permendikbud no 111 analisis rev 2014
DESCRIPTION
permendikbudTRANSCRIPT
Analisis Permendikbud No. 111 Tahun 2014
Tentang Bimbingan dan Konseling pada Pendidikan Dasar dan Menengah
Sebagai Langkah Awal Sistem Konseling Pendidikan Nasional
ACHMAD BADARUDDIN Dewan Pertimbangan Organisasi Pengurus Pusat
Ikatan Mahasiswa Bimbingan dan Konseling Indonesia Padang, 18 November 2014
Cp. 08526 3456 419, 08977171570 [email protected]
achmad-badaruddin.blogspot.com Pin BB. 7EA20928
ANALISIS
PERMENDIKBUD NO 111 TAHUN 2014
TENTANG
BIMBINGAN DAN KONSELING
PADA PENDIDIKAN DASAR DAN PENDIDIKAN MENENGAH
A. Perundangan
Perundang-undangan (legislation atau gesetzbung) dalam Aziz (2011: 13)
mempunyai dua pengertian berbeda, yaitu:
1. Perundang-undangan sebagai sebuah proses pembentukan atau proses
membentuk peraturan-peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun di
tingkat daerah;
2. Perundang-undangan sebagai segala peraturan negara, yang merupakan hasil
proses pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat pusat maupun di
tingkat daerah.
Dengan demikian perundang-undangan memiliki hirarki. Norma hukum
berjenjang-jenjang, berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan. Suatu norma
hukum selalu berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma hukum di atasnya, tetapi
ke bawah norma hukum itu juga menjadi sumber/dasar bagi norma hukum di
bawahnya (Hans Kelsen dalam Aziz, 2011: 17).
Adapun jenis & hirarki peraturan perundang-undangan yang dicantumkan pada
pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004 adalah:
1. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
3. Peraturan Pemerintah
4. Peraturan Presiden
5. Peraturan Daerah
Walaupun demikian, peraturan dan keputusan menteri juga diakui keberadaannya.
Hal ini tertera secara implisit pada pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004, yaitu
“Jenis peraturan perundang-undangan lain selain sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Dalam
penjelasan pasal demi pasal dijelaskan jenis peraturan perundang-undangan selain
ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh MPR dan DPR, DPD, MA,
MK, BPK, Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga atau Komisi yang
setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah UU,
DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa
atau setingkat.
Sementara pada pasal 56 UU No. 10 Tahun 2004 memaparkan bahwa semua
keputusan keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Menteri, Keputusan
Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana
yang dimaksud pada pasal 54 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum UU
ini, harus dibaca peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini.
Apabila dilihat dari peraturan tersebut, materi tersebut juga mengandung hirarki
yang dijadikan dasar pembagian. Hal ini juga didukung oleh Aziz (2011: 112) bahwa
pembagian materi pokok ke dalam kelompok yang lebih kecil dilakukan kriteria yang
dijadikan dasar pembagian, yaitu:
1. Pembagian berdasarkan hak atau kepentingan yang dilindungi
2. Pembagian berdasarkan urutan/kronologis
3. Pembagian berdasarkan urutan jenjang jabatan
Maka disimpulkan bahwa perundangan memiliki hirarki/tingkatan/urutan
termasuk materi perundangannya.
Penjelasan tersebut dirincikan pada peraturan perundang-undangan yang
merupakan peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang dan mengikat secara umum, yakni UU No 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Hal ini dibahas untuk mengidentifikasi peraturan yang akan dibahas, yaitu
Permendikbud No. 111 Tahun 2014. Peraturan tersebut dikeluarkan oleh lembaga
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Berdasarkan penjelasan sebelumnya,
maka peraturan menteri tersebut berada di bawah UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Presiden.
Agar permendikbud tersebut diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi. Apabila dilihat dari konsiderans yang telah ditandatangani tersebut,
perundang-undangan yang lebih tinggi yang dimaksud, yakni:
1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32
Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5410);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 194, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4941);
4. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan
Organisasi Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 13 Tahun 2014;
5. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Susunan Organisasi, dan Tata kerja Kementerian Negara Republik Indonesia
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden
Nomor 14 Tahun 2014;
B. Landasan Hukum Bimbingan dan Konseling
Meskipun perundangan yang lebih tinggi yang dijadikan landasan dalam
Permendikbud No. 111 Tahun 2014, sebenarnya masih ada peraturan yang lebih
tinggi lainnya yang berkaitan dengan bimbingan dan konseling terabaikan seperti:
1. UU No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen
2. Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 2008 tentang guru
Kemudian peraturan lain yang menjadi pertimbangan dalam konsiderans
permendikbud ini sebagai berikut:
1. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 27 Tahun 2008 tentang
Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor;
2. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 54 Tahun 2013
tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah;
3. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 64 Tahun 2013
tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah;
4. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 57 Tahun 2014
tentang Kurikulum 2013 Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah;
5. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 58 Tahun 2014
tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Pertama/Madrasah
Tsanawiyah;
6. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 59 Tahun 2014
tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah;
7. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 60 Tahun 2014
tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah
Kejuruan;
Sementara masih ada beberapa peraturan lain yang secara ekspilisit terabaikan,
yaitu:
1. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Jabatan Fungsional Guru Dan Angka Kreditnya
2. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 81 A tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum 2013
C. Kajian terhadap peraturan Bimbingan dan Konseling pada Pendidikan Dasar
dan Pendidikan Menengah
1. Konselor pada Pendidikan Dasar dan Menengah
Dalam Permendikbud No. 111 Tahun 2014 menjelaskan bahwa Permendiknas
Nomor 27 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi
Konselor yaitu Sarjana Pendidikan (S-1) dalam bidang bimbingan dan konseling dan
telah lulus Pendidikan Profesi Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor. Padahal
secara jelas dalam peraturan SKAKK tersebut tidak menyebutkan sedikitpun tentang
Pendidikan Profesi Guru Bimbingan dan Konseling melainkan Konselor. Kelemahan
dalam aturan tentang SKAKK tersebut adalah disebutkannya penyelenggara
pendidikan yang satuan pendidikannya mempekerjakan konselor wajib menerapkan
standar kualifikasi akademik dan kompetensi konselor sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri paling lambat 5 tahun setelah Peraturan Menteri ini mulai berlaku.
