pendidikan kebencanaan

38
PENDIDIKAN KEBENCANAAN 2019 DISUSUN OLEH DEWI LIESNOOR SETYOWATI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2019

Upload: others

Post on 09-Jan-2022

15 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENDIDIKAN KEBENCANAAN

PENDIDIKAN

KEBENCANAAN

2019

DISUSUN OLEH

DEWI LIESNOOR SETYOWATI

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2019

Page 2: PENDIDIKAN KEBENCANAAN

1

PENDIDIKAN KEBENCANAAN

Dewi Liesnoor Setyowati

A. Pendahuluan

Bencana merupakan anugerah dan berkah yang harus dihadapi oleh manusia terutama

yang hidup di bumi ini terutama pada daerah rawan bencana. Kedatangan bencana secara tiba-

tiba tidak dapat dihindari tetapi harus dihadapi. Manusia tidak perlu takut pada bencana, tetapi

manusia harus dapat menghadapi bencana. Indonesia merupakan Negara yang rawan bencana

bahkan dikenal sebagai Laboratorium Bencana Alam. Masyarakat yang tinggal di kawasan

rawan bencana akan berusaha untuk siap menghadapi bencana, mengantisipasi bencana, dan

beradaptasi dengan bencana, dikenal sebagai upaya mitigasi bencana. Mitigasi bencana dapat

meningkatkan kesadaran dan bimbingan kepada masyarakat terkait dengan penanggulangan

bencana sejak dini atau sedini mungkin.

Bencana merupakan hasil dari proses alam dan sosial. Kondisi alam suatu wilayah

memiliki potensi bahaya, dapat muncul sebagai bencana alam (geo-hazard). Berbeda dengan

dimensi sosial, risiko bencana disebabkan oleh tindakan manusia yang berinteraksi dengan

alam. Perilaku manusia merupakan faktor penting dalam peningkatan kerentanan, dan sebagai

pemicu terjadinya bencana. Terlalu banyak mengeksploitasi sumberdaya alam dapat merusak

lingkungan dan terjadi bencana. Upaya memperkecil risiko bencana dapat dilakukan dengan

merubah perilaku manusia, meningkatkan kesadaran dan kepedulian untuk melestarikan

lingkungan. Merubah perilaku manusia dapat dilakukan dengan merubah pola pikir dan

membiasakan diri sejak dini untuk selalu peduli pada lingkungan dan sadar bencana. Melalui

pendidikan kebencanaan diharapkan akan dapat meningkatkan pengetahuan kebencanaan,

merubah sikap dan perilaku untuk selalu sadar bencana.

Pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia dengan berbasis pada budaya.

Pendidikan atau pengetahuan memainkan peranan penting dalam masyarakat. Kejadian

bencana hanya sesaat dan datang secara tiba-tiba, sehingga ingatan manusia terbatas dalam hal

menyampaikan pengetahuan dari satu generasi ke generasi. Perlu upaya untuk

mempromosikan dan mensosialisasikan budaya pencegahan dan sadar bencana.

Kesalahpahaman konsep tentang bencana itu sebagai suatu kutukan alam, atau suatu kekuatan

ilahi harus dihilangkan. Pola pikir seseorang harus dirubah untuk mewujudkan budaya

Page 3: PENDIDIKAN KEBENCANAAN

2

keselamatan, melalui kebiasaan, kesiapsiagaan, dan kearifan lokal pencegahan bencana.

Melalui reformasi pendidikan kebencanaan, akan dapat mengubah pola pikir manusia

Indonesia, untuk selalu sadar dan peduli bencana. Mendahulukan keselamatan dari bencana

dengan cara selalu sosialisasi kesiapsiagaan bencana, melakukan simulasi bencana, maupun

mempraktikan berbagai upaya pencegahan bencana.

“We must, above all, shift from a culture of reaction to a culture of prevention.

Prevention is not only more humane than cure; it is also much cheaper.... Above all, let

us not forget that disaster prevention is a moral imperative, no less than reducing the

risks of war.” (Kofi Annan, Geneva, July 9, 1999).

Makna dari pesan Kofi Annan, kita harus bergeser dari budaya reaksi (menunggu bencana

datang baru bertindak) ke budaya pencegahan (menjaga alam dari kerusakan lingkungan dan

selalu siapsiaga terhadap bencana). Pencegahan lebih manusiawi, dengan biaya lebih murah,

daripada melakukan penyembuhan. Pencegahan bencana merupakan kewajiban moral. Perlu

mengintegrasikan konsep keselamatan bencana dalam semua aspek kehidupan, untuk tujuan

pengurangan bencana. Kesadaran bencana merupakan warisan budaya, maka setiap individu

harus sadar bencana dan pengembangan sikap peduli bencana, yang ditanamkan sejak anak

usia dini.

Buku Pendidikan Kebencanaan ini disampaikan kepada mahasiswa UNNES, dengan

tujuan supaya mahasiswa UNNES mengetahui tentang bencana, menanamkan sikap sadar

bencana, tindakan dan perilaku peduli pada bencana. Materi Pendidikan Kebencanaan

merupakan bagian atau sub materi dari Mata Kuliah wajib Pendidikan Konservasi. Materi

Pendidikan Kebencanaan mengkaji tentang pengertian bencana, bencana di Indonesia,

manajemen bencana & mitigasi bencana, pengurangan risiko bencana, dan pendidikan

mitigasi bencana.

B. Pengertian Bencana

Bencana merupakan peristiwa yang sering terjadi di beberapa tahun terakhir dan

bencana bukan lagi menjadi kata yang asing bagi kita. Hampir setiap musim, bahkan setiap

bulan selalu saja terjadi bencana. Musim penghujan misalnya, bagi sebagian orang musim ini

merupakan musim yang membawa berkah, tetapi sebagian orang lagi musim ini akan

membawa musibah. Bagi petani, musim hujan merupakan awal tanam dimana air akan

mudah diperoleh dan tanaman dapat tumbuh. Hujan yang terhenti beberapa waktu lalu dan

dengan suhu yang cukup tinggi, membuat para petani dan pemerintah khawatir akan

Page 4: PENDIDIKAN KEBENCANAAN

3

kekurangan persediaan pangan. Kekhawatiran ini tidak bertahan lama, setelah beberapa

minggu hujan pun turun. Ketika hujan turun ternyata munculah berbagai bencana yang

banyak menelan korban. Bencana banjir dan tanah longsor merupakan sebagian bencana

yang datang pada musim hujan.

Definisi tentang bencana bermacam-macam, menurut Setyowati, dkk., (2016) bencana

sebagai sebuah dampak kegiatan atau resiko yang memberikan efek negatif terhadap

manusia. Gustavo (1995) menjelaskan secara umum bencana sebagai pengaruh yang diterima

manusia sehingga menjadikan manusia menjadi kehilangan dan menderita kerugian. Dengan

kata lain, dikatakan sebagai bencana apabila kejadian bencana membawa kerugian bagi

manusia. Manusia mempunyai kemampuan untuk meminimalkan resiko, kalau resiko dapat

diminimalkan bencana, maka bencana dikatakan dapat teratasi atau berkurang dampaknya.

Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, memberikan

batasan-batasan terkait dengan fenomena bencana alam sebagai berikut.

1. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu

kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau

faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa

manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

2. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa

yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus,

banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.

3. Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian

peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi,

dan wabah penyakit.

4. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian

peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau

antarkomunitas masyarakat, dan teror.

5. Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi

penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan

pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.

6. Kegiatan pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai upaya

untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman bencana.

Page 5: PENDIDIKAN KEBENCANAAN

4

7. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui

pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi

ancaman bencana.

8. Ancaman bencana adalah suatu kejadian atau peristiwa yang bisa menimbulkan bencana.

9. Rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis,

klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu

wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam,

mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk

bahaya tertentu.

10. Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi atau

menghilangkan risiko bencana, baik melalui pengurangan ancaman bencana maupun

kerentanan pihak yang terancam bencana.

11. Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu

wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam,

hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan

kegiatan masyarakat.

12. Bantuan darurat bencana adalah upaya memberikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan

dasar pada saat keadaan darurat.

13. Status keadaan darurat bencana adalah suatu keadaan yang ditetapkan oleh Pemerintah

untuk jangka waktu tertentu atas dasar rekomendasi Badan yang diberi tugas untuk

menanggulangi bencana.

Terkait dengan upaya untuk melindungi warga negaranya terhadap bencana, Pemerintah

Indonesia telah memberlakukan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

UU tersebut secara jelas menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pendidikan,

pelatihan, penyuluhan, dan keterampilan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana,

baik dalam situasi tidak terjadi bencana maupun situasi terdapat potensi bencana. Melalui

pendidikan diharapkan agar upaya pengurangan risiko bencana dapat mencapai sasaran yang

lebih luas dan dapat diperkenalkan secara lebih dini kepada seluruh peserta didik, dengan

mengintegrasikan pendidikan pengurangan risiko bencana ke dalam kurikulum sekolah

maupun ke dalam kegiatan ekstrakurikular.

Page 6: PENDIDIKAN KEBENCANAAN

5

Menurut WHO, bencana merupakan segala kejadian yang menyebabkan kerusakan

lingkungan, gangguan geologis, hilangnya nyawa manusia atau memburuknya derajat

kesehatan atau pelayanan kesehatan skala tertentu, yang memerlukan respon dari luar

masyarakat atau wilayah tertentu (Indiyanto, 2012). Bencana adalah suatu peristiwa alam

yang mengakibatkan dampak besar bagi populasi manusia. Beberapa pengertian mengenai

bencana yang telah disampaikan di atas, maka dapat disampaikan bahwa yang dimaksud

dengan bencana adalah suatu kerusakan ekologi, sosial, material serta yang lainnya, dan

terjadi oleh aktifitas abnormal alam maupun perilaku manusia dan menyebabkan kerugian

baik secara material fisik, ataupun korban jiwa.

B. Faktor Penyebab Bencana Di Indonesia

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar, jumlah 17.504 pulau yang tersebar pada 33

propinsi (berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri yang dipublikasikan BPS 2017).

Jumlah pulau yang telah dilaporkan ke PBB dalam sidang ke XI The United Nation

Conference on Standardization of Geographical Names di New York tahun 2017 sebanyak

16.056 pulau. Potensi alam yang dimiliki Indonesia meliputi potensi laut, perikanan laut,

perairan darat, pegunungan, daratan, dan banyak lainnya. Selain kaya akan potensi alam,

Indonesia juga merupakan negara yang memiliki potensi bencana, bencana yang sering terjadi

di Indonesia adalah Tsunami, Gempa Bumi, Tanah Longsor, Banjir, Angin Puting Beliung,

dan letusan/ erupsi Gunung berapi.

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2017) menyatakan bahwa dalam 15

tahun terakhir (2002 - 2016), jumlah kejadian bencana di Indonesia meningkat hampir 20 kali

lipat. Lebih dari 90% kejadian bencana di Indonesia diakibatkan oleh banjir dan tanah

longsor, lebih dari 28 juta orang terkena dampak. Namun, berdasarkan jumlah korban jiwa,

bencana terkait geologi adalah jenis bencana yang paling mematikan, dimana lebih dari 90%

korban meninggal dunia dan hilang akibat bencana disebabkan oleh gempa bumi dan tsunami.

