penyakit jantung koroner

Upload: for-document

Post on 03-Mar-2016

72 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Penyakit Jantung Koroner

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangPenyakit Jantung Koroner (PJK) ialah penyakit jantung yang terutama disebabkankarena penyempitan arteri koronaria akibat proses aterosklerosis atau spasme atau kombinasi keduanya. PJK merupakan sosok penyakit yang sangat menakutkan dan masih menjadi masalah baik di negara maju maupun negara berkembang. Di USA setiap tahunnya 550.000 orang meninggal karena penyakit ini. Di Eropa diperhitungkan 20-40.000 orang dari 1 juta penduduk menderita PJK. Hasil survei yang dilakukan Departemen Kesehatan RI menyatakan prevalensi PJK di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Bahkan, sekarang (tahun 2000-an) dapat dipastikan, kecenderungan penyebab kematian di Indonesia bergeser dari penyakit infeksi ke penyakit kardiovaskular (antara lain PJK) dan degeneratif.Manifestasi klinik PJK yang klasik adalah angina pektoris. Angina pektoris ialah suatu sindroma klinis di mana didapatkan sakit dada yang timbul pada waktu melakukan aktivitas karena adanya iskemik miokard. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi > 70% penyempitan arteri koronaria. Angina pektoris dapat muncul sebagai angina pektoris stabil (APS, stable angina), dan keadaan ini bisa berkembang menjadi lebih berat dan menimbulkan Sindroma Koroner Akut (SKA) atau yang dikenal sebagai serangan jantung mendadak (heart attack) dan bisa menyebabkan kematian.

1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Bagaimana histologi jantung ?1.2.2 Apa definisi penyakit jantung koroner ?1.2.3 Bagaimana epidemiologi penyakit jantun koroner ?1.2.4 Bagaimana patofisiologi penyakit jantung koroner ?1.2.5 Bagaimana manifestasi klinis penyakit janting koroner ?1.2.6 Bagaimana diagnosis penyakit jantung koroner ?1.2.7 Bagaimaa pengobatan penyakit jantung koroner ?1.2.8 Bagaimana pencegahan penyakit jantung koroner ?

1.3 Tujuan Penulisan1.3.1 Untuk mengetahui histologi jantung1.3.2 Untuk mengetahui penyakit jantung koroner1.3.3 Untuk mengetahui epidemiologi penyakit jantun koroner1.3.4 Untuk mengetahui patofisiologi penyakit jantung koroner1.3.5 Untuk mengetahui manifestasi klinis penyakit janting koroner1.3.6 Untuk mengetahui diagnosis penyakit jantung koroner1.3.7 Untuk mengetahui pengobatan penyakit jantung koroner1.3.8 Untuk mengetahui pencegahan penyakit jantung koroner

1.4 Manfaat Penulisan1.4.1 Manfaat Umum Jurnal yang penulis buat diharapkan memberikan manfaat bagi pembaca, agar pembaca mengetahui hal-hal yang berkaitan tentang penyakit jantung koroner.

1.4.2 Manfaat KhususJurnal yang penulis buat dapat memberikan pengetahuan kepada pembaca khususnya mahasiswa kedokteran tentang penyakit jantung koroner yang merupakan pokok permasalahan pada jurnal ini.

BAB 2PEMBAHASAN2.1 Histologi jantungGambar 1. Potongan Longitudinal dan Transversal Otot jantungSerat otot jantung memiliki beberapa ciri yang terlihat pada serat otot rangka. Gambar ini memperlihatkan otot iantung yang terpotong memanjang (bagian atas) dan melintang (bagian bawah). Crossstriation pada serat otot jantung sangat mirip dengan yang terlihat pada otot rangka. Meskipun begitu, serat otot jantung memperlihatkan percabangan tanpa banyak perubahan pada diameternya. Serat otot jantung juga lebih pendek daripada serat otot rangka dan memiliki satu nukleus yang terletak di tengah. Serat otot binukleus (berinti dua) juga dapat terlihat. Letak intinya yang di tengah jelas terlihat pada serat yang terpotong melintang. Di sekitar inti terdapat daerah jernih yaitu sarcoplasma perinucleare nonfibrillare. Pada potongan melintang, sarcoplasma perinucleare tampak sebagai rongga kosong jika irisan tidak melalui inti. Pada potongan melintang juga terlihat miofibril sel otot jantung. Salah satu ciri khas untuk membedakan serat otot jantung adalah diskus interkalaris. Struktur terpulas-gelap ini ditemukan pada interval tidak teratur di otot jantung dan merupakan kompleks taut khusus antara serat-serat otot jantung. Otot jantung memiliki suplai darah yang sangat banyak. Banyak pembuluh darah kecil dan kapiler ditemukan di sekat iaringan ikat dan endomisium di antara masing-masing serat otot (Eroschenko, 2012).

Gambar 2. Otot Jantung (Potongan Longitudinal)Fotomikrograf dengan pembesaran-kuat menggambarkan otot jantung yang terpotong memanjang. Serat otot iantung memiliki cross-striation, percabangan, dan inti tunggal di tengah. Diskus interkalaris terpulas-gelap menghubungkan setiap serat otot jantung . Oi dalam setiap serat otot jantung terlihat miofibril halus. Serat iaringan ikat halus mengelilingi masing-masing serat otot jantung (Eroschenko, 2012).