Dengan kata lain, satuan pendidikan yang tidak mempekerjakan Konselor, tidak wajib
menerapkan standar kualifikasi tersebut. Hal ini berarti satuan pendidikan yang
mempekerjakan Guru Bimbingan dan Konseling tidak wajib menerapkan standar
kualifikasi akademik dan kompetensi konselor. Di samping itu, standar kualifikasi
yang dimaksud adalah konselor untuk satuan pendidikan bukanlah konselor umum.
Karena konsiderans Permendikbud tentang SKAKK tersebut mengacu kepada
peraturan pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Kompetensi yang dimaksud dalam peraturan tersebut adalah kompetensi pedagogi,
pribadi, sosial dan profesional. Kemudian Kualifikasi Konselor adalah tamatan S1 BK
ditambah telah menyelasaikan PPK. Kompetensi tersebut ternyata hanya
diperuntukkan pendidik pada satuan pendidikan anak usia dini, dasar dan menengah
saja. Sementara dalam Pedoman Dasar Standardisasi Profesi Konseling yang
diterbitkan DIRJEN DIKTI pada tahun 2004, Program Pendidikan Profesi Konselor,
tujuan tamatan PPK pada program Spesialis I adalah Konselor Umum. Jelaslah, ini
tidak sesuai. Apabila kita kutip secara langsung, dapat dilihat dari Pasal 28 pada
Standar Nasional Pendidikan tersebut sebagai berikut: Kompetensi sebagai agen
pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak
usia dini meliputi: a. Kompetensi pedagogik; b. Kompetensi kepribadian; c.
Kompetensi profesional; dan d. Kompetensi sosial.
Dengan demikian, penggunaan istilah guru sebagai pelaksana konseling adalah
salah satu kerancuan, yaitu bahasa. Hal ini terkesan konseling adalah mata pelajaran.
Sementara konseling itu tidak mengajar. Seharusnya mata pelajaran itu sejajar dengan
mata layanan atau biasanya dikenal dengan jenis layanan. Lagipula menurut ABKIN
(2008: 14) bahwa UU Nomor 14 tahun 2005 yang hanya mengatur keberadaan guru
dan dosen yang, sesuai dengan peruntukannya, hanya mengatur kompetensi dan
sertifikasi guru dan dosen, yang keduanya menggunakan materi pembelajaran sebagai
konteks layanan pembelajaran sebagai konteks layanan pembelajaran yang mendidik.
Sementara guru Bimbingan dan Konseling berkewajiban melakukan kegiatan
yang menjadi tanggung jawabnya seperti yang tercantum di PERMENPAN No. 16
Tahun 2009 tentang Hak dan Kewajiban Guru dalam jabatan Fungsional, yaitu:
a. menyusun kurikulum bimbingan dan konseling;
b. menyusun silabus bimbingan dan konseling;
c. menyusun satuan layanan bimbingan dan konseling;
d. melaksanakan bimbingan dan konseling per semester;
e. menyusun alat ukur/lembar kerja program bimbingan dan konseling;
f. mengevaluasi proses dan hasil bimbingan dan konseling;
g. menganalisis hasil bimbingan dan konseling;
h. melaksanakan pembelajaran/perbaikan tindak lanjut bimbingan dan
konseling dengan memanfaatkan hasil evaluasi;
i. menjadi pengawas penilaian dan evaluasi terhadap proses dan hasil belajar
tingkat sekolah dan nasional;
j. membimbing guru pemula dalam program induksi;
k. membimbing siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler proses pembelajaran;
l. melaksanakan pengembangan diri;
m. melaksanakan publikasi ilmiah; dan
n. membuat karya inovatif.
Namun dalam PERMANPAN tersebut tidak diperinci kegiatan untuk konselor.
Selain itu, dalam PERMENPAN tersebut, Beban kerja Guru bimbingan dan
konseling/konselor adalah mengampu bimbingan dan konseling paling sedikit 150
(seratus lima puluh) peserta didik dalam 1 (satu) tahun. Kemudian Konselor dapat
dikatakan sebagai guru. Hal ini diperkuat dalam PERMENPAN tersebut pada pasal 3
yang mengklasifikasikan guru menjadi 3 jenis, yakni guru kelas, guru mata pelajaran
dan Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor.
Namun dalam UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 6, menyatakan
konselor itu berbeda dengan guru. Jika dikutip langsung bahwa Pendidik adalah
tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong
belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan
kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Dengan
demikian jelas konselor tidak termasuk golongan guru seperti tenaga kependidikan
yang lainnya. Seperti dosen bukanlah guru. Pamong belajar bukanlah guru. Dan
begitu seterusnya. Namun sama-sama dapat disebut sebagai pendidik. Berarti
pemerintah belum konsisten dalam mengidentifikasi konselor.
Secara terminologi, konselor dalam KBBI Umi & Windy (2006) adalah
penasehat, orang yang memberi advis, anggota perwakilan di luar negeri,
kedudukannya di bawah duta besar dan bertindak sebagai pembantu utama kepala
perwakilan. Dalam permendikbud ini dan secara teori, konselor adalah sosok
profesional yang memiliki keahlian dalam bidang konseling. Sementara menurut
Prayitno (2004: 105), konseling dirumuskan dari berbagai teori sebagai proses
pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli
kepada individu yang sedang mengalami sesuatu masalah yang bermuara pada
teratasinya masalah tersebut. Seorang ahli yang dimaksud adalah konselor. Dewasa
ini, konseling yang dimaksud dalam konseling integritas adalah pelayanan bantuan
oleh tenaga profesional kepada seseorang atu sekelompok individu untuk
pengembangan kehidupan efektif sehari-hari dan penanganan kehidupan efektf sehari-
hari yang terganggu dengan fokus pribadi mandiri yang mampu mengendalikan diri
melalui penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung dalam
proses pembelajaran. Jadi, menurut Prayitno, Konselor adalah tenaga ahli/profesional
yang memberikan pelayanan bantuan berupa pelayanan dan kegiatan pendukung
dalam peningkatan kualitas hidup, mengentaskan permasalahan kehidupan,
meningkatkan kemandirian, dan memantapkan pengendalian diri kepada seseorang
atau sekelompok orang yang membutuhkannya sebagai proses pembelajaran.
