pengaruh k2so4 dalam sintesis mcm-41
DESCRIPTION
Penelitian mengenai pengaruh durasi hidrotermal dan pengaruh penambahan K2SO4 dalam sintesis MCM-41TRANSCRIPT
SKRIPSI
PENGARUH DURASI HIDROTERMAL TERHADAP KRISTALINITAS DAN PENAMBAHAN K2SO4 TERHADAP KETEBALAN DINDING
PORI DALAM SINTESIS MCM-41
Indra Affandi Hasibuan 03/165254/PA/09302
JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
2009
SKRIPSI
PENGARUH DURASI HIDROTERMAL TERHADAP KRISTALINITAS DAN PENAMBAHAN K2SO4 TERHADAP KETEBALAN DINDING
PORI DALAM SINTESIS MCM-41
Indra Affandi Hasibuan 03/165254/PA/09302
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh
derajat Sarjana Sains Ilmu Kimia
Pembimbing:
Drs. Suyanta, M.Si.
Dr. Sutarno, M.Si.
JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
2009
ii
UNDERGRADUATE THESIS
EFFECTS OF HYDROTHERMAL DURATION TO THE CRYSTALLINITY AND ADDITION OF K2SO4 TO THE PORE
WALL THICKNESS ON THE SYNTHESIS OF MCM-41
Indra Affandi Hasibuan 03/165254/PA/09302
Submitted to fulfill one of the requirements to obtain
the degree of Sarjana Sains in Chemistry
Supervisors:
Drs. Suyanta, M.Si.
Dr. Sutarno, M.Si.
JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
2009
iii
HALAMAN PENGESAHAN
PENGARUH DURASI HIDROTHERMAL TERHADAP KRISTALINITAS
DAN PENAMBAHAN K2SO4 TERHADAP KETEBALAN DINDING PORI DALAM SINTESIS MCM-41
Indra Affandi Hasibuan 03/165254/PA/09302
Dinyatakan lulus ujian skripsi dalam Ujian Skripsi pada tanggal 20 April 2009
DEWAN PENGUJI
Drs. Suyanta, M.Si. Ketua/Pembimbing I
Prof. Dr. Karna Wijaya, M.Eng Anggota
Dr. Sutarno, M.Si. Anggota/Pembimbing II
Drs. Priatmoko, MS Anggota
iv
PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayahNya sehingga skripsi berjudul “Pengaruh
Durasi Hidrothermal Terhadap Kristalinitas dan Penambahan K2SO4 Terhadap
Ketebalan Dinding Pori Dalam Sintesis MCM-41” dapat diselesaikan dengan baik.
Shalawat beserta salam kepada Nabi SAW beserta keluarga, sahabat dan umatnya
hingga akhir zaman.
Terselesaikannya penelitian hingga penulisan skripsi ini tidak lepas dari
pihak–pihak lain yang telah memberikan bimbingan, bantuan, motivasi kepada
penulis. Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam–dalamnya kepada:
1. Bapak Drs. Suyanta, M.Si sebagai dosen pembimbing I yang telah
membimbing penulis dan memberikan dukungan serta arahan dalam
pelaksanaan dan penulisan skripsi.
2. Bapak Dr. Sutarno, M.Si sebagai dosen pembimbing II yang telah
membimbing penulis dan memberikan saran yang membantu dalam
penulisan skripsi.
3. Kedua orang tua, Bapak Saparuddin dan Ibu Nurbi untuk pengorbanan
yang begitu besar dalam mendidik anak–anaknya dengan penuh cinta,
kesabaran dan kasih sayang serta kedua adikku tersayang, Mahran dan Ijal
untuk doa dan dukungan yang diberikan. Semoga Allah SWT selalu
v
melindungi kita untuk berada dalam jalanNya yang lurus dan kelak
dipertemukan dalam surgaNya.
4. Seluruh dosen, staf karyawan/wati dan laboran jurusan KIMIA FMIPA
UGM khususnya Laboratorium Kimia Anorganik yang telah membantu
dalam penelitian.
5. Roni, Anton, Sugiati, Fadhie, Yudi, Yayan, Heri, Yufan, Intan, Niken,
terima kasih atas kerja sama, diskusi, saran, dan motivasi yang diberikan.
6. Teman–teman kontrakan Pakuningratan, kontrakan Karanggayam, Kosan
42, teman-teman Kimia 2003 dan semua pihak yang tidak dapat
disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan kepada penulis
baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini mungkin masih terdapat kekurangan dan
kelemahan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan demi
penyempurnaan. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua
terutama untuk para peneliti selanjutnya.
Jogjakarta, April 2009
Penulis
vi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL iHALAMAN PENGESAHAN ivPRAKATA vDAFTAR ISI viiDAFTAR GAMBAR ixDAFTAR TABEL xDAFTAR LAMPIRAN xiINTISARI xiiABSTRACT xiiiBAB I PENDAHULUAN 1 I.1 Latar Belakang 1 I.2 Tujuan Penelitian 4 I.3 Manfaat Penelitian 5BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 II.1 Material Mesopori MCM-41 (Mobil Composition of Matter) 6 II.1.1 Sintesis Material Mesopori MCM-41 7 II.1.2 Mekanisme Pembentukan Material Mesopori
MCM-41 12
II.2 Efek Penambahan Garam dalam Sintesis MCM-41 15 II.3 Karakterisasi Material Mesopori MCM-41 17 II.3.1 Spektrofotometri Inframerah 17 II.3.2 Difraksi SinarX 18 II.3.3 Adsorpsi-Desorpsi Isoterm Gas Nitrogen 19BAB III LANDASAN TEORITIK, HIPOTESIS, DAN RANCANG-
AN PENELITIAN 21
III.1 Landasan Teoritik 21 III.2 Hipotesis 24 III.3 Rancangan Penelitian 24BAB IV METODE PENELITIAN 25 IV.1 Bahan 25 IV.2 Alat 25 IV.3 Prosedur Penelitian 26
vii
IV.3.1 Pengaruh Durasi Hidrotermal pada Sintesis MCM-41
26
IV.3.2 Pengaruh Penambahan Garam pada Sintesis MCM-41
26
IV.3.3 Karakterisasi MCM-41 Menggunakan Difraktometer Sinar-X
27
IV.3.4 Karakterisasi Padatan Menggunakan Spektrofotometer Inframerah
27
IV.3.5 Karakterisasi Pori dengan Menggunakan Gas Sorption Analyzer
28
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 29 V.1 Pengaruh Durasi Hidrotermal pada Sintesis
MCM-41 29
V.2 Pengaruh Penambahan K2SO4 dalam Sintesis MCM-41 34 V.3 Pengaruh Kalsinasi Terhadap Pola Spektra Inframerah
MCM-41 38
V.4 Karakterisasi Pori MCM-41 41BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 47 VI.1 Kesimpulan 47 VI.2 Saran 47DAFTAR PUSTAKA 48LAMPIRAN 52
viii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar II.1 Pembentukan dan Pembesaran Surfaktan 9Gambar II.2 Pengelompokan Material Mesopori 11Gambar II.3 Deret Fase dalam Sistem Biner Air-Surfaktan 11Gambar II.4 Mekanisme Sintesis Mesofase Heksagonal Liquid Crystal
Template 13
Gambar II.5 Mekanisme Pembentukan MCM-41 14Gambar II.6 Efek Anion, X- dari Garam MX dalam post-sintesis MCM-
41 16
Gambar II.7 Difraksi Sinar-X oleh Kisi Kristal 18Gambar V.1 Hasil Difraksi Sinar-X MCM-41 dengan Variasi Durasi
Hidrotermal 30
Gambar V.2 Hasil Difraksi Sinar-X MCM-41 Hasil Sintesis Penambahan K2SO4 dengan Variasi Jumlah Mol
35
Gambar V.3 Spektra Inframerah MCM-41 Tanpa Garam 39Gambar V.4 Spektra Inframerah MCM-41 dengan Penambahan Garam 40Gambar V.5 Adsorpsi-Desorpsi Isotermis Nitrogen MCM-41 42Gambar V.6 Distribusi Ukuran Pori MCM-41 45
ix
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel II.1 Panjang Rantai Karbon dan Ukuran Pori 9Tabel V.1 Data Struktural Padatan MCM-41 Hasil Sintesis pada
Berbagai Variasi Durasi Hidrotermal 31
Tabel V.2 Data Struktural Padatan MCM-41 Hasil Sintesis dengan Variasi Penambahan K2SO4
36
Tabel V.3 Karakter Permukaan dan Pori Padatan 44
x
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Perhitungan Indeks Bidang dan Parameter Kisi (ao)
52
Lampiran 2 Perhitungan Parameter Mesopori 54Lampiran 3 Penentuan Distribusi Pori 55Lampiran 4 Data difraktogram MCM-41 durasi 4 jam 56Lampiran 5 Data difraktogram MCM-41 durasi 8 jam 60Lampiran 6 Data difraktogram MCM-41 durasi 12 jam 64Lampiran 7 Data difraktogram MCM-41 durasi 24 jam 68Lampiran 8 Data difraktogram MCM-41 durasi 36 jam 72Lampiran 9 Data difraktogram MCM-41 durasi 48 jam 76Lampiran 10 Data difraktogram MCM-41 durasi 72 jam 80Lampiran 11 Data difraktogram MCM-41 penambahan garam 0,5 mol 84Lampiran 12 Data difraktogram MCM-41 penambahan garam 1 mol 88Lampiran 13 Data difraktogram MCM-41 penambahan garam 1,5 mol 91Lampiran 14 Data difraktogram MCM-41 penambahan garam 2 mol 95Lampiran 15 Data difraktogram MCM-41 penambahan garam 4 mol 99Lampiran 16 Spektra FTIR MCM-41 tanpa garam, sebelum dan
sesudah kalsinasi 103
Lampiran 17 Spektra FTIR MCM-41 dengan garam, sebelum dan sesudah kalsinasi
106
Lampiran 18 Data analisis luas permukaan dan porositas MCM-41 tanpa garam
109
Lampiran 19 Data analisis luas permukaan dan porositas MCM-41 dengan garam
119
xi
PENGARUH DURASI HIDROTHERMAL TERHADAP KRISTALINITAS DAN PENAMBAHAN K2SO4 TERHADAP KETEBALAN DINDING
PORI DALAM SINTESIS MCM-41
Indra Affandi Hasibuan 03/165254/PA/9302
INTISARI
Telah dilakukan penelitian mengenai pengaruh durasi hidrotermal dan pengaruh penambahan K2SO4 dalam sintesis MCM-41. Pengaruh durasi hidrotermal dilakukan dengan melakukan sintesis MCM-41 dengan durasi 4jam; 8jam; 12jam; 16jam; 24 jam; 36 jam; 48 jam dan 72 jam. Pengaruh penambahan garam K2SO4 dilakukan dengan menambahkan garam sebanyak 0,5 mol; 1 mol; 1,5 mol; 2 mol dan 4 mol selama proses hidrotermal. Material MCM-41 yang dihasilkan dikalsinasi dan dikarakterisasi dengan menggunakan metoda difraksi sinar-X, spektroskopi inframerah dan adsorpsi isotermis nitrogen. Pada pengaruh durasi hidrotermal, MCM-41 yang memiliki kristalinitas tertinggi dihasilkan pada durasi hidrotermal selama 36 jam. Durasi 36 jam ini, digunakan untuk menentukan lamanya proses hidrotermal dalam mengkaji penambahan K2SO4. Penambahan K2SO4 pada berbagai variasi mol menurunkan kristalinitas MCM-41 bila dibandingkan dengan MCM-41 tanpa penambahan K2SO4. MCM-41 tanpa penambahan garam memiliki diameter pori 3,714 nm dan ketebalan dinding pori 1,176 nm sedangkan MCM-41 dengan penambahan garam memiliki diameter pori 3,356 nm dan ketebalan dinding pori 0,83 nm.
