perjanjian intr

29
BAB I PENDAHULUAN 1 Latar Belakang Sejak dibentuk pada tahun 1945, Mahkamah Internasional (MI) atau International Court of Justice (ICJ), telah menangani kurang lebih 100 kasus internasional, baik yang bersifat sengketa antara dua pihak (contentious) maupun advisory 1 . Sebagai penerus dari PCIJ atau Permanent Court International of Justice yang didirikan pada tahun 1921, MI telah dianggap sebagai salah satu cara utama atau primary means untuk penyelesaian konflik antar negara di dunia, “The International Court of Justice is often thought of as the primary means for the resolution of disputes between states” 2 Sebagai salah satu institusi hukum internasional, MI hanya menerima negara sebagai pihak yang dapat beracara di 1 List of Cases Brought Before the Court Since 1946, http://www.icj-cij.org/icjwww/idecisions.htm, diakses 10 Juli 2002 2 Martin Dixon, Textbook on International Law, London: Blackstone Press Limited, 1990, hal.256

Upload: obiano-tremonti

Post on 03-Jan-2016

45 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

perjanjian internasional

TRANSCRIPT

Page 1: Perjanjian Intr

BAB I

PENDAHULUAN

1 Latar Belakang

Sejak dibentuk pada tahun 1945, Mahkamah Internasional (MI) atau International

Court of Justice (ICJ), telah menangani kurang lebih 100 kasus internasional, baik yang

bersifat sengketa antara dua pihak (contentious) maupun advisory1. Sebagai penerus dari

PCIJ atau Permanent Court International of Justice yang didirikan pada tahun 1921, MI

telah dianggap sebagai salah satu cara utama atau primary means untuk penyelesaian

konflik antar negara di dunia,

“The International Court of Justice is often thought of as the primary

means for the resolution of disputes between states”2

Sebagai salah satu institusi hukum internasional, MI hanya menerima negara

sebagai pihak yang dapat beracara di dalamnya3. Special Agreement atau perjanjian

khusus tentang penundukan (consent to be bound) kepada jurisdiksi MI, harus terlebih

dahulu dibuat oleh para pihak sebelum beracara4. Penundukan ini didasarkan pada prinsip

kedaulatan Negara atau state sovereignty. Hakim Oda dalam keputusannya berkenaan

tentang jurisdiksi MI berpendapat,

“When considering the jurisdiction of the International Court of Justice in

contentious cases, I take as my point of departure the conviction that the

1List of Cases Brought Before the Court Since 1946, http://www.icj-cij.org/icjwww/idecisions.htm, diakses 10 Juli 2002

2 Martin Dixon, Textbook on International Law, London: Blackstone Press Limited, 1990, hal.256

3 Statuta MI, 1945, Pasal 34 (1), “Only States may be parties in cases before the Court”.

4 Statuta MI, 1945, Pasal 40 (1), “Cases are brought before the Court, as the case may be, either by the notification of the special agreement or by a written application…..”

Page 2: Perjanjian Intr

Court’s jurisdiction must rest upon the free will of sovereign state, clearly

and categorically expressed, to grant the Court the competence to settle

the dispute in question”5

Proses beracara di MI hanya dapat dilakukan dengan adanya consent dari para

pihak yang akan beracara. Consent ini didasarkan atas asas konsensualisme atau free will

dari Negara yang terkait.

Dari syarat ini dapatlah dilihat bahwa MI menjunjung tinggi kedaulatan sebuah

Negara untuk tunduk atas dasar free will. Lebih jauh lagi, pengakuan MI akan kedaulatan

Negara ini juga dapat dilihat dari kekuatan mengikat dari keputusan MI. Keputusan yang

dikeluarkan oleh MI hanya mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang

bersengketa dan terbatas pada kasus yang diajukan.6

Sekilas mekanisme MI sangatlah ideal melihat dari sisi free will ketundukan

negara sebagai pihak yang beracara dan kekuatan mengikatnya kepada para pihak yang

bersengketa (disputant states). Akan tetapi persoalan akan timbul jika hasil keputusan MI

berdampak kepada negara lain sebagai pihak ketiga yang tidak bersengketa (non-

disputant states). Setidaknya ada dua persoalan penting yang timbul berkaitan dengan

kondisi diatas. Pertama, kekuatan mengikat keputusan MI terhadap pihak ketiga yang

tidak ikut beracara. Kedua, posisi pihak ketiga yang akan terkena dampak keputusan

tersebut.

Melihat dari sisi ini, nampaknya asas konsensualisme atau free will tidaklah

berlaku mutlak dalam proses beracara di MI. Keadaan free will hanya dapat dilakukan

pada saat pertama pengajuan special agreement antara para pihak yang akan beracara.

Seperti layaknya pengadilan nasional atau domestic court, MI juga mempunyai

mekanisme keterlibatan untuk pihak ketiga yang tidak menjadi pihak yang beracara.

Salah satu mekanisme keterlibatan itu adalah dengan melakukan mekanisme intervensi.