Gambar 3. Jantung: Atrium Kiri, Katup Atrioventrikularis, dan Ventrikel Kiri (Potongan Longitudinal)Dinding jantung terdiri dari tiga lapisan: endokardium di sebelah dalam, miokardium di tengah, dan epikardium di sebelah luar. Endokardium terdiri dari endotel selapis gepeng dan stratum subendothelial yang tipis. Di sebelah dalam endokardium terdapat lamina subendocardiaca jaringan ikat. Di sini ditemukan pembuluh darah kecil dan serat Purkinje. Lamina subendocardiaca melekat pada endomisium serat otot jantung. Miokardium adalah lapisan paling tebal dan terdiri dari serat otot jantung. Epikardium terdiri dari mesotel selapis gepeng dan lamina subepicardiaca jaringan ikat di bawahnya. Lamina subepicardiaca mengandung pembuluh darah koronaria, saraf, dan jaringan adiposa. Potongan memanjang pada sisi kiri jantung memperlihatkan bagian atrium, kuspis katup atrioventrikularis (mitral), dan ventrikel. endokardium melapisi rongga atrium dan ventrikel. Di bawah endokardium terdapat jaringan ikat subendokardium (tela subendocardiaca). Epikardium di atrium dan ventrikel terdiri dari serat otot jantung. Epikardium atrium dan ventrikel bersambungan dan melapisi jantung dengan mesotel di sebelah luar. Lamina subepicardiaca mengandung jaringan ikat, jaringan, dan banyak pembuluh darah koronaria, yang jumlahnya bervariasi di berbagai bagian jantung. Epikardium juga meluas ke dalam sulkus koronarius (atrioventrikularis) dan, interventrikularis jantung. Diantaraatrium danventrikel terdapatsatulapisan jaringanikatfibrosapadatyaituanulus fibrosus. fatup atrioventrikularis (mitral) bikuspid memisahkan atrium dari ventrikel . Kuspis katup atrioventrikularis (mitral) dibentuk oleh membran ganda endokardium dan intijaringan ikat padat yang bersambungan dengan anulus fibrosus . Di permukaan ventral setiap kuspis terdapat insersi tali jaringan ikat, chorda tendineae (s), yang ber;alan dari kuspis t atop dan melekat pada otot papilaris, yang menonjol dari dinding ventrikel. Permukaan dJam ventrikel juga mengandung rigi otot (miokardium) yang menonjol yaitu trabeculaecarneae yang membentuk otot papilaris. Otot papilaris melalui chorda tendineae menahan dan menstabilkan kuspis di katup atrioventrikularis ventrikel kanan dan kiri sewaktu kontraksi ventrikel. Serat Purkinle , atau serat penghantar-impuls, terletak di jaringan ikat subendokardium. Serat ini dibedakan karena ukurannya yang lebih besar dan pewarnaannya yang lebih terang.. Sebuah pembuluh darah besar jantung, arteri koronaria , ditemukan di jaringan ikat subepikardium . Di bawah arteri koronaria terdapat sinus koronarius, suatu pembuluh darah yang mengalirkan darah dari jantung. Vena koronaria dengan katupnya masuk ke sinus koronarius. nembuluh darah koronaria yang lebih kecil terlihat di jaringanikat subepikardium dan di septum jaringan ikat yang ditemukan di miokardium (Eroschenko, 2012).

Gambar 4. Jantung: Ventrikel Kanan, Trunkus Pulmonalis, dan Katup Pulmonal(Potongan Longitudinal)Dalam gambar diperlihatkan,potongan ventrikel kanan dan bagian bawah trunkus pulmonalis. Seperti pembuluh darah lainnya, trunkus pulmonalis dilapisi oleh endotel pada tunika intima. Tunika media membentuk bagian paling tebal dinding trunkus pulmonalis ; namun, lamina elastik yang tebal tidak terlihat pada pembesaran ini. Jaringan ikat tipis tunika adventisia menyatu dengan iaringan ikat subepikardium, yangmengandung jaringan lemak dan arteriol dan venula koronaria . Trunkus pulmonalis berasal dari anulus fibrosus. Dalam gambar terlihat suatu kuspis katup semilunaris (pulmonal). Serupa dengan katup atrioventrikularis kaiup semilunaris trunkus pulmonalis dilapisi oleh endokardium. Inti iaringan ikat darianulus fibrosus meluas ke dalam bagian basal katup semilunaris dan membentukbagian sentralnya. Miokardium ventrikel kanan yang tebal dilapisi di bagian dalamnya oleh endokardium. Endokardium meluas melewati katup pulmonal dan anulus fibrosus, dan menyatu dengan tunika intima trunkus pulmonalis. Trunkus pulmonalis dilaplsl oleh iaringan ikat subendokardium dan iaringan adiposa, yang selanjutnya dilapisi oleh epikardium. Kedua lapisan ini menutupi permukaan luar ventrikel kanan. Arteriol dan venula koronaria terlihat di jaringan ikat subepikardium (Eroschenko, 2012).

2.2 Definisi penyakit jantung koronerPenyakit Jantung Koroner (PJK) adalah suatu kelainan yang disebabkan oleh penyempitan atau penghambatan pembuluh arteri yang mengalirkan darah ke otot jantung. Karena sumbatan ini, terjadi ketidakseimbangan antara masukan dan kebutuhan oksigen otot jantung yang dapat mengakibatkan kerusakan pada daerah yang terkena sehingga fungsinya terganggu.Penyakit jantung koroner terjadi akibat penyempitan dan penyumbatan pembuluh arteri koroner pada organ jantung. Arteri koroner merupakan pembuluh darah yang menyediakan darah bagi jantung. Penyempitan dan penyumbatan arteri koroner menyebabkan terganggunya aliran darah ke jantung. Sehingga akan menimbulkan efek kehilangan oksigen dan makanan (Nutrien) ke jantung karena aliran darah ke jantung melalui arteri berkurang. (Wijayakusuma, 2005).Terjadinya penyempitan arteri koroner dimulai dengan terjadinya aterosklerosis (kekakuan arteri) maupun yang sudah terjadi penimbunan lemak (plague) pada dinding arteri koroner, baik disertai gejala klinis atau tanpa gejala sekalipun.Menurut WHO (1985), aterosklerosis adalah perubahan variabel intima arteri yang merupakan akumulasi fokal lemak ( lipid), komplek karbohidrat, darah, dan jaringan fibrous. Aterosklerosis merupakan penyebab penyakit jantung koroner yang terbanyak yaitu 98 % sedangkan sisanya akibat spasme dan kelainan arteri (2%) (Kabo, 2008).