xii
xiii
EFFECTS OF HYDROTHERMAL DURATION TO THE CRYSTALLINITY AND ADDITION OF K2SO4 TO THE
PORE WALL THICKNESS ON THE SYNTHESIS OF MCM-41
Indra Affandi Hasibuan 03/165254/PA/9302
ABSTRACT
Effects of hydrothermal durations and of K2SO4 additions on crystallinity of synthesized MCM-41 have been investigated. They are observed by realizing MCM-41 synthesis in different durations: 4 hours; 8 hours; 12 hours; 24 hours; 36 hours; 48 hours and 72 hours. Effects of K2SO4 salt addition are researched by adding the salt of various amounts, i.e. 0,5 mol; 1 mol; 1,5 mol; 2 mol and 4 mol in the hydrothermal synthesis processes. The MCM-41 produced is then calcinated and characterized using X-ray diffraction, infrared spectroscopy and nitrogen adsorption isotherm methods. The highest crystallinity of MCM-41 on hydrothermal duration is yielded at 36 hours. The 36 hours is used as hydrothermal duration in the addition of K2SO4. All MCM-41 with the addition of salt have lower crystallinity than MCM-41 without salt addition. MCM-41 without salt has pore diameter 3,714 nm and pore wall thickness 1,176 nm. MCM-41 with addition of salt has pore diameter 3,356 nm and pore wall thickness 0,83 nm.
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Dewasa ini, perkembangan ilmu material berkembang pesat guna memenuhi
tuntutan kebutuhan manusia khususnya dunia industri. Ilmu dan teknologi yang
dikembangkan mampu meningkatkan sifat maupun kemampuan material dengan
cara memanfaatkan materi yang sudah ada ataupun membuat suatu material yang
baru. Hal tersebut dikarenakan penggunaan material saat ini yang cenderung
khusus pada aplikasi tertentu dan memiliki banyak fungsi. Misalnya material
dengan luas permukaan yang tinggi digunakan sebagai adsorben, insulator termal
ataupun katalis (Schubert dan Husing, 2000).
Material berpori didefinisikan sebagai padatan yang mengandung pori. Pada
umumnya material berpori mempunyai porositas 2–95 %. Material berpori telah
menjadi fokus penelitian pada saat ini dan menghasilkan banyak material bepori
yang baru maupun yang dikembangkan dengan sifat serta kemampuan yang lebih
baik sehingga kegunaannya bertambah luas selain sebagai absorben atau katalis.
Penggunaan dalam bidang lainnya telah memberikan kontribusi yang cukup
penting seperti pada mikroelektronik dan diagnosa medis (Davis, 2002)
Material berpori dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran pori, bentuk pori,
material dan metode produksinya. IUPAC (International Union of Pure and
Applied Chemistry) mengklasifikasikan material berpori (Ishizaki et al., 1998)
berdasarkan ukuran pori yakni mikropori yang memiliki diameter pori lebih kecil
1
2
dari 2 nm, mesopori memiliki diameter pori antara 2 dan 50 nm, makropori
memiliki diameter pori lebih besar dari 50 nm. Salah satu contoh material
mikropori adalah zeolit yang telah banyak dimanfaatkan sebagai adsorben,
penukar ion maupun penyaring molekul.
Nama zeolit berasal dari bahasa Yunani yaitu zeo dan lithos yang berarti batu
mendidih karena apabila zeolit dipanaskan akan menghasilkan buih. Zeolit
ditemukan pada tahun 1756 oleh A.E.Cronsted (Xu et al., 2007). Zeolit memiliki
luas permukaan yang besar dan memiliki stabilitas termal yang tinggi sehingga
dapat berperan sebagai katalis. Pada saat ini zeolit menjadi material yang sangat
penting sebagai absorben dan katalis dalam industri perminyakan. Dalam proses
katalisis yang menggunakan zeolit hanya terbatas pada molekul–molekul
berukuran kecil dikarenakan ukuran porinya yang kecil. Dalam
perkembangannya, dunia industri membutuhkan material berpori dengan ukuran
pori yang lebih besar dari ukuran mikropori zeolit serta memiliki keseragaman
dalam bentuk dan ukuran porinya. Para peneliti telah banyak berusaha untuk
mengatasi hal tersebut dan pada tahun 1990, Yanagisawa et al. berhasil
memperbesar ukuran pori dari suatu material mikropori menjadi mesopori dengan
menggunakan molekul organik yang diinterkalasikan pada lempung.
Pada tahun 1992, terobosan penting dicapai para peneliti dari Mobil Oil
Corporation dalam mensintesis material berpori dengan geometri yang baik.
Mereka mengembangkan konsep yang telah ada dalam mensintesis anggota baru
penyaring molekul yang disebut M41S (Kresge et al., 1992; Beck et al., 1992).
MCM-41 (Mobil Composition of Matter Number 41) merupakan salah satu
3
anggota dari M41S yang memiliki penataan pori berbentuk heksagonal yang
seragam. Ukuran porinya dapat diatur melalui penggunaan surfaktan dengan
panjang rantai alkil yang berbeda atau dengan menambahkan senyawa organik
tambahan seperti alkil benzena contohnya 1,3,5-trimetilbenzena (Vartuli et al.,
1998 dalam Selvam et al., 2001). MCM-41 dapat disintesis dengan ukuran pori 15
Å hingga lebih besar dari 100 Å yang dapat menghasilkan luas permukaan dan
volume pori yang besar.
MCM-41 dapat disintesis melalui reaksi hidrotermal pada temperatur 70-150
°C dengan membuat larutan yang komponen utama berupa senyawa organik
(surfaktan), sumber silika dan atau alumina, dan pelarut. Senyawa organik
(surfaktan) yang digunakan memiliki rantai karbon yang panjang (n>8) dan
berperan sebagai pengarah stuktur. Selain itu faktor pH, temperatur, lamanya
reaksi juga berpengaruh dalam sintesis MCM-41 (Huo et al., 1994a; Monnier et
al., 1993; Tanev et al., 1994 dalam Zhao et al., 1996).
Pemahaman mengenai sintesis dan mekanisme pembentukan MCM-41 sangat
diperlukan mengingat kegunaanya yang sangat luas. Dalam industri pelumas,
kegunaan dari material ini dalam proses katalitik telah menjadi paten di Amerika
Serikat yakni MCM-41 yang diimpregnasikan dengan logam Cr memiliki
aktivitas katalitik yang baik pada oligomerisasi olefin untuk menghasilkan zat
aditif pelumas ( Pelrine et al., 1992 dalam Zhao et al., 1996). Aplikasi dalam
bidang kimia organik yakni sebagai katalis dalam proses oksidasi antrasena untuk
menghasilkan 9,10-antraquinon (Araujo et al., 2007).
4
MCM-41 memiliki stabilitas termal dan stabilitas hidrotermal uap air yang
tinggi, akan tetapi stabilitas termal di dalam air rendah. Kim dan Ryoo (1996)
melaporkan bahwa struktur Si-MCM-41 stabil terhadap uap air pada temperatur
770 K sedangkan pemanasan di dalam air menyebabkan kerusakan struktur
mesoporinya. Banyak metode yang dikembangkan untuk meningkatkan stabilitas
hidrotermal di dalam air, diantaranya optimasi durasi hidrotermal dan dengan
penambahan garam. Ryoo dan Jun (1997) melakukan penambahan berbagai
garam dengan konsentrasi bervariasi selama proses kristalisasi untuk
meningkatkan stabilitas hidrotermal MCM-41 hasil sintesis.
Pada penelitian ini akan dikaji pengaruh durasi hidrothermal terhadap
kristalinitas dan penambahan K2SO4 terhadap tebal pori dalam sintesis MCM-41.
I.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan sebagai berikut :
1. Mengkaji pengaruh durasi hidrotermal terhadap kristalinitas MCM-41
yang dihasilkan sehingga didapatkan durasi hidrotermal yang optimum
untuk mensintesis MCM-41.
2. Mengkaji pengaruh penambahan garam K2SO4 terhadap kristalinitas
MCM-41.
3. Mengkaji pengaruh penambahan K2SO4 terhadap jari–jari pori dan
ketebalan dinding pori MCM-41 yang dihasilkan.
5
I.3 Manfaat Penelitian
Keberhasilan penelitian ini diharapkan dapat memperluas khasanah ilmu
pengetahuan serta memberikan tambahan informasi mengenai kondisi sintesis
material mesopori MCM-41 dan pengaruh garam dalam proses sintesis. Selain itu,
penelitian ini diharapkan memberikan pemahaman mengenai sintesis MCM-41.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Material Mesopori MCM-41 ( Mobil Composition of Matter )
Kresge et al. (1992) dan Beck et al. (1992) melaporkan penemuan kelompok
material M41S yang merupakan material mesopori yang memiliki volume pori,
luas permukaan, dan keteraturan yang tinggi. Penemuan kelompok material M41S
oleh para peneliti Mobil Oil Corporation dilatarbelakangi oleh kebutuhan industri
khususnya industri perminyakan yang membutuhkan material dengan ukuran pori
lebih besar daripada mikropori. Material mikropori seperti zeolit tidak cukup
efektif dalam proses katalitik yang melibatkan ukuran molekul–molekul yang
besar.
Kelompok material M41S dibagi menjadi 3, yakni: MCM-48 yang berdimensi
tiga dengan struktur pori kubus, MCM-41 berdimensi satu dengan struktur pori
heksagonal dan MCM-50 dengan struktur lamelar yang tidak stabil (Oye et al.,
2001). Salah satu dari kelompok material M41S yang menarik perhatian dan
paling banyak diteliti adalah MCM-41. Material mesopori MCM-41 adalah
material heksagonal yang mempunyai penataan mesopori yang teratur dengan
diameter yang seragam. MCM-41 sering digunakan sebagai katalis dan
pendukung katalis. Rentang diameter pori dari MCM-41 yang cukup luas dapat
dimasuki dengan mudah oleh molekul–molekul yang besar sehingga terjadi
peningkatan efesiensi dalam proses katalitik. Sutarno (2005) melaporkan
penggunaan MCM-41 sebagai katalis dalam hidroengkah fraksi berat minyak
6
7
bumi. Selain itu Araujo et al. (2007) melaporkan penggunaan Al-MCM-41 dan
Ti-MCM-41 sebagai katalis dalam oksidasi antrasena. Penggunaan MCM-41
sebagai pengemban katalis dalam sintesis katalis basa Ba-MCM-41 telah
dilakukan oleh Li et al. (2003).
