pokok-pokok tamayyuz salafy sejati

Upload: dandhi-firmansyah

Post on 22-Feb-2018

254 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/24/2019 Pokok-pokok Tamayyuz Salafy Sejati

    1/32

    PENDAHULUAN

    Yang Mulia Syaikh Dr. Shalih bin Saad as-Suhaimiy

    Pembimbing Para Dai Cabang Kementerian Urusan Keislaman Kota Madinah an-Nabawiyyah,

    (Mantan) Anggota Komisi Pengajaran Universitas Islam Madinah

    Segala puji hanya milik Allah, shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada

    Rasulullah.

    Setelah itu:

    Aku telah membaca pembahasan penuh berkah ini yang ditulis oleh saudara kita asy-

    Syaikh Ahmad bin Muhammad an-Najjar, yang diberi nama dengan:

    Tabshiir al-Khalaf bi Dhaabith al-Ushuul allatii Man Khaalafahaa Kharaja an Manhaj as-Salaf.

    Sejatinya ini merupakan pembahasan yang amat berharga, bermanfaat, serta dibangun

    di atas petunjuk Al-Qur`an dan as-Sunnah sesuai dengan manhaj pendahulu umat ini.

    Dhawabith (batasan-batasan) yang disebutkan oleh penulis berada pada puncak urgen

    dan dibutuhkan oleh seorang penuntut ilmu; karenanya aku mewasiatkan agar

    menyebarkannya dan mengambil faidah dari bahasan tersebut, terkhusus bagi para penuntut

    ilmu.

    Kita memohon kepada Allah agar kiranya menjadikan tulisan ini murni untuk

    mengharapkan wajah-Nya yang dengan sebab hal itu dapat memberikan manfaat kepada Islam

    dan kaum muslimin.

    Didiktekan oleh (seorang) yang membutuhkan ampunan Rabbnya

    Shalih bin Saad as-Suhaimiy

    26/1/1432 H

  • 7/24/2019 Pokok-pokok Tamayyuz Salafy Sejati

    2/32

    PENDAHULUAN

    Yang Mulia Syaikh Dr. Sulaiman bin Salimullah ar-Ruhailiy

    Dosen Pembimbing Perguruan Tinggi Fakultas Syariah Universitas Islam Madinah

    Segala puji hanya milik Allah semata, shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada

    seorang nabi yang tidak ada nabi setelahnya.

    Setelah itu:

    Sesungguhnya salafiyah itu memiliki makna yang jernih lagi suci, dengan (manhaj

    salafiyah) akan menjadi baik batin dan lahiriyah (seseorang), serta di dalamnya terdapat

    penerapan hak dzat Maha Pencipta makhluk dan rahmat kepada para makhluk. Salafiyah

    merupakan seluruh nikmat, kebaikan, rahmat dan seluruh keadilan.

    Demi Allah, sungguh di dalam manhaj salafiyah itu terdapat kebaikan bagi setiap

    individu dan masyarakat, di dalamnya terdapat keamanan dengan berbagai jenisnya; keamanan

    hati, keamanan individu, keamanan masyarakat dan keamanan terhadap setiap perkara-

    perkara penting lainnya.

    Salafiyah adalah manhaj (konsep beragama) yang nyata dengan sebenar-benarnya,

    kokoh pada prinsipnya, maka siapa saja yang menamakan diri dengan penamaan tersebut

    (salafiyah) niscaya kami menyaksikan (bahwa ia) berada di atasnya, barangsiapa yang benar ke-

    salafiyahannya maka itulah orang yang benar lagi mendapatkan petunjuk. Dan barangsiapa

    yang didustakan oleh ke-salafiyahannya maka itulah orang yang berdusta lagi suka mengada-

    ada.

    Termasuk perkara yang seyogyanya diketahui dan difahami adalah bahwa manhaj

    salafiyah adalah manhaj salafiyah itu sendiri. Barangsiapa yang mengikatnya dengan suatu

    ikatan, seperti perkataan mereka; salafi jihadi, maka (ia) akan berhenti pada ikatan itu. Kamu

    akan mendapati kekurangan pada visualisasinya dan penyelisihan pokok-pokok yang mengajak

    kepada ikatan tersebut.

    Alangkah butuhnya manusia pada hari ini untuk mengetahui hakikat salafiyah yang

    sebenarnya, berpegang-teguh dengannya di suatu zaman yang telah tercampur-baur beragam

    pemikiran di dalamnya, sehingga terjadilah sesuatu yang tidak dikenal dari mereka (para salaf)

  • 7/24/2019 Pokok-pokok Tamayyuz Salafy Sejati

    3/32

    yang disandarkan kepada mereka, pokok pondasi mereka tidak menerimanya dan manusia pun

    bertindak melampaui batas terhadap salafiyah; karena tertipu dengan bualan-bualan mereka.

    Dari sini tampak pentingnya menjelaskan pokok-pokok manhaj salaf yang telah pasti

    serta mengajarkannya kepada manusia.

    Termasuk hal tersebut adalah pembahasan yang dipersiapkan oleh saudara kita Ahmad

    Muhammad ash-Shadiq an-Najjar dan diberi nama:

    Tabshiir al-Khalaf bi Dhaabith al-Ushuul allatii Man Khaalafahaa Kharaja an Manhaj as-Salaf.

    Ini adalah satu pembahasan yang amat bermanfaat pada babnya, (penulis amat)

    memperhatikan perkara yang menyeluruh sesuai dengan penetapan para ulama yang

    mumpuni, maka selayaknya (bagi kita) untuk memahami bahasan tersebut dan tidak

    menyibukkan diri dengan menakwilkannya.

    Tidaklah ada (yang membuat) kebanyakan manusia berpaling dari mengambil banyak

    manfaat kebaikan melainkan (dikarenakan adanya) penakwilan, serta membawanya bukan

    pada tempatnya.

    Aku memohon kepada Allah agar memberikan manfaat pada pembahasan ini,

    menyatukan hati-hati di atas petunjuk dan sunnah, menjauhkan kita dan kaum muslimin dari

    kebidahan, keburukan fitnah yang tampak maupun yang tidak tampak.

    Allah berada di belakang setiap tujuan, semoga shalawat senantiasa tercurahkan kepada

    nabi kita Muhammad, kepada keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti

    mereka dengan baik hingga hari kiamat.

    Ditulis oleh

    Dr. Sulaiman bin Salimullah ar-Ruhailiy

    Dosen Pembimbing Perguruan Tinggi Fakultas Syariah Universitas Islam Madinah

  • 7/24/2019 Pokok-pokok Tamayyuz Salafy Sejati

    4/32

    MUKADDIMAH

    Sesungguhnya segala pujian itu hanyalah milik Allah, kita memuji-Nya, memohon

    pertolongan kepada-Nya, memohon ampunan kepada-Nya dan berlindung kepada Allah dari

    keburukan diri kita dan kejelekan amalan kita. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah

    maka tidak ada yang dapat menyesatkannya dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah maka

    tidak ada yang dapat memberikan petunjuk kepadanya. Aku bersaksi bahwa tidak ada

    sesembahan (yang berhak untuk diibadahi dengan benar) melainkan Allah semata tidak ada

    sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya.

    Allah berfirman:

    Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa

    kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.

    (Q.S. Ali Imran: 102).

    Allah berfirman:

    Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabbmu yang telah menciptakan kamu dari

    seorang diri, darinya Allah menciptakan isterinya; lalu dari keduanya Allah

    mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah dengan

    (menggunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, serta (peliharalah) hubungan

    silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (Q.S. An-Nisa`: 1).

  • 7/24/2019 Pokok-pokok Tamayyuz Salafy Sejati

    5/32

    Allah berfirman:

    Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-

    dosamu. Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh ia telah mendapat

    kemenangan yang besar. (Q.S. Al-Ahzab: 71).

    Adapun setelah itu:

    Salafush shalih Allah telah memilih mereka untuk menolong agama-Nya dan

    menjaga syariat-Nya dengan sesuatu yang telah Allah karuniakan kepada mereka berupa

    baiknya akidah mereka dan selamatnya manhaj (metode beragama) mereka, Allah telah

    memuji mereka pada banyak ayat dalam kitab-Nya, menjelaskan keutamaan mereka, memuji

    jalan kehidupan mereka, bahkan Allah mengancam orang-orang yang menyelisihi petunjuk

    mereka dan yang menjauhi jalan kehidupan mereka. Mereka (para salaf) memiliki keutamaan

    dan terdepan, oleh karenanya penyandaran kepada mereka merupakan penyandaran syari lagi

    mulia tidak ada celaan padanya.

    Kita hidup di suatu masa yang beragam fitnah merajalela, yang sebagiannya melengkapi

    sebagian lainnya sehingga apabila muncul satu fitnah niscaya akan diikuti oleh fitnah lainnya,

    menjadikan kebaikan akan tampak sebagai kemungkaran dan kemungkaran sebagai kebaikan.

    Sungguh telah ada sebagian manusia yang berhati-hati, mereka mengetahui bahwa

    keumuman kaum muslimin mencintai para pendahulu mereka (salaf), mereka mengikutinya,

    sehingga penyandaran kepada mereka (para salaf) menjadikan sebagian manusia menyandang

    penyandaran tersebut meskipun (sebenarnya) mereka tidak berada di atas manhaj salaf,

    bahkan di sana ada orang yang membuat-buat suatu kebidahan dan hendak melariskan

    kebidahan tersebut di tengah-tengah manusia lantas ia pun menyandarkan kebidahan

    tersebut kepada salaf, serta mengklaim bahwa ia adalah seorang salafi (pengikut salafush

    shalih).

    Manhaj orang-orang yang menyandarkan diri kepada salafiyah itu amat banyak;

    sehingga ada sebagian mereka yang berkata: Kamu menyeru kepada salafiyah siapa? Apakah

    kepada salafiyah fulan? Ataukah kepada salafiyah fulan?

  • 7/24/2019 Pokok-pokok Tamayyuz Salafy Sejati

    6/32

    Tidaklah hal itu ada melainkan sedikit saja sehingga kamu akan mendengar (adanya

    istilah): Salafi Jihadi, Salafi Amali dan lain-lain..

