pengujian peraturan pemerintah pengganti undang-undang
DESCRIPTION
Menguji suatu PerpuTRANSCRIPT
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
disusun oleh :
Nama : HERO HERLAMBANG BRATA YUDHA, SH
NIP : 19840407 200912 1 005No. Absensi
: 13
Status : PRO
Dibuat untuk melaksanakan tugas Pendidikan dan Pelatihan Penyusunan Perancang Peraturan Perundang-Undangan Angkatan XVII Tahun 2012
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RIBADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA HUKUM
DAN HAM2012
2
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah S.W.T, Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan setitik khasanah ilmu yang berguna sehingga Penulis dapat
menyelesaikan tugas pertama yang berjudul Kewenangan Mahkamah
Konstitusi Dalam Menguji Peraturan Pemerintah pengganti
Undang-Undang yang harus dikerjakan Penulis saat menempuh
Pendidikan dan Pelatihan Penyusun dan Perancang Peraturan Perundang-
undangan Angkatan XVII Tahun 2012 di lingkungan Badan Pengembangan
Sumber Daya Manusia Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan HAM RI.
Penulis mengakui bahwa makalah yang ditulis merupakan makalah
singkat (apriori) yang masih banyak memiliki kekurangan mengingat
keterbatasan sumber data dan waktu. Catatan kaki juga tidak bisa
ditampilkan mengingat keterbatasan sarana yang dimiliki Penulis. Untuk
itu Penulis mengharapkan sumbang pikiran demi meningkatkan kualitas
pemahaman atas salah satu persoalan hukum yang terjadi. Setidaknya,
tulisan dalam makalah dapat menjadi literatur pelengkap bagi kalangan
pembaca yang ingin memahami bagaimana kewenangan Mahkamah
Konstitusi dalam melakukan pengujian terhadap Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang.
Terima kasih, semoga bermanfaat.
Penulis,
Hero Herlambang Brata Yudha, SH
3
DAFTAR ISI
Halaman Judul
…………………………………………………………………………………..
: 1
Daftar Isi
………………………………………………………………………………………
…..
: 2
BAB I
Pendahuluan
……………………………………………………………………………………..
: 3
BAB II
Sejarah Singkat Sistem Hierarki PUU di Indonesia
…………………………………
: 8
BAB III
Sekilas Tentang Mahkamah Konstitusi
………………………………………………….
: 1
0
BAB VI
Pembahasan
……………………………………………………………………………………..
: 1
1
BAB V
Kesimpulan dan Saran
………………………………………………………………………..
: 1
5
Daftar Pustaka
…………………………………………………………………………………..
: 1
6
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai negara hukum (rechtstaat), Indonesia telah memulai
meletakkan dasar-dasar konstitusi negara sejak terbit berlakunya
Undang-Undang Dasar 1945. Bisa dikatakan bahwa Undang-Undang
Dasar 1945 dalam era kekinian telah menjelma menjadi produk hukum
(law of product) tertinggi dalam konteks sistem politik, hukum dan
ketatanegaraan Indonesia yang menjadi cikal bakal proses kelahiran
pelbagai produk hukum setelahnya.
Terbitnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan memicu terjadi
revisioner yang cukup fundamental terutama terhadap pasal-pasal
yang berkaitan dengan konstitusional ketatanegaraan. Munculnya
perubahan tersebut, secara implisit telah merubah hierarki sumber
hukum ketatanegaraan Indonesia yang berbeda dengan aturan
sebelumnya.
Sejak munculnya Amandemen ke-III Undang-Undang Dasar 1945
(Pasal 24 c ayat 1), pada akhirnya Indonesia memiliki Lembaga Negara
baru yaitu Mahkamah Konstitusi yang menjalankan fungsi pengawasan
konstitusi (constitutional review). Mahkamah Konstitusi diberikan
kewenangan oleh negara yang salah satunya adalah dapat melakukan
pengujian suatu Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945
5
serta dapat memberikan keputusan hukum atas pengujian tersebut.