Karakteristik dari MCM-41 adalah memiliki stabilitas termal yang tinggi, luas
permukaan yang besar, distribusi pori yang cukup homogen dan diameter porinya
pada rentang 15-100 Å bergantung pada prosedur sintesis. Stabilitas termal dari
MCM-41 telah dilaporkan oleh beberapa peneliti di antaranya Si-MCM-41 dapat
dipanaskan hingga 1123 K dan struktur MCM-41 tidak berubah secara signifikan
dengan pemanasan hingga 1170 K pada aliran udara dan oksigen dengan tekanan
uap air 2,3 kPa (Kim dan Ryoo, 1996). Adanya logam aluminium pada rangka Al-
Si-MCM-41 dapat mengurangi stabilitas termal dari MCM-41.
Hal yang sangat penting dalam sintesis MCM-41 adalah peranan dari cetakan
pori (template) sebagai pengarah struktur. Cetakan pori ini berupa surfaktan yang
memiliki bagian hidrofobik yang panjang dengan rumus molekul
CnH2n+1(CH3)3N+ dimana n>8 dan bagian hidrofilik. Semakin panjang rantai
karbon surfaktan maka pori MCM-41 semakin besar. Besarnya konsentrasi
surfaktan dapat mempengaruhi struktur pori yang terbentuk.
II.1.1 Sintesis Material Mesopori MCM-41
Banyak metode yang telah diajukan dan berhasil dalam pembentukan struktur
pori berukuran nanometer. Sintesis material mesopori hampir sama dengan
sintesis mikropori yakni dengan proses hidrotermal. Campuran dari surfaktan,
8
silika dan atau silika-alumina dipanaskan pada temperatur 70 – 150°C dengan
waktu tertentu hingga membentuk jel. MCM-41 dapat pula disintesis pada
temperatur kamar melalui proses sol-gel. Produk yang dihasilkan dengan
pemanasan dan dengan temperatur kamar memiliki katarekteristik yang sama.
Akan tetapi sintesis yang dilakukan dengan menggunakan metode hidrotermal
telah terbukti dapat menghasilkan material padatan dengan kristalinitas yang lebih
tinggi baik dalam sintesis bahan mesopori maupun mikropori seperti zeolit
(Reding et al., 2003 dalam Sugiati, 2009). Hal tersebut dikarenakan proses
kristalisasi yang dapat berlangsung lebih sempurna akibat adanya pemanasan pada
temperatur yang cukup tinggi dalam ruang yang tertutup. Sistem tertutup tersebut
menyebabkan komposisi campuran dalam sistem tetap terjaga dan tidak ada yang
hilang karena adanya penguapan.
Produk yang dihasilkan dari proses kristalisasi kemudian disaring serta dicuci
dengan air bebas ion dan dikeringkan selama 24 jam pada temperatur 80°C.
Selanjutnya dilakukan kalsinasi dengan aliran gas N2 atau udara atau dapat juga
dengan ekstraksi menggunakan pelarut untuk menghilangkan surfkatan sehingga
diperoleh mesopori silika dan atau silika-alumina. Penghilangan surfaktan dengan
metode kalsinasi lebih baik dibandingkan dengan metode ekstraksi karena
surfaktan dapat dihilangkan hingga mencapai 99% pada temperatur 412°C selama
satu jam (Souza et al., 2004).
Diameter pori dari MCM-41 yang berada pada rentang 15-100 Å dapat diatur
dengan menggunakan 3 metode, sebagai berikut:
9
(i) dengan memperpanjang rantai gugus alkil dari 8 hingga 22 atom karbon (Beck,
et al., 1992). Memperpanjang rantai gugus alkil menyebabkan peningkatan ukuran
pori seperti tercantum dalam tabel II.I.
Tabel II.1 Panjang rantai karbon dan ukuran pori
Panjang rantai surfaktan, CnH2n+1(CH3)3N+
Ukuran pori a0 (Å)
n = 8 18 n = 9 21 n = 10 22 n = 12 22 n = 14 30 n = 16 37
(ii) dengan menambahkan senyawa organik (auxilary organics) seperti alkil
benzena yang ditunjukkan pada gambar II.2. Contohnya Mesitilena atau 1,3,5-
trimetilbenzena yang melarut di dalam bagian hidrofobik misel sehingga ukuran
misel membesar dan akibatnya terjadi peningkatan ukuran pori.
Gambar II.1 Pembentukan dan Pembesaran surfaktan ( Vartuli et al. 1998 dalam Selvam et al. 2001 )
(iii) dengan mengatur kondisi pemeraman ( seperti temperatur dan waktu ). Zhao
et al. 1996 menyatakan bahwa ukuran pori MCM-41 juga bergantung pada faktor
lainnya seperti temperatur, pH dan waktu pengkristalan.
10
Sintesis MCM-41 dapat disintesis dalam medium air dengan kondisi alkali
sebagaimana yang telah dilaporkan oleh Kresge et al. (1992) dan Beck et al.
(1992). Semenjak itu banyak paten dan publikasi dihasilkan oleh para peneliti.
Huo et al. (1994) dalam Zhao et al. (1996) menyatakan bahwa sintesis MCM-41
dapat dilakukan pada kondisi asam sedangkan Taney dan Pinnavaia (1995) dalam
Mantri (2001) mengajukan mekanisme sintesis menggunakan cetakan yang netral.
Material mesopori yang dihasilkan melalui menggunakan cetakan yang netral
dinamakan Hexagonal Mesoporous Silica (HMS). Si-MCM-41 merupakan
material mesopori yang netral sehingga para peneliti memodifikasi struktur atau
rangka silika dengan penambahan logam aluminium atau logam lainnya melalui
metode sintesis secara langsung, pertukaran ion, impregnasi ataupun grafting.
Menurut Zhao et al. (1996) surfaktan yang digunakan dalam sintesis silikat
atau aluminosilikat mesopori memegang peranan yang sangat penting sebagai
senyawa pengarah struktur. Oleh karena itu, pengetahuan terhadap kimiawi
surfaktan merupakan prasyarat utama dalam memahami sintesis dan mekanisme
dalam pembentukan MCM-41 dari prekursor–prekursornya. Berdasarkan
perbedaan rasio molar surfaktan dengan silika, Selvam et al. (2001)
mengklasifikasikan struktur produk yang dihasilkan menjadi empat kategori, yang
ditunjukkan pada gambar II.2. Pada Sur/Si<1 dihasilkan fase heksagonal, MCM-
41; pada Sur/Si=1-1,5 dihasilkan fase kubus, MCM-48; pada Sur/Si=1,2-2
dihasilkan material yang tidak stabil; pada Sur/Si=2 dihasilkan fase kubus
oktamer, [(CTMA)SiO2.5]8.
11
Dalam suatu sistem biner (air-surfaktan), surfaktan dapat membentuk struktur
tertentu bergantung pada konsentrasinya. Menurut Beck et al. (1992) surfkatan
berperan sebagai senyawa pengarah struktur dalam bentuk misel bukan dalam
bentuk molekul tunggal. Gambar II.3 menunjukkan adanya perubahan fase
surfaktan seiring bertambahnya konsentrasi surfaktan.
12
Pada konsetrasi yang rendah, surfaktan dalam bentuk tunggal (monomolekul)
seiring peningkatan konsentrasi maka molekul–molekul surfaktan beragregat
membentuk misel yang menurunkan entropi (ketidakteraturan) sistem.
Konsentrasi dimana misel mulai terbentuk disebut konsentrasi kritis misel yang
menurut Myers (1992) dalam Zhao et al. (1996) dipengaruhi oleh sifat surfaktan
(seperti panjang rantai karbon, gugus pada bagian hidrofilik, dan ion
penyeimbang) serta keadaan sistem (seperti pH, temperatur, kekuatan ionik dan
adanya zat aditif).
II.1.2 Mekanisme Pembentukan Material Mesopori MCM-41
Banyak literatur yang mengajukan mekanisme pembentukan material
mesopori MCM-41. Liquid Crystal Templating (LCT) atau pembentukan kristal
cair diajukan oleh para peneliti Mobil Oil Corporation. Pembentukan material
mesopori diawali dengan pembentukan misel silindris surfaktan, yang kemudian
membentuk kristal cair dengan fase heksagonal. Lalu silikat menyelimuti kristal
cair fase heksagonal yang terbentuk sehingga kristal cair pada mekanisme ini
lebih berperan sebagai cetakan pori. Proses ini disebut proses 1.
Berdasarkan penelitian Chen et al. (1993) dalam Mantri (2001) bahwa
pembentukan diawali dengan pembentukan misel silindris surfaktan yang
kemudian terjadi interaksi dengan silikat dimana silikat menyelimuti misel
silindris yang terbentuk. Misel-misel silindris yang diselimuti oleh silikat saling
berinteraksi. Interaksi antara misel–misel silindris adalah interaksi Coulomb dan
interaksi ini cukup kuat. Misel–misel secara spontan membentuk fase heksagonal.
13
Proses ini disebut proses 2 dan lebih disukai dibandingkan proses 1 karena terjadi
penurunan energi ikat heksagonal lebih menguntungkan. Gambar II.4
menunjukkan proses 1 dan 2.
Gambar II.4 Mekanisme sintesis mesofase heksagonal Liquid Crystal Template (Beck et al.,1992)
Mekanisme pembentukan fase heksagonal lainnya ada tiga yang ditunjukkan
pada gambar II.5. Pertama, melalui pembentukan misel silindris surfaktan seperti
mekanisme Beck et al. (1992), tetapi setelah diselubungi oleh silikat terbentuk
MCM-41 yang tidak teratur kemudian terjadi penataan ulang batang silindris
silikat menjadi MCM-41 yang teratur. Mekanisme ini diajukan oleh Davis dan
Burkett (1995) dalam Hartanto (2002) yang ditunjukkan dengan dengan
diperolehnya material mesopori dengan kristalinitas yang rendah dan hanya
muncul dua bidang kristal (100) dan (200) berdasarkan data difraksi sinar-X.
Kedua, melalui zat antara silikat dua lapisan. Pada mekanisme ini akan dihasilkan
MCM-41 yang memiliki bidang kristal (300) yang mengindikasikan adanya fase
lamellar. Ketiga, melalui zat antara fase lamellar yang diajukan oleh Yanagisawa
14
et al. (1990) dan Inagaki et al. (1993) dalam Zhao et al. (1996) dengan sumber
silikat dari kanemit. Mereka berhasil mensintesis FSM-16 (Folded Sheet
Materials). Akan tetapi material yang dihasilkan tidak memiliki keteraturan
sebaik MCM-41. Dari mekanisme-mekanisme pembentukan material mesopori
yang telah dijelaskan tampak bahwa pembentukan material mesopori MCM-41
melalui pembentukan Liquid Crystal Template (LCT) pada proses kedua.
