politik pendidikan penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam garis-garis besar haluan negara (1...

214
Benny Susetyo Politik Pendidikan Penguasa LKis

Upload: others

Post on 13-Dec-2020

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Benny Susetyo

PolitikPendidikanPenguasa

LKis

Page 2: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

v

POLITIK PENDIDIKAN PENGUASABenny Susetyo©Benny Susetyo, 2005 dan LKiS, 2005

xvi + 224 halaman; 12 x 18 cm 1. Politik Pendidikan 2. Kritik SosialISBN: 979-8451-24-4

Penyunting: Saiful Arif Rancang sampul: I.B. ShakuntalaSetting/layout: Santo

Penerbit:LKiS YogyakartaSalakan Baru No. 1 Sewon BantulJl. Parangtritis Km. 4,4 YogyakartaTelp.: (0274) 387194,7472110Faks.: (0274) 417762e-mail: [email protected]

Cetakan I: Mei 2005

Percetakan dan distribusi:PT LKiS Pelangi Aksara YogyakartaSalakan Baru No. 1 Sewon Bantul Jl. Parangtritis Km. 4,4Yogvakarta Telp.: (0274) 387194,7472110 Faks.: (0274) 417762 e-mail:[email protected]

Page 3: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

PENGANTAR REDAKSI

Menyambut bergulirnya era demokratisasi, ba-nyak orang berharap wajah dunia pendidikan dinegeri ini semakin baik dan bermutu. Harapan itusudah sewajarnya mengingat selama lebih dari tigapuluh tahun, bangsa ini terpuruk di bawah rezimOrde Baru yang melahirkan kebijakan-kebijakanpolitik dan pendidikan yang menindas. Sebagai sebu-ah wahana penyadaran, hanya pendidikanlah yangdiyakini mampu membawa bangsa ini keluar darijeratan krisis. Pendidikan yang, tentu saja; memer-dekakan dan membebaskan.

Akan tetapi, di tengah meluapnya optimisme danharapan itu, kenyataan di lapangan tampaknyaberbicara lain. Bukannya lebih baik, kondisi pendidik-an di tanah air justru semakin menampakkan sisi bu-ramnya. Sistem pendidikan yang ada bukan saja tidakberhasil melahirkan individu-individu yang merdeka,kritis, dan peka terhadap realitas sosial, tapi jugamelestarikan status quo sebagaimana pada masa Orde

Page 4: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

1

v i

Politik Pendidikan Penguasa

Baru. Pendidikan, hingga batas tertentu, bahkan men-jadi ajang perebutan kekuasaan. Seperti tampak padakasus UU Sisdiknas, penguasa ternyata menaruhkepentingan tersendiri pada pendidikan. Sayangnya,kepentingan itu hanya terkait dengan citra dan gengsipenguasa, dan sama sekali tak menyentuh kebutuhanmasyarakat luas.

Ini pula yang tampak ketika pemerintah melaku-kan "privatisasi" sekolah (kampus) dengan memberi-kan otonomi seluas-luasnya terhadap instansi-instansipendidikan. Otonomi yang mulanya diharapkanmemacu kualitas lembaga-lembaga pendidikan, justrumembawa "efek samping" berupa kian mahalnya"harga" pendidikan. Ini bukan saja membuat pendi-dikan terkesan elitis, tapi juga menjauhkan pendidikandari cita-cita hakikinya sebagai sarana pembebasan.

Berangkat dari kegelisahan itu, Romo Bennvseolah ingin menyadarkan kita bahwa pendidikan kitatelah gagal. Tapi kegagalan itu, menurutnya, tak perludiratapi, namun sebaliknya direfleksikan sehingga takterulang lagi di masa mendatang. Masih ada harapanbahwa pendidikan akan bergerak ke arah yang lebihbaik. Tapi harapan itu agar tak tinggal harapan, harusdiwujudkan dalam tindakan nyata dan konkretsehingga kondisi pendidikan kita benar- benar pulih.

Di sinilah, Romo Benny mengajak kita merunut ulangproblem-problem pendidikan, mulai dari soal

Page 5: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

i x

anggaran, hal-hal yang terkait langsung dengan "san-dang-pangan" peserta didik, hingga paradigma yangkeliru, yang banyak dianut oleh pengambil kebijakandan praktisi pendidikan di lapangan.

Terima kasih kepada Romo Benny Susetyo yangmempercayakan penerbitan ini kepada kami. Tak lupajuga kepada Saudara Saiful Arif, yang telah menyun-ting buku ini sehingga enak dibaca. Semoga terbitnyabuku ini memberi kontribusi berharga bagi reformasipendidikan di negeri ini!

KATA PENGANTAR

''SAYA ingin cucu saya pintar, karenanya sayalarang ia sekolah/' kata Margaret Mead suatu ketika."Saya tahu sekolah telah mati (school is dead)" gerutuEverett Riemer. "Masyarakat bebas sekolah," tulis IvanIllich dalam buku termasyhurnya. Dan "Orang miskin

Page 6: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Pengantar Redaksi

v i i

dilarang sekolah," sindir Eko Prasetyo, salah seorangteman di Yogya. "Hancurkan kapitalisme pendidikan,realisasikan pendidikan gratis!", teriak mahasiswadalam berbagai demonstrasi menentang kebijakanpembiayaan pendidikan yang semakin lama semakintak bisa dicerna akal waras.

Ungkapan-ungkapan pedas itu adalah untukmengecam pendidikan yang secara substantif telahmenjauhi tujuannya. Pendidikan dalam berbagai ben-tuk dan cara masih dipercaya sebagai satu-satunyaalternatif untuk mengembangkan diri, berkompetisisecara adil, membuka cakrawala berpikir untukmenghindari cara berpikir yang sempit, mencerdaskanpikiran, menajamkan hati nurani, mengajari

Page 7: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pen didik an Pen gu asa

berkehidupan yang jujur, termasuk membangkitkansemangat membela yang lemah. Ungkapan-ungkapanitu adalah cara yang cukup layak ditempuh sebagaikritik atas proses dan sistem pendidikan yang selamaini sering diterapkan secara curang dan manipulatifoleh penguasa.

Pendidikan tidak saja mencerminkan sejauhmana proses transformasi sosial telah berhasil dalamsebuah negara, melainkan juga menunjukkan baik bu-ruk tampang penguasa. Itulah mengapa pendidikanmemiliki dampak yang luar biasa bagi proses bertum-buhkembangnya kesadaran umat dalam suatu bangsa.Karenanya, sering pemerintah suatu bangsa bertindakdengan kebijakan-kebijakannya untuk mengelola pen-didikan.

Di sinilah mula-mula persoalan terjadi. Oleh pe-nguasa, sering pendidikan sudah dihilangkan maknahakikinya. Pendidikan bukan lagi menjadi alat untukmelakukan transformasi dari kegelapan menujupencerahan. Dalam berbagai kebijakan pendidikan itu,terselip berbagai macam proyek yang sering hanyaberujung pangkal pada uang dan keuntunganpenguasa, pemenangan ideologi dan kepentingan ke-lompok di atas kelompok yang lain, sampai pencam-puradukan antara kepentingan pemenangan agamayang simbolistik dan ketidakjelasan arah visi yangdituju. Semua serba kacau. Dan pendidikan berubahwajah menjadi menyeramkan, sebagai proses pembo-dohan melalui proyek-proyek yang simpang siur,proses nieiieipidKdll dlldK U1U1K Udn ydllg LCldllmenuju yang gelap. Konstitusi yang jelas-jelas

Page 8: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pen didik an Pen gu asa

xii

menitahkan agar negara "mencerdaskan kehidupanberbangsa" sering tidak diberi makna yang adil danmemadai.

Sayang sekali, buku kecil ini belum sanggup me-ngupas tuntas berbagai kebijakan pendidikan yang"tidak mencerdaskan" tersebut. Buku ini amat terbataskarena hanya berhasil memancing orang untuksekadar "mengetahui" bahwa ada kesalahan berpikirdalam paradigma pendidikan kita. Tetapi meskipunbegitu, penulis masih merasa berbesar hati bisamenyodorkan informasi tentang berbagai kebijakanyang tidak memadai dan tidak direncanakan secararapi; dan hanya berorientasi pada kekuasaan, atautepatnya, penyelamatan kekuasaan belaka tersebut.

Buku ini awalnya adalah catatan harian penulisdalam merespons berbagai intrik politik penguasa da-lam membuat kebijakan pendidikan. Penulismengumpulkan catatan tercecer tentang polemikRancangan Undang-Undang Sistem PendidikanNasional (RUU Sisdiknas) di tahun 2003 sebagairancangan pengganti Undang-Undang Nomor 2Tahun 1989. Penolakan besar-besaran atas RUUSisdiknas melalui unjuk rasa dan berbagai pernyataansikap ternyata tak menyurutkan niat penguasa untukmelenggang kangkung mengesahkan kebijakan ini.Bahkan, untuk menundanya saja — karena banyaknyaprotes dan keberatan sebagian masyarakat lain —sudah terdapat keengganan. Kasus ini memang palingmenarik dijadikan bahan

xi

Page 9: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Kata Pengantar

untuk menyoroti kegagalan penguasa untuk berbuatadil dan menyingkirkan kepentingan agama, terkaitdalam proses pelaksanaan pendidikan yang men-cerdaskan. Penulis mendokumentasikan tulisan-tu-lisan protes penulis di berbagai koran tentang hal inilalu mengolahnya lagi, agar buku ini bisa dibaca lebihbaik dan sistematis.

Begitu pula dengan kebijakan-kebijakan lanjutanserta fenomena pendidikan lainnya yang ditampilkansebagai wujud pendidikan beraroma penguasa. Kon-troversi Ujian Akhir Nasional (UAN) sampai konversinilai UAN menjadikan carut-marut pelaksanaan kebi-jakan pendidikan di Indonesia semakin terasa kuat.

Akhirnya, buku ini memang sulit hadir tanpabantuan saudara saya, Saiful Arif, yang selalu men-dorong agar catatan-catatan ini didokumentasikan.Saudara saya yang lain, Lukman Hakim dari Aver-roes dan beberapa saudara lainnya yang mengoreksikesalahan ketik dan membantu mencarikan literaturtambahan lainnya, juga amat membantu terciptanyabuku ini. Kepada yang terhormat kawan seperjuangandi LKiS Yogyakarta, terima kasih atas kesediaannyamempublikasikan buku ini.

Akhirnya, perlu penulis ingatkan kembali, bah-wa buku ini hanya merupakan renungan yang bisadibaca oleh penguasa, maupun kita yang peduli akanvisi pendidikan "mencerdaskan kehidupan bangsa".Meskipun tidak memberikan informasi yang lebihmendetail tentang pernak-pernik kegagalan pendi-

Page 10: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pen didik an Pen gu asa

xii

dikan di Indonesia, penulis berusaha yakin sudahmemberikan informasi tentang perlunya merevolusicita-cita pendidikan bangsa, mengembalikan maknapendidikan ke cita-cita hakikinya, dan tidak merusak-nya dengan menjalankan intrik politik dan agama didalamnya. Pendidikan bukanlah untuk melestarikankepentingan penguasa, melainkan untuk mencer-daskan anak bangsa.

DAFTAR ISI

Pengantar Redaksi v Kata Pengantar ix DaftarIsi xv

Bab 1: Pendahuluan <§> 1

Bab 2: Politik Pendidikan Penguasa ^ 17A. Desentralisasi Setengah Hati <@>17B. Desentralisasi Kurikulum <§> 22C. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 28D. Manajemen Berbasis Sekolah 31E. Mimpi Anggaran 20% Untuk Pendidikan ^ 36

Bab 3: Catatan Kritis Atas UU Sisdiknas 41A. Seputar Kontroversi Awal UU Sisdiknas <§> 41B. Protes yang Meluas <§> 46C. Ketika Agama Disandera Politik <§> 51

Page 11: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pen didik an Pen gu asa

x v i

D. Substansi UU yang Terlupakan <§> 57E. Kesadaran Multikultural sebagai Roh

Pendidikan <§> 64F. Muatan Pendidikan yang Berbasis

Multikultural 70G. Mengulang Tragedi Galileo <§>76H. Menilai Pelaksanaan UU Sisdiknas <§> 82

X V

Bab 4: Agama, Pendidikan, dan Pendidikan Agama <§>87A. Kegagalan Pendidikan Agama <§> 87B. Agama yang Membuka Wawasan <§> 88C. Peranan Guru dalam Komunikasi Iman <§> 92D. Belajar dari Ilustrasi De Mello <§> 96E. Pendidikan yang Mengembalikan Jati DiriAgama <§> 98F. Agama yang Memahami Realitas <@>100G. Proses Belajar Humanis tik, Bukan Doktriner<§>103

Bab 5: Pendidikan, Komersialisasi, dan Eksploitasi <§>107A. Komersialisasi Pendidikan 107B. Integrasi Pendidikan dalam Pasar Bebas <§>109C. Sekolah bagi Kaum Miskin? <§>112D. Ironi Pendidikan sebagai Ladang Bisnis <§> 115E. Komersialisasi dan Keprihatinan Kritikus

Pendidikan <§> 118F. Pendidikan Gratis sebagai Komoditas Politik<§> 122G. Subsidi Biaya Minimal Pendidikan Dasar<§>126

Page 12: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

H. Kekerasan dan Ironi Dunia Pendidikan <§> 131

Bab 6: Pendidikan untuk Pembebasan 137A. Mengubah Wajah Sekolah <§> 137B. Pendidikan yang Membebaskan <§> 145C. Pendidik yang Membebaskan <§> 148D. Pengajaran Tanpa Pendidikan <§> 151E. Dialog sebagai Roh Pendidikan <§>153

Bab 7: Penutup <§> 159 Lampiran UU Sisdiknas <§> 167Daftar Pustaka <§> 215 Indeks <§> 219 Biodata Penulis<@> 223

Bab 1 PENDAHULUAN

da pengakuan yang pantas dan jujur dalam latarbelakang Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 25 Tahun 2000, yang mengatur tentang ProgramPembangunan Nasional (Propenas) tahun 1999-2004.Dikatakannya bahwa kualitas pendidikan di Indonesiamasih sangat memprihatinkan. Hal tersebut tercermin,antara lain, dari hasil studi kemampuan membacauntuk tingkat Sekolah Dasar (SD) yang dilaksanakanoleh organisasi International Educational Achievement(IEA), yang menunjukkan bahwa siswa SD di Indonesiaberada pada, urutan ke-38 dari 39 negara peserta studi.Untuk tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama

A

Page 13: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pen didik an Pen gu asa

x v i

(SLTP), studi untuk kemampuan matematika siswaSLTP di Indonesia hanya berada pada urutan ke-39 dari42 negara, dan untuk kemampuan Ilmu PengetahuanAlam (IPA) hanya berada pada urutan ke-40 dari 42negara peserta.

Penulis katakan pernyataan demikian pantas dan jujur,mengingat tabiat pemerintah yang sering

1

Page 14: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidikan Penguasa

2

menutup-nutupi kegagalannya mengelola pendidikan.Hanya dengan prestasi yang sangat minimal, sering halitu digunakan untuk menutupi kebobrokan danketertinggalan pendidikan dari negara lain. Seringpemerintah menyatakan keberhasilan di tengah situasiyang bertolak belakang. Sering keberhasilan yang bisadiibaratkan seperti setitik nila di atas sebelanga susu,dibangga-banggakan hingga menutupi kondisipendidikan sesungguhnya. Penguasa seringmembanggakan angka wajib belajar siswa yang selalumenaik di tengah harga pendidikan yang serba tidakterjangkau oleh sebagian besar anak didik dari kalanganmiskin. Maka, benarlah sudah bahwa membangunkemajuan pendidikan di Indonesia seharusnyaberangkat dari kritik tajam, dan bukannya darikeberhasilan yang semu.

Era reformasi di Indonesia memberikan ruangyang cukup besar bagi perumusan kebijakan-kebijak- anpendidikan baru yang sifatnya revolusioner. Misalnya,sentralisasi kebijakan yang diubah semangatnyamenjadi desentralistis, kurikulum bersifat "hafalan"menjadi kurikulum berbasis kompetensi, dan seterus-nya. Dalam Propenas 2000-2004 itu, juga diakui bahwamanajemen pendidikan nasional selama ini secarakeseluruhan masih bersifat sentralistis, sehingga kurangmendorong terjadinya demokratisasi dan desentralisasipenyelenggaraan pendidikan. Katanya, manajemenpendidikan yang sentralisasi tersebut telahmenyebabkan kebijakan yang seragam yang

tidak dapat mengakomodasi perbedaan keragaman/

Page 15: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

penda hul ua n

kepentingan daerah/ sekolah/ peserta-didik. Itu, lan-jutnya, akan mematikan partisipasi masyarakat dalamproses pendidikan, serta mendorong terjadinya pem-borosan dan kebocoran alokasi anggaran pendidikan.

Itulah mengapa penguasa reformasi berusahamerumuskan arah kebijakan pembangunan pendidik-an dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1999-2004) sebagai berikut:1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-

patan memperoleh pendidikan yang bermututinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju tercip-tanya manusia Indonesia berkualitas tinggi, denganpeningkatan anggaran pendidikan secara berarti.

2. Meningkatkan kemampuan akademik dan profe-sional serta meningkatkan jaminan kesejahteraantenaga kependidikan, sehingga tenaga pendidikmampu berfungsi secara optimal terutama dalampeningkatan pendidikan watak dan budi pekertiagar dapat mengembalikan wibawa lembaga dantenaga kependidikan.

3. Melakukan pembaruan sistem pendidikan terma-suk pembaruan kurikulum, berupa diversifikasikurikulum, untuk melayani keberagaman pesertadidik, penyusunan kurikulum yang berlaku nasio-nal dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat,serta diversifikasi jenis pendidikan secara profesio-nal.

maupun luar sekolah, sebagai pusat pembudayaannilai, sikap, dan kemampuan, serta meningkatkanpartisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung

4. Memberdayakan lembaga pendidikan, baik sekolah

Page 16: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

penda hul ua n

oleh sarana dan prasarana memadai.5. Melakukan pembaruan dan pemantapan sistem

pendidikan nasional berdasarkan prinsip desen-tralisasi, otonomi keilmuan, dan manajemen.

6. Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yangdiselenggarakan baik oleh masyarakat maupun pe-merintah untuk memantapkan sistem pendidikanyang efektif dan efisien dalam menghadapi per-kembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

7. Mengembangkan kualitas sumber daya manusiasedini mungkin secara terarah, terpadu, dan me-nyeluruh melalui berbagai upaya proaktif danreaktif oleh seluruh komponen bangsa, agar gene-rasi muda dapat berkembang secara optimal disertaidengan hak dukungan dan lindungan sesuai denganpotensinya.

8. Meningkatkan penguasaan, pengembangan, danpemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, ter-masuk teknologi bangsa sendiri dalam dunia usaha,terutama usaha kecil, menengah, dan koperasi gunameningkatkan daya saing produk yang berbasissumber daya lokal.

Pencantuman tujuan agar dalam proses pembelajaran,anak didik bisa mengembangkan watak dan

berbudi pekerti luhur di atas, merupakan upaya me-neguhkan makna pendidikan dalam arti sesungguh-nya. Namun, arah kebijakan yang demikian bersifatsangat umum dan memerlukan berbagai tindak lanjutkebijakan yang bersifat operasional. Sayangnya, dalampemahaman penulis, mengikuti perkembangankebijakan pendidikan di Indonesia, arah itu seringditafsirkan secara tidak adil. Kebijakan lanjutan untukmencapai anak didik berbudi pekerti luhur, hancurkarena penguasa lebih mengedepankan egoisme untukmeraih kepentingan kekuasaan.

Pendidikan dilihatnya sebagai alat untuk menca-pai keuntungan-keuntungan ideologis. Karenanya,upaya untuk membalik sentralisasi menjadi desen-tralisasi, sering runyam di tengah jalan. Propenas yang

Page 17: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidikan Penguasa

6

sudah "baik-baik" itu diselewengkan bahkan menjauhiidealitas pendidikan itu sendiri, untuk tidakmengatakan bahwa pendidikan telah dihancurkanmaknanya sebagai upaya membebaskan manusia dariketerbelakangan dan ketertindasan.

Pendidikan bertalian erat ’derigan proses transferpengetahuan, sikap, kepercayaan, keterampilan, danaspek-aspek kelakuan lainnya kepada generasi penerusdalam masyarakat melalui sebuah interaksi sosial atausosialisasi. Maka, sebagai sebuah proses transmisikebudayaan antargenerasi dalam masyarakat,pendidikan akan menjumpai problem yang signifikandengan perubahan sosial yang terjadi dalammasyarakat tersebut. Dalam konteks ini, selain

5berfungsi sebagai pelestari nilai-nilai kebudayaan yangmasih layak dipertahankan, pendidikan juga berfungsisebagai alat transformasi masyarakat untuk dapatberadaptasi dengan perubahan sosial yang tengahterjadi. Dengan demikian, pendidikan sesungguhnyamempunyai misi untuk kemajuan kebudayaan dalammasyarakat. Secara lebih spesifik, pendidikandiupayakan untuk membentuk manusia berbudi pe-kerti luhur, jujur dan berani menghadapi penindasan.

Paulo Freire menekankan agar setelah tersadardari situasi penindasan, manusia terdidik segera me-lakukan rekayasa sosial untuk memulai hidup baruyang merdeka. Itulah fungsi pokok pendidikan, yaknimembebaskan manusia dari belenggu kezaliman, baikpenguasa maupun unsur-unsur sosial lainnya, yangmenindas dan merampas kemerdekaan berpikir danberpendapat. Jadi, pendidikan adalah sebuah prosesuntuk mencerahkan, membukakan mata untuk me-mandang secara adil dan bijaksana.

Sekolah merupakan institusi pendidikan palingdiakui sepanjang kehidupan ini. Sekolah menjadi pro-duk kebudayaan dalam masyarakat. Di sini, sistempendidikan di sekolah mengembangkan pola aturantertentu sesuai dengan apa yang diharapkan oleh ma-

Page 18: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

penda hul ua n

syarakat dari para muridnya. Kendati kebudayaansekolah merupakan bagian dari kebudayaan masya-rakat luas, namun kebudayaan sekolah mempunyaiciri-ciri khas sebagai suatu subkultur, yang akan me-nyampaikan pola kelakuan di sekolah kepada masya-rakat di luar sekolah.

Sebagaimana kejujuran dan kepantasan yang di-ungkap di atas, di lain pihak kita juga harus mengakuibahwa pendidikan yang kita alami saat ini lebih seringtidak mendidik daripada sebaliknya. Pendidikan lebihberorientasi pada makna pengajaran daripadamemberikan makna sebenar-benarnya atas realitassosial yang terjadi. Mahasiswa diajari memahami teorisosial, tanpa tahu sedikit pun realitas sosial yangdibahas dalam teori tersebut. Siswa dididik untukmenghafal rumus-rumus daripada diajak untuk ber-empati pada realitas sesungguhnya. Anak didik bolehjadi pandai dan jenius menghafal rumus-rumus, ber- IPtinggi, memenangi kompetisi atau olimpiade suatumata pelajaran, bisa menciptakan robot yang bisa di-suruh-suruh sekehendak hati. Tapi sungguh ironiskarena sebagian besar anak didik kita buta realitaspenindasan, buta realitas masyarakat, buta kemiskinan,buta pembodohan dan memiliki jiwa yang keringkerontang terhadap realitas, serta tidak memilikiempati sosial yang baik.

Di samping sebagai efek langsung dari persainganglobal dan globalisasi di satu pihak, ini juga terjadikarena penguasa yang tidak memahami bahwa men-ciptakan kebijakan yang sekadar melahirkan robot dansekrup-sekrup industri adalah bahaya besar bagiproses kemanusiaan sendiri. Penindasan tetap ber-langsung, dan akan tetap demikian adanya sepanjangpendidikan diperhatikan secara demikian. Masyarakatbangsa ini, di samping akan terseret dalam aruskompetisi yang tidak akan bisa dikejarnya, juga lebih

7

Page 19: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidikan Penguasa

jelek karena tidak mampu berkreasi di dalam situasirealitas yang tidak menguntungkan bagi rakyat kecil.

Paulo Freire, sang kritikus pendidikan pentingabad ini, baik dalam The Politic of Education: Culture,Power and Liberation (Politik Pendidikan) dan Pedago- gyof Oppressed (Pendidikan Kaum Tertindas, LP3ES, 1985)maupun Cultural Action for Freedom (GerakanKebudayaan untuk Kemerdekaan), selalu mengkritikmodel pendidikan yang ternyata tidak mendidik.Model pendidikan yang hanya mengenalkan teori-teori belaka. Ia sangat tegas menyikapi realitas sosialyang tidak berperikemanusiaan. Ia melakukannya ti-dak hanya dengan teori-teori dan pemikiran-pemi-kiran yang sophisticated, tapi yang jauh lebih pentingadalah bagaimana mengaplikasikan rasa kemanusiaantersebut dalam bahasa sederhana dan tindakankonkret.

Freire banyak mengkritik pengalaman pendidikandi negara dunia ketiga. Ia berkaca dari pengalaman diAmerika Latin, terutama di Chili dan Brazil. Praktikpendidikan di sebagian kawasan negara sedangberkembang sering kali menjebak masyarakat padasebuah kepatuhan yang terjadi secara alamiah terhadap"ideologi" baru, sehingga tidak ada lagi semangatpembebasan manusia dari upaya pembodohanstruktural yang dilakukan oleh penguasa melaluiproses hegemoni dengan kurikulum yang distandari-sasi serta kebijakan yang sentralistis. Penerapan sistemdan metode yang tidak menghargai anak didiksebagai sosok yang memiliki eksistensi, semakinmemperkuat dan memberikan keleluasaan kepadapenguasa dalam menghegemoni dan mendominasi.Dan ini kata-kata pedas Freire: pendidikan adalahproses dehumanisasi yang dilakukan oleh penguasademi kekuasaannya.

Proses pendidikan selama ini sering tidak mem-berikan ruang kebebasan kepada anak didik untukmengekspresikan segala bentuk potensi yang dimi-likinya. Seharusnya, seperti kata Paul Goodman, me-lalui kebebasan ekspresinya anak-anak akan meng-

Page 20: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

penda hul ua n

hadapi sendiri model atau semacam panutan di dalamdan di luar sekolah, tanpa ada model tertentu yangdisodorkan kepada mereka dengan label "baik" atau"buruk". Mereka mesti diberi kebebasan untuk bergauldengan siapa saja yang ada di sekitarnya. Barukemudian, anak-anak dapat memilih panutan serta"ego ideal" masing-masing secara spontan. Tugaspendidik di sekolah hanya sebatas mengarahkan polapikir terdidik agar mereka mampu membedakan ber-bagai macam model yang ada di sekitarnya, agar tidakterjebak pada kelatahan dalam mengikuti segalasesuatu yang datang dari luar yang sedang menggejaladewasa ini.

Persoalan besar lain di Indonesia, sebagaimanaakan menyita cukup banyak pembahasan dalam bukuini di bab-bab selanjutnya, adalah kaitan antara ideo-logi dan kekuasaan, termasuk agama dominan, dalammengintervensi kebijakan pendidikan yang akan di-

9terapkan di alam yang plural. Di Indonesia, itu terjadilantaran mentalitas penguasa yang culas, mau menangsendiri dan sangat sedikit sekali tingkat toleransinya.Kasus perdebatan yang tidak kompromistis dalamperumusan RUU Sisdiknas tahun 2003 itu adalahcontoh nyata. Pendidikan agama dijadikan,sebagaimana perkiraan banyak orang, bukan semata-mata seperti tujuannya untuk menjadikan anak ber-budi pekerti luhur dan beragama dengan baik, mela-inkan melalui pendidikan agama ditanamkan keben-cian untuk menghadapi pemeluk agama lain. Diajarkankepicikan yang sempit, bahkan (sebagaimana per-kiraan banyak orang) pendidikan agama diusulkanuntuk menampung hal-ihwal yang berkaitan denganuang. Sekali lagi, uang.

Agama dipolitisasi begitu rupa. Diteriakkan sim-bol-simbolnya, tapi dimatikan substansinya. Disebar-kan aspek-aspek formalnya, tapi dihancurkan maknasejatinya. Keberagamaan tidak diajarkan dalam sua-sana keragaman, tapi keseragaman.

Page 21: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidikan Penguasa

10

Kendati aksi unjuk rasa menolak RancanganUndang-Undang Sistem Pendidikan Nasional marak diberbagai daerah, penguasa berlagak pilon. Jutaanorang yang mengatasnamakan Masyarakat PrihatinPendidikan Nasional (MPPN) menggelar menilai pem-bahasan RUU Sisdiknas tidak mencerminkan pencer-dasan bangsa. Kata mereka, pendidikan di Indonesiamasih ditindas ketika terbukti berbagai macam kebi-jakan yang diambil pemerintah ternyata hanya ber-pihak kepada kepentingan para pemilik modal asingdan sangat tidak menguntungkan rakyat. Merekaberpendapat, kurikulum pendidikan beserta produkhukum yang diterapkan masih saja mengikuti ke-pentingan kaum pemilik modal asing yang akhirnyajustru membungkam kekritisan dan kreativitas ma-syarakat.

UU Sisdiknas justru merancukan pemahaman danpengamalan Pancasila yang bulat dan utuh sebagaiideologi nasional dan dasar falsafah negara. UUSisdiknas memberi kekuasaan terlalu besar kepadapenguasa dalam menyelenggarakan pendidikan danpengajaran, sehingga mematikan partisipasi masya-rakat. Kalau UU Sisdiknas ditujukan kepada penye-lenggaraan pendidikan secara demokratis, berkeadilansosial, menjunjung hak asasi manusia (HAM), nilaikeagamaan nilai kultur dan kemajemukan, di pihaklain terdapat pemaksaan secara mutlak dengan ber-lakunya ketentuan pendidikan agama.

UU Sisdiknas, selain diskriminatif, juga dinilaisebagai bentuk penjajahan ide’ologis. Menjadikan ke-

Page 22: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

penda hul ua n

pentingan dan pandangan agama tertentu sebagai UUyang mewajibkan semua warga negara untuk mema-tuhinya adalah pengingkaran terhadap realitas ke-majemukan yang dilindungi Negara Kesatuan Repub-lik Indonesia (NKRI). UU ini membuka peluang yangbesar untuk membuat kotak-kotak agama dan ber-potensi melahirkan konflik horizontal. UU Sisdiknaslahir dari adanya bentuk campur tangan pemerintah

11yang terlampau jauh ke dalam kehidupan para warga.Etatisme seperti ini bertentangan dengan semangatreformasi. UU Sisdiknas bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM), yang memberikankebebasan kepada setiap manusia untuk beragama.Kebebasan ini dilecehkan dengan ketentuan yang ber-sifat mewajibkan dari negara bagi para peserta didikuntuk mengikuti pendidikan agama di sekolah. Pada-hal, peran negara terhadap agama melalui instrumenregulatif, seharusnya lebih terfokus pada jaminan ne-gara terhadap kebebasan warga negaranya untuk me-meluk agamanya dan beribadah demi penumbuhanimannya secara bebas. Bukan sebaliknya, negara me-ngatur iman warga negaranya melalui lembaga pen-didikan.

Jauh sebelum perumusan UU Sisdiknas ini, RomoWahono (2001: 85) memaparkan, bahwa kesalahanpendidikan kita utamanya terletak pada kesalahanparadigmanya. Kesalahan ini mula-mula merupakanwarisan kolonial Belanda. Di masa Orde Baru,kesalahan ini dipelihara dan semakin mendekatkannya

Page 23: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

13

pada ide kapitalisme liberal. Kemudian, dengansentuhan fasisme kolonial Jepang, sistem pendidikanmenjadi beraroma liberalis-feodalis. Parahnya, para-digma liberalis-feodalis ini dipayungi oleh paradigma"kompetisi" yang diajarkan oleh paradigma global.

Pendidikan sudah kehilangan esensinya sebagailahan untuk mendidik. Lembaga pendidikan hanyadijadikan sebagai wahana untuk pengajaran semata,

Politik Pendidikan Penguasa

Page 24: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

penda hul ua n

dan tidak untuk pendidikan. Dengan pengajaran ansich, ketika siswa sudah memahami mata pelajaranyang diajarkan, sekolah merasa tugasnya sudah usai.Perkara anak didik tidak memiliki moralitas, dankering hati nuraninya, tampaknya bukan urusan seko-lah lagi.

Itulah yang penulis maksud dengan carut marutkebijakan pendidikan di Indonesia. Di satu sisi, Pro-penas 1999-2004 menekankan akan pentingnya desen-tralisasi alias otonomi pendidikan. Di sisi lain, UUSisdiknas dibuat dalam semangat yang serba sentra-listis. Di satu sisi, dirumuskan pentingnya partisipasimasyarakat dalam suasana desentralistis. Di sisi lain,pelaksanaan kebijakan Ujian Akhir Nasional (UAN)merupakan bentuk evaluasi belajar siswa yang sung-guh-sungguh sentralistis.

Di satu sisi, arah kebijakan pembangunan nasio-nal secara umum ke depan adalah menyukseskan ter-laksananya otonomi daerah di bidang pendidikan dankebudayaan, dengan prioritas melanjutkan peningkat-an perluasan pemerataan kesempatan mendapatkanpendidikan, peningkatan mutu, efisiensi dan efektivi-tas pengelolaan pendidikan dan kebudayaan. Tapi disisi lain, penguasa lebih mementingkan target daripadaproses. Ada kecenderungan yang amat politis didalamnya. Di satu sisi, ada upaya untuk meningkatkankemampuan akademik dan profesional sertameningkatkan kesejahteraan tenaga pendidik sehinggamampu melaksanakan tugasnya secara optimal.

13

Page 25: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidikan Penguasa

14

Di sisi lain, 20% anggaran pendidikan adalah justdream.

Di satu sisi, ada upaya meningkatkan peran sertamasyarakat dalam melaksanakan demokratisasi pen-didikan dan pola tunggal dalam pembinaan sekolahbaik negeri maupun swasta; sekolah-sekolah swastasebagai mitra pemerintah akan lebih diberdayakandalam penyelenggaraan pendidikan dasar, antara laindengan memberikan bantuan dalam peningkatan pe-nyelenggaraan sekolah, peningkatan kesejahteraanguru dan biaya operasional pendidikan, dan sebagai-nya. Di sisi lain, privatisasi sekolah menjadi peman-dangan yang sudah sangat biasa; siapa kaya dia bisasekolah favorit, dan siapa miskin bersekolahlah digedung yang akan ambruk. Apa pun bisa dibeli, asal-kan dengan uang.

Di satu sisi, dikenalkan wacana efisiensi danefektivitas pengelolaan pendidikan dan otonomi pe-ngelolaan pendidikan baik pusat maupun daerah,seperti pola pengelolaan School Based Management(SBM) dan Community Based Education (CBE) dalamrangka pemberdayaan sekolah dan partisipasi masya-rakat, di mana salah satu intinya adalah mengembali-kan sekolah kepada komunitasnya. Tapi di sisi lain,mata penguasa masih terlalu jauh menerawang kebi-jakan-kebijakan pendidikan yang bisa dijadikan"proyek uang", dan tangan-tangan penguasa masihterlalu panjang menjangkau kesempatan untuk menja-dikan pendidikan sebagai "proyek ideologis".

Page 26: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

PendahuluanSiapa korban di antara kedua proyek busuk (kata

ini tidak perlu diberi tanda petik untuk menegaskankejadian yang sesungguhnya) tersebut? Rakyat. Rakyattetaplah bodoh, diombang-ambingkan kebijakanpendidikan yang selalu berganti bergantung selerapenguasa.

Sayangnya, selera penguasa bukanlah selera yangberpihak pada rakyat. Selera penguasa seringbergantung pada dukungan pemilik modal, alias orangkaya. Sebagai pemeran utama institusi negara,penguasa terlalu sering canggung kalau diminta untukmelindungi rakyat kecil. Sering tanpa pertimbanganmatang, rakyat yang lemah diprovokasi untuk ber-kompetisi dengan rakyat yang kuat. Hasilnya sudahdiketahui, rakyat yang lemah dijadikan bulan-bulananoleh kebijakan penguasa dan kekuatan modal.

Isi buku ini sebagian besar akan merenungkanhal-hal yang dikemukakan di atas. Kita akan memi-kirkan kembali, mengapa pendidikan di Indonesiabukan saja carut-marut dalam berbagai segi, tetapilebih dalam pendidikan kita tidak melahirkan orang-orang, seperti tercermin dalam perilaku sebagian besarpenguasa, yang berhati nurani, beretika, dan berpihakkepada rakyat lemah.

15

Page 27: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Bab 2POLITIK PENDIDIKAN PENGUASA

A. Desentralisasi Setengah Hatii era Orde Baru, diatur hubungan antara pusatdan daerah dalam sebuah UU No. 5/1974 tentang

Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Penguasa saat itumenyatakan, untuk mengatur daerah-daerah, UU inimerupakan kebijakan tentang otonomi daerah. Semuaorang merasakan bahwa kebijakan otonomi daerah diera Orde Baru adalah semu dan menipu. Yang adaadalah sentralisasi. n

Datangnya era otonomi ’daerah memberikansemengat baru dengan adanya UU No. 22/1999 yangdiperkuat dengan UU No. 25/1999. Yang pertamamengatur pemerintahan daerah; yang kedua mengaturtentang perimbangan keuangan pusat dan daerah.Sentralisasi semasa era Orde Baru telah dirombakcukup revolusioner dengan dua kebijakan tersebut.Maka, lepas dari penilaian baik buruk kebijakantersebut, ada keinginan untuk mendesentralisasikan

17kewenangan pusat ke daerah, termasuk dalam hal iniadalah kewenangan bidang pendidikan.

Melalui kebijakan ini, secara institusional terda-pat pengurangan dan juga perampingan institusi pe-

D

Page 28: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pen didik an Pen gu asa

19

merintahan di tingkat pusat, redistribusi pegawainegeri ke daerah-daerah dan pengembangan konsepperimbangan keuangan pusat-daerah. Di sini, otonomidaerah dan desentralisasi juga menyentuh lembaga-lembaga yang selama ini menjadi pengelola pen-didikan. Terdapat konsep penggabungan antaraKantor Depdiknas dengan Dinas P dan K Daerahmenjadi Dinas (baru) di provinsi. Di sisi lain, terdapatpenggabungan antara pihak Kandep dengan Dinasmenjadi Dinas baru di Kabupaten/Kota. Perbincangantentang anggaran pun hangat.

Sebagaimana kritik banyak pakar, kebijakan oto-nomi daerah melalui paket UU No. 22/1999 dan UUNo. 25/1999 ini tidak memiliki perencanaan yang jelasdan terarah. Kebijakan ini lebih bisa dilihat sebagaibuah politik daripada keinginan untuk mengatur ad-ministrasi pemerintahan yang demokratis. Daerahtidak siap dalam berbagai segi (kecuali sekadar se-mangatnya) dengan gelombang otonomi daerah ini.Termasuk dalam hal ini pada sektor pendidikannya.

Akibatnya, dalam perjalanannya pun terseok-seok. Muncul raja-raja kecil di daerah. Korupsi yangsemula berada di lingkaran kekuasaan di pusat, ber-alih secara brutal ke daerah-daerah. Di lain pihak,masih bisa kita saksikan sentralisasi kebijakan, atau

Page 29: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

politik Pendidikan Penguasa

tepatnya resentralisasi yang kurang disadari. Maka,dengan memperhatikan kewenangan pemerintah(pusat) di bidang pendidikan yang bersifat pengaturandan penetapan sejumlah standarisasi pengelolaan, baikkurikulum, kompetensi siswa, penilaian hasil belajarmaupun lain-lain, dapat dibayangkan betapa banyaktugas yang tiba-tiba saja harus diemban.