Kewenangan konstitusional tersebut pada dasarnya merupakan salah
satu upaya untuk lebih menjamin legitimasi dan supremasi hukum di
Indonesia. Fungsi constitutional review pada akhirnya dapat
meminimalisir kesalahan konseptor hukum dalam membuat peraturan
perundang-undangan sehingga ketidakseimbangan asas manfaat dan
kepentingan antara kepentingan pemerintah dengan masyarakat dapat
berkurang (audi at alteram partem).
Namun, hadirnya Lembaga Mahakamah Konstitusi tidak serta
merta membuat para professional hukum Indonesia berpuas diri.
Beberapa sinkritisme hukum bermunculan seperti salah satunya adalah
persoalan yang cukup substansi yaitu bagaimana sikap Mahkamah
Konstitusi dalam menerapkan fungsi dan kewenangan Judicial Review
terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu).
Sebagaimana diketahui, dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar
1945, secara eksplisit dijelaskan bahwa Mahkamah Kontitusi
berwenang untuk melakukan pengujian Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak disebutkan adanya pengujian
terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Pasal 24 c
ayat 1 UUD 1945). Sekalipun dalam hierarki peraturan perundang-
undangan, kedudukan Undang-Undang sejajar dengan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), ternyata tidak
menjamin Mahkamah Konstitusi dapat dengan berani menerapkan
fungsi pengawasan dan pengujian terhadap Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang. Menurut pendapat Penulis, ada beberapa
faktor yang dapat melatar belakangi hal tersebut, yaitu :
1. Konsekuensi fungsi asas legalitas dalam penegakan konstitusi;
Bahwa setiap tindakan hukum harus tunduk pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Tidak adanya penyebutan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) dalam
Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas tidak memberi ruang
6
analogi bagi Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian
terhadap Perpu;
2. Konsekuensi prinsip modifikasi hukum (rechtsvinding) ; dan
Hukum tertulis yang bersifat statis menuntut adanya pembaharuan
yang didasarkan pada daya cipta manusia agar dapat
mengendalikan hukum demi kepentingan sebagian besar manusia
dan agar hukum yang dibuat dapat berlaku lama; dan
3. Perihal kepentingan yang mendesak; dan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) pada
dasarnya kewenangan Presiden (legislatif) tanpa persetujuan
legislatif pada suatu kondisi yang benar-benar mendesak (force
mojure). Untuk itu, sebagian pendapat menganggap bahwa Perpu
merupakan produk hukum yang diterbitkan dalam kondisi
mendesak yang pengaturan materiil-nya belum terakomodasi dalam
peraturan perundang-undangan yang ada.
Tentunya multi interprestasi termasuk kontradiksi pemikiran para
professional hukum dalam menyikapi persoalan kewenangan
Mahkamah Konstitusi dalam menguji Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 adalah hal yang
penting dan sangat diperlukan untuk kepentingan konstruksi hukum
yang dinamis. Tidak dapat dipungkiri jika permasalahan kewenangan
Mahakamah Konstitusi merupakan persoalan urgensial yang dapat
mempengaruhi legitimasi dan supremasi hukum di Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut, maka penulis melalui makalah singkat
berupaya untuk mengkaji dasar kewenangan Mahkamah Konstitusi
dalam menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu).
B. Rumusan Masalah
Pokok permasalahan dalam Makalah yang berjudul “Kewenangan
Mahkamah Konstitusi Dalam Menguji Peraturan Pemerintah pengganti
Undang-Undang” adalah :
7
A. Apakah Mahkamah Konstitusi dapat menguji Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945;
dan
B. Mengapa Mahkamah Konstitusi perlu menguji Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu) terhadap Undang-Undang Dasar
1945.
C. Tujuan Penulisan
Pada dasarnya, tujuan dari pembuatan makalah yang berjudul
“Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Menguji Peraturan
Pemerintah pengganti Undang-Undang” bertujuan untuk :
1. Melaksanakan salah satu tugas yang diberikan kepada para peserta
Pendidikan dan Pelatihan Penyusun dan Perancang Peraturan
Perundang-Undangan Angkatan XVII Tahun 2012; dan
2. Bahan tersier untuk mengetahui indikator kewenangan Mahkamah
Konstitusi terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
D. Metedologi Penelitian
Pada dasarnya makalah yang berjudul “Kewenangan Mahkamah
Konstitusi Dalam Menguji Peraturan Pemerintah pengganti Undang-
Undang” menggunakan metodologi penelitian Deskriptif Kualitatif,
yaitu memadukan Data Primer (Peraturan Perundang-Undangan), Data
Sekunder (Literatur Hukum) dan Data Tersier (media internet)
sehingga dapat dihasilkan bahan analistis komparasi yang deskriptif.
