peningkatan arus migrasi tkw-prt ke pea

Upload: eccasant

Post on 07-Jul-2018

231 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA

    1/25

    1

    Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT ke PEA

     Mita Yesyca

    Isu tentang Tenaga Kerja Wanita-Pekerja Rumah Tangga (TKW-PRT) selalu hangat

    dibicarakan berbagai kalangan. Isu ini seringkali mengundang keprihatinan oleh

    karena begitu banyak masalah, kait-mengkait, di bawah payung besarnya. Hampir

    selalu isu-isu tersebut menempatkan perempuan sebagai pihak yang kalah. Berbagai

    kajian sosial-politik kemudian lahir untuk menggagas isu tersebut lewat beragam

    perspektif, tak terkecuali dalam kajian ilmu Hubungan Internasional. Tulisan ini

    berusaha memperlihatkan bahwa kajian ilmu HI tidaklah jauh dari pengalaman

    personal perseorangan; yakni bagaimana kedua kutub yang tampak berjauhan itu,

    personal dan internasional/global, sangat terkait erat satu sama lain, lebih dari yang

    disadari oleh aktor-aktor di dalamnya.

    Gambar 1.1 Salah satu poster kampanye untuk KonvensiPekerja Domestik Organisasi Pekerja Internasional 2011.1 

  • 8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA

    2/25

    2

    Tradisi teori migrasi internasional selama ini bertumpu pada pendekatan ekonomi

    neoklasik, yakni model push-pull factors. Model ini berusaha menjelaskan penelaahan

    tenaga kerja sebagai kapital manusia yang netral gender. Akibatnya, model ini tidak

    dapat melihat wajah perempuan pada fenomena migrasi pekerja domestik migran

    internasional. Sementara, aliran migrasi perempuan pekerja domestik internasional

    secara nyata memiliki arah dan aktor yang spesifik. Di sinilah perspektif gender

    berperan penting mengupas struktur dalam sistem ekonomi politik internasional

    sehingga kekhasan aliran migrasi perempuan pekerja domestik internasional dapat

    mengemuka, dan dengan demikian dapat diperlihatkan bahwa ia tidak secara bebas

    terbentuk. Menggunakan perspektif gender akan mampu membuka dominasi

    maskulin yang menempatkan perempuan pada posisi kelas pekerja terbawah. 

    Selain itu, model  push-pull factors  memahami pertimbangan migran untuk

    melakukan perpindahan sementara berdasar pada pertimbangan keuntungan yang

    lebih besar di negara tujuan daripada di negara sendiri, di mana keputusan

    berpindah para migran diterima sebagai langkah pasif yang mengikuti faktor-faktor

    eksternal di daerah asal maupun tujuannya. Asumsinya, keuntungan yang didapat

    pekerja akan berpengaruh positif terhadap kesejahteraan pekerjanya. Model ini pun

    akhirnya tidak dapat melihat the blind side dalam fenomena migrasi perempuan

    pekerja domestik internasional, yaitu bahwa keputusan berpindah mereka

    cenderung irasional. Sebab, di samping mengejar keuntungan, para perempuan

    pekerja domestik ini harus siap menghadapi besarnya risiko “pilihan” pekerjaan

    mereka, baik di negara tujuan maupun di negara asal. Push-pull factors  tidak dapat

    menjelaskan terus terpeliharanya, bahkan cenderung semakin derasnya arus migrasi

    internasional yang khas tersebut, di tengah maraknya isu negatif tentang TKW-PRT.

    Dengan memasukkan fenomena migrasi perempuan pekerja domestik internasional

    ke dalam konteks struktur kapitalisme global, ketidakbebasan aliran migrasi ini pun

    dapat lebih mudah terbaca.

  • 8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA

    3/25

    3

    Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT ke Persatuan Emirat Arab (PEA)

    Ketidakbebasan aliran migrasi pekerja domestik internasional menjadi nyata dalam

    migrasi TKW-PRT ke PEA selama ini. Tenaga kerja yang dikirim oleh Indonesia ke

    PEA selama ini ditengarai sebagian besar didominasi oleh para perempuan yang

    tidak memiliki keterampilan yang memadai, dalam artian bahwa tenaga kerja

    tersebut tidak memiliki keahlian atau keterampilan khusus, tetapi hanya

    mengandalkan kemampuan fisik semata dalam melaksanakan pekerjaan. Para

    pekerja tanpa keterampilan khusus inilah yang cenderung merespon lapangan kerja

    informal yang tersedia; yakni jenis pekerjaan yang tidak menghasilkan pendapatan

    yang tetap, tidak terdapat keamanan kerja ( job security), tidak ada status permanen

    atas pekerjaan tersebut dan unit usaha atau lembaganya tidak berbadan hukum.2 

    Berikut adalah grafik total TKI di PEA tahun 2004-2007.

    2004 2005 2006 2007

    94 93   302   137839 17 32   1310 8   92 13105504

    2225826675

    Laki-laki terampil Perempuan terampil

    Laki-laki tidak terampil Perempuan tidak terampil

     

    Grafik 1.1 Jumlah Total TKI di Persatuan Emirat Arab Berdasarkan Kategori

    Pekerjaan dan Jenis Kelamin (2004-2007)3 

    Gerakan perpindahan tenaga kerja ke salah satu negara terkaya di dunia itu

    memiliki pola yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun, apalagi semenjak

    berlakunya moratorium Tenaga Kerja Indonesia ke Arab Saudi per 1 Agustus 2011.

    PEA lantas secara otomatis menggantikan posisi Arab Saudi sebagai negara tujuan

    terbesar pertama di kawasan Timur Tengah bagi para pekerja domestik migran asal

    Indonesia. Padahal, isu negatif mengenai TKW-PRT di PEA yang mengalir di

    masyarakat selama ini tak kalah deras dengan isu-isu negatif mengenai TKW-PRT di

    Arab Saudi. Di tingkat internasional, besaran upah yang tidak sebanding dengan

  • 8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA

    4/25

    4

     jumlah jam kerja serta tingginya kasus kekerasan (fisik, seksual, dan verbal) yang

    dialami oleh perempuan pekerja domestik migran menjadi sorotan Organisasi

    Perburuhan Internasional (International Labour Organization/ILO) ketika

    mengidentifikasi sejumlah isu penting mengenai pekerja migran di Timur Tengah,

    tak terkecuali di PEA, pada tahun 2004.4 

    Laporan lain yang bersumber dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di

    Abu Dhabi juga menyebutkan hal serupa. Ini berarti, enam tahun semenjak laporan

    ILO memberikan identifikasi atas isu-isu yang dialami oleh para pekerja migran di

    Timur Tengah, laporan dari KBRI Abu Dhabi pada tahun 2010 lagi-lagi menegaskan

    situasi berisiko yang dihadapi oleh para pekerja migran di PEA; spesifiknya oleh

    para pekerja migran asal Indonesia. Permasalahan yang paling menonjol dan sering

    dialami oleh para TKI di sana antara lain adalah menjalani hukuman tahanan dan

    meninggal dunia; oleh karena kasus gaji yang tidak dibayar sesuai perjanjian, tidak

    tahan dengan beban kerja yang diberikan, penganiayaan, pemerkosaan, penipuan

    oleh agen, pencurian, dan permasalahan sosial lainnya.5  Tahun 2013 ini, berita

    terbaru dari PEA menyebutkan bahwa seorang TKI asal Indramayu mendapat

    siksaan dari agensi penyalur tenaga kerjanya oleh karena ia dianggap telah

    merugikan agensi. Ia tidak diberi makan selama dua bulan, gajinya habis untuk

    biaya perawatan dan makan, sementara agensi tidak mengizinkan apalagi

    membayarinya tiket pulang ke Indonesia.6  Segenap permasalahan tersebut

    mengindikasikan perlunya kacamata yang pas dalam menangkap dan menjelaskan

    fenomena migrasi pekerja domestik internasional.

    Kacamata Feminis

    Untuk mengupas ketidakbebasan aliran migrasi TKW-PRT ke PEA, studi feminis di

    dalam melihat fenomena pekerja menjadi penting. Berangkat dari globalisme

    sebagai salah satu perspektif yang dominan di dalam kajian ilmu Hubungan

    Internasional selain realisme dan liberalisme, perspektif feminis yang digunakan

    untuk menelaah peningkatan arus migrasi TKW-PRT ke PEA ini merupakan kritik

  • 8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA

    5/25

    5

    feminis dalam memandang sub-perspektif ekonomi politik internasional dari

    globalisme tersebut.7  Sifat ekonomi yang disorot dalam ekonomi politik

    internasional ialah pasar-sentris (market-centric). Artinya, peran pasar menjadi

    dominan; berbeda dengan dua sub-perspektif lainnya dalam globalisme, yakni

    ekonomi nasionalisme dan ekonomi marxisme, yang masih menekankan peran

    negara sebagai sesuatu yang sentral.

