penjelasan pemidanaan korporasi

47
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan koorporasi, Kejahatan korporasi (corporate crime) merupakan salah satu wacana yang timbul dengan semakin majunya kegiatan perekenomian dan teknologi. Corporate crime bukanlah barang baru, melainkan barang lama yang senantiasa berganti kemasan. Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa perkembangan zaman serta kemajuan peradaban dan teknologi turut disertai dengan perkembangan tindak kejahatan berserta kompleksitasnya. Korporasi dapat meningkatkan kekayaan negara dan tenaga kerja, namun justru dengan perubahan besar pada struktur ekonomi dan politik telah menumbuhkan kekuatan korporasi yang besar, sehingga negara terlalu tergantung korporasi sehingga negara dapat didikte sesuai kepentingannya. Bahwa menurut Prof Dwija Priyatno,SH,MH dari Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 1 pernah menyatakan sebagai berikut: “Bahwa dahulu ada semacam adagium yang menyatakan makin miskin suatu bangsa, semakin tinggi kejahatan yang terjadi”, Sekarang adagium ini hanya berlaku bagi kejahatan konvensional/tradisional/blue collar crime/street crime seperti kasus kasus perampokan, pembunuhan, penggelapan, pencurian, penganiayaan, perkosaan dan lain sebagainya, sehingga Soedjono 1 Sekolah Tinggi Hukum Bandung, (2005) didalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar, dikutip dari : http://www.faktareview.com/index.php/inspirasi/entry/sanksi-hukum-terhadap- kejahatan-korporas 1

Upload: raindra-ramadhansyah

Post on 22-Dec-2015

32 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

pertanggung Jawaban Pidana Korporasi

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Kejahatan koorporasi, Kejahatan korporasi (corporate crime)

merupakan  salah satu wacana yang timbul dengan semakin majunya

kegiatan perekenomian dan teknologi. Corporate crime bukanlah barang

baru, melainkan barang lama yang senantiasa berganti kemasan.  Tidak ada

yang dapat menyangkal bahwa perkembangan zaman serta kemajuan

peradaban dan teknologi turut disertai dengan perkembangan tindak

kejahatan berserta kompleksitasnya. Korporasi dapat meningkatkan

kekayaan negara dan tenaga kerja, namun justru dengan perubahan besar

pada struktur ekonomi dan politik telah menumbuhkan kekuatan korporasi

yang besar, sehingga negara terlalu tergantung korporasi sehingga negara

dapat didikte sesuai kepentingannya.

Bahwa menurut Prof Dwija Priyatno,SH,MH dari Sekolah Tinggi Hukum

Bandung,1pernah menyatakan sebagai berikut: “Bahwa dahulu ada

semacam adagium yang menyatakan makin miskin suatu bangsa,

semakin tinggi kejahatan yang terjadi”,

Sekarang adagium ini hanya berlaku bagi kejahatan

konvensional/tradisional/blue collar crime/street crime seperti kasus kasus

perampokan, pembunuhan, penggelapan, pencurian, penganiayaan,

perkosaan dan lain sebagainya, sehingga Soedjono Dirdjosisworo

menyatakan, bahwa Kejahatan sekarang menunjukkan, kemajuan ekonomi

juga menimbulkan kejahatan baru yang tidak kurang bahaya dan besarnya

korban yang diakibatkannya.

1 Sekolah Tinggi Hukum Bandung, (2005) didalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar, dikutip dari : http://www.faktareview.com/index.php/inspirasi/entry/sanksi-hukum-terhadap-kejahatan-korporas

1

Dalam perkembangannya, pelaksanaan operasional dari berbagai jenis

korporasi, sebagian besar bermotifkan ekonomi berupa usaha memperoleh

keuntungan sebesar-besarnya dengan berbagai cara guna memenuhi

kebutuhan anggota-anggotanya yang terlibat dalam usaha kerjasama

tersebut. Hal ini terlihat mulai dari pemilik usaha, kelompok managemen dan

kelompok karyawan atau buruh berupaya dengan sekuat tenaga untuk

mencapai tujuan mereka yang telah ditentukan sebagai tujuan korporasi.

Karena masing-masing korporasi mengejar tujuan yang sudah ditentukan

oleh mereka, maka timbul persaingan-persaingan tajam di antara badan

usaha atau korporasi yang tidak sedikit melakukan pergesekan-pergesekan,

kecurangan-kecurangan, bahkan ada juga yang melanggar rambu-rambu

hukum yang dapat dikategorikan sebagai “kejahatan korporasi”. 

Korporasi kehadirannya memang diperlukan. Mulai dari sebelum lahir

hingga berakhirnya kehidupan seorang manusia dibumi, setidaknya

korporasi telah mengambil andil dalam setiap fase tersebut. Usaha

mendorong pertumbuhan dan perkembangan korporasi ini sejalan dengan

tuntutan dalam memenuhi tahapan-tahapan pembangunan yakni dengan

meletakan dasar-dasar pembangunan industri dalam menyongsong era

pembangunan jangka panjang.

Hal tersebut diatas dapat digambarkan bahwa banyak permasalahan di

negara ini khususnya mengenai ketenagakerjaan.

Di sini penulis beranggapan bahwa masalah yang timbul mengenai

ketenagakerjaan sangat berhubungan sekali dengan perusahaan yang

memperkerjakan para kaum buruh. Hasil didapatkan adanya sangkaan

perbuatan hukum yang dilakukan pada kaum buruh adalah berasal dari

suatu korporasi sebagai perusahaan yang memperkerjakan. Oleh karena itu

perlu adanya identifikasi lebih khusus mengenai kejahatan korporasi yang di

lakukan oleh korporasi terhadap kaum buruh tersebut.

2

Ketika perbuatan buruk ini dilakukan oleh korporasi baik sekali

maupun terus menerus, maka korporasi ini dapat dikategorikan telah

melakukan perbuatan melawan hukum. Guiding Principle of Crime

Prevention and Criminal Justice in the Context of Development and a New

International Economic Order , yang dihasilkan kongres PBB (Perserikatan

Bangsa-Bangsa) Ketujuh pada tahun 1985 di Milan Italia, mengingatkan

perlunya perlindungan khusus terhadap bentuk-bentuk kelalaian (yang dapat

terjadi dalam aktivitas korporasi) yang bersifat kriminal dalam bidang

kesehatan masyarakat (public health), kondisi atau pesyaratan keamanan

tenaga kerja (labour conditions), eksploitasi sumber-sumber alam dan

lingkungan (exploitation of natural resources and environment), serta

persyaratan pengadaan barang dan pelayanan konsumen (the provision

goods and services of consumers). Peninjauan kembali atas perbuatan yang

dinyatakan dilarang dan merupakan tindak pidana korporasi merupakan hal

yang perlu karena perubahan nilai-nilai menyebabkan sejumlah perbuatan

yang sebelumnya merupakan perbuatan yang tidak dicela dan tidak dituntut

pidana berubah menjadi perbuatan yang harus dicela dan dipidana.

Kejahatan korporasi terhadap buruh atau tenaga kerja adalah yang

berupa perbuatan-perbuatan yang mengabaikan keamanan dan

keselamatan kerja buruh, karena itu berarti mengabaikan apa yang menjadi

kepentingan dari para buruh yang bersangkutan. Buruh yang setiap hari

bekerja dalam lingkungan kerja tertentu, dengan debu yang berterbangan,

asap pengecoran dalam produksi yang selalu dihirup, suara gemuruh dari

mesin-mesin penggilingan dan sebagainya, dalam waktu tertentu akan

menimbulkan penurunan kualitas kesehatan buruh.

Akibat perbuatan dari korporasi tersebut dapat menimbulkan kerugian

yang cukup besar, tidak adil kiranya bila yang diminta pertanggungjawaban

pidana hanya kepada orang yang melakukan perbuatan tersebut sedangkan

hal itu diketahui orang yang melakukan perbuatan tersebut demi untuk

mencari keuntungan korporasi terkecuali orang yang melakukan bukan

3

untuk tujuan korporasi. Oleh karena itu, diperlukan juga meminta

pertanggungjawaban dari korporasi akibat perbuatan melawan hukum

tersebut.

Pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana yang dilakukan

oleh korporasi sekiranya belum ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana Wetbook van Strafrecht (KUHP WvS) Indonesia. Namun, dalam

Konsep KUHP 2004 telah memuat mengenai hal tersebut. Aturan tentang

pertanggungjawaban pidana yang dilakukan korporasi saat ini hanya

ditemukan dalam aturan khusus diluar KUHP, yakni dalam undang-undang.

