pembahasan vio

42
Analisa Penelitian Analisa Rantai Pasok Kedelai (Glycine Max L) Dengan Sistem Dinamis Studi di Wilayah Kabupaten Grobogan Provinsi Jawa Tengah Kerangka Pikir Penelitian Gambar. Kerangka Pikir Penelitian 1

Upload: annisa-nurul-ghifari

Post on 30-Sep-2015

25 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

pembahasan skripsi

TRANSCRIPT

Analisa Penelitian

Analisa Rantai Pasok Kedelai (Glycine Max L) Dengan Sistem Dinamis

Studi di Wilayah Kabupaten Grobogan Provinsi Jawa Tengah

Kerangka Pikir Penelitian

Gambar. Kerangka Pikir Penelitian

Diagram Alir Penelitian

Gambar. Diagram Alir Penelitian

A. Kedelai Kuning

Sifat multiguna yang ada pada kedelai serta manfaat kedelai sebagai salah satu sumber protein murah membuat kedelai semakin diminati. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, permintaan kedelai di dalam negeri pun berpotensi untuk meningkat setiap tahunnya (Damardjati et al, 2005).

Gambar 1. Kandungan Gizi Pada Biji Kedelai

Di Indonesia, kedelai umumnya dikonsumsi dalam bentuk pangan olahan seperti : tahu, tempe, tauco, oncom, dan kecap, susu kedelai, dan berbagai bentuk makanan ringan. Berikut adalah persentase pemanfaatan kedelai di Indonesia.

Gambar 2. Persentase Pendayagunaan Kedelai di Indonesia

Sumber: Diolah dari Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian 2009 dalam Dinar Frihastika Sari, Analisis Daya Saing dan Strategi Pengembangan Agribisnis Kedelai Lokal di Indonesia, 2011.

Sebagian besar persediaan kedelai dimanfaatkan sebagai bahan makanan yaitu mencapai 78,73%, dan sisanya digunakan sebagai bahan baku industri manufaktur, bibit, pakan dan tercecer.

B. Demand Supply Nasional

Namun semakin meningkatnya permintaan kedelai, tidak didukung oleh ketersediaan kedelai di dalam negeri. Ketidakmampuan kedelai lokal untuk memenuhi kebutuhan kedelai di dalam negeri menyebabkan tingginya volume kedelai impor.

Tabel 1. Ketersediaan dan Kebutuhan Kedelai Nasional Tahun 2009-2013

Tahun

Produksi

(Ton/thn)

konsumsi kedelai (Kg/kapita/thn)

jumlah penduduk

konsumsi kedelai (Kg/thn)

konsumsi kedelai (Ton/thn)

2004

723,483

12,47

206.264.595

2.572.119.500

2.572.119,500

2005

808,353

15,68

206.264.595

3.234.228.850

3.234.228,850

2006

747,611

8,3

206.264.595

1.711.996.139

1.711.996,139

2007

592,534

8,63

206.264.595

1.780.063.455

1.780.063,455

2008

775,710

7,67

206.264.595

1.582.049.444

1.582.049,444

2009

974,512

7,16

206.264.595

1.476.854.500

1.476.854,500

2010

907,031

7,01

237.641.326

1.665.865.695

1.665.865,695

2011

851,286

7,56

237.641.326

1.796.568.425

1.796.568,425

2012

843,153

7,12

237.641.326

1.692.006.241

1.692.006,241

2013

779,992

6,92

237.641.326

1.644.477.976

1.644.477,976

Sumber : BPS, 2004-2013

Berdasarkan data yang diperoleh di atas, ketersediaan dan konsumsi kedelai nasional dapat digambarkan pada grafik berikut.

Grafik 1. Ketersediaan dan Kebutuhan Kedelai Nasional Tahun 2009-2013

Sumber : Data Olahan, 2014

Secara matematis, pada tahun 2014 jika kebutuhan kedelai nasional sebesar 2,2 juta, sedangkan produksi baru sekitar 920.000 ton, maka pemerintah harus memenuhi kekurangan kebutuhan sebesar 1,28 juta ton.

C. Rencana Swasembada Pemerintah

Oleh karena itu tiga tahun ke depan Kementerian Pertanian (Kementan) berjanji akan bekerja keras mencapai target swasembada pangan, terutama kedelai. Banyak pihak yang meragukan target ini bisa dicapai. Meski demikian, pemerintah selalu optimis dapat mencapai target tersebut dengan menaikkan Indeks Pertanaman (IP) dan produktivitas. Keyakinan akan swasembada kedelai ini setelah melihat produksi kedelai tahun 2014 yang menunjukkan tren positif.

Target swasembada untuk tiga tahun mendatang yaitu 1,5 juta ton dengan tahapan kerja yang terbagi menjadi tiga tahun. Tahun pertama, yakni 2015, melakukan penambahan areal tanam sebanyak 380.000 ha, selanjutnya tahun 2016 menambah areal tanam 500.000 ha, dan tahun 2017 menambah areal tanam sebanyak 500.000 ha. Dengan penambahan areal tanam tersebut, secara bertahap diharapkan produksi juga akan meningkat. Tahun pertama diharapkan terjadi peningkatan antara 1,3-1,5 juta ton, tahun kedua 1,8 juta ton dan tahun ketiga 2,2 juta ton.

Namun untuk meningkatkan produksi kedelai agar mampu memenuhi permintaan dalam negeri tidak hanya berhenti pada peningkatan indeks pertanaman (IP) dan produktivitas. Langkah kinerja dengan penambahan luas areal tanam dirasa kurang cukup untuk mendukung upaya pemerintah dalam mencapai swasembada kedelai tiga tahun mendatang. Untuk mengetahui faktor-faktor lain yang berpengaruh dalam upaya peningkatan produksi kedelai dalam negeri, perlu dilakukan analisa tentang kondisi nyata di lapangan. Kondisi nyata ketersediaan dan permintaan kedelai dapat dianalisa melalui rantai pasok kedelai di suatu wilayah penghasil kedelai.

Tabel 2. Wilayah Penghasil Kedelai di Indonesia Tahun 2014

No.

Provinsi

Produksi (Ton)

Luas Panen (Ha)

1

Jawa Timur

329.461

210.618

2

Jawa Tengah

99.318

65.278

3

NTB

91.065

86.882

4

Jawa Barat

51.172

35.682

5

Sulawesi Selatan

45.693

30.937

6

Aceh

45.027

30.579

7

DIY

31.677

23.290

8

Sulawesi Tengah

12.653

7.645

9

Banten

10.326

7.928

10

Bali

7.433

5.605

11

Lampung

6.156

4.986

12

Sulawesi Utara

5.780

4.325

13

Sumatera Selatan

5.140

3.564

14

Gorontalo

4.414

3.367

15

Kalimantan Selatan

4.072

3.038

Sumber : BPS, 2015

Analisa persediaan kedelai dapat dilakukan di suatu wilayah yang memiliki ketersediaan kedelai cukup besar dan memiliki struktur rantai pasok yang utuh. Hal tersebut sangat mempengaruhi identifikasi kuantitas persediaan kedelai berdasarkan perjalanan rantai pasoknya.

D. Wilayah Penelitian

Berdasarkan data di atas, wilayah penghasil kedelai terbesar adalah Jawa Timur. Namun Penelitian ini dilakukan di wilayah Jawa Tengah yang merupakan wilayah penghasil kedelai terbesar kedua setelah Jawa Timur.

Wilayah yang akan digunakan sebagai lokasi penelitian adalah Kabupaten Grobogan, Provinsi Jawa Tengah. Hal tersebut dikarenakan wilayah Grobogan merupakan wilayah pengehasil kedelai terbesar di Provinsi Jawa Tengah serta memiliki struktur rantai pasok kedelai secara utuh. Kedua hal tersebut memudahkan dalam analisa persediaan kedelai dimasing-masing pelaku rantai pasok (tier).

