pondok pesantren bahauddin al-ismailiyah sidoarjo menimba...

2
27 MPA 284 / Mei 2010 Mempertahankan model pon- dok salaf memang tidak mudah pada zaman sekarang ini. Kesan yang ber- kembang memang masih kurang ber- sahabat. Salaf diartikan sebagai ke- tinggalan zaman dan harus dirubah. Tapi itu tidak berlaku bagi Pondok Pe- santren Bahauddin Al-Ismailiyah Si- doarjo. “KH. Imron Hamzah pernah berwasiat untuk tetap menjaga kesa- lafan ini,” ungkap Jazuli, S.Ag., salah satu pengasuh ponpes Pondok pesantren yang terletak tepat di jantung Kecamatan Taman Sepanjang, wilayah perbatasan Kabu- paten Sidoarjo dan Kotamadya Sura- baya ini masih setia menjalankannya. Meski berdiri di tengah keramaian ko- ta, pesantren al-Ismailiyah memben- tengi moral santri-santri dari pengaruh negatif hiruk pikuk masyarakatnya. Jangan kaget jika peralatan komunikasi semisal HP, tidak dijumpai ditenteng oleh santri. “HP kita larang. Karena madharatnya lebih besar daripada man- faatnya,” ujar bapak 3 anak ini menjelaskan. Meski begitu, kebutuhan teknologi, anak-anak disediakan di pondok sebatas sekeperluan anak-anak, seperti komputer walau tidak berinternet. Kegiatan di pesantren yang didirikan pada tahun 1958 oleh KH. Hamzah Ismail juga masih berkutat pada pengkajian kitab-kitab kuning khas salafiyah. Ditambah lagi rutinitas rotibul haddad, khotmil qur’an, dibaiyah dan istighotsah, yang menjadi bekal para santri saat mereka terjun ke masyarakat. “Pembinaan seperti ini adalah praktis dan langsung digunakan di masyarakat,” ungkap alum- nus PIQ Singosari Malang ini menerangkan. Ditambah lagi, pada bulan Ramadhan tiap ba’da Subuh diadakan pengajian yang diikuti oleh santri dan masyarakat sekitar. “Biasanya yang mengikuti ratusan orang”, tambahnya. Meski demikian, santri-santri ponpes ini diberikan kebebasan untuk mengikuti pendidikan formal di luar pondok. KH. Imron Hamzah, penga- suh pondok generasi kedua, pernah mengatakan bahwa pondok Al-Isma- iliyah adalah pondok urban. Dikata- kan demikian, karena pondok berada di pinggiran kota dan melayani santri- nya yang merangkap dengan pendi- dikan formal. Santri tanpa kesulitan mengikuti pendidikan formal ini. Kare- na di sekitar ponpes, berdiri sekolah formal yang berada di bawah naung- an Yayasan Bahauddin. Yayasan yang merupakan atasan dari ponpes al-Ismailiyah. Sejarah pesantren al-Ismailiyah memang tergolong unik. Tidak seperti lazimnya pesantren-pesantren tua lainnya yang mendapatkan tentangan dari masyarakat setempat. Masyara- kat sekitar ponpes, Taman, sudah sejak dulu sudah dike- nal sebagai masyarakat yang taat dan kuat menjaga tradisi dan ajaran Islam. Nama al-Ismailiyah sendiri diberikan sebagai bentuk penghargaan terhadap perjuangan dak- wah nenek moyang keluarga pengasuh pesantren, yaitu KH. Hamzah Ismail. Dan sekarang ini sudah sampai pada periode ketiga kepemimpinan. Periode pertama adalah masa kepemimpinann KH. Hamzah Ismail. Sebagaimana masa perintisan, pesantren yang letaknya 10 km dari arah timur Surabaya saat itu memiliki santri yang jumlahnya hanya puluhan. Beliau juga yang merintis dibukanya pesantren Al-Ismailiyah Putri. Pada awalnya, santri yang menimba ilmu di ponpes ini memang diproyeksikan untuk meneruskan tradisi religiusitas dan menciptakan kader-kader muslim yang berguna bagi agama dan bangsa. Periode kedua, kepemimpinan dipegang oleh KH. Imran Hamzah. Pada periode ini pondok pesantren me- ngalami kemajuan pesat. Jumlah santri yang menimba ilmu di pesantren ini terus bertambah. Sampai akhir hayatnya, jumlah santri tercatat 205 orang. KH. Imran Hamzah me- Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah Sidoarjo Menimba Ilmu Perjalanan Para Wali KH. Sholeh Qosim Ketika santri latihan rebana al-Banjari Saat para santri khusyu’ berdoa

Upload: truongkien

Post on 08-Mar-2019

260 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah Sidoarjo Menimba ...jatim.kemenag.go.id/file/dokumen/284biliksantri.pdf · Pondok pesantren yang terletak tepat di jantung Kecamatan Taman

