orasi ilmiah ahli peneliti utama (apu)

299
ISBN 978-979-3132-44-0 Penyusun: Sihati Suprapti Barly Paimin Sukartana Jamal Balfas Sona Suhartana M. Muslich Han Roliadi Efrida Basri

Upload: trinhtruc

Post on 08-Dec-2016

414 views

Category:

Documents


26 download

TRANSCRIPT

Page 1: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

aHIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

ISBN 978-979-3132-44-0

Penyusun: Sihati Suprapti

BarlyPaimin Sukartana

Jamal BalfasSona Suhartana

M. MuslichHan RoliadiEfrida Basri

Page 2: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

b HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA

PUSLITBANG KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN

Bogor, 3 Desember 2012

ISBN : 978-979-3132-44-0

Editor : Prof . Dr. Ir. H.R. Sudradjat, M.Sc.

Prof . Ir. Dulsalam, M.M.

Prof . Dr. Gustan Pari, M.Si.

Prof . Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si.

Sekretariat : Ir. Syarif Hidayat, M.Sc.

Ayit Tau k Hidayat, S.Hut.T, M.Sc.

Drs. Juli Jajuli

Deden Nurhayadi, S.Hut.

Dede Rustandi, S.Kom.

Sophia Pujiastuti

Dipublikasikan oleh:

Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil HutanJln. Gunung Batu No. 5 Bogor 16610Telp. 0251 - 8633 378, Fax. 0251 - 8633413Website : www.pustekolah.orgE-mail : - [email protected] - [email protected]

c 2013 Pustekolah

Dilarang menggandakan buku ini, sebagian atau seluruhnya baik dalam bentuk foto copy, cetak, mikro lm elektronik maupun dalam bentuk lainnya tanpa izin penerbit/penulis, kecuali untuk keperluan

pendidikan atau non komersial lainnya, dengan mencantumkan sumbernya.

Page 3: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

iHIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan YME, karena atas karunianya sehingga rangkaian kegiatan Pertemuan Ilmiah Nasional berupa Orasi Ahli Peneliti Utama (APU) lingkup Pustekolah yang dilaksanakan pada tanggal 3 Desember 2012 di Bogor hingga tersusunnya buku Himpunan Orasi APU ini dapat direalisasikan.

Kegiatan seperti ini merupakan wahana diseminasi/penyebarluasan IPTEK yang telah dicapai oleh Peneliti Pustekolah kepada pengguna dan masyarakat luas. Peneliti yang menyampaikan orasi adalah dikhususkan pada peneliti yang telah mencapai jenjang fungsional peneliti tertinggi (Gol. IV/e), akan tetapi belum terkena kewajiban menyampaikan Orasi.

Sebagaimana amanat Kepala Badan Litbang Kehutanan pada acara tersebut, bahwa acara ini merupakan yang pertama di Badan Litbang Kehutanan sebagai wujud memberikan penghargaan dan fasilitasi kepada peneliti yang telah mencapai jenjang fungsional tertinggi. Kegiatan seperti ini perlu ditiru dan terus dilangsungkan oleh Puslit/UPT Balai Litbang lainnya.

Buku ini merupakan kumpulan orasi APU pada acara tersebut, diharapkan dengan diterbitkannya buku ini dapat menyediakan dan menambah khasanah informasi IPTEK hasil litbang yang ditekuni oleh para pakar Pustekolah dari mulai jenjang peneliti terendah hingga mencapai jabatan fungsional puncak. Selain sebagai wahana monumental bagi yang bersangkutan dalam menyampaikan hasil-hasil penelitiannya secara umum kepada khalayak luas.

Kepada semua pihak yang telah membantu kegiatan ini hingga terbitnya buku ini diucapkan terima kasih yang sebesar besarnya, dan semoga buku ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2013 Kepala Pusat,

Dr. Ir. I.B. Putera Parthama, M.Sc

Page 4: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

ii HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Page 5: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

iiiHIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

SAMBUTAN

KEPALA PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN

PADA ORASI AHLI PENELITI UTAMA

Bogor , 3 Desember 2012

Yang terhormat:

- Bapak Kepala Badan Litbang Kehutanan,

- Pimpinan Perusahan/Asosiasi/Lembaga Swadaya Masyarakat, dan Perguruan Tinggi,

- Pimpinan instansi kehutanan pusat dan daerah,

- Profesor Riset, pejabat fungsional peneliti, akademisi, widyaiswara maupun penyuluh kehutanan, dan

- Para hadirin undangan sekalian.

Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua.

Pada kesempatan ini marilah kita awali dengan memanjatkan syukur kepada Tuhan YME yang telah memberikan kesempatan kepada kita sekalian dapat berkumpul dalam rangka pertemuan ilmiah nasional yaitu orasi delapan orang peneliti Pustekolah yang telah mencapai jenjang fungsional peneliti tertingggi Ahli Peneliti Utama (APU).

Kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Kepala Badan Litbang Kehutanan dan undangan sekalian, karena disela-sela kesibukannya menyempatkan hadir pada acara ini.

Saudara sekalian, dalam dua hari kedepan ditempat ini kita mengadakan forum dalam rangka diseminasi dan penyebarluasan IPTEK hasil litbang lingkup Pustekolah serta menjaring feed-back bagi peningkatan kegiatan litbang untuk masa yang akan datang. Hari ini berupa acara orasi APU, sedangkan besok adalah ekspose hasil penelitian Pustekolah. Perlu diketahui pula bahwa seminggu yang lalu Pustekolah telah mengadakan acara serupa berupa promosi 4 paten invensi hasil litbang yang telah mendapatkan serti kat paten dari Kemeterian Hukum dan HAM dengan inventornya 4 orang peneliti Pustekolah.

Jabatan fungsional peneliti untuk mencapai jenjang puncak boleh dikatakan sangat relatif terbebas dari tekanan eksternal, karena benar-benar harus muncul kreati tas dan akti tas yang tinggi dari personal peneliti yang bersangkutan, sehingga yang perlu dilakukan adalah mengelola sendiri akumulasi kredit poin dari hasil karyanya.

Page 6: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

iv HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Disisi lain, dibalik semakin ketatnya peraturan LIPI untuk meningkatkan kualitas peneliti dalam mencapai jenjang fungsional. Terdapat ketentuan bahwa pejabat peneliti setiap akan naik jabatan fungsionalnya harus melakukan presentasi ilmiah. Hal itu peraturannya baru berlaku beberapa tahun yang lalu, dimana jabatan peneliti muda akan naik ke peneliti utama diwajibkan menyampaikan orasi, akan tetapi tidak ada keharusan bagi para peneliti yang telah lebih dahulu mencapai jenjang APU, terkecuali bagi peneliti yang akan dikukuhkan menjadi profesor riset. Sehingga acara Orasi APU ini dapat dikatakan sesuatu yang baru yang digagas oleh Pustekolah, karena secara kebetulan ke-delapan orang peneliti tersebut belum dikenakan kewajiban menyampaikan orasi.

Para peneliti yang akan menyampaikan orasi kali ini adalah insan-insan spesial dan khusus, dimana akumulasi ilmu pengetahuannya, pengalamannya sudah dikumpulkan puluhan tahun. Mestinya perlu dibuat sistem sedemikian rupa supaya begitu peneliti mencapai jenjang APU terbuka tantangan lebih besar dan luas untuk mengekpose diri keluar menyampaikan ide-idenya kepada masyarakat luas.

Oleh karena itu kami harapkan tanggapan dari hadirin sekalian untuk menyampaikan ekspektasinya, harapan ataupun kekecewaannya, kritik dan sarannya, kepada para peneliti utama kami yang akan menyampaikan orasi, yaitu:

1. Dra. Sihati Suprapti, akan menyampaikan topik Pengelolaan Jamur Perusak Kayu untuk Mendukung Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Daya Hutan.

2. Barly, B.Sc, SH, M.Pd, akan menyampaikan topik “Peran Pengawetan Kayu, Status Penelitian dan Penerapannya dalam Praktek”.

3. Drs. Paimin Sukartana, akan menyampaikan topik “Arti Penting Pemahaman Perilaku Serangga Perusak Kayu untuk Pengendaliannya yang Lebih Ramah Lingkungan”.

4. Ir. Jamal Balfas, M.Sc, akan menyampaikan topik “Pemanfaatan Limbah Batang Sawit untuk Produk Solid dan Panel Kayu Lapis”.

5. Ir. Sona Suhartana, akan menyampaikan topik “Pemanenan Hutan Ramah Lingkungan Menjamin Produksi Kayu yang Berkelanjutan”,

6. Ir. Efrida Basri, M.Sc, akan menyampaikan topik “Pengeringan Kayu di Indonesia, Status Penelitian dan Aplikasinya dalam Praktek”,

7. Drs. M. Muslich, M.Sc, akan menyampaikan topik “Permasalahan dan Solusi Penggerek Kayu di Laut”.

8. Dr. Ir. Han Roliadi, MS, M.Sc akan menyampaikan topik “Teknologi Pengolahan Bahan Berserat Ligno-selulosa Ramah Lingkungan Menjadi Pulp dan Produk Turunannya”.

Untuk itu, kepada Bapak Kepala Badan Litbang Kehutanan dimohon berkenan untuk memberi arahan dan sekaligus membuka acara ini.

Page 7: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

vHIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Akhirnya kepada seluruh peserta, kami ucapkan selamat mengikuti Orasi APU, dan semoga acara ini dapat bermanfaat.

Sekian dan terima kasih.

Selamat Pagi,

Bogor, Desember 2012 Kepala Pusat,

Dr. Ir. I.B. Putera Parthama, M.Sc. NIP.19590502 198603 1 001

Page 8: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

vi HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Page 9: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

viiHIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG KEHUTANAN PADA ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

PUSLITBANG KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN BOGOR, 3 DESEMBER 2012

Assalamu’alaikum wr. wb. Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua.

Bapak/Ibu yang kami hormati;

- Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, atau yang mewakili;

- Kepala Pusat Bindiklat LIPI, atau yang mewakili;

- Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan, atau yang mewaklli;

- Dekan Fakultas Kehutanan PTN/PTS, atau yang mewakili;

- Kepala Dinas yang Membidangi Kehutanan atau yang mewakili;

- Direktur/Pimpinan BUMN/BUMS bidang Kehutanan/Perkayuan;

- Direktur/Kepala Pusat/Kepala UPT lingkup Kementerian Kehutanan;

- Ketua/Pengurus Asosiasi Perusahaan/Profesi bidang Kehutanan;

- Ketua Lembaga Litbang atau yang mewakili;

- Para pejabat fungsional peneliti, dosen, widyaiswara, penyuluh kehutanan serta hadirin yang kami hormati.

Pertama-tama, marilah kita senantiasa panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmatNya yang diberikan kepada kita semua, karena pada hari ini kita dapat berkumpul bersilaturahmi dalam rangka pertemuan Ilmiah nasional berupa forum orasi ilmiah yang akan disampaikan oleh delapan orang peneliti Pusat Penelitian dan Keteknikan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah) yang teIah mencapai jenjang jabatan fungsional tertinggi Ahli Peneliti Utama (APU).

Kami ucapkan terima kasih atas kehadiran Bapak/Ibu sekalian, semoga apa yang kita lakukan hari ini bisa bermanfaat bagi kita semua. Acara hari ini sebagaimana yang disampaikan Kepala Pustekolah merupakan rangkaian dua acara yang diselenggarakan selama dua hari. Hari pertama tentunya kita akan mendengarkan orasi APU dan pada hari ke-dua berupa “Ekspose Hasil Peneiltian”.

Hari ini merupakan sesuatu yang sangat istimewa, karena merupakan suatu acara baru yang digagas Pustekolah. Menurut saya ini adalah hal yang sangat positlf, layak dan Insya Allah mudah-mudahan dapat diikuti oleh Pusat ataupun Balai Litbang lainnya. Kita segera

Page 10: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

viii HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

mengetahui apa yang sudah kita kerjakan dan capai, serta mengetahui bahwa kita mempunyai hal-hal yang harus dikerjakan untuk tiap-tiap bidang yang belum sempurna.

Hadirin sekalian, mungkin sudah banyak dibahas tapi perlu sekali lagi saya sampaikan, bahwa kita banyak menghadapi berbagai macam tantangan dan masalah yang harus dijawab. Masalah utama yang kita hadapi saat ini adalah bahwa nampaknya suka tidak suka atau setuju tidak setuju, kita akan menghadapi banyak tantangan di dalam persoalan pengukuhan hutan kita. Dinamika kehidupan dan pembangunan semakin cepat dan kompleks, serta semakin besar kita tidak bisa mempertahankan hutan kita seluas yang ada sekarang. Karena pengalokasian kawasan hutan yang selama ini kita terima adalah buah dari pengaruh hasil penataagunaan kawasan hutan tahun 1980an. Pada saat itu data-data masih belum sempurna dan belum menggunakan teknologi Sistem Informasi Geogra s dan sebagainya. Apa yang kita petakan adalah sifatnya makro. Apabila kita kaji dengan ilmu pengetahuan dan teknologi maka akan sangat mungkin pengalokasian kawasan akan berubah, dan perubahan itu lebih banyak akan terjadi pada kawasan hutan produksi. Karena hampir tidak mungkin kita merencanakan pemanfaatan kawasan hutan lindung yang mempunyai hajat hidup orang banyak dan sebagai kawasan konservasi. Oleh karena itu hasil peneiltian di bidang keteknikan dan pengolahan hasil hutan pada hutan produksi tentunya sangat relevan.

Kedua tentunya kita akan semakin dihadapkan pada kendala bahan baku industri hasil hutan yang semakin terbatas. Konsekuensinya akan membawa kita harus semakin irit, semakin hemat, dan semakin perlu teknologi pengawetan hasil hutan. Dengan demikian, maka merupakan tantangan berat kedepan untuk para peneliti. Oleh karena itu even Orasi Ilmiah APU pada masing-masing bidang ilmu yang ditekuninya pada hari ini menjadi sangat penting. Hadirin yang kami horrnati.

Sebagaimana disampaikan Kepala Pustekotah, bahwa peneliti yang akan menyampaikan orasi ini merupakan peneliti senior yang akumulasi pengalaman penetitian di bidangnya masing-masing cukup lama, dengan telah melampaui berbagai ritme dinamika profesionalismenya sehingga berhasil mencapai derajat peneliti utama. Untuk itu mereka kita beri kesempatan lebih luas untuk menyampaikan keahlian dan hasil karyanya.

Saya ucapkan selamat atas prestasi yang dicapai Bapak/Ibu Peneliti Pustekolah yang telah mencapai derajat jabatan fungsional peneliti tertinggi, dan penghargaan yang tinggi atas dedikasinya terhadap penelitian selama ini, yaitu;

1. Sdr. Dra Sihati Suprapti, yang selama ini banyak menekuni bidang “Pengeloaan Jamur Perusak Kayu”. Keahliannya ini merupakan bidang yang sangat penting terkait dengan upaya teknologi pengawetan hasil hutan.

2. Sdr. Barly, B.Sc, yang menekuni masalah “Pengawetan Kayu”, yang kebetulan beliau ini pada tahun 2013 memasuki masa purna tugas.

3. Sdr. Dr. Ir. Han Roliadi, M.Sc, atas ketekunannya pada bidang “Teknologi Papan Serat”;

4. Sdr. Drs. Paimin Sukartono, yang mendalami bidang “Entomologi”;

Page 11: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

ixHIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

5. Sdr. Ir. Jamal Balfas, M.Sc, yang menekuni teknologi bidang “Panel Kayu” dan sumber-sumber yang Inkonvensional, salah satunya berupa teknologi pembuatan panel kayu dari batang sawit.

6. Sdr. Ir. Sona Suhartana, yang menekuni bidang “Pemanenan Kayu Ramah Lingkungan”;

7. Sdr. Ir. Efrida Basri, M.Sc, atas ketekunannya di bidang “Pengeringan Kayu?,

8. Sdr. Ir. M. Muslich, M.Sc, atas ketekunannya mendalami pengawetan kayu dan hama/penyakit kayu, terutama penggerek kayu di laut (marine boorer).

Hadirin yang saya hormati, jabatan APU adalah suatu prestasi sekaligus komitmen untuk lebih mengembangkan apa yang selama ini kita lakukan di dalam sistem kehutanan maupun sistem pembangunan nasional dan sistem kedepannya. Sebagai contoh jika kita menekuni bidang pengawetan kayu sehingga kita mendapatkan gelar profesor riset ataupun APU. Dengan begitu kita akan menguasai lebih dalam aspeknya dari A sampai Z. Lebih lanjut apakah itu artinya bagi pembangunan kehutanan dan bagi pembangunan nasional. Sehingga APU betul-betul menguasai bidang yang ditekuninya. Sehingga ketika mencapai suatu jabatan tertinggi ini mempunyai konsekuensi keahlian tertinggi yang memang diperlukan masyarakat dan digunakan di dalam pembangunan nasional.

Hadirin sekalian, kesempatan ini merupakan suatu hal yang baik untuk kita diskusikan, sehingga masyarakat tahu siapa ahli peneliti kita? dimana tempat bertanya mengenai aspek dalam penelitian kehutanan kita, siapa ahli eksploitasi hutan kita? siapa ahli hama kayu? dan siapa ahli dalam bidang-bidang lainnya?.

Saya harapkan APU bisa lebih berperan di masyarakat, dan tentunya jenjang APU ini bukanlah sesuatu yang akhir dan masa pengabdian ini, akan tetapi menjadi awal bagi pengabdian yang lebih luas.

Sekali lagi saya ucapkan terima kasih atas adanya acara ini. Semoga apa yang kita kerjakan hari ini merupakan amal ibadah kita yang diridhoi Allah SWT.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Bogor, 3 Desember 2012 Kepala Badan Litbang Kehutanan

Dr. Ir. R. Iman Santoso, M.Sc

Page 12: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

x HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Page 13: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

xiHIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. i

SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PEMGEMBANGANKEHUTANAN .............................................................................................................. iii

DAFTAR ISI …............................................................................................................ xi

DAFTAR LAMPIRAN ….............................................................................................. xii

MAKALAH ORASI

1. Pengelolaan Jamur Perusak Kayu untuk Mendukung Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Daya Hutan Sihati Suprapti ..................................................................................................... 1

2. Peran Pengawetan Kayu Status Penelitian dan Penerapannya dalam Praktek Barly ..................................................................................................................... 45

3. Arti Penting Pemahaman Perilaku Serangga Perusak Kayu untuk Pengendaliannya yang Lebih Ramah Lingkungan. Paimin Sukartana ................................................................................................ 69

4. Pemanfaatan Limbah Batang Sawit untuk Produk Solid dan Panel Kayu Lapis Jamal Balfas ......................................................................................................... 105

5. Pemanenan Hutan Ramah Lingkungan Menjamin Produksi Kayu yang Berkelanjutan Sona Suhartana ................................................................................................... 123

6. Pengeringan Kayu Di Indonesia, Status Penelitian dan Aplikasinya dalam Praktek Efrida Basri ......................................................................................................... 157

7. Permasalahan dan Solusi Penggerek Kayu di Laut” M. Muslich ........................................................................................................... 183

8. Teknologi Pengolahan Bahan Berserat Ligno-selulosa Ramah Lingkungan Menjadi Pulp dan Produk Turunannya Han Roliadi .......................................................................................................... 211

LAMPIRAN

Page 14: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

xii HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Keputusan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan .......................... 261

Lampiran 2. Jadwal Acara Orasi Ahli Peneliti Utama (APU) ................................... 264

Lampiran 3. Tanggapan/ Pembahasan ...................................................................... 265

Lampiran 4. Daftar Hadir ........................................................................................ 278

Page 15: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

xiiiHIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA(APU)

PENGELOLAAN JAMUR PERUSAK KAYU UNTUK MENDUKUNG PELESTARIAN DAN PEMANFAATAN

SUMBER DAYA HUTAN

Oleh:Dra. Sihati Suprapti

KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN

Bogor, 2013

Page 16: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

xiv HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Page 17: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

1HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

PROFIL

Sihati Suprapti, dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 9 September 1954 adalah anak pertama dari enam bersaudara pasangan Bapak Prapto Suwito dengan Ibu Suprapti. Menikah dengan Drs. Djarwanto MSi, pada tanggal 6 April 1983.

Pendidikan mulai SD Negeri Grogolan di Sleman tamat tahun 1966, SMP Negeri Bogem di Sleman tamat tahun 1969, SMA Negeri II IKIP di Yogyakarta tamat tahun 1972, dan Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta

tamat tahun 1978.

Pendidikan non formal yang diikuti yaitu Penataran Statistika dan Perancangan Percobaan di Jakarta tahun 1982, dan Training Forestry and Forest Products Research di Jepang tahun 1985.

Mulai bekerja sebagai pegawai bulanan proyek pada Lembaga Penelitian Hasil Hutan pada bulan Pebruari-Nopember 1979, calon pegawai negeri sipil pada bulan Desember 1979, pegawai negeri sipil (Penata Muda/IIIa) pada tahun 1981, dan kemudian Pembina Utama/IVe pada tahun 2003. Jabatan fungsional peneliti dimulai staf peneliti pada Lembaga Penelitian Hasil Hutan tahun 1979-1985, Asisten Peneliti Madya tahun 1985, Ajun Peneliti Madya tahun 1988, Peneliti Muda tahun 1989, Peneliti Madya tahun 1992, Ahli Peneliti Muda tahun 1995, Ahli Peneliti Madya tahun 1999 dan Ahli Peneliti Utama tahun 2001.

Bidang penelitian yang ditekuni adalah Pengolahan Hasil Hutan terutama biodeteriorasi hasil hutan. Selain sebagai peneliti juga diminta sebagai pengajar pada kursus/pelatihan dan pembimbing mahasiswa di FMIPA Universitas Indonesia, Fakultas Kehutanan dan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian Universitas Djuanda, Bogor dan FKIP Universitas Pakuan, Bogor.

Kegiatan ilmiah dilakukan untuk menambah wawasan penelitian. Mengikuti beberapa seminar dan pertemuan ilmiah nasional maupun internasional baik sebagai pembicara ataupun peserta. Sampai saat ini karya tulis ilmiah yang ditulis sendiri maupun bersama peneliti lain berjumlah 130 buah.

Keanggotaan profesi ilmiah. Sebagai anggota Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia, Perhimpunan Biologi Indonesia, Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia, Perhimpunan Entomologi Indonesia, dan Himpunan Perlindungan Tanaman Indonesia.

Selain itu, untuk menambah wawasan dan kemampuan dilakukan saling komunikasi di antara peneliti seprofesi dan kerjasama penelitian, antara lain kerjasama penelitian dengan Korea (UNESCO) tahun 1994-1995, Forestry Research Institute, Korea tahun 1999, dan JIFTRO, Japan tahun 1999-2004.

Page 18: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

2 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

PRAKATA

Bismillahirrohmanirrohim

Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarakattuh,

Yang terhormat Bapak/Ibu,

Kepala Badan Litbang Kehutanan, Kepala Pusat Lingkup Badan Litbang Kehutanan,

Rekan-rekan peneliti dan pejabat fungsional lingkup Kementerian Kehutanan,

Para undangan dan hadirin yang berbahagia,

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan berkah-Nya kepada kita semua, sehingga kita dapat hadir dalam acara orasi ilmiah Ahli Peneliti Utama lingkup Pustekolah. Suatu kehormatan bagi saya untuk tampil di hadapan hadirin yang mulia, mempresentasikan tentang jasad renik ciptaan Allah, yaitu jamur, yang merupakan salah satu sumberdaya hutan yang berukuran sangat kecil sehingga sering tidak diperhatikan. Allah menciptakan makhluk pasti memiliki manfaat bagi kehidupan. Oleh karena itu, manusia berkewajiban mencari atau meneliti kegunaan mikroba/jasad renik tersebut. Jamur memiliki peran besar dalam kehidupan di bumi ini. Jamur memberi manfaat bagi kehidupan manusia antara lain sebagai perombak utama limbah lignoselulosa, dan sumber pangan.

Untuk itu perkenankanlah saya membacakan orasi ilmiah saya selaku Ahli Peneliti Utama, dengan judul:

Page 19: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

3HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

PENGELOLAAN JAMUR PERUSAK KAYU UNTUK MENDUKUNG PELESTARIAN DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA HUTAN

I. PENDAHULUAN

Para hadirin yang saya hormati,

Jamur atau supa atau cendawan atau fungi perusak kayu dapat dikelompokkan menjadi: jamur pelapuk yaitu jamur pelapuk putih (white rot fungi), jamur pelapuk cokelat (brown rot fungi) dan jamur pelunak (soft rot fungi), dan jamur pewarna antara lain jamur biru (blue stain) dan jamur pewarna permukaan atau kapang (mold). Serangan jamur tersebut dapat terjadi pada kayu, rotan, bambu dan biji-bijian yang masih segar/basah sampai yang sudah kering. Hampir semua jenis kayu, rotan dan bambu dapat terserang jamur baik berupa bahan baku maupun barang jadi yang terpasang. Serangan jamur tersebut dapat menurunkan kekuatan dan atau kualitasnya. Penurunan kualitasnya secara umum ditandai oleh cacat genetis, sis, mekanis dan biologis. Cacat biologis dipandang sebagai faktor yang paling menentukan karena meninggalkan bekas serangan, merusak struktur dan kekuatannya. Namun di balik itu terdapat juga jamur yang bermanfaat bagi kehidupan manusia dan lingkungan, antara lain sebagai pangan fungsional, bioaktivator dalam pembuatan kompos, untuk proses biopulping, biobleaching, dan bioremediasi lingkungan.

II. JAMUR PERUSAK KAYU

Hadirin yang saya muliakan,

A. Jamur Pewarna Kayu

Jamur biru adalah sejenis jamur dari kelompok Ascomycetes dan fungi imperfect yang dapat menimbulkan cacat warna pada beberapa jenis kayu yang masih basah, terutama kayu yang berwarna cerah seperti ramin (Gonystylus bancanus Kurs.), damar (Agathis spp.), tusam (Pinus merkusii Jung et de Vr.), meranti (Shorea spp.), jelutung (Dyera costulata Hkf.), jabon (Anthocephalus cadamba Miq.), dan karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.). Serangan jamur biru ini dapat terjadi pada dolok yang baru ditebang, biasanya dimulai pada bontos atau kulit yang terkelupas, dan pada kayu gergajian yang masih basah. Serangan tersebut tidak menurunkan kekuatan kayu1 dan tidak menyebabkan pelapukan kayu, namun menurunkan nilai estetika kayu, karena warna kayu menjadi abu-abu muda sampai biru kehitaman atau sering juga berwarna cokelat gelap, sehingga tampak kotor, akibatnya nilai ekonomis kayu menurun. Oleh karena kayu yang terserang jamur biru ini masih dapat digunakan untuk kayu kontruksi bangunan. Upaya menghindari (mencegah) serangannya pada kayu bulat (dolok) antara lain dengan mengangkut dan mengolahnya sesegera mungkin. Tindakan proteksi tersebut dapat dilakukan pula dengan cara merendam dolok di dalam air atau menyemprotnya terus menerus. Sedangkan pencegahan jamur biru pada kayu gergajian yaitu dengan mengeringkan kayu

Page 20: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

4 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

secepatnya. Kayu gergajian dapat ditumpuk di dalam ruang yang berventilasi baik. Kayu ganjal (sticker) pada penumpukan sebaiknya dibuat dari kayu yang tahan terhadap serangan jamur biru berupa kayu teras atau kayu yang telah diawetkan. Apabila tindakan pencegahan tersebut sulit dilakukan maka pada bagian ujung dolok (bontos) atau di seluruh permukaan dolok yang kulitnya terkelupas disemprot larutan bahan kimia. Perlindungan ini harus dilakukan paling lambat 48 jam setelah pohon ditebang.

Bahan kimia yang dinilai efektif mencegah serangan jamur biru dan aman terhadap lingkungan adalah pestisida yang mengandung bahan aktif: boron, dichlo uanida, bromodichlorophenol, tributyltin, 8-hydroxy-quinoline, thyocyanat, dan benzothiazole3,4,5. Bahan aktif murni tersebut sulit diperoleh, sehingga digunakan pestisida yang formulasinya mengandung salah satu bahan aktif tersebut. Apabila musim hujan penggunaan bahan pengawet larut minyak lebih baik dibandingkan dengan bahan pengawet larut air. Jika ditemukan serangan kumbang ambrosia (pinhole) maka bahan pengawet yang digunakan untuk jamur biru dapat ditambah insektisida (misalnya benzenehexachlorida dengan konsentrasi larutan 5-10%). Apabila pengeringan tidak dapat dilakukan dengan cepat maka kayu yang sudah digergaji segera disemprot dengan bahan pengawet atau dicelupkan ke dalam bak pengawetan. Pestisida komersil yang mengandung bahan aktif dichlo uanid atau Na-4-bromo-2,5-dichlorophenol atau tributyltin acetate + insektisida, dengan konsentrasi larutan 1,5% dapat mencegah serangan jamur biru pada kayu gergajian sampai 4 minggu3

Selain itu, pencegahan serangan jamur biru dapat dilakukan dengan menginokulasikan jamur tertentu pada kayu. Misalnya dengan menginokulasi colorless mutant fungus yaitu Ophiostoma piliferum dan Phlebiopsis gigantea dapat mencegah perkembangan jamur biru pada kayu2. Pencegahan serangan jamur dapat pula dilakukan menggunakan bahan penghambat (cairan jernih “primer” diformulasi dengan fungisida), seperti “Aidol Primer/Blue Stain Inhibitor” dengan cara pelaburan, pencelupan pada kayu di bagian luar (jendela, pintu luar) tetapi tidak kontak dengan tanah, dan kadar air kayunya tidak lebih 15%6. Didapatkan 6 jenis bakteri dapat mencegah serangan Ceratocystis coerulescens (blue stain) dan Trichoderma harzianum (mold) pada kayu Pinus sp. (southern yellow pine)7.

B. Jamur Pelapuk Kayu

Hadirin yang saya hormati,

Jamur pelapuk dapat menyerang kayu bangunan perumahan, bantalan rel kereta api, tiang listrik, menara pendingin (cooling tower), perahu, penyangga jembatan, patok, dan pagar8, serangannya kadang ditandai oleh munculnya tubuh buah jamur. Munculnya jamur tersebut dapat dijumpai pada kayu yang baru dipasang satu bulan sampai beberapa tahun. Serangan jamur umumnya terjadi terhadap kayu yang dipasang di tempat dengan kondisi lingkungan lembab atau pada bagian yang sering terkena air atau bagian yang berhubungan dengan tanah. Jamur berperan utama pada kerusakan 37 jenis kayu Dipterocarpaceae yang dikubur pada tanah lembab yakni sebesar 59,5%9. Didapatkan bahwa sekitar 30 jenis jamur pelapuk dapat menyerang kayu bangunan10. Di Jawa Barat, kerusakan kayu bangunan perumahan oleh jamur

Page 21: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

5HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

mencapai 67,10%11 Serangan jamur tersebut dapat menurunkan kekuatan kayu. Keteguhan pukul kayu sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Fosb.) turun sampai 80% setelah terinfeksi Schizophyllum commune dengan masa inkubasi selama 24 minggu12. Beberapa jenis jamur pelapuk juga menyerang kayu bantalan rel kereta api, walaupun kayu yang digunakan memiliki kelas awet dan kuat tinggi (I-II), seperti jati (Tectona grandis), merbau (Intsia bijuga), ulin (Eusideroxylon zwageri), keruing (Dipterocarpus sp.), bangkirai (Shorea laevifolia Endert), balau (Shorea sp.). Dari seluruh kayu bantalan yang rusak disebabkan oleh jamur pelapuk sebanyak 49,6%, retak dan pecah 17,1%, patah 1,9%, serangan rayap 0,0%, dan tidak tercatat 31,2%. Tindakan pencegahan serangan jamur perusak kayu bantalan antara lain mengawetkan kayu keruing dengan 4% coppernaphtenate dalam resex (7,3 kg/m3) yang dapat memperpanjang usia pakai tiga kali lipat dibandingkan dengan kayu kontrol (3 tahun). Kayu rengas yang diawetkan dengan coppernaphtenate (10,3 kg/m3) usia pakainya 4,5 kali dibandingkan dengan kayu kontrol (2 tahun)13. Kayu jati yang diawetkan dengan Boliden BIS setelah 50 tahun kondisinya masih layak dan terpasang baik14. Pemakaian bantalan kayu yang diawetkan dapat menghemat biaya 50%15. Menurut PT KAI (2001) pemakaian kayu bantalan untuk perawatan atau penggantian sambungan, jembatan, tikungan di Daop I sekitar 1700 batang per semester (+ 260 m3 per tahun), sedangkan untuk di Bogor-Jakarta diperlukan 700 batang per semester (+ 105 m3 per tahun). Jika usia pakai kayu dapat ditingkatkan satu tahun saja, maka akan dapat dihemat pemakaian kayu sebanyak volume tersebut. Rumah dari kayu sengon yang diawetkan dengan CCA setelah 47 tahun masih dalam keadaan terpasang dengan baik16.

Jamur yang telah menyerang kayu sulit dimatikan dengan pestisida, karena fungisida umumnya bersifat mencegah atau menghambat pertumbuhan. Jika faktor lingkungannya menguntungkan maka jamur pelapuk dapat menyerang kayu walaupun kayu tersebut telah diawetkan. Ini mungkin disebabkan beberapa jenis jamur memiliki toleransi yang tinggi terhadap bahan pengawet atau memiliki kemampuan mendegradasi bahan pengawet yang digunakan. Kayu bantalan rel kereta api dan tiang listrik masih diserang Lentinus lepideus walaupun telah diawetkan dengan creosot17,18. Jamur pelunak dapat membusukkan kayu yang telah diawetkan dengan CCA. Phialophora spp. dapat menyerang kayu tiang listrik yang diawetkan dengan CCA19.

Selain itu, untuk menghindari serangan jamur pelapuk dapat dilakukan dengan merubah faktor lingkungannya sampai batas yang tidak menguntungkan pertumbuhannya. Kadar air kayu diusahakan kurang dari 20%. Kayu yang telah kering disimpan di gudang dan dipertahankan agar tetap kering. Pemberian aerasi yang cukup pada tumpukan kayu sehingga tidak terjadi akumulasi uap lembab. Penumpukan kayu yang telah lama tidak dicampur dengan yang masih baru, dan kayu yang telah terserang jamur pelapuk harus diisolir atau dihilangkan. Lantai gudang disemprot dengan antiseptik seperti sodium fl uoride (NaF), zinc chloride (ZnCl2), dan coppersulphate (CuSO4). Sanitasi harus sudah dilakukan mulai di hutan, tempat penumpukan kayu (logpond), dan gudang kayu. Diketahui 6 jenis bakteri dapat menghambat serangan jamur pelapuk cokelat (Postia placenta) dan jamur pelapuk putih (Coriolus versicolor) pada kayu Pinus sp.7. Pencegahan serangan jamur dapat juga dilakukan dengan karbonisasi pada suhu rendah (lowtemperature carbonization). Dalam percobaan kuburan, ketahanan kayu Pinus sylvestris yang dikarbonisasi pada suhu rendah (275oC) lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, sedangkan

Page 22: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

6 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

ketahanan terhadap mikroba pelapuk setara dengan sampel yang diimpregnasi creosot20. Kayu yang dipasang di tempat terbuka dan yang berhubungan dengan tanah atau sering terkena air sebaiknya diawetkan dengan pestisida yang berfungsi sebagai fungisida dan insektisida. Golongan pestisida yang diizinkan antara lain tembaga khrom boron (CCB) dan tembaga khrom uor (CCF), pemakaiannya dengan cara melaburkan atau merendamnya (metode rendaman dingin, rendaman panas dingin) dan secara vakum tekan. Kedua kelompok bahan kimia tersebut mudah luntur, namun masih digunakan karena pilihannya terbatas. Pemerintah diharapkan memfasilitasi penelitian inovasi teknologi peramuan bahan pengawet kayu kepada Litbang dan Universitas, serta teknologi bioremediasi limbah kimia menggunakan jamur.

III. KEMAMPUAN JAMUR DALAM MELAPUKKAN KAYU

Hadirin yang terhormat,

Kemampuan jamur dalam melapukkan kayu berarti juga ketahanan kayu atau daya tahan suatu jenis kayu terhadap jamur. Contoh jamur yang memiliki kemampuan melapukkan kayu tinggi antara lain Pycnoporus sanguineus HHBI-324, Tyromyces palustris, Schizophyllum commune HHBI-204, dan Polyporus sp. HHBI-209. Jika kemampuan jamur dalam melapukkan kayu tinggi maka dapat menurunkan kelas ketahanan kayu. Ketahanan suatu jenis kayu terhadap berbagai jenis jamur bervariasi. Beberapa faktor antara lain tempat tumbuh, kecepatan tumbuh, umur pohon waktu ditebang, bagian batang, zat ekstraktif kayu dan tempat pemasangan kayu dapat mempengaruhi ketahanan kayu tersebut. Ketahanan suatu jenis kayu berperan dalam menentukan usia pakai kayu. Ketahanan kayu rasamala (Altingia excelsa Noronha) yang berasal dari hutan alam termasuk kelas awet I dan kayu yang dari hutan tanaman umur 48 tahun termasuk kelas III-IV21. Ketahanan kayu jati yang berumur < 75 tahun termasuk kayu kelas II–IV. Agar masuk ke dalam kayu kelas 1 (kelompok kayu sangat-tahan) maka pohonnya harus ditebang pada umur lebih dari 93 tahun. Dalam penelitian ketahanan kayu jati, ternyata 85% contoh kayu hancur karena serangan jamur dan sisanya karena serangan rayap atau karena keduanya. Tiga belas varietas jati yang berasal dari dua tempat tumbuh memiliki ketahanan yang sama, yakni kelas II (kelompok kayu tahan)22. Kayu mangium asal Parung Panjang dengan umur 5-8 tahun termasuk kayu kelas III (agak-tahan) dan umur 11 tahun termasuk kayu kelas II, serta kayu yang berasal dari Serang dengan umur pohon 11 tahun termasuk kayu kelas IV (tidak-tahan). Ketahanan kayu mangium bagian tepi (dianggap gubal) dan kayu bagian dalam (dianggap bagian teras) termasuk dalam kelompok yang sama yaitu kelas III23. Dari 40 jenis kayu tropis yang duji terhadap tiga jenis jamur pelapuk dan percobaan kuburan didapatkan bahwa yang termasuk kelas I (8 jenis kayu), kelas II (7 jenis), kelas III (9 jenis), kelas IV (12 jenis) dan kelas V (4 jenis)24. Ketahanan kayu dari dolok diameter <30 cm terhadap jamur menunjukkan bahwa hanya 1 jenis kayu yaitu Palaquium gutta yang termasuk kelas III dan 4 jenis kayu termasuk kelas IV, bagian tepi dan dalam dolok memiliki kelas yang sama yaitu kelas IV25. Didapatkan juga bahwa dua tegakan pohon dari lima jenis kayu asal Sukabumi memiliki kelas yang sama yaitu kelas IV26. Tingkat ketahanan sembilan jenis kayu asal Kalimantan Timur termasuk kelompok kelas III-IV, dan kayu asal Jawa Barat dan Kalimatan Tengah termasuk kelas II (3 jenis), kelas III (2 jenis) dan kelas IV (3 jenis kayu)27,28. Demikian pula uji

Page 23: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

7HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

ketahanan 6 jenis kayu terhadap 9 jamur pelapuk menunjukkan bahwa kayu kelas II (1 jenis), kelas III (2 jenis) dan kelas IV (3 jenis)29. Berdasarkan ketahanan 84 jenis kayu terhadap jamur didapatkan 30 jenis termasuk kelompok kayu kelas II, 20 jenis (kelas III), 32 jenis (kelas IV) dan 2 jenis (kelas V)30. Kelas ketahanan kayu dapat digunakan sebagai acuan dalam mengambil keputusan tentang pentingnya perlakuan khusus terhadap suatu jenis kayu yang akan dipakai. Berdasarkan hasil penelitian, kayu kelas III-IV jika hendak dipakai sebagai bahan bangunan sebaiknya diawetkan terlebih dahulu guna mencegah serangan jamur pelapuk31. Saat ini kayu yang beredar di masyarakat memiliki kelas II-V. Oleh karena itu, jika akan menggunakan kayu tersebut untuk perumahan dan gedung, bantalan rel kereta api, dan jembatan sebaiknya kayu tersebut diawetkan dahulu sebelum dipasang agar terhindar dari serangan jamur.

IV. JAMUR PERUSAK PADA ROTAN DAN BAMBU

Hadirin yang saya hormati,

Jamur perusak rotan dan bambu umumnya termasuk kelompok jamur pewarna/blue stain, kapang/mold dan jamur pelapuk. Pertumbuhan jamur tersebut dapat terjadi pada kadar air 23-150%, dan tumbuh baik pada kadar 35-120% dan suhu 22-30oC32,33. Pertumbuhan jamur tersebut terhambat pada kadar air kurang dari 20% dan suhu lebih dari 40oC34. Serangan jamur tersebut terjadi segera setelah rotan atau bambu ditebang, baik di tempat pemungutan, pengumpulan, pengangkutan dan pengeringan atau penjemuran, dan biasanya dimulai pada bagian bontos atau permukaan yang kulitnya terkelupas. Noda pewarnaan blue stain yang tampak abu-abu muda sampai biru kehitaman atau sering juga berwarna cokelat gelap.

Hadirin yang berbahagia,

A. Jamur Perusak Rotan

Rotan yang terserang jamur pewarna nampak kotor tetapi kekuatannya tidak menurun sehingga masih dapat digunakan untuk perabot yang pada proses fi nishing/akhir dipakai warna gelap, dan apabila serangannya ringan dapat dikurangi dengan diserut lagi atau diputihkan dengan bahan kimia. Rotan segar yang dikuliti lebih rentan terhadap jamur dibandingkan dengan rotan yang tidak dikuliti bila dikeringkan ditempat terbuka dan kena hujan dan embun. Uji kerentanan tiga jenis rotan (manau, semambu dan irit) menunjukkan bahwa 93,33% terdapat serangan internal (noda pewarnaan bagian dalam) dan sebanyak 46,67% mendapat serangan internal yang hebat35. Serangan jamur tersebut dapat menurunkan nilai jual bahan baku rotan. Serangan jamur di permukaan 11 jenis rotan berkisar antara 13,30–100% dan turunnya nilai jual berkisar antara 14,29-100%. Nilai jual turun 100% berarti rotan tersebut afkir dan tidak dapat digunakan lagi, yang ditemukan pada rotan irit dan sega dengan serangan permukaan 89,90% dan 87,60%, rotan mandola dengan serangan jamur 72,7% dan jumlah lubang akibat serangan bubuk 845 buah/m2. Khusus untuk rotan manau yang mendapat serangan jamur 100% termasuk kriteria afkir dan nilai jualnya turun 71,91%36. Serangan jamur pelapuk dapat terjadi mulai rotan segar dan dapat mengakibatkan kekuatan rotan menurun. Munculnya tubuh buah

Page 24: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

8 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

jamur pelapuk telah terlihat pada umur 38 hari (S. commune), 52 hari (Coprinus sp.), lebih kurang 6 bulan (Polyporus sp.) dan lebih dari 12 bulan (D. spathularia) sejak rotan ditebang. Pelapukan rotan yang ditandai oleh penurunan berat akibat serangan S. commune adalah 5,79%37. Penurunan berat tiga jenis rotan yang digoreng dan yang tidak digoreng lalu dicelup larutan kaporit 3% oleh Pycnoporus sanguineus, Dacryopinax spathularia dan S. commune berkisar antara 10,43 - 32,87%38.

Untuk menghindari serangan perlu dilakukan tindakan pencegahan antara lain jika memungkinkan penebangan rotan dilakukan pada musim kemarau, kemudian segera diangkut, diolah dan dikeringkan. Hasil pengamatan di beberapa industri rotan, pengolahan rotan yang cepat dapat menekan serangan jamur pewarna kurang dari 10% (pengeringan dengan sinar matahari dan tidak terkena hujan). Penggorengan rotan dan atau pengasapan rotan tidak mengurangi serangan jamur secara efektif. Penggorengan rotan dengan minyak tanah mampu menekan serangan jamur pewarna 13,13% selama 2 bulan pengeringan ditempat terbuka, namun masih ditemukan serangan jamur pelapuk39. Pengasapan terhadap rotan yang tidak digoreng maupun yang digoreng dapat mencegah serangan jamur biru, jika rotan tesebut dikeringkan dengan sinar matahari dan bila hujan atau malam disimpan di ruangan berventilasi baik40. Pencegahan serangan jamur pada rotan dapat dilakukan dengan pengeringan memakai dehumidi er pada suhu 40-45oC34. Selain itu, pencegahan serangan jamur dapat dilakukan dengan menggunakan pestisida. Batang rotan dipotong sesuai ukuran kemudian diawetkan dengan fungisida di lokasi penebangan, pemotongan, pengumpulan, dan pengolahan kemudian dikeringkan. Fungisida yang digunakan yaitu bahan kimia sama seperti yang digunakan pada kayu dan berfungsi mencegah serangan jamur dan bubuk. Pencelupan rotan segar dengan bahan kimia konsentrasi 0,5-2,5% dapat mencegah serangan jamur pewarna selama 2-4 minggu dalam proses pengeringan di tempat terbuka dan dengan kondisi setiap hari hujan41. Pencelupan tiga jenis rotan ke dalam larutan asam borat, boraks dan polibor 1–4%, kemudian dikeringkan di ruang beratap seng dan berventilasi baik selama 8 minggu dapat mencegah serangan jamur pewarna menjadi kurang dari 18% dan pewarnaan internal sekitar 1%42. Pencegahan serangan jamur pada rotan kering sebaiknya digunakan campuran fungisida dan insektisida (untuk mencegah serangan bubuk). Hadirin yang saya hormati,

B. Jamur Perusak Bambu

Bambu yang telah diserang jamur pewarna terlihat kotor namun kekuatannya tidak menurun. Sedangkan bambu yang diserang jamur pelapuk kekuatannya menurun. Jenis jamur pelapuk yang menyerang bambu antara lain Schizophyllum commune, Dacryopinax spathularia, Polyporus spp., Pycnoporus sp., Pleurotus sajor-caju, Pleurotus spp., dan Auricularia spp.

Upaya menghindari serangan jamur pada bambu, jika mungkin penebangan bambu dilakukan setelah masak tebang pada musim kemarau, kemudian segera dipotong, diangkut, diolah dan dikeringkan. Jika tidak mungkin, bambu setelah dipotong direndam dalam air mengalir. Pencegahan serangan jamur pada bambu dapat dilakukan seperti terhadap rotan, dan harus dipilih bahan kimia yang aman terhadap manusia karena umumnya bambu digunakan

Page 25: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

9HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

untuk bahan bangunan/rumah, perabotan dan kerajinan. Sedangkan pencegahan serangan jamur terhadap bambu kering dapat dilakukan dengan cara menyimpan atau memasangnya di tempat kering, terlindung dan tidak terkena atau berhubungan dengan air dan udara lembab. Pencegahan serangan organisme pada bambu kering dapat digunakan campuran fungisida dan insektisida. Selain itu tindakan pencegahan serangan jamur pada bambu untuk bangunan dapat dilakukan menggunakan senyawa kimia golongan tembaga chrom boron (CCB), dan tembaga chrom uor (CCF)43.

Hadirin yang berbahagia,

Dalam rangka pemasyarakatan pencegahan serangan organisme pada rotan dan bambu telah dilakukan sosialisasi, pelatihan, sedangkan praktek dan evaluasi di salah satu industri rotan di Klaten. Pertemuan antara pengusaha dan peneliti litbang yang di koordinir oleh Asmindo (Asosiasi Mebel Indonesia) di Jawa Timur. Transfer teknologi dan iptek telah bekerjasama dengan Departemen Perindustrian dan indutri serta pengrajin. Dukungan pemerintah diperlukan untuk mendorong pengusaha bahan pengawet meramu sendiri dengan bahan aktif yang tersedia. Pengusaha diharuskan mencegah serangan jamur sejak di penebangan, pengumpulan dan pengolahan agar kualitasnya prima.

Penggunaan pestisida bukan satu-satunya cara untuk mencegah serangan jamur perusak dan bukan suatu keharusan, karena pemakaian yang tidak hati-hati dapat menimbulkan pencemaran lingkungan serta berbahaya bagi manusia. Oleh karena itu, penggunaan pestisida hanya dilakukan apabila cara lain sudah tidak memungkinkan. Selain itu, pestisida yang dipakai harus dipilih yang aman terhadap lingkungan dan efektif terhadap organisme sasaran serta tidak mengubah warna.

V. PERANAN JAMUR KAYU DALAM MENDUKUNG KEHIDUPAN

Para hadirin yang saya muliakan,

A. Jamur Kayu Budidaya

Pemahaman tentang pentingnya material biologi sebagai sumber daya yang dapat diperbaharui untuk produksi energi dan pangan membangkitkan kembali teknologi kuno fermentasi jamur pada media padat. Limbah lignoselulosa terutama dolok kayu dan serbuk gergaji, sering menimbulkan masalah lingkungan, potensial sebagai sumber media untuk fermentasi dan dapat menghasilkan komponen biokimia yang cocok untuk bahan pangan, kimia dan industri farmasi. Pemanfaatan limbah industri kayu untuk media budidaya jamur kayu yang dapat dimakan, diharapkan dapat membantu meningkatkan produksi pangan. Jamur kayu merupakan salah satu sumber pangan dari hutan dan memiliki prospek baik. Jenis jamur yang sudah dikenal dan diterima masyarakat sebagai sumber pangan tambahan antara lain jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus), jamur tiram pink (P. fl abellatus), jamur tiram abu-abu (P. sajor-caju), jamur tiram hitam (P. cystidiosus), jamur kuping hitam (Auricularia polytricha), jamur kuping cokelat (A. auricula-judae), jamur kuping (Auricularia spp.), dan shiitake (Lentinula

Page 26: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

10 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

edodes)44. Kemampuan jamur budidaya dalam melapukkan kayu solid sangat rendah, sehingga kerusakan kayu yang ditimbulkannya ringan dan prosesnya berjalan lambat45,46, karena hanya tumbuh baik pada kondisi lingkungan yang sudah disesuaikan.

Hadirin yang saya hormati,

Dolok kayu berdiameter kurang dari 10 cm yang berasal dari batang, cabang dan ranting tumbuhan pioner non komersial, limbah penjarangan dan limbah eksploitasi dapat digunakan untuk media budidaya jamur. Kayu tersebut dikonversi menjadi tubuh buah jamur yang dapat dikonsumsi. Besarnya kayu yang dikonversi menjadi jamur ditunjukkan dengan nilai e siensi konversi biologi (EB) yaitu persentase bobot jamur segar terhadap bobot bahan media kering. Nilai EB jamur kuping hitam pada kayu kebembem (Mangifera odorata Griff.), manii (Maesopsis eminii Engl.), seuhang (Ficus padana Burn.f.) dengan ukuran panjang 100 cm, diameter rata-rata 6,1-7,6 cm, yaitu 10,29-12,76%. Nilai EB jamur kuping cokelat pada kayu jambu biji (Psidium guajava L.) dan turi (Sesbania grandifl ora (L.) Poir.) berdiameter 7,3 cm dan 8,1 cm masing-masing 24,09% dan EB 57,88%. Sedangkan Nilai EB jamur tiram abu-abu pada kayu sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Fosb.), seuseureuhan (Piper aduncum L.), walen (Ficus ribes Reinw. Ex Bl.) yang berdiameter 6,2-10,3 cm, berkisar antara 9,96-25,93% 47,48. Nilai EB jamur shiitake pada kayu saninten (Castanopsis argentea A.DC.) yang berdiameter 6,6 cm adalah EB 14,46%49.

Hadirin yang terhormat,

Serbuk gergaji umumnya digunakan sebagai media jamur kayu karena murah dan mudah diperoleh. Jenis kayu yang cocok untuk media jamur tiram antara lain kayu karet, pulai (Alstoniascholaris R.Br.), sengon, aren (Arenga pinnata Merr.), suren (Toona sureni Merr.), manii, nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk.), merkubung (Macaranga gigantea Muell. Arg.), mahang (M. Pruinosa Muell. Arg), balam (Palaquium gutta Baill.), medang (Litsea fi rma Hook. f.) dan bayur (Pterospermum diversifolium Bl)49,50. Sedangkan jenis kayu yang baik untuk media jamur shiitake yaitu kayu karet, sengon, pulai, aren, ampupu (Eucalyptus urophylla ST. Blake), jengkol (Pithecelebium jiringa Prain.), kemang (Mangifera caesia Jack.), leda (Eucalyptusdeglupta BL.), mahoni (Swietenia mahagoni Jack. dan S. macrophylla King.), mangium (Acaciamangium Willd.), meranti merah (Shorea platyclados V.Sl.), dan saninten49,51,52,53,54,55.

Media dirombak oleh jamur sedikit demi sedikit kemudian dikonversi menjadi tubuh buah, sebagian lainnya dikonsumsi oleh jamur untuk metabolisme, sedangkan sisanya bersama miselium akhirnya menjadi kompos. Nilai e siensi konversi biologi yang dihasilkan dapat mencapai 109,89% (A. polytricha), 119,72% (L. edodes), 75,82% (P. cystidiosus), 137,0% (P. fl abellatus), 145,24% (P. ostreatus), dan 111,89% (P. sajor-caju). Hal ini berarti setiap kilogram bahan media kering dapat menghasilkan 0,75–1,45 kg jamur segar56 .

Hadirin yang saya hormati,

Jamur kayu dijual dalam kondisi segar dan kering. Selain jamur budidaya, jamur dipungut masyarakat dari hutan antara lain jamur grigit (Schizophyllum commune), jamur kuping

Page 27: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

11HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

(Auricularia polytricha, Auricularia spp.), jamur gajih/kuping putih (Tremella spp.), jamur pasang (Lentinula edodes), jamur menjangan (Polyporus sp.), jamur amis (Marasmius spp.) dan kulat (Lentinus spp.). Jamur yang diperoleh dari hutan biasanya untuk konsumsi sendiri atau dijual di pasar tradisional terdekat. Pada musim hujan jamur berlimpah, sehingga sebagian jamur tersebut dikeringkan agar dapat disimpan lama. Jangkauan pemasaran jamur kering lebih luas, ditemukan hampir di semua kota di Indonesia57. Rantai pemasaran jamur dari produsen/petani sampai ke konsumen relatif panjang akibatnya harga sangat bervariasi. Jamur tiram putih merupakan salah satu jamur unggulan yang menembus pasar58.

Jamur kayu sebagai bahan pangan sudah lama dikenal masyarakat, namun baru sedikit orang yang tahu cara budidayanya. Masyarakat umumnya sudah biasa mengkonsumsi jamur kayu produksi petani setempat. Peluang pasar jamur tersebut cukup baik sebab untuk permintaan pasar lokal saja tidak pernah terpenuhi, sedangkan untuk ekspor masih terbuka lebar. Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih dari 200 juta jiwa merupakan potensi peluang pasar. Agar dapat menembus persaingan pasar maka jamur harus berkualitas baik. Beberapa teknologi budidaya jenis jamur sudah dikuasai, bahkan sebagian sudah diusahakan secara komersial walaupun perhatian terhadap jamur belum nampak signi kan.

Hadirin sekalian,

Aspek ekonomi merupakan prioritas utama yang harus dipertimbangkan dalam usaha tani jamur. Keuntungan atau kerugian pengusaha jamur sangat bervariasi. Faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan usaha tersebut yaitu kemampuan teknik budidaya yang meliputi pembuatan bibit, pemilihan bibit berkualitas, pemilihan media, pemeliharaan, sumberdaya manusia (trampil, gigih, telaten, dan motivasi kuat), teknik penanganan pasca panen dan pemasaran. Diperlukan juga biaya investasi yang terdiri atas biaya tetap, biaya variabel dan biaya operasional.

Biaya tetap dikeluarkan pada tahun pertama, terdiri atas lahan (lokasi), bangunan dan peralatan. Biaya untuk membangun satu buah kumbung jamur bervariasi, biasanya + Rp. 1.500.000,- dengan usia pakai lebih 2 tahun. Studi kelayakan budidaya jamur tiram pada skala kecil dengan asumsi jumlah media 30.000 kantong per siklus produksi (3 siklus per tahun), persentase tumbuh 90%, frekuensi panen 3-4 kali, biaya investasi Rp 53.954.000, biaya produksi Rp 43.956.000, akan diperoleh NPV Rp 4.925.492 dan IRR di atas suku bunga pinjaman 20% adalah layak. Cashfl ow positif akan diperoleh pada tahun ke-259.

Hadirin yang saya hormati,

Limbah industri kayu seperti serbuk gergaji yang belum dimanfaatkan, umumnya hanya dibuang di tempat penumpukan limbah. Limbah tersebut menimbulkan biaya yang harus ditanggung oleh pengusaha berupa penyediaan lahan dan biaya pengumpulan dan pengangkutan ke tempat pembuangan. Timbunan limbah akan menimbulkan pencemaran lingkungan, menganggu pemandangan dan memenuhi lahan, apabila dibuang di pinggir sungai, dapat menghambat aliran air dan menimbulkan banjir di musim hujan. Jika limbah tersebut dibakar, maka asapnya dapat mencemari udara di sekitarnya, kesemuanya itu berpotensi menimbulkan

Page 28: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

12 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

biaya yang tidak terukur secara riil dengan uang yang menjadi beban masyarakat. Pemanfaatan limbah tersebut untuk media jamur, dapat memberikan nilai manfaat langsung (real benefi ts) berupa jamur pangan yang bergizi baik dan kompos (spent compost), yang dapat digunakan untuk menggemburkan tanah. Manfaat tidak langsung (intangible benefi ts) berupa ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat, sehingga mengurangi minat masyarakat untuk merambah hutan, memperbaiki kesehatan lingkungan, dan e siensi pemanfaatan sumber daya hutan.

Banyaknya kompos dari sisa media (spent compost) tergantung pada jenis kayu yang digunakan untuk media, jenis jamur dan periode (siklus) pemeliharaan media. Kompos jamur shiitake 20,51–45,60% bobot media basah. Kompos tersebut dapat digunakan untuk pupuk tanaman dan campuran media persemaian60. Kompos terdiri dari hasil perombakan selulosa, hemiselulosa dan lignin, yang efektif sebagai pupuk dan penggembur tanah serta dapat menjaga keseimbangan sumber nitrogen dan karbon untuk pertumbuhan tanaman61. Kompos tersebut dan kantong plastik bekas bungkus media dapat dijual, dengan demikian usaha budidaya jamur tidak meningggalkan limbah dan layak disebut sebagai usaha berbasis teknologi bersih lingkungan. Sisa dolok kayu (waste mushroom logs) digunakan untuk kayu bakar. Selain itu, waste mushroom logs dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif (bioethanol)62.

Hadirin yang saya hormati,

B. Pemasyarakatan Budidaya Jamur

Masyarakat sekitar hutan umumnya miskin materi dan pengetahuan, kebutuhan hidup mereka bergantung kepada alam (hutan sekitarnya) seperti mengambil kayu dan hasil hutan lain bahkan serasah hutan termasuk yang sudah jadi kompos atau top-soil. Lambat laun eksistensi hutan akan terancam, sementara mereka tetap miskin. Oleh karena itu, harus dicari cara efektif agar laju perusakan hutan terkendalikan. Banyak cara dapat dilakukan misalnya dengan memberikan lapangan kerja berkaitan dengan hutan (ketergantungan terhadap hutan merupakan cara hidup turun temurun). Namun, harus memberikan peningkatan nilai ekonomis dan manfaat hasil hutan bagi mereka, dan kelestarian hutan tetap terjaga63. Salah satu upaya yaitu memberdayakan masyarakat melalui budidaya jamur menggunakan media serbuk gergaji64, dengan harapan dapat meningkatkan kemampuan dan kemandirian mereka dalam usaha tani jamur.

Usaha memasyarakatkan jamur kayu di Jawa telah mulai dilakukan sejak tahun 1984 dan di luar Jawa dimulai tahun 1991 kepada masyarakat sekitar industri kayu, peladang berpindah, dan para pemungut humus di sekitar kawasan taman nasional. Dalam pengembangan budidaya jamur kayu, langkah-langkah yang telah ditempuh antara lain pemberdayaan masyarakat melalui sosialisasi, pelatihan, bimbingan dan pembinaan, serta evaluasi. Selain itu telah mendidik dan membina masyarakat melalui program magang dan petani binaan.

Dalam rangka transfer teknologi dan penerapan iptek telah dilakukan kerjasama dengan perguruan tinggi, Pusdiklat (Kehutanan dan Pertanian), Pemerintah daerah, masyarakat di sekitar hutan dan sekitar industri penggergajian di Jawa dan luar Jawa, serta beberapa pondok pesantren.

Page 29: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

13HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Dukungan kebijakan pemerintah diperlukan untuk mendorong pengusaha di bidang pembibitan, produksi dan pemasaran jamur. Selain itu, diperlukan bantuan modal usaha kecil menengah dengan cara mudah dan bunga rendah. Petani jamur diorganisasi secara terpadu di bawah pembinaan dan pengawasan instansi setempat yang terkait. Pemerintah diharapkan memfasilitasi penelitian inovasi teknologi budidaya dan penanganan pasca panen jamur kayu kepada Litbang Pertanian dan Kehutanan.

Hadirin yang saya muliakan,

C. Jamur Kayu Sebagai Pangan Fungsional

Pangan fungsional (functional foods) menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan adalah pangan yang baik secara alamiah maupun telah melalui proses mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi siologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan, dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan dan minuman, mempunyai karakteristik sensori berupa penampakan, warna, tekstur dan cita rasa yang dapat diterima konsumen, tidak memberikan kontraindikasi dan tidak memberikan efek samping pada jumlah penggunaan yang dianjurkan terhadap metabolisme zat gizi lainnya. Pangan fungsional berbeda dengan makanan tambahan (food supplement) dan obat, tidak dikemas dalam bentuk kapsul, tablet ataupun bubuk, dan manfaatnya hanya bersifat membantu pencegahan suatu penyakit. Manfaat tersebut berasal dari senyawa aktif yang secara alami terdapat di dalam pangan tersebut65. Pangan fungsional jamur kayu dapat berasal dari tubuh buah dan miselium serta dapat ditambahkan pada bahan pangan lain, yang dapat berupa sup, sate, soto, pepes, makanan (snacks), pasta, baso, sosis, biskuit, teh, sereal, mi instan, minuman sehat untuk pencernaan dan pemulih energi. Disebutkan bahwa pangan fungsional dari tepung jamur tiram dengan nama WeiQi dapat digunakan sebagai makanan siap saji (sup), bumbu (penambah cita rasa makanan), saus bistik dan selai roti66.

Para hadirin yang terhormat,

Berdasarkan hasil analisis kimia, nilai gizi jamur kayu umumnya lebih baik daripada sayur, buah, telur dan daging kecuali hati67,68,69,70,71,72. Jamur kayu mengandung protein, karbohidrat, lemak, serat, mineral dan vitamin yang besarnya bervariasi. Kandungan protein jamur diketahui cukup tinggi, dengan mengkonsumsi jamur dalam jumlah tertentu maka kebutuhan akan protein diharapkan dapat terpenuhi. Oleh karena itu, jamur pangan tersebut dapat dikembangkan sebagai salah satu pendukung terwujudnya kecukupan protein. Kandungan protein jamur kayu cukup lengkap, meliputi 18 macam asam amino67. Pada abad ke-20 asam amino populer sebagai suplemen diet untuk pasien berpenyakit kronis seperti depresi, penyakit hati, gastrointestinal, kolesterol tinggi, gula darah, insomnia, epilepsi, autis dan kelelahan73.

Hadirin yang saya hormati,

Manfaat lain jamur kayu adalah sebagai bahan pangan dan obat tradisional74. Jamur kayu memiliki senyawa alami yang berkhasiat obat antara lain polisakharida, eritadenin, ganoderan

Page 30: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

14 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

dan Beta-glukan61. Jamur kuping cokelat (Auricularia auricula-yudae) dan jamur kuping hitam (A. polytricha) telah dimanfaatkan sebagai sumber pangan dan obat di Cina. Mengkonsumsi jamur tersebut secara teratur dapat mengobati sakit tenggorokan, anemia dan sakit saluran pernapasan, serta penyakit usus yang disebabkan oleh organisme patogen. Jamur tersebut dapat pula digunakan untuk penguat tulang dan pencuci darah. Di Cina, jamur kuping putih (Tremella fuciformis) dipercayai sebagai obat pencuci darah, penguat paru-paru dan saluran pernapasan75. T. fuciformis memiliki efek antitumor, menjaga ketahanan tubuh pada sistim otot, sel dan kekebalan76. Jamur shiitake (L. edodes) memiliki efek medis: antifungal, antitumor, antiviral (dapat melawan in uenza secara invitro maupun invivo) dan dapat menurunkan kadar kolesterol sekitar 24% 77,78. Jamur tiram cocok untuk menu diet penderita diabetes/gagal ginjal, penyakit hati dan hipertensi. Jamur tersebut dapat menghambat pertumbuhan kanker sarcoma sebesar 75,3%, serta dapat menurunkan kadar kolesterol79. Jamur grigit (S. commune) telah dipakai untuk obat kanker cervic di Jepang61,77. Jamur lingzhi (G. lucidum) memiliki efek medis, seperti anti tumor, anti hipertensi, dan anti HIV (human immunode ciency virus)77,80, dan telah lama digunakan secara turun temurun sebagai obat tradisional untuk berbagai penyakit di China dan Jepang81.

Hadirin sekalian,

D. Peran Jamur Untuk Proses Biopulping dan Biobleaching

Industri pulp dan kertas masih menggunakan teknologi konvensional sehingga rawan mencemari lingkungan. Di negara maju proses pembuatan pulp telah diarahkan melalui proses yang ramah lingkungan. Salah satu alternatif adalah pemanfaatan jamur dalam pembuatan pulp (biopulping) dan pemutihan (biobleaching). Biopulping adalah proses penghancuran lignin secara biologis menggunakan mikroba yang memiliki enzim lignolitik. Proses biopulping merupakan fermentasi bahan baku pulp oleh jamur sebelum dilakukan proses pembuatan pulp secara mekanis dan atau secara kimia dengan tujuan memperbaiki sifat-sifat pulp, mengurangi energi re ning, biaya dan pencemaran lingkungan. Perlakuan pendahuluan tersebut bertujuan menghancurkan sebagian lignin sehingga serpih kayu yang akan diproses secara mekanis menjadi lebih lunak. Pembuatan pulp untuk kertas koran dari tandan kosong kelapa sawit yang ditulari jamur pelapuk (isolat FPPK14) menghemat bahan kimia sebesar 7% sehingga biaya produksi lebih rendah dan potensi pencemaran lingkungan lebih kecil82. Biodeligni kasi serpih kayu A. mangium dan Gmelina arborea dengan jamur Pleurocybella porrigens mampu menghasilkan papan serat berkerapatan sedang dengan beberapa sifat lebih baik dan memenuhi standar FAO, serta menghemat energi mekanis sebesar 17% (G. arborea) dan 25% (A. mangium)83.

Dalam proses pemutihan (bleaching), industri pulp umumnya menggunakan senyawa khlor, sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan. Proses pemutihan pulp A. mangium menggunakan jamur pelapuk putih (CPNO1) dengan waktu inkubasi 5 hari dan tanpa pemakaian senyawa khlor, dapat meningkatkan derajat putih dari 48% (kontrol) menjadi 70%84.

Page 31: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

15HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Hadirin yang saya hormati,

E. Pemanfaatan Jamur Untuk Kompos

Kompos adalah bahan organik yang berasal dari hewan dan tumbuhan yang telah mengalami proses dekomposisi atau pembusukan. Faktor utama yang berperan dalam proses dekomposisi adalah mikroorganisme yang menyukai bahan tersebut untuk sumber makanannya. Dalam proses pembuatan kompos bioaktif digunakan mikroba penghancur selulosa dan lignin sebagai aktivator hayati (bioaktivator). Bioaktivator yang dikembangkan yaitu jamur Trichoderma pseudokoningii dan bakteri Cytophaga sp., yang dikemas dalam satu formula yang disebut Orgadec (Organic decomposer)85. Orgadec ini dapat digunakan untuk aktivator dalam pembuatan kompos dari semua limbah lignoselulosa termasuk serbuk gergaji kayu. Aplikasi kompos bioaktif yang telah matang (nisbah C/N < 20) ke tanaman kelapa sawit dengan cara dibenam dalam parit mampu menghemat 50% dosis pupuk konvensional tanpa berpengaruh negatif terhadap produksi, dan dalam waktu 1-2 bulan kompos tersebut telah menyatu dengan tanah86. Kompos dari kulit kayu mangium dapat digunakan untuk media pembawa (carrier) mikoriza dan untuk media tanam bibit Acacia mangium87.

Hadirin yang terhormat,

F. Peran Jamur Untuk Bioremediasi Lingkungan

Untuk menjaga kesehatan lingkungan, jamur dapat digunakan dalam proses remediasi lingkungan. Secara alami, jamur dapat tumbuh sendiri dan mendegradasi limbah seperti daun, ranting, batang kayu/bambu/rotan. Namun demikian, jamur belum dimanfaatkan untuk bioremediasi limbah hutan, yang apabila kering limbah tersebut mudah terbakar.

Berikut adalah contoh beberapa jamur yang dapat digunakan dalam biodegradasi atau penghilangan warna limbah cair di industri kimia, tekstil, pemutihan kapas, dan pulp & kertas yaitu Flammulina velutipes, G. lucidum, L. edodes, P. ostreatus, P. sajor-caju, Pycnoporus cinnabarinus, S. commune, dan Trametes spp88. Jamur tiram putih (P. ostreatus HHBI-314) dapat menghilangkan warna limbah cair industri pulp dan kertas sebesar 93,08% dalam waktu 48 jam89.

Sekitar 43% pentachlorophenol (PCP) hilang dari serpih kayu yang diinokulasi Trichoderma sp. setelah diinkubasikan selama 12 minggu90. Melalui proses metilasi Trichoderma virgatum dapat mentransformasi 10-20% PCP menjadi pentachloroanisole90. Sisa media (spentcompost) jamur shiitake (L. edodes) yang diinokulasikan pada tanah steril yang mengandung 200 mgKg-1 PCP dapat menurunkan pencemar tersebut sebesar 44,4-60,5%90. Phanerochaete chrysosporium dapat membantu biodegradasi dan remobilisasi fungisida anilazin dalam tanah humus91. P. ostreatus dapat mendegradasi 80% Polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) dalam tanah setelah diinkubasi selama 35 hari92. Jamur pelapuk (PLI) mampu mendegradasi 51% 2,3,7,8-tetrachlorodibenzo-p-dioxin pada konsentrasi 10 ng g-1 dalam tanah yang telah diinkubasi selama 30 hari93.

Page 32: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

16 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Hadirin yang saya hormati,

G. Pemanfatan Jamur di Bidang Peternakan

Pemanfaatan jerami sebagai pakan ternak mendapat perhatian pada masa lalu. Kandungan polisakharida yang tinggi pada lignoselulosa merupakan sumber energi potensial bagi ruminansia. Nilai nutrisinya terbatas karena sulit dicerna di dalam rumen. Daya cerna yang terbatas karena adanya komponen rekalsitran (lignin) yang merupakan hambatan sik bagi enzim hidrolitik untuk merombak polisakarida. Deligni kasi lignoselulosa secara biologi dapat meningkatkan daya cernanya94. Prinsip metode ini memutus ikatan selulose-lignin dengan cara mendekomposisi lignin dengan jamur.

Deligni kasi kayu oleh jamur dapat digunakan untuk pakan ternak yang dikenal sebagai “Palo podrido” di Chili Selatan. Jenis kayu yang dideligni kasi yaitu Drymis winteri Forst., Eucryphia cordifolia Cav., Laurelia philippiana dan Nothofagus dombeyi, dengan jamur Ganoderma applanatum atau Armillariella spp., dapat meningkatkan daya cerna secara invitro 3-77%, tetapi proses degradasinya lambat94. Fermentasi serbuk gergaji dengan Pleurotus sp. Florida, P. cornucopiae, dan Stropharia rugosoannulata selama 60 hari menunjukkan degradasi lignin secara baik dan dapat meningkatkan daya cerna secara invitro94. Fermentasi tandan kosong kelapa sawit selama 4 minggu oleh jamur P. ostreatus HHBI-314, P. fl abellatus HHBI-230, dan S. commune HHBI-204 belum dapat meningkatkan mutu nutrisi serat kelapa sawit95. Fermentasi jerami selama 2 bulan oleh Lentinus edodes dapat meningkatkan daya cerna 28%96.

Hadirin yang saya hormati,

VI. KESIMPULAN

Jamur perusak kayu dapat menyerang bahan yang mengandung lignoselulosa seperti kayu, bambu, dan rotan. Jamur menyerang bahan tersebut segera setelah pohon ditebang sampai menjadi barang jadi. Serangan jamur dapat meninggalkan bekas/warna kotor, menurunkan kekuatan dan nilai jualnya. Tindakan pencegahan adalah cara terbaik untuk menghindari serangan tersebut, jika telah terjadi infeksi maka tindakan pemberantasan tidak dapat dilakukan karena tidak efektif. Pencegahan terhadap serangan jamur, dapat dilakukan melalui proses cepat yaitu segera mengolah, mengeringkan dan menyimpannya di ruang berventilasi baik. Apabila hal tersebut tidak mungkin dilakukan maka pencegahan dapat dilakukan memakai bahan kimia (pestisida). Pencegahan yang benar dan baik dapat meningkatkan kualitas dan usia pakai, yang berarti menghemat sumber daya hutan.

Jamur berperan dalam kehidupan manusia antara lain berguna dalam biokonversi limbah lignoselulosa menjadi biomasa yang dapat dimakan dan berkhasiat obat (pangan fungsional), deligni kasi limbah untuk pakan ternak, proses biopulping dan biobleaching, aktivator dalam pembuatan kompos dan kesehatan lingkungan.

Page 33: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

17HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Dampak positif berkembangnya usaha tani jamur kayu yaitu dapat memperkuat ketahanan pangan melalui penambahan keaneka-ragaman sumber pangan dan pemberdayaan sumber daya manusia dengan membuka lapangan kerja baru. Pengembalian bekas media jamur (spentcompost) ke alam sebagai penghara tanah dapat memperbaiki lingkungan.

PENUTUP

Hadirin yang saya hormati,

Di masa datang diperlukan inovasi teknologi budidaya jamur kayu yang dapat dimakan dan berkhasiat obat yang meliputi teknologi penyediaan bibit yang berkualitas, budidaya dan penanganan pasca panen. Dalam pemanfatan limbah industri kayu, inovasi tersebut diarahkan untuk diversi kasi sehingga tidak tergantung pada suatu jenis substrat dari jenis kayu tertentu saja. Sedangan inovasi dalam penanganan pasca panen meliputi teknologi pengeringan, pengawetan, penyimpanan dan pengemasan, dan pengolahan lanjut mencakup pengembangan aneka produk makanan dan pangan fungsional. Diperlukan penelitian jamur pangan untuk menunjang program riset dan teknologi dalam pembangunan ketahanan pangan dan pengembangan teknologi kesehatan dan obat-obatan. Di bidang kehutanan, diperlukan penelitian jamur untuk kesehatan lingkungan (bioremediasi), bioaktivator dalam perombakan limbah hutan seperti daun dan ranting.

UCAPAN TERIMA KASIH

Sebelum mengakhiri orasi ilmiah ini, perkenankanlah saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak/Ibu:

• Presiden Republik Indonesia, Menteri Kehutanan Republik Indonesia, Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan Kepala dan Anggota Panitia Penilai Jabatan Peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, atas kepercayaan yang diberikan kepada saya untuk memangku jabatan Ahli Peneliti Utama.

• Kepala Badan Litbang Kehutanan, Sekretaris Badan Litbang Kehutanan, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan atas dorongan, bantuan dan fasilitas serta kesempatan yang telah diberikan kepada saya selama ini.

• Secara khusus saya sampaikan kepada Ir. Sunaryo Hardjodarsono MSc, Ir. Abdurahim Martawijaya, Dr. Ir. Nana Supriana (Alm), Dr. Ir. Paribotro Sutigno, Dr. Ir. Kosasi Kadir (Alm), Dr. Ir. Ngaloken Gintings, Prof. Dr. Indrawati Ganjar, Prof. Dr. Mien Rifai yang telah membimbing dan memberikan dorongan dalam penelitian.

• Semua guru dan pembimbing serta para senior saya yang telah mendidik, memupuk dan menanamkan keyakinan, dan mengarahkan saya selama pendidikan dan penelitian.

Page 34: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

18 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

• Semua rekan-rekan peneliti, teknisi litkayasa dan administrasi serta semua rekan seprofesi yang telah menjalin kerjasama yang baik, memberikan bantuan dan pertolongan kepada saya selama ini.

• Bapak/Ibu Undangan atas kesediaannya meluangkan waktu dan tenaga untuk hadir pada acara ini.

• Semua panitia penyelenggara orasi ilmiah yang telah bekerja dengan baik sehingga dapat terlaksana dengan lancar.

• Kedua orang tua saya yaitu Bapak Praptosuwito (Alm.) dan Ibu Suprapti yang telah mendidik, membesarkan, mendorong dan membiayai saya. Semua saudara / kerabat yang pernah tinggal serumah yang telah mendorong dan membantu saya.

• Suami saya tercinta yang dengan sabar dan tulus ikhlas telah mendorong, membantu dan mengorbankan baik yang berupa materiil maupun spiritual, sampai mencapai Ahli Penelti Utama.

Hadirin yang saya hormati,

Demikianlah orasi ilmiah Ahli Peneliti Utama yang saya sampaikan. Apabila terdapat kata-kata saya yang keliru, khilaf dan kurang berkenan di hati, saya mohon maaf lahir bathin.

Akhirulkalam wabillahi tau k walhidayah. Wassalamu ’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.

Page 35: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

19HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

DAFTAR PUSTAKA

1. Humar, M., V. Vek., and B. Bu-an. 2008. Properties of blue-stained wood. Drvna Industrija 59 (2): 75-79

2. Zulpa, G., M.C. Zaccaro, F. Boccazzi, J.L. Parada, and M. Storni. 2002. Bioactivity of intra and extracellular substances from cyanobacteria and lactic acid bacteria on “wood blue stain” fungi. Biological control 27: 345-348. Academic Press.

3. Martawijaya, A.; S. Abdurrohim dan D. Martono. 1980. Pestisida pengganti Natrium-pentachlorophenol untuk mencegah serangan jamur biru pada kayu basah. Proceeding Diskusi Industri Perkayuan tanggal 26-27 Maret 1980 di Jakarta. Hal.: 121-125. Pusat Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

4. Wong , A.H.H., L.T. Hong and J. M. Shapei. 1995. Sap-stain in timber evaluation of anti-sapstain preservatives. Timber Technology Bulletin no. 4, November 1995. 4p. Timber Technology Centre, FRIM, Kuala Lumpur.

5. Antizar-Ladislao, B. 2008. Environmental levels, toxicity and human exposure to tributiltin (TBT)-contaminated marine environment. A review. Enviroment International 34: 292-308.

6. Anonimus. Aidol Primer/Blue stain inhibitor. Tecnical Information Sheet. Article No. 2040. p.: 1-2. REMMERS.

7. Benko, R. And T.L. Highly. 1990. Biological control of wood-attacking fungi using bacteria. Biodeterioration Research 3: 327-332. Plenum Press, New York.

8. Duncan, C.G. 1960. Softrot in wood and toxicity studies on causal fungi. American Wood-preservers Organisms. pp.: 1-8.

9. Martawijaya, A. 1983. Keawetan beberapa jenis kayu Dipterocarpaceae. Proceeding Pertemuan Ilmiah Pengawetan Kayu tanggal 12-13 Oktober 1983 di Jakarta. Hal.: 157-169. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

10. Suprapti, S. 1995. Pengaruh temperatur dan kelembaban terhadap intensitas pelapukan kayu bangunan. Laporan proyek penelitian tahun 1994. Tidak dipublikasikan.

11. Barly dan N. Supriana. 1983. 0rganisme perusak kayu di beberapa proyek perumahan rakyat. Proceeding Pertemuan Ilmiah Pengawetan Kayu tanggal 12-13 Oktober 1983 di Jakarta. Hal.: 18-28. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

12. Martawijaya, A. 1972. Keawetan dan pengawetan kayu karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) Laporan No. 1. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

13. Martawijaya, A. 1961. Beberapa hasil percobaan bantalan yang diawetkan. Pengumuman Lembaga Pusat Penyelidikan Kehutanan Nr 74. Lembaga Pusat Penyelidikan Kehutanan. Bogor-Indonesia.

14. Djarwanto, S. Suprapti, dan U. Sudardji. 2007. Kerusakan kayu bantalan rel kereta api. Prosiding Seminar Nasional Mapeki IX tanggal 11-13 Agustus 2006 di Banjarbaru. Hal.: 573-579. Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru.

Page 36: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

20 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

15. Anonim. 1971. Wooden railway ties: their advantages over steel and concrete. Technical Note No. 105. Forest Products Research and Industries Development, Laguna. Philippines.

16. Martawijaya, A. dan Barly. 2010. Pedoman pengawetan kayu untuk mengatasi jamur dan rayap pada bangunan rumah dan gedung. IPB Press.

17. Bruce, A. and B. King. 1983. Biological control of wood decay by Lentinus lepideus (Fr.) produced by Scytalidium dan Trichoderma residues. Material und Organismen 18. band 1983 Heft 3, Duncker & Humblot – Berlin. pp.: 171-181.

18. Bruce, A. and B. King. 1986. Biological control of decay in creosote treated distribution poles. Material und Organismen 21. band 1986 Heft 1, Duncker & Humblot–Berlin. pp.: 1-13.

19. Suhirman. 1983. Masalah soft-rot di daerah tropis. Proceeding Pertemuan Ilmiah Pengawetan Kayu tanggal 12-13 Oktober 1983 di Jakarta. Hal.: 28-37. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

20. Gosselink R.J.A., A.M.A. Krosse, J.C. van der Kolk, B.de Klark-Engels, and JEG. Van Dam. 2004. Wood preservation by low-temperature carbonization. Jurnal Industrial Crops and Products 19: 3-12.

21. Martawijaya, A. 1989. Keawetan kayu yang berasal dari hutan alam dan hutan tanaman. Proceedings Diskusi Sifat dan Kegunaan Jenis Kayu HTI, 23 Maret 1989 di Jakarta. Hal.: 280-288. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta.

22. Martawijaya, A. 1965. Pengaruh umur pohon terhadap keawetan kayu jati. Laporan No. 98. Hal.: 1-12. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

23. Suprapti, S. 2002. Ketahanan kayu mangium (Acacia mangium Willd.) terhadap sebelas jamur pelapuk. Bulletin Penelitian Hasil Hutan 20 (3): 187-193. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

24. Amemiya, S. and S. Matsuoka. 1979. Durability of tropical woods. JARJA 9, Vol. 13, No. 4. Tropical Agriculture Research Center, Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries. Japan.

25. Suprapti, S. and Djarwanto. 2001a. Decay resistance of some wood of small log diameter to the attack of white rot and brown rot fungi. In Utilization of Small Diameter Logs. Report on The Collaboration Research Project of Indonesia – Republic of Korea. pp.: 80-87. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

26. Suprapti, S., Djarwanto dan Hudiansyah. 2011. Ketahanan lima jenis kayu asal Lengkong Sukabumi terhadap beberapa jamur pelapuk. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 29 (3): 248-258. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor.

27. Suprapti, S., Djarwanto dan Hudiansyah. 2002. Ketahanan sembilan jenis kayu asal Kalimantan Timur terhadap jamur pelapuk. Prosiding Seminar Nasional IV Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia tanggal 6-9 Agustus 2001. Hal.: V.41 – V.47. Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman. Samarinda.

Page 37: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

21HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

28. Suprapti, S., Djarwanto dan Hudiansyah. 2003. Ketahanan delapan jenis kayu terhadap duabelas jamur pelapuk. Prosiding Seminar Nasional V MAPEKI tanggal 30 Agustus - 1 September 2002. Hal.: 179-184. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

29. Suprapti, S. dan Djarwanto. 2012. Ketahanan enam jenis kayu terhadap jamur pelapuk. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 30(3): 213-220. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor.

30. Suprapti, S. 2010. Decay resistance of 84 indonesian wood species against fungi. Journal of Tropical Forest Science 22(1): 81-87.

31. Djarwanto dan S. Abdurrohim. 2000. Teknologi pengawetan kayu untuk perpanjangan usia pakai. Buletin Kehutanan dan Perkebunan 1 (2): 159-172. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta.

32. Cummin, J. E. 1933. Blue stain in Pinus radiata (insignis) timber. Some preliminary experiments with case stock. Division of Forest Products Reprint 14. pp.: 244-251.

33. Holtam, B.W. 1966. Blue stain. Its affect on the wood of home grown conifers and suggested methods of control. Forestry commission. Lea eat No. 53: 1-3.

34. Salita, A.A. 1985. Techniques for the control of cane quality in small-scale rattan industries in the Philippines. In Wong, K. M. and N. Manokaran (ed.). Proceeding of the Rattan Seminar. pp.: 163-168. The Rattan Information Centre, Forest Research Institute, Kepong. Malaysia.

35. Suprapti, S. 1989. Kerentanan tiga jenis rotan komersil terhadap serangan jamur. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 6 (3): 194-197. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

36. Suprapti, S. 1990a. Penurunan nilai ekonomis rotan akibat organisme perusak. Kongres I Himpunan Perlindungan Tumbuhan Indonesia tanggal 8-10 Januari 1990 di Jakarta.

37. Sulthoni, A. 1986. Aspek proteksi hama penyakit dalam usaha pengembangan rotan. Dalam Silitonga, T. (ed.). Proceedings Lokakarya Nasional Rotan. Hal.: 218-233. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta.

38. Djarwanto, Jasni dan S. Suprapti. 2000. Ketahanan tiga jenis rotan terhadap jamur pelapuk. Proceedings Seminar Nasional II Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia tanggal 2-3 September 1999 di Yogyakarta. Hal.: 28-36. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.

39. Suprapti. S. 1990b. Pengaruh penggorengan terhadap serangan jamur pada tiga jenis rotan komersil. Kongres I Himpunan Perlindungan Tumbuhan Indonesia tanggal 8-10 Januari 1990 di Jakarta.

40. Basri, E. dan S. Karnasudirdja. 1987. Pengaruh penggorengan dan cara pengeringan terhadap sifat rotan balukbuk (Calamus burckianus) dan rotan seuti (Calamus ornatus). Jurnal Penelitian Hasil Hutan 4 (1): 17-21. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

Page 38: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

22 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

41. Suprapti, S. 1986. Pengaruh pestisida terhadap serangan jamur pada rotan manau (Calamus manan). Laporan Kegiatan Penelitian tahun 1985/1986. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

42. Djarwanto. 1992. Pengawetan tiga jenis rotan dengan senyawa boron. Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia tanggal 31 Juli-1 Agustus 1992 di Bandung.

43. Barly. 1999. Petunjuk teknis. Pengawetan bambu untuk bahan konstruksi bangunan dan mebel. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.

44. Suprapti, S. 1987. Kemungkinan pemasyarakatan jamur kayu di Indonesia. Duta Rimba 83-84/XIII/1987: 36-40. Perum Perhutani. Jakarta.

45. Djarwanto dan S. Suprapti. 1998. Decay resistance of three wood species against some wood destroying fungi. Proceedings of The Second International Wood Science Seminar, November 6-7, 1998, Serpong. pp.: C57-C63. Research and Development Center For Applied Physics, LIPI. Indonesia.

46. Suprapti, S. dan Djarwanto. 2000. Ketahanan 15 jenis kayu terhadap jamur pelapuk putih. Proceedings Seminar Nasional II Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia tanggal 2-3 September 1999. Buku 2. Hal.: 19-27. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.

47. Suprapti, S. dan Djarwanto. 2001b. Pemanfaatan dolok kayu untuk media jamur Pleurotus sajor-caju. Environment Conservation Through Ef ciency Utilization of Forest Biomass. pp.: 333-340. Debut Press Jogyakarta. Yogyakarta.

48. Suprapti, S. dan Djarwanto. 2002. Produktivitas tiga jenis jamur kuping pada dolok diameter kecil 20 jenis kayu. Prosiding Seminar Nasional IV Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia tanggal 6-9 Agustus 2001 di Samarinda. Hal.: VI.59 – VI.65. Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman. Samarinda

49. Suprapti, S. 1993. Cultivation of some species of edible mushroom on log and sawdust media. The First International Conference on Mushroom Biology and Mushroom Products, 23-26th August, 1993. Hong Kong.

50. Djarwanto dan S. Suprapti. 2001. Pemanfaatan serbuk gergaji kayu diameter kecil untuk media tiga jenis jamur tiram. Environment Conservation Through Ef ciency Utilization of Forest Biomass. pp.: 325-332. Debut Press Jogjakarta. Yogjakarta.

51. Suprapti, S. dan Djarwanto. 1994a. Pertumbuhan jamur Lentinus edodes pada substrat serbuk gergaji dari kayu hutan tanaman. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan Peranan Mikrobiologi Dalam Industri Pangan tanggal 10 Desember 1994. Hal.: 332-337. Institut Pertanian Bogor.

52. Suprapti, S. and Djarwanto. 1994b. Screening of edible mushroom strains on various wood waste from Indonesia. Research Report On The International Collaborative Project “Screening and Utilization Of Agricultural Wastes Degrading Microorganisms. pp.: 31-47. Seoul National University, Seoul 151-742. Korea.

Page 39: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

23HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

53. Suprapti, S. and Djarwanto. 1995a. Screening and selection of edible mushrooms that have high economic value and utilize wood waste as media. Research Report On The International Collaborative Project “Screening and Utilization Of Agricultural Wastes Degrading Microorganisms. pp.: 105-131. Seoul National University, Seoul 151-742. Korea.

54. Suprapti, S. dan Djarwanto. 1995b. Biokonversi limbah lignoselulosa menjadi biomasa yang dapat dimakan. Prosiding Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional VI tanggal 11-15 September 1995 di Jakarta. Buku II. Hal.: 1050-1072. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

55. Djarwanto, S. Suprapti dan I. Gandjar. 2003. Produktivitas dua strain Lentinula edodes pada media serbuk gergaji lima jenis kayu. Prosiding Seminar Nasional V MAPEKI tanggal 30 Agustus- 1 September 2002 di Bogor. Hal.: 598-604. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

56. Suprapti, S. dan Djarwanto. 1996. Biokonversi serbuk gergaji beberapa jenis kayu oleh tiga strain Lentinula edodes. Seminar Nasional Mikrobiologi Lingkungan tanggal 9-10 Oktober 1996 di Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor.

57. Suprapti, S. dan Djarwanto. 1995c. Beberapa jenis jamur pelapuk kayu yang telah dimanfaatkan untuk bahan pangan. Prosiding Widya Karya Nasional Khasiat Makanan Tradisional tanggal 9-11 Juni 1995. Hal.: 559-563. Kantor Menteri Negara Urusan Pangan Republik Indonesia. Jakarta.

58. Pasaribu, T., D.R. Permana dan E.R. Alda. 2002. Aneka jamur unggulan yang menembus pasar. PT Gramedia. Jakarta.

59. Suprapti, S., Djarwanto dan D. Djaenudin. 2005. Teknologi budidaya dan optimalisasi pemanenan jamur tiram dengan media serbuk gergaji pada skala kecil. Laporan Hasil Penelitian tahun 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

60. Djarwanto, I. Gandjar dan S. Suprapti. 2002. Pertumbuhan dan produktivitas Lentinula edodes asal Kalimantan Timur pada media serbuk gergaji 15 jenis kayu. Prosiding Seminar Nasional IV Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia tanggal 6-9 Agustus 2001 di Samarinda. Hal.: VI.37 – VI.43. Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman. Samarinda.

61. Buswell, J.A. and S. T. Chang. 1993. Edible mushrooms: attributes and applications. In Chang, S.T., J.A. Buswell and P.G. Miles (Eds.). Genetics and Breeding of Edible Mushroom. pp.: 297-324. Gordon and Breach Science Publishers. USA.

62. Lee, J-W., Koo, B-W., Choi, J-W., Choi, D-H., and I-G Choi. 2008. Evaluation of waste mushroom logs as a potential biomass resource for the production of bioethanol. Bioresource Technology 99: 2736-2741.

63. Irawanti, S. 2003. Kegiatan penelitian aksi pada perencanaan pembangunan social forestry. Semiloka “Hasil Kajian Lapang Social Forestry”. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan. Bogor.

