pendahuluan sulut ppg

Upload: liris-n-istya

Post on 17-Oct-2015

89 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

PPG SULUT

TRANSCRIPT

Laporan PraktikumHari, tanggal : Rabu, 19 Maret 2014MK. Perencanaan Pangan dan GiziTempat : RK U2 02ANALISIS SITUASI DAN PERENCANAAN PROGRAM PANGAN DAN GIZI PROVINSI SULAWESI UTARA TAHUN 2011

Oleh:Kelompok 5Wafiqah indrianiI14110087Ade Fitria Handayani I14110092Hanifah A.K.I14110097Adhe Fadhillah P.I14110105Pradita ChandraI14110111IftitahunI14110126Hendra SaputraI14110128Liris Nurfiah I.I14124013Nida Nadia R.I14124016

Asisten Praktikum:Vitria MelaniReni Rahmawati

Koordinator Mata KuliahYayat Heryatno, SP, MPS

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKATFAKULTAS EKOLOGI MANUSIAINSTITUT PERTANIAN BOGORBOGOR2013

PENDAHULUANLatar BelakangPangan dan gizi merupakan pilar pembangun Kualitas sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas yaitu SDM yang sehat, cerdas dan memiliki fisik yang tangguh serta produktif merupakan faktor utama yang diperlukan untuk melaksanakan pembangunan nasional. Gizi merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan keserasian antara perkembangan fisik dan perkembangan mental. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan pembuatan makanan atau minuman (UU pangan no 18 tahun 2012). Masalah pangan yang biasanya sering dihadapi adalah ketahanan pangan yang meliputi ketersediaan pangan dan kerawaaan konsumsi pangan yang di pengaruhi oleh kemiskinan, rendahnya pendidikan dan adat kepercayaan yang terkait dengan tabu makanan. Sementara permasalahan gizi tidak terbatas pada kondisi kekurangan gizi saja melainkan juga pada pembangunan manusia di indonesia. Ketahanan pangan diartikan sebagai adanya jaminan bahwa setiap penduduk di suatu negara, selalu tercukupi kebutuhan pangan dan gizinya sebagai syarat utama untuk mencapai derajat kesehatan dan kesejahteraan (Soekirman 2000). Berdasarkan Kebijakan Umum Ketahanan Pangan (KUKP) tahun 2010-2014, tujuan pembangunan ketahanan pangan adalah untuk membangun ketahanan dan kemandirian pangan baik di tingkat makro (nasional) maupun di tingkat mikro (rumahtangga/individu).Ketahanan pangan mencakup tiga aspek penting yang dapat digunakan sebagai indikator ketahanan pangan, yaitu: (1) Ketersediaan, yang artinya bahwa pangan tersedia cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik jumlah maupun mutunya, serta aman; (2) Distribusi, dimana pasokan pangan dapat menjangkau seluruh wilayah sehingga harga stabil dan terjangkau oleh rumah tangga; dan (3) Konsumsi, yaitu setiap rumah tangga dapat mengakses pangan yang cukup dan mampu mengelola konsumsi kaidah gizi dan kesehatan, serta preferensinya (DKP 2006).Kendala dan tantangan program pangan dan gizi adalah ketidakmampuan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi bagi setiap anggota rumah tangganya. Ancaman ini apabila tidak secara cepat dan tepat diantisipasi akan menimbulkan akibat yang lebih buruk lagi, yaitu bencana kekurangan pangan dan gizi, yang akan berdampak buruk terhadap kualitas sumber daya manusia di masa mendatang. Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) merupakan sistem yang tepat digunakan oleh pemerintah daerah karena SKPG merupakan sistem pengelolaan informasi pangan dan gizi dalam rangka menetapkan kebijakan program pangan dan gizi. Selain itu, informasi pangan dan gizi dapat dipakai untuk menetapkan kebijakan dan tindakan segera terutama dalam keadaan krisis pangan dan gizi. Dalam keadaan normal, informasinya dapat dipakai untuk pengelolaan program pangan dan gizi jangka panjang (Reynaldy 2006).Oleh karena itu, penting dilakukan analisis situasi serta perencanaan pangan dan gizi dari tingkat provinsi khususnya Sulawesi Utara agar dapat dijadikan landasan dalam pembuatan dan pelaksanaan program pangan dan gizi sehingga dapat sesuai dengan situasi dan kebutuhan masyarakat serta potensi wilayah Sulawesi Utara.TujuanTujuan UmumMenganalisis situasi dan menyusun perencanaan program bidang pangan dan gizi sesuai dengan situasi dan kebutuhan masyarakat serta potensi wilayah di Provinsi Sulawesi Utara.Tujuan Khususa. Menganalisis situasi pangan dan gizi masyarakat berdasarkan AKG dan PPH Regional Provinsi Sulawesi Utarab. Menyusun kebutuhan dan target penyediaan pangan wilayah berdasarkan PPH di Provinsi Sulawesi Utarac. Menyusun strategi dan program pangan dan gizi wilayah sesuai dengan situasi dan kebutuhan masyarakat serta potensi wilayah di Provinsi Sulawesi UtaraMETODEDesain StudiDesain studi yang digunakan adalah cross sectional study. Kajian ini tidak hanya dilakukan pada satu waktu, dilakukan secara bertahap setiap minggu dengan menggunakan data dasar tahun 2011 dan memproyeksikannya untuk tahun yang akan datang.

Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari data Badan Pusat Statistik (BPS) pusat tahun 2011, Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulawesi Utara tahun 2012, data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Provinsi Sulawesi Utara tahun 2011, dan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010. Sumber data berasal dari penelusuran literatur dan media elektronik seperti website BPS Provinsi Sulawesi Utara, RISKESDAS, SUSENAS, dan website Provinsi Sulawesi Utara. Jenis dan sumber data berbagai variabel dapat dilihat pada tabel 1 berikut:

Tabel 1 Jenis dan sumber data berbagai variabelDataSumber Data

Keadaan umum wilayahWebsite Provinsi Sulawesi Utara, Badan Koordinasi Penanaman Modal

ProduksiBadan Pusat Statistik (BPS) pusat tahun 2011, Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulawesi Utara tahun 2012

Ketersediaan panganNBM (berdasarkan produksi) 2011

Distribusi panganDepartemen Perhubungan

Harga panganBadan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulawesi Utara tahun 2012

Konsumsi panganSUSENAS 2011

Status GiziRiskesdas 2010

Analisis DataData yang telah diperoleh diverifikasi terlebih dahulu untuk melihat konsistensi data, Setelah semua data selesai diverifiksi kemudian data dientri dan diolah menggunakan Microsoft Excel. Analisis data dilakukan dengan metode statistik deskriptif menggunakan software perencanaan pangan dan gizi wilayah. Data yang telah selesai diolah dapat diinterpretasikan secara deskriptif melalui diskusi kelompok.