    Kebalikan dari mereka ada sekelompok manusia yang telah terkontaminasi dengan

    banyak hal, sehingga mereka pun mengingkari penamaan dengan penamaan syari lagi mulia

    ini.

    Sebagaimana salafiyah itu -menurut anggapan lainnya- terkait dengan orang yang

    mengaku bahwa ia adalah seorang salafi (pengikut salafush shalih), maka siapa saja yang

    menyandarkan diri kepada salafiyah kemudian ia tergelincir (dalam kesalahan), lantas mereka

    pun menyandarkan ketergelincirannya ini kepada salafiyah, sehingga menjadikan manhaj salaf

    menurut mereka adalah salah.

    Sungguh mereka telah jauh melangkah sedangkan Allah adalah tujuannya.

    Sesungguhnya salafiyah itu hanyalah manhaj (metode beragama) dan manhaj ini tersusun dari

    pokok-pokok yang dibangun di atas Kitabullah (Al-Qur`an) dan sunnah Rasulullah, kekeliruan

    orang yang menisbatkan diri kepada salafiyah tidaklah kembali kepada manhaj salaf dengan

    bentuk penolakan dan kebatilan, sebagaimana bahwa tidak setiap orang yang menyeru

    salafiyah (sebagai manhajnya) dibenarkan seruannya.

    Hal itu akan nampak lebih banyak terhadap islam, apakah kesalahan individu-individu

    kaum muslimin akan menjadikan celaan terhadap Islam yang telah diturunkan Allah kepada

    Nabi-Nya?! Ataukah setiap orang yang mengaku bahwa ia seorang muslim dapat menjadikan

    ia muslim (secara hakiki)?! Jawabnya tentu saja tidak, seribu kali tidak.

    Termasuk perkara yang membingungkan pada masa kini adalah keberadaan sebagian

    manusia yang terlalu bermudah-mudahan dalam menyandarkan orang lain kepada salafiyah;

    sehingga kita mendengar ada yang mengatakan: Sesungguhnya jamaah-jamaah islam pada

    saat ini semuanya bermanhaj salaf dan perselisihan yang ada pada mereka merupakan ijtihad

    dalam masalah furu` (cabang agama).

    Kebalikan dari mereka adalah segolongan manusia yang sedikit sekali ilmu mereka,

    mereka bermudah-mudahan dalam mengeluarkan seseorang (yang pondasi salafiyahnya

    kokoh) dari lingkaran salafiyah dengan perkara yang oleh para ulama mumpuni tidak dianggap

    sebagai perkara yang dapat mengeluarkannya dari lingkaran salafiyah.

  • 7/24/2019 Pokok-pokok Tamayyuz Salafy Sejati

    7/32

    Mereka telah lupa dengan pernyataan para imam salaf (bahwa): Mengeluarkan manusia

    dari ranah sunnah merupakan perkara yang amat berat.1

    Al-Imam ad-Darimiy mengatakan: Bidah perkaranya amat berat dan seseorang yang

    disandarkan kepada bidah adalah buruk keadaannya di tengah-tengah kaum muslimin, maka

    janganlah kamu tergesa-gesa dalam memvonis bidah (kepada seseorang) sampai kamu

    merasa yakin dan mengetahui apakah benar perkataan salah seorang dari dua golongan itu

    ataukah batil perkataannya? Bagaimana mungkin kamu tergesa-gesa untuk memvonis bidah

    kepada segolongan manusia dalam satu pernyataan yang mereka nyatakan, sedangkan kamu

    tidak mengetahui (apakah) mereka mencocoki kebenaran dalam pernyataan mereka itu

    ataukah mereka tergelincir ke dalam kekeliruan? Tidak mungkin bagimu mengatakan tentang

    pendapatmu kepada salah seorang dari dua kelompok: Kamu tidak mencocoki kebenaran

    dengan pernyataanmu itu. Padahal ia (orang yang mengatakan itu) keadaannya sebagaimana

    yang aku katakan (di atas).

    Siapakah yang paling bodoh dan paling pandir dalam berpendapat dari orang yang

    menyandarkan golongan lainnya kepada bidah yang ia katakan: Kami tidak mengetahui

    apakah ia sebagaimana yang mereka katakan, ataukah keadaannya tidak seperti itu. Ia tidak

    merasa aman dalam pernyataannya tersebut bahwa salah seorang dari dua golongan itu yang

    telah mencocoki kebenaran dan sunnah lantas ia memberikan vonis mubtadi (pelaku

    kebidahan) kepada mereka. Bahkan ia juga tidak merasa aman dalam pernyataannya itu

    bahwa menjadikan kebenaran sebagai kebatilan dan sunnah sebagai bidah? Inilah kesesatan

    yang nyata dan kebodohan yang besar.2

    Dari sini aku berazam (bertekad kuat) dengan pertolongan Allah- untuk menjelaskan

    dhabith (batasan) yang dengannya prinsip para imam salaf dapat diketahui lalu barangsiapa

    berpegang teguh dengan prinsip tersebut secara lahir dan batin maka benarlah penyandaran

    (dirinya) kepada mereka (para salaf), serta barangsiapa yang menyelisihinya maka ia adalah

    orang yang hanya mengklaim tentang penisbatannya kepada salafush shalih.

    1As-Sunnah, karya al-Khallal (2/373).

    2Ar-Radd alaa al-Jahmiyyah (hal. 193).

  • 7/24/2019 Pokok-pokok Tamayyuz Salafy Sejati

    8/32

    Poin pembahasan ini mencakup dua pembahasan:

    Pembahasan Pertama: Dhabith (batasan) inti yang menjadikan para imam salaf

    terbedakan dengan selain mereka, serta hukum orang yang menyelisihinya.

    Pembahasan Kedua: Hukum tertentu (bagi individu) apabila ia menyelisihi satu prinsip

    dari prinsip-prinsip para imam salaf.

    Demikianlah, dan aku hanya memohon kepada Allah agar menjadikan amalanku ini

    ikhlas untuk wajah-Nya yang mulia, serta dengan sebab ini dapat memberikan manfaat kepada

    kaum muslimin dan menjadikannya (sebagai) simpanan bagiku pada hari kiamat.

  • 7/24/2019 Pokok-pokok Tamayyuz Salafy Sejati

    9/32

    Pembahasan Pertama: Dhabith (Batasan) Inti Yang Menjadikan Para Imam Salaf Terbedakan

    Dengan Selain Mereka, Serta Hukum Orang Yang Menyelisihinya

    Para imam salaf dari kalangan para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka

    dengan baik memiliki beberapa prinsip yang telah mereka sepakati, mereka mencela orang-

    orang yang menyelisihi prinsip tersebut, mencapnya dengan stempel kebidahan dan

    mengeluarkannya dari lingkaran ahlussunnah.

    Inilah beberapa prinsip yang menjadikan para imam salaf terbedakan dari para

    pengekor hawa nafsu, (hal itu) kembali kepada dua perkara yaitu:

    Perkara Pertama: Sumber pengambilan; Al-Qur`an, As-Sunnah dan Ijma (kesepakatan

    para ulama).

    Para imam salafush shalih mengambil agama mereka dari Al-Qur`an dan As-Sunnah

    serta Ijma, mereka tidak mengambil akidah mereka melainkan dari ketiga pokok ini, mereka

    tidak mendahulukan ucapan seorang pun di atas ketiga pokok ini, mereka tidak berhujjah

    dengan akal dan tidak pula selainnya terhadap keputusan wahyu, namun mereka

    menjadikannya (akal tersebut) sebagai yang mengikuti bukan yang diikuti.

    Oleh karenanya barangsiapa yang menyelisihi kaum salaf dalam sumber pengambilan;

    maka orang tersebut bukan termasuk golongan mereka, tidak berada di atas petunjuk mereka

    dan dianggap termasuk dari golongan pengekor hawa nafsu. Hal itu dikarenakan bahwa pelaku

    kebidahan mereka menjadikan akidah mereka dalam hakikat suatu perkara bukan berada di

    atas pokok ini, melainkan hanya berdasarkan akal, pendapat dan firasat mereka saja, kemudian

    setelah itu apabila mereka melihat ada keterangan dari Al-Qur`an, As-Sunnah dan Ijma yang

    sesuai dengan pendapat mereka maka mereka pun merasa senang dengan hal itu, namun jika

    (keadaannya) tidak (seperti itu), mereka tidak menghiraukannya.

    Oleh karenanya prinsip ini merupakan hakikat yaitu pembeda antara ahli sunnah wal

    jamaah dan selain mereka dari kalangan pelaku kebidahan dan perpecahan.

    Qiwam as-Sunnah (Penegak Sunnah) Abu al-Qasim at-Taimiy mengatakan dalam

    penetapannya terhadap prinsip agung ini: Sebagian para ulama mengatakan; Ahlussunnah

    wal Jamaah mereka tidak melanggar Al-Qur`an, As-Sunnah dan Ijma salafush shalih, tidak

  • 7/24/2019 Pokok-pokok Tamayyuz Salafy Sejati

    10/32

    pula mengikuti ayat mutasyabihat serta menakwilkannya dalam rangka membuat fitnah,

    namun mereka hanya mengikuti para sahabat Rasulullah, para tabiin dan perkara yang telah

    disepakati oleh kaum muslimin secara ucapan maupun perbuatan.1

    Demikian pula Abu al-Abbas Ibnu Taimiyyah mengatakan: Barangsiapa yang

    berpendapat berdasarkan Al-Qur`an, As-Sunnah dan Ijma maka ia termasuk ahlussunnah wal

    jamaah.2

    Beliau juga mengatakan: Maka wajib bagi setiap mukmin untuk tidak berbicara

    tentang suatu perkara dalam agama ini melainkan (harus) mengikuti penjelasan yang telah

    dibawa oleh Rasulullah dan tidak mendahuluinya, bahkan hendaklah ia melihat apa yang

    beliau sabdakan, perkataannya (haruslah) mengikuti perkataan beliau, ilmunya (haruslah)

    mengikuti perintah beliau, demikianlah yang terjadi pada para sahabat dan orang-orang yang

    menempuh jalan mereka dari (golongan) orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dan

    juga para imam kaum muslimin (seperti ini keadaannya). Maka dari itu tidak ada seorang pun

    di antara mereka yang menentang nash-nash dengan nalarnya dan tidak pula membangun

    agama selain dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah , apabila ia hendak mengetahui

    sesuatu dari perkara agama ini dan berbicara tentangnya maka ia meninjau kepada apa yang

    telah difirmankan Allah dan disabdakan oleh Rasulullah, dari sanalah (Al-Qur`an dan As-

    Sunnah) ia belajar, dari sana pula ia berbicara, kepadanya ia meninjau dan memikirkan, serta

    dengannya ia berdalil. Inilah pokok ahlussunnah.

