pola pengawasan hakim pengadilan agama oleh komisi
TRANSCRIPT
POLA PENGAWASAN HAKIM PENGADILAN AGAMA OLEH KOMISI
YUDISIAL DAN MAHKAMAH AGUNG
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.)
HALAMAN JUDUL
OLEH :
WILDA UTAMI RIZQILLAH
NIM. 11140440000062
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2020M/1441H
ii
POLA PENGAWASAN HAKIM PENGADILAN AGAMA OLEH KOMISI
YUDISIAL DAN MAHKAMAH AGUNG
SKRIPSI
LEMBAR PERSETUJUAN Ditujukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu
Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
WILDA UTAMI UTAMI RIZQILLAH
NIM: 11140440000062
Pembimbing:
Hj. Hotnidah Nasution, M.A.
NIP. 197101311997032010
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2020M/1441H
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “Pola Pengawasan Hakim Pengadilan Agama oleh
Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung” telah diajukan dalam sidang
munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Keluarga
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada Agustus 2020. Skripsi
ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program
Strata Satu (S-1) pada Prigram Studi Hukum Keluarga.
Jakarta, Agustus 2020
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A.
NIP. 197608072003121001
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
1. Ketua : Dr. Hj. Mesraini, M.Ag. (......................)
NIP. 197602132003122001
2. Sekretaris : Chairul Hadi, M.A. (......................)
NIP. 197205312007101002
3. Pembimbing : Hj. Hotnidah Nasution, M.A. (......................)
NIP. 197101311997032010
4. Penguji I : Dr. Kamarusdiana, M.H. (......................)
NIP. 197202241998031003
5. Penguji II : Mustolih, S.H.I., M.H. (......................)
NIDN. 2009088001
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatukan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 06 Agustus 2020 M
Dzulhijjah, 1441 H
Wilda Utami Rizqillah
NIM: 11140440000062
v
ABSTRAK
Wilda Utami Rizqillah, NIM 11140440000062. POLA PENGAWASAN
HAKIM PENGADILAN AGAMA OLEH KOMISI YUDISIAL DAN
MAHKAMAH AGUNG. Program Studi Hukum Keluara (Ahwal Syakhsiyyah),
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
1440 H/2019 M,
Penelitian ini bertujuan untuk membahas pelaksanaan pengawasan hakim
Pengadilan Agama oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Komisi Yudisial
dan Mahkamah Agung mempunyai wewenang dalam mengawasi hakim dan di
dalam aturan ada yang dinamakan pemeriksaan bersama. Secara khusus, skripsi ini
bertujuan untuk mengetahui pemahaman lebih lanjut tentang bagaimana pola
pengawasan hakim pengadilan Agama oleh Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial.
Metode yang digunakan dalam penilitian ini adalah kualitatif yaitu yang
bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan sumber data primer
yakni melakukan wawancara terhadap hakim tinggi pengawas dan pegawai Komisi
Yudisial bidang analisis. Sumber data sekunder dilakukan dengan kajian
kepustakaan guna memperoleh teori-teori yang relevan dalam pembahasan skripsi
ini.
Hasil penelitian ini menemukan bahwa pelaksanaan pengawasan hakim
masih mempunyai kekurangan baik SDM ataupun personilnya. Dan sering terjadi
perbedaan tafsir dikarenakan perngertian teknis yudisial sendiri sampai saat ini
belum tertera di dalam UU, sehingga antar kedua lembaga ini masih terjadi tumpang
dan tindih. Batasan antara kedua lembaga ini adalah bahwa kewenangan Komisi
Yudisial hanya dalam mengawasi hakim mengawasi terkait perilaku hakim dan
merekomendasikan hakim yang diduga melanggar kode etik hakim.
Kata Kunci : Pengawasan hakim, Komisi Yudisial, Mahkamah Agung
Pembimbing : Hj. Hotnidah Nasution, M.A.
Dafar Pustaka : 1985-2016
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT. Tuhan semesta alam yang telah melimpahkan
rahmat dan kasih sayangNya kepada umat manusia. Hanya kepada Allah kami
berlindung dan memohon pertolongan. Shalawat dan taslim semoga selalu tercurah
kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah mewasiatkan berjuta ilmu serta
kebaikan. Alhamdulillah penulisan skripsi ”telah di selesaikan. Dukungan moril
dan materil dari berbagai pihak selalu penulis dapatkan tanpa henti. Untuk itu, pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan menyampaikan penghargaan
setinggi-tingginya kepada:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya.
2. Dr. Mesraini, M.A Ketua dan Sekretaris Program Studi Hukum
Keluarga yang senantiasa mengarahkan dan membimbing mahasiswa
dengan penuh semangat.
3. Hj. Hotnidah Nasution, MA., dosen pembimbing skripsi sekaligus
sebagai dosen pembimbing akademik penulis. Beliau memberikan
banyak ide, gagasan, saran, serta kritik yang sangat membangun daya
pikir penulis. Lebih dari itu, beliau adalah sosok dosen yang senantiasa
sabar, mendengarkan dan mengarahkan penulis, baik saat penulisan
skripsi maupun selama menjadi dosen pembimbing akademik. Semoga,
seluruh usaha, kesabaran dan kerja keras Beliau menjadi amal salih
baginya dan mendapatkan pahala yang sebaik-baiknya.
4. Bpk. Wiyalkah dan ibu Robiyah selaku orang tua yang selalu
memberikan bantuan moril dan materiil, yang senantiasa mengingatkan
dan meluangkan waktunya untuk menjadi teman diskusi penulis.
5. Dr. H. Sulaeman Abdullah, S.H., M.H., Nurasti Parlina, S.H., Rahardian
Fajar Nugroho, S.H., Samsul Bahri S.H., Ahmad Ishni Bulatjaya S.H.
yang telah membantu penulis untuk melancarkan penelitian.
6. Seluruh rekan mahasiswa/I angkatan 2014, dan sahabat-sahabat penulis
yang senantiasa memberikan bantuan tanpa henti dan motivasi kepada
penulis terkhusus kepada Ratih Afriana Ningsih S.H., Hidayatul Fitri
vii
S.H., Meidiana Lara Kharisma S.H, Permata Syifa Nur Rahmah S.H.,
Nur Episa, S.H., Ahmad Lutfi S.H, Ibnu Alwan S.H. Ani Sumarni serta
keluarga besar sahabat penulis Erina Zuhri Fuadiyyah.
7. Suciaroh S.Pd., Laras Pandu Oktavia, S.Psi., Nurhayaji, S.Pd. selaku
rekan kerja sahabat yang selalu memberikan motivasi kepada penulis.
8. Ade Tita Viorentika, S.Sos dan Muhammad Syafei, S.Sos rekan yang
membantu penulis dalam penulisa skripsi.
Semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangsih yang berarti bagi
perkembangan ilmu pengetahuan tentang prosesi penegak hukum di
Indonesia khususnya peradilan agama dalam bidang hukum keluarga.
Selain itu penulis juga mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari seluruh pembaca dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan kualitas
tulisan ini kedepanya.
Jakarta, Agustus 2020 M
1441 H
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................. ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv
ABSTRAK ............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ...................... 6
B. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................. 7
C. Metode Penelitian...................................................................................... 8
D. Review Studi Terdahulu .......................................................................... 10
E. Sistematika Penulisan .............................................................................. 12
BAB II KOMISI YUDISIAL DAN MAHKAMAH AGUNG SEBAGAI
LEMBAGA PENGAWASAN HAKIM ............................................ 13
A. Pengertian Pengawasan ........................................................................... 13
B. Tujuan dan Fungsi Pengawasan ............................................................... 16
C. Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung .................................................. 21
D. Dasar Hukum Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung ............................ 23
E. Keputusan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial tentang
KEPPH ................................................................................................... 26
BAB III MAHKAMAH AGUNG DAN KOMISI YUDISIAL DALAM
KAJIAN KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA ............................. 34
A. Sejarah Pembentukan Komisi Yudisial .................................................... 34
B. Sejarah Singkat Mahkamah Agung .......................................................... 40
C. Kewenangan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung ............................. 45
D. Hubungan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung ................................. 50
viii
BAB IV POLA PENGAWASAN HAKIM PENGADILAN AGAMA ......... 53
A. Pola Pengawasan Hakim oleh Komisi Yudisial dan Mahmakah Agung ... 53
B. Batasan Kewenangan antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung...... 54
C. Dinamika Kerja Sama antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung ..... 58
BAB V PENUTUP ........................................................................................... 61
A. KESIMPULAN ....................................................................................... 61
B. SARAN ................................................................................................... 62
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 63
LAMPIRAN ......................................................................................................... 68
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Komisi Yudisial mencatat telah menerima 1.544 laporan masyarakat
dan 891 surat tembusan pada 2 Januari - 23 Desember 2019. Laporan
dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman PerilakuHakim (KEPPH)
tersebut paling banyak disampaikan melalui jasa pengiriman surat (pos),
yaitu 893 laporan.1
Berdasarkan jenis perkara, masalah perdata mendominasi laporan
yang masuk ke KY, yaitu 686 laporan. Untuk perkara pidana berada di
bawahnya dengan jumlah laporan 464 laporan. Selain itu, ada juga
pengaduan terkait perkara agama (90 laporan), Tata Usaha Negara (82
laporan), Tipikor (50 laporan), pemilu (36 laporan), perselisihan hubungan
industrial (34 laporan), dan lingkungan (30 laporan).2
Berdasarkan UUD 1945 Pasal 24 Ayat (1) disebutkan bahwa
terdapat kekuasaan kehakiman yang merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Di mana di dalam UUD 1945 dalam Pasal 24 Ayat (2) ada 3 lembaga negara
yang disebutkan di dalam cabang kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah
Agung dan badan peradilan dibawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara serta
Mahkamah Konstitusi sebagai penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.
Selain itu di dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 disebutkan pula Komisi
Yudisial yang merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri.
Hakim sebagai salah satu unsur dalam peradilan yang memiliki
peran dan posisi yang sangat penting apalagi dengan kewenangannya yang
1 Komisi Yudisial, Laporan Dugaan Pelanggaran Kode Etik (Jakarta: 2019)
2 https://www.komisiyudisial.go.id/frontend/news_detail/1171/ky-terima-laporan-dugaan-
pelanggaran-kode-etik-hakim, diakses 09 Agustus 2020.
2
dimilikinya. Melalui putusannya hakim dapat mengalihkan hak milik,
merampas kebebasan seseorang ataupun menghilangkan hak hidup
seseorang. Hal tersebut harus diaktualiasasikan secara proposional sesuai
dengan peraturan perundang-undangan dan kode etik.3
Besarnya kewenangan yang dimiliki hakim menuntut adanya
pertanggung jawaban yang tinggi oleh hakim maka ada berbagai cara untuk
mengontrol hakim dalam menjalankan tugasnya antara lain mekanisme
pembahasan masa jabatan, pengawasan yang dilakukan oleh lembaga
tertentu serta impeachment dari jabatannya.4
Hakim harus mewujudkan perilaku yang bersih dan beriwibawa
sebagaimana yang dicita-citakan, perlu diupayakan secara maksimal tugas
pengawasan secara internal dan eksternal, yaitu Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial terhadap perilaku hakim sebagaimana dimaksud
berdasarkan kode etik dan pedoman perilaku hakim yang ditetapkan secara
bersama oleh Mahkmah Agung dan Komisi Yudisial. Sebagai
implementasinya maka lahirlah kode etik dan perilaku hakim dalam bentuk
Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor 047/KMA/SKB/IV/2001 dan
02/SKB/P.KY/IV/2009.
Kesepakatan atas peraturan bersama yang disepakati oleh
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial didasarkan konflik antara
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dalam hal pengawasan hakim.
Peraturan bersama ini menjadi tolak ukur bagi Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial untuk bersinergi melakukan pengawasan internal dan
ekstenal terhadap perilaku hakim.
Sejak mengemuka ide pembentukan lembaga baru untuk mengawasi
hakim pada sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat 2001 agenda
3 Wildan Suyuti Mustofa, Kode Etik Hakim, (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 71.
4 Hamdan Zeolva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm.
2.
3
pembahasan amandemen UUD 19455, hadir Komisi Yudisial RI sebagai
lembaga mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung
dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim melalui Pasal 24B
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.6
Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang secara struktural
diposisikan sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi,
namn secara fungsionalnya peranannya bersifat penunjang terhadap
lembaga kekuasaan kehakiman.7 Berdasarkan Pasal 24B ayat (1) UUD
1945, setidaknya ada 2 kewenanga Komisi Yudisial, yaitu Komisi Yudisial
berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung, Komisi Yudisial
berwenang menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta
perilaku hakim. Meskipun kewenangan Komisi Yudisial terkait dengan
kekuasaan kehakiman, namun tidak menjalankan fungsi kekuasaan
kehakiman. Komisi Yudisial bukanlah lembaga penegak hukum (code of
law), melainkan lembaga penegak norma etik (code of etic).8
5 Pada tahun 1968 dalam pembahasan RUU tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman sempat diusuilkan pembentukan lembaga Majelis Pertimbangan dan Penelitian Hakim
yang berfungsi memberikan kepindahan dalam megambil keputusan akhir mengenai saran dan atau
usul pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian dan tindakan atau hukuman jabatan para
hakim. Namun ide tersebut gagal dan tidak berhasil dimasukkan dalam UU. No. 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. (Mahkamah Agung RI, Naskah
Akademis dan RUU tentang Komisi Yudisial, (Jakarta: MA RI, 2003).
6 Naskah Konstitusi RI, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan 1999-2002 Buku
VI Kekuasaan Kehakiman, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi,
2008), hlm. 413.
7 Sirajudin dan Zulkarnain, Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik: Menuju Peradilan
yang Bersih dan Beribawa, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 76.
8 Sirajudin dan Zulkarnain, Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik: Menuju Peradilan
yang Bersih dan Beribawa, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 76.
4
Sebagaiaman yang tertera dalam UUD 1945 Pasal 24A angka (1)
bahwa Mahkamah Agung adalah sebuah lembaga negara yang berwenang
mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di
bawah terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang
diberikan oleh undang-undang. Dan dijelaskan pula di dalam UU No. 3
Tahun 2009 Pasal 32 ayat (1) bahwa Mahkamah Agung melakukan
pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilabn pada semua
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam menyelenggarakan
kekusaan kehakiman.
Dilihat dari segi kedudukan badan atau organ yang melaksanakan
pengawasan, maka pengawasan terdiri dari pengawasan intern dan ekstern.9
Di mana lembaga pengawas intern pengawas adalah Mahkamah Agung dan
lembaga eksternal dalam mengawasi hakim adalah Komisi Yudisial.10
Tugas dan tanggung jawab hakim yang begitu berat, maka hakim
dituntut untuk meiliki etika yang baik, berintegritas, dan professional, dan
menjungjung tinggi pedoman etika dan perilaku hakim. Namun dalam
pelaksanaan peran dan tanggung jawab hakim tentunya terdapat hambatan
dan tantangan baik secara internal dan eksternal.
Menurut UUD 1945, kewajiban dan wewenang MA adalah
berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang dan mempunyai wewenang lainnya
yang diberikan oleh undang-undang, mengajukan 3 orang anggota hakim
9 Sirajudin dan Zulkarnain, Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik: Menuju Peradilan
yang Bersih dan Beribawa, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 77
10 Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, tambahan Lembaga Negara Republik
Indonesia Nomor 5076).
5
Konstitusi, dan memberikan pertimbangan dalam hal Presiden memberi
grasi dan rehabilitasi.11
Dalam konteks penegakan hukum dan keadilan di Indonesia, hakim
agung memiliki tugas mulia sebagai pengawas internal tugas hakim dalam
pengadilan. Hal ini mengingat hakim agung yang berada dalam institusi
Mahkamah Agung adalah juga seorang hakim, maka menurut undang-
undang, hakim agung berhak melakukan pengawasan terhadap kinerja
hakim dalam proses pengadilan, demi hukum dan keadilan. Mengapa perlu
adanya pengawasan tugas hakim? Karena hakim sering lalai dalam
menjalankan kemandirian kekuasaannya.
Hakim adalah manusia biasa, tetapi telah menjadi pilihan mereka
apakah mematuhi atau tidak mematuhi aturan-aturan yang telah dibuat oleh
aparat negara. Dan apabila hakim melanggar peraturan tersebut sudah
seharusnya mereka menerima konsekuensi yang mereka dapati. Dan di
dalam Undang-Undang Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sendiri
tidak dijelaskan secara rinci tentang bagaimana Mahkamah Agung ataupun
Komisi Yudisial dalam mengawasi hakim, apakah 2 lembaga tersebut setiap
bulannya mengutus orang ke setiap pengadilan ataukah pengadilan setiap 3
bulan sekali memberi laporan kepada 2 lembaga itu ? dan apa sebenarnya
peran Badan Pengawas Mahkamah Agung dan Ditjen Badan peradilan
Agama ?
Di sini penulis ingin menjelaskan tentang bagaimana pengawasan
bagaimana lembaga negara dalam mengawasi hakim pengadilan, dan
penulis ingin mengkhususkan hanya pada Pengadilan Agama.
11 Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24A, dalam Redaksi Interaksara, Amandemen
Undang-Undang Dasar 1945, Perubahan pertama, kedua, ketiga dan keempat, (Tangerang:
Interaksara), hlm. 37.