Penulis menyebutnya sebagai desentralisasi se-tengah hati, ketika di lapangan masih terjadi tarik-menarik antara kewenangan pusat dan daerah. Kitamerasakan adanya ketidakpuasan pusat dalam me-nyerahkan kewenangannya kepada daerah, juga kitarasakan adanya ketidaksiapan secara kelembagaanmaupun pelaksanaan kebijakan di daerah. Beberapakasus menunjukkan semua serba kacau dan carut-marut.

Cukup beralasan ketika Ki Supriyoko dalam tu-lisannya (Suara Pembaruan, 1 Mei 2003) mempertanya-kan, apakah dengan desentralisasi ini pendidikan kitaakan lebih baik. Menurutnya, pelaksanaan Sesentrali-sasi pendidikan sampai sekarang ini masih menimbul-kan tanda tanya besar (question mark). Apakah kinerjapendidikan nasional kita di masa mendatang akanlebih meningkat? Lebih baik dan lebih meningkat darimana? Tentunya lebih baik dan meningkat darisebelum desentralisasi pendidikan itu sendiri. Ia me-rasa perlu meragukan desentralisasi pendidikan karenabeberapa hal. Pertama, sistem desentralisasi pendidikanmerupakan barang baru dalam dunia pendidik-

19

Page 30: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidikan Penguasa

20

an nasional, yang tentu saja di Indonesia sendiri belumpernah teruji kehebatannya. Para praktisi pendidikanseperti guru, kepala sekolah, pengurus yayasan, danpengambil keputusan baik di tingkat pusat maupundaerah belum familiar terhadap sistem yang baru ini.Kedua, banyaknya daerah di Indonesia yang tidakmemiliki sumber daya alam, keuangan dan jugamanusia yang memadai untuk menjalankan sistemdesentralisasi. Ketiga, banyaknya para pemimpin dae-rah yang tidak memiliki kepedulian yang memadaiterhadap pendidikan itu sendiri.

Betapapun demikian, desentralisasi adalah caraterbaik untuk mengembangkan demokratisasi dalambidang pendidikan. Berkaitan dengan desentralisasipendidikan ini, ada hal-hal yang perlu diperhatikansecara serius, sebagaimana kata Suharta (2000). Misal-nya, dengan memperhatikan masalah, keadaan danarah kebijakan pembangunan nasional, maka secaraumum arah kebijakan pendidikan dan kebudayaan kemasa depan adalah menyukseskan terlaksananyaotonomi daerah di bidang pendidikan dan kebuda-yaan, dengan prioritas melanjutkan peningkatan per-luasan pemerataan kesempatan mendapatkan pendi-dikan, peningkatan mutu, efisiensi dan efektivitas pe-ngelolaan pendidikan dan kebudayaan.

Dalam hal ini, dengan adanya kebijakan perluas-an dan pemerataan kesempatan memperoleh pendi-dikan, maka yang menjadi prioritas utama adalahpenuntasan pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun

Page 31: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

politik Pendidikan Penguasa

dan demokratisasi pendidikan. Apa sebabnya? Di eraglobalisasi ini, peningkatan mutu pendidikan ber-orientasi dari wawasan lokal-nasional ke mutu pen-didikan yang bertaraf internasional, sehingga sumberdaya manusia (SDM) tidak hanya mampu bersaingsecara nasional tetapi internasional. Oleh karena itu,perbaikan kurikulum terus dilaksanakan melaluidiversifikasi dalam memberikan pelayanan terhadapkeberagaman peserta didik.

Di sisi lain, perlu adanya peningkatan kemampu-an akademik dan profesional serta peningkatan kese-jehteraan tenaga pendidik sehingga mampu melaksa-nakan tugasnya secara optimal. Jangan lupa pula un-tuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam me-laksanakan demokratisasi pendidikan dan pola tung-gal dalam pembinaan sekolah baik negeri maupunswasta. Sekolah-sekolah swasta, sebagai mitra peme-rintah, akan lebih diberdayakan dalam penyelengga-raan pendidikan dasar, antara lain dengan memberi-kan bantuan dalam peningkatan penyelenggaraansekolah, peningkatan kesejahteraan guru dan biayaoperasional pendidikan, dan sebagainya.

Hapuskan dikotomi antara sekolah favorit dantidak favorit! Itu semua akan membuka peluang ko-mersialisasi pendidikan, yang bertentangan denganmakna pendidikan itu sendiri.

Banyak daerah tidak memiliki dana yang cukupuntuk membiayai kelangsungan pelaksanaan programpendidikan di daerahnya, dan masih banyak berharap

21subsidi dari pusat. Apalagi, tidak sedikit mentalitaspara pejabat di daerah yang tidak kalah brutal dalamhal korupsi dengan pejabat di pusat. Bahkan lebihganas.

Kita tidak bisa membayangkan bahwa masalahdesentralisasi kewenangan ke daerah ini secara insti-tusional belum tuntas. Secara perencanaan masih be-lum terarah. Masih banyak kerancuan dan tarik-me-narik antara kekuatan pusat dan daerah (yang biasa-

Page 32: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidikan Penguasa

23

nya selalu dimenangkan pemerintah pusat) di satusisi. Di sisi lain, mentalitas pengelola pendidikan didaerah juga masih dipertanyakan ketika terdapatbanyak kerusakan dalam konteks moral, seperti ko-rupsi dan memperlakukan pendidikan sebagaimanahalnya "proyek" untuk keuntungan pribadi dan golo-ngannya.

Itulah sebab, mengapa jika tidak ada komitmenyang lebih luas dan mendasar untuk mengubah polapenyelenggaraan pendidikan kita di daerah, juga dipusat, dan menyentuhnya dalam konteks moral, de-sentralisasi kita hanya setengah hati saja. Dan kitapasti mafhum apa yang bisa kita lakukan dengansegala sesuatu yang setengah hati!

B. Desentralisasi KurikulumMenurut para ahli pendidikan, kurikulum lebih

dari sekadar text-book, lebih dari subject-matter, lebihdari rangkaian pelajaran, bahkan lebih dari sekadar

pelajaran kursus. Kata Brown, kurikulum merupakansituasi kelompok yang tersedia bagi guru dan peng-urus sekolah (administrator) untuk membuat tingkahlaku yang berubah dalam arus yang tidak putus-pu-tusnya dari anak-anak dan pemuda melalui pintusekolah. Kurikulum berarti situasi dan kondisi yangada dalam proses belajar untuk mengubah sikap anak.Dari definisi ini berarti bahwa situasi itu diarahkanatau dipimpin pada pencapaian tujuan yang telahditentukan. Termasuk di dalam kurikulum adalah

Page 33: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

subject-matter, metode, organisasi sekolah dan orga-nisasi kelas, serta pengukuran proses belajar.

Kata Brown lagi, ada tiga prinsip sosiologisdalam memandang kurikulum secara keseluruhan,yakni:1. Perubahan kurikulum bersifat gradual,

mencerminkan nilai-nilai dasar-kultural darisebuah masyarakat, dan pada saat yang samamenunjukkan pekerjaan yang efektif dalampengarahan nilai-nilai yang paling tinggi.

2. Kurikulum di sekolah berfungsi dalam hubungandengan orang dewasa, dan serempak dengan itu,disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa.

3. Kurikulum pasti terus menerus berubah menujusuatu bentuk yang efektif dari tujuan sosial yangtelah ditentukan.

Secara etimologis, kurikulum merupakan terje-mahan dari kata curriculum dalam bahasa Inggris,

23yang berarti rencana pelajaran (Echols, 1984). Cur-riculum berasal dari bahasa latin currere yang berartiberlari cepat, maju dengan cepat, merambat, tergesa-gesa, menjelajahi, menjalani dan berusaha untuk(Hasibuan, 1979). Currere sendiri berasal dari katacursus yang lazim diindonesiakan menjadi "kursus".Jika dikaitkan dengan kata lain, misalnya vitae, bisaberarti riwayat atau perjalanan. Dengan demikian,curriculum vitae berarti riwayat hidup (Echols, 1984).

Secara semantik, kurikulum senantiasa terkaitdengan kegiatan pendidikan. Kurikulum sebagai jem-batan untuk mendapatkan ijasah. Pengertian kuriku-lum demikian ini dikemukakan oleh Good (1959: 113)

Politik Pen didik an Pen gu asa

Page 34: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidikan Penguasa

25

melalui bukunya, Dictionary ofEducation. Ia memberikanpengertian kurikulum sebagai "a systematic group ofcourseor sequence ofsubjects required for graduation or certification in amajorfield ofstudy" (sekumpulan materi pelajaran yangdihajatkan untuk lulus atau guna mendapatkan ijasahdalam suatu bidang studi tertentu). Berdasarkanpengertian tersebut, sangatlah jelas bahwa matapelajaran yang dipelajari hanyalah sekadar antara ataujembatan guna mendapatkan sertifikat atau suatuijasah. Mula-mula ijasah dimaksudkan sekadar sebagaitanda atau simbol, bahwa seseorang telah mempelajaribidang tertentu. Tetapi setelah berada di tingkataplikasi atau penerapan, ternyata ijasah atau sertifikatitulah yang ternyata harus dikejar. Meskipunpengertian ini tidak lagi dianut oleh pendidikan kitasekarang, tapi dalam realitasnya, banyak pembelajaryang mementingkan mengejar ijasah ter-

Page 35: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidika n Peng ua sa

sebut dan menjadikan belajar semata-mata sebagaisebuah jembatan untuk mendapatkan ijasah. Tidaklahmengherankan jika sampai muncul ijasah palsu atauaspal (asli tapi palsu).

Kurikulum harus bersifat fleksibel dan elastis,sehingga terbuka kesempatan untuk memberikan ba-han pelajaran yang penting dan perlu bagi anak didikdi tempat tertentu. Elastisitas kurikulum ini tentu sajadisesuaikan dengan perubahan sosial yang terjadi.Tujuan spesifik dari kurikulum adalah menumbuhkanrasa toleransi, kesanggupan untuk berpikir sederhana,dan mengikis prasangka dalam memberikan per-timbangan nilai (value judgments). Juga, untuk mem-bantu mencapai kematangan pribadi anak-anak;membantu murid-murid supaya berhasil menyesuai-kan diri dengan masyarakat sekolahnya; membantuanak-anak didik agar menyadari kepentingan masya-rakat dan menghayati masyarakatnya sendiri; me-ngembangkan kemampuan intelektual anak didik se-hingga bisa memahami kompleksitas lingkungan sosialdan peradabannya; serta menanamkan nilai, sikap, dankemampuan untuk belajar.

Selama penguasa Orde Baru, hingga kini penuliskira, kurikulum pendidikan yang ada di Indonesialebih banyak didominasi oleh keputusan dari atas kebawah (top doum). Kita lihat, sikap penguasa yang inginmenanamkan ideologinya melalui institusi pendidikandengan dalih stabilitas keamanan. Inilah yang kitasebui-b^^^;^tr^E^^^|ididikan telahmelahirkan berbagai tindakan yang tidak demokratis.Karena itulah, pengembangan dan perubahan kuriku-

Page 36: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidikan Penguasa

26

lum yang sudah tidak aspiratif dan tidak akomodatifsangat perlu dewasa ini.

Wacana desentralisasi kurikulum bukan hal baru,dan sudah lama diperdebatkan sebagai respons ataskegagalan sentralisasi kurikulum. Ini merupakanrealisasi otonomi pendidikan di Indonesia. Pengem-bangan kurikulum berdasarkan semangat desentrali-sasi ini diharapkan akan semakin menyegarkan angindemokrasi negara ini.

Mengutip contoh Ivan A. Hadar dalam tulisan-nya, "Pendidikan untuk Perdamaian" (Kompas, 26/01/04), perubahan kurikulum selain memberi pene-kanan pada penguatan daya nalar dan analisis, ideal-nya mempromosikan toleransi, demokrasi, dan peng-hargaan terhadap HAM. Bagi Indonesia yang banyakdilanda konflik, pemuatan nilai-nilai itu dalam kuri-kulum pendidikan bagi generasi muda adalah sebuahkebutuhan dasar. Maksudnya adalah kurikulum ber-basis perdamaian.

Masih menurut Hadar, sebenarnya urgensi pen-didikan perdamaian sudah lama disepakati negara-negara anggota UNESCO, termasuk Indonesia. Sebuahintegrated action plan bagi pendidikan untuk perda-maian, demokrasi, dan HAM, bahkan telah dicanang-kan tahun 1974 dan diaktualisasikan kembali padatahun 1995. Isinya antara lain tuntutan bagi semuabangsa agar memasukkan pendidikan untuk perda-maian, demokrasi, dan HAM ke dalam semua jenjangsistem pendidikan sehingga, kata Hadar dalamartikelnya itu, rasanya pantas bila kita kini menuntut

Page 37: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

politik Pendidikan Penguasa

penguasa melakukan apa yang telah disepakatinya.Memang mulai tahun 2004, semua institusi pendi-

dikan formal di Indonesia harus sudah menerapkanKurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) untuk meng-gantikan Kurikulum 1994 yang sudah usang. Dasarpemikiran yang dipakai untuk mengganti kurikulumadalah untuk menyesuaikan dengan perubahan dalamkehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sertaperkembangan ilmu dan teknologi agar lembagapendidikan mampu menyiapkan peserta didik supayamampu bersaing menghadapi tantangan hidup yangkompleks. Maksudnya, kompetensi dikembangkanuntuk memberikan keterampilan dan keahlian ber-tahan hidup dalam menghadapi berbagai perubahan.

Memang, kita telah mengalami beberapa kalipergantian kurikulum. Tahun 1968 diganti Kurikulum1975, lalu Kurikulum CBSA, dan digantikan dleh Kuri-kulum 1994 serta akan diganti lagi dengan KBK.Namun sayangnya, dari pergantian tersebut, tidakdijelaskan evaluasi terhadap tiap-tiap kurikulum itu,sehingga kita melihatnya sebagai suatu kebijakan yangterasa nuansa politisnya.

Betapapun demikian, kita harus meletakkansemangat dasarnya, bahwa desentralisasi kurikulummemiliki makna signifikan bagi pengembangandemokrasi. Hanya saja, arah perencanaan perubahan

Page 38: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pen didik an Pen gu asa

kurikulum itu harus ditata sebaik mungkin untukmenghindari agar kebijakan ini tidak hanya merupa-kan selera penguasa yang akan berubah manakala iasudah turun takhta. Jadi, perubahan ini harus me-nyentuh aspek jangka panjangnya.

C. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)Menurut J. Drost, pakar pendidikan terkemuka,

dalam tulisannya "Kurikulum Berbasis Kompetensi"(Kompas, 26/01/04), definisi atau perumusan KBK iniamat membingungkan. Kompetensi siapa. Kompetensiguru atau kompetensi murid? Kata Drost, masalah inisudah amat sering dibicarakan dan diperdebatkandalam berbagai macam pertemuan dan dialog. Puntelah terbit berbagai karangan mengenai masalah ini dibanyak harian. Namun, dalam semua pembicaraanmaupun karangan, tidak pernah dikemukakan masa-lah dasar bagaimana para murid memperoleh kompe-tensi. Masalah dasar atau syarat dasar adalah kemam-puan intelektual dari seorang pelajar.

Drost mencontohkan bahwa pembagian anak-anak pintar dan anak biasa berlaku di luar dan dalamnegeri. Di Jerman, ada gymnasium untuk anak pintardan realschule untuk anak biasa. Di Belanda, ada voo-bereidend wetenschappelijk onderwijs (VWO) untuk anak-anak pintar dan hoter algemeen vormend onderwijs(HAVO) untuk anak-anak biasa. Di Inggris, Singapura,dan Malaysia, ada high school tujuh tahun untuk anakpintar, dan high school lima tahun untuk anak biasa.

Di Indonesia, pada akhir tahun ajaran 1996/1997 ada

Page 39: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidika n Peng ua sa

21 SMU unggul di Jakarta. Sekolah ini menerimapelajar yang memiliki NEM SLTP minimal 45. Hasilebtanas adalah NEM rata-rata IPA 7,0; NEM rata- rataIPS 7,90. Hasil Ebtanas SMU biasa adalah NEM rata-rata IPA 5,12, NEM rata-rata IPS 5,60. Maka kataDrost, harus diakui, tidaklah mungkin mencapaikompetensi yang tinggi apabila dalam satu kelas parapengajar harus mengajar murid yang lemah kemam-puannya, murid biasa, dan murid pintar secara ber-sama.

Memang terdapat berbagai hambatan dalampenerapan kurikulum 2004 ini, baik secara strukturalmaupun kultural. Pelaksanaan KBK ini banyak meng-andalkan kreativitas dan profesionalisme guru untukmenyediakan silabus, termasuk mengolah sumberbelajar agar penjabaran materi sesuai dengan penca-paian kompetensi yang telah ditetapkan. Sudah siap-kah gurunya? Sudah siapkah anak didiknya? Ini yangbelum pernah dijawab dalam setiap penguasa mem-buat perubahan kebijakan, termasuk perubahankurikulum ini.

Guru di Indonesia, sebagaimana kita rasakan,memiliki kemampuan SDM yang rendah dalam meng-apresiasi perubahan. Jadi, dalam pelaksanaan KBKnanti, masalahnya akan terletak pada bagaimana gurumengubah pola mengajar yang sesuai dengan KBK. Disini guru adalah kunci utama dari keberhasilan suatukurikulum.

29Seorang guru yang baik bukan saja seorang

pengajar, melainkan juga seorang pendidik. Pendidikhendaknya menanamkan motivasi dan keyakinankepada siswanya untuk menuntut ilmu dan mengem-

Page 40: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pen didik an Pen gu asa

31

bangkan potensi pribadinya sebagai manusia. Tapiguru bukan satu-satunya orang yang harus memotiva-si siswanya sedemikian itu. Ada orang tua siswa, me-dia, keluarga sampai penguasa.

Mengikuti arahan Drost (2004), terdapat beberapacara untuk membantu mendorong cara belajar danmengajar menjadi lebih baik. Pertama, apabila suasanasekolah tertib, tidaklah sulit menentukan dengan tepatdan cepat tujuan akademis terbatas untuk tiap-tiapkelas. Cara yang biasanya dipakai adalah prapelajaran.Pengajar menyiapkan para pelajar dengan baik untukkegiatan mereka sendiri, yaitu belajar. Hanya dengancara demikian dapat dihasilkan proses belajar yangbaik dan pembentukan kebiasaan- kebiasaan yangkuat.

Kedua, tujuan belajar harus disesuaikan denganpara pelajar. Mereka mampu belajar banyak asal tidakdihujani berbagai bahan pada waktu yang sama. Jadi,perhatian akan cakupan dan urutan menjadi amatpenting sesuai dengan kemampuan setiap pelajar. Ke-tiga, asas giat diri dari pelajar disalurkan lewat ulanganharian, mingguan, bulanan, dan tahunan. Hal itudimaksudkan untuk mendorong, membina, dan me-lestarikan usaha pelajar menjadi pandai. Keempat, tidakmungkin mencapai tujuan tanpa berkanjang. Begitupula mustahil berhasil bila tidak ada motivasi.

Selain itu, perlu diperhatikan, waktu belajar palinglama dua jam. Sesudah itu harus beristirahat. Perlujuga adanya keanekaragaman dalam kegiatan diruang kelas.

Page 41: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidika n Peng ua sa

Pada intinya KBK memiliki semangat yang baik.KBK, sebagaimana kritik Freire pada dunia pendi-dikan yang terlampau pedagogis, diorientasikan akanmenghasilkan anak didik yang memahami realitasmasyarakatnya. Anak didik yang tidak kering hatinuraninya dan mampu berempati atas adanya penin-dasan secara fisik maupun nonfisik.

Tapi itu semua hanya bisa dicapai manakalaimplementasi KBK didukung dengan aspek-aspekyang memadai. Sebagaimana otonomi daerah yangbertujuan baik tapi terlaksana secara serampangan,KBK yang bersemangat mendidik anak didik menge-nal realitas ini akan terlaksana serampangan jika pe-ngelola pendidikan hanya berpikir mengenai target-target formal atau sekadar laporan tertulis. Sebagai-mana dalam penerapan otonomi daerah, masyarakatdi daerah tetap menderita kemiskinan karena pejabatdaerahnya yang bermental korup, dalam penerapanKBK ini nanti juga dikhawatirkan demikian: Anakdidik tetap menderita di tengah semangat gembar-gembor revolusi pendidikan!

D.Manajemen Berbasis SekolahSelain wacana KBK, di era reformasi ini mencuat

pula wacana manajemen berbasis sekolah sebagai

31manajemen pendidikan di era otonomi daerah.Berbagai kebijakan dan program pendidikan di eraotonomi daerah ini adalah dalam rangka mendukungpelaksanaan prioritas pembangunan nasional yangkeempat, yaitu membangun kesejahteraan rakyat,meningkatkan kualitas kehidupan beragama, danketahanan budaya.

Page 42: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

33

Di era otonomi daerah dan desentralisasi, duniapendidikan mengalami perubahan paradigma. Padaparadigma yang lalu di masa Orde Baru, semua serbatersentral dan terstandarisasi, sekarang masing-masing lembaga pendidikan lebih diberi kekuasaansecara otonom dalam mengelola pendidikan. Dengandemikian, tanggung jawab pemerintah daerah dalambidang pendidikan akan semakin meningkat karenapunya kewenangan mulai perumusan kebijakan, pe-rencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evalu-asinya.

Dunia pendidikan di Indonesia menghadapi tigatantangan besar. Tantangan tersebut adalah: pertama,dunia pendidikan dituntut untuk dapat memper-tahankan hasil-hasil pembangunan pendidikan yangtelah dicapai. Kedua, untuk mengantisipasi era globaldunia pendidikan dituntut untuk mempersiapkansumber daya manusia yang kompeten agar mampubersaing dalam pasar kerja global. Ketiga, sejalan de-ngan diberlakukannya otonomi daerah, perlu dila-kukan perubahan dan penyesuaian sistem pendidikannasional sehingga dapat mewujudkan proses pen-

Politik Pen didik an Pen gu asa

Page 43: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

politik Pendidikan Penguasa

didikan yang lebih demokratis, memperhatikan kebe-ragaman kebutuhan/keadaan daerah dan pesertadidik, serta mendorong peningkatan partisipasimasyarakat.

Pada saat ini, pendidikan nasional juga masihdihadapkan pada beberapa permasalahan yang me-nonjol. Permasalahan tersebut adalah masih rendah-nya pemerataan memperoleh pendidikan; masih ren-dahnya kualitas dan relevansi pendidikan; dan masihlemahnya manajemen pendidikan, di samping belumterwujudnya kemandirian dan keunggulan ilmupengetahuan dan teknologi di kalangan akademisi.

Manajemen pendidikan nasional secara kese-luruhan masih bersifat sentralistis sehingga kurangmendorong terjadinya demokratisasi dan desen-tralisasi penyelenggaraan pendidikan. Manajemenpendidikan yang sentralisasi tersebut telah menye-babkan kebijakan yang seragam yang tidak dapatmengakomodasi perbedaan keragaman/kepentingandaerah/ sekolah/ peserta-didik, mematikanpartisipasi masyarakat dalam proses pendidikan, sertamendorong terjadinya pemborosan dan kebocoranalokasi anggaran pendidikan. Sementara itu,penyebaran sumber daya manusia penelitian denganberbagai macam dan tingkatan belum sesuai dengankebutuhan dan tantangan yang dihadapi.

Dalam rangka menghadapi permasalahan-permasalahan atas dewasa ini telah diperkenalkanwacana Manejemen Berbasis Sekolah (MBS) di

33

Page 44: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pen didik an Pen gu asa

34

tengah-tengah kita. Manajemen Berbasis Sekolah(MBS) sebagai paradigma baru pengembanganpendidikan, berorientasi pada kebutuhan masyarakatyang perlu diperkenalkan, dan bisa dijadikan sebagaisuatu cara untuk menyelesaikan berbagai persoalantersebut. Konsep itu menekankan pentingnya pening-katan mutu terpadu sehingga dapat dijadikan kebija-kan strategis dalam implementasi pendidikan yangdiprakarsai sekolah dan daerah.

Menurut Mulyasa (2002), MBS dapat dijadikansalah satu rujukan dalam membuat kebijakan, strategi,dan implementasi bagi pemerintah daerah, kepalasekolah, guru dan pemerhati masalah pendidikan.Dalam bukunya Manajemen Berbasis Sekolah, Mulyasamenyatakan delapan poin penting, yakni:1. Perlunya mencermati permasalahan dunia pendi-

dikan di era otonomi daerah;2. Perlunya memperkenalkan konsep dasar

Manajemen Berbasis Sekolah;3. Perlunya memberi pemahaman tentang

manajemen komponen-komponen sekolah;4. Perlunya memaparkan tentang implementasi

manajemen berbasis sekolah;5. Perlunya membahas keefektifan, efisiensi, dan

produktivitas MBS;6. Perlunya mengulas masalah kepemimpinan dalam

MBS;7. Perlunya menguraikan koordinasi, komunikasi,

Page 45: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidika n Peng ua sa

dan supervisi dalam MBS;8. Perlunya menyoroti tentang dana pendidikan

dalam konteks MBS.

Diketahui bahwa pengelolaan pendidikandengan MBS adalah suatu konsep yang menawarkanotonomi pada sekolah untuk menentukan kebijakandalam meningkatkan mutu, efisiensi, dan pemerataanpendidikan, sehingga dapat mengakomodasi keingi-nan masyarakat setempat, serta menjalin kerja samayang erat antara sekolah, masyarakat, dan pemerin-tah.

Kewenangan yang bertumpu pada sekolahmerupakan inti MBS. Beberapa keuntungan dalamkonsep MBS antara lain:1. Kebijaksanaan dan kewenangan sekolah

membawa pengaruh langsung kepada pesertadidik, orangtua dan guru;

2. Bertujuan bagaimana memanfaatkan sumber dayalokal;

3. Efektif dalam melakukan pembinaan peserta didikseperti kehadiran, hasil belajar, tingkat pengula-ngan, tingkat putus sekolah, moral guru dan iklimsekolah;

4. Adanya perhatian bersama untuk mengambilkeputusan, memberdayakan guru, manajemensekolah, rancang ulang sekolah dan perubahanperencanaan (Mulyasa, 2002: 25)

35Dalam MBS seharusnya diterapkan fungsi mana-

jemen dengan baik mulai dari perencanaan, pelak-sanaan, pengawasan dan pembinaannya. Komponensekolah yang harus dikelola dengan baik dalam MBS

Page 46: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

politik Pendidihan Penguasa

adalah kurikulum dan program pengajaran, tenagapendidikan, kesiswaan, keuangan, sarana dan pra-sarana, pengelolaan hubungan sekolah, dan masya-rakat serta manajemen pelayanan khusus pendidikan.

E Mimpi Anggaran 20% untukPendidikan

Diusirnya Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Indo-nesia dari Malaysia beberapa waktu lalu sebenarnyamerupakan aib tersendiri bagi bangsa ini. Mereka di-usir karena sebagai pekerja kasar mereka tidak ter-didik dan tidak mampu memenuhi prasyarat-pra-syarat bekerja di negeri orang dengan benar.

Mengikapi masalah itu, hanya sedikit sekali peja-bat yang mengaitkannya dengan upaya bagaimanameningkatkan pendidikan melalui peningkatan ang-garan pendidikan. Dalam laporan akhir tahun harianPikiran Rakyat tentang Anggaran Pendidikan, Edisi 22Desember 2001, dipertanyakan apakah kenaikananggaran akan meningkatkan mutu pendidikan?Pendidikan yang sangat penting bagi kesejahteraandan kemajuan sebuah bangsa adalah ihwal yang tidakdapat dipungkiri. Sayangnya, anggaran untuk pen-didikan sejak dulu sangat minim, kurang dari 10%dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

(APBN). Padahal siapa pun tahu, dana pendidikansedikit banyak akan berpengaruh pada mutu pen-didikan dan lebih jauh pada mutu SDM Indonesia.

Jika dibandingkan dengan negara ASEAN

Page 47: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

politik Pendidihan Penguasa

lainnya, anggaran pendidikan Indonesia memangberada di bawah. Bahkan jika dibandingkan denganLaos sekalipun.

Lalu anggaran pendidikan pun menjadikomoditas politik yang bisa "diperjualbelikan". Di-hembuskan wacana anggaran pendidikan sebesar20%, tapi nyatanya tak terealisasi hingga kini. KetikaPresiden RI Megawati menyatakan dalam RAPBNakan menganggarkan 24,5% untuk sektor pendidikan,pemuda, dan olahraga, atau ada kenaikan anggarankurang lebih 19% dari anggaran 2001, namun sebagianbesar publik ragu. Meskipun dari segi angka kenaikanitu cukup besar, masih banyak pihak khawatiranggaran tersebut tidak bergulir ke "tempat"seharusnya. Itu kata laporan bersangkutan, dan kitarasakan hingga kini.

Cukup geram ketika Ketua Umum PGRI, Prof.Dr. H. Mohamad Suiya, diwawancarai dalam laporanitu. Katanya, "Seharusnya, sejak Republik ini lahir,anggaran pendidikan dialokasikan dalam proporsiyang signifikan kalau menghendaki bangsa ini akanberkembang maju dan lestari, sesuai amanat yangtersirat dan tersurat dalam Mukadimah UUD 1945,yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Kita lihatperkembangan negara-negara maju yang kini telah

37menikmati kemakmurannya meskipun tidak memilikisumber daya alam. Mereka memulai pembangunan-nya melalui pendidikan, walaupun pada saat itukeadaannya melarat seperti Jepang, Korea Selatan,Thailand, Malaysia, Vietnam dan sebagainya. Merekamenganggarkan proporsi anggaran pendidikan dalamjumlah yang signifikan, sehingga pendidikan dapat

Page 48: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pen didik an Pen gu asa

39

berlangsung baik."Antara kenaikan anggaran pendidikan dengan

peningkatan mutu pendidikan, sifatnya relatif.Bergantung pada berbagai variabel. Proporsi alokasianggaran merupakan variabel yang harus diperhi-tungkan. Salah satu unsur yang paling strategis danmenentukan dalam pendidikan secara keseluruhanadalah guru dan tenaga kependidikan lainnya. Bilakenaikan anggaran tidak menyentuh mereka, khu-susnya di sisi kesejahteraan dan kualifikasinya, makapengaruhnya sangat kecil atau bahkan tidak ada.

Prioritas utama penggunaan anggaran adalahterjaminnya proses pendidikan di basis terdepan ditingkat instruksional melalui proses belajar-mengajarefektif. Keefektifan proses itu dapat terwujud apabilaguru dan tenaga kependidikan lainnya mendapatdukungan anggaran memadai untuk peningkatankesejahteraan dan profesinya serta sarana belajar yangbaik. Manajemen yang berbasis paradigma birokratisharus digeser dengan manajemen dengan paradigmapemberdayaan sekolah, dan pendidikan berbasismasyarakat.

Dari prioritas pemanfaatannya, anggaran pen-didikan harus lebih mengutamakan pendidikan dasardan menengah ketimbang pendidikan tinggi. Hal itumengingat pendidikan dasar (khususnya sekolahdasar) mempunyai fungsi dan peran yang paling fun-damental sebagai wujud upaya pengembangansumber daya manusia. Selain untuk memenuhi prog-

Page 49: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

ram wajib belajar pendidikan dasar, pendidikan dijenjang dasar secara fungsional memberikan kemam-puan dasar (antara lain baca, tulis, hitung) denganjangkauan yang lebih egaliter, yaitu meliputi seluruhwarga negara di seluruh kawasan tanah air danbersifat wajib.

Wacana 20% anggaran pendidikan, sampaitulisan ini dibuat, penulis kira masih berada dalamtahap "mimpi". Itu semua masih tergantung, lagi-lagi,pada selera penguasa. Presiden terpilih dalam pemili-han umum presiden langsung tahun 2004, jika kitaamati pun hanya mengungkapkannya dalam bentukslogan, bukan realisasi. \ .

Ini karena anggaran 20% pendidikan memilikidua dampak utama. Pertama, dengan alokasi itu akanmemotong anggaran pembangunan lainnya. Kedua,belum terbukti pejabat negeri ini yang bisa menja-lankan anggaran secara efektif karena mentalitas yangkorup!

39

Page 50: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pen didik an Pen gu a sa

42

A. Seputar Kontroversi Awal RUUSisdiknas

ancangan Undang-Undang Sistem PendidikanNasional (RUU Sisdiknas) yang melahirkan

kontroversi kini sudah diabsahkan. Merunut ke bela-kang, kontroversi itu terutama dipicu adanya masalahpendidikan agama seperti dijelaskan dalam Pasal 12ayat (1) RUU Sisdiknas. Di dalam Bab V tentangPeserta Didik, Pasal 12 ayat (1) huruf (aJ tersebutdinyatakan: "Setiap peserta didik pada satuan pendidikanmerupakan subyek (szc!) dalam proses pendidikan yang ber-hak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agamayang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yangseagama."

Di sini setidaknya muncul dua problem, yaknipertama, apakah pendidikan agama bisa diberikan olehguru yang seagama atau cukup guru yang memilikikompetensi walaupun mereka berbeda keyakinanagama; dan kedua, apakah pendidikan harus diberikan

41kepada semua jenjang dan jenis pendidikan atau apa-kah cukup di beberapa satuan pendidikan tertentusaja.

jika kita kembali ke belakang menengok sejarah,

R

BAB 3CATATAN KRITIS ATAS UU

SISDIKNAS

Page 51: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat(BPKNIP) pernah mengusulkan kepada Menteri PPdan K (Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan) yangsaat itu dijabat Mr. Suwandi (2 Oktober 1946-27 Juni1947), agar dilaksanakan pendidikan agama di seko-lah. Lantas usul itu ditanggapi positif oleh pemerintah,maka dibentuklah Panitia Penyelidik Pengajaran dibawah pimpinan Ki Hajar Dewantara. Salah satu hasildari kerja panitia tersebut adalah perludilaksanakannya pendidikan agama di sekolah. Untukitu dilakukan kerja sama antara Menteri Agama danMenteri P dan K. Kerja sama antara dua departemenini membuahkan beberapa Surat Keputusan Bersamasebagai pedoman operasional pendidikan agama disekolah.

Dalam mencermati kontroversi Pasal 12 ayat (1)RUU Sisdiknas ini, Robert B. Baowollo (Institut fuerErziehungsunssenschaft, Universitaet Hamburg) me-nyatakan bahwa sesungguhnya protes masyarakatatas draf RUU Sisdiknas, khususnya tentang pasalpendidikan agama di sekolah, kembali mengingatkanpada debat panjang pasal 28 UU Nomor 2 Tahun 1989tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnyapenjelasan Pasal 28 ayat 2. Bahkan setelah UU itudisahkan kontroversi masih terus bergulir, khususnyadalam menafsir redaksi pasal penjelasan tersebut(Sinar Harapan, 20 Maret 2003).Catatan Kritis atas UU Sisdiknas

Siapa pun yang mengikuti pembahasan RUU Sisdiknasdulu dan sekarang, mungkin akan sepakat bahwa adanyapenjelasan pasal 28 ayat 2 UU Nomor 2 Tahun 1989 ke dalamnaskah RUU Sisdiknas vang baru ini setidaknyamencerminkan dua pertentangan utama, yakni:

Page 52: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pen didik an Pen gu a sa

42

1. Pihak yang sepakat dan merasakan bahwa pendi-dikan agama sangat penting diberikan kepadasiswa, karena hal tersebut merupakan bekal moralsiswa dalam menghadapi, mengapresiasi, danmenginterpretasikan masalah-masalah dalamkehidupannya kelak. Dalam kasus kali ini, pihakyang sepakat ini diwakili oleh Majelis Ulama In-donesia (MUI) dan berbagai organisasi keagamaanIslam yang mendukung atas usulan draf tersebut.Mereka menilai bahwa justru draf itu menghargaipluralisme dan otonomi pendidikan.

2. Pihak yang menentang adanya pendidikan agamaberalasan bahwa telah terjadi pemaksaan dan jugaformalisasi keagamaan bagi anak didik.'Dan itumelanggar kebebasan beragama, hak asasi manusia(HAM), dan toleransi beragama sebagai bagian dariupaya menciptakan kehidupan vang harmonis.Masyarakat kebanyakan yang menentangmenganggap draf itu kurang memperhatikanpluralisme pendidikan (masyarakat) dan tidakmemberikan ruang kebebasan (otonomi) pendi-dikan yang sedang digalakkan.

43Dalam kasus kontroversi draf RUU Sisdiknas ini,

maka penting sekali untuk menunjukkan bahwa peranpenting guru tidak bisa diabaikan. Pendidikan agamayang diformalisasikan sedemikian rupa sama sekalitidak menjamin mengubah perilaku siswa menjadibaik secara otomatis. Selama ini kita tahu dan menya-dari sesadar-sadarnya bahwa pendidikan agama tidakmampu mengubah siswa menjadi baik.

Page 53: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Catatan Kritis atas UU Sisdiknas

RUU Sisdiknas memang penuh kontradiksi.Berkaitan dengan kontroversi pasal 12, pada Bab IIItentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan, padaPasal 5 yang menyatakan bahwa:1. Pendidikan diselenggarakan secara demokratis

dan tidak diskriminatif dengan menjunjung hakasasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, danpluralitas bangsa.

2. Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuanyang sistemik dengan sistem terbuka dan multi-makna.

3. Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu prosespembudayaan dan pemberdayaan peserta didikyang berlangsung sepanjang hayat.

4. Pendidikan diselenggarakan berdasarkan prinsipketeladanan, motivasi, dan pemberdayaan dalamproses pembelajarannya.

5. Pendidikan diselenggarakan dengan mengem-bangkan budaya membaca bagi segenap wargamasyarakat.

6 pendidikan diselenggarakan dengan memberdaya-kan semua komponen masyarakat melalui peranserta dalam penyelenggaraan dan pengendalianmutu layanan pendidikan.

Pada ayat (1) di atas sangat jelas dinyatakan,pendidikan diselenggarakan secara demokratis dantidak diskriminatif dengan menjunjung hak asasimanusia, nilai keagamaan, nilai kultural, danpluralitas bangsa. Tetapi banyak orang menaruh tafsiryang ambigu, ketika menyatakan bahwa salah satujalan untuk mencapai pintu masuk ke dalamkesadaran HAM dan pluralisme serta demokrasiadalah dengan memberikan pendidikan agama bagisiswa Di sisi lain, bagaimana kita bisa mengerti bahwatujuan pendidikan adalah "meningkatkan keimanandan ketakwaan" seperti tercantum pada pasal 20 ayat(2). Inilah yang membuat UU Sisdiknas terlalu kentalnuansa keagamaan. RUU Sisdiknas kontradiktif(icontradictio in terminis) dengan tujuan pendirian

Page 54: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidikan Penguasa

46

negara seperti yang tercantum pada Pembukaan UUD1945 yakni "mencerdaskan kehidupan bangsa".

