penduduk setempat menyebut kepulauan ini nuhu evav. kei docx

Upload: mata-hari

Post on 17-Jul-2015

1.126 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Penduduk setempat menyebut kepulauan ini Nuhu Evav ("Kepulauan Evav") atau Tanat Evav ("Negeri Evav"), tetapi dikenal dengan nama Kei atau Kai oleh penduduk dari pulau-pulau tetangga. "Kai" sebenarnya adalah sebutan dari zaman kolonial Hindia Belanda, dan masih digunakan dalam buku-buku yang ditulis berdasarkan sumber-sumber lama. Kepulauan ini terletak di selatan jazirah Kepala Burung Irian Jaya, di sebelah barat Kepulauan Aru, dan di timur laut Kepulauan Tanimbar. Kepulauan Kai terdiri atas sejumlah pulau, di antaranya adalah

Kei Besar atau Nuhu Yuut atau Nusteen Kei Kecil atau Nuhu Roa atau Nusyanat Tanimbar Kei atau Tnebar Evav Kei Dulah atau Du Dulah Laut atau Du Roa Kuur Taam Tayandu atau Tahayad

(Setelah Pemekaran Kota Tual tahun 2008 sebagai Kota Administratif, maka Pulau Dullah, Pulau Kuur, Pulau Taam dan tayando menjadi daerah Kota Tual, sedangkan Pulauh Kei Kecil, Kei Besar, Tanimbar kei menjadi Daerah Kabupaten Maluku Tenggara (Kabupaten Induk) dengan Ibukota Kabupaten Langgur (Terletak di pulau kei kecil). Sejak 1 Januari 2010 Pusat pemerintah kabupaten maluku tenggara resmi berada di langgur walaupun penyerahan aset kabupaten ke pemerintah kota tual baru dilaksanakan tanggal 23 januari 2010) Selain itu masih terdapat sejumlah pulau kecil tak berpenghuni. Total luas area daratan Kepulauan Kai adalah 1438 km (555 mil). Kei Besar bergunung dan berhutan lebat. Kei Kecil datar dan memiliki populasi terbanyak. Pulau ini sebenarnya merupakan sebuah pulau koral yang terangkat ke permukaan laut. Ibukota kepulauan ini adalah Kota Tual, yang mayoritas warganya beragama Islam. Tak jauh dari Tual terletak Langgur yang merupakan pusat bagi warga Kristiani. Kei termasyhur berkat keindahan pantai-pantainya, misalnya pantai Pasir Panjang. Kepulauan Kai merupakan bagian dari daerah Wallacea, kumpulan pulau-pulau Indonesia yang dipisahkan oleh laut dalam dari lempeng Benua Asia maupun Australia, dan tidak pernah tersambung dengan kedua benua tersebut. Sebab itu, hanya terdapat sedikit jenis mamalia lokal di Kepulauan Kai.

[sunting] Sejarah[sunting] PrasejarahTom Goodman bersama tim ekspedisi Duyikan dari Universitas Hawaii adalah salah satu dari beberapa ilmuwan asing yang meneliti gua kuno Ohoidertavun yang berada pada ketinggian sekitar 15 meter dari permukaan laut di Kei Kecil. Di sekitar gua kuno ini ditemukan dinding

batu sepanjang 200 meter yang terukir apik dengan beragam gambar dan lukisan/tulisan kuno. Lukisan kuno yang terpajang di dinding goa Ohoidertavun menggambarkan beragam kehidupan masyarakat pada masa lampau dalam kaitannya dengan alam sekitarnya seperti matahari, bulan, dan bintang, serta perahu sebagai sarana transportasi, kehidupan fauna dan flora, bahkan lukisan topeng. Pada situs tersebut juga tergambar lukisan mengenai seni tari gembira sebagai ungkapan syukur yang lebih terfokus pada kehidupan religius. Lukisan di dinding goa Ohoidertavun mengekspresikan tingginya kebudayaan bangsa Indonesia pada ribuan tahun silam yang memiliki spesifikasi yang serupa dengan karya lukisan masyarakat asli Papua dan Australia. Adanya kemiripan sejarah dan budaya ini mengundang perhatian khusus Direktur/Produser Film dari Australia, Marcus Gillezeau untuk mengabdikannya dalam film dokumenter untuk disebarluaskan ke seluruh dunia guna mengundang semakin banyak ilmuwan, wisatawan, dan petualang berkunjung ke daerah rempah-rempah ini, yang pernah kesohor pada masa lalu. Apa yang ditemukan di goa Ohoidertavun merupakan sesuatu yang tergolong langka, unik, dan luar biasa menarik untuk diteliti dan dikaji, ungkap Marcus. Karenanya perlu diangkat ke permukaan untuk dipromosikan karena lukisan tangan para leluhur yang tergolong langka di tebing batu setinggi 24 meter itu secara antropologi mengisyaratkan adanya semacam kesamaan hubungan keturunan antara suku asli Kepulauan Kei dengan penduduk asli Australia.

[sunting] Sejarah LisanPenduduk Kepulauan Kei hampir tidak memiliki catatan sejarah tertulis. Sebaliknya mereka memiliki Tom-Tad, yakni hikayat-hikayat lisan yang disertai dengan benda-benda warisan tertentu sebagai penjamin keontentikan hikayat itu. Sebagian besar hikayat ini dibumbui dongeng atau lambang-lambang, akan tetapi dianggap sepenuhnya benar secara harafiah oleh pribumi kepulauan ini pada umumnya. Menurut hikayat setempat, leluhur orang Kei berasal dari Bal (Bali), wilayah kerajaan Majapahit di kawasan Barat Nusantara. Konon dua perahu utama berlayar dari pulau Bali, masing-masing dinahkodai oleh Hala'ai Deu dan Hala'ai Jangra. Setibanya di kepulauan Kei, dua perahu ini berpisah. Perahu rombongan Jangra menepi di Desa Ler-Ohoylim, pulau Kei Besar, dan perahu rombongan Deu berlabuh untuk pertama kalinya di Desa Letvuan, Pulau Kei Kecil. Letvuan dijadikan pusat pemerintahan, tempat dikembangkannya hukum adat Larvul Ngabal (Darah merah dan tombak Bali) atas gagasan Putri Dit Sakmas. Bukti hubungan dengan Bali ini di Kei kecil mencakup beberapa benda warisan dan sebuah tempat berlabuh yang dinamakan Bal Sorbay (Bali-Surabaya), yakni tempat perahu keluarga kerajaan itu dulu berlabuh. Hala'ai Jangra dan Hala'ai Deu adalah gelar, bukan nama diri. Nama asli mereka tidak lagi diketahui. Sebagian pemuka adat Kei mengatakan bahwa nama asli Hala'ai Deu adalah Esdeu, ada yang mengatakan Kasdeu, ada pula yang berpendapat bahwa nama sebenarnya adalah Sadeu, atau Sadewa, atau pun Dewa. Selain Bali, orang Kei yakin bahwa negeri-negeri asal leluhur mereka mencakup Sumbau (Pulau Sumbawa), Vutun (Buton), Seran Ngoran (Pulau Seram dan Gorom di Maluku Tengah), serta Dalo Ternat (Jailolo dan Ternate).

[sunting] Zaman modernPulau kecil Tanimbar-Kei bukanlah bagian dari Kepulauan Tanimbar, melainkan bagian dari Kepulauan Kai dan berpenghuni kurang dari 1000 jiwa, warganya sangat tradisional. Setengah dari populasi pulau ini mengaku beragama Hindu, namun kenyataannya mereka mempraktekkan pemujaan leluhur, yakni sistem religi asli Kepulauan Kai. Pada tahun 1999 pecah kerusuhan antara warga Muslim dan Kristiani di Kota Ambon yang kemudian merambat pula ke Kepulauan Kai, akan tetapi dengan cepat mereda serta tidak banyak menelan korban jiwa.

[sunting] BahasaAda tiga bahasa rumpun austronesia yang dipertuturkan di Kepulauan Kai; Bahasa Kei (Veveu Evav) adalah yang paling luas pemakaiannya, yakni di 207 desa di Kei Kecil, Kei Besar, dan pulau-pulau sekitarnya. Penduduk Pulau Kur dan Kamear menggunakan Bahasa Kur (Veveu Kuur) dalam percakapan sehari-hari, Bahasa Kei mereka gunakan sebagai lingua franca. Bahasa Banda (Veveu Wadan) digunakan di desa Banda Eli (Wadan El)dan Banda-Elat (Wadan Elat) di bagian barat dan Timur Laut Pulau Kei Besar. Para Pengguna Bahasa Banda berasal dari Kepulauan Banda, tempat di mana bahasa itu tidak lagi digunakan. Bahasa Kei tidak memiliki sistem tulisan sendiri. Para misionaris Katolik dari Belanda menuliskan kata-kata Bahasa Kai dengan suatu bentuk variasi penggunaan abjad Romawi.

