post histerektomi a/i plasenta akreta + kjdk

66
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Istilah plasenta akreta digunakan untuk menggambarkan tiap jenis implantasi yang melekat terlalu erat secara abnormal kedinding uterus. Akibat tidak adanya desidua basalis secara parsial atau total dan gangguan perkembangan lapisan fibrinoid ( membran Nitabuch ). Pada plasenta akreta vili korialis menanamkan diri lebih dalam ke dinding rahim. Pada plasenta normal menanamkan diri sampai ke batas lapisan otot rahim. 1,6,7, 10,11 Selama beberapa dekade terakhir insiden plasenta akreta, inkreta, dan perkreta telah meningkat. Peningkatan ini terjadi karena bertambahnya angka pelahiran caesar. American college of obstetricians and gynecologist memperkirakan bahwa plasenta akreta timbul sebagai komplikasi dalam 1 diantara 2500 kelahiran. Dari ulasan Stafford dan Belfort (2008) melaporkan insiden sekitar 1 dari 2500 pada tahun 1980an. 1 dalam 535 pada 2002, dan 1:210 pada tahun 2006. selama beberapa waktu, kondisi ini telah menjadi penyebab utama perdarahan pascapartum yang tidak terkendali sehingga memerlukan histerektomi Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 1

Upload: cyndra-eris

Post on 16-Feb-2016

67 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

histerektomi

TRANSCRIPT

Page 1: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Istilah plasenta akreta digunakan untuk menggambarkan tiap jenis

implantasi yang melekat terlalu erat secara abnormal kedinding uterus.

Akibat tidak adanya desidua basalis secara parsial atau total dan gangguan

perkembangan lapisan fibrinoid ( membran Nitabuch ). Pada plasenta akreta

vili korialis menanamkan diri lebih dalam ke dinding rahim. Pada plasenta

normal menanamkan diri sampai ke batas lapisan otot rahim. 1,6,7, 10,11

Selama beberapa dekade terakhir insiden plasenta akreta, inkreta,

dan perkreta telah meningkat. Peningkatan ini terjadi karena bertambahnya

angka pelahiran caesar. American college of obstetricians and gynecologist

memperkirakan bahwa plasenta akreta timbul sebagai komplikasi dalam 1

diantara 2500 kelahiran. Dari ulasan Stafford dan Belfort (2008)

melaporkan insiden sekitar 1 dari 2500 pada tahun 1980an. 1 dalam 535

pada 2002, dan 1:210 pada tahun 2006. selama beberapa waktu, kondisi ini

telah menjadi penyebab utama perdarahan pascapartum yang tidak

terkendali sehingga memerlukan histerektomi peripartum darurat. berbagai

bentuk plasenta akreta merupakan penyebab penting kematian ibu akibat

perdarahan6

Penyebab plasenta akreta adalah kelainan desidua, misalnya

desidua yang terlalu tipis. Terdapat faktor resiko untuk plasenta akreta yang

telah diketahui berkat penapisan MSAFP untuk defek tabung saraf dan

aneuploidi. Hung, dkk, (1999) menganalisis keluaran pada lebih dari 9300

perempuan yang ditapis untuk sindrom down pada 14 hingga 22 minggu

gestasi. Mereka melaporkan peningkatan resiko untuk plasenta akreta

meningkat delapan kali lipat jika kadar MSAFP melebihi 2,5 MoM, risiko

ini meningkat empat kali lipat bila kadar β-HCG bebas ibu melebihi 2,5

MoM, dan meningkat tiga kali lipat jika usia ibu 35 tahun atau lebih6,7,10,11

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 1

Page 2: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Plasenta Akreta

2.1.1 Definisi

Istilah plasenta akreta digunakan untuk menggambarkan tiap jenis

implantasi yang melekat terlalu erat secara abnormal kedinding uterus. Akibat

tidak adanya desidua basalis secara parsial atau total dan gangguan perkembangan

lapisan fibrinoid ( membran Nitabuch ). Pada plasenta akreta vili korialis

menanamkan diri lebih dalam ke dinding rahim. 1,6,7, 10,11

2.1.2 Epidemiologi

Selama beberapa dekade terakhir insiden plasenta akreta, inkreta, dan

perkreta telah meningkat. Peningkatan ini terjadi karena bertambahnya angka

pelahiran caesar. American college of obstetricians and gynecologist

memperkirakan bahwa plasenta akreta timbul sebagai komplikasi dalam 1 diantara

2500 kelahiran. Dari ulasan Stafford dan Belfort (2008) melaporkan insiden

sekitar 1 dari 2500 pada tahun 1980an. 1 dalam 535 pada 2002, dan 1:210 pada

tahun 2006. selama beberapa waktu, kondisi ini telah menjadi penyebab utama

perdarahan pascapartum yang tidak terkendali sehingga memerlukan histerektomi

peripartum darurat. berbagai bentuk plasenta akreta merupakan penyebab penting

kematian ibu akibat perdarahan.6

2.1.3 Etiologi

Penyebab plasenta akreta adalah kelainan desidua, misalnya desidua yang

terlalu tipis. Perlengketan abnormal ini dapat mengenai semua lobuli ( plasenta

akreta total ), atau hanya melibatkan beberapa bagian lobuli ( plasenta akreta

parsial ) dan semua atau sebagian lobulus tunggal dapat melekat abnormal

( plasenta akreta fokal ). Plasenta akreta dapat menyebabkan retensio

plasenta.6,7,10,11

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 2

Page 3: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

2.1.4 Faktor Resiko

Terdapat faktor resiko untuk plasenta akreta yang telah diketahui berkat

penapisan MSAFP untuk defek tabung saraf dan aneuploidi. Hung, dkk, (1999)

menganalisis keluaran pada lebih dari 9300 perempuan yang ditapis untuk

sindrom down pada 14 hingga 22 minggu gestasi. Mereka melaporkan

peningkatan resiko untuk plasenta akreta meningkat delapan kali lipat jika kadar

MSAFP melebihi 2,5 MoM, risiko ini meningkat empat kali lipat bila kadar β-

HCG bebas ibu melebihi 2,5 MoM, dan meningkat tiga kali lipat jika usia ibu 35

tahun atau lebih.6

2.1.5 Diagnosa

Pada trimester pertama invasi miometrium abnormal dapat bermanifestasi

sebagai kehamilan sikatriks caesar. Perdarahan antepartum dengan plasenta akreta

lazim terjadi dan biasanya terjadi akibat plasenta previa yang terdapat bersamaan.

Pada banyak kasus, plasenta akreta tidak diidentifikasi hingga persalinan kala III.

Berbagai upaya dilakukan untuk mengidentifikasi secara lebih tepat pertumbuhan

plasenta ke arah dalam sebelum terjadi partus. Lam dkk, ( 2004 ) menemukan

bahwa sensitifitas sonografi hanya 33 persen untuk mendeteksi plasenta akreta.

Dengan pemetaan aliran warna menggunakan Doppler sonografik, Twickler dkk

( 2000 ) melaporkan bahwa terdapat dua faktor yang sangat prediktif untuk invasi

miometrium : ( 1 ) jarak kurang dari 1 mm diantara perbatasan tunika serosa uteri

– vesika urinaria dan pembuluh – pembuluh retroplasenta, dan ( 2 ) identifikasi

danau – danau intraplasenta besar. Kedua faktor ini memiliki sensitivitas 100

persen dan nilai prediktif positif 78 persen. Chou dkk., ( 2001 ) juga

menggambarkan keberhasilan penggunaan pencitraan Doppler warna tiga dimensi

untuk diagnosis plasenta akreta. 6

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 3

Page 4: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

MRI digunakan sebagai penunjang sonografi jika terdapat kecurigaan

klinis kuat adanya plasenta akreta. Lax dkkk., ( 2007 ) mengidentifikasi tiga

temuan MRI yang mendukung diagnosis plasenta akreta : ( 1 ) penonjolan uterus,

( 2 ) intensitas sinyal heterogen di dalam plasenta, dan ( 3 ) adanya pita

intraplasenta gelap pada pencitraan MRI T2 weight. Baxi dkk., ( 2004 )

menemukan bahwa peningkatan kadar D-dimer dalam serum dapat memprediksi

kehilangan darah yang hebat dan morbiditas yang bermakna pada perempuan

dengan plasenta akreta. Hal tersebut mungkin mencerminkan invasi trofoblastik

ke dalam miometrium dan jaringan sekitar. 6

2.1.6 Penatalaksanaan

Masalah yang berkaitan dengan pelahiran plasenta dan perkembangan

selanjutnya akan berbeda – beda bergantung pada tempat implantasi, kedalaman

penetrasi ke miometrium, dan jumlah kotiledon yang terlibat. Bagaimanapun,

pada keterlibatan yang ekstensif akan terjadi perdarahan masif saat dilakukan

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 4

Page 5: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

usaha untuk melahirkan plasenta. Pada plasenta akreta parsialis, masih dapat

dilepaskan secara manual, tetapi plasenta akreta kompleta tidak boleh dilepaskan

secara manual karena usaha ini dapat menimbulkan perforasi dinding rahim.

Keberhasilan pengobatan bergantung pada pemberian darah pengganti dengan

segera dan hampir selalu histerektomi dini. 6,7,10,11

2.1.6.1 Histerektomi

a. Definisi 2,4,5,8,9

Histerektomi obstetrik adalah pengangkatan rahim atas indikasi obstetrik.