    Dalam pemahaman ekonomi politik internasional, kondisi dunia adalah seperti

    pasar kapitalis. Anggapan tersebut berdasar pada pertumbuhan industri di tiap-tiap

    negara. Di level domestik, kondisi pabrik-pabrik yang dikuasai laki-laki

    menyebabkan posisi perempuan tertindas secara ekonomi. Feminis melihat bahwa

    dalam paham kapitalisme keuntungan hanya bisa diraih oleh aktor yang rasional,

    sementara di dalam masyarakat laki-laki-lah yang berada pada sektor publik dan

    mereka ini yang dianggap sebagai aktor rasional. Dengan demikian, perempuan pun

    secara perlahan-lahan ‘menghilang’ dari sistem kapitalisme. Rasionalitas menjadi

    sebuah ciri maskulin. Dan sekalipun terdapat aktor perempuan yang bekerja, upah

    pekerjaan mereka pastilah berada di bawah tingkat upah pekerjaan laki-laki.

    Feminis secara spesifik menyorot kepada relasi yang timpang antara laki-laki dan

    perempuan di dalam sistem kapitalisme.

    Gambar 1.2 Kartun yang menunjukkan bagaimana

    pekerjaan tergenderisasi8 

  • 8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA

    6/25

    6

    Pada level internasional, kapitalisme mempertahankan pesebaran kapital pada

    negara-negara tertentu dan dengan demikian terdapat kesenjangan ekonomi di

    antara negara-negara. Relasi ekonomi yang timpang antara negara pusat dan

    pinggiran akan terus berlangsung.9  Akibatnya di level mikro, ketimpangan relasi

    kuasa ekonomi antara laki-laki dan perempuan pun terus terpelihara. Oleh karena

    laki-laki dipandang sebagai aktor rasional sedangkan perempuan tidak, maka

    perempuan akan selalu menjadi pihak yang dirugikan dalam sistem kapitalisme.

    Hirarki laki-laki negara pusat –  perempuan negara pusat –  laki-laki negara

    pinggiran –  perempuan negara pinggiran selalu menyebabkan perempuan dari

    negara-negara pinggiran sebagai aktor yang kalah di dalam sistem kapitalisme

    global.

    Gambar 1.3 Salah satu poster kampanye perlindungan bagiperempuan pekerja domestik di Amerika Serikat.10 

  • 8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA

    7/25

    7

    Telaah Puncak Gunung Es: Perempuan Pekerja Domestik Migran di Global Cities 

    Dalam tulisan Saskia Sassen, seorang Profesor Sosiologi di Columbia University,

    Global Cities and Survival Circuits11  dijelaskan adanya keterkaitan yang signifikan

    antara  globalisasi ekonomi  dan migrasi perempuan—satu hal yang jarang disorot

    dalam narasi-narasi tentang globalisasi. Menurut Sassen, terus berkembangnya

    beragam aktivitas yang terimplikasi dalam pengaturan dan penyelarasan ekonomi

    global telah mensyaratkan kebutuhan akan tenaga-tenaga profesional yang dibayar

    tinggi. Yang penting untuk dicermati kemudian; baik dari sektor perusahaan-

    perusahaan maupun gaya hidup para pekerja profesionalnya, telah nyata

    memunculkan permintaan akan tenaga-tenaga kerja di bidang jasa yang dibayar

    rendah. Di berbagai kota di mana fungsi-fungsi penting dan sumber daya ekonomi

    global terpusat—apa yang disebut Sassen sebagai  global cities—menjadi tempat di

    mana sejumlah besar pekerja-pekerja  perempuan  dan imigran berupah rendah

    dimasukkan atau dipersatukan ke dalam sektor-sektor ekonomi yang strategis.

    Keberadaan lapangan kerja berbasis jasa berupah rendah, salah satunya lapangan

    kerja sebagai petugas kebersihan misalnya, merupakan contoh proses penyatuan

    secara langsung. Sedangkan lapangan-lapangan kerja lainnya muncul sebagai

    bentuk proses penyatuan yang relatif tidak terjadi secara langsung, yakni yang

    muncul melalui praktik konsumsi para profesional berpendapatan tinggi, mereka

    yang mempekerjakan pelayan dan pengasuh berupah rendah dalam rumah tangga

    mereka. Inilah pola-pola baru yang terdapat di dalam globalisasi ekonomi; di mana

    lapangan-lapangan kerja, dan pada gilirannya sebuah kelas pekerja yang terisolasi,

    terpencar, dan secara efektif tidak kasatmata ini, telah diproduksi.12 

    Studi literatur mengenai ekonomi PEA secara persis menunjukkan fenomena dalam

    globalisasi ekonomi yang dimaksud oleh Sassen. PEA (Emirat Abu Dhabi lebih

    tepatnya pada saat itu) masuk ke dalam Organization of Petroleum Exporting

    Countries (OPEC) tahun 1962, bersamaan dengan saat ekspor minyak mentahnya

    yang pertama13. Kenaikan harga minyak di tahun 1970-an mendorong pemimpin

  • 8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA

    8/25

    8

    Abu Dhabi sekaligus presiden PEA yang pertama, Syekh Zayed bin Sultan al

    Nahyan, untuk membasiskan perekonomiannya pada produksi minyak. Dengan ini

    PEA, seperti juga negara Timur Tengah lainnya, bertransformasi menjadi sebuah

    negara yang ekonominya bergantung dari penjualan minyak.14  Dalam waktu

    singkat, minyak menjadikan PEA sebagai negara termakmur di dunia pada tahun

    1980, dengan produk nasional bruto yang bahkan mendekati jumlah 100.000 Dolar

    AS per warga negara.15 Produksi minyak menjadi industri terpenting di sana, meski

    kemudian—untuk mengurangi kebergantungan pada minyak dan gas alam—

    pemerintah PEA memanfaatkan pendapatan dari ekspor minyaknya untuk

    mendanai infrastruktur bagi sektor ekonomi non-migas, seperti pembangunan

    Pelabuhan Rashin dan Jebel Ali berikut kawasan industrinya di Emirat Dubai.

    Keberhasilan pemerintah PEA dengan kebijakan diversifikasi ekonomi menjadikan

    tren pembangunan PEA sebagai outlier  di antara negara-negara teluk lainnya. Dalam

     jangka waktu singkat, PEA tradisional telah berubah menjadi negara dengan

    masyarakat yang maju dan berkembang beserta segala layanan sosial yang tersedia

    bagi gaya hidup masyarakat berstandar tinggi yang nyaman dan makmur.

    Di sisi lain, ekspansi ekonomi juga membuka tren imigrasi pekerja ke PEA. Data

    yang unik mengenai kependudukan di PEA pada tahun 2007 adalah bahwa orang

    Emirati sendiri hanya menyusun sekitar 20% dari total populasi penduduk,

    sementara 60%-nya diisi oleh pekerja migran yang berasal dari Asia Selatan dan

    Tenggara, sementara sisanya lagi disusun secara signifikan oleh orang-orang Arab

    lainnya seperti orang Palestina, Yordania, Aman, Yaman, Mesir.16  Standar hidup

    yang meningkat seiring dengan standar gaji pekerja di sana yang tinggi17 

    mendorong terciptanya kebutuhan akan pekerja domestik dalam keluarga yang

    makmur.18  Selain itu, kebijakan pemerintah sejak tahun 1970 untuk memasukkan

    perempuan ke dalam angkatan kerja semakin membuka peluang kerja di sektor

    domestik.19 Siapakah yang mengisinya? Studi yang dilakukan Rima Sabban dengan

    data yang kaya dari periode yang berbeda di tahun 1995 dan 2001 menemukan

  • 8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA

    9/25

    9

    bahwa pekerja domestik di PEA mayoritas berasal dari berbagai daerah di Asia

    Selatan dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.20 

    Pada tahun 2010, sebanyak 85% dari 87.000 orang Warga Negara Indonesia (WNI) di

    PEA adalah TKI informal yang bekerja sebagai PRT.21 Kemiskinan dan kolaps-nya

    pembangunan ekonomi domestik Indonesia akibat krisis finansial 1997 menjadi

    faktor pendorong untuk bermigrasi. Dengan banyaknya tenaga kerja yang

    kehilangan pekerjaannya, tingkat inflasi yang tinggi, harga-harga kebutuhan pokok

    yang naik, serta terbatasnya lapangan kerja yang tersisa pascakrisis finansial

    tersebut maka semakin banyak tenaga kerja yang memilih untuk berangkat ke luar

    negeri untuk mencari peluang kerja dengan tingkat upah yang lebih tinggi daripada

    di dalam negeri. Menurunnya taraf hidup masyarakat yang ditandai dengan

    meningkatnya persentase kemiskinan absolut penduduk pascakrisis 199722 semakin

    memicu para tenaga kerja Indonesia ini untuk mengisi lapangan-lapangan kerja

    rendahan yang tersedia di negara-negara makmur seperti di PEA. Lantas, mengapa

    migrasi pekerja domestik ini berwajah perempuan?