Berikut adalah gambaran ketersediaan kedelai di Kabupaten Grobogan :

Tabel 3. Ketersediaan dan Kebutuhan Kedelai Tahun 2009-2013

Tahun

Produksi (Ton)

Konsumsi (Ton)

Plus/Minus

(Ton)

2009

41,213

14,891

26,323

2010

69,141

14,891

54,160

2011

13,558

15,087

-1,528

2012

69,141

14,981

54,160

2013

26,367

15,294

11,073

Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kab. Grobogan, 2014

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa produksi kedelai di daerah Grobogan dapat mencukupi kebutuhan kedelai di daerahnya. Bahkan keadaan surplus sering terjadi pada daerah ini. Data ketersediaan dan kebutuhan akan bahan baku kedelai di daerah Grobogan selama 5 tahun terakhir direpresentasikan dalam grafik berikut.

Grafik 2. Ketersediaan dan Kebutuhan Kedelai Tahun 2009-2013

Sumber : Data Olahan, 2014

Keadaan surplus yang dialami Kabupaten Grobogan menunjukkan bahwa wilayah Grobogan telah mampu memenuhi kebutuhan akan komoditas kedelai untuk wilayahnya sendiri, bahkan mampu memasok sebagian kedelainya ke wilayah sekitar seperti Semarang dan Yogyakarta. Hal tersebut menunjukkan bahwa Kabupaten Grobogan merupakan salah satu wilayah yang berpotensi untuk mendukung rencana pemerintah akan swasembada kedelai.

E. Analisa Rantai Pasok dan Persediaan Kedelai di Grobogan

Dari kondisi surplus di atas kemudian dilakukan analisa lebih lanjut sampai di tier mana ketersediaan kedelai terserap secara optimal. Analisa ketersediaan dan kebutuhan kedelai kemudian dianalisa berdasarkan pelaku rantai pasok kedelai.

Berikut adalah pelaku rantai pasok kedelai di Kabupaten Grobogan Jawa Tengah.

Gambar 3. Pelaku Rantai Pasok Kedelai Kabupaten Grobogan Jawa Tengah

Dari pelaku rantai pasok di atas, sub sistem yang dapat diteliti berdasarkan causal loop diagram (CLD) dapat dibagi menjadi empat yaitu sub sistem petani, sub sistem pedagang kecil/tengkulak, sub sistem pedagang besar, dan sub sistem industri tahu dan tempe. Berikut adalah causal loop diagram (CLD) dari sub sistem petani.

Gambar 4. Causal Loop Diagram Petani

Dari causal loop diagram petani di atas dapat diketahui bahwa persediaan kedelai di tingkat petani dipengaruhi oleh luas lahan, pasokan benih dan harga beli benih kedelai. Luas lahan berpengaruh positif terhadap persediaan kedelai menunjukkan jika luas lahan bertambah maka persediaan kedelai juga akan betambah. Begitu juga dengan pasokan benih, jika pasokan benih banyak maka petani dapat menanam kedelai lebih banyak sehingga persediaan dapat meningkat. Harga beli benih kedelai berpengaruh negatif karena jika harga beli benih meningkat maka persediaan akan menurun karena petani yang tidak sanggup membeli benih. Di Kabupaten Grobogan sendiri penyediaan benih kedelai telah ditanggung bersama oleh Kapoktan atau Gapoktan, biasanya kedelai yang dihasilkan setelah panen tidak langsung dijual semua namun disimpan untuk dijadikan benih. Petani di Kabupaten Grobogan biasanya tidak bersedia menggunakan benih bantuan dari pemerintah karena ditakutkan benih tidak murni varietas Grobogan. Oleh karena itu petani lebih memilih menggunakan benih dari hasil panen sendiri atau membeli dari Kapoktan atau Gapoktan yang menjual benih murni varietas Grobogan. Kuantitas persediaan kedelai dari petani pun mempengaruhi permintaan kedelai lokal dan harga jual kedelai lokal. Permintaan kedelai lokal dari petani biasanya datang dari para tengkulak/pedagang kecil/pengepul dan industri tahu dan tempe, jika persediaan kedelai menurun maka permintaan juga ikut menurun. Kondisi tersebut mengakibatkan harga jual kedelai lokal menjadi mahal dan berpengaruh positif pada pendapatan petani yang ikut meningkat. Namun kondisi tersebut bertolak belakang pada kondisi di lapangan. Di saat panen raya tiba yaitu sekitar bulan Desember-Januari seharusnya persediaan kedelai meningkat sehingga pendapatan petani juga ikut meningkat karena hasil panen yang melimpah. Namun yang terjadi malah harga jual kedelai menurun sehingga mengakibatkan petani mengalami kerugian besar. Hal ini disebabkan oleh faktor :

Pada masa panen raya bulan Desember-Januari merupakan musim hujan sehingga proses pengeringan kedelai tidak maksimal. Hal tersebut mengakibatkan kualitas kedelai menurun yang akhirnya juga akan menurunkan harga jual kedelai.

Di saat panen raya tiba, perusahaan importir kedelai bersaing harga dengan harga kedelai lokal. Perusahaan importir memasang harga kedelai impor lebih murah daripada harga kedelai lokal. Sehingga mau tidak mau harga kedelai lokal juga ikut jatuh. Hal ini dikarenakan harga kedelai impor yang dijadikan patokan harga jual kedelai konsumsi oleh para pelaku rantai pasok kedelai.

Sub sistem yang kedua yaitu tengkulak/pedagang kecil yang biasa mengumpulkan hasil panen dari petani. Persediaan kedelai di tingkat tengkulak/pedagang kecil ini dipengaruhi oleh harga beli kedelai dari petani, jika harga kedelai dari petani murah maka tengkulak dapat membeli dengan pasokan yang besar sedingga persediaan kedelainya meningkat. Namun jika harga kedelai sedang mahal maka tengkulak hanya sanggup membeli sedikit sehingga persediaan kedelainya menurun. Sedangkan persediaan kedelai yang dimiliki tengkulak ini berpengaruh positif terhadap permitaan kedelai dari pedagang besar. Jika persediaan di tengkulak sedang melimpah maka permintaan dari pedagang besar juga ikut meningkat. Namun jika persediaan kedelai sedang meningkat, harga jual kedelai menjadi menurun, hal ini mempengaruhi pendapatan tengkulak yang juga ikut menurun. Sedangkan jika kedelai lokal sedang langka maka harga jual menjadi naik, sehingga pendapatan tengkulak juga ikut naik. Namun sekali lagi kondisi tersebut tergantung pada harga kedelai impor pada saat itu. Berikut adalah causal loop diagram sub sistem dari pelaku rantai pasok tengkuak /pedagang kecil kedelai.