E. Manfaat Penelitian
Penulisan makalah yang berjudul “Pengujian Terhadap Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)” diharapkan dapat
memberikan manfaat bagi :
1. Penulis sebagai bahan pembelajaran dalam meningkatkan
pemahaman dan kapasitas Penulis dalam lingkup mengetahui
legalitas kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji
8
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) terhadap
Undang-Undang Dasar; dan
2. Kalangan terbatas di lingkungan Badan Pengembangan Sumber
Daya Manusia Hukum dan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia RI khususnya bagi para calon Pejabat
Fungsional Penyusun dan Perancang Peraturan Perundang-
Undangan.
BAB II
SEJARAH SINGKAT SISTEM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
Sistem ketatanegaraan Indonesia tidak bisa dilepaskan dengan
sejarah panjang terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sistem kolonialisme yang nyaris mengukung bangsa Indonesia hampir
tiga setengah abad (3,5 abad) membuat suatu upaya pergerakan
masyarakat (society movement) sehingga melalui suatu gebrakan politik,
bangsa Indonesia melalui tokoh perjuangannya berhasil merumuskan
landasan politik ketatanegaraan untuk pertama kali, pada tanggal 17
Agustus 1945 memproklamasikan diri sebagai suatu negara (state) yang
berdaulat.
9
Proklamasi sebagai bangsa yang memiliki kedaulatan yang utuh
pada hakikatnya membuka ruang untuk lahirnya suatu tatanan sistem
hukum dalam menjalankan fungsi dini dari pemeritahan yang baru.
Berdasarkan hal tersebut, maka para tokoh pendiri bangsa (rapat BPUPKI)
mulai menyusun dasar hukum negara untuk pertama kali yaitu dengan
lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. Dalam proses metamorfosis menuju
arah baru setelah terbentuknya suatu negara, Undang-Undang Dasar
1945 tidak serta merta menjadi sumber hukum yang diakui telah
memenuhi prinsip dasar ketatanegaraan Indonesia. Terlebih pada masa
pembentukannya, kondisi masyarakat yang sedang dalam proses transisi,
belum sepenuhnya memahami dan memaknai nilai-nilai falsafah yang
terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945. Bangsa Indonesia telah
melakukan perubahan landasan ketatanegaraan sebanyak tiga kali,
seperti lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Serikat (RIS) pada
tahun 1949, terbitnya Undang-Undang Dasar Sementata pada tahun 1950
dan pada akhirnya kembali lagi kepada Undang-Undang Dasar 1945.
Sekalipun sebagian ahli hukum berpendapat bahwa masih banyak
kaidah hukum Indonesia yang sedikit banyak masih mengadopsi
peraturan Hindia Belanda, tidak demikian halnya dengan Undang-Undang
Dasar 1945. Pada hakikatnya Undang-Undang Dasar merupakan
pernyataan hukum suatu bangsa dalam meletakkan pondasi hukum.
Tidak heran jika Undang-Undang Dasar 1945 disebut juga sebagai
panglima hukum tertinggi yang mencetak dan mengomandoi peraturan
yang ada di bawahnya. Peraturan yang berada di bawah Undang-Undang
Dasar 1945 dalam sejarah perkembangannya juga mengalami beberapa
perubahan cukup fundamental. Hierarki peraturan perundang-undangan
terus berubah sebagaimana kebutuhan politik, hukum dan masyarakat.