Dalam kode etik profesi konseling di Indonesia, Profesi konseling merupakan
usaha pelayanan terhadap sesama manusia dalam rangka ikut membina warga negara
yang bertanggung jawab dan tuntutan profesi mengacu kepada kebutuhan dan
kebahagiaan klien sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Sementara menurut
ACA, praktik konseling profesional adalah aplikasi kesehatan mental, prinsip-prinsip
psikologis atau perkembangan manusia, melalui intervensi kognitif, afektif, perilaku,
atau sistemik; strategi untuk menangani kesejahteraan, pertumbuhan pribadi, atau
perkembangan karier, serta kelainan. Selain mendefinisikan konseling secara umum,
ACA dalam Gladding (2012: 8) juga mendefinisikan spesialisasi konseling
profesional, yang merupakan bidang dalam konseling yang memiliki fokus lebih
tajam dan membutuhkan pengetahuan lebih mendalam di bidang konseling.
Apapun definisi konseling yang akan digunakan, tetap saja definisi yang akan
digunakan dalam peraturan ini seharusnya mempertimbangkan peraturan diatasnya,
seperti UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003, bahwa orang yang
berkualifikasi konselor dapat bekerja sebagai tenaga pendidik. Meski tidak disebutkan
harus berkualifikasi konselor spesialis pendidikan, maka definisi dan tujuan konseling
pada ranah pendidikan disesuaikan dengan definisi dan tujuan pendidikan nasional itu
sendiri yang tertuang pada undang-undang tersebut dengan pengertian pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara. Sementara pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Sehingga konseling pendidikan di Indonesia dapat didefinisikan sebagai
pelayanan profesional oleh konselor pendidikan kepada peserta didik sebagai konseli
melalui program layanan yang dimanajemen sedemikian rupa sebagai penerapan
prinsip-prinsip berbagai disiplin ilmu terutama psikologi, sosiologi, antropologi,
biologi dan pedagogi yang berdasarkan kebutuhan dan perkembangan peserta didik
secara sistematis, berkesinambungan dan mutakhir yang terintegrasi dalam kurikulum
pendidikan agar dapat mengembangkan kemampuan dan membentuk watak peserta
didik; agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara;
dan agar peserta peserta didik menjadi manusia yang sehat, berilmu, cakap, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dengan kata
lain, konselor juga dapat dijadikan indikator atau evaluator keberhasilan tujuan
pendidikan nasional terhadap peserta didik di masing-masing satuan pendidikan.
Jika diperhatikan dari hakikatnya, konseling pendidikan adalah andalan utama
revolusi mental yang dicanangkan oleh Presiden dan Wakil Presiden Periode 2014-
2019 dimana inti dari revolusi mental adalah sehat, cerdas dan budi pekerti. Dengan
demikian, pemerintah dapat memberdayakan konselor pendidikan tersebut sebagai
komponen utama dalam revolusioner pada revolusi mental dengan membantu untuk
meningkatkan kapasitas konselor dan membuka kesempatan seluas-luasnya disertai
fasilitas yang cukup, posisi/jabatan yang tepat dan kompensasi yang memadai dalam
penyelenggaraan konseling di Indonesia terutama di bidang pendidikan. Sehubungan
dengan itu, kesejahteraan konselor pendidikan juga menjadi penentu kualitas layanan
nanti sehingga perlu diperhatikan sesuai tanggung jawab yang diberikan.
Untuk istilah klien & konseli, sebagai penerima pelayanan konseling akan lebih
cocok mengunakan istilah “konseli” di Indonesia. Sebab pada kamus besar Bahasa
Indonesia, konseli adalah orang yang mencari (membutuhkan) advis atau nasihat
(konseling) sedangkan klien adalah pembeli, pelanggan; orang yang mendapatkan
bantuan hukum dari seseorang pengacara.
2. Pendidikan Profesi Konselor
Di lain hal, munculnya istilah guru BK dan Konselor secara bersamaan di
peraturan ini, jelas hanya mempertahankan kerancuan dan berusaha menyenangkan
beberapa pihak. Seharusnya pada peraturan ini dapat menegaskan apa istilah yang
akan dipakai, guru BK atau Konselor. Karena pada hakikatnya tidak ada perbedaan
yang signifikan. Perbedaan yang mencolok hanya pada istilah, gelar dan orientasi
karir. Tugas dan wewenang keduanya adalah sama seperti yang dibahas sebelumnya.
Perlu adanya ketegasan mengenai profesi ini.
Apabila merujuk kepada Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2012 tentang
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia dan Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia No.73 Tahun 2013 tentang Penerapan Kerangka
Kualifikasi Nasional Indonesia, ada 3 jenjang jenis pendidikan profesi setelah S1,
yakni Pendidikan Profesi, Pendidikan Spesialis Satu dan Pendidikan Spesialis dua.
Maka seharusnya konseling yang diadakan di sekolah dilaksanakan oleh ahlinya,
yaitu konselor pendidikan atau konselor sekolah, konselor yang telah mengikuti
pendidikan konselor spesialis. Apabila diurutkan jenjang pendidikan profesinya
adalah S1 Konseling, kemudian melanjutkan pendidikan profesi untuk gelar konselor
umum, selanjutnya menempuh pendidikan spesialis satu, yaitu spesialis pendidikan
dan terakhir spesialis dua, yaitu dengan pilihan spesialis SD, SMP/sederajat,
SMA/sederajat, dan pendidikan tinggi. Sementara Gladding (2012: 8) yang juga
mantan Ketua ACA mengemukakan spesialisasi profesi konseling di Amerika, antara
lain konseling sekolah, mahasiswa, perkawinan, kesehatan mental, rehabilitasi, lansia,
kecanduan, dan karier. Sedangkan spesialisasi menurut Dasar Standardisasi Profesi
Konseling (2004: 32), spesialisasi seperti konseling karir, konseling pendidikan,
konseling keluarga, dan konseling keagamaan. Sebaiknya spesialisasi profesi
konseling diklasifikasikan berdasarkan masalah yang dialami dalam pelbagai setting
kehidupan yang dihadapi manusia itu sendiri ataupun sasaran konseli pada bidang
tertentu, seperti konseling pendidikan, konseling kesehatan, konseling agama,
konseling sosial masyarakat, konseling ekonomi kerakyatan, konseling lintas budaya,
konseling bisnis, konseling politik, konseling hukum, hukum konseling, konseling
pertahanan, konseling keamanan, konseling internasional dan sebagainya. Menurut
ACA (Assosiasi Konselor Amerika), menjadi spesialis adalah berdasarkan premis
bahwa semua “konselor spesialis profesional harus terlebih dahulu memenuhi
persyaratan sebagai praktisi umum dalam konseling profesional”. Maka untuk
menjadi konselor spesialis pendidikan seharusnya menempuh pendidikan profesi
konselor atau menjadi konselor umum terlebih dahulu.