5 Judge Oda: Nicaragua v. Honduras, Jurisdiction and Admissibility, 1988, ICJ Rep. 69, hal 109

6 Statuta MI, Pasal 59 “The decision of the Court has no binding force except between the parties and in respect of that particular case”

Page 3: Perjanjian Intr

Berbeda dengan special agreement yang menggunakan asas konsensualisme atas

dasar free will ketika pertama kali mengajukan proses beracara, mekanisme intervensi

lebih terkesan memiliki unsur pemaksaan.

Unsur pemaksaan ini didasari dari keputusan MI yang mempunyai dampak

terhadap Negara ketiga yang bukan menjadi pihak yang beracara di MI. Walupun diatas

kertas, Negara ketiga ini mempunyai pilihan untuk terlibat ataupun tidak terlibat dalam

sebuah kasus yang diajukan di MI, akan tetapi secara realita adalah mustahil atau

impossible jika Negara ketiga ini tidak ikut terlibat dalam proses beracara tersebut.

Keputusan untuk tidak ikut terlibat dalam proses beracara di MI hanya akan membawa

kerugian bagi Negara ketiga yang bersangkutan.

Keadaan free will yang pada awalnya menjadi dasar ketundukan berubah menjadi

indirect forced will atau pemaksaan secara tidak langsung kepada non-disputant states

yang terkena dampak hasil putusan tersebut.

Pemaksaan secara tidak langsung ini dapat dilihat pada kasus Continental Shelf

1981, Continental Shelf 1982, Land, Island & Maritime Frontier 1990, Land & Maritime

Boundary 1999 dan Sovereignty over Sipadan & Ligitan 2001.

Mulai dari jaman PCIJ sampai jaman MI, tercatat hanya enam kasus yang

diintervensi oleh Negara ketiga.7 Dari kelima kasus intervensi yang pernah diajukan ke

MI diatas, hanya dua kasus intervensi yang dikabulkan atau granted oleh MI. Kasus

intervensi pertama yang dikabulkan MI adalah kasus Land, Island & Maritime Frontier

1990 dimana Negara ketiganya adalah Negara Nikaragua. Sedangkan kasus intervensi

kedua yang dikabulkan adalah kasus Land & Maritime Boundary 1999, dimana Negara

Equatorial Guinea menjadi Negara yang melakukan intervensi.

Berkenaan dengan hal ini, MI secara khusus telah mengatur mekanisme bagi

negara ketiga untuk melakukan hak intervensi (right of intervention) atas sengketa yang

sedang diajukan8. MI membagi dua jenis intervensi, yaitu intervensi atas dasar pasal 62

statuta MI dan intervensi atas dasar pasal 63 Statuta MI.

7 Kasus-kasus tersebut adalah kasus Hoya de la Torre 1951, Continental Shelf 1981, Continental Shelf 1982, Land, Island & Maritime Frontier 1990, Land & Maritime Boundary 1999 dan Sovereignty over Sipadan & Ligitan 2001.

8

Page 4: Perjanjian Intr

BAB II

STUDI KASUS HAK INTERVENSI

1. Kasus Continental Shelf (Tunisia/Libya Arab Jamahiriya), Intervensi Malta, 14

April 19819

1.1. Posisi dan Keputusan Intervensi

Kasus ini dimulai tanggal 1 Desember 1978 antara Tunisia dan Libya

Arab Jamahiriya. Subjek yang diajukan ke MI adalah mengenai perbatasan dasar

benua atau delimitation of continental shelf antar kedua Negara tersebut. Pada tanggal

30 Januari 1981, Malta mengajukan intervensi atas kasus tersebut dengan dasar pasal

62 dari ketentuan Statuta MI. Keberatan atas intervensi ini diajukan oleh kedua belah

pihak yang bersengketa. Setelah melalui proses hearing, kemudian MI memutuskan

untuk menolak intervensi yang diajukan Malta secara mutlak atau unanimous dengan

Keputusan MI tertanggal 14 April 1981.

1.2. Analisa Kasus

Mengacu kepada ketentuan Aturan Mahkamah, 1978 pasal 81 paragraf 2

tentang intervensi, setiap Negara ketiga yang bermaksud untuk mengajukan hak

intervensi harus mencantumkan kepentingan hukum atau interest of legal nature,

objek yang jelas dan pasti atau precise object of intervention dan dasar hubungan

jurisdiksi atau base for jurisdictional link. Setelah melihat aplikasi intervensi Malta

dan keberatan-keberatan yang diajukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa, MI

sampai pada satu kesimpulan jika salah satu keberatan yang diajukan terbukti, maka

MI tidak akan melanjutkan untuk membuktikan keberatan-keberatan yang lain dan

menolak intervensi Malta.