Berikut ini disajikan tren kejadian bencana selama tahun 2009 sampai 2018, berupa bencana

banjir, tanah longsor, puting beliung, kekeringan, kebakaran hutan, gempa dan tsunami

(Gambar 1). Trend kejadian bencana paling besar terjadi pada tahun 2017. Jenis bencana

paling sering terjadi berupa bencana banjir, putting beliung, dan tanah longsor. Bencana

Kejadian bencana tsunami paling besar terjadi pada tahun 2018, kejadian bencana tsunami

Page 7: PENDIDIKAN KEBENCANAAN

6

meningkat dari tahun 2012 sampai 2018. Wilayah dengan jumlah bencana paling banyak

terdapat di Propinsi Jawa Tengah (Gambar 2).

Gambar 1. Tren Kejadian Bencana Tahun 2009 sampai 2018 (BNPB, 2017)

Gambar 2 Jumlah kejadian bencana dan persebaran bencana Tahun 2018

Faktor penyebab bencana dapat dibedakan menjadi dua, yaitu hidrometeorologis (banjir,

tanah longsor, gelombang pasang, abrasi, kebakaran hutan dan lahan, kekeringan, dan angin

puting beliung) dan geologis (gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung api). Bencana

merupakan fenomena yang dapat terjadi setiap saat, secara tiba-tiba atau melalui proses yang

berlangsung secara perlahan dimanapun dan kapanpun, sehingga dapat menimbulkan

kerugian material dan imaterial bagi kehidupan masyarakat.

Banyaknya daerah yang rawan terkena bencana di Indonesia tidak terlepas dari faktor

geologis Indonesia, dimana terdapat tiga pertemuan Lempeng besar yakni Lempeng Eurasia,

Lempeng Pasifik, dan Lempeng Indo-Australia. Indonesia terletak pada Lingkaran Api Pasifik

Page 8: PENDIDIKAN KEBENCANAAN

7

(Ring of Fire) yaitu kawasan yang sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi

yang mengelilingi cekungan Samudra Pasifik. Kawasan ini (Gambar 3) berbentuk seperti

tapal kuda dan mencakup wilayah sepanjang 40.000 km.

Secara geografis, Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik besar

(Gambar 3) yakni Lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik, dan Lempeng Indo-Australia.

Pertemuan tiga lempeng ini menghasilkan lempeng tektonik (garis merah) yang merupakan

gempa bumi dan deretan gunung api. Terdapat 129 gunung api aktif yang ada di Indonesia,

yang saat ini dimonitor oleh Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (ESDM).

Untuk lempeng tektonik dimonitor oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika

(BMKG) yang secepatnya akan memberikan informasi mengenai gempa bumi dan tsunami.

Kekayaan Indonesia dengan beragam gunung berapi sekaligus dapat menjadi ancaman

bencana gunung meletus. Posisi tersebut membuat Indonesia menjadi rentan terhadap

perubahan geologi, terutama menyebabkan bencana alam gempa bumi, tsunami, letusan

gunungapi, dan jenis-jenis bencana geologi yang lain. Wilayah yang rawan bencana gempa

bumi di Indonesia tersebar mulai dari Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat,

Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur,

Bali, Nusa Tenggara, Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku, Maluku Utara dan wilayah Papua

(Setyowati, 2017).

Gambar 3. Lokasi pertemuan tiga lempeng tektonik terbesar di Indonesia, dan kawasan Ring

of Fire (https://geoenviron.wordpress.com/2014/11/24/tektonik-pulau-jawa/).

Garis khatulistiwa melintas di wilayah Indonesia, sehingga wilayahnya beriklim tropis.

Akibat posisi geografis ini, Indonesia hanya memiliki dua musim, yaitu musim penghujan dan

musim kemarau. Iklim Indonesia sangat dipengaruhi oleh lokasi dan karakteristik geografis.

Page 9: PENDIDIKAN KEBENCANAAN

8

Membentang di 6.400 km antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, Indonesia memiliki 3

pola iklim dasar: monsunal, khatulistiwa dan sistem iklim local (BNPB, 2017). Hal ini telah

menyebabkan perbedaan dramatis dalam pola curah hujan di Indonesia. Kondisi iklim tropis

di Indonesia menyebabkan terjadinya bencana hidrometeorologi, yaitu bencana alam yang

dipicu oleh curah hujan lebat, deras dan basah sepanjang musim hujan. Jenis bencana

hidrometeorologi adalah banjir, longsor, kekeringan, dan angin puting beliung. Pola aliran

sungai di Indonesia membentuk 5.590 Daerah Aliran Sungai (DAS) yang terletak antara

Sabang dan Merauke, sebanyak 108 DAS dalam kondisi kritis sehingga berkontribusi pada

bencana banjir.

Berdasarkan kondisi geologis dan hidrometeorologis, berbagai kejadian bencana besar

telah terjadi di Indonesia, antara lain: bencana gempa dan tsunami Aceh (2004), gempa

tektonik Yogyakarta (2006), Tasikmalaya (2009), Sumatra Barat (2010), gempa dan tsunami

Mentawai (2010), tanah longsor Wassior di Papua Barat (2010) dan letusan Gunung Merapi

Yogyakarta (2010), gempa bumi di Lombok NTB (29 Juli 2018), gempa tsunami dan

likuifaksi di Palu dan Donggala Sulawesi Tengah (28 September 2018), tsunami di Selat

Sunda (22 Desember 2018). Kejadian bencana telah membawa korban ratusan jiwa dan

ratusan triliun rupiah dalam nilai ekonomi, bahkan beberapa desa tertelan bumi dan desa

hilang tersapu oleh bencana. Letusan Gunung Merapi yang tak kunjung reda, makin

mempertegas predikat NKRI sebagai negara sabuk api.

United Nation Internasional Strategy Of Disaster Reduction (UN-ISDR) membedakan

bencana menjadi lima kelompok yaitu:

1. Bahaya aspek Geologi, antara lain: Gempa Bumi, Tsunami, Gunung meletus, Landslide

(tanah longsor). Daerah rawan gempa bumi yang ada di Indonesia tersebar pada wilayah

dekat dengan zona penunjaman lempeng tektonik dan sesar aktif. Gempa yang

berpengaruh memicu terjadinya tsunami yakni gempa yang memiliki kekuatan skala di atas

6 SR, dan memiliki kedalaman kurang dari lima puluh kilometer.

2. Bahaya aspek Hidrometeorologi, diantaranya: banjir, kekeringan, angin puting beliung dan

gelombang pasang. Banjir umumnya terjadi ketika tingginya curah hujan di atas rata-rata

yang berakibat melebihi daya tampung sungai dan jaringgannya. Perilaku manusia

sepanjang dari hulu, sepanjang aliran sungai, hingga bagian bawah system sungai.

Page 10: PENDIDIKAN KEBENCANAAN

9

3. Bahaya aspek Lingkungan antara lain kebakaran hujan, kerusakan lingkungan, dan

pencemaran limbah.

4. Bahaya beraspek Biologi, antara lain wabah penyakit, hama dan penyakit tanaman,

hewan/ternak. Beberapa indikasi awal terjadinya endemik misalnya, Avian Influenza/flu

burung, antraks, serta beberapa penyakit hewan lainnya yang mengakibatkan kerugian

bahkan kematian.

5. Bahaya beraspek teknologi antara lain kecelakaan transportasi, kecelakaan industri dan

kegagalan teknologi. Dari beberapa klasifikasi yang disampaikan oleh UN-ISDR, secara

keseluruhan, pernah terjadi dan dialami negara Indonesia, tentu kita masih ingat bencana

tsunami di Aceh tahun 2004, bencana banjir dan tanah longsor di Wasior, kebakaran hutan

yang terjadi belum lama ini, semburan lumpur panas dan lainnya. (Indiyanto, 2012).

Berdasarkan penyebab bencana diklasifikasikan menjadi tiga yaitu bencana alam (antara

lain: banjir, tanah longsor, gempa bumi, tsunami, kekeringan, puting beliung, erupsi gunung

api), bencana non alam (antara lain: wabah penyakit, gagal teknologi, gagal modernisasi), dan

bencana sosial (antara lain: konflik sosial, tawuran, perebutan sumberdaya, pencemaran).

Bencana yang dikategorikan bencana alam adalah seluruh bencana yang terjadi karena

fenomena alam yang menimbulkan kerugian baik lingkungan maupun material. Bencana yang

non alam adalah bencana yang disebabkan oleh bukan faktor alam atau faktor manusia,

sedangkan bencana sosial adalah jenis bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia yakni

segala aktifitas manusia baik yang menyangkut kegiatan ekonomi maupun yang lainnya dan

mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup.

Klasifikasi bencana alam berdasarkan penyebabnya dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:

1. Bencana alam Geologis, bencana alam ini disebabkan oleh gaya-gaya yang berasal dari

dalam bumi (gaya endogen). Atau biasa disebut bencana alam yang terjadi akibat

bergeraknya lempeng bumi, yang termasuk dalam bencana alam geologis adalah gempa

bumi, letusan gunung berapi, dan tsunami. Bencana yang diakibatkan oleh faktor geologis

biasanya banyak menelan korban dan kerusakan lingkungan yang mengakibatkan kerugian

baik secara material maupun kerugian non material. Bencana alam geologis merupakan

bencana alam yang paling banyak menelan korban jiwa di Indonesia.

2. Bencana alam Klimatologis, bencana alam klimatologis merupakan bencana alam yang

disebabkan oleh faktor cuaca dan iklim, Contoh bencana alam klimatologis adalah banjir,

Page 11: PENDIDIKAN KEBENCANAAN

10

badai, banjir bandang, angin puting beliung, kekeringan, dan kebakaran alami hutan (bukan

oleh manusia) kebakaran alami biasa terjadi ketika musim kemarau dan sangat kering.

Gerakan tanah (longsor) termasuk juga bencana alam, walaupun pemicu utamanya adalah

faktor klimatologis (hujan), tetapi gejala awalnya dimulai dari kondisi geologis (jenis dan

karakteristik tanah serta batuan dan sebagainya). Bencana alam klimatologis yang terjadi

belakangan ini diakibatkan oleh perubahan iklim global yang terjadi di seluruh dunia.

3. Bencana alam Ekstra-Terestrial, bencana alam Ekstra-Terestrial adalah bencana alam yang

terjadi di luar angkasa, contoh: hantaman/impact meteor. Bila hantaman benda-benda

langit mengenai permukaan bumi maka akan menimbulkan bencana alam yang dahsyat

bagi penduduk bumi. Gejala alam yang dapat menimbulkan bencana alam pada dasarnya

mempunyai karakteristik umum, yaitu gejala awal, gejala utama, dan gejala akhir. Dengan

demikian, jika kita dapat mengetahui secara akurat gejala awal suatu bencana alam,

kemungkinan besar kita dapat mengurangi akibat yang ditimbulkannya.