    Sedangkan para pelaku kebidahan mereka tidak menjadikan akidah mereka

    berdasarkan sesuatu yang mereka ambil dari Rasulullah dalam hakikat perkaranya tersebut,

    namun berdasarkan apa yang mereka pandang atau yang mereka rasakan. Kemudian jika

    mereka mendapati As-Sunnah mencocoki pendapat mereka (lantas mereka merasa senang)

    akan tetapi jika tidak (mereka dapati hal tersebut), maka mereka tidak menghiraukannya. Dan

    apabila didapati As-Sunnah tersebut menyelisihi pendapat mereka, mereka pun berpaling

    darinya dalam bentuk tafwidh (menyerahkan seluruh makna dan kaifiyah-nya kepada Allah),

    1Al-Hujjah fii Bayaan al-Mahajjah (2/410).

    2Majmuu al-Fataawaa (3/346).

  • 7/24/2019 Pokok-pokok Tamayyuz Salafy Sejati

    11/32

    atau mereka memalingkan maknanya dalam bentuk penakwilan (kepada makna yang

    kontradiksi dengan yang diinginkan).

    Inilah pembeda antara ahli iman dan sunnah dengan ahli nifaq dan bidah.1

    Termasuk perkara yang pantas untuk disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Ijma di

    sini adalah: Semua kesepakatan yang (disepakati oleh) generasi tiga kurun terbaik dari kalangan

    para sahabat, tabiin dan tabi tabiin; karena kesepakatan mereka telah valid (tetap) dan

    pemahaman mereka diakui.

    Al-Imam Ibnu Taimiyyah mengatakan tentang penetapan Ijma yang telah valid:

    Metode ahlussunnah wal jamaah adalah mengikuti atsar-atsar Rasulullah secara lahir dan

    batin, mengikuti jalannya orang-orang terdahulu lagi pertama-tama dari kalangan Muhajirin

    dan Anshar, serta mengikuti wasiat Rasulullah di mana beliau bersabda:

    ((

    ((

    Wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku, dan sunnah Khulafa`ur Rasyidin

    yang mendapatkan petunjuk sepeninggalku, berpegang-teguhlah dengan sunnah tersebut dan

    gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian, serta berhati-hatilah kalian dari muhdats

    (perkara baru yang diada-adakan dalam agama), karena sesungguhnya setiap muhdats

    merupakan kebidahan dan setiap kebidahan adalah sesat.2

    1Majmuu al-Fataawaa (13/62-63).

    2Dikeluarkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya (hal. 1216, hadits no. 17272) dan (hal. 1216, hadits no. 17274), Abu

    Dawud dalam Sunan-nya kitab As-Sunnah, bab: Fii Luzuum as-Sunnah (hal. 691), (hadits 4607), at-Tirmidziy

    dalam Jami-nya kitab al-Ilmu an Rasulillah bab Maa Jaaa Fii al-Akhdzi bi as-Sunnah wa Ijtinaab al-Bida(hal. 603) (hadits 2676), beliau berkata: Hadits Hasan Shahih., Ibnu Majah dalam Sunan-nya kitab as-Sunnah

    bab Ittibaa Sunnah al-Khulafaa` ar-Raasyidiin (hal. 6) (hadits 42-43), Ibnu Hibban dalam Shahih-nya bab Dzikru

    Washfi al-Firqah an-Naajiyah min Bayna al-Firaq Allatii Taftariqu Alayhaa Ummatu al-Mushthafaa shallallahu

    alaihi wa sallam- (1/178) (hadits 5), al-Baghawiy dalam Syarh as-Sunnah bab al-Itishaam bi al-Kitaab wa as-

    Sunnah (1/205) semuanya dari jalan dari Abdurrahman bin Amr as-Sulamiy dari al-Irbadh.

    Abdurrahman as-Sulamiy para perawi meriwayatkan darinya, adz-Dzahabiy dalam al-Kaasyif (2/179) berkata

    tentangnya: Shaduq., Ibnu Hajar dalam at-Taqriib (hal. 408): Maqbul. Yahya bin Abil Mutha telah

    menyertainya sebagaimana dalam Sunan Ibnu Majah dari dalam Abdullah bin Dzakwan dari al-Walid bin

    Muslim, Abdullah bin al-Alaa` telah meriwayatkan kepada kami, Yahya bin Abil Mutha telah meriwayatkan

    kepadaku ia berkata: Aku telah mendengar al-Irbadh meriwayatkan hadits tersebut..

    Yahya, al-Hafizh berkata tentangnya dalam at-Taqrib (hal. 692): Shaduq.

  • 7/24/2019 Pokok-pokok Tamayyuz Salafy Sejati

    12/32

    Mereka juga mengetahui bahwa sebenar-benarnya perkataan adalah firman Allah dan

    sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, mereka mendahulukan firman Allah di

    atas selainnya dari jenis-jenis ucapan manusia, mereka juga mendahulukan petunjuk Rasulullah

    di atas petunjuk setiap orang. Oleh karenanya mereka dinamakan ahli Al-Qur`an dan As-

    Sunnah.

    Mereka juga dinamakan ahlu jamaah; karena jamaah itu adalah berkumpul dan

    kebalikannya adalah berpecah-belah. Dan lafal jamaah sering diartikan sebagai sebuah nama

    bagi suatu kaum yang berkumpul.

    Ijma adalah pokok ketiga yang dijadikan sandaran dalam ilmu dan agama.

    Ibnu Rajab dalamJaami al-Uluum wa al-Hikam berkata tentang sanad hadits ini (hal. 487-488): Sanad hadits

    ini secara zahir adalah Jayyid Muttashil, para perawinya terpercaya serta masyhur. Perawinya menyebutkkan

    secara gamblang dengan kata mendengar dan al-Bukhariy mengatakan dalam Tarikh-nya bahwa Yahya bin

    Abil Mutha telah mendengar dari al -irbadh berpedoman kepada riwayat ini, namun hal ini diingkari oleh para

    huffazh (penghapal hadits) penduduk Syam. Mereka menyatakan: Yahya bin Abil Mutha tidak mendengar dari

    al-Irbadh serta tidak bertemu dengannya dan riwayat ini adalah keliru. Di antara orang yang menyebutkan hal

    ini adalah Abu Zurah ad-Dimasyqiy, beliau menghikayatkannya dari Duhaim, mereka lebih mengetahui terhadap

    guru-guru mereka ketimbang selain mereka. Al-Bukhariy (menjelaskan) terjadi wahm (keraguan) padanya

    tentang kabar-kabar penduduk Syam.

    Aku (penulis) berkata: Yang dianggap adalah perkataan yang disampaikan oleh al-Bukhariy, bahwasanya ia(Yahya) merupakan orang yang paling tsabit mendengar dari al-Irbadh berdasarkan keshahihan sanad ini; dan

    sanad ini sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Rajab: Sanadnya Jayyid (bagus) dan Muttashil (bersambung).

    Sanad hadits ini telah dishahihkan oleh al-Hakim dalam Mustadrak-nya (1/97) beliau mengatakan: Telah

    menyertai Abdurrahman bin Amr tiga perawi tsiqah (terpercaya) terhadap riwayat ini dan beliau menyebutkan

    di antara mereka adalah: Yahya bin Abil Mutha

    Sebagaimana al-Fasawiy juga telah menyertai al-Bukhariy dalam al-Marifah wa at-Taariikh (2/200) beliau

    mengatakan Yahya bin Abil Mutha mendengar al-Irbadh menyebutkan hadits ini. Ibnu Abi Hatim juga

    menyebutkan dalam al-Jarh wa at-Tadiil(9/192).

    Sebagaimana Hujr bin Hujr telah menyertai Abdurrahman bin Amr terhadap riwayatnya (ini) selain Yahya bin

    Abil Mutha sebagaimana yang ada dalam Sunan Abu Dawud (hal. 691) (hadits 4607), namun riwayat ini juga

    tidak terlepas dari perbincangan. Al-Albaniy telah mengesahkan hadits ini dalam Taliq-nya terhadap Sunan Abu

    Dawud.

    Hadits ini juga memiliki jalan kedua secara ringkas yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah

    (1/72) (hadits 59) dari Isa bin Khalid, Abul Yaman telah meriwayatkan kepada kami dari Ismail bin Iyasy dari

    Arthah bin al-Mundzir dari al-Muhashir bin Habib dari al-Irbadh.

    Hadits al-Irbadh ini telah dishahihkan atau dihasankan oleh mayoritas para ulama, inilah sebagian ucapan

    mereka:

    At-Tirmidziy berkata tentang hadits ini: Hasan Shahih.

    Abu Ismail al-Harawiy telah berkata dalam Dzammul Kalaam (3/122) tentang hadits ini: Hadits ini merupakan

    sebagus-bagus atau sebaik-baik hadits yang datang dari penduduk Syam.

    Al-Baghawiy mengatakan: Hadits Hasan.

    Al-Hakim dalam al-Mustadrak(1/98) mengatakan: Hadits ini shahih, alhamdulillah.

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga mengatakan dalam Majmuu al-Fataawaa (18/190) tentang hadits ini: Ini

    adalah hadits shahih dalam Sunan.

  • 7/24/2019 Pokok-pokok Tamayyuz Salafy Sejati

    13/32

    Mereka menimbang dengan ketiga prinsip ini seluruh (perkara) yang ada pada manusia

    berupa perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan yang tampak maupun tidak tampak

    dari hal-hal yang berkaitan dengan agama. Sedangkan Ijma yang sah adalah hal-hal yang

    disepakati oleh salafush shalih; karena (masa) setelah mereka telah banyak terjadi perselisihan

    dan umat telah menyebar ke penjuru negeri.1

    Para imam salaf telah menjelaskan bahwa inti pondasi yang suatu jamaah berdiri di

    atasnya adalah berpegang-teguh dengan perkara yang telah disepakati oleh para sahabat 2,

    bahwa orang yang tidak berpegang teguh dengan mereka niscaya ia tersesat dan jatuh kepada

    perbuatan bidah.3

    1Majmuu al-Fataawaa (3/157).