9 Secara Umum sub bab ini dipetik dari kasus Continental Shelf (Tunisia/Libya Arab Jamahiriya) Malta Intervention, Merits, ICJ Rep. 1981

Page 5: Perjanjian Intr

Pada dasarnya Malta mengklaim mempunyai kepentingan pada

kemungkinan-kemungkinan atau possible concern dari MI yang akan

mengindentifikasi dan mempelajari faktor-faktor geografis dan geomorfis dari dasar

benua yang disengketakan,

“Any findings of the Court that identified and assessed the geographical

and geomorphological factors relevant to the delimitation of the

Libya/Tunisia continental shelf and with any pronouncements made by the

Court regarding, for example, the significance of special circumstances or

the application of equitable principles in that delimitation”10

Lebih jauh lagi, possible concern itu juga dapat berupa keputusan-

keputusan MI yang akan memberikan dampak terhadap hak dan kepentingan hukum

Malta jika Malta bermaksud untuk membuat batas dasar benua terhadap salah satu

atau kedua pihak yang bersengketa. Selain itu Malta juga membuat reservasi tertulis

yang menyatakan bahwa intervensi yang dilakukannya tidak dimaksudkan untuk

membuat klaim baru atas subjek yang disengketa-kan. Melihat dari tanggal

pengajuan, Malta tidak melewati waktu pengajuan intervensi, yaitu sebelum

berakhirnya waktu pembelaan tertulis.11

Berdasarkan permintaan tersebut MI berpandangan bahwa aplikasi yang

diajukan Malta adalah sebuah kesempatan untuk melawan keputusan MI dalam

penggunaan suatu kriteria tertentu atas kasus tersebut. Kemudian MI memutuskan

jika intervensi atas dasar ini dikabulkan, maka akan terjadi ketidakpastian hukum dari

para pihak yang bersengketa, yaitu batasan atas kepentingan hukum yang harus

diajukan jika salah satu pihak ikut beracara tanpa ada klaim yang dipertahankan atas

subjek sengketa. Selanjutnya MI berpendapat bahwa kemungkinan-kemungkinan

yang akan terjadi atau future implications tidak dapat dijadikan kepentingan dari sisi

10 Kasus Continental Shelf , Tunisia/Libya Arab Jamahiriya, Merit, ICJ Rep 1981, paragraf 28-35

11 Aturan Mahkamah, 1978 Pasal 84, paragraf 1

Page 6: Perjanjian Intr

hukum untuk pengajuan sebuah intervensi. MI mengambil dasar pada putusan PCIJ

tahun 1922 yang menjadi pedoman MI yaitu untuk tidak berusaha menyelesaikan

permasalahan yang mungkin terjadi,

“It should not attempt to resolve in the Rules of the Court the

various questions which have been raised, but leave them to be

decided as and when they occurred in practice and in the light of

the circumstances of each particular case”12

Syarat kedua dan ketiga dari intervensi yaitu precise object dan

jurisdictional link, tidak dilanjutkan dibahas oleh MI karena salah satu keberatan

yang diajukan kedua pihak yang bersengketa telah terbukti.

Keputusan MI yang menolak intervensi Malta adalah cukup rasional,

walaupun secara geografis letak Negara Malta dapat terkena dampak seperti yang

dimaksud dalam pasal 62 statuta MI. Kepastian hukum tidak akan ada jika ada sebuah

Negara ketiga yang ikut beracara tanpa ada klaim atau petitum atas subjek sengketa.13

Harus juga diingat bahwa kasus Intervensi Malta ini adalah kasus pertama

yang berkenaan dengan jenis intervensi pasal 62 atau intervensi atas dasar keputusan

MI yang diajukan ke MI. Penerapan ketat yang dilakukan MI atas pasal 62 pada kasus

ini menggambarkan pandangan hukum internasional yang masih cenderung menolak

kehadiran pihak ketiga untuk ikut beracara dalam sebuah penyelesaian sengketa.14

2. Kasus Continental Shelf (Libya Arab Jamahiriya/Malta), Intervensi Italia, 21

Maret 198415

12 Kasus Continental Shelf, Tunisia/Libya Arab Jamahiriya, Merit, ICJ Rep. 1981

13 Lihat Hakim Morozov, Declarations, Kasus Continental Shelf , Tunisia/Libya Arab Jamahiriya, ICJ Rep. 1981

14 Lihat Hakim Oda, Separate Opinion, Kasus Continental Shelf, Tunisia/Libya Arab Jamahiriya, ICJ Rep. 1981.

15 Secara umum, sub bab ini dipetik dari kasus Continental Shelf (Libya Arab Jamahiriya/Malta), Italia Intervention, Merits, ICJ Rep. 1984

Page 7: Perjanjian Intr

2.1. Posisi dan Keputusan Intervensi

Kasus kedua berkenaan dengan intervensi masih berkisar tentang batas

kontinen, yang kali ini diajukan oleh Libya Arab Jamahiriya dan Malta. Berdasarkan

pada perjanjian khusus kedua belah pihak, pemberitahuan bersama atau joint

notification disampaikan kepada register MI pada tanggal 26 Juli 1982. Pada tanggal

24 Oktober Negara Italia mengajukan aplikasi intervensi dengan dasar pasal 62 dari

statuta MI. Proses hearing yang mendengarkan pendapat dari para pihak dan pihak

ketiga dimulai tanggal 25 Januari 1984. Kemudian pada tanggal 21 Maret 1984, MI

mengeluarkan keputusan untuk menolak aplikasi intervensi Italia dengan

perbandingan suara 11 melawan 5.