Beberapa pengaturan hierarki peraturan perundang-undangan pernah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, Ketetapan MPRS
tahun 1966 dan lain-lain. Terakhir, hierarki tersebut juga diatur dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. Adapun hierarki peraturan perundang-undangan
tersebut diantaranya :
10
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Menarik untuk dikaji adalah bahwa dalam setiap hierarki peraturan
perundang-undangan pada umumnya selalu menyertakan aturan
mengenai hak preogratif eksekutif untuk membuat suatu peraturan
perundang-undangan tanpa persetujuan legislatif terlebih dahulu dalam
kondisi yang dianggap benar-benar mendesak yaitu Peraturan Pemerintah
Penganti Undang-Undang atau biasa disingkat dengan Perpu. Kondisi ini
pada awalnya dilatar belakangi oleh kondisi genting atau bahaya namun
pada perkembangannya dibolehkan juga untuk hal-hal yang mendesak.
Menjadi persoalan adalah kedudukan Perpu yang sejajar dengan Undang-
Undang Dasar 1945 sehingga hingga saat penulisan ini dibuat masih terus
diperdebatkan bagaimana proses mereview suatu produk konstitusi
berupa Perpu yang diketahui tidak diakomodir oleh Undang-Undang Dasar
1945.
BAB III
SEKILAS TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
Secara etimologi, konstitusi berasal dari bahasa latin “constitution”
yang berarti norma hukum dan politik bentukan pada pemerintahan
negara. Konstitusi biasanya dikodifikasikan dalam hukum tertulis namun
11
di beberapa negara seperti Inggris, memberikan ruang pengaturan
konstitusi terhadap hukum tidak tertulis dalam bentuk yurisprudensi.
Beberapa pengertian konstitusi menurut beberapa para ahli adalah
sebagai berikut :
1. K. C. Wheare, konstitusi adalah keseluruhan sistem
ketaatanegaraaan suatu negara yang berupa kumpulan peraturan
yang membentuk, mengatur, atau memerintah dalam pemerintahan
suatu negara;
2. Herman Heller, konstitusi mempunyai arti luas daripada Undang-
Undang Dasar. Konstitusi tidak hanya bersifat yuridis tetapi juga
sosiologis dan politis; dan
3. Lasalle, konstitusi adalah hubungan antara kekuasaaan yang
terdapat didalam masyarakat seperti golongan yang mempunyai
kedudukan nyata di dalam masyarakat misalnya kepala negara
angkatan perang, partai politik dan lain sebagainya.
Di Indonesia, untuk menjamin pelaksanaan kontitusi
ketatanegaraan juga diperlukan adanya fungsi pengawasan dan
pengujian yang dilakukan oleh suatu lembaga negara yang independen.
Lembaga negara yang menjalankan fungsi tersebut dinamakan
Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana termuat dalam Pasal 24 Undang-
Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan oleh
negara yang salah satunya adalah menguji Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi pada hakikatnya tidak
hanya menjalankan fungsi judicial review, akan tetapi secara teoritis juga
menjalankan fungsi constitutional review sebagaimana yang
diperkenalkan oleh Hans Kelsel di Ausria pada tahun 1919. Namun, pada
perkembangannya dihadir sesuaikan dengan sistem pemerintahan di
masing-masing negara.
BAB IV
PEMBAHASAN
12
A. Apakah Mahkamah Konstitusi dapat menguji Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang terhadap Undang-
Undang Dasar 1945.
Permasalahan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam
melakukan mekansime pengujian suatu Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang. (Perpu) terhadap Undang-Undang Dasar
1945 (UUD 1945) harus diakui cukup sulit untuk dipecahkan. Hal ini
mengingat bahwa ada dua pendapat yang kontradiksi mengenai
keabsahan kewenangan Mahkamah Konstitusi yaitu sebagai berikut :
1. Sebagian para pakar hukum berpendapat bahwa untuk menjamin
konstitusional hukum yang bersupremasi maka asas-asas hukum
seperti asas legalitas mutlak diperlukan. Mahkamah Konstitusi tidak
memiliki kewenangan untuk menerapakan fungsi pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang terhadap Undang-
Undang Dasar 1945 karena secara tegas menurut pasal 24 Undang-
Undang Dasar 1945, Mahkamah Konstitusi hanya bewenang untuk
melakukan constitutional Review suatu Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar 1945, bukan Perpu; dan
2. Sebagian para pakar hukum lainnya berpendapat bahwa Mahkamah
Konstitusi berwenang untuk melakukan pengujian Perpu terhadap
UUD 1945. Pembaharuan hukum sebagaimana layaknya dalam
konstitusional di negara Inggris yang menghadirkan yurisprudensi
juga mutlak diterapkan di Indonesia untuk menjamin sistem hukum
yang dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
Pendapat ini diduga menerapkan penafsiran analogi terhadap pasal
24 c ayat (1) UUD 1945 yang menyamakan substansi dan eksistensi
Undang-Undang dengan Perpu.
