

mengenai macam-macam hal, dan skema-skema itu ada yang saling berkaitan dan

membentuk suatu kerangka pemikiran seseorang akan sesuatu hal. Skema itu

mempunyai macam-macam jenis, ada yang sangat konkret seperti skema tentang

pesawat terbang, tetapi juga dapat sangat abstrak seperti skema tentang perasaan hati

ataupun teori matematika yang abstrak.

Skema adalah abstraksi mental seseorang yang digunakan untuk mengerti sesuatu

hal, menemukan jalan keluar, ataupun memecahkan persoalan. Orang harus mengisi

atribut skemanya dengan informasi yang benar agar dapat membentuk kerangka

pemikiran yang benar. Kerangka pemikiran inilah yang akan membentuk pengetahuan

struktural seseorang, di mana pengetahuan struktural tersebut terdiri dari skema-skema

yang dipunyai dan hubungan antara skema-skema itu.

Bagaimana seseorang membentuk dan mengubah skema adalah merupakan proses

belajar. Orang dapat membentuk skema baru dari suatu pengalaman baru. Orang dapat

menambah atribut baru dalam skemanya yang lama. Orang dapat melengkapi dan

memperluas skema yang telah dipunyainya dalam berhadapan dengan pengalaman,

persoalan, dan juga pemikiran yang baru. Biasanya seseorang bila menghadapi

pengalaman baru yang tidak cocok dengan skema yang dipunyainya, ia akan mengubah

skema lamanya. Dalam proses belajar, siswa mengadakan perubahan skemanya baik

dengan menambah atribut, memperhalus, memperluas, ataupun mengubah sama sekali

skema lama.

Menurut Jonassen dkk., dasar teori skema adalah bahwa ingatan seseorang itu

dianalisis secara semantik. Skemata disusun dalam suatu jaringan hubungan konsep-

konsep. Jaringan ini dikenal sebagai jaringan semantik kita. Jaringan ini menguraikan apa

yang diketahui seseorang dan menyediakan dasar untuk mempelajari konsep-konsep

yang baru, serta memperkembangkan dan rnengubah jaringan semantik yang telah ada.

Pengetahuan struktural seseorang, yang terdiri dari macam-macam skemata dan

hubungan antarskema itu, didasarkan pada teori skema. Pengetahuan struktural adalah

pengetahuan akan bagaimana konsep-konsep dalam suatu domain saling terkait.

Menurut Jonassen dkk., pengetahuan struktural menjembatani perubahan dari

pengetahuan deklaratif ke prosedural. Menurut Ryle, pengetahuan deklaratif

mengungkapkan suatu pengertian atau kesadaran akan objek, kejadian, atau ide. Ini

adalah suatu pengetahuan akan “mengerti sesuatu (mengerti apanya)”.

Dalam pengetahuan ini seseorang dapat menjelaskan apa yang ia ketahui tetapi ia

tidak menggunakan apa yang ia ketahui itu. Pengetahuan prosedural mengungkapkan

bagaimana seseorang menggunakan pengetahuan deklaratifnya. Ini adalah pengetahuan

akan “mengerti bagaimananya”. Tidak cukuplah orang mengerti “apa” untuk “mengerti

bagaimananya”. Diperlukan pengertian akan sebabnya, mengerti “mengapanya”. Inilah

peran pengetahuan struktural yang menyediakan konsep dasar untuk mengerti

keterkaitan antarkonsep.

Teori pengetahuan struktural punya keterbatasan. Clancy mengatakan bahwa teori

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 43

Page 44: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

network semantik didasarkan kepada pandangan tradisional tentang ingatan. Diandaikan

bahwa ingatan manusia itu terdiri dari fakta-fakta dan prosedur yang tersimpan di otak.

Para ahli network semantik melihat jaringan ini sebagai representansi isomorfik akan apa

yang disimpan dalam ingatan. Struktur ingatan ada sebagai representasi dalam pikiran.

Sematik yang menyimpan informasi dalam manusia dapat dipetakan secara kognitif.

Menurut Clancy, ingatan tidaklah statis, tetapi berubah menurut konteks di mana

kejadian itu terjadi.

Seseorang belajar dengan mengadakan restrukturisasi atas skema yang ada, baik

dengan menambah maupun dengan mengganti skema itu. Ini mirip dengan

konstruktivisme Piaget yang menggunakan asimilasi dan akomodasi. Perbedaannya

adalah bahwa teori skema tidak menjelaskan proses pengetahuan, tetapi lebih

bagaimana pengetahuan manusia itu tersimpan dan tersusun.

Salah satu alat yang dapat digunakan untuk mengungkapkan skema pemikiran

maupun kerangka pemikiran seseorang akan sesuatu hal, adalah dengan menuliskan

skema pemikirannya dalam suatu peta konsep (concept maps). Menurut Novak dan

Gowin dalam Learning how to learn, peta konsep adalah suatu bagan skematis untuk

menggambarkan suatu pengertian konseptual seseorang dalam suatu rangkaian

pernyataan. Peta konsep menggambarkan hubungan antara konsep-konsep dan terdiri

atas kumpulan konsep-konsep serta pernyataan-pernyataan. Pernyataan biasanya terdiri

atas minimal dua konsep yang dihubungkan dengan “kata penghubung”, sehingga

punya arti yang lengkap. Misalnya, konsep “ayah” dan konsep “anak” dihubungkan

dengan kata penghubung “mencintai”, sehingga menjadi suatu pernyataan “Ayah

mencintai anak”, yang merupakan suatu kalimat yang punya arti tersendiri dan lengkap.

Peta konsep biasanya disusun secara hierarkis, konsep yang lebih umum diletakkan di

atas atau di pusat, dan konsep yang lebih khusus diletakkan di bawahnya atau lebih di

samping.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 44

Page 45: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

Gambar 1. Peta konsep tentang fraktal dari seorang anak

Dalam Gambar 1 diberikan contoh suatu peta konsep dari seorang anak tentang

fraktal, suatu bentuk yang punya dimensi tidak utuh dan kesamaan dalam dirinya

sendiri. Dapat dilihat bagaimana seorang siswa menggambarkan pengertiannya tentang

fraktal. Bagi siswa tersebut, fraktal itu punya dua sifat, yaitu: berdimensi tidak utuh dan

punya kesamaan pada dirinya sendiri (self-similarity) bila diadakan transformasi. Fraktal

dapat dibedakan dua macam, yaitu: fraktal alamiah dan fraktal matematis. Fraktal

matematis tidak finite sedangkan yang alamiah finite. Juga diungkapkan macam-macam

contoh tentang fraktal alamiah dan matematis.

Dengan melihat peta konsep itu, seorang pendidik dapat melihat pemikiran seorang

siswa dalam memahami sesuatu hal yang sedang dipelajari. Sekaligus dengan melihat

peta itu dapat dilihat salah pengertian ataupun pengertian alternatif siswa tentang suatu

hal. Bila peta konsep itu dibuat beberapa kali selama proses belajar, maka juga akan

dapat dianalisis bagaimana seorang siswa itu mengembangkan dan mengubah skema

pemikirannya. Itulah sebabnya bahwa peta konsep banyak digunakan dalam studi salah

pengertian, perubahan konsep, dan juga bagaimana mengembangkan konsep anak

didik.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 45

Page 46: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

4. Konstruktivisme versus behaviorisme dan maturasionisme

Kaum behavioris memandang psikologi sebagai suatu studi penting tingkah laku

dan menjelaskan belajar sebagai suatu sistem respons tingkah laku terhadap

rangsangan fisik. Para psikolog yang menggunakan paradigma ini tertarik pada akibat

dari suatu penguatan (reinforcement), praktek, dan motivasi eksternal. Pendidik yang

menggunakan kerangka behavioris biasanya merencanakan suatu kurikulum dengan

menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu

keterampilan tertentu. Lalu, bagian-bagian ini disusun secara hierarki, dari yang

sederhana sampai ke yang kompleks. Siswa dipandang sebagai pasif, butuh motivasi

luar, dan dipengaruhi oleh reinforcement. Karena itu, para pendidik mengembangkan

suatu kurikulum yang terstruktur baik dan menentukan bagaimana siswa harus

dimotivasi, dirangsang, dan dievaluasi. Kemajuan belajar siswa diukur dengan hasil yang

dapat diamati.

Maturasionisme berbeda dengan behaviorisme. Maturasionisme adalah suatu teori

yang menjelaskan bahwa pengetahuan konseptual tergantung pada tingkat

perkembangan biologis seseorang. Siswa menginterpretasikan pengalaman dengan

struktur kognitif yang merupakan hasil perkembangannya. Karena itu, umur menjadi

norma yang penting bagi perkembangan pengetahuan seseorang. Psikolog yang bekerja

dalam paradigma ini memusatkan diri pada pembagian langkah-langkah perkembangan

dan sifat-sifat setiap langkah. Pendidik dalam perspektif ini berperan sebagai orang yang

menyiapkan suatu lingkungan yang sesuai dan memperkaya perkembangan mental

anak. Siswa dinilai dalam kaitannya dengan tonggak-tonggak perkembangan. Kurikulum

dianalisis apakah memiliki syarat-syarat kognitif bagi siswa dan apakah sesuai dengan

tingkat perkembangan siswa. Teor perkembangan kognitif Piaget pernah disalah artikan

sebagai teori maturasionisme.

Konstruktivisme berbeda dengan behaviorisme dan maturasionisme. Bila

behaviorisme menekankan keterampilan sebagai suatu tujuan pengajaran,

konstruktivisme lebih menekankan perkembangan konsep dan pengertian yang

mendalam. Bila maturasionisme lebih menekankan pengetahuan yang berkembang

sesuai dengan langkah-langkah perkembangan kedewasaan, konstruktivisme lebih

menekankan pengetahuan sebagai konstrukti aktif si pelajar. Dalam pengertian

maturasionisme, bila seseorang mengikuti langkah-langkah perkembangan yang ada,

dengan sendirinya ia akan menemukan pengetahuan yang makin lengkap. Menurut

konstruktivisme, bila seseorang tidak mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri secara

aktif, meskipun ia berumur tua, akan tetap tidak berkembang pengetahuannya.

H. Implikasi Konstruktivisme terhadap Proses Belajar

1. Makna belajar

Belajar merupakan proses aktif siswa mengkonstruksi arti entah teks, dialog,

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 46

Page 47: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

pengalaman fisis, dll. Belajar juga merupakan proses mengasimilasikan dan

menghubungkan pengalaman atas informasi yang dipelajari dengan pengertian yang

sudah dimiliki siswa sehingga pengetahuannya berkembang. Proses tersebut bercirikan

sebagai berikut:

a. Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan

oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan, dan alami. Konstruksi arti

dipengaruhi oleh pengertian yang telah dimiliki.

b. Konstruksi arti merupakan proses terus menerus. Setiap kali

berhadapan dengan fenomena atau persoalan yang baru, siswa akan selalu

mengadakan rekonstruksi.

c. Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih

merupakan suatu proses pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian

yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan, melainkan merupakan

perkembangan itu sendiri, suatu perkembangan yang menuntut penemuan dan

pengaturan kembali pemikiran seseorang.

d. Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang

dalam kesenjangan yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi ke-

tidakseimbangan (disequilibrium) adalah situasi yang baik untuk memacu belajar.

e. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman siswa dengan dunia fisik

dan lingkungannya.

f. Hasil belajar siswa tergantung pada apa yang telah diketahui siswa

berupa konsep-konsep, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan

bahan yang dipelajari.

2. Peran pelajar

Kegiatan belajar adalah kegiatan yang aktif, di mana siswa membangun sendiri

pengetahuannya. Siswa mencari arti sendiri dari yang mereka pelajari. Ini merupakan

proses menyesuaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang telah ada

dalam pikiran mereka. Siswa sendirilah yang bertanggung jawab atas hasil belajarnya.

Mereka membawa pengertiannya yang lama dalam situasi belajar yang baru. Mereka

sendiri yang membuat penalaran atas apa yang dipelajarinya dengan cara mencari

makna, membandingkannya dengan apa yang telah ia ketahui serta menyelesaikan

ketegangan antara apa yang telah ia ketahui dengan apa yang ia perlukan dalam

pengalaman yang baru.

Bagi kaum konstruktivis, belajar adalah suatu proses organik untuk menemukan

sesuatu, bukan suatu proses mekanik untuk mengumpulkan fakta. Belajar itu suatu

perkembangan pemikiran dengan membuat kerangka pengertian yang berbeda. Siswa

harus punya pengalaman dengan membuat hipotesis, mengetes hipotesis, memanipulasi

objek, memecahkan persoalan, mencari jawaban, menggambarkan, meneliti, berdialog,

mengadakan refleksi, mengungkapkan pertanyaan, mengekspresikan gagasan, dll untuk

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 47

Page 48: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

membentuk konstruksi yang baru. Siswa harus membentuk pengetahuan mereka sendiri

dan guru membantu sebagai mediator dalam proses pembentukan itu. “Belajar yang

berarti” terjadi melalui refleksi, pemecahan konflik pengertian, dan dalam proses selalu

memperbarui tingkat pemikiran yang tidak lengkap.

Ada perbedaan antara kaum behavioris dan konstruktivis dalam hal pengetahuan,

belajar, dan mengajar. Menurut kaum behavioris, pengetahuan itu pengumpulan pasif

dari subjek dan objek yang diperkuat oleh lingkungannya, sedangkan bagi kaum kon-

struktivis, pengetahuan itu adalah kegiatan aktif siswa yang meneliti lingkungannya.

Bagi behavioris, pengetahuan itu statis dan sudah jadi; bagi konstruktivis, pengetahuan

itu suatu proses menjadi. Bagi kaum behavioris, mengajar adalah mengatur lingkungan

agar dapat membantu belajar. Bagi konstruktivis, mengajar berarti partisipasi dengan

siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mempertanyakan kejelasan,

bersikap kritis, mengadakan justifikasi. Jadi, mengajar adalah suatu bentuk belajar

sendiri.

Setiap siswa mempunyai cara sendiri untuk mengerti. Maka penting bahwa setiap

siswa mengerti kekhasannya, juga keunggulan dan kelemahannya dalam mengerti

sesuatu. Mereka perlu menemukan cara belajar yang tepat bagi mereka sendiri. Setiap

siswa mempunyai cara yang cocok untuk mengkonstruksikan pengetahuannya yang

kadang sangat berbeda dengan teman-teman yang lain. Karena itu, mengerti

kekhususannya sendiri sangat penting dalam memajukan belajar seseorang. Dalam

kerangka ini, sangat penting bahwa siswa dimungkinkan untuk mencoba bermacam-

macam cara belajar yang cocok dan juga penting bahwa pengajar menciptakan

bermacam-macam situasi dan metode yang membantu pelajar. Satu model belajar

mengajar saja tidak akan banyak membantu siswa.

Waktu pertama kali datang ke kelas, siswa sudah membawa makna tertentu

tentang dunianya. Inilah pengetahuan dasar mereka untuk dapat mengembangkan

pengetahuan yang baru. Juga mereka membawa perbedaan tingkat intelektual, personal,

sosial, emosional, dan kultural. Ini semua mempengaruhi pemahaman mereka. Latar

belakang dan pengertian awal yang dibawa siswa tersebut sangat penting dimengerti

oleh pengajar agar dapat membantu memajukan dan memperkembangkannya sesuai

dengan pengetahuan yang lebih ilmiah.

3. Belajar dalam kelompok

Karena pengetahuan dibentuk baik secara individual maupun sosial, kelompok

belajar dapat dikembangkan. Menurut Von Glasersfeld, dalam kelompok belajar siswa

harus mengungkapkan bagaimana ia melihat persoalan dan apa yang akan dibuatnya

dengan persoalan itu. Inilah salah satu jalan menciptakan refleksi yang menuntut

kesadaran akan apa yang sedang dipikirkan dan dilakukan. Selanjutnya, ini akan

memberikan kesempatan kepada seseorang untuk secara aktif membuat abstraksi.

Usaha menjelaskan sesuatu kepada kawan-kawan justru membantunya untuk melihat

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 48

Page 49: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

sesuatu dengan lebih jelas dan bahkan melihat inkonsistensi pandangan mereka sendiri.

Mengerti bahwa teman lainnya belum memiliki jawaban yang siap, akan

meningkatkan keberanian siswa untuk mencoba dan mencari jalan. Sekaligus, jika ia

menemukan jawaban, itu akan mendorong yang lain untuk menemukannya juga.

Ketidakkonsistenan dan kesalahan yang ditunjukkan oleh teman dianggap kurang

meyakinkan dibandingkan bila ditunjukkan oleh guru. Ini akan meningkatkan harga diri

mereka.

Menurut Driver dkk., konstruktivisme sosial menekankan bahwa belajar berarti

dimasukkannya seseorang ke dalam suatu dunia simbolik. Pengetahuan dan pengertian

dikonstruksi bila seseorang terlibat secara sosial dalam dialog dan aktif dalam

percobaan-percobaan dan pengalaman. Pembentukan makna adalah dialog antarpribadi.

Belajar merupakan proses masuknya seseorang ke dalam kultur orang-orang yang

terdidik. Dalam hal ini, siswa tidak hanya memerlukan akses ke pengalaman fisik, tetapi

juga ke konsep-konsep dan model-model ilmu pengetahuan konvensional. Oleh sebab

itu, guru berperan penting karena mereka menyediakan kesempatan yang cocok dan

prasarana masyarakat ilmiah bagi siswa. Dalam konteks ini kegiatan-kegiatan yang

memungkinkan siswa berdialog dan berinteraksi dengan para ahli, dengan lembaga-

lembaga penelitian, dengan sejarah penemuan ilmiah, dan dengan masyarakat

pengguna hasil ilmiah akan sangat membantu dan merangsang mereka untuk

mengkonstruksi pengetahuan mereka.

I. Implikasi Konstruktivisme terhadap Proses Mengajar

1. Makna mengajar

Mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa,

melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri

pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi dengan siswa dalam membentuk

pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan

justifikasi. Jadi, mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri.

Berpikir yang baik adalah lebih penting daripada mempunyai jawaban yang benar

atas suatu persoalan yang sedang dipelajari. Seseorang yang mempunyai cara berpikir

yang baik, dalam arti bahwa cara berpikirnya dapat digunakan untuk menghadapi suatu

fenomena baru, akan dapat menemukan pemecahan dalam menghadapi persoalan yang

lain. Sementara itu, seorang siswa yang sekadar menemukan jawaban benar belum pasti

dapat memecahkan persoalan yang baru karena mungkin ia tidak mengerti bagaimana

menemukan jawaban itu. Bila cara berpikir itu berdasarkan pengandaian yang salah atau

tidak dapat diterima pada saat itu, ia masih dapat memperkembangkannya. Mengajar

adalah membantu seseorang berpikir secara benar dengan membiarkannya berpikir

sendiri.

2. Fungsi dan peran pengajar/ guru

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 49

Page 50: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

a. Pengajar sebagai mediator dan fasilitator

Seorang pengajar/ guru berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu

agar proses belajar siswa berjalan dengan baik. Tekanan ada pada siswa yang belajar

dan bukan pada disiplin ataupun guru yang mengajar. Fungsi mediator dan fasilitator

dapat dijabarkan dalam beberapa tugas sebagai berikut:

1) Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab

dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian. Karena itu, jelas memberi kuliah

atau ceramah bukanlah tugas utama seorang guru.

2) Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan

siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dan

mengkomunikasikan ide ilmiah mereka. Menyediakan sarana yang merangsang siswa

berpikir secara produktif. Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang paling

mendukung proses belajar siswa.

3) Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran siswa jalan atau

tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa itu

berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Guru membantu

mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa.

Agar peran dan tugas tersebut berjalan dengan optimal, diperlukan beberapa

kegiatan yang perlu dikerjakan dan juga beberapa pemikiran yang perlu disadari oleh

pengajar, yaitu:

1) Guru perlu banyak berinteraksi dengan siswa untuk lebih mengerti apa yang sudah

mereka ketahui dan pikirkan.

2) Tujuan dan apa yang akan dibuat di kelas sebaiknya dibicarakan bersama sehingga

siswa sungguh terlibat.

3) Guru perlu mengerti pengalaman belajar mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan

siswa. Ini dapat dilakukan dengan berpartisipasi sebagai siswa juga di tengah pelajar.

4) Diperlukan keterlibatan dengan siswa yang sedang berjuang dan kepercayaan

terhadap siswa bahwa mereka dapat belajar.

5) Guru perlu mempunyai pemikiran yang fleksibel untuk dapat mengerti dan

menghargai pemikiran siswa, karena kadang siswa berpikir berdasarkan pengandaian

yang tidak diterima guru.

Karena siswa harus membangun sendiri pengetahuan mereka, seorang guru harus

melihat mereka bukan sebagai lembaran kertas putih kosong. Bahkan, anak kelas 1 SD

pun telah hidup beberapa tahun dan menemukan suatu cara yang berlaku dalam

berhadapan dengan lingkungan hidup mereka. Mereka sudah membawa “pengetahuan

awal”. Pengetahuan yang mereka punyai adalah dasar untuk membangun pengetahuan

selanjutnya. Karena itu, guru perlu mengerti pada taraf manakah pengetahuan mereka.

Apapun yang dikatakan seorang siswa dalam menjawab suatu persoalan adalah

jawaban yang masuk akal bagi mereka pada saat itu. Ini perlu ditanggapi serius, apapun

“salah” mereka seperti yang dilihat guru. Bagi siswa, dinilai salah merupakan suatu yang

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 50

Page 51: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

mengecewakan dan mengganggu. Berikan jalan kepada mereka untuk

menginterpretasikan pertanyaan. Dengan demikian, diharapkan jawabannya akan lebih

baik. Jangan pernah mengandaikan bahwa cara berpikir siswa itu sederhana atau jelas.

Guru perlu belajar mengerti cara berpikir mereka sehingga dapat membantu

memodifikasinya. Baik dilihat bagaimana jalan berpikir mereka itu mengenai persoalan

yang ada. Tanyakan kepada mereka bagaimana mereka mendapatkan jawaban itu. Ini

cara yang baik untuk menemukan pemikiran mereka dan membuka jalan untuk

menjelaskan mengapa suatu jawaban tidak berlaku untuk keadaan tertentu.

Guru konstruktivis tidak pernah akan membenarkan ajarannya dengan mengklaim

bahwa “ini satu-satunya yang benar”. Di dalam matematika mereka dapat menunjukkan

bahwa cara tertentu diturunkan dari operasi tertentu. Di dalam sains mereka tidak dapat

berkata lebih daripada “ini adalah jalan terbaik untuk situasi ini, dan ini adalah jalan

yang terefektif untuk soal ini”.

Perlu diciptakan suasana yang membuat siswa antusias terhadap persoalan yang

ada sehingga mereka mau mencoba memecahkan persoalannya. Guru perlu membantu

mengaktifkan siswa untuk berpikir. Hal ini dilakukan dengan membiarkan mereka

berjuang dengan persoalan yang ada dan membantu mereka hanya sejauh mereka

bertanya dan minta tolong. Guru dapat memberikan orientasi dan arah tetapi tidak boleh

memaksakan arah itu. Tentu ini akan memakan waktu lama tetapi siswa yang

menemukan sendiri suatu pemecahan dan pemikiran akan siap untuk menghadapi

persoalan-persoalan yang baru.

Pengajar perlu membiarkan siswa menemukan cara yang paling menyenangkan

dalam pemecahan persoalan. Tidaklah menarik bila setiap kali guru menyuruh siswa

memakai jalan tertentu. Siswa kadang suka mengambil jalan yang tidak disangka atau

yang tidak konvensional untuk memecahkan suatu soal. Bila seorang guru tidak

menghargai cara penemuan mereka, ini berarti menyalahi sejarah perkembangan sains

yang juga dimulai dari kesalahan-kesalahan.

Sangat penting bahwa guru tidak mengajukan jawaban satu-satunya sebagai yang

benar, terlebih dalam persoalan yang berdasarkan suatu pengalaman. Dalam sejarah

sains kita melihat bahwa teori-teori yang lama tidaklah salah dalam perkembangannya,

tetapi lebih dikatakan sebagai tidak dapat menjawab persoalan-persoalan baru. Teori-

teori itu tetap dapat menjawab persoalan lama yang dihadapinya pada waktu

menemukannya. Teori Newton tentang gerak tidaklah salah tetapi tidak mencukupi lagi

untuk menjawab gerak dalam dimensi mikro. Lalu ditemukan teori baru yang dapat

menjawabnya. Namun, sampai sekarangpun teori Newton tetap dapat digunakan untuk

menjawab persoalan-persoalan dalam dunia makro.

Guru perlu mengerti sifat kesalahan siswa. Perkembangan intelektual dan

matematis penuh dengan kesalahan dan kekeliruan. Ini adalah bagian dari konstruksi

semua bidang yang tidak bisa dihindarkan. Guru perlu melihat kesalahan sebagai suatu

sumber informasi tentang penalaran dan sifat skemata anak.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 51

Page 52: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

Julyan dan Duckworth merangkum hal-hal yang penting dikerjakan oleh seorang

guru konstruktivis, yaitu guru perlu: 1) mendengarkan secara sungguh-sungguh

interpretasi siswa terhadap data yang ditemukan sambil menaruh perhatian khusus

kepada keraguan, kesulitan, dan kebingungan setiap siswa; 2) memperhatikan

perbedaan pendapat dalam kelas; dan 3) memberikan penghargaan kepada setiap siswa.

Dengan memfokuskan diri pada hal-hal yang kontradiktif dan membingungkan siswa,

guru akan menemukan bahwa konsep yang dipelajari itu mungkin sulit dan

membutuhkan waktu lebih banyak untuk mengkonstruksikannya. Guru perlu tahu bahwa

“tidak mengerti” adalah langkah yang penting untuk mulai menekuninya. Ketidaktahuan

siswa bukanlah suatu tanda yang jelek dalam proses belajar, melainkan merupakan

langkah awal untuk mulai.

b. Penguasaan bahan

Peran guru sangat menuntut penguasaan bahan yang luas dan mendalam. Guru

perlu mempunyai pandangan yang sangat luas mengenai pengetahuan tentang bahan

yang akan diajarkan. Pengetahuan yang luas dan mendalam memungkinkan seorang

guru menerima pandangan dan gagasan yang berbeda dari siswa dan juga

memungkinkan untuk menunjukkan apakah gagasan itu jalan atau tidak. Penguasaan

bahan memungkinkan seorang guru mengerti macam-macam jalan dan model untuk

sampai pada suatu pemecahan persoalan tanpa terpaku pada satu model.

Dari pengalaman mengajar cukup jelas bahwa ada beberapa guru yang menjadi

“diktator” dengan mengklaim bahwa jalan yang ia berikan adalah satu-satunya yang

benar. Akibatnya, mereka menganggap salah semua pemikiran dan jalan yang

digunakan siswa bila tidak cocok dengan pemecahan guru. Cara tersebut akan

mematikan kreativitas dan pemikiran siswa dan ini tentu berlawanan dengan prinsip

konstruktivisme.

Sangat perlu bahwa seorang guru, selain menguasai bahan, juga mengerti konteks

bahan itu. Seorang guru, misalnya guru fisika, perlu mengerti bagaimana suatu teori

fisika berkembang dalam sejarah. Pemahaman historis ini akan meletakkan suatu

pengetahuan dalam konteks yang lebih mudah dipahami daripada bila terlepas begitu

saja. Guru konstruktivis diharapkan juga mengerti proses belajar yang baik. Mereka perlu

mengerti proses asimilasi dan akomodasi yang diperlukan oleh siswa dalam

memperkembangkan pengetahuan mereka.

c. Strategi mengajar

Tugas guru adalah membantu agar siswa mampu mengkonstruksi pengetahuannya

sesuai dengan situasinya yang konkret maka strategi mengajar perlu juga disesuaikan

dengan kebutuhan dan situasi siswa. Oleh karena itu, tidak ada suatu strategi mengajar

yang satu-satunya yang dapat digunakan di mana pun dan dalam situasi apa pun.

Strategi yang disusun selalu hanya menjadi tawaran dan saran, bukan suatu menu yang

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 52

Page 53: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

sudah jadi. Setiap guru yang baik akan mengembangkan caranya sendiri. Mengajar

adalah suatu seni yang menuntut bukan hanya penguasaan teknik, melainkan juga

intuisi.

Menurut Driver dan Oldham karakteristik mengajar konstruktivis sebagai berikut:

1) Orientasi. Siswa diberi kesempatan untuk

mengembangkan motivasi dalam mempelajari suatu topik dan mengadakan

observasi terhadap topik apa yang hendak dipelajari.

2) Elicitasi. Siswa dibantu untuk mengungkapkan idenya

secara jelas dengan berdiskusi, menulis, membuat poster,dll. Siswa diberi

kesempatan untuk mendiskusikan apa yang diobservasikan, dalam wujud tulisan,

gambar ataupun poster.

3) Restrukturisasi ide. Dalam hal ini ada tiga hal:

a) Klarifikasi ide yang dikontraskan dengan ide-ide orang lain atau teman lewat

diskusi ataupun lewat pengumpulan ide. Berhadapan dengan ide-ide lain,

seseorang dapat terangsang untuk merekonstruksi gagasannya kalau tidak cocok

atau sebaliknya menjadi lebih yakin bila gagasannya cocok.

b) Mengembangkan ide yang baru. Ini terjadi bila dalam diskusi itu idenya

bertentangan dengan ide lain atau idenya tidak dapat menjawab pertanyaan-

pertanyaan yang diajukan teman-teman.

c) Mengevaluasi ide barunya dengan eksperimen. Kalau dimungkinkan, ada baiknya

bila gagasan yang baru dibentuk itu diuji dengan suatu percobaan atau persoalan

yang baru.

4) Penggunaan ide dalam banyak situasi. Ide atau

pengetahuan yang telah dibentuk oleh siswa perlu diaplikasikan pada bermacam-

macam situasi yang dihadapi. Hal ini akan membuat pengetahuan siswa lebih

lengkap dan bahkan lebih rinci dengan segala macam pengecualiannya.

5) Review bagaimana ide itu berubah. Dapat terjadi

bahwa dalam aplikasi pengetahuannya pada situasi yang dihadapi sehari-hari,

seseorang perlu merevisi gagasannya entah dengan menambah suatu keterangan

ataupun mungkin dengan mengubahnya menjadi lebih lengkap.

De Vries dan Kohlberg mengikhtisarkan beberapa prinsip konstruktivisme Piaget

yang perlu diperhatikan dalam mengajar matematika, yaitu:

1) Struktur psikologis harus dikembangkan dulu sebelum persoalan bilangan

diperkenalkan. Bila siswa mencoba menalarkan bilangan sebelum mereka menerima

struktur logika matematis yang cocok dengan persoalannya, maka tidak akan jalan.

2) Struktur psikologis (skemata) harus dikembangkan dulu sebelum simbol formal

diajarkan. Simbol adalah bahasa matematis, suatu bilangan tertulis yang merupakan

representasi suatu konsep, tapi bukan konsepnya sendiri.

3) Siswa harus mendapat kesempatan untuk menemukan (membentuk) relasi

matematis sendiri, jangan hanya selalu dihadapkan kepada pemikiran orang dewasa

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 53

Page 54: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

yang sudah jadi.

4) Suasana berpikir harus diciptakan. Sering pengajaran matematika hanya mentransfer

apa yang dipunyai guru kepada siswa dalam wujud pelimpahan fakta matematis dan

prosedur perhitungan kepada siswa, sehingga siswa menjadi pasif. Banyak guru

menekankan perhitungan dan bukan penalaran sehingga banyak siswa menghafal

belaka.

d. Mengevaluasi proses belajar siswa

Menurut Von Glasersfeld, sebenarnya seorang guru tidak dapat mengevaluasi apa

yang sedang dibuat siswa atau apa yang mereka katakan. Yang harus dikerjakan guru

adalah menunjukkan kepada siswa bahwa yang mereka pikirkan itu tidak cocok atau

tidak sesuai untuk persoalan yang dihadapi. Guru konstruktivis tidak menekankan

kebenaran, tetapi berhasilnya suatu proses. Tidak ada gunanya mengatakan siswa itu

salah karena hanya merendahkan motivasi belajar.

Perlu ditentukan apakah kita ingin agar siswa memperkembangkan kemampuan

berpikirnya atau sekadar dapat menangani prosedur standar dan memberikan jawaban

standar yang terbatas. Berikan kepada siswa suatu persoalan yang belum pernah

ditemui sebelumnya, amati bagaimana mereka mengkonseptualisasikannya, dan teliti

bagaimana mereka menyelesaikan persoalan itu. Pendekatan siswa terhadap persoalan

itu lebih penting daripada jawaban akhir yang diberikannya. Dengan mengamati cara

konseptual yang siswa gunakan, kita dapat menangkap bagaimana jalannya konsep

mereka. Berikan kepada siswa suatu persoalan yang belum ada pemecahannya yang

baku.

3. Hubungan guru dan siswa

Dalam aliran konstruktivisme, guru bukanlah seseorang yang mahatahu dan siswa

bukanlah yang belum tahu dan karena itu harus diberi tahu. Dalam proses belajar, siswa

aktif mencari tahu dengan membentuk pengetahuannya, sedangkan guru membantu

agar pencarian itu berjalan baik. Dalam banyak hal guru dan siswa bersama-sama

membangun pengetahuan, artinya inilah hubungan guru dan siswa lebih sebagai mitra

yang bersama-sama membangun pengetahuan.

J. Implikasi Konstruktivisme terhadap Persekolahan

1. Peran konstruktivisme secara umum

Prinsip-prinsip konstruktivisme telah banyak digunakan dalam pendidikan sains dan

matematika. Secara umum prinsip-prinsip itu berperan sebagai referensi dan alat refleksi

kritis terhadap praktek, pembaruan, dan perencanaan pendidikan sains dan matematika.

Prinsip-prinsip yang sering diambil dari konstruktivisme antara lain:

a. Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif.b. Tekanan dalam proses belajar terletak pada siswa.c. Mengajar adalah membantu siswa belajar.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 54

Page 55: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

d. Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses bukan pada hasil akhir.

e. Kurikulum menekankan partisipasi siswa.f. Guru adalah fasilitator.

Prinsip tersebut banyak diambil untuk membuat perencanaan proses belajar mengajar

yang sesuai, pembaruan kurikulum, perencanaan program persiapan guru, dan untuk

mengevaluasi praktek belajar mengajar yang sudah berjalan.

Sebagai referensi, sekelompok guru mengambil prinsip konstruktivisme untuk

menyusun metode mengajar yang lebih menekankan keaktifan siswa baik dalam belajar

sendiri maupun bersama dalam kelompok. Guru-guru mencari cara untuk lebih mengerti

apa yang dipikirkan dan dialami siswa dalam proses belajar. Mereka memikirkan

beberapa kegiatan dan aktivitas yang dapat merangsang siswa berpikir. Interaksi

antarsiswa di kelas dihidupkan, siswa diberi kebebasan mengungkapkan gagasan dan

pemikiran mereka.

Wheatley menyusun kurikulum yang berpusat pada “belajar persoalan”. Siswa

bekerja bersama dalam kelompok, mengartikan persoalan yang diberikan, dan mencoba

memecahkan persoalan yang rumit. Di sini guru berperan sebagai mediator, meyakinkan

apa yang siswa ketahui, dan merangkai tugas-tugas sehingga mereka dapat membangun

pengetahuan. Siswa mencari arti dalam kelompok kecil, lalu mengadakan persetujuan

dalam kelompok besar/ kelas. Tugas guru memonitor pengertian siswa, membimbing

diskusi sehingga setiap siswa aktif dan mendapat kesempatan untuk mengungkapkan

pengertiannya. Guru juga aktif dalam kegiatan seperti mencari penjelasan, menanyakan

kebenaran, dan mengevaluasi alternatif yang ada. Bagi siswa, guru berfungsi sebagai

mediator, pemandu, dan sekaligus teman belajar.

Sebagai alat refleksi, konstruktivisme dapat digunakan untuk meneliti mengapa

siswa tertentu dapat belajar lebih baik dalam konteks dengan teman dan mengapa siswa

tertentu salah tangkap terhadap yang ia pelajari. Selain itu, untuk menilai dan

mengevaluasi apakah praktek belajar dan mengajar sudah sesuai dengan prinsip

konstruktivisme atau belum.

2. Konstruktivisme dan kurikulum

Duit dan Confrey merangkumkan beberapa prinsip penting teori konstruktivis

sebagai arah pembaruan kurikulum pendidikan sains dan matematika sebagai berikut:

a. Pendekatan yang menekankan penggunaan matematika dan sains dalam situasi

yang sesuai dengan minat siswa. Ditekankan pengetahuan berdasarkan pengalaman

dalam kehidupan sehari-hari. Pengalaman sehari-hari sesungguhnya penuh dengan

prinsip yang menggunakan matematika dan sains. Pendekatan dengan menganalisis

pengalaman sehari-hari, terlebih yang sesuai dengan situasi siswa, akan

memudahkan siswa mengkonstruksikan pengetahuannya.

b. Meta-pengetahuan, artinya bukan hanya menekankan isi matematika dan sains,

tetapi juga konteks dan prinsip-prinsipnya. Dalam hal ini penting bagi pengajar

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 55

Page 56: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

mengerti bagaimana latar belakang penemuan-penemuan dalam bidang sains dan

matematika. Sejarah sains menunjukkan bahwa penemuan-penemuan baru sering

dilatarbelakangi oleh situasi yang memang sungguh menantang untuk memunculkan

penemuan tersebut. Bila siswa mengerti latar belakangnya, mereka akan lebih

mudah menangkap isi penemuan dan pengetahuannya. Jadi, pengetahuan tidak

dipelajari lepas dari konteksnya.

c. Tekanan lebih pada konstruksi, interpretasi, koordinasi, dan juga multiple idea.

Tekanan proses belajar-mengajar lebih pada bagaimana membentuk pengetahuan,

menginterpretasikan yang dipelajari, dan konstruksi yang bermacam-macam dapat

terjadi dalam mempelajari satu hal tertentu. Munculnya banyak ide dalam suatu kelas

terhadap bahan yang sama justru akan lebih merangsang siswa untuk

mengkonstruksikan pengetahuannya dengan lebih rinci dan lengkap, bahkan juga

menyadari keterbatasannya.

d. Menekankan agar siswa aktif. Bahan lebih dipandang sebagai sarana interaksi siswa

dalam pembentukan pengetahuan mereka. Jelas tekanan bukan pada guru yang aktif

“mengdrill” atau berceramah, tetapi pada siswa yang menggeluti bahan.

e. Penting diperhatikan adanya perspektif alternatif dalam kelas. Diusahakan agar ada

peluang dan rangsangan bagi munculnya alternatif, terlebih dalam gagasan dan

interpretasi mengenai bahan pelajaran. Kelas sebaiknya tidak diatur hanya dengan

satu cara, tetapi dengan beraneka cara sehingga lebih cocok untuk lebih banyak

siswa. Baik juga diadakan konsensus tentang bagaimana kelas akan diatur sehingga

siswa aktif dan berminat.

