pbl b16 - ibd 2

29
Inflammatory Bowel Disease: Kolitis Ulseratif Andreas Santoso 102012383/ F5 [email protected]/08561336133 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida wacana A. Pendahuluan Kolitis ulseratif (KU) merupakan salah satu jenis dari Inflammatory Bowel Disease (IBD) yang adalah penyakit inflamasi saluran cerna dengan penyebab pasti belum jelas. Salah satu jenis lain lain dari IBD adalah Penyakit Crohn (PC). Namun jika tidak dapat dibedakan antara KU dan PC maka dapat disebutkan sebagai Indeterminate Colitis. Hal ini untuk secara praktis membedakannya dengan penyakit inflamasi usus lainnya yang telah diketahui penyebabnya seperti infeksi, iskemia, dan radiasi. 1 Skenario yang didapat adalah sebagai berikut: “Ny. R, 35 th datang ke poliklinik umum dengan keluhan saat BAB kotorannya bercampur darah berwarna merah segar 4-5x sejak 3 hr smrs. Pasien juga mengatakan sejak 3 minggu yang lalu BABnya encer 3-4x/hari, disertai nyeri perut bagian bawah yang hilang timbul. Menurut pasien keluhan diare ini cukup sering dialami dan hilang timbul sejak 3 tahun lalu, dan biasa setiap muncul diare bisa 1

Upload: chapinky

Post on 04-Dec-2015

230 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

bowel disease

TRANSCRIPT

Page 1: PBL B16 - IBD 2

Inflammatory Bowel Disease: Kolitis UlseratifAndreas Santoso

102012383/ F5

[email protected]/08561336133

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida wacana

A. Pendahuluan

Kolitis ulseratif (KU) merupakan salah satu jenis dari Inflammatory Bowel Disease

(IBD) yang adalah penyakit inflamasi saluran cerna dengan penyebab pasti belum

jelas. Salah satu jenis lain lain dari IBD adalah Penyakit Crohn (PC). Namun jika

tidak dapat dibedakan antara KU dan PC maka dapat disebutkan sebagai

Indeterminate Colitis. Hal ini untuk secara praktis membedakannya dengan penyakit

inflamasi usus lainnya yang telah diketahui penyebabnya seperti infeksi, iskemia, dan

radiasi.1

Skenario yang didapat adalah sebagai berikut: “Ny. R, 35 th datang ke poliklinik

umum dengan keluhan saat BAB kotorannya bercampur darah berwarna merah segar

4-5x sejak 3 hr smrs. Pasien juga mengatakan sejak 3 minggu yang lalu BABnya

encer 3-4x/hari, disertai nyeri perut bagian bawah yang hilang timbul. Menurut pasien

keluhan diare ini cukup sering dialami dan hilang timbul sejak 3 tahun lalu, dan biasa

setiap muncul diare bisa berlangsung 1-2 minggu. Pasien mengatakan tidak adanya

daging menonjol yang keluar dari anus saat BAB.

PF: konjungtiva anemis, pf lain-lain dalam batas normal. Pemeriksaan penunjang: Hb

9g/dl, leukosit 6000/mm3, HT 29%, trombosit 200.000/mm3.”

B. Pembahasan

Anamnesis

Anamnesis harus dilakukan dengan jelas dan cermat. Karena pasien mengeluhkan

keluhan pada sektor gastrointestinal, terutama pada bagian nyeri abdomen dan diare,

1

Page 2: PBL B16 - IBD 2

maka pertanyaan-pertanyaan yang diberikan akan difokuskan kepada kedua hal

tersebut.2

Pada anamnesis, hal pertama yang harus ditanyakan adalah mengenai identitas pasien,

meliputi nama, umur, alamat tempat tinggal, serta pekerjaan sehari-hari. Identitas

lengkap lainnya dapat ditambahkan secara bebas. Selanjutnya anamnesis akan

diarahkan kepada keluhan utama, yang merupakan alasan utama pasien datang kepada

dokter. Tidak lupa untuk menanyakan sudah berapa lama pasien mengalami hal

tersebut. Selanjutnya anamnesis akan diarahkan lebih dalam mengenai keluhan utama

tersebut.

Pada skenario, keluhan utama pasien adalah saat BAB kotoran bercampur darah

merah segar, encer dan ada nyeri perut bagian bawah yang hilang timbul..

Anamnesis pada kasus diatas akan ditujukan lebih dalam mengenai nyeri perut dan

diare berdarah yang dialami oleh pasien.2

Setelah menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan nyeri perut

serta diare, kita sudah bisa mereka-reka menuju kepada kolitis ulseratif. Pertanyaan-

pertanyaan yang harus ditanyakan adalah riwayat mengenai infeksi apa yang pernah

dialami pasien, riwayat penggunaan obat (antibiotik dan NSAIDs), riwayat merokok,

dan riwayat keluarga yang pernah mengalami hal serupa, atau ada penyakit inflamasi

yang diperantarai autoimun lainnya seperti psoriasis, multiple sclerosis, dan lain-lain),

serta polip atau kanker kolon. 3

Selain adanya gejala diare berdarah, hal lain yang harus diperhatikan/ditanyakan

adalah buang air besar pada malam hari, inkontinensia, penurunan berat badan,

demam, dan gejala-gejala ekstraintestinal lainnya seperti artritis, sakit pada punggung,

lesi kulit, pembengkakan pada mata, dan ulserasi oral, untuk menentukan derajat

keparahannya penyakit. Pada wanita harus ditanyakan siklus menstruasinya karena

akan berhubungan dengan perjalanan penyakit dan terapinya lebih lanjut.3

Pemeriksaan Fisik

Untuk melakukan pemeriksaan fisik abdomen yang baik, kita memerlukan: (1)

penerangan/cahaya yang baik, (2) pasien yang rileks, dan (3) pajanan abdomen yang

penuh dari daerah di atas prosesus sifoideus hingga simfisis pubis. Daerah inguinal

harus dapat dilihat. Genitalia harus tetap ditutupi. Otot-otot abdomen harus lemas

untuk mempermudahkan pelaksanaan semua aspek pemeriksaan khususnya palpasi.2

2

Page 3: PBL B16 - IBD 2

Langkah-langkah yang dapat mempermudah dalam pemeriksaan abdomen adalah

sebagai berikut:2

Pasien harus sudah mengosongkan kandung kemihnya.

Buat pasien nyaman berbaring terlentang dengan sebuah bantal di kepalanya

dan juga di bawah lututnya.

Minta pasien meletakkan kedua lengannya pada sisi tubuh, jangan

menaruhnya di atas kepala karena posisi tersebut akan meregangkan dan

mengencangkan otot-otot abdomen sehingga palpasi sulit dilakukan.

Sebelum memulai palpasi, minta pasien menunjuk daerah yang nyeri, dan

periksalah daerah tersebut paling akhir.

Hangatkan tangan dan stetoskop, hindari kuku yang panjang.

Lakukan pendekatan secara perlahan, hindari gerakan cepat yang tidak

terduga. Amati wajah pasien dengan seksama untuk menemukan setiap tanda

yang menunjukkan rasa nyeri atau ketidaknyamanan.

Alihkan perhatian pasien dengan percakapan atau pertanyaan. Jika pasien

merasa takut atau geli, mulai palpasi dengan tangan pasien berada di bawah

kedua tangan kita. Sesudah beberapa saat, sisipkan tangan di bawah tangan

pasien dan lakukan palpasi secara langsung.

Inspeksi

Dimulai dari posisi berdiri lazimnya disebelah kanan tempat tidur pasien, lakukan

inspeksi abdomen. Ketika memeriksa kontur abdomen dan mengamati gerakan

peristaltis, ada baiknya dilakukan dengan membungkuk atau duduk agar dapat melihat

dengan jelas. Dalam inspeksi, yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:2

Kulit, yang meliputi: jaringan parut (sikatriks), striae (stretch marks, berwarna

perak), vena yang berdilatasi, ruam dan lesi. Striae berwarna merah muda-

ungu dapat ditemukan pada sindrom Cushing. Vena yang berdilatasi

ditemukan pada sirosis hepatis atau obstruksi vena kava inferior.

Umbilicus, amati kontur dan lokasinya, dan setiap tanda-tanda inflamasi atau

hernia.

Kontur abdomen, apakah:

o Rata, buncit (protuberan) atau skafoid (sangat cekung atau konkaf)?

3

Page 4: PBL B16 - IBD 2

o Bagian pinggang terlihat membenjol atau terdapat benjolan setempat?

(ikut sertakan pemeriksaan daerah inguinal dan femoral). Pinggang

yang membenjol ditemukan pada asites, pemeriksaan daerah inguinalis

dan femoralis untuk menemukan hernia.

o Abdomennya simetris? Ketidaksimetrisan abdomen disebabkan karena

adanya organ yang membesar atau massa.

o Terdapat organ atau massa yang dapat diraba? (cari pembesaran hati

atau lien yang teraba di bawah tepi iga).

Peristalsis, diamati jika kita mencurigai obstruksi intestinal. Dapat terlihat

normal pada orang yang sangat kurus.

Pulsasi, pulsasi aorta yang normal sering terlihat di daerah epigastrium.

Peningkatan pulsasi terjadi pada aneurisma aorta atau peningkatan tekanan

nadi.

Palpasi

Pemeriksaan palpasi dikenal sebagai palpasi ringan dan palpasi dalam. Penjelasannya

adalah sebagai berikut:2

Palpasi ringan: pemeriksaan meraba abdomen secara lembut, terutama

membantu kita untuk mengidentifikasi nyeri tekan pada abdomen, resistensi

otot, dan beberapa organ serta massa yang letaknya superfisial. Temukan

setiap organ atau massa yang letaknya superfisial dan setiap daerah dengan

nyeri tekan atau dengan peningkatan resistensi pada tangan pada palpasi.

Palpasi dalam: biasanya palpasi diperlukan untuk menentukan batas-batas

massa abdominal. Sekali lagi, gunakan permukaan ventral jari-jari tangan dan

lakukan pada keempat kuadran abdomen. Kenali setiap massa dan perhatikan

lokasi masa tersebut, ukuran, besar, konsistensi, nyeri tekan, pulsasi, dan

temukan korelasi antara hasil pemeriksaan palpasi dengan bunyi yang

ditemukan pada perkusi.

Perkusi

Perkusi dilakukan untuk membantu menilai jumlah serta distribusi gas di dalam

abdomen dan mengenali kemungkinan adanya massa yang padat atau berisi cairan.

Lakukanlah perkusi secara ringan pada keempat kuadran abdomen untuk menilai

4

Page 5: PBL B16 - IBD 2

distribusi bunyi timpani dan redup. Biasanya bunyi timpani lebih dominan karena

keberadaan gas di dalam traktus gastrointestinal.2

Perhatikan setiap daerah bunyi redup yang luas yang menunjukkan adanya massa atau

pembesaran organ di balik daerah tersebut. Hasil observasi ini akan mengarahkan

palpasi yang dilakukan. Pada sisi abdomen yang membuncit, perhatikan terjadinya

perubahan bunyi timpani menjadi redup yang menandakan keberadaan struktur padat

di belakangnya.2

Auskultasi

Auskultasi memberikan informasi penting mengenai motilitas usus. Dengarkan

abdomen sebelum melakukan perkusi dan palpasi karena kedua manuver ini dapat

merubah frekuensi bunyi usus. Auskultasi dapat mengungkapkan bunyi bruits, yaitu

bunyi vaskular yang menyerupai bising jantung di daerah aorta atau pembuluh arteri

lainnya di abdomen. Terdengarnya bunyi ini menandakan adanya pembuluh darah

yang tersumbat.2

Dengarkan bunyi usus, perhatikan frekuensi dan sifatnya. Bunyi normal terdiri atas

bunyi dentingan (click) dan gemericik (gurgles) yang terdengar dengan frekuensi

yang diperkirakan 5-34 kali per menit. Kadang dapat terdengar borborigmi, yaitu

bunyi gemericik (gurgles) yang panjang dan lama karena hiperperistaltis (bunyi ini

sering disebut sebagai “bunyi perut yang kosong”). Karena bunyi usus menjalar

secara meluas ke seluruh abdomen, biasanya auskultasi dilakukan pada satu titik saja

seperti pada kuadran kanan bawah, biasanya sudah cukup.2

Pemeriksaan Fisik Terkait Kolitis Ulseratif

Pada kebanyakan pasien dengan kolitis ulseratif, pemeriksaan fisik memberikan hasil

yang normal, termasuk pemeriksaan fisik abdomen. Pada pemeriksaan fisik yang

paling mungkin memberikan perbedaan adalah adanya rasa nyeri ringan pada bagian

kiri bawah (kolon sebelah kiri) yang terasa pada saat palpasi dalam. Pemeriksaan fisik

yang terlihat abnormal secara signifikan terjadi hanya pada kasus yang sangat berat,

di mana nyeri yang dirasakan juga lebih parah. Pada kolitis ulseratif, manifestasi

perianal tidak ditemukan. Jika ada manifestasi perianal seperti hemoroid yang besar,

fisura-fisura, abses, atau fistula, maka diagnosis akan lebih mengarah kepada penyakit

Crohn dibandingkan dengan kolitis ulseratif.3

5

Page 6: PBL B16 - IBD 2

Tanda-tanda anemia yang muncul adalah pucatnya konjungtiva dan bantalan kuku.

Pasien kolitis ulseratif juga dapat menunjukkan gejala lain seperti inflamasi okular,

eritema nodosum, pioderma gangrenosum, atau hingga artritis pada sendi-sendi

besar.3

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien yang dicurigai kolitis ulseratif

adalah pemeriksaan darah lengkap. Jika pasien dengan kolitis ulseratif yang cukup

aktif maka akan ditemukan peningkatan CRP, hitung trombosit, ESR, dan penurunan

Hb. Fecal lactoferin cukup menjadi marker yang sensitif dan spesifik untuk

mendeteksi inflamasi pada intestinal. Pada kasus berat, level albumin serum dapat

menurun cukup signifikan. Leukositosis dapat terjadi tapi tidak merupakan indikator

yang spesifik untuk menentukan aktivitas penyakit. Pemeriksaan yang mungkin dapat

menentukan tingkat keparahan penyakit adalah hematocrit, ESR, dan level serum

albumin. Pemeriksaan mikrobiologi pada feses penting untuk menentukan apakah

penyebab penyakit merupakan infeksi atau tidak.3-5

Fecal Markers

Penanda utama dalam kolitis ulseratif adalah adanya infiltrasi neutrofil di dalam

kripta sel epitel dan lamina propria dan berhubungan dengan eksudasi neutrofil pada

feses di dalam lumen kolon. Tidak adanya leukosit pada feses menyingkirkan adanya

inflamasi dan mengacu kepada hal lain yang berupa kelainan struktural ataupun iritasi

kolon.3

Calprotectin, yang berasal dari sel granulosit, calcium binding protein, dapat

digunakan sebagai penilaian diagnostik untuk mengidentifikasi adanya diare

inflamatorik dan aktivitas inflamasi yang terjadi. Sama halnya dengan lactoferin, yang

merupakan protein granulosit neutrofilik yang dapat ditemukan dalam pemeriksaan

latex agglutination assay atau dengan polyclonal antibody-based enzyme linked

immunoassay, dapat digunakan untuk membedakan antara IBD atau irritable bowel

syndrome (IBS).3

Serological Markers

6

Page 7: PBL B16 - IBD 2

Pemeriksaan diagnostik serologi terbaru untuk mengidektifikasi IBD adalah

pemeriksaan adanya ANCA (Anti Neutophil Cytoplasmic Antibody) dan pANCA

(Perinuclear Anti Neutrophilic Cytoplasmic Antibodies). Pengembangan terus

dilakukan untuk meningkatkan sensitivitas dan spefisitas dari tes serologi ini.

Progresivitas penelitian semakin menunjukkan antigen yang dituju oleh antibodi

pANCA tersebut.3

Prevalensi pANCA pada pasien dengan kolitis ulseratif berkisar antara 50%. Berbeda

dengan predominansi pANCA pada penyakit kolitis ulseratif, antibodi terhadap

Saccharomyces cerevisiae (ASCA-anti saccharomyces cerevisiae antibody) lebih

spesifik ditemukan pada pasien dengan penyakit Crohn dan positif pada 40-60%

pasien.3

Pada akhirnya, untuk bisa membedakan antara kolitis ulseratif dengan penyakit Crohn

tidak bisa dengan mendeteksi pANCA pada pasien dengan kolitis yang masih belum

diketahui penyebabnya. Hasil serologi pANCA+ ASCA- lebih sering ditemukan pada

pasien kolitis ulseratif dibandingkan dengan penyakit Crohn dengan sensitivitas 44%-

58% dan spesifitas 81%-98%. Sebaliknya, pANCA- dan ASCA+ memiliki sensitivitas

30%-64% dan spesifitas 92%-97% untuk penyakit Crohn.3

Endoskopi

Kolitis ulseratif hampir selalu bisa didiagnosa dengan menggunakan endoskopi,

memeriksa rectum dan colon sigmoideum. Akurasi diagnostik kolonoskopi pada IBD

adalah 89% dengan 4% kesalahan dan 7% hasil meragukan. Endoskopi akan

menunjukkan inflamasi yang kontinu, difus, yang mulai terlihat dari rektum,

kemudian menjalar ke arah proksimal. Berdasarkan data beberapa RS di Jakarta

menunjukkan lokalisasi KU pada rektum dan rektosigmoid sebesar 80%, 12% pada

kolon sebelah kiri (left side colitis), dan 8% melibatkan seluruh kolon (pan-kolitis).1,3

Mukosa colon yang normal dan sehat adalah halus dan berkilau, memantulkan cahaya

endoskopi, dan memperlihatkan percabangan vascular dari mukosa kolon. Jika

terdapat inflamasi, maka mukosa kolon akan menjadi edema, eritematosa, lebih

bergranular, sehingga pantulan cahaya menjadi acak dan tidak beraturan. Mukosa

yang berganulasi dapat halus atau kasar. Kasarnya mukosa yang bergranula tersebut

menunjukkan adanya pinpoint ulceration dan berhubungan dengan tingkat

kerapuhannya (dapat menyebabkan pendarahan spontan ataupun pendarahan karena

skope yang dimasukkan).3

7

Page 8: PBL B16 - IBD 2

Gambaran endoskopi yang terlihat pada KU yang ringan adalah eritema, gambaran

vaskularisasi mulai menghilang, dan kerapuhan yang ringan. Gambaran endoskopi

pada KU yang sedang adalah eritema yang jelas, kehilangan gambaran vaskularisasi,

kerapuhan, dan erosi. Sedangkan pada KU yang berat terlihat adanya ulserasi dan

pendarahan spontan. Gambaran histologi berubah lebih lambat dibandingkan dengan

gejala klinisnya, tapi tetap dapat digunakan untuk menilai tingkat aktivitas penyakit.4

Ketika KU mulai menyembuh, maka perubahan mukosa terlihat dengan sangat jelas.

Mukosa kolon menyembuh dengan pertumbuhan jaringan granulasi untuk

menggantikan ulserasi yang telah terjadi, dan hingga akhirnya terjadi pemulihan

gambaran vaskularisasi pada mukosa kolon, namun gambaran tidak terlihat jelas atau

bahkan tidak jelas sama sekali karena percabangan vaskularisasi tidak terlalu banyak

yang ireguler. Pada area yang mengalami inflamasi lebih parah, pertumbuhan jaringan

granulasi terlihat lebih jelas dan mengalami reepitelisasi berbentuk pseudopolip

postinflamasi. Pseudopolip yang terbentuk bervariasi antara ukuran dan bentuknya,

dan sering berbentuk seperti finger-like projections. Jika ulserasi yang terjadi lebih

berat, maka bisa terbentuk mucosal bridges. Pseudopolip yang terbentuk tidak

memiliki potensi neoplasma sama sekali, namun sulit untuk membedakannya dengan

polip adenoma lainnya. Terutama jika memang pasien mengalami KU yang sangat

berat, maka pembentukan pseudopolip tersebut dapat menutupi seluruh mukosa,

sehingga menyebabkan kesulitan untuk mendeteksi adanya polip adenoma.3

Pada KU yang parah, endoskopi dapat tetap dilakukan, namun hanya oleh dokter yang

sudah sangat berpengalaman, untuk dapat menentukan tingkat keparahan pada

perubahan mukosa kolon, seberapa dalam ulserasi yang terjadi, untuk akhirnya

mengarah kepada prognosis dan terapi yang akan dilakukan. Kolonoskopi dan biopsi

dapat juga digunakan untuk membantu melihat apakah ada komplikasi berupa infeksi

seperti C. difficile.3

Imaging

Penggunaan barium konvensional untuk mendiagnosis dan menilai KU sudah

digantikan dengan pemeriksaan endoskopi. Namun pemeriksaan radiologi dapat

menjadi tambahan selain endoskopi pada kasus-kasus klinik tertentu. Foto polos

abdomen dapat digunakan untuk menentukan kolitis yang berat dimana garis batas

adanya udara pada kolon dapat mendemonstrasikan ada tidaknya haustrasi atau

dilatasi pada kolon (untuk menyingkirkan megakolon toksik).3

8

Page 9: PBL B16 - IBD 2

Kelainan spesifik pada KU yang mungkin dapat dilihat dengan kontras barium enema

adalah hilangnya haustrasi pada bagian yang mengalami inflamasi, lesi striktur,

fistulasi, mukosa yang ireguler, gambaran ulkus atau polip, penebalan dinding usus,

gambaran kolon yang terlihat seperti memendek, dan peningkatan jarak/ruang antara

sakrum dengan rektum. Pemeriksaan barium enema dikontraindikasikan pada pasien

dengan KU berat karena berpotensi terjadinya perforasi atau dapat menginduksi

terjadinya megakolon toksik.1,3

Diagnosis Kerja

Inflammatory Bowel Disease adalah penyakit inflamasi kronik remiten dan progresif

yang melibatkan seluruh saluran cerna serta mukosa kolon, berkaitan dengan risiko

peningkatan karsinoma kolon dan penyebab pasti yang tidak diketahui sampai saat ini.

IBD secara klinis dibagi menjadi dua yaitu penyakit Crohn (PC) dan kolitis ulseratif

(KU).

Kolitis Ulseratif ditandai dengan inflamasi mukosa difus yang terbatas hanya pada

kolon saja. KU terdiri dari prokitis (terbatas pada rectum), proktosigmoitidis (rectum

dan sigmoid), left side colitis (rectum hingga flexura lienalis), extensive colitis

(hingga flexura hepatica) dan pancolitis (mengenai seluruh kolon). 1,3,4

Diagnosis kerja pada skenario ini adalah Inflammatory Bowel Disease (IBD) yang

mengarah kepada kolitis ulseratif (KU).

Alur Diagnosis

Secara praktis, diagnosis IBD didasarkan kepada: (1) anamnesis yang akurat

mengenai adanya perjalanan penyakit yang akut disertai eksaserbasi kronik-remisi

diare, kadang berdarah, nyeri perut, serta ada tidaknya riwayat keluarga; (2) gambaran

klinik yang sesuai dengan ketentuan poin pertama; (3) data laboratorium yang

menyingkirkan penyebab inflamasi lain, terutama untuk Indonesia, adanya infeksi

gastrointestinal. Eksklusi penyakit Tuberkulosis sangat penting mengingat gambaran

klinisnya mirip dengan PC. Tidak ada parameter laboratorium yang spesifik untuk

IBD; (4) temuan endoskopik yang khas dan didukung konfirmasi histopatologik; (5)

temuan gambaran radiologik yang khas; (6) pemantauan perjalanan klinik pasien yang

bersifat akut-remisi-eksaserbasi kronik.1

9

Page 10: PBL B16 - IBD 2

Diagnosis Banding

Penyakit Crohn

KU dan PC memiliki kemiripan dengan penyakit-penyakit lainnya. Langkah pertama

juga harus bisa membedakan antara KU dengan PC, yang merupakan satu bagian

dalam IBD. Sekali pasien didiagnosa menderita IBD, menentukan antara KU atau PC

terkadang tidak dapat langsung dilakukan, hingga sekitar 15% kasus. Pada keadaan

ini dinamakan sebagai indeterminate colitis. Tetapi, gejala-gejalanya akan semakin

spesifik seiring dengan berjalannya penyakit tersebut. Juga pada sekitar 5% kasus (1-

20% kasus) tidak dapat membedakan KU dengan PC melalui spesimen reseksi kolon

karena gambaran histologik yang saling overlapping.4

Simtom PC lebih bervariasi, PC ditandai dengan inflamasi transmural dan dapat

mengenai semua bagian di saluran cerna. PC dapat berupa inflamasi, fistula dan

striktur. Gejala sistemik seperti malaise, anoreksia, dan demam lebih sering

ditemukan di PC

Kolitis Infeksi

Infeksi pada kolon dan usus kecil dapat menyerupai KU ataupun PC. Dapat berupa

bakteri, jamur, virus, hingga protozoa. Kolitis yang disebabkan oleh Campylobacter

dapat memiliki kemiripan dengan KU pada endoskopi, dan juga dapat menimbulkan

relaps seperti pada KU. Infeksi Salmonella juga dapat menyebabkan diare cair

ataupun berdarah, nausea, dan muntah. Shigellosis juga dapat menyebabkan diare

cair, nyeri perut, demam, dan dapat diikuti dengan rectal tenesmus (rasa tidak puas

saat BAB), juga dapat diikuti adanya darah dan lendir yang berasal dari rektum.

Ketiga infeksi di atas biasanya merupakan self-limited disease, tetapi sekitar 1%

pasien yang terinfeksi Salmonella menjadi carier yang asimtomatik.4

Infeksi Yersinia enterocolitica terjadi biasanya pada ileum terminal dan dapat

menyebabkan ulserasi mukosa, invasi neutrofil, hingga penebalan dinding ileum.

Infeksi bakteri lainnya yang dapat menyerupai IBD adalah: (1) infeksi C. difficile,

yang dapat menyebabkan diare cair, tenesmus, nausea, hingga muntah; (2) infeksi E.

coli, dengan strain-strain yang dapat menyerupainya adalah enterohemoragik,

enteroinvasif, dan enteroadherent E.coli, di mana ketiganya dapat menyebabkan diare

10

Page 11: PBL B16 - IBD 2

yang berdarah, serta nyeri abdomen. Diagnosis untuk kolitis yang disebabkan oleh

bakteri ini adalah kultur feses dan analisa toksin C. difficile.4

Divertikulitis

Diverkulitis dalam membedakannya dengan KU cukup sulit, baik secara klinis

ataupun radiografi. Keduanya dapat menyebabkan demam, nyeri abdomen,

leukositosis, meningkatnya ESR, obstruksi parsial, dan fistula. Satu-satunya cara

membedakan adalah dengan dilakukannya endoskopi, karena pada diverkulitis tidak

terjadi perubahan mukosa yang drastis seperti pada KU, serta pada diverticulitis dapat

terlihat adanya lubang kantong-kantong yang terlihat dari lumen usus. Namun harus

tetap diingat bahwa endoskopi dilakukan ketika pasien sedang tidak dalam masa

diare, karena ditakutkan jika divertikulitis sedang dalam fase akut, maka ketika

dilakukan endoskopi dapat terjadi perforasi.4,6

Epidemiologi

Fakta menunjukkan bahwa rasio terjadinya KU antara pria dan wanita sama begitu

pula dengan kerabatnya, yaitu PC. KU biasanya lebih sering terjadi pada umur

remaja/dewasa muda (15-30 tahun), namun juga dapat terjadi pada umur yang cukup

tua yaitu sekitar 60-80 tahun. Orang berkulit putih memiliki prevalensi KU lebih

tinggi dibandingkan dengan bukan orang berkulit putih. Kelompok bersosioekonomi

tinggi lebih banyak terjadi kasus KU dibandingkan dengan kelompok

bersisioekonomi rendah.4

Efek dari merokok rupanya dapat meningkatkan resiko terjadinya KU sebesar 40%

dibandingkan mereka yang tidak merokok. Bahkan mantan perokok sekalipun masih

memiliki resiko 1.7 kali lebih besar terkena KU dibandingkan dengan mereka yang

sama sekali tidak pernah merokok. Bukti lain menunjukkan bahwa appendectomy

memberikan proteksi terhadap KU, namun meningkatkan resiko terjadinya PC, yaitu

segera setelah appendectomy, namun resiko akan terus menurun. Hal ini dapat

menjadi faktor pendukung diagnosis yang penting bagi mereka yang baru saja terkena

PC setelah appendectomy.4

Pada 5-10% pasien yang terkena IBD, merupakan kasus yang bersifat familial. Pasien

ini biasanya menunjukkan gejala yang lebih awal, yaitu pada umur yang masih cukup

muda. Jika kedua orang tua menderita IBD, maka masing-masing anaknya akan

11

Page 12: PBL B16 - IBD 2

memiliki resiko IBD sebesar 36%. IBD juga dapat terjadi/berhubungan dengan

adanya gangguan pada genetik, seperti pada Turner’s syndrome dan Hermansky-

Pudlak syndrome.4

Etiologi dan Patogenesis

Sampai saat ini belum ada penjelasan pasti apa yang menyebabkan terjadinya IBD.

Namun diduga IBD merupakan penyakit multifaktor yang bisa disebabkan oleh faktor

genetik, mikrobiota usus, lingkungan, sistem imun dan faktor pejamu.

Faktor genetik

penelitian menunjukan bahwa penderita IBD memiliki riwayat keluarga dengan IBD.

Peluang untuk terkena KU sekitar 6%-17%. Kelainan kromosom 16 , 5 dan

perinuclear antinetrophi antibody (pANCA) sering ditemukan pada penderita IBD.1,3

Faktor lingkungan

beberapa agen infektius diduga sebagai penyebab IBD, namun isolasi agen infeksius

dari mukosa tidak dapat membuktikan hubungan etiologi begitu juga dengan

pemberian antibiotik yang tidak efektif pada IBD. Selain agen infektius, faktor

makanan seperti pajanan susu sapi atau makanan diduga ikut berperan mencetuskan

terjadinya IBD. 1,3

Faktor Imunologi

setelah pajanan primer oleh antigen, sistem kekebalan akan mengalami kelainan

regulasi yang menetap dan mengakibatkan proses inflamasi. Kerusakan ini dipicu

oleh aktivasi antibodi dan komplemen yang sering ditemukan pada KU. Pemberian

kortikosteroid dan obat imunosupresif mendukung kemungkinan mekanisme kelainan

kekebalan. 1,3

Integritas Epitel

kelainan pada barier epitel mukosa dapat meningkatkan pajanan antigen terhadap

kekebalan usus. 1,3

Manifestasi Klinis

Gejala utama pada KU adalah diare, pendarahan rectal, tenesmus, adanya lendir, dan

nyeri abdomen. Tingkat keparahan gejala menunjukkan tingkat keparahan penyakit.

12

Page 13: PBL B16 - IBD 2

Kadang-kadang diare berdarah terjadi berselang-seling dan ringan, sehingga pasien

seringkali tidak mencari bantuan medis.4

Diare berdarah meruapakan maifestasi utama dari KU. Pasien dengan proktitis

biasanya akan mengeluarkan darah segar atau darah dengan lendir, yang dapat

bercampur dengan feses maupun hanya pada permukaan feses saja. Jika penyakit

mulai menyebar ke arah yang lebih dalam, maka darah akan bercampur dengan feses.

Motilitas kolon terganggu karena adanya inflamasi, sehingga waktu transit di usus

menjadi lebih cepat. Jika penyakitnya sangat berat, feses yang keluar berupa cair dan

mengandung darah, pus, serta lendir. Diare biasanya terjadi pada malam hari ataupun

postprandial. Gejala nyeri abdomen menjadi kekhasan pada KU, di mana nyeri terasa

pada regio LLQ pada abdomen. Gejala lain yang dapat muncul adalah demam,

anoreksia, nausea, vomiting, dan penurunan berat badan.4

Tabel 1. Gambaran klinis IBD1

Gambaran Klinis Kolitis Ulseratif Penyakit Crohn

Diare kronik ++ ++

Hematokesia ++ +

Nyeri perut + ++

Massa abdomen - ++

Fistulasi -/+ ++

Stenosis/striktur + ++

Usus halus -/+ ++

Rektum 95% 50%

Ekstraintestinal + +

Megakolon toksik + -/+

Tabel 2. Kriteria Trulove untuk KU1

Variabel Ringan Berat Fulminan

Diare/hari <4 >6 >10

Feses berdarah Intermiten Sering Selalu

Suhu (oC) Normal >37,5 >37,5

Nadi/menit Normal >90 >90

Hemoglobin Normal <75% normal Perlu transfuse

13

Page 14: PBL B16 - IBD 2

LED 30 (mm/jam) >30 (mm/jam) >30 (mm/jam)

Radiografi kolon Udara, edematous,

thumbprinting

Dilatasi

Tanda klinik Abdominal

tenderness

Abdominal

distention and

tenderness

Komplikasi

Hanya sekitar 15% pasien dengan KU menunjukkan adanya nyeri yang sangat hebat

pada abdomen. Pendarahan yang hebat terjadi pada kasus yang berat sebagai serangan

hebat pada sekitar 1% pasien, dan biasanya treatment ditujukan untuk menghentikan

pendarahan. Namun, jika pasien membutuhkan 6-8 unit darah dalam 1-2 hari, maka

kolektomi harus dilakukan.4

Toxic megacolon adalah pembesaran pada colon transversa atau colon descendens

dengan diameter >6 cm, dengan kehilangan haustrasi, dan terjadi pada KU yang berat.

Keadaan ini terjadi pada 5% kasus dan dapat dipicu oleh adanya abnormalitas

elektrolit dan narkotika. Sekitar 50% dari kasus pembesaran/dilatasi akut ini dapat

diselesaikan dengan terapi medikamentosa saja, tetapi pada pasien yang tidak

memberikan respon apa-apa harus dilakukan kolektomi.4

Perforasi merupakan komplikasi lokal yang paling berbahaya, karena pemeriksaan

fisik peritonitis tidak terlalu jelas, terutama karena pasien juga menerima terapi

berupa glukokortikoid. Meskipun perforasi biasanya jarang terjadi, tingkat

mortalitasnya mencapai 15%.4

Striktura juga dapat terjadi pada 5-10% pasien dan menjadi perhatian utama karena

dapat menuju kepada neoplasma. Meskipun striktura yang ringan/jinak dapat berasal

dari inflamasi dan fibrosis yang terjadi pada KU, stiktura yang tidak dapat dilewati

dengan kolonoskopi harus dianggap/diasumsikan sebagai neoplasma ganas sebelum

tindakan pembuktian dilakukan. Striktura yang tidak dapat dilewati dengan

kolonoskopi merupakan indikasi dilakukannya tindakan pembedahan.4

14

Page 15: PBL B16 - IBD 2

Penatalaksanaan

Terapi IBD bertujuan untuk meringankan respons radang secara keseluruhan. Namun,

tidak ada senyawa yang dapat mencapai tujuan tersebut, dan respons setiap pasien

terhadap pemberian obat sangat terbatas dan tidak dapat diperkirakan. Tujuan spesifik

farmakoterapi IBD meliputi pengendalian keparahan akut penyakit tersebut,

pemeliharaan keadaan tanpa gejala, dan penanganan komplikasi spesifik seperti

fistula. Obat-obat tertentu cocok untuk satu atau dua tujuan ini. Sebagai contoh,

glukokortikoid menjadi untuk terapi pilihan untuk flare sedang hingga parah, namun

tidak sebagai terapi jangka panjang karena efek samping, dan ketidakmampuannya

mempertahankan keadaan penyakit tanpa gejala.8

Selama beberapa tahun, glukokortikoid dan sulfasalazine menjadi pilihan utama untuk

IBD. Saat ini, obat-obatan yang digunakan untuk keadaan inflamasi/imun, seperti

azatioprin dan siklosporin, digunakan untuk IBD. Senyawa-senyawa biologis telah

dikembangkan dan dapat menarget langkah tunggal dalam reaksi bertahap sistem

imun.8

Terapi Berbasis Mesalamin/Aminosalisilat

Terapi lini pertama untuk KU ringan-sedang biasanya melibatkan mesalamin (asam 5-

aminosalisilat, atau 5-ASA). Obat yang mengandung 5-ASA rupanya berhasil

digunakan untuk terapi IBD. 5-ASA berbeda dengan asam salisilat hanya dengan

penambahan grup asam amino pada posisi ke 5 (meta). Aminosalisilat diharapkan

dapat bekerja secara topical (tidak sistemik) pada mukosa gastrointestinal. 8,9

Sulfasalazine merupakan salah satu contoh obat oral pertama yang dihantarkan secara

efektif di bagian distal saluran GI. Ikatan azo (N=N) pada sulfasalazine mencegah

absorbsi pada lambung dan usus halus, serta setiap komponen tersebut tidak

dibebaskan untuk absorbsi hingga bakteri di kolon memutuskan ikatan tersebut.8,9

Dosis sulfasalazine adalah 4 g/hari yang dibagi menjadi 4 dosis bersama dengan

makanan. Untuk menghindari efek yang merugikan, dosis ditingkatkan secara

bertahap dimulai dari dosis awal 500 mg dua kali sehari Untuk pasien dengan KU

yang parah, sulfasalazine akan kurang efektif walaupun ditambahkan dengan

glukokortikoid sistemik. Efek samping sulfasalazine terjadi pada 10-45% pasien dan

terutama berkaitan erat dengan gugus sulfa. Beberapa efek samping berkaitan dengan

dosis, termasuk sakit kepala, mual, dan letih. Reaksi-reaksi ini dapat diminimalkan

15

Page 16: PBL B16 - IBD 2

dengan pemberian obat bersama dengan makanan atau dengan mengurangi dosis.

Reaksi alergi dapat saja terjadi berupa Steven-Johnson, dan sebagainya. Sulfasalazine

menurunkan jumlah dan motilitas sperma secara reversibel, namun tidak

mempengaruhi fertilitas wanita. Sulfasalazine juga menghambat absorpsi folat di

usus, sehingga biasanya pemberian sulfasalazine ditambahkan dengan asam folat.8

Glukokortikoid

Walaupun glukokortikoid terkenal sangat efektif untuk mengatasi eksaserbasi akut,

banyak tantangan dan kekeliruan yang terjadi dalam penggunaannya untuk terapi

IBD, dan biasanya digunakan untuk tingkat sedang hingga parah.8

Pada gastrointestinal, glukokortikoid yang biasa digunakan adalah prednisone dan

prednisolone. Predinison diberikan 40-60 mg per hari, dosis yang lebih tinggi

umumnya tidak efektif. Pada kasus yang lebih parah dapat diberikan hidrokortison

atau metilprednisolon secara intravena.8,9

Sediaan baru yang berupa controlled-release telah tersedia untuk dapat melepas obat

pada distal ileum dan kolon, di mana ia akan diserap, dan bioavaibilitasnya mencapai

10%. Budesonide dengan dosis 9 mg/hari selama 10-12 minggu cukup memberikan

hasil yang efektif.8,9

Senyawa Imunosupresan

Ada 3 jenis senyawa imunosupresan yang dapat digunakan untuk terapi IBD, yaitu

tiopurin, metotreksat, dan siklosporin.8

Derivat tiopurin bersifat sitotoksik, yaitu merkaptopurin dan azathioprin, digunakan

untuk mengobati IBD yang parah atau pasien yang resisten terhadap steroid, atau

bergantung pada steroid. Kedua obat ini dapat saling menggantikan satu sama lain

dengan penyesuaian dosis yang tepat. Dosis azatiophrin adalah 2-2,5 mg/kg dan

merkaptopurin 1,5 mg/kg.8

Metotreksat (MTX) biasanya digunakan pada pasien IBD yang resisten terhadap

steroid, atau bergantung pada steroid. MTX lebih cocok diberikan parenteral sebesar

15-25 mg/minggu. Namun efikasinya pada KU belum diteliti lebih jauh karena lebih

banyak digunakan pada PC.8

Siklosporin efektif untuk KU parah yang gagal terapi glukokortikoid memadai.

Antara 50%-80% pasien yang parah ini mengalami perbaikan yang cukup signifikan

16

Page 17: PBL B16 - IBD 2

umumnya dalam 7 hari, dengan dosis intravena 2-4 mg/kg/hari, bahkan dapat

menghindari dilakukannya kolektomi darurat.8

Terapi Anti-TNF

Infliximab merupakan immunoglobulin chimera (25% mencit, 75% manusia) yang

berikatan pada dan menetralisir TNF-alfa, salah satu sitokin utama yang memerantarai

karakteristik respon imun TH-1. Infliximab dapat diberikan secara intravena dengan

dosis sebesar 5 mg/kg.8

Terapi Antibiotik

Antibiotik dapat digunakan untuk: (1) terapi tambahan bersama obat-obatan lain

untuk IBD aktif; (2) terapi untuk komplikasi spesifik PC; (3) profilaksis untuk

kekambuhan pada PC pascaoperasi. Hal ini menunjukkan bahwa terapi antibiotik

lebih ditujukan kepada PC daripada KU.8

Prognosis

Prognosis selalu bergantung kepada tingkat keparahan penyakit. Diagnosis yang tepat

dan cepat dan tentu terdiagnosa pada tingkat penyakit ringan, dapat memberikan

prognosis yang baik. Prognosis sewaktu-waktu dapat berubah tergantung dengan

respons pasien terhadap pengobatan, dan sebagainya.

C. Kesimpulan

Kolitis ulseratif adalah salah satu jenis dari inflammatory bowel disease selain

penyakit Crohn. Penanda utama diagnosis pada KU adalah perjalan penyakit yang

kronis dengan eksaserbasi akut, diare berdarah dan berlendir, terdapat tanda-tanda

anemia, pada pemeriksaan feses lengkap tidak ditemukan adanya bakteri, serta

terdapat nyeri tekan pada LLQ. Hal ini sesuai dengan skenario yang ada di mana laki-

laki berusia 36 tahun tersebut mengalami nyeri perut yang sudah hilang timbul selama

satu tahun, dan mengalami diare dengan darah dan lendir. Terdapat nyeri tekan LLQ

dan pada pemeriksaan feses lengkap tidak ditemukan adanya bakteri. Tanda lain yang

17

Page 18: PBL B16 - IBD 2

ditemukan adalah adanya anemia (Hb 10 g/dL), sehingga pasien ini didiagnosis

menderita kolitis ulseratif.

D. Daftar Pustaka

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu

penyakit dalam. Jilid I. Edisi ke-5. Jakarta: InternaPublishing; 2009. h. 591-7.

2. Bickley LS. Bates: buku ajar pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan. Edisi ke-8.

Jakarta: EGC; 2009. h. 326-32; 339-44.

3. Yamada T. Textbook of gastroenterology. 5th ed. Volume 1. USA: Blackwell

Publishing; 2009. p. 1387; 1393-400.

4. Longo, Fauci, Kasper, Hauser, Jameson, Loscalzo. Harrison’s principles of

internal medicine. Volume 2. 18th ed. USA: The McGrawHill Companies; 2012.

p. 2477-87.

5. McPhee SJ, Papadakis MA. Current medical diagnosis & treatment. USA: The

McGrawHill Companies; 2010. p. 582-3.

6. McCance KL, Huether SE, Brashers VL, Rote NS. Pathophysiology: the biologic

basis for disease in adults and children. 6th ed. Missouri: Mosby Elsevier; 2010. p.

1471.

7. Kumar, Abbas, Aster. Robbins basic pathology. 9th ed. Philadelphia: Elsevier

Saunders; 2013. p. 784-5.

8. Brunton L, Parker K, Blumenthal D, Buxton I. Goodman & gillman: manual

farmakologi dan terapi. Jakarta: EGC; 2011. h. 616-23.

9. Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ. Basic & clinical pharmacology. 12 th ed.

USA: The McGrawHill Companies; 2012. p. 1101-3.

18