Menurut Penulis, pada dasarnya tidak ada yang salah dari dua
pendapat tersebut. Perbedaan pendapat para pakar hukum mutlak
diperlukan untuk mencapai suatu kesatuan hukum. Menjadi persoalan jika
perbedaan pendapat tersebut melahirkan kontradiktif baru yang dapat
merugikan kepentingan yang lebih besar yaitu kepentingan masyarakat.
Untuk itu, diperlukan adanya pengkajian yang lebih cermat dalam
memahami persoalan hukum.
13
Sebagai negara yang hidup dalam tatanan demokrasi, Undang-
Undang Dasar 1945 menekankan secara tegas bahwa Indonesia
merupakan negara hukum. Pernyataan ini secara implisit memberikan
pengertian bahwa segala bentuk sistem ketatanegaraan harus
bersandarkan pada hukum. Sebagaimana diketahui bahwa sistem hukum
memiliki sumber-sumber hukum yaitu :
1. Hukum Tertulis;
2. Kebiasaan;
3. Perjanjian;
4. Yurisprudensi;
5. Doktrin;
6. Asas-asas hukum;
7. Kesadaran hukum; dan
8. Kesepakatan para ahli hukum.
Berdasarkan sumber hukum tersebut, kiranya wajar jika suatu
kontradiksi berkembang mengarah kepada ketidak setujuan apabila
Mahkamah Konstitusi dapat menguji Perpu terhadap Undang-Undang
Dasar 1945. Asas legalitas tentu akan menjadi suatu acuan yang secara
tegas menghendaki adanya ketaatan terhadap hukum tertulis dan tidak
berlaku surut. Sebagai panglima hukum tertinggi jelas bahwa Undang-
Undang Dasar 1945 tidak boleh ditentang, disamping memang tidak ada
penjelasan (pengaturan) bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk
melakukan pengujian terhadap Perpu (Pasal 24 c ayat 1 UUD 1945).
Apabila ini dilanggar maka tentu preseden buruk yang timbul adalah
suatu bentuk kerancuan hukum atau ketidak pastian hukum. Bisa
disimpulkan bahwa sistem hukum tidak berwibawa karena pengaturan
sumber hukum tertinggi bisa disangkal oleh peraturan dibawahnya. Suatu
bentuk Konstitusi yang tidak rasional dan tidak konstiusional.
Namun, pandangan tersebut bukan tak terbantahkan. Sebagai
negara hukum, Indonesia juga mengedepankan asas hukum yang
menghendaki adanya penemuan hukum baru (modifikasi hukum) dalam
upaya menyempurnakan sistem hukum. Tanpa adanya penemuan hukum
(rechtsvinding/yurisprudensi) tentu sistem hukum tidak akan dapat
14
berjalan langgeng dan tidak dapat mengakomodasi secara penuh
kepentingan sebagian besar masyarakat. Hakikatnya, pembaharuan
diperlukan untuk memaksa hukum bertransformasi sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Sifat hukum yang abstrak, statis dan kaku tentu
menjadi resistensi bagi sifat pembaharuan hukum.
Tidak hanya itu saja, asas-asas hukum lainnya juga dapat dijadikan
pedoman bagi aparatur hukum dalam menentukan arah sistem hukum
Indonesia. Asas kemanfaatan, asas kepastian Hukum dan asas keadilan
merupakan suatu pedoman hukum yang harus diselaraskan. Tanpa asas
tersebut, jika dikaitkan dengan permasalahan, maka tidak berwenangnya
Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian terhadap Perpu atas
UUD 1945 dapat menjadi suatu kepincangan hukum, karena tidak semua
kehendak para pihak bisa tersalurkan. Konstitusi juga hanya akan menjadi
slogan, suatu “pendewaan” terhadap konsep hukum tertulis karena tidak
adanya ruang kritis demi penyempurnaan konstitusi itu sendiri.