[sunting] Kosa KataBeberapa kata dalam Bahasa Kei memiliki fonem V (seperti V pada Via dalam Bahasa Latin) yang berbeda dengan fonem F dan P. Penduduk wilayah Utara Pulau Kei Besar membedakan fonem R seperti pada kata Rata dalam Bahasa Indonesia, dengan fonem R seperti pada franais M un demikian, dalam bentuk tertulis, kedua fonem ini tidak dibedakan. Kosa kata Bahasa Kei modern mencakup banyak kata serapan dari banyak bahasa lain terutama Bahasa Melayu. Sebagian besar adalah nomina, yakni nama beberapa benda yang baru dikenal masyarakat Kepulauan Kei pada akhir abad ke-19. Kata-kata yang memiliki huruf P dan G dapat dipastikan merupakan kata serapan, karena kedua fonem tersebut tidak dikenal dalam kosa kata Bahasa Kei asli. Contoh beberapa kata serapan :

Gur = Guru Agam, Angam, Ayngam = Agama Masikit = Masjid Pen = Pena

[sunting] Perekonomian

Kepulauan Kei dianugerahi terumbu karang yang produktif dan berlimpah, dikelilingi laut yang dalam. Seperti kebanyakan masyarakat Maluku, mata pencaharian orang Kei merupakan suatu kombinasi dari kegiatan bercocok-tanam, berburu, dan menangkap ikan di perairan sekitar pantai. Karena Kepulauan Kei tidak menghasilkan rempah-rempah ataupun komoditas yang bernilai tinggi lainnya selain kayu, perahu dan teripang, maka Kei luput dari perhatian pedagang dan kolonialis Barat sampai dasawarsa terakhir abad ke-19. Ikan dan kerang berlimpah ruah di laut sekitar Kepulauan Kei. Menangkap ikan adalah aktivitas sekunder; keluarga-keluarga umumnya menghabiskan lebih banyak waktu untuk bercocok tanam. Warga desa menangkap ikan dengan menggunakan perangkap ikan, kail, lembing, dan jala, atau dengan mengumpulkan ikan-ikan yang terjebak di terumbu karang dan ceruk-ceruk pantai pada saat air laut surut. Sejak tahun 1980an, banyak nelayan mulai menggunakan jaring nilon dan motor tempel. Beberapa warga desa memperdagangkan sebahagian hasil panen atau tangkapannya kepada para tengkulak atau di pasar-pasar kota Tual dan Elat. Sumber pendapatan tunai lainnya mencakup penjualan kopra dan cangkang kerang lola (Trochus niloticux), usaha dagang eceran, sumbangan dari anggota keluarga di rantau, dan gaji pegawai negeri.

[sunting] Seni Budaya[sunting] Alat MusikAlat musik tradisional di Kepulauan Kai adalah:

Savarngil (Suling): Seruling kecil lokal sepanjang 4 sampai 8 inci, terbuka di kedua ujung, memiliki enam lubang tempat jari, terbuat dari bambu, dan tanpa kunci nada. Tiva (Gendang): Terdiri atas selembar membran dari kulit sapi yang direntangkan eraterat menutupi salah satu ujung dari sebuah wadah yang berlubang. Dada (Gong): Alat musik tabuh dengan jari-jari 12 sampai 15 inci, terbuat dari tembaga atau besi dengan tonjolan di bagian tengah.

[sunting] TarianSosoy Temar-Rubil (Tarian Perang) yang penuh semangat hanya ditarikan oleh kaum pria, sementara tarian yang lembut seperti Sosoy Kibas (Tari Kipas) hanya ditarikan oleh kaum wanita. Gerakan-gerakan yang tidak terlampau lembut maupun beringas hanya terdapat dalam Sosoy Sawat (Tarian Pergaulan) dan Sosoy Yarit (Tarian Umum), dan oleh karenanya dapat ditarikan baik oleh pria maupun wanita. Gerak-gerik yang agung dan lemah-lembut diijinkan dalam tarian pria seperti dalam Sosoy Swar Man-Vuun (Tarian Penghormatan), namun gerakgerik yang cepat dan lincah tidak terdapat dalam tarian wanita. Tarian asli Kei umumnya diciptakan untuk tujuan penghormatan, sehingga jarang ditarikan oleh anak-anak. Hanya orang dewasa dan remaja akil-balig yang diikutsertakan. Bahkan sosoy Swar Man-Vuun yang dipentaskan di haluan "Bilan" (Perahu Kebesaran) dulunya hanya ditarikan oleh pria yang sudah berkeluarga. Penari wanita di kepulauan Kei juga menggunakan Kipas, Yerikh (Daun lontar yang dikeringkan) dan Penari Pria dapat menggunakan panah, parang, Tombak dan juga bulu Kasuari dan diikatkan pada ujung tongkat berukuran kurang lebih 10 cm.

Seperti di banyak tempat di Kepulauan Maluku, sejak zaman kolonial, orang Kei mengenal pula dansa ala Eropa, dan kaum mudanya saat ini tidaklah jauh tertinggal dalam seni tari kontemporer. Dansa Waltz, cha cha cha, dan bahkan joget dangdut umum dijumpai dalam pestapesta mereka.

Kepulauan Kai (atau Kei) di Indonesia berada di bagian tenggara Kepulauan Maluku, termasuk dalam Provinsi Maluku. Penduduk setempat menyebut kepulauan ini Nuhu Evav ("Kepulauan Evav") atau Tanat Evav ("Negeri Evav"), tetapi dikenal dengan nama Kei atau Kai oleh penduduk dari pulau-pulau tetangga. "Kai" sebenarnya adalah sebutan dari zaman kolonial Hindia Belanda, dan masih digunakan dalam bukubuku yang ditulis berdasarkan sumber-sumber lama. Kepulauan ini terletak di selatan jazirah Kepala Burung Irian Jaya, di sebelah barat Kepulauan Aru, dan di timur laut Kepulauan Tanimbar. Selain itu masih terdapat sejumlah pulau kecil tak berpenghuni. Total luas area daratan Kepulauan Kai adalah 1438 km (555 mil). Kei Besar bergunung dan berhutan lebat. Kei Kecil datar dan memiliki populasi terbanyak. Pulau ini sebenarnya merupakan sebuah pulau koral yang terangkat ke permukaan laut. Ibukota kepulauan ini adalah Kota Tual, yang mayoritas warganya beragama Islam. Tak jauh dari Tual terletak Langgur yang merupakan pusat bagi warga Kristiani. Kei termasyhur berkat keindahan pantai-pantainya, misalnya pantai Pasir Panjang.

Kepulauan Kai merupakan bagian dari daerah Wallacea, kumpulan pulau-pulau Indonesia yang dipisahkan oleh laut dalam dari lempeng Benua Asia maupun Australia, dan tidak pernah tersambung dengan kedua benua tersebut. Sebab itu, hanya terdapat sedikit jenis mamalia lokal di Kepulauan Kai.

Pembentukan wawasan kebangsaan Indonesia tentu dimulai dari nilai kebersamaan dan persaudaraan kelompok kecil secara territorial maupun kelompok budaya. Orang Kei pada dasarnya merupakan msyarakat bhineka tunggal ika karena menurut penuturan sejarah lisan di kalamngan masyarakat setempat, para leluhur yang mendiami kepulauan Kei/Kai/ Nuhu Evav berasal dari berbagai pulau di Nusantara ini. Ada yang datang dari utara yakni pulau Seram , Ternate dan sekitarnya. Sebagian dari Bugis Makasar,dan yang lain dari Luang Lati di ujung selatan Maluku. kelompok yang datang dari Pulau Bali di kemudian hari sangat besar peranan mereka dalam pembentukan nilai-nilai budaya baru masyarakat Kei. Karena tuntutan situasi dan kebutuhan yang sama, penduduk yang terlebih dahulu mendiami kepulauan Kei dan pendatang dari Bali menyepakati norma hukum adat yang dinamai Larvul

Ngabal. Norma hukum yang diperkirakan diberlakukan di kepulauan Kei sejak abad 14 atau 15 M itu sudah semakin tidak dikenal oleh generasi Muda kei. Penuturan sejarah Kei secara lisan dengan berbagai versi ikut membenamkan rasa persaudaraan yang dibina berabad-abad lamanya. Lupakan saja peristiwa pahit di Maluku beberapa tahun lalu. Kita ambil sisi positifnya bahwa semakin tumbuh di kalangan Generasi Muda Kei kerinduan menjalin kembali persaudaraan yang tulus sebagaimana terbentuk antara para Leluhur masyarakat Kei berabad-abad lalu. Apalah gunanya, saudara-saudariku, jika seseorang mengatakan bahwa ia adalah sudaramu jika ia tidak mewujudkan kebersamaan dan persaudaraan di tanah Kei? Munculnya kesadaran baru generasi muda Kei untuk mempelajari adat istiaddatnya, terutama hukum adat Larvul Ngabal, merupakan masa pencerahan menuju hidup damai dalam kasih persaudaraan. Bagaimana memulainya? Mengembanmgkan cinta pada budaya daerah haruslah dimulai dari mengenal dan memahami kebudayaan Kei secara lebih mendalam. Agar tidak terpeleset dan terjebak dalam penafsiran nilai budaya Kei yang lihur, sebaiknya kita pelajari berbagai dokumen tentang kehidupan masyarakat Kei pada masa lalu didukung penelitian yang menjamin obyektifitas sejarah budaya masyarakat Kei. Untuk menggapai cita-cita luhur masyarakat Kei yaitu kembali menjujung tinggi semangat persatuan dalam berbagi bentuk perwujudannya, sebaiknya kita perlu memperhatikan apa yang dikemukakan oleh Prof.Dr.Sartono Kartodirdjo (1982) bahwa dalam setiap upaya penyusunan kembali suatu relitas sejarah, peneliti/penulis terlebih dahulu perlu memiliki pemahaman atas : a. Sejarah naratif : ingin membuat deskripsi tentang masa lampau dengan merekonstruksikan apa yang terjadi serta diuraikan sebagai ceritera, dengan perkataan lain kejadian-kejadian penting diseleksi dan diatur menurut poros waktu sedemikian rupa sehingga tersusun sebagai ceritera (story). b. Sejarah non-naratif: tidak menyusun ceritera tetapi berpusat pada masalah, jadi problem-oriented. Dengan banyak meminjam dari ilmu sosial, dicoba mengungkap pelbagai tingkat atau dimensi dari realitas sejarah, lalu dipilihnya satu atau sekelompok serrta diuraikannya secara sistematis mungkin. Fakta-fakta yang dikonstruksikan berbeda dengan fakta dari sejarah naratif.(Prof.Dr.Sartono Kartodirdjo (dalam buku Pemikiran Dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Penerbit PT Gramedia, Jakarta,1982, hal.5). JIKA KITA INGIN SUATU KEPASTIAN TENTANG SEJARAH KEBUDAYAAN KEI, kita perlu sepakati diskusi kita menggunakan pendekatan yang mana. Data dapat kita cari dari berbagai sumber pustaka atau banyak nara sumber lisan. Membaca banyak tulisan yg tersebar di beberapa perpustakaan, a.l. Rumpius Ambon, Kolsani Yogyakarta dan tempat lain, hampir sebagian besar dalam bahasa Belanda, Inggris dan Perancis. Ada beberapa dalam bahasa Indonesia. Hampir semuanya menggunakan pendekatan Sejarah Naratif. Thn 1981 selama setahun saya mengembara di Kei besar dan ingin belajar tentang sejarah kebudayaan Kei saya temui banyak pertanyaan yg tidak terpecahkan. Ambil contoh versi asal usul pembentukan Hukum Lar Vul Nga Bal yang dikisahkan di Kei Besar tidak persis sama dengan penuturan Lisan yg kita warisi turun temurun di Kei Kecil. Oke, itu tantangan kita. Saran saya, mulai saja mengangkat salah satu tema yang mendasar dan kita diskusiklan. sbg contoh, apakah hukum Lar Vul Nga Bal diciptakan oleh dua tokoh berbeda di dua tempat berbeda, ataukah satu hukum yang ditetapkan di satu tempat oleh beberapa pihak,kemudian disepakati bersama menjadi hukum adat Kei. Saya ingin berbagi info tentang beberapa sumber pustaka yang boleh saudaraku sekalian cari di perpustakaan yang tersebar di Indonesia :