    2Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan: Termasuk perkara yang telah diketahui secara pasti bagi orangyang mentadabburi Al-Qur`an dan As-Sunnah serta perkara yang disepakati oleh ahlussunnah wal jamaah dari

    seluruh kelompok bahwasanya sebaik-baik generasi umat ini dalam amalan, perkataan, keyakinan dan

    selainnya dalam setiap keutamaannya- adalah generasi pertama, kemudian yang datang setelahnya, kemudian

    yang datang setelahnya, sebagaimana hal tersebut telah sah datang dari Nabi dalam banyak sisi.Mereka (ketiga generasi di atas) adalah generasi yang paling utama ketimbang generasi khalaf (generasi yang

    datang setelah mereka) pada setiap keutamaan; ilmu dan amal, keimanan, akal dan agama, penjelasan dan

    ibadah, bahwa mereka sebaik-baik penjelasan bagi setiap permasalahan.

    Hal ini tidak akan ada yang menolaknya melainkan dari seorang penentang agama Islam yang telah diketahui

    secara pasti dan Allah telah menyesatkannya terhadap ilmunya; sebagaimana dikatakan oleh Abdullah bin

    Masud: Barangsiapa yang di antara kalian yang hendak mencontoh, maka hendaklah ia mencontoh orang

    yang telah mati (mendahuluinya). Karena orang yang hidup mereka tidak akan aman dari fitnah, merekalah

    para sahabat Rasulullah, manusia dari umat ini yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikittakalluf-nya (memaksakan diri). (Mereka adalah) suatu kaum yang telah dipilih Allah untuk menemani Nabi-Nya

    dan menegakkan agama-Nya, maka kenalilah hak yang mereka miliki dan berpegang teguhlah denganpetunjuk mereka; karena sesungguhnya mereka berada di atas petunjuk yang lurus.

    Berkata selainnya (Ibnu Masud): Wajib bagi kalian berpegang dengan atsar-atsar salaf, karena merekadatang membawa perkara yang mencukupi dan memutuskan, tidaklah terjadi setelah mereka sebaik-baik

    perkara yang tersembunyi yang tidak mereka tidak ketahui.

    Nabi telah bersabda (artinya): Tidaklah datang suatu zaman melainkan orang yang setelahnya lebih burukdari sebelumnya hingga kalian bertemu dengan Rabb kalian.

    Bagaimana mungkin akan terjadi pada kita suatu zaman yang di dalamnya terdapat kebaikan tentang seagung-

    agungnya pengetahuan yaitu marifatullah (mengenal Allah) Taala? Ini tidak mungkin terjadi selamanya.

    Alangkah indah apa yang dikatakan oleh asy-Syafi iy dalam risalah-nya: (Derajat) mereka berada di atas kitapada setiap ilmu, akal, agama dan keutamaan, serta seluruh sebab untuk memperoleh ilmu, atau mendapatkan

    hidayah. Pendapat mereka bagi kami lebih baik daripada pendapat kami untuk diri kami. Majmuu al-

    Fataawaa (4/157-158).3

    Lihat Risalah Fashl al-Maqaal fii Wujuub Ittibaa as-Salaf al-Kiraam.

  • 7/24/2019 Pokok-pokok Tamayyuz Salafy Sejati

    14/32

    Al-Imam Ahmad mengatakan: Pokok-pokok As-Sunnah menurut kami adalah

    berpegang teguh dengan perkara yang disepakati oleh sahabat Rasulullah , mencontoh

    mereka dan meninggalkan berbagai macam kebidahan.1

    Al-Imam al-Barbahariy2 mengatakan: Pondasi yang sebuah jamaah dibangun di

    atasnya adalah para sahabat Rasulullah , merekalah ahlussunnah wal jamaah, maka

    barangsiapa yang tidak berpegang teguh dengan mereka niscaya ia tersesat dan terjerumus

    kepada kebidahan, karena setiap bidah itu sesat, maka kesesatan dan pelaku kesesatan

    berada di neraka.3

    Al-Imam Ibnu Taimiyyah berkata: Maka diketahui bahwa syiar-syiar ahli bidahadalah meninggalkan ittiba kepada (madzhab) salaf.

    4

    Perkara Kedua: Permasalahan-permasalahan agung bersifat keyakinan atau amaliyah

    yang telah dikenal kesesuaiannya terhadap Al-Qur`an, As-Sunnah dan Ijma di tengah-tengah

    orang yang memiliki keilmuan tentang as-Sunnah, maka hal tersebut dikenal dengan Ushul

    (perkara pokok).

    Barangsiapa yang menyelisihi satu prinsip saja dari prinsip-prinsip yang kesesuaiannya

    terhadap Al-Qur`an, As-Sunnah dan Ijma telah dikenal; maka sungguh ia telah keluar dari

    petunjuk salafush shalih serta disandarkan kepada selain mereka.

    Sebab penyandaran hukum ini kepada kata ushul (pokok): (adalah) bahwa

    permasalahan-permasalahan yang dianggap sebagai pokok telah ditunjukkan oleh nash-nash

    sebagai keterangan yang jelas serta gamblang hampir-hampir tidak tersembunyi dari orang-

    orang yang sibuk dengan ilmu sunnah, dan Al-Qur`an yang mulia telah menjelaskan prinsip-

    prinsip tersebut dengan penjelasan yang mencukupi, begitu pula sunnah nabawiyyah juga telah

    memaparkan pokok-pokok tersebut dengan lantang, serta hal tersebut telah disepakati oleh

    pendahulu umat ini.

    1Ushuul as-Sunnah karya al-Imam Ahmad. Tercakup dalam kitab Aqaa`id as-Salaf(hal. 19).

    2Beliau adalah al-Hasan bin Ali al-Barbahariy Abu Muhammad , salah seorang imam terkenal, salah seorangpenghafal pokok-pokok agama yang mutqin dan salah seorang yang terpercaya lagi beriman, wafat tahun 329 H.

    3Syarh as-Sunnah (hal. 59).

    4Majmuu al-Fataawaa (4/155).

  • 7/24/2019 Pokok-pokok Tamayyuz Salafy Sejati

    15/32

    Keberadaan prinsip-prinsip1

    tersebut termasuk pondasi agama yang mengharuskan

    untuk dijadikan sebagai perkara agama yang paling penting. Bahwa Allah dan Rasul-Nya

    telah menjelaskan dengan penjelasan nyata yang memupuskan setiap alasan; karena hal ini

    merupakan perkara agung yang telah disampaikan oleh Rasulullah secara nyata, beliau telah

    menjelaskan kepada manusia dan itu termasuk perkara agung yang dijadikan Allah sebagai

    penegakan hujjah terhadap para hamba-Nya.

    Hal ini kembali kepada satu poin yaitu bahwa Allah telah menyebutkan suatu nash

    pemupus alasan2

    terhadap setiap perkara yang terjaga dari berbagai kebinasaan; sebagaimana

    Allah berfirman:

    Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjukkepada mereka sehingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi. (Q.S.

    At-Taubah: 115).

    Demikian juga berada pada satu poin (yaitu) kebidahan yang menjadikan seseorang

    dianggap termasuk pengekor hawa nafsu adalah kebidahan yang telah nyata penyelisihannya

    terhadap Al-Qur`an, As-Sunnah dan Ijma menurut para ahli ilmu sunnah. Dan barangsiapa yang

    terjerumus ke dalam penyelisihan tersebut maka ia termasuk pelaku kebidahan.

    1Lihat Dar`u Taaarudh al-Aql wa an-Naql(2/26).

    2Abul Abbas Ibnu Taimiyyah mengatakan dalam sebuah penjelasan bahwa permasalahan-permasalahan besar

    penjelasannya dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah (adalah) nyata: Akan tetapi, perkara ini dan itu keduanya

    terkadang terjadi pada perkara yang samar dan pelik disebabkan kesungguhan dari pelakunya, yang mana mereka

    menghabiskan usaha mereka untuk mencari kebenaran, (maka dengan sebab itu) niscaya mereka akan

    memperoleh kebenaran dan ittiba (yang benar) yang tidak banyak terjadi, sebagaimana yang semisal itu telah

    terjadi pada sebagian sahabat dalam permasalahan talak, faraidh (hak waris) dan semisal itu; serta tidak terjadi

    yang seperti ini (ketersesatan) dari mereka pada perkara yang nyata dan agung. Karena penjelasan permasalahan

    ini bersumber dari Nabi yang berada di tengah-tengah mereka. Majmuu al-Fataawaa (13/64-65).

  • 7/24/2019 Pokok-pokok Tamayyuz Salafy Sejati

    16/32

    Di antara contoh bentuk penyelisihan adalah ilhad(pengingkaran) terhadap nama-nama

    Allah dan sifat-sifat-Nya, mendustakan takdir, pembolehan keluar dari syariat Nabi, ghuluw

    (melampaui batas) dalam agama seperti memposisikan manusia berada pada posisi Ilah

    (Tuhan), melakukan pemberontakan terhadap pemimpin kaum muslimin (yang sah),

    mengingkari perbuatan mengusap bagian atas khuf dan selainnya1.