Seperti Undang-Undang Nomor 13 tahun 2010 tentang Holtikultura, Undang-

Undang Nomor 08 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak pidana Pencucian uang, Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang Nomor 31

tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-

Undang Nomor 20 tahun 2001, Undang-Undang Nomor 06 tahun 1984

tentang Pos, Undang-Undang Nomor 05 tahun 1984 tentang Perindustrian,

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-

Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi, Undang-Undang Nomor 11

tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pada undang-undang

tersebut telah menetapkan subjek hukum lain selain manusia yaitu korporasi

sebagai pelaku dalam tindak pidana.

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis diuraikan

diatas, dapat dirumuskan masalah yang akan diteliti, sebagai berikut:

1.      Bagaimana bentuk kejahatan korporasi?

2.      Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap kejahatan korporasi?

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.    Kerangka Konseptual

 Kejahatan korporasi tidak termasuk di dalamnya “crimes against

corporation”, yang berorientasi pada kepentingan individual yang merugikan

korporasi. Dengan kata lain “corporate crimes are offences committed by

corporate officials for their corporations and the offences of the corporation

themselves for corporate gain” (Dunfee, 1998). Contoh penyuapan pejabat

pemerintah, pencemaran lingkungan, penggelapan pajak, produksi yang

5

membahayakan konsumen, persaingan usaha yang tidak fair, dll. Bahaya

yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi yang dilakukan oleh “non-state

actors” memang tidak bersifat “state centric security threat”, tetapi

merupakan bahaya terhadap “human security”, baik individul, kelompok

maupun masyarakat. Dalam hal ini kemungkinan yang dapat menjadi korban

kejahatan korporasi adalah : perusahaan saingan (spionase industri,

persaiangan yang tidak jujur), Negara (penggelapan pajak) , karyawan

(lingkungan kerja yang tidak sehat), konsumen (produksi makanan

beracun) , masyarakat (kejahatan lingkungan) dan pemegang saham yang

tidak bersalah.2

Korporasi sebagai suatu badan hukum hasil ciptaan hukum tentunya

mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana halnya manusia. Tatanan yang

diciptakan oleh hukum itu baru menjadi kenyataan apabila kepada subjek

hukum diberi hak dan dibebani kewajiban. Ketika subjek hukum itu diberi

hak maka iapun secara tidak langsung sudah dibebani oleh kewajiban atau

sebaliknya, tidaklah mungkin adanya kewajiban bila subjek hukum tidak

mempunyai haknya. Untuk mengetahui lebih jelas mengenai korporasi

sebagai suatu badan hukum, ada baiknya menyimak beberapa pendapat di

bawah ini:

Sudikno Mertokusumo, menjelaskan apa yang dimaksud dengan badan

hukum adalah organisasi atau kelompok manusia yang mempunyai tujuan

tertentu yang dapat menyandang hak dan kewajiban.

Setiawan, menjelaskan rechtspersoon adalah subjek hukum yang

memiliki hak dan kewajiban sendiri, sekalipun bukan manusia pribadi. Ia

mewujudkan dirinya dalam bentuk badan atau organisasi yang terdiri atas

sekumpulan pribadi manusia yang bergabung untuk suatu tujuan tertentu

serta memiliki kekayaan tertentu.

2 Muladi, Pertanggungjawaban pidana korporasi(coorporite criminal responsibility)

6

Jadi, dari beberapa pendapat diatas dapat ditarik pengertian secara

umum bahwa korporasi sebagai badan hukum merupakan sekumpulan dari

orang-orang yang membentuk suatu organisasi tertentu dengan tujuan

tertentu, memiliki harta kekayaan, serta mempunyai hak dan kewajiban.

Menurut David J. Rachman, ia mengatakan bahwa secara umum

korporasi memiliki lima ciri penting, yaitu:

1.      Merupakan subjek hukum buatan yang memiliki kedudukan hukum

khusus.

2.      Memiliki jangka waktu hidup yang tidak terbatas.

3.      Memperoleh kekuasaan (dari negara) untuk melakukan kegiatan bisnis

tertentu.

4.      Dimiliki oleh pemegang saham.

5.      Tanggung jawab pemegang saham terhadap kerugian korporasi

biasanya sebatas saham yang dimilikinya.[5]

Korporasi adalah “badan hukum atau gabungan beberapa perusahaan

yang dikelola dan dijalankan sebagai satu perusahaan besar; kumpulan

orang atau kekayaan yang terorganisasi, baik berupa badan hukum maupun

bukan badan hukum”.[6] Sedangkan dalam Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan

dan Perdagangan korporasi diartikan sebagai:

Suatu kesatuan menurut atau suatu badan susila yang diciptakan

menurut undang-undang sesuatu negara yang menjalankan suatu usaha

atau aktifitas atau kegiatan lainnya yang sah. Badan ini dapat dibentuk

untuk selama-lama atau untuk sesuatu jangka waktu terbatas, mempunyai

nama dan identitas yang dengan nama dan identitas itu dapat dituntut di

muka pengadilan, dan berhak akan mengadakan suatu persetujuan menurut

kontrak dan akan melaksanakan semua fungsi lainnya yang seseorang dapat

melaksanakannya menurut undang-undang suatu negara. Pada umumnya

7

suatu corporation dapat merupakan suatu organisasi pemerintah, setengah

pemerintah atau partikelir.[7]

Untuk lebih jelas mengetahui korporasi sebagai subjek hukum dalam

peraturan perundang-undangan, penulis mencoba memuatnya dalam bentuk

tabel[8] dibawah ini.

No Undang-Undang (UU) Penyebutan Subjek

“Korporasi”

1 Undang-Undang Nomor 13

tahun 2010 tentang

Holtikultura

Korporasi adalah

kumpulan orang dan/atau

kekayaan yang

terorganisasi, yang

berbadan hukum ataupun

tidak berbadan hukum

(Pasal 1 angka 25)

2 Undang-Undang Nomor 08

tahun 2010 tentang

Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak

pidana Pencucian uang

Korporasi adalah

sekumpulan orang

dan/atau kekayaan yang

terorganisasi, baik

merupakan badan hukum

maupun bukan badan

hukum (Pasal 1 angka 10)

3 Undang-Undang Nomor 15

tahun 2003 tentang

Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme

Korporasi adalah

sekumpulan orang

dan/atau kekayaan yang

terorganisasi baik

merupakan badan hukum

maupun bukan badan

8

hukum (Pasal 1 angka 3)

4 Undang-Undang Nomor 31

tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi Jo. Undang-

Undang Nomor 20 tahun

2001

Korporasi adalah

sekumpulan orang

dan/atau kekayaan yang

terorganisasi baik

merupakan badan hukum

maupun bukan badan

hukum (Pasal 1 angka 1)

5 Undang-Undang Nomor 06

tahun 1984 tentang Pos

Dilakukan oleh atau atas

nama “badan hukum,

perseroan, perserikatan

orang lain, atau yayasan”

(Pasal 19 ayat (3))

6 Undang-Undang Nomor 05

tahun 1984 tentang

Perindustrian

Korporasi tidak disebut

secara eksplisit, tetapi

dalam Pasal 21 ayat (1)

Jo. Pasal 1 angka 7

disebut subjek tindak

pidana berupa

“perusahaan industri”.

Perusahaan industri

adalah badan usaha yang

melakukan kegiatan di

bidang usaha industri.

7 Undang-Undang Nomor 23

tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak

Hanya disebutkan setiap

orang. Setiap orang

adalah orang

perseorangan atau

korporasi (Pasal 1 angka

9

16)

8 Undang-Undang Nomor 44

tahun 2008 tentang

Pornografi

Hanya disebutkan setiap

orang. Setiap orang

adalah orang

perseorangan atau

korporasi baik yang

berbadan hukum maupun

yang tidak berbadan

hukum (Pasal 1 angka 3)

9 Undang-Undang Nomor 11

tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi

Elektronik

Hanya disebutkan setiap

orang. Setiap orang

adalah orang

perseorangan, baik warga

negara Indonesia, warga

negara asing, maupun

badan hukum (Pasal 1

angka 21)

Dilihat dari tabel di atas, masih ditemukannya penyebutan istilah

korporasi yang bermacam-macam atau belum seragam. Penulisan istilah

korporasi mulai terlihat pada tahun 1997 dalam UU Psikotropika. Hal ini

dipengaruhi oleh Konsep KUHP (baru) 1991/1992 sebagai ius

constituendum dalam Pasal 146 yang menyatakan korporasi adalah

kumpulan terorganisasi dari orang dan atau kekayaan, baik merupakan

badan hukum atau bukan.