Page 40: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

24 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

64. Djarwanto, S. Suprapti, A.N. Gintings and Han Roliadi. 2004. Enhanching the enthusiasm of village community through mushroom cultivation. Proceeding of The International Workshop on “Better Utilization of Forest Biomass For Local Community and Environments”, March 16-17, 2004, Bogor. pp.: 77-91. Research and Development Center For Forest Products Technology. Bogor-Indonesia.

65. Astawan, M dan T. Wresdiyati. 2005. Diet sehat dengan makanan berserat. Cetakan pertama. Hal.: 2-7. Tiga Serangkai. Solo.

66. Sudirman, L.M. 2005. Pengembangan produk pangan fungsional dari jamur tiram. Pra Workshop Pengembangan Produk dan Industri Jamur Pangan Indonesia. tanggal 1-2 Agustus 2005. Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Bioindustri, BPPT. Jakarta.

67. Crisan, E.V. and A. Sands. 1978. Nutritional value. In Chang, S.T. and W.A. Hayes (Eds.) The Biology and Cultivation of Edible Mushrooms. pp.: 137-168. Academic Press. New York.

68. Bano, Z. and S. Rajarathnam. 1982. Pleurotus mushroom as a nutritious food. In Chang, S.T. and T.H. Quimio (Eds) Tropical Mushrooms Biological Nature and Cultivation Methods. pp.: 363-380. The Chinese University Press. Hong Kong.

69. FAO. 1982. Growing oyster mushroom. FAO Regular Programme. No. RAPA 54. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Bangkok.

70. Djarwanto dan S. Suprapti. 1990. Nilai gizi jamur Pleurotus abellatus. Seminar Ilmiah Nasional Peranan Biologi Dalam Peningkatan Pengelolaan Sumber Daya Hayati. tanggal 20-21 September 1990 di Yogyakarta. Fakultas Biologi UGM. Yogyakarta.

71. Djarwanto dan S. Suprapti. 1992. Nilai gizi jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) yang ditanam pada media dari limbah penggergajian. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi tanggal 11-12 Pebruari 1992 di Bogor. Hal.: 82-88. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor.

72. Garcha, H.S., P.K. Khana and G.L. Soni. 1993. Nutritional importance of mushroom. In Chang, S.T., J.A. Buswell and S.W. Chiu (Eds.). Mushroom Biologi and Mushroom Products. pp.: 227-236. The Chinese University Press. Hong Kong.

73. Isnawan, H.H., N. Widyastuti, dan T. Donowati. 2005. Pengembangan produk nutraceutical berbasis jamur pangan. Pra Workshop Pengembangan Produk dan Industri Jamur Pangan Indonesia tanggal 1-2 Agustus 2005. Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Bioindustri, BPPT. Jakarta.

74. Heyne. K. 1987. Tumbuhan berguna Indonesia I. Cetakan-1. Hal.: 25-62. Departemen Kehutanan RI. Jakarta.

75. FAO. 1982a. Growing Jew’s ear mushroom. FAO Regular Programme. No. RAPA 55. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Bangkok.

76. Lin, Z.B. 1993. Advances in the pharmacology of Tremella polysaccharides. In Chang, S.T., J.A. Buswel and S.W. Chiu (Eds.). Mushroom Biology and Mushroom Products. pp.: 293-299. The Chinese University Press. Hong Kong.

Page 41: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

25HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

77. Chang, S.T. and P.G. Miles. 2004. Mushrooms cultivation, nutritional value, medicinal effect, and environmental impack. Second Edition. 477 p. CRC Press.

78. Cochran, K.W. 1978. Medical effects. In Chang, S.T. and W.A. Hayes (Eds.) The Biology and Cultivation of Edible Mushrooms. pp.: 169-189. Academic Press. New York.

79. Chang, S.T. 1993. Mushroom biology: The impact on the mushroom production and mushroom products. In Chang, S.T., J.A. Buswell and S.W. Chiu (Eds.). Mushroom Biologi and Mushroom Products. pp.: 3-20. The Chinese University Press. Hong Kong.

80. Mizuno, T. 1999. Arti cial cultivation of Ganoderma lucidum. Network Global Publishing. Japan.

81. Hattori, M. 1997. Inhibitory effect of component from Ganoderma lucidum on the growth of human immunode ciency virus (HIV) and the protease activity. Kenson Electronic Publishing. Japan.

82. Away, Y., D.H. Goenadi, R.A. Pasaribu dan G.I. Santosa. 1998. Biopulping tandan kosong kelapa sawit. Pertemuan Teknis Bioteknologi Perkebunan Untuk Praktek tanggal 6-7 Mei 1998. Unit Penelitian Bioteknologi Perkebunan. Bogor.

83. Goenadi, D.H., Mukhtarudin, B. Tambunan and. R.A. Pasaribu. 1997. Fungal pretreatment of tropical sofwoods for medium density breboards. Menara perkebunan 65 (2): 95-103. Unit Penelitian Bioteknologi Perkebunan. Bogor.

84. Prasetyo, B, T. Idiyanti, D.H. Goenadi, R.M. Siagian, S. Yoshida, T. Watanabe and M. Kuwahara. 1996. Production of lignolytic enzymes of white-rot fungi from Indonesian tropical rainforest and their bleachability on the kraft pulp of Acacia mangium. Proceeding First International Symposium of Wood Science, Desember 6-7, 1996. Kyoto University. Japan.

85. Goenadi, D.H., Y. Away, Y. Sukin, H. Yusuf, Gunawan, A. Aritonang dan H. Wibowo. 1998. Teknologi produksi kompos bioaktif tandan kosong kelapa sawit. Pertemuan Teknis Bioteknologi Perkebunan Untuk Praktek tanggal 6-7 Mei 1998. Unit Penelitian Bioteknologi Perkebunan. Bogor.

86. Goenadi, D.H. 1997. Kompos bioaktif dari tandan kosong kelapa sawit. Pertemuan Teknis Bioteknologi Perkebunan Untuk Praktek tanggal 1 Mei 1997. Unit Penelitian Bioteknologi Perkebunan. Bogor.

87. Suprapti S., E. Santoso, Djarwanto & M. Turjaman. 2012. Pemanfaatan kompos kulit kayu mangium untuk media pertumbuhan cendawan mikoriza arbuskula dan bibit Acacia mangium. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 30 (2): 114-123. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor.

88. Knapp. J.S., E.J. Vantoch-wood and F. Zhang. 2001. Use of wood-rotting fungi for the descolorization of dyes and industrial ef uents. In Fungi in Bioremediation. Edited by G.M. Gadd. pp.: 242-304. The University Press, Cambridge. United Kingdom.

89. Sulistiawati. 1997. Studi penghilangan warna air limbah dari pabrik pulp dan kertas mempergunakan Pleurotus ostreatus HHBI-314. Tesis Magister. Progam studi magister ilmu kimia. Program Pasca sarjana, Universitas Indonesia. Jakarta.

Page 42: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

26 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

90. Buswell, J.A. 2001. Fungal biodegradation of chlorinated monoaromatics and BTEX compounds. In Fungi in Bioremediation. Edited by G.M. Gadd. pp.: 113-135. The University Press, Cambridge. United Kingdom.

91. Maloney, S. 2001. Pesticide Degradation. In Fungi in Bioremediation. Edited by G.M. Gadd. pp. 188-223. The University Press, Cambridge. United Kingdom.

92. Cerniglia, C. and J.B. Sutherland. 2001. Bioremediation of polycyclic aromatic hydrocarbons by ligninolytic and non-ligninolytic fungi. In Fungi in Bioremediation. Edited by G.M. Gadd. pp.: 136-187. The University Press, Cambridge. United Kingdom.

93. Tachibana, S., Y. Kiyota and M. Koga. 2006. Bioremediation of 2,3,7,8-tetrachlorodibenzo-p-dioxin in soil by fungi screened from nature. Pakisan Journal of Biological Sciences 9 (2): 217-222.

94. Zadrazil, F. 1993. Conversion of lignocellulosics into animal feed with white-rot fungi. In Chang, S.T., J.A. Buswell and S.W. Chiu (Eds.). Mushroom Biology and Mushroom Products. pp.: 151-162. The Chinese University Press. Hong Kong.

95. Sutrisna, R.S. 1993. Peningkatan mutu nutrisi serat kelapa sawit melalui fermentasi oleh jamur Pleurotus ostreatus, P. abellatus, dan Schizophyllum commune. Skripsi S1. Fakultas Peternakan, IPB. Bogor.

96. Shmidt, O. 2006. Wood and tree fungi: biologi, damage, protection, and use. 336 p. Springer-Verlag Berlin Heidelberg.

DAFTAR PUBLIKASI ILMIAH

1. Suprapti, S. 1980. Peranan bakteri fermentasi dalam mengatasi krisis energi. Kehutanan Indonesia No. 2, Tahun VI. Direktorat Djenderal Kehutanan. Jakarta.

2. Suprapti, S. 1980. Kerusakan kayu akibat serangan softrot dan cara penyerangannya. Kehutanan Indonesia No.3, Tahun VII. Direktorat Djenderal Kehutanan. Jakarta.

3. Suprapti, S. 1980. Beberapa hama hasil hutan dan cara pencegahannya. Lustrum V, Fakultas Biologi UGM tanggal 22-24 Desember 1980 di Yogyakarta.

4. Suprapti, S. 1981. Jamur Biru Pada Beberapa Kayu Eksport. Kongres Nasional Biologi V tanggal 26-28 Juni 1981 di Semarang.

5. Sumarni, G. & S. Suprapti. 1981. Kayu dan permasalahannya. Kongres Ilmu Pengetahuan Indonesia III tanggal 14-19 September 1981 di Jakarta. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

6. Suprapti, S. 1981. Catatan tentang perombakan komponen kayu oleh jamur. Dalam Mikrobiologi Di Indonesia. Kumpulan Makalah Kongres Mikrobiologi III tanggal 26-28 Nopember 1981di Jakarta. Edisi 1983. Hal.: 511-513.

7. Suprapti, S. 1982. Catatan tentang pentingnya budidaya jamur kayu. Proceeding Seminar Kelompok Disiplin Balai Penelitian Hasil Hutan tahun 1982. Hal.: 1-14. Balai Penelitian Hasil Hutan . Bogor.

Page 43: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

27HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

8. Suprapti, S. 1983. Pengaruh antagonistik dari beberapa jamur termakankan dengan Schizophyllum commune dalam laboratorium. Kongres Nasional Biologi VI tanggal 17-19 Juli 1983 di Surabaya.

9. Suprapti, S. 1983. Pengenalan dan pencegahan jamur biru pada beberapa kayu perdagangan. Pertemuan Ilmiah Pengawetan Kayu tanggal 12-13 Oktober 1983 di Jakarta. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

10. Suprapti, S. 1983. Jamur perusak kayu merupakan sumber bahan makanan. Pertemuan Ilmiah Pengawetan Kayu tanggal 12-13 Oktober 1983 di Jakarta. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

11. Suprapti, S. 1983. Catatan tentang pertumbuhan jamur kerang (Pleurotus sp.) pada media serbuk gergaji. Proceeding Pertemuan Ilmiah Pengawetan Kayu tanggal 12-13 Oktober 1983 di Jakarta. Hal.: 91-96. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

12. Suprapti, S. 1985. Pengaruh substrat terhadap nilai makanan jamur tiram (Pleurotus ostreatus). Kongres Mikrobiologi IV dan Pertemuan I Mikrobiologiwan ASEAN tanggal 2-4 Desember 1985 di Jakarta.

13. Suprapti, S. & S. Karnasudirdja. 1987. Kepekaan empat jenis rotan terhadap serangan jamur. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kehutanan III (2): 26-29. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.

14. Suprapti, S. 1987. Serangan bubuk dan jamur pewarna menurunkan nilai ekonomis rotan. Kongres Entomologi III tanggal 30 September - 2 Oktober 1987 di Jakarta.

15. Suprapti, S. 1987. Pengaruh media kompos terhadap nilai gizi jamur tiram (Pleurotus ostreatus). Kongres Nasional Biologi VIII tanggal 8-10 Oktober 1987 di Purwokerto. Universitas Jenderal Sudirman. Purwokerto.

16. Suprapti, S. 1987. Kemungkinan pemasyarakatan jamur kayu di Indonesia. Duta Rimba 83-84/XIII/1987: 36-40. Perum Perhutani. Jakarta.

17. Suprapti, S. 1987. Pembudidayaan jamur tiram (Pleurotus ostreatus) dengan media limbah kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 4 (3): 50-53. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

18. Suprapti, S. 1987. Pemanfatan limbah industri penggergajian untuk media jamur tiram. Duta Rimba 87-88/XIII/1987: 38-40. Perum Perhutani. Jakarta.

19. Suprapti, S. & G. Sumarni. 1987. Pertumbuhan jamur kuping (Auricularia polytricha) pada delapan jenis kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 4 (4): 67-69. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

20. Suprapti, S. 1988. Organisme perusak rotan dan pencegahannya. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kehutanan IV (1): 9-14. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.

21. Suprapti, S. 1988. Limbah kayu sebagai media tumbuh jamur tiram (Pleurotus ostreatus). Rimba Indonesia XXII (1-2): 103-106. PPAK Jakarta.

Page 44: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

28 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

22. Suprapti, S. 1988. Pembudidayaan jamur kuping pada sebelas jenis kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 5 (3): 101-103. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

23. Suprapti, S. 1988. Pembudidayaan jamur tiram pada serbuk gergaji dari lima jenis kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 5 (4): 207-210. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

24. Suprapti, S. 1988. Pembudidayaan jamur kuping pada kayu turi (Sesbania grandi ora (L.). Poir). Jurnal Penelitian Hasil Hutan 5 (5):262-264. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

25. Suprapti, S. 1988. Budidaya jamur perusak kayu I. Pengaruh penambahan dedak terhadap produksi jamur tiram. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 5 (6): 337-339. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

26. Suprapti, S. 1988. Budidaya jamur perusak kayu II. Penilaian e siensi biologi pada media dari limabelas jenis kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 5 (6): 357-359. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

27. Suprapti, S. 1988. Budidaya jamur perusak kayu III. Budidaya Auricularia polytricha pada dolok lima jenis kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 5 (6): 375-377. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

28. Suprapti, S. & G. Sumarni. 1988. Budidaya jamur perusak IV. Kultur jamur pada substrat serbuk gergaji yang diperkaya. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 5 (7): 385-388. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

29. Suprapti, S. & G. Sumarni. 1988. Budidaya jamur perusak V. Budidaya Pleurotus abellatus pada enam jenis kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 5 (7): 410-412. Pusat

Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

30. Suprapti, S. & G. Sumarni. 1988. Budidaya jamur perusak VI. Budidaya Pleurotus ostreatus pada dolok lima jenis kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 5 (7): 434-436. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

31. Suprapti, S. & Djarwanto. 1989. Pemanfaatan limbah pertanian untuk media jamur tiram, Pleurotus ostreatus. Buku Risalah Seminar Bioteknologi Indonesia tanggal 27 Pebruari-1 Maret 1989. Hal.: 222-227. PAU Bioteknologi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

32. Suprapti, S. 1989. Pemanfaatan limbah kayu HTI untuk media jamur tiram. Proceedings Diskusi Sifat dan Kegunaan Jenis Kayu HTI tanggal 23 Maret 1989 di Jakarta. Hal.: 328-338. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.

33. Suprapti. S. 1989. Kerentanan tiga jenis rotan komersil terhadap serangan jamur. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 6 (3): 194-197. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

34. Suprapti. S. 1989. Pengaruh penambahan pupuk terhadap produksi jamur tiram. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 6 (4): 225-230. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

Page 45: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

29HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

35. Suprapti, S. 1989. Pembudidayaan jamur tiram (Pleurotus abellatus) pada tujuh jenis kayu. Duta Rimba 109-110/XV/1989: 13-17. Perum Perhutani. Jakarta.

36. Djarwanto & S. Suprapti. 1989. Pertumbuhan tiga jenis jamur perusak kayu pada media agar yang diperlakukan dengan Wolmanit CB. Kongres Nasional V Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia tanggal 4-6 Desember 1989 di Yogyakarta.

37. Suprapti. S. & Djarwanto. 1989a. Pembudidayaan jamur tiram dengan media limbah kelapa. Kongres Nasional V Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia tanggal 4-6 Desember 1989 di Yogyakarta.

38. Suprapti. S. & Djarwanto. 1989b. Dolok dari beberapa jenis kayu untuk media jamur kuping (Auricularia polytricha). Kongres Nasional V Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia tanggal 4-6 Desember 1989 di Yogyakarta.

39. Suprapti. S. 1990a. Penurunan nilai ekonomis rotan akibat organisme perusak. Kongres I Himpunan Perlindungan Tumbuhan Indonesia tanggal 8-10 Januari 1990 di Jakarta.

40. Suprapti. S. 1990b. Pengaruh penggorengan terhadap serangan jamur pada tiga jenis rotan komersil. Kongres I Himpunan Perlindungan Tumbuhan Indonesia tanggal 8-10 Januari 1990 di Jakarta.

41. Djarwanto & S. Suprapti. 1990. Pengendalian serangan jamur Aspergillus niger dan Diplodia sp. pada kayu secara laboratoris. Seminar Ilmiah Nasional Peranan Biologi Dalam Peningkatan Pengelolaan Sumber Daya Hayati tanggal 20-21 September di Yogyakarta. Fakultas Biologi UGM. Yogyakarta.

42. Suprapti. S. & Djarwanto. 1990. Pemanfaatan limbah kayu karet untuk media jamur yang enak dimakan. Seminar Ilmiah Nasional Peranan Biologi Dalam Peningkatan Pengelolaan Sumber Daya Hayati tanggal 20-21 September 1990 di Yogyakarta. Fakultas Biologi UGM. Yogyakarta.

43. Suprapti. S. & Jasni. 1990. Organisme perusak rotan di industri mebel. Seminar Ilmiah Nasional Peranan Biologi Dalam Peningkatan Pengelolaan Sumber Daya Hayati tanggal 20-21 September 1990 di Yogyakarta. Fakultas Biologi UGM. Yogyakarta.

44. Djarwanto & S. Suprapti. 1990. Nilai gizi jamur Pleurotus abellatus. Seminar Ilmiah Nasional Peranan Biologi Dalam Peningkatan Pengelolaan Sumber Daya Hayati, 20-21 September 1990 di Yogyakarta. Fakultas Biologi UGM. Yogyakarta.

45. Suprapti. S., Jasni & N. Supriana. 1991. Pencegahan bubuk dan jamur perusak pada rotan. Risalah Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional V tanggal 3-7 September 1991 di Jakarta. Buku V. Hal.: 181-196. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

46. Djarwanto & S. Suprapti. 1991. Pengeringan jamur kayu yang enak dimakan. Prosiding Seminar Ilmiah dan Kongres Nasional Biologi X tanggal 24-26 September 1991. Volume I. Hal.: 117-123. PBI. Bogor.

47. Suprapti, S. & Y.I. Mandang. 1991. Ketahanan kayu raja terhadap dua jenis jamur perusak kayu. Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia tanggal 2-3 Desember 1991 di Bogor.

Page 46: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

30 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

48. Suprapti, S. & Djarwanto. 1992. Pengaruh pengomposan serbuk gergaji kayu jeungjing terhadap produksi jamur yang enak dimakan. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi tanggal 11-12 Pebruari 1992 di Bogor. Hal.: 89-97. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor.

49. Djarwanto & S. Suprapti. 1992. Nilai gizi jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) yang ditanam pada media dari limbah penggergajian. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi tanggal 11-12 Pebruari 1992 di Bogor. Hal.: 81-88. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor.

50. Suprapti, S. & Jasni. 1992. Kerentanan beberapa jenis rotan terhadap bubuk. Kongres Entomologi IV tanggal 28-30 Januari 1992 di Yogyakarta.

51. Jasni & S. Suprapti. 1992. Serangga dan Jamur perusak di industri rotan Jawa Timur. Kongres Entomologi IV tanggal 28-30 Januari 1992 di Yogyakarta.

52. Suprapti, S. 1992. Pemanfatan kompos kulit kayu untuk media jamur yang dapat dimakan. Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia tanggal 31 Juli-1 Agustus 1992 di Bandung.

53. Suprapti, S. 1993. Cultivation of some species of edible mushroom on log and sawdust media. The First International Conference on Mushroom Biology and Mushroom Products, 23-26th August, 1993. Hong Kong.

54. Suprapti, S. & Djarwanto. 1993. Utilization of lumber waste of aren for edible mushroom media. The First International Conference on Mushroom Biology and Mushroom Products, 23-26th August, 1993. Hong Kong.

55. Suprapti, S. 1993. Pemanfaatan limbah kayu untuk media produksi jamur pangan. Sarasehan Peladang Berpindah tanggal 15 September 1993 di Kalimantan Barat. Universitas Tanjungpura. Pontianak.

56. Suprapti, S. & Djarwanto. 1993. Pengaruh pengomposan serbuk gergaji kayu karet terhadap pertumbuhan tiga jenis jamur tiram. Kongres Nasional VI Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia dan Pertemuan Mikrobiologiwan ASEAN tanggal 2-4 Desember1993 di Surabaya.

57. Suprapti, S. & Djarwanto. 1994. Pertumbuhan jamur lentinus edodes pada substrat serbuk gergaji dari kayu hutan tanaman. Prosiding Pertemuan Ilmih Tahunan Peranan Mikrobiologi Dalam Industri Pangan tanggal 10 Desember 1994. Hal.: 332-337. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

58. Djarwanto & S. Suprapti. 1994. E siensi konversi biologi jamur pelapuk putih yang dapat dimakan pada substrat serbuk gergaji. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan Peranan Mikrobiologi Dalam Industri Pangan tanggal 10 Desember 1994. Hal.: 338-342. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Page 47: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

31HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

59. Suprapti, S., Djarwanto, & I. Gandjar. 1994. The effect of calcium compound supplementation on sawdust substrate to the biological conversion ef ciency of mushroom. The 7th International Congress of Bacteriology and Applied Microbiology Division and Mycology Division, July 3-8, 1994, Prague. Czechoslovakia.

60. Suprapti, S. & Djarwanto. 1994. Screening of edible mushroom strains on various wood waste from indonesia. Research Report On The International Collaborative Project “Screening and Utilization Of Agricultural Wastes degrading Microorganisms. p.: 31-47. Seoul National University, Seoul 151-742. Korea.

61. Djarwanto, S. Suprapti, & I. Gandjar. 1995. Manfaat jamur tiram dalam upaya peningkatan nilai ekonomi limbah kayu. Prosiding Lokakarya Nasional Mikrobiologi Lingkungan tanggal 27-28 September 1994. Hal.: 77-84. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor.

62. Suprapti, S. & Djarwanto. 1995. Beberapa jenis jamur pelapuk kayu yang telah dimanfaatkan untuk bahan pangan. Prosiding Widya Karya Nasional Khasiat Makanan Tradisional tanggal 9-11 Juni 1995. Hal.: 559-563. Kantor Menteri Negara Urusan Pangan Republik Indonesia. Jakarta.

63. Djarwanto & S. Suprapti. 1995. Produktivitas Lentinula edodes asal Kalimantan pada media dari serbuk gergaji. Prosiding Widya Karya Nasional Khasiat Makanan Tradisional tanggal 9-11 Juni 1995. Hal.: 564-573. Kantor Menteri Negara Urusan Pangan Republik Indonesia. Jakarta.

64. Suprapti, S. & Djarwanto. 1995. Pelapukan kayu segar dan biokonversi limbah penggergajian oleh Pleurotus cystidiosus. Seminar Ilmiah Nasional Biologi XI tanggal 24-26 Juli 1995 di Depok.

65. Suprapti, S. & Djarwanto. 1995. Screening and selection of edible mushrooms that have high economic value and utilize wood waste as media. Research Report On The International Collaborative Project “Screening and Utilization of Agricultural Wastes Degrading Microorganisms. p.: 101-131. Seoul National University, Seoul 151-742. Korea.

66. Suprapti, S. & Djarwanto. 1995. Biokonversi limbah lignoselulosa menjadi biomasa yang dapat dimakan. Prisiding Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional VI tanggal 11-15 September 1995. Buku II. Hal.: 1050-1072. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

67. Suprapti, S. & Adri. 1995. Beberapa jamur pelapuk kayu di Kalimantan Timur dan Riau. Prosiding Diskusi Hasil Penelitian Kehutanan tanggal 27-28 Nopember 1995. Hal.: 172-178. Balai Penelitian Kehutanan Pematang Siantar.

68. Adri & S. Suprapti. 1995. Pertumbuhan jamur tiram (Pleurotus ostreatus dan Pleurotus sajor-caju) pada media dolok buatan. Prosiding Diskusi Hasil Penelitian Kehutanan tanggal 27-28 Nopember 1995. Balai Penelitian Kehutanan Pematang Siantar.

Page 48: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

32 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

69. Rochani, S., B. Agung, Jasni & S. Suprapti. 1996. Pengujian e kasi senyawa tributiltimah terhadap rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus Light. Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengembangan Fisika Terapan & Lingkungan 1995/1996 di Bandung.

70. Suprapti, S. & Djarwanto. 1996. Biokonversi serbuk gergaji beberapa jenis kayu oleh tiga strain Lentinula edodes. Seminar Nasional Mikrobiologi Lingkungan tanggal 9-10 Oktober 1996. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor.

71. Djarwanto, I. Gandjar & S. Suprapti. 1996. Pengaruh penambahan trisuperfosfat terhadap biokonversi serbuk gergaji kayu hutan tanaman oleh jamur tiram. Seminar Nasional Mikrobiologi Lingkungan tanggal 9-10 Oktober 1996. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor.

72. Suprapti, S dan Djarwanto. 1996. Pencegahan serangan jamur pada rotan segar. Seminar Nasional Mikrobiologi & Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia tanggal 12-13 Nopember 1996 di Malang.

73. Djarwanto, I. Gandjar & S. Suprapti. 1996. Pengaruh penambahan urea terhadap biokonversi serbuk gergaji kayu hutan tanaman oleh tiga jenis jamur Pleurotus. Seminar Nasional Mikrobiologi & Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia tanggal 12-13 November 1996 di Malang.

74. Pasaribu, R.A., S. Komarayati & S. Suprapti. 1998. Studi biodeligni kasi campuran limbah kayu pembalakan sebagai bahan baku pulp. Buletin Penelitian Hasil Hutan 15 (7): 433-447. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan & Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.

75. Suprapti, S. & Djarwanto. 1998. Penerapan teknologi budidaya jamur kayu yang dapat dimakan untuk mempercepat proses pembusukan limbah serbuk gergaji. Prosiding Seminar Nasional Penerapan Teknologi Kendali dan Instrumentasi Pada Pertanian tanggal 28-29 Oktober 1998. Hal.: S1-5: 1-10. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta.

76. Djarwanto & S. Suprapti. 1998. Decay resistance of three wood species against some wood destroying fungi. Proceedings of The Second International Wood Science Seminar, November 6-7, 1998, Serpong. p.: C57-C63. Research and Development Center For Applied Physics, LIPI. Indonesia.

77. Suprapti, S. & Djarwanto. 1998. Bioconversion of sawdust of ve wood species by black ear-mushroom (Auricularia polytricha). Proceedings of The Second International Wood Science Seminar, November 6-7, 1998, Serpong. p.: E23-E28. Research and Development Center For Applied Physics, LIPI. Indonesia.

78. Suprapti, S. 1999. Petunjuk Teknis Budidaya Jamur Tiram. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.

79. Suprapti, S., G. Sumarni, P. Sukartana & Barly. 2000. Skrining beberapa macam pestisida nabati dan limbah industri terhadap jamur pelapuk kayu. Prosiding Forum Komunikasi Ilmiah Pemanfaatan Pestisida Nabati tanggal 9-10 Nopember 1999. Hal.: 392-398. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan. Bogor.

Page 49: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

33HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

80. Suprapti, S. & Djarwanto. 2000a. Ketahanan 15 jenis kayu terhadap jamur pelapuk putih. Proceedings Seminar Nasional II Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia tanggal 2-3 September 1999. Buku 2. Hal.: 19-27. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.

81. Djarwanto & S. Suprapti. 2000a. Biokonversi media serbuk gergaji 9 jenis kayu oleh Lentinula edodes asal Kalimantan. Proceedings Seminar Nasional II Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia tanggal 2-3 September 1999 di Yogyakarta. Buku 1. Hal.: 399-409. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.

82. Djarwanto, Jasni & S. Suprapti. 2000. Ketahanan tiga jenis rotan terhadap jamur pelapuk. Proceedings Seminar Nasional II Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia tanggal 2-3 September 1999 di Yogyakarta. Buku 2. Hal.: 28-36. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.

83. Suprapti, S. 2000. Petunjuk teknis budidaya jamur tiram pada media serbuk gergaji. Pusat Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

84. Djarwanto & S. Suprapti. 2000b. Biokonversi limbah penggergajian oleh shiitake (Lentinula edodes). Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi tanggal 7-9 Maret 2000 di Cibinong. Hal.: 167-175. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor.

85. Suprapti, S. & Djarwanto. 2000b. Seleksi fungi pelapuk lignin untuk biopulping. Prosiding Seminar Nasional Industri Ensim dan Bioteknologi tanggal 15-16 Pebruari 2000 di Jakarta. Hal.: 43-50. Direktorat Teknologi Bioindustri BPPT. Jakarta.

86. Suprapti, S. & Djarwanto. 2000c. Pengaruh penggunaan bibit dalam empat macam media terhadap produktivutas Pleurotus ostreatus dan P. sajor-caju. Prosiding 1 Seminar Ilmiah Nasional Aplikasi Biologi Dalam Peningkatan Kesejahteraan Manusia dan Kualitas Lingkungan tanggal 22 September 2000 di Yogyakarta. Hal.: 121-129. Medika Fakultas Kedokteran UGM. Yogyakarta.

87. Djarwanto & S. Suprapti. 2000c. Produktivitas Ganoderma lucidum dan Schizophyllum commune pada berbagai macam komposisi media. Prosiding 1 Seminar Ilmiah Nasional Aplikasi Biologi Dalam Peningkatan Kesejahteraan Manusia dan Kualitas Lingkungan tanggal 22 September 2000 di Yogyakarta. Hal.: 130-139. Medika Fakultas Kedokteran UGM. Yogyakarta.

88. Suprapti, S. & Djarwanto. 2001a. Kemampuan sepuluh isolat jamur dalam melapukkan kayu. Prosiding Seminar Nasional III Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia tanggal 22-23 Agustus 2000 di Jatinangor. Hal.: 190-197. Fakultas Kehutanan Universitas Winayamukti. Bandung.

89. Djarwanto, S. Suprapti & Hudiansyah. 2001. Ketahanan lima jenis kayu dolok diameter kecil terhadap enam jenis jamur pelapuk. Prosiding Seminar Nasional III Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia tanggal 22-23 Agustus 2000 di Jatinangor. Hal.: 453-460. Fakultas Kehutanan Universitas Winayamukti. Bandung.

Page 50: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

34 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

90. Suprapti, S. & Djarwanto. 2001b. Decay resistance of some wood of small log diameter to the attack of white rot and brown rot fungi. In Utilization of Small Diameter Logs. Report on the Collaboration Research Project of Indonesia – Republic of Korea. p.: 80-87. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

91. Suprapti, S. & Djarwanto. 2001c. Pemasyarakatan budidaya jamur tiram pada kelompok tani di Bogor, hambatan dan kendalanya. Prosiding Seminar Keanekaragaman Hayati dan Aplikasi Bioteknologi Pertanian tanggal 6 Maret 2001 di Jakarta. Hal.: 451-465. Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Bioindustri, BPPT. Jakarta.

92. Djarwanto, S. Suprapti & Rachmanisyari. 2001. Pertumbuhan dan produktivitas tiga jenis jamur tiram pada media campuran serbuk gergaji dan jerami padi. Prosiding Seminar Keanekaragaman Hayati dan Aplikasi Bioteknologi Pertanian tanggal 6 Maret 2001 di Jakarta. Hal.: 215-227. Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Bioindustri, BPPT. Jakarta.

93. Suprapti, S. & Djarwanto. 2001d. Pemanfaatan dolok kayu untuk media jamur Pleurotus sajor-caju. Environment Conservation Through Ef ciency Utilization of Forest Biomass. Hal.: 333-340. Debut Press Jogyakarta. Yogyakarta.

94. Djarwanto & S. Suprapti. 2001a. Pemanfaatan serbuk gergaji kayu diameter kecil untuk media tiga jenis jamur tiram. Environment Conservation Through Ef ciency Utilization of Forest Biomass. Hal.: 325-332. Debut Press Jogyakarta. Yogyakarta.

95. Djarwanto & S. Suprapti. 2001b. Ketahanan beberapa jenis dolok diameter kecil terhadap dua belas jenis jamur pelapuk. Jurnal Teknologi Hasil Hutan XIV (2): 32-37. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

96. Suprapti, S. & Djarwanto. 2002. Produktivitas tiga jenis jamur kuping pada dolok diameter kecil 20 jenis kayu. Prosiding Seminar Nasional IV Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia tanggal 6-9 Agustus 2001 di Samarinda. Hal.: VI.59–VI.65. Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman. Samarinda.

97. Suprapti, S., Djarwanto & Hudiansyah. 2002. Ketahanan sembilan jenis kayu asal Kalimantan Timur terhadap jamur pelapuk. Prosiding Seminar Nasional IV Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia tanggal 6-9 Agustus 2001 di Samarinda. Hal.: V.41 – V.47. Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman. Samarinda.

98. Djarwanto, I. Gandjar & S. Suprapti. 2002. Pertumbuhan dan produktivitas Lentinula edodes asal Kalimantan Timur pada media serbuk gergaji 15 jenis kayu. Prosiding Seminar Nasional IV Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia tanggal 6-9 Agustus 2001 di Samarinda. Hal.: VI.37–VI.43. Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman. Samarinda.

99. Suprapti, S. & Djarwanto. 2002. The resistance of twelve wood species against six wood decaying fungi. Proceedings The Fourth International Wood Science Symposium, September 2-5, Serpong. p.: 164-189. Research Center For Physics, LIPI. Indonesia.

100. Suprapti, S. 2002. Ketahanan kayu mangium (Acacia mangium Willd.) terhadap sebelas jamur pelapuk. Bulletin Penelitian Hasil Hutan 20 (3): 187-193. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

Page 51: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

35HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

101. Suprapti, S., Djarwanto & Hudiansyah. 2003. Ketahanan delapan jenis kayu terhadap duabelas jamur pelapuk. Prosiding Seminar Nasional V MAPEKI tanggal 30 Agustus - 1 September 2002 di Bogor. Hal.: 179-184. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

102. Hudiansyah & S. Suprapti. 2003. Teknik sterilisasi sederhana dalam budidaya jamur tiram. Prosiding Seminar Nasional V MAPEKI tanggal 30 Agustus - 1 September 2002 di Bogor. Hal.: 604-609. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

103. Djarwanto, S. Suprapti & I. Gandjar. 2003. Produktivitas dua strain Lentinula edodes pada media serbuk gergaji lima jenis kayu. Prosiding Seminar Nasional V MAPEKI tanggal 30 Agustus - 1 September 2002 di Bogor. Hal.: 598-604. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

104. Siagian, R.M., Han Roliadi, S. Suprapti & S. Komarayati. Study peranan fungi pelapuk putih dalam proses biodeligni kasi kayu sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen). Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 1 (1): 47-56. Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia.

105. Suprapti, S. & Djarwanto. 2004a. The Growings of oyster mushroom. Report on Collaboration Research between Research and Development Center for Forest Products Technology and Japan International Forestry Promotion and Cooperation Center. 26 p. Research and Development Center for Forest Products Technology. Bogor.

106. Suprapti, S. & Djarwanto. 2004b. Technical guideline for shiitake mushroom cultivation. Report on Collaboration Research between Research and Development Center for Forest Products Technology and Japan International Forestry Promotion and Cooperation Center. 25 p. Research and Development Center for Forest Products Technology. Bogor.

107. Suprapti, S., Yamto, Djarwanto & Han Roliadi. 2004. Preliminary trial on mushroom cultivation in Karo. Proceeding of The International Workshop on “ Better Utilization of Forest Biomass For Local Community and Environments”, March 16-17, 2004, Bogor. p.: 188-198. Research and Development Center For Forest Products Technology. Bogor-Indonesia.

108. Djarwanto, S. Suprapti, A.N. Gintings & Han Roliadi. 2004. Enhanching the enthusiasm of village community through mushroom cultivation. Proceeding of The International Workshop on “ Better Utilization of Forest Biomass For Local Community and Environments”, March 16-17, 2004, Bogor. p.: 77-91. Research and Development Center For Forest Products Technology. Bogor-Indonesia.

109. Djarwanto, S. Suprapti, Yamto & Han Roliadi. 2004. Cultivation of edible mushroom on sawdust in Karo, North Sumatera. Proceeding of The International Workshop on “ Better Utilization of Forest Biomass For Local Community and Environments”, March 16-17, 2004, Bogor. p.: 199-210. Research and Development Center For Forest Products Technology. Bogor-Indonesia.

110. Nurhayati, T, Gusmailina, E. Basri, S. Suprapti & E. Suwardi. 2004. Aplikasi teknologi hasil hutan dalam upaya mendukung pengembangan usaha kecil menengah dan

Page 52: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

36 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

perhutanan sosial. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Litbang Hasil Hutan Dalam Mendukung Restrukturisasi Industri Kehutanan tanggal 16 Desember 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

111. Djarwanto & S. Suprapti. 2004b. Budidaya jamur kayu di masyarakat untuk mendukung usaha kecil dan menengah. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Litbang Hasil Hutan Dalam Mendukung Restrukturisasi Industri Kehutanan tanggal 16 Desember 2003. Hal.: 109-116. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

112. Djarwanto & S. Suprapti. 2004c. Pengujian ketahanan kayu terhadap jamur secara laboratoris. Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Standardisasi tanggal 11-12 Oktober 2004 di Jakarta. Hal.: 15-22. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.

113. Suprapti, S., Djarwanto & Hudiansyah. 2004. Ketahanan lima jenis kayu terhadap beberapa jamur perusak kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 22 (4): 239-246. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

114. Djarwanto & S. Suprapti. 2004d. Ketahanan tiga jenis kayu untuk bantalan rel kereta api terhadap jamur perusak kayu secara laboratoris. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 22 (4): 215-221. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

115. Djarwanto & S. Suprapti. 2005. Produktivitas jamur shiitake dan jamur tiram pada media serbuk gergaji kayu medang (Litsea sp.) di Karo. Prosiding Seminar Sehari Prospek Jamur dalam Industri dan Lingkungan tanggal 6 September 2004 di Bandung. Hal.: 97-113. Fakultas MIPA, Universitas Padjadjaran. Bandung.

116. Suprapti, S. & Krisdianto. 2006. Ketahanan empat jenis kayu hutan tanaman terhadap beberapa jamur perusak kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 24 (4): 267-274. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

117. Djarwanto, S. Suprapti, & U. Sudardji. 2007. Kerusakan kayu bantalan rel kereta api. Seminar Nasional Mapeki. Prosiding Seminar Nasional IX MAPEKI tanggal 11-13 Agustus 2006 di Banjarbaru. Hal.: 573-579. Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat, Banjar Baru, Kalimanan Selatan.

118. Suprapti, S., Djarwanto, & Hudiansyah. 2007. Ketahanan lima jenis kayu terhadap 13 jamur perusak kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 25 (1): 75-83. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan.

119. Suprapti, S. & Djarwanto. 2008. Ketahanan lima jenis kayu asal Sukabumi terhadap jamur perusak kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 26 (2): 129-137. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

120. Suprapti, S. & Djarwanto. 2009. Jamur kayu sebagai sumber pangan dari hutan. Seminar Nasional XII MAPEKI tanggal 23-25 Juli 2009 di Bandung. Psat Penelitian dan Pengembangan Pemukiman. Bandung.

121. Suprapti, S., Djarwanto, & R.A. Pasaribu. 2008. Pemanfaatan kulit kayu mangium dari limbah industri pulp untuk media produksi Ganoderma lucidum. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 26 (3): 263-276. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

Page 53: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

37HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

122. Djarwanto dan S. Suprapti. 2008. Pengaruh pengkaratan logam terhadap pelapukan empat jenis kayu asal Sukabumi. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 1 (2): 55-59. Fakultas Kehutanan-Institut Pertanian Bogor. Bogor.

123. Djarwanto dan S. Suprapti. 2009a. Dekomposisi daun dan ranting mangium oleh empat jenis fungi pelapuk. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 27 (1): 1-10. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

124. Djarwanto & S. Suprapti. 2009b. Dekomposisi daun dan ranting mangium dan ekaliptus oleh delapan isolat fungi pelapuk. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 27 (4): 303-313. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

125. Djarwanto & S. Suprapti. 2010. Pertumbuhan dan nilai gizi Ganoderma lucidum pada media limbah mangium. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 28 (1): 9-17. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

126. Suprapti, S. 2010a. Decay resistance of 84 Indonesian wood species against fungi. Journal of Tropical Forest Science 22(1): 81-87.

127. Suprapti, S. 2010b. Decay Resistance of ve Indonesian bamboo against fungi. Journal of Tropical Forest Science 22(3): 287-294.

128. Djarwanto & S. Suprapti. 2010. Pengaruh sumber bibit terhadap pertumbuhan jamur tiram. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 28 (2): 156-168. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

129. Suprapti, S., Djarwanto, & Hudiansyah. 2011. Ketahanan lima jenis kayu asal Lenkong Sukabumi terhadap beberapa jamur pelapuk. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 29 (3): 259-270. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor.

130. Suprapti S., E. Santoso, Djarwanto & M. Turjaman. 2012. Pemanfaatan kompos kulit kayu mangium untuk media pertumbuhan cendawan mikoriza arbuskula dan bibit Acacia mangium. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 30 (2): 114-123. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor.

DAFTAR SEBAGAI PEMBICARA

1. Lustrum V, Fakultas Biologi UGM tanggal 22-24 Desember 1980 di Yogyakarta: Beberapa hama hasil hutan dan cara pencegahannya.

2. Kongres Nasional Biologi V tanggal 26-28 Juni 1981 di Semarang: Jamur biru pada beberapa kayu eksport.

3. Kongres Ilmu Pengetahuan Indonesia III tanggal 14-19 September 1981 di Jakarta: Kayu dan permasalahannya.

5. Kongres Mikrobiologi IV dan Pertemuan I Mikrobiologiwan ASEAN tanggal 2-4 Desember 1985 di Jakarta: Pengaruh substrat terhadap nilai makanan jamur tiram (P. ostreatus).

Page 54: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

38 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

6. Kongres Entomologi III tanggal 30 September-2 Oktober 1987 di Jakarta: Serangan bubuk dan jamur pewarna menurunkan nilai ekonomis rotan.

7. Kongres Nasional Biologi VIII tanggal 8-10 Oktober 1987 di Purwokerto: Pengaruh media kompos terhadap nilai gizi jamur tiram (Pleurotus ostreatus).

9. Seminar Bioteknologi Indonesia tanggal 27 Pebruari-1 Maret 1989 di UGM Yogyakarta: Pemanfaatan limbah pertanian untuk media jamur tiram, P. ostreatus.

10. Kongres Nasional V Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia tanggal 4-6 Desember 1989 di Yogyakarta: Pembudidayaan jamur tiram dengan media limbah kelapa.

11. Kongres I Himpunan Perlindungan Tumbuhan Indonesia tanggal 8-10 Januari 1990 di Jakarta: Penurunan nilai ekonomis rotan akibat organisme perusak, dan Pengaruh penggorengan terhadap serangan jamur pada tiga jenis rotan komersil.

12. Seminar Ilmiah Nasional Peranan Biologi Dalam Peningkatan Pengelolaan Sumber Daya Hayati tanggal 20-21 September 1990 di UGM, Yogyakarta: Organisme perusak rotan di industri mebel.

13. Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional V tanggal 3-7 September 1991 di LIPI, Jakarta: Pencegahan bubuk dan jamur perusak pada rotan.

14. Seminar Hasil Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi tanggal 11-12 Pebruari 1992 di LIPI, Bogor: Pengaruh pengomposan serbuk gergaji kayu jeungjing terhadap produksi jamur yang enak dimakan.

15. Kongres Entomologi IV tanggal 28-30 Januari 1992 di Yogyakarta: Kerentanan beberapa jenis rotan terhadap bubuk.

16. Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia tanggal 31 Juli-1 Agustus 1992 di Bandung: Pemanfatan kompos kulit kayu untuk media jamur yang dapat dimakan.

17. The First International Conference on Mushroom Biology and Mushroom Products, 23-26th August, 1993, Hong Kong: Cultivation of some species of edible mushroom on log and sawdust media.

18. Sarasehan Peladang Berpindah tanggal 15 September1993 di Pontianak, Kalimantan Barat: Pemanfaatan limbah kayu untuk media produksi jamur pangan.

19. Kongres Nasional VI Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia dan Pertemuan Mikrobiologiwan ASEAN tanggal 2-4 Desember1993 di Surabaya: Pengaruh pengomposan serbuk gergaji kayu karet terhadap pertumbuhan tiga jenis jamur tiram.

20. Pertemuan Ilmih Tahunan Peranan Mikrobiologi Dalam Industri Pangan tanggal 10 Desember 1994, di IPB, Bogor: Pertumbuhan jamur Lentinus edodes pada substrat serbuk gergaji dari kayu hutan tanaman.

21. Seminar Ilmiah Nasional Biologi XI tanggal 24-26 Juli 1995 di Depok: Pelapukan kayu segar dan biokonversi limbah penggergajian oleh Pleurotus cystidiosus.

Page 55: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

39HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

22. Presented Research Report On The International Collaborative Project “Screening and Utilization Of Agricultural Wastes degrading Microorganisms, Pebruary 1994. Seoul National University, Korea: Screening and selection of edible mushrooms that have high economic value and utilize wood waste as media.

23. Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional VI tanggal 11-15 September 1995 di LIPI, Jakarta: Biokonversi limbah lignoselulosa menjadi biomasa yang dapat dimakan.

24. Seminar Nasional Mikrobiologi Lingkungan tanggal 9-10 Oktober 1996 di Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi, LIPI, Bogor: Biokonversi serbuk gergaji beberapa jenis kayu oleh tiga strain Lentinula edodes.

25. Seminar Nasional Mikrobiologi & Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia tanggal 12-13 Nopember 1996 di Malang: Pencegahan serangan jamur pada rotan segar.

26. Diskusi Evaluasi Penelitian Bioteknologi Tanaman Kehutanan dan Perkebunan tanggal 4 September 1998 di Yogyakarta: Biokonversi limbah penggergajian untuk produksi jamur dan kompos.

27. Seminar Nasional Penerapan Teknologi Kendali dan Instrumentasi Pada Pertanian tanggal 28-29 Oktober 1998 di BPPT, Jakarta: Penerapan teknologi budidaya jamur kayu yang dapat dimakan untuk mempercepat proses pembusukan limbah serbuk gergaji.

28. The Second International Wood Science Seminar, November 6-7, 1998, Serpong. Research and Development Center For Applied Physics, LIPI. Indonesia: Bioconversion of sawdust of ve wood species by black ear-mushroom (Auricularia polytricha).

29. Forum Komunikasi Ilmiah Pemanfaatan Pestisida Nabati, 9-10 Nopember 1999 di Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan, Bogor: Skrining beberapa macam pestisida nabati dan limbah industri terhadap jamur pelapuk kayu.

30. Seminar Nasional II Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia tanggal 2-3 September 1999 di UGM, Yogyakarta: Ketahanan 15 jenis kayu terhadap jamur pelapuk putih.

31. Seminar Nasional Industri Ensim dan Bioteknologi tanggal 15-16 Pebruari 2000 di BPPT, Jakarta: Seleksi fungi pelapuk lignin untuk biopulping.

32. Seminar Nasional III Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia tanggal 22-23 Agustus 2000 di Jatinangor: Kemampuan sepuluh isolat jamur dalam melapukkan kayu.

33. Seminar Nasional IV Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia tanggal 6-9 Agustus 2001 di Universitas Mulawarman, Samarinda: Produktivitas tiga jenis jamur kuping pada dolok diameter kecil 20 jenis kayu, dan Ketahanan sembilan jenis kayu asal kalimantan timur terhadap jamur pelapuk.

33. Seminar Nasional XII Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia tanggal 23-25 Juli 2009 di Bandung: Jamur kayu sebagai sumber pangan dari hutan.

34 Seminar Nasional XV Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia tanggal 6-7 November 2012 di Makasar: Produktivitas jamur kuping pada serbuk gergaji kayu sengon dalam rangka pelatihan masyarakat.

Page 56: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

40 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1. Data Pribadi

Nama : Sihati Suprapti NIP : 19540909 197912 2 001 Pangkat/golongan : Pembina Utama/ IV e Jabatan : Ahli Peneliti Utama Unit Kerja : Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan

Pengolahan Hasil Hutan Agama : Islam Alamat Kantor : Jl Gunung Batu No. 5, Bogor Alamat Rumah : Komplek Rasamala No. 63, Padasuka, Ciomas, Bogor. Telp./HP : 0251. 8630462/08161177181 Fax : - e-mail : sihatisuprapti@ yahoo.com

2. Riwayat Pendidikan

1966 : Lulus SD Negeri Grogolan, Sleman Yogyakarta 1969 : Lulus SMP Negeri Bogem, Sleman Yogyakarta 1972 : Lulus SMA Negeri II IKIP, Yogyakarta 1976 : Sarjana Muda Biologi UGM (Program 4 tahun) 1978 : Sarjana Biologi UGM 3. Pendidikan Tambahan/Kursus

1980 Kursus Statistika dan Perancangan Percobaan selama 3 minggu di Pusat Data

dan Statistik, Pasar Minggu, Jakarta 1985 Training on Wood Preservation Research for 3 months in Forestry and Forest

Product Research Institute, Tsukuba, Japan. 1992 English Course in Forda for 6 months, conducted by Forda. 1993 Conference and Comparative Studies in Department of Biology, The Chinese

University of Hong Kong for 6 days. 1995 Comparative studies in Department of Moleculer Biology, Seoul National

University, Korea for 4 days.

4. Riwayat Kepangkatan

19-02-1979 Tenaga harian Lembaga Penelitian Hasil Hutan 01-12-1979 Calon Pegawai Negeri (III/a)

Page 57: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

41HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

01-04-1981 Penata Muda (III/a) 01-04-1984 Penata Muda Tk.I (III/b) 01-10-1988 Penata (III/c) 01-10-1990 Penata Tk. I (III/d) 01-10-1992 Pembina (IV/a) 01-10-1994 Pembina Tk. I (IV/b) 01-04-1997 Pembina Utama Muda (IV/c) 01-04-2001 Pembina Utama Madya (IV/d) 01-04-2003 Pembina Utama (IV/e)

5. Riwayat Jabatan Fungsional

01-12-1985 Asisten Peneliti Madya 01-07-1988 Ajun Peneliti Madya 01-11-1989 Peneliti Muda 01-12-1992 Peneliti Madya 01-09-1995 Ahli Peneliti Muda 01-12-1999 Ahli Peneliti Madya 01-11-2001 Ahli Peneliti Utama

KEGIATAN LAIN

1. Sebagai pembimbing mahasiswa S1: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor Fakultas Pertanian Universitas Djuanda, Bogor Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Pakuan, Bogor

2. Mengajar teknik budidaya jamur kayu pada limbah industri penggergajian di PT Inhutani III, Sampit, Kalimantan Tengah tahun 1991.

3. Pelatihan teknik budidaya jamur kayu dan penanganan pasca panennya pada acara Sarasehan Peladang Berpindah di Pontianak, Kalimantan Barat tahun 1993.

4. Pelatihan Singkat Mikrobiologi Dalam Pemanfaatan Limbah Lignoselulosa kepada dosen Mikrobiologi Yunior dari Universitas Negeri seluruh Indonesia di Universitas Indonesia, Depok pada tahun 1997. UNESCO.

5. Mengajar budidaya jamur kayu pada Pelatihan Aneka Usahatani bagi Calon Purnabakti Pegawai Bank Indonesia di Balai Latihan Pegawai Pertanian (BLPP), Ciawi, Bogor pada tahun 1997.

Page 58: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

42 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

6. Mengajar pada Pelatihan teknik budidaya jamur kayu kepada dinas PKT Jawa Barat dan Kalimantan tanggal 4-18 Maret 1998 di Jampang tengah, Sukabumi.

7. Ceramah pemanfaatan limbah untuk media budidaya jamur kayu kepada Pejabat Pemerintah Kabupaten Karo, penyuluh kehutanan dan pertanian di Universitas Karo Sumatera Utara pada tahun 2001.

8. Ceramah teknik budidaya jamur kayu kepada widyaiswara dan staf Balai Diklat Kehutanan Pematangsiantar di Tongkoh Berastagi dan di Pematangsiantar tanggal 27-28 Pebruari 2003.

9. Ceramah pada Promosi dan Pemasyarakatan Hasil Penelitian kepada dinas PKT Jawa Timur tanggal 17-18 Nopember 2003 di Surabaya.

10. Ceramah budidaya jamur kayu pada gelar teknologi tanggal 12 Desember 2003 di Pandeglang.

11. Mengajar pada Pelatihan teknik budidaya jamur kayu kepada dinas PKT Sumatera tanggal 24 September-6 Oktober 2004 di Pematangsiantar.

12. Membina petani jamur di Bogor sejak tahun 1984, Kuningan tahun 1985-2002, Ciamis pada tahun 1999, Pandeglang Banten tahun 1996-1997, Bandung 1999-2000, Berastagi Kabupaten Karo pada tahun 2002-2003.

13. Membina teknik budidaya jamur kepada 20 pemuda yang tidak melanjutkan pendidikan ke Universitas di Gadog, Bogor pada tahun 2000-2002.

RESEARCH TEAM ON INTERNATIONAL COLLABORATIVE PROJECT:

1. Screening and utilization agricultural wastes degrading microorganisms (Korea-UNESCO), tahun 1994-1995.

2. Utilization of small diameter logs (Forestry Research Institute of Korea), tahun 1999

3. The possible utilization of forest-related biomass wastes as to mitigate the greenhouse gases and other environmental concerns (JIFTRO, Japan), tahun 1999-2004.

KEANGGOTAAN PROFESI ILMIAH.

1. Anggota Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia

2. Anggota Perhimpunan Biologi Indonesia.

3. Anggota Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia

4. Anggota Perhimpunan Entomologi Indonesia

5. Anggota Himpunan Perlindungan Tanaman Indonesia.

Page 59: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

43HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA(APU)

PERAN PENGAWETAN KAYU, STATUS PENELITIAN DAN PENERAPANNYA DALAM PRAKTEK

Oleh:Barly, Bsc, SH, M.Pd.

KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN

Bogor, 2013

Page 60: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

44 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Page 61: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

45HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

PROFIL

Barly, dilahirkan di Bogor pada tanggal 23 Desember 1947. Anak kedua dari pasangan H. Rita Kijan dengan Hj. Anah. Menikah dengan Hj. Nur’aini pada tahun 1974, dikaruniai tiga orang anak; Bazzi Raihan Ahmad, S.Si., Barlindaswasti,SP. dan Qadhi Ahmad Hunain,ST serta lima orang cucu.

Pendidikan formal mulai Sekolah Rakyat tamat tahun 1960, SMP tamat tahun 1963, Sekolah Analis Kimia Menengah Atas (SAKMA) tamat tahun 1967,

Akademi Kimia Analisis (AKA) tamat tahun 1976, Sarjana Hukum di Universitas Ibn Khaldun Bogor tamat tahun 1981 dan Magister Pendidikan Program Studi Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Universitas Pakuan Bogor tamat tahun 2002.

Pendidikan nonformal berupa latihan dan kursus yang diikuti, yaitu Penataran Statistik (Bogor, 1976), Instrumental Analysis (Singapura, 1981), Coconut Wood Utilization (Philippina, 1983), Administrasi Keuangan (Jakarta, 1985), X-ray Spectrophotometry (Belanda, 1987), Wood Preservation (Malaysia,1989), Fire-Reterdant Treatment and Fire Testing (Malaysia,1990), Kewaspadaan Nasional Angkatan XII (Jakarta, 1996), SPAMA Angkatan XXII (Bogor, 1999), Pengawas Pestisida (Bogor, 2000), dan pendalaman ISO/IEC 17025: 2005 Edisi 2 (Bogor,2007)

Mulai bekerja sejak lulus SAKMA tahun 1967 sebagai teknisi di Lembaga Penelitian Hasil Hutan Bogor yang sekarang menjadi Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Jabatan struktural yang pernah dipangku yaitu Kepala Laboratorium Balai Penelitian Hasil Hutan tahun 1982, Kepala Urusan Sarana Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan tahun 1982-1987, Kepala Sub Bidang Tindak Lanjut Hasil Penelitian tahun 1994-1999 dan Kepala Bidang Tata Operasional (Pebruari-Oktober 1999) di P3HH dan Sosial Ekonomi Kehutanan di Bogor.

Jabatan fungsional dimulai sebagai Asisten Peneliti Muda (1985), Ajun Peneliti Muda (1987), Ajun Peneliti Madya (1990), Peneliti Muda (1991), Peneliti Madya, (1993), Ahli Peneliti Muda (1998), Ahli Peneliti Madya (1999) dan Ahli Peneliti Utama (2004). Jumlah karya tulis ilmiah yang ditulis sendiri dan bersama peneliti lain termasuk makalah sekitar 100 Judul.

Penghargaan diperoleh pada tahun 1999 berupa “Wana Lestari Karya Nugraha” dari Menteri Kehutanan dan “Satyalancana Wira Karya” dari Presiden R.I berupa “Satyalecana Karya Satya XX” dan “Satyalencana Karya Satya XXX” diterima pada tahun 1999 dan tahun 2005.

Keanggotaan dalam organisasi Dewan Redaksi Jurnal Penelitian Hasil Hutan sejak tahun 2004, Pengawas Pestisida Pusat (2003-2008), Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI), Ikatan Profesional Lingkungan Hidup Indonesia (2001-2003).

Kegiatan lain: Dosen di Fakultas Hukum UIKA Bogor Jabatan Lektor Pembantu Dekan III (1986-1989), Ketua Jurusan Hukum Pidana (1994-1997), dan Dekan (1997 – 2004).

Page 62: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

46 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

PRAKATA

Bismilahirrohmanirrohim

Assalamu’alaikum Waramatullahi Wabarakatuh

Yth. Bapak Menteri Kehutanan Republik Indonesia

Yth. Pejabat Eselon I dan II Lingkup Kementerian Kehutanan

Yth. Rekan peneliti dan hadirin yang dimuliakan Allah SWT

Pertama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas rakhmat dan karunia-Nya kita dapat hadir dalam keadaan sehat dan a at pada acara Orasi Ahli Peneliti Utama Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.

Dalam kesempatan ini izinkan saya untuk menyampaikan orasi berjudul:

PERAN PENGAWETAN KAYU, STATUS PENELITIAN DAN PENERAPANNYA DALAM PRAKTEK

Isi orasi terdiri atas lima bagian, yaitu:

I. PENDAHULUAN

II. PERAN PENGAWETAN KAYU

III. STATUS PENELITIAN DAN APLIKASINYA

IV. KESIMPULAN

Page 63: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

47HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

I. PENDAHULUAN

Sudah kita maklumi bahwa kayu lama-kelamaan akan rusak atau lapuk. Kerusakan akan lebih cepat lagi jika dipasang di tempat terbuka tanpa naungan, terutama jika berhubungan dengan tanah lembab . Sebab pada dasarnya kayu tidak tahan terhadap perubahan suhu, udara, kelembaban dan air. Di pihak lain, kayu juga dihadapkan pada beragam jenis organisme perusak kayu (OPK), seperti bakteri, jamur, rayap dan binatang laut penggerek kayu. Serangan OPK dapat terlihat dari adanya cacat berupa lobang gerek, pewarnaan, pelapukan, rekahan dan pelembekan. Setiap tanda kerusakan merupakan gejala spesi k dari salah satu OPK penyebab dan adanya tanda serangan itu sendiri sekaligus merupakan kriteria bahwa kayu yang bersangkutan cacat. Cacat yang terjadi dapat menyebabkan kualitas kayu turun, bahkan ada OPK yang memakan habis. Hal itulah yang menjadi latar belakang mengapa pengawetan kayu penting untuk dilakukan .

Hadirin yang berbahagia,

Saya mencoba melihat pentingnya pengawetan kayu didasarkan pada tiga alasan:

Pertama, merujuk kepada keprihatinan berbagai kalangan tentang kesenjangan antara kebutuhan dengan kemampuan pasokan kayu yang diduga merupakan salah satu faktor penyebab kerusakan hutan. Kerisauan di atas pantas menjadi pelajaran dan pemerintah harus selalu menyadarkan semua pihak untuk memanfaatkan kayu secara optimal dan rasional.

Kedua, kelangkaan kayu dari hutan alam mendorong penggunaan kayu alternatif dari hutan tanaman, hutan rakyat dan perkebunan yang potensinya mencapai puluhan juta m3 per tahun. Potensi tersebut di satu sisi memberi harapan bagi pemenuhan kebutuhan, tetapi dalam praktek hal itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dari segi pengolahan, jenis kayu di atas umumnya memiliki sifat inferior sehingga dibutuhkan pengetahuan yang memadai dan cara penanganan yang tepat.

Ketiga, kayu merupakan produk berbasis sumber daya alam terbarukan yang dapat menjadi bisnis unggulan di masa datang, karena hutan yang dikelola dengan baik akan mampu menyediakan kayu dalam jumlah cukup untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat.

Berdasarkan alasan itu, peran pengawetan kayu sudah terbukti sangat strategis apalagi di masa datang karena dengan meningkatnya umur teknis akan berdampak positif terhadap lingkungan. Di mana hutan merupakan sumber kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya.

Berbeda dengan penggunaan pestisida dalam sektor pertanian, perkebunan dan rumah tangga, pengawetan kayu merupakan tindakan pencegahan, bukan untuk membasmi organisme perusak kayu (OPK) meskipun sama mengacu pada penggunaan pestisida. Senyawa kimia yang digunakan lazim disebut dengan bahan pengawet kayu, yaitu bahan kimia tunggal atau campuran yang apabila diaplikasikan dapat mencegah salah satu atau kombinasi antara; jamur, serangga, binatang laut penggerek kayu, api, cuaca (weathering), penyerapan air dan reaksi kimia. Berdasarkan batasan itu, aspek kegiatan pengawetan kayu mencakup pencegahan

Page 64: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

48 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

kerusakan terhadap serangan OPK, pecah-retak, perubahan warna serta peningkatan daya tahan kayu terhadap api.

Di Indonesia peredaran, penyimpanan dan penggunaan pestida termasuk bahan pengawet kayu diatur dalam Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1973 yang kemudian ditetapkan lebih lanjut dengan keputusan Menteri Pertanian No.434.1/Kpts/TP.270/7/2001 tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Pestisida.

Hadirin yang berbahagia,

Di dalam praktek, usaha pengawetan kayu dapat dilakukan sebagai pendukung untuk melengkapi kegiatan industri perkayuan yang sudah ada dan atau dapat pula berdiri sendiri sebagai industri jasa. Bahkan pengawetan kayu bisa dilakukan oleh perorangan untuk kepentingan sendiri. Masyarakat di pedesaan sudah biasa melalukannya berdasarkan pengetahuan yang diperoleh secara turun-menurun, seperti: merendam dalam lumpur, air mengalir, kolam, pengasapan dan pelaburan dengan menggunakan residu, minyak tanah atau kapur untuk melindungi kayu bangunan. Cara lain yang biasa dilakukan yaitu dengan mengatur waktu (mangsa) atau diteres sebelum pohon ditebang. Cara di atas diyakini efektif terhadap serangga bubuk, tetapi belum tentu terhadap OPK lain.

Penggunaan bahan pengawet dianggap sebagai suatu cara yang paling efektif dan e sien, karena proses dan hasilnya dapat dikendalikan. Pada kayu, pemberian bahan pengawet dapat bersifat sementara dan jangka panjang yang dikenal dengan pengawetan kayu. Disebut sementara, karena waktu perlindungannya terbatas, yaitu sampai kadar air kayu kering udara. Kegiatan semacam itu biasa dilakukan pada dolok atau kayu gergajian segar untuk mencegah serangan jamur pewarna dan kumbang bubuk kayu basah .

Sudah disebutkan di atas, bahwa pengawetan kayu adalah usaha untuk memperbaiki ketahanan kayu terhadap OPK agar umur teknisnya bertambah panjang beberapa kali lipat dari umur kayu tanpa diawetkan. Prosesnya dapat dilakukan dengan cara sederhana, seperti rendaman dingin, rendaman panas-dingin, dan difusi serta dengan alat vakum-tekanan. Masing-masing cara memiliki keungulan dan kekurangan, namun cara mana yang dipilih bergantung pada keadaan kayu, bahan pengawet dan faktor ekonomisnya sesuai standar produk kayu.

Hadirin yang berbahagia,

II. PERAN PENGAWETAN KAYU

Menurut hemat saya, peran pengawetan kayu dapat dilihat dari dua makna: Pertama, kerugian yang timbul akibat penggunaan kayu tidak awet. Nilai kerugian yang ditimbulkan bukan hanya berupa pemborosan kayu, biaya dan waktu, tetapi juga imateri seperti trauma, rasa aman, kepercayaan dan reputasi. Bahkan tidak menutup kemungkinan timbul tuntutan hukum berupa ganti kerugian atau pidana jika karena kelalaian menyebabkan bangunan tidak aman. Berdasarkan hasil penelitian, pada bangunan perumahan di Jawa Barat menunjukkan bahwa rayap kayu kering merupakan hama perusak kayu terbesar (59%), selanjutnya jamur pelapuk

Page 65: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

49HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

(53%), rayap tanah (26%), bubuk kayu kering (21%) dan OPK lain (9%). Kerugian akibat serangan rayap pada bangunan pemerintah saja diperkirakan mencapai ratusan milyar rupiah setiap tahun. Kerugian diperkirakan akan bertambah besar lagi karena 25 persen bangunan di 10 kota besar di Jawa, dimakan rayap. Sementara di Jakarta mencapai 78 % . Bahkan, rayap merupakan musuh paling berat Angkatan Bersenjata Malaysia karena telah menyerang 80 bangungan markas tentara .

Sebagai ilustrasi, jika di Amerika Serikat sekitar 10% dari tebangan tahunan digunakan untuk pengganti kontruksi karena pelapukan , maka di Indonesia persentasenya akan jauh lebih besar. Hal itu disebabkan oleh bukan saja jenis OPKnya beragam, tetapi SDMnya juga kurang pengetahuan dan disiplin. Maka dengan asumsi kerusakan 10% dari realisasi pasokan kayu nasional 36,36 juta m3, berarti kayu sebanyak 36,36 juta m3 tidak dapat dimanfaatkan yang apabila dirupiahkan setara dengan Rp.1,816 triliun per tahun, apabila harga kayu dolok Rp.500.000/m3.

Sekarang, di daerah penghasil kayu seperti Kalimantan dan Sumatra, masyarakat sudah mulai kesulitan untuk mendapatkan kayu bangunan yang berkualitas. Di pulau Jawa, langka dan tingginya harga kayu telah mendorong digunakannya kayu murah dari kebun dan pekarangan rakyat. Pemanfaatan kayu rakyat di satu sisi sangat membantu dalam pemenuhan sebagian kebutuhan, tetapi akibat penebangan yang tidak terkendali menyebabkan berkurangnya tutupan lahan. Di Malingping-Banten, setelah pohon karet dan durian menghilang, terjadi enam kali banjir bandang yang diikuti tanah longsor. Bencana itu berdampak pada kerusakan lingkungan yang nilai kerugiannya sukar diukur dengan rupiah.

Hadirin yang berbahagia

Kedua, pengawetan dapat memperpanjang umur teknis kayu bangunan. Pada kayu bantalan pengawetan dapat meningkatkan umur teknis 10-20 kali lipat.

No Jenis kayu

Umur (Tahun) Pengawet

Tanpa diawet Diawet

1 Pine, Fagus silvatica 2 40 Kreosot

2 Keruing, Dipterocarpus sp. 3 28 Tanalith C

3 Karet, Hevea brasiliensis 0,75 28 Kreosot

4 Jati, Tectona grandis 5 -

Di Jawa Barat, kayu sengon banyak dipergunakan untuk bangunan rumah. Jenis kayu ini termasuk golongan kayu yang mempunyai keawetan rendah, yaitu kelas IV/V, jika ditanam di tempat lembab dan ditulari jamur perusak Schizophyllum commune, setelah 24 minggu ketahanan pukulnya sudah hilang 80%. Akan tetapi dengan pengawetan rumah yang dibangun tahun 1963 sampai sekarang masih baik (49 tahun). Rumah dari batang kelapa yang dibangun tahun 1984 serta menara pendingin (cooling tower) pembangkit listrik tenaga panas bumi yang dibangun pada tahun 1987 menggunakan kayu keruing , sampai sekarang masih baik.

Page 66: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

50 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Hadirin yang berbahagia,

Pengawetan bukan hanya menjanjikan tetapi dapat membuktikan umur teknis bertambah panjang 10-20 kali lipat. Manfaat pengawetan bukan hanya pemakaian kayu dalam satuan waktu dapat diperkecil, tetapi diversi kasi jenis dapat memperbesar volume pasokan kayu sehingga tekanan terhadap hutan berkurang. Masyarakat pengguna kayu juga akan diuntungkan dari biaya renovasi yang tidak diperlukan. Dengan adanya pengawetan kayu perumahan dan gedung saja biaya yang dapat dihemat bisa mencapai Rp. 6,75 triliun/tahun, belum termasuk biaya pembongkaran dan pemasangan kembali yang biasanya lebih mahal dari harga kayu yang diganti .

III. STATUS PENELITIAN DAN PENERAPANNYA DALAM PRAKTEK Keberhasilan pengawetan kayu selain bergantung kepada e kasi bahan pengawet, juga pada cara bagaimana memasukkan bahan pengawet ke dalam kayu sesuai persyaratan standar. Salah satu sifat dasar kayu berkaitan dengan pengawetan adalah sifat keterawetan yang menggambarkan kemampuan kayu untuk ditembus bahan pengawet. Paling sedikit ada empat faktor yang saling mempengaruhi, yaitu jenis kayu, keadaan kayu pada waktu diawetkan, bahan pengawet dan cara pengawetan yang digunakan. Dengan menggunakan cara pengawetan dan bahan pengawet tertentu pada keadaan kayu yang sama dapat diusahakan membuat klasi kasi keterawetan berbagai jenis kayu. Pengetahuan itu penting, karena sebagian besar kayu yang kita miliki terdiri dari jenis kayu daun lebar yang umumnya lebih sukar diawetkan dibandingkan dengan kayu daun jarum .

Penelitian sifat keterawetan kayu akan membantu dalam memilih metode pengawetan dan bahan pengawet yang tepat untuk jenis kayu dan komoditi tertentu sehingga diperoleh hasil pengawetan maksimal. Kegiatan penelitian dimulai pada awal tahun 60an dengan menggunakan metode pengawetan sederhana sesuai dengan perkembangan teknologi dan kemampuan masyarakat pada waktu itu. Baru pada tahun 70an selain menggunakan metode sederhana, juga menggunakan metode vakum-tekan dengan sasaran 120 jenis kayu perdagangan .

Penelitian teknik pengawetan kayu diarahkan untuk menemukan metode pengawetan dan bahan pengawet yang tepat untuk keperluan tertentu dalam rangka usaha meningkatkan umur teknis kayu yang secara ekonomis menguntungkan. Metode vakum-tekan diarahkan dalam rangka menunjang program listrik masuk desa, kemungkinan mengganti bantalan jati dengan kayu lain yang berkualitas rendah, dan kayu untuk menara pendingin serta kayu untuk perumahan rakyat. Metode sederhana seperti rendaman, difusi, dan pelaburan karena memiliki jangkauan pemakaian terbatas diarahkan pada kayu bangunan perumahan dan gedung serta barang kerajinan yang produksinya tidak begitu besar. Metode difusi diarahkan pada kayu basah dari semua jenis termasuk jenis kayu yang sukar diawetkan dengan cara vakum-tekan dan rendaman.

Penelitian bahan pengawet diarahkan pada pengujian e kasi produk impor yang akan digunakan dan diperdagangkan di Indonesia. Di samping itu, studi formulasi diarahkan untuk mendapatkan produk substitusi bahan pengawet impor.

Page 67: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

51HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Hadirin yang berbahagia,

Hasil penelitian tersebut di atas cukup banyak dan dapat dilihat dalam buku Abstrak serta sudah dipublikasikan dalam media Atlas Kayu Indonesia, Pengumuman, Pengumuan Istimewa, Laporan, Publikasi Khusus, Jurnal, Buletin, Prosiding, Petunjuk Teknis dan Pedoman. Di samping disalurkan melalui ekspose, gelar teknologi, seminar, lokakarya, ceramah, kursus, pelatihan dan bimbingan teknis.

Hasil penelitian juga telah dijadikan bahan rekomendasi yang disampaikan kepada Komisi Pestisida untuk menentukan mana yang boleh digunakan. Selain dijadikan bahan bagi penyusunan konsep standar pengawetan dan pengujian bahan pengawet.

Petunjuk atau pedoman yang berisi penjelasan lebih lanjut mengenai masalah teknis diterbitkan sebagai penjabaran dari standar. Petunjuk teknis yang sudah terbit, yaitu Pengawetan Kayu Bangunan Perumahan dean Gedung, Pengolahan dan Pemanfaatan Batang Kelapa, Pengolahan Kayu Karet, Pengawetan Bambu, Pencegahan Serangan Jamur Biru, dan Pengawetan Kayu Karet.

Penelitian formulasi bahan pengawet substitusi produk impor untuk mencegah serangga dan jamur perusak, menghasilkan boron- uorida, seng-khlorida-dikhromat, tembaga-khrom-boron dan boron-khrom. Di samping soda abu-boraks dan anti septik untuk mencegah jamur biru. Hasil pengujian e kasi formulasi tersebut terbukti efektif terhadap OPK yang sesuai.

Hadirin yang berbahagia,

Pengawetan kayu secara komersial dimulai pada tahun 1939 ketika Jawatan Kehutanan di Bengkalis, Riau mengawetkan bantalan kayu kempas (Koompassia sp.) untuk tujuan ekspor. Kemudian pada tahun 1953, atas permintaan Jawatan Kehutanan perusahaan van Swaay (Belanda) membuka cabang di Jakarta dan Surabaya. Perusahaan tersebut selanjutnya berubah nama menjadi PN METRIKA, yang kegiatannya: (i) mengawetkan tiang kayu untuk Perusahaan Listrik Negara (PLN), (ii) mengawetkan kayu bahan bangunan perumahan proyek Khusus Kebayoran dan Slipi di Jakarta dan (iii) mengawetkan bantalan, tiang kayu serta bahan bangunan untuk pelabuhan. Sampai akhir tahun lima puluhan jumlah instalasi pengawetan tercatat sebanyak 10 buah tersebar di beberapa kota seperti Surabaya, Jakarta, Palembang dan Medan dengan kapasitas terpasang 90.000 m3 per tahun, tetapi tidak beroperasi penuh bahkan beberapa di antaranya hampir tidak pernah beroperasi. Produksi dalam tahun 1957 hanya mencapai 15.400 m3 atau 17% dari kapasitas terpasang, terdiri atas bantalan, tiang dan kayu perumahan masing-masing 10.000 m3, 1,900 m3 dan 3.500 m3. Jumlah instalasi dan kapasitas produksinya terus menurun, sehingga pada tahun 1966 tercatat 2 buah dengan produksi sebesar 520 m3 atau 0,6% dari kapasitas terpasang, terdiri 390 m3 tiang dan 130 m3 kayu perumahan .

Periode pembangunan lima tahun tahap pertama memberi harapan kebangkitan usaha pengawetan kayu ketika pemerintah menggalakkan program listrik masuk desa dan akan membangun 50.000 km jaringan distribusi tegangan rendah. PLN dan Departemen Koperasi (UP3LP) ketika itu merencanakan penggunaan tiang dari kayu yang diawetkan. Untuk menjawab tantangan itu pada tanggal 21-22 Pebruari 1977 di Puslitbang Hasil Hutan dilangsungkan

Page 68: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

52 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Lokakarya Standardisasi Pengawetan Tiang Kayu, yang melahirkan spesi kasi pengawetan tiang kayu sebagai cikal bakal Standar Perusahaan Listrik Negara (SPLN 115:1995) yang kemudian menjadi SNI 04-3232-1992. Spesi kasi itu digunakan untuk mengawetkan ribuan tiang kayu damar laut dan keruing bagi PLN Wilayah II Sumatra Utara dan kayu rasamala dan pinus bagi PLN Wilayah XII di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan di Lampung, Luwu dan Lombok Departemen Koperasi (UP3LP) menggunakan berbagai jenis kayu setempat.

Seiring dengan pesatnya pembangunan perumahan dalam periode tahun 1972- 1986 intalasi pengawetan meningkat dari 2 buah menjadi 32 buah, belum termasuk instalasi yang ada di tempat pengolahan kayu karet dan instalasi rendaman milik pengembang perumahan rakyat. Berkembangnya industri pengawetan pada waktu itu, karena adanya intervensi Menteri Perumahan Rakyat. Direktur Bank Tabungan Negara (BTN) mengeluarkan surat edaran No.733/BKR/Pen/1983 yang isinya mensyaratkan kayu yang digunakan dalam pembangunan perumahan dengan kredit pemilikan rumah (KPR-BTN) harus diawetkan. Untuk memenuhi keinginan BTN itulah, maka disusun spesi kasi pengawetan kayu perumahan dan gedung dilengkapi petunjuk teknis pelaksanaannya sebagai Lampiran Surat Edaran Menteri Perumahan Rakyat No.148/U.M.01.01/M/9/1985. Kemudian diterbitkan Standar Kehutanan Indonesia No. SKI-c-m-001:1987 yang diubah menjadi SNI 03-5010.1-1999 Pengawetan kayu perumahan dan gedung.

Hadirin yang berbahagia,

Untuk merangsang penggunaan kayu yang diawetkan, pada tahun 1995 Presiden menginstruksikan kepada Menteri Kehutanan agar kayu yang berkualitas diarahkan untuk ekspor, sedang untuk keperluan dalam negeri cukup menggunakan kayu kualitas rendah yang diawetkan. Atas dasar instruksi itu Menteri Kehutanan mengirim surat No. 348/Menhut-IV/95, tanggal 9 Maret 1995 kepada Menpera selaku Ketua Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan dan Pemukiman Nasional guna menyusun Keppres mengenai pemakaian kayu yang diawetkan. Konsep Keppres sudah disampaikan oleh Menpera kepada Mensekneg, tetapi tidak tuntas. Sejak itu dan kemudian diikuti dengan resesi ekonomi tahun 1997 belum ada kebijakan baru pengembang untuk menggunakan kayu yang diawetkan. Keadaan itu mengakibatkan, infrastruktur, sarana-prasarana, dan SDM yang sudah dipersiapkan tidak dapat dimanfaatkan.

Namun demikian, bagi industri yang menempatkan pengawetan bagian dari proses produksi masih tetap hidup dan cenderung tumbuh, karena tuntutan pasar. Dalam pengolahan kayu karet, kayu jabon dan palet misalnya pengawetan mutlak diperlukan, sebab jika tidak pasti merugi. Nilai tambah yang bisa diperoleh dari ekspor kayu yang telah diawetkan sangat tinggi. Kayu karet tanpa pengawetan harganya US$150/m3 meningkat menjadi US$275/m3. Di samping itu, pemberlakuan kesepakatan SPS (Sanitary and Phytosatnitary Agreements) yang tertuang dalam pasal 14 WTO- Agreements on Agriculture, mengharuskan setiap negara anggota WTO mentaatinya dan Indonesia telah ikut merati kasi ISPM-15 (FAO, 2002).

Page 69: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

53HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Hadirin yang berbahagia,

IV. KESIMPULAN

Dari segi teknis, teknologi pengawetan kayu bukanlah sesuatu yang sulit. Keuntungan dari penggunaan kayu awet semua pihak pasti mengapresiasi. Hanya saja, sosialisasi peran dan manfaat pengawetan masih perlu ditingkatkan agar semua pihak yang berkepentingan memiliki persepsi yang sama. Segmen yang harus dikembangkan adalah pasar yang menuntut penawaran jasa yang cepat, kontinu, mutu sesuai standar dan harga yang dapat bersaing dengan kayu awet atau bahan pesaing kayu, seperti, besi, baja dan beton. Potensi pasar sebenarnya cukup besar tidak hanya untuk bangunan perumahan dan gedung, tetapi juga untuk keperluan lain seperti menara pendingin, bantalan rel, tiang listrik/ telepon, kapal dan perahu, kemasan (palet, gulungan kabel, pengganjal) dan barang kerajinan/mebel. Tidak berkembangnya industri jasa pengawetan kayu seharusnya menyadarkan semua pihak termasuk para pejabat struktural dan peneliti kehutanan, karena ke depan kita dihadapkan pada sifat kayu inferior dari hutan tanaman. Pengawetan kayu dapat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengurangi pemborosan biaya pemakaian dan penggantian kayu yang tidak perlu. Intervensi pemerintah dibutuhkan dalam bentuk regulasi, pembinaan dan pengawasan dengan melibatkan inter-departemen, lembaga penelitian dan perguruan tinggi, Badan Usaha, Bank, serta masyarakat melalui LSM dan YLKI. Harapan saya, pengawetan kayu jangan dianggap sebagai hambatan tetapi dapat djadikan peluang untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan kemampuan untuk menghasilkan produk berkualitas.

Hadirin yang berbahagia,

UCAPAN TERIMAKASIH

Tiada puji yang dapat kami haturkan atas kebahagiaan ini selain ungkapan Alhamdulillahi robbil’alamin. Berkat umur panjang, kesehatan, pertolongan dan ridho-NYA, kami hadir dalam pertemuan in. Jujur saja, kami sangat berbahagia karena tahun ini adalah akhir perjalanan panjang karier saya sebagai pegawai negeri sipil (PNS).

Terima kasih kepada Negara dan pemerintah yang telah memberi penghargaan Satyalancana Wira Karya, Karya Satya XX dan XXX tahun, pangkat dan jabatan fungsional tertinggi, serta kepada Kementerian Kehutanan kami mengucapkan terimakasih atas penghargaan Wana Lestari Karya Nugraha. Mudah-mudahan mendapat ridho-NYA dan kemenangan..

Kepada pimpinan PUSTEKOLAH saya mengucapkan terima kasih atas kesempatan untuk menyampaikan orasi di ujung masa dinas. Ucapan yang sama saya sampaikan kepada rekan peneliti, teknisi, sejawat dan kerabat yang tidak dapat satu –persatu disebut namanya atas segala bantuan dan kemudahan bagi saya dalam menjalankan tugas. Semoga bantuan Saudara menjadi ladang amal terbaik serta mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT.

Page 70: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

54 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Kepada almarhum kedua orang tua, yaitu Hajah Anah dan bapak Haji Rita Kidjan secara khusus disampaikan permohonan maaf atas keteledoran dan penghargaan yang setinggi-tingginya, sebab tanpa keduanya peristiwa ini tidak akan terjadi, semoga Allah SWT senantiasa memberi rahmat dan balasan amal yang berlipat ganda.

Akhirul kalam, tiada gading yang tak retak, manusia ditakdirkan banyak salah dan dosa untuk itu dari lubuk hati yang paling dalam saya mohon maaf kepada semua pihak baik yang masih hidup maupun yang sudah tidak ada atas kekeliruan, kekhilafan dan kebodohan saya dengan harapan semoga Alah SWT senantiasa memberi tau k, hidayah serta rahmat-Nya kepada kita semua. Amin.

Wabillahi tau k wal hidayah, Wassalamu’alaikum Wr. Wb,

DAFTAR PUSTAKA

1. Martawijaya,A.1996. Keawetan kayu dan beberapa faktor yang mempengaruhinya. Petunjuk Teknis. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor

2. Wilkinson, J.G. 1979. Industrial Timber Preservation. Associated Bussiness Press. London.

3. Tarumingkeng, R.C. 2000. Manajemen Deteriorasi Hasil Hutan. Ukrida Press. Jakarta

4. Martawijaya, A.1996 Keawetan kayu dan beberapa faktor yang mempengaruhinya. Petunjuk Teknis. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.

5. AWPA Standard. 1976. Glossary of Terms in Wood Preservation. P.1-9. American Wood Preserver’s Association Standard. New York-Washington.

6. Smith, R. 1977. Wood Decayed Fungi and It’s Prevention. Risborough Research Laboratory. Pricentown. London.

7. Smith, R. 1977. Wood Decayed Fungi and It’s Prevention. Risborough Research Laboratory. Pricentown. London

8. Abdurochim, S. dan D. Martono. 2000. Pencegahan serangan jamur biru pada dolok dan papan gergajian. Petunjuk Teknis. Pusat Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

9. Djajapertjunda, S. 2002. Hutan dan Kehutanan dari Masa ke Masa. IPB Press. Bogor

10. UNEP IE/PAC. 1994. Environmental Aspects of Industrial Wood Preservation. A Technical Guide. Technical Report Series No.20. Paris.

11. UNEP IE/PAC. 1994. Environmental Aspects of Industrial Wood Preservation. A Technical Guide. Technical Report Series No.20. Paris

12. Undang-undang Bangunan No. 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan

13. Undang-undang Bangunan No. 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan

Page 71: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

55HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

14. Barly dan S. Abdurrochim. 1982. Studi pendahuluan pengawetan kayu pada rumah-rumah rakyat di Jawa Barat. Laporan No. 161. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor

15. Direktorat Tata Bangunan. 1983. Masalah serangan rayap pada bangunan gedung. Direktorat Tata Bangunan. Ditjen Cipta Karya. Dep. Pekerjaan Umum. Jakarta.

16. Harian Republika, Kamis 6 April 2006. Bahaya laten rayap.

17. Harian Republika, 25 Pebruari 2007. Jagat gila: Malaysia perangi rayap.

18. Zabel, R.A. and J.J. Morel. 1992. Wood Microbiology. Decay and Its Prevention. Academic Press, INV. Harcout Brace Javanovich Publisher. New York, London, Tokyo.

19. Kompas, Senin 28 Agustus 2006. Membabat kebun menebar bencana.

20. Martawijaya, A. 1961. Keawetan kayu. Brosur No.1. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

21. Oey Djoen Seng, 1961. Berat jenis dari jenis-jenis kayu Indonesia dan pengertian beratnya untuk keperluan praktek. Pengumuman No.1. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor

22. Martawijaya, A. dan S. Soemarmo. 1962. Pengawetan kaju djeundjiing (Albizzia falcata) dengan djalan melabur. Laporan No.2. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor

23. Barly, 1990. Prototipe rumah pra-pabrik kayu kelapa. Vol.2 No.1. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan.

24. Barly, A. Martawijaya dan P. Permadi. 1993. Pengawetan kayu keruing untuk menara pendingin. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 11(8), p.303-307.

25. Abdurachim, S. 2007. Pengawetan kayu perumahan dan gedung. Peran terhadap kelestarian hutan, perkembangan dan permasalahannya. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta.

26. Martawijaya, A dan Barly. 1982. Resistensi kayu Indonesia terhadap impregnasi dengan bahan pengawet CCA. Pengumuman No.5. Balai Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

27. Abdurrohim, S. dan A. Martawijaya. 1983. Beberapa faktor yang mempengaruhi keterawetan kayu.Prosiding Pertemuan Ilmiah Pengawetan Kayu, p.133-156. Puat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta 12-13 Oktober 1983.

28. Martawijaya, A dan Barly. 1991. Petunjuk Teknis. Pengawetan Kayu bangunan perumahan dan gedung. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta.

29. Barly. 1996. Petunjuk Teknis. Pengolahan dan pemanfaatan batang kelapa. P3HH dan SOSEK Kehutanan. Bogor

30. Barly. 1996. Petunjuk Teknis. Pengolahan kayu karet untuk bahan baku mebel dan barang kerajianan. P3HH dan SOSEK Kehutanan. Bogor.

31. Barly. 1999. Petunjuk Teknis. Pengawetan bambu untuk bahan kostruksi bangunan dan mebel. P3HH dan SOSEK Kehutanan. Bogor.

Page 72: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

56 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

32. Abdurrohim, S. dan D. Martono. 2004. Pedoman Teknis. Pencegahan serangan jamur biru pada dolok dan papan gergajian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

33. Barly dan Krisdianto. 2012. Petunjuk Teknis. Pengawetan kayu karet. Proyek ITTO PD 523/08 Rev. 1(1).Direktorat Jendral Bina Usaha Kehutanan-ISWA.

34. Martawijaya, A., G. Sumarnai, Barly dan S. Abdurrohim. 1994. Status penelitian pengawetan kayu danmasalah penerapannya dalam praktek. Makalah Diskusi Hasil-Hasil Penelitian. Cipayung, 24-25 Maret 1994. P3HH dan SOSEK Kehutanan. Bogor

35. Barly, A. Ismanto dan D. Martono. 2011. Dayaguna campuran soda abu-boraks sebagai anti jamur biru dan rayap. Jjurnal Penelitian Hasil Hutan 29(2): 179-188.

36. Barly et al. 2012

37. Martawijaya, 1986. Makalah Ceramah. Beberapa aspek pengawetan kayu. Hotel Indonesia. Jakarta, 29 April 1986

38. Martawijaya, A. dan S. Abdurrohim.1982. Spesi kasi pengawetan kayu perumahn dan gedung. Pusat Penelitian Hasil Hutan. Bogor

39. Abdurachim, S. 2007. Pengawetan kayu perumahan dan gedung. Peran terhadap kelestarian hutan, perkembangan dan permasalahannya. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta.

DAFTAR PUBLIKASI ILMIAH

01. Abdurachman dan Barly.2002. Pengaruh emulsi para n dan para n cair terhadap sifat penyusutan kayu randu (Ceiba petandra Gearth.). Prosiding Seminar Hasil Peneltian Teknologi Hasil Hutan. Bogor 19 Desember :153-158. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan, Bogor.

02. Abdurrochim, S. dan Barly. 2002. Pengawetan kayu kamper dan kayu lapis untuk menara pendingin PT Pupuk Kujang Cikampek. Info Hasil Penelitian 9(1):18-22. Pusat Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

03. Abdurrochim, S. dan Barly. 1992. Pengawetan lima jenis kayu secara rendaman panas-dingin dengan bahan pengawet BFCA. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 10(2): 48-53. P3HH dan SOSEK Kehutanan. Bogor.

04. Abdurrochim, S. dan Barly. 1993. Pengawetan tujuh belas jenis kayu secara rendaman dingin dengan bahan pengawet BFCA. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 11(4): 137-143. P3HH dan SOSEK Kehutanan. Bogor.

05. Barly dan S. Abdurrochim. 1982. Studi pendahuluan pengawetan kayu pada rumah-rumah rakyat di Jawa Barat. Laporan No.161. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor

06. Barly dan N. Supriana. 1983. Organisme perusak kayu di beberapa proyek perumahan rakyat. Prosiding Pertemuan Ilmiah Pengawetan Kayu. Jakarta 12-13 Oktober 1983: 18-27. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan.

Page 73: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

57HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

07. Barly.1983. Potensi batang kelapa sebagai bahan kons-truksi. Duta Rimba (ISSN 0126-1118) 65-66/IX/1983: 33-34

08. Barly dan S. Abdurrochim. 1986. Pengaweta kayu kelapa dengan metoda rendaman dingin. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 3(2): 9-13.

09. Barly, N. Supriana dan A. Ismanto. 1986. Organisme pe-rusak kayu pada rumah rakyat di Yogyakarta. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 3(2): 19-24.

10. Barly dan P. Permadi.1987. Pengawetan lima jenis kayu dengan Koppers F7 menurut metode pencelupan.Jurnal Penelitian Hasil Hutan 4(2): 42-45.

11. Barly. 1987. Mencegah kerusakan kayu akibat bahan kimia. Kehutanan Indonesia No.6 Tahun ke V: 18-20.

12. Barly dan P.Permadi. 1987. Pengawetan tiga jenis bambu dengan metode rendaman dingin. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 4(1): 26-30.

13. Barly dan P.Permadi. 1987.Pengawetan dua jenis jenis kayu meranti dengan metode rendaman. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 4(4): 4-7.

14. Barly dan P. Permadi. 1987. Pengawetan sebelas jenis kayu meranti dengan metode rendaman panas-dingin. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 4(4): 8-14.