1. H.Geurtjens, M.S.C ; Uit Een Vreemde Wereld of Het Leven En Streven Der Inlanders Op De KeiEilanden. .s-Hertogenbosch:TeulingsUitgeverst-Maatscappij; 1921; Perpustakaan Kolsani dan Perpustakaan Seminari Tinggi Kentungan, Yogyakarta). 2. H.Geurtjens, M.S.C ; Woordenlijst der Keieesche taal (Kamus bahasa Kei);Verhand,V.H.Batav.Genoots.V.Kunsten & Wetens.,63/3; 1021, Weltevreden dsl.Albrecht &Co.dsl. ; Perpustakaan Kolsani dan Perpustakaan Seminari Tinggi Kentungan, Yogyakarta; 3. H.Geurtjens, M.S.C; Keieeche Legenden; Bahasa daerah Kei (Evav) dengan terjemahan Bahasa Belanda; Weltwvreden ,A.Emmink & s-Hage.M.Nijhoft,1924. ; Perpustakaan Kolsani dan Perpustakaan Seminari Tinggi Kentungan, Yogyakarta. 5. H.Geurtjens, M.S.C ; Zijn plaats onder de zon; Roermond dsl..Romen t.thn Perpustakaan Kolsani dan Perpustakaan Seminari Tinggi Kentungan, Yogyakarta. 6. J.Kunst; Een en ander over Muziek en den Dans op de Kei-Eilanden; druk de Bussy-Amsterdam 1945 ; Perpustakaan Kolsani dan Perpustakaan Seminari Tinggi Kentungan, Yogyakarta. 7. Zakarias Argun Rumlus ; Ceritera Pada Masa Raja Ohoiwuur; Letfuan, 1922; Disalin kembali oleh Raymundus Inuhan dan Pastor P.B.Resubun MSC; Langgur, 1973. 8. Jan van den Bergh, MSC ; Godienst, Eredienst,Toovenareij en Beijgelovevigheid bij de Heijdensche Keiezen; Annaalen MSC;1928. Yogyakarta: Perpustakaan Kolsani dan Perpustakaan Seminari Tinggi Kentungan. 9. Dee; Adatstaatsrechtelijke indeeling Kei-einlanden, Copy of letter to the Governor of Maluku in Ambon. No.2213/30,Desember 15,1934, Amboina;1934. 10. F.A.E. Van Wouden; Types Of Social Structure In Eastern Indonesia;Englis Translation by Rodney Nedham;The Hague-Martinus Nijhoff; 1968. 11. Murwati Djoened Poesponegoro dan Nogroho Notosusanto; di dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jld. II dan III edisi ke 4;Balai Pustaka;Jakarta 1984. 12. Anton Gillen MSC; Ulasan Singkat Mengenai Nama, Penduduk, Raja-Raja Di Pulau Evav; Langgur, thn 1979. 13. Anton Gillen , MSC ; Adat Istiadat Evav; Langgur , thn 14. Sartono Kartodirdjo; Sejarah Nasional Indonesia II; Balai Pustaka; Jakarta ,1975. 15. Prof.Dr.Sartono Kartodirdjo (dalam buku Pemikiran Dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Penerbit PT Gramedia, Jakarta,1982, hal.5), 16. Ph. Renyaan ; Kursus Adat Istiadat Evav;Langgur,1976 17. Barraud,Cecile; Tanebar-Evav; Une Societe maison tournee vers le large. Cambridge, London, New York etc. Cambridge University Press; 1979. Ambon : Perpustakaan Rumpius.( lihat ; Yohanes Ohoitimur: 18. Resubun P.B. MSC; Sekelumit Sejarah Kepulauan Kei; Langgur 1980. 19. H.Haripranata,S.J.; Ceritera Sejarah Gereja Katolik Di Kei dan Di Irian Barat; tahun Yogyakarta: Perpustakaan Kolsani dan Perpustakaan Seminari Tinggi Kentungan.. 20. Ohoitimur Yohanes; Beberapa Sikap Hidup Orang Kei: antara Ketahanan diri dan Proses perubahan. Unpublish B.A. Thesis,Manado:Sekolah Tinggi Seminari Pineleng;1983 . 21. Laksono, P.M.; Wuut Aimehe Nifun, Manut Ainmehe Tilur (Eggs from O ne Fish and One Bird) : A Study of Maintenance of Social Boundaries in Kei Island,Ph.D. Thesis. Ithaca: Cornell University, 1990 . Yogyakarta: Perpustakaan Kolsani dan Perpustakaan Seminari Tinggi Kebntungan. Sekali lagi penuturan sejaran lisan sangat banyak versinya. Semoga kita generasi ini menemukan yang lebih mendekati

kebenaran mereka di zaman dulu Kei, bukan kebenaran kita zaman sekarang Mohon maaf bila ada kekeliruan. saya juga masih mencari terus seperti saudaraku sekalian. Salam persaudaraan ,Tabe Ain ni ain.

AGAMA DAN BUDAYA LOKAL MASYARAKAT KEI

1 Vote I. Pendahuluan Realitas problematis masyarakat Maluku dengan adanya konflik kemanusiaan (1999) sungguh menghantar setiap orang pada sikap saling membenci. Kehadiran kelompok lain hanya sebagai acaman. Masyarakat mengalami tantangan yang berat serta berada dalam situasi yang tidak mengenakan. Meskipun demikian, konflik di Maluku khususnya di Kei dapat dengan cepat berakhir, dibanding daerah-daerah lain. Salah satu indikasi yang cukup kuat dalam mendukung upaya rekonsiliasi tersebut adalah pemahaman masyarakat Kei akan kearifan lokalnya, yang tercermin dalam hukum adat Larwul Ngabal, selan itu, juga adanya peran penting dari agama, dan pemerintah. Kerjasama antara tiga institusi, yakni, adat, agama dan pemerintah, adalah merupakan bagian dari elaborasi kearifan lokal masyarakat Kei. Hal ini tercermin dalam prinsip hidup yakni adat, kubni, dan agam.[1] Sebagai tonggak yang menopang seluruh dimensi kehidupan. Dalam realitas kehidupan masyarakat Kei adat mendapat tempat pertama, sebab sebelum adanya pemerintah dan agama Abrahamik di bumi Larwul Ngabal, adat dan lembaga adat atau budaya orang Kei sudah lebih dahulu berperan. Dalam interaksi kehidupan sehari-hari pada masyarakat Kei, terdapat tiga nilai perekat, yakni (1), falsafah ain ni ani yang dimaknai sebagai bentuk persaudaraan; (2), falsafah foing fo kut fauw fo banglu. Nilai foing fo kut ini bermakan menghimpun beberapa mayang kelapa lalu diikat jadi satu, dengan tujuan mendapatkan hasil pembakaran yang menghasilkan cahaya untuk menerangi kehidupan, sedangkan fauw fo banglu, u t u u untuk dapat membentengi diri dalam menghadapi serangan[2]; dan (3), filosofi wuut ain mehe ni ngifun, manut ain mehe ni tilur, yang bermakna bahwa semua orang Kei berasal dari satu keturunan.[3] Secara umum kebudayaan dapat diartikan sebagai kumpulan pengetahuan yang secara social diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya.[4] Sekalipun sebagai warisan, kebudayaan kemudian tidak serta-merta menjadi mutlak. Karena itu, dalam pandangan Soedjatmoko, tentang