Banyak guru dalam pendidikan sains dan matematika mempunyai gambaran

kurikulum sebagai suatu set bahan yang tercetak yang dapat dibawa dan dipakai di

mana-mana, seperti sebuah menu tetap yang dapat digunakan di mana pun dan kapan

pun. Dalam pengertian ini, kurikulum jadi terpisah dari siswa dan lingkungannya.

Kurikulum yang seperti ini sama sekali bertentangan dengan prinsip konstruktivis yang

menekankan peran dan partisipasi siswa serta lingkungannya dalam pembentukan

pengetahuan selama proses belajar.

Menurut Grundy, kurikulum merupakan kumpulan semua pengalaman belajar,

termasuk siswa, bahan, guru, prasarana, masyarakat, sistem sekolah, dll. Ini lebih cocok

dengan konstruktivisme yang memandang kurikulum tidak lepas dari siswa yang belajar

dan lingkungan tempat dia belajar. Bagi konstruktivis, kurikulum tidak dapat dilepaskan

dari siswa, kultur atau kebudayaan, pengetahuan, kebiasaan, sejarah, dll. Kurikulum

harus ditempatkan dalam kerangka yang luas yang menyangkut konteks historis

ekonomi, politik, orang tua, administrator, dan guru.

Siswa harus membuat arti dari sains melalui struktur konsep yang ada. Hasil

pengetahuan sains adalah interpretasi atas pengalaman dalam pengetahuan yang lebih

luas. Dua pertanyaan menjadi penting diajukan untuk kurikulum sains, yaitu: a)

pengalaman-pengalaman apa yang harus disediakan bagi para siswa supaya

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 56

Page 57: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

memperlancar belajar dan b) bagaimana siswa dapat mengungkapkan/ menyajikan apa

yang telah mereka ketahui untuk memberi arti pada pengalaman-pengalaman itu.

Pengetahuan harus dibentuk secara personal, maka tidaklah masuk akal berpikir

hanya tentang mata pelajaran sains tanpa kehadiran siswa atau sebaliknya. Berdebat

tentang mana yang lebih dipentingkan, konsep ataukah proses dalam belajar, tidak

banyak artinya karena mencari arti dalam sains adalah proses dialektik yang

menyangkut isi dan proses. Keduanya tidak terpisahkan.

Driver dan Oldham menyatakan bahwa perencana kurikulum konstruktivis tidak

dapat begitu saja mengambil kurikulum standar yang menekankan siswa pasif dan guru

aktif, sebagai cara mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Kurikulum bukan

sebagai tubuh pengetahuan atau kumpulan keterampilan (skill), melainkan lebih sebagai

program aktivitas di mana pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi. Kurikulum

bukan kumpulan bahan yang sudah ditentukan sebelumnya untuk mengajar, melainkan

lebih sebagai suatu persoalan yang perlu dipecahkan oleh para siswa untuk lebih

mengerti.

3. Konstruktivisme dan persiapan pendidikan guru

Northfield, Gunstone, dan Erickson memberikan catatan mengenai persiapan

pendidikan guru dan calon pengajar. Pendidikan guru harus mengadakan pembaruan

dengan mengevaluasi konsep-konsep yang ada sampai sekarang, apakah sudah sesuai

dengan prinsip konstruktivisme. Ini berarti bahwa tekanan pendidikan calon guru harus

terletak pada keaktifan para calon guru dalam mengkonstruksi pengetahuan mereka.

Para pengajar perlu memberikan kesempatan kepada calon-calon guru untuk berperan

aktif dalam penemuan dan pengembangan pikiran mereka.

Calon-calon guru harus aktif menekuni pengetahuan mereka, aktif mencari makna

dari yang mereka pelajari, dan belajar terus-menerus. Sistem pengajaran yang

menekankan mahasiswa pasif dan dosen aktif atau sistem pengerdilan bahan yang tidak

memungkinkan mahasiswa berpikir tentang hal itu sangat bertentangan dengan

konstruktivis. Sistem pendidikan guru seperti itu hanya akan menghasilkan guru-guru

yang memasifkan siswa dan mematikan kreativitas siswa. Guru-guru yang dihasilkan

adalah guru-guru yang juga tidak kreatif dan tidak dapat mengerti dan memahami

kreativitas siswa.

Untuk membantu karier pendidik, para calon guru perlu memperhatikan hal-hal

sebagai berikut:

a. Belajar bagaimana mengajar secara konstruktivis. Ini berarti mereka harus mengerti

makna belajar dan mengajar secara konstruktivis. Mereka perlu mengerti sifat-sifat

dan hal-hal yang diperlukan bagi seorang guru konstruktivis dan siswa konstruktivis.

b. Mendalami bahan dan bidang ilmunya secara mendalam dan luas. Pemahaman

bahan dan bidang ilmu sangat penting bagi guru konstruktivis, karena mereka harus

dapat memahami macam-macam interpretasi siswa dalam membentuk

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 57

Page 58: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

pengetahuannya akan suatu hal. Mereka perlu mengerti latar belakang

perkembangan ilmu yang ditekuninya sehingga dapat membantu siswa

mengkonstruksi pengetahuan dengan lebih baik. Kepicikan dan kurangnya

penguasaan atas ilmu, akan membuat guru cenderung main “diktator” sehingga

akan sulit membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam menangkap

pengetahuannya.

c. Belajar tentang diri mereka sendiri sebagai jembatan untuk terjun menjadi guru.

Mereka perlu belajar tentang fungsi, tugas, dan profesi sebagai guru, juga perlu

mengerti kelebihan dan kelemahan dirinya sendiri dalam kaitannya berprofesi

sebagai guru.

d. Pentingnya berinteraksi dengan guru maupun dosen sehingga akan membuat

mereka lebih mantap tentang karier yang akan dijalani dan dapat belajar dari

pengalaman mereka sehingga bermanfaat untuk memperkembangkan pengetahuan

mereka.

4. Konstruktivisme dan penelitian

Konstruktivisme dapat sangat membantu penelitian tentang proses belajar dan juga

tentang kesulitan yang dialami siswa ketika belajar. Karena siswa mengkonstruksi

pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksi itu tidak cocok dengan hasil

konstruksi para ilmuwan. Inilah yang memunculkan salah pengertian/ misconceptions.

Berdasarkan prinsip konstruktivis, dapat ditelusuri di mana siswa punya konsep alternatif

dan mengapa mereka berpandangan demikian. Dari sini penelitian dapat membantu

menemukan sarana untuk mengembangkan konsep siswa. Penelitian konsep tersebut

juga dapat dilakukan untuk para guru, mahasiswa, dan orang yang sedang belajar.

Penelitian mengenai praktek mengajar, praktek belajar, dan kurikulum yang sedang

berlaku, juga dapat dibantu dengan prinsip konstruktivis. Artinya penelitian lebih untuk

melihat apakah praktek belajar-mengajar suatu kelompok mencerminkan prinsip

konstruktivis atau tidak, unsur-unsur mana yang masih perlu dikembangkan dan

dimajukan. Penelitian ini juga dapat melihat apakah praktek belajar-mengajar

konstruktivis memang ada kelebihannya dibandingkan sistem belajar-mengajar yang

tradisional.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 58

Page 59: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

BAB IVKONSTRUKTIVISME DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA

A. Belajar Matematika Menurut Konstruktivisme

Konsep pembelajaran konstruktivis didasarkan kepada kerja akademik para ahli

psikologi dan peneliti yang peduli dengan konstruktivisme. Para ahli konstruktivisme

mengatakan bahwa ketika siswa mencoba menyelesaikan tugas-tugas di kelas, maka

pengetahuan matematika dikonstruksi secara aktif. Para ahli konstruktivis yang lain

mengatakan bahwa dari perspektifnya konstruktivis, belajar matematika bukanlah suatu

proses “pengepakan” pengetahuan secara hati-hati, melainkan tentang mengorganisir

aktivitas, di mana kegiatan ini diinterpretasikan secara luas termasuk aktivitas dan

berfikir konseptual. Didefinisikan oleh Cobb bahwa belajar matematika merupakan

proses dimana siswa secara aktif mengkonstruksi pengetahuan matematika.

Para ahli konstruktivis setuju bahwa belajar matematika melibatkan manipulasi

aktif dari pemaknaan bukan hanya bilangan dan rumus-rumus saja. Mereka menolak

paham bahwa matematika dipelajari dalam satu koleksi yang berpola linear. Setiap

tahap dari pembelajaran melibatkan suatu proses penelitian terhadap makna dan

penyampaian keterampilan hafalan dengan cara yang tidak ada jaminan bahwa siswa

akan menggunakan keterampilan intelegennya dalam setting matematika.

Lebih jauh lagi para ahli konstruktivis merekomendasi untuk menyediakan

lingkungan belajar di mana siswa dapat mencapai konsep dasar, keterampilan algoritma,

proses heuristic dan kebiasaan bekerja sama dan berefleksi. Dalam kaitannya dengan

belajar, Cobb menguraikan bahwa belajar dipandang sebagai proses aktif dan konstruktif

di mana siswa mencoba untuk menyelesaikan masalah yang muncul sebagaimana

mereka berpartisipasi secara aktif dalam latihan matematika di kelas.

Confrey, yang juga banyak bicara dalam konstruktivisme menawarkan suatu

powerful construction dalam matematika. Dalam mengkonstruksi pengertian matematika

melalui pengalaman, ia mengidentifikasi 10 karakteristik dari powerful constructions

berfikir siswa. Lebih jauh ia mengatakan bahwa powerful constructions ditandai oleh:

1. Sebuah struktur dengan ukuran

kekonsistenan internal.

2. Suatu keterpaduan antar

bermacam-macam konsep.

3. Suatu kekonvergenan di antara

aneka bentuk dan konteks.

4. Kemampuan untuk merefleksi

dan menjelaskan.

5. Sebuah kesinambungan

sejarah.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 59

Page 60: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

6. Terikatan pada bermacam-

macam sistem simbol.

7. Suatu yang cocok dengan

pendapat experts (ahli).

8. Suatu yang potensial untuk

bertindak sebagai alat untuk konstruksi lebih lanjut.

9. Sebagai petunjuk untuk

tindakan berikutnya.

10. Suatu kemampuan untuk

menjustifikasi dan mempertahankan.

Semua ciri-ciri powerful di atas dapat digunakan secara efektif dalam proses belajar

mengajar di kelas. Menurut Confrey, siswa-siswa yang belajar matematika sering kali

hanya menerapkan satu kriteria evaluasi mereka dari yang mereka konstruksi misalkan

dengan bertanya “Apakah ini disetujui para ahli?” atau dalam istilah konstruktivis

“Apakah itu benar?”. Akibatnya, pengetahuan matematika menjadi terisolasi dari sisa

pengalaman mereka yang dikonstruksi dari aksi mereka di dunia dalam pola yang

spontan dan interaktif. Oleh karena itu pandangan siswa tentang “kebenaran” ketika

siswa belajar matematika perlu mendapat pengawasan ahli dan masyarakat menjadi

tidak lengkap. Dalam kasus ini peranan guru dan peranan siswa lain adalah

menjustifikasi berfikirnya siswa dalam matematika. Salah satu yang mendasar dalam

pembelajaran matematika adalah suatu pendekatan dengan jawab tak terduga

sebelumnya dengan suatu ketertarikan yang cerdik dalam mempelajari karakter,

keaslian, eerita, dan implikasinya.

Secara substantif, belajar matematika adalah proses pemecahan masalah.

Konstruktivisme telah memfokuskan secara eksklusif pada proses di mana siswa secara

individual aktif mengkonstruksi realitas matematika mereka sendiri.

B. Pembelajaran Konstruktivis dalam Matematika

Beberapa ahli konstruktivis menguraikan indikator belajar mengajar berdasarkan

konstruktivisme. Confrey menyatakan: “... sebagai seorang konstruktivis, ketika saya

mengajarkan matematika, saya tidak mengajarkan siswa tentang struktur matematika

yang obyeknya ada di dunia ini. Saya mengajar mereka, bagaimana mengembangkan

kognisi mereka, bagaimana melihat dunia melalui sekumpulan lensa kuantitatif yang

saya percaya akan menyediakan suatu cara yang powerfull untuk memahami dunia,

bagaimana merefleksikan lensa-lesa itu untuk menciptakan lensa-lesa yang lebih kuat,

dan bagaimana mengapresiasi peranana dari lensa dalam memaminkan pengembangan

kultur mereka. Saya mencoba untuk mengajarkan mereka untu mengembangkan satu

alat intelektual yaitu matematika”.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 60

Page 61: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

Hal ini mencerminkan bahwa matematika hanyalah sebagai alat untuk berfikir,

fokus utama belajar matematika adalah memberdayakan siswa untuk berfikir

mengkonstruksi pengetahuan matematika yang pernah ditemukan oleh ahli-ahli

sebelumnya.

C. Implementasi Konstruktivisme dalam Pembelajaran Matematika

Dari sudut pandang konstruktivis, Koehler and Grouws menyatakan bahwa

pembelajaran telah dipandang sebagai suatu garis kontinum antara negosiasi dan

imposition pada ujung-ujungnya. Lebih jauh lagi, Cobb and Steffe menambahkan bahwa “

... dalam pandangan konstruktivisme guru harus secara terus menerus menyadarkan

untuk mencoba melihat keduanya aksi siswa dengan dirinya dari sudut pandang siswa”.

Seseorang yang memandang bahwa belajar adalah suatu transmisi, maka proses

mengetahui akan mengikuti model imposition (pembebanan). Sedangkan yang

berpandangan bahwa mengajar adalah suatu proses yang memfasilitasi suatu

konstruksi, maka ia akan mengikuti model negosiasi. Aktivitas guru di kelas dipengaruhi

oleh paham mereka tentang pembelajaran.

Perbedaan individu di kelas berimplikasi bahwa guru disyaratkan untuk

mempertimbangkan bagaimana menerapkan pembelajaran matematika agar dapat

melayani secara cukup perbedaan-perbedaan individu siswa.

Berkenaan dengan perbedaan individu, Board of Studies menyatakan bahwa siswa

akan mencapai prestasi belajar dalam kecepatan yang berbeda dan secara kualitatif

dalam cara-cara yang berbeda-beda. Lovitt and Clarke juga menambahkan bahwa

kualitas pembelajaran ditandai dengan berapa luas dalam lingkungan belajar:

1. mulai dari mana siswa ini berada.

2. mengenali bahwa siswa belajar dengan kecepatan yang berbeda, dan cara yang

berbeda.

3. melibatkan siswa secara fisik dalam proses belajar.

4. meminta siswa untuk memvisualkan yang imajiner.

Dengan demikian ada suatu perbedaan yang sangat berarti antara pembelajaran

matematika menggunakan paradigma konstruktivisme dan pendekatan tradisional. Di

dalam konstruktivisme peranan guru bukan pemberi jawaban akhir atas pertanyaan

siswa, melainkan mengarahkan mereka untuk membentuk (mengkonstruksi)

pengetahuan matematika sehingga diperoleh struktur matematika. Sedangkan dalam

paradigma tradisional, guru mendominasi pembelajaran dan guru senantiasa menjawab

dengan segera terhadap pertanyaan-pertanyaan siswa.

Implikasi dari perbedaan-perbedaan di atas menjadikan posisi guru dalam

pembelajaran matematika untuk bernegosiasi dengan siswa, bukan memberikan

jawaban akhir yang telah jadi. Negosiasi yang dimaksudkan di sini adalah berupa

pengajuan pertanyaan-pertanyaan kembali, atau pernyataan-pernyataan yang

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 61

Page 62: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

menantang siswa untuk berfikir lebih lanjut yang dapat mendorong mereka sehingga

penguasaan konsepnya semakin kuat.

D. Evaluasi Pembelajaran Matematika Menurut Konstruktivisme

Untuk mendeskripsikan evaluasi pembelajaran, perlu diklarifikasi seberapa bedakah

antara assesmen dan evaluasi. Menurut Webb, evaluasi dalam pendidikan adalah suatu

investigasi sistematis tentang nilai suatu tujuan. Termasuk di dalam evaluasi adalah

kumpulan bukti-bukti secara sistematis untuk membantu membuat keputusan tentang:

1) siswa belajar; 2) pengembangan materi; dan 3) program. Wood memberikan

definisi umum tentang assesmen sebagai berikut: “assesmen dianggap sebagai

penyediaan suatu pertimbangan menyeluruh dari suatu fungsi individu di dalam

melukiskan rasa paling luas dalam berbagai bukti baik kualitatif maupun kuantitatif dan

karenanya sampai kepada pengujian keterampilan kognitif dengan teknik paper-pencil

untuk sejumlah orang.”

Webb and Briars menambahkan bahwa: “assesmen dalam matematika adalah

proses penentuan apakah siswa tahu. Merupakan suatu bagian dari aktivitas pengajaran

matematika, yaitu pengecekan apakah siswa memahami, mendapatkan umpan balik dari

siswa, kemudian menggunakan informasi itu untuk membimbing pengembangan

pengalaman belajarnya.”

Meskipun ada perbedaan pengertian antara evaluasi dan assesmen yang

dimaksudkan di sini adalah cara guru mengases (menilai) prestasi siswa dalam belajar

matematika. Jacobsen dkk mengidentifikasi tahap ketiga dari pembelajaran adalah

evaluasi. Di sini guru mencoba mengumpulkan informasi yang dapat digunakan untuk

menentukan apakah pembelajarannya telah sukses? Apa yang semestinya guru lakukan

untuk mengukur pemahaman konsep matematika? Bagaimana guru akan mengetahui

bahwa siswanya telah mengetahui matematika? Dalam memberikan assesmen

pengetahuan matematika siswa, mestinya diperoleh data kemampuan siswa dalam

matematika; harus memasukkan tentang pengetahuan siswa pada konsep matematika,

prosedur matematika, dan kemampuan problem solving, reasoning, dan komunikasi.

Evaluasi dalam pembelajaran matematika menggunakan pendekatan konstruktivis

terjadi sepanjang proses pembelajaran berlangsung (on going assessment). Dari awal

sampai akhir guru memantau perkembangan siswa, pemahaman siswa terhadap suatu

konsep matematika, ikut membentuk dan mengawasi proses konstruksi pengetahuan

(matematika) yang dibuat oleh siswa.

E. Posisi Pengajaran Konstruktivis di antara Pendekatan Lain

Brady menawarkan lima model dan metoda pembelajaran, yaitu: 1) Model

eksposisi; 2) Model behavioristik; 3) Model kognitif; 4) Model interaksional; dan 5) Model

transaksional. Apabila kelima model-model di atas diletakkan pada garis kontinum, dari

pendekatan yang berpusat kepada guru di satu sisi, dan pendekatan yang berpusat pada

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 62

Page 63: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

siswa di sisi lain, maka kelimanya berada di antara titik-titik ekstrim ujung-ujungnya.

Adalah tidak sederhana untuk mengatakan bahwa suatu pendekatan lebih mudah

daripada pendekatan lain. Seperti telah dikatakan oleh Nisbet bahwa “Tak ada cara

tunggal yang tepat untuk belajar dan tak ada cara terbaik untuk mengajar”. Namun

demikian seorang guru dapat menerapkan salah satu pendekatan yang cocok dengan

mempertimbangkan kondisi siswa. Dalam pendekatan konstruktivis siswa menjadi pusat

perhatian. Siswa diharapkan mengkonstruksi pengetahuannya menurut diri mereka

sendiri. Karenanya peranan guru cenderung sebagai fasilitator ketimbang penyedia

informasi.

Menurut Burton pandangan tradisional memandang matematika sebagai

pengetahuan dan keterampilan yang terdefinisi secara ketat yaitu: 1) belajar melalui

transmisi; 2) belajar dengan sikap yang compliant (selalu mengalah); dan 3) menilai

siswa melalui tes menggunakan kertas dan pensil tanpa perlu terlihat. Sebaliknya

pandangan konstruktivisme menolak pembelajaran yang dilakukan oleh pandangan

tradisional dan meletakkan tanggung jawab belajar dari guru kepada siswa. Tanggung

jawab guru dalam proses belajar adalah untuk: 1) menstimulasi dan memotivasi siswa;

2) menyediakan pengalaman untuk menumbuhkan pemahaman; 3) mendiagnosa dan

mengatasi kesulitan siswa; dan 4) mengevaluasi.

Kamii menambahkan bahwa “kenyataan anak mengkonstruksi pengetahuan logika

matematikanya sendiri tidak lantas menyebabkan bahwa peranan guru hanya duduk dan

tidak mengerjakan apa-apa, sebaliknya peranan guru menjadi tidak langsung dan lebih

sulit dibandingkan dengan kelas tradisional. Memperhatikan uraian di atas, maka

pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan konstruktivis tujuannya

dapat dirumuskan sebagai berikut: “Seorang guru matematika hendaknya

mempromosikan dan mendorong pengembangan setiap individu di dalam kelas untuk

menguatkan konstruksi matematika, untuk pengajuan pertanyaan (posing),

pengkonstruksian, pengeksplorasian, pemecahan, dan pembenaran masalah-masalah

matematika serta konsep-konsep matematika. Guru juga diharapkan mencoba berusaha

mengembangkan kemampuan siswa untuk merefleksikan dan mengevaluasi kualitas

konstruksi mereka (para siswa).

F. Contoh Setting Pembelajaran Matematika Menurut Konstruktivisme

“Pengukuran Menurut Paradigma Konstruktivisme”

Anne Hendry seorang guru berpengalaman di daerah pedalaman sebelah barat

Massachusetts, USA menjelaskan cara ia mengajarkan konsep “pengukuran” dengan

menggunakan pendekatan konstruktivisme saat sebelum musim Thanksgiving tiba.

Sebelum kelas dimulai saya pindah-pindahkan kursi dan dengan menggunakan pita, saya membuat outline berbentuk kapal laut di lantai kelas berukuran 16 kaki x 6 kaki, yang merupakan kapal yang akan digunakan untuk berlayar ke rumah Raja. Saya juga menyiapkan gulungan surat untuk dibaca oleh para siswa serta menempelkannya di papan buletin dengan topik pembicaraan tentang pengukuran.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 63

Page 64: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

Saya memilih salah seorang siswa dan menginstruksikan kepadanya bahwa dalam pembelajaran matematika ia harus menjadi utusan raja membawa maklumat (Edict) dan diminta mengumumkannya “Kapal pesiar ini tak akan berangkat berlayar ke rumah sang Raja, sampai kamu dapat menceritakan seberapa besar kapal itu”.Kemudian para siswa berteka-teki. Saya mengatakan kepada para siswa: “Baiklah, apa yang harus kita kerjakan? Siapa yang punya ide?”Dengan demikian diskusi tentang pengukuran dimulai, atau saya pikir ini akan bermula. Namun ternyata, mereka diam cukup lama. Bagaimana seorang anak kecil akan mengetahui tentang pengukuran? Apakah telah ada yang hadir dalam pengalaman hidup mereka yang dapat mereka hubungkan dengan masalah ini? Saya lihat mereka saling berpandangan satu dengan yang lainnya, saya dapat saksikan bahwa mereka tidak punya ide dari mana harus dimulai. Tentu saya pikir harus ada sesuatu yang mereka dapat gunakan sebagai titik pangkal, rujukan untuk memperluasnya. Seseorang selalu memiliki ide. Namun periode diam terlalu lama menjadikan pelajaran semakin vakum. Kata Anne Hendry: “Mereka saling berpandangan, kadang memandang Zeb, kadang pandangan ke arah saya”.

Untuk kebanyakan pendidik, tindakan Hendry menghubungkan rencana

pelajarannya di kelas dengan masa liburan mendatang merupakan hal yang tak dapat

dikecualikan. Namun mereka benar-benar heran pada pilihan seorang guru yang sudah

sangat berpengalaman ternyata kelasnya diam begitu lama, serta heningnya kelompok

siswa yang kebingungan di kelas.

Mengapa ia telah berikan tugas kepada kelas I (Sekolah Dasar) tanpa menunjukkan

bagaimana menyelesaikannya? Mengapa bertanya terlebih dahulu sebelum

menceritakan kepada seseorang apa yang mereka perlu ketahui sebelum bisa

menjawabnya? Bagaimana bisa seorang guru berpengalaman membiarkan siswa dalam

pelajarannya menjadi bimbang dengan cara seperti ini.

Kembali ke Hendry lagi:

Saya memiliki pikiran yang kedua tentang luasnya masalah untuk kelas 1, manakala dengan malu-malu Cindy mengacungkan tangan dan berkomentar: “Saya kira kapal itu panjangnya 3 kaki”. Saya bertanya: “Mengapa?”. Cindy menjawab: “Sebab surat dari raja mengatakan demikian”. Saya berkata: “Saya tak mengerti. Dapatkah kamu ceritakan kenapa kapal itu panjangnya 3 kaki?” Cindy member alasan: “Sebab surat dari Raja mengatakan demikian. Lihat! Saya akan tunjukkan padamu. Ketika surat itu diangkat, diterawangkan menembus cahaya, memuat huruf E yang telah ditulis untuk kata Edict, tampak seperti angka 3”. Saya mengklarifikasi jawaban Cindy, untuk Cindy dan kawan-kawannya yang setuju bahwa yang dilihat di kertas raja adalah 3. Kalau begitu Raja telah mengetahui jawabnya.Kemudian kelas kembali ke periode diam.

Untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan guru, beberapa siswa

mencari-cari suatu bilangan, mencari sebarang bilangan untuk dikaitkan dengan konteks

yang sedang dibicarakan. Namun kebingungan Cindy telah dipecahkan. Tingkah laku

Anne Hendry tidak membingungkan para pembaca yang membayangkan bahwa

pengajaran diturunkan dari kelas matematika di mana mereka duduk sebagai siswa.

Guru menjelaskan kepada siswanya prosedur untuk mendapatkan jawaban yang benar,

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 64

Page 65: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

kemudian memonitor kepada siswa bagaimana memproduksi prosedur tersebut.

Menanyakan pertanyaan tanpa sebelumnya menunjukkan kepada mereka bagaimana

menjawabnya, sebenarnya dipandang sebagai “tak adil”. Namun pembelajaran ini terjadi

dengan latar belakang pandangan konstruktivisme. Bagaimana belajar itu semestinya

terjadi? Apa makna dari matematika dan bagaimana implikasinya pada proses

pembelajaran matematika?

Sekarang perilaku Hendry menjadi dapat dipahami. Sungguh suatu gambaran yang

pertama, memperkenankan kita pada peluncuran suatu pengujian beberapa aspek

tentang praktek-praktek pembelajaran matematika yang diinformasikan melalui

perspektif ini; kedua pengujian tentang pengalaman guru untuk mengkonstruksi praktek

yang demikian.

Kita buat suatu ringkasan pengajaran Hendry tentang pengukuran. Penjelasan

bahwa yang mereka pikirkan sebagai angka 3 adalah benar-benar huruf E dalam kata

Edict yang artinya maklumat.

Kemudian Tom mengangkat tangannya dan berkata: “Ibu Hendry, saya tahu bahwa ukuran kapal ini tak mungkin 3 kaki. Sebab seorang perawat baru saja mengukur tinggi badanku minggu yang lalu dan mengatakan bahwa tinggiku adalah 4 kaki, dan kapal itu jauh lebih besar daripada badanku.”

Dari awal pengamatan Tom, diskusi kita tentang pengukuran sebenarnya telah

berlangsung. Sekarang para siswa menyadari bahwa mereka mengetahui sedikit tentang

pengukuran, secara khusus dalam kaitannya tentang ukuran dirinya dan seberapa tinggi dan

mereka masing-masing.

Seseorang menyarankan: “Mari kita lihat berapa kali panjang Tom-kah kapal kita ini?”. Kemudian Tom mengukur menggunakan badan sendiri. Dia berbaring dan berdiri untuk membandingkan berapa panjang kapal itu. Akhirnya siswa-siswa sampai kepada suatu kesimpulan bahwa panjang kapal adalah 4 kali panjang Tom. Anne bertanya: “Bagaimana kita dapat menceritakan kepada Sang Raja? Padahal raja tidak mengetahui tingginya Tom. Mengirim Tom ke rumah Raja adalah suatu penyelesaian yang mudah. Sementara anak-anak yang lain protes bahwa mereka menghendaki agar Tom harus bersama-sama mereka di atas Kapal untuk mengikuti Wisata.

Sebenarnya Anne Hendry sangat berharap agar mereka dapat menghubungkan

informasi yang telah disampaikan kepada kita tentang ukuran-ukuran yang ada. Saya

berfikir barang kali ada siswa yang menambahkan 4 kaki sebanyak empat kali dan

menyajikannya kepada kita sebagai penyelesaian yang cepat dan tepat. Namun ternyata

bukan itu yang mereka ambil.

Mark mengacungkan tangannya dan menyarankan bahwa kita dapat mengukur panjang kapal menggunakan tangan kita sebagaimana ia lakukan terhadap seekor kuda. Tetangga Mark mempunyai kuda yang tingginya 15 tangan (minggu sebelumnya ia mengukur tinggi kuda tetangga). Sehingga kita dapat bercerita kepada Raja bahwa kapal ini sekian “tangan”. Para siswa setuju ini mungkin cara yang terbaik. Saya mengatakan: “Baiklah. Karena ini adalah ide Mark, maka Mark diminta mengukur

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 65

Page 66: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

besarnya kapal itu menggunakan tangan Mark. Perlu diingat bahwa Mark adalah anak yang terbesar di kelas”. Mula-mula Mark secara acak menempatkan tangannya di atas pita (desain kapal itu) dari satu ujung ke ujung lainnya, namun ketika ia mengecek ulang terdapat perbedaan hasil. Para siswa berteka-teki kenapa ini terjadi. Ini memerlukan beberapa kali dan banyak diskusi sebelum sampai kepada suatu kesimpulan penting. Para siswa menetapkan bahwa perlu bagi Mark untuk menyakinkan bahwa ia telah memulai mengukur tepat pada ujung kapal dan jangan sampai ada celah ataupun tumpang tindih setiap kali ia ukur antara jempol dan kelingking yang ia tempatkan pada pita. Menggunakan cara ini ia dapatkan bahwa panjang kapal adalah 36 tangan. Saya berkata: “Bagus! Kita pikirkan untuk menceritakan kepada sang Raja. Namun harus diingat bahwa kita mempunyai siswa terkecil yaitu Susi di kelas ini. Susi diminta mengukur kapal untuk sisi kapal yang lain dan diperoleh ukuran 44 tangan.”Sekarang mereka menjadi bingung kenapa hasilnya berbeda-beda? Saya bertanya: “Dapatkah kita menggunakan tangan untuk mengukur?”Siswa menjawab: “Tidak.”Para siswa memutuskan: “Ini tak akan bisa bekerja sebab ukuran tangan setiap anak berbeda-beda.”Ali menyarankan untuk menggunakan kaki. Kita coba sekali lagi menggunakan kaki mereka. Ternyata kita temukan dua ukuran yang berbeda. Saat ini mereka mulai sedikit menyimpang untuk membandingkan panjang tangan seseorang dengan tangan orang lain di antara mereka, panjang kaki seseorang dengan panjang kaki orang lain. Kaki siapa yang terbesar dan kaki siapa yang terkecil, tangan siapa yang terpendek dan tangan siapa yang terpanjang?

Akhirnya diskusi kita lanjutkan sementara para siswa mengeksplorasi bermacam-

macam konsep dan ide Joan duduk dan memegang penggaris, namun untuk suatu alasan

tidak disarankan menggunakan penggaris. Barangkali pengalaman menggunakan

penggaris terbatas dan rupanya kurang yakin bagaimana memakainya. Dilema ini

berlangsung sampai hari berikutnya ketika para siswa “merakit” lagi diskusi masalah itu

dengan pandangan baru.

Seorang anak menyarankan bahwa karena Zeb diketahui Raja dan setiap orang di sini mengetahui Zeb, kita harus gunakan kaki Zeb. “Ukurkan kaki Zeb di atas kertas dari ukurlah segala sesuatu menggunakan kaki Zeb ini.”Menggunakan bentuk ukuran ini para siswa mengkaitkan dengan Raja bahwa kapal ini panjangnya 24 kaki Zeb dan lebarnya 9 kaki Zeb.

Keingintahuan bermula untuk mendapatkan cara yang paling baik dan para siswa

melanjutkan untuk mengeksplorasi bentuk pengukuran ini dan menetapkan untuk saling

mengukur, mengukur kelas, mengukur meja, mengukur karpet menggunakan model

“Kaki Zeb”. Saya biarkan mereka meneliti ide mereka dengan melakukan aktivitas--

aktivitas pengukuran pada sisa jam pelajaran hari itu. Sampai pada hari ketiga saya

menanyakan kepada siswa mengapa mereka berfikir bahwa ini penting untuk

mengembangkan bentuk standar dari pengukuran.

Seperti halnya penggunaan “Hanya dengan kaki Zeb” untuk rnengukur segala

sesuatu. Melalui diskusi beberapa hari siswa dapat menginternalisasikan dan

memverbalkan suatu keperluan atau kepentingan untuk setiap orang dalam mengukur

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 66

Page 67: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

menggunakan instrumen yang sama. Mereka melihat kebingungan menggunakan tangan

yang berbeda-beda, badan atau kaki yang berbeda-beda menyebabkan hasil yang beda-

beda pula, dikarenakan ukuran yang tidak konsisten.

Hendry melanjutkan dalam menjelaskan bagaimana ia sampai kepada sebuah

eksplorasi memakai penggaris dengan mengadopsi satuan-satuan pengukuran yang

konvensional. Namun beberapa aspek penting dari pembelajarannya telah ada pada kita.

Di sini kita tidak melihat bagaimana Hendry terikat pada tingkah laku pembelajaran

tradisional yang paling umum, yaitu: memberikan pengarahan dan menawarkan

penjelasan, melainkan kita amati pertanyaannya kepada siswa dan pertanyaan-

pertanyaan yang kadang-kadang merupakan pertanyaan kecil. Ketika mereka sampai

kepada suatu kesimpulan, lebih sering mereka tidak mendapat penjelasan, ketimbang

penerangan atau suatu ramalan dan kebingungan.

Hal penting dari pandangan ini bahwa: Maternatika adalah suatu temuan manusia

dalam koridor sejarah yang panjang, secara budaya terpancang di sekolah-sekolah

dalam lomba “berfikir” perubahan pola-pola dan beberapa pertanyaan mungkin tak

terpecahkan.

Pertanyaan-pertanyaan atau pernyataan-pernyataan penting yang “menyetir”

pembelajaran Anne Hendry menggunakan pendekatan konstruktivisme antara lain:

a. Apa yang harus kita kerjakan?

b. Siapa yang punya ide?

c. Mengapa?

d. Saya tidak tahu.

e. Dapatkah kamu ceritakan mengapa panjang kapal itu 3 kaki?

f. Bagaimana kita ceritakan itu kepada Raja, padahal Raja tidak mengetahui Tom?

g. .............

dan semacamnya.

Jelas sekali bahwa yang menjadi pusat pembelajaran dari Hendry bukanlah masalah

yang ia ajukan kepada siswa, bukan pula pertanyaan spesifik yang ia berikan, namun

sifat-sifat mencari keterikatan para siswa dalam diskusi dan kelihaian membimbing para

siswa. Praktek dari Hendry tidak dapat ditulis atau dibuat skripnya (naskahnya).

Tergantung kepada kemampuan guru menjawab secara spontan terhadap kebingungan

dan penemuan siswa. Evaluasi pembelajaran terjadi sepanjang proses negosiasi dan

sepanjang proses pembelajaran berlangsung.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 67

Page 68: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

BAB VMASALAH BELAJAR

A. Pengertian Belajar

Belajar didefinisikan:

1. Sebagai modifikator atau pengukuhan tingkah laku melalui perolehan pengalaman

(learning is defined as the modificator or strengthening of behavior through

experiencing), sehingga lebih tepat jika dikatakan bahwa belajar bukan sekedar

hanya mengingat atau menghafal, namun lebih luas daripada itu yaitu mengalami

(Oemar Hamalik, 2003: 27).

2. Suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan

lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan,

pemahaman, keterampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif konstan dan berbekas

(Winkel, 1996: 53).

3. Suatu proses perubahan tingkah laku individu atau seseorang melalui interaksi

dengan lingkungan yang mencakup perubahan dalam kebiasaan (habit), kecakapan

(skill), atau dalam tiga aspek yaitu pengetahuan, sikap dan keterampilan (Oemar

Hamalik, 2003: 28).

Ciri-ciri belajar sebagai berikut:

1. Ada perubahan tingkah laku,

baik tingkah laku yang dapat diamati maupan tingkah laku yang tidak dapat diamati

secara langsung.

2. Perubahan tingkah laku meliputi

tingkah laku kognitif, afektif, psikomotorik, dan campuran.

3. Perubahan terjadi melalui

pengalaman atau latihan.

4. Perubahan tingkah laku menjadi

sesuatu yang relatif menetap.

5. Belajar merupakan suatu proses

usaha, yang artinya belajar berlangsung dalam kurun waktu cukup lama.

6. Belajar terjadi karena ada

interaksi dengan lingkungan.

Seseorang dikatakan belajar matematika apabila pada diri orang tersebut terjadi

suatu kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan tingkah laku yang berkaitan

dengan matematika. Perubahan tersebut terjadi dari tidak tahu menjadi tahu konsep

tersebut, dan mampu menggunakannya dalam materi lanjut atau dalam kehidupan

sehari-hari (Herman Hudoyo, 1988: 4).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan agar belajar menjadi efektif (Slameto, 2003:

73–92):

1. Adanya bimbingan dari guru.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 68

Page 69: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

2. Kondisi internal (kondisi yang ada dalam diri siswa), kondisi eksternal (kondisi

yang ada di luar diri siswa), dan strategi belajar siswa.

3. Metode belajar siswa.

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa belajar matematika yang

efektif adalah terjadinya perubahan tingkah laku (kebiasaan, pengetahuan, sikap, dan

keterampilan) relatif konstan dan berbekas pada diri seseorang yang diperoleh melalui

pengalaman dan latihan dalam matematika yang melibatkan aktivitas mental yang

berlangsung dalam interaksi aktif seseorang dengan lingkungannya yang dapat memberi

pengaruh yang positif dan berguna.

B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses dan Hasil Belajar

Proses belajar dan hasil belajar dipengaruhi oleh 2 faktor:

1. Faktor yang berasal dari diri individu yang sedang

belajar merupakan keadaan yang ditentukan oleh faktor keturunan, lingkungan, dan

keduanya.

a. Faktor psikis terdiri dari: kognitif, afektif,

psikomotorik, campuran, dan kepribadian.

Individu yang mempunyai gangguan salah satu faktor psikis, misalnya tingkat

kecerdasan terlalu rendah tentu sukar menelaah materi pelajaran walaupun

materi pelajaran tersebut sangat sederhana. Individu dengan gangguan psikis

lain, misalnya sukar mengingat, daya fantasi lemah, jika ingin peningkatan dalam

prestasi belajarnya maka dibutuhkan proses belajar yang disesuaikan dengan

kelemahannya.