C. Pengelolaan Bencana

Secara teoritis terdapat lima model pengelolaan bencana (Maguire &Hagan, 2007;

Setyowati, 2017). Implementasi atau penerapan model pengelolaan bencana tergantung pada

kondisi dan kerentanan bencana suatu wilayah.

a. Disaster management continuum model, model pengelolaan bencana ini merupakan

model yang paling popular karena terdiri dari tahap-tahap yang jelas sehingga lebih mudah

diimplementasikan. Tahap-tahap manajemen bencana di dalam model ini meliputi

emergency, relief, rehabilitation, reconstruction, mitigation, preparedness, dan early

warning.

b. Pre-during-post disaster model, model pengelolaan bencana ini membagi tahap kegiatan

di sekitar bencana. Terdapat kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan sebelum bencana,

selama bencana terjadi, dan setelah bencana. Model ini seringkali digabungkan dengan

disaster management continuum model.

c. Contract-expand model, model ini berasumsi bahwa seluruh tahap-tahap yang ada pada

pengelolaan bencana (emergency, relief, rehabilitation, reconstruction, mitigation,

preparedness, dan early warning) semestinya tetap dilaksanakan pada daerah yang rawan

bencana. Perbedaan pada kondisi bencana dan tidak bencana adalah pada saat bencana

Page 12: PENDIDIKAN KEBENCANAAN

11

tahap tertentu lebih dikembangkan (emergency dan relief) sementara tahap yang lain

seperti rehabilitation, reconstruction, dan mitigation kurang ditekankan.

d. The crunch and release model, model pengelolaan bencana ini menekankan upaya

mengurangi kerentanan untuk mengatasi bencana. Bila masyarakat tidak rentan maka

bencana akan juga kecil kemungkinannya terjadi meski hazard tetap terjadi.

e. Disaster risk reduction framework, merupakan model pengelolaan bencana yang

menekankan pada upaya pengelolaan bencana pada identifikasi risiko bencana baik dalam

bentuk kerentanan maupun hazard dan mengembangkan kapasitas untuk mengurangi risiko

bencana.

Bencana (disaster) merupakan fenomena yang terjadi karena komponen-komponen

pemicu (trigger), ancaman (hazard), dan kerentanan (vulnerability), bekerja bersama secara

sistematis, sehingga dapat diperkirakan risiko (risk) yang akan dihadap komunitas. Bencana

terjadi apabila komunitas mempunyai tingkat kemampuan yang lebih rendah dibanding

dengan tingkat ancaman yang mungkin terjadi padanya. Ancaman menjadi bencana apabila

komunitas rentan, atau memiliki kapasitas lebih rendah dari tingkat bahaya tersebut, atau

bahkan menjadi salah satu sumber ancaman tersebut. Tentu sebaiknya tidak dipisah-pisahkan

keberadaannya, sehingga bencana itu terjadi dan upaya-upaya peredaman risiko itu

dilakukan. Bencana terjadi apabila masyarakat dan sistem sosial yang lebih tinggi yang

bekerja padanya tidak mempunyai kapasitas untuk mengelola ancaman yang terjadi padanya.

Ancaman, pemicu dan kerentanan tidak hanya bersifat tunggal, tetapi dapat hadir secara

jamak, baik seri maupun paralel, sehingga disebut bencana kompleks (Paripurno, 2008).

Bencana dalam kenyataan keseharian menyebabkan: 1) berubahnya pola-pola kehidupan

dari kondisi normal, 2) merugikan harta benda dan jiwa manusia, 3) merusak struktur sosial

komunitas, serta 4) memunculkan lonjakan kebutuhan pribadi atau komunitas. Oleh karena

itu bencana cenderung terjadi pada komunitas yang rentan, dan akan membuat komunitas

semakin rentan. Kerentanan komunitas diawali oleh kondisi lingkungan fisik, sosial dan

ekonomi yang tidak aman yang melekat padanya. Kondisi tidak aman tersebut terjadi oleh

tekanan dinamis internal maupun eksternal, misalnya di komunitas institusi lokal

berkembang dan ketrampilan tepat guna tidak dimiliki. Tekanan dinamis terjadi karena

terdapat akar permasalahan yang menyertainya. Akar permasalahan internal umumnya

karena komunitas tidak mempunyai akses sumberdaya, struktur dan kekuasaan, sedang

Page 13: PENDIDIKAN KEBENCANAAN

12

secara eksternal karena sistem politik dan ekonomi yang tidak tepat. Karenanya pengelolaan

bencana perlu dilakukan secara menyeluruh dengan meningkatkan kapasitas dan menangani

akar permasalahan untuk mereduksi risiko secara total.

Pengkajian risiko bencana (PRB) merupakan sebuah pendekatan untuk memperlihatkan

potensi dampak negatif yang mungkin timbul akibat suatu potensi bencana yang ada. Potensi

bencana (Risk) merupakan fungsi dari bahaya (Hazard), kerentanan (Vulnerability), dan

kapasitas (Capacity) pada suatu kawasan. Pengkajian risiko dapat dilakukan dengan

menggunakan rumus umum sebagai berikut.

R (Risk) = H (hazard) * [V(vulnerability)/ C(capacity)]

Bencana (disaster) adalah hasil dari munculnya kejadian luar biasa yang

membahayakan (hazard) pada komunitas yang rentan (vulnerable) sehingga masyarakat

(capacity) tidak dapat mengatasi berbagai implikasi dari kejadian luar biasa tersebut.

Pengelolaan bencana pada dasarnya berupaya untuk menghindarkan masyarakat dari bencana

baik dengan mengurangi kemungkinan munculnya hazard, mengatasi kerentanan

(vulnerable), dan meningkatkan kemampuan (capacity) dalam menghadapi bencana.

Upaya pengelolaan bencana dari beberapa jenis bencana yang sering terjadi di Indonesia

diuraikan sebagai berikut.

1. Bencana Banjir

Banjir merupakan proses alam dan bencana yang sangat mengkhawatirkan bagi

penduduk yang tinggal di sekitar sungai-sungai besar. Jenis banjir meliputi: genangan,

banjir lokal, banjir kiriman, banjir pasang surut air laut (Rob), banjir bandang. Faktor-

faktor penyebab banjir disamping curah hujan sebagai sumber utama penyebab banjir,

kondisi biofisik wilayah juga ikut menentukan. Curah hujan yang sangat tinggi atau salju

yang meleleh secara cepat di daerah-daerah tangkapan air, membawa air lebih banyak lagi

ke dalam sistem hidrologi. Sedimentasi dasar-dasar sungai akibat kerusakan lahan pada

hulu DAS dapat memperburuk kejadian banjir. Air pasang tinggi bisa membanjiri kawasan

pantai, atau laut-laut terdorong masuk ke dalam daratan oleh badai angin.

Mekanisme kerusakan akibat banjir adalah genangan dan aliran air dengan tekanan

mekanis air mengalir secara cepat. Arus yang bergerak atau bergejolak dapat meruntuhkan

dan menghanyutkan orang-orang dan binatang di kedalaman air yang relatif dangkal saja.

Puing-puing yang terbawa oleh air juga merusak dan melukai. Bangunan-bangunan rusak

Page 14: PENDIDIKAN KEBENCANAAN

13

arena pondasi-pondasi yang tergerogoti oleh air dan tiang-tiang penyangga. Lumpur,

minyak dan polutan-polutan lain yang terbawa oleh air menjadi tertimbun dan merusak

tanaman pangan dan isi-isi bangunan. Banjir dapat merusak sistem-sistem pembuangan

kotoran, mengakibatkan polusi terhadap tempat-tempat persediaan air dan bisa

menyebarkan penyakit. Kejenuhan tanah bisa menyebabkan tanah longsor atau rusaknya

tanah (Coburn, et al. 1994)

Strategi-strategi mitigasi utama terhadap banjir adalah, mengatur tata guna tanah dan

perencanaan lokasi untuk menghindari dataran berpotensi banjir menjadi tempat dari

elemen-elemen yang rentan. Rekayasa bangunan di dataran banjir untuk menahan kekuatan

banjir dan rancangan lantai yang ditinggikan. Infrastruktur yang tahan rembesan.

Partisipasi masyarakat, dapat digiatkan dalam bentuk pembersihan sedimentasi, konstruksi

parit. Kesadaran akan adanya denah banjir. Rumah-rumah yang dibangun tahan terhadap

banjir (material tahan banjir, pondasi-pondasi yang kuat) Praktek-praktek pertanian yang

cocok dengan banjir. Kesadaran akan penebangan hutan. Praktek-praktek yang ada

merefleksikan kesadaran: daerah-daerah penyimpanan dan ruang tidur yang berada tinggi

dari permukaan tanah. Kesiapan evakuasi banjir, perahu-perahu dan peralatan

penyelamatan.

2. Bencana Longsor

Bencana longsor atau tanah longsor merupakan salah satu bencana alam yang

umumnya berskala kecil dan kejadiannya tidak sedramatis kejadian gempa bumi maupun

gunung meletus, sehingga perhatian pada masalah ini umumnya tidak besar, begitu juga

dengan bahayanya kurang diperhatikan dalam perencanaan pembangunan. Tanah longsor

dapat menghancurkan bangunan-bangunan, jalan-jalan, pipa-pipa dan kabel-kabel baik oleh

gerakan tanah yang berasal dari bawah atau dengan cara menguburnya. Longsornya lereng

yang terjadi secara tiba-tiba dapat menjebolkan tanah yang berada di bawah tempat-tempat

hunian dan menghempaskan bangunan-bangunan tersebut ke lereng bukit. Runtuhan batu

mengakibatkan kerusakan dari pecahan batu yang terbuka menghadap batu-batu besar yang

berguling dan menabrak tempat-tempat hunian dan bangunan-bangunan. Aliran puing-

puing di tanah yang lembek, bergerak mengisi lembah-lembah mengubur tempat-tempat

hunian, menutup sungai-sungai maupun jalan.

Page 15: PENDIDIKAN KEBENCANAAN

14

Penyebab kejadian tanah longsor berupa kekuatan-kekuatan gravitasi yang dipaksakan

pada tanah-tanah miring, melebihi kekuatan memecah ke samping yang mempertahankan

tanah-tanah tersebut pada posisinya. Kandungan air yang tinggi menjadikan tanah menjadi

lebih berat, sehingga meningkatkan beban, apalagi kalau terdapat rekahan-rekahan. Curah

hujan yang lebat akan menyebabkan air masuk ke tanah dan membawa partikel tanah

bergerak secara grafitasi sehingga terjadi tanah longsor.

Parameter untuk mengukur kedahsyatan bahaya longsor adalah volume material yang

dikeluarkan (meter3), daerah yang terkubur atau terlanda, kecepatan (cm/hari), ukuran

batu-batu besar. Kajian terhadap bahaya yang ditimbulkan dan pembuatan peta-peta,

dilakukan melalui identifikasi dari tanah longsor sebelumnya atau kegagalan-kegagalan

tanah lewat survey geoteknik. Pemetaan tipe-tipe tanah (geologi permukaan tanah) dan

sudut-sudut kemiringan (kontur topografi). Pemetaan senyawa-senyawa air, drainase dan

hidrologi. Identifikasi tempat pembuangan sampah buatan, gundukan-gundukan sampah

buatan manusia, lubang-lubang sampah, tumpukan-tumpukan sampah di pabrik.

