p2 - a - sirosis hati

Upload: rahmawatifitria

Post on 31-Oct-2015

65 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI 1

PRAKTIKUM IISIROSIS HATI

Disusun oleh :

1. Rupa Lesty

G1F009059

2. Muhammad Furqon

G1F009067

3. Putri Kusuma WardaniG1F010001

4. Rara Amalia Fadiah

G1F010003

5. Rahminawati Ritonga

G1F010005

6. Winanti Handayani

G1F010007

7. Sani Zakkia Alawiyah

G1F010009

8. Ifa Muttiatur R.

G1F010011

9. Rahmawati Fitria I.

G1F010013

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

JURUSAN FARMASI

PURWOKERTO

2012I. SubjekData Base Pasien:

Nama

: Ny. Sfn

Umur

: 53 Tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

MRS

: 29/4/2005

KRS

: 16/5/2005

Riwayat Penyakit: Perut membesar 1 bulan yang lalu, nafas terasa berat, 10 bulan lalu masuk rumah sakit, diagnosis sirosis hepatika.

Diagnosa

: CH, SBP, Hipoalbumin, Hipokalemia.

II. Objek

Data Klinik :

Tekanan Darah pasien mengalami tekanan darah tinggi pada hari pertama 170/90 menunjukkan pasien menderita hipertensi porta, yang merupakan fulminan dari sirosis hepatik. Data Laboratorium:

Kenaikan kadar SGOT dan SPGT. Kenaikan kadar ini timbul dalam serum akibat kebocoran dari sel yang rusak sehingga menjelaskan adanya kelainan atau kekacauan fungsi hati yang actual. Nilai Hb menurun, hal ini menyebabkan pasien anemia sebagai indikasi adanya kelainan fungsi hepar. Nilai protein albumin yang rendah karena kemampuan sel hati yang berkurang untuk memproduksi albumin ini dan juga nilai globulin yang naik merupakan cerminan daya tahan sel hati yang kurang dan menghadapi stress. Kadar gula darah yang melebihi nilai normal, hal ini disebabkan hati tidak mampu memetabolisme asupan glukosa menjadi glikogen. III. AsessmentSirosis hepatis adalah penyakit yang ditandai oleh adanya peradangan difus dan kronik pada hati, diikuti proliferasi jaringan ikat, degenerasi dan regenerasi, sehingga timbul kerusakan dalam susunan parenkim hati. Patofisiologi sirosis adalah adanya factor etiologi menyebabkan peradangan dan kerusakan nekrosis meliputi daerah yang luas (hapatoseluler), terjadi kolaps lobulus hati dan ini memacu timbulnya jaringan parut disertai terbentuknya septa fibrosa difus dan modul sel hati. Jaringan parut ini menghubungkan daerah portal yang satu dengan yang lain atau portal dengan sentral (bridging nekrosis). Beberapa sel tumbuh kembali dan membentuk nodul dengan berbagai ukuran, dan ini menyebabkan distorsi percabangan pembuluh hepatic dan gangguan aliran daerah portal dan menimbulkan hipertensi portal. Tahap berikutnya terjadi peradangan dan nekrosis pada sel duktules, sinusoid, retikuloendotel, terjadi fibrogenesis dan septa aktif jaringan kolagen berubah dari reversible menjadi irreversible bila telah terbentuk septa permanen yang aseluler pada daerah portal dan parenkhim hati sel limfosit T dan makrofag menghasilkan limfokin dan monokin sebagai mediator fibrinogen, septa aktif ini berasal dari portal menyebar ke parenkim hati.Ada dua kemungkinan pathogenesis dari sirosis hati pada pasien ini, yaitu :1. Teori mekanisme

Yaitu proses kelanjutan hepatitis virus menjadi sirosis hati dimana nekrosis conjuent, reticulum nodul menjadi collaps merupakan kerangka terjadinya daerah parut yang luas. Bagian parenkim hati bertahan hidup dan berkembang menjadi nodul regenerasi.