Terdapat kecenderungan bahwa dalam Pasal 12ayat (1) RUU Sisdiknas itu, pendidikan agama cende-rung eksklusif (tertutup) dan tidak mementingkanaspek toleransi beragama dalam ragam pluralisme.Sudah menjadi kenyataan bahwa masyarakat Indo-nesia adalah masyarakat majemuk, yang sangatbanyak pengalaman konflik antaretnis, antaragamadan antar-kelas sosial. Oleh karena itu, dunia

45pendidikan seharusnya dirancang untuk menghadapiera informasi dan teknologi serta pasar bebas(pandangan kaum progresif) atau melestarikan nilai-nilai luhur bangsa, juga dalam rangka menghadapirealitas konflik antaretnis atau antaragama.

Tetapi apa pun yang terjadi, pembahasan RUUSisdiknas yang melahirkan kontroversi berkepanjang-an memang merupakan cermin dari dialog yang me-narik. Kontroversi yang dipicu masalah pendidikanagama seperti dijelaskan dalam Pasal 12 Ayat (1) RUUdi dalam Bab V tentang Peserta Didik, menyatakan,"Setiap peserta didik pada satuan pendidikan merupakan subyekdalam proses pendidikan yang berhak mendapatkan pendidikanagama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan olehpendidik yang seagama." Padahal dalam Piagam Hak AsasiManusia artikel 18 Human Right 1948, pernyataan"hak atas kemerdekaan berpikir, bernurani danberagama" meliputi: (1) kemerdekaan berganti agama,kepercayaan; (2) kemerdekaan untuk menghayatiagama dan kepercayaan dalam pengajaran, praktik,ibadah dan pelaksanaan aturan. Manakah yangmenjadi hak asasi, hak beragama atau hak mendapatpengajaran agama?

B. Protes yang MeluasDahulu, dan mungkin juga sampai sekarang,

tidak banyak kebijakan yang dikeluarkan olehpemerintah Indonesia yang mendapat respons luas. I

Page 55: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Catatan Kritis atas UU Sisdiknas

Ianya sedikit dari ratusan kebijakan yang dikeluar-kan mendapat respons dari masyarakat. Bukan karenaratusan kebijakan tersebut tidak mengandungmasalah, melainkan sebab utamanya karena prosesperumusan dan implementasinya amat tertutupJingga tidak diketahui oleh publik.

Tapi di era serba terbuka ini pemerintah mulaitidak memiliki ruang untuk menyembunyikan ber-bagai kebijakannya. Termasuk proses perumusan UUSistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas/SPN) ini.Pada mulanya publik merasa tertipu ketika prosesperumusan ini dirasakan sangat tertutup. Sehingga,sebagaimana juga terjadi pada perumusan UU Sisdik-nas di masa lalu, protes cukup meluas di kalanganmasyarakat dari berbagai golongan dan lapisan.

Pasal yang paling banyak diprotes adalah soalketerkaitan pendidikan dan agama, atau pendidikanagama. Jika kita menengok ke belakang, kita memilikiUU SPN yang juga memuat unsur pendidikan<igama. Akan tetapi, dari evaluasi secara umum atashasil- hasil yang kita dapatkan setelah anak didikdibekali dengan pendidikan agama, ternyata ditingkat mikro, narkoba masuk sekolah, tawuranpelajar menjadi pemandangan sehari-hari dan suap-menyuap terjadi sebagai jhal amat biasa. Itu adalahkritik keras yang ditujukan pada UU No. 2/1989, UUSPN yang lama. Demikian pula di tingkat makro,korupsi, kekerasan, kerusuhan, perampokan adalahkenyataan yang jauh dari nilai-nilai agama. Itulahmengapa perlu dikatakan bahwa, di samping UU SPNberlaku tidak efektif,

47

Page 56: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidik an Penguasa Catatan Kri ti s atas UU Sisdiknas

48 49

baik secara konseptual maupun aplikasinya dilapangan, ia juga telah gagal.

Lantas bagaimana dengan UU Sisdiknas saat ini?Demo menolak RUU Sisdiknas sangat semarak danhampir serempak terjadi di berbagai daerah. Darilaporan Sinar Harapan (Mei 2003) terlihat bahwasebagian kecil aksi menolak tersebut. Aksi unjuk rasamenolak RUU Sisdiknas terjadi di berbagai daerah. DiJakarta, ribuan orang mengatasnamakan MasyarakatPrihatin Pendidikan Nasional (MPPN) menggelar aksiunjuk rasa (24 Mei 2003), di depan Istana Merdeka.Pengunjuk rasa menilai pembahasan RUU Sisdiknastidak mencerminkan pencerdasan bangsa. Unjuk rasayang sama juga berlangsung di Yogyakarta,Banyumas, Medan, Jawa Timur, Jawa Tengah, Kupangdan beberapa daerah strategis lainnya. Di Yogyakarta,Front Mahasiswa Yogyakarta sektor UniversitasJanabadra menyatakan menolak pengesahan RUUSisdiknas di depan Kampus Janabadra Yogyakarta.Para pengunjuk rasa berpendapat, kurikulum pendi-dikan beserta produk hukum yang diterapkan masihsaja mengikuti kepentingan kaum pemilik modal asingyang akhirnya justru membungkam kekritisan dankekreativitasan massa. Di Banyumas, MasyarakatPeduli Pendidikan Banyumas (MP2B) menolak RUUSisdiknas yang diwakili puluhan guru serta pemerhatipendidikan di Banyumas. Mereka menyatakan atasnama masyarakat peduli pendidikan di Banyumasmenolak RUU tersebut. Menurut mereka, RUUSisdiknas justru merancukan pemahaman danpengamalan Pancasila yang bulat dan utuh sebagaiideologi nasional dan dasar falsafah negara. Demikian

pula puluhan mahasiswa Universitas Katolik (Unika)VVidya Mandira Kupang, Nusa Tenggara Timurmelakukan aksi demostrasi di dalam lingkungankampus dan menyatakan menolak RUU Sisdiknas.Menurut mereka, RUU Sisdiknas tersebut sangat tidakberkeadilan. Penolakan terhadap RUU Sisdiknas jugadilakukan oleh Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK)Ledalero di Maumere, Kabupaten Sikka (Pulau Floresbagian tengah). Mereka menggelar unjuk rasa bersamaratusan massa, menyatakan bahwa RUU Sisdiknasselain diskriminatif, juga dinilai sebagai bentukpenjajahan ideologis. RUU Sisdiknas dikatakansebagai "bermasalah" dan merupakan bentuk campurtangan pemerintah yang terlampau jauh ke dalamkehidupan para warga. Etatisme (dominasi negara)seperti ini bertentangan dengan semangat reformasiyang digulirkan. Mereka menyatakan bahwa perannegara terhadap agama melalui instrumen, regulatif,seharusnya lebih terfokus pada jaminan negara ter-hadap kebebasan warga negaranya untuk memelukagamanya dan beribadah demi penumbuhan imannyasecara bebas, bukan sebaliknya di mana negara meng-atur iman warga itegaranya melalui lembaga pendi-dikan. Alasan penolakan lainnya adalah, RUU Sisdik-nas tidak mengindahkan roh lembaga-lembaga pen-didikan yang berbasis kemasyarakatan, walaupuneksistensi dan kontribusi positifnya diakui secaraeksplisit dalam RUU Sisdiknas.

Nur Khalik Ridwan dalam sebuah tulisannya diSuara Pembaruan (8 Mei 2003) menyatakan, ada duatafsir yang berkembang dalam menanggapi RUUSisdiknas soal pendidikan agama pada Pasal 12 Ayat 1Huruf a (dari RUU DPR) dan pada Pasal 13 Ayat 1

Page 57: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidik an Penguasa Catatan Kri ti s atas UU Sisdiknas

Huruf a (RUU Depdiknas) yang berbunyi: "Setiappeserta didik berhak mendapatkan pendidikan agamayang sesuai dengan agama yang dianutnya." Dua tafsiritu menyebutkan bahwa mendapatkan pendidikanagama yang sesuai dengan agamanya adalah hak asasimanusia; dan bahwa menyelenggarakan pendidikanagama sesuai dengan instansi yang menyelenggarakanadalah juga hak asasi penyelenggara pendidikan.

Di sisi lain, Judo Poerwowidagdo (Suara Pemba-ruan, 1 Mei 2003) menyatakan bahwa secara kese-luruhan RUU Sisdiknas masih mengandung banyakkelemahan. Semangat untuk membarui UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN) tidaktercermin dalam pasal-pasal yang ada, bahkan RUUSisdiknas dalam pasal-pasal tertentu lebih mencer-minkan kemunduran daripada kemajuan. Kebhine-kaan bangsa atau pluralisme dalam masyarakat,bangsa dan negara ini, tidak hanya kebhinekaan bu-daya, tapi juga kebhinekaan agama, yang merupakanrealitas bangsa, tidak diakomodasi dengan baik.Kepentingan pihak-pihak tertentu memang cukupdiakomodasikan (Pasal 14 s/d Pasal 19), namunkepentingan dan hak-hak pihak lain justru diabaikanatau dikorbankan AdaJkerancuan.pemi

dran, "hak"rupany3 ditafsirkan juga sebagai "keharusan" atau"kewajiban". Mengharuskan orang memakai "haknya",melanggar HAM. Lanjutnya, apabila RUU tentangSisdiknas itu disahkan sebagaimana adanya, akansangat mungkin menimbulkan pertentangan di dalammasyarakat, yang dapat menimbulkan perpecahan

bangsa dan tidak akan dapat menjadi sarana undang-undang yang menjamin terselenggaranya pendidikanbangsa.

C. Ketika Agama Disandera PolitikKetika agama disandera politik, maka diarahkan

ke mana anak didik kita? Itulah menurut penulis per-tanyaan utama yang perlu ditujukan dalam menyikapiUU yang satu ini.

Di koran Sinar Harapan (Mei 2003), penulis me-ngemukakan bahaya jika agama terlalu banyak di-campuri politik sebagaimana dalam perdebatan UUSisdiknas ini. Tulisan ini untuk menanggapf RUU Sis-diknas yang kabarnya saat itu akan dipaksakan untukdisahkan 10 Juni 2003 ini. Penulis menegaskan bahwahal itu akan memicu kontroversi yang sangat panjang.Tidakkah pemerintah memikirkan hal ini? Apakahhanya demi kepentingan politik jangka pendek, lantassemua dikorbankan demi kemapanan kekuasaan?

Polemik RUU Sisdiknas memang menjadi kadoHari Pendidikan Nasional Mei 2003 saat itu. Dari ber-

51bagai pasal yang kontroversial dalam RUU itu, yangpaling menarik adalah soal pendidikan agama se-bagaimana dinyatakan dalam pasal 12 ayat (1) versiDPR. Urgensi membicarakan pasal agama ini bagi se-luruh masyarakat Indonesia adalah karena kegagalandalam merumuskan visi dan misi UU PendidikanNasional secara tepat akan sangat mempengaruhi ke-hidupan beragama manusia.

Pendidikan sebagaimana dinyatakan dalam pasal

Page 58: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidik an Penguasa Catatan Kri ti s atas UU Sisdiknas

1 butir (a) dan (b) RUU Sisdiknas itu adalah sebagaiusaha sadar dan terencana untuk mewujudkan sua-sana belajar agar peserta didik secara aktif mengem-bangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatanspiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,kecerdasan, akhlak dan budi mulia, serta keterampilanyang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dannegara. Pada intinya, pendidikan adalah untukmenciptakan anak didik yang bermoral.

Namun hemat penulis, tujuan mewujudkanmoralitas anak didik ini justru akan terhambat mana-kala terdapat rekayasa sistematis dari negara untukmemaksakan model (baca: mekanisme) pendidikanagama tertentu kepada anak didik. Oleh karena itu,perlu dipikirkan ulang pasal-pasal yang kontroversialtersebut, agar (a) tujuan pendidikan tidak terhambat,dan (b) kebijakan ini bisa ditaati semua pihak denganlapang hati. Di era reformasi ini kita membutuhkanUU yang bisa ditaati semua pihak dengan legaiva, danselama ini pemerintah belum sama sekali mewujud-

52 kannya. Apalagi dalam konteks UU yang mengatursektor pendidikan sebagai hal vang sangat vital.

Di sini kita perlu bertanya, akan diarahkan kemana anak didik Indonesia jika mereka harus menja-lani suatu materi UU yang dalam pasal pendidikanagama bersifat sangat politis? UU memang produkpolitik, tapi yang dipersoalkan adalah materi yangbersifat politis untuk (membela) kepentingan tertentu.Politik seharusnya diberikan kepada semua orang,bukan untuk pencapaian semata-mata kepentingantertentu.

Dengan adanya pasal pendidikan agama yangbersifat menonjolkan intervensi peran negara kepadamasyarakat, maka kebebasan masyarakat untuk me-nentukan pola pendidikannya teracuni oleh kepen-tingan-kepentingan politik jangka pendek. Padahalkonstitusi diarahkan untuk memenuhi tujuan jangkapanjang. Akibatnya, nalar dimatikan atas nama per-seteruan politik versus agama.

Akan diarahkan ke mana anak didik kita?Secara psikologis, dalam Teori Spranger, seorang

ahli psikologi yang tersohor pada tahun 1920-an me-nyatakan bahwa ada enam tipe manusia. Enam macamitu adalah manusia teoretis, manusia estetis, manusiapolitis, manusia ekonomis, manusia sosial, manusiareligius. Dasar-dasar ia mengemukakan adanya enamhpe manusia itu adalah dari nilai-nilai tertentu yangmenguasai jalan pikirannya, perasaan, dan tingkah

53

Page 59: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

P o l i t i k P e n d i d i k a n P e n g u a s a

54

laku dalam kehidupannya. Misalnya, manusia politikadalah manusia yang mengabdikan hidupnya untukkepentingan kekuasaan an sich. Dan khusus manusiareligius, menurut Spranger, adalah manusia yang me-ngorientasikan perjalanan hidupnya yang memuncakdalam Nilai Tertinggi, yaitu Nilai Ilahi.

Dalam konteks UU Sisdiknas ini, kentalnyanuansa politik yang mewarnai perjalananperumusannya menyebabkan kita bertanya-tanya,apakah kita mencetak manusia politik atau manusiareligius? Manusia politik memang perlu dicetakdalam kerangka religi- usitas yang tinggi agar ia tidakkorup. Manusia ekonomi juga perlu dicetak dalamsemangat religiusitas yang tinggi agar ia takmembohongi masyarakat.

Dengan tidak adanya tanggapan atas protes yangdisampaikan masyarakat untuk UU Sisdiknas ini,dikhawatirkan UU ini nantinya tidak berlaku efektif,dan juga akan menuai kecaman-kecaman karenasifatnya yang tidak mementingkan aspek pluralismedalam masyarakat kita.

Bagi penulis, pendidikan agama yangditonjolkan dalam UU Sisdiknas ini lebih berhasratuntuk mencetak manusia menjadi politis. Maksudnya,pemahaman agama dalam kurikulum pendidikanagama yang sentralistis itu akan menjebak anak didikuntuk memahami agama secara parsial saja.Pemahaman agama yang sifatnya sempit. Hanyamementingkan dirinya dan meninggalkan yang lain.

Page 60: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Catatan Kritis atas UU Sisdiknas

Pendidikan agama yang diberikan menonjolkan aspekformalistik dan kaku.

A gama dipandang secara sempit, dan bukan dilihatdalam pengertian realitasnya. Realitasnya adalahpluralisme agama yang hidup di bumi Indonesia.

Oleh karena itu, yang lebih penting dikemuka-kan dalam konteks ini adalah pemahaman religiusitas.Dengan adanya pemahaman religiusitas yang mema-dai, maka kita akan mencetak, seperti kata Spranger,manusia religius. Manusia religius adalah manusiayang memahami hakikat agama dalam bingkai plura-lisme. Dalam konteks ini, manusia religius merupakanmanusia yang menyerahkan kehidupannya kepadaYang Ilahi. Dia tidak akan sekali-kali mempolitisasiagamanya untuk kepentingan kekuasaan, karena ke-kuasaan/politik adalah untuk menjatuhkan lawan,dan selamanya akan demikian. Sementara agama ber-sifat suci.

Dengan demikian, manusia religius tidak me-mandang apa agama yang ia anut dan bagaimana caramemperjuangkannya; manusia religius melihat se-muanya akan kembali kepada Yang Ilahi. Di siniagama lebih dimaknai dalam konteks privat daripadapublik. Sedangkan dalam UU Sisdiknas ini, agamalebih diletakkan dalam konteks publik, la disanderaoleh beragama kepentingan kekuasaan.

Manusia religius, kata Spranger, memiliki be-berapa tipe. Ada yang bersifat bersifat mistik-imanen,di mana ia melihat bahwa Yang Ilahi terletak di dalam

Page 61: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

mti sari kehidupan ini. Kemudian vang bersifatmistik- fransenden, di mana ia melihat bahwa YangIlahi ter-

55letak di belakang atau di atas dunia ini, terpisah darinilai-nilai vital yang oleh karenanya harus disangkal.Kemudian yang selanjutnya bersifat campuran antarakeduanya.

Seharusnya, arah pendidikan kita adalah untukmencetak anak didik yang bersifat mistik-imanen. Disitu ia melihat bahwa agama adalah untuk menjawabtantangan realitas, bukan untuk dirinya sendiri.Agama adalah untuk menyelesaikan berbagai prob-lem kemanusiaan, seperti kemiskinan dan pembodoh-an. Dengan demikian, agama bukan terpisah dari rea-litasnya di mana ia teruntuk dirinya sendiri (mistik-transenden). Jika yang terakhir yang terjadi, makapara pemeluk agama akan menyatakan perang sucikepada lainnya adalah menjalankan agamanya.Hampa toleransi dan hampa dialog karena yang iapentingkan adalah kesucian dirinya sendiri. Akankananak didik kita kita arahkan ke sana?

Menanggapi polemik ini hendaknya kita menya-dari bahwa tugas penting para perumus pendidikanbukanlah untuk menciptakan anak didik yang sempitwacana berpikirnya, melainkan untuk membuka wa-cana keagamaannya sejauh mungkin. Agama yang iaanut adalah urusannya sendiri kepada Tuhan, sedang-kan urusannya kepada realitas adalah bagaimana iamenghargai pluralisme dan multikulturalisme, se-hingga di sini ia tidak terjebak pada politisasi agama,yang justru akan menghancurkan substansi agama itusendiri. Sebab, agama bukan untuk menerangi ke-hidupan melainkan untuk hasrat kekuasaan!g. Substansi UU yang Terlupakan

Meski RUU Sisdiknas masih menjadi polemik,tapi Komisi VI DPR dan pemerintah akhirnya setuju

Page 62: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Catatan Kritis atas UU Sisdiknas

untuk mengesahkan RUU Sisdiknas (Kompas, 13 Mei2003). Memang akhirnya DPR dan pemerintah me-nyepakati beberapa bagian yang perlu direvisi, tapijustru kesedihan kita semakin memuncak manakalarevisi yang dimaksud hanya pada tingkat redaksional.Sekali lagi, perubahan vang ada belum menyentuhsubstansi yang sampai sekarang menjadi kontroversiluas di tengah masyarakat.

Ironisnya, Komisi VI DPR dan pemerintah me-nilai, RUU yang terdiri dari 22 bab dan 78 pasal ter-sebut sudah memenuhi aspek-aspek pencerdasan ke-hidupan bangsa yang bermartabat di tengah masya-rakat dunia. Ada delapan bagian yang perlu dipolessecara redaksional maupun diperbaiki susunannya. Diantaranya, konsideran (menimbang), pasal 1 (ke-anekaragaman budaya), pasal 3 dan 4 (fungsi dantujuan), pasal 11 (hak/kewajiban pemerintah), pasal25 (kebebasan akademik), pasal 31 (pendidikan ke-agamaan), pasal 56 (ciri khas pendidikan), dan pasal70 (gelar akademik).

Justru yang dipersoalkan masyarakat luas padapasal 12/13 ayat (1) tentang pendidikan agama seakanterlupakan. Padahal pasal ini merupakan ruang ter-buka yang sangat lebar bagi negara untuk mencetak-biru otak anak didik dengan pemahaman agama seba-gaimana pemerintah inginkan. Dalam hal ini, pendi-

57dikan agama dimasukkan sebagai bagian dari reka-yasa sistematis negara untuk membuat anak didikterasing dari realitas Indonesia yang plural dan multi-kultural.

Karena itu, bagaimana kita bisa mengatakanbahwa undang-undang pendidikan kita saat ini men-didik, sebagaimana dikatakan eksekutif dan legislatifitu? Mengapa mereka terasa enggan mendengarkanprotes sebagian besar masyarakat yang menginginkanagar yang lebih dipentingkan adalah pemahaman

Page 63: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

religiusitas, dan bukannya formalisme pendidikanagama — yang sudah gagal membangun masyarakatmajemuk yang damai dan saling menghormati?

Kesedihan kita pun berlanjut. Ada penggalanganopini secara sistematis untuk segera mengesahkanRUU Sisdiknas ini pada 20 Mei 2003. Padahal siapapun tahu bahwa RUU ini masih kontroversial ditengah masyarakat. Mengapa para elite seakan me-negasikan pendapat yang berkembang di tengahmasyarakat?

Secara teoretik, suatu kebijakan publik yang padatingkat formulasi (perumusan)-nya saja sudah tidakmenghiraukan suara stakeholder-nya, maka padatingkat implementasinya, di samping kebijakan ter-sebut akan berlaku tidak efektif, juga berpeluang ter-jadi pemaksaan. Mengapa di era reformasi, ketika kitasemua sedang memperingati jerih payah mahasiswayang rela mengorbankan nyawanya, para elite justrumenutup telinga rapat-rapat atas pendapat masya-rakat?

Pihak yang pro dengan pasal 12/13 ayat (1)akhirnya hanya melihat bahwa seolah-olah yang di-persoalkan dalam RUU Sisdiknas ini adalah soal-soalteknis, semacam kewajiban penyediaan guru agamaatau juga soal penyebaran agama. Dalam perdebatanini kita tak juga beranjak dari bakat lama, yakni meng-ekspresikan sentimen agama untuk memukul agamalain. Kita tak juga beranjak dari perilaku lama, meng-unggulkan diri untuk bersikap underestimate terhadapyang lain. Karena itulah, kita menghasilkan perdebat-an yang, penulis kira, hanya akan memproduksilogika lama pula, "Siapa kuat dia menang, siapa ber-kuasa dia jaya."

Kita perlu mengembalikan substansi perdebatan,di mana sesungguhnya bukan masalah teknis peng-ajaran yang seharusnya dipersoalkan. Juga bukanmasalah redaksional saja, tapi yang lebih penting ada-

Page 64: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Catatan Kritis atas UU Sisdiknas

lah substansi RUU tersebut. Kita perlu memahami se-cara sungguh-sungguh bahwa pendidikan adalah da-lam rangka membebaskan manusia (sisWa) daribelenggu-belenggu. Jadi, pertanyaannya, adakah pen-didikan agama yang pernah kita jalankan telah mem-bebaskan anak didik dari belenggu-belenggu? Olehkarena itu, daripada mengulang kesalahan masa lalu,bukankah lebih baik kita mengubah orientasi pen-didikan agama menjadi pemahaman religiusitas (pen-didikan moral), yang lebih kental nuansa toleransidaripada kepicikan beragama?

Page 65: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

ideran RUU Sisdiknasdinyatakan bahwa dilahirkannya RUU ini adalahuntuk mengatasi berbagai persoalan yang dimiliki olehUU sebelumnya, "Menimbang bahwa Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem PendidikanNasional tidak memadai lagi dan perlu diganti sertadisesuaikan dengan prinsip demokratisasi pendidikan."Sengaja saya cetak miring pada kata tidak memadai dandemokratisasi pendidikan, untuk menyadarkan kitasemua dalam perdebatan ini, bahwa di era multi-kulturalisme dan pluralisme ini, apa yang disebut tidakmemadai itu salah satunya adalah ayat pendidikanagama yang kenyataannya memang tidak memadaiuntuk mengatasi berbagai kecamuk persoalan atasnama agama di negeri ini. Sebab, salah satu konse-kuensinya adalah, kita bisa disebut tidak mengindah-kan demokratisasi pendidikan.

Penulis sangat menyepakati konsideran ini. UUNo. 2/1989 memang tidak memadai dalam kontekstersebut. Kita ingat bahwa dalam perumusan UU No.2/1989, yang masih dipersoalkan oleh umat bergamadi Indonesia adalah soal pendidikan agama, misalnyapada pasal 28 ayat (2). Yang menjadi problem, meng-apa lantas kita para perumus kebijakan tersebut lantasberusaha untuk mengembalikan aspek-aspek yang su-dah dianggap tidak memadai itu? Kemudian kita ber-debat soal pendidikan agama, tanpa menyadari bahwasoal terpenting yang harus kita persoalkan adalahintervensi negara yang kuat terhadap agama.

Tanpa perlu penulis jelaskan panjang lebar di sini

nengenai kelompok-kelompok pendebat itu, sekiranyakita semua sudah bisa dengan jelas memetakan siapa-siapa mereka. Untuk menjelaskan peta perbedaan ini,sesungguhnya kita bisa dengan baik meru- nutkanpada pemahaman agama di Indonesia, yang dalambahasa Ulil Abshar-Abdalla "sudah tidak segar lagi”-Dalam konteks perumusan UU Sisdiknas ini, kita bisamelihat dengan jelas bahwa sampai sekarangpemahaman agama sebagian besar masyarakat kitamasih didominasi oleh pemahaman yang mio- pik,sempit.

Agama masih diidentikkan sebagai cara untukmeraih kekuasaan. Sebagaimana di masa Orba, agamamasih diperalat untuk mengejar kekuasaan, melaluiberbagai cara termasuk melalui formalitas konstitusi.Tanpa bermaksud menyindir kelakukan agamatertentu, di sini saya tegaskan bahwa semua agama,sekali lagi semua agama, masih terjebak patla'" per-mainan kata" dan formalisme, dan bukan berusahauntuk merumuskan substansi persoalannya.

Dengan demikian, ini akan kita artikan padatalenta para pemeluk agama yang masih mengandal-kan formalitas dan ritualisme. Ilmu pengetahuan akanabsah kalau "diagamakan", kekuasaan politik akanabsah kalau "diagamakan", dan sekarang pendidikanakan absah kalau "diagamakan" pula. Bukankah inicara pandang abad kegelapan di Eropa masa per-tengahan (the dark middle ages) lalu? Saat di managereja

6061

Dalam salah satu kons

Page 66: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidikan Penguasa

62

berusaha untuk meraih simpati sebesar-besarnya darikekuasaan?

Logika-logika di atas (agama yang prokekuasa-an) bisa juga dibalik. Sesungguhnya yang terjadibukanlah begitu, melainkan talenta kekuasaan yangingin mempertahankan eksistensinya dengan carameraih simpati agama. Jika ini yang terjadi, perca-yalah bahwa semua usaha kita untuk menciptakandemokrasi, penegakan HAM, penghormatan ataspluralisme akan sia-sia saja. Kita terjebak pada konflikyang tidak saja bersifat diskursus, melainkan padaakhirnya bersifat fisik, dan horizontal.

Di balik semua perdebatan mengenai UUSisdiknas ini, justru sebagian besar dari kita tidak maumenyadari bahwa apa yang sudah kita sepakatibersama, bahwa agama (apa pun) harus kita jaga ke-suciannya dari ranah kekuasaan (yang sering kotor).Kalau agama sudah prokekuasaan, bukankah ia akankotor pula? Kekuasaan memperalat agama untuk ke-pentingan-kepentingan jangka pendek. Di Indonesiakita sepakati bahwa republik ini bukan republikagama. Dengan demikian, ia harus dibangun bukandalam kerangka memajukan agama tertentu untuk"menindas" lainnya.

Sering kita melupakan ucapan Milovan Jilas,bahwa teramat banyak tujuan baik yang tidak bisakita laksanakan dengan baik pula. Di dalam otak kita,juga di dalam berbagai rancangan peraturan kehidup-an plural kita sudah teramat banyak tujuan dan niatan

Page 67: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

biik yang berserakan, tapi kita sama sekali tidaknenggubrisnya. Di dalam berbagai seminar, diskusi dan

penerbitan buku-buku kita menyatakan terdapatnya

banyak agama di negeri kita adalah suatu keniscayaan.

Dengan demikian keniscayaan berikutnya adalah

bagaimana meningkatkan dan mengembangkansikap hormat menghormati dan toleransi.

Tapi sering kita melupakan itu. Di lapangan,yang terjadi adalah sikap buruk untuk menguasaiyang lain. Kita menyatakan bahwa pluralisme harusdiiringi dengan penghormatan satu dan lainnya, tapidi sisi lain kita sering mengkhianatinya. Hipokritismeselalu menguasai pikiran kita.

Akhirnya, kesimpulan dalam tulisan ini adalah,kita perlu memperbarui cara pandang kita terhadapagama. Jika kita menolak intervensi negara/kekuasanterhadap agama, maka tolaklah dengan cara apa punjuga ketika negara berusaha mencuri-curi kesempat-an. Jika kita menyepakati pendidikan (agama) yangmembebaskan, maka sadarilah bahwa pendidikanagama kita selama ini justru membelenggu dan hanyamenghasilkan manusia-manusia yang picik. Pen-didikan agama kita gagal membentuk karakter moralbangsa yang plural, ia pandai dalam mengunggulkandiri tapi kering kerontang dalam penghargaan ke-pada lainnya. Hanya bisa menghujat dan marah padalainnya, tapi tidak pada dirinya. Hanya bisa meng-kritik orang lain daripada otokritik.

63

Page 68: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

E Kesadaran Multikultural sebagai RohPendidikan

Penolakan yang meluas juga terjadi di JawaTimur. Saya menulis sebuah alasan mengapa RUUSisdiknas ini ditolak dalam perspektif masyarakat diJawa Timur (Kompas Edisi Jatim, Mei 2003).

Penolakan Masyarakat Pendidikan Jawa Timuratas RUU Sisdiknas dengan mengumpulkan 250.000tanda tangan dari para praktisi dan pengamat pen-didikan terjadi di Jatim (Kompas Edisi Jatim, 22 April2002). Sebagai kado untuk memperingati Hari Pen-didikan Nasional, penolakan tersebut merupakanbukti kesadaran mereka bahwa intervensi negara ataspendidikan masyarakat sudah terlampau jauh. Salahsatunya adalah soal pendidikan agama yang dianggapmerupakan cermin dari kembalinya kekuatan negarauntuk menguasai dan mengekang kebebasan masya-rakat.

Pasal 31 menyatakan bahwa pendidikankeagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari agama yang diakuinegara. Lantas bagaimana dengan banyaknya agama-agama tradisi yang belum (tidak mau) diakui olehnegara? Kontroversi yang lain juga pada pasal 12 ayat(1), tentang sekolah yang (lagi-lagi) harus memberikanpendidikan agama.

Dalam konteks Jatim dan dalam kaitannya de-ngan pendidikan agama, setidaknya ada tiga alasanyang h]Sa dipahami dalam penolakan mereka atasRUU Sisdiknas ini.

Pertama, jumlah penduduk Jatim termasuk jum-lah anak didiknya, masuk dalam deretan tertinggi diIndonesia, selain DKI. Dengan demikian, jika RUUSisdiknas ini diundangkan, mereka merupakan stake-holder utama yang merasakan dampaknya. Lagi pula,jumlah lembaga pendidikan di Jawa Timur akhir-akhir ini mengalami perkembangan yang teramatpesat, terutama di pusat-pusat kota pendidikan selainSurabaya, Malang, Jombang dan Jember. Misalnya diGresik, Bangkalan, Sidoarjo, Pasuruan, Ponorogo,

Page 69: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Blitar, dan sebagainya.

Kedua, masyarakat Jatim sejak dulu dikenal seba-gai masyarakat plural yang sering terancam konflikatas nama agama, dalam rekayasa politik nasionalatau lokal. Maka jika pendidikan agama masih dise-lenggarakan dalam bau formalitas yang rigid dansempit, dikhawatirkan pluralisme dan toleransi yangdalam tahun-tahun terakhir ini diperjuangkan olehpara pemuka agama di Jatim terancam tidak tercapaimaksud dan tujuannya. Dialog antaragama yang telahlama digagas dan menjadi kesepakatan umum dikha-watirkan sia-sia saja, karena kuatnya intervensi negaraterhadap masyarakat, terutama dalam bidang pen-didikan.

Ketiga, masyarakat Jatim sudah lama dikenal se-bagai masyarakat yang keras, terutama di deretankawasan pantura, yang memang secara geografis dan

65

Page 70: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

66

tuntutan ekonomi memaksanya demikian. Mereka di-kenal pula sebagai pemeluk yang taat. Jadi, tinggalbagaimana kita membangun aspek toleransi ber-agama, agar konflik tidak timbul. Dengan RUU Sis-diknas yaiig memaksakan pasal pendidikan agama,dalam konteks pemahaman agama yang sempit, makadi mana toleransi agama akan diajarkan?

Beberapa alasan di atas sangat mungkin tidakdisadari oleh para perancang RUU Sisdiknas yanghanya mementingkan ego kemenangan tertentu. Iadirancang di pusat tanpa mau memahami kondisidaerah. RUU Sisdiknas ini pada akhirnya bersifatsentralistis dan menafikan kondisi riil di daerah.

Seharusnya kita sadari bahwa pendidikan agamayang telah kita lakukan selama Orde Baru nyata-nyatagagal dalam membentuk karakter bangsa yang ber-moral. Alih-alih bukan moralitas yang terbentuk, me-lainkan justru terpuruk menjadi masyarakat yangsadis. Tidakkah mereka merasakan itu?

Salah satu penyebabnya adalah kualitas pendidi-kan agama yang hanya mementingkan sikap hidupyang sempit, mengunggulkan cara beragamanya sen-diri dan meniadakan toleransi. Kepada anak didiktidak dikembangkan sikap hidup yang memuatmoralitas toleransi. Mereka, baik secara langsungmaupun tidak langsung, justru "dididik" untuk men-yalahkan lainnya. Pendidikan agama yang demikianjelas mengalami kegagalan tidak saja dalam jangkapendek, melainkan juga dalam jangka panjang.

Page 71: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Seharusnya itulah yang perlu disadari oleh paraperancang RUU Sisdiknas ini. Di tengah-tengahupaya untuk melakukan rekonsiliasi konflik atasnama agama, mereka justru membuat UU yang secarajangka panjang tidak mendidik. Para murid dipaksauntuk menerima pengajaran yang sifatnya sempit.Agama hanya dipahami bukan dalam konteksmultidimensi, melainkan monodimensi. Agama hanyad.ipahami untuk dirinya sendiri dan bukan untukorang lain.

Pemahaman agama seperti inilah yang me'mbuatmanusia kurang memiliki kesadaran kebersamaan.Oleh karena itu, sekiranya para perumus RUU Sisdik-nas ini merefleksikan kembali berbagai kenyataansosial di daerah-daerah lainnya di Indonesia. Palingtidak, agar UU Sisdiknas nantinya ditaati oleh seluruhelemen masyarakat dengan hati yang lega, tidak den-gan sikap antipati.

Keberhasilan suatu kebijakan adalah apabilastakehoder-nya melaksanakannya dengan ketulusan,

67

Kerusuhan Situbondo pada era 1990-an, di manapenulis banyak melakukan advokasi di sana, adalah contoh yang baik untuk merefleksikan kasus ini.«etika agama direduksi dalam pola-pola kekuasaan,atau sebaliknya ketika kekuasaan berusaha mencomotperan-peran agama untuk melegitimasi eksistensisekaligus mempertahankannya, maka yang terjadiadalah politisasi agama. Agama dijadikan kambinghitam dan direkayasa oleh kekuatan politik untukkepentingan kelompok tertentu.

Page 72: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidik an Penguasa Catatan Kriti s atas UU Sisdiknas

bukan dengan paksaan. Oleh karena itu, jika tidak adaperubahan atau tanggapan Pusat atas pasal-pasal yangdipersoalkan berbagai elemen masyarakat itu, jelasyang muncul adalah antipati terhadap UU produknegara. Mengapa di era yang disebutnya sebagaireformasi ini mereka masih terbiasa menggunakanpola-pola lama untuk memberlakukan UU? Penulisyakin, bahwa cara Orba belum punah, alih-alih di-lestarikan oleh penguasa saat ini. Bakat mereka sangatkentara, mengintervensi masyarakat melalui berbagaijalur dan cara, termasuk pendidikan.

Penulis tidak mengingkari pentingnya bahwaagama harus diajarkan, dan dididikkan agar anakdidik bisa memahami mana yang benar dan yangsalah. Tapi itu tidak harus melalui rekayasa formalseperti saat ini, di mana sangat sarat kepentinganpolitis yang tersembunyi di baliknya. Agama perludiajarkan oleh keluarga agar masyarakat Indonesiamenjadi masyarakat religius. Dan arahnya bagikepentingan bangsa adalah bagaimana mereka jugamenyadari bahwa amat banyak agama di negeri ini.Tidak lima atau enam saja, melainkan mereka jugaharus terbiasa menghargai berbagai tradisi lokal yangoleh sebagian masyarakat sudah dianggap sebagaiagamanya. Mereka hendaknya melihat ini sebagaisebuah kekayaan bangsa.

Merefleksi selama Orba, terutama dalam konteksUU No. 2/1989 tentang Pendidikan Nasional, masya-rakat memang seolah-olah menuruti apa titah undang-undang ini. Tapi kalau kita jeli, mereka menurutkarena terpaksa. Mereka tidak berani melawan karenasistem kekuasaan yang begitu kuat. Maka saat ini

apakah para perumus kebijakan itu tidak menyadaribahwa banyak masyarakat vang menolak ke-hadirannya?

UU Sisdiknas ini justru melalaikan tugas utamanegara sebagai pengayom masyarakat. Alih-alih justrumengurusi soal pendidikan agama (yang telah gagal),persoalan lebih utama misalnya bagaimana anak mis-kin bisa memperoleh pendidikan gratis justru lepasdari perhatian. Persoalan utama buramnya potret pen-didikan nasional adalah masih banyaknya angka pen-duduk usia sekolah yang terpaksa mengais rezeki diperempatan-perempatan jalan. Mereka tidak ber-sekolah bukan karena mereka tidak mau/enggansekolah, tapi karena kondisi ekonomi yang memaksa-nya demikian. Tapi mengapa ini luput dari perhatianmereka?

Oleh karena itu, ditegaskan bahwa RUU Sisdik-nas ini telah mempraktikkan dua pepatah sekaligus.Pertama, karena nila setitik rusa susu sebelanga. Artinya,pasal-pasal lain yang sudah demokratis akhirnyamenjadi tidak demokratis karena adanya kontroversipada soal pendidikan agama. Kedua, RUU Sisdiknasmenggunakan pepatah melalaikan yang pentingmemungut yang tidak penting. Persoalan akses pendidi-kan kaum miskin tidak digubris, justru bersibuk-sibukmengurusi hal yang sudah nyata-nyata gagal.

Page 73: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pen didik an Pen gu asa

70

Di sinilah penulis pernah menyarankan ulangagar aspek multikulturalisme dan pluralisme ini di-pandang sebagai sesuatu yang penting dalam RUUSisdiknas ini. Pemaksaan pendidikan agama adalahbentuk intervensi negara terhadap masyarakat. Harusdisadari bahwa pendidikan agama adalah persoalanprivat. Keluarga adalah tempat yang baik untuk me-ngajarkan bagaimana cara beragama sesuai denganajaran masing-masing, dan sekolah memberikan du-kungan dengan memberikan pemahaman religiusitasyang bersifat menghargai pluralisme. Jika selama inidiungkapkan bahwa agama telah gagal dan salahmemahami realitas, tentu itu bukan kesalahan agama-nya, melainkan kesalahan dari proses pemberian pe-ngajarannya yang cenderung kaku dan formalistik.