Strategi-strategi mitigasi utama dilakukan melalui perencanaan lokasi untuk

menghindari daerah-daerah yang berbahaya, kawasan terjal dan berlereng. Terutama pada

tempat-tempat hunian atau lokasi bangunan penting. Rekayasa bangunan dapat dilakukan

untuk menahan atau mengakomodir potensi gerakan tanah berupa: pondasi tiang pancang

untuk perlindungan terhadap pencairan, sarana yang fleksibel tertanam di bawah tanah.

Pada wilayah tertentu dapat dilakukan relokasi tempat-tempat hunian dan infrastruktur

untuk melindungi masyarakat.

Partisipasi masyarakat dapat dilakukan dengan mengenali potensi instabilitas tanah dan

mengidentifikasi tanah longsor yang aktif, menghindari pembangunan rumah di lokasi-

lokasi yang berbahaya, mengidentifikasi adanya rekahan kecil dan berupaya untuk segera

menutupnya. Rekayasa dapat dilakukan dengan membuat konstruksi bangunan dengan

pondasi yang kuat, melakukan pemadatan tanah, rekayasa stabilisasi lereng lewat terasering

dan reboisasi.

3. Kekeringan

Kekeringan berkaitan dengan ketersediaan air atau suplai air pada suatu wilayah,

ketersediaan air berkurang maka akan terjadi bencana kekeringan. Kekeringan merupakan

fenomena hidrologi yang paling kompleks, mewujudkan dan menambahkan isu-isu yang

Page 16: PENDIDIKAN KEBENCANAAN

15

berkaitan dengan iklim, tata guna lahan, norma pemakaian air serta manajemen seperti

persiapan, antisipasi dsb. Bencana kekeringan prosesnya berjalan lambat sehingga

dikatakan sebagai bencana merangkak.

Kekeringan terutama disebabkan oleh fluktuasi-fluktuasi berkala jangka pendek dalam

hal jumlah curah hujan, adanya perubahan iklim jangka panjang, desertifikasi yang

disebabkan oleh hilangnya vegetasi dan diikuti oleh erosi tanah, terlalu banyaknya lahan

penggembalaan dan manajemen tanah yang jelek.

Upaya untuk mengurangi bahaya kekeringan tidak bisa dikendalikan, desertifikasi bisa

dikurangi dengan praktek-praktek manajemen tanah yang diperbaiki, manajemen hutan,

bendungan-bendungan rembesan, irigasi dan manajemen padang rumput. Upaya

peringatan dini terhadap bencana sulit dilakukan karena sifat bencana berjalan lambat,

periodenya bertahun-tahun, banyak peringatan dari tingkat curah hujan, sungai, sumur dan

tingkat cadangan air, indikator kesehatan manusia dan binatang. Serangan kekeringan yang

hebat dapat menyebabkan kematian ternak, meningkatnya kematian bayi, dan migrasi.

Elemen yang paling beresiko terhadap tanaman pangan dan hutan, kesehatan manusia

dan hewan, semua aktivitas ekonomi tergantung pada suplai air yang terus-menerus;

keseluruhan tempat-tempat hunian manusia jika terjadi kekeringan berkepanjangan.

Strategi mitigasi bencana kekeringan meliputi pembagian air, pelindungan atau

penggantian tempat cadangan air yang rusak dengan manajemen dataran tinggi di mana

sungai mengalir, konstruksi bendungan, pipa-pipa atau terowongan air; perlindungan tanah

dan pengurangan tingkat erosi dengan menggunakan bendungan- bendungan pengontrol,

menyeragamkan penanaman, manajemen ternak; pengurangan penebangan kayu dengan

tungku-tungku bahan bakar yang diperbaiki, pengenalan pertanian dan pola-pola tanam

yang fleksibel; pengendalian penduduk; program-program pelatihan dan pendidikan.

Partisipasi masyarakat dalam mengurangi bencna kekeringan dengan melakukan

konstruksi bendungan pengontrol, meningkatkan cadangan air, sumur-sumur, tangki-tangki

air, penanaman dan penghutanan; perubahan pola-pola tanam; memperkenalkan kebijakan-

kebijakan konservasi air; mengubah praktek-praktek manajemen peternakan; pembangunan

alternatif industri-industri non-pertanian.

4. Gempa Bumi

Page 17: PENDIDIKAN KEBENCANAAN

16

Mekanisme kerusakan dari gempa bumi, energi getaran yang dikirimkan lewat

permukaan bumi berdasarkan kedalaman. Getaran menyebabkan kerusakan dan

menghancurkan bangunan-bangunan, yang pada gilirannya bisa membunuh dan melukai

orang-orang yang bertempat tinggal di situ. Getaran juga mengakibatkan tanah longsor,

pencairan, runtuhnya bebatuan dan kegagalan-kegagalan daratan yang lain, yang merusak

tempat-tempat hunian di dekatnya. Getaran juga memicu kebakaran berganda, kecelakaan

industri atau transportasi dapat memicu banjir melalui jebolnya bendungan dan tanggul

penahan banjir.

Penyebab gempa bumi adalah pelepasan energi oleh penyesuaian-penyesuaian geofisik

jauh di kedalaman bumi sepanjang daerah retakan yang terbentuk di dalam kerak bumi,

proses tektonis dari gerakan benua yang lamban di atas permukaan bumi, pergeseran

geomorfologi, adanya aktivitas vulkanis. Parameter kedahsyatan diukur dari skala ukuran

(Richter, Momen Seismik). Ukuran skala richter menunjukkan jumlah energi yang

dikeluarkan pada episenter - ukuran dari satu daerah yang terlanda gempa bumi secara

kasar terkait dengan jumlah energi yang dikeluarkan. Skala intensitas (Mercalli yang

dimodifikasi, MSK) menunjukkan kekuatan dari getaran bumi pada satu lokasi-kekuatan

getaran juga terkait dengan banyaknya energi yang dikeluarkan, jarak dari episenter gempa

bumi dan kondisi-kondisi tanah setempat.

Pengkajian bahaya dan teknik-teknik pemetaan dilakukan berdasarkan fenomena

kejadian gempa masa lampau, pencatatan yang akurat dari luas lahan dan pengaruhnya,

kecenderungan gempa bumi untuk muncul lagi di daerah-daerah yang sama setelah masa

seratus tahun, ataupun identifikasi dari sistem retakan gempa dan daerah sumber gempa.

Dalam kasus-kasus yang langka, sangat memungkinkan untuk mengidentifikasikan faktor

penyebab keretakan.

Gempa bumi terjadi secara tiba-tiba dan seketika, sehingga upaya peringatan dini sulit

dilakukan. Sampai sekarang tidak memungkinkan untuk meramalkan munculnya gempa

bumi dalam jangka pendek dengan tepat. Elemen-elemen yang paling beresiko terhadap

gempa bumi adalah kumpulan-kumpulan bangunan yang lemah dengan tingkat hunian

yang tinggi. Bangunan yang didirikan tanpa perhitungan teknik sipil akan menyebabkan

bangunan mudah runtuh. Kejadian gempa akan meruntuhkan bangunan dengan atap yang

berat, bangunan tua dengan kekuatan samping yang kecil, bangunan-bangunan yang

berkualitas rendah atau bangunan-bangunan dengan konstruksi-konstruksi yang cacat.

Page 18: PENDIDIKAN KEBENCANAAN

17

Strategi mitigasi utama dengan melakukan rekayasa bangunan-bangunan untuk

menahan kekuatan-kekuatan getaran; menegakkan undang-undang bangunan gempa;

kepatuhan terhadap persyaratan-persyaratan undang-undang bangunan dan dorongan akan

standar kualitas bangunan yang lebih tinggi; konstruksi dari bangunan-bangunan sektor

umum dibuat menurut standar tinggi dari rancangan teknik sipil; memperkuat

bangunan-bangunan yang sudah ada yang diketahui rentan.

Partisipasi masyarakat dalam digiatkan melalui kegiatan membuat konstruksi bangunan

tahan gempa dan keinginan untuk bertempat tinggal di dalam rumah-rumah yang aman

terlidung dari kekuatan-kekuatan gempa. Kesadaran akan resiko gempa bumi. Aktivitas

dan Pengaturan isi bangunan dilakukan dengan selalu mempertimbangkan adanya

kemungkinan getaran bumi. Sumber-sumber kebakaran yang terbuka, peralatan yang

berbahaya dan sebagainya dibuat stabil dan aman. Pengetahuan tentang apa yang harus

dilakukan pada saat terjadi suatu gempa bumi, partisipasi dalam latihan-latihan gempa

bumi, praktek-praktek, program-program kesadaran umum. Kelompok-kelompok aksi

masyarakat terhadap perlindungan: pelatihan pemadaman kebakaran dan bantuan pertama.

Persiapan memadamkan kebakaran, alat-alat penggalian dan peralatan perlindungan sipil

yang lain. Rencana-rencana perkiraan untuk pelatihan anggota-anggota keluarga pada

tingkat keluarga.

5. Letusan Gunung Berapi

Letusan eksplosif atau bertahap, yang mengeluarkan abu panas, aliran pyroklastik, gas

dan debu. Kekuatan-kekuatan letusan bisa menghancurkan bangunan-bangunan, hutan-

hutan dan infrastruktur yang dekat dengan gunung berapi dan gas-gas beracun bisa

mematikan. Abu panas jatuh sejauh berkilo-kilo meter di sekitar gunung, membakar dan

mengubur tempat-tempat hunian. Debu bisa terbawa angin dalam jarak yang jauh, dan

jatuh sebagai polutan di tempat-tempat hunian yang jauh sekali jaraknya. Lava cair yang

dilepas dari kawah vulkanis dan bisa mengalir berkilo-kilo meter jauhnya sebelum akhirnya

membeku. Panas lava akan membakar sebagian besar barang-barang yang berada pada

jalur aliran lava. Gunung-gunung berapi bersalju menderita karena cairnya es yang

menyebabkan aliran-aliran puing-puing dan tanah longsor yang bisa mengubur bangunan--

bangunan. Letusan gunung berapi bisa mengubah pola-pola cuaca setempat, dan

Page 19: PENDIDIKAN KEBENCANAAN

18

menghancurkan ekologi setempat. Gunung berapi juga menyebabkan gerakan kuat ke atas

dari daratan selama proses pembentukannya (Coburn, et al., 1994).

Penyebab letusan gunung api berasal dari keluarnya magma dari kedalaman bumi,

terkait dengan penutupan arus-arus konveksi. Parameter kedahsyatan diukur dari volume

materi yang dikeluarkan. Daya letusan dan lamanya letusan, radius jatuhnya, dan dalamnya

endapan debu. Penilaian bahaya dan teknik pemetaan, dilakukan melalui identifikasi dari

gunung berapi aktif. Gunung berapi secara cepat dapat diidentifikasi dengan karakteristik

geologi dan topografi. Aktivitas dari catatan-catatan historis dan analisa-analisa geologis.

Observasi seismik dapat menentukan apakah satu gunung berapi masih aktif atau tidak.