konsep otonomi dan kebebasan, dia menyatakan bahwa kebudayaan sebagai otonomi beraspek statis, bertahan terhadap perubahan; sedangkan kebudayaan sebagai kebebasan beraspek dinamis, mendorong perubahan.[5] Dalam perspektif seperti inilah dapat dimaknai prinsip hudup masyarakat Kei seperti diuaikan di atas. Kekristenan sampai ke Maluku pada saat Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) berkuasa pada abad 17 dan 18. Kehadiran para pendeta dan ziekentrooster bukan saja dimanfaatkan oleh gereja untuk melayani pegawai VOC tetapi juga untuk memelihara orang-orang Kristen Ambon yang sebelumnya menganut agama Katolik Roma yang kemudian di-Protestankan ketika penguasa VOC mengambil alih kekuasaan di Ambon dari tangan Portugis pada tahun 1605.[6] Dan, sejak tahun 1635 diadakan pekabaran Injil ke pulau Kei, kemudian Aru, Tanimbar dan pulau-pulau Selatan Daya (Babar, Wetar, Leti, dst) dengan memakai tenaga guru. Sampai dengan abad ke-18 Kekristen-an telah diterima oleh orang-orang Maluku yang terhimpun dalam jemaatjemaat dan tersebar di hampir seluruh daerah kepulauan Maluku.[7] Dalam perjumpaan agama dengan kebudayaan (adat) setempat ini, nampak sikap negatif yang di perlihatkan oleh agama terhadap budaya lokal. Dalam konteks masyarakat Kei, dapat ditelusuri pada peristiwa tahun 1960-an dan 1970-an yakni pengahancuran benda-benda agama suku Kei yang menurut pemahaman masyarakat setempat memiliki kekuatan magis. Suatu peristiwa yang sungguh memberi penilaian negatif terhadap gereja dengan tindakannya. Akibatnya ada sebuah pengalihan atau perubahan pemahaman yang menempatkan benda-benda agama suku sebagai sesuatu yang memiliki kekuatan magis, berubah menjadi menempatkan benda-benda yang berhubungan dengan gereja (Alkitab, roti perjamuan dan air bekas baptisan, gedung gereja, dan lain- ), gg g t t u t g Air bekas baptisan misalnya diyakini mempunyai khasiat menyembuhkan dan diberi minum kepada orang sakit. Agama Kristen lahir dalam tradisi monoteisme Yahudi, dan Yesus adalah pewaris tradisi yang telah mapan itu. Para pendiri gereja Kristen kemudian mengakui berbagai manifestasi kebenaran sebelumnya, dan menganggap agama Kristen sebagai pewaris dan ungkapan kebenaran yang final. Untuk itu, maka sejak awal sejarah gereja secara eksklusif telah mengatakan bahwa orang hanya dapat dibenarkan atau diselamatkan melalui Kristus di dalam gereja. Doktrin yang ekstrim ini membawa konsekuensi pada pemahaman bahwa orang diluar gereja adalah kafir, dan orang kafir haruslah diselamatkan. Caranya adalah harus dibabtis dan masuk menjadi anggota gereja. Doktrin ini memiliki pengaruh yang sangat besar dalam sejarah teologi Kristen kemudian. Namun demikian, pendasaran ajaran Kristen pada awalnya, yang dilakukan dengan metode g g o o -pokok ajaran Kristen seperti: Doa Bapa Kami, Pengakuan Iman Rasuli, dan Dasa Titah, sepertinya tidak berhasil dengan tuntas pada masyarakat Kei. Hal ini terbukti dengan masih diyakininya agama suku dalam wujud Duan, bahwa semua benda di bumi ini memiliki suatu kekuatan di dalamnya Duan. Senada dengan yang digambarkan Soedjatmoko, bahwa proses tertanamnya budaya asing di Indonesia tak pernah berhasil sampai tuntas. Sebabnya adalah karena pengaruh budaya asing harus berhadapan dengan kebudayaankebudayaan setempat yang sudah terbentuk, dan norma-norma budaya asing (agama Abrahamik) tak dapat menggeser sama sekali atau mengganti norma-norma adat dalam masing-masing kebudayaan di Nusantara.[8]

Tulisan ini, mencoba menguraikan realitas hidup masyarakat Kei dan norma-norma yang mendasari kehidupan mereka, serta bagaimana perjumpaan norma-norma atau model agama sukunya itu dengan agama Kristen, atau bagaimana ajaran Kristen melihat norma adat Kei dalam perjumpaan kekinian. II. Realitas Kehidupan Masyarakat Kei Secara khusus, keberadaan hidup masyarakat di kepulauan ini mungkin belum banyak dikenal, namun dalam catatan sejarah lokal Kepulauan Kei memiliki keunikan yang terpancar dari kebudayaan lokalnya. Hal ini terlihat dari kekompakan masyarakat Kei yang secara struktural tetap mempertahankan hukum adat tertingginya Larvul Ngabal[9] suatau hukum adat yang di dalamnya mengatur semua aspek kehidupan individu (manusia) maupun komunitas atau ohoi. Ohoi adalah satuan pemukiman terkecil (setara dengan kampung/desa).[10] Sejak ditetapkannya UU No. 5 Tahun 1979 oleh Pemerintah Orde Baru, ohoi kemudian berubah namanya menjadi desa, atau beberapa ohoi disatuakn menjadi satu desa. Secara umum, masyarakat Kei terklasifikasi dalam dua persekutuan adat, yakni, Lor Siw / Ur Siw (Siw Ifaak) dan Lor Lim (Lim Itel). Secara etimologis Lor berarti kumpulan orang banyak atau sekumpulan orang yang mendiami wilayah/Ratschap atau kesatuan masyarakat hukum adat berdasarkan faktor geneologis dan faktor teritorial, sedangkan Siw dan Lim menunjuk pada angka 9 (sembilan) dan 5 (lima). Angka ini dipahami sebagai lambang institusi masing-masing persekutuan. Artinya kuantitas massa yang banyak itu terorganisir dalam institusi tersebut[11]. Hukum adat Larvul Ngabal merupakan gabungan dari dua hukum adat, yaitu hukum Larvul yang ditetapkan di desa Elaar, Kei Kecil oleh sembilan Rat (raja) yang kemudian dikenal dengan nama Ur Siw, dan hukum adat Ngabal ditetapkan di desa Lerohoilim, Kei Besar oleh lima Rat (raja) yang kemudian bernama persekutuan Lor Lim. Selanjutnya, dalam proses penahklukan dan perluasan wilayah kekuasaan dari kedua persekutuan masyaraat adat ini, kemudian bersepakat untuk berdamai dengan menggabungkan kedua hukum adat tersebut menjadi Larvul Ngabal.[12] Terdapat beberapa prinsip dan sikap hidup orang,[13] yang secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut: Pertama,Sikap rela menolong, istilah yang dipakai untuk menjelaskan sikap hidup orang Kei ini ialah maren atau hamaren. Maren berarti bekerja bersama-sama. Sikap dasar untuk menolong sesama ini terjadi secara spontan, tanpa undangan resmi. Misalnya, membuka kebun baru, mendirikan rumah (termasuk gereja atau masjid), pesta perkawinan atau kematian. Semua orang yang merasa terkait dalam kekerabatan bekerja bersama-sama. Jadi ada semacam kerelaan dari setiap orang untuk membantu sesama demi kekerabatan yang telah terjalin. Sikap rela menolong ini pada dasarnya dilakukan demi kelestarian hubungan dengan orang lain. Dengan demikian, ada perasaan wajib untuk menolong sesama. Kedua, Sikap percaya bahwa orang lain akan membantu. Sikap ini erat kaitannya dengan sikap rela menolong yakni dengan membatu orang lain, dia sendiri percaya bahwa orang lain juga akan membantu setiap usaha dan pekerjaannya. Ketiga, Sikap hormat dan taat kepada atasan. Ketaatan dan penghargaan kepada atasan menjadi kebiasaan diseluruh daerah. Atasan menurut pandangan orang Kei adalah orang yang dapat mempersatukan suatu kelompok kekerabatan. Dia memiliki kekuasaan dan merupakan representasi hukum yang mengatur seluruh kosmos. Seorang atasan lebih merupakan unsur transenden, mengatasi seluruh kolektivitas. Oleh karena itu,

kedudukannya dihormati dan ditaati.[14] Dan, keempat, Sikap tahu berterima kasih. Dalam bahasa Kei kat t t tet ya. Istilah ini memiliki makna yang sangat mendalam, t y u, g u saya tempatkan dalam lubuk hati agar engkau dekat dengan y J t u t o gK o g n perlu dibalas dengan sikap yang mengeratkan hubungan sosial. 2.1. Sistem Kekerabatan pada Masyarakat Kei Inti dari adat-istiadat orang Kei adalah kekeluargaan. Kekeluargaan pada masyarakat Kei dimaknai dalam arti yang luas yaitu mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia, dan tidak hanya terbatas pada bentuk kekeluargaan secara biologis. Semangat kekeluargaan dan kekerabatan di Kei yang diikat dengan hukum adat terujud dalam relasi Yanur-Mangohoi, KoiMaduan, dan Teabel. Pertama, Yanur-Mangohoi, bentuk kekerabatan ini merupakan suatu kesatuan orang-orang yang diikat dalam perkawinan adat. Artinya perkawinan dua orang menjadi tanggungjawab dua keluarga besar (fam). Fam merupakan suatu kelompok kekerabatan yang bersifat patrilineal. Yanur-Mangohoi diikat dalam suatu perkawinan dan berlaku terus selama belum ada kematian dari salah satu pihak. Meskipun islilah ini hanya dikenakan dalam konteks perkawinan, namun implikasi dari sistem ini juga ada dalam upacara kematian. Kedua, Koi-Maduan, secara harfiah, Maduan berarti tuan atau pemilik. Maduan adalah orang yang selalu memberikan bantuan, sedangkan pihak penerima bantuan disebut Koi yang artinya bawahan atau abdi. Koi-Maduan dapat dipakai dalam beberapa konteks, misalnya dalam perkawinan dan perjanjian sosial-ekonomi, di dalamnya terdapat relasi atasan dan bawahan. Pihak atasan bertindak sebagai yang menguasai, mengatur, menuntut hak, dan bertanggungjawab atas kepentingan bawahannya, sedangkan pihak bawahan wajib tunduk dan taat, serta mempercayakan diri kepada atasannya dan melayani. Bentuk kekerabatan ini berlandaskan rasa percaya yang tinggi, namun dalam prakteknya, terkadang yang terjadi adalah dominasi atasan terhadap bawahan. Ketiga, Teabel, istilah ini terdiri dari dua kata, yakni Tea yang artinya menggores dan Bel yang berarti darah yang mengalir. Jadi Teabel adalah bentuk kekerabatan atau perjanjian yang diikat o U u y g ut u y o t t u y g menunjuk pada dua hal, yakni, sikap untuk membantu orang/kampung lain yang terlibat dalam perjanjian itu, dan kemampuan untuk terlibat dalam kehidupan orang lain dalam kesepakatan adat. Sistem kekerabatan ini sebenarnya mau mengangkat derajad semua orang sebagai saudara yang harus dihargai, dilayani dan diperhatikan.[15] 2.2. Gagasan-gagasan Dasar Kekeluagaan Bentuk-bentuk kekerabatan masyarakat Kei seperti yang telah dijelaskan di atas, memiliki beberapa kesamaan gagasan dasar yakni sikap hidup kolektif, semangat solidaritas, dan kekeluargaan, mengutamakan suatu persaudaraan yang diikat dalam keluarga. Perjanjian adat mengkondisikan semua orang untuk saling membantu dan mengaggap orang lain sebagai