2.2. Analisa Kasus

Pengajuan intervensi yang dilakukan Italia memenuhi persyaratan formal

untuk sebuah intervensi.16 Dalam kasus ini, MI tidak memberikan pendapat tentang

syarat yang ketiga yaitu jurisdictional link. Hal ini dilakukan atas dasar bahwa syarat

pertama dan kedua telah tidak terpenuhi dalam aplikasi intervensi dari Italia. Selain

itu, alasan MI menolak untuk memutuskan tentang status jurisdictional link dari Italia

adalah karena mengadopsi preseden yang telah diambil pada kasus sebelumnya, yaitu

intervensi dari Malta pada tahun 1981.

2.2.1. Kepentingan Hukum atau Interest of a Legal Nature

Dari sisi ini, MI diminta untuk memberikan perlindungan seperti yang

termaktub dalam pasal 62 statuta MI dengan cara mencegah dampak yang

mungkin terjadi atas sebuah keputusan yang dikeluarkan. Italia meminta MI untuk

melindungi hak-haknya. Dari permintaan yang relatif cukup umum ini membawa

konsekwensi praktek beracara MI untuk mengindentifikasi hak-hak dari Italia.

Untuk mengindentifikasikan hak-hak dari Italia, maka MI juga harus

16 Lihat Kasus Continental Shelf, Libya Arab Jamahiriya/Malta, ICJ Rep. 1984

Page 8: Perjanjian Intr

mengindentifikasi hak-hak dari baik Libya maupun Malta sebagai pihak yang

bersengketa.

Berdasarkan permintaan ini, MI berpandangan bahwa untuk menentukan

hak-hak Italia dan hak-hak Negara yang bersengketa, secara otomatis akan

melibatkan hubungan hukum dari ketiga Negara tersebut. MI tidak dapat menilai

hubungan hukum dari ketiga Negara tersebut tanpa persetujuan yang Negara

bersangkutan. Jika MI mengabulkan intervensi Italia, berarti MI telah melanggar

azas konsensualisme yang menjadi dasar beracara di MI.17

2.2.2. Objek yang pasti dan jelas atau Precise Object of

Intervention

Selain akan membuat sengketa baru atau fresh dispute jika

intervensi Italia dikabulkan, objek yang diajukan Italia juga tidak termasuk

dalam past decisions dari MI yang berkenaan dengan intervensi. Kasus

preseden MI tentang intervensi hanya menunjuk pada perlindungan hak,

bukan pada identifikasi hak, seperti yang terjadi pada kasus Italia,

“…, since the only cases of intervention afforded by that Article

[62] would be those in which the intervener was only seeking the

preservation of its rights, without attempting to have them

recognized.”18

MI melihat objek intervensi dari Italia tidak masuk dalam kategori

precise object seperti dalam pasal 81 Aturan Mahkamah. Tidak ada dalam

baik wording maupun preseden MI yang mengatakan bahwa pasal 62

17 Statuta MI, Pasal 40

18 Kasus Continental Shelf, Libya Arab Jamahiriya/Malta, Merit, ICJ Rep. 1984 paragraf 30

Page 9: Perjanjian Intr

Statuta MI dimaksudkan sebagai cara alternatif untuk mengajukan

sengketa baru ke MI.

3. Kasus Land, Island & Maritime Frontier Dispute (El Savador/Honduras),

Intervensi Nikaragua, 13 September 199019

3.1. Posisi dan Keputusan Intervensi

Kasus ini diajukan kepada Register MI pada tanggal 11 Desember 1986, 2

tahun stelah kasus intervensi Italia tahun 1984. Objek sengketa pada kasus ini adalah

Teluk Fonseca, yaitu batas daratan dan status hukum atas pulau dan daerah maritim

dari Negara Honduras dan El Savador. Pada tanggal 17 November 1990, Nikaragua

mengajukan aplikasi intervensi dengan dasar pasal 62 Statuta MI. Keputusan MI atas

intervensi Nikaragua secara mutlak adalah mengabulkan intervensi Nikaragua pada

tanggal 13 September 1990.