Pada dasarnya, Perpu dibentuk dalam suatu keadaan mendesak
yang memenuhi unsur-unsur adanya suatu krisis dan hal mendesak yang
belum diatur dalam perundang-undangan yang ada. Dalam Pasal 22 ayat
(1) UUD 1945 disebutkan bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang
memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai
pengganti Undang-Undang. Jika mengacu pada rumusan ini maka jelaslah
bahwa sejatinya Perpu merupakan suatu peraturan pemerintah, namun
berfungsi sebagai Undang-Undang. Fungsi sebagai Undang-Undang baru
dapat dikatakan apabila Perpu telah mendapatkan persetujuan dari
legislatif (DPR) dalam kurun waktu satu kali sidang setelah Perpu
diterbitkan.
Suatu kontradiksi baru muncul. Di satu sisi, Perpu dapat dikatakan
sebagai suatu Undang-Undang jika telah mendapatkan persetujuan DPR
dalam kurun waktu satu kali sidang DPR, namun di sisi lain, Perpu tidak
bisa disejajarkan dengan Undang-Undang apabila Perpu ditolak oleh DPR.
Persoalan menjadi menarik apabila dikaitkan dengan fungsi Mahkamah
Konstitusi yang memiliki kewewenangan menjudicial review Undang-
15
Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Apakah Mahkamah
Konstitusi masih dapat menguji Perpu terhadap Undang-Undang Dasar
1945?
Tidak ada hukum yang abadi, selain Hukum Tuhan yang hanya ada
pada keyakinan masing-masing individu. pernyataan ini Penulis
sampaikan mengingat bahwa pada dasarnya sebagaimana pernyataan
Bapak Sacipto Rahardjo, hukum itu lahir untuk manusia, bukan
sebaliknya. Suatu konsep konstitusional yang matang dan dapat
mengakomodasi kepentingan masyarakat adalah suatu konsep yang tidak
hanya berlandaskan pada segi hukum tertulis (hukum adalah corong
undang-undang). Akan tetapi juga harus bersandarkan pada prinsip
hukum umum yang berlaku universal, asas-asas hukum, dan yang tak
kalah pentingnya adalah persoalan Hak Asasi Manusia. Perpu yang
merupakan hak preogratif Presiden selaku pemimpin eksekutif dapat
memberikan kecenderungan bentuk aristrokrasi baru pada suatu bangsa
yang berdemokrasi. Suatu konstitusi yang baik adalah konstitusi yang
pengaturannya berimbang yang memberi ruang perubahan (revisi) pada
konstitusi itu sendiri. Sehingga hukum pun dapat melekat kuat dan
dipatuhi masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, Mahkamah Konstitusi
berwenang untuk melakukan pengujian terhadap Perpu.
B. Mengapa Mahkamah Konstitusi perlu menguji Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) terhadap
Undang-Undang Dasar 1945.
Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum. Secara
eksplisit, pernyataan dalam UUD 1945 tersebut menekankan agar
segala sesuatu yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara harus
berdasarkan hukum. Hukum tidak hanya sekedar perangkat tertulis
yang mengatur perilaku masyarakat. Akan tetapi hukum harus
berorientasi pada nilai-nilai hidup yang berkembang di masyarakat
termasuk asas-asas hukum dan prinsip Hak Asasi Manusia.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi yang dapat menguji Perpu terhadap
Undang-Undang Dasar 1945 adalah sesuatu yang sangat diperlukan.
Hal tersebut adalah untuk menjamin dan menyelaraskan tujuan hukum
16
itu sendiri yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan rasa keadilan.