6
Berangkat dari masalah di atas, maka penulis tertarik membuat
penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul “Pola Pengawasan Hakim
Pengadilan Agama oleh Komisi Yudisial dan Mahkmah Agung”
B. Identifikasi Masalah, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi
Dari latar belakang masalah di atas, maka dapat di identifikasi
permasalahan sebagai berikut:
a. Tujuan dan fungsi pegawasan.
b. Hubungan antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung
c. Peraturan bersama antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung
dalam mengawasi hakim
d. Perberdaan kewenangan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial
2. Pembatasan
Untuk menghindari meluasnya permasalahan yang akan dibahas pada
penelitian ini, maka penulis membatasi masalah yang diteliti pada
masalah pola pengawasan hakim pengadilan agama oleh Mahkamah
Agung dan Komisi Yudisial.
3. Perumusan Masalah
a. Bagaimana pola pengawasan hakim Pengadilan Agama oleh
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial?
b. Apakah ada batasan kewenangan antara lembaga dalam mengawasi
hakim Pengadilan Agama?
c. Bagaimana dinamika kerja sama antara Komisi Yudisial dan
Mahkamah Agung?
7
B. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini ditujukan untuk menjawab beberapa masalah diatas yaitu:
a. Untuk mengetahui pola pengawasan hakim Pengadilan Agama oleh
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
b. Untuk mengetahui batasan kewenangan antara lembaga dalam
mengawasi hakim.
c. Untuk mengetahui dinamika kerja sama antara Komisi Yudisial dan
Mahkamah Agung
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi lembaga
Komisi Yudisial maupun Mahkamah Agung dalam melaksanakan
fungsi pengawasan hakim pada umumnya, maupun dikalangan
akademisi yang sedang bergulat di dalam bidangnya, khususnya
hakim itu sendiri agar bisa menegakkan keadilan dan hukum
sebagaimana mestinya.
b. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis
dalam menambah wawasan, pengalaman dan pengetahuan tentang
materi kajian yang akan dibahas pada permasalahan tersebut.
c. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan
untuk penelitian selanjutnya.
8
C. Metode Penelitian
Penelitian merupakan sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk
memperkuat, membina, serta mengembangkan ilmu pengetahuan.12 Oleh
karena itu, diperlukan metode yang tepat dalam melakukan suatu penelitian.
Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan metode penelitian sebagai
berikut:
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan penulis dalam meniliti kajian ini
menggunakan pendekatan penelitian normatif, karena penelitian ini
mengkaji tentang pola perilaku hakim yang sudah diatur dalam
Peraturan Bersama nomor 03/PB/MA/IX/2012 dan
03/PB/P.KY/09/2012 tentang tata cara pemeriksaan bersama kode etik
hakim yang merupakan langkah untuk mempermudah penulis
memperoleh data yang valid.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis ialah kualitatif. Penelitian
metode kualitatif dapat digunakan untuk mengungkap dan memahami
yang akan dijadikan penelitian, metode kualitatif ini merupaka suatu
metode penelitian yang diharapkan dapat menghasilkan uraian yang
mendalam dalam suatu deskripsi tentang masalah yang diteliti.13 Dalam
kaitan kajian skripsi saya ini metode kualitatif dijadikan sebagai acuan
karena yang akan dibahas tentang pola pengawasan hakim dan fokus
pada hakim Pengadilan Agama.
3. Sumber Data
Jenis data dalam penulisan skripsi ini sendiri mengunakan data primer
dan data sekunder, dengan tekhnik pengumpulan data dilakukan dengan
menggunakan metode dokumentasi dan interview.
12 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 2015) Cet. III,
hlm. 3.
13 Basrowi Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2008),
hlm. 23.
9
a. Data Primer
Data Primer adalah data yang dikumpulkan oleh penelitian sendiri
selama penelitian berjalan.14 Data yang diperoleh langsung dari
sumber pertama yaitu, yang diperoleh melalui penelitian lapangan
dengan cara wawancara langsung terhadap pihak-pihak seperti
Ketua Komisi Yudisial dan Ketua Mahkamah Agung maupun
anggota lainnya.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data pendukung dari data utama atau
disebut juga data primer. Data sekunder diantaranya mencakup
dokumen-dokumen, arsip berupa data hukuman disiplin hakim,
buku-buku terkait masalah pengawasan hakim seperti Sistem
Pengawasan Badan Peradilan di Indonesia, hasil-hasil penelitian
yang berwujud laporan, makalah umum seperti Sistem Pembinaan
dan Pengawasan Hakim Pengadilan Agama pasca lahirnya UU No.
50 Tahun 2009 dan bacaan lain yang berkaitan dengan judul
penelitian.15
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam teknik pengumpulan data guna mengumpulkan data-data yang
diperlukan, maka digunakan metode sebagai berikut:
a. Wawancara (interview)
Wawancara adalah suatu metode pengumpulan data yang berupa
pertemuan dua orang atau lebih secara langsung untuk bertukar
informasi dan ide dengan tanya jawab secara lisan sehingga dapat
dibangun makna dalam suatu topik tertentu.16 Dalam hal ini penulis
melakukan wawancara kepada Ketua Komisi Yudisial yang
14 Modul Perencanaan Undang-Undang, (Jakarta:Sekretaris Jendral DPR RI, 2008), hlm.7
15 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986), Cet. 2, hlm.
12.
16 Andi Prastowo, Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan Penelitian,
(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2016) Cet. III, hlm. 212.
10
dilimpahkan kepada pegawai Komisi Yudisial bidang analisis dan
kepada Hakim Tinggi Pengawas.
b. Telaah Dokumentasi
Telaah dokumentasi adalah cara pengumplan informasi yang
didapatkan dari dokumen, yakni peninggalan tertulis, arsip-arsip,
akta ijazah, rapor, peraturan perundang-undangan, buku harian,
surat-surat pribadi, catatan biografi dan lain-lain yang memiliki
keterkaitan dengan masalah yang diteliti.
5. Teknik Penulisan
Teknis penulisan proposal skripsi ini mengacu kepada buku Pedoman
Penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta 2017.
D. Review Studi Terdahulu
Pembahasan dalam penelitian ini penulis melakukan telaah pada hasil
penelitian sebelumnya yang pembahasannya menyerupai dengan
pembahasan yang akan diangkat oleh penulis, yaitu:
No Identitas Substansi Perbedaan
1. Masripattunnisa,
NIM 161204800002
Fakultas Syariah
dan Hukum
Universitas Islam
Negeri Syarif
Hidayatullah
Jakarta. Efektifitas
Pelaksanaan Fungsi
Pengawasan Komisi
Yudisial Dalam
Hasil penelitian ini
membahas tentang
efektifitas pelaksanaan
fungsi KY dalam
mengawasi hakim dan
pengaruhnya terhadap
kekuasaan kehakiman.
Bahwa Komisi Yudisial
dalam mengawasi hakim
belum efektif karena
masih terkendala beberapa
Peneliti membahas
pola pengawasan
terhadap hakim
khususnya Pengadilan
Agama
11
Mengawasi Hakim
dan Pengaruhnya
terhadap Kekuasaan
Kehakiman.
faktor yang berakibat tidak
maksimalnya pelaksanaan
fungsi pengawasan.
2. Erwin Alamsyah,
NIM B 111 11 102
Fakultas Hukum
Universitas
Hasanuddin
Makassar.
Implementasi
Pengawasan Komisi
Yudisial terhadap
Hakim Pengadilan
Tinggi Makassar
Membahas tentang
bagaimana pengawasan
Komisi Yudisial terhadap
Hakim Pengadilan Tinggi
Negeri Makassar
Peneliti membahas
pola pengawasan
terhadap hakim
khususnya Pengadilan
Agama
3. Kevin Angkouw,
Fungsi Mahkamah
Agung sebagai
Pengawas Internal
Tugas Hakim dan
Proses Peradilan.
Berdasarkan penulisan ini
diperoleh bahwa
Mahkamah Agung
melakukan pengawasan
tertinggi terhadap
penyelenggaraan
peradilan. Dan berwenang
untuk memberi petunjuk,
teguran, atau peringatan
yang di pandang perlu
pengadilan di semua
lingkungan peradilan.
Di sini penulis
membahas tentang
jenis sanki yang
dilakukan oleh hakim
Pengadilan Agama
12
E. Sistematika Penulisan
Di dalam melakukan penyusunan proposal skripsi ini penulis
memberi gambaran guna mempermudah pembaca dalam memahami
proposal ini, penulis menuyusunnya ke dalam lima bab. Isi dari proposal
singkat adalah sebagai berikut:
BAB pertama berisi latar belakang masalah, identifikasi,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
review studi terdahulu, metode penelitian serta rancangan sistematika
penulisan.
BAB kedua berisi hal-hal yang berhubungan dengan lembaga negara
yang berwenang dalam mengawasi hakim. Seperti definisi Komisi Yudisial,
dan Mahkamah Agung, dasar hukumnya, tujuan, fungsi Komisi Yudisial
dan Mahkamah Agung, serta peraturan bersama antara Komisi Yudisial dan
Mahkamah Agung.
BAB ketiga menjelaskan tentang profil, sejarah, tugas pokok dan
fungsi Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.
BAB keempat menjelaskan tentang pola pengawasan hakim
Pengadilan Agama. Batasan kewenangan antara Komisi Yudisial dan
Mahkamah Agung dalam mengawasi hakim serta dinamika kerja sama
antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.
BAB kelima memuat suatu kesimpulan dan saran-saran yang
berhubungan dengan pelaksanaan pengawasan Komisi Yudisial ataupun
Mahkamah Agung, penulis juga melampirkan daftar pustaka dan lain-
lainnya.
13
BAB II
KOMISI YUDISIAL DAN MAHKAMAH AGUNG SEBAGAI LEMBAGA
PENGAWASAN HAKIM
Salah satu tuntutan masyarakat yang sangat mendasar sejak era reformasi
hingga saat ini adalah terwujudnya sistem peradilan yang mandiri dan tegaknya
hukum di Indonesia. Tututan itu tentu sangat beralasan, karena pengadilan yang
selama ini diharapkan sebagai ujung tombak penegakkan hukum dan keadilan
masih sering melahirkan putusan yang menciderai rasa keadilan masyarakat.
A. Pengertian Pengawasan
Dari sejumlah fungsi manajemen, pengawasan merupakan salah satu
fungsi yang sangat penting dalam pencapaian tujuan manajemen itu sendiri.
Fungsi manajemen lainnya seperti perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan tidak akan dapat berjalan dengan baik apabila fungsi
pengawasan ini tidak dilakukan dengan baik. Demikian pula halnya dengan
fungsi evaluasi terhadap pencapaian tujuan manajemen akan berhasil baik
apabila fungsi pengawasan telah dilakukan dengan baik. Dalam kehidupan
sehari-hari baik kalangan masyarakat maupun di lingkungan perusahaan
swasta maupun pemerintahan makna pengawasan ini agaknya tidak terlalu
sulit untuk dipahami. Akan tetapi, untuk memberi batasan tentang
pengawasan ini masih sulit untuk diberikan. Bagi para ahli manajemen,
tidak mudah untuk memberikan definisi tentang pengawasan, karena
masing-masing memberikan definisi tersendiri sesuai dengan bidang yang
dipelajari oleh ahli tersebut.17
17 Amran Suadi, Sistem Pengawasan Badan Peradilan di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2014), hlm. 75
14
Kata pengawasan berasal dari kata “awas” berarti “penjagaan”.18
Istilah pengawasan dikenal dalam ilmu manajemen dan ilmu administrasi
yaitu sebagai salah satu kegiatan pengelolaan.19
Berangkat dari kata pengawasan, biasanya yang kita maksud adalah
salah satu fungsi dasar management yang dalam Bahasa Inggris disebut
controlling. Dalam Bahasa Indonesia, menurut Sujamto fungsi controlling
itu mempunyai dua padanan yaitu pengawasan dan pengendalian.
Pengawasan dalam menurut arti sempit segala usaha atau kegiatan untuk
mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya tentang pelaksanaan
tugas atau pekerjaan, apakah sesuai dengan semestinya atau tidak. Adapun
pengendalian itu pengertiannya lebih “forcefull” dari pada pengawasan,
yaitu sebagai usaha atau kegiatan untuk menjamin dan mengarahkan agar
pelaksanaan tugas atau pekerjaan berjalan sesuai dengan yang semestinya.20
Menurut Sondang P. Siagian, terdapat hubungan yang sangat erat
antara perencanaan dan pengawasan, jelas bahwa tanpa rencana
pengawasan tidak akan mungkin dilaksanakan karena tidak ada pedoman
untuk melaksanakan pengawasan itu. Sebaliknya, rencana tanpa
pengawasan akan berarti menimbulkan penyimpangan dan atau
penyelewengan-penyelewengan yang serius tanpa ada alat untuk
mencegahnya.21
Sementara itu Newman berpendapat bahwa “control is assurance
that the performance confoorm to plan” ini berarti bahwa titik berat
pengawasan adalah suatu usaha untuk menjamin agar pelaksanaan suatu
tugas dapat sesuai dengan rencana, dengan demikian menurut Newman
18 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta,
2008), hlm. 123.
19 Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, cet. Ke 6 (Bandung: Nusa Media, 2012),
hlm. 101.
20 Sujamto, Aspek-Aspek Pengawasan di Indonesia, (Sinar Grafika, 1996), hlm. 53
21 Sondang P.Siagian, Filsafat Administrasi, (Jakarta: CV Gunung Agung, 1985), hlm. 135.
15
pengawasan adalah suatu tindakan yang dilakukan selama proses suatu
kegiatan sedang berjalan, bahkan setelah akhir proses kegiatan tersebut.22
Muchsan mengemukakan bahwa pengawasan adalah kegiatan untuk
menilai suatu pelaksanaan tugas secara defacto, sedangkan tujuan
pengawasan hanya terbatas pada pencocokan apakah kegiatan yang
dilaksanakan telah sesuai dengan tolok ukur yang ditetapkan sebelumnya.
Sedangkan Bagir Manan23 memandang “kontrol” sebagai sebuah fungsi
sekaligus hak, sehingga lazim disebut dengan fungsi kontrol atau hak
kontrol. Kontrol mengandung dimensi pengawasan dan pengendalian.
Pengawasan bertalian dengan arahan (derective).
Pengawasan (control), menurut Paulus Effendi Lolutung24, adalah
upaya untuk menghindari terjadinya berbagai kekeliruan, baik sengaja
maupun tidak segaja, sebagai usaha preventif, atau juga untuk
memperbaikinya apabila sudah terjadi kekeliruan itu, sebagai usaha
represif.
Dalam konteks penyelenggaraan kekuasaan kehakiman,
pengawasan dapat diartikan secara luas sebagai salah satu aktivitas fungsi
manajemen untuk menemukan, menilai dan mengoreksi penyimpangan
yang mungkin terjadi atau yang sudah terjadi berdasarkan standard yang
sudah disepakati dalam hal ini peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan demikian pengawasan akan memberikan nilai tambah bagi
peningkatan kinerja para hakim dalam mewujudkan rasa keadilan.25
22 Muchsan, Sistem Pengawasan terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan
Tata Usaha Negara, (Yogyakarta: Liberty, 1992), hlm.37
23 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Derah, (Yogyakarta: Pusat Studi Fakultas
Hukum UI, 2001), hlm. 20.
24 Paulus Lolutung, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum terhadap Pemerintah,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. xvi-xvii.
25 Imam Anshori Saleh, Konsep Pengawasan Kehakiman, (Malang: Setara Press, 2014),
hlm. 127
16
Pengukuran dan pembentulan terhadap kegiatan para bawahan
untuk menjamin bahwa apa yang terlaksana itu cocok dengan rencana. Jadi
pengawasan itu mengukur pelaksanaan diibandingkan dengan cita-cita dan
rencana, memperlihatkan di mana ada penyimpangan negatif dan dengan
menggerakkan tindakan-tindakan untuk memperbaiki penyimpangan-
penyimpangan dan membantu menjamin tercapainya rencana-rencana.
Menurut Harold Koonz yang dikutip oleh Jhon Salinderho mengatakan
bahwa pengawasan adalah pengukuran bahwa apa yang terlaksana itu cocok
dengan rencana, memperlihatkan di mana ada pemyimpangan yang negatif
dan dengan menggerakkan tindakan-tindakan untuk memperbaiki
penyimpangan-penyimpangan dan membantu menjamin tercapainya
rencana.26
B. Tujuan dan Fungsi Pengawasan
1. Tujuan Pengawasan
Pengawasan dilaksanaan untuk dapat mengetahui kenyataan
yang ada sebagai masukan dan bahan pertimbangan bagi pimpinan
Mahkamah Agung, dan atau pimpinan pengadilan untuk menentukan
kebijakan dan tindakan yang diperlukan menyangkut pelaksanaan tugas
pengadilan, tingkah laku aparat pengadilan, dan kinerja pelayanan
publik pengadilan.27
Pengawasan merupakan fungsi manajeral yang keempat setelah
perencanaan, pengorganisasian dan pengarahan. Sebagai salah satu
fungsi manajemen, mekanisme pengawasan di dalam suatu organisasi
memang mutlak diperlukan. Pelaksanaan suatu rencana atau program
tanpa diiringi dengan suatu sistem pengawasan yang baik dan
26 Jhon Salindeho, Tata Laksana dalam Manajemen, (Jakarta: Sinar Grafika, 1998), hlm.
39.