Menurut I Gede Widhiana Suarda, ia mengatakan korporasi dapat

dijadikan subjek hukum pidana internasional dengan alasan:

10

1.      Korporasi dapat dijadikan sarana untuk mencari keuntungan dan pada

akhirnya digunakan sebagai sumber dana suatu kejahatan

internasional. Artinya, keuntungan suatu korporasi ditujukan untuk

mendanai kejahatan internasional, seperti terorisme, kejahatan perang,

genosida, dan sebagainya. Dalam hal ini, korporasi tersebut pada

umumnya berstatus legal serta menjalankan usaha sebagaimana

layaknya korporasi legal pada umumnya.

2.      Selain digunakan sebagai sarana untuk mendanai kejahatan

internasional, korporasi dapat dijadikan sebagai  tempat atau sarana

untuk mencuci uang (money laundering) hasil-hasil kejahatan

internasional, misalnya mencuci uang korupsi, perdagangan narkotika

dan sebagainya. Artinya korporasi dapat didirikan secara legal serta

melakukan kegiatan dengan legal pula, tetapi itu hanya sebagai kedok

untuk mencuci uang dari hasil tindak pidana internasional yang

dilakukannya.

3.      Korporasi dapat menjadi pelaku tindak pidana internasional, baik

secara langsung maupun tidak langsung. Sebagai contohnya adalah

ketika terjadi pembantaian etnis (genosida) di Rwanda, ternyata ada

beberapa korporasi, baik yang secara langsung maupun tidak langsung

ikut berperan dalam mengobarkan semangat pembantaian tersebut.

Dalam masa pembantaian tersebut beberapa media massa Rwanda

telah ikut memainkan peran penting “memuluskan” kejahatan yang

dilakukan.karena itu, wajar apabila korporasi dapat dijadikan sebagai

subjek hukum pidana internasional.

4.      Perkembangan dalam teori hukum (dan hukum pidana khususnya)

telah menempatkan korporasi sebagai subjek hukum sebagaimana

manusia atau individu. Hampir semua negara di dunia telah

menempatkan korporasi juga sebagai subjek hukum dalam sistem

hukum pidananya, termasuk Indonesia. Memang pada awal

11

kemunculan fenomena korporasi sebagai subjek hukum pidana telah

ditentang dan dikritik banyak orang. Namun demikian saat ini,

keberadaan korporasi sebagai pelaku tindak pidana atau sebagai

subjek hukum pidana sudah tidak terbantahkan lagi.

5.      Dari sisi praktik penegakan hukum pidana internasional telah

menunjukan bahwa suatu organisasi pernah ditetapkan oleh Mahkamah

Internasional (Mahkamah Nuremberg) sebagai organisasi yang

terlarang. Mahkamah Nuremberg telah menetapkan 6 organisasi yang

terlibat dalam Perang Dunia II sebagai organisasi kejahatan dan

menbebaskan 2 organisasi dari tuduhan. Dalam konteks ini keterlibatan

suatu organisasi dapat saja mengarah pada suatu korporasi. Apabila

mengacu pada doktrin dalam hukum pidana tentang ruang lingkup

korporasi, yang menetapkan ruang lingkup korporasi dalam arti luas:

korporasi adalah kumpulan baik yang berbadan hukum maupun yang

tidak berbadan hukum, maka suatu organisasi (sekalipun tidak

berbadan hukum) dapat saja dikualifikasikan sebagai suatu korporasi

yang terlibat dalam suatu kejahatan internasional. Oleh karena itu,

organisasi atau korporasi tersebut semestinya dapat dijadikan subjek

hukum internasional sekaligus dipidana atas dasar hukum pidana

internasional[9]

B.     Kerangka Teoritis

Korporasi ada karena keberadaanya memang diperlukan. Ada

beberapa terori yang mencoba menjelaskan mengapa korporasi perlu ada.

Terdapat dua aliran utama yang menjelaskan mengapa korporasi perlu ada

yakni pertama, penjelasan yang lebih bertumpu pada pendekatan

kontraktual yang terdiri dari tiga teori, yaitu teori neo institusi biaya

12

transaksi (transaction cost theory), teori agensi (agency theory), dan teori

kontrak yang tidak lengkap (incomplete contract). Kedua, pendekatan yang

berbasis pada teori kompetensi. Pada dasarnya, pendekatan kompetensi

menjadi alternatif dari pendekatan kontraktual yang menjadi pendekatan

utama dalam analisis organisasi. Dengan kata lain, pendekatan berbasis

kompetensi bersifat heterodoks, sementara pendekatan kontraktual lebih

bersifat ortodok.[10]

Dasar kesalahan perusahaan yang dapat diindikasikan sebagai

kejahatan korporasi dapat terlihat dari kelalaian, keserampangan, kelicikan

dan kesengajaan atas segala tindakan korporasi. Untuk lebih mendalami

lagi, Agus Budianto mengatakan bahwa terdapat dua model mengenai

kejahatan korporasi. “Pertama, kejahatan yang dilakukan oleh orang yang

bekerja atau yang berhubungan dengan suatu perusahaan yang

dipersalahkan; dan Kedua, perusaan sendiri yang melakukan tindakan

kejahatan melalui karyawan-karyawannya”.[11] Bila seorang yang cukup

berkuasa dalam struktur korporasi, atau dapat mewakilkan korporasi

melakukan suatu kejahatan, maka perbuatan dan niat orang itu dapat

dihubungkan dengan korporasi. Korporasi dapat dimintai

pertanggungjawaban secara langsung. Namun, korporasi tidak dapat

dipersalahkan atas suatu kejahatan yang dilakukan oleh seorang yang

berada di level yang rendah dalam hirarki korporasi tersebut.

Dalam usaha meminta pertanggungjawaban pidana korporasi, telah

melahirkan sejumlah konsep yang menguraikan perkembangan pemikiran

tentang pertanggungjawaban subjek hukum korporasi dengan pembagian

pentahapan sebagaimana yang dikemukakan oleh D. Schaffmeister: tahap

pertama ditandai dengan adanya usaha-usaha agar perbuatan pidana yang

dilakukan badan hukum, dibatasi pada perorangan (natuurlijk persoon);

tahap kedua yaitu pada periode setelah perang dunia kedua yang ditandai

dengan pengakuan bahwa suatu perbuatan pidana dapat dilakukan oleh

korporasi; dan tahap tiga terjadi pada masa setelah perang dunia kedua,

13

dimana tanggung jawab pidana langsung dapat dimintakan kepada

korporasi.[12]

Selain itu, menurut C.M.V. Clarkson ia mengatakan bahwa masih

terdapat tujuh konsep yang merupakan perkembangan dari diskursus

doktrin-doktrin mengenai tanggung jawab pidana korporasi. Tujuh konsep

tersebut adalah “identification doctrine, aggregation doctrine, reactive

corporate fault, vicarious liability, management failure model, corporate

mens rea doctrine,dan specific corporate offences”.[13] Barda Nawawi Arief,

dalam bukunya yang berjudul “Sari Kuliah Perbandingan Hukum” hanya

menyebutkan empat teori-teori pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu

“doktrin pertanggung-jawaban pidana langsung (direct liability doctrine) atau

teori Identifikasi (identification theory), doktrin pertanggungjawaban pidana

pengganti (vicarious liability), doktrin pertanggungjawaban pidana yang

ketat menurut undang-undang (strict liability), dan doktrin/teori budaya

korporasi (company culture theory)”.[14]

Menurut identification doctrine, bila seorang yang cukup senior dalam

struktur korporasi atau dapat mewakili korporasi melakukan suatu kejahatan

dalam bidang jabatannya, maka perbuatan dan niat orang itu dapat

dihubungkan dengan korporasi. Korporasi dapat diidentifikasi dengan

perbuatan ini dan dimintai pertanggungjawaban secara langsung. Dalam

kasus semacam ini akan selalu mungkin untuk menuntut keduanya, yaitu

korporasi dan individu. Namun, suatu korporasi tidak dapat diidentifikasi atas

suatu kejahatan yang dilakukan oleh seorang yang berada di level rendah

dalam hirarki korporasi itu. Perbuatannya bukan perbuatan korporasi, dan

oleh karena itu korporasi tidak bertanggung jawab. Dalam kasus semacam

ini tuntutan hanya dapat dilakukan terhadap individu tersebut dan korporasi

tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya. Dengan kata lain, perbuatan

atau kesalahan oleh pejabat senior diidentifikasi sebagai perbuatan atau

kesalahan korporasi karena pejabat senior diibaratkan otaknya sebuah

korporasi yang bisa mengendalikan perusahaan, baik sendiri maupun

14

bersama-sama. Teori semacam ini menarik untuk mereka yang menyatakan

bahwa korporasi  tidak dapat berbuat atau melakukan sesuatu kecuali

melalui manusia yang mewakili mereka. Namun, terdapat keberatan yang

cukup signifikan atas identification doctrine ini, khususnya berkaitan dengan

korporasi-korporasi besar dimana kemungkinannya sangat kecil

seorang senior melakukan perbuatan secara langsung atas suatu tindakan

pidana dengan disertai mens rea.