Diperlukannya pengujian Perpu terhadap UUD 1945 oleh Mahkamah
Konstitusi pada akhirnya adalah untuk menghindari terjadinya potensi
permasalahan sebagaimana berikut :
1. Menghindari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power);
Presiden selaku eksekutif tidak dapat serta merta dapat
menjalankan fungsi pemerintahan secara sewenang-wenang
(eigeenrechting). Pada dasarnya adanya Perpu tidak berarti
Presiden memiliki hak politik kenegaraan penuh mengingat Perpu
itu sendiri juga memerlukan persetujuan legislatif. Namun, dalam
penyelengggaraan pemerintahan, terkadang tidak semua perangkat
hukum dapat berjalan dengan baik. Fenomena tersebut dapat
dipengaruhi oleh kesalahan konseptor undang-undang, unsur politis,
atau bahkan adanya prakek mafia hukum yang mempertahankan
kepentingan pihak-pihak tertentu. Pada dasarnya, pihak legilatif,
eksekutif maupun yudikatif merupakan organ dalam suatu entitas
hukum yang tidak kebal hukum.
2. Menghindari kekakuan hukum; dan
Hukum yang tidak menyediakan ruang revisi justru akan
menghambat perkembangan hukum itu sendiri. Ketidak
berwenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Perpu dapat
membuat salah satu pihak bertindak sewenang-wenang.
3. Menghindari kerugian yang dapat berdampak luas pada
masyarakat.
Produk konstitusi yang baik adalah produk konstitusi yang
memenuhi unsur-unsur berikut, yaitu aparatur pembentuk konstitusi
yang professional, materi hukum yang berkualitas dan responsif
serta masyarakat yang taat dan patuh terhadap konstitusi tersebut.
Perpu yang diterbitkan dalam keadaan mendesak oleh eksekutif
tanpa persetujuan legislatif dapat menjadi komoditas politik untuk
memenuhi kepentingan pihak tertentu. Padahal Perpu adalah
17
produk konstitusi yang setara dengan Undang-Undang yang berarti
menjadi acuan masyarakat dalam bergerak dalam lalu lintas hukum.
Perpu yang dibuat dalam keadaan mendesak belum tentu mampu
menjawab dengan sempurna kebutuhan masyarakat, atau bahkan
malah merugikan masyarakat.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan Bab IV tentang Pembahasan, dapat disimpulkan
bahwa Mahkamah Konstitusi berhak dan berwenang untuk melakukan
pengujian Perpu terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Kesimpulan
tersebut dilatar belakangi oleh sudut perspektif dalam
menginterprestasikan hukum secara subyektif. Sebagai negara hukum,
sedianya tidak hanya bersandarkan pada konsep hukum tertulis
sebagaimana diketahui Mahkamah Konstitusi tidak berhak menguji
Perpu dengan alasan tidak ditemukan pengaturan dalam UUD 1945,
namun juga memperhatikan sumber hukum lainnya seperti asas-asas
hukum, prinsip Hak Asasi Manusia dan kepentingan sebagian besar
masyarakat. Dengan memperhatikan pluralisme sumber hukum
tersebut, suatu produk konstitusi dapat senantiasa bertahan sesuai
dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat.
Diperlukannya pengujian Perpu oleh Mahkamah Konstitusi pada
prinsipnya untuk menghindari hal-hal sebagai berikut :
1. Menghindari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power);
2. Menghindari kekakuan hukum; dan
3. Menghindari kerugian yang dapat berdampak luas pada
masyarakat.
18
B. SARAN
Penulis mengharapkan agar Penelitian hukum komperhensif yang
soluktif dan lebih sistematis dapat dilakukan oleh para professional
hukum dalam rangka untuk menjawab persoalan hukum di Indonesia
terutama yang berkaitan dengan kapasitas Mahakamah Konstitusi
dalam menjalankan fungsi uji materiil peraturan perundang-undangan
khususnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
DAFTAR PUSTAKA
Jimly Ashiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Rajawali Press, Jakarta,
2007, hlm 3.
Wikipedia Bahasa Indonesia yang berjudul “Mahkamah Konstitusi” yang
diunduh melalui media internet pada tanggal 06 Mei 2012.
Artikel Internet yang berjudul “Mengukur Konseptualitas Pengujian Perpu”
yang d iunduh melalui media internet pada tanggal 06 Mei 2012.
Makalah Tanpa Nama yang berjudul ‘Kedudukan Perpu Dalam Sistem
Perundang-Undangan di Indonesia” berformat Pdf yang diunduh
melalui media internet pada tanggal 06 Mei 2012.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.