Namun untuk mempermudahnya, sebaiknya kewajiban untuk mengikuti
pendidikan profesi dilakukan setelah resmi diangkat sebagai PNS atau pengawai tetap
di instansi swasta. Sedangkan pendidikan spesialisasi diikuti setelah beberapa tahun
mengumpulkan angka kredit disesuaikan dengan kenaikan pangkat dan mendapatkan
rekomendasi pada instansi tempat bekerja untuk mendapat beban tanggung jawab dan
gaji yang berbeda. Begitu pula selanjutnya untuk pengambilan pendidikan spesialis
dua. Sehingga pendidikan profesi yang diikuti lebih bermanfaat dan sinkron dengan
pekerjaan yang digeluti. Sebab apabila seseorang yang lulus pendidikan profesi
ataupun spesialis belum tentu bekerja sesuai bidangnya. Dengan demikian, jenjang
karir profesi konseling menjadi lebih mudah, tertata dan terarah.
Berdasarkan peraturan menyangkut KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional
Indonesia) tersebut, mesti tegas mana yang akan diakui PPG BK atau PPK.
Keberadaan PPG BK dapat menimbulkan kerancuan dalam spesialisasi profesi
konseling, kecuali hal ini sama dengan perbedaan yang terjadi pada Profesi Dokter
dan Profesi Dokter Gigi. Apabila PPG BK tetap diselenggarakan dan diakui
sementara PPK tidak, bagaimana dengan spesialisasi setelah PPG BK tersebut atau
bagaimana dengan pendidikan profesi konselor umum dan konselor untuk setting
kehidupan lainnya. Atau konselor pada setting lainnya diurusi oleh tamatan psikologi.
Indikasinya adalah profil lulusan S1 Psikologi yang bergelar sarjana psikologi dapat
bekerja dengan sebutan Konselor seperti yang ditetapkan dalam Surat Keputusan
Asosiasi Penyelenggara Pendidikan Tinggi Psikologi Indonesia No.
01/Kep/AP2TPI/2013 tentang Kurikulum Inti Program Studi Psikologi (S1).
Apabila dilihat profesi yang masih serumpun dengan konselor, yakni psikolog,
ada beberapa hal yang menjadi perhatian konselor agar dapat dijadikan referensi
ataupun rujukan kritis. Lebih lanjutnya, Program pendidikan profesi psikologi
menghasilkan psikolog pada program studi psikologi profesi. Sedangkan
spesialisasinya atau bidang minatnya adalah psikologi industri dan organisasi,
psikologi klinis, psikologi klinis anak, psikologi klinis dewasa, psikologi pendidikan
dan bidang minat lain yang disepakati asosiasi penyelenggara pendidikan tinggi
psikologi bersama Himpunan Psikologi Indonesia. Area pengetahuan psikologi
pendidikan adalah menunjukkan pemahaman terhadap pengetahuan dasar terutama
teori dan pendekatan terhadap belajar; menunjukkan pemahaman mengenai prinsip,
konsep dasar dan metode dalam asesmen psikologi; menunjukkan pemahaman
mengenai prinsip intervensi (konseling, psikoedukasi, dan terapi); dan mentransfer
pengetahuan psikologi pada kegiatan pendidikan dan masyarakat sesuai kode etik
Psikologi Indonesia seperti yang ditetapkan dalam Surat Keputusan Asosiasi
Penyelenggara Pendidikan Tinggi Psikologi Indonesia No. 03/Kep/AP2TPI/2013 dan
Himpunan Psikologi Indonesia No. 003/PP-Himpsi/IV/13 tentang Kurikulum
Program Studi Psikologi Profesi. Dapat disimpulkan bahwa psikologi pendidikan
sangat fokus terhadap teori dan pendekatan belajarnya. Sedangkan konseling
pendidikan yang dimaksud pada pembahasan sebelumnya tidak hanya fokus kepada
bidang belajar tetapi juga kepribadian, mental, potensi dan perkembangan peserta
didik. Ini berarti ada tumpang tindih kinerja disini. Sebaiknya pemerintah
mengeluarkan kebijakan untuk menertibkan kerancuan ini.
Untuk memperkuat profesi konseling di Indonesia, hendaknya ada kebijakan
pemerintah, yakni UU Konseling agar dapat mengadvokasi keberadaan konseling di
dunia pendidikan pada khususnya dan setting lainnya pada umumnya. Konselor
belum memiliki payung hukum yang kuat untuk tingkatan UU, sementara profesi lain
memilikinya seperti UU Guru dan Dosen, UU Keperawatan, UU Advokat, UU Profesi
Akuntan, UU Pendidikan Kedokteran, UU Praktik Kedokteran, UU Keinsinyuran, UU
kesehatan, UU Kesehatan Jiwa dan lain-lain. UU Profesi di negeri lain juga
ditemukan seperti Act 580 Counsellors Act 1998 amandamen tahun 2006 di Malaysia;
dan House Bill 2674 pada tahun 2008, H.R. 3270 (94th Congress, 1976) oleh DPR
Amerika Serikat dan Community Mental health Centers Act 1963 di Amerika Serikat.
3. Pelayanan Bimbingan dan Konseling
Program Pelayanan Bimbingan dan konseling yang dicantumkan dalam
Permendikbud No. 111 Tahun 2014 ialah layanan dasar, layanan peminatan dan
perencanaan individual, layanan responsif dan layanan dukungan sistem. Apabila
diidentifikasi satu per satu layanan tersebut, layanan tersebut dirancang tidak
berdasarkan pengklasifikasian yang jelas. Keempat layanan tersebut hanya
mempersempit area penerapan dari fungsi ataupun bidang layanan yang dijabarkan
dalam permendikbud tersebut. Layanan dasar, layanan peminatan dan perencanaan
individual dan layanan responsif akan bertabrakan dengan konsep atau materi yang
takkan lepas dari perkembangan peserta didik. Bisa saja layanan peminatan dan
perencanaan individual serta layanan responsif adalah juga bagian dari layanan dasar
yang mengembangkan kemampuan penyesuaian diri yang efektif sesuai dengan tahap
dan tugas-tugas perkembangan. Selain itu, layanan dukungan sistem yang dimaksud
adalah manajemen bukan dari pelayanan bimbingan dan konseling itu. Akan tetapi,
Penyelenggaraan layanan Bimbingan dan Konseling adalah bagian dari Manajemen
Pelayanan Bimbingan dan Konseling itu sendiri. Sebab pelaksanaan layanan BK
termasuk kategori “actuating” yang merupakan bagian dari POAC (Planning,
Organizing, Actuating, Controlling) sebagai komponen manajemen BK.