15. Barly.1987. Prospek pemakaian kayu untuk bantalan rel kereta api. Sylva Tropika (ISSN 0215-062X) 1(2):22-23.

16. Barly dan P. Permadi. 1988. Pengawetan lima jenis kayu menurut metode rendaman panas-dingin. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 5(5): 265-268.

17. Barly dan P. Permadi. 1988. Pengawetan kayu agathis, bungur, karet dan tusam dengan metode pencelupan. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 5(5): 303-306.

18. Barly. 1988. Beberapa masalah dalam pengolahan kayu karet. Duta Rimba .97-98/XIV/1988: 27-32.

19. Barly. 1989. Memburu kayu karet mengejar dolar. Sylva Tropika 1(4): 20-21.

20. Barly dan E. Yetty. Pengawetan lima jenis kayu dengan proses sel penuh. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 6(6):398-401.

21. Barly dan P. Permadi. 1989. Pengawetan tiga jenis kayu dengan metoda pengukusan dan proses vakum-tekan. Lembaran Penelitian (ISSN 0215 -0182) No.30. P3HH. Bogor.

22. Barly dan P. Permadi. 1988. Pengawetan kayu agathis, karet dan tusam dengan metode tekan berganti. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 6(3): 160-162.

23. Barly. 1989. Pengawetan beberapa jenis kayu HTI. Prosiding Diskusi Sifat dan Kegunaan Kayu HTI. Jakarta 23 Maret: 289-302. Badan Litbang Kehutanan.

24. Barly. 1989. Kayu karet sebagai bahan substitusi. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (ISSN 0216-9526) 1(5): 24-29.

Page 74: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

58 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

25. Barly dan P. Permadi 1989. Pengaruh pengkusan pada em-pat jenis kayu kering udara terhadap impregnasi dengan bahan pengawet CCA. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 6(3) : 205-208.

26. Barly. 1989. Pengawetan batang aren dengan bahan peng-awet tipe CCA, CCB dan BFCA. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 6(4): 246-249.

27. Barly. 1990. Pengaruh perebusan pada impregnasi kayu karet. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 7(2): 68-70.

28. Barly dan E. Basri 1990. Peranan pengawetan dan pengeringan kayu dalam industri kayu skunder. Pro-siding Diskusi Industri Perkayuan. Jakarta 14-15 Maret: 89-103. Badan Litbang Kehutanan.

29. Barly. 1990. Prototipe rumah pra-pabrik kayu kelapa. Petunjuk Teknis N0.2/1.

30. Barly. 1990.Upaya pencegahan kerusakan kayu dengan penggunakan pestisida. Kongres I Himpunan Perlindungan Tumbuhan Indonesia. Jakarta 8-10 Februari.

31. Barly. 1990. Pengaruh pengukusan terhadap impregnasi dengan bahan pengawet CCA pada kayu rasamala (Altingia excelsa Noronha). Jurnal Penelitian Hasil Hutan 8(5): 192-195.

32. Barly.1991. Studi pendahuluan pengawetan rotan bahan baku mebel. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 9(5): 189-192.

33. Barly and N. Supriana. 1991. Notes on manufacturing plastic woods using polymerizing radiation in Indonesia. Proceedings of the International Symposium on Chemical Modi cation of Wood. May 17-18. University of Kyoto. Japan.

34. Barly dan P. Permadi. 1991. Mutu hasil pengawetan kayu. Faktor yang berpengaruh dan permasalahannya. Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Standardisasi dan Pengendalian Mutu. ISSN 0853-9677: 127-132. Pusat Standardisasi LIPI. Jakarta.

35. Barly. 1991. Keterawetan kayu kunci keberhasilan dalam pelaksanaan pengawetan. Seminar Serti kasi Pengawetan Kayu Bangunan. Jakarta 14 Oktober. APKIN-Mutu Agung Lestari.

36. Barly. 1991. Pengawetan kayu perumahan dengan cara pencelupan. Makalah Seminar Serti kasi Pengawetan Kayu Bangunan. Jakarta 14 Oktober. APKIN-Mutu Agung Lestari.

37. Barly. 1992. Pengawetan kayu untuk barang kerajinan. Petunjuk Teknis. P3HH. Bogor.

38. Barly, A. Martawijaya dan P. Permadi. 1993. Pengawetan kayu keruing untuk menara pendingin. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 11(8):303-307.

39. Barly. 1994. Batang kelapa sebagai alternatif kayu kon-vensional. Duta Rimba No.173-174/Tahun XX: 43-52.

40. Barly dan E. Basri. 1994. Pengawetan dan pengeringan kayu Sungkai (Peronema canesen Jack. Diskusi Hasil Penelitian Kayu HTI. Jakarta 22-23 Maret: 488-496. P3HH & Sosek Kehutanan.

Page 75: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

59HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

41. Barly dan D. Sadikin. 1994. Upaya pencegahan perubahan warna pada kayu karet. Seminar Penelitian Kayu HTI. Bogor 29-30 Maret . P3HH & Sosek Kehutanan.

42. Barly.1994. Bahan pengawet kayu. Lingkaran Informasi Hutan Tropika Basah Kalimantan ISSN 08554-512X. No.019.

43. Barly. 1995. Pengawetan kayu Puspa (Schima walichii). Duta Rimba No.175-176/Tahun XX :

44. Barly and Y.S. Hadi. 1995. The current status of wood preservation in Indonesia. This paper was presented at Biodeterioration Working Group. Japanese Wood Research Society Conference. April 6-9. Tokyo.

45. Barly, S. Abdurrochim dan P. Permadi.1995. Penerapan pengawetan kayu untuk perumahan dan gedung. Ekspose Hasil-Hasil Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor 5 Desember. P3HH dan SOSEK Kehutanan.

46. Barly. 1995. Sari hasil penelitian bambu di Pusat Pene-litian Hasil Hutan dan Sosek Kehutanan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (ISSN 0216-9526)1(10): 23-27.

47. Barly. 1996. Pengolahan dan pemanfaatan batang kelapa. Petunjuk Teknis. P3HH & SOSEK Kehutanan.

48. Barly.1996.Pengolahan kayu karet untuk barang kerajinan dan mebel. Petunjuk Teknis. P3HH & SOSEK Kehutanan.

49. Barly dan S. Abdurrochim 1996. Pengawetan kayu untuk bahan bangunan struktural dan non-struktural. Petujuk Teknis. P3HH & SOSEK Kehutanan.

50. Barly dan G. Sumarni. 1997. Cara sederhana pengawetan bambu segar. Buletin Penelitian Hasil Hutan 15(2): 77-86.

51. Barly. 1998. Peningkatan mutu kayu bahan mebel dan barang kerajinan. Duta Rimba (ISSN 0216-118) No.221/XXIV: 39-48.

52. Barly. 1998. Pencegahan jamur biru dan kumbang ambrosia pada kayu Tusam. Duta Rimba (ISSN 0216-118) No.214/XXIII: 38-41.

53. Barly and N. Supriana. 1998. Boron Distribution in Treated Rubber and Sengon Wood. Proceedings of the Se-cond International Wood Science Seminar. Serpong Nov. 7; C80-84. R&D Center for Appled Physics. LIPI.

54. Barly dan Buharman. 1998. Kayu Sengon untuk RS/RSS: Meningkatkan citra sengon menjadi kayu berharga. Sylva Tropika (ISSN 0852-4513) No.13.

55. Barly dan N. Supriana. 1999. Persenyawaan Boron sebagai pengendali organisme perusak kayu (OPK). Prosiding Seminar Peran Entomologi dalam Pengendalian Hama Ramah Lingkungan dan Ekonomis. Bogor 16 Februari. PEI Cab. Bogor - PHT Nasional. p.365-372.

56. Barly. 1999. Tanaman perkebunan sebagai alternatif pemenuhan kebutuhan kayu. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI II. Yogyakarta 2-3 September : 498. UGM-MAPEKI.

Page 76: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

60 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

57. Barly. 2000. Pengawetan bambu untuk bahan konstruksi dan kerajinan. Petunjuk Teknis. P3THH.

58. Barly dan A. Martawijaya. 2000. Keterawetan 95 jenis ka-yu terhadap impregnasi dengan bahan pengawet CCA. Buletin Penelitian Hasil Hutan 18(2): 69-78.

59. Barly. 2000. Aneka produk olahan batang sawit. Sylva Tropika ISSN 1411-260) No.24 : 12.

60. Barly dan Y. I. Mandang. 2000. Peningkatan kualitas kayu untuk barang kerajinan. Prosiding Loka Karya Penelitian Hasil Hutan (ISBN 974-95743-8-2): 67-89.

61. Barly. 2000. Keterawetan 54 jenis kayu famili Dip-terocarpaceae. Seminar Nasional III MAPEKI. Jatinangor 22-23 Agustus. UNWIM-MAPEKI.

62. Barly. 2002. Pengawetan kayu meranti merah untuk me-nara pendingin. Prosiding Pertemuan Ilmiah Stan-dardisasi dan Jaminan Mutu. Jakarta 2-3 Oktober : 21-32. Badan Standaridisasi Nasional. Jakarta.

63. Barly, M.I. Iskandar, A. Ismanto dan P. Sutigno. 2002 Per-baikan sifat tahan api pada kayu. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Teknologi Hasil Hutan. Bogor 19 Desember: 111-120. P3THH. Bogor.

64. Barly dan Jasni. 2002.Efektivitas emulsi para n dan cairan kulit jambu mete (CKJM) terhadap serangga bubuk dan rayap kayu kering. Prosiding Seminar Hasil Peneltian Teknologi Hasil Hutan. Bogor 19 Desember 2002: 89-94. P3THH. Bogor.

65. Barly. 2003. Pengawetan dan perbaikan sifat tahan api kayu. Diskusi Sosialisasi Kayu Awet. Jakarta 16 September. Dinas Kehutanan dan Pertanian DKI. Jakarta.

66. Barly. 2003. Manfaat penggunaan kayu awet dalam pengendalian rayap. Sosialisasi Standar Penanggulangan Bahaya Rayap. Jakarta 11 Desember. Dinas Pekerjaan Umum DKI. Jakarta.

67. Barly. 2004. Pengaruh soda abu terhadap warna kayu kumea (Manilkara sp.). Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) VII. Makasar 5-6 Agustus: B-199-201.

68. Barly. 2004. Pencegahan perubahan warna kayu karet. Jurnal Standardisasi 6(3): 57-60. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.

69. Barly. 2005. Catatan hasil penelitian bambu di Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan Bogor. Prosiding Seminar Nasional Perkembangan Perbambuan di Indonesia. Jogyakarta 17 Januari : 19-26. Bamboo Center Pusat Studi Ilmu Teknik UGM. Yogyakarta.

70. Barly. 2005. Peningkatan mutu kayu untuk bahan kemasan. Kehutanan Indonesia Edisi XI: 11-15.

71. Barly dan D.A. Sudika. 2005. Pengawetan bagian lunak batang kelapa basah dengan cara tekanan. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 23(2): 111-117.

72. Barly. 2006. Pengawetan kayu berarti penghematan. Warta GERHAN 1(5): 7. Derektorat Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Jakarta.

Page 77: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

61HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

73. Barly. 2006. Pengawetan kayu. RANTING :Warta Hasil Hutan 1(2), Juni.

74. Barly. 2006. Pemanfaatan kayu sengon untuk rumah se-derhana. Prosiding Seminar Hasil Hutan Rakyat. Bogor 21 September: 120-125.Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.

75. Barly dan A. Ismanto. 2008. Keefektifan seng khlorida dikhromatsebagai bahan pengawet kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 26(4): 323-331.

76. Barly. 2009. Standisasi pengawetan kayu dan bambu serta produknya. Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Standardisasi. Jakarta 19 November 2009.

77. Barly dan D. Martono. 2010. E sai dua senyawa karbonat terhadap jamur biru. 7th Basic Science National Sminar Proceeding. Universitas Brawijaya. Malang. 20 Februari 2010.p. 247-254.

78. Barly dan Sabarudi. 2010. Kajian industry dan kebijakan pengawetan kayu sebagai upaya mengurangi tekanan terhadap hutan. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan 7(1): 63-80.

79. Barly. 2010. Penyempurnaan sifat jati muda untuk meningkatkan nilai jual. Prosiding Seminar Inovasi Pengolahan Jati Cepat Tumbuh dan Kayu Pertukangan Lainnya. Bogor, 25 November 2010. p.19-27.

80. Barly dan N.E. Lelana. 2010. Pengaruh ketebalan kayu,konsentrasi larutan dan lama perendaman terhadap hasil pengawetan. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 28(1): 1-8.

81. Barly, A. Ismanto dan D. Martono. 2011. Daya guna campuran soda abu-boraks sebagai anti jamur biru dan rayap. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 29(2): 179-188.

82. Barly dan Susilawati. 2012. Pengaruh perendaman menggunakan larutan campuran tembaga sulfat dan nikel nitrat terhadap warna permukaan bambu Gigantochloa apus Kurz. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 30(2): 87-93.

83. Barly, A. Ismanto, D. Martono, dan Abdurachman. 2012. Pengawetan waran kayu tusam (Pinus merkusii) dan pulai (Alstonia sp.) dengan menggunakan bahan dasar disinfektan. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 29(2): 155-162.

84. Barly, A. Ismanto, D. Martono, Abdurachman dan Andianto. 2012. Sifat sis dan stabilisasi dimensi beberapa jenis bambu komersial. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 30(3): 163-170.

85. Hadi, Y.S., I.G.K.T. Darma, N. Hajib, Jasni and Barly. 2000. Biodeterioration resistance of three polystyrene Indonesian woods. Proceedings of the Third International Wood Science Symposium. November 1,2 :201. WRI, Kyoto University, LIPI, UPM Malaysia.

86. Hadjib, N., Barly, Y. Hadi and I.G.K.T. Dama. 2000. Physical and machanical properties of thre polystyrene Indonesia Wood. Proceedings 5th Paci c Rim Bio-Based Composites Symposium. Canbera 10-13 December : 687.

87. Ismanto, A., G. Sumarni dan Barly. 1998. The simple preservation method fresh Dendrocalamus asper Backer. Proceedings of the Second International Wood Science Seminar. Serpong Nov. 6-7: B20. R&D Center for Applied Physics. LIPI.

Page 78: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

62 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

88. Jasni, N. Hadjib and Barly. 2000. The resistence of poly-sterene wood to dry wood termite (Cryptotermes cynocephalus) and subterranean termite (Coptotermes curvignatus) infestation. Proceedings 5th Pasi c Rim Bio-Based Composities Symposium. December 10-13: 777. Cambera. Australia.

89. Kadir, K. dan Barly. 1974. Catatan mengenai daya korosif beberapa jenis bahan pengawet larut air. Lembaran Penelitian No.5. LPHH, Bogor.

90. Kancono, H. Prahasto dan Barly. Kemungkinan pe-ngembangan industri pengawetan kayu di Indonesia. Prosiding Pertemuan Ilmiah Pengawetan Kayu. Jakarta 12-13 Oktober: 303-317. APKIN.

91. Lelana, N.E., Barly dan D.A. Sudika. 2005. Pengawetan bagian luar kayu kelapa secara rendaman dingin dengan bahan pengawet CCB. Info Hasil Hutan 11(2): 139-143. P3HH. Bogor.

92. Lelana, N.E., Barly dan A. Ismanto. 2011. Toksisitas bahan pengawet boron chromium terhadap serangga dan jamur pelapuk kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 29(2): 142-154.

93. Mandang, Y.I. dan Barly. 1996. Kemungkinan pe-manfaatan jenis kayu Indonesia untuk pengganti kayu POK. Buletin Penelitian Hasil Hutan (ISSN 0852-1638) 14(10): 405-416.

94. Martawijaya, A. dan Barly. 1982. Resistensi kayu Indo-nesia terhadap impregnasi dengan bahan pengawet CCA. Pengumuman No.5. BPHH Bogor.

95. Martawijaya, A. dan Barly. 1990. Keawetan dan ke-terawetan beberapa jenis kayu yang berasal dari hutan alam dan hutan tanaman. Prosiding Diskusi Hasil Penelitian Silvikultur, Sifat dan Kegunaan Kayu HTI. Jakarta 13-14: 342-359. Badan Litbang Kehutanan, Jakarta.

96. Martawijaya, A. dan Barly. 1991. Pengawetan kayu perumahan dan gedung. Petunjuk Teknis. P3HH. Bogor.

97. Martawijaya, A., Barly dan P. Permadi. 1994. Pengawetan kayu untuk barang kerajinan. Petunjuk Teknis No.3. P3HH & SOSEK Kehutanan. Bogor.

98. Martawijaya, A., Barly, G. Sumarni dan S. Abdurrochim. 1994. Status penelitian pengawetan kayu dan masalah penerapannya dalam praktek. Prosiding Diskusi Hasil Penelitian. Cipayung 24-25 Maret : 8-77. P3HH &SOSEK Kehutanan.Bogor.

99. Martawijaya, A. dan Barly. 1995. Sifat dan kegunaan kayu gmelina. Ekspose Hasil Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Cipayung 27 Maret. P3HH dan SOSEK Kehutanan.

100. Permadi, P. dan Barly. 1989. Pengaruh lama rendaman pa-nas dalam pengawetan lima jenis kayu dengan metode rendaman panas-dingin. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 6(4): 220-224. P3HH. Bogor.

101. Permadi, P. dan Barly. 1991. Pengawetan sepuluh jenis kayu dengan metode difusi. Media PERSAKI (ISSN 0853-3903) Edisi III/MP-7/91: 19-22.

Page 79: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

63HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

102. Permadi, P. dan Barly. 1991. Pengawetan sepuluh jenis ka-yu dari Lampung dengan metode difusi. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 9(1): 34-37.

103. Rahman, O., Barly, E. Basri dan Dulsalam. 1994. Analisis teknologi industri pengolahan dan pemanfaatan kayu sungkai (Peronema canescen Jack.). Diskusi Hasil Penelitian. Cipayung 24-25 Maret P3HH dan SOSEK Kehutanan. Bogor.

104. Santoso, A. dan Barly. 2004. Keteguhan rekat papan lantai lamina kombinasi kayu dan batang kelapa dengan perekat lignin resolsinol-formaldehida. Prosiding Ekspose Hasil Hutan. Bogor 14 Desember: 85-90. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

105. Santoso, A. dan Barly. 2005. Aplikasi kopolimer tanin resorsinol formaldehida untuk meningkatkan sifat sis-mekanis bagian lunak kayu kelapa. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 23(2): 79-86. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.

106. Santoso, A. dan Barly. 2008. Stabilisasi dimensi bagian lunak kayu kelapa menggunakan empat jenis bahan pengisi. Jurnal Nusa Kimia 8(2): 28-34

107. Sumarni, G. dan Barly.1989. Natural durability and treat-ability Arenga stem. Ed. Kosasi Kadir, Suparman Kartasudirdja and Nana Suprianan: Sosio Economic Study on Arenga Palm Utilzation and the Assesment of Basic Properties of it Wood. FPRDC & IDRC. Bogor :

108. Supriana, N. dan Barly. 1978. Pemeriksaan hasil pengawetan kayu secara kimia. Kehutanan Indonesia No.11-12-13 Tahun 1977/1978: 88-90.

109. Supriana, N. dan Barly. 1998. The Possible Use of Cashew Nutshell Liquid as a Wood Preservative. Proceedings of the Second International Wood Science Seminar. Serpong Nov. 6-7: B16-17. R&D Center for Applied Physics. LIPI.

110. Yetty, E. dan Barly. 1990. Pengawetan empat jenis kayu untuk tiang listrik dengan metode sel penuh. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 7(4):146-149.

111. Yetty, E. dan Barly. 1990. Pengawetan sepuluh jenis kayu dengan rendaman dingin. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 7(4):156-159.

112. Wahyuni, T. dan Barly. 1995. Membuat kayu tahan api. Lingkaran Informasi Hutan Tropika Basah Kalimantan. (ISSN 08554-512X). No.027.

DAFTAR KEIKUTSERTAAN SEBAGAI PEMBICARA

01. Dalam Lokakarya cara pengenalan jenis kayu kamper. Bogor 21 Oktober 1992. Pemeriksaan hasil pengawetan kayu secara kimia.

02. Dalam Pelatihan Teknis Peningkatan Mutu di Pusat Pelatihan Ekspor Indonesia. Jakarta 1995. Pengolahan dan pengawetan bahan kayu, rotan dan bambu.

03. Dalam Gelar Teknologi, Padang 9 Oktober 1995. Penerapan teknologi pengawetan dan pemanfaatan bahan baku alternatif.

Page 80: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

64 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

04. Dalam Pelatihan Teknik Produksi Mebel Perum Perhutani. Cianjur-Garut September 1996. Peningkatan mutu kayu bahan baku mebel dan barang kerajinan dengan cara pengawetan.

05. Dalam Gelar Teknologi. Denpasar, Desember 1996. Pengawetan dan pencegahan pecah retak barang kerajinan kayu dan bambu.

06. Dalam Gelar Teknologi dan Temu Lapang. Palembang, November 1997. Pengawetan bambu sebagai bahan konstruksi dan mebel.

07. Dalam Diskusi teknlogi pemanfaatan kayu budidaya untuk mendukung industri perkayuan yang berkelanjutan. Bogor 7 November 2001.

08. Dalam Temu Lapang. Ciamis 2 Juli 2002. Pengolahan dan peningkatan kualitas kayu dan batang kelapa.

09. Dalam Gelar Teknologi dan Temu Lapang. Semarang, 17-18 September 2002. Pencegahan jamur biru dan bubuk kayu basah pada dolok dan kayu gergajian.

10. Dalam Kegiatan Sosialisasi Kayu Awet. Jakarta 16 September 2003. Pengawetan kayu dan perbaikan sifat tahan api.

11. Dalam Sosialisasi Standar Penanggulangan Rayap pada Gedung Pemda. Jakarta 11 Desember 2003. Manfaat penggunaan kayu awet dalam pengendalian rayap.

12. Dalam Peningkatan Kompetensi Tenaga Laboratorium. Baristand Indag. Banjarbaru Desember 2004. Pengawetan kayu.

13. Dalam Ekspose/Alih Teknologi. Yogyakarta 28 Agustus 2006. Teknologi pemanfaatan kayu alternatif.

14. Dalam Gelar Teknologi. Klaten 26 Oktober 2006. Pengawetan kayu kelapa dan bambu untuk konstruksi rumah.

15. Dalam Gelar Teknologi. Banyuwangi 17 Juni 2006. Pengawetan kayu dan bambu

16. Dalam Warta Gerhan 1 (5) 20 Mei - 04 Juni 2006. Pengawetan kayu berarti penghematan.

17. Dalam Kegiatan Pelatihan Pengembangan Pengusahaan Bambu. Bandung-Sumedang 10-12 Juli 2007. Pengolahan bambu pasca panen.

18. Dalam Diskusi Green Architecture dengan pemanfaatan kayu dan nishingnya. Jakarta 28 April 2007. Peningkatan mutu kayu bahan konstruksi.

19. Dalam Seminar Nasional Sistem Penyediaan Kayu Bermutu Konstruksi. Bandung 27 November 2007. Pengawetan kayu.

20. Dalam Stadium General Pekan Hutan Rakyat II. Ciamis 30 Oktober 2007. Peningkatan mutu kayu bahan baku industri.

Page 81: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

65HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

EDITOR MAJALAH/PROSIDING

1. Pembantu pelaksana Lokakarya Standarisasi Pengawetan Tiang Kayu, tahun 1977.

2. Anggota penyunting Prosiding Ekspose Hasil Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan, tahun 1995.

3. Anggota penyunting Prosiding Ekspose Hasil Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, tahun 1996.

4. Anggota penyunting Prosiding Workshop pengeringan dan pengawetan kayu, tahun 2002

5. Anggota Dewan Redaksi Jurnal Penelitian Hasil Hutan , Sk. No.40/Kpts/VIII/2004.

KEGIATAN LAIN/ORGANISASI PROFESI

• Mengajar di Fak Hukum UIKA, tahun 1982- sekarang

• Pebantu Dekan III, tahun 1985-1988

• Ketua Jurusan Hukum Pidana, tahun 1994-1997

• Dekan Fak Hukum UIKA, tahun 1997-2004 :

• Tenaga Ahli Pengembangan Teknologi Pengolahan Bahan Galian, PPTM Bandung,1995:

• Anggota Tim Teknis Kayu Awet, Kantor Menteri Negara Perumahan Rakyat,1997:

• Ketua Panitia Lokakarya Teknologi Pengeringan dan Teknik Pengawetan Kayu. Cibogo 24-25 Pebruari.

• Anggota Pengawas Pestisida Pusat, 2003-2008 :

• Anggota Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia, 2000 -sekarang :

• Anggota Ikatan Profesional Lingkungan Hidup Indonesia, 2001-2003.

• Anggota Tim Evaluasi keberadaan laboratorium lingkup P3THH, Sk. 412/VIII/p3THH-2/2002.

• Anggota Pengawas Perbaikan Masjid Nurul Alam, Dep. Kehutanan, Sk. No.32/set/mna/viii/02.

• Penugasan Ahli Penelti Utama sebagai nara sumber pada Direktorat Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial sesuai SK.297/Menhut-VIII/2005

• Anggota Tim Pakar P3THH, Sk. No.04/Kpts/VIII-P3THH/2005.

• Ketua pelaksana Workshop Pengawetan Kayu , DFID-P3HH, 2007

• Anggota Tim Penyusun Kriteria dan Mekanisme Penilaian dan Pemberian Penghargaan pegawai/peneliti , SK 131/Kpts/VIII/2007

Page 82: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

66 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Page 83: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

67HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA(APU)

ARTI PENTING PEMAHAMAN PERILAKU SERANGGA PERUSAK KAYU UNTUK

PENGENDALIANNYA YANG LEBIH RAMAH LINGKUNGAN

Oleh:Drs. Paimin Sukartana

KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN

Bogor, 2013

Page 84: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

68 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Page 85: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

69HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

PROFIL

Paimin Sukartana, yang dipanggil Paimin atau Kartono, lahir di Dusun Turgo, Purwobinangun, Pakem Yogyakarta, 26 April 1948, anak dari almarhum; ayah Kartopawiro dan ibu Djuminah. Menikah dengan C. Sri Sudarjati, SPd. tahun 1979, dikaruniai satu orang putri: Nina Octoviana, SIP, MBA. dan satu putera: Andreas Yuli Nugroho, S.Sos.

Pendidikan di SR Kaliurang, lulus tahun 1961, SMP Hamong Putro Pakem tahun 1963, SMA III IKIP Pakem tahun 1967, Sarjana Muda Pendidikan

Biologi IKIP Yogyakarta, 1972, dan Sarjana Pendidikan Biologi, Universitas Terbuka 1991. Pernah mengikuti on-job training mengenai serangga perusak kayu, dan juga sebagai Faculty Staff, selama masing-masing 6 bulan di Department of Entomology University of Wisconsin (UW), Madison tahun 1984, dan mengenai organisme perusak kayu di Forest Products Laboratory (FPL) Madison Amerika Serikat tahun 1993. Mengunjungi Wood Research Institute (sekarang Research Institute of Sustainable Humanosphere; RISH) Kyoto University Jepang, dalam rangka pertukaran peneliti, tahun 1998, dan studi banding mengenai pengembangan bioinsektisida di Department of Entomology CSIRO, Canberra, Australia, tahun 2000.

Pernah mengajar SMA Taman Madya Yogyakarta, 1972-1974, bekerja sebagai staf Research & Development Perusahaan Alat Peraga Pendidikan, PT. Mukabaya Bogor, 1974-1977, mengajar SMA Kesatuan Bogor 1976-1981, dan mulai bekerja sebagai tenaga teknisi honorer di Lembaga Penelitian Hasil Hutan (sekarang Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor) pada akhir tahun 1977 dan diangkat sebagai Calon PNS tahun 1979 sebagai teknisi, Pengatur Muda/IIb. Memperoleh jabatan sebagai Peneliti Muda tahun 1992 dengan pangkat Penata Muda/IIIa, dan selanjutnya meraih jabatan Ahli Peneliti Utama tahun 2004, dan pangkat Pembina Utama /IVe tahun 2007.

Sebanyak 91 karya ilmiah, ditulis sendiri atau bersama-sama dengan peneliti lainnya, telah dihasilkan, disajikan dalam bentuk seminar, prosiding atau jurnal, baik di tingkat nasional maupun internasional. Duduk sebagai anggota profesi ilmiah seperti Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI), Perhimpunan Biologi Indonesia (PBI) dan Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI), serta memberikan bimbingan mahasiswa S1 Univeritas Winaya Mukti (UNWIM), Bandung. Kerjasama penelitian dan tukar menukar informasi ilmiah dengan sejawat di dalam negeri dan ahli di luar negeri pun dilakukan dalam rangka peningkatan wawasan dan kapasitas ilmiah.

Page 86: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

70 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

PRAKATA

Yang terhormat:

1. Bapak Menteri Kehutanan Republik Indonesia;

2. Bapak Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI);

3. Para Pejabat Eselon I dan II Kementerian Kehutanan Republik Indonesia;

4. Rekan-rekan Peneliti dan seluruh Hadirin yang berbahagia.

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga kita dapat hadir dalam acara orasi ilmiah peneliti utama pada hari ini.

Adalah kehormatan bagi saya bahwa hari ini saya dipercaya untuk menyampaikan orasi saya sebagai Peneliti Utama di lingkungan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan Republik Indonesia.

Perkenankanlah saya, sebagai peneliti yang telah bertahun-tahun mendalami berbagai aspek yang berkaitan dengan serangga perusak kayu, menyampaikan orasi dengan judul: ARTI PENTING PEMAHAMAN PERILAKU SERANGGA PERUSAK KAYU UNTUK PENGENDALIANNYA YANG LEBIH RAMAH LINGKUNGAN. Orasi ini merupakan re eksi pengalaman saya selama berkarir di lembaga penelitian ini, yang dimulai sebagai pegawai harian sejak akhir tahun 1977 dan menjadi teknisi Pangkat Pengatur Muda/IIb dari tahun 1979 sampai dengan Pengatur Tingkat I/IId tahun 1992, dan seterusnya sebagai peneliti sampai memangku jabatan Ahli Peneliti Utama tahun 2004 dan Pangkat Pembina Utama/IVe tahun 2006 sampai sekarang ini. Orasi ini juga merupakan kajian dari berbagai sumber, baik dari karya dan pengalaman sendiri maupun dari sumber-sumber lain yang relevan.

Kajian ini saya anggap penting untuk mengurangi atau menghindarkan penggunaan bahan-bahan beracun yang tidak perlu. Kecenderungan global dalam pengendalian serangan rayap perusak kayu menunjukkan bahwa penggunaan insektisida, terutama yang berdaya racun tinggi dan tahan lama (persistent), misalnya yang mengandung senyawa khlorhidrokarbon, pentakhlorfenol dan garam arsenat, semakin dibatasi dan bahkan dilarang, karena alasan lingkungan.

Sebagai contoh, penggunaan senyawa CCA secara intensif telah menimbulkan kesulitan mendaur ulang jutaan m3 reruntuhan (puing) kayu yang diakibatkan oleh badai Katrina di Lousiana dan Mississipi, Amerika Serikat, tahun 2005. Sekitar 1740 metrik ton senyawa arsen terdapat dalam sekitar 12 juta meter kubik puing yang diawetkan dengan CCA, dan ini berbahaya bagi lingkungan1.

Aspek ramah lingkungan produk kayu tidak hanya dinilai dari mana asal-usul kayu tersebut, tetapi juga bagaimana cara memproduksinya. Masyarakat Eropa bahkan sejak tahun 2007 telah mengefektifkan pemberlakuan Directive 1999/13/CE, yang mengatur pembatasan emisi gas-gas volatile organic compounds (VOC), termasuk di dalamnya penggunaan bahan pengawet dan bahan penutup (cat) kayu2.

Page 87: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

71HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Kerusakan kayu karena serangan serangga perusak mudah dijumpai di mana-mana, sejak kayu masih di hutan sampai di tingkat konsumen. Kerugian karena serangan serangga perusak sangat besar, apa lagi ketersediaan jenis-jenis kayu yang awet makin langka, digantikan dengan jenis-jenis kayu yang umumnya tidak awet. Karena pertimbangan lingkungan, penggunaan insektisida untuk pengawet kayu juga makin dibatasi dengan jenis-jenis yang berdaya racun rendah dan mudah terdegradasi (terurai). Oleh karenanya, pengendalian serangga secara komprehensif atau terpadu dengan memanfaatkan berbagai cara yang lebih aman telah dan akan menjadi studi yang menarik di masa depan.

Pemahaman perilaku serangga perusak kayu diperlukan untuk mencari titik-titik kelemahannya agar dapat dilakukan pemutusan mata rantai daur hidup secara lebih tepat. Contoh yang lebih jelas, misalnya, penghambatan pendewasaan pada rayap yang masih muda dengan menggunakan senyawa penghambat sintesa khitin chitin synthesis inhibitor (CSI) ternyata dapat mengeliminasi (mematikan) koloni rayap yang diperlakukan. Dan tentunya pengendalian berbagai jenis serangga perusak memerlukan cara yang berbeda antara satu dengan yang lain, disesuaikan dengan perilaku masing-masing hama tersebut.

Orasi ini mencoba menguraikan pengalaman dan berbagai kemungkinan pengendalian serangga hama kayu dengan memanfaatkan titik lemah dalam perilakunya. Namun, bagaimanapun, karena keterbatasan kemampuan saya, uraian ini mungkin masih jauh dari sempurna. Oleh karenanya, kritik dan saran dari para sejawat akan sangat diharapkan.

Bogor, Desember 2012

Page 88: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

72 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

I. PENDAHULUAN

Hadirin yang terhormat,

Kayu, sampai sekarang ini, masih termasuk bahan bangunan yang utama. Belum ada bahan alami lain yang sepenuhnya dapat menggantikannya, terutama, dari sisi fungsi dan estetika. Konstruksi kusen, furnitur dan panel kayu, misalnya, terasa lebih “hangat dan friendly” sehingga masih menjadi pilihan utama daripada yang terbuat dari bahan-bahan lain, seperti metal dan sintetik. Asal-usul kayu dari sumber yang dapat diperbarukan adalah keunggulan lain daripada yang berasal dari bahan galian yang persediaannya lebih terbatas.

Meskipun demikian, kebutuhan kayu yang makin meningkat, baik untuk kebutuhan ekspor maupun untuk tujuan domestik, menyebabkan eksploitasi hutan yang cenderung tidak terkendali. Praktek-praktek penebangan liar (illegal logging) yang merajalela menyebabkan laju perusakan hutan yang luar biasa, yang tidak akan terimbangi dengan peremajaan alaminya. Bencana banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau yang selama ini terjadi adalah salah satu dampak perusakan hutan selama ini.

Pembangunan hutan tanaman sudah dikembangkan, namun juga belum berhasil mencukupi kebutuhan. Begitu pula halnya dengan hutan rakyat. Harga kayu meningkat tajam sehingga akhirnya menjadi beban berat konsumen, selain menjadi tidak kompetitif di dunia perdagangan internasional. Jenis-jenis kayu yang tersedia pun makin terbatas, dan umumnya tergolong kelas yang tidak awet, mudah diserang organisme perusak.

Penggunaan jenis-jenis kayu tidak awet juga akan sangat merugikan, baik dari aspek sumber daya hutan maupun keuangan konsumen. Karenanya, sudah saatnya dilakukan penghematan pemanfaatan kayu yang lebih sungguh-sungguh. Pengendalian serangan hama, sejak penebangan pohon sampai pemanfaatannya di tingkat konsumen, adalah salah satu usaha yang harus dilakukan dalam rangka mempertahankan nilai ekonomi dan penghematan penggunaan kayu yang sangat berharga ini.

II. SERANGGA PERUSAK KAYU DI INDONESIA

Hadirin yang saya muliakan,

Iklim tropika basah negeri ini menjadi habitat yang subur bagi berbagai jenis makhluk hidup, termasuk bagi berbagai jenis serangga hama kayu. Sejak pemungutan di hutan sampai di tangan konsumen (pengguna), kayu dihadapkan dengan berbagai jenis serangga perusak. Jenis-jenis serangga perusak kayu di Indonesia dapat dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu bubuk kayu basah (Coleoptera: beberapa jenis Scolytidae dan Platypodidae) atau yang dikenal dengan nama kumbang ambrosia atau penggerek lubang jarum (pinhole borer), bubuk kayu kering (Coleoptera: Bostrychidae dan Lyctidae) dan rayap (Isoptera). Masing-masing golongan tersebut secara sederhana dinamakan berdasarkan habitatnya, misalnya bubuk kayu basah menyerang dolok segar (fresh cut), bubuk kayu kering menyerang kayu yang telah kering, dan sebagainya.

Page 89: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

73HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

A. Bubuk Kayu Basah atau Kumbang Ambrosia

Kedua nama ini mempunyai arti yang berbeda meskipun menunjuk jenis serangga penggerek yang sama. Yang pertama berdasarkan habitatnya, yaitu pada kayu yang masih segar, sedang yang kedua berkaitan dengan perilaku simbiose, hubungan antara kumbang dan jamur yang dinamakan ambrosia.

Nama ambrosia diberikan pertama kali oleh Schmidberger3 untuk lapisan berwarna putih pada lubang gerek yang menjadi makanan kumbang Apate (Xyleborus) dispar. Hartig4 menyatakan bahwa lapisan tersebut adalah jamur yang selanjutnya diketahui terjadi asosiasi (simbiose) antara kumbang dan jamur kumbang ambrosia dari familia Scolytidae dan Platypodidae5. Terakhir diketahui bahwa simbiose tersebut bersifat spesies spesi k, kumbang jenis tertentu bersimbiose dengan jamur tertentu pula6. Karena bekas pertumbuhan jamur tersebut, lubang gerek serangga menjadi berwarna gelap atau kehitam-hitaman, seperti bekas ditusuk dengan kawat pijar7. Arah penggerekan umumnya tegak lurus serat, dan lubang gereknya kosong, karena hasil gerekannya dibuang keluar oleh induknya.

Kayu tebangan yang masih segar (fresh cut) menjadi prasyarat pertumbuhan jamur ambrosia, dan karena itu kumbang penggerek ini hanya akan menyerang kayu yang masih segar, yang memiliki kadar air di atas titik jenuh serat8. Meskipun demikian, kumbang ini juga tidak akan menyerang dolok segar yang masih terlalu jenuh air, di mana jamur juga tidak akan tumbuh.

Jadi sebenarnya kumbang tersebut bukannya pemakan kayu, namun lubang gerek yang dibuatnya adalah untuk tempat menanam jamur yang akan menjadi sumber makanan, atau sebagai xylomycetophagous insects, yang maksudnya kurang lebih; serangga penggerek kayu tapi pakannya adalah jamur9. Lubang gerek juga berfungsi sebagai perlindungan terhadap pengganggu atau predator.

Pohon yang sudah ditebang menimbulkan daya tarik bagi kumbang ambrosia karena terbentuknya senyawa atraktan sebagai akibat dari proses respirasi anaerobik10, yang selanjutnya atraktan tersebut diidenti kasi sebagai etanol11,12. Peran senyawa ini dibuktikan pula oleh Sukartana13.

Jenis kayu komersial yang bernilai tinggi, misalnya ramin (Gonystylus spp.), sangat rentan terhadap serangan kumbang ambrosia Platypus westwoodi, P. signatus dan P. trepanatus14. Puncak serangan terjadi sekitar 3-7 hari setelah pohon ditebang15 dengan ratusan lubang gerek per m persegi12. Intensitas serangan kumbang pada kayu tusam (Pinus merkusii) sangat tinggi, mencapai ribuan lubang gerek per-m2, namun serangannya baru berlangsung sekitar 2-3 bulan setelah penebangan17,18. Kayu karet (Hevea brasiliensis) juga termasuk rentan meskipun serangannya tidak secepat dan intensitasnya setinggi serangan pada kayu ramin19. Pohon jati yang masih muda, yang dalam kondisi lemah, juga mudah diserang hama ini20. Hampir tidak ada jenis kayu yang tidak diserang jenis-jenis serangga hama ini, hanya intensitas serangannya berbeda-beda. Serangan kumbang pada dolok lebih banyak pada permukaan samping atas dari pada pada bagian yang lain21.

Page 90: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

74 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Sebenarnya kerusakan karena serangan kumbang ambrosia tidak terlalu menurunkan sifat-sifat sik mekaniknya. Namun penurunan mutu tampilannya sangat berpengaruh terhadap nilai kayu dan produk-produknya, bahkan tidak jarang ditolak pembeli atau hanya untuk keperluan yang nilainya rendah, misalnya hanya untuk bahan pengemasan atau lapisan pengisi (core) atau venir belakang pada kayu lapis atau sebagai kayu bakar saja. Penggunaan lapisan pengisi dari kayu yang banyak lubang gereknya juga kurang disukai karena akan boros perekat. Kayu yang mulus, yang berharga jutaan rupiah per-m3 menjadi tidak bernilai sama sekali.

Untuk menghindarkan kerusakan yang lebih parah, pengendalian serangan hama ini mutlak diperlukan. Kecepatan pengeluaran kayu tebangan dari hutan menjadi kuncinya, dan penundaan (misalnya untuk kayu ramin) beberapa hari saja, sangat berisiko tinggi. Oleh karenanya, persiapan sebelum penebangan harus dilakukan dengan cermat untuk menghindarkan penundaan yang tidak perlu. Perendaman dalam air (sungai atau kolam) dapat menghambat serangan kumbang, selain juga menghambat serangan jamur biru (blue stain fungi) dan pelapukan. Namun perendaman, bila dilakukan di atau dekat hutan, juga dapat menimbulkan daya tarik kumbang yang lebih kuat karena terbentuknya atraktan akibat respirasi anaerobik sebagai disebut di atas.

Bila terpaksa ditunda di hutan, perlu pencegahan dengan insektisida, namun jenis dan cara pemakaiannya harus tepat takaran dan sasaran supaya, selain efektif22,23 juga tidak menimbulkan pencemaran lingkungan. Sampai dengan awal tahun 80-an, pestisida pentaklorfenol dan klorhidrokarbon banyak dipakai untuk pencegahan serangan kumbang ambrosia dan jamur biru di lapangan dan di penggergajian. Namun karena senyawa ini sangat berbahaya akhirnya penggunaannya dilarang di Indonesia.

Kreosot yang dicampur dengan minyak solar dan kadang-kadang ditambah dengan insektisida lain masih banyak digunakan di lapangan. Senyawa ini sangat merusak lingkungan. Bila di perairan akan menghambat sirkulasi oksigen dari udara dengan air yang menjadi habitat berbagai jenis organisme akuatik. Banyak informasi di lapangan mengenai penurunan produksi ikan di perairan karena penggunaan insektisida ini. Insektisida yang bersifat repelen dan mudah terurai (degradable) misalnya jenis-jenis piretroida, dianjurkan untuk pengendalian serangga penggerek ini. Apa lagi perlakuannya hanya bersifat sementara.

Tentunya, penggunaan bahan beracun ini sekarang sudah tidak ada atau berkurang karena jenis kayu yang sangat peka terhadap serangan kumbang ini telah dihentikan penebangannya, sebagai akibat penebangan yang tidak terkendali. Yang diharapkan sekarang ini adalah terjadinya perbaikan lingkungan (environmental recovery) setelah sekitar tiga dekade terlanjur digunakan berbagai jenis insektisida.

B. Bubuk Kayu Kering

Hadirin yang saya hormati,

Serangan bubuk kayu kering lebih terbatas pada jenis kayu tertentu, kayu palma (kayu kelapa, rotan dsb), dan bambu yang mempunyai kandungan zat pati yang tinggi. Sesuai dengan namanya, serangan terjadi pada bahan-bahan yang sudah kering. Cadangan bahan baku di

Page 91: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

75HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

gudang, atau pada produk-produk yang telah jadi akan menjadi sasaran utama dari serangga perusak ini kalau berasal dari bahan-bahan yang memiliki kadar zat pati yang tinggi.

Ciri-ciri serangannya adalah adanya serbuk halus campuran hasil gerekan dan ekskremen (excrement) seperti tepung yang dikeluarkan dari kayu atau inang yang diserang. Bila kayu yang diserang dipotong, terlihat lubang gerek searah serat, yang terisi penuh dengan serbuk gerek tersebut24. Inang yang telah diserang biasanya akan hancur, sehingga tidak dapat dimanfaatkan sama sekali, bahkan untuk kayu bakar sekalipun.

Serangan bubuk berlangsung cepat. Jenis kayu yang peka misalnya kayu karet, yang sekarang ini bernilai ekonomi tinggi karena dimanfaatkan sebagai pengganti kayu ramin, akan hancur karena serangannya dalam waktu sekitar 5 – 8 bulan setelah pengeringan. Banyak pengusaha jenis kayu ini yang bangkrut karena ketidakpahaman bagaimana cara mengatasinya.

Jenis-jenis bubuk kayu kering yang banyak ditemukan di Indonesia adalah; dari Familia Bostrychidae, yaitu Heterobostrychus aequalis (menyerang, antara lain kayu karet, mahoni (gubal), pulai, kecapi, kemiri, rotan dan bambu), Dinoderus minutus (bambu, rotan dan palma lainnya), Sinoxilon anale (terutama bambu), dan dari Familia Lyctidae adalah Lyctus bruneus dan Minthea sp. yang menyerang baik pada kayu maupun bambu.

Serangan awal bubuk ini tidak mudah dideteksi karena berlangsung di dalam inang (Cryptobiotic). Aktivitas serangan tersebut sebenarnya dapat didengar, namun suara-suara tersebut hanya akan terdengar bila serangan telah parah. Suara berisik pada kayu, misalnya kusen, panel dinding, furnitur dsb. perlu diwaspadai, mungkin dihasilkan oleh aktivitas serangan bubuk kayu kering.

Seringkali kerusakan terjadi pada produk-produk jadi, misalnya furnitur, yang telah berada di tangan konsumen. Ini terjadi karena induk serangga pada umumnya tidak melakukan penggerekan, namun bubuk betina, dengan menggunakan alat peletak telur berbentuk seperti jarum suntik (ovipositor), hanya menyisipkan telur-telurnya ke dalam celah, retakan, atau pori-pori yang terdapat pada inang. Telur-telur tersebut akan menetas menjadi larva, menggerek dan menggerogoti jaringan di dalam inang. Bila telah terlihat adanya serbuk di permukaan inang, ini tandanya kerusakan telah parah. Pada fase inilah banyak terlihat lubang gerek yang dibuat oleh kumbang dewasa sebagai lubang keluar (exit hole) untuk mencari inang dan pasangan yang baru. Jadi produk-produk tersebut sebenarnya telah mengandung “bahaya laten”, bawaan dari produsen. Produk-produk yang terlihat mulus, ternyata belum tentu aman dari serangan jenis hama ini.

Keluhan konsumen pun akan terjadi. Klaim sering terjadi terutama untuk produk-produk yang tergolong rentan, misalnya dari kayu karet, mahoni (gubal), pulai, kemiri, rotan dan bambu. Kerugian dalam dunia usaha pun terjadi karena ketidakpahaman perilaku serangan hama ini sehingga tidak diantisipasi sebelumnya.

Kebiasaan masyarakat merendam bambu dalam air sebenarnya ditujukan untuk mencegah serangan serangga penggerek ini. Hal sama juga dapat dilakukan pada rotan. Dalam perendaman ini, proses siologis, terutama respirasi, sel-sel bambu atau rotan masih berlangsung dengan memanfaatkan kandungan zat pati yang ada di dalamnya. Kandungan zat pati akan hilang

Page 92: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

76 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

atau berkurang sehingga bambu atau rotan menjadi lebih tahan terhadap kumbang tersebut. Karenanya, perlakuan ini hanya akan efektif bila dilakukan pada bambu atau rotan yang masih segar, yang sel-selnya masih hidup. Perlakuan semacam ini diduga juga dapat dilakukan pada dolok yang masih segar.

Pencegahan serangan jenis hama yang ramah lingkungan dapat dilakukan sejak awal. Pada bahan-bahan untuk pertukangan, salah satu tahapan proses produksinya adalah pengeringan dalam dapur pengering (Kiln-dryer), misalnya untuk kayu dan penggorengan dan pengukusan (steaming) misalnya untuk rotan. Pada proses ini bahan menjadi “steril”, telur dan larva-larva di dalamnya akan mati. Setelah tahapan ini, bahan harus segera diproses lebih lanjut sampai dengan nishing dengan pengecatan atau coating.

Bila semua proses dilakukan dalam ruang “suci hama” akan diperoleh produk yang bebas ancaman kumbang penggerek tersebut. Pengecatan seluruh permukaan dengan bahan melamin memberikan perlindungan yang baik terhadap serangan penggerek ini25. Pengecatan dengan bahan ini selain menjadi penghalang peneluran kumbang, diduga juga dapat mematikan telur dan larva-larva yang mungkin ada di dalamnya karena menghalangi kebutuhan oksigen (O2) bagi hama tersebut.

Kalau bahan-bahan yang sudah “steril” tersebut belum dapat diproses lebih lanjut, sebaiknya disimpan di gudang yang sanitasinya baik, sehingga hama tersebut tidak dapat masuk ke dalamnya. Pemasangan kawat kasa pada jendela dan lubang angin yang kedap hama akan sangat membantu. Sekali-kali dapat dilakukan fumigasi agar benar-benar bebas hama.

Penggunaan bahan-bahan non-toksik dan proses-proses produksi yang ramah lingkungan akan menjadi pilihan bagi konsumen global. Mungkin prosesnya menjadi lebih rumit dan lebih mahal, namun nilai lingkungan untuk masa depan menjadi pilihan yang perlu diperhitungkan.

Pemilihan jenis kayu juga penting untuk menghindari serangan hama ini. Belum lama ini, sejumlah perumahan yang dibangun pengembang terkenal di wilayah Tangerang rusak karena serangan bubuk. Pengamatan menunjukkan bahwa pengembang tersebut banyak menggunakan jenis-jenis kayu yang memang rentan terhadap penggerek ini26, 27.

Penggunaan insektisida seringkali dianggap dapat menyelesaikan permalahan dalam pengendalian hama. Kalau terpaksa digunakan, tentu dipilih jenis-jenis yang sesuai dengan takaran yang tepat pula sehingga perlakuan tersebut masih cukup efektif namun juga tidak mencemari lingkungan. Persyaratan permintaan konsumen global yang cenderung ramah lingkungan sering mejadi kendala dalam penggunaan bahan-bahan beracun tersebut. Senyawa asam borat, karena toksisitasnya rendah, banyak digunakan. Untuk produk-produk ekspor, tentu merujuk persyaratan negara yang dituju.

C. Rayap Perusak Kayu

Hadirin yang terhormat,

Indonesia sebagai bagian dari wilayah Indomalaya dihuni ratusan jenis rayap28, yang sering disebut sebagai anai-anai, semut putih, rinyuh atau laron. Kelompok serangga perusak

Page 93: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

77HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

kayu ini memang paling banyak dijumpai di mana-mana. Pada musim hujan, banyak laron ditemukan beterbangan di bawah lampu atau di jalanan. Rayap adalah serangga perusak kayu yang paling dominan, baik di daerah tropis maupun subtropis, dan karenanya banyak studi telah dilakukan mengenai serangga perusak ini. Sebagai perbandingan, sekitar US $ 1,5 milyar pengeluaran Amerika Serikat untuk pengendalian rayap per-tahun29. Kerusakan di Indonesia pasti lebih besar, karena iklimnya yang lebih kondusif untuk perkembangan serangga perusak ini. Namun belum ada data mengenai kerugian yang di akibatkan atas serangan hama di ini. Kerusakan bangunan di Istana Merdeka Jakarta karena serangan rayap, yang belum lama ini diberitakan, barangkali dapat digunakan sebagai bahan acuan, betapa besar kerugian karena serangannya.

Makanan utama rayap adalah kayu dan bahan-bahan turunannya yang mengandung selulosa. Secara ekologis, sebenarnya rayap sangat bermanfaat untuk membantu menguraikan sisa-sisa kayu, serasah dan sejenisnya menjadi unsur-unsur hara untuk mendukung kehidupan selanjutnya. Bisa dibayangkan bagaimana bertumpuknya serasah di kebun atau hutan, bila tidak ada organisme perombak (termasuk rayap) yang ikut berperan30.

Permasalahan muncul bila serangga ini berada di sekitar kita atau menyerang tumbuhan yang masih diperlukan. Di perkebunan, rayap dapat menyerang tanaman kebun, misalnya tanaman sawit, singkong, karet, tebu, dsb. Bila di sekitar permukiman, yang menjadi sasaran adalah bangunan dan isinya, semua bahan yang terbuat dari kayu dan semua turunannya, termasuk buku dan kertas-kertas dokumen.

Berbeda dengan serangga hama sebelumnya, rayap termasuk serangga sosial yang hidup dalam keluarga besar yang disebut koloni. Sebuah koloni rayap terdiri dari tiga kasta yaitu kasta reproduksi atau laron, kasta pekerja dan prajurit. Kehidupan koloni dikendalikan oleh sepasang raja dan ratu dan dilaksanakan oleh anggota keluarga lain yang disebut kasta pekerja dan prajurit. Ada saling ketergantungan antara kasta-kasta tersebut dalam mendukung kehidupan koloni. Bila salah satu fungsi kasta terganggu, kehidupan koloni akan terganggu, dan dapat menimbulkan kematian.

Kerusakan karena serangan rayap sering tidak mudah diketahui kecuali oleh tenaga ahli yang berpengalaman karena serangan tersebut berlangsung di tempat-tempat yang tersembunyi (cryptobiotic). Banyak rumah penduduk, perkantoran, bangunan sekolah dan bahkan perumahan mewah yang dibangun oleh pengembang terkenal yang rusak parah karena serangan rayap namun tidak segera terdeteksi secara dini karena sifat serangan yang tersembunyi tersebut. Sebenarnya adanya serangan rayap dapat dideteksi sejak awal dengan menggunakan alat deteksi emisi suara (Acoustic Emission Monitoring). Alat ini untuk mendeteksi suara aktivitas rayap pekerja pada waktu menggigit dan menyobek kayu31. Kalau dicermati, sebenarnya aktivitas tersebut juga terdengar, seperti halnya pada bubuk kayu kering. Suara-suara tersebut berasal dari getaran ( brasi) kepala rayap membentur benda-benda di sekelilingnya sebagai salah satu usaha pertahanan terhadap gangguan32,33. Di Indonesia, rayap menjadi serangga perusak kayu yang paling dominan. Serangga hama ini menyerang hampir semua jenis kayu, hanya beberapa jenis kayu saja yang tahan. Bila ada bagian bangunan yang diserang rayap, renovasi harus segera dilakukan. Kalau tidak, serangan akan meluas ke bagian-bagian lain. Biaya renovasi

Page 94: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

78 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

pun biasanya sangat mahal, karena karena umumnya akan banyak kerusakan ikutannya. Apa lagi harga-harga material bangunan, terutama kayu, makin mahal. Penghuninya pun direpotkan karena kegiatan renovasi tersebut.

Dari ratusan jenis rayap di negeri ini, rayap berdasarkan habitatnya secara sederhana dapat dibedakan menjadi empat kelompok yaitu rayap tanah, rayap kayu kering, rayap kayu lembab, dan rayap pohon34. Dari keempat kelompok tersebut, rayap tanah dan rayap kayu kering adalah perusak kayu terpenting di Indonesia, dan bahkan di dunia.

1. Rayap tanah perusak kayu

Hadirin yang saya hormati,

Hanya beberapa jenis rayap tanah yang berpotensi besar dalam perusakan kayu bangunan di Indonesia yaitu jenis Macrotermes gilvus, Microtermes spp. dan Odontotermes sp. (Isoptera: Termitidae) dan Coptotermes spp. (Isoptera: Rhinotermitidae).

Serangan rayap familia Termitidae meninggalkan rongga-rongga dalam kayu yang kosong. Rayap M. gilvus termasuk jenis yang berukuran terbesar di Indonesia dan karenanya daya perusaknya juga besar. Ciri khas dari jenis rayap ini, yang mudah dilihat oleh awam sekalipun, adalah adanya dua macam kasta perajurit, yang satu berkepala besar dan berahang kuat yang mampu melukai kulit kita, yang disebut sebagai prajurit mayor, dan yang lain lebih kecil atau prajurit minor. Laron dari rayap ini mudah dijumpai pada sekitar awal musim hujan, yang biasanya muncul pada pagi, siang atau malam hari. Di beberapa tempat laron dikumpulkan oleh penduduk untuk dimakan.

Perbedaan waktu munculnya laron ini mungkin disebabkan oleh varitas atau bahkan oleh jenis yang memang berbeda. Namun ditilik dari struktur anggota koloninya, semua memiliki komposisi yang mirip. Kiranya masih perlu studi lebih lanjut mengenai jenis-jenis yang termasuk dalam rayap Macrotermes spp.

Di daerah-daerah tertentu, biasanya pada habitat tanah merah, jenis rayap ini sering membentuk gundukan tanah. Gundukan-gundukan tanah ini sering dijumpai di lapangan, perkebunan dan pekarangan rumah, atau bahkan muncul di dalam rumah. Gundukan ini sangat liat, sehingga sangat menyulitkan dalam pengerjaan tanah. Kadang-kadang dengan traktor pertanian pun belum tentu mampu membongkarnya. Gundukan ini adalah pusat koloni rayap yang berisi raja dan ratu. Bila raja dan ratu megalami kemunduran atau mati, seringkali terbentuk raja ratu baru, dari kasta reproduktif sekunder (neoten), untuk menggantikannya. Kehidupan koloni pun berlanjut.

Rayap familia Termitidae sebenarnya bukan pemakan kayu. Jenis-jenis rayap ini termasuk pemakan jamur. Rayap pekerja, akan membentuk saluran atau terowongan dari tanah untuk mengembara ke mana-mana menuju kayu atau benda-benda lain yang berasal dari kayu misalnya kertas untuk diserangnya. Saluran-saluran tersebut, berfungsi sebagai pelindungan, sering terlihat di permukaan dinding atau pada batang pohon, menghubungkan pusat koloni dengan sasaran serangannya. Serpihan kayu yang diserang

Page 95: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

79HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

akan diangkut ke dalam koloni untuk kebun jamur (fungus garden) yang akan menjadi makanan bagi koloni tersebut.

Pada musim hujan, dari kebun jamur tersebut sering tumbuh badan buah, yang sering disebut jamur laron atau jamur barat (Jawa) atau supa bulan (Sunda), yang muncul di permukaan tanah. Badan buah jamur ini enak dimakan, sering dicari masyarakat pedesaan pada awal musim hujan.

Informasi penelitian pada rayap Termitidae belum banyak. Mungkin karena habitatnya yang umumnya di daerah tropis, dan tidak menimbulkan kerusakan hebat, berbeda dengan jenis-jenis rayap tanah yang lain, yaitu Coptotermes spp., yang akan disampaikan juga dalam pidato ini. Daya jelajah jenis rayap ini agaknya tidak terlalu jauh sehingga serangannya lebih banyak terjadi pada konstruksi yang dekat tanah, dan cukup lembab. Kusen-kusen pintu dan panel-panel kayu menjadi sasarannya.

Hasil uji ketahanan alami 30 jenis kayu, yang dilakukan langsung pada pusat koloni rayap di Cikampek dan Janlappa, menunjukkan bahwa sekitar 50% termasuk yang tahan sampai sangat tahan terhadap rayap tanah M. gilvus35. Jenis-jenis kayu seperti Aglaiaversteeghii, Hopea odorata, Khaya antoteca, Neonauclea dan Querus turbinata termasuk yang sangat tahan, sedangkan Gluta ranghas, G. rostata, Shorea meristopterix sangat tidak tahan. Dengan metode uji yang sama, Sukartana36 menyatakan bahwa sekitar 45% dari 40 jenis kayu yang diuji termasuk tahan terhadap jenis rayap ini. Pemaparan contoh kayu langsung pada koloni (pada kondisi yang ekstrem), perlu dikembangkan untuk menilai daya tahan suatu jenis kayu atau daya tahan suatu perlakuan pada kayu dalam waktu yang lebih cepat.

Rayap tanah Coptotermes termasuk yang paling ganas, banyak ditemukan di berbagai belahan dunia. Indonesia diduga termasuk negara yang paling kaya dalam hal jenis-jenis rayap ini34,20,37,38. Satu spesies baru, C. javanicus, telah ditemukan39 serta revisi taksonimis juga diusulkan berdasarkan sifat-sifat genetik dan morfologinya40. Jenis-jenis rayap tersebut antara lain adalah C. curvignathus, C. travians, C. kalshoveni, C. borneensis, C. menadoensis, C. havilandi, C. minutissimus, C. preginator dan yang terbaru C. javanicus.

Di belahan utara katulistiwa yaitu, Jepang, Cina, Hawaii dan daratan Amerika Serikat bagian Selatan (California sampai Florida) tersebar rayap C. formosanus yang sangat terkenal. Konon jenis rayap ini tersebar dari Cina ke berbagai negara/benua dengan perantaraan pengapalan logistik secara besar-besaran pada masa Perang Dunia II. Jenis rayap ini sekarang telah ditemukan juga di Sri Lanka dan Afrika Selatan41. Dikhawatirkan jenis rayap ini juga telah terbawa dan berkembang di Indonesia.

Berbeda dengan tanda-tanda serangan rayap Termitidae, serangan rayap Coptotermes (juga semua yang termasuk Familia Rhinotermitidae) tidak meninggalkan rongga-rongga yang kosong, namun terisi sarang karton (carton nest), yang dibuat dari campuran selulose, lumpur dan ludah rayap pekerja. Sarang ini serupa dengan sarang di pusat koloninya dan akan menjadi semacam koloni satelit (cabang koloni). Ribuan individu rayap, terdiri dari berbagai kasta dan tingkat umur (seringkali termasuk kasta

Page 96: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

80 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

reproduktif), berada dalam sarang karton tersebut. Sarang tersebut, bila sewaktu-waktu karena sesuatu hal terpisah dari koloni induknya, akan berkembang menjadi pusat koloni yang baru, lengkap dangan raja dan ratu yang baru yang berkembang dari neoten, menggantikan pusat koloni yang hilang.

Daya jelajah jenis rayap ini, baik horisontal maupun vertikal, dapat mencapai ratusan meter dari pusat koloninya42. Jumlah anggota koloninya pun biasanya sangat besar, dari ratusan ribu hingga jutaan ekor. Dan karenanya, daya perusaknya pun menjadi sangat besar, dan dapat menjangkau konstruksi dan dokumen yang tersimpan di beberapa lantai sebuah gedung bertingkat.

Karena kemampuan membentuk koloni sekunder ini, rayap Coptotermes dapat berkembangbiak di mana-mana, baik di dalam tanah maupun di atas tanah20,43, bahkan dapat membentuk koloni pada konstruksi bangunan bertingkat banyak sekalipun44,45,46 tanpa berhubungan dengan tanah asalkan tersedia habitat yang memadai, terutama sumber-sumber air. Air dari kondensasi pendingin ruangan (AC) pun sudah cukup47,48 atau bahkan dapat memanfaatkan air dari udara yang lembab. Banyak kerusakan rangka plafon, balok dan kaso karena serangan rayap Coptotermes.

Tanpa menyertakan raja dan ratu dari lapangan, jenis rayap ini dapat dipelihara di laboratorium beberapa tahun, dan mungkin sekali akan terbentuk neoten, menggantikan raja dan ratu yang tertinggal di lapangan. Keadaan ini sangat berbeda dengan rayap Macrotermes, yang perlu kehadiran kedua induknya, lengkap dengan kebun jamurnya.

Sejumlah ahli masih mendiskusikan mengenai kepastian adanya jenis rayap C. curvignathus di Indonesia. Diduga jenis rayap ini bukan C. curvignathus tetapi C. gestroi, suatu spesies yang banyak ditemukan di Thailand, Myanmar dan India49, sampai akhirnya muncul nama baru C. javanicus41. Namun apa pun namanya, semua rayap Coptotermes termasuk serangga perusak paling ganas sehingga banyak menarik perhatian para ahli dan praktisi50,51.

Jenis-jenis rayap ini mempunyai ciri khas yang mudah dikenali terutama dari kasta perajuritnya. Bila diganggu, kasta perajurit akan menggigit dan mengeluarkan cairan berwarna putih susu untuk melumpuhkan lawannya. Rayap ini termasuk yang berwarna putih, dan dari sinilah diduga penamaan rayap sebagai semut putih. Sebenarnya tidak semua jenis rayap berwarna putih, rayap Nasutitermes sp. yang banyak ditemukan di hutan Kalimantan berwarna hitam mirip semut pada umumnya.

Kerusakan bangunan karena serangan rayap Coptotermes banyak dijumpai di mana-mana. Serangan rayap pada bangunan dan pohon yang hidup juga banyak dijumpai di Bogor52. Pohon peneduh (Agathis) yang tumbang karena serangannya sering menimbulkan korban bagi pengguna jalan di Bogor. Belakangan juga diinformasikan bahwa beberapa bagian dari Istana Merdeka Jakarta juga rusak berat karena serangannya. Hal ini juga terjadi pada banyak perumahan mewah di Jakarta dan sekitarnya53. Pada bangunan bertingkat, rayap dapat menjangkau struktur atau benda-benda yang tersimpan di dalamnya melalui berbagai pipa/saluran jaringan kabel listrik dan telepon.

Page 97: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

81HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Dalam banyak hal, pengendalian serangan rayap Coptotermes sama dengan Macrotermes. Pengawetan kayu dan pengawetan tanah (soil treatment) dianjurkan. Namun kedua perlakuan itu belum memasyarakat, bahkan industri pengawetan kayu pun banyak yang tidak aktif. Jenis-jenis bahan pengawet, baik untuk kayu maupun untuk tanah, makin terbatas. Jenis-jenis yang berdaya racun tinggi dan tahan lama (persisten), misalnya garam arsenat (untuk pengawetan kayu) dan senyawa khlorhidrokarbon (untuk perlakuan tanah) telah dilarang. Sebagai gantinya adalah jenis-jenis yang daya racunnya rendah dan mudah terurai, sehingga perlakuan tersebut menjadi kurang efektif. Keadaan ini tidak hanya di Indonesia, tetapi juga diseluruh dunia yang makin peduli terhadap lingkungan.

Para akhli pun sejak sekitar dua dekade yang lalu, berlomba-lomba mencari pengganti bahan yang lebih ramah lingkungan. Pengendalian rayap secara terpadu telah banyak diusahakan. Pengendalian secara mekanis atau sis adalah pilihan yang paling ramah lingkungan.

Partikel pasir, granit atau sejenisnya ukuran tertentu dapat menghalangi masuknya rayap ke struktur bangunan atau umpan yang diberikan54,55. Pengendalian ini menggunakan prinsip; celah-celah antar partikel terlalu kecil untuk dilewati rayap, namun partikelnya juga terlalu besar untuk diangkatnya56. Cara pemakaiannya adalah dengan menebarkan partikel pasir tersebut secara merata (dengan ketebalan tertentu) di bawah fondasi sebelum pembangunan. Ukuran partikel yang digunakan bervariasi, antara diameter 1-3 mm, tergantung ukuran jenis rayap sasaran57. Partikel pasir ukuran 1-2 mm dan 2,0-2,83 mm dapat mencegah serangan rayap C. curviganthus58,59.

Penggunaan sistem ini dinilai efektif selamanya, namun pelaksanaannya tidak mudah, terutama menyediakan partikel pasir atau sejenisnya (ukuran tertentu) dalam jumlah besar. Pengendalian dengan sistem ini telah direkomendasikan di Australia dan Hawaii, Amerika Serikat. Penelitian dan pengembangan cara-cara pencegahan serangan rayap semacam ini perlu didorong, dan mungkin akan menjadi ladang bisnis yang menarik di Indonesia karena sifat-sifatnya yang ramah lingkungan, serta kandungan lokalnya besar (tidak impor).

Selain dengan partikel pasir, kawat kasa anti rayap (Termi-Mesh) yang telah diproduksi di Australia juga dapat digunakan untuk pencegahan serangan rayap pada bangunan60. Kawat kasa dipasang merata di bawah fondasi sehingga rayap dari luar tidak dapat menembusnya. Prinsip kerjanya mirip penggunaan partikel pasir; lubang saringan terlalu kecil, namun juga terlalu keras untuk digigit rayap. Kawat kasa yang diperlukan juga harus tahan karat. Kawat semacam ini barangkali dapat dicari di pasaran, tinggal daya tahannya (terhadap karat) dan ukuran mesh kasanya yang sesuai dengan ukuran tubuh rayap di Indonesia.

Untuk rumah panggung, pengendalian rayap tanah dapat dilakukan dengan pemasangan sungkup/tudung lembaran plat baja tahan karat (stainless steel) di atas umpak/tiang penyangga. Rayap tidak mudah melewati plat tersebut karena licin. Kalau ada saluran rayap yang melewati tiang juga mudah dibersihkan, sehingga rayap gagal naik ke rumah.

Page 98: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

82 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Selain secara sis, pengendalian biologis juga sudah dikembangkan61,62,63. Sistem pengendalian ini termasuk ramah lingkungan karena spektrum sasarannya lebih sempit daripada insektisida kimia yang dampaknya tidak selektif. Penggunaan jamur patogen serangga (entomopa-thogenous fungi) mulai dikembangkan sejak beberapa tahun terakhir. Prinsip kerjanya adalah pemanfaatan perilaku rayap sebagai serangga sosial. Dengan menginfeksi sebagian anggota koloninya dengan jamur patogen, diharapkan seluruh anggota koloni akan tertular dan akhirnya mati. Penginfeksiannya dilakukan dengan sistem perangkap, perlakuan dan lepas trapped-treated-released (TTR). Rayap dipancing dengan umpan, diinfeksi dengan spora jamur dan kemudian dilepas agar terjadi penularan ke seluruh anggota koloni. Penularan berlangsung karena adanya perilaku trofalaksis (trophallaxis), yaitu saling sentuh dan saling menyuapi (makan) antar anggota koloni.

Dalam beberapa percobaan laboratorium, jamur patogen serangga Metarhizium anisoliae termasuk paling efektif untuk pengendalian rayap daripada jamur patogen yang lain. Tiga jenis rayap, yang terdiri dari dua jenis rayap tanah C. curvignathus, Schedorhinotermes javanicus, dan satu jenis rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus, yang terinfeksi spora jamur dapat menular ke rayap yang sehat sehingga menimbulkan persentase kematian yang lebih tinggi64,59,65. Jenis jamur ini juga dapat digunakan sebagai penghalang, sehingga rayap tanah tidak mudah menembus jamur untuk menyerang kayu umpan yang disediakan karena terjadi infeksi66. Penggunaan jamur patogen ini dalam praktek belum banyak berkembang. Banyak faktor lingkungan yang menjadi hambatan terhadap efektivitas jamur ini di lapangan sehingga sifat virulensinya menurun.

Salah satu sistem pengendalian rayap, yang juga ramah lingkungan, yang sekarang banyak dikembangkan adalah penggunaan senyawa mirip hormon penghambat pendewasaan (juvenile hormon analogue = JHA) dan penghambat pembentukan kitin chitin synthesis inhibitor (CSI). JHA berperan mengganggu deferensiasi perkembangan rayap sehingga terjadi kekacauan proporsi kasta dalam koloni rayap67,68. Struktur koloni menjadi tidak normal, dan dapat menimbulkan kematian koloni. Pengembangan potensi hormon ke depan sangat penting sebagai salah satu usaha pengendalian rayap yang ramah lingkungan.

Senyawa CSI berperan menghambat pendewasaan rayap dengan cara menghambat pembentukan kitin, yaitu kulit serangga. Karena pembentukan lapisan kitin terhambat, rayap yang muda tidak mengalami pendewasaan. Struktur dan fungsi organisasi kekastaan terganggu sehingga dapat mematikan koloni. CSI telah dikembangkan sejak tahun 90-an69,70 dengan menggunakan senyawa berbahan aktif heksafl umuron dan difl ubenzuron untuk pengendalian rayap tanah C. formosanus dan Reticulitermes fl avipes. Jenis CSI ini juga efektif untuk eliminasi rayap tanah yang banyak ditemukan di Indonesia C. curvignathus71, dan hal yang sama juga pada CSA yang berbahan aktif klor uasuron72. Seperti halnya penggunaan jamur patogen, prinsip penggunaan JHA dan CSI adalah pemanfaatan perilaku sosial rayap sehingga perlakuan yang diberikan pada sebagian anggota koloni akan diteruskan ke seluruh koloninya. Diduga senyawa CSI hanya efektif terhadap rayap Familia Rhinotermitidae, meskipun hal ini masih perlu studi lebih lanjut.

Page 99: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

83HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Pilihan lain yang ramah lingkungan adalah penggunaan bahan baku (kayu) yang tahan rayap. Namun ketersediaan bahan baku semacam ini makin langka, dan karenanya menjadi sangat mahal. Satu meter kubik balok kayu kamper saja mencapai harga sekitar 3,5 juta rupiah, harga yang mungkin tidak akan terjangkau bagi kebanyakan masyarakat.

Pilihan terakhir adalah penggunaan bahan pengawet atau insektisida. Pengawetan tanah dilakukan pada tanah di bawah fondasi agar rayap dari luar tidak dapat masuk ke dalam bangunan. Perlakuan ini lebih baik dilakukan sebelum pembangunan. Namun perlakuan ini juga terkendala, karena adanya larangan penggunaan jenis-jenis insektisida yang tahan lama. Berbagai informasi menyebutkan bahwa efektivitas perlakuan ini hanya sekitar 5-10 tahun.

Pengawetan kayu juga menjadi kebutuhan. Penggunaan bahan-bahan pengawet yang berdaya racun rendah atau tidak beracun sama sekali menjadi pilihan. Namun dengan bahan pengawet yang tidak persisten, daya tahannya juga menurun. Belum ada pengganti bahan pengawet kayu yang seefektif CCA.

Sejak sekitar dua dekade yang lalu, penggunaan bahan-bahan non-toksik, misalnya dengan cara memodi kasi sifat-sifat kimia kayu (chemical modifi cation), banyak dikembangkan sebagai pengganti pengawetan menggunakan insektisida. Penelitian semacam itu selayaknya didorong di negeri ini, supaya kita tidak hanya menjadi ajang pemasaran hasil-hasil penelitian dari luar negeri.

2. Rayap kayu kering

Hadirin yang terhormat,

Dari namanya, ada kesamaan dengan bubuk kayu kering, yaitu dari segi habitatnya, yaitu kayu yang telah kering. Serangan jenis rayap ini lebih banyak pada struktur bangunan di bawah atap. Kayu konstruksi rumah/gedung, furnitur, panel lantai, dinding kusen, kertas-kertas dokumen dan lain-lain menjadi sasaran utamanya. Jenis-jenis rayap kayu kering yang sering dijumpai di Indonesia adalah dari genus Cryptotermes (Isoptera: Kalotermitidae) yang meliputi C. cynocephalus, C. dudley, C. domesticus dan C. sumatranus34.

Berbeda dengan rayap tanah, rayap kayu kering tidak membuat koloni di tanah dan juga tidak membuat saluran dipermukaan kayu atau bangunan. Rayap kayu kering berkoloni langsung pada kayu yang diserangnya, misalnya, kusen, kaso, furnitur dsb. Kerusakan karena serangannya meninggalkan rongga-rongga yang kosong yang sering berisi butiran-butiran berbentuk oval berwarna kecokelatan yang sering bertebaran di lantai rumah. Adanya butiran-butiran tersebut merupakan tanda-tanda khas telah terjadi serangan rayap kayu kering pada bangunan. Butiran-butiran ini adalah ekskremen (feses atau frass) yang dikeluarkan dari rongga serangan dalam kayu.

Struktur kasta jenis rayap ini tidak selengkap jenis rayap tanah. Yang disebut kasta pekerja sebenarnya adalah calon laron yang masih muda (nimfa) sehingga disebut kasta pekerja palsu (pseudo-worker).

Page 100: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

84 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Koloni rayap ini biasanya tidak besar, namun banyak. Dalam satu potong kayu dapat ditemukan beberapa koloni sekaligus, yang mungkin juga akhirnya berhubungan antara satu dengan yang lain, sehingga serangannya menjadi lebih berat.

Rayap kayu kering terutama C. cynocephalu banyak ditemukan di Bogor dan sekitarnya, dan banyak menimbulkan kerusakan pada konstruksi. Contoh kayu koleksi yang disimpan di gudang dan “Xylarium Bogoriensis” Pusat Litbang Hasil Hutan Bogor banyak yang rusak karena serangannya. Untuk pencegahan serangannya, aset yang tak ternilai harganya ini, terutama xylarium, karena berukuran kecil, secara periodik dimasukkan dalam freezer (dibekukan) untuk mematikan rayap yang ada di dalamnya. Sementara kayu yang digudang lebih banyak dibiarkan, menjadi semacam laboratorium alam untuk mengetahui daya tahan kayu terhadap serangannya dan sebagai sumber spesimen rayap untuk berbagai penelitian.

Meskipun serangan lambat (karena koloninya kecil), rayap kayu kering menyerang hampir semua jenis kayu. Uji laboratorium dengan sistem dipaksa makan (force feeding test) menunjukkan hanya sekitar 20-25% contoh kayu yang termasuk tahan – sangat tahan terhadap rayap kayu kering C. cynocephalus73. Berdasarkan tingkat kerusakan karena serangan secara alami, kayu yang disimpan di Gudang Puslitbang Hasil Hutan Bogor, dengan umur simpan kayu antara 8 – 72 tahun, sekitar 75% termasuk tahan – sangat tahan terhadap serangan rayap ini74, dan pada kesempatan lain, Sukartana dan Mandang75

menyatakan yang termasuk kelas tahan – sangat tahan adalah sekitar 64%.

Sejumlah data menunjukkan adanya hubungan antara berat jenis kayu dengan daya tahan/tingkat keawetannya. Makin tinggi berat jenisnya, makin tinggi pula keawetannya76,74 terutama kalau jenis-jenis kayu tersebut mempunyai kekerabatan taksonomi yang dekat77,78. Pola hubungan yang sama ternyata juga ditemukan pada serangan binatang penggerek di laut79. Jadi kiranya ada benarnya kalau konsumen yang awam cenderung memilih jenis-jenis kayu yang berat jenisnya tinggi, yang cenderung lebih awet daripada yang berat jenisnya rendah. Mungkin kandungan zat ekstraktif, yang berpengaruh terhadap keawetan kayu, pada jenis-jenis kayu yang berat jenisnya tinggi lebih tinggi pula daripada yang berat jenisnya rendah.

Pengendalian serangan rayap kayu kering lebih sulit daripada rayap tanah. Beruntung, serangan rayap ini berlangsung lambat, sporadis, tidak masif seperti pada rayap tanah, seperti pada serangan rayap Coptotermes spp. Yang paling aman adalah memilih jenis-jenis kayu yang keawetannya tinggi. Beberapa bahan penutup (cat) telah dicoba namun ternyata tidak efektif25. Residu atau incoat yang sering digunakan masyarakat untuk mengecat kaso dan balok sebenarnya juga tidak efektif untuk pencegahan serangan rayap.

Bila terpaksa, kayu perlu diawetkan terlebih dahulu, baik dengan pengawet organik, misalnya dengan insektisida piretroid, klor ripos dan kreosot, maupun dengan pengawet anorganik misalnya dengan bahan pengawet yang mengandung senyawa tembaga krom boron.

Page 101: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

85HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Alat AED dapat digunakan untuk deteksi dini adanya serangan sehingga perlakuan yang bersifat kuratif dapat diberikan pada lokasi-lokasi yang lebih tepat. Perlakuan modi kasi kimia sifat-sifat kayu seperti disebutkan dimuka perlu didorong untuk antisipasi pencegahan serangan rayap yang lebih ramah lingkungan di masa yang akan datang.

III. KESIMPULAN

Hadirin yang saya muliakan,

Indonesia merupakan habitat yang subur bagi berbagai jenis makhluk hidup, termasuk bagi berbagai jenis serangga hama kayu. Sejak pemungutan di hutan sampai di tangan konsumen, kayu dihadapkan dengan berbagai jenis serangga perusak. Berdasarkan habitatnya, ada tiga golongan serangga perusak kayu di negeri ini, yaitu bubuk kayu basah (Coleoptera: Scolytidae dan Platypodidae) yang disebut juga sebagai kumbang ambrosia atau penggerek lubang jarum (pinhole borer beetles), bubuk kayu kering (Coleoptera: Bostrychidae dan Lyctidae) dan rayap (Isoptera).

Pengendalian serangan hama, sejak penebangan pohon sampai pemanfaatannya di tingkat konsumen, adalah salah satu usaha yang harus dilakukan untuk mempertahankan nilai ekonomi dan penghematan penggunaan kayu. Apa lagi, kayu yang tersedia sekarang ini cenderung dari jenis-jenis yang tidak awet.

Kecenderungan global juga menunjukkan bahwa penggunaan insektisida berdaya racun tinggi dan tahan lama (persistent), makin dikurangi dan bahkan dilarang karena alasan lingkungan. Sebagai gantinya adalah penggunaan insektisida berdaya racun rendah dan mudah terurai, yang tentu saja tidak seefektif jenis-jenis insektisida sebelumnya.

Pemahaman mengenai perilaku serangga perusak kayu diperlukan untuk memperoleh cara yang tepat untuk memutus mata rantai daur hidupnya dalam rangka pengendalian serangannya dengan cara-cara yang lebih ramah lingkungan. Pengendalian serangan bubuk kayu basah atau kumbang ambrosia harus dimulai dengan penyiapan penebangan yang cermat agar dolok dapat segera diangkut ke pabrik pengolahan. Penggergajian dan kemudian pengeringan dalam kilang Kiln-dryer efektif untuk mencegah serangan kumbang penggerek ini.

Serangan bubuk kayu kering lebih terbatas pada jenis-jenis kayu (termasuk rotan, kayu kelapa, bambu dll.) yang mempunyai kandungan zat pati tinggi. Pengeringan dalam Kiln-dryer, penggorengan dan pengkukusan (misalnya untuk rotan) dapat mematikan telur dan larva-larva bubuk yang ada di dalam inang. Pengerjaan di ruang yang “steril” akan mencegah serangan bubuk. Untuk produk-produk furnitur, pengecatan seluruh permukaan dengan melamin dapat meningkatkan daya tahannya terhadap serangan bubuk kayu kering. Bila bahan baku perlu disimpan lama, diperlukan gudang yang juga “steril”, sehingga serangga perusak tersebut tidak mudah masuk.

Pengendalian serangan tanah rayap seara sis/mekanis dan biologis banyak dikembangkan. Partikel pasir ukuran tertentu dan kawat kasa anti rayap namun tahan karat dapat dipasang di bawah fondasi untuk penghalang masuknya rayap ke bangunan.

Page 102: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

86 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Jamur patogen serangga sebagai insektisida biologis, misalnya Metarhizium anisopliae, secara laboratoris efektif untuk mematikan rayap, namun belum terbukti efektif di lapangan.

Penggunaan senyawa kimia mirip hormon penghambat pendewasaan, juvenile hormone analogue (JHA) dan penghambat pembentukan khitin, chitin synthesis inhibitor (CSI) dapat mematikan koloni rayap karena terjadi kekacauan struktur koloni rayap tersebut. Baik jamur patogen maupun JHA dan CSI, penggunaannya berdasarkan perilaku koloni rayap sebagai serangga sosial. Penularan sebagian anggota koloni akan menular ke seluruh anggota koloni melalui kegiatan saling sentuh dan saling menyuap antara satu dengan yang lain (trofalaksis).

Alternatif pengendalian rayap kayu kering tidak (belum) banyak tersedia. Beruntung, koloni rayap kayu kering tidak sebesar rayap tanah. Jadi perusakannya pun lebih lambat.

Penggunaan insektisida menjadi pilihan terakhir, dan itu pun hanya tersedia jenis-jenis yang berdaya racun rendah dan mudah terurai. Penggabungan dari berbagai cara diperlukan agar masa pakai kayu menjadi lebih lama. Cara ini barangkali menjadi lebih rumit dan mahal, namun diperlukan baik untuk keperluan nasional maupun global, yang cenderung mengurangi penggunaan bahan-bahan yang membahayakan lingkungan.

PENUTUP

Hadirin yang saya muliakan,

Kebutuhan kayu makin meningkat, namun ketersediaannya makin terbatas. Pengawetan kayu diperlukan, namun jenis-jenis bahan pengawet yang tersedia makin terbatas. Jenis-jenis bahan pengawet yang tahan lama dan efektif banyak yang dilarang digunakan karena alasan lingkungan. Pengendalian serangga perusak menjadi tidak mudah, tidak dapat mengandalkan satu cara saja. Perlu pendekatan secara komprehensif, termasuk dari aspek perilaku hama itu sendiri.

Aspek perilaku serangga hama banyak dipelajari dalam rangka mencari metode pengendalian yang paling tepat. Dari perilakunya, dicari fase-fase terlemah dari daur hidup serangga untuk menentukan atau merekayasa model pengendalian yang lebih tepat sasaran.

UCAPAN TERIMA KASIH

Hadirin yang terhormat,

Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak sehingga saya diberi kepercayaan untuk memangku jabatan tertinggi sebagai Ahli Peneliti Utama sebagai dikukuhkan pada hari ini:

1. Direktur Lembaga Penelitian Hasil Hutan (LPHH), Bapak Ir. Sunarjo Hardjodarsono, M.Sc., yang telah memberikan kesempatan pertama untuk berkarya di lembaga ini, suatu lembaga yang tugasnya berbeda dengan latar belakang pendidikan saya;

Page 103: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

87HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

2. Para pejabat di Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, di Jakarta, dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan dan Pengembangan Hasil Hutan (PUSTEKOLAH) di Bogor atas fasilitas dan dorongannya dalam pengembangan karir saya.

3. Para peneliti senior di lembaga tempat saya bekerja yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu yang dengan caranya masing-masing memberikan inspirasi sehingga saya dapat meraih jabatan seperti sekarang ini.

4. Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan seluruh staf terkait atas penilaiannya bahwa saya telah dianggap layak memangku jabatan dan gelar terhormat ini;

5. Bapak dan ibu guru saya, khususnya Bapak Roesalin, Bapak Sukardi dan Bapak Syawal Hadi di Sekolah Rakyat, Kaliurang, bapak dan ibu guru SMP Hamong Putro dan SMA III IKIP Yogya di Pakem, Yogyakarta yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan yang sangat berharga. Kepada Almamater saya di IKIP Yogyakarta (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta; UNY), terutama Bapak Prof. Dr. Djohar dan Prof. Dr. Wurjadi, atas bimbingan yang diberikan selama menempuh studi di perguruan tersebut. Juga kepada Almamater saya Universitas Terbuka (UT) Jakarta. Inilah sumbang sih saya bagi almamater tercinta. Semoga saya tidak mengecewakan.

6. Prof. Dale Norris dari Department of Entomology University of Wisconsin, Madison dan Dr. Terry Highley dari Forest Products Laboratory (FPL), Wisconsin, Madison USA, yang telah mempertajam wawasan saya dalam dunia penelitian ini;

7. Almarhum Bapak dan Ibu saya, dan seluruh keluarga saya yang dengan segala pengorbanan beliau-beliau semua sehingga akhirnya saya dapat meraih kedudukan ini;

8. Isteri saya tercinta, C. Sri Sudarjati, S.Pd. dan anak-anak yang saya terkasih Nina Octoviana, SIP., MBA. dan Andreas Yuli Nugroho, S.Sos. atas dorongan baik moril maupun materiil dan selalu setia dalam menjalani hidup ini baik dalam suasana suka maupun duka. Mereka ini semua adalah sumber inspirasi dan kekuatan utama sehingga saya meraih kedudukan seperti sekarang ini. Semoga pengorbanan dan kesabaran kalian bermanfaat dalam menjalani kehidupan kita, meskipun dalam kesederhanaan.

9. Last but not least, saya ucapkan terima kasih pula atas perhatian dan kesabaran hadirin yang saya muliakan dalam meluangkan waktu untuk mengikuti acara pengukuhan saya ini sampai purnanya. Sekian, terima kasih.

Page 104: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

88 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

DAFTAR PUSTAKA

1. Dubey, B., H.M. Solo-Gabriele and T.G. Townsendt. 2007. Quantities of arsenic-treated wood in demolition debris generated by Hurricane Katrina. Environ. Sci. Tecknol. 1; 4 (5): 1533-6.

2. Fonceca, A. 2004. Environmental management in wood processing industries and the European Legislation on VOC emission control. Proceeds 1st Int. Conf. Environmentally-Compatible Forest Products, Oporto, Portugal: 313-324.

3. Schmidberger, J. 1836. Naturgeschichte des Apfelborkenkafers Apate Dispar. Beitr. Obsbaumzucht Naturhech. Obsbaumen schadlichen Insekten 4: 213-230.

4. Hartig, T. 1844. Ambrosia des Bostrychus dispar. Allg. Forst-u. Jagdztg. 13: 73.

5. Hubbard, H.G. 1897. The ambrosia beetles in the United States. U.S.D.A. Bull. 7: 9-30.

6. Batra, L.R. 1966. Ambrosia fungi: extent of speci city to ambrosia beetles. Science 153: 193-195.

7. Hubbard, H.G. 1986. Ambrosia beetles, general remarks. Yearbook U.S.D.A: 421-430.

8. Francke-Grosmann, H. 1967. Ectosymbiosis in Wood-Inhabiting insects. In Symbiosis (S.M. Henry, ed.). Academic Press, pp: 141-205.

9. Schedl, K.E. 1958. Breeding habits of arboricole insects in Central Africa. Proc. 10th Int. Congr. Entomol., Montreal, 1956. Vol. 1, pp: 185-197.

10. Graham, K. 1968. Anaerobic induction of primary chemical attractant for ambrosia beetles. Can. J. Zool. 46: 905-907.

11. Cade, S.C., B.F. Hru ord, and R.I. Gara. 1970. Identi cation of primary attractant for Gnathotrichus sulcatus isolated from western hemlock logs. J. Econ. Entomol. 63(3): 1014-1015.

12. Moeck, H.A. 1970. Ethanol as the primary attractant for the ambrosia beetle Trypodendron lineatum. Can. Entomol. 102: 985-995.

13. Sukartana, P. 1987. Serangan kumbang ambrosia Platypus trepanatus pada dolok ramin yang diumpan dengan etanol. Kongr. Entomol. III, Jakarta.

14. Browne, F.G. 1961. The Biology of Malayan Scolytidae and Platypodidae. Malayan For. Records No. 22.

15. Sukartana, P. 1986. Initial attack of ambrosia beetle Platypus trepanatus on ramin logs. J. Pen. Has. Hutan, 3(2): 25-27.

16. Sukartana, P. 1987. Infestation habits of ambrosia beetle Platypus trepanatus on ramin logs. J. Pen. Pengemb. Kehutanan, 3(1): 27-31.

17. Sukartana, P. 1989. Serangan kumbang ambrosia Xyleborus sp. dan perkembangan lubang gereknya pada dolok tusam. Diskusi Sifat & Kegunaan Kayu HTI, Jakarta.

Page 105: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

89HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

18. Sukartana, P. 1994. Laju serangan kumbang abrosia Xyleborus sp. pada dolok tusam (Pinus merkusii). J. Pen. Has. Hutan, 12(1): 21-25.

19. Sukartana, P. 1988. Pendugaan kepekaan kayu karet terhadap serangan kumbang ambrosia. J. Pen. Has. Hutan, 5(7): 417-419.

20. Kalshoven, L.G.E. 1981. Pests of Crops in Indonesia. PT. Ichtiar Baru – Van Hoeve, Jakarta, p. 530.

21. Sukartana, P. dan A. Martawijaya. 1997. Pola penyebaran serangan kumbang ambrosia Platypus trepanatus pada dolok ramin. J. Pen. Has. Hutan, 4(4): 1-3.

22. Browne, F.G. 1949. Test of preservatives against ambrosia beetles in Malaya. Malay. For. 7: 77-86.

23. Sukartana, P. 1988. Daya tarik pohon ramin terhadap kumbang ambrosia. Lembaran Penelitian No. 28. Puslitbang Has. Hut., Bogor.

24. Sukartana, P. 1989. Kepekaan kayu karet terhadap kumbang penggerek, J. Pen. Pengemb. Kehutanan, 5(1): 36-42.

25. Sukartana, P. 2008. Possible control of wood destroying insects on rubber-wood (Hevea Brasiliensis) using coating materials. J. Pen. Has. Hutan (In press).

26. Sukartana, P. 2006. Kerusakan struktur bangunan perumahan di suatu real estate, di Tangerang. Data tidak dipublikasikan.