Gambar 5. Causal Loop Diagram Tengkulak/Pedagang Kecil

Sub sistem yang ketiga yaitu pedagang besar. Berdasarkan causal loop diagram dari sub sistem pedagang besar, persediaan kedelai di tingkat pedagang besar dipengaruhi oleh harga beli kedelai dari tenkulak maupun petani, luas gudang serta pendapatan pedagang besar. Jika harga kedelai lokal sedang turun atau saat panen raya, maka pasokan kedelai akan melimpah, namun kondisi ini harus didukung oleh luas gudang yang memadai. Kuantitas kedelai di gudang pedagang besar sangat mempengaruhi permintaan dari pasar/pengecer, KOPTI, industri tahu dan tempe daerah maupun di luar daerah. Jika persediaan melimpah makan permintaan juga akan meningkat, sebaliknya jika persediaan sedikit makan permintaan juga akan berkurang. Pada tingkat pedagang besar ini pula kondisi kritis terhadap ketersediaan kedelai konsumsi terjadi. Berikut adalah causal diagram dari sub sistem pedagang besar :

Gambar 6. Causal Loop Diagram Pedagang Besar

Sub sistem yang ke empat yaitu industri tahu dan tempe. Sebagian besar industri tahu dan tempe di daerah Grobogan lebih memilih menggunakan kedelai impor daripada kedelia lokla. Hal ini terjadi karena harga kedelai impor yang lebih murah dan lebih tahan lama. Masih jarang industri yang menggunakan kedelai lokal sebagai bahan baku, namun tidak sedikit yang menggunakan kedelai lokal sebagai campuran bahan baku tahu dan tempe. Biasanya industri mencampur 30% kedelai lokal dan 70% kedelai impor sebagai bahan baku pembuatan tahu dan tempe. Persediaan kedelai lokal di tingkat industri tahu dan tempe ini dipengaruhi oleh harga kedelai lokal. Jika harga kedelai lokal murah maka pasokan dari petani, KOPTI maupun pedagang besar akan meningkat. Hal ini menyebabkan persediaan kedelai lokal di tingkat industri juga ikut melimpah. Persediaan di tingkat industri sendiri mempengaruhi ketersediaan tahu dan tempe serta harga dari tahu dan tempe di pasaran. Bila ketersediaan tahu dan tempe di pasaran menurun maka harga tahu dan tempe menjadi mahal, hal tersebut membuat pendapatan dari pengusaha tahu dan tempe juga ikut meningkat.

Berikut adalah causal loop diagram dari sub sistem industri tahu dan tempe.

Gambar 7. Causal Loop Diagram Industri Tahun dan Tempe

Dengan kata lain pada sub sistem ini, ketersediaan kedelai lokal sebagai kedelai konsumsi sudah mengalami defisit karena sebagian besar pasokan kedelai lokal dijual sebagai benih kedelai dan sebagian besar industri tahu dan tempe lebih memilih kedelai impor sebagai bahan baku karena harganya lebih murah serta ahan lama.

Dari Causal Loop Diagram pada masing-masing pelaku rantai pasok di atas dapat diketahui bahwa, meskipun mengalami surplus Kabupaten Grobogan tetap melakukan impor kedelai dikarenakan kebutuhan kedelai konsumsi masih belum tercukupi khusunya untuk industri tahu dan tempe. Dari Causal Loop Diagram di atas juga dapat diketahui bahwa kondisi surplus berhenti pada titik kritis ketersediaan kedelai yang berada pada tingkat pedagang besar. Berikut adalah alur kedelai impor di Kabupaten Grobogan Jawa Tengah :

Gambar 8. Rantai Pasok Kedelai Lokal dan Impor di Kabupaten Grobogan Jawa Tengah

F. Analisa Masalah Persediaan di Grobogan

Adapun beberapa faktor yang menyebabkan kondisi kritis pada tingkat pedagan besar terjadi antara lain :

1. 75% pasokan kedelai dari petani maupun tengkulak dijual sebagai kedelai benih karena harga jual kedelai benih jauh lebih mahal. Sedangkan 25% sisanya dijual sebagai kedelai konsumsi. Berdasarkan Permendag No. 49 Tahun 2013 tentang Penetapan harga penjualan kedelai di tingkat pengrajin tahu/tempe dalam rangka program stabilitas harga kedelai, HJP (Harga penjualan kedelai di tingkat pengrajin tahu/tempe) ditetapkan sebesar Rp 8.490,00/kg. Peraturan tersebut berlaku mulai tanggal 10 September 2013. Sedangkan harga jual benih kedelai dari hasil swadaya petani (non subsidi) dengan kelas benih sebar (BR) berdasarkan Pedoman Teknis Pengelolaan Produksi Kedelai Tahun 2015 (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian) adalah Rp15.200,00/kg. Hal tersebut menjadi alasan pedagang besar lebih memilih menjual kedelai sebagai benih karena dirasa lebih menguntungkan berdasarkan harga jualnya.

2. Pedagang besar memasok kedelai lokal ke luar daerah dalam rangka kegiatan JABALSIM (Jalinan Arus Benih Antar-Lapang dan Antar-Musim). Kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang diupayakan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan bibit/benih kedelai di suatu wilayah dalam rangka pencapaian swasembada kedelai. Menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Bidang Pangan Dan Pertanian 2015-2019 Oleh Direktorat Pangan Dan Pertanian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, untuk memperlancar proses distribusi benih digunakan JABALSIM (Jalinan Arus Benih Antar-Lapang dan Antar-Musim), yaitu proses mengalirnya benih antar daerah secara dinamis berdasarkan asas keterkaitan dan ketergantungan sehingga menjadi suatu sistem pemenuhan kebutuhan benih di suatu daerah. JABALSIM diperlukan karena:

(1) Sifat benih yang mudah rusak, dimana penurunan daya tumbuh menyebabkan benih tidak dapat ditanam pada musim berikutnya;

(2) Adanya perbedaan agroklimat atau musim tanam antar wilayah; dan

(3) Adanya persamaan ekologi lahan antar wilayah.

Adapun alur distribusi benih varietas komersial oleh BUMN atau swasta adalah sebagai berikut:

1) Produsen BenihPedagang BesarPengecerPetani

2) Produsen BenihDistributorPenyalurPengecerPetani

Hal tersebut di atas menyebabkan pasokan kedelai lokal untuk di dalam daerah Grobogan masih kekurangan.

3. Sebagian besar industri tahu dan tempe di daerah Grobogan lebih memilih kedelai impor yang harganya lebih murah dan tahan lama dari pada kedelai lokal yang mahal dan cepat busuk. KOPTI (Koperasi Pengusaha Tahu dan Tempe Indonesia) di daerah setempat pun lebih banyak menyediakan kedelai impor karena permintaan kedelai impor lebih tinggi dari pada kedelai lokal. Pihak KOPTI kemudian menjual kedelainya kepada perajin tahu dan tempe. Namun masih ada beberapa perajin yang menggunakan kedelai lokal sebagai campuran dalam pembuatan tahu/tempe. Rata-rata industri tersebut mencampur 30% kedelai lokal dan 70% kedelai impor sebagai bahan baku pembuatan tahu dan tempe.

4. Sebagian besar pengrajin tahu dan tempe berpendapat bahwa kedelai impor lebih baik dibandingkan dengan kedelai lokal. Selain harganya lebih murah, kedelai impor memiliki umur simpan lebih lama. Tidak sepertickedelai lokal yang memiliki harga jauh lebih mahal dan tidak tahan lama. Perbandingan kualitas antara kedelai impor dan kedelai lokal dapat dilihat dari kadar protein, kadar air, dan sebagainya. Berikut adalah tabel perbandingan kualitas antara kedelai impor dengan kedelai lokal :

Tabel 4. Perbandingan Kualitas Kedelai Impor Dan Kedelai Lokal

No.