Perlu adanya taksonomi layanan bimbingan dan konseling yang jelas agar
penggolongan layanan bimbingan dan konseling tertata rapi, sistematis, praktis dan
ilmiah. Misalnya jenis layanan diklasifikasikan berdasarkan fungsi. Kemudian
diklasifikasikan berdasarkan tahap perkembangan konseli. Kemudian diklasifikasikan
berdasarkan bidang permasalahan/layanan. Lalu diklasifikasikan berdasarkan sub
bidang permasalahan/layanan. Selanjutnya Kemudian diklasifikasikan lagi
berdasarkan bentuk komunikasi dalam konseling. Setelah itu diklasifikasikan
berdasarkan pendekatan teori yang akan digunakan. Maka akhirnya ditemukanlah
nama dan profil dari layanan tersebut. Dengan demikian, pelayanan bimbingan dan
konseling benar-benar sesuai kebutuhan. Setelah pengidentifikasian konseli dan
permasalahannya, maka diidentifikasi layanan konseling yang sesuai.
Susunan pengklasifikasian berdasarkan:
1. Fungsi Layanan
Contohnya: Pencegahan, Pengembangan, Advokasi dan sebagainya
2. Tahap Perkembangan Konseli
Contohnya: Anak-anak, remaja awal, dewasa dan sebagainya
3. Bidang Permasalahan/perkembangan/layanan
Contohnya: Emosi, Kognitif, Sosial dan sebagainya
4. Sub Bidang Permasalahan/perkembangan/layanan
Contohnya: Sedih akibat kehilangan orang tua, Sulit mengingat materi
pelajaran, Dikucilkan teman sekelas, dan sebagainya
5. Status Kesehatan Mental konseli
Contohnya: Depresi
6. Bentuk layanan (Gladding, 2012: 602)
Contohnya:
a. Partisipan : perantara, individual, pasangan, kelompok, kelas dan massal
b. Lokasi : Langsung atau tidak langsung
c. Media komunikasi : tanpa media, audio, video, audiovisual, teks dan
sebagainya
d. Proses interaksi : sinkron atau tidak sinkron
7. Pendekatan teori
Contohnya: Humanistik, Behavioristik, Psikoanalisis, Pancawaskita,
Integritas, Postmodern dan sebagainya
8. Jenis Layanan
a. Nama Layanan
b. Profil/Karakteristik Layanan
c. Indikator Keberhasilan Layanan
d. Sasaran Layanan
e. Administrasi & Manajemen Layanan
Berdasarkan profil dan permasalahan konseli yang telah diidentifikasi maka dapat
dilihat dari taksonomi layanan bimbingan dan konseling tersebut untuk menemukan
jenis layanan konseling yang sesuai atau dibutuhkan. Tidak menutup kemungkinan
bahwa konseli akan membutuhkan lebih dari satu jenis layanan jika need assesment
telah dilakukan terhadap si konseli.
Dalam pengklasifikasian pelayanan bimbingan dan konseling tentunya akan lebih
tepat jika dirumuskan oleh pakar-pakar konseling yang ada di Indonesia. Bahasa dari
tata nama konseling juga dapat ditetapkan oleh pakar-pakar konseling tersebut. Bisa
saja menggunakan bahasa yang universal seperti bahasa latin, Inggris, Indonesia
ataupun salah satu bahasa daerah yang ada di nusantara yang disepakati. Dasar
pengklasifikasian yang dijabarkan tadi hanyalah permisalan dan dapat diperuntukkan
untuk konseling secara umum.
Apabila ide tersebut dapat diaplikasikan maka masalah penamaan jenis layanan ini
menjadi terentaskan tanpa memihak kepada siapapun kecuali keilmuannya. Hal ini
dapat menghindari perselisihan dalam pelaksanaan dan teknis pelayanan bimbingan
dan konseling di lapangan yang sering terjadi perdebatan antara penggunaan Pola BK
17 Plus BK Komprehensif.
4. Materi
Begitu pula halnya pengklasifikasian bidang materi hendaknya dibagi berdasarkan
tugas-tugas perkembangan. Bidang yang disebutkan dalam permendikbud ini ialah
pribadi, karir, belajar dan sosial. Bidang-bidang ini tidak jelas dibagi atau
dikelompokkan berdasarkan apa. Bukankah karir dan belajar juga dapat dimasukkan
ke dalam aspek pribadi. Keempat bidang tadi hanya mempersempit penggunaan
kompetensi yang telah dimiliki konselor yang telah di persiapkan oleh perguruan
tinggi yang kaya dengan konsep psikologi terutama psikologi perkembangan dan
kepribadian. Lain halnya jika bidang tersebut dibagi berdasarkan tugas-tugas
perkembangan konseli, misalnya menjadi bidang emosi, sosial, moral, kognitif dan
sebagainya.
5. Program
Program layanan pada permendikbud ini adalah program tahunan dan semesteran.
Apabila ditilik dari tanggung jawab guru BK yang mengemban 24 jam pelajaran per
minggunya maka apabila rata-rata konselor dapat melaksanakan kegiatan konseling
dengan 2 jam pelajaran per masing-masingnya maka ada 12 kegiatan konseling yang
dilaksanakan. Apalagi terkadang Guru BK mendapat kelebihan beban kerja
diakibatkan jumlah guru BK yang tidak sesuai dengan rasio 1: 150. Sehingga ada
kemungkinan lebih dari 12 kegiatan konseling yang dilakukan dalam seminggu. Oleh
karena itu akan lebih baik ada program tahunan, semesteran, bulanan, mingguan, dan
harian. Dengan begitu, dapat dilihat kegiatan konseling yang akan dilaksanakan baik
dari yang paling ringkas hingga yang paling rinci sekalipun untuk memudahkan
dalam memandu kegiatan konseling yang dilaksanakan nantinya.
6. Konseli, Jumlah Konselor, Pengelolaan Kegiatan dan Waktu Konseling
Berhubung konselor bukanlah guru pada hakikat sebenarnya dalam konteks
keilmuan maka calon konseli di satuan pendidik adalah peserta didik, tenaga pendidik
dan tenaga kependidikan yang ada di satuan pendidikan tersebut. Maka manajemen
pelayanan konseling di sekolah bukan hanya sekedar menangani peserta didik. Selain
itu, orang tua dari peserta didik juga mendapatkan pelayanan konseling dari konselor
pendidikan dengan topik permasalahan yang berkaitan dengan permasalahan yang
dialami peserta didik tersebut.