    Sufyan bin Uyainah2 menuturkan: (Pokok) As-Sunnah itu ada sepuluh, barangsiapa

    yang menyempurnakan semuanya maka ia telah menyempurnakan sunnah tersebut. Namun

    barangsiapa yang meninggalkan satu saja dari sunnah tersebut maka sungguh ia telah

    meninggalkan sunnah tersebut: Penetapan takdir, mendahulukan Abu Bakr dan Umar, al-

    Haudh (telaga Nabi), Syafaat, Mizan (timbangan), Shirath (jembatan), iman adalah perkataan

    dan perbuatan, Al-Qur`an adalah firman Allah, siksa kubur, kebangkitan pada hari kiamat dan

    tidak menggugurkan syahadat (persaksian) seorang muslim.3

    Al-Imam Aliy bin al-Madiniy4juga menuturkan: Sunnah lazimah (yang wajib) (yaitu)

    barangsiapa meninggalkan satu tabiat dari sunnah tersebut (berupa) tidak mengucapkan

    ataupun beriman dengannya, (dan jika seperti itu) maka ia bukanlah termasuk pengikutnya: -

    kemudian beliau menyebutkan sejumlah rangkaian dari pokok-pokok ahlussunnah-.5

    Al-Imam Ibnu Qutaibah mengatakan: Para ahli hadits mereka semua sepakat bahwa

    apa saja yang Allah kehendaki pasti terjadi dan apa yang Allah tidak kehendaki maka tidak

    akan terjadi, (mereka juga sepakat) bahwa Allah adalah Maha Pencipta kebaikan dan

    keburukan, Al-Qur`an adalah firman Allah bukan makhluk, bahwa Allah Taala akan dilihat pada

    hari kiamat, (mereka sepakat) untuk mendahulukan Abu Bakr dan Umar, beriman dengan siksa

    kubur, mereka tidak berbeda pendapat dalam pokok-pokok prinsip ini. Barangsiapa yang

    1Lihat Majmuu al-Fataawaa (28/105-106).

    2Yaitu: Sufyan bin Uyainah bin Abu Imran , namanya adalah Maimun al-Hilaliy, Abu Muhammad al-Kufiy. Asy-

    Syafiiy berkata: Aku tidak melihat ada seorang pun yang paling mumpuni dalam masalah berfatwa yangmelebihinya. Lahir pada tahun 107 H dan wafat tahun 198 H.

    Lihat Tahdzib al-Kamaalkarya al-Mizziy (3/223-228).3

    Syarh Ushuul Itiqaad Ahli as-Sunnah karya al-Lalika`iy (2/174).4

    Yaitu: Aliy bin Abdullah bin Jafar as-Sadiy bin al-Madiniy, Abu al-Hasan, al-Bukhariy mengatakan: Dirikutidak pernah merasa kecil di hadapan seorang pun kecuali ketika (aku) berada di hadapan ibnu al-Madiniy.

    Lahir tahun 161 H dan wafat tahun 234 H.

    Lihat Tahdzib al-Kamaalkarya al-Mizziy (5/269-277).5

    Syarh Ushuul Itiqaad Ahli as-Sunnah karya al-Lalika`iy (2/185).

  • 7/24/2019 Pokok-pokok Tamayyuz Salafy Sejati

    17/32

    meninggalkan mereka dalam satu perkara dari prinsip tersebut maka mereka akan

    memeranginya, memusuhinya, memberikan stempel kebidahan padanya dan

    meninggalkannya.1

    Sungguh para imam telah menyebutkan suatu perkara dari prinsip-prinsip ahlussunnah

    wal jamaah, menetapkan tingkatan golongan yang menyelisihinya, atau (golongan yang)

    meninggalkan satu prinsip saja dari prinsip-prinsip tersebut; maka ia akan dikeluarkan dari

    lingkaran sunnah dan ahlussunnah.

    Setiap permasalahan yang disebutkan oleh para imam telah terjadi Ijma (kesepakatan)

    padanya, hal itu ditunjukkan oleh nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah sebagai satu petunjuk

    yang jelas.

    Dari sini al-Imam Ibnu Taimiyyah mengatakan: Barangsiapa yang menyelisihi Al-

    Qur`an yang jelas dan As-Sunnah yang telah tersebar luas, atau suatu perkara yang telah

    disepakati oleh pendahulu umat ini sebagai satu penyelisihan yang tidak diberikan udzur

    (keringanan) padanya. Maka orang seperti ini (keadaannya) diperlakukan sebagaimana para

    pelaku kebidahan itu diperlakukan.2

    Beliau juga mengatakan: ... bahwa orang-orang yang menyelisihi kebenaran yang

    nyata (bersumber) dari Al-Qur`an dan As-Sunnah (keadaan) mereka menurut mayoritas ulama

    dikenal dengan (stempel) kebidahan, serta disaksikan atas mereka dengan kesesatan. Di

    tengah-tengah umat mereka tidak memiliki ucapan yang benar dan tidak pula penerimaan

    (yang bersifat) umum, seperti khawarij, rafidhah, qadariyyah dan yang semisal mereka. Hanya

    saja para ahli ilmu dan sunnah berbeda pendapat dalam berbagai perkara pelik yang tidak

    tampak bagi kebanyakan manusia.3

    Beliau mengatakan: Bidah yang menjadikan seseorang dianggap termasuk

    pengekor hawa nafsu adalah (kebidahan) yang telah tampak bentuk penyelisihannya terhadap

    Al-Qur`an dan As-Sunnah menurut ahli ilmu sunnah; seperti bidah khawarij, rafidhah,

    qadariyyah dan murji`ah.4

    1Ta`wiil Mukhtalaf al-Hadiits (hal. 64).

    2Majmuu al-Fataawaa (24/172).

    3Al-Imaan (hal. 281).

    4Majmuu al-Fataawaa (35/414), lihat pula: (28/105 dan 205).

  • 7/24/2019 Pokok-pokok Tamayyuz Salafy Sejati

    18/32

    Maka tidak setiap permasalahan menjadikan seorang yang menyelisihi (kebenaran) itu

    dicap sesat, sesungguhnya poros itu semua hanyalah (kembali) pada sesuatu (perkara yaitu)

    apabila masalah tersebut merupakan pokok dari pokok-pokok ahlussunnah wal jamaah

    ataukah tidak.

    Al-Imam Ahmad pernah ditanya tentang orang yang mengatakan: Abu Bakr, Umar,

    Aliy dan Utsman. Lantas beliau mengatakan: Ucapan ini tidak membuat aku heran.

    Dikatakan kepada beliau, lalu dikatakan; Orang ini pelaku bidah? Beliau mengatakan: Aku

    tidak suka memberikan stempel kebidahan kepadanya dengan (satu stempel) bidah yang

    berat.

    Dikatakan kepada beliau: Barangsiapa yang mengatakan; Abu Bakr, Umar, Aliy lalu ia

    diam. Kemudian ia tidak mengunggulkan seseorang?

    Beliau berkata: Ucapan ini juga tidak membuatku heran.

    Dikatakan kepada beliau: (Apakah orang itu) pelaku bidah?

    Beliau berkata: Ucapan ini tidak membuatku heran.1

    Ibnu Taimiyyah menegaskan tentang permasalahan mengunggulkan Utsman dan

    Aliy : Permasalahan ini bukanlah termasuk dari pokok-pokok yang menjadikan orang yang

    menyelisihinya dicap sesat menurut mayoritas ahlussunnah, namun permasalahan yang

    menjadikan seseorang yang menyelisihinya dicap sesat adalah permasalahan khilafah.2

    Ini adalah penjelasan dari al-Imam Ibnu Taimiyyah bahwa permasalahan yang

    menjadikan seseorang yang menyelisihinya dicap sesat adalah permasalahan yang telah

    disepakati menurut salaf, maka yang telah masyhur kesesuaiannya kepada Al-Qur`an dan As-

    Sunnah; seperti masalah mendahulukan khilafah Abu Bakr, kemudian Umar, kemudian

    Utsman, kemudian Aliy. Adapun masalah pengunggulan antara Utsman dan Aliy , maka itubukanlah termasuk permasalahan pokok; karena telah terjadi silang pendapat padanya di

    antara salaf.

    Oleh karenanya dahulu para imam islam mereka bersepakat untuk memberikan stempel

    kebidahan kepada orang yang menyelisihi permasalahan-permasalahan prinsipil sebagai suatu

    1Dikeluarkan oleh al-Khallal dalam as-Sunnah (1/378).

    2Majmuu al-Fataawaa (3/153).

  • 7/24/2019 Pokok-pokok Tamayyuz Salafy Sejati

    19/32

    penyelisihan yang tidak diberikan udzur (keringanan); berbeda dengan orang yang berselisih

    pendapat dalam permasalahan-permasalahan ijtihad yang tidak sampai pada tingkatan ini.

    Abu al-Qasim at-Taimiy berkata: Sebagian ulama mengatakan: Apa yang mereka

    perselisihkan dari permasalahan-permasalahan yang bersifat ijtihad dan cabang-cabang

    agama; maka sesungguhnya manusia tidak serta merta diberikan cap pelaku bidah disebabkan

    perselisihan tersebut, tidak pula tercela serta terancam (dengan dosa).1

    Asy-Syathibiy juga menetapkan pernyataan tersebut ketika menjelaskan dhabith

    (batasan) dalam perpecahan yang tercela: Suatu perpecahan yang bersumber dari perselisihan

    dalam seluruh prinsip agama, atau (perselisihan dalam) suatu kaidah dari kaidah-kaidah

    syariat, bukan (perselisihan dalam) suatu cabang dari cabang-cabang syariat; karena

    sesungguhnya para sahabat di antara mereka pun terjadi silang pendapat dalam permasalahan-

    permasalahan ijtihad; lalu beliau berkata tatkala menjelaskan tentang hadits iftiraq

    (perpecahan): Hal itu dikarenakan bahwa kelompok-kelompok ini hanya menjadi kelompok-

    kelompok yang menyelisihi firqatun najiyah pada suatu makna yang bersifat pokok dalam

    agama, atau suatu kaidah dari kaidah-kaidah syariat, bukan pada (perkara) juziy (bagian) dari

    bagian-bagian syariat; karena bagian dan cabang yang rancu tidak akan timbul darinya suatu

    penyelisihan yang dengan sebab penyelisihan tersebut menjadikan (golongan tersebut)

    berkelompok-kelompok, hanya saja perpecahan itu akan timbul ketika (seseorang) tergelincir

    kepada penyelisihan dalam masalah prinsip; karena perkara-perkara yang sifatnya prinsip itu

    merupakan akumulasi dari banyaknya perkara-perkara cabang. Dan keadaannya pada

    umumnya tidak khusus pada suatu tempat dan tidak pula pada suatu bab saja.2

    Beliau juga mengatakan ketika menjelaskan tentang hadits iftiraq: Lafal (kata)

    tersebut mengandung kemungkinan bahwa hal itu merupakan perpecahan yang berdasarkanpada perkara yang ditunjukkan oleh konsekuensi kata, mungkin juga bahwa (kata) itu pun

    disertai oleh suatu tambahan batasan yang diinginkan oleh kata tersebut secara mutlak, namun

    kata tersebut cukup mengandung kemungkinan; sebagaimana kata raqabah (budak wanita)

    1Al-Hujjah Fii Bayaan al-Mahajjah (2/411).