    Untuk menjelaskan dimensi internal yang melatari pemosisian perempuan sebagai

    aktor pekerja domestik migran, wawancara dilakukan kepada tiga orang mantan

    TKW-PRT yang pernah bekerja di PEA. Kepada tiga orang tersebut, ditanyakan apa

    saja yang menjadi persepsi dan motivasi mereka untuk berangkat kerja, bagaimana

    kondisi kerja mereka di sana, serta masalah-masalah apa yang mereka hadapi dalam

    kapasitas mereka sebagai perempuan dan pekerja, khususnya sebagai TKW-PRT.

    Temuan dari hasil wawancara ini, selain menunjukkan kompleksitas situasi yang

    dihadapi oleh para TKW-PRT di sepanjang proses berpindah untuk bekerja, juga

    membukakan pemahaman akan masuknya perempuan ke dalam sektor kerja

    domestik yang secara nyata tergenderisasi.

    Dari kisah para TKW-PRT tersebut, peran sosial perempuan dalam keluarga yang

    terefleksi adalah untuk memelihara keluarganya. Peran sosial ini kemudian

  • 8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA

    10/25

    10

    melahirkan beban untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dengan cara

    bekerja di luar rumah ketika mereka menyadari bahwa pekerjaan suami mereka

    tidak memadai untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Perempuan diharapkan

    untuk lebih tidak memikirkan diri sendiri daripada laki-laki dan untuk melayani

    keluarganya sebagai prioritas. Di sisi lain, terbatasnya keterampilan perempuan

    yang bernilai ekonomi tinggi membuatnya bergantung pada kerja-kerja yang tidak

    bernilai ekonomi tinggi pula. Dan pilihan mereka jatuh pada sektor kerja domestik,

    yang dianggap alami sebagai ‘makanan’ mereka sehari-hari.

    Selain tidak bernilai ekonomis tinggi, sektor kerja informal sebagai pekerja domestik

    sangatlah rentan terhadap pelanggaran. Pengakuan salah seorang narasumber

    bahwa ia tidak merasa takut saat berangkat dengan keyakinan bahwa masalah

    majikan yang baik atau tidak baik di PEA adalah ‘soal nasib’, menyiratkan bahwa

    mereka sejak awal telah mengetahui risiko bekerja sebagai TKW-PRT. Namun

    demikian, peran sosial mereka di dalam keluarga telah mendesak mereka untuk

    memosisikan diri sebagai aktor yang paling tepat untuk menjawab permintaan akan

    pekerja domestik migran di luar negeri.

    Kaki Gunung Es: Perkembangan Kapitalisme Global

    Kekhasan tingginya aliran migrasi TKW-PRT ke PEA akan lebih jelas terbaca ketika

    ia diletakkan dalam konteks perkembangan kapitalisme global. Secara singkat,

    kapitalisme dipahami sebagai sebuah proses produksi yang mencakup perdagangan

    melalui mekanisme pasar, komodifikasi tenaga kerja, dan kepemilikan alat-alat

    produksi oleh swasta. Sebagai sebuah sistem yang berlaku secara global, kapitalisme

    mengalami perkembangan. Salah satu titik penting perkembangan kapitalisme yang

    menjadi pintu masuk bagi globalisasi ekonomi dan juga masuknya perempuan

    sebagai angkatan kerja (dan pada gilirannya berdampak pada munculnya peluang

    kerja sektor domestik) adalah krisis pada sistem kapitalisme (Fordis) di tahun 1970-

    an.23 

  • 8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA

    11/25

    11

    Di awal 1970-an, kejenuhan pasar terutama di negara-negara industri, tak dapat

    dielakkan dari proses produksi dan konsumsi massal yang menjadi ciri produksi era

    sebelumnya. Sebenarnya dalam hal ini bukan berarti hampir setiap orang dapat

    mempunyai semua barang-barang konsumsi yang diinginkannya; melainkan

    kekuatan belanja para konsumen telah mencapai batasnya. Diperlukan pasar lain

    sehingga kelebihan produksi ini dapat tetap mengalir, dan di sinilah globalisasi

    ekonomi yang dicirikan dengan keterbukaan pasar menjadi sebuah pasar global

    menjadi jawaban atas krisis. Negara-negara ‘Dunia Ketiga’ kemudian berperan lebih

    dari sekedar penyedia bahan baku produksi, tetapi juga sebagai pasar bagi produk-

    produk yang dihasilkan oleh negara-negara maju. Aliran modal yang menjadi

    semakin bebas, di sisi lain, telah memaksa tumbuhnya industrialisasi di kawasan

    periferi sehingga kemudian dikenal negara-negara industri baru.

    Perkembangan kapitalisme global bersifat spasial, pengaruh krisis kapitalisme ini

    berbeda-beda di setiap negara yang kenampakannya dapat terlihat dari tingkat

    pembangunan ekonominya: struktur negara pusat –  semi pinggiran –  pinggiran.

    Derasnya arus migrasi perempuan pekerja domestik migran asal Indonesia ke PEA

    dapat dipahami dari perbedaan moda akumulasi kapital yang berlangsung di kedua

    negara. Apa yang berkembang di PEA dapat dimasukkan ke dalam kategori yang

    disebut oleh Alain Lipietz sebagai Fordisme periferal.24  Fordisme periferal,

    menurutnya, merupakan akumulasi kapital berbasis pada akumulasi intensif seperti

    pada rezim akumulasi Fordis di negara-negara maju; tetapi bedanya, ia bersifat

    periferal. Artinya, dalam sirkuit produksi global sebagian besar tenaga kerja

    terampil masih berasal dari luar negara tersebut. Sementara di sisi lain, muncul pula

    sektor kerja tidak terampil, yakni lapangan kerja rendahan yang diisi oleh imigran

    seiring dengan meningkatnya standar hidup dan tingkat pendapatan di sana.

    Sedangkan dalam konteks Indonesia, dampak restrukturisasi kapitalisme global

    menghasilkan moda akumulasi primitif. Tumpuan akumulasi kapital ada pada

    tingkat eksploitasi yang tinggi terhadap tenaga kerjanya. Hal ini dapat dilihat pada

  • 8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA

    12/25

    12

    kebijakan yang ditujukan kepada sumber daya manusia produktif Indonesia.