Selain itu, menurut peraturan yang berlaku, guru BK mengampu 150 siswa
sebagai konseli. Dengan rasio tersebut, diyakini tidak akan memenuhi seluruh
kebutuhan konseli untuk mendapatkan pelayanan bimbingan dan konseling. Apabila
assesment dilaksanakan dan beragam fungsi pelayanan konseling, maka akan tampak
kebutuhan-kebutuhan konseli untuk mendapatkan beragam layanan konseling pula.
Dengan menangani 150 siswa dengan beban kerja 24 jam pelajaran per minggu
tidaklah cukup memenuhi kebutuhan layanan konseling kepada siswa secara
individual dan menyeluruh. Pemberian 2 jam layanan untuk masuk kelas beserta
perhitungan waktu kegiatan konseling di luar kelas tersebut tidak dapat menjamin
kebutuhan-kebutuhan tersebut. Sebab konseling yang ideal tentunya dengan
memenuhi semua kebutuhan layanan konseling pada siswa yang diampu tersebut.
Maka dibutuhkkan jumlah konseli yang ideal ataupun jumlah konselor yang ideal.
Sebenarnya untuk menjawab permasalahan ini, dapat disesuaikan dengan jumlah
siswa, kelas, dan jam pelajaran yang disediakan. Sebaiknya jumlah jam pelajaran
yang digunakan untuk kegiatan/layanan konseling pada siswa adalah 3 jam pelajaran.
Karena ada beberapa kegiatan atau layanan konseling membutuhkan lebih dari 2 jam
pelajaran, contohnya layanan bimbingan/konseling kelompok, assesment dan
sebagainya. Hal ini juga mengantisipasi agar konselor mendapatkan keadilan di
satuan pendidikan, yaitu tidak ada lagi kegiatan konseling di luar jam sekolah. Bahkan
kalau perlu masing-masing siswa/kelas dapat mengikuti kegiatan/layanan bimbingan
dan konseling 2 (dua) kali seminggu seperti mata pelajaran yang dianggap penting
seperti matematika, IPA dan lain-lain. Hal ini mengingat kebutuhan konseling pada
siswa dan dominasi konseling pendidikan dalam pencapaian tujuan pendidikan
nasional yang tidak bermakna kepada pengembangan pengetahuan dan ketrampilan
saja. Walaupun demikian, 24 jam pelajaran per minggu yang diemban oleh konselor
perlu disesuaikan pula. Maka rumus menentukan untuk jumlah konselor di sekolah
adalah jumlah siswa maksimal dalam satu kelas dibagi jumlah layanan yang dapat
diikuti siswa per kelas dalam sehari dikali 6 hari jam kerja dikalikan dengan jumlah
kelas ada di sekolah tersebut. Rumusnya sebagai berikut:
�� = ���
�� × ��� × ��
Keterangan
JK = Jumlah Konselor di Sekolah
Nsx = Jumlah siswa maksimal dalam sekolah yang bersangkutan
fl = jumlah layanan yang dapat diikuti siswa per kelas dalam satu hari
Jhk = Jumlah hari yang dihitung sebagai jam kerja di sekolah
Nk = Jumlah kelas yang ada di sekolah
Apabila layanan bimbingan dan konseling dianggap lebih penting dari mata
pelajaran ataupun setidaknya tergolong penting dan berusaha mengakomodir
kebutuhan layanan konseling secara individu dan menyeluruh, maka layanan
konseling dapat dilakukan lebih dari satu kali dalam satu minggu bagi siswa per
kelasnya. Rumusnya sebagai berikut:
�� = �� × ���
�� × ��� × ��
Keterangan
JK = Jumlah Konselor di Sekolah
Nsx = Jumlah siswa maksimal dalam sekolah yang bersangkutan
fl = jumlah layanan yang dapat diikuti siswa per kelas dalam satu hari
Jhk = Jumlah hari yang dihitung sebagai jam kerja di sekolah
Jl = jumlah layanan yang diikuti siswa per kelas dalam satu minggu
Nk = Jumlah kelas yang ada di sekolah
Dari kedua rumus menentukan jumlah konselor dapat digunakan untuk
kebijakan jumlah konselor di sekolah. Jika JK bukan merupakan kelipatan Nsx,
maka JK dibulatkan menjadi kelipatan Nsx selanjutnya. Contoh jika JK adalah 36
sementara Nsx adalah 32, maka JK adalah 64 orang. Contoh lainnya jika JK
adalah 65 sementara Nsx adalah 25, maka JK adalah 75 orang.
Untuk kegiatan atau layanan konseling di luar seperti beberapa kegiatan
pendukung, layanan diperluas yang dimaksud dalam Permendikbud 81A tentang
implementsi kurikulum 2013 dan layanan dukungan sistem dalam Permendikbud
111 tahun 2014 ini, dan kegiatan konseling lainnya yang berkenaan langsung
dengan siswa, dapat dilakukan di luar jam pelajaran namun tidak di luar jam
sekolah apalagi di luar hari kerja. Berikut contoh jadwal kegiatan dan layanan
konseling di sekolah:
Contoh Jadwal Kegiatan Konseling Konselor Antonio
Jam
Pelajaran ke-
Hari
Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu
1 Siswa AD
(X-1)* Siswa XY
(XI-1)* Siswa HI (XII-1)*
2 3 4
Siswa BC (X-2)*
Siswa ST (XI-2)*
Siswa KL (XII-2)*
5 6 7 ** ** ** 8 ** ** **
* Dilakukan serempak pada satu kelas. Namun siswa dapat ditangani per individual, kelompok, kelas, dan massal/gabungan kelas berdasarkan kebutuhan. Diutamakan dilakukan secara individual agar dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan akan layanan konseling berdasarkan asesmen dan fungsi layanan.
** Kegiatan konseling di luar siswa secara langsung seperti manajemen & administrasi (dukungan sistem) bimbingan dan konseling; kegiatan pendukung yang tidak berkaitan dengan siswa secara langsung; layanan konseling diperluas seperti kepada guru, orang tua dan sebagainya; dan kegiatan lainnya Apabila terjadi kelebihan beban kerja sebaiknya diberikan kompensasi yang sesuai layaknya pekerjaan lembur sehingga tunjangan keprofesionalan konselor berbasis kinerja.