keluarga sendiri. Semua orang terikat dalam relasi kekeluargaan tanpa membedakan agama. Berdasarkan itu, ada dua hal yang perlu diuraikan. Pertama, kebersamaan yang berpusat pada keluarga. Hubungan antar pribadi selalu didasarkan atas u u g u S u o g t g u tu u g H j t u tu u g K w t t Teen fo teen, yanyanat fo yananat, yaan fo yaan, warin fo warin, yanur fo yanur, mangohoi fo mangohoi. Ini bermakna bahwa keluarga Kei memiliki struktur yang memaksa setiap anggota keluarga untuk memiliki status sendiri. Inti dari struktur ini adalah menempatan orang tua sebagai atasan dan anak sebagai bawahan. Satu kecenderungan dasar masyarakat Kei dalam menelusuri hubungan kekeluargaaa dalam g u , y , w t t y o g tu u, u y g u u y , u y t u u g t sempit. Cara seperti ini sama saja dengan menepatkan orang lain dalam struktur keluarganya. Kedua, sikap kolektif orang Kei. Dalam tindakan kolektif (sosial) orang Kei selalu memprioritaskan aspek hukum, bahkan memutlakannya. Didalam kehidupan bersama, hukum adat selalu dijunjung tinggi diatas segalanya. Keataatan terhadap hukum ini didasarkan pada citacita agar kekerabatan semakin terwujud. Itulah suatu kecenderungan dalam sikap kolektif orang Kei. Namun perlu dipahami bahwa kekerabatan karena ketaatan kepada hukum bukan berarti sikap legalistis, yang berarti taat kepada hukum demi hukum itu, tetapi ketaatan orang Kei kepada hukum demi kekerabatan. Peraturan, perjanjian, dan kesepakatan yang diikat dalam hukum harus ditaati agar kekerabatan bisa bertahan, apabila aturan atau hukum dilanggar, maka akibatny t t u u g j t o , gg g, hilang/terputus. 2.3. Sistem Kepercayaan Masyarakat Kei Menurut Yong Ohoitimur, agama asli di Kei pada dasarnya mengandung unsur-unsur: Animisme, Magi, dan Totemisme.[16] Animisme berasal dari perkataan latin, anima artinya y w [17] Dari asal kata ini, nyawa bisa diartikan sebagai roh. Jadi animisme dapat didefinisikan sebagai kepercayaan akan adanya roh-roh yang memasuki benda-benda di dalam alam semesta, misalnya pohon, hutan, batu, air, dan sebagainya. Istilah animisme, peratama kali dikemukakan oleh Edward Tylor, melalui bukunya Primitive Culture (1871). Baginya bentuk agama yang paling awal adalah the beliefe in spiritual being. Dalam visi Tylor mengenai evolusi agama, disamping arwah-arwah dan makhluk-makhluk halus itu, muncul dewata; kemudian diantara para dewata itu salah satunya muncul sebagai dewa atau Tuhan yang terbesar, dan akhirnya dewata yang lain tidak diakui lagi. Dalam konteks masyarakat Kei, terdapat kepercayaan bahwa semua benda di alam semesta memiliki roh. Roh dalam bahasa Kei disebut Duan. Duan dianggap menetap dalam segala benda. Dalam perkembangan, ketika masuknya agama Kristen, Duan itu kemudian mengalami sedikit perubahan dalam penyebutannya menjadi Duad, yang lebih bermakna Tuhan Allah yang mengalahkan/mendominasi duan-duan lain. Wujud dari animisme dalam masyarakat Kei sampai saat sekarng masih dapat teramati dalam betuk pemberian persembahan (daun siri, buah pinang, tembakau, dan uang logam), yang diisi dalam piring dan diletakan dibawah pohon atau tempattempat yang dianggap keramat.

S g M g g o u tu t u u ,y g mempunyai arti lebih tinggi daripada apa yang diperbuat oleh seorang ahli sihir sebagai perseorangan.[18] Kata magi juga digunakan untuk mengartikan usaha-usaha manusia menguasai benda-benda dan orang lain dengan cara gaib. Menurut keyakinan orang, kemampuan bekerja secara gaib pertama-tama terletak dalam suatu pertalian yang erat antara pelaku magi itu dengan roh-roh halus duan, setan atau dewa-dewa.[19] Orang Kei percaya bahwa baik manusia maupun makhluk lain memiliki keahlian (dalam makna duan). Roh itu selalu berusaha mengambil bagian dalam kehidupan manusia dan sebaliknya, maka orang Kei percaya bahwa ia mampu memiliki keahlian untuk mempengaruhi roh manusia/makhluk lain. Pengaruh manusia terhadap roh lain terjadi pada dunia gaib, tidak kelihatan, namun menggunakan benda-benda duniawi. Misalnya seseorang menggunakan sebuah batu (atau suatu benda tertentu), yang mempengaruhi orang lain sampai sakit, atau bahkan sampai meninggal dunia.[20] Selanjutnya, dalam sistem kepercayaan orang Kei terdapat juga model Totemisme. Totemisme adalah sejenis roh pelindung manusia yang berwujud binatang.[21] Dalam realitas hidup masyarakat Kei, sebagai contoh masyarakat Ohoifau meyakini Ikan Puring sebagai Totemnya, orang Ohoidertutu menerima penyu sebagai totemnya, bahkan fam/marga tertentu juga memiliki totem sendiri, dan sebagainya. Orang Kei percaya ada hubungan khusus antara obyek-obyek tertentu, seperti: ikan, burung, tumbuhan, dan sebagainya dengan dunia ilahi. berdasarkan keyakinan seperti ini, orang Kei menyebut ikan suci, rumput suci, burung suci, dan sebagainya. Terhadap obyek suci itu orang harus menghormatinya.[22] Demikianlah menjadi jelas beberapa bentuk asli dari praktek hubungan antara dunia nyata dan dunia ilahi seperti terdapat dalam kehidupan orang Kei. Benang merah yang dapat ditarik dari ketiga unsur di atas adalah bahwa orang Kei masih mengakui adanya suatu kekuasaan ilahi yang sakral di luar yang profan. Sebagian ritus-ritus di atas hanya kemukakan sebagai contoh, untuk menggambarkan bahwa masuknya agama-agama dunia di Kei, tidak serta-merta menhilangkan kepercayaan atau agama suku dari masyarakat tersebut. III. Agama dan Budaya Lokal: Elaborasi Hukum Adat Larwul Ngabal Secara umum, kajian tentang agama setidaknya terbagi dalam dua dimensi, yakni dimensi teologis dan sosiologis. Dimensi teologis berangkat dari adanya klaim tentang kebenaran mutlak ajaran suatu agama. Doktrin-doktrin keagamaan yang diyakni berasal dari Tuhan, kebenarannya juga diakui berada diluar jangkauan kemampuan pikiran manusia sehingga ia semata-mata menjadi ajaran yang cukup diamini saja, pokoknya iman. Sedangkan Dimensi Sosiologis, melihat agama sebagai salah satu dari insttusi sosial, sebagai subsistem dari sistem sosial yang mempunyai fungsi sosial tertentu, misalnya sebagai salah satu pranata sosial. Dalam konteks kajian sosiologi seperti ini, agama tidak dilihat berdasarkan apa dan bagaimana isi ajaran dan doktrin keyakinannya, melainkan bagaimana ajaran dan keyakinan agama itu dilakukan dan mewujud dalam perilaku para pemeluknya dalam kehidupan sehari-hari.[23] Secara lebih khusus, dengan memperhatikan masalah-masalah yang dikemukakan di atas, agama dapat didefenisikan sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi respons terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai gaib dan suci. Agama dibedakan dari isme-

isme lainnya, karena ajaran-ajaran agama bersumber pada wahyu atau kitab suci, melalui nabi atau perantaranya. Dalam agama-agama besar atau samawi ajaran-ajaran agama yang diturunkan melalui wahyu tersebut dibukukan sebagau kitab suci. Sedangkan agama-agama lokal atau primitif, ajaran-ajaran agama tersebut tidak dibukukan. Ia tetap berada dalam bentuk lisan sebagaimana terwujud dalam tradisi-tradisi dan upacara-upacara.[24] Dengan demikian, dibawah ini akan diuraikan pertemuan antara agama dengan budaya lokal. Dalam hal ini, bagaimana ajaran agama Kristen dimaknai oleh masyarakat Kei, dan coba dirumuskan padanannya dengan hukum adat Larwul Ngabal[25]. Darah merah melambangkan bahwa Hukum Larvul itu perasaan- atau pikiran sehati yang berani, agung dan gerak masyarakat. Dan tombak Bali itu adalah lambang, bahwa Hukum Ngabal itu berpijak, tajam, kuat, agung dan sakral. Dengan demikian, terdapat peri-bahasa menyatakan:Larvul inturak, Ngabal inadung. Artinya Larvul menetapkan secara umum dasardasar hukum adat, dan hukum Ngabal lebih mempertegas kekuatan Hukum adat. Secara keseluruhan hukum adat ini terdiri dari 7 pasal[26], yakni: Pasal 1. Uud entauk atvunad: t tu, tu u t u t y dimana kepala pergi maka seluruh badannya ikut. Maknanya, kalau kepala berpikir, bermaksud, dan bergerak, maka seluruh bagian tubuh yang lain ikut melaksanakan apa yang dipikirkan oleh kepala (dalam pengertian partisipasi). Kepala dalam konteks ini, adalah Duad[27] atau yang Mahakuasa; para leluhur (moyang-moyang); dan tokoh-tokoh adat, pemerintah dan orang tua. Kepala masyarakat atau kepala keluarga harus dihormati, karena mereka bertugas untuk melindungi keluarga dan juga masyarakat. Dengan demikian, persekutuan/persatuan dan harmoni dalam masyarakat dapat dijamin, kalau kita saling menghargai dan saling mengakui kewajiban masing-masing, sebagai kepala atau pemimpin dan sebagai anggota tubuh. Tugas perlindungan mereka sebagai kepala juga dikuatkan dengan ungkapan peri-bahasa Kei, yang dinyatakan sebagai: Sob Duad, taflur (flurut) Nit, fo hoar towlai, t y t t berkat dengan berdoa kepada Tuhan, dan kita saling hormat-menghormati dengan mengingat pesanu u u y t t u tD y , t berhadapan dengan agama Kristen, ayat Alkitab yang dipakai sebagai padanan untuk pasal ini adalah Kitab Keluaran 20 ayat 1-2 Pasal 2. Lelad ain fo mahiling: t :L t u u, u u g t t kata ini bermaksud bahwa hidup dan kehidupan diluhurkan dan bersifat jujur. Leher bagi orang Kei danggap sebagai pusat hidup dan kehidupan yang bernafas, dan yang harus dilindungi atau j g tK u 20 y t 13, Jangan membunuh; dan Kejadian 2 ayat 7b, menghembuskan nafas hidup kedalam hidungnya, demikianlah manusia itu makhluk yang hidup. Pasal 3. Ul nit envil rumud : t u t u g u tu u t , u g u arti, yakni pertama, harkat dan martabat manusia harus dilindngi; dan kedua, nama baik orang lain harus dijaga dan dijunjung tinggi, serta kesalahan yang dilakukan oleh setiap individu harus segera dipulihkan dan ditebus. Hal ini juga dapat diartikan sebagai kemampuan merahasiakan