    Melalui berbagai program dan institusi pelatihan Tenaga Kerja Indonesia,

    Pemerintah justru menyediakan mekanisme institusional untuk menjamin praktik

    kerja eksploitatif terhadap perempuan dengan masuknya perempuan ke dalam

    sektor kerja domestik yang muncul sebagai salah satu pembagian kerja internasional

    baru.25 

    Pembangunan tak berimbang antara PEA dan Indonesia, yang menjadi faktor

    penarik dan pendorong migrasi tenaga kerja di antara kedua negara, pada konteks

    perkembangan kapitalisme global adalah sesuatu yang memang diperlukan bagi

    berjalannya rezim akumulasi kapital di tingkat global. Perkembangan yang spasial

    ini tidaklah terpisah satu sama lain; justru yang satu diperlukan bagi yang lain agar

    moda akumulasi kapital dapat terus berjalan di tingkat global. Sebab, hukum umum

    yang berlaku pada akumulasi kapital ialah munculnya pemusatan kekayaan dan

    modal (bagi kapitalis), di satu sisi, dan kemiskinan serta penindasan (bagi pekerja)

    di sisi lain, secara serempak (‘the simultaneous emergence of concentrations of wealth and

    capital (for capitalists), on the one hand, and poverty and oppression (for workers), on the

    other ’).26 

    Arti dari pernyataan Marx di atas ialah bahwa rezim akumulasi kapital selalu

    mensyaratkan adanya ketimpangan, bahkan di antara negara-negara. Inilah yang

    membedakan pendekatan ekonomi Marxis dengan pendekatan neoklasik. Dalam

    pendekatan neoklasik, kompetisi dan perpindahan aliran modal adalah

    penyeimbang yang akan mempersempit perbedaan di antara perusahaan-

    perusahaan, wilayah, dan juga negara. Akan tetapi konsep pembangunan tidak

    berimbang (uneven development) mengisyaratkan kebalikannya, di mana kompetisi

    dan perpindahan aliran modal akan selalu menghasilkan kesenjangan yang menjadi

    basis eksploitasi dalam akumulasi kapital. Sehingga, kesenjangan pembangunan

    antarnegara yang ada hingga saat ini merupakan sesuatu yang wajar dalam rezim

    akumulasi kapital global karena justru kesenjangan ini yang akan dimanfaatkan bagi

  • 8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA

    13/25

    13

    terus berjalannya rezim ini. Ini berarti pula, struktur hirarkis terkait relasi kuasa

    ekonomi di antara kedua negara, dan juga di antara laki-laki dan perempuan dari

    kedua negara, akan terus terpelihara lewat rezim akumulasi kapital.

    Ketika pembangunan ekonomi di PEA telah relatif lebih maju dibandingkan di

    Indonesia, maka sektor-sektor kerja rendahan dan tak kasatmata bukan berarti

    menghilang, melainkan mereka ‘dilimpahkan’ kepada para pekerja dari negara lain

    yang karakter akumulasi kapitalnya lebih primitif, sehingga para pekerja ini

    bersedia melakukan sektor kerja rendahan, yang paling rentan akan eksploitasi,

    namun dengan upah yang sangat rendah. Tetapi, pembangunan yang tidak

    berimbang telah mengkondisikan upah pekerja rendahan di negara-negara pusat

    tersebut tetap lebih tinggi dibandingkan lapangan kerja yang tersedia di negara-

    negara pinggiran. Hal inilah yang umumnya menjadi motif ekonomi para pekerja

    migran dari negara periferi ke negara pusat. Di titik ini dapat dipahami bahwa

    bukan saja rasionalitas yang mendasari motivasi migrasi tenaga kerja internasional

    secara umum, melainkan terdapat konteks yang lebih besar yang menyebabkan

    sebuah faktor pendorong menjadi ‘pendorong’ keputusan bermigrasi, dan faktor

    penarik, menjadi ‘penarik’ keputusan bermigrasi.  Keseluruhan faktor di atas jika

    dipetakan ke dalam grafik akan menjadi seperti ini:

    Gambar 1.4 Faktor-faktor Pembentuk Spesifisitas

    Aliran Migrasi TKW-PRT27 

  • 8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA

    14/25

    14

    Konsekuensi Hirarki Kuasa Ekonomi yang Tergenderisasi: Penindasan Berlapis

    pada Perempuan Pekerja Domestik Migran Internasional

    Setelah melihat apa yang terjadi di level makro, penelaahan perlu dilakukan padalevel mikro. Sebagaimana proyek feminis adalah proyek emansipatori yang

    berpihak dan bertujuan kepada perbaikan kondisi perempuan, maka kondisi-

    kondisi yang ingin diperbaiki pun harus jelas terlebih dulu. Ketika relasi ekonomi

    yang timpang antara negara pusat dan pinggiran terus berlangsung demi

    berlangsungnya akumulasi kapital di tingkat global, bersamaan dengan itu di level

    mikro terjadi ketimpangan relasi ekonomi antara laki-laki dan perempuan yang juga

    terus terpelihara. Oleh karena laki-laki dipandang sebagai aktor rasional sedangkan

    perempuan tidak, maka perempuan akan selalu menjadi pihak yang dirugikan

    dalam sistem kapitalisme. Hirarki laki-laki negara pusat – perempuan negara pusat

    –  laki-laki negara pinggiran –  perempuan negara pinggiran selalu menyebabkan

    perempuan dari negara-negara pinggiran sebagai aktor yang kalah di dalam sistem

    kapitalisme global.

    Perempuan pekerja domestik yang berasal dari negara periferi dengan demikian

    mengalami eksploitasi yang jauh lebih berat dibandingkan laki-laki/perempuan di

    negara pusat dan laki-laki di negara pinggiran. Mereka menerima upah kerja yang

     jauh lebih rendah dan karena bias gender yang melekat dalam sistem ekonomi

    global pula (yang dalam hal ini dimanfaatkan dengan sangat baik oleh kapitalisme

    untuk memelihara akumulasi kapitalnya), mereka menjadi aktor yang tepat mengisi

    peluang kerja domestik dengan intensitas kerja yang jauh lebih besar daripada

    sektor kerja formal umumnya (di mana jam kerja domestik tidak tentu, mereka

    bekerja sewaktu-waktu setiap saat majikan memerlukan mereka). Dan dengan

    demikian, mereka sekaligus menjadi aktor yang paling rentan mengalami

    ketidakadilan dan eksploitasi di dalam sistem ini.

  • 8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA

    15/25

    15

    Bukan hanya ketimpangan ekonomi yang menjadi basis eksploitasi terhadap

    perempuan pekerja domestik migran di PEA. Hal ini dapat dilihat dari spesifisitas

    perempuan tertentu yang banyak diminati sebagai pekerja domestik migran di sana.

    Dari data yang didapat selama wawancara, ditemukan adanya struktur hirarkis lain

    yang berlaku pada sektor pekerjaan informal-rendahan ini. Perempuan Indonesia

    dan Filipina merupakan dua karakter perempuan yang lebih diminati dan

    mendapatkan upah yang lebih tinggi pula di PEA dibandingkan perempuan pekerja

    domestik asal negara-negara Asia Selatan seperti India dan Srilanka, serta Ethiopia.

    Para pekerja asal Asia Selatan dan Afrika tersebut cenderung mengisi pembagian

    kerja domestik seperti mengurus rumah (mencuci, mengepel, menyetrika);

    sedangkan pekerja asal Indonesia dan Filipina menurut paparan narasumber,

    cenderung mengisi bagian kerja domestik yang lebih membutuhkan keterampilan

    seperti memasak, mengasuh anak, dan relatif lebih sedikit bertumpu pada tenaga

    pekerja dibandingkan kerja-kerja mengurus rumah. Selain itu, menurut salah satu

    narasumber pula ketimpangan dalam pendapatan tersebut juga telah umum

    diketahui di sana, di antara para pekerja itu sendiri, sehingga rekan kerja

    domestiknya yang berasal dari Ethiopia memilih untuk berhenti bekerja pada pukul

    sepuluh atau setengah sepuluh malam sementara ia terkadang baru tidur pada

    pukul setengah satu dini hari untuk melakukan pekerjaan yang diminta oleh

    majikannya.

     Jika melihat pada alasan pembagian kerja oleh majikan terhadap para PRT di

    rumahnya, terlihat bahwa eksploitasi terhadap perempuan pekerja domestik ini

    bersinggungan dengan praktik diskriminasi dan pemberian stereotip berbasiskan

    ras, bangsa, dan budaya. Di mana, misalnya, orang India cenderung dihindari

    karena ‘berbau’, serta beberapa stereotip seperti jorok dan kotor yang melekat pada

    orang Ethiopia semata-mata karena mereka berkulit hitam; sehingga majikan pun

    tidak mau mengambil orang India untuk bekerja di dapurnya ataupun orang

    Ethiopia untuk mengasuh anaknya. Menjadi nyata bahwa di dalam sektor kerja

  • 8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA

    16/25

    16

    rendahan sekalipun, terdapat bentuk penindasan lain terhadap perempuan selain

    penindasan berbasis ekonomi berupa eksploitasi atas tenaga kerja mereka.

    Implikasi bagi TKW-PRT

    Sampai di sini terlihat bahwa pembagian sektor kerja dalam kapitalisme pasca-

    Fordis telah mengakibatkan masuknya beragam perempuan ke dalam lapangan

    kerja rendahan di negara-negara pusat. Mereka yang pada umumnya berasal dari

    negara-negara berkembang atau tergolong periferi, dengan segala stereotip terhadap

    diri mereka yang dapat memperburuk praktik eksploitasi/pelanggaran/

    ketidakadilan terhadap diri mereka selama bekerja. Ada beberapa implikasi penting

    yang dapat ditarik, terkait memahami posisi TKW-PRT dalam pusaran akumulasi

    kapital global.