    2Al-Itisham (2/177-178).

  • 7/24/2019 Pokok-pokok Tamayyuz Salafy Sejati

    20/32

    secara mutlak tidaklah menunjukkan keadaannya itu beriman atau tidak beriman, namun

    secara lafal dapat diterima.

    Maka tidak sah bahwa yang dimaksud iftiraq (perpecahan) secara mutlak adalah

    memutlakkan bentuk kata perselisihan kepada satu makna saja; karena hal itu menegaskan

    bahwa orang-orang yang berselisih pendapat dalam permasalahan-permasalahan furu

    (cabang) masuk dalam kemutlakan kata (perpecahan), itu adalah pernyataan batil menurut

    Ijma (kesepakatan); sesungguhnya silang pendapat dalam masalah-masalah ijtihad benar-

    benar telah ada semenjak zaman para sahabat hingga saat ini, silang pendapat yang terjadi

    pertama kali pada zaman khulafa`ur rasyidin yang mendapat petunjuk, kemudian terjadi

    pada seluruh sahabat, kemudian di zaman tabiin dan tidak ada seorang pun di antara

    mereka yang mencela perbuatan tersebut. Kepada para sahabatlah orang-orang yang datang

    setelah mereka mencontoh dalam silang pendapat yang luas; maka bagaimana mungkin

    perpecahan (silang pendapat) dalam suatu madzhab (pendapat) termasuk perkara yang

    digolongkan kepada hadits tersebut?!

    Sesungguhnya perselisihan yang dimaksud (dalam hadits) adalah perselisihan muqayyad

    (bersifat terikat), meskipun di dalam hadits tidak terdapat nash yang menunjukkannya (secara

    langsung); (namun) di dalam ayat terdapat penjelasan yang menunjukkan kepada hal tersebut;

    seperti firman-Nya:

    Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, (yaitu) orang-orang

    yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap

    golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. (Q.S. Ar-Ruum: 31-

    32).

    Firman Allah:

  • 7/24/2019 Pokok-pokok Tamayyuz Salafy Sejati

    21/32

    Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi

    berkelompok-kelompok, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. (Q.S. An-

    Anam: 159).

    Dan yang semisal itu dari ayat-ayat yang menunjukkan perselisihan yang disebabkan

    perbuatan tersebut mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, makna dari mereka

    (terpecah) menjadi beberapa golongan; yaitu (menjadi) beberapa jamaah sebagian mereka

    memisahkan diri dari sebagian yang lain, mereka tidak bersatu, tidak saling membantu dan

    tidak saling menolong, bahkan kebalikan dari itu. Sesungguhnya islam itu satu, urusannya juga

    satu, maka konsekuensinya adalah hukumnya berada di atas persatuan yang sempurna bukan

    di atas perpecahan.1

    Berdasarkan pernyataan ini menjadi nyatalah prinsip-prinsip madzhab salaf serta

    batasan-batasannya, bahwa penyelisihan suatu prinsip dari prinsip-prinsip tersebut merupakan

    perbuatan bidah, orang yang menyelisihi satu prinsip dari prinsip-prinsip di atas merupakan

    bentuk penyelisihan yang tidak diberikan udzur (keringan); menjadikan pelakunya sebagai

    mubtadi (pelaku bidah) yang telah keluar dari manhaj (konsep beragama) generasi salaf yang

    kita diperintah untuk mengikutinya.

    1Al-Itisham (1/161-162).

  • 7/24/2019 Pokok-pokok Tamayyuz Salafy Sejati

    22/32

    Pembahasan Kedua: Hukum (Kepada) Individu Tertentu Apabila Ia Menyelisihi

    Satu Pokok Dari Pokok-Pokok Para Imam Salaf

    Telah berlalu pernyataannya pada pembahasan pertama -tentang orang yang

    menyelisihi suatu prinsip dari prinsip-prinsip ahlussunnah wal jamaah; maka orang tersebut

    telah keluar dari petunjuk salafush shalih, serta menjadikannya termasuk golongan para

    pengekor kebidahan-: (yaitu) dari sisi global dan hukum yang bersifat mutlak.

    Adapun dari aspek muayyan (tertentu), serta hukum secara individu, maka terdapat

    perincian dalam permasalahan tersebut; karena tidak setiap orang yang terjerumus ke dalam

    kebidahan lantas bidah disandarkan kepadanya; hal itu disebabkan bahwa apabila seseorang

    bersikap loyal kepada salaf, sumber pengambilan hukum yang ada padanya sesuai dengan yang

    dipakai oleh generasi salaf, namun bersamaan dengan hal itu ia terjatuh kepada suatu perkara

    yang menyelisihi prinsip-prinsip pokok generasi salaf dalam keadaan keliru (serta) ia tidak

    membantu dan tidak pula melampaui batas; maka disebabkan kekeliruan ini ia tidak

    dikeluarkan dari lingkaran salaf, tidak pula dicap sebagai seorang mubtadi (pelaku bidah),

    hanya saja dikatakan kepadanya: Ia sejalan dengan para pelaku kebidahan dalam masalah ini

    dan itu; karena benar-benar terbukti kelemahan pendapatnya. Namun tidak dikatakan: Ia

    semisal dengan mereka. Tidak pula (dikatakan) tentang hukum mereka.

    Kemudian apabila telah terkumpul syarat-syarat tersebut padanya dan hilang berbagai

    penghalangnya, maka (jika keadaannya seperti ini, barulah dikatakan) ia semisal dengan mereka

    (keadaannya) dan hukumnya seperti hukum mereka (para pelaku kebidahan).

    Dikatakan kepada Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal : Seorang perawi -yang ditulis

    haditsnya- tengah meriwayatkan hadits ia mengatakan; Barangsiapa yang bersaksi bahwa

    sepuluh orang sahabat berada di dalam surga maka ia seorang mubtadi (pelaku bidah). Lalu

    beliau yaitu al-Imam Ahmad- terkejut mendengarnya lantas berkata: Barangkali ia jahil

    dan tidak mengetahuinya.1

    1Dikeluarkan oleh al-Khallal dalam as-Sunnah (1/369).

  • 7/24/2019 Pokok-pokok Tamayyuz Salafy Sejati

    23/32

    Ditanyakan juga kepada beliau : Apa yang Anda katakan tentang orang yang tidak

    mengakui khilafah (kepemimpinan) Aliy? Beliau berkata: Ini merupakan ucapan yang

    buruk.

    Ahmad bin al-Husain menambahkan dari Bakr dari ayahnya aku bertanya: Apakah ia

    (masih) tergolong ahlussunnah? al-Imam Ahmad menjawab: Aku tidak berani

    mengeluarkannya dari lingkup ahlussunnah, ia melakukan penakwilan namun ia keliru.1

    Ahmad bin Muni al-Baghawiy mengatakan: Barangsiapa yang mengira bahwa Al-

    Qur`an itu makhluk maka ia seorang Jahmiy (pengikut Jahm bin Shafwan), barangsiapa yang

    bersikap tawaqquf (diam), jika ia termasuk orang yang lemah akalnya seperti para penjual

    sayur, kaum wanita dan anak-anak maka ia didiamkan dan diberi pengajaran.2

    Al-Imam Ibnu Taimiyyah mengatakan dalam penjelasannya mengenai siapa itu

    mubtadi (pelaku bidah): Dan yang semisal mereka apabila mereka tidak menjadikan apa

    yang mereka buat-buat itu sebagai suatu pendapat yang bisa membuat barisan kaum muslimin

    saling berpecah belah; saling menguasai dan mengalahkan; maka yang demikian itu termasuk

    jenis kekeliruan. Dan Allah mengampuni dosa orang-orang yang beriman pada perkara yang

    semisal itu.

    Oleh karenanya banyak dari pendahulu umat ini dan para imamnya yang tergelincir

    kepada kesalahan yang semisal itu: mereka memiliki makalah-makalah yang mereka buat atas

    dasar ijtihad, padahal makalah-makalah tersebut jelas-jelas menyelisihi perkara yang telah

    valid dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah; berbeda dengan suatu kaum yang memberikan

    loyalitasnya kepada orang yang sependapat dengannya, memusuhi orang yang menyelisihinya,

    memecah belah barisan kaum muslimin, mengkafirkan, memberikan label fasik kepada orang

    yang menyelisihinya dalam masalah-masalah cabang dan ijtihad, serta menghalalkan untuk

    memerangi orang yang menyelisihinya bukan orang yang sependapat dengannya, mereka

    itulah termasuk dari golongan yang senang berpecah belah dan berselisih.3

    1Dikeluarkan oleh al-Khallal dalam as-Sunnah (1/428).

    2Abu al-Qasim at-Taimiy menyebutkan dalam bukunya al-Hujjah Fii Bayaan al-Mahajjah (2/242).

    3Majmuu al-Fataawaa (3/349).

  • 7/24/2019 Pokok-pokok Tamayyuz Salafy Sejati

    24/32

    Beliau berkata ketika menjelaskan syarat sampainya sebuah hujjah dalam suatu hukum

    bidah kepada individu tertentu: Jikalau kamu melihat ada sebuah makalah yang keliru

    bersumber dari seorang imam terdahulu maka maafkanlah, (hal itu) disebabkan (mungkin

    karena) tidak sampainya hujjah kepadanya; namun janganlah ia memaafkan bagi orang yang

    telah sampai hujjah kepadanya seperti ketika ia memaafkan orang yang pertama. Oleh karena

    itu orang yang telah sampai kepadanya hadits-hadits tentang siksa kubur dan yang semisalnya

    dihukumi dengan sebutan bidah apabila ia mengingkari sejumlah hadits tersebut. Aisyah

    dan orang yang semisal dengannya dari orang-orang yang tidak mengetahui bahwa orang-

    orang mati dapat mendengar di alam kuburnya, (mereka) tidak dihukumi dengan label bidah.