2.3 Epidemiologi penyakit jantung koronerPJK tidak hanya menyerang laki-laki saja, wanita juga berisiko terkena PJK meskipun kasusnya tidak sebesar pada laki-laki. Pada orang yang berumur 65 tahun ke atas, ditemukan 20 % PJK pada laki-laki dan 12 % pada wanita. Pada tahun 2002, WHO memperkirakan bahwa sekitar 17 juta orang meninggal tiap akibat penyakit kardiovaskuler, terutama PJK (7,2 juta) dan stroke (5,5 juta). (WHO, 2002) Secara umum angka kejadian penyakit jantung dan pembuluh darah (PJPD) di Indonesia belum diteliti secara akurat. Di Amerika Serikat pada tahun 1996 dilaporkan kematian akibat PJPD mencapai 959.277 penderita, yakni 41,4 % dari seluruh kematian. Setiap hari 2600 penduduk meninggal akibat penyakit ini. Meskipun berbagai pertolongan mutakhir telah diupayakan, namun setiap 33 detik tetap saja seorang warga Amerika meninggal akibat penyakit ini. Dari jumlah tersebut 476.124 kematian disebabkan oleh Penyakit Jantung Koroner. Kenyataan lain menunjukkan bahwa, di Inggris penyakit kardiovaskuler membunuh satu dari dua penduduk dalam populasi, dan menyebabkan hampir sebesar 250.000 kematian pada tahun 1998. Satu dari empat laki-laki dan satu dari lima perempuan meninggal setiap tahun karena PJK, yang merepresentasikansekitarsetengah kematian akibat penyakit kardiovaskuler. Merupakan konsep yang salah bahwa PJK jarang terjadi pada perempuan, faktanya tidak banyak perbedaan antara perempuan dibandingkan laki-laki dalam insiden penyakit ini dihitung berdasarkan harapan hidup yang lebih panjang (Massie and Amidon, 2009).

2.4 Patofisiologi penyakit jantung koronerLapisan endotel pembuluh darah koroner yang normal akan mengalami kerusakan, baik oleh factor risiko tradisional maupun non-tradisional. Kerusakan ini menyebabkan sel endotel menghasilkan cell adhesion molecule seperti sitokin (interleukin -1, (IL-1); tumor nekrosis factor alfa, (TNFalpha), kemokin (monocyte chemoattractant factor, (PDGF). Basic fibroblast growth factor, (bFGF). Sel inflamasi seperti monosit dan T-Limfosit masuk ke permukaan endotel dan migrasi dari endotelium ke sub endotel. Monosit kemudian berdiferensiasi menjadi makrofag dan mengambil LDL teroksidasi yang bersifat lebih atherogenik dibanding LDL. Makrofag ini kemudian membentuk sel busa. LDL teroksidasi menyebabkan kematian sel endotel dan menghasilkan respons inflamasi. Sebagai tambahan, terjadi respons dari angiotensin II, yang menyebabkan gangguan vasodilatasi, dan mencetuskan efek protrombik dengan melibatkan platelet dan faktor koagulasi. Akibat kerusakan endotel terjadi respons protektif dan terbentuk lesi fibrofatty dan fibrous, plak atherosklerosik, yang dipicu oleh inflamasi. Plak yang terjadi dapat menjadi tidak stabil (vulnerable) dan mengalami rupture sehingga terjadi Sindroma Koroner Akut (SKA) (Madjid, 2007).Perkembangan terkini menjelaskan aterosklerosis merupakan suatu proses inflamasi/infeksi yang awalnya ditandai dengan cedera pada dinding arteri oleh berbagai sebab (hipertensi, oksidasi, nikotin) merupakan sinyal bagi system imun untuk melepaskan sel darah putih (terutama netrofil dan makrofag) ke daerah permukaan. Selanjutnya makrofag akan memfagosit kolesterol LDL teroksidasi. Proses ini merubah kolesterol LDL menjadi bentuk foamy cell yang melekat pada sel otot polos arteri. Sejalan dengan waktu, kolesterol akan mengering dan membentuk plaque yang keras, yang akan menimbulkan cedera berkelanjutan pada dinding arteri. Pembentukan plaque ini akan terus berjalan dan dapat mempersempit lumen arteri atau bahkan memblokade aliran darah. Plaque ini juga dapat terlepas dan menyumbat arteri yang lebih kecil seperti arteri koronaria atau arteri serebri menimbulkan penyakit IMA dan infark serebri. Proses yang mengawali aterosklerosis telah menjadi perdebatan pada beberapa tahun terakhir, dan beberapa hipotesis telah diajukan.1. Hipotesis Response to InjuryMenyatakan bahwa perlukaan pada endotel menyebabkan respon inflamasi sebagai proses perlukaan pada dinding arteri. Sebagai contoh, luka meningkatkan adhesi endotel pada lekosit dan platelet, menghantarkan antikoagulan vaskular lokal pada prokoagulan. Lekosit dan platelet yang terekrut kemudian melepaskan sitokin, senyawa-senyawa vasokonstriksi, growth factor, yang merangsang respon inflamasi yang ditandai oleh migrasi sel otot halus ke dalam intima, dan proliferasinya membentuk suatu lesi intermediate. Komponen lain dari respon inflamasi ini adalah rekrutmen makrofag ke dalam dinding arteri. Makrofag-makrofag tersebut mengambil LDL yang terdeposit menjadi sel busa, yang merupakan awal lesi aterosklerosis.2. Hipotesis Response to Oxidation (Oxidative Modification Hypothesis)Dikemukakan oleh Steinberg dkk pada tahun 1989, bahwa oksidasi lipoprotein merupakan jalur yang penting dalam aterosklerosis.Disebutkan bahwa LDL dalam bentuk natif tidak bersifat aterogenik. LDL yang termodifikasi secara kimia mudah masuk ke makrofag melalui jalur scavenger receptor. Sel-sel vaskular mengandung logam yang terpapar di medium juga menghasilkan LDL termodifikasi, sehingga tersedia ligan untuk jalur scavenger receptor. Modifikasi LDL melalui oksidasi ini kemudian menghasilkan modifikasi Apo B-100, yaitu pada gugus lisin, yang menyebabkan muatan negatif partikel lipoprotein meningkat. Modifikasi Apo B-100 ini menyebabkan LDL lebih mudah di-up take makrofag melalui sejumlah jalur scavenger receptor, menghasilkan sel busa. Akumulasi sel busa merupakan awal perkembangan lesi aterosklerosis.3. Hipotesis Response to RetentionHipotesis yang dikemukakan oleh William dan Tabas (1995) ini menyebutkan bahwa retensi lipoprotein merupakan tahap awal dari terjadinya oksidasi, inflamasi, dan disfungsi endotel. Sebagai akibat dari retensi lipoprotein aterogenik ini tidak hanya kumulasi lipid, namun juga memperlama terhadap paparan oksidan lokal dan enzim non oksidatif lainnya di dinding pembuluh darah..Meskipun plague aterosklerosis dapat tetap stabil atau berubah secara bertahap, beberapa di antaranya dapat mengalami ruptur menyebabkan keluarnya lipid dan factor jaringan dalam berbagai kejadian dengan puncaknya terjadi thrombosis intravaskuler. Akhir proses ini ditentukan oleh apakah pembuluh darah mejadi tersumbat ataukah terjadi trombolisis, baik spontan maupun akibat pengobatan, dan apakah plague selanjutnya menjadi stabil.Pengamatan terkini menghidupkan kembali teori lama bahwa aterosklerosis berkembang sebagai akibat respon inflamasi dalam dinding pembuluh darah, mungkin diawali atau diperburuk oleh suatu agen infeksi. Tingginya kadar C-reactive protein dalam sirkulasi yaitu suatu penanda inflamasi non spesifik, dikaitkan dengan tingginya angka kejadian iskemik Proses inflamasi memegang peranan penting dalam menentukan kejadian aterosklerosis. Pro inflamatori sitokin seperti interleukin-1, dan tumor necrosis factor (TNF-) di samping molekul adesi interselular 1, selektin, interleukin-6, dan serum amyloid A, mempunyai implikasi terhadap aterogenesis. Sebagai tambahan, C-reactive protein (CRP), sebuah reaktan fase akut yang mendasari terjadinya proses inflamasi, kadar yang meningkatkan 100kali lipat atau lebih terhadap infeksi bakteri yang parah, trauma fisik, atau kondisi inflamasi lainnya yang mungkin memegang peranan penting (Madjid, 2007)