    Pertama, ini berarti bahwa kapitalisme telah melanggengkan dan cenderung

    memanfaatkan relasi kuasa antara gender laki-laki dan perempuan dalam suatu

    masyarakat, dalam hal ini masyarakat Indonesia. Identitas gender yang dieksploitasi

    di dalam sistem kapitalisme global tampak nyata dalam tuturan kisah mantan TKW-

    PRT di PEA. Konstruksi sosial peran perempuan atau gender yang ada menuntut

    perempuan/ibu di dalam keluarga agar menjadi pelayan dalam keluarga, sekaligus

    sebagai pencari nafkah ketika laki-laki tidak dapat memenuhi perannya sebagai

    pencari nafkah. Hal ini mendorong perempuan keluar dari ranah domestik dan

    masuk ke sektor publik. Perempuan dituntut untuk memprioritaskan keluarganya

    dan mengambil risiko bekerja di sektor ekonomi domestik ketika laki-laki/ayah

    tidak dapat memenuhi peran sosial dalam keluarganya sebagai pencari nafkah.

    Namun, mengingat terbatasnya keterampilan perempuan yang bernilai ekonomi

    tinggi, sektor-sektor kerja yang dimasuki perempuan pun terbatas pada sektor kerja

    yang juga tidak bernilai ekonomi tinggi. Salah satunya sektor kerja domestik yang

    lahir dari pembagian kerja internasional yang baru berbasis pada gender, dengan

    segala risikonya.

  • 8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA

    17/25

    17

    Kedua, memahami posisi TKW-PRT dalam konteks kapitalisme global berangkat

    dari pemahaman bahwa transformasi dalam struktur pasar tenaga kerja, termasuk

    lahirnya sektor kerja domestik ini, secara paralel disebabkan oleh pergeseran yang

    signifikan dalam organisasi industrial kapitalisme pasca-Fordis. Organisasi kerja

    yang lebih fleksibel membuka kesempatan bagi bisnis-bisnis skala kecil seperti

    peluang kerja domestik, ataupun ekonomi informal lain hingga underground

    economies  yang mengindikasikan adanya penyatuan antara sistem tenaga kerja

    ‘dunia ketiga’ dengan sistem tenaga kerja kapitalis yang sudah maju dan

    berkembang.28 Inilah yang dikenali melalui fenomena global cities, di mana sejumlah

    besar pekerja-pekerja perempuan dan imigran berupah rendah dimasukkan atau

    dipersatukan ke dalam sektor-sektor ekonomi yang strategis—persis di mana sektor-

    sektor ekonomi rentan eksploitasi ini dilahirkan.

    Hal lain yang juga perlu diperhatikan ialah bahwa jejaring informal di sekitar TKW-

    PRT secara signifikan memengaruhi keputusan berpindah para aktor migrasi ini.

     Jejaring informal menjadi sumber daya vital bagi individu maupun kelompok

    migran dalam memperoleh informasi: pengetahuan tentang negara yang dituju,

    perilaku dalam mengorganisasi perjalanan, memperoleh pekerjaan, hingga

    beradaptasi di lingkungan yang baru. Suami, keluarga, agen, tetangga, dan teman

    ikut menentukan persepsi dan motivasi calon TKW-PRT. Hal ini menunjukkan

    pentingnya relasi di dalam proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh

    perempuan.

    “..kalau dia ngga berangkat, masa depan, itu generasi yang akan datang,

    sepuluh tahun yang akan datang, itu anaknya nanti seperti apa... Yang

     positifnya, coba lihat! Kalau dia di sana bernasib baik, majikan baik, dia bisa

    setelah dua tahun, kontrak kerja, perpanjang, dia dipulangin sama majikan,

    ditawarin ee.. cuti apa langsung pulang. Kalau dengan faktor kebutuhan dia

     pasti minta cuti. Dia dua bulan dapet cuti, berangkat lagi. Sampai sekarang

    itu, seinget saya, kakak saya dari tahun 2000.. bolak-balik, bolak-balik. Ya

     Alhamdulillah itu dari rumahnya gubuk, pake bambu, ada tikernya. Kalau

  • 8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA

    18/25

    18

    tidur kejepit tangannya, pake bambu, sekarang sudah mempunyai rumah. Ada

    sisi baik..” (wawancara dengan karyawan PPTKIS di Condet, 17 Mei

    2012).

    “Jangan ke Saudi, katanya. Kan pertamanya mau ke Saudi itu ya. Cuma kata

     pegawai PT, nggak usah ke Saudi dulu kalau yang non (belum pernah

    berangkat). Mendingan ke Abu Dhabi dulu. Kalau yang non kan kebanyakan

    ke Oman, ke Abu Dhabi, ke Bahrain. Jadi nggak langsung ke Saudi gitu.

     Jarang.” (wawancara dengan mantan TKW-PRT di PEA. Dilakukan di

    Gegerbintung, 19 Mei 2012).

    Implikasi dari peran jejaring informal ini ialah potensi mereka untuk memanfaatkan

    relasinya demi menarik keuntungan dari pilihan berisiko yang diambil oleh TKW-

    PRT. Dengan iming-iming gaji yang lebih tinggi daripada bekerja sebagai buruh

    pabrik lokal dan kemudahan prasyarat kerja, jejaring informal di sekitar para TKW-

    PRT berhasil membentuk motivasi mereka untuk berangkat—apapun risikonya.

    Temuan peran jejaring informal di sekitar para TKW-PRT ini menjadi kunci penting

    dalam memahami bagaimana di tingkat mikro, terdapat aparatus29 yang mewujud

    dalam jejaring sosial migran pekerja domestik, dan yang memungkinkan arus

    migrasi TKW-PRT ke PEA terus terpelihara.

    Penutup: Mencari Advokasi dan Kebijakan yang Mampu Menyasar Posisi dan

    Kondisi TKW-PRT Secara Objektif

    Solusi menempatkan perempuan sebagai tenaga kerja sektor domestik internasionaluntuk mengambil peluang upah pekerjaan yang lebih tinggi di negara lain justru

    membuka kenyataan bahwa perempuan pekerja ini tereksploitasi dengan lebih

    buruk dibandingkan di dalam negeri. Sebab pemberian pekerjaan ini tidak serta-

    merta memberikan pilihan sektor pekerjaan yang lain bagi mereka. Seperti yang

    telah diperlihatkan dalam analisis sebelumnya bahwa perempuan dari negara-

    negara periferi akan selalu berada pada posisi yang jauh dari akses produksi. Hal ini

    bukan sesuatu yang tak wajar dalam sistem kapitalisme.

  • 8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA

    19/25

    19

    Kesenjangan merupakan basis dari akumulasi kapital. Para TKW-PRT ini berperan

    menopang kerja sektor formal yang berkembang dengan sangat baik di PEA.

    Perkembangan kapitalisme global yang bersifat spasial menunjukkan

    kenampakannya di Indonesia dengan ciri moda akumulasi kapitalnya yang masih

    primitif, di mana tingkat eksploitasi pekerja yang berlangsung sangat tinggi dengan

    durasi dan intensitas kerja yang lebih padat namun upah kerjanya sangatlah murah.

    Pekerjaan informal dalam bentuk ekonomi reproduktif kemudian menjadi salah satu

    bentuk keluaran (output) dari akumulasi primitif tersebut. Inilah ketidakbebasan

    yang pertama, yang ada di dalam aliran migrasi pekerja domestik internasional.