F. Muatan Pendidikan yang BerbasisMultikultural

Dalam tulisan saya yang lain di Suara Pembaruan(27 April 2003), saya mengulangi lagi pentingnya pen-didikan multikultural ini, ketika hari-hari itu duniapendidikan kita diwarnai perdebatan sengit. Kita di-paksa untuk merenung ulang, sejauh mana pendidi-kan agama kita perlukan bagi anak didik kita? Setelahterbukti gagal membangun kurikulum pendidikanagama yang mementingkan komunikasi iman, akan-kah pemerintah masih bersikeras mengesahkan RUUSisdiknas ini?

Page 74: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Catatan Kritis atas UU SisdiknasTak dapat dimungkiri karena soal agama adalahsoal sensitif. Sedikit saja terpeleset, maka RUU Sisdik-nas ini tidak saja akan menuai kegagalan dalamimplementasinya, melainkan juga lebih dalam iamenjadi undang-undang pendidikan yang tidakmendidik.

Tentu kita bertanya, mengapa ada undang-undang pendidikan yang tidak mendidik? Jawabnya,sebab ia lebih kental nuansa kepolitikannya, daripadavisi untuk mencerdaskan. Sebagian orang bahkan me-nganggap bahwa RUU Sisdiknas ini bertentangandengan Pembukaan UUD 1945, karena ia tidak men-cerdaskan. Padahal dalam Pembukaan UUD 1945 di-katakan bahwa tugas negara adalah untuk mencerdas-kan kehidupan bangsa. Lantas, jika kritik merekabenar, mengapa negara justru bersuka ria tatkalamemproduksi undang-undang yang tidak mencer-daskan?

Apa yang penulis sampaikan di atas.mungkinbisa dilihat orang sebagai just joke. Tapi itulah perso-alan dasar kita dalam mencermati pro-kontra RUUSisdiknas saat ini. Kadang-kadang kita tak menyadaribahwa itulah persoalan dasar kita. Ketika kita mem-perdebatkan soal pendidikan agama diperlukan atautidak, kita hanya memperdebatkan soal teknisnya,soal penyediaan guru dari agama lain bagi sekolahtertentu yang memiliki murid berbeda agama umum-nya, soal perpindahan agama dan sebagainya. Pada-hal soal dasarnya adalah perseteruan agama versusnegara, dari dulu hingga sekarang, yang tak kunjungselesai.

71

Agama masih terprovokasi oleh kepentingan-kepentingan politik jangka pendek. Kekuasaan negara

Page 75: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pen didik an Pen gu asa

74

berusaha untuk merasuki segenap kehidupan rakyat-nya melalui berbagai cara dan jalur. Melalui agama,pendidikan hingga sistem reproduksi. Kekuasaannegara semakin membesar terutama bila mendapat-kan dukungan dari agama. Di sisi lain, agama dipa-hami secara sempit, yakni untuk memenuhi kebu-tuhan-kebutuhan kekuasaan. Dalam pemahamanagama seperti itu, para elite agama akhirnya hanyabersibuk diri berkalkulasi untuk apa yang didapatkandari kekuasaan tersebut. Dengan begitu, di manaperan agama sebagai pencerah realitas sosial?

Dan sekarang, realitas perilaku agama yangburuk itu dicerminkan dalam perumusan UU pen-didikan. Pendidikan agama dimasukkan sebagaibagian dari rekayasa sistematis negara untukmembuat anak didik terasing dari realitas Indonesiayang plural dan multikultural. Oleh karena itu, bagai-mana kita bisa mengatakan bahwa undang-undangpendidikan kita saat ini mendidik? Jadi, lebih baikdengarkanlah protes sebagian besar masyarakat yangmenginginkan agar yang lebih dipentingkan adalahpemahaman religiusitas, bukannya formalismependidikan agama, yang sudah gagal membangunmasyarakat majemuk yang damai dan saling meng-hormati.

Bila kita tengok perilaku keagamaan kita bebe-rapa waktu terakhir dalam konteks kehidupan bangsa

Indonesia, semangat penyejukan dan perdamaianyang dibawa agama tampak kering. Hampir pasti

Page 76: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Catatan Kritis atas UU Sisdiknas

bahwa semangat tersebut meleleh karena perilakusosial politik selama empat puluhan tahun semenjakmerdeka telah meracuni agama itu sendiri. Agamadikerangkeng di dalam aturan-aturan yang monolitik,monoton, dan tentu saja berdampak tidak sehat.

Bagaimana tidak aneh, perilaku orang beragamajustru buas terhadap sesamanya. Apakah nilai-nilaiagama seperti itu yang akan diajarkan kepada anakdidik? Norma kesopanan yang pudar dalam sanubaribangsa ini, seolah-olah kita telah kehilangan jati dirisebagai orang beragama, sebagai bangsa beragama,sebagai makhluk beriman. Karakter keimanan sebagaisuatu substansi yang harus diraih, gagal kita bangun.Keimanan bukan untuk menyayangi makhluklainnya, tetapi justru untuk membunuh, dengansegala macam cara.

Jelas bahwa ada yang salah dalam cara, kita ber-agama, berbangsa dan berperikehidupan. Bangsa kitahidup dalam ketidakberadaban karena membiarkankekerasan demi kekerasan terus berlangsung tanpaada usaha yang kuat untuk menghentikan praktik ke-kerasan itu sendiri, dan bahkan hampir semua di-langsungkan atas nama agama. Sebagai bangsa yangberagama, bukan ateis, mengapa orientasi kehidupankita hanya mampu mencetak manusia yang kerdil,haus kekuasaan, harta dan kemuliaan belaka?

73Kita tidak bisa mengelak bahwa sampai sejauh ini

dalam kehidupan kebangsaan kita, kita sampai padakesimpulan bahwa kehidupan keberagamaan kitatelah gagal membangun sebuah karakter keimanan.Seolah-olah kesucian hanya dilihat di sekitar tempat

Page 77: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

74

ibadat, di luar itu orang boleh melakukan praktik yangberlawanan dengan keimanan.

Agama jauh dari realitas kehidupan kemasya-rakatan. Dia cenderung memikirkan dirinya sendiridalam lingkup dogma, aturan dan legalitas. Dia takmampu melihat realitas masyarakat yang mengalamipenindasan, pemerkosaan hak, dan penderitaan kaumtertindas yang termarjinalisasikan oleh sistem pem-bangunan. Agama gagal mempraktikkan iman yangmemihak nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan kese-jahteraan. Mengapa agama bisa terasing dari realitas?Sebab hampir empat puluhan tahun agama dijadikansubordinasi politik Orba. Dengan demikian, akankahkita mengulang kembali melalui rekayasa sistematikdalam UU Sisdiknas ini?

Kepada para pendukung adanya pendidikanagama dalam UU Sisdiknas ini, perlu dikatakan bahwaagama adalah aspek terdalam pada jiwa manusia.Agama adalah persoalan manusia dengan Tuhannya.Kita khawatir jika agama diletakkan dalam ruangpublik terutama ketika ia harus vis a iris berhadapandengan intervensi negara, agama akan kehilangan ke-suciannya. Kita jadi bingung, sebetulnya agama ataunegarakah yang sedang berebut kekuasaan?

Jika kita merujuk pada Teori Maslow yang ter-kenal dengan istilah Peak Expenences, dinyatakanbahwa tanpa direkayasa dalam sistem politik tertentu,setiap manusia tetap membutuhkan agama. KataMaslow, ada hasrat untuk bersatu dengan Yang TakTerbatas. Sebagai ilmuwan yang terkenal dengan TeoriKebutuhan, dalam hal ini Maslow menyatakan bahwatidak semua perilaku manusia selalu dan seluruhnyabersifat motivated (termotivasi). Artinya, tidak semuaperilaku manusia terjadi diakibatkan oleh kebutuhandan kekurangan. Karena itulah dalam suatu penelitianyang panjang, dinyatakan bahwa dalam diri manusiaterdapat yang unmotivated, yakni ketika ia berhadapandengan Tuhan Yang Tak Terbatas.

Dalam konteks polemik UU Sisdiknas ini, perludiingatkan bahwa pencantuman pasal mengenai pen-didikan agama merupakan salah unsur untuk memo-

Page 78: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Catatan Kritis atas UU Sisdiknastivasi agar manusia terdidik dalam agama. Seolah-olah memang tujuan ini baik, tapi kekhawatiran'utama dalam hal ini adalah dalam praktiknya. Sebabselama ini, pendidikan agama tidak menekankan padareligiusitas anak didik, melainkan hanya kepadaritualisme. Inilah yang membuat mereka sangat sempitdalam memaknai agamanya. Padahal sebagaimanaTeori Maslow, agama akan bisa dipahami sebagai ke-butuhan yang unmotivated. Ia akan hadir sendiri se-bagai kebutuhan pasti terhadap Yang Ilahi.

75

Page 79: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidikan Penguasa

76

G.Mengulang Tragedi GalileoDi koran Tlie Jakarta Post ("Mengenang Tragedi

Galileo dalam RUU Sisdiknas", April 2003) penulissemakin menegaskan bahwa upaya memaksakan RUUSisdiknas adalah mengulang tragedi Galileo. Sebab,ada lambang kemanusiaan yang dipukuli.

Galileo takluk di hadapan otoritas gereja (dankekuasaan) di abad "kegelapan" pertengahan. Tepat-nya pada bulan Juni 1633. Ilmuwan agung Italia itumencabut pendapatnya bahwa bumi mengitari mata-hari.

Galileo, yang hanya di-back up murid-muridnya,tak kuasa menghadapi kerasnya kekuasaan saat itu. Iamerelakan kebebasan berpendapatnya, kemerdekaanberpikirnya, dan semangatnya melakukan risetnyadirenggut oleh kekejaman kekuasaan. Terutama ketikagereja dan aparat inkuisisinya merasa memilikiwewenang untuk mengadili setiap pendapat yangdirasa tidak sesuai dan berpotensi melabilkan posisistatus quo-nya. Sebelumnya, seperti diceritakanGoenawan Mohamad (1999: 315), Giordano Brunodibakar hidup-hidup karena pendapatnya. Kekejamanmenjadi absah manakala digunakan untuk mem-pertahankan iman.

Galileo diadili. Semua murid-muridnya cemasmenunggu di luar gedung pengadilan yang mengusutstatus imannya kepada gereja. Tiba saatnya SangPengusut Agung Gereja mengumumkan kemenang-

Page 80: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Catatan Kritis atas UU Sisdiknasannya atas Galileo. Andrea Sarti (sang murid yangmenyebutnya sebagai "lambang kemanusiaan yangdipukuli") hanya tersenyum kecut melihat sang gurumenjadi korban keganasan keimanan dan kitab suci.

Apa maksud saya menceritakan tragedi Galileo diatas tak lain adalah untuk menyatakan kekhawatiranbahwa UU Sisdiknas masih bermasalah. Sebuahpengabsahan dalam ruang yang terkondisi secara ter-paksa. Kita pun bertanya, akan jadi apa implementasiUU Sisdiknas ini jika pada tahap RUU saja sudah me-micu polemik tak henti-henti?

Jelas sekali betapa RUU Sisdiknas ini terasamuatan politisnya lebih besar daripada aspek pendi-dikannya. Sungguh teramat disayangkan, bahwa halyang mendasar dalam RUU ini seperti paradigma pen-didikan yang membebaskan, memerdekakan, me-mandirikan tidak termuat dalam sistem pendidikanini. * •

Yang terasa sangat kental adalah muatan politisdan agamis dalam RUU yang (padahal) diberi namaSistem Pendidikan Nasional. Muatan politis dengankekentalan nuansa visi keagamaan sangat tidak men-dukung RUU ini untuk menjadi rumusan pendidikanyang visibel bagi Indonesia masa depan. Alih-alih,akibat intervensi negara yang overdosis cian paduan-nya pada ajaran-ajaran keagamaan, pada saatnya nantiberpotensi melahirkan galileo-galileo baru yang akandikorbankan atas nama kekuasaan.

77Apa pasal? Kasus Galileo yang dikorbankan ke-

kuasaan yang menolak kebenaran, kurang lebih samadengan rumusan dalam RUU Sisdiknas ini, yangsangat kental nuansa politik dan visi agama. Jikanegara dan agama sudah mendominasi visi misi pen-didikan, bagaimana murid bisa berani berpikir cerdas?Sedikit saja mereka mengoreksi kesalahan agama dannegara, sesegera mungkin ia akan diadili sebagaimanayang pernah dialami Galileo. Ini sama sekali tidakmustahil terjadi, karena nyatanya para perumuskebijakan Sisdiknas ini tampaknya sudah enggan

Page 81: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pen didik an Pen gu asa

78

mendengar suara sebagian sangat besar masyarakatyang menolak rumusannya.

Muatan RUU ini justru lebih kepada hal yangtidak terkait dengan dunia pendidikan, di mana se-harusnya ada parameter yang jelas untuk mengukurkualitas pendidikan itu. Parameternya direduksidalam pemahaman yang sempit mengenai rumusaniman dan takwa. Seolah-olah dengan iman dan takwa,segala persoalan menjadi beres. Padahal, persoalanmengapa kualitas pendidikan kita berada di palingbawah, se-negara ASEAN sekalipun, adalah karenaparadigma pendidikan yang ada selama ini direduksioleh kepentingan politik praktis yang memasukiranah pendidikan.

Kepentingan politik ini membawa konsekuensibahwa pendidikan hanya sekadar doktrin, hafalan,kepatuhan tanpa mampu mendewasakan anak didikuntuk berpikir kritis dalam menyikapi realitas hidup-nya. Pendidikan terpisah dari realitas kehidupankarena pendidikan hanya sekadar komponen untukmenghafalkan kepatuhan-kepatuhan yang disistema-tisasikan dalam budaya afirmatif. Siswa bukannya di-latih untuk berpikir analitis-kritis menanggapi per-soalan, namun kerap kali siswa hanya diajar rumus-rumus yang seolah-olah penuh dengan kepastian dankebenaran. Padahal itu hanya sekadar kesemuanbelaka.

Inilah yang membuat siswa hanya sekadar men-jadi robot mati yang didesain (by designed) oleh re-

Page 82: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Catatan Kritis atas UU Sisdiknas

mote control ideologi kekuasaan. Realitas inilah yangbegitu kuat dalam UU yang konsepnya memberiperanan intervensi lebih luas kepada kekuasaannegara untuk mengatur pendidikan. Padahal untukmenciptakan sistem pendidikan yang baik, peranannegara tidak boleh terlalu dominan. Peranan negaraseharusnya hanya memberikan prinsip-prinsipdasarnya saja. Sementara, dalam UU ini sebaliknya,negara diberi porsi yang terlalu luas untuk mengaturtetek bengek pernik-pernik pendidikan.

Dalam UU ini, kita melihat paradigma pendidi-kan yang tidak jelas orientasinya untuk pendidikanyang memanusiakan manusia yang berkemanusiaan,berkeadilan, memiliki komitmen untuk membangunproses belajar yang terus menerus. Realitasnya, dalamUU ini, paradigma seperti ini dinafikan. Ada kesankuat bahwa UU ini bukan berbicara tentang pendidi-kan melainkan nuansa keagamaannya yang diper-kental dan diperkuat. Sungguh naif bahwa pendidi-

79

Page 83: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pen didik an Pen gu asa

kan direduksi dalam kepentingan keagamaan yangorientasinya tidak jelas: Siswa mau diajak ke mana?

Padahal, semua sadar bahwa dengan paradigmayang keliru (atau setidak-tidaknya tidak representatifdi tengah masyarakat) akan membawa akibat ke-salahan kita untuk membangun sebuah konsep pen-didikan yang bermutu. Seharusnya orientasi konseppendidikan yang bermutu itu adalah kecerdasan, danbukan pada iman dan takwa. Urusan iman dan takwaadalah urusan keluarga dan lembaga keagamaan.Urusan pendidikan adalah membuat siswa cerdas dankritis. Parameternya adalah (1) bisa berhitung denganbenar, (2) membaca dengan tepat, (3) berkomunikasisecara efektif, (4) memiliki penalaran yang sehat, (5)menjadi manusia yang bersikap humanis.

Ukuran-ukuran tersebut seharusnya menjadi pa-rameter dari sebuah konsep sistem pendidikan. Se-dangkan parameter iman dan takwa atau akhlak yangmulia itu tak sulit diukur, bahkan hampir tak bisa di-ukur alias abstrak. Sebab, hal itu adalah relasi indivi-du dengan Tuhannya masing-masing. Soal iman dantakwa adalah murni hak privat seseorang, dan di-pertanggungjawabkan di hadapan Tuhan, bukan ne-gara. Maka atas alasan apa pun, negara tidak dibenar-kan untuk mengatur soal moralitas warganya. Negarahanya mengatur soal hukum positif yang ditegakkansaat ini.

Ketika ruang pendidikan dirasuki oleh unsur- unsuragamis yang kental, pasti akan menghasilkan

siswa yang tersekat-sekat, dan tidak memahami ke-cerdasan secara utuh. Mereka akan cenderung bersikaptidak rasional dan cenderung membabi buta dalam

Page 84: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Catatan Kritis atas UU Sisdiknas

menghadapi masalah. Rasionalitas kerap kali tidakdipakai, kurang dikedepankan. Yang menonjol adalahfanatisme keagamaan saja.

Akibatnya, lahirlah kembali pembunuhan ter-hadap karya intelektual karena kecerdasan yang tidakdiakui. Ingatlah kasus Galileo di abad pertengahanseperti cerita di muka. Pengalaman membuktikanketika agama begitu menguasai kehidupan publik,dan semunya berorientasi pada penguatan agama,maka rasionalitas tidak dihargai alias dimatikan.Galileo sudah menjadi korban. Apakah kasus ini akanterulang lagi di Indonesia?

Karena itu, sangat perlu dirumuskan kembalikonsep pendidikan yang benar-benar menjawab tan-tangan zaman, yang berdasarkan filosofi pendidikanyang mengacu pada proses pembebasan siswa'daribelenggu-belenggu doktrin, kesempitan-kesempitankeagamaan, kepatuhan-kepatuhan yang penuh kepal-suan. Pendidikan hendaknya merupakan proses bela-jar terus menerus yang tidak mengenal lelah untukmencapai kecerdasan yang sejati.

Para pengambil kebijakan hendaknya arif me-mahami problematika ini. Lebih baik pengesahanRUU ini ditunda karena mutunya masih diragukan.Yang penting bukan soal kalah menang dalam adukonsep RUU Sisdiknas ini, tetapi adalah masa depanbangsa yang dipertaruhkan.

Akhirnya, kesimpulan dalam subbab ini adalah,kita perlu memperbarui cara pandang kita terhadappendidikan dan agama. Jika kita menolak intervensinegara/kekuasan terhadap agama, maka tolaklah de-ngan cara apa pun juga ketika negara berusaha men-curi-curi kesempatan. Jika kita menyepakati pendi-dikan yang membebaskan, maka sadarilah bahwa

81

Page 85: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

82

pendidikan agama kita selama ini justrumembelenggu dan hanya menghasilkan manusia-manusia yang picik. Pendidikan kita telah gagalmembentuk karakter moral bangsa yang plural; iapandai dalam mengunggulkan diri tapi keringkerontang dalam penghargaan kepada lainnya. Hanyabisa menghujat dan marah pada lainnya, tapi tidakpada dirinya. Hanya bisa mengkritik orang lain, dantidak mampu melakukan otokritik.

H. Menilai Pelaksanaan UU SisdiknasHarus diakui bahwa UU Sistem Pendidikan Nasi-

onal (Sisdiknas) yang dimiliki Indonesia saat ini lahirdari suatu perdebatan panjang. Sayangnya, perde-batan itu lebih menonjolkan aspek kepentingan poli-tisnya. Meskipun perdebatan itu masih bisa dikatakanberada dalam koridor yang sehat, akan tetapi, dengankeyakinan yang bisa kita lihat dengan mata telanjang,perdebatan itu dilandasi kepentingan untukmendominasi satu atas yang lain. Lebih sayang lagi,dengan demikian, kita memiliki UU Sisdiknas yangtidak mampu merespons hasil-hasil perdebatan itusecara representatif.

Misalnya, tentang pendidikan agama dalampasal 13 ayat (1) sangat perlu kita kritisi bagaimanaimplementasinya di lapangan. Setelah UU Sisdiknasdisahkan Dewan Perwakilan Rakyat, seolah-olahdengan sosialisasi semua akan berjalan dengan baik-baik saja. Padahal, dalam undang-undangnya masihmenyimpan ketidakjelasan orientasi pendidikan di

Page 86: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Catatan Kritis atas UU Sisdiknas

bawah ke mana. Dengan disahkan undang-undangini, kualitas pendidikan semakin tidak jelas dan tidakterarah. Ketidakjelasan pada tujuan dan fungsi pen-didikan yang disatukan akan menyulitkan dalampelaksanaannya.

Dengan mencampuradukkan tujuan dan fungsi,berarti dengan demikian mereduksi makna pen-didikan yang membawa peserta didik pada kecerdas-an baik secara intelektual maupun secara spritual.Ketika kecerdasan tidak lagi menjadi tujuan utama, disinilah ada persoalan yang mendasar: Pendidikansebenarnya untuk siapa? Jelas, pendidikan adalahuntuk peserta didik. Kebutuhan peserta dicTik-untukmemperoleh bekal supaya dapat mandiri. Kecerdasanhanya bisa tercapai bila siswa diberi kemampuanuntuk membaca, menulis dan berhitung. Sebab, jikakemampuan dasar kurang dimiliki oleh siswa, yangterjadi, peserta didik akan kehilangan masa depan.

Bacon mengatakan, siapa yang menguasai ilmupengetahuan, teknologi dan komunikasi, dia akanmenguasai dunia. Persoalannya adalah, UU Sisdiknasyang baru disahkan tidak memberikan ruang kepada

83

Page 87: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

P o l i t i k P e n d i d i k a n P e n g u a s a

peserta didik untuk mencapai tujuan di atas. Sebab,terlihat ada kesan kuat UU Sisdiknas penuh muatanpolitis daripada muat pencerdasannya. Ketika muatanpolitik yang terlalu dominan, maka yang menjadikorban adalah peserta didik. Hak peserta didik untukmemperoleh kecerdasan telah terabaikan.

Inilah yang dikorbankan oleh para pembuatundang-undang ini. Harga yang harus dibayar adalahketidakjelasan tujuan pendidikan, di mana hal ituakan membawa akibat peserta didik semakin haridibebani muatan pendidikan yang berorientasi hanyapada aspek legalitas saja. Penekanan pada aspeklegalitas ini membuat peserta didik kurang memilikidaya nalar. Daya nalar yang telah dimatikan sejak dinimembawa konsekuensi peserta didik akan tertinggaljauh dengan rekan-rekan mereka di belahan dunialain.

Di sisi lain, pendidikan seharusnya membawapeserta didik mampu untuk membaca dan memahamitrend zaman ini. Ketika trend zaman yang saat inidicitrakan dengan globalisme yang telah menyentuhberbagai aspek kehidupan, maka seharusnya orientasipendidikan adalah mengarah agar anak didik mampuberpikir global untuk merespons perubahan zamansekarang. Dalam UU Sisdiknas ini, hal itu kurang di-perhatikan bahkan cenderung dinegasikan. Kenaifanini ditandai dengan digunakannya rumusan-rumusanpasal yang kelihatan indah dan bernuansa kea-gamaan. Padahal, rumusan ini sangat penuh ambisi disatu sisi dan ambiguisme di sisi lain. Satu dengan

yang lain tidak jelas, yang akan membawa konseku-ensi sebagai kebijakan yang sulit untuk dilaksanakan.

Page 88: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Catatan Kritis atas UU Sisdiknas

Misalnya, pelaksanaan pasal 13 mengenai pen-didikan agama, dan dengan demikian tentang penye-diaan agama. Secara praktik, hal ini akan sulit untukdilaksanakan. Pertama, apakah pemerintah mampumenyediakan guru agama yang sekeyakinan dengansiswa. Ini tidak mudah karena agama samawi memi-liki aliran keyakinan yang berbeda-beda.

Kebutuhan akan guru agama minimal tiap seko-lah membutuhkan sekitar 15 sampai 20 guru agama.Persoalannya, apakah anggaran 20% hanya diperun-tukkan untuk guru agama? Di sini ada persoalan me-ngenai paradigma pendidikan itu sendiri. Di balik ini,semua cara berpikir kita salah dalam mengelola krisisbangsa. Seolah-olah dengan ditekankannya pen-didikan agama akan mengubah perilaku seseorang.Padahal kita tahu, korupsi dan manipulasi kebanya-kan dilakukan oleh "orang yang sangat beragama".

Paradigma yang salah mengenai hal inilah yangsekarang dicoba untuk dirumuskan dalam berbagaimacam kebijakan yang lain: Undang-Undang Pornog-rafi, Kerukunan Beragama, Kesehatan dan seterusnya.Semua bernada hampir sama.

Pertanyaannya, mengapa saat ini kita begitumenjadi naif? Belajar dari kasus di abad pertengahan,maka semakin agama masuk ke dalam ruang publikmaka akan membawa kehidupan yang teramat sulit.Abad pertengahan sarat dengan muatan politiskeagamaan di mana ia tidak mampu membawa pera-daban menjadi semakin maju, dan sebaliknya semakin

Page 89: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidikan Penguasa

suram. Dan secara pasti, rupanya kita kurang me-nyadari hal ini.

Bab 4AGAMA, PENDIDIKAN, DAN

PENDIDIKAN AGAMA

A. Kegagalan Pendidikan Agamaauh sebelum pembahasan tentang UU No. 20 Ta-hun 2003 tentang Sisdiknas, penulis sudah sering

menyampaikan bahwa pelaksanaan pendidikanagama di Indonesia gagal membentuk manusia-manu-sia yang memiliki budi pekerti sebagaimana diajarkanoleh agamanya masing-masing. Kendati sulit dibantahketerkaitan antara pendidikan di satu sisi dan keber-adaan agama serta peluang mengajarkan doktrin-doktrin agama di sisi lain di sekolah-sekolah agamaatau umum, namun melihat realitas yang terjadi kitaharus jujur menyatakan kegagalan pendidikan agamakita.

Dalam "Telaah Kurikulum Bidang Studi Agama,Yang Dipentingkan Agama atau Komunikasi Iman?"vang dimuat di Suara Pembaruan, (12/10/2001), yangjuga pernah dimuat di buku Membuka Mata HatiIndonesia (Averroes Press, 2002), penulis menyatakankegagalan pendidikan agama dalam konteks yangdimaksud.

87

J

Page 90: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

/\gama. Pendidikan, dan Pendidikan Agama

Hemat penulis, pelajaran agama yang diajarkandi sekolah-sekolah kita itu lebih banyak bersifat ritualdan dogmatik. Pelajaran agama tersebut masih ber-kisar pada pengajaran tentang persoalan hukum-hukum, aturan-aturan, larangan-larangan dan lain se-bagainya. Pelajaran agama yang demikian kurangmenyentuh hal yang sangat mendasar yang berkaitandengan persoalan iman, harapan dan kasih (roh yangmelatarbelakangi segala hukum maupun larangan).

Tekanan pengajaran agama masih terletak pada tohave religion, bukannya pada to be religious. Orientasipelajaran semacam itu masih menekankan sifat ke-salehan individual daripada kesalehan sosial. Orangyang punya agama belum tentu beriman dan ber-takwa, tetapi ada orang yang tidak mempunyaiagama, hidupnya lebih beriman dan bertakwa. Per-soalannya bagaimana agama diajarkan di sekolahmampu membebaskan murid dari kesempitan ritua-litas, kepicikan, dan fanatisme buta.

B. Agama yang Membuka WawasanAgama yang diajarkan di sekolah seharusnya

mampu membuka wawasan anak didik untuk me-ningkatkan keimanan dan ketakwaan. Dalam hal ini,ada baiknya kalau kita diingatkan kembali apa yangkatakan almarhum Soedjatmoko mengenai pendidi-kan. Dia mengatakan, agama seharusnya mampu me-wujudkan kembali konfigurasi lrilai. Yang dimak-sudkan oleh Mas Koko (begitu panggilan akrabSoedjatmoko), agama bertugas merajut nilai-nilai kemanusiaan.Nilai-nilai inilah yang menjadi dasar keimanan dan ketakwaan.

Orientasi pendidikan agama tidaklah cukup kalauhanya menyangkut hal-hal luar, seperti upacara,peraturan, ritus, hukum, lambang-lambang, segi-segisosiologis maupun segi politis dari gejala yang disebutagama. Agama tidak bisa disamakan hanya dengansemua segi luar itu, meski diakui bahwa segi- segi luaritu menjadi bagian tak terpisahkan dari agama.

Page 91: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

P o l i t i k P e n d i d i k a n P e n g u a s a

Dengan kalimat-kalimat tersebut, penulis maumengatakan bahwa dalam agama yang dipentingkanbukanlah huruf-huruf yang tersusun menjadi hukum-hukum, tapi yang lebih penting dari itu adalah rohatau semangat dari hukum-hukum itu, yakni iman,harapan, dan kasih. Orang harus membedakan antaraberagama dan beriman. • •

Sementara pelajaran agama selama inbterjebakpada upaya membuat orang beragama. Pengandaian-nya, dengan beragama (to have religion), maka otomatisorang akan beriman. Padahal, seperti sudah dise-butkan di muka, orang yang beragama secara taat (kegereja setiap minggu atau bahkan setiap hari) belumtentu beriman. Pendidikan agama kita sekarang initerkesan membuat orang menjadi suci, taat padaperaturan agama sampai sedetil-detilnya (kesalehanindividual) tetapi kurang memberi perhatian padamasalah-masalah sosial (kesalehan sosial).

Page 92: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pen didik an Pen gu asa

Pendidikan semacam itu bisa saja menghasilkananak yang saleh, tetapi picik, arogan, ingin menangsendiri. Seharusnya arah dasar dari sebuah pendidikanagama adalah membawa orang (peserta didik dan jugayang mendidik) untuk makin beriman dan bukansekadar beragama; membawa orang untuk to bereligious, bukan sekadar to have religion. Yang di-namakan religiusitas itu adalah disposisi atau sikapdasar yang membuat orang beramal baik, bersikappenuh belas kasih, merasa rindu dan ingin dekat den-gan Tuhan. Yang membuat orang berharap penuh ke-percayaan, menyerahkan diri kepada penyelenggaraanIlahi, penuh kasih sayang, lembut hati, mudah me-maafkan, memiliki bela rasa. Jadi, dalam bahasa SantoPaulus, yang hakiki adalah apa yang disebut sebagai"hidup di dalam roh".

Religiusitas (iman, harapan, cinta kasih) yangmenjadi tujuan pendampingan anak-anak didik kitamerupakan hal yang sangat vital. Agama memangpenting, tapi ia bukanlah tujuan. Agama tidak lebihhanyalah jalan, wahana, sarana demi mencapai imandan takwa. Iman dan takwa bukan monopoli satu duaagama saja, tetapi menyangkut aktualisasi akan nilai-nilai agama yang dihayatinya.

Tawaran itu mengandaikan pelajaran agama tidaklagi formalisme atau pengajaran konvensional di manaanak didik disodori untuk menghapal rumusan, tetapianak didik diajak untuk merefleksikan pengalamanimannya lewat peristiwa kejadian apa yangdialami dijadikan bahan untuk menumbuhkan, men-yegarkan keimanannya. Intinya, yang diajarkan bukanmelulu pelajaran agama sebab pengetahuan agamabelum menjamin orang bersangkutan untuk hidupsesuai dengan pengetahuan tersebut.

Itulah sebabnya, pengajaran agama harus terkaitdengan realitas kehidupan di mana siswa diajak secaraaktif melihat, mengamati, mengambil sikap terhadapkejadian itu, bukan hanya sekadar hapalan yang me-lekat di bibir dan mewarnai kulit, tapi tidak mampu

Page 93: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidikan Penguasa

mengubah perilaku. Karena itu, sudah selayaknya polapembinaan agama yang diajarkan sekolah tidaksekadar transfer ilmu, tetapi mengajarkan pendidikanagama yang otentik. Dan tampaknya kecenderunganUU Sisdiknas kita mengarah ke sana.

Selain itu, pengajaran agama menyajikan bahan-bahan pengetahuan dasar menyangkut pelajaran intiseperti sakramen, doa-doa inti, kewajiban-kewajibaninti yang orientasinya lebih pada pendalaman akannilai-nilai, bukan lagi pada indoktrinasi, tapi juga, me-nyentuh hal mendasar penghargaan akan nilai-nilaikehidupan, kejujuran, fairplai/, tanggung jawab. Inti-nya, agama terkait dengan kehidupan yang konkret,bukan kesemuan belaka, tetapi menjawab realitaszaman. Bukan mengasingkan dunia, melainkan mam-pu membaca tanda-tanda zaman.

91C. Peranan Guru dalam Komunikasi Iman

Kurikulum pendidikan agama di sekolah dipa-hami dan dimengerti sebagai komunikasi atau inter-aksi iman. Kesadaran itu mengemuka berangkat darikenyataan bahwa pelajaran agama yang sifatnya dok-trinal menghasilkan manusia yang picik, wawasannyatidak global, terkurung pada kesempitan diri sendiri.Pendidikan agama seharusnya lebih merupakan se-buah komunikasi iman. Dalam komunikasi iman, sis-wa, dan juga pendidik, dihadapkan pada realitas sosial(dalam bahasa Paulo Freire adalah model pendidikanposing problem).

Komunikasi iman akan memperkaya dua belahpihak, baik anak didik maupun pendidik. Perananguru bukan hanya menjadi fasilitator atau menjadipawang instruktur yang sibuk dengan persoalanadministrasi, kisi-kisi pengajaran, tetapi lupa yangdasar bahwa guru adalah sahabat, teman dan sangkomunikator yang paling baik untuk menuju penda-

Page 94: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

/\gama. Pen didika n, d an Pe ndi dik an Ag ama

laman iman. Bukankah Allah sendiri menempuh caraitu, di mana Allah berkomunikasi langsung denganmanusia?

Dalam salah satu dokumen penting GerejaKatolik, yakni Konstitusi Dei Verbum tentang WahyuIlahi yang bertutur tentang bagaimana Allah ber-komunikasi (mewahyukan diri-Nya) dengan manusia,ditegaskan bahwa Allah menyapa manusia sebagaisahabat. Komunikasi diri berikut maksud dan rencana-Nya disampaikan kepada manusia sebagaitawaran, undangan, tanpa suatu paksaan. TawaranAllah itu sendiri bersumber dan berawal dari kebaik-an dan kelimpahan kasihnya kepada manusia.

Komunikasi Iman mengandaikan interaksi anakmurid dengan pendamping. Sang pendamping men-jadi teman, rekan untuk menumbuhkan keimanan danketakwaan nya. Di sini, peranan pendamping perluditingkatkan dari guru agama menjadi komunikatorreligiusitas. Tidak hanya mengajar profesional tentanghal-hal yang rohani, serta tuntutan kurikulum tetapiyang lebih mendasar, yakni terlaksananya KerajaanAllah (Kerajaan Allah berarti suatu situasi di manaAllah menjadi Raja, menjadi Roh yang menjiwai danmenggerakkan kehidupan. Konsep itu sejajar dengankonsep masyarakat madani dalam Islam, jadi, keraja-an Allah pertama-tama tidak boleh dipahami sebagaitempat yang entah di mana dan mengawang-awang.Kerajaan Allah itu ada dan harus diwujudkan didalam dunia ini).

Dalam silabus dikatakan bahwa Kerajaan'Allahmerupakan situasi penyelamatan juga perjuangan un-tuk perdamaian dan keadilan, pengolahan dan peme-liharan alam, kesejahteraan dan kebahagiaan yangdirindukan semua orang. Keyakinan ada setiap agama

dan kepercayaan lain. Juga nilai moral pemerdekaanmanusia dari belenggu eksploitasi manusia olehmanusia dalam segala bentuk dan sebagainya.

Kerajaan Allah itulah yang dinomorsatukandalam pengajaran kita terhadap anak didik dan bukan

Page 95: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidikan Penguasa

hal-hal yang ritual. Sekali lagi, agama hanyalahsekadar wahana, alat, sarana untuk menuju kepadaKerajaan Allah. Dalam menyusun dan menghidang-kan mata pelajaran agama, hendaknya terkait denganrealitas kehidupan; karena itu merupakan kesatuanutuh dari pelajaran yang lain. Tekanannya pada peme-karan iman, harap, dan kasih.

Di sini peranan guru sebagai komunikator imanharus pandai menggali pengalaman murid yang ter-kait dengan nilai-nilai kerajaan Allah. Misalnya masa-lah f air play dalam olah raga, pembangkitan kekagum-an pada alam, persoalan mengenai cinta kepada kebe-naran universal terkait dengan mata pelajaran lain.Tentu saja bukan direkayasa, tetapi yang diharapkanadalah spontanitas dari anak didik, bukan dibuat-buattetapi semua itu diberikan secara alamiah.

Nilai yang dipentingkan adalah keotentikan diripara siswa untuk merespons realitas hidup ini dalampengalaman kehidupannya. Dengan membangun dia-log yang sehat, para siswa diajak kritis mengkaji segalaperistiwa dalam dimensi keimanan dan ketakwaan. Iniakan terungkap dalam sikap hidupnya yang tercermindalam perilaku. Ini pekerjaan paling berat dalam diriguru agama, sebab dia bukan hanya mentransfer ilmutetapi sebagai agen perubahan nilai-nilai menuju keyang abadi, yakni Kerajaan Allah sendiri. Di siniperanan para komunikator religiusitas begitu berat,sebab bukan hanya sekadar pemberian materi, tetapilebih mendasar adalah penumbuhan kecintaanpara anak didik akan kerahiman Tuhan, kedahsyatanciptaannya, serta takut akan Tuhan. Seperti dikatakan

Memang, semua itu bukanlah pekerjaan yangringan, sebab komunikasi iman itu sendiri bukanlahsesuatu yang mudah. Tetapi kesulitan tidak perlumembuat orang menjadi pesimis. Kesulitan justru me-nuntut kreativitas penciptaan pola-pola komunikasiiman yang sesuai dengan kondisi daerah setempat.

oleh amsal, "Permulaan ilmu pengetahuan adalahtakut akan Tuhan."

Page 96: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

95

Penulis percaya bahwa para guru mampu untuk itu,pengalaman mereka begitu dalam serta tahu realitassebenarnya. Potensi kerap kali mandek karena dibe-lenggu oleh beban untuk urusan administrasi, satuanmateri pelajaran. Urusan itu yang membelenggu kitasehingga tidak kreatif. Padahal bangsa ini kaya de-ngan cerita, dongeng, serta tradisi lokal. Semua itutidak pernah digali secara dalam karena waktu tersisadengan "urusan kaisar". Padahal Tuhan Yesusmengatakan, "Berikan apa yang menjadi hak'kaisar,tetapi yang menjadi hak Allah berikan kepada Allah."

Di sinilah seninya memberikan komunikasi iman.Apa yang menjadi hak kaisar kita berikan tetapi porsilebih besar adalah milik Allah sendiri. Komunikatoriman untuk mengisi ruang kosong sesuai dengan kon-disi anak didik. Pengisian itu bukan untuk memenuhiselera suka dan tidak suka tetapi pertama didorongoleh panggilan luhur untuk menumbuhkan iman, ha-rapan dan kasih.