27. Mandang, Y.I. 2008. Komunikasi pribadi.

28. Ahmad, M. 1952. Key to the Indomalayan Termites. Biologia. 4(5): 33-198 & index: 12 pp.

29. Su, N.Y and R.H. Scheffrahn. 1988. A method for elimination of subterranean termite colonies. REC Research Report FTL96-1, Univ. Florida, Ft. Lauderdale Res. & Educ. Center.

30. Becker, G. 1976. Concerning termite and wood. Unasylva, Vol. 128, No. 11, FAO.

31. Yanase, Y., Y. Fujii, S. Okumura, T. Yoshimura and Y. Imamura.2002. Detection of acoustic emission (AE) generated by the feeding activity of drywood termite. Proceeds. 4th Int. Wood Sci. Symp.JSPS-LIPI, Serpong, Indonesia.

32. Sukartana, P. 2002. Some evidences of damage caused by subterranean termites Coptotermes spp. on buildings and trees in Bogor and its around. Proceeds. 4th Int. Wood Sci. Symp., JSPS-LIPI Core University Program in Field of Wood Science, 150-155.

33. Fink, T., L. Gui, Y. Wang, Z. Cao, A. Jaiswal, O. Tahaineh, V. Ramalin-gam, R. Hasse, A. Lax and J. Seiner. 2006. Termite Head-Banging: Sounding the Alarm. 152nd ASA Meeting in Honolulu.

34. Tarumingkeng, R. 1971. Biology and identi cation of wood destroying termites in Indonesia. For. Prods. Res. Inst. Bogor, Indonesia, Report No. 138.

Page 106: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

90 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

35. Sukartana, P. 1995. Daya tahan alami 30 jenis kayu terhadap rayap tanah Macrotermes gilvus (Hagen); suatu uji lapang yang dipercepat. J. Pen. Has. Hutan, 13(2): 71-76.

36. Sukartana, P. 1995. Ketahanan alami sejumlah jenis kayu Indonesia terhadap rayap tanah Macrotermes gilvus rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus. Sem. Biol. XIV & Kongr. Nas. Biol. XI, UI-Depok.

37. Gathorne-Hardy, F.J., Collins, M., Buxton, R.D. and Eggleton, P. 2000. A faunistic review of the termites of Sulawesi including an updated checklist of the species. Malayan Nature J.: 347-353

38. Gathorne-Hardy, F.J., Syaukani and Eggleton, P. 2001. The effect of altitude and rainfall on the composition of the termites of Leuser Ecosystem (Sumatra, Indonesia). J. Trop. Ecol.: 379-393

39. Shimada, M., Watanabe, T., Ito, T., Komatsu, K., Yoshimura, T. and Inoue, M. (eds). 2001. JSPS-LIPI Core University Program in the Field of Wood Science; Important remark on the activities during 1996-2000 and future prospects of this program. In Science for sustainable utilization of forest resources in the tropics. Wood Res. Inst. Kyoto Univ. pp: 3.

40. Takematsu, Y., Yoshimura, T., Yusuf, S., Yanase, Y., Kambara, K., Tashiro, A., Doi, S., Takahashi, M., Sukartana, P., Inoue, T., Yazawa, H., Ohkuma, M., Kudo, T., Sornuwat, Y. and Vongkaluang, C. 2006. Termite assemblages in urban areas of South East Asia – Diversity and economic impacts. Sustainable Development and Utilization of Tropical Forest Resources. Report JSPS-LIPI Core Univ. Prog. Field of Wood Science 1996-2005, pp: 54-91.

41. Su, N.-Y. and M. Tamashiro. 1987. An overview of the Formosan subterranean termite in the world. In Biology and Control of the Formosan subterranean termite. Ed. M. Tamashiro, and N-Y. Su. Ed. M. Tamashiro, and N-Y. Su. Research Extension Series 083: 3-13.

42. Su, N.-Y. and R.H. Scheffrahn. 1988. Foraging population and territory of the Formosan subterranean termite in an urban environment. Sociobiology, 14(2): 353-359.

43. Lin, S.-Q. 1987. Present status of Coptotermes formosanus and its conrol in China, in Biology and Conrol of the Formosan subterranean termite. Ed. by M. Tamashiro & Nan-Yao Su, Research Extension Series 083: 31-36.

44. Ratcliffe, F.N., J.F. Gay and T. Greaves. 1952. Australian termites. CSIRO, Melbourne, Australia.

45. Su, N.-Y. and R.H. Scheffrahn, 1987. Current status of the Formosan termite in Florida. In Biology and Control of the Formosan subterranean termite. Ed. M. Tamashiro, and N-Y. Su. Research Extension Series 083: 27-30.

46. Tamshiro, M. J.R. Yates and R.H. Ebesu. 1987. The Formosan subterranean termite in Hawaii. Problem and control. In Biology and Control of the Formosan subterranean termite. Ed. M. Tamashiro, and N-Y. SuEd. M. Tamashiro, and N-Y.Su. Research Extension Series 083: 15-22

Page 107: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

91HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

47. Su, N-Y. and R.H. Scheffrahn. 1990. Economically important termites in the United States and their control. Sociobiology, 17(1): 77-94.

48. Yates III, J.R and M. Tamashiro. 1990. The Formosan subterranean termite in Hawaii. Res. Extension Series 117, 4 p.

49. Yoshimura, T. Y. Takematsu, M. Takahashi, S. Yusuf and P. Sukartana. 1998. Coptotermes in Indonesia. Proceeds. 2nd Int. Wood Sci. Seminar. JSPS-LIPI Core University Program in the Field of Wood Science.

50. French, J.R.J. 1991. Baiting techniques for control of Coptotermes species within existing building in Australia. In Proceeds. Symp. Current Res. Wood-destroying Organisms an Future Prospects for Protecting Wood in Use, 1989; Oregon . Paci c Southwest Res. Stn: 46-50.

51. Haverty, M.I. 1991. Discussion. In Proceeds. Symp. Current Res. Wood-destroying organisms an Future Prospects for Protecting Wood in Use, 1989; Oregon.Paci c Southwest Res.Stn:p. 65.

52. Sukartana, P. 2002. Some evidences of damage caused by subterranean termites Coptotermes spp. on building and trees in Bogor and its around. Pp. 150-155. In W. Dwianto et al. (eds.), Proceeds. 4th Int. Wood Sci. Symp., JSPS-Japan and LIPI-Indonesia.

53. Sukartana, P., G. Sumarni and S. Broadbent. 2008. Evaluation of chlor uazuron for controlling the subterranean termite Coptotermes curvignathus (Isoptera: Rhinotermitidae) in Indonesia. J. Trop. For. Sci. (In pres).

54. French, J. 1993. New approaches to termite control. Onwood, CSIRO, Spring, p.2.

55. Su, N-Y. and R.H. Scheffrahn. 1992. Penetration of sized-particle barriers by led populations of subterranean termites (Isoptera: Rhinotermitidae). J. Econ. Entomol. 85: 2275-2278.

56. Ebeling, W. and R.J. Fence. 1957. Relation of particle size to the penetration of subterranean termites through barriers of sand and cinders. J. Econ. Entomol. 50: 590-592.

57. Anonim. 2008. Aggregate Barriers. utoronto.ca/forest /termite/agbar1.htm.

58. Sukartana, P. 1998. Penembusan rayap tanah Coptotermes curvignathus pada berbagai ukuran butiran pasir. Bul. Pene. Has. Hutan, 16(2): 93-99.

59. Sukartana, P. dan Jasni. 2003. Pengendalian rayap tanah Coptotermes curvignathus dengan beberapa macam penghalang. Bul. Pertanian dan Peternakan, 4(7): 11-19.

60. Anonim. 2008. Termi-mesh. University of Hawaii Ter-Termite Project. www2.hawaii.edu/�entomol/research /r_termimesh.htm

61. Jones, W. E., J. K. Grace and Tamashiro. 1996. Virulence of seven isolates of Beauveria bassiana and Metarhizium anisopliae to Coptotermes formosanus (Isoptera: Rhinotermitidae). Environ. Entomol. 25(2): 481-487.

62. Milner, R. J. 2000. Improved formulations of Metarhizium for biological control of termites. CSIRO-Entomol. Technic. Report No. 86.

Page 108: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

92 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

63. Milner, R.J., J.A. Staples and G.G. Lutton. 1997. The selection of an isolate of the hyphomycete fungus, Metarhizium anisopliae for control of termite in Australia. Biol. Control. 11:240-247.

64. Sukartana, P., A. Ismanto, W. Rumini and G. Sumarni. 2000. Susceptibility of three termite species to attack by antomopathogenic fungus Metarhizium anisopliae (Metschnikoff) Sorokin. For. Estate Crops Res. J. 1(2): 45-49.

65. Lelana, N.E., P. Sukartana, A. Ismanto dan R. Rushelia. 2006. Efektivitas penularan beberapa isolat jamur patogen serangga Metarhizium anisopliae oleh rayap Coptotermes curvignathus. J. Pen. Has. Hutan, 24(3): 219-225.

66. Sukartana, P., A. Ismanto, R. Rushelia and N. E. Lelana. 2005. A laboratory trial on applying entomopathogenic fungus Metarhizium anisopliae as a barrier for subterranean termite Coptotermes curvignathus. J. Pen. Has. Hutan, Bogor, 23(3): 229-237.

67. French, J.R.J. 1974. A juvenile hormone analogue inducing caste differentiation in the Australian termite, Nasutitermes exitiosus. J. Aust. Entomol. Soc. 13: 353-355.

68. Korb., J, E.A. Roux and M. Lenz. 2004. Proximate factors in uencing soldier development in the basal termite Cryptotermes secundus. Insectes Sociaux, 50(4): 299-303.

69. Su, N-Y., and R.H. Scheffrahn, 1993. Laboratory evaluation of two chitin synthesis inhibitors, hexa umuron and di ubenzuron, as bait toxicants against Formosan and Eastern subterranean termites (Isoptera: Rhinotermitidae). J. Econ. Entomol. 86: 1453-1457.

70. Su, N-Y. 1994. Field evaluation of a hexa umuron bait for population suppression of subterranean termites (Isopteran: Rhinotermitidae). J. Econ. Entomol. 87: 389-397.

71. Sukartana, P., G. Sumarni, A. Ismanto 2001. Evaluasi penggunaan bahan pengatur pertumbuhan serangga heksa umuron (HF) untuk eliminasi rayap tanah (Isoptera), pp. 291-297. In P. Sukartana et al. [ed.], Prosiding Seminar Nasional III, Perhimpunan Entomologi Indonesia, Bogor.

72. P. Sukartana, G. Sumarni and S. Broadbent. 2008. Evaluation of chlor uazuron for controlling the subterranean termite Coptotermes curvignathus (isoptera: rhinotermitidae) in Indonesia. J. Tropical For. Prods. (In press).

73. Martawijaya, A. and G. Sumarni. 1978. Resistance of a number of Indonesian wood species against Cryptotermes cynocephalus. For. Prods. Res. Inst., Bogor, Report No. 129.

74. Sukartana, P. 1995. Serangan serangga perusak pada contoh kayu di gudang Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan, Bogor. J. Pen. Has. Hutan, 13(3): 118-126.

75. Sukartana, P. and Y. I. Mandang. 2002. Vulnerability of some wood species stored in Bogor, Indonesia to dry-wood termite Cryptotermes cynocephalus. Proceeds. 4th Int. Wood Sci. Symp. LIPI-JSPS Japan, Serpong, Indonesia: 170-174.

Page 109: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

93HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

76. Highley, T.L. and T.C. Scheffer. 1790. Natural decay resistance of 30 Peruvian wood. Res. Paper FPL (Forest Products Laboratory), Madison, 5 pp. 143.

77. Oey, D.S. 1964. Speci c Gravity of Indonesia Wood and its Signi cance for Practical Use. Communication No. 1. For. Prods. Res. Inst., Bogor.

78. Sukartana, P. 1998. Is there a correlation between speci c gravity and durability of wood? A case study on the dipterocarps and other species. J. Tropical For. Prods. 4(2): 181-191.

79. Muslich, M. dan G. Sumarni. 1989. Hubungan antara berat jenis dan intensitas serangan penggerek kayu di laut terhadap beberapa jenis kayu hutan tanaman industri. J. Pen. Has. Hutan. 6(4): 268-271.

Page 110: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

94 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

A. Data Pribadi

1. Nama : Drs. Paimin Sukartana

2. NIP : 080 037 311

3. Pangkat/Golongan : Pembina Utama / IVe

4. Jabatan : Ahli Peneliti Utama

5. Unit Kerja : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan

6. Tempat dan Tanggal Lahir : Yogyakarta, 26 April 1948

7. Status Keluarga : Menikah dengan C. Sri Sudarjati, SPd., dikaruniai dua anak; Nina Octoviana, SIP., MBA. dan Andreas Yuli Nugroho, S.Sos.

8. Alamat Kantor : Jln. Gunung Batu 5, PO Box 182, Bogor 16610, Jawa Barat. Telp. (0251) 633378 Ext. 214 Fax. (0251) 633413 E-mail: [email protected]

9. Alamat Rumah : Komplek Kehutanan Rasamala II/2, Ciomas, Bogor 16610, Jawa Barat. Telp. (0251) 630464, HP. 0815 816 3570.

B. Pendidikan

1. Pendidikan formal

1955-1961 : SR Negeri Kaliurang, Pakem, Yogyakarta

1961-1963 : SMP Hamong Putro, Pakem, Yogyakarta

1963-1967 : SMA Negeri III IKIP Yogyakarta Pakem, Yogyakarta

1969-1972 : Sarjana Muda, Jurusan Biologi, IKIP Yogyakarta

1989-1991 : Sarjana Pendidikan Biologi, Universitas Terbuka, Jakarta

2. Pendidikan tambahan / kursus

1982-1983 : Kursus Bahasa Inggris di IPB, Bogor

1984 : Visiting Scholar, On-Job Training and Faculty Staff, Department of

Entomology (Russell Laboratory), University of Wisconsin, Madison, USA, for six months

1992 : English Course for 6 months conducted by FORDA

Page 111: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

95HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

1993 : On-Job Training on Wood Bio-deterioration, Forest Products Laboratory (FPL) USDA Forest Service, Madison, Wisconsin, USA for ve months

1997 : Exchange visit in Wood Research Institute (WRI), Kyoto University, and Kagoshima Field Test, Japan

1999 : English for Academic Purposes for 3 months, conducted by Diklat Kehutanan, Bogor

2000 : Symposium and Comparative Study in Department of Forestry, Australia National University (ANU), and Laboratory of Department of Entomology CSIRO, Black Mountain, Canberra, Australia

2004 : Conference and Comparative Study in Fernando Persoa University, Oporto, Portugal

C. Riwayat Pekerjaan

1972-1974 : Mengajar SMA Taman Madya, Yogyakarta

1974-1977 : Research & Development Division PT. Mukabaya Bogor

1976-1981 : Mengajar SMA Kesatuan, Bogor

1977-1979 : Pegawai Honorer, Lembaga Penelitian Hasil Hutan =LPHH, (sekarang Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan = P3HH), Bogor

1979 -1980 : Calon Pegawai Negeri Sipil, Pengatur Muda / IIb

1980-1983 : Pengatur Muda / IIb

1983-1987 : Pengatur / IIc

1987-1991 : Pengatur Tingkat I / IId

1991-1993 : Penata Muda / IIIa

1993-1995 : Penata Muda Tingkat I / IIIb

1995-1997 : Penata / IIIc

1997-1999 : Penata Tingkat I / IIId

1999-2001 : Pembina / IVa

2001-2003 : Pembina Tingkat I / IVb

2003-2005 : Pembina Utama Muda / IVc

2005-2007 : Pembina Utama Madya / IVd

2007-sekarang : Pembina Utama / IVe

Page 112: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

96 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

D. Riwayat Jabatan

1979 – 1992 : Teknisi, Bid. Biologi dan Pengawetan Kayu Lembaga Penelitian Hasil Hutan (LPHH), Bogor

1992 – 1997 : Peneliti Muda, Bid. Biologi dan Pengawetan Kayu

1997 – 1998 : Peneliti Madya, Bid. Biol. & Pengawetan Kayu

1998 – 2001 : Ahli Peneliti Muda, Bidang Biologi dan Pengawetan Kayu

2001 – 2004 : Ahli Peneliti Madya, Bidang Biologi dan Pengawetan Kayu

2004 – sekarang : Ahli Peneliti Utama, Bid. Entomologi (penyesuaian dengan keahlian)

DAFTAR KARYA TULIS

A. Terbit di Media/Forum Nasional (urut tahun terbit)

1. Sukartana, P. 1980. Kumbang ambrosia, suatu golongan xylomycetophage. Media Komunikasi dan Pendidikan IPA, Bandung. 44(IV): 10-12.

2. Sukartana, P. 1982. Memasyarakatkan pengawetan kayu. Surat Kabar Kompas.

3. Sukartana, P. 1982. Rayap kayu kering di Indonesia. Majalah Pertanian, 29(1): 50-54.

4. Sukartana, P. 1983. Aspek mikologis serangga perusak kayu. Prosiding Pertemuan Ilmiah Pengawetan Kayu, 1983: 64-71.

5. Sukartana, P. 1983. Biologi dan pencegahan bubuk kayu kering. Majalah Pertanian, 31(2): 32-35.

6. Sumarni, G. dan P. Sukartana. 1983. Pengaruh kelembaban terhadap ketahanan hidup Copto termes curvignathus. Kongr. Nas. Biologi VI, Surabaya.

7. Martawijaya, A. dan P. Sukartana, 1985. Hama perusak kayu pada hutan bekas kebakaran di Kalimantan Timur. Lapor. Tim Teknis Peneliti KLH, Depdikbud dan Dephut. III: 104-110.

8. Sukartana, P. 1986. Initial attack of ambrosia beetle Platypus trepanatus on ramin logs. J. Pen. Has. Hutan, 3(2): 25-27.

9. Sukartana, P. 1987. Aspek biologi dan pencegahan kumbang penggerek kayu Platypus trepanatus. Kongr. Nas. Biol. VIII. Abstr. No. IX-14. Purwokerto.

10. Sukartana, P. 1987. Infestation habits of ambrosia beetle Platypus trepanatus on ramin logs. J. Pen. Pengemb. Kehutanan, 3(1): 27-31.

11. Sukartana, P. 1987. Kontribusi studi biologi kumbang ambrosia Platypus trepanatus pada pengembangan penelitian dan praktek proteksi dolok ramin terhadap serangannya. Diskusi Has. Pen. Has. Hutan: 63-71.

12. Sukartana, P. 1987. Perilaku penggerekan dan perkembangbiakan kumbang ambrosia Platypus trepanatus pada dolok ramin, J. Pen. Has. Hutan, 4(2): 30-35.

Page 113: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

97HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

13. Sukartana, P. 1987. Serangan kumbang ambrosia Platypus trepanatus pada dolok ramin yang diumpan dengan etanol. Kongr. Entomol. III, Jakarta.

14. Sukartana, P. dan A. Martawijaya. 1987. Pola penyebaran serangan kumbang ambrosia Platypus trepanatus pada dolok ramin, J. Pen. Has. Hutan, 4(4): 1-3.

15. Martawijaya, A., dan P. Sukartana, 1988. Pengaruh peneresan dan peracunan terhadap penurunan kadar air dan serangan kumbang ambrosia pada pohon rasamala. Laporan Kerjasama No. 25, P3HH & Perum Perhutani.

16. Sukartana, P. 1988. Daya tarik pohon ramin terhadap serangan kumbang ambrosia. Lembar. Pen. No. 28.

17. Sukartana, P. 1988. Pendugaan kepekaan kayu karet terhadap serangan kumbang ambrosia. J. Pen. Has. Hutan, 5(7): 417-419.

18. Sukartana, P. 1988. Serangan kumbang ambrosia Platypus trepanatus pada dolok ramin, J. Pen. Has. Hutan, 5(2): 68-70.

19. Sukartana, P. dan A. Martawijaya. 1988. Cara mematikan pohon rasamala sebelum penebangan dan pengaruhnya terhadap serangan kumbang ambrosia. J. Pen. Has. Hutan, 5(6): 369-374.

20. Sukartana, P. 1989. Kepekaan kayu karet terhadap kumbang ambrosia. J. Pen. Pengemb. Kehutanan, 5(1): 36-42.

21. Sukartana, P. 1989. Keperidian dan rasio seks keturunan kumbang ambrosia Xyleborus ferrugineus yang dipelihara pada media serbuk lima jenis kayu. J. Pen. Has. Hutan, 6(5): 340-343.

22. Sukartana, P. 1989. Morfologi lubang gerek dan perkembangbiakan kumbang ambrosia Xyleborus sp. yang dipelihara pada media buatan. J. Pen. Has. Hutan, 6(4): 250-254.

23. Sukartana, P. 1989. Pendugaan ukuran kayu teras pohon rasamala. Duta Rimba 103-104(15): 37-40.

24. Sukartana, P. 1989. Penyebaran lubang gerek rintisan kumbang ambrosia pada dolok karet yang dikuliti. J. Pen. Has. Hutan, 6(2): 90-93

25. Sukartana, P. 1989. Kepekaan kayu karet terhadap kumbang penggerek, J. Pen. Pengemb. Kehutanan, 5(1): 36-42.

26. Sukartana, P. 1989. Serangan kumbang ambrosia Xyleborus sp. dan perkembangan lubang gereknya pada dolok tusam. Diskusi Sifat & Kegunaan Kayu HTI, Jakarta.

27. Sukartana, P., A. Martawijaya, dan D. Martono. 1989. Respon kumbang ambrosia terhadap perlakuan dengan pestisida. J. Pen. Has. Hutan, 6(1): 12-17.

28. Sukartana, P. 1990. Masa depan pengendalian kumbang ambrosia Platypus trepanatus pada dolok ramin. Sem. Entomol. Cab. Bandung & PAU Sumber Hayati ITB. Bandung.

29. Sukartana, P. 1990. Serangan kumbang ambrosia pada kayu sungkai (Peronema canescens). J. Pen. Has. Hutan, 7(2): 71-75.

Page 114: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

98 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

30. Sukartana, P. 1990. Tinjauan mengenai pencegahan serangan kumbang ambrosia pada dolok ramin. Kongr. Himpunan Perlindungan Tanaman Indonesia, Abstr. No. 4.19.

31. Sukartana, P. 1991. Estimating the deterioration of ramin logs caused by the ambrosia beetle Platypus trepanatus Chap. (Coleoptera: Platypodidae). J. Pen. Has. Hutan, 9(2): 59-62.

32. Sukartana, P. 1991. Kumbang ambrosia, si penanam dan pemakan jamur. Sylva Tropika, 6(1): 8

33. Sukartana, P. 1991. Perilaku kumbang kayu kering Heterobostrychus aequalis dan kepekaan kayu karet terhadap serangannya. Prosid. Sem. & Kongr. Nas. Biol. 10, IPB-Bogor: 389-395.

34. Sukartana, P. 1992. Pengaruh serangan kumbang ambrosia Xyleborus sp. terhadap kualitas kayu tusam (Pinus merkusii). J. Pen. Has. Hutan, 10(6): 217-221.

35. Sukartana, P. 1994. Antagonisme antara kumbang ambrosia Xyleborus sp. dan jamur biru yang menyerang dolok tusam (Pinus merkusii). J. Pen. Has. Hutan, 12(4): 117-120

36. Sukartana, P. 1994. Laju serangan kumbang ambrosia Xyleborus sp. pada dolok tusam (Pinus merkusii), J. Pen. Has. Hutan, 12(1): 21-24.

37. Sukartana, P. dan R. Effendi. 1994. Kajian mengenai perkembangan industri perkayuan di Kalimantan Barat. J. Pen. Pengemb. Kehutanan. IX(1): 30-35.

38. Sukartana, P. 1995. Daya tahan alami 30 jenis kayu terhadap rayap tanah Macrotermes gilvus (Hagen); suatu uji lapang yang dipercepat. J. Pen. Has. Hutan, 13(2): 71-76.

39. Sukartana, P. 1995. Ketahanan alami sejumlah jenis kayu Indonesia terhadap rayap tanah Macrotermes gilvus rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus. Sem. Biol. XIV & Kongr. Nas. Biol. XI, UI-Depok.

40. Sukartana, P. 1995. Peningkatan keawetan kayu lapis dan papan partikel. Prosid. Ekspose Has. Hutan & Sosek Kehutanan, Bogor: 51-56.

41. Sukartana, P. 1995. Serangan serangga perusak pada contoh kayu di gudang Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan, Bogor. J. Pen. Has. Hutan, 13(3): 118-126.

42. Sukartana, P. 1996. Laju serangan kumbang penggerek lubang jarum pada enam jenis kayu Hutan Tanaman Industri (HTI). Duta Rimba, Perum Perhutani, 20(193-194): 44-48.

43. Sukartana, P. 1996. Suatu monograf hasil penelitian 1978-1994: Kerentanan dolok ramin (Gonystylus bancanus Kurz.) terhadap kumbang ambrosia. Info. Has. Hutan, 3(2): 1-11.

44. Sukartana, P. 1997. Estimating deterioration rates by dry-wood termite Cryptotermes cynocephalus on some substrates. J. Biol. Indonesia, 2(1): 28-36.

45. Sukartana, P. 1997. Kerusakan kayu tusam (Pinus merkusii) karena serangan organisme perusak dan cara pencegahannya. Duta Rimba 207-208: 31-36.

46. Sukartana, P. 1997. Potensi insektisida rumah tangga untuk pengendalian rayap kayu kering. Sem. Ilmiah Entomol. PEI, Bogor

Page 115: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

99HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

47. Sukartana, P. 1998. Penembusan rayap tanah Coptotermes curvignathus Holmgren (Isoptera: Rhinotermitidae) pada berbagai ukuran butiran pasir. Bul. Pen. Has. Hutan. 16(2): 93-99.

48. Sukartana, P. 1998. Penggunaan penghalang pasir untuk pencegahan serangan rayap tanah Coptotermes curviganthus. Sem. Nas. MAPEKI-I., IPB-Bogor:

49. Sukartana, P. dan R. Rushelia. 1998. Efektivitas limbah industri galvanisasi seng untuk pencegahan rayap kayu kering dan rayap tanah. Sem. Nas. MAPEKI-I., IPB-Bogor: 4 pp.

50. Sukartana, P. 1999. Beberapa jenis limbah industri sebagai anti rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus (Isoptera: Kalotermitidae). Prosids. Sem. Nas. PEI, Buku 1: 359-364.

51. Sukartana, P. dan Djarwanto. 1999. Uji lapangan penggunaan minyak laka (Anacardium occidentale) dan minyak jarak (Rhisiunus communis) sebagai bahan pengawet kayu. Forum Kom. Ilmiah Pemanfaatan Pestisida Nabati

52. Setiawan, I., P. Sukartana dan I. Sumardi. 2000. Efektivitas cendawan dan bakteri entomopatogen untuk pencegahan rayap tanah Coptotermes curvignathus Holmgren (Isoptera: Rhinotermitidae). Sem. Nas. MAPEKI 3, Bandung.

53. Sukartana, P., A. Ismanto, W. Rumini and G. Sumarni. 2000. Susceptibility of three temite species to attack by antomopathogenic fungus Metarhizium anisopliae (Metschnikoff) Sorokin. For. Estate Crops Res. J. 1(2): 45-49.

54. Sukartana, P., R. Rushelia, Djarwanto and G. Sumarni. 2001. Estimating effectiveness of cashew nut shell liquid (CNSL) (Anacardium occidentale) to control subterranean termite Coptotermes gestroi Wasmann (Isoptera: Rhinotermitidae). For. Res. J. 2(1): 8-12.

55. Sukartana, P. and Y. I. Mandang. 2001. Accelerated eld and laboratory tests of natural resistance of some Indonesian wood species to subterranean termite Coptotermes sp. For. Res. J. 2(2): 16-20.

56. Sukartana, P. dan A. Ismanto. 2001. Efektivitas insektisida nabati untuk mencegah serangan kumbang ambrosia pada dolok ramin segar. Prosids. Sem. Nas. Perhimpunan Entomol. Indonesia, pp: 286-290.

57. Sukartana, P., G. Sumarni dan A. Ismanto. 2001. Evaluasi penggunaan bahan pengatur pertumbuhan serangga heksa umuron (HF) untuk eliminasi rayap tanah (Isoptera). Prosids. Sem. Nas. Perhimpunan Entomol. Indonesia, pp: 291-297.

58. Sudiyani, Y., P. Sukartana and I. M. Sulastiningsih. 2002. Daya tahan papan partikel setelah uji pelapukan cuaca terhadap rayap (Isoptera). Sem. Masyarakat Pen. Kayu Indonesia (MAPEKI) 5, Bogor: 206-212.

59. Sukartana, P dan R. Rushelia. 2002. Percobaan pendahuluan: perlakuan tanah dengan cendawan entomopatogen Metarhizium anisopliae untuk pencegahan serangan rayap tanah pada kayu. Sem. Nas. MAPEKI 3, Bandung.

60. Sukartana, P., R. Rushelia and W. Rumini. 2002. Termiticidal performance of an entomopathogenic fungus and bacterium to subterranean termite Coptotermes sp. (Isoptera: Rhinotermitidae). J. Teknol. Has. Hutan. 15(1): 19-23.

Page 116: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

100 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

61. Sukartana, P. dan Jasni. 2003. Pengendalian rayap tanah Coptotermes curvignathus dengan beberapa macam bahan penghalang. Bul. Pertanian dan Peternakan, Univ. Wangsa Manggala, Yogyakarta, 4(7): 11-19.

62. Sukartana, P., A. Ismanto, R. Rushelia and N. E. Lelana. 2005. A laboratory trial on applying entomopathogenic fungus Metarhizium anisopliae as a barrier for subterranean termite Coptotermes curvignathus. J. Pen. Has. Hutan, Bogor, 23(3): 229-237.

63. Lelana, N.E., P. Sukartana, A. Ismanto dan R. Rushelia. 2006. Efektivitas penularan beberapa isolat jamur patogen serangga Metarhizium anisopliae oleh rayap Coptotermes curvignathus. J. Pen. Has. Hutan, 24(3): 219-225.

64. Sukartana, P. 2007. Pengendalian rayap perusak kayu dengan bio-insektisida Metarhizium anisopliae (Metschnicoff) Sorokin di Indonesia. Prosid. Seminar Hasil Penelitian, Puslitbang Hasil Hutan, Bogor.

65. Sukartana, P. dan J. Balfas. 2007. Daya tahan kayu kelapa yang diimpregnasi dengan resin terhadap dua spesies rayap tanah Coptotermes curvignathus dan Macrotermes gilvus. J. Penelitian Hasil Hutan, 25(4): 303-311.

66. Sukartana, P. 2008. Possible control of wood destroying insects on rubber-wood (Hevea Brasiliensis) using coating materials. J. Pen. Has. Hutan (In press).

B. Terbit di Media/Forum Internasional (diurutkan berdasar tahun publikasi)

1. Sukartana, P. 1985. The Possibility of Rearing Ambrosia Beetles On Arti cial Diets. Malaysian Forester, 48(4): 347-352.

2. Sukartana, P. and N. Supriana. 1990. Studies on Ambrosia Beetles in Logging Areas in Indonesia. IUFRO Symp. New Zealand.

3. Sukartana, P. and S. Rahardjo. 1995. Research Progress in Bamboo Socio-Economic data base: Indonesia. Collaborative Report with Int. Network for Bamboo and Rattan (INBAR).

4. Sukartana, P. and T. Highley. 1997. Decay Resistance of Some Indonesian Hardwoods and Softwoods Against Brown and White Rot Fungi. J. Trop. For. Prods. 2(2): 160-165.

5. Sukartana, P. 1998. Introductory Test Methods for Subterranean Termite Coptotermes curvignathus (Isoptera: Rhinotermitidae) in laboratory. Proceeds. 2nd Int. Wood Sci. Symp. LIPI-JSPS Japan, Serpong, Indonesia, pp.: C63-68.

6. Sukartana, P. 1998. Is there a correlation between speci c gravity and durability of wood? A case study on the dipterocarps and other species. J. Trop. For. Prods. 4(2): 181-191.

7. Yoshimura, T., Y. Takematsu, M. Takahashi, S. Yusuf and P. Sukartana. 1998. Coptotermes in Indonesia. Proceeds. 2nd Int. Wood Sci. Symp. LIPI-JSPS Japan, Serpong, Indonesia, p: B-12.

8. Sukartana, P., R. Rushelia and I. M. Sulastiningsih. 2000. Resistance of wood- and bamboo-cement boards to subterranean termite Coptotermes gestroi Wasmann (Isoptera:

Page 117: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

101HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Rhinotermitidae). ACIAR (Australia) Proceeds. No. 107, Wood-Cement Composites in Paci c Region, pp.: 62-65.

9. Sukartana, P. 2002. Some Evidences of Damage Caused by Subterranean Termite Coptotermes spp. on buildings and trees in Bogor and its around. Proceeds. 4th Int. Wood Sci. Symp. LIPI-JSPS Japan, Serpong, Indonesia: 150-155.

10. Sukartana, P. and Y. I. Mandang. 2002. Vulnerability of Some Wood Species Stored in Bogor, Indonesia to dry-wood termite Cryptotermes cynocephalus. Proceeds. 4th Int. Wood Sci. Symp. LIPI-JSPS Japan, Serpong, Indonesia: 170-174.

11. Sukartana, P. and Jasni. 2004. Introducing a Simple Method for Laboratory Testing on Subterranean, Dry-Wood and Damp-Wood Termites to Evaluate Susceptibility Of Wood. Proceeds. Int. Conf. Environmentally-Compatible For. Prods. ICECFOP1, Oporto, Portugal: 411-416.

12. Takematsu, Y., T. Yoshimura, S. Yusuf, Y. Yanase, K. Kambara, A. Tashiro, S. Doi, M. Takahashi, P. Sukartana, T. Inoue, H. Yuzawa, M. Ohkuma, T. Kudo, Y. Sornuwat and C. Vongkaluang. 2005. Termite assemblages in urban areas of South East Asia –diversity and economic impacts. In Sustainable Development and Utilization of Tropical Forest Resources. Report JSPS_LIPI Core Univ. Program, Field of wood Science, 1996-2005: 84-91.

13. P. Sukartana, G. Sumarni and S. Broadbent 2008. Evaluation of chlor uazuron for controlling the subterranean termite Coptotermes Curvignathus (Isoptera: Rhinotermitidae) in Indonesia. J. Trop. For. Sci. (In press).

14. Sukartana, P., J.W. Cref eld, A. Ismanto, N.E. Lelana and R. Rushelia. 2010. Effectiveness of a super cial treatment using bifenthrin to protect radiata pine framing from damage by subterranean and drywood termites in Indonesia. J. For. Res. 7(1): 33-41.

15. P. Sukartana, M. Muslich and G. Sumarni. 2011. In uence of Debarking and Insecticidal Treatments Using Cypermethrin on Fresh Logs of Indonesian Pine, Pinus merkusii, on Attack by Ambrosia Beetle, Xyleborus sp. Am. J. Agric. Biol. Sci. 6(3): 440-444.

DAFTAR SEBAGAI PEMBICARA DALAM SEMINAR

A. Nasional

1987 : Moderator dan penyaji makalah di Kongres Biologi Nasional, UNSUD, Purwokerto

1987 : Penyaji makalah di Kongres Entomologi Nasional (PEI), Jakarta

1987 : Penyaji makalah Diskusi Hasil Penelitian Hasil Hutan, Bogor

1989 : Penyaji makalah Diskusi Sifat & Kegunaan Kayu HTI, Jakarta

1990 : Pemakalah Seminar Entomologi Cabang Bandung, ITB-Bandung

1990 : Pemakalah Kongres Himpunan Perlindungan Tanaman Indonesia, Jakarta.

Page 118: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

102 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

1991 : Pemakalah Seminar dan Kongres Nasional Biologi 10, IPB-Bogor

1995 : Pemakalah Seminar Biologi 14 dan Kongres Nasional Biologi 11, UI-Depok

1997 : Pemakalah Seminar Ilmiah Entomologi, Bogor

1998 : Pemakalah Seminar Nasional MAPEKI-I, IPB-Bogor

1999 : Pemakalah Forum Komunikasi Ilmiah Pemanfaatan Pestisida Nabati, Bogor

2000 : Pemakalah Seminar Nasional MAPEKI-3, UNWIM Bandung

2001 : Ketua Panitia dan Pemakalah, Seminar Nasional PEI, Bogor

2002 : Panitia dan Pemakalah, Seminar MAPEKI-5, Bogor

2007 : Pemakalah Seminar Hasil Penelitian Hasil Hutan, Bogor

B. Internasional

1998 : Moderator dan Penyaji Makalah 2nd International Wood Science Seminar, JSPS- LIPI Core University Program in the Field of Wood Science, LIPI-Serpong

2000 : Pemakalah Paci c Rim Bio-Base Composites Symposium, Canberra, Australia.

2002 : Pemakalah International Wood Science Symposium, JSPS-LIPI, Serpong.

2004 : Pemakalah 1st International Conference on Environmentally-Compatible for Forest Products (ICECFOP), Oporto, Portugal.

KEANGGOTAAN PROFESI ILMIAH

1. Ketua Pengurus Komisariat Kehutanan, Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI), Cabang Bogor;

2. Anggota Perhimpunan Biologi Indonesia (PBI);

3. Anggota Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI);

4. Anggota Japan Society for the Promotion of Science, JSPS-LIPI Core University Program.

Page 119: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

103HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA(APU)

PEMANFAATAN LIMBAH BATANG SAWIT UNTUK PRODUK SOLID DAN PANEL KAYU LAPIS

Oleh:Ir. Jamal Balfas, M.Sc.

KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN

Bogor, 2013

Page 120: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

104 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Page 121: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

105HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

PROFIL

Jamal Balfas, lahir di Bogor pada tanggal 4 Juni 1958. Menyelesaikan pendidikan dasar sampai dengan strata satu (S-1) di Bogor. Mulai bekerja pada Pusat Litbang Hasil Hutan pada tahun 1984. Diangkat menjadi PNS pada tahun 1988 dan menjadi Asisten Peneliti Muda pada tahun 1989. Mencapai posisi Ajun Peneliti Muda dalam bidang Pengolahan Hasil Hutan pada tahun 1993. Melanjutkan pendidikan strata dua dalam bidang Ilmu Kayu pada tahun

1990-1992 di Australian National University, Canberra. Mutasi menjadi Peneliti Muda pada Balai Penelitian Kehutanan, Pematang Siantar,Sumatera Utara pada tahun 1995. Kembali ke Pusat Litbang Hasil Hutan Bogor sebagai Ahli Peneliti Muda pada tahun 2000. Mencapai status Peneliti Utama pada tahun 2005.

PRAKATA

Yang terhormat:1. Bapak Menteri Kehutanan Republik Indonesia;2. Bapak Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI);3. Bapak Kepala Badan Litbang Kehutanan 4. Para Undangan Pejabat Eselon I dan II Kementerian Kehutanan Republik Indonesia;5. Rekan-rekan Peneliti dan seluruh Hadirin yang berbahagia.

Saya panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga kita dapat hadir dalam acara Orasi Ahli Peneliti Utama pada hari ini di lingkungan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.

Merupakan kehormatan bagi saya karena pada hari ini saya dapat menyampaikan orasi ilmiah dalam rangka pengukuhan saya sebagai Ahli Peneliti Utama (APU)

Penelitian yang telah saya lakukan bertahun-tahun dengan mendalami berbagai aspek yang berkaitan dengan pengolahan batang sawit sebagai substitusi kayu, sehingga kami menyampaikan orasi ilmiah ini mengambil judul:

“PEMANFAATAN LIMBAH BATANG SAWIT UNTUK PRODUK SOLID DAN PANEL KAYU LAPIS”

Meliputi:I. PENDAHULUANII. POTENSI KAYU SAWITIII. PROSES PRODUKSI DAN SIFAT KAYU SAWITIV. POTENSI DAN IMPLIKASI PEMANFAATANV. PERMASALAHAN YANG DIHADAPIVI. KESIMPULAN DAN SARAN

Page 122: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

106 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

I. PENDAHULUAN

Industri perkayuan di Indonesia tumbuh secara pesat pada awal tahun 1980-an dengan menggunakan bahan baku kayu yang berasal dari areal hutan alam. Industri ini mencapai puncaknya pada akhir abad 20 dengan kapasitas produksi mendekati 70 juta m3 per tahun. Kapasitas produksi ini jauh lebih besar bila dibandingkan dengan kemampuan tumbuh (riap) hutan alam nasional. Akibatnya, hutan alam di Indonesia terkuras dalam tempo dua dekade, sehingga produksi hutan alam tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan industri perkayuan. Pada sisi lain pelaksanaan program restrukturisasi industri kehutanan, yang memuat kebijakan “soft landing“ (Menteri Kehutanan, 2002) telah menyebabkan penurunan produksi kayu nasional secara drastis dan lebih jauh menimbulkan penurunan ekspor produk perkayuan, perolehan devisa, pajak, kesempatan kerja dan implikasi lainnya. Keadaan ini menyebabkan peningkatan konsumsi kayu rakyat seperti sengon, afrika, kayu buah-buahan, puspa dan beberapa jenis lainnya secara berlebihan (overcut) tanpa diimbangi dengan kegiatan penanaman secara intensif. Fenomena ini akan mengantarkan masalah lingkungan dan de siensi kayu nasional menjadi lebih serius di masa mendatang, serta menimbulkan kecemasan pada semua pihak yang terkait dengan penggunaan kayu.

Keterbatasan akan pasokan kayu bulat akan mengantarkan kita pada dua pilihan berikut:

1. Menghindari penggunaan kayu

2. Mencari sumber kayu alternatif tanpa merusak lingkungan.

Pilihan pertama hampir mustahil dilakukan karena kayu telah menjadi bagian integral dalam kehidupan manusia. Sementara bahan pengganti kayu seperti, baja, aluminium, plastik dan bahan lainnya bersifat non-biodegradable, yang kemudian akan menimbulkan masalah lingkungan. Dengan demikian alternatif yang tersisa adalah alternatif ke dua, yaitu dunia harus memperhatikan material substitusi yang dapat mengganti kedudukan kayu tanpa menimbulkan kerusakan pada lingkungan. Hal ini menjadi alasan paling ideal mengapa tanaman yang sudah dewasa, tidak produktif dan perlu peremajaan teridenti kasi sebagai sumber bahan substitusi kayu dan sumber bahan baku lestari.

Indonesia memiliki areal perkebunan relatif sangat luas, khususnya dari kelompok jenis tanaman berkayu seperti karet, kelapa dan sawit. Perkebunan karet seluas 3,11 juta ha di seluruh nusantara menjadikan Indonesia sebagai negara perkebunan karet terluas di dunia. Dari luasan ini dapat dihasilkan kayu karet lebih dari 10 juta m3/tahun (Balfas, 1993).

Sementara dari potensi tanaman kelapa di Indonesia, Fruhwald et al (1992) memperkirakan potensi produksi kayu kelapa sekitar 4,5 juta m3/tahun. Kegiatan peremajaan kebun sawit sekitar 150 ribu hektar per tahun dapat menghasilkan kayu sekitar 33 juta m3.

Gambaran ini menunjukkan bahwa potensi bahan berkayu yang terdapat di areal perkebunan secara kumulatif mampu menanggulangi de sit kayu nasional yang dialami saat ini. Namun demikian, ketiga jenis tanaman tersebut sering kali dikeluarkan dari perhitungan sumber daya hutan pada saat dilakukan evaluasi potensi kayu nasional.

Page 123: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

107HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Fakta teknis saat ini menunjukkan bahwa kayu karet telah digunakan industri perkayuan nasional secara efektif dan intensif, baik untuk produk kayu pertukangan (woodworking) maupun panil (plywood, LVL, blockboard, particleboard, fi breboard). Penggunaan kayu kelapa untuk keperluan bangunan cenderung terus meningkat dalam dekade terakhir, bahkan saat ini beberapa industri kayu pertukangan dan kayu lapis telah menggunakan kayu kelapa sebagai bahan baku industri tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kayu karet dan kelapa telah efektif digunakan oleh industri perkayuan nasional. Sementara kayu sawit yang memiliki potensi volumetris terbesar saat ini belum digunakan secara efektif. Batang pohon sawit yang dihasilkan dari kegiatan peremajaan kebun sampai saat ini dibiarkan membusuk di lahan perkebunan. Proses pembusukan batang sawit akan melepaskan carbon ke atmos r, yang berarti penambahan beban terhadap efek rumah kaca. Alasan utama yang menyebabkan keadaan tersebut adalah keterbatasan ilmu dan teknologi dalam pemanfaatan kayu tersebut.

Eksplorasi teknis dengan pendekatan aplikasi teknologi kayu konvensional yang dilakukan dalam suatu studi komprehensif di Malaysia menyimpulkan bahwa kayu sawit tidak dapat digunakan secara ekonomis untuk keperluan woodworking (Shaari et al, 1991). Namun demikian, aplikasi metode inkonvensional dengan modi kasi sis, mekanis dan kimia yang dikembangkan oleh Balfas (1999) mampu meningkatkan kualitas kayu sawit dan memungkinkan penggunaannya sebagai bahan baku kayu pertukangan dan produksi panil.

Tulisan ini memberikan gambaran mengenai hasil eksplorasi penulis dalam upaya pemanfaatan kayu sawit selama 15 tahun terakhir (1997-2012). Informasi yang disampaikan dalam tulisan ini meliputi potensi kayu sawit nasional, prospek penggunaannya serta beberapa permasalahan yang perlu ditanggulangi secara dini dalam komersialisasi potensi bahan kayu alternatif terbesar di Indonesia.

II. POTENSI KAYU SAWIT

Pengembangan areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan secara pesat. Pada tahun 1998 luas tanaman perkebunan sawit telah mencapai lebih dari 2,63 juta hektar (Anonim, 1998), sedangkan pada tahun 2003 luas perkebunan sawit telah mencapai lebih dari 4,93 juta hektar (Anonim, 2004). Data ini menunjukkan bahwa perluasan kebun sawit nasional dalam periode tersebut mencapai sekitar 400.000 hektar/tahun. Pada saat ini luas kebun sawit nasional telah mencapai lebih dari 9,3 juta hektar (Anonim, 2012), dengan kata lain terjadi pertumbuhan lebih dari 500.000 hektar/tahun dalam 8 tahun terakhir.

Daur ekonomis yang digunakan dalam manajemen teknis perkebunan sawit adalah sekitar 25 tahun. Setelah itu pohon sawit ditebang dan kebun diremajakan atau ditanami dengan tanaman baru. Pada umumnya batang sawit hasil kegiatan peremajaan kemudian dibakar atau dibiarkan melapuk setelah dikumpulkan berbaris di antara ajir tanaman baru. Dalam proses pelapukannya batang sawit dapat menjadi sarang kumbang Oryctes rhinoceros dan penyakit Ganoderma (Prayitno dan Darmoko, 1994) yang sangat potensial menyerang tanaman muda.

Page 124: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

108 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Berdasarkan hasil determinasi lapangan diketahui kerapatan pohon per hektar pada saat peremajaan berjumlah 122 sampai 137 pohon dengan jumlah rata-rata 128 pohon. Pada areal perkebunan sawit terdapat tiga varietas tanaman, yaitu Dura, Pisivera dan Tenera. Ukuran diameter, panjang dan volume batang sawit beragam menurut varietas tanaman. Tabel 1 menunjukkan bahwa varietas Dura memiliki dimensi sik batang yang lebih besar dibandingkan dengan varietas lainnya.

Tabel 1. Dimensi sik rata-rata batang sawit

Varietas Diameter (cm) Tinggi (m) Volume (m3)

Dura 48,59 11,80 2,19

Tenera 46,65 11,20 1,91

Pisivera 39,00 8,86 1,06

Rata-rata : 44,75 10,62 1,72

Berdasarkan pada karakteristik sik batang sawit di atas, kerapatan tanaman tua 128 pohon/ha serta daur produktif 25 tahun (tingkat peremajaan 4% per tahun) dan asumsi luas tanaman sawit di Indonesia 9,261 juta hektar, maka potensi limbah batang kayu sawit secara nasional adalah sekitar 81,5 juta m3/tahun dengan distribusi potensi seperti tercantum pada Tabel 2. Provinsi yang memiliki potensi kayu sawit terbesar adalah Sumatera Utara dan Riau masing-masing dengan volume sekitar 10 dan 20 juta m3/tahun.

Secara umum potensi kayu sawit di Indonesia terkonsentrasi di pulau Sumatera dengan volume lebih dari 54 juta m3/tahun atau sekitar 67% dari potensi kayu sawit nasional. Berdasarkan pada kepemilikan kebun, potensi kayu sawit terbesar berada di areal perkebunan swasta dengan volume lebih dari 43 juta m3/tahun atau sekitar 54% dari total potensi limbah kayu sawit. Sedangkan perkebunan rakyat dan negara masing-masing memiliki potensi limbah kayu sawit sekitar 39 dan 7%.

Namun demikian metode penentuan potensi batang sawit seperti diuraikan di atas cenderung menghasilkan nilai perkiraan berlebihan (over estimate).

Penentuan potensi limbah batang sawit secara lebih realistis hendaknya dihitung berdasarkan luas penanaman sawit periode 25 tahun sebelumnya. Dengan asumsi kerapatan tanaman pada saat peremajaan sebesar 128 pohon per hektar dan volume kayu 1,72 m3/pohon, atau volume kayu 220 m3/hektar, maka potensi kayu sawit dalam periode 5 tahun mendatang dapat ditentukan sebagaimana tercantum dalam Tabel 3. Nilai potensi kayu sawit dalam Tabel 3 cenderung menggambarkan potensi minimal kayu sawit yang tersedia pada tahun bersangkutan. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pada saat ini masih terdapat tanaman sawit tahun 1975 dan 1976 yang belum diremajakan.

Page 125: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

109HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Tabel 2. Distribusi potensi kayu sawit nasional (m3/tahun)

Diolah dari sumber Anonim (2012)

Secara umum potensi aktual kayu sawit nasional pada periode 2012-2017 beragam dari sekitar 24 juta m3/tahun pada tahun 2013 hingga 40 juta m3/tahun pada tahun 2015, dengan volume rata-rata sekitar 32 juta m3/tahun. Volume ini akan meningkat lagi pada periode sepuluh tahun berikutnya hingga mencapai lebih dari 110 juta m3/tahun. Volume ini jauh lebih besar bila dibandingkan dengan volume tertinggi yang pernah dicapai dalam sejarah produksi kayu nasional dari hutan alam sebesar 70 juta m3/tahun. Hal penting yang perlu dicatat dalam pemanfaatan potensi kayu sawit adalah kemudahan dalam eksploitasi batang karena terdapat fasilitas infra struktur yang baik, serta adanya kelestarian potensi dalam jangka panjang.

No Provinsi

Perkebunan rakyat Perkebunan negara Perkebunan swasta Jumlah

Luas (Ha)

Volume (m3)

Luas (Ha)

Volume (m3)

Luas (Ha)

Volume (m3)

Luas (Ha)

Volume (m3)

1 D.I. Aceh 163,217 1436309.6 40,297 354613.6 155,188 1365654.4 358,702 3156577.6

2 Sumut 424,962 3739665.6 316,455 2784804 380,862 3351585.6 1,122,279 9876055.2

3 Sumbar 186,822 1644033.6 7,910 69608 194,844 1714627.2 389,576 3428268.8

4 Riau 1,140,252 10034218 80,544 708787.2 1,023,082 9003121.6 2,243,878 19746126

5 Jambi 328,881 2894152.8 18,675 164340 187,132 1646761.6 534,688 4705254.4

6 Sumsel 345,572 3041033.6 50,593 445218.4 465,925 4100140 862,090 7586392

7 Bangka 46,620 410256 0 0 138,167 1215869.6 184,787 1626125.6

8 Bengkulu 221,942 1953089.6 4,686 41236.8 73,790 649352 300,418 2643678.4

9 Lampung 86,475 760980 11,496 101164.8 74,870 658856 172,841 1521000.8

10 Jabar 6 52.8 9,045 79596 3,915 34452 12,966 114100.8

11 Banten 7,566 66580.8 8,960 78848 0 0 16,526 145428.8

12 Kalbar 244,710 2153448 38,650 340120 568,033 4998690.4 851,393 7492258.4

13 Kalteng 145,883 1283770.4 0 0 889,407 7826781.6 1,035,290 9110552

14 Kalsel 50,795 446996 4,918 43278.4 336,973 2965362.4 392,686 3455636.8

15 Kaltim 126,298 1111422.4 17,340 152592 362,025 3185820 505,663 4449834.4

16 Sulteng 18,726 164788.8 5,100 44880 37,153 326946.4 60,979 536615.2

17 Sulsel 11,594 102027.2 7,284 64099.2 2,262 19905.6 21,140 186032

18 Sulbar 57,956 510012.8 0 0 47,944 421907.2 105,900 931920

19 Sultra 2,654 23355.2 2,990 26312 21,712 191065.6 27,356 240732.8

20 Papua 16,525 145420 12,325 108460 9,237 81285.6 38,087 335165.6

21 Papua Barat 11,619 102247.2 2,813 24754.4 9,359 82359.2 23,791 209360.8

Jumlah : 3,639,075 32023860 640,081 5,632,713 4,981,880 43,840,544 9,261,036 81497117

Page 126: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

110 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Tabel 3. Potensi kayu sawit nasional dalam periode 2012-2017

III. PROSES PRODUKSI DAN SIFAT KAYU SAWIT

Batang sawit pada dasarnya adalah bahan berkayu yang memiliki struktur relatif tidak seragam dan memiliki kesan struktur seperti kayu kelapa dengan kon gurasi serat lebih pendek. Dalam keadaan segar kayu sawit berwarna putih cerah dengan penampakan permukaan cenderung berbulu (fuzzy grain). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kayu sawit secara umum memiliki karakteristik sis, mekanis, keawetan dan pemesinan yang kurang baik dibandingkan dengan kayu biasa (Balfas, 1999). Salah satu masalah serius dalam pemanfaatannya adalah sifat higroskopis yang berlebihan. Meskipun telah dikeringkan hingga mencapai kadar air kering tanur, kayu sawit dapat kembali menyerap uap air dari udara hingga mencapai kadar air lebih dari 20%. Pada kondisi ini beberapa jenis jamur dan cendawan dapat tumbuh subur baik pada permukaan maupun bagian dalam kayu sawit. Hal ini terutama berhubungan dengan karakteristik kimia kayu sawit yang memiliki kandungan ekstraktif (terutama pati) yang lebih banyak dibandingkan dengan kayu biasa seperti agatis dan jati (Tabel 4). Perbedaan ini menimbulkan banyak kesulitan dalam tahapan pengolahan lanjutan pada kayu sawit.

Tabel 4. Karakteristik kimia kayu sawit, agatis dan jati

Sifat kimia Sawit Agatis Jati Kandungan, %

Selulosa

Lignin

Pentosan

Abu

Silika

Kelarutan, %

Alkohol-benzena

Air dingin

Air panas

1% NaOH

54,38

23,95

19,36

2,02

1,34

8,90

12,02

16,37

24,87

52,4

24,7

12,6

1,1

0,1

2,0

0,6

1,3

7,3

47,5

29,9

14,4

1,4

0,4

4,6

1,2

11,1

19,8

No. Tahun

tanam/Peremajaan Luas (ha)

Tanam/Peremajaan Potensi kayu

(m3)

1 1987/2012 134.197 29.523.340

2 1988/2013 110.669 24.347.180 3 1989/2014 153.149 33.692.780 4 1990/2015 184.319 40.550.180 5 1991/2016 156.474 34.424.280 6 1992/2017 145.717 32.057.740

Page 127: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

111HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Secara umum terdapat beberapa hal yang kurang menguntungkan dari kayu sawit dibandingkan dengan kayu biasa, di antaranya adalah:

1. Kandungan air pada kayu segar sangat tinggi (dapat mencapai 500%);

2. Kandungan zat pati sangat tinggi (pada jaringan parenkim dapat mencapai 45%);

3. Keawetan alami sangat rendah;

4. Kadar air keseimbangan relatif lebih tinggi ;

5. Dalam proses pengeringan terjadi kerusakan parenkim yang disertai dengan perubahan dan kerusakan sis secara berlebihan terutama pada bagian kayu berkerapatan rendah;

6. Dalam pengolahan mekanis kayu sawit lebih cepat menumpulkan pisau, gergaji dan ampelas;

7. Kualitas permukaan kayu setelah pengolahan relatif sangat rendah;

8. Dalam proses pengerjaan akhir (fi nishing) memerlukan bahan lebih banyak.

Namun demikian pada sisi lain kayu sawit memiliki beberapa hal yang sangat menguntungkan dibandingkan dengan kayu konvensional dalam hal berikut:

1. Harga kayu atau biaya eksploitasi sangat rendah;

2. Warna kayu cerah dan lebih seragam;

3. Tidak mengandung mata kayu;

4. Relatif tidak memiliki sifat anisotropis;

5. Mudah diberi perlakuan sis, mekanis dan kimia;

6. Mudah dikeringkan ;

7. Pada bagian yang cukup padat (kerapatan >0,5 g/cm3) tidak dijumpai perubahan atau kerusakan sis yang berarti;

8. Memiliki jaminan pasokan yang terus meningkat di masa mendatang;dan

9. Karena kayu sawit merupakan limbah perkebunan, seperti halnya kayu karet, kayu ini dapat terhindar dari tuduhan kerusakan hutan tropis, sehingga dapat bebas dari kemungkinan boycot di pasar internasional.

Penyempurnaan karakteristik kayu sawit dengan konsep Balfas (1999) dapat merubah beberapa kelemahan yang dijumpai pada kayu sawit. Tahapan pengolahan kayu sawit dengan konsep ini secara formal telah memperoleh hak paten pada Dirjen Haki, Departemen Kehakiman, dengan nomor ID 0013043 (P-990449). Perbandingan kualitas kayu sawit sebelum dan sesudah modi kasi dengan resin JRP-2 dapat dilihat pada Tabel 5. Penyempurnaan pada sifat sis, mekanis, keawetan dan pemesinan memungkinkan penggunaan kayu sawit untuk berbagai keperluan industri perkayuan, terutama industri kayu pertukangan (woodworking), furniture dan komponen bangunan.

Page 128: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

112 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Tabel 5. Perbandingan sifat kayu sawit sebelum dan sesudah modi kasi

Metode modi kasi tersebut juga dapat dikembangkan untuk keperluan industri panel, seperti kayu lapis dan papan blok (blockboard). Hasil uji-coba produksi kayu lapis sawit pada beberapa pabrik di Jawa, Sumatera dan Kalimantan menunjukkan hasil yang menggembirakan (Balfas, 2011). Kondisi fasilitas mesin dan peralatan pabrik menentukan perolehan rendemen produksi panil kayu lapis sawit sebagaimana terinci pada Tabel 6.

Tabel 6. Rendemen pengolahan kayu lapis sawit

Keterangan: * Menggunakan mesin press-dryer

Percobaan produksi secara komersial pada beberapa jumlah lapisan dan komposisi panil kayu sawit menunjukkan karakteristik sis dan mekanis seperti tercantum pada Tabel 7 dan Tabel 8. Penelitian dan pengembangan produk panil ini diselenggarakan bersama PT. Inhutani

Sifat kayu Sebelum Sesudah Sifat Fisis Kadar air (%) Kerapatan (gr/cm3) Sifat Mekanis Kekerasan (Kg) Keteguhan tekan (Kg/cm2) Modulus elastisitas (X1000 kg/cm3) Tegangan patah (Kg/cm3) Kawetan Alami Serangan bubuk kayu kering (hari) Pemesinan Belah, ketam, bentuk dan ampelas (%)

16,76 0,31

108 203

27,41 288

21

42,14

14,62 0,52

174 189

44,09 596

>1200

88,47

Tahapan proses Percobaan pertama (Kalimantan)

Percobaan kedua (Sumatera)

Pemotongan log 96,92 97,85

Pengupasan

- Rotary lathe - Spindle less - Kumulatif

25,48 17,29 42,77

36,62 26,45 63,07

Pengempaan venir 16,46*

39,51

Pengeringan 26,17

Pengempaan panas 16,21 24,62

Pemotongan dan pengamplasan 13,24 21,55

Page 129: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

113HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

IV selama 3 tahun hingga menghasilkan produk panil kayu lapis yang secara efektif dapat diserap pasar domestik (Pekanbaru, Riau). Proses produksi panil kayu lapis ini telah memperoleh paten dari Dirjen Haki, Departemen Kehakiman, pada tanggal 15 April 2011 dengan nomor ID 0028355. Pengembangan invensi ini ke arah komersial telah dipersiapkan bersama oleh PT Inhutani IV dan PTP Nusantara I dengan membentuk satu konsorsium BUMN yang dituangkan dalam bentuk Perseroan Terbatas dengan nama PT Eko Plywood Indonesia (EPI). Perusahaan ini khusus menangani produksi panil kayu lapis sawit di wilayah Aceh.

Tabel 7. Sifat sis kayu lapis sawit

Tabel 8. Sifat mekanis kayu lapis sawit

Keterangan: KR = Keteguhan rekat; KK = Kerusakan kayu; Del = Delaminasi

Percobaan Jumlah lapisan Komposisi lapisan Kadar air, % Kerapatan, g/cm3

I

7 Lapis

82 7,05 729,14

92 7,76 726,18

100 8,18 733,08

11 Lapis

82 8,20 696,21

92 9,38 695,64

100 11,04 693,93

II

7 Lapis

82 8,41 659,73

92 8,96 661,14

100 10,45 660,28

11 Lapis

82 9,62 627,36

92 10,14 628,05

100 10,85 627,71

Percobaan Jumlah lapisan Komposisi lapisan KR Kg/ cm2 KK (%) Del (%)

I

7 Lapis 82 6,854 100 0 92 6,907 100 0

100 7,021 100 0

11 Lapis 82 6,305 100 0 92 6,412 100 0

100 6,299 100 0

II

7 Lapis 82 6,136 100 0 92 6,218 100 0

100 6,186 100 0

11 Lapis 82 5,672 100 0 92 5,689 100 0

100 5,706 100 0

Page 130: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

114 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

IV. POTENSI DAN IMPLIKASI PEMANFAATAN

Sebagaimana diuraikan di atas, kayu sawit memiliki sifat dasar atau kualitas penggunaan yang rendah dibandingkan dengan kayu biasa atau kayu kelapa. Alasan ini membuat kayu tersebut tidak pernah digunakan oleh masyarakat dan dibiarkan percuma di lahan perkebunan. Namun aplikasi modi kasi resin JRP-2 memungkinkan perubahan kayu ini menjadi kayu berkualitas baik setara dengan kayu komersial, seperti meranti, keruing dan kamper. Hal ini berarti kayu sawit yang dimodi kasi dapat digunakan untuk berbagai keperluan, terutama sebagai bahan baku kayu pertukangan (wood working) dan keperluan konstruksi. Resin JRP-2 dibuat dari bahan yang tersedia di dalam negeri, tanpa menggunakan komponen impor. Penggunaan resin ini relatif sangat murah dan praktis dibandingkan dengan bahan impor yang umum dipakai dalam modi kasi kayu, seperti acetic anhydride, furfuryl alcohol, methyl methacrylate, polyethylene glycol, dan lain sebagainya. Pemanfaatan resin lokal dalam penyempurnaan sifat kayu sawit dapat memberikan implikasi ekonomi dan lapangan kerja bagi masyarakat di wilayah produksi resin tersebut.

Kayu sawit memiliki potensi besar sebagai komoditas ekspor terutama dalam bentuk produk lantai (fl ooring), furniture, daun meja (table top) dan komponen pintu (door components). Produk kayu ini berbeda dengan produk serupa dari kayu tropis komersial dalam beberapa hal. Pertama, potensi kayu sawit terdapat dalam jumlah besar dan akan terus meningkat di masa mendatang, sehingga memberikan jaminan ketersediaan bahan baku dalam jangka waktu yang tidak terbatas. Ke dua, produk kayu sawit secara utuh (solid wood) belum pernah diproduksi secara komersial oleh negara manapun di dunia, sehingga produk ini bersifat unik dan spesi k. Perbedaan ke tiga, pemanfaatan kayu sawit sebagai substitusi kayu tropis memiliki aspek lingkungan yang sangat baik dalam kaitannya dengan peningkatan upaya nasional dan internasional dalam penyelamatan hutan tropis. Hal terakhir merupakan aspek penting dalam sistem perdagangan produk kayu di masa mendatang, sebagaimana saat ini dialami dalam perdagangan produk kayu karet, yang tidak memerlukan serti kasi lingkungan.

De siensi pasokan bahan baku industri perkayuan nasional yang saat ini dirasakan makin serius, memberi peluang besar bagi kehadiran material substitusi termasuk kayu sawit. Pengembangan produk kayu sawit dalam bentuk utuh (solid wood products) dan panil kayu lapis akan memiliki potensi substitusi lebih baik dibandingkan dengan produk kayu sawit rakitan, seperti papan partikel, papan semen dan papan wol. Kebutuhan nasional terhadap produk kayu utuh dan panil kayu lapis terus meningkat seiring dengan pertumbuhan kesejahtraan dan jumlah penduduk. Pengembangan produksi kedua jenis produk tersebut dengan bahan kayu sawit dapat mengurangi volume impor produk sejenis di masa mendatang. Selain itu, produksi kedua jenis produk tersebut dari kayu sawit dapat mengaktifkan kembali sejumlah industri wood working dan kayu lapis yang selama ini terhenti kegiatannya karena keterbatasan bahan baku. Hal ini berarti memperluas kesempatan kerja bagi masyarakat di wilayah pengembangan industri kayu sawit.

Implikasi positif yang dapat diperoleh melalui pemanfaatan potensi kayu sawit nasional meliputi beberapa aspek strategis sebagai berikut:

Page 131: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

115HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

1. Indonesia sebagai Penyelamat Lingkungan Sawit;

2. Indonesia sebagai Pionir Industri Kayu Sawit;

3. Menumbuhkan Industri Mesin Kayu Sawit;

4. Menumbuhkan Industri Bahan Pembantu Kayu Sawit;

5. Sumber Devisa Baru (Lebih dari US$ 40 triliun/Tahun);

6. Lapangan Kerja Baru (Lebih dari 7 juta orang); dan

7. Ekspor Ekspertis (Dari PNG sampai Afrika).

V. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI

Kehadiran limbah batang pohon yang dihasilkan dari suatu kegiatan peremajaan kebun sawit sangat mengganggu bagi pemilik perkebunan, terutama peranannya sebagai sarang hama dan penyakit. Secara tradisional limbah ini paling mudah dan murah dimusnahkan dengan cara pembakaran. Namun praktek ini tidak dapat lagi dilakukan sejak berlakunya larangan bakar pada tahun 1997, sehingga limbah batang pohon sawit menjadi hal dilematis bagi pihak perkebunan.

Banyak keluhan yang muncul sebagai akibat dari kebijakan "larang bakar", di antaranya adalah penambahan biaya pekerjaan penyulaman tanaman, serta peningkatan kebutuhan insektisida dan pestisida dalam kegiatan pemeliharaan tanaman sawit muda.

Beban tambahan bagi pengusaha perkebunan ini hendaknya dapat segera diatasi dengan pendekatan teknis yang bersifat ramah lingkungan.

Batang sawit hasil peremajaan pada dasarnya merupakan limbah perkebunan yang tidak memiliki nilai ekonomi bagi perusahaan perkebunan. Namun demikian kenyataan di lapangan banyak kendala yang dihadapi saat pengambilan limbah ini dari areal perkebunan. Banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh limbah ini dan membawanya ke pabrik kayu. Akibatnya nilai batang sawit menjadi sangat mahal (lebih dari Rp. 350.000/m3), setara dengan harga kayu bulat dari jenis karet, sengon dan kemiri. Masalah birokrasi dan keterlibatan berbagai pihak untuk memperoleh keuntungan dalam kegiatan pemanfaatan batang sawit menjadi hambatan serius pada berbagai wilayah kebun sawit di Indonesia. Permasalahan ini tidak dijumpai di Malaysia, bahkan industri kayu memperoleh beberapa insentif dalam pemanfaatan kayu sawit. Pemerintah Malaysia mewajibkan perusahaan perkebunan untuk mengirim batang sawit ke industri kayu sesuai spesi kasi yang diperlukan, dan kepada industri kayu diwajibkan membayar ongkos kirim batang sawit sekitar Rp. 156.000/m3. Selain itu industri kayu yang memanfaatkan bahan baku kayu sawit memperoleh subsidi sebesar 100.000 Ringgit per bulan.

Limbah batang sawit yang dihasilkan dari suatu peremajaan kebun umumnya dihasilkan dalam jumlah besar dalam waktu relatif singkat. Volume limbah batang dapat mencapai ratusan ribu m3, bahkan dalam kasus peremajaan kebun besar dapat mencapai lebih dari satu juta m3. Potensi sebesar ini apabila dimanfaatkan sebagai bahan baku industri kayu pertukangan akan memerlukan beberapa unit kilang pengolahan kayu berukuran besar, dengan konsekuensi

Page 132: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

116 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

investasi dan tenaga kerja dalam jumlah besar. Hal ini tentunya menuntut suatu model perencanaan yang dapat mempertemukan kegiatan peremajaan dan kegiatan pemanfaatan kayu.

Sistem pengusahaan dan pemanfaatan kayu sawit sebagaimana kayu kebun lainnya seperti karet, kelapa dan randu tidak memiliki struktur kelembagaan yang jelas. Departemen Pertanian tidak tergerak untuk membina usaha kayu sawit, karet dan kelapa karena komoditi ini dianggap bukan komoditi pertanian. Sementara Departemen Kehutanan juga tidak tergerak untuk menangani industri ini karena tidak menggunakan kayu dari areal hutan. Departemen yang lebih peduli mengurusi industri kayu kebun adalah Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag). Banyak kegiatan yang telah dilakukan Deperindag dalam upaya pengembangan industri kayu kebun, terutama kayu karet dan kelapa. Namun demikian Departemen ini tidak memiliki konsep pembinaan yang konstruktif, sehingga perannya tidak begitu efektif dalam pengembangan industri kayu tersebut. Mekanisme kelembagaan yang sukses dilakukan Malaysia dalam pengembangan industri kayu karet dapat diadopsi dan dikembangkan di Indonesia. Satu badan khusus dari Kementerian Perindustrian dan Perdagangan Malaysia (MTIB) bekerjasama secara intensif dengan Pusat Penelitian Kehutanan (FRIM) dalam pengembangan industri kayu karet Malaysia.

Secara profesional pembinaan industri kayu kebun di Indonesia ditumpangkan pada Asosiasi Kayu Gergajian dan wood working (Indonesian Sawmillers and Woodworking Association). Asosiasi ini secara mendasar tumbuh dalam kalangan pengusaha kayu hutan alam, yang memiliki naluri berbeda dengan pengusaha kayu karet, kelapa atau kayu kebun lainnya. Asosiasi ini relatif tidak mampu berperan secara optimal dalam lingkup usaha kayu hutan alam, apalagi diberi tambahan tugas pembinaan industri kayu kebun.

Sampai saat ini tidak ada satu institusi riset di Indonesia yang mendapat tugas khusus menangani permasalahan dan penyempurnaan kualitas produk kayu perkebunan. Industri kayu karet nasional tumbuh dengan kemampuan sendiri melalui adopsi paket teknologi dari luar negeri, khususnya Malaysia.

Kondisi pasif inilah yang menjadikan posisi Indonesia selalu menjadi pengikut dalam perkembangan teknologi produksi kayu karet. China telah lama tampil sebagai pionir untuk berbagai produk yang terbuat dari bambu. Hal serupa terjadi pada produk kayu kelapa, di mana Philipina menjadi pionir dalam pengembangan produk kayu ini. Hampir mustahil bagi industri kayu karet dan kelapa untuk melakukan pekerjaan riset dan pengembangan sendiri, karena di samping secara rutin mereka telah disibukkan dengan target produksi, pekerjaan riset dan pengembangan memerlukan anggaran, tenaga dan fasilitas khusus.

Upaya kerjasama antara Badan Litbang Kehutanan dengan PT Inhutani IV Riau dalam uji-coba produksi kayu lapis sawit telah menghasilkan produk yang secara efektif dapat dijual dan diterima masyarakat Riau. Pengembangan lebih jauh ke produksi komersil panil kayu lapis sawit telah direstui Menteri Negara BUMN dengan membentuk satu konsorsium (PT Eko Plywood Indonesia) antara PT Inhutani IV dan PTP Nusantara I, Aceh. Namun demikian konsorsium ini cenderung tidak berfungsi efektif karena terjadi perubahan direksi PT Inhutani IV pada beberapa bulan lalu.

Page 133: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

117HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Limbah batang sawit merupakan sumber bahan kayu alternatif yang dapat digunakan dalam menanggulangi de sit kayu nasional. Potensi kayu sawit dalam periode lima tahun mendatang secara nasional diperkirakan memiliki volume rata-rata sekitar 32 juta m3/tahun. Kayu sawit hanya mungkin digunakan sebagai bahan substitusi kayu konvensional setelah diberi perlakuan khusus. Kayu ini ideal digunakan sebagai bahan baku produk furniture, keperluan bangunan (konstruksi) dan industri kayu lapis. Produk yang dihasilkan sangat potensial menjadi komoditas ekspor yang bersifat unik dan ramah lingkungan.

B. Saran

Salah satu kendala serius yang dihadapi dalam pemanfaatan limbah batang sawit adalah jaminan pasokan kayu bulat sawit bagi industri kayu yang berminat memanfaatkannya. Otoritas pengaturan pasokan kayu sawit secara struktural berada dibawah Kementrian Pertanian, walaupun hal ini belum termasuk dalam tugas Kementerian tersebut. Pada sisi lain administrasi angkutan kayu sawit dari kebun ke pabrik kayu secara tradisional berada dalam kewenangan Kehutanan dan Polri. Sementara wewenang pengawasan dan perijinan industri kayu sawit berada pada Kementrian Perindustrian. Melihat kompleksitas kewenangan dalam administrasi pemanfaatan kayu sawit kiranya perlu inisiasi pemerintah untuk menyusun regulasi bersama antar Kementrian yang dapat mendukung upaya pemanfaatan batang sawit.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1998. Statistik perkebunan. Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta.

______. 2004. Statistik perkebunan. Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta.

______. 2012. Komoditas Sawit Tahun 2010-2012. Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta.

Balfas, J. 1993. Status of research and development on rubber-wood in Indonesia. International Forum on investment opportunities in the rubberwood Industry, 20-22 September 1993. Kuala Lumpur, Malaysia.

_______. 1997. Sifat dasar kayu sawit. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Pematang Siantar di Medan tanggal 18 -19 September 1997. Balai Penelitian Kehutanan Pematang Siantar.

_______. 1999. Deskripsi Paten. Metode pengolahan kayu sawit untuk pembuatan produk kayu utuh (solid wood). Tidak Diterbitkan.

_______. 2002. Hasil penelitian dua tahun terakhir Kelompok Peneliti Pemanfaatan Hasil Hutan. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Teknologi Hasil Hutan.Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

Page 134: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

118 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Ball, J.B. 1998. Forest plantation resources: a global overview. Asian Timber 17(3):29-32 Fruhwald, A. Rolf D.P. and Matthias S. 1992. Utilization of coconut timber. Deutsche Gesellschaft fur Technische Zasammenarbeit (GTZ) GmbH. Hamburgh.

Lubis, A.U, P. Guritno dan Darnoko. 1994. Prospek industri dengan bahan baku limbah padat kelapa sawit di Indonesia. Berita Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Vol. 2(3):203-209. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.

Prayitno, T.A. dan Darnoko. 1994. Karakteristik papan partikel dari pohon kelapa sawit. Berita Pusat Penelitian Kelapa Sawit . Vol. 2 (3): 211-220. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.

Shaari, K., K.K. Choon and A.R.M. Ali. 1991. Oil palm stem utilization: Review of research. Research Pamphlet No.107. Forest Research Institute Malaysia (FRIM), Kuala Lumpur.

DAFTAR PUBLIKASI ILMIAH

Penulis Tahun Judul Media Penerbit Tunggal 1992 Surface activation with Lithium and Sodium

Hydroxides Journal of Trop.For.Sci.

FRIM, Kuala Lumpur

Pertama 1993 Bonding Surface-modified Karri and Jarrah with Resorcinol Formaldehyde

Jurnal Holz als Roh-und Werkstoff

Tunggal 2001 Penyempurnaan sifat kayu dengan perlakuan modifikasi JRP-2

Prosiding Seminar

Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor

Tunggal 2001 Pemanfaatan kayu tusam dekat koakan sebagai bahan baku industri kayu pertukangan

Prosiding Seminar

Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor

Tunggal 2003 Atlas kayu tanaman Indonesia Buku PT Thesa Centra Prima, Jakarta

Tunggal 2003 Prospek Teknologi dan Pemasaran Kayu Karet Prosiding Konferensi

Balai Penelitian Sungei Putih, Medan

Kedua 2004 Modifikasi kayu mangium (Acacia mangium Wild.) dan kemungkinannya untuk penggunaan eksterior disbandingkan dengan kayu jati dan bangkirai

Prosiding Seminar

Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor

Tunggal 2004 Pembuatan produk komersil dari kayu pasang Prosiding Seminar

Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor

Tunggal 2004 Atlas kayu tanaman Indonesia Buku PT Thesa Centra Prima, Jakarta

Tunggal 2007 Prospect of rubber wood technology and marketing

Prosiding Konferensi

Indonesian Rubber Research Institute, Bogor

Ketiga 2007 Diversifikasi bahan baku dan produk industri pengolahan kayu

Prosiding Seminar

Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor

Page 135: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

119HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Lanjutan

DAFTAR KEIKUTSERTAAN DALAM KEGIATAN ILMIAH/BIDANG KEAHLIAN:

Tunggal 2008 Perlakuan resin pada kayu kelapa Jurnal Hasil Hutan

Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor

Tunggal 2008 New approach to oil palm wood utilization for woodworking production Part 1: Basic properties

FORDA Journal Badan Litbang Kehutanan, Jakarta

Tunggal 2009 Kandungan resin pada kayu gaharu kualitas rendah

Jurnal Hasil Hutan

Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor

Tunggal 2009 Karakteristik kayu kelapa sawit tua Jurnal Hasil Hutan

Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor

Tunggal 2010 Karakteristik kayu lapis sawit Jurnal Hasil Hutan

Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor

Tunggal 2010 New approach to oil palm wood utilization for woodworking production Part 2: Wood modification with organic resin

FORDA Journal Badan Litbang Kehutanan, Jakarta

Tunggal 2010 Jenis kayu alternatif untuk pertukangan Prosiding Seminar

Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor

Tunggal 2011 Penanggulangan masalah serat berbulu pada kayu labu sebagai bahan baku pensil

Jurnal Hasil Hutan

Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor

No. Project/Forum Institusi Tahun

1 Penyempurnaan Pengolahan Rotan P3HH – IDRC-Canada 1984 - 1986

2 Weathering Improvement of Karri and Jarrah for outdoor purposes

TABMA, Australia 1991 - 1992

3 Modifikasi kayu untuk furniture PT. LIGNA, Bogor 1993 – 1994

4 Rubberwood Conference (Speaker) International Trade Center 1994

5 Pemanfaatan kayu hutan tanaman SINARMAS GROUP 1995 - 1996

6 Eksplorasi Indonesian Fancywood PT. INDOPLYWOOD 1996 - 1997

7 Pemanfaatan kayu sawit untuk pembuatan produk panel

RAJA GARUDA MAS - Medan

1998 - 1999

8 Konsultan Perkayuan untuk Indonesia Furniture Club (IFC)

IFC - Jakarta 2001 - 2003

9 Modifikasi kayu untuk Cooling Tower PT. Pupuk Kujang, Cikampek

2004 - 2008

10 Koordinator dalam uji coba produksi kayu sawit pada skala industry

Badan Litbang Kehutanan – PT Inhutani I

2005 - 2006

11 Koordinator dalam uji coba produksi kayu sawit untuk panel pintu

Badan Litbang Kehutanan – Departemen Perindustrian

2008

12 Koordinator dalam uji coba produksi kayu lapis sawit

Badan Litbang Kehutanan – PT. INHUTANI IV

2008 - 2010

13 Oil Palm Conference (Speaker) CMTFP, Singapore 2010

Page 136: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

120 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

A. Data Pribadi

Nama lengkap : Ir. Jamal Balfas, MSc.

NIP : 19580604 198603 1 005

Pangkat golongan : IV-e

Jabatan : Peneliti Utama Bidang Teknologi Hasil Hutan

B. Alamat Lengkap:

Kantor:Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16000 IndonesiaPh. 0251 8633378 Fax. 0251 8633413Mobile 0812 997 4533Email: <[email protected]>

Rumah :Sindang Resmi No. 8, Jl. Pahlawan, Bogor.

C. Riwayat Pendidikan dan Pelatihan:

1983, S1 - Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Institut Pertanian Bogor1986, Sawmilling and Saw maintenance Training, Timber Industry Training Center,

New Zealand1988, Wood Quality Control Course, Asean Timber, Training Center, Malaysia 1988, Wood Moulding Production Course, Asean Timber, Training Center,

Singapore1993, S2 – MSc. Wood Science, Forestry, Australian National University, Canberra

D. Riwayat Tugas dan Pekerjaan:

1984-1994 Peneliti pada Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan, Bogor Menangani kegiatan penelitian dan pelatihan di bidang pengolahan kayu primer dan sekunder.

1995-2000 Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan, Pematang Siantar, Sumatera Utara Menangani penelitian dan pengembangan dalam pemanfaatan kayu kurang

dikenal, kayu sawit, kayu aren dan kayu kelapa

2000 – Sekarang Ahli Peneliti pada Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor. Menangani kegiatan penelitian dan pengembangan pemanfaatan kayu sawit, kayu kelapa, kayu kurang dikenal dan gaharu.

Page 137: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

121HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA(APU)

PEMANENAN HUTAN RAMAH LINGKUNGAN MENJAMIN PRODUKSI KAYU YANG

BERKELANJUTAN

Oleh:Ir. Sona Suhartana

KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN

Bogor, 2013

Page 138: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

122 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Page 139: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

123HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

PROFIL

Nama: Sona Suhartana, dilahirkan di Tasikmalaya pada tanggal 12 Oktober 1960 adalah anak dari Bapak H. Nuh Suganda (Alm) dan Ibu Hj. Siti Hamidah (Alm). Menikah dengan Rahmat Sukardjo pada tahun 1987 dan dikaruniai satu orang putra bernama Reza Rizaldi Rahmat dan satu orang putri, yaitu Soraya Mutiara Rahmat.

Pendidikan Formal.

Sekolah Dasar Negeri Dadaha I Tasikmalaya tamat tahun 1973, SMP Negeri I Tasikmalaya tamat tahun 1976, SMA Negeri I Tasikmalaya tamat tahun 1980, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor tamat tahun 1985.

Pendidikan Tambahan.

Telah mengikuti kursus/pelatihan:

1. Penataran pengembangan aplikasi program SIM tahun 2000.

2. ToT on contour and tree position mapping and ril planning tahun 2004.

3. Presentation performance training tahun 2006.

4. International scienti c publication workshop for forestry researcher tahun 2006.

Pengalaman Pekerjaan dan Jabatan.

Pegawai honorer di Pusat Litbang Hasil Hutan Bogor pada tahun 1985, Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) pada tahun 1986, Pegawai Negeri Sipil (PNS) Penata Muda (III/a) pada tahun 1987, PNS Pembina Utama (IV/e) pada tahun 2010, Asisten Peneliti Madya pada tahun 1992, Ajun Penelliti Muda pada tahun 1994, Ajun Peneliti Madya pada tahun 1996, Peneliti Muda pada tahun 1998, Peneliti Madya pada tahun 2001, Ahli Peneliti Muda pada tahun 2003, Ahli Peneliti Madya (Peneliti Utama Golongan IV/d) pada tahun 2005, Peneliti Utama Golongan IV/e (Ahli Peneliti Utama) pada tahun 2009.

Kegiatan Penelitian.

Bidang yang ditekuni adalah Keteknikan dan Pemanenan Hutan.

Kegiatan Ilmiah.

Mengikuti beberapa seminar/pertemuan ilmiah baik nasional maupun internasional, anggota Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia (PERSAKI), anggota Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI), Sekretaris dan Anggota Dewan Redaksi Warta Hasil Hutan. Sampai saat ini telah menulis lebih dari 100 karya tulis ilmiah/makalah di berbagai media publikasi seminar nasional dan internasional.

Page 140: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

124 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

PRAKATA

Bismillaahir rahmaanir rahiim

Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakatuh

Yang terhormat,

Bapak Kepala Badan Litbang Kehutanan

Bapak Ketua, Sekretaris dan Para Anggota TP2I

Bapak/Ibu Pejabat Eselon I Lingkup Kementerian Kehutanan

Bapak/Ibu Pejabat Eselon II Lingkup Kementerian Kehutanan

Para Peneliti dan hadirin yang berbahagia

Pertama-tama perkenankanlah saya mengucap puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat dan karunia-Nya kita dapat berkumpul pada hari ini dalam rangka Orasi Ilmiah Ahli Peneliti Utama. Selanjutnya izinkanlah saya untuk membacakan pidato ilmiah Ahli Peneliti Utama yang berjudul:

“PEMANENAN HUTAN RAMAH LINGKUNGAN MENJAMIN PRODUKSI KAYU YANG BERKELANJUTAN”

Sistematika dari orasi ilmiah ini adalah sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

II. PERKEMBANGAN PEMANENAN KAYU

III. PEMANENAN HUTAN RAMAH LINGKUNGAN

IV. KONTRIBUSI PEMANENAN HUTAN RAMAH LINGKUNGAN TERHADAP PRODUKSI KAYU YANG BERKELANJUTAN

V. KESIMPULAN DAN SARAN

VI. PENUTUP

Page 141: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

125HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

I. PENDAHULUAN

Hadirin yang saya muliakan

Hutan produksi merupakan kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Luas hutan produksi di Indonesia sekitar 55.017.134,73 ha yang terdiri atas hutan produksi tetap seluas 34.142.045,73 ha dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 20.875.089,00 ha (Anonim, 2012).

Bentuk pemanfaatan hutan produksi dapat dilaksanakan salah satunya dengan pemberian izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) yang sebelumnya dikenal dengan nama hak pengusahaan hutan (HPH) (PP No. 34, 2004). Jumlah HPH pada tahun 2011 adalah 292 unit dengan areal konsesi seluas 23,41 juta ha, sedangkan jumlah HPH pada tahun 1993/1994 mencapai 575 unit dengan areal konsesi seluas 61,70 juta ha (Anonim, 2012). Jumlah Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) sampai akhir 2011 adalah 249 unit dengan pencadangan areal seluas 10.046.839,43 ha (Anonim, 2012). Pada tahun 2011 produksi kayu mencapai 5,7 juta m3/tahun berasal dari hutan alam (Anonim, 2012). Produksi kayu dari Hutan Tanaman (HT) cenderung meningkat dengan produksi kayu rata-rata per tahun sekitar 3,8 juta m3/tahun (Laban, 2004). Untuk tahun 2011 produksi kayu yang berasal dari HT (Perhutani + HPHTI + Sumber lain) sekitar 42,0 juta m3/tahun (Anonim, 2012).

Saat ini industri pengolahan kayu di Indonesia membutuhkan bahan baku sekitar 44,8 juta m3/tahun sedangkan berdasarkan kapasitas terpasang kebutuhan industri pengolahan kayu adalah 64,3 juta m3/tahun. Jatah Produksi Tahunan (JPT) untuk tahun 2012 adalah 9,1 juta m3/tahun (Keputusan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan No. SK.6/VI-BUHA/2012 tanggal 15 Pebruari 2012) sehingga kekurangan bahan baku cukup besar. Untuk menekan kekurangan bahan baku tersebut salah satu caranya adalah meningkatkan produksi kayu melalui implementasi pemanenan hutan ramah lingkungan atau yang sering disebut dengan reduced impact logging (RIL). Implementasi RIL selain dipengaruhi oleh jenis, ukuran, sifat, dan potensi kayu, dipengaruhi juga oleh teknik pemanenan, topogra lapangan, pertimbangan silvikultur, dan pertimbangan iklim. Dalam memilih teknik pemanenan yang sesuai, paling tidak ada empat hal yang harus dipertimbangkan, yaitu secara teknik memungkinkan, secara ekonomis menguntungkan, secara sosial dapat diterima, dan secara lingkungan tidak menimbulkan gangguan yang berarti.

Kegiatan pemanenan hutan tidak terlepas dari sistem silvikultur yang digunakan pada areal tersebut. Pada tahun 1972 telah ditetapkan beberapa sistem silvikultur. Salah satu sistem tersebut adalah Tebang Pilih Indonesia (TPI) (Keputusan Direktorat Jenderal Kehutanan No. 35, 1972). Pada tahun 1989 sistem silvikultur TPI disempurnakan pelaksanaannya (Keputusan Menteri Kehutanan No. 485, 1989) dan teknis pelaksanaannya diterjemahkan dalam Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) (Keputusan Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan No. 564, 1989). TPTI tersebut disempurnakan pelaksanaannya pada tahun 1993 (Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 151, 1993). Implementasi pedoman TPTI belum sesuai harapan karena pemanenan kayu belum dapat dilakukan secara e sien. E siensi pemanenan kayu di hutan alam tersebut berkisar antara 70-80% (Simarmata dan Sastrodomedjo, 1980; Simarmata dan Dulsalam, 1985a, 1985b; Dulsalam 1993; Suhartana, 1994).

Page 142: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

126 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Agar produksi kayu meningkat dan berkelanjutan dapat dicapai melalui peningkatan e siensi pemanenan hutan dengan menerapkan pemanenan hutan ramah lingkungan. Berbagai upaya perlu dilakukan agar pemanfaatan sumberdaya hutan menjadi optimal, pemborosan sumberdaya dan gangguan lingkungan minimal. Peningkatan produksi hasil hutan berupa kayu sangat dituntut untuk memenuhi pasokan bahan baku bagi industri pengolahan kayu yang memadai secara kuantitas dan kualitas di satu sisi serta minimasi gangguan lingkungan yang terjadi di sisi lainnya.

Berikut ini diuraikan pemanenan hutan ramah lingkungan menjamin produksi kayu yang berkelanjutan kaitannya dengan teknik, e siensi, dan upaya peningkatan e siensi pemanenan kayu. Tujuannya adalah memberikan arahan tentang peningkatan produksi hasil hutan melalui peningkatan e siensi pemanenan kayu. Upaya tersebut dapat dijadikan sebagai bahan acuan bagi penentu kebijakan dan pelaksana di lapangan.

II. PERKEMBANGAN PEMANENAN KAYU

Hadirin yang berbahagia

Pemanenan kayu merupakan serangkaian kegiatan sebagai pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen dari suatu industri yang mengubah pohon berdiri menjadi kayu bulat dan mengangkutnya ke luar hutan dan di dalamnya terdapat lima komponen utama, yaitu perencanaan pemanenan, penebangan, penyaradan, muat bongkar dan pengangkutan. Dengan dikeluarkannya UU No. 1 tahun 1967 tentang PMA dan UU No. 6 tahun 1968 tentang PMDN oleh Pemerintah Indonesia, pengusahaan hutan di luar Pulau Jawa dalam bentuk HPH berkembang dengan sangat pesat. Teknologi yang digunakan berubah dari kategori sederhana ke kategori modern. Hampir semua tahap kegiatan pemanenan hutan dilakukan dengan menggunakan alat-alat berat yang modern yang diimpor dari luar negeri. Dalam praktiknya selama ini terlihat bahwa teknologi modern tersebut mempunyai beberapa ciri seperti: mampu menangani kayu-kayu berukuran besar, mampu mengatasi medan yang berat, produktivitas tinggi, mampu menangani kegiatan berskala besar, biaya pemilikan dan operasi peralatan sangat tinggi, partisipasi masyarakat lokal dalam pengoperasian alat-alat besar hampir tidak ada, kerusakan terhadap hutan sangat tinggi, kerusakan terhadap tanah hutan juga sangat tinggi.

Sejak awal reformasi (akhir 1990-an), Kementerian Kehutanan mulai mengubah paradigma pengelolaan hutan dari State-based forest management ke Community- based forest management di mana kebijakan yang diambil adalah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat, khususnya masyarakat sekitar hutan, dalam pengusahaan hutan (Fatah, 2000 dan Suryodibroto, 2000). Kebijakan yang baik ini sulit direalisasikan jika masyarakat tetap pada tingkatan teknologi pemanenan manual, sedangkan untuk mengadakan dan menggunakan teknologi modern masih tidak terjangkau karena kemampuan ekonomi dan teknologi sangat rendah. Untuk mengatasi hal tersebut, sebenarnya sudah lama mulai dan sedang berkembang satu tingkatan teknologi yang berada terutama di antara kedua teknologi tersebut di atas dan sebagian kecil berada di dalam keduanya. Tingkatan teknologi tersebut dinamakan teknologi tepat guna (Tinambunan, 2008).