27 Keputusan Ketua Mahkmah Agung RI Nomor : KMA/080/SK/VIII/2006 tanggal 24
Agustus 2006, hlm. 9-10
17
berkesinambungan, jelas akan mengakibatkan lambatnya atau bahkan
tidak tercapainya sasaran dan tujuan yang telah ditentukan.
Dalam rangka meningkatkan disiplin kerja pegawai dengan
tujuan untuk mencapai tujuan organisasi sangat perlu diadakan
pengawasan, karena pengawasan mempunyai beberapa tujuan yang
sangat berguna bagi pihak-pihak yang melaksanakan.28
Menurut Ranupandojo, tujuan pengawasan adalah
mengusahakan agar pekerjaan-pekerjaan terlaksana sesuai dengan
rencana yang ditetapkan dan atau hasil yang dikehendaki.29 Sedangkan
Soekarno dan Gouzali Saydam mengemukakan tujuan pengawasan
antara lain sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui apakah suatu kegiatan sudah berjalan sesuai
dengan rencana;
b. Untuk mengetahui apakah suatu kegiatan sudah sesuai dengan
intruksi;
c. Untuk mengetahui apakah kegiatan telah berjalan efisien;
d. Untuk mengetahui kesulitan-kesulitan dan kelemahan-kelemahan
dalam kegiatan;
e. Untuk mencari jalan keluar bila ada kesulitan, kelemahan atau
kegagalan ke arah perbaikan.30
Tujuan utama pengawasan ialah mengusahakan agar apa yang
direncanakan menjadi kenyataan. Untuk dapat benar-benar terealisasi
tujuan utama tersebut, maka pengawasan pada taraf pertama bertujuan
agar pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan instruksi yang telah
dikeluarkan dan untuk mengetahui kelemahan-kelemahan serta
28 Amran Suadi, Sistem Pengawasan Badan Peradilan di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2014), hlm. 17
29 Ranupandojo dkk, Manajemen Personalia, (Yogyakarta: BPFEE, 2000), hlm. 109.
30 Gouzali Saydam, Manajemen Sumber Daya Manusia (Human Resource) Suatu
Pendekatan Mikro, (Jakarta: Djambatan, 2000), hlm. 197.
18
kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam pelaksanaan rencana
berdasarkan penemuan-penemuan tersebut dapat diambil tindakan
untuk memperbaikinya, baik pada waktu itu maupun waktu-waktu yang
akan datang.31 Sementara berkaitan dengan tujuan pengawasan, Maman
Ukas mengemukakan: “Mensuplai pegawai-pegawai manajemen
dengan infirmasi-informasi yang tepat, teliti, dan lengkap tentang apa
yang akan dilaksanakan memberi kesempatan pada pegawai dalam
meramalkan rintangan yang akan mengganggu produktivitas kerja
secara teliti dan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk
menghapuskan atau mengurangi gangguan-gangguan yang terjadi”.32
Setelah kedua hal di atas telah dilaksanakan, kemudian para
pegawai dapat membawa kepada langkah terakhir dalam mencapai
produktivitas kerja yang maksimum dan pencapaian yang memuaskan
dari pada hsil-hasil yang diharapkan. Sedangkan Situromang dan Juhir
mengatakan bahwa tujuan pengawasan adalah agar terciptanya aparat
yang bersih dan beribawa yang didukung oleh suatu sistem manajemen
pemerintah yang berdaya guna (dan berhasil guna serta ditunjang oleh
partisipasi masyarakat yang konstruksi dan terkendali dalam wujud
pengawasan masyarakat (kontrol sosial) yang objektif, sehat dan
bertanggung jawab”.33
Agar terselenggaranya tertib administrasi di lingkungan aparat
pemerintah, tumbuhnya disiplin kerja yang sehat. Agar adanya keluasan
dalam melaksanakan tugas, fungsi atau kegiatan, tumbuhnya budaya
malu dalam diri masing-masing aparat, rasa berdosa yang lebih
31 Amran Suadi, Sistem Pengawasan Badan Peradilan di Indonesia, (Jakarta: PT
RajaGrafindo, 2014), hlm. 18.
32 Maman Ukas, Manajemen Konsep, Prinsip, dan Aplikasi, (Bandung: Agnini, 2004, Cet.
Ke 3), hlm. 337.
33 M. Situmorang, Viktor, dan Jusuf Juhir, Aspek Hukum Pengawasan Melekat dalam
Lingkungan Aparatur Pemerintah, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), hlm. 26.
19
mendalam untuk berbuat hal-hal yang tercela terhadap masyarakat dan
ajaran agama. Dengan pengawasan diharapkan juga agar pelaksanaan
rencana memanfaatkan semua unsur manajemen secara efektif (berhasil
guna) dan efisien (berdaya guna).34
2. Fungsi Pengawasan
Pengawasan merupakan kegiatan yang mempunyai peranan
yang sangat penting bagi lancarnya kegiatan suatu organisasi.
Pengawasan bisa menjadi fungsi pengendali bagi manajemen untuk
memastikan bahwa rencana-rencana yang telah mereka tetapkan dapat
berjalan secara mulus dan lancar sehingga organisasi bisa mencapai
setiap sasaran yang telah ditetapkannya.
Fungsi pengawasan yang tidak kalah pentingnya adalah
sosialasasi tentang perlunya disiplin, mematuhi segala peraturan demi
keselamatan kerja sama. Sosialisasi perlu dilakukan terus-menerus,
karena usaha pencegahan sangat peting mendapatkan perhatian.
Pengawasan sebagai fungsi manajemen bila dikerjakan dengan
baik, akan menjamin bahwa semua tujuan dari setiap orang atau
kelompok konsisten dengan tujuan jangka pendek maupun jangka
pnjang. Hal ini membantu meyakinkan bahwa tujuan dan hasil tetap
konsisten satu sama lain dengan tujuan organisasi. Controlling
berperan juga dalam menjaga pemenuhan (kompliansi) aturan dan
kebijakan yang esesnsial.35
Proses pengendalian mulai dengan perencanaan sampai
pencapaian tujuan penampilan kerja. Tujuan penampilan kerja untuk
mengukurnya maka disusunlah standar-standar capaian. Ada dua tipe
standar:
34http://lyamarsady.blogspot.com/search?updated-max=2012-06-26T01:39:00-
07:00&max-results=7, Diakses pada tanggal 13 Februari 2020, pukul 20:05 WIB.
35 Amran Suadi, Sistem Pengawasan Badan Peradilan di Indonesia, (PT RajaGrafindo
Persada: Jakarta, 2004), hlm. 22-23.
20
a. Standar output (keluaran) berfungsi untuk mengukur hasil-
hasil tampilan dalam istilah kuantitas, kualitas, biaya atau
waktu.
b. Standar input (masukan) berfungsi untuk mengukur usaha-
usaha kerja yang masuk ke dalam tugas.36
Secara lebih detailnya, fungsi pengawasan adalah sebagai
berikut:
a. Sebagai sarana manajemen untuk memberikan penilaian
apakah pengendalian yang telah dilakukan oleh manajemen
sudah mencukupi serta dikerjakan dengan efektif;
b. Untuk memberikan penilaian apakah organnisasi telah
berjalan sesuai denga aturan-aturan yang ditetapkan seperti
yang telah dilaporkan oleh pelaksana tugas organisasi;
c. Untuk memberikan penialaian apakah setiap bagai dari
manejemen telah mengerjakan tugas yang menjadi
tanggung jawabnya;
d. Untuk memastikan apakah pekerjaan telah dilakukan secara
efektif dan efisien;
e. Untuk memastikan apakah tujuan organisasi telah tercapai
atau tidak.37
36 Rinaldi A. Tahl, Fungsi Controlling (Pengawasan dan Pengendalian),
http://rheinduniatulisan.blogspot.com, Diakses pada tanggal 20 Februari 2020, pukul 08:32 WIB.
37 Pengertian Fungsi Pengawasan, http:matakristal.com, Diakses pada tanggal 22 Februari
2020, pukul 14:36 WIB.
21
Jadi, Fungsi dari pengawasan adalah untuk memberikan nilai,
analisis, merekomendasikan dan juga menyampaikan hasil surat atau
laporan yang berkaitan dengan bidang pekerjaan organisasi atau
lembaga, yang sudah diteliti.38
C. Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung
Perubahan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, selain
telah mengadakan perubahan yang menyangkut kelembagaan
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, juga atas perubahan tersebut UUD
1945 telah menginstroduksi suatu lembaga baru yang berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman. Lembaga baru dimaksud adalah Lembaga Komisi
Yudisial.39
Berdasarkan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, Komisi Yudisial adalah
lembaga yang bersifat mandiri dan berwenang mengusulkan pengangkatan
Hakim Agung dan mempuyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Keberadaan Komisi Yudisial sebagai salah satu lembaga baru yang
berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, diatur oleh
Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 jo UU No. 18 Tahun 2011 tentang
Komisi Yudisial. Komisi Yudisial bukan pelaku kekauasaan kehakiman
akan tetapi tugas dan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang
kepadanya berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.40
Adanya Komisi Yudisial, sebagai salah satu lembaga negara di
dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, merupakan salah satu
substansi penting di dalam perubahan UUD 1945 yang merupakan landasan
38 https://www.seputarpengetahuan.co.id/2018/05/pengertian-pengawasan-tujuan-fungsi-
jenis-jenis.html, Diakses pada tanggal 22 Februari 2020, pukul 14:37 WIB.
39 Taufiq Hamami, Peradilan Agama dalam Reformasi Kekuasaan Kehakiman di
Indonesia, (Jakarta: Tatanusa, 2013), hlm. 28.
40 Taufiq Hamami, hlm. 28.
22
hukum yang kuat bagi reformasi bidang hukum, yakni dengan memberikan
kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk mewujudkan check and
balance.41
Walaupun Komisi Yudisial bukan pelaku kekuasaan kehakiman,
akan tetapi tugas dan wewenangnya berkaitan erat dengan penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman, karena Komisi Yudisial merupakan lembaga yang
akan berperan dalam proses seleksi hakim agung dan melakukan
pengawasan para hakim. Melalui Komisi Yudisial proses seleksi hakim
agung akan lebih onjektif dan transparan, dan moralitas serta kejujuran para
hakim akan semakin terawasi. Keberadaannya diperlukan sebagai perbaikan
peradilan untuk menciptakan peradilan yang lebih baik, sehingga dapat
mendukung dan memperkuat lembaga pengadilan dan kemajuan
pelaksanaan Peradilan.42
Sebagaimana yang di jelaskan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-
Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa
Mahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Sebagaiman telah dijelaskan di dalam UUD 1945 Pasal 24 ayat (1)
bahwa Mahkamah Agung adalah salah satu lembaga negara yang
melakukan kekuasaan kehakiman yaitu kekuasaan yang menyelenggarakan
peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Mahkamah Agung adalah lembaga tinggi negara yang merupakan
pemegang kekuasaan kehakiman bersanding dengan Mahkamah Konstitusi
yang bebas dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan lain. Mahkamah
Agung merupakan puncak sistem peradilan yang strukturnya bertingkat
secara vertikal dan secara horizontal mencakup lima lingkungan peradilan,
41 Taufiq Hamami, Peradilan Agama dalam Reformasi Kekuasaan Kehakiman di
Indonesia, (Jakarta: Tatanusa, 2013), hlm. 28.
42 Taufiq Hamami 29.
23
yaitu lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan tata usaha negara,
lingkungan peradilan agama, dan lingkungan peradilan militer. Menurut
Jimly Asshiddiqie, Mahkamah Agung dapat digambarkan sebagai puncak
peradilan yang berkaitan dengan tuntutan perjuangan keadilan bagi orang
per orang ataupun subjek hukum lainnya.43
Badan Pengawasan Mahkamah Agung adalah satuan kerja
pengawasan fungsional pada Mahkamah Agung yang melaksanakan
pengawasan terhadap pelaksanaan tugas di lingkungan Mahkamah Agung
dan pengadilan di semua lingkungan peradilan.44
D. Dasar Hukum Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung
Komisi Yudisial merupakan lembaga Negara yang terbentuk pasca
reformasi setelah adanya amandemen terhadap UUD 1945, yang pada bab
tentang Kekuasaan Kehahakiman ditambahkan beberapa pasal baru
diantaranya mengatur tentang pembentukan Komisi Yudisial yang terdapat
dalam Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 24B.
Pasal 24A ayat (3) menyatakan bahwa “Calon hakim agung diusulkan
Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan
persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh
Presiden.”
Lalu Pasal 24B juga menjelaskan dasar hukum Komisi Yudisial : pada ayat
(1) menjelaskan bahwa “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim.” Terdapat pula di dalam ayat (2) bahwasanya
“Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pegetahuan dan pengalaman
43 Jimly Assddiqie, dikutip dari http://www.jimlyschool.com/read/analisis/238/kedudukan-
mahkamah-konstitusi-dalam-struktur-ketatanegaraan-indonesia/, diakses pada hari Sabtu, 22
Februari 2020, pukul 14:19 WIB.
44 Keputusan Ketua Mahkmah Agung RI Nomor : KMA/080/SK/VIII/2006 tanggal 24
Agustus 2006, hlm. 8.
24
di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela.” Adapun di ayat (3) menjelaskan “Anggota Komisi Yudisial
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.” Serta susunan, kedudukan Komisi Yudisial diatur oleh
undang-undang, sebagaimana ayat (4) menjelaskan: “Susunan, kedudukan,
dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.”
Selanjutnya dalam rangka melaksanakan ketentuan dan amanat
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka
dibentuk dan ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tetang
Komisi Yudisial yang mengatur tentang kedudukan, anggota, tugas dan
kewenangan Komisi Yudisial. Dalam kedudukannya sebagai salah satu
lembaga dalam kekuasaan yudikatif, Komisi Yudisial diatur pula dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan
dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang menyatakan fungsi pengawasan eksternal hakim oleh
Komisi Yudisial, dalam ketentuan Pasal 40 ayat (1) dan (2) mengatur
bahwa:
(1) Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku
hakim dilakukan pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial.
(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud ayat (1), Komisi
Yudisial mempunyai tugas pengawasan terhadap perilaku hakim
berdasarkan kode etik dan pedoman perilaku hakim.
Pada tahun 2011 pasca adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang
membatasi kewenangan ini, undang-undang Komisi Yudisial direvisi oleh
DPR maka diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang
perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial.
25
Dasar Hukum dibentuknya Komisi Yudisial diantaranya adalah :
1. Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945: Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang
lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim.
2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
3. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Hakim.
4. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum.
5. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
6. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara.
7. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.45
Dasar hukum lembaga negara Mahkamah Agung antara lain :
Pasal 24 ayat (2) UUD RI 1945 berbunyi “Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Selain Pasal di atas, ada pula Pasal yang menjadi landasan dasar
hukum lembaga negara Mahkamah Agung yaitu Pasal 24A ayat (1) UUD RI
1945 yang berbunyi “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat
45 http://www.komisiyudisial.go.id/frontend/static_content/ground_laws, diakses pada
tanggal 20 Februari 2020, pukul 15:00 WIB.
26
kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang
diberikan oleh undang-undang.”
E. Keputusan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial tentang
KEPPH
Hubungan Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial membaik
saat Harifin A Tumpa menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung
menggantikan Bagir Manan.46 Pada tanggal 8 April 2009, Ketua Mahkamah
Agung dan Ketua Komisi Yudisial menandatangani Keputusan Bersama
nomor 047/KMA/SKB.UV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim (KE-PPH). Prinsip dasar KEPPH diimplementasikan dalam 10
(sepuluh) aturan perilaku sebagai berikut:
1. Berprilaku Adil
2. Berprilaku Jujur
3. Berprilaku Arif
4. Bersikap Mandiri
5. Berintegritas Tinggi
6. Bertanggung Jawab
7. Menjungjung Tinggi Harga Diri
8. Berdisiplin Tinggi
9. Berprilaku Rendah Hati
10. Bersikap Profesional47
46 Dalam Laporan Tahunan Komisi Yudisial 2009, KY mencatat, “Meskipun revisi UU KY
(yang sebenarnya oleh keputusan MK juga diamanatkan untuk segera dilakuka) sampai saat ini
belum selesai dibahas, namun pasca disahkannya UU nomor 3 Tahun 2009 tentang perubahan kedua
atas UU nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan kepemimpinan MA beralih ke Harifin
A Tumpa, maka tugas-tugas pengawasan hakim oleh KY dapat dilaksanakan relatif lebih baik.”
47 https://bawas.mahkamahagung.go.id/bawas_doc/doc/kode_etik_hakim.pdf, diakses
pada tanggal 20 Februari 2020 pukul 21:23.