Dalam hal tindak pidana yang menyebabkan orang mati atau luka

berat, sangat kecil kemungkinan seorang pegawai senior akan secara

langsung tangannya berlumuran dengan darah. Pada korporasi dengan

struktur organisasi yang sangat besar dan kompleks, hampir mustahil bagi

pihak luar untuk menembus dinding korporasi guna memastikan individu-

individu yang sesungguhnya melakukan kejahatan. Sejumlah uang, waktu

dan keahlian yang dilibatkan dalam investigasi semacam ini bisa jadi tidak

sebanding dengan kesalahan yang dilakukan, dan dalam peristiwa tertentu,

bisa jadi tidak membuahkan hasil bila korporasi memutuskan untuk

menebarkan asap kabut di sekitar daerah operasional internalnya. Lebih

penting lagi, meskipun penyelidikan dilakukan secara layak, seringkali

terungkap bahwa kesalahan tidak terletak pada individu tertentu tetapi lebih

pada korporasi itu sendiri.

Aggregation doctrine merupakan sebuah alternatif dasar pembentukan

tanggung jawab pidana untuk mengatasi sejumlah permasalahan yang

muncul dalam identification doctrine. Menurut pendekatan ini, tindak pidana

tidak bisa hanya diketahui atau dilakukan oleh satu orang. Oleh karena itu,

perlu mengumpulkan semua tindakan dan niat dari beragam orang yang

relevan dalam korporasi tersebut, untuk memastikan secara keseluruhannya

tindakan mereka akan merupakan suatu kejahatan atau senilai dengan

apabila perbuatan dan niat itu dilakukan oleh satu orang. Doktrin ini

mengambil keuntungan dari pengakuan bahwa dalam banyak kasus tidak

mungkin memisahkan seseorang yang telah melakukan kejahatan dengan

15

niat dan doktrin ini juga dapat mencegah korporasi dari mengubur tanggung

jawabnya dalam-dalam di dalam struktur korporasi.

Namun, pada struktur korporasi yang besar dan kompleks, justru

doktrin ini tidak efektif dalam hal pencegahan. Sebab doktrin ini gagal

memberikan peringatan lebih lanjut kepada korporasi mengenai apa yang

diharapkan akan dilakukan oleh korporasi agar mereka tidak terkena resiko

tanggung jawab pidana. Doktrin ini bukan menemukan seseorang yang pada

korporasi diidentifikasi, malah menemukannya pada beberapa orang. Doktrin

ini mengabaikan kenyataan bahwa esensi yang sebenarnya dari kesalahan

mungkin bukan yang dilakukan oleh orang orang-orang melainkan fakta

bahwa korporasi tidak memiliki struktur organisasi atau kebijakan untuk

mencegah orang-orang melakukan apa yang mereka kerjakan yang secara

kumultatif menjadi suatu tindak pidana.

Reactive corporate fault merupakan suatu pendekatan berbeda

tentang tanggung jawab pidana korporasi sebagaimana yang diusulkan oleh

Brent Fisse dan Braithwaite. Mereka mengemukakan bahwa suatu perbuatan

yang merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh atau atas nama sebuah

korporasi, pengadilan harus diberi kewenangan untuk memerintahkan

korporasi untuk melakukan investigasi sendiri guna memastikan orang yang

bertanggung jawab dan mengambil suatu tindakan disiplin yang sesuai atas

kesalahan orang tersebut dan mengambil langkah-langkah perbaikan untuk

menjamin kesalahan tersebut tidak terulang kembali.[15]

Apabila korporasi mengambil langkah penanganan yang tepat, maka

tidak ada tanggung jawab pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi.

Tanggung jawab pidana hanya bisa diterapkan pada korporasi apabila

korporasi gagal memenuhi perintah pengadilan dengan sungguh-sungguh.

Dengan demikian, kesalahan korporasi bukanlah kesalahan pada saat

kejadian terjadi tetapi kesalahan karena korporasi gagal melakukan tindakan

yang tepat atas kesalahan yang dilakukan oleh pekerjanya. Pendekatan ini

16

memiliki kelebihan yaitu mewajibkan korporasi itu sendiri melakukan

penyelidikan yang sesuai, bukannya aparatur negara yang melakukannya.

Hal ini tidak hanya akan menghemat waktu dan uang publik, tetapi

seringkali  korporasi ini sendiri memiliki kemampuan terbaik untuk

memahami dan menembus struktur organisasinya yang kompleks. Ini juga

merupakan satu pendekatan yang mengakui bahwa satu dari tujuan dari

utama tanggung jawab pidana korporasi adalah untuk memastikan bahwa

korporasi memperbaiki kebijakan-kebijakan dan praktek-praktek mereka

yang kurang baik, sehingga mencegah kesalahan tersebut terulang.

Vicarious liability merupakan cara yang sangat umum dalam meminta

korporasi bertanggung jawab secara pidana dan doktrin ini sering digunakan

oleh negara Amerika Serikat.  Menurut doktrin ini, bila seorang agen atau

pekerja korporasi, bertindak dalam lingkup pekerjaanya dan dengan maksud

untuk menguntungkan korporasi, melakukan suatu kejahatan, tanggung

jawab pidananya dapat dibebankan kepada perusahaan. Tidak masalah

perusahaan tersebut secara nyata memperoleh keuntungan atau tidak. Atau

satu korporasi dapat dinyatakan telah menyerahkan kekuasaan untuk

bertindak di dalam bidangnya masing-masing kepada seluruh staf-nya dan

berdasarkan itu, korporasi harus dimintai pertanggungjawaban atas

perbuatan jahat mereka. Ini yang juga dijadikan alasan bahwa pencegahan

yang optimal dapat tercapai dengan menerapkan vicarious liability pada

korporasi tersebut.

Seiring dengan itu Peter Gillies[16] membuat beberapa proposisi yaitu

suatu perusahaan (sepertinya halnya dengan manusia sebagai pelaku/

pengusaha) dapat bertanggung jawab secara mengganti untuk perbuatan

yang dilakukan oleh karyawan/agennya. Pertanggungjawaban demikian

hanya timbul untuk delik yang mampu dilakukan secara vicarious. Dan

kedudukan majikan atau agen dalam ruang lingkup pekerjaanya tidaklah

relevan menurut doktrin ini. Tidaklah penting bahwa majikan, baik sebagai

korporasi maupun secara alami, tidak telah mengarahkan atau memberi

17

petunjuk/perintah pada karyawan untuk melakukan pelanggaran hukum

pidana. (bahkan dalam beberapa kasus, vicarious liability dikenakan

terhadap majikan walaupun karyawan melakukan perbuatan bertentangan

dengan instruksi, berdasarkan alasan perbuatan karyawan dipandang

sebagai telah melakukan perbuatan itu dalam ruang lingkup pekerjaanya).

Oleh karena itu, apabila perusahaan terlibat, pertanggungjawabannya

muncul sekalipun perbuatan itu dilakukan tanpa menunjuk pada orang

senior di dalam perusahaan.