2.5 Manifestasi klinis penyakit jantung koronera. Angina pectorisAngina pectoris ialah suatu sindroma klinis di mana didapatkan sakit dada yang timbul pada waktu melakukan aktivitas karena adanya iskemik miokard. (Taggart, 1999).Klasifikasi klinis angina pada dasarnya dilakukan untuk mengevaluasi mekanisme terjadinya iskemik. Pada umumnya angina pectoris dibagi menjadi 3 tipe angina yakni :a. Angina Pektoris Stabil (APS) : sindrom klinik yang ditandai dengan rasa tidak enak di dada, rahang, bahu, pungggung ataupun lengan, yang biasanya dicetuskan oleh kerja fisik atau stres emosional dan keluhan ini dapat berkurang bila istirahat atau oleh obat nitrogliserin.b. Angina Prinzmetal : nyeri dada disebabkan oleh spasme arteri koronaria, sering timbul pada waktu istirahat, tidak berkaitan dengan kegiatan jasmani dan kadang-kadang siklik (pada waktu yang sama tiap harinya).c. Angina pektoris tidak stabil (APTS, unstable angina) : ditandai dengan nyeri dada yang mendadak dan lebih berat, yang serangannya lebih lama (lebih dari 20 menit) dan lebih sering. Angina yang baru timbul (kurang dari satu bulan), angina yang timbul dalam satu bulan setelah serangan infark juga digolongkan dalam angina tak stabil. (Taggart, 1999)b. Infark Miokard Akut (IMA)Serangan infark miokard biasanya akut, dengan rasa sakit seperti angina, tetapi tidak seperti angina yang biasa, maka disini terdapat rasa penekanan yang luar biasa pada dada. Bila pasien sebelumnya pernah mendapat serangan angina ,maka ia tahu bahwa sesuatu yang berbeda dari serangan angina sebelumnya sedang berlangsung. Juga, kebalikan dengan angina yang biasa, infark miokard akut terjadi sewaktu pasien dalam keadaan istirahat , sering pada jam-jam awal dipagi hari.Rasa sakitnya adalah diffus dan bersifat mencekam, mencekik, mencengkeram atau membor. Paling nyata didaerah subternal, dari mana ia menyebar kedua lengan, kerongkongan atau dagu, atau abdomen sebelah atas (sehingga ia mirip dengan kolik cholelithiasis, cholesistitis akut ulkus peptikum akut atau pancreatitis akut) (Madjid, 2007).