3.2. Analisa Kasus

Kasus intervensi Nikaragua ini adalah kasus pertama dalam sejarah MI

dimana sebuah Negara ketiga dikabulkan untuk melakukan hak intervensinya. Di

dalam kasus ini juga mulai dapat disimpulkan bahwa MI tidak mempersoalkan

hubungan jurisdiksi dalam jenis intervensi pasal 62 (intervensi atas Keputusan MI).20

3.2.1. Kepentingan Hukum atau Interest of Legal Nature

Untuk sebuah intervensi dapat dipertimbangkan, pihak ketiga harus

memperlihatkan adanya kepentingan hukum yang akan terkena dampak keputusan

dari sebuah sengketa yang sedang diajukan. Beban pembuktian atau burden of 19 Secara Umum, sub bab ini dipetik dari kasus Land, Island & Maritime Frontier Dispute,

Nicaragua Intervention, Merits, ICJ Rep. 199020 Kesamaan past decisions berkenaan dengan hubungan jurisdiksi, lihat kasus Continental Shelf

Intervensi Malta, Continental Shelf Intervensi Italia dan Maritime Boundary Intervensi Nikaragua

Page 10: Perjanjian Intr

proof, menurut hemat MI, berada pada pihak ketiga yang melakukan intervensi,

bukan di MI. Pembuktian yang dimaksud hanya untuk memperlihatkan secara

meyakinkan bahwa kepentingan hukumnya mungkin akan terkena dampak

keputusan yang akan diambil MI, bukan harus maupun yang akan terkena

dampak. Disini pembuktian hanya didasarkan pada kemungkinan yang relatif

lebih mudah untuk dibuktikan,

“In the Chamber’s opinion, it is clear, first, that it is for a state

seeking to intervene to demonstrate convincingly what it asserts,

and thus to bear the burden of proof, and second that it has only to

show that its interest “may” be affected not that it will or must be

affected”21

Di dalam kasus intervensi Nikaragua ini, MI menentukan bahwa ada tiga

klaim dimana Nikaragua harus memperlihatkan kemungkinan terkena dampak

keputusan MI, yaitu Keadaan Hukum atau Legal Situations dari pulau-pulau,

Perairan Dalam dan Luar teluk Fonseca. Dari ketiga klaim tersebut, Nikaragua

hanya mampu untuk memenuhi satu klaim, yaitu berkenaan tentang kondisi

hukum di perairan dalam teluk. Akan tetapi , walaupun hanya satu klaim yang

dapat dipenuhi, MI mengabulkan intervensi dari Nikaragua ini.

Jika melihat secara sejarah, memang Teluk Fonseca ini telah diputuskan

oleh Central American Court of Justice sebagai sebuah historic bay yang

mempunyai karakteristik sebuah laut tertutup atau closed sea. Lebih jauh lagi

diputuskan oleh institusi yang sama bahwa teluk Fonseca itu dimiliki oleh tiga

Negara secara bersama atau co-ownership, yaitu Negara El savador, Honduras

21 Kasus Land Island Maritime Frontier Dispute (Merits) Intervensi Nikaragua, ICJ Rep. 1990, paragraf 61 – 63

Page 11: Perjanjian Intr

dan Nikaragua. Sesuai dengan pasal 38 statuta, MI mengambil keputusan ini

sebagai subsidiary means dan dianggap sebagai sebuah keputusan yang objektif.

3.2.2. Objek yang Jelas dan Pasti atau Precise Object of Intervention

Nikaragua mengajukan dua klaim untuk persyaratan yang kedua ini, yaitu

untuk melindungi hak-hak hukumnya dan untuk memberikan informasi kepada

MI berkenaan dengan hak-hak hukum Nikaragua atas Teluk Fonseca,

“First, generally to protect the legal rights of the Republic of Nicaragua

in the Gulf of Fonseca and the adjacent maritime areas by all legal means

available, and second to intervene in the proceedings in order to inform

the Court of the nature of the legal rights of Nicaragua which are in issue

in the dispute. This form of intervention would have the conservative

purpose of seeking to ensure that the determination of the Chamber did

not trench upon the legal rights and interests of the Republic of

Nicaragua..”22

Atas pertimbangan MI, kedua klaim tersebut diputuskan sebagai objek

yang sesuai dengan persyaratan intervensi yang kedua yaitu precise object of

intervention. Secara logika, memang objek yang diajukan Nikaragua relatif lebih

mudah dan tidak membuat sebuah kasus baru atau fresh dispute seperti yang

diajukan oleh kasus-kasus intervensi yang terdahulu.

3.2.3. Hubungan Jurisdiksi atau Jurisdictional Link

22 ibid, paragraf 85-92

Page 12: Perjanjian Intr

Posisi MI tetap sama berkenaan dengan persyaratan ketiga yaitu bahwa

hubungan jurisdiksi bukan sesuatu yang signifikan yang dapat mempengaruhi

pertimbangan sebuah hak intervensi. MI kembali menegaskan alur logika atau

logical links bahwa jika setiap Negara yang akan melakukan intervensi harus

mempunyai hubungan jurisdiksi dengan Negara yang bersengketa, maka akan

terjadi pemaksaan ketundukan ke MI, atau dengan kata lain bertentangan dengan

asas konsesualisme yang menjadi dasar proses beracara di MI.