Maka contoh susunan jadwal layanan bimbingan dan konseling dan mata
pelajaran pada suatu kelas di sekolah akan menjadi seperti berikut:
Jam Pelajaran
ke-
Hari
Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu
1 MP MP LBK MP MP MP 2 MP MP LBK MP MP MP 3 MP MP LBK MP MP MP 4 MP MP MP MP MP MP 5 MP MP MP MP MP MP 6 MP MP MP MP MP MP 7 MP MP MP MP MP MP 8 MP MP MP MP MP MP
Ket:
MP = Mata Pelajaran
LBK = Layanan Bimbingan dan Konseling
Sedangkan contoh seluruh jadwal konseling pada semua konselor di suatu
sekolah dapat terlihat sebagai berikut:
Jam Pelajaran
ke-
Hari
Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu
1 X-1 XI-1 XII-1 X-3 XI-3 XII-3 2
3 4
X-2 XI-2 XII-2 X-4 XI-4 XII-4 5 6 7
Manajemen/administrasi/kegiatan pendukung/layanan diperluas/dsb 8
Meski jadwalnya dilakukan per kelas namun pelaksanaannya diutamakan
individual untuk mememnuhi kebutuhan layanan pada konseli. Itulah sebabnya
jumlah konselor dipatok pada rumus yang disampaikan tadi, berdasarkan jumlah
maksimal siswa dalam satu kelas. Apabila jumlah maksimal siswa dalam satu kelas
pada suatu sekolah adalah 30 orang, maka jumlah minimal konselor pada sekolah
tersebut adalah 30 orang. Angka ini terbilang fantastis jika dibandingkan dengan rasio
1:150 yang ditetapkan pemerintah. Namun apabila bertahan dengan kebijakan rasio
1:150 tersebut, berarti pemerintah tidak serius dalam memenuhi kebutuhan untuk
mendapatkan pelayananan konseling secara individu dan menyeluruh. Dengan kata
lain, tidak serius untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Bagaimana tidak,
dengan adanya kebijakan-kebijakan yang ada pada saat ini, jam layanan yang dapat
dijamin tidak mengganggu mata pelajaran atau luar jam belajar di sekolah hanyalah
untuk pelayanan konseling untuk format klasikal. Bagaimana dengan format lain?
Tidak mungkin dilakukan pada jam istirahat. Ini jelas menunjukkan ketidakdisiplinan.
Tidak mungkin dilakukan pada saat proses belajar mengajar sedang berlangsung. Ini
jelas mengganggu siswa dalam mengikuti proses belajar mengajar sehingga siswa
dapat ketinggalan pelajaran. Tidak mungkin pula dilakukan setelah pulang sekolah
atau hari libur. Ini jelas merusak jadwal siswa yang tidak mungkin hanya banyak
menghabiskan waktu di sekolah. Perlu manajemen yang tepat untuk membenahi
masalah ini. Sehingga hal ini juga dapat merubah persepsi yang negatif terhadap
sebagian guru BK atau konselor di lapangan selama ini di lain persoalan kualitas guru
BK/konselor itu sendiri.
Siswa-siswa yang bermasalah atau melanggar disiplin sering di proses ketika
proses belajar mengajar berlangsung. Contoh permasalahannya adalah tidak
mengerjakan PR, bolos, terlambat, dan sebagainya. Siswa sering di hukum yang
dimaksudkan untuk jera. Namun berapa persen siswa yang jera untuk melakukan
pelanggaran disiplin setelah dihukum. Selain itu, masa hukuman hanya akan
mengganggu proses belajar mengajar, sehingga berkurang kesempatan belajarnya di
kelas. Tindakan tegas yang mendidik sangatlah diperlukan disini. Tentunya ada saat
yang tepat untuk memproses itu, salah satunya dengan pelayanan bimbingan dan
konseling. Ketersediaan waktu siswa untuk mendapatkan pelayanan bimbingan dan
konseling setiap minggu secara individu adalah salah satu solusi yang tepat. Pada saat
itu, konselor memproses konseli pada jam layanan. Ini juga akan mengurangi
pandangan siswa bahwa konseling hanya untuk orang-orang yang bermasalah.
Sehingga banyak siswa yang enggan untuk mengikuti layanan bimbingan dan
konseling. Sebab menanggulangi siswa yang bermasalah pada jam layanan. Siswa
yang bermasalah ataupun tidak bermasalah hendaknya tetap mendapat layanan
bimbingan dan konseling. Hal ini dikarenakan BK bukan hanya berfungsi sebagai
pengentasan tetapi juga pencegahan, pengembangan dan lain-lain.
Akan lebih baik lagi, syarat kepala sekolah setelah terpilih, harus mengikuti
pelatihan manajemen BK di sekolah. Sebab eksistensi dan esensi pelayanan BK di
sekolah juga bergantung kepada keputusan dan kebijakan kepala sekolah yang
diawasi langsung oleh pemerintah dalam pelaksanaan implementasi kebijakan
pemerintah terkait pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah.
Alokasi waktu pada permendikbud 111 tahun 2014 ini, seakan-akan hanya
mempertimbangkan harus terlaksananya semua layanan apabila dilihat dari
persentase-persentase layanan dalam pembagian alokasi waktu. Padahal bisa saja ada
layanan yng tidak mungkin dilaksanakan sama sekali. Patokan seharusnya adalah
kebutuhan siswa bukan keterlaksanaan seluruh layanan.
Sebaiknya untuk menentukan ekuivalensi jam pelajaran pada permendikbud
no 111 tahun 2014 ini, memperhatikan durasi, kuantitas dan bobot. Hal ini disebabkan
bobot pada pelaksanaan administrasi/manajemen, kegiatan pendukung dan pelayanan
konseling memiliki tingkatan tuntutan, ketrampilan dan kesulitan yang berbeda.
Kemudian durasi juga menjadi pertimbangan yang sesuai dalam ekuivalensi jam
pelajaran. Karena durasi bisa dibutuhkan lebih lama ataupun lebih cepat. Maka dapat
dirumuskan sebagai berikut:
� =�
��� × � × �
Keterangan:
e = ekuivalen jam pelajaran
d = durasi (dalam konversi hitungan menit) pelaksanaan
jpm = 1 jam pelajaran dalam hitungan menit sesuai tk satuan pendidikan
f = jumlah atau banyak kegiatan yang dilakukan
b = bobot (skala 1-5)
Dengan penghitungan dalam penentuan ekuivalen jam pelajaran tersebut akan
lebih menjamin akurasi penghitungan jam kerja dengan beban kerja yang telah
diberikan yakni 24 jam pelajaran. Kelebihan jam pelajaran yang diampu konselor
seharusnya mendapatkan kompensasi yang layak sebagai penghargaan setiap
kelebihan per satu jamnya.