    Ketidakbebasan yang lain nampak ketika tidak semua aktor dapat mengisi sektor

    kerja informal/reproduktif tersebut. Sebab terbukti bahwa aliran migrasi pekerja

    domestik Indonesia ke PEA berwajah perempuan. Apakah laki-laki tidak dapat

    mengisi sektor kerja ini? Mengapa perempuan dari negara-negara tertentu

    cenderung lebih diminati dari pada perempuan dari negara lain? Di sinilah praktik

    eksploitasi berbasiskan gender tersebut bersinggungan dengan isu identitas lainnya,

    dan menggandakan kerentanan, potensi eksploitasi dan ketidakadilan yang dapat

    dialami oleh perempuan pekerja domestik sebagai subyek pada posisi terendah

    hirarki kuasa ekonomi dalam pembagian kerja internasional ini. Mereka ini adalah

    perempuan-perempuan yang disebut oleh Gayatri Spivak sebagai ‘subaltern

    subproletariat’, seperti dikutip oleh Liberty L. Chee dalam tulisannya.30 

    Kerentanan akibat relasi kuasa yang timpang dengan perempuan pekerja domestik

    migran sebagai pihak yang paling dirugikan ini telah dimulai jauh sebelum

    perempuan-perempuan tersebut berangkat ke negara tujuan (PEA). Tuturan

    agen/sponsor, karyawan PPTKIS, serta celetukan anggota-anggota keluarga yang

    sempat terdengar selama wawancara menunjukkan adanya relasi kuasa di antara

    para perempuan pekerja domestik migran ini dengan jejaring informal di sekitar

  • 8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA

    20/25

    20

    mereka. Yaitu suatu relasi kuasa yang sangat memengaruhi pemosisian perempuan

    tersebut ke dalam posisi-posisi kerja yang rentan.

    Para agen/sponsor pada umumnya merupakan orang-orang yang mengenal secara

    personal para perempuan pekerja domestik migran tersebut dan juga keluarga

    mereka. Agen/sponsor dari daerah kantong-kantong pemasok TKW-PRT ini adalah

    aktor-aktor yang dipercaya untuk mengurus keberangkatan hingga penerimaan hasil

    kerja (gaji) oleh keluarga mereka di daerah, sementara mereka berada di luar negeri.

    Agen/sponsor dan para karyawan PPTKIS dalam potret migrasi TKW-PRT ini

    merupakan pihak-pihak yang mendapat kue ekonomi cukup besar dari kegiatan

    migrasi tenaga kerja domestik internasional tersebut—satu hal menarik yang jarang

    tertangkap media, jika selama ini penggambaran kue ekonomi hasil migrasi TKW-

    PRT lebih banyak ditunjukkan dalam bentuk remitansi bagi negara. Mendapatkan

    kue ekonomi, namun sedikit di antara mereka yang benar-benar pernah merasakan

    pengalaman bekerja di negara-negara tujuan migrasi yang mereka persuasikan;

    itulah gambaran yang tertangkap di sepanjang perjalanan penelitian ini mengenai

    sosok agen/sponsor, serta karyawan-karyawan PPTKIS, sebagai bagian jejaring

    informal yang berperan sangat signifikan dalam memengaruhi keputusan

    bermigrasi para perempuan pekerja domestik migran. Sehingga, upaya-upaya

    advokasi dan kebijakan yang bertujuan emansipatif wajib pula melibatkan para

     jejaring informal tersebut; mereka yang di lapangan berperan penting

    melanggengkan hirarki kuasa laki-laki dan perempuan dalam migrasi TKW-PRT

    selama ini.

    Tuturan TKW-PRT yang menjadi narasumber dalam tulisan ini mengindikasikan

    bahwa mereka tidak memahami secara utuh bagaimana profil PEA sebagai negara

    tujuan bekerja, bukan pula kemajuan ekonomi PEA yang membuat mereka tertarik

    untuk bermigrasi, dan mereka pun tidak memiliki gambaran yang jelas mengenai

    seperti apa pekerjaan yang akan mereka lakukan di sana ketika berangkat (mengutip

    kata-kata mereka, “Semua itu adalah nasib”). Namun demikian, mereka tetap

  • 8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA

    21/25

    21

    mantap melangkah ke PEA atas dasar persepsi yang dibangun oleh jejaring informal

    di sekitar mereka; yang tanpa mereka sadari, tengah menikmati kue ekonomi yang

    lebih besar, minus kerentanan yang harus mereka terima sebagai “bonus”

    keputusan untuk bermigrasi sebagai TKW-PRT ke PEA.

    Untuk memastikan potongan kue ekonomi tersebut, kebanyakan dari agen/sponsor

    dan para karyawan PPTKIS ini “bertanggung jawab” penuh dalam memastikan para

    perempuan pekerja domestik migran itu dapat naik pesawat  ke negara tujuan.

    Sehingga dapat dipahami ketika suara-suara mereka terkait moratorium pengiriman

    TKI ke Arab Saudi yang terdengar selama wawancara, adalah suara-suara berupa

    respon yang menyayangkan ‘bagaimana sedikit  persentase kejadian negatif yang

    menimpa para TKW-PRT di Timur Tengah’ (penekanan tuturan oleh para jejaring

    informal), lantas diidentikkan dengan ‘seluruh pengalaman kerja TKW-PRT di sana’

    sehingga perlu diberlakukan moratorium pengiriman tenaga kerja ke Arab Saudi

    untuk sementara waktu. Bagi mereka, sisi positifnya  jauh lebih besar   daripada sisi

    negatif jika pengiriman TKI ke Arab Saudi tetap berjalan hingga hari ini. Mereka

    inilah ‘raja-raja kecil’ yang menikmati kue ekonomi hasil eksploitasi kerja terhadap

    perempuan-perempuan dari negara periferi seperti Indonesia.

    Dari sini dapat ditangkap adanya  penindasan berlapis-lapis  yang dialami oleh para

    TKW-PRT di tengah pusaran ekonomi global yang melibatkan Indonesia dan PEA

    sebagai negara asal/pengirim dan negara tujuan/penerima migran pekerja

    domestik internasional. Mulai dari penindasan yang kasatmata di negara tujuan,

    seperti dituturkan oleh seorang narasumber bahwa paspornya dipegang oleh

    majikan, dan baru dikembalikan di saat ia hendak pulang ke Indonesia (yang mana

    hal ini tidak dilihatnya sebagai bentuk kerentanan, apalagi penindasan); hingga

    kerentanan dan penindasan tidak kasatmata yang dilakukan justru oleh orang-orang

    terdekat di sekitar keseharian para TKW-PRT ini. Pemahaman terhadap implikasi

    yang sedemikian kompleks di lapangan itulah yang penting untuk dikaji dan

    diproses untuk menghasilkan keluaran rekomendasi solusi atau, setidaknya,

  • 8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA

    22/25

    22

    prasyarat-prasyarat solusi atas kondisi sosial-ekonomi yang tidak berpihak pada

    perempuan-perempuan pekerja domestik migran.

    Latihan:1.  Apakah migrasi pekerja domestik internasional merupakan sesuatu yang

    secara alamiah terbentuk? Ataukah ia merupakan sebuah fenomena yang

    terbentuk tidak secara bebas? Jelaskan!

    2. 

    Mengapa model  push-pull factors dikatakan  tidak dapat menangkap kekhasan

    aliran migrasi pekerja domestik internasional?

    3. 

    Bagaimana sifat ekonomi dalam perspektif ekonomi-politik internasional? Apa

    kritik feminis terhadapnya?

    4.  Ceritakan apa yang terjadi di dalam kota-kota global ( global cities) sehingga

    muncul sektor-sektor kerja baru yang informal?

    5.  Bagaimana perempuan dari negara pinggiran kemudian secara cerdik

    diposisikan sebagai jawaban atas kebutuhan pekerja domestik di pasar

    internasional? Apa implikasinya?

    6. 

    Apa proyek emansipatori yang kamu sarankan terkait posisi dan kondisi yang

    harus dihadapi oleh perempuan sebagai aktor pekerja domestik migran

    internasional?

    Daftar Pustaka

    Agamben, Giorgio. What is An Apparatus? and other essays.  California: Stanford

    University Press, 2009.

    Al Majaida, Jamal. The Press and Social Change in the UAE (1971-1991). Abu Dhabi:

    Zayed Centre for Coordination and Follow Up, 2002.

    Bond, Patrick. “What is “uneven development”?”. Diakses 11 Juni 2012,

    http://www.marxmail.org/faq/uneven_development.htm. 

    Chee, Liberty L. “The Regulation of Globalising Reproductive Labour Markets.”

    Panel 4 , International Graduate Conference, Frankfurt Research Centre for

    Postcolonial Studies, 16-18 Juni 2011.

    Country Profile: United Arab Emirates. The Library of Congress, Juli 2007.

    http://www.marxmail.org/faq/uneven_development.htmhttp://www.marxmail.org/faq/uneven_development.htm

  • 8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA

    23/25

    23

    DeNicola, Christopher. “Dubai’s Political and Economic Development: An Oasis inthe Desert?” Undergraduate thesis, Williams College, 2005. 