Definisi Operasional

Distribusi Pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka penyaluran pangan kepada masyarakat Sulawesi Utara, baik untuk diperdagangkan maupun tidak.Jumlah Penduduk adalah banyaknya jumlah penduduk di wilayah Sulawesi Utara berdasarkan umur dan jenis kelamin pada tahun 2011.Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari konsumsi pangan yang mencapai jumlah 2.200 kkal dan mutu 100, sesuai dengan AKE dan PPH yang ideal.Ketersediaan Pangan adalah tersedianya pangan dari hasil produksi domestik Sulawesi Utara atau dari sumber lain untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya di wilayah Provinsi Sulawesi Utara.Konsumsi Pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang di Provinsi Sulawesi Utara pada tahun 2011.Neraca Bahan Makanan (NBM) adalah penyajian data dalam bentuk tabel yang dapat menggambarkan situasi dan kondisi ketersediaan pangan untuk konsumsi penduduk di wilayah Provinsi Sulawesi Utara pada tahun 2006.Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman (UU No. 7/1996).Pola Pangan Harapan (PPH) adalah susunan beragam pangan yang didasarkan pada sumbangan energi setiap kelompok pangan utama dari konsumsi pangan untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya.Produksi adalah jumlah hasil menurut jenis bahan makanan dari sektor pertanian, baik yang telah diolah maupun yang belum diolah.Tingkat Ketersediaan adalah gambaran rasio antara pangan yang tersedia dengan yang dibutuhkan pada tahun 2011.Tingkat Kecukupan Energi Protein adalah rasio asupan energi dan protein aktual dengan angka kecukupan yang dianjurkan (AKG 2004) yang dinyatakan dalam persen.Tingkat Konsumsi adalah perbandingan antara konsumsi energi dan protein rata-rata penduduk agar dapat hidup dengan sehat

ANALISIS SITUASI PANGAN DAN GIZI DI PROVINSI SULAWESI UTARA

A. Keadaan Umum Wilayah

Geografi dan EkologiProvinsi Sulawesi Utara (Sulut) yang berada di paling ujung utara Nusantara terletak di bagian paling utara dari semenanjung Pulau Sulawesi, yaitu antara 00301-50351 Lintang Utara dan antara 1230701-1270001 Bujur Timur. Sebelah utara berbatasan dengan Filipina, sebelah timur dengan Provinsi Maluku Utara, sebelah selatan berbatasan dengan Provinsi Gorontalo, dan di sebelah barat dibatasi oleh Laut Sulawesi. Luas wilayah semenanjung ini adalah 15.376,99 km yang terbagi dalam tiga belas daerah Kabupaten/Kota definitif.Potensi paling besar di Sulawesi Utara bila dilihat dari aspek kemiringan tanah dan jenis tanah kompleks (meliputi 76,5% dari total luas seluruh provinsi) adalah pengembangan pertanian pangan, tanaman perkebunan, hijauan pakan ternak sapi dan kambing, dan pengembangan hutan produktif. Hal ini semakin mengukuhkan sumber penghidupan sebagian besar masyarakat Sulawesi Utara di sektor pertanian dan perkebunan.

Demografi dan Sosial EkonomiJumlah penduduk Provinsi Sulawesi Utara tahun 2011 sebanyak 2.296.666 jiwa, yang menyebar pada setiap kabupaten dan kota yang terdiri dari 15 kabupaten/kota. Jumlah penduduk berdasar jenis kelamin ini terdiri dari pria 1.173.238 jiwa dan wanita 1.123.428 jiwa. Laju rata-rata pertumbuhan (2000 2010) adalah sebesar 1,28%. Wilayah dengan penduduk terbanyak adalah Manado (415.114 jiwa) dan yang terkecil adalah Bolaang Mongondow Selatan (57.648 jiwa). Data terakhir pada 2010 menunjukkan pertumbuhan penduduk Provinsi Sulawesi Utara yaitu 2% dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 157 jiwa/km2.Struktur ekonomi Provinsi Sulawesi Utara pada tahun 2011 didominasi sektor Pertanian (18,21%), Jasa (15,13 %) dan Perdagangan (17,45%). Komoditi unggulan Provinsi Sulawesi Utara adalah Sektor pertanian komoditi unggulannya adalah jagung, kedelai, ubi kayu dan ubi jalar. Sektor perkebunan dengan komoditi unggulannya kelapa, kakao, pala, cengkeh, jambu mete, lada dan kopi . Sektor perikanan komoditi unggulannya Perikanan Tangkap, Budidaya Laut, Budidaya Keramba, Budidaya Kolam, Budidaya Tambak, Budidaya Sawah. Sedangkan sektor jasa komoditi unggulannya adalah Wisata Alam dan Wisata Budaya..Nilai produksi barang-barang dan jasa-jasa yang dihasilkan dalam setahun oleh para pelaku ekonomi di Sulawesi Utara tercermin dari PDRB (Produk Domestik Regional Bruto). Untuk sektor industri pengolahan, pertambangan, dan penggalian, listrik, gas, dan air, serta sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan semuanya hanya berperan di bawah 10%.Jumlah pencari kerja berdasarkan tingkat pendidikan di Provinsi Sulawesi Utara berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal pada tahun 2010 yaitu untuk yang berpendidikan SMU/SMK sebanyak 8.627 jiwa. Total pencari kerja yang berpendidikan D3 yaitu sebanyak 2.296 jiwa. Sedangkan untuk yang berpendidikan S1 berjumlah 5.879 jiwa.

Tabel 2 Jumlah dan Prevalensi Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Provinsi Sulawesi Utara, tahun 2012KotaDesaKota+Desa

Jumlah Penduduk Miskin (000)66,80110,70177,50

Persentase Penduduk Miskin (%)6,368,697,64

Garis Kemiskinan (Rp)231794217355223883

P1 (%)1,141,211,18

P2 (%)0,330,270,30

Keadaan kemiskinan di Provinsi Sulawesi Utara dapat dilihat berdasarkan data kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS tahun 2012. Berdasarkan Kabupaten/Kota, penduduk miskin di Provinsi Sulawesi Utara yaitu sebanyak 177.500 ribu orang. Kategori penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan dan non makanan per kapita per hari. Garis kemiskinan Provinsi Sulawesi Utara adalah 223.883 Rp/Kapita/Bulan dengan indeks kedalaman kemiskinan yaitu 1,18 dan dengan indeks keparahan sebesar 0,30.B. Keragaman Ketahanan Pangan dan Gizi

Ketersediaan Pangan

a. Produksi

Produksi pangan Provinsi Sulawesi Utara dilihat pada Sulawesi Utara dalam angka tahun 2011. Produksi di Provinsi Sulawesi Utara sangat beragam. Produktivitas pangan di Provinsi Sulawesi Utara cukup tinggi. Pangan strategis pada bidang padi-padian dan sayur-sayuran seperti kol dan cabe. Tabel 3 Luas Panen dan Produktivitas Padi, Kol dan Cabe Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2011KomoditasLuas Lahan (Ha)Produksi (Ton)

Padi sawah119771584031

Kol59019981

Cabe20345317

b. Cadangan Pangan

Upaya untuk mencapai ketahanan pangan, salah satu hal yang perlu diperhatikan pemerintah yaitu cadangan pangan. Cadangan pangan dapat mendukung ketesedian pangan di suatu wilayah. Cadangan pangan nasional terdiri dari cadangan pangan pemerintah dan cadangan pangan masyarakat. Informasi cadangan pangan nasional dapat dilihat pada Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah yang dikeluarkan oleh Pusat Distribusi dan Cadangan Pangan (LAKIP-PDCP). Pada laporan tersebut Provinsi Sulawesi Utara memiliki cadangan pangan masyarakat berupa gabah yang mencapai 68.150 kg per Desember 2012 sedangkan cadangan pangan pemerintah mencapai 19,55 ton.

Tabel 4 Cadangan Pangan Masyarakat dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2012PengadaanPenyaluranSisa

Cadangan pangan masyarakat121.100 kg52.950 kg68.150 kg

Cadangan pangan pemerintah43,3 ton23,78 ton19,55 ton

c. Ketersediaan Pangan

Ketersediaan Pangan merupakan ketersediaan pangan secara fisik di suatu wilayah dari segala sumber, baik itu produksi pangan domestik, perdagangan pangan dan bantuan pangan. Ketersediaan pangan ditentukan oleh produksi pangan di wilayah tersebut, perdagangan pangan melalui mekanisme pasar di wilayah tersebut, stok yang dimiliki oleh pedagang dan cadangan pemerintah, dan bantuan pangan dari pemerintah atau organisasi lainnya. Salah satu cara untuk mengetahui situasi ketersediaan pangan di suatu wilayah adalah dengan menggunakan Neraca Bahan Makanan (NBM). Data NBM selanjutnya dapat diinterpretasikan ke dalam Pola Pangan Harapan (PPH). Selain untuk mengukur ketersediaan, PPH dapat menunjukkan keragaman produksi pangan di suatu wilayah. Data yang digunakan untuk menghitung ketersediaan pangan hanya data produksi yang didapatkan dari Jakarta dalam Angka 2011 serta Badan Pusat Statistik Nasional yang kemudian diolah menggunakan software NBM.Berdasarkan Tabel 5, ketersediaan pangan di Provinsi Sulawesi Utara sudah memenuhi standar SPM Indonesia yaitu 90. Angka Kecukupan Energi sudah mencapai angka 1304,7% sedangkan Angka Kecukupan Protein 1201,4%. Kondisi ini dapat terjadi karena cukup luasnya lahan yang digunakan untuk kepentingan sektor pertanian.

Tabel 5 Ketersediaan Pangan Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2011NoKelompok PanganGram/ Kap/HariTingkat Ketersediaan EnergiTingkat Ketersediaan Protein

Kkal/Kap/Hari% AKE*)Gram/Kap/Hari% AKP**)

1Padi-padian7313,1259061177,5643,11124,3

2Umbi-umbian432,145120,54,17,3

3Pangan Hewani105,11677,616,729,3

4Minyak dan Lemak27,223810,80,20,4

5Buah/Biji Berminyak0,000,00,00,0

6Kacang-kacangan18,5703,25,59,6

7Gula425,6156571,12,95,1

8Sayur dan Buah847,030814,014,625,5

9Lain-lain0,000,00,00,0

Total 28.7041.304,7687,21.201,4

Keterangan =

*) Angka Kecekupan Energi (AKE)2.200 Kkal/Kap/Hari

**) Angka Kecekupan Protein (AKP)57 Gram/Kap/Hari

Distribusi Pangan

a. Sarana dan PrasaranaDistribusi pangan merupakan salah satu subsistem penting dalam mendukung ketahanan pangan. Salah satu komponen yang dapat mendukung kelancaran distribusi pangan adalah ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai. Hal ini karena biaya distribusi pangan melalui berbagai sarana yang tersedia sangat berpengaruh terhadap harga pangan. Badan Ketahanan Pangan Sulawesi Utara terus mengintensifkan pengawasan stok pangan di daerah yang berpotensi mengalami krisis pangan karena hambatan distribusi. Langkah ini ditempuh menyusul tidak menentunya cuaca saat ini sehingga menganggu kelancaran distribusi pangan. Kepala Badan Ketahanan Pangan, cuaca yang sulit diperdiksi berpotensi mengganggu ketersediaan stok pangan di sejumlah daerah di Sulawesi Utara seperti wilayah Kepulauan dan Perbatasan.Kemudahan akses berbagai jalur transportasi di Provinsi Sulawesi Utara didukung oleh sarana dan prasarana berbagai jalur baik darat, laut, maupun udara. Apabila dilihat dari panjang jalan di wilayah Provinsi Sulawesi Utara untuk jalan nasional yaitu 5490 km terdiri 1108 km kondisi baik, 1216 km kondisi sedang, 899 km kondisi rusak ringan dan 2267 km rusak berat. Selanjutnya untuk jalan provinsi dengan total panjang jalan 741 km terdiri dari 118 km jalan baik, 275 km sedang, 139 km rusak ringan dan 147 km rusak berat. Total panjang jalan kabupaten yaitu 3490 km terdiri dari 1108 km kondisi jalan baik, 1216 km sedang, 899 km rusak berat, dan 267 km rusak ringan.Jumlah terminal yang beroperasi pada tahun 2007 adalah 12 unit dengan rincian:1.Terminal tipe A yang beroperasi sebanyak 1 unit2.Terminal tipe B yang beroperasi sebanyak 2 unit3.Terminal tipe C yang beroperasi sebanyak 9 unitJumlah jembatan timbang sesuai dengan SK dirjen Hubdat No.AJ.108/3/12/DRJD/2007 tanggal 23 April 2007, yang beroperasi sebanyak 1 unit dan yang tidak beroperasi sebanyak 1 unit.Akses untuk jalur laut dapat dilihat dari lintas penyebarangan dan keberadan pelabuhan di Provinsi Sulawesi Utara. Lintas penyeberangan yang ada di Sulawesi Utara yaitu terdapat sembilan lintas penyeberangan berdasarkan data 2007. Keberadaan pelabuhan di Sulawesi Utara juga dapat menunjang akses jalur distribusi pangan. Terdapat sepuluh pelabuhan untuk penyeberangan yang ada di Provinsi Sulawesi Utara, diantaranya adalah pelabuhan Kabaruan, Likupang, Amurang, Pananaro, Talaud, Melongguane, Dago, Ulusiau, Bitung dan Pulau Lembeh.

b. Kelembagaan PemasaranContoh mata rantai pemasaran terjadi pada produk sapi potong. Kondisi pola pemasaran ternak sapi potong saat ini ,masih didominasi oleh para pedagang, dimulai dari pedagang pengumpul yang berkeliling ke peternak-peternak sapi potong di perdesaan mengumpulkan sapi, kemudian didistribusi ke pedagang besar dengan harga dua kali lipat dari harga dari peternak sapi. Pedagang Besar ini sudah mempunyai jaringan pasar tersendiri secara kontinyu dengan mitra usahanya yaitu para Eksportir atau ke Industri pengolahan daging sapi supplai bahan baku dengan kualitas standar/ mutu yang telah disepakati. Selanjutnya ternak-ternak sapi yang tidak memenuhi spesifikasi teknis (SOP) yang disepakati akan disalurkan ke pedagang pengecer di kios-kios di kabupaten/ kota, yang nantinya akan dijual ke konsumen-konsumen.Kondisi pola pemasaran sapi potong yang diharapkankelompok tani peternak yang ada di perdesaan menjalin jejaring usaha yang sejenis dengan kelompok tani peternak lainnya. Kemudian bergabung membentuk Gabungan Kelompoktani (Gapoktan)/ atau menjadi anggota kelembagaan usaha petani yang dapat berbentuk KUB/Assosiasi sapi/ koperasi tani/ PT yang bergerak dalam usaha sapi. Gapoktan/ Kelembagaan ekonomi petani ini menjalin jaringan usaha/ kemitraan usaha dengan para mitra usaha yang bergerak dalam usaha peternakan sapi baik itu dalam bentuk kerjasama bidang pemasaran, penyediaan sarana prasarana produksi maupun permodalan. Dalam kemitraan usaha ini diharapkan adanya kesepakatan kerjasama yang ditandai dengan Naskah Kerjasama (MOU) terhadap kesepakatan-kesepakatan yang harus ditaati oleh pihak yang bermitra dalam menjalin kemitraan.Organisasi petani (Gapoktan/ kelembagaan ekonomi petani) secara langsung melakukan kerjasama usaha/ kemitraan dengan para eksportir/ industri pengolahan hasil ternak dan dengan pasar ternak/ pasar lelang dalam pemasaran ternak sapi. Sehingga mata rantai pemasaran dapat diperpendek dan harga dapat ditetapkan sesuai dengan harga ternak dari kesepakatan harga dari organisasi petani. Selain itu jaminan ketersedian pasokan ternak baik dari segi kuantitas, kualitas dan harga akan lebih menguntungkan bagi peternak maupun pihak mitra.Contoh mata rantai pemasaran lainnya adalah produk kopi. Kopi yang dihasilkan oleh petani yang dikenal sebagai kopi asalan pada umumnya belum memenuhi standar mutu kopi ekspor, kadar airnya masih tinggi yaitu berkisar antara 16-20%. Kopi asalan ini tidak langsung dijual kepada eksportir, tetapi di jual melalui pedagang perantara sebelum dijual ke eksportir. Mata rantai perdagangan kopi asalan ini pada umumnya cukup panjang, mulai dari pedagang keliling, pedagang lokal, pedagang besar dan eksportir. Rantai pemasaran kopi dari petani atau perkebunan dapat juga melalui berbagai jalur ke asosiasi petani kopi atau langsung ke pedagang pengumpul. Selanjutnya pedagang pengumpul akan memasarkan kopi beras ke pedagang besar atau langsung ke eksportir dan perusahaan kopi bubuk. Syarat yang harus dipenuhi adalah kopi harus bermutu baik dan sudah disortasi sehingga memenuhi syarat mutu yang ditentukan.

c. Stabilitas hargaSalah satu komponen dari ketahanan pangan adalah stabilitas harga. Stabilitas harga pangan dapat diketahui dengan mengukur harga rata-rata dan koefisien variasi pada berbagai tingkat pelaku pasar. Saat harga dipasaran lebih stabil, maka akses masyarakat akan lebih mudah dalam mendapatkan bahan pangan pokok yang diinginkan.Berdasarkan Tabel 6, diperoleh data stabilitas harga berbagai pangan strategis. Rata-rata harga jenis pangan didapatkan dengan cara menjumlah seluruh harga pangan pada bulan ke-1 hingga ke-12 dari setiap komoditas jenis pangan yang ada, lalu dibagi jumlah bulan dengan jumlah bulan yang ada dalam satu tahun, yaitu 12 bulan. Hasil perhitungan rata-rata harga jenis pangan tersebut memperlihatkan bahwa rata-rata harga jenis pangan tertinggi adalah daging sapi (55000), sedangkan untuk rata-rata harga jenis pangan terendah adalah jagung (3551,833). Standar deviasi jenis pangan diketahui dengan menggunakan rumus perhitungan yang telah disediakan. Oleh karena itu, apabila dilakukan pengisian angka ke dalam tabel maka secara otomatis akan keluar hasil perhitungannya. Standar Deviasi jenis pangan tertinggi adalah cabe (0) dan standar deviasi jenis pangan terendah adalah minyak goreng (163,8263). Tabel 6 Daftar harga pangan tahun 2010NoJenis PanganKRiSDKRiCVKRiCVKTiSki

1Beras6652,25250,23563,76166810184,9533

2Jagung3551,833163,82634,61244425181,5502

3Kedelai7073,167124,17061,75551625192,9779

4Daging sapi550000025200

5Daging ayam27595,25995,36233,60700625185,572

6Telur17156,25817,29364,76382425180,9447

7Gula pasir10818,08352,60143,2593710186,9625

8Minyak goreng11546,25228,59381,9798110192,0808

9Cabe14001,832889,17220,6342425117,463

Capaian Stabilitas Harga Pangan (SK)180,2783

Keterangan:KRi : RataanSDKRi : Standar DeviasiCVKRi : Koeofisien Keragaman RealisasiCVKTi : Koefisien Keragaman TargetSki : Stabilitas

Koefisien keragaman realisasi jenis pangan dapat diperoleh hasilnya dengan cara hasil standar deviasi jenis pangan yang diperoleh kemudian dibagi dengan rata-rata harga jenis pangan, dan setelah itu dikalikan dengan 100. Koefisien Keragaman Realisasi jenis pangan tetinggi adalah cabe (20,634) dan koefisien Keragaman Realisasi jenis pangan terendah adalah daging sapi (0). Koefisien Keragaman Target telah ditentukan untuk setiap jenis bahan pangan yang ingin diketahui stabilitas harga pagannya yaitu masing-masing sebesar 10 untuk beras, 25 untuk jagung, kedelai, daging sapi, daging ayam dan telur, 10 untuk gula pasir, 10 untuk minyak goreng, dan 25 untuk cabe.Stabilitas harga jenis pangan didapatkan hasilnya dengan cara melakukan perhitungan, yakni 2 dikurangi dengan hasil pembagian koefisien keragaman realisasi dengan koefisien keragaman target, setelah itu hasil perhitungan tersebut dikalikan dengan 100. Berdasarkan hasil perhitungan yang telah dilakukan, harga beras, telur, daging ayam, daging sapi, minyak goreng, dan gula pasir cukup stabil karena sudah memenuhi nilai stabilitas minimal 90% dan koefisien keragaman realistis kurang dari koefisien keragaman target. Nilai stabilitas harga pangan tertinggi adalah daging sapi (200 %), sedangkan nilai stabilitas harga pangan terendah adalah cabe (117,463%).Kestabilan harga pangan sangat dipengaruhi komponen-komponen distribusi pangan. Kepatuhan akan kebijakan distribusi pangan akan meningkatkan kelancaran sarana dan prasarana distribusi dan hal ini sangat berpengaruh terhadap kecepatan distribusi bahan pangan, serta stabilitas harga pangan. Oleh karena itu, untuk menciptakan stabilitas harga pangan dibutuhkan suatu koordinasi yang baik antara kelembagaan distribusi pangan serta penyediaan sarana dan prasarana distribusi pangan.

Konsumsi Pangan

a. Kuantitas Konsumsi Pangan Wilayah Sulawesi UtaraAngka kecukupan gizi (AKG) berguna sebagai patokan dalam penilaian dan perencanaan konsumsi pangan (Hardinsyah dkk 2012). Menurut WNPG 2004 angka kecukupan energi ideal adalah sebesar 2000 kkal/kap/hari, sedangkan untuk protein sebesar 52 g/kap/hari. Berdasarkan standar pelayanan minimum tingkat kecukupan energi dan protein yang sesuai adalah 90% AKE dan AKP.

1) DesaGambar 1 Tingkat kecukupan energi pedesaan

Diagram batang di atas merupakan gambaran tingkat kecukupan energi di wilayah Sulawesi Utara pada rumah tangga dengan tingkat pendapatan yang berbeda. Dapat diketahui bahwa semakin tinggi pendapatan suatu rumah tangga, maka tingkat kecukupan zat gizi juga semakin meningkat. Tingkat kecukupan energi tertinggi terdapat pada golongan 8 (pendapatan > 1.000.000) yaitu sebesar 131.4% dari AKE. Tingkat kecukupan energi terendah terdapat pada golongan 3 (pendapatan 150.000-199.999) yaitu sebesar 61.2% dari AKE. Sementara untuk tingkat kecukupan energi rata-rata di pedesaan adalah sebesar 102% dari AKE, artinya rata-rata tingkat kecukupan energi di pedesaan sudah mencukupi SPM yaitu melebihi 90% AKE.

Gambar 2 Tingkat kecukupan protein pedesaanGambar di atas menunjukkan tingkat kecukupan protein di wilayah pedesaan Sulawesi Utara pada rumah tangga dengan tingkat pendapatan yang berbeda. Tingkat kecukupan protein tertinggi terdapat pada golongan 8 (pendapatan 1.000.000) yaitu sebesar 151.9% dari AKP. Tingkat kecukupan protein terendah terdapat pada golongan 3 (pendapatan 150.000-199.999) yaitu sebesar 60.2 % dari AKP. Sementara untuk tingkat kecukupan protein rata-rata di pedesaan adalah sebesar 106.1% dari AKP, artinya rata-rata tingkat konsumsi protein di pedesaan sudah melebihi kriteria SPM.

Gambar 3 Skor PPH pedesaan

Berdasarkan Standar Pelayanan Minimum (SPM) standar skor PPH adalah mencapai nilai 100. Skor PPH menggambarkan kualitas konsumsi masyarakat, atau keberagaman pangan yang dikonsumsi. Semakin tinggi skor PPH maka kualitas pangan yang dikonsumsi semakin baik dan beragam. Gambar di atas menunjukkan skor PPH di wilayah pedesaan Sulawesi Utara pada rumah tangga dengan tingkat pendapatan yang berbeda. Skor PPH tertinggi terdapat pada golongan 8 (pendapatan >1.000.000) yaitu sebesar 93.4. Skor PPH terendah terdapat pada golongan 3 (pendapatan 150.000-199.999) yaitu sebesar 42.5. Sementara untuk skor PPH rata-rata di pedesaan adalah sebesar 77.9, skor tersebut belum memenuhi kriteria SPM.

2). Kota

Gambar 4 Tingkat kecukupan energi perkotaan

Umumnya, daerah perkotaan memiliki akses pangan yang lebih tinggi dibandingkan pedesaan, serta tingkat pendapatan yang juga lebih tinggi dibandingkan daerah pedesaan. Gambar di atas menunjukkan tingkat kecukupan energi di wilayah perkotaan Sulawesi utara pada rumah tangga dengan tingkat pendapatan yang berbeda. Tingkat kecukupan energi tertinggi terdapat pada golongan 8 (pendapatan > 1.000.000) yaitu sebesar 119.5% dari AKE. Tingkat kecukupan energi terendah terdapat pada golongan 3 (pendapatan 150.000-199.999) yaitu sebesar 23.4% dari AKE. Sementara untuk tingkat kecukupan energi rata-rata di perkotaan adalah sebesar 95.1% dari AKE, artinya rata-rata tingkat konsumsi energi di perkotaan sudah sesuai standar SPM.

Gambar 5 Tingkat kecukupan protein perkotaan

Gambar di atas menunjukkan tingkat kecukupan protein di wilayah perkotaan Sulawesi Utara pada rumah tangga dengan tingkat pendapatan yang berbeda. Tingkat kecukupan protein tertinggi terdapat pada golongan 8 (pendapatan > 1.000.000) yaitu sebesar 141.3% dari AKP. Tingkat kecukupan protein terendah terdapat pada golongan 3 (pendapatan 150.000-199.999) yaitu sebesar 26.7% dari AKP. Sementara untuk tingkat kecukupan protein rata-rata di perkotaan adalah sebesar 111.1% dari AKP, dengan demikian rata-rata tingkat kecukupan protein di pedesaan sudah melebihi kriteria SPM.

Gambar 6 Skor PPH perkotaan

Gambar di atas menunjukkan skor PPH di wilayah perkotaan Sulawesi Utara pada rumah tangga dengan tingkat pendapatan yang berbeda. Skor PPH tertinggi terdapat pada golongan 8 (pendapatan > 1.000.000) yaitu sebesar 90.5. Skor PPH terendah terdapat pada golongan 3 (pendapatan 150.000-199.999) dengan skor 23.0. Sementara untuk skor PPH rata-rata di perkotaan adalah sebesar 79.5, skor tersebut belum memenuhi kriteria SPM.

3). Desa + Kota (Wilayah)

Gambar 7 Tingkat kecukupan energi wilayah

Gambar di atas menunjukkan tingkat kecukupan energi di wilayah Sulawesi Utara pada rumah tangga dengan tingkat pendapatan yang berbeda. Tingkat kecukupan energi tertinggi terdapat pada golongan 8 (pendapatan >1.000.000) yaitu sebesar 120.5% dari AKE. Tingkat kecukupan energi terendah terdapat pada golongan 2 (pendapatan 100.000149.999) yaitu sebesar 69.8% dari AKE. Sementara untuk tingkat kecukupan energi rata-rata wilayah Sulawesi Utara adalah sebesar 98.9% dari AKE. Hal ini berarti rata-rata tingkat konsumsi energi di perkotaan sudah sesuai standar SPM.

Gambar 8 Tingkat kecukupan protein wilayahGambar di atas menunjukkan tingkat kecukupan protein di wilayah Sulawesi Utara pada rumah tangga dengan tingkat pendapatan yang berbeda. Tingkat kecukupan protein tertinggi terdapat pada golongan 8 (pendapatan > 1.000.000) yaitu sebesar 144.5% dari AKP. Tingkat kecukupan protein terendah terdapat pada golongan 2 (pendapatan 100.000149.999) yaitu sebesar 61.1% dari AKP. Sementara untuk tingkat kecukupan protein rata-rata di wilayah Sulawesi Utara adalah sebesar 108.5% dari AKP, sehingga rata-rata tingkat kecukupan protein di pedesaan sudah melebihi kriteria SPM.

Gambar 9 Skor PPH desa+kota (wilayah)Skor PPH satu wilayah menunjukkan keberagaman pangan yang di konsumsi masyarakat di wilayah tersebut. Gambar di atas menunjukkan skor PPH di wilayah Sulawesi Utara pada rumah tangga dengan tingkat pendapatan yang berbeda. Skor PPH tertinggi terdapat pada golongan 8 (pendapatan > 1.000.000) yaitu sebesar 92.5. Skor PPH terendah terdapat pada golongan 2 (pendapatan 100.000149.999) dengan skor 49.8. Sementara untuk skor PPH rata-rata di wilayah Sulawesi Utara adalah sebesar 78.8, skor tersebut belum memenuhi kriteria SPM. Hal ini menunjukkan bahwa pangan yang dikonsumsi masyarakat di Jawa Timur belum begitu beragam, sehingga dibutuhkan bantuan pemerintah untuk mengatasi masalah tersebut agar pencapaian skor PPH di wilayah ini sesuai dengan SPM.

b. Kualitas Konsumsi Pangan (Analisis Skors PPH Desa dan Kota)Skor pola pangan harapan (PPH) dapat menunjukkan keberagaman jenis pangan yang dikonsumsi. Semakin tinggi skor PPH maka tingkat keberagaman pangan yang dikonsumsi semakin baik. Jenis pangan dibagi menjadi sembilan kelompok pangan yang telah memiliki nomor urut kode PPH. Skor PPH yang baik adalah bernilai 100. Namun nilai minimum PPH yang sesuai dengan SPM adalah 90. Tabel 9 menunjukkan skor PPH rata-rata wilayah Sulawesi Utara. Skor PPH wilayah Sulawesi Utara mencapai 78.8 sehingga dapat diartikan bahwa pemenuhan keberagaman makanan yang dikonsumsi penduduk dengan melihat ratarata pendapatan perkapita penduduk belum beragam.Pemenuhan zat gizi penduduk Sulawesi Utara rata-rata sudah memenuhi Angka Kecukupan Gizi sebesar 2000 kkal atau 98.9% dari AKE. Tingkat konsumsi energi aktual penduduk Sulawesi Utara rata-rata sebesar 1.979 kkal/kap/hari. Hal ini menunjukkan kurangnya tingkat konsumsi aktual rata-rata penduduk Sulawesi Utara dalam pemenuhan energi yaitu sebesar 1.05%. Pemenuhan energi yang kurang jika terjadi secara terus menerus dapat menimbulkan gangguan fungsi tubuh (Hoffman et al 2000).

Tabel 7 Skor PPH Rata-rata Desa dan Kota (wilayah)NoKelompok PanganGram/ Kap/HariPerhitungan Skor Pola Pangan Harapan (PPH)

Kalori%% AKE*)BobotSkor AktualSkor AKESkor MaksSkor PPH

1Padi-padian 323 1,175 59.4 58.7 0.5 29.7 29.4 25.0 25.0

2Umbi-umbian 46 62 3.1 3.1 0.5 1.6 1.5 2.5 1.5

3Pangan Hewani 114 196 9.9 9.8 2.0 19.8 19.6 24.0 19.6

4Minyak dan Lemak 33 263 13.3 13.2 0.5 6.7 6.6 5.0 5.0

5Buah/Biji Berminyak 7 42 2.1 2.1 0.5 1.1 1.1 1.0 1.0

6Kacang-kacangan 9 26 1.3 1.3 2.0 2.6 2.6 10.0 2.6

7Gula 32 106 5.4 5.3 0.5 2.7 2.7 2.5 2.5

8Sayur dan Buah 165 86 4.4 4.3 5.0 21.8 21.6 30.0 21.6

9Lain-lain 5 22 1.1 1.1 - - - - -

Total 1,979 100.0 98.9 85.9 85.0 100.0 78.8

Keterangan =

*) Angka Kecekupan Energi (AKE) =2,000 Kkal/Kap/Hari

Sumber: SUSENAS 2011

Data pada Tabel 7 menunjukkan kualitas konsumsi penduduk Sulawesi Utara berdasarkan skor PPH rata-rata desa+kota (data SUSENAS 2011). Konsumsi kelompok pangan padi-padian, minyak dan lemak, buah/biji berminyak, serta gula sudah memenuhi skor maksimal. Sedangkan konsumsi kelompok pangan lain seperti, umbi-umbian, pangan hewani, kacang-kacangan, serta sayur dan buah harus ditingkatkan karena belum memenuhi standar skor PPH maksimal.

Status Gizi

Secara nasional prevalensi berat kurang pada tahun 2010 adalah 17.9% yang terdiri dari 4.9% gizi buruk dan 13.0% gizi kurang. Tabel 8 menunjukkan bahwa prevalensi balita gizi buruk dan gizi kurang berada di bawah angka prevalensi nasional dan sebagian besar balita di Provinsi Sulawesi Utara sudah memiliki status gizi yang baik. Bila dibandingkan dengan pencapaian sasaran MDG tahun 2015, Sulawesi Utara sudah mencapai sasaran MDG yaitu dibawah 15.5 persen bersama 8 provinsi lainnya.

Tabel 8 Prevalensi status gizi balita berdasarkan BB/UProvinsiGizi Buruk (%)Gizi Kurang (%)Gizi Baik (%)Gizi Lebih (%)

Sulawesi Utara3.86.884.35.1

Indikator lain yang digunakan yaitu indikator BB/TB. Prevalensi status gizi balita di Sulawesi Utara berdasakan BB/TB disajikan dalam Tabel 9 di bawah ini.Tabel 9 Prevalensi status gizi balita berdasarkan BB/TBProvinsiSangat Kurus (%)Kurus (%)Normal (%)Gemuk (%)

Sulawesi Utara2.66.782.38.5

Berdasarkan tabel diatas prevalensi balita kurus masih berada di bawah angka prevalensi nasional yaitu 7,3%. Hal ini dapat disebabkan oleh peristiwa yang terjadi dalam waktu singkat, seperti terjadinya wabah penyakit dan kekurangan makan (kelaparan) yang mengakibatkan anak menjadi kurus.Gibson (2005) menyatakan bahwa status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan penggunaan zat gizi makanan didalam tubuh. Antropometri sangat umum digunakan untuk mengukur status gizi karena relatif sederhana dan mudah dilakukan. Status gizi balita diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Variabel BB dan TB anak ini disajikan dalam bentuk tiga indikator antropometri, yaitu: berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Untuk menilai status gizi anak, angka berat badan dan tinggi badan setiap balita dikonversikan ke dalam bentuk nilai terstandar (Z-score) dengan menggunakan baku antropometri balita WHO 2005. Indikator BB/U memberikan indikasi masalah gizi secara umum. Indikator ini tidak memberikan indikasi tentang masalah gizi yang sifatnya kronis ataupun akut karena berat badan berkorelasi positif dengan umur dan tinggi badan. Dengan kata lain, berat badan yang rendah dapat disebabkan karena anaknya pendek (kronis) atau karena diare atau penyakit infeksi lain (akut).Penyakit infeksi di Sulawesi Utara yang masih memiliki prevalensi tinggi yaitu malaria yang mencapai 61,7% atau 6 kali angka kasus baru di kawasan jawa-bali yang hanya sekitar 7,6%. Penyakit infeksi berikutnya adalah tuberkolosis paru yang didiagnosa melalui pemeriksaan dahak atau foto paru mencapai 1.221 per 100.000 penduduk sedangkan berdasarkan gejala klinis dalam 12 bulan terakhir prevalensinya mencapai 3.382 per 100.000 penduduk. Kedua angka ini masih berada diatas prevalensi nasional yaitu 0,725 dan 2,728 per 100.000 penduduk. Penyakit Tuberkulosis Paru termasuk penyakit menular kronis. Waktu pengobatan yang panjang dengan jenis obat lebih dari satu menyebabkan penderita sering terancam putus berobat selama masa penyembuhan dengan berbagai alasan, antara lain merasa sudah sehat atau faktor ekonomi. Akibatnya adalah pola pengobatan harus dimulai dari awal dengan biaya yang bahkan menjadi lebih besar serta menghabiskan waktu berobat yang lebih lama. Penyakit tuberkulosis paru dalam waktu panjang dapat menyebabkan meningkatnya prevalensi status gizi kurang. Sehingga perlu adanya penangan serius dari pemerintah dalam menghadapi hal ini.

C. Prioritas Masalah Pangan dan Gizi

Tabel 10 Prioritas masalah pangan dan gizi di provinsi Sulawesi UtaraNoMasalahITRPPrioritas

A. Ketersediaan

1Tidak ada stok/cadangan pangan53115Cadangan pangan dan PPH ketersediaan tidak mencukupi SPM.

2Tidak ada lahan produksi pangan3319

3Kurang produksi buah dan sayur3113

4Kurang produksi kacang-kacangan 3113

5Kurang produksi padi-padian 3319

6Kurang produksi umbi-umbian 3319

7Kurang produksi buah/biji berminyak 3319

8PPH ketersediaan tidak mencapai SPM53230

B. Akses dan Distribusi

1Kemacetan Jalur Darat53230Kemacetan jalur darat dan tidak ada lembaga terkait KP.

2Tidak Ada Lembaga Khusus Terkait KP33218

3Stabilitas Akses Pangan Saat Paceklik3113

4Stabilitas Harga Cabai1111

C. Konsumsi

1PPH belum Mencapai SPM33218PPH belum mencapai SPM dan kurang konsumsi aneka ragam pangan.

2Status Gizi Lebih53230

3Kurang Konsumsi Padi33218

4Kurang Konsumsi Buah dan Sayur3319

5Kurang Konsumsi Umbi-umbian3319

6Kurang Konsumsi Kacang-kacangan 3319

7Kurang Konsumsi Buah/Biji Berminyak3319

D. Status Gizi

1Status Gizi Lebih 53115Status Gizi Lebih

2Status Gizi Kurang3113

Sebagai ibu kota negara Indonesia, provinsi DKI Jakarta memiliki berbagai masalah, termasuk dalam bidang pangan dan gizi. Berdasarkan masalah-masalah yang ada, ditetapkanlah prioritas masalah pangan dan gizi yang ada di DKI Jakarta. Ketersediaan pangan menjadi prioritas masalah yang ada di DKI Jakarta. Hal ini disebabkan oleh kurangnya cadangan pangan yang dapat dilihat dari produksi bahan pangan yang tidak banyak dan tidak beragam. Berdasarkan data, skor PPH ketersedian pangan wilayah DKI Jakarta belum mencapai SPM yakni sebesar 15% dari skor ideal 90%. Hal ini menunjukkan bahwa kurang beragamnya hasil produksi bahan pangan wilayah DKI Jakarta. Salah satu kendala ketersediaan pangan DKI Jakarta adalah minimnya lahan produksi pangan.Kemacetan lalu lintas darat menjadi hambatan bagi penyaluran bahan pangan ke wilayah DKI Jakarta secara merata. Ketahanan pangan perlu mendapat perhatian khusus dari Pemerintah Daerah, salah satunya dengan merencanakan dan melaksanakan program Ketahanan Pangan Wilayah melalui lembaga/instansi khusus terkait ketahanan pangan. Wilayah DKI Jakarta sendiri masih belum memiliki lembaga/instansi khusus tersebut.Keadaan konsumsi penduduk di wilayah DKI Jakarta masih belum baik. Hal ini terlihat dari skor PPH konsumsi yang belum mencapai SPM. Hal ini diakibatkan kurang beragamnya konsumsi pangan penduduk wilayah DKI Jakarta. Status gizi yang lebih menjadi masalah lain pada pola konsumsi penduduk DKI Jakarta ini. status gizi lebih pada masyarakat DKI Jakarta diakibatkan oleh pola konsumsi pangan yang tidak baik dan faktor lain yang mendukung tidak baiknya status gizi masyarakat DKI Jakarta tersebut.

Daftar Pustaka[BKPM] Badan Koordinasi Penanaman Modal. 2014. Profil Daerah Sulawesi Utara. http://regionalinvestment.bkpm.go.id/. ([diakses pada 18 Februari 2014)[Depkes] Departemen Kesehatan RI. 2011. Riset kesehatan dasar (RISKESDAS) 2010: Laporan Nasional. www.depkes.go.id [Juli 2013].[DKP] Dewan Ketahanan Pangan. 2006. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-2009. Jakarta: Dewan Ketahanan Pangan.Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assessment. Second Edition. Oxford: Oxford Press.Hardinsyah, Irawati, A, Kartono, D, Prihartini S, Linorita I, Amilia L, Fermanda M, Adyas EE, Yudianti D, Kusrto CM dan Heryanto Y.(2012).Pola Konsumsi Pangan dan Gizi Penduduk Indonesia. Departemen Gizi Masyarakat FEMA IPB dan Badan Litbangkes Kemenkes RI. Bogor.Renaldy. 2006. Analisis Sistem Kewaspadaan Pangan Dan Gizi (Skpg) Dalam Mengatasi Masalah Gizi Buruk Di Kabupaten Lembata Propinsi Nusa Tenggara Timur. Semarang : Universitas Diponegoro.Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.UU pangan no 18 tahun 2012.