Page 97: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

96

Politik Pendidikan Penguasa

D.Belajar dari Ilustrasi De MelloSeseorang menemukan sebutir telur burung

elang, dan kemudian ditetaskannya bersama-samaayam piaraannya. Anak elang pun lahir dan kemudianbermain-main sampai dewasa dengan ayam. Suatuketika di masa tuanya, sang elang melihat ke langitdan melihat burung yang terbang dengan gagahnya. Iabertanya, "Siapa dia?". "Itulah burung elang, raja segalaburung," jawab si ayam, "tempatnya di langit sana,sedangkan kita ayam hanya di sini, di bumi ini." Makasepanjang masa si elang hidup dan mati sebagai ayam.Begitulah ia memikirkan dirinya.

Rangkuman cerita yang diadopsi dari cerita An-thony de Mello seperti dikutip Setyawan, SJ (1999: 19)di atas sangat relevan untuk kita refleksikan dalamkonteks pemaknaan agama kita sekarang dalam kai-tannya dengan cara bagaimana pendidikan agamadiberikan. Pendidikan agama kita masih mengajarkanagama sebagai "ayam" padahal secara hakiki ia adalah"elang". Kita pun bisa menebak dengan mudah jika"elang" menjadi "ayam": bukan saja ia gagap untukterbang melintas batas mencari kebenaran, melainkania juga pasti akan gagap menghadapi realitas konteks-tual.

Refleksi yang perlu penulis kemukakan di siniadalah pada tingkat pemaknaan agama oleh sebagianbesar umat manusia di bumi ini. Dengan memaknaidirinya secara absolut bahwa dirinya adalah kebenaranmutlak (dan yang lain salah serta harus dibasmi),

Page 98: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Agama, Pendidikan, dan Pendidikan Agama

maka pada saat sama ia menutup diri dari kebenaran-kebenaran lain. Iman yang diyakininya bersifat eks-klusif dan mengejawantah dalam sikap menampiksetiap masukan. Maka jika agama sudah diperlakukanseperti ini, bagaimana ia mampu menolong umat ma-nusia keluar dari jurang kehancuran?

Mungkin inilah salah satu makna tersembunyitulisan Djohan Effendi di Kompas (20/9/2002), "Aga-ma, Apakah Sudah Gagal?" Meskipun tidak dijawabsecara eksplisit, tapi bisa diketahui kegundahan men-dalam Djohan mengenai permasalahan tafsir agamaini secara implisit. Merebaknya korupsi dan kolusi,penegasian moralitas dan makna hakiki keimanandalam pemerintahan kita, merupakan contoh nyata dimana agama nyata-nyata sudah gagal mencipta- kankebaikan dan kedamaian. Ironisnya, ini terjadi ditengah kesemarakan seremoni acara keagamaan dimana-mana.

Jika agama diturunkan ke bumi untuk, memper-baiki tingkah laku manusia yang cenderung homohomi- ni lupus contra omnes, demikian kata Hobbes,maka mengapa berkembang realitas yang jauh darinilai- nilai agama itu sendiri? Agama mana yangmengajarkan pemeluknya untuk korup? Agama manayang mengajarkan pemeluknya untuk tidakmenyayangi manusia lain tanpa membeda-bedakanras, suku, golongan dan agama sekalipun?

Ilustrasi de Mello di atas merupakan cara yangbaik untuk mengingatkan kita semua agar menem-

97patkan agama pada posisi yang sebenar-benarnya,yakni untuk salih mengasihi dan mencintai sesama.Ilustrasi tersebut juga mengandung pesan agar jangankita memperlakukan agama di luar batas, sepertimenjadikannya sebagai modal untuk berperang

Page 99: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

melawan lainnya.Fungsi agama sesungguhnya adalah seperti

"elang" yang bisa melanglang buana menerobos awankejahatan. Jika "elang" bisa bertindak seperti itu,bukankah ia akan gagah dipandang mata? Danbukankah kita mengharapkan agama bisa menyele-saikan persoalan-persoalan kejahatan yang ditimbul-kan oleh nafsu angkara manusia? Maka bagaimanaagama bisa menyelesaikannya, jika ia justru bertindakseperti "ayam" padahal ia "elang"?

Dibutuhkan kesadaran kita semua untuk menaf-sirkan agama di dalam kesejatiannya. Keimanan diriboleh kita pupuk dan peluk sampai mati, tapi bolehlahsemua itu kita tumbuhkan dalam semangat pluralismedan suasana saling menghargai. Dan, kembalikan jatidiri kita (serta agama kita masing-masing) ke dalamjati dirinya.

Dalam banyak kasus, pendidikan kita seringnemperlakukan agama tidak dalam ruang yang seba-k-baiknya, kalau bukan sebenar-benarnya. Misalnya/berhadapan dengan kekuasaan agama kerap malahmenjadi peruncing permasalahan, berhadapan denganhukum agama kerap mati kutu, berhadapan denganskandal internasional agama malah dituduh yangbukan-bukan, dan demikian pula ketika ia ber-hadapan dengan ribuan persoalan lainnya.

Dalam kasus terakhir ketika opini internasionalditarik untuk mendiskreditkan agama tertentu, atautepatnya suatu kelompok agama, maka rasa nyilu dihati semakin menjadi-jadi. Di samping karena opiniinternasional yang dimotori oleh AS sangat tidak adil(dan kata Chomsky, AS justru merupakan teroris per-

Pendidikan yang Mengembalikan JatiDiri Agama

Page 100: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

tama yang harus diperangi), sisi lain kita melihat bah-wa ini berangkat dari keangkuhan dalam memandangkebenaran. Dikira bahwa kebenaran itu hanya ber-sumber tunggal, yakni tafsir tentang dirinya sendiritanpa melibatkan orang lain.

Hemat penulis, bolehlah kita mengajarkan agamadalam pendidikan agar anak didik memiliki- imandalam konteks yang sangat memuncak. Nanjun beri-kutnya bagi para pendidik, harus ditekankan bahwaiman yang memuncak itu akan kembali kepada keda-maian, bukan peperangan. Maka marilah kita mendi-dik anak didik agar mereka bisa beriman secara ma-nusiawi. Jika iman kita tidak diimbangi dengan rasakemanusiawian maka yang ada dalam hati adalah niatuntuk membunuh orang lain. Padahal, membunuhadalah hal yang ditolak oleh iman kita. Orang laintidak bersalah, tapi kita tafsirkan agar dia bersalahsehingga layak dibunuh.

Page 101: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidikan Penguasa

Melihat keyakinan diri sendiri sebagai satu-satunya kebenaran bukanlah kesalahan dan sekali lagibukan kesalahan. Yang menjadi kesalahan besaradalah bila keyakinan diri itu mengejawantah dalamsikap eksklusif yang menampik kritik dan saran. Lebihparah lagi, jika iman diri diperhadapkan dengan imanorang lain sekaligus dilihatnya sebagai sesuatu yang"salah". Kita khawatir, jika agama diimani seperti inimaka yang terjadi bukan tumbuhnya kesalahan,malahan peperangan akan semakin menghebat ditengah berbagai kampanye perdamaian. Juga, seolah-olah tesis Huntington Clash of Civilization kita benarkanbegitu saja melalui tindakan-tindakan arogan, padahaltesis hanyalah tesis, suatu perkiraan; dan dia bukanpula ahli nujum yang baik. Penulis kira, tesis itu akantertolak dengan sendirinya jika kita mau berimansecara manusiawi.

F. Agama yang Memahami RealitasPendidikan kita, kita akui, terlalu sering meng-

ajarkan sesuatu yang instan. Akibatnya, pelita hati kitatelah redup karena tak mampu lagi menahangemerlapnya kekuasaan yang begitu menggoda, me-nawarkan sukses dengan jalan pintas. Kerap kali pelitahati kita menjadi gelap karena kita mengira Allah bisadisogok dengan dandanan cantik, bentuk tubuh yangaduhai, senyum yang penuh rangsangan, atau bahkandisogok dengan persembahan uang. Padahal,

hongi dan ditipu dengan rekayasa manusia. Hati nu-rani adalah pelita yang menerangi manusia. Hati nuranitidak bisa ditipu, dibohongi, direkayasa.

Kerap kali kita jatuh ke dalam mentalitas sete-ngah-setengah, yakni keinginan untuk menguasaiorang lain agar orang lain tunduk padaku. Egoismesemacam inilah yang membuat mata hati manusia

Page 102: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

menjadi gelap dan akhirnya manusia mencuri kesem-patan dengan cara manipulasi waktu, undang-undang,uang, dan bahkan juga jabatan. Hati yang gelap kerapkali tidak lagi nalar, orang menjadi gila kuasa, gilawanita, gila pria, gila segala-galanya.

Misalnya dalam konteks politik. Dari pengalamansejarah kita tahu, para elite politik kita sering kaliberlaku seolah-olah tidak lagi memiliki hati nuraniyang jujur. Dengan menggunakan "dalil" hibah ataudalil-dalil lainnya, setumpuk uang yang diperolehdengan cara-cara tidak wajar dicuci bersih. Kalau maujujur, semua dalil-dalil itu tidak lebih hanyalah bahasalain dari penyogokan atau penyupan. Sebuah-budayayang sudah berurat berakar dalam diri bangsaIndonesia. Penghalusan bahasa ini merupakan warisanOrde Baru yang memang senang menyamar-nya-markan. Adapun tujuan dari penghalusan dan penya-maran bahasa ini tidak lain adalah untuk memeliharabudaya korup yang menguntungkan mereka. Sumberdari segala kebusukan itu tampaknya ada pada sistembirokrasi dan penegakan hukum kita yang lemah. Se-mua orang sudah tahu bahwa sebagian besar birokrat

101

dan penegak hukum kita sering kali mengail di airkeruh; dengan uang semua perkara beres.

Orde Lama gagal menyejahterakan rakyat secaraekonomi. Di samping kegagalan ekonomi, sistempolitik multipartai era Orla juga tidak bisa begitu sajakita sebagai bentuk kesejahteraan politik rakyat. Eramultipartai pada zaman itu lebih lanjut juga merupa-kan biang pertentangan ideologis yang (sampai hariini masih) meruncing.

Orde Baru hadir menggantikan Orla dan men-coba mentransformasikan segala sesuatu yang “lama"menjadi "baru". Hanya harus kita catat bersama-samadalam sejarah Indonesia, bahwa apa yang dilakukan

Page 103: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pen didik an Pen gu asa

102

Orba, bukan hanya menambah daftar kegagalan-kegagalan yang pernah di alami saja. Justru Orbamelakukan "penghancuran-penghancuran" pada as-pek kebutuhan manusia yang paling mendasar. De-mokrasi menjadi sebatas angan-angan semu yang takmungkin dicapai. Orde pembangunanisme yang me-letakkan jargon kemajuan ekonomi di bawah bayang-bayang angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi,ternyata bukan jaminan bahwa rakyat Indonesia bebasdari segala bentuk kemiskinan.

Lebih parah dari itu, kebutuhan-kebutuhan ber-politik bagi rakyat dipangkas sampai ke akar-akarnya. Nyaris tak ada aktivitas politik vang melibat-kan rakyat. Kalaupun ada, hal itu hanya semu; lipstikbelaka. Pengkooptasian besar-besaran pada lembaga-lembaga rakyat terjadi selama bertahun-tahun. Hal

Terjadi semacam ketegangan yang luar biasadalam hubungan antara rakyat dan penguasa. Nyarishilang sama sekali penghargaan atas hak asasi manu-sia. Penguasa seolah-olah menjadi penjajah keduasetelah kolonialisme yang dilakukan Belanda, Jepang,dan Inggris. Situasi semacam ini semakin parah dansemakin tidak berubah menjadi baik. Justru sebalik-nya, kerusuhan di mana-mana. Konflik ideologi men-jelma menjadi pertentangan-pertentangan yang kaku.

jtu tidak hanya membuat kreativitas politik rakyatmenjadi kering, namun juga sanggup menciptakanketergantungan rakyat pada pemerintah yang sema-kin besar.

Page 104: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

/\gama. Pen didika n, d an Pe ndidik an Ag ama

Konflik elite politik bergerak menjadi konflik antar-rakyat, yang jarang dicarikan jalan penyelesaiannya.Itulah wajah Indonesia selama setengah abad lebihmerdeka dari kolonialisme asing. Lepas dari penjajahasing, rakyat lagi-lagi tidak dibuat merdeka olehbangsanya sendiri.

Lalu sejauh mana "pendidikan agama" 'mampumerespons hal-hal demikian, yang menjadi warna ke-hidupan kita sehari-hari?

G.Proses Belajar Humanistik, BukanDoktriner

Mengutip paparan Rogers tentang prinsip-prinsipbelajar humanistik, maka hal itu juga bisa diterapkandalam upaya mendidik agama anak-anak kita. Jauhi

103kata-kata yang bersifat doktriner, dan ajak anak didikkita untuk berpikir tentang realitas dan upaya agamadalam menyikapi realitas tersebut.

Kata Roger, dalam prinsip-prinsip belajar huma-nistik perlu diperhatikan tentang hasrat siswa untukbelajar. Hasrat untuk belajar merupakan suatu halyang bersifat alamiah bagi manusia. Ini disebabkanadanya hasrat ingin tahu manusia yang terus menerusterhadap dunia dengan segala isinya. Hasrat ingintahu yang demikian terhadap dunia sekelilingnya,menjadikan penyebab seseorang senantiasa berusahamencari jawabannya. Dalam proses mencari jawabinilah, seseorang mengalami aktivitas-aktivitas belajar.

Selain itu perlu dikenalkan belajar yang bermak-na. Dalam pandangan psikologi humanistik, maknasangat penting dalam belajar. Seseorang beraktivitas

Page 105: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

106

atau tidak senantiasa akan menimbang-nimbangapakah aktivitas tersebut mempunyai makna buatdirinya. Sebab, sesuatu yang tak bermakna bagi diri-nya, tentu tidak akan ia lakukan. Begitu pula, harusada proses agar anak didik mengalami belajar tanpahukuman. Hukuman memang dapat saja membuatseseorang untuk belajar. Tetapi, hasil belajar demikiantidak akan bertahan lama. Ia melakukan aktivitas seka-dar menghindari ancaman hukuman. Padahal, mana-kala hukuman tidak ada, aktivitas pun tidak akandilakukan. Oleh karena itu, agar anak belajar justruharus dibebaskan dari ancaman hukuman.

Belajar yang terbebas dari ancaman hukumandemikian ini menjadikan penyebab anak bebas mela-kukan apa saja, mencoba-coba sesuatu yang ber-manfaat buat dirinya, mengadakan eksperimentasi-eksperimentasi hingga anak dapat menemukan sendirimengenai sesuatu yang baru. Kreativitas anak dalambelajar yang bebas dari ancaman hukuman dengansendirinya juga akan meningkat.

Dengan proses-proses tersebut, siswa akan ter-didik untuk belajar dengan inisiatif sendiri. Belajardengan inisiatif sendiri pada diri pembelajar sebe-narnya menyiratkan betapa pentingnya motivasi in-ternal yang dipunyai. Pembelajar yang banyak ber-inisiatif tatkala belajar, senantiasa mencari cara-carahingga ia berhasil dalam belajarnya. Inisiatif yang lahirdari diri sendiri ini juga menunjukkan rendahnyadependensi pembelajar terhadap orang lain. Ia akanbebas melakukan apa saja dalam belajarnya, dan tidakterikat oleh rekayasa-rekayasa yang berasal dari ling-

Page 106: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

/\gama. Pendidihan . da n Pendi dihan Agama

kungannya. Pada diri pembelajar yang kaya inisiatif,terdapat kemampuan untuk mengarahkan dirinyasendiri, menentukan pilihannya sendiri serta berusahamenimbang-nimbang sendiri mana hal yang baik bagidirinya. Ia akan berusaha dengan totalitas pribadinyauntuk mencapai sesuatu yang ia cita-citakan.

Di era globalisasi seperti sekarang, sebagai akibatdari melesatnya perkembangan teknologi komunikasi,nilai-nilai yang dianut oleh sebuah masyarakat dapatmerupakan kristalisasi hasil dia-

105log antara nilai-nilai yang selama ini dianut dengannilai-nilai baru yang diterima dari dunia luar. Olehkarenanya, nilai-nilai yang dianut oleh masyarakatdewasa ini semakin beragam. Maka dalam belajar, adanilai-nilai tertentu yang harus diupayakan terbentukpada diri pembelajar. Nilai-nilai yang dibentuk padadiri pembelajar tersebut, tentulah nilai-nilai luhur yangsecara universal dianut oleh hampir setiap masyarakat,di samping nilai-nilai luhur yang secara spesifik dianutoleh masyarakat di mana pembelajar tersebut berada.

Nilai-nilai luhur yang hampir dianut oleh setiapmasyarakat secara universal, misalnya kebenaran,kejujuran, keindahan, kemerdekaan, saling membantudan memberi manfaat. Sementara nilai-nilai luhuryang dianut oleh masyarakat secara spesifik, khusus-nya di lingkungan pembelajar, banyak ragamnya,seberagam jumlah pembelajar. Terbentuknya sebuahsikap, lazim juga didasarkan atas sebuah nilai, meski-pun nilai bukanlah satu-satunya yang menentukan si-

Page 107: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politifc Pendidihan Penguasa

106

kap. Berbedanya nilai-nilai yang dianut oleh sese-orang, lazim menjadikan penyebab berbedanyaseseorang dalam menyikapi sesuatu. Sebab, nilai-nilaiyang dianut oleh seseorang turut menentukan persepsiseseorang terhadap sesuatu lazimnya juga turut me-nentukan sikap seseorang terhadap sesuatu.

Page 108: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Bab 5PENDIDIKAN, KOMERSIALISASI, DAN

EKSPLOITASI

A. Komersialisasi Pendidikanetika diputuskan bahwa perguruan tinggi negeri(PTN) menjadi badan hukum milik negara(BHMN), sedikitnya ada tiga alasan atas fenomena

yang menjadi perbincangan hangat itu.Pertama, soal keterbatasan anggaran pendidikan

yang disediakan negara kepada masyarakat., Kedua,soal deetatisme yang digembar-gemborkan sebagaijalan menuju otonomi kampus sepenuhnya,-Ketiga,soal kapitalisme global yang semakin lama semakinpasti mensyaratkan privatisasi berbagai lembaga miliknegara untuk dipersaingkan di tengah pasar bebas.

Penjelasan gamblang untuk alasan pertama ada-lah ketidakmampuan negara untuk memberikan sub-sidi sebesar-besarnya bagi masyarakat untuk menik-mati dan mengenyam pendidikan. Dengan kata lain,ini merupakan kegagalan fungsi negara untuk mem-berikan pendidikan semurah-murahnya kepada

107masyarakat. Atas alasan krisis ekonomi berkepanjang-an dengan berbagai aspeknya, negara berpikir tidaklagi perlu memberikan subsidi pendidikan, terutamauntuk pendidikian tinggi. Krisis ini diperparahdengan tidak kunjung membaiknya perekonomianIndonesia di tengah-tengah negara-negara lain yangsudah bangkit. Karena itu, seakan-akan absah jikanegara menghendaki pemotongan anggaran pendidik-an bagi masyarakat.

Penjelasan kedua mengandaikan bahwa di erareformasi ini negara tak boleh lagi mengintervensi

K

Page 109: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidikan Penguasa

108

kampus sebagai lahan persemaian keilmuan. Duniaakademis dengan segala apa yang ada di dalamnyabersifat otonom. Ilmu memiliki kebebasan untukmenentukan dirinya sendiri, dan kuasa negara tidakberhak untuk menentukan wacana yang berkembangdi dalamnya (Sebagai catatan, ini kontradiktif dengankarakter UU Sisdiknas yang baru yang sangat kentalsemangat etatismenya).

Ini seperti halnya analisis diskursus (discourseanalysis) yang dikembangkan Foucault ketika melihatbahwa kekuasaan selalu menentukan arah pengeta-huan masyarakat. Baginya, pengetahuan bukanlahsesuatu yang ada tanpa berhubungan dengan kekua-saan yang sedang dijalankan; dan pengetahuanmenjadi tidak bebas nilai. Justru pengetahuan adalahalat peredaran negara dan perusahaan multinasionalyang dalam kerangka ini tentu saja untuk kemajuankapitalisme.

Berkaitan dengan penjelasan kedua, penjelasanketiga mengisyaratkan adanya integrasi institusi-insti-tusi negara ke dalam pasar. Kapitalisme melahirkanarena yang disebut pasar dan ia berfungsi sebagailahan untuk beradu kekuatan. Konsekuensi dari kom-petisi bebas ini adalah tersingkirnya yang lemah danpongahnya yang kuat. Negara menjadi serba sulit un-tuk membela kepentingan si lemah. Akibatnya, fungsinegara untuk melindungi dan mencerdaskan masya-rakat larut dalam arena pertarungan tanpa batas ter-sebut.

Dari kasus ini, sangat perlu kita sarankan bahwakomersialisasi pendidikan sangatiah mencoreng mukadan nama besar PTN-PTN yang sudah diakui terse-but. Tanpa harus mengeksploitasi dan menciptakanruang diskriminasi bagi mahasiswa, PTN-PTN terse-but kita yakini masih mampu mencari dana dengancara yang lebih elegan dan profesional. Masih banyakcara untuk mendanai operasionalisasi pendidikan tan-pa harus menjerat leher masyarakat. Jangan perburukwajah Indonesia dengan melakukan hal-hal yang di

Page 110: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

pendidik an. Kome rsi alai sa si. d an Ekspl oita si

luar batas kewajaran.

B. Integrasi Pendidikan dalam PasarBebas

Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia,berangkat dari soal-soal yang dikemukakan di atas,sebenarnya implikasi yang paling logis diterima ataskebijakan itu adalah mahalnya biaya pendidikan.

109

Page 111: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidikan Penguasa

Fenomena ini tentu saja kontradiktif dengan kondisiperekonomian masyarakat, yang umumnya takberdaya baik sebelum maupun sesudah krisis. DariOrde Baru hingga sekarang, perkembangan pereko-nomian masyarakat berjalan sangat lambat di satu sisi,meski di sisi lain peredaran korupsi di tingkat elitesemakin membabi-buta. Ada kesenjangan yang tidaksulit dipahami dengan mata telanjang, terutama ketikakaum elite berebut kue pembangunan, dan kaummiskin semata-mata tetap menjadi objek pemba-ngunan.

Terintegrasinya dunia pendidikan ke dalam pasarbebas, dengan konsekuensi sebagaimana dipaparkandi atas di satu pihak, adalah fenomena yang tidaksebanding ataupun berlainan sama sekali denganketidakberdayaan ekonomi masyarakat di lain pihak.Jika di negara-negara maju pendidikan yang berbiayamahal tidak mendapatkan protes, itu karena masya-rakatnya yang melihat kemampuan dirinya untukmengakses dunia pendidikan tersebut. Persoalan kitasaat ini dengan demikian adalah bagaimana menyi-kapi dua hal berbeda yang saling bertolak belakangtersebut?

Jika memang disadari bahwa kemampuan negarasangat lemah untuk mensubsidi pendidikan, akankahia lantas melepaskan diri dari tanggung jawabnya un-tuk mencerdaskan masyarakat, sebagaimana diama-natkan dalam Pembukaan UUD 1945? Seharusnyanegara tidak tinggal diam dan berinisiatif membantusi lemah untuk mengenyam pendidikan murah.

Mahalnya biaya pendidikan sebagaimana realitasyang kita amati saat ini membuat suburnya mentalitas"menempuh segala cara" bagi PTN untuk mencaridana segar. Dengan membuka jalur khusus penerima-an mahasiswa, institusi pendidikan secara tak sadartelah menceburkan diri dalam penciptaan ruangdiskriminasi (Kompas, 17/6/03) atas mahasiswa itusendiri. Di sini, baru disadari bahwa uang menjadiraja bagi segalanya, dan dengan demikian mutu aka-demis dilalaikan. Di sisi lain, institusi pendidikan

Page 112: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

pendidik an. Kome rsi alai sa si. d an Ekspl oita si

telah terjebak pada logika ampuh kapitalisme: eksplo-itasi. Dalam konteks ini, siapa lagi yang menjadisasaran eksploitasi kalau bukan mahasiswa (Kompas,18/ 6/03).

Ibarat sudah jatuh, masyarakat miskin yangmemiliki kemampuan akademik di atas rata-rata,akhirnya tertimpa tangga pula. Tertutup ruang bagimereka untuk mengembangkan kemampuannya didalam universitas-universitas berkualitas'Orientasimereka sudah digeser untuk sekadar meucari uangdan uang, kualifikasi akademis sudah dipinggirkanjauh-jauh.

Tanpa meremehkan potensi intelektual anak-anak kaum the havc, problem lain yang harus dikemu-kakan adalah: Akan dibawa ke mana (akan jadi apa)para mahasiswa itu jika di permulaan menempuhstudi saja harus terbebani uang yang demikian besar?Jika mereka sudah lulus, bukankah sangat potensialbagi mereka untuk berpikir mengembalikan secepat-cepat- nya uang yang telah mereka investasikan untukpen-

111didikan? Dan bukankah mentalitas ini yang menjadibenih-benih atas suburnya korupsi dan kolusi (sebagaicara cepat mencari uang) di negeri ini? Di mana kepe-dulian mereka atas si lemah ditumbuhkan? Dan bagai-mana nasib si lemah itu sendiri? Akankah berlakulogika yang lemah makin lemah dan yang kuat makinkuat?

C. Sekolah bagi Kaum Miskin?Saat Penerimaan Siswa Baru (PSB) sekolah-seko-

lah menengah dan tingkat atas, macam-macam carasekolah untuk menyeleksi siswa barunya, termasukmelalui Uji Pengendalian Mutu (UPM). Terutama dikota-kota besar, kita saksikan ramainya lembaga pen-didikan diserbu orang tua siswa.

Kita bergembira karena kesadaran orang tuauntuk menyekolahkan anaknya meningkat. Tapi kita

Page 113: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidikan Penguasa

bersedih, dan sangat bersedih, karena biaya sekolahpasti semakin mahal! Dampaknya, sekolah-sekolahdengan kualitas bagus (sekolah favorit), akhirnya ha-nya menjadi tempat bagi kaum yang tidak miskin.

Ironisnya, sebagian besar masyarakat Indonesiaadalah miskin, dan dengan demikian tidak memilikikemampuan memadai untuk menjangkau sekolahfavorit. Maka kita bertanya: Untuk siapa sekolahfavorit itu dibuat? Dengaii pertanyaan lain, pen-didikan diselenggarakan untuk siapa? Untuk masya-rakat miskin agar mereka pintar, atau untuk masya-rakat kaya agar semakin pintar membodohi si miskin?Atau untuk segala lapisan masyarakat tanpa meman-dang mereka miskin atau tidak?

Seharusnya, pemerintah dan para penyelenggarapendidikan merasa malu terhadap kecenderunganbahwa setiap tahun pelajaran baru, Perum Pegadaianpasti semakin ramai dan penuh. Mereka rela berhu-tang demi pendidikan anaknya. Itu tandanya bahwabiaya pendidikan semakin mahal! Masyarakat takmampu membayar biaya pendidikan dengan hanyasekadar merogoh uang tabungannya saja. Merekaperlu berhutang demi pendidikan anaknya. Sawahladang pun kalau perlu dijual.

Lihatlah pada setiap tahun ajaran baru, orang tuamurid selalu dibuat geram serta bingung untukmenyekolahkan anaknya pada sekolah yang bermutu.Mereka yang termasuk kelas menengah mungkin ma-sih ada harapan. Bagaimana dengan masyarakat kelasbawah? Adakah harapan mereka untuk memperolehpendidikan sejajar dengan anak orang kaya? -

Ironisme ini justru diperparah dengan mentalitaspenyelenggara pendidikan yang umumnya kerapmaterialistis. Dampaknya, di negeri ini sekolah berm-utu hanya milik kaum berada. Mereka yang memilikimodal adalah mereka yang sanggup memberikananaknya pendidikan bermutu di satu pihak,sedangkan sebagian besar anak yang berasal dari

Page 114: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

pendidik an. Kome rsi alai sa si. d an Ekspl oita si

keluarga miskin tak pernah memperoleh fasilitas "mu-tu" ini di lain pihak. Tampaknya, kaum miskin hanya

113

Page 115: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidik an Penguasa p e n d i d i k a n . Komersial aisasi. dan Ek sploitasi

dipuaskan dengan mendapatkan pendidikan hanvasekadar baca tulis dan bisa berhitung.

Di sini kemudian kita bisa menyimpulkan bahwapendidikan hanya termaknai sekadar untuk memper-kukuh aset masa depan. Pendidikan hanya sekadaruntuk melestarikan sebuah status sosial dan ekonomi.Dan sepanjang pendidikan hanya diorientasikan ma-terialistis seperti itu, tampaknya sulit bagi kita untukkeluar dari krisis mental ini.

Refleksi semacam ini jarang didengarkan olehpara pengelola pendidikan. Atau mereka terkadangsulit untuk keluar dari kemelut, antara mahalnyabiaya pendidikan dan mahalnya kelengkapan saranaprasarana. Tapi yang jelas, mereka tidak melihat orangtua murid yang resah untuk mencari sekolah yangbermutu dan favorit.

Memang, di negeri ini sekolah bermutu mem-butuhkan dana besar, sebab sekolah tak ubahnya pro-yek investasi masa depan. Demi masa depan segala-nya dipertaruhkan bagi sang anak. Orang tua begitukhawatir bila anaknya tidak mendapatkan sekolahyang memiliki mutu standar.

Tapi yang ironis, hanya demi kelengkapan sara-na, sekolah sering bertindak irasional. Artinya seakan-akan jalan satu-satunya adalah mencekik leher masya-rakat, dengan memahalkan uang pembangunan/uanggedung. Yang tidak disadari adalah, dan itu terjadi,seolah-olah hanya uang yang menjadi satu-satunyapenentu kebijakan bagi penerimaan murid sekolah. 114

Pendidikan, dalam praktik kinerja maupun levelteoretiknya, selalu saja menyisakan ragam pertanyaanyang tak habis dijawab. Setelah menjawab pertanyaanyang satu, lantas dituntut menjawab pertanyaan ke-

dua, ketiga, keempat dan seterusnya. Demikianlah,dunia pendidikan di dunia ini terus berbenah menatadiri. Pertanyaan terakhir yang bisa kita rekam, ber-benah diri menuju ke mana dunia pendidikan yangada di dunia ini? Sebuah pertanyaan yang "tak butuh"jawaban, sebab kalau toh dijawab, jawaban yangmuncul kerap akan menjadi sangat ironis dan menye-dihkan, meski dalam bungkus yang menggembirakan.Berbagai kebijakan yang diterapkan oleh pemerintahhampir tidak ada yang merespons secara positif.Masyarakat sudah telanjur memberikan cap negatifterhadap segala kinerja pemerintah dalam bidangpendidikan.

D. Ironi Pendidikan sebagai LadangBisnis

Kesadaran pendidikan adalah proses membuatpeserta didik memiliki daya kritis dan mampu ber-pikir mandiri. Prinsip ini menjadi tidak jelas lagidalam sistem penerimaan murid baru. Dan ini me-mang terjadi sejak awal. Orientasi sistem pendidikannasional tidak jelas, selain terlalu menegara, jugalantaran antara tujuan dan fungsi dikaburkan. Keti-dakjelasan ini membuat orientasi sekolah hanya untukproyek investasi.

115

Page 116: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidikan Penguasa

116

Inilah yang membuat sekolah menjadi alat untukmencari posisi dan kedudukan belaka. Demi logikaini, proses untuk membawa siswa pada kesadaranakan kedewasaan tidak lagi menjadi orientasi menda-sar. Yang penting adalah yang terlihat di permukaan.

Fenomena ini membuat sekolah menjadi mahalkarena dunia pendidikan sudah menjadi ladang bisnisbaru. Pendidikan dibisniskan. Mengapa? Karena "bis-nis pendidikan" amat menjanjikan bagi bangsa yanggila gelar.

Karena itu, jangan heran bila mutu pendidikansering hanya sebagai kedok belaka! Mutu sekolah jus-tru dikompromikan dengan selera pasar. Sekolah bu-kan lagi tempat untuk memperoleh kecedasan anak,tapi ironisnya sering menjadi alat peraih status sosial.Sekolah adalah sarana gengsi orang tua. Orang tuaakan bangga bila anaknya diterima di sekolah yangfavorit (dan mahal), meskipun bagi sang anak justrumenjadi beban. Yang penting, gengsi orang tua naiktanpa memperhatikan kemampuan si anak. Di sini,orang tua juga kerap keliru menilai bahwa gengsinyanaik lantaran ia membayar mahal untuk sekolah favo-rit tertentu, misalnya.

Selanjutnya, mentalitas yang parah ini kemudiandimanfaatkan oeh para penyelenggara sekolah favorituntuk mempermainkan dana kompensasi pendidikan.Dana kompensasi ini dijadikan objek bagi sekolah un-tuk meningkatkan sarana sekolah sesuai tuntutanorang tua. Padahal, tuntutan ini sebenarnya tidakmasuk akal karena tidak ada kaitannya dengan dunia

Page 117: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

pendidihan. Komersialaisasi. dan Ebsploitasi

pendidikan.

Orang tua terlalu mempercayai lembaga pendi-dikan yang ia bayar mahal, karena asumsi bahwatugasnya untuk mendidik anaknya sudah terlimpahsepenuhnya. Seolah-olah sekolah mampu sepenuhnyamenggantikan tugasnya untuk mendidik. Sekolah fa-vorit yang kerap dijadikan objek untuk memenuhikebutuhan gengsi semata, menghilangkan prinsipdasar pendidikan, yakni sebagai wadah pemerdekaanbagi anak didik.

Di sisi lain, pendidikan saat ini telah disubordi-nasikan untuk kepentingan pasar. Dampaknya, orien-tasi pendidikan hanya sekadar menjadi pawang ataumentor. Pendidikan hanya berusaha bagaimana mem-bekali siswa dengan rumusan-rumusan teoretis bela-ka. Siswa bukan diajak untuk berproses menjadi ma-nusiawi tetapi menjadi objek an sich.

Pendidikan, baik lembaga penyelenggaranyamaupun pandangan sebagian kecil kaum berada,lantas menjadi mekanistis karena hanya semata-matamengejar kepentingan "uang" belaka. Uang menjadisegala-galanya. Dan demi itu semua, anak didikdigagalkan memperoleh pendidikan yang luhur,yakni membentuk manusia yang memiliki kecedersandan berbudi luhur.

Jika pendidikan lantas terjerumus ke dalam du-nia bisnis, maka akan berlaku siapa yang memilikiuang dia bisa membeli pendidikan. Akibatnya, anak

117

Page 118: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidikan Penguasa

miskin tak pernah menjadi keprihatinan kita. Anakmiskin tak pernah dipertimbangkan untuk mendapat-kan sekolah bermutu. Sepertinya anak miskin sudahdistigmatisasikan sebagai orang yang dibuang daristruktur masyarakat.

Padahal jika pendidikan tidak pernah menyentuhkaum miskin, seperti dikatakan almarhum RomoMangun, pendidikan tak pernah bisa memerdekakankaum miskin untuk menjadi dirinya sendiri. Pendidik-an hanya menghasilkan mentalitas priyayi baru.

Maka pertanyaan kita, adakah sekolah yang ber-mutu dan berkualitas unggul untuk kaum miskin?

E. Komersialisasi dan KeprihatinanKritikus Pendidikan

Bahwa orientasi pendidikan sebagai "barangdagangan" sebenarnya sudah menjadi keprihatinanpemikir-pemikir terdahulu semacam Ivan Illich, PauloFreire, Margareth Mead, Nicholas Abercromble,Immanuel Wallerstein, Louis Althusser, PierreBourdieu dan seterusnya. Mereka telah mengingatkanbahwa lembaga pendidikan bukanlah media untuktidak melestarikan kekuasaan dan modal, tetapi justruuntuk memberikan distribusi yang adil terhadappenyaluran pengetahuan informasi bagi semua pihak.Pendidikan bukan hanya untuk dimonopoli oleh yangbermodal saja.

Tapi faktanya, pendidikan hanya dimonopolioleh mereka yang bermodal. Ivan lllich dengan De-schooling Society-nya dengan geram mengatakan

Page 119: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

pendidik an. Kome rsi alai sa si. d an Ekspl oita si

bahwa tidak ada sekolah yang terbuka dan yangsepenuhnya terbuka untuk menampung semua anakusia sekolah di masyarakat. Dengan berbagai daliladministrasi, sekolah akan mempertahankan sebuahpintu yang tertutup bagi kelas tertindas. Oleh karenaitu, demikian lllich, misi lembaga pendidikan modernsebenarnya mengabdi pada kepentingan pemilikmodal dan bukan sebagai sarana pembebasan bagikaum tertindas.

Adalah Everett Rimer yang dengan garang me-nyerang bahwa sekolah telah mati. Dengan School isDead-nya yang termasyhur itu, ia ingin mengemuka-kan sebuah pandangan tentang absurditas lembagayang kerap dibangga-banggakan masyarakat dalamkehidupannya. Rimer adalah kritikus yang memilikisemangat seluar biasa Ivan lllich atau Paufo Freireketika ia harus mengolok dunia pendidikan, danFoucault untuk konteks arkeologi pengetahuannya.Gagasannya tentang masyarakat "bebas sekolah" be-tul-betul menggugah tidak saja secara paradigmatik,tapi juga secara filosofis. Bagi kedua orang itu, konsep"pendidikan" dan "sekolah" memiliki basis pemak-naan yang sesungguhnya jauh berbeda, namun hariini, atas rekayasa kepentingan mahabesar dari kekua-saan dan teknologi, sekolah sebagai institusi formalmenjadi lembaga yang antikritik, padahal pendidikan(ilmu) adalah bebas kritik.

119Tetapi sistem pendidikan modern telah berhasil

menindas kaum miskin agar mereka tak mampu hiduplebih mandiri. Mengapa demikian? Dalam kritiknya,

Page 120: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidikan Penguasg

120

Romo Wahono mengatakan bahwa sistem pendidikandi negeri ini lebih berpola pada "pendidikan modelanjing". Model pendidikan ini bersifat hafalan, kepa-tuhan, sistem komando, subordinasi, dan sistem mili-teristik. Siswa bukan dijadikan subjek yang mandirimelainkan sebagai objek kepatuhan sang guru. Siswayang patuh akan memperoleh hadiah, sedangkan yangsiswa kritis yang mempertanyakan ketidakwajaranharus dibungkam dan dihukum.

Seharusnya, pendidikan mampu memerdekakanseseorang dari ketergantungan kuasa modal dan sub-ordinasi kekuasaan. Pendidikan yang memerdekakanberpola seperti laiknya "ayam yang mengajari anaknyamengenal realitas kehidupan". Induk semang ayammendidik anak-anaknya dari dan untuk kehidupan itusendiri. Anak ayam dibiarkan mencari makan secaramandiri sedangkan induknya mengawasi. Pola inimenuntut guru bersikap sebagai teman atau rekanbermain anak didik, dan bukan sebagai komandanyang setiap perintahnya harus diturut. Guru bukanlagi figur yang harus ditakuti tetapi hendaknyamenjadi mitra siswa yang dicintai. Dengan demikian,paradigma pendidikan hendaknya berubah: gurubukan menjadi satunya pusat kebenaran, tetapikebenaran harus dicari bersama-sama.

Pendidikan seperti ini dalam bahasa Freire adalahpendidikan yang terkait dengan realitas kehidupan.Kenyataannya, di negeri ini pendidikan lepas darirealitas kehidupan. Ini membuat lulusan sekolah kitatak mampu berinovasi dan berkreasi karena pendidik-an hanya sekadar memperoleh ijasah dan gelar, bukan

Page 121: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

pendidik an. Kome rsi alai sa si. d an Ekspl oita si

proses pemerdekaan yang membawa pada pencerah-an.