2.6 Diagnosis penyakit jantung koronerLangkah pertama dalam pengelolaan PJK ialah penetapan diagnosis pasti. Diagnosis yang tepat amat penting, karena bila diagnosis PJK telah dibuat di dalamnya terkandung pengertian bahwa penderitanya mempunyai kemungkinan akan dapat mengalami infark jantung atau kematian mendadak. Diagnosis yang salah selalu mempunyai konsekuensi buruk terhadap kualitas hidup penderita. Pada orang-orang muda, pembatasan kegiatan jasmani yang tidak pada tempatnya mungkin akan dinasihatkan. Selain itu kesempatan mereka untuk mendapat pekerjaan mungkin akan berkurang. Bila hal ini terjadi pada orang-orang tua, maka mereka mungkin harus mengalami pensiun yang terlalu dini, harus berulang kali dirawat di rumah sakit secara berlebihan atau harus makan obat-obatan yang potensial toksin untuk jangka waktu lama. Di lain pihak, konsekuensi fatal dapat terjadi bila adanya PJK tidak diketahui atau bila adanya penyakit-penyakit jantung lain yang menyebabkan angina pektoris terlewat dan tidak terdeteksi.

Cara DiagnostikTabel 2 memperlihatkan cara-cara diagnostik PJK yang terpenting, baik yang saat ini ada atau yang di masa yang akan datang potensial akan mempunyai peranan besar. Dokter harus memilih pemeriksaan apa saja yang perlu dilakukan terhadap penderita untuk mencapai ketepatan diagnostik yang maksimal dengan risiko dan biaya yang seminimal mungkin.

Tabel 2. Cara-Cara Diagnostik

1. Anamnesis2. Pemeriksaan fisik3. Laboratorium 4. Foto dada5. Pemeriksaan jantung non-invasif -EKG istirahat-Uji latihan jasmani (treadmill)-Uji latih jasmani kombinasi pencitraan:-Uji latih jasmani ekokardiografi (Stress Eko) -Uji latih jasmani Scintigrafi Perfusi Miokard-Uji latih jasmani Farmakologik Kombinasi Teknik Imaging -Ekokardiografi istirahat-Monitoring EKG ambulatoar-Teknik non-invasif penentuan klasifikasi koroner dan anatomi koroner: -Computed Tomography-Magnetic Resonanse Arteriography 6. Pemeriksaan invasif menentukan anatomi koroner-arteriografi koroner- ultrasound intra vaskular (IVUS)

Setiap pasien dengan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis yang teliti, penentuan faktor risiko, pemeriksaan jasmani dan EKG. Pada pasien dengan gejala angina pektoris ringan, cukup dilakukan pemeriksaan non-invasif. Bila pasien dengan keluhan yang berat dan dan kemungkinan diperlukan tindakan revaskularisasi, maka tindakan angiografi sudah merupakan indikasi.Pada keadaan yang meragukan dapat dilakukan treadmill test. Treadmill test lebih sensitif dan spesifik dibandingkan dengan EKG istirahat dan merupakan tes pilihan untuk mendeteksi pasien dengan kemungkinan Angina Pektoris dan pemeriksaan ini sarananya yang mudah dan biayanya terjangkau.

Pada keadaan tertentu, sulit menginterpretasi hasil treadmill seperti pada pasien dengan kelainan EKG istirahat a.l.: LBBB, kelainan repolarisasi, LVH dsb.Pemeriksaan alternatif lain yang dapat dilakukan adalah ekokardiografi dan teknik non-invasif penentuan kalsifikasi koroner dan anatomi koroner, Computed Tomography, Magnetic Resonanse Arteriography, dengan sensitifitas dan spesifitas yang lebih tinggi. Di samping itu tes ini juga cocok untuk pasien yang tidak dapat melakukan excercise, di mana dapat dilakukan uji latih dengan menggunakan obat dipyridamole atau dobutamine (Massie BM and Amidon TM, 2009)

2.7 Pengobatan penyakit jantung koronerTujuan pengobatan adalah: Memperbaiki prognosis dengan cara mencegah infark miokard dan kematian. Upaya yang dilakukan adalah bagaimana mengurangi terjadinya trombotik akut dan disfungsi ventrikel kiri. Tujuan ini dapat dicapai dengan modifikasi gaya hidup ataupun intervensi farmakologik yang akan (i) mengurang progresif plak (ii) menstabilkan plak, dengan mengurangi inflamasi dan memperbaiki fungsi endotel, dan akhirnya (iii) mencegah trombosis bila terjadi disfungsi endotel atau pecahnya plak. Obat yang digunakan: Obat Antitrombotik: aspirin dosis rendah, antagonis reseptor ADP (thienopyridin) yaitu clopidogrel dan ticlopidine; obat penurun kolesterol (statin); ACE-Inhibitors; Beta-blocker; Calcium channel blockers (CCBs). Untuk memperbaiki simtom dan iskemi: obat yang digunakan yaitu nitrat kerja jangka pendek dan jangka panjang, Beta-blocker, CCBs.

Tatalaksana Umum Kepada pasien yang menderita PJK maupun keluarga, perlu diterangkan tentang perjalanan penyakit, pilihan obat yang tersedia. Pasien perlu diyakinkan bahwa kebanyakan kasus angina dapat mengalami perbaikan dengan pengobatan dan modifikasi gaya hidup sehingga kualitas hidup lebih baik. Kelainan penyerta seperti hipertensi, diabetes, dislipidemia, dll. perlu ditangani secara baik (lihat selanjutnya pada bab pencegahan). Cara pengobatan PJK yaitu, (i) pengobatan farmakologis, (ii) revaskularisasi miokard. Perlu diingat bahwa tidak satu pun cara di atas sifatnya menyembuhkan. Dengan kata lain tetap diperlukan modifikasi gaya hidup dan mengatasi faktor penyebab agar progresi penyakit dapat dihambat.