Kesimpulannya hendaknya beban kerja konselor sekolah atau masih dikenal
sebagai guru BK adalah terpenuhinya kebutuhan per siswa terhadap layanan
konseling dan tidak berdasarkan jumlah siswa yang diampu hingga 150 orang.
Apabila ide tadi diterapkan maka beban kerja konselor sekolah menjadi maksimal 6
orang siswa dengan masing-masing siswa mengikuti layanan 3 jam pelajaran setiap
minggunya disertai maksimal 6 jam pelajaran untuk administrasi/manejemen,
kegiatan pendukung yang tidak berkenaan langsung dengan siswa, layanan diperluas
dan kegiatan konseling lainnya yang diakui pakar konseling.
7. Sarana
Dapat dipastikan tidak semua sekolah memiliki ruang apalagi gedung khusus
untuk layanan bimbingan dan konseling. Padahal dalam Permendiknas No 20 tahun
2010 tentang Norma, Standar, Prosedur, dan kriteria (NSPK) Pendidikan Anak Usia
Dini (PAUD) Formal dan Pendidikan Dasar di Kabupaten/Kota yang melampirkan
dan mengharuskan adanya ruang konseling di satuan pendidikan tersebut. Dalam
permendikbud no 111 tahun 2014 ini, memaparkan berbagai alternatif penataan ruang
BK di sekolah. Untuk itu, pemerintah hendaknya juga membuat kebijakan atau
program khusus untuk mengontrol atau memfasilitasi sekolah agar dapat memenuhi
kebutuhan konselor sekolah seperti sarana dan prasarana yang memadai dan sesuai
standar dengan kebijakan yang ada.
D. Kesimpulan
Kebijakan-kebijakan pemerintah saat ini belum mengakomodir profesi
konseling pada umumnya dan konseling pendidikan pada khususnya secara keilmuan.
Terdapat perbedaan konsep operasionalisasi atau teknis pelayanan bimbingan dan
konseling oleh beberapa pakar yang ada di Indonesia. Hal ini harus disatukan secara
ilmiah dalam bentuk kebijakan sehingga dapat diterima oleh seluruh lapisan anggota
profesi namun disesuaikan dengan kebijakan perundang-undangan yang ada di
atasnya. Penulis melihat berdasarkan pembahasan pada analisis permendikbud no 111
tahun 2014 ini, belum adanya peraturan khusus untuk profesi konselor seperti profesi
lainnya setingkat UU dan fenomena-fenomena yang terjadi di lapangan, maka
dibutuhkannya 2 (dua) ketetapan berupa Undang-undang ataupun peraturan
pemerintah terkait:
1. Sistem Konseling Nasional
2. Konseling Pendidikan Nasional
Selain itu, implementasi dan konsistensi pemerintah dalam sebuah kebijakan
terkait bimbingan dan konseling meski ditingkatkan aktualisasinya.
Permendikbud no 111 tahun 2014 dipaparkan secara detail namun nampaknya
lebih banyak penekanan pada eksistensi dibanding esensi profesi konseling di
pendidikan dasar dan menengah serta belum menjawab persoalan atas fenomena yang
terjadi di lapangan secara menyeluruh dan substansial. Namun keberadaan dan
penerapan Permendikbud No. 111 tahun 2014 juga akan berdampak positif untuk
merubah kesalahpahaman terhadap bimbingan dan konseling di sekolah.
Kesalahpahaman tersebut pernah diutarakan Prayitno (2008), yaitu Guru BK dianggap
polisi sekolah, layanan BK dapat dilakukan oleh siapa saja, Layanan BK hanya untuk
siswa tertentu saja, Layanan BK hanya untuk permasalahan awal saja, Layanan BK
tidak terkait dengan pendidikan, Layanan BK hanya bekerja sendiri, dan sebagainya.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Aziz Syamsuddin. 2011. Proses & Teknik Penyusunan Undang-Undang. Jakarta: Sinar
Grafika.
ABKIN. 2008. Krisis Identitas Profesi Bimbingan dan Konseling. Tempat tidak diketahui:
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia.
Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi.
2004. Dasar Standardisasi Profesi Konseling. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional.
Gladding, Samuel T. 2012. Konseling: Profesi Menyeluruh. Terjemahan oleh Winarno dan
Lilian Yuwono. Jakarta: Indeks.
Keputusan Asosiasi Penyelenggara Perguruan Tinggi Psikologi Indonesia. 2013. Kurikulum
Inti Progam Studi Psikologi (S1). Bandung: AP2TPI.
Keputusan Asosiasi Penyelenggara Perguruan Tinggi Psikologi Indonesia. 2013. Kurikulum
Program Studi Profesi Psikologi. Bandung: AP2TPI.
Keputusan Asosiasi Penyelenggara Perguruan Tinggi Psikologi Indonesia. 2013. Pendidikan
Tinggi Psikologi di Indonesia. Bandung: AP2TPI.
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. 2009.
Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Jakarta: Menteri Negara
Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. 2014. Bimbingan dan Konseling pada
Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
___________. 2014. Lampiran Bimbingan dan Konseling pada Pendidikan Dasar dan
Menengah. Jakarta: Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
___________. 2013. Lampiran IV Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan.
___________. 2013. Penerapan Kerangka Kualifikasi Kerja Nasional Indonesia Bidang
Pendidikan Tinggi. Jakarta: Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional. 2008. Standar Kualifikasi Akademik & Kompetensi
Konselor. Jakarta: Menteri Pendidikan Nasional.
___________. 2010. Norma, Standar, Prosedur, dan kriteria (NSPK) Pendidikan Anak Usia
Dini (PAUD) Formal dan Pendidikan Dasar di Kabupaten/Kota. Jakarta: Menteri
Pendidikan Nasional.
Peraturan Pemerintah. 2008. Guru. Jakarta: Presiden Republik Indonesia.
Peraturan Presiden. 2012. Kerangka Kualifikasi Kerja Nasional Indonesia. Jakarta: Presiden
Republik Indonesia.
Prayitno. 2004. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta.
Undang-Undang. 2003. Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Presiden Republik Indonesia.
___________. 2005. Guru dan Dosen. Jakarta. Jakarta: Presiden Republik Indonesia.
___________. 2005. Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Presiden Republik Indonesia.