Page 143: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

127HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Elias (1999) menyatakan bahwa ilmu dan teknologi di bidang pemanenan kayu hingga saat ini telah mengalami berbagai perkembangan. Hal ini sebagai konsekuensi perubahan dengan pendekatan manajemen hutan dan prinsif penggunaan hutan lestari arahan perkembangan pemanenan. Arahan perkembangan pemanenan kayu tersebut adalah:

1. Pengertian pemanenan kayu mengalami perluasan yang lebih menekankan pada perencanaan sebelum pemanenan, supervisi teknik, dan pencegahan kerusakan lebih lanjut setelah pemanenan.

2. Usaha memperpendek rantai tahapan pemanenan kayu.

3. Menerapkan sistem pemanenan kayu yang sesuai dengan klasi kasi fungsional lapangan di bidang kehutanan.

4. Mengintegrasikan pengolahan kayu primer ke dalam tahapan pemanenan kayu.

5. Menciptakan peralatan pemanenan kayu dengan perhatian ditekankan pada keunggulan produktivitas tinggi, keunggulan biaya, menekan kerusakan lingkungan, dan keselamatan kerja.

III. PEMANENAN HUTAN RAMAH LINGKUNGAN

Hadirin yang saya muliakan

Elias (1999) dan Elias et al., (2001) mengartikan pemanenan ramah lingkungan atau Reduced Impact Timber Harvesting/RITH atau Reduced Impact Logging/RIL adalah serangkaian kegiatan pemanenan kayu mulai dari perencanaan pemanenan kayu, PWH, operasi penebangan, penyaradan, pengangkutan dan rencana pengaturan tegakan tinggal setelah kegiatan pemanenan kayu untuk minimasi kerusakan. Selanjutnya Dykstra dan Heindrich (1995) dalam Elias (1999) mengemukakan bahwa ada empat hal penting dalam pelaksanaan RIL, yaitu:

1. Perencanaan pemanenan komprehensif.

2. Implementasi teknik-teknik pemanenan ramah lingkungan dan pengawasan yang efektif terhadap kegiatan pemanenan.

3. Pencegahan kerusakan lebih lanjut setelah pemanenan.

4. Pengembangan tenaga kerja yang terampil dan motivasi tinggi.

Dengan demikian keseluruhan elemen kegiatan harus dilakukan dengan benar agar gangguan terhadap sumberdaya hutan minimal sehingga sumberdaya tersebut mampu berkembang dan berproduksi baik pada siklus berikutnya. Salah satu tujuan penerapan teknologi ramah lingkungan adalah e siensi pemanenan kayu. E siensi pemanenan kayu erat kaitannya dengan limbah pemanenan. Semakin tinggi nilai e siensi pemanenan, semakin kecil limbahnya. Nilai e siensi ini sangat beragam bergantung pada ukuran kayu, jenis kayu, topogra , peralatan yang digunakan, keterampilan tenaga kerja, dan kondisi lapangan.

Page 144: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

128 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

A. Efi siensi Pemanenan Kayu di Hutan Alam

1. E siensi terhadap kayu yang dipanen

E siensi pemanenan kayu merupakan rasio antara volume kayu yang dipanen dengan volume kayu yang seharusnya dapat dimanfaatkan dikalikan 100%. Sedangkan limbah pemanenan adalah bagian dari pohon yang ditebang yang tidak dimanfaatkan karena adanya cacat, rusak/pecah, diameter kecil (<30 cm) serta panjang sortimen tidak memenuhi syarat untuk suatu tujuan (<2m) dan bagian pohon pada tegakan tinggal yang menjadi rusak/pecah karena kegiatan pemanenan. Dalam batasan ini dimasukkan pengertian limbah yang berasal dari pohon yang tadinya layak panen akan tetapi tidak dipanen karena pertimbangan teknis/ekonomis (Anonim, 1990).

Hasil penelitian Suhartana (1994), Idris dan Suhartana (1995), Suhartana dan Dulsalam (1996, 2000), Anonim (1997), dan Suhartana dan Krisdianto (2005) memperlihatkan besarnya limbah pemanenan konvensional pada kisaran 4,54-17,90% serta e siensinya berkisar antara 82,10-95,45%, sedang untuk pemanenan ramah lingkungan besar limbah berkisar antara 2,40-13,90% dengan e siensi berkisar antara 86,10-97,60% . Pemanenan dan pemanfaatan kayu yang dipanen tergantung pada tujuan pemanfaatan kayu dan kemampuan teknis pemanenan kayunya. Dengan demikian dalam kegiatan pemanenan kayu akan terjadi adanya sebagian kayu yang ditinggalkan di petak tebang atau pun di TPn berupa limbah.

Rata-rata e siensi pemanenan kayu di hutan alam untuk teknik ramah lingkungan lebih besar daripada teknik konvensional, yaitu 91,85% dibanding 88,80%. Dengan perbaikan teknik pemanenan terjadi peningkatan e siensi sebesar 3,05%. Dengan asumsi bahwa produksi kayu dari hutan alam per tahun adalah 9,10 juta m3 maka perbaikan teknik tersebut dapat meningkatkan produksi kayu sebesar 277.550 m3/tahun. Jika besarnya DR dan PSDH kayu yang dipanen adalah Rp 150.000/m3 maka Negara akan mendapat tambahan dana DR dan PSDH sebesar Rp 41.632.500.000/tahun.

Rata-rata limbah yang terjadi pada pemanenan kayu di hutan alam pada teknik ramah lingkungan lebih kecil daripada teknik konvensional, yaitu 6,55% dan 9,35%. Apabila menerapkan teknik pemanenan ramah lingkungan akan terjadi penurunan limbah sebesar 2,80%. Dengan asumsi produksi kayu dari hutan alam sebesar 9,10 juta m3/tahun maka potensi limbah pemanenan kayu sebesar 254.800 m3. Dengan asumsi limbah tersebut dapat dimanfaatkan, maka Negara akan menerima tambahan PSDH sebesar Rp 3.822.000.000/tahun jika besarnya PSDH untuk limbah kayu sebesar Rp 15.000/m3.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dikatakan besarnya kayu yang dimanfaatkan pada teknik ramah lingkungan ternyata lebih besar dari pada teknik konvensional, begitu pula nilai kayu yang seharusnya dapat dimanfaatkan dan besarnya e siensi pemanenan kayunya. Hal ini dapat dimengerti karena pada teknik penebangan ramah lingkungan, meninggalkan tinggi tunggak yang lebih rendah dibanding dengan yang konvensional dengan nilai rata-rata masing-masing 40 cm (ramah lingkungan) dan >80cm (konvensional). Yang dimaksud limbah penebangan di sini adalah bagian batang pohon dari pangkal sampai diameter bebas cabang yang tertinggal di hutan, tidak termasuk bagian cabang.

Page 145: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

129HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Limbah yang terjadi pada teknik ramah lingkungan lebih rendah daripada teknik konvensional. Hal ini terjadi karena tinggi rendahnya e siensi pemanenan kayu erat kaitannya dengan limbah yang terjadi. Makin kecil limbah yang terjadi, makin tinggi nilai e siensinya.

2. E siensi terhadap tegakan tinggal

Hadirin yang berbahagia

Betapapun hati-hatinya penyaradan kayu dilaksanakan, kerusakan yang terjadi terhadap tegakan tinggal sulit untuk dihilangkan. Yang dapat kita upayakan adalah mengurangi kerusakan tersebut, karena dalam kegiatan penyaradan gerakan traktor saat mendatangi dan menyarad kayu dapat menyapu/menggusur pohon-pohon yang berada di kiri kanan jalan sarad. Hasil penelitian Elias (1997) dalam Elias (1999), Suhartana dan Dulsalam (2000), Suhartana (2001, 2002) mengenai kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan penebangan dan penyaradan kayu ramah lingkungan dan konvensional menyatakan bahwa rata-rata kerusakan tegakan tinggal yang diakibatkan oleh kegiatan tersebut beragam. Untuk teknik ramah lingkungan kerusakan yang terjadi berkisar antara 7,05-19,10% sedang untuk teknik konvensional kerusakan tersebut sekitar 11,75-40,40%. Dari hasil penelitian tersebut dapat dikatakan bahwa apabila menerapkan teknik ramah lingkungan dapat menurunkan kerusakan tegakan tinggal sekitar 4,70-21,30%. Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa dari sisi tingkat kerusakan tegakan tinggal, teknik ramah lingkungan adalah lebih baik daripada teknik konvensional. Hal ini dapat terjadi karena pada teknik konvensional belum sepenuhnya melaksanakan ketentuan yang terdapat dalam pedoman TPTI. Sebagai contoh jalan sarad tidak dibuat terlebih dahulu, akan tetapi traktor langsung mendatangi kayu yang akan disarad, padahal kedudukan kayu yang akan disarad sering kurang terlihat jelas. Dengan demikian banyak terjadi manuver traktor yang tidak perlu yang menabrak/menggusur pohon-pohon yang masih berdiri. Semakin banyak kayu yang disarad, akan semakin tinggi intensitas gerakan traktor yang pada akhirnya akan semakin tinggi pula kerusakan tegakan tinggal yang terjadi.

Kerusakan tegakan tinggal akibat PWH juga tidak dapat dihindari karena untuk mengeluarkan kayu dari hutan perlu dibangun jalan angkutan dengan kerapatan tertentu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa limbah yang terjadi akibat kegiatan PWH adalah 2,76 -7,20 m3/ha atau 1,40-3,70% terhadap potensi volume kayu per ha (Idris dan Suhartana,1996; Anonim, 1989).

B. Efi siensi Pemanenan Kayu di Hutan Tanaman

Hadirin yang saya muliakan

Hasil penelitian Suhartana et al., (2012), Suhartana dan Yuniawati (2009), Suhartana dan Yuniawati ( 2005), Suhartana dan Rahmat ( 2004), Suhartana et al., (2005), Suhartana et al., (2011), Suhartana dan Yuniawati (2010) memaparkan besar limbah penebangan konvensional berkisar antara 7,20-30,90% dengan rata-rata 16,78% sedang e siensinya sekitar 69,10-93,90%

Page 146: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

130 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

dengan rata-rata 83,23%. Untuk penebangan ramah lingkungan besarnya limbah sekitar 0,1-2,75% dengan rata-rata 0,71% serta nilai e siensinya berkisar antara 97,25-99,90% dengan rata-rata 99,29%.

Secara keseluruhan pada teknik ramah lingkungan besarnya kayu yang dimanfaatkan lebih besar daripada teknik konvensional. Begitu pula nilai kayu yang seharusnya dapat dimanfaatkan dan besarnya e siensi pemanenan kayunya. Hal ini dapat dimengerti karena pada teknik penebangan ramah lingkungan (penebangan yang meninggalkan tunggak serendah mungkin serta pemanfaatan batang sampai diameter 5 cm), tunggak yang ditinggalkan lebih rendah daripada teknik konvensional (penebangan kebiasaan operator setempat yang meninggalkan tunggak relatif lebih tinggi serta memanfaatkan batang kurang dari 5 cm).

Rata-rata e siensi pemanenan kayu di hutan tanaman untuk teknik ramah lingkungan lebih besar daripada teknik konvensional, yaitu 99,29% dibanding 83,23%. Apabila menerapkan teknik pemanenan ramah lingkungan dapat meningkatkan e siensi sebesar 16,06%.

Dengan asumsi bahwa produksi kayu dari hutan tanaman (Perhutani, HPHTI, Sumber lain) per tahun adalah 42 juta m3 (Anonim, 2012) maka teknik tersebut dapat meningkatkan produksi kayu sebesar 6,75 juta m3/tahun. Jika besarnya keuntungan normal perusahaan adalah 20%, harga kayu di pasaran Rp 300.000/m3, maka pihak perusahaan akan mendapatkan keuntungan tambahan sebesar Rp 405.000.000.000/tahun. Melihat besarnya keuntungan yang akan diperoleh pihak perusahaan, maka terbuka peluang bagi perusahaan untuk menerapkan teknik pemanenan ramah lingkungan.

Limbah yang terjadi untuk teknik penebangan ramah lingkungan adalah lebih rendah daripada teknik konvensional. Hal ini terjadi karena tinggi rendahnya e siensi pemanenan kayu erat kaitannya dengan limbah yang terjadi. Makin kecil limbah pemanenan yang terjadi, makin tinggi nilai e siensinya. E siensi pemanenan kayu juga diduga dipengaruhi oleh peralatan pemanenan yang digunakan. Penebangan kayu dengan menggunakan gergaji rantai berukuran kecil mempunyai beberapa keuntungan, antara lain: (1) Menghemat tenaga dalam transportasi dan pengoperasiannya; (2) Memudahkan dalam membuat takik rebah dan takik balas; (3) dapat menebang kayu dengan tunggak rendah; (4) Biaya pemilikan lebih rendah; (5) Biaya operasional relatif lebih murah; (6) Berpindah tempat lebih cepat; dan (7) Biaya pemeliharaan lebih rendah. Penggunaan alat berat untuk penyaradan kayu di HT perlu dikaji secara teliti karena ukuran kayu di HT pada umumnya relatif kecil. Dalam hal ini masalah e siensi dan efektivitas penggunaan alat tersebut perlu mendapat perhatian.

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efi siensi Pemanenan Kayu

Hadirin yang berbahagia

Faktor yang berpengaruh terhadap besar kecilnya nilai e siensi pemanenan kayu adalah sebagai berikut:

Page 147: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

131HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

1. Faktor teknis

Faktor teknis yang mempengaruhi e siensi adalah keterampilan tenaga kerja, teknik pemanenan, kebijakan perusahaan, sistem pengupahan, sistem royalti dan pengawasan. Keterampilan penebang sangat dibutuhkan untuk tercapainya volume hasil kayu tebangan sebesar mungkin. Keterampilan tersebut meliputi teknis penebangan, pembacaan situasi lapangan, keselamatan diri dan teknik pembagian batang. Keterampilan ini dipengaruhi oleh motivasi dan pengalaman kerja. Tenaga kerja dengan motivasi tinggi cenderung lebih giat dan sungguh-sungguh. Tenaga kerja yang berpengalaman lebih lama cenderung lebih terampil.

Teknik pemanenan kayu yang tercantum dalam pedoman TPTI sebenarnya telah diketahui oleh para pengusaha. Akan tetapi kenyataan di lapangan banyak pekerja yang melakukan kegiatan seakan hanya mengejar target sehingga relatif banyak yang menyimpang dari aturan yang ada.

Faktor kebijakan perusahaan, diharapkan perusahaan tidak hanya berorientasi pada menebang dan memanfaatkan kayu untuk memenuhi kebutuhan industri yang akan mendapatkan nilai keuntungan yang besar (contoh kayu lapis yang meminta persyaratan kualitas kayu lebih tinggi). Dengan demikian potongan sisa tebangan atau kayu afkir dapat dimanfaatkan misalnya untuk perumahan lokal/pegawai, pemukiman perambah hutan, pemukiman transmigrasi, yang pada akhirnya akan meningkatkan e siensi pemanfaatan kayu.

Sistem pengupahan yang berlaku pada saat ini adalah sistem borongan. Sistem ini merangsang para pekerja untuk memperoleh produksi sebesar-besarnya tanpa menghiraukan terjadinya kerusakan kayu. Dalam hal ini penebang dan penyarad hanya memanfaatkan kayu yang berdiameter lebih besar dan berkualitas baik. Akibatnya banyak dijumpai kayu yang ditinggalkan di hutan yang sebenarnya masih dapat dimanfaatkan.

Sistem royalti yang masih berlaku adalah dikenakan di tempat pengolahan kayu atau pemasaran dengan sistem menaksir sendiri. Cara ini kurang mendidik perusahaan untuk memanfaatkan kayu dengan e sien.

Pengawasan pada pemanenan kayu mutlak diperlukan. Tanpa adanya pengawasan para pekerja cenderung bekerja menurut kebiasaan dan kemauan sendiri. Dengan adanya pengawasan, hal-hal yang tidak sesuai dengan aturan dapat segera diatasi.

2. Faktor non-teknis

Faktor non-teknis terdiri atas keadaan lapangan (topogra , cuaca), sifat kayu, adanya cacat, penyebaran serta kerapatan tegakan dan situasi pemasaran. Faktor non-teknis mudah dipahami, karena semakin berat tingkat kesulitan lapangan disertai kondisi medan berbatu-batu dan sifat kayu yang mudah pecah, akan mempertinggi resiko berkurangnya volume kayu yang dapat dimanfaatkan, apabila kayu yang dipanen hanya dimaksudkan untuk tujuan memenuhi industri pertukangan. Di samping itu dengan penyebaran dan kerapatan tegakan relatif tidak teratur akan menimbulkan kesulitan dalam pemanenan kayunya.

Page 148: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

132 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Pemasaran yang dimaksud dalam hal ini di antaranya adalah kondisi yang berlaku di masyarakat yang belum menerima berbagai jenis sortimen kayu yang sebenarnya layak dan dapat dimanfaatkan, sehingga dapat meningkatkan nilai tambah. Termasuk dalam pengertian ini adalah selera masyarakat yang sulit berubah dari satu jenis kayu ke jenis yang lain padahal sifat dasarnya relatif sama dengan jenis komersial. Dengan kondisi ini volume kayu yang dipasarkan terbatas dan banyak yang ditinggal di hutan sehingga mengurangi nilai e siensi pemanfaatan kayunya.

D. Biaya Pemanenan Kayu

Hadirin yang saya muliakan

Biaya pemanenan kayu sangat beragam karena adanya perbedaan tempat dan perbedaan elemen kegiatan. Selain itu perbedaan tersebut dapat terjadi karena adanya perbedaan cara perhitungan untuk komponen biayanya. Biaya pemanenan kayu di hutan alam lahan kering untuk teknik konvensional berkisar antara Rp 8.000,90/m3 (penyaradan di Kalimantan Barat) – Rp 28.211,93/m3 (penebangan+penyaradan+muat-bongkar di Kalimantan Timur). Untuk teknik ramah lingkungan biaya penyaradan tersebut berkisar antara Rp 9.150,83 – Rp 28.572,87/m3 (penebangan+penyaradan+muat-bongkar) (Elias, 1997 dalam Elias, 1999; Suhartana dan Dulsalam, 2000; Grulois, 2000).

Biaya penebangan kayu rata-rata di hutan tanaman cukup beragam. Biaya penebangan kayu di hutan tanaman untuk teknik ramah lingkungan berkisar antara Rp 2.789,47/m3 - Rp 9.769,72/m3 dengan rata-rata Rp 5.573,40/m3. Untuk teknik konvensional biaya tersebut berkisar antara Rp 3.649,97 - Rp 10.850,52/m3 dengan rata-rata Rp 6.242,22/m3. (Suhartana et al., 2012; Suhartana dan Yuniawati, 2009; Suhartana dan Yuniawati, 2005; Suhartana dan Rahmat, 2004; Suhartana et al., 2005; Suhartana et al., 2011; Suhartana dan Yuniawati, 2010). Dari data ini terlihat bahwa dengan menerapkan teknik penebangan ramah lingkungan dapat mengurangi biaya penebangan, kecuali pada penebangan kayu rasamala. Namun demikian dengan terbiasanya penebang melakukan teknik ramah lingkungan maka produktivitas akan meningkat yang pada akhirnya biaya pun menjadi berkurang.

Biaya pemanenan kayu di HT relatif lebih rendah bila dibanding dengan biaya pemanenan kayu di hutan alam. Ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan dalam kegiatan pemanenan kayu agar biaya pemanenan kayu tersebut relatif rendah, yaitu: 1. Pilihan cara mekanisasi, 2. Pemilihan waktu pemanenan, 3. Pemusatan teknik operasi pada waktu dan ruang yang tepat (Staaf & Wiksten, 1984). Sistem pemanenan biasanya dikaitkan dengan sistem penyaradan yang digunakan. Apabila alat penyaradan yang digunakan traktor, maka sistem pemanenannya disebut sistem traktor.

Ada beberapa sistem pemanenan yang dapat diterapkan di HT antara lain: sistem kerbau, sistem gajah, sistem kabel dan sistem traktor. Pada jarak angkut rata-rata 250 m dan dengan muat bongkar secara manual, biaya kayu di HT adalah Rp 112.000/m3 (kerbau), Rp 65.000/m3 (sistem gajah), Rp 101.000/m3 (sistem traktor pertanian), Rp 88.500/m3 (sistem kabel layang), Rp 111.000/m3 (sistem traktor berban karet), dan Rp 131.000/m3 (traktor berban rantai baja)

Page 149: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

133HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

(Dulsalam dan Tinambunan, 2001). Suhartana (2010) menambahkan bahwa biaya pemanenan kayu sistem ekskavator (tebang dengan chainsaw Stihl 070, sarad dengan ekskavator Hitachi Zaxis 110 M, muat dengan ekskavator Hitachi Zaxis 210, bongkar dengan ekskavator Kobelco SK 200, angkut dengan truk Hino FM 260 sebesar Rp 78.233,7/m3 (teknik RIL) dan Rp 85.860,7/m3 (teknik konvensional).

E. Upaya Peningkatan Produksi Kayu

Upaya peningkatan produksi kayu dapat dicapai melalui upaya peningkatan e siensi pemanfaatan kayunya, karena peningkatan e siensi pemanfaatan kayu dapat meningkatkan produksi kayu dan dengan demikian produksi kayu akan berkelanjutan. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui penerapan pemanenan ramah lingkungan atau reduced impact logging (RIL). Secara khusus upaya peningkatan e siensi pemanfaatan kayu dapat dilakukan pada kegiatan pembuatan jalan dan tebang bayang, penebangan, penyaradan, pengangkutan, penerapan sistem upah dan penetapan sistem royalti.

Pembuatan jalan dan tebang bayang dapat dilakukan dengan cara: 1. Penentuan lebar tebang bayang yang optimal; 2. Pemilihan pohon tebang yang dapat menahan sinar matahari secara langsung terhadap permukaan jalan; 3. Perencanaan pembuatan jalan yang baik.

Penebangan dapat dilakukan dengan cara: 1. Penebangan serendah mungkin; 2. Pembagian batang yang cermat; 3. Arah rebah yang tepat; 4. Menebang pohon yang dekat dengan TPn; 5. Operator gergaji rantai berpedoman pada rencana pemanenan yang telah dibuat; 6. Mempersiapkan jalur winching; 7. Kayu berbanir dan di atas cabang pertama dimanfaatkan secara maksimal; dan 8. Supervisi dan pengawasan intensif.

Penyaradan dilakukan dengan cara: 1. Jalan sarad direncanakan dengan baik; 2. Kerjasama antara regu penebang dan penyarad yang baik; 3. Keterampilan operator sarad ditingkatkan; 4. Operator traktor membuat jalan sarad; 5. Traktor hanya beroperasi di atas jalan sarad; 6. Penyaradan diusahakan tidak melintasi sungai atau alur; 7. Pada waktu menyarad bagian depan kayu yang disarad terangkat; dan 8. Supervisi dan pengawasan yang baik.

Pengangkutan dilakukan dengan cara: 1. Muat bongkar dilakukan hati-hati; 2. Peningkatan keterampilan pengemudi; 3. Posisi kayu yang telah dimuat di atas truk harus mantap; 4. Panjang dan volume kayu sesuai kapasitas alat angkut; 5. Supervisi dan pengawasan yang baik.

Sistem pengupahan yang berlaku pada kegiatan pemanenan kayu saat ini adalah sistem tarif kubikasi/borongan. Sistem upah tersebut merangsang para pekerja hutan untuk memperoleh produksi yang sebesar-besarnya tanpa menghiraukan kerusakan kayu yang dikerjakan maupun kerusakan tegakan tinggal. Dalam hal ini penebang pohon dan penyarad kayu hanya memungut kayu yang berdiameter besar dan berkualitas baik saja. Akibatnya banyak dijumpai kayu yang sebenarnya masih dapat dimanfaatkan, ditinggalkan di hutan. Sistem pengupahan sebaiknya tidak dilakukan dengan sistem tarif kubikasi/borongan, akan tetapi dengan sistem upah harian dengan premi tertentu bagi pekerja yang dapat mencapai batas produksi tertentu. Cara ini akan mendorong pekerja bekerja secara profesional.

Page 150: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

134 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Sistem yang ada sebaiknya menjadi sistem pengenaan royalti pada pohon yang masih berdiri dan penentuan volume kayu yang harus dibayar perusahaan dilakukan oleh instansi kehutanan atau lembaga independen. Sianturi (1991) menyatakan bahwa penentuan sistem iuran yang sudah mengarah pada jenis kayunya masih perlu dipertegas lagi pembedaan jenisnya agar kemungkinan penyimpangan dalam pelaksanaan menjadi kecil. Dengan berlakunya inventarisasi penuh dalam penyusunan RKT maka penentuan royalti berupa DR dan IHH sebaiknya didasarkan jumlah pohon yang akan dipungut menurut RKT yang diajukan oleh para pemegang HPH. Penentuan royalti ini dirasa lebih adil karena pemegang HPH ikut membayar biaya sosial yang selama ini menjadi beban masyarakat dan pemerintah sebagai akibat adanya kerusakan hutan.

IV. KONTRIBUSI PEMANENAN HUTAN RAMAH LINGKUNGAN TERHADAP PRODUKSI KAYU YANG BERKELANJUTAN

Hadirin yang berbahagia

E siensi pemanenan kayu mempunyai kontribusi penting dalam mendukung pelaksanaan pemanenan kayu ramah lingkungan yang secara teknis memungkinkan, secara ekonomi menguntungkan, secara sosial dapat diterima, dan secara ekologi tidak menimbulkan gangguan yang berarti. Di samping itu, e siensi pemanenan kayu adalah salah satu tujuan penerapan teknologi ramah lingkungan.

Apabila menerapkan pemanenan yang ramah lingkungan seperti telah disebutkan di muka, berkontribusi meningkatkan e siensi pemanfaatan kayu dan mengurangi kerusakan tegakan tinggal. Untuk jangka pendek, pemanenan kayu yang e sien dapat meningkatkan pasokan bahan baku industri pengolahan kayu sedang untuk jangka panjang dapat menjamin potensi sumberdaya hutan yang berkelanjutan. Dengan demikian pemanenan hutan ramah lingkungan berkontribusi menjamin produksi kayu yang berkelanjutan.

Perbaikan dalam teknik penebangan dapat meningkatkan pemanfaatan kayu. Teknik penebangan ramah lingkungan dapat direkomendasikan untuk diterapkan karena nilai e siensi pemanenan yang dihasilkannya. Besaran peningkatan pemanfaatan kayu dan e siensi pemanenan sangat berarti dalam upaya meningkatkan produksi kayu yang berkelanjutan dan mengurangi tekanan terhadap hutan alam.

Penyaradan yang dilaksanakan dengan perencanaan dan pembuatan jalan sarad serta pemetaan kedudukan pohon dan pengawasan yang baik dapat mengurangi keterbukaan lahan dan porsi jalan sarad tidak produktif. Hal ini penting untuk menekan kerusakan hutan dan biaya pembuatan jalan sarad serta biaya operasi traktor sarad yang digunakan.

Dengan menerapkan teknik pemanenan ramah lingkungan diharapkan berkontribusi menekan biaya pemanenan kayu. Dalam jangka pendek pengurangan biaya pemanenan kurang berarti. Akan tetapi dalam jangka panjang, pemanenan ramah lingkungan ini dapat memberikan keuntungan yang relatif tinggi. Dengan kata lain, di satu sisi pihak perusahaan hutan dapat menekan biaya pemanenan dan meningkatkan pendapatan, sedang di sisi lain Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) meningkat dengan adanya peningkatan produksi kayu.

Page 151: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

135HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Hadirin yang berbahagia

Dari uraian yang telah saya sampaikan dapat ditarik kesimpulan bahwa e siensi pemanenan kayu rata-rata secara konvensional di hutan alam berkisar antara 82,10-95,50% sedang teknik ramah lingkungan sebesar 86,10-97,60%. Tingkat e siensi pemanenan kayu teknik ramah lingkungan yang terkait dengan kerusakan tegakan tinggal berkisar antara 80,90-92,95% sedang pada teknik konvensional berkisar antara 59,60-88,25%. Apabila menerapkan pemanenan ramah lingkungan di hutan alam berkontribusi meningkatkan produksi kayu sekitar 2,10-4,00% dengan rata-rata 3,05% yang setara dengan tambahan pemasukan DR dan PSDH sebesar Rp 41.632.500.000/tahun, dan berkontribusi mengurangi kerusakan tegakan tinggal sebesar 4,70-21,30%. E siensi pemanenan kayu rata-rata secara konvensional di hutan tanaman berkisar antara 69,10-93,90% sedang pada teknik ramah lingkungan sebesar 90,20-99,90%. Apabila menerapkan pemanenan ramah lingkungan di hutan tanaman berkontribusi meningkatkan produksi kayu sebesar 6,00-21,10% dengan rata-rata 16,06% yang setara dengan tambahan keuntungan bagi pihak perusahaan sebesar Rp 405.000.000.000/tahun.

B. Saran

Implementasi pemanenan ramah lingkungan berkontribusi meningkatkan produksi kayu dan mengurangi kerusakan tegakan tinggal, untuk itu melihat keuntungan yang akan diperoleh perusahaan terbuka peluang bagi perusahaan hutan untuk menerapkan teknik pemanenan hutan ramah lingkungan.

VI. PENUTUP

Hadirin yang saya hormati

Kesimpulan dan saran yang telah saya kemukakan dalam uraian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat menjadi bahan acuan bagi peneliti, penentu kebijakan dan pelaksana pemanenan kayu di lapangan.

Sebelum saya mengakhiri pidato ini, izinkan saya mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak/Ibu Anggota TP2I LIPI atas kepercayaan yang diberikan kepada saya untuk menduduki jabatan Peneliti Utama Golongan IV/e (Ahli Peneliti Utama).

2. Bapak Kepala Badan Litbang Kehutanan, Bapak Sekretaris Badan Litbang Kehutanan, Bapak Kepala Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan atas dorongan dan bantuan fasilitas serta kesempatan yang telah diberikan selama ini.

3. Rekan-rekan peneliti, khususnya peneliti di Kelti Keteknikan Kehutanan dan Pemanenan Hasil Hutan atas jalinan kerjasama yang baik selama ini.

Page 152: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

136 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

4. Bapak/Ibu undangan atas kesediaan meluangkan waktu dan meringankan langkah untuk hadir pada acara ini.

5. Guru-guru saya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah mengajar dan membimbing saya selama saya menempuh pendidikan.

6. Bapak H. Nuh Suganda (Alm) dan Ibu Hj. Siti Hamidah (Alm) yang telah mendidik dan membesarkan saya.

7. Suami saya Rahmat Sukardjo dan anak-anak saya Reza Rizaldi Rahmat dan Soraya Mutiara Rahmat yang tanpa lelah telah mendorong saya untuk menyelesaikan tugas-tugas dengan baik.

Hadirin yang saya muliakan

Demikian uraian singkat tentang Pemanenan Hutan Ramah Lingkungan Menjamin Produksi Kayu yang Berkelanjutan, saya sampaikan. Apabila ada kata-kata saya yang salah dan kurang berkenan, mohon dimaafkan, karena tak ada gading yang tak retak.

Akhirul kata, wabillahi tau k walhidayah. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Page 153: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

137HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1989. Studi identi kasi pemanfaatan limbah pembalakan di DAS Mahakam, Propinsi Kalimantan Timur. Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan dan Badan Litbang Kehutanan. Tidak diterbitkan.

_______. 1990. Himpunan peraturan perundangan di bidang pengusahaan hutan. Kegiatan Biaya pengukuran dan Pengujian Hasil Hutan. Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. Departemen Kehutanan. Jakarta.

_______. 1997. Penelitian faktor eksploitasi.(FE) PT. Putra Duta Indah Wood, Kabupaten Batanghari, Propinsi Dati I Jambi. Kerjasama Penelitian Pusat Litbang Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan dengan PT. Putra Duta Indah Wood. Tidak diterbitkan.

_______. 2012. Statistik Kehutanan Indonesia 2011. Kementerian Kehutanan. Jakarta, Juli 2012.

Dulsalam. 1993. E siensi penebangan kayu di kawasan hutan dengan sistem Tebang Pilih Indonesia. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 6(6):368-372. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.

________ dan D. Tinambunan. 2001. Teknik pemanenan hutan tanaman. Prosiding Diskusi Teknologi Pemanfaatan Kayu Budidaya untuk Mendukung Industri Perkayuan yang Berkelanjutan, tanggal 7 Nopember 2001 di Bogor. Hlm. 91-113. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

Elias. 1999. Reduced impact timber harvesting in the Indonesian Selective Cutting and Planting System. IPB Press. Bogor.

_______, G. Applegate, K. Kartawinata, Machfudh dan A. Klassen. 2001. Pedoman Reduced Impact Logging Indonesia. CIFOR. Bogor.

Fatah, A. 2000. Sistem pengelolaan hutan di Pulau Jawa sesuai visi dan misi Perum Perhutani. Prosiding Diskusi Nasional Pola Sinergi Ekonomi, Ekologi dan Sosial dalam Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Produksi Sebagai Kesatuan Ekosistem, tanggal 18 – 19 Agustus 1999 di Bogor. Hlm. 11 – 14. Kerjasama Perum Perhutani dengan Fahutan, IPB.

Grulois, S. 2000. Economic cost assessment of reduced impact logging in Bulungan research (East Kalimantan). CIFOR. Final Report. Unpublished.

Idris, M.M., dan S. Suhartana. 1995. Produktivitas dan e siensi pemanenan kayu dengan teknik penebangan serendah mungkin di hutan produksi alam: studi kasus di tiga perusahaan hutan di Kalimantan Tengah. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 13(3):94-100. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

______. 1996. Limbah kayu akibat pembuatan jalan hutan dan tebang bayang pada enam HPH di Kalimantan Timur. Buletin Penelitian Hasil Hutan 14(1):7-15. Pusat Litbang Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.

Page 154: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

138 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Keputusan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan No. SK.6/VI-BUHA/2012 tentang Penetapan Rencana Produksi Hasil Hutan Kayu Nasional tahun 2012 yang berasal dari Pemanfaatan Hutan Produksi Alam yang dibebani Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam (IUPHHK-HA) di setiap propinsi Tanggal 15 Pebruari 2012.

Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 35/Kpts/DD/1972 tentang Pedoman Tebang Pilih Indonesia, Tebang Habis dengan Penanaman, Tebang Habis dengan Permudaan Alam dan Pedoman-Pedoman Pengawasannya Tanggal 13 Maret 1972.

Keputusan Menteri Kehutanan No. 485/Kpts/I/1989 tentang Sistem Silvikultur Pengelolaan Hutan Alam Produksi di Indonesia Tanggal 18 September 1989.

Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 564/Kpts/IV-BPHH/1989 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia Tanggal 30 Nopember 1989.

Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 151/Kpts/IV-BPHH/1993 tentang Petunjuk Teknis Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) pada Hutan Alam Daratan Tanggal 13 Oktober 1993.

Laban, B.Y. 2004. Kebijakan restrukturisasi industri kehutanan berbasis pengelolaan hutan lestari. Prosiding Ekspose Hasil Hasil Litbang Hasil Hutan dalam Mendukung Program Restrukturisasi Industri Kehutanan, tanggal 16 Desember 2003 di Bogor. Hlm. 7-18. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2004 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 66.

Sianturi, A. 1991. Tebang pilih, royalti dan kerusakan tegakan sisa. Sylva Tropika 6(1):1-3. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta.

Simarmata, S.R. dan S. Sastrodimedjo. 1980. Limbah eksploitasi pada beberapa perusahaan hutan di Indonesia. Bagian II. Laporan Penelitian No. 159: 1-4. Lembaga Hasil Hutan. Bogor.

______. dan Dulsalam. 1985a. Faktor eksploitasi jenis meranti di Jambi, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 2(1):10-12. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.

______. 1985b. Limbah eksploitasi pada beberapa perusahaan pengusahaan hutan di Kalimantan dan Sumatera. Lembaran Penelitian No. 20. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.

Staaf, K.A.G. & N.A. Wiksten. 1984. Tree HarvestingTechniques.Martinus Nijhoff/Dr.W.Junk Publisher. Dardrecht/Boston/Lancester.

Suhartana, S. 1994. Penetapan besarnya limbah penebangan serta upaya penekanannya. Jurnal Litbang Kehutanan 9(3):25-31. Badan Litbang Kehutanan. Bogor.

_______ dan Dulsalam. 1996. Penebangan serendah mungkin untuk meningkatkan produksi kayu: studi kasus di dua perusahaan hutan di Kalimantan Timur. Buletin Penelitian

Page 155: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

139HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Hasil Hutan 14(9):374-381. Pusat Litbang Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.

_______dan Dulsalam .2000. Pemanenan berwawasan lingkungan untuk minimasi kerusakan hutan. Buletin Penelitian Hasil Hutan 18(2):87-103. Pusat Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

_______. 2001. Pengaruh penebangan terkendali dan konvensional terhadap kerusakan tegakan tinggal dan produktivitas kerja. Buletin Penelitian Hasil Hutan 19(4):219-230. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

______. 2002. Dampak pembalakan berwawasan lingkungan (PBL) Terhadap kerusakan tegakan tinggal dan biaya penyaradan di hutan produksi alam. Buletin Penelitian Hasil Hutan 20(4):285-301. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

______ dan Rahmat. 2004. Pengaruh penebangan serendah mungkin terhadap produktivitas dan e siensi pemanfaatan kayu sengon di satu perusahaan hutan tanaman di Propinsi Jambi. Jurnal Rimba Kalimantan 9(1):16-20, Juni 2004. Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman. Samarinda.

_______ dan Krisdianto. 2005. Minimizing residual stand damage and felling cost using lowest possible felling technique. Journal of Forestry Research 2(1):1-12, March 2005. Forestry Research and Development Agency. Jakarta.

______ dan Yuniawati. 2005. Meningkatkan produksi kayu Pinus melalui penebangan serendah mungkin: Studi kasus di KPH Sumedang, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Info Hasil Hutan 11(2):87-96, Oktober 2005. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.

______., Yuniawati dan D. Tinambunan. 2005. Peningkatan pemanfaatan kayu rasamala dengan perbaikan teknik penebangan dan sikap tubuh penebang: Studi kasus di KPH Cianjur, Perhutani Unit III Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 23(5):349-361, Oktober 2005. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.

______. dan Yuniawati. 2009. Peningkatan e siensi pemanfaatan kayu gmelina melalui penerapan teknik penebangan dan sikap tubuh pada dua kelerengan di PT. Purwa Permai, Kalimantan Tengah. Jurnal Hutan Tropis Borneo 25:1-13. Fakultas Kehutanan. Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru.

________. 2010. Peningkatan produktivitas dan kenyamanan kerja melalui teknik pemanenan kayu tepat guna di hutan tanaman tanah kering. Laporan Akhir. Program Insentif Riset Terapan. Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor.

Suhartana, S dan Yuniawati. 2010. Studi komparasi aplikasi penebangan ramah lingkungan di Riau dan Jambi. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 28(2):119-129. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.

_______, Yuniawati, dan Rahmat. 2011. Peningkatan produktivitas dan e siensi pemanfaatan kayu jati (Tectona grandis Linn.f) melalui penerapan teknik penebangan tepat guna: kasus di KPH Cianjur, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Buletin Puslitbang Perhutani 14(2):1017-1024. Pusat Litbang Perum Perhutani. Cepu.

Page 156: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

140 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

_______, Yuniawati, dan Rahmat. 2012. Increasing timber utilization ef ciency and productivity through proper tree felling technique in Jambi, Indonesia. Sepilok Bulletin 15&16:27-35. Sabah Forestry Department, Sandakan, Sabah, Malaysia.

Suryodibroto, W. 2000. Menuju pola sinergi ekonomi, ekologi dan sosial dalam pemanfaatan sumberdaya hutan produksi sebagai kesatuan ekosistem. Prosiding Diskusi Nasional Pola Sinergi Ekonomi, Ekologi dan Sosial dalam Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Produksi Sebagai Kesatuan Ekosistem, tanggal 18 – 19 Agustus 1999 di Bogor. Hlm. 29 - 48. Kerjasama Perum Perhutani dengan Fahutan, IPB.

Tinambunan, D. 2008. Teknologi tepat guna dalam pemanenan hutan di Indonesia: Perkembangan, keunggulan, kelemahan dan kebijakan yang diperlukan untuk optimasi pemanfaatannya. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan 5(2):59-76, Agustus 2008. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Bogor.

DAFTAR PUBLIKASI ILMIAH

1. Idris, M.M. dan S. Suhartana. 1987. Pengaruh frekuensi makan terhadap jam kerja penebang jati di KPH Jombang. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 4(3):17-20. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.

2. Idris, M.M. dan S. Suhartana. 1988. Kondisi ruangan kerja pada tiga pabrik kayu lapis di Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 5(5): 269-274. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.

3. Suhartana, S dan M.M. Idris. 1990. Antropometrik penebang jati di BKPH Bandungsari, KPH Purwodadi, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 7(1):28-33. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.

4. Suhartana,S. 1990. Produktivitas kerja dalam kilang penggergajian kayu ramin (Gonystylus bancanus Kurz.) di Kalimantan Tengah. Jurnal Litbang Kehutanan 6(2):25-29. Badan Litbang Kehutanan. Bogor.

5. Thaib, J. dan S. Suhartana. 1991. Keadaan jalan sarad dan pohon ditebang pada tegakan tinggal di kawasan sebuah perusahaan hutan Riau. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 9(4):144-149. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.

6. Suhartana, S. 1992. Optimasi penggunaan bahan baku dan penganekaragaman produk di salah satu kilang kayu lapis di Sumatera Selatan. Jurnal Litbang Kehutanan 8(1):24-31. Badan Litbang Kehutanan. Bogor.

7. Suhartana, S. 1993. Kajian keberadaan tegakan tinggal dan keterbukaan lahan pada kegiatan penebangan dan penyaradan di suatu perusahaan hutan di Kalimantan Tengah. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 11(3):117-121. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.

8. Suhartana, S. 1993. Pengaruh pemanenan hasil hutan terhadap tingkat kerusakan tegakan tinggal pada dua HPH di Kalimantan Barat. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 11(4):153-156. Pusat Litbang Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.

Page 157: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

141HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

9. Suhartana,S. dan Dulsalam. 1994. Peranan penebangan dan penyaradan terhadap keberadaan tegakan tinggal di suatu perusahaan hutan di Riau. Jurnal Litbang Kehutanan 9(2):68-72. Badan Litbang Kehutanan. Bogor.

10. Suhartana, S. 1994. Penetapan besarnya limbah penebangan serta upaya penekanannya. Jurnal Litbang Kehutanan 9(3):25-31. Badan Litbang Kehutanan. Bogor.

11. Suhartana,S. dan Dulsalam. 1994. Kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan penebangan dan penyaradan: Kasus di satu perusahaan hutan di Riau. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 12(1):25-29. Pusat Litbang Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.

12. Suhartana, S. Dan M.M. Idris. 1995. Pengaruh pembuangan banir dalam penebangan pohon terhadap e siensi pemungutan kayu: studi kasus di suatu perusahaan hutan di Kalimantan Barat. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 13(1):19-26. Pusat Litbang Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.

13. Idris, M.M. dan S. Suhartana. 1995. Produktivitas dan e siensi pemanenan kayu dengan teknik penebangan pohon serendah mungkin di hutan produksi alam: Studi kasus di tiga perusahaan hutan di Kalimantan Tengah. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 13(3):94-100. Pusat Litbang Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.

14. Idris, M.M. dan S. Suhartana. 1995. Faktor konversi produksi dolok pinus dari hutan alam: studi kasus di satu perusahaan hutan di Aceh. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 13(4):162-166. Pusat Litbang Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.

15. Idris, M.M. dan S. Suhartana. 1996. Limbah kayu akibat pembuatan jalan hutan dan tebang bayang pada enam HPH di Kalimantan Timur. Buletin Penelitian Hasil Hutan 14(1):7-15. Pusat Litbang Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.

16. Suhartana, S. 1996. Dampak penyaradan terhadap terjadinya keterbukaan lahan di kawasan dua perusahaan hutan di Riau . Buletin Penelitian Hasil Hutan 14(2):52-59. Pusat Litbang Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.

17. Suhartana, S. 1996. Produktivitas penyaradan kayu dengan traktor caterpillar D7F : kasus di suatu perusahaan hutan di Riau. Info Hasil Hutan 4(1):15-21. Pusat Litbang Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.

18. Suhartana, S. dan M.M. Idris. 1996. Kondisi tegakan tinggal di kawasan dua perusahaan hutan di Riau. Buletin Penelitian Hasil Hutan 14(4):129-137. Pusat Litbang Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.

19. Suhartana, S. dan Dulsalam. 1996. Penebangan serendah mungkin untuk meningkatkan produksi kayu: studi kasus di dua perusahaan hutan di Kalimantan Timur. Buletin Penelitian Hasil Hutan 14(9):374-381. Pusat Litbang Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.

20. Suhartana, S. 1996. Minimasi keterbukaan lahan melalui penyaradan yang direncanakan:kasus di dua perusahaan hutan di Kalimantan Timur. Buletin Penelitian Hasil Hutan 14(10):444-453. Pusat Litbang Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.

Page 158: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

142 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

21. Suhartana, S. 1997. Penyaradan yangg direncanakan untuk minimasi keruasakan tegakan tinggal:kasus di dua perusahaan hutan di Kalimantan Timur. Buletin Penelitian Hasil Hutan 15(1):60-67. Pusat Litbang Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.

22. Idris, M.M. dan S. Suhartana. 1997. Pembalakan ramah lingkungan untuk minimasi kerusakan tegakan tinggal: kasus di dua perusahaan hutan di Kalimantan Timur. Buletin Penelitian Hasil Hutan 15(3):212-222. Pusat Litbang Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.

23. Idris, M.M. dan S. Suhartana. 1997. Dilema penetapan sistem eksploitasi yang sesuai di hutan rawa. Prosiding Diskusi Nasional Pengelolaan Hutan Rawa dan Ekspose Hasil Hasil Penelitian Kehutanan di Sumatera, tanggal 18-19 September 1997 di Medan. Hlm.89-99.Balai Litbang Kehutanan Pematang Siantar. Aek Nauli.

24. Suhartana, S. dan M.M. Idris. 1998. Penyaradan terkontrol untuk minimasi kerusakan hutan: kasus di dua perusahaan hutan di Kalimantan Tengah. Buletin Penelitian Hasil Hutan 16(2):69-78. Pusat Litbang Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.

25. Dulsalam,. S. Suhartana dan M.M. Idris. 1999. Kemungkinan pengeluaran kayu dengan sistem kanal di hutan rawa:Kasus di satu perusahaan hutan di Riau . Buletin Penelitian Hasil Hutan 16(5):254-266. Pusat Litbang Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.

26. Suhartana, S., Dulsalam. dan M.M. Idris. 2000. Penyaradan terkendali untuk minimasi penggeseran lapisan tanah atas dan keterbukaan lahan:Kasus di satu perusahaan hutan di Kalimantan Tengah. Buletin Penelitian Hasil Hutan 17(4):209-219. Pusat Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

27. Suhartana, S., Dulsalam. dan M.M. Idris. 2000. Perbandingan penyaradan kayu dengan sistem manual dan eksavator di hutan rawa. Bagian II: Pengaruh sistem terhadap kerusakan tegakan tinggal dan keterbukaan lahan. Buletin Penelitian Hasil Hutan 17(4):231-241. Pusat Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

28. Suhartana, S. 2000. Perbandingan penyaradan kayu dengan sistem manual dan eksavator di hutan rawa. Bagian I: Produktivitas kerja. Info Hasil Hutan 6(1):31-37. Pusat Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

29. Suhartana, S. dan Dulsalam. 2000. Pemanenan berwawasan lingkungan untuk minimasi kerusakan hutan. Buletin Penelitian Hasil Hutan 18(2):87-103. Pusat Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

30. Suhartana, S. 2000. Pengaruh pemanenan kayu terhadap pemanasan global. Sylva Tropika No. 25: 11-14. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta.

31. Suhartana, S. 2000. Perbandingan produktivitas kerja antara penyaradan kayu dengan sistem konvensional dan sistem terkendali di HPH Kalimantan Tengah. Info Hasil Hutan 7(2):41-47. Pusat Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

32. Suhartana, S. dan I. Sumantri. 2000. Kajian e siensi penebangan kayu di hutan alam. Prosiding Lokakarya Penelitian Hasil Hutan, tanggal 7 Desember 2000 di Bogor. Hlm. 137-144. Pusat Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

Page 159: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

143HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

33. Dulsalam dan S. Suhartana. 2000. Kajian e siensi penebangan kayu di hutan tanaman. Prosiding Lokakarya Penelitian Hasil Hutan, tanggal 7 Desember 2000 di Bogor. Hlm. 145-152. Pusat Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

34. Suhartana, S. 2000. Penyaradan kayu di hutan rawa. Prosiding Seminar Pengelolaan hutan rawa gambut dan ekspose hasil penelitian di hutan lahan basah, tanggal 9 Maret 2000 di Banjarmasin. Hlm.171-179. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.

35. Suhartana, S. dan Dulsalam. 2001. Kerusakan tegakan tinggal dan produktivitas kerja pada tebang penjarangan secara selektif:Kasus di satu perusahaan HTI di Sumatera Selatan. Buletin Penelitian Hasil Hutan 19(1):9-17. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

36. Suhartana, S. 2001. Teknik penebangan terkendali untuk minimasi kerusakan tegakan tinggal. Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Standardisasi dan Jaminan Mutu, tanggal 28 Agustus 2001 di Jakarta. Hlm. 73-84. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.

37. Suhartana, S. 2001. Pengeluaran kayu di hutan rawa dengan sistem kuda-kuda dan eksavator. Sylva Tropika No. 3: 13-16, Nopember 2001. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta.

38. Suhartana, S. 2001. Pengaruh penebangan terkendali dan konvensional terhadap kerusakan tegakan tinggal dan produktivitas kerja. Buletin Penelitian Hasil Hutan 19(4):219-230. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

39. Basari, Z, S. Suhartana, W.Endom, Dulsalam, dan Y. Sugilar. 2002. Kajian produktivitas alat muat kayu KPH2 di BKPH Gunung Halu, KPH Bandung Selatan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Buletin Penelitian Hasil Hutan 20(2):165-176. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

40. Suhartana, S. 2002. Dampak pembalakan berwawasan lingkungan (PBL) terhadap kerusakan tegakan tinggal dan biaya penyaradan di hutan produksi alam. Buletin Penelitian Hasil Hutan 20(4):285-301. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

41. Suhartana, S. 2002. Pemanenan berwawasan lingkungan (PBL) berbasis luasan petak tebang untuk mengurangi kerusakan tegakan tinggal di salah satu perusahaan hutan di Riau. Jurnal Standardisasi 4(3):47-54, November 2002. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.

42. Suhartana, S. 2002. Produktivitas dan biaya penebangan dan penyaradan di satu perusahaan HTI di Jambi. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Teknologi Hasil Hutan, tanggal 19 Desember 2002 di Bogor. Hlm.53-60. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

43. Suhartana, S. dan I. Sumantri. 2003. Partisipasi perusahaan hutan untuk kesejahteraan masyarakat melalui kegiatan pemanenan hutan:Studi kasus di HPHTI PT. Wirakarya Sakti, Jambi. Info Hasil Hutan 10(1):17-27. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

44. Suhartana, S., M.Sinaga. dan A. Hidayat. 2003. Pengaruh pemanenan berwawasan lingkungan terhadap keterbukaan lahan, penggeseran lapisan tanah atas dan produktivitas penyaradan. Info Hasil Hutan 10(1):43-56. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

Page 160: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

144 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

45. Suhartana, S. 2003. Penyaradan terkendali untuk minimasi kerusakan hutan dan biaya di hutan alam. Prosiding Seminar Nasional 5 MAPEKI, tanggal 30 Agustus-1 September 2002 di Bogor. Hlm. 756-762. Kerjasama antara Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan dengan MAPEKI. Bogor.

46. Suhartana, S. 2003. Peran perusahaan hutan untuk kesejahteraan masyarakat melalui kegiatan pemanenan hutan:Kasus di salah satu perusahaan HTI di Jambi. Prosiding Seminar Nasional 6 MAPEKI, tanggal 1-3 Agustus 2003 di Bukittinggi. Hlm. 418-429. Kerjasama Fakultas Kehutanan Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat dengan MAPEKI. Bukittinggi.

47. Suhartana, S., W. Endom dan Dulsalam. 2004. Peran keteknikan hutan dalam pembangunan dan pemanenan hutan tanaman. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Litbang Hasil Hutan dalam mendukung program restrukturisasi industri kehutanan, tanggal 16 Desember 2003 di Bogor. Hlm. 117-127. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

48. Suhartana, S. dan I. Sumantri. 2004. Penebangan serendah mungkin untuk meingkatkan produktivitas dan e siensi pemanfaatan kayu di HTI Riau. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Litbang Hasil Hutan dalam mendukung program restrukturisasi industri kehutanan, tanggal 16 Desember 2003 di Bogor. Hlm. 145-151. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

49. Suhartana, S. dan Rahmat. 2004. Pengaruh penebangan serendah mungkin terhadap produktivitas dan e siensi pemanfaatan kayu sengon di satu perusahaan hutan tanaman di Propinsi Jambi. Jurnal Rimba Kalimantan 9(1):16-20, Juni 2004. Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman. Samarinda.

50. Suhartana, S., M. Sinaga dan I. Sumantri. 2004. Peningkatan produktivitas dan e siensi penebangan kayu mangium di satu perusahaan hutan tanaman di Propinsi Jambi. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 22(3):175-182, Oktober 2004. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

51. Suhartana, S. 2004. Penerapan teknik penebangan serendah mungkin utk meningkatkan produktivitas dan e siensi penebangan kayu di HTI Riau. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI 7, tanggal 5-6 Agustus 2004 di Makassar. Hlm. D6-D14. Kerjasama antara MAPEKI, Balitbang Kehutanan Sulawesi, Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Hasanudin. Makasar.

52. Suhartana, S. 2004. The effects of controlled skidding technique on residual stand damage and ground exposure in swamp forest logging. Journal of Forestry Research 1(1):1-6, November 2004. Forestry Research and Development Agency. Jakarta. Indonesia.

53. Suhartana, S. & Krisdianto. 2005. Minimizing residual stand damage and felling cost using lowest possible felling technique. Journal of Forestry Research 2(1):1-12, March 2005. Forestry Research and Development Agency. Jakarta.

54. Suhartana, S. dan D. Tinambunan. 2005. Peningkatan produktivitas dan e siensi pemanfaatan kayu melalui penebangan serendah mungkin dengan timber harvester di

Page 161: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

145HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

satu HTI Riau. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Litbang Hasil Hutan, tanggal 14 Desember 2004 di Bogor. Hlm.95-103, Agustus 2005. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.

55. Yuniawati dan S. Suhartana. 2005. Wajah industri perkayuan Indonesia. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI 8, tanggal 3-5 September 2005 di Tenggarong. Hlm. D.142-D148. Kerjasama MAPEKI, Pemda Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur, Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman. Tenggarong.

56. Suhartana, S. dan Yuniawati. 2005. Meningkatkan produksi kayu Pinus melalui penebangan serendah mungkin: Studi kasus di KPH Sumedang, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Info Hasil Hutan 11(2):87-96, Oktober 2005. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.

57. Suhartana, S., Yuniawati dan D. Tinambunan. 2005. Peningkatan pemanfaatan kayu rasamala dengan perbaikan teknik penebangan dan sikap tubuh penebang: Studi kasus di KPH Cianjur, Perhutani Unit III Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 23(5):349-361, Oktober 2005. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.

58. Suhartana, S. dan Yuniawati. 2005. Ef siensi penggunaan forwarder timber jack 610 pada kegiatan penyaradan: Studi kasus di satu perusahaan hutan di Kalimantan Timur. Wana Mukti 4(1):65-72, Oktober 2005. Fakultas Kehutanan, Universitas Winaya Mukti. Jatinangor.

59. Suhartana, S. dan Yuniawati. 2006. E siensi penggunaan chainsaw pada kegiatan penebangan: Studi kasus di PT. Surya Hutani Jaya, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 24(1):63-76, Februari 2006. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.

60. Suhartana, S. & Yuniawati. 2006. Two felling techniques and feler postures for increasing the utilization of gmelina wod (A case study at two timber estates in East Kalimantan). Journal of Forestry Research 3(1):31-40, March 2006. Forestry Research and Development Agency. Jakarta.

61. Yuniawati dan S. Suhartana. 2006. Produktivitas dan biaya muat bongkar kayu bulat dengan menggunakan alat mekanis. Info Hasil Hutan 12(1):25-32, April 2006. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.

62. Suhartana, S., Dulsalam & Y. Ludang. 2006. Implementing lowest possible felling technique at swamp forest: impact on residual stand damage and felling cost. Tropical Peatlands 6(6):15-21, July 2006. The University of Palangkaraya, Indonesia – Centre for International Co-operation in Sustainable Management of Tropical Peatlands (CIMTROP). Palangkaraya, Indonesia.

63. Suhartana, S. & Yuniawati. 2006. Lowest possible felling technique for increasing utilization of Renghas (Gluta renghas L.) wood at a peat swamp forest: A case study at a forest company in Jambi, Indonesia. Journal of Forestry Research 3(2):105-113, July 2006. Forestry Research and Development Agency. Jakarta, Indonesia.

64. Suhartana, S., Dulsalam dan D. Tinambunan. 2006. Peningkatan produksi hasil hutan melalui implementasi pemanenan hutan berwawasan lingkungan. Prosiding Seminar

Page 162: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

146 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Hasil Litbang Hasil Hutan 2005, tanggal 30 Nopember 2005 di Bogor. Hlm. 65-77, Agustus 2006. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.

65. Yuniawati dan S. Suhartana. 2006. Kecelakaan kerja akibat kegiatan penebangan. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI 9, tanggal 11-13 Agustus 2006 di Banjarbaru. Hlm. 567-572. Kerjasama MAPEKI dan Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru.

66. Suhartana, S. dan Yuniawati. 2006. Kebutuhan jumlah alat muat bongkar yang e sien: studi kasus di satu perusahaan hutan di Kalimantan Timur. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI 9, tanggal 11-13 Agustus 2006 di Banjarbaru. Hlm. 589-599. Kerjasama MAPEKI dan Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru.

67. Suhartana, S. dan Yuniawati. 2006. Pengaruh teknik penebangan, sikap tubuh penebang dan kelerengan terhadap e siensi pemanfaatan kayu Mangium. Peronema Forestry Science Journal 2(2):37-44. Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Medan.

68. Yuniawati dan S. Suhartana. 2006. Kajian penyaradan kayu dengan traktor Caterpillar. Info Hasil Hutan 12(2):123-131, Oktober 2006. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.

69. Suhartana, S. dan Yuniawati. 2006. Pengaruh teknik penebangan dan sikap tubuh penebang terhadap peningkatan pemanfaatan kayu Gmelina arborea: Studi kasus di HPHTI PT. Surya Hutani Jaya Kalimantan Timur. Rimba Kalimantan 11(2):99-104, Desember 2006. Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman. Samarinda.

70. Suhartana, S dan Yuniawati. 2007. Penggunaan alat pemanenan kayu yang e sien:Studi kasus di satu perusahaan hutan di Kalimantan Timur. Jurnal Wahana Foresta 1(2):1-12, Januari 2007. Fakultas Kehutanan, Universitas Lancang Kuning. Pekanbaru.

71. Sukanda, Yuniawati & S. Suhartana. 2007. Monitoring a condition of recovery of residual stand and logged over area after 5 years RIL implementation: A case study at a forest company in Central Kalimantan. Journal of Forestry Research 4(1):45-51, March 2007. Ministry of Forestry, Forestry Research and Development Agency. Jakarta.

72. Suhartana, S. & Yuniawati. 2007. An evaluation of the optimal number of chainsaw required for felling in a peat swamp forest. Sepilok Bulletin 6:51-60, June 2007. Forest Research Centre, Sabah Forestry Department, Sandakan, Sabah, Malaysia.

73. Suhartana, S., Yuniawati dan Rahmat. 2007. Penggunaan jumlah chainsaw yang tepat dan e sien pada penebangan: studi kasus di satu perusahaan hutan di Kalimantan Timur. Rimba Kalimantan 12(1): 62-66, Juni 2007. Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman. Samarinda.

74. Jaya,A., U.J.Siregar, H.Daryono dan S. Suhartana. 2007. Biomasa hutan rawa gambut tropika pada berbagai kondisi penutupan lahan. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 4(4):341-352. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.

75. Suhartana, S., Yuniawati dan Rahmat. 2007. Teknik pemanenan kayu di hutan rakyat. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI 10, tanggal 9-11 Agustus 2007 di Pontianak. Hlm.

Page 163: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

147HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

722-729. Kerjasama MAPEKI dan Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura. Pontianak.

76. Yuniawati dan S. Suhartana. 2007. Kesehatan dan keselamatan kerja (K3) pada kegiatan penyaradan. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI 10, tanggal 9-11 Agustus 2007 di Pontianak. Hlm. 730-736. Kerjasama MAPEKI dan Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura. Pontianak.

77. Yuniawati dan S. Suhartana. 2007. Pemanenan kayu ramah lingkungan di hutan tanaman industri. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI 10, tanggal 9-11 Agustus 2007 di Pontianak. Hlm. 737-745. Kerjasama MAPEKI dan Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura. Pontianak.

78. Suhartana, S. dan Yuniawati. 2008. E siensi pemanfatan kayu mangium pada berbagai teknik penebangan, sikap tubuh dan kelerengan lapangan: Studi kasus di satu perusahaan hutan di Kalimantan Selatan. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 26(1):41-56. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.

79. Yuniawati dan S. Suhartana. 2008. Dampak pemanenan kayu terhadap kondisi kandungan karbon di hutan lahan kering. Buletin Hasil Hutan 14(1):17-22. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.

80. Suhartana, S., M.M. Idris dan Yuniawati. 2008. Evaluasi kesesuaian kebutuhan jumlah chainsaw pada penebangan kayu mangium. Buletin Hasil Hutan 14(1):23-32. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.

81. Suhartana, S dan Yuniawati. 2008. Penggunaan peralatan pemanenan kayu yang e sien pada perusahaan hutan tanaman di Kalimantan Selatan. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 26(3):243-252. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.

82. Suhartana, S dan Yuniawati. 2008. Produktivitas pengangkutan kayu dengan truk dan tugboat di hutan rawa gambut: Kasus di satu perusahaan hutan di Jambi. Jurnal Hutan Tropis Borneo (24):125-132. Fakultas Kehutanan, Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru.

83. Suhartana, S dan Yuniawati. 2008. Kesesuaian kebutuhan tenaga kerja pemanenan kayu: Kasus di satu perusahaan hutan di Kalimantan Timur. Buletin Hasil Hutan 14(2):63-67. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.

84. Suhartana, S & Yuniawati. 2008. Analysis of using ef cient logging tools at PT. Purwa Permai in Central Kalimantan. Journal of Forestry Research 5(1):53-64. FORDA. Jakarta.

85. Yuniawati dan S. Suhartana. 2008. Pemanenan kayu dan keseimbangan unsur hara tanah. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI 11, tanggal 8-10 Agustus 2008 di Palangkaraya. Hlm. 957-965. Kerjasama MAPEKI dan Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Pertanian Universitas Palangkaraya. Palangkaraya

86. Suhartana, S dan Yuniawati . 2008. Pemanenan kayu di hutan rawa gambut. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI 11, tanggal 8-10 Agustus 2008 di Palangkaraya. Hlm. 966-972. Kerjasama MAPEKI dan Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Pertanian Universitas Palangkaraya. Palangkaraya

Page 164: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

148 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

87. Suhartana, S dan Yuniawati. 2009. Peningkatan e siensi pemanfaatan kayu gmelina melalui penerapan teknik penebangan dan sikap tubuh pada dua kelerengan di PT. Purwa Permai, Kalimantan Tengah . Jurnal Hutan Tropis Borneo 25:1-13. Fakultas Kehutanan. Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru.

88. Suhartana, S dan Yuniawati. 2009. Produktivitas penebangan, e siensi pemanfaatan dan biaya penebangan Acacia crassicarpa A. Cunn.ex Benth di hutan tanaman rawa gambut: Kasus di satu perusahaan hutan di Jambi. Buletin Hasil Hutan 15(1): 31-37. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.

89. Suhartana, S., Yuniawati dan Sukanda. 2009. Pengangkutan kayu melalui kanal di hutan rawa gambut: Kasus di satu perusahaan hutan di Riau. Jurnal Wahana Foresta 2(2):34-41. Fakultas Kehutanan. Uiversitas Lancang Kuning. Pekanbaru.

90. Suhartana, S., Yuniawati dan Rahmat. 2009. E siensi kebutuhan peralatan pemanenan di HTI, di Kalimantan Barat. Jurnal Hutan Tropis Borneo 26:119-127. Fakultas Kehutanan. Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru.

91. Suhartana,S., Yuniawati & Rahmat. 2009. Comparison between reduced impact logging and conventional logging in peat swamp forest in Indonesia. Sepilok Bulletin 10:35-43. Sabah Forestry Department, Sandakan. Sabah. Malaysia.

92. Suhartana, S., Sukanda dan Yuniawati.2009. Produktivitas dan biaya penyaradan kayu di hutan tanaman rawa gambut: Studi kasus di salah satu perusahaan hutan di Riau. Jurnal Hasil Hutan 27(4):369-380. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor

93. Yuniawati, S. Suhartana & Rahmat. 2010. Pemanasan global akibat pemanenan kayu. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI 12, tanggal 23-25 Juli 2009 di Bandung. Hlm. 1049-1054. MAPEKI. Bogor.

94. Suhartana, S. & Yuniawati. 2010. The effect of logging on peat land conditions: A case study at a peat swamp forest company in Riau. Proceedings The rst International Symposium of Indonesian Wood Research Society, date 2nd-3rd November 2009 in Bogor. Pp. 300-306. Indonesian Wood Research Society. Bogor.

95. Suhartana, S., Yuniawati & Rahmat. 2010. Log skidding by mechanized peat-boat system in a peat swamp forest in Indonesia: A study on productivity and cost. Sepilok Bulletin 12:47-55. Sabah Forestry Department, Sandakan, Sabah. Malaysia.

96. Yuniawati dan S. Suhartana. 2010. Dampak pemanenan kayu terhadap peningkatan emisi GRK di hutan rawa gambut. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI 12, tanggal 23-25 Juli 2009 di Bandung. Hlm. 1055-1061. MAPEKI. Bogor.

97. Suhartana, S., Yuniawati dan Sukanda. 2010. Produktivitas dan biaya pembuatan kanal di satu perusahaan hutan tanaman rawa gambut di Riau. Buletin Hasil Hutan 16(2):131-139. Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor.

98. Suhartana, S dan Yuniawati. 2010. Studi komparasi aplikasi penebangan ramah lingkungan di Riau dan Jambi. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 28(2):119-129. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.

Page 165: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

149HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

99. Suhartana, S. , Yuniawati dan Rahmat. 2010. Produktivitas dan biaya muat-bongkar dan pengangkutan: Kasus di satu perusahaan hutan di Jambi. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI 13, tanggal 10-11 Nopember 2010 di Sanur, Bali. Hlm.856-862. MAPEKI. Bogor.

100. Suhartana, S. , Yuniawati dan Rahmat. 2011. Produktivitas dan biaya muat-bongkar dan pengangkutan kayu Jati di KPH Cianjur. Jurnal Wahana Foresta 4(1):37-44. Fakultas Kehutanan, Universitas Lancang Kuning. Pekanbaru.

101. Suhartana, S dan Yuniawati. 2011. Tingkat pemahaman keselamatan dan kesehatan kerja pada kegiatan pemanenan kayu Jati di KPH Cianjur. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 29(1):46-56. Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor.

102. Suhartana, S., M.M. Idris dan Yuniawati. 2011. Penyaradan kayu sesuai standar prosedur operasional untuk meningkatkan produktivitas dan meminimalkan biaya produksi dan penggeseran lapisan tanah atas: kasus di satu perusahaan hutan di Jambi. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 29(3):248-258. Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor.

103. Suhartana, S., Yuniawati dan Rahmat. 2011. Peningkatan produktivitas dan e siensi pemanfaatan kayu jati (Tectona grandis Linn.f) melalui penerapan teknik penebangan tepat guna: kasus di KPH Cianjur, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Buletin Puslitbang Perhutani 14(2):1017-1024. Puslitbang Perum Perhutani. Cepu.

104. Suhartana, S dan Yuniawati. 2011. Peningkatan produktivitas pemanenan kayu melalui teknik pemanenan kayu ramah lingkungan: Kasus di satu perusahaan hutan rawa gambut di Kalimantan Barat. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 29 (4):369-384. Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor.

105. Suhartana, S., Yuniawati dan Rahmat. 2012. Peningkatan produktivitas, penurunan biaya dan penggeseran lapisan tanah atas melalui penerapan teknik penyaradan terkontrol: Kasus di KPH Cianjur. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI 14, tanggal 2 Nopember 2011 di University Club Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Hlm. 742-746. MAPEKI. Bogor.

106. Suhartana, S., Yuniawati & Han Roliadi. 2012. The effect of logging at peat swamp forest on subsidence, CO2 and CH4 emissions, and peat-water uctuation: Case study at a peat-swamp forest area in West Kalimantan. Proceedings of 3rd International Workshop on Wild Fire and Carbon Management in Peat-Forest in Indonesia, date 22-24 September 2011 in Palangkaraya. Pp. 231-238. Center for Sustainability Science, Hokkaido University, Sapporo University and University of Palangka Raya.

107. Idris, M.M., Sukanda dan S. Suhartana. 2012. Pengelolaan dan pemanenan kayu hutan rakyat di Kabupaten Ciamis. Buletin Puslitbang Perhutani 15:33-45. Puslitbang Perum Perhutani. Cepu.

108. Suhartana, S., Sukanda dan Yuniawati. 2012. Kajian luas petak tebang optimal di hutan tanaman rawa gambut: kasus di satu perusahaan hutan di Riau. Jurnal Penelitian Hasil

Page 166: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

150 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Hutan 30(2):114-123. Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor.

109. Suhartana, S., Yuniawati & Rahmat. 2012. Increasing timber utilization ef ciency and productivity through proper tree felling technique in Jambi, Indonesia. Sepilok Bulletin 15 & 16:27-35. Forest Research Centre, Sabah Forestry Department. Sandakan, Sabah, Malaysia.

DAFTAR KEIKUTSERTAAN SEBAGAI PEMBICARA DALAM KEGIATAN ILMIAH

1. Suhartana, S. 2001. Teknik penebangan terkendali untuk minimasi kerusakan tegakan tinggal. Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Standardisasi dan Jaminan Mutu, tanggal 28 Agustus 2001 di Jakarta. Hlm. 73-84. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.

2. Suhartana, S. 2003. Penyaradan terkendali untuk minimasi kerusakan hutan dan biaya di hutan alam. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI 5, tanggal 30 Agustus-1 September 2002 di Bogor. Hlm. 756-762. Kerjasama antara Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan dengan MAPEKI. Bogor.

3. Suhartana, S. 2003. Peran perusahaan hutan untuk kesejahteraan masyarakat melalui kegiatan pemanenan hutan:Kasus di salah satu perusahaan HTI di Jambi. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI 6, tanggal 1-3 Agustus 2003 di Bukittinggi. Hlm. 418-429. Kerjasama Fakultas Kehutanan Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat dengan MAPEKI. Bukittinggi.

4. Suhartana, S., W. Endom dan Dulsalam. 2004. Peran keteknikan hutan dalam pembangunan dan pemanenan hutan tanaman. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Litbang Hasil Hutan dalam mendukung program restrukturisasi industri kehutanan, tanggal 16 Desember 2003 di Bogor. Hlm. 117-127. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

5. Suhartana, S. 2004. Penerapan teknik penebangan serendah mungkin utk meningkatkan produktivitas dan e siensi penebangan kayu di HTI Riau. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI 7, tanggal 5-6 Agustus 2004 di Makassar. Hlm. D6-D14. Kerjasama antara MAPEKI, Balai Litbang Kehutanan Sulawesi, Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Hasanudin. Makasar.

6. Yuniawati dan S. Suhartana. 2005. Wajah industri perkayuan Indonesia. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI 8, tanggal 3-5 September 2005 di Tenggarong. Hlm. D.142-D148. Kerjasama MAPEKI, Pemda Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur, Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman. Tenggarong.

7. Suhartana, S., Dulsalam dan D. Tinambunan. 2006. Peningkatan produksi hasil hutan melalui implementasi pemanenan hutan berwawasan lingkungan.Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2005, tanggal 30 Nopember 2005 di Bogor. Hlm. 65-77, Agustus 2006. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.

8. Yuniawati dan S. Suhartana. 2006. Kecelakaan kerja akibat kegiatan penebangan. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI 9, tanggal 11-13 Agustus 2006 di Banjarbaru.

Page 167: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

151HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Hlm. 567-572. Kerjasama MAPEKI dan Fakultas Kehutanan, Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru.

9. Suhartana, S. dan Yuniawati. 2006. Kebutuhan jumlah alat muat bongkar yang e sien: studi kasus di satu perusahaan hutan di Kalimantan Timur. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI 9, tanggal 11-13 Agustus 2006 di Banjarbaru. Hlm. 589-599. Kerjasama MAPEKI dan Fakultas Kehutanan, Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru.

10. Suhartana, S., Yuniawati dan Rahmat. 2007. Teknik pemanenan kayu di hutan rakyat. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI 10, tanggal 9-11 Agustus 2007 di Pontianak. Hlm. 722-729. Kerjasama MAPEKI dan Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Tanjungpura. Pontianak.

11. Yuniawati dan S. Suhartana. 2007. Kesehatan dan keselamatan kerja (K3) pada kegiatan penyaradan. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI 10, tanggal 9-11 Agustus 2007 di Pontianak. Hlm. 730-736. Kerjasama MAPEKI dan Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Tanjungpura. Pontianak.

12. Yuniawati dan S. Suhartana. 2007. Pemanenan kayu ramah lingkungan di hutan tanaman industri. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI 10, tanggal 9-11 Agustus 2007 di Pontianak. Hlm. 737-745. Kerjasama MAPEKI dan Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Tanjungpura. Pontianak.

13. Yuniawati dan S. Suhartana. 2008. Pemanenan kayu dan keseimbangan unsur hara tanah. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI 11, tanggal 8-10 Agustus 2008 di Palangkaraya. Hlm. 957-965. Kerjasama MAPEKI dan Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Pertanian, Universitas Palangkaraya. Palangkaraya.

14. Suhartana, S dan Yuniawati . 2008. Pemanenan kayu di hutan rawa gambut. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI 11, tanggal 8-10 Agustus 2008 di Palangkaraya. Hlm. 966-972. Kerjasama MAPEKI dan Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Pertanian, Universitas Palangkaraya. Palangkaraya.

15. Yuniawati, S. Suhartana dan Rahmat. 2010. Pemanasan global akibat pemanenan kayu. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI 12 , tanggal 23-25 Juli 2009 di Bandung. Hlm. 1049-1054. MAPEKI. Bogor.

16. Suhartana, S. & Yuniawati. 2010. The effect of logging on peat land conditions: A case study at a peat swamp forest company in Riau. Proceedings The rst International Symposium of Indonesian Wood Research Society date 2nd-3rd November 2009 in Bogor. Pp. 300-306. Indonesian Wood Research Society. Bogor.

17. Yuniawati dan S. Suhartana. 2010. Dampak pemanenan kayu terhadap peningkatan emisi GRK di hutan rawa gambut. Prosiding Seminar Nasiona MAPEKI 12, tanggal 23-25 Juli 2009 di Bandung. Hlm. 1055-1061. MAPEKI. Bogor

18. Suhartana, S., Yuniawati dan Rahmat. 2010. Produktivitas dan biaya muat-bongkar dan pengangkutan: Kasus di satu perusahaan hutan di Jambi. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI 13, tanggal 10-11 Nopember 2010 di Sanur, Bali. Hlm.856-862. MAPEKI. Bogor.

Page 168: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

152 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

19. Suhartana, S., Yuniawati dan Rahmat. 2012. Peningkatan produktivitas, penurunan biaya produksi dan penggeseran lapisan tanah atas melalui penerapan teknik penyaradan terkontrol: kasus di KPH Cianjur. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI 14, tanggal 2 Nopember 2011 di University Club Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Hlm.742-746. MAPEKI. Bogor.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

A. Data Pribadi

Nama : Ir. Sona Suhartana NIP : 1960 1012 198603 2 003 Pangkat/Golongan : Pembina Utama/IVe Jabatan : Peneliti Utama Unit Kerja : Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Badan Litbang Kehutanan Agama : Islam Alamat Kantor : Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610 Alamat Rumah : Komplek Good Year Blok B.11, RT.01/07, JL. Duta Persada No. 20, BOGOR 16610 Telp/HP : 0251-8633378/081310686099 & 085697189319 Fax : 0251-8633413 e-mail : [email protected]

B. Riwayat Pendidikan

1. Pendidikan formal

Tahun Lulus Nama Pendidikan 1973 SD Negeri Dadaha I, Tasikmalaya 1976 SMP Negeri I, Tasikmalaya 1980 SMA Negeri I, Tasikmalaya 1985 Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor

2. Pendidikan tambahan/kursus

2000 Penataran pengembangan aplikasi program SIM 2004 ToT on contour and tree position mapping and ril planning 2006 Presentation performance training 2006 International scienti c publication workshop for forestry researcher

Page 169: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

153HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

C. Riwayat Kepangkatan

Terhitung Mulai Tanggal Pangkat Golongan Ruang 1 Maret 1986 Calon Pegawai Negeri Sipil / IIIa 1 Maret 1987 Penata Muda / IIIa 1 April 1990 Penata Muda Tingkat I / IIIb 1 Oktober 1995 Penata / IIIc 1 April 1998 Penata Tingkat I / IIId 1 April 2000 Pembina / IVa 1 April 2002 Pembina Tingkat I / IVb 1 Oktober 2004 Pembina Utama Muda / IVc 1 April 2007 Pembina Utama Madya / IVd 1 April 2010 Pembina Utama / IVe D. Jabatan Fungsional Peneliti

Terhitung Mulai Tanggal Jabatan Fungsional Peneliti 1 Agustus 1992 Asisten Peneliti Madya 1 September 1994 Ajun Peneliti Muda 1 Januari 1996 Ajun Peneliti Madya 1 April 1998 Peneliti Muda 1 Januari 2001 Peneliti Madya 1 Juni 2003 Ahli Peneliti Muda 1 Desember 2005 Ahli Peneliti Madya 31 Desember 2005 Peneliti Utama Golongan IVd – SK Menteri Kehutanan 1 Januari 2006 Peneliti Utama Golongan IVd – SK Presiden 1 Oktober 2009 Peneliti Utama Golongan IVe (Ahli Peneliti Utama).

E. Kegiatan Lain dan Organisasi Profesi

1985 – Sekarang Anggota Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia 2002 – Sekarang Anggota Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia 2008 – 2010 Sekretaris Dewan Redaksi Warta Hasil Hutan 2011 - Sekarang Anggota Dewan Redaksi Warta Hasil Hutan

Page 170: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

154 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Page 171: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

155HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA(APU)

PENGERINGAN KAYU DI INDONESIA,STATUS PENELITIAN DAN

APLIKASINYA DALAM PRAKTEK

Oleh:Ir. Efrida Basri, M.Sc.

KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN

Bogor, 2013

Page 172: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

156 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Page 173: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

157HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

PROFIL

Nama: Efrida Basri, dilahirkan di Bukittinggi, Sumatera Barat pada tanggal 24 Februari 1958, merupakan anak kedua dari ayah Hasan Basri (Alm) dan ibu Asma Juned (Alm). Menikah dengan Saefudin, MP, pada tanggal 20 Desember tahun 1987 dan dikaruniai tiga orang putra/i: Ixora Adisti, ST., Gibran Oktabrani (Alm), dan Denvi Giovanita.

Pendidikan formal dimulai dari SD Negeri V Ambon lulus tahun 1971, SMP Negeri III Ambon lulus tahun 1974, SMA Negeri II Ambon lulus tahun

1977, Institut Pertanian Bogor lulus tahun 1982, dan Magister Science Program Studi Ilmu Kehutanan Universitas Gadjah Mada lulus tahun 2011.

Pendidikan nonformal berupa training, kursus, kerjasama penelitian yang diikuti, yaitu Penataran Statistik (Fahutan IPB, 1983), Pelatihan Teknologi Konversi Energi Surya (Mekanisasi Pertanian IPB, 1990), Course in Management of Forests and Wood Industries (Sweden, 1991), Apresiasi Komputerisasi Penelitian (Bogor, 1995), JSPS-LIPI Core Univ. Program (Ehime Univ. Jepang, 1999-2001), Kerjasama penelitian RI-Korea Pemanfaatan Dolok Diameter Kecil (Bogor, 1999-2000), ACIAR PROJECT FST/2006/117 tahun 2010-2014 (Bogor-Jepara),Training Course on Industrialization of Forest industry for ASEAN Countries (Beijing, 2004).

Mulai bekerja sejak lulus IPB tahun 1982 sebagai Tenaga Honorer di Pusat Litbang Hasil Hutan Bogor, diangkat sebagai CPNS di institusi yang sama pada tahun 1983 dan PNS pada bulan Maret tahun 1984 dengan Pangkat IIIa. Pada tanggal 1 Oktober 2010 diangkat sebagai Pembina Utama dengan pangkat IVe.

Jabatan fungsional dimulai sebagai Asisten Peneliti Muda (1987), Ajun Peneliti Muda (1989), Ajun Penelti Madya (1993), Peneliti Muda (1996), Peneliti Madya (2000), Ahli Peneliti Muda (2004), Peneliti Utama/IVd (2006) dan Peneliti Utama/IVe (2010). Jumlah karya tulis ilmiah dan semi ilmiah yang ditulis sendiri dan bersama peneliti sekitar 86 buah.

Bidang penelitian yang ditekuni adalah Pengolahan Hasil Hutan. Kegiatan selain peneliti adalah dosen luar biasa di Fakultas Teknik Sipil Universitas Pakuan Bogor tahun 1987, pembimbing mahasiswa/i strata 1 Fahutan, Universitas Winaya Mukti Bandung tahun 1997 – 2000, co pembimbing mahasiswa Teknologi Pertanian IPB tahun 1995/1996, pembimbing III Mahasiwa Fahutan UGM tahun 2000, pengajar pada beberapa pelatihan/kursus untuk bidang Pengeringan Hasil Hutan, tenaga teknis/narasumber bantuan peralatan pengeringan kayu untuk IKM (Kemenperin, 1996-2005; Kemenkop dan UKM, 2002; Kemenhut, 2007-2012), tenaga teknis Inhutani II pada pembuatan alat pengeringan khusus untuk kayu mangium di Stagen, Pulau Laut tahun 2001, dan narasumber dalam bidang pengeringan kayu di beberapa industri perkayuan.

Kegiatan Ilmiah: mengikuti beberapa seminar/simposium/pertemuan ilmiah Nasional dan Internasional. Ditugasi sebagai Koordinator UKP Balitbanghut tahun 2003-2010 dan sebagai Koordinator ACIAR PROJECT FST/2006/117 untuk bidang Pengeringan Kayu tahun 2011-2014.

Page 174: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

158 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

PRAKATA

Bismilahirrohmanirrohim

Assalamu’alaikum Waramatullahi Wabarakatuh

Yang terhormat :

Pejabat Eselon I dan II Lingkup Kementerian Kehutanan

Rekan-rekan peneliti dan hadirin yang dimuliakan Allah SWT

Puji Syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rakhmat dan karunia-Nya sehingga kita dapat hadir dalam keadaan sehat dan a at pada acara OrasiIlmiah Peneliti Utama Bidang Pengolahan Hasil Hutan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. dalam kesempatan ini izinkan saya menyampaikan orasi berjudul:

“PENGERINGAN KAYU DI INDONESIA, STATUS PENELITIAN DAN APLIKASINYA DALAM PRAKTEK”

Dengan sistematika sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

II. PERAN PENGERINGAN KAYU

III. PENGERINGAN KAYU DI INDONESIA

IV. STATUS PENELITIAN DAN APLIKASINYA

V. PENUTUP

Page 175: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

159HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

I. PENDAHULUAN

Hadirin yang mulia,

Kayu sebagai bahan berlignoselulosa memiliki sifat yang sangat beragam, baik dari sisi kelebihan maupun sisi kekurangannya. Dari sisi kelebihan, antara lain kayu memiliki nilai estetika yang tinggi terkait dengan keragaman teksur, warna dan penampilannya, kayu mudah dikerjakan serta bersifat renewable. Namun dari sisi kekurangannya karena sifat higroskopis dan anisotropis yang dimiliki kayu maka perubahan dimensi akan terjadi mengikuti perubahan kadar air dalam kayu dan bervariasi pada ketiga arah longitudinal, tangensial, dan radial82. Hal ini terkait dengan struktur dan orientasi selulosa dalam dinding sel dan pengaturan sel terhadap sumbu vertikal dan horisontal pada batang pohon65. Kandungan air kayu segar pada pohon yang baru ditebang bisa mencapai 200%, bahkan lebih13.

Jika air dalam kayu tidak dikeluarkan hingga mencapai kadar air yang sesuai peruntukan, maka nilai dari produk kayu tersebut akan menurun dan penggunaan kayu maupun bahan penunjangnya menjadi boros3. Kerugian tidak hanya berupa materi, tetapi juga terhadap kelestarian sumber daya hutan.

Hadirin yang mulia,

Produk kayu untuk komponen bangunan rumah maupun mebel banyak dikeluhkan konsumen terkait dengan kerusakan berupa retak, pecah, berubah bentuk, delaminasi pada bagian yang direkat, serta terlepasnya ikatan sambungan antar komponen. Faktornya terletak pada kadar air (KA) dalam kayu belum mencapai keseimbangan (KAK) dengan KA di lingkungannya6, 17, 68. Semua sifat sik kayu sangat dipengaruhi oleh perubahan kadar air.

Hadirin yang berbahagia,

Sebagaimana telah dijelaskan untuk mendapatkan produk kayu dengan mutu prima kandungan airnya harus sesuai dengan tujuan penggunaan. Jika produk kayu akan dipasang dalam ruang berpemanas (ber-heater) atau berpendingin (ber-AC) persyaratan kadar air minimal 10%, sedangkan untuk lantai kayu, meja piano, bagian dari alat musik lebih rendah lagi yaitu 6 – 8%. Kondisi daerah tropis yang relatif panas dan berkelembaban tinggi menyebabkan tingginya KAK, rata-rata 15%, sehingga KA yang dipersyaratkan juga 15%. Kayu yang dikeringkan sampai KA 20% hanya bisa membebaskan kayu tersebut dari serangan jamur pewarna dan bubuk kayu basah24 tapi tidak terhadap penyusutan yang disebabkan oleh turunnya KA lagi. Pada beberapa wilayah tertentu di Indonesia, KAK lingkungannya bahkan ada yang di bawah 15% KA produk kayu yang akan dipasang di lingkungan tersebut harus lebih rendah lagi.

Page 176: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

160 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

II. PERAN PENGERINGAN KAYU

Hadirin yang berbahagia,

Pengeringan kayu adalah suatu proses untuk mendapatkan produk kayu yang lebih stabil dalam dimensi, mengurangi peluang kayu diserang jamur, serta meningkatkan beberapa sifat mekanis kayu65.

Pengeringan dalam industri pengolahan kayu termasuk kegiatan penting karena berpengaruh langsung terhadap kualitas pengerjaan, pengeleman, penyambungan, sampai nishing61, 65, 71, 83. Melalui proses pengeringan yang tepat kerusakan sik kayu dapat

diminimalkan, kayu lebih padat, permukaannya menjadi cerahdengan warna yang lebih seragam20, 57, 60, 80.

Proses pengeluaran air dari dalam kayu sangat bergantung pada sifat-sifat kayu, di antaranya sifat sik dan anatomi23, 28, 35, 45, 72, serta kandungan kimia kayu70, 81. Proses pengeluaran air dari dalam kayu hingga mencapai kadar air yang diinginkan akan diikuti dengan perubahan pada berbagai arah dimensi kayu. Jika rasio penyusutan dan pengembangannya tinggi, terutama pada jenis-jenis kayu yang peka terhadap uktuasi suhu dan kelembaban lingkungan, maka terjadilah kerusakan sik kayu yang parah, sehingga menurunkan nilai dari produk kayu tersebut, bahkan nilainya hampir tidak ada.

Hadirin yang berbahagia,

Bagan pengeringan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan pengeringan kayu dalam dapur pengeringan konvensional. Seperti klin drying dan dehumidifi er. Di Indonesia bagan pengeringan yang lazim digunakan industri pengolahan kayu adalah bagan pengeringan berbasis kadar air, dimana setiap langkah pengaturan suhu dan kelembaban ruangan berpatokan pada tingkat kadar air rata-rata kayu yang sedang di keringkan67, 80.

Bagan pengeringan berbasis kadar air masih menjadi pegangan bagi industri pengolahan kayu tropis karena resiko kerusakan kayu yang terjadi sangat kecil dan bisa mengoptimalkan waktu pengeringan. Namun begitu, dalam penerapannya perlu di modi kasikan, sesuai jenis dapur pengeringan kondisi kayu dan ukuran sortimen.

Sehubungan dengan itu, peran operator sangat menentukan. Semestinya seorang operator pengeringan memiliki pengetahuan dasar tentang sifatsifat kayu72, 82.

Hadirin yang dimuliakan,

Sudah dijelaskan bahwa peran pengeringan sangat besar bagi peningkatan kualitas kayu. Namun dengan kondisi kayu saat ini yang bersumber hasil analisa nansial pada penggunaan kayu kering dan awet pada komponen bangunan rumah sederhana (tipe 36), dapat menghemat biaya pembangunan rumah sekitar 270%55. Hal ini karena umur pakai kayu menjadi lebih lama.

Page 177: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

161HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

III. PENGERINGAN KAYU DI INDONESIA

Hadirin yang berbahagia,

Kegiatan pengeringan sudah ada di industri pengolahan kayu sejak akhir tahun 60-an, di mana ketika itu Indonesia memulai ekspor kayu olahan.Kegiatan ini lebih digalakkan lagi sejak pemerintah mengeluarkan kebijakan melarang ekspor kayu gergajian melalui Surat Keputusan Menteri Perdagangan No. 292/Kp/IX/88.

Kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan industri kehutanan menyebabkan industri perkayuan Indonesia tumbuh dengan cepat dan mengalami perubahan struktur selama periode 1980-20058. Pada saat itu ekspolitasi terhadap hutan alam dilakukan secara besar-besaran untuk mendukung pengembangan ekonomi nasional. Kemudian menurun dan semakin berkurang di tahun-tahun berikutnya.

Sejak itu mulai terjadi pergeseran pemanfaatan bahan baku yang sebelumnya lebih mengutamakan kayu dari hutan alam masak tebang, berdiameter besar dengan sifat-sifat yang sudah dikenal baik, beralih kepada penggunaan kayu tanaman umur muda, berdiameter lebih kecil dengan sifat-sifat yang berbeda64 dan lebih inferior terkait dengan porsi kayu mudanya atau kayu juvenil-nya yang tinggi53, 59, 72, 76, 79. Sehubungan dengan itu teknologi pengeringan untuk meminimalkan kerusakan sik dan kualitas pengeleman kayu untuk produk komposit kayu makin berkembang.

Hadirin yang berbahagia,

Secara garis besar, industri pengolahan kayu di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi tiga (3), yaitu industri kayu berskala besar yang umumnya memiliki alat pengeringan kayu yang memadai, industri kayu skala menengah, dan industri kayu skala kecil. Industri kecil di Indonesia, sekalipun persentasenya sangat tinggi hampir tidak memiliki alat pengeringan dengan berbagai alasan teknis dan ekonomis, seperti keterbatasan modal, SDM, dan suplai kayu yang tidak kontinyu78. Ekstrimnya, kayu yang masih basah langsung diolah menjadi produk setengah jadi atau produk akhir. Hampir tidak ada sentuhan pengeringan yang berakibat timbulnya cacat-cacat pada kayu atau cacat pada produk akhir seperti kayu melengkung, memuntir, retak, hingga kesulitan dalam pengerjaan kayu tersebut. Biasanya industri kecil menjual produk setengah jadi ke pedagang besar dengan harga murah. Oleh pedagang penampung produk tersebut dikeringkan kembali. Dengan adanya perlakuan pengeringan lanjutan, harga jualnya menjadi lebih tinggi56. Hal ini mengapa industri menengah atas di Jepara yang jumlahnya hanya 2%62 mampu menguasai pasar produk nasional.