27
Penandatangan keputusan bersama ini dilakukan berdasarkan
amanat pasal 32A junto pasal 81B nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
Kedua UU nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang menjadi
pegangan bagi para hakim seluruh Indonesia serta pedoman bagi Mahkamah
Agung dan Komisi Yudisial dalam melaksanakan fungsi pengawasan
internal maupun eksternal. UU Mahkamah Agung itu merespon keputusan
Mahkamah Konstitusi nomor 005/PPU-VI/2006 yang menilai pengawasan
Komisi Yudisial tanpa parameter yang jelas. Pada awalnya sejumlah LSM
tidak setuju Komisi Yudisial terlibat dalam penyusunan KEPPH itu,
alasannya, dikhawatirkan terjadi kompromi antara Komisi Yudisial dan
Mahkamah Agung yang pada gilirannya pengawasan yang dilakukan
menjadi tidak efektif, prinsip-prinsip yang dihasilkan pun menjadi
“akomodatif”. Namun karena penandatanganan dipandang sangat penting,
maka keberatan sejumlah LSM diabaikan dengan tetap menjaga semangat
independensi masing-masing institusi.48
KEPPH yang berisi pedoman sekarang ini sebenarnya bukan konsep
yang tiba-tiba menjelang penandatanganan keputusan bersama. Melainkan
hasil perenungan ulang atas pedoman yang pertama kali dicetuskan dalam
Kongres IV Luar Biasa IKAHI Tahun 1966 di semarang, dalam bentuk
Kode Etik hakim Indonesia. Lalu disempurnakan kembali dalam Munas
XIII IKAHI Tahun 2000 di Bandung. Kemudian ditindaklanjuti dalam rapat
kerja Mahkamah Agung Tahun 2002 di Surabaya. Raker tersebut
merumuskan 10 (sepuluh) prinsip Pedoman Perilaku Hakim. Sebelumnya
dikaji secara mendalam proses perbandingan prinsip-prinsip internasional,
peraturan serupa yang ditetapkan di berbagai negara, antara lain The
Bangalore Principle of Judicial Conduct.
48 Imam Anshori Saleh, Konsep Pengawasan Kehakiman, (Malang: Setara Press, 2014),
hlm. 200.
28
Selanjutnya terbit pula SK Ketua Mahkamah Agung nomor :
KMA/104A/SK/XII/2007 tanggal 19 Desember 2007 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pedoman Perilaku Hakim. Begitu pula Komisi Yudisial telah
mengkaji secara mendalam, dengan memperhatikan masukan dari berbagai
pihak melalui kegiatan konsultasi publik yang diselenggarakan di 8
(delapan) kota yang pesertanya terdiri atas unsur hakim, praktisi hukum,
akademisi hukum, serta unsur masyarakat, termasuk LSM.49
Keputusan bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial tidak
hanya berisi prinsip-prinsip, tetapi juga merinci penerapan atau
implementasi masing-masing prinsip dan contoh-contoh penerapannya.
Misalnya dalam butir 8: berdisiplin tinggi yang diuraikan sebagai berikut:
“Bahwa salah satu penerapannya adalah hakim berkewajiban untuk
mengetahui dan mendalami serta melaksanakan tugas pokok sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya
hukum acara, agar dapat menerapkan hukum acara benar dan dapat
memenuhi rasa keadilan bagi setiap pencari keadilan.”
Demikian pula dalam butir 10: bersikap preoffesional, diuraikan:
“Bahwa salah satu penerapannya adalah hakim wajib menghindari
terjadinya kekeliruan dalam membuat keputusan, atau mengabaikan
fakta yang dapat menjerat terdakwa atau para pihak atau dengan
sengaja membuat pertimbangan yang menguntungkan terdakwa atau
para pihak dalam mengadili suatu perkara yang ditanganinya.”
Ke-10 butir tersebut tidak dipilah-pilah butir-butir mana yang
menjadi kewenangan Mahkamah Agung dan butir-butir mana yanga
menjadi kewenangan Komisi Yudisial. Baik Mahkamah Agung sebagai
49 Laporan Tahunan Komisi Yudisial 2009.
29
pegawas internal ataupun Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal,
sama-sama berwenang terhadap ke-10 butir KEPPH tersebut.50
Komisi Yudisial mengakui bahwa Keputusan Bersama Ketua
Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial tentang KEPPH itu peristiwa
monumental yang menandai era “bulan madu” kedua lembaga negara dalam
mewujudkan proses peradilan yang bersih, transparan, dan akuntabel.
Semakin dipahami bahwa kegiatan pengawasan tidak saja harus dilakukan
secara internal oleh Mahkamah Agung, tetapi juga secara eksternal oleh
Komisi Yudisial.
Penetapan KEPPH diikuti langkah positif lain. Mahkamah Agung
dan Mahkamah Konstitusi menerbitkan lagi satu Keputusan Bersama
tentang Tata Cara Pembentukan, Tata Kerja, dan Tata Cara Pengambilan
Keputusan Majelis Kehormatan Hakim. Atas rekomendasi, baik Mahkamah
Agung maupun Komisi Yudisial untuk memberhentikan dengan tidak
hormat. MKH bahkan telah bersidang sebanyak 3 majelis untuk 3 orang
hakim yang direkomendasikan untuk diberhentikan.51
Kendati ada sejumlah kendala dalam pengawasan hakim, berbagai
upaya untuk mempertemukan antara keinginan KY dan Mahkamah Agung
di bidang pengawasan, sesuai tugas dan kewenangan masing-masing. Selain
menggelar pertemuan antar pimpinan kedua institusi, juga diwujudkan
dalam bentuk penyusunan peraturan bersama. Langkah awal yakni
membentuk tim penghubung. Kemudian membahas secara intensif hal-hal
yang perlu dituangkan dalam peraturan bersama. Akhirnya berhasil
dirumuskan dan ditandatangani empat peraturan bersama. Tiga diantaranya
berkaitan dengan pengawasan hakim, yaitu Peraturan Bersama tentang
Panduan Penegakan KEPPH, Peraturan Bersama tentang Tata Cara
50 Laporan Tahunan Komisi Yudisial 2009.
51 Imam Anshori Saleh, Konsep Pengawasan Kehakiman, (Malang: Setara Press, 2014),
hlm. 201-202.
30
Pemeriksaan Bersama, dan Peraturan Bersama tentang Majelis Kehormatan
Hakim.52
a. Peraturan Bersama tentang Kewajiban dan Larangan Bagi
Hakim
Peraturan bersama tentang Panduan Penegakkan KEPPH
dituangkan dalam Peraturan Bersama nomor
02/PB/MA/IX/2012-02/PB/P.KY/09/2012. Peraturan bersama
bertujuan melaksanakan ketentuan dalam KEPPH. Isinya
mengatur tentang kewajiban dan larangan bagi hakim.
Kewajiban yang dijabarkan dari sepuluh prinsip KEPPH.
Ke-10 prinsip itu kemudian dijabarkan dalam rincian makna,
kewajiban larangan bagi hakim, yurisdiksi bagi KY dan MA
dalam melakukan pengawasan terhadap hakim, dan ketentuan
sanksi bagi hakim yang melanggar KEPPH.
Dalam hal yurisdiksi, dalam Pasal 15 tentang Peraturan
Bersama itu dirumuskan: “Dalam melakukan pengawasan KY
dan MA tidak dapat menyatakan benar salahnya pertimbangan
yuridis dan substansi putusan hakim.” Ini seperti menegaskan
tidak berlakunya poin 10.4 KEPPH yang memang sudah
dihapuskan melalui putusan PK MA yang mengabulkan
permohonan judicial review empat advokat pada tahun 2012.53
Pada Pasal 17 ayat 1 peraturan bersama ini dinyatakan :
“Dalam hal KY menerima laporan dugaan pelanggaran KEPPH
yang juga merupakan pelanggaran hukum acara, KY dapat
mengusulkan kepada MA untuk ditindak lanjuti. Dalam hal MA
52 Imam Anshori Saleh, Konsep Pengawasan Kehakiman, Malang: Setara Press, 2014),
hlm. 215.
53 Menurut data di Biro Pengawasan Hakim Komisi Yudisial, Hakim Agung anggota
Majelis yang mengadili judicial Review terhadap KEPPH kemudian diadukan oleh sejumlah pegiat
LSM ke Komisi Yudisial, dan Komisi Yudisial mengirimkan usulan sanksi teguran tertulis kepada
anggota Majelis Hakim tersebut
31
menilai hasil penelaahan atas laporan masyarakat yang
diusulkan KY sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak layak
ditindaklanjuti, MA memberitahukan hal tersebut kepada KY
paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak hasil telaahan diterima.
Dalam hal MA menilai hasil penelahan atas laporan masyarakat
yang diusulkan KY sebagaimana dimaksud ayat (1) layak
ditindak lanjuti, MA memberitahukan hasil tindak lanjut tersebut
kepada KY paling lama 60 (enam puluh ) hari sejak telaahan
diterima.
Peraturan bersama tersebut juga memuat ketentuan tingkat
dan jenis pelanggaran serta sanksi secara terperinci. Ada delapan
(8) jenis pelanggaran yang masuk kategori tingkat pelanggaran
ringan, tujuh (7) pelanggaran sedang, dan sepuluh (10) jenis
pelanggaran berat. Sanksi terdapat tingkatan dan jenis
pelanggaran juga terperinci tingkatan dan jenisnya.54
Ada beberapa kekhususan dalam ketentuan peraturan
bersama ini. Tingkat dan jenis sanksi dijatuhkan terhadap hakim
yang terbukti melanggar berdasarkan tingkat dan jenis
pelanggaran sebagaimana dimaksuud dalam Pasal 18 ayat (1),
(2), dan (3) dapat disimpangi dengan pertimbangan latar
belakang, tingkat keseriusan, dan/atau akibat dari pelanggaran
tersebut. Dalam peraturan tersebut Pasal 20 ayat (3) menjelaskan
bahwa terhadap hakim di lingkungan peradilan militer, proses
penjatuhan sanksi yang diberikan dengan memperhatikan
peraturan disiplin yang berlaku bagi prajurit Tentara Nasional
Indonesia.
54 Imam Anshori Saleh, Konsep Pengawasan Kehakiman, (Malang: Setara Press, 2014),
hlm. 216.
32
b. Peraturan Bersama tentang Pemeriksaan Bersama
Peraturan bersama tentang pemeriksaan bersama dituangkan
dalam Peraturan Bersama nomor 03/PB/MA/IX/2012 –
03/PB/P.KY/09/2012. Peraturan bersama ini bertujuan
melaksanakan ketentuan dalam UU nomor 18 Tahun 2011
tentang KY.55 Di dalam Peraturan Bersama Pasal 2 ayat (1)
dilakukan antara KY dan MA dalam hal terjadi perbedaan
pendapat antara kedua institusi tersebut mengenai usul KY
tentang hasil pemeriksaan dan/atau penjatuhan sanksi ringan,
sedang, berat selain sanksi pemberhentian dengan hormat dan
pemberhentian dengan tidak hormat.
Dan di dalam Pasal 2 ayat (2) Pemeriksaan Bersama dapat
pula dilakukan dalam hal terdapat laporan yang sama yang
ditembuskan kepada KY dan MA, diketahui terdapat KY dan
MA masih memeriksanya, terdapat informasi dan/atau laporan
menarik perhartian publik dana masing-masing lembaga
memandang perlu untuk memeriksa bersama.
Peraturan bersama mengatur pula sifat pemeriksaan, tata
cara pemeriksaan, susunan tim pemeriksaan bersama, dan
pembiayaanya. Berbeda dengan MKH yang komposisi
anggotanya empat (4) orang berasal dari KY dan tiga (3) orang
berasal dari MA, untuk pemeriksaan bersama komposisi
anggotanya masing-masing dua (2) orang dari KY dan MA.
Sebelumnya, pemeriksaan bersama pernah terlaksana atas
hakim di Pengadilan Negeri Sengati, Jambi. Akan tetapi saat itu
belum ada peraturan bersama ini. Akibatnya menyulitkan secara
55 Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial
menentukan bahwa dalam hal terjadi perbedaan pendapat antara Komisi Yudisial dan Mahkamah
Agung mengenai usulan Komisi Yudisial tentang penjatuhan sanksi ringan, sedang dan sanksi berat
dilakukan pemeriksaan bersama antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung terhadap hakim
yang bersangkutan.
33
teknis. Akhirnya kedua institusi membuat kesimpulan sendiri-
sendiri.56
c. Peraturan Bersama tentang Majelis Kehormatan Hakim
Peraturan Bersama tentang Tata Cara Pembentukan Tata
Kerja dan Tata Cara Pembgambilan Keputusan MKH
dituangkan dalam peraturan bersama nomor 04/PB/MA/IX/2012
– 04/PB/P/KY/09/2012. Peraturan bersama ini bertujuan
melaksanakan ketentuan Pasal 11A UU Nomor 3 Tahun 2009
tentang MA dan Pasa 22F UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang
KY.
Inti dari peraturan bersama ini mengatur tentang sifat, tata
cara pembentukan dan susunan MKH, keputusan dan
pelaksanaan keputusan MKH, dan pembiayaan MKH. Dengan
peraturan bersama ini diharapkan memperlancar pembentukan
dan sidang-sidang MKH yang sebelumnya sudah beberapa kali
diselenggarakan.57
56 Imam Anshori Saleh, Konsep Pengawasan Kehakiman, (Malang: Setara Press, 2014),
hlm. 217-218.
57 Imam Anshori Saleh, Konsep Pengawasan Kehakiman, (Malang: Setara Press, 2014),
hlm. 218.
34
BAB III
MAHKAMAH AGUNG DAN KOMISI YUDISIAL DALAM KAJIAN
KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA
Indonesia mempunyai alasan yang kuat mengapa kedua lembaga negara
ini ditegakkan, salah satunya ialah ingin menciptakan peradilan yang bersih.
Masing-masing dari kedua lembaga ini mempunyai kewenangan yang sama
yaitu mengawasi para hakim di Indonesia.
A. Sejarah Pembentukan Komisi Yudisial
Sebelum terbentuknya Komisi Yudisial (KY), pembentukan
lembaga pengawas peradilan sebenarnya sempat digagas. Misalnya, Majelis
Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) dan Dewan Kehormatan Hakim
(DKH).
MPPH yang telah diwacanakan sejak tahun 1968 berfungsi
memberikan pertimbangan dan mengambil keputusan terakhir mengenai
saran-saran dan/atau usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan,
promosi, kepindahan, pemberhentian, dan tindakan/hukuman jabatan para
hakim yang diajukan, baik oleh Mahkamah Agung maupun oleh Menteri
Kehakiman. Sayangnya, ide tersebut menemui kegagalan sehingga tidak
berhasil menjadi materi muatan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Sementara Dewan Kehormatan Hakim (DKH) yang tertuang dalam
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 berwenang mengawasi perilaku
hakim, memberikan rekomendasi mengenai perekrutan, promosi, dan
mutasi hakim, serta menyusun kode etik (code of conduct) bagi para hakim.
Melalui Amendemen Ketiga Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 pada tahun 2001 disepakati tentang
pembentukan Komisi Yudisial. Ketentuan mengenai Komisi Yudisial diatur
dalam Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Maksud dasar yang menjadi semangat pembentukan Komisi Yudisial
35
disandarkan pada keprihatinan mendalam mengenai kondisi wajah
peradilan yang muram dan keadilan di Indonesia yang tak kunjung tegak.58
Komisi Yudisial karenanya dibentuk dengan dua kewenangan
konstitutif, yaitu untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Selanjutnya, dalam
rangka mengoperasionalkan keberadaan Komisi Yudisial, dibentuk
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang
disahkan di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2004.
Eksistensi lembaga negara ini semakin nyata setelah tujuh orang
Anggota Komisi Yudisial periode 2005-2010 mengucapkan sumpah di
hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2 Agustus 2005. Sejak
saat itu, kehadiran Komisi Yudisial semakin nyata dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia.
Namun dalam perjalanan tugasnya, Komisi Yudisial mengalami
dinamika. Antara lain pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2004 ke Mahkamah Konstitusi oleh sejumlah hakim agung. Melalui
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, beberapa
kewenangan dalam pengawasan hakim dan hakim Mahkamah Konstitusi
tidak berlaku. Terkait hakim konstitusi, putusan tersebut menjadi
perdebatan panjang lantaran pemohon tidak pernah mengajukannya.
Sejak Mahkamah Konstitusi membatalkan wewenang Komisi
Yudisial melalui putusannya yang keluar pada tahun 2006, Komisi Yudisial
dan sejumlah elemen bangsa yang mendukung peradilan bersih, transparan,
dan akuntabel melakukan berbagai upaya untuk mengembalikan peran
Komisi Yudisial sesuai harapan masyarakat. Salah satu upayanya adalah
dengan merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004. Usaha tersebut
membuahkan hasil dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 18
58 https://www.komisiyudisial.go.id/frontend/static_content/history, diakes pada tanggal
12 April 2020, pukul 14:00.
36
Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial. Perubahan undang-undang ini berpengaruh
terhadap penguatan wewenang dan tugas Komisi Yudisial
Selain itu, amunisi lain yang menguatkan kewenangan Komisi
Yudisial adalah Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum; Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial tersebut
memberikan berbagai tugas dan wewenang baru bagi Komisi Yudisial,
antara lain : melakukan seleksi pengangkatan hakim adhoc di Mahkamah
Agung, melakukan upaya peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim,
melakukan langkah-langkah hukum dan langkah lain untuk menjaga
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, melakukan
penyadapan bekerja sama dengan aparat penegak hukum, dan melakukan
pemanggilan paksa terhadap saksi.
Disahkannya undang-undang tersebut merupakan konkritisasi dari
upaya memperkuat wewenang dan tugas Komisi Yudisial sebagai lembaga
negara independen yang menjalankan fungsi checks and balances di bidang
kekuasaan kehakiman dalam rangka mewujudkan kekuasaan kehakiman
yang merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Pembentukan lembaga pengawas peradilan sebenarnya sempat
digagas sebelum terbentuknya Komisi Yudisial. Misalnya, ada wacana
pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) dan Dewan
Kehormatan Hakim (DKH).
37
Komisi Yudisial karenanya dibentuk dengan dua kewenangan
konstitutif, yaitu untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Selanjutnya, dalam
rangka mengoperasionalkan keberadaan Komisi Yudisial, dibentuk
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang
disahkan di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2004.
Meski pengesahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 pada 13
Agustus 2004, namun kiprah Komisi Yudisial dimulai sejak terbentuknya
organ organisasi pada 2 Agustus 2005. Ditandai dengan pengucapan
sumpah ketujuh Anggota Komisi Yudisial periode 2005-2010 di hadapan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Periode tersebut dipimpin Dr. M. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum,
dan Wakil Ketua M. Thahir Saimima, S.H., M.Hum. Anggota yang lain
adalah Prof. Dr. Mustafa Abdullah (Koordinator Bidang Penilaian Prestasi
Hakim dan Seleksi Hakim Agung), Zaenal Arifin, S.H. (Koordinator Bidang
Pelayanan Masyarakat), Soekotjo Soeparto, S.H., L.LM. (Koordinator
Bidang Hubungan Antar Lembaga), Prof. Dr. Chatamarrasjid Ais, S.H.,
M.H. (Alm) (Koordinator Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia
(SDM), dan Irawady Jonoes, S.H. (Koordinator Bidang Pengawasan
Keluhuran Martabat dan Perilaku Hakim) yang tidak dapat menuntaskan
hingga masa jabatan berakhir. Dalam perjalanannya, lembaga yang diberi
amanat untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim ini tak luput dari peristiwa yang
menyesakan dada.
Sebanyak 31 orang hakim agung mengajukan permohonan uji
materiil (judicial review) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial. Yang akhirnya, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor: 005/PUU-IV/2006, beberapa kewenangan dalam pengawasan
hakim dan hakim MK tidak berlaku. Terkait hakim konstitusi, putusan
38
tersebut menjadi perdebatan panjang lantaran pemohon tidak pernah
mengajukannya.
Pada 20 Desember 2010 masa jabatan Anggota Komisi Yudisial
Periode 2005-2010 berakhir dan digantikan oleh Anggota Komisi Yudisial
Periode 2010-2015. Ketujuh Anggota Komisi Yudisial Periode 2010-2015
pada tanggal tersebut mengucapkan sumpah di hadapan Presiden di Istana
Negara dan secara resmi menjadi Anggota Komisi Yudisial. Sehari
setelahnya, 21 Desember 2010, dilaksanakan proses serah terima jabatan
Anggota Komisi Yudisial Periode 2005-2010 kepada Anggota Komisi
Yudisial Periode 2010-2015 di kantor Komisi Yudisial. Anggota Komisi
Yudisial Periode 2010-2015, yaitu Prof. Dr. H. Eman Suparman, S.H., M.H,
H. Dr. Imam Anshori Saleh, S.H., M.Hum, Dr. Taufiqurrohman S, S.H.,
M.H, Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si, Dr. H. Abbas Said, S.H., M.H,
Dr. Jaja Ahmad Jayus, S.H., M.Hum, dan Dr. Ibrahim, S.H., M.H., LL.M.
Proses suksesi keanggotaan ini dilanjutkan dengan Pemilihan Ketua dan
Wakil Ketua Komisi Yudisial, yang dipilih dari dan oleh Anggota Komisi
Yudisial, pada 30 Desember 2010. Hasilnya, Prof. Dr. H. Eman Suparman,
S.H., M.H terpilih sebagai Ketua dan H. Imam Anshori Saleh, S.H., M.Hum
terpilih sebagai Wakil Ketua.
Usaha untuk merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial mulai membuahkan hasil dengan lahirnya Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang disahkan pada 9
November 2011. Kelahiran Undang-Undang ini menandai kebangkitan
kembali Komisi Yudisial.
Namun dalam perjalanan melaksanakan wewenang dan tugas
tersebut, Komisi Yudisial mendapatkan banyak dukungan dari berbagai
elemen masyarakat. Misalnya, saat para advokat dan/atau Pengacara Publik
pada LKBH Usahid Jakarta, ICW, ILR, LBH Jakarta, YLBHI, MTI, TIl,
Perludem, PUSaKO Universitas Andalas, dan KRHN, yang tergabung
dalam Koalisi Mayarakat Untuk Peradilan Profesional, yang beralamat di
39
LKBH Usahid Jalan Prof. Dr. Soepomo, SH., Nomor 84, Tebet, Jakarta
Selatan melakukan judicial review terkait mekanisme pengangkatan hakim
agung.
Berdasarkan Pasal 18 ayat 4 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial, dalam jangka waktu paling lambat 15 hari terhitung sejak
berakhirnya seleksi berakhir, Komisi Yudisial berkewajiban untuk
menetapkan dan mengajukan 3 calon hakim agung kepada DPR dengan
tembusan disampaikan kepada Presiden.
Pemohon meminta agar mekanisme pengangkatan hakim agung di
bawah UU MA dan UU KY harus dikembalikan kepada perintah konstitusi.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27-PUU/XI/2013 mengabulkan
permohonan para pemohon untuk seluruhnya di mana Komisi Yudisial
menetapkan dan mengajukan 1 calon hakim agung kepada DPR untuk setiap
1 lowongan hakim agung dengan tembusan disampaikan kepada Presiden.
Berdasarkan Pasal 6 ayat (2) Peraturan Komisi Yudisial Nomor 1
Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemilihan Pimpinan Komisi Yudisial, masa
jabatan Ketua dan Wakil Ketua Komisi Yudisial dijalankan selama 2 tahun
6 bulan dan dapat dipilih kembali untuk 2 tahun dan 6 bulan berikutnya.
Prof. Dr. H. Eman Suparman, S.H., M.H. dan H. Imam Anshori Saleh, S.H.,
M.Hum. mengakhiri masa kepemimpinannya sebagai Ketua dan Wakil
Ketua Komisi Yudisial periode Desember 2010-Juni 2013 pada 30 Juni
2013. Keduanya telah memimpin Komisi Yudisial selama 2,5 tahun sejak
terpilih pada 30 Desember 2010 lalu.59
59 https://www.komisiyudisial.go.id/frontend/static_content/history, diakes pada tanggal
12 April 2020, pukul 14:00.
40
B. Sejarah Singkat Mahkamah Agung
Masa penjajahan Belanda atas bumi pertiwi Indonesia, selain
mempengaruhi roda pemerintahan juga sangat besar pengaruhnya terhadap
Peradilan di Indonesia. Dari masa dijajah oleh Belanda (Mr. Herman
Willem Daendels Tahun 1807), kemudian oleh Inggris (Mr. Thomas
Stanford Raffles Tahun 1811 Letnan Jenderal) dan masa kembalinya
Pemerintahan Hindia Belanda (1816-1842).
Pada masa penjajahan Belanda Hoogerechtshoof merupakan
Pengadilan Tertinggi dan berkedudukan di Jakarta dengan wilayah Hukum
meliputi seluruh Indonesia. Hoogerechtshoof beranggotakan seorang Ketua,
2 orang anggota, seorang pokrol Jenderal, 2 orang Advokat Jenderal dan
seorang Panitera dimana perlu dibantu seorang Panitera Muda atau lebih.
Jika perlu Gubernur Jenderal dapat menambah susunan Hoogerechtshoof
dengan seorang Wakil dan seorang atau lebih anggota.
Setelah kemerdekaan, tepatnya tanggal 18 Agustus 1945, Presiden
Soekarno melantik atau mengangkat Mr. Dr. R.S.E Koesoemah
Atmadja sebagai Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia yang
pertama. Hari pengangkatan itu kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi
Mahkamah Agung, melalui Surat Keputusan KMA/043/SK/VIII/1999
tentang Penetapan Hari Jadi Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Tanggal 18 Agustus 1945 juga merupakan tanggal disahkannya UUD 1945
beserta pembentukan dan pengangkatan Kabinet Presidentil Pertama di
Indonesia. Mahkamah Agung terus mengalami dinamika sesuai dinamika
ketatanegaraan. Antara tahun 1946 sampai dengan 1950 Mahkamah Agung
pindah ke Yogyakarta sebagai ibu kota Republik Indonesia.
41
Pada saat itu terdapat dua Lembaga Peradilan Tertinggi di Indonesia
yaitu:
1. Hoogerechtshof di Jakarta dengan:
a. Ketua: Dr. Mr. Wirjers
b. Anggota Indonesia:
1) Mr. Notosubagio,
2) Koesnoen
c. Anggota belanda:
1) Mr. Peter,
2) Mr. Bruins
d. Procureur General: Mr. Urip Kartodirdjo
2. Mahkamah Agung Republik Indonesia di Yogyakarta dengan:
a. Ketua: Mr. Dr. R.S.E. Koesoemah Atmadja
b. Wakil: Mr. R. Satochid Kartanegara
c. Anggota:
1) Mr. Husen Tirtaamidjaja,
2) Mr. Wirjono Prodjodikoro,
3) Sutan Kali Malikul Adil
d. Panitera: Mr. Soebekti
e. Kepala TU: Ranuatmadja
Kemudian terjadi kapitulasi Jepang, yang merupakan Badan
Tertinggi disebut Saikoo Hooin yang kemudian dihapus dengan Osamu
Seirei (Undang-Undang No. 2 Tahun 1944). Pada tanggal 1 Januari 1950
Mahkamah Agung kembali ke Jakarta dan mengambil alih (mengoper)
gedung dan personil serta pekerjaan Hoogerechtschof. Dengan demikian
maka para anggota Hoogerechtschof dan Procureur General meletakkan
jabatan masing-masing dan pekerjaannya diteruskan pada Mahkamah
Agung Republik Indonesia Serikat (MA-RIS) dengan susunan :
1. Ketua: Mr. Dr. R.S.E. Koesoemah Atmadja
2. Wakil: Mr. Satochid Kartanegara
42
3. Anggota:
a. Mr. Husen Tirtaamidjaja,
b. Mr. Wirjono Prodjodikoro,
c. Sutan Kali Malikul Adil
4. Panitera: Mr. Soebekti
5. Jaksa Agung: Mr. Tirtawinata
Dapat dikatakan sejak diangkatnya Mr. Dr. Koesoemah Atmadja
sebagai Ketua Mahkamah Agung, secara operasional pelaksanaan
Kekuasaan Kehakiman di bidang Pengadilan Negara Tertinggi adalah sejak
disahkannya Kekuasaan dan Hukum Acara Mahkamah Agung yang
ditetapkan tanggal 9 Mei 1950 dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1950
tentang Susunan Kekuasaan dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung
Republik Indonesia.
Dalam kurun waktu tersebut Mahkamah Agung telah dua kali
melantik dan mengambil sumpah Presiden Soekarno, yaitu tanggal 19
Agustus 1945 sebagai Presiden Pertama Republik Indonesia dan tanggal 27
Desember 1945 sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS).
Waktu terus berjalan dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 sudah
harus diganti, maka pada tanggal 17 Desember 1970 lahirlah Undang-
Undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan
kehakiman yang Pasal 10 ayat (2) menyebutkan bahwa Mahkamah Agung
adalah Pengadilan Negara Tertinggi dalam arti Mahkamah Agung sebagai
Badan Pengadilan Kasasi (terakhir) bagi putusan-putusan yang berasal dari
Pengadilan di bawahnya, yaitu Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan
Tingkat Banding yang meliputi 4 (empat) Lingkungan Peradilan:
1. Peradilan Umum
2. Peradilan Agama
3. Peradilan Militer
4. Peradilan TUN
43
Sejak Tahun 1970 tersebut kedudukan Mahkamah Agung mulai kuat
dan terlebih dengan keluarnya Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung, maka kedudukan Mahkamah Agung sudah mulai
mapan, dalam menjalankan tugas-tugasnya yang mempunyai 5 fungsi,
yaitu:
1. Fungsi Peradilan
2. Fungsi Pengawasan
3. Fungsi Pengaturan
4. Fungsi Memberi Nasihat
5. Fungsi Administrasi
Situasi semakin berkembang dan kebutuhan baik teknis maupun
nonteknis semakin meningkat, Mahkamah Agung harus bisa mengatur
organisasi, administrasi dan keuangan sendiri tidak bergabung dengan
Departemen Kehakiman (sekarang Kementerian Hukum dan HAM). Waktu
terus berjalan, gagasan agar badan Kehakiman sepenuhnya ditempatkan di
bawah pengorganisasian Mahkamah Agung terpisah dari Kementerian
Kehakiman.
Pada Mei 1998 di Indonesia terjadi perubahan politik yang radikal
dikenal dengan lahirnya Era Reformasi. Konsep Peradilan Satu Atap dapat
diterima yang ditandai dengan lahirnya TAP MPR No. X/MPR/1998 yang
menentukan Kekuasaan Kehakiman bebas dan terpisah dari Kekuasaan
Eksekutif. Ketetapan ini kemudian dilanjutkan dengan diundangkannya
Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-
Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. Undang-Undang tersebut memberi batas waktu lima tahun
untuk pengalihannya sebagaimana tertuang dalam Pasal II ayat (1) yang
berbunyi:
44
“Pengalihan administrasi, organisasi, dan finansial dilaksanakan
secara bertahap paling lama 5 tahun sejak undang-undang ini
berlaku”
Berawal dari Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 inilah kemudian
konsep Satu Atap dijabarkan dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004
tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung.
Pada tanggal 23 Maret 2004 lahirlah Keputusan Presiden RI No. 21
Tahun 2004 tentang pengalihan organisasi, administrasi dan finansial dan
lingkungan Peradilan Umum dan Tata Usaha Negara, Pengadilan Agama ke
Mahkamah Agung, yang ditindaklanjuti dengan:
1. Serah terima Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial di
lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara dari
Departemen Kehakiman dan HAM ke Mahkamah Agung pada tanggal
31 Maret 2004.
2. Serah terima Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial
lingkungan Peradilan Agama dari Departemen Agama ke Mahkamah
Agung yang dilaksanakan tanggal 30 Juni 2004.60
60 https://id.wikipedia.org/wiki/Mahkamah_Agung_Republik_Indonesia#cite_note-
Laparan_Tahunan_2010-5 diakses pada tanggal 17 Maret 2020 pukul 22:05.
45
C. Kewenangan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung
Wewenang Komisi Yudisial mengawasi perilaku hakim guna
menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku
hakim adalah dengan:
1. Meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan
dengan perilaku hakim;
2. Melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku
hakim;
3. Memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga
melanggar kode etik perilaku hakim;
4. Meminta laporan masyarakat tentang perilaku hakim;
5. Membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan
disampaikan kepada Mahkamah Agung dan atau Mahkamah
Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan
DPR.
Berdasarkan kutipan di atas, Komisi Yudisial melaporkan hasil
pemeriksaan berupa rekomendasi yang disampaikan kepada Mahkamah
Agung dan atau Mahkamah Konstitusi. Tindakannya disampaikan kepada
Presiden dan DPR sekaligus mengusulkan sanksi terhadap hakim yang
diduga melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim tersebut. Sesuai
dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, usul penjatuhan sanksi
terhadap hakim dapat berupa:
a. Teguran tertulis;
b. Pemberhentian sementara; atau
c. Pemberhentian.61
61 Imam Ansori Saleh, Konsep Pengawasan Kehakiman, (Malang: Setara Press, 2014), hlm.
3
46
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 menjelaskan
bahwa Komisi Yudisial mempunyai wewenang antara lain:
a. Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim adhoc di
Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan;
b. Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim;
d. Menetapkan kode etik dan atau pedoman perilaku hakim bersama-
sama dengan Mahkamah Agung; dan
e. Menjaga dan menegakkan pelaksanaan kode etik dan/atau pedoman
perilaku hakim.
Berdasarkan ketentuan lain Komisi Yudisial berwenang
menganalisis putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagai
dasar untuk melakukan mutasi hakim (Pasal 42 Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009), dan memberikan rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim
Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, dan Pengadilan Tata Usaha Negara
bersama Mahkamah Agung.62
a. Wewenang Mengusulkan Pengangkatan Hakim Agung
Wewenang untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung adalah
wewenang yang dimiliki oleh Komisi Yudisial untuk melakukan seleksi
terhadap calon hakim agung dan kemudian mengusulkannya kepada
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Komisi Yudisial mengajukan tiga (3)
orang calon hakim agung ke DPR untuk setiap 1 (satu) kebutuhan hakim
agung. Proses pengusulan pengangkata hakim agung ini dilakukan
dalam waktu paling lama enam (6) bulan.