Management failure model merupakan doktrin yang lebih

menitikberatkan kesalahan pada korporasi bukan merupakan kesalahan

korporasi seutuhnya, melainkan kesalahan tersebut karena adanya

kesalahan menajemen. Misalnya, kejahatan pembunuhan tanpa rencana

yang dilakukan korporasi karena ada kesalahan menejemen oleh korporasi

yang menyebabkan seseorang meninggal dunia dan kegagalan tersebut

merupakan perilaku yang secara rasional berada jauh dari yang diharapkan

dilakukan oleh suatu korporasi. Kejahatan ini dibuat tanpa mengacu ke

konsep mens rea dalam rangka memastikan perbedaan sifat perbuatan

salah oleh korporasi. Dari pandangan tersebut kelihatannya konsep ini tidak

lebih dari perluasan identification doctrine daripada melihat kegagalan dari

pihak individu atau kelompok individu yang menduduki posisi tinggi, maka

yang dilihat adalah kegagalan menajemennya.

Corporate mens rea doctrine, pada dasarnya korporasi tidak dapat

melakukan perbuatan jahat. Hanya orang-orang yang ada dalam perusahaan

tersebut mampu melakukan perbuatan jahat. Ide dasar doktrin ini ada

karena seluruh doktrin yang lainnya telah mengabaikan realitas

kompleksnya organisasi korporasi dan dinamika proses secara

organisasional, struktur, tujuan, kebudayaan hirarki yang dapat bersenyawa

dan berkontribusi untuk suatu etos yang mengizinkan atau bahkan

mendorong dilakukannya sebuah kejahatan. Berdasarkan pandangan ini,

maka korporasi dapat diyakini sebagai agen yang melakukan kesalahan

18

yang bertindak melalui staf mereka dan pekerja, dan mens reanya dapat

ditemukan dalam praktek dan kebijakan korporasi.

Poin penting dari pendekatan ini adalah bukan tentang apakah individu

di dalam perusahaan telah dapat memperkirakan kerugian yang akan

terjadi, tetapi apakah dalam struktur korporasi yang benar dan terorganisasi

dengan baik resiko-resiko yang telah nyata. Untuk individu tidak ada

pengakuan, maksud dan perkiraan dapat disimpulkan dari tindakan obyektif.

Ini hanya dapat dilakukan berdasarkan pada apa yang akan dapat diduga

oleh seseorang yang normal, kecuali kehendak tersebut dalam beberapa hal

berbeda dengan orang yang normal.

Specific corporate offences, mengenai hal ini Komisi Hukum Inggris

telah mengusulkan akan satu kejahatan baru yaitu pembunuhan oleh

korporasi “corporate killing” telah diperkenalkan dalam hukum Inggris.

Kejahatan ini akan merupakan suatu yang terpisah dari perilaku yang

menyebabkan matinya orang atau orang-orang lain karena kelalaian pelaku

yang hanya dapat dilakukan oleh korporasi. Dalam hal ini, masalah-masalah

yang berkaitan dengan penegasan tentang kesalahan korporasi, seperti

pembuktian dari niat atau kesembronoan, dapat diatasi dengan membuat

definisi khusus yang hanya dapat diterapkan kepada korporasi.

Strict liability merupakan pertanggungjawaban pidana korporasi yang

dapat semata-mata berdasarkan undang-undang, yaitu dalam hal korporasi

tidak memenuhi kewajiban/kondisi/situasi tertentu yang ditentukan oleh

undang-undang. Pelanggaran kewajiban/kondisi/situasi tertentu oleh

korporasi ini dikenal dengan istilah “strict liability offence”. Sedangkan

Doktrin/teori budaya korporasi (company culture theory), menurut

doktrin/teori ini, korporasi dapat dipertanggungjawabkan dilihat dari

prosedur, sistem bekerjanya, atau budayanya. Oleh karena itu teori budaya

ini, sering juga disebut teori model/sistem atau model organisasi

19

(organizational or system model). Kesalahan korporasi didasarkan pada

“internal decision-making struktur”.[17]

BAB III

PEMBAHASAN

A.    Kejahatan Korporasi

Kejahatan korporasi merupakan suatu bentuk kejahatan lama yang

saat ini melanda hampir seluruh negara di dunia, yang menimbulkan

kerugian secara meluas di masyarakat. Karakteristik kejahatan korporasi

berbeda dengan kejahatan konvensional lainnya. Secara umum karakteristik

kejahatan korporasi sebagai berikut:

1.      Kejahatan tersebut sulit dilihat (low visibility), karena biasanya tertutup

oleh kegiatan pekerjaan yang normal dan rutin, melibatkan keahlian

profesional dan sistem organsiasi yang kompleks;

2.      Kejahatan tersebut sangat kompleks (complexity) karena selalu

berkaitan dengan kebohongan, penipuan dan pencurianserta seringkali

berkaitang dengan sebuah yang ilmiah, teknologis, financial, legal,

terorganisirkan, dan melibatkan banyak orang dan berjalan bertahun-

tahun;

3.      Terjadinya penyebaran tanggungjawab (diffusion of responsibility)

yang semakin luas akibat kompleksitas organisasi;

4.      Penyebaran korban yang sangat luas (diffusion of victimization) seperti

polusi dan penipuan;

20

5.      Hambatan dalam penditeksian dan penuntutan (detection and

prosecution) sebagai akibat profesionalisme yang tidak seimbang antara

aparat penegak hukum dengan pelaku kejahatan;

6.     Peraturan yang tidak jelas (ambiguitas law) yang sering menimbulkan

kerugian dalam penegakan hukum;

7.      Sikap mendua status pelaku tindak pidana. Harus diakui bahwa pelaku

tindak pidana pada umumnya tidak melanggar peraturan perundang-

undangan, tetapi perbuatan tersebut illegal.[18]

Seiring dengan itu, Steven Box mengemukakan bahwa ada lima faktor

yang potensial mempengaruhi korporasi melakukan pelanggaran hukum

dalam mencapai tujuan, yaitu:

a.      Persaingan, seperti penemuan teknologi baru, tenik pemasaran,

struktur merger dapat menghasilkan perbuatan memata-matai,

pembajakan, penyuapan, dan korupsi untuk memperoleh pasaran,

merger dan mencaplok;

b.      Pemerintah, yakni melalui peraturan-peraturan baru atau pelaksanaan

yang lebih tegas dari peraturan yang ada dapat menghasilkan tindakan

manipulasi pajak, pemberian dana kampanye pemilihan umum yang

bersifat illegal dan penyuapan kepada pejabat-pejabat pemerintah

untuk memperoleh proyek;

c.     Buruh, yakni aktifitas yang dapat membuat ketegangan oleh gerakan

buruh yang militan dan radikal terhadap masalah upah dan kondisi kerja

sebagai akibat dari pemabayaran buruh di bawah ketentuan minimal,

kondisi tempat kerja yang tidak memperhatikan keselamatan kerja;

d.     Konsumen, seperti permintaan produk yang elastis, terutama sebagai

akibat adanya perubahan-perubahan atau perlindungan terhadap

21

konsumen mendapat perhatian, sehingga praktek korporasi yang

meragukan menjadi tampak. Misalnya iklan yang menyesatkan, label

yang tidak sesuai, produk yang tidak diuji, dan menjual produk yang

telah daluwarsa atau produk palsu; dan

e.      Publik, khususnya yang berhubungan dengan pengaruh meningkatkan-

nya kesadaran lingkungan seperti konservasi udara bersih, lingkungan

pemukiman serta sumber-sumber alam yang lain. Tindakan-tindakan

korporasi yang merugikan publik dapat berupa polusi udara, polusi air

dan tanah, penyuapan dan korupsi.[19]

Secara garis besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi

meliputi:

1.      Kerugian dibidang ekonomi/materi

Meski sulit mengukur “secara tepat” jumlah kerugian yang ditimbul-

kan oleh kejahatankorporasi terutama karena tidak adanya badan yang

secara khusus bertugas mencatat kejahatan korporasi berbeda dengan

kejahatan warungan yaitu kepolisian namun berbagai peristiwa menunjukan

bahwa tingkat kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh kejahatan ini luar

biasa besarnya, khususnya bila dibandingkan dengan kerugian yang

ditimbulkan oleh kejahatan warungan, seperti perampokan, pencurian,

penipuan. Misalnya perkiraan yang dilakukan oleh Subcommittee on

Antitrust and Monopoly of the US Senate Judiciary Committee yang diketuai

oleh Senator Philip Hart memperkirakan kerugian yang ditimbulkan oleh

kejahatan korporasi antara 174-231 miliar dolar pertahun, jauh bila

dibandingkan dengan kejahatan warungan yang berkisar sekitar 3-4 miliar.