Sampel

Macam Analisa

Hasil Analisa (%)

U1

U2

1

kedelai impor

Air

11,43

11,42

Abu

12,74

12,9

Lemak

14,31

14,14

Protein

31,93

32,09

Serat Kasar

7,45

7,10

2

kedelai lokal

Air

13,88

13,83

Abu

8,70

8,77

Lemak

15,25

15,02

Protein

33,9

34,78

Serat Kasar

7,14

6,91

Sumber : Hasil Uji Proximat Kedelai lokal dan kedelai impor, 2014

Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa kadar protein untuk kedelai lokal lebih tinggi dibandingkan kedelai impor. Selain itu serat kasar dan kadar abunya juga lebih rendah. Dengan demikian kandungan gizi kedelai lokal lebih baik dari pada kedelai impor. Namun kadar air kedelai lokal lebih tinggi dari pada kedelai impor, hal ini menyebabkan kedelai impor lebih tahan lama dibanding kedelai impor. Hal tersebut menjadi kendala di industri maupun KOPTI dalam hal inventory. Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku, industri maupun KOPTI akan menyetok kedelai dalam kapasitas besar untuk menghemat biaya pemesanan dan pengadaan bahan baku. Kedelai lokal yang memiliki kadar air tinggi menyebabkan umur simpannya pendek, sehingga jika industri menyetok kedelai lokal terlalu lama justru akan mengalami kerugian karena kedelai akan cepat busuk.

Selain masalah kualitas kedelai lokal tentang kadar air yang tinggi, terdapat juga masalah harga jual kedelai impor yang jauh lebih murah dari pada kedelai lokal. Pada dasarnya kedelai impor yang didatangkan dari Amerika seharusnya memiliki harga yang jauh lebih mahal mengingat biaya transportasi dan kurs dollar Amerika yang tinggi. Namun pada kenyataannya di lapangan kedelai impor justru memiliki harga lebih murah. Hal tersebut dapat di analisa dengan menggunakan paritas impor komoditas kedelai. Harga paritas impor adalah biaya transportasi dan handling di dalam negeri ditambah harga impor di tingkat pelabuhan. Sedangkan harga paritas ekspor adalah biaya transportasi dan handling domestik dikurangi harga di pelabuhan. Dalam hal ini, wilayah Kabupaten Grobogan tidak melakukan ekspor komoditas kedelai sehingga tidak dibutuhkan analisa harga paritas ekspor.

G. Analisa Kebijakan dengan Pendekatan Policy Analysis Matrix (PAM)

Kondisi nyata persediaan kedelai berdasarkan rantai pasok kedelai di wilayah Grobogan di atas menunjukkan bahwa untuk meningkatkan produksi kedelai dalam rangka swasembada kedelai tidak hanya cukup dengan meningkatkan indeks pertanaman (IP) dan produktivitas. Beberapa faktor lain yang perlu diperhatikan dalam upaya peningkatan produksi kedelai lokal antara lain :

1. Kondisi sosial ekonomi petani

2. Sarana dan infrastruktur

3. Budidaya yang tepat berdasarkan kondisi wilayah

4. Rantai pasok

5. Kebijakan pemerintah

Ketimpangan harga kedelai lokal dengan harga kedelai impor kemudian di identifikasi berdasarkan dampak yang disebabkan karena kebijakan pemerintah. Analisa terhadap dampak kebijakan dapat dilakukan dengan pendekatan Policy Analysis Matrix (PAM), yang telah dikembangkan oleh Monke dan Pearson sejak tahun 1987. Policy Analysis Matrix (PAM) mengukur tiga analisis yaitu keuntungan privat, dan keuntungan sosial atau ekonomi, analisis daya saing (komparatif dan kompetitif, dan analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas (Monke dan Pearson : 1995).

Dengan menggunakan metode PAM tingkat proteksi dan profitabilitas harga kedelai, yang merupakan dampak dari kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah dapat dihitung secara menyeluruh (Monke dan Pearson : 1995).

Perhitungan terhadap biaya dan pendapatan dilakukan pada tingkat pedagang besar berdasarkan harga privat (aktual) dan harga sosial (bayangan). Harga privat merupakan harga aktual yang berlaku di lapangan yang mencerminkan nilai-nilai yang dipengaruhi oleh kebijakan dan atau kegagalan pasar. Sedangkan harga sosial atau harga bayangan adalah harga dunia atau harga internasional yang sesuai (harga CIF untuk komoditas yang diimpor dan harga FOB untuk komoditas yang diekspor) untuk mengestimasi harga efisiensi, baik untuk output maupun input yang tradabel. Menentukan harga dunia (output dan input tradabel) yang komparabel dengan komoditas yang sedang dianalisis merupakan hal yang paling rumit. Sebagian besar masalah terjadi akibat pemilihan harga dunia (dalam US $) yang tidak tepat. Harga sosial harus ditentukan pada waktu, bentuk/kualitas, dan lokasi yang sama. Proses memperoleh harga dunia yang tepat akan senantiasa merupakan tantangan bagi keberhasilan analisis PAM. Perhitungan harga paritas harus mempertimbangkan biaya pengiriman barang dari pelabuhan ke pedagang besar terdekat (dari lokasi penelitian), mengkonversi nilai barang dari barang olahan menjadi barang yang belum diolah. Ini dilakukan kalau harga dunia yang diperoleh adalah harga barang olahan, sedangkan komoditas yang diteliti adalah komoditas belum terolah. Biaya penyimpanan juga perlu dipertimbangkan jika harga dunia yang diperoleh adalah harga pada saat yang berbeda dengan harga pada saat komoditas yang diteliti itu diperoleh.

Berdasarkan BPS (2008), disebutkan bahwa FOB adalah cara penilaian barang yang dijual dalam perdagangan internasional, dimana biaya angkutan dan biaya asuransi dari pelabuhan muat sampai gudang pembeli ditanggung oleh pembeli. Sedangkan, CIF adalah cara penilaian barang yang dibeli dalam perdagangan internasional, dimana semua ongkos dan biaya angkut serta premi 100 asuransi di pelabuhan barang dan pelabuhan pembongkaran di tanggung oleh penjual. Penjual harus mengantarkan barang sampai di pelabuhan pembeli.

a) Data Empiris dan Asumsi Ekonomi Makro

Penelitian ini menggunakan data primer maupun sekunder. Data primer dikumpulkan melalui survei di Kabupaten Grobogan Jawa Tengah. Sedangkan data sekunder diperoleh dari sumber yang berkaitan langsung dan mendukung data penelitian. Ada lima jenis informasi yang dikumpulkan untuk digunakan pada analisis Policy Analysis Matrix (PAM), antara lain :

1. Data input-output fisik

2. Harga privat input dan output untuk biaya tradabel dan faktor domestik

3. Harga sosial input dan output untuk biaya tradabel dan faktor domestik

4. Harga paritas impor

5. Kebijakan yang berpengaruh terhadap kedelai

Analisis untuk data-data di atas dilakukan dengan menggunakan asumsi-asumsi sebagai berikut :

1. Persediaan pada pedagang besar diasumsikan sebesar 800.000 ton per musim (14 hari). Jumlah tersebut diperoleh dari kapasitas maksimal yang mampu disimpan di gudang dengan luas 15 x 30 m.

2. Input dan output fisik berupa kuantitas kedelai konsumsi diasumsikan sama, yaitu 25% dari kuantitas total pada pedagang besar. Kuantitas total pada pedagang besar di asumsikan sebesar 800.000 ton per musim, sehingga untuk kuantitas kedelai konsumsi yaitu 200.000 ton.

3. Kendaraan yang digunakan adalah truk dengan kapasitas angkut 8 ton.

4. Lokasi pengiriman kedelai lokal di asumsikan di luar daerah Grobogan (sekitar Yogyakarta dan Semarang) dengan biaya transportasi Rp 150.000,00 sekali kirim.