Dari seluruh reasoning MI yang berkenaan dengan hubungan jurisdiksi

dalam hak intervensi, maka dapat diambil sebuah pedoman umum yang

menggambarkan sistem hukum yang dipakai MI, yaitu system common law yang

menekankan pada sumber persuasif keputusan-keputusan sebelumnya. Pedoman

itu terlihat dari indikasi bahwa walaupun dalam aturan mahkamah, 1978 jelas

tertulis kata “shall” yang berarti suatu keharusan bagi Negara ketiga untuk

mempelihatkan hubungan jurisdiksi, tetapi dari keputusan yang telah dibuatnya

hubungan jurisdiksi bukan merupakan suatu yang penting.23

4. Kasus Land & Maritime Boundary (Kamerun/Nigeria), Intervensi Equatorial

Guinea, 21 Oktober 199924

4.3. Posisi dan Keputusan Intervensi

Pihak yang bersengketa dalam kasus ini adalah Nigeria dan Kamerun yang

meminta MI untuk memutuskan batas daerah dan maritim Bakassi Peninsula. Kasus

ini dimulai tanggal 29 Maret 1994 dengan Aplikasi Kamerun dimana Nigeria

mengajukan keberatan awal atau preliminary objection. Setelah Nigeria memberikan

consent ke MI, maka kemudian MI mulai memeriksa kasus yang diajukan.

23 “The Application…. shall set out [c] any basis of jurisdiction which is claimed to exist as between the state applying to intervene and the parties to the case”, Aturan Mahkamah, 1978, Pasal 81 [c]

24 Secara umum, sub bab ini dipetik dari kasus Land & Maritime Boundary, Equatorial Guinea Intervention, Merit, ICJ Rep. 1999

Page 13: Perjanjian Intr

Lima tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 27 Juni 1999, Negara

Equatorial Guinea mengajukan intervensi dengan dasar pasal 62 yaitu intervensi atas

keputusan MI. Aplikasi hak intervensi Negara Equatorial Guine dikabulkan secara

mutlak oleh MI dengan putusannya tanggal 21 Oktober 1999.

4.4. Analisa Kasus

Salah satu alasan yang cukup mendasar berkenaan tentang kasus ini adalah

bahwa secara tidak langsung Negara ketiga diundang atau invited untuk melakukan

hak intervensi dengan putusan MI tentang keberatan awal dari Nigeria,

“ The Court notes that the geographical location of the territories

of the other states bordering the Gulf of Guinea…, demonstrates

that it is evident that the prolongation of the maritime zones where

the rights and interests of Cameroon and Nigeria will overlap

those of other states.”25

Lebih jauh lagi, kedua Negara yang bersengketa baik Kamerun maupun

Nigeria tidak mengajukan keberatan atas aplikasi intervensi yang diajukan oleh

Equatorial Guinea.

Di sini Equatorial Guinea secara spesifik menyatakan bahwa kepentingan

hukumnya lebih terletak pada batas maritim dari Bakassi Peninsula. Pada poin ini,

kembali kedua Negara yang bersengketa tidak mengajukan keberatan atas hal

tersebut,

25 Kasus Land, Island and Maritime Boundary (Merits) ICJ Rep 1998, hal 324

Page 14: Perjanjian Intr

“…which could allow the court to better informed on the general

background of the case and to determine more completely the dispute

submitted to it.”26

“Whether or not Equatorial Guinea’s application is accepted, it will in

Nigeria’s view make no difference to the legal position of Nigeria to

the present proceedings, or to the jurisdiction of the court. On that

basis, Nigeria leaves it to the court to judge whether and to what

extent it is appropriate or useful to grant Equatorial Guinea’s

Application.”27

Pada kasus ini, tidak lagi dibahas tentang convincing demonstration yang

diperlukan untuk memenusi syarat pertama ini, seperti pada kasus terdahulunya.

Dapatlah diambil sebuah kesimpulan bahwa MI mengabulkan aplikasi Equatorial

Guinea in advance dengan undangan tidak langsungnya kepada Negara ketiga untuk

melakukan intervensi.

Untuk persyaratan yang kedua, posisi MI menjadi lebih permanen dengan

menggunakan dasar kasus terdahulunya berkenaan tentang precise object yaitu untuk

memberikan informasi agar MI dapat lebih memutus dengan objektif atas kasus yang

disengketakan. Hal yang sama juga dapat dilihat dari signifikansi hubungan jurisdiksi

yang tidak menjadi keharusan untuk pihak ketiga dalam melakukan hak intervensi.

26 ibid, paragraf 9

27 ibid, paragraf 10

Page 15: Perjanjian Intr

5. Kasus Sovereignty over Pulau Sipadan & Ligitan (Malaysia/Indonesia), Intervensi

Filipina, 12 Oktober 200128

5.3. Posisi dan Keputusan Intervensi

Indonesia dan Malaysia sebagai para pihak yang bersengketa memulai

beracara di MI pada tanggal 2 November 1998. Objek sengketa dalam kasus ini

adalah kedaulatan atas pulau Sipadan dan Ligitan. Pada tanggal 13 Maret 2001,

Negara Filipina mengajukan aplikasi untuk melakukan intervensi atas dasar pasal 62.

Sebelum mengajukan aplikasi tersebut, Filipina meminta salinan pembelaan dan

dokumen terkait pada tanggal 22 Februari 2001 dengan dasar pasal 53 paragraf 1

Aturan Mahkamah. Kemudian, permintaan tersebut ditolak MI. Penolakan inilah yang

nantinya menjadi salah satu argument dasar dari pihak Filipina. MI menolak

intervensi Filipina atas kasus kedaulatan dari Pulau Sipadan dan Ligitan dengan

keputusannya tanggal 23 Oktober 2001.

5.4. Analisa Kasus

Sebelum masuk ke pembahasan inti dari tiga persyaratan utama dalam

pengajuan hak intervensi, ada baiknya jika melihat terlebih dahulu keberatan yang

diajukan oleh para pihak yang bersengketa atas intervensi yang dilakukan. Keberatan

yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa, in casu Indonesia dan Malaysia

terhadap aplikasi intervensi Filipina adalah bahwa Aplikasi Filipina terlambat

diajukan29 dan dalam aplikasinya Filipina tidak memasukan daftar dokumen

pendukung.30

Dalam putusannya MI menyatakan bahwa aplikasi Filipina tidak

melanggar ketentuan pasal 81 paragaf 1, karena dari para pihak sendiri belum

memberikan pernyataan yang tegas tentang akhir dari pembelaan tertulis. MI melihat

28 Secara Umum, sub bab ini dipetik dari kasus Sovereignty over Pulau Sipadan & Ligitan, Phillipine Intervention, Merit, ICJ Rep. 2001

29 “An Application for permission to intervene under article 62 of the Statute, ……, shall be filled as soon as possible, and not later than the closure of the written proceedings. In exceptional circumstances, an application submitted at a later stage may however be admitted” ,Aturan Mahkamah, 1978, Pasal 81 paragraf 1

30 “The application shall contain a list of documents in support, which documents shall be attached”, Aturan Mahkamah 1978, Pasal 81 paragraf 3

Page 16: Perjanjian Intr

bahwa dari perjanjian khusus yang ditandatangani para pihak, masih ada kesempatan

untuk melakukan tahap akhira dari proses pembelaan tertulis. Baru pada tanggal 28

Maret 2001 para pihak yang bersengketa memberikan pernyataan untuk tidak

meneruskan proses pembelaan terulis, sedangkan aplikasi Filipina diajukan pada

tanggal 13 Maret 2001, walaupun akhir dari putaran ketiga pembelaan tertulis

berakhir pada tanggal 2 Maret 2001. MI melihat bahwa pemberitahuan para pihak

akan telah selesainya proses pembelaan tertulis memang harus ditentukan dan

dinyatakan.31

Untuk klaim yang kedua yaitu tidak memasukan daftar dokumen

pendukung, MI juga memutuskan sama, yaitu Filipina tidak melanggar pasal yang

terkait, karena maksud dari pasal 81 paragraf 3 tersebut adalah bahwa hanya jika ada

dokumen pendukung maka daftar dokumen tersebut harus disertakan. Tidak ada

kewajiban bagi Negara yang melakukan intervensi untuk menyertakan dokumen

pendukung aplikasinya.

5.4.1. Kepentingan Hukum atau Interest of Legal Nature

Berkenaan dengan kepentingan hukum ini, Filipina mengajukan

kepentingan hukumnya yaitu pada perjanjian-perjanjian dan bukti-bukti lain yang

berkaitan dengan sengketa diatas. Lebih jauh lagi, Filipina mengajukan dua klaim

untuk kepentingan hukumnya, yaitu interpretasi kata decision atau keputusan

yang termasuk didalamnya reasoning atau analisa yang melatarbelakangi

keputusan tersebut, dan sifat kepentingan hukum yang dapat mendasari suatu hak

intervensi terjadi.

Untuk klaim yang pertama menggunakan dasar pasal 62 dengan referensi

pasal 59 bahwa bukan saja hanya keputusan atau decision dari MI, akan tetapi

juga analisa atau reasoning yang dapat membawa dampak pada kepentingan

hukum Filipina. Dalam kaitannya dengan klaim ini, MI setuju dengan klaim

Filipina karena jika mengambil textual interpretation dari redaksional kata

31 “the date of the closure of the written proceedings, within the meaning of Article 81 paragraph 1 of the rules of the court, would remain still to be finally determined”, ICJ Rep., 1990, hal. 98, paragraf 12

Page 17: Perjanjian Intr

decision, maka harus dilihat dari naskah aslinya yaitu naskah dalam Bahasa

Perancis yang mempunyai arti lebih luas termasuk pada analisa dari keputusan

tersebut.

Melihat dari kesamaan pandangan MI dengan Filipina, nampaknya akan

membawa sedikit masalah untuk kasus-kasus yang nantinya akan diajukan ke MI.