    Inilah pokok yang agung maka renungilah karena hal itu amat bermanfaat.1

    Barangsiapa yang pokok pertamanya yaitu sumber pengambilan- sesuai lalu ia

    tergelincir ke dalam jurang kebidahan setelah itu, maka orang yang seperti ini tidak diberikan

    hukum tersebut melainkan setelah terpenuhi syarat-syaratnya dan hilang penghalang-

    penghalangnya. Adapun orang yang terdapat celaan pada pokok pertamanya, maka orang yang

    seperti ini secara langsung diberikan hukum tersebut kepadanya. Karena pada asalnya orang

    tersebut tidak berpegang teguh dengan sunnah sehingga ia pun digelari dengan sebutan

    tersebut. Oleh karena itu kamu dapati dahulu para imam salaf mereka menyifati orang-orang

    yang berpegang dengan konsep mutazilah atau asyairah bahwa ia adalah seorang mutazilah,

    seorang qadariyyah, seorang asyariy dan selainnya.

    Janganlah difahami tentang pensyaratan (agar) terpenuhinya syarat-syarat dan

    hilangnya penghalang-penghalang dalam menghukumi individu tertentu dengan sebutan bidah

    (adalah) bahwasanya kami berdiam diri dari kebidahan tersebut, serta tidak menjelaskan

    kesesatannya, karena bidah itu sendiri sebenarnya tertolak secara mutlak, manusia diberikan

    peringatan darinya, tidak dilihat siapa yang mengatakannya dan tidak pula (dilihat)

    kedudukannya (di tengah-tengah manusia), sekiranya kami mendiamkan kebidahan tersebut

    maka sungguh agama Allah akan menjadi samar bagi sebagian manusia, sehingga mereka akan

    mengira bahwa bidah itu adalah sunnah.

    1Majmuu al-Fataawaa (6/61).

  • 7/24/2019 Pokok-pokok Tamayyuz Salafy Sejati

    25/32

    Keadaan kami yang memberikan peringatan dari kebidahan itu tidak serta merta

    menghukumi pelakunya sebagai seorang mubtadi (pelaku kebidahan); sehingga terpenuhi

    padanya syarat-syaratnya dan hilang darinya berbagai penghalangnya sebagaimana telah

    berlalu penjelasannya tentang orang yang sumber pengambilannya sesuai dengan sumber

    pengambilan yang dipakai oleh para imam salaf.

    Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin mengatakan: Adapun ketergelinciran

    dalam masalah akidah (keyakinan), jika ketergelincirannya itu menyelisihi jalannya generasi

    salaf, maka tidak dipungkiri itu merupakan kesesatan yang tidak lagi diragukan, namun

    pelakunya tidak dihukumi dengan kesesatan sampai tegak hujjah padanya. Apabila telah tegak

    hujjah padanya, ia masih saja terlarut dalam ketergelinciran dan kesesatannya itu, maka (pada

    saat itu) ia adalah seorang mubtadi lantaran ia telah menyelisihi kebenaran.1

    Jika dikatakan: Di sana ada pemisah antara dua bab (yaitu) Takfir (mengkafirkan) dan

    Tafsiq (memfasikkan), serta antara bab Tabdi (membidahkan), maka bab takfir dan tafsiq ini

    disyaratkan padanya tegaknya hujjah. Adapun bab tabdi tidak disyaratkan hal tersebut.

    Dijawab: Di sana tidak ada pemisah antara ketiga bab ini dari aspek syariat; karena

    semuanya dibangun di atas dalil ancaman.

    Turunnya dalil ancaman kepada individu tertentu maka harus terpenuhi syarat-syarat

    padanya dan hilang darinya berbagai penghalangnya.

    Sebagaimana bahwa setiap bab dari bab-bab ini terdapat hukum-hukum yang dilegalkan

    bagi setiap orang yang telah pantas menyandang salah satu dari ketiga nama ini.

    Seorang kafir tidak dishalati jenazahnya, tidak pula dikuburkan di pekuburan kaum

    muslimin dan selain itu dari hukum-hukum yang berkaitan dengan orang yang telah pantas

    menyandang label kufur.

    Pelaku kebidahan diberi hukuman, didiamkan, ditinggalkan, diboikot dan yang semisal

    itu dari hukum-hukum yang berkaitan dengan orang yang telah pantas menyandang kata

    bidah.

    Apapun keadaannya, maka bentuk penyelisihan itu apabila datangnya dari seseorang

    bisa jadi ia berada pada aspek yang dapat ditolerir atau bisa pula tidak.

    1Kitab al-Ilmi(hal. 135).

  • 7/24/2019 Pokok-pokok Tamayyuz Salafy Sejati

    26/32

    Abu al-Abbas Ibnu Taimiyyah menetapkan bahwa tidak adanya pembedaan antara

    bab takfir, tafsiq dan tabdi, beliau mengatakan: Sesungguhnya yang dimaksud di sini hanyalah

    bahwa apa saja yang telah nyata keburukannya berupa bentuk-bentuk kebidahan dan bukan

    kebidahan maka ia termasuk perkara yang dilarang di dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, atau

    menyelisihi Al-Qur`an dan As-Sunnah apabila hal ini datangnya dari seseorang maka terkadang

    ia berada pada aspek yang dapat ditolerir, baik itu disebabkan ijtihad atau taklid yang dapat

    ditolerir, atau bisa jadi karena ketidakmampuannya (memahami nash), sebagaimana yang

    telah saya nyatakan pada selain pembahasan ini. Dan saya pun telah menegaskan tentang

    pokok pengkafiran dan pemfasikkan itu dibangun di atas dalil ancaman.

    Karena nash-nash ancaman yang ada dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, serta

    keterangan-keterangan para imam tentang masalah takfir, tafsiq dan yang semisal itu, tidak

    mengharuskan kepastian (terjadinya) dari nash ancaman itu kepada individu tertentu, namun

    (itu semua terjadi) apabila syarat-syaratnya telah terpenuhi dan hilang penghalang-

    penghalangnya. Tidak ada perbedaan dalam hal tersebut antara masalah-masalah pokok dan

    cabang, ini tentang adzab akhirat; karena orang yang berhak mendapat ancaman berupa

    siksaan Allah, laknat dan kemurkaan-Nya (ada) di negeri akhirat (baik) ia kekal dalam neraka,

    ataupun tidak kekal. Dan nama-nama dari contoh ini berupa kekufuran dan kefasikan, (semua)

    masuk dalam kaidah ini baik hal itu disebabkan oleh bidah itiqad (keyakinan), atau ibadah,

    ataupun disebabkan perbuatan fajir ketika di dunia yaitu kefasikan dalam amalan.

    Adapun hukum-hukum di dunia maka seperti itu pula keadaannya; karena berjihad

    memerangi orang-orang kafir wajib untuk mendahulukan dakwah kepada mereka; karena tidak

    ada siksa melainkan terhadap orang yang telah sampai kepadanya risalah islam, demikian pula

    hukuman terhadap orang-orang fasik tidaklah terjadi melainkan setelah tegaknya hujjah.1

    Inti Permasalahan:

    Bahwa celaan dan hukum kebidahan yang dialamatnya kepada individu tertentu

    terkadang ditunda; disebabkan luputnya sebuah syarat atau dikarenakan adanya penghalang

    yang menghalangi, meskipun disertai konsekuensi yang mengharuskannya.

    1Majmuu al-Fataawaa (10/371-372).

  • 7/24/2019 Pokok-pokok Tamayyuz Salafy Sejati

    27/32

    Hanya saja seseorang itu tercela apabila telah tampak baginya kebenaran, atau ia

    meremehkan dalam pelaksanaannya, atau berpaling dari kebenaran tersebut karena mengikuti

    hawa nafsu atau yang semisalnya.

    Asal permasalahan ini adalah: bahwa hukum khithab (topik pembicaraan); apakah

    hukum tersebut benar-benar terjadi pada setiap mukallaf sebelum sampai kepadanya hujjah

    risalah?

    Yang paling nyata adalah bahwa hukum khithab tidak akan terjadi melainkan setelah

    sampainya hujjah risalah; berdasarkan firman Allah :

    Supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang telah

    sampai Al-Quran (kepadanya). (Q.S. Al-Anam: 19).

    Allah berfirman:

    Dan Kami tidak akan menghukum sebelum Kami mengutus seorang rasul. (Q.S. Al-Israa`: 15).

    Allah berfirman:

    Agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul

    itu. (Q.S. An-Nisaa`: 165).

    Termasuk perkara yang wajib untuk diketahui adalah bahwa tidak semua orang yang

    berijtihad dan beristidlal (mengambil pendalilan hukum) memiliki kekokohan dalam

    mengetahui al-haq (kebenaran) dan sampai kepadanya. Tidaklah ada yang berhak

    mendapatkan ancaman melainkan orang yang meninggalkan perintah dan mengerjakan yang

  • 7/24/2019 Pokok-pokok Tamayyuz Salafy Sejati

    28/32

    dilarang; karena jika seseorang berijtihad dan berdalil lalu ia bertakwa kepada Allah sekedar

    kemampuannya maka ini merupakan perkara yang telah Allah bebankan kepadanya.

    Inilah pendapat para ahli fikih dan para imam, serta ini merupakan pendapat yang

    terkenal dari pendahulu umat ini.1

    Termasuk perkara yang akan menambah suatu permasalahan dan menguatkannya

    secara jelas adalah perbuatan sebagian ulama bersama sebagian ahlussunnah lainnya yang

    mana di antara mereka ada yang tergelincir dalam beberapa penyelisihan sebagian perkara

    yang bersifat prinsip (pokok).