27MPA 284 / Mei 2010

Mempertahankan model pon-dok salaf memang tidak mudah padazaman sekarang ini. Kesan yang ber-kembang memang masih kurang ber-sahabat. Salaf diartikan sebagai ke-tinggalan zaman dan harus dirubah.Tapi itu tidak berlaku bagi Pondok Pe-santren Bahauddin Al-Ismailiyah Si-doarjo. “KH. Imron Hamzah pernahberwasiat untuk tetap menjaga kesa-lafan ini,” ungkap Jazuli, S.Ag., salahsatu pengasuh ponpes

Pondok pesantren yang terletaktepat di jantung Kecamatan TamanSepanjang, wilayah perbatasan Kabu-paten Sidoarjo dan Kotamadya Sura-baya ini masih setia menjalankannya.Meski berdiri di tengah keramaian ko-ta, pesantren al-Ismailiyah memben-tengi moral santri-santri dari pengaruh negatif hiruk pikukmasyarakatnya. Jangan kaget jika peralatan komunikasisemisal HP, tidak dijumpai ditenteng oleh santri. “HP kitalarang. Karena madharatnya lebih besar daripada man-faatnya,” ujar bapak 3 anak ini menjelaskan. Meski begitu,kebutuhan teknologi, anak-anak disediakan di pondoksebatas sekeperluan anak-anak, seperti komputer walautidak berinternet.

Kegiatan di pesantren yang didirikan pada tahun1958 oleh KH. Hamzah Ismail juga masih berkutat padapengkajian kitab-kitab kuning khas salafiyah. Ditambahlagi rutinitas rotibul haddad, khotmil qur’an, dibaiyah danistighotsah, yang menjadi bekal para santri saat merekaterjun ke masyarakat. “Pembinaan seperti ini adalah praktisdan langsung digunakan di masyarakat,” ungkap alum-nus PIQ Singosari Malang ini menerangkan. Ditambahlagi, pada bulan Ramadhan tiap ba’da Subuh diadakanpengajian yang diikuti oleh santri dan masyarakat sekitar.“Biasanya yang mengikuti ratusan orang”, tambahnya.

Meski demikian, santri-santri ponpes ini diberikankebebasan untuk mengikuti pendidikan formal di luar

pondok. KH. Imron Hamzah, penga-suh pondok generasi kedua, pernahmengatakan bahwa pondok Al-Isma-iliyah adalah pondok urban. Dikata-kan demikian, karena pondok beradadi pinggiran kota dan melayani santri-nya yang merangkap dengan pendi-dikan formal. Santri tanpa kesulitanmengikuti pendidikan formal ini. Kare-na di sekitar ponpes, berdiri sekolahformal yang berada di bawah naung-an Yayasan Bahauddin. Yayasanyang merupakan atasan dari ponpesal-Ismailiyah.

Sejarah pesantren al-Ismailiyahmemang tergolong unik. Tidak sepertilazimnya pesantren-pesantren tualainnya yang mendapatkan tentangandari masyarakat setempat. Masyara-

kat sekitar ponpes, Taman, sudah sejak dulu sudah dike-nal sebagai masyarakat yang taat dan kuat menjaga tradisidan ajaran Islam. Nama al-Ismailiyah sendiri diberikansebagai bentuk penghargaan terhadap perjuangan dak-wah nenek moyang keluarga pengasuh pesantren, yaituKH. Hamzah Ismail. Dan sekarang ini sudah sampai padaperiode ketiga kepemimpinan.

Periode pertama adalah masa kepemimpinann KH.Hamzah Ismail. Sebagaimana masa perintisan, pesantrenyang letaknya 10 km dari arah timur Surabaya saat itumemiliki santri yang jumlahnya hanya puluhan. Beliaujuga yang merintis dibukanya pesantren Al-IsmailiyahPutri. Pada awalnya, santri yang menimba ilmu di ponpesini memang diproyeksikan untuk meneruskan tradisireligiusitas dan menciptakan kader-kader muslim yangberguna bagi agama dan bangsa.

Periode kedua, kepemimpinan dipegang oleh KH.Imran Hamzah. Pada periode ini pondok pesantren me-ngalami kemajuan pesat. Jumlah santri yang menimba ilmudi pesantren ini terus bertambah. Sampai akhir hayatnya,jumlah santri tercatat 205 orang. KH. Imran Hamzah me-

Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah SidoarjoMenimba Ilmu Perjalanan Para Wali

KH. Sholeh Qosim

Ketika santri latihan rebana al-Banjari Saat para santri khusyu’ berdoa

Page 2: Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah Sidoarjo Menimba ...jatim.kemenag.go.id/file/dokumen/284biliksantri.pdf · Pondok pesantren yang terletak tepat di jantung Kecamatan Taman

28 MPA 284 / Mei 2010

mang dikenal ketokohannya. Beliau merupakan figurtokoh masyarakat Jawa Timur. Tercatat beliau pernahmenjabat wakil ketua DPRD Provinsi Jawa Timur, anggotaMPR Pusat 1992-1997, Rois Syuriah NU Jawa Timur dansaat muktamar NU di Lirboyo beliau terpilih menjadi salahsatu Ketua PB NU. Sehingga pondok ini tidak lepas darikebesaran namanya.

Dalam kesehariannya, KH. Imron – begitu kiai inibiasa dipanggil – sangatlah terkenal kesederhanaannya.Sudah menjadi rahasia umum, bahwa kiai ini tidakmembeda-bedakan siapa saja yang menjadi tamu-nya. Baik itu dari kalangan elit hingga kalanganbawah, dari orang-orang dewasa hingga anakkecil. Sehingga di sekitar lingkungan ponpes,kiai ini berdampingan secara harmonis dengansemuanya. “Bahkan jika sedang menemui tamu,lalu ada anak kecil yang berada di situ, biasanyakiai akan memanggil anak kecil tersebut dan diberiperhatian lebih dulu,” tutur alumnus IAIN SunanAmpel ini menceritakan.

Di sisi lain, dalam masalah memberi pe-ngajian di ponpes, beliau tidak pernah mening-galkan kegiatan tersebut, jika tidak ada udzuryang sangat memberatkan. Suatu hari ketika adaMuktamar NU di Lirboyo, karena masuk dalamjajaran pengurus NU, beliau mendatangi kegiat-an tersebut. Di tengah-tengah hiruk-pikuk pe-nyelenggaraan Muktamar tersebut, pada malamharinya, beliau masih menyempatkan pulang kepondok pesantren untuk memberikan pengajiankepada para santri. Walaupun jarak Kediri danSidoarjo tidaklah dekat. Itu dilakukannya beberapa harilamanya, hingga pelaksanan Muktamar NU selesai.

KH. Imron Hamzah juga dikenal dengan perilakunyayang moderat. Sebagai seorang tokoh NU, beliau tidaklahmenjadikan sebagai penganut yang fanatik. Beliau terca-tat sebagai pendorong berdirinya Yayasan Muhammad-iyah Taman yang salah satunya menaungi Rumah SakitSiti Khadijah. Sebagai tokoh politik beliau juga selalumembuka lebar-lebar ruang silaturrahmi dengan tokoh-tokoh politik yang “berseberangan”. Dengan model

perilakunya yang moderat inilahakhirnya Kiai Imron Hamzah menjaditokoh yang dapat diterima olehberbagai kalangan. Dari kalangan mili-ter, elit politik, pemerintah, tokoh ormas,dan masyarakat umumnya. “Sehinggadi Sepanjang Sidoarjo ini tidak pernahada kekerasan,” ujar Mas Jazuli, menje-laskan.

Sepeninggal KH Imran pada tahun2000 dan dikebumikan di Ngelom, Se-panjang, Sidoarjo, kepemimpinan dite-ruskan oleh KH. Sholeh Qasim. Padagenerasi ketiga ini kiai dibantu oleh pe-ngurus dan putra-putra beliau, sehing-ga kegiatan pesantren dapat terus di-tingkatkan. Model pembelajaran yangdigariskan oleh KH. Imron Hamzahpunmasih terus dilaksanakan. Terutama,

seperti kebiasaan memberikan pengajian kitab setelahSubuh, setiap harinya.

Di samping model pengkajian kitab-kitab, fokuspondok juga lebih dilebarkan lagi. Terutama untuk pem-binaan mental santri. Mengingat perkembangan zamanyang semakin pesat sekarang ini dan yang tidak mudahuntuk memfilternya. Yang dilakukan ponpes ini antaraadalah menekankan santri untuk giat beribadah danmendekatkan diri kepada Allah serta ziarah ke wali-wali

sepuh. Pada ziarah wali inilah para santri diberi wawasandan pemahaman tentang apa saja yang telah dilakukanoleh wali tersebut. Diharapkan para santri bisa menirupara auliya Allah ini.

Beberapa alumnus ponpespun menceritakan. Saatmereka terjun ke masyarakat, nilai-nilai salaf itu pun masihmelekat dan terasa. Baik mereka sebagai individu, tokohmasyarakat bahkan mereka yang bekerja di pabrik. “Jikamentalnya sudah terjaga, mau apa-apa saja akan aman-aman saja,” terang suami Fachrundah ini beralasan.

Santriwati saat membacakan diba’ pada peringatan Maulid Nabi

Pembacaan shalawat nabi oleh para santri