Apabila memperhatikan praktik fit and proper test satu orang hakim
agung yang ditemukan oleh DPR dari tiga yang diusulkan oleh pihak
Mahkamah Agung tetapi dengan berlakunya Undang-Undang Nomor
62 Amran Suadi, Sistem Pengawasan Badan Peradilan di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 2014), hlm. 167
47
18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2004
tentang Komisi Yudisial sehingga usulan ke DPR tidak perlu tiga kali
dari reformasi agung yang diperlukan oleh Mahkamah Agung. Hal ini
sejalan dengan bunyi Pasal 13 huruf (a) UU Nomor 18 Tahun 2011
sedangkan Pasal 18 angkka (4) sudah seharusnya dirubah dengan uji
materiil ke Mahkamah Konstitusi karena tidak sesuai dengan konstelasi
keberadaan KY pada saat sekarang ini dan konstitusi.63
b. Wewenang Menjaga dan Menegakkan Kehormatan, Keluhuran
Martabat serta Perilaku Hakim
Kewenangan “menjaga” yang termaktub dalam UUD 1945
bermakna Komisi Yudisial melakukan serangkaian kegiatan yang dapat
menjaga hakim agar tidak melakukan tindakan yang melanggar kode
etik dan pedoman perilaku hakim. Dalam hal ini Komisi Yudisial
melaksanakan tugas yang disebut preventif. Sementara kewenangan
“menegakkan” bermakna Komisi Yudisial melakukan tindakan represif
terhadap hakim yang telah melanggar kode etik dan pedoman perilaku
hakim. Tindakan ini dapat berbentuk pemberian sanksi.64
c. Tugas Komisi Yudisial dalam Menjaga dan Menegakkan
Kehormatan, Keluhuran Martabat, serta Perilaku Hakim
Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UU Nomor 18 tahun 2011, Komisi
Yudisial mempunyai tugas:
1) Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku
hakim;
2) Menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran
kode etik dan atau pedoman perilaku hakim;
63 Amran Suadi, Sistem Pengawasan Badan Peradilan di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 2014), hlm. 167-168.
64 Amran Suadi, Sistem Pengawasan Badan Peradilan di Indonesia,..., hlm. 168.
48
3) Melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap
laporan dugaan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku
hakim secara tertutup;
4) Memutuskan benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran kode
etik dan/atau pedoman perilaku hakim;
5) Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang
perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang
merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim;
6) Tugas Komisi Yudisial dalam melakukan pemantauan dan
pengawasan terhadap perilaku hakim.
Berdasarkan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2011, Komisi Yudisial dalam melakukan pemantauan dan pengawasan
perilaku hakim dapat:
1) Melakukan verifikasi terhadap laporan;
2) Melakukan pemeriksaan atas dugaan pelanggaran;
3) Melakukan pemanggilan dan meminta keterangan dari hakim
yang diduga melanggar pedoman kehormatan, keluruhan
martabat, serta perilaku hakim untuk kepentingan pemeriksaan;
4) Melakukan pemanggilan dan meminta keterangan dari saksi;
5) Menyimpulkan hasil pemeriksaan.65
65 Amran Suadi, Sistem Pengawasan Badan Peradilan di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 2014), hlm. 168-169.
49
Wewenang Komisi Yudisial mengawasi perilaku hakim guna
menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku hakim yang
tertera dalam adalah dengan:
1. Meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan
dengan perilaku hakim;
2. Melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim;
3. Memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar
kode etik perilaku hakim;
4. Membuat laporan masyarakat tentang perilaku hakim;
5. Membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan
disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi,
serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.
Wewenang dan Kekuasaan Mahkamah Agung
Pasal 20 ayat (2) dan (3) UU. No. 48 Tahun 2009
Pasal 39 ayat (1), (2), (3) dan (4) UU No. 48 Tahun 2009
Mahkamah Agung berwenang:
(2) Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada
tingkat terkahir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang
berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali undang-undang
menentukan lain.
(3) Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang.
50
Kewenangan lain yang diberikan undang-undang:
1. Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan dapat
diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi
maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung;
2. Pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua
badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam
menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah
Agung;
3. Pengawasan tertinggi terhadap pelaksanaan tugas administrasi dan
keuangan;
4. Pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh Mahkamah
Agung.66
D. Hubungan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung
Dalam konteks supremasi hukum, pengawasan merupakan salah
satu unsur esensial dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih, sehingga
siapapun pejabat negara tidak boleh menolak untuk diawasi. Melihat
pengawasan tiada lain untuk melakukan pengendalian yang bertujuan
mencegah absolutisme kekuasaan, kesewenang-wenangan dan
penyalahgunaan wewenang.67
Ada tiga hal yang menjadi obyek pengawasan terhadap kinerja
hakim yaitu68 :
1. Pengawasan bidang teknis peradilan atau teknis yustisial
Yang dimaksud dengan teknis peradilan adalah segala sesuatu yang
menjadi tugas pokok hakim, yaitu menerima, memerisa, mengadili dan
66 M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah
Agung Sya’iah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 3.
67 Yohanes Usfunan, Komisi Yudisial (Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial,
(Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2006), hlm. 207.
68 MARI, Pedoman Perilaku Hakim (code of landnet), Jakarta: MARI, 2004), hlm. 80-81.
51
menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Dalam kaitan ini
termasuk pula bagaimana terlaksananya putusan tersebut. Jadi tujuan
pengawasan dalam konteks ini adalah adanya peningkatan kualitas
putusan hakim.
2. Pengawasan bidang administrasi
Sedang yang dimaksud dengan administrasi peradilan adalah segala
sesuatu yang menjadi pokok kepaniteraan lembaga pengadilan.
Administrasi peradilan di sini harus dipisahkan dengan administrasi
umum yang tidak ada sangkut paunya dengan suatu perkara di lembaga
pengadilan tersebut. Administrasi peradilan erat kaitannya terhadap
teknis peradilan. Suatu putusan pengadilan tidak akan sempurna apabila
masalah administrasi peradilan diabaikan.
3. Pengawasan terhadap perbuatan pejabat peradilan
Pengawasan model ketiga ini adalah pengawasan terhadap tingkah laku
perbuatan (pekerjaan) pejabat pegadilan dan para hakim panitera, yang
mengurangi kewajaran jalannya peradilan dilakukan berdasarkan
temuan-temuan, penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan yang
dilakukan oleh hakim dan pejabat kepaniteraan, baik yang dikemukakan
atas dasar laporan hasil pengawasan internal maupun atas laporan
masyarakat media massa, dan lain-lain pengawasan internal.
Bentuk hubungan antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung
adalah hubungan yang bersifat kemitraan (partnership) bukan hubungan
mandiri yang terlepas dari saling ketergantungan. Bentuk kerja sama
kemitraan itu tergambar dari adanya wewenang Komisi Yudisial
merekomendasi dan mengusulkan sanksi Kode Etik dan/atau Pedoman
Perilaku Hakim kepada Mahkamah Agung, dan Mahkamah Agung yang
akan mengeksekusi pelaksanaan rekomendasi tersebut.69
69 Komisi Yudisial, Dialekta Pembaruan Sistem Hukum Indonesia, hlm. 305.
52
Tanpa eksekusi Mahkamah Agung rekomedasi Komisi Yudisial
mengenai penjatuhan sanksi etik bagi hakim yang melakukan pelanggaran
etik akan menjadi sia-sia. Kesuksesan dalam hubungan kemitraan adalah
kesuksesan bersama, bukan kesuksesan sendiri-sendiri. Artinya Komisi
Yudisial tidak akan sukses dalam melaksanakan fungsi, wewenang dan
tugasnya tanpa dukungan dari Mahkamah Agung begitupun sebaliknya.
Dan hubungan kerja sama antara Mahkamah Agung dengan Komisi
Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap badan peradilan
masih menyisakan masalah lama, yaitu ruang lingkup dan batasan
wewenang Komisi Yudisial dalam rangka memaksimalkan fungsi
pengawasan terhadap badan peradilan dan hakimnya Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial telah mencapai kesepakatan untuk mendorong segera
proses implementasi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor
210/KMA/SK/XII/2011 tentang Pembentukan Tim Penghubung
Mahkamah Agung RI dengan Komisi Yudisial dan Keputusan Ketua
Makamah Agung RI Nomor 211/KMA/SK/XII/2011 tentang Pembentukan
Tim Asistensi atas Tim Penghubung Mahkamh Agung RI dalam Kerangka
Kerja Sama Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial, makin menegaskan
masih terdapat ganjalan dalam hubungan kerja sama antara Mahkamah
Agung RI dan Komisi Yudisial yang harus diselesaikan.70
70 Mahkamah Agung RI, Laporan Tahunan 2011, (Jakarta, 2012), hlm. 1.
53
BAB IV
POLA PENGAWASAN HAKIM PENGADILAN AGAMA
Kunci utama keberhasilan penyelenggaraan peradilan sesuai amanat
konstitusi yaitu tegaknya hukum dan keadilan berdasarkan pancasila demi
terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia adalah terletak di
tangan hakim. Karena itu hakim yang mandiri, berintegritas moral tinggi
dan berwawasan luas merupakan syarat terpenting yang tak dapat ditawar
bagi seorang hakim. Menurut Amir Syamsuddin, kegagalan penegakan
hukum di Indonesia karena ketidakmampuan aparat hukum melakuakan
penegakan hukum secara benar sesuai hukum yang berlaku.71
A. Pola Pengawasan Hakim oleh Komisi Yudisial dan Mahmakah Agung
Pengawasan memegang peranan penting dalam pencapaian visi dan
misi dari suatu organisasi yang dirasa belum mampu meningkatkan kinerja
atau setidak-setidaknya memenuhi harapan dan kebutuhan masyarakat.
Berbagai permasalahan yang sering dikaitkan dengan tidak efektifnya
fungsi pengawasan dalam organisasi tersebut sehingga kemudian muncul
keinginan untuk melakukan pembaharuan terhadap proses pengawasan.72
Saiful Anwar menyebutkan bahwa berdasarkan bentuknya
pengawasan dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Pengawasan internal yaitu pengawasan yang dilakukan oleh suatu badan
atau organ yang secara organisatoris atau struktural termasuk dalam
lingkungan pemerintahan itu sendiri. Misalnya pengawasan yang
dilakukan pejabat atasan terhadap bawahannya sendiri.
71 Amir Syamsuddin, Integritas Penegak Hukum: Hakim, Jaksa, Polisi, dan Pengacara
(Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2008), hlm. 10.
72 Anas Saidi dkk, Pengawasan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial oleh Komisi
Yudisial, (Jakarta: Komisi Yudisial, 2012), hlm. 16-17.
54
2. Pengawasan eksternal dilakukan oleh organ atau lembaga-lembaga yang
secara organisatoris/struktural berada di luar pemerintah dalam arti
eksekutif. Misalnya pengwasan keuangan dilakukan oleh Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK).73
Sebagaimana diatur Pasal 39 dan Pasal 40 Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pengawasan hakim
dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Pengawasan yang
dilakukan oleh Mahkamah Agung meliputi:
1. Pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua
badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam
menyelanggarakan kekuasaan kehakiman;
2. Pengawasan tertinggi terhadap pelaksanaan tugas administrasi dan
keuangan, dan;
3. Pengawasan internal tingkah laku hakim. Sementara itu, yang
pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisial adalah pengawasan
eksternal dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran, martabat, serta perilaku hakim.74
Pengawasan Mahkamah Agung terhadap hakim Pengadilan Agama
itu sama seperti pengawasan kepada hakim Pengadilan Negeri ataupun
Pengadilan Tata Usaha Negara karena sama-sama dibawah Mahkamah
Agung, satu atap dan tidak ada perbedaan pengawasan. Pengawasan banyak
macamnya, ada pengawasan melekat, pegawasan rutin, pengawasan
keuangan, memang ada mekanisme pelaporan atas pelaksanaan kegiatan
pengadilan, yang itu berfungsi sebagai pengawasan juga, artinya sebagai
feedback bagi pimpinan untuk memberikan kebijakan yang tepat, juga
73 Saiful Anwar, Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Golra Madani Press,
2004), hlm. 127.
74 Imam Ansori Saleh, Konsep Pengawasan Kehakiman, (Malang: Setara Press, 2014), hlm.
136-137.
55
mengawasi kinerja. Ada laporan bulanan, ada laporan tahunan, semesteran.
Ada juga pengawasan rutin biasanya itu diprogramkan oleh Badan
Pengawasan sebagai unit pengawasan internal, itu diprogramkan satker-
satker yang akan diawasi dalam pengawasan reguler atau rutin. Itu
mencakup terkait dengan kinerja, manajemen, adminstrasi termasuk
pelayanan publik. Setelah dilakukan pemeriksaan reguler itu biasanya akan
ditindaklanjuti dengan monitoring untuk memastikan apakah pengawasan
reguler itu rekomendasi yang dibuat dalam pengawasan reguler itu sudah
ditindaklajutkan atau belum. Dan itu diprogramkan misal tahun ini satker
mana dengan keterbatasan personil dan dana. Ada pemetaan satkar atau
pengadilan mana yang itu diprogramkan untuk diawasi.75
Ada forum pemeriksaan bersama, Majelis Kehormatan Hakim
(MKH), di mana dua lembaga ini secara bersama-sama terlibat dalam
penegakkan kode etik hakim. Biasanya untuk pengawasan terhadap hakim,
Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung mengutus untuk mengawasi
pegadilan mulai dari administrasi, hakim, dan lain-lain.76
Secara aktif, Komisi Yudisial melakukan pemantauan di pengadilan.
Kegiatan aktif ini dilakukan secara terbuka. Jika ada perkara yang menarik
perhatian publik, maka Komisi Yudisial akan mematau persidangan itu.
Pemantauan di pengadilan yang dilakukan Komisi Yudisial dibantu 12
Penghubung Komisi Yudisial. Hal ini memungkinkan Komisi Yudisial
memantau persidangan di hampir 600 pengadilan. Tentunya pemantauan ini
tidak dilakukan secara serentak dan setiap hari dikarenakan kendala SDM
dan anggaran. Secara pasif, Komisi Yudisial menerima laporan pengaduan
masyarakat yang akan ditindaklanjuti mulai dengan penelaahan awal,
75 Sulaiman Abdullah, Hakim Tinggi Mahkamah Agung, Interview Pribadi, Jakarta, 10
Januari 2020.
76 Sulaiman Abdullah, Hakim Tinggi Mahkamah Agung, Interview Pribadi, Jakarta, 10
Januari 2020.
56
investigasi, hingga permintaan keterangan para pihak terkait laporan.77
Sebulan sekali hampir rata-rata sebulan sekali karena pasti ada
pemantauan.78
Di dalam Peraturan Bersama ketua Mahkamah Agung dan Ketua
Komisi Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012-02/PB/P.KY/09/2012
dijelaskan tingkat dan jenis pelanggaran, kewajiban dan larangan, serta
sanksinya.
Pelanggaran ringan meliputi pelanggaran atas:
1. Hakim harus berperilaku jujur (fair) dan menghindari perbuatan yang
dapat menimbulkan kesan tercela.
2. Hakim harus memastikan bahwa sikap, tingkah laku dan tindakannya,
baik di dalam maupun di luar pengadilan, selalu menjaga dan
meningkatkan kepercayaan masyarakat, penegak hukum lain serta para
pihak berperkara, sehingga tercermin sikap ketidakberpihakan hakim
dan lembaga peradilan (impartiality).
4. Hakim wajib menghindari tindakan tercela.
5. Hakim, dalam hubungan pribadinya dengan anggota profesi hukum lain
yang secara teratur beracara di pengadilan, wajib menghindari situasi
yang dapat menimbulkan kecurigaan atau sikap keberpihakan.
6. Hakim dalam menjalankan tugas-tugas yudisialnya wajib terbebas
dari pengaruh keluarga dan pihak ketiga lainnya.
7. Hakim wajib bebas dari hubungan yang tidak patut dengan lembaga
eksekutif maupun legislatif serta kelompok lain yang berpotensi
mengancam kemandirian (independensi) Hakim dan Badan
Peradilan.
77 https://www.komisiyudisial.go.id/frontend/news_detail/758/kewenangan-ky-dalam-
pengawasan-hakim, diakses pada tanggal 11 Mei 2020 pukul 21:04 WIB.
78 Nurasti Parlina, Pegawai Komisi Yudisial Bidang Analisis Interview Pribadi, Jakarta, 21
Januari 2020.
57
8. Hakim wajib berperilaku mandiri guna memperkuat kepercayaan
masyarakat terhadap Badan Peradilan.
9. Hakim harus membatasi hubungan yang akrab, baik langsung
maupun tidak langsung dengan advokat yang sering berperkara di
wilayah hukum pengadilan tempat hakim tersebut menjabat.
10. Hakim wajib bersikap terbuka dan memberikan informasi mengenai
kepentingan pribadi yang menunjukkan tidak adanya konflik
kepentingan dalam menangani suatu perkara.
11. Hakim harus mengetahui urusan keuangan pribadinya maupun
beban-beban keuangan lainnya dan harus berupaya secara wajar
untuk mengetahui urusan keuangan para anggota keluarganya.
12. Hakim dilarang mengijinkan seseorang yang akan menimbulkan
kesan bahwa orang tersebut seakan-akan berada dalam posisi khusus
yang dapat mempengaruhi hakim secara tidak wajar dalam
melaksanakan tugas-tugas peradilan.
13. Hakim dilarang mengadili suatu perkara yang salah satu pihaknya
adalah organisasi atau kelompok masyarakat apabila hakim tersebut
masih atau pernah aktif dalam organisasi atau kelompok masyarakat
tersebut.
14. Hakim dilarang mengijinkan pihak lain yang akan menimbulkan
kesan bahwa seseorang seakan-akan berada dalam posisi khusus
yang dapat memperoleh keuntungan finansial.
15. Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila hakim tersebut telah
memiliki prasangka yang berkaitan dengan salah satu pihak atau
mengetahui fakta atau bukti yang berkaitan dengan suatu perkara
yang akan disidangkan.
16. Hakim dilarang menerima janji, hadiah, hibah, pemberian, pinjaman,
atau manfaat lainnya, khususnya yang bersifat rutin atau terus-
menerus dari Pemerintah Daerah, walaupun pemberian tersebut tidak
mempengaruhi pelaksanaan tugas-tugas yudisial.
17. Hakim dilarang bertindak sebagai arbiter dalam kapasitas pribadi,
58
kecuali bertindak dalam jabatan yang secara tegas diperintahkan atau
diperbolehkan dalam undang- undang atau peraturan lain.
18. Hakim dilarang bertindak sebagai mediator dalam kapasitas pribadi,
kecuali bertindak dalam jabatan yang secara tegas diperintahkan atau
diperbolehkan dalam undang-undang atau peraturan lain.
19. Hakim dilarang menjabat sebagai eksekutor, administrator atau kuasa
pribadi lainnya, kecuali untuk urusan pribadi anggota keluarga
Hakim tersebut, dan hanya diperbolehkan jika kegiatan tersebut
secara wajar (reasonable) tidak akan mempengaruhi pelaksanaan
tugasnya sebagai Hakim.
20. Berperilaku rendah hati bermakna kesadaran akan keterbatasan
kemampuan diri, jauh dari kesempurnaan dan terhindar dari setiap
bentuk keangkuhan.
Pelanggaran sedang meliputi pelanggaran atas:
1. Hakim dilarang memberikan kesan bahwa salah satu pihak yang tengah
berperkara atau kuasanya termasuk penuntut dan saksi berada dalam
posisi yang istimewa untuk mempengaruhi hakim yang bersangkutan.
2. Hakim tidak boleh berkomunikasi dengan pihak yang berperkara di
luar persidangan, kecuali dilakukan di dalam lingkungan gedung
pengadilan demi kepentingan kelancaran persidangan yang dilakukan
secara terbuka, diketahui pihak-pihak yang berperkara, tidak
melanggar prinsip persamaan perlakuan dan ketidak berpihakan.
3. Hakim wajib melaporkan secara tertulis gratifikasi yang diterima
kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ketua Muda
Pengawasan Mahkamah Agung, dan Ketua Komisi Yudisial paling
lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi
tersebut diterima.
4. Hakim wajib menyerahkan laporan kekayaan kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi sebelum, selama, dan setelah menjabat, serta
59
bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama dan setelah menjabat.
5. Hakim dilarang menyuruh/mengizinkan pegawai pengadilan atau
pihak lain yang di bawah pengaruh, petunjuk atau kewenangan
hakim yang bersangkutan untuk meminta atau menerima hadiah,
hibah, warisan, pemberian, pinjaman atau bantuan apapun
sehubungan dengan segala hal yang dilakukan atau akan dilakukan
atau tidak dilakukan oleh hakim yang bersangkutan berkaitan
dengan tugas atau fungsinya dari:
a. advokat;
b. penuntut;
c. orang yang sedang diadili oleh hakim tersebut;
d. pihak lain yang kemungkinan kuat akan diadili oleh hakim tersebut;
e. pihak yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak
langsung terhadap suatu perkara yang sedang diadili atau
kemungkinan kuat akan diadili oleh hakim yang bersangkutan,
yang secara wajar patut diduga bertujuan untuk mempengaruhi
hakim dalam menjalankan tugas peradilannya.
6. Hakim dilarang mengizinkan tempat kediamannya digunakan oleh
seorang anggota suatu profesi hukum untuk menerima klien atau
menerima anggota-anggota lainnya dari profesi hukum tersebut.
7. Hakim dilarang mengeluarkan pernyataan kepada masyarakat yang
dapat mempengaruhi, menghambat atau mengganggu berlangsungnya
proses peradilan yang adil, independen, dan tidak memihak.
8. Hakim tidak boleh secara terbuka menyatakan dukungan terhadap
salah satu partai politik.
9. Hakim dilarang melakukan tawar-menawar putusan, memperlambat
pemeriksaan perkara, menunda eksekusi atau menunjuk advokat
tertentu dalam menangani suatu perkara di pengadilan, kecuali
ditentukan lain oleh undang-undang.
10. Hakim dilarang mengijinkan seseorang yang akan menimbulkan kesan
bahwa orang tersebut seakan-akan berada dalam posisi khusus yang
60
dapat mempengaruhi hakim secara tidak wajar dalam melaksanakan
tugas-tugas peradilan.
11. Hakim tidak boleh mengadili suatu perkara apabila memiliki konflik
kepentingan, baik karena hubungan pribadi dan kekeluargaan, atau
hubungan-hubungan lain yang beralasan (reasonable) patut diduga
mengandung konflik kepentingan.
12. Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila hakim itu memiliki
hubungan pertemanan yang akrab dengan pihak yang berperkara,
penuntut, advokat, yang menangani perkara tersebut.
13. Hakim dilarang menggunakan wibawa jabatan sebagai hakim untuk
mengejar kepentingan pribadi, anggota keluarga atau siapapun juga
dalam hubungan finansial.
14. Hakim dilarang menjadi advokat, atau pekerjaan lain yang
berhubungan dengan perkara.
15. Hakim dilarang bekerja dan menjalankan fungsi sebagai layaknya
seorang advokat, kecuali jika:
a. hakim tersebut menjadi pihak di persidangan;
b. memberikan nasihat hukum cuma-cuma untuk anggota keluarga
atau teman sesama hakim yang tengah menghadapi masalah
hukum.
Pelanggaran sedang meliputi pelanggaran atas:
1. Hakim dilarang memberikan kesan bahwa salah satu pihak yang
tengah berperkara atau kuasanya termasuk penuntut dan saksi berada
dalam posisi yang istimewa untuk mempengaruhi hakim yang
bersangkutan.
2. Hakim dalam menjalankan tugas yudisialnya dilarang menunjukkan
rasa suka atau tidak suka, keberpihakan, prasangka, atau pelecehan
terhadap suatu ras, jenis kelamin, agama, asal kebangsaan, perbedaan
kemampuan fisik atau mental, usia, atau status sosial ekonomi maupun
atas dasar kedekatan hubungan dengan pencari keadilan atau pihak-
61
pihak yang terlibat dalam proses peradilan baik melalui perkataan
maupun tindakan.
3. Hakim dilarang bersikap, mengeluarkan perkataan atau melakukan
tindakan lain yang dapat menimbulkan kesan memihak, berprasangka,
mengancam, atau menyudutkan para pihak atau kuasanya, atau saksi-
saksi, dan harus pula menerapkan standar perilaku yang sama bagi
advokat, penuntut, pegawai pengadilan atau pihak lain yang tunduk
pada arahan dan pengawasan hakim yang bersangkutan.
4. Hakim dilarang menyuruh/mengizinkan pegawai pengadilan atau
pihak-pihak lain untuk mempengaruhi, mengarahkan, atau
mengontrol jalannya sidang, sehingga menimbulkan perbedaan
perlakuan terhadap para pihak yang terkait dengan perkara.
5. Hakim tidak boleh berkomunikasi dengan pihak yang berperkara di
luar persidangan, kecuali dilakukan di dalam lingkungan gedung
pengadilan demi kepentingan kelancaran persidangan yang dilakukan
secara terbuka, diketahui pihak-pihak yang berperkara, tidak
melanggar prinsip persamaan perlakuan dan ketidak berpihakan.
6. Hakim tidak boleh meminta/menerima dan harus mencegah suami
atau istri hakim, orang tua, anak atau anggota keluarga hakim lainnya,
untuk meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, warisan,
pemberian, penghargaan dan pinjaman atau fasilitas dari:
a. advokat;
b. penuntut;
c. orang yang sedang diadili;
d. pihak lain yang kemungkinkan kuat akan diadili;
e. pihak yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak
langsung terhadap suatu perkara yang sedang diadili atau
kemungkinan kuat akan diadili oleh hakim yang bersangkutan
yang secara wajar (reasonable) patut dianggap bertujuan atau
mengandung maksud untuk mempengaruhi Hakim dalam
62
menjalankan tugas peradilannya.79
7. Hakim dilarang mengadili perkara di mana anggota keluarga hakim
yang bersangkutan bertindak mewakili suatu pihak yang berperkara
atau sebagai pihak yang memiliki kepentingan dengan perkara
tersebut.
8. Hakim tidak boleh menjadi pengurus atau anggota dari partai
politik.
9. Hakim tidak boleh mengadili suatu perkara apabila memiliki
konflik kepentingan, baik karena hubungan pribadi dan
kekeluargaan, atau hubungan-hubungan lain yang beralasan
(reasonable) patut diduga mengandung konflik kepentingan.
10. Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila pernah menangani
hal-hal yang berhubungan dengan perkara atau dengan para pihak
yang akan diadili, saat menjalankan pekerjaan atau profesi lain
sebelum menjadi hakim.
11. Hakim dilarang melakukan tawar-menawar putusan,
memperlambat pemeriksaan perkara, menunda eksekusi atau
menunjuk advokat tertentu dalam menangani suatu perkara di
pengadilan, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
12. Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila memiliki
hubungan keluarga, Ketua Majelis, hakim anggota lainnya,
79 Pengecualian dari butir ini adalah pemberian atau hadiah yang ditinjau dari
segala keadaan (circumstances) tidak akan diartikan atau dimaksudkan untuk
mempengaruhi hakim dalam pelaksanaan tugas-tugas peradilan, yaitu
pemberian yang berasal dari saudara atau teman dalam kesempatan tertentu
seperti perkawinan, ulang tahun, hari besar keagamaan, upacara adat,
perpisahan atau peringatan lainnya sesuai adat istiadat yang berlaku, yang
nilainya tidak melebihi Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah). Pemberian
tersebut termasuk dalam pengertian hadiah sebagaimana dimaksud dengan
gratifikasi yan
63
penuntut, advokat, dan panitera yang menangani perkara tersebut.
13. Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila hakim itu memiliki
hubungan pertemanan yang akrab dengan pihak yang berperkara,
penuntut, advokat, yang menangani perkara tersebut.
14. Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila pernah mengadili
atau menjadi penuntut, advokat atau panitera dalam perkara
tersebut pada persidangan di pengadilan tingkat yang lebih rendah.
15. Hakim dilarang mengadili suatu perkara yang salah satu pihaknya
adalah partai politik apabila hakim tersebut masih atau pernah aktif
dalam partai politik tersebut.
16. Hakim dilarang menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan
pribadi, keluarga atau pihak lain.
17. Hakim dilarang mengungkapkan atau menggunakan informasi
yang bersifat rahasia, yang didapat dalam kedudukan sebagai
hakim, untuk tujuan yang tidak ada hubungan dengan tugas-tugas
peradilan.
18. Hakim dilarang terlibat dalam transaksi keuangan dan transaksi
usaha yang berpotensi memanfaatkan posisi sebagai hakim.
19. Hakim dilarang menjadi advokat, atau pekerjaan lain yang
berhubungan dengan perkara.
20. Hakim dilarang bertindak sebagai arbiter dalam kapasitas pribadi,
kecuali bertindak dalam jabatan yang secara tegas diperintahkan
atau diperbolehkan dalam undang- undang atau peraturan lain.
21. Hakim dilarang melakukan rangkap jabatan yang ditentukan oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sanksi ringan terdiri dari:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. pernyataan tidak puas secara tertulis.
64
Sanksi sedang terdiri dari:
a. penundaan kenaikan gaji berkala paling lama 1 (satu) tahun;
b. penurunan gaji sebesar 1 (satu) kali kenaikan gaji berkala paling
lama 1 (satu) tahun;
c. penundaan kenaikan pangkat paling lama 1 (satu) tahun;
d. Hakim nonpalu paling lama 6 (enam) bulan;
e. mutasi ke pengadilan lain dengan kelas yang lebih rendah;
f. pembatalan atau penangguhan promosi.
Sanksi berat terdiri dari:
a. pembebasan dari jabatan;
b. Hakim nonpalu lebih dari 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua)
tahun;
c. penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah
untuk paling lama 3 (tiga) tahun;
d. pemberhentian tetap dengan hak pensiun;
e. pemberhentian tidak dengan hormat.
54
B. Batasan Kewenangan antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung
Mahkamah Agung adalah lembaga yang membawahi para hakim,
BAWAS Mahkamah Agung itu lebih kepada pengawasan substansinya
seperti putusan yang telah dibuat oleh hakim, sementara Komisi Yudisial
sendiri lebih ke pengawasan untuk perilaku hakim. Jadi hal-hal yang terkait
dengan substansi dari putusan itu kita pantau juga, tapi ranah Komisi
Yudisial tidak sampai pada putusan, Komisi Yudisial hanya di lingkup
perilaku Hakim saja selama di dalam lingkup pengadilan.80
Sebenarnya yang dikatakan batasan kewenangan antara kedua
lembaga ini adalah Komisi Yudisial hanya mempunyai kewenangan untuk
mengawasi kode etik pedoman perilaku hakim dan merekomendasikan
hakim yang diduga melanggar aturan, Komisi Yudisial tidak berwenang
untuk memberikan sanksi kepada hakim. Mahkamah Agung berwenang
mengawasi dan memberikan sanksi kepada hakim.81
Di dalam kode etik itu ada kewajiban dan ada larangan, Komisi
Yudisial mempunyai kewenangan untuk mengawasi hakim, tetapi terkait
hukum acara hanya Mahkamah Agung saja, Komisi Yudisial tidak
mempunyai kewenangan di sini. Kemudian baik Mahkamah Agung maupun
Komisi Yudisial tidak bewenang memeriksa dalam konteks pengawasan
disiplin kode etik terkait dengan pertimbangan hukum dan substansi
putusan. Kalau ini ada jalurnya sendiri yaitu melalui upaya hukum baik
banding ataupun kasasi. Apabila hakim melakukan kesalahan dalam hukum
acara tidak bisa dikenai hukuman disiplin. Kalau terbukti pelanggaran atas
ini ada hukuman disiplin.82
80 Rahardian Fajar Nugroho, Pegawai Komisi Yudisial Bidang Analisis, Interview Pribadi,
Jakarta, 21 Januari 2020.
81 Sulaiman Abdullah, Hakim Tinggi Mahkamah Agung, Interview Pribadi, Jakarta, 10
Januari 2020.
82 Sulaiman Abdullah, Hakim Tinggi Mahkamah Agung, Interview Pribadi, Jakarta, 10
Januari 2020.
55
Komisi Yudisial itu sebagai pengawas eksternal dan Mahkamah
Agung sebagai pengawas internal, ada rambu-rambu atau batasan Komisi
Yudisial yaitu terkait dengan pengawasan terhadap tugas yustisial hakim,
misal dalam mengadili perkara ada pelanggaran pada hukum acara, disitu
Komisi Yudisial tidak masuk karena itu ranahnya internal. Dapat dilihat
didalam UU KY apa-apa saja kewenangan Komisi Yudisial dalam
mengawasi hakim. Tidak semua bisa diperiksa oleh Komisi Yudisial, justru
lebih luas ruang lingkup internal, antara lain terkait dengan adanya dugaan
pelanggaran hukum acara, Komisi Yudisial tidak dapat memeriksa, apabila
misalnya asusila itu eksternal dapat melakukan pengawasan.
Ada yang dinamakan KEPPH, KEPPH sendiri mempunyai 10
prinsip dasar, dari 10 prinsip ada butir yang tidak masuk ranah KY yang
terkait dengan pelanggaran hukum acaranya, masing-masing butir pokok
atau prinsip ada pemaknaanya dan ada penerapannya. KY tidak boleh
masuk ranah tertentu karena pernah ada yudicial review, semula KY juga
memeriksa terhadap semua butir pokok. Kemudian ada yudicial review
terhadap KEPPH sehingga penerapan dari butir tersebut tidak sah dan tidak
berlaku umum, tetapi hanya berlaku di internal saja. Bila dilihat butir 8 dan
10 ini bukan pada persoalan sikap tetapi pendapat ternyata, jadi yang boleh
diperiksa oleh eksternal itu adalah sikap, tetapi kalau pendapat itu
kebebasan hakim.83
Sebagaimana yang terdapat dalam UU Kekuasaan Kehakiman
Dalam Pasal 39 UU Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa:
(1) Pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada
semua badan peradilan di bawah Mahkamah Agung dalam
83 Sulaiman Abdullah, Hakim Tinggi Mahkamah Agung, Interview Pribadi, Jakarta, 10
Januari 2020.
56
menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah
Agung;
(2) Mahkamah Agung juga melakukan pengawasan tertinggi terhadap
pelaksanaan tugas administrasi dan keuangan;
(3) Pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh
Mahkamah Agung;
(4) Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam
memeriksa dan memutus perkara.
Pasal 32 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung UU 3 Tahun 2009 juga menyebutkan fungsi pengawasan oleh
Mahkamah Agung dengan rumusan berikut:
1. Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap
penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam menjalankan kekuasaan kehakiman;
2. Selain pengawasan tadi, Mahkamah Agung melakukan pengawasan
tertinggi terhadap pelaksanaan tugas administrasi dan keuangan;
3. Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan tentang hal-hal yang
bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua badan peradilan yang
ada di bawahnya;
4. Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, teguran, atau
peringatan kepada pengadilan di semua badan peradilan yang berada di
bawahnya;
5. Pengawasan itu tak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam
memeriksa dan memutus perkara.