Hadirin yang berbahagia,

Kebanyakan masyarakat atau konsumen membeli kayu yang tidak dikeringkan. Kalaupun dikeringkan, hanya dilakukan secara asal-asalan. Hasil penelitian di beberapa lokasi pengembang perumahan rakyat tipe 45 di beberapa wilayah Nusa Tenggara Barat dan Jawa Barat55, menunjukkan kayu untuk komponen kusen dan daun pintu/jendela tidak dikeringkan. Hal ini tampak dari hasil ukur kadar air kayunya menunjukkan nilainya masih di atas 25%.

Page 178: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

162 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Bahkan ada kusen dan daun pintu yang kadar airnya lebih dari 50% (kayu segar). Kondisi sik kusen maupun panel pintu dan jendela banyak yang berubah bentuk, pecah, dan renggang. Pemakaian kayu yang tanpa dikeringkan serta diawetkan sangat merugikan konsumen karena biaya pemeliharaan bangunan menjadi mahal serta pemborosan terhadap sumber daya hutan.

IV. STATUS PENELITIAN DAN APLIKASINYA

Hadirin yang berbahagia,

Sampai saat ini kegiatan yang berhubungan dengan upaya meningkatkan kualitas kayu telah banyak dilakukan di Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (PUSTEKOLAH) Bogor.

Penelitian pembuatan bagan pengeringan merupakan kegiatan yang banyak dilakukan dan sebagian sudah diadopsi oleh industri. Sebanyak 108 bagan pengeringan kayu untuk hutan alam dan sekitar 50 jenis kayu tanaman cepat tumbuh dan kayu diameter kecil sudah dihasilkan4, 13, 15, 18,30, 31, 37, 40, 42, 50, 75. Pengeringan kayu dalam dapur pengering konvensional seperti kiln drying dan dehumidifi er memerlukan bagan pengeringan yang tepat untuk meminimalkan kerusakan kayu dan menghemat biaya produksi. Hasil penelitian di industri diperoleh dalam proses pengeringan kayu yang menggunakan kiln drying dengan kapasitas chamber 80 m3, pengurangan waktu pengeringan satu hari saja bisa menghemat biaya Rp 1 — 1,5 juta/chamber48. Menurut75 hampir 80% biaya energi untuk kegiatan pengolahan kayu di industri adalah untuk kegiatan pengeringan.

Hadirin yang berbahagia

Keseragaman dan kecerahan warna pada permukaan kayu merupakan syarat utama dalam perdagangan kayu, sehingga karena cacat warna pada permukaan kayu membuat harga jual kayu menjadi rendah. Problema pewarnaan bisa muncul sebelum atau sesudah kayu dikeringkan. Penelitian penanggulangan penyimpangan warna terkait dengan zat ekstraktif kayu sudah dilakukan melalui perlakuan pengukusan sebelum pengeringan10, 11, kombinasi perlakuan pengeringan dan kimia , metode “shed” kombinasi metode “shed” dan kiln drying25 serta kombinasi perlakuan pendinginan (freezing treatment) dan metode “shed”31. Metode pengeringan “shed” sebagai pre-draying untuk pengeringan kayu mangium sudab diaplikasikan di PT INHUTANI II, Pulau Laut. Perlakuan sebelum pengeringan akan tetap diteruskan pada jenis kayu yang zat ekstraktifnya pekat terhadap suhu atau yang pembuluhnya tersumbat oleh endapan/tilosis atau isi sel yang lain path jari-jari kayu.

Penelitian sifat dan kualitas pengeringan kayu tanaman cepat tumbuh dan berdiameter kecil, terkait dengan umur kayu juga dilakukan untuk penentukan teknologi pengeringannya5,6,28,35,45. Kegiatan tersebut terpadu dengan bidang keilmuan lain dalam upaya memaksimalkan penggunaan kayu dan meningkatkan kualitas produk, seperti pembuatan komponen mebel dan kapal dan kayu lamina dan produk komposit lainnya. Kegiatan ini yang dibutuhkan oleh dunia industti saat ini.

Page 179: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

163HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Metode penelitian kombinasi perlakuan teresan pada pohon berdiri dan teknik pengeringan telah dilakukan pada kayu mangium. Hasilnya, waktu pengeringan kayu mangium menjadi lebih cepat dan diikuti dengan perbaikan sifat sik dari permukaan kayu.

Hadirin yang dimuliakan

Dewasa ini energi sudah menjadi masalah di industri pengolahan kayu. Sebagian besar kebutuhan enegri dan suatu industri pengolahan kayu adalah untuk kegiatan pengeringan kayu. Dengan mempertimbangkan Indonesia kaya akan curahan panas matahari yang menyinari sepanjang tahun, juga limbah industri penggergajian kayu yang melimpah, maka semua ini dapat dimanfaatkan untuk sumber energi pengeringan.

Penelitian tentang penggunaan tenaga matahari dalam pengeringan kayu atau kombinasi dengan energi konvensional lain (kayu bakar, minyak solar, listrik) dalam rangka menghemat biaya telah dilakukan 8.9.14.20,24,26,27,33,36,86. Berdasarkan basil uji coba terhadap beberapa jenis kayu menunjukan sistem pengeringan ini secara teknis maupun ekonomis cocok dikembangkan di industri kecil yang memiliki keterbatasan dalam modal dan SDM. Disain alat pengeringan dengan system kombinasi energi matahari dan energi konvensional inii sudah di aplikasikan di beberapa daerah di Indonesia. Penelitian di laboratonium PUSTEKOLAH dan uji coba pengembangannya di lapangan masih tetap dilakukan untuk mendapatkan kesempurnaan.

Hadirin yang berbahagia,

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa salah satu problem yang ada di industri pengolahan kayu skala kecil adalah alat pengeringan. Alat pengening yang terscdia dipasar harganya tidak terjangkau dan kapasitasnya besar. Dengan modal yang terbatas dan suplay bahan kayu yang tidak kontinyu, sulit untuk industri memilikinya. Terkait dengan itu, sejak tahun 1993 Pustekolah melakukan penelitian unntuk mendapatkan alat pengering yang bisa diaplikasikan di Industri menengah-kecil. Prototype alat pengering dengan sumber energi yang berbeda sudah dihasilkan20,26,32,36 dan dikembangkan di industri. Selain alat pengering, juga dibuat prototype alat untuk steam kayu sebelum kayu dikeringkan dalam dapur pengeringan52.

Hadirin yang mulia

Persyaratan kayu untuk suatu tujuan tertentu bergantung dan sifat-sifat kayu bersangkutan dan persyaratan teknis yang diperlukan. Kayu untuk bahan baku mebel harus cukup kuat, berdimensi stabil, mudah dikerjakan serta memiliki permukaan yang halus dan mengkilap atau bernilai dekoraif69,73. Sifat keindahan kayu terkait dengan keberadaan mebel atau furniture sebagai hiasan atau pajangan.

Kayu yang telah kering, terutama kayu dan tanaman umur muda dalam penggunaannya masih bisa berubah dimensinya yang disebabkan oleh perubahan kadar air karena perubahan suhu dan kelembapan udara. Perlakuan kombinasi pengeringan dan pemadatan (densi kasi) pada kayu berkualitas rendah dapat menstabilkan dimensi kayu, meningkatkan kekerasan permukaan, membuat permukaan kayu lebih padat, halus, dan lebih licin, sehingga memenuhi

Page 180: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

164 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

persyaratan SNI 01-0608-1989 untuk kayu mebel52. Penelitan tentang pemadatan kayu masih tetap berlanjut untuk penyempurnaan sifat kayu agar pemanfaatannya lebih luas.

V. PENUTUP

1. Pengeringan dalam industri pengolahan kayu termaksud kegiatan penting karena berpengaruh langsung terhadap kualitas pengerjaan, pengeleman, penyambungan sampai nishing. Melalui proses pengeringan dan penggunaan bagan pengeringan yang sesuai

dengan kondisi dan sifat kayu maka kerusakan kayu dapat diminimalkan serta warnanya menjadi lebih cerah dan seragam.

2. Kerusakan produk kayu, terkait dengan kadar air lebih banyak di jumpai di industri kecil. Hal ini sudah disebabkan terbatasnya pengetahuan perajin tentang pengeringan dalam hubungannya dengan kualitas kayu, serta belum tersedianya alat pengeringan kayu yang sesuai untuk kebutuhan perajin.

3. Banyak yang sudah dihasilkan di laboratorium pengeringan di Pustekolah, di antaranya sudah menghasilkan 101 bagian pengeringan untuk kayu hutan alam, 50 bagan pengeringan kayu tanaman cepat tumbuh dan kayu berdiameter kecil. Sebagian dari hasil penelitian ini sudah di adopsi industri. Perlakuan penanggulangan penyimpanan warna terkait dengan zat ekstraktif dan perlakuan steam pada kayu yang pembuluhnya tersumbat, sudah di adopsi oleh industri perlakuan kombinasi penerasan dan penggunaan bagan pengeringan yang sesuai dengan sifat kayu mangium meskipun masih dalam skala penelitian, namun layak untuk dikembangkan karena menghasilkan perbaikan yang signi kasi pada sik mekanik dan warna kayu.

4. Keperpihakan Pustekolah terhadap industri kecil di wujudkan dengan mendesain dan membuat prototype alat pengeringan kombinasi tenaga surya dengan biomas (limbah kayu) yang sesuai dan sudah di aplikasikan di beberapa industri kecil.

UCAPAN TERIMA KASIH

Hadirin yang saya muliakan,

Pertama, kami panjatkan Puji Syukur ke Hadirat Allah SWT atas ridhoNya kami bisa hadir dalam pertemuan ini.

Terima kasih saya persembahkan kepada para pejabat yang telah memberikan kepercayaan kepada saya untuk memangku Jabatan Fungsional Peneliti Utama. Kepada Bapak Kepala Badan Litbang Kehutanan dan Bapak Kepala Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (PUSTEKOLAH) saya ucapkan terima kasih atasberbagai kemudahan dan kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mencapai Peneliti Utama dalam Bidang Pengolahan Hasil Hutan.

Page 181: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

165HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada kerabat, teman sejawat, rekan peneliti dan teknisi, terutama peneliti dan teknisi di bagian Pengeringan Hasil Hutan PUSTEKOLAH yang banyak memberikan bantuan dan kerjasama yang sangat berharga.

Ada dua pribadi yang secara khusus patut disampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya, yaitu Alm Bapak Dr. Ir. Kosasi Kadir,MS. yang pertama kali meminta saya untuk tetap bertahan sebagai peneliti di bidang pengeringan dan ternyata itu adalah pilihan yang tepat bagi pengembangan karir saya, serta Prof. Dr. Kazuo Hayashi, dari Ehime University- Jepang yang selama 3 tahun bekerjasama, tidak hanya membantu memperluas pengetahuan saya tentang pengeringan dalam segala aspek, juga mengajarkan falsafah “gambate kudesai”.

Terima kasih yang tulus disampaikan kepada kedua orang tua saya, yaitu Alm Hasan Basri dan Almh Asma Juned, serta kedua mertua Alm Abd Kah dan Hj. Siti Aisyah. Terima kasih yang khusus disampaikan kepada suami tercinta Drs. Saefudin, MP, beserta kedua putri dan putra tercinta, yaitu Ixora Adisti, ST., Alm Gibran Oktabrani dan Denvi Giovanita dengan segala kesabaran dan pengorbanannya.

Akhirul kalam. Mohon maaf atas segala kekhilafan baik yang disengaja maupun tidak. Semoga kebaikan dan pengorbanan semua pihak mendapat Ridho Allah SWT. Aamiin.

Page 182: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

166 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim. 1994. Pengeringan Kayu dalam Dapur Pengeringan Konvensional. Pedoman Teknis No. 12/Th II/92. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta.

2. Anonim. 2006. Kayu Alam Distop Total: Laju Degradasi Hutan Mencapai 2,87 Ha per Tahun. Harian Kompas, Tanggal 28 April 2006. 1 No. 1. Kelompok Peneliti, Praktisi dan Peminat Industri Hasil Hutan.

3. Barly dan E. Basri 1990. Peranan pengawetan dan pengeringan kayu dalam industri kayu skunder. Prosiding Diskusi Industri Perkayuan. Jakarta 14-15 Maret: 89-103.

4. Barnett, J.R. and V.A. Bonham. 2004. Cellulose Micro bril Angle in the Cell Wall of Wood Fibres. Biology Review (79): 461-472.

5. Basri, E. and K. Yuniarti. 2005. The combination of solar energy and heating stoves sistem for drying wood. Proceed. Of the 6th International Wood Science Symposium, August 29-31, 2005 in Bali. LIPI-JSPS Core University Program in the Field of Wood Science. pp 151-155.

6. Basri, E. dan A. Supriadi. 2006. Uji coba mesin pengering kayu kombinasi tenaga surya dan panas dari tungku Tipe I (SC+TI). Jurnal Penelitian Hasil Hutan 24 (5): 437-448. Bogor.

7. Basri, E., K. Hayashi, N. Hadjib, H. Roliadi. 2000b. The Qualities and Kiln Drying Schedules of Several Wood Species from Indonesia. In Sustainable Utilization of Forest Products, Socio-Economical and Ecological Management of Tropical Forests. Proceed. of the Third International Wood Science Symposium, November 1-2, 2000 in Kyoto. Pp 43-48. Wood Research Institute, Kyoto University. Japan.

8. Basri, E dan D. Rohadi. 1995. Prospek pemanfaatan energi surya pada proses pengeringan kayu. Prosid. Lokakarya Teknologi Tepat Guna Energi Non Konvensional untuk Pembangunan di Indonesia, tanggal 18-19 Desember, 1995 di Bandung. Fisika Terapan-LIPI. Bandung. Hal. 1-10.

9. Basri, Edan Saefudin. 2007. Kualitas pengolahan tiga jenis kayu substitusi ramin dari koleksi kebun raya Bogor. Prosid. Semnas Mapeki X. Pontianak. Hal 222-228.

10. Basri, E, K. Hayashi, S. Masasuke dan H. Nishiyama. 2001. Optimum drying schedule for some fast grown species from Indonesia. Proceedings of The Seventh International IUFRO Wood Drying Conference, July 9 – 13, 2001 in Tsukuba. Pp 84-89. Forestry and Forest Products Research Institute. Japan.

11. Basri, E. 1992. Sifat pengeringan beberapa jenis kayu hutan tanaman industri (HTI). Jurnal Sifat dan Kegunaan Jenis Kayu Hutan Tanaman Industri Vol. 1: 1-4. Puslitbang Hasil Hutan. Bogor.

12. Basri, E. 1990. Bagan pengeringan beberapa jenis kayu hutan tanaman industri. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 6 (7): 447-451. P3HH, Bogor.

Page 183: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

167HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

13. Basri, E. 1994. Research and development on wood drying in Indonesia. Worshop on Solar Thermal Energy Utilization System. Jakarta.

14. Basri, E. 1998a. Penerapan teknologi pengeringan tepat guna pada industri kayu skala kecil. Prosid. Semnas Mapeki I. Fahutan IPB. Bogor. Hal 117-123.

15. Basri, E. 2000a.Penerapan bagan pengeringan tiga jenis kayu dalam dapur pengering konvensional. Prosid. Diskusi Peningkatan Kualitas Kayu. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor. Hal 178-185.

16. Basri, E. 2000b.Teknologi pengeringan: Pilihan bagi industri kecil kehutanan. Prosid. Diskusi Peningkatan Kualitas Kayu. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor. Hal 31-46.

17. Basri, E. 2000c. Teknik pengeringan empat jenis kayu diameter kecil asal hutan tanaman. Buletin Penelitian Hasil Hutan Vol. 17 (4): 199-2008.

18. Basri, E. 2001. Drying schedules for Small-Diameter Logs from Jambi and Their Proper Utilization for Wooden Craft Products. Forestry Research Journal Vol. 2 (1): 23 – 27. Forestry Research and Development Agency. Jakarta.

19. Basri, E. 2001. Drying schedules for Small-Diameter Logs from Jambi and Their Proper Utilization for Wooden Craft Products. Forestry Research Journal Vol. 2 (1): 23 – 27. Forestry Research and Development Agency. Jakarta.

20. Basri, E. 2002a. Pengeringan kayu di Indonesia: Permasalahan dan upaya pemecahannya. Prosid. Workshop Teknologi Pengeringan dan Teknik Pengawetan kayu.Puslitbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor. Hal 53-58.

21. Basri, E. 2002b. Teknologi pengeringan kayu kombinasi energi surya dengan panas tungku. Proyek Peningkatan Kemampuan Teknologi Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Jakarta.

22. Basri, E. 2003. The combination of solar and Biomass energy in wood drying. Workshop and Expose Fundamental Research Scienti c Results of Indonesian-Japan Cooperation Program LIPI – JSPS July 17-18, 2003 in Jakarta.

23. Basri, E. 2005.Basic Drying Schedules of 16 Indonesian Wood Species. Journ. of Forest Prod. Research 23 (1): 23 - 33.Centre for Forest Products R&D. Bogor. (In Indonesian).

24. Basri, E. 2005a. Bagan pengeringan dasar 16 jenis kayu Indonesia. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 23 (1): 15 –22. P3HH, Bogor.

25. Basri, E. 2005b. Mutu kayu mangium dalam beberapa metode pengeringan. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 23 (2): 117 –126. P3HH, Bogor.

26. Basri, E. 2005c. Alat pengering kayu buatan Puslitbanghut: Karya lokal mutu internasional. Agro Indonesia Vol. I No. 41. Jakarta.

27. Basri, E. 2008a. Bagan pengeringan dasar 12 jenis kayu dari Indonesia. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 26 (2): 181 –192. P3HH, Bogor.

28. Basri, E. 2008b. Standar mutu kayu berdasarkan sifat pengeringannya.Prosid. Semnas Mapeki XI. Palangka Raya. Hal 221-229.

Page 184: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

168 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

29. Basri, E. 2009a. Kualitas pengeringan kayu jati cepat tumbuh dan jati konvensional. Buletin Hasil Hutan Vol. 15 (1): 1-7. P3HH, Bogor.

30. Basri, E. 2009b. Pengaruh lama pengukusan terhadap laju pengeringan, penyusutan, dan mutu kayu titi. Buletin Hasil Hutan Vol. 15 (1): 23-29. P3HH, Bogor.

31. Basri, E. and K. Yuniarti. 2006. Sifat dan bagan pengeringan sepuluh jenis kayu hutan rakyat untuk bahan baku mebel. Prosid. Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan, tanggal 21 September 2006 di Bogor. P3HH, Bogor.

32. Basri, E. and N. Hadjib. 2004. The Relation Between Basic Properties and Drying Properties of Five Priority Wood Species from West Java. Journ. of Forest Prod. Research 22 (3): 155-166. Centre for Forest Products Technology R&D. Bogor. (In Indonesian).

33. Basri, E. dan K. Yuniarty. 2001. Perkembangan penelitian pengeringan kayu mangium (Acacia mangium)di Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan Bogor. Prosid. Diskusi Teknologi Pemanfaatan Kayu Budidaya untuk Mendukung Industri Perkayuan yang Berkelanjutan. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan, Bogor.

34. Basri, E. dan Y.I. Mandang. 2001. Pengeringan kayu: Pentingnya pemahaman sifat-sifat kayu untuk mendukung teknologi pengolahan. Prosid. Diskusi Teknologi Pemanfaatan Kayu Budidaya untuk Mendukung Industri Perkayuan yang Berkelanjutan, tanggal 7 Nov. 2001. Puslitbang Tekno. Hasil Hutan. Bogor. Hlm. 261-268.

35. Basri, E. dan M. Muslich. 2005. Teknologi pengolahan kayu karet. Proyek Peningkatan Kemampuan Teknologi Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan Departemen Perindustrian. Jakarta.

36. Basri, E. dan N. Hadjib. 2004. Hubungan Sifat Dasar dan Sifat Pengeringan Lima Jenis Kayu Andalan Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 22 (3): 155-166. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

37. Basri, E. dan N. Hadjib. 2007. Pengeringan kayu tanaman untuk bahan baku kayu pertukangan. Semnas Sistem penyediaan Kayu bermutu Konstruksi di Bandung, tanggal 27 Nov. 2007. Puslitbang Permukiman. Bandung.

38. Basri, E. dan Rahmat. 2001. Pembuatan kilang pengeringan kayu kombinasi energi surya dan tungku. Petunjuk Teknis. Puslitbang Teknologi Hasil Hutan. (Edisi cetak ulang).

39. Basri, E. dan S. Hidayat. 1993. Pengaruh asal dan umur pohon terhadap sifat pengeringan kayu sengon.Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 11 (4): 129-133. P3HH, Bogor.

40. Basri, E. dan S. Rulliaty, dan Saefudin. 2007a. Sifat dan kualitas pengeringan lima jenis kayu dari Kebun Raya Bogor. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 25 (3): 256-265. P3HH, Bogor.

41. Basri, E. dan S. Rulliaty. 2008a. Pengaruh Sifat Fisik dan Anatomi terhadap Sifat Pengeringan Enam Jenis Kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 26 (3): 253-272. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.

Page 185: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

169HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

42. Basri, E. dan S. Rulliaty. 2008b. Peningkatan kualitas kayu cepat tumbuh untuk bahan baku mebel melalui pengeringan. Buletin Hasil Hutan Vol. 14 (1): 39-44. P3HH, Bogor.

43. Basri, E. dan Saefudin. 2011. Rasio penyusutan arah tangensial terhadap radial dan kadar air titik jenuh serat tiga jenis cabang. Prosid. Semnas Mapeki XIII. Sanur-Bali. Hal 923-928.

44. Basri, E.dan Saefudin. 2008. Sifat pengeringan cabang tiga jenis kayu kurang dikenal. Prosid. Semnas Mapeki XI. Palangka Raya. Hal 504-508.

45. Basri, E. dan Saefudin. 2009. Perbedaan sifat pengeringan dua jenis kayu dari genus Litsea dalam dua metode pengeringan. Prosid. Semnas Mapeki XII. Bandung. Hal 577-584.

46. Basri, E., D. Rohadi and T. Priadi. 2004. The Alleviation of Discoloration in Teak (Tectona grandis) Wood through Drying and Chemical Treatments. Jurnal IPTEK Kayu Tropis Vol. 2 (1): 57-61. Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia, Bogor.

47. Basri, E., E.M. Alamsyah, E. Rasyid. 2000a. Ketergantungan kadar air keseimbangan terhadap jenis kayu dan suhu lingkungan.Semnas Mapeki III. Fahutan UNWIM. Bandung. Hal 442-447.

48. Basri, E., E.T. Choong, K. Sofyan dan H. Roliadi. 1999a. Dryability classi cation of twenty- ve timber species of Indonesia. Jurnal Teknologi Hasil Hutan Vol. XII ( 2): 21-28. Fahutan IPB, Bogor.

49. Basri, E., E.T. Choong, K. Sofyan, H. Roliadi. 1999. Dryability Classi cation of Twenty-Five Timber Species of Indonesia. Journ. of Forest Prod. Techn. Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University. IPB. Bogor.

50. Basri, E., Gusmailina and Priadi. 2003. The combination of solar and biomass energy in wood drying. Regional Workshop on Drying Technology. The Third Seminar and Workshop. ASEAN Subcommittee on Non-Conventional Energy Research in Bogor.

51. Basri, E.,H. Roliadi, Rahmat. 1998b. Drying technique for Kumia (Manilkara sp) wood. Proceedings. TheSecond International Wood Sci. Seminar. LIPI – JSPS Core University Program In The Field of Wood Sci. pp. C46-C56. Serpong, Indonesia.

52. Basri, E.,H. Roliadi, Rahmat. 1999b.The effect of pre-steaming and cross-sectional end-coating on drying properties of Indonesian torem (Manilkara kanosiensis) wood. Proceed the Fourth Intern Conference on the Development of Wood Sci., Wood Techn. and Forestry. Forest Prod. Research Centre. England. Pp 14-17.

53. Basri, E., K. Hayashi, and Rahmat. 2002. The combination of shed and kiln drying resulted in good quality of mangium lumbers. Proceed. of the Fourth International Wood Science Symposium, September 2-5, 2002 in Serpong. Pp. 101-106. LIPI-JSPS Core University Program in the Field of Wood Science. Indonesia.

54. Basri, E., K. Hayashi, and Rahmat. 2002. The combination of shed and kiln drying resulted in good quality of mangium lumbers. Proceed. of the Fourth International Wood Science

Page 186: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

170 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Symposium, September 2-5, 2002 in Serpong. Pp. 101-106. LIPI-JSPS Core University Program in the Field of Wood Science. Indonesia.

55. Basri, E., K. Hayashi, S. Masasuke dan H. Nishiyama. 2001. Optimum Drying Schedule for Some Fast Grown Species from Indonesia. Proceedings of the Seventh International IUFRO Wood Drying Conference, July 9 – 13, 2001 in Tsukuba. Pp 84-89. Forestry and Forest Products Research Institute. Japan.

56. Basri, E., Kaomini, dan K. Yuniarti. 2009. Kualitas lamen dan benang sutera dari kokon hasil uji coba pengeringan dan penyimpanan menggunakan alat desain P3HH Bogor. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol 27 (3): 213-222. P3HH, Bogor.

57. Basri, E., N. Hadjib, Abdurachman, Jasni, M. Iqbal. 2012. E siensi Pemanfaatan Kayu untuk Rumah Sederhana Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna

58. Basri, E., N.Hadjib and Saefudin. 2005. Basic properties in relation to drying properties of three wood species from Indonesia. Journal of Forestry Research Vol. 2 No. 1. Forestry Research and Development Agency, Jakarta.

59. Basri, E., O. Rachman, dan A. Supriadi. 1998c. Pengupasan dan pemolesan rotan dalam keadaan basah dan kering. Buletin Penelitian Hasil Hutan Vol. 15 No. 8.

60. Basri, E., R.G.N. Triantoro dan Wahyudi. 2007b. Sifat dan Jadwal Pengeringan Lima Jenis Kayu Papua Barat. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 5 (2): 57-62.

61. Basri, E., Saefudin, S. Rulliaty, and K. Yuniarti. 2009. Drying Conditions for 11 Potential Ramin Subtitutes. Journ. of Tropical Forest Science 21 (4): 328-335. Forest Research Institute Malaysia.

62. Budianto AD. 1996. Sistem Pengeringan Kayu. Semarang. Kanisius.

63. Coto Z. 1996. Pentingnya Pengeringan Kayu. Buletin Teknologi Hasil Hutan Vol.

64. FVC (Furniture Value Chains). 2011. Improving capacity of small-scale furniture producers to increase pro t share: Institutions, certi cation and collective marketing. Furniture Value Chains News No. 4. CIFOR. Bogor, Indonesia.

65. Hadjib, N. dan E. Basri. 1990. Sifat sik, mekanik, dan pengeringan beberapa jenis kayu dari kayu hutan alam dan hutan tanaman. Prosid. Diskusi Hutan Tanaman Industri, Jakarta tanggal 13 Maret.

66. Haygreen, J.G. dan J.L. Bowyer. 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu: Suatu Pengantar. Terjemahan dari bahasa Inggris ke Indonesia oleh Sutjipto Hadikusumo. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

67. Kadir, K. 1973. Kadar Air Kayu Kering Udara di Bogor. Laporan No. 12. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

68. Kadir, K. 1975. Bagan Pengeringan Beberapa Jenis Kayu Industri. Laporan No.57. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

69. Kadir, K. 1978. Kadar Air yang Dianjurkan dalam Kayu untuk Pemakaian dalam ruangan di Beberapa Kota di Jawa. Laporan No. 106. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

Page 187: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

171HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

70. Móttonen, V. 2006. Variation in Drying Behavior and Final Moisture Content of Wood During Conventional Low Temperature Drying and Vacuum Drying of Betula pendula Timber. Journ. Of Wood Drying Technology 24: 1405-1413.

71. Perré, P. 2001. The Drying of Wood: the Bene t of Fundamental Research to Shift from Improvement to Innovation?. Proceedings of The Seventh International IUFRO Wood Drying Conference, July 9 – 13, 2001 in Tsukuba. Pp 2-13. Forestry and Forest Products Research Institute. Japan.

72. Qumruzzaman, C., S. Iftekhar, A. Mahbubul. 2005. Effects of Age and Height Variation on Physical Properties of Mangium (Acacia mangium Willd) Wood. Australian Forestry 68: 17-19.

73. Rulliaty, S. 2008. Karakteristik Kayu Muda pada Mangium (Acacia mangium Willd.) dan Kualitas Pengeringannya. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 26 (2): 117-128. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.

74. Rulliaty, S. 1994. Wood Quality Indicators as Estimator of Juvenile Wood in Mahogany (Swietenia macrophylla King.) from Forest Plantation in Sukabumi, West Java, Indonesia. Master’s Thesis. University of The Philippines at Los Baños, College, Laguna. The Philippines. Unpublished.

75. Sasono, A. 1999. Ekonomi Kerakyatan dan Dinamika Perubahan. Harian Umum Republika terbitan bulan Oktober 1999.

76. Taylor, A. B. Gartner, J. Morrel. 2002. Heartwood Formation and Natural Durability : A Review. Wood and Fiber Science 34: 587 – 611.

77. Tsoumis, G. 1991. Science and Technology of Wood : Structure, Properties, Utilization. Van Non-strand Reinhold. New York.

78. Yano, H., S. Kawai, K. Hayashi,E. Basri, A. Firmanti, C.M.E. Susanti, B. Subiyanto and Subyakto. 2006. Sustainable development and utilization of Tropical Forest Resources: Total utilization of Acacia mangium Wild. Report of JSPS-LIPI Core University Program in the Field of Wood Science 1996-2005. Research Institute for Sustainable Humanosphere, Kyoto University, Japan.

79. Yuniarti, K. dan E. Basri. 2008. Drying teak in solar collector. Prosid. Semnas Mapeki XI. Palangka Raya.

80. Yuniarti, K. and E. Basri. 2009. Drying rasamala with combined heat released from solar energy, fuel-powered stove and heater. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 27 (2): 181 –190. P3HH, Bogor.

Page 188: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

172 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

DAFTAR PUBLIKASI ILMIAH

1. Barly dan E. Basri 1990. Peranan pengawetan dan pengeringan kayu dalam industri kayu skunder. Prosiding Diskusi Industri Perkayuan. Jakarta 14-15 Maret: 89-103.

2. Barly dan E. Basri. 1994. Pengawetan dan pengeringan kayu Sungkai (Peronema canesen Jack.Diskusi Hasil Penelitian Kayu HTI. Jakarta 24-25 Maret: 488-496. P3HH & Sosek Kehutanan.

3. Basri, E. 1983. Catatan mengenai keterawetan beberapa jenis kayu Indonesia. Proceed. Pertemuan Ilmiah Pengawetan Kayu. Puslitbang Hasil Hutan. Jakarta. Hal 213-218.

4. Basri, E. dan P. Sutigno. 1983. Kapasitas kilang pengeringan (drykiln) dan ketel uap (boiler) untuk industri penggergajian dari kayu ramin (Gonystylus bancanus). Prosid. Diskusi Industri perkayuan. P3HH. Jakarta.

5. Basri, E. dan S. Kartasujana. 1987. Perilaku pengeringan rotan manau (Calamus manan MIQ) dan rotan semambu (Calamus scipionum Lour). Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 4 No. 1.

6. Basri, E. dan S. Kartasujana. 1987. Pengaruh penggorengan dan cara pengeringan terhadap sifat rotan balukbuk (Calamus burckianus) dan rotan seuti (Calamus ornatus). Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 4 No. 1.

7. Basri, E. 1987. Rasamala yang terlupakan. Majalah Suara Alam II (51): 11-14.

8. Basri, E. 1989. Bitti, kayu phinisi nusantara. Majalah Suara Alam.

9. Basri, E. 1990. Bagan pengeringan beberapa jenis kayu hutan tanaman industri. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 6 (7): 447-451. P3HH, Bogor.

10. Basri, E. 1992. Sifat pengeringan beberapa jenis kayu hutan tanaman industri (HTI). Jurnal Sifat dan Kegunaan Jenis Kayu Hutan Tanaman Industri Vol. 1: 1-4. Puslitbang Hasil Hutan. Bogor.

11. Basri, E. dan S. Hidayat. 1993. Pengeringan alami dan buatan sepuluh jenis kayu Nusa Tenggara Barat.Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 11 (3): 122-127. P3HH, Bogor.

12. Basri, E. dan S. Hidayat. 1993. Pengaruh asal dan umur pohon terhadap sifat pengeringan kayu sengon.Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 11 (4): 129-133. P3HH, Bogor.

13. Basri, E. 1993. Pengeringan nangka (Artocarpus heterophyllus) secara sederhana. Prosid. Pertemuan Teknis Ilmiah Penelitian dan Pengembangan Jenis-Jenis Pohon Serbaguna, tanggal 12-13 Mei 1993 di Bogor.

14. Basri, E. 1993. E siensi pengolahan rotan kesur (Calamus ornatus) dan rotan tohiti (Calamus inops). Prosid. Semnas Biologi XI,tanggal 20-21 Juli 1993 di Ujung Pandang.

15. Basri, E. 1993. Peningkatan kualitas kayu Pinus oocarpa melalui pengeringan tenaga matahari.Prosid. Semnas Biologi XI, tanggal 20-21 Juli 1993 di Ujung Pandang.

16. Saefudin dan E. Basri. 1993. Seleksi tanaman untuk reklamasi Daerah Aliran Sungai Cisadane Hulu. Prosid. Lokakarya Nasional Agroforestry, tanggal 24-26 Agustus 1993 di Bogor.

Page 189: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

173HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

17. Basri, E. 1994. Research and development on wood drying in Indonesia. Worshop on Solar Thermal Energy Utilization System. Jakarta.

18. Basri, E dan D. Rohadi. 1995. Prospek pemanfaatan energi surya pada proses pengeringan kayu. Prosid. Lokakarya Teknologi Tepat Guna Energi Non Konvensional untuk Pembangunan di Indonesia, tanggal 18-19 Desember, 1995 di Bandung. Fisika Terapan-LIPI. Bandung. Hal. 1-10.

19. Basri, E. dan Jasni. 1995. Peningkatan kualitas tiga jenis bambu melalui kombinasi teknik pengeringan dan pengaweta. Prosid. Semnas Biologi XIII. Universitas Indonesia. Depok.

20. Basri, E dan S. Hidayat. 1996. Penyerapan air kayu pinus (Pinus merkusii) dan kayu sengon (Paraserianthes falcataria) setelah pengeringan. Info Hasil Hutan Vol. III (1): 8-14. Puslitbang Hasil Hutan dan Sosek Kehutanan. Bogor.

21. Basri, E. 1998. Penerapan teknologi pengeringan tepat guna pada industri kayu skala kecil. Prosid. Semnas Mapeki I. Fahutan IPB. Bogor. Hal 117-123.

22. Basri, E.,H. Roliadi, Rahmat. 1998. Drying technique for Kumia (Manilkara sp) wood. Proceedings. TheSecond International Wood Sci. Seminar. LIPI – JSPS Core University Program In The Field of Wood Sci. pp. C46-C56. Serpong, Indonesia.

23. Basri, E., O. Rachman, dan A. Supriadi. 1998. Pengupasan dan pemolesan rotan dalam keadaan basah dan kering. Buletin Penelitian Hasil Hutan Vol. 15 No. 8.

24. Basri, E., E.T. Choong, K. Sofyan dan H. Roliadi. 1999. Dryability classi cation of twenty- ve timber species of Indonesia. Jurnal Teknologi Hasil Hutan Vol. XII ( 2): 21-28. Fahutan IPB, Bogor.

25. Basri, E.,H. Roliadi, Rahmat. 1999.The effect of pre-steaming and cross-sectional end-coating on drying properties of Indonesian torem (Manilkara kanosiensis) wood. Proceed the Fourth Intern Conference on the Development of Wood Sci., Wood Techn. and Forestry. Forest Prod. Research Centre. England. Pp 14-17.

26. Basri, E. 2000.Penerapan bagan pengeringan tiga jenis kayu dalam dapur pengering konvensional. Prosid. Diskusi Peningkatan Kualitas Kayu. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor. Hal 178-185.

27. Basri, E. 2000.Teknologi pengeringan: Pilihan bagi industri kecil kehutanan. Prosid. Diskusi Peningkatan Kualitas Kayu. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor. Hal 31-46.

28. Basri, E. 2000. Teknik pengeringan empat jenis kayu diameter kecil asal hutan tanaman. Buletin Penelitian Hasil Hutan Vol. 17 (4): 199-2008.

29. Basri, E., E.M. Alamsyah, E. Rasyid. 2000. Ketergantungan kadar air keseimbangan terhadap jenis kayu dan suhu lingkungan.Semnas Mapeki III. Fahutan UNWIM. Bandung. Hal 442-447.

30. Basri, E., K. Hayashi, N. Hadjib, H. Roliadi. 2000. The Qualities and Kiln Drying Schedules of Several Wood Species from Indonesia. In Sustainable Utilization of Forest Products, Socio-Economical and Ecological Management of Tropical Forests. Proceed.

Page 190: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

174 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

of the Third International Wood Science Symposium, November 1-2, 2000 in Kyoto. Pp 43-48. Wood Research Institute, Kyoto University. Japan.

31. Basri, E. 2001. Drying schedules for Small-Diameter Logs from Jambi and Their Proper Utilization for Wooden Craft Products. Forestry Research Journal Vol. 2 (1): 23 – 27. Forestry Research and Development Agency. Jakarta.

32. Basri, E, K. Hayashi, S. Masasuke dan H. Nishiyama. 2001. Optimum drying schedule for some fast grown species from Indonesia. Proceedings of The Seventh International IUFRO Wood Drying Conference, July 9 – 13, 2001 in Tsukuba. Pp 84-89. Forestry and Forest Products Research Institute. Japan.

33. Basri, E. dan K. Yuniarty. 2001. Perkembangan penelitian pengeringan kayu mangium (Acacia mangium)di Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan Bogor. Prosid. Diskusi Teknologi Pemanfaatan Kayu Budidaya untuk Mendukung Industri Perkayuan yang Berkelanjutan. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan, Bogor.

34. Basri, E. dan Y.I. Mandang. 2001. Pengeringan kayu: Pentingnya pemahaman sifat-sifat kayu untuk mendukung teknologi pengolahan. Prosid. Diskusi Teknologi Pemanfaatan Kayu Budidaya untuk Mendukung Industri Perkayuan yang Berkelanjutan, tanggal 7 Nov. 2001. Puslitbang Tekno. Hasil Hutan. Bogor. Hlm. 261-268.

35. Basri, E. dan Rahmat. 2001. Pembuatan kilang pengeringan kayu kombinasi energi surya dan tungku. Petunjuk Teknis. Puslitbang Teknologi Hasil Hutan. (Edisi cetak ulang).

36. Basri, E. 2002. Pengeringan kayu di Indonesia: Permasalahan dan upaya pemecahannya. Prosid. Workshop Teknologi Pengeringan dan Teknik Pengawetan kayu.Puslitbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor. Hal 53-58.

37. Basri, E. 2002. Sifat dan teknologi pengolahan sederhana kayu mindi (Melia azedarach L.) dan kayu manis (Cinnamomum burmanii BL). Prosid. Seminar Hasil Penelitian Teknologi Hasil Hutan. Bogor. Hal 197-202.

38. Basri, E. 2002. Teknologi pengeringan kayu kombinasi energi surya dengan panas tungku. Proyek Peningkatan Kemampuan Teknologi Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Jakarta.

39. Basri, E., K. Hayashi, and Rahmat. 2002. The combination of shed and kiln drying resulted in good quality of mangium lumbers. Proceed. of the Fourth International Wood Science Symposium, September 2-5, 2002 in Serpong. Pp. 101-106. LIPI-JSPS Core University Program in the Field of Wood Science. Indonesia.

40. Basri, E. dan K. Yuniarti. 2002. Sifat pengeringan alami dan suhu tinggi kayu mangir, tisuk dan sukun. Prosid. Semnas Mapeki V. Puslitbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor. Hal 329-333.

41. Basri, E. dan Saefudin. 2003. Potensi kayu manis (Cinnamomum sp), budidaya dan pemanfaatannya untuk industri perkayuan. Prosid. Semnas Mapeki VI. Bukittinggi, Sumatera Barat.

Page 191: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

175HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

42. Basri, E., Gusmailina and Priadi. 2003. The combination of solar and biomass energy in wood drying. Regional Workshop on Drying Technology. The Third Seminar and Workshop. ASEAN Subcommittee on Non-Conventional Energy Research in Bogor.

43. Basri, E. 2003. The combination of solar and Biomass energy in wood drying. Workshop and Expose Fundamental Research Scienti c Results of Indonesian-Japan Cooperation Program LIPI – JSPS July 17-18, 2003 in Jakarta.

44. Basri, E., D. Rohadi and T. Priadi. 2004. The Alleviation of Discoloration in Teak (Tectona grandis) Wood through Drying and Chemical Treatments. Jurnal IPTEK Kayu Tropis Vol. 2 (1): 57-61. Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia, Bogor.

45. Basri, E. dan N. Hadjib. 2004. Hubungan Sifat Dasar dan Sifat Pengeringan Lima Jenis Kayu Andalan Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 22 (3): 155-166. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

46. Basri, E. dan Saefudin. 2004. Pengaruh umur dan posisi letak ruas pada batang terhadap sifat pengeringan tiga jenis bambu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 22 (3): 123-134. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

47. Basri, E. 2005. Bagan pengeringan dasar 16 jenis kayu Indonesia. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 23 (1): 15 –22. P3HH, Bogor.

48. Basri, E. 2005. Mutu kayu mangium dalam beberapa metode pengeringan. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 23 (2): 117 –126. P3HH, Bogor.

49. Basri, E. 2005. Alat pengering kayu buatan Puslitbanghut: Karya lokal mutu internasional. Agro Indonesia Vol. I No. 41. Jakarta.

50. Basri, E. and K. Yuniarti. 2005. The combination of solar energy and heating stoves sistem for drying wood. Proceed. Of the 6th International Wood Science Symposium, August 29-31, 2005 in Bali. LIPI-JSPS Core University Program in the Field of Wood Science. pp 151-155.

51. Basri, E. dan M. Muslich. 2005. Teknologi pengolahan kayu karet. Proyek Peningkatan Kemampuan Teknologi Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan Departemen Perindustrian. Jakarta.

52. Basri, E., N.Hadjib and Saefudin. 2005. Basic properties in relation to drying properties of three wood species from Indonesia. Journal of Forestry Research Vol. 2 No. 1. Forestry Research and Development Agency, Jakarta.

53. Basri, E. dan A. Supriadi. 2006. Uji coba mesin pengering kayu kombinasi tenaga surya dan panas dari tungku Tipe I (SC+TI). Jurnal Penelitian Hasil Hutan 24 (5): 437-448. Bogor.

54. Basri, E. and K. Yuniarti. 2006. Sifat dan bagan pengeringan sepuluh jenis kayu hutan rakyat untuk bahan baku mebel. Prosid. Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan, tanggal 21 September 2006 di Bogor. P3HH, Bogor.

Page 192: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

176 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

55. Basri, E. dan Saefudin. 2006. Sifat kembang susut dan kadar air keseimbangan bambu tali pada berbagai umur dan tingkat kekeringan. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 24 (3): 241 –250. P3HH, Bogor.

56. Basri, E. dan N. Hadjib. 2007. Pengeringan kayu tanaman untuk bahan baku kayu pertukangan. Semnas Sistem penyediaan Kayu bermutu Konstruksi di Bandung, tanggal 27 Nov. 2007. Puslitbang Permukiman. Bandung.

57. Basri, Edan Saefudin. 2007. Kualitas pengolahan tiga jenis kayu substitusi ramin dari koleksi kebun raya Bogor. Prosid. Semnas Mapeki X. Pontianak. Hal 222-228.

58. Basri, E. dan S. Rulliaty, dan Saefudin. 2007. Sifat dan kualitas pengeringan lima jenis kayu dari Kebun Raya Bogor. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 25 (3): 256-265. P3HH, Bogor.

59. Basri, E., R.G.N. Triantoro dan Wahyudi. 2007. Sifat dan Jadwal Pengeringan Lima Jenis Kayu Papua Barat. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 5 (2): 57-62.

60. Basri, E. 2008. Bagan pengeringan dasar 12 jenis kayu dari Indonesia. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 26 (2): 181 –192. P3HH, Bogor.

61. Basri, E. 2008. Standar mutu kayu berdasarkan sifat pengeringannya.Prosid. Semnas Mapeki XI. Palangka Raya. Hal 221-229.

62. Basri, E.dan Saefudin. 2008. Sifat pengeringan cabang tiga jenis kayu kurang dikenal. Prosid. Semnas Mapeki XI. Palangka Raya. Hal 504-508.

63. Basri, E. dan S. Rulliaty. 2008. Pengaruh Sifat Fisik dan Anatomi terhadap Sifat Pengeringan Enam Jenis Kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 26 (3): 253-272. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.

64. Basri, E. dan S. Rulliaty. 2008. Peningkatan kualitas kayu cepat tumbuh untuk bahan baku mebel melalui pengeringan. Buletin Hasil Hutan Vol. 14 (1): 39-44. P3HH, Bogor.

65. Basri, E. 2009. Kualitas pengeringan kayu jati cepat tumbuh dan jati konvensional. Buletin Hasil Hutan Vol. 15 (1): 1-7. P3HH, Bogor.

66. Basri, E. 2009. Pengaruh lama pengukusan terhadap laju pengeringan, penyusutan, dan mutu kayu titi. Buletin Hasil Hutan Vol. 15 (1): 23-29. P3HH, Bogor.

67. Basri, E., Kaomini, dan K. Yuniarti. 2009. Kualitas lamen dan benang sutera dari kokon hasil uji coba pengeringan dan penyimpanan menggunakan alat desain P3HH Bogor. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol 27 (3): 213-222. P3HH, Bogor.

68. Basri, E. dan Saefudin. 2009. Perbedaan sifat pengeringan dua jenis kayu dari genus Litsea dalam dua metode pengeringan. Prosid. Semnas Mapeki XII. Bandung. Hal 577-584.

69. Basri, E., Saefudin, S. Rulliaty, and K. Yuniarti. 2009. Drying Conditions for 11 Potential Ramin Subtitutes. Journ. of Tropical Forest Science 21 (4): 328-335. Forest Research Institute Malaysia.

Page 193: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

177HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

70. Basri, E. dan Saefudin. 2011. Rasio penyusutan arah tangensial terhadap radial dan kadar air titik jenuh serat tiga jenis cabang. Prosid. Semnas Mapeki XIII. Sanur-Bali. Hal 923-928.

71. Basri, E., Jasni, and R. Damayanti. 2011. Trial test on the presevation and steaming of mahoni wood using the designed machine of Forest Products R&D Center.Proceed. The 2nd International Symposium of Indonesian Wood Research Society in Bali, 12-13 nov. 2010. Pp 176-181.

72. Hadjib, N. dan E. Basri. 1990. Sifat sik, mekanik, dan pengeringan beberapa jenis kayu dari kayu hutan alam dan hutan tanaman. Prosid. Diskusi Hutan Tanaman Industri, Jakarta tanggal 13 Maret.

73. Hadjib, N., E. Basri, P. Sutigno. 2002. Keadaan penelitian dan pengembangan sifat dasar dan pengolahan kayu serta bahan berlignoselulosa lain. Semnas Mapeki V. Puslitbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor. Hal 691-701.

74. Rachman, O. dan Basri, E. 1986. Potensi dan kemungkinan pemanfaatan kayu kelapa di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Vol.III No. 2.

75. Rachman, O., Barly, E. Basri, Dulsalam. 1994. Analisis teknologi industri pengolahan dan pemanfaatan kayu sungkai (Peronema canescen Jack). Diskusi Hasil Penelitian Kayu HTI. Jakarta 24-25 Maret: 1-16. P3HH & Sosek Kehutanan. (Makalah Utama).

76. Saefudin dan E. Basri. 1995. Gmelina arborea Roxb sebagai komponen konservasi lahan marginal: Studi kasus di Oemasi, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Vol. X No. 1.

77. Saefudin dan E. Basri. 1998. Legum tumbuh cepat untuk rehabilitasi lahan kritis DAS Cisadane Hulu. Majalah Duta Rimba No. 21/Tahun XXIII/Juli/1998.

78. Saefudin dan E. Basri. 2003. Pemanfaatan manii (Maesopsis eminii) dalam sistem konservasi lahan marginal bekas penambangan emas. Prosid. Semnas Mapeki VI. Bukittinggi, Sumatera Barat.

79. Saefudin, E. Basri, dan N. Hadjib. 2008. Pengaruh umur, posisi batang dan tingkat kekeringan terhadap sifat sik dan kualitas pengeringan bambu andong. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 26 (4): 289 –298. P3HH, Bogor.

80. Yano, H., S. Kawai, K. Hayashi,E. Basri, A. Firmanti, C.M.E. Susanti, B. Subiyanto and Subyakto. 2006. Sustainable development and utilization of Tropical Forest Resources: Total utilization of Acacia mangium Wild. Report of JSPS-LIPI Core University Program in the Field of Wood Science 1996-2005. Research Institute for Sustainable Humanosphere, Kyoto University, Japan.

81. Yuniarti, K., E. Basri, N. Hadjib. 2001. Sifat tusam (Pinus merkusii et de Vrise) koakan untuk menunjang kemungkinan pemanfaatannya bagi industri kecil. Prosid. Semnas Mapeki IV. Samarinda. Hal. 69-75.

Page 194: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

178 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

82. Yuniarti, K. dan E. Basri. 2008. Drying teak in solar collector. Prosid. Semnas Mapeki XI. Palangka Raya.

83. Yuniarti, K. and E. Basri. 2009. Drying rasamala with combined heat released from solar energy, fuel-powered stove and heater. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 27 (2): 181 –190. P3HH, Bogor.

84. Yuniarti, K. and E. Basri. 2009. Laju dan mutu pengeringan lima jenis kayu asal Jawa Barat. Prosid. Semnas Mapeki XII. Bandung. Hal 569-576.

85. Basri, E., G.A. Harris, B. Ozarska, J. Malik, R. Damayanti, Y.S. Hadi. 2012. Wood Drying Problems and Possible Solutions for Small Enterprises of Wood Furniture Industries in Jepara Region. Proceed. INAFOR 2011: International Conference of Indonesia Forestry Researchers: Strengthening Forest Science and Technology for Better Forestry Development, 5-7 December 2011 in Bogor. INAFOR11E-036. Pp 298-306.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

A. Data Pribadi

Nama : Ir. Efrida Basri, M.Sc

Jabatan : Peneliti Utama Pengolahan Kayu

Tempat, tanggal lahir : Bukit tinggi, 24 Februari 1958

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat Rumah : Komplek Kehutanan Rasamala, Jl. Rasamala II/4 Ciomas, Bogor

Alamat Kantor : Pustekolah, Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor 16001

Telp. (0251) 8633378/8633413

Fax. (0251) 8633413

Telepon rumah/HP : 0251-8630504/081390840623

Email : [email protected]

B. Riwayat Pendidikan

No Jenjang pendidikan Tempat Lulus Bidang Studi

1. SD N V Ambon 1971 -

2. SMP N III Ambon 1974 -

3. SMA N II Ambon 1977 -

4. Sarjana (S1) IPB, Bogor 1982 THH

5. Magister Science (S2) UGM, Yogyakarta 2011 Ilmu Kehutanan

Page 195: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

179HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

C. Kursus/Training

1. Penataran Statistik di Fahutan, IPB tahun 1983.

2. Pelatihan Teknologi Konversi Energi Surya di Fak. Teknologi Pertanian, IPB tahun 1995.

3. Course in Management of Forests and Wood Industries in Sweden, tahun 1991.

4. Kursus Apresiasi Komputerisasi Penelitian di Bogor tahun 1995.

5. Collaboration research. JSPS- LIPI Core University Program, Ehime Univ. Matsuyama, Jepang, tahun 1999-2001.

6. Training Course on Industrialization of Forest industry for ASEAN Countries di Beijing tahun 2004.

D. Riwayat Pekerjaan 1. Kepangkatan

06 – 12 - 1982 : Pegawai Honorer

14 – 06 - 1983 : Calon Pegawai Negeri

01 – 04 - 1984 : Penata Muda (III/a)

01 – 04 - 1987 : Penata Muda Tk. I (IIIb)

01 – 10 - 1990 : Penata (IIIc)

01 – 04 - 1995 : Penata Tk. I (IIId)

01 – 10 - 1998 : Pembina (IVa)

01 – 10 - 2001 : Pembina Tk. I (IVb)

01 – 04 - 2006 : Pembina Utama Muda (IVc)

01 – 04 - 2008 : Pembina Utama Madya (IVd)

01 – 10 - 2010 : Pembina Utama (IVe)

2. Jabatan Fungsional

01 – 11 - 1987 : Asisten Peneliti Muda

01 – 08 - 1989 : Ajun Peneliti Muda

01 – 09 - 1993 : Ajun Peneliti Madya

01 – 12 - 1996 : Peneliti Muda

01 – 12 - 2000 : Peneliti Madya

01 – 10 - 2004 : Ahli Peneliti Muda

01 – 12 - 2005 : Peneliti Utama

Page 196: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

180 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

3. Lain-lain

2003-2010 : Koordinator Rekayasa Alat dan bahan Penunjang Penelitian Skala UM

2011 - 2014 : Koordinator Pengeringan KayuACIAR PROJECT FST/2006/117

a. Latar Belakang Kerjasama dengan Peneliti Luar

1998/1999 : Pengeringan beberapa Jenis Kayu dari Kawasan Indonesia Barat, Tengah dan Indonesia Timur dengan Profesor Elvin T. Choong dari Lusiana University, USA.

1999-2001 : Kerjasama Indonesia – Jepang

JSPS-LIPI Core University Program in the Field of Wood Science.

Topik penelitian untuk pengeringan: Drying Technique for Fast Grownand Lesser Used Species from Indonesia.

1999 – 2000 : Kerjasama Indonesia – Korea Selatan (Korea Forestry Research Institute) : The Feasibility on Small Diameter Log Resource Development in Indonesia.

2011-sekarang : Kerjasama Indonesia-Australia

ACIAR Project No. FST/2006/117: Improving added value and SME capacity in the utilisation of plantation timber for furniture production in Jepara region of Java, Indonesia.

b. Pengalaman Lapangan

• Kerjasama penelitian dengan BPK Makasar dalam merancang dan membangun alat pengering kombinasi tenaga surya dan panas tungku di lokasi Laboratorium Pengolahan kayu.

• Mendesain dan membuat alat pengeringan kayu kombinasi energi surya dan panas dari tungku bakar dengan 2 tipe tungku, yaitu tungku panas langsung dan tungku panas tidak langsung di beberapa sentra perajin.

• Mendesain dan membuat alat pengeringan shed untuk kayu mangium di PT Inhutani II Pulau Laut, Kalimantan Selatan.

• Mendesain alat pengukusan (Steaming) kayu dan alat pengawetan kayu sistem hemat energi untuk skala IKM di lokasi Pustekolah, Bogor.

• Aplikasi skedul pengeringan kayu di beberapa industri pengolahan kayu terpadu di wilayah Jabotabek yang memiliki kiln drying

Page 197: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

181HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA(APU)

PERMASALAHAN DAN SOLUSI PENGGEREK KAYU DI LAUT

Oleh:Drs. M. Muslich, M.Sc.

KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN

Bogor, 2013

Page 198: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

182 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Page 199: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

183HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

PROFIL

Penulis lahir di Kaliwungu pada tanggal 08 Agustus 1950. Menyelesaikan pendidikan strata satu (S-1) di Fakultas Biologi Universitas Gajah Mada dan strata dua (S2) Universitas The Philipines at Los Banos dengan bidang keahlian Wood scienti c and Teknologi. Bekerja pada Pusat Litbang keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan dan diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil pada bulan Maret tahun 1983 dan menjadi peneliti sebagai Asisten

Peneliti Muda sampai menjadi Peneliti Utama. Ahli Peneliti Utama bidang Pengolahan Hasil Hutan ditetapkan pada tanggal 01 Januari tahun 2006.

Yang terhormat:

1. Bapak Menteri Kehutanan Republik Indonesia;

2. Bapak Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI);

3. Bapak Kepala Badan Litbang Kehtanan

4. Para Undangan Pejabat Eselon I dan II Kementerian Kehutanan Republik Indonesia;

5. Rekan-rekan Peneliti dan seluruh Hadirin yang dimulyakan.

Puji dan syukur saya panjatkan ke Hadirat Allah Subhanahuwataala, sehingga kita pada pagi ini dapat hadir dalam acara Orasi Ilmiah Ahli Peneliti Utama yang dilaksanakan Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan di bawah lingkungan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

Adalah suatu kehormatan sekaligus dorongan bagi saya karena hari ini saya dapat menyampaikan orasi pengukuhan saya sebagai Ahli Peneliti Utama

Paparan yang saya sampaikan pada orasi ilmiah ini merupakan hasil penelitian yang telah saya lakukan bertahun-tahun dengan mendalami berbagai aspek dan permasalahan yang berkaitan dengan organisme perusak kayu kususnya organisme pengerek kayu dilaut. Oleh sebab itu saya dalam orasi ini menyampaikan judul:

“PERMASALAHAN DAN SOLUSI ORGANISME PENGGEREK KAYU DI LAUT”

Sistematika paparan orasi meliputi:I. PENDAHULUANII. PENGGEREK KAYU DI LAUTIII. KEAWETAN KAYU TERHADAP ORGANISME PERUSAKIV. RELATIVITAS KEAWETAN KAYUV. KELAS AWET KAYU TERHADAP PENGGEREK DI LAUTVI. EFISIENSI DAN DIVERSIFIKASI PENGGUNAAN KAYUVII. PENUTUP DAN UCAPAN TERIMA KASIH

Page 200: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

184 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

I. PENDAHULUAN

Assalamu’alaikum warohmatullahi wa barokaatuh

Hadirin yang saya mulyakan,

Indonesia merupakan negara maritim yang lebih kurang dua per tiga wilayahnya terdiri dari lautan, sehingga banyak diperlukan angkutan antar pulau berupa perahu, kapal, tiang pancang dan dermaga yang dibuat dari kayu. Kayu yang digunakan untuk keperluan tersebut tidak luput dari serangan organisme penggerek kayu di laut atau yang sering disebut dengan “marine borers”. Serangan penggerek ini sangat merugikan dan berbahaya bila menyerang dermaga, tiang pelabuhan, bagian komponen kapal atau perahu. Penyebaran penggerek kayu di laut sangat luas, hampir terdapat di seluruh perairan. Di perairan tropis, penggerek ini dapat berkembang dengan subur dan dapat dijumpai sepanjang tahun (Muslich dan Sumarni, 1987a).

Keluarga penggerek kayu di laut dibedakan menjadi dua kelompok utama, yaitu dari Phylum Mollusca dan Kelas Crustacea, masing-masing mempunyai karakteristik yang berbeda, demikian pula cara menyerangnya. Serangan dari mollusca penggerek kayu biasanya membuat lubang kecil pada permukaan kayu, serangan lubang gerek yang ada di dalamnya sudah tidak beraturan dan menunjukkan serangan yang hebat. Sedangkan crustacea penggerek kayu, biasanya menyerang tiang pancang atau tiang dermaga pada bagian batas pasang surut air laut dan memberi gambaran seperti bunga karang (Sumarni dan Muslich, 1986; Muslich dan Sumarni, 1988a).

Roch (1961) dalam Suherman et al. (1983) melaporkan bahwa cukup banyak jenis penggerek kayu di Indonesia yang termasuk famili Teredinidae dan Pholadidae, tetapi belum pernah ditemui dari famili Limnoridae, Sphaeromatidae dan Cheluridae di Indonesia. Suherman et al. (1983) telah melaporkan pertama kali Crustacea penggerek kayu yaitu Limnoria lignorum Rathke, Sphaeroma sp. dan Chelura sp. di perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu.

Di Indonesia banyak terdapat jenis kayu yang mempunyai kekuatan mekanis tinggi, tetapi hanya beberapa jenis saja yang memiliki daya tahan terhadap penggerek kayu di laut (Muslich et al., 2012). Kebutuhan jenis kayu yang lazim dipakai seperti ulin, merbau, laban, jati dan sebagainya semakin meningkat. Hal ini dapat mengarah pada ekploitasi hutan alam secara berlebihan sehingga mengancam kelestarian hutan. Tekanan ini dapat dikurangi dengan mencari kayu alternatif sebagai pengganti dari jenis kayu tersebut dan mengembangkan bahan baku kayu alternatif dari jenis kayu hutan tanaman industri atau hutan rakyat.

Usaha pencegahan serangan penggerek kayu di laut dapat dilakukan secara biologis atau dengan menggunakan bahan kimia maupun dengan cara lain, namun belum mendapatkan hasil yang memuaskan. Kayu yang akan dipakai di laut harus diawetkan dengan proses vakum/tekan. Hal tersebut karena kayu yang mempunyai kekuatan mekanis tinggi, relatif lebih sukar diawetkan. Di samping itu, pencucian air laut sangat tinggi, maka retensi dan penetrasi bahan pengawet di dalam kayu harus besar dan dalam.

Page 201: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

185HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

II. PENGGEREK KAYU DI LAUT

Hadirin yang saya mulyakan,

Daerah penyebaran penggerek kayu di laut sangat luas, dapat dijumpai baik di laut, di pantai dan di muara sungai. Di perairan tropis termasuk Indonesia, penggerek ini dapat hidup dan berkembang dengan subur serta dapat dijumpai sepanjang tahun. Perairan yang mempunyai salinitas dengan uktuasi yang menyolok sangat berpengaruh terhadap akti tas penggerek kayu di laut (Muslich dan Sumarni, 1987b). Turner (1966) menyatakan bahwa temperatur dan salinitas merupakan faktor pembatas untuk berkembang biak. Temperatur merupakan salah satu sarana penting selama musim kawin dan setiap species mempunyai temperatur optimum untuk bertelur dan perkembangan larvanya. Demikian juga untuk kelangsungan hidupnya, setiap species mempunyai batas toleransi pada salinitas tertentu (Muslich dan Sumarni, 1987b). Cragg (1979) menemukan dua species yang berbeda dari genus yang sama yaitu Nausitora hedleyi Schepman pada salinitas 18%o dan Nausitora Dunlopei Wright. pada salinitas 2 permil.

Laporan tentang penggerek kayu di laut di Indonesia masih amat langka. Roch (1961) melaporkan bahwa di Indonesia cukup banyak jenis penggerek kayu di laut yang termasuk ke dalam famili Teredinidae dan Pholadidae. Suherman (1983) melaporkan telah menemukan jenis ketiga famili dari Crustacea yaitu Limnoria lignoforum, Sphaeroma sp. dan Chelura sp. di perairan Pulau Pari. Inventarisasi jenis-jenis penggerek kayu di laut masih perlu dilakukan, karena yang telah dilaporkan selama ini hanya sebagian kecil saja yang ada di perairan Indonesia.Untuk identi kasi jenis penggerek tersebut dilakukan pengamatan struktur cangkuk dan bentuk paletnya serta bekas lubang gerek pada kayu. Identi kasi jenis penggerek tersebut dilakukan sesuai dengan klasi kasi yang disusun oleh Turner (1971).

Hasil identi kasi jenis penggerek kayu di laut yang berhasil dikumpulkan dari beberapa daerah yaitu Martesia striata Linne. dari famili Teredinidae; Dicyathifer manni Wright., Nausitora donlopi Wright., Teredo thoracites Gould., Teredo bataviana Moll./Roch., Bankiacarinata Gray., dan Bankia ciba Clench/Turner. dari famili Teredinidae; serta Sphaeroma sp. dari famili Sphaeromatidae. Jenis penggerek kayu di laut yang didapatkan dari beberapa daerah disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Hasil identi kasi penggerek kayu di laut dari beberapa daerah

Page 202: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

186 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Sumber: Muslich et al., (2012); Muslich (2011);Sumarni dan Muslich, (1986).

Dari hasil identi kasi di antara jenis penggerek di laut yang paling dominan ditemukan, yaitu Martesia striata Linne. Binatang ini merupakan salah satu species dari famili Pholadidaeyang selalu dijumpai disetiap lokasi.Kerusakan kayu yang disebabkan oleh famili Pholadidaetidak sehebat seperti serangan Teredinidae. Pholadidae biasa membuat lubang gerek tegak lurus pada permukaan kayu, sedangkan luas serangannya sesuai dengan ukuran cangkuknya. Serangan pholadidae mudah diketahui, berupa pengikisan bagian luar kayu dengan lubang-lubang yang dangkal. Pholadidae menggerek kayu sebagai tempat tinggalnya saja sehingga hampir semua jenis kayu akan mendapat serangan dari famili tersebut. Meskipun serangan

Page 203: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

187HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Pholadidae tidak sehebat Teredinidae, akan tetapi kayu yang mempunyai ketahanan tinggi terhadap Teredinidae tidak kebal terhadap serangan Pholadidae (Southwell dan Bultman, 1971; Muslich dan Sumarni, 1988b).

Serangan Teredinidae pada kayu menunjukkan bahwa pada awal penggerekan tegak lurus terhadap serat kayu, kemudian membelok ke arah sejajar serat kayu tersebut. Secara terus menerus binatang ini memperpanjang lubang gerek di dalam kayu dan dinding salurannya dilapisi zat kapur. Intensitas serangan yang tinggi pada kayu akan menunjukkan kepadatan populasi di dalam kayu. Kepadatan populasi akan berpengaruh terhadap saluran lubang gerek yang dibuatnya sehingga menjadi tidak beraturan dan perkembangan tubuhnya menjadi terbatas (Muslich dan Sumarni, 1988a). Sesuai dengan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Atwood dan Johnson (1924) bahwa dengan banyaknya penggerek yang menyerang kayu pada suatu tempat yang terbatas, maka akan terbentuk banyaknya saluran gerek yang saling bertemu sehingga bagian kayu yang diserang akan terbentuk seperti sarang lebah. Mata dan Sariban (1972) menyatakan bahwa panjang penggerek mencpai 30 – 100 cm dan diameternya 2,5 cm, akan tetapi apabila populasi di dalam kayu terlalu banyak maka perkembangannya akan terbatas. Ciri lain serangan yang dimilki oleh Teredinidae adalah serangan hebat hanya terdapat pada bagian dalam kayu, sedangkan pada permukaan contoh uji hanya berupa noda kecil yang tidak berarti. Menon (1957) menyatakan bahwa serangan Teredinidae lebih dikenal dengan nama “shipworm” atau “teredine borers”.

Genera yang ditemukan dari kelas Crustacea penggerek kayu yaitu Sphaeroma sp. Tubuh Sphaeroma sp. mempunyai panjangnya 1-2 cm, sedangkan lebarnya 0,5 – 1 cm, bentuknya seperti selop, kepalanya kecil, tubuhnya bersekmen dan berakhir dengan ekor yang bentuknya seperti papan berguna untuk menutupi lubang bilamana binatang ini terganggu (Muslich dan Sumarni, 1988a). Serangan Sphaeroma memperlihatkan gambaran seperti bunga karang. Besar kecilnya gerakan air laut sangat berpengaruh terhadap akti tas Sphaeroma, semakin besar gerakan air laut akan mendorong Sphaeroma membuat lubang tempat berlindung, sehingga akan memperluas kerusakan. Serangan Sphaeroma disebut dengan “gribble”, menyebabkan kerusakan kayu dengan jalan mengebor dan membuat serambi kecil untuk tempat tinggalnya (Menon, 1957; Mata dan Siriban, 1972). Kedalaman lubang serangan penggerek biasanya tidak lebih dari 15 mm dan binatang ini bisa bergerak dengan bebas.

III. KEAWETAN KAYU TERHADAP ORGANISME PERUSAK

Hadirin yang saya mulyakan,

Di Indonesia dikenal ada lima kelas awet, yaitu kelas I yang paling awet sampai kelas V yang paling tidak awet (Oey, 1990). Klasi kasi ini hanya berlaku untuk serangan jamur, rayap dan bubuk kering, tanpa mengindahkan daya tahan kayu terhadap penggerek di laut. Oey juga menyatakan bahwa dari 4000 jenis kayu Indonesia, hanya sebagian kecil saja (15-20%) yang termasuk kelas awet tinggi (I dan II), sedangkan sisanya termasuk kelas awet rendah (III, IV dan V). Klasi kasi inilah yang sampai sekarang masih dipakai sebagai pegangan untuk memperkirakan keawetan alami kayu terhadap organisme perusak.

Page 204: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

188 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Keawetan kayu merupakan salah satu sifat dasar kayu yang penting, karena nilai suatu jenis kayu sangat ditentukan oleh keawetannya. Bagaimanapun kuatnya suatu jenis kayu, tidak akan banyak berarti bila keawetannya rendah. Keawetan kayu yang dimaksud ialah daya tahan suatu jenis kayu terhadap organisme perusak seperti jamur, serangga dan penggerek kayu di laut. Keawetan kayu tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kandungan zat ekstraktif, umur pohon, bagian kayu dalam batang (gubal dan teras), kecepatan tumbuh, tempat di mana kayu dipakai, jenis organisme yang menyerang, faktor lingkungan dan lain-lainnya (Martawijaya, 1996).

Muslich dan Sumarni (2004) mengatakan bahwa Eusideroxylon zwageri, Tectona grandis dan Parinari corymbosa tahan terhadap organisme perusak di laut. Pada E.zwageri mempunyai kadar silika yang relatif tinggi yaitu 0,5% (Bianchi, 1933) dan mempunyai zat ekstraktif “eusiderin” turunan dari phenolik yang beracun (Amin dkk., 2002) sehingga tahan terhadap penggerek di laut. Demikian juga pada T. grandis tahan terhadap penggerek di laut karena mempunyai zat ekstraktif “techtochinon”. Supriana (1999) mengatakan bahwa pada bagian teras kayu Tectona grandis terdapat kelompok “quinones” yang juga bersifat anti rayap yang disebut dengan “techtochinon”. Rudman (1963) dalam Costa et.al. (1985) juga menyatakan bahwa “techtochinon” adalah suatu ekstraktif yang terdapat pada kayu Tectona grandis bersifat racun terhadap jamur Coniophora olivacea. Demikian juga pada P. corymbosa mempunyai kadar silika yang tinggi yaitu 0.9%, kadar silika merupakan salah satu faktor yang dapat menahan serangan terhadap penggerek kayu di laut (Bianchi, 1933). Beenson (1946) dalam Supriana (1999) juga menyatakan bahwa ada hubungan antara kadar silika pada kayu dengan daya tahan terhadap penggerek di laut, terutama pada kadar di atas 0,5%.

Muslich (1994) meneliti ketahanan kayu mahoni (Swietenia macrophylla King.) yang berumur 12, 21 dan 30 tahun melalui pengujian terhadap penggerek kayu di laut. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pada mahoni yang berumur muda mendapat serangan yang lebih hebat dari pada mahoni yang berumur lebih tua. Demikian juga bagian ujung batang mendapat serangan lebih hebat dari pada bagian pangkal. Hal ini membuktikan bahwa umur pohon berpengaruh terhadap ketahanan alami kayu. Daerah ketahanan tertinggi terletak pada perbatasan antara kayu gubal dengan kayu teras (Sumarni dan Muslich, 2008). Zat ekstraksi di dalam kayu terbentuk bersamaan dengan terjadinya perubahan kayu gubal menjadi kayu teras. Semakin tua umur pohon akan berpengaruh terhadap keawetan alami kayu, karena pada pohon yang lebih tua akan lebih banyak mengandung zat ektraktif (Muslich dan Rulliaty, 2009). Demikian juga pada bagian pangkal pohon akan dijumpai lebih banyak kandungan zat ekstraktif dari pada bagian ujung (Panshin and De Zeeuw, 1980).

Seperti jenis-jenis organisme perusak lainnya, penggerek kayu di laut mempunyai hubungan yang erat dengan lingkungan dan tempat tinggalnya. Kayu sebagai tempat tinggal, makanan atau penghasil makanan dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Faktor lingkungan antara lain temperatur, salinitas, arus, pasang surut dan lain sebagainya. Faktor-faktor ini dapat bersifat meningkatkan atau menghambat akti tas perkembangan penggerek kayu di laut. Muslich dan Sumarni (1988c) mengadakan penelitian mengenai pengaruh kondisi lingkungan terhadap serangan penggerek di laut, dengan memasang contoh uji kayu yang sama dibeberapa lokasi yaitu di muara sungai, pantai tempat istirahat perahu, Pulau Rambut dan di tengah

Page 205: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

189HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

laut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kayu yang dipasang di muara sungai dan tempat istirahat perahu mendapat serangan ringan. Kayu yang dipasang di Pulau Rambut dan di tengah laut mendapat serangan berat. Hal ini disebabkan salinitas di muara sungai dan di tempat istirahat perahu setiap tahun mengalami perubahan yang menyolok. Pada saat musim kemarau salinitasnya mencapai 30 permil, sedangkan pada musim penghujan turun sampai di bawah 10 permil. Lain halnya dengan kondisi di Pulau Rambut dan di tengah laut, salinitasnya relatif stabil sepanjang tahun sekitar 30 sampai 33 permil. Dengan demikian, salah satu usaha untuk mencegah serangan penggerek di laut dapat dilakukan dengan cara perahu yang baru beroperasi di laut dibawa ke perairan yang salinitasnya rendah sampai 1 minggu.

IV. RELATIVITAS KEAWETAN KAYU

Hadirin yang saya mulyakan,

Setiap jenis kayu mempunyai sifat keawetan yang berbeda, tergantung kepada zat ekstraktif yang terkandung di dalamnya. Zat ekstraktif yang bersifat racun terhadap suatu jenis organisme perusak, belum tentu bersifat racun terhadap organisme perusak lainnya. Suatu jenis kayu yang mempunyai keawetan tinggi terhadap jamur belum tentu mempunyai keawetan tinggi terhadap rayap ataupun penggerek kayu di laut, dan demikian pula sebaliknya (Muslich, 1998; Sumarni dan Muslich, 2004). Ketahanan alami kayu cenderung bersifat relatif, tergantung organisme yang menyerangnya. Dengan demikian, klasi kasi yang dibuat oleh Oey (1990) harus digunakan secara hati-hati, karena klasi kasi tersebut belum menyentuh ketahanan kayu terhadap penggerek di laut. Ada kecenderungan bahwa kayu yang tahan terhadap suatu organisme perusak belum tentu tahan terhadap serangan organisme perusak lainnya. Dengan demikian, kayu yang awet untuk konstruksi di darat belum tentu awet pula untuk konstruksi di laut.

Muslich dan Rulliaty (2011) melakukan penelitian kelas awet dari 15 jenis kayu andalan setempat terhadap rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus Light.), rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgreen.) dan penggerek kayu di laut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kayu tarisi (Albizia lebbech Benth.) sangat tahan terhadap rayap kayu kering, tetapi tidak tahan terhadap rayap tanah.

Kayu putih (Melaleuca cajuputi Powell.) tidak tahan terhadap rayap kayu kering, tetapi tahan terhadap rayap tanah. Kelima belas jenis kayu tersebut yang diuji di laut, tidak ada satupun yang tahan terhadap serangan penggerek di laut masing-masing masuk ke dalam katagori kelas awet III sampai V. Muslich dan Sumarni (2004) meneliti ketahanan 62 jenis kayu Indonesia terhadap penggerek kayu di laut, hasil penelitian menunjukkan bahwa intensitas serangan tinggi pada Calophyllum inophyllum, Elmerrillia ovalis., Hopea sangal, Khaya anthotheca, Pinus merkusii dan Pterospermum javanicum disebabkan oleh famili Teredinidae. Pada Dracontomelon mangiferum, Palaquium edule dan Shorea seminis intensitas serangan tinggi disebabkan oleh famili Pholadidae. Sedangkan pada Ailanthus malabarica, Albizzia falcataria, Aleurites muluccana, Anthocephalus cadamba dan Gmelina moluccana intensitas serangan tinggi disebabkan oleh famili Poladidae dan Teredinidae. Adanya perbedaan intensitas

Page 206: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

190 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

serangan tersebut disebabkan karena komponen kimia pada tiap jenis kayu berbeda. Kadar silika, kekerasan atau kerapatan dan kandungan zat ekstraktif yang bersifat racun dapat menekan serangan penggerek kayu di laut (Bianchi, 1933; Southwell dan Bultman, 1971). Sebaliknya pada komponen kimia yang berupa kandungan selulosa di dalam kayu akan lebih disukai oleh famili Teredinidae karena sebagai sumber makanannya (Turner, 1966) sehingga kayu yang banyak mengandung selulosa akan lebih cepat mendapat serangan (Muslich dan Sumarni, 1988c). Sumarni dan Roliadi (2002) mengatakan bahwa kayu yang dipakai di dataran rendah mempunyai ketahanan alami yang berbeda apabila dipakai di dataran tinggi.

Di Indonesia terdapat banyak jenis kayu yang memiliki kekuatan mekanis cukup tinggi yang digunakan untuk kayu perkapalan. Pada umumnya kayunya berat, kuat, keras, dan mempunyai keteguhan tinggi, hampir semua sifat teknis lainnya berbanding lurus dengan berat jenisnya. Faktor berat jenis seolah-olah ada korelasi terhadap kelas awet kayu, misalnya Eusideroxylon zwageri mempunyai berat jenis 1,04 sehingga kelas awetnya pun tinggi, sebaliknya Pinus merkusii yang mempunyai berat jenis rendah yaitu 0,55 mempunyai kelas awet rendah. Pernyataan tersebut ternyata tidak tepat. Muslich dan Sumarni (2005) meneliti keawetan 200 jenis kayu Indonesia terhadap penggerek kayu di laut, menunjukkan bahwa Eucalyptus alba, E. citriodora, E. platyphylla dan E. Urophylla yang masing-masing mempunyai berat jenis relatif tinggi yaitu 0,89; 0,80; 1,02 dan 1,05 ternyata kelas awetnya di bawah Tictona grandis yang berat jenisnya 0,63. Bila kita perhatikan lebih lanjut khusus dalam satu genus Eucalyptus, secara berurutan ketahanan kayu tersebut tergantung dari berat jenisnya. Semakin tinggi berat jenisnya akan semakin tinggi kelas awetnya. E. urophylla dan E. platyphylla termasuk kelas awet III, E. alba dan E. citriodora termasuk kelas awet IV, sedangkan E. deglupta yang mempunyai berat jenis paling rendah termasuk kelas awet V. Demikian pula berlaku pada keruing (Dipterocarpus), genus yang mempunyai berat jenis tinggi mempunyai kelas awet yang tinggi dibandingkan berat jenis yang lebih rendah. Dipterocarpus costulatus, Dcornutus, D. apendiculatus, D. palembanicus, dan D. retusus yang berturut-turut mempunyai berat jenis 0,90; 0,82; 0,78; 0,76 dan 0,75 mempunyai kelas awet III. Sedangkan D. hasselti mempunyai berat jenis 0,70 termasuk kelas awet IV. Meskipun keenam jenis kayu dari genus Dipterocarpus mempunyai berat jenis lebih tinggi dari Tectona grandis, ternyata kelas awetnya masih di bawahya. Oey (1990) menyatakan bahwa hubungan antara berat jenis dengan kelas awet kayu kurang berlaku umum dan kurang nyata. Adanya korelasi tersebut terbatas hanya pada species dalam satu genus. Muslich dan Sumarni (2006) menyatakan bahwa dalam satu genus, jenis kayu yang lebih berat biasanya akan lebih awet dari pada kayu yang lebih ringan. Lebih lanjut Oey menyatakan bahwa menjalin (Xanthophyllum stipitatum), pancal (Planconella obovata) dan asem jawa (Tamarindus indicus) yang berturut-turut mempunyai berat jenis 1,04; 1,01 dan 0,84 ternyata hanya sedikit memiliki ketahanan terhadap pembusukan jamur dan serangan dari serangga perusak kayu. Backer (1975) menyatakan bahwa yang lebih berpengaruh terhadap keawetan kayu adalah karena kandungan zat ekstraktifnya yang beracun bukan berat jenis kayunya.

Page 207: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

191HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

V. KELAS AWET KAYU TERHADAP ORGANISME PENGGEREK DI LAUT

Hadirin yang saya mulyakan,

Penelitian keawetan kayu terhadap organisme penggerek di laut pertama kali dilakukan oleh Gonggrijp (1932) dan Bianchi (1933) terhadap sembilan jenis kayu, Suherman et al., (1983) melakukan penelitian marine borers di Indonesia, Muslich dan Sumarni (2004) melakukan penelitian keawetan 62 jenis kayu yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia terhadap penggerek di laut. Selanjutnya secara berkala dilakukan penelitian kelas awet 200 jenis kayu Indonesia (Muslich dan Sumarni, 2005), dan sampai sekarang sudah mencapai 265 jenis.

Untuk menyusun klasi kasi keawetan alami jenis kayu terhadap penggerek di laut, diperlukan lokasi yang memenuhi persyaratan. Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian, Pulau Rambut mempunyai salinitas sekitar 30–33 permil dan temperaturnya sekitar 28–29ºC, pantainya berkarang, berpasir putih dan bebas dari polusi atau limbah buangan. Perubahan salinitas, temperatur, arus dan gelombang pada setiap tahunnya tidak menunjukkan perbedaan yang menyolok, sehingga populasi penggerek kayu di perairan tersebut dapat berkembang dengan baik. Oleh karena itu, perairan tersebut layak digunakan untuk pengujian kelas awet kayu terhadap organisme penggerek di laut (Muslich dan Sumarni, 1988c). Di samping itu untuk menentukan kelas awet juga diperlukan jenis kayu relatif banyak yang dapat mewakili jenis kayu lainnya.

Penentuan kelas awet kayu terhadap penggerek di laut, dilakukan pengujian sebanyak 200 jenis kayu yang berasal dari bebagai daerah di Indonesia yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung, Sumatera Selatan, Palembang, Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Ambon, Nusa Tenggara Timur dan Irian Jaya atau Papua. Masing-masing jenis kayu dibuat contoh uji berukuran 2,5 cm x 5,0 cm x 30 cm dengan ulangan 10 kali. Semua contoh uji diikat satu sama lain (dirakit) dengan tali plastik, sebagai sekat diantara contoh uji digunakan selang plastik. Contoh uji yang sudah dirakit, dipasang di perairan Pulau Rambut secara horizontal seperti yang dilakukan oleh Muslich dan Sumarni (1987b). Setelah 6 bulan contoh uji diambil, pengamatan dilakukan dengan membelah contoh uji menjadi dua bagian dan dinilai intensitas serangan terhadap penggerek di laut. Analisa data dihitung berdasarkan nilai dari persentase intensitas serangan dalam persen setelah terlebih dahulu ditransformasikan ke dalam nilai arcsin %. Untuk menetapkan kelas awet suatu jenis kayu terhadap penggerek di laut, terlebih dahulu diurut nilai rata-rata persentase intensitas serangan terkecil dan persentase intensitas serangan terbesar. Kemudian untuk menentukan 5 kelas awet, nilai selang antara masing-masing kelas diperoleh dari selisih nilai intensitas serangan terbesar dengan intensitas terkecil dibagi dengan 5. Berdasarkan klasi kasi ini, diperoleh sebaran kelas awet seperti pada Tabel 1 (Muslich dan Sumarni, 2005).

Page 208: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

192 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Tabel 1. Sebaran kelas awet kayu terhadap penggerek di laut

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 200 jenis contoh uji kayu yang dipasang di perairan Pulau Rambut selama 6 bulan, sebagian besar mendapat serangan berat dari penggerek di laut. Hasil klasi kasi kelas awet dari 200 jenis kayu tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1 dan sebagai pembanding dicantumkan pula kelas awet kayu menurut klasi kasi Oey (1990). Lampiran 1 menunjukkan bahwa dari 200 jenis kayu, hanya 5 jenis atau 2,5% saja yang termasuk dalam kelas awet I yaitu resak (Cotylelobium fl avum Pierre.), kandole (Diploknema oligomera H.J.L.), ulin (Eusidiroxylon zwageri T.et B.), kayu besi (Metrosideros petiolata Kds.) dan pelawan merah (Tristania maingayi Duthie.). Selanjutnya 10 jenis atau 5% yang termasuk kelas awet II yaitu empas (Bouea burmanica Griff.), eboni (Diospiros celebica Bakh.), bangkirai (Hopea dryobalanoides Miq.), tanjung (Mimusops elingi L.), kusegoro (Neonauclea maluense S.Moore.), gewaya hutan (Parastemon versteeghii Merr.et Perry.), kolaka (Parinari corymbosa Miq.), jati (Tectona grandis L.f.), bitti (Vitex cofassus Reinw.), dan laban (Vitex pubescens Val.). Sebagian besar lainnya yaitu 26 jenis atau 13% termasuk kelas III, 50 jenis atau 25% termasuk kelas IV dan 109 atau 54.5% termasuk kelas V.

Penggerek yang menyerang contoh uji hanya dari golongan Mollusca dan tidak ditemukan dari golongan Crustacea. Hal ini disebabkan pemasangan semua contoh uji dalam keadaan terendam air laut, sedangkan serangan dari golongan Crustacea hanya pada batas permukaan pasang surut (Atwood dan Johnson, 1924). Hasil identi kasi jenis penggerek yang ditemukan yaitu Martesia striata Linne dari famili Pholadidae, Teredo bartchi Clapp., Dicyathifer manni Wright., dan Bankia cieba Clench/Turner dari famili Teredinidae. Jenis-jenis penggerek tersebut pernah ditemukan juga oleh Mata dan Siriban (1972) di perairan Philippina dan Menon (1957) di perairan Malaysia.

Hampir semua kelas awet pada hasil pengujian jenis kayu terhadap penggerek di laut berbeda dengan klasi kasi yang disusun oleh Oey (1990). Hal tersebut disebabkan bahwa kelas awet yang disajikan ini didasarkan atas penelitian pada satu kondisi saja yaitu di laut, sedangkan klasi kasi yang disusun oleh Oey, 1964) tidak di dasarkan pada penelitian di laut. Oey Djoen Seng (1990) dalam menetapkan kelas awet kayu hanya mempergunakan data pada tiket herbarium, yang berdasarkan atas keterangan dari penduduk sekitar hutan dan tempat jenis pohon tersebut tumbuh. Selanjutnya dicocokkan juga dengan pengalaman umum mengenai sifat kayu dengan data dari berbagai sumber. Dengan demikian jelas bahwa klasi kasi yang disusun oleh Oey (1990) terdapat banyak perbedaan dengan hasil kelas awet dari hasil penelitian ini.

Kelas awet Intensitas seranganarcsin % Selang intensitas serangan

I

II

III

IV

V

<7

7 - 27

27 - 54

54 - 79

>79

Sangat tahan (Very resistant)

Tahan (Resistant)

Sedang (Moderate)

Buruk (Poor)

Sangat buruk (Very poor)

Intensitas serangan

Page 209: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

193HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

VI. EFISIENSI DAN DIVERSIFIKASI PENGGUNAAN KAYU

Hadirin yang saya mulyakan,

Pada masa lalu masyarakat masih bisa memilih jenis kayu yang mempunyai kelas awet tinggi seperti ulin, laban, jati, merbau dan lainnya untuk keperluan di laut. Namun sekarang persedian jenis-jenis kayu tersebut sudah banyak berkurang, sedangkan yang diperlukan semakin bertambah. Salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan kayu tersebut perlu mengenalkan beberapa jenis kayu alternatif sebagai kayu pengganti. Muslich et al. (2012) telah menguji ketahanan 265 jenis kayu Indonesia terhadap penggerek kayu di laut. Hasil yang diperoleh telah didapatkan 38 jenis kayu alternatif yang dimungkinkan layak digunakan untuk pembuatan kapal. Ketiga puluh delapan jenis kayu tersebut sesuai dengan kriteria persyaratan pada buku konstruksi kapal laut yang disusun oleh Biro Klasi kasi Indonesia tahun 1995. Di samping itu dari hasil pengujian 265 jenis kayu di atas telah didapatkan pula banyak jenis kayu yang mempunyai kekuatan mekanis tinggi, tetapi tidak semua memiliki daya tahan terhadap penggerek di laut. Untuk mengantisipasi agar kayu tersebut dapat digunakan untuk keperluan di laut, maka dapat dilakukan dengan teknologi pengawetan (Muslich, 1999). Muslich (2006) telah mencoba 16 jenis kayu yang diawetkan dengan copper bichromated boron (CCB) 3% melalui metode vakum tekan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua kayu yang diawet setelah direndam di perairan Pulau Ballang Lompo (Sulawesi Selatan) selama 12 bulan belum mendapat serangan dari penggerek kayu di laut. Sebaliknya dari 16 jenis kayu yang tidak diawet, baru direndam selama 4 bulan saja sudah mendapatkan serangan pada tingkat intensitas sedang sampai berat.

Keterbatasan dan sulitnya untuk mendapatkan jenis kayu yang layak digunakan di laut, masyarakat memakai jenis kayu yang berasal dari hutan tanaman industri maupun hutan rakyat. Pada umumnya jenis tersebut ditebang pada umur yang relatif masih muda dan termasuk jenis kayu yang cepat tumbuh sehingga mempunyai kualitas dan kelas awet yang rendah. Sehubungan dengan hal tersebut perlu adanya teknologi yang dapat meningkatkan kualitas kayu tersebut. Diharapkan kayu hutan industri maupun hutan rakyat dapat dimanfaatkan secara optimal, terutama untuk keperluan di laut. Muslich dan Hadjib (1990;1989; 2008) dalam rangka meningkatkan kualitas kayu hutan rakyat, telah mencoba membuat kayu plastik yang dikenal dengan Wood Plastic Composite (WPC).

Kayu plastik yang dibuat berasal dari kayu jeungjing (Parasarianthes falcataria), damar (Agathis loranthifolia), pinus (Pinus merkusii), karet (Hevea brasilliensis) yang berasal dari hutan tanaman. Perlakuan yang diberikan adalah melalui metode polimerisasi radiasi dengan menggunakan monomer stiren dan metal metakrilat (MMA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kayu plastik tersebut dapat meningkatkan sifat sis dan mekanis serta tahan terhadap penggerek di laut.

Penggunaan kayu untuk komponen kapal masih terbatas pada kayu solid dan kayu tertentu yang persediaannya semakin berkurang. Usaha untuk menunjang kesinambungan bahan baku kayu industri perkapalan, dapat dilakukan dengan menggunakan jenis kayu lain dari hutan tanaman melalui teknologi pengawetan dan pembuatan balok lamina atau glulam.

Page 210: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

194 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Teknologi pengawetan dilakukan untuk meningkatkan umur pakai kayu, sedangkan pembuatan balok lamina untuk meningkatkan kekuatan mekanis (Muslich dan Hadjib, 2010). Pembuatan komponen kapal kayu dengan teknologi ini dapat memanfaatkan kayu berdiameter kecil menjadi kayu solid sesuai yang dikehendaki. Hal ini merupakan diversi kasi dan e siensi dalam penggunaan kayu.

Industri kapal rakyat yang kini hidup secara dinamis di beberapa daerah di Indonesia adalah industri kapal kayu tradisional dengan berbagai ukuran. Salah satu usaha untuk mengatasi keterbatasan bahan baku kayu, dapat dilakukan dengan teknologi pengawetan dan pembuatan balok lamina. Kayu jati, mahoni dan mangium merupakan kayu cepat tumbuh yang sudah banyak ditanam oleh masyarakat. Tanaman tersebut biasa dipanen pada umur muda, diameternya masih kecil dan kualitasnya rendah sehingga tidak sesuai untuk kayu struktural. Muslich et al., (2010) melakukan penelitian mengenai diversi kasi bahan baku untuk kapal kayu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa balok lamina yang dibuat dari kayu hutan tanaman dapat meningkatkan nilai kerapatan, keteguhan lentur statik (MOR dan MOE) sehingga memungkinkan dipakai untuk kayu struktural.

Hadjib et al. (2011) membuat komponen kapal kayu berupa glulam dari kayu cepat tumbuh yaitu jati dan mangium umur 9 tahun, serta mahoni umur 14 tahun yang berasal dari hutan tanaman. Kegiatan ini bertujuan membuat prototipe komponen kapal dari kayu hutan tanaman melalui teknologi pengawetan dan pembuatan balok lamina atau glulam. Sasaran kegiatan adalah tersedianya informasi ilmiah mengenai penyempurnaan sifat kayu hutan tanaman sebagai bahan baku kayu untuk komponen kapal. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa berdasarkan nilai MOE dan MOR, semua glulam yang dibuat memenuhi standar JAS 234:2003, sedangkan uji ketahanan yang dilakukan di laut juga tahan terhadap serangan penggerek.