    Data dan Informasi Penempatan Tenaga Kerja. Jakarta: Kementerian Tenaga Kerja danTransmigrasi RI, Badan Penelitian, Pengembangan, dan Informasi, Pusat

    Data dan Informasi Ketenagakerjaan. 2009.Ehrenreich, Barbara dan Arlie Russel Hochschild, ed. Global Women.  New York:

    Henry Holt & Company, 2002.Esim,  Simel dan Monica Smith, ed. Gender and Migration in Arab States: the Case of

    Domestic Workers. ILO, 2004. Diakses pada tanggal 28 Januari 2012,

    http://www.ilo.org/public/english/region/arpro/beirut/downloads/publ/publ_26_eng.pdf. 

    Esser, Josef dan Joachim Hirsch. “Post-Fordist Regional and Urban Structure.”

    Dalam Post-Fordism: A Reader , ed. Ash Amin. Massachusetts: Blackwell

    Publishers, 1994. 

    Harvey, David. “Theorizing the Transition.” Dalam The Condition of Postmodernity: An Enquiry into the Origins of Cultural Change. Massachusetts: Blackwell

    Publishers, 1989.

    Hasil Pemantauan dan Evaluasi Sistem Pelayanan Warga (Citizen Service) pada KBRI AbuDhabi Tahun 2010. Jakarta: Unit Pelayanan Publik, Direktorat Perlindungan

    Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia, Kementerian LuarNegeri Republik Indonesia.

    Lipietz, Alain. “The post-Fordist world: labour relations, international hierarchy, andglobal ecology.” Review of International Political Economy 4,  no. 1 (Spring

    1997). Moniaga, Renita. Indonesian Migrant Domestic Workers: A Case Study on Human Rights,

    Gender and Migration.  The New School Graduate Program in International

    Affairs, 2008.Sabban, Rima. Migrant Worker in The United Arab Emirates: The Case of Female Domestic

    Workers. GENPROM Working Paper No. 10, Series on Women and

    Migration, 2003.

    Sassen, Saskia. “Global Cities and Survival Circuits.” Dalam Global Woman, ed.

    Barbara Ehrenreich dan Arlie Russel Hochschild. New York: Henry Holt &Company, 2002.

    “TKI Indramayu Minta KJRI Dubai Selamatkan 50 TKI.” Diakses pada tanggal 15April 2013, http://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-231/8173-tki-indramayu-minta-kjri-dubai-selamatkan-50-tki.html. 

    Waylen, Georgina. “You still don’t understand: why troubled engagements continuebetween feminists and (critical) IPE.” Review of International Studies 32, no. 1

    (Januari 2006): 145-164.Yesyca ,  Mita. “Peningkatan Arus Migrasi Tenaga Kerja Wanita-Penata Layan

    Rumah Tangga (TKW-PLRT) ke Persatuan Emirat Arab: Perspektif Feminis.”Skripsi S1, Universitas Indonesia, 2012.

    http://www.ilo.org/public/english/region/arpro/beirut/downloads/publ/publ_26_eng.pdfhttp://www.ilo.org/public/english/region/arpro/beirut/downloads/publ/publ_26_eng.pdfhttp://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-231/8173-tki-indramayu-minta-kjri-dubai-selamatkan-50-tki.htmlhttp://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-231/8173-tki-indramayu-minta-kjri-dubai-selamatkan-50-tki.htmlhttp://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-231/8173-tki-indramayu-minta-kjri-dubai-selamatkan-50-tki.htmlhttp://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-231/8173-tki-indramayu-minta-kjri-dubai-selamatkan-50-tki.htmlhttp://www.ilo.org/public/english/region/arpro/beirut/downloads/publ/publ_26_eng.pdfhttp://www.ilo.org/public/english/region/arpro/beirut/downloads/publ/publ_26_eng.pdf

  • 8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA

    24/25

    24

    1 Diakses dari http://domesticworkers.org/2 Dikutip dari Pekerja Sektor Formal/Informal, 

    http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CGkQFjAG&url=http%3A%

    2F%2Fmenegpp.go.id%2FV2%2Findex.php%2Fdatadaninformasi%2Fketenagakerjaan%3Fdownload%3D41

    %253Apekerja-sektor- formalinformal&ei=agO3UYzwD87irAe7w4DABQ&usg=AFQjCNFSqYtBNwxnU5nIRMAu486S1a2yGw&s

    ig2=0ZOz31euUbU0A3MwXFL5zw&bvm=bv.47534661,d.bmk&cad=rja. Terkait dengan definisi

    pemerintah secara resmi, sebenarnya tidak terdapat definisi ‘pekerjaan informal’ yang berlaku secara

    nasional di Indonesia hingga saat ini—sebagaimana disebutkan di dalam ILO Country Report for

    Indonesia mengenai Perdagangan dan Ketenagakerjaan tahun 2013. Kementerian Tenaga Kerja dan

    Transmigrasi serta Badan Pusat Statistik menaksir sektor kerja informal berdasarkan tabulasi silang

    antara status kerja dan jenis pekerjaan. Sementara, Kementerian Perindustrian menaksir sektor kerja

    informal berdasarkan besarnya modal sebuah perusahaan.3 Diolah dari Data dan Informasi Penempatan Tenaga Kerja, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi

    RI, Badan Penelitian, Pengembangan, dan Informasi, Pusat Data dan Informasi Ketenagakerjaan,2009. 4 Simel Esim dan Monica Smith, ed., Gender and Migration in Arab States: the Case of Domestic Workers 

    (ILO, 2004), diakses 28 Januari 2012,

    http://www.ilo.org/public/english/region/arpro/beirut/downloads/publ/publ_26_eng.pdf.5 Data diambil dari Hasil Pemantauan dan Evaluasi Sistem Pelayanan Warga (Citizen Service) pada KBRI

     Abu Dhabi Tahun 2010, Unit Pelayanan Publik, Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan

    Badan Hukum Indonesia, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 1-2. 6 “TKI Indramayu Minta KJRI Dubai Selamatkan 50 TKI”, diakses 15 April 2013,

    http://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-231/8173-tki-indramayu-minta-kjri-dubai-selamatkan-

    50-tki.html

    7 Georgina Waylen, “You still don’t understand: why troubled engagements continue betweenfeminists and (critical) IPE ,” dalam Review of International Studies 32, no. 1 (2006): 145. 8 Sumber: Pat Racimora. Diakses dari http://www.noquarterusa.net/9 Barbara Ehrenreich dan Arlie Russel Hochschild, ed. Global Woman (New York: Henry Holt &

    Company, 2002), 8.10 Diakses dari http://www.domesticworkersunited.org/11 Saskia Sassen, “Global Cities and Survival Circuits,” dalam Global Woman, Op. Cit., 254-274.12 Ibid., 255.13 Jamal Al Majaida, The Press and Social Change in the UAE (1971-1991) (Abu Dhabi: Zayed Centre for

    Coordination and Follow Up, 2002), 10.14

     Christopher DeNicola, “Dubai’s Political and Economic Development: An Oasis in the Desert?” (Undergraduate thesis, Williams College, 2005), 1.15 Rima Sabban, Migrant Worker in The United Arab Emirates: The Case of Female Domestic Workers,

    GENPROM Working Paper No. 10, Series on Women and Migration, 2003, 3.16 Berdasarkan data mengenai demografi dalam Country Profile: United Arab Emirates, The Library of

    Congress, Juli 2007. 17 Jamal Al-Majaida, op. cit.., 92.18 Ibid., 46.19 Ibid., 142.20 Rima Sabban, op.cit. 21 Data diambil dari Hasil Pemantauan dan Evaluasi Sistem Pelayanan Warga (Citizen Service) pada KBRI

     Abu Dhabi Tahun 2010, op.cit., 2.