2. Teori ImunologisWalaupun hepatitis akut dengan nekrosis confluent dapat berkembang menjadi sirosis hati tapi proses tersebut terus melalui timgkat hepatitis kronik. Hepatitis kronik berhubungan dengan hepatitis non B.

Pasien penderita sirosis hepar menyebabkan pasien menderita hipoalbumina, karena hepar tidak dapat mensintesis albumin karena penurunan sintesis akibat nekrosis sel parenkim hepar(Akbar, 2003). Salah satu fungsi hati memproduksi albumin yaitu komponen osmolar utama pada plasma darah. Pada keadaan normal hanya 20-30% hepatosit yang memproduksi albumin. Hati menghasilkan sekitar 12 gram albumin setiap harinya yaitu 25% dari total sintesis protein hati dan separuh jumlah protein yang disekresikan (Murray et al,2009).

Komplikasi sirosis hepar berhubungan antara darah dan sel-sel hati hancur. Luka parut dalam hati yang bersirosis menghalangi aliran darah melalui hati dan ke sel-sel hati. Adanya rintangan pada aliran darah melalui hati, darah tersendat pada venaportal, dan tekanan dalam vena portal meningkat sehingga pasien juga terkena hipertensi portal.. Karena rintangan pada aliran dan tekanan-tekanan tinggi dalam vena portal, darah dalam vena portal mencari vena-vena lain untuk mengalir kembali ke jantung. Hipertensiportal merupakan gabungan antara penurunan aliran darah porta dan peningkatan resistensi venaportal. Hipertensi portal ini menyebabkan tingginya tekanan darah pasien menjadi 170/90 pada hari pertama. Peningkatan tekanan vena porta biasanya disebabkan oleh adanya hambatan aliran vena porta ataupeningkatan aliran darah kedalam vena splanikus. Obstruksi aliran darah dalam sistem portal dapat terjadi oleh karenaobstruksi vena porta atau cabang-cabang selanjutnya (Sherlock, 1997). Hipertensi porta jugaakan meningkatkan tekanan transudasi terutama di daerah sinusoid dan kapilerusus. Transudat akan terkumpul di rongga peritoneum dan selanjutnya menyebabkan asites. Akibat tingginya resistensi terhadap aliran darah yang melintasi hati, aliran darah dialirkan kepembuluh-pembuluh mesentrika (abdomen peritoneum). Peningkatan aliran menyebabkan peningkatan tekanan kapiler di pembuluh rongga abdomen sehingga filtrasi bersih cairan keluar dari pembuluh dan masuk kerongga peritoneum. Selain itu tekanan yang tinggi dihati itu sendiri menyebabkan cairan mengalir keluar hati untuk masuk kerongga peritoneum. Sebagai respons terhadap perubahan ini, tubuh akan meningkatkan aktivitas system saraf pusat simpatik dan sumber system renin-angiotensin-aldosteron serta arginin vasopressin. Semuanyaituakanmeningkatkan reabsorbsi / penarikan garam (Na) dari ginjal dan diikuti dengan reabsorpsi air (H20) sehingga menyebabkan semakin banyak cairan yang terkumpul sehingga pasien mengeluh perut membesar. Untuk mengeluarkan cairan dari dalam rongga peritoneum pasien diberikan obat diuretic yaitu furosemid dan spironolakton. Namun pemberian furosemid pada pasien ini disertai pemberian infuse albumin, menurut penelitian pemberian infuse albumin dengan obat diuretic dapat menguatkan respon obat diuretic terhadap asites. menyebabkan timbulnya hipokalemia. Hipokalemia bisa terjadi karena disebabkan oleh faktor-faktor yang merangsang berpindahnya kalium dari intravaskular ke intraseluler, antara lain beban glukosa, insulin, obat adrenergic, bikarbonat dan sebagainya. Salah satu komplikasi yang cukup sering dialami pasien dengan sirosis hati adalah infeksi akibat migrasi spontan bakteri dari lumen usus ke dalam cairan asites yang dikenal sebagai peritonitis bakterialis spontan (PBS). Hampir sepertiga kasus PBS berlanjut dengan penurunan fungsi ginjal yang merupakan predictor paling kuat terhadap mortalitas. Tidak jarang perbaikan infeksi terjadi tanpa disertai perbaikan fungsi ginjal. Gangguan fungsi ginjal terkait dengan aktifasi sistem renin-angiotensin akibat menurunnya volume darah arteri efektif. Penurunan volume darah efektif sendiri kemungkinan disebabkan vasodilatasi perifer yang dicetuskan oleh sitokin-sitokin di plasma dan cairan asites. Tujuan pemberian albumin adalah sebagai pengembang volume plasma sehingga mencegah perburukan fungsi ginjal (Follo,1994). Penelitian paling terkenal mengenai penggunaan albumin pada PBS adalah studi oleh Paul Sort dan kawan-kawan pada 126 pasien yang dibagi dalam dua kelompok untuk membandingkan terapi cefotaxime dengan cefotaxime plus albumin. Berdasarkan hasil yang diperoleh ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan antibiotik plus albumin pada pasien peritonitis bakterialis spontan dapat menurunkan insidensi gangguan fungsi ginjal dan bahkan angka kematian (Guarner,1995)(Sort,1999).Data laboratorium yang berhubungan dengan diagnose pasien yang pertama adalah nilai SGOT dan SPGT. Kenaikan kadar enzim transaminase bukan merupakan petunjuk berat ringannya kerusakan parenkim hati, kenaikan kadar ini timbul dalam serum akibat kebocoran dari sel yang rusak sehingga menjelaskan adanya kelainan atau kekacauan fungsi hati yang actual (Barkaukass, 1994). Data lab yang kedua didapati nilai Hb menurun, hal ini menyebabkan pasien anemia sebagai indikasi adanya kelainan fungsi hepar. Data lab yang ketiga adalah nilai protein albumin yang rendah karena kemampuan sel hati yang berkurang untuk memproduksi albumin ini dan juga nilai globulin yang naik merupakan cerminan daya tahan sel hati yang kurang dan menghadapi stress. Data lab yang selanjutnya adalah kadar gula darah yang melebihi nilai normal, hal ini disebabkan hati tidak mampu memetabolisme asupan glukosa menjadi glikogen.

IV. PLAN

Tujuan terapi yang dilakukan adalah untuk menghilangkan keluhan yaitu berupa demam, batuk dan sesak napas. Menurunkan tekanan darah karena hipertensi pada vena porta hepatica yang diakibatkan oleh sirosis hati. Mengurangi asites (pembesaran perut pasien), mengobati SBP (Spontaneous Bacterial Peritoneum). Mencegah perburukan kondisi hipoalbumin dan hipokalemia pasien. Selain itu, dilakukan pula terapi non farmakologis untuk mencegah memburuknya kondisi pasien dan mencegah komplikasi. Berikut adalah komposisi terapi yang diresepkan oleh dokter:1. Mengurangi dan mengobati asites dan SBP

Diuretik

AASLD practice guidelines merekomendasikan terapi diuretik untuk mengurangi asites (perut membesar akibat penumpukan cairan intersel di perut) dimulai dengan penggunaan kombinasi antara furosemide dan spironolactone, karena bila spironolactone digunakan sendiri terdapat delay waktu onset selama 14 hari (Dipiro, 2005).

Furosemide

Dosis

: injeksi 1x40 mg i.v

Indikasi: manajemen edem yang terasosiasi dengan kegagalan hati kongestif dan penyakit hati dan ginjal. Sendiri atau kombinasi dengan antihipertensif pada treatment untuk hipertensi.

Mekanisme: Bekerja pada ginjal dengan memblok simport Na/K/Cl pada loop henle. Aksinya menghambat reabsorpsi Na dan Cl, sehingga menyebabkan efek diuretic. Selain itu, karena reabsorpsi K juga dihambat, sehingga banyak ion K yang terbawa melalui urin, sehingga diuretic ini dikenal menyebabkan efek samping hipokalemia yang cukup signifikan (Ikawati Z, 2006).

Interaksi: menaikkan efek ACE inhibitor (Lacy CF et al., 2006)

Spironolactone

Dosis

: 1x100 mg pada waktu makan

Indikasi : Hipokalemia dan sirosis hati yang diikuti dengan edema atau asites.

Mekanisme : Antagonis aldosteron dimana aldosterom menginduksi reabsorpsi ion Na dan sekresi ion K pada tubulus distal ginjal. Termasuk obat golongan diuretik hemat kalium.

Interaksi : Penggunaan bersamaan spironolakton dengan diuretik hemat kalium lainnya, suplemen kalium, antagonis reseptor angiotensin, kotrimoksazol (dosis besar) dan inhibitor ACE dapat meningkatkan risiko hiperkalemia, terutama pada pasien gangguan ginjal (Anonim,2007).Penggunaan obat diuretic ini dapat menyebabkan hipoelektrolit di dalam tubuh seperti kalium, natrium, dan klorida sehingga diperlukan suplai elektrolit tersebut dari luar tubuh. Untuk menanggulangi hipokalemia digunakan KSR yang mengandung KCl untuk menyuplai kebutuhan tubuh akan kalium.

KSR

Dosis

: 1x1 hariMekanisme: sebagai suplemen kalium, dapat dibenarkan, mengingat furosemid merupakan diuretik yang boros kalium, sehingga dapat memicu terjadinya hipokalemia (Dipiro, 2006)Interaksi: Diuretik hemat kalium, siklosporin, ACE inhibitor meningkatkan resiko hiperkalemia.

Indikasi

: Pencegahan & pengobatan hipokalemia (Anonim, 2007).Penggunaan diuretic juga dapat menurunkan kadar ion Na dan Cl dalam tubuh karena diuretic ini menghambat reabsopsi ion-ion tersebut, maka dibutuhkan suplai ion tersebut melalui infuse IVFD NS 0,9% kandungan Fruktosa dan dekstrosa disini untuk membantu tubuh menyuplai sumber energy dalam bentuk gula sederhana. Diketahui bahwa fungsi hati adalah untuk metabolisme karbohidrat, sehingga sirosis hati dapat menurunkan fungsi hati untuk memproduksi gula sederhana dari karbohidrat.

IVFD NS 0,9%

Komposisi: Dextrose 5%+NaCl 0,9%Mekanisme: menggantikan elektrolit yang hilang dalam tubuh akibat asites

Indikasi: sumber karbohidrat sederhana dan elektrolit Na dan Cl

Interaksi: tidak ada interaksi dengn obat lain dalam resep ini

Dosis

: 20 tetesKegagalan hati dalam memetabolisme karbohidrat, lemak, dan protein dapat juga dibantu oleh suatu imunomodulator berupa vitamin B6 yang akan membantu fungsi hati dalam metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak.

Vitamin B6Dosis

: 3x1 PO

Indikasi: membantu dalam metabolisme protein, karbohidrat dan lemak dalam hati

Mekanisme: precursor untuk pyrodoxin, yang berfungsi dalam metabolisme protein, karbohidrat dan lemak; pyrodoxin juga membantu dalam pelepasan liver dan penyimpanan otot glikogen dan dalam sintesis GABA (dalam SSP) dan heme (Lacy CF et al., 2006).

Hepasil (hepatoprotektor)

Dosis

: 3x1 kapsul setelah makan, dianjurkan untuk meminum obat ini 1-2 jam setelah makan.

Indikasi: Membantu mengobati gejaja penyakit kuning dan menjaga kesehatan fungsi hatiMekanisme: Hepasil merupakan hepatoprotektor yang berguna untuk mengatasi kerusakan sel hati. Komponen yang terkandung didalamnya memberikan perlindungan terhadap virus, kuman atau toksin.

Silymarin mempercepat pembentukan protein yang merupakan komponen utama sel hati sehingga hepasil berperan aktif dalam proses regenerasi sel-sel hati. Kombinasi silymarin, Oleum Xanthorhizae, dan curcumin merupakan antiinflamasi yang mempercepat penurunan kadar SGOT/SGPT. Curcuma mempunyai sifat meningkatkan koleretik dan kolekinetik getah empedu sehingga membantu metabolisme lemak dan mengurangi rasa kembung.

Hepasil juga dapat dipakai untuk mengatasi gangguan gastrointestinal karena curcuma sejak dulu dipercaya dapat dipakai untuk meningkatkan nafsu makan.

Untuk mengobati SBP digunakan antibiotik cefotaxim. Walaupun penggunaan transfuse albumin tidak akan menakikan kadar albumin secara nyata untuk menanggulangi hipoalbumin namun tetap diperlukan untuk menstabilkan kadar albumin dalam tubuh agar tidak terus menurun karena kegagalan fungsi hati dalam memproduksi albumin. Hipoalbumin dapat menyebabkan cairan tubuh keluar dari sel ke intersel sehingga memperburuk kondisi asites pasien. Selain itu diketahui berdasarkan penelitian paling terkenal mengenai penggunaan albumin pada SBP adalah studi oleh Paul Sort dan kawan-kawan pada 126 pasien yang dibagi dalam dua kelompok untuk membandingkan terapi cefotaxime dengan cefotaxime plus albumin. Gangguan fungsi ginjal terjadi pada 33% pasien yang mendapat cefotaxime saja dan hanya 8% pada kelompok yang mendapat cefotaxime plus albumin. Selain itu angka kematian untuk kelompok yang hanya mendapat cefotaxime mencapai 29%, sedangkan kelompok yang mendapat cefotaxime dan albumin jauh lebih rendah, yaitu sebesar 10%. Berdasarkan hasil-hasil ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan antibiotik plus albumin pada pasien peritonitis bakterialis spontan dapat menurunkan insidensi gangguan fungsi ginjal dan bahkan angka kematian. Tulisan lain merekomendasikan untuk memberi infus albumin sebagai pendamping antibiotika segera setelah diagnosis SBP ditegakkan (Sort P et al., 1999)

Tabel 1. Antibiotika vs kombinasi antibiotika dan albumin pada SBP

Sehingga digunakan cefotaxime dan transfusi albumin 25% dalam 100 cc.

Cefotaxime

Dosis

: i.v 1-2 g tiap 8-12 jam maks 12 g sehari

Indikasi: pengobatan infeksi pada saluran pernapasan, kulit dan struktur kulit, tulang dan sendi, saluran kencing dan telah terbukti dapat mengobati meningitis. Cefotaxim secara aktif melawan kebanyakan bakteri gram negative bacilli tapi tidak termasuk pseudomonas dan aktif melawan bakteri gram positif.

Mekanisme: menginhibisi sintesis dinding sel bakteri dengan cara berikatan dengan satu atau lebih protein terikat penicillin yang memiliki peran dalam menginhibisi langkah-langkah akhir transpeptidasi dari sintesis peptidoglikan dalam dinding sel bakteri sehingga dapat menginhibisi pembentukan dinding sel.

Interaksi: tidak ada interaksi dengan obat lain dalam resep ini. Transfusi albumin

Dosis

: 25% dalam 100 cc

Indikasi : Pengantian sementara albumin pada penyakit berhubungan dengan proteinplasma yang rendah seperti syndrome nefrotik, penyakit hati tahap akhir yangdapat mengurangi atau menurunkan edema yang trerjadi

Mekanisme: Mempertahankan tekanan onkotik plasma agar tidak terjadi asites, membantu metabolisme dan tranportasi berbagai obat-obatan dan senyawaendogen dalam tubuh terutama substansi lipofilik (fungsi metabolit, pengikatanzat dan transport carrier) (Hasan I et al., 2008)

2. Menurunkan tekanan darah pasien

Pasien yang menggunakan diuretic furesemide tidak diperkenankan menggunakan obat antihipertensi golongan ACE inhibitor karena terdapat interaksi obat. Sehingga pada kasus ini digunakan obat antihipertensi beta bloker berupa propanolol.

Propanolol

Dosis

: 3x10 mg PO

Indikasi: menejemen hipertensi, anginapektoris, pheochromositoma, esensial tremor, supraventricular aritmias (seperti atrial fibrilasi dan flutter, avenodal re-entrant tachyicardias), ventricular takikardi, mencegah infark miokardial, profilaksis sakit kepala dan migren, treatment simptomatik dari hipertropik subaortic stenosis (hipertropik obstructive kardiomiopati).

Mekanisme: obat beta bloker non selektif yang bersifat tidak selektif dan dapat mengikat reseptor 1 maupun 2. Reseptor 1 merupakan reseptor adrenergik utama di jantung yang menyebabkan efek peningkatan kontraksi otot jantung dan frekuensi denyut jantung (efek kronotropik dan ionotropik positif). Reseptor 2 merupakan reseptor yang dijumpai di sepanjang saluran pernapasan dan otot polos bronkus, dan liver. Senyawa antagonis reseptor disebut juga beta bloker memiliki mekanisme kerja sebagai antagonis kompetitif terhadap neurotransmitter pada reseptor tersebut sehingga mampu menghambat respon terhadap perangsangan saraf simpatik (Ikawati Z, 2006).

Interaksi: tidak ada interaksi dengan obat lain dalam resep ini.

3. Menghilangkan keluhan (Demam, Batuk, Sesak napas, dan mual)

Pada kasus kegagalan hati tidak diperkenankan menggunakan obat-obat yang dimetabolime besar-besaran dihati karena akan memberatkan kerja hati sehingga memperburuk keadaan hati. Obat antipiretik yang paling banyak digunakan adalah paracetamol namun paracetamol dimetabolisme maksimal di hati sehingga pada kasus ini untuk menghilangkan demam digunakan Sistenol.

Sistenol

Komposisi: Tiap kaplet mengandung Parasetamol 500 mg, asetilsisteina 200 mg.Dosis

: 3x1 per tablet

Indikasi: demam yang berhubungan dengan flu dan masuk angina, sakit kepala dan keadaan sangat nyeri dan gangguan pernapasan dengan sekresi yang berlebihan.

Interaksi obat:antikoagulan Koumarin, Indanedion.

Mekanisme obat : Sistenol mengandung parasetamol 500 mg, n-asetilsistein 200 mg.N-asetilsistein merupakan suatu anti oksidan, yaitu sumber glutation yang efektif mencegah proses oksidasi pada tubuh (Oksidasi ialah hancurnya jaringan tubuh karena radikal bebas. Sebagai antioksidan, di duga berfungsi sebagai protektor kanker dengan pasien yang belum menderita kanker. Antioksidan juga bersifat menghambat apoptosis (kematian sel terprogram) justru memicu terjadinya kanker pada pasien yang sedang menderita kanker karena kerusakan atau perubahan DNA.Pada kasus ini pasien mengalami batuk berdahak, maka digunakan suatu mukolitik ambroxol bukan bromheksin karena bromheksin akan dimetabolisme membentuk metabolitnya yaitu ambroxol sehingga penggunaan bromheksin dapat memperberat kerja hati dalam metabolisme obat tersebut.

AmbroxolDosis

: 3x1 30mg

Mekanisme: menghancurkan atau memecah asam mucopolysaccharide sehingga mengencerkan dan menipiskan lapisan mukus sehingga lebih mudah dikeluarkan melalui batuk.Interaksi: -Indikasi: Penyakit saluran napas akut dan kronis yang disertai sekresi bronkial yang abnormal, khususnya pada eksaserbasi dan bronkitis kronis, bronkitis asmatik, asma bronkial.Asites pada pasien akan menyebabkan ketidaknyamanan pasien pada bagian perut sampai dada. Pasien akan mengalami mual, sehingga pasien perlu diberikan antiemitik berupa domperidone yang tidak memiliki efek hepatotoksik seperti metoclor.

Domperidone

Dosis

: 3 1 tablet 10 mg

Indikasi : Mual-mual akut, pengobatan simpton dispepsi fungsional.

Komposisi : Tiap tablet mengandung 10 mg domperidone.Mekanisme : Domperidone merupakan antagonis dopamine yang mempunyai kerja antiemetick. Efek antiemetic disebabkan oleh kombinasi efek peripheral (gastro kinetic dengan antagonis terhadap resptor dopamine yang terletak diluar sawak otak dipostrema). Meningkatkan pengosongan lambung dalam bentuk cairan dan menambah tekanan pada sfingter esophagus (Lacy CF et al., 2006).

Secara singkat komposisi terapi yang kami sarankan adalah sebagai berikut:

Hari ke-123456789101112131415161718

IVFD NS 0,9%

Furosemide inj 1x40 mg iv

Spironolactone 1x100 mg PO

Propanolol

Trans albumun 25% dalam 100 cc

Vit B6 3x1 PO

Cefotaxime

Sistenol

Ambroxol 3x1

KSR 1x1 PO

Domperidone 3x 1 tab

Hepasil 3x1 kapsul

V. Monitoring1. Gangguan volume cairan; lebih dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan terganggunya mekanisme pengaturan (penurunan plasma protein)

Ditandai dengan; asites, ketidakseimbangan elektrolit, Pasien mengatakan perutnya membesar dan terasa begah, badan terasa lelah/lemas.

Monitoring :

Diberikan furosemide setiap hari dengan injeksi 1x40 mg, adanya interaksi furosemide dengan albumin menyebabkan hipoklemia untuk mengatasi interaksi diberikan KSR 1x1 hari.

Monitor intake dan output cairan. Ukur kehilangan gastrointestinal dan

perkirakan kehilangan tak kasat mata, contoh; keringat dll.

Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan dan diet.

Tingkatkan dan dorong oral hygiene dengan sering.

2. Resiko gangguan nutrisi; kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake yang tidak

Adekuat, Berikan diet 1700 kkal (sesuai terapi) dengan tinggi serat dan tinggi karbohidrat.

3. Untuk monitoring asites diberikan dieit rendah garam.4. health education (pendidikan kesehatan), Ajarkan klien cara mengatasi masalah. Tentukan pada penyebab dan masalah dan tulis keuntungan dan kerugian dari pilihan pasien.Daftar Pustaka

Barkaukass, et.al (1994),Health & Physical Assessment. Missouri : MosbyDipiro, 2005, Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, Sixth Edition, The McGraw-Hill Companies, Inc.,USA.

Follo A, Llovet JM, Navasa M, et al. Renal impairment after spontaneous bacterial peritonitis in cirrhosis: incidence, clinical course, predictive factors and prognosis. Hepatology 1994; 20:1495-501

Guarner C, Runyon BA. Spontaneous peritonitis: pathogenesis, diagnosis, and management. Gastroenterologist 1995; 3:311

Hasan, Irsan, dkk. 2008. Peran Albumin dalam Penatalaksanaan Sirosis Hati. Divisi Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM Jakarta

Lacy, C.F., Amstrong, L.L., Goldman, M.P., Lance, L.L., 2006, Drug Information Handbook, 14th Edition, AphA, Lexi-Comp Inc, Hudson, Ohio.

Sort P, Nasava M, Arroyo V, et al. Effect of intravenous albumin on renal impairment and mortality in patient with cirrhosis and spontaneous bacterialis peritonitis. N Engl J M 1999; 341:403-9.

Sherlock.S. 1997. Penyakit Hati dan Sistim Saluran Empedu, Oxford, England Blackwell