sesuatu tentang orang lain dan diri sendiri. Hal ini sama dengan apa yang tertulis dalam kitab Keluaran 20 ayat 16, jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu. Pasal 4. Laar nakmut naa ivud : t t ut u u g tu u dari pasal ini adalah penghargaan terhadap kehidupan, karena itu, keselamatan setiap orang harus dilindungi. Hal ini berarti dilarang melakukan tindakan penganiayaan, kekerasan, dan kekejaman kepada orang lain atau diri sendiri, yang dapat mengakibatkan keluarnya darah dari dalam tubuh. Sama dengan jangan membunuh Pasal 5. Reek fo kelmutun : t, g t u u u w t u u ungkapan ini memiliki dua arti, yakni, pertama, bahwa kamar tidur dari suami-isteri atau seorang perempuan tidak boleh dimasuki oleh orang lain yang tidak berhak; kedua, perempuan juga dilambangkan seperti tanda sasi (larangan) yang tidak boleh diperlakukan semena-mena. Arti y t o gg ggu o g w t g u, g t , o , u y Pasal 6. Moryaian fo mahiling : t tt u o gy g u u t gg jug w t uj g (g ) gu g u ini juga berkaitan dengan pasal 5. Bahwa orang lain tidak boleh menggunakan atau tidur di tempat tidur orang yang sudah menikah, termasuk tempat tidur seorang gadis. Kedua pasal ini (5 dan 6) dapat dilihat padanannya pada kitab Keluaran 20 ayat 14, Jangan berzinah; y t 17 , Jangan mengingini isterinya (sesamamu). Dan, Pasal 7. Hirani ntub fo ih ni, it did entub fo it did: Milik orang lain tetap jadi miliknya dan milik kita tetap jadi milik kita. Pasal ini mengakui kepemilikan pribadi, selama kepemilikan pribadi itu mempunyai bukti atau ada sejarah (argumentasi) yang dapat membuktikan kepemilikan tersebut. Padanan dari pasal ini adalah kitab Keluaran 20 ayat 17. Dalam konteks ini, pemikiran Weber tentang Etika Protestan menjadi penting untuk dikembangkan. Bahwa pemahaman terhadap agama memerlukan pendekatan ekonomi, dalam rangka peningatan ekonomi jemaat, dan bukan untuk memperkaya para elit agama. Dapat dikatakan bahwa mekanisme lebih lanjut atau aturan pelaksana dari Hukum Adat Larwul Ngabal seperti yang telah diuraikan di atas, dielaborasi lagi ke dalam 3 (tiga) bentuk hukum adat Kei yakni Hukum Nevnev; Hukum Hanilit, dan Hukum Hawear Balwarin. Ketiga hukum adat ini masing-masing terdiri dari 7 pasal. Bila dipilahkan pasal-pasal dari hukum Larvul Ngabal ke dalam ketiga hukum ini, maka pasal 1-4 adalah hukum Nevnev, atau hukum peri-kemanusiaan, penghargaan terhadap kemanusiaan; pasal 5-6 adalah hukum Hanilit, atau hukum susila/perilaku, penghargaan terhadap perempuan; dan pasal 7 adalah hukum Hawear Balwarin atau hukum keadilan sosial[28]. Dari penjelasan ke-7 pasal hukum adat di atas, dapat dilihat bagaimana agama mencoba mengelaborasi diri dalam budaya lokal. Dengan demikian, sudah sepantasnya kehadiran agama samawi atau agama-agama besar dunia itu, dalam perjumpaannya dengan budaya atau agama lokal tidak dalam kerangka menghilangkan atau membunuh agama suku tersebut. Namun harusnya berada dalam perjumpaan yang saling melengkapi.

Permasalahannya, mungkin ada yang salah diri kita dalam menghayati dan memposisikan relasi manusia dengan agama. Agama hadir untuk membantu mengembangkan kepribadian seseorang dan masyarakat, bukan untuk melakukan hegemoni dan memenjarakan martabat potensi kemanusiaan kita. Dengan kata lain, agama hadir untuk memperjuangkan martabat manusia, dan bukan martabat manusia dikorbankan untuk institusi agama. Jadi agama untuk manusia. Jika bercermin pada konflik bernuansa SARA yang terjadi di Maluku tahun 1999, maka yang terjadi adalah bahwa manusia untuk agama, karena itu, orang rela mati atau membunuh orang lain atas nama agamanya. Disinilah letak salah satu kekuatan simbol keagamaan yang amat dahsyat sehingga kualitas individu ditelan oleh emosi solidaritas kelompok sehingga nalar kritis bisa macet. 3.1. Budaya Kei dan Kekristenan: kenyataan yang dapat disejajakan. Hukum adat dan nilai-nilai kekeluargaan yang dimiliki masyarakat Kei sejak dahulu sebenarya memiliki kualitas dan keampuhan untuk tetap menjaga persatuan dalam relasi yang majemuk. Setiap kehidupan dan kegiatan didasarkan pada hukum adat memberi peluang kepada setiap individu untuk tunduk kepadanya dan percaya bahwa hukum yang ada merupakan sesuatu yang sacral dan punya kekuatan. Hukum adat dapat menjamin hak-hak asasi, harkat dan martabat manusia, adanya penghargaan yang tinggi teradap individu, kelompok, dan nilai hidup manusia. Pribadi manusia itu mulia dan agung, memiliki kualitas dan keunikan masing-masing. Budaya Kei pada dasarnya memiliki kesejajaran dengan nilai-nilai kekeristenan. Misalnya, nilai cinta kasih, damai, persaudaraan, suka-cita, solidaritas, dan saling menghargai orang lain tanpa membedakan suku, agama, dan golongan. Nilai kekristenan hendak menunjukan bahwa persaudaraan lebih baik dari pada balas dendam, cinta kasih lebih baik dari pada kebencian. Kekristenan lewat institusinya (gereja) memberi perhatian besar terhadap nilai-nilai kemanusiaan terutama mereka yang miskin, menderita, tertindas, tersingkir, sakit dan mereka yang kecil. Gereja menyadarkan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang terbatas. Untuk itu manusia harus saling membantu, menghargai, solider, terbuka dalam membangun persatuan, kekeluargaan dan persaudaraan sejati dengan Allah dan sesama. Dengan demikian kita dapat mengenal diri kita sendiri sebagai peserta dalam satu komunitas dunia yang meliputi semua agama. 3.2. Budaya Kei dan Kekristenan: dua hal yang saling melengkapi. Adat yang dimaksud di sini adalah kebiasaan-kebiasaan yang diikuti sebagai suatu kebiasaan (folkways) yang baik dan tingkah laku yang sopan, yang merupakan esensi dari kesejahteraan bersama. Adat merupakan wujud ideal dari kebudayaan yang berfungsi sebagai tata kelakuan (mores). Adat merupakan konvesi social yang berfungsi membimbing orang kepada sikap j , o , utu y g S tu, t gu g g t u g t[29] supaya orang tidak melakukan kejahatan. Hal ini dapat terlihat dalam hukum adat Larwul Ngabal, dan sistem kekerabatan dalam budaya Kei. Berhadapan dengan gereja (kekristenan), tidak ada pertentangan pada pandangan ini. Kehadiran gereja dalam kasyarakat Kei, memiliki nuansa yang sama seperti yang tergamarkan dalam adat, baik itu dari segi hukum Tuhan, maupun dari segi hubungan antar manusia, etika (sistem