Pengobatan Farmakologik Aspirin dosis rendahDari berbagai studi telah jelas terbukti bahwa aspirin masih merupakan obat utama untuk pencegahan trombosis. Meta-analisis menunjukkan, bahwa dosis 75-150 mg sama efektivitasnya dibandingkan dengan dosis yang lebih besar. Karena itu aspirin disarankan diberi pada semua pasien PJK kecuali bila ditemui kontraindikasi. Selain itu aspirin juga disarankan diberi jangka lama namun perlu diperhatikan efek samping iritasi gastrointestinal dan perdarahan, dan alergi. Cardioaspirin memberikan efek samping yang lebih minimal dibandingkan aspirin lainnya. Thienopyridine Clopidogrel dan Ticlopidine Merupakan antagonis ADP dan menghambat agregasi trombosit. Clopidogrel lebih diindikasikan pada penderita dengan resistensi atau intoleransi terhadap aspirin. AHA/ACC guidelines update 2006 memasukkan kombinasi aspirin dan clopidogrel harus diberikan pada pasien PCI dengan pemasangan stent, lebih 1 bulan untuk bare metal stent, lebih 3 bulan untuk sirolimus eluting stent, dan lebih 6 bulan untuk paclitaxel-eluting stent. Obat penurun kolesterolPengobatan dengan statin digunakan untuk mengurangi risiko baik pada prevensi primer maupun prevensi sekunder. Berbagai studi telah membuktikan bahwa statin dapat menurunkan komplikasi sebesar 39% (Heart Protection Study), ASCOTT-LLA atorvastatin untuk prevensi primer PJK pada pasca-hipertensi.Statin selain sebagai penurun kolesterol, juga mempunyai mekanisme lain (pleiotropic effect) yang dapat berperan sebagai anti inflamasi, anti trombotik dll. Pemberian atorvastatin 40 mg satu minggu sebelum PCI dapat mengurangi kerusakan miokard akibat tindakan. Target penurunan LDL kolesterol adalah < 100 mg/dl dan pada pasien risiko tinggi, DM, penderita PJK dianjurkan menurunkan LDL kolesterol < 70 mg/dl. ACE-Inhibitor/ARBPeranan ACE-I sebagai kardioproteksi untuk prevensi sekunder pada pasien dengan PJK telah dibuktikan dari berbagai studi a.l., HOPE study, EUROPA study dll. Bila intoleransi terhadap ACE-I dapat diganti dengan ARB. Nitrat Pada umumnya disarankan, karena nitrat memiliki efek venodilator sehingga preload miokard dan volume akhir bilik kiri dapat menurun sehingga dengan demikian konsumsi oksigen miokard juga akan menurun. Nitrat juga melebarkan pembuluh darah normal dan yang mengalami aterosklerotik. Menaikkan aliran darah kolateral, dan menghambat agregasi trombosit. Bila serangan angina tidak respons dengan nitrat jangka pendek, maka harus diwaspadai adanya infark miokard. Efek samping obat adalah sakit kepala, dan flushing. Penyekat Merupakan obat standar. Penyekat menghambat efek katekolamin pada sirkulasi dan reseptor -1 yang dapat menyebabkan penurunan konsumsi oksigen miokard. Pemberian penyekat dilakukan dengan target denyut jantung 50-60 per menit. Kontraindikasi terpenting pemberian penyekat adalah riwayat asma bronkial, serta disfungsi bilik kiri akut. Antagonis kalsium Mempunyai efek vasodilatasi. Antagonis kalsium dapat mengurangi keluhan pada pasien yang telah mendapat nitrat atau penyekat ; selain itu berguna pula pada pasien yang mempunyai kontraindikasi penggunaan penyekat . Antagonis kalsium tidak disarankan bila terdapat penurunan fungsi bilik kiri atau gangguan konduksi atrioventrikel.

Rekomendasi pengobatan untuk memperbaiki prognosis pasien dengan angina stabil menurut ESC 2006 sbb.:1. Pemberian Aspirin 75 mg per hari pada semua pasien tanpa kontraindikasi yang spesifik (cth. Perdarahan lambung yang aktif, alergi aspirin, atau riwayat intoleransi aspirin) (level evidence A).2. Pengobatan statin untuk semua pasien dengan penyakit jantung koroner (level evidence A).3. Pemberian ACE inhibitor pada pasien dengan indikasi pemberian ACE inhibitor, seperti hipertensi, disfungsi ventrikel kiri, riwayat miokard infark dengan disfungsi ventrikel kiri, atau diabetes (level evidence A).4. Pemberian Beta-blocker secara oral pada pasien gagal jantung atau yang pernah mendapat infark miokard (level evidence A).

Revaskularisasi MiokardAda dua cara revaskularisasi yang telah terbukti baik pada PJK stabil yang disebabkan aterosklerotik koroner yaitu tindakan revaskularisasi pembedahan, bedah pintas koroner (coronary artery bypass surgery = CABG), dan tindakan intervensi perkutan (percutneous coronary intervention = PCI).Akhir-akhir ini kedua cara tersebut telah mengalami kemajuan pesat yaitu diperkenalkannya tindakan, off pump surgery dengan invasif minimal dan drug eluting stent (DES).Tujuan revaskularisasi adalah meningkatkan survival ataupun mencegah infark ataupun untuk menghilangkan gejala. Tindakan mana yang dipilih, tergantung pada risiko dan keluhan pasien.