Belajar dipengaruhi oleh peranan:

1) Arousal: suatu peningkatkan kesiap-siagaan dan ketegangan otot.

Agar individu dapat belajar secara efisien maka harus dalam keadaan arousal,

yang artinya harus bangun, sadar, dan memperhatikan lingkungan secara

tajam.

2) Motivasi: kondisi psikis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu.

Motivasi diperlukan bagi “reinforcement” yaitu stimulus yang memperkuat

dan mempertahankan tingkah laku yang dikehendaki, yang merupakan

kondisi mutlak bagi proses belajar.

b. Faktor fisik terdiri dari: indera, anggota badan,

tubuh, kelenjar, syaraf, dan organ-organ dalam tubuh.

2. Faktor yang berasal dari luar diri individu yang sedang

belajar, yaitu: faktor lingkungan alam, faktor sosial-ekonomi, guru, metode mengajar,

kurikulum, program, materi pelajaran, sarana dan prasarana.

C. Kiat Belajar Efektif

Beberapa kiat belajar efektif bagi siswa sebagai berikut:

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 69

Page 70: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

1. Sebelum pembelajaran, seharusnya

siswa telah siap pikiran dan mental bahwa dalam belajar nanti akan bertemu dengan

guru dan teman-teman yang mempunyai karakter berbeda satu sama lain.

2. Selama pembelajaran, usahakan

berpartisipasi aktif (proaktif dan reaktif) dalam setiap kegiatan, misalnya berusaha

mengajukan pertanyaan, mengemukakan pendapat, berkomentar, menjawab

pertanyaan dalam setiap tatap muka dengan guru.

3. Sesudah pembelajaran, apabila

guru memberikan tugas, alangkah baiknya jika siswa paham betul apa yang menjadi

tugas, sehingga tidak bingung setelah sampai di rumah.

4. Khusus untuk kegiatan membaca

bahan pelajaran, usahakan mencermati arti bacaan tersebut yaitu dengan cara

membaca sampai memahami arti bacaan serta berimprovisasi terhadap materi

bacaan tersebut, bukan membaca hanya sekedar membaca tanpa makna.

D. Teori Belajar

Untuk lebih mengenal masalah belajar, maka perlu memahami teori belajar. Teori

belajar dapat digolongkan menjadi 2 aliran, yaitu teori behavioristik dan teori kognitif.

Perbedaan karakteristik teori belajar yang termasuk dalam aliran psikologi tingkah laku dan

aliran psikologi kognitif:

No

Aliran psikologi tingkah laku Aliran psikologi kognitif

1. Mementingkan peranan faktor lingkungan.

Mementingkan apa yang ada pada diri siswa.

2. Mementingkan bagian-bagian (elemen). Mementingkan keseluruhan.3. Mementingkan peranan reaksi. Mementingkan peranan fungsi kognitif.4. Mementingkan mekanisme terbentuknya

hasil belajar.Mementingkan keseimbangan dalam diri siswa (dynamis equilibrium).

5. Mementingkan sebab-sebab di waktu yang lalu.

Mementingkan kondisi yang ada pada waktu ini (sekarang).

6. Mementingkan pembentukan kebiasaan. Mementingkan pemmbentukan struktur kognitif.

7. Dalam pemecahan masalah bercirikan “trial and error”. Maksudnya, untuk mencapai hubungan antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat, serta melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (errors) terlebih dahulu.

Dalam pemecahan masalah bercirikan “insight”, artinya pemahaman.

8. Contoh: Teori Edward Lee Thorndike. Teori Burrhus Frederic Skinner.

Contoh: Teori Jean Piaget. Teori Jerome Bruner.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 70

Page 71: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

Teori David Paul Ausubel. Teori Robert Mills Gagne. Teori Ivan Petrovich Pavlov. Teori Albert Bandura. Teori Joy Paulus Guilford.

Teori Gestalt. Teori William Arthur Brownell. Teori Zoltan Paul Dienes Teori Van Hiele.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 71

Page 72: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

BAB VIRINGKASAN TEORI PSIKOLOGI BELAJAR

A. Teori Belajar Tingkah Laku

1. Teori Edward Lee Thorndike

Edward Lee Thorndike (1874 – 1949) mengemukakan beberapa hukum belajar yang

dikenal dengan sebutan Law of effect. Belajar akan lebih berhasil bila respon siswa

terhadap suatu stimulus segera diikuti dengan rasa senang atau kepuasan. Rasa senang

atau kepuasan ini bisa timbul sebagai akibat anak mendapatkan pujian atau ganjaran

lainnya. Stimulus ini termasuk reinforcement. Setelah anak berhasil melaksanakan

tugasnya dengan tepat dan cepat, pada diri anak muncul kepuasan diri sebagai akibat

sukses yang diraihnya. Anak memperoleh suatu kesuksesan yang pada gilirannya akan

mengantarkan dirinya ke jenjang kesuksesan berikutnya.

Teori belajar stimulus-respon yang dikemukakan oleh Thorndike ini disebut juga

koneksionisme. Teori ini menyatakan bahwa pada hakikatnya belajar merupakan proses

pembentukan hubungan antara stimulus dan respon. Terdapat beberapa dalil atau

hukum kesiapan (law of readiness), hukum latihan (law of exercise) dan hukum akibat

(law of effect).

Hukum kesiapan menerangkan bagaimana kesiapan seorang anak dalam

melakukan suatu kegiatan. Seorang anak yang mempunyai kecenderungan untuk

bertindak atau melakukan kegiatan tertentu dan kemudian dia benar melakukan

kegiatan tersebut, maka tindakannya akan melahirkan kepuasan bagi dirinya. Tindakan-

tindakan lain yang dia lakukan tidak menimbulkan kepuasan bagi dirinya.

Seorang anak yang mempunyai kecenderungan untuk bertindak dan kemudian

bertindak, sedangkan tindakannya itu mengakibatkan ketidakpuasan bagi dirinya, akan

selalu menghindarkan dirinya dari tindakan-tindakan yang melahirkan ketidakpuasan itu.

Seorang anak yang tidak mernpunyai kecenderungan untuk bertindak atau melakukan

kegiatan tertentu, sedangkan anak tersebut ternyata melakukan tindakan, maka apa

yang dilakukannya itu akan menimbulkan rasa tidak puas bagi dirinya. Dia akan

melakukan tindakan lain untuk menghilangkan ketidakpuasan tersebut. Dari ciri-ciri di

atas dapat disimpulkan bahwa seorang anak akan lebih berhasil belajarnya, jika ia telah

siap untuk melakukan kegiatan belajar.

Hukum latihan menyatakan bahwa jika hubungan stimulus-respon sering terjadi,

akibatnya hubungan akan semakin kuat, sedangkan makin jarang hubungan stimulus--

respon dipergunakan, maka makin lemah hubungan yang terjadi. Hukum latihan pada

dasarnya menggunakan dasar bahwa stimulus dan respon akan memiliki hubungan satu

sama lain secara kuat, jika proses pengulangan sering terjadi, makin banyak kegiatan ini

dilakukan maka hubungan yang terjadi akan bersifat otomatis. Seorang anak yang

dihadapkan pada suatu persoalan yang sering ditemuinya akan segera melakukan

tanggapan secara cepat sesuai dengan pengalamannya pada waktu sebelumnya.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 72

Page 73: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

Kenyataan menunjukkan bahwa pengulangan yang akan memberikan dampak

positif adalah pengulangan yang frekuensinya teratur, bentuk pengulangan yang tidak

membosankan, dan kegiatan disajikan dengan cara yang menarik.

Sebagai contoh untuk mengajarkan konsep pemetaan pada anak, guru menjelaskan

pengertian pemetaan yang diikuti dengan contoh-contoh relasi. Guru menguji apakah

anak sudah benar-benar menguasai konsep pemetaan. Untuk itu guru menanyakan

apakah semua relasi yang diperlihatkannya itu termasuk pemetaan atau tidak. Jika tidak,

anak diminta untuk menjelaskan alasan atau sebab-sebab kriteria pemetaan tidak

terpenuhi. Penguatan konsep lewat cara ini dilakukan dengan pengulangan. Namun tidak

berarti bahwa pengulangan dilakukan dengan bentuk pertanyaan atau informasi yang

sama, melainkan dalam bentuk informasi yang dimodifikasi, sehingga anak tidak merasa

bosan.

Dalam hukum akibat dijelaskan bahwa kepuasan yang terlahir dari adanya ganjaran

dari guru akan memberikan kepuasan bagi anak, dan anak cenderung untuk berusaha

melakukan atau meningkatkan apa yang telah dicapainya itu. Guru yang memberi

senyuman wajar terhadap jawaban anak, akan semakin menguatkan konsep yang

tertanam pada diri anak. Kata-kata “Bagus”, “Hebat”, “Kau sangat teliti” dan

semacamnya akan merupakan hadiah bagi anak yang kelak akan meningkatkan dirinya

dalam menguasai pelajaran.

Sebaliknya guru juga harus tanggap terhadap respon anak yang salah. Jika

kekeliruan anak dibiarkan tanpa penjelasan yang benar dari guru, ada kernungkinan

anak akan menganggap benar dan kemudian mengulanginya. Anak yang menyelesaikan

tugas atau pekerjaan rumah, namun hasil kerjanya itu tidak diperiksa oleh gurunya, ada

kemungkinan beranggapan bahwa jawaban yang dia berikan adalah benar. Anggapan ini

akan mengakibatkan jawaban yang tetap salah di saat anak mengikuti tes.

Demikian pula anak yang telah mengikuti ulangan dan mendapat nilai jelek, perlu

diberitahukan kekeliruan yang dilakukannya pada saat melakukan tes. Tidaklah

mengherankan, kiranya, jika ada anak yang diberi tes berulang, namun hasilnya masih

tetap buruk. Ada kemungkinan konsep yang dipegangnya itu dianggap sebagai jawaban

yang benar. Penguatan seperti ini akan sangat merugikan anak. Oleh karena itu perlu

dihilangkan.

Dari hukum akibat ini dapat disimpulkan bahwa jika terdapat asosiasi yang kuat

antara pertanyaan dan jawaban, maka bahan yang disajikan akan tertanam lebih lama

dalam ingatan anak. Selain itu, banyaknya pengulangan akan sangat menentukan

lamanya konsep diingat anak. Makin sering pengulangan dilakukan akan makin kuat

konsep tertanam dalam ingatan anak.

Di samping itu, Thorndike mengemukakan pula bahwa kualitas dan kuantitas hasil

belajar siswa tergantung dari kualitas dan kuantitas Stimulus-Respon (S-R) dalam

pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Makin banyak dan makin baik kualitas S-R yang

diberikan guru, maka makin banyak dan makin baik pula hasil belajar siswa.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 73

Page 74: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

Selanjutnya Thorndike mengemukakan hukum tambahan sebagai berikut:

a. Hukum reaksi bervariasi

(law of multiple response)

Individu diawali dengan proses trial and error yang menunjukkan bermacam-macam

respon sebelum memperoleh respon yang tepat dalam memecahkan masalah yang

dihadapi.

b. Hukum sikap (law of

attitude)

Perilaku belajar seseorang tidak hanya ditentukan oleh hubungan stimulus dan

respon saja, tetapi juga ditentukan oleh keadaan yang ada dalam diri individu baik

kognitif, emosi, sosial, maupun psikomotornya.

c. Hukum aktivitas berat

sebelah (law of prepotency element)

Individu dalam proses belajar memberikan respons pada stimulus tertentu saja sesuai

dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi (respon selektif).

d. Hukum respon melalui

analogi (law of response by analogy)

Individu dapat melakukan respons pada situasi yang belum pernah dialami karena

individu sesungguhnya dapat menghubungkan situasi yang belum pernah dialami

dengan situasi lama yang pernah dialami sehingga terjadi transfer atau perpindahan

unsur-unsur yang telah dikenal ke situasi baru. Semakin banyak unsur yang sama,

maka transfer akan semakin mudah.

e. Hukum perpindahan asosiasi

(law of associative shifting)

Proses peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi yang belum dikenal dilakukan

secara bertahap dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit unsur lama.

Selain menambahkan hukum-hukum baru, dalam perjalanan penyampaian teorinya,

Thorndike mengemukakan revisi hukum belajar antara lain:

a. Hukum latihan ditinggalkan karena ditemukan pengulangan saja tidak cukup untuk

memperkuat hubungan stimulus-respons, sebaliknya tanpa pengulangan belum tentu

akan memperlemah hubungan stimulus-respons.

b. Hukum akibat (law of effect) direvisi, karena dalam penelitiannya lebih lanjut

ditemukan bahwa hanya sebagian saja dari hukum ini yang benar. Jika diberikan

hadiah (reward) maka akan meningkatkan hubungan stimulus-respons, sedangkan

jika diberikan hukuman (punishment) tidak berakibat apa-apa.

c. Syarat utama terjadinya hubungan stimulus-respons bukan kedekatan, tetapi adanya

saling sesuai antara stimulus dan respons.

d. Akibat suatu perbuatan dapat menular baik pada bidang lain maupun pada individu

lain.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 74

Page 75: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

Implikasi dari aliran pengaitan ini dalam kegiatan belajar mengajar sehari-hari

adalah bahwa:

a. Dalam menjelaskan suatu konsep tertentu, guru sebaiknya mengambil contoh yang

sekiranya sudah sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Alat peraga dari alam

sekitar akan lebih dihayati.

b. Metode pemberian tugas, metode latihan (drill dan practice) akan lebih cocok untuk

penguatan dan hafalan. Dengan penerapan metode tersebut siswa akan lebih banyak

mendapatkan stimulus sehingga respon yang diberikan pun akan lebih banyak.

c. Dalam kurikulum, materi disusun dari materi yang mudah, sedang, dan sukar sesuai

dengan tingkat kelas, dan tingkat sekolah. Penguasaan materi yang lebih mudah

sebagai akibat untuk dapat menguasai materi yang lebih sukar. Dengan kata lain

topik (konsep) prasyarat harus dikuasai dulu agar dapat memahami topik berikutnya.

2. Teori Burhus Frederic Skinner

Burhus Frederic Skinner menyatakan bahwa ganjaran atau penguatan mempunyai

peranan yang amat penting dalam proses belajar. Terdapat perbedaan antara ganjaran

dan penguatan. Ganjaran merupakan respon yang sifatnya menggembirakan dan

merupakan tingkah laku yang sifatnya subjektif, sedangkan penguatan merupakan

sesuatu yang mengakibatkan meningkatnya kemungkinan suatu respon dan lebih

mengarah kepada hal-hal yang sifatnya dapat diamati dan diukur.

Dalam teorinya, Skinner menyatakan bahwa penguatan terdiri atas penguatan

positif dan penguatan negatif. Penguatan dapat dianggap sebagai stimulus positif, jika

penguatan tersebut seiring dengan meningkatnya perilaku anak dalam melakukan

pengulangan perilakunya itu. Dalam hal ini penguatan yang diberikan pada anak

memperkuat tindakan anak, sehingga anak semakin sering melakukannya. Yang

termasuk contoh penguatan positif diantaranya adalah pujian yang diberikan pada anak.

Sikap guru yang bergembira pada saat anak menjawab pertanyaan, merupakan

penguatan positif pula. Untuk mengubah tingkah laku anak dari negatif menjadi positif,

guru perlu mengetahui psikologi yang dapat digunakan untuk memperkirakan

(memprediksi) dan mengendalikan tingkah laku anak. Guru di dalam kelas mempunyai

tugas untuk mengarahkan anak dalam aktivitas belajar, karena pada saat tersebut,

kontrol berada pada guru, yang berwenang memberikan instruksi ataupun larangan pada

anak didiknya.

Penguatan akan berbekas pada diri anak. Mereka yang mendapat pujian setelah

berhasil menyelesaikan tugas atau menjawab pertanyaan biasanya akan berusaha

memenuhi tugas berikutnya dengan penuh semangat. Penguatan yang berbentuk hadiah

atau pujian akan memotivasi anak untuk rajin belajar dan mempertahankan prestasi

yang diraihnya. Penguatan seperti ini sebaiknya segera diberikan dan tak perlu ditunda--

tunda. Karena penguatan akan berbekas pada anak, sedangkan hasil penguatan

diharapkan positif, maka penguatan yang diberikan tentu harus diarahkan pada respon

anak yang benar. Janganlah memberikan penguatan atas respon anak jika respon

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 75

Page 76: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

tersebut sebenarnya tidak diperlukan.

Skinner menambahkan bahwa jika respon siswa baik (menunjang efektivitas

pencapaian tujuan) harus segera diberi penguatan positif agar respon tersebut lebih baik

lagi, atau minimal perbuatan baik itu dipertahankan. Misalnya dengan mengatakan

“bagus, pertahankan prestasimu” untuk siswa yang mendapat nilai tes yang

memuaskan. Sebaliknya jika respon siswa kurang atau tidak diharapkan sehingga tidak

menunjang tujuan pengajaran, harus segera diberi penguatan negatif agar respon

tersebut tidak diulangi lagi dan berubah menjadi respon yang sifatnya positif. Penguatan

negatif ini bisa berupa teguran, peringatan, atau sangsi (hukuman edukatif).

3. Teori David Paul Ausubel

Teori ini terkenal dengan belajar bermaknanya dan pentingnya pengulangan

sebelum belajar dimulai. Belajar bermakna (meaningful learning) adalah proses

mengaitkan dalam informasi baru dengan konsep-konsep yang relevan dan

terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Ia membedakan antara belajar

menemukan dengan belajar menerima. Pada belajar menerima siswa hanya menerima,

jadi tinggal menghapalkannya, tetapi pada belajar menemukan konsep ditemukan oleh

siswa, jadi tidak menerima pelajaran begitu saja. Selain itu untuk dapat membedakan

antara belajar menghafal dengan belajar bermakna. Pada belajar menghafal, siswa

menghafalkan materi yang sudah diperolehnya, tetapi pada belajar bermakna materi

yang telah diperoleh itu dikembangkan dengan keadaan lain sehingga belajarnya lebih

dimengerti.

Bedasarkan belajar bermakna, Ausabel mengajukan lima prinsip pembelajaran

sebagai berikut:

a. Subsumption

Proses penggabungan ide atau pengalaman terhadap pola-pola ide yang telah lalu

yang sudah dimiliki.

b. Advance organizer

Pengatur awal (advance organizer) dapat digunakan guru dalam membantu

mengaitkan konsep lama dengan konsep baru yang lebih tinggi maknanya.

Penggunaan pengatur awal tepat dapat meningkatkan pemahaman berbagai macam

materi, terutama materi pelajaran yang telah mempunyai struktur yang teratur. Pada

saat mengawali pembelajaran suatu pokok bahasan sebaiknya menggunakan

advance organizer, sehingga pembelajaran akan lebih bermakna.

c. Progressive differentiation

Dalam proses belajar bermakna perlu ada pengembangan dan kolaborasi konsep-

konsep. Caranya unsur yang paling umum dan inklusif dipekenalkan dahulu

kemudian baru yang lebih mendetail, sehingga proses pembelajaran dari umum ke

khusus disertai dengan contoh-contoh.

d. Consolidation

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 76

Page 77: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

Materi harus lebih dahulu dikuasai sebelum melanjutkan ke materi yang lebih lanjut

apabila materi tersebut menjadi dasar untuk materi selanjutnya. Pemantapan materi

disajikan lebih banyak contoh atau latihan sehingga siswa bisa lebih paham dan

selanjutnya siap menerima materi baru.

e. Integrative reconciliation

Pada suatu saat siswa kemungkinan akan menghadapi kenyataan bahwa dua

atau lebih nama konsep digunakan untuk menyatakan konsep yang sama atau bila

nama yang sama diterapkan pada lebih satu konsep. Untuk mengatasi pertentangan

kognitif itu, Ausabel mengajukan konsep pembelajaran penyesuaian integrative.

Caranya materi pelajaran disusun sedemikian rupa, sehingga guru dapat

menggunakan hierarki-hierarki konseptual ke atas dan ke bawah selama informasi

disajikan.

Secara umum teori Ausubel dalam praktek sebagai berikut:

a. Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran.

b. Mengukur kesiapan siswa (minat, kemampuan, struktur kognitif) baik melalui tes

awal, interview, review, pertanyaan, dan lain-lain.

c. Memilih materi pelajaran dan mengaturnya dalam bentuk penyajian konsep-konsep

kunci.

d. Mengidentifikasi prinsip-prinsip yang harus dikuasai siswa dari materi tersebut.

e. Menyajikan suatu pandangan secara menyeluruh tentang apa yang harus dipelajari.

f. Membuat rangkuman terhadap materi yang baru saja diberikan, dilengkapi dengan

uraian singkat yang menunjukkan relevansi (keterkaitan) materi yang sudah

diberikan dengan materi baru yang akan diberikan.

g. Mengajar siswa memahami konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang sudah ditentukan

dengan memberi fokus pada hubungan yang terjalin antara konsep-konsep yang ada.

h. Mengevaluasi proses dan hasil belajar.

Sewaktu metode menemukan dianggap sebagai suatu metode mengajar yang baik

karena bermakna, dan sebaliknya metode ceramah adalah metode yang merupakan

belajar menerima, Ausubel menentang pendapat itu. Ia berpendapat bahwa dengan

metode penemuan maupun dengan metode ceramah bisa menjadi belajar menerima

atau belajar bermakna, tergantung dari situasinya.

Ausubel mengemukakan bahwa metode ekspositori adalah metode mengajar yang

paling baik dan bermakna. Hal ini ia kemukakan berdasarkan hasil penelitiannya. Belajar

menerima maupun menemukan sama-sama dapat berupa belajar menghafal atau

bermakna. Misalnya dalam mempelajari konsep Pythagoras tentang segitiga siku-siku.

Rumus c2 = b2 + a2 sudah disajikan (belajar menerima), tetapi jika siswa dalam memahami

rumus itu selalu dikaitkan dengan sisi-sisi sebuah segitiga siku-siku akan merupakan

belajar bermakna. Siswa lain memahami rumus itu dengan cara melalui pencarian tetapi

bila kemudian ia menghafalkannya tanpa dikaitkan dengan sisi sebuah segitiga siku-siku

menjadi menghafal.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 77

Page 78: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

4. Teori Robert Mills Gagne

Menurut Gagne, dalam belajar matematika ada dua objek yang dapat diperoleh

siswa, yaitu objek langsung dan objek tak langsung. Objek tak langsung antara lain

kemampuan menyelidiki dan memecahkan masalah, belajar mandiri, bersikap positif

terhadap matematika, dan tahu bagaimana semestinya belajar. Sedangkan objek

langsung berupa fakta, keterampilan, konsep, dan aturan.

Fakta adalah objek matematika yang tinggal menerimanya, seperti lambang

bilangan, sudut, dan notasi-notasi matematika lainnya. Keterampilan berupa

kemampuan memberikan jawaban dengan tepat dan cepat, misalnya melakukan

pembagian bilangan yang cukup besar dengan bagi kurung, menjumlahkan pecahan,

melukis sumbu sebuah ruas garis. Konsep adalah ide abstrak yang memungkinkan kita

dapat mengelompokkan objek ke dalam contoh dan non contoh. Misalkan, konsep

bujursangkar, bilangan prima, himpunan, dan vektor. Aturan ialah objek yang paling

abstrak yang berupa sifat atau teorema.

Menurut Gagne, belajar dapat dikelompokkan menjadi 8 tipe belajar, yaitu: a)

belajar isyarat, b) stimulus respon, c) rangkaian gerak, d) rangkaian verbal, e)

membedakan, f) pembentukan konsep, g) pembentukan aturan, dan h) pemecahan

masalah. Kedelapan tipe belajar itu terurut menurut taraf kesukarannya dari belajar

isyarat sampai ke belajar pemecahan masalah.

Belajar isyarat adalah belajar yang tingkatnya paling rendah, karena tidak ada niat

atau spontanitas. Contohnya menyenangi atau menghindari pelajaran karena akibat

perilaku gurunya. Stimulus-respon merupakan kondisi belajar yang ada niat diniati dan

responnya jasmaniah. Misalnya siswa meniru tulisan guru di papan tulis. Rangkaian

gerak adalah perbuatan jasmaniah terurut dari dua kegiatan atau lebih dalam rangka

stimulus-respon. Rangkaian verbal adalah perbuatan lisan terurut dari dua kegiatan atau

lebih dalam rangka stimulus-respon. Contohnya adalah mengemukakan pendapat,

menjawab pertanyaan guru secara lisan. Belajar membedakan adalah belajar memisah--

misah rangkaian yang bervariasi. Pembentukan konsep disebut juga tipe belajar

pengelompokan, yaitu belajar melihat sifat bersama benda-benda konkrit atau peristiwa

untuk dijadikan suatu kelompok. Dalam hal tertentu diperlukan tipe belajar yang

mengharapkan siswa untuk mampu memberikan respon terhadap stimulus dengan

segala macam perbuatan. Kemampuan di sini terutama adalah kemampuan

menggunakannya. Misalnya pemahaman terhadap rumus kuadrat dan

menggunakannya dalam menyelesaikan persamaaan kuadrat. Belajar pemecahan

masalah adalah tipe belajar yang paling tinggi karena lebih kompleks dari pembentukan

aturan.

Dalam pemecahan masalah, biasanya ada lima langkah yang harus dilakukan,

yaitu:

a. Menyajikan masalah dalam bentuk yang jelas.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 78

Page 79: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

b. Menyatakan masalah dalam bentuk yang operasional.

c. Menyusun hipotesis-hipotesis alternatif dan prosedur kerja yang diperkirakan baik.

d. Mengetes hipotesis dan melakukan kerja untuk memperoleh hasilnya.

e. Mengecek kembali hasil yang sudah diperoleh.

Lebih jauh Gagne mengemukakan bahwa hasil belajar harus didasarkan pada

pengamatan tingkah laku, melalui stimulus-respon dan belajar bersyarat. Alasannya

adalah bahwa manusia itu organisme pasif yang bisa dikontrol melalui imbalan dan

hukuman

5. Teori Ivan Petrovich Pavlov

Pavlov terkenal dengan teori belajar klasik. Ia melakukan percobaan terhadap

seekor anjing. Anjing itu dikurung, dalam suatu kandang dengan waktu tertentu dan

diberi makan. Setiap akan diberi makan, Pavlov membunyikan bel. Ia memperhatikan

bahwa setiap dibunyikan bel pada jangka waktu tertentu anjing itu mengeluarkan air

liurnya, meskipun tidak diberi makanan.

Pavlov mengemukakan konsep pembiasaan (conditioning). Dalam hubungannya

dengan kegiatan belajar mengajar, agar siswa belajar dengan baik maka harus

dibiasakan. Misalnya, agar siswa mengerjakan soal pekerjaan rumah dengan baik,

biasakanlah dengan memeriksanya, menjelaskannya, atau memberi nilai terhadap hasil

pekerjaannya.

6. Teori Albert Bandura

Bandura mengemukakan bahwa siswa belajar melalui meniru. Pengertian meniru di

sini bukan berarti menyontek, tetapi meniru hal-hal yang dilakukan oleh orang lain,

terutama guru. Jika tulisan guru baik, guru berbicara sopan santun dengan menggunakan

bahasa yang baik dan benar, tingkah laku yang terpuji, menerangkan dengan jelas dan

sistematik, maka siswa akan menirunya. Jika contoh-contoh yang dilihatnya kurang baik

ia pun menirunya. Dengan demikian guru harus menjadi manusia model yang

profesional.

Bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata-mata refleks otomatis

atas stimulus, melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara

lingkungan dengan skema kognitif manusia itu sendiri. Teori belajar sosial dari Bandura

ini merupakan gabungan antara teori belajar behavioristik dengan penguatan dan

psikologi kognitif, dengan prinsip modifikasi perilaku.

Teori Belajar Sosial (Social Learing Theory) dari Bandura didasarkan pada tiga

konsep, yaitu:

a. Reciprocal determinism

Pendekatan yang menjelaskan tingkah laku manusia dalam bentuk interaksi timbal-

balik yang terus menerus antara kognitif, tingkah laku dan lingkungan. Orang

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 79

Page 80: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

menentukan/ mempengaruhi tingkahlakunya dengan mengontrol lingkungan, tetapi

orang itu juga dikontrol oleh kekuatan lingkungan itu.

b. Beyond reinforcement

Bandura memandang teori Skinner dan Hull terlalu bergantung pada reinforcement.

Jika setiap unit respon sosial yang kompleks harus dipilah-pilah untuk direforse satu

persatu, bisa jadi orang malah tidak belajar apapun. Menurutnya, reinforcement

penting dalam menentukan apakah suatu tingkah laku akan terus terjadi atau tidak,

tetapi itu bukan satu-satunya pembentuk tingkah laku. Orang dapat belajar

melakukan sesuatu hanya dengan mengamati dan kemudian mengulang apa yang

dilihatnya. Belajar melalui observasi tanpa ada reinforcement yang terlibat, berarti

tingkah laku ditentukan oleh antisipasi konsekuensi.

c. Self-regulation/ cognition

Teori belajar tradisional sering terhalang oleh ketidaksenangan atau

ketidakmampuan mereka untuk menjelaskan proses kognitif. Konsep bandura

menempatkan manusia sebagai pribadi yang dapat mengatur diri sendiri (self

regulation), mempengaruhi tingkah laku dengan cara mengatur lingkungan,

menciptakan dukungan kognitif, mengadakan konsekuensi bagi bagi tingkah lakunya

sendiri.

Prinsip dasar belajar sosial (social learning) adalah:

a. Sebagian besar dari yang dipelajari manusia terjadi melalui peniruan (imitation), dan

penyajian contoh perilaku (modeling).

b. Dalam hal ini, seorang siswa mengubah perilaku sendiri melalui penyaksian cara

orang/ sekelompok orang yang mereaksi/ merespon sebuah stimulus tertentu.

c. Siswa dapat mempelajari respons-respons baru dengan cara pengamatan terhadap

perilaku contoh dari orang lain, misalnya: guru/ orang tuanya. Pendekatan teori

belajar sosial terhadap proses perkembangan sosial dan moral siswa ditekankan pada

perlunya pembiasaan merespons (conditioning) dan peniruan (imitation).

Langkah-langkah belajar sosial (social learning) adalah:

a. Conditioning.

Dalam belajar mengembangkan perilaku sosial dan moral pada dasarnya sama

dengan belajar untuk mengembangkan perilaku-perilaku lainnya, yakni perlunya

hadiah/ ganjaran (reward), dan hukuman (punishment).

b. Imitation.

Orang tua dan guru seyogyanya memainkan peranan penting sebagai seorang

model/ tokoh yang dijadikan contoh berperilaku sosial dan moral bagi siswa. Contoh:

mula-mula seorang siswa mengamati model gurunya sendiri yang sedang melakukan

sebuah aktivitas sosial, umpamanya menerima tamu, lalu perbuatan menjawab

salam, berjabat tangan, beramah-tamah, dan seterusnya yang dilakukan model itu

diserap oleh memori siswa tersebut. Diharapkan, cepat/ lambat siswa tersebut

mampu meniru sebaik-baiknya perbuatan sosial yang dicontohkan oleh model itu.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 80

Page 81: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

Kualitas kemampuan siswa dalam melakukan perilaku sosial hasil pengamatan

terhadap model tersebut, antara lain bergantung pada ketajaman persepsinya

mengenai ganjaran dan hukuman yang berkaitan dengan benar dan salahnya

perilaku yang ia tiru dari model tadi.

Prinsip-prinsip dari faktor model atau teladan sebagai berikut:

a. Tingkat tertinggi belajar dari pengamatan diperoleh dengan cara mengorganisasikan

sejak awal dan mengulangi perilaku secara simbolik kemudian melakukannya. Proses

mengingat akan lebih baik dengan cara mengkodekan perilaku yang ditiru kedalam

kata-kata, tanda atau gambar dari pada hanya observasi sederhana (hanya melihat

saja). Contohnya: belajar gerakan tari dari instruktur membutuhkan pengamatan dari

berbagai sudut yang dibantu cermin dan langsung ditirukan oleh siswa pada saat itu

juga. Proses meniru akan lebih terbantu jika gerakan tadi juga didukung dengan

penayangan video, gambar atau instruksi yang ditulis dalam buku panduan.

b. Individu lebih menyukai perilaku yang ditiru jika sesuai dengan nilai yang dimilikinya.

c. Individu akan menyukai perilaku yang ditiru jika model atau panutan tersebut disukai

dan dihargai serta perilakunya mempunyai nilai yang bermanfaat.

Teori belajar sosial memiliki banyak implikasi untuk penggunaan di dalam kelas,

yaitu:

a. Siswa sering belajar banyak hanya dengan mengamati orang lain, yaitu guru.

b. Menggambarkan konsekuensi perilaku yang dapat secara efektif meningkatkan

perilaku yang sesuai dan menurunkan yang tidak pantas. Hal ini dapat melibatkan

berdiskusi dengan pelajar tentang imbalan dan konsekuensi dari berbagai perilaku.

c. Modeling menyediakan alternatif untuk membentuk perilaku baru untuk mengajar.

Untuk mempromosikan model yang efektif, seorang guru harus memastikan bahwa

empat kondisi esensial ada, yaitu perhatian, retensi, motor reproduksi, dan motivasi,

d. Guru dan orangtua harus menjadi model perilaku yang sesuai dan berhati-hati agar

mereka tidak meniru perilaku yang tidak pantas,

e. Siswa harus percaya bahwa mereka mampu menyelesaikan tugas-tugas sekolah.

Sehingga sangat penting untuk mengembangkan rasa efektivitas diri untuk siswa.

Guru dapat meningkatkan efektivitas diri seperti itu dengan memiliki rasa percaya

diri siswa memperlihatkan pengalaman orang lain menjadi sukses, dan pengalaman

sukses mereka sendiri.

f. Guru harus membantu siswa menetapkan harapan yang realistis untuk prestasi

akademiknya. Pada umumnya di kelas yang berarti memastikan bahwa harapan tidak

diatur terlalu rendah.

g. Teknik pengaturan diri menyediakan metode yang efektif untuk meningkatkan

perilaku siswa.

Bandura mengusulkan tiga macam pendekatan treatmen sebagai berikut:

a. Latihan penguasaan (desensitisasi modeling).

Mengajari klien menguasai tingkah laku yang sebelumnya tidak bisa dilakukan

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 81

Page 82: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

(misalnya karena takut). Treatmen konseling dimulai dengan membantu klien

mencapai relaksasi yang mendalam. Kemudian konselor meminta klien

membayangkan hal yang menakutkannya secara bertahap. Misalnya, dibayangkan

melihat ular mainan di etalase toko. Kalau klien dapat membayangkan kejadian itu

tanpa rasa takut, mereka diminta membayangkan bermain-main dengan ular

mainan, kemudian melihat ular dikandang kebun binatang, kemudian menyentuh

ular, sampai akhirnya menggendong ular. Ini adalah model desensitisasi sistemik

yang pada paradigma behaviorisme dilakukan dengan memanfaatkan variasi

penguatan. Bandura memakai desesitisasi sistematik itu dalam pikiran tanpa

memakai penguatan yang nyata.

b. Modeling terbuka (modeling partisipan)

Klien melihat model nyata, biasanya diikuti dengan klien berpartisipasi dalam

kegiatan model, dibantu oleh modelnya meniru tingkah laku yang dikehendaki,

sampai akhirnya mampu melakukan sendiri tanpa bantuan.

c. Modeling simbolik.

Klien melihat model dalam film, atau gambar/ cerita.

Bandura mengusulkan untuk mengembangkan strategi proses pembelajaran

sebagai berikut:

a. Analisis tingkah laku yang akan dijadikan model, terdiri dari:

1) Apakah karakter dari tingkah laku yang akan dijadikan model itu berupa konsep,

motor-skill atau efektif?

2) Bagaimanakah urutan dari tingkah laku tersebut?

3) Dimanakah letak hal-hal yang penting (key point) dalam urutan tersebut?

b. Tetapkan fungsi nilai dari tingkah laku dan pilihlah tingkah laku tersebut sebagai

model.

1) Apakah tingkah laku (kemampuan yang dipelajari) merupakan hal yang penting

dalam kehidupan dimasa datang?

2) Bila tingkah laku yang dipelajari kurang memberi manfaat (tidak begitu penting),

maka model manakah yang lebih penting?

3) Apakah model harus disimbolkan?

4) Apakah reinforcement yang akan didapat melalui model yang dipilih?

c. Pengembangan urutan pengajaran

1) Untuk mengajarkan motor-skill, bagaimana cara mengerjakan pekerjaan.

2) Langkah-langkah manakah yang menurut urutan harus dipresentasikan perlahan-

lahan.

d. Implementasi pengajaran untuk menurut motor-skill dan proses kognitif.

1) Motor-skill: a) hadirkan model; b) beri kesempatan kepada tiap-tiap pembelajar

untuk latihan secara simbolik; dan c) beri kesempatan kepada pembelajar untuk

latihan dengan umpan-balik visual.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 82

Page 83: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

2) Proses kognitif: a) tampilkan model, baik yang didukung oleh kode-kode verbal

atau petunjuk untuk mencari konsistensi pada berbagai contoh; b) beri

kesempatan kepada pembelajar untuk membuat ikhtisar; c) jika yang dipelajari

adalah pemecahan masalah atau strategi penerapan beri kesempatan pembelajar

untuk berpartisipasi seeara aktif; dan d) beri kesempatan pembelajar untuk

membuat generalisasi ke berbagai situasi.

7. Teori Joy Paulus Guilford

Menurut teori Guilford's, Structure of Intellect kinerja seseorang pada tes

kecerdasan dapat ditelusuri kembali ke dasar kemampuan mental atau faktor

kecerdasan. Structure of Intellect terdiri dari teori hingga 150 kemampuan intelektual

yang berbeda yang diselenggarakan sepanjang tiga dimensi, yaitu operasi, isi, dan

produk.

Structure of Intellect mencakup enam operasi atau proses intelektual umum, antara

lain:

a. Kognisi yaitu kemampuan untuk mengerti, memahami, menemukan, dan menjadi

sadar akan informasi.

b. Memori rekaman yaitu kemampuan untuk mengkodekan informasi.

c. Memori retensi yaitu kemampuan untuk mengingat informasi.

d. Produksi yang berbeda yaitu kemampuan untuk menghasilkan beberapa solusi untuk

masalah kreativitas.

e. Produksi konvergen yaitu kemampuan untuk menyimpulkan satu solusi untuk

masalah.

f. Evaluasi yaitu kemampuan untuk menilai apakah informasi akurat, konsisten, atau

valid.

Structure of Intellect meliputi lima bidang luas informasi/ isi yang intelek, antara

lain:

a. Visual yaitu informasi dipersepsikan melalui melihat.

b. Auditori yaitu informasi dirasakan melalui pendengaran.

c. Simbolis yaitu informasi dianggap sebagai simbol atau tanda-tanda.

d. Semantik yaitu informasi yang dipersepsikan dalam kata-kata atau kalimat, baik

secara lisan, tertulis, atau diam-diam da1am pikiran seseorang.

e. Informasi perilaku yaitu perbuatan seorang individu.

Model Structure of Intellect mencakup enam produk dalam meningkatkan

kompleksitas yaitu:

a. Unit yaitu item single pengetahuan

b. Kelas yaitu sets unit berbagi atribut umum.

c. Hubungan yaitu unit terkait sebagai pertentangan, asosiasi, urutan, atau analogi.

d. Beberapa sistem yaitu hubungan yang saling terkait untuk membentuk struktur atau

jaringan.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 83

Page 84: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

e. Transformasi yaitu perubahan, perspektif, konversi, atau mutasi untuk pengetahuan.

f. Implikasi yaitu prediksi, kesimpulan, konsekuensi, atau antisipasi pengetahuan.

Oleh karena itu, menurut Guilford terdapat 6 x 5 x 6 = 180 faktor kemampuan

intelektual. Kemampuan masing-masing adalah singkatan dari operasi tertentu di

wilayah konten tertentu dan menghasilkan suatu produk tertentu, yaitu: pemahaman

figural evaluasi satuan atau semantik implikasi.

Model asli Guilford terdiri dari 120 komponen karena ia tidak memisahkan menjadi

beberapa konten figural auditori dan visual isi, atau ia telah memisahkan ke dalam

memori perekaman dan penyimpanan. Ketika ia memisahkan figural ke auditori dan

visual isi, modelnya meningkat menjadi 5 x 5 x 6 = 150 kategori. Ketika Guilford

memisahkan fungsi memori, modelnya akhimya meningkat menjadi 180 akhir faktor.

Beberapa perubahan dalam struktur model intelek dalam Pendidikan dan Psikologis

Pengukuran, yaitu teori Structure of Intellect dipandang sebagai operasi yang terdiri dari

operasi, isi, dan produk, yang isinya ada 5 jenis operasi (kognisi, memori, produksi

divergen, konvergen produksi, evaluasi), 6 jenis produk (unit, kelas, hubungan, sistem,

transformasi, dan implikasi), dan 5 jenis isi (visual, auditori, simbolis , semantik,

perilaku). Karena masing-masing dimensi ini adalah independen, ada 150 komponen

teori kecerdasan.

Implikasi teori belajar Guilford dalam pembelajaran sebagai berikut:

a. Dalam menyelesaikan soal pembelajaran matematika dapat menerapkan soal-soal

open-ended kepada siswa, dari jawaban yang diberikan siswa dapat dibuktikan

bahwa kemampuan untuk memberikan berbagai alternatif jawaban adalah

berdasarkan informasi yang diberikan oleh guru maupun pengalaman pribadinya.

a. Kreatifitas seorang siswa dapat dilihat dari kemampuannya untuk menyelesaikan

suatu persoalan dengan ide kreatif tanpa bersumber pada satu teori saja, sehingga

memunculkan banyak ide dari berpikir kreatifnya.

b. Pada kinerja seseorang pada tes kecerdasan dapat ditelusuri kembali ke dasar

kemampuan mental atau faktor kecerdasan seseorang itu sendiri.

c. Berfikir kreatif yang terjadi pada siswa tergantung pada kemampuan dirinya untuk

mewujudkan ide/ gagasannya yang timbul pada hati nurani untuk mewujudkan

kemampuan untuk melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap

suatu masalah.

B. Teori Belajar Kognitif

1. Teori Jean Piaget

Jean Piaget menyebut bahwa struktur kognitif sebagai skemata (schemas), yaitu

kumpulan dari skema-skema. Seorang individu dapat mengikat, memahami, dan

memberikan respon terhadap stimulus disebabkan karena bekerjanya skemata ini.

Skemata ini berkembang secara kronologis, sebagai hasil interaksi antara individu

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 84

Page 85: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

dengan lingkungannya. Dengan demikian seorang individu yang lebih dewasa memiliki

struktur kognitif yang lebih lengkap daripada ketika ia masih kecil. Karena masih

terbatasnya skema pada anak, seorang anak yang baru pertama kali melihat buaya ia

menyebutnya sebagai cecak besar, karena ia baru memiliki konsep cecak yang sering

dilihat di rumahnya. Ia baru memiliki konsep cecak dalam skemanya dan ketika ia

melihat buaya untuk pertama kalinya, konsep cecaklah yang paling dekat dengan

stimulus. Peristiwa seperti ini seringkali berlanjut pada orang dewasa. Hal ini terjadi

karena kurangnya perbendaharaan kata atau dalam kehidupan sehari-harinya konsep

tersebut jarang ditemui. Misalnya, seringkali orang menyebut kuda laut atau singa laut,

padahal kedua binatang itu jauh berbeda cara hidupnya, lingkungan kehidupan, maupun

bentuk tubuhnya dengan kuda ataupun singa. Asosiasi tersebut hanya berdasarkan

sebagian bentuk tubuhnya yang hampir sama.

Perkembangan skemata ini berlangsung terus-menerus melalui adaptasi dengan

lingkungannya. Skemata tersebut membentuk suatu pola penalaran tertentu dalam

pikiran anak. Makin baik kualitas skema ini, makin baik pulalah pola penalaran anak

tersebut. Proses terjadinya adaptasi dari skemata yang telah terbentuk dengan stimulus

baru dilakukan dengan dua cara, yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses

pengintegrasian secara langsung stimulus baru ke dalam skemata yang telah terbentuk.

Akomodasi adalah proses pengintegrasian stimulus baru ke dalam skema yang telah

terbentuk secara tidak langsung. Hal ini terjadi karena stimulus baru tidak dapat

diasimilasi, karena tidak ada skema yang sesuai yang telah dimilikinya. Pada proses

akomodasi skema yang ada memodifikasi diri atau menciptakan skema baru, sehingga

sesuai dengan stimulus baru itu. Setelah itu asimilasi berlangsung kembali. Dengan

demikian pada proses asimilasi tidak menghasilkan perubahan skemata, melainkan

hanya menunjang pertumbuhan skemata secara kuantitas. Sedangkan pada akomodasi

menghasilkan perubahan skemata secara kualitas. Pada contoh di atas,

seorang anak menyebut cecak besar untuk buaya pada dasarnya anak tersebut

mengasimilasi stimulus buaya ke dalam skema cecak.

Dalam struktur kognitif setiap individu mesti ada keseimbangan antara asimilasi

dengan akomodasi. Keseimbangan ini dimaksudkan agar dapat mendeteksi persamaan

dan perbedaan yang terdapat pada stimulus-stimulus yang dihadapi. Perkembangan

kognitif pada dasarnya adalah perubahan dari keseimbangan yang telah dimiliki ke

keseimbangan baru yang diperolehnya.

Selanjutnya Piaget mengemukakan tentang perkembangan kognitif yang dialami

oleh setiap individu secara lebih rinci, dari mulai bayi hingga dewasa. Teori ini disusun

berdasarkan studi klinis terhadap anak-anak dari berbagai usia golongan menengah di

Swiss. Kesimpulannya adalah bahwa pola berfikir anak tidak sama dengan pola berfikir

orang dewasa. Tahap perkembangan kognitif atau taraf kemampuan berfikir seorang

individu sesuai dengan usianya. Makin dewasa seorang individu, maka makin meningkat

pula kemampuan berfikirnya. Jadi, dalam memandang anak keliru kalau beranggapan

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 85

Page 86: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

bahwa kemampuan anak sama dengan kemampuan orang dewasa, sebab anak bukanlah

miniatur orang dewasa.

Selain daripada itu, perkembangan kognitif seorang individu dipengaruhi pula oleh

lingkungan dan transmisi sosialnya. Jadi, karena efektivitas hubungan antara setiap

individu dengan lingkungan dan kehidupan sosialnya berbeda satu sama lain, maka

tahap perkembangan kognitif yang dicapai oleh setiap individu berbeda pula. Oleh

karena itu, agar perkembangan kognitif seorang anak berjalan secara maksimal,

sebaiknya diperkaya dengan banyak pengalaman edukatif.

Berdasarkan hasil penelitian di Negeri Swiss pada tahun 1950-an, Piaget

mengemukakan bahwa ada empat tahap perkembangan kognitif dari setiap individual

yang berkembang secara kronologis (menurut usia kalender). Sebaran umur pada setiap

tahap tersebut adalah rata-rata (sekitar) dan mungkin pula terdapat perbedaan antara

masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya, antara individu yang satu dengan

individu lainnya.

a. Tahap Sensori Motor (Sensory Motoric Stage)

Bagi anak yang berada pada tahap ini, pengalaman diperoleh melalui perbuatan

fisik (gerakan anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indera). Pada mulanya

pengalaman itu bersatu dengan dirinya, ini berarti bahwa suatu objek itu ada bila ada

pada penglihatannya. Perkembangan selanjutnya, ia mulai berusaha untuk mencari

objek yang asalnya terlihat kemudian menghilang dari pandangannya, asal

perpindahannya terlihat. Akhir dari tahap ini, ia mulai mencari objek yang hilang bila

benda tersebut tidak terlihat perpindahannya. Objek mulai terpisah dari dirinya dan

bersamaan dengan itu konsep objek dalam struktur kognitifnya mulai matang. Ia

mulai mampu untuk melambangkan objek fisik ke dalam simbol-simbol, misalnya

mulai bisa berbicara meniru suara kendaraan.

b. Tahap Pra Operasi (Pre Operasional Stage)

Tahap ini adalah tahap persiapan untuk pengorganisasian operasi konkrit. Istilah

operasi yang digunakan berupa tindakan-tindakan kognitif, seperti:

mengklasrifikasikan sekelompok objek (classifying), menata letak benda-benda

menurut urutan tertentu (seriations), dan membilang (counting). Pada tahap ini

pemikiran anak lebih banyak berdasarkan pada pengalaman konkrit daripada

pemikiran logis, sehingga jika ia melihat obyek-obyek yang kelihatannya berbeda,

maka ia mengatakannya berbeda pula.

Contoh:

1) Perlihatkan 5 (lima) buah kelereng yang sama besar di atas meja. Kemudian ubahlah letak kelereng itu menjadi agak berjauhan. Apabila ditanyakan kepada anak yang masih pada tahap ini. Ia akan menjawab kelereng yang letaknya berjauhan lebih banyak.

2) Perlihatkan segumpal plastisin (lilin lunak) berbentuk bola. Kemudian ubahlah (sambil diperlihatkan) menjadi bentuk pipih sehingga tampak lebih besar. Apabila ditanyakan mana yang lebih banyak plastisin itu. Ia akan

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 86

Page 87: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

menjawab plastisin yang bentuknya pipih. 3) Perlihatkan kepada anak dua bejana dari gelas yang bentuk dan

ukurannya sama dengan dua bejana lainnya berbeda ukurannya. Kemudian kedua bejana gelas yang sama tadi kita isi dengan cairan berwarna sama banyak. Sambil diperlihatkan kepada siswa cairan pada kedua gelas yang sama tadi masing-masing dipindahkan pada kedua gelas yang berbeda. Setelah semuanya dipindahkan lalu tanyakan apakah kedua cairan tersebut sama banyak. Anak pada tahap perkembangan pra operasi akan menjawab banyak kedua cairan itu berbeda.

4) Dua utas tali sama panjang diletakkan di atas meja, kemudian rentangannya diubah. Hasilnya, anak-anak akan mengatakan bahwa kedua tali tersebut menjadi berbeda panjangnya.

5) Apabila anak dihadapkan pada suatu daerah bidang datar (terbuat dari kertas berwarna-warni) yang menyatakan luas, kemudian kertas itu dipotong-potong dan dikumpulkan kembali dengan susunan yang berbeda, anak mengatakan bahwa luas gambar akan berbeda.

Dari contoh-contoh di atas, tampak bahwa anak masih berada pada tahap pra

operasional belum memahami konsep kekekalan (conservation), yaitu kekekalan

banyak, kekekalan materi, kekekalan volum, kekekalan panjang, dan kekekalan luas.

Selain dari itu, ciri-ciri anak pada tahap ini belum memahami operasi yang sifatnya

reversible, belum dapat memikirkan dua aspek atau lebih secara bersamaan, belum

memahami operasi transformasi.

c. Tahap Operasi Konkrit (Concrete Operational Stage)

Anak-anak yang berada pada tahap ini umumnya sudah berada di Sekolah

Dasar. Umumnya mereka telah memahami operasi logis dengan bantuan benda-

benda konkrit. Kemampuan ini terwujud dalam memahami konsep kekekalan,

kemampuan untuk mengklasifikasi dan serasi, mampu memandang suatu objek dari

sudut pandang yang berbeda secara objektif, dan mampu berfikir reversibel.

Piaget mengidentifikasi adanya enam jenis konsep kekekalan yang berkembang

selama anak berada pada tahap operasi konkrit, yaitu: 1) kekekalan banyak (6–7

tahun), 2) kekekalan materi (7–8 tahun), 3) kekekalan panjang (7–8 tahun), 4)

kekekalan luas (8–9 tahun), 5) kekekalan berat (9–10 tahun), dan 6)

kekekalan volum (11–12 tahun).

Kemampuan mengurutkan objek (serasi) yang dipahami oleh anak pada tahap

ini berkembang sesuai dengan pemahaman konsep kekekalan. Kemampuan

mengurutkan objek berdasarkan panjang dipahami pada usia sekitar 7 tahun,

mengurutkan objek yang besarnya sama tetapi beratnya berlainan dicapai pada

umur sekitar 9 tahun, dan mengurutkan benda menurut volumnya dicapainya pada

sekitar 12 tahun.

Sejalan dengan kedua hal tersebut di atas, anak pada tahap ini memahami

pula konsep ekuivalensi dan klasifikasi. Piaget membuktikannya dengan eksperimen

sebagai berikut: seorang anak diberi 20 bola kayu, 15 buah di antaranya berwama

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 87

Page 88: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

merah. Apabila ditanyakan manakah yang lebih banyak, bola kayu atau bola

berwarna merah? Anak pada tahap pra operasional menjawab bahwa bola merah

lebih banyak, sedangkan anak pada tahap operasi konkret menjawab bahwa bola

kayu lebih banyak dari pada bola berwama merah. Eksperimen tersebut

menunjukkan kepada kita bahwa anak pada tahap operasi konkrit telah mampu

memperhatikan sekaligus dua macam kelompok yang berbeda. Ia telah dapat

mengelompokkan benda-benda yang memiliki beberapa karakteristik ke dalam

himpunan dan himpunan bagian dengan karakteristik khusus, dan dapat melihat

beberapa karakteristik suatu benda secara serentak.

Anak pada tahap ini baru mampu mengikat definisi yang telah ada dan

mengungkapkannya kembali, akan tetapi belum mampu untuk merumuskan sendiri

definisi-definisi tersebut secara tepat, belum mampu menguasai simbol verbal dan

ide-ide abstrak.

d. Tahap Operasi Formal (Formal Operation Stage)

Tahap operasi formal merupakan tahap akhir dari perkembangan kognitif secara

kualitas. Anak pada tahap ini sudah mampu melakukan penalaran dengan

menggunakan hal-hal yang abstrak. Penggunaan benda-benda konkret tidak

diperlukan lagi. Anak mampu bernalar tanpa harus berhadapan dengan objek atau

peristiwanya langsung. Penalaran yang terjadi dalam struktur kognitifnya telah

mampu hanya dengan menggunakan simbol-simbol, ide-ide, abstraksi dan

generalisasi. Ia telah memiliki kemampuan-kemampuan untuk melakukan operasi-

operasi yang menyatakan hubungan di antara hubungan-hubungan, memahami

konsep promosi.

Sebagai contoh, kita perhatikan eksperimen Piaget sebagai berikut: seorang

anak pada tahap ini dihadapkan pada gambar “Pak Pendek” dan untaian klip

(penjepit kertas) untuk mengukur tinggi “Pak Pendek” itu. Kemudian ditambahkan

penjelasan dalam bentuk verbal bahwa “Pak Pendek” itu mempunyai teman “Pak

Tinggi”. Lebih lanjut dikatakan bahwa apabila diukur dengan batang korek api tinggi

“Pak Pendek” empat batang, sedangkan tinggi “Pak Tinggi” enam batang korek api.

Berapakah tinggi “Pak Tinggi” bila diukur dengan klip? Dalam memecahkan masalah

di atas, anak harus melakukan operasi terhadap operasi.

Karakteristik lain dari anak pada tahap ini adalah telah memiliki kemampuan

untuk melakukan penalaran hipotetik-deduktif, yaitu kemampuan untuk menyusun

serangkaian hipotesis dan mengujinya.

Suatu eksperimen beliau lakukan terhadap anaknya sendiri bernama Paul (9,5

tahun). Child memberikan bandul yang terbuat dari plastisin sehingga berat bandul

dapat diubah-ubah dan tali bandul itu pun dapat diubah-ubah panjang-pendeknya.

Setelah melalui percobaan berulang-kali, Paul diminta untuk menemukan faktor-

faktor apa sajakah yang mempengaruhi waktunya ayunan bandul tersebut? Anaknya

mengemukakan bahwa faktor-faktor itu adalah berat bandul, panjang tali, dan cara

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 88

Page 89: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

melepas bandul. Kemudian Child mengemukakan bahwa dari ketiga hal tersebut

hanya satu hal yang mempengaruhi waktu ayunan. Setelah Paul melakukan kembali

percobaan tadi berulang-kali, ia tidak bisa menemukannya. Dengan demikian dari

ketiga hipotesis yang dikemukakan itu, ia belum mampu untuk mengujinya.

Selain itu, karakteristik lain dari anak pada tahap ini adalah telah memiliki

kemampuan berfikir kornbinatorial (combinatorial thought), yaitu kemampuan

menyusun kombinasi-kombinasi yang mungkin dari unsur-unsur dalam suatu sistem.

Misalnya kombinasi warna, kombinasi beberapa bilangan, dan kombinasi beberapa

huruf. Jadi, anak pada operasi formal tidak lagi berhubungan dengan ada-tidaknya

benda-benda konkrit, tetapi berhubungan dengan tipe berfikir. Apakah situasinya

disertai oleh benda-benda konkret atau tidak, bagi anak pada tahap berfikir formal

tidak menjadi masalah.

2. Teori Jerome Seymour Bruner

(Akan diuraikan di bagian lain).

3. Teori Gestalt

Gestalt adalah sebuah teori yang menjelaskan proses persepsi melalui

pengorganisasian komponen-komponen sensasi yang memiliki hubungan, pola, ataupun

kemiripan menjadi kesatuan. Teori gestalt beroposisi terhadap teori strukturalisme. Teori

gestalt cenderung berupaya mengurangi pembagian sensasi menjadi bagian-bagian

kecil. Istilah “Gestalt” mengacu pada sebuah objek/ figur yang utuh dan berbeda dari

penjumlahan bagian-bagiannya. Tokoh aliran ini adalah John Dewey. Ia mengemukakan

bahwa pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang diselenggarakan oleh guru harus

memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Penyajian konsep harus lebih mengutamakan pengertian.

b. Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar harus memperhatikan kesiapan intelektual

siswa.

c. Mengatur suasana kelas agar siswa siap belajar.

Dari ketiga hal di atas, dalam menyajikan materi guru jangan memberikan konsep

yang harus diterima begitu saja, melainkan harus lebih mementingkan pemahaman

terhadap proses terbentuknya konsep tersebut daripada hasil akhir. Untuk hal ini guru

bertindak sebagai pembimbing dan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan

proses melalui metode induktif.

Pendekatan dan metode yang digunakan tersebut haruslah disesuaikan pula

dengan kesiapan intelektual siswa. Siswa SMP masih ada pada tahap operasi konkret,

artinya jika ia akan memahami konsep abstrak matematika harus dibantu dengan

menggunakan benda konkret. Oleh karena itu dalam pelaksanaan kegiatan belajar

mengajar mulailah dengan menyajikan contoh-contoh konkret yang beraneka ragam,

kemudian mengarah pada konsep abstrak tersebut. Dengan cara seperti ini diharapkan

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 89

Page 90: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

kegiatan belajar mengajar bisa berjalan secara bermakna.

Kita ketahui bahwa faktor eksternal bisa mempengaruhi pelaksanaan dan hasil

belajar siswa. Oleh karena itu, sebelum, selama, dan sesudah mengajar guru harus

pandai-pandai (berusaha) untuk menciptakan kondisi agar siswa siap untuk belajar

dengan perasaan senang, tidak merasa terpaksa.

Psikologi Gestalt bermula pada pengamatan di lapangan. Ketika para ahli psikologi

Gestalt beralih dari masalah pengamatan ke masalah belajar, maka hasil-hasil yang telah

kuat/ sukses dalam penelitian mengenai pengamatan itu dibawanya dalam studi

mengenai belajar. Karena asumsi bahwa hukum-hukum atau prinsip-prinsip yang berlaku

pada proses pengamatan dapat ditransfer kepada hal belajar, maka untuk memahami

proses belajar orang perlu memahami hukum-hukum yang menguasai proses

pengamatan itu.

Pada pengamatan itu menekankan perhatian pada bentuk yang terorganisasi

(organized form) dan pola persepsi manusia. Psikologi Gestalt terkenal dengan teori

medan (field) atau lazim disebut cognitive field theory. Kelompok pemikiran ini

sependapat pada suatu hal yakni suatu prinsip dasar bahwa pengalaman manusia

memiliki kekayaan medan yang memuat fenomena keseluruhan lebih daripada bagian-

bagiannya. Keseluruhan ini memberikan beberapa prinsip belajar yang penting, antara

lain:

a. Manusia bereaksi dengan lingkunganya secara keseluruhan, tidak hanya secara

intelektual, tetapi juga secara fisik, emosional,sosial dan sebagainya.

b. Belajar adalah penyesuaian diri dengan lingkungan.

c. Manusia berkembang secara keseluruhan sejak dari kecil sampai dewasa, lengkap

dengan segala aspek-aspeknya.

d. Belajar adalah perkembangan kearah diferensiasi yang lebih luas.

e. Belajar hanya berhasil, apabila tercapai kematangan untuk memperoleh insight.

f. Tidak mungkin ada belajar tanpa ada kemauan untuk belajar, motivasi memberi

dorongan yang menggerakan seluruh organisme.

g. Belajar akan berhasil kalau ada tujuan.

h. Belajar merupakan suatu proses bila seseorang itu aktif, bukan ibarat suatu bejana

yang diisi.

Belajar sangat menguntungkan untuk kegiatan memecahakan masalah. Hal ini

nampaknya juga relevan dengan konsep teori belajar yang diawali dengan suatu

pengamatan. Belajar memecahkan masalah diperlukan suatu pengamatan secara cermat

dan lengkap. Menurut John Dewey ada lima upaya pemecahan masalah sebagai berikut:

a. Realisasi adanya masalah, yaitu memahami apa masalahnya dan juga harus dapat

merumuskan.

b. Mengajukan hipotesa, sebagai suatu jalan yang mungkin memberi arah pemecahan

masalah.

c. Mengumpulkan data atau informasi, dengan bacaan atau sumber-sumber lain.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 90

Page 91: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

d. Menilai dan mencobakan usaha pembuktian hipotesa dengan keterangan-keterangan

yang diperoleh.

e. Mengambil kesimpulan, membuat laporan atau membuat sesuatu dengan hasil

pemecahan.

4. Teori William Arthur Brownell

Brownell mengemukakan bahwa belajar matematika harus merupakan belajar

bermakna dan belajar pengertian. Dia menegaskan bahwa belajar pada hakikatnya

merupakan suatu proses yang bermakna. Bila kita perhatikan, teori yang dikemukakan

Brownell ini sesuai dengan teori belajar-mengajar Gestalt, yang muncul di pertengahan

tahun 1930. Menurut teori belajar-mengajar Gestalt, latihan hafal atau yang dikenal

dengan sebutan drill adalah sangat penting dalam kegiatan pengajaran. Cara ini

ditetapkan setelah tertanamnya pengertian.

Aritmetika atau berhitung yang diberikan pada anak-anak SD dulu lebih

menitikberatkan hafalan dan mengasah otak. Aplikasi dari bahan yang diajarkan dan

bagaimana kaitannya dengan pelajaran-pelajaran lainnya sedikit sekali dikupas. Menurut

Brownell anak-anak yang berhasil dalam mengikuti pelajaran pada waktu itu memiliki

kemampuan berhitung yang jauh melebihi anak-anak sekarang. Banyaknya latihan yang

diterapkan pada anak dan latihan mengasah otak dengan soal-soal yang panjang dan

sangat rumit merupakan pengaruh dari doktrin disiplin formal.

Terdapat perkembangan yang menunjukkan bahwa doktrin formal itu memiliki

kekeliruan yang cukup mendasar. Dari penelitian yang dilaksanakan pada abad 19

terdapat hasil yang menunjukkan bahwa belajar tidak melalui latihan hafalan dan

mengasah otak, namun diperoleh anak melalui bagaimana anak berbuat, berfikir,

memperoleh persepsi, dll.

Implikasi teori perkembangan kognitif Brownell dalam pembelajaran sebagai

berikut:

a. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu, guru

mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.

b. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan

baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-

baiknya.

c. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.

d. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.

e. Siswa hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan siswa

lain.

Pengaplikasian teori kognitif Brownell dalam belajar bergantung pada akomodasi.

Kepada siswa harus diberikan suatu area yang belum diketahui agar ia dapat belajar,

karena ia tidak dapat belajar dari apa yang telah diketahui saja dengan adanya area

baru, siswa akan mengadakan usaha untuk dapat mengakomodasikan.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 91

Page 92: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

5. Teori Zoltan Paul Dienes

Dienes adalah seorang matematikawan yang memusatkan perhatiannya pada cara-

cara pengajaran terhadap anak-anak. Dasar teorinya bertumpu pada teori Piaget, dan

pengembangannya diorientasikan pada anak-anak, sedemikian rupa sehingga sistem

yang dikembangkannya itu menarik bagi anak yang mempelajari matematika.

Dienes berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat dianggap sebagai

studi tentang struktur, memisah-misahkan hubungan-hubungan di antara struktur--

struktur dan mengkategorikan hubungan-hubungan di antara struktur-struktur. Dienes

mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika yang disajikan

dalam bentuk yang konkret akan dapat dipahami dengan baik. Ini mengandung arti

bahwa benda-benda atau objek-objek dalam bentuk permainan akan sangat berperan

bila dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran matematika.

Permainan bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktivitasnya tidak

berstruktur dan tidak diarahkan. Aktivitas ini memungkinkan anak mengadakan

percobaan dan mengotak-atik (memanipulasi) benda-benda konkret dan abstrak dari

unsur-unsur yang sedang dipelajarinya itu. Dalam tahap permainan bebas, anak-anak

berhadapan dengan unsur-unsur dalam interaksinya dengan lingkungan belajarnya atau

alam sekitar. Dalam tahap ini anak tidak hanya belajar membentuk struktur mental,

namun juga belajar membentuk struktur sikap untuk mempersiapkan diri dalam

pemahaman konsep.

Dalam penggunaan alat peraga matematika, anak-anak dapat dihadapkan pada

balok-balok logik yang membantu anak-anak dalam mempelajari konsep-konsep abstrak.

Dalam kegiatan belajar dengan menggunakan alat peraga ini anak-anak belajar

mengenal warna, tebal tipisnya benda, yang merupakan ciri atau sifat dari benda yang

dimanipulasinya itu.

Dalam permainan yang disertai aturan, anak-anak sudah mulai meneliti pola-pola

dan keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu. Keteraturan ini mungkin terdapat

dalam konsep tertentu tapi tidak terdapat dalam konsep yang lainnya. Anak yang telah

memahami aturan-aturan yang terdapat dalam konsep akan dapat mulai melakukan

permainan tadi. Jelaslah, dengan melalui permainan anak-anak diajak untuk mulai

mengenal dan memikirkan bagaimana struktur matematika itu. Makin banyak bentuk-

bentuk yang berlainan yang diberikan dalam konsep-konsep tertentu, maka akan makin

jelas konsep yang dipahami anak, karena anak-anak akan memperoleh hal-hal yang

bersifat logis dan matematis dalam konsep yang dipelajarinya itu.

Dalam mencari kesamaan sifat, anak-anak mulai diarahkan dalam kegiatan

menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk melatih

anak-anak dalam mencari kesamaan sifat-sifat ini, guru perlu mengarahkan mereka

dengan mentranslasikan kesamaan struktur dari bentuk permainan yang satu ke bentuk

permainan lainnya. Translasi ini tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak yang ada

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 92

Page 93: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

dalam permainan semula.

Representasi adalah tahap pengambilan kesamaan sifat dari beberapa situasi yang

sejenis. Anak-anak menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu, setelah

mereka berhasil menyimpulkan kesamaan sifat yang terdapat dalam situasi-situasi yang

dihadapinya itu. Representasi yang diperolehnya ini bersifat abstrak. Dengan demikian,

anak-anak telah mengarah pada pengertian struktur matematika yang sifatnya abstrak

yang terdapat dalam konsep yang sedang dipelajari.

Simbolisasi termasuk tahap belajar konsep yang membutuhkan kemampuan

merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan simbol

matematika atau melalui perumusan verbal.

6. Teori Van Hiele

Dalam pengajaran geometri terdapat teori belajar yang dikemukakan oleh Van

Hiele, yang menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak dalam geometri. Van

Hiele adalah seorang guru bangsa Belanda yang mengadakan penelitian dalam

pengajaran geometri. Menurut Van Hiele, tiga unsur utama dalam pembelajaran

geometri yaitu waktu, materi pengajaran dan metode pengajaran yang diterapkan, jika

ditata secara terpadu akan dapat meningkatkan kemampuan berfikir anak kepada

tingkatan berfikir yang lebih tinggi.

Van Hiele menyatakan bahwa terdapat lima tahap belajar anak dalam belajar

geometri, yaitu tahap pengenalan, tahap analisis, tahap pengurutan, tahap deduksi,

tahap akurasi yang akan diuraikan sebagai berikut:

a. Tahap pengenalan (Visualisasi)

Dalam tahap ini anak mulai belajar mengenali suatu bentuk geometri secara

keseluruhan, namun belum mampu belajar mengetahui adanya sifat-sifat dari bentuk

geometri yang dilihatnya itu. Contohnya, jika seorang anak diperlihatkan sebuah

kubus, maka ia belum mengetahui sifat-sifat yang dimiliki oleh kubus tersebut. Anak

belum menyadari bahwa kubus mempunyai 6 sisi yang berbentuk bujur sangkar,

mempunyai 12 rusuk, dll.

b. Tahap analisis

Pada tahap ini anak sudah mulai mengenal sifat-sifat yang dimiliki benda

geometri yang diamatinya seperti segitiga, persegi dan persegi panjang. Anak sudah

mampu menyebutkan keteraturan yang terdapat pada benda geometri itu. Misalnya,

ketika anak mengamati persegi panjang, ia telah mengetahui bahwa terdapat 2

pasang sisi yang berhadapan, dan kedua pasang sisi tersebut saling sejajar. Dalam

tahap ini anak belum mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu benda

geometri dengan benda geometri lainnya. Misalnya, anak belum mengetahui bahwa

bujursangkar adalah persegipanjang, bahwa bujursangkar adalah belah ketupat dan

sebagainya.

c. Tahap pengurutan (deduksi informal)

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 93

Page 94: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

Pada tahap ini anak sudah mulai mampu melaksanakan penarikan kesimpulan,

yang dikenal dengan sebutan berfikir dedukif. Namun kemampuan ini belum

berkembang secara penuh. Satu hal yang perlu diketahui adalah, anak pada tahap ini

sudah mulai mampu mengurutkan. Misalnya, anak sudah mengenali bahwa belah

ketupat juga merupakan layang-layang. Dalam pengenalan benda-benda ruang, anak

sudah mampu memahami bahwa kubus adalah balok. Pola pikir anak pada tahap ini

masih belum mampu menerangkan mengapa diagonal suatu persegi panjang sama

panjang.

d. Tahap deduksi

Dalam tahap ini anak sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif, yaitu

menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum menuju hal-hal yang bersifat

khusus. Anak juga telah mengerti betapa pentingnya peranan unsur-unsur yang tidak

didefinisikan, di sampaing unsur-unsur yang didefinisikan. Misalnya anak sudah mulai

memahami dalil. Selain itu, pada tahap ini anak sudah mulai mampu menggunakan

aksioma atau postulat yang digunakan dalam pembuktian.

Postulat dalam pembuktikan segitiga yang sama dan sebangun, seperti postulat

sudut-sudut-sudut, sisi-sisi-sisi atau sudut-sisi-sudut, dapat dipahaminya, namun

belum mengerti mengapa postulat tersebut benar dan mengapa dapat dijadikan

sebagai postulat dalam cara-cara pembuktian dua segitiga yang sama dan sebangun

(kongruen).

e. Tahap akurasi

Dalam tahap ini anak sudah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan dari

prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Tahap akurasi merupakan

tahap berfikir yang tinggi, rumit dan kompleks.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 94

Page 95: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

BAB VIITEORI PSIKOLOGI BELAJAR TINGKAH LAKU

ROBERT MILLS GAGNÉ (21 Agustus 1916 – 28 April 2002)"Learning is Something that Takes Place Inside A Person's Head- in The Brain"

A. Riwayat Hidup

Robert Mills Gagné (nama panggilan Mr. Gagné) lahir di North Andover,

Massachusetts, Amerika Serikat pada tanggal 21 Agustus 1916. Ia meninggal pada

tanggal 28 April 2002.

Pada tahun 1937, Ia menyelesaikan pendidikan setara S-2 dari Universitas Yale, dan

pada tahun 1940, ia menyelesaikan program setara S-3 bidang psikologi dari Universitas

Brown. Dari Universitas Brown, pada 1940-1949 Ia menjabat sebagai professor psikologi

dan psikologi pendidikan pada akademi untuk kaum wanita (Connecticut College for

Women), dan pada 1945-1946, aa mengajar di Universitas Negeri Pennsylvania, tahun

1958-1962 di Universitas Princeton, and tahun 1966-1969 di Barkeley _ Universitas

California. Dan sejak tahun 1969 telah menjadi professor pada Departemen Riset

Penelitian di Tallehassee-Universitas Negeri Florida. Tahun 1949-1958 Gagné juga

sebagai direktur penelitian untuk militer Angkatan Udara Amerika di Lackland, Texas,

Lowry, dan Colorado. Tahun 1958-1961 ia menjabat sebagai konsultan untuk

Departemen Defense dan pada tahun 1964-1966 ia sebagai konsultan untuk

Departemen Pendidikan Amerika Serikat (United States Office of Education).

Antara 1949-1958, Gagné menjadi direktur penelitian pada laboratorium “kognitif

dan keterampilan motorik”, sekaligus mengajar dan melatih persoalan-persoalan

psikologi untuk militer Angkata Udara (Air force) di Amerika Serikat (USA). Ia juga banyak

melayani konsultasi psikologi pada United States Department of Defense. Pada

kesempatan itu, ia memulai mengembangkan beberapa ide tentang teori belajar yang

dinamakan "Conditions of Learning".

Sampai tahun 2000, ia menjabat sebagai Professor pada Departemen Riset

Pendidikan, Universitas Negeri di Tallahassee. Selama 25 tahun yang silam, ia

menterjemahkan serta menggunakan penemuan-penemuan atau teori-teorinya terutama

menyangkut pembelajaran di sekolah.

Gagné yakin dengan filosofisnya bahwa pengajaran yang efektif akan tercapai

melalui kebiasaan dari luar lingkungan.  Ia mendukung pengajaran secara komulatif,

yaitu peralihan dari keterampilan yang sederhana (simple) ke keterampilan yang lebih

besar (complex) akan memberi hasil yang efektif. Hirarki kerangka ini sangat luas

penggunaannya dalam banyak lingkungan pengajaran

Gagné telah memberi kontrubusi yang besar pada bidang pendidikan dan desain

pengajaran. Gagné telah menulis beberapa buku tentang teori belajar, yang mana lebih

dikenal dengan “The Conditions of Learning”. Sampai meninggal, ia masih menjabat

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 95

Page 96: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

sebagai professor pada Departemen Riset Pendidikan, Universitas Negeri Florida, yang

mana sejak tahun 1969 ia telah mengajar di Universitas ini.

Kerangka teori Gagne seluruhnya berkisar pada aspek belajar, dengan fokus teori

pada Keterampilan Intelektual. Mulanya teori belajar Gagne berkembang ketika mengajar

pada pelatihan militer Angkatan Udara Amerika serikat.

Ringkasan:

1. Pendidikan

Yale, A.B. 1937

Brown, Ph.D. 1940

2. Karier

a. Professor, Connecticut College for Woman (1940-49)

b. Professor, Penn State University (1945-46)

c. Director of Perceptual and Motor Skills Laboratory, U.S. Air Force (1949-58)

d. Professor, Florida State University (2002)

3. Kontribusi terbesar dalam pengembangan pemebelajaran

a. co-developer of "Instructional Systems Design"

b. wrote The Conditions of Learning, 1965

c. co-wrote Principles of Instructional Design

B. Ringkasan Teori Psikologi Belajar Gagne

1. Kondisi belajar

Buku tentang teori belajar Gagné yang berjudul “The Conditions of Learning”,

diterbitkan pertama kali tahun 1965, yang banyak berisi tentang identifikasi kondisi

mental untuk belajar. Hal ini didasarkan pada model proses informasi dari kejadian-

kejadian mental ketika diberikan berbagai macam stimulus pada orang dewasa. Gagné

menghasilkan sembilan langkah proses pengajaran, yang mana menghubungkan ke

alamat kondisi belajar.

Gagne mengidentifikasi lima kategori besar dalam belajar: 1) informasi verbal, 2)

keterampilan intelektual, 3) strategi kognitif, 4) keterampilan motorik, dan 5) sikap.

Perbedaan kondisi internal dan eksternal dapat memberi kebutuhan untuk setiap tipe

belajar.

2. Sembilan kejadian pengajaran

Sembilan fase kejadian dalam pengajaran adalah: 1) fase motivasi, 2) fase

pengenalan, 3) fase perolehan, 4) fase retensi, 5) fase pemanggilan, 6) fase generalisasi,

7) fase penampilan, 8) fase umpan balik, dan 9) fase generalisasi. Sembilan kejadian

pengajaran oleh Gagne disebutkan juga sebagai hirarki belajar. Sembilan kejadian

pengajaran akan berdampak pada proses mental internal pembelajar. Secara singkat

akan dijelaskan sebagai berikut:

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 96

Page 97: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

a. Memberi Perhatian (reception); menyangkut minat pembelajar terhadap suatu

materi pelajaran.

Misal: pengajar menunjukkan sebuah bola, katakan bagaimana yang bagus tentang

bola tersebut.

b. Menyampaikan pembelajar yang objektif (expectancy); biarkan pembelajar

mengetahui apa yang mereka akan belajar.

Misal: hari ini, kita akan belajar bagaimana membuat sebuah bentuk bola.

c. Mengingatkan pengetahuan terdahulu (retrieval); menampilkan kepada

pembelajar untuk berpikir tentang apa yang mereka telah ketahui.

Misal: apakah seseorang pernah mempunyai sebuah bola? Di mana? Kapan? Untuk

apa?

d. Bahan terbaru (selective perception); mengajar sesuai topik yang terbaru

Misal: menunjukkan pembelajar untuk membuat sebuah bola.

e. Sediakan penuntun belajar (semantic encoding); menolong pembelajar untuk

mengikuti suatu topik yang sedang dibahas.

Misal: menyediakan poster gambar yang berisi langkah-langkah dalam membuat

sebuah bola.

f. Mengeluarkan penampilan (responding); menanyakan kepada pembelajar

untuk melakukan apa yang diajarkan.

Misal: memberi pembelajar komponen untuk membuat suatu bentuk bola.

g. Memberi umpan balik (reinforcement); memberitahu pembelajar tentang

penampilan mereka.

Misal: berputar-putar mengelilingi di dalam ruang kelas, mengobservasi dan

membantu pembelajar.

h. Menampilkan tugas (retrieval); mengevaluasi pembelajar pada pengetahuan

mereka tentang topik yang telah dibahas.

Misal: latihan pembelajar membuat bola, jika sudah berhasil benar, mereka diijinkan

untuk pergi makan.

i. Menambah ingatan dan transfer (generalization).; membantu pembelajar

dalam mengingat dan menggunakan keterampilan baru.

Misal: selama pembelajar membuat bola sambil snack, rekreasi (karyawisata) dan

sebgainnya.

3. Model pemrosesan informasi

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 97

LINGKUNGAN

Efektor

Reseptor

Registor Pengindera

an

Generator

Respon

Kontrol Eksekutif

Harapan

Memori JangkaPendek

Memori Jangka

Panjang

Page 98: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

(Sumber: Teori-teori Belajar, R. Gagne, 1985 dalam R.W. Dahar, 1988)

Informasi dalam memori kerja dapat dikode, kemudian disimpan dalam memori

jangka-panjang. Pengkodean merupakan suatu proses transformasi, di mana informasi

baru diintegrasikan pada infromasi lama dengan berbagai cara. Memori jangka-panjang

menyimpan informasi yang akan digunakan di kemudian hari. Berlawanan dengan

memori kerja, memori jangka-panjang bertahan sangat lama.

Informasi yang telah disimpan di memori jangka-panjang, bila akan digunakan lagi

harus dipanggil. Informasi yang telah dipanggil merupakan dasar generasi respons.

Dalam pikiran sadar informasi mengalir dari memori jangka-panjang ke memori jangka-

pendek, dan kemudian ke generator respons. Tetapi untuk proses otomatis, informasi

mengalir langsung dari memori jangka-panjang ke generator respons selama

pemanggilan.

Generator respons mengatur urutan respons, dan membimbing efektor-efektor.

Efektor-efektor meliputi semua otot dan kelenjar, tetapi untuk tugas-tugas sekolah,

efektor-efektor yang utama ialah tangan untuk menulis dan alat suara untuk berbicara.

Aliran informasi dalam sistem manusia ternyata bertujuan, dan diatur oleh kotak-

kotak yang disebut harapan dan kontrol eksekutif. Khususnya harapan-harapan tentang

hasil kegiatan mental mempengaruhi pemrosesan informasi, seperti prosedur

pengontrolan dan strategi-strategi mempengaruhi pencapaian tujuan-tujuan.

Sebagai ilustrasi, dalam pembelajaran matematika, seorang guru SMA bertanya

pada siswanya Renstha. Bagaimana rumus deret-aritmetika, Renstha menjawab “tidak

tahu pak”. Pada waktu yang sama Renstha sudah mempunyai harapan bahwa ia akan

belajar rumus deret-aritmetika, yang menyebabkan ia memberikan perhatian pada

pelajaran yang akan diberikan. Guru kemudian berkata; “rumus deret-aritmatika adalah

……… Telinga Renstha menerima pesan ini bersama dengan suara-suara lainnya,

misalnya percakapan teman-temannya atau suara lainnya dari lingkungan tempat

belajar. Semua suara yang didengar Renstha diubah menjadi impuls-impuls elektrokimia,

dan dikirim ke register penginderaan. Pola bahwa rumus deret-aritmetika ialah….terpilih

dalam memeori kerja, tetepai pola-pola suara yang lain tidak masuk. Renstha kemudian

mengkode fakta bahwa rumus deret-aritmetika ialah ……..dengan cara menghubungkan

fakta ini dengan fakta-fakta lain yang telah diketahuinya. Proses pengkodean ini

menyebabkan fakta yang baru itu masuk ke dalam memori jangka panjang. Bila Renstha

telah mengembangkan strategi-strategi memori khusus, maka proses-proses kontrol

eksekutif Renstha akan mengarahkan proses pengkodean agar menggunakan strategi-

strategi khusus ini. Dalam pelajaran berikutnya, guru bertanya pada Renstha;

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 98

Page 99: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

“bagaimana rumus deret-aritmetika”?. Pertanyaan ini diterima dan dipilih untuk masuk

kedalam memori kerja. Di sini pertanyaan itu menyediakan isyarat-isyarat untuk

memanggil jawaban dari memori jangka panjang. Kopi dari jawaban digunakan oleh

generator repons untuk mengatur alat-alat suara yang menghasilkan suara; “rumus

deret-aritmetika”. Pada waktu ini harapan Renstha, bahwa ia akan mempelajari rumus

deret-aritmetika, terpenuhi.

Selanjutnya Gagne berkesimpulan bahwa bahwa kapasitas memori jangka pendek

pada manusia sangat kecil, tetapi implikasinya sangat penting dalam pengajaran.

a. Penyajian pengetahuan

Dalam bukunya “The Cognitive Psychology of School Learning”, Gagne

mengemukakan tiga bentuk penyajian pengetahuan, yaitu:

1) Proposisi (Gagasan)

2) Produksi (Hasil)

3) Images (Gambaran mental)

b. Belajar Konsep

Formasi konsep merupakan bentuk perolehan konsep-konsep sebelum anak-

anak masuk sekolah. Formasi konsep dapat disamakan dengan belajar konsep-

konsep konkrit. Anak yang belajar dihadapkan pada sejumlah contoh-contoh dan

noncontoh-noncontoh dari konsep-konsep tertentu. Melalui proses diskriminasi dan

abstraksi, ia menetapkan suatu aturan yang menentukan kriteria untuk konsep itu.

Misalnya; konsep anak tentang bola: “dapat dikenakan pada satu benda-suatu benda

kecil, bulat dan merah yang menggelinding.

Menurut Gagne, ada dua kondisi untuk belajar konsep, yaitu kondisi internal dan

kondisi eksternal. Berikut ilustrasi kondisi internal dan eksternal.

1) Kondisi internal; siswa harus dapat membedakan contoh suatu konsep dan

noncontoh suatu konsep. Jika digunakan instruksi verbal, subjek sudah harus

sebelumnya mempelajari nama verbal. Siswa harus mengingat kembali

diskriminasi maupun nama verbal.

2) Kondisi eksternal; isyarat-isyarat verbal merupakan cara-cara utama

dalam mengajar konsep-konsep konkrit.

4. Keterampilan-keterampilan intelektual

Keterampilan-keterampilan intelektual memungkinkan seseorang berinteraksi

dengan lingkungannya melalui penggunaan simbol-simbol atau gagasan-gagasan.

Karena keterampilan-keterampilan itu merupakan penampilan-penampilan yang

ditunjukkan oleh siswa tentang operasi-operasi intelektual yang dapat dilakukannya.

Untuk memecahkan masalah, siswa memerlukan aturan-aturan tingkat tinggi, yaitu

aturan-aturan yang kompleks, dan konsep-konsep terdefinisi. Sehingga untuk

memperoleh aturan-atuarn ini siswa sudah harus belajar beberapa konsep konkrit, dan

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 99

Page 100: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

untuk belajar konsep-konsep konkrit ini, siswa harus menguasai perbedaan-perbedaan

(diskriminasi-diskriminasi).

a. Diskriminasi-diskriminasi

Merupakan suatu kemampuan untuk mengadakan respons-respons yang berbeda

terhadap stimulus-stimulus yang berbeda dalam satu atau lebih dimensi fisik.

b. Konsep-konsep konkrit

Suatu konsep konkrit menunjukkan suatu sifat objek atau atribut objek, seperti:

warna, bentuk, dll. Sifat-sifat obyek seperti: bulat, persegi, biru, merah, kasar, dll.

Dengan adanya ditampilkannya objek konkrit, siswa dengan mudah membuat atau

menemukan suatu konsep. Selain itu perlu juga diperhatikan mengenai posisi suatu

objek, misalnya: di atas, di bawah, di muka, di belakang, di kiri, di kanan, dll.

c. Konsep-konsep terdefinisi

Merupakan konsep yang telah didefinisikan sebelumnya. Dalam belajar siswa dengan

mudah menentukan nama suatu objek dengan menggunakan konsep konkrit

terdahulu atau sebelumnya. Konsep terdefinisi adalah suatu aturan pengklasifikasian

atau merupakan suatu bentuk khusus dari aturan yang bertujuan untuk

mengelompokkan objek-objek dan kejadian-kejadian.

d. Aturan-aturan

e. Aturan-aturan tingkat tinggi

Berikut akan ditunjukkan tingkat-tingkat kompleksitas dalam keterampilan-

keterampilan intelektual menurut Gagne.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 100

Pemecahan Masalah

Aturan-aturan Tingkat Tinggi

Aturan-aturan dan Konsep-konsep Tingkat Terdefinisi

Konsep-Konsep Konkrit

Diskriminasi-Diskriminasi

melibatkan pembentukan

yang membutuhkan sebagai prasayarat-prasayarat

yang membutuhkan sebagai prasayarat-prasayarat

yang membutuhkan sebagai prasayarat-prasayarat

Tingkat-tingkat kompleksitas dalam keterampilan-keterampilan Intelektual

Gagne (dalam R.W.Dahar, 1988)

Page 101: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

5. Strategi-strategi kognitif

Strategi kognitif merupakan suatu proses kontrol, yaitu suatu proses internal yang

digunakan orang (pembelajar) untuk memilih dan mengubah cara-cara memberikan

perhatian, belajar, mengingat dan berpikir. Strategi-strategi ini selanjutnya dapat

dijabarkan oleh Weinstein dan Mayer, sebagai beriku.

a. Strategi-strategi menghafal (Rehearsal strategies)

b. Strategi-strategi elaborasi (Elaboration strategies)

c. Strategi-strategi pengaturan (Organizing trategies)

d. Strategis-strategi metakognitif

e. Strategi-strategi afektif

Menunjukkan penampilan-penampilan yang kompleks dalam suatu situasi baru,

dimana diberikan sedikit bimbingan dalam memilih dan menerapkan aturan-aturan dan

konsep-konsep yang telah dipelajari sebelumnya.

a. Keterampilan afektif

Sikap merupakan pembawaan yang dapat dipelajari, dan dapat mempengaruhi

perilaku seseorang terhadap benda-benda, kejadian-kejadian atau makhluk-makhluk

hidup lainnya.

Perilaku yang ditunjukkan siswa mencerminkan pilihan tindakan terhadap suatu

kegiatan pembelajaran.

b. Informasi verbal

Infromasi-informasi verbal diperoleh sebagai hasil belajar di sekolah, kata-kata yang

diucapkan orang, dari membaca, dari berita radio, televisi dan media lainnya.

c. Keterampilan-keterampilan motorik

Keterampilan-keterampilan motorik tidak hanya mencakup kegiatan-kegitan fisik,

melainkan juga kegiatan-kegiatan motorik yang digabung dengan keterampilan

intelektual.

6. Implikasi dalam matematika

Implikasi teori tingkah laku yang dikembangkan Gagne dalam matematika sebagai

berikut:

a. Bahan pengajaran hendaknya dipecah menjadi bagian-bagian kecil,

kemudian diurutkan, untuk memudahkan siswa mengaitkan pengetahuan yang baru

dengan yang lama. Misalnya: membuat grafik fungsi kuadrat, bagian-bagiannya

adalah pengertian persamaan kuadrat, pembuat nol fungsi persamaan sumbu simetri

parabola, koordinat titik puncak.

b. Setiap saat hendak memulai pelajaran, guru hendaknya mengecek

kesiapan siswa untuk mempelajari bahan baru, dengan mengajukan pertanyaan yang

berhubungan dengan pengetahuan prasyarat yang harus dimiliki siswa.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 101

Page 102: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

c. Ganjaran maupun pengetahuan dapat digunakan untuk memotivasi siswa

belajar matematika jika rasa ingin tahu untuk belajar matematika belum muncul.

Misalnya: guru dapat memberikan pujian pada jawaban siswa yang benar, tidak

menolak begitu saja pendapat siswa yang menjawab salah, memberi nilai 100 atau

tanda benar untuk jawaban yang benar.

d. Jika seorang siswa melakukan kesalahan, dan kesalahan itu

dipraktekannya berulang-ulang, hal itu akan menjadi kebiasaan baginya dan sukar

untuk diperbaiki. Untuk menghindari hal tersebut, guru matematika SMA hendaknya

memperbaiki kesalahan siswanya sendiri sedini mungkin. Itulah sebabnya, guru

disarankan untuk berkeliling dan mengamati pekerjaan siswa agar memperbaiki

kesalahan sedini mungkin.

e. Untuk memantapkan dan melatih pengetahuan siswa, maka kepada siswa

perlu diberikan tugas, baik untuk dikerjakan di sekolah maupun untuk di rumah.

7. Contoh aplikasi dalam pengajaran matematika

Berikut adalah ilustrasi sembilan langkah pengajaran secara objektif, penemuan

pada segitiga samasisi :

a. Fase motivasi, (Gain attention)– tunjukkan jenis-jenis segitiga melalui media yang

dapat menarik perhatian siswa (melalui slide, gambar, dan sebagainya).

b. Fase pengenalan. (Identify objective) – memberi pertanyaan disertai gerakan

tubuh: "Apa yang dimaksud dengan segitiga sama sisi?" .

c. Fase perolehan (Recall prior learning) – meninjau definisi-definisi tentang segitiga.

d. Fase retensi, (Present stimulus) – memberikan definisi tentang segitiga samasisi

e. Fase pemanggilan (Guide learning)- menunjukkan contoh bagaimana membuat

samasisi

f. Fase generalisasi (Elicit per formance) – meminta siswa untuk membuat 5 contoh

segitiga yang berbeda.

g. Fase penampilan (Provide feedback) – periksa semua contoh apakah benar atau

salah

h. Fase umpan balik (Assess performance)- memberi skor dan remidiasi.

i. Fase generalisasi (Enhance retention/ transfer) – menunjukkan gambar objek

yang berbeda-beda dan meminta siswa untuk identifikasi samasisi atau bukan

samasisi.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 102

Page 103: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

BAB VIIITEORI PSIKOLOGI BELAJAR KOGNITIF

JEROME SEYMOUR BRUNER (1 OKTOBER 1915 - )

A. Pendahuluan

RIWAYAT HIDUP

Nama : Jerome Seymour Bruner

TTL : New York/ 1 Oktober 1915

Pendidikan :

- S1 di Universitas Duke (1937).

- S2 di Universitas Harvard USA (1939).

- S3 di Universitas Harvard USA (1941).

Disertasinya berjudul “A Psychological Analysis of International Radio Broadcasts of

Belligerent Nations” (Analisis Psikologi pada Siaran Radio Internasional Negara-

Negara Perperangan)

Pekerjaan :

1. Tahun 1945 – 1972 di Universitas Harvard.

Pada tahun 1952 memberi kuliah kepada para profesor. Tahun 1960 – 1972, sebagai

fasilitator pada pusat studi kognitif. Beliau dipilih menjadi presiden Asiosiasi Psikologi

Amerika selama tahun 1964 – 1965.

2. Tahun 1945 – 1980 di Universitas Oxford.

Pada tahun 1972 melanjutkan perjalanan studinya ke kepulauan Atlantik dan

menjabat sebagai profesor kepala experimen psikologi.

3. Tahun 1991 – sampai sekarang di Fakultas Hukum Universitas New York.

Pada tahun 1991 – 1998 menjadi profesor peneliti di bidang psikologi. Pekerjaan

utamanya adalah mendirikan suatu lembaga resmi untuk menggunakan teori-

teorinya pada bidang antropologi, psikologi, kebahasaan, dan kesastraan.

Karier :

1. Tahun 1939 – 1945, sebagai konsultan di Universitas Harvard dan pusat studi

kognitif.

2. Tahun 1946 – 1950, mengembangkan teori psikologi Gestalt dan

mengembangkan pandangan baru di bidang psikologi.

3. Tahun 1950 – 1966, mengembangkan teori konstruktivisme, setelah Vygotsky,

Luria, dan Piaget.

4. Tahun 1967 – 1971, mengembangkan teori belajar bahasa pada anak-anak di

Universitas Oxford.

5. Tahun 1970, mengembangkan kemampuan komunikasi dan bahasa pada

anak-anak.

6. Awal tahun 1980, memusatkan pada budaya dan paham interaksi.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 103

Page 104: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

7. Akhir tahun 1980 – awal tahun 1990, sebagai naratif, autobiografi, dan

konstruksi di Universitas New York.

8. Akhir tahun 1990 – sekarang, berkecimpung di bidang hukum dan naratif.

Dari riwayat hidup tersebut, tampak bahwa Bruner merupakan ahli psikologi

perkembangan dan belajar kognitif. Pendekatannya tentang psikologi adalah eklektik

(memilih yang terbaik dari berbagai sumber). Penelitiannya meliputi persepsi manusia,

motivasi belajar dan berpikir. Dalam mempelajari manusia, ia menganggap manusia

sebagai pemroses, pemikir, dan pencipta informasi.

Buku “The Proses of Education” yang diterbitkan pada tahun 1960, merupakan

rangkuman dari hasil Konferensi Woods Hole yang diadakan dalam tahun 1959, yaitu

suatu konferensi yang membawa banyak pengaruh pada pendidikan pada umumnya dan

pengajaran sains pada khususnya.

Bruner tidak mengembangkan suatu teori belajar yang sistematis. Menurutnya

yang penting adalaha cara bagaimana orang memilih, mempertahankan, dan

mentransformasi informasi yang aktif. Proses tersebut menurutnya adalah inti dari

belajar. Oleh karena itu, ia memusatkan perhatian pada masalah apa yang dilakukan

manusia dengan informasi yang diterimanya, dan apa yang dilakukannya sesudah

memperoleh informasi yang diskrit itu untuk mencapai pemahaman yang memberikan

kemampuan padanya.

B. Teori-teori Bruner

1. Mengenai pendidikan

Bruner mengemukaan empat hal yang penting dalam pendidikan, yaitu:

a. Pentingnya struktur Pengetahuan.

Kurikulum hendaknya mementingkan struktur pengetahuan, karena struktur

pengetahuan yang dimiliki guru dapat membantu siswa untuk melihat bagaimana

fakta-fakta yang kelihatannya tidak ada hubungan, dapat dihubungkan satu dengan

lainnya dengan informasi yang telah dimiliki siswa.

b. Pentingnya kesiapan (readiness) dalam belajar.

Kesiapan terdiri atas penguasaan keterampilan-keterampilan sederhana, yang dapat

membantu seseorang untuk mencapai keterampilan-keterampilan yang lebih tinggi.

Misalnya, untuk belajar geometri Euclid, siswa diberikan kesempatan untuk

membangun konstruksi-konstruksi yang semakin kompleks dengan menggunakan

poligon-poligon.

c. Pentingnya menekankan nilai instuisi dalam proses pendidikan.

Dengan intuisi, teknik-teknik intelektual dapat sampai pada formulasi-formulasi

tentatif (masih dapat berubah-ubah) tanpa melalui langkah-langkah analitis untuk

mengetahui apakah formulasi-formulasi itu merupakan kesimpulan-kesimpulan yang

sahih atau tidak.

d. Pentingnya motivasi atau keinginan untuk belajar.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 104

Page 105: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

Guru sebaiknya menyediakan cara-cara untuk merangsang motivasi siswa.

Contohnya guru memberi kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi secara aktif

dalam menghadapi alamnya. Pengalaman belajar semacam ini merupakan contoh

pengalaman belajar penemuan yang intuitif.

2. Model dan kategori

Pendekatan Bruner dalam belajar didasarkan pada dua asumsi, yaitu:

a. Perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif.

Berlawanan dengan para penganut teori perilaku, Bruner yakin bahwa seseorang

yang belajar berinteraksi dengan lingkungannya secara aktif, maka perubahan tidak

hanya terjadi pada lingkungan, tetapi juga dalam orang itu sendiri.

b. Model alam (model of the wold), orang mengkonstruksi

pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang baru dengan informasi

yang diperoleh sebelumnya.

Dengan menghadapi berbagai aspek dari lingkungan, orang akan membentuk suatu

struktur atau model yang membolehkan untuk mengelompokkan hal-hal tertentu,

atau membangun suatu hubungan antara hal-hal yang telah diketahui. Dengan model

ini, orang dapat menyusun hipotesis untuk memasukkan pengetahuan baru ke dalam

struktur-strukturnya, dengan memperluas struktur-struktur itu atau dengan

mengembangkan struktur atau substruktur baru, dan untuk mengembangkan

harapan-harapan tentang apa yang akan terjadi.

Dalam belajar, hal-hal yang mempunyai kemiripan dihubungkan menjadi suatu

struktur yang memberikan arti pada hal-hal itu. Dalam berinteraksi dengan lingkungan,

orang mengembangkan model dalam (inner mode) atau sistem koding untuk menyajikan

alam sebagaimana yang diketahuinya. Orang dapat membayangkan struktur ini sebagai

suatu lemari besar yang di dalamnya terdapat banyak laci yang berisi map-map (file).

Manusia mempunyai kapasitas untuk mengisi lemari ini, dan menyimpan segala yang

dimasukkan ke dalamnya dalam waktu lama. Setiap laci ini mempunyai beberapa map,

dan setiap map mungkin dibagi lagi menjadi subbagian. Tetapi, jika hanya ini yang

terdapat dalam sistem penyimpanan itu, maka struktur itu merupakan hal yang steril.

Keadaan yang sebenarnya adalah dalam sistem yang besar ini, terdapat banyak

referensi-referensi silang (cross references) yang saling menghubungkan map-map itu

untuk membentuk satu seri hubungan-hubungan yang sangat kompleks.

Pendekatan Bruner dalam belajar dapat diuraikan sebagai suatu pendekatan

kategorisasi. Bruner beranggapan, bahwa semua interaksi-interaksi kita dengan alam

melibatkan kategori-kategori yang dibutuhkan bagi pemfungsian manusia. Tanpa

kategori, manusia harus mempunyai satu laci dalam lemari map untuk setiap objek,

benda, dan gagasan dalam pengalaman. Kategorisasi dapat menyederhanakan

kekompleksan dalam lingkungan manusia.

Dengan adanya sistem kategori, manusia dapat mengenal objek-objek baru. Hal ini

dikarenakan obiek-objek baru memiliki kemiripan dengan objek-objek yang telah ada

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 105

Page 106: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

dalam sistem kode manusia. Manusia dapat mengklasifikasikan dan memberikan ciri-ciri

tertentu pada benda-benda atau gagasan-gagasan baru. Dalam kenyataannya, jika

seseorang dihadapkan pada suatu benda baru, dan tidak dapat mengkategorisasikannya

dengan cara-cara tertentu, ia tidak dapat menentukannya, dan tidak dapat

menempatkannya di dalam sistem penyimpanan.

Kategorisasi dapat membawa manusia ke tingkat yang lebih tinggi daripada

informasi yang diberikan. Manusia menentukan objek-objek dengan mengasosiakan

objek-objek itu dengan suatu kelas. Bila seseorang mengklasifikasikan suatu objek, maka

ia akan mempengaruhi objek itu dengan sekumpulan sifat-sifat, atribut-atribut kritis, dan

hubungan-hubungan. Manusia melakukan hal ini melalui inferensi, menemukan lebih

banyak daripada yang kita peroleh langsung dari objek itu.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan pengembangan

kategori-kategori dan pengembangan suatu sistem pengkodean. Berbagai kategori-

kategori saling berkaitan sedemikian rupa, sehingga setiap individu mempunyai model

yang unik tentang alam. Dalam model ini, belajar baru dapat terjadi jika mengubah

model itu. Hal ini teriadi melalui pengubahan kategori-kategori, menghubungkan

kategori-kategori, atau dengan menambah kategori-kategori baru.

3. Belajar sebagai proses kognitif

Bruner mengemukakan, bahwa belajar melibatkan tiga proses yang berlangsung

hampir bersamaan, yaitu:

a. Memperoleh informasi baru.

Informasi baru dapat merupakan penghalusan dari informasi sebelumnya, atau

berlawanan dengan informasi sebelumnya yang dimiliki seseorang.

b. Transformasi informasi.

Transformasi berhubungan dengan cara seseorang memperlakukan pengetahuan,

apakah dengan cara ekstrapolasi, atau dengan mengubah menjadi bentuk lain.

c. Menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan.

Relevansi dan ketetapan pengetahuan dapat diuji dengan menilai apakah cara

memperlakukan pengetahuan itu sudah cocok dengan tugas yang ada.

Bruner menyebut pandangannya tentang belajar atau pertumbuhan kognitif

sebagai konseptualisme instrumental. Pandangan ini berpusat pada dua prinsip, yaitu:

a. Pengetahuan seseorang tentang alam didasarkan pada model-model tentang

kenyataan yang dibangunnya.

b. Model-model tersebut mula-mula diadopsi dari kebudayaan seseorang,

kemudian diadaptasikan pada kegunaan bagi orang bersangkutan.

Persepsi seseorang tentang suatu peristiwa merupakan suatu proses konstruktif.

Dalam menyusun hipotesis, seseorang menghubungkan data inderanya pada model

yang telah disusunnya tentang alam, lalu menguji hipotesisnya terhadap sifat-sifat

tambahan dari peristiwa itu. Jadi, seorang pengamat tidak dipandang sebagai organisme

reaktif yang pasif, tetapi sebagai seseorang yang memilih informasi secara aktif, dan

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 106

Page 107: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

membentuk hipotesis perseptual.

Pendewasaan pertumbuhan intelektual atau kognitif seseorang, yaitu:

a. Pertumbuhan intelektual ditunjukkan oleh bertambahnya

ketidaktergantungan respons dari sifat stimulus.

Dalam pertumbuhan intelektual, seorang anak terlihat mempertahankan suatu

respons dalam lingkungan stimulus yang berubah-ubah, atau belajar mengubah

responsnya dalam lingkungan stimulus yang tidak berubah. Jadi, melalui

pertumbuhan, seseorang memperoleh kebebasan dari pengontrolan stimulus melalui

proses-proses perantara yang mengubah stimulus sebelum respons.

b. Pertumbuhan intelektual tergantung pada bagaimana seseorang

menginternalisasi peristiwa-peristiwa menjadi suatu sistem simpanan (storage

system) yang sesuai dengan lingkungan.

Sistem inilah yang memungkinkan peningkatan kemampuan anak untuk bertindak di

atas informasi yang diperoleh pada suatu kesempatan. Ia melakukan dengan

membuat ramalan-ramalan, dan ekstrapolasi-ekstrapolasi dari model alam yang

disimpannya.

c. Pertumbuhan intelektual menyangkut peningkatan kemampuan seseorang

untuk berkata pada dirinya sendiri atau pada orang lain, dengan pertolongan kata-

kata dan simbol-simbol, mengenai apa yang telah dilakukannya atau akan

dilakukannya.

Kesadaran diri dapat mendorong suatu transisi dari perilaku keteraturan ke perilaku

logika. Ini merupakan suatu proses yang membawa manusia melampaui adaptasi

empiris.

Hampir semua orang dewasa menggunakan tiga sistem keterampilan untuk

menyatakan kemampuan-kemampuannya secara sempurna. Ketiga sistem keterampilan

tersebut adalah tiga cara penyajian (modes of prsentation), yaitu:

a. Enaktif

Cara penyajian enaktif ialah melalui tindakan, sehingga bersifat manipilatif. Dengan

cara ini seseorang mengetahui suatu aspek dari kenyataan tanpa menggunakan

pikiran atau kata-kata. Jadi, cara ini terdiri atas penyajian kejadian-kejadian yang

lampau melalui respons-respons motorik. Dengan cara ini dilakukan satu set

kegiatan-kegiatan untuk mencapai hasil tertentu.

b. Ikonik

Cara penyajian ikonik didasarkan atas pikiran internal. Pengetahuan disajikan melalui

sekumpulan gambar-gambar yang mewakili suatu konsep, tetapi tidak

mendefinisikan konsep secara keseluruhan. Penyajian ikonik terutama dikendalikan

oleh prinsip-prinsip organisasi perseptual dan oleh transformasi-transformasi secara

ekonomis dalam organisasi perseptual. Penyajian ikonik tertinggi pada umumnya

dijumpai pada anak usia 5 – 7 tahun, yaitu periode waktu anak sangat tergantung

pada penginderaannya sendiri

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 107

Page 108: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

c. Simbolik

Mendekati masa adolesensi, bahasa menjadi makin penting sebagai suatu media

berpikir. Seseorang mencapai suatu transisi dari penggunaan penyajian ikonik yang

didasarkan pada penginderaan ke penggunaan penyajian simbolik yang didasarkan

pada system berpikir abstrak, arbitrer, dan lebih fleksibel. Penyajian simbolik

menggunakan kata-kata atau bahasa. Penyajian ini lebih memperhatikan proposisi

atau pernyataan daripada objek-objek; memberikan struktur hiarkis pada konsep-

konsep, dan memperhatikan kemungkinan-kemungkinan alternatif dalam suatu cara

kombinatorial.

4. Belajar penemuan (discovery learning)

Belajar penemuan merupakan pencarian pengetahuan secara aktif sehingga

memberikan hasil yang paling baik. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah

serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar

bermakna. Bruner menyarankan siswa hendaknya belajar konsep dan prinsip, serta

dianjurkan untuk memperoleh pengalaman dan melakukan eksperimen-eksperimen

untuk menemukan prinsip-prinsip itu sendiri.

Pengetahuan yang diperoleh dengan belajar penemuan menunjukkan beberapa

keunggulan. Pertama, pengetahuan tersebut lama dapat diingat atau lebih mudah

diingat, bila dibandingkan dengan pengetahuan yang dipelajari dengan cara-cara lain.

Kedua, hasil belajar penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik daripada hasil

belajar lainnya. Dengan kata lain, konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang telah dimiliki

seseorang lebih mudah diterapkan pada situasi-situasi baru. Ketiga, secara menyeluruh

belajar penemuan dapat meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berpikir

secara bebas. Selain itu, pendekatan ini dapat melatih keterampilan-keterampilan

kognitif siswa untuk menemukan dan memecahkan masalah tanpa pertolongan orang

lain, dan meminta siswa untuk menganalisis dan memanipulasi informasi sehingga siswa

tidak hanya menerima saja. Selanjutnya dikemukakan, bahwa belajar penemuan

membangkitkan keingintahuan siswa, memberi motivasi untuk bekerja terus sampai

menemukan jawaban.

Belajar penemuan yang murni memerlukan waktu yang lebih banyak. Oleh karena

itu dalam bukunya “The Relevance of Education” (1971), Bruner menyarankan agar

penggunaan belajar penemuan ini hanya diterapkan sampai batas-batas tertentu, yaitu

dengan mengarahkannya pada struktur bidang studi.

Struktur suatu bidang studi terutama diberikan oleh konsep-konsep dasar dan

prinsip-prinsip dari bidang studi itu. Bila seorang siswa telah menguasai struktur dasar,

maka tidak sulit baginya untuk mempelajari bahan pelajaran lain dalam bidang studi

yang sama, dan ia akan lebih mudah ingat akan bahan baru itu. Hal ini disebabkan

karena ia telah memperoleh kerangka pengetahuan yang bermakna, yang dapat

digunakannya untuk melihat hubungan-hubungan yang esensial dalam bidang studi itu,

dan dengan demikian dapat memahami hal-hal yang mendetail.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 108

Page 109: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

Menurut Bruner, mengerti struktur suatu bidang studi ialah memahami bidang studi

tersebut sedemikian rupa sehingga dapat menghubungkan hal-hal lain pada struktur itu

secara bermakna. Secara singkat dapat dikatakan bahwa mempelajari struktur adalah

mempelajari bagaimana hal-hal dihubungkan.

C. Teori Pengajaran Bruner

Suatu teori pengajaran hendaknya meliputi:

1. Pengalaman-pengalaman optimal bagi siswa untuk dapat belajar

Kondisi untuk aktivasi ialah adanya suatu tingkat ketidaktentuan yang optimal.

Keingintahuan merupakan suatu respons terhadap ketidaktentuan dan kesangsian.

Suatu tugas yang begitu terperinci menghendaki sedikit penyelidikan; tugas yang begitu

tidak tentu dapat menimbulkan kebingungan dan kecemasan, dengan akibat

mengurangi penyelidikan.

Setelah penyelidikan teraktifkan, situasi itu dipelihara dengan membuat resiko

seminim mungkin dalam penyelidikan itu. Belajar dengan pertolongan guru seharusnya

kurang mengambil resiko dibandingkan dengan belajar sendiri. Ini berarti, bahwa akibat

membuat kesalahan, menyelidiki alternatif-alternatif yang salah, hendaknya tidak

banyak terjadi di bavvah bimbingan guru, dan hasil dari penyelidikan alternatif-alternatif

yang benar dengan sendirinya besar.

Arah penyelidikan tergantung pada dua hal yang saling berkaitan, yaitu tujuan dari

tugas yang diberikan sampai batas-batas tertentu harus diketahui, dan sampai berapa

jauh tujuan itu telah tercapai pun harus diketahui.

2. Penstrukturan pengetahuan untuk pemahaman optimal

Struktur suatu domain pengetahuan mempunyai tiga ciri, dan setiap ciri

mempengaruhi kemampuan siswa untuk menguasainya. Ketiga ciri itu adalah cara

penyajian, ekonomi, dan kuasa (power). Cara penyajian, ekonomi, dan kuasa, berbeda

bila dihubungkan dengan usia, “gaya” para siswa, dan macam bidang studi. Cara

penyajian yaitu enaktif, ikonik, dan simbolik telah dijelaskan sebelumnya.

Ekonomi dalam penyajian pengetahuan dihubungkan dengan sejumlah informasi

yang dapat disimpan dalam pikiran, dan diproses untuk mencapai pemahaman. Semakin

banyak jumlah informasi yang harus dipelajari siswa untuk. memahami sesuatu atau

untuk menangani suatu masalah, maka semakin banyak langkah-langkah yang harus

ditempuh dalam memproses informasi untuk mencapai suatu kesimpulan, dan makin

kurang ekonomi. Ekonomi dapat berubah dengan cara penyajian. Ekonomi semakin

meningkat dengan menggunakan diagram atau gambar. Kuasa dari suatu penyajian

dapat juga diterangkan sebagai kemampuan penyajian itu untuk menghubungkan hal-hal

yang kelihatannya sangat terpisah-pisah.

3. Perincian urutan-urutan penyajian materi pelajaran secara

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 109

Page 110: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

optimal

Dalam mengajar, siswa dibimbing melalui urutan pernyataan-pernyataan dari

suatu masalah atau sekumpulan pengetahuan untuk meningkatkan kemampuan siswa

dalam menerima, mengubah, dan mentransfer apa yang telah dipelajarinya. Jadi, urutan

materi pelajaran dalam suatu domain pengetahuan mempengaruhi kesulitan yang

dihadapi siswa dalam mencapai penguasaan.

Biasanya ada berbagai urutan yang setara dalam kemudahan dan kesulitan siswa.

Tidak ada satu urutan khas bagi semua siswa dan urutan yang optimal tergantung pada

berbagai factor. Misalny belajar sebelumnya, tingkat perkembangan anak, sifat materi

pelajaran dan perbedaan individu.

Dikemukakan oleh Bruner, bahwa perkembangan intelektual bergerak dari

penyajian enaktif ke penyajian simbolik. Karena itu urutan optimum materi pelajaran

juga mengikuti arah yang sama.

4. Bentuk dan pemberian reinforcement

Dalam teorinya, Bruner mengemukakan bahwa bentuk hadiah atau pujian dan

hukuman harus dipikirkan. Demikian pula bila pujian atau hukuman itu diberikan selama

proses belajar mengajar. Secara intuitif, jelas bahwa selama proses pembelajaran

berlangsung, hadiah ekstrinsik bergeser ke hadiah intrinsik. Sebagai hadiah ekstrinsik

misalnya, berupa pujian dari guru, sedangkan hadiah intrinsik timbul karena berhasil

memecahkan masalah. Demikian pula ada kalanya hadiah yang diberikan secara

langsung, harus diganti dengan hadiah yang pemberiannya harus ditunda atau

ditangguhkan. Perlu diperhatikan ketepatan waktu pergeseran dari hadiah ekstrinsik ke

hadiah intrinsik, dari hadiah intrinsik ke hadiah ekstrinsik, dan dari hadiah langsung ke

hadiah yang ditangguhkan.

D. Implikasi dalam Pembelajaran Matematika

Bruner dalam teorinya menyatakan bahwa belajar matematika akan lebih berhasil

jika proses pengajaran diarahkan kepada konsep-konsep dan struktur-struktur yang

terbuat dalam pokok bahasan yang diajarkan, di samping hubungan yang terkait antara

konsep-konsep dan struktur-struktur. Dengan mengenal konsep dan struktur yang

tercakup dalam bahan yang sedang dibicarakan, anak akan memahami materi yang

harus dikuasainya itu. Ini rnenunjukkan bahwa materi yang mempunyai suatu pola atau

struktur tertentu akan lebih mudah dipahami dan diingat.

Melalui teorinya, Bruner mengungkapkan bahwa dalam proses belajar anak

sebaiknya diberi kesempatan untuk memanipulasi benda-benda (alat peraga). Melalui

alat peraga, anak akan melihat langsung bagairnana keteraturan dan pola struktur yang

terdapat dalam benda yang sedang diperhatikannya itu. Keteraturan tersebut kemudian

oleh anak dihubungkan dengan intuitif yang telah lekat pada dirinya. Bruner sangat

menyarankan keaktifan siswa dalam proses belajar secara penuh. Lebih disukai lagi bila

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 110

Page 111: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

proses ini berlangsung di tempat yang khusus, yang dilengkapi dengan objek-objek

untuk dimanipulasi siswa, misalnya laboratorium.

Bruner mengemukakan bahwa dalam proses belajar, anak melewati 3 tahap, yaitu:

a. Tahap Enaktif

Suatu tahap pembelajaran di mana materi matematika yang bersifat abstrak

dipelajari siswa dengan menggunakan benda-benda konkret. Dengan demikian, topik

matematika yang bersifat abstrak ini direpresentasikan atau diwujudkan dalam

bentuk benda-benda nyata. Dalam tahap ini anak secara langsung terlihat dalam

memanipulasi (mengotak-atik) objek.

b. Tahap Ikonik

Suatu tahap pembelajaran di mana materi matematika yang bersifat abstrak

dipelajari siswa dengan menggunakan ikon, gambar, atau diagram yang

menggambarkan kegiatan nyata dengan benda-benda konkret pada tahap enaktif.

Dalam tahap ini kegiatan yang dilakukan anak berhubungan dengan mental, yang

merupakan gambaran dari objek-objek yang dimanipulasinya. Anak tidak langsung

memanipulasi objek seperti yang dilakukan siswa dalam tahap enaktif. Misalnya,

sebuah segitiga menyatakan konsep kesegitigaan. Dengan demikian, topik

matematika yang bersifat abstrak ini telah direpresentasikan atau diwujudkan

dalam bentuk benda-benda nyata yang dapat diamati siswa, lalu direpresentasikan

atau diwujudkan dalam gambar atau diagram yang bersifat semi-konkret.

c. Tahap Simbolik

Suatu tahap pembelajaran di mana materi matematika yang bersifat abstrak

dipelajari siswa dengan menggunakan simbol-simbol. Dalam tahap ini anak

memanipulasi simbol-simbol atau lambang-lambang objek tertentu. Anak tidak lagi

terikat dengan objek-objek pada tahap sebelumnya. Siswa pada tahap ini sudah

mampu menggunakan notasi tanpa ketergantungan terhadap objek riil.

Dari uraian tahapan dalam proses pembelajaran matematika di atas dapat

disimpulkan bahwa proses pembelajaran matematika yang bersifat abstrak ini telah

diturunkan kadar keabstrakannya dengan direpresentasikan atau diwujudkan dalam

bentuk benda-benda nyata yang dapat diamati siswa, lalu direpresentasikan atau

diwujudkan dalam ikon (seperti ikon komputer) gambar atau diagaram yang bersifat

semi-konkret sebelum digunakannnya simbol-simbol yang bersifat abstrak.

Dalil cara belajar dan mengajar matematika, terdiri dari:

1. Dalil penyusunan/ konstruksi (construction theorem)

Dalil ini menyatakan bahwa jika siswa ingin mempunyai kemampuan dalam hal

menguasai konsep, teorema, definisi dan semacamnya, siswa harus dilatih untuk

melakukan penyusunan representasinya. Untuk melekatkan ide atau definisi tertentu

dalam pikiran, siswa harus menguasai konsep dengan mencoba dan melakukannya

sendiri. Dengan demikian, jika siswa aktif dan terlibat dalam kegiatan mempelajari

konsep yang dilakukan dengan jalan memperlihatkan representasi konsep tersebut,

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 111

Page 112: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

maka siswa akan lebih memahami konsep tersebut. Apabila dalam proses perumusan

dan penyusunan ide-ide tersebut siswa disertai dengan bantuan benda-benda

konkret, maka mereka akan lebih mudah mengingat ide-ide yang dipelajari itu. Siswa

akan lebih mudah menerapkan ide dalam situasi riil secara tepat. Dalam tahap ini

siswa memperoleh penguatan yang diakibatkan interaksinya dengan benda-benda

konkret yang dimanipulasinya. Memori seperti ini bukan sebagai akibat penguatan.

Dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya, dalam tahap awal pemahaman konsep

diperlukan aktivitas-aktivitas konkret yang mengantar siswa kepada pengertian

konsep.

Siswa yang mempelajari konsep perkalian yang didasarkan pada prinsip

penjumlahan berulang, maka ia akan lebih memahami konsep tersebut. Terlebih lagi

jika siswa tersebut mencoba sendiri menggunakan garis bilangan untuk

memperlihatkan proses perkalian tersebut. Sebagai contoh untuk memperlihatkan

perkalian 3 x 5, berarti garis bilangan meloncat 3x dengan loncatan sejauh 5 satuan,

hasil loncatan tersebut diperiksa, ternyata hasilnya 15. Dengan mengulangi hasil

percobaan seperti ini siswa akan benar-benar memahami dengan pengertian yang

dalam, bahwa perkalian dasarnya merupakan penjumlahan berulang. Contoh lain,

misalnya untuk mamahami himpunan kosong, siswa dapat merepresentasikan

himpunan kosong dengan rumah kosong, buku kosong atau kantong kosong. Dengan

teori ini, ide matematika yang bersifat abstrak menjadi lebih konkret.

2. Dalil notasi (notation theorem)

Dalil notasi mengungkapkan bahwa dalam penyajian konsep, notasi memegang

peranan penting. Notasi yang digunakan dalam menyatakan sebuah konsep tertentu

harus disesuaikan dengan tahap perkembangan mental siswa. Ini berarti untuk

menyatakan sebuah rumus, notasi yang digunakan harus dapat dipahami oleh siswa,

tidak rumit dan mudah dimengerti.

Sebagai contoh, notasi untuk menyatakan fungsi f(x) = 3x – 2 menggunakan

notasi = (3 x ) – 2. Bagi siswa yang mempelajari konsep fungsi lebih lanjut,

diberikan notasi fungsi {(x,y)| y = 3x – 2, x, y R}. Contoh lain, misalnya sebelum

menggunakan notasi , sebaiknya guru memfasilitasi siswa dengan

menentukan atau mencari suatu bilangan yang jika menjadi pangkat dari 2 akan

menghasilkan 16. Dengan demikian = … adalah identik dengan 16 = .

Notasi yang diberikan tahap demi tahap ini sifatnya berurutan dari yang paling

sederhana sampai yang paling sulit. Penyajian seperti ini dalam matematika

merupakan pendekatan spiral. Dalam pendekatan spiral, setiap ide-ide matematika

disajikan secara sistematis dengan menggunakan notasi-notasi yang bertingkat.

Pada tahap awal notasi ini sederhana, diikuti dengan notasi berikutnya yang lebih

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 112

Page 113: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

kompleks. Notasi yang terakhir, yang mungkin belum dikenal sebelumnya oleh

siswa, umumnya merupakan notasi yang akan banyak digunakan dan diperlukan

dalam pembangunan konsep matematika lanjutan.

3. Dalil kekontrasan dan keanekaragaman (contras and variation theorem)

Dalil ini menyatakan bahwa pengontrasan dan keanekaragaman sangat penting

dalam memahami konsep secara mendalam. Dalam kegiatan ini, diperlukan contoh-

contoh yang banyak, sehingga siswa mampu mengetahui karakteristik konsep

tersebut. Siswa perlu diberi contoh yang memenuhi rumusan atau teorema yang

diberikan. Selain itu, mereka perlu juga diberi contoh-contoh yang tidak memenuhi

rumusan, sifat atau teorema, sehingga diharapkan siswa tidak mengalami salah

pengertian terhadap konsep yang sedang dipelajari.

Konsep yang diterangkan dengan contoh dan bukan contoh adalah salah satu

cara pengontrasan. Melalui cara ini, siswa akan mudah memahami karakteristik

konsep yang diberikan tersebut. Sebagai contoh, untuk menjelaskan pengertian

persegi panjang, siswa harus diberikan contoh bujur sangkar, belah ketupat, jajar

genjang dan segiempat lainnya selain persegi panjang. Dengan demikian siswa dapat

membedakan apakah segiempat yang diberikan padanya termasuk persegi panjang

atau bukan.

Keanekaragaman juga membantu siswa dalam memahami konsep yang

disajikan, karena dapat memberikan belajar bermakna bagi siswa. Misalnya, untuk

memperjelas pengertian bilangan prima, siswa perlu diberikan contoh yang banyak

dan beranekaragam. Siswa perlu diberikan contoh-contoh bilangan ganjil yang

termasuk bilangan prima dan yang bukan. Siswa harus diperlihatkan bahwa tidak

semua bilangan ganjil termasuk bilangan prima, sebab bilangan tersebut habis dibagi

oleh bilangan lain selain oleh bilangan itu sendiri dan oleh satu.

Untuk menjelaskan segitiga siku-siku, siswa perlu diberikan contoh yang

gambargambarnya tidak selalu tegak dengan sisi miringnya dalam kedudukan

miring, tapi perlu juga diberikan gambar dengan sisi miring dalam keadaan mendatar

atau membujur. Dengan cara ini, siswa terlatih dalam memeriksa apakah segitiga

yang diberikan kepadanya tergolong segitiga siku-siku atau bukan.

4. Dalil pengaitan/ konektivitas (connectivity theorem)

Dalil ini menyatakan bahwa dalam matematika antara satu konsep dengan

konsep lainnya terdapat hubungan yang erat, bukan saja dari segi isi, namun juga

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 113

Page 114: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

dari segi rumus-rumus yang digunakan. Materi yang satu dapat menjadi prasyarat

bagi yang lainnya, atau suatu konsep tertentu diperlukan untuk menjelaskan konsep

lainnya. Misalnya konsep Dalil Pythagoras diperlukan untuk menentukan tripel

Pythagoras atau membuktian rumus kuadrat dalam trigonometri.

Guru perlu menjelaskan bagaimana hubungan antara sesuatu yang sedang

dijelaskan dengan objek atau rumus lain. Apakah hubungan itu dalam kesamaan

rumus yang digunakan, sama-sama dapat digunakan dalam bidang aplikasi atau

dalam hal-hal lainnya. Melalui cara ini, siswa akan mengetahui pentingnya konsep

yang sedang dipelajari dan memahami bagaimana kedudukan rumus atau ide yang

sedang dipelajarinya itu dalam matematika. Siswa perlu menyadari bagaimana

hubungan tersebut, karena antara materi dengan lainnya saling berkaitan.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 114

Page 115: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

BAB IXKECERDASAN INTUITIF DAN REFLEKTIF

Ada sebuah anekdot tentang seorang profesor matematika yang sangat terkenal.

Dia menceritakan pengalamannya, kemudian menulis sebuah pernyataan matematis di

papan yang berbunyi: “Tentu saja, ini nyata”. Dengan melihatnya lagi, dia mengatakan

“Setidak-tidaknya, saya berpikir bahwa ini nyata”. Keraguannya semakin bertambah,

kemudian dia berkata “Permisi”. Dia mengambil pensil dan kertas, kemudian keluar dari

ruang kelas sekitar 20 menit. Setelah kembali dia berkata “Ya, saudara-saudara, ini

adalah nyata”.

Secara psikologis, yang menjadi daya tarik dari cerita ini adalah tidak adanya

ketepatan dan kemantapan antara pernyataan pertama yang dapat dipercaya dengan

lamanya waktu yang dibutuhkan untuk berpikir. Setelah timbul keraguan, maka tidak

akan ada lagi kepercayaan terhadap profesor tersebut. Pada pernyataan pertama, dapat

diartikan “Secara intuisi kami dapat menerima kebenaran dari pernyataan itu”. Pada

pernyataan kedua, diartikan bahwa melalui analisis logika, penerimaan secara intuisi

pada pernyataan pertama dibenarkan.

Contoh lain yang serupa misalnya mengalikan 16 dengan 25. Maka akan timbul

pertanyaan. 1) Berapakah jawabannya? 2) Jelaskan bagaimana anda mengerjakannya!

Mungkin untuk menjawab pertanyaan pertama, kita dapat menjawab cepat, tetapi untuk

menjawab pertanyaan kedua, kita akan melibatkan proses mental dalam memperoleh

jawaban.

Contoh lainnya yaitu penggunaan kata “is” pada dua kalimat berikut ini. “What I am

writing with is chalk” dan “Chalk is white”. Maka akan timbul pertanyaan 1) Tepatkah

penggunaan kata “is”? 2) Apakah artinya sama? Pertanyaan pertama dapat segera

dijawab; tetapi untuk menjawab pertanyaan kedua kita harus memikirkan penggunaan

kata “is” dalam setiap kalimat.

Pada ketiga contoh di atas, terdapat perbedaan antara dua model fungsi

kecerdasan yaitu intuitif dan reflektif. Intuitif dapat diartikan berdasarkan bisikan hati

atau bersifat intuisi, yaitu daya atau kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu

tanpa dipikirkan atau dipelajari. Reflektif dapat diartikan gerakan badan diluar kesadaran

atau kemauan atau bersifat refleks, yaitu gerakan otomatis dan tidak dirancang terhadap

rangsangan dari luar yang diberikan suatu organ atau bagian tubuh yang terkena.

Pada tingkat intuitif, kita menyadari bahwa melalui reseptor/ alat indera (terutama

penglihatan dan pendengaran), kita dapat mengetahui lingkungan luar. Hal ini

dikarenakan, secara otomatis data tersebut diklasifikasikan dan dihubungkan dengan

data serupa yang sudah ada. Dengan otot-otot yang dimiliki, kita dapat menggerakan

kerangka untuk berbuat pada lingkungan luar. Aktifitas ini banyak dikontrol dan

diarahkan oleh umban balik, selanjutnya informasi mengenai kemajuan dan hasilnya

dapat diketahui melalui reseptor luar. Dalam banyak kasus, hal tersebut dapat berhasil

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 115

Page 116: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

tanpa adanya kesadaran. Misalnya, ketika membaca dengan suara keras,

mengemudikan mobil, atau menjawab pertanyaan 16 x 25.

Berikut ini skema kecerdasan intuitif.

Pada tingkat reflektif, aktifitas mental yang berintervensi itu menjadi obyek

kesadaran untuk introspeksi/ mawas diri. Seorang anak bertanya mengapa dalam

mengucapkan kata “accelerate” seperti “axelerate”, bukan “ackelerate”. Pada c yang

pertama diucapkan keras, karena diikuti dengan konsonan sedangkan c yang kedua

diucapkan lembut, karena diikuti e atau i. Kemudian perlu dijelaskan lebih lanjut

ketepatan pengucapan kata-kata lainnya. Seorang siswayang menumpang kendaraan

bertanya “Mengapa kita harus mengubah gigi (gear) sebelum melewati tikungan

tajam?”. Seolah-olah kita telah melakukan “tanpa berpikir” terlebih dahulu, dan kita tidak

akan kesulitan dalam menerangkan alasannya. Contoh lainnya, kita dapat menjawab 400

dengan cepat ketika diberikan pertanyaan 16 x 25.

Berikut ini skema kecerdasan reflektif.

Data-data yang diperlukan untuk menjawab seluruh pertanyaan, tidak datang dari

lingkungan, tetapi dari sistem konseptual kita sendiri. Perhatian kita arahkan pada

sumber data, sehingga dengan begitu mudah dan terbiasa kita mampu melakukan

aktifitas secara refleks. Dari situlah akan timbul kejutan. Kesadaran kita akan dunia luar

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 116

Campur tangan aktivitas mental

Reseptor Efektor

LINGKUNGAN LUAR

Campur tangan aktivitas mental

Reseptor Efektor

LINGKUNGAN LUAR

Reseptor

Page 117: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

dapat diketahui melalui panca indera (misalnya mata, telinga, dan sebagainya) dan urat

syaraf. Tetapi tidak ada susunan syaraf yang dapat mengungkapkan sesuatu yang

ekuivalen dengan “melihat” bayangan atau “mendengar” ucapan batin kita. Kemampuan

refleks ini sangat kurang pada anak-anak. Berikut ini dua contoh karya Piaget:

1. Weng (7 tahun)Guru : “Sebuah meja panjangnya 4 meter, kemudian 3 meja disusun memanjang.

Berapa panjang meja sekarang?”Weng: “12 meter”Guru : “Bagaimana kamu menghitungnya?”Weng: “Saya menambahkan 2 dan 2 dan 2 dan 2 dan 2, dan 2”Guru : “Mengapa 2? Mengapa tidak mengambil bilangan lain?”

2. Gath (7 tahun)Guru: “Jika akan dibagikan 9 apel kepada 3 anak, maka berapa banyak apel yang

diterima setiap anak?”Gath: “Tiga buah”Guru: “Bagaimana kamu menghitungnya?”Gath: “Saya mencoba berpikir”Guru: “Apa?”Gath: “Saya mencoba berpikir di kepala”Guru: “Apa yang dipikirkan di kepalamu?” Gath: “Saya menghitung … Saya mencoba melihat bagaimana itu terjadi dan

akhirnya saya menemukan 3”

Dengan mengetahui kemampuan anak mengerjakan suatu hal, maka kita dapat

mengetahui bagaimana dia mengerjakan hal lain. Bagaimanapun juga tergantung dari

perbedaan individu, dan penulis baru-baru ini memperolah jawaban dari seorang anak

yang berusia 6 tahun 10 bulan (mengenai pertanyaan panjang meja) yaitu “12 kaki”.

“Dapatkah kamu menjelaskan bagaimana jawabanmu?”. “Baik saya berangkat dari 3, 6,

9, 12”. Untuk pertanyaan kedua (mengenai membagi apel) yaitu “Tiga”. “Bagaimana

kamu menemukannya?”. “3 dan 3 dan 3 menjadi 9”. Kemudian secara spontan “Cara

cepatnya yaitu 3 sebanyak 3 yaitu 9”

Setelah kita mampu memikirkan pada skema kita sendiri, langkah penting

selanjutnya dapat diambil, yaitu mengkomunikasikannya dan mempersiapkan skema

baru. Seseorang anak mungkin tidak dapat menyelesaikan 16 x 25 secara cepat, tetapi

setelah diberi petunjuk bahwa 16 x 25 dapat ditulis menjadi 4 x (4 x 25) = 4 x 100 maka

dimungkinkan dapat langsung menemukan jawabannya yaitu 400. Sehingga dengan cara

yang sama, diharapkan anak juga dapat menyelesaikan perkalian lain seperti 24 x 25

secara cepat, bahkan menyelesaikan 25 x 25. Jika seorang anak dapat menyelesaikan

semua itu, ini akan menunjukkan bahwa anak tersebut telah mencapai skema sederhana

dan tidak sekedar jawaban atas pertanyaan tertentu.

Kita dapat mengganti skema lama dengan yang baru. Sebagai gambaran, jika

pembaca pernah mencoba mendorong mobil dengan boat trailer atau caravan yang

digandengkan, maka dia dapat mengapresiasi contoh non matematis berikut: Penulis

menahan roda stir, sedangkan di sisi lain pembaca menginginkan trailer maju. Hal ini

tidak akan berhasil, oleh karena itu teman pengemudinya menyarankan pendekatan

alternatif yaitu jika pembaca hanya mendorongnya dengan tangan, maka akan

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 117

Page 118: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

mengalami kesulitan menyetirnya. Kemudian bayangkan jika diri anda sendiri

mendorong mobil dengan menggunakan boat trailer yang digandengkan, maka mobil

tersebut juga akan maju dengan mudah. Substitusi skema ini ternyata sangat berhasil.

Kita dapat membenahi kesalahan dalam skema yang ada. Jika kita mengatakan

“Saya melihat kesalahan yang saya lakukan”. Ini berarti kita tidak hanya berpikir pada

metode yang kita gunakan, tetapi kita berusaha menemukan detail-detail khusus

didalamnya yang menyebabkan kegagalan, yang biasanya diikuti dengan perubahan

detail-detail itu. Tetapi yang belum diketahui adalah bagaimana kita mampu membuat

perubahan pada skema kita. Oleh karena itu, diperlukan penambahan skema seperti

bagan dibawah ini.

Berikut ini contoh yang melibatkan aktifitas reflektif. Seseorang ingin mengetahui

bagaimana mengalikan dua pecahan desimal, misalnya 1,2 dan 0,57. Maka kita dapat

menerangkan bahwa titik desimal dapat dihilangkan terlebih dahulu, kemudian

mengalikan 12 dan 57 dengan cara biasa, dan langkah terakhir menyisipkan kembali titik

desimal dengan cara menghitung total banyaknya angka dibelakang titik desimal dari

dua angka tersebut. Aturan ini memungkinkan anak mendapatkan jawaban benar, tetapi

siswa tidak mengetahui pengertian notasi desimal. Untuk menjelaskan notasi desimal,

kita dapat menulis kembali pecahan desimal tersebut ke dalam pecahan biasa, sebagai

berikut:

0,6841000

684

100

57

10

120,571,2

Pada penyebut terdapat angka 10 dan 100. Banyaknya 0 pada penyebut itu =

banyaknya angka di belakang titik desimal. Perkalian penyebut setara dengan

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 118

Campur tangan aktivitas mental

Reseptor Efektor

LINGKUNGAN LUAR

Campur tangan aktivitas mental

Reseptor Efektor

Page 119: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

penambahan banyaknya 0 dan juga setara dengan penambahan banyaknya tempat

desimal.

Setelah menyelesaikan perkalian tersebut, kita dapat melangkah ke bagian

selanjutnya, tanpa disadari kita telah menggunakan metode komunikasi, kemudian kita

dapat memutuskan metode yang lebih baik. Sehingga kita akan dapat

mengkomunikasikan skema perkalian desimal.

Jenis aktifitas reflektif yang jangkauannya lebih jauh adalah aktivitas yang

mengarah pada generalisasi matematis. Dalam perkalian pangkat, kita dapat melalukan

secara langsung maupun melalui berberapa tahapan. Contohnya sebagai berikut:

aaaaa

aaaa

aaaa

bilangan)suatu (dimana

4

3

2

nampak bahwa:

) ( ) ( 5

32

a

aaaaaaa

Secara intiuitif, kita akan mempunyai skema untuk menyelesaikan perkalian

bilangan berpangkat secara langsung. Contohnya 1275 aaa .

Dengan menggunakan metode perkalian pecahan, maka kita dapat menyusun

skema untuk menyelesaikan pembagian bilangan berpangkat, seperti contoh berikut.

235 aaa

aaa

aaaaaaa

Secara intiuitif, kita akan mempunyai skema untuk menyelesaikan pembagian

bilangan berpangkat secara langsung. Contohnya 9615 aaa .

Dari dua skema diatas, kita dapat membentuk rumus umum sebagai berikut:

nmnm

nmnm

aaa

aaa

, dimana m dan n adalah bilangan asli dan m > n.

Aturan di atas dibatasi untuk m dan n adalah bilangan asli dan m > n, sehingga

aturan tersebut hanya dapat berlaku untuk a, a2, a3, …. dan tidak berlaku untuk a0, a– 2 ,

2

1

a . Sehingga batasan m dan n adalah bilangan asli harus dihilangkan.

a0 dapat dinotasikan 1, a– 2 dapat dinotasikan 2

1

a , 2

1

a dapat dinotasikan a

Berikut ini tahapan proses pengembangan metode:

1. Dari contoh-contoh disusun suatu metode.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 119

METODE

Contoh

Contoh

Contoh

Page 120: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

2. Kemudian metode tersebut diaplikasikan ke beberapa contoh lain.

3. Metode dirumuskan secara eksplisit dengan mempertimbangkan sesuatu yang

ada di dalamnya dan menganalisis struktur.

4. Metode tersebut diterapkan pada contoh-contoh baru

Proses generalisasi matematis merupakan aktifitas yang rumit dan tangguh. Rumit

karena melibatkan pemikiran pada bentuk metode di dalamnya. Sedangkan tangguh

karena membutuhkan kesadaran yang tinggi, perlu pengendali dan harus akurat. Akurat

yang dimaksud, tidak hanya pada jawaban tetapi pada langkah-langkahnya. Selanjutnya,

kita menciptakan contoh-contoh baru yang sesuai dengan konsep tersebut.

Masalah yang dihadapi dalam generalisasi matematis adalah bilangan. Bilangan

yang dikenal anak terlebih dahulu adalah bilangan asli. Mereka dapat mengetahui

banyak benda dengan cara membilang benda tersebut menggunakan bilangan asli.

Kemudian mereka mencoba melakukan penjumlahan dan pengurangan, perkalian dan

pembagian. Kemudian anak mulai mengenal bilangan pecahan, bilangan negatif, dan

aturan-aturan untuk menjumlah, mengurangi, mengalikan dan membagi bilangan-

bilangan tersebut. Guru harus dapat memberi penjelasan mengenai aturan-aturan dalam

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 120

METODE

Contoh

Contoh

Contoh

Contoh Contoh

METODE

Contoh

Contoh

Contoh

Contoh

Contoh

METODE

Contoh-

contoh

rutin

Contoh-

contoh

baru

Page 121: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

operasi bilangan. Dari penjelasan tersebut diharapkan siswa paham dan yakin bahwa

matematika tidak membosankan dan mempunyai arti bagi kehidupan sehari-hari.

Bagaimana tahapan operasi pada bilangan pecahan, bilangan bulat, bilangan

rasional dan sebagainya? Jawaban yang detail ditunjukkan pada bab 10 dan 11, tetapi

pada bab ini akan diberikan sedikit gambaran. Secara ringkas, akan dijelaskan sifat

bilangan asli. Pada sistem bilangan asli, apabila kita melakukan penjumlahan dan

perkalian maka hasilnya juga merupakan bilangan asli. Misalnya diambil dua bilangan

yaitu 12 dan 9, maka 12 + 9 = 21 dan 12 × 9 = 108, sehingga 21 dan 108 juga

merupakan bilangan asli. Selain itu, 12 + 9 = 9 + 12 dan 12 × 9 = 9 × 12.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 121

Page 122: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

Berikut ini sifat-sifat operasi bilangan asli.

cabacba

cbacba

cbacba

abba

abba

)(

)()(

)()(

dimana a, b, c suatu bilangan asli.

Sifat-sifat operasi bilangan asli di atas menjadi dasar untuk bilangan lainnya.

Sistem bilangan asli mempunyai sifat tak terbatas. Himpunan bilangan asli dapat

dituliskan {1, 2, 3, …}. Dengan bantuan satuan yang telah ditentukan, kita selalu dapat

mengukur suatu benda. Tetapi suatu ketika dengan satuan yang ada, kita tidak dapat

mengukur benda kecil secara teliti. Oleh karena itu, bilangan baru perlu diperkenalkan.

Tetapi kita belum boleh menyebutnya sebagai bilangan, sebelum kita membuat

generalisasi pada skema “sistem bilangan”. Bilangan harus memenuhi dua persyaratan,

yaitu ketepatan dan kegunaan.

Ketepatan berarti bahwa kita harus menemukan cara “penjumlahan” dan

“perkalian” yang sesuai dengan lima sifat bilangan asli. Kegunaan berarti bahwa hasil

manipulasi harus menunjukkan sesuatu yang ingin kita ketahui dalam kaitannya dengan

obyek material. Walaupun ini tidak esensial tetapi sangat membantu jika tanda-tanda

untuk satuan baru ini dapat dikembangkan diluar tanda-tanda secara umum; dan untuk

penjumlahan dan perkalian kita dapat menggunakan metode penjumlahan dan perkalian

yang telah kita pelajari. Semua persyaratan ini jika dipenuhi memungkinkan asimilasi

sistem bilangan baru terhadap skema yang ada dan telah dipraktekkan dengan baik.

Seorang pembaca yang menyelidiki lebih lanjut akan banyak mempelajari dasar-

dasar pemikiran matematis. Hal yang sejalan dengan perkembangan bilangan bulat

positif dan negatif, bilangan rasional (sering disebut bilangan pecahan), dan bilangan riil

(termasuk bilangan irasional seperti , ). Disini lebih ditekankan pada proses daripada

hasil, dan khususnya aktifitas kesadaran pada skema menjadi bagian dari proses

generalisasi matematis, dan menjadi salah satu aktifitas kecerdasan reflektif yang paling

maju.

Fungsi kecerdasan reflektif sangat penting untuk kemajuan matematika ke tingkat

yang lebih tinggi, dan lebih penting lagi untuk mengetahui pada usia berapa mulai

muncul kecerdasan reflektif, dan bagaimana kita dapat membantu atau mempercepat

munculnya kecerdasan reflektif. Pertanyaan pertama dapat dijawab melalui penelitian

Inhelder dan Piaget yang menunjukkan bahwa anak akan mengembangkan kemampuan

untuk memikirkan pada isi (content) selama usia 7 – 11, dan memanipulasi ide-ide

konkret dengan berbagai cara, seperti melakukan aksi (dalam imajinasi). Tetapi mereka

menemukan bahwa subyeknya tidak dapat beralasan secara formal sampai masa

dewasa. Yang berkaitan erat dengan ini, mereka menyatakan bahwa anak-anak yang

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 122

Page 123: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

lebih muda tidak dapat membantah hipotesis meskipun hipotesis ini bertolak belakang

dengan pengalaman mereka.

Dalam penelitian ini, subyek diambil secara acak di sekolah Swiss. Dapat dikatakan,

penelitian menunjukkan kemajuan perkembangan kecerdasan reflektif pada anak-anak,

dengan interaksi kemampuan bawaannya dengan pengalaman kebudayaan dan

pendidikan yang mereka dapati. Apa yang tidak kita ketahui saat ini adalah sejauhmana

tingkat perkembangan kecerdasan reflektif dapat membantu anak dalam belajar.

Sebagai pertimbangan, kebanyakan anak belajar menyanyi secara spontan. Seorang

anak laki-laki yang menjadi anggota koor King’s College, Cambridge, atau Magdalen

College, Oxford, awalnya mendengar orang lain menyanyi kemudian menirunya. Tetapi

pembelajaran ini banyak dipercepat sehingga banyak hal yang dicapai dalam waktu

singkat. Sekarang perkembangan kemampuan reflektif dan pemberian alasan formal

bukanlah subyek yang sengaja diajarkan. Hal ini dikarenakan tidak terlalu penting dan

kita tidak tahu bagaimana cara mengajarkannya, karena kita juga belum tahu

bagaimana hal itu dipelajari.

Hipotesis yang beralasan mengenai pendapat terakhir tersebut adalah adanya

situasi yang menghendaki siswa untuk merumuskan idenya secara eksplisit dan

menunjukkan mereka dapat berpikir secara logis dari ide lain dan ide-ide yang dapat

diterima secara umum. Dengan kata lain, saling pendapat dan diskusi adalah cara-cara

pembelajaran yang sangat bermanfaat bagi pengembangan kecerdasan reflektif.

Guru telah mencoba mengajarkan kecerdasan reflektif. Dalam mengajarkan suatu

topik, guru lebih menekankan pada klarifikasi pemikiran siswanya. Penelitian sederhana

juga mendukung pandangan ini. Siswa-siswa SLTP yang berusia sekitar 14 tahun

diajarkan beberapa topik yang berbeda oleh guru matematikanya. Masing-masing

diberikan sebuah tes mengenai topik yang telah diajarkan, kemudian siswa dibagi

menjadi dua kelompok yang sama berdasarkan hasil tes tersebut. Kelompok pertama

mengajarkan apa yang telah mereka pelajari mengenai bilangan kepada kelompok

kedua. Siswa yang beraksi sebagai tenaga pengajar berpikir bahwa siswanya akan dites

mengenai apa yang telah diajarkan oleh mereka. Sebenarnya, pada akhir penelitian

semua dites lagi atas topik yang telah mereka pelajari. Tujuannya adalah untuk

membandingkan efek pengajaran suatu topik pada orang lain, dan terus

mempraktekkannya sendiri. Hasilnya nampak sangat jelas bahwa kelompok siswa yang

menjadi tenaga pengajar mempunyai hasil tes akhir yang lebih baik.

Komunikasi muncul sebagai salah satu pengaruh yang menguntungkan pada

perkembangan kecerdasan reflektif. Salah satu faktor yang bersangkutan adalah

perlunya mengkaitkan ide dengan simbol-simbol (selengkapnya dibahas pada bab

berikutnya). Faktor lainnya adalah adanya interaksi ide-ide seseorang dengan ide-ide

orang lain, tetapi ide umum yang dihasilkan kurang egosentris, lebih bebas sesuai

pengalaman individu. Sebagaimana telah dikemukakan, arah dan tujuan diskusi pada

pembelajaran adalah menjelaskan ide-ide dalam pikiran seseorang, menyebutnya

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 123

Page 124: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

dengan istilah-istilah yang tidak menimbulkan salah paham, menyatakan hubungannya

dengan ide-ide lain; memodifikasi kelemahan pihak lain, dan akhirnya mendapatkan

struktur yang lebih kuat dan lebih kohesif dibandingkan sebelumnya.

Pembahasan sebelumnya telah membawa implikasi bahwa seorang individu pada

tahap intuitif, mampu berpikir mengenai gabungan bentuk dan isi, dan mampu beralasan

formal. Secara umum, jika seorang anak berada pada tahap tertentu yang seharusnya

sedang mempelajari materi A, maka ia sudah mampu menguasai materi B. Sehingga

melalui tahapan-tahapan serupa dalam setiap materi baru, mereka harus lebih cepat

maju dibandingkan anak lain yang seumuran. Setiap orang hampir tidak dapat

diharapkan untuk memikirkan konsep-konsep yang belum dibentuk, walaupun sistem

reflektif seseorang dapat berkembang bagus. Sehingga tingkatan “intuitif sebelum

reflektif” sebagian bisa benar untuk materi baru pada bidang studi matematika.

Walaupun kita relatif kurang mengetahui mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi

pertumbuhan kecerdasan reflektif pada umumnya, tetapi satu hal dapat kita pastikan

adalah kecerdasan reflektif pasti muncul walaupun terlambat.

Siswa yang masih pada tahap intuitif, biasanya banyak tergantung pada cara

penyajian materi oleh guru. Jika konsep baru yang didapati sangat jauh dari skema yang

ada, mungkin dia tidak mampu mengasimilasikannya; khususnya karena tingkat

akomodasi yang mungkin pada tingkat intuitif lebih rendah daripada yang dicapai

dengan refleksi. Maka pada tahap-tahap awal, guru harus menganalisis konseptual siswa

secara cermat sebagai dasar merencanakan pembelajaran, sehingga siswa dapat

melakukan sintesa struktur-struktur dalam ingatannya sendiri. Itulah hal yang harus

diperhatikan, tidak peduli apakah pembelajaran terjadi langsung oleh guru, maupun

pembelajaran tidak langsung yaitu dari buku. Pembelajaran langsung oleh guru

mempunyai keuntungan yaitu pertanyaan dapat diajukan, penjelasan dapat diberikan;

dan bahkan keuntungan yang lebih besar bahwa guru yang sensitif dapat

mempersepsikan perkembangan skema tiap siswanya, dan mengajarkan materi yang

tepat sesuai dengan kondisi siswa. Pendekatan ini lebih fleksibel, disesuaikan dengan

penguasaaan siswa sehingga tidak harus tepat sesuai rencana yang telah disiapkan.

Kontribusi akhir dari guru adalah mengurangi ketergantungan siswa padanya.

Contohnya, ketika seorang anak sedang mengerjakan sebuah teka-teki (jigsaw puzzles)

untuk pertama kalinya, maka ibunya biasa memberi bagian-bagian yang dirasa cocok

dengan apa yang telah dia tempatkan bersama. Tetapi ketika tahap intuitif dan reflektif

telah dicapai, maka anak tidak akan suka jika dibantu dalam mengerjakan, sehingga

guru harus memberi kebebasan kepada siswanya. Setelah seorang siswa mampu

menganalisis materi baru untuk dirinya sendiri, maka dia dapat mencocokan pada

skemanya sendiri dengan cara-cara yang paling berarti bagi dirinya sendiri; dan mungkin

mempunyai cara yang sama dengan apa yang disajikan oleh guru.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ada tiga hal yang harus dilakukan

oleh tenaga pengajar matematika, yaitu:

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 124

Page 125: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

1. Guru harus menyesuaikan materi matematika sesuai dengan status perkembangan

skema matematis siswa.

2. Guru harus menyesuaikan cara penyajian materi sesuai dengan kemampuan berfikir

siswa.

3. Secara bertahap guru harus meningkatkan kemampuan analitiknya untuk mencerna

terlebih dahulu sebelum materi diberikan kepada siswa, ketika siswa berada pada

tahap dimana mereka tidak lagi tergantung pada guru.

BAB XPERMULAAN MATEMATIKA

Kebanyakan orang, jika ditanya apakah ide tentang awal metematika, mereka akan

menjawab “bilangan (angka)”, mungkin juga “hitungan”. Oleh karena itu, dalam uraian

berikut, kami akan menganalisis secara konseptual dua ide yang saling berkaitan erat.

A. Bilangan dan Berhitung

Bilangan dan berhitung tidak dapat dipisahkan. Ada kemungkinan seseorang

memunculkan ide dasar tentang suatu angka, tetapi tidak mempunyai kemampuan. Jean

Piaget dalam teorinya telah menunjukkan bahwa anak-anak dapat berhitung dengan

cara terbatas; tanpa benar-benar mempunyai konsep tentang angka. Tetapi jika dengan

berhitung seseorang dapat mengartikan sesuatu, misalnya “mengetahui banyaknya

buah apel dalam sebuah mangkuk”.

Dengan demikian jauh lebih jelas arti berhitung dalam kehidupan sehari-hari,

seperti cara menemukan sifat tertentu dari suatu kumpulan benda yang dapat kita sebut

sebagai angka. Hal ini menunjukkan bahwa angka dan berhitung merupakan dua hal

yang terkait erat hubungannya, dan dari kedua hal tersebut, angka merupakan hal yang

lebih mendasar.

Ketika nama bilangan hanya digunakan sebagai daftar kata yang serasi

menggunakan nama, misalnya: P.C.49, M & B 693, kata “bilangan” tidak dapat

digunakan dengan arti matematika yang mana di sini kita akan mencoba untuk

menganalisisnya.

B. Angka, Bilangan dan Nomor

Suatu angka digunakan untuk melambangkan suatu bilangan, suatu entitas

abstrak dalam ilmu matematika. Tetapi bagi orang-orang awam, angka dan bilangan

seringkali dianggap dua entitas yang sama. Mereka pun umumnya menganggap angka

dan bilangan sebagai bagian dari matematika.

Kita akui bahwa, bahasa Indonesia belum cukup baku sebagai alat komunikasi

dalam ilmu dan sains, sehingga belum ada konsesus resmi bahwa 'angka' dan 'bilangan'

melambangkan dua hal yang sangat berbeda. Demikian pula, kedua kata angka dan

bilangan masih sering dipertukarkan dengan kata nomor.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 125

Page 126: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

Kata nomor biasanya menunjuk satu atau lebih angka yang melambangkan sebuah

bilangan bulat dalam suatu barisan bilangan-bilangan bulat yg berurutan. Misalnya kata

'nomor 3' menunjuk salah satu posisi urutan dalam barisan bilangan-bilangan 1, 2, 3,

4, ..., dst. Jadi kata nomor sangat erat terkait dengan pengertian 'urutan'. Arti kata

'angka' lebih mendekati arti kata 'digit' (bahasa Inggris).

Nampaknya belum ada kata dalam bahasa Indonesia yang merupakan terjemahan

secara tepat dari 'digit'. Dalam hal ini, sebuah atau beberapa angka lebih berperan

sebagai lambang tertulis atau terketik dari sebuah bilangan. Sesuai dengan arti kata

'digit', lebih baik pengertian angka dibakukan dengan batasan agar hanya ada sepuluh

angka yang berbeda: 0, 1, 2 ..., 9.

Untuk memperjelas pengertian angka seperti diuraikan dalam paragraf terakhir,

berikut diberikan dua contoh penggunaannya. "Bilangan sepuluh ditulis dengan dua buah

angka (double digits), yaitu angka 1 dan angka 0.", "Inflasi di Zinbwabe mencapai 3

angka (three digits)" (Maksudnya, inflasi di Zinbwabe sudah mencapai paling sedikit

100%, sebab bilangan 100 adalah bilangan dengan nilai terendah yang bisa ditulis

dengan tiga angka).

Dalam sistem bilangan biner (binary bilangan system), yaitu sistem bilangan basis

2, hanya digunakan dua angka: 0 dan 1, untuk menyatakan sembarang bilangan bulat.

Misalnya, deretan tiga angka 101 dalam sistem biner melambangkan bilangan 3 dalam

sistem bilangan basis 10. Tanpa penjelasan lebih jauh, kata 'bilangan' di sini selalu

diartikan sebagai bilangan dalam sistem basis 10.

Bilangan 0, 1, 2 , 3 , 4 , 5 , 6, 7 ,8, 9 ,dinamakan angka atau digit. Sebuah bilangan

merupakan susunan sekelompok angka yang memenuhi aturan tertentu, misalnya 20, -

50, 2/3, , 3log 2 dan sebagainya.

C. Himpunan

Sebelum kita menghitung tentang sesuatu, kita harus mengetahui objek mana yang

akan dilibatkan dan objek mana yang tidak dilibatkan. Misalnya; kita diminta untuk

menghitung banyaknya gadis yang cantik dalam suatu ruangan. Dari permintaan ini, kita

sendiri akan memperoleh suatu kesulitan: siapa-siapa yang akan kita libatkan? Dan

dengan dugaan bahwa kita mampu memutuskan menurut pertimbangan kita sendiri,

apakah yang orang lain juga setuju dengan apa yang kita pilih sendiri? Kita sedang

dalam resiko kehilangan salah satu dasar esensial matematika kita, yaitu kesepakatan

atas dasar-dasar rasional. Maka untuk tujuan matematika kita harus menolak

permohonan seperti pada contoh di atas dan menurut aturan yang disepkati dalam

matematika kita membatasi kumpulan pada objek yang definisinya jelas, yaitu kumpulan

di mana kita dapat mengatakan apakah itu masuk dalam kumpulan atau tidak.

Kumpulan seperti itu yang kita sebut dengan nama himpunan: dan objek yang terlibat di

dalamnya kita sebut dengan nama elemen atau unsur.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 126

Page 127: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

D. Karakteristik dari Himpunan

Bagaimana kita “mendefinisikan dengan baik” tentang kumpulan suatu objek?

Metode yang telah digunakan dalam contoh-contoh sampai saat ini adalah menggunakan

beberapa jenis kata sifat atau frase kata sifat – deskripsi singkat.

Jika suatu objek dideskripsikan dengan jelas, misalnya terdapat kedua buah apel

(tidak ada buah lain) dalam suatu mangkuk (bukan dalam piring atau pada pohonnya),

maka ini disebut sebagai suatu himpunan. Jika tidak dijelaskan atau digambarkan suatu

obyek dengan baik, maka objek tersebut tidak disebut sebagai himpunan. Sifat yang

mendefinisikan keanggotaan himpunan disebut karakteristik himpunan.

Cara lain mendefinisikan suatu himpunan adalah dengan mendaftar elemen-

elemennya. Misalnya, kita dapat mendefinisikan himpunan, seperti himpunan yang

terdiri atas bulan, telinga kiri saya, dan monumen Nelson. Setelah kita mendefinisikan

himpunan dengan baik, selanjutnya kita mengatakan himpunan itu mempunyai

karakteristik, dan kita dapat membuat daftar elemen-elemennya.

Karakteristik yang dimiliki himpunan biasanya tidak selalau mengarah pada ide-ide

baru. Himpunan yang lebih menarik adalah himpunan dimana kita dapat mengabstraksi

konsep baru. Tetapi cara yang baik untuk mendefinisikan himpunan adalah dengan

mendaftar anggota-anggotanya.

Hal ini menggambarkan dua arah dimana kita akan mulai, dalam pikiran kita,

antara himpunan dan karakteristiknya. Kita dapat memutuskan beberapa kriteria

pertama, dan mengumpulkan dalam himpunan semua objek yang memenuhi kriteria itu:

misalnya, himpunan ibukota-ibukota Indonesia, atau himpunan pohon-pohon Pinus di

kepulauan Indonesia atau kita dapat membentuk beberapa kumpulan objek, dengan cara

apapun yang kita pilih asalkan memberi kumpulan yang bagus dan kemudian mencoba

mengetahui apa yang mereka miliki secara umum. Metode ini sangat berhasil dalam

mendatangkan konsep baru dan merupakan metode yang akan kami gunakan dalam

mengembangkan konsep bilangan.

Tidak ada batasan atas jenis objek dimana kita membentuk himpunan. Jenis objek

berupa material atau abstraksi, misalnya obyek material: kumpulan uang koin dalam

celengan, atau misalnya objek abstraksi: tujuh bilangan kardinal. Kita juga biasanya

menyebutkan himpunan tanpa objek satupun di dalamnya, seperti: himpunan babi-babi

bersayap. Himpunan jenis yang terakhir ini disebut “himpunan kosong” atau “himpunan

nihil”, bukan himpunan nol.

Himpunan ini dirumuskan dengan baik: diberikan suatu objek dari seluruhnya, kita

dapat mengatakan apakah objek itu milik himpunan ini atau tidak. Kita juga dapat

mempunyai himpunan-himpunan yang elemennya adalah himpunan-himpunan itu

sendiri. Misalnya, “PSSI” adalah nama tim sepak bola, sebuah himpunan yang elemen-

elemennya adalah pemain sepak bola. Himpunan ini merupakan elemen dari himpunan

lain, yang elemen-elemennya adalah tim-tim dalam Asosiasi Sepak Bola. Contoh seperti

ini banyak kita jumpai, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam matematika.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 127

Page 128: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

Menyepakati terlebih dahulu objek mana yang dipertimbangkan untuk diterima

atau ditolak dalam himpunan tertentu sering sangat bermanfaat. Misalnya, seorang guru

biologi mengatakan pada siswanya untuk merumuskan dengan ide sendiri tentang

seekor ikan, dan bertanya dengan lebih bebas lagi bahwa: “Sebutkan sesuatu yang

bukan ikan”. Seorang siswa menjawab “Gunung merapi”, siswa lainnnya menjawab

“Harimau”, dan siswa berikutnya menjawab “Seekor ikan paus”.

Apakah perasaan kita secara intuitif bahwa jawaban pertama adalah jawaban

pander (sangat bodoh), jawaban kedua adalah tidak baik, dan yang terakhir adalah

jawaban yang baik? Karena siswa memastikan pembahasan itu adalah tentang hewan,

sehingga siswa memberi jawaban yang bukan hewan yaitu “Gunung merapi”?, walaupun

jawabannya benar, tetapi tidak relevan dengan pertanyaan guru. Tidak ada orang yang

dapat mempertimbangkan bahwa “Harimau” sebagai suatu kemungkinan untuk

dikategorikan dalam himpunan ikan, sehingga contoh ini tidak berperan sama sekali

dalam pembahasan itu. Tetapi jawaban “seekor ikan paus” dapat dipahami oleh

sebagian orang sebagai seekor ikan, sehingga jawaban ini menemukan bahwa penanya

benar-benar mengartikan “Sebutkan seekor hewan air yang bukan seekor ikan”.

Ia akan berkata, bukan hutang, mengatakan demikian. Berbicara secara

matematika kita dapat mengatakan: “dia telah mendefinisikan himpunan semesta

pembicaraan (universe of discourse)”. Ini merupakan nama yang diberikan pada

himpunan objek-objek yang dipertimbangkan dalam pembahasan tertentu, dan

himpunan ini telah didefinisikan, himpunan-himpunan lain yang ditunjukkan harus

mempunyai elemen-elemen yang masuk dalam “semesta pembicaraan”.

Ide lain yang akan kami perlukan adalah ide “himpunan bagian (sub-set)”.

Katakanlah, himpunan tanda pada laci bangku saya, saya dapat membaginya menjadi

himpunan-himpunan satu tanda uang, dua tanda uang, dan seterusnya. Semua itu

adalah himpunan bagian dari himpunan yang disebutkan pertama. Kalimat pada aliniea

terakhir, sekarang dapat disebutkan kembali: “Semua himpunan harus ada dalam

himpunan bagian dari semesta pembicaraan”.

E. Apa yang Kita Maksudkan dengan “Tiga”?

Jawaban yang bagus terhadap pertanyaan tersebut adalah: mengapa kita ingin

mengetahui? Saya dapat mengenali tiga cangkir kopi atau tiga ekor sapi ketika saya

melihatnya; apalagi yang saya perlukan?

Jawaban pertama adalah bahwa ada prosedur ilmiah yang baik untuk menanyakan

hal yang jelas dan nyata. Pengetahuan kita sekarang lebih buruk jika tidak ada orang

menanyakan mengapa suatu benda nampak berwarna, atau mengapa kaki seekor katak

mati kejang di bawah kondisi tertentu.

Jawaban yang kedua adalah bahwa kita dapat dan memang menggunakan konsep

“tiga” secara efektif pada tingkat intuitif tanpa menganalisisnya. Kebanyakan kita dapat

melakukan dan mengatur kehidupan sehari-hari dengan baik tanpa (hal-hal kecil)

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 128

Page 129: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

menjadi ahli matematika. Kita menggunakan teknik matematis yang sederhana tanpa

memahaminya, sama halnya seperti banyak orang menggunakan mobil dan televisi

tanpa memahaminya.

Tetapi tingkat pemahaman yang sangat kecil banyak meningkatkan efektifitas yang

mana semua dapat digunakan; dan jika pembaca ingin memahami sebagian awal

matematika, maka hampir tidak mungkin tanpa pemahaman konsep bilangan pada

tingkat reflektif dan intuitif. Bilangan negatif, pecahan, bilangan irasional, semua adalah

generalisasi ide yang diambil dari bilangan penghitungan 1, 2, 3, … (bilangan asli). Dan

untuk aljabar elementer dimulai dari pernyataan umum tentang bilangan. Dari sini,

bagaimana kita mengatakan dan mengartikan angka “tiga”.

Cara terbaik untuk memahami suatu ide pada tingkat reflektif adalah

membayangkan bagaimana kita akan membawakannya kepada orang lain. Dalam hal ini,

mari kita asumsikan bahwa dia tidak mempunyai konsep-konsep yang urutannya sama

atau lebih tinggi yang memungkinkan kita untuk menggunakan sebuah definisi dengan

berhasil. Untuk membuat konsep merah, kita menunjukkan berbagai fakta benda merah,

maka kita harus mencari susunan objek-objek yang mencontohkan konsep tiga. Dengan

demikian, kita akan menemukan suatu kumpulan bahwa semua objek yang kita pilih

adalah himpunan contoh untuk konsep “tiga”. Dalam pelaksanaannya kita akan

menemukan “seluruh objek yang kita pilih merupakan himpunan itu sendiri”: tiga buah

apel, tiga jari yang digenggam, tiga pensil, tiga kursi. “tiga” adalah karakteristik dari

sebuah kumpulan himpunan tertentu dimana kita dapat memilih varietas yang memadai

untuk memungkinkan siswa membentuk konsepnya sendiri.

F. Himpunan Berpasangan

Dengan menggunakan contoh “merah” sebagai titik awal, anggaplah seseorang

menginginkan cara sederhana dalam memutuskan apakah objek baru yang ia peroleh

juga mempunyai sifat ini. Semua yang harus dia kerjakan adalah membawa benda

merah yang menyenangkan (dimasukkan ke sakunya), dan membandingkan benda itu

dengannya. Jika dan hanya jika warna cocok, dia akan memberikan objek baru pada

himpunan “merah”. Dan juga memasukkannya objek hijau, objek biru, objek kuning, dan

seterusnya, dia dapat menemukan warna dari benda lain yang dia inginkan dengan

mengujinya untuk menjodohkan terhadap objek standarnya. Jika eksperimen ini

dilakukan dalam praktek, maka akan segera ditemukan bahwa himpunan-himpunan

yang mempunyai warna merah, biru, hijau, kuning…, untuk sifat karakteristik tidak

dirumuskan dengan baik sebagaimana diinginkan. Penjodohan objek untuk warna yang

tidak seksama, akan mengakibatkan sebagian benda dianggap sebagai biru agak

kehijauan, yang lain juga akan mendeskripsikan sebagai hijau kebiruan.

Penjodohan himpunan untuk bilangan dapat dilakukan dengan seksama, dan kita

sering mengerjakannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan himpunan cawan pada

talam, kita menjodohkan dengan himpunan cangkir dan sangat mungkin dengan

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 129

Page 130: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

himpunan sendok teh, semua himpunan ini mempunyai bilangan yang sama. Jika

bilangan ini cukup besar, mungkin kita tidak bosan mencari tahu apa itu. Kita hanya

memastikan pada himpunan setiap cawan ada sebuah cangkir, dan sebaliknya. Tentu

ada sebuah cangkir untuk himpunan setiap cawan, dan satu cawan untuk himpunan

cangkir, jadi tidak bisa terpisahkan. Demikian pula untuk himpunan sendok. Penjodohan

jenis ini disebut korespondensi satu-satu, dan apakah dua himpunan tertentu cocok

dengan cara ini atau tidak adalah tidak mungkin menjadi masalah untuk ketidakcocokan.

Juga jelas bahwa jika kita mempunyai korespondensi satu-satu antara himpunan cawan

dan himpunan cangkir, dan antara himpunan cawan dan himpunan sendok, kita juga

akan mempunyai korespondensi satu-satu antara himpunan cawan dan himpunan

sendok. Berikut ilustrasinya.

1. 2.

3.

Sifat korespondensi satu-satu ini disebut sifat transitif. Dengan menggunakan

“” sebagai singkatan untuk “korespondensi satu-satu dengan”, dan menyebut

himpunan cangkir, cawan, dan sendok teh secara berturut-turut dengan C,W, dan T, kita

ekspresikan hasil kita dengan singkat dengan mengatakan bahwa jika C W dan W

T, maka juga C T.

Dari sifat ini disimpulkan bahwa dalam contoh tertentu kita dapat menggunakan

himpunan cangkir, himpunan cawan, atau himpunan sendok teh, sebagai perbandingan

dengan himpunan baru; katakanlah himpunan bungkusan biskuit. Jika himpunan baru

menyesuaikan salah satu himpunan yang ada, maka itu menyesuaikan semua. Karena

jika B C, maka karena C W T kita tahu bahwa B W dan B T.

Hasil ini benar untuk himpunan manapun dari himpunan-himpunan yang

menyesuaikan; maka untuk tujuan perbandingan salah satu himpunan dari himpunan-

himpunan yang menyesuaikan dapat mewakili himpunan ini sebagai satu keutuhan. Dan

dengan himpunan baru, mudah memutuskan dengan prosedur penjodohan tersebut

apakah itu masuk dalam himpunan tertentu dari himpunan-himpunan yang

menyesuaikan atau tidak. Himpunan-himpunan kita sekarang dirumuskan dengan baik.

Jika W dan W’ berdiri untuk himpunan-himpunan domba yang meninggalkan pasar

dan pulang ke rumah, dan T untuk himpunan bentuk (notches) yang dipotong atas

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 130W T

T1

T2

W’

Page 131: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

perhitungan jumlah sebelum dibagi, maka W T dan T W’ memastikan bahwa W

W’ sebagaimana diinginkan. Dan karena secara asli T T1 T2, Jika T1 atau T2

diubah akan ada ketidakcocokan pada akhirnya.

G. Himpunan Standar

Dalam contoh “merah” kami menyatakan bahwa siswa kami dapat membawa objek

dari masing-masing warna untuk membandingkan objek baru yang ditemukan. Benda-

benda itu adalah objek standar untuk warna. Untuk mengetahui banyaknya himpunan

baru dia perlu mempunyai himpunan masing-masing bilangan untuk membandingkan

himpunan yang baru. Himpunan standar untuk bilangan yang akan dia pilih atas dasar

kesenangan dan kemungkinan; maka sebagian dari badannya sendiri akan

mengemukakan diri mereka sendiri. Untuk himpunan 2, dia bisa memilih matanya; untuk

himpunan 5, jari-jari pada sebuah tangan; untuk himpunan 4, semua anggota badannya;

untuk himpunan 1, hidungnya. Dengan menyebutkan himpunan “mata”, “tangan”,

“anggota badan”, “hidung”, akan mengarah pada himpunan yang menjadi namanya

untuk bilangan-bilangan yang kita sebut “2”, “5”, “4”, “1”.

Untuk mengetahui banyaknya atau bilangan dari himpunan baru dia harus

mencobanya untuk pencocokan terhadap himpunan standar mana yang dianggap paling

disukai. Jika dia salah, dia harus mengambil yang lain. Cara yang nyata untuk

memperkenalkan hal itu adalah mencoba himpunan standar dengan cara reguler,

dimulai dengan penghitungan objek-objek yang paling sedikit, kemudian yang paling

kecil diantara objek-objek lain, dan sebagainya. Yaitu, menyusunnya secara berurutan.

Karena dia tidak dapat menyusun kembali anatominya, dia akan mengerjakan hal ini

secara mental dengan menempatkan nama-nama – bilangan secara urut: hidung, mata,

anggota badan, tangan,

H. Berhitung

Langkah ini adalah menggunakan Number-names themselves, secara berurutan,

sebagai himpunan standar.

No.

Bilangan Himpunan StandarNotasi Jumlah Kata

1.2.3.4.5.

hidungmatajaritubuhtangan

[hidung][hidung, mata][hidung, mata, jari][hidung, mata, jari, tubuh][hidung, mata, jari, tubuh, tangan]

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 131

Page 132: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

Pencarian banyaknya himpunan objek tertentu masih dilakukan dengan cara yang

sama seperti sebelumnya, dengan menjodohkan elemen-elemen dari himpunan standar

dalam korespondensi satu-satu dengan elemen-elemen dari himpunan tertentu.

Ini merupakan proses penjodohan yang mudah dilakukan, dengan menyentuh,

menunjukkan, melihat, atau hanya merenungkan objek-objek yang akan dihitung,

sementara menyebutkan kembali bilangan - kata-kata berurutan.

I. Aritmetika dan Berhitung

Perhatikan pernyataan “7 + 5 = 12”. Kalimat ini apabila dijelma dalam situasi fisik,

misalnya “kita mempunyai talam dengan 7 cangkir di atasnya, dan talam lain dengan 5

cangkir di atasnya. Jika kita menempatkan semua cangkir itu bersama pada talam yang

sama, berapa banyak cangkir yang ada bersama?”.Metode yang telah kita pelajari untuk

menjawab pertanyaan jenis ini sangat tergantung pada penghitungan.

J. Berhitung, dan Konsep Bilangan yang Dimiliki Anak

Piaget telah menunjukkan berbagai eksperimen, yang salah satunya diringkas

sebagai berikut: Dua himpunan penjodohan ditempatkan di depan anak, 6 telur dalam 6

cangkir telur. Anak ini ditanya apakah ada banyak telur yang sama dengan banyaknya

cangkir telur atau tidak. Dia berkata “ya, ada”. Selanjutnya, telur-telur dikeluarkan dari

cangkir dan diikat bersama: Cangkir telur yang ditinggalkan dimana mereka berada.

Kemudian ketika ditanya apakah ada jumlah telur yang benar untuk dimasukkan ke

cangkir itu, satu dalam masing-masing dan tidak sama sekali, yang secara tipikal

berumur 5 tahun diantara subyek-subyek piaget mengatakan “tidak, tidak ada cukup

telur”. Dengan disuruh menghitung telur dan cangkir, dia berbuat dengan benar dengan

mengatakan bahwa ada 6 dari masing-masing. Ditanya lagi apakah ada telur-telur yang

sebanyak dengan cangkir, dia masih mengatakan tidak ada. Dia belum memegang dua

sifat utama suatu bilangan, bahwa ini merupakan sifat umum dari dua himpunan

penjodohan, dan bahwa penjodohan tidak dipengaruhi oleh perubahan posisi objek.

Menarik membandingkan hal ini dengan prilaku seorang anak berusia 3,5 tahun

yang menempatkan beberapa kereta mainan anak-anaknya dari kotak ke rilnya, dengan

mengatakan “satu untuk saya", ”satu untuk anda”, “dan satu untuk mama”. Anak ini

sedang menjodohkan 2 himpunan secara mental, tanpa memperhatikan posisi objek.

Mengumpulkan objek ke himpunan-himpunan atas dasar sifat umumnya adalah

satu aktifitas pramatematis; perurutan adalah aktifitas lain; membandingkan dua

himpunan untuk mengetahui apakah mereka cocok adalah aktifitas lain, atas gambaran

matematika. Tetapi dengan kesempatan yang cocok, menghitung dapat berperan dalam

pembentukan konsep bilangan dengan dua cara berikut. Pertama, sebagaimana telah

ditunjukkan pada halaman 78, penamaan dapat membantu proses pembentukan konsep

baru. Menghitung adalah proses penjodohan sendiri, dan cara bagus menguji dua

himpunan untuk kecocokan. “apakah kita mempunyai cangkir untuk siapa saja?”

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 132

Page 133: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

Jawabannya cepat dicapai dengan menghitung cangkir dan orang: menggunakan sifat

transitif dari korespondensi satu-satu.

Dalam uraian ini, ide-ide utama yang perlu diingat oleh siswa adalah sebagai

berikut:

Himpunan: kumpulan objek-objek yang telah didefinisikan dengan jelas, baik objek

material (objek fisik) atau abstrak (ide).

Elemen: objek yang terkandung dalam suatu himpunan.

Karakteristik suatu himpunan: sifat yang dimiliki oleh objek tertentu untuk suatu

himpunan jika dan hanya jika himpunan itu telah memiliki

sifat tersebut.

Korespondensi satu-satu atau menjodohkan.

Dua himpunan berkorespondensi satu-satu jika dan hanya jika untuk setiap elemen dari

satu himpunan memasangkan satu dan hanya satu elemen dari himpunan lain.

Bilangan: sifat yang dimiliki sebuah himpunan dari himpunan yang sama.

Himpunan standar: perwakilan dari satu himpunan, yang digunakan sebagai

perbandingan dengan himpunan tertentu untuk mengetahui apakah

itu milik himpunan dari himpunan-himpunan itu.

Menghitung: sarana untuk mencari atau mengetahui banyaknya himpunan tertentu

dengan menggunakan nama-nama bilangan secara berurutan sebagai

himpunan standar.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 133

Page 134: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

BAB XIKEMAMPUAN MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA

Pada bagian ini akan diuraikan mengenai pengertian masalah, pengertian dan

tujuan pemecahan masalah matematika, peran pemecahan masalah dalam

pembelajaran matematika, tahap-tahap pemecahan masalah matematika, proses

heuristik dalam pemecahan masalah matematika, kategori kemampuan siswa, dan

faktor-faktor yang dapat meningkatkan kemampuan memecahkan masalah matematika.

A. Pengertian Masalah

Dalam perspektif psikologi, masalah atau problem pada dasarnya adalah situasi

yang mengandung kesulitan bagi seseorang dan mendorongnya untuk mencari solusinya

(Gorman, 1974: 293–294). Terdapat beberapa jenis masalah, yaitu: 1) masalah yang

prosedur pemecahannya sudah ada dan telah diketahui oleh siswa; 2) masalah yang

prosedur pemecahannya belum diketahui oleh siswa, meskipun orang lain telah

mengetahuinya; 3) masalah yang sama sekali belum diketahui prosedur pemecahannya

dan atau belum diketahui data yang diperlukan untuk mencari solusinya. Lester (1980:

287) mendefinisikan masalah sebagai situasi dimana seseorang atau sekelompok orang

diminta untuk menyelesaikan sebuah tugas yang belum tersedia algoritma yang sesuai

sebagai metode penyelesaiannya.

Tidak semua persoalan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari dapat dikatakan

masalah. Menurut Cooney (Fadjar Shadiq, 2004: 10) “… for a question to be a problem, it

must present a challenge that cannot be resolved by some routine procedure known to

the student”. Maknanya adalah suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika

pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu tantangan yang tidak dapat dipecahkan oleh

suatu prosedur rutin yang sudah diketahui si pelaku. Posamentier & Stepelman (1990:

109) menyatakan bahwa “A problem poses a situation in which there is something you

want but don’t yet know how to get”. Maknanya, masalah adalah sesuatu yang

menimbulkan situasi dimana ada sesuatu yang dituju atau inginkan, tetapi tidak tahu

bagaimana mendapatkannya atau mencapainya.

Masalah atau problem bukanlah latihan-latihan soal rutin yang biasa diberikan

dalam kelas melainkan masalah-masalah non rutin yang belum diketahui prosedur

pemecahannya. Menurut Stanic & Kilpatrick (Schoenfeld, 1992: 338), “… nonroutine

problem solving is characterized as a higher level skill to be acquired after skill at solving

routine problems (which, in turn, is to be acquired after students learn basic

mathematical concepts and skills).” Maknanya, masalah non rutin merupakan masalah

yang belum diketahui prosedur penyelesaiannya. Untuk mencari pemecahannya

diperlukan keterampilan yang lebih tinggi, yang dapat diperoleh siswa setelah mereka

memiliki pemahaman konsep dan keterampilan dasar matematika, serta memiliki

keterampilan memecahkan masalah-masalah rutin.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 134

Page 135: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

Masalah non rutin dikategorikan menjadi tiga, yaitu modified translation problems,

process problems, dan open-ended and project problems. Modified translation problems

merupakan translasi masalah dengan informasi yang kurang, process problems

merupakan masalah non standar yang memerlukan satu atau lebih strategi untuk

memecahkannya dan lebih memerlukan kemampuan logika, sedangkan open-ended and

project problems merupakan masalah terbuka dengan banyak kemungkinan cara

memperoleh jawaban, dan banyak kemungkinan jawaban. Jenis-jenis masalah non rutin

ini memerlukan keterampilan berpikir seperti kemampuan berpikir kritis, kreatif dan

berpikir divergen (Gorman, 1974: 303).

Berdasarkan pendapat tersebut, diperoleh gambaran bahwa apabila seseorang

berada pada suatu kondisi yang tidak ideal dan ingin menuju kondisi ideal itu, tetapi

untuk mencapai tujuan tersebut tidak mudah dan memerlukan pemikiran untuk sampai

pada solusinya, maka pada saat itulah seseorang tersebut sedang menghadapi masalah.

Seseorang dapat menemukan strategi penyelesaian masalah secara teratur dalam

rangkaian langkah-langkah yang mengarah pada tujuan dan keinginan yang hendak

dicapai atau diharapkan.

Syarat suatu masalah bagi siswa (Herman Hudojo, 2005: 124), adalah:

1. Pertanyaan yang dihadapkan kepada seorang

siswa haruslah dapat dimengerti oleh siswa tersebut, namun pertanyaan itu harus

merupakan tantangan baginya untuk menjawabnya.

2. Pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab dengan

prosedur rutin yang telah diketahui siswa.

Sejalan dengan itu, Erman Suherman Ar, Turmudi, Didi Suryadi, dkk (2003: 92–93)

menyatakan bahwa suatu masalah biasanya memuat suatu situasi yang mendorong

seseorang untuk menyelesaikannya, akan tetapi tidak tahu secara langsung apa yang

harus dikerjakan untuk menyelesaikannya. Jika suatu pertanyaan dapat diketahui secara

langsung penyelesaiannya dengan benar, maka pertanyaan seperti itu tidak dapat

dikatakan sebagai masalah.

Polya (1981: 119) menggolongkan masalah matematik menjadi dua golongan,

yaitu:

… problems “to find” and problems “to prove”. The aim of a problem to find is to

find (construct, produce, obtain, identify, …) a certain object, the unknown of the

problem. The aim of a problem to prove is to decide whether a certain assertion is

true or false, to prove it or disprove it.

Problem “to find” bertujuan untuk menemukan (membangun, menghasilkan,

memperoleh, mengidentifikasi) suatu objek tertentu yang tidak dikenal dari masalah,

sedangkan problem “to prove” bertujuan untuk memutuskan kebenaran suatu

pernyataan, membuktikannya atau membuktikan kebalikannya (kontradiksi).

Masalah juga dapat dibedakan berdasarkan strukturnya, yaitu masalah yang

terdefinisi dengan baik (well-defined problem) dan masalah yang tidak terdefinisi dengan

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 135

Page 136: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

baik (ill-defined problem). Masalah yang terdefinisi dengan baik adalah situasi masalah

yang pernyataan asli atau asal, tujuan dan aturan-aturannya terspesifikasi. Sebaliknya,

masalah yang tidak terdefinisi dengan baik adalah masalah yang pernyataan asal, tujuan

dan aturan-aturannya tidak jelas sehingga tidak memiliki cara sistematik untuk

menemukan solusi. Selain itu, dikenal pula adanya masalah dengan penyelesaian

tunggal (dalam penyelesaiannya memerlukan pola berpikir konvergen) dan masalah

dengan penyelesaian tidak tunggal (dalam penyelesaiannya memerlukan pola berpikir

divergen).

Dapat disimpulkan bahwa masalah adalah suatu situasi yang tidak terstruktur

dengan baik, yang dapat diselesaikan tanpa menggunakan prosedur atau algoritma

rutin, sesuai dengan tahap perkembangan mental siswa yang memiliki pengetahuan

prasyarat mengenai situasi tersebut.

B. Pengertian dan Tujuan Pemecahan Masalah Matematika

Polya (1981: 117) mendefinisikan pemecahan masalah (problem solving) sebagai

“to search consciously for some action appropriate to attain a clearly conceived, but not

immediately attainable, aim”. Makna dari pernyataan tersebut adalah pemecahan

masalah sebagai usaha sadar untuk mencari jalan keluar dari suatu kesulitan, tetapi

tujuan tersebut tidak segera dapat dicapai.

Osborne & Kasten (1980: 54) menyatakan bahwa “Problem solving is taught to

develop methods of thinking and logigal reasoning”. Maknanya adalah pemecahan

masalah diajar untuk mengembangkan metode-metode mengenai pemikiran dan logika

penalaran. Dalam NCTM (2000: 52), pemecahan masalah merupakan proses menerapkan

pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya pada situasi baru dan berbeda. Apabila

dikaitkan dengan pernyataan Osborne & Kasten di atas, maka proses menerapkan

pengetahuan matematika ini melibatkan keterampilan berpikir dan bernalar pada diri

siswa.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pemecahan masalah

merupakan suatu tingkat aktivitas intelektual yang sangat tinggi untuk mencari

penyelesaian masalah yang dihadapi dengan melibatkan keterampilan berpikir dan

bernalar serta menggunakan bekal pengetahuan yang sudah dimiliki.

NCTM (2000: 52 & 334) mengungkapkan tujuan pengajaran pemecahan masalah

dari sebelum taman kanak-kanak hingga kelas XII sebagai berikut.

build new mathematical knowledge through problem solving; solve problems that arise in mathematics and in other contexts; apply and adapt a variety of appropriate strategies to solve problems; monitor and reflect on the process of mathematical problem solving.

Tujuan pengajaran pemecahan masalah secara umum adalah untuk: 1) membangun

pengetahuan matematika baru melalui pemecahan masalah; 2) memecahkan masalah

yang muncul dalam matematika dan di dalam konteks-konteks lainnya; 3) menerapkan

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 136

Page 137: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

dan menyesuaikan bermacam strategi yang sesuai untuk memecahkan permasalahan;

dan 4) memantau dan merefleksikan proses dari pemecahan masalah matematika.

NCTM (Posamentier & Stepelman, 1990: 109) menyatakan apa yang diharapankan

setelah siswa belajar memecahkan masalah sebagai berikut.

In grades 9 – 12, the mathematics curriculum should include refinement and extension of methods of mathematical problem solving so that all students can: use with increasing confidence, problem-solving approaches to

investigate and understanding mathematical content; apply integrated mathematical problem-solving strategies to solve

problems within and outside of mathematics; recognize and formulate problems within and outside of mathematics; apply the process of mathematical modeling to real-world problem

situations.

Setelah belajar memecahkan masalah matematika diharapkan siswa dapat: 1)

menggunakan pendekatan pemecahan masalah untuk menyelidiki dan memahami isi

matematika; 2) menggunakan perpaduan strategi pemecahan masalah untuk

memecahkan masalah dalam atau di luar matematika; 3) mengenal dan

merumuskan masalah dalam atau di luar matematika; dan 4) menggunakan proses

pemodelan matematika untuk situasi masalah nyata.

C. Peran Pemecahan Masalah dalam Pembelajaran Matematika

Matematika merupakan ilmu yang melatih cara berpikir dan mengolah logika yang

benar sesuai dengan aturan yang terdiri dari aksioma dan dalil-dalil. Proses berpikir

matematik dimulai dari penemuan informasi, pengolahan, penyimpanan, dan memanggil

kembali informasi tersebut dari ingatan. Berpikir matematik merupakan pelaksanaan

kegiatan atau proses matematik (doing math) atau tugas matematika (mathematical

task). Berkenaan dengan proses matematik, NCTM (2000: 29) menyatakan bahwa cara

penting untuk memperoleh dan mempergunakan pengetahuan meliputi pemecahan

masalah (problem solving), penalaran dan pembuktian (reasoning and proof), komunikasi

(communication), koneksi (connections), penyajian dan (representation).

Berkenaan dengan apa yang didapatkan siswa dari melakukan suatu pemecahan

masalah, Herman Hudojo (2005: 128–129) mengatakan bahwa pemecahan masalah

merupakan suatu hal yang esensial dalam pembelajaran matematika. Hal ini

dikarenakan:

1. Siswa menjadi terampil menyeleksi informasi yang relevan, kemudian

menganalisanya dan akhirnya meneliti kembali hasilnya;

2. Kepuasan intelektual akan timbul dari dalam – merupakan hadiah

intrinsik bagi siswa;

3. Potensi intelektual siswa meningkat;

4. Siswa belajar bagaimana melakukan penemuan dengan melalui proses

melakukan penemuan.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 137

Page 138: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

Dalam perspektif historis kurikulum matematika, Stanick & Kilpatrick (Schoenfeld,

1992: 338) mengidentifikasi peran pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika

sebagai berikut.

1. Problem solving as context.

Pemecahan masalah berfungsi sebagai konteks, maksudnya adalah masalah

digunakan sebagai sarana untuk mengajarkan suatu topik matematika. Tujuan utama

dari proses ini adalah untuk memahami konsep matematika dan bukanlah

pemecahan masalah itu sendiri. Masalah dalam pembelajaran matematika disini

berperan sebagai: a) justifikasi dalam mengajarkan matematika, maksudnya masalah

yang berkaitan dengan pengalaman sehari-hari dapat meyakinkan guru dan siswa

akan nilai matematika; b) motivasi yang spesifik untuk suatu topik, maksudnya

masalah digunakan untuk mengenalkan suatu topik melalui pemahaman secara

eksplisit atau implisit; c) rekreasi, maksudnya masalah matematika menjadi

tantangan atau permainan yang menyenangkan siswa agar semakin terampil dan

mahir; dan d) usaha mengembangkan suatu keterampilan baru, maksudnya masalah

diberikan dalam urutan tertentu untuk mengenalkan siswa pada materi baru dan

sebagai konteks untuk bahan diskusi selanjutnya.

2. Problem solving as skill

Pemecahan masalah sebagai keterampilan yaitu berupa kemampuan untuk

memperoleh solusi dari masalah yang dihadapinya. Meskipun pemecahan masalah

dapat diinterpretasikan sebagai suatu keterampilan, asumsi pedagogi dan

epistemologi yang mendasarinya adalah keterampilan merupakan penguasaan suatu

strategi atau teknik pemecahan masalah. Siswa diajarkan suatu teknik pemecahan

masalah sebagai materi pelajaran, kemudian diberikan tugas berupa latihan-latihan

sehingga siswa dapat menguasai teknik tersebut. Setelah memperoleh pengajaran

pemecahan masalah seperti ini, siswa dikatakan telah memiliki keterampilan

pemecahan masalah sebaik penguasaannya terhadap fakta dan prosedur yang telah

dipelajari.

3. Problem solving as art

Pemecahan masalah sebagai seni dari matematika atau jantungnya matematika

(heart of mathematics), maksudnya adalah matematika merupakan pemecahan

masalah itu sendiri. Pembelajaran matematika dimulai dari pemecahan masalah

sebagai konteks untuk memperkenalkan atau memahami suatu konsep atau prinsip

matematika, kemudian konsep atau prinsip yang telah berhasil dipahami tersebut

diterapkan dalam soal-soal pemecahan masalah untuk melatih keterampilan siswa.

Pendapat tersebut didukung oleh pernyataan Lester (Branca, 1980: 3) bahwa:

“Problem solving has been said to be at the heart of all mathematics”. Makna dari

pernyataan ini adalah pemecahan masalah merupakan inti dari seluruh matematika,

artinya kemampuan memecahkan masalah merupakan kemampuan dasar dalam belajar

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 138

Page 139: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

matematika. Lebih jauh Cooney, Davis, & Henderson (Herman Hudojo, 2005: 126)

berpendapat bahwa dengan mengajarkan siswa untuk menyelesaikan masalah,

memungkinkan siswa menjadi lebih analitik dalam mengambil keputusan di dalam

kehidupannya. Pada hakikatnya, belajar pemecahan masalah adalah belajar berpikir

(learning to think) atau belajar bernalar (learning to reason), yakni berpikir atau

bernalar untuk mengaplikasikan pengetahuan-pengetahuan yang telah diperoleh

sebelumnya dalam rangka memecahkan masalah-masalah baru yang belum pernah

dijumpai. Melalui pemecahan masalah siswa mengembangkan kemampuan berpikir kritis

dan kemampuan beradaptasi terhadap situasi belajar yang baru.

Meningkatkan keterampilan pemecahan masalah siswa merupakan tujuan utama

dalam pembelajaran matematika. Dalam memecahkan masalah matematika, siswa tidak

hanya menggunakan kemampuan matematika yang telah mereka miliki, tetapi juga

meningkatkan pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang matematika. Hal

ini mengakibatkan pemecahan masalah dalam matematika dapat digunakan sebagai

dasar pembelajaran konsep-konsep matematika, sehingga siswa dapat mengkonstruksi

pengetahuan mereka sendiri.

D. Tahap-tahap Pemecahan Masalah Matematika

Terdapat beberapa pendapat tentang proses pemecahan masalah matematika.

Dewey (Posamentier & Stepelman, 1990: 110) mengungkapkan sebagai berikut.

… outlined five steps for problem solving. They were presented in the following order.1. Recognizing that a problem exists – an awareness of a difficulty, a sense of

frustration, wondering or doubt. 2. Identifying the problem – clarification and definition, including designation of

the goal to be sought, as defined by the situation which poses the problem. 3. Employing previous experiences, such as relevant information, former

solutions, or ideas to formulate hypotheses and problem-solving propositions. 4. Testing, successively, hypotheses or possible solutions. If necessary, the

problem may be reformulated. 5. Evaluating the solutions and drawing a conclusion based on the evidence. This

involves incorporating the successful solution into one's existing understanding and applying it to other instances of the same problem.

Makna dari pernyataan di atas adalah terdapat lima langkah pemecahan masalah

sebagai berikut: 1) mengenali adanya masalah, yaitu kesadaran atas suatu kesukaran,

perasaan frustasi, keingintahuan, atau keraguan; 2) mengidentifikasi masalah, yaitu

klarifikasi dan definisi, termasuk perumusan sasaran yang hendak dicapai sebagaimana

ditentukan oleh situasi yang mengedepankan masalah itu; 3) memanfaatkan

pengalaman-pengalaman sebelumnya, misalnya: informasi yang relevan, penyelesaian-

penyelesaian, atau gagasan-gagasan terdahulu untuk merumuskan hipotesis-hipotesis

dan proposisi pemecahan masalah; 4) menguji hipotesis-hipotesis atau kemungkinan-

kemungkinan penyelesaian secara berurutan (jika perlu merumuskan kembali masalah

tersebut); dan 5) mengevaluasi penyelesaian-penyelesaian dan menarik kesimpulan

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 139

Page 140: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

berdasarkan bukti, yang melibatkan pemasukan penyelesaian ke dalam pemahaman

yang dimiliki orang tersebut dan menerapkannya pada bentuk-bentuk lain dari masalah

yang sama.

Keterampilan berpikir yang dikembangkan dalam proses pemecahan masalah

antara lain kemampuan siswa untuk memahami masalah dan merumuskan pertanyaan

dalam masalah tersebut. Siswa juga perlu memahami kondisi dan variabel yang terlibat

dalam masalah tersebut. Proses untuk memahami kondisi dan variabel dalam masalah

dapat terbantu dengan cara membuat model, diagram, gambar atau mendaftar ide-ide

dalam urutan tertentu. Sejalan dengan itu, siswa perlu berpikir untuk memilih atau

menemukan data yang diperlukan untuk memecahkan masalah. Selanjutnya, siswa

menguraikan dalam bagian-bagian masalah yang perlu dipecahkan terlebih dahulu dan

memilih strategi pemecahan yang sesuai. Siswa harus dapat memberikan jawaban dalam

batasan yang relevan dengan data dalam masalah tersebut. Hal ini berarti, siswa

menyatakan jawaban secara lengkap sesuai dengan apa yang ditanyakan. Selanjutnya,

siswa perlu mengevaluasi apakah jawaban yang diperolehnya tersebut masuk akal atau

cukup rasional. Proses ini mencakup usaha untuk membaca kembali apa masalahnya

dan menguji jawabannya tersebut pada kondisi dan variabel yang terdapat pada

masalah tersebut, mengujinya pada pertanyaan, atau melakukan estimasi untuk

menentukan apakah jawabannya tersebut cukup masuk akal.

Menurut Polya (1973: 5–6) terdapat empat fase dalam pemecahan masalah sebagai

berikut.

… four phases of the work. First, we have to understand the problem; we have to see clearly what is required. Second, we have to see how the various items are connected, how the unknown is linked to the data, in order to obtain the idea of the solution, to make a plan. Third, we carry out our plan. Fourth, we look back at the completed solution, we review and discuss it.

Maknanya adalah empat fase dalam proses pemecahan masalah, yaitu:

1. Memahami masalah

Siswa dapat mengidentifikasi kelengkapan data termasuk mengungkap data yang

masih samar-samar yang berguna dalam penyelesaian;

2. Menyusun rencana

Siswa dapat membuat beberapa alternatif jalan penyelesaian untuk menuju jawaban;

3. Melakukan rencana

Siswa dapat melaksanakan langkah 2) dan mencoba melakukan semua kemungkinan

yang dapat dilakukan; dan

4. Memeriksa kembali kebenaran jawaban

Siswa dapat melengkapi langkah-langkah yang telah dibuatnya ataupun membuat

alternatif jawaban lain.

Setiap langkah yang dilakukan selalu bersifat istimewa karena semuanya dapat

membawa ide berbeda. Ide tersebut akan membongkar segala yang masih rahasia

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 140

Page 141: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

menjadi suatu jawaban. Selanjutnya, Polya (1973: 6) menyatakan bahwa “It is generally

useless to carry out details without having seen the main connection, or having made a

sort of plan”. Maknanya adalah siswa bisa saja mengalami kegagalan memperoleh hasil,

karena ide siswa keluar dari keempat fase tersebut dan siswa membuat generalisasi

yang tidak berkaitan dengan keseluruhan data soal. Oleh karena itu, siswa perlu selalu

meneliti setiap tahap yang telah dilakukan. Akibatnya, langkah-langkah pemecahan

dapat saja berubah-ubah atau kembali ke tahap sebelumnya, tergantung kebutuhan

siswa melewati keadaan yang masih rahasia menuju jalan keluar.

E. Proses Heuristik dalam Pemecahan Masalah Matematika

Pemecahan masalah merupakan aktivitas yang kompleks. Hal ini mencakup proses

dalam memori untuk mengingat kembali fakta, penggunaan beragam keterampilan dan

prosedur, kemampuan untuk mengevalusi jalan berpikir dan kemajuan yang dicapai

ketika memecahkan masalah, dan kemampuan lainnya. Lebih jauh lagi, keberhasilan

siswa dalam memecahkan masalah sangat tergantung pada minat siswa, motivasi, dan

kepercayaan diri siswa. Oleh karena itu, pemecahan masalah meliputi koordinasi dari

pengetahuan, pengalaman sebelumnya, intuisi, perilaku, keyakinan dan berbagai

kemampuan lainnya.

Rangkaian aktivitas berpikir siswa dan perilaku siswa selama memecahkan masalah

dapat dianalisa berdasarkan model Polya (Gorman, 1974: 299; Lester, 1985: 45). Proses

pemecahan masalah atau strategi pemecahan masalah ini disebut dengan heuristic. Kata

heuristik menurut Polya (1973: 112) sering disebut sketsa (outline). Strategi heuristik

membuat keadaan masalah menjadi kelihatan belum jelas (samar-samar) dan terkadang

belum sebagai jawaban yang sesungguhnya. Pemecahan masalah menggunakan strategi

heuristik berarti proses pemecahan masalah menggunakan strategi-strategi agar dapat

mengambil keputusan berdasarkan keputusan induktif, analogi, peragaan, atau

mensketsa gambar. Dengan kata lain, strategi heuristik Polya dalam pemecahan

masalah adalah mensketsa kerangka yang paling mungkin. Tujuan dari heuristik adalah

untuk mempelajari metode dan aturan-aturan untuk memperoleh solusi masalah,

sehingga memungkinkan pemecah masalah untuk memperoleh pengertian secara

sistematis dari struktur masalah tersebut melalui usahanya sendiri.

Pada tahap memahami masalah, siswa perlu memahami dengan baik ruang lingkup

dan hakikat masalah yang dihadapi. Untuk itu, siswa harus dapat mencari informasi yang

relevan, mendefinisikan masalah dengan jelas dan menjelaskan dengan kata-katanya

sendiri. Tahap ini merupakan tahap yang penting dimana siswa mengembangkan

pemaknaan dari representasi masalah yang dihadapi sebagai dasar untuk merencanakan

strategi pemecahan masalah (Lester, 1985: 46).

Pada tahap menyusun rencana pemecahan masalah, siswa merumuskan solusi

yang memungkinkan atau menyusun rencana pemecahan. Dalam hal ini, siswa perlu

bimbingan untuk mengenali kapan suatu strategi dapat berguna, memilih strategi atau

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 141

Page 142: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

pendekatan yang dipandangnya sesuai dengan masalah tersebut dan melakukan

perbaikan terhadap strateginya. Dalam tahap perencanaan dan pelaksanaan ini terdapat

aktivitas metakognitif untuk memantau kemajuan yang telah dicapai.

Pada tahap evaluasi, siswa melakukan pengujian terhadap dugannya tersebut,

melakukan verifikasi terhadap solusi yang dihasilkan, hingga diperoleh solusi yang tepat

bagi masalah tersebut. Dalam tahap ini, siswa tidak hanya melakukan pengecekan

terhadap solusi yang diperolehnya, tetapi siswa juga bernalar secara induktif untuk bisa

memperoleh beberapa prinsip umum matematika dari solusi yang diperolehnya. Untuk

itu, perhatian guru hendaknya lebih diarahkan kepada usaha siswa memperoleh solusi

daripada kebenaran jawaban semata. Kegiatan diskusi interaktif antarsiswa, maupun

antara siswa dan guru merupakan cara untuk saling mengutarakan ide dalam usahanya

memecahkan masalah. Dalam kesempatan ini, beragam strategi pemecahan masalah

dikemukakan sehingga guru dapat memberikan perhatian terhadap struktur

pengetahuan matematika siswa dalam proses memperoleh solusi.

Polya memberi petunjuk kepada guru matematika untuk memecahkan masalah

dengan strategi heuristik, yaitu membuat keadaan agar terjadi “penyuplai penemuan”

(serving to discovery). Untuk mengefektifkan penerapan heuristik Polya ini, pemecah

masalah harus mampu mengkonstruksi hubungan dalam masalah dengan tepat sesuai

dengan struktur matematika yang ada. Hal ini sesuai dengan pernyataan Silver & Smith

(1980: 146) “To make effective use of Polya’s heuristic suggestion, the problem solver

must be able to construct or recall and appropriate problem related in mathematical

structure to the problem at hand.”.

Strategi heuristik tidak berarti menjamin siswa sudah pasti terbantu pada saat

memecahkan masalah. Polya (1973: 172) menyatakan “A reasonable sort of heuristic

cannot aim at unfailing rules; but it may endeavor to study procedures (mental

operations, moves, steps) which are typically useful in solving problems.”. Maknanya,

penyelenggaraan heuristik yang masuk akal tidak dapat terjadi setiap saat, tetapi

dengan melakukan strategi heuristik berarti siswa berusaha keras mempelajari prosedur

operasi yang telah digunakan dengan cara menukar-nukar langkah yang lebih

memungkinkan. Sebelum menemukan penyelesaian, siswa perlu mencari jejak langkah-

langkah sebelumnya, mengevaluasi prosedur yang dibuat sampai benar-benar

dimengerti, memilih cara yang paling benar, dan menentukan langkah yang terlengkap

dalam eksplorasi masalah dan menyelesaikannya secara keseluruhan. Oleh karena itu,

dalam mengimplementasikan suatu langkah, siswa harus berani menentukan bahwa

yang dilakukan itu adalah benar, juga mampu memanfaatkan semua yang diperolehnya

untuk menentukan atau memutuskan penyelesaian yang paling baik. Seperti itulah peran

yang dilakukan seorang pemecah masalah yang menggunakan kognitif dan

metakognitifnya dalam melakukan operasi, penerapan intelektualnya, dan sanggup

mengatur bagian-bagian masalah yang dimiliki secara tepat.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 142

Page 143: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

Seandainya hanya sebagian dari strategi heuristik yang diterapkan dan seorang

pemecah masalah hanya mencoba dalam waktu relatif singkat, bisa saja siswa tersebut

sudah dapat mengungkap suatu masalah bahkan sampai keseluruhan dapat

diselesaikan. Hal ini dapat terjadi jika siswa tepat memilih strategi heuristik yang cocok

untuk dipakai. Tetapi siswa juga dapat mencoba-cobakan beberapa kunci meskipun

membutuhkan waktu yang panjang. Oleh karena itu, betapa pentingnya mengetahui

kunci yang sesuai. Hal ini sesuai pernyataan Schoenfeld (1980: 14) sebagai berikut: “If

problem solver have only the time to try a few of those keys, they may fail to unlock the

problem – even if the right key was at their disposal all long. Selecting the key is as

important as knowing how to use it”.

Guru menyadari bahwa siswa membutuhkan banyak prosedur sebagai pedoman

untuk menuntaskan suatu masalah agar menemukan celah jalan keluar dari inti

permasalahan. Terkadang siswa kehabisan akal dan siswa menjadi frustasi. Keadaan ini

membutuhkan arahan dari guru agar siswa tetap mau berkreasi sehingga membantunya

untuk menemukan ide. Misalnya guru melakukan strategi heuristik sehingga siswa dapat

menemukan inti permasalahan (kunci persoalan atau ide utama) yang harus ditempuh.

Berkaitan dengan ini, Suydam (1980: 43) menyatakan “Children need and overall

procedure for attacking a problem; this provides a global sense of security. Then they

need specific strstegies that they can apply within the global structure.” Maknanya

adalah hanya melalui strategi-strategi spesifik, siswa dapat menemukan ide yang

membantunya keluar dari kesulitan. Ketika menentukan strategi spesifik yang dimaksud,

guru dapat memperkenalkan metode heuristik mengenai kegiatan mentransfomasi data

soal menjadi sederhana, menyusun generalisasi dari transformasi tersebut dan

mengaplikasikannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suydam (1980: 40) “The heuristic

method involves such factors as transformastion, goal reduction, an application; it is

slower but more general and flexible.”.

Untuk menempuh tahap-tahap pemecahan masalah matematika, siswa berusaha

mengartikan bentuk simbol yang dihadapi dan menggunakan simbol-simbol tersebut

berdasarkan pemahamannya. Ketika mengartikan bentuk simbol yang dihadapi, guru

dapat memperhatikan kinerja siswanya, dan membiarkan siswa secara bebas

menggunakan notasi yang ada atau mencoba menghubungkan bentuk-bentuk yang

dihadapi. Siswa membutuhkan bantuan dalam pemikirannya berupa wawasan dan kata

atau simbol atau notasi yang perlu dipakainya. Brown (Franke & Carey, 1997: 84)

mengisyaratkan bahwa dalam mengenal notasi, simbol ataupun istilah-istilah

matematika, sebaiknya guru menjaga agar siswa tidak bingung, bahkan kalau bisa guru

membantu mereka menterjemahkan suatu simbol atau notasi-notasi yang ada.

Ada kalanya suatu masalah matematika memerlukan penyusunan pemecahan

secara luar biasa dan membutuhkan penyelesaian yang unik. Oleh karena itu, sebaiknya

siswa harus memiliki kreativitas yang tinggi dan diimbangi dengan semangat yang

kontinu dalam mencari pemecahan masalah. Walaupun hubungan antara tingkat kreasi

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 143

Page 144: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

dan intelegensi bukanlah hal penentu, tetapi faktor kreativitas siswa yang tinggi dan oleh

integritas gurunya maka kemampuan siswa lebih memungkinkan untuk memanfaatkan

kreasi dalam melakukan pemecahan masalah. Kreativitas menemukan jawaban

merupakan kegiatan pemecahan masalah dan kreativitas dapat membenahi masalah

yang masih kacau menjadi jawaban yang benar. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan

Posamentier & Stepelman (1990: 131-132) sebagai berikut.

If there is difficulty in teaching effective ways of using the techniques of problem solving, there is, perhaps, greather difficulty in teaching for “creativity”. One of the major difficulties is in defining the term itself. At one time, it was thought that creativity was a genetic capacity granted to the fortunate few, but now a number of psychologists have attempted to demonstrate that processes associated with creativity are teachable (or, at least, encourageable). For our purposes, we may define creativity as the ability to evolve unusual, highly useful or unique solutions to problems.

Berdasarkan pendapat mengenai peran guru dalam membantu siswa melakukan

pemecahan masalah di atas, dapat disimpulkan bahwa guru harus berusaha melatih

siswa agar berani melakukan pemecahan sendiri. Proses pemecahan masalah

diperkenalkan guru kepada siswa melalui dialog yang mengakibatkan siswa terlibat

dalam kreativitas mengkaji soal dan mengeksplorasinya hingga menuntaskan

penyelesaian. Agar suatu soal memungkinkan untuk membuat siswa melakukan

pemecahan masalah, guru harus mempersiapkan soal-soal yang sesuai dengan

kemampuan siswa. Begitu pula karena memecahkan masalah membutuhkan kreasi dan

kreativitas yang tinggi, guru hendaknya memperhatikan bantuan yang diberikan kepada

siswa agar siswa tetap bersemangat menghadapi situasi-situasi yang sulit. Siswa

disibukkan dengan aktivitas strategi heuristik dan berusaha mendapatkan cara yang

spesifik agar penemuan yang luar biasa dapat terjadi pada siswa.

Polya berharap agar pada saat siswa memecahkan suatu masalah matematika,

guru memberi arahan melalui pertanyaan “Apakah kamu tahu hubungan yang ada dalam

masalah ini?”. Oleh karena itu, guru perlu menyediakan pertanyaan-pertanyaan yang

ditujukan kepada siswa untuk mengontrol keadaan siswa, sehingga guru dapat

memperbaiki kesalahan siswa. Apabila ditemukan beberapa cara yang dianggap benar,

siswa perlu membedakan kelebihan dan kekurangan cara-cara tersebut, bahkan siswa

nantinya menetapkan sendiri cara yang paling sesuai. Apabila guru selalu mengarahkan

siswa melalui pertanyaan “Bagaimana cara kamu melakukannya?”, maka secara eksplisit

guru akan membentuk kemungkinan siswa untuk mencoba menemukan jawaban dengan

cara sendiri.

Selanjutnya, Polya (1973: 172 & 206) menganjurkan dalam melakukan pemecahan

masalah sebaiknya guru memiliki semangat yang tinggi, berintelegensi dan berintegritas

tinggi dalam memberikan pertanyaan atau pemberian anjuran yang akan membantu

siswa. Untuk melakukan hal ini sangat diperlukan falsafah yang tidak memberikan

langkah yang sudah jadi (harus samar-samar). Intelegensi yang diperlukan dalam

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 144

Page 145: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

pembelajaran pemecahan masalah adalah harus mampu memberikan pertanyaan dan

pedoman yang membantu. Guru harus benar-benar mengerti dengan keterangan dan

ilustrasi contoh suatu pertanyaan yang diberikannya, dan lugas menempatkan

pertanyaan itu untuk menggugah semangat kerja siswa.

F. Kategori Kemampuan Siswa

Kategori kemampuan siswa sangat erat kaitannya dengan perolehan hasil belajar.

Oleh karena itu, kategori kemampuan merupakan hal yang penting untuk diperhatikan

khususnya dalam pengembangan pendekatan pembelajaran baru agar tercipta

pembelajaran yang lebih berpusat pada siswa dengan hasil optimal. Perhatian tersebut

terutama ditujukan pada antisipasi untuk melakukan intervensi yang perlu dipersiapkan

guru sesuai dengan latar belakang kemampuan siswa.

Apabila berhadapan dengan sejumlah siswa yang tidak dipilih secara khusus

kecerdasannya, maka diantara mereka terdapat siswa pandai, sedang, dan lemah,

dimana sebagian besar dari mereka mempunyai inteligensi sedang-sedang saja (normal).

Dengan demikian, dari sekelompok siswa yang tidak dipilih secara khusus terdapat

sejumlah siswa berbakat yang ada di atas kelompok sedang yang jumlahnya sama

dengan siswa tidak berbakat yang ada dibawah kemampuan siswa sedang tersebut. Hal

ini seperti yang diungkapkan oleh Grossnickle, Reckzeh, Perry et al (1983: 350) sebagai

berikut “Pupils in the top quarter of the norm group are among the rapid learners in

mathematics, whereas the pupils who score in the lowest quarter are among the slow

learners. The middle 50 percent are relatively homogeneous in their abilities to achieve

in mathematics.”.

Berdasarkan hasil tes siswa, dapat ditentukan seberapa besar jumlah siswa yang

berada pada kelompok atas, sedang, dan bawah. Menurut Suharsimi Arikunto (2006:

212), 27% skor teratas disebut kelompok atas (tinggi), 27% skor terbawah disebut

kelompok bawah (rendah), dan sisanya merupakan kelompok sedang.

Berdasarkan pendapat di atas, maka pengelompokan kemampuan siswa dalam

penelitian ini dibuat berdasarkan rata-rata nilai tes prasyarat dan nilai tes awal ruang

dimensi tiga yang terdiri dari tiga kelompok kategori yaitu rendah, sedang, dan tinggi.

G. Faktor-faktor yang dapat Meningkatkan Kemampuan Memecahkan Masalah Matematika

Kemampuan pemecahan masalah siswa berkembang secara perlahan dan kontinu.

Terdapat beberapa aspek dalam diri siswa yang perlu dikembangkan untuk menunjang

kemampuannya dalam memecahkan masalah antara lain adalah: 1) strategi pemecahan

masalah; 2) proses metakognitif; dan 3) keyakinan dan perilaku siswa terhadap

matematika, yaitu mencakup kepercayaan diri, tekad, kesungguh-sungguhan dan

ketekunan siswa dalam mencari pemecahan masalah.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 145

Page 146: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

Strategi pemecahan masalah merupakan metode yang dapat diidentifikasi untuk

melakukan pendekatan dalam menyelesaikan masalah, sehingga suatu strategi

pemecahan masalah dapat digeneralisasi. Pendekatan terhadap masalah juga mencakup

usaha untuk memahami masalah, mengidentiflkasi informasi yang relevan dan yang

tidak relevan, memilih strategi yang sesuai, serta menilai apakah jawaban yang

dihasilkan tersebut rasional. Dalam proses memecahkan masalah, siswa perlu memantau

jalan berpikirnya. Proses metakognitif ini, siswa menyadari bagaimana dan mengapa

dirinya melakukan hal tersebut, siswa juga menyadari langkah yang diambil apakah

berjalan dengan baik atau menemui hambatan sehingga dapat mendorong siswa untuk

memikirkan alternatif lain atau berusaha memahami kembali apa masalahnya.

Sebagaimana halnya dengan strategi, kemampuan metakognitif ini juga dapat dipelajari.

Keyakinan diinterpretasikan sebagai pemahaman dan perasaan seseorang yang

membentuk konseptualisasi dan keterikatan seseorang dengan matematika. Di samping

penguasaan siswa akan beragam strategi pemecahan masalah dan pentingnya proses

metakognitif, bagaimana perasaan siswa tentang pemecahan masalah dan tentang

matematika secara umum mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap usahanya

untuk memecahkan masalah dan keberhasilannya dalam matematika.

Menurut Gorman (1974: 312), faktor-faktor yang dapat meningkatkan kemampuan

pemecahan masalah, antara lain adalah kemampuan mencari informasi yang relevan.

Siswa harus dapat membedakan informasi yang relevan dan yang tidak relevan terhadap

masalah yang dihadapinya. Kemudian, faktor kemampuan dalam memilih pendekatan

pemecahan masalah. Pendekatan pemecahan masalah yang berdasarkan pada

keterampilan bernalar berupa uji hipotesis lebih efektif dibandingkan dengan pendekatan

yang tidak berdasarkan pada keterampilan bernalar. Namun, terkadang strategi yang

digunakan untuk memperoleh solusi tidak selalu berjalan dengan baik sehingga siswa

juga perlu memiliki fleksibilitas dalam memilih pendekatan dan fleksibilitas dalam

berpikir. Di samping itu, objektivitas dan keterbukaan dalam berpikir juga dapat

meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah. Objektivitas dapat

membantu siswa untuk bernalar secara logis.

Schoenfeld (1992: 348) mensintesiskan lima aspek kognitif penting, yaitu: basis

pengetahuan, strategi pemecahan masalah, monitoring dan kontrol, keyakinan dan

kesungguhan, serta latihan-latihan. Kemampuan siswa dalam memecahkan masalah

terkait dengan pengetahuan yang dimilikinya, yaitu pengetahuan yang tersimpan dalam

memorinya, dan bagaimana pengetahuan tersebut dikembangkan. Basis pengetahuan

matematika siswa meliputi pengetahuan informalnya tentang matematika dan

pengetahuan intuitif, fakta dasar, definisi, prosedur algoritmik, prosedur rutin,

pengetahuan tentang rumus-rumus, prinsip matematika atau aturan lain yang relevan.

Proses untuk mengakses pengetahuan yang tersimpan dalam memori tersebut dapat

digambarkan pada Bagan 1 (Schoenfeld, 1992: 351).

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 146

Page 147: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

Kegiatan memproses informasi tersebut bermula dari rangsang yang dapat diterima

oleh indera manusia, yaitu informasi yang diperoleh dari penglihatannya,

pendengarannya atau perabaannya dari lingkungan di sekitarnya atau dari suatu

penugasan. Kemudian, bila informasi tersebut tidak diabaikan akan diubah dalam bentuk

yang dapat diproses dalam otak manusia untuk disimpan dalam memorinya. Beberapa

informasi akan hilang atau tidak tersimpan, atau hanya tersimpan sementara dalam

memori jangka pendek dan beberapa akan bertahan dalam memori jangka panjang

siswa. Pengetahuan matematika yang tersimpan dalam memori jangka panjang siswa

inilah yang akan dimanfaatkan untuk mencari penyelesaian masalah. Penemuan untuk

menyelesaikan masalah berdasarkan pengetahuan tergantung dari muatan dalam

memori siswa. Berdasarkan tingkatan pengetahuan siswa berkaitan dengan masalah

yang dihadapinya, masalah dapat dibagi menjadi empat, yaitu: 1) sama sekali tidak

mengetahui; 2) mengetahui keberadaannya tetapi tidak secara detil; 3) mengetahui

sebagian atau memiliki dugaan secara detil tetapi tidak terlalu yakin; dan 4) yakin

mengetahui.

Bagan 1.The Structure of Memory

Dalam pembelajaran, setidaknya ada dua unsur yang terlibat yaitu siswa dan guru.

Bagaimana keyakinan siswa tentang matematika dan bagaimana keyakinan guru

tentang matematika tentu berpengaruh terhadap proses pembelajaran itu sendiri.

Keyakinan siswa tentang hakikat matematika antara lain: masalah matematika hanya

memiliki satu jawaban benar, dan hanya ada satu cara yang benar untuk menyelesaikan

masalah matematika. Cara itu biasanya adalah cara yang sering diajarkan guru di kelas.

Siswa umumnya juga berkeyakinan bahwa belajar matematika merupakan aktivitas

terisolir dan individu, matematika yang dipelajari di sekolah hanya memiliki sedikit

keterkaitan atau tidak terkait sama sekali dengan dunia nyata. Siswa berkemampuan

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 147

Problem

Task

Enviroment

Sensory

Buffer

Stimuli

Visual Auditory Tactile

Working Memory

Metalevel processes:

Planning Monitoring Evaluation

Mental Representations

Long-term Memory

Math knowledge

Metacognitive knowledge

Beliefs about: math self

Real-word knowledge

OUTPUT

Page 148: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

rata-rata tidak dapat diharapkan untuk bisa memahami matematika, sehingga mereka

merasa lebih mudah untuk menghafalkan saja dan menerapkannya secara mekanistis

tanpa pemahaman. Adapun keyakinan guru tentang matematika misalnya: matematika

lebih merupakan ide dan proses berpikir daripada fakta, matematika akan lebih baik

dipahami dengan cara menemukan kembali ide tersebut. Oleh karena itu, penemuan dan

verifikasi merupakan proses yang penting dalam pembelajaran matematika. Guru juga

berkeyakinan bahwa tujuan utama dari belajar matematika adalah mengembangkan

keterampilan bernalar yang penting bagi pemecahan masalah. Guru harus merancang

dan mengelola aktivitas belajar yang bersifat terbuka dan informal agar siswa memiliki

kebebasan untuk bertanya dan mengeksplorasi ide mereka sendiri. Guru seharusnya

mendorong siswa untuk membuat dugaan dan menalar sesuatu dengan usahanya sendiri

daripada menunjukkan kepada siswa bagaimana cara mencapai solusi atau jawaban.

Guru seharusnya dapat menarik intuisi dan pengalaman siswa ketika menyajikan suatu

materi agar menjadikannya lebih bermakna (Schoenfeld, 1992: 359–360).

Kemampuan pemecahan masalah merupakan keterampilan yang diperoleh siswa

dari belajar matematika, sehingga latihan merupakan hal yang penting agar siswa

semakin terampil. Semakin siswa berpengalaman dalam memecahkan beragam

masalah, semakin baik pula kemampuan pemecahan masalahnya.

Strategi pemecahan masalah yang biasa diajarkan dalam pembelajaran

matematika, antara lain: strategi coba-coba atau menebak kemudian menguji, membuat

gambar, menggunakan model matematika, mencari pola, membuat tabel, membuat dan

mengorganisir data atau informasi, bekerja mundur, menalar dengan logika, mencoba

pada masalah analog yang lebih sederhana, menuliskan persamaan atau kalimat

terbuka, menggunakan kalkulator atau komputer, memperhitungkan segala

kemungkinan, atau menggunakan sudut pandang yang berbeda (Posamentier &

Stepelman, 1990: 117–118). Akan lebih baik bila siswa tidak hanya dilatih untuk

menggunakan satu strategi dalam memecahkan masalah. Untuk itu, siswa diberi

kebebasan untuk melakukan dugaan dan pembuktian sendiri berdasarkan konsep-

konsep matematika yang dimilikinya. Siswa hendaknya memiliki keterampilan untuk

memilih sendiri strategi apa yang tepat untuk masalah yang dihadapinya tersebut, siswa

juga hendaknya dapat menggunakan strategi tersebut pada beragam masalah yang

melibatkan konteks yang berbeda dan bagian yang berbeda dari matematika.

Posamentier & Stepelman (1990: 132) memaparkan faktor-faktor yang dapat

meningkatkan kreativitas siswa dalam memecahkan masalah dilihat dari aspek

lingkungan belajar dan guru, antara lain: 1) menyediakan lingkungan belajar yang

mendorong kebebasan siswa untuk berekspresi; 2) menghargai pertanyaan siswa

dan ide-idenya; 3) memberi kesempatan bagi siswa untuk mencari dan menemukan

solusi dengan caranya sendiri; dan 4) memberi penilaian terhadap orisinalitas ide siswa

dan mendorong pembelajaran kooperatif yang mengembangkan kreativitas pemecahan

masalah siswa. Bentuk kegiatan pemecahan masalah secara berkelompok dinilai lebih

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 148

Page 149: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

efektif daripada dilakukan secara individual. Faktor lain yang dapat meningkatkan

kemampuan pemecahan masalah dari aspek guru yaitu perlakuan motivasional terhadap

siswa seperti memberikan toleransi dan pengertian.

Dengan demikian, faktor-faktor yang dapat meningkatkan kemampuan pemecahan

masalah siswa adalah kemampuan memahami ruang lingkup masalah dan mencari

informasi yang relevan untuk mencapai solusi, kemampuan dalam memilih pendekatan

pemecahan masalah atau strategi pemecahan masalah dimana kemampuan ini

dipengaruhi oleh keterampilan siswa dalam merepresentasikan masalah dan struktur

pengetahuan siswa. Keterampilan berpikir dan bernalar siswa yaitu kemampuan berpikir

yang fleksibel dan objektif. Kemampuan metakognitif atau kemampuan untuk melakukan

monitoring dan kontrol selama proses memecahkan masalah. Keyakinan yang positif

tentang belajar matematika. Perilaku siswa yang positif, yaitu mencakup kepercayaan

diri, tekad, kesungguh-sungguhan dan ketekunan siswa dalam mencari pemecahan

masalah serta latihan-latihan.

Berdasarkan uraian di atas, maka pemecahan masalah merupakan suatu subjek

(materi yang harus dipelajari), strategi pembelajaran dan merupakan kemampuan

berpikir tingkat tinggi dalam matematika yang harus dimiliki oleh siswa sehingga dapat

melakukan aktivitas matematika “doing math” dalam situasi di dalam maupun di luar

pembelajaran. Selanjutnya, kemampuan memecahkan masalah matematika dalam

penelitian ini merupakan kemampuan berpikir siswa dalam menyelesaikan soal

matematika berdasarkan pada suatu kegiatan yang lebih mengutamakan pentingnya

prosedur, strategi, dan karakteristik yang ditempuh oleh siswa dalam menyelesaikan

masalah sehingga menemukan jawaban soal.

Dalam penelitian ini, pemecahan masalah dianggap sebagai standar kemampuan

yang harus dimiliki siswa setelah menyelesaikan suatu pembelajaran. Kemampuan

memecahkan masalah menjadi target pembelajaran matematika yang sangat berguna

bagi siswa dalam kehidupannya. Melalui aktivitas pemecahan masalah, siswa dapat

memperbaiki kemampuan dirinya melakukan semua ketentuan pemecahan masalah.

Siswa menjadi biasa melakukan tahap-tahap pemecahan masalah matematika dan

melengkapi keterampilan pendukung untuk menyelusuri setiap tahap pemecahan.

Kemampuan pendukung tersebut diantaranya berkolaborasi, melakukan kooperatif,

bernegosiasi dengan sesama teman dan guru. Sementara guru berperan sebagai

fasilisator dan motivator, dengan setiap usaha yang dilakukannya tidak bersifat menilai

tetapi hanya bersifat mendorong dan selalu menghargai setiap solusi yang diperoleh

siswa.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 149

Page 150: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 150

Page 151: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

DAFTAR PUSTAKA

Branca, N. A. (1980). Problem solving as a goal, process, and basic skill. Dalam S. Krulik & R. E. Reys. (Eds.), Problem Solving in School Mathematics (pp. 3–8). Reston, VA: NCTM, Inc.

Dahar, R.W. (1988). Teori-Teori Belajar. Jakarta: P2LPTK.

Driscoll, M.(1991) Psychology of Learning for Instruction: Allyn and Bacon.

Erman Suherman Ar, Turmudi, Didi Suryadi, dkk. (2003). Strategi pembelajaran matematika kontemporer. Bandung: JICA – UPI.

Elliott, S. N., Kratochwill, T. R., Cook, J. L. et al. (2000). Educational psychology: Effective teaching, effective learning (3rd ed.). New York: McGraw-Hill Companies, Inc.

Fajar Shadiq. (Agustus 2004). Pemecahan masalah, penalaran dan komunikasi. Makalah disajikan pada Diklat Instruktur/Pengembang Matematika SMA Jenjang Dasar, di PPPG Matematika Yogyakarta.

Flavell, J. H. (1963). The developmental psychology of Jean Piaget. New York: D. Van Nostrand Company.

Franke, M. L., & Carey, D. A. (1997). Young children's perceptions of mathematics in problem solving environments. Journal for Research in Mathematics Education, 28(1), 9–25.

Freudenthal, H. (1973). Mathematics as an educational task. Dordreeht: Reidel Publishing Company.

Gagne, R. (1962). Military training and principles of learning. American Psychologist, 17, 263-276.

Gagne, R. (1985). The Conditions of Learning (4th ed.). New York: Holt, Rinehart & Winston.

Gagne, R. (1987). Instructional Technology Foundations. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Assoc.

Gorman, R. M. (1974). The psychology of classroom learning: An inductive approach. Columbus, Ohio: Bell and Howell Company.

Grossnickle, F. E., Reckzeh, J., Perry, L. M., et al. (1983). Discovering meaning in elementary school mathematics. New York: CBS College Publishing.

Herman Hudojo. (1988). Mengajar belajar matematika. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Herman Hudojo. (2005). Pengembangan kurikulum dan pembelajaran matematika. Malang: Universitas Negeri Malang.

http://tip.psychology.org/gagne.html

Killpatrick, L. (2001). Gagne's Nine Events of Instruction. In  B. Hoffman (Ed.), Encyclopedia of Educational Technology. Retrieved March 12, 2007, from http://coe.sdsu.edu/eet/Articles/ gagnesevents/start.htm Conditions of Learning: Gagne http://tip.psychology.org/gagne.html

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 151

Page 152: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

Lefrançois, G. R. (2000). Psychology for teaching (10th ed.). London: Wadsworth.

Lester, F. K. (1980). Research on mathematical problem solving. Dalam Richard J. Shumway (Eds.), Research in Mathematics Education (pp. 286–323). Reston, VA: NCTM, Inc.

Lester, F. K. (1985). Methodological consideration in research on mathematical problem-solving instruction. Dalam Edward A. Silver (Eds.), Teaching and Learning Mathematical Problem Solving: Multiple Research Perspectives (pp. 41–69). Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.

NCTM. (2000). Principles and standards for school mathematics. Reston, VA: NCTM, Inc.

Ormrod, J. E., (2003). Educational psychology developing learners (4th ed.). New Jersey: Pearson Education, Inc.

Osborne, A. & Kasten, M. B. (1980). Option about problem solving in the curriculum for the 1980s: A report. Dalam S. Krulik & R. E. Reys (Eds.), Problem solving in school mathematics (pp. 51–60). Reston, VA: NCTM, Inc.

Paul Suparno. (1997). Filsafat konstruktivisme dalam pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Paulina Pannen, Dina Mustafa, & Mestika Sekarwinahyu. (2001). Konstruktivisme dalam Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka.

Polya, G. (1973). How to solve it. A new aspect of mathematical method. New Jersey: Princeton University Press.

Polya, G. (1981). Mathematical discovery. On understanding, learning, and teaching problem solving. United States of America.

Posamentier, A. S., & Stepelmen, J. (1990). Teaching secondary school mathematics: Techniques and enrichment units (3rd ed.). Columbus, Ohio: Merrill Publishing Company.

Robert Gagne's Instructional Design Approach http://www.gsu.edu/~mstswh/courses/it7000/papers/ robert.htm .

Schoenfeld, A. H. (1980). Heuristic in Classroom. Dalam S. Krulik & R. E. Reys (Eds.), Problem solving in school mathematics (pp. 9–22). Reston, VA: NCTM, Inc.

Schoenfeld, A. H. (1992). Learning to think mathematically: Problem solving, metacognition, and sense making in mathematics. Dalam D. A. Grouws (Eds.), Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning (pp. 334–370). New York: MacMillan Publishing Company.

Silver, E. A., & Smith, J. P. (1980). Think of a related problem. Dalam S. Krulik & R. E. Reys (Eds.), Problem solving in school mathematics (pp. 146–156). Reston, VA: NCTM, Inc.

Skemp, R. R. (1971). The psychology of learning mathematics. New York: Penguin Books Ltd.

Sri Rumini, Dimyati Mahmud, Siti Sundari, dkk. (1993). Psikologi pendidikan. Yogyakarta: UPP Universitas Negeri Yogyakarta.

Steffe, L. P., & Kieren, T. (1994). Radical constructivism and mathematics education. Journal for Research in Mathematics Education. 25(6), 711–733.

Suharsimi Arikunto. (2006). Dasar-dasar evaluasi pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: Bumi Aksara.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 152

Page 153: Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc

Suydam, M. N. (1980). Untangling Clues from Research on Problem Solving. Dalam S. Krulik & R. E. Reys (Eds.), Problem solving in school mathematics (pp. 34–50). Reston, VA: NCTM, Inc.

Winkel, W.S. (1996). Psikologi pengajaran. Jakarta: P.T. Grasindo.

Woolfolk, A., & McCune-Nicolich, L. (1984). Educational psychology for teachers (2nd ed.). New Jersey: Printice-Hall, Inc.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 153