Tidak jelas mana yang lebih kuat sifat persuasive antara keputusan dengan analisa

yang melatarbelakangi keputusan tersebut,

“…but, to interpret a decision as including “reasoning” might

somehow stymie the Court in the performance of its judicial

function in a particular case and place too onerous a burden on

States by requiring them to be extra vigilant for fear of what the

Court’s reasoning might be in particular case”.32

Analisa disini juga diartikan sebagai separate dan dissenting opinion dari

para hakim MI. Selain itu, kemungkinan untuk intervensi akan semakin terbuka

dengan adanya unsure analisa yang dapat dijadikan dasar atas dampak yang

mungkin didapati atas suatu kasus. Akan tetapi, jika melihat dari sisi

pertimbangan hukumnya, memang MI dapat lebih mendapatkan pertimbangan

hukum jika unsur analisa mempunyai kedudukan yang sama dengan keputusan.

Dalam proses keseluruhan beracara, Filipina tidak dapat membuktikan

kepentingan hukum yang akan terkena dampak, baik dari unsur keputusan

maupun unsur analisanya.

Klaim yang kedua mengenai sifat kepentingan hukum dari intervensi, MI

melihat bahwa sifat kepentingan hukum untuk melakukan intervensi harus

mengacu langsung kepada perihal atau objek sengketa. Hal ini didukung oleh

mayoritas klaim dari Negara yang diperbolehkan melakukan intervensi, kasus

Nikaragua dan Equatorial Guinea. Untuk klaim yang kedua ini, kembali Filipina

32 Lihat Separate Opinion, Hakim Koroma, Kasus Sovereignty over Pulau Sipadan & Ligitan, ICJ Rep. 2001

Page 18: Perjanjian Intr

gagal menunjukan kepentingan hukum yang mengacu langsung kepada inti

sengketa. Unsur convincing demonstration kembali diambil sebagai dasar oleh MI

dalam memutus klaim ini.

5.4.2. Objek yang jelas dan pasti atau Precise Object of Intervention

Filipina mengajukan tiga objek berkenaan dengan aplikasi intervensinya,

yaitu:

“First, to preserve and safeguard the historical and legal rights of

the Government of the Republic of the Philippines arising from its

claim to dominion and sovereignty over the territory of North

Borneo, to the extent that these rights are affected, by a

determination of the Court of the question of sovereignty over

Pulau Sipadan and Ligitan; Second, to intervene in the

proceedings in order to inform the Honourable Court of the nature

and extent of the historical and legal rights of the Republic of the

Philipines which may be affected by the Court’s decision; and

third, to appreciate more fully the indispensable role of the

Honourable Court in comprehensive conflict prevention and not

merely for the resolution of legal disputes.”33

Untuk objek yang pertama dan kedua, MI mengambil formulasi yang

sama dari keputusan terdahulunya tentang intervensi, bahwa melindungi dan

memberikan informasi kepada MI atas hak-hak hukum yang ada, adalah

33 Aplikasi Intervensi Filipina dalam kasus Sovereignty over Pulau Sipadan and Ligitan, ICJ rep. 2001

Page 19: Perjanjian Intr

diperbolehkan.34 Sedangkan untuk objek yang ketiga, karena dalam proses

pembelaan presentasinya Filipina tidak menjelaskan serta menguatkan objeknya

tersebut, maka MI menolak objek ketiga tersebut.

5.4.3. Hubungan Jurisdiksi atau Jurisdictional Link

Seperti yang telah diputuskan pada kasus terdahulunya, tidak diperlukan

adanya hubungan jurisdiksi dalam sebuah aplikasi intervensi dengan catatan

bahwa Negara yang mengajukan intervensi tidak mempunyai maksud untuk ikut

beracara di dalam MI. Pada kasus ini Filipina dengan jelas menyebutkan untuk

tidak menjadi pihak yang bersengketa.35 Hubungan Jurisdiksi diperlukan hanya

jika pihak yang melakukan intervensi bermaksud untuk menjadi pihak yang

bersengketa dan maksud tersebut disetujui oleh para pihak yang sedang

bersengketa.36

\

34 lihat kasus Continental Shelf, Judgment ICJ Rep. 1984, hal 11-12; Kasus Land Island and Maritime Frontier Boundary, Judgment, ICJ Rep. hal 108-109; dan Kasus Land Maritime Boundary, ICJ Rep., 1999, hal 1032

35 Kasus Land Island Frontier Maritime, ICJ Rep 1990, hal 135; Kasus Land and Maritime Boundary, ICJ Rep. 2001, hal 1034-1035

I36 Kasus Land Island Frontier Maritime, ICJ Rep 1990, hal 135

Page 20: Perjanjian Intr

BAB III

1.Kesimpulan dan Saran

Begitu banyak permasalahan hak intervensi dalam mahkamah internasional., engara

Negara dunia harus menemukan solusi solusi terbaik dan meningkatkan stabilitas antar

Negara dunia .