Upaya untuk mengurangi bencana ini dengan membuat aliran lava dan aliran puing-puing

yang bisa disalurkan, dibendung dan dibelokkan menjauh dari tempat-tempat hunian

sampai pada satu tingkat, dengan pekerjaan-pekerjaan teknik sipil.

Letusan gunung api mungkin terjadi bertahap atau eksplosif. Monitoring seismik dan

geokimia, alat pengukur kemiringan, dan detektor-detektor aliran lumpur mungkin bisa

mendeteksi penghimpunan tekanan dalam waktu beberapa jam dan beberapa hari sebelum

terjadi letusan. Deteksi aliran lumpur, monitor-monitor geoteknis dan alat pengukur

kemiringan adalah beberapa strategi-strategi monitoring yang ada. Evakuasi penduduk jauh

dari lingkungan-lingkungan gunung berapi sering memungkinkan.

Elemen-elemen yang paling beresiko berupa apapun yang berada dekat dengan

gunung berapi. Atap-atap rumah atau bangunanbangunan yang mudah terbakar. Persediaan

air yang rentan kejatuhan debu. Bangunan yang lemah bisa runtuh di bawah

tekanan-tekanan abu. Tanaman pangan dan ternak menjadi beresiko.

Strategi-strategi mitigasi utama melalui perencanaan lokasi untuk menghindari daerah-

daerah yang dekat dengan lereng-lereng gunung berapi yang digunakan untuk aktivitas--

aktivitas yang penting. Penghindaran terhadap kemungkinan kanal-kanal aliran lava.

Promosi akan bangunan-bangunan yang tahan api. Rekayasa bangunan untuk menahan

beban tambahan dari endapan abu. Partisipasi masyarakat dengan mengingatkan kesadaran

akan resiko gunung berapi. Identifikasi zona-zona bahaya. Kesiapan evakuasi.

Ketrampilan-ketrampilan pemadam kebakaran. Perlindungan bangunan-bangunan yang

kuat dan tahan api.

Page 20: PENDIDIKAN KEBENCANAAN

19

Pendekatan lain adalah lingkaran pengelolaan bencana (disaster management cycle) yang

terdiri dari dua kegiatan besar yaitu sebelum bencana dan setelah bencana (Gambar 4). Pertama

adalah sebelum terjadinya bencana (pre event) dan kedua adalah setelah terjadinya bencana (post

event). Kegiatan yang dilakukan sebelum terjadinya bencana berupa disaster preparedness

(kesiapsiagaan menghadapi bencana) dan disaster mitigation (mengurangi dampak bencana).

Kegiatan setelah terjadinya bencana dapat berupa disaster response/emergency response (saat

terjadi bencana atau tanggap bencana) dan disaster recovery (kegiatan pemulihan atau

rehabilitasi). Pengurangan resiko bencana atau disaster reduction merupakan perpaduan dari

kegiatan mitigation dengan preparation/preparedness (Smit and Wandel, 2006; Hardoyo, 2011;

Nurjanah, dkk., 2011).

Gambar 4. Lingkaran Kegiatan Pengelolaan Bencana

Terkait dengan manajemen penanggulangan bencana, maka Undang-undang No. 24 tahun

2007 menyatakan “Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang

meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan

pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi”. Rumusan penanggulangan bencana dari

Undang Undang tersebut mengandung dua pengertian dasar yaitu:

a. Penanggulangan bencana sebagai sebuah rangkaian atau siklus.

b. Penanggulangan bencana dimulai dari penetapan kebijakan pembangunan yang didasari risiko

bencana dan diikuti tahap kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.

Page 21: PENDIDIKAN KEBENCANAAN

20

Pada serangkaian upaya pengelolaan bencana terdapat kegiatan Mitigasi Bencana.

Mitigasi berarti mengambil tindakan-tindakan untuk mengurangi pengaruh-pengaruh dari satu

bahaya sebelum bahaya itu terjadi. Istilah mitigasi berlaku untuk cakupan yang luas dari

aktivitas-aktivitas dan tindakan-tindakan perlindungan yang mungkin diawali, dari yang fisik,

seperti membangun bangunan-bangunan yang lebih kuat, sampai dengan yang prosedural, seperti

teknik-teknik yang baku untuk menggabungkan penilaian bahaya di dalam suatu perencanaan

(Coburn, et al. 1994).

Mitigasi adalah sebuah upaya untuk melakukan perencanaan yang tepat untuk

meminimalkan dampak bencana. Mitigasi bukanlah sebuah strategi akhir, namun diperlukan agar

resiko-resiko yang ada dapat diminimalisir. Untuk itu diperlukan berbagai bentuk pendekatan

dalam menetapkan strategi mitigasi yang diperlukan. Upaya pencegahan (prevention) terhadap

munculnya dampak adalah perlakuan utama. Menurut Paripurno (2008), untuk mencegah banjir

maka perlu mendorong usaha masyarakat membuat sumur resapan, dan sebaliknya mencegah

penebangan hutan. Agar tidak terjadi kebocoran limbah, maka perlu disusun save procedure dan

kontrol terhadap kepatuhan perlakuan. Walaupun pencegahan sudah dilakukan, sementara

peluang adanya kejadian masih ada, maka perlu dilakukan upaya-upaya mitigasi (mitigation),

yaitu upaya-upaya untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana.

Kegiatan-kegiatan pada tahap pra bencana erat kaitannya dengan istilah mitigasi bencana

yang merupakan upaya untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Mitigasi

bencana mencakup baik perencanaan dan pelaksanaan tindakan untuk mengurangi resiko-resiko

dampak dari suatu bencana yang dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan

tindakan-tindakan pengurangan resiko jangka panjang. Terdapat dua (2) bentuk mitigasi, yaitu

mitigasi struktural dan mitigasi non struktural. Mitigasi struktural dilakukan untuk memperkuat

bangunan dan infrastruktur yang berpotensi terkena bencana, seperti membuat kode bangunan,

desain rekayasa, dan konstruksi untuk menahan serta memperkokoh struktur ataupun

membangun struktur bangunan penahan longsor, penahan dinding pantai, dan lain-lain. Mitigasi

non struktural berupa penyusunan peraturan, pengelolaan tata ruang, pelatihan perencanaan tata

ruang wilayah, serta upaya memberdayakan masyarakat dan pemerintah daerah.

D. Pendidikan Mitigasi Bencana

Membangun budaya pengurangan bencana secara permanen dan integrative dapat

dilakukan melalui Pendidikan. Tujuan dari upaya pendidikan adalah untuk mengubah perilaku

Page 22: PENDIDIKAN KEBENCANAAN

21

seseorang. Pendidikan bencana berupaya meningkatkan tindakan perlindungan, dengan

menyajikan informasi tentang bahaya dan risiko yang ditimbulkannya. Jika direncanakan dengan

efektif dan diterapkan dengan baik, pada akhirnya, orang akan terbiasa dengan praktik

keselamatan dalam segala bentuk tindakan terkait kebencanaan. Pendidikan Pencegahan dan

Pengurangan Risiko Bencana harus dirancang untuk membangun budaya aman dan komunitas

yang tangguh.

Pendidikan kebencanaan adalah salah satu solusi internal di masyarakat untuk

mengurangi dampak bencana, serta membiasakan masyarakat untuk tanggap dan sigap terhadap

bencana yang terjadi. Pendidikan kebencanaan bermacam-macam bentuknya dimulai dari

penangulangan bencana berbasis masyarakat, pendidikan kebencanaan untuk menuju masyarakat

sadar bencana, serta kearifan lokal masyarakat dalam menangani bencana (Preston, 2012;

Setyowati, 2007).

Pendidikan kebencanaan nasional merupakan gagasan besar yang banyak diinginkan oleh

banyak pihak tetapi sulit untuk dilembagakan. Para ahli pendidikan, pengelola, dan praktisi

pendidikan di lapangan semuanya menunggu. Walaupun demikian pendidikan kebencanaan

belum diterapkan di sekolah maupun masyarakat. Pendekatan yang dilakukan dengan

mekanisme mengajak seluruh lapisan masyarakat di lokasi bencana, baik keluarga, organisasi

sosial maupun masyarakat lokal. Metode ini dilakukan dengan pendampingan oleh universitas

atau perguruan tinggi yang berkompeten di bidang kebencanaan, program ini harus dilaksanakan

secara berkesinambungan antar waktu dan antar generasi.

Penanggulangan bencana berbasis masyarakat dalam hal ini dipahami sebagai upaya

meningkatkan kapasitas masyarakat atau mengurangi kerentanan masyarakat, agar mampu

menolong diri sendiri dan kelompoknya dalam menghadapi ancaman dan bahaya bencana.

Metode ini meliputi seluruh kegiatan tahapan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap

darurat, dan pemulihan. Penanggulangan bencana berbasis masyarakat intinya merupakan sebuah

cara penanggulangan yag berbasis masyarakat lokal. Cara ini mensyaratkan adanya sikap politik

yang memberikan keberpihakan kepada kepentingan komunitas lokal. pendekatan ini juga

menggunakan pendekatan lokal dan jenius lokal, di latar depan. Dalam praktiknya, pendekatan

ini mengakomodasi potensi dan modal sosial yang ada di masyarakat sebagai sumber daya dalam

melaksanakan program penanggulangan bencana. Sehingga diharapkan masyarakat akan tanggap

dan sadar bahwa mereka hidup di daerah rawan bencana (Retnowati, 2012; Nugroho, dkk.,

2012).

Page 23: PENDIDIKAN KEBENCANAAN

22

Pendidikan kebencanaan untuk menuju masyarakat sadar bencana adalah metode atau

pendekatan dengan pemahaman konsep-konsep yang berkaitan dengan kebencanaan, dalam

rangka mengembangkan pengertian dan kesadaran yang diperlukan untuk mengambil sikap

dalam melakukan adaptasi kehidupan di daerah rawan bencana. Arti dari pendidikan

kebencanaan yakni sebagai upaya sadar untuk menciptakan suatu masyarakat yang peduli,

memiliki pengetahuan, dan keterampilan dalam mengatasi permasalahan kebencanaan, serta

menghindari permasalahan kebencanaan yang mungkin akan muncul di saat mendatang.

Pemahaman masyarakat akan karakter bencana merupakan modal awal keselamatan

hidup di masa depan, mengingat pengalaman sejarah dan peristiwa bencana lebih banyak

menyisakan kepiluan dan penderitaan. Kejadian bencana yang terjadi di Indonesia merupakan

kejadian yang berulang hampir tiap tahunnya, akan tetapi masyarakat mudah untuk melupakan

kejadian yang terkadang menghancurkan dan mengakibatkan kerugian baik material, fisik,

maupun korban jiwa. Agaknya masyarakat Indonesia belum mampu menghadapi bencana

dengan sadar dan terkesan panik serta tidak pernah siap untuk menghadap bencana. Kesiapan

menghadapi bencana di Indonesia harus telah terpatri oleh seluruh lapisan masyarakat.

Pentingnya pemahaman tentang bencana untuk masa sekarang hingga masa yang akan

datang secara eksplisit menunjukkan bahwa manusia untuk menyelamatkan diri dari ancaman

bencana harus dilakukan secara berkesinambungan, dengan jaminan estafet antar generasi yang

dapat dipertanggungjwabkan. Dengan demikian fondasi awal kegiatan pendidikan kebencanaan

sejak dini menjadi bekal menuju masyarakat yang sadar akan bencana dari masa ke masa,

mengacu pendapat (Soetaryono, 1999) tentang pendidikan lingkungan, pendidikan kebencanaan

juga mampu disebut long life education.