2.      Kerugian di bidang kesehatan dan keselamatan jiwa

Pembicaraan mengenai kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan

korporasi umumnya ditujukan pada kerugian di bidang ekonomi, sedangkan

kerugian dibidang kesehatan dan keselamatan jiwa pada kenyataanya

22

sangat serius. Menurut Geis, misalnya setiap tahunnya korporasi

bertanggung jawab terhadap ribuan kematian dan cacat tubuh yang terjadi

di seluruh dunia.

Resiko kematian dan cacat yang disebabkan oleh korporasi dapat

diakibatkan, baik oleh produk yang dihasilkan oleh korporasi maupun dalam

proses produksi, sehingga yang menjadi korban korporasi adalah

masyarakat luas, khususnya konsumen dan mereka yang bekerja pada

korporasi. Dengan membandingkan besarnya kerugian yang ditimbulkan

oleh kejahatan korporasi terhadap buruh (mereka yang bekerja pada

korporasi) dengan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan warungan

melalui data statistik kriminal yang dibuat oleh F.B.I, dan data dari The

President Report on Occupational Safety and Health tahun 1973. Reiman

menyimpulkan bahwa kematian maupun kerugian fisik yang diakibatkan oleh

kejahatan korporasi luar biasa besarnya dibandingkan dengan kejahatan

warungan, yaitu 100.000 dibandingkan dengan 9.235 untuk kematian dan

390.000 berbanding dengan 218.385untuk kerugian fisik. Sementara dalam

hubungannya dengan besarnya ancaman kejahatan yang dibuat oleh F.B.I.

melalui gambaran crime of clocks, bahwasanya crime of clocks bagi

pembunuhan terjadi setiap 26 menit pada tahun 1974 bila dibandingkan

dengan kematian yang terjadi di bidang industri adalah setiap 4,5 menit.

Lebih lanjut dinyatakan oleh Reiman: “In other words, in the time it take for

one murder on the crime clock, six workers have died. Just from trying to

make a living.”

Kematian atau cacat yang diakibatkan oleh industri ini bukanlah

karena kecelakaan di tempat kerja semata, akan tetapi sebagian besar

disebabkan oleh “penyakit” yang pada umumnya karena kondisi-kondisi

diluar “kontrol” pekerja, seperti kadarcoal dust (yang menyebabkan

sakit black lung) atau debu tekstil (yang

menyebabkan byssinosis atau brown lung) atau serat asbestos (yang dapat

menyebabkan kanker).

23

3.      Kerugian di bidang sosial dan moral

Di samping kerugian ekonomi, kesehatan dan jiwa, kerugian yang tidak

kalah pentingnya yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi adalah kerugian

dibidang sosial dan moral. Dampak yang ditimbulkan oleh kejahatan

korporasi adalah merusak kepercayaan masyarakat terhadap perilaku bisnis,

seperti pernyataan dari The President’s Commission on Law Enforcement

and Administratiton of Justice bahwa kejahatan korporasi merupakan

kejahatan yang paling mencemaskan, bukan saja karena kerugian yang

sangat besar, akan tetapi karena akibat yang merusak terhadap ukuran-

ukuran moral perilaku bisnis orang Amerika. Kejahatan bisnis (korporasi)

merongrong kepercayaan publik terhadap sistem bisnis, sebab kejahatan

demikian diintegrasikan ke dalam “struktur bisnis yang sah”.[20]

Selain itu menurut Braithwaite, bentuk kejahatan korporasi yang

lainnya adalah pemberian suap dan korupsi yang dilakukan oleh korporasi-

korporasi besar; yang merupakan bentuk kejahatan yang sangat merusak

karena kesenjangan yang ditimbulkannya. Bentuk kejahatan ini terutama

dilakukannya terhadap penguasa (pemerintah) di negara-negara ketiga

dengan membujuk pemerintah mengikuti kepentingan korporasi

(transnasional) untuk “melawan” kepentingan publik. Dengan demikian

setiap tindakan korupsi politik akan menghasilkan kerusakan politik dan

memperburuk pilihan sosial yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah

yang korup, akibatnya orang-orang yang memiliki prinsip kuat akan

memasuki dunia politik yang menjijikan.

Kerugian yang ditimbulakan oleh kejahatan korporasi di bidang nilai-

nilai sosial lainnya adalah merusak nilai-nilai demokrasi dan karenanya

menghambat proses demokrasi. Kolusi antara korporasi dan pejabat

pemerintahan dilakukan secara tertutup dan karenanya diupayakan untuk

tidak transparan, sementara keterbukaan (transparansi) merupakan hal yang

penting bagi demokratisasi.

24

Pengaruh lain yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi adalah

terjadinya perubahan “minat” (intersse) para pelaku bisnis, yakni dari

efisiensi di bidang produksi ke efisiensi dalam tindakan manipulasi terhadap

masyarakat, termasuk manipulasi terhadap pemerintah dalam usaha

mencapai tujuan untuk memperoleh keuntungan yang diinginkan. Hal ini

punya pengaruh cenderung memiskinkan orang miskin, seolah-olah berbuat

“amal” kepada penguasa atas beban masyarakat (konsumen) dan

cenderung membuat pemerintah korup.

B.     Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi

Melihat masalah yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi tersebut,

maka perlulah kiranya mengetahui mengenai pertanggungjawaban pidana

yang dilakukan oleh korporasi sebagai subjek hukum pidana yang

kehadirannya sudah ada sejak lama. Untuk itu, ada baiknya menyimak

aturan pertanggungjawaban pidana tersebut dalam ius constitutum dan ius

constituendum. Padaius constitutum, pengaturan hukum mengenai korporasi

dapat dijumpai di undang-undang khusus diluar KUHP dan untuk ius

constituendum, dapat merujuk pada Konsep KUHP 2004. Disana akan

tergambar mengenai aturan pemidanaan korporasi tersebut. Pengaturan

korporasi dalam undang-undang seperti:

Undang-Undang Nomor 13 tahun 2010 tentang Holtikultura. Dalam hal

perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 sampai dengan Pasal

128 dilakukan oleh korporasi, maka selain pengurusnya dipidana

berdasarkan Pasal 124 sampai dengan 128, korporasinya dipidana dengan

pidana denda maksimum ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana denda dari

masing-masing tersebut. (Pasal 29 ayat (1)).

Undang-Undang Nomor 08 tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak pidana Pencucian uang. Dikenal istilah baru yakni

Personil Pengendali Korporasi adalah setiap orang yang memiliki kekuasaan

atau wewenang sebagai penentu kebijakan Korporasi atau memiliki

25

kewenangan untuk melakukan kebijakan Korporasi tersebut tanpa harus

mendapat otorisasi dari atasannya (Pasal 1 angka 14).

Pasal 6 ayat (1) Dalam hal tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh Korporasi,

pidana dijatuhkan terhadap Korporasi dan/atau Personil Pengendali

Korporasi. Dalam penjelasannya Korporasi mencakup juga kelompok yang

terorganisasi yaitu kelompok terstruktur yang terdiri dari 3 (tiga) orang atau

lebih, yang eksistensinya untuk waktu tertentu, dan bertindak dengan tujuan

melakukan satu atau lebih tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang

ini dengan tujuan memperoleh keuntungan finansial atau non-finansial baik

secara langsung maupun tidak langsung. Ayat (2) menyatakan Pidana

dijatuhkan terhadap Korporasi apabila tindak pidana Pencucian Uang,

dilakukan atau diperintahkan oleh Personil Pengendali Korporasi, dilakukan

dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi, dilakukan sesuai

dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah dan, dilakukan

dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi.

Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap Korporasi adalah pidana denda

paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) (Pasal 7 ayat

(1)). Selain pidana denda terhadap Korporasi juga dapat dijatuhkan pidana

tambahan berupa pengumuman putusan hakim, pembekuan sebagian atau

seluruh kegiatan usaha Korporasi, pencabutan izin usaha, pembubaran

dan/atau pelarangan Korporasi, perampasan aset Korporasi untuk negara

dan/atau pengambilalihan Korporasi oleh negara. (Pasal 7 ayat (2)).