Histerektomi adalah prosedur bedah mayor yang paling sering dilakukan pada

perempuan usia subur. Histerektomi mungkin merupakan operasi nomor tiga atau

empat yang paling sering dilakukan di Amerika Serikat. Prosedur ini dapat

dilakukan secara abnormal atau vaginal, bergantung pada indikasi spesifik.

Histerektomi vaginal lebih disukai karena tidak dilakukan insisi abdomen, lama

rawat inap lebih singkat, dan pemulihan lebih cepat. Dahulu, histerektomi tidak

jarang menyebabkan pasien dirawat di rumah sakit selama 10 – 14 hari. Saat

ini,pasien biasanya hanya menginap 3 – 4 hari setelah histerektomi abdominal dan

2 – 3 hari setelah histerektomi vaginal.

Sejumlah batasan dilakukan untuk menjelaskan histerektomi dengan lebih

akurat. Istilah histerektomi dan histerektomi total keduanya dapat dipakai

bergantian, yang artinya pengangkatan uterus secara lengkap, termasuk serviks.

Histerektomi subtotal adalah pengangkatan korpus uteri saja. Histerektomi

abdominal adalah pengangkatan korpus uteri dan serviks melalui insisi abdominal.

Histerektomi vaginal adalah pengangkatan serviks dan korpus uteri melalui

vagina. Histerektomi ekstrafasial adalah pengangkatan uterus dan serviks bersama

– sama dengan lapisan fasia luar serviks ( fasia endopelvis ). Histerektomi

intrafasial adalah pengangkatan uterus dan serviks dari dalam fasia endopelvis

serviks. Histerektomi radikal melibatkan diseksi dan isolasi setiap ureter

disamping arteri dan vena uterina, diikuti pengankatan korpus uteri, serviks,

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 5

Page 6: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

bagian atas vagina, jaringan parametrium, dan ligamentum uterosakrum pada saat

bersama.

b. Indikasi dilakukan histerektomi terbagi atas : 2,4,5,9,16

1. Rupture uteri

2. Perdarahan yang tidak dapat dikontrol dengan cara-cara yang ada,

misalnya pada:

- Atonia uteri

- Afibronogemia atau hipofibrinogemia pada solusio plasenta

dan lainnya

- Couvelaire uterus tanpa kontraksi

- aa. Uterinae terputus

- Plasenta inkreta dan perkreta

- Hematoma yang luas pada rahim

3. Infeksi intrapartal berat, untuk ini biasanya dilakukan operasi Porro,

yaitu uterus dengan isinya diangkat sekaligus bulat-bulat

4. Uterus miomatosus yang besar

5. Kematian janin dalam rahim dan missed abortion dengan kelainan

darah

6. Keganasan ginekologi

- Serviks

- Uterus

- Ovarium

- Tuba

7. Penyakit jinak ginekologi ( refrakter terhadap terapi lain )

- Leiomioma uteri

- Adenomiosis bergejala

- Endometriosis bergejala

- Sindrom relaksasi panggul bergejala

- Nyeri panggul pusat sehingga menimbulkan ketidakmampuan

kronis

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 6

Page 7: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

- Penyakit radang pelvis berat atau Abses

- Perdarahan uterus yang sulit diatasi

8. Komplikasi obstetri

- Perdarahan uterus yang tidak dapat dikendalikan

- Kehamilan mola.

c. Teknik Histerektomi 4,5,8,13,

1. Histerektomi abdominal

Pasien diletakkan pada posisi terlentang, dan dipasang

kateter Folley dalam kandung kemih. Abdomen dibersihkan dengan

menggunakan larutan antiseptik ( misalnya povidon – iodin ) dan

pasanglah kain penutup steril. Meskipun insisi kulit tergantung

masalah alamiahnya, untuk kebanyakan keadaan jinak dapat

dilakukan insisi melintang rendah ( pfannenstiel ). Untuk kasus –

kasusu keganasan dengan komplikasi, insisi pada garis tengah

bagian bawah ( simfisis pubis hingga umbilikus ) memberikan

pemaparan dan kemungkinan perluasan yang lebih baik.

Paada insisi melintang, fasia diinsisi melintang, melengkung

kearah lateral superior untuk menghindari daerah inguinal,

muskulus piramidalis dipisahkan bersama dengan muskulus rektus.

Kemudian masuk dengan selubung rektus posterior dan peritoneum

dengan hati – hati. Peritoneum biasanya diinsisi secara vertikal.

Sekum dan apendiks diperlihatkan dan abdomen atas

( ginjal, hati, kandung empedu, lambung dan usus kecil bagian

proksimal, pankreas ) di eksplorasi. Usus digeser hati – hati

kebagian atas abdomen. Dipermudah dengan meletakkan pasien

pada posisi sedikit trendelenburg. Ligamentum rotundum diligasi

dengan benang dan dipotong. Dengan pemisahan secara tajam

dibuat insisi di sepanjang ligamentum latum anterior,

memungkinkan ligamentum latum terpisah dan rongga

retroperitoneal terbuka. Insisi ini tepat diatas lipatan uterovesika.

Dengan diseksi tajam dan kemudian tumpul, kandung kemih

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 7

Page 8: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

dipisahkan dari serviks. Pada saat ini, dengan diseksi tumpul

tambahan secara minimal, pembuluh pelvis dan ureter dapat

dikenali. Diseksi garis tengah diperluas ke vagina sampai labium

anterior serviks teraba. Pada saat ini, diseksi tumpul dilakukan ke

lateral untuk mengangkat ureter dari pembuluh darah uterus.

Jika akan dilakukan ooforektomi, peritoneum posterior

diinsisi secara vertikal tepat tepat 1 cm di lateral ligamentum

infundibulopelvis. Begitu dipastikan ureter sudah bebas,

ligamentum infundibulopelvis diligasi dua kali. Ligamentum latum

posterior diinsisi dengan visualisasi langsung dari ovarium dan tuba

sampai dekat uterus, yaitu inisis diarahkan ke insersi ligamentum

uterosakrum ke dalam uterus. Ovarium dibawa ke medial. Jika

adneksa ingin dipertahankan, setiap ligamentum uteroovarii diklem

dan diligasi pada tempat insersi uterus di bagian pedikel termasuk

tuba fallopi dan peritoneum posterior diinsisi ke arah insersi

ligamentum uterosakrum.

Pembuluh darah pelvis dikenali dn diisolasi pada ketinggian

ostium interna. Arteri dan vena diklem dan diligasi dua kali.

Ligamentum kardinale diklem ( biasanya dengan menyelipkan klem

dari serviks), diinsisi dan diligasi pada beberapa bagian pada setiap

sisi. Jika ditemukan ligamentum uterosakrum, ligamentum tersebut

diklem, diligasi dan diinsisi. Pada saat ini serviks dapat diraba dan

vagina dimasukkan ( biasanya melalui anterior ) dengan diseksi

tajam. Dilakukan insisi melingkar dan spesimen diangkat.

Ligamentum uterosakrum dan kardinale dijahit kesudut vagina

untuk memastikan penopang vagina dan vagina ditutup dengan

jahitan. Penutupan vagina dapat dari mukosa ke mukosa dengan

menjahit vagina secara tertutup ( anterior ke posterior ). Atau lumen

vagina dibiarkan terbuka ( biasanya untuk drainase ) dengan jahitan

sederhana di sekitaar vagina. Pada kedua kasus digunakan benang

yang dapat diserap. Peritoneum pelvis seringkali ditutup, terapi

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 8

Page 9: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

penelitian dewasa ini menunjukan bahwa penutupan ini tidak selalu

diperlukan.

Setelah semua spons, jarum, dan alat – alat dihitung dan

jumlahnya sudah benar, peritoneum parietal ditutup dan fasia

diaproksimasi kembali dengan jahitan. Jaringan subkutan ditutup

dan kulit ditutup dengan jahitan atau klip. Kassa kering dipasang

untuk mengakhiri tindakan.

2. Histerektomi vaginal

Histerektomi vaginal harus dilakukan dengan hati – hati jika

uterus berukuran seperti kehamilan > 10 minggu atau jika terdapat

banyak pelekatan akibat penyakit radang panggul, endometriosis,

dan pembedahan sebelumnya ( terutama seksio caesaaria ).

Tindakan ini dipermudah jika terjadi prolaps uteri.

Pasien diletakkan pada posisi litotomi dorsal dan vagina

serta pudendum dibersihkan dengan larutan antiseptik. Dipasang

kain penutup steril, dan spekulum dimasukkan ke dalam vagina

sebelah posterior. Serviks dijepit dan mobilitas dipastikan lagi.

Dibuat insisi melingkar pada fasia di sambungkan servikovaginal

dan cul – de – sac dimasuki. Begitu dipastikan cul-de-sac sudah

bebas, ligamentum uterosakrum dikenali, diklem, diinsisi dan

diligasi. Pada saat ini, disarankan menjahit mukosa vagina bagian

posterior ke peritoneum untuk menghentikan perdarahan dari daerah

ini.

Jika anatomi memungkinkan, digunakan diseksi tajam dan

tumpul dengan modifikasi untuk membebaskan kandung kemih dari

serviks untuk menginsisi peritoneum anterior. Jika sulit, satu atau

lebih ligamentum kardinale dapat diklem, diinsisi dan diligasi.