Indikasi untuk RevaskularisasiSecara umum, pasien yang memiliki indikasi untuk dilakukan arteriography koroner dan tindakan kateterisasi menunjukkan penyempitan arteri koroner adalah kandidat yang potensial untuk dilakukan tindakan revaskularisasi miokard. Selain itu, tindakan revaskularisasi dilakukan pada pasien, jika:a. Pengobatan tidak berhasil mengontrol keluhan pasien.

b. Hasil uji non-invasif menunjukkan adanya risiko miokard.c. Dijumpai risiko tinggi untuk kejadian dan kematian.d. Pasien lebih memilih tindakan intervensi dibanding dengan pengobatan biasa dan sepenuhnya mengerti akan risiko dari pengobatan yang diberikan kepada mereka.

Tindakan Pembedahan CABGTindakan pembedahan lebih baik jika dilakukan dibanding dengan pengobatan, pada keadaan:a. Stenosis yang signifikan (50%) di daerah left main (LM).b. Stenosis yang signifikan (70%) di daerah proximal pada 3 arteri koroner yang utama.c. Stenosis yang signifikan pada 2 daerah arteri koroner utama termasuk stenosis yang cukup tinggi tingkatannya pada daerah proximal dari left anterior descending arteri koroner.

Tindakan PCIPada mulanya tindakan percutaneous transluminal angioplasty hanya dilakukan pada satu pembuluh darah saja, sekarang ini telah berkembang lebih pesat baik oleh karena pengalaman, peralatan terutama stent dan obat-obat penunjang. Pada pasien dengan PJK stabil dengan anatomi koroner yang sesuai maka PCI dapat dilakukan pada satu atau lebih pembuluh darah (multi-vessel) dengan baik (PCI sukses). Risiko kematian oleh tindakan ini berkisar 0.3-1%. Tindakan PCI pada pasien PJK stabil dibandingkan dengan obat medis, tidaklah menambah survival dan hal ini berbeda dibanding CABG.

Pemasangan Stent Elektif dan Drug-Eluting Stent (DES)Pemasangan stent dapat mengurangi restenosis dan ulangan PCI dibandingkan dengan tindakan balloon angioplasty. Saat ini telah tersedia stent dilapisi obat (drug-eluting stent = DES) seperti serolimus, paclitaxel dll. Dibandingkan dengan bare-metal stents, pemakaian DES dapat mengurangi restenosis. Studi RAVEL menunjukkan restenosis dapat dikurangi sampai 0%.Direct stenting (pemasangan stent tanpa predilatasi dengan balon lebih dulu) merupakan tindakan yang feasible pada penderita dengan stenosis arteri koroner tertentu yaitu tanpa perkapuran, lesi tunggal, tanpa angulasi atau turtoasitas berat. Tindakan direct stenting dapat mengurangi waktu tindakan/ waktuiskemik, mengurangi radiasi, pemakaian kontras, mengurangibiaya.

Tindakan Intervensi Koroner Perkutan Primer (Primary PCI)Pasien PJK stabil dan mengalami komplikasi serangan jantung mendadak (SKA), mortalitasnya tinggi sekali (> 90%). Dengan kemajuan teknologi sekarang ini telah dapat dilakukan tindakan intervensi koroner perkutan primer (primary PCI) yaitu suatu teknik untuk menghilangkan trombus dan melebarkan pembuluh darah koroner yang menyempit dengan memakai kateter balon dan seringkali dilakukan pemasangan stent. Tindakan ini dapat menghilangkan penyumbatan dengan segera, sehingga aliran darah dapat menjadi normal kembali, sehingga kerusakan otot jantung dapat dihindari. PCI primer ialah pengobatan infark jantung akut yang terbaik saat ini, karena dapat menghentikan serangan infark jantung akut dan menurunkan mortalitas sampai di bawah 2%. Revaskularisasi atau pengobatan medisPilihan tindakan pada PJK, apakah cukup dengan obat saja dan bagaimana bila dibandingkan dengan revaskularisasi? Pada kebanyakan penderita PJK stabil pengobatan medis dapat diberikan sebagai alternatif PCI dan komplikasi yang terjadi lebih kecil dibandingkan PCI atau pembedahan dalam follow up selama satu tahun pada studi MASS.Dari studi ACIP (The Asymptomatic Cardiac Ischaemia Pilot) didapatkan pada pasien dengan risiko tinggi mempunyai hasil yang lebih baik dengan revaskularisasi.Dari berbagai studi (ACME,RITA-2 trial) disebutkan bahwa PCI lebih baik dalam memperbaiki kualitas hidup penderita dibanding obat medis. Pada AVERT study, 341 pasien PJK stabil, fungsi ventrikel kiri normal, angina kelas I atau II dibandingkan PCI dengan pengobatan medis atorvastatin 80 mg per hari. Dari hasil ini didapatkan bahwa pada pasien PJK stabil dan risiko rendah, pengobatan medis termasuk obat penurun lemak secara agressive mungkin sama efektif dengan PCI dalam hal pengurangan kejadian iskemik. Simtom angina lebih baik dikendalikan oleh PCI.Dapat dikatakan bahwa tindakan invasif dilakukan pada pasien dengan risiko tinggi ataupun yang tidak terkontrol baik dengan obat medis, sedangkan farmakoterapi saja pada pasien PJK stabil dengan risiko rendah (Madjid, 2007)