VII. PENUTUP DAN UCAPAN TERIMA KASIH

Hadirin yang saya mulyakan,

Demikian uraian singkat mengenai permasalahan dan solusi penggerek kayu di laut yang bisa saya sampaikan. Semoga bermanfaat bagi kita semua, terutama bagi para pengguna kayu untuk di laut yang kini sumber daya hutan makin menipis.

Sebelum mengakhiri orasi ini, perkenankan saya menyampaikan terima kasih dengan tulus kepada:

1. Bapak Ketua LIPI atas kepercayaan yang diberikan kepada saya untuk menduduki jabatan Ahli Peneliti Utama.

2. Semua peneliti senior baik yang sudah pari purna maupun yang masih aktif, mereka telah mendorong, membimbing secara langsung maupun tidak langsung.

3. Semua pimpinan di instansi ini yang telah memberi fasilitas, sarana prasarana dan kepercayaan selama ini.

Page 211: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

195HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

4. Semua guru dan dosen saya yang telah memberi dasar pengetahuan dari berbagai bidang ilmu.

5. Semua teman-teman yang selama ini bekerjasama dan membantu diberbagai keperluan, baik di kelti Biologi dan Pengawetan maupun dari kelti lainnya bersama teknisinya.

6. Ibu dan Bapak saya yang telah tiada, telah membesarkan, mendidik dan mendorong serta memberi nasehat agar menjadi manusia yang berilmu dan berakhlaq baik. Ucapan khusus, saya sampaikan pada isteri tercinta dan keempat putri kami dengan pengorbanan telah memberikan peluang untuk meraih semua ini.

Pada akhirnya saya mohon maaf sebesar-besarnya atas segala kesalahan dan kekhilafan baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Saya akhiri orasi ini dengan Q.S. Ar-Rad, 17: “Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sebelum mereka merubah nasibnya sendiri”

Wassalamu ’alaikum warohmatullahi wa barokaatuh.

DAFTAR PUSTAKA

Atwood, W.G. and A. A. Johnson. 1924. Marine Structures Their Deterioration and Preservation. National Research Council Washington, D.C.

Amin, A., Asri, S. dan Muladi,S. 2002. Tinjauan sosiologis dan ekonomis pada bidang agribisnis, sektor kehutanan. http.//unmul.ac.id/dat/pub/lemit/ tinjauan sosiologis.pdf. Lembaga Penelitian Universitas Mulawarman, Samarinda.

Bianchi, A.T.J. 1933. The resistance of some Netherlands East Indian Timbers against the attack of shipworms (Teredo). Fith Paci c Congress, Canada.

Cragg, S.1979. Wood borers in the Purari Delta and some Adjacent Areas. Ecology of the Purari River catchment (Ed.T.Pert.) Purari River (Wabo) Hydroelectric Scheme, Environmental Studies Vol.10. Of ce of Environment and Conservation, Central Government Of ces, Waigani and Dep. of Minerals and Energy, P.O.Box 2352, Konedobu, Papua New Guinea.

Da Costa, E.W.B., Rudman, P. and F.J. Gay. 1985. Investigation on the durability of Tectona grandis. Empire Forestry Review. Vol. 37: 291-298. Forest Products Journal, Canada.

Gongrijp, J.W. 1932. Gegevens betreffende een onderzoek naar Nederlandsch-Indische houtsoorten, welke tegen den pealworm bostand zijn. Mededeeligen van het Boschbouwproeftation, Bogor.

Hadjib, N., M. Muslich, E. Basri, M.Iskandar dan J. Malik. 2011. Laporan Ristek 2011. Pemanfaatan kayu cepat tumbuh untuk komponen kapal kayu. Program Insentif Riset Terapan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor.

Page 212: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

196 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Martawijaya, A.1996. Petunjuk teknis keawetan kayu dan faktor yang mempengaruhinya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.

Mata, P.G. and F.R. Siriban. 1972. Resistance of woods to marine borers. Technical Note, No. 171. FORPRIDE COM. College, Laguna 3720, Philippines.

Menon, K.D. 1957. A Note on marine borers in Malayan waters. Reprinted from the Malayan Forester, Vol.XX, No.1pp. 1-6. Issued by the Ministry for Agriculture, Kuala Lumpur.

Muslich, M. 1994. The Preservative treatment of mahogany lumber (Swietenia macrophylla King.) against marine borers. Unpublished Masters Thesis, University of the Philippines at Los Banos, College, Laguna.

Muslich, M. 1998. Vareasi dan relati tas ketahanan alami kayu. Eboni (Publikasi semi ilmiah/populer) BPK Ujung Pandang No. 1: 11-18. Balai Penelitian Kehutanan, Ujung Pandang,

Muslich, M. 1999. The resistance of ten treated and untreated tropical wood species to marine borers. Buletin Penelitian Kehutanan BPK Ujung Pandang Vol. 4: 74-83. Balai Penelitian Kehutanan, Ujung Pandang,

Muslich, M. 2006. The CCB treatment of sixteen Indonesian wood species against marine borers. Journal of Forestry Research 3 (1): 41-53. Forest Research and Development Agency, Jakarta.

Muslich, M dan G. Sumarni, 1987a. Marine borers dan permasalahannya. Jurnal Penelitian Kehutanan. Vol. III (2): 17-23).Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor.

Muslich, M dan G. Sumarni. 1987b. Pengaruh salinitas terhadap serangan penggerek kayu di laut pada beberapa jenis kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Bogor, Vol. 4, No. 2 : 46-49. Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor.

Muslich, M dan G. Sumarni. 1988a. Intensitas dan tipe serangan penggerek kayu di perairan Pulau Rambut dan Puntung Jawa. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 5(3): 118-122. Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor.

Muslich, M dan G. Sumarni.. 1988b. Laju serangan Pholadidae dan Teredinidae pada beberapa jenis kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, Vol. 5, No. 7 pp.400-403. Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor.

Muslich, M dan G. Sumarni.. 1988c. Pengaruh kondisi lingkungan terhadap serangan penggerek kayu di laut. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Bogor 5(5): 294-297. Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor.

Muslich, M dan G. Sumarni.. 2004. Ketahanan 62 jenis kayu ndonesia terhadap penggerek kayu di laut. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Bogor 22(3): pp. 183-191. Pusat Libang Teknologi Hasil Hutan, Bogor.

Page 213: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

197HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Muslich, M dan G. Sumarni. 2005. Keawetan 200 jenis kayu Indonesia terhadap penggerek di laut. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Bogor. 23(3): pp. 163-176. Pusat Libang Teknologi Hasil Hutan, Bogor.

Muslich, M dan G. Sumarn. 2006. Keawetan 25 jenis kayu Dipterocarpaceae terhadap penggerek kayu di laut.Jurnal Penelitian Hasil Hutan Bogor 24(3): 191-200. Pusat Libang Teknologi Hasil Hutan, Bogor.

Muslich, M. dan N. Hadjib. 1989. Kemungkinan pembuatan kayu plastic, komposit dari pada kayu hutan tanaman industry. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. VolV, No.2. Badan Litbang Kehutanan, Bogor.

Muslich, M. dan N. Hadjib. 1990. The Preservation of Marine Borer by Wood Polymerisation. IUFRO Symposium. Rutorua, New Zealand.

Muslich, M. dan N. Hadjib. 2008. The possibility of using timber from plantation forest treated with plastic and CCB for marine construction.Journal of Forestry Research. Vol.5, No.1 Forestry Research and Development Agency, Jakarta.

Muslich, M. dan N. Hadjib. 2010. Peningkatan pemanfaatan Jati Plus Perhutani (JPP) untuk kayu lamina. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Bogor 28(3): 255-262. Pusat Libang Teknologi Hasil Hutan, Bogor.

Muslich, M., G. Sumarni, N. Hadjib, M. Iskandar dan Abdurachman. 2010. Diversi kasi bahan baku untuk komponen kapal kayu. Laporan Ristek 2010, Program Insentif Riset Terapan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor.

Muslich,M., Hadjib, N. dan S. Rulliaty. 2012. Kayu alternatif untuk industri perkapalan. Ekspose Hasil Penelitian Pustekolah di Hotel Royal 3-4 Desember 2012, Bogor.

Muslich, M dan S. Rulliaty. 2009. The Resistance of mahogany (Swietenia macrophylla King.) wood against marine borers. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Bogor 27(1): 88-95. Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor.

Muslich, M dan S. Rulliaty. 2011. Kelas awet 15 jenis kayu andalan setempat terhadap rayap kayu kering, rayap tanah dan penggerek di laut. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 29 (1): 67-77. Pusat Libang Teknologi Hasil Hutan, Bogor.

Oey Djoen Seng. 1990. Berat jenis dari jenis-jenis kayu Indonesia dan Pengertian beratnya kayu untuk keperluan praktek. Pengumuman No. 1. Lembaga Penelitian Hasil Hutan, Bogor.

Panshin, A.J. and C. d Zeeuw. 1980. Textbook of wood technology. 14th ed Mc Graw-Hill Book Co. pp. 351-402.

Southwell, C.R. and J.D. Bultman. 1971. Marine borers resistance of untreated woods over long periods of immersion in tropical waters. Biotropica 3, 1. pp. 81-107. Naval Research Laboratory, Washington D.C.

Page 214: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

198 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Suherman. 1983. Natural Durability and treatability some Indonesian timbers. Ph.D. thesis. Portsmouth Polytechnic, England.

Sumarni, G. dan H. Roliadi. 2002. Daya tahan 109 jenis kayu Indonesia terhadap rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgreen). Buletin Penelitian Hasil Hutan 20(3): 177–185. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan., Bogor.

Sumarni, G. Dan M. Muslich. 1986. Beberapa jenis binatang laut perusak kayu yang terdapat di Pantai Utara Jawa. Lembaran Penelitian No. 22. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor.

Sumarni, G. dan M.Muslich. 2004. Keawetan 52 jenis kayu Indonesia. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Bogor 22(1): 1-8. Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor.

Sumarni, G. Dan M. Muslich. 2008. Kelas awet 25 jenis kayu andalan setempat terhadap rayap kayu kering dan rayap tanah. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Bogor 26(4): 323-341. Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor

Supriana, N. 1999. Rayap dan kayu. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Badan Litbang Kehutanan dan Perkebunan, Jakarta.

Turner, R.D. 1966. A survey and illustrated catalogue of the teredinidae. Harvard University, Cambridge, Mass.

Turner, R.D. 1971. Identi cation of marine wood-boring mollusks. Marine borers, fungi and fouling organisms of wood. Organisation for Economics Co-operation and Development, Paris.

Page 215: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

199HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

No.

No.

K

olek

si (C

olle

ctio

n)

Jeni

s kay

u (W

ood

spec

ies)

N

ama

daer

ah

(Loc

al n

ame)

A

sal k

ayu

(Ori

gins

of w

ood

)

Ber

at je

nis

(Spe

cific

gr

avity

)

Inte

nsita

s ser

anga

n (A

ttack

inte

nsity

) K

elas

aw

et

(Dur

abili

ty)

Kel

as a

wet

/ O

ey

(Dur

abili

ty

clas

s/O

ey)

%

Arc

sin

V%

1.

3010

4 Ac

asia

man

gium

Will

d.M

angi

um

Jaw

a B

arat

0.

73

67

54.9

38

IV

III

2.

3401

8 Ad

enan

ther

a m

icro

sper

ma

T.et

B.

Sem

bree

na

Iria

n Ja

ya

0.80

40

39

.230

II

I II

-I

3.

3411

2 Ag

athi

s bor

neen

sisW

arb

- Ja

wa

Bar

at

0.55

86

68

.027

V

IV

4.

3406

5 Ag

athi

s bec

ceri

iWar

l.D

amar

dag

ing

Jaw

a B

arat

0.

52

90

71.5

65

V

IV

5.

3406

4 Ag

atth

is b

eeki

ngii

M.D

r.K

idam

ar

Jaw

a B

arat

0.

51

90

71.5

65

V

IV

6.

3406

3 Ag

athi

s cel

ebic

a W

arl.

Dam

ar

Jaw

a B

arat

0.

61

86

68.0

27

V

IV

7.

3400

4 Ag

laia

eus

ider

oxyl

on K

.et V

.Sa

o Ir

ian

Jaya

0.

72

66

54.3

31

1V

II-I

II

8.

- Ai

lant

hus i

nteg

rifo

liaLa

mp.

- Su

law

esi T

enga

h 0.

38

95

77.0

90

V

-

9.

3386

Ai

lant

hus m

alab

aric

aD.C

.K

iront

asi

Sula

wes

i Ten

gah

0.38

80

63

.435

V

V

10.

- Al

bizi

a fa

lcat

aria

L. F

osbe

rgSe

ngon

Ja

wa

Bar

at

0.33

96

78

.463

V

IV

/V

11.

3392

9 Al

ston

ia a

ngus

tilob

aMiq

.Pu

lai

Lam

pung

0.

36

76

60.0

00

V

V

12.

3407

6 Al

ston

ia c

onge

ngsi

s Eng

l.Pu

lai

Jaw

a B

arat

-

90

71.5

65

V

-

13.

3400

6 Al

ston

ia c

ythe

ria

Sm.n

.Su

suk

Iria

n Ja

ya

- 90

71

.565

V

-

14.

- Al

ston

ia p

neum

atop

hora

Bak

h.Pu

lai r

awan

g Su

law

esi S

elat

an

0.34

93

74

.658

V

V

15.

N48

74

Altin

gia

exce

lsaN

oron

ha.

Ras

amal

a Ja

wa

Bar

at

0.81

66

54

.331

IV

II

-III

16.

3403

3 An

thoc

epha

lus c

adam

baM

iq.

Saif

Iria

n Ja

ya

- 90

71

.565

V

-

17.

3403

5 An

tiari

s tox

icar

ia L

esch

.B

asoa

h Ir

ian

Jaya

0.

42

95

77.0

90

V

V

Lam

pira

n 1.

Kel

as k

eaw

etan

200

jeni

s kay

u In

done

sia

terh

adap

pen

gger

ek d

i lau

t

Page 216: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

200 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

18.

3393

0 Ar

toca

rpus

lanc

eifo

lius R

oxb.

Mer

sipu

t K

alim

anta

n Ti

mur

0.

42

93

74.6

58

V

III

19.

3412

1 Bi

scho

ffia

java

nica

Bl.

Gad

og

Jaw

a B

arat

0.

75

65

53.7

29

V

III-

II

20.

3391

0 Bl

umeo

dend

ron

tund

ifoliu

m M

eer.

Peru

puk

Kal

iman

tan

Bar

at

0.63

80

63

.435

V

IV

21.

3392

1 Bo

uea

burm

anic

a G

riff.

Empa

s K

alim

anta

n Ti

mur

1.

02

27

31.3

06

II

II

22.

3396

5 Bu

rcke

lla m

acro

poda

H.J.

L.N

yato

h A

mbo

n 0.

66

69

56.1

67

V

-

23.

3390

2 C

alop

hyllu

m in

ophy

llum

L.

Nya

mpl

ung

Ria

u 0.

69

45

42.1

30

III

II-I

II

24.

3391

8 C

alop

hyllu

m so

ulat

ri B

urm

.f.M

engk

akal

K

alim

anta

n B

arat

0.

54

73

58.6

93

IV

II-I

V

25.

3391

5 C

ampn

ospe

rma

mac

roph

ylla

Hoo

k.f

Tere

ntan

g K

alim

anta

n B

arat

0.

48

90

71.5

65

V

V

26.

3395

7 C

anar

ium

vul

gare

Lum

k.K

enar

i A

mbo

n -

85

67.2

13

V

-

27.

3386

9 C

anar

ium

sum

atra

num

Boe

rl.et

Kds

Ken

ari

Lam

pung

0.

53

85

67.2

13

V

V

28.

3403

2 C

anan

ga o

dora

ta H

ook

et. T

h.W

afut

Ir

ian

Jaya

0.

33

73

58.6

93

V

IV-V

29.

3411

8 C

assi

a si

amea

Lam

p.Jo

hor

Jaw

a B

arat

0.

84

35

36.2

71

III

I-II

30.

N48

57

Cas

tano

psis

java

nica

A.D

c.K

ali m

orot

Ja

wa

Bar

at

0.68

93

74

.658

V

II

I

31.

3405

3 C

edre

lla m

exic

ana

M..R

oem

.H

anda

rusa

Ja

wa

Bar

at

- 90

71

.565

V

II

I

32.

3400

0 C

eltis

latif

olia

Pla

nch.

Schi

ega

Iria

n Ja

ya

0.52

83

65

.650

V

IV

33.

3407

7 C

erop

ia p

elta

ta L

.B

os p

epay

a Ja

wa

Bar

at

- 90

71

.566

V

-

34.

- C

olon

a sc

abra

Bur

r.B

unu

Sula

wes

i Sel

atan

0.

40

96

78.4

63

V

V

35.

3391

4 C

otyl

elob

ium

flav

um P

ierr

e.R

esak

K

alim

anta

n B

arat

1.

01

0.00

0

I I

36.

3393

1 C

rato

xylo

n ar

bore

scen

s Bl.

Ger

ungg

ang

Kal

iman

tan

Tim

ur

0.47

96

78

.463

V

IV

37.

3413

4 D

acry

odes

rost

rata

H.J.

L.K

emay

an

Jaw

a B

arat

0.

91

45

42.1

30

III

III

38.

3390

3 D

acty

locl

adus

sten

osta

chys

Oliv

.M

entib

u K

alim

anta

n B

arat

0.

53

85

67.2

13

V

IV/V

39.

- D

albe

rgia

par

viflo

ra R

oxb.

K

ayu

taka

Ja

wa

Bar

at

0.83

33

35

.061

II

I I

Page 217: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

201HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

40.

3380

5 D

ialiu

m p

laty

sepa

lum

Bak

er.

Ker

anji

Sum

ater

a Se

lata

n 0.

98

35

36.2

71

III

I

41.

3407

9 D

iosp

yros

cel

ebic

a B

akh.

Ebon

i Su

law

esi T

enga

h 0.

92

23

28.6

58

II

I

42.

3398

9 D

iosp

yros

mac

roph

ylla

Bl.

Mau

rula

Su

law

esi T

enga

h

0.60

83

65

.650

V

V

43.

- D

iosp

yros

pilo

sant

hera

Bla

nco.

K.h

it. p

erem

puan

Su

law

esi T

enga

h 0.

80

70

56.7

90

IV

II-I

II

44.

- D

iplo

knem

a ol

igom

era

H.J.

L.K

ando

le

Sula

wes

i Ten

ggar

a 1.

12

0 0

I I-

II

45.

3393

4 D

illen

ia re

ticul

ata

Kin

g.Si

mpu

r Ja

wa

Bar

at

0.75

66

54

.331

IV

II

I

46.

3385

7 D

ipte

roca

rpus

ape

ndic

ulat

us S

chy.

Ker

uing

K

alim

anta

n Te

ngah

0.

78

45

42.1

30

III

III

47.

3385

3 D

ipte

roca

rpus

cau

dife

rus M

err.

Ker

uing

d.lb

r. K

alim

anta

n Ti

mur

0.

69

70

56.7

89

IV

IV

48.

3393

9 D

ipte

roca

rpus

cor

nutu

s Dye

r.K

erui

ng b

ulu

Kal

iman

tan

Tim

ur

0.82

50

45

.000

II

I IV

49.

3404

9 D

ipte

roca

rpus

retu

sus B

l.K

ruin

g Ja

wa

Bar

at

0.75

50

45

.000

II

I II

I

50.

3399

1 D

raco

ntom

elon

dao

Mer

r.Et

Rol

feK

aili

Sula

wes

i Ten

gah

0.63

73

58

.693

IV

II

-IV

51.

3398

7 D

raco

ntom

elon

man

gife

rum

Bl.

Rau

Su

law

esi T

enga

h 0.

58

66

54.3

31

IV

IV

52.

3397

9 D

rype

tes l

ongi

folia

Pax

. Et H

off.

Bat

u K

. A

mbo

n 0.

78

50

45.0

00

III

III

53.

3395

6 D

uaba

nga

mol

ucca

na B

l.B

enua

ng la

ki

Kal

iman

tan

Tim

ur

0.39

93

74

.658

V

IV

-V

54.

3399

4 D

urio

zibe

thin

us M

urr.

Dur

ian

Sula

wes

i Ten

gah

0.57

73

58

.693

IV

IV

-V

55.

3393

6 D

urio

oxl

eyan

us G

riff.

Kei

ben

gong

K

alim

anta

n Ti

mur

0.

61

75

60.0

00

IV

IV-V

56.

3396

2 D

rype

tes l

ongi

folia

Pax

et H

off.

Bun

iyag

a Su

law

esi S

elat

an

0.78

56

48

.446

IV

II

I

57.

3383

1 D

yera

cos

tula

ta H

ook.

F.

Jelu

tung

K

alim

anta

n Te

ngah

0.

4390

71

.563

V

V

58.

3402

5 El

aeoc

arpu

s sph

aeri

cus K

.Sch

um.

Hon

gmak

o Ir

ian

Jaya

0.

49

90

71.5

65

V

V

59.

- El

aeoc

arpu

s deg

lupt

a B

l.-

Sula

wes

i Sel

atan

0.

57

85

67.2

13

V

-

60.

- El

mer

rilia

ova

lis D

andy

.U

ru

Sula

wes

i Sel

atan

0.

43

85

67.2

13

V

II

61.

3389

3 En

dosp

erm

um m

alac

cens

e M

uell.

Send

ok-s

endo

k R

iau

0.45

90

71

.565

V

V

62.

3410

5 Eu

caly

ptus

alb

a R

eiw

.A

mpu

pu

Jaw

a B

arat

0.

89

66

54.3

31

IV

III-

II

Page 218: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

202 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

63.

3406

2 Eu

caly

ptus

deg

lupt

a B

l.Le

da

Jaw

a B

arat

0.

57

90

71.5

65

V

IV

64.

3406

9 Eu

caly

ptus

citr

iodo

ra H

ook.

- Ja

wa

Bar

at

0.80

70

56

.789

IV

II

I

65.

3409

7 Eu

caly

ptus

pla

typh

ylla

F.V

.M.

Yua

mea

N

TT

1.02

33

35

.061

II

I II

-III

66.

3409

6 Eu

caly

ptus

uro

phyl

la S

.T.B

lake

- N

TT

1.05

46

42

.705

7 II

I II

67.

3395

9 Eu

geni

a po

lyan

tha

Wig

ht.

Gos

ula

Am

bon

0.64

96

98

.463

V

II

I

68.

3376

4 Eu

side

roxy

lon

zwag

eri T

.et B

Ulin

K

alim

anta

nTim

ur

1.04

0

0 I

I

69.

3412

2 Ev

odia

aro

mat

icaB

l.K

i sam

pang

Ja

wa

Bar

at

0.43

85

67

.213

V

V

70.

3397

7 Fi

cus n

ervo

sa H

eyne

.B

erin

gin

Sula

wes

i Ten

gah

0.30

95

77

.079

V

V

71.

3397

6 Fi

cus p

ubin

ervi

s Bl

Ber

ingi

n Su

law

esi T

enga

h 0.

42

76

60.7

IV

V

72.

3389

8 Fr

agra

ea fr

agan

s Rox

l.Te

mbe

su

Ria

u 0.

81

35

36.2

71

III

I

73.

3382

3 G

anua

mot

leya

na P

ierr

e.K

etia

n Pa

lem

bang

0.

56

85

67.2

13

V

IV

74.

3401

0 G

anop

hyllu

m fa

lcat

um B

l.Se

hara

Ir

ian

Jaya

0.

79

60

50.7

68

IV

III

75.

3391

6 G

onys

tylu

s ban

canu

s Kur

z.R

amin

K

alim

anta

n B

arat

0.

63

80

63.4

35

V

V

76.

3388

8 G

onys

tylu

s mac

roph

yllu

s A.S

haw

.Pu

lai m

iang

R

iau

0.62

85

67

.213

V

V

77.

- G

onys

tylu

s vel

utin

us A

.Sha

w.

Sera

nai

Ria

u 0.

59

80

63.4

35

V

V

78.

3412

3 G

ossa

mpi

nus m

alab

aric

aAls

t.R

andu

ala

s Ja

wa

Bar

at

0.30

95

77

.079

V

V

79

- H

aplo

lobu

s cel

ebic

us H

.J.L

Leng

ai

Jaw

a B

arat

0.

64

83

65.6

50

V

III-

IV

80.

3400

9 H

erna

ndia

ovi

gera

L.

Fofo

Ir

ian

Jaya

0.

31

95

77.0

79

V

V

81.

N48

62

Her

itier

a ja

vani

ca

Pong

okan

Ja

wa

Bar

at

- 75

60

.000

IV

-

82.

3395

8 H

eriti

era

litor

alis

Dey

and.

Rar

um

Am

bon

- 66

54

.331

IV

-

83.

- H

evea

bra

silie

nsis

Mue

ll. A

rg.

Bal

au p

erak

Ja

wa

Bar

at

0.61

80

63

.435

V

V

84.

3394

4 H

ollu

tus b

lum

canu

s Mue

ll A

ry.

Peru

puk

Kal

iman

tan

Tim

ur

- 66

54

.331

IV

-

85.

3403

4 H

omal

ium

foet

idum

Ben

th.

Petio

n Ir

ian

Jaya

0.

76

50

45.0

00

III

II-IV

Page 219: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

203HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

86.

3384

0 H

opea

dry

obal

anoi

des M

iq.

Ban

gkira

i K

alim

anta

n Te

ngah

0.

72

2 0

26.5

65

II

II(I

II-I

)

87.

3393

2 H

opea

men

gara

wan

Miq

Nye

raba

t K

alim

anta

n Ti

mur

0.

71

65

53.7

29

IV

II-I

II

88.

3408

1 H

opea

odo

rata

Rox

b.-

Jaw

a B

arat

-

80

63.4

35

V

-

89.

3410

2 H

opea

sang

al K

orth

.C

enga

l Ja

wa

Bar

at

0.70

65

53

.729

IV

II

-III

90.

3386

6 H

opea

sang

al K

orth

.M

eraw

an

Lam

pung

0.

70

75

60.0

00

IV

II-I

II

91.

3402

0 H

orsp

ecdi

a sy

lver

tris

War

b.B

omsi

Ir

ian

Jaya

-

90

71.5

65

V

-

92.

3408

2 H

ymen

aea

cour

bari

l L.

Mar

asi

Jaw

a B

arat

0.

63

75

60.0

00

IV

III

93.

3401

5 In

tsia

biju

ga O

.Ktz

eSe

kka

Iria

n Ja

ya

0.84

43

40

.976

II

I I-

II

94.

3394

6 In

tsia

pal

emba

nica

Miq

.Ip

il K

alim

anta

n Ti

mur

0.

79

50

45.0

00

III

II-I

95.

- K

alla

pia

cele

bica

Kos

term

.K

alap

i Su

law

esi S

elat

an

0.64

50

45

.000

II

I II

96.

3408

4 K

haya

ant

hoth

eca

C.D

l.M

ahon

i uga

nda

Jaw

a B

arat

-

80

63.4

34

V

-

97.

3404

5 K

haya

gra

ndifo

lia C

.DC

.M

ahon

i af

rika

Jaw

a B

arat

-

79

62.7

25

IV

-

98.

3408

3 K

haya

sene

gele

nsis

A.Ju

nM

ahon

i Ja

wa

Bar

at

- 85

67

.213

V

-

99.

3395

5 K

oom

pass

ia e

xcel

sa T

aub

Ban

geris

K

alim

anta

n Ti

mur

0.

83

70

56.7

89

IV

III-

IV

100.

33

806

Koo

mpa

ssia

mal

acce

nsis

Mae

ng.

Kem

pas

Pale

mba

ng

- 80

63

.435

V

-

101.

33

949

Koo

rder

siod

endr

on p

inna

tum

Mee

rK

elem

birin

g K

alim

anta

n Ti

mur

0.

83

80

63.4

35

V

II-I

II

102.

N

4856

Li

thoc

arpu

s sun

daic

us B

l. K

ost.

Pasa

ng k

ayan

g Ja

wa

Bar

at

0.58

90

71

.565

V

-

103.

43

135

Lits

ea fi

rmaH

ook.

f.M

adog

pan

el

Kal

iman

tan

Bar

at

0,56

85

67

.213

V

II

I-IV

104.

34

022

Lits

ea o

dori

fera

Val

.M

enak

o Ir

ian

Jaya

0.

42

90

71.5

65

V

IV-V

105.

33

891

Lum

nitz

era

litto

rea

Voi

gt.

Susu

p R

iau

0.83

45

42

.130

II

I II

106.

-

Mal

lotu

s blu

mea

nus M

uell.

Arg

.B

ungb

ulan

g Ja

wa

Bar

at

0.63

85

67

.213

V

V

107.

33

982

Man

gife

ra fo

etid

a Lo

ur.

Man

gga

huta

n Su

law

esi T

enga

h 0.

73

70

56.7

89

IV

II-I

II

108.

33

988

Man

gife

ra m

inor

Bl.

Mer

anta

ipa

Sula

wes

i Ten

gah

0.63

66

54

.330

IV

II

I

Page 220: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

204 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

109.

33

923

Mel

anor

rhoe

a sp

.R

egas

bur

ung

Kal

iman

tan

Tim

ur

0.87

40

39

.231

II

I II

110.

34

050

Mel

ia e

xcel

sa Ja

ck.

Suria

n ba

wan

g Ja

wa

Bar

at

0.60

85

67

.213

V

II

I-IV

111.

-

Met

rosid

eros

pet

iola

ta K

ds.

Kay

u be

si Su

law

esi S

elat

an

1.15

0

0 I

I

112.

33

905

Mez

zttia

par

viflo

ra B

ecc.

Pisa

ng-p

isan

g K

alim

anta

n B

arat

0.

61

80

63.4

35

V

V

113.

N

4877

M

imus

ops e

lingi

L.

Tanj

ung

Jaw

a B

arat

1.

00

25

30.0

00

II

I/II

114.

33

822

Myr

istic

a su

bacu

lata

Miq

.M

eran

tihan

Pa

lem

bang

0.

37

90

71.5

65

V

V

115.

34

003

Neo

nauc

lea

mal

uens

e S.

Moo

re.

Kus

egor

o Ir

ian

Jaya

0.

81

20

26.5

65

II

III

116.

34

075

Och

rom

a gr

andi

flora

Row

lee.

Bal

sa

Pale

mba

ng

0.30

95

77

.079

V

V

117.

34

016

Och

rosia

fisi

folia

Mgf

.A

sakk

a Ir

ian

Jaya

0.

57

90

71.5

65

V

V

118.

34

007

Oct

omel

es su

mat

rana

Miq

Star

ka

Iria

n Ja

ya

0.33

86

68

.027

V

V

119.

33

997

Pala

qium

obo

vatu

m E

ngl.

Kun

e K

alim

anta

n Ti

mur

0.

67

50

45.0

00

III

IV

120.

33

950

Pala

quiu

m g

utta

Bai

l.N

yato

h K

alm

anta

n Ti

mur

0.

69

50

45.0

00

III

IV

121.

34

017

Pala

quiu

m m

ultif

loru

m P

eere

.So

ngw

a Ir

ian

Jaya

0.

99

85

67.2

13

V

II-I

II

122.

33

992

Pala

quiu

m o

btus

ifoliu

m B

urck

.H

antu

Su

law

esi T

enga

h 0.

56

80

63.4

35

V

IV-V

123.

-

Para

sari

anth

es fa

lcat

aria

Nie

l.Se

ngon

Ja

wa

Bar

at

0.33

95

77

.079

V

IV

-V

124.

33

814

Para

stem

on v

erst

eegh

ii M

err.e

t P.

Gew

aya

huta

n Pa

lem

bang

1.

09

20

26.5

65

II

II-II

I

125.

33

998

Pari

nari

cor

ymbo

sa M

iq.

Kol

aka

Kal

iman

tan

Tim

ur

0.96

23

28

.658

II

II

I

126.

34

067

Pent

adis

ma

buty

race

a Sa

b.B

uter

tree

Ja

wa

Bar

at

0.51

90

71

.565

V

127.

N

4881

Pe

rone

ma

cane

scen

s Jac

k.Su

ngka

i Ja

wa

Bar

at

0.63

73

58

.693

IV

II

I

128.

34

021

Pim

eleo

dend

ron

ambo

inic

um H

ask.

Kom

wa

Iria

n Ja

ya

0.57

85

67

.213

V

V

129.

34

083

Pinu

s kha

sya

Row

lee.

Pinu

s Ja

wa

Bar

at

0.54

90

71

.565

V

130.

N

4882

Pi

nus m

erku

sii J

ungh

. et d

e V

ries

Pinu

s Ja

wa

Bar

at

0.55

93

74

.658

V

II

I-IV

131.

34

072

Pinu

s men

tezu

maL

amb.

Pinu

s Ja

wa

Bar

at

- 90

71

.565

V

Page 221: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

205HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

132.

34

121

Plan

chon

ia v

alid

aBl.

Puta

t Ja

wa

Bar

at

0.80

55

47

.869

IV

II

-III

133.

-

Pipt

adem

ia p

ereg

rina

Ben

th.

- Ja

wa

Bar

at

0.66

80

63

.435

V

134.

N

4876

Po

doca

rpus

blu

mei

End

l.M

elur

Ja

wa

Bar

at

0.60

86

68

.027

V

IV

135.

33

817

Poly

alth

ia h

ypol

eoca

Hoo

k.B

anitu

n Pa

lem

bang

0.

80

60

50.7

68

IV

IV

136.

34

027

Pom

etia

pin

nata

For

st.

Mat

oa

Iria

n Ja

ya

0.77

65

53

.729

IV

V

137.

-

Pote

ria

obov

oide

a B

ah.n

i.N

yatu

put

ih

Jaw

a B

arat

-

80

63.4

35

V

-

138.

34

026

Prai

nea

mic

roce

phal

a J.

J.S.

Pe

tuw

on

Iria

n Ja

ya

0.51

90

71

.565

V

II

I

139.

34

068

Pter

ocar

pus s

pec.

So

no k

emba

ng

Jaw

a B

arat

0.

77

60

50.7

68

IV

II-I

V

140.

-

Pter

ocar

pus i

ndic

us W

illd.

Sono

kem

bang

Su

law

esi S

elat

an

0.65

45

42

.130

II

I -

141.

34

037

Pter

ocym

bium

bec

cari

a K

.Sch

m.

Bem

iek

Iria

n Ja

ya

0.39

90

71

.565

V

V

142.

33

983

Pter

ospe

rmum

cel

ebic

um M

iqW

ayu

Sula

wes

i Ten

gah

0.44

90

71

.565

V

IV

-V

143.

N

4880

Pt

eros

perm

um d

ifers

ifoliu

m B

l.B

ayur

Ja

wa

Bar

at

0.65

85

67

.213

V

IV

144.

-

Pter

ospe

rmum

indi

cus W

ild.

- Ja

wa

Bar

at

0.65

75

60

.000

IV

II

-III

145.

N

4854

Pt

eros

perm

um m

onta

num

K.e

t V.

Bay

ur g

unun

g Ja

wa

Bar

at

0.53

90

71

.565

V

IV

146.

34

088

Pter

ygot

a al

ata

R.B

r.-

Jaw

a B

arat

-

70

56.7

89

IV

-

147.

33

969

Pter

ygot

a fo

rbes

ii F.

Mue

ll.G

ohim

a A

mbo

n 0.

75

70

56.7

89

IV

V

148.

-

Que

rcus

lepr

osul

a M

iq.

- Ja

wa

Bar

at

0.47

85

67

.213

V

-

149.

34

059

Que

rcus

line

ata

Bl.

Pasa

ng b

eure

um

Jaw

a B

arat

1.

00

65

53.7

29

IV

II

150.

34

052

Que

rcus

turb

inat

a B

l.Pa

sang

jam

be

Jaw

a B

arat

0.

75

80

63.4

35

V

III

151.

-

Risi

node

ndro

n af

rica

num

Arg

.-

Jaw

a B

arat

-

73

58.6

93

IV

-

152.

34

119

Sam

anea

sam

anM

err.

Ki h

ujan

Ja

wa

Bar

at

0.61

86

68

.027

V

IV

153.

34

090

Sand

oric

um k

oetja

pe M

err.

Kec

api

Jaw

a B

arat

0.

49

93

74.6

58

V

IV-V

154.

33

942

Scap

ium

mac

ropo

dum

J.B

.M

ersa

wa

Kal

iman

tan

Tim

ur

0.65

80

63

.435

V

V

Page 222: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

206 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

155.

-

Schl

eich

era

oleo

sa M

err.

Kes

ambi

Su

law

esi S

elat

an

1.01

40

39

.231

II

I -

156.

33

954

Schi

ma

wal

lichi

i Kor

th.

Pena

git

Kal

iman

tan

Tim

ur

0.81

60

64

.158

V

II

I

157.

-

Shor

ea a

cum

inat

issi

ma

Sym

.D

amar

pak

it K

alim

anta

n Ti

mur

0.

54

85

67.2

13

V

III-

IV

158.

33

953

Shor

ea b

alan

gera

n B

urck

.Le

mpu

ng k

ahoi

K

alim

anta

n Ti

mur

0.

86

60

50.7

68

IV

II-(

I-II

I)

159.

34

101

Shor

ea g

uiso

Bl.

Gis

o Ja

wa

Bar

at

0.83

75

60

.000

IV

II

-III

160.

33

945

Shor

ea jo

hori

ensi

s Fox

wK

enua

r K

aim

anta

n Ti

mur

0.

50

63

52.5

35

IV

III-

V

161.

-

Shor

ea k

oord

ersi

i Bra

ndis

.D

amar

tena

ng

Jaw

a B

arat

0.

50

83

65.6

50

V

IV

162.

-

Shor

ea la

mel

lata

Fox

w.

Dam

ar tu

nam

Ja

wa

Bar

at

0.73

60

50

.768

IV

IV

163.

33

924

Shor

ea la

evis

Bl.

Ban

gkira

i K

alim

anta

n Ti

mur

0.

99

46

42.7

06

III

I

164.

33

952

Shor

ea le

ptoc

lado

s Sym

.M

engk

abun

g K

alim

anta

n Ti

mur

0.

50

80

63.4

35

V

IV-V

165.

33

933

Shor

ea le

pros

ula

Miq

.Le

mpu

ng te

mba

ga

Kal

iman

tan

Tim

ur

0.40

85

67

.213

V

II

I-IV

166.

34

099

Shor

ea m

eois

topt

eryx

Rid

l.Te

ngka

wan

g

Jaw

a B

arat

0.

51

80

63.4

35

V

167.

33

937

Shor

ea o

valis

Bl.

Lem

pung

rusa

K

alim

anta

n Ti

mur

0.

51

85

67.2

13

V

III-

IV

168.

33

926

Shor

ea p

arvi

folia

Dye

r.Le

mpu

ng n

asi

Kal

iman

tan

Tim

ur

0.45

85

67

.213

V

II

I-IV

169.

34

110

Shor

ea p

laty

clad

os V

.Sl.

Mer

anti

aban

g Su

mat

ra S

elat

an

0.67

75

60

.000

IV

II

I-IV

170.

-

Shor

ea se

lani

ca B

l.M

eran

ti ba

pa

Jaw

a B

arat

0.

37

90

71.5

65

V

-

171.

34

100

Shor

ea se

min

is V

.Sl.

Terin

dak

Jaw

a B

arat

0.

90

75

60.0

00

IV

I-II

172.

33

925

Shor

ea sm

ithia

na S

ym.

Mer

umbu

ng

Kal

iman

tan

Tim

ur

0.50

80

63

.435

V

II

I-IV

173.

34

075

Shor

ea sp

. M

eran

t mer

ah

Jaw

a B

arat

0.

51

70

56.7

89

IV

174.

34

098

Shor

ea st

enop

tera

Bur

ck.

Teng

kaw

ang

Jaw

a B

arat

0.

41

80

63.4

35

V

III-

IV

175.

34

091

Spat

hode

a ca

mpa

nula

ta P

.B.

Ki a

erit

Jaw

a B

arat

0.

39

90

71.5

65

V

V

176.

34

005

Spon

dias

cyt

here

a So

on.

Sutie

t Ir

ian

Jaya

0.

33

95

77.0

79

V

V

177.

33

941

Sind

ora

leio

carp

a D

e.w

it.A

nggi

K

alim

anta

n Ti

mur

0.

60

60

50.7

68

IV

IV-V

Page 223: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

207HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

178.

33

928

Ster

culia

sym

plic

ifolia

Mas

t.B

uah

saya

p K

alim

anta

n Ti

mur

0.

75

35

36.2

71

III

II-IV

179.

34

051

Ster

culia

cym

osa

Kel

umpa

ng

Jaw

a B

arat

-

90

71.5

65

V

-

180.

N

4878

St

yrax

ben

zoin

Dry

and.

Kem

enya

n Ja

wa

Bar

at

0.54

80

63

.435

V

IV

-V

181.

33

984

Spon

dias

cyt

here

a So

nn.

Ked

ondo

ng

Sula

wes

i Ten

gah

0.33

83

65

.650

V

V

182.

34

074

Swie

teni

a ca

udal

lei P

ittie

r.M

ahon

i Ja

wa

Bar

at

0.48

85

67

.213

V

183.

34

092

Swie

teni

a m

acro

phyl

la K

ing.

Mah

oni d

. leb

ar

Jaw

a B

arat

0.

61

75

60.0

00

IV

III

184.

33

943

Tarr

ietia

jav

anic

a B

l.M

elap

isan

K

alim

anta

n Ti

mur

0.

74

70

56.7

89

IV

III-

IV

185.

-

Tarr

ietia

sym

plic

ifolia

Mas

t. -

Jaw

a B

arat

0.

75

50

45.0

00

III

II-IV

186.

-

Tect

ona

gran

dis L

.f.

Jati

Jaw

a Te

ngah

0.

65

25

30.0

00

II

II

187.

33

877

Term

inal

ia c

opel

andi

Elm

. K

etap

ang

Lam

pung

0.

43

85

67.2

13

V

V

188.

33

966

Term

inal

ia m

icro

carp

a D

eene

.M

usim

A

mbo

n 0.

75

60

50.7

69

IV

IV

189.

34

023

Term

inal

ia lo

nges

pica

ta V

. Sl.

Uni

aba

Iria

n Ja

ya

0.52

90

71

.565

V

V

190.

33

900

Term

inal

ia m

ollis

T. e

t B.

Ket

apan

g R

iau

0.58

85

67

.213

V

IV

191.

34

029

Teta

mel

es n

udifl

ora

R.B

r. Sa

tye

Iria

n Ja

ya

0.32

95

77

.079

V

V

192.

33

897

Tetr

amer

ista

gla

bra

Miq

.Pu

nak

Ria

u 0.

76

65

53.7

29

IV

III-

IV

193.

-

Toon

a su

reni

Mer

r.Su

ren

Sula

wes

i Sel

atan

0.

39

95

77.0

79

V

IV/V

194.

34

093

Trac

hylo

bium

ver

ecos

um C

liv.

- Ja

wa

Bar

at

- 90

71

.565

V

-

195.

33

895

Tris

tani

a m

aing

ayi D

uthi

e.Pe

law

an m

erah

R

iau

1.17

3

9.97

4 I

I

196.

-

Vern

onia

arb

orea

Ham

.M

eram

bung

Ja

wa

Bar

at

0.38

90

71

.565

V

V

197.

-

Vite

x co

fass

us R

einw

.bi

tti

Sula

wes

i Sel

atan

0.

74

20

26.5

65

II

II-II

I

198.

-

Vite

x pu

besc

ens V

ahl.

Laba

n Ja

wa

Teng

ah

0.88

18

25

.104

II

I

199.

34

024

Xant

hoph

yllu

m e

xcel

sum

Miq

.Se

yam

Ir

ian

Jaya

0.

68

75

60.0

00

IV

V

200.

33

940

Xylo

pia

mal

ayan

a H

ook

f.et T

h.M

edan

g su

hu

Kal

iman

tan

Tim

ur

0.63

80

63

.435

V

II

-III

Page 224: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

208 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Page 225: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

209HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA(APU)

TEKNOLOGI PENGOLAHAN BAHAN BERSERAT LIGNO-SELULOSA RAMAH LINGKUNGAN

MENJADI PULP DAN PRODUK TURUNANNYA

Oleh:Dr. Ir. Han Rolliadi, Ms, M.Sc.

KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN

Bogor, 2013

Page 226: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

210 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Page 227: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

211HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

PROFIL

A. DATA PRIBADI

1. Daftar Riwayat Hidup

Nama : Dr. Ir. Han Roliadi, MS. MSc. NIP : 1949102111976031001 Pangkat Golongan : Peneliti Utama IV.e / Pembina Utama Jabatan : Peneliti Unit Kerja : Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Badan Litbang Kehutanan, Kementrian Kehutanan Agama : Islam Alamat Kantor : Jalan Gunung Batu No. 5, Bogor 16110 (Jabar) Alamat Rumah : Kompleks Kehutanan Rasamala No. 58, RT02/RW06, Desa Padasuka, Cikoneng - Ciomas, Kabupaten Bogor 16610 Telp/HP : 0251-8635620; 0251-2783974; 0817705120 Fax : 0251-8633413 E-mail : [email protected]

2. Riwayat Pendidikan

No Pendidikan Universitas Jurusan

1 S3 (Ph.D) Louisiana State University / Colorado State University, USA(1994 – 1997)

-Wood Science and Technology

2a S2 (M.Sc) University of Washington / University of Minnesota, USA(1984 – 1992)

-Pulp and Paper Science / Wood Chemistry

2b S2 (MS) Institut Pertanian Bogor, Sekolah Pasca Sarjana, Bogor(1978 – 1981)

-Statistika Terapan untuk bidang Teknologi Hasil Hutan

3 S1 (IR.) Institut Pertanian Bogor, Fakultas Mekanisasi dan Teknologi Hasil Pertanian (Fateta), Bogor (1968 – 1974)

-Teknologi Kayu dan Bahan Serat

Page 228: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

212 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

3. Riwayat Kepangkatan

4. Riwayat Jabatan Fungsionil Peneliti

B. KEGIATAN LAIN DAN ORGANISASI PROFESI

1. Forest Products Society, 1995-1997; sebagai Anggota/Member

2. Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI), 2007 s/d Sekarang;; sebagai Anggota/Member

No Riwayat Jabatan Fungsional Jabatan Fungsional 1 1 Agustus 2012 s/d sekarang Peneliti Utama Gol IV/E 2 1 Agustus 2009 s/d 1 Agustus 2012 Peneliti Utama Gol. IV/D 3 30 Nopember 2006 s/d 1 Agustus 2009 Peneliti Madya Gol. IV/C 4 1 Januari 2005 s/d 30 Nopember 2006 Peneliti Madya 5 1 April 2003 s/d 1 Januari 2005 Peneliti Muda 6 1 Januari 2000 s/d 1 April 2003 Ajun Peneliti Madya 7 1 Mei 1992 s/d 1 Januari 2000 Ajun Peneliti Muda 8 10 Januari 1983 s/d 1 Mei 1992 Asisten Peneliti Muda 9 1 September 1980 s/d 10 Januari 1983 Asisten Peneliti

No Riwayat Kepangkatan Golongan Golongan Kepangkatan

1 1 Agustus 2012 s/d sekarang Pembina Utama IV E 2 1 Agustus 2009 s/d 1 Agustus 2012 Pembina Utama Madya / IV D 3 1 Desember 2006 s/d 1 Agustus 2009 Pembina / IV C 4 1 April 2006 s/d 1 Desember 2006 Pembina / IV B 5 10 Juni 2004 s/d 1 April 2006 Pembina / IV A 1 Oktober 2001 s/d 10 Juni 2004 Penata Tkt - I 1 Januari 1994 s/d 31 Agustus 1997 Graduate Research Assistant pada Louisiana State

University, Baton Rouge, LA (USA) 6 1 April 1988 s/d 1 Oktober 2001 Penata III / C 7 1 April 1980 s/d 1 April 1988 Penata Muda Tkt - I 8 1 Maret 1977 s/d 1 April 1980 Penata Muda 9 1 Maret 1976 s/d 1 Maret 1977 CPNS / III-A

Page 229: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

213HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

PRAKATA

Hadirin yang terhormat,

Orasi yang akan disampaikan merupakan hasil kegiatan penelitian dengan judul:

TEKNOLOGI PENGOLAHAN BAHAN BERSERAT LIGNO-SELULOSA RAMAH LINGKUNGAN MENJADI PULP DAN PRODUK TURUNANNYA

Sistematika Isi:

I. PENDAHULUAN

II. SIFAT DASAR TERKAIT DENGAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN SERAT

III. METODOLOGI PENGOLAHAN PULP DAN PRODUK TURUNANNYA

IV. STATUS TEKNOLOGI PENGOLAHAN SERAT

V. TEKNOLOGI PENGOLAHAN BAHAN SERAT UNTUK DIKEMBANGKAN

VI. ASPEK LINGKUNGAN

VII. KESIMPULAN

VIII. PENUTUP

Page 230: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

214 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Hadirin yang saya hormati

I. PENDAHULUAN Teknologi pengolahan bahan berserat ligno-selulosa menghasilkan produk bernilai tambah, seperti pulp, kertas, karton, papan serat, dan turunan selulosa lainnya (dissolving pulp) (Casey, 1980; Smook, 2002; Anonim, 2011). Bahan berserat ligno-selulosa utama di dunia (termasuk Indonesia) adalah kayu (sekitar 93%), atau disebut serat virgin. Serat virgin lainnya adalah bahan non-kayu (ampas tebu, merang padi, bambu, dan serat abaka) (Anonim, 2003; 2010; 2012). Terdapat serat sekunder yaitu kertas bekas (Auguste dan Miller. 2000; Anonim, 2005e). Kelemahan serat ligno-selulosa adalah proses pembentukan alaminya lama, sehingga menghadapi saingan dari serat sintetis karena produksinya lebih cepat (glass, nylon dan dacron). Serat sintetis masih dipertanyakan sifat terbarukannya (renewability) dan keramahan prosesnya terhadap lingkungan (Tsoumi, 1993; Anonim, 2002; 2012a).

Konsumsi pulp/kertas/papan serat/turunan lainnya di Indonesia cenderung meningkat dengan tingkat kemajuan bangsa dan pertambahan penduduk (Anonim, 2008; 2010). Peningkatan tersebut suatu saat tak dapat dipenuhi oleh hasil olahan bahan serat konvensional (kayu hutan alam) karena potensinya semakin langka dan terbatas. Eksploitasi hutan akan memicu pembalakan liar, mempercepat degradasi hutan, dan kerusakan lingkungan (Anonim, 2006; 2008a). Sebagai usaha mengurangi ketegantungan pada kayu hutan alam adalah mengintroduksi bahan serat alternatif, teknologi baru, dan modi kasi atau penyempurnaan teknologi yang sudah ada.

Aktivitas industri pulp/kertas/produk turunan lainnya banyak mengkonsumsi air proses dan energi (200-300 kiloliter air, 400-1000 Kwh energi listrik, dan 4-8 GJ energi panas per ton produk), dibandingkan industri lain berbahan baku ligno-selulosa (Anonim, 2012k). Di Indonesia, hal tersebut dapat menguras segala potensi sumber daya alamnya. Pengolahan pulp/kertas/papan serat juga menghasilkan limbah buangan yang mengakibatkan pencemaran lingkungan. Ini juga memerlukan penerapan teknologi untuk mengatasinya.

Segala uraian tersebut mencetuskan gagasan penyampaiannya dalam bentuk orasi berjudul ”Teknologi Pengolahan Bahan Berserat Ligno-selulosa menjadi Pulp dan Produk Turunannya: Status dan Masa Depan di Indonesia”. Diharapkan materinya bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran yang berdayaguna mengembangkan industri pulp dan produk turunannya di Indonesia.

II. SIFAT DASAR TERKAIT DENGAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN SERAT

Sifat dasar atau karakteristik bahan baku serat terkait dengan pengolahannya mencakup aspek berat jenis, anatomi, komposisi kimia, dimensi serat dan nilai turunannya (Haygreen dan Bowyer, 1989, Hoadley, 1990; Anonim, 2012). Berat jenis kayu dan serat ligno-selulosa lain dipengaruhi oleh struktur anatomi, dimensi serat dan nilai turunannya dan komposisi kimianya.

Page 231: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

215HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Struktur anatomi mencakup macam dan porsi sel-sel atau jaringan penyusun kayu, seperti sel serat, sel parenkhim, dan sel pembuluh. Semakin tinggi berat jenis, maka semakin keras kondisi pengolahan serat yang diperlukan.

Dimensi serat mencakup panjang serat (L), diameter serat (d), diameter lumen (l), dan tebal dinding serat (w). Serat KDJ relatif panjang (3-4 mm), sedangserat KDL lebih pendek (1-2 mm). Dimensi serat bahan serat ligno-selulosa lain (monokotil) bervariasi menurut macamnya (Casey, 1980; Gess and Lund, 2002). Semakin panjang serat, umumnya menghasilkan pulp/kertas dengan kekuatan tinggi

Nilai turunan dimensi serat mencakup antara lain bilangan Runkel (2w/l), daya tenun (L/d), perbandingan Muhlstep [100% x (d2-l2)/l2], kekakuan serat (w/d), dan eksibilitas serat (l/d). Nilai tersebut terkait dengan kekakuan, eksibilitas, dan mudah menggepengnya serat, yang berpengaruh terhadap anyaman/kekompakan serat, dan selanjutnya sifat sik dan kekuatan pulp/kertas (Silitonga et al., 1972; Aprianis, 2010).

Komponen kimia bahan berserat ligno-selulosa terdiri atas senyawa selulosa, hemiselulosa, dan lignin dari dinding serat dan senyawa ekstraktif, enzim, hormon, dan abu pada lumen serta ruang antar sel (Gambar 1). Bahan tersebut berasal dari hasil fotosintesa serta hasil resapan hara oleh akar tanaman (Sjostrom, 1994; Prentti, 2006).

Selulosa merupakan polimer berantai lurus dengan inti monomer � (beta)-d-glukosa (C6H12O6), dan formula kimia (C6H10O5)n (Gambar 2). Nilai “n” (derajat polimerisasi) dan kandungan selulosa bervariasi menurut macam sumber serat (n sekitar 3500 unit untuk kayu). Rantai polimer selulosa pada serat ligno-selulosa tersusun searah atau sejajar satu terhadap lainnya (mikro bril) baik secara beraturan (kristalit) ataupun tidak beraturan (amorf). Bagian kristalit lebih sukar dipenetrasi oleh larutan bahan kimia tertentu, sedang bagian amorf lebih mudah (Gambar 3). (Casey, 1980; Anonim, 2012b)

Hemiselulosa merupakan heteropolimer yang tersusun oleh monomer dengan 6 atom karbon (heksosa = C6H12O6) dan monomer dengan 5 atom karbon (pentosa = C5H10O5). Ukuran rantai polimer hemiselulosa jauh lebih pendek dari pada selulosa (n sekitar 150), terdiri dari rantai lurus dan rantai bercabang (Gambar 4). (Sjostrom, 1994; Anonim, 2012p). Untuk tujuan pengolahan serat tertentu adanya hemiselulosa dikehendaki

Lignin merupakan polimer kompleks 3 dimensi yang juga mengandung karbon (C), hidrogen (H), dan oksigen (O), tetapi bukan merupakan karbohidrat. Monomer penyusun lignin adalah inti fenil propan dan turunannya yaitu p-koumaril alkohol, guaiasil alkohol, dan siringil alhokol (Gambar 5). Lignin terdapat dalam serat dan ruang antara serat (lamela tengah). Dengan demikian lignin berperan sebagai pengikat serat, memberi kekakuan, dan kestabilan dimensi kayu (Crawford, 1989; Uloth, 2003).

Dinding serat kayu atau ligno-selulosa lain, terdiri atas beberapa lapisan yaitu lamela tengah (M), dinding primer (P), dan dinding sekunder, dengan masing-masing bervariasi menurut macam dinding. Dinding sekunder tersusun lagi oleh 3 macam lapisan yaitu bagian terluar (S1), bagian tengah (S2), dan bagian dalam (S3). Pada lapisan M, P, S1, S2, dan S3 terdapat selulosa, hemiselulosa, dan lignin, dengan porsi (konsentrasi) yang saling berbeda

Page 232: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

216 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

antara satu lapisan terhadap lainnya (Gambar 6). Bahan ekstraktif terdapat di dalam lumen, rongga antar sel, atau struktur mikropori pada dinding serat (31). Macam ekstraktif bervariasi tergantung dari macam bahan serat. Kadar ekstraktif pada kayu berkisar 3-8% (casey, 1980; Rowell, 2005).

Umur pohon asal kayu sebagai sumber serat perlu diperhatikan pula. Karakteristik kayu yang dibentuk jaringan kambium pada saat umur pohon masih muda (juvenile wood) berbeda dengan karakteristik saat umur pohon sudah dewasa (mature wood). Ini dapat mempengaruhi sifat dan kualitas pulp yang dihasilkan (Smook, 2002).

III. METODOLOGI PENGOLAHAN PULP DAN PRODUK TURUNANNYA

Pengolahan pulp adalah proses merubah kayu atau ligno-selulosa lain menjadi kumpulan serat terpisah (pulp). Pulp sebagai bahan setengah jadi bisa diolah menjadi produk jadi atau lebih lanjut (Gambar 7, 8, dan 9).

A. Persiapan Bahan Baku

Tahapan persiapan khusus untuk kayu mencakup pemotongan dolok, pembuangan kulit, dan penyerpihan (Anonim, 2002; 2012h).

B. Macam Proses Pengolahan Pulp

Pengolahan pulp bertujuan mengubah bahn berserat ligno-selulosa menjadi serat-serat terpisah (pulp), dan umumnya terdiri atas 3 macam proses utama yaitu mekanis, semi-kimia, dan kimia. Rendemen pulp mekanis relatif tinggi (85-95%), tetapi sifat kekuatannya rendah. Kandungan lignin masih relatif tinggi atau komposisi kimia pulp mekanis tidak banyak berubah dari asalnya. Pulp mekanis banyak digunakan untuk kertas hisap, karton, kertas cetak, kertas tissue, katalog, dan produk kertas lain yang tidak memerlukan sifat kekuatan dan stabilisasi warna yang tinggi (Anonim, 1985, 2001; Smook, 2002).

Pada proses kimia, kayu atau ligno-selulosa lain diubah menjadi serat-serat pulp dengan mendegradasi dan melarutkan lignin bersamaan dengan itu secara selektif menyelamatkan senyawa selulosa dan hemiselulosa (Gambar 6). Proses tersebut berlangsung umumnya pada tekanan di atas satu atmos r, suhu tinggi (120-160oC), dan waktu 2-4 jam. Rendemen pulp kimia berkisar 40-50%, akan tetapi sifat kekuatan dan stabilisasi warna pulp kimia lebih tinggi dari pada pulp mekanis. Pulp kimia banyak ditujukan untuk membuat kertas tulis/buku, majalah, dan produk kertas dengan sifat kekuatan dan stabilitas warna tinggi.

Berdasarkan derajat keasaman (pH) larutan pemasak ada dua macam proses kimia yaitu cara asam (proses sul t, pH sekitar 3-4) dan cara alkali (proses soda dan sulfat/kraft, pH di atas 7). Proses sul t dan soda sudah tidak banyak dipakai, sedangkan proses sulfat dewasa ini lebih umum karena keselektifan deligni kasi, sifat kekuatan pulp tinggi, teknologi daur ulang bahan kimia sangat maju (Smook, 2002; Anonim, 2012c). Dengan daur ulang bisa menghemat pemakaian bahan kimia dan energi.

Page 233: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

217HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Proses pengolahan pulp semi-kimia merupakan gabungan cara kimia dan mekanis. Proses ini juga berlangsung pada suhu dan tekanan tinggi, tetapi waktunya lebih singkat dibandingkan proses kimia. Sifat dan kualitas pulp semikimia terletak di antara pulp kimia dan pulp mekanis, antara lain rendemen berkisar 60-85%. Macam proses semi-kimia yang umum adalah high-yield sul te, neutral sul te semi-chemical (NSSC), dan high-yield kraft, termo-mekanis (TMP), adn termo-kimia-mekanis (CTMP). Pulp proses banyak ditujukan antara lain untuk kertas karton, karton gelombang (corrugating board), kertas bungkus, sampul buku/majalah, dan papan serat (Stephenson, 1953; Prentti, 2006).

Pengolahan pulp bisa juga dengan bantuan mikroorganisme (bio-pulping) antara lain jamur pelapuk putih (white-rot fungi) di mana organisme tersebut mampu mendegradasi lignin kayu atau berligno-selulosa lain secara selektif. Umumnya jamur digunakan pada perlakuan pendahuluan untuk memudahkan proses pulping konvensional (Scott, 2003; Mohiudin et al., 2005; Fatriasari et al., 2010).

Pengolahan pulp juga dilakukan dengan memanfaatkan kembali kertas bekas (Gambar 10). Kertas bekas yang didaur ulang secara berulang-ulang mengakibatkan melemahnya struktur internal individu, sehingga berpengaruh negatif terhadap mutu produk (Smook, 2002; Junianto, 2011; Anonim, 2012j).

C. Pengolahan Pulp Menjadi Produk Jadi

1. Penyaringan, pencucian, dan pembersihan pulp

Tahapan ini bertujuan agar pulp bebas dari bahan tak dikehendaki, yaitu melalui penyaringan (memisahkan knots, gumpalan serat, pasir, tanah, potongan logam, dan fraksi kasar lain), pencucian (membersihkan dari sisa bahan kimia), dan pembersihan (tujuan sama seperti penyaringan, tetapi menggunakan alat bersistim gaya sentrifugal untuk penyempurnaan pembersihan serat (Gambar 7, 8, dan 9).

2. Proses Pemutihan Pulp

Pemutihan pulp ada dua macam yaitu: (1) pemutihan menggunakan bahan kimia spesi k dengan mendeligni kasi dan menyingkirkan bahan ekstraktif, sehingga kemurnian selulosa pulp meningkat; dan (2) pemutihan dengan tujuan menetralisir gugusan warna (chromophoric groups) dan tetap mentolerir keberadaan lignin.

Pemutihan pulp dilakukan dengan cara (1) umum untuk pulp kimia, biasanya menggunakan bahan oksidator kuat seperti khlorin / Cl2 (C), khlorin dioksida / ClO2 (D), hipokhlorit / NaOCl (H), oksigen / O2 (O), ozone / O3 (Z), dan alkali (NaOH) untuk ekstraksi (E) produk degradasi akibat bahan kimia pemutih tersebut.

Agar proses pemutihan berjalan efektif dan degradasi karbohidrat (selulosa) pulp minimal, maka proses tersebut biasanya dilakukan secara bertahap seperti CEDED, CEHDED, CEHDP, DEODD, dan OZEP (Smook, 2002; Anonim, 2005). Pemutihan cara ini menghasilkan kertas dengan kemurnian selulosa dan kestabilan warna tinggi, sehingga banyak ditukan untuk produk permanen.

Page 234: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

218 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Pemutihan pulp dengan cara (2) lazim untuk pulp mekanis dan semikimia, biasanya menggunakan oksidator lemah dan/atau reduktor seperti peroksida (Na2O2 atau H2O2), sodium sul te (Na2SO3), sodium hydrosul te/sodium dithionite (Na2S2O4), dan sodium borohydride (NaBH4). Pemutihan pulp cara ini biasanya satu tahap atau paling banyak 2 tahap. Stabilisasi warna pulp ini rendah, dan rentan oleh cahaya dan suhu tinggi (Sjostrom, 1994; Bowen dan Hsu, 2003). Cara ini ditujukan untuk produk tidak permanen

Pemutihan pulp di samping menggunakan bahan kimia, bisa juga dengan bantuan mikroorganisme (bio-bleaching). Organisme tersebut mendegradasi sisa lignin dan bahan ekstraktif dalam pulp. Organisme yang umum digunakan adalah jamur pelapuk putih dan bio-enzim (57). Penerapan cara ini dapat menghemat pemakaian energi dan bahan kimia pemutih, mengurangi pencemaran lingkungan, dan meningkatkan rendemen dan sifat kekuatan pulp putih (Arias et al., 2003; Septiningrum, 2011).

3. Pembentukan produk jadi dari pulp

Ada 3 macam produk jadi yang utama, yaitu kertas/karton, dissolving pulp, dan papan serat. Sebelum pulp dibentuk menjadi lembaran kertas/karton atau papan serat, pulp perlu mengalami penghalusan dan penyeragaman serat (beating atau re ning) (Gambar 7), sebab berpengaruh positif terhadap sifat kekuatan lembaran produk tersebut. Tingkat kehalusan pulp (freeness) spesi k tergantung dari macam produk jadi.

a. Kertas/karton

Kriteria freeness pulp untuk kertas umumnya sekitar 40-45oSR (SchopperRiegler) atau 250-300 ml CSF (Canadian Standard Freeness). Untuk karton, maka derajat kehalusan pulpnya umumnya lebih rendah (tekstur serat lebih kasar) yaitu 35-40oSR atau 300-350 ml CSF. Pulp untuk jenis kertas tertentu (tissue paper), biasanya tidak memerlukan penggilingan (Casey, 1980; Anonim, 2007a). Bahan aditif dapat ditambahkan pada pulp guna memperbaiki sifat tertentu kertas seperti ketahanan terhadap cairan (sizing), opasitas (sifat tidak tembus cahaya), warna (pigment), kepadatan (fi ller), dan kekuatan (perekat), dengan porsi sekitar 1-8% dari berat kering pulp tersebut. Agar bahan dapat berikatan secara efektif dengan serat baik, maka perlu bahan koagulan (retention aids), seperti tawas (K2SO4.Al2(SO4)3.24H2O); alum bersuasaana basa (Al2(SO4)3.18H2O), ferisulfat (Fe2SO4)3), dan natrium aluminate (Na2Al2O4) (Casey, 1980; Smook, 2002).

Pembentukan lembaran kertas/karton adalah memisahkan fraksi air (dehidrasi) dari suspensi pulp, dilanjutkan dengan tahapan berikut hingga akhir (Gambar 7). Lembaran terbentuk akibat hydrogen bonding antar serat dan dibantu bahan aditif (terutama perekat) (Gambar 11). Untuk tujuan tertentu, ada perlakuan tertentu pada kertas/karton seperti impregnasi dan laminasi (coating) (Smook, 2002). Bahan laminasi (coating) dapat berupa kaolin, titanium dioksida, kapur, lateks, pati, atau kombinasinya, dan resin polyethylene.

Page 235: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

219HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Produk kertas/karton perlu diperiksa sifatnya guna menjamin kepercayaan konsumen. Pemeriksaan sifat pulp yang umum mencakup rendemen, konsumsi pemakaian bahan kimia, kebutuhan bahan pemutih, sifat optik, sifat sik, dan kekuatan (Anonim, 2006).

b. Dissolving pulp

Berbeda dengan kertas/karton yang memerlukan kekuatan serat dan ikatan antar serat tinggi; untuk dissolving pulp (Gambar 8) diperlukan pulp dengan derajat kemurnian selulosa tinggi (kadar -selulosa >90%) dengan distribusi derajat polimerisasi seragam (Wallis dan Waerne, 2003; Anonim, 2011). Umumnya digunakan pulp kimia. Dari konversi dissolving pulp diperoleh produk seperti viscose-rayon (sutera tiruan); cellophane (bahan lm yang transparan), celluloid (bahan plastik untuk boneka), selulosa asetat (untuk lm, fotogra ), selulosanitrat (bahan peledak dan pemoles kuku), selulosa fosfat (penghambat nyala api), dan carboxymethyl cellulose/CMC (meningkatkan gramatur/berat dasar dan sifat kekuatan kertas) (Giri et al., 2000; Kentjana et al., 2010).

- Papan serat

Papan serat termasuk kategori produk komposit. Bahan perekat untuk papan serat bisa berasal dari komponen kimia serat (terutama lignin). Proses pengolahan pulp papan serat yang umum adalah semi-kimia bertekanan udara terbuka, TMP, atau CTMP (Suchsland and Woodson, 1996) (Gambar 9).

Derajat kehalusan pulp untuk papan serat sekitar 650-700 ml CSF (15-16oSR) (Anonim, 2003b; Darmawan, 2009). Bahan aditif dapat ditambahkan sebelum dan sesudah pembentukan lembaran papan serat dengan fungsi memperbaiki sifatnya (seperti kekuatan, keteguhan rekat internal, ketahanan air, dan ketahanan api), antara lain berupa perekat thermosetting (urea formaldehida, fenol formaldehida, dan melamin formaldehida), emulsi lilin/aspal, bahan pengawet, bahan tahan api, laminasi dengan bahan polimer, pelaburan dengan bahan pengawet atau bahan tahan api, dan perlakuan minyak (oil tempering).

Pembentukan lembaran papan serat dari suspensi pulp-air bisa menggunakan media air (proses basah) atau media udara (proses kering) (Gambar 9). Berdasarkan kerapatan, papan serat diklasi kasikan menjadi 3 macam, yaitu papan serat berkerapatan rendah (PSKR) / insulation board (< 0.35 gram/cm3), papan serat berkerapatan sedang (PSKS) atau medium-density fi berboard / MDF (0.35-0.80 gram/cm3), dan papan serat berkerapatan tinggi (PSKT) / hardboard (0.80-1.20 gram/cm3). Papan serat banyak digunakan untuk bahan isolasi (peredam suara), dinding penyekat, produk furniture, bagian peralatan listrik (radio, televisi), bagian interior kendaraan bermotor, dan konstruksi ringan hingga berat. Macam kegunaan papan serat banyak terkait dengan kerapatannya, semakin tinggi kerapatan maka semakin besar pula kemampuannya untuk tujuan konstruksi/struktural (Tsoumi, 1993; Anonim, 2007e).

Page 236: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

220 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Agar papan serat memiliki sifat/mutu yang dapat memuaskan pengguna, maka perlu dilakukan pengujian sifatnya terutama aspek sik dan kekuatan. Aspek tersebut mencakup antara lain kerapatan riil, pengembangan tebal, penyerapan air, ekspansi linier, modulus elastisitas (MOE), modulus patah (MOR), tegangan pada batas elastis (FSPL), keteguhan internal (IB), dan daya hantaran panas (Anonim, 2003).

IV. STATUS TEKNOLOGI PENGOLAHAN SERAT

A. Skala Komersial

Di Indonesia dewasa ini pada skala komersial ada 81 industri pulp dan kertas, dan 6 industri papan serat (didominasi MDF) dengan total kapasitas produksi 6,5 juta ton/tahun (pulp), 11,0 juta ton/tahun (kertas), dan 1.2 juta m3/tahun atau ±0.9 juta ton/tahun (MDF) (Anonim, 2007; 2008; 2010; 2012o).

Dari seluruh industri tersebut ada enam industri pulp/kertas masing-masing berkapasitas produksi di atas 500.000 ton/tahun, dengan total kapasitas 4,8 juta ton/tahun (pulp) dan 5,8 juta ton/tahun (kertas) (Tabel 1). Angka tersebut cukup besar, mendominasi total keseluruhan produksi pulp/kertas Indonesia (Anonim 2007; 2010). Dengan demikian industri tersebut juga dominan dalam hal pasokan bahan baku, air proses, bahan kimia, bahan pembantu (aditif), dan teknologi pengolahan; berupa kayu hutan tanaman (14,44 juta ton atau 28,88 juta m3/tahun), campuran kertas bekas dan pulp impor/domestik (5,8 juta ton/tahun), air proses (2346-3843 juta kiloliter), energi listrik (4410-10030 juta KWH/tahun), dan energi panas (46,94-93,88 juta GJ/tahun).

Enam industri yang dominan tersebut menerapkan teknologi pengolahan pulp proses kimia sulfat, dan hanya satu proses kimia soda, yang mengkonsumsi sekitar 2,24-2,98 juta ton/tahun soda (NaOH) dan 0,72 juta ton/tahun soda-sul da (Na2S). Konsumsi bahan kimia ini tidak terlalu bermasalah, karena teknologi ulang bahan kimia diterapkan (bisa mencapai 90-95%). Industri pulp/kertas tersebut menerapkan sistim pemutihan bertahap dengan bahan pemutih ECF (elemental chlorine free) dan TCF (total chlorine free) sekitar 2-5% atau 93.600-234.000 ton/tahun.

Pada industri pulp/kertas berbahan baku kertas bekas, proses terkait seperti repulping, deinking, dan bleaching membutuhkan bahan kimia sekitar 2-5% yaitu 116.000-290.000 ton/tahun berupa NaOH, Na2CO3, bahan dispersan (Na2SiO3 dan deterjen), peroksida (Na2O2 dan H2O2), dan hidrosul t (Na2S2O4).

Operasi ke enam industri pulp/kertas tersebut menghasilkan limbah padat (sludge) yang mencapai 441.000-589.000 ton/tahun. Industri tersebut berpotensi pula menimbulkan pencemar lain (selain sludge) seperti polusi udara, polusi aliran, bising suara, dan macam limbah lainnya sehingga memerlukan penanganan seksama dengan biaya tidak sedikit (Anonim, 2012m).

Dari 81 industri pulp/kertas, terdapat 50 industri berkapasitas produksi di bawah 500.000 ton/tahun. Hal serupa untuk seluruh 6 industri MDF, yang masing-masing berkapasitas 75.000-

Page 237: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

221HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

225.000 ton/tahun kapasitas (Tabel 1). Industri tersebut (pulp/kertas dan MDF) menggunakan bahan baku kayu, serat ligno-selulosa lain (merang/jerami, ampas tebu, bambu), pulp (impor/domestik), dan kertas bekas. Pengolahan pulpnya menerapkan proses kimia sulfat, kimia soda, termo-mekanis (TMP) dan repulping kertas bekas/pulp. Produknya antara lain pulp, kertas, karton, dissolving pulp, dan MDF.

B. Skala Litbang

Semakin terbatasnya potensi sumber daya alam di Indonesia (khususnya serat kayu hutan alam, air proses, bahan pembantu/aditif, dan energi) dan kemungkinan adanya dampak negatif, maka akti tas litbang pengolahan serat di Pusat Litbang Keteknikan dan Pengolahan Hasil Hutan (P3KKPHH, Bogor) banyak difokuskan pada aspek seperti bahan serat alternatif; peningkatan e siensi pengolahan, modi kasi proses, penggunaan bahan kimia/pemutih berdeligni kasi lebih intensif/selektif dan berintensitas pencemaran rendah, penggunaan bahan aditif; dan pencermatan kemungkinan kaitan sifat bahan serat, sifat pengolahan, dengan sifat produk akhir (melalui analisis/pencermatan konvensional atau berskala nano). 1. Aspek bahan baku.

Jenis kayu non-komersial dan limbah kulit potensinya berlimpah, sehingga berprospek sebagai bahan serat alternatif. Telah dicoba pembuatan papan serat (tipe hardboard), menggunakan 15 jenis kayu non komersial (berikut kulit) asal Riau, dan tanin-formaldehida sebagai perekat. Sifat sik dan kekuatan hardboard sebagian besar memenuhi persyaratan British Standard (Silitonga et al., 1974).

Sifat jenis kayu non-komersial tropis umumnya bervariasi, sehingga menyulitkan pengolahan pulp campuran. Telah pula dicoba pembuatan pulp sulfat secara campuran dari 17 jenis kayu asal Kalimantan Timur, dengan menerapkan selang koe sien eksibilitas sebagai dasar pengelompokan campuran kayu. Ternyata 17 jenis kayu tersebut dapat dikelompokan berdasarkan empat selang nilai koe sien eksibikitas serat (1,00-0,84; 0,83-0,67; 0,66-0,50, dan 0,49-0,33 untuk pengolahan pulp campuran (Silitonga et al., 1976a).

Limbah kayu karet tua telah dicoba pemanfaatannya untuk papan serat (hardboard), menggunakan proses pulping semi-kimia soda panas terbuka. Sisa lateks banyak menimbulkan masalah pada pengolahan (melekat/lengket pada suhu tinggi) dan menimbulkan noda gelap pada permukaan hardboard. Penambahan sulfur elementer selama pulping dapat mengatasi hal tersebut, karena reaksi vulkanisasi sulfur tersebut dengan sisa lateks. Sifat hardboard yang dihasilkan sebagian besar memenuhi persyaratan British Standard (Silitonga et al., 1974a).

Limbah kertas koran telah telah dicoba pemanfaatannya untuk pulp kertas, dengan melibatkan tahapan repulping, penghilangan tinta (NaOH, H2O2, Na2SiO3), dispersi (sabun dan minyak biji jarak), dan pemutihan. Ternyata sifat kekuatan/optik pulp dari limbah berumur di bawah 6 bulan lebih baik dari pada asal umur di atas 6 bulan (Siagian dan Roliadi, 1978).

Page 238: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

222 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Limbah pembalakan kayu hutan tanaman (HTI) jenis eukaliptus telah dicoba untuk pulp rayon. Diterapkan proses pulping sulfat dan pemutihan bertahap (ECF) dengan urutan D (ClO2) - E (ekstraksi alkali/NaOH) - D - E - D - A (hidrolisa dengan asam khlorida / HCl). Ternyata faktor umur pohon HTI berpengaruh terhadap mutu pulp, dan penggunaan bahan permutih ECF diharapkan mengurangi dampak negatif lingkungan (AOX / adsorbable organic halides) (Siagian dan Roliadi, 2005).

Akti tas produksi gula di Indonesia menghasilkan limbah ampas tebu (bagasse). Bagasse mengandung bahan serat (±40%); dan bahan bukan serat (parenkhim dan pith, ±60%). Percobaan memanfaatkan bagasse dari beberapa pabrik gula di Jawa Timur mengindikasikan bagian seratnya berpotensi untuk pulp/kertas, sedangkan bagian bukan serat untuk bahan energi (Anonim, 1978).

Industri karton rakyat umumnya menggunakan bahan baku campuran sludge dan kertas bekas (yang pasokannya makin sulit). Percobaan dilakukan dengan mencampur pulp TKKS (tandan kosong kelapa sawit, limbah pengolahan minyak sawit/CPO) dengan kertas bekas dan sludge untuk karton. Pembuatan pulp menggunakan proses semi-kimia soda panas terbuka. Sifat karton dari campuran (b/b) pulp TKKS (50%), kertas bekas (25%), dan sludge (25%), berikut aditif (5% kaolin, 2% alum, dan 2% perekat tapioka) sebagian besar memenuhi sifat karton komersial, dan lebih baik dibandingkan sifat karton produksi industri rakyat dari campuran kertas bekas (50%) dan sludge (50%), tanpa aditif (Anggraini dan Roliadi, 2011a).

Bahan serat lain yang potensinya berlimpah adalah limbah pelepah nipah dan limbah sabut kelapa. Telah dilakukan percobaan pemanfaatan ke dua macam bahan serat tersebut untuk papan serat berkerapatan sedang (MDF). Mula-mula pelepah nipah dan sabut kelapa diolah jadi pulp menggunakan proses semi-kimia soda panas terbuka, dengan kondisi pemasakan berbeda. Bahan aditif yang digunakan perekat urea formaldehida (UF) dan arang aktif.

Dari pencermatan sifat sis dan kekuatan MDF (dibantu analisis diskriminan dan korelasi kanonik) ternyata serat pelepah nipah lebih berprospek dibandingkan sabut kelapa. Pencermatan skala nano (X-ray diffraction) berindikasi kekuatan individu serat pelepah nipah lebih tinggi dibandingkan sabut kelapa, sehingga memperkuat fenomena lebih berprospeknya nipah tersebut. Arang aktif menurunkan emisi formaldehida MDF. Sifat sis/kekuatan MDF pelepah nipah lebih banyak memenuhi persyaratan JIS (Jepang). Sabut kelapa (bentuk pulp) tetap berprospek untuk MDF dengan dicampur pulp pelepah nipah pada proporsi (b/b) 25%+75% dan 50%+50% (Roliadi et al., 2011).

Bahan serat alternatif selain berupa alami, bisa merupakan produk biosintesa (selulosa mikrobial), dalam bentuk masa/kumpulan polimer selulosa hasil sintesa mikroorganisme pada substrat yang mengandung senyawa karbohidrat sederhana. Percobaan pemanfaatan selulosa mikrobial telah dilakukan untuk pembuatan pulp/kertas. Substrat yang digunakan limbah air kelapa (Nata de coco) dan limbah cair pengolahan tapioka (Nata de cassava). Selulosa mikrobial kurang sesuai untuk kertas, tetapi agaknya lebih sesuai untuk produk berkemurnian selulosa tinggi (dissolving pulp), karena berkadar selulosa dan berkristalinitas tinggi (Erythrina, 2012; Puspitasari, 2012).

Page 239: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

223HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

2. Aspek pengolahan serat hingga produk akhir

Pengolahan kertas koran memerlukan pasokan sumber serat berlimpah dan rendemen tinggi. Percobaan proses pulping NSSC untuk pulp kertas koran dilakukan menggunakan bahan serat limbah pembalakan 4 jenis kayu daun lebar asal hutan alam Kalimantan, ternyata hasilnya layak teknis (Silitonga dan Roliadi, 1976).

Operasi pengolahan pulp/kertas selain menghendaki rendemen produk tinggi, juga berdampak negatif lingkungan minimal. Modi kasi proses pulping sulfat dicoba dengan menambahkan polisul da (PS) dan antrakinon (AQ) pada larutan pemasaknya. Bahan serat yang digunakan kayu hutan tanaman Eucalyptus grandis. Pengolahan pulp sulfat-AQ/PS dapat mengurangi pemakaian bahan pemasak mengandung sulfur, menurunkan konsumsi bahan pemutih, menghemat pemakaian energi, deligni kasi lebih intensif/selektif, meningkatkan rendemen dan sifat kekuatan pulp, dan mitigasi dampak lingkungan (Siagian dan Roliadi, 1998).

Kondisi yang mempengaruhi mutu produk pulp sulfat di antaranya suhu dan waktu pemasakan di mana satu terhadap lainnya saling berkaitan (interdependent). Untuk kepraktisan, dua faktor tersebut perlu dinyatakan menjadi satu (faktor H). Percobaan pulping sulfat dengan menerapkan faktor H dilakukan pada 4 jenis kayu hutan tanaman (sengon, gmelina, meranti kuning, dan kapur). Pada faktor H tertentu, ternyata tingkat deligni kasi tertinggi adalah pada jenis gmelina, disusul sengon, meranti, hingga kapur. Korelasi tingkat deligni kasi tersebut dengan rasio banyaknya inti siringil dengan inti vanilin (S/V) pada lignin lebih kuat (positif) dibandingkan dengan berat jenis kayu (korelasi negatif). Faktor H dapat menelaah tingkat deligni kasi dan peranan sifat bahan serat (rasio S/V dan berat jenis) (Roliadi dan Rahmawati, 2006).

Papan isolasi merupakan pula produk pengolahan serat. Percobaan pulping semi-kimia soda panas terbuka untuk papan isolasi dilakukan menggunakan bahan serat limbah pembalakan HTI, dan bahan aditif cangkang (kulit) udang dan arang aktif. Sifat kekuatan papan isolasi dengan aditif kulit udang (5%) dapat menyamai sifat papan isolasi dengan bahan perekat konvensional tapioka (5% pula), dan sebagian besar memenuhi persyaratan JIS. Penggunaan arang sedikit menurunkan sifat kekuatan tetapi memperbaiki kestabilan dimensinya (Anggraini 2011; Roliadi et al., 2012)..

Pembuatan karton seni merupakan satu usaha meningkatkan nilai kegunaan karton. Percobaan terkait dilakukan dari campuran pulp bahan serat lignoselulosa non-kayu yang berpotensi besar tetapi pemanfaatannya masih terbatas yaitu TKKS, sludge industri pulp/kertas, dan batang pisang. Pengolahan pulp TKKS dan pulp batang pisang menggunakan proses semi-kimia soda panas terbuka, dengan kondisi lebih lunak untuk batang pisang. Proporsi pulp batang pasang yang makin tinggi cenderung menurunkan rendemen dan sifat sis/kekuatan karton. Porsi pulp batang pisang yang bisa ditolerir pencampurannya adalah <15% (bila kekuatan dipermasalahkan) atau 15-30% (kekuatan tidak dipermasalahkan) (Roliadi dan Anggraini, 2009).

Produk jenis kertas yang sudah komersial diantaranya kertas bungkus. Pertimbangan operasi produksi adalah pasokan bahan serat dengan potensi berlimpah/murah dan

Page 240: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

224 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

teknologi sesuai. Percobaan terkait dilakukan dari campuran bahan serat berupa pulp jenis kayu pionir (jabon, terentang,), pulp limbah pembalakan kayu HTI (sengon), sludge, dan pulp serat daun nenas. Pengolahan pulping bahan serat tersebut menggunakan proses semi-kimia soda panas terbuka, dengan kondisi saling berbeda. Bahan aditif yang digunakan kaolin (5%), perekat tapioka (4%), alum sulfat (2%), emulsi lilin (2,5%), dan rosin soap (2,5%). Komposisi bahan serat (b/b) yang paling berprospek untuk pulp kertas bungkus adalah campuran: pulp kayu terentang (20%), pulp kayu jabon (20%), pulp kayu sengon (40%), sludge (0%), dan pulp serat daun nenas (20%). Sekiranya ingin memanfaatkan sludge, maka porsi yang ditolerir adalah pada campuran: pulp terentang (20%), pulp jabon (20%), pulp sengon (20%), sludge (20%), dan pulp serat daun nenas (20%) (Roliadi et al., 2010).

Bahan serat seperti kayu hutan tanaman, kulit kayu, dan non-kayu umumnya lebih rentan pada kondisi pengolahan pulp konvensional (yang umumnya lebih sesuai untuk kayu hutan alam), sehingga menurunkan mutu produk serat. Di antara modi kasi proses adalah pulping bermedia pemasak alkohol sebagai alternatif/substitusi parsial media pemasak konvensional (air). Percobaan pulping kulit kayu dadap dilakukan menggunakan proses kimia soda bermedia campuran air dan etanol. Peningkatan porsi etanol mengakibatkan deligni kasi lebih intensif, dan rendemen/sifat kekuatan pulp meningkat; dan porsi optimum etanol adalah 20-30% (Anggraini, 2002).

V. TEKNOLOGI PENGOLAHAN SERAT UNTUK DIKEMBANGKAN

Teknologi pengolahan serat untuk dikembangkan sebaiknya mengarah pada aspek penghematan bahan baku (kayu dan bahan serat berligno-selulosa lain), bahan proses (bahan kimia utama, bahan pembantu, bahan aditif, air proses, energi), modi kasi proses, mempertinggi umur/masa pakai alat, dan minimisasi dampak pencemaran (limbah proses, polusi aliran, polusi udara, dan bau tidak sedap), sehingga diharapkan mutu/kualitas produk (pulp, kertas, karton, papan serat, dan turunan selulosa lain) tetap memadai atau bahkan lebih baik dibandingkan teknologi pengolahan konvensional.

A. Aspek Pengembangan Bahan Baku

Kegiatan litbang akan terus disempurnakan pada penggunaan bahan serat alternatif seperti kayu hutan tanaman; pemanfaatan seluruh bagian tanaman (whole-tree utilization); kertas bekas; limbah pembalakan hutan; limbah industri perkayuan; limbah pertanian; limbah perkebunan; serat non-kayu. Ini memerlukan pencermatan proses agar sesuai mengolah bahan alternatif tersebut.

B. Penyempurnaan Proses

Intinya adalah modi kasi proses konvensional atau proses yang sudah diterapkan, dengan harapan ada perubahan/dampak positif seperti telah diuraikan sebelumnya.

Page 241: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

225HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

1. Pengolahan pulp dengan bahan kimia ramah lingkungan. Ini bertujuan mengurangi polusi bahan kimia proses terutama yang mengandung sulfur (bentuk gas atau cairan) pada pulping konvensional sulfat/kraft, karena bersifat racun, korosif terhadap logam, dan berbau tidak sedap. Bahan yang dapat mengatasi/mengurangi dampak negatif tersebut antara lain antrakinon (AQ), oksigen (O2), polisul da (PS), dan chelating agent (Siagian dan Roliadi, 1998; Sherban, 2002; Hart et al., 2003).

2. Kemungkinan pengolahan pulp bermedia pemasak alkohol. Ini merupakan salah satu usaha mengatasi jenis kayu atau bahan serat berligno-selulosa lain yang rentan terhadap proses pulping konvensional (menggunakan media air), seperti kayu hutan tanaman, kulit kayu, dan serat bukan kayu Alkohol (ROH) khususnya metanol (CH3OH) dan etanol (C2H5OH) dapat mendepolimerisasi/fragmentasi lignin dan memiliki titik didih lebih rendah dari pada air. Diharapkan penerapannya dapat mengurangi degradasi karbohidrat serat sehingga menghasilkan pulp dengan rendemen dan sifat kekuatan tinggi (Gilaranze et al., 2000;Minja dan Christenses, 2001; Anggraini, 2002; Oliet et al., 2002).

3. Pengolahan pulp dengan teknik extended deligni cation. Teknik ini disebut rapid displacement heating (RDH) sebagai modi kasi pulping kimia (sulfat khususnya). Prinsip teknisnya adalah memanfaatkan panas larutan bekas pemasak (black liquor) untuk pemanasan awal larutan pemasak (white liquor), memanfaatkan black liquor untuk impregnasi/pelunakkan awal kayu atau bahan serat, dan mencampurkan blackliquor dengan white liquor untuk proses pulping selanjutnya (Gambar 12). Dampak positif yang diharapkan adalah penghematan energi/air, deligni kasi lebih efektif, pulp mudah diputihkan/berkekuatan tinggi, peningkatan produkti tas pulp, dan pengurangan pemakaian bahan kimia. Proses RDH belum banyak diterapkan pada jenis kayu Indonesia, dan ini diperhatikan dan dikembangkan terkait dengan makin gencarnya kekhawatiran aspek kekhawatiran lingkungan (Smook, 2002; Anonim, 2001b, 2003, 2006c; 2008; Aristo, 2010).

4. Pemutihan pulp dengan bahan kimia bebas khlor-elementer (elemental chlorine-free/ECF). Pemutihan pulp menggunakan khlor (Cl2) berindikasi menyebabkan terbentuknya senyawa polychlorinated dioxin dan dibenzofuran yang terbawa bersama limbah buangan sebagai AOX (senyawa beracun dan dicurigai menimbulkan penyakit kanker). Salah satu senyawa ECF adalah khlorin dioksida (ClO2), yang meskipun 2,5 kali lebih mahal, tetapi jauh lebih selektif sehingga intensitas degradasi karbohidrat pulp menurun dan lebih sedikit menghasilkan AOX (Crooks dan Sykes, 2002, 2006b, 2007c, 2012e; Pryke, 2003; Ventorim et al., 2008). Di Indonesia, pemutihan dengan ClO2 telah banyak dilakukan, dan perlu dikembangkan terus untuk pemutihan pulp dari kayu domestik (atau serat berligno-selulosa lain) yang jenisnya beranekaragam.

5. Pemutihan pulp dengan bahan kimia bebas khlor menyeluruh (totally chlorine-free bleaching agent/TCF). Ini sebagai usaha substusi (menyeluruh/parsial) pemakaian bahan pemutih mengandung chlor untuk mengatasi AOX. Di antara bahan TCF asdalah oksigen (O2), ozone (O3), peroksida (H2O2 atau Na2O2), prenoks (NO2), monox-L, sodium hydrosul te (Na2S2O3), sodium tripolyphosphate (Na3P3O10), sodiumborohydride

Page 242: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

226 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

(NaBH4), dan pressurized preoxygen washer (W) (Anonim, 1996, 2002b, 2005a, 2007d; Paryono, 2010). Percobaan pemutihan pulp dengan TCF menunjukkan hasil prospektif (Xu, 2001; Bowen, 2003; Anonim, 2006b), sehingga perlu dicermati/ dikembangkan lebih lanjut untuk berbagai jenis kayu Indonesia.

6. Pemutihan pulp dengan sistim tertutup. Juga sebagai salah satu usaha mengurangi masalah AOX. Sistim tersebut bermanfaat lain seperti daur ulang bahan kimia, menghasilkan energi tambahan, dan menghemat pemakaian bahan pemutih dan air proses (Anonim, 2007c, 2012g). Pemutihan pulp sistim tertutup perlu dicermati dan dikembangkan untuk diterapkan pada jenis kayu Indonesia yang jenisnya beraneka ragam.