Mekanisme LCT dengan jelas menggambarkan bagaimana MCM-41 terbentuk
dengan keteraturan yang sangat baik.
.
Gambar II.5 Mekanisme pembentukan MCM-41:(1) Pembntukan MCM-41 yang tidak teratur, (2) transformasi dari fase lamelar ke fase heksagonal, pembentukan silikat dua lapisan ( Vartuli et al., 1998 dalam Selvam et al., 2001)
15
II.2 Efek Penambahan Garam dalam Sintesis MCM-41
Penambahan garam ke dalam sintesis MCM-41 telah banyak dilakukan oleh
peneliti. Penambahan garam selama proses kristalisasi telah dilakukan oleh
beberapa peneliti. Ryoo dan Jun (1997) menambahkan garam NaCl, KCl,
CH3COONa dan Na4EDTA ke dalam sintesis MCM-41. Penambahan natrium
asetat menghasilkan MCM-41 yang memiliki stabilitas hidrotermal yang baik.
MCM-41 yang dihasilkan masih dapat mempertahankan strukturnya setelah
direfluks selama 12 jam di dalam air panas. Penelitian Das et al. (1999) juga
menambahkan garam yakni NaBr dalam sintesis MCM-41 meningkatkan
stabilitas hidrotermal. MCM-41 tersebut dapat mempertahankan strukturnya
setelah dipanaskan dalam air pada temperatur 373 K selama 4 hari. MCM-41 ini
dihasilkan dengan menambahkan tetraalkilammonium (TAA+) dan NaBr.
Penelitian–penelitian yang disebutkan di atas lebih menekankan pada efek garam
terhadap stabilitas hidrotermal.
Penambahan garam NaCl atau NH4Cl oleh Yu et al. (2001) dalam sintesis
MCM-41 menghasilkan MCM-41 yang dapat dipanaskan selama 120 jam dan
masih dapat mempertahankan strukturnya. Penelitian ini membahas efek garam
NaCl terhadap MCM-41 dan distribusi pori dari MCM-41. Penambahan garam
pada konsentrasi tertentu menghasilkan MCM-41 dengan keteraturan yang baik.
Semakin tinggi konsentrasi dari garam maka struktur dari MCM-41 berubah
menjadi heksagonal dengan keteraturan yang rendah. Penambahan garam NaCl
memberikan tiga efek. Yang pertama, meningkatnya derajat polimerisasi silikat
sehingga mengurangi distorsi sudut ikatan Si-O-Si dalam kalsinasi dan
16
meningkatkan stabilitas hidrotermal dari material. Yang kedua ialah efek
penutupan atau screening oleh anion pada bagian kepala surfaktan kationik yang
menyebabkan penurunan nilai ao (parameter kisi). Efek ini dapat terjadi pada
konsentrasi garam tertentu. Bila efek ini terjadi maka efek yang pertama tidak
signifikan. Adanya efek ini menyebabkan perubahan dari bentuk mesofase dari
tak beraturan (amorf) menjadi heksagonal. Yang ketiga, meningkatnya
ketidakteraturan struktur mesofase karena konsentrasi garam dan kekuatan ion.
Lin dan Mou (2002) meneliti efek penambahan garam dalam proses post-
sintesis MCM-41. Penambahan garam LiCl, NaCl, KCl, (CH3)4Cl dilakukan
setelah proses sintesis dilakukan. Penelitiannya menyatakan bahwa dinding pori
dipengaruhi kondensasi dari silikat–silikat. Semakin banyak kondensasi maka
ketebalan dinding pori meningkat. Adanya garam dapat meningkatkan ketebalan
dinding pori MCM-41 karena adanya silikat–silikat bebas (tidak berikatan dengan
surfaktan) yang berkondensasi pada dinding pori. Timbulnya silikat yang bebas
karena anion dari garam berikatan dengan surfaktan. Jadi ada suatu kompetisi
antara silikat dan anion dari garam Gambar II.6 menyatakan efek garam dalam
post-sintesis MCM-41.
Gambar II.6. Efek anion, X- dari garam, MX dalam post-sintesis MCM-41
( Lin dan Mou, 2002)
17
II.3 Karakterisasi Material Mesopori MCM-41
II.3.1 Spektrofotometri Inframerah
Spektrofotometri inframerah digunakan untuk menentukan gugus-gugus
fungsional yang ada pada suatu senyawa. Di samping itu spektra infra merah
dapat memberikan informasi yang sangat karakteristik untuk setiap senyawa
dikarenakan setiap senyawa mempunyai frekuensi yang spesifik dari vibrasi dan
rotasi internal gugus-gugus atau atom penyusunnya.
Spektrofotometri inframerah dapat memberikan informasi tentang keasaman,
keberadaan gugus hidroksi paa permukaan dan substitusi isomorfis pada material
mesoporiI ( Mantri, 2001). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Holmes et
al. (1998) regangan-regangan yang dihasilkan oleh gugus-gugus penyusun
material mesopori MCM-41 pada berbagai macam frekuensi yang karakteristik.
Regangan pada 1030 cm-1 dan 1105 cm-1 menunjukkan vibrasi internal Si-O.
Vibrasi eksternal Si-O ditunjukkan pada regangan ~1180 dan 1220 cm-1.
Hilangnya surfaktan CTAB pada proses kalsinasi MCM-41 dapat
teridentifikasi dengan hilangnya pita serapan asimetris dan simetris dari gugus
kepala CH3-(N+) pada 3017 dan 2944 cm-1, hilangnya pita serapan pada panjang
gelombang 2924 cm-1 yang menunjukkan vibrasi ulur simetris dan asimetris gugus
metilen (-CH2-), dan hilangnya pita serapan pada daerah 1500-1450 cm-1 yang
merupakan vibrasi menggunting dari gugus -CH2- dan viibrasi tekuk asimetris
CH3-(N+).
18
II.3.2 Difraksi Sinar-X
Karakterisasi menggunakan difraktometer sinar-X akan menghasilkan pola
difraksi sinar-X atau difraktogram yang berisi puncak-puncak atau garis-garis
yang masing-masing berbeda intensitas dan posisi (d-spacing atau sudut Bragg,
θ). Setiap bahan kristalin memiliki pola difraksi yang khas, karena setiap posisi
garis refleksi tergantung kepada ukuran sel satuan dan intensitasnya tergantung
kepada tipe atom yang ada dan susunannya di dalam kristal. Hubungan antara
dengan d = jarak antar bidang kristal, 2θ = sudut difraksi, λ = panjang gelombang
mengikuti persamaan Bragg, n = 1,2,3,... sebagai berikut :
nλ = 2d sin θ
Gambar II.7 Difraksi sinar-X oleh kisi kristal
Pola difraksi sinar-X dari struktur MCM-41 berupa puncak yang tinggi pada sudut
kecil 2-3º (bidang d100) dan pengulangan puncak dengan intensitas yang kecil
pada sudut yang lebih tinggi (bidang 110, 200, dan 210). Bidang refleksi dari
19
penataan pori sistem heksagonal dapat dilakukan perhitungan indeks bidang hkl
sebagai puncak difraksi karakteristik dengan menggunakan rumus:
( )1
2 2 22
2 2
43hkl
h hk k lda c
−⎡ ⎤+ + ⎛ ⎞⎢ ⎥= + ⎜ ⎟⎢ ⎥⎝ ⎠⎣ ⎦
II.3.3 Adsorpsi-Desorpsi Isotermis Gas Nitrogen
Sifat padatan berpori dapat ditentukan oleh dua karakter yaitu karakter fisik dan
karakter kimia. Karakter fisik ditentukan oleh struktur makro permukaan yang
meliputi luas permukaan dan porositas. Metode adsorpsi merupakan metode yang
sangat berperan dalam karakterisasi material mesopori. Metode ini dapat
digunakan untuk menentukan luas permukaan material, ukuran pori, volume pori,
dan distribusi ukuran pori dari suatu material berpori. Persamaan adsorpsi
isotermis yang sering digunakan pada permukaan padatan adalah persamaan yang
diusulkan oleh Brunauer, Emmet dan Teller (BET) yang dituliskan dibawah ini
(Lowell dan Shield, 1984 dalam Yufan, 2008).
1 1( )(1 )
oo
om m
P P C P PW P P W C W C
−= +
−
Dengan W = Berat gas yang diadsorpsi pada tekanan relatif P/P0 (gram), Wm =
Berat gas yang diadsorpsi pada lapis tunggal (gram), C = Konstanta BET, Po =
Tekanan uap jenuh adsorpsi (mmHg), P = tekanan gas (mmHg).
MCM-41 merupakan material dengan pola adsorpsi mengikuti pola adsorpsi
material mespori yakni pola adsorpsi tipe IV. Gas yang diadsorpsi umumnya gas
nitrogen. Adsorpsi nitrogen oleh MCM-41 terdiri dari tiga tahapan. Tahapan
20
pertama terbentuknya lapisan monolayer pada dinding pori dan permukaan MCM-
41. Tahapan ini berlangsung pada tekanan relatif (P/Po) yang rendah. Tahapan
yang kedua adanya kenaikan yang tajam pada P/Po 0,25-0,5. kenaikan ini
disebabkan karena kondensasi kapiler gas nitrogen. Tahapan yang terakhir berupa
terbentuknya adsorpsi multilayer dan kondensasi pada permukaan material.
BAB III
LANDASAN TEORETIK, HIPOTESIS, DAN RANCANGAN PENELITIAN
III.1. LANDASAN TEORITIK
Material mesopori MCM-41 yang memiliki jaringan nanopori yang
menyerupai struktur sarang lebah (honeycomb structure) dapat sintesis dengan
proses hidrotermal sebagaimana yang sering dilakukan dalam sintesis zeolit.
Senyawa organik amina dan sumber silika/silika-alumina dicampurkan sehingga
membentuk larutan yang sangat jenuh pada temperatur 70-150 ºC selama selang
waktu tertentu. Padatan hasil disaring, dicuci, dan dikeringkan. Selanjutnya
padatan dikalsinasi pada temperatur 540ºC di bawah aliran gas nitrogen dan udara
untuk menghasilkan struktur pori (Kresge et al., 1992). Pembentukan silikat
mesopori MCM-41 dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya pH larutan, rasio
surfaktan/Si, dan waktu hidrotermal.
Umumnya sintesis MCM-41 dilakukan pada pH antara 9–11. Pada pH 10
spesies silikat berada dalam bentuk yang lebih besar sehingga sehingga interaksi
antara gusus kepala surfaktan kationik dengan anion silikat yang besar
menghasilkan gugus kepala yang makin besar dan semakin cocok untuk
pembentukan MCM-41 menghasilkan MCM-41 dengan kristalinitas lebih tinggi
dan rasio surfaktan/Si<1 (Sugiati, 2008).