2.8 Pencegahan penyakit jantung koronerTidak ada motto kuno yang lebih baik dari Mencegah lebih baik daripada mengobati. Ini berlaku untuk siapapun, terlebih pada orang yang mempunyai faktor risiko yang tinggi. Prioritas pencegahan terutama dilakukan pada:a. Pasien dengan PJK, penyakit arteri perifer, dan aterosklerosis cerebrovaskular.b. Pasien yang tanpa gejala namun tergolong risiko tinggi karena: Banyak faktor risiko dan besarnya risiko dalam 10 tahun 5% (atau dengan usia lebih dari 60 tahun) untuk mendapat penyakit kardiovaskular yang fatal. Peningkatan salah satu komponen faktor risiko: cholesterol 8 mmol/l (320 mg/dl), low density lipoprotein (LDL) cholesterol 6 mmol/l (240 mg/dl), TD 180/110 mmHg. Pasien diabetes tipe 2 dan tipe 1 dengan mikroalbuminuria. c. Keluarga dekat dari: Pasien dengan penyakit kardiovaskular aterosklerotik yang lebih awal Pasien dengan risiko tinggi namun tanpa gejala.d. Orang-orang yang secara rutin melakukan pemeriksaan klinis. Pedoman Pencegahan Primer Penyakit Jantung dan StrokeTelah banyak buktibukti yang menunjukkan bahwa PJK dapat dicegah dan penelitian untuk hal ini terus berlanjut. Dari hasil studi prospektif jangka panjang menunjukkan bahwa orang dengan faktor risiko rendah mempunyai risiko yang lebih kecil untuk terkena PJK dan stroke.ACC/AHA merekomendasikan petunjuk untuk pencegahan penyakit kardiovaskular yang ditentukan dari faktor risiko yang ada. Usaha-usaha intervensi dengan cara nonfarmakologik dan farmakologik dan berbagai uji klinis menunjukkan hal yang bermanfaat. Pencegahan Sekunder Penyakit Jantung KoronerPrevensi sekunder pada individu yang sudah terbukti menderita PJK, adalah upaya untuk mencegah agar PJK itu tidak berulang lagi (lihat Tabel 5).Prevensi sekunder ini sangat perlu mengingat: Individu yang sudah pernah, atau sudah terbukti menderita PJK, cenderunguntukmendapatsakitjantunglagi,lebihbesar kemungkinannya ketimbang orang yang belum pernah sakit jantung. Proses aterosklerosis yang mendasari PJK, bisa saja terjadi pada pembuluh darah organ lain di otak yang menimbulkan cerebrovascular disease (strok), pada aorta atau arteri karotis, arteri perifer dll. Oleh sebab itu prevensi sekunder untuk PJK dapat juga merupakan prevensi primer untuk penyakit aterosklerotik lainnya. Prevensi sekunder belum sepenuhnya mendapat perhatian (under utilized) dari kalangan praktisi kedokteran, sebagaimana dilaporkan WHO 2004, khususnya di negara-negara dengan pendapatan per kapita rendah dan menengah (Madjid, 2007).

BAB 3KESIMPULAN

3.1 KesimpulanPenyakit Jantung Koroner (PJK) adalah suatu kelainan yang disebabkan oleh penyempitan atau penghambatan pembuluh arteri yang mengalirkan darah ke otot jantung. Karena sumbatan ini, terjadi ketidakseimbangan antara masukan dan kebutuhan oksigen otot jantung yang dapat mengakibatkan kerusakan pada daerah yang terkena sehingga fungsinya terganggu.Faktor-faktor risiko PJKseperti diabetes melitus, hipertensi, hiperkolesterolemia, obesitas, merokok dll. dapat menyebabkan lapisan endotel pembuluh darah koroner yang normal akan mengalami kerusakan sehingga terbentuknya plak pada pembuluh koroner dan menyebabkan aliran menjadi berkurang/iskemi miokard dan terjadi PJK. Bila plak aterosklerotik mengalami ruptur dapat menyebabkan SKA (serangan jantung mendadak).Walau caracara diagnosis PJK bermacam-macam, setiap dokter harus menyadari kemampuan dan keterbatasan masing-masing cara tersebut. Untuk membuat suatu diagnosis yang menyeluruh, tidaklah selalu seorang penderita harus menjalani semua pemeriksaan tersebut. Pada seorang penderita uji latihan jasmani mungkin merupakan pemeriksaan yang sudah mencukupi tetapi pada penderita lain mungkin diperlukan arteriogafi koroner tanpa harus sebelumnya menjalani uji latihan jasmani.Pengobatan PJK yaitu: pengobatan farmakologis, tindakan intervensi kardiologi dan pembedahan. Disamping itu tetap diperlukan modifikasi gaya hidup dan mengatasi faktor risiko/penyebab agar progresi penyakit dapat dihambat.Tindakan PCI maupun bedah pintas jantung (CABG) dikerjakan sesuai dengan indikasi yang tepat. Dengan kemajuan yang pesat dalam bidang intervensi kardiologi, sebagian kasus PJK yang dulunya harus dilakukan tindakan bedah jantung, sekarang ini dapat diatasi dengan PCI. Pencegahan PJK penting sekali diperhatikan terutama pada kelompok orang dengan risiko tinggi. Pemeriksaan faktor risiko harus dimulai sejak umur 20 tahun terutama bila ada riwayat keluarga dengan PJK. Seluruh orang dewasa usia di atas 40 tahun harus mengetahui faktor risiko dan prediksi besarnya risiko PJK dalam 10 tahun dengan tujuan menurunkan faktor risiko sebesar-besarnya. Pasien diabetes atau risiko 10 tahun > 20% dianggap sama pasien PJK (risiko PJK equivalen).

DAFTAR PUSTAKA

Mc Taggart Don. 1999. Stable Angina Pectoris: Treatment and Refferral Option. New York: JMA

Eroschenko, Victor P. 2012. Atlas Histologi diFiore dengan Korelasi Fungsional. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Wijayakusuma. 2005. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Kabo, Peter. 2008. Pengobatan Jantung Koroner. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Massie BM and Amidon TM. 2009. Heart: coronary heart disease. In: Current Medical Diagnosis & Treatment. McGraw-Hill: Lange Medical Books.

Abdul Madjid. 2007. Penyakit Jantung Koroner: Patofisiologi, Pencegahan, dan Pengobatan Terkini. Medan: Universitas Sumatera Utara (USU)

Penyakit Jantung Koroner Page 25