Kebijakan pengawasan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 UU Nomor 3 Tahun 2009 tersebut dimaksudkan untuk
mewujudkan peradilan yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme.
57
Selanjutnya Pasal 40 UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan apa
yang harus dilakukan Komisi Yudisial dalam rangka pengawasan hakim:
(1) Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim dilakukan pengawasan eksternal oleh
Komisi Yudisial.
(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap
perilaku hakim berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Istilah ‘menjaga dan ‘menegakkan’ kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim dalam wewenang Komisi Yudisial
sebagaimana disebut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 mengandung
makna preventif dan refresif. ‘Menjaga’ berarti Komisi Yudisial melakukan
serangkaian kegiatan yang dapat menjaga hakim agar tidak melakukan
tindakan yang melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim.
‘Menegakkan’ bermakna Komisi Yudisial melakukan tindakan represif
terhadap hakim yang telah melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim (KEPPH). Tindakan itu dapat berbentuk pemberian sanksi.84
Dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2011 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial UU
18 tahun 2011 disebutkan bahwa Komisi Yudisial mempunyai tugas dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim, yakni:
a. Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim;
b. Menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran
KEPPH;
c. Melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan
dugaan pelanggaran KEPPH;
d. Memutuskan benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran KEPPH; dan
84 Komisi Yudisial Republik Indonesia, Mengenal Lebih Dekat Komisi Yudisial. (Jakarta:
KYRI, 2012), hlm. 41-42.
58
e. Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang
perorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan
kehormatan dan keluhuran martabat hakim.85
Adapun tugas Komisi Yudisial dalam konteks melakukan
pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim adalah Komisi
Yudisial menerima laporan masyarakat dan atau informasi tentang dugaan
pelanggaran KEPPH. Komisi Yudisial dapat meminta keterangan atau data
kepada Badan Peradilan dan atau Hakim.
C. Dinamika Kerja Sama antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung
Bila ada pemeriksaan bersama, terkadang terdapat perbedaan
pendapaat mengenai usulan Komisi Yudisial tentang hasil pemeriksaan dan
atau penjatuhan sanksi, bisa saja seorang terlapor hakim oleh Komisi
Yudisial diperiksa oleh Mahkamah Agung pun diperiksa, Komisi Yudisial
berpendapat lain, Mahkamah Agung pun berpendapat lain, disitulah ada
forum kemudian pemeriksaan bersama, terdapat laporan yang sama di
laporkan ke Komisi Yudisial di laporkan pula ke internal. Supaya tidak dua
kali diperiksa terdapatlah forum. Bisa juga terdapat suatu permasalahan
yang sama, tidak atas laporan, bisa juga menarik perhatian publik atau viral,
karena bobot persoalannya menarik perhatian publik, maka Komisi Yudisial
dan Mahkamah Agung memeriksa bersama.86
Ada yang dinamakan mekanisme peraturan bersama itu dilakukan
ketika Mahkamah Agung tidak sependapat dengan putusan Komisi
Yudisial, misalnya Komisi Yudisial merekomendasikan hakim non palu 3
bulan kemudian ada rekomendasi dari Komisi Yudisial lalu Mahkamah
Agung tidak sependapat. Mahkamah Agung mengatakan itu teknis yudisial.
Sebenarnya bentuk dari ketidaksetujuan itu seharusnya mekanismenya
85 Pasal 22 ayat (1) UU 18 tahun 2011
86 Wawancara Hakim Tinggi Mahkamah Agung, Sulaiman Abdulah tanggal 10 Januari
2020.
59
melakukan pemeriksaan bersama, tapi prakteknya KY dan MA itu tidak
pernah melakukan pemeriksaan bersama.87
Salah satu permasalahan yang sering dihadapi dalam melakukan
tugas pengawasan adalah adanya tumpang dan tindih penanganan tugas
pengawasan antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Hubungan
antara kedua lembaga dalam keadaan seperti itu adalah hubungan yang
dinamis dan wajar.88
Problema lain yang dihadapi Komisi Yudisial adalah jumlah sumber
daya manusia yang terbatas. Komisi Yudisial juga telah membentuk
Penghubung Komisi Yudisial di 12 wilayah di Indonesia, yaitu Sumatera
Utara, Riau, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan
Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara
Barat, Nusa Tenggara Timur dan Maluku. Namun, jumlah itu pun masih
belum sebanding dengan jumlah hakim dan pengadilan yang tersebar di
seluruh Indonesia.
Oleh karena itu, Komisi Yudisial membangun kerja sama dengan
media, LSM, dan universitas untuk ikut serta membantu Komisi Yudisial
dalam rangka menjaga peradilan bersih. Untuk itu Komisi Yudisial selalu
terbuka jika ada pihak yang mau melakukan kerja sama dengan Komisi
Yudisial demi tercapainya tujuan berdirinya Komisi Yudisial.89
Saat ini sudah ada kesepakatan, kalau ada pelanggaran teknis
yudisial yang substantif itu menjadi bagian Komisi Yudisial. Komisi
Yudisial percaya bahwa perilaku dan profesionalitas seorang hakim dapat
tercermin dari putusan yang dihasilkannya. Jika baik putusannya, maka baik
87 Ahmad Ishni Bulatjaya, Pegawai Komisi Yudisial Bidang Analisis Interview Pribadi,
Jakarta, 21 Januari 2020.
88 https://www.komisiyudisial.go.id/frontend/news_detail/851/pasang-surut-relasi-ma-
dan-ky-adalah-wajar, diakses pada tanggal 11 Mei 2020 pukul 21:37 WIB.
89 https://www.komisiyudisial.go.id/frontend/news_detail/851/pasang-surut-relasi-ma-
dan-ky-adalah-wajar, tanggal 11 Mei 2020 pukul 22:08 WIB.
60
pula perilakunya. Namun, jika ia belum selesai dengan dirinya, bagaimana
mungkin ia memutus perkara dan menjalankan sistem peradilan.90
Dalam konteks pengawasan terhadap hakim, "teknis yudisial"
dimaksudkan sebagai hal-hal yang bersifat teknis berkaitan dengan tugas
hakim dalam mengadili perkara. Bisa juga terkait dengan pendapat hakim
mengenai apa yang menjadi hukum atas kasus yang dihadapinya. Bukan hal
mengenai sikap perilaku hakimnya itu sendiri.
Sampai saat ini yang menjadi masalah adalah perbedaan tafsir antara
kedua lembaga ini, Mahkamah Agung sering menyebutkan bahwa hukum
acara Komisi Yudisial tidak ikut andil karena itu teknis yudisial, sementara
Komisi Yudisial beranggapan hukum acara termasuk perilaku hakim.
Sementara pengertian teknis yudisial sendiri sampai saat ini belum tertera
dalam undang-undang.
Kita tahu dalam hukum Islam telah digariskan prinsip-prinsip dan
kode etik yang dapat menunjang pelaksanaan tugas hakim, yang mana
hakim diwajibkan untuk berbuat baik. Dan sesuai penegakkan dalam Islam
penting kita ketahui bahwa hakim dilarang untuk melakukan perbuatan
tercela.
90 https://www.komisiyudisial.go.id/frontend/news_detail/1063/perubahan-pola-pikir-
perlu-untuk-mewujudkan-peradilan-bersih, tanggal 11 Mei 2020, pukul 22:36 WIB.
61
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sesuai dengan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, penulis di
sini kemudian menyimpulkan beberapa pokok pembahasan yaitu:
1. Secara aktif, Komisi Yudisial melakukan pemantauan di pengadilan.
Kegiatan aktif ini dilakukan secara terbuka. Jika ada perkara yang
menarik perhatian publik, maka Komisi Yudisial akan mematau
persidangan itu. Pemantauan di pengadilan yang dilakukan Komisi
Yudisial dibantu 12 Penghubung Komisi Yudisial. Hal ini
memungkinkan Komisi Yudisial memantau persidangan di hampir 600
pengadilan. Tentunya pemantauan ini tidak dilakukan secara serentak
dan setiap hari dikarenakan kendala SDM dan anggaran. Mahkamah
Agung mempunyai program pengawasan rutin atau reguler, yang mana
mencakup pengawasan administrasi, finansial peradilan termasuk juga
hakim dan biiasanya akan ditindaklanjuti dengan monitoring. Dan itu
diprogramkan misal tahun ini satker mana yang itu diprogramkan untuk
diawasi dengan keterbatasan personil dan dana. Dengan adanya
pengaduan masyarakat pula membantu kedua lembaga ini untuk
mengawasi para hakim.
2. Batasan antara kedua lembaga ini adalah bahwa kewenangan Komisi
Yudisial dalam mengawasi hakim mengawasi terkait perilaku hakim,
merekomendasikan hakim yang diduga melanggar kode etik hakim.
Menurut Mahkamah Agung terkait hukum acara itu kewenangan
Mahkamah Agung. Dan yang berwenang untuk memberikan sanksi
adalah Mahkamah Agung.
3. Salah satu permasalahan yang sering dihadapi dalam melakukan tugas
pengawasan adalah adanya tumpang tindih penanganan tugas
pengawasan antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Hubungan
62
antara kedua lembaga dalam keadaan seperti itu adalah hubungan yang
dinamis.
B. SARAN
Saran yang diajukan dirangkum kemudian dipaparkan sesuai dengan
pembahasan pada bab-bab sebelumnya dan pada kesimpulan.
1. Agar kedua lembaga ini lebih sering memeriksa secara bersama, agar
dapat menentukan apakah hakim tersebut dinyatakan bersalah atau
tidak.
2. Supaya tidak sering terjadi tumpang tindih, badan legislatif segera
mengeluarkan UU terkait pengertian teknis yudisial, agar tidak sering
terjadi perbedaan tafsir.
63
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Saiful. Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Golra Madani
Press, 2004.
Fauzan, Muhammad. Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan
Mahkamah Agung Sya’iah di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2013.
Hamami, Taufiq. Peradilan Agama dalam Reformasi Kekuasaan Kehakiman di
Indonesia, Jakarta: Tatanusa, 2013
Huda, Ni’matul. Hukum Pemerintahan Daerah, cet. Ke 6 Bandung: Nusa Media,
2012.
Keputusan Ketua Mahkmah Agung RI Nomor : KMA/080/SK/VIII/2006 tanggal
24 Agustus 2006
Komisi Yudisial Republik Indonesia, Mengenal Lebih Dekat Komisi Yudisial.
Jakarta: KYRI, 2012.
Komisi Yudisial, Dialektika Pembaruan Sistem Hukum Indonesia, Jakarta:KYRI,
2012.
Lolutung Paulus, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum terhadap
Pemerintah, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993.
Mahkamah Agung RI, Laporan Tahunan 2011, Jakarta: 2012.
Mahkamah Agung RI, Naskah Akademis dan RUU tentang Komisi Yudisial,
Jakarta: MA RI, 2003.
Manan, Bagir Menyongsong Fajar Otonomi Derah, Yogyakarta: Pusat Studi
Fakultas Hukum UI, 2001.
MARI, Pedoman Perilaku Hakim (code of landnet), Jakarta: MARI, 2004
Modul Perencanaan Undang-Undang, Jakarta: Sekretaris Jendral DPR RI, 2008.
Muchsan, Sistem Pengawasan terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan
Peradilan Tata Usaha Negara, Yogyakarta: Liberty, 1992.
Mustofa, Wildan Suyuti. Kode Etik Hakim, Jakarta: Kencana, 2013
64
M. Situmorang, dkk, Aspek Hukum Pengawasan Melekat dalam Lingkungan
Aparatur Pemerintah, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994.
Naskah Konstitusi RI, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses dan
Hasil Pembahasan 1999-2002 Buku VI Kekuasaan Kehakiman,
Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi,
2008.
Prastowo, Andi. Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan
Penelitian, Yogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2016.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta,
2008.
Ranupandojo dkk, Manajemen Personalia, Yogyakarta: BPFEE, 2000.
Saidi Anas dkk, Pengawasan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial oleh Komisi
Yudisial, Jakarta: Komisi Yudisial, 2012
Saleh, Imam Anshori. Konsep Pengawasan Kehakiman, Malang: Setara Press,
2014.
Salindeho, Jhon. Tata Laksana dalam Manajemen, Jakarta: Sinar Grafika, 1998.
Saydam, Gouzali. Manajemen Sumber Daya Manusia (Human Resource) Suatu
Pendekatan Mikro, Jakarta: Djambatan, 2000
Siagian, Sondang P. Filsafat Administrasi, Jakarta: CV Gunung Agung
Sirajudin dan Zulkarnain, Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik: Menuju
Peradilan yang Bersih dan Beribawa, Bandung: Citra Aditya Bakti,
2006.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, 1986.
Suadi, Amran. Sistem Pengawasan Badan Peradilan di Indonesia, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2014.
Sujamto, Aspek-Aspek Pengawasan di Indonesia, Sinar Grafika, 1996.
Syamsuddin Amir, Integritas Penegak Hukum: Hakim, Jaksa, Polisi, dan
Pengacara (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2008)
65
Ukas, Maman. Manajemen Konsep, Prinsip, dan Aplikasi, Bandung: Agnini, 2004,
Cet. Ke-3
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011
Usfunan, Yohanes. Komisi Yudisial (Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi
Yudisial, Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2006.
Zeolva, Hamdan. Pemakzulan Presiden di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Artikel dan Wawancara
https://bawas.mahkamahagung.go.id/bawas_doc/doc/kode_etik_hakim.pdf,
diakses pada tanggal 20 Februari 2020 pukul 21:23 WIB.
http://www.jimly.com/pemikiran/makalh?page=4
http://www.jimlyschool.com/read/analisis/238/kedudukan-mahkamah-konstitusi
dalam-struktur-ketatanegaraan-indonesia/, diakses pada hari Sabtu, 22
Februari 2020, pukul 14:19 WIB.
https://www.komisiyudisial.go.id/frontend/news_detail/851/pasang-surut-relasi-
ma-dan-ky-adalah-wajar, tanggal 11 Mei 2020 pukul 22:08 WIB.
https://www.komisiyudisial.go.id/frontend/news_detail/1063/perubahan-pola-
pikir-perlu-untuk-mewujudkan-peradilan-bersih, tanggal 11 Mei 2020,
pukul 22:36 WIB.
https://www.komisiyudisial.go.id/frontend/news_detail/1063/perubahan-pola-
pikir-perlu-untuk-mewujudkan-peradilan-bersih, tanggal 11 Mei 2020,
pukul 22:36 WIB.
https://www.komisiyudisial.go.id/frontend/news_detail/851/pasang-surut-relasi-
ma-dan-ky-adalah-wajar, tanggal 11 Mei 2020 pukul 22:08 WIB.
66
http://lyamarsady.blogspot.com/search?updated-max=2012-06-26T01:39:00
07:00&max-results=7, Diakses pada tanggal 13 Februari 2020, pukul
20:05 WIB.
https://ppid.komisiyudisial.go.id/f/informasi_publik_detail/1, diakses pada tanggal
5 Maret 2020 pukul 10:46 WIB.
http://www.komisiyudisial.go.id/frontend/static_content/ground_laws, diakses
pada tanggal 17 Maret 2020 pukul 21:44 WIB.
https://www.komisiyudisial.go.id/frontend/static_content/history, diakes pada
tanggal 12 April 2020, pukul 14:00 WIB.
http://www.komisiyudisial.go.id/frontend/static_content/ground_laws, diakses
pada tanggal 20 Februari 2020, pukul 15:00 WIB.
https://www.komisiyudisial.go.id/frontend/news_detail/758/kewenangan-ky
dalam-pengawasan-hakim, diakses pada tanggal 11 Mei 2020 pukul 21:04
WIB.
https://www.seputarpengetahuan.co.id/2018/05/pengertian-pengawasan-tujuan
fungsi-jenis-jenis.html, Diakses pada tanggal 22 Februari 2020, pukul 14:37
WIB.
https://id.wikipedia.org/wiki/Mahkamah_Agung_Republik_Indonesia#cite_note
Laparan_Tahunan_2010-5 diakses pada tanggal 17 Maret 2020 pukul
22:05 WIB.
Laporan Tahunan Komisi Yudisial 2009
Interview Pribadi dengan Ahmad Ishni Bulatjaya, Pegawai Komisi Yudisial Bidang
Analisis, Jakarta, 21 Januari 2020.
Interview Pribadi dengan Nurasti Parlina, Pegawai Komisi Yudisial Bidang
Analisis, Jakarta, 21 Januari 2020.
Interview Pribadi Rahardian Fajar Nugroho, Pegawai Komisi Yudisial Bidang
Analisis, Jakarta, 21 Januari 2020.
Interview Pribadi dengan Sulaiman Abdullah, Hakim Tinggi Pengawas Mahkamah
Agung, Jakarta, 10 Januari 2020.
67
Pengertian Fungsi Pengawasan, http:matakristal.com, Diakses pada tanggal 22
Februari 2020, pukul 14:36 WIB.
Tahl Rinaldi A., Fungsi Controlling (Pengawasan dan Pengendalian),
http://rheinduniatulisan.blogspot.com, Diakses pada tanggal 20 Februari
2020.
68
LAMPIRAN
0