Sintesis MCM-41 melibatkan proses polimerisasi silikat sehingga menurut
Hartanto (2002) waktu hidrotermal yang lama akan menyebabkan terjadinya
depolimerisasi padatan MCM-41. Kresge et al. (1992) menggunakan waktu
21
22
hidrotermal selama 48 jam dan Corma et al. (2002) dalam Zhao et al. (1996)
selama 166 jam. Waktu hidrotermal yang terlampau lama dalam sintesis MCM-41
dapat mengalami penurunan kristalinitas dari MCM-41 yang terbentuk. Sugiati
(2008) telah mensintesis MCM-41 dalam rentang waktu antara 6 jam, 12 jam, 24
jam, 30 jam, dan 42. Akan tetapi penelitian tersebut tidak memperoleh waktu
sintesis yang optimum dalam mensintesis MCM-41 sehingga diperlukan
penelitian lebih lanjut dengan waktu sintesis yang lebih lama 4 hingga 72 jam.
Penambahan garam telah banyak dilakukan oleh para peneliti. Ryong dan Jun
(1997) melakukan penambahan garam NaCl, KCl, CH3COONa dan Na4EDTA
selama proses kristalisasi untuk meningkatkan stabilitas hidrotermal MCM-41
hasil sintesis. Das et al. (1999) juga menambahkan garam yakni NaBr dalam
sintesis MCM-41 meningkatkan kestabilan hidrotermal sedangkan penambahan
garam NaCl atau NH4Cl oleh Yu et al. (2001).
Penambahan garam untuk meneliti efek yang ditimbulkan terhadap MCM-41
dilakukan oleh Lin dan Mou (2002). Penambahan LiCl, NaCl, KCl, (CH3)4Cl
dilakukan setelah proses sintesis MCM-41 dilakukan. Efek dari penambahan
garam – garam ini terjadinya penebalan dinding pori, penurunan ukuran pori dan
diikuti dengan menurunnya keteraturan dari struktur MCM-41.
Garam K2SO4 dapat digunakan untuk membentuk struktur kristal material
mesopori. Penelitian ini dilakukan oleh Yu et al. (2002). Garam K2SO4 yang
ditambahkan ke dalam sintesis material mesopori berukuran besar (Large pore
mesoporous single crytal) menghasilkan material dengan kristalinitas yang sangat
baik. Penambahan garam K2SO4 dalam proses sintesis tersebut meningkatkan
23
interaksi antara silikat dengan surfaktan netral. Interaksi antara surfakatan netral
dengan silikat merupakan interaksi ikatan hidrogen yang kekuatannya lebih lemah
dibandingkan dengan interaksi elektrostatik surfaktan ionik dengan silikat. Garam
K2SO4 memiliki kekuatan ionik yang cukup tinggi sehingga interaksi yang
meningkat dapat menyebabkan keteraturan yang tinggi dan membentuk kristal.
Terbentuknya MCM-41 melibatkan mekanisme pembentukan kristal cair fasa
heksagonal atau Liquid Crystal Template. Mekanisme Liquid Crystal Template
merupakan struktur terorientasi dari silikat anionik dengan surfaktan kationik.
Berdasarkan hasil penelitian Chen et al. (1993) dan Steel et al. (1994) dalam
Hartanto (2002), surfaktan kationik yang membentuk misel yang diselimuti oleh
silikat anionik saling berinteraksi dengan misel – misel lainnya membentuk fasa
heksagonal. Interaksi yang terjadi pada pembentukan fasa heksagonal adalah
interaksi Coulomb.
Penambahan senyawa ionik seperti garam anorganik atau surfakatan kationk
yang berbeda dalam sintesis MCM-41 mempengaruhi interaksi yang terjadi antara
silikat dengan misel maupun interaksi misel dengan misel lainnya. Penambahan
surfaktan kationik tetrapropilamonium dapat membentuk penurunan kristalinitas
dan menambah ketidateraturan struktur MCM-41 yang terbentuk (Das et al.,
1999). Yu et al. (2001) menyatakan bahwa penambahan garam mempengaruhi
pembentukan fasa heksagonal dan kestabilan hidrotermal bergantung pada
konsentrasi dan sifat garam yang digunakan. Penurunan kristalinitas disebabkan
adanya kompetisi antara anion dan silikat untuk berikatan dengan surfaktan.
24
III.2 HIPOTESIS
Hipotesis 1: Durasi proses hidrotermal dalam sintesis MCM-41 akan
mempengaruhi kristalinitas MCM-41 yang dihasilkan.
Hipotesis 2: Jika dilakukan penambahan garam K2SO4 dalam proses sintesis
maka MCM-41 yang dihasilkan akan mengalami penurunan kristalinitas
dibandingkan dengan MCM-41 tanpa penambahan garam.
Hipotesis 3: Jika dilakukan penambahan garam K2SO4 dalam proses sintesis
maka mempengaruhi tebal dinding pori yang terbentuk bila dibandingkan dengan
tanpa penambahan garam.
III.3 RANCANGAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh durasi waktu hidrotermal
dan penambahan garam dalam proses sintesis MCM-41. MCM-41 disentesis
dengan mencampurkan sumber silika yakni natrium silikat, surfaktan
setiltrimetilamonium bromida (CTAB) dalam kondisi basa pH 10. Untuk
mempelajari pengaruh waktu hidrotermal pada sintesis MCM-41 maka dilakukan
variasi durasi hidrotermal sehingga diperoleh waktu yang optimum untuk sintesis
MCM-41. Pengaruh penambahan garam dilakukan dengan menambahkan variasi
mol garam ke dalam campuran larutan dan dilakukan proses hidrotermal dengan
waktu sintesis MCM-41 yang optimum. Padatan hasil sintesis dikarakterisasi
menggunakan spektrofotometer inframerah, difraktometer sinar-X dan N2-Gas
Sorption Analyzer.
BAB IV
METODE PENELITIAN
IV.1 Bahan
Dalam penelitian ini bahan-bahan yang digunakan adalah larutan natrium
silikat 25,5-28,5% SiO2 (E.Merck) sebagai sumber silika, setiltrimetilamonium
bromida (E.Merck) sebagai surfaktan, K2SO4 (Aldrich) dan air bebas ion produk
Laboratorium Pangan dan Gizi PAU UGM, natrium hidroksida pelet (E.Merck)
dan asam sulfat 98 % (E.Merck).
IV.2 Alat
Penelitian ini menggunakan beberapa jenis peralatan untuk kerja laboratorium,
diantaranya adalah seperangkat alat gelas, lumpang porselen, penyaring Buchner,
pengaduk magnet, timbangan digital, oven, furnace merk Carbolite, tungku
kalsinasi, hot plate. Instrumen yang digunakan untuk karakterisasi material-
material yang diperoleh antara lain difraktometer sinar-X Shimadzu model XRD-
6000 (Laboratorium Kimia Analitik FMIPA UGM), difraktometer sinar-X Philips
model X-pert (Laboratorium XRD ITS, Surabaya), spektrofotometer inframerah
Shimadzu model FTIR-8201 PC (Laboratorium Kimia Organik FMIPA UGM)
dan Gas Sorption Analyzer (GSA) NOVA 1200e (Laboratorium Penelitian
Terpadu UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta).
25
26
IV.3 Prosedur Penelitian
IV.3.1 Pengaruh durasi hidrotermal pada sintesis MCM-41
Sintesis MCM-41 dilakukan dengan membuat campuran yang mengandung
Na2SiO3, NaOH, CTAB, dan H2O dengan perbandingan molar 4 Na2SiO3: 0,5
NaOH: 0,5 CTAB: 200 H2O. Campuran tersebut diatur pada pH 10 dengan
penambahan larutan H2SO4 (1:1). Kemudian campuran diaduk dengan konstan
selama 1 jam pada suhu kamar. Selanjutnya campuran dipanaskan dalam autoklaf
pada temperatur 100oC. Untuk mempelajari pengaruh durasi hidrotermal
dilakukan pada waktu selama 4, 8, 12, 24 jam, 36 jam, 48 jam, dan 72 jam.
Padatan hasil sintesis disaring, dicuci dengan air bebas ion dan dikeringkan dalam
oven pada temperatur 80oC selama 24 jam. Tahap terakhir yakni penghilangan
surfaktan CTAB dengan metode kalsinasi di udara pada temperatur 550ºC selama
10 jam dengan laju pemanasan 2ºC/menit.
IV.3.2 Pengaruh penambahan garam pada sintesis MCM-41
Pengaruh penambahan garam dilakukan dengan membuat campuran yang
mengandung Na2SiO3, NaOH, CTAB, K2SO4 dan H2O dengan perbandingan
molar 4 Na2SiO3: 0,5 NaOH: 0,5 CTAB: x K2SO4: (240) H2O, dengan x
merupakan variasi mol dari 0,5–4 mol Campuran tersebut diatur pada pH 10
dengan penambahan larutan H2SO4 (1:1). Kemudian campuran diaduk dengan
konstan selama 1 jam pada suhu kamar. Selanjutnya campuran dipanaskan dalam
autoklaf pada temperatur 100oC selama 36 jam. Padatan hasil sintesis disaring,
dicuci dengan air bebas ion dan dikeringkan dalam oven pada temperatur 80oC
27
selama 24 jam. Tahap terakhir yakni penghilangan surfaktan CTAB dengan
metode kalsinasi di udara pada temperatur 550ºC selama 10 jam dengan laju
pemanasan 2ºC/menit.
IV.3.3 Karakterisasi MCM-41 menggunakan difraktometer sinar-X
MCM-41 hasil sintesis pengaruh durasi hidrotermal dikarakterisasi
menggunakan difraktometer sinar-X Shimadzu model XRD-6000 menggunakan
radiasi Cu kα pada tegangan 40 kV, arus 30 mA, dan pada rentang 2θ=1,7°-10°
(scan speed 2°/menit) di Laboratorium Kimia Analitik FMIPA UGM.
MCM-41 hasil sintesis penambahan garam dikarakterisasi menggunakan
difraktometer sinar-X Philips model X`pert menggunakan radiasi Cu kα pada
tegangan 40 kV, arus 30 mA, dan pada rentang 2θ =1°-10° (scan speed 2°/menit)
yang ada di Laboratorium XRD ITS Surabaya.
Karakterisasi ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kristalinitas dan
mengamati pembentukan dimensi heksagonal yang merupakan ciri dari MCM-41.
Metode yang digunakan yaitu metode bubuk. Sampel dihaluskan dan ditempatkan
pada kaca preparat yang selanjutnya dikarakterisasi menggunakan difraktometer
sinar-X.
IV.3.4 Karakterisasi padatan menggunakan spektrofotometer inframerah
Gugus-gugus fungsional pada MCM-41 sebelum dan sesudah kalsinasi pada
pengaruh durasi hidrotermal serta pada pengaruh penambahan garam
dikarakterisasi menggunakan spektrofotometer inframerah Shimadzu FTIR-
28
8201PC di Laboratorium Kimia Organik FMIPA UGM. Metode karakterisasi
yang digunakan adalah metode pelet. Sebanyak 2 mg sampel dihomogenkan
dengan 200 mg serbuk KBr (perbandingan 1%). Campuran ini kemudian dibentuk
pelet dengan diberi tekanan hingga 2000 psi. Pelet tipis dan transparan ini
kemudian diletakkan pada sel di dalam instrumen FTIR, dan analisis dilakukan
pada bilangan gelombang 400-4000 cm-1.
IV.3.5 Karakterisasi pori menggunakan Gas Sorption Analyzer
Sampel padatan sebanyak beberapa gram dikarakterisasi dengan alat Gas
Sorption Analyzer (GSA) NOVA 1200e milik laboratorium penelitian terpadu
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sampel ditempatkan ke
dalam tabung sampel dari alat N2-Gas Sorption Analyzer. Selanjutnya sampel
dilakukan proses degassing pada temperatur 300 oC selama 3 jam. Sampel
dijenuhkan dengan nitrogen pada temperatur nitrogen cair (77,3 K). Kemudian
dihitung volume adsorpsi dan desorpsi nitrogen pada sampel. Dengan terukurnya
perubahan tekanan dan volume atau berat gas yang teradsorpsi oleh sampel, maka
luas permukaan spesifik, rerata jejari pori, volume total pori, dan distribusi ukuran
pori untuk masing-masing sampel dapat ditentukan.
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
V.1 Pengaruh Durasi Hidrotermal pada Sintesis MCM-41
Sintesis MCM-41 dilakukan menggunakan proses hidrotermal. Durasi proses
hidrotermal yang digunakan bervariasi yakni selama 4 jam, 8 jam, 12 jam, 24 jam,
36 jam, 48 jam dan 72 jam. Hal ini dilakukan untuk mengkaji pengaruh durasi
hidrotermal terhadap karakter MCM-41. Kajian pengaruh waktu hidrotermal
dilakukan dengan menganalisis pola difraksi sinar-X yang akan memberikan
informasi d (jarak antar bidang), ao (parameter kisi), dan kristalinitas relative dari
padatan MCM-41 hasil sintesis. Karakteristik dari material mesopori yakni
timbulnya puncak–puncak pada sudut antara 2-10º (Oye et al., 2001). Puncak
utama dari MCM-41 ditunjukkan pada sudut antara 2-3º yang merupakan refleksi
bidang 100.
Difraktogram hasil analisis XRD MCM-41 pada gambar V.1 menunjukkan
munculnya puncak utama pada sudut 2-3º yang merupakan bidang karakteristik
dari MCM-41 dan puncak–puncak dengan intensitas yang rendah pada sudut yang
lebih tinggi 4-7º yang merupakan bidang 110 dan 200. Timbulnya puncak utama
pada sudut yang kecil menunjukkan karakter mesopori sedangkan puncak–puncak
dengan intensitas yang rendah menunjukkan adanya keteraturan struktur pori yang
baik (highly ordered) dari padatan hasil sintesis MCM-41. Hasil difraksi juga
menunjukkan adanya peningkatan dan penurunan kristalinitas dari MCM-41
akibat pengaruh durasi hidrotermal dalam sintesis MCM-41.
29
30
Gambar V.1 Hasil difraksi sinar-X MCM 41 dengan variasi durasi hidrotermal
2 3 4 5 6 7 8 9 10 2θ (deg)
31
Tabel V.1 Data stuktural padatan MCM-41 hasil sintesis pada berbagai variasi durasi hidrotermal (d=jarak antar bidang, ao= parameter kisi)
*) ao =3
2 d100
Waktu hidrotermal
(jam)
d100 (Ǻ)
ao * (Ǻ)
Intensitas Total
(Count)
Kristalinitas ** (%)
4 35,998 41,568 1696 51,022 8 36,035 41,611 2517 75,722 12 35,826 41,370 1698 51,083 24 36,066 41,647 876 26,353 36 39,254 45,328 3324 100 48 37,356 43,136 1328 39,951 72 36,479 42,124 762 22,924
**)
Pada penelitian ini, pengaruh durasi hidrotermal dalam sintesis MCM-41
sangat mempengaruhi padatan yang dihasilkan yakni terjadi peningkatan dan
penurunan kristalinitas padatan MCM-41 yang dihasilkan. Peningkatan dan
penurunan kristalinitas padatan dapat diamati pada difraktogram pada gambar V.1
dan tabel V.1. Peningkatan kristalinitas terjadi pada durasi 4 jam hingga 8 jam
yang ditunjukkan kenaikan intensitas puncak pada difraktogram serta kristalinitas
relatifnya. Akan tetapi seiring dengan bertambah lamanya durasi hidrotermal
yakni 12 jam dan 16 jam, kristalinitas menurun dan kemudian terjadi peningkatan
kristalinitas pada durasi 36 jam. Durasi hidrotermal selama 36 jam merupakan
durasi yang optimum dalam mensintesis MCM-41. Pada durasi hidrotermal 36
jam dihasilkan padatan MCM-41 dengan kristalinitas yang sangat baik. Hal ini
ditunjukkan dari hasil difraktogram sinar-X yang ditandai dengan timbulnya
puncak utama (d100) dengan intensitas yang sangat tinggi dan puncak–puncak
32
bidang 110 dan 200 pada sudut yang lebih besar. Tingginya intensitas puncak
difraktogram sinar-X menunjukkan bidang–bidang yang terbentuk banyak dan
identik sehingga intensitas sinar-X yang dipantulkan cukup kuat. Intensitas yang
kuat menyebabkan tingginya intensitas total dari padatan. Durasi hidrotermal yang
lebih lama dari 36 jam mengalami penurunan kristalinitas pada padatan yang
dihasilkan.
Bidang d100 telah terbentuk pada durasi 4 jam yang ditandai dengan adanya
puncak difraktogram pada sudut <3º. Pada durasi 8 jam terjadi peningkatan
intensitas puncak dikarenakan bidang d100 semakin banyak terbentuk. Pada proses
hidrotermal, silikat–silkat melapisi misel silindris membentuk batangan.
Batangan–batangan tersebut berinteraksi satu dengan lainnya membentuk kristal
cair dengan struktur heksagonal. Oleh karena itu pada durasi 8 jam lebih banyak
kristal cair yang terbentuk dibandingkan dengan durasi 4 jam sehingga padatan
yang dihasilkan intensitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan durasi 4 jam.
Pada durasi 12 jam hingga 24 jam terjdi penurunan intensitas puncak. Hal ini
diakibatkan depolimerisasi karena kristal cair mengandung gugus–gugus siloksan
(Si-O-Si) yang dapat membentuk ikatan hidrogen dengan air. Akibatnya terjadi
reaksi hidrolisis oleh air pada gugus–gugus siloksan sehingga struktur kristal cair
mengalami kerusakan struktur. Hal ini dapat dilihat dari difraktogram durasi 12
jam dan 24 jam pada tabel V.1 yang memiliki intensitas total dan kristalinitas
yang rendah.
Setelah mengalami depolimerisasi, silikat–silkat yang terhidrolisis berinteraksi
kembali dengan batangan misel membentuk kristal cair fasa heksagonal seiring
33
bertambah lamanya durasi hidrotermal. Hal ini dapat dilihat dari difraktogram
pada durasi hidrotermal selama 36 jam menunjukkan puncak bidang d100 yang
tinggi. Selain itu, besar sudut puncak bergeser pada sudut yang lebih kecil
(2θ=2,248º). Menurut Corma et al. (1997) bahwa sudut yang bergeser ke arah
sudut kecil menunjukkan meningkatnya ao (parameter kisi) yang merupakan
jumlah antara dinding pori dan diameter pori.
Pada durasi hidrotermal yang melebihi 36 jam, padatan yang terbentuk
memiliki kristalinitas yang rendah yang ditunjukkan dengan puncak pada
difraktogram dan intensitas total yang menurun. Pada proses hidrotermal yang
lebih lama, kristal cair mengalami kerusakan struktur sehingga lebih bersifat
amorf akibat depolimerisasi. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Kim dan Ryoo (1996) yang menyatakan MCM-41 memiliki kestabilian
hidrotermal yang rendah di dalam air.
Pola spektra pada difraktogram durasi 36 jam yang dihasilkan pada penelitian
ini memiliki kemiripan dengan hasil penelitian dari peneliti sebelumnya. Padatan
yang disintesis menunjukkan kesesuaian dengan karakteristik material MCM-41.
Berdasarkan hasil analisis bidang refleksi dan parameter kisi, difraktogram
padatan yang disintesis pada durasi 36 jam memiliki 3 puncak yang merupakan
difraksi bidang 100, 110, dan 200 dengan parameter kisi 41-45 Ǻ. Beck et al.
(1992) menghasilkan MCM-41 dengan 4 puncak pada difraktogramnya, yang
merupakan bidang 100, 110, 200, dan 210 dengan parameter kisi sebesar 40 Ǻ.
Kresge et al. (1992) melaporkan hasil sintesis MCM-41 dengan munculnya 4
puncak pada difraktogram MCM-41 dan parameter kisi 45 Ǻ. Pada durasi 36 jam,
34
nilai parameter kisi lebih besar dibandingkan yang lainnya. ao erat kaitannya
dengan tebal dan diameter pori. Nilai ao besar menandakan terjadi penebalan pada
dinding pori. Dengan bertambahnya waktu, silikat banyak yang mengalami
kondensasi semakin banyak sehingga dinding pori menjadi lebih tebal.
V.2 Pengaruh Penambahan K2SO4 dalam Sintesis MCM-41
Kajian pengaruh penambahan K2SO4 dilakukan dengan menambahkan garam
dengan berbagai variasi mol saat proses hidrotermal. Durasi proses hidrotermal
yang digunakan selama 36 jam yang merupakan durasi hidrotermal yang optimum
dalam mensintesis MCM-41. Gambar V.2 merupakan difraktogram MCM-41
dengan penambahan K2SO4.
Penambahan garam sangat mempengaruhi struktur MCM-41. Intensitas
puncak karakteristik MCM-41 pada sudut kecil menurun dibandingkan dengan
tanpa penambahan garam (MCM-41 durasi 36 jam). Semakin banyak mol yang
ditambahkan yakni hingga 2 mol, intensitas puncak utama meningkat. Akan tetapi
penambahan garam yang lebih banyak (4 mol) menyebabkan intensitas puncak
utama menurun. Hal ini mengindikasikan pembentukan fase heksagonal pada
sintesis MCM-41 sangat sensitif terhadap jumlah K2SO4 yang ditambahkan.
Pada penambahan 0,5 mol garam, puncak utama MCM-41 memiliki intensitas
yang rendah sedangkan pada penambahan garam sebanyak 1 mol, puncak utama
masih tampak akan tetapi tidak membentuk struktur MCM-41 dengan keteraturan
yang baik. Penambahan garam cenderung mengubah struktur MCM-41 dari
heksagonal berdimensi 1 menjadi bentuk mesopori berdimensi 3 yang tidak
35
beraturan (Yu et al., 2001). Akan tetapi dengan meningkatnya penambahan mol
garam sebanyak 1,5 mol, struktur MCM-41 terbentuk kembali dengan keteraturan
yang lebih baik dibandingkan penambahan 0,5 mol dan 1 mol garam.
Gambar V.2 Hasil difraksi sinar-X MCM-41 hasil penambahan K2SO4 dengan
variasi jumlah mol
Pada penambahan 0,5 mol garam, puncak utama MCM-41 memiliki intensitas
yang rendah sedangkan pada penambahan garam sebanyak 1 mol, puncak utama
masih tampak akan tetapi tidak membentuk struktur MCM-41 dengan keteraturan
yang baik. Penambahan garam cenderung mengubah struktur MCM-41 dari
36
heksagonal berdimensi 1 menjadi bentuk mesopori berdimensi 3 yang tidak
beraturan (Yu et al., 2001). Akan tetapi dengan meningkatnya penambahan mol
garam sebanyak 1,5 mol, struktur MCM-41 terbentuk kembali dengan keteraturan
yang lebih baik dibandingkan penambahan 0,5 mol dan 1 mol garam.
Penambahan 1,5 mol garam menghasilkan puncak bidang 100 dan
pengulangan puncak sebanyak 2 buah dengan intensitas yang rendah. Hasil
difraktogram pada penambahan 2 mol garam menunjukkan puncak dari bidang
100 dengan intensitas yang lebih tinggi dari penambahan 1,5 mol garam. Dari
hasil difraktogram, MCM-41 yang dihasilkan dengan penambahan garam
sebanyak 2 mol menunjukkan keteraturan yang baik.
Tabel V.2 Data stuktural padatan MCM-41 hasil sintesis dengan variasi
penambahan K2SO4. (d=jarak antar bidang, ao= parameter kisi)
*) ao =3
2 d100
Waktu hidrotermal
(jam)
d100 (Ǻ)
ao * (Ǻ)
Intensitas Total
(Count)
Kristalinitas ** (%)
0 mol 39,254 45,328 7500 100 0,5 mol 38,528 44,490 1929,84 25,731 1 mol 38,012 43,894 943,7 12,582
1,5 mol 38,828 44,836 2827,99 37,706 2 mol 39,355 45,443 4694,82 62,597 4 mol 39,636 45,769 1249,41 16,658
**)
Penambahan mol garam lebih dari 2 mol yakni sebanyak 4 mol menghasilkan
MCM-41 dengan kristalinitas menurun dibandingkan dengan penambahan 2 mol
garam. Selain itu, struktur MCM-41 yang dihasilkan pada penambahan 4 mol
37
garam menunjukkan struktur yang terbentuk cenderung amorf dan keteraturan
bentuk pori yang rendah karena tidak terdapat puncak–puncak dengan intensitas
yang kecil pada sudut yang yang lebih tinggi
Puncak–puncak difraktogram pada penambahan garam sebanyak 2 mol
menunjukkan puncak–puncak karakteristik MCM-41. Bila dibandingkan dengan
penambahan mol garam lainnya, penambahan 2 mol garam menghasilkan padatan
MCM-41 yang cukup baik. Proses pembentukan MCM-41 melibatkan proses self-
assembly dari surfaktan yang dipengaruhi oleh faktor lainnya. Pada penambahan
garam 2 mol tersebut cukup efektif dalam melakukan self-assembly. Hal ini
diakibatkan interaksi–interaksi yang terjadi antara surfakatan, silikat dan garam
pada kondisi tersebut lebih memungkinkan untuk pembentukan kristal cair fase
heksagonal.
Secara umum, penambahan garam dalam sintesis MCM-41 menyebabkan
terbentuknya struktur dengan keteraturan yang rendah dan cenderung amorf.
Penambahan garam dalam proses hidrotermal mengakibatkan pembentukan kristal
cair fase heksagonal oleh misel dan silikat lebih sulit terbentuk karena adanya
suatu halangan yakni counter anion yang berasal dari garam yang ditambahkan.
Seperti yang telah diketahui bahwa pembentukan mesostruktur silikat-surfaktan
fase heksagonal melibatkan interaksi elektrostatik antara misel dan silikat.
Interaksi tersebut terganggu akibat adanya penambahan garam (Das et al., 1999).
Silikat–silikat yang bermuatan negatif dan counter anion saling berkompetisi
dalam berinteraksi dengan misel surfaktan kationik yang pada permukaannya
bermuatan positif. Pada gambar V.2 menunjukkan adanya difraktogram yang
38
mengalami pelebaran puncak dan intensitas puncak yang rendah bila
dibandingkan dengan difraktogfram padatan MCM-41 tanpa penambahan garam.
Menurut Ryoo dan Jun (1997), adanya pelebaran puncak dikarenakan efek dari
penambahan garam yakni terbentuknya struktur MCM-41 dengan keteraturan
yang rendah.
V.3 Pengaruh Kalsinasi Terhadap Pola Spektra Inframerah MCM-41
MCM-41 yang dianalisis adalah MCM-41 hasil sintesis yang memiliki puncak
yang tinggi dengan intensitas yang tinggi pada difraktogramnya. Pada sintesis
dengan pengaruh durasi hidrotermal diwakili oleh durasi 36 jam atau tanpa
penambahan garam sedangkan pada pengaruh penambahan garam yakni 2 mol
K2SO4. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui hilangnya surfaktan CTAB pada
pori MCM-41 yang dapat ditunjukkan dari hasil spektra IR dengan
membandingkan spektra IR sebelum dan sesudah kalsinasi.
Spektra IR sampel ditunjukkan pada gambar V.3 dan V.4 dengan bilangan
gelombang antara 500 cm-1 hingga 4000 cm-1. Pada gambar V.3. terdapat pola
spektra IR untuk padatan MCM-41 sebelum dan sesudah kalsinasi yang
menunjukkan beberapa serapan gugus-gugus fungsional yang karakteristik dengan
surfaktan. Pada spektra MCM-41 tanpa garam (A) terdapat serapan yang
menunjukkan serapan gugus–gugus fungsional surfaktan CTAB. Serapan pada
bilangan gelombang 3032,10 cm-1 menunjukkan adanya rotasi bebas dari gugus
metil (–CH3). Serapan pada bilangan gelombang 2924 cm-1 dan 2854,65 cm-1
menunjukkan vibrasi ulur asimetris dan simetris gugus -CH2-. Serapan pada
39
daerah bilangan gelombang antara 1450 cm-1–1500 cm-1 menunjukkan adanya
vibrasi menggunting -CH2- dan vibrasi tekuk asimetris CH3-(N+). Pada bilangan
gelombang 1481,33 cm-1 menandai adanya gugus CH3-(N+).
BILANGAN GELOMBANG (cm-1)
Gambar V.3 Spektra infra merah MCM-41 tanpa garam sebelum kalsinasi (A) dan setelah kalsinasi (B)
Serapan–serapan dari gugus fungsional penyusun surfaktan pada spektra IR
MCM-41 tanpa garam sebelum dikalsinasi tampak pula pada spektra IR MCM-41
dengan penambahan garam sebelum dikalsinasi (gambar V.4.A). Pada spektra IR
MCM-41 tanpa garam setelah kalsinasi (gambar V.3.B), serapan–serapan tersebut
menghilang sedangkan pada spektra IR MCM-41 dan garam setelah kalsinasi
40
(gambar V.4.B) masih terdapat residu dari surfaktan yakni masih adanya serapan-
erapan dari surfaktan dengan intensitas yang rendah yakni pada bilangan
gelombang 2931,80 cm-1 dan 2862,36 cm-1 menunjukkan vibrasi ulur asimetris
dan simetris gugus -CH2-.
Gambar V.4 Spektra infra merah MCM-41 dengan penambahan 2 mol garam. Spektra sebelum kalsinasi (A) dan setelah kalsinasi (B)
Pada spektra IR sebelum dan sesudah kalsinasi terdapat serapan–serapan
gugus fungsional lainnya. Bilangan gelombang antara 3000 cm-1 dan 4000 cm-1
menunjukkan gugus–gugus hidroksil internal dan eksternal dari struktur mesopori.
41
Serapan pada 1635 cm-1 menunjukkan vibrasi tekuk gugus hidroksi dari air yang
masih tetap ada walaupun telah dilakukan kalsinasi. Hal ini dimungkinkan karena
padatan MCM-41 dapat mengadsorbi uap air di udara. Serapan 1050-1250 cm-1
menunjukkan regangan asimetris Si-O-Si pada struktur rangka. Serapan pada 960-
970 cm-1 menunjukkan vibrasi ulur Si-O-R internal (R=H+, Ti+4, Al+3). Serapan
karakteristik dari silika amorf pada bilangan gelombang 794,67 cm-1. Pada 455
cm-1 merupakan vibrasi tekuk Si-O-Si tetrahedral.
Kalsinasi padatan mengubah komposisi rangka sehingga serapan–serapan pada
spektra IR mengalami pergeseran bilangan gelombang ke arah yang lebih besar.
Pada gambar V.3, puncak serapan dari gugus Si-O sebelum kalsinasi sebesar
1064,71 cm-1 bergeser menjadi 1080,14 cm-1 sedangkan pada gambar V.4 puncak
serapan Si-O 1072,4 cm-1 setelah dilakukan kalsinasi mengalami pergeseran
bilangan gelombang menjadi 1087,85 cm-1 .
Kalsinasi juga memperbaiki struktur rangka dari padatan yang dihasilkan.
Temperatur yang cukup tinggi pada saat kalsinasi mengakibatkan terjadinya
penyusunan ulang dari komposisi rangka padatan. Serapan karakteristik silika
amorf dengan bilangan gelombang 794,67 cm-1 muncul sebelum dilakukannya
kalsinasi. Setelah kalsinasi, serapan terbut menghilang. Hal ini teramati dengan
jelas pada spektra MCM-41 tanpa garam (gambar V.3).
V.4 Karakterisasi Pori MCM-41
Untuk menentukan padatan yang disintesis merupakan padatan berpori dengan
diameter mesopori ( 2-50 nm) maka diperlukan data yang dapat menunjukkan hal
42
tersebut. Data difraksi sinar-X tidak dapat digunakan secara langsung untuk
menentukan bahwa padatan yang dihasilkan merupakan material mesopori. Dari
data difraksi sinar-X hanya diperoleh informasi mengenai geometri padatan dan
nilai basal spacing (d). Untuk menentukan apakah padatan tergolong mesopori
maka dibutuhkan data diameter pori dengan mengurangkan jarak antara dua pusat
pori dengan ketebalan dinding pori. Akan tetapi, ketebalan pori tidak diperoleh
dari data difraksi sinar-X melainkan asumsi dari penelitian–penelitian
sebelumnya.