Pendidikan kebencanaan merupakan aspek fundamental bangsa Indonesia untuk

membangun moral manusia Indonesia agar mampu menjunjung tinggi nilai etika lingkungan,

serta mau bertindak dan berpartisipasi dalam mencari jawab yang fundamental tentang

penanggulangan bencana. mengacu pada konsep pendidikan yang dikemukakan oleh The

Ministry of Education (2003) bahwa pendidikan kebencanaan tidak boleh terlepas dari empat

konsep kunci pendekatan, yaitu (1) Saling ketergantungan (Interdependency) (2) Keberlanjutan

(Sustainability) (3) Keanekaragaman (Diversity) (4) Tanggung jawab personal dan sosial aksi

(Personal And Sosial Responsibility For Action.

Keempat kunci tersebut menyatakan bahwa ketika membahas lingkungan kehidupan,

harus berpijak pada basis ekosentris, yang menjunjung tinggi nilai interdependensi, yaitu nilai

Page 24: PENDIDIKAN KEBENCANAAN

23

ekologis yang menyatakan bahawa mahluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait

satu sama lain. Menurut Keraf (2002), salah satu teori ekosentrisme yang populer disebut dengan

deep ecology tidak hanya memusatkan perhatian pada kepentingan jangka pendek, tetapi jangka

panjang. Inilah kunci keberlanjutan, pemahaman dari ketiga konsep tersebut. Secara bersama-

sama menjadi bekal manusia sebagai nilai etik dalam bertindak dan bertangung jawab dengan

antisipasi terhadap resiko terjadinya bencana.

Pendidikan kebencanaan pada hakikatnya merupakan salah satu aspek dari kehidupan

lingkungan. Konsepsi dari pendidikan kebencanaan merupakan proses pendidikan tentang

hubungan manusia dengan alam dan lingkungan binaan, termasuk tata hubungan manusia dengan

dinamika alam, pencemaran, alokasi pengurasan sumber daya alam, pelestarian alam,

transportasi, teknologi perencanaan kota dan pedesaan. Adapun sasaran pendidikan kebencanaan

sesuai dengan yang disampaikan Resolusi Belgrad International Conference On Environmental

Education (Soetaryono, 1999), diuraikan sebagai berikut.

1) Kesadaran, membantu individu ataupun kelompok untuk memiliki kesadaran dan kepekaan

terhadap lingkungan keseluruhan berikut permasalahan yang terkait.

2) Pengetahuan, membantu individu atau kelompok sosial memiliki pemahanam terhadap

lingkungan total, permasalahan yang terkait serta kehadiran, manusia yang menyandang peran

dan tanggung jawab penting di dalamnya.

3) Sikap, membantu individu atau kelompok sosial memiliki nilai-nilai sosial, rasa kepedulian,

yang kuat terhadap lingkungannya, serta motivasi untuk berperan aktif dalam upaya

perlindungan dan pengembangan lingkungan.

4) Ketrampilan, membantu individu atau kelompok sosial mengevaluasi persyaratan-persyaratan

lingkungan dengan program pendidikan dari segi ekologi, politik, ekonomi, sosial, estetika

dan pendidikan.

5) Peran serta, membantu individu atau kelompok sosial untuk dapat mengembangkan rasa

tanggng jawab, dan urgensi terhadapa suatu permasalahan lingkungan sehingga dapat

mengambil tindakan relevan untuk pemecahannya.

Bagi para pemerhati kebencanaan, pendidikan kebencanaan merupakan bagian dari

gerakan guna mengatasi efek bencana, di antaranya dengan cara mempersiapkan generasi yang

sadar dan arif melalui sebuah proses pendidikan yang memiliki muatan-muatan penyadaran

terhadap bencana. Sosialisasi sebagai media pendidikan kebencanaan bagi masyarakat. Salah

satu upaya yang dilakukan untuk menyampaikan informasi mengenai bencana dan pendidikan

Page 25: PENDIDIKAN KEBENCANAAN

24

kebencanaan adalah sosialisasi bencana. Kegiatan ini mempunyai kunci yakni dengan adanya

komunikasi massa, yang melibatkan interaksi antara komunikator dan media komunikan.

Menurut Sitepu, dkk., (2009) melalui komunikasi dapat ditampilkan gambaran

mengenani keadaan lingkungan lengkap dengan segala argumen ilmiah. Argumentasi legal dan

argumentasi moral. Dengan demikian, diharapkan akan terjadi perubahan perilaku manusia yang

lebih baik. Bagaimanapun manusia dan masyarakat memiliki nilai-nilai dan akal sehat yang

mampu diajak bekerja sama memikirkan dan mempratekkan pola perilaku yang lebih kondusif di

dalam lingkungannya yang rawan akan bencana. hal-hal yang perlu diperhatikan agar sosialisasi

efektif adalah:

1) Kenali setiap sasaran dengan baik: hal ini dimaksudkan bahwa ketika kegiatan sosialisasi

akan dilakukan hendaknya kita mengenali subjek dan objek yang akan kita beri informasi, ini

penting karena semakin kita mengenalinya maka akan mempermudah dilakukan kegiatan

sosialisasi. Tentunya ini akan berbeda jika kita tidak mengenal objek dan subjek sasaran

sosialisasi.

2) Fokuskan pada upaya merubah perilaku: sosialisai yang baik adalah berusaha untuk merubah

perilaku dari yang sebelumnya kurang atau belum baik menuju ke perilaku yang lebih baik

dari senbelumnya, kaitannya dengan kebencanaan yakni perubahan perilaku ke arah sadar dan

tanggap terhadap bencana.

3) Kembangkan pesan-pesan yang mudah dimengerti, dalam sosialisasi hendaknya

menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh semua kalangan, hal ini akan

mempermudah penyampaian pesan, karena dengan bahasa yang mudah dimengerti mereka

subjek sasaran sosialisasi juga akan semakin mudah faham dan akhirnya mampu menafsirkan

isi sosialisasi dan melaksanakan pesan tersebut.

4) Sampaikan pesan terus-menerus, penyampaian pesan dan informasi mengenani bencana dan

pendidikan bencana hendaknya dilakukan secara kontinu dan berkesinambungan, hal ini

dimaksudkan agar sasaran sosialiasi tidak mudah lupa yang akan mengakibatkan pengulangan

sosialisasi.

5) Gunakan keanekaragaman media, keanekaragaman media dapat membantu terlaksananya

sosialisasi dengan lancar, karena dengan penggunaan media yang beragam maka sasaran

sosialiasi akan tidak mudah bosan.

Page 26: PENDIDIKAN KEBENCANAAN

25

Cakupan dimensi yang ada di pendidikan kebencanaan sangatlah luas dan merupakan

pendidikan seumur hidup, serta menyangkut kepentingan semua orang. Maka sebenarnya

sosialiasi bencana merupakan kegiatan membentuk peran serta atau partisipasi publik dalam

upaya penanggulangan bencana. hal penting selajutnya adalah upaya mencari cara-cara untuk

menciptakan serta memberi ruang publik sebagai wadah pemberdayaan penanggulangan bencana

yang berkelanjutan. Maka kegiatan sosialisasi ini diarahkan untuk memotivasi masyarakat agar

lahirnya ruang publik yang memunculkan suatu lembaga komunitas masyarakat tangguh

bencana.

Berangkat dari tingginya tingkat kerawanan bencana yang dihadapi oleh masyarakat,

menarik untuk dilakukan kajian bagaimana masyarakat mampu beradaptasi dengan alam dan

lingkungan sekitarnya. pada titik ini, kearifan lokal dijadikan objek kajian yang mempunyai

peran besar di masyarakat. Kearifan lokal masyarakat di dalam perancangan penanganan

bencana sangatlah penting, karena transfer pengetahuan mengenai kebencanaan akan sangat

mudah jika memanfaatkan kearifan lokal. Berbagai macam perubahan lingkungan sebagai akibat

dari bencana akan memberikan dampak terhadap keberlangsungan hidup mereka, baik positif

maupun negatif. Maka kearifan lokal muncul sebagai upaya mengelola perubahan yang mungkin

akan dihadapi, baik memperbesar peluang memperoleh keuntungan maupun memperkecil

dampak negatif yang diperoleh.

Kearifan lokal mempunyai tiga proses adaptasi yaitu; (1) mewariskan pengetahuan

mengenai bencana; (2) kontrol sosial masyarakat; (3) tindakan nyata. Ketiga proses tersebut

beriringan dan saling melengkapi, dan menjadi catatan yang menyertai kehidupan masyarakat.

(Marfai, 2012). Selain melalui transfer pengalaman, pengetahuan bencana dan fenomena alam

yang dimiliki oleh masyarakat seringkali dibingkai dalam sebuah konsensus atau kesepakatan.

Kesepakatan-kesepakatan tertentu disepakati bersama oleh komponen masyarakat, munculnya

kesepakatan secara tidak langsung memunculkan kontrol sosial di dalam masyarakat, baik norma

yang secara formal dilembagaan maupun sekedar nilai yang harus ditaati bersama. Berbagai

pihak dapat berperan dalam proses tersebut, bukan hanya wewenang tokoh tertentu yang

diberikan mandat, kontrol sosial juga seringkali dilakukan secara langsung antar anggota

masyarakat. Hal ini berdasarkan pada keyakinan bahwa mereka hidup di alam dan lingkungan

yang sama. Pelanggaran terhadap alam tidak hanya berdampak pada individu yang melanggar

akan tetapi juga dialami oleh masyarakat sekitar secara keseluruhan.

Page 27: PENDIDIKAN KEBENCANAAN

26

Urgensi kajian budaya dalam memahami bencana, seperti kearifan lokal, didasarkan pada

fakta bahwa bencana merupaka proses panjang, pengurangan risiko bencana tidak semata-mata

dimaknai sebagi upaya-upaya preventif atau tanggap darurat semata, namun juga sampai pada

tahap perencanaan dan rekonstruksi dan rehabilitasi fisik, ekonomi, lain-lain yang kesemuanya

mebutuhkan pertimbangan-pertimbangan sosial budaya (Winarna, 2012).

Bencana dalam hal ini dibagi kedalam 6 tahap yang berurutan dimana setiap tahapnya

terdapat pertanyaan-pertanyaan penting terkait keadaan sosial budaya masyarakat yang harus

dilihat (Marsella et all, 2008).

1) Tahap prabencana, dibutuhkan pengetahuan mengenai sejarah bencana disebuah daerah. Hal

tersebut tidak hanya berhenti pada catatan sejarah bencana yang pernah terjadi, namun

bagaimana bencana tersebut berpengaruh terhadap lingkungan, masyarakat, dan nilai-nilai

yang terkandung di dalamnya.