kekerabatan budaya Kei). Meskipun demikian, disadari bahwa kebudayan memiliki kekhasan dan penegasan sendiri. Kita perlu mengakui bahwa dalam kehidupan sekarang ada kebiasaankebiasaan adat dan peraturan yang tidak dapat dicocokan begitu saja dengan ajaran gereja. Akan tetapi keduanya tetap merupakan hal yang saling melengkapi dan mengatur tata keidupan masyarakat Kei. IV. Peluang dan Tantangan bagi Kehidpan Bersama Dengan mencermati konflik kemanusiaan (1999), yang terjadi di Maluku pada umumnya, dapat disimpulkan bahwa sikap keberagamaan memang selalu mendua. Karena itu, muncul penilaian bahwa setiap agama sejak kemunculannya telah membawa potensi cacat bawaan. Agama, yang pada awalnya merupakan pengalaman institusional dan respon iman dari pemeluknya terhadap seruan yang sakral (Ilahi), ketika berkembang dan menyebar, yang mengemuka adalah agama sebagai kekuatan kolektif-komunal dan institusional yang sarat dengan agenda ideologis yang selalu terlibat dalam situasi persaingan. Berdasarkan hal itu, agama lalu menjadi sasaran pujian dan sekaligus cacian. Wujud dan pengalaman keagamaan yang pada dasarnya bersifat metafisis dan individual, di dalamnya menyimpan kekuatan yang amat dahsyat bagi sebuah dinamika perubahan sosial. Agama sanggup melahirkan kohesi sosial dan gerakan politik yang bisa membangkitkan kekuatan revolusioner dengan para pendukungnya yang sangat militan. Sementara itu, retorika agama yang selalu mengajaran kedamaian tetap bergaung, namun pada level praksis juga muncul banyak peperangan yang terjadi karena motif keagamaan, terutama ketika sentimen agama bersembiosis dengan sentimen kelas ataupun kelompok sosial. Maka, agama yang biasanya pemaaf, toleran, dan kasih itu, bisa saja berubah menjadi militan yang ada kalanya destruktif dan menggeser akal sehat ketika menghadapi kelompok yang berbeda. Pertanyaannya, apa peluang dan tantangan agama dalam perjumpaannya dengan budaya Kei dalam kerangka hidup bersama? 4.1. Peluang Terdapat dua hal yang dapat diuraian sebagai peluang yang dapat dikembangkan untuk menjamin keharmonisan hidup bersama. Pertama, symbol-simbol adat seperti yang telah diuraian di atas, merupakan nilai yang cukup kuat dalam mempersatukan masyarakat Kei. Sistem kekerabatan yanur-mangohoi, koi-maduan, dan teabel, merupakan symbol adat yang mampu memghimpun seluruh masyarakat Kei tanpa memandang agama. Selain itu, keadaan masyarakat Kei yang taat hukum, dan memegang teguh hukum adat Larwul Ngabal dapat dikatakan sebagai ciri masyarakat yang cinta damai. Karena itu, hukum adat seperti yang terurai di atas, merupakan peluang bagi kehidupan bersama lintas agama. Kedua, masyarakat Kei dikenal sebagai masyarakat yang taat beragama, sehingga pada sisi ini peran agama dibutuhkan untuk mengelaborasi diri dalam rangka mencari persamaan dengan nilai-nilai budaya lokal, demikian pula sebaliknya. Perjumpaan agama dan budaya Kei dalam konteks ini dapat menjadi nilai perekat masyarakat untuk menciptakan harmoni, apabila niainilai universal menyangkut kemanusiaan seperti, saling mencintai, perdamaian sejati, kerukunan, keadilan, kemiskinan, anti kekerasan, dan kepedulian terhadap ligkungan, yang ditawarkan

keduanya mampu dielaborasi dan didialogkan oleh para elit, baik elit agama maupun tetua adat sebagai peluang dalam kebersamaan hidup. Dan, bukannya saling meniadakan. 4.2. Tantangan Berdasarkan pada uraian di atas, setidaknya, juga terdapat dua hal yang dilihat sebagai tantangan bagi kehudupan bersama. Pertama, pengaruh budaya global dan intervensi peraturan yang menghendaki uniformitas di berbagai bidang seperti masuknya ilmu pengetahuan dan teknologi baru, jika tidak dikelola dengan baik akan berakibat pada lunturnya nilai tolong-menolong, melemahnya ikatan-ikatan kelompok akibat individualisme yang semakin menguat. Juga penerapan berbagai aturan dengan tujuan penyeragaman, telah menghancurkan sistem pemerintahan adat, akibatnya eksistensi budaya lokal nyaris punah. Dalam konflik (1999), masyarakat Kei saat ini sepertinya telah kehilangan identitas, terasing dari akar budayanya sehinggga menimbulkan frustasi social yang mendalam. Dalam perkembangannya, Adat tidak lagi menjadi yang utama dalam mengatur tata kehidupan masyarakat Kei, ia tergantikan dengan nilai individualisme dan ekonomi kapitalis. Lebih parahnya lagi kadang-kadang adat diobjektifir untuk kepentingan-kepentingan pribadi.[30] Kedua, bahwa pengaruh budaya global itu juga turut mempengaruhi cara beragama masyarakat Kei, nilai-nilai (etika, moral) yang ditawarkan oleh adat dan agama, perlahan-lahan terkikis oleh nilai-nilai baru yang ditawarkan dunia modern. Selain itu, pemahaman-pemahaman baru (pembaharuan teologi) dari agama-agama terasa begitu lamban mempengaruhi masyarakat agama di Kei. V. Penutup Dengan pemahaman, bahwa agama memberikan manfaat secara langsung agar umatnya hidup damai dan sejahtera, maka pembatasan antara hal kudus dan duniawi mungkin harus dipikirkan kembali. Agama harus berusaha untuk mendaratkan ajarannya kepada umatnya agar ajaran itu tidak memisahkan dirinya dengan, misalnya kegiatan perekonomian. Dalam budaya Kei, ditemukan bahwa terdapat banyak nilai yang berharga untuk kehiduan bersama,[31] seperti kekerabatan, kekeluargaan, persaudaraan, ketaatan pada hukum dan atasan, cinta kasih dan tolongoo gt g ,t tu N nilai tersebut terungkap dalam hukum Larwul Ngabal, dan dalam relasi antar manusia seperti yanur-mangohoi, koi-maduan, dan teabel, serta yang secara khusus terikat dalam falsafah hidup o g K manut ain mehe ni tilur, vuut ain mehe ni ngivun, ain ni ain Sejalan dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh kebudayaan Kei, gereja juga mengjarkan kepada masyarakat Kei tentang nilai-nilai etis-moral, seperti saling mencintai, persaudaraan sejati, kerukunan, perdamaian, anti kekerasan, keadilan, kemiskinan, lingkungan, dan dapat menjadi peluang menjain kebersamaan (pertemuan yang saling menghidupi). Maka, baik gereja maupun budaya Kei dapat meberikan inspirasi bagi masyarakat untuk dapat hidup berdampingan. Nilainilai ini dapat menjadi jalan masuk bagi masyarakat agama di Kei untuk berdialog dengan sesamanya. Tentunya dialog dalam pengertian kesetaraan.

Permasalahannya, dalam konteks Indonesia, jika menganalisis pertemuan antara agama (gereja) u y o ( tu y g u u) y g t j g g selalu menjadi kanibalis bagi agama suku dan bentuk kepercayaan lainnya. Kontradiksi internal (pertemuan) tersebut bersumber di dalam kenyataan bahwa masyarakat (bangsa) mengenal pembagian kewenangan atau otoritas (authority), secara tidak merata, suatu hal yang senantiasa mengakibatkan dua macam kategori sosial dalam setiap masyarakat, yakni mereka yang memiliki otoritas (agama resmi) dan mereka yang tidak memiliki otoritas (agama suku). Hal inilah yang sering menjadi alasan untuk membenarkan tindakan represif, ketidakadilan dan diskriminatif, dan pemerintah adalah mungkin yang paling bertanggungjawab terhadap model kekerasan yang ditimbulkan akibat otioritas yang tidak merata itu. Dalam konteks Maluku, khususnya kepulauan Kei, memang dirasakan bahwa konflik berdarah yang pernah terjadi (1999) telah menghancurkan sistem adat dan kepercayaan, yang sudah sempat disinggung di atas, penduduk pada kepulauan ini sepertinya telah terkotak-kotakan menjadi komunitas Kristen dan Islam. Namun demkian, dengan nilai-nilai adat yang juga telah diuraikan di atas, dan dengan falsafah ain ni ain, saya cukup yakin bahwa trauma sosial yang terjadi pasti akan segerah berakhir. Apalagi dengan adanya kebijakan pemerintah pusat yang tidak lagi memberlakukan peraturan penerapan model desa di Maluku, dan wacana penetapan Perda Ohoi sebagai penganti desa akan membuka ruang untuk diberlakukannya sistem pemerintahan adat, yang sebenarnya bertujuan mengembalikan identitas masyarakt Kei sebagai orang Evav (Kei) yang menjadi Kristen atau Islam, dan bukannya orang Kristen atau Islam yang menjadi Kei. Dalam konteks ini, kemudian elit agama harus berbesar hari untuk berani menjelaskan bahwa agama untuk manusia, dan bukan sebaliknya martabat manusia dikorbankan untuk agama. Daftar Pustaka Anderson, Benedict, The Idea of Power in Javanese Culture, dalam Claire Holt, ed. Culture and Politics in Indonesia. (Ithaca , N. Y : Cornell University Press, 1972) Anderson, Roland, (ed), Agama: Dalam Analisis dan Interpretasi Sosiologi, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, cet. IV, 1994) Emile Durkheim Sejarah Agama: The Elementary of the Religious Life, Penerjemah, Inyiak Ridwan Muzir, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2006) Fashri, Fauzi, Penyingkapan Kuasa Simbol: Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre Bourdieu, (Yogyakarta: Juxtapose, 2007) Haar, Ter B., Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta: Pradiya Paramita, 1953) Huijbers, Theo, Manusia Merenungkan Makna Hidupnya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996) Haryatmoko, Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa, (Majalah BASIS, Nomor 11-12 Tahun Ke-52, November-Desember, 2003)

Jr, Honig, A.G., Ilmu Agama (Jakarta: Badan Penerbit Kristen Gunung Mulia, 2000) K , Ig , So j t o o: S u Pembebasan (Jakarta: LP3ES, 1984) o og , So j t o o, Etika