    http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CGkQFjAG&url=http%3A%2F%2Fmenegpp.go.id%2FV2%2Findex.php%2Fdatadaninformasi%2Fketenagakerjaan%3Fdownload%3D41%253Apekerja-sektor-formalinformal&ei=agO3UYzwD87irAe7w4DABQ&usg=AFQjCNFSqYtBNwxnU5nIRMAu486S1a2yGw&sig2=0ZOz31euUbU0A3MwXFL5zw&bvm=bv.47534661,d.bmk&cad=rjahttp://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CGkQFjAG&url=http%3A%2F%2Fmenegpp.go.id%2FV2%2Findex.php%2Fdatadaninformasi%2Fketenagakerjaan%3Fdownload%3D41%253Apekerja-sektor-formalinformal&ei=agO3UYzwD87irAe7w4DABQ&usg=AFQjCNFSqYtBNwxnU5nIRMAu486S1a2yGw&sig2=0ZOz31euUbU0A3MwXFL5zw&bvm=bv.47534661,d.bmk&cad=rjahttp://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CGkQFjAG&url=http%3A%2F%2Fmenegpp.go.id%2FV2%2Findex.php%2Fdatadaninformasi%2Fketenagakerjaan%3Fdownload%3D41%253Apekerja-sektor-formalinformal&ei=agO3UYzwD87irAe7w4DABQ&usg=AFQjCNFSqYtBNwxnU5nIRMAu486S1a2yGw&sig2=0ZOz31euUbU0A3MwXFL5zw&bvm=bv.47534661,d.bmk&cad=rjahttp://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CGkQFjAG&url=http%3A%2F%2Fmenegpp.go.id%2FV2%2Findex.php%2Fdatadaninformasi%2Fketenagakerjaan%3Fdownload%3D41%253Apekerja-sektor-formalinformal&ei=agO3UYzwD87irAe7w4DABQ&usg=AFQjCNFSqYtBNwxnU5nIRMAu486S1a2yGw&sig2=0ZOz31euUbU0A3MwXFL5zw&bvm=bv.47534661,d.bmk&cad=rjahttp://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CGkQFjAG&url=http%3A%2F%2Fmenegpp.go.id%2FV2%2Findex.php%2Fdatadaninformasi%2Fketenagakerjaan%3Fdownload%3D41%253Apekerja-sektor-formalinformal&ei=agO3UYzwD87irAe7w4DABQ&usg=AFQjCNFSqYtBNwxnU5nIRMAu486S1a2yGw&sig2=0ZOz31euUbU0A3MwXFL5zw&bvm=bv.47534661,d.bmk&cad=rjahttp://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CGkQFjAG&url=http%3A%2F%2Fmenegpp.go.id%2FV2%2Findex.php%2Fdatadaninformasi%2Fketenagakerjaan%3Fdownload%3D41%253Apekerja-sektor-formalinformal&ei=agO3UYzwD87irAe7w4DABQ&usg=AFQjCNFSqYtBNwxnU5nIRMAu486S1a2yGw&sig2=0ZOz31euUbU0A3MwXFL5zw&bvm=bv.47534661,d.bmk&cad=rjahttp://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CGkQFjAG&url=http%3A%2F%2Fmenegpp.go.id%2FV2%2Findex.php%2Fdatadaninformasi%2Fketenagakerjaan%3Fdownload%3D41%253Apekerja-sektor-formalinformal&ei=agO3UYzwD87irAe7w4DABQ&usg=AFQjCNFSqYtBNwxnU5nIRMAu486S1a2yGw&sig2=0ZOz31euUbU0A3MwXFL5zw&bvm=bv.47534661,d.bmk&cad=rjahttp://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CGkQFjAG&url=http%3A%2F%2Fmenegpp.go.id%2FV2%2Findex.php%2Fdatadaninformasi%2Fketenagakerjaan%3Fdownload%3D41%253Apekerja-sektor-formalinformal&ei=agO3UYzwD87irAe7w4DABQ&usg=AFQjCNFSqYtBNwxnU5nIRMAu486S1a2yGw&sig2=0ZOz31euUbU0A3MwXFL5zw&bvm=bv.47534661,d.bmk&cad=rjahttp://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CGkQFjAG&url=http%3A%2F%2Fmenegpp.go.id%2FV2%2Findex.php%2Fdatadaninformasi%2Fketenagakerjaan%3Fdownload%3D41%253Apekerja-sektor-formalinformal&ei=agO3UYzwD87irAe7w4DABQ&usg=AFQjCNFSqYtBNwxnU5nIRMAu486S1a2yGw&sig2=0ZOz31euUbU0A3MwXFL5zw&bvm=bv.47534661,d.bmk&cad=rjahttp://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CGkQFjAG&url=http%3A%2F%2Fmenegpp.go.id%2FV2%2Findex.php%2Fdatadaninformasi%2Fketenagakerjaan%3Fdownload%3D41%253Apekerja-sektor-formalinformal&ei=agO3UYzwD87irAe7w4DABQ&usg=AFQjCNFSqYtBNwxnU5nIRMAu486S1a2yGw&sig2=0ZOz31euUbU0A3MwXFL5zw&bvm=bv.47534661,d.bmk&cad=rjahttp://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CGkQFjAG&url=http%3A%2F%2Fmenegpp.go.id%2FV2%2Findex.php%2Fdatadaninformasi%2Fketenagakerjaan%3Fdownload%3D41%253Apekerja-sektor-formalinformal&ei=agO3UYzwD87irAe7w4DABQ&usg=AFQjCNFSqYtBNwxnU5nIRMAu486S1a2yGw&sig2=0ZOz31euUbU0A3MwXFL5zw&bvm=bv.47534661,d.bmk&cad=rja

  • 8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA

    25/25

    25

    22 Dalam Renita Moniaga, Indonesian Migrant Domestic Workers: A Case Study on Human Rights, Gender

    and Migration (The New School Graduate Program in International Affairs, Desember 2008)

    disebutkan bahwa pada tahun 1996, tingkat kemiskinan berada pada posisi 11,34% dan selama krisis

     jumlah itu meningkat menjadi 24,9% di tahun 1999. Ini berarti, kurang lebih sebanyak 36 juta orang

    dimasukkan ke dalam kategori kemiskinan absolut akibat krisis tersebut. Kemiskinan absolut itusendiri didefinisikan sebagai pendapatan per kapita (dalam keseimbangan kemampuan berbelanja

    atau paritas daya beli/ purchasing power parity) sebesar 1 Dolar AS per hari.23  Josef Esser dan Joachim Hirsch, “Post-Fordist Regional and Urban Structure,” dalam Ash Amin, ed.

    Post-Fordism: A Reader  (Massachusetts: Blackwell Publishers, 1994), 75. 24 Alain Lipietz, “The post-Fordist world: labour relations, international hierarchy, and global

    ecology,” dalam Review of International Political Economy 4:1, Spring 1997, 11. 25 Penting untuk diingat bahwa eksploitasi dalam teori kapitalisme Marx menyoroti tidak dibayarnya

    keseluruhan nilai yang dihasilkan oleh pekerja dalam siklus produksi; sementara eksploitasi dalam

    teori ekonomi neoklasik berbicara tentang ketidakimbangan antara upah kerja buruh dan tuntutan

    produktivitas pekerja. Produktivitas pekerja diterima sebagai kondisi teknis untuk memaksimalkankeuntungan. Asumsinya, keuntungan dari proses produksi berkorelasi positif dengan kesejahteraan

    pekerja. Dengan demikian, seperti dikatakan Harry Cleaver dalam “The Inversion of Class

    Perspective in Marxian Theory: from Valorization to Self-Valorization,” teori ekonomi neoklasik

    menyamarkan sifat antagonisme antara kapitalis dan pekerja, serta basis dominasi kapitalis atas

    pekerja dalam kapitalisme, yakni penciptaan nilai lebih oleh pekerja. 26 Patrick Bond, “What is “uneven development”?”, diakses 11 Juni 2012,

    http://www.marxmail.org/faq/uneven_development.htm.  27 Skripsi Mita Yesyca , Peningkatan Arus Migrasi Tenaga Kerja Wanita-Penata Layan Rumah Tangga

    (TKW-PLRT) ke Persatuan Emirat Arab: Perspektif Feminis, Hubungan Internasional Universitas

    Indonesia, 2012.28 David Harvey, “Theorizing the Transition,” The Condition of Postmodernity: An Enquiry into the

    Origins of Cultural Change (Massachusetts: Blackwell Publishers, 1989), 155.29 Aparatus dipahami sebagai segala sesuatu yang dengan cara tertentu memiliki kapasitas untuk

    menarik, mengeorientasikan, menahan, mencontohkan, mengontrol, dan menjamin gestur, perilaku,

    opini, atau diskursus tentang individu. Dalam Giorgio Agamben, What is An Apparatus? and other

    essays (California: Stanford University Press, 2009), 1430 Dalam Liberty L. Chee, “The Regulation of Globalising Reproductive Labour Markets,” Panel 4 ,

    International Graduate Conference, Frankfurt Research Centre for Postcolonial Studies, 16-18 Juni 2011,

    2.

    http://www.marxmail.org/faq/uneven_development.htmhttp://www.marxmail.org/faq/uneven_development.htm