Pasal 9 menyatakan ayat (1) Dalam hal Korporasi tidak mampu

membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1),

pidana denda tersebut diganti dengan perampasan Harta Kekayaan milik

Korporasi atau Personil Pengendali Korporasi yang nilainya sama dengan

putusan pidana denda yang dijatuhkan. Dan ayat (2) Dalam hal penjualan

Harta Kekayaan milik Korporasi yang dirampas sebagaimana dimaksud pada

26

ayat (1) tidak mencukupi, pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan

terhadap Personil Pengendali Korporasi dengan memperhitungkan denda

yang telah dibayar. Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Korporasi,

panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di

tempat pengurus berkantor. (Pasal 82)

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak. Pasal 90 menyatakan ayat (1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81, Pasal 82,

Pasal 83, Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, dan Pasal 89

dilakukan oleh korporasi, maka pidana dapat dijatuhkan kepada pengurus

dan/atau korporasinya. Ayat (2) Pidana yang dijatuhkan kepada korporasi

hanya pidana denda dengan ketentuan pidana denda yang dijatuhkan

ditambah 1/3 (sepertiga) pidana denda masing-masing sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1).

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik. Pasal 52 ayat (4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 37 dilakukan oleh korporasi

dipidana dengan pidana pokok ditambah dua pertiga. Dalam penjelasan

ketentuan ini dimaksudkan untuk menghukum setiap perbuatan melawan

hukum yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27

sampai dengan Pasal 37 yang dilakukan oleh korporasi (corporate

crime) dan/atau oleh pengurus dan/atau staf yang memiliki kapasitas untuk,

mewakili korporasi, mengambil keputusan dalam korporasi, melakukan

pengawasan dan pengendalian dalam korporasi, melakukan kegiatan demi

keuntungan korporasi.

Jika dilihat dari rumusan pasal dalam undang-undang diatas, maka

pengaturan mengenai korporasi tidaklah semuanya diatur secara lengkap

dan rinci, hanya sanksi berupa denda yang mempunyai kesamaan.

27

Sebagai ius constituendum, pengaturan tentang Tanggung Jawab

Pidana Korporasi dalam Konsep RUU KUHP 2004 diletakkan pada Buku I

Bagian II Pertanggungjawaban Pidana Paragraf 6 Korporasi. Pasal-pasal

dalam paragraf ini,  yakni sebagai berikut:

Pasal 44 berbunyi: Korporasi merupakan subyek tindak pidana.

Pasal 45 berbunyi: Tindak pidana dilakukan oleh korporasi apabila dilakukan

oleh orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi

kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasar

hubungan lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri

atau bersama-sama.

Pasal 46 berbunyi: Jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi,

pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau

pengurusnya.

Pasal 47 berbunyi: Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana

terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama

korporasi, jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya

sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang

berlaku bagi korporasi yang bersangkutan.

Pasal 48 berbunyi: Pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dibatasi

sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur

organisasi korporasi.

Pasal 49 berbunyi: Ayat (1) Dalam mempertimbangkan suatu tuntutan

pidana, harus dipertimbangkan apakah bagian hukum lain telah memberikan

perlindungan yang lebih berguna daripada menjatuhkan pidana terhadap

suatu korporasi. Dan Ayat (2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) harus dinyatakan dalam putusan hakim.

28

Pasal 50 berbunyi: Alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat

diajukan oleh pembuat yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi,

dapat diajukan oleh korporasi sepanjang alasan tersebut langsung

berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan kepada korporasi.

Menyimak Pasal 44 s/d 50, maka dapat disimpulkan bahwa tanggung

jawab pidana korporasi hanya dapat dilakukan apabila memenuhi unsur-

unsur. Unsur Pertama : Tindak pidana dilakukan oleh orang-orang yang

bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi,

berdasarkan hubungan kerja atau berdasar hubungan lain, dalam lingkup

usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama. Unsur

Kedua : Perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana

ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi

korporasi yang bersangkutan. Unsur Ketiga : Pertanggungjawaban pidana

dikenakan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. Pengurus korporasi

dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam

struktur organisasi korporasi.

Unsur pertama tersebut menegaskan tentang pelaku tindak pidana.

Dari unsur pertama tersebut dapat disimpulkan bahwa pelaku tindak pidana

tidak harus pengurus korporasi tetapi bisa dilakukan oleh staf atau orang-

orang yang bertindak untuk kepentingan korporasi. Orang-orang yang

bertindak untuk kepentingan korporasi tersebut bisa karena hubungan kerja

sebagai staf atau sebagai tenaga kontrak, maupun pihak lain yang

berdasarkan suatu perjanjian melakukan suatu tindakan untuk kepentingan

perusahaan.

Sedangkan, dari unsur kedua terlihat tindak pidana tersebut hanya sebatas

lingkup usaha korporasi tersebut. Lingkup usaha ini dapat dilihat dari

anggaran dasar korporasi atau ketentuan lainnya. Unsur ketiga tentang

pihak yang bertanggung jawab secara pidana atas tindak pidana yang

terjadi. Menurut unsur ketiga ada dua pihak yang bisa dimintai

29

pertanggungjawaban, yaitu Korporasi dan Pengurusnya. Pengurus disini

dibatasi hanya mereka yang memiliki kedudukan fungsional dalam struktur

organisasi korporasi, bukan mereka yang berada di level bawah (lower level

officer).

Menurut penjelasan Pasal 47 Konsep RUU KUHP, ada tiga option tentang

pihak yang bertanggung jawab atas tindak pidana korporasi, yaitu :

a. Pengurus korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan oleh karena itu

penguruslah yang bertanggung jawab;

b. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan pengurus yang

bertanggung jawab; atau

c. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan juga sebagai yang

bertanggung jawab.

Oleh karena itu, jika suatu tindak pidana dilakukan oleh dan untuk suatu

korporasi, maka penuntutannya dapat dilakukan dan pidananya dapat

dijatuhkan terhadap korporasi sendiri, atau korporasi dan pengurusnya, atau

pengurusnya saja. Penjatuhan pidana kepada korporasi berupa pidana

denda. Pidana denda paling banyak untuk korporasi yang melakukan tindak

pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun

sampai dengan 15 (lima belas) tahun adalah denda Kategori V, yaitu sebesar

Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah), sedangkan pidana mati, pidana

penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun

adalah denda Kategori VI, yaitu sebesar Rp. 3.000.000.000,00 (tiga milyar

rupiah) (Pasal 77 ayat (5)). Selain denda maksimum, telah pula ditetapkan

denda minimum bagi korporasi, yaitu denda Kategori IV sebesar Rp.

75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah) (Pasal 77 ayat (6)).

Apabila korporasi tidak mampu membayar sanksi pidana denda, maka

sanksi tersebut ditukar dengan pidana pengganti berupa pencabutan izin

usaha atau pembubaran korporasi (Pasal 81). Selain pidana denda, terhadap

30

korporasi dapat juga dikenakan sanksi pidana tambahan, yaitu berupa

pencabutan segala hak yang diperoleh korporasi, misalnya hak untuk

melakukan kegiatan dalam bidang usaha tertentu (Pasal 88 ayat (2)).

Bila merujuk dari ius constitutum dan ius constituendum yang ada diatas

dikaitkan kejahatan korporasi dengan konsep pertanggungjawaban pidana

korporasi. Maka dapat disimpulkan tanggung jawab pidana korporasi hanya

dapat dilakukan apabila memenuhi syarat :

1. Tindak pidana dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan

atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi;

2. Berdasarkan hubungan kerja atau hubungan yang lainnya;

3. Dalam lingkup usaha korporasi.

Bila dibandingkan dengan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi

dalam Bab II, yaitu berupa : identification doctrine, aggregation doctrine,

reactive corporate fault, vicarious liability, management failure model,

corporate mens rea, specific corporate offences. Konsep yang paling

mendekati rumusan RUU KUHP adalah vicarious liability.

Dengan menganut doktrin vicarious liability terdapat sejumlah keuntungan,

yaitu :

1. Pelaku tindak pidana tidak harus dilakukan oleh orang penting atau

orang yang menjadi simbol korporasi tersebut seperti yang disyaratkan

dalam identification doctrine atau kesalahan manajemen korporasi

seperti dalam management failure model.

2. Kejahatan yang menjadi tanggung jawab perusahaan adalah kejahatan

riil sebagaimana kejahatan yang sebenarnya terjadi, bukan kejahatan

yang diakibatkan oleh kegagalan korporasi mengambil suatu tindakan

sebagaimana dimaksud oleh reactive corporate fault.