Kuper, Adam & Kuper, Jossica, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000) Krger-Mller, Th. Sedjarah Geredja di Indonesia, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1959) Laksono, P M., Wuut Ainmehe Nifun, Manut Ainmehe Tilut (Eggs from One Fish and One Bird: A Study of the Maintenance of Social Boundaries in the Kei Islands) A Dissertation, The Faculty of the Graduate School of Cornell University, 1990. Latief, M. Syahbudin, Persaingan Calon Kepala Desa di Jawa, (Yogyakarta: Media Pressindo, 2000) Narwoko, Dwi J. Suyanto, Bagong (ed), Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta: Kencana, 2005) Ngabalin, Marthinus, Studi Perbandingan Terhadap Konsep Tuhan Menurut Orang Kei di Kepulauan Kei dan Paulus : Studi Kasus di Desa Ohoiwait, (Program Pascasarjana Magister Sosiologi Agama, UKSW, Salatiga: 2006.tidak diterbitkan) Ohoitimur, Yong, Hukum Adat Dan Sikap Hidup Orang Kei (Manado: Kelompok Studi Communicanda MSC Pineleng, 1996) Pattikayhatu, J. A., dkk, Sejarah Daerah Maluku, (Ambon: Dep. Pendidikan & Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1993) ______________, Sejarah Pemerintahan Adat Di Kepulauan Kei Maluku Tenggara, (Ambon: Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, 1998) Rahail, J. P., Larwul Ngabal: Hukum Adat Kei, (Jakarta : Yayasan Sejati, 1993) _________, Larvul Ngabal : Hukum Adat Kei Bertahan Menghadapi Arus Perubahan, (Jakarta: Yayasan Sejati. 1983) Ritzer, George dan Goodman, Douglas J., Teori Sosial, (Ygyakarta: Kreasi Wacana, 2009) Ruhulessin, Christian, Johny, Etika Public: Suatau analisa Sosio Budaya Mengenai Pela Sebagai Dasar Etika Publik. Disertasi: Program Pascasarjana Sosiologi Agama Universitas Kristan Satya Wacana, (Salatiga: Tidak diterbitkan) http://rahanrejau.mysites.nl/mypages/rahanrejau/458929.htmldiundu. diundu 17 juli 2009

[1] Hal ini merupakan suatu prinsip hidup masyarakat Kei yang sering disebut Adat, Kubni atau pemerintah, dan Agam atau agama, dalam bahasa Kei biasanya disingkat menjadi AKA. Dalam bahasa Indonesia AKA berarti APA. Kedua kata ini merupakan kata tanya, yang dalam prinsip kehidupan orang Kei, adat pemerintah dan agama dimaknai sebagai topangan hidup yang bertujuan menciptakan dan menjaga harmoni masyarakat. [2] Dalam pengertian ini, peluru tidak bermakna modern, namun lebih pada pengrtian tradisional yang mungkin dimaknai dalam bentuk mistis. Karena itu menurut penulis, foing fokut fauw fo banglu, t jug g tu t t gu , t u tu [3]Lihat uraian lengkapnya dalam P M. Laksono, Wuut Ainmehe Nifun, Manut Ainmehe Tilut (Eggs from One Fish and One Bird: A Study of the Maintenance of Social Boundaries in the Kei Islands) A Dissertation, The Faculty of the Graduate School of Cornell University, 1990. [4] Adam Kuper & Jossica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), 199. [5] D K , Ig , So j t o o: S u Etika Pembebasan (Jakarta: LP3ES, 1984), xix o og , So j t o o,

[6] Th. Mller-Krger, Sedjarah Geredja di Indonesia, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1959), 29-31 [7] Ibid., 44 [8] D K , Ig , So j t o o: S u Etika Pembebasan (Jakarta: LP3ES, 1984), xx o og , So j t o o,

[9] Secara etimologi, Larvul Ngabal berasal dari kata Lar yang berarti Darah; Wul yang artinya Merah; Nga yang berarti Tombak; Bal yang berarti Bali. Jadi Larwul Ngabal t y D M (y g g tu u y g bantai dengan tombak dari Bali), J. P. Rahail, Larwul Ngabal: Hukum Adat Kei, (Jakarta : Yayasan Sejati, 1993), 13 [10] J. P. Rahail, Larvul Ngabal : Hukum Adat Kei Bertahan Menghadapi Arus Perubahan, (Jakarta: Yayasan Sejati. 1983), 9 [11] J. A. Pattikayhatu, dkk, Sejarah Daerah Maluku, (Ambon: Dep. Pendidikan & Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1993), 16; sedangkan kesatuan masyarakat hukum adat berdasarkan faktor geneologis dan faktor teritorial, dapat dibaca dalam B. Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta: Pradiya Paramita, 1953), 16 [12] Lihat uraian J. A. Pattikayhatu, Sejarah Pemerintahan Adat Di Kepulauan Kei Maluku Tenggara, (Ambon: Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, 1998), 40-47

[13] Lihat Yong Ohoitimur, Hukum Adat Dan Sikap Hidup Orang Kei (Manado: Kelompok Studi Communicanda MSC Pineleng, 1996) [14] Bandingkan dengan konsep kekuasaan Jawa dalam Benedict Anderson, The Idea of Power in Javanese Culture, dalam Claire Holt, ed. Culture and Politics in Indonesia. (Ithaca , N. Y : Cornell University Press, 1972), 25-27; lihat juga Syahbudin M. Latief, Persaingan Calon Kepala Desa di Jawa, (Yogyakarta: Media Pressindo, 2000), 11 [15] Kekerabatan dalam bentuk Teabel ini mirip dengan Pela di Maluku Tengah. Lih. Johny Christian Ruhulessin, Etika Public: Suatau analisa Sosio Budaya Mengenai Pela Sebagai Dasar Etika Publik. Disertasi: Program Pascasarjana Sosiologi Agama Universitas Kristan Satya Wacana, (Salatiga: Tidak diterbitkan) 2005, 17. [16] Yong Ohoitimur, Hukum Adat Dan Sikap Hidup Orang Kei (Manado: Kelompok Studi Communicanda MSC Pineleng, 1996), 13. [17] A. G. Honig Jr cet. Ke 9, Ilmu Agama (Jakarta: Badan Penerbit Kristen Gunung Mulia, 2000), 54. [18] Ibid. 17 [19] Theo Huijbers, Manusia Merenungkan Makna Hidupnya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), 28. [20] Konsep ini adalah mirip atau bahkan sama dengan apa yang dikatakan Emile Durkheim tentang yang Profan dan yang Sakral. Dalam Sejarah Agama: The Elementary of the Religious Life, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2006); lihat juga, George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosial, (Ygyakarta: Kreasi Wacana, 2009), 104 [21] A. G. Honig Jr cet. Ke 9, Ilmu Agama (Jakarta: Badan Penerbit Kristen Gunung Mulia, 2000), 55 [22] Bandingkan dengan konsep Totemisme dari Durkheim dalam Sejarah Agama. Ibid; dan George Ritzer, Teori Sosial. Ibid. 106 [23] J. Dwi Narwoko-Bagong Suyanto (ed), Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta: Kencana, 2005), 247 [24] Roland Anderson, (ed), Agama: Dalam Analisis dan Interpretasi Sosiologi, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, cet. IV, 1994), v-vii [25] Hukum adat ini sebenarnya terdiri dari dua hukum, yakni hukum Larwul y g t u u Ngabal y g t To B K u u u t t masing-masing oleh dua persekutuan masyarakat adat seperti yang telah diuraikan di atas. Dan, kemudian disatukan.

[26] http://rahanrejau.mysites.nl/mypages/rahanrejau/458929.htmldiundu. diundu 17 juli 2009. lihat Uaian lengkapnya dalam J. A. Pattikayhatu , Sejarah Pemerintahan Adat Di Kepulauan Kei Maluku Tenggara, (Ambon: Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, 1998), 51-58. Juga dalam, I. J. Kilmanun, Hukum Adat Larvul Nagbal di Kepulauan Kei, (Tual: Februari 1996. Tidak diterbitkan), 51-56. [27] Duad adalah sebutan Tuhan bagi masyarakat Kei. Tuhannya orang Kei sudah diteliti dan dapat dibaca dalam, Marthinus Ngabalin, Studi Perbandingan Terhadap Konsep Tuhan Menurut Orang Kei di Kepulauan Kei dan Paulus : Studi Kasus di Desa Ohoiwait, (Program Pascasarjana Magister Sosiologi Agama, UKSW, Salatiga: 2006.tidak diterbitkan) [28] lihat uraian lengkap pasal-pasal dari ketiga hukum tersebut, dalam J. A. Pattikayhatu , Sejarah Pemerintahan Adat Di Kepulauan Kei Maluku Tenggara, (Ambon: Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, 1998), 56-58. Juga dalam, I. J. Kilmanun, Hukum Adat Larvul Nagbal di Kepulauan Kei, (Tual: Februari 1996. Tidak diterbitkan), 51-56. [29] Model seperti ini dapat disamakan dengan konsep Habitus dari Bourdieu, yang bermakna struktur yang mempengaruhi perilaku individu dalam kehidupan sosial. Mempengaruhi dalam konteks ini dapat dipahami sebagai penghambat dan pendorong. Fauzi Fashri, Penyingkapan Kuasa Simbol: Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre Bourdieu, (Yogyakarta: Juxtapose, 2007), 81-93; lihat juga Haryatmoko, Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa, (Majalah BASIS, Nomor 11-12 Tahun Ke-52, November-Desember, 2003), 9 [30] Bandingkan dengan proses pengangkatan David Tjioe (direktur PT. Maritim Timur Jaya, yang berkedudukan di Tual, Maluku T gg ) g R j K g g Tu Ev v D U H W g g g R j t g R j K , o 22 R j , dan dilantik di Lapangan Masrum Lodar El pada tanggal 17 Oktober 2009. Namun pengangkatan tersebut ditolak oleh 4 Raja dan didukung oleh masyarakat. Setelah melakukan demonstrasi selama kurang lebih 2 minggu, barulah gelar tersebut dicopot. [31] Hal ini tidak berarti bahwa dalam budaya lain, nilai-nilai itu tidak ada. Setiap budaya pasti memiliki nilainya sendiri, hanya saja karena makalah ini memfokuskan pembahasannya pada budaya lokal orang Kei