2) Tahap peringatan dan ancaman bencana, dalam kejadian bencana dibutuhkan pengetahuan

seberapa cepat bencana akan datang, dalam proses ini dibutuhkan analisis tentang peluang

mengoptimalkan segenap sumber daya yang ada. Selain itu, tahap ini dibutuhkan pula

pengetahuan mengenai sistem sosial yang dipercaya oleh masyarakat. Hal tersebut akan

berpengaruh terhadap sikap dan tanggapan masyarakat atas peringatan bencana yang akan

diberikan.

3) Kejadian bencana dan dampaknya, pengetahuan yang dibutuhkan dalam hal ini adalah

kemampuan untuk mengidentifikasi jenis bencana yang dihadapi, bagaimana dampak yang

diperoleh, seberapa besar sumber daya manusia, sosial, teknis dan ekonomi yang dimiliki.

Serta pengetahuan masyarakat terhadap bencana dan dampaknya.

4) Tanggap darurat, perlu untuk melakukan analisis mengenai respons apa yang pertama kali

harus dilakukan, seberapa besar sumber daya masyarakat yang tersedia, apakah respons yang

diberikan oleh masyarakat cukup untuk menciptakan respons positif terhadap bencana,

ataukah mereka mebutuhkan bantuan pada pihak luar.

5) Tahap rekonstruksi, dalam proses ini, pertanyaan penting yang harus dijawab adalah

bagaimana mengimplementasikan kebijakan rekonstruksi harus dijalankan. Seringkali

kegagalan dalam penanganan bencana akibat gagalnya rekonstruksi dan rehabilitasi.

6) Tahap pembelajaran bencana, Kejadian bencana akan memberikan pengalaman terhadap suatu

masyarakat di suatu wilayah. Dibutuhkan usaha untuk mengembangkan aktifitas mitigasi

bencana yang beroientasi pada masa depan, dengan melibatkan peran serta masyarakat.

Page 28: PENDIDIKAN KEBENCANAAN

27

Pemahaman bencana tidak hanya dimaknai sebatas bagaimana bencana itu terjadi, apa

dampaknya, dan bagaimana harus mengatasinya, namun perlu melihat juga faktor yang ada

dimasyarakat. Dalam konteks ini masyarakat tidak dapat terhenti dan harus menempatkan

mereka sebagai korban saja, melainkan mereka harus ikut diberdayakan untuk memegang

peranan penting dalam menangulangi bencana (Paton, 2003; Setyowati, 2017). oleh itu strategi

yang komprehensif yang mampu merangkul kearifan lokal dan pengetahuan pemerintah menjadi

penting untuk rumusan sebagai usaha pengurangan risiko bencana, maka sinergi antara

pemerintah, masyarakat dan stakeholder lainnya akan mempunyai dampak signifikan dalam

penanggulangan bencana.

Pendidikan Pencegahan dan Pengurangan Risiko Bencana atau lebih sering disebut

sebagai Pendidikan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) merupakan sebuah kegiatan jangka

panjang dan merupakan bagian dari pembangunan berkelanjutan. Melalui pendidikan diharapkan

agar upaya pengurangan risiko bencana dapat mencapai sasaran yang lebih luas dan dapat

dikenalkan secara lebih dini kepada seluruh peserta didik, yang pada akhirnya dapat

berkontribusi terhadap kesiapsiagaan individu maupun masyarakat terhadap bencana.

PRB perlu dimasukkan ke dalam sektor pendidikan, di mana setiap orang berhak

mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan keterampilan dalam penyelenggaraan penaggulangan

bencana, baik dalam situasi tidak terjadi bencana maupun situasi terdapat potensi bencana.

Melalui pendidikan dan pelatihan penanggulangan bencana baik secara formal dan non formal,

diharapkan budaya aman dan kesiapsiagaan menghadapi bencana dapat terus dikembangkan.

Dengan memiliki kesiapsiagaan menghadapi bencana diharapkan setiap orang mampu

untuk mengurangi ancaman dan kerentanan dalam menghadapi bencana melalui: a) pengenalan

dan pemantauan risiko bencana; b) partisipatisi dalam perencanaan penanggulangan bencana; c)

pengembangan budaya sadar bencana: d) peningkatan komitmen terhadap pelaku

penanggulangan bencana; dan e) penerapan upaya fisik, non-fisik, dan pengaturan

penanggulangan bencana.

Pendidikan kesiapsiagaan menghadapi bencana di sekolah diartikan sebagai pemikiran

dan upaya praktis untuk mengurangi atau menghilangkan segala bentuk risiko bencana dengan

mengedepankan dan/atau mengutamakan proses pembelajaran atau kegiatan edukatif lainnya

agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan budaya kesiapsiagaan dalam menghadapi

ancaman bahaya dari suatu bencana.

Page 29: PENDIDIKAN KEBENCANAAN

28

Pendidikan bencana untuk semua kalangan termasuk anak-anak adalah suatu keharusan,

karena anak-anak adalah kelompok yang paling rentan selama kejadian bencana, terutama yang

sedang bersekolah pada saat berlangsungnya kejadian. Pada saat bencana, gedung sekolah

hancur, mengurangi usia hidup murid sekolah dan guru yang sangat berharga dan terganggunya

hak memperoleh pendidikan sebagai dampak bencana.

Beberapa media yang dapat digunakan untuk melakukan pendidikan kebencanaan

meliputi: poster, brosur, buku panduan, komik, alat permainan (konvensional atau elektronik),

lembar balik, video, maupun berbagai alat peraga edukasi kebencanaan. Berikut ini disajikan

beberap gambar media edukasi kebencanaan yang dapat digunakan (Puspitawati, dkk., 2017).

1. Konsep Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB)

Mekanisme penerapan SPAB di sekolah-sekolah rawan bencana dilakukan menggunakan

skema sebagai berikut.

2. Poster SPAB

Poster berisi gambar dan tulisan yang singkat, jelas, padat, dan langsung tepat sasaran serta

mudah dimengerti. Poster juga dirancang agar dapat dibaca orang yang sedang bergerak

(berkendara atau berjalan kaki) dan menarik perhatian. Ukuran konvensional dari poster

adalah kertas ukuran A3 sampai dengan A0. Di lingkungan sekolah, poster dapat digunakan

sebagai sarana agar peserta didik mengenali jenis-jenis bencana, tanda-tanda kejadian

bencana, bagaimana cara melakukan evakuasi, dll. Contoh poster sebagai berikut.

Page 30: PENDIDIKAN KEBENCANAAN

29

3. Komik Edukasi; merupakan salah satu jenis komik yang kini sedang berkembang di

masyarakat. Salah satu keunikan jenis komik ini adalah selain memiliki konten cerita dan

narasi komik pada umumnya, komik edukasi juga memiliki konten edukasi dan informasi

terkait subjek pelajaran yang disampaikannya, sehingga cocok digunakan untuk media

pembelajaran. Cerita bergambar merupakan media yang tepat untuk anak bermain sambil

belajar. Ketika anak melihat gambar, anak dilatih bermain motorik halusnya untuk

berimajinasi. Komik biasanya memiliki tokoh cerita yang menyampaikan pesan dan

informasi sesuai dengan alur cerita yang ada di dalam komik. Contoh komik kebencanaan

disajikan sebagai berikut.

Page 31: PENDIDIKAN KEBENCANAAN

30

4. Brosur, merupakan media komunikasi dalam ukuran kertas A4 atau A5 yang dapat dilipat

menjadi 3 atau 4 dan memiliki susunan headline, gambar dan informasi. Di dalamnya

berisi informasi tentang konsep sekolah aman. Contohnya adalah brosur Sekolah aman

yang komprehensif produk dari gabungan 12 lembaga di Indonesia. Media ini mudah

didistribusikan tapi jangkauannya terbatas dan ditujukan untuk khalayak umum.

5. Buku Panduan, dalam buku panduan berisi tentang cara mengembangkan SMAB di suatu

sekolah. Buku ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu manual dan penjelasannya. Dalam

manualnya berisi dua bagian modul dan yang kedua panduan untuk fasilitatornya. Judul 3

buku, yaitu : 1) Modul manual Ayo Siaga Bencana, 2) Panduan fasilitator Ayo Siaga

Bencana, 3) Pengurangan risiko berbasis remaja.

Page 32: PENDIDIKAN KEBENCANAAN

31

6. Lembar Balik, merupakan bahan pembelajaran yang dapat digunakan oleh tenaga

pendidik dalam sosialisasi dan implementasi kegiatan SPAB.

7. Video; Video adalah media yang mampu menampilkan gambar sekaligus suara dalam

waktu bersamaan. BNPB memiliki kanal Youtube yang berisikan video-video terkait

pendidikan kebencanaan. Video untuk KIE dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu: video

dokumenter, video animasi atau kartun, film.

8. Alat Permainan; Untuk mempermudah belajar tentang kesiapsiagaan bencana, adaptasi

perubahan iklim dan materi terkait SPAB, dikembangkanlah sejumlah permainan, baik

permainan manual konvensional, maupun permainan elektronik. Alat bermain tersebut

diantaranya: Alat Permainan (Konvensional, Elektronik). Contohnya: Ular tangga Siaga

Bencana, Kartu Bergambar Sekolah/Madrasah Aman Bencana, Kartu Bergambar

Berukuran, Kuartet Sekolah/Madrasah Aman Bencana, Board Game/ Papan Permainan

PRB dan Api, Monopoli Sekolah/Madrasah Aman Bencana, Domino Sekolah/Madrasah

Page 33: PENDIDIKAN KEBENCANAAN

32

Aman Bencana dan PRB, Permainan kartu domino yang dimodifikasi muatan sekolah

aman bencana dan kesiapsiagaan bencana, dan Puzzle Sekolah/Madrasah Aman Bencana.

9. Alat Peraga; digunakan untuk membantu anak untuk belajar mengenai bencana. Alat

peraga yang ada saat ini adalah alat peraga gunung api. Terbuat dari tanah liat, dibuat

menyerupai gunung api berkawah, dengan kelengkapannya berupa soda kue dan air yang

diberikan pewarna merah. Contoh alat peraga sebagai berikut.

Page 34: PENDIDIKAN KEBENCANAAN

33

Untuk memulai pendidikan siaga bencana di sekolah, idealnya setiap sekolah melakukan

serangkaian proses kegiatan sebagai berikut:

1. Mengikuti pelatihan atau pembekalan tentang penanggulangan bencana dan pengurangan

risiko bencana,

2. Mengenali risiko bencana di sekitar lokasi sekola,

3. Merencanakan integrasi kurikulum ke dalam Rencana Belajar Tahunan, Bulanan,

Mingguan dan Harian dan pemantauan hasil belajar dengan cara: mengintegrasikan

materi PRB ke dalam bahan belajar; mengintegrasikan materi PRB ke dalam mata

pelajaran pokok dan muatan lokal; mengintegrasikan materi PRB ke dalam program

pengembangan diri,

4. Menyelenggarakan mata pelajaran Pendidikan PRB Memadukan pendidikan kesiagaan

bencana ke dalam kebijakan sekolah.