Di sisi lain, problem kita sekarang adalah bagai-mana melibatkan anak-anak kaum miskin, pandai atautidak, untuk mengenyam pendidikan bermutu. Seringkali berbagai program pemerintah terjebak pada slo-gan bahwa anak miskin yang pandai akan dibiayai.Persoalannya, bagaimana dengan anak miskin yang bo-doh lantaran dia miskin? Apakah pemerintah tak maubertanggung jawab atas masa depannya? Kapankahkaum miskin bisa menikmati hak sama dengan kaumkaya dalam pendidikan? Pertanyaan inilah sebenarnyayang harus direfleksikan oleh mereka yang saat iniberkuasa. Bila mereka mau dan beru s a h a 411 e w u j 11

d - kannya, pasti bisa.Mungkin tidak harus menggunakan slogan yang

biasanya kita dengar dari para aktivis tentang "pen-didikan gratis" mengingat situasi perekonomianIndonesia yang carut marut ini. Juga, mungkin agakmustahil membuat "pendidikan gratis" dalam situasidi mana perekonomian Indonesia tak kunjung pulih.Karena itu, dari refleksi ini penulis hanya menyaran-kan agar pemerintah sungguh-sungguh memikirkan

121"pendidikan bagi kaum miskin”. Artinya, pendidikanmungkin tidak harus gratis, tapi pemerintah meng-upayakan agar terbuka kesempatan yang sama antarasi kaya dan si miskin.

Page 122: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidikan Penguasa

123

F. Pendidikan Gratis sebagai Komoditas Politik

Di Jawa Timur, ada contoh menarik berkaitandengan judul di atas; dan penulis kira itu juga terjadidi beberapa daerah lainnya. Ketika Imam Utomo ter-pilih sebagai Gubernur Jawa Timur, sebagian rakyatbergembira menantikan pendidikan gratis yang beliaujanjikan. Rakyat tampaknya sudah tidak begituperduli bahwa janji politik yang terumbar di berbagaisering tak terbukti kebenarannya. Yang dimengertirakyat, janji pendidikan gratis yang keluar dari mulutelite politik adalah semacam oase di tengah padangpasir.

Lalu tanggal 28 Agustus 2003, sesaat ketika Drs.Peni Suparto terpilih sebagai Walikota Malang, janjipendidikan gratis meluncur lagi. Bahkan lebih antu-sias, Peni menjanjikan pendidikan gratis dari SD sam-pai SMU. Lagi-lagi sebagai janji politik, rakyatbergembira mendengarnya dan tidak hirau bahwajanji politik sering terlupa pemenuhannya.

Tentu saja, dua fenomena tersebut menggam-barkan sesuatu yang sangat luar biasa. Satu hal yangpatut dipetik dari fenomena tersebut adalah kepe-

semakin lama semakin sempit dan tak terjangkau.Bahkan tidak kecil kemungkinannya, janji-janji politikini akan ditiru oleh calon-calon kepala daerah lainnyadi Jawa Timur bahkan di Indonesia.

Seharusnya, kita dan media-media di Indonesia

dulian pejabat atas akses pendidikan rakyat yang

Page 123: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

pendidik an. Kome rsi alai sa si. d an Ekspl oita si

bisa mengangkat fenomena ini sefenomenal kasusInul, kasus Sukhoi, kasus Aceh, kasus Papua dan seba-gainya. Di Indonesia, janji-janji politik para pejabatpublik untuk menggratiskan biaya berpendidikanadalah fenomena baru. Maksudnya, kita perlu mem-besarkan fenomena ini adalah agar para pejabat publikyang kini sudah menduduki jabatan-jabatan puncakitu tidak lalai akan janjinya.

Janji politik itu harus dikontrol oleh masyarakat,LSM, akademisi, legislatif daerah dan berbagai kom-ponen lainnya. Janji tersebut harus diingat terusseketat mungkin oleh segenap masyarakat.. Kitajangan sampai terbuai oleh isu-isu lainnya yang di-munculkan untuk melalaikan janji politik semacamini.

Di negara-negara modern yang memiliki kua-lifikasi demokrasi yang baik, janji politik merupakanbeban politik yang bisa digunakan oleh masyarakatsebagai password untuk melengserkan atau memper-tahankan pejabat tersebut. Mereka tidak mau dikibulioleh politisi, yang memang terlalu potensial untukngibul. Apabila dalam tiga bulan pertama tidak adatanda-tanda pejabat tersebut memenuhi janjinya, makadengan segera mereka menuntut janji tersebut.

123Dari pengalaman kita sebagai bangsa, janji politik

memang sering terbukti hanya janji belaka, yaknisebagai alat untuk memuluskan seseorang meraih cita-cita politiknya, dan selanjutnya tidak ada kabarnya.Permasalahannya, apakah bakat melupakan janjisebagaimana sering kita alami di masa Orba tersebutmasih berupa janji-janji palsu pemanis lidah? Kitabelum membuktikannya, meski kita sudah merasakan

Page 124: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidikan Penguasa

125

tanda-tandanya.Janji pendidikan gratis bagi sebagian masyarakat

mungkin terlalu muluk. Tapi bagaimanapun juga,dengan kewenangan dan kekuasaannya, tidak sulituntuk merealisasikan janji tersebut, asal ada komit-men dan kemauan keras dari pemimpin untuk mere-alisasikan. Sering kali unsur "lupa" dalam janji politikitu lahir karena, berbarengan dengan jabatannya, pe-nguasa memang sejatinya tidak memiliki komitmenitu.

Jika kita tilik latar belakang Peni Suparto, beliaulahir dan dibesarkan dari dunia kependidikan. ImamUtomo dibesarkan oleh pengalamannya memimpinJawa Timur yang daya serap pendidikan masyarakat-nya semakin lama semakin menurun akibat krisis eko-nomi. Karena itu, kita berharap agar janji politik me-reka bukanlah janji palsu sebagaimana pemimpin-pemimpin terdahulu. Tentulah beliau-beliau itu harusmalu jika tidak merealisasikan janji tersebut. Bagi rak-yat, penulis kira, janji mereka adalah cermin integritas,martabat dan harkat kepribadiannya.

Page 125: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

pendidihan. Komersialaisasi. dan Ebsploitasi

Karena itulah, tidak ada alasan yang lebih baikbagi keduanya untuk mengingkari janjinya. Janji poli-tik pendidikan gratis harus segera direalisasikan, dantentu dengan melibatkan segenap komponen masya-rakat yang berkompeten di dalamnya.

Apabila sebaliknya, yakni janji pendidikan gratishanyalah janji politik yang palsu, maka harus diingatbahwa rakyat kita bukanlah rakyat pelupa. Merekaakan mengingat sampai kapan pun bahwa ada duapejabat yang mengingkari janjinya sendiri. Dan ke-percayaan masyarakat semakin lama tidak saja se-makin pudar, melainkan juga mati Siapa lagi yangbisa dipercaya di tengah situasi sosial yang serba ge-lap ini? Jika masyarakat sudah tak lagi percaya padapemerintah, kepada siapa pemerintah akan mengaturdan mengarahkan kebijakan-kebijakannya?

Sisi lain kalau janji politik pendidikan gratis ituadalah bualan-bualan politik sampah, maka masya-rakat harus waspada diperintah oleh pemerintah yangsuka menipu. Pendidikan dijadikan alat komoditasuntuk meraih kekuasaan politik secara legal tapi tidakbermoral.

Karena itulah, satu-satunya harapan masyarakatadalah agar janji politik pendidikan gratis itu bisadirealisasi secepat-cepatnya. Sekali lagi secepat-cepat-nya. Tidak ada lagi alasan untuk menunda-nunda janjipolitik tersebut mengingat krisis berkepanjangan di-tambah bencana kekeringan yang menimpa masya-rakat Jawa Timur semakin menjadi-jadi. Pemerintah

125

Page 126: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidikan Penguasa

126

diharapkan pengertiannya, bahwa jangankan mem-bayar sekolah yang mahal, membeli sejeriken air sajaharus menjual hewan ternaknya.

Di sisi lain, agenda penting dan mendesak bagisegenap komponen masyarakat Jawa Timur (LSM,DPRD, pers, insan akademika) adalah terus-menerusmenempel ketat arah janji itu. Jangan sampai kita ter-lena dan terbohongi oleh janji-janji politisi. Janji ter-sebut harus dikontrol sedemikian rupa agar tidak me-leset di tengah jalan.

Bagi pemerintah sendiri, sudah saatnyamemberikan rumusan platform kebijakan yangberpihak pada kaum lemah. Perlu dirumuskan kebi-jakan yang komprehensif dan proporsional dalamjangka pendek, menengah dan panjang untuk mem-berikan pendidikan gratis kepada masyarakat lemah.

Dalam bahasa Jawa, orang yang pelupa disebutsebagai pikun. Tapi kita yakin, para pejabat itu tidakmenyandang gelar tersebut.

G. Subsidi Biaya Minimal PendidikanDasar

Di Jawa Timur pula, berikutnya muncul sebuahnota kesepakatan tentang subsidi biaya minimal pen-didikan dasar antara Pemprov Jatim dan pemerintahkabupaten/kota se-Jatim yang ditandatangani diGedung Grahadi Surabaya (Kompas Jatim, 12/11/2002).

Page 127: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

pendidihan. Komersialaisasi. dan Ebsploitasi

Hasilnya, dari 38 kabupaten/ kota se-Jatim, 19 Jiantaranya sanggup memberikan subsidi penuhkepada siswa SD/Ml dan SLTP/MTs, dan 19 lainnyamasih memberikan subisidi biaya minimal pendidikandasar kepada keluarga kurang mampu. Pada 2004nanti, Pemprov Jatim bahkan khusus mengalokasikandana Rp. 365.965 miliar untuk memberikan subsidipendidikan dasar ini.

Bagi Gubernur Imam Utomo, langkah ini meru-pakan hal yang cukup melegakan karena setidaknyaprogram yang telah dikampanyekannya telah dire-alisasikan. Sementara bagi masyarakat miskin dansangat miskin, kebijakan pemerintah ini merupakansedikit langkah maju untuk mengurangi beban pen-deritaan mereka yang tak bisa mengenyam pendi-dikan selama ini.

Di satu sisi, ini merupakan respons positif peme-rintah atas wacana "subsidi pendidikan" maupun"pendidikan gratis" yang dituntut masyarakat sebagairealisasi dari UUD Pasal 31 UUD 1945. Tapi di sisilain, langkah seperti ini—seperti sering terjadi —harus dicermati secara jeli baik dalam konteks peru-musan maupun pelaksanaannya. Setidaknya, agarmemorandum of understanding (MoU) ini bukan dilihatsebagai semata-mata langkah politis pihak tertentuuntuk kepentingan tertentu. Sebab jika itu yang ter-jadi, lagi-lagi pendidikan menjadi ajang politisasi bagisebuah kepentingan tertentu. Dan hasilnya, suatu ke-tika kepedulian atas pendidikan akan ditinggalkan.

127

Page 128: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik-Pendidikan Penguasa

128

Hakikat subsidi dalam konteks ini adalah ke- mauanpemerintah untuk mengalokasikan sebagian danapembangunan (APBD) guna membantu pendanaanpembiayaan sekolah siswa yang dari era ke era semakinmahal. Kemauan dan keterlibatan pemerintah ini tidak akanada artinya jika tidak ditopang dengan adanya pelaksanaanyang baik di lapangan. Di sisi lain, subsidi akan sangat tidakefektif karena ia diberikan kepada pihak yang tidakmembutuhkan, sementara pihak yang amat memerlukantidak memperolehnya.

Ada beberapa hal yang perlu kita renungkan dalammenanggapi nota kesepakatan tersebut. Pertama, subsidibiaya minimal pendidikan dasar barulah merupakanlangkah awal dari apa yang diinginkan sebagai pendidikangratis. Artinya, keterlibatan pemerintah dalam memberikansubsidi pendidikan dasar ini agar jangan dijadikan alasanuntuk berbang- ga terlebili dulu dan merasa tugasnyasebagai pemerintah untuk memediasi persoalan pendidikansudah selesai.

Itu sering menjadi ciri buruk elite pejabat di negeri ini.Merasa sudah membantu masyarakat miskin, maka denganseenaknya ia melahirkan kebijakan- kebijakan baru yangjustru membelenggu masyarakat miskin. Dengan begitu,sebenarnya tidak ada yang perlu ditonjolkan dari bantuanitu, karena di sisi lain kebijakan pemerintah masih mencekik.

Ambil contoh sederhana. Biaya SPP seorangsiswa sudah disubsidi, bahkan digratiskan. Akantetapi di sisi lain, tanpa penilaian moral dan kemanu-siaan, pemerintah justru melakukan penggusuranrumah warga miskin atas alasan-alasan yang belumdidiskusikan secara tuntas dengan mereka. Jadi, SPPbisa gratis tapi belum tentu si siswa bisa sekolah. Se-bab alat-alat sekolahnya (buku, baju, sepatu dan lain-nya) telah hilang, dan ia malu bergaul dengan kawan-kawannya karena rendah diri. Contoh lain, apalah artibiaya SPP yang disubsidi kalau biaya buku mahal dansetiap tahun harus berganti-ganti kurikulum,tarikan/pungutan liar yang merajalela oleh oknum tak

Page 129: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

pendidik an. Kome rsi alai sa si. d an Ekspl oita si

bertanggungjawab, biaya ini dan itu dan seterusnya.Contoh-contoh di atas menggambarkan pada kita

bahwa langkah seperti dalam MoU itu harusdilanjutkan dengan langkah berikutnya yang lebihkomprehensif, jika kebijakan itu betul-betul'untukkepentingan orang miskin, bukan untuk popularitaspejabat. SPP gratis sekalipun tidak memiliki arti bagisi siswa karena biaya bersekolah bukan hanya SPPsaja. Teramat banyak biaya operasional lain yangmuncul sebagai akibat sistem persekolahan kita yangkomersial.

Kedua, kebijakan yang relatif baru ini akan meng-undang berbagai permasalahan yang kemungkinansudah kita rasakan aromanya lamat-lamat. Sebagailangkah baru, dan seiring dengan "bakat" yang kita

129

Page 130: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pen didik an Pen gu asa

130

miliki yakni korupsi, maka potensi penyelewengandana subisidi untuk pendidikan dasar kaum miskinini terbuka lebar. Orang yang keblinger melihat setum-puk uang dan ia pandai melakukan rekayasa mem-buat aturan ini akan rawan korupsi.

Tak kurang berapa banyak kebijakan bantuanpemerintah yang mengalami nasib seperti itu. Banyakprogram pemberdayaan masyarakat yang akhirnyagagal di tengah jalan dan membuat masyarakat sema-kin miskin karena kehadiran para koruptor yang bisamemakai baju apa saja. Yang berdaya bukanlah ma-syarakat yang diberdayakan, melainkan oknum-ok-num elite tertentu yang pandai memanfaatkan celah-celah.

Celah-celah itulah yang masih terbuka lebar da-lam konteks ini. Para koruptor tak akan berpikir pan-jang lebar dana ini akan digunakan untuk membantumasyarakat miskin. Dengan berbagai dalih dankepentingan, korupsi bisa dilakukan. Misalnya dika-takan per siswa akan mendapatkan subsidi dari limabelas hingga dua puluh ribu rupiah, sangat terbukakemungkinan di lapangan tidak sebesar itu yang sis-wa dapat. Tapi laporan yang diberikan kepada atasansebesar itu.

Itulah yang sering terjadi jika kontrol atas subsidipendidikan dasar ini tidak dilakukan secara ketat.Tidak hanya itu, sanksi hukum bagi para pelanggar-nya harus diberlakukan secara tegas.

Page 131: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Sebagai satu-satunya provinsi yang diklaimmemiliki political will untuk memberikan subsidipendidikan dasar, dan dengan demikian melak-sanakan Pasal 31 UUD 1945 secara baik, bukan berartidi Jatim memiliki masalah. Perlu menjadi catatan ber-sama, kebutuhan subsidi ini pada setiap daerah ber-variasi di mana sangat tergantung pada jumlah dankebutuhan siswa bersangkutan. Perlu diingat denganjumlah penduduk miskin dan sangat miskin di Jatimyang berkisar hingga 7.181 juta jiwa (2002), subsidipendidikan cepat atau lambat akan mengalami masa-lah-masalah seperti paparan di atas.

Terakhir, subsidi pendidikan ini tidak akan efek-tif kalau peluang korupsi masih dibuka lebar, terdapatpolitisasi dana subsidi, terbukanya peluang salah sa-saran, dan tidak konsisten kebijakian-kebijakan laindalam mendukung kemandirian masyarakat. Teruta-ma apabila sanksi hukum tidak diberlakukan secarategas, percayalah langkah ini hanya sekadar ailm-aumsaja. Lagi-lagi masyarakat dibohongi oleh -kebijakanpemerintah yang seolah populis, tapi hakikatnyamenindas.

H.Kekerasan dan Ironi Dunia PendidikanKalau Anda sempat menyaksikan tayangan SCTV

Minggu malam dan (karena antusiasme penonton)perlu diulang lagi Senin (21-22/9/2003) di acaraLiputan Pagi tentang kekerasan pendidikan diSTPDN, Anda yang bernurani pasti akan meneteskan

131air mata keharuan. Itu tontonan yang memberikanbukti bahwa sesungguhnya kekerasan tidak sajamerupakan bakat yang melekat dalam diri kita seba-gaimana kita akui secara historis, melainkan keke-rasan adalah ajaran yang dilestarikan.

Pendidikan yang diharapkan mencetak anakdidik menjadi manusia berbudi luhur, nyatanya dino-dai oleh sebuah sistem yang melanggengkan kekeras-

Page 132: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pen didik an P e n o n a s a

133

an. Belum tuntas perdebatan kita mengenai UU Sis-diknas yang kontroversial, kita disuguhi fenomenapendidikan yang tidak saja harus dikatakan bengis,melainkan sadis! Sekali lagi sadis! Sementara sebagianmasyarakat mengatakan sebagai hal biasa dalam adatkampus menerima mahasiswa baru, namun setidak-nya melalui rekaman asli sebuah video itu dapat dili-hat bahwa itu adalah hal yang sangat luar biasa bar-bar.

Dunia pendidikan kita sangat tercoreng baik dinegeri sendiri terutama di luar negeri. Kita malu me-miliki bangsa yang bertalenta kekerasan. Kita malusebagai bangsa yang dicap barbar, tidak berperike-manusiaan. Tampaknya tidak ada lagi yang bisa kitabanggakan sebagai bangsa. Mulai dari aspek agama,sosial, budaya, politik, hukum sampai pada pendidik-an, semuanya berbau kekerasan. Pendidikan bahkandipraktikkan sebagai pembunuhan di sebuah kampusyang menyatakan dirinya sebagai wadah penggodok-an mental pejabat.

Di sinilah, kita akan menarik sebuah proposisi danlogika yang wajar mengapa sebagian elite pemerintahanbermental menindas pada rakyat kecil. Sebab, dalampendidikannya saja mereka dicetak untuk manusiapenindas, pejabat yang tidak perlu bernurani untukmenghardik dan mencederai rakyat kecil. Jika pejabatpemerintahan tidak memiliki belas kasihan terhadappenderitaan rakyat kecil, itu adalah sesuatu yang wajar

Page 133: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

pendidik an. Kome rsi alai sa si. d an Ekspl oita si

karena proses pendidikannya seperti itu.

Kita bisa menarik logika otoriterisme pemerintahankarena proses pendidikannya. Maka mengadaptasi teoriFoucault, dikatakan bahwa pengetahuan merupakan aliranlain dari operasi kekuasaan. Kekuasaan menghegemoniproses pengetahuan melalui institusi pendidikan untukmelanggengkan kekuasaannya. Maka benarlah, ada tarik-menarik kedua unsur tersebut dalam rangka menghegemonimasyarakat.

Di sisi lain, kekerasan yang diajarkan dalampendidikan adalah sesuatu yang mampu membentukmentalitas terdidik untuk mengulangi hal yang sama dalamsetiap menyelesaian masalah. Jalan dialog tertutup kalaukekerasan sudah diakui dan diyakini sebagai satu-satunyasolusi.

Keprihatinan kita sangat mendalam atas retaknyadunia pendidikan ini. Bagaimana kita bisa mencerna denganakal sehat dan nurani yang waras melihat tingkah lakucalon pejabat yang main hakim sendiri, menendang,memukul dan menghantam tidak

133saja di perut, tapi juga di ulu hati, dada dan kepala?Sesehat apa nurani dan jiwa kita menyaksikan taya-ngan asli yang tidak direkayasa itu? Seberapa kita bisamenanggung malu atas ulah yang bengis yangdisaksikan oleh ratusan juta mata kepala rakyatIndonesia dan internasional? Militerisme dalam duniapendidikan yang sudah kita kenal semenjak era Orbatetap berlangsung hingga kini.

Di akhir cerita, orang tua yang anaknya pernahdisiksa menyatakan bahwa dengan membayarsekeping uang, maka siksaan akan berkurang. Logikamacam apa lagi ini? Suap. Para calon pejabat kita

Page 134: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pen didik an Pen gu asa

135

sejak dini diajari bahwa suap-menyuap adalahsesuatu yang wajar. Tidak ada yang perludipermasalahkan.

Sudah menjadi rahasia umum orang tua yangingin menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolahfavorit, yang menjamin pekerjaan (apalagi PNS) padaawal masuk harus menyediakan dana sekian juta ru-piah. Tes uji masuk adalah formalitas, tapi yang pen-ting adalah berapa banyak si calon siswa memilikiuang.

Memang "kebudayaan suap" sudah menjamur dinegeri kita. Dan saat ini semua rakyat Indonesiamenyadari bahwa suap menjadi "mata pelajaran"tidak resmi yang sudah diajarkan sejak dini.

Itulah gambaran pendidikan di Indonesia, antarakekerasan dan suap, antara kebengisan dan kesadisan.Yang lebih menyedihkan, gambaran itu disuguh-

Page 135: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

pendidik an , Komersi alai sa si. d an Ekspl oita si

kan oleh sekolah yang menyiapkan anak didiknyasebagai pemimpin bangsa. Mungkinkah ke depan kitadipimpin oleh pemimpin yang haus suap, hausmembunuh, menyiksa dan mencederai rakyat kecil?

Dalam The Politic of Education: Culture, Power andLiberation, Freire mengkritik bahwa pendidikan itumembelenggu (domesticatmg) dan tidak membebaskan(liberating). Menurutnya, karena pendidikan mempu-nyai peran yang besar untuk menciptakan kekuasaan,maka relasi subjek dan objek dalam dunia pendidikanmenjadi relasi ordinan dan subordinan. Dalam kon-teks ini, mungkin bisa dikatakan sebagai relasi antarapenyiksa-tersiksa dan pembunuh-terbunuh.

Masih kata Freire, dalam pendidikan disuguhkanmanipulasi-manipulasi sebagai salah satu hal yangmembuat kesadaran siswa terhadap realitas sosialsering tidak terbangun. Sehingga tidak mengherankanjika pendidikan yang diselenggarakan, dengansendirinya lebih bersifat utopia. Peserta didik hanyadijejali dengan harapan-harapan yang melangit,mendapatkan pekerjaan mudah, menjadi PNS gam-pang, tanpa ada proses ilmiah di lingkungan pen-didikan yang bisa dilakukan oleh terdidik.

Itulah mengapa ahli-ahli pendidikan mengatakanbahwa pendidikan tidak hanya berhubungan dengantujuan pendidikan, metode kurikulum dan peng-ukuran hasil proses pendidikan, tetapi juga berhu-bungan dengan sekolah dan seluruh masyarakat. Da-lam hal itu, John Eggleston menekankan adanya tiga

135

Page 136: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidikan Penguasa

136

jenis interaksi di dalam lingkungan pendidikan. Per-tama, lingkungan sosial peserta didik (the social envi-ronment ofthe individual pupil), yang berhubungan dengansikap orang tuanya, perbedaan bahasa dan jugaperbedaan cita-cita. Kedua, lingkungan sosial yangbersifat internal di dalam sekolah (internal social envi-ronment), yakni lingkungan sosial secara internal yangdimiliki oleh sekolah. Di sini dititikberatkan pada hu-bungan sosial yang terdapat di dalam sekolah, denganmelibatkan peranan-peranan dan lain-lain darikepentingan sekolah, guru-guru dan peserta didik.Maka, dapat dikatakan bahwa lingkungan sosial yangdipunyai oleh sekolah yang satu berbeda dengansekolah yang lain. Ketiga, lingkungan sosial yang ber-sifat eksternal (external social environment), yakni tidakhanya memasukkan lingkungan sekolah sebagai satufaktor saja, namun juga faktor lingkungan masyarakatturut mempengaruhi proses pendidikan.

Dalam kasus STPDN itu, kita melihat kekerasanbukan hanya sebagai tradisi, tapi juga karena ling-kungan eksternal politik yang memang ambisius! Pe-nuh kekerasan!

Bab 6PENDIDIKAN UNTUK PEMBEBASAN

A. Mengubah Wajah Sekolahecara historis, kita mengetahui bahwa pendidik ansekaligus sistem dan institusinya sebenarnya telah

hadir mengiringi perkembangan peradaban manusiasemenjak tahun 900-an SM. Pada saat itu sistempendidikan mula-mula dikembangkan di Kota Sparta(Thompson, 1951: 1; Smith, 1979: 1,-W.ahono, 2001: 2).Apa artinya? Artinya bahwa hakikat pendidikansebagai sebentuk transformasi menuju perubahan-

S

Page 137: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

perubahan tertentu telah diyakini manusia sebagaialat yang efektif sejak dahulu kala. Berbagai usahayang dilakukan manusia untuk menyelenggarakanpendidikan di masa lampau itu lambat laun me-munculkan institusi dan sistem pendidikan (Wahono2001: v).

Kita mengenal adanya Academia di Yunani, Pade-pokan atau Pesantren di Jawa, Monasten/ di kalanganGereja, Madrasah di kalangan muslim, ataupun Santi-niketan di India dan sebagainya. Pelbagai institusitersebut diyakini bisa mengubah manusia menjadilebih baik, lebih beradab dan berbudaya. Pergumulanmanusia dengan lingkungan alam yang keras telahmendidik manusia untuk bersikap dan berwatak keraspula. Karena itulah, pendidikan hadir untuk membuatmanusia berhati lembut, berbudi luhur, salingmengasihi antarsesama dan memperlakukan lingku-ngan alamnya secara manusiawi pula. Hadirnya mo-dernisasi di segala lini kehidupan dewasa ini, takpelak juga merupakan sumbangsih pemikiran dari du-nia pendidikan pula. Dalam dunia pendidikan sendiri,hadir beragam model sekolah dan universitas, aka-demi dan perguruan tinggi serta bermacam-macamlainnya.

Selama beberapa generasi, manusia telah ber-usaha menjadikan dunia sebagai tempat yang lebihbaik dengan cara memperbanyak lembaga pendidikan(persekolahan) yang ada dengan harapan agarmampu mengimbangi perkembangan peradaban yangada. Tetapi seperti apa yang terjadi sekarang, impiantersebut hilang seiring dengan perkembangan

Page 138: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pen didik an Pen gu asa

138

peradaban manusia yang makin menginginkan sesu-atu yang bersifat instan, dalam tradisi yang sangatkapitalistik. Tanpa berusaha untuk menggeneralisasirealitas perkembangan pendidikan yang ada, pendi-dikan yang ada sekarang hanyalah sebuah prosespembelajaran yang memaksa siswa untuk menelusuriatau menaiki tingkatan (jenjang) pendidikan yang tak"berujung". Yang diuntungkan adalah orang yang

Page 139: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

pendidikan untuk Pembebasan

terlebih dahulu melakukan pendakian atas tingkatanyang diformat oleh pendidikan itu sendiri. Pengajaranyang diwajibkan di sekolah membunuh kehendakbanyak orang untuk belajar secara mandiri. Pengeta-huan diperlakukan ibarat komoditas, dikemas dandisajikan serta diterima sebagai jenis harta pribadioleh yang menerimanya dan selalu langka di pasaran(lllich, 1999: 517).

Kalau kita berusaha jujur atas makna yang se-sungguhnya dari adanya sekolah (pendidikan), sebe-narnya pendidikan adalah media dalam melakukanproses belajar mengajar, yang pada intinya adalahsebuah transformasi nilai atas siswa ataupun masya-rakat secara umum. Fungsi yang paling vital pendi-dikan adalah menggugah kesadaran kritis siswanyaatau rakyat pada umumnya, sehingga memberikankedewasaan berpikir, logis, dan mampu membacaserta kritis terhadap perkembangan di sekitarnya.Dalam tahap yang lebih jauh, mampu memerdekaandirinya dari belenggu dirinya sendiri atau istiadatmaupun struktur negara. Pemaknaan yang seperti inimemberikan ruang eksistensi yang lebih substantifatas pendidikan. Itulah mengapa pendidikan berfung-si sebagai media yang efektif dalam mentransforma-sikan ide-ide bagi terbentuknya kesadaran massif dikalangan rakyat dalam melakukan gerakanperubahan sosial.

Pada tingkatan perkembangannya, pemaknaanpendidikan yang substantif tersebut terkikis oleh rea-

139

Page 140: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidikan Penguasa pendidi han untuk Pembebasan

litas kepentingan kekuasaan yang hegemonik, dengancara mengemas pendidikan yang sengaja diori-entasikan untuk kepentingan kekuasaan. Realitaspendidikan seperti itu dapat dilihat di negara-negaraDunia Ketiga, termasuk di negara kita di mana pen-didikan sering kali terpolarisasi dengan sistem negarayang cenderung menginginkan adanya penyeragamandan menjadikan pendidikan sebagai komoditaspolitik. Kekuasaan sering kali merasa terusik eksis-tensinya, sehingga perlu mengontrol dan mengarah-kan pendidikan pada jalur yang akan mendukungkelanggengan atas kekuasaannya.

Pola dan realitas pendidikan seperti ini dapatdilihat di Indonesia, di mana rezim otoriter telahmempolitisasi pendidikan sebagai salah satu cara me-langgengkan kekuasaan. Dengan alasan pembangun-an, pendidikan nasional telah diabdikan untuk dalihpertumbuhan ekonomi yang tinggi dan memper-tahankan status cjuo. Pada waktu yang bersamaan,pendidikan direduksi menjadi sangat pragmatis, an-tara siap pakai dan tidak pakai, sehingga dalam per-kembangannya esensi pendidikan terkikis dari fungsisebenarnya. Politik penyeragaman, melalui pakaiandan sentralisasi kurikulum, dengan jiwa militeristikmengakibatkan konstruksi mayarakat Indonesia ter-alienasi dengan kemanusiaannya. Orde Baru selamakekuasaannya telah memandulkan potensi-potensi kritismasyarakat. Wacana pendidikan yang menginginkancinta kasih, humanistis, pembebasan, pemerdekaandan antikeseragaman, tereduksi ke dalam140 p0la yang diinginkan penguasa yang despotik diatas ideologi developmentalisni-teknokratis.

Dari beberapa permasalahan di atas, kegagalanpendidikan di Indonesia juga disebabkan oleh bebe-

rapa hal. Misalnya, kurikulum pendidikan. Selama ini,penyusunan kurikulum hanya dilakukan olehpemerintah pusat tanpa melibatkan peran serta guruyang ada di daerah. Padahal, merekalah yang melak-sanakan kurikulum tersebut serta gurulah yang me-ngerti bagaimana kondisi lapangan. Kurikulum yangdisusun oleh pemerintah pusat tidak dapat berperanbesar dalam meningkatkan pendidikan.

Kurikulum tersebut telah melahirkan kegalauandalam praktik pendidikan. Terbukti di lapangan, bah-wa pendidik tidak mampu melaksanakan kurikulumyang sudak ditentukan. Banyak sekali pendidik me-ngalami kebingungan memahami apa yang dikehen-daki oleh kurikulum tersebut. Seorang peserta didikhanya dipersiapkan untuk mendengarkan apa yangdisampaikan oleh guru di kelas. Metode pembelajaranini disinyalir lebih banyak menghambat daripada me-motivasi potensi otak. Yang lebih parah, apa yangdipelajari itu tidak integratif dengan kenyataan dilingkungannya dan bahkan bertolak belakang denganapa yang dialami kesehariannya.

Selain itu, selama ini orientasi dan bobot dariseorang siswa masih ditekankan pada produk final,bukan pada metodenya. Fenomena yang terjadi ada-lah pentingnya menguasai semua teori atau materi

141

Page 141: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pen didik an Pen gu a s a

142

yang diajarkan oleh seorang pengajar, sehingga

muncul kesenjangan guru dan peserta didik. Dalarnhal ini, para guru berperan dan menempatkan dirinya

sebagai subjek dari pendidikan sedangkan pesertadidik justru diperlakukan sebagai objek pendidikan.

Menurut Freire, proses hubungan ini harus di-jernihkan, yakni bagaimana menransformasikanhubungan antara guru dan peserta didik menjadihubungan yang "dialogis" yang selama ini terkesanbersifat subjunction, yakni proses penjinakan danpenundukan. Dan suasana seperti ini sulit tercipta,selama kebijakan dan peraturan yang berlaku dilembaga pendidkan kita lebih berorientasi padapenciptaan iklim ketertiban yang disemangati disiplintentara atau disiplin birokrasi yang sentralistik danseragam.

Implikasi dari negara yang kuat menyebabkanhilangnya daya kritis masyarakat terhadap perkem-bangan yang ada, karena adanya ideologisasi wacanakeseragaman dengan memakai sistem birokrasi seba-gai mesin penggeraknya. Birokrasi menjadi penentubagi segala hal yang menyangkut pendidikan. Efek-nya, sistem pendidikan yang kaku dan membosankankarena konstruksi yang dipakai adalah keseragaman.

Proses pendidikan yang selama sering dilakukanhanya berhenti pada tingkatan tertentu, berdasarkanjadwal atau waktu yang sudah ditentukan. Di lainpihak, perkembangan realitas sosial menuntut manu-sia untuk selalu beradaptasi dan mengkritisi perkembangan

Page 142: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

pendidihan untub Pembebasan

Pembongkaran atas kemapanan sekolah yang"hegemonik", yang sekarang telah mengakar kuatdalam kehidupan masyarakat, adalah hal yang harusdilakukan. Pengakhiran kepentingan-kepentinganyang bersifat pragmatis harus diikuti dengan harapan,yakni dengan melakukan kajian atas realitaspendidikan tersebut dengan usaha memberikan alter-natif-alternatif perubahan dari komponen yang adadalam dunia pendidikan sekarang.

Dalam melakukan pembongkaran pendidikan, disini Ivan lllich menawarkan dua alternatif yang harusdihadapi dan dilakukan. Pertama, kita bisa bekerjauntuk alat-alat pendidikan baru yang mengerikan danperkasa, yang akan mengajarkan tentang

143sebuah dunia yang makin lama makin pekat sertamerantai manusia. Kedua, kita dapat meletakkan lan-dasan-landasan bagi era baru di mana teknologi akandipakai untuk menjadikan masyarakat lebih seder-

sosial dan semua aspek kehidupan yang ada.dalam kondisi seperti itu, pola pendidikan yang me-maksakan dan bersifat hegemonik semacam itu tidakakan mampu menjawab atau bahkan tidak bisamemahami perubahan tersebut. Dalam posisisemacam ini/ pendidikan seperti ini tidak lagi relevandengan perubahan yang ada dalam masyarakat.Karena itu, seharusnya pendidikan tidak hanyadibatasi oleh ruang dan waktu, tetapi terus melakukanproses dan berkembang dan meluas dari tahap ketahap selanjutnya, dari tingkat kesadaran naif sampaike tingkat kesadaran kritis, sampai akhirnya mencapaikesadaran tertinggi dari proses manusia, yakni theconscience of the consciousness (kesadarannyakesadaran) (Freire, 2002: xviii).

Page 143: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidikan Penguasahana dan lebih transparan, hingga semua manusiabisa mengetahui fakta-fakta serta menggunakan alat-alat untuk membentuk kehidupannya sendiri. Secarasederhana, alternatif-alternatif tersebut mengisya-ratkan adanya pilihan antara menggulingkan sekolahatau membebaskan kebudayaan dari sekolah (Ivanlllich, 1999: 518).

Ivan lllich berpendapat, untuk menjadikan pen-didikan yang sebebas-besasnya, sekolah harusmemenuhi dua syarat. Pertama, sekolah harus dijalan-kan sedemikian rupa agar mencegah kembalinya kuri-kulum tersembunyi, yang isinya adalah kewajibanhadir menurut tingkat-tingkat atau kelas-kelas, dankewajiban para murid berijasah untuk belajar di kakipara guru. Kedua, sekolah harus bisa membedakanantara kurikulum tersembunyi dengan dasar-dasarpengkultusan persekolahan. Kurikulum tersembunyiadalah ritual yang bisa dianggap sebagai inisiasi resmianak sebelum masuk masyarakat modern, ditetapkansecara institusional dalam sekolah.

Ungkapan Ivan lllich di atas merupakan upayaperubahan yang bersifat struktural. Perubahan struk-tur di sini lebih mengarah pada persoalan sistempengajaran dan alat-alat yang ada dalam pendidikan.Dalam hal ini, bagaimana mengupayakan adanva ke-

144mandirian dari masing-masing sekolah dalam mela-kukan aktivitas belajar-mengajar.

Kemandirian sekolah dapat dicapai ketika ada-nya otonomi dalam mengembangkan pendidikan.Otonomi pendidikan vang dimaksud adalah kelelu-asaan sekolah dalam mengembangkan proyek-proyekpendidikan mereka sendiri yang, dengan dukunganadministrasinya, memungkinkan adanya percepatan

Page 144: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

dalam melakukan transformasi sekolah. Sekolah akanmampu melakukan kreativitas yang mandiri denganberlandaskan pada kebutuhan masing-masing komu-nitas tersebut. Ini diharapkan akan mampu memberi-kan nuansa baru bagi pendidikan yang bersifat inter-aktif dan dialogis, sehingga apa yang menjadi targetpendidikan akan berjalan secara efektif, relevan, danbermakna bagi siswa.

B. Pendidikan yang MembebaskanPendidikan, menurut Romo Mangun^ adalah

proses awal dalam usaha menumbuhkan kesadaransosial pada setiap manusia sebagai pelaku sejarah.Kesadaran sosial hanya akan bisa tercapai apabilaseseorang telah berhasil membaca realitas perantaraandunia di sekitar mereka. Sebagai usaha untukmenumbuhkan kesadaran sosial, maka perlu adanyaperangkat analisis yang bersumber dari kebebasanberpikir dari masing-masing individu, yang padaakhirnya memberikan daya nalar yang kritis terhadapperkembangan sosial yang ada.

145Dalam format pendidikan yang membebaskan

ada sebuah keleluasaan dalam melakukan kreativitasberpikir siswa untuk mampu mengkritisi realitassosial dengan kemurnian berpikir dari masing-masingindividu. Kebebasan akan kreativitas berpikir ini bu-kan lagi kepemilikan para pakar yang mampumengubah realitas sosial. Freire berpendapat bahwapendidikan yang membebaskan tidak lagi menawar-kan teknik-teknik untuk memperolah keaksaraan,pengalaman, atau keterampilan profesional, ataubahkan kemampuan berpikir kritis, tetapi lebih padabagaimana memberikan ruang dialogis bagi siswa,baik berkenaan dengan momen yang ada dalam

Page 145: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pen didik an Pen gu asa

masyarakat maupun teori atau naskah yang ada. De-ngan ini sebenarnya ruang untuk menelaah danmengkaji teori sudah berjalan.

Secara prinsip, pokok-pokok pikiran Freiretentang pendidikan pembebasan adalah sebagai beri-kut. Pertama, prinsip cinta kasih sebagai basis daridialog dan memang dialog itu sendiri. Kedua, keren-dahan hati. Dalam suasana dialog, tidak ada tempatuntuk arogansi, merasa berhak menggurui, merasadiri elite dan lebih dari komunitas yang ada, ungguldalam kebersamaan orang, terutama anak-anak yangsaling mendidik. Ketiga, percaya kepada sesamamanusia. Keempat, kepercayaan ini tidak naif atauromantis, tetapi realisme yang sanggup melihat baikyang terang maupun yang gelap. Kelima, pentingnyaunsur eksplorasi, penyelidikan sendiri, sikap untukselalu bertanya, menguji, kritis, merelatifkan penda-

patyang berlaku umum tetapi salah, serta membang-kitkan keberanian pribadi dalam kemapanan sosial.Keenam, metode Freire mengindentifikasi hakikatmasalah (Freire dalam Nugroho, 2003: 85).

Ira Shor, sejawat Freire, secara implisit sepen-dapat dengan yang diungkap Freire, bahwa pendi-dikan yang membebaskan bukan hanya panduan atauteknik cerdas, melainkan suatu perspektif cerdastentang sekolah, masyarakat, dan belajar untuk trans-formasi sosial.

Sepanjang pendidikan dibatasi hanya denganmetode atau teknik-teknik pengajaran bagi anak didik,

Page 146: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

pendidikan untuk Pembebasan

yang terjadi dalam proses belajar dan mengajar sepertiini hanya akan membatasi orientasi pendidikan. Polaseperti ini hanyalah deskripsi ulang atas teori-teoriyang ada, tanpa penemuan atau pembaruan atas teoritersebut. Dalam konsep pendidikan pembebasan,yang diinginkan adalah kemerdekaan diri dalamkehidupan objektif yang membelenggu.

Model pendidikan pembebasan, di samping efek-tif untuk kemandirian berpikir, juga sangat potensialdalam membangun sikap kritis dan pencerahan akalbagi masyarakat. Dampak secara luas dari model pen-didikan pembebasan ini akan menumbuhkan learningsociety (masyarakat belajar) dan educational society(masyarakat terdidik). Learning society adalah modelmasyarakat yang selalu siap belajar untuk menjawabkebutuhan sendiri. Mereka tidak terlalu tergantungoleh fasilitas atau ruang yang diberikan oleh negara,

147yang justru kadang membelenggu dan mengkontrolkebebasan (Nugroho, 2003: 88). Dalam masyarakatseperti ini, pendidikan dianggap sebagai sebuahkebutuhan dari dan untuk mereka, tanpa terjebakpada institusi atau lembaga pendidikan yang resmi(formal).

C. Pendidik yang MembebaskanGuru adalah unsur penting dalam pendidikan,

tapi sok menggurui adalah awal mula kegagalanpendidikan. Seorang guru merupakan figur manusiasumber yang menempati posisi yang cukup pentingdalam pendidikan. Ketika semua orang membicarakanatau mempersoalkan masalah dunia pendidikan, figurguru mesti terlibat dalam agenda pembicaraan. Oleh

Page 147: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pen didik an Pen gu asa

karena itu, pada posisi seperti itu, guru merupakanfigur sentral dalam melakukan proses belajar danmengajar khususnya di sekolah. Peran yang dilakukansangatlah kompleks, di antaranya sebagai korektor,inspirator, informator, organisator, motivator, inisi-ator, fasilisator, pembimbing, demonstrator, pengelolakelas, mediator, supervisor, dan evaluator. Dari sekianbanyak peran yang dilakukan, maka tanggung jawabseorang guru terhadap perkembangan muridnyasemakin menumpuk. Namun, dalam perkemba-ngannya sering kali peran yang harus dilakukan ituterbengkalai karena faktor eksternal yang ada.

Guru merupakan komunitas yang mewakilikepentingan-kepentingan mayarakat luas yangberjangka panjang dan mengakar kuat. Merekamemikul tanggung jawab moral bagi terbentuknyamasyarakat yang beradab dalam kehidupan sosial.Oleh karena itu, guru harus mampu memosisikan dirisebagai jembatan penghubung antara sekolah danmasyarakat. Ia mesti memainkan peran dalammenciptakan dan meiigusahakan tercapainya tujuan-tujuan bersama yang mengikat keduanya.

Dalam kacamata perkembangan pendidikan yangada sekarang, kalangan intelektual, termasuk didalamnya guru, sering kali terbelenggu oleh dengandominasi kekuasaan politik. Kepentingan politikkekuasaan yang menginginkan kelanggengannyaseringkah menyeret persoalan pendidikan ke dalamtarik menarik kepentingan kekuasaan yang bersifatpragmatis. Dalam kondisi seperti itu, kaum intelektualtanpa sepengetahuannya sering kali menciptakanstruktur mental dan pekerjaan yang sesungguhnyamerupakan bentuk dominasi. - .

Sisi lain, ternyata praktik pendidikan yang seringdilakukan dalam proses belajar mengajar selama inisering kali terpolarisasi oleh kepentingan-kepentinganpolitik seperti itu, di mana budaya politik yangbersifat pragmatis mempengaruhi proses pendidikan.Sifat yang sering kali muncul dalam proses pendidik-an kita adalah paternalistik, di mana guru adalah

Page 148: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

pendidikan untuk Pembebasanpusat atau sumber dari para peserta didik dalammemperoleh pengetahuan, bahkan kebenaran mutlakyang harus diikuti dan dipahami oleh para murid.

149

Page 149: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pen didik an Pen gu asa

Posisi guru (pendidik) dalam hal ini adalah sebagaiparameter kemampuan (berhasil tidaknya) atau bah-kan benar tidaknya murid dalam usaha mencari kebe-naran itu sendiri. Keadaan semacam ini secara sis-temik membelenggu kreativitas dan daya nalar se-orang murid, dan pada akhirnya berpengaruh padadaya kritis murid terhadap ilmu pengetahuan itu sen-diri.

Secara konseptual, guru dan murid adalah satukesatuan yang tak terpisahkan dalam proses belajardan mengajar. Keduanya adalah sumber ilmu untukbersama menggali pengalaman hidup. Setiap individumemiliki pengalaman hidup sendiri, dan secara oto-matis ia memiliki ilmu yang setara dengan yang lain.Pola hubungan yang setara semacam ini memberipeluang datangnya ilmu dari segala sumber. Tidakada yang berhak memonopoli sumber ilmu, karenamasing-masing individu manusia memiliki pengalam-an sendiri-sendiri. Oleh karena itu, hubungan yanglebih dialogis antara guru dan murid adalah langkahawal untuk membuka lebar-lebar pintu transformasi.

Dalam rangka menciptakan proses belajar danmengajar yang baik, seorang guru harus mampumemposisikan sebagai orang yang terlibat langsungdalam proses tersebut. Dalam artian, guru harusmampu menyejajarkan diri dengan komunitas yangmelakukan proses pendidikan secara total. MenurutMaxine Greene, untuk mencari gerak yang komunikatifdan kata-kata yang ekspresif, seorang guru harus

I / ' * * '

mencoba secar sadar untuk bergerak di antara danmerenung bersama anak didiknya. Ia berkoeksistensidengan murid serta membuka kemungkinan-ke-mungkinan cara pandang bersama para murid. Dalamkeadaan seperti itu, seorang guru akan melakukanpenyusuran jalan menuju kebenaran-kebenaran pen-ting bersama para muridnya (Greene, 1999: 196).

Dalam konteks Indonesia, untuk mewujudkansusana yang seperti itu sangat sulit. Kesibukan di luaraktivitas mengajar sering kali menjadikan guru tidak

Page 150: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

pendidihan untub Pembebasan

melakukan interaksi dan komunikasi yang mendalamterhadap muridnya. Faktor ekonomi yang seringmembelenggu guru mengakibatkan guru sulit mela-kukan "pendampingan" secara mendalam terhadapmuridnya (Kompas, 28/6/ 2004).

Lalu di subbab ini kita masih menyisakan satupersoalan serius. Bagaimana tanggung jawab pengu-asa dalam menyejahterakan kehidupan guru?

D.Pengajaran tanpa PendidikanKita semua memahami bahwa persoalan men-

dasar dunia pendidikan kita tidak hanya bermula darisistem kekuasaan-politik yang dikembangkan, tapisudah terseret jauh melampaui masalah itu. Sistempolitik-pendidikan yang ada, selanjutnya menghabisisubstansi dari pendidikan itu sendiri. Di seko- lah-sekolah dasar sampai menegah dan umum, termasukjuga di perguruan tinggi, yang kerap terjadi

151sesungguhnya bukanlah pendidikan dalam artisebenarnya, tapi sekadar pengajaran. Transformasiyang terjadi hanya sebatas transformasi ilmu dengangaya bank. Sebuah transformasi yang hanya melibat-kan peran keilmuan guru dan kebodohan murid.Asumsinya, murid menjadi pintar berkat pengajaransang guru.

Pendidikan dianggap tidak begitu penting,mungkin saja karena hasilnya dianggap kurangkonkret. Justru, pengajaranlah yang begitu ditekankanhabis-habisan. "Pendidikan dan pengajaran" yangmenjadi jargon sistem pendidikan kita selamabertahun-tahun, dengan demikian, menghasilkan for-mat yang tidak seimbang. Dalam hal "pengajaran",guru akan bertindak sebagai orang yang paling pintardi kelas, dan siswa adalah objek yang dikenai blueprint ke mana guru berkehendak, sementara dalam"pendidikan", yang lebih ditekankan adalahtransformasi perilaku, transformasi etika, transformasimoralitas, bukan transformasi gaya berpikir. Tentu,

Page 151: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidihan Penguasa

154

konsep pendidikan sesungguhnya mempunyai ruanglingkup yang lebih luas ketimbang sekadarpengajaran.

Ada kecenderungan yang memprihatinkan de-wasa ini, di mana sistem pendidikan kita semakinlama semakin menjauhi substansi tujuan pendidikanitu sendiri. Lembaga pendidikan memang marak adadi mana-mana, namun mereka jarang membawa misipendidikan itu sendiri. Tak lain sekadar pengajaran,jj mana ada transformasi pengetahuan tentang ABC

Di sini, kiranya muncul satu gagasan yang takbisa ditunda-tunda lagi, yakni sebuah upaya untukmenyeimbangkan makna antara pendidikan danpengajaran. Keduanya perlu mendapatkan perhatianserius. Memang, pendidikan sering dinisbatkan orangsebagai transformasi dalam arti yang sangat luas dantak terjangkau, tidak hanya di sekolah-sekolah saja.Namun, yang demikian itu tentu bukan berarti .dalamsekolah tak ada pendidikan. Justru di sekolah-seko-lah itulah pendidikan mempunyai makna yang pen-ting untuk pertama kali diaplikasikan. Dalam ruanganyang sempit itulah, konsep pendidikan yang sebenar-nya bisa "diajarkan" oleh guru, yang mewakili realitassosial kepada murid (untuk mengenal realitas sosial).

E. Dialog sebagai Roh PendidikanSeperti yang kita pahami selama ini, dialog

merupakan bagian dari kehidupan manusia yang153

agar siswa juga paham tentang ABC juga tanpa harustahu dari mana ABC didapatkan. Lebih ironis lagi,maraknya institusi pendidikan ini, secara cermat bisadikatakan lebih banyak bertujuan untuk kepentinganinstitusi itu sendiri, bukan untuk kecerdasan siswa.Mungkin bisa dikemukakan, dalam skala prioritas,tujuan untuk mencerdaskan anak didik mungkin bisadiurutkan nomor yang paling buncit; yang pentingbagaimana institusi bisa meraih keuntungan maksi-mal.

Page 152: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

pendidikan untuk Pembebasanmenpersyaratkan adanya sebuah kemajuan dalamperkembangan peradaban manusia. Pola dialog inj secarabertahap akan menghilangkan dikotomi antara individu ataukelompok di dalam masyarakat. Karena dalam dialog,komunikasi atau interaksi akan memberikan ruang untukmemahami satu sama lain.

Penyebab tidak berhasilnya pendidikan kita ada-lah akibat dari penerapan metode pendidikan kon-vensional yang antidialog. Di dalamnya, terdapatproses penjinakan, pewarisan pengetahuan, dan tidakbersumber pada satu realitas masyarakat. Maka, kinitiba saatnya kita merefleksikan ulang metodedemikian.

Dialog yang lahir sebagai buah dari pemikirankritis adalah bentuk refleksi atas realitas. Hanya di-aloglah yang akan melahirkan pemikiran kritis danmelahirkan komunikasi. Tanpa komunikasi, tidakakan mungkin ada pendidikan sejati. Sebagai responsatas praktik pendidikan antirealitas, Freire mengha-ruskan bahwa pendidikan harus diarahkan pada pro-ses hadap-masalah. Titik tolak penyusunan programpendidikan atau politik harus beranjak dari kekinian,eksistensial, dan konkret yang mencerminkan aspi-rasi-aspirasi rakyat. Program tersebut diharapkanakan merangsang kesadaran rakyat dalam meng-hadapi tema-tema realitas kehidupan.

Hal ini sejalan dengan tujuan pembebasan daripendidikan dialogis. Pendidikan yang membebaskan,menurut Freire, adalah agar manusia merasa sebagaituan bagi pemikirannya sendiri.

Dialog merupakan roh dari pelaksanaan pendi-dikan. Dalam dialog, akan bisa dilakukan transformasiberupa penamanan nilai kejujuran, keadilan,kemanusiaan, kesetiakawanan, profesionalitas, kelu-huran, kedisiplinan dan ketulusan. Dalam dialog,yang dipentingkan bukan saja sekadar transfer ilmu,tetapi pembentukan karakter. Pembentukan karakterini terkait dengan realitas kehidupan yang nyata, bu-kan kehidupan maya yang semu. Realitas hidup seha-

Page 153: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidihan Penguasa

ri-hari menjadi pijakan untuk direfleksikan dalam ber-bagai ilmu pengetahuan yang diperoleh di bangkusekolah.

Dengan dialog, anak didik dituntut untuk kritisdalam melihat realitas yang terjadi. Mengapa ituterjadi? Apa yang menyebabkan? Di mana sisi kema-nusiaannya? Di mana dimensi sosialnya? Sifat yangkritis untuk mempertanyakan segala sesuatu yangterjadi pada akhirnya menjadi kebiasaan, bahwasegala keputusan yang diambil harus dipertimbang-kan dengan jeli dan jernih. Pertimbangan ya^ig terus-menerus seperti ini membuat orang tidak mudahmenggunakan jalan pintas. Ini hanya mungkin apabilaorientasi pendidikan dibebaskan dari kekuasaanpolitik, yang selama ini begitu membebani parapendidik.

Pendidikan yang selama ini disubordinasikanpada kekuasaan politik, selalu berakibat pada konse-kuensi kebijakan yang mudah berubah-ubah karenatergantung pada siapa yang memegang kekuasaan.

155Padahal, kepentingan di balik itu semua, sepertisinyalemen Foucault, adalah untuk melestarikankekuasaan. Inilah yang membuat pendidikan kita selaluterseok-seok dan tidak mampu mengikuti perubahanyang begitu cepat. Pendidikan kita lebih tergantung padamesin kekuasaan. Mesin kekuasaan ini selalu mencarikemapanan, ketimbang menginginkan perubahan.

Akibat kekuasaan yang antidialog, unsur dialogdalam pendidikan ikut terkena getahnya. Akibatkekuasaan prokemapanan, begitu pula semangat dalamdunia pendidikan kita yang cenderung tak berubah.

Padahal, pendidikan selalu antikemapanan karenadalam dirinya selalu mempertanyakan segala sesuatu.Pendidikan harus lepas dari kendali politik kekuasaan,sebab dalam dirinya dia selalu berproses untuk menjadilebih sempurna. Dari proses menjadi itulah, dia harusmampu mendialektikakan antara apa yang diajarkan, danapa yang terjadi dalam realitas kehidupan. Realitas hidup

Page 154: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pen didik an Penguasa

157

yang berubah-ubah tidak membuat mereka hanyutterserat oleh arus, karena dalam proses dialektikatersebut sistem akan menghasilkan manusia yang ungguldalam moralitas. Manusia bermoral berarti memilikikomitmen terhadap nilai-nilai yang menjadi pijakandalam pengambilan setiap keputusan. Sayangnya, selamaini pendidikan hanya menghasilkan manusia yangsetengah jadi. Akibatnya, keunggulan moral dan budipekerti tidak dijadikan acuan.

Page 155: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

pendidikan untuk Pembebasan

Tanpa dialog, pendidikan hanya menjadi alatinstrumen kekuasaan!

Bab 7 PENUTUP

Jika di masa penjajahan Belanda, pendidikan diIndonesia hanya diperuntukkan bagi golongan kaya,darah biru atau kaum ningrat, mungkin bisa dimak-lumi lantaran mereka memiliki akses menuju ke sana.Namun jika sekarang di mana kita sudah lepas darikolonialisme, pendidikan masih berorientasi hanyauntuk mendidik dan mengajar si kaya, maka lantasmuncul pernyataan, apa yang sedang terjadi?

159

Cita-cita pendidikan adalah mewujudkan manusiamenjadi beradab dan berbudi luhur, manusia yangberperasaan dalam dan menghargai hakikat manusialainnya sebagai sesama yang harus dicintai.Pendidikan tidak memandang si kaya dan si miskin.Pendidikan memperlakukan manusia sebagai ma-nusia, tidak peduli berasal dari keluarga ningrat ataukeluarga melarat. Sebab, pendidikan adalah wilayahnetral yang bisa dimasuki oleh siapa saja-tanpamemandang identitas; pendidikan bersifat, objektif.

Page 156: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidikan Penguasa

160

Itulah politik pendidikan penguasa. Denganmembeda-bedakan seperti itu, bangsa ini tak sadarbahwa pendidikan manusianya amat amat jauh ter-tinggal dari negara lain.

Mengutip laporan eksklusif Suara Pembaruan (7/3/2003), jelas, sebagai bangsa kita harus malu karenapendidikan Indonesia terburuk, bahkan dalamkonteks Asia. Dalam laporan yang ditulis oleh Eko B.Harsono itu, kita semakin tak habis pikir bagaimanabangsa ini merawat dan menyelenggarakanpendidikannya.

Penulis merasa tertarik untuk mengutip kembalicerita di awal laporan itu. Ketika pesawat AS meng-hujani Hiroshima dan Nagasaki dengan bom atom,Kaisar Jepang, Hirohito, tiarap di lantai. Konon tidaklama kemudian ia berdiri tegak. Kalimat pertamayang dia ucapkan dengan penuh emosi adalah, "Bera-pa guru yang masih hidup? Kita akan segera bangkitlagi dan menjadi bangsa terhormat di muka bumi."

Ceritanya yang lain adalah sewaktu bala tentaraNazi memporakporandakan Eropa, termasuk Inggris,pada 1942, Perdana Menteri Winston Churchill di-panggil parlemen. Ia diajak membahas penambahananggaran militer untuk biaya perang. Anggota par-lemen minta anggaran pendidikan dikurangi dandialihkan ke anggaran militer untuk membuat bom,amunisi, dan pesawat tempur.

Mendengar desakan parlemen, WinstonChurchill berdiri di mimbar dan mengangkat telunjuk

Page 157: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

p e n u t u p

tangannya sambil berkata, "Tuan-Tuan yang terhor-mat, apakah Tuan-Tuan lupa bahwa Tuan-Tuan du-duk di dalam ruangan ini karena pendidikan,"

Dan potret pendidikan di Indonesia tak ubahnyabenang kusut. Indonesia masih berkutat padamasalah belum tercapainya pemerataan danrendahnya kualitas hasil pendidikan. Saat ini, 44 jutapenduduk Indonesia usia sekolah tidak terlayanipendidikannya, atau putus sekolah. Data BalitbangDepdiknas menunjukkan masih sekitar 19 juta (73 %)anak usia 0 sampai 6 tahun belum mendapatpendidikan. Sekitar 2 juta atau 6% anak usia 7 sampai12 tahun tidak terakses di sekolah dasar ataumadrasah ibtidaiyah. Sekitar 7 juta atau 55% anak usia13 hingga 15 tahun tidak terakses di SLTP. Sekitar 16juta atau 8% penduduk usia 15 tahun ke atas masihmenyandang buta aksara.

Hasil studi International Educational Achieve-ment (IEA) menunjukkan, kemampuan membacasiswa SD di Indonesia berada di urutan ke-38 dari 39

'V

negara yang masih diteliti. Sementara penelitian theThird International Mathematics and Science Study Repeat tahun1999 menunjukkan, kemampuan siswa SLTPIndonesia di bidang ilmu pengetahuan alam di urutanke-32 dan untuk matematika di posisi ke-34 dari 38negera yang diteliti di seluruh dunia.

Rendahnya kualitas hasil pendidikan ituberdampak pada rendahnya kualitas sumber dayamanusia Indonesia. Laporan Program PembangunanPBB atau UNDP tentang Human Development Index (HDI)tahun

1612002, Indonesia menempati peringkat 110 dari 173

Page 158: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidikan Penguasa

negara yang diteliti (Harsono, Suara Pembaruan, 7/3/2003).

Pendidikan kita gagal bukan saja ketika diban-dingkan dengan negara lain dalam ukuran-ukurankuantitatif, melainkan juga secara kualitatif tidak bisamenciptakan manusia berbudi luhur, yang merdekadengan gagasan-gagasannya. Meski kita sudah mer-deka hampir setengah abad dari penjajah, namun artikemerdekaan itu hanya bisa dilekatkan sebagai ke-merdekaan sebagai sebuah bangsa. Itu pun masihharus kita pertanyakan kembali. Meski kita sudahmerdeka, pada hakikatnya kita masih terjajah.Kemerdekaan sebagai sebuah bangsa bukanlah cer-min kemerdekaan manusia per manusia di dalamnya.Kemerdekaan itu lebih berkonotasi sebagai kemer-dekaan kolektif, formalisitik, dan simbolistik. Bukansebagai kemerdekaan jiwa dan otonomi individu didalamnya.

Kegelisahan bangsa ini adalah karena selama inihanya menjalankan reformasi yang setengah hati. Inidisebabkan oleh mentalitas yang setengah-setengahdalam menegakkan keadilan dan hukum. Mentalitassetengah-setengah itu tercermin dalam berbagaikeraguan untuk menegakkan hukum dan keadilan.Hukum dan keadilan kerap kali dikalahkan olehkekuatan politik dan uang. Dua hal ini begitu kuatmengendalikan hukum di Republik ini. Dengan uang,semua perkara menjadi beres dan mudah diselesaikanJi bawah meja. Keadilan hanya menjadi permainankata-kata oleh para elite politik yang selalu berkelitJemi menjaga konsitusi. Padahal, semua tahu bahwa

Page 159: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

p e n u t u p

konsitusi sedang dijalankan dengan setengah hati;"sesuai dengan pesanan". (Adakah UU Sisdiknas danberbagai kebijakan politik pendidikan penguasa itusebagai pesanan? Andalah yang tahu semua itu.)

Dalam konteks pendidikan, ketakutan luar biasaterhadap mereka yang memiliki uang merupakancermin gagalnya pendidikan di republik ini. Kita be-lum mampu memproses manusia yang merdeka;mendidik manusia untuk benar-benar menjadi mer-deka. Mereka belum mampu memerdekakan bangsadan manusia Indonesia dari sikap dan sifatnya yangminder, yang tidak fair, yang digerakkan oleh men-talitas kuli dan babu yang cenderung menjilat ke atasdan menginjak ke bawah, yang tidak setia kepadakawan, mudah mengkhianati dan menjualnya, yangenak dan tega memfitnah dan membunuh nama baikdan kesempatan kawan. Dari sana kemudian lahirsuatu watak yang tidak suka membela kebenaran.

Watak ini oleh Romo Mangun (1999) pernah di-katakan sebagai watak mencari selamat sendiri-sendiri.Bahkan, ini dilakukan melalui pengorbanan oranglain. Mereka lebih suka berbohong dengan dalih men-jaga harmoni. Demi semua itu, mereka tak mau beker-ja secara fair play, tetapi lebih menyukai menjadi bung-lon demi menjaga karir, martabat dan status. Mentali-tas tersebut begitu kuat, dan akibatnya mereka tidak

163berani mengambil risiko dan berpedoman lebih baikmencari keselamatan diri sendiri saja.

Suka tidak suka, sadar tidak sadar, harus dikata-

Page 160: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidikan Penguasa

kan bahwa inilah cermin sebagian besar elite politikkita hari ini, yang tidak berani mengadakan perubah-an secara radikal dengan merombak sistem lama yangpenuh kepalsuan. Sungguh ironis, sudah tahu sistemtersebut penuh dengan kebobrokan, justru tetapdilestarikan karena berdalih menjaga kesopanan.Selama tidak ada kesadaran bahwa selama sistemlama masih bercokol, jangan harap menghasilkan eliteyang berkualitas.

Akar persoalan ini bisa kita lacak, setidak-tidak-nya dari bagaimana karakter sistem pendidikan di-selenggarakan. Kita melihat bahwa pendidikan dalambangsa ini hanya menjadi instrumen kekuasaanpolitik. Pendidikan disubordinasikan dalam kekuasa-an politik, dan menghasilkan manusia yang hanyapandai ikut-ikutan. Mereka bagaikan robot yang di-kendalikan oleh remote control, yakni pemegang keku-asaan dan pemilik modal, melalui ideologi penyera-gaman. Ini membuat mereka hanya mampu menung-gu petunjuk serta pedoman dari atas. Kreativitasnyaminim. Akibatnya, birokrasi menjadi lambat dalammerespon perubahan. Ketidakmampuan ini disebab-kan oleh ketidakberdayaan mereka untuk keluar darikultur lama. Kemandirian individu direduksi menjadiketaatan buta yang dikendalikan oleh sistem penyera-gaman. Ini membuat gerbang reformasi terseok-seok,yang disebabkan oleh ketidakberdayaan untuk meresponsperubahan yang begitu cepat.

Oleh karena itu, selama revolusi pendidikan tidakdijalankan, jangan berharap lahir manusia Indonesia yangbermutu. Revolusi pendidikan perlu segera dijalankan dengan

Page 161: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

p e n u t u p

mengubah orientasi pendidikan dari watak elitis, yakni hanyamengejar-ngejar gelar, pangkat, kedudukan tanpamemperhatikan pembentukan karakter manusianya. Denganmengabaikan hal ini, berarti pendidikan hanya sekadar transferilmu saja.

Kenyataan inilah yang membawa akibat nyata bahwa saatini kita mengalami krisis kepemimpinan. Selama ini, manusiahanya sekadar instrumen dari kekuasaan. Ketika manusiamenjadi instrumen kekuasaan, maka yang berusahadilestarikan adalah sistem politik yang fasis alias otoriter,menindas kaum miskin yang lemah demi tercapai kepentinganpribadinya. Hal ini kurang kita sadari selama ini, di alam dimana muncul ketidakjelasan arah. Salah satunya disebabkankarena gagalnya pendidikan dalam memproses manusiamenjadi merdeka. Yang dihasilkan hanya manusia setengahjadi, bukan manusia yang utuh. Mereka sekarang hanyasekadar menjadi alat dari kekuasaan. Mentalitas mereka hanyamenjilat, tidak konsisten, lebih menyukai yang enak dan instan,serta mudah menjadi bunglon.

Akar dari semua problem ini adalah karena kita, meskiberamai-ramai membangun gedung pendidik-

165

Page 162: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidikan Penguasa

an, kurikulum pendidikan, sistem pendidikan, masihmemandang rendah pendidikan yang membebaskandan memerdekakan. Kita masih terjebak untukmembangun monumen kekuasaan dan melupakan halyang mendasar, yakni mendidik manusia untuk mer-deka. Mengapa semua itu terjadi? Jiirgen Habermasmengatakan bahwa selama ini manusia modern telahterjebak pada pola mekanistis. Akibatnya, selama inikita tak sadar bahwa kita hanya menjadi instrumenbelaka, baik instrumen kekuasaan maupun instrumenteknologi.

Padahal sebagai manusia, kita telah diberikankehendak bebas oleh Tuhan untuk menjadi manusiamerdeka. Manusia yang merdeka adalah manusiayang menjadi dirinya sendiri dan menjadi pengendaliinstrumen tersebut, bukan menjadi budak dan diken-dalikan instrumen yang diciptakannya sendiri. Dansaat ini, jika kerisauan-kerisauan di atas tidak segeradisadari, maka bangsa ini akan mengalami keterasing-an: situasi yang membuat moralitas di ambang kehan-curan.

Lampiran

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM

PENDIDIKAN NASIONAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Page 163: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Menimbang:a. bahwa pembukaan Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesiatahun 1945 mengamanatkanPemerintah Negara Indonesia yangmelindungi segenap bangsaIndonesia dan seluruh tumpah darahIndonesia dan untuk memajukankesejahteraan umum, mencerdaskankehidupan bangsa, d^n ikutmelaksanakan ketertiban dunia yangberdasarkan kemerdekaan,perdamaian abadi dan keadilansosial;

b. bahwa Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945mengamanatkan Pemerintahmengusahakan danmenyelenggarakan satu sistem pen-didikan nasional yang meningkatkankeimanan dan ketakwaan kepadaTuhan Yang Maha Esa serta akhlakmu-

167lia dalam rangka mencerdaskan kehi-dupan bangsa yang diatur dengan un-dang-undang;

c. bahwa sistem pendidikan nasionalharus mampu menjamin pemerataankesempatan pendidikan, peningkatanmutu serta relevansi dan efisiensi ma-najemen pendidikan untukmenghadapi tantangan sesuai dengantuntutan perubahan kehidupan lokal,nasional, dan global sehingga perludilakukan pembaharuan pendidikansecara terencana, terarah, dan

Page 164: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pen didik an Pen gu asa

berkesinambungan;d. bahwa Undang-undang Nomor 2

Tahun 1989 tentang SistemPendidikan Nasional tidak memadailagi dan perlu diganti serta perludisempurnakan agar sesuai denganamanat perubahan Undang- UndangDasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945;

e. bahwa berdasarkan pertimbangansebagaimana dimaksud pada huruf a,b, c, dan d perlu membentuk Undang-Undang tentang Sistem PendidikanNasional.

Mengingat: Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1),Pasal 31, dan Pasal 32 Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945;

DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA DEWANPERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN

:

Menetapkan: Undang-Undang Tentang Sistem Pen

Page 165: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Lampirandidikan Nasional.

BABI KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencanauntuk mewujudkan suasana belajar dan prosespembelajaran agar peserta didik secara aktifmengembangkan potensi dirinya untuk memilikikekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, sertaketerampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,bangsa dan negara.

2. Pendidikan nasional adalah pendidikan yangberdasarkan Pancasila dan Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945 yangberakar pada

169nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesiadan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.

3. Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhankomponen pendidikan yang saling terkait secaraterpadu untuk mencapai tujuan pendidikannasional.

4 Peserta didik adalah anggota masyarakat yang ber-usaha mengembangkan potensi diri melalui prosespembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, danjenis pendidikan tertentu.

5. Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakatyang mengabdikan diri dan diangkat untukmenunjang penyelenggaraan pendidikan.

Page 166: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pen didik an Pen gu asa

6. Pendidik adalah tenaga kependidikan yangberkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor,pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur,fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengankekhususannya, serta berpartisipasi dalammenyelenggarakan pendidikan.

7. Jalur pendidikan adalah wahana yang dilaluipeserta didik untuk mengembangkan potensi diridalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengantujuan pendidikan.

8. Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikanyang ditetapkan berdasarkan tingkatperkembangan peserta didik, tujuan yang akandicapai, dan kemampuan yang dikembangkan.

9. Jenis pendidikan adalah kelompok yangdidasarkan pada kekhususan tujuan pendidikansuatu satuan pendidikan.

10. Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pen-didikan yang menyelenggarakan pendidikan padajalur formal, nonformal, dan informal pada setiapjenjang dan jenis pendidikan.

11. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yangterstruktur dan berjenjang yang terdiri ataspendidikan dasar, pendidikan menengah, danpendidikan tinggi

12. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan diluar pendidikan formal yang dapat dilaksanakansecara terstruktur dan berjenjang.

13. Pendidikan informal adalah jalur pendidikankeluarga dan lingkungan.

14. Pendidikan anak usia dini adalah suatu upayapembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahirsampai dengan usia enam tahun yang dilakukanmelalui pemberian rangsangan pendidikan untuk

Page 167: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Lampiranmembantu pertumbuhan dan perkembanganjasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapandalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

15. Pendidikan jarak jauh adalah pendidikan yangpeserta didiknya terpisah dari pendidik danpembelajarannya menggunakan berbagai sumberbelajar melalui'tekno- logi komunikasi, informasi,dan media lain.

16. Pendidikan berbasis masyarakat adalah penye-lenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasanagama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensimasyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari,oleh, dan untuk masyarakat.

17. Standar nasional pendidikan adalah kriteriaminimal tentang sistem pendidikan di seluruhwilayah hukum Negara Kesatuan RepublikIndonesia.

17118. Wajib belajar adalah program pendidikan minimal

yang harus diikuti oleh Warga Negara Indonesiaatas tanggung jawab Pemerintah dan PemerintahDaerah.

19. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan peng-aturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaranserta cara yang digunakan sebagai pedomanpenyelenggaraan kegiatan pembelajaran untukmencapai tujuan pendidikan tertentu.

20. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didikdengan pendidik dan sumber belajar pada suatulingkungan belajar.

21. Evaluasi pendidikan adalah kegiatanpengendalian, penjaminan, dan penetapan mutupendidikan terhadap berbagai komponen

Page 168: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

174

pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenispendidikan sebagai bentuk pertanggungjawabanpenyelenggaraan pendidikan.

22. Akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakanprogram dalam satuan pendidikan berdasarkankriteria yang telah ditetapkan.

23. Sumber daya pendidikan adalah segala sesuatuyang dipergunakan dalam penyelenggaraanpendidikan yang meliputi tenaga kependidikan,masyarakat, dana, sarana, dan prasarana.

24. Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri yangberanggotakan berbagai unsur masyarakat yangpeduli pendidikan.

25. Komite sekolah/madrasah adalah lembagamandiri yang beranggotakan orang tua/ walipeserta didik, komunitas sekolah, serta tokohmasyarakat yang peduli pendidikan.

26. Warga negara adalah Warga Negara Indonesiabaik yang tinggal di wilayah Negara KesatuanRepublik Indonesia maupun di luar wilayahNegara Kesatuan Republik Indonesia.

27. Masyarakat adalah kelompok Warga NegaraIndonesia nonpemerintah yang mempunyaiperhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.

28. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.29. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Provinsi,

Pemerintah Kabupaten, atau Pemerintah Kota.30. Menteri adalah menteri yang

bertanggung j; bidang pendidikannasional.

BAB IIDASAR, FUNGSI, DAN TUJUAN

Page 169: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Lampiran

Pasal 2Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945.

Pasal 3Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan

kemampuan dan membentuk watak serta peradabanbangsa yang bermartabat dalam rangkamencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untukberkembangnya potensi peserta didik agar menjadimanusia yang beriman dan bertakwa kepada TuhanYang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negarayang demokratis serta bertanggung jawab.

173

Politik Pendidikan Penguasa

BAB IIIPRINSIP PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN

Pasal 4(1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis

dan berkeadilan serta tidak diskriminatif denganmenjunjung tinggi hak asasi manusia, nilaikeagamaan, nilai kultural, dan kemajemukanbangsa.

(2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuanyang sistemik dengan sistem terbuka danmultimakna.

(3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu prosespembudayaan dan pemberdayaan peserta didikyang berlangsung sepanjang hayat.

Page 170: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

174

(4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberiketeladanan, membangun kemauan, danmengembangkan kreativitas peserta didik dalamproses pembelajaran.

(5) Pendidikan diselenggarakan denganmengembangkan budaya membaca, menulis, danberhitung bagi segenap warga masyarakat.

(6) Pendidikan diselenggarakan denganmemberdayakan semua komponen masyarakatmelalui peran serta dalam penyelenggaraan danpengendalian mutu layanan pendidikan.

BAB IVHAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA,

ORANG TUA, MASYARAKAT, DAN PEMERINTAH

Bagian Kesatu Hak dan Kewajiban Warga Negara

Pasal 5(1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama

untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.(2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik,

emosional, mental, intelektual, dan/atau sosialberhak memperoleh pendidikan khusus.

(3) Warga negara di daerah terpencil atau terbelakangserta masyarakat adat yang terpencil berhakmemperoleh pendidikan layanan khusus.

(4) Warga negara yang memiliki potensi kecerdasandan bakat istimewa berhak memperolehpendidikan khusus.

(5) Setiap warga negara berhak mendapatkesempatan meningkatkan pendidikan sepanjanghayat.

Page 171: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Lampiran Pasal 6(1) Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai

dengan lima belas tahun wajib mengikutipendidikan dasar.

(2) Setiap warga negara bertanggung jaw'ab terhadapkeberlangsungan penyelenggaraan pendidikan.

Bagian Kedua Hak dan Kewajiban Orang Tua

Pasal 7(1) Orang tua berhak berperan serta dalam memilih

satuan pendidikan dan memperoleh informasitentang perkembangan pendidikan anaknya.(2) Orang tua dari anak usia wajib belajar,

berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepadaanaknya.

Bagian Ketiga Hak dan Kewajiban Masyarakat

Pasal 8Masyarakat berhak berperan serta dalam

perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasiprogram pendidikan.

Pasal 9Masyarakat berkewajiban memberikan

dukungan sumber daya dalam penyelenggaraanpendidikan.

Bagian Keempat Hak dan Kewajiban Pemerintah danPemerintah Daerah

Pasal 10

Page 172: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidikan Penguasa

177

Pemerintah dan Pemerintah Daerah berhakmengarahkan, membimbing, membantu, danmengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuaidengan peraturan perundang-undangan yangberlaku.

Page 173: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Lampiran

Pasal 11(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan

dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikanyang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.

(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamintersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiapwarga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belastahun.

BAB V PESERTA DIDIK

Pasal 12(1) Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak:

a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agamayang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama;

b. mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat,minat, dan kemampuannya;

c. mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya;

d. mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya;

e. pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuanpendidikan lain yang setara;

f menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatanbelajar masing-masing dan tidak me-

177nyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetap-kan.

(2) Setiap peserta didik berkewajiban :a. menjaga norma-norma pendidikan untuk

menjamin keberlangsungan proses dankeberhasilan pendidikan;

b. ikut menanggung biaya penyelenggaraanpendidikan, kecuali bagi peserta didik yang

Page 174: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidikan Penguasa

180

dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuaidengan peraturan perundang-undangan yangberlaku.

(3) Warga negara asing dapat menjadi peserta didikpada satuan pendidikan yang diselenggarakandalam wila yah Negara Kesatuan RepublikIndonesia.

(4) Ketentuan mengenai hak dan kewajiban pesertadidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat(2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut denganPeraturan Pemerintah.

BAB VIJALUR, JENJANG, DAN JENIS PENDIDIKAN

Bagian KesatuUmum

Pasal 13(1) Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal,

nonformal, dan informal yang dapat salingmelengkapi dan memperkaya.