5. Nilai tukar Rp 12.219,00/US$ pada Bulan November 2014.

6. Tarif impor kedelai 0%, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 133/PMK.011/2013.

Asumsi makro ekonomi yang digunakan pada analisis Policy Analysis Matrix (PAM) adalah tingkat suku bunga nominal (% per tahun), tingkat suku bunga sosial (% per tahun), dan nilai tukar (Rupiah per US Dollar) yang disajikan pada Tabel 5. Tingkat suku bunga nominal (nominal interest rate) diperoleh dari informasi tingkat bunga kredit formal (bank persero, bank pemerintah daerah, bank swasta nasional, bank asing dan bank campuran, bank umum, dan lembaga kredit lainnya). Dalam penelitian ini digunakan tingkat bunga nominal, bukan tingkat bunga riil karena seluruh komponen biaya bukan modal dalam budget PAM telah mencerminkan dampak inflasi sehingga akan tidak konsisten seandainya dampak inflasi dihilangkan hanya pada komponen modal dengan menggunakan tingkat bunga riil. Tingkat suku bunga nominal yang digunakan adalah rata-rata tingkat bunga privat untuk modal yang bersumber dari lembaga kredit formal yang ada di lokasi penelitian, yakni sebesar 14% per tahun baik untuk kredit modal kerja maupun kredit investasi, dengan tingkat inflasi di daerah Grobogan yaitu 8,82% per tahun (BI, 2014).

Tabel 5. Asumsi Ekonomi Makro

Asumsi Ekonomi Makro

Jumlah

Tingkat Suku Bungan Nominal (% Per Tahun)

14

Tingkat Suku Bunga Sosial Modal Kerja (% Per Tahun)

15

Tingkat Suku Bunga Sosial Investasi (% Per Tahun)

10

Tingkat Inflasi Daerah Grobogan (% Per Tahun)

8,82

Sumber : Bank BI dan BRI, 2014

Tingkat suku bunga sosial (social interest rate) merupakan penjumlahan dari social opportunity cost of capital. Pada kenyataan di lapangan, estimasi tingkat bunga sosial, baik untuk modal kerja maupun investasi harus dilakukan melalui pendekatan kira-kira (Arbithary Rule Of Thumb), yaitu pengalaman peneliti lain untuk negara berkembang dengan tahap pembangunan yang sama dengan Indonesia. Berdasarkan pada pendekatan tersebut, tingkat bunga sosial diasumsikan sebesar 15% per tahun untuk modal kerja dan 10% untuk modal investai, ditambah dengan tingkat inflasi di daerah Grobogan yaitu 8,82% per tahun (Monke and Pearson, 1995 dan BI, 2014).

b) Harga Paritas Kedelai

Untuk harga paritas impor, biaya transportasi dan handling di dalam negeri harus ditambahkan kepada harga impor di tingkat pelabuhan karena barang impor tersebut harus dibawa ke pasar pedagang besar terdekat untuk berkompetisi dengan produk dalam negeri.

Sebaliknya, untuk harga paritas ekspor, biaya transportasi dan handling domestik harus dikurangkan dari harga di pelabuhan karena produk dalam negeri harus dibawa ke pelabuhan dari pasar pedagang besar terdekat untuk bisa diekspor.

Dalam hal ini yang dihitung hanya paritas impor karena Kabupaten Grobogan tidak melakukan ekspor kedelai ke luar negeri, sehingga tidak perlu menghitung harga paritas ekspor kedelai. Berikut adalah tabel paritas harga impor komoditas kedelai di wilayah Kabupaten Grobogan.

Tabel 6. Paritas Harga Impor Kedelai

Komponen

Tahun 2014

FOB Meksiko November 2014 ($/ton) November 2014(1)

433,00

Freight & Insurance, 0% ($/ton)(2)

0

CIF Tanjung Emas ($/ton)

0

Nilai Tukar Bayangan (Rp/$) November 2014(3)

12.219,00

CIF di Tanjung Emas (Rp/ton)

5.290.827,00

CIF di Tanjung Emas (Rp/kg)

5.290,83

Handling (Rp/kg)(4)

9,26

Transportasi : Pelabuhan-Gudang Importir Semarang (Rp/kg)*

12,50

Harga di Importir (Rp/Kg)*

5.312,59

Handling bongkar muat (Rp/kg)*

15,00

Penyusutan (transportasi+inventory) 1,5% (Rp/kg)*

69,86

Harga Setelah Penyusutan (Rp/kg)

5.397,45

Transportasi : Semarang-Grobogan (Rp/kg)

18,75

Harga di Pedagang Besar (Rp/Kg)

5.416,20

Handling bongkar muat (Rp/kg)

15,00

Penyusutan (transportasi+inventory) 0,75% (Rp/kg)

35,71

Harga Setelah Penyusutan (Rp/kg)

5.466,91

Distribusi ke Industri Tahu dan Tempe Grobogan (Rp/kg)

12,50

Harga di Tingkat Industri Tahu dan Tempe Grobogan (Rp/kg)

5.479,41

Keterangan Sumber :

(1) U.S. export bids, FOB Gulf, in November averaged $433 per ton, http://www.commoditiescontrol.com

(2) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 133/PMK.011/2013 Tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor

(3) http://www.bi.go.id

(4) www.tgemas.co.id/

(*) Asumsi berdasarkan data primer

Stok kedelai di gudang importir sampai akhir Agustus 2014 sebesar 239 ribu ton dengan harga jual ke distributor maupun pedagang besar berkisar Rp7.000-Rp7.300 per kg. Hingga penelitian ini dilakukan pada bulan November-Desember 2014, harga beli kedelai impor di tingkat pedagang besar masih berkisar Rp7.300,00 per kg dengan harga jual ke industri tahu tempe berkisar Rp7.400,00 - Rp7.500,00 per kg. Harga yang terjadi di lapangan berbeda jauh dengan harga pada paritas impor kedelai. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi pengambilan keuntungan melalui harga jual kedelai impor di tingkat importir. Sehingga memunculkan dugaan adanya permainan harga yang lakukan oleh kartel kedelai. Baik pedagang besar maupun industri pasrah untuk membeli kedelai (baik lokal maupun impor) dengan harga yang juga telah ditetapkan oleh importir tersebut.

c) Struktur Biaya dan Pendapatan Aktual dan Bayangan Pada Pedagang Besar

Input dan output fisik pada pedagang besar disajikan pada Tabel 7. Biaya input dibagi menjadi dua yaitu input tradables dan faktor domestik. Input tradable (barang-barang input yang dapat diperdagangkan secara internasional) meliputi biji kedelai, karena kegiatan utama pedagang adalah membeli dan menjual kedelai. Sedangkan Faktor domestik (non-tradables) adalah penggunaan tenaga kerja, modal kerja, dan lain-lain.

Tabel 7. Input dan Output Fisik Pedagang Besar

Struktur Input/Output

Harga Privat

Masa Panen

(Des2014-Jan2015)

Harga Sosial

Masa Panen

(Des2014-Jan2015)

Biaya Input

Tradables

Biji Kedelai (kg/musim)

200.000

200.000

Faktor Domestik

Tenaga Kerja (kg/musim)

Upah Tenaga Kerja

200.000

1

Biaya Transport

200.000

200.000

Lain-lain (Rp)

Listrik Gudang

1

1

Biaya Komunikasi (Pulsa)

1

1

Pajak/ PBB Bangunan

1

1

Modal (Rp/musim)

Modal kerja (Rp/tahun)

24.000.000

24.000.000

Kendaraan (unit/musim)

8

8

Peralatan (unit/musim)

3

3

Total Biaya Input (Rp/kg)

1

1

Biaya Output

Pendapatan (kg/musim)

200.000

200.000

Sumber : Hasil Olahan, 2015

Dari tabel Input-Output Fisik di atas kemudian dilanjutkan dengan menghitung harga privat dan sosial yang disajikan pada Tabel 8. Biaya privat untuk input tradable adalah harga beli kedelai yang dilakukan oleh pedagang besar dari petani (Rp/kg). Biaya faktor domestik diperlakukan berbeda dengan input tradabel karena tidak ada harga internasional untuk faktor domestik, yang seharusnya digunakan sebagai nilai sosial opportunity cost nya. Pemecahan yang mungkin dilakukan dengan mendekomposisikannya, yaitu dengan membagi biaya input non tradable (faktor domestik) ke dalam unsur-unsur tenaga kerja, modal, dan lain-lain. Output privat merupakan pendapatan aktual dari hasil penjualan kedelai oleh pedagang besar kepada industri tahu dan tempe (Rp/kg).