Pengurangan Risiko Bencana (PRB) merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi

risiko bencana yang dilakukan melalui penyadaran, peningkatan kemampuan menghadapi

ancaman bencana dan/ atau penerapan upaya fisik dan non fisik yang dilakukan oleh anggota

masyarakat secara aktif, partisipatif dan terorganisir. Secara umum, tujuan pelaksanaan kegiatan

PRB pada masyarakat/komunitas adalah:

1. Meningkatkan kesiapan masyarakat dalam PRB berbasis komunitas,

2. Meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pembangunan berbasis PRB,

3. Menyusun rencana pembangunan masyarakat berbasis PRB secara partisipatif,dan

4. Melaksanakan model pembangunan berbasis PRB.

Page 35: PENDIDIKAN KEBENCANAAN

34

Prinsip-prinsip dasar PRB berbasis masyarakat adalah sebagai berikut (Maguire & Hagan, 2007;

Izadkhah, 2005).

a. Cepat dan tepat, penanggulangan bencana harus dilaksanakan secara cepat dan tepat

sesuai dengan tuntutan keadaan. Keterlambatan dalam penanggulangan akan berdampak

pada tingginya kerugian material maupun korban jiwa;

b. Prioritas, apabila terjadi bencana, kegiatan penanggulangan harus mendapat prioritas dan

diutamakan pada kegiatan penyelamatan jiwa manusia;

c. Koordinasi dan keterpaduan, penanggulangan bencana didasarkan pada koordinasi yang

baik dan saling mendukung. Prinsip keterpaduan adalah penanggulangan bencana

d. dilakukan oleh berbagai sektor secara terpadu yang didasarkan pada kerja sama yang baik

dan saling mendukung;

e. Berdaya guna, kegiatan penanggulangan bencana harus berdaya guna khususnya

mengatasi kesulitan masyarakat dengan tidak membuang waktu, tenaga dan biaya yang

berlebihan;

f. Transparansi dan akuntabilitas, penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan

dapat dipertanggungjawabkan;

g. Kemitraan, mengutamakan kerjasama antara individu, kelompok atau organisasi untuk

melaksanakan kegiatan dan mencapai tujuan bersama;

h. Partisipatif, masyarakat terlibat aktif pada setiap proses pengambilan keputusan

pembangunan dan secara gotong royong menjalankan pembangunan;

i. Non-diskriminatif, bahwa dalam penanggulangan bencana tidak memberi perlakukan

berbeda terhadap jenis kelamin, suku, agama, ras, dan aliran kepercayaan.

Langkah-langkah pengintegrasian kesiapsiagaan menghadapi bencana ke dalam mata

pelajaran dapat dilakukan melalui identifikasi materi pembelajaran tentang bencana dan

kesiapsiagaan bencana (Setyowati, dkk., 2015). Materi pembelajaran (instructional materials)

adalah bahan yang diperlukan untuk pembentukan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang

harus dikuasai peserta didik dalam rangka memenuhi standar kompetensi dan kompetensi dasar

yang ditetapkan. Materi pembelajaran terdiri dari:

1. Materi fakta, yaitu materi pembelajaran yang berupa kenyataan dan kebenaran, meliputi

nama-nama obyek, peristiwa sejarah, lambang, nama tempat, nama orang, nama bagian atau

komponen suatu benda, dan sebagainya;

2. Materi konsep, yaitu materi pembelajaran yang berupa pengertian-pengertian baru yang bisa

timbul sebagai hasil pemikiran, meliputi definisi, pengertian, ciri khusus, hakekat, inti/ isi

dan sebagainya;

3. Materi prinsip, yaitu materi pembelajaran yang berupa hal-hal utama, pokok, dan memiliki

posisi terpenting, meliputi dalil, rumus, adagium, postulat, paradigma, teorema, serta

hubungan antar konsep yang menggambarkan implikasi sebab akibat;

Page 36: PENDIDIKAN KEBENCANAAN

35

4. Materi prosedur, yaitu materi pembelajaran yang meliputi langkah-langkah sistematis atau

berurutan dalam mengerjakan suatu aktivitas dan kronologi suatu sistem;

5. Materi sikap atau nilai, yaitu materi pembelajaran yang merupakan hasil belajar aspek

afektif, misalnya nilai kejujuran, kasih sayang, tolong-menolong, semangat dan minat

belajar serta bekerja, dsb.

Pendidikan yang peduli dengan pengurangan risiko bencana dilakukan dengan

memberikan pendidikan didasarkan pada bukti bahwa pendidikan berkontribusi terhadap

pengetahuan dan keterampilan yang penting untuk kesiapsiagaan bencana (Gambar 6).

Gambar 6. Bentuk Pendidikan Mitigasi Bencana dalam Pembelajaran

DAFTAR PUSTAKA

BNPB. 2017. Buku Saku: Tanggap Tangkas Tangguh Menghadapi Bencana.

Building Research Institute (BRI). 2007. Disaster Education. Paris: UNESCO.

Coburn, A., Sspence, R.J.S., Antonios Pomonis. 1994. Vulnerability and Risk Assessment.

Edition: 2nd. Publisher: Cambridge Architectural Research Limited

Eka, Mariska. 2012. Menuju Perubahan Kesiapan Dalam Menghadapi Bencana Alam.

Jogjakarta: Mizan.

Gustavo. I.a 1995. Bencana dan Lingkungan. UNDP

Haque , C. Emdad. Risk assessment, emergency preparedness and response to hazards: the case

of the 1997 red river flood. Jurnal. Canada: Brandon University.

Page 37: PENDIDIKAN KEBENCANAAN

36

Hardoyo, S.R., Marfai, M.A., Ni’mah, N.M., Mukti, R.Y., Zahro, Q., Halim, A. 2011. Strategi

Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota

Pekalongan. Yogyakarta: MPPDAS Universitas Gadjah Mada

Indiyanto, Agus. 2012. Konstruksi Masyarakat Tangguh Bencana. Yogyakarta: Mizan.

Izadkhah, Y. O., & Hosseini, M. (2005). Towards resilient communities in developing countries

through education of children for disaster preparedness. International journal of

emergency management, 2(3), 138-148.

Keraf. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit buku kompas, Jakarta

Maguire, B., & Hagan, P. (2007). Disasters and communities: understanding social

resilience. Australian Journal of Emergency Management, The, 22(2), 16.

Marfai dan Khasanah. 2012. Kerawanan dan Kemampuan Adaptasi Masyarakat Pesisir Terhadap

Bahaya Banjir Genangan dan Tsunami. Bandung: Mizan Media Utama

Marfai, Aris. 2012. Kerawanan Dan Kemampuan Adaptasi Masyarakat Pesisir Terhadap Bahaya

Banjir Dan Tsunami. Jogjakarta: Mizan.

Marfai, M.A., King, L., Sartohadi, J., Sudrajat, S., Budiani, S.R., and Yulianto, F. 2008. “The

Impact of Tidal Flooding on a Coastal Community in Semarang Indonesia”,

Environmentalist, 28: 237-248.

Marsella, A., Johnson, J., Watson, P., and Gryczynski, J., editors. 2008. Ethnocultural

Perspectives on Disaster and Trauma – Foundation, Issues, and Application. Springer

Scinece. Business Media. LLC, 2008.

Messner, F.& Meyer, V. 2005. “Flood Damage, Vulnerability, an RiskPerception: Challenge for

Flood Damage Research”, UFZ Discussion Paper, Leipzig-Halle

Nugroho Kharisma, Kristanto Endro, Andari Bekti Dwi, Kridanta Setyawan J. 2012. Modul

Peatihan Dasar Penanggulangan Bencana. Jakarta Pusat: PNPB.

Nurjanah, R. Sugiharto, Kuswanda Dede, Siswanto BP, Adikoesoemos. 2011. Manajemen

bencana. Jakarta: ALFABETA BANDUNG.

Paripurno, ET. 2008. Manajemen resiko bencana berbasis komunitas: Alternatif dari bawah.

Jurnal Dialog Kebijakan Publik.

Paton, D. (2003). Disaster preparedness: a social-cognitive perspective. Disaster Prevention and

Management: An International Journal, 12(3), 210-216.

Preston, J. (2012). What is disaster education?. In Disaster Education (pp. 1-10). Sense

Publishers, Rotterdam.

Puspitawati, PD., Pantjastuti, SR., Kurniawan, L, Praptono, Tebe Yusra. 2017. Pendidikan

tangguh Bencana (mewujudkan Satuan Pendidikan Aman Bencana Indonesia). Jakarta:

Dirjendikdasmen, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Rachman, Maman. 2011. Model Pembelajaran Masyarakat Menuju Perilaku Tanggap Diri Di

Daerah Rawan Bencana Banjir. Semarang: UNNES PRESS.

Ramli, Koehatman. 2010. Pedoman Praktis Manajemen Bencana. Jakarta: Dian Rakyat.

Retnowati, Arry. 2012. Menuju Masyarakat Tangguh Bencana. Jogjakarta: Mizan.

Page 38: PENDIDIKAN KEBENCANAAN

37

Sastrodihardjo, S., 2012. Upaya Mengatasi Masalah Banjir Secara Menyeluru, PT. Mediatama

Saptakarya, Jakarta

Setyowati, Dewi Liesnoor. 2017. Pendidikan Kebencanaan (Bencana Banjir, Longsor, Gempa

dan Tsunami). Buku Referensi, Semarang: CV Sanggar Krida Aditama.

Setyowati, DL., Isti Hidayah, Juhadi, Tjaturahono BS., Ananto Aji, Aryono Adhi, Arif

Widiyatmoko, Satya Budi Nugraha. 2015. Panduan Pengurangan Risiko Bencana (PRB)

Sekolah. Semarang: CV. Swadaya Manunggal.

Setyowati, DL., Mohamad Amin, Tri Marhaeni PA., Ishartiwi. 2017. Community Efforts For

Adaptation And Anticipate To Flood Tide (ROB) In Bedono Village, District Sayung

Demak, Central Java, Indonesia. Man In India: 97(5):241-252.

Setyowati, DL., Nana Karida Tri Martuti., Satya Budi Nugraha. 2016. Pendidikan Bencana

Banjir (Kesiapan Masyarakat dalam Menghadapi Banjir di Kali Beringin Indonesia dan

Sungai Uthapao Thailand). Semarang: CV Sanggar Krida Aditama.

Sitepu, Apallidya. Armansyah, Cut. Saary, Rina S. dan Rahayu, Rochani Nani. 2009.

Kesiapsiagaan dalam Mengantisipasi Bencana di Perpustakaan dan Pusat Arsip.

Jurnal.No. 1.Hal.2-3.

Smit, B. and Wandel, J. 2006.“Adaptation, Adaptive Capacity and Vulnerability”, Journal Global

Environmental Change, 16: 282–292.

Soetaryono. 1999. Aplikasi Pendidikan Lingkungan pada Jenjang Sekolah Menengah. Makalah

Lokakarya Penerapan Model Pendidikan Lingkungan Hidup di Sekolah, Kerjasama

Fakultas Kehutanan IPB dengan badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Bogor.

Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Jakarta.

Walhi. 2007. Masyarakat Sipil Untuk Pengurangan Resiko Bencana Membangun Kekuatan

Kolektif Masyarakat Untuk Mereduksi Risiko Dan Dampak Bencana Ekologis. Jakarta

Winarna, Aris. 2012. Optimalisasi Potensi Kecerdasan Individu Dan Kolektif. Jogjakarta: Mizan.