Dari data analisis adsorpsi-desoprsi gas nitrogen dapat diperoleh jari–jari pori
rata–rata sehingga ketebalan pori dapat ditentukan dengan mengurangkan ao
dengan diameter pori, Wt = ao (data XRD)–Dp (diameter pori). Padatan yang
dianalisis pada penelitian ini adalah padatan tanpa penambahan garam atau durasi
36 jam dan penambahan 2 mol garam.
Analisis adsorpsi-nitrogen gas nitrogen dapat menentukan luas permukaan
area, volume pori, jejari pori, dan distribusi ukuran pori. Gambar merupakan hasil
analisis adsorpsi-desorpsi gas nitrogen.
Pada gambar,
a b
G(b s Nitrogen MCM-41 dengan
ambar V.5 (a) Adsorpsi-Desorpsi Isotermis Nitrogen MCM-41 tanpa garam ) Adsorpsi-Desorpsi Isotermi
Gambar V.5 Adsorpsi-Desorpsi Isotermis Nitrogen MCM-41 (a) tanpa garam (b) dengan penambahan garam
43
Kedua gambar menunjukkan adsorpsi isoterm tipe IV yang merupakan adsoprsi-
desorpsi gas nitrogen dari padatan yang memiliki pori dengan ukuran mesopori.
Pada P/Po = 0–0,2 merupakan tahap awal adsorpsi gas nitrogen. Pada P/Po =
0,22–0,35 jumlah gas nitrogen yang teradsoprsi meningkat dikarenakan
kondensasi kapiler dari gas nitrogen (Chen., 1997). Pada gambar V.5.b kenaikan
jumlah gas yang teradsorpsi meningkat yang ditunjukkan dengan garis yang
cukup vertikal bila dibandingkan dengan gambar V.5.a Hal ini menunjukkan
bahwa pori MCM-41 dengan penambahan garam cukup homogen. Pada P/Po ≥ 4,
jumlah gas nitrogen yang teradsorpsi meningkat tetapi tidak mengalami kenaikan
yang tajam. Besarnya gas nitrogen yang teradsorpsi erat kaitannya dengan
pembentukan multilayer pada permukaan padatan dan kondensasi kapiler dalam
padatan berpori. Pada gambar V.5.a terdapat hysteresis loop yang menurut Zhao
et al. (1998) dikarenakan agregasi antar partikel MCM-41. Hysteresis loop yang
terbentuk pada gambar V.5.b tidak sebesar gambar V.5.a. Hal ini menunjukkan
adanya penambahan garam menyebabkan agregasi antar partikel MCM-41
berkurang.
Luas permukaan dari padatan dapat ditentukan dengan menghitung banyaknya
gas nitrogen yang teradsorpsi. Gas nitrogen membentuk lapisan monolayer pada
permukaan padatan dan pori. Tahap pembentukan ini berada pada daerah P/Po
0,05–0,3. Oleh karena itu dalam menghitung luas permukan dari padatan
dilakukan pada rentang P/Po tersebut. Perhitungan luas permukaan menggunakan
persamaan BJH yang merupakan perhitungan untuk material mesopori. Luas
permukaan dan pori MCM-41 yang disintesis disajikan pada tabel V.3.
44
Tabel V.3 Karakter permukaan dan pori padatan
Sampel Vp (cm3 g-
1)
S (m2 g-1)
ao (nm)
r (nm)
Dp (nm)
Wt (nm)
MCM-41 0,794 946,607 4,5328 1,6784 3,3568 1,1760
MCM-41 + garam
0,903 972,812 4,5443 1,8571 3,7142 0,8301
Berdasarkan Tabel V.3, jari–jari pori rerata (r), volume pori total (Vp), dan luas
permukaan (S) MCM-41 dengan penambahan garam lebih besar dibandingkan
dengan tanpa penambahan garam. Luas permukaan yang meningkat menunjukkan
pori – pori yang semakin besar. Penambahan garam K2SO4 dalam sintesis MCM-
41 mengakibatkan penurunan ketebalan pori.
Tebal pori dipengaruhi dari kondensasi silikat–silikat pada batangan misel.
Semakin banyak silikat – silikat yang berkondensasi maka ketebalan pori semakin
meningkat. Penambahan garam ke dalam campuran mengakibatkan silikat–silikat
sulit berinteraksi dengan batangan misel sehingga derajat kondensasi pada batang
silikat menurun. Sulitnya silikat berinteraksi dengan batangan karena adanya
suatu halangan yakni counter anion yang berasal dari garam yang ditambahkan.
Silikat–silikat yang bermuatan negatif dan counter anion saling berkompetisi
dalam berinteraksi dengan misel surfaktan kationik yang pada permukaannya
bermuatan positif. Sintesis MCM-41 tanpa penambahan garam relatif
menghasilkan ketebalan pori yang lebih baik karena silikat–silikat tidak
berkompetisi dengan anion lainnya dalam proses kondensasi membentuk dinding
pori.
45
Gambar V.6 Distribusi ukuran pori MCM-41 tanpa dan dengan penambahan garam
Untuk mengetahui homogenitas pori, dilakukan perhitungan mengenai
distribusi ukuran pori. Perhitungan distribusi ukuran pori menggunakan metode
BJH (Barrett-Joyner-Halenda). Gambar V.6 menyajikan data distribusi ukuran
pori MCM-41 tanpa penambahan garam dan dengan penambahan garam. Kurva
distribusi pori MCM-41 tanpa penambahan garam dan dengan penambahan tidak
memiliki puncak yang tajam dan menyempit. Hal ini menunjukkan bahwa MCM-
41 yang terbentuk memiliki keseragaman yang tidak jauh berbeda. Jari-jari pori
dari kedua kurva distribusi pori berkisar 10 nm hingga 15 nm.
Distribusi pori MCM-41 dengan penambahan garam lebih tinggi dan jari–
jarinya lebih besar dibandingkan dengan MCM-41 tanpa penambahan garam.
Distribusi ukuran pori MCM-41 tanpa penambahan garam berada pada daerah
jari-jari 12,398 Å atau berada pada daerah diameter 24,796 Å sedangkan MCM-41
dengan penambahan garam berada pada daerah jari–jari 13,625 Å atau berada
46
pada daerah diameter 27,25 Å. Perbedaan yang cukup tinggi antara diameter pori
rata-rata dengan distribusi ukuran pori disebabkan adanya pori-pori dengan
ukuran yang besar namun dalam kuantitas kecil. Pori-pori dengan ukuran yang
besar tersebut memberikan kontribusi meningkatnya nilai diameter pori rata-rata.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
VI.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan, maka dapat dibuat suatu
kesimpulan sebagai berikut :
1. Durasi hidrotermal berpengaruh terhadap kristalinitas material MCM-41 yang
dihasilkan. Kristalinitas tertinggi disintesis dengan durasi hidrotermal selama 36
jam (2θ=2,248 º ; d100=39,254Å; ao= 45,328 Å )
2. Material MCM-41 yang dihasilkan dengan penambahan K2SO4 mengakibatkan
penurunan kristalinitas dibandingkan dengan tanpa penambahan K2SO4.
3. Jari–jari pori rerata MCM-41 dengan penambahan garam lebih panjang 1,8571
nm dibandingkan MCM-41 tanpa penambahan garam 1,6784 nm sedangkan
dinding porinya lebih tipis 0,8301 nm dibandingkan dengan tanpa penambahan
garam.1,176 nm
VI.2 Saran
Saran untuk pengembangan penelitian selanjutnya ialah :
1. Perlu dilakukan analisis pada material MCM-41 hasil sintesis dengan
TEM dan SEM.
2. Penambahan K2SO4 dilakukan setelah proses sintesis MCM-41.
3. Perlu dilakukan kajian kestabilan hidrotermal material MCM-41 yang
disintesis dengan penambahan K2SO4.
47
52
LAMPIRAN LAMPIRAN 1
Perhitungan indeks bidang dan parameter kisi (ao)
Perhitungan yang dilakukan berdasarkan asumsi bahwa bentuk kristal adalah
heksagonal dengan indeks bidang hkl sebagai puncak difraksi karakteristik.
Perhitungan berdasarkan persamaan matematika Hukum Bragg untuk sistem
heksagonal : nλ = 2d sin θ
( )1
2 2 22
2 2
43hkl
h hk k lda c
−⎡ ⎤+ + ⎛ ⎞⎢ ⎥= + ⎜ ⎟⎢ ⎥⎝ ⎠⎣ ⎦
dengan λ = panjang gelombang sinar difraksi (Ǻ) n = 1,2,3,... d = jarak antar bidang (Ǻ) 2θ = sudut difraksi (º) a,c = parameter kisi satuan sistem kristal heksagonal (Ǻ)
Hubungan d dan a (parameter kisi kristal heksagonal) untuk bidang-bidang
heksagonal dalam MCM-41 hasil sintesis ditunjukkan pada tabel
Bidang (h,k,l) Rumus parameter kisi (ao) 100
110
200
210
300
53
Pengindeksan MCM-41 durasi hidrotermal 36 jam
Peak No 2θ (º) d (Ǻ) hkl a(Ǻ) 1 2,248 39,254 100 45,328 110 78,508 200 90,656 210 101,275 2 3,951 22,340 100 25,797 110 44,680 200 51,594 210 57,637 3 4,560 19,362 100 22,358 110 38,724 200 44,716 210 49,954
Pengindeksan MCM-41 dengan penambahan garam 2 mol
Peak No 2θ (º) d (Ǻ) hkl a(Ǻ) 1 2,242 39,355 100 45,444 110 78,710 200 90,889 210 101,614 2 3,862 22,858 100 26,394 110 45,716 200 52,789 210 58,973 3 4,480 19,704 100 22,752 110 39,408 200 45,505 210 50,836 4 5,854 15,082 100 17,415 110 30,164 200 34,831 210 38,911
54
LAMPIRAN 2
Perhitungan Parameter Mesopori
Dari data XRD Dari data BET diameter = 2 jari - jari
a(100) tanpa garam = 45,328 Å = 4,532 nm a(100) dengan garam = 45,443 Å = 4,544 nm
Jari- jari MCM-41 tanpa garam = 16,784 Å = 1,678 nm
Jari- jari MCM-41 tanpa garam = 18,571 Å = 1,857 nm
Tebal pori Wt = ao
– diameter
Wt tanpa garam = 45,328 - 33,568 = 11,760 Å = 1,176 nm Wt dengan garam = 45,443 - 37,142 = 8,301 Å = 0,830 nm
LAMPIRAN 3
Penentuan Distribusi Pori
Dari data analisis adsorpsi diperoleh P/Po (x) dan Volume teradsorbsi (VD).
Untuk menentukan distribusi pori maka dapat menggunakan metode BJH, yakni
dengan membuat plot rp (jari-jari pori) dengan ΔV/Δrp (volume pori kumulatif)
yang persamaannya adalah sebagai berikut .
Keterangan:
. 4.1