7. Pembentukan lembaran kertas pada suasana netral atau alkali. Proses pembentukan lembaran kertas, berikut penambahan retensi (alum) dan aditif ( ller, sizing, perekat) umumnya berlangsung pada suasana asam (pH sekitar 4-5) (Gambar 7), sehingga berakibat degradasi karbohidrat pulp dan korosi peralatan pulp/kertas. Pembentukan lembaran bersuasana netral/alkali (pH 7-8) diharapkan dapat mengatasi hal tersebut. Suasana tersebut memerlukan bahan aditif/retensi khusus seperti alkyl ketene dimer (AKD), cationic starch (CS), fatty-acid anhydride (FAA), stearato chromic chloride dalam isopropyl alcohol SCC/IA, per uoro cuprylic acid (PCA), chromium dalam isopropyl alcohol (C/IA), dan alkenyl succinic anhydride (ASA). Suasana netral/alkali juga memungkinkan penggunaan ller yang tidak tahan asam (seperti CaCO3), memperpanjang umur pakai alat, peningkatan retensi bahan aditif, dan mengurangi degradasi karbohidrat, peningkatan kecepatan produksi (Anonim, 2001, 2006d, 2012f; Dixit et al., 2004; Lee et al., 2004; Penniman et al., 2004; Zhou dan Hsieh, 2004; Oktavia, 2011). Di Indonesia penerapan suasana tersebut perlu dipertimbangkan, karena manfaat positifnya.

8. Penerapan teknologi nano pada pembentukan lembaran kertas bersuasana alkali Penerapan teknologi ini memungkinkan penggunakan bahan ller yang tidak tahan asam, dan meningkakan retensi bahan ller dan sifat kekuatan lembaran. Percobaan penggunakan ller berukuran nano yaitu bentonite dan koloid silika ternyata berdampak positif seperti

peningkatan runnability, water-drainage, retensi fi ller, dan mengurangi penurunan sifat kekuatan kertas (Anonim, 2006e, 2011b; Pennimanm et al., 2004). Inipun perlu mendapat perhatian seksama.

9. Pembentukan lembaran kertas dengan sistim tertutup. Mesin kertas secara tradisionil beroperasi dengan membuang saja cairan bekas pembentukan lembaran kertas (whitewater). Daur ulang white water dapat mengurangi pemakaian air segar (fresh water), menghemat biaya waste-water treatment, dan menurunkan tingkat pencemaran. Sistim ini juga ikut mendaur ulang secara parsial sisa serat dan bahan aditif (Polverari et al., 2001; Anonim, 2014a, 2012). Penerapan sistim ini di Indonesia perlu dipertimbangkan, karena dapat mengurangi pemakaian bahan serat, aditif, dan pembantu (air), yang potensinya semakin terbatas dan juga tekanan kuat dari pemerhati lingkungan.

10. Penggunaan bahan aditif alternatif. Ini berprospek menggantikan bahan aditif konvensional pada pembentukan lembaran kertas pada suasana asam, seperti sizing (rosin soap, emulsi lilin, dan emulsi aspal) dan retensi (tawas).

Page 243: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

227HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Bahan aditif alternatif tersebut sebagaimana telah disebutkan diantaranya adalah AKD, FAA, SCC, PCA, C/IA, dan ASA, yang beretensi tinggi pada suasana netral/alkal (Hatanak dan Takahashi, 2001; Walkden, 2001; Lee et al, 2004; Sur, 2010). Macam aditif lain yang bisa berperan sebagai perekat dalam pembentukan lembaran kertas/papan serat adalah khitin (pada limbah cangkang/kulit udang), sehingga diharapkan mengurangi pemakaian bahan perekat tradisional tapioka (Roliadi et al., 2012). Di Indonesia, bahan aditif alternatif tersebut perlu dipertimbangkan dan dikembangkan penggunannya.

11. Pengolahan pulp dan kertas dengan mendaur ulang keseluruhan air bekas proses. Pengolahan pulp/kertas mengkonsumsi sejumlah besar air proses sekitar 200-245 kiloliter/ton produk. Air digunakan atau terbawa pada segala tahapan proses bermedia air, seperti pengkulitan kayu, pemasakan serpih, pencucian pulp, pemutihan pulp, penggilingan pulp, penambahan bahan aditif, pembentukan lembaran kertas, ketel uap (boiler) pembangkit listrik, recovery fi rnace, evaporator, dan paper-sheet drying) (Anonim, 2001c, Smook 2002; Anonim, 2005d) (Gambar 13). Konsumsi air yang besar dapat mengganggu keseimbangan habitat sekitarnya, menurunkan level kritis permukaan air yang diperlukan guna kehidupan ikan dan mahluk air lainnya, dan mengubah suhu air optimum untuk kehidupan mahluk tersebut (Perkin dan Szepan, 2000; Anonim, 2001a, 2001c, 2012m). Indonesia walaupun terletak di daerah tropis, tetapi dengan gencarnya kekhawatiran lingkungan, industri pulp/kertas domestik perlu pula memikirkan usaha meminimisasi air proses.

VI. ASPEK LINGKUNGAN

Pengolahan bahan serat menjadi pulp (dan produk turunannya) banyak terkait dengan aspek/dampak lingkungan, mulai tahapan mendapatkan bahan serat, tahapan pengolahan, hingga tahapan penyelesaian (fi nishing) (Gambar 7, 8, 9). Tahapan tersebut bisa berdampak negatif, sehingga memerlukan tindakan efektif guna mengatasinya.

A. Bahan Baku Serat

Hingga kini kayu masih merupakan bahan serat kovensional pengolahan pulp dan produk turunannya (sekitar 90%). Penggunaan kayu secara berlebihan dapat berdampak negatif terhadap lingkungan, karena tegakan pohon kayu banyak berperan positif (penyerap CO2, keanekaragaman hayati, persediaan air tanah, keseimbangan ekosistem, dan pencegah erosi - banjir - kekeringan - angin berdebu, dan mitigasi pemanasan global). (Anonim, 2006, 2006a). Dengan demikian, penggunan bahan serat alternatif perlu dilakukan (Rismijana, 2010; Anonim, 2012d).

B. Pengolahan Bahan Serat Menjadi Pulp dan Produk Turunannya

Pengolahan serat menjadi pulp dan produk turunannya menyertakan produk tak dikehendaki (polutan), yang dapat mencemari udara (air pollution), cairan/aliran (stream/effl uent pollution),

Page 244: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

228 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

dan daratan (solid waste), termasuk bising suara (noise pollution). Polusi udara mencakup ne particulate dan abu (sisa hasil pembakaran tidak sempurna); gas tidak terkondensasi (senyawa sulfur dan nitrogen, senyawa organik, terkondensasi, tak-terkondensasi). Bahan polutan udara bersifat racun, dapat mengganggu sistim pernapasan, dan penglihatan manusia (Anonim, 1998b). Upaya mengatasinya antara lain penangkap/pengikat/pembakar seperti adsorben (karbon atau arang aktif), incinerator, scrubber, dan fi lter.

Polusi aliran/berbentuk cair (effl uent pollution) berasal dari segala tahapan pengolahan pulp/kertas bermedia air. Limbah cair tersebut mengandung padatan dan gas dalam bentuk terlarut, koloid, dan tersuspensi (Anonim, 2000; 2002a). Limbah tersebut bisa bersifat korosif, beracun, dan berbau, sehingga membayakan ikan dan mahluk air (terkait dengan pH, warna, TS, SS, DS, BOD, dan COD). Usaha mengatasinya mencakup penyaringan, sedimentasi, oatasi, volatilisasi, dan tindakan biologis. Usaha tersebut ternyata menghasilkan limbah padat (sludge) yang mengandung sisa serat, serat terfragmentasi, sisa komponen kimia serat, dan sisa bahan aditif. Masalah timbul karena semakin terbatasnya land ll. Usaha mengatasi di antaranya adaalh konversi sludge menjadi produk bernilai tambah seperti kertas, kompos, dan arang bioaktif. Limbah padatan lain (broke) juga bisa terbentuk selama proses pembentukan lembaran kertas hingga tahap akhir (Gambar 7, 8, 9), yang juga merupakan bahan serat berligno-selulosa. Usaha menanganinya adalah dengan daur ulang (repulping), sehingga ikut meningkatan ef siensi pengolahan pulp dan kertas (mengurangi loss dan meningkatkan rendemen).

Limbah berupa suara bising terjadi akibat operasi mesin/peralatan pengolahan bahan serat. Upaya menanganinya mencakup penggunaan absorber, sound barriers, acoustical foam, noise control enclosures, insulating pads, dan acoustical wall panels (Smook, 2002; Anonim, 2012n).

VII. KESIMPULAN

Bahan serat alternatif (menyeluruh/parsial) perlu dikembangkan/diintrodusir guna mengurangi ketergantungan pada bahan serat konvensional (kayu hutan alam).

Modi kasi dan penyempurnaan teknologi terhadap teknologi konvensional pengolahan serat perlu dilakukan agar terjadi kesesusaian dengan bahan tersebut dan berdampak positif seperti meningkatkan rendemen, kecepatan, dan kualitas produk; mengurangi pemakaian bahan proses (air, bahan kimia, dan energi); mengatasi masalah dalam proses, dan minimisasi kerusakan peralatan; dan menurunkan tingkat polusi. Di Indonesia usaha tersebut ada yang sudah diterapkan secara ekstensif, masih secara parsial, atau masih dalam tahap gagasan/percobaan awal. Untuk hal terakhir, perlu usaha pengembangan lebih lanjut.

Teknologi pengolahan serat perlu terus disempurnakan/dikembangkan, karena terkait dengan: semakin terbatasnya sumber daya alam (bahan baku, bahan proses, air, bahan pembantu, aditif, dan energi); usaha penemuan/pengembangan bahan alternatif sumber daya alam tersebut; kekhawatiran lingkungan; tetap menjaga kualitas hasil olahannya; dan memperpanjang masa pakai peralatan pengolahan pulp dan produk turunannya. Ini terkait dengan konsumsi pulp/produk turunannya yang cenderung meningkat di Indonesia.

Page 245: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

229HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

VIII. PENUTUP

Produk turunan pulp domestik sebagian besar masih didominasi oleh kertas, karton, dan papan serat/MDF. Di masa mendatang, perlu adanya diversi kasi produk sehingga lebih memberi nilai tambah/daya guna bahan serat, di mana skopenya menjangkau produk turunan selulosa lain. Inipun memerlukan penyempurnaan dan pengembangan teknologi.

Adanya bahan serat sintetis (nilon, dacron, dan glass) dapat merupakan pesaing bahan serat berligno-selulosa. Kayu dan bahan ligno-selulosa lain bersifat terbarukan, maka produk teknologi serat diharapkan tetap bisa kompetitif, karena biaya pengolahan, sifat terbarukan dan keramahan lingkungan dari serat sintetis tersebut masih dipertanyakan. Ini perlu pula adanya usaha penyempurnaan dan pengembangan teknologi pengolahan bahan serat yang intensif dan terus menerus.

UCAPAN TERIMA KASIH

Dengan selesainya naskah orasi APU ini, saya mengucapkan terima kasih dan rasa hormat saya pada Pimpinan langsung, yaitu Bapak Kepala Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (P3KKPHH, Bogor) yang telah memberi kesempatan, kepercayaan melakukan, hingga terlaksanannya orasi tersebut. Ucapan terima kasih dan rasa hormat juga disampaikan pada segala pihak terkait di lingkungan P3KKPHH dan Badan Litbang Kehutanan secara menyeluruh.

Ucapan terima kasih dan penghargaan setingginya disampaikan pada Bapak Profesor Riset Dr. Ir. R. Sudradjat, MSc yang telah banyak meluangkan waktu memeriksa, mencermati, mengarahkan, memberi saran, tambahan materi, sumbangan pemikiran, mengkoreksi, memberi dorongan positif, dan sebagainya hingga tersusunnya naskah orasi dan pelaksanaan orasi ini.

Akhirnya saya mengharapkan agar naskah orasi APU dan presentasi orasi ini dapat memberikan sumbangan ilmiah berharga pada ilmu Bidang Pengolahan Hasil Hutan, khususnya Teknologi Pengolahan Serat.

DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, D. 2002. Proses pemasakan soda-etanol untuk kulit dadap (Erythina variegata L.). Skripsi. Fakultas Kehutanan. Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Institut Pertanian Bogor (Tidak Diterbitkan).

Anggraini, D. dan H. Roliadi. 2011. Pembuatan papan serat berkerapatan sedang (MDF) menggunakan campuran arang aktif dan pulp limbah pembalakan hutan tanaman. Karya Tulis Ilmiah untuk bahan Presentasi Kenaikan Jenjang Jabatan Penelitian. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Cibinong, Bogor.

Anggraini, D. dan H. Roliadi. 2011a. Pembuatan pulp untuk karton dari campuran tandan kosong kelapa sawit, kertas bekas, dan sludge industri kertas, pada skala usaha

Page 246: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

230 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

kecil. Naskah Publikasi No. 1310. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor.

Anggraini, D. dan H. Roliadi. 2011b. Kemungkinan penerapan sistim tertutup pada pemutihan pulp di Indonesia. Buletin Hasil Hutan, 17 (2): 80-93. Oktober 2011. Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor.

Anonim. 1978. Sifat dan kualitas ampas tebu (bagasse) sebagai sumber serat dan energy. Kerjasama Lembaga Penelitian Hasil Hutan (Bogor) dan PN. Kertas Letjes (Jawa Timur).

Anonim, 1985. The Dictionary of Pulp and Paper. Third ed. American Pulp and Paper Association. New York, NY.

Anonim. 1996. Advances in pulping: The use of ozone in bleaching pulps. TAPPI (Tecnical Association of the Pulp and Paper Industries), 74 (11): 16-18.

Anonim. 1998. Pulp and paper from empty oil-palm bunches. Project Proposal. PT. Triskisatrya Daya Paratama dan PT. Chatama Agro Indo n. Jakarta.

Anonim. 1998a. The RDH process - An extended deligni cation. Website: www.p2pays.org. Di akses: tanggal 22 Maret 2011.

Anonim. 1998b. Pollution prevention and control handbook. World Bank Group. Website: www.ifc.org/ifcext/...pulp.../pulp_ppah.pdf. Diakses; 12 Februrai 2012.

Anonim. 2000. Pulp and paper production basics. Website: http://www.rfu.org/cacw/basic.html. Diakses: 12 April 2012

Anonim. 2001. Measuring the success of an alkaline papermaking program. Paper Trade Journal of Canada, 185 (4): 57-58.

Anonim. 2001a. Cleanest pulp and paper mill in the world. APPITA (Australian and New Zealand Pulp and Paper Industry and Technical Association), 54 (6): 496-501.

Anonim. 2001b. Rapid displacement heating (RDH) digester. Website: www.kemotron.co.kv. Diakses: tanggal 17 Juli 2011.

Anonim. 2001c. Clean production of pulp and paper. Website: www.rfu.org/cacw/production.html. Diakses: tanggal 17 Mei 2012.

Anonim. 2002. Re ning considerations for synthetic bers. TAPPI, 1 (10): 119-123.

Anonim. 2002a. Pulp mill and paper machine go on stream at champion. TAPPI, 1 (6): 13-21.

Anonim. 2002b. Oxygen and extended deligni cation. Website: www.rfu.org. Diakses: tanggal 5 April 2011.

Anonim. 2003. Apa itu pabrik pulp pulp. Harian Kompas, tanggal 8 Juni 2003. Hlm. 32-33. Jakarta.

Anonim. 2003a. Dari limbah keluarlah enzim. Harian Kompas, tanggal 28 April 2003. Hlm. 10. Jakarta

Page 247: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

231HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Anonim, 2003b. Fibreboards. JIS (Japanese Industrial Standard) No. A 5905. Tokyo, Japan.

Anonim. 2004. How to Make Paper. American Paper Institute. New York, NY.

Anonim. 2004a. The build up of dissolved solid in closed white water system. TAPPI, 3 (8): 1-14.

Anonim, 2005. Oxygen bleaching. Pulp way for intelligent and environmentally sustainable pulp production. Metso paper. Metso Paper USA, Inc. Norcross, Georgia, USA.

Anonim, 2005a. Ozone bleaching. The Way Concept. Metso Paper USA Inc. Norcross, GA, USA.

Anonim. 2005b. BCTMP for economy and versatility. Valmet. A member of Metso Corporation. Valmet Fibertech AB. Sundsvall, Sweden.

Anonim. 2005c. Chemical pulping and bleaching simulation: Kraft and semi-chemical pulping and bleaching technologies. Papro Forest Research. Rotorua, New Zealand.

Anonim. 2005d. Grades (types) of waste paper. Website: www.paperunweb.com. Diakses: tanggal 4 April 2011.

Anonim, 2005d. Minimize water ef uents: Trends and News. Pulp and Paper Technology of Sweden. Swedish Pulp and Paper Technology Tour to South East Asia 2005. Jakarta, Indonesia.

Anonim. 2005e. Grades (types) of waste paper. Website: www.paperonweb.com. Diakses tanggal 18 September 2011.

Anonim. 2006. TAPPI (Technical Association of the Pulp and Paper Industries)’s test methods. TAPPI Press. Atlanta Georgia

Anonim. 2006. Kayu hutan alam distop total: laju degradasi hutan Indonesia mencapai 2,87 juta hektar per tahun. Harian Kompas, tanggal 28 April 2006, Hlm. 22. Jakarta.

Anonim. 2006a. Laporan Perjalanan Dinas ke PT TEL Pulp and Paper di Muara Enim (Sumatera Selatan) pada tanggal 24 Juli - 4 Agustus 2006, terkait dengan kegiatan penelitian Applikasi Teknologu dan Analisa Finansial Pembuatan Karton dari Campuran Sludge Industri Pulp dan dan Pulp TKKS untuk Skala Usaha Kecil/Mengengah. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor (Tidak Diterbitkan).

Anonim. 2006b. Study report for review of ECF and TCF bleaching process and speci c issues raised in the WWF report. Melbourne: Beca AMEX. Website: www.planning.tas.gov. Diakses: tanggal 16 Juni 2011.

Anonim, 2006c. Development of Rapid Displacement Heating System for Batch Cooking. Shanghai Light Industry Design Institute. China Pulp and Paper. Website: en. Enki.com.cn/Atricle_en/CJFDTOTAL-ZGZZ506/htm. Diakses 20 April 2012.

Anonim. 2006d. Modi ed starch as a retention aid in papermaking. Website: http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1081/PPT-200046054. Diakses: 2 Mei 2012.

Page 248: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

232 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Anonim. 2006e. How papermaking nanotechnology emerged from wet end chaos. Website: http://en.wikipedia.org/wiki/Nanotechnology-papermaking. Diakses: tanggal 2 Mei 2012

Anonim. 2007. Indonesian Pulp and Paper Industry, Diretory 2007. PT. Gramedia. Jakarta.

Anonim. 2007a. Kumagai Testing Machine Catalogue. Kumagai Riki Kogyo Co., Ltd. Tokyo, Japan.

Anonim. 2007b. Kertas dari rumput laut, mengapa tidak? Harian Kompas, tanggal 23 Juli 2007. Hlm. 36. Jakarta.

Anonim. 2007c. Effects of decreased release of chlorinated compounds on water use: Impact of reuse and recycle of bleach plant ltrate. Website: www.paperenvironment. Diakses tanggal 10 Juli 2011.

Anonim. 2007d. TCF vs. ECF bleaching. Website:http://www.knowpulp.com/english/ demo/ english/pulping/ bleaching/ 1_general/fr_text.htm. Diakses: tanggal 22 Januari 2012

Anonim. 2007e. Fiberboard: How products are made? Website: http://www.madehow.com/Volume-3/Fiberboard.html. Daikses: tanggal 4 Juni 2012

Anonim. 2008. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik.. Jakarta.

Anonim. 2008a. Selamat tinggal hutan alam. Harian Kompas, tanggal 15 Maret 2008. Hlm. 21. Jakarta.

Anonim. 2008b. Tell about the rapid displacement heating pulping procedure?. Website: http://infohouse.p2ric.org/ref/10/09423.htm. Diakses: tanggal 24 April 2012

Anonim. 2009. Fundamentals of de-inking technology of recycled paper. Website: http://papermart.in/ 2009/01/20/fundamentals-of-de-inking-technology-of-recycled-paper/. Diakses: tanggal 5 Mei 2012.

Anonim. 2010. Industri pulp dan kertas Indonesia menghadapi persaingan pasar global. Diskusi Panel Industri Kehutanan Menghadapi Persaingan Pasar Global. Jakarta, Agustus 2010. Asosiasi Pulp and Kertas Indonesia. Jakrta.

Anonim. 2011. Pasar CPO Afrika semakin prospektif. Harian Kompas, tanggal 17 Maret 2011. Hlm. 18.. Jakarta

Anonim. 2011a. Dissolving pulp. Florida Pulp and Paper Association. Website: http://www.fppaea.org/ static.php?contentid=10660. Diakses: tanggal 2 April 2012.

Anonim. 2011b. Three things you need to know about nanotechnology in papermaking. Website: http://www.risiinfo.com/technologyarchives/papermaking/Three-things-you-need-to-know-about-nanotechnology-in-papermaking.html. Diakses: tanngal 23 April 2012

Anonim. 2011c. Daftar perusahaan MDF di Indonesia. Website: id.list-of-companies.org/Keywords/Mdf. Diakses tanggal: 12 Mei 2012.

Page 249: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

233HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Anonim, 2011d. Dissolving Pulp. Website: http: //en.wikipedia.org/wiki/ Dissolving_pulp. Diakses tanggal 22 Juni 2012.

Anonim. 2012. Pulp (Paper): Non-wood bers. Website: http://en.wikipedia.org/wiki/Pulp_%28paper%29. Diakses: tanggal 29 April 2012.

Anonim. 2012a. Synthetic bers. Website: http://wiki.answers.com/Q/What_are_synthetic_ bers#ixzz1tmU0Jkob. Diakses: tanggal 28 April 2012.

Anonim. 2012b. Cellulose. Website: http://en.wikipedia.org/wiki/Cellulose. Diakses: tanggal 4 Mei 2012.

Anonim. 2012c. Kraft process. Website: http://en.wikipedia.org/wiki/Kraft_process. Diakses: tanggal 4 Mei 2012.

Anonim. 2012d. Organosolv pulping. Website: http://en.wikipedia.org/wiki/Organosolv. Diakses: tanggal 2 Mei 2012.

Anonim. 2012e. Bleaching of pulp. Website: http://en.wikipedia.org/wiki/Bleaching_of_wood_pulp. Diakses: tanggal 2 Mei 2012.

Anonim. 2012f. Alkaline paper making. Website: http://en.wikipedia.org/wiki/Acid-free_paper. Diakses: tanggal 30 April 2012.

Anonim. 2012g. The closed-cycle bleached kraft pulp mill. Website: http://md1.csa.com/partners/ viewrecord.php? requester=gs&collection=ENV&recid=7612417&q=http%3A%2F%2Fwww.csa.com%2Fpartners%2Fviewrecord.php%3Frequester%3Dgs%26collection%3DENV%26recid%3D7612417&uid=791630912&setcookie=yes. Diakses 2 Mei 2012.

Anonim. 2012h. Paper machine. Website: http://en.wikipedia.org/wiki/Paper_machine Diakses: tanggal 30 April 2012.

19. Anonim. 2012i. Pulp and Paper Mills - Environment and Conservation. Website: http://www.env.gov.nl. ca/env/env protection/ics/pulp.html. Diakses: tanggal 12 April 2012

Anonim. 2012j. Paper recycling. Website: http://en.wikipedia.org/wiki/Paper_recycling. Diakses: tanggal 4 Mei 2012

Anonim. 2012k. Pulp and paper industry. Website: www.balticuniv.uu.se/.../634-pulp-and-paper. Diakses: tanggal 22 Mei 2012

Anonim. 2012l. Paper pollution. Website: http://en.wikipedia.org/ wiki/Paper_pollution. Diakses: tanggal 12 Mei 2012.

Anonim. 2012m. Environmental impacts of paper. http://en.wikipedia.org/wiki/Environmental_issues_with_paper. Diakses 12 Mei 2012.

Anonim. 2012n. Noise pollution. Website: http://en.wikipedia.org/wiki/Noise_pollution.

Anonim. 2012o. Indonesia mampu ambil alih pasar pulp dunia. Investor Dily, Minggu 3 Juni 2012. Website: http://www.investor.co.id/tradeandservices/indonesia-mampu-ambil-alih-pasar-plup-dunia/37168. Diakses: tanggal 4 Juni 2012.

Page 250: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

234 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Anonim. 2012p. Hemicellulose. Website: http://en.wikipedia.org/wiki/Hemicellulose. Diakses tanggal: 5 Februari 2012.

Aprianis, Y. 2010. Kemungkinan pemanfaatan kayu mahang sebagai bahan baku alternative untuk pulp kertas. Buletin Hasil Hutan, 16 (2): 141-149. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

Arias, M.E. M. Arsenas, J. Rodriguez, and J. Soliveri. 2003. Kraft pulp biobleaching and mediated oxidation of nonphenolic substrate by Laccease from Streptomyces cyaneeus CECT 3335. Applied Environmental Microbiology, 69 (4): 1953-1958.

Aristo, S. 2010. Modi kasi hot-blow conventional batch ke continuous batch digester. Prosiding Seminar Teknologi Pulp dan Kertas, 10 Nopember 2010, Balai Besar Pulp dan Kertas. Bandung. Hal: 2-9.

Auguste, M., D. Aazevedo, and J.D. Miller. 2000. Agglomeration and magnetic deinking for of ce paper. TAPPI, 83 (3): 66-72.

Bjorklund, M., V. Gerngard, and J. Basta. 2004. Formation of AOX and OCl in ECF bleaching of birch pulp. TAPPI, 3 (8): 7-10.

Bowen, I.J. and C.L. Hsu. 2003. Overview of emerging technologies in pulping and bleaching. TAPPI, 2 (9): 205-217.

Casey, J.P. 1980. Pulp and Paper Chemistry and Technology. Third edition, vol. I. A Wiley-Interscience Publication. New York – Brisbane – Tokyo – London.

Cagne, C., M.C. Barbe, and C. Daneault. 2002. Comparison of bleaching processes mechanical and chemi-mechanical pulps. TAPPI, 1 (11): 89-98.

Corson, S.R. 2003. Wood characteristics in uence pine TMP quality. TAPPI, 2 (11): 135-146.

Crooks, R. dan J. Sikes. 2002. Environmental effects of bleached kraft mill ef uents. APPITA, 55 (1):

Darmawan, S. 2009. Kualitas papan isolasi dari campuran kayu mangium (Aacacia mangium Willd) dan arang. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 27 (4): 291-302. Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor.

Dixit, M.K., T.A. Maleike, C.W. Jackowski. 2004. Alkaline papermaking: Retention strategy for alkaline ne papermaking with secondary ber – A case history. TAPPI, 87 (4): 107-113.

Erythrina, S. 2012. Kajian penggunaan selulosa mikrobial dari Nata decoco sebagai pensubstitusi kayu dalam pembuatan kertas. Skripsi S1. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Fatriasari, W., S.H. Anita, F. Falah, dan T. Nugroho. 2010. Biopulping bambu betung menggunakan kultur jamur pelapuk putih. Berita Selulosa, 45 (2): 44-56. Balai Besar Pulp dan Kertas. Bandung.

Francis, R.C. Y. Lai, C.W. Dence, and T.C. Alexander. 2005. Estimating the concentration of phenolic hydroxyl groups in wood pulps. TAPPI, 88 (9): 219-224.

Page 251: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

235HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Gilarranze, M.A., F. Rodriguez, and O. Mercedes. 2000. Lignin behavior during the autocatalyzed methanol pulping of. Eucalyptus globolus: Changes in molecular weight and functionality. Holzforschung – International Journal of the Biology, Chemistry, Physics, and Technology of Wood, 54 (4): 1-8.

Giri, M., J. Simonses, and W.F. Rochefof. 2000. Dispersion of pulp slurries using carboxymethyl methylcellulose. TAPPI, 83 (10): 56-59.

Gess, J.M. and R.C. Lund. 2002. The strong bond – weak bond theory. TAPPI, 1 (1): 111-114.

Gratzl, J., D.Y. Prasad, and S. Chivukula. 2004. Extending deligni cation with AQ and polysul de. TAPPI, 3 (9): 151-160.

Hadipermata, M., A. Dudiyanto, S. Wiraatmaja, A. Sugiarto. 2004. Efek pemutihan pulp kraft RDH dengan proses pemutihan ECF. Prosiding Seminar Teknologi Inovatif Pasca Panen untuk Pengembangan Industri Berbasis Pertanian. Balui Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian. 2004. Website: repository.ipb.ac. Diakses: tamggal 29 September 2011.

Hart, P.W., M. Gilboe, G. Aduse, and D. Macosky. 2005. Pilot-scale trial on a low cost oxygem deligni cation system. TAPPI, 4 (1): 26-30.

Hatanaka, S. and Y. Takahashi. 2001. Sizing with saponi ed alkenyl succinic acid. TAPPI, 84 (2): 177-182.

Haygreen, J.G. and J.L. Bowyer. 1999. Forest Products and Wood Science. Iowa State University. Ames, USA.

Hise, R.G. 2004. Split addition of chlorine and pH control for reducing formation of dioxins. TAPPI, 3 (12): 121-127.

Junianto, S.E. 2011. Penggunaan recycled ber sebagai sarana penghematan sumber daya alam. Makalah Utama disajikan pada Seminar Teknologi Pulp dan Kertas 2011: Mewujudkan Industri Hijau pada Produksi Pulp dan Kertas Indonesia, 12 Juli 2011. Balai Besar Pulp dan Kertas. Bandung

Kentjana, Y.P., Y. Setiawan, dan M. Khada . 2010. Pemanfaatan cotton linters untuk produk membran selulosa asetat. Prosiding Seminar Teknologi Pulp dan Kertas, 10 Nopember 2010, Balai Besar Pulp dan Kertas. Bandung. Hal: 80-91.

Krassig, H. 2004. Regenerated cellulose bers. TAPPI, 3 (3): 93-99.

Lee, H.L., J.S. KIM, and H.J. You. 2004. Improvement of ASA sizing ef ency using hydrphobically modi ed and acid-hydrolozed starch. TAPPI, 3(12): 12-19.

Lisnawati. 2000. Biologi serat abaka (Musa textiles Nee) dan Musa spp. lain berdasarkan sifat sikokimia dan kelayakannya untuk bahan baku pulp dan kertas. Skripsi Jurusan

Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Bogor. (Tidak Diterbitkan)

MacLeod, M. 2004. Chlorine-free bleaching: ozone and enzymes to the rescue? TAPPI, 3 (11): 204-208.

Page 252: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

236 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Miner, R. and J. Unwin. 2003. Progress in reducing water use and wastewater loads in the US paper industry. TAPPI, 2 (8): 127-134.

Minja, R.J.A. and P.K. Christenses. 2001. Extended deligni cation of kraft pulping by anthraquinone, methanol, and black liquor. Norwegian University of Science and Technology, Dept. of Chemical Engineering. Trondheim, Norway. Website: www.p2pays.org.

Mohiudidin, G., R.M. Rahman, M. Razzaque. 2005. Biopulping of whole jute plants using soda-anhtraquinone and kraft process. TAPPI, 4 (3): 23-27.

Molin, U. and. H. Lennholm. 2002. The in uence of alkaline degradation during pulping on mechanical properties of pulp bers. Australian Pulp and Paper Industry Technical Association (APPITA), 54 (6): 540-546.

Moreau, J.P. 2003. Cotton bers for non-wovens. TAPPI, 2 (3): 179-185.

Oktavia, E. 2011. Aplikasi nanosilika kationik untuk meningkatkan retensi pada kertas nanopartikel presipitat kalsium karbonat sebagai bahan pengisi kertas. Makalah Utama disajikan pada Seminar Teknologi Pulp dan Kertas 2011: Mewujudkan Industri Hijau pada Produksi Pulp dan Kertas Indonesia, 12 Juli 2011. Balai Besar Pulp dan Kertas. Bandung

Oliet, M., J. Garcia, F. Rodriguez, and M.A. Gilarrant. 2002. Solvent effects in autocatalyzed alcohol-water pulping: Comparative study between ethanol and methanol as delignifying agent. Chemical Engineering Journal, 87 (2): 157-162.

Paice, M., R. Bourbonnais, and I.D. Reid. 2003. Bleaching kraft pulps with oxidative and alkaline peroxide. TAPPI, 2 (9): 161-169.

Paryono, 2010. Pengaruh pemutihan oksigen dua tahap terhadap kualitas pulp Acacia mangium. Prosiding Seminar Teknologi Pulp dan Kertas, 10 Nopember 2010, Balai Besar Pulp dan Kertas. Bandung. Hal: 10-18.

Pasaribu, R.A. dan H. Roliadi. 2005. Teknologi produksi karton skala kecil dari limbah pembalakan hutan alam produksi dan hutan tanaman. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

Penniman, J., A. Makomin, and A. Rankin. 2004. The alkaline papermaking nanotechnology. Website: //www.tappi/org. Diakses 9 September 2011.

Perkin, J.K. and H.F. Szepan. 2000. Closing integrated paper machine waster systems. TAPPI, 83 (3): 63-66.

Polverari, M., L. Allen, and B. Sithole. 2001. The effect of mill closure on retention ef ciency and drainage aid performance in the TMP newsprint manufacture. TAPPI, 84 (3): 1-24.

Pranda, J., R. Brezny, and M.M. Micko. 2004. Structure and performance of kraft lignin fractions as components in resole adhesives. TAPPI, 3 (8): 176-182.

Prentti, O. 2006. Wood: Structures and Properties. Trans Technical Publication. New York – London.

Page 253: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

237HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Pryke, D.C. 2003. Substituting chlorine dioxide for chlorine. TAPPI, 2 (10): 147-156.

Puspitasari, R. 2012. Kajian penggunaan selulosa mikrobial dari Nata de cassava sebagai pensubstitusi kayu dalam pembuatan kertas. Skripsi S1 (Konsep). Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Pye, E.K. dan J.H. Lora. 2003. The Alcell process: A proven alternative to kraft pulping. TAPPI, 2 (3): 113-118.

Rismijana, J.C. 2010. Pemanfaatan pulp tandan kosong kelapa sawit (TKKS) sebagai bahan baku pembuatan kertas tulis cetak menggunakan bahan aditif AKD. Prosiding Seminar Teknologi Pulp dan Kertas, 10 Nopember 2010, Balai Besar Pulp dan Kertas. Bandung. Hal: 98-105.

Roliadi, H. dan D. Anggraini. 2009. Pembuatan dan kualitas karton seni dari campuran pulp tandan kosong kelapa sawit, sludge industri kertas, dan pulp batang pisang. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 28 (4): 305-321.

Roliadi, H., D. Anggaini, dan Gustan Pari. 2010. Uji coba pembuatan kertas bungkus dari jenis-jenis pohon dan bahan serat alternatif. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

Roliadi, H. and N. Rahmawati. 2006. Explicability of the H-factor to account for the deligni cation extent and properties of plantation forest wood pulp in the kraft cooking process. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 24 (4): 275-299. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.

Roliadi, H., R.M. Siagian, D. Anggraini, R.M. Tampubolon, 2012. Pembuatan papan isolasi dari campuran pulp limbah pembalakan hutan dan arang aktif dengan bahan perekat khitosan changkang udang. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, vol. 30 (1): 2012. Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor.

Rowell, R.M. 2006. Handbook of woof chemistry and wood composite. CRC Press. Massachusetts.

Saptadi, D. 2011. The effect of activated charcoal on formaldehyde emission the resulting medium-density berboard (MDF). Paper draft No. 98/2009) under assessment to be published in the Journal of Forestry Research. Forestry Research Development Agency (FORDA), Indonesia’s Ministry of Forestry. Jakarta.

Scott, G.M. 2003. Scale up of biobleaching. State University of New York, College of Environmental Science and Forestry. New York. Website: www.esf.edu. Diakses: tanggal 19 Agustus, 2011.

Septiningrum, K. 2011. Pengaruh penambahan enzim xylanase pada proses pemutihan sistim ECF. Makalah Utama disajikan pada Seminar Teknologi Pulp dan Kertas 2011: Mewujudkan Industri Hijau pada Produksi Pulp dan Kertas Indonesia, 12 Juli 2011. Balai Besar Pulp dan Kertas. Bandung.

Sherban, C. 2002. Digester operating conditions and pulp quality in a soda-AQ pulp mill. TAPPI, 1 (11): 50-59.

Page 254: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

238 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Siagian. R. dan H. Roliadi. 1998. Possible kraft-polysul de-anthraquinone pulping of fast-growing tropical Eucalyptus grandis wood species. Proceedings of the Second International Wood Science Seminar, 6-7 November 1998. R & D Center for Applied Physics, LIPI (Indonesia) and Wood Research Institute, Kyoto University (Japan). Serpong, Indonesia.

Siagian, R. dan H. Roliadi. 2000. Kemungkinan pemanfaatan limbah kertas koran sebagai bahan baku pulp untuk kertas. Prosiding Lokakarya Penelitian Hasil Hutan, Tema: Peningkatan e siensi pemanfaatan kayu dan hasil hutan bukan kayu. 7 Desember, 2000 di Bogor. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor. Makalah Penunjang.

Siagian, R. dan H. Roliadi. 2005. Teknologi pengolahan limbah pembalakan hutan tanaman kayu Acacia mangium, Gmelina arborea, dan Eucalyptus urophylla menjadi pulp rayon dan papan isolasi. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Litbang hasil Hutan. Bogor.

Silitonga, T., R. Siagian, dan A. Nurahman. 1972. Cara pengukuran serat kayu dan bahan berligno-selulosa di Lembaga Penelitian Hasil Hutan (LPHH). Publikasi Khusus No. 12. LPHH. Bogor.

Silitonga, T., H. Roliadi, dan Rosid. 1974. Campuran beberapa jenis kayu dari Riau untuk pembuatan papan serat. Laporan No. 38. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

Silitonga, T., H. Roliadi, dan Sudradjat. 1974. Papan serat dari campuran kayu karet dan beberapa jenis kayu daun lebar lain. Laporan No. 43. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

Silitonga, T. dan H. Roliadi. 1976. Pulp semi-kimia sul t netral dari beberapa jenis kayu daun lebar asal Kalimantan. Laporan No. 70. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

Silitonga, T. dan H. Roliadi. 1976a. Pengaruh perbandingan eksibilitas serat dan kadar alkali aktif terhadap sifat pulp sulfat. Laporan No.66. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

Suchsland, O. and G.E. Woodson. 1996. Fiberboard manufacturing practices in the United States. USDA Forest Service. Agriculture Handbook No. 640.

Sjostrom, E. 1994. Wood Chemistry: Fundamentals and Applications. Academic Press, Inc. New York - London - Toronto - Sydney - Tokyo.

Smook, G.A. 2002. Handbook for Pulp and Paper Technologists. Third ed. Joint Textbook Committee of the Pulp and Paper Industries. Atlanta, Georgia, USA.

Straton, S. P. Gleadow, and A. Johnson. 2005. Pulp mill process closure. Water Science and Technology, 50 (3): 183-194.

Suchsland, O. and G.E. Woodson. 1986. Fiberboard manufacturing practices in the United States. USDA - Forest Service. Agricultural Handbook No. 640.

Sur, B. 2010. Improving strength of paper and paperboard. Prosiding Seminar Teknologi Pulp dan Kertas, 10 Nopember 2010, Balai Besar Pulp dan Kertas. Bandung. Hal: 25-33.

Page 255: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

239HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Sykes, M. 2004. Environmental compatibility of ef uents from aspen biomechanical pulps. TAPPI, 3 (1): 160-166.

Synovec, M.M. 2002. Alkaline conversions in North America gain momentum as mills take advantage of high-quality, lower-cost papermaking. TAPPI, 1 (4): 95-102.

Tsoumi, G. 1993. Science and Technology of Wood: Structure, Properties, and Utilization. Van Nostrand Reinhold. New York.

Uloth, V. 2003. Lignin recovery from kraft black liquor: Preliminary process design. TAPPI, 2 (1): 54-58.

Uutela, E. 2003. Recycle ber use expected to grow by 41% and reach 130 million tons by 2010. TAPPI, 2 (7): 203-210.

Ventorim, G., J.L. Colodete, A.M. Gomerz, and L.H.N. da Silva. 2008. Reaction rate of lignin and hexeneronic acid with ClO2, ozone, and sulphuric acid. Journal of Wood and Fiber Science, 40 (3): 190-201

Walkden, S.A. 2001. Alkaline advance helps liquid packaging meet rigorous speci cations. TAPPI, 84 (4): 103-107.

Walker, J.C.F., B.G. Butter eld, and J.M. Uprichard. 1993. Primary Wood Processing: Principles and Practice. Chapman & hall. London - New York - Tokyo - Melbourne.

Wallis, A.F.A. and R.H. Waerne. 2003. Does borate inhibit cellulose merceration during cold alkali extraction of wood pulps?. TAPPI, 2 (6): 226-229.

Xu, E.C. 2001. Alkaline peroxide mechanical pulping of hardwoods. Part 2: Asia tropical hardwoods. APPITA, 54 (6): 523-527.

Zimmerman, M., R. Patt., O. Kordsachia. 2002. ASAM puping of Douglas- r followed by a chlorine-free bleaching sequence. TAPPI, 1 (11): 129-134.

Zou, Y. andd J. S. Hsieh. 2004. Rosin sizing under neutral-alkaline papermaking conditions. TAPPI, 3 (8): 7-12.

Tabel 1. Industri pulp, kertas/karton, MDF, dan produk turunan selulosa yang ada di Indonesia

Page 256: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

240 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Table 1. Industries of pulp, paper/paperborad, MDF, and other derivatives in Indonesia

Sumber: Anonim (2007; 2008, 2010, 2011c, 2012o); Uutela (2003)

Page 257: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

241HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Gambar 1. Senyawa kimia pada kayu dan serat ligno-selulosa Sumber: Smook (2002); Prentti (2006)

Gambar 2. Struktur selulosaSumber: Smook (2002); Prentti (2006)

Gambar 3. Skema organisasi rantai polimer selulosa dalam bentuk mikro bril, tebal sekitar 10-20 nm Sumber: Sjostrom (1993); Anonim (2012b)

Page 258: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

242 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Gambar 4. Struktur heteropolimer hemiselulosa dan monomer penyusunnya (31; 2; 3; 34). Sumber: Prentti (2006); Smook (2002); Anonim (2012p)

Gambar 5. Struktur kimia lignin dan monomer penyusunnya: p-koumaril alkohol (1), guaiasil alkohol (2), dan sinapil/siringil alkohol (3). Sumber: Sjostrom (1994); Prentti (2006)

Page 259: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

243HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Gambar 6. Distribusi senyawa kimia penyusun lapisan-lapisan pada dinding sel kayu Sumber: Suchsland dan Woodson (1996); Haygreen dan Bowyer (1999)

Gambar 7. Tahapan pembuatan pulp, mulai dari bahan baku hingga menjadi produk kertas Sumber: Smook (2002); Anonim (2005c)

Gambar 8. Tahapan pembuatan pulp, mulai dari bahan baku hingga menjadi produk tertentu turunan selulosa (dissolving pulp) Sumber (Source): Smook (2002); Anonim (2011d)

Page 260: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

244 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Gambar 9. Tahapan pembuatan pulp, mulai dari bahan baku hingga menjadi produk tertentu turunan selulosa, yaitu papan serat. Sumber: Tsoumi (1993); Rowell (2005); Anonim (2007e)

Gambar 10. Tahapan pengolahan kembali kertas bekas menjadi pulp (Sumber: 2; 3; 52; 54; 159) Sumber: Smook (2002); Anonim (2009; 2012j)

Gambar 11. Proses terbentuknya lembaran kertas dari suspensi serat (pulp) akibat ikatan peranan hidrogen (hydrogen bonding), melalui penurunan kandungan air suspensi tersebut secara berangsur-angsur Sumber: Anonim (2004; 2012)

Page 261: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

245HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Gambar 12. Siklus proses pulping kimia sulfat dengan menerapkan sistim RDH (rapid displacement heating) Sumber: Anonim (2001b, 2006 c, 2008b); Smook (2002); Bowen dan Hsu (2003)

Gambar 13. Daur ulang air bekas (waste water) pengolahan pulp dan kertas, berikut water treatment (51; 20; 145; 160) Sumber: Straton et al. (2005); Anonim (2005d; 2012i)

Page 262: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

246 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

DAFTAR PUBLIKASI ILMIAH

- Silitonga, T., S.S. Achmadi, dan H. Roliadi. 1973. Sifat papan serat dari campuran kayu dan kulit. Pengumuman No. 1. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

- Silitonga, T., H. Roliadi, dan Rosid. 1974. Campuran beberapa jenis kayu dari Riau untuk pembuatan papan serat. Laporan No. 38. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

- Silitonga, T., H. Roliadi, dan S. Priasukmana. 1974. Campuran beberapa jenis kayu dari Cianten untuk pembuatan papan serat. Laporan No. 44. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

- Silitonga, T. dan H. Roliadi. 1976. Pengaruh perbandingan eksibilitas serat dan kadar alkali aktif terhadap sifat pulp sulfat. Laporan No. 66. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

- Silitonga, T. dan H. Roliadi. 1976. Pulp semi-kimia sul t netral beberapa jenis kayu daun lebar Kalimantan. Laporan No.70. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

- Sumadiwangsa, S., Y. Ando, dan H. Roliadi. 1976. Pengaruh waktu penyimpanan dan cara pengolahan terhadap kualitas biji tengkawang. Laporan No.74. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

- Hartoyo, R. Sudradjat, dan H. Roliadi. 1977. Prospek pemanfaatan alang-alang (Imperata cylindrica) untuk pulp kertas. Laporan Khusus. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

- Priasukmana, S., H. Roliadi, Buharman, dan Hariyatno. 1977. Pendugaan supply dan demand kayu bakar sebagai sumber energi di pulau Jawa dan Bali. Laporan Khusus. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

- Roliadi, H. dan S. Sumadiwangsa. 1979. Pembuatan lak kuning dari lak biji yang telah mengalami perlakuan pendahuluan pencucian dengan soda abu. Laporan No. 134. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

- Roliadi, H. dan Buharman. 1985. Menduga potensi produksi kayu bulat dari hutan Kalimantan Timur dengan metoda pendugaan nisbah dan pendugaan regresi. Buletin Penelitian Hasil Hutan, 2 (3): 15-18. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

- Roliadi, H. dan Buharman. 1985. Pendugaan besarnya limbah industri perkayuan di Kalimantan Selatan dan kemungkinan pemanfaatannya sebagai sumber energi. Buletin Penelitian Hasil Hutan, 2 (3): 23-26. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

- Efendi, R., S. Basuki, dan H. Roliadi. 1987. Menelaah sifat prioritas pemanfaatan jenis tanaman untuk kayu bakar. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 4 (4): 35-40. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.

- Choong, E.T., Y. Chen, S.S. Achmadi, H. Roliadi, and C.Y. Hwang. 1996. Effect of steaming and hot-water soaking on the dryability of some Indonesian woods. Journal of Tropical Forest Products, 2 (1): 93-103.

Page 263: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

247HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

- Siagian, R., H. Roliadi, B. Prasetya, dan D.H. Gunadi. 1999. Pemanfaatan kayu mangium (Acacia mangium Wild.) sebagai bahan baku pulp untuk kertas koran. Buletin Penelitian Hasil Hutan, 16 (4): 191-200. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

- Siagian, R., H. Roliadi, K. Purba, dan Melina. 1999. Pengaruh teknik pemutihan pulp sulfat terhadap mutu pulp dan limbah cair. Buletin Penelitian Hasil Hutan, 17 (2): 77-88. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

- Basri, E., E.T. Choong, K. Sofyan, and H. Roliadi. 1999. Dryability classi cation of twenty- ve timber species from Indonesia. Jurnal Teknologi Hasil Hutan, 12 (2): 21-28. Fakultas Kehutanan - Institut Pertanian Bogor. Bogor.

- Siagian, R.M., K. Purba, H. Roliadi, dan Y. Noorhajiyanto. 2000. Pemafaatan limbah pembalakan untuk pembuatan papan serat berkerapatan sedang (MDF). Buletin Penelitian Hasil Hutan, 17 (3): 123-133. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

- Roliadi, H. and S. Sumadiwangsa. 2000. The effect of stimulant dosages and tapping techniques on resin productivity from pine trees. Forestry and Estate Crops Research Journal, 1 (1): 40-44. Forestry and Estate Crops Research and Development Agency. Jakarta, Indonesia.

- Roliadi, H., C.Y. Hse, E.T. Choong, and T.F. Shupe. 2000. Decay resistance of out-of-service utility poles as related to the distribution of residual creosote. Forest Products Journal, 50 (11/12): 64-69.

- Roliadi, H., C.Y. Hse, E.T. Choong, and T.F. Shupe. 2000. Gluability of out-of-service utility poles. Forest Products Journal, 50 (10): 76-81.

- Siagian, R.M., H. Roliadi, dan T.H. Martua. 2001. Sifat pulp kimia-termomekanik (CTMP) kayu mangium (Acacia mangium Willd) dari berbagai tingkat umur. Buletin Penelitian Hasil Hutan, 4 (4): 245-257. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

- Sumarni, G. dan H. Roliadi. 2002. Daya tahan 109 jenis kayu Indonesia terhadap rayap tanah (Coptotermes curvignatus Holmgren). Buletin Penelitian Hasil Hutan, 29 (3): 177-185. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

- Darmawan, S., R.M. Siagian, dan H. Roliadi. 2003. Sifat pulp sulfat lima jenis kayu kurang dikenal - berdiameter kecil. Buletin Penelitian Hasil Hutan, No. 642: 45-53. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

- Sumarni, G., H. Roliadi, dan A. Ismanto. 2003. Keawetan 99 jenis kayu Indonesia terhadap rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus Light). Buletin Penelitian Hasil Hutan, 21 (3): 239-249. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

- Siagian, R.M., H. Roliadi, S. Suprapti, dan S. Komarayati. 2003. Studi peranan fungi pelapuk putih dalam proses deligni kasi kayu sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen). Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis. Hal. 47-56. Balai Penelitian dan Pengembangan UPT Biomaterail. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Cibinong, Bogor.

Page 264: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

248 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

- Roliadi, H. dan W. Patriasari. 2005. Kemungkinan pemanfaatan tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan baku pembuatan papan serat berkerapatan sedan. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 23 (2): 101-109. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

- Roliadi, H. and E.T. Choong. 2005. Removal of residual creosote in out-of-service utility poles using steam treatment. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 23 (3): 197-205. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

- Roliadi, H. and R.A. Pasaribu. 2005. Uji coba mesin serpih mudah dipindahkan untuk produksi serpih dari limbah industri penggergajian kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 23 (3): 219-227. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

- Roliadi, H. and R.M. Siagian. 2005. The utilization of sludge waste mixed with old newsprint and abaca bers as raw material for pulp/paper manufacture. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 23 (5): 417-430. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

- Nurhayati, T., H. Roliadi, and N. Bermawie. 2005. Production of mangium (Acacia mangium) wood vinegar and its utilization. Journal of Forestry Research, 2 (1): 13-26. Forestry Research and Development Agency. Jakarta, Indonesia.

- Malik, J., A. Santoso, and H. Roliadi. 2005. Basic properties in relation to drying properties of three wood species from Indonesia. Journal of Forestry Research, 2 (1):35-42. Forestry Research and Development Agency. Jakarta, Indonesia.

- Pari, G., H. Roliadi, D. Setiawan, dan Saepuloh. 2006. Komponen kimia sepuluh jenis kayu hutan tanaman. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 24 (2): 89-101. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

- Sudradjat, R., D. Setiawan, dan H. Roliadi. 2006. Teknik pembuatan dan sifat briket arang dari tempurung dan kayu tanaman jarak pagar (Jatropa curcas L.). Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 24 (3): 227-240. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

- Roliadi, H. dan N. Rahmawati. 2006. Explicability of the H-factor to account for the deligni cation extent and properties of plantation forest wood pulp in kraft cooking process. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 24 (4): 275-299. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

- Roliadi, H. dan R.A. Pasaribu. 2006. Pembuatan dan kualitas karton dari campuran pulp tandan kosong kelapa sawit dan sludge industri kertas. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 24 (4): 323-337. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

- Roliadi, H. dan G. Pari. 2006. Energy conversion from woody biomass stuffs: Possible manufacture of briquetted charcoal from sawmill-generated sawdust. Journal of Forestry Research, 3 (2): 93-104. Forestry Research and Development Agency. Jakarta.

- Nurhayati, T., Y. Waridi, dan H. Roliadi. 2006. Progress in the technology of energy conversion from woody biomass in Indonesia. For. Stud. China, 8 (3): 1-8.

- Roliadi, H dan R.M. Siagian. 2007. Aspek Ketersediaan bahan baku kayu untuk pasokan industri pengolahan pulp kertas: Studi kasus di Provinsi Sumatera Selatan. Info Hasil Hutan, 13(1): 17-26.. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.

Page 265: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

249HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

- Roliadi, H. 2007. Sifat kimia kayu tarik dalam kayu daun lebar dengan kemungkinan keterkaitanya pada pembuatan pulp dan kertas. Info Hasil Hutan, 13(1): 48-60. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.

- Pasaribu, R.A. dan H. Roliadi. 2008. Penetapan angka konversi kayu bulat berdiameter kecil. Petunjuk Teknis, Juli 2008. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.

- Roliadi, H. dan Yoswita. 2009. Pembuatan karton skala industri keciil dari campuran limbah pembalakan kayu hutan tanaman industri dan sludge industri kertas. urnal Penelitian Hasil Hutan, 28 (1): 29-42. Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor.

- Jasni dan H. Roliadi. 2009. Daya tahan 25 jenis rotan terhadap rayap tanah. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 28 (1): 55-65. Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor.

- Roliadi, H. dan N. Hadjib. 2009. Pengaruh susunan lamina kayu karet tua terhadap sifat kekuatan balok silang –I laminasi. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 28 (2): 130-144-221. Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor.

- Roliadi, H. dan S.B. Lestari. 2009. Pembuatan karton skala industri kecil dari campuran limbah pembalakan dan sludge industri kertas. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 28 (2): 199-207. Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor.

- Roliadi, H. 2009. Pembuatan dan kualitas karton dari campuran pulp tandan kosong kelapa sawit dan limbah padat organik industri pulp. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 28 (3): 209-221. Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor.

- Roliadi, H. dan D. Anggraini. 2009. Pembuatan dan kualitas karton seni dari campuran pulp tandan kosong kelapa sawit, sludge industri kertas, dan pulp batang pisang. urnal Penelitian Hasil Hutan, 28 (4): 305-321. Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor.

- Roliadi, H., Dulsalam, dan D. Anggraini. 2009. Penentuan daut teknis optimal dan faktor eksploitasi kayu hutan tanaman jenis Eucalyptus hybrid sebagai bahan baku pulp untuk kertas. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 28 (4): 332-357. Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor.

- Dulsalam dan H. Roliadi. 2010. Faktor eksploitasi hutan tanaman mangium: Studi kasus di PT. Toba Pulp Lestari Tbk, Sumatera Utara. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 29 (2): 87-103. Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor.

- Jasni dan H. Roliadi. 2010. Daya tahan 16 jenis rotan terhadap bubuk rotan (Dinoderus minutus Fabr.). Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 29 (2): 113-127. Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor.

- Anggraini, D. Dan H. Roliadi. 2011. Kemungkinan penerapan sistim tertutup pada pemutihan pulp di Indonesia. Buletin Hasil Hutan, 17 (2): 80-93. Oktober 2011. Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor.

Page 266: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

250 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

- Roliadi, H., R.M. Siagian, D. Anggraini, dan R.M. Tampubolon. 2012. Pembuatan papan isolasi dari campuran pulp limbah pembalakan hutan dan arang aktif dengan bahan perekat cangkang udang. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 30 (1): 59-67. Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor.

- Roliadi, H., R. Sudraddjat, dan Arum Anggraini. 2012. Kemungkinan penggunaan antioksidan guna mempertinggi ketahanan oksidasi biodiesel dari minyak biji tanaman jarak pagar (Jatropa curcas L.). Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 30 (1): 68-85. Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor.

DAFTAR KEIKUTSERTAAN SEBAGAI PEMBICARA DAN PARTISIPASI LAIN TERKAIT DALAM KEGIATAN ILMIAH

- Roliadi, H. dan T. Silitonga. 1976. Prospek pengolahan biji tengkawang. Lokakarya Hasil Hutan Ikutan, 6-8 Juli 1976, Banjarmasin (Kalimantan Selatan). Departemen Perdagangan Republik Indonesia. Makalah Disajikan.

- Pasaribu, R.A. dan H. Roliadi. 1990. Komponen kimia dan dimensi serat beberapa jenis kayu yang berasal dari dari hutan tanaman dan hutan alam. Proseding Diskusi Hutan Tanaman Industri, 13-14 Maret 1990 di Jakarta. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta. Makalah Penunjang.

- Roliadi, H., C.Y. Hse, and E.T. Choong. 1995. Residual preservative distribution in waste utility poles as related to the development of engineered wood products. Forest Products Society Meeting, 25-28 June 1995. Portland, Oregon, USA. Abstract of the Poster Presentation.

- Basri, E., E.T. Choong, and H Roliadi. 1995. Dryability classi cation of twenty ve timber species of Indonesia. Forest Products Society Meeting, 25-28 June 1995. Portland, Oregon, USA. Abstract of the Poster Presentation.

- Hse, C.Y., H. Roliadi, and E.T. Choong. 1995. Opportunity for using recycled poles in the manufacture value-added products. The Louisiana Arborist Association: Second Annual Urban Waste Wood Recycling Conference., 7-8 July 1995. University of Southwestern Louisiana. Lafayette, Louisiana, USA. One of the Selected Presented (Invited) Aspects.

- Roliadi, H., C.Y. Hse, and E.T. Choong. 1996. The recycling of out-of-service utility poles for useful engineered wood products. Proceeding of the International Wood Engineering Conference, Vol. I., 28-31 October 1996. New Orleans, Louisiana, USA. Organized by the Department of Civil and Environmental Engineering, Louisiana State University, Louisana (USA). Presented (Invited) Paper

- Choong, E.T., H. Roliadi, and C.Y. Hwang. 1996. Wood properties of Dipterocarpaceae. Proceedings of the TRTTC/STA Forest Products Seminar ‘96, 11-13 March 1996. Kuching (Sarawak). Organized by Timber Research & Wood Properties of the Dipterocarpaceae. Kuching, Sarawak, Malaysia. Working Paper

Page 267: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

251HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

- Nurhayati, T. and H. Roliadi. 1998. Programs of R & D on the technology of wood pyrolysis. Proccedings of the Second International Wood Science Seminar. 6-7 November 1998, Serpong (Indonesia). Organized by R & D Center of Applied Physics (LIPI), Indonesia – Wood Research Institute, Kyoto University, Japan. Introductory Paper.

- Roliadi, H. 1998. Waste papers: Their characteristics and suggested reutilization into paper or other cellulose-derived products. Proccedings of the Second International Wood Science Seminar. 6-7 November 1998, Serpong (Indonesia). Organized by R & D Center of Applied Physics (LIPI), Indonesia – Wood Research Institute, Kyoto University, Japan. Introductory Paper.

- Basri, E., H. Roliadi, and Rahmat. 1998. Drying techniques for kumia (Manilkara sp.) wood species. Proccedings of the Second International Wood Science Seminar. 6-7 November 1998, Serpong (Indonesia). Organized by R & D Center of Applied Physics (LIPI), Indonesia – Wood Research Institute, Kyoto University, Japan. Presented (Invited) Paper.

- Siagian, R. and H. Roliadi. 1998. Possible kraft-polysul de-anthraquinone pulong of fast-growing tropical Eucalyptus grandis wood Species. Proccedings of the Second International Wood Science Seminar. 6-7 November 1998, Serpong (Indonesia). Organized by R & D Center of Applied Physics (LIPI), Indonesia – Wood Research Institute, Kyoto University, Japan. Presented (Invited) Paper.

- Gintings, A.Ng. and H. Roliadi. 1999. The relationship between waste wood management and the risk of transboundary haze from forest re. Final Regional Workshop, 21-23 June 1999, Jakarta. IC-SEA Synthesis and Reviews on Land Use Planning and Management to Reduce the Impacts of Transboundary Pollution from Forest Forest Fires. Asian Development Bank and Association of South East Asian Nations. Jakarta, Indonesia. Presented Paper.

- Basri, E., H. Roliadi, and Rahmat. 1999. The effect of pres-steaming and cross-sectional end-coating on the drying properties of Indonesian torem (Manilkara kanosiensis H.J. Lam & B.D. Meeuse) wood species. Proceedings of the Fourth International Conference on the Development of Wood Science , Wood Technology, and Forestry, 14-16 July 1999, Missenden Abbey. Hosted by Forest Products Centre. Buckinghamshire Chilterns University College. High Wycombe, England. Presented Paper.

- Roliadi, H. and A.Ng. Gintings. 1999. Evaluation on the properties of wood materials from the re-attacked forests. Proceedings: Impacts of Fire and Human Activities on Forest Ecosystems in the Tropics. Third International Symposium on Asian Tropical Forest Management, 20-23 September 1999, Samarinda, East Kalimantan, Indonesia. Presented Paper.

- Basri, E., K. Hayashi, N. Hadjib, and H. Roliadi. 2000. Qualities and kiln-drying schedules of several wood species from Indonesia. Proceedings of the Third International Wood Science Symposium on the Sustainable Utilization of Forest Products: Scio-Economic and Ecological Management of Tropical Forest, 1-2 November 2000, Uji, Kyoto (Japan). Wood Research Institute, Kyoto University. Japan.

Page 268: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

252 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

- Roliadi, H. and A.Ng. Gintings. 2000. Suggestions on proper handling of woody biomass residues in Indonesia as one way to alleviate environmental concerns. Proceedings of Seminar: Environment Conservation through ef cient utilization of forest biomass, 13 November 2000 in Yogyakarta. Sponsored by the Division of Forest Products Technology, Faculty of Forestry, University of Gadjah Mada in cooperation with the Japan International Forestry Promotion and Cooperation Center. Invited Paper.

- Siagian, R. dan H. Roliadi. 2000. Kemungkinan pemanfaatan limbah kertas koran sebagai bahan baku pulp untuk kertas. Prosiding Lokakarya Penelitian Hasil Hutan, Tema: Peningkatan e siensi pemanfaatan kayu dan hasil hutan bukan kayu. 7 Desember, 2000 di Bogor. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor. Makalah Penunjang.

- Roliadi, H., P. Permadi, dan A.Ng. Gintings. 2000. Usaha Optimalisasi Pemanfaatan Limbah hasil Hutan. Seminar Pengembangan Warung dan hasil Hutan Provinsi Lampung. 22 Nopember 2000, Bandar Lampung. Makalah disajikan.

- Gintings, A. Ng. and H. Roliadi. 2001. Assessment of wood residues in Indonesia. Trash or Treasure? Logging and mill. Organized by Asia-Paci c Forestry Commosion. FAO of the United Nations, Regional Of ce for Asia and the Paci c (RAP). Bangkok, Thailand. Appendix 2 of the RAP Publication 2001/16.

- Jasni, Roliadi, H., Pari, G., K. Kosasih, dan Sutrisno. 2001. The potential use of tannin as a preservative for wood and rattan. Proccedings of the Fifth International Conference on the Development of Wood Science, Wood Technology, and Forestry. University of Ijuliana Biotechnical Faculty. Sllovenia. Presented (Invited) Paper.

- Roliadi, H., T. Nurhayati, and M. Yatagai. 2001. Assessing the possible production of charcoal and wood vinegar using environmentally friendly wood-pyrolysis techniques. Tropical Forest Research in the New Milenium: Meeting, Demand, and Challenge. 1-3 October 2001, Kualalumpur (Malaysia). Presented Paper.

- Pari, G., H. Roliadi, D. Setiawan, and Saepuloh. 2001. Analysis on chemical components in lesser-known wood species from Jambi. Utilization of Small-Diameter Logs. Report on the Collaboration Research Project of Indonesia – Republic of Korea. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

- Siagian, R.M., H. Roliadi, and S. Darmawan. 2001. Properties of unbleached sulphate pulp of lesser-known wood species from Jambi. Utilization of Small-Diameter Logs. Report on the Collaboration Research Project of Indonesia – Republic of Korea. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

- Roliadi, H. and A.Ng. Gintings. 2002. Particular attempts in Indonesian pulp and paper processing toward the sustainable use of resources and alleviating environmental concerns. Proceedings of the 56th Appita Annual Conference., 18-20 March 2002 in Rotorua, New Zealand. Presented Paper.

- Pasaribu, R.A. dan H. Roliadi. 2002. Pemanfaatan kembali kertas bekas menjadi pulp/kertas melalui teknik penghilangan tinta secara oatasi. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Teknologi Hasil Hutan. 19 Desember 2002 di Bogor. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor. Makalah Penunjang.

Page 269: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

253HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

- Pasaribu, R.A., H. Roliadi, dan R.M. Siagian. 2002. Faktor konversi kayu hutan tanaman Acacia mangium untuk bahan baku serpih. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Teknologi Hasil Hutan. 19 Desember 2002 di Bogor. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor. Makalah Penunjang.

- Roliadi, H. and R.A. Pasaribu. 2003. The possible utilization of old newsprint, paper-mill sludge, and abaca bers for pulp/paper manufacture as an attempt to reduce heavy dependency on the conventional wood. Proceedings of the 57th Appita Annual Conference., 5-7 May 2003 in Melbourne, Australia. Presented Paper.

- Roliadi, H. and R. Sudradjat. 2003. The possible utilization of phenol-formaldehyde adhesive derived from the distilled black liquor. Proceedings of the IUFRO All Division Conference, 2003 in Rotorua, New Zealand. Presented Paper.

- Daryanto, H. and H. Roliadi. 2004. Introduction of clean technology process towards better utilization of forest biomass wastes for local community and environments. The ITTO International Workshop on Environmental Economics of Tropical Forest and Green Policy, 2-5 March 2004, Beijing China. Participating Paper.

- Gintings, A. Ng. and H. Roliadi. 2004. Utilization of forest biomass wastes and possible mitigation of global warming. Proceedings of the International Workshop on Better Utilization of Forest Biomass for Local Community and Environments. Organized by the Center for Forest Products Research and Development and JIFPRO JIFPRO (Japan International Forestry Promotion and Cooperation Center), 16-17 March 2004. Presented (Invited) Paper.

- Pari, G. and H. Roliadi. 2004. Alternative technology for the utilization of biomass wastes from wood industry. Proceedings of the International Workshop on Better Utilization of Forest Biomass for Local Community and Environments. Organized by the Center for Forest Products Research and Development and JIFPRO JIFPRO (Japan International Forestry Promotion and Cooperation Center), 16-17 March 2004. Presented (Invited) Paper.

- Djarwanto, S. Suprapti, A. Ng. Gintings, and H. Roliadi. 2004. Enhancing the enthusiasms of village community through mushroom cultivation on sawdust media. Proceedings of the International Workshop on Better Utilization of Forest Biomass for Local Community and Environments. Organized by the Center for Forest Products Research and Development and JIFPRO JIFPRO (Japan International Forestry Promotion and Cooperation Center), 16-17 March 2004. Presented (Invited) Paper.

- Gusmailina, S. Komarayati, G. Pari, and H. Roliadi. 2004. Socialization and application of compost charcoal. Proceedings of the International Workshop on Better Utilization of Forest Biomass for Local Community and Environments. Organized by the Center for Forest Products Research and Development and JIFPRO JIFPRO (Japan International Forestry Promotion and Cooperation Center), 16-17 March 2004. Presented (Invited) Paper.

Page 270: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

254 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

- Nurhayati, T., H. Roliadi, and A.Ng.Gintings. 2004. Development of wood vinegar in Indonesia and its properties. Proceedings of the International Workshop on Better Utilization of Forest Biomass for Local Community and Environments. Organized by the Center for Forest Products Research and Development and JIFPRO JIFPRO (Japan International Forestry Promotion and Cooperation Center), 16-17 March 2004. Presented (Invited) Paper.

- Pari, G., H. Roliadi, and D. Hendra. 2004. The possibility of utilization of sawdust wastes as high quality activated sawdust charcoal. Proceedings of the International Workshop on Better Utilization of Forest Biomass for Local Community and Environments. Organized by the Center for Forest Products Research and Development and JIFPRO JIFPRO (Japan International Forestry Promotion and Cooperation Center), 16-17 March 2004. Voluntary (Supplementary) Paper.

- Pari, H. and H. Roliadi. 2004. Cost analysis on the manufacture of rice-husk charcoal and sawdust charcoal. Proceedings of the International Workshop on Better Utilization of Forest Biomass for Local Community and Environments. Organized by the Center for Forest Products Research and Development and JIFPRO JIFPRO (Japan International Forestry Promotion and Cooperation Center), 16-17 March 2004. Voluntary (Supplementary) Paper.

- Roliadi, H. and R.A. Pasaribu. 2004. The possible utilization of empty oil-palm bunches as substitute of pulp wood for the manufacture of corrugating medium paperboard using semi-chemical soda-AQ pulping. Proceedings of the 58th Appita Annual Conference., 19-21 April 2004 in Canberra, Australia. Presented (Invited) Paper.

- Pasaribu, R.A. dan H. Roliadi. 2004. Kemungkinan pemanfaatan limbah industri penggergajian kayu menjadi pulp untuk karton. Ekspose Hasil-hasil Litbang Hasil Hutan, dengan Tema: Penguatan Industri Kehutanan Melalui Peningkatan E siensi, Kualitas, dan Diversi kasi Produk Hasil Hutan, 14 Desember 2004 di Bogor. Diselenggerakan oleh Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan (Bogor) dan Loka Litbang Hasil Hutan Bukan Kayu (Riau). Makalah Penunjang.

- Roliadi, H. and R.A. Pasaribu. 2005. Kemungkinan tandan kosong kelapa sawit sebagai pengganti kayu pulp untuk pembuatan karton medium corrugating menggunakan proses semi-kimia soda antrakinon. Seminar Nasional VIII – Masyarakat Perkayuan Indonesia: Prospek dan Tantangan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan di Indonesia. 3-5 September 2005, Tenggarong (Kalimantan Timur). Masyarakat Perkayuan Indonesia (MAPEKI) bekerjasama dengan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman dan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara. Kalimantan Timur. Makalah Disajikan.

- Pari, G., H. Roliadi, K. Ando, E. Nakama, K. Miyakuni, and N. Seki. 2005. Charcoal production methods for carbon sequestration in Indonesia. International Symposium on Wood Science and Technology. 50th Anniversary of the Japan Wood Research Society. Yokohama, Japan. Presented (Invited) Paper.

- Pari, G., H. Roliadi, K. Miyakuni, and. N. Ishibashi. 2005. Trial on some charcoal production methods for the enhancement of carbon sequestration in Indonesia. Proceedings

Page 271: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

255HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

of the 2nd Workshop on Demonstration Study on Carbon Fixing Forest Management in Indonesia. Organized by Japan International Corporation Agency (JICA) and Forestry Research and Development Agency (FORDA). Bogor, Indonesia. Presented (Invited) Paper.

- Pasaribu, R.A. dan H. Roliadi. 2006. Kajian potensi kayu pertukangan dari hutan rakyat pada beberapa kabupaten diu jawa Barat. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006. 21 September, Bogor. Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor. Makalah Penunjang.

- Pasaribu, R.A., H. Roliadi, and Dulsalam. 2007. Reduction and utilization of wood residues: Utilization of logging and other lingo-cellulosic material-industry wastes in Indonesia for the raw material of various useful products. Asean Expert Group on Research and Development for Forest Products (Ninth Meeting), 9-10 July, Vientiane, Lao PDR. Appendix 4.

- Roliadi, H., M.I. Iskandar, dan E. Basri. 2007. Teknologi untuk diversi kasi produk kayu hutan rakyat. Seminar: Pengembangan Hutan Rakyat Menudukung Kellestarian Kayu Rakyat, 3 Desember 2007, Bogor. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Bogor.

- Gusmailina and H. Roliadi. 2008. Green energy: Development potency of alternative energy. Asia Paci c Regional Forum on Promoting Wood-Based Bioenergy Using Wood Residues and Wastes. 14-17 October 2008, Jakarta. Organized by the Center for Forest Products Research and Development, Bogor. Voluntary Paper.

- Nurhayati, T., K. Yuniarti, and H. Roliadi. 2008. Status on the utilization of wood wastes and development of R & D in bioenergy. Asia Paci c Regional Forum on Promoting Wood-Based Bioenergy Using Wood Residues and Wastes. 14-17 October 2008, Jakarta. Organized by the Center for Forest Products Research and Development, Bogor. Voluntary Paper.

- Komarayati, S., H. Roliadi, R.A. Pasaribu. 2008. Teknologi dan kelayakan nansial pemanfaatan limbah industri pulp dan kertas. Seminar Teknologi Pemanfaatan limbah industri pulp dan kertas untuk mengurangi beban lingkungan. 24 November 2008, Bogor. Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor.

- Jasni, H. Roliadi., and O. Rachman. 2009. The resistance of pine wood from timber estate at various levels of tree ages. Proceedings – TRG: The Sixth Conference of the Paci c Rim Termite Research Group (TRG). 2-3 March 2009. Kyoto, Japan. Presented (Invited) Paper.

- Roliadi, H., N. Hadjib, and Abdurachamn. 2009. Modi cation of wood and other lingo-cellulosic stuffs for enhancing their qualities and added values. Proceedings of the 13th World Forestry Congress (WFC) 2009: Forest in Development – A Vital Balance, 18-25 October 2009 in Buenos Aires, Argentine. Participatory (Voluntary) Paper.

- Roliadi, H. and A.N. Gintings. 2009 Illegal loggings in Indonesia, causes, and suggested solutions to deal with it. Proceedings of the 13th World Forestry Congress (WFC) 2009:

Page 272: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

256 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Forest in Development - A Vital Balance, 18-25 October 2009 in Buenos Aires, Argentine. Poster Presentation.

- Roliadi, H. dan D. Anggraini. 2010. Kemungkinan pengolahan limbah kayu pertukangan menjadi pulp dan kertas dengan penerapan minimisasi penggunaan air proses. Prosiding Seminar Nasional: Inovasi Teknologi Pengolahan Jati Cepat Tumbuh dan Kayu Pertukangan Lainnya. 25 November 2010, Bogor. Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor. Makalah Penunjang.

- Roliadi, H. dan Abdurachman. 2010. Meningkatkan daya guna dan nilai tambah kayu hutan tanaman melalui teknologi rekonstitusi menjadi produk kayu pertukangan. Prosiding Seminar Nasional: Inovasi Teknologi Pengolahan Jati Cepat Tumbuh dan Kayu Pertukangan Lainnya. 25 November 2010, Bogor. Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor. Makalah Penunjang.

- Endom, W., H. Roliadi, dan M.M. Idris. 2010. Standardisasi penetapan isi tunggak mangium (Acacia mangium) dan krasikarpa (Acacia crassicarpa) serta beberapa sifat kayunya. Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Standardisasi (PPIS): Penelitian dan Pengembangan Standardisasi yang Handal untuk Mendorong Peningkatan Daya Saing Nasional, 11 Nopember 2010 di Jakarta. Badan Standardisasi nasional (BSN). Jakarta.

- Endom, W., M.M. Idris, dan H. Roliadi. 2010. Standardisasi angka koreksi isi kayu bundar jati gerowong. Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Standardisasi (PPIS): Penelitian dan Pengembangan Standardisasi yang Handal untuk Mendorong Peningkatan Daya Saing Nasional, 11 Nopember 2010 di Jakarta. Badan Standardisasi nasional (BSN). Jakarta.

- Anggraini, D., H. Roliadi, dan R.M. Tampubolon. 2011. Pemanfatan bahan alternatif bersera ligno-selulosa untuk pembuatan pulp dan kertas guna menjaga kelestarian sumber daya alam. Makalah untuk Presentasi Poster, Prosiding Seminar Teknologi Pulp dan Kertas 2011: Mewujudkan Industri Hijau pada Produksi Pulp dan Kertas Indonesia. Bandung, 12 Juli 2011. Balai Besar Pulp dan Kertas, Bandung.

- Suhartana, S., Yuniawati, and H. Roliadi. 2011. The effect of timber-logging at peat swamp forest on land subsidence, CO2 and CH4 emissions, and peat-water uctuation: Case study at a related company that operates at a peat-swamp forest area in West Kalimantan. Third International Workshop on Wild Fire and Carbon Management in Peat Forests in Indonesia, 22-24 September 2011, Palangkaraya (Central Kalimantan). Poster Presentation.

- Yuniawati, S., S. Suhartana, and H. Roliadi. 2012. The effect of timber-harvesting activities on the increase in soil bulk density at peat land: A case study in Riau, Indonesia. Paper for poster presentation in 2nd Asia Forum on Carbon Update (ACFU) 2012: Tackle Climate Change Issues among Asian Countries, Bandung, Indonesia, 15-17 February 2012.

Page 273: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

257HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

A. Data Pribadi

Nama : Dr. Ir. Han Roliadi, MS. MSc.

NIP : 1949102111976031001

Pangkat Golongan : Peneliti Utama IVe / Pembina Utama Ive

Jabatan : Peneliti

Unit Kerja : Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Badan Litbang Kehutanan, Kementrian Kehutanan

Agama : Islam

Alamat Kantor : Jalan Gunung Batu No. 5, Bogor 16110 (Jabar)

Alamat Rumah : Kompleks Kehutanan Rasamala No. 58, RT02/RW06, Desa Padasuka, Cikoneng - Ciomas, Kab. Bogor 16610

Telp/HP : 0251-8635620; 0251-2783974; 0817705120

Fax : 0251-8633413

E-mail : [email protected]

B. Riwayat Pendidikan

No Pendidikan Universitas Jurusan 1 S3 (Ph.D) Louisiana State University / Colorado

State University, USA (1994 – 1997)

-Wood Science and Technology

2a S2 (M.Sc) University of Washington / University of Minnesota, USA (1984 – 1992)

-Pulp and Paper Science / Wood Chemistry

2b S2 (MS) Institut Pertanian Bogor, Sekolah Pasca Sarjana, Bogor (1978 – 1981)

-Statistika Terapan untuk bidang Teknologi Hasil Hutan

3 S1 (IR.) Institut Pertanian Bogor, Fakultas Mekanisasi dan Teknologi Hasil Pertanian (Fateta), Bogor (1968 – 1974)

-Teknologi Kayu dan Bahan Serat

Page 274: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

258 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

C. Riwayat Kepangkatan

D. Riwayat Jabatan Fungsionil Peneliti

E. Kegiatan Lain dan Organisasi Profesi

Organisasi Profesi

1. Forest Products Society, 1995-1997; sebagai Anggota/Member

2. Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI), 2007 s/d Sekarang;; sebagai Anggota/Member

Editor Majalah

1. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, Pusat Litbang Hasil Hutan (Bogor); sebagai salah satu anggota Dewan Redaksi

2. Buletin Penelitian Hasil Hutan, Pusat Litbang Hasil Hutan (Bogor); sebagai salah satu anggota Dewan Redaksi

3. Journal of Forestry Research, Forestry Research and Development Agency (Jakarta); sebagai salah satu anggota Dewan Redaksi

4. Buletin Teknologi Perbenihan dan Tekno Benih, Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan (Bogor): sebagai salah satu anggota Dewan Redaksi

No Riwayat Kepangkatan Golongan Golongan Kepangkatan 1 1 Agustus 2012 s/d sekarang Pembina Utama IV E 2 1 Agustus 2009 s/d 1 Agustus 2012 Pembina Utama Madya / IV D 3 1 Desember 2006 s/d 1 Agustus 2009 Pembina / IV C 4 1 April 2006 s/d 1 Desember 2006 Pembina / IV B 5 10 Juni 2004 s/d 1 April 2006 Pembina / IV A 1 Oktober 2001 s/d 10 Juni 2004 Penata Tkt - I 1 Januari 1994 s/d 31 Agustus 1997 Graduate Research Assistant pada Louisiana

State University, Baton Rouge, LA (USA) 6 1 April 1988 s/d 1 Oktober 2001 Penata III / C 7 1 April 1980 s/d 1 April 1988 Penata Muda Tkt - I 8 1 Maret 1977 s/d 1 April 1980 Penata Muda 9 1 Maret 1976 s/d 1 Maret 1977 CPNS / III-A

No Riwayat Jabatan Fungsional Jabatan Fungsional 1 1 Agustus 2012 s/d sekarang Peneliti Utama Gol IV/E 2 1 Agustus 2009 s/d 1 Agustus 2012 Peneliti Utama Gol. IV/D 3 30 Nopember 2006 s/d 1 Agustus 2009 Peneliti Madya Gol. IV/C 4 1 Januari 2005 s/d 30 Nopember 2006 Peneliti Madya 5 1 April 2003 s/d 1 Januari 2005 Peneliti Muda 6 1 Januari 2000 s/d 1 April 2003 Ajun Peneliti Madya 7 1 Mei 1992 s/d 1 Januari 2000 Ajun Peneliti Muda 8 10 Januari 1983 s/d 1 Mei 1992 Asisten Peneliti Muda 9 1 September 1980 s/d 10 Januari 1983 Asisten Peneliti

Page 275: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

259HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Pengalaman Riset

- Perum Perhutani (Jakarta): Penelitian pemanfaatan kayu kaliandra sebagai sebagai sumber energi. Proyek Asistensi Lembaga Penelitian Hasil Hutan (Bogor) pada Perum Perhutani (Kantor Pusat, Jakarta), 1976-1977 (Anggota Tim)

- P.N. Kertas Letjes (Probolinggo, Jawa Timur): Sifat dan kualitas ampas tebu (bagasse) sebagai sumber serat dan energi. Kerjasama Lembaga Penelitian Hasil Hutan (Bogor) dan PN. Kertas Letjes, 1978 (Anggota Tim, dan Pengolahan /Interpretasi Data).

- PT. Sumalindo Lestari Jaya (Samarinda, Kalimantan Timur): Alih Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Industri Pulp Kertas dan Papan Serat. Kerjasama Pusat Litbang Hasil Hutan (Bogor) dengan PT. Sumalindo Lestari Jaya, 1989 (Anggota Tim).

- Louisiana State University (Banton Rouge, USA): Sebagai Graduate Research Assistant, 1994-1997 (dalam rangka penyelesaian Program Pendidikan S3, dan Practical Training).

- KOICA (Utilization of small-diameter logs): Collaboration Research Project of Indonesia (Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan, Bogor) – Republic of Korea, 1999-2000 (Membantu Melaksanakan Penelitian Terkait dan Membuat Laporan)

- JIFPRO (Japan International Forestry Promotion and Cooperation Center): Better Utilization of Forest Biomass for Local Community and Environments, Kerjasama JIFPRO – Pusat Litbang Hasil Hutan Bogor, 1999-2004 (sebagai Anggota Tim, Sekretaris, Membuat Makalah Terkait, dan Editor Laporan)

- JICA (Japan International Cooperation Agency): Demonstration Study on Carbon Fixing Forest Management in Indonesia, Kerjasama JICA- Forestry Research and Development Agency (Indonesia’s Ministry of Foresrtry), 2001-2006 (Sebagai Pembantu Pembuatan Makalah, dan Editor Laporan).

- Direktorat Bina Iuran Kehutanan dan Peredaran Hasil Hutan (BIKPHH), Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan (BPK): Studi Lapangan Pengukuran dan Pengujian Kayu Bulat Berdiameter Kecil, 2007. Tim Studi Pusat Litbang Hasil Hutan (Bogor) bekerjasama dengan Direkrorak BIKPHH (Jakarta). Anggota Tim, merangkap Pengolahan dan Interpretasi Data.

- Perum Perhutani: Penelitian Penetapan Volume Aktual Kayu Bundar Jati Cacat Gerowong untuk Bahan Parquet, 2008. Tim Pusat Litbang Hasil Hutan (Bogor) bekerjasama dengan Perum Perhutani (Unit II, Cepu, Jawa Tengah). Anggota Tim, merangkap Pengolahan dan Interpretasi Data.

- Direktorat Bina Iuran Kehutanan dan Peredaran Hasil Hutan (BIKPHH), Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan (BPK): Penetapan Angka Konversi Tunggak Acacia mangium dan Acacia crassicarpa di Hutan Tanaman Industri PT. Arara Abadi, Provinsi Riau, 2008. Tim Pusat Litbang Hasil Hutan (Bogor) bekerjasama dengan Direktorat BIKPHH (Jakarta). Anggota Tim, merangkap Pengolahan dan Interpretasi Data.

Page 276: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

260 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

- Direktorat Bina Iuran Kehutanan dan Peredaran Hasil Hutan (BIKPHH), Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan (BPK): Penetapan Angka Konversi Limbah Kayu Bulat Kelompok Meranti dan Rimba Campuran dari Hutan Alam di HTI PT. Adindo Hutan Lestari, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur, 2009. Tim Pusat Litbang Hasil Hutan (Bogor) bekerjasama dengan Direktorat BIKPHH (Jakarta). Anggota Tim, merangkap Pengolahan dan Interpretasi Data.

Pengalaman Pelatihan

No. Jenis Pelatihan Pelaksana Tempat dan Tahun 1 Penataran Statistik Badan Litbang Pertanian

bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Hasil Hutan (Bogor)

Bogor, 26 Juli – 7 Agustus1976

2 Penggunaan Program Kemasan S3 Badan Litbang Pertanian Bogor, 21 April – 7 Juli 1978 3 Computer Programming Badan Litbang Pertanian Jakarta, Maret – Agustus 1982 4 Aplikasi Komputer Badan Litbang Pertanian /

Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, November – Desember 1982

5 Forestry Research Course IDRC of Canada / University of the Philippines, Los Banos

Los Banos, Agustus – Oktober 1983.

6 Workshop on Developing Project Proposals

FORDA/CIFOR/GTZ Bogor, 2-6 September 2002

7 Pemahaman dan Pendalaman ISO/IEC 17025: 2005 Edisi 2

Pusat Litbang Hasil Hutan (Bogor) bekerjasama dengan Balai Besar Industri Agro, Departemen Perindustrian

Bogor, 19-23 Februari 2007.

8 Pemahaman Sistim Manajemen Mutu ISO 9001; 2008

Pusat Litbang Hasil Hutan (Bogor)

Bogor, 1-2 Oktober 2009

9 Pelatihan Internal Audit Sistim Manajemen Mutu ISO 9001; 2008

Pusat Litbang Hasil Hutan (Bogor) bekerjasama dengan PT. Ragam Proteksi Intermedia (Jakarta)

Bogor, 17-19 November 2009

Page 277: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

261HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Lampiran 1.

KEPUTUSAN KEPALA PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN

TAHUN ANGGARAN 2012

Nomor : SK. 32/VIII/P3KKPHH-3/2012

Tentang:

PENUNJUKAN TIM PENGARAH DAN REGU KERJA PERTEMUAN ILMIAH ORASI AHLI PENELITI UTAMA DAN EKSPOSE HASIL PENELITIAN

KEPALA PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KETEKNIKAN KEHUTANANDAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN

Menimbang : a. bahwa dalam rangka menyebarluaskan informasi dan teknologi (IPTEK) hasil-hasil Litbang kepada masyarakat luas serta menjaring umpan balik (feed back) bagi peningkatan kegiatan litbang maka dipandang perlu kegiatan pertemuan ilmiah dalam forum penyelenggaraan Orasi Ahli Peneliti Utama dan Ekspose Hasil Penelitian;

b. bahwa untuk maksud butir a, perlu ditunjuk Tim Pengarah dan Regu Kerja Pertemuan Ilmiah Orasi Ahli Peneliti Utama dan Ekspose Hasil Penelitian;

c. bahwa untuk maksud butir b, perlu ditetapkan dengan Keputusan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan.

Mengingat : 1. Undang-undang No. 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian jo Undang-undang No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 8 Tahun 1974,

2. Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan 3. Peraturan Menteri Kehutanan No.40/Menhut-II/2010 tanggal 20

Agustus 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan;

Memperhatikan : Surat Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Tahun Anggaran 2012 Nomor: 0179/029-07.1.01/1212011 tanggal 6 Desember 2011;

MEMUTUSKAN

Menetapkan : PENUNJUKAN TIM PENGARAH DAN REGU KERJA PERTEMUAN ILMIAH ORASI AHLI PENELITI UTAMA DAN EKSPOSE HASIL PENELITIAN

Page 278: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

262 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

PERTAMA : Menunjuk mereka yang namanya tercantum dalam lampiran keputusan ini sebagai Pertemuan Ilmiah Orasi Ahli Peneliti Utama dan Ekspose Hasil Penelitian;

KEDUA : Tim Pengarah dan Regu Kerja Pertemuan Ilmiah Orasi Ahli Peneliti Utama dan Ekspose Hasil Penelitian bertanggung jawab kepada Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan;

KETIGA : Tim Pengarah bertugas memberikan arahan penyelenggaraan kegiatan, pemilihan topik, materi, nara sumber, bentuk acara dan arahan dalam kelancaran pelaksanaan kegiatan;

KEEMPAT : Regu kerja bertugas:

1. Mempersiapkan penyelenggaraan yang meliputi; perencanaan jadwal kegiatan, tempat, akomodasi dan konsumsi, daftar peserta, administrasi surat-menyurat, pembiayaan dan lain-lain yang diperlukan dalam penyelenggaraan ekspose.

2. Mengkoordinasikan dan menyelenggarakan ekspose sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan dengan mengacu kepada arahan yang telah diberikan oleh panitia pengarah.

3. Menyusun prosiding sementara.

4. Melaporkan seluruh kegiatan panitia pelaksana kepada panitia pengarah

KELIMA : Tim Perumus bertugas menghimpun seluruh kegiatan ekspose dan merumuskan hasilnya menjadi rumusan hasil ekspose;

KEENAM : Semua biaya yang diperlukan sebagai akibat diterbitkannya keputusan ini dibebankan kepada DIPA Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Tahun Anggaran 2012;

KETUJUH : Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan apabila di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam penetapannya, maka akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Bogor pada tanggal : 3 September 2012

KEPALA PUSAT,

Dr. Ir. I. B. PUTERA PARTHAMA, M.Sc. NIP. 19590502 198603 1 001

Tembusan kepada Yth.

1. Kepala Badan Litbang Kehutanan di Jakarta;

2. Yang bersangkutan.

Page 279: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

263HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

KEPUTUSAN

KEPALA PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN

Nomor : SK. 32 /VIII/P3KKPHH-3/2012

Tanggal : 3 September 2012

Penunjukan Tim Pengarah dan Regu Kerja Pertemuan Ilmiah Orasi APU dan Ekspose Hasil Penelitian

I Penanggung Jawab : Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan

II Pengarah : Dr. Ir. I. B. Putera Parthama, M.Sc.

III Ketua : Ir. Syarif Hidayat, M.Sc.

Sekretaris : Ayit Tau k Hidayat, S.Hut T, M.Sc.

Bendahara : Sophia Pujiastuti

Seksi Materi : 1. Sujarwo Sujatmoko, S.Hut,.M.Sc. 2. Drs. Juli Jajuli 3. Deden Nurhayadi, S. Hut

Seksi Acara : 1. Cece Hediana, SE 2. Listya Mustika Dewi, S.Hut.

Seksi Akomodasi/ : 1. Aulia Lanni Putri, S. Hut Konsumsi 2. Susy Haryati 3. Yusi Sugiharti

Seksi Dokumentasi : 1. Dede Rustandi, S.Kom 2. Cucu Supriatna

Seksi Umum dan : 1. Ir. Eded Suryadi, MM Transportasi 2. Fahir Mulyana

Tim Perumus : 1. Prof. Ir. Dulsalam, MM 2. Prof. Dr. Drs.Adi Santoso, M.Si 3. Drs. M. Muslich, M.Sc 4. Ir. Totok K. Waluyo, M.Si 5. Wesman Endom, M.Sc

Ditetapkan di : Bogor Pada tanggal : 3 September 2012

KEPALA PUSAT,

Dr. Ir. I. B. PUTERA PARTHAMA, M.Sc. NIP. 19590502 198603 1 001

Page 280: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

264 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Lampiran 2. Jadwal Kegiatan Pertemuan Ilmiah

Orasi Ahli Peneliti Utama (Senin, 3 Desember 2012)

Waktu Acara Petugas/ Pembicara

08:30 – 09:00 Registrasi Panitia 09:00 – 09:35 Pembukaan / Do’a MC: Listya Mustika Dewi, S.Hut

Sambutan Kepala Pustekolah Ka. Pustekolah Sambutan Kepala Badan Litbanghut Kepala Badan Litbