peranan wali dalam pernikahan menurutdigilib.uinsby.ac.id/31674/2/alfiatus soliha_e93215090.pdf ·...
TRANSCRIPT
PERANAN WALI DALAM PERNIKAHAN MENURUT
AL-JAS{S{AS{ DAN AL-QURT{UBI<
(Analisis Surat Al-Baqarah Ayat 221 dan 232)
Skripsi:
Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana
Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Alquran dan Tafsir
Oleh:
ALFIATUS SOLIHA
NIM. E93215090
JURUSAN ILMU ALQURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2019
PERANAN WALI DALAM PERNIKAHAN MENURUT
AL-JAS{S{AS{ DAN AL-QURT{UBI<
(Analisis Surat Al-Baqarah Ayat 221 dan 232)
Skripsi:
Diajukan kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
untuk Memenuhi Salah Satu Pesyaratan
dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S-1)
Oleh:
ALFIATUS SOLIHA
NIM. E93215090
JURUSAN ILMU ALQURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2019
ii
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
xiii
ABSTRAK
Alfiatus Soliha, Peranan Wali dalam Pernikahan Menurut Al-Jas}s}as} dan
Al-Qurt}ubi> (Analisis Surat Al-Baqarah ayat 221 dan 232).
Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan melalui sebuah ikatan
pernikahan. Pernikahan merupakan suatu ikatan suci bagi pria dan wanita
sebagaimana yang disyariatkan agama dengan maksud dan tujuan yang luhur.
Dalam suatu pernikahan bisa dinggap sah apabila memenuhi syarat-syarat dan
rukun-rukun pernikahan. Dan salah satu rukun dari pernikahan yaitu adanya wali
nikah. Mengenai peranan wali dalam pernikahan ada perbedaan pendapat
dikalangan ulama’ tafsir dan ulama’ fiqh.
Penelitin ini difokuskan menjadi beberapa masalah yaitu: Pertama,
bagaimana penafsiran Al-Jas}s}as} mengenai peranan wali dalam pernikahan?,
kedua, bagaimana penafsiran Al-Qurt}ubi> mengenai peranan wali dalam
pernikahan?, kemudian Apa persamaan dan perbedaan penafsiran diantara kedua
mufassir tersebut?. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan
penafsiran Al-Jas}s}as} mengenai peranan wali dalam pernikahan, untuk
mendeskripsikan penafsiran Al-Qurt}ubi> mengenai peranan wali dalam pernikahan
dan untuk menganalisis persamaan dan perbedaan penafsiran antara Al-Jas}s}as} dan
Al-Qurt}u>bi>.
Penelitian ini menggunakan pendekatan metode muqoron yang biasanya
dikenal dengan metode komparatif, yang bertujuan untuk membandingkan
interpretasi Al-Jas}s}as} dan Al-Qurt}u>bi> terhadap peranan wali dalam pernikahan.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan tentang
peranan wali dalam pernikahan menurut Al-Jas}s}as} ialah tidak ada keharusan wali
dalam pernikahan. Karena perempuan yang sudah dewasa dan sehat akalnya dapat
berbut atas dirinya sendiri baik yang berhubungan dengan akad nikah maupun
memilih laki-laki yang disukainya dengan tidak bersandar pada walinya, asalkan
dengan laki-laki yang sekufu dengannya. Tetapi jika tidak sekufu dengan pihak
perempuan maka wali mempunyai hak untuk memisahkan keduanya. Sedangkan
Al-Qurt}u>bi> menafsirkan tentang peranan wali dalam pernikahan adalah suatu hal
yang muthlak untuk diadakan baik untuk seorang perawan ataupun seorang janda.
Karena tidak akan sah suatu pernikahan jika tanpa adanya wali dan tidak ada hak
sama sekali bagi perempuan untuk mengakadkan dirinya sendiri maupun
menikahkan saudara perempuannya.
Kata kunci: Al-Jas}s}as}, Al-Qurt}ubi>, Wali nikah.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
xiv
DAFTAR ISI
PERNYATAAN KEASLIAN ................................................................................ iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................................... iv
PENGESAHAN TIM PENGUJI ............................................................................. v
MOTTO ................................................................................................................. vi
PERSEMBAHAN ................................................................................................. vii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................ xi
ABSTRAK ............................................................................................................. xi
DAFTAR ISI .......................................................................................................... xv
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ..................................................................................... 6
C. Rumusan Masalah ........................................................................................ 7
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................................. 7
E. Kerangka Teoritik ........................................................................................ 8
F. Telaah Pustaka ............................................................................................. 9
G. Metodologi Penelitian ................................................................................ 10
H. Sistematika Pembahasan ............................................................................ 13
BAB II : MAKNA WALI NIKAH
A. Wali Nikah ................................................................................................. 15
B. Teori yang digunakan Al-jas}s}as} dan Al-qurt}ubi> ........................................ 24
BAB III : BIOGRAFI BESERTA PENAFSIRAN MUFASSIR AL-JAS}S}AS} DAN
AL-QURT}UBI>> DALAM TAFSIR AH{KA<M ALQURA<N DAN
TAFSIR AL-JA<MI’ LI AH{KA<M ALQURA<N
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
xv
A. Biografi Tokoh
1. Al-jas}s}as} ................................................................................................. 43
2. Al-qurt}ubi> ............................................................................................... 52
B. Tafsir Ayat-Ayat Terkait Dengan Wali Dalam Pernikahan
1. Ayat dan Terjemah ................................................................................. 62
2. Asbab Al-Nuzul ..................................................................................... 62
3. Penafsiran Al-jas}s}as} dan Al-qurt}ubi> ..................................................... 63
BAB IV: ANALISIS TERHADAP TAFSIR AH{KA<M ALQURA<N DAN
TAFSIR AL-JA<MI’ LI AH{KA<M ALQURA<N TENTANG
PERANAN WALI DALAM PERNIKAHAN
A. Peranan Wali Dalam Pernikahan Menurut Mufassir Al-jas}s}as} dan Al-
qurt}ubi> dalam Tafsir Ah{ka>m Alqura>n dan Tafsir Al-Ja>mi’ Li Ah{ka<m
Alqura>n ....................................................................................................... 73
B. Analisis Persamaan dan Perbedaan Penafsiran dari Mufassir Al-jas}s}as} dan
Al-qurt}ubi> Dalam Tafsir Ah{ka>m Alqura>n dan Tafsir Al-Ja>mi’ Li Ah{ka<m
Alqura>n ....................................................................................................... 77
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................ 81
B. Saran ........................................................................................................... 82
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 83
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama Islam adalah agama fitrah dan manusia adalah makhluk ciptaan
Allah yang ada di bumi yang paling sempurna dan mulia diantara makhluk lainnya
yaitu diberi akal, dengan adanya akal manusia bisa mengetahui mana perkara yang
hak dan yang bathil. Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang mempunyai
naluri manusiawi yang perlu mendapatkan pemenuhan. Pemenuhan naluri manusiawi
salah satunya adalah keperluan biologis yang dapat disalurkan melalui pernikahan.1
Pernikahan menurut Islam merupakan tuntunan agama yang perlu mendapat
perhatian, sehingga tujuan melangsungkan pernikahan hendaknya ditujukan untuk
memenuhi petunjuk agama.2
Dalam Islam, pernikahan merupakan salah satu perintah agama kepada
orang yang mampu untuk melaksanakannya. Dan juga merupakan sunnah Rasulullah
yang bertujuan untuk melanjutkan keturunan dan menjaga manusia dari perbuatan-
perbuatan yang dilarang oleh syara’. Allah menciptakan makhluk berpasang-
pasangan dan berjodoh-jodohan baik hewan, tumbuhan dan manusia dalam
kehidupan adalah pernikahan. Firman Allah SWT:
1Anwar Harjomo, Hukum Islam Keluasan dan keadilan (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), 220. 2Nasaiy Aziz, Ketidak-Mutlakan Laki-Laki dalam Perwalian Nikah menurut Perspektif Ulama tafsir, Jurnal Substantia, Vol. 14, No. 2, Oktober 2012, 135.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
2
3 “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat
akan kebesaran Allah.”4
Ayat ini menjelaskan bahwa setiap makhluk diciptakan oleh Allah dan
sesungguhnya Allah juga menciptakan jodohmu dengan berlainan denganmu dari
bentuk dan juga tujuannya. Masing-masing dari keduanya merupakan jodoh bagi
yang lain.
Pernikahan merupakan ikatan suci bagi pria dan wanita sebagaimana yang
disyariatkan agama dan dengan maksud dan tujuan yang luhur. Pernikahan akan
berperan setelah masing- masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif
dalam mewujudkan tujuan dari pernikahan itu sendiri.5 Pernikahan yang dilaksanakan
oleh seorang pria dan seorang wanita, baik yang masih sendiri atau belum pernah
menikah maupun yang sudah pernah menikah baik janda maupun duda itu merupakan
sendi dasar dari terbentuknya keluarga yaitu unit penting untuk pembentukan pribadi
dan pembinaan masyarakat, yang bertujuan untuk mencapai keluarga yang sakinah
mawaddah wa rahmah.6 Oleh karena itu, dibutuhkan norma-norma untuk mengatur
pernikahan dengan segala syarat dan rukun tertentu agar penetapan dan tujuan
pernikahan dapat tercapai.
Untuk memenuhi ketentuan tersebut, maka pernikahan harus dilaksanakan
sesuai ketentuan syari’at Islam, yaitu dengan cara yang sah. Suatu pernikahan
3Alquran, 51: 49. 4Departemen Agama RI, Alquran dan terjemahan., 36. 5Slamet Abidin, Fiqih Munakahat 1 (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 9. 6Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam (Bandung: Pustaka Setia,2000), 13
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
3
dianggap sah apabila memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun pernikahan. Dan salah
satu syarat atau rukun pernikahan adalah adanya wali nikah.7
Dalam Alquran ada beberapa ayat yang berhubungan dengan wali dalam
pernikahan yang menjadi perbedaan pendapat ulama’. Ayat-ayat yang menjadi pokok
kajian dalam pembahasan peranan wali dalam pernikahan adalah Surat Al-Baqarah
ayat 221 dan ayat 223
8
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik,
walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.”9
10
7Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2012), 46. 8Alquran, 2: 221. 9Departemen Agama RI, Alquran dan terjemahan (Jakarta:TP, 1982), 34. 10Alquran, 2: 232.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
4
“Apabila kamu mentalak isteri- isterimu, lalu habis iddahnya, maka janganlah kamu
(para wali) menghalangi mereka untuk kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila
terdapat kerelaan diantara mereka dengan cara yang ma’ruf itulah yang dinasehatkan
kepada orang- orang yang beriman diantara kamu kepada Allah dan hari kemudian itu
lebih baik bagimu dan lebih suci Allah Mengetahui, sedang kamu tidak
Mengetahui.”11
Dalam kajian fiqh, adanya wali dalam pernikahan diperdebatkan oleh
beberapa ulama’. Imam Malik berpendapat bahwa tidak ada pernikahan tanpa wali,
dan wali merupakan syarat sah dari pernikahan. Pendapat ini juga dikemukakan oleh
Imam Syafi’i. Sedangkan Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Zufar, Al-Sya’bi dan Al-
Zuhri berpendapat bahwa sesungguhnya seorang perempuan yang berakal dan dewasa
berhak mengurus langsung akan dirinya sendiri termasuk dalam akad nikah, baik ia
gadis. Jika calon suami sebanding atau sekufu dengannya, maka pernikahannya
diperbolehkan, begitupun juga sebaliknya.12 Berbeda dengan Abu Dawud, ia
memisahkan antara gadis dan janda dengan syarat adanya wali pada gadis dan tidak
mensyaratkannya pada seorang janda. Pendapat lain mengatakan bahwa persyaratan
wali itu hukumnya sunnah bukan fardhu, karena mereka berpendapat bahwa adanya
waris mewarisi antar suami dan istri yang perkawinannya terjadi tanpa menggunakan
wali, juga wanita terhormat itu boleh mewakilkan kepada seorang laki-laki untuk
menikahkannya.13
Dalam menafsirkan ayat tentang wali diatas, ulama’ tafsir juga berbeda
pendapat. Al-Qurt}ubi> menganggap khithab yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut
11Departemen Agama RI, Alquran dan terjemahan (Jakarta:TP, 1982), 36. 12Slamet Abidin, Fiqih Munakahat 1,..84. 13Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat,..60.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
5
khusus ditujukan kepada wali.14 Dengan ayat yang sama juga, Al-Jas}s}as} menafsirkan
bahwa khithab yang dimaksud ditujukan kepada semua orang termasuk wali di
dalamnya.15 Apabila khithab yang ditunjukkan pada ayat-ayat di atas khusus
ditunjukan kepada wali, sebagian ulama’ berpendapat bahwa adanya wali laki-laki
dalam penikahan adalah muthlak.16 Dan sebaliknya apabila khithab yang dimaksud
ayat diatas ditujukan kepada semua orang termasuk wali di dalamnya berarti adanya
wali tidak muthlak dalam pernikahan. Hal ini berarti wanita yang telah memenuhi
syarat pernikahan dapat menjadi wali untuk dirinya sendiri dalam pernikahan.17
Dari kedua mufassir diatas, tampaknya berbeda pendapat terkait adanya wali
dalam pernikahan, dikarenakan berbedanya madzhab yang dianut oleh kedua
mufassir. Al- Jas}s}as} adalah penganut madzhab Hanafi yang sangat fanatik dan buta
madzhab sehingga memaksa-maksakan penafsiran dan penakwilannya untuk
mendukung madzhab yang dianut. Sedangkan Al-Qurt}u>bi> adalah penganut madzhab
Maliki yang tidak fanatik sehingga ia menafsirkan Alquran dengan apa adanya yang
ada di dalam Alquran dan tidak terlalu berpegang teguh dengan pendapat imam
madzhab yang dianutnya.18
Dari perbedaan pendapat tersebut, penulis tertarik untuk membahas lebih
lanjut tentang judul ini, selain berbeda pendapat dalam menafsirkan sebuah ayat
14Al-Qurthu>bi>, Al-Jami’ Li Ahkam Alquran, Juz III (Beirut: Dar Al-Fikr, 1995), 146. 15Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap(Jakarta: Rajawali Pers,
2009), 136. 16Ibid,...137. 17Al-Jaṣsaṣh, Ahkaam al Qur’an, Juz II (Kairo: Mathba’at Abd Rahman, t.t.), 101. 18Ahmad Baidowi, Studi Kitab Tafsir Klasik Tengah (Yogyakarta: TH-Press, 2010), 73.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
6
tentunya dalam metode atau langkah- langkah mufassir dalam menafsirkan ayat juga
berbeda. Untuk itu penulis akan mencari perbedaan maupun persamaan metode yang
digunakan mufassir sehingga pendapat yang sudah dijadikan pedoman para mufassir
tersebut juga bisa diterima oleh umat yang lain.
Maka dari itu, penelitian ini akan memaparkan bagaimana Al-Jas}s}as} dan Al-
Qurt}ubi> memahami khitab mengenai ayat-ayat yang berkaitan dengan wali di atas
dalam tafsirnya yaitu Tafsir Ah}ka>m Alqura>n dan Tafsir Li Ah}ka>m Alqura>n . Dan di
penelitian ini akan menganalisis metode yang diterapkan oleh para mufassir salah
satuya adalah Al-Jas}s}as} dan Al-Qurt}u>bi> karena kedua mufassir tersebut berbeda
pendapat terkait dengan tema yang sudah tertera.
B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah
Dari pemaparan latar belakang, dapat diidentifikasi beberapa masalah yang
timbul terkait dengan peranan wali dalam pernikahan menurut Al-Jas}s}as} dan Al-
Qurt}u>bi meliputi:
1. Apa yang dimaksud dengan wali nikah
2. Apa pendekatan ulumul quran yang digunakan Al-Jas}s}as} dan Al-Qurt}ubi> dalam
menafsirkan Alquran
3. Bagaimana biografi Al-Jas}s}as} dan Al-Qurt}u>bi>
4. Bagaimana penafsiran Al-Jas}s}as} dan Al-Qurt}ubi> berkaitan dengan tema diatas
5. Metode apa yang digunakan Al-Jas}s}as} dan Al-Qurt}u>bi> dalam menafsirkan ayat
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
7
6. Apa perbedaan teori yang digunakan Al-Jas}s}as} dan Al-Qurt}u>bi> sehingga keduanya
memiliki perbedaan dalam menafsirkan sebuah ayat
Dari identifikasi diatas, penelitian ini hanya fokus pada pendapat kedua
mufassir yaitu Al-Jas}s}as} da Al-Qurt}u>bi> mengenai penafsiran ayat tentang wali nikah.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, dapat dirumuskan beberapa
permasalahan untuk memperkuat fokus penelitian ini diantaranya:
1. Bagaimana penafsiran Al-Jas}s}as} mengenai peranan wali dalam pernikahan?
2. Bagaimana penafsiran Al-Qurthu>bi> mengenai peranan wali dalam pernikahan?
3. Apa persamaan dan perbedaan penafsiran diantara kedua mufassir tersebut?
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah diatas, penelitian ini mempunyai beberapa
tujuan, diantaranya:
1. Untuk mendeskripsikan penafsiran Al-Jas}s}as} mengenai peranan wali dalam
pernikahan
2. Untuk mendeskripsikan penafsiran Al-Qurt}ubi> mengenai peranan wali dalam
pernikahan
3. Untuk menganalisis persamaan dan perbedaan penafsiran antara Al-Jas}s}as} dengan
Al-Qurt}ubi>
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
8
E. Kerangka Teoritik
Penelitian ini memposisikan bagaimana wali dalam pernikahan dan tentang
teori Al-Jas}s}as} dan Al-Qurt}u>bi> yang digunakan dalam menafsirkan suatu ayat. Oleh
karena itu, pengertian dari wali dan teori-teori yang digunakan Al-Jas}s}as} dan Al-
Qurt}u>bi> sebagai acuan dari penelitian ini.
Makna perwalian menurut bahasa adalah rasa cinta dan pertolongan. Bisa
juga diartikan kekuasaan atau kemampuan. Sedangkan menurut istilah, yang
dimaksud dengan wali adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk
bertindak terhadap dan atas nama orang lain adalah karena orang lain itu memiliki
suatu kekurangan pada dirinya yang tidak memungkinkan ia bertindak sendiri secara
hukum, baik dalam urusan bertindak atas harta atau atas dirinya.19
Mengenai peranan wali dalam pernikahan, ada perbedaan pendapat para
ulama’ madzhab secara prinsip sebagai berikut: Ulama’ Hanafiyah dan Ulama’
Syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa untuk perempuan yang sudah dewasa dan sehat
akalnya dapat melangsungkan sendiri akad perkawinannya tanpa adanya wali.
Sedangkan Ulama’ Syafi’iyah dan Ulama’ Hanabilah berpendapat bahwa setiap akad
perkawinan dilakukan oleh wali, baik itu perempuan dewasa atau masih kecil, janda
atau masih perawan, sehat akalnya atau tidak..20 Sedangkan pendapat Imam Malik
menurut riwayat Asyhab, wali mutlak dalam suatu pernikahan dan tidak sah
pernikahan tanpa adanya wali.
19Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta:Kencana, 2006, 2014), 69. 20Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat… ,166.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
9
Pada wali disyaratkan beberapa syarat yang disepakati oleh para fuqaha’:
Kemampuan yang sempurna: baligh, berakal, merdeka dan adanya kesamaan agama
antara orang yang mewalikan dengan orang yang diwalikan.
Dalam menafsirkan Alquran disyaratkan untuk menguasai teori uumul
quran. Berikut salah satu teori ulu>mul qura>n yang digunakan Al-Jas}s}as} dan Al-
Qurt}u>bi> dalam menafsirkan Alquran yaitu dengan menggunakan teori asbab al-nuzul,
teori munasabah dan teori qira’at.
F. Telaah Pustaka
Sejauh penelusuran yang telah dilakukan, belum ada penelitian terdahulu yang
membahas spesifik seperti tema di atas. Akan tetapi, ditemukan beberapa karya
ilmiah yang ada kaitannya dengan tema yang penulis angkat. Adapun karya yang
ditemukan di antaranya:
1. “Wali Nikah Beda Agama Dalam Perspektif Madzhab Sunni Dan Syi’ah” judul
skripsi yang ditulis oleh Naharia yang mana di dalamnya membahas bagaimana
perwalian beda agama menurut madzhab Sunni dan Syi’ah.
2. “Wali Nikah Dalam Hukum Islam” adalah judul skripsi yang ditulis oleh M.
Wadis yang mana di dalamnya membahas tentang bagaimana wali nikah menurut
hukum islam.
3. “Perspektif Kiai Krapyak Mengenai Wali Nikah Dalam Pandangan Abu Hanifah”
judul skripsi yang ditulis oleh Su’udi Al- Asyari yang dalam nya membahas
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
10
tentang bagaimana pandangan seorang Kiyai yang ada di Krapyak tentang wali
nikah dalam sudut pandang Abu Hanifah.
4. “Kedudukan Anak Kandung Menjadi Wali Nikah Ibunya Menurut Perpsektif Fiqih
Munakahat” judul skripsi yang ditulis oleh Mario Guno yang di dalamnya
membahas tentang anak yang akan menjadi wali nikah untuk ibunya menurut
Fiqih Munakahat.
G. Metodologi Penelitian
Metode penelitian yang diterapkan dalam menyelesaikan penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research), yakni
metode pengumpulan data dengan melakukan kegiatan kepustakaan melalui buku-
buku, skripsi, jurnal, karya ilmiah, penelitian terdahulu, dan lain sebagainya yang
berkaitan dengan penelitian yang sedang dilakukan, dengan cara pengutipan baik
secara langsung maupun tidak langsung, selanjutnya data tersebut dibahas dan
dianalisis. Adapun dalam penelitian ini hanya terfokus pada sumber data primer
yaitu Tafsi>r Ahka>m Alqura>n karya Al- Jas}s}as} dan Tafsi<r Al- Ja>mi’ Li Ahka>m
Alqura>n karya Al-Qurt}ubi<.
Adapun sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kualitatif, yakni jenis penelitian yang hasil penemuannya didapatkan tidak melalui
prosedur pengukuran atau statistik.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
11
2. Metode Pendekatan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode komparatif
yaitu membandingkan antara dua redaksi yang bermiripan atau lebih, atau
membandingkan antara ayat dengan hadis, atau antara berbagai pendapat mufassir
dalam menafsirkan suatu ayat sebagaimana yang telah disebutkan21.
Selain itu, digunakan metode analitis yaitu membicarakan asbab al-
nuzul, munasabat dan aspek- aspek lainnya yang berkaitan dengan ayat yang
ditafsirkan seperti halnya kosakata, susunan kalimat dan lain sebagainya. Dari
pengertian tersebut maka paling penting nantinya akan mencari asbab al- nuzul
dari ayat yang dengan tema untuk mengetahui asal usul turunnya ayat tersebut, dan
munasabah ayat sebelumnya dari ayat yang sudah tertera pada topik pembahasan
tersebut. Dalam hal ini penulis mengambil pendapat Al- Jassash dan Al- Qurtubi
sebagai penafsiran mengenai ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum.
3. Sumber Data
Adapun sumber yang digunakan dalam menyelesaikan penelitian ini
adalah bersumber pada referensi yang ada kaitannya dengan permasalahan di atas,
yang mana sumber data dibagi menjadi dua, yakni sumber data primer dan
sekunder.
a. Sumber data primer
Sumber data primer, yakni Tafsir Ahkam Alquran karya Al- Jassash
dan TafsirAl- Jami’ Li Ahkam Alquran karya Al- Qurtubi.
21Nasruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2012), 65.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
12
b. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder, yakni buku- buku yang ada kaitannya dengan
pembahasan tema dalam penelitian ini, antara lain yaitu:
1) Fiqih Islam Wa Adillatuhu karya Prof. Dr. Wahbah Zuhaili.
2) Fiqih Munakahat karya Drs. Slamet Abidin.
3) Fikih Munakahat karya Prof. Dr. H.M.A. Tihami, M.A., M.M. dan Drs.
Sohari Sahrani, M.M., M.H.
4) Metodologi Penafsiran Al-Quran karya Nasruddin Baidan
4. Teknik Pengumpulan Data
Mengenai pengumpulan data, penulis menggunakan metode atau teknik
library research, yaitu mengumpulkan data-data melalui bacaan dan literatur-
literatur yang ada kaitannya dengan pembahasan penulis. Dan sebagai sumber
pokoknya adalah Alquran dan Tafsir Ahkam Alquran karya Al- Jassash dan
TafsirAl Jami’ Li Ahkam Alquran karya Al- Qurtubi penafsirannya, kitab , serta
sebagai penunjangnya yaitu buku-buku ke-Islaman dan beberapa jurnal ilmiah.
5. Teknik Pengolahan Data
Mayoritas cara atau teknik yang digunakan dalam pembahasan ini adalah
dengan mengumpulkan beberapa data yang terkait dengan fok us permasalahan,
kemudian mengklarifikasi sesuai dengan sub bab dan penyusunan yang akan
digunakan dalam penelitian berdasarkan konsep kerangka yang sebelumnya telah
dipersiapkan.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
13
6. Teknik Analisis Data
Pada teknik ini, penulis menggunakan dua macam teknik, yaitu :
a) Metode deduktif, yaitu metode yang digunakan untuk menyajikan bahan atau
teori yang sifatnya umum untuk kemudian diuraikan dan diterapkan secara
khusus dan terperinci.
b) Metode induktif, yaitu metode analisis yang berangkat dari fakta-fakta yang
khusus lalu ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum.
H. Sistematika Pembahasan
Keseluruhan penulisan ini akan disusun dalam rangkaian bab sebagai
berikut:
Bab pertama berisi pendahuluan. Pada bab ini akan dikemukakakn latar
belakang masalah, identifikasi masalah dan batasan masalah, rumusan masalah,
tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, metodologi penelitian, dan
sistematika pembahasan. Selain itu, pada bab ini juga akan dijelaskan pengertian serta
dalam bab ini juga digunakan sebagai pedoman, acuan, dan arahan sekaligus target
penelitian, agar penelitian dapat terlaksana secara terarah dan pembahasannya tidak
melebar.
Bab dua berisi tentang teori secara umum terkait dengan wali nikah dan teori
yang digunakan Al-Jas}s}as} dan Al-Qurt{u>bi>. Dimana pada bab ini menjelaskan
gambaran umum tentang wali nikah dan teori ulu>mul qura>n apa saja yang digunakan
oleh Al-Jas}s}as} dan Al-Qurt{u>bi> dalam menafsirkan ayat-ayat tentang wali.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
14
Bab ketiga membahas tentang biografi mufassir yaitu Al-Jas}s}as} dan Al-
Qurt{u>bi> disertai dengan karya-karyanya, dan penafsiran ayat-ayat tentang wali dari
kedua tokoh mufassir yaitu Al-Jas}s}as} dan Al-Qurt{u>bi>.
Bab keempat berisi tentang analisis gambaran Al-Jas}s}as} dan Al-Qurtu>bi>,
serta persamaan dan perbedaan diantara kedua tokoh tersebut.
Bab kelima membahas penutup, dimana pada bab ini merupakan hasil akhir
dari penelitian ini, yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
15
BAB II
MAKNA WALI
A. Wali Nikah
1. Definisi Wali
Makna perwalian menurut bahasa adalah rasa cinta dan pertolongan,
sebagaimana difirmankan oleh Allah:
1 “Dan barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang
beriman yang mendirikan sholat dan menuaikan zakat, seraya mereka tunduk
(kepada Allah).”2
Juga dalam firman-Nya:
3 “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka
(adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain.”4
Bisa juga diartikan kekuasaan atau kemampuan.Dikatakan al-wali yang
berarti pemilik kekuasaan.5
Sedangkan menurut Abdur Rahman Ghazali, perwalian dalam arti umum
yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan wali. Dan wali mempunyai banyak
arti, yaitu:
a. Orang yang menurut hukum agama, adat diserahi kewajiban mengurus anak
yatim serta hartanya sebelum anak itu dewasa.
1Alquran, 5:56. 2Departemen Agama RI, Alquran dan terjemahan (Jakarta:TP, 1982), 118. 3Alquran, 9: 71. 4Departemen Agama RI, Alquran dan terjemahan.,199. 5Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, terj. Abdul Hayyi al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani,
2011), 178.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
16
b. Pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan
janji nikah dengan pengantin laki-laki).
c. Orang saleh penyebar agama
d. Kepala pemerintah.6
Sedangkan dalam istilah, fuqaha’ memiliki makna yaitu kemampuan untuk
langsung bertindak tanpa bergantung pada izin seseorang.Orang yang
melaksanakan akad ini dinamakan wali. Termasuk diantaranya adalah firman
Allah: “Hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur”. (QS. Al-Baqarah:282).
Sebab disyariatkan perwalian dalam menikahkan anak kecil dan orang-orang
gila yaitu perwalian yang bersifat harus.Yang berupa perlindungan terhadap
kepentingan mereka, serta penjagaan hak-hak mereka akibat ketidakmampuan dan
kelemahan mereka agar jangan sampai hak mereka hilang ataupun tersia-siakan.
Menurut Amir Syarifuddin yang dimaksud dengan wali secara umum adalah
seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan
atas nama orang lain adalah karena orang lain itu memiliki suatu kekurangan pada
dirinya yang tidak memungkinkan ia bertindak sendiri secara hukum, baik dalam
urusan bertindak atas harta atau atas dirinya. Dalam pernikahan, wali adalah
seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah.
Akad nikah dilakukan oleh dua pihak, yaitu laki-laki yang dilakukan oleh
mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya.7
6Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2012), 22. 7Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta:Kencana, 2006, 2014), 69.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
17
2. Kedudukan wali dalam perkawinan menurut para ulama’ fiqih
Keberadaan seorang wali dalam akad nikah adalah suatu yang mesti dan
tidak sah akad pernikahan yang tidak dilakukan oleh wali.Wali ditempatkan
sebagai rukun dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama’ secara prinsip.
Dalam akad perkawinan itu sendiri wali dapat berkedudukan sebagai orang yang
bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula sebagai orang yang
diminta persetujuannya untuk kelangsungan pernikahan tersebut.
Dalam kedudukannya sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai
perempuan dalam melakukan akad terdapat perbedan pendapat di kalangan
ulama’. Terhadap mempelai yang masih kecil tidak dapat melakukan akad dengan
sendirinya dan oleh karenanya akad tersebut dilakukan oleh walinya. Namun
terhadap perempuan yang telah dewasa baik ia janda ataupun ia perawan, ulama’
berbeda pendapat. Beda pendapat itu disebabkan oleh karena tidak adanya dalil
yang pasti yang dapat dijadikan rujukan.8
Ada dua perbedaan pendapat para ulama’ madzhab secara prinsip sebagai
berikut:
a. Ulama’ Hanafiyah dan Ulama’ Syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa untuk
pernikahan anak kecil baik sehat akal atau tidak sehat akal diwajibkan adanya
wali yang akan mengakadkan pernikahannya. Sedangkan perempuan yang
sudah dewasa dan sehat akalnya dapat melangsungkan sendiri akad
perkawinannya tanpa adanya wali.
8Ibid., 69.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
18
b. Ulama’ Syafi’iyah dan Ulama’ Hanabilah berpendapat bahwa setiap akad
perkawinan dilakukan oleh wali, baik itu perempuan dewasa atau masih kecil,
janda atau masih perawan, sehat akalnya atau tidak. Tidak ada hak sama sekali
bagi perempuan untuk mengakadkan perkawinannya. Akan tetapi apabila
seorang anak kecil menginjak baligh dalam keadaan mengerti lalu terkena ke-
safih-an (idiot), maka perwaliannya khusus berada ditangan hakim, tidak pada
ayah atau kakeknya, apalagi pada pada orang-orang yang menerima wasiat dari
mereka berdua.9
c. Pendapat Imam Malik menurut riwayat Asyhab, wali mutlak dalam suatu
pernikahan dan tidak sah pernikahan tanpa adanya wali.
d. Ulama’ Zhahiriyah berpendapat bahwa untuk perempuan yang masih kecil atau
tidak sehat akal diwajibkan adanya wali, sedangkan untuk perempuan yang
sudah dewasa yang diwajibkan adalah izin dari wali untuk melangsungkan
pernikahan.10
3. Macam-macam Wali
Wali Nikah ada empat macam yaitu:
a) Wali Nasab
Wali Nasab adalah wali nikah karena ada hubungan nasab dengan wanita
yang akan melangsungkan pernikahan. Tentang urutan wali nasab, terdapat
perbedaan pendapat diantara ulama’ fiqih.Imam Malik mengatakan bahwa
9Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat… ,166. 10Ibid,.. 74.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
19
perwalian itu didasarkan atas keabsahan kecuali anak laki-laki, dan keluarga
terdekat lebih berhak untuk menjadi wali.
Selanjutnya, ia mengatakan anak laki-laki sampai ke bawah lebih utama,
kemudian ayah sampai keatas, kemudian saudara-saudara lelaki seayah ibu,
kemudian saudara lelaki seayah saja, kemudian anak lelaki dari saudara-saudara
lelaki seayah saja, lalu kakek dari pihak ayah, sampai keatas.
Imam Syafi’i memegangi keabsahan, yakni bahwa anak lelaki tidak
termasuk asabah seorang wanita. Sedangkan Imam Malik tidak menganggap
asa>bah pada anak. Jumhur ulama’ fikih berpendapat bahwa urutan-urutan wali
adalah sebagai berikut:
1) Ayah seterusnya ke atas
2) Saudara laki-laki ke bawah
3) Saudara laki-laki ayah ke bawah
b) Wali hakim
Wali hakim adalah wali nikah dari hakim atau qa>dhi>. Orang yang berhak
menjadi wali hakim adalah: kepala pemerintahan (sultho>n), khali>fah
(pemimpin), penguasa (rai>s) atau qadi nikah yang diberi wewenang dari kepala
Negara untuk menikahkan wanita yang berwali hakim. Apabila tidak ada orang-
orang tersebut, maka wali hakim dapat diangkat oleh orang-orang yang
terkemuka dari daerah tersebut atau orang-orang alim (ahlu al-halli wa al-
‘aqdi). Adanya wali hakim apabila terjadi hal-hal sebagai berikut:
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
20
1) Tidak ada wali nasab
2) Tidak cukup syarat-syarat wali aqrab ataupun wali ab’ad
3) Wali aqrab ghaib atau pergi dalam perjalanan sejauh kurang lebih 92.5
atau dua hari perjalanan
4) Wali aqrab dipenjara dan tidak bisa ditemui
5) Wali aqrabnya ‘adhol
6) Wali aqrabnya berbelit-belit (mempersulit)
7) Wali aqrabnya sedang ihram
8) Wali aqrabnya sendiri akan menikah
9) Wanita yang dinikahkan gila, tetapi sudah dewasa dan wali mujbir tidak
ada.
c) Wali tahkim
Wali yang diangkat oleh calon suami atau calon istri. Wali tahkim terjadi
apabila:
1) Wali nasab tidak ada
2) Wali nasab gaib atau bepergian sejauh dua hari perjalanan dan tidak ada
wakilnya disitu
3) Tidak ada qadhi atau pegawai pencatat nikah, talak dan rujuk (NTR)11
d) Wali maula
Wali maula yaitu wali yang menikahkan budaknya, artinya majikannya
sendiri.Laki-laki boleh menikahkan perempuan yang berada dalam
11Ibid,.. 74.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
21
perwaliannya bilamana perempuan itu rela menerimanya.Perempuan yang
dimaksud adalah hamba sahaya yang berada di dalam kekuasaannya.
e) Wali mujbir dan wali ‘adhol
Bagi orang yang kehilangan kemampuannya, seperti orang gila,
perempuan yang belum mencapai umur mumayyiz, termasuk perempuan yang
masih gadis, maka boleh dilakukan wali mujbir atas dirinya.
Yang dimaksud dengan berlakunya wali mujbir yaitu seorang berhak
menikahkan perempuan yang diwalikannya diantara golongan tersebut tanpa
menanyakan pendapat mereka terlebih dahulu, da berlaku juga bagi orang yang
diwalikan tanpa melihat ridha atau tidaknya.
Adapun yang dimaksud dengan ijbar (mujbir) adalah hak seorang ayah
(ke atas) untuk menikahkan anak gadisnya tanpa persetujuan yang bersangkutan
dengan syarat-syarat tertentu, yaitu:
1) Tidak ada rasa permusuhan antara wali dengan perempuan yang menjadi
wilayat (calon pengantin wanita)
2) Calon suaminya sekufu dengan calon istri atau lebih tinggi.
3) Calon suami sanggup membayar mahar pada saat dilangsungkan akad nikah.
Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka hak ijbar menjadi
gugur.Sebenarnya ijbar bukan harus diartikan paksaan, tetapi lebih cocok bila
diartikan pengarahan.12Dikatakan wali yang tidak mujbir adalah:
1) Wali selain ayah, kakek dan terus keatas
12Ibid., 75.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
22
2) Wilayatnya terhadap wanita-wanita yang sudah baligh dan mendapat
persetujuan dari yang bersangkutan.
3) Bila calon pengantin wanitanya janda maka izinnya harus jelas baik secara
lisan atau tulisan.
4) Bila calon pengantin wanitanya gadis, maka cukup dengan diam.
Apabila wali itu tidak mau menikahkan wanita yang sudah baligh yang
akan menikah dengan seorang pria yang sekufu,maka dinamakan wali ‘adhol.
Apabila terjadi seperti itu, maka perwalian langsung pindah kepada wali hakim
(Qadhi>) bukan kepada wali ab’ad, karena wali ‘adhol adalah dzalim sedangkan
yang menghilangkan sesuatu yang dzalim adalah hakim.Tapi jika ‘adhol-nya
sampai tiga kali, berarti dosa besar dan fasiq maka perwaliannya pindah ke wali
ab’ad.
Lain hal-nya kalau adhol-nya itu karena sebab nyata yang dibenarkan
oleh syara’, maka disebut tidak adhol, seperti wanita yang menikah dengan pria
yang tidak sekufu atau menikah maharnya dibawah misil atau wanita dipinang
oleh pria lain yang lebih pantas (kufu) dari peminang pertama.13
4. Syarat wali
Para ulama’ madzhab sepakat bahwa wali dan orang-orang yang menerima
wasiat untuk menjadi wali, dipersyaratkan harus baligh, mengerti dan seagama,
13Slamet Abidin, Fiqih Munakahat 1..,96.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
23
bahkan banyak diantara mereka yang mensyaratkan bahwa wali itu harus adil,
sekalipun ayah ataupun kakek.14
Pada wali disyaratkan beberapa syarat yang disepakati oleh para fuqaha’:
a) Kemampuan yang sempurna: baligh, berakal, merdeka.
b) Adanya kesamaan agama antara orang yang mewalikan dengan orang yang
diwalikan.
Ada juga sebagian fuqaha’ telah sepakat bahwa sifat-sifat seorang wali
adalah harus islam, dewasa dan laki-laki. Akan tetapi berbeda pendapat dalam hal
wali dari hamba sahaya, orang fasiq dan orang bodoh.
Mengenai kecerdikan (al-rusyd) menurut madzhab Maliki tidak termasuk
syarat dalam perwalian.Pendapat senada juga dikemukakan oleh imam Abu
Hanifah.Akan tetapi, Imam Syafi’i berpendapat bahwa kecerdikan menjadi syarat
dalam perwalian.Sama halnya dengan pendapat Asyhab dan Abu
Musy’ab.Perbedaan ini disebabkan oleh kemiripan kekuasaan dalam menikahkan
dengan kekuasaan (perwalian) dalam urusan harta benda.Dengan demikian, dapat
dikemukakan bahwa orang yang bodoh tidak sah menjadi wali.
Bagi fuqaha’ yang berpendapat bahwa kecerdikan merupakan syarat dalam
perwalian untuk menikahkan bersama ketiadaannya pada perwalian dalam urusan
harta benda, mereka berkata bahwa seorang wali tidak disyaratkan harus cerdik
dalam urusan harta benda, mereka mengatakan bahwa seorang wali tidak
disyaratkan harus cerdik pula dalam urusan harta benda.
14Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat,…169.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
24
Sedangkan bagi fuqaha’ yang berpendapat bahwa kecerdikan itu tidak
diisyaratkan dalam perwalian, maka mereka mengharuskan adanya kecerdikan
dalam masalah harta benda.
Dengan demikian dalam hal ini terdapat dua bagian yaitu kecerdikan dalam
urusan harta berlainan dengan kecerdikan dalam memilih calon suami yag patut
untuk wanita.
Dalam masalah keadilan, ulama’ juga berbeda pendapat dalam kaitannya
dengan kekuasaan untuk menjadi wali, apabila tidak terdapat keadilan maka tidak
dapat dijamin bahwa wali tidak akan memilihkan calon suami yang seimbang bagi
wanita yang berada di bawah perwaliannya.
Sedangkan tentang hamba sahaya, karena tidak sempurnanya maka terdapat
perselisihan tentang perwaliannya sebagaimana diperselisihkan tentang
keadilannya.15
B. Teori yang digunakan Al-Jas}s}as} dan Al-Qurt}ubi>
Kajian ilmu- ilmu syariat pada umumnya dan ilmu tafsir pada khususnya
merupakan aktifitas yang harus memperhatikan dan mengetahui sejumlah syarat dan
adab agar dengan demikian jernihlah salurannya serta terpeliharalah keindahan
wahyu dan keagungannya. Salah satu syarat atau alat untuk menafsirkan Alquran
adalah mengetahui tentang pokok-pokok ilmu yang berkaitan dengan Alquran seperti
15Slamet Abidin, Fiqih Munakahat 1.., 98.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
25
ilmu qira’at, ilmu makki madani, dan lainnya.16 Berikut salah satu teori ulum Alquran
yang digunakan Al-Jas}s}as} dan Al-Qurt}u>bi> dalam menafsirkan Alquran yaitu:
1. Asbab Al-Nuzul
a. Pengertian Asbab Al-Nuzul
Kata Asbab al-Nuzul terdiri atas kata asbab dan al-nuzul. Asbab adalah
kata jamak dari kata sabab, sabab yang secara etimologis berarti sebab, alasan,
illat (dasar logis), perantaraan, wasilah pendorong (motivasi), tali kehidupan,
persahabatan, hubungan kekeluargaan, kerabat, asal, sumber dan jalan.Yang
dimaksud dengan nuzul ialah turun. Maka, asbabal-nuzul merupakan
pengetahuan mengenai sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya surat, atau
ayat Alquran secara keseluruhan dari Allah kepada Nabi Muhammad melalui
perantaraan malaikat Jibril.17
Secara terminologi, M.Hasbi ash-Shiddiqie mendefinisikan asbab al-
nuzul sebagai suatu kejadian yang karenanya Alquran diturunkan untuk
menerangkan hukum pada hari timbulnya kejadian itu serta suasana yang di
dalamnya Alquran diturunkan dan membicarakan sebab itu, baik diturunkan
langsung sesudah terjadi sebab tersebut atau lantaran adanya suatu hikmah.
Banyak pengertian terminologi tentang asbab al-nuzul yang dirumuskan
oleh para ulama’, diantaranya:
16Manna’ Khalil Al-Qattan, terj.Mudzakir AS, Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Bogor:Pustaka Litera
AntarNusa, 2013), 465. 17Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an (Jakarta: Rajawali Pers, 2017), 204.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
26
1) Menurut Al-Zarqani: Asbab Al-Nuzul adalah khusus atau sesuatu yang
terjadi seta ada hubungannya dengan turunnya ayat alquran sebagai penjelas
hukum hukum pada saat peristiwa itu terjadi.
2) Menurut Al-Shabuni: Asbab Al-Nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang
menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat mulia yang berhubungan
dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa pertanyaan yang
diajukan kepada Nabi atau yang berkaitan dengan urusan agama.
3) Menurut Shubhi Shalih: Asbab Al-Nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab
turunnya satu atau beberapa ayat Alquran terkadang menyiratkan peristiwa
itu sebagai respon atasnya. Atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum di
saat peristiwa itu terjadi.
4) Menurut Al-Qatthan: Asbab Al-Nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang
menyebabkan turunnya alquran berkenaan dengan waktu peristiwa itu
terjadi, baik berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan
kepada Nabi.18
5) Menurut Imam Al-Suyuthi: Asbab al-Nuzul merupakan rangkaian peristiwa
berdasarkan riwayat dari para sahabat dan tabi’in serta penukilan Alquran
dan Al-Sunnah yang tidak ada ruang didalamnya kecuali dengan melakukan
tarjih antara berbagai dalil atau menghimpun berbagai dalil yang kerap
terdapat pertentangan.19
18Manna’ Khalil Al-Qattan, terj.Mudzakir AS, Studi Ilmu-ilmu Qur’an ., 110. 19Imam Suyuthi, terj. Ali Nurdin, Asbab al-nuzul (Jakarta: Qisthi Press, 2017), 1.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
27
Bisa disimpulkan, bahwa asbab al-nuzul adalah kejadian atau peristiwa
yang melatarbelakangi turunnya ayat Alquran. Ayat tersebut dalam rangka
menjawab, menjelaskan, dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari
kejadian tersebut.
Bentuk-bentuk peristiwa yang melatarbelakangi turunnya Alquran sangat
beragam, diantaranya berupa konflik sosial seperti ketegangan yang terjadi
antara suku Aus dan suku Khazraj, kesalahan besar seperti kasus salah seorang
sahabat yang mengimami sholat dalam keadaan mabuk, dan pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan oleh salah seorang sahabat kepada Nabi baik
berkaitan dengan sesuatu yang telah leawat, sedang atau yang akan terjadi.
Tetapi hal ini tidak berarti bahwa setiap orang harus mencari sebab
turun setiap ayat, karena tidak semua ayat Alquran diturunkan karena timbul
suatu peristiwa atau kejadian ataupun karena suatu pertanyaan.Tetapi ada
diantara ayat alquran yang diturunkan sebagai permulaan, tanpa sebab,
mengenai akidah iman, kewajiban Islam dan syariat Allah dalam kehidupan
pribadi dan sosial.20Al-Ja’bari menyebutkan bahwa Alquran diturunkan dalam
dua kategori yaitu yang turun tanpa sebab dan yang turun karena suatu
peristiwa atau pertanyaan.
Maka tidak selamanya harus diartikan dengan segala sesuatu yang
terjadi lebih dahulu dan baru kemudian turun ayat alquran. Sebab bisa saja
peristiwanya itu sendiri masih jauh akan terjadi, tetapi ayat alqurannya telah
20Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an,.109.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
28
diturunkan lebih dahulu. Berkenaan dengan perihal ini, Al-Zarkasyi
menegaskan bahwa terkadang memang terjadi turunnya ayat Alquran lebih
dahulu daripada pensyariatan hukum atau kejadian peristiwanya itu sendiri.
Hal ini bisa terjadi mengingat alquran itu seperti disimpulkan para ahli
tafsir, tidak hanya memuat berita-berita masa lalu, akan tetapi sekaligus
berisikan informasi peristiwa yang akan terjadi masa depan. Turunnya ayat
yang demikian kepada Nabi Muhammad sudah tentu dalam rangka memberikan
peringatan atau semacam aba-aba terhadap peristiwa yang akan terjadi.21
b. Urgensi dan kegunaan Asbab al-nuzul
Al-Zarqani dan Al-Suyuthi mensinyalir adanya kalangan yang
berpendapat bahwa mengetahui asbab al-nuzul merupakan hal yang sia-sia
dalam memahami Alquran, mereka beranggapan bahwa mencoba memahami
Alquran dengan meletakkan ke dalam koteks historis adalah sama dengan
membatasi pesan-pesannya pada ruang dan waktu tertentu. Namun, keberatan
ini seperti tidaklah berdasar, dikarenakan tidak mungkin menguniversalkan
pesan Alquran diluar masa dan tempat pewahyuan, kecuali melalui pemahaman
yang semestinya terhadap makna Alquran dalam konteks kesejarahan.
Sementara itu, mayoritas ulama’ berpendapat bahwa konteks kesejarahan
yang terakumulasi dalam riwayat asbab al-nuzul merupakan salah satu hal
yang signifikan untuk memahami pesan-pesan Alquran. Ibn Taimiyah
menyatakan:
21Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an,.207.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
29
معرفة سبب النزول تعين على فهم الاية فان العلم بالسبب يورث العلم بالمسبب “Asbab al-nuzul sangat menolong dalam mengintrepetasikan Alquran”
بيان سبب النزول طريق قوي فى فهم معانى الكتاب العزيز“Penjelasan terhadap Asbab al-nuzul merupakan metode yang kondusif
untuk menginterpretasikan makna-makna Alquran.”
Urgensi pengetahuan akan asbab al-nuzul dalam memahami Alquran
yang diperlihatkan oleh para ulama’ salaf yang ternyata mendapatkan dukungan
dari para ulama’ khalaf. Berikut urgensi asbab al-nuzul dalam memahami
Alquran, sebagai berikut
1) Membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian dalam
menangkap pesan ayat-ayat Alquran
2) Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum.
3) Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam ayat Alquran, bagi ulama’
yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang bersifat
khusus (khusus al-sabab) dan bukan lafadzh yang bersifat umum (umum al-
lafadz)
4) Asbab al-nuzul dapat menerangkan tentang siapa ayat itu diturunkan
sehingga ayat tersebut tidak diterapkan kepada orang lain karena dorongan
permusuhan dan perselisihan.22
5) Memudahkan untuk menghafal dan memahami ayat, serta untuk
memantapkan wahyu ke dalam hati orang yang mendengarkannya.23
22Manna’ Khalil Al-Qattan, terj.Mudzakir AS, Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Bogor: Pustaka Litera, 2013),
114. 23Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), 63.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
30
c. Cara mengetahui riwayat asbab al-nuzul
Asbab al-nuzul adalah peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah.
Oleh karena itu, tidak ada jalan lain untuk mengetahuinya kecuali berdasarkan
periwayatan yang benar (an-naql ash-shalih) dari orang-orang yang melihat dan
mendengar langsung tentang turunnya ayat Alquran. Dengan demikian, seperti
halnya periwayatan pada umumnya, maka diperlukan kehati-hatian dalam
menerima riwayat yang berkaitan dengan asbab al-nuzul . Dalam kitabnya Al-
Wahidi menyatakan:
لاسباب وبحثوا عن لايحل القول في اسباب نزول الكتاب الا بالرواية والسماع ممن شاهد والتنزيل ووقفوا على ا علمها وجدوا فى الطلب
“Pembicaraan Asbab al-nuzul tidak dibenarkan kecuali dengan
berdasarkan riwayat dan mendengar dari mereka yang secara langsung
menyaksikan peristiwa nuzul, dan bersungguh-sungguh dalam mencarinya.”
Para ulama’ salaf sangatlah ketat dan keras dalam menerima berbagai
riwayat yang berkaitan dengan asbab al-nuzul .Keketatan mereka itu dititik
beratkan pada seleksi pribadi si pembawa riwayat (para rawi), sumber riwayat
(isnad) dan redaksi berita (matan). Bukti keketatan itu diperlihatkan oleh Ibn
Sirin ketika menceritakan pengalamannya sendiri:
اتق الله وقل سدادا ذهب الذين يعلمون فيما انزل الله من القران
“Aku pernah bertanya kepada Ubaidah tentang sebuah ayat Alquran, tetapi ia
menjawab, hendaklah engkau bertakwa kepada Allah dan berbicaralah yang
benar. Orang-orang yang mengetahui mengenai apa ayat alquran diturunkan
sudah tidak ada lagi.”
Akan tetapi, sikap kekritisan mereka tidak dikenakan terhadap materi
Asbab al-nuzul yang diriwayatkan oleh sahabat Nabi. Mereka berasumsi
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
31
bahwa apa yang dikatakan sahabat Nabi yang tidak masuk dalam lapangan
penukilan dan pendengaran, dapat dipastikan ia mendengar ijtihadnya sendiri.
Karena itu pula ibn Shalah, Al-Hakim dan para ulama’ hadits menetapkan,
“Seorang sahabat Nabi yang mengalami masa turun wahyu, jika ia
meriwayatkan suatu berita tentang asbab al-nuzul , maka riwayatnya berstatus
marfu’.
Berkaitan dengan Asbab al-nuzul , ucapan seorang tabi’ tidak dipandang
sebagai hadis marfu’, kecuali bila diperkuat oleh hadits mursal lainnya, yang
diriwayatkan oleh salah seorang imam tafsir yang dipastikan mendengar hadits
itu dari Nabi. Para imam tafsir itu diantaranya adalah Ikramah, Mujahid, Sa’ad
bin Jubair,’Atha, Hasan Bisri, Sa’id ibn Musayyab dan Al-Dhahhak.24
d. Macam-macam Asbab al-nuzul
Dilihat dari sudut pandang redaksi-redaksi yang dipergunakan dalam
riwayat Asbab al-nuzul:
1) Sa{rih (jelas)
2) Muhtamilah (kemungkinan)
Dilihat dari sudut pandang berbilangnya asbab al-nuzul untuk satu ayat
atau berbilangnya ayat untuk satu Asbab al-nuzul .
1) Berbilangnya asbab an nuzul untuk satu ayat (ta’addud al-sabab wa nazil al
wahid)
2) Variasi ayat untuk satu sebab (ta’addud al-nazil wa as-sabab al-wahid)
24Ibid,..66.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
32
e. Kaidah al-ibrah
Dikalangan umat islam, ada fenomena menarik dengan cara memahami
alquran. Mayoritas ulama’ berpendapat bahwa pemahaman Alquran harus
didasarkan pada keumuman lafadz bukan pada kekhususan sebab turunnya
ayat.Pandangan itu melahirkan kaidah al-ibratu bi ‘umumi al-lafdzi la
bikhusushi as-sabab (kesimpulan makna didasarkan pada keumuman lafadznya
bukan pada keumuman sebab turunnya ayat).As-Suyuthi memberikan alasan
bahwa itulah yang dilakukan oleh para sahabat dan golongan lain.
Sebagian ulama’ yang lain berpandangan bahwa pemahaman alquran
didasarkan atau disesuaikan dengan situasi atau kondisi yang melatarbelakangi
turunnya suatu ayat. Pandangan inilah yang kemudian melahirkan kaidah al-
‘ibratu bikhusushi al-sabab la bi’umumi al-lafdzi (kesimpulan makna
didasarkan pada kekhususan sebab turunnya ayat, bukan keumuman lafadznya).
Jadi, cakupan ayat tersebut terbatas pada kasus yang menyebabkan sebuah ayat
diturunkan.25
Adanya pandangan tersebut, kemudian melahirkan kajian asbab al-nuzul
yang tidak lepas dari kenyataan sejarah diturunkannya alquran yang tidak
sekaligus atau memakan waktu yang cukup lama. Berbeda dengan kitab-kitab
lainnya seperti Zabur, Injil, Taurat yang diturunkan sekaligus kepada Nabi-
Nya.Diturunkannya alquran secara bertahap itu mengandung pesan bahwa
25Ibid,..76
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
33
terdapat beberapa konteks peristiwa yamg terjadi pada masyarakat Arab yang
kemudian menjadi sebab Allah menurunkan firman-Nya.26
2. Munasabah
a) Pengertian Munasabah
Kata munasabah secara etimologi, menurut As-Suyuthi berarti al-
musykalah (keserupaan) dan al-muqarabah (kedekatan).Secara harfiah, kata
munasabah berarti perhubungan, pertalian, pertautan, persesuaian, kecocokan,
dan kepantasan.Kata al-munasabah adalah sinonim (muradif) dengan kata al-
muqarabah (berdekatan) dan al- musyakalah (persamaan).27
Menurut pengertian terminologi, munasabah dapat didefinisikan sebagai
berikut:
1) Menurut Al-Zarkasyi: Munasabah adalah suatu hal yang dapat diapahami.
Tatkala dihadapkan kepada akal, pasti akal itu akan menerimanya.
2) Menurut Manna’ Al-Qatthan: Munasabah adalah sisi keterikatan antara
beberapa ungkapan di dalam satu ayat atau antar ayat pada beberapa ayat,
atau antar surat (di dalam Alquran).
3) Menurut Ibn Al-‘Arabi: Muanasabah adalah keterikatan ayat-ayat alquran
sehuingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang memounyai kesatuan
makna dan keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu yang sangat
agung.
26Rusydie Anwar,Pengantar Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadits (Yogyakarta:IRCiSoD, 2015), 63. 27Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an,..237.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
34
4) Menurut Al-Biqa’i: Munasabah suatu ilmu yang mencoba mengetahui
alasan-alasan di balik susunan atau urutan bagian-bagian alquran, baik ayat
dengan ayat, atau surat dngan surat.
Jadi, munasabah berarti menjelaskan korelasi makna antar ayat atau
antar surat, baik korelasi yang bersifat umum atau khusus, rasional (‘aqli),
persepsi (hassiy), atau imajinatif (khayali) atau korelasi berupa sebab akibat,
illat dan ma’lul, perbandingan dan perlawanan.
b) Cara mengetahui munasabah
Para ulama’ menjelaskan bahwa pengetahuan tentang munasabah
bersifat ijtihadi. Artinya, pengetahuan tentangnya ditetapkan berdasarkan
ijtihad karena tidak ditemukan riwayat, baik dari Nabi maupun para sahabatnya.
Oleh karena itu, tidak ada keharusan mencari munasabah pada setiap ayat.
Dikarenakan Alquran diturunkan secara berangsur-angsur mengikuti berbagai
kejadian dan peristiwa yang ada. Maka terkadang seorang mufassir menemukan
keterkaitan suatu ayat dengan yang lainnya dan terkadang tidak. Ketika tidak
menemukan keterkaitan itu, ia tidak diperkenankan untuk memaksakan diri.
Untuk meneliti keserasian susunan ayat dan surat (munasabah) dalam
Alquran diperlukan ketelitian dan pemikiran yang mendalam. Al-Suyuthi
menjelaskan ada beberapa langkah yang diperhatikan untuk menemukan
munasabah, yaitu:
1) Harus diperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek
pencarian.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
35
2) Memerhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas
dalam surat.
3) Menentukan tingkatan uraian-uraian itu, apakah ada hubungannnya atau
tidak.
4) Dalam mengambil kesimpulannya, hendaknya memerhatikan ungkapan-
ungkapan bahasanya dengan benar dan tidak berlebihan.
c) Macam-macam munasabah
Macam- macam munasabah ada delapan, antara lain:
1) Munasabah antar surat dengan surat sebelumnya
As-suyuthi menyimpulkan bahwa munasabah antara satu surat dengan
surat sebelumya berfungsi menerangkan dan menyempurnakan ungkapan
pada surat sebelumnya.
2) Munasabah antar nama surat dan tujuan turunnya
Setiap surat mempunyai tema pembicaraan yang menonjol dan itu
tercemin pada namanya masing-masing, seperti cerita tentang lembu betina
dalam surat Al-Baqarah merupakan inti dalam pembicaraannya, yaitu
kekuasaan Tuhan membangkitkan orang mati. Dengan perkataan lain, tujuan
surat ini adalah menyangkut kekuasaan tuhan dan keimanan pada hari
kemudian.
3) Munasabah antar bagian suatu ayat
Munasabah antar bagian suatu ayat sering berbentuk pola munasabah
al-tadhadat (perlawanan).
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
36
4) Munasabah antar ayat yang letaknya berdampingan
Munasabah antar ayat yang letaknya berdampingan sering terlihat
dengan jelas tetapi sering pula tidak jelas.Munasabah antar ayat yang terlihat
dengan jelas umumnya menggunakan pola ta’kid (penguat), tafsir (penjelas),
i’tiradh (bantahan), dan tasydid (penegasan).
5) Munasabah antar suatu kelompok ayat dan kelompok ayat disampingnya.
Dalam surat Al-Baqarah ayat 1 sampai 20, misalnya Allah memulai
penjelasan-Nya tentang kebenaran dan fungsi Alquran bagi orang-orang
yang bertaqwa. Dalam kelompok ayat berikutnya dibicarakan tiga kelompok
manusia dan sifat-sifat mereka yang berbeda, yaitu mukmin, kafir dan
munafik.
6) Munasabah antar fashilah (pemisah) dan isi ayat.
Munasabah seperti ini mengandung tujuan-tujuan tertentu. Diantaranya
adalah untuk menguatkan (tamkin) makna yang terkandung dalam suatu
ayat. Tujuan lain dari fashilah adalah memberi penjelasan tambahan, yang
meskipun tanpa fashilah sebenarnya makna ayat sudah jelas.
7) Munasabah antar awal surat dengan akhir surat yang sama.
Contoh munasabah ini terdapat dalam surat al qashash yang bermula
dengan menjelaskan perjuangan NabiMusa dalam berhadapan dengan
kekejaman Fir’aun. Atas perintah dan pertolongan Allah, Nabi Musa berhasil
keluar dengan penuh tekanan. Diakhir surat Allah menyampaikan kabar
gembira pada Nabi Muhammad yang menghadapi tekanan dari kaumnya dan
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
37
janji Allah atas kemenangannya. Kemudian jika diawal surat dikemukakan
bahwa Nabi Musa tidak akan menolong orang kafir. Munasabah disini
terletak dari sisi kesamaan kondisi yang dihadapi oleh kedua Nabi tersebut.
8) Munasabah antar penutup suatu surat dengan awal surat berikutnya.
Jika diperhatikan pada setiap pembuka suratakan dijumpai munasabah
dengan akhir surat sebelumnya, sekalipun tidak mudah untuk mencarinya.
Misalkan dalam permulaan surat Al-Hadid dimulai dengan tasbih, awal surat
Al-Hadid bermunasabah dengan akhir surat sebelumnya yaitu surat Al-
Waqi’ah yang memerintahkan untuk bertasbih.28
d) Relevansi Ilmu Munasabah dengan tafsir Alquran
Petunjuk Alquran yang agung senatiasa bercorak baru. Demikian
seterusnya setiap generasi pada setiap masa akan menemukan padanya yakni
titik kait petunjuknya dengan setiap apa yang telah dipadukan Allah baginya
tentang masalah-masalah khas, baik yang bersifat intelektual, spiritual maupun
kemasyarakatan. Bentuk-bentuk penafsiran yang diletakkan oleh Rasulullah
SAW, antara lain sebagai berikut:
1) Penafsiran Mutabiq yaitu penafsiran dengan arti yang sama dan sepadan
dengan yang ditafsirkan, misalnya penafsiran kalimat al-sala>t al-wustha>
dengan shalat ashar sebagaimana terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 238.
2) Penafsiran Talazum, artinya penafsiran dengan yang ditafsirkan terdapat
hubungan yang saling terkait antara satu dengan yang lainnya, sedangkan
28Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an,.. 95.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
38
keterkaitan itu sifatnya saling mempengaruhi, misalnya penafsiran terhadap
firman Allah tentang arti perintah do’a dalam surat al-mukmin ayat 60
ditafsirkan dengan perintah beribdah, artinya setiap doa pasti ibadah dan
setiap ibadah pasti mengandung doa.
3) Penafsiran Tadamun, yaitu penafsiran dimana penjelasan yang dimaksud
secara eksplisit menunjukkan hanya sebahagian kecil dari cakupan
kandungan lafadz yang begitu luas. Misalnya menafsirkan kata akhirat
dengan kata kubur. Kubur dalah bagian dari akhirat. Hal ini terdapat dalam
firman Allah surat Ibrahim ayat 27.
4) Penafsiran Tafsil, yaitu penafsiran yang menjelaskan secara rinci atas suatu
ayat tertentu. Contohnya adalah informasi bahwa Allah selalu bersama
dengan manusia dimanapun manusia itu berada, dan bahwa Allah melihat
apa saja yang dikerjakan oleh setiap orang seperti dalam surat Al-Hadid ayat
4.29
e) Urgensi dan kegunaan mempelajari munasabah
Urgensi mempelajari munasabah adalah sebagai berikut:
1) Dapat mengembangkan bagian anggapan orang bahwa tema-tema alquran
kehilangan relevansinya antara satu bagian dan bagian yang lainnya.
2) Mengetahui hubungan atau persambungan antara bagian ayat Alquran baik
antara kalimat atau antar ayat, sehingga lebih memperdalam pengetahuan
29Muhammad Daming, Keagungan Al-Qur’an: Analisis Munasabah (Makassar: Pustaka Al-Zikra,
2012), 149.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
39
dan pengenalan terhadap kitab alquran dan memperkuat keyakinan terhadap
kewahyuan dan kemukjizatannya.
3) Dapat dikethui mutu dan tingkat kebalaghahan bahsa alquran dan konteks
kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lainnya serta persesuaian ayat
atau surat yang satu dari yang lainnya.
4) Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat alquran setelah diketahui
hubungan suatu kalimat atau suatua ayat dengan kalimat atau ayat yang
lain.30
2. Qira’at
a) Pengertian Qira’at
Berdasarkan pengertian etimologi (bahsa), qira’at merupakan kata masdar
dari kata kerja qara;a (membaca). Sedangkan berdasarkan pengertian
terminologi , maka ada beberapa definisi dari para ulama’:
1) Menurut Al-Zarqani
Suatu madzhab yang dianut seorang imam qiraat yang berbeda dengan
lainnya dalam pengucapan alquran serta riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya
baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf ataupun dalam pengucapan
bentuk- bentuknya.
30Ibid,..,97.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
40
2) Menurut Al-Zarkasyi
Qira’at dalah perbedaan (cara mengucapkan) lafadz-lafadz Alquran
baik menyangkut huruf atau cara pengucapan huruf tersebut seperti takhfif
(meringankan), tatsqil (memberatkan) dan atau yang lainnya.
3) Menurut Al-Shabuni
Qira’at adalah suatu madzhab cara pelafalan Alquran yang dianut salah
seorang imam berdasarkan sanad-sanad yang bersambung kepada
Rasulullah.31
4) Menurut Manna’ Al-Qatthan
Qira’at adalah salah satu madzhab (aliran) pengucapan Alquran yang
dipilih oleh salah seorang imam Qurra’ sebagai suatu madzhab yang berbeda
dengan madzhab lainnya.32
Perbedaan cara pendefinisian diatas sebenarnya berada pada satu
kerangka yang sama bahwa ada beberapa cara melafalkan alquran walaupun
samasam berasal dari satu sumber yaitu Nabi muhammad.33
b) Sebab-sebab perbedaan Qira’at
Diantara sebab sebab munculnya beberapa qira’at yang berbeda adalah
sebagai berikut:
31Mohammad Ali Ash-Shabuni, terj.Moch. Chudlori Umar, Pengantar Ilmu al-Qur’an (Bandung: Al-
Ma’arif, 1996), 316. 32Manna’ Khalil Al-Qattan, terj.Mudzakir AS, Studi Ilmu-ilmu Qur’an,..247. 33Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an,.. 141.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
41
1) Perbedaan qira’at Nabi
2) Perbedaan dalam hal tulisan Alquran.34
3) Pengakuan dari Nabi terhadap berbagai qira’at yang berlaku dikalangan
kaum muslimin waktu itu.
4) Adanya riwayat dari para sahabat Nabi menyangkut berbagai versi qira’at
yang ada.
5) Adanya lajnah atau dialek kebahasaan di kalangan bangsa Arab pada masa
turunnya Alquran35
c) Macam macam Qira’at
Macam-macam qira’at ada dua macam, yaitu:
1) Dari segi kuantitas
a) Qira’ah sab’ah (qira’ah tujuh)
b) Qira’ah asyrah (qira’ah sepuluh)
c) Qira’ah arba’at asyrah (qira’at empat belas)
2) Dari segi kualitas
a) Qira’ah mutawattir
b) Qira’ah masyhur
c) Qira’ah ahad
d) Qira’ah syadz (menyimpang)
e) Qira’at maudhu’ (palsu)
34Rusydie Anwar,Pengantar Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadits,..131. 35Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an,.. 149.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
42
f) Qira’at yang menyerupai hadits mudraj (sisipan)36
d) Urgensi mempelajari Qira’at
Urgensi mempelajari Ilmu Qira’at yaitu:
1) Dapat menguatkan ketentuan-ketentuan hukum yang telah disepakati para
ulama’.
2) Dapat men-tarjih hukum yang diperselisihkan para ulama’
3) Dapat menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbeda
4) Dapat menunjukkan dua ketentuan hukum yang brbeda dalam kondisi
berbeda pula.
5) Dapat memberikan penjelasan terhadap suatu kata di dalam Alquran yang
mungkin sulit dipahami maknanya.37
6) Meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca
Alquran.38
36Ibid,.. 155. 37Ibid,..157. 38Manna’ Khalil Al-Qattan, terj.Mudzakir AS, Studi Ilmu-ilmu Qur’an,...258.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
43
BAB III
BIOGRAFI BESERTA PENAFSIRAN MUFASSIR
AL-JAS{S{AS{ DAN AL-QURTU{BI< DALAM TAFSIR
AH{KA<M ALQUR’A<N DAN TAFSIR AL-JA<MI’ LI AH{KA<M
ALQUR’A<N
A. Biografi Tokoh
1. Al-Jas}s}as}
a. Riwayat Hidup Al-Jas}s}as}
Nama lengkapnya adalah Abu> Bakar Ahmad Ibn Ali> Al-Ra>zi>, yang
terkenal dengan sebutan Al-Jas}s}as}. Ia lahir di Baghdad pada tahun 305 H. Ia
terkenal dengan panggilan Jas}s}as}. Al-Jas}s}as} merupakan nama Laqab beliau
yang dinisbatkan kepada pekerjaan beliau sebagai tukang atau penjual
plester (campuran semen, pasir, kapur, untuk melekatkan batu bata).1 Dalam
kamus Lisa>n al-‘Ara>b kata Al-Jas}s}as} maknanya adalah kapur atau tukang
kapur. Kadang ia juga dipanggil dengan panggilan Al-Jas}s}as} Al-Hanafi, Al-
Razi Al-Jas}s}as}, Ahmad ibn ‘Ali, dan Abu Bakar. Sedangkan untuk
panggilan Abu Bakar adalah kunyah-nya. Selain ia tumbuh dalam keluarga
yang taat beragama, ia juga diuntungkan sejarah sebab ia hidup pada masa
pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan.
Pada waktu ia menjadi seorang pujangga, Al-Jas}s}as} selalu
disibukkan dengan mencari ilmu ke daerah-daerah yang terkenal dengan
1Manna al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur`an, terj. H. Aunur Rafiq el Mazni, (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2013), 469.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
44
para ulama’. Dia berguru tentang ilmu fiqh kepada Abu Sahal Al-Zujaj dan
Abu Al-Hasan Al-Harakhi. Tepat pada tahun 325 H/ 937 M ketika ia berusia
19 tahun, ia pergi menuju Baghdad. Sesampai di Baghdad kemudian ia pergi
ke negeri Ahwaz untuk mendatangi ulama’-ulama’ terkenal pada masa itu.
Namun, setelah Al-Jas}s}as} kembali lagi ke Baghdad. Setelah itu ia keluar lagi
dan menuju Naisaburi untuk berguru kepada Hakim Al-Naisaburi yang
dianggap pemikirannya sama persis dengan gurunya Abu Hasan Al-
Kharakhi.2
Setelah beberapa waktu, Al-Jassas pulang dari Naisaburi ke
Baghdad pada tahun 344 H, dan tidak diduga ternyata gurunya, Abu Hasan
Al-Karakhi telah meninggal dunia. Sepeninggal Abu Hasan Al-Karakhi
pada tahun 340 H/ 952 M, kemudian digantikan oleh Abu ‘Ali Ahmad bin
Muhammad Al-Shashi. Namun, pada tahun 344 H/ 956 M, Al-Shashi jatuh
sakit parah, maka kemudian Abu Bakar Al-Jas}s}as} yang menggantikannya.
Setelah meninggalnya Al-Shashi pada tahun 344 H, tanggung jawab untuk
mengajar dipercayakan kepada Abu Bakar Al-Jas}s}as}. Dan saat ini ia sudah
menjadi ulama’ besar dan diakui menjadi seorang pemimpin sekolah Hanafi
yurisprudensi. Beliau mulai mengajar murid-muridnya di masjid Abu Hasan
Al-Karakhi.3
Sejak saat itu, Al-Jas}s}as} menetap di Irak. Sangat banyak sekali
murid-murid yang berguru kepadanya. Mereka adalah murid-murid yang
melakukan perjalanan mereka (musafir) ketempat Al-Jas}s}as} untuk menimba
2Abu Bakr Ahmad bin Ali Al-Razi Al-Jas}s}as}, AhkamAlquranjuz I (Beirut: Dar Al-Fikr,tt ), 3. 3Ibid., 3.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
45
ilmu pengetahuan dari murid-muridnya yang teladan sifat zuhud dan wara’
(rendah hati). Diantara murid-murid Al-Jas}s}as} yang memiliki sifat mulia
tersebut adalah Abu Bakar Ahmad bin Musa Al-Khawarizmi, Abu Abdullah
Muhammad bin Yahya Al-Jurjani (Syaikh Al-Qudury), Abu Al-Fajr
Muhammad bin Umar yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn Al-Muslimah,
Abu Ja’far Muhammad bin Ahmad Al-Nasafi, Abu Al-Hasan Muhammad
bin Ahmad Al-Za’farani, Abu Hasan bin Muhammad bin Ahmad bin Al-
Thayyib Al-Ka’ari ayah dari Ismail Qadi Wasith. Dan masih banyak lagi
murid-murid yang lainnya.
Al-Jas}s}as} merupakan salah satu ulama’ yang ahli dalam bidang
ilmu tafsir dan ushul fiqh yang bermadzhab Imam Hanafi (atau lebih dikenal
dengan Abu Hanifah).4 Adalah Imam Ahlu Ra’yu (nalar) sehingga Abu
Hanifah sering dinilai lebih al-ra’yu daripada teks (dalam hal ini adalah
hadits) dalam sejumlah pandangannya tentang hukum. Dan kitab tafsirnya
adalah Ahka>m Alqura>n dipandang sebagai kitab fikih terpenting, terutama
bagi pengikut mazhab Hanafi. Al-Jas}s}as wafat pada Ahad, 7 Dzulhijjah di
Baghdad tahun 370 H . Kitab lain menyebutkan beliau meninggal pada
tahun 376 H.5
4Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-IlmuQur’an, Terj. Mudzakir(Jakarta: Litera Antara Nusa,
2000), 518. 5Al-Dawudy, Thabaqat al-Mufassirin. PDF (t.t: t.p, t.th), 55.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
46
b. Karya-karya
Disamping kegiatan belajar mengajar, kegiatan ilmiah yang
ditekuninya adalah menuliskan karya-karyanya dalam bentuk buku atau
kitab, diantaranya adalah:
1) Ushu>l Al-Jas{s{as}
2) Tafsi>r Ahka>m Al-Qur’a>n
3) Syarah Mukhtas}ar Al-Karkhi
4) Syarah Mukhtas}ar Al-Tahawi
5) Syarah Ja>mi’ Al-Saghir Wa Al-Ja}mi’ Al-Kabi>r
6) Syarah Asma>’ Al-Husna>
7) Jawa>b Al-Masa>’il6
c. Karakteristik Kitab Tafsir
Kitab tafsir Ahka>m Al-Qur’a>n terdiri dari lima jilid dengan tebal
halaman secara keseluruhan 2.0005 halaman yang terdiri dari: jilid pertama
ada 450 halaman, penafsirannya dimulai dari surat Al-Fatihah sampai Al-
Baqarah ayat 216. Jilid yang kedua ada 377 halaman, penafsirannya dimulai
dari Al-Baqarah ayat 217 sampai surat An-Nisa’ ayat 10. Jilid yang ketiga
ada 385 halaman, penafsirannya dimulai dari Surat An-Nisa’ ayat 11 sampai
dengan surat Al-Taubah ayat 5, jilid yang keempat ada 409, penafsirannya
dimulai dari surat Al-Taubah ayat 6 sampai dengan surat Ibrahim. Jilid yang
kelima ada 384 halaman, penafsirannya dimulai dari surat Ibrahim sampai
6Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992),
486.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
47
Al-Nas.7 Kitab ini diterbitkan oleh Dar al-Hiya’ Bairut, Lebanon pada tahun
1992 dan telah beredar luas di kalangan ahli ilmu. Di dalam kitab tafsirnya,
Al-Jas}s}as} tidak hanya menafsirkan Alquran saja, melainkan juga mengkritik
aliran-aliran lain yang tidak sependapat dengannya.
Urutan sumber penafsiran Al-Jas}s}as} adalah, pertama: menafsiri
ayat dengan ayat, kedua menafsiri ayat dengan hadist atau perkataan sahabat
atau tabi’in, ketiga: menafsiri ayat dengan ra’yi atau pemikirannya.
Tafsir Ahkam Al-Quran ini lebih layak dikategorikan dalam
kelompok buku-buku Fiqih. Selain karena ia selalu mengemukakan satu
atau beberapa ayat lalu menjelaskan maknanya dengan ats}ar dan
memaparkan masalah fiqh yang berhubungan dengannya baik hubungan itu
dekat ataupun jauh, serta selalu mengemukakan berbagai perbedaan
pendapat antar madzhab sehingga pembaca merasa bahwa ia sedang
membaca kitab fiqh, bukan kitab tafsir.8Dan dari pemaparannya yang tidak
pernah menunjukkan nomer ayat yang hendak ditafsirkan, juga daftar isinya
yang lebih memperkenalkan tema-tema yang akan dibahas daripada ayat
Alqurannya sendiri, maka tidak sedikit para pembaca mengalami kesulitan
dan harus bersabar ketika mencari tafsir ayat-ayat tertentu dalam tafsir ini.
d. Sistematika Penafsiran
Terkait dengan sistematika penafsirannya, Al-Jas}s}as} menampilkan
surat per surat, lalu menyebutkan pokok-pokok bahasan tentang hukum
yang terkandung dalam surat tersebut. Selanjutnya ia memulai dengan
7Moh. Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam (Jakarta: Rajawali Press, 2001), 141. 8Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-IlmuQur’an, Terj. Mudzakir., 518.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
48
menjelaskan ayat-ayat yang terkait dengan masalah hukum, kemudian
melakukan penggalian hukum dengan menyebutkan beberapa pendapat
yang diungkapkan dalam perkataan “qi>la” (dikatakan). Dalam menafsirkan
ayat tersebut, Al-Jas}s}as} menyertakan penjelasan hukum dan menentukan
tarjihnya berdasarkan ajaran madzhab Hanafi.9
Disamping itu, Al-Jas}s}as} mencantumkan banyak kutipan-kutipan
pendapat ahli fiqh mulai dari kalangan sahabat, tabi’in dan generasi sesudah
mereka. Bahkan pemikiran-pemikiran rasional mereka juga ia kemukakan.
Menurut Nasruddin Baidan bahwa Al-Jas}s}as} tidak terlihat
keinginan penulisnya untuk membawa pembaca ke suatu titik kesimpulan
yang harus dianut, melainkan ia membiarkan berbagai pendapat yang
dikemukakannya itu bergulir begitu saja tanpa ada penekanan atau tarjih
dari penulis.10
Manna’ Al-Qat}}t}an berpendapat bahwa Al-Jas}s}as} terlalu fanatik dan
buta terhadap mazhab Hanafi sehingga mendorongnya untuk memaksa-
maksakan penafsiran ayat dan penakwilannya, guna mendukung
mazhabnya. Ia sangat ekstrim dalam menyanggah mereka yang tidak
sependapat dengannya dan bahkan berlebih-lebihan dalam menta’wilkan
sehingga menyebabkan pembaca tidak suka meneruskan bacaannya, karena
ungkapan-ungkapannya dalam membicarakan mazhab lain sangat pedas.11
9Moh. Sabiq, Kajian Kritis Ahkam Al-Qur’an Karya Al-Jas}s}as} (Yogyakarta: tp, tt), 8. 10NashruddinBaidan, WawasanBaruIlmu Tafsir (Yogyakarta: PustakaPelajar, 2016), 382. 11Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-IlmuQur’an, Terj. Mudzakir(Jakarta: Litera Antara Nusa,
2000), 518.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
49
e. Bentuk, Metode, dan Corak Penafsiran
1) Bentuk Penafsiran
Kitab tafsir Ahkam Al-Quran karya Al-Jas}s}as merupakan kitab
tafsir yang istimewa. Hal ini dikarenakan dalam penafsirannya termasuk
dalam tafsir bi Al-Ma’tsur (bi Al-Riwayah), yaitu menafsirkan Alquran
dengan Alquran, dengan perkataan sahabat atau dengan apa yang
dikatakan tokoh-tokoh besar tabi’in disamping itu ia juga mengemukakan
beberapa pendapat berdasarkan pada pemikirannya.12 Sedangkan
biasanya kebanyakan orang yang bermazhab Hanafi lebih condong
kepada ra’yi daripada riwayat.
2) Metode Penafsiran
Kitab tafsir Ahkam Al-Quran karya Al-Jas}s}as} dikategorikan
pada tafsir yang menggunakan metode analitik (tahlili).13Metode tahlili
adalah suatu metode penafsiran ayat-ayat Alquran dengan memaparkan
segala aspek-aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan
serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya.14Metode
yang digunakan Al-Jas}s}as} adalah metode tahlili, dengan bukti bahwa
dalam penafsiran lafadz basmalah ditafsirkan dari berbagai segi, mulai
dari segi nahwu, keutamaan basmalah, dan hukum membaca basmalah,
dan lain-lain.
12Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 32-
33. 13Ahmad Arif Junaidi, Pembaharuan Metodologi Tafsir Al-Quran (Semarang: Gunung Jati, 2001),
27-28. 14NasruddinBaidan, MetodologiPenafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: PustakaBelajar, 2012), 31.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
50
Tafsir Al-Jas}s}as} selain dikatakan penafsirannya menggunakan
metode tahlili bisa juga dikatakan menggunakan metode maudhu’i,
dengan bukti pengklasifikasian penafsirannya diletakkan dengan sebuah
bab-bab tersendiri dan juga tidak melebar pada pembahasan yang lain,
seperti bab Qaul fī Bismillahi al-Rahmān al-Rahīm, bab Ahkāmu al-
Bismillah, bab Julūdu al-maitāh, dan lain-lain.15
3) Corak Penafsiran
Kitab tafsir Ahkam Al-Quran karya Al-Jas}s}as} termasuk tafsir
yang bercorak fiqih.16Dalam hal ini khususnya fiqih mazhab Imam
Hanafi. Dan ia membatasi diri pada ayat yang berhubungan dengan
hukum-hukum cabang (masalah-masalah furu’iyah). Ia mengemukakan
satu atau beberapa ayat lalu menjelaskan maknanya dengan dasar dan
memaparkan masalah fiqih yang berhubungan dengannya baik hubungan
itu dekat ataupun jauh, serta mengemukakan berbagai perbedaan
pendapat antar mazhab sehingga pembaca merasa bahwa ia sedang
membaca kitab fiqih, bukan kitab tafsir17
Sehingga kitab tafsir ini memiliki kedudukan yang penting
khususnya di kalangan mazhab Hanafiyah, karena kitab tafsir ini
berporos argumen-argumen yang menguatkan mazhab Hanafiyah serta
bantahan-bantahan terhadap pendapat yang menyanggah mazhab
hanafiyah. Al-Jas}s}as} adalah penganut aliran ahlu as-Sunnah wa al-
15Ibid., 399. 16Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka Setia, 2015), 171. 17Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, ter. Mudzakir., 518.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
51
Jama’ah tetapi ada sebagian orang yang memandang beliau sebagai
penganut aliran Mu’tazilah.
Dari tafsirnya ini nampak jelas bahwa Al-Jas}s}as} menganut
paham Mu’tazilah.18 Misalnya ia mengatakan mengenai firman Allah, ia
tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata (Al-An’am:103), makna ayat
ini ialah: Ia tidak dapat dilihat oleh penglihatan mata. Ini merupakan
pujian dengan peniadaan penglihatan mata, seperti firman-Nya: ...tidak
mengantuk dan tidak tidur... (al-Baqarah:255). Apa yang ditiadakan
Allah untuk memuji diri-Nya maka penetapan kebalikannya adalah
celaan dan penghinaan, karena itu tidak diperkenankan menetapkan
kebalikan tersebut, oleh karena itu memuji-Nya dengan peniadaan dari-
Nya penglihatan mata, maka menetapkan kebalikannya tidak
diperkenankan karena hal demikian berarti menetapkan sifat aib dan
kurang (bagi-Nya).19
Dari contoh di atas dapat disimpulkan penafsiran Al-Jas}s}as},
bahwa Allah itu tidak bisa dilihat dengan menggunakan mata, berarti
penafsirannya mengarah pada aliran muktazilah. Karena menurut aliran
muktazilah Allah tidak bisa dilihat dengan menggunakan mata.
18Ibid., 518. 19Manna al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur`an, terj. H. Aunur Rafiq el Mazni, (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 469.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
52
2. Al-Qurt}ubi>
a. Riwayat Hidup Al- Qurt}ubi>
Al-Qurt}ubi> adalah salah seorang mufassir dan seorang alim yang
mumpuni. Nama lengkap Al- Qurt}ubi > adalah Abu> Abdulla>h Muhammad
bin Ahmad bin Ali> Abi> Bakr bin Faraj Al-Ansha>ri> Al-Khajraji Al-Andalusi>
Al-Qurt}ubi >.20Ia termasuk salah satu ulama’ yang dilahirkan di Spanyol
pada tahun 600 H (1204 M). Ia adalah hamba Allah yang shaleh, bijaksana,
zuhuddan wira’i. Ia menghabiskan hidupnya untuk urusan-urusan yang bisa
menolong ke arah akhirat dan untuk mencari keridhaan Allah, beribadah dan
mengarang.
Al- Qurt}ubi > merantau keluar daerahnya (Al-Makary) untuk belajar
ilmu-ilmu agama, sehingga menjadi sarjana yang teliti dan kehidupannya
cenderung asketisme dan selalu meditasi tentang kehidupan setelah mati.
Al- Qurt}ubi> telah belajar ilmu-ilmu agama kepada para ulama’ di
masanya. Ia menggembara di Timur dan menetap di Andalusia. Disana
beliau berguru kepada yaitu: Abu> Abba>s Ahmad bin Umar Al-qurt]ubi>, Al-
Hafi>zh Abu Ali> Al-Hasan bin Muhammad bin Bakry. Diantara para gurunya
yang terkenal adalah : Abu> Abba>s Ahmad bin Umar Al- Qurt}ubi>, yang
mempunyai kitab Shahih Muslim. Tokoh ini seorang guru ulama’ salaf yang
terkenal ahli bahasa Arab.21
20Ahmad Baidowi, Studi Kitab Tafsir Klasik-Tengah (Yogyakarta: TH-Press, 2010), 66. 21Muhammad Husain Al-Zahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun (Mesir: DarAl-Maktabah Al-
Harisah, 1976), 512.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
53
Setelah Al- Qurt}ubi > menuntut ilmu ke arah timur di dataran tinggi
Mesir dari beberapa guru, reputasinya menjadi besar ternyata beliau juga
belajar ilmu hadith. Seperti Imam Nawawi telah mengutip dari kitab
mufhimnya di beberapa tempat dari karya-karyanya yang menyebutkan ada
dua tokoh dari siapa Al- Qurt}ubi telah belajar ilmu hadith, yaitu dari Al-
Hafidz Abu Ali Hasan bin Muhammad bin Ali Hafzi bin Yahsubi.22Dari
beberapa ulama’ pada masanya ia belajar agama dan belajar bahasa Arab
serta belajar ilmu hadith dari tokoh ulama’ di Mesir, ia menjadi paham
agama serta meneruskan cita-citanya untuk mengarang dan menulis yang
bermanfaat pada masanya.
Dari latar belakang keilmuannya dari para Ulama’, Al- Qurt}ubi >
dikategorikan seseorang yang memiliki keinginan yang sangat besar untuk
membuat dan menyusun kitab tafsir yang bernuansa fiqh dengan
menampilkan hadits yang sesuai dengan masalah yang dibahas dan beberapa
pendapat imam-imam madzhab fiqh.23 Karena banyak kitab tafsir yang
sedikit mengangkat dari aspek fiqh, maka dari itu Al- Qurt}ubi > mengarang
kitab tafsir yang berjudul Tafsir al-Ja>mi’ li Ah}ka>m Alqura>n wa al-Mubayyin
Lima> Tad{amnahmin al-Sunnah wa al-a>yil Furqa>n.
Al- Qurt}ubi > mempunyai sifat-sifat yang menjadikan para ulama’
menyebut-nyebut keagungannya. Al-Hafidz Abdul Karim berkata
tentangnya: “Dia termasuk hamba Allah yang shalih, ulama’ yang arif,
22Ibid., 512. 23Ella Sartika, dkk. Keluarga Sakinah dalam Tafsir Al-Qur’an vol 2 (Bandung: Al-Bayan, 2017),
106.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
54
zuhud dan selalu menyibukkan diri dengan urusan-urusan akhirat”. Dalam
sejarah Kitaby juga terdapat pujian baginya “Dia seorang syaikh,
mempunyai karangan-karangan yang berfaedah dan menunjukkan pada
ketinggian ilmunya, diantaranya adalah tafsir Alquran. Al-Dzahabi
menyampaikan dalam sejarah Islam, “Abu Abdullah Muhammad bin
Ahmad bin Abu Bakar bin Farh Al-Imam Al-Qurt}ubi > pemilik lautan ilmu”.
Dia mempunyai karangan-karangan yang berfaedah yang menunjukkan
pada ketinggian ilmu kejeniusan otak dan keutamaannya.24
Imam Al-Qurt}ubi> kemudian tinggal di Munyah Ibn Kasib,
kemudian beliau meninggal dan dimakamkan di Munyah pada malam senin
9 syawal 671 H.25
b. Karya-karya
Disamping kegiatan belajar mengajar, kegiatan ilmiah yang
ditekuninya adalah menuliskan karya-karyanya dalam bentuk buku atau
kitab, diantaranya adalah:
1) Al- Ja>mi’ li Ah }ka>m Al-Qura>n
2) Al- Tadzkiratu fi Ah}wa>li Al-MautawaUmu>ri al-A<khirat
3) Al-Asna fi>Syarkhi al-Asma>’ al-Husna>
4) Al-Tadzkiratu fi>Afd}ali al-Adzkari
5) Al-Tadzkiratu bi al-Umu>ri al-A<khirati
6) Syarh al-Tuqsho> fi> al-Hadi>th al-Nabawi>
24Ibid., 512. 25Al-qurt]ubi>, Al-Jami’ Li AhkamAlquran, Juz I (Beirut: Dar Al-Kutub, 1967), 1.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
55
7) Al-I’lambima > fi> Di>ni al-Nasho>ro>min al-Mafa>sidwa al-Auhani wa Idha>ri
Makho> sini Di>ni al-Isla>mi26
Komentar-komentarnya dalam kitab diatas sangatlah sempurna dan
sangat bermanfaat. Kebanyakan para pengarang yang menceritakan tentang
Al- Qurt}ubi> mereka mengaku serta mengambil rujukan pendapat dari
komentar kitab Al- Qurt}ubi> >. E.J. Brill menjelaskan dalam kaitannya
muqoddimah tafsir Al- Ja>mi’ li Ah }ka>m Al-Qura>n, yang menerangkan pada
nilai Alquran akan mendapatkan tingkatan yang tinggi dan keutamaan di
mata Allah bagi mereka yang membawa dan mempunyai kemampuan
ijtihad untuk menggali isi kandungan Alquran.27
c. Seputar Nama Kitab Tafsir al-Ja>mi’ li Ah}ka>m Alqura>n
Kitab tafsir al-Ja>mi’ li Ah}ka>m Alqura>n ini sering disebut dengan
tafsir al-Qurt{hubi>, hal ini dapat dipahami karena tafsir ini adalah karya
seseorang yang mempunyai nisbah nama Al-qurt]ubi> atau bisa juga karena
dalam halaman sampul kitabnya sendiri tertulis judul, tafsir al-Qurt{hubi>, al-
Ja>mi’ li Ah}ka>m Alqura>n. Jadi tidak sepenuhnya salah apabila seseorang
menyebut tafsir al-Ja>mi’ li Ah}ka>m Alqura>n dengan sebutan tafsir al-
Qurt}ubi> bila yang dimaksud adalah tafsir karya Al-Qurt}ubi> > tersebut. Judul
lengkap tafsir karya al-Qurt}ubi> adalah Tafsir al-Ja>mi’ li Ah}ka>m Alqura>n
wa al-Mubayyin Lima> Tad{amnahmin al-Sunnah wa al-a>yil Furqa>n yang
26Ibid., 1. 27Muhammad Husein Al-Zahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun., 512.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
56
berarti kitab ini berisi kumpulan hukum-hukum dalam Alquran dan
penjelasan terhadap isi kandungannya dari Sunnah dan Alquran.28
d.Karakteristik Kitab Tafsir
Kitab Tafsir al-Ja>mi’ li Ah}ka>m Alqura>n tergolong sangat tebal dan
rupa-rupa jilid. Ada yang sepuluh jilid tebal, dan ada yang terdiri atas 22
jilid dengan jumlah halalaman sekitar 7.723. Beberapa ulama kitab ini
adalah kitab yang sangat bermutu dan paling besarmanfaatnya. Disisi lain
yang layak dikemukakan tentang tafsir Al-Qurt}ubi> ini adalah komitmennya
sangat tegas dengan kejujuran ilmiah.
Berbeda dengan tafsir Alquran karya para ulama’ lainnya, Tafsir
Al-Jami’ Li Ahkam Alquran lebih menekankan pada pemahaman hukum
Islam dari segi fungsinya sebagai petunjuk bagi umat islam untuk mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat, karena inilah tujuan utama dan menafsirkan
Alquran. Tafsir Al-Qurt}ubi> merupakan referensi paling diperhatikan dalam
ilmu tafsir, melihat bahwa muatan atau isi tafsir ini sangatlah lengkap,
tentang hukum-hukum, faedah bahasa, menyebutkan bacaan-bacaan, naskh-
mansukh serta muhkam dan mutasyabih. Kitab ini mengalami banyak
revisi karena banyak diminati dan menjadi reverensi utama dalam
pemahaman Alquran di banyak kalangan.
Dalam kitab tafsirnya Al-Qurt}ubi> mengurai secara mendalam
tentang berbagai persoalan fikih dari berbagai seginya. Seringkali Al-
Qurt}ubi> mengemukakan persoalan-persoalan khilafiyah dengan
28Ahmad Baidowi, Studi Kitab Tafsir Klasik-Tengah (Yogyakarta: TH-Press, 2010), 67.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
57
menyebutkan berbagai pendapat berikut argumentasi masing-masing, dan
Al- Qurt}ubi> mengemukakan pendapatnya sendiri tanpa ta’assub (fanatik)
terhadap mazhab Maliki yang dianutnya dan tidak bersikap apriori terhadap
pendapat mazhab-mazhab yang lain.29
Di dalam tafsirnya ini Al-Qurt}ubi> tidak membatasi diri pada ayat-
ayat hukum semata, tetapi juga menafsirkan Alquran secara menyeluruh.
Metode yang ditempuh ialah menyebutkan sebab-sebab nuzul,
mengemukakan macam-macam qira’at dan i’rab, menjelaskan lafadz-lafadz
yang gharib, menghubungkan pendapat-pendapat kepada yang
mengatakannya, menyediakan paragraf khusus bagi kisah para mufassir dan
berita-berita dari para ahli sejarah, dan mengutip dari para ulama’ terdahulu
yang dapat dipercaya, khususnya penulis kitab hukum. Misalnya, ia
mengutip dari Ibn Jarir at-Thabari, Ibn ‘Atiyah, Ibn Arabi, al- Kaya al-
Haras dan Abu Bakar Al-Jas}s}as}.30
Al-Qurt}ubi> sangat luas dalam mengkaji ayat-ayat hukum. Ia
mengemukakan masalah-masalah khilafiah, mengetengahkan dalil bagi
setiap pendapat dan mengomentarinya serta tidak fanatik terhadap
mazhabnya, yaitu mazhab maliki.
Al-Qurt}ubi> juga melakukan konfrontasi terhadap sejumlah
golongan lain. Misalnya, ia menyanggah kaum mu’tazilah, qadariah, syi’ah
rafidah, para filosof dan kaum sufi yang melampaui batas. Akan tetapi
dilakukan dengan gaya bahasa yang halus. Dan didorong oleh rasa keadilan,
29Moh. Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam., 146. 30Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, ter. Mudzakir AS., 520.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
58
kadang-kadang ia pun membela orang-orang yang diserang oleh Ibn ‘Arabi
dan mencelanya karena ungkapan-ungkapannya kasar dan keras terhadap
ulama’ kaum muslimin. Dan jika perlu mengkritik maka kritiknya pun
bersih serta dilakukan dengan cara sopan dan terhormat.31
Kitab Al-Ja>mi’ li Ahka>m Alqura>n ini pernah hilang dari
perpustakaan hingga akhirnya Da>r al-Kutub al-Misriyah mencetaknya
kembali. Maka kini para pembaca mudah untuk memperolehnya.
e. Sistematika Penafsiran
Dalam penulisan kitab tafsir dikenal dengan adanya tiga
sistematika: pertama sistematika mushafi yaitu penyusunan kitab tafsir
dengan berpedoman pada tertib susunan ayat-ayat dan surat-surat dalam
mushaf, dengan dimulai surat al-fatihah dan diakhiri dengan surat al-nas.
Kedua, sistematika nuzuli yaitu dalam menafsirkan alquran berdasarkan
kronologi turunnya surat-surat Alquran, contoh mufassir yang menggunakan
sistematika ini adalah Muhammad ‘Izzah Darwazah dengan tafsirnya yang
berjudul al- tafsir al- hadis. Ketiga, sistematika maudhu’i yaitu menafsirkan
Alquran berdasarkan topik-topik tertentu dengan mengumpulkan ayat-ayat
yang ada hubungannya dengan topik tertentu kemudian ditafsirkan.32
Dalam menulis kitab tafsirnya, Al-Qurt}ubi> memulai dari surat al-
fatihah dan diakhiri dengan surat al- Nas, dengan demikian ia memakai
31Ibid,. 521. 32Ahmad Baidowi, Studi Kitab Tafsir Klasik Tengah., 68.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
59
sistematika mushafi yaitu dalam menafsirkan Alquran sesuai dengan urutan
ayat dan surat yang terdapat didalam mushaf.33
e. Bentuk, Metode dan Corak Penafsiran
1) Bentuk Penafsiran
Kitab tafsir Al-Jami’ li Ahkam Alquran karya Al-Qurt}ubi>>
merupakan Tafsir bi Al-Ra’yi yaitu suatu metode penafsiran Alquran
yang pola pemahamannya dilakukan melalui ijtihad setelah mufassir
mengetahui beberapa syaratnya. Al- ra’yi terlebih dahulu harus mencari
makna ayat-ayat alquran yang terdapat dalam Alquran itu sendiri, lalu
pada Sunnah Nabi SAW, perbuatan para sahabat dan tabi’in, jika tidak
menjumpai dalil yang terdapat pada sumber sebelumnya,barulah seorang
mufassir menggunakan kekuatan akal pikirannya (ijtihad).34
2) Metode penafsiran
Metode yang dipergunakan oleh para mufassir, menurut al-
Farmawi, dapat diklasifikan menjadi empat: pertama, metode tahlili
adalah menjelaskan ayat-ayat Alquran secara rigkas tapi mencakup
dengan bahasa yang popular, mudah dimengerti, dan enak
dibaca.35Keuntungan metode ini adalah peminat tafsir dapat menemukan
pengertian secara luas dari ayat-ayat Alquran. Kedua, metode ijmali,
yaitu ayat-ayat Alquran dijelaskan dengan pengertian-pengertian garis
besarnya saja, contoh kitab tafsir yang menggunakannya adalah Tafsir
jalalain. Ketiga, metode muqaran yaitu menjelaskan ayat-ayat Alquran 33Ibid.,68. 34M. Nur Ichwan, Belajar Mudah Ilmu-ilmu Alquran (Semarang: tp, 2001), 215. 35NashruddinBaidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: PustakaBelajar, 2012), 13.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
60
berdasarkan apa yang pernah ditulis oleh mufassir sebelumnya dengan
cara membandingkannya. Keempat, metode maudhui, yaitu dimana
seorang mufassir menghimpun ayat-ayat yang mempunyai satu makna
dan menyusun dibawah satu judul bahasan kemudian menafsirkannya
secara tematik.36
Langkah-langkah yang dilakukan oleh Al-Qurt}ubi> dalam
menafsirkan Alquran yaitu sebagai berikut:
a) Memberikan kupasan dari segi bahasa.
b) Menyebutkan ayat-ayat lain yang berkaitan dan hadits-hadits dengan
menyebut sumbernya sebagai dalil.
c) Mengutip pendapat ulama’ dengan menyebut sumbernya sebagai alat
untuk menjelaskan hukum-hukum yang berkaitan dengan pokok
bahasan.
d) Menolak pendapat yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam.
e) Mendiskusikan pendapat ulama’ dengan argumentasi masing-masing,
setelah itu melakukan tarjih dan mengambil pendapat yang dianggap
paling benar.
Langkah-langkah yang ditempuh oleh Al-Qurt}ubi>> ini masih
mungkin diperluas lagi dengan melakukan penelitian yang lebih seksama.
Satu hal yang sangat menonjol adalah adanya penjelasan panjang lebar
mengenai persoalan fiqhiyyah merupakan hal yang sangat mudah ditemui
dalam tafsir Al-Jami’ li Ahkam Alquran.
36Al-Hay Al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy, terj. Abd. Al-Hary(Jakarta: RajaGrafindo,
1996), 34.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
61
Dengan memperhatikan pembahasannya, maka dapat
disimpulkan metode yang digunakan oleh Al-Qurt}ubi>> adalah metode
tahlili, karena ia berupaya menjelaskan seluruh aspek yang terkandung
dalam Alquran dan mengungkapkan segenap pengertian yang dituju.
Sebagai sedikit ilustrasi dapat diambil contoh ketika ia menafsirkan surat
al-fatihah dimana ia membagi atas 4 bab yaitu: bab keutamaan dan nama
surat al fatihah, bab turun dan hukum-hukum yang terkandung di
dalamnya, bab ta’mim (bacaan amin), dan bab tentang Qira’at dan I’rab.
Masing-masing dari bab tersebut memuat beberapa masalah.
4) Corak penafsiran
Al-Farmawi membagi corak tafsir menjadi tujuh corak tafsir
yaitu corak tafsir fiqhi, corak tafsir falsafi, corak tafsir ‘ilmi, corak tafsir
tarbawy, corak tafsir akhlaqy, corak tafsir i’tiqodi, corak tafsir sufi dan
corak tafsir adabi‘ijtima’i.37 Para pengkaji tafsir memasukkan tafsir
karya Al-qurt]ubi> ke dalam tafsir yang mempunyai corak fiqhi sehingga
sering disebut tafsir ahkam. Karena dalam menafsirkan ayat-ayat alquran
lebih banyak dikaitkan dengan persoalan-persoalan hukum.38
37Ahmad Izzan, MetodologiIlmu Tafsir (Bandung: Tafakur, 2009), 200. 38Ahmad Baidowi, Studi Kitab Tafsir,.71.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
62
B. Tafsir Ayat-Ayat Terkait Dengan Wali DalamPernikahan
1. Ayat Dan Terjemah
39
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik,
walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.”40
41
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka
janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal
suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang
ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara
kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci.
Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”42
2. Asbabun Nuzul
Sehubungan dengan diturunkannya Surat Al-Baqarah ayat 232
tersebut, berkaitan dengan Ma’qil bin Yasar yang mempunyai saudari, ia
menyerahkan urusan perkawinannya kepada Ma’qil. Kemudian saudari dari
Ma’qil menikah dan setelah beberapa lama hidup bersama dengan suami,
39Alquran, 2: 221. 40Departemen Agama RI, Alquran dan terjemahan (Jakarta:TP, 1982), 36. 41Alquran, 2: 232. 42Departemen Agama RI, Alquran dan terjemahan., 38.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
63
kemudian suaminya menceraikan saudari Ma’qil sampai masa iddahnya habis.
Setelah masa iddahnya habis, si suami menyesal telah meninggalkan saudari
Ma’qil dan meminangnya kembali, namun Ma’qil menolak untuk
menerimanya, sehingga turunlah ayat ini.
3. Penafsiran Al-Jas}s}as} dan Al-Qurt}ubi>>
a.Surat Al-baqarah ayat 221
Dalam Tafsir Al-Ja>mi’ li Ahka>m Alqura>n karya Al-Qurt}ubi>>, ia
menafsirkan firman Allah Ta’ala wala >tunkihu> “Dan janganlah kamu
menikahkan”. Yakni janganlah kalian (para wali) menikahkan wanita
muslim dengan lelaki musyrik. Dalam hal ini, umat islam sepakat bahwa
orang musyrik tidak boleh melakukan hubungan badan dengan wanita
muslim dengan alasan apapun, sebab dengan adanya hal itu dapat menodai
Islam.43
Dalam ayat ini juga terdapat dalil yang menyatakan bahwa
pernikahan itu tidak sah kecuali dengan adanya wali. Ibnu Al-Mundzir
berkata, “Telah ditetapkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,
لا نكاح الا بولي
“Tidak ada pernikahan (yang sah) kecuali dengan (adanya) wali”
Di pihak lain, tambahan redaksi adanya wali dalam pernikahanpun
diperkuat oleh beberapa dasar. Menurut Al-Qurt}ubi>>>, diantara yang
menunjukkan tentang pernikahan yang diharuskan adanya wali adalah
firman Allah Ta’ala:
43Al-Qurt}ubi>>, Al-Ja>mi’ Li Ahka>mAlquranJilid 3 (Beirut: Dar Al-Fikr, 1995), 67.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
64
44
45dengan seizin Tuan mereka mereka kawinilah Karena itu
Dan firman Allah dalam Surat An-Nur ayat 32:
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu
Allah berfirman menirukan Nabi Syu’aib pada kisah Nabi Musa AS:
46
Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu47
Jadi, dengan adanya firman Allah dan sunnah yang menguatkan.
Al-Qurt}ubi>> berpendapat bahwa tidak ada pernikahan yang sah kecuali
dengan adanya wali.48
Muhammad bin Ali bin Al-Husain berkata,”Sesungguhnya
pernikahan itu dengan adanya wali sebagaimana yang dijelaskan dalam
Kitab Allah (Alquran). At- Thabari berkata: Pada hadits Hafsah ketika ia
menjanda–kemudian Umar menetapkan perkawinannya–terdapat dalil yang
membatalkan pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa wanita dewasa
itu lebih berhak mengawinkan dirinya dan melangsungkan perkawinannya ,
dan bukan walinya. Sebab jika demikian, maka Rasulullah akan langsung
melamarnya jika ia memang lebih berhak atas dirinya daripada ayahnya,
44Alquran, 4: 25. 45Ayat ini merupakan pernikahan yang diperuntukkan untuk budak atau pun hambasahaya, di
wilayah kekuasaan tuan mereka yang memiliki dan memberi izin mereka. Demikian pula hamba
sahaya laki-laki tidak bisa menikah kecuali dengan izin tuannya, karena hamba sahaya dimiliki
atau dia tidak punya kuasa dan secara fisik dia dieksploitasi. Para ulama’ kaum muslim telah
sepakat bahwa pernikahan hamba sahaya laki-laki tidak dipebolehkan tanpa seizin tuannya. Jika
hamba sahaya perempuan terlanjur menikah tanpa izin maka dibatalkan dan tidak diperbolehkan
kecuali dengan izin tuannya. 46Alquran, 28: 27. 47Ayat ini merupakan dalil atas diperbolehkannya bagi wali wanita untuk menawarkan anaknya
kepada laki-laki. Disamping itu ayat ini menjadi dalil bahwa tidak boleh bagi wanita menikahkan
dirinya sendiri, sebab lelaki shalih Madyan ini menjadi wali bagi anaknya. Demikian pendapat
mayoritas ulama’ kecuali Abu Hanifah. Ayat ini juga menjadi dalil bahwa hak bagi orang tua
untuk menikahkan wanita gadisnya tanpa meminta persetujuannya. 48Al-qurt}ubi>, Al-Ja>mi’ Li Ahka>m Alquran Jilid 3., 68.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
65
beliau akan langsung mengajukaan lamarannya itu kepada orang yang
memiliki dirinya, dan beliau pasti akan mengikat dirinya. Dalam kasus ini
terdapat penjelasan atas sabda beliau:
الايم احق بنفسها من وليهاان معنى ذلك احق بنفسها في انه لا يعقد عليها الا برضاها لا انها احق بنفسها في ان تعقد عقد النكاح على نفسها دون وليها
“Orang yang lajang (ayim) itu lebih berhak atas dirinya daripada
walinya. Sesungguhnya makna itu lebih berhak atas dirinya sendiri,
sesungguhnya tidak akad kecuali dengan ridhanya (para wali), bukan
sesungguhnya lebih berhak atas dirinya sendiri untuk akad, bukan
walinya.”
Pengertian dari sabda beliau tersebut, bahwa orang yang lajang
adalah lebih berhak atas dirinya untuk tidak menetapkan perkawinan kecuali
dengan keridhaannya, bukan bahwa dirinya lebih berhak atas dirinya dalam
hal menetapkan akad nikah untuk dirinya, bukan walinya.49
Di dalam tafsir Al-Qurt}ubi>> juga dijelaskan bahwa tidak
diperbolehkan seorang perempuan menjadi wali bagi perempuan lain
ataupun dirinya sendiri (wanita yang akan menikah) yang menjadi wali di
dalam pernikahannya. Ad-Daraquthni meriwayatkan dari Abu Hurairah, dia
berkata Rasulullah bersabda:
تزوج المرءة نفسها فان الزانية هي التى تزوج نفسها ولا تزوج المرءة ولا“Seorang perempuan tidak boleh menikahkan seorang perempuan
(lainnya) dan seorang perempuan (juga) tidak boleh menikahkan dirinya.
Sesungguhnya wanita pezina adalah wanita yang menikahkan dirinya.” Ad-
Daraquthni berkata”Hadits Shahih.
Berdasarkan riwayat diatas, maka hal ini sudahlah jelas bahwa
perempuan yang menikah dengan wali dirinya sendiri atau perempuan
menikahkan perempuan lain hukumnya tidak diperbolehkan dan bisa
dinamakan seorang wanita pezina.
49Ibid., 69.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
66
Dalam kitab Al-Muwaththa’ dinyatakan bahwa Aisyah menikahkan
puteri saudaranya kepada Abdurrahman, ketika saudara itu sedang tidak ada.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Abdurrahman bin Al-Qasim bin Muhammad
bin Abi Bakr, dari ayahnya, dari Aisyah, bahwa dia menikahkan seorang
wanita dari keturunan saudaranya kepada seorang laki-laki yaitu Al-
Mundzir bin Al-Zubair, kemudian dia membuat tirai diantara mereka.
Setelah itu dia berbicara, hingga ketika tidak ada yang tersisa kecuali akad,
maka dia memerintahkan lelaki itu untuk menikah, sehingga lelaki itupun
dinikahkan. Setelah itu ia berkata,”Kaum wanita itu tidak boleh
menikahkan”.50
Dengan demikian, yang dimaksud dalam hadits Imam Malik
tersebut adalah bahwa adanya kesalahpahaman, Aisyah hanya menetapkan
mahar dan hal ihwal pernikahan, sedangkan yang melangsungkan akad
nikah adalah salah satu dari asha>bah (keturunan pria dari pihak ayah)
perempuan tersebut. Akad itu kemudian dinisbatkan kepada Aisyah, sebab
ia yang menetapkan mahar untuk perempuan itu.
Imam Malik berkata dalam riwayat yang disebutkan oleh Ibn Al-
Qasim darinya:”Jika seorang wanita dikawinkan oleh selain walinya tapi
dengan izin perempuan tersebut, jika perempuan tersebut memiliki kondisi
yang terpandang di antara manusia, maka walinya memiliki hak pilih untuk
menfasakh pernikahan tersebut atau menetapkannya. Tapi jika itu wanita
50Ibid.,71.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
67
yang dimerdekakan atau wanita yang tidak mempunyai status, maka dia
boleh dinikahkan dan walinya tidak mepunyai hak pilih.51
و قد روي عن مالك ان الشريفة والدنيئة لا يزوجها الا وليها او السلطان“Dan diriwayatkan dari Imam Malik bahwa wanita yang mulia dan
rendahan itu tidak boleh dinikahkan kecuali oleh walinya atau penguasa.”52
Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibn Al-Mundzir. Ibn Al-Mundzir
berkata,”Adapun pemilahan yang dilakukan oleh Imam Malik antara wanita
miskin dan yang berkedudukan, hal itu tidak diperbolehkan. Sebab Nabi
menyetarakan dalam pandangan hukum. Rasulullah bersabda, “Kaum
muslim itu setara darahnya. Apabila darah mereka sama, dalam hal lain pun
mereka adalah sama.
Adapun pendapat Imam Syafi’i dan para sahabatnya, menurut
mereka pernikahan tanpa wali harus dibubarkan, baik sebelum maupun
sesudah terjadi hubungan badan, dan keduanya tidak dapat saling mewarisi
apabila salah satunya meninggal dunia. Menurut Imam Syafi’i, wali
merupakan suatu hal yang wajib dipenuhi dalam pernikahan karena adanya
dalil atas hal itu, baik di dalam Alquran maupun Sunnah.53
Jadi, menurut Al-Qurt}ubi>> tidak akan sah suatu pernikahan
seseorang jika tidak ada izin ataupun kehadiran wali dari pihak perempuan.
Karena adanya wali merupakan salah satu syarat dan rukun sah dari
perkawinan.
Sedangkan orang-orang yang memegang pendapat Az-Zuhri, Abu
Hanifah, dan Asy-Sya’bi menafsirkan sabda Rasulullah SAW:
51Ibid., 72. 52Ibid., 72. 53Ibid., 73.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
68
لا نكاح الا بولي ”Tidak ada pernikahan (yang sah) kecuali dengan adanya wali”,
Menurut madzhab Hanafi tafsir dari sabda Rasulullah diatas diartikan
kepada makna kesempurnaan (tidak ada pernikahan yang sempurna), bukan
kepada makna wajib, sebagaimana sabda Rasulullah:
دلا صلاة لجار المسجد الا في المسج “Tidak ada sholat (yang sah) bagi tetangga masjid kecuali di
masjid”
Maksud dari hadits diatas apabila ada seseorang yang rumahnya
bertetangga dengan masjid jika tidak sholat di masjid maka sholatnya tidak
sah. Itu hanya perumpamaan, dan disetarakan dengan hadits tentang wali
nikah.Jadi, madzhab Hanafi berpendapat tentang hukum pernikahan tanpa
adanya wali itu sah, karena di dalam hadits tidak ada kata yang mewajibkan
adanya wali dalam sebuah pernikahan.54
b. Surat Al-Baqarah ayat 232
Dalam tafsir Al-Qurt}ubi>> Al Ja>mi’ Li Ahka>m Alqura>n tentang
firman Allah yang berbunyi fala> ta’dhulu >hunna, maka janganlah kamu (para
wali) menghalangi mereka”. Diriwayatkan bahwa Ma’qil bin Yasar
memiliki saudari yang sebelumnya adalah istri Abul Baddah. Abul Baddah
telah menceraikannya dan meninggalkannya sampai habis masa iddahnya.
Kemudian Abul Baddah menyesal dan sekarang meminangnya, dan saudari
Ma’qil menerima pinangan itu, namun saudaranya (yakni Ma’qil) tidak mau
menikahkannya. Ma’qil berkata “Wajahku dan wajahmu menjadi haram jika
kau menikah dengan Abul Baddah” lalu turunlah ayat ini.
Lalu Rasulullah memanggil Ma’qil, lalu beliau bersabda,”Jika
kamu orang yang beriman maka janganlah kamu melarang saudarimu untuk
54Ibid., 74.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
69
menikah dengan Abul Baddah. Ma’qil berkata, “Aku beriman kepada
Allah”. Lalu ia pun menikahkan saudarinya dengan Abul Baddah.55
Berdasarkan riwayat diatas maka ayat ini mengandung dalil bahwa
tidak boleh nikah (tidak sah pernikahan) tanpa adanya wali. Sebab saudari
Ma’qil adalah seorang janda. Seandainya perkara pernikahannya terserah
kepadanya (saudari Ma’qil), bukan kepada wali, tentu saudari Ma’qil dapat
menikahkan dirinya sendiri dan tidak membutuhkan kepada walinya, yaitu
Ma’qil.
Dengan demikian firman Allah fala> ta’dhulu >hunna “Maka
janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka”. Dalam ayat ini ditujukan
kepada para wali dan merupakan dalil bahwa perkara perkawinan
diserahkan pada wali, disamping adanya persetujuan dari mempelai wanita.
Sedangkan menurut Al-Jas}s}as} dalam kitab Ahka>m Alqura>n
dijelaskan bahwa:
و قد دلت هذه ضيقوا عليهن فى التزويج تمنعوهن او لا ت عضلوهن( معناه: لاو قوله تعالى:)و لا تاضافة : بغير ولي ولا اذن وليها: احدهمااذا عقدت على نفسها النكاحية من وجوه على جواز الا
56زوجانعن العضل اذا تراضى الولي والثاني: نهيه ذن الها من غير شرط االعقد الي“Dan firman Allah: Maka janganlah kamu halangi mereka. Maknanya
janganlah kamu menghalangi atau melarangnya (wanita-wanita itu) dan
jangan pula mempersulit atas diri mereka dalam melangsungkan pernikahan.
Dan sungguh ayat ini menunjukkan atas diperbolehkannya menikah tanpa
adanya wali ataupun tidak dengan izinnya wali. Yang pertama adalah
disandarkannya sebuah akad kepadanya (wanita) tanpa adanya syarat ini dari
seorang wali. Yang kedua adalah melarangnya seorang wali untuk
menghalangi kedua orang yang masih ridho untuk ruju’ lagi.”
Dari penafsiran Al-Jas}s}as} berarti janganlah kamu larang atau
janganlah kamu sempitkan jalan mereka dalam perkawinan. Maka teranglah
55Al-qurt]ubi>,Al-Ja>mi’ Li Ahka>mAlquranJilid 3 (Beirut: Dar Al-Kutub, 1967), 147. 56Al-Jas}s}as}, Ahka>m Alqura>n (Beirut: Dar Al-Fikr,tt ), 545.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
70
bahwa ayat ini dengan melalui beberapa cara menjadi dalil atas bolehnya
perempuan itu melakukan akad perkawinan atas dirinya sendiri , tidak ada
wali atau tidak dengan seizin walinya.
Beberapa cara atau jalan diperbolehkan diantaranya ialah pertama
kata “au yankihna” (mereka itu menikahi) menyandarkan akad nikah itu
kepada perempuan tanpa syarat dan izinnya wali, dan kedua dilarangnya
wali melakukan halangan (‘adhal) jika keduanya hendak rujuk kembali
dengan sukarela diantara mereka berdua. Dalam tafsir Al Jas}s}as} ia
menyebutkan bahwa:
هي نفسها من كفو كان الولي منهيا عن العضل اذا زوجتة الاية على ما ذكرنا وهو انه لما جه اخر من دلالوو “Dari aspek yang lain, dalil dari ayat yang telah disebutkan maksudnya
adalah apabila wali menghalangi ketika pernikahan, maka ia boleh
menikahkan dirinya sendiri dengan tidak berwali asal dengan laki-laki yang
sekufu.” Pengertian diatas bisa disimpulkan bahwa perempuan itu dapat
menikahkan dirinya sendiri dengan tidak berwali, asal dengan laki-laki yang
sekufu dengan perempuan itu, maka wali tidak boleh menghalangi keduanya
untuk menikah. Tetapi jika tidak sekufu maka wali mempunyai hak untuk
memisahkan keduanya. Dengan demikian menurut Al-Jas}s}as} ayat tersebut
tidak menunjukkan bahwa wali menjadi syarat sah akad pernikahan.
Sebagaimana diketahui, imam Abu Hanifah sebagai kiblat dari Al-Jas}s}as}
berpendapat bahwa wanita yang berstatus lajang dapat melakukan akad
nikah tanpa melalui wali. Terdapat beberapa ayat yang menegaskan
disandarkannya pernikahan kepada wanita yaitu sebagai berikut:
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
71
57
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua),
Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan
suami yang lain.”58
59 “Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu
(para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka.”60
Pada ayat yang pertama makna kata ruju’ (kembali) dinisbatkan
kepada suami istri tanpa ada penyebutan wali. Dan pada ayat yang kedua
tentang diperbolehkan atas dirinya menikah tanpa syarat adanya wali dan di
dalam ketetapan syarat wali telah menafikan wajib adanya wali.61 Ayat-ayat
tersebut dengan jelas menerangkan masalah nikah wanita atau menikah
dengan tanpa bergantung pada izin wali dan tidak pelaksanaannya oleh wali.
Selain itu Rasul bersabda:
الايم احق بنفسها من وليها“Wanita lajang itu lebih berhak atas dirinya daripada walinya”
Hadits ini menyatakan bahwa wali tidak punya urusan kepada
wanita lajang. Selain itu, pernyataan diatas telah menjatuhkan hak wali
dalam akad. Dan perkataan wanita yang tidak bersuami berhak ada darinya
daripada walinya. Maka dari itu, ayat dan hadits diatas telah menjadi
penghalang bagi wali untuk menghentikan wanita yang menikahkan dirinya
sendiri.62
57Alquran, 2:230. 58Departemen Agama RI, Alquran dan terjemahan., 36. 59Alquran, 234. 60Departemen Agama RI, Alquran dan terjemahan, 38. 61Al-Jas}s}as}, Ahkam Alquran., 546. 62Ibid,.545.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
72
Dari penjelasan diatas maka bisa disimpulkan bahwa Al-Jas}s}as
mengakui adanya wali, tetapi ia memperbolehkan seorang perempuan untuk
menikahkan dirinya sendiri dengan tidak berwali asal dengan laki-laki yang
sekufu.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
73
BAB IV
ANALISIS TERHADAP TAFSIR AH{KA<M ALQURA<N DAN
TAFSIR AL-JA<MI’ LI AH{KA<M ALQURA<N TENTANG
PERANAN WALI DALAM PERNIKAHAN
A. Analisis Peranan Wali dalam Pernikahan Menurut Mufassir Al-Jas{s}as} dan
Al-Qurt}ubi> Dalam Tafsir Ah{ka>m Alqura>n dan Tafsir Al-Ja>mi’ Li Ah {ka<m
Alqura>n
Penjelasan terkait dengan Surat Al-Baqarah ayat 221 dijelaskan bahwa
tidak diperbolehkannya menikah dengan tanpa adanya wali kemudian disana juga
dijelaskan bahwa hukum-hukum dan hubungan atau keterkaitan dengan ayat lain
dalam hal itu ada keterkaitan dengan surat Al-Baqarah ayat 232.
Al-Qurt}ubi> menafsirkan ayat demi ayat dan menjelaskan dengan
gambaran dan bahasa yang baik, dimana ketika menjelaskan terkait dengan wali
dalam pernikahan surat Al-Baqarah ayat 221 dijelaskan dengan baik bahwa setiap
akad perkawinan dilakukan oleh wali, baik itu perempuan dewasa atau masih
kecil, janda atau masih perawan, sehat akalnya atau tidak. Karena tidak ada hak
sama sekali bagi perempuan untuk mengakadkan perkawinannya sendiri dan
mengakadkan perkawinan saudara wanitanya.
Sedangkan Al-Jas}s}as} dalam ayat ini hanya menjelaskan tentang
keharaman pernikahan seorang laki-laki yang muslim dengan perempuan yang
musyrik. Dan dalam hal ini ia tidak menjelaskan terkait tentang wali dalam
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
74
pernikahan. Dikarenakan menurutnya memang tidak wajib adanya wali dalam
pernikahan.
Dalam surat Al-Baqarah 221 diatas berkaitan dengan Surat Al-Baqarah
ayat 232 bahwa di dalamnya terdapat penjelasan tentang adanya sebuah larangan
pada ayat ini yang ditujukan pada wali, berdasarkan hadits yang yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari tentang Qasim Ma’qil bin Yasar. Dan kemudian
didalamnya dijelaskan pula bagaimana tentang hukum wanita yang menikah
dengan wali dirinya sendiri atau tanpa adanya wali.
Dalam melaksanakan pernikahan, memang harus dibutuhkan wali.
Sebagaimana asbab al-nuzul surat Al-baqarah ayat 232 yang jelas bahwa larangan
ditujukan untuk wali. Untuk itu Al-Qurtubi menjelaskan terkait wali dalam
pernikahan disitu baik untuk orang yang belum menikah ataupun yang sudah
menikah, yang tidak disetujui oleh walinya ataupun yang tidak setujui oleh
walinya. Selain ayat ini yang menjelaskan mengenai pernikahan yang diwajibkan
adanya wali, Nabi pun bersabda:
لا نكاح الا بولي“Tidak ada pernikahan (yang sah) kecuali dengan (adanya) wali”
Dalam agama islam telah dijelaskan bahwa adanya wali adalah suatu
rukun dan syarat sah sebuah pernikahan. Rukun dan syarat menentukan suatu
perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya
perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang
sama dalam suatu hal, bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan.
Dalam suatu acara pernikahan, rukun dan syaratnya tidak boleh satupun yang
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
75
tertinggal, karena dalam pernikahan tidak sah bila salah satu ataupun keduanya
tidak ada atau tidak lengkap.1
Mengenai hukum wali atas seorang janda ada yang mengatakan bahwa
seorang janda lebih berhak mengawinkan dirinya sendiri dan melangsungkan
pernikahannya sendiri. Dalam hal ini Al-Qurt}ubi> menyebutkan bahwa tidak
diperbolehkannya seorang janda mengawinkan dirinya dan melangsungkan
perkawinan tanpa persetujuan ataupun adanya wali di dalam perkawinan tersebut.
Karena adanya wali adalah mutlak dalam suatu pernikahan dan tidak sah
pernikahan jika tanpa adanya wali.
Sedangkan dalam penafsiran Al-Jas}s}as} dijelaskan bahwa apabila ada
suatu perkawinan yang tidak dihadiri atau tanpa izin wali maka hukum
perkawinan tersebut adalah sah. Karena didalam kitabnya telah disebutkan bahwa
perempuan yang sudah dewasa dan sehat akalnya dapat melangsungkan sendiri
akad perkawinannya tanpa adanya wali asal dengan laki-laki yang sekufu. Pun
menurut imam Abu Hanifah sebagai kiblat dari Al-Jas{s{as} berpendapat bahwa
ayyim (wanita yang lajang) dapat melakukan akad nikah tanpa melalui izin
seorang wali. Tetapi Al-Jas{s{as tetap mengakui atas keeksistensian wali, hanya
saja ia memberikan kesempatan seorang perempuan untuk menikah dengan wali
dirinya sendiri.
Dengan demikian asbab al-nuzul ayat atau sebab-sebab turunnya ayat,
hadits Rasulullah SAW dan pendapat para sahabat dan tabi’in-tabi’in sangat
1Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2012), 46.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
76
dibutuhkan pada Surat Al-Baqarah ayat 232 ini dijelaskan secara rinci terkait
dengan wali dalam pernikahan sebagai berikut:
Ma’qil mempunyai saudara perempuan yang dinikahi oleh Abibaddah.
Kemudian ia cerai oleh suaminya. Setelah selesai masa iddahnya, Abibaddah
merasa menyesal dan ingin kembali kepada bekas istrinya itu. Tetapi Ma’qil
sebagai wali tidak menyetujuinya sehingga peristiwa ini diketahui oleh Rasulullah
dan kemudian turunlah ayat inidan Ma’qil memperkenankan Abibaddah untuk
menikahi atau ruju; dengan saudaranya. Jadi bisa disimpulkan dari riwayat ini
sudah jelas bahwa larangan menghalangi mereka (suami istri yang sudah bercerai)
untuk ruju’ ditujukan kepada wali.
Dari riwayat yang merupakan asbab al-nuzul dari ayat ini, maka
larangan (menghalangi suami istri yang sudah bercerai) ditujukan kepada wali.
Seandainya larangan ayat itu tidak ditujukan kepada wali, maka perempuan itu
(saudara Ma’qil) dapat menikah sendiri dan tidak perlu tertunda oleh sikap Ma’qil
sebagai walinya.
Selanjutnya jika dilihat dari cabang ulumul Quran terdapat adanya
munasabah. Munasabah yaitu pertalian yang terdapat di dalam ayat-ayat Alquran
dan surat-suratnya, dari sudut makna, susunan kalimat, maupun letak surat, ayat
dan sebagainya. Pada ayat diatas terdapat munasabah yaitu sebagai berikut:
Dimana pada ayat sebelumnya dijelaskan tentang hukum-hukum yang
berhubungan dengan talak, mentalak istri dengan cara yang baik, dan apa saja
hak-hak suami istri. Pada ayat ini menjelaskan tentang larangan untuk wali
mencegah wanita ruju’ (kembali) dengan bekas suami.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
77
B. Analisis Persamaan Dan Perbedaan Penafsiran dari Mufassir Al-Jas{s}as} dan
Al-Qurt}ubi> Dalam Tafsir Ah{ka>m Alqura>n dan Tafsir Al-Ja>mi’ Li Ah {ka<m
Alqura>n
1. Persamaan
a. Dalam menafsirkan terkait dengan wali dalam pernikahan, Al-Jas}s}as} dan
Al-Qurt}ubi> sama-sama mengambil sumber dari hadits yang berbunyi:
الايم احق بنفسها من وليها
“Wanita lajang itu lebih berhak atas dirinya daripada walinya”
b. Metode yang digunakan sama-sama menggunakan metode tahlili dimana
metode tahlili merupakan metode tafsir dengan menggunakan ayat-ayat
Alquran dan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat
yang ditafsirkan itu, selain itu menerangkan makna-makna yang terkandung
di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang
menafsirkan ayat-ayat tersebut.2 Selain itu tafsir tahlili juga dikatakan tafsir
yang mempunyai keluasan serta keutuhannya dalam memahami Alquran.
Melalui metode ini juga maka seseorang seakan-akan diajak serta
memahami Alquran dari awal surat yakni surat Al-Fatihah sampai akhir
surat dalam Alquran yakni surat Al-Nas. Metode ini memunculkan sikap
yang sangat hati-hati dan penuh tanggung jawab dalam memahami pesan
moral Alquran. Metode tafsir tahlili juga menyajikan pembahasan Alquran
yang sangat luas yang meliputi berbagai aspek, seperti kebahasaan, sejarah
dan hukum.3
2Abd. Al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i, Suryan A. Jamrah (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1996), 12. 3Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung: Tafakur, 2009), 105
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
78
c. Corak yang digunakan dalam menafsirkan ayat yang terkait dengan wali
pernikahan yaitu sama-sama menggunakan corak fiqhy yang kemudian lebih
populer dengan sebutan Tafsir al-ahkam yaitu corak penafsiran yang lebih
berorientasi pada ayat-ayat hukum dalam Alquran. Corak ini berbeda
dengan tafsir-tafsir lainnya seperti tafsir ilmy dan tafsir falsafi yang
eksistensinya dan proses pengembangannya diperdebatkan oleh pakar tafsir,
keberadaanya tafsir ayat-ayat ahkam ini diterima hampir seluruh lapisan
mufassirin.4
2. Perbedaan
a. Al-Jas}s}as} dan Al-Qurt}ubi> tentang peranan wali dalam pernikahan. Al-Jas}s}as}
berpendapat bahwa apabila ada suatu perkawinan yang tidak dihadiri atau
tanpa izin wali maka hukum perkawinan tersebut adalah sah. Karena
menurut Al-Jas}s}as}, perempuan yang sudah dewasa dan sehat akalnya dapat
melangsungkan sendiri akad perkawinannya tanpa adanya wali asalkan
dengan laki-laki yang sekufu. Sedangkan menurut Al-Qurt}ubi> wali dalam
pernikahan itu harus ada, karena menurut Al-Qurt}ubi> bahwa wali adalah
suatu hal yang mutlak dalam pernikahan dan tidak sah pernikahan tanpa
adanya wali. Perbedaan penafsiran ini disebabkan karena berbedanya
madzhab yang dianut oleh kedua kedua mufassir tersebut.
b. Al-Jas}s}as} bermadzhab Imam Hanafi sedangkan Al-Qurt}ubi> bermadzhab
Imam Malik. Seperti yang diketahui Imam Hanafi adalah salah satu ulama’
yang selalu menggunakan daya akalnya untuk ijtihad dan selalu
4Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 399.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
79
menggunakan istihsan sebagai dasar pemikirannya setelah menggunakan
Alquran, hadits dan qiyas. Sedangkan Imam Malik juga menggunakan daya
akalnya dan menggunakan istihlah sebagai dasarnya setelah menggunakan
Alquran, hadits dan ahli Madinah.
c. Al-Jassash terlampau fanatik terhadap madzhab Hanafi sehingga
mendorongnya untuk memaksa-maksakan penafsiran ayat dan
pentakwilannya guna mendukung madzhabnya. Sedangkan Al-Qurthubi
mengemukakan pendapatnya sendiri tanpa ta’assub (fanatik) terhadap
mazhab Maliki yang dianutnya dan tidak bersikap apriori terhadap pendapat
mazhab-mazhab yang lain.5
d. Bentuk penafsiran yang digunakan oleh Al-Jas}s}as} yaitu Tafsir bi Al-
Ma’tsur ialah penafsiran dengan berpegang pada penjelasan yang terdapat di
dalam ayat Alquran itu sendiri yang mencakup penjelasan, perincian tentang
sebagian ayat, serta riwayat yang dikutip dari Nabi, sahabat dan tabi’in.6
Sedangkan Al-Qurt}ubi> menggunakan bentuk penafsiran yaitu Tafsir bi Al-
Ra’yi yaitu suatu metode penafsiran Alquran yang pola pemahamannya
dilakukan melalui ijtihad setelah mufassir mengetahui beberapa syaratnya.
Al- Ra’yi terlebih dahulu harus mencari makna ayat-ayat Alquran yang
terdapat dalam Alquran itu sendiri, lalu pada Sunnah nabi SAW, perbuatan
para sahabat dan tabi’in, jika tidak menjumpai dalil yang terdapat pada
5Moh. Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam., 146. 6Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir (Jakarta: Amzah, 2014), 141.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
80
sumber sebelumnya, barulah seorang mufassir menggunakan kekuatan akal
pikirannya (ijtihad).7
7M. Nur Ichwan, Belajar Mudah Ilmu-ilmu Alquran (Semarang: tp, 2001), 215.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
81
BAB V
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dari paparan di depan dapat diambil kesimpulan berikut ini:
1. Penafsiran terkait dengan peranan wali dalam pernikahan, menurut Al-Jas}s}as}
perempuan itu dapat berbuat atas dirinya sendiri baik yang berhubungan
dengan akad nikah ataupun memilih laki-laki yang disukainya dengan tidak
bersandar kepada walinya asalkan dengan laki-laki yang sekufu dengannya.
Tetapi Al-Jas{s{as tetap mengakui atas keeksistensian wali, hanya saja ia
memberikan kesempatan seorang perempuan untuk menikah dengan wali
dirinya sendiri.
2. Menurut Al-Qurt}ubi} peranan wali dalam pernikahan adalah setiap akad
perkawinan dilakukan oleh wali, baik itu perempuan dewasa atau masih kecil,
janda atau masih perawan, sehat akalnya atau tidak. Karena tidak ada hak sama
sekali bagi perempuan untuk mengakadkan perkawinannya sendiri dan
mengakadkan perkawinan saudara wanitanya.
3. Persamaan dan perbedaan diantara dua mufassir tersebut yaitu: persamaannya
terletak pada ketika menafsirkan Alquran Al-Jas}s}as} dan Al-Qurt}ubi> sama
menggunakan metode tahlili. Tentang corak yang digunakan dalam
menafsirkan juga sama menggunakan corak fiqhy. Sedangkan ada perbedaan
diantara penafsiran mufassir Al-Jas}s}as} dan Al-Qurt}ubi> tentang kedudukan wali
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
82
dalam pernikahan. Al-Jas}s}as} berpendapat bahwa apabila ada suatu perkawinan
yang tidak dihadiri atau tanpa izin wali maka hukum perkawinan tersebut
adalah sah. Karena menurut Al-Jas}s}as}, perempuan yang sudah dewasa dan
sehat akalnya dapat melangsungkan sendiri akad perkawinannya tanpa adanya
wali asalkan dengan laki-laki yang sekufu. Sedangkan menurut Al-Qurt}ubi>
wali dalam pernikahan itu harus ada, karena menurut Al-Qurt}ubi bahwa wali
adalah mutlak dalam suatu pernikahan dan tidak sah pernikahan tanpa adanya wali.
Perbedaan penafsiran ini disebabkan karena berbedanya madzhab yang dianut oleh
kedua kedua mufassir tersebut.
B. Saran
Setelah mengemukakan kesimpulan dari penelitian ini, saran yang
diusulkan penulis sebagai berikut:
1. Bermacam-macam metode penafsiran Alquran yang disajikan oleh mufassir
pada dasarnya merupakan upaya mereka masing-masing untuk dapat
memahami kandungan Alquran. Maka dari itu, hendaknya para generasi islam
selanjutnya lebih bersifat fleksibel dan terbuka dalam menerima hal-hal yang
baru.
2. Keterbatasan pada analisis mengenai masalah tersebut kiranya kurang begitu
terwakili. Maka dari itu, diharapkan ada orang lain yang bersedia untuk
melanjutkan penelitian ini sehingga bisa dijadikan teori oleh orang banyak.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
83
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Slamet. Fiqih Munakahat 1. Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Al-Jaṣsaṣh. Ahkaam al Qur’an, Juz II. Kairo: Mathba’at Abd Rahman, t.t.
Agama RI, Departemen. Alquran dan terjemahan. Jakarta: TP, 1982.
Al-Dawudy, Thabaqat al-Mufassirin. PDF. t.t: t.p, t.th.
Al-Farmawi, Al-Hay. Metode Tafsir Mawdhu’iy, terj. Abd. Al-Hary. Jakarta:
RajaGrafindo, 1996.
Al-Qurthubi. Al-Jami’ Li Ahkam Alquran, Juz III. Beirut: Dar Al-Fikr, 1995.
Al-Qatthan, Manna’ Khalil. terj.Mudzakir AS. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Bogor:
Pustaka Litera AntarNusa, 2013.
Al-Qatthan, Manna’ Khalil. Pengantar Studi Ilmu al-Qur`an. terj. H. Aunur Rafiq el
Mazni. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2013.
Al-Zahabi, Muhammad Husain. Al-Tafsir wa Al-Mufassirun. Mesir: DarAl-Maktabah
Al-Harisah, 1976.
As-Shabuni, Mohammad Ali. terj.Moch. Chudlori Umar. Pengantar Ilmu al-Qur’an
Bandung: Al-Ma’arif, 1996.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
84
Anwar, Rosihon. Ulum Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia, 2015.
Anar, Rosihon. Ilmu Tafsir . Bandung: Pustaka Setia, 2015.
Anwar, Rusydie. Pengantar Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadits. Yogyakarta:
IRCiSoD, 2015.
Aziz, Nasaiy. Ketidak-Mutlakan Laki-Laki dalam Perwalian Nikah menurut
Perspektif Ulama tafsir, Jurnal Substantia, Vol. 14, No. 2, Tk: tp. 2012.
Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu, terj. Abdul Hayyi al-Kattani.
Jakarta: Gema Insani, 2011.
Baidan, Nasruddin. Metodologi Penafsiran Al-Quran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Offset, 2012.
Baidan, Nasruddin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016.
Baidowi, Ahmad. Studi Kitab Tafsir Klasik Tengah. Yogyakarta: TH-Press, 2010.
Daming, Muhammad. Keagungan Al-Qur’an: Analisis Munasabah. Makassar:
Pustaka Al-Zikra, 2012.
Ghazali, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana, 2012.
Hakim, Rahmat. Hukum Perkawinan Islam. Bandung: Pustaka Setia,2000.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
85
Harjomo, Anwar. Hukum Islam Keluasan dan keadilan. Jakarta: Bulan Bintang,
1987.
Ichwan, M. Nur. Belajar Mudah Ilmu-ilmu Alquran. Semarang: tp, 2001.
Izzan, Ahmad. Metodologi Ilmu Tafsir. Bandung: Tafakur, 2009.
Junaidi, Ahmad Arif. Pembaharuan Metodologi Tafsir Al-Quran. Semarang: Gunung
Jati, 2001.
Sabiq. Moh, Kajian Kritis Ahkam Al-Qur’an Karya Al-Jassash. Yogyakarta: tp, tt.
Sartika, Ella, dkk. Keluarga Sakinah dalam Tafsir Al-Qur’an vol 2 (Bandung: Al-
Bayan, 2017.
Suma, Moh. Amin. Pengantar Tafsir Ahkam. Jakarta: Rajawali Press, 2001.
Suma, Muhammad Amin. Ulumul Qur’an. Jakarta: Rajawali Pers, 2017.
Suyuthi, Imam. terj. Ali Nurdin, Asbab al-nuzul. Jakarta: Qisthi Press, 2017.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta:Kencana, 2006,
2014.
Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta:
Rajawali Pers, 2009.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
86
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta:
Djambatan, 1992.