    Di antara penyelisihan prinsip tersebut adalah apa yang terjadi pada Ibnu Khuzaimah

    dalam masalah shurah (bentuk); yang telah ditegaskan oleh al-Imam Ahmad tentang

    permasalahan tersebut: Barangsiapa yang mengatakan: Sesungguhnya Allah menciptakan

    Adam sesuai dengan shurah (bentuk) Adam maka ia adalah seorang Jahmiy (pengikut Jahm bin

    Shafwan).2

    Abu al-Abbas Ibnu Taimiyyah mengatakan tentang hadits shurah: Hadits ini tidak

    ada silang pendapat di antara salaf generasi kurun yang tiga bahwa dhamirnya (kata ganti)

    kembali kepada Allah.3

    Maka masalah ini -yakni hadits shurah- telah terjadi kesepakatan ulama salaf padanya

    dan keabsahannya telah dikenal dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, bahwa itu merupakan pokok

    di antara pokok-pokok ahlussunnah wal jamaah, bersamaan hal itu al-Imam Ibnu Khuzaimah

    tergelincir dalam pengingkaran dan penakwilan terhadap hadits tersebut, namun para imam

    tidak mengeluarkan beliau dari manhaj salaf, serta mereka pun tidak menyandarkan beliau

    kepada kebidahan dengan sebab penyelisihan ini.

    Al-Hafizh Adz-Dzahabiy memberikan pembelaan terhadap Ibnu Khuzaimah : Ibnu

    Khuzaimah memiliki keagungan dalam jiwanya dan kemuliaan dalam hatinya, karena ilmu

    dan agamanya, mengikuti sunnah dan bukunya tentang masalah tauhid berupa satu jilid besar,

    1Lihat Majmuu al-Fataawaa (19/213).

    2Thabaqaat al-Hanaabilah karya Ibnu Abi Yala (2/236).

    3Bayaan Talbiis al-Jahmiyyah (6/373).

  • 7/24/2019 Pokok-pokok Tamayyuz Salafy Sejati

    29/32

    namun beliau (tergelincir) menakwilkan hadits shurah, maka berilah udzur (keringanan)

    kepada orang yang telah menakwilkan sebagian sifat.

    Adapun para salaf mereka tidak berbicara panjang lebar tentang masalah takwil.. kalau

    sekiranya setiap orang yang keliru dalam ijtihadnya padahal keimanannya benar, serta

    keinginannya dalam mengikuti al-haq (kebenaran)- lantas kita tinggalkan dan kita berikan

    stempel kebidahan padanya, maka sungguh sedikit sekali dari kalangan para imam kita yang

    selamat dari hal tersebut.1

    Termasuk perkara yang menguatkan ucapan yang telah lalu adalah apa yang dinukilkan

    oleh al-Imam Ibnu Taimiyyah tentang Abu al-Hasan Muhammad bin Abdul Malik al-Kurjiy

    asy-Syafiiy2

    dalam bukunya diberi nama Al-Fushuul fii al-Ushuul an al-Aimmah al-Fuhuul

    Ilzaaman li Dzawii al-Bida wa al-Fudhuul3: Tentang penakwilan syaikh Abu Ahmad

    Muhammad bin Aliy al-Faqih al-Kurjiy seorang imam yang dikenal dengan al-Qashshab4

    (penjagal) terhadap ayat-ayat dan kabar-kabar yang datang berkenaan dengan perasaan mayit

    terhadap siksa dan beliau bersikap berlebih-lebihan dalam bukunya yang dikenal dengan

    Nukat Al-Qur`an, beliau berpendapat bahwa mayit setelah pertanyaan (di alam kubur) ia

    tidak merasakan lamanya tinggal dalam Barzakh dan tidak pula merasakan siksa.

    Maka kita katakan: Ini merupakan takwil yang ia (Abu Ahmad al-Kurjiy ini) bersendirian

    dengan takwil tersebut, para imam tidak ada yang mengikuti (pendapatnya itu) dan pendapat

    tersebut bukanlah yang dipegang oleh mayoritas para ulama, serta ia bersendiri dengan

    1Siyar Alaam an-Nubalaa`(14/374-375).

    2 Muhammad bin Abdul Malik bin Muhammad bin Umar al-Kurjiy Abu al-Hasan, berkata Ibnu as-Samaniy:Seorang imam, wara, faqih, mufti, muhaddits. Lahir tahun 458 H wafat tahun 532 H.

    Lihat Syadzaraat adz-Dzahab karya Ibnu al-Imad al-Hanbaliy (4/100).3

    Ibnu Katsir mengatakan: Kitab al-Fushuul fii Itiqaad al-Aimmah al-Fuhuul.Di dalam buku tersebutdihikayatkan berbagai ucapan tentang pokok-pokok akidah dari para imam salaf yang sepuluh: keempat imam,

    Sufyan ats-Tsauriy, al-Auzaiy, Ibnu al-Mubarak, al-Laits, Ishaq bin Rahawaih. Syadzaraat adz-Dzahab karya

    Ibnu al-Imad al-Hanbaliy (4/100).4

    Muhammad bin Aliy bin Muhammad al-Kurjiy Abu Ahmad dikenal dengan sebutan penjagal karena banyak

    mengalirkan darah orang-orang kafir dalam beberapa peperangan, adz-Dzahabiy mengatakan: Aku tidak dapat

    mengalahkannya dengan wafatnya, seakan-akan ia tetap ada hingga mendekati enam puluh sampai tiga ratus

    orang.

    Lihat Tadzkirah al-Huffazh karya adz-Dzahabiy (3/938-939).

  • 7/24/2019 Pokok-pokok Tamayyuz Salafy Sejati

    30/32

    permasalahan-permasalahan yang tidak dapat memberikan pengaruh buruk, serta tidak pula

    dapat menodai derajat mereka.1

    Aku (penulis) menutup (pembahasan ini) dengan sebuah penukilan dari al-Imam Ibnu

    Taimiyyah; di mana beliau mengatakan: Barangsiapa yang menyelisihi Al-Qur`an yang

    jelas dan As-Sunnah yang telah tersiar luas, atau (menyelisihi) perkara yang telah disepakati

    oleh para pendahulu umat ini dengan sebuah penyelisihan yang tidak diberikan udzur padanya,

    maka orang ini diperlakukan sebagaimana pelaku kebidahan diperlakukan.2

    Poin penutup pembahasan ini adalah peringatan terhadap suatu perkara yaitu:

    Bahwa telah datang dari sebagian para imam salaf tentang pemutlakan klaim bidah

    kepada sebagian orang yang menyelisihi tanpa melihat kepada keadaannya, apakah telah

    sampai hujjah kepadanya ataukah belum?

    Pernyataan-pernyataan ini (yang datang) dari sebagian imam para salaf terhitung

    sebagai perkara-perkara individu yang tidak diambil darinya suatu hukum yang bersifat umum;

    berdasarkan satu kaidah yang masyhur: Apabila telah valid (sah) suatu kaidah umum maka

    pertentangan dari perkara (yang bersifat) individu dan hikayat-hikayat (dari) berbagai keadaan

    tidak akan berpengaruh terhadapnya.; hal itu dikarenakan bahwa urusan-urusan (yang

    bersifat) individu itu memiliki kemungkinan.

    Berdasarkan hal ini maka pernyataan para imam salaf dibawa kepada kondisi bahwa

    perkara tersebut keluar sebagai khitab (topik pembicaraan) kepada individu tertentu yang telah

    mereka ketahui keadaannya, serta telah sampai hujjah kepadanya.

    Abu al-Abbas Ibnu Taimiyyah dalam satu pembicaraannya tentang hukum terhadap

    pelaku kebidahan beliau mengatakan: Banyak sekali jawaban dari al-Imam Ahmad dan selain

    beliau dari kalangan para imam yang keluar dari sebuah pertanyaan seorang penanya yang

    keadaan pihak yang ditanyakan itu telah diketahui, atau (jawaban tersebut) keluar sebagai

    khitab (topik pembicaraan) terhadap individu tertentu yang telah diketahui keadaannya, maka

    penjelasannya sesuai dengan permasalahan individu yang bersumber dari Rasulullah ,

    1Bayaan Talbiis al-Jahmiyyah (6/398-406).

    2Majmuu al-Fataawaa (4/172-173).

  • 7/24/2019 Pokok-pokok Tamayyuz Salafy Sejati

    31/32

    sesungguhnya hukum permasalahan itu hanya sah pada kejadian yang semisal dengan

    permasalahan tersebut saja.1

    1Majmuu al-Fataawaa (24/213).

  • 7/24/2019 Pokok-pokok Tamayyuz Salafy Sejati

    32/32

    PENUTUP PEMBAHASAN

    Aku memuji Allah agar Dia memberikan taufik kepadaku untuk menyempurnakan

    pembahasan ini tanpa daya dan upaya dariku, serta aku juga memohon kepada-Nya agar

    memberikan manfaat kepadaku dan kaum muslimin dengan pembahasan ini. Aku telah

    mencurahkan usahaku untuk mengeluarkannya secara ringkas namun sesuai dengan kaidah-

    kaidah ahli ilmu.

    Aku menyebutkan di sini intisari kaidah-kaidah dari pembahasan ini, sebagaimana yang

    akan datang di bawah ini:

    Kaidah Pertama: Sumber pengambilan menurut para imam salaf adalah Al-Qur`an, As-

    Sunnah dan Ijma.

    Kaidah Kedua: Setiap orang yang menyelisihi salaf dalam sumber pengambilan maka ia

    termasuk pengekor hawa nafsu dan kebidahan.

    Kaidah Ketiga: Tidak ada Ijma yang sah melainkan kesepakatan yang terjadi di era tiga

    generasi yang utama.

    Kaidah Keempat: Suatu jamaah itu dibangun di atas sebuah pokok landasan yaitu

    berpegang teguh dengan perkara yang dijalani oleh para sahabat.

    Kaidah Kelima: Setiap masalah yang telah tersebar luas kesesuaiannya terhadap Al-

    Qur`an dan As-Sunnah, serta Ijma maka terhitung sebagai sebuah prinsip dari prinsip-prinsip

    (pokok) ahlussunnah wal jamaah.

    Kaidah Keenam: Menyelisihi satu pokok dari pokok-pokok ahlussunnah wal jamaah

    merupakan perbuatan bidah.

    Kaidah Ketujuh: Memegang sebuah perkara yang telah tersebar luas penyelisihannya

    terhadap Al-Qur`an dan As-Sunnah, serta Ijma merupakan perbuatan bidah.

    Kaidah Kedelapan: Individu tertentu terkadang tertunda hukum bidah terhadapnya;

    dikarenakan luputnya sebuah syarat, atau karena adanya suatu penghalang, meskipun disertai

    adanya konsekuensi yang mengharuskan (hukum tersebut jatuh kepadanya).