Harga bayangan untuk input dan output yang bersifat tradable good menggunakan harga batas atau harga bayangannya (shadow price), seperti dilakukan Gittinger (1986). Untuk barang yang diekspor atau potensial ekspor akan digunakan harga FOB dan untuk barang yang di impor akan menggunakan harga CIF. Harga bayangan untuk input non tradable menggunakan biaya imbangan (opportunity cost). Untuk harga bayangan lahan digunakan nilai sewanya, hal ini dilandasi bahwa mekanisme pasar lahan melalui sistem sewa-menyewa untuk pengusahaan komoditas sayuran cukup kompetitif. Sedangkan untuk tenaga kerja digunakan sama dengan nilai upah yang berlaku, karena mekanisme pasar tenaga kerja pada komoditas sayuran sangat kompetitif. Output sosial merupakan hasil pendapatan dari harga bayangan untuk input dan output.

Harga bayangan suku bunga modal (interest rate) menggunakan suku bunga nominal yang dihitung dengan menambah suku bunga aktual dengan tingkat inflasi pada daerah penelitian.

Tabel 8. Harga Privat dan Sosial Pedagang Besar

Struktur Input/Output

Harga Privat

Masa Panen

(Des2014-Jan2015)

Harga Sosial

Masa Panen

(Des2014-Jan2015)

Biaya Input

Tradables

Biji Kedelai (Rp/kg)

7.100,00

5.416,20

Faktor Domestik

Tenaga Kerja (Rp/kg)

Upah Tenaga Kerja

15,00

15,00

Biaya Transport

18,75

150.000,00

Lain-lain (Rp/musim)

Listrik Gudang

250.000,00

250.000,00

Biaya Komunikasi (Pulsa)

1.500.000,00

1.500.000,00

Pajak/ PBB Bangunan

31.548,79

31.548,79

Modal (Rp/musim)

Modal kerja (%/tahun)

22,22

23,22

Kendaraan (Rp/musim)

14.775.156,86

13.711.558,20

Peralatan (Rp/musim)

144.348,12

101.968,93

Total Biaya Input (Rp/kg)

Biaya Output

Pendapatan (Rp/kg)

7.300,00

5.466,91

Sumber : Hasil Olahan, 2015

Budget sosial merupakan hasil perkalian dari input-output fisik dengan harga baik privat maupun sosial. Budget input dan output harga privat dan sosial pedagang besar disajikan pada tabel 9. Pada tabel budget harga privat dan sosial tersebut dapat diketahui keuntungan berdasarkan masing-masing harga. Keuntungan diperoleh dengan mengurangkan keseluruhan biaya input atas pendapatan.

Dalam penentuan besarnya modal investasi untuk kendaraan dan peralatan perlu dilakukan analisa terhadap Capital Cost Recovery Factor (CRCF), maka sebelumnya perlu dilakukan analisa terhadap Annual Cost Recovery. Berikut merupakan hasil analisa terhadap Capital Cost Recovery Factor untuk kendaraan dan peralatan.

Tabel 10. Capital Cost Recovery Factor Untuk Kendaraan

Indikator

Kendaraan

Harga privat

Harga sosial

Nilai awal (initial cost) (Rp/unit)

266.000.000,00

210.777.750,00

Umur operasi (useful life) (tahun)

10,00

10,00

Nilai sisa (salvage value) (Rp)

26.130.000,00

22.238.580,00

Tingkat bunga (%/tahun)

14,00

10,00

Present value nilai sisa (Rp)

7.048.405,74

8.573.935,29

Biaya bersih (net cost) (Rp)

258.951.594,26

202.203.814,71

Rasio recovery (recovery rasio) (%)

1,37

1,63

Biaya recovery per tahun (Rp)

354.603.764,59

329.077.396,72

Biaya recovery per musim (Rp)

14.775.156,86

13.711.558,20

Sumber : Hasil Olahan, 2015

Tabel 11. Capital Cost Recovery Factor Untuk Peralatan

Indikator

Peralatan

Harga privat

Harga sosial

Nilai awal (initial cost) (Rp/unit)

2.600.000,00

1.564.032,00

Umur operasi (useful life) (tahun)

10,00

10,00

Nilai sisa (salvage value) (Rp)

260.000,00

156.403,20

Tingkat bunga (%/tahun)

14,00

10,00

Present value nilai sisa (Rp)

70.133,39

60.300,20

Biaya bersih (net cost) (Rp)

2.529.866,61

1.503.731,80

Rasio recovery (recovery rasio) (%)

1,37

1,63

Biaya recovery per tahun (Rp)

3.464.354,90

2.447.254,25

Biaya recovery per musim (Rp)

144.348,12

101.968,93

Sumber : Hasil Olahan, 2015

Kemudian hasil Capital Cost Recovery Factor (CRCF) di atas dimasukkan ke dalam tabel Budget Input dan Output Harga Privat dan Sosial Pedagang Besar berikut.

Tabel 9. Budget Input dan Output Harga Privat dan Sosial Pedagang Besar

Struktur Input/Output

Harga Privat

Masa Panen

(Des2014-Jan2015)

Harga Sosial

Masa Panen

(Des2014-Jan2015)

Biaya Input

Tradables

Biji Kedelai (Rp/musim)

1.420.000.000,00

1.083.240.000,00

Faktor Domestik

Tenaga Kerja (Rp/musim)

Upah Tenaga Kerja

3.000.000,00

3.000.000,00

Biaya Transport

3.750.000,00

3.750.000,00

Lain-lain (Rp/musim)

Listrik Gudang

250.000,00

250.000,00

Biaya Komunikasi (Pulsa)

1.500.000,00

1.500.000,00

Pajak/ PBB Bangunan

31.548,79

31.548,79

Modal (Rp/musim)

Modal kerja (Rp/musim)

18.516,67

19.350,00

Kendaraan (Rp/musim)

1.094.346,62

832.748,63

Peralatan (Rp/musim)

4.009,27

2.322,34

Total Biaya Input (Rp/musim)

1.429.398.421,35

1.092.375.969,77

Biaya Output

Pendapatan (Rp/musim)

1.460.000.000,00

1.093.382.000,00

Keuntungan (Rp/musim)

30.601.578,65

1.006.030,23

Sumber : Hasil Olahan, 2015

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa keuntungan pada harga privat jauh lebih lebih besar daripada keuntungan pada harga sosial. Kondisi tersebut kemudian di representasikan ke dalam tabel PAM berikut.