31

Selain keuntungan tersebut, juga terdapat sejumlah kelemahan, yaitu :

1. Vicarious liability sulit diterapkan untuk kejahatan yang di dalamnya

terdapat mens rea. Contohnya adalah pembunuhan atau

penganiayaan seperti terdapat dalam Pasal 338 KUHP yang berbunyi :

“Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam

karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas

tahun”. Unsur dengan sengaja adalah unsur niat atau mens rea, unsur

tersebut menunjukkan niat si pelaku untuk melakukan suatu tindakan

berupa merampas nyawa orang lain. Dengan demikian vicarious

liability hanya dapat diaplikasikan untuk kejahatan tertentu.

2. Vicarious liability dianggap terlalu inclusive, yaitu perusahaan dapat

dipidana untuk kesalahan yang dilakukan oleh pekerja yang

kepadanya seharusnya tidak harus dipertanggungjawabkan, dalam hal

korporasi mungkin telah melakukan segalanya sesuai dengan

kekuasaan yang dimilikinya untuk mencegah kesalahan tersebut.

3. Vicarious Liability juga sulit diterapkan apabila kejahatan tersebut

terjadi akibat kesalahan policy korporasi sendiri. Misalnya, tidak ada

ketentuan tentang standar kesehatan dan keamanan yang memadai.

Sehingga apabila terjadi kematian atau aktivitas perusahaan

menimbulkan kerugian baik kepada pekerjanya maupun masyarakat

pelakunya tidak dapat diketahui apakah pengurus, staf atau orang-

orang yang berdasarkan suatu perjanjian melakukan tindakan untuk

kepentingan perusahaan.

4. Di dalam RUU KUHP juga mengadung keraguan, saat kapan seorang

pengurus yang melakukan tindak pidana bertanggung jawab secara

pidana dan saat kapan korporasi bertanggung jawab atas tindak

pidana pengurus.

32

5. Di dalam RUU KUHP juga tidak ada kejelasan tentang apakah si

pembuat tindak pidana juga dimintai pertanggungjawaban pidana,

walaupun atas tindak pidana tersebut korporasi telah mengambil alih

tanggung jawab pidana tersebut.

6. Pasal 50 seolah menganggap tuntutan pidana terhadap korporasi

merupakan the last resort, sehingga harus mendahulukan bidang

hukum yang lain (perdata atau administrasi), karena dianggap

pemidanaan kurang berguna atau tidak memberikan perlindungan

yang maksimal. Tentu saja pendapat seperti ini keliru. Selain itu, pasal

ini menimbulkan persepsi yang salah tentang kejahatan korporasi,

karena dianggap kurang serius atau berbahaya dibandingkan dengan

kejahatan yang lain, padahal dari berbagai pengalaman, terlihat

korban kejahatan korporasi sangat banyak dan terkadang mengalami

penderitaan yang berkepanjangan, misalnya korban pencemaran, luka-

luka yang dialami di tempat kerja, serta lain sebagainya.

Beberapa kelemahan terhadap vicarious Liability tersebut dapat dijawab

dengan mengadopsi juga doktrin lainnya, misalnyacorporate mens rea

doctrine. Doktrin ini menganggap personality korporasi sebagai badan

hukum adalah fiksi. Karena itu dikatakan bahwa mens rea korporasi bisa

juga dibuat secara fiksi. Indikator niat ini dapat dilihat dari proses organisasi

yang dinamis, struktur, tujuan, budaya dan hirarki yang dapat

dikombinasikan dan menyumbang terhadap suatu etos yang mengizinkan

atau bahkan mendorong dilakukannya suatu kejahatan.

Dengan menggunakan corporate mens rea doctrine, maka tanggung

jawab pidana korporasi tidak hanya dapat dilakukan terhadap

kejahatan strict liability tetapi juga terhadap kejahatan lainnya. Selain usulan

di atas, dapat juga diadopsi doktrin specific corporate offences. Berdasarkan

doktrin ini diusulkan agar untuk kejahatan tertentu dibuat secara khusus

33

unsur-unsur yang specificyang hanya dapat diterapkan kepada perusahaan

saja.

BAB IV

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Berdasarkan apa yang telah penulis paparkan pada bab sebelumnya,

maka dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai hal tersebut sebagai

berikut :

1. Selain orang, korporasi juga termasuk subjek hukum pidana. Sebagai

subjek hukum pidana, korporasi juga dapat diminta pertanggung-

jawabannya jika melakukan tindak pidana.

2. Pengaturan mengenai korporasi diatur dalam undang-undang dan

konsep RUU KUHP 2004. Sanksi pidananya berupa denda dan besaran

34

denda tersebut disesuaikan dengan undang-undang yang

bersangkutan melakukan tindak pidana.

B.     Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka disarankan agar :

1. Dalam undang-undang belum mengatur secara rinci mengenai

pertanggungjawaban pidana korporasi. Oleh karena itu, perlulah

segera diundangkannya RUU KUHP baru sebagai dasar aturan umum

jika aturan khusus tidak mengatur lebih lanjut mengenai korporasi.

2. Pidana denda seharusnya tidak dibatasi dengan jumlah maksimal

ditambah sepertiga atau duapertiga. Jika korporasi mampu membayar

denda maka secara tidak langsung berakhirlah perkara pidananya. 

 

DAFTAR PUSTAKA

Agus Budianto. 2012. Delik Suap Korporasi Di Indonesia. Cet. Pertama. Karya

Putra Darwati. Bandung.

A. prasetyo. 2008. Corporate Governance: Pendekatan Institusional.

Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Barda Nawawi Arief. 2010. Kapita Selekta Hukum Pidana. Cet. Kedua, Citra

Aditya Bakti. Bandung.

I Gede Widhiana Suarda. 2012. Hukum Pidana Internasional: Sebuah

Pengantar. Cet. Pertama. Citra Aditya Bakti, Bandung.

35

I. S. Susanto. 2012.  Kriminologi. Cet. Pertama. Genta Publishing. Yokyakarta.

Sahuri Lasmadi. 2003. “Pertanggungjawaban Korporasi dalam Persfektif

kebijakan Hukum Pidana Indonesia”. Disertasi Doktor Pascasarjana

Universitas Airlangga. Surabaya.

Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Ed. Kelima. Cet.

Keempat. Liberty. Yokyakarta.

M. Marwan dan Jimmy P. 2009. Kamus Hukum (Dictionary of Law Complete

Edition). Cet. Pertama. Reality Publisher. Surabaya.

Peraturan Perundang-Undangan

Konsep Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana

2004.

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang

Holtikultura

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 08 Tahun 2010 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak pidana Pencucian uang

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak

[1] I. S. Susanto, Kriminologi, Cet. Pertama, Genta Publishing, Yokyakarta,

2011, hal. 126.

[2] Sahuri Lasmadi, “Pertanggungjawaban Korporasi dalam Persfektif

kebijakan Hukum Pidana Indonesia”, Disertasi Doktor Pascasarjana

Universitas Airlangga, Surabaya, 2003, hal. 18.

36

[3] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Ed. Kelima,

Cet. Keempat, Liberty, Yokyakarta, 2007, Hal. 41.

[4] Sahuri Lasmadi, Op. Cit., hal. 19-20.

[5] I. S. Susanto, Op. Cit., hal. 148-149.

[6] M. Marwan dan Jimmy P, Kamus Hukum (Dictionary of Law Complete

Edition), Cet. Pertama, Reality Publisher, Surabaya, 2009, Hal. 384.

[7] Sahuri Lasmadi, Op. Cit., hal. 21.

[8] Tabel ini tidaklah memuat penyebutan subjek “korporasi” secara

keseluruhan dalam peraturan perundang-undangan, tabel ini dimaksudkan

hanya untuk dijadikan bahan perbandingan antara undang-undang yang satu

dengan undang-undang yang lainnya.

[9] I Gede Widhiana Suarda, Hukum Pidana Internasional: Sebuah Pengantar,

Cet. Pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, hal. 160-161.

[10] A. prasetyo, Corporate Governance: Pendekatan Institusional, Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hal. 18-20.

[11] Agus Budianto, Delik Suap Korporasi Di Indonesia, Cet. Pertama, Karya

Putra Darwati, Bandung, 2012, hal. 64.

[12] Ibid., hal. 65-66.

[13] Ibid., hal. 67.

[14] Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Cet. Kedua, Citra

Aditya Bakti, Bandung, 2010, hal. 246-252.

[15] Agus Budianto, Op. Cit., hal. 70.

[16] Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 250.

[17] Ibid., hal. 251.

37

[18] Agus Budianto, Op. Cit., hal. 57.

[19] Sahuri Lasmadi, Op. Cit., hal. 107.

[20] I. S. Susanto, Op. Cit.,  hal. 163-167.

38