(2) Pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)diselenggarakan dengan sistem terbuka melaluitatap muka dan/ atau melalui jarak jauh.

Pasal 14Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan

dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

Pasal 15Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum,

Page 175: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

ejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khu-sus.

Pasal 16Jalur, jenjang, dan jenis pendidikan dapat diwujudkan

dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan olehPemerintah, Pemerintah Daerah, dan/ atau masyarakat.

Bagian Kedua Pendidikan Dasar

Pasal 17(1) Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang

melandasi jenjang pendidikan menengah.(2) Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan

Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sede-rajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) danMadrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yangsederajat.

(3) Ketentuan mengenai pendidikan dasar sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjutdengan Peraturan Pemerintah.

179Bagian Ketiga Pendidikan Menengah

Pasal 18(1) Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendi-

dikan dasar.(2) Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan me-

nengah umum dan pendidikan menengahkejuruan.

(3) Pendidikan menengah berbentuk SekolahMenengah Atas (SM A), Madrasah Aliyah (MA),Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan MadrasahAliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yangsederajat.

Page 176: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidikan Penguasa

180

(4) Ketentuan mengenai pendidikan menengahsebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan PeraturanPemerintah.

Bagian Keempat Pendidikan Tinggi

Pasal 19(1) Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan

setelah pendidikan menengah yang mencakupprogram pendidikan diploma, sarjana, magister,spesialis, dan doktor yang diselenggarakan olehperguruan tinggi-

(2) Pendidikan tinggi diselenggarakan dengan sistemterbuka.

Pasal 20(1) Perguruan tinggi dapatberbentuk akademi,

politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas.(2) Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan

pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepadamasyarakat.

(3) Perguruan tinggi dapat menyelenggarakanprogram akademik, profesi, dan/ atau vokasi.

(4) Ketentuan mengenai perguruan tinggisebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan PeraturanPemerintah.

Pasal 21(1) Perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan

pendirian dan dinyatakan berhakmenyelenggarakan program pendidikan tertentu

Page 177: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Lampiran

dapat memberikan gelar akademik, profesi, atauvokasi sesuai dengan program pendidikan yangdiselenggarakannya.

(2) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pen-didikan yang bukan perguruan tinggi dilarangmemberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi.

(3) Gelar akademik, profesi, atau vokasi hanyadigunakan oleh lulusan dari perguruan tinggi yangdinyatakan berhak memberikan gelar akademik,profesi, atau vokasi.

(4) Penggunaan gelar akademik, profesi, atau vokasilulusan perguruan tinggi hanya dibenarkan dalambentuk dan singkatan yang diterima dariperguruan tinggi yang bersangkutan.

181(5) Penyelenggara pendidikan yang tidak memenuhi

persyaratan pendirian sebagaimana dimaksud dalamayat (1) atau penyelenggara pendidikan bukan per-guruan tinggi yang melakukan tindakan sebagaimanadimaksud dalam ayat (2) dikenakan sanksi administratifberupa penutupan penyelenggaraan pendidikan.

(6) Gelar akademik, profesi, atau vokasi yang dikeluarkanoleh penyelenggara pendidikan yang tidak sesuai denganketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) atau penyelenggara pendidikan yang bukanperguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat(2) dinyatakan tidak sah.

(7) Ketentuan mengenai gelar akademik, profesi, atauvokasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjutdengan Peraturan Pemerintah.

Page 178: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

P o l i t i k P e n d i d i k a n P e n g u a s a

Pasal 22Universitas, institut, dan sekolah tinggi yang memiliki

program doktor berhak memberikan gelar doktor kehor-matan (doktor honoris causa) kepada setiap individu yanglayak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa- jasayang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi,kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan, atau seni.

Pasal 23(1) Pada universitas, institut, dan sekolah tinggi dapat

diangkat guru besar atau profesor sesuai denganperaturan perundang-undangan yang berlaku.

Lampiran

(2) Sebutan guru besar atau profesor hanyadipergunakan selama yang bersangkutan masihaktif bekerja sebagai pendidik di perguruan tinggi.

Pasal 24(1) Dalam penyelenggaraan pendidikan dan

pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruantinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasanmimbar akademik serta otonomi keilmuan.

(2) Perguruan tinggi memiliki otonomi untukmengelola sendiri lembaganya sebagai pusatpenyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitianilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat.

(3) Perguruan tinggi dapat memperoleh sumber danadari masyarakat yang pengelolaannya dilakukanberdasarkan prinsip akuntabilitas publik.

(4) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikantinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat

Page 179: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

183

(2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut denganPeraturan Pemerintah.

Pasal 25(1) Perguruan tinggi menetapkan persyaratan

kelulusan untuk mendapatkan gelar akademik,profesi, atau vokasi.

(2) Lulusan perguruan tinggi yang karya ilmiahnyadigunakan untuk memperoleh gelar akademik,profesi, atau vokasi terbukti merupakan jiplakandicabut gelarnya.

(3) Ketentuan mengenai persyaratan kelulusan dan pen-cabutan gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebihlanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima Pendidikan Nonformal

Pasal 26(1) Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga

masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yangberfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/ ataupelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukungpendidikan sepanjang hayat.

(2) Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkanpotensi peserta didik dengan penekanan pada pengua-saan pengetahuan dan keterampilan fungsional sertapengembangan sikap dan kepribadian profesional.

(3) Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapanhidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepe-mudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pen-didikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan

Page 180: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

P o l i t i k P e n d i d i k a n P e n g u a s a

pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikanlain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuanpeserta didik.

(4) Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembagakursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusatkegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, sertasatuan pendidikan yang sejenis.

(5) Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakatyang memerlukan bekal pengetahuan, keteram-

Page 181: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

185

Lampira n

pilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengem-bangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usahamandiri, dan/ atau melanjutkan pendidikan ke jenjangyang lebih tinggi.

(6) Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setaradengan hasil program pendidikan formal setelah melaluiproses penilaian penyetaraan oleh lembaga yangditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerahdengan mengacu pada standar nasional pendidikan.

(7) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikannonformal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat(2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebihlanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam Pendidikan Informal

Pasal 27(1) Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh

keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajarsecara mandiri. \

(2) Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformalsetelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standarnasional pendidikan.

(3) Ketentuan mengenai pengakuan hasil pendidikaninformal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diaturlebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketujuh Pendidikan Anak Usia Dini

Pasal 28(1) Pendidikan anak usia dini diselenggarakan

sebelum jenjang pendidikan dasar.

Page 182: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidikan Penguasa

186

(2) Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakanmelalui jalur pendidikan formal, nonformal,dan/atau informal.

(3) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikanformal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK),Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yangsederajat.

(4) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikannonformal berbentuk Kelompok Bermain (KB),Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lainyang sederajat.

(5) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikaninformal berbentuk pendidikan keluarga ataupendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.

(6) Ketentuan mengenai pendidikan anak usia dinisebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut denganPeraturan Pemerintah.

Bagian Kedelapan Pendidikan Kedinasan

Pasal 29(1) Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan

profesi yang diselenggara-kan oleh departemenatau lembaga pemerintah nondepartemen.

(2) Pendidikan kedinasan berfungsi meningkatkan ke-mampuan dan keterampilan dalam pelaksanaantugas kedinasan bagi pegawai dan calon pegawainegeri suatu departemen atau lembaga pemerintahnon-depar- temen.

(3) Pendidikan kedinasan diselenggarakan melaluijalur pendidikan formal dan nonformal.

(4) Ketentuan mengenai pendidikan kedinasan

Page 183: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Lampiran

187

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan PeraturanPemerintah.

Bagian Kesembilan Pendidikan Keagamaan

Pasal 30(1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh

Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat daripemeluk agama, sesuai dengan peraturanperundang-undang- an. . .

(2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkanpeserta didik menjadi anggota masyarakat yangmemahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaranagamanya dan/ atau menjadi ahli ilmu agama.

(3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakanpada jalur pendidikan formal, nonformal, daninformal.

(4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikandiniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera,dan bentuk lain yang sejenis.

(5) Ketentuan mengenai pendidikan keagamaansebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),ayat (3), dan

Page 184: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

P o l i t i k P e n d i d i k a n P e n g u a s a

ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Peme-rintah.

Bagian Kesepuluh Pendidikan Jarak Jauh

Pasal 31(1) Pendidikan jarak jauh dapat diselenggarakan pada

semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.(2) Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan

layanan pendidikan kepada kelompok masyarakatyang tidak dapat mengikuti pendidikan secaratatap muka atau reguler.

(3) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalamberbagai bentuk, modus, dan cakupan yangdidukung oleh sarana dan layanan belajar sertasistem penilaian yang menjamin mutu lulusansesuai dengan standar nasional pendidikan.

(4) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikanjarak jauh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut denganPeraturan Pemerintah.

Bagian Kesebelas Pendidikan Khusus dan PendidikanLayanan Khusus

Pasal 32(1) Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi

peserta didik yang memiliki tingkat kesulitandalam meng-ikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik,emosional, mental, sosial, dan/atau memilikipotensi kecerdasan dan bakat istimewa.

(2) Pendidikan layanan khusus merupakan

Page 185: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Lampiran

pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencilatau terbelakang, masyarakat adatyang terpencil,dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial,dan tidak mampu dari segi ekonomi.

(3) Ketentuan mengenai pelaksanaan pendidikankhusus dan pendidikan layanan khusussebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VII BAHASA PENGANTAR

Pasal 33(1) Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara menjadi

bahasa pengantar dalam pendidikan nasional. _(2) Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pe-

ngantar dalam tahap awal pendidikan apabiladiperlukan dalam penyampaian pengetahuandan/atau keterampilan tertentu.

(3) Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasapengantar pada satuan pendidikan tertentu untukmendukung kemampuan berbahasa asing pesertadidik.

189BAB VIII WAJIB BELAJAR

Pasal 34(1) Setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun

dapat mengikuti program wajib belajar.

Page 186: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidikan Penguasa

190

(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin ter-selenggaranya wajib belajar minimal pada jenjangpendidikan dasar tanpa memungut biaya.

(3) Wajib belajar merupakan tanggung jawab negarayang diselenggarakan oleh lembaga pendidikanPemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.

(4) Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimanadimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IXSTANDAR NASIONAL PENDIDIKAN

Pasal 35(1) Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi,

proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan,sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan,dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkansecara berencana dan berkala.

(2) Standar nasional pendidikan digunakan sebagaiacuan pengembangan kurikulum, tenagakependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan,dan pembiayaan.

(3) Pengembangan standar nasional pendidikan sertapemantauan dan pelaporan pencapaiannya secara

Page 187: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Lampiran

191

nasional dilaksanakan oleh suatu badan standardi-sasi, penjaminan, dan pengendalian mutupendidikan.

(4) Ketentuan mengenai standar nasional pendidikansebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), danayat (3) diatur lebih lanjut dengan PeraturanPemerintah.

BAB X KURIKULUM

Pasal 36(1) Pengembangan kurikulum dilakukan dengan

mengacu pada standar nasional pendidikan untukmewujudkan tujuan pendidikan nasional.

(2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenispendidikan dikembangkan dengan prinsipdiversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan,potensi daerah, dan peserta didik.

(3) Kurikulum disusun sesuai dengan jenjangpendidikan dalam kerangka Negara KesatuanRepublik Indonesia dengan memperhatikan:'*■ -a. peningkatan iman dan takwa;b. peningkatan akhlak mulia;c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat

peserta didik;d. keragaman potensi daerah dan lingkungan;e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional;f. tuntutan dunia kerja;g. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi,

dan seni;h. agama;i. dinamika perkembangan global; danj. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.

(4) Ketentuan mengenai pengembangan kurikulumsebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), danayat (3) diatur lebih lanjut dengan PeraturanPemerintah.

Pasal 37(1) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib

memuat:a. pendidikan agama;b. pendidikan kewarganegaraan;c. bahasa;d. matematika;e. ilmu pengetahuan alam;

Page 188: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

192

f. ilmu pengetahuan sosial;g. seni dan budaya;h. pendidikan jasmani dan olahraga;i. keterampilan/kejuruan; dan j. muatanlokal.

(2) Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat:a. pendidikan agama;b. pendidikan kewarganegaraan; danc. bahasa.

(3) Ketentuan mengenai kurikulum sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebihlanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 38(1) Kerangka dasar dan struktur kurikulumpendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh

Pemerintah.(2) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah

dikembangkan sesuai dengan relevansinya olehsetiap kelompok atau satuan pendidikan dankomite sekolah/ madrasah di bawah koordinasidan supervisi dinas pendidikan atau kantorDepartemen Agama Kabupaten/ Kota untukpendidikan dasar dan Provinsi untuk pendidikanmenengah.

(3) Kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan olehperguruan tinggi yang bersangkutan denganmengacu pada standar nasional pendidikan untuksetiap program studi.

(4) Kerangka dasar dan struktur kurikulumpendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruantinggi yang bersangkutan dengan mengacu padastandar nasional pendidikan untuk setiap programstudi.

BAB XIPENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

Pasal 39(1) Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan

administrasi, pengelolaan, pengembangan,pengawasan, dan pelayanan teknis untukmenunjang proses pendidikan pada satuanpendidikan.

(2) Pendidik merupakan tenaga profesional yangbertugas merencanakan dan melaksanakan prosespembelajaran, menilai hasil pembelajaran,melakukan pembimbingan dan pelatihan, sertamelakukan penelitian dan

Page 189: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Lampiran

193

Page 190: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pen didik an Pen gu asa

194

pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pen-didik pada perguruan tinggi.

Pasal 40(1) Pendidik dan tenaga kependidikan berhak mem-

peroleh:a. penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial

yang pantas dan memadai;b. penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi

kerja;c. pembinaan karier sesuai dengan tuntutan

pengembangan kualitas;d. perlindungan hukum dalam melaksanakan

tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual;dan

e. kesempatan untuk menggunakan sarana,prasarana, dan fasilitas pendidikan untukmenunjang kelancaran pelaksanaan tugas.

(2) Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban :a. menciptakan suasana pendidikan yang

bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dandialogis;

b. mempunyai komitmen secara profesional untukmeningkatkan mutu pendidikan; dan

c. memberi teladan dan menjaga nama baiklembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengankepercayaan yang diberikan kepadanya.

Pasal 41(1) Pendidik dan tenaga kependidikan dapat bekerja

secara lintas daerah.

Page 191: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

195

(2) Pengangkatan, penempatan, dan penyebaranpendidik dan tenaga kependidikan diatur olehlembaga yang mengangkatnya berdasarkankebutuhan satuan pendidikan formal.

(3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajibmemfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidikdan tenaga kependidikan yang diperlukan untukmenjamin terselenggaranya pendidikan yangbermutu.

(4) Ketentuan mengenai pendidik dan tenaga kependi-dikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat(2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut denganPeraturan Pemerintah.

Pasal 42(1) Pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan

sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenanganmengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memilikikemampuan untuk mewujudkan tujuanpendidikan nasional.

(2) Pendidik untuk pendidikan formal pada jenjangpendidikan usia dini, pendidikan dasar,pendidikan^nene- ngah, dan pendidikan tinggidihasilkan oleh perguruan tinggi yangterakreditasi.

(3) Ketentuan mengenai kualifikasi pendidiksebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 43(1) Promosi dan penghargaan bagi pendidik dan

tenaga kependidikan dilakukan berdasarkan latarbelakang

pendidikan, pengalaman, kemampuan, dan prestasi kerjadalam bidang pendidikan.

(2) Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruantinggi yang memiliki program pengadaan tenagakependidikan yang terakreditasi.

(3) Ketentuan mengenai promosi, penghargaan, dan serti-fikasi pendidik sebagaimana dimaksud dalam avat (1)dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Peme-rintah.

Pasal 44(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membina dan

mengem bangkan tenaga kependidikan pada satuanpendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah danPemerintah Daerah.

Page 192: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

P o l i t i k P e n d i d i k a n P e n g u a s a

(2) Penyelenggara pendidikan oleh masyarakat berkewa-jiban membina dan mengembangkan tenaga kependi-dikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakannya.

(3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membantupembinaan dan pengembangan tenaga kependidikanpada satuan pendidikan formal yang diselenggarakanoleh masyarakat.

BAB XII

SARANA DAN PRASARANA PENDIDIKAN Pasal 45(1) Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal

menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhikeperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhandan perkembangan potensi fisik, kecerdasanintelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan pesertadidik.

(2) Ketentuan mengenai penyediaan sarana danprasarana pendidikan pada semua satuanpendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XIII PENDANAAN PENDIDIKAN

Bagian Kesatu Tanggung Jawab Pendanaan

Pasal 46(1) Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab

bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah,dan masyarakat.

(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggungjawab menyediakan anggaran pendidikansebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4)Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945.

(3) Ketentuan mengenai tanggung jawab pendanaanpendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan PeraturanPemerintah.

Page 193: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Lampiran197

Bagian Kedua Sumber Pendanaan Pendidikan

Pasal 47(1) Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan

prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan.

(2) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakatmengerahkan sumber daya yang ada sesuai denganperaturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Ketentuan mengenai sumber pendanaan pendidikansebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diaturlebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga Pengelolaan Dana Pendidikan

Pasal 48(1) Pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip

keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik.

(2) Ketentuan mengenai pengelolaan dana pendidikansebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjutdengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat Pengalokasian Dana Pendidikan

Pasal 49(1) Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan

kedinasan dialokasikan minimal 20% dariAnggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)pada sektor pendidikan dan minimal 20% dariAnggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

(2) Gaji guru dan dosen yang diangkat olehPemerintah dialokasikan dalam AnggaranPendapatan dan Belanja Negara (APBN).

(3) Dana pendidikan dari Pemerintah dan PemerintahDaerah untuk satuan pendidikan diberikan dalambentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(4) Dana pendidikan dari Pemerintah kepadaPemerintah Daerah diberikan dalam bentuk hibahsesuai dengan peraturan perundang-undanganyang berlaku.

(5) Ketentuan mengenai pengalokasian dana

Page 194: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

P o l i t i k P e n d i d i k a n P e n g u a s a

pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjutdengan Peraturan Pemerintah.

BAB XIV PENGELOLAAN PENDIDIKAN

Bagian Kesatu Umum

Pasal 50(1) Pengelolaan sistem pendidikan nasional

merupakan tanggung jawab Menteri.(2) Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan

standar nasional pendidikan untuk menjamin mutupendidikan nasional.

199

Page 195: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pen didik an Pen gu asa

200

(3) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyeleng-garakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikanpada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkanmenjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.

(4) Pemerintah Daerah Provinsi melakukan koordinasi ataspenyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenagakependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraanpendidikan lintas daerah Kabupaten/Kota untuk tingkatpendidikan dasar dan menengah.

(5) Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikandasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendi-dikan yang berbasis keunggulan lokal.

(6) Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memilikiotonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya.

(7) Ketentuan mengenai pengelolaan pendidikan sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4),ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan PeraturanPemerintah.

Pasal 51(1) Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pen-

didikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakanberdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsipmanajemen berbasis sekolah/madrasah.

(2) Pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakanberdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminanmutu, dan evaluasi yang transparan.

(3) Ketentuan mengenai pengelolaan satuan pendidikansebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diaturlebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 52(1) Pengelolaan satuan pendidikan nonformal dilakukan

oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/ataumasyarakat.

(2) Ketentuan mengenai pengelolaan satuan pendidikannonformal sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) diaturlebih lanju t dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua Badan Hukum Pendidikan

Pasal 53('l) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang

Page 196: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidikan Penguasa

202

didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentukbadan hukum pendidikan.

(2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksuddalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayananpendidikan kepada peserta didik.

(3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksuddalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengeloladana secara mandiri untuk memajukan satuan pendi-dikan.

(4) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diaturdengan Undang-undang tersendiri.

201BAB XV

PERAN SERTA MASYARAKAT DALAMPENDIDIKAN

Bagian Kesatu Umum

Pasal 54(1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi

peran serta perseorangan, kelompok, keluarga,organisasi profesi, pengusaha, dan organisasikemasyarakatan daiam penyelenggaraan danpengendalian mutu pelayanan pendidikan.

(2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber,pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.

(3) Ketentuan mengenai peran serta masyarakatsebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua Pendidikan Berbasis Masyarakat

Pasal 55(1) Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan

berbasis masyarakat pada pendidikan formal dannonformal sesuai dengan kekhasan agama,

Page 197: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Lampiranlingkungan sosial, dan budaya untuk kepentinganmasyarakat.

(2) Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakatmengembangkan dan melaksanakan kurikulum danevaluasi pendidikan, serta manajemen danpendanaannya sesuai dengan standar nasionalpendidikan.

(3) Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masya-rakat dapat bersumber dari penyelenggara, masya-rakat, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atausumber lain yang tidak bertentangan denganperaturan per- undang-undangan yang berlaku.

(4) Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapatmemperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dansumber daya lain secara adil dan merata dariPemerintah dan/ atau Pemerintah Daerah.

(5) Ketentuan mengenai peran serta masyarakatsebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat(3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan PeraturanPemerintah.

Bagian Ketiga Dewan Pendidikan dan KomiteSekolah/Madrasah

Pasal 56(1) Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu

pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan,pengawasan, dan evaluasi programpendidikan',melalui dewan pendidikan dan komitesekolah/madrasah.

(2) Dewan pendidikan sebagai lembaga mandiridibentuk dan berperan dalam peningkatan mutupelayanan pendidikan dengan memberikanpertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, saranadan prasarana, serta pengawasan pendidikan padatingkat Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/ Kotayang tidak mempunyai hubungan hierarkis.

(3) Komite sekolah/madrasah, sebagai lembagamandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatanmutu

203

Page 198: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidikan Penguasa

204

pelayanan dengan memberikan pertimbangan,arahan dan dukungan tenaga, sarana danprasarana, serta pengawasan pendidikan padatingkat satuan pendidikan.

(4) Ketentuan mengenai pembentukan dewanpendidikan dan komite sekolah/ madrasahsebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), danayat (3) diatur lebih ianjut dengan PeraturanPemerintah.

BAB XVIEVALUASI, AKREDITASI, DAN SERTIFIKASI

Bagian KesatuEvaluasi

Pasal 57(1) Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian

mutu pendidikan secara nasional sebagai bentukakuntabilitas penyelenggara pendidikan kepadapihak-pihak yang berkepentingan.

(2) Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik,lembaga, dan program pendidikan pada jalurformal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan,dan jenis pendidikan.

Pasal 58(1) Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh

pendidik untuk memantau proses, kemajuan, danperbaikan hasil belajar peserta didik secaraberkesinambungan.

(2) Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, danprogram pendidikan dilakukan oleh lembagamandiri secara berkala, menyeluruh, transparan,dan sistemik untuk menilai pencapaian standarnasional pendidikan.

Pasal 59(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan

evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang,dan jenis pendidikan.

(2) Masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat

Page 199: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Lampiranmembentuk lembaga yang mandiri untukmelakukan evaluasi sebagaimana dimaksud dalamPasal 58.

(3) Ketentuan mengenai evaluasi sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebihlanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua Akreditasi

Pasal 60(1) Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan

program dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan nonformal pada setiap jenjang danjenis pendidikan.

(2) Akreditasi terhadap program dan satuanpendidikan dilakukan oleh Pemerintah dan/ ataulembaga mandiri yang berwenang sebagai bentukakuntabilitas publik.

(3) Akreditasi dilakukan atas dasar kriteria yangbersifat terbuka.

205(4) Ketentuan mengenai akreditasi sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga Sertifikasi

Pasal 61(1) Sertifikat berbentuk ijasah dan sertifikat

kompetensi.(2) Ijasah diberikan kepada peserta didik sebagai

pengaku an terhadap prestasi belajar dan/ ataupenyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulusujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikanyang terakreditasi.

(3) Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggarapendidikan dan lembaga pelatihan kepada pesertadidik dan warga masyarakat sebagai pengakuanterhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaantertentu setelah lulus uji kompetensi yangdiselenggarakan oleh satuan pendidikan yangterakreditasi atau lembaga sertifikasi.

Page 200: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politib Pendidikan Penguasa

206

(4) Ketentuan mengenai sertifikasi sebagaimanadimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XVII

PENDIRIAN SATUAN PENDIDIKAN Pasal 62(1) Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal

yang didirikan wajib memperoleh izin Pemerintahatau Pemerintah Daerah.

(2) Syarat-syarat untuk memperoleh izin meliputi isipendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik dantenaga kependidikan, sarana dan prasaranapendidikan, pembiayaan pendidikan, sistemevaluasi dan sertifikasi, serta manajemen danproses pendidikan.

(3) Pemerintah atau Pemerintah Daerah memberi ataumencabut izin pendirian satuan pendidikan sesuaidengan peraturan perundang-undangan yangberlaku.

(4) Ketentuan mengenai pendirian satuan pendidikansebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), danayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Peme-rintah.

Pasal 63Satuan pendidikan yang didirikan dan

diselenggarakan oleh Perwakilan Republik Indonesiadi negara lain menggunakan ketentuan Undang-undang ini.

Page 201: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

LampiranBAB XVIII

PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN '•- OLEH LEMBAGA NEGARA LAIN

Pasal 64Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh

perwakilan negara asing di wilayah Negara KesatuanRepublik Indonesia, bagi peserta didik warga negaraasing, dapat menggunakan ketentuan yang berlaku dinegara yang bersangkutan atas persetujuanPemerintah Republik Indonesia.

207

Page 202: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

208

Politik Pendidikan Penguasa

Pasal 65(1) Lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau

yang diakui di negaranya dapat menyelenggarakanpendidikan di wilayah Negara Kesatuan RepublikIndonesia sesuai dengan peraturan perundang-un-dangan yang berlaku.

(2) Lembaga pendidikan asing pada tingkatpendidikan dasar dan menengah wajib memberikanpendidikan agama dan kewarganegaraan bagipeserta didik Warga Negara Indonesia.

(3) Penyelenggaraan pendidikan asing wajib bekerjasama dengan lembaga pendidikan di wilayahNegara Kesatuan Republik Indonesia denganmengikutsertakan tenaga pendidik dan pengelolaWarga Negara Indonesia.

(4) Kegiatan pendidikan yang menggunakan sistempendidikan negara lain yang diselenggarakan diwilayah Negara Kesatuan Republik Indonesiadilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(5) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikanasing sebagaimana dimaksud dalam ayat ('l), ayat(2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut denganPeraturan Pemerintah.

BAB XIX PENGAWASAN

Pasal 66(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dewan

pendidikan, dan komite sekolah/ madrasahmelakukan pengawasan atas penyelenggaraanpendidikan pada semua jen-

Page 203: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Lampiranjang dan jenis pendidikan sesuai dengankewenang- an masing-masing.

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) dilakukan dengan prinsip transparansi danakuntabilitas publik.

(3) Ketentuan mengenai pengawasan sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut denganPeraturan Pemerintah.

BAB XX KETENTUAN PIDANA

Pasal 67(1) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara

pendidikan yang memberikan ijasah, sertifikatkompetensi, gelar akademik, profesi, dan/ atauvokasi tanpa hak dipidana dengan pidana penjarapaling lama sepuluh tahun dan/atau pidana dendapaling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliarrupiah).

(2) Penyelenggara perguruan tinggi yang dinyatakanditutup berdasarkan Pasal 21 ayat (5) dan masih'beroperasi dipidana dengan pidana penjara palinglama sepuluh tahun dan/ atau pidana dendapaling banyak Rpl .000.000.000,00 (satu miliarrupiah).

(3) Penyelenggara pendidikan yang memberikansebutan guru besar atau profesor denganmelanggar Pasal 23 ayat (1) dipidana denganpidana penjara paling lama sepuluh tahundan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

209(4) Penyelenggara pendidikan jarak jauh yang tidak

memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud

Page 204: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidikan Penguasa

210

dalam Pasal 31 ayat (3) dipidana dengan pidanapenjara paling lama sepuluh tahun dan/ ataupidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00(satu miliar rupiah).

Pasal 68(1) Setiap orang yang membantu memberikan ijasah,

sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi,dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidakmemenuhi persyaratan dipidana dengan pidanapenjara paling lama lima tahun dan/ atau pidanadenda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratusjuta rupiah).

(2) Setiap orang yang menggunakan ijasah, sertifikatkompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atauvokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yangtidak memenuhi persyaratan dipidana denganpidana penjara paling lama lima tahun dan/ataupidana denda paling banyak Rp 500.000 000,00(lima ratus juta rupiah).

(3) Setiap orang yang menggunakan gelar lulusanyang tidak sesuai dengan bentuk dan singkatanyang diterima dari perguruan tinggi yangbersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal21 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara palinglama dua tahun dan/ atau pidana denda palingbanyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(4) Setiap orang yang memperoleh dan/ ataumenggunakan sebutan guru besar yang tidak sesuaidengan Pasal 23 ayat (1) dan/atau ayat (2) dipidanadengan pidana penjara paling lama lima tahundan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Page 205: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Lampiran Pasal 69(1) Setiap orang yang menggunakan ijasah, sertifikat

kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atauvokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidanapenjara paling lama lima tahun dan/atau pidanadenda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratusjuta rupiah).

(2) Setiap orang yang dengan sengaja tanpa hakmenggunakan ijasah dan/atau sertifikatkompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61ayat (2) dan ayat (3) yang terbukti palsu dipidanadengan pidana penjara paling lama lima tahundan/ atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 70Lulusan yang karya ilmiah yang digunakannyra

untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atauvokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2)terbukti merupakan jiplakan dipidana dengan pidanapenjara paling lama dua tahun dan/atau pidanadenda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus jutarupiah).

Pasal 71Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan

tanpa izin Pemerintah atau Pemerintah Daerahsebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1)dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluhtahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

211

Page 206: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pendidikan Penguasa

212

BAB XXI KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 72Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan

formal yang pada saat Undang-undang inidiundangkan belum berbentuk badan hukumpendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Undang-undang yang mengatur badan hukum pendidikan.

Pasal 73Pemerintah atau Pemerintah Daerah wajib

memberikan izin paling lambat dua tahun kepadasatuan pendidikan formal yang telah berjalan padasaat Undang-undang ini diundangkan belum memilikiizin.

Pasal 74Semua peraturan perundang-undangan yang

merupakan peraturan pelaksanaan Undang-undangNomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem PendidikanNasional (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 6,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390) yang adapada saat diundangkannya Undang-undang ini masihtetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belumdiganti berdasarkan Undang-undang ini.

Page 207: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Lampiran

BAB XXII KETENTUAN PENUTUPPasal 75

Semua peraturan perundang-undangan yangdiperlukan untuk melaksanakan Undang-undang iniharus diselesaikan paling lambat dua tahun terhitungsejak berlakunya Undang-undang ini.

Pasal 76Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini,

Undang-undang Nomor 48/Prp./1960 tentang Peng-awasan Pendidikan dan Pengajaran Asing (LembaranNegara Tahun 1960 Nomor 155, Tambahan LembaranNegara Nomor 2103) dan Undang-undang Nomor 2Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional(Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 6, TambahanLembaran Negara Nomor 3390) dinyatakan tidakberlaku.

Pasal 77Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal

diundangkan.Agar setiap orang mengetahuinya,

memerintahkan pengundangan Undang-undang inidengan penempatannya dalam Lembaran NegaraRepublik Indonesia.

Disahkan di Jakarta padatanggal 8 Juli 2003 Presiden

Republik Indonesia,

ttd.

Megawati Soekarnoputri

213

Page 208: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pen didi ha n Peng ua sa

Diundangkan di Jakartapada Tanggal 8 Juli 2003Sekretaris Negara Republik Indonesia,

Bambang Kesowo

Sistem Pendidikan Nasional. Warga Negara.Masyarakat. Pemerintah. Pemerintah Daerah.

(Penjelasan dalam Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor 4301)

Ahmadi, Abu. 1991. Sosiologi Pendidikan. Jakarta:Rineka Cipta.

Djamarah, Svaiful Bahri. 2000. Guru dan Anak Didikdalam Interaksi Edukatif. Jakarta: RinekaCipta.

Drost, J. "Kurikulum Berbasis Kompetensi", Kompas, 26Januari 2004.

DAFTAR PUSTAKA

Page 209: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Effendi, Djohan. "Agama, Apakah Sudah Gagal?",Kompas, 20 September 2002. -

Francis Wahono. 2001. Kapitalisme Pendidikan: AntaraKompetisi dan Keadilan. Yogyakarta: PustakaPelajar, Cindelaras, dan INSIST Press.

Freire, Paulo dan Ira Shor. 2002. Menjadi Guru Merdeka:Petikan Pengalaman. Yogyakarta: LKiS.. 1978. Pedagogy of Oppressed. PenguinBooks.. 1985. Pendidikan Kaum Tertindas, LP3ES.

215.1999. Politik Pendidikan: Kebudayaan,Kekuasaan, dan Pembebasan. Terj. AgungPrihantono dan Fuad AF. Yogyakarta:Pustaka Pelajar dan ReaD..2003. Pendidikan Masyarakat Kota.Yogyakarta: LKiS.

Gunawan, H. Ary. 2000. Sosiologi Pendidikan; SuatuAnalisis Sosiologi tentang Pelbagai ProblemPendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Hadar, Ivan A. "Pendidikan untuk Perdamaian",Kompas, 26 Januari 2004.

Harsono, Eko B. "Pendidikan Indonesia Terburuk diAsia". Liputan Eksklusif Suara Pembaruan, 7Mei 2003.

Imron, Ali. 1996. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta:Pustaka Jaya.

Ki Supriyoko. "Apakah Pendidikan Kita Akan Lebih

Page 210: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pen didik an Pen gu asa

216

Baik?", Suara Pembaruan, 1 Mei 2003.Laporan Akhir Tahun, "Kenaikan Anggaran akan

Tingkatkan Mutu Pendidikan?", PikiranRakyat, 22 Desember 2001.

Mudyahardjo, Radja. 2001. Filsafat Pendidikan: SuatuPengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mulyasa, E. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah (Konsep,Strategi & Implementasi). Bandung: PT RemajaRosdakarya Bandung.

Naomi, Omi Intan (ed.). 1999. Menggugat Pendidikan:Fundamentalis Konservatif, Liberal, Anarkis.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nugroho, Singgih. 2003. Pendidikan Pemerdekaan danIslam. Yogyakarta: Pondok Pustaka Jogja.

Poerwowidagdo, Judo. “RUU Sisdiknas danPelanggaran Hak Asasi Manusia", SuaraPembaruan, 1 Mei 2003.

Reimer, Everett. 2000. School is Dead. Penyadur Prof.Drs. M. Soedomo, M.A. Jakarta: Hanindita.

Ridwan, Nur Khalik. "Pendidikan Agama, Hak Asasi,dan Ideologi", Suara Pembaruan, 8 Mei 2003.

Sinar Harapan. "Demo Tolak RUU Sisdiknas Serempak diBerbagai Daerah", Mei 2003.

Suharta, 2000, "Kebijakan Otonomi Bidang Pendi-dikan". Makalah disampaikan pada rapatKoordinasi Bagian Proyek Perencanaan Re-gional, 21-23 September 2000 di ManadoSulawesi Utara, Biro Organisasi dan Tata

Page 211: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Daftar P ustak a

217

Laksana, Sekretariat Jenderal Depdiknas,Jakarta.

Suntoro, Edy. 2003. Manajemen Pendidikan di Era OtonomiDaerah. Jakarta: Suara Pembaruan, Resensi Buku.

Susetyo, Benny. "Adakah Sekolah Favorit bagi KaumMiskin?" Kompas Edisi Jatim, 2002.

Page 212: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Politik Pen didik an Pen gu asa

218

."Eksploitasi, Diskriminasi danKomersialisasi Pendidikan", Kompas, 2002.

."Kesadaran Multikultural sebagai RohPendidikan", Kompas Edisi Jatim, April 2004.

."Mengenang Tragedi Galileo dalam RUUSisdiknas", Tlie Jakarta Post, April 2003.."Mewujudkan Muatan Pendidikan yangBerbasis Multikultural", Suara Pembaruan, 27April 2003.."Politik dan Agama dalam HasratKekuasaan", Sinar Harapan, Mei 2003.."Telaah Kurikulum Bidang Studi Agama,Yang Dipentingkan Agama atau KomunikasiIman?", Suara Pembaruan, 12 Oktober 2001.

______ 2001. "Pendidikan bagi Kaum Miskin",Sinar Harapan, 2001.

Tilaar, H.A.R. 1999. Beberapa Agenda ReformasiPendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21.Yogyakarta: IndonesiaTera.

Undang-Undang Republik Indonesia 20 Tahun 2003tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun2000 tentang Program PembangunanNasional (Propenas) tahun 1999-2004.

INDEKS

Page 213: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

AAndreaSarti 77 Anthonyde Mello 96

BBadan Pekerja Komite

Nasional IndonesiaPusat (BPK 42

CClash of Civilization 100Community Based Education(CBE) 14

Ddeetatisme 107 demokratisasipendidikan 14, 21, 60Deschooling Society 119

EEtatisme 12, 49

FFoucault 108, 119, 133, 156Francis Wahono 215

GGalileo 76, 77,'.78, 81, 218

Hhak asasi manusia 11, 12, 43,

44, 45, 50, 103, '174Hirohito 160homo homini hipus contra

omnes 97

219Immanuel Wallerstein

118 InternationalEducational Achievement

(IEA) 1,

Ira Shor 147, 215 Ivan A.Hadar 26 Ivan Illich 118,119, 143, 144

J. Drost 28 John Eggleston135

KKerajaan Allah 93, 94 KiHajar Dewantara 42KiSupriyoko 19, 216komersialisasipendidikan 21, 109komunikasi iman 92Kurikulum BerbasisKompetensi (KBK) 27, 28

Llearning society 147 LouisAlthusser 118

MManajemen BerbasisSekolah 31, 34, 216

Masyarakat Prihatin Pen-didikan Nasional(MPPN) 10, 48

NNicholas Abercromble

118Nur Khalik Ridwan 50

OOrba 61, 68, 74, 102, 124,

134Orla 102

PPaul Goodman 9PauloFreire 6, 8, 92, 118,

119pendidikan agama 10, 44,

pendidikan gratis 69, 121,122, 124, 125, 126,127, 128

Pierre Bourdieu 118Program Pembangunan

Nasional (Propenas)218

Rrevolusi pendidikan 165Robert B. Baowollo 42

Page 214: Politik Pendidikan Penguasa pendidikan penguasa.pdfan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1 999-2004) sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesem-patan memperoleh

Indeks

Romo Mangun 118, 145,163

RUU Sisdiknas 10, 41, 42,43, 44, 45, 46, 48,49, 50, 51, 52, 57,58, 59, 60, 64, 65,66, 67, 69, 70, 71,76, 77, 78, 81,217,218

School Based Management(SBM) 14 SekolahLanjutan Tingkat Pertama(SLTP) 1 sentralisasipendidikan 25 status quo76, 140 subjunction 142

sumber daya manusia 4,21, 32, 33, 39, '161

TTeori Maslow 75 TeoriSpranger 53 to be religious88, 90 to have religion 88,90

U

Ujian Akhir Nasional

(UAN) UNESCO 26 WWinston Churchill 160

BIODATA PENULIS

Benny Susetyo (Romo Benny) dilahirkan di Malang,10 Oktober 1968. Pendidikan terakhir di PascasarjanaSekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) WidyaSasana Malang tahun 1996. Sampai sekarang aktif diForum Kajian Demokrasi dan Hak Asasi ManusiaIndonesia (FKDHI), Forum Komunikasi Antar UmatBeragama (FKAUB), bersama Romo Sandyawan di