Tabel 10. Matriks PAM

Indikator

Output Pendapatan

Biaya Input

keuntungan

Tradables

Faktor Domestik

Privat

1.460.000.000,00

1.420.000.000,00

9.398.421,35

30.601.578,65

Sosial

1.093.382.000,00

1.083.240.000,00

9.135.969,77

1.006.030,23

Efek Divergensi

366.618.000,00

336.760.000,00

262.451,58

29.595.548,42

Sumber : Hasil Olahan, 2015

d) Dampak Kebijakan

Tabel 11. Tingkat Proteksi Terhadap Input-Output Pada Pedagang Besar

Proteksi

Indikator

Tingkat Proteksi

Input

IT

336.760.000,00

NPCI

1,31

Output

OT

366.618.000,00

NPCO

1,34

Input-Output

EPC

3,94

Sumber : Hasil Olahan, 2015

1. Dampak kebijakan terhadap biaya input

Dampak kebijakan terhadap input biaya (tradables dan non tradables) dapat dianalisis melalui nilai Transfer Input (IT) dan Koefisien Proteksi Input Nominan (NPCI). Input Transfer (IT) merupakan selisih (divergensi) antara biaya input tradables pada harga privat dengan biaya input tradables pada harga bayangan. Nilai Input Transfer menunjukkan adanya kebijakan pemerintah terhadap input tradables. Apabila nilai Input Transfer positif (IT>0) menunjukkan bahwa biaya input tradables pada harga privat lebih mahal dari harga seharusnya, sehingga pedagang besar harus membayar biaya input lebih mahal. Sebaliknya jika nilai Input Transfer negatif (IT0) yaitu 336.760.000,00. Hal tersebut menunjukkan bahwa biaya input tradables pada harga privat lebih mahal dari harga seharusnya, sehingga pedagang besar harus membayar biaya input lebih mahal. Hal ini juga membuktikan bahwa harga kedelai lokal jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga kedelai impor.

Indikator lain yang dapat digunakan untuk melihat dampak kebijakan terhadap tingkat proteksi input adalah dengan menghitung Koefisien Proteksi Input Nominan (NPCI). Apabila nilai lebih besar dari 1 (NPCI>1) menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah menyebabkan biaya input tradables pada harga privat (harga domestik) lebih mahal dibanding harga bayangannya. Sebaliknya Apabila nilai kurang dari 1 (NPCI1) yaitu 1,31 menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah menyebabkan biaya input tradables pada harga privat (harga domestik) lebih mahal dibanding harga bayangannya.

2. Dampak kebijakan terhadap biaya output

Dampak kebijakan terhadap biaya output dapat dianalisis melalui nilai Transfer Output (OT). Input Transfer (IT) merupakan selisih (divergensi) antara penerimaan aktual dengan penerimaan pada harga bayangan. Nilai Output Transfer menunjukkan adanya kebijakan pemerintah terhadap output atau pendapatan pedagang besar. Apabila nilai Output Transfer positif (OT>0) menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah terhadap komoditas kedelai telah berjalan sesuai rencana sehingga harga kedelai yang berlaku di dalam daerah lebih tinggi dari harga bayangannya. Hal tersebut juga menunjukkan besarnya transfer dari masyarakat (konsumen) karena masyarakat harus membeli kedelai lokal dengan harga lebih tinggi dibanding kedelai impor. Sebaliknya jika nilai Output Transfer negatif (OT0) yaitu 366.618.000,00. Hal tersebut juga menunjukkan besarnya transfer dari masyarakat (konsumen) karena masyarakat harus membeli kedelai lokal dengan harga lebih tinggi dibanding kedelai impor.

Indikator lain yang dapat digunakan untuk melihat dampak kebijakan terhadap tingkat proteksi output adalah dengan menghitung Koefisien Proteksi Output Nominan (NPCO). Apabila nilai lebih besar dari 1 (NPC)>1) menunjukkan adanya subsidi dari pemerintah karena pemerintah telah menaikkan harga output di pasar domestik di atas harga bayangnnya. Sebaliknya Apabila nilai kurang dari 1 (NPCO1) yaitu 1,34 menunjukkan adanya subsidi dari pemerintah karena pemerintah telah menaikkan harga output di pasar domestik di atas harga bayangnnya.

3. Proteksi terhadap input-output

Dampak terhadap keseluruhan kebijakan input dan output dapat dilihat dari nilai koefisien proteksi efektif atau Effective Protection Coefficient (EPC). Nilai EPC menggambarkan sejauh mana keseluruhan kebijakan pemerintah yang ada bersifat melindungi atau menghambat suatu sistem komoditas. Apabila nilai EPC>1 artinya kebijakan pemerintah memberikan dukungan terhadap komoditas kedelai dalam negeri, sehingga biaya usaha lebih kecil dibannding biaya seharusnya. Namun apabila nilai EPC1 yaitu 3,94, yang artinya kebijakan pemerintah memberikan dukungan terhadap komoditas kedelai dalam negeri, sehingga biaya usaha lebih kecil dibannding biaya seharusnya.

e) Dampak Terhadap Profitabilitas

Net tranfers (NT) merupakan inti dari hasil sebuah analisis PAM. Nilai ratio yang berhubungan dengan net transfer adalah Profitability Coefficient (PC). PC mengukur dampak seluruh transfer terhadap keuntungan privat, dengan perkataan lain nilai PC merupakan ukuran relatif transfer bersih yang mengakibatkan keuntungan finansial lebih besar atau lebih kecil dari keuntungan ekonomi. PC juga merupakan pengembangan dari EPC dengan memasukkan biaya faktor domestik.

Tabel 12. Tingkat Profitabilitas

Indikator

Hasil

NT

29.595.548,42

PC

30,42

Sumber : Hasil Olahan, 2015

Apabila nilai NT>0 hal ini menunjukkan bahwa terdapat tambahan surplus yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah terhadap input dan output biaya. Sebaliknya jika NT0, hal tersebut menunjukkan terdapat tambahan surplus yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah terhadap input dan output biaya.

Sedangkan untuk nilai PC, apabila PC>1 maka keseluruhan kebijakan pemerintah memberikan insentif kepada pedagang besar sehingga keuntungan finansial lebih besar dari keuntungan ekonominya. Sebaliknya apabila PC1, menunjukkan keseluruhan kebijakan pemerintah memberikan insentif kepada pedagang besar sehingga keuntungan finansial lebih besar dari keuntungan ekonomi pedagang besar.

Subsidy Ratio to Producers (SRP) adalah ukuran dari gabungan seluruh transfer effects yang terjadi. Ratio ini merupakan perbandingan antara nilai net transfer dengan nilai output (penerimaan) yang dihitung pada tingkat harga dunia (penerimaan sosial atau social revenue). Dengan demikian SRP menunjukkan sejauh mana penerimaan (revenue) meningkat atau menurun karena terjadinya transfer.

Tabel 13. Tingkat Rasio Subsidi

Indikator

Hasil

SRP

0,03

Sumber : Hasil Olahan, 2015

Nilai SRP usaha komoditas kedelai 0,03. Artinya, divergensi antara keuntungan finansial dan ekonomi pada usaha komoditas kedelai sekitar 3% dari pendapatan kotor (gross profit). Besarnya transfer positif (positive transfers) di atas menunjukkan bahwa secara umum kebijakan pemerintah atau distorsi pasar yang ada memberikan dampak yang menguntungkan bagi pedagang besar, karena pelaku pedagang besar menerima subsidi positif dibandingkan jika tidak ada kebijakan pemerintah.

f) Dampak Terhadap Efisiensi

Analisis daya saing secara internasional adalah suatu analisis untuk menilai suatu aktifitas ekonomi (layak atau tidak layak) ditinjau dari segi pemanfaatan sumberdaya domestik yang digunakan. Alat analisis yang digunakan untuk mengukur daya saing secara internasional suatu komoditas adalah dengan menggunakan rasio Domestic Resourse Cost (DRC), yaitu rasio antara biaya domestik dengan nilai tambah output dari biaya input yang dapat diperdagangkan pada harga sosial.

Usaha suatu komoditas dikatakan mempunyai daya saing secara internasional jika rasio DRC < 1, artinya komoditas tersebut lebih menguntungkan jika diusahakan didalam negeri dari pada diimpor. Sebaliknya jika rasio DRC > 1 berarti usaha suatu komoditas tidak mempunyai daya saing internasional atau secara ekonomi tidak layak untuk diusahakan karena terjadi pemborosan sumberdaya domestik. Sehingga pada kondisi seperti ini akan lebih menguntungkan jika komoditas tersebut diimpor daripada diusahakan di dalam negeri.

Tabel 14. Tingkat Profitabilitas

Indikator

Hasil

DRC

0,90

Sumber : Hasil Olahan, 2015

Hasil analisis dengan menggunakan metode Policy Analysis Matrix (PAM) menunjukkan bahwa nilai rasio sumberdaya domestik atau Domestic Resourse Cost (DRC) komoditas kedelai di Kabupaten Grobogan adalah 0,91. Nilai tersebut menunjukkan bahwa untuk mendapatkan 1 unit nilai tambah diperlukan biaya domestik sebesar 0,90 unit pada usaha komoditas kedelai. Dalam kaitan perdagangan internasional maka nilai rasio DRC usaha komoditas kedelai sebesar 0,90 artinya bahwa setiap 1 $ US devisa negara yang dikeluarkan untuk mengimpor kedelai, jika diproduksi di dalam negeri hanya dibutuhkan biaya sebesar 0,90 $ US. Diketahui bahwa usaha komoditas kedelai yang dianalisis mempunyai rasio DRC < 1, hal ini berarti usaha komoditas kedelai di Kabupaten Grobogan mempunyai daya saing secara internasional. Dengan kata lain, faktor domestik digunakan secara efisien, sehingga usaha komoditas kedelai ini layak dan masih dimungkinkan untuk dikembangkan.

Rasio biaya privat (Privat Cost Ratio atau PCR) adalah perbandingan antara biaya faktor domestik dengan nilai tambah output dari biaya input tradable pada harga privat (finansial). Rasio ini dapat digunakan sebagai indikator untuk mencapai tujuan memperoleh keuntungan maksimum. Supaya diperoleh nilai keuntungan maksimum maka perlu dilakukan usaha meminimumkan nilai PCR, misalnya dengan meminimumkan pengeluaran biaya faktor domestik atau dengan cara memaksimumkan nilai tambah, yaitu dengan cara meminimumkan input tradable.

Tabel 15. Tingkat Efisiensi

Indikator

Hasil

PCR

0,23

Sumber : Hasil Olahan, 2015

PCR dinilai dalam harga privat (finansial) yang sudah dipengaruhi kebijakan pemerintah. Nilai PCR merupakan ukuran daya saing atau efisiensi pada nilai finansial atau keunggulan kompetitif. Itu berarti daya saing pada nilai finansial dicapai jika nilai PCR lebih kecil dari satu (PCR < 1), sebaliknya tidak mempunyai daya saing pada nilai finansial jika PCR > 1. Berdasarkan tabel di atas nilai PCR0) yaitu 336.760.000,00. Hal tersebut menunjukkan bahwa biaya input tradables pada harga privat lebih mahal dari harga seharusnya, sehingga pedagang besar harus membayar biaya input lebih mahal. Hal ini juga membuktikan bahwa harga kedelai lokal jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga kedelai impor.

b. Nilai (NPCI>1) yaitu 1,31 menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah menyebabkan biaya input tradables pada harga privat (harga domestik) lebih mahal dibanding harga bayangannya.

c. Nilai Output Transfer positif (OT>0) yaitu 366.618.000,00. Hal tersebut juga menunjukkan besarnya transfer dari masyarakat (konsumen) karena masyarakat harus membeli kedelai lokal dengan harga lebih tinggi dibanding kedelai impor.

d. Nilai (NPCO>1) yaitu 1,34 menunjukkan adanya subsidi dari pemerintah karena pemerintah telah menaikkan harga output di pasar domestik di atas harga bayangnnya.

e. Nilai NT>0, hal tersebut menunjukkan terdapat tambahan surplus yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah terhadap input dan output biaya.

f. Nilai PC>1, menunjukkan keseluruhan kebijakan pemerintah memberikan insentif kepada pedagang besar sehingga keuntungan finansial lebih besar dari keuntungan ekonomi pedagang besar.

g. Nilai SRP usaha komoditas kedelai 0,03. Artinya, divergensi antara keuntungan finansial dan ekonomi pada usaha komoditas kedelai sekitar 3% dari pendapatan kotor (gross profit). Besarnya transfer positif (positive transfers) di atas menunjukkan bahwa secara umum kebijakan pemerintah atau distorsi pasar yang ada memberikan dampak yang menguntungkan.

h. Nilai rasio sumberdaya domestik atau Domestic Resourse Cost (DRC) komoditas kedelai di Kabupaten Grobogan adalah 0,90. Nilai tersebut menunjukkan bahwa untuk mendapatkan 1 unit nilai tambah diperlukan biaya domestik sebesar 0,90 unit pada usaha komoditas kedelai. Dengan kata lain, faktor domestik digunakan secara efisien, sehingga usaha komoditas kedelai ini layak dan masih dimungkinkan untuk dikembangkan.

i. Nilai PCR85%,

murni, sehat dan bersih dengan total kebutuhan benih antara 40

60 kg/ha, tergantung pada ukuran biji, makin besar ukuran biji

makin banyak benih yang digunakan.

Harga benih unggul swadaya petani Pedoman Teknis Pengelolaan Produksi Kedelai Tahun 2015: Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian adalah Rp15.200,00/kg

RSNI3 6234:2015 - Benih kedelai. Standar ini merupakan revisi dari SNI 01-6234.3-2000, Benih kedelai kelas benih sebar (BR), yang di dalamnya meliputi acuan normatif, istilah dan definisi, syarat mutu, cara pemeriksaan lapangan, cara pengambilan contoh benih, cara analisa mutu, penandaan, pengemasan, dan rekomendasi. Benih kedelai kelas benih sebar (BR) adalah keturunan pertama dari benih penjenis (BS), benih dasar (BD) dan benih pokok (BP) yang diproduksi sesuai dengan standar mutu yang berlaku sehingga keaslian varietas dapat dipelihara. Persyaratan mutu terdiri dari syarat mutu di lapangan dan mutu di laboratorium. Syarat mutu di lapangan meliputi campuran varietas lain/tipe simpang dengan batas maksimum 0.5%, Isolasi jarak dengan batas minimum 3 m, dan Isolasi waktu dengan batas minimum 15 hari. Persyaratan mutu di laboratorium meliputi Kadar air dengan batas maksimum 11,0%, Benih murni dengan batas minimum 97,0%, Daya berkecambah/daya tumbuh dengan batas minimum 80,0%, Kotoran benih dengan batas maksimum 3,0%, Biji benih tanaman lain 0,0%, Biji gulma 0,0%.

Produksi Dan Konsumsi Komoditas Kedelai Nasional Tahun 2009-2013

Produksi (Ton/thn)2004200520062007200820092010201120122013723.48299999999949808.35299999999825747.61099999999999592.53399999999999775.71974.51199999999949907.03099999999949851.28599999999994843.15300000000002779.99199999999996konsumsi kedelai (Ton/thn) 20042005200620072008200920102011201220132572119.53234228.84999999871711996.13900000111780063.45499999981582049.44400000011476854.51665865.69500000011796568.42499999981692006.24100000021644477.976

Tahun

Kuantitas (Ton)

Produksi Dan Konsumsi

Komoditi Kedelai Tahun 2009-2013

Produksi (Ton)2009201020112012201341.21300000000000169.14100000000000513.55869.14100000000000526.367000000000001Konsumsi (Ton)2009201020112012201314.89114.89115.08714.98115.293999999999999Plus/Minus (Ton)2009201020112012201326.32354.160000000000011-1.52854.16000000000001111.073

Tahun

Kuantitas (Ton)

26