Begitu peritoneum anterior dimasuki, lakukan diseksi tumpul ke

lateral untuk memisahkan ureter dari pembuluh darah uterus,

sementara retraktor dibiarkan untuk meninggikan dan

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 9

Page 10: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

mempertahankan kandung kemih. Pembuluh darah uterus dikenali,

diklem, diligasi dan diinsisi secara bilateral. Setelah ligamentum

latum diklem, diligasi, dan dinsisi secara bilateral, ligamentum

uteroovarii, tuba fallopi dan ligamentum rotundum diklem, diinsisi

dan diligasi pada satu pedikel. Ovarium diamati dan diamankan

hemostasis. Peritoneum ditutup dengan benang yang dapat

mengerut sehingga semua pedikel terletak ekstraperitoneal. Segmen

terbawah ligamentum cardinale dan ligamentum uterosakrum dijahit

ke sudut vagina superior dan biasanya ligamentum uterosakrum

dijahit bersama – sama ke garis tengah. Akhirnya ujung vagina

ditutup dengan benang yang dapat diserap.

Histerektomi vaginal dengan bantuan laparoskopi dewasa ini

sudah mulai digunakan secara luas. Pad tindakan ini, ligamentum

infundibulopelvis ( jika ovarium akan diangkat ) atau ligamentum

ovarii dan fallopi ( jika ovarium tidak ingin diangkat ), ligamentum

rotundum dan seringkali pembuluh darah uterus dihubungkan secara

hemostatik melalui laparoskop. Histerektomi dilengkapi dengan

reseksi ligamentum uterosakrum dan bagian bawah ligamentum

cardinale per vaginam. Teknik penutupan vagina serupa dengan

penutupan pada histerektomi vaginal.

Teknik Dilakukannya Histerektomi 4

1. Bebaskan dulu peritoneum kandung kemih, pada subtotal,

seadanya saja, pada total sejauh mungkin ke arah bawah.

2. Klem ligamentum rotundum kanan dan kiri pada 2 tempat,

potong diantaranya kira-kira 1 cm dari uterus, lalu ikat pada

kedua potongannya.

3. Jari telunjuk operator ditekan dari lig. latum dinding

belakang dibawah lig. Ovari proprium sedekat mungkin

kedinding rahim sampai tembus. Diklem pada 2 tempat,

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 10

Page 11: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

dipotong dan diikat.

4. Jaringan lig. Latum yang terbuka dipotong kebawah lateral

supaya kita dapat bekerja jauh dari ureter.

5. Vasa uterina (aa. Dan vv. Uterina) diklem kuat pada dua

tempat, dipotong dan diikat kuat.

6. Selanjutnya tahap demi tahap jaringan kearah bawah, baik

kanan maupun kiri, dilakukan seperti tadi bergantung

apakah akan dilakukan histerektomi supra-vaginal atau total.

7. Perdarahan dikontrol, luka dijahit sebaik-baiknya.

8. Dilakukan repetonialisasi sambil puntung-puntung operasi

dibenamkan seutuhnya. Umumnya pada histerektomi

obstetrik adneksa kanan-kiri didiamkan. Bila kedua adneksa

ikut diangkat, maka disebut bisalfingoooforektomi (BSO)

9. Akhirnya luka dinding perut ditutup dengan jahitan lapis

demi lapis biasanya.

d. Perawatan pasca histerektomi: 8

48 – 72 jam pertama setelah operasi merupakan saat yang paling

kritis. Pemantauan fungsi sistem kardiovaskular, paru, ginjal, serta respons

berbagai sistem tersebut terhadap pembedahan memungkinkan penilaian

kondisi pasien yang tepat. Perawatan pascaoperasi sebenarnya sudah

dimulai sebelum prosedur dilakukan; sebagai contoh, pasien dengan PPOK

harus menjalani terapi paru intensif sebelum pembedahan dilakukan untuk

memperkecil kemungkinan komplikasi pascaoperasi.

e. Komplikasi pasca histerektomi 8

1. Sistem kardiovaskular

Biasanya yang diperlukan hanyalah pemantauan tekanan darah dan

nadi secara cermat. Pada kasus yang jarang, mungkin diperlukan

pemantauan tekanan vena sentral ( CVP ) atau tekanan bagian arteri

pulmonalis dan kapiler pulmonalis menggunakan sentral atau kateter

Swaan-Ganz.

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 11

Page 12: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

Labilitas sistem otonom segera sesudah pembedahan dapat

menyebabkan perubahan tekanan darah yang besar. Biasanya terjadi

pergeseran dalam volume plasma dan dapat terjadi perdarahan

tersembunyi. Vasokonstriksi dan takikardia yang ditimbulkan oleh nyeri

atau eksitasi, ditambah pemberian cairan intravena selama prosedur,

mungkin menutupi gejala – gejala tersebut secara temporer. Pada awalnya,

pemantauan pemberian cairan dan pengeluaran urin harus dilakukan

dengan frekuensi sering; frekuensi tersebut kemudian dapat dikurangi.

Takikardia harus dievaluasi secara teliti. Diperlukan kehilangan 25

– 30% volume intravaskuler untuk menimbulkan potensi. Vasokonstriksi

perifer disertai ekstremita yang dingin, lembab, dan pucat merupakan

tanda-tanda hipovolemia yang lebih lanjut, dapat terjadi perdarahan

tersembunyi dalam rongga intraperitoneum atau retroperitoneum. nyeri

hebat baik diruang pemulihan maupun dibangsal perawatan merupakan

sinyal bahwa perdarahan mungkin terjadi. pemeriksaan hematokrit

berulang seharusnya dapat memastikan kehilangan darah, dan sonografi

dapat mengidentifikasi tempat perdarahan. pada keadaan yang jarang ini,

biasanya diperlukan operasi ulang untuk mencapai hemostatis.

Pasien yang diketahui mengidap penyakit kardiovaskuler biasanya

berada dibawah pengawasan ahli jantung atau ahli penyakit dalam yang

harus dikonsultasikan praoperasi dan harus dibutuhkan pascaoperasi.

Pengobatan yang harus divberikan untuk penyakit kardiovaskuler sebelum

pembedahan biasanya dapat tetap dilanjutkan. pasien yang mengidap

penyakit katup jantung memerlukan profilaksis antimikroba untuk

mencegah endokarditis infektif. Harus dilakukan elektrokardiogram

praoperasi pada perempuan berusia lebih dari 4 tahun dan pada mereka

yang diketahui mengidap penyakit kardiovaskuler.

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 12

Page 13: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

2. Sistem Paru

Hipoventilasi adalah masalah paru pascaoperasi yang paling sering

terjadi. nyeri membatasi gerakan pernapasan merupakan salah satu

penyebabnya. selain itu pasien biasanya tidur “dala” karena anastesia dan

pemberian obat antinyeri prarenteral.

Ventilasi alveolus harus dipertahankan dalam keadaan baik. Pada

diskusi praoperasi bersma pasein, harus ditekankan pentingnya bernapas

panjang yang harus dilatih sebelumnya. Pasien penyakit paru restriktif atau

obstruktif dalam derajat apa pun harus menghindari prosedur elektif,

kecuali jika kondisinya optimal. Pada kasus kasus tertentu mungkin

diperlukan rawat inap yang lebih dini dan tindakan pembersihan paru lebih

intensif. Dokter yang menangani penyakit parunya harus dikonsultasikan

praoperasi dan jika perlu pascaoperasi.

3. Sistem kemih

Pemantauan pengeluaran urin merupakan cara memantau sistem

kardiovaskular dan ginjal, asalkan kita mengetahui cairan apa yang sudah

diberikan dan seberapa banyak cairan kombinasi yang telah keluar.

Pemeriksaan laboratoirum praoperasi biasanya meliputi pengukuran

elektrolit dan kreatinin serum. Pasien gangguan fungsi ginjal memerlukan

terapi cairan yang berbeda intraooperasi dan pascaoperasi. Konsultasi

praoperasi harus dilakukan bagi pasien gangguan fungsi ginjal.

Bagi pasien yang menjalani histerektomi, biasanya dipasangin

kateter folley di kandung kemih paling tidak semalam sebelum prosedur.

Tindakan ini memungkinkan pasien berbaring di tempat tidur segera

setelah operasi dan memungkinkan kita segera mengukur pengeluaran urin

secara akurat selama jam – jam kritis secara akurat selama jam – jam kritis

setelah pembedahan selesai. Seiring dikembangkannya anestesi yang lebih

baru, somnolen pasca operasi semakin berkurang dan kebutuhna untuk

memperbaiki pengeluaran urin involuntar ( inkontinensia urin stres ),

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 13

Page 14: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

kateter kandung kemih biasanya terpasang lebih lama ( sampai 3 hari ).

Sebagian perempuan tidak dapat berkemih spontan saat kateter dilepas

( transuretra ) atau dijepit ( suprapubis ). Jika praoperasi mereka telah

mendapat konseling mengenai hal ini, mereka tidak akan terlalu enggan

untuk pulang dengan kateter kandung kemih dan kantong urin untuk tidur

dan untuk sehari – hari. Pasien tidak perlu dirawat lebih lama hanya untuk

melepas kateter kandung kemih.

4. Saluran cerna

Setiap kali rongga abdomen dibuka, dapat terjadi gangguan fungsi

usus. Semakin ekstensif manipulasi usus halus dan besar kemungkinan

terjadi perlambatan pemulihan fuungsi normal. Setiap pasien yang

menjalani anestesia umum harus menjalani anastesi umum harus menjalani

puasa (nothing by mouth, NIPO) sampai ia sadar penuh dan mampu

menelan. Setelah bedah abdomen, petunjuk terbaik untuk mengetahui

kapan asupan dapat oral dimulai dan jenis makanan apa yang dapat

diberikan diperoleh dari informasi pasien (flatus) dan pemeriksaan fisik

(bising usus). Pasien biasanya tidak merasa lapar selama beberapa hari,

terapi mereka mungkin merasa haus sejak hari praoperasi pertama. Mulut

pasien kering, dan pasien diijinkan untuk menyesap air dengan diet cair

jernih pada hari pertama pasca operasi. Jika bising usus sudah pulih dan

pasien sudah flatus, dapat diberikan diet yang ditingkatkan secara bertahap

menuju diet normal. Kita harus memerhatikan cairan dan elektrolit pasien

jika mereka tidak makan, kadar kalium serum yang rendah (hipokalemia)

dapat menghentikan aktivitas usus (ileus) dan menimbulkan distensi

abdomen.

5. Sistem Vena

Ambulasi dini, stocking penunjang dan/atau pneumatik dan

pemberian heparin profilaktif sangat mengurangi gejala koagulasi

intravaskular. Berbagai penelitian fibrinogen dengan label radioaktif

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 14

Page 15: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

memperlihatkan bahwa memang terbentuk bekuan divena-vena dalam

ekstremitas bawah dimeja operasi. Insiden pembentukan bekuan setelah

histerektomi abdominal (15-50%) adalah sekitar dua kali lipat dari yang

diamati pada histerektomi vaginal. Kategori pasien berisiko tinggi adalah

yang berusia lebih dari 45 tahun, obesitas dan pengidap diabetes, penyakit

paru kronik, varises yang besar, riwayat trombosis vena, dan gagal

jantung.

Stasis vena merupakan penyebab pembentukan pembekuan, dan

harus dilakukan berbagai usaha untuk mengurangi faktor-faktor

pengontribusinya seminimal mungkin. Faktor pengontribusinya utama

adalah tirah baring yang lama pada periode antara pasien dirawat dan

operasi serta keterlambatan ambulansi setelah operasi. Olahraga untuk

meningkatkan aliran balik dari ekstremitas bawah dapat dilakukan saat

pasien berada ditempat tidur, misalnya melaku gerakan plantarfleksi dan

dorsifleksi kaki. Instruksi ini harus diberikan sebelum pembedahan

sehingga pasien dapat berlatih.

Heparin 5000 unit subkutan setiap 8-12 jam yang dimulai beberapa

jam sebelum pembedahan dan dilanjutkan sampai pasien dapat berjalan

sangat mengurangi insiden trombosis vena pascabedah ginekologik mayor.

Pemberian ini dapat memperberat perdarahan sehingga banyak ahli bedah

yang menggunakan perangkat pneumatik pada ekstremitas bawah sampai

pasien dapat berjalan.

f. Persetujuan Untuk Histerektomi 17

1. Langkah pertama yang seharusnya diambil dalam diskusi sebelum

menganjurkan histerektomi adalah penjelasan mengenai kemungkinan

diagnosis dan alasan yang menjadi dasar tindakan. gunakan bahasa yang

sederhana, mudah dimengerti, hindarkan terminologi teknis. gambar-

gambar yang telah dipersiapkan seringkali sangat membantu dalam

mempermudah pengertian. adalah sangat penting bagi dokter untuk

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 15

Page 16: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

meyakinkan bahwa pasiennya (dan pihak lain yang berkepentingan seperti

individu yang berperan aktif dalam mengambil keputusan) mengerti

indikasi untuk operasi dan pembedahan mana yang akan dilakukan.

penjelasan harus termasuk diskusi yang menyeluruh mengenai pendekatan

terapetik alternatif, jika dianggap sesuai untuk mendiskusikannya. jika

tidak sesuai, alasan untuk menjelaskan pilihan tersebut kepada pasien

harus dihindari. pasien harus diberi kesempatan untuk memilih antara

prosedur yang tersedia dan terapi lainnya, termasuk langkah ekspektatif,

bukan hanya antara penerimaan dan penolakan satu rekomendasi yang

tertentu. berikan cukup waktu bagi pasien untuk menanyakan pertanyaan

dan untuk menimbang keputusannya dengan cukup mendalam.

2. sebagai kesatuan bagian proses informed consent adalah penjelasan

mengenai perincian prosedur. diantara prosedur pembedahan lainnya,

histerektomi mungkin merupakan satu yang paling sering disertai dengan

penerimaan yang keliru pada masyarakat awam. terdapat banyak

kebingunan antara perbedaan ekstirpasi uterus total dan subtotal. bila

menurut dokter ahli ginekologis histerektomi subtotal adalah berupa

reseksi supraservikalis dari fundus uterus, seringkali diinterpretasikan oleh

orang yang tidak mengerti sebagai tindakan dimana tuba dan ovarium

ditinggalkan. penyertaan pengangkatan tuba dan ovarium harus

didiskusikan secara khusus, jika ditemukan. pilihan cara pembedahan,

yaitu vaginal atau abdominal, yang sangat dipengaruhi oleh pilihan pribadi

operator dan sifat penyakit, harus diperhitungkan pada keinginan pasien,

jika mungkin. hal ini juga berlaku terhadap pilihan insisi, di garis tengah

vertikal subumbilikal atau insisi transversal rendah. jika terdapat hal-hal

yang memaksa untuk melakukan jenis operasi atau insisi tertentu, pasien

harus dijelaskan dengan sesuai.

3. tidak kurang penting adalah perlunya mendiskusikan aspek sosioekonomi

dari pengambilan keputusan untuk menjalani prosedur pembedahan yang

besar, seperti histerektomi. hal ini termasuk perlunya melakukan pilihan

pembedahan kedua, perkiraan lamanya perawatan di rumah sakit, dan

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 16

Page 17: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

masa pemulihan yang dihadapi, lama penyembuhan sebelum pasien

mampu melakukan aktifitas rutinnya (seperti merawat rumah, berolahraga

dan bekerja), dan perkiraan biaya operasi jika berkaitan. tentukan apakah

pasien telah mengerti mengenai kemungkinan pengaruh pada keadaan

ekonomis dan fisiknya.

4. penjelasan mengenai prosedur tidak harus dibatasi pada aspek teknis

pembedahan. dokter harus mendiskusikan pilihan anstesia, dan yakinkan

bahwa pasien mengerti bahwa keputusan akhir berada ditangan dokter ahli

anastesia setelah pemeriksaan praoperatif yang dilakukannya. juga penting

untuk memberitahukan kepada pasien mengenai apa yang akan dialami

pada masa pemulihan, mulai darei segera setelah operasi sampai proses

operasi sampai proses penyembuhan yang jangka panjang.

5. pasien harus diinformasikan mengenai semua komplikasi serius dan sering

terjadi dengan histerektomi. diskusi harus meluas dengan semua material

yang relevan dengan proses pengambilan keputusan oleh pasien.

sekurangnya, harus termasuk infeksi pascaoperasi, perdarahan yang

luasn(intraoperatif juga pascaoperatif), kemungkinan perlunya transfusi

darah atau produk darah, cedera traumatik kepada saluran kemih dan

gastrointestinal dan kemungkinan akibatnya. jika tindakan ternyata

mengalami komplikasi, pasien harus menjalani perawatan yang lebih lama

dan bahkan mungkin diperlukan pembedahan tambahan.

6. adalah penting bagi dokter untuk menilai pengertian pasien secara terus

menerus mengenai informasi yang diberikan. proses informed consent

harus berupa dialog antara dokter dan pasiennya. mintalah pasien untuk

bertanya dan buatlah ia merasa mudah jika mengerjakan hal tersebut

dengan mengumpulkan respon dan menghindari tindakan tergesa-gesa.

g. Masalah psikosomatik setelah histerektomi 14

Dalam tahun-tahun belakangan ini, frekuensi histerektomi telah

menurun karena telah berkembang metode pengobatan untuk keadaan yang

sebelumnya ditangani dengan histerektomi. Efek psikosomatik pada operasi

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 17

Page 18: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

ini bergantung pada kondisi yang menyebabkan histerektomi, dan

pengetahuan serta sikap pasien terhadap histerektomi. Beberapa wanita dapat

sembuh dengan cepat (setelah 24-48 jam pertama ketika nyerinya mungkin

sedang hebat). Wanita lain mengalami ketidakberdayaan ringan sampai sedang

hingga 3 bulan. sepertiga wanita tersebut memerlukan waktu 3 bulan untuk

sembuh sama sekali dari operasi, dan 20 persen memerlukan waktu yang lebih

lama. lima sampai sepuluh persen wanita merasakan sehat secara umum tetapi

mengalami gejala usus dan kandung kemih, terutama inkontinensia stres

murni, yang dapat berlangsung selama berbulan-bulan.

Beberapa wanita merasakan cacat setelah histerektomi dan timbul ansietas.

Hal ini lebih sering terjadi jika pasien mempunyai keyakinan bahwa image

tubuh, kewanitaan dan daya tarik seksualnya berkurang terjadi karena

kesalahpahaman tentang histerektomi. Hal ini meliputi bahwa:

1. Seorang wanita tidak akan sanggup menikmati hubungan seksual karena

vaginanya menjadi lebih pendek.

2. Ia akan menjadi gemuk

3. Ia akan mengalami depresi berat setelah operasi.

4. 1a akan menjadi seorang postmonopause.

Pasien ini harus diyakinkan tentang dua kesalahpahaman pertama sebelum

operasi dilakukan. kesalahpahaman ketiga tidak benar tidak ada bukti bahwa

histerektomi meningkatkan depresi klinis, jika wanita tidak mempunyai

penyakit psikiatrik sebelum operasi. kesalahpahaman keempat hanya akan

terjadi jika ovarium ikut diangkat sewaktu operasi, atau jika ahli bedah

merusak suplai darah keovarium. Terdapat informasi bahwa kurang dari 20

persen wanita berusia 40-50 tahun mengalami kegagalan ovarium dalam tiga

tahun setelah histerektomi bilateral pada waktu histerektomi. namun, keadaan

ini beserta gejala-gejala monofause setelah ooforektomi bilateral pada waktu

husterektomi dapat dihilangkan jika wanita tersebut diberi terapi penggantian

hormon.

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 18

Page 19: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

Pertanyaan tentang oofektomi bilateral pada ovarium normal pada waktu

histerektomi masih diperdebatkan. Ekstirpasi ovarium biasanya tidak

dilakukan pada wanita berusia kurang dari 45 tahun, tetapi beberapa ahli

penyakit kandungan melakukannya pada wanita yang lebih tua. Alasan

mereka melakukan oofektomi, pertama jika ovarium ditinggalkan 1 dari 1000

wanita akan mengalami kanker ovarium, dan kedua ovarium tidak berfungsi

setelah monopause. Wanita tersebut harus memutuskannya sendiri, setelah

berdiskusi dengan dokternya dan setelah ia mempunyai waktu untuk

mempertimbangkannya dan mencari nasehat jika ia menginginkannya.

Kini histerektomi merupakan prosedur yang aman, tetapi bukan tanpa

mortalitas. Studi epidemiologi histerektomi yang dilakukan secara nasional di

denmark pada tahun 1990 untuk keadaan bukan kanker, yang disertai oleh

bedah mayor lain, menunkukkan bahwa angka mortalitas dalam 30 hari,

walaupun hanya 16 per 10.000 kasus, empat kali lebih tinggi dari kasus

referensi. Temuan ini meberikan kesan bahwa jika ada alternatif lain untuk

histerektomi (seperti pada kasus perdarahan uterus disfungsional), cara

tersebut harus dicoba dahulu.

Untuk mengurangi masalah psikologik dan fisik yang mungkin terjadi

setelah histerektomi, dokter apakah spesialis atau dokter umum, berkewajiban

untuk membicarakan dengan wanita tersebut dengan pasangannya. Alasan

operasi harus dijelaskan, luasnya operasi harus dibicarakan, alternatif

pengobatan dibahas dan masalah yang mungkin timbul disebutkan. Pada

kebanyakan kasus, wanita tersebut harus diberikan waktu untuk

mempertimbangkannya, dan menanyakan lebih lanjut, jika ia

menginginkannya sebelum dilakukan operasi.

2.2 KEMATIAN JANIN DALAM KANDUNGAN

2.2.1 Definisi3,12,15,18,19,20

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 19

Page 20: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

Menurut WHO dan The American College of Obstetricians and

Gynecologist yang disebut kematian janin adalah janin yang mati dalam

rahim dengan berat badan 500 gram atau lebih atau kematian janin dalam

rahim pada kehamilan 20 minggu atau lebih. Kematian janin merupakan hasil

akhir dari gangguan pertumbuhan janin, gawat janin, atau infeksi.

Kematian janin dini (Early Fetal Death) sama dengan abortus, dan

kematian janin menengah (Intermediate Fetal Death) adalah kematian yang

terjadi antara kehamilan minggu ke 22 dan 27 lengkap, dengan berat janin

500-999 gr (juga disebut stillbirth).

Kematian janin lanjut (Late Fetal Death) adalah kematian yang terjadi

pada kehamilan minggu ke 28 lengkap atau lebih. Biasanya berat janin 1000

gr atau lebih (juga disebut stillbirth).

2.2.2 Etiologi 3,12,18

Pada 25 - 60% kasus penyebab kematian janin tidak jelas. Kematian

janin dapat disebabkan oleh faktor maternal, fetal atau kelainan patologik

plasenta. Faktor penyebab dari kematian janin secara umum dapat dikategorikan

sebagai berikut:

a. Faktor Maternal antara lain adalah

Post term (> 42 minggu), diabetes melitus tidak terkontrol, sistemik lupus

eritematosus, infeksi, hipertensi, preeklampsia, eklampsia,

hemoglobinopati, umur ibu tua, penyakit rhesus, ruptura uteri,

antifosfolipid sindrom, hipotensi akut ibu, kematian ibu.

b. Faktor Fetal antara lain adalah

Hamil kembar, hamil tumbuh terhambat, kelainan kongenital, kelainan

genetik, infeksi.

c. Faktor Plasental antara lain adalah

Kelainan tali pusat, lepasnya plasenta, ketuban pecah dini, vasa previa.

d. Sedangkan faktor risiko terjadinya kematian janin intrauterin meningkat

pada usia ibu > 40 tahun, pada ibu infertil, kemokonsentrasi pada ibu,

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 20

Page 21: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

riwayat bayi dengan berat badan lahir rendah, infeksi ibu (ureplasma

urealitikum), kegemukan, ayah berusia lanjut.

2.2.3 Gejala 3,12,18,19,20

1. BJA tidak terdengar lagi

2. Rahim tidak membesar dan fundus uteri bahkan turun

3. Pergerakan anak tidak teraba lagi oleh pemeriksa

4. Palpasi anak menjadi tidak jelas

5. Reaksi biologis menjadi negatif setelah anak mati ±10 hari

6. Pada foto rontgen dapat terlihat

a. Tulang – tulang tengkorak tutup menutupi ( tanda Spalding )

b. Tulang punggung janin sangat melengkung ( tanda Naujokes )

c. Ada gelembung – gelembung gas pada badan janin.

Kalau janin yang mati trtahan 5 minggu atau lebih, kemungkinan

terjadi hipofibrinogemi 25%.

2.2.4 Patologi 12

Pada KJDK, janin mati biasanya mengalami retensi didalam uterus

beberapa hari sebelum janin dikeluarkan. Janin yang mati dalam cairan

amnion yang steril, selanjutnya janin mengalami proses maserasi.

Pada keadaan ini kalau janin mati pada kehamilan yang terus lanjut

terjadi perubahan sebagai berikut :

1. Rigor Mortis (Tegang mati)

Berlangsung 2 jam 30 menit setelah kematian, kemudian lemas kembali.

2. Maserasi

Stadium maserasi 1

Timbul lepuh-lepuh pada kulit, lepuh ini mula-mula berisi cairan

jernih tetapi kemudian menjadi merah, berlangsung sampai 48 jam

setelah anak mati.

Stadium maserasi 2

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 21

Page 22: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

Timbul lepuh-lepuh pecah dan mewarnai air ketuban menjadi merah

coklat. Hal ini terjadi setelah 48 jam setelah anak mati.

Stadium maserasi 3

Terjadi kira-kira 3 minggu setelah anak mati. Badan janin sangat

lemas dan hubungan antara tulang-tulang sangat longgar dan edema

dibawah kulit.

2.2.5 Diagnosis

Riwayat dan pemeriksaan fisik sangat terbatas nilainya dalam membuat

diagnosis kematian janin. Umumnya penderita hanya mengeluh gerakan janin

berkurang. Pada pemeriksaan fisik tidak terdengar denyut jantung janin.

Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan ultrasound, dimana tidak

tampak adanya gerakan jantung janin.3,18

Pada anamnesis gerakan menghilang. Pada pemeriksaan pertumbuhan

janin tidak ada, yang terlihat pada tinggi fundus uteri menurun, berat badan

ibu menurun, dan lingkaran perut ibu mengecil.3,18

Dengan Fetoskopi dan Doppler tidak dapat didengar adanya bunyi

jantung janin. Dengan sarana penunjang diagnostik lain yaitu USG, tampak

gambaran janin tanpa tanda kehidupan. Dengan foto radiologik setelah 5 hari

tampak tulang kepala kolaps, tulang kepala saling tumpang tindih (gejala

‘spalding’) tulang belakang hiperrefleksi, edema sekitar tulang kepala;

tampak gambaran gas pada jantung dan pembuluh darah. Pemeriksaan HCG

urin menjadi negatif setelah beberapa hari kematian janin.3,18

Ultrasonografi real time merupakan sarana penunjang diagnostik yang

baik untuk memastikan kematian janin dengan gambaran janin tanpa adanya

tanda-tanda kehidupan.20

2.2.6 Penatalaksanaan 3,18,20

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 22

Page 23: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

Bila kematian janin lebih dari 3-4 minggu kadar fibrinogen menurun

dengan kecenderungan terjadinya koagulopati. Masalah menjadi rumit bila

kematian janin terjadi pada salah satu dari bayi kembar.

Bila diagnosis kematian janin telah ditegakkan, dilakukan pemeriksaan

tanda vital ibu; dilakukan pemeriksaan darah perifer, fungsi pembekuan, dan

gula darah. Diberikan KIE pada pasien dan keluarga tentang kemungkinan

penyebab kematian janin; rencana tindakan; dukungan mental emosional pada

penderita dan keluarga, yakinkan bahwa kemungkinan lahir pervaginam.

Persalinan pervaginam dapat ditunggu lahir spontan setelah 2 minggu,

umumnya tanpa komplikasi. Persalinan dapat terjadi secara aktif dengan

induksi persalinan dengan oksitosin atau misoprostol. Tindakan

perabdominam bila janin letak lintang, induksi persalinan dapat dikombinasi

oksitosin + misoprostol. Hati-hati pada induksi dengan uterus pasca seksio

sesarea ataupun miomektomi, bahaya terjadinya ruptura uteri.

Pada kematian janin 24-28 minggu dapat digunakan, misoprostol secara

vaginal (50-100 µg tiap 4-6 jam) dan induksi oksitosin. Pada kehamilan diatas

28 minggu dosis misoprostol 25 µg pervaginam / 6 jam.

2.2.8 Komplikasi

Sekitar 20 – 25% dari ibu yang mempertahankan janin yang telah mati

selama lebih dari 3 minggu akan mengalami Koagulopati Intravaskular

Diseminata ( DIC ) akibat adanya konsumsi faktor – faktor pembekuan darah

secara berlebiihan. 19

2.2.9 Pencegahan

Upaya mencegah kematian janin, khususnya yang sudah atau mendekati

aterm adalah bila ibu merasa gerakan janin menurun, tidak bergerak, atau gerakan

jnin terlalu keras perlu dilakukan pemeriksaan ultrasonografi. Perhatikan adanya

solusio plasenta. Pada gemelli dengan T + T ( twin to twin transfuion )

pencegahan dilakukan dengan koagulasi pembuluh anastomosis. 3

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 23

Page 24: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo S. Perlekatan Abnormal Plasenta. Dalam: Ilmu Kebidanan.

Edisi Keempat. Cetakan II; PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; Jakarta.

2009 : 263-4.

2. Prawirohardjo S. Histerektomi. Dalam: Ilmu Kebidanan. Edisi Keempat.

Cetakan III; PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; Jakarta. 2010 : 490.

3. Soewarto S. Kematian Janin. Dalam: Ilmu Kebidanan. Bab 57. Edisi Keempat.

Cetakan III; PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; Jakarta. 2008 : 732-34

4. Mochtar R. Histerektomi Obstetrik dan Histerorafi. Dalam: Sinopsis Obstetri.

Bab 12. Edisi 2. Jilid 2. Cetakan I; EGC. Jakarta. 1998 : 133-40.

5. Cunningham FG, Levono KJ, dkk. Pelahiran Caesar dan Histerektomi

Peripartum. Dalam: Obstetri Williams. Bab 25. Edisi 23. Volume 1; EGC.

Jakarta. 2014 : 568-89.

6. Cunningham FG, Levono KJ, dkk. Plasenta Akreta, Inkreta dan Perkreta.

Dalam: Obstetri Williams. Bab 35. Edisi 23. Volume 2; EGC. Jakarta. 2014 :

815-19.

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 24

Page 25: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

7. Gant NF, Cunningham FG. Prosedur Bedah Mayor. Dalam: Dasar-dasar

Ginekologi & Obstetri. EGC. Jakarta. 2011 : 147-9

8. Gant NF, Cunningham FG. Histerektomi. Dalam: Dasar-dasar Ginekologi &

Obstetri. Bab 17. EGC. Jakarta. 2011 : 147-51.

9. Benson RC,Pernoll LM. Histerektomi. Dalam: Buku Saku Obstetri &

Ginekologi. Edisi 9. Cetakan I; EGC. Jakarta. 2009 : 776-81.

10. Manuaba IBG, Manuaba CAI, dkk. Bentuk-bentuk Plasenta. Dalam:

Pengantar Kuliah Obstetri. Cetakan I; EGC. Jakarta. 2007 : 510-11.

11. Sastrawinata S, Martaadisoebrata D, dkk. Plasenta Akreta. Dalam: Obstetri

Patologi. Edisi 2. Cetakan I; EGC. Jakarta. 2005 : 176.

12. Sastrawinata S, Martaadisoebrata D, dkk. Kematian Janin. Dalam: Obstetri

Patologi. Edisi 2. Cetakan I; EGC. Jakarta. 2005 : 41-2.

13. Rabe T. Histerektomi. Dalam: Buku Saku Ilmu Kandungan. Cetakan I;

Hipokrates. Jakarta. 2003 : 232-3.

14. Llewellyn – Jones D. Masalah Psikosomatik Setelah Histerektomi. Dalam:

Dasar-dasar Obstetri & Ginekologi. Bab 27. Edisi 6. Cetakan I; Hipokrates;

Jakarta. 2002 : 217.

15. Llewellyn – Jones D. Kematian Janin. Dalam: Dasar-dasar Obstetri &

Ginekologi. Bab 27. Edisi 6. Cetakan I; Hipokrates; Jakarta. 2002 : 192-94.

16. Rayburn WF, Carey CJ. Histerektomi Puerperal. Dalam: Obstetri &

Ginekologi. Bab 9. Cetakan I; Widya Medika. Jakarta. 2001 : 193.

17. Borten M. Persetujuan Untuk Histerektomi. Dalam: Seri Skema Diagnosis dan

Penatalaksanaan Ginekologi. Edisi Kedua. Binarupa Aksara. Jakarta. 1998 :

332.

18. Hacker NF, Moore GJ. Kematian Janin Dalam Rahim. Dalam: Esensial

Obstetri dan Ginekologi. Edisi 2. Cetakan I; Hipokrates; Jakarta. 2001 : 314-

16.

19. Norwitz ER, Schorge OJ. Kematian Janin Intrauterin. Dalam: At A Glance;

Obstetri dan Ginekologi. Bab 51. Edisi 2. Erlangga. PT Gelora Aksara

Pratama. 2008 : 108-9.

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 25

Page 26: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

20. Taber BZ. Kematian Janin Intrauterin. Dalam: Kapita Selekta; Kedaruratan

Obstetri dan Ginekologi. Edisi 2. Cetakan I; EGC. Jakarta. 1994 : 209-10.

LAPORAN KASUS

I. ANAMNESA PRIBADI

Nama : Yuli Susanti

Umur : 25 tahun

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Pendidikan : Tamat SMA

Agama : Islam

Suku bangsa : Indonesia

Alamat : Dusun cinta damai aceh tamiang kel :

rantau

Tanggal masuk : 02/11/2015

Jam masuk : 19.36

Status : G2P1A0

No. RM : 97.91.02

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 26

Page 27: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

II. ANAMNESA PENYAKIT

Seorang pasien Ny.Y, 24 tahun, G2P1A0, islam, SMA, IRT i/d Tn.

Z 29 tahun, polri, islam, merupakan pasien rujukan dari RSUD

aceh tamiang dengan diagnosa : riwayat syok hipovolemik ec

perdarahan masif plasenta previa + prev. SC 1x + susp. plasenta

akreta + SG + KDR ( 28 – 30 ) minggu + janin IUFD. Datang

dengan:

Keluhan utama : Keluar darah dari kemaluan

Telaaah : Keluar darah dari kemaluan pertama kali

dialami OS sekitar 4 minggu sebelum

masuk rumah sakit aceh tamiang os

mengaku darah hanya berupa flek-flek saja,

pada tanggal 27 oktober 2015 sekitar 1

minggu sebelum masuk rumah sakit aceh

tamiang keluar darah dari kemaluan sedikit

sedikit, namun menurut pengakuan pada

tanggal 29 oktober 2015 keluar darah dari

kemaluan semakin banyak kemudian OS

masuk ke RSUD aceh tamiang dan

mendapatkan transfusi 8 bag PRC. Os juga

mengaku sudah tidak merasakan gerakan

janin sekitar tanggal 31 oktober 2015. Pada

tanggal 2 oktober os dirujuk ke RSUPM.

Nyeri perut ( -), Riwayat trauma ( - ),

riwayat mules – mules ( - )

RPT : DM ( - ), hipertensi ( - ), asma ( - )

RPO : -

Riwayat Haid :

HPHT : 06/03/2015, teratur, 28 hari

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 27

Page 28: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

TTP : 13/12/2015

ANC : bidan 2x, dokter Sp.OG 4x

Riwayat kehamilan :

1. Perempuan, 3000gram, SC, aterm, dokter, di RS, 5tahun, sehat

2. Hamil ini

III. PEMERIKSAAN FISIK

A. STATUS PRESENS

Sensorium : compos mentis

Tekanan darah : 100/60 mmHg

Pernafasan : 20 x/i

Nadi : 92 x/i

Suhu : 36,8 C

B. STATUS GENERALISATA

Anemia : dijumpai

Ikterus : tidak dijumpai

Sianosis : tidak dijumpai

Dyspnoe : tidak dijumpai

Edema : tidak dijumpai

C. STATUS LOKALIS

Kepala :

Mata : conjuctiva palpebra inferior pucat ( +/+ ),

sklera ikterik ( -/-), RC ( +/+ ), pupil isokor

Telinga / Hidung / Mulut : dalam batas normal

Leher : trakea medial, TVJ R-2cmH2O,

pembesaran KGB ( - )

Thoraks

Inspeksi : simetris fusiformis

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 28

Page 29: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

Palpasi : SF kanan = kiri

Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru

Auskultasi : SP : vesikuler, ST : -

Jantung : HR : 92 x/i, reguler, desah ( - )

Abdomen : terlampir pada status obstetrikus

Inguinal : pembesaran KGB ( - )

Genitalia : dalam batas normal

Extremitas : dalam batas normal, edema (-/-)

D. STATUS OBSTETRIKUS

Abdomen : membesaar, simetris

TFU : 2 jari diatas pusat

E. STATUS GINEKOLOGIS

VT : tidak dilakukan pemeriksaan

Inspekulo : tampak darah di forniks posterior,

dibersihkan, kesan merembes.

F. USG

- JT, PK, KJDK

- FM ( - ), FHR ( - )

- BPD : Spalding sign ( + )

- PL : 54,2 mm

- AC :

- Plasenta menutupi OUI seluruhnya

Kesan : IUP ( 28-30 minggu ) + IUFD + plasenta previa totalis

IV. LABORATORIUM

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 29

Page 30: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

Hb / Ht/ L/ Tr : 8,4 / 25,6 / 14.290 / 164.000

V. DIAGNOSA

Profuse Bleeding ec plasenta previa totalis + previous SC 1x + SG +

KDR ( 28-30) minggu + KJDK

VI. TERAPI

- Ceftriaxone 1gram / 12 jam i.v

- Asam traneksamat 1 amp/12jam i.v

VII. RENCANA

- Cek lab lengkap

- Pertahankan keadaan umum

- USG kontraksi ( USG doppler )

- Rawat delivery

Follow up : 3 November 2015 (08.00 wib)

Status presens:

S : Lemah

O : Sens: compos mentis anemis : (+)

TD: 90/40 mmhg ikterik : (-)

HR: 100x/i sianosis : (-)

RR: 20x/i dyspnoe : (-)

T : 36,5 oc oedema : (-)

His: 2x20”/10’

Genitalia :

Inspekulo : tampak darah dan stoll sel di introitus vagina, dibersihkan

kesan mengalir aktif di OUE.

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 30

Page 31: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

VT : Serviks terbuka

A : Profuse Bleeding ec plasenta previa totalis + previous SC 1x + SG + KDR

( 28-30) minggu + KJDK+ Inpartu

P: - Pasang CVC

- Konsul ICU

Follow up 3 november 2015 (11.00 wib)

Status presens: S: ibu ingin mengedan

O: sens : compos mentis

TD: 90/60 mmhg

HR: 102 x/i

RR: 20 x/i

T: 36,5 oc

Status obstetrikus: Abdomen : membesar simetris

Ballotement : (+)

Djj : (-)

His : 3x30”/10’

Pemeriksaan Laboratorium

WBC: 14.290

HGB : 8,40 g/dl

HCT : 25,60

PLT : 164.000

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 31

Page 32: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

Follow up 3 November 2015 (Pukul 11.10 WIB)

Lahir bayi peretmpuan per vaginam, dengan berat badan 1300 gram, A/S 0/0,

dengan maserasi grade II

Follow up 3 November 2015 (Pukul 11.40 WIB) : plasenta belum lahir

diputuskan untuk manual plasenta di KBE dengan pertimbangan histerektomi

Th/ Persiapan transfusi WB

R/ Persiapan Manual plasenta di KBE dengan pertimbangan histerektomi. (CITO)

LAPORAN MANUAL PLASENTA

(3 november 2015, 11.40 WIB)

- Pasien dibaringkan di meja operasi dengan infus dan kateter

terpasang baik.

- Dibawah GA TIVA dilakukan tindakan manual plasenta, dengan

tangan kiri memegang fundus dan tangan kanan menyusuri tali pusat

dilakukan pengeluaran plasenta kesan tercabik.

- Evaluasi perdarahan, kesan perdarahan mengalir aktif .

- Diputuskan untuk melakukan histerektomi setelah persetujuan suami.

LAPORAN HISTEREKTOMI a/i PLASENTA AKRETA

( 3 november 2015, 12.00 WIB )

- Pasien dibaringkan di meja operasi dengan infus dan kateter

terpasang baik.s

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 32

Page 33: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

- Dibawah GA ETT dilakukan tindakan aseptik dengan larutan

antiseptik betadine dan alkohol.

- Insisi dilakukan diatas luka operasi yang lama ( pfanesteil )

- Lapisan dinding abdomen dibuka lapis demi lapis sampai peritoneum.

- Peritoneum dijinjing digunting keatas dan kebawah

- Tampak uterus, dilakukan total abdominal histerektomi.

- Lapisan abdomen ditutup lapis demi lapis setelah kontrol perdarahan.

- Luka operasi ditutup supratule, kasa steril, dan hipafix.

- KU ibu post op terpasang ETT

TERAPI POST OP

- IVFD RL 20 gtt/i

- Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam i.v

- Inj. Ketorolac 30mg/8 jam i.v

- Inj. Ranitidin 50mg/12 jam i.v

- Inj. Transamin 500mg/8 jam i.v

RENCANA

- Awasi vital sign, perdarahan pervaginam

- Lanjutkan transfusi sesuai TS anestesi

- Cek Hb 6 jam post transfusi

Follow up 3 November 2015 (Pukul 18.00 WIB)

S : Nyeri luka operasi

O : Status presens

sens : compos mentis

TD: 90/50 mmhg

HR: 150 x/i

RR: 16x/i via ventilator

T : 36,1 oc

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 33

Page 34: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

Status lokalisata :

Abdomen: soepel, peristaltik (+) lemah

L/O : Tertutup verban

Drain (+) ±100 cc dalam ½ jam warna merah

BAB (-), Flatus (?)

BAK , terpasang kateter OUP 200 cc dalam 3 jam

A : Post TAH a/i Plasenta akreta + H1

P : - IVFD Nacl 0,9% sesuai anastesi

- inj. ceftriaxone ganti meropenem 1 gr/8 jam dilarutkan dalam Nacl 100

ml habis dalam 3 jam

- inj. ketorolac 30 mg/8 jam

- inj. ranitidin 50 mg/12 jam

- inj. transamin 500 mg/8 jam

- transfusi 2 bag PRC 2 bag WB

Hasil laboratorium Darah rutin 6 jam post transfusi

Wbc : 11.210

Rbc : 1,79

Hb: 5,2

PLT: 9000

Follow up 4 November 2015 ( Pukul 09.00 wib)

Status presens

S : -

O : Sens : compos mentis

TD: 100/60 mmhg

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 34

Page 35: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

HR: 114x/i

RR : 16 x/i via ventilator

T : 36,5 OC

Status lokalisata

abdomen : soepel, peristaltik (+) Normal

L/O: tertutup verban

Drain : 500 cc ( semenjak post op) warna merah

P/V : (-)

BAK : (+), terpasang kateter, OUP ± 150 cc/jam

BAB : (+) Normal, flatus (+)

A : Post TAH a/i plasenta akreta + H2 + Trombositopeni e.c?

P : - IVFD Nacl 0,9 % sesuai anastesi

- inj. meropenem 1 gr/8 jam

- inj. ketorolac 30 mg/ 8 jam

- inj ranitidin 50 mg/ 12 jam

- inj. transamin 500 mg/8 jam

R/ Cek darah lengkap, KGD adrandom, Elektrolit, RFT, AGDA, D-Dimer,

Fibrinogen, HST

Hasil pemeriksaan laboratorium 4 november 2015

WBC : 21. 820/µl

HGB : 9,60 g/dL

HCT : 26, 30 %

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 35

Page 36: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

PLT : 26.000/µl

OS dikonsulkan ke interna dan direncakan mendapat transfusi 6 bag FFP dan 1

bag PRC

Follow up 4 November 2015 (pukul 18.40 wib)

S : Apnoe

O : Sens : Compos mentis anemis : (+)

TD : 90/60 mmhg ikterik : (-)

HR: 150 x/i dyspnoe: (-)

RR: 10 x/i via ventilator sianosis : (-)

T : 36,5 oc oedema : (+)

Status lokalisata

Thoraks : SP: Bronkial, ST: Ronki basah basal

Abdomen : soepel, peristaltik (+) Normal

L/O: tertutup verban kesan kering

Drain : 700 cc ( semenjak post op) dikosongkan

P/V : (-)

BAK : (+), terpasang kateter, OUP ± 120 cc/jam warna kuning pekat

BAB : (+) Normal, flatus (+)

A : Post TAH a/i plasenta akreta + H2 + Trombositopeni e.c?

P : Resusitasi

Hasil pemeriksaan laboratorium:

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 36

Page 37: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

HGB : 9,6 g/Dl

HCT : 26,3 %

WBC : 21. 820

PLT : 26.000

ureum : 57,00 mg/dl

kreatinin : 2,16 mg/dl

uric acid : 8,70 mg/dl

glukosa adrandom : 124,00 mh/dl

troponin I : Positif

troponin T : 1,14

Follow Up 5 November 2015 ( pukul 09.00 wib)

S : -

O : Sens : Compos mentis anemis : (+)

TD : 90/60 mmhg ikterik : (-)

HR: 150 x/i dyspnoe: (-)

RR: 16 x/i via ventilator sianosis : (-)

T : 36,5 oc oedema : (+)

Status lokalisata

Thorax: SP: bronkial, ST: ronkhi basah basal

Abdomen : soepel, peristaltik (+) Normal

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 37

Page 38: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

Drain : 280 cc /jam

L/O: tertutup verban

P/V : (-)

BAK : (+), terpasang kateter, OUP ± 70 cc/jam warna kuning pekat

BAB : (+) Normal, flatus (+)

A : Post TAH a/i plasenta akreta + H3 + Trombositopeni e.c?

P : - IVFD Nacl 0,9 % sesuai anastesi

- inj. meropenem 1 gr/8 jam

- inj. ketorolac 30 mg/ 8 jam

- inj ranitidin 50 mg/ 12 jam

- inj. transamin 500 mg/12 jam

Hasil pemeriksaan laboratorium 5 november 2015

WBC : 25.390/µL

HGB: 7,9 g/Dl

HCT : 22,7 %

PLT : 32.000/µL

Konsul Interna untuk rawat bersama, konsul kardio karena peningkatan troponin

T

Follow Up 6 November 2015

S : -

O : Sens : Compos mentis anemis : (+)

TD : 140/90 mmhg ikterik : (-)

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 38

Page 39: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

HR: 104 x/i dyspnoe: (-)

RR: 16 x/i via ventilator sianosis : (-)

T : 36,5 oc oedema : (↓)

Status lokalisata

Abdomen : soepel, peristaltik (+) Normal

L/O: tertutup verban

Drain : 60 cc / jam

P/V : (-)

BAK : (+), Via kateter, OUP ± 200 cc/jam

BAB : (+) Normal

A : Post TAH a/i plasenta akreta + H4 + Trombositopeni e.c?

P : - IVFD Nacl 0,9 % sesuai anastesi

- inj. meropenem 1 gr/8 jam

- inj. ketorolac 30 mg/ 8 jam

- inj ranitidin 50 mg/ 8 jam

- inj. transamin 500 mg/8 jam

Hasil pemeriksaan laboratorium 6 november 2015

- WBC : 27.72/µL

- HGB: 8,0 g/Dl

- HCT : 22,9 %

- PLT : 45.000/µL

Follow Up 7 November 2015

S : -

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 39

Page 40: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

O : Sens : Compos mentis anemis : (+)

TD : 130/90 mmhg ikterik : (-)

HR: 103 x/i dyspnoe: (-)

RR: 16 x/i via ventilator sianosis : (-)

T : 36,5 oc oedema : (↓)

Status lokalisata

Thorax: SP: bronkial, ST: ronki basah basal

Abdomen : soepel, peristaltik (+) Normal

L/O: Tertutup verban

Drain : 7 cc /jam

P/V : (-)

BAK : (+), Via kateter, OUP ± 90 cc/jam

BAB : (+) Normal, flatus (+)

A : Post TAH a/i plasenta akreta + H5 + Trombositopeni e.c?

P : - IVFD Nacl 0,9 % sesuai anastesi

- inj. meropenem 1 gr/8 jam

- inj. ketorolac 30 mg/ 8 jam

- inj ranitidin 50 mg/ 8 jam

- inj. transamin 500 mg/8 jam

Hasil pemeriksaan laboratorium 7 november 2015

- ureum : 130,00 mg/dl

- kreatinin : 3,36 mg/dl

- uric acid : 12,80 mg/dl

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 40

Page 41: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

- glukosa adrandom : 124,00 mh/dl

- Konsul paru, Os didiagnosa oedema paru, anjuran foto thorax PA,

Terapi tambahan : inj.furosemide 40mg/8jam

- Konsul interna subunit nefrologi karena peningkatan kadar kreatinin.

Os didiagnosa CKD stage IV dd AKI

Terapi tambahan : diet ginjal 1800kkal, protein 30gr

IVFD nefrosteril 1 fls/hari

Hindari obat – obatan nefrotoksik

Follow up 8 november 2015

S : -

O : Sens : Compos mentis anemis : (+)

TD : 90/60 mmhg ikterik : (-)

HR: 150 x/i dyspnoe: (-)

RR: 16x/i via ventilator sianosis : (-)

T : 36,5 oc oedema : (↓)

Status lokalisata

Abdomen : soepel, peristaltik (+) Normal

L/O: Tertutup verban, Kesan kering

P/V : (-)

BAK : (+), terpasang kateter, OUP ± 100 cc/jam

BAB : (+) Normal

A : Post TAH a/i plasenta akreta + H6 + CKD stg IV dd AKI std failure + oedema

paru

P : - IVFD Nacl 0,9 % sesuai anastesi

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 41

Page 42: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

- inj. meropenem 1 gr/8 jam

- inj. ketorolac 30 mg/ 8 jam

- inj ranitidin 50 mg/ 8 jam

- inj. transamin 500 mg/8 jam

- lain – lain terapi sesuai TS interna, anestesi, dan paru

Hasil pemeriksaan laboratorium 8 november 2015

- WBC : 26.090/µL

- HGB: 8,1 g/dL

- HCT : 24,2 %

- PLT : 87.000/µL

Follow up 9 November 2015

S : -

O : Sens : Compos mentis anemis : (-)

TD : 130/90 mmhg ikterik : (-)

HR: 80 x/i dyspnoe: (-)

RR: 16x/i via ventilator sianosis : (-)

T : 36,3 oc oedema : (↓)

Status lokalisata

abdomen : soepel, peristaltik (+) Normal

L/O: tertutup verban

P/V : (-)

BAK : (+), terpasang kateter, OUP ± 75 cc/jam

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 42

Page 43: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

BAB : (+) Normal

A : Post TAH a/i plasenta akreta + H7 + CKD stg IV dd AKI std failure + oedema

paru

P : - IVFD Nacl 0,9 % sesuai anastesi

- inj. meropenem 1 gr/8 jam

- inj. ketorolac 30 mg/ 8 jam

- inj ranitidin 50 mg/ 8 jam

- inj. transamin 500 mg/8 jam

- lain – lain terapi sesuai TS interna, anestesi, dan paru

Follow up 10 November 2015

S : -

O : Sens : Compos mentis anemis : (+)

TD : 140/90 mmhg ikterik : (+)

HR: 100 x/i dyspnoe: (-)

RR: 20x/i sianosis : (-)

T : 38,1 oc oedema : (↓)

Status lokalisata

abdomen : soepel, peristaltik (+) Normal

L/O: tertutup verban, kesan kering

P/V : (-)

BAK : (+), terpasang kateter, OUP ± 170 cc/jam Jernih

BAB : (+) Normal

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 43

Page 44: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

A : Post TAH a/i plasenta akreta + H8 + CKD stg IV dd AKI std failure + oedema

paru

P : - IVFD Nacl 0,9 % sesuai anastesi

- inj. meropenem 1 gr/8 jam

- inj. ketorolac 30 mg/ 8 jam

- inj ranitidin 50 mg/ 8 jam

- inj. transamin 500 mg/8 jam

- inj. tramadol 1 amp/ 8 jam

- lain – lain terapi sesuai TS interna, anestesi, dan paru

Pada tanggal 10 november 2015 Pasien apnoe pukul 10.45 telah dilakukan RJP,

Ambubag dan juga telah diinjeksikan adrenalin dan SA tetapi os tidak ada respon.

Pasien dinyatakan exit jam 11.30 wib didepan keluarga dan tim medis lainnya.

ANALISA KASUS

Pada pasien ini didiagnosa plasenta akreta dimana terjadi implantasi dari

plasenta yang lebih dalam dari pada plasenta normal. Ini terjadi kemungkinan

karena adanya jaringan parut bekas seksio pada kehamilan sebelumnya. Hal ini

sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa perlekatan plasenta abnormal

paling sering ditemukan pada keadaan ketika pembentukan desidua mungkin

terganggu misalnya, implantasi di segmen bawah uterus atau di atas jaringan parut

bekas seksio atau bekas insisi uterus lainnya atau setelah kuretase uterus.

Histerektomi pada pasien ini dilakukan karena adanya kemungkinan terjadi

plasenta akreta totalis dimana pada keadaan ini menyebabkan perdarahan masif

setelah dilakukan tindakan manual plasenta. Hal ini sesuai dengan kepustakaan

yang menyatakan bahwa pada sebagian besar kasus upaya mengeluarkan plasenta

secara manual (konservatif ) gagal karena bidang pemisahan antara palsenta dan

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 44

Page 45: post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK

dinding uterus tidak dapat terbentuk. Pada 25% perempuan yang ditatalaksana

secara konservatif meninggal. Jadi penatalaksanaan yang paling baik adalah

dilakukan histerektomi.

Pada pasien ini didiagnosa IUFD kemungkinan diduga terjadi karena adanya

gangguan sirkulasi pada utero plasenta yang terjadi akibat perdarahan masif.

Akibat perdarahan masif ini, suplai darah ke janin melalui sirkulasi utero plasenta

menjadi terganggu sehingga janin kekurangan oksigen yang menyebabkan IUFD.

PERMASALAHAN

1.Bagaimana cara untuk mendeteksi plasenta akreta sejak dini?

2.Apakah pasien yang telah didiagnosa dengan plasenta akreta harus

dilakukan histerektomi?

3.Kenapa bisa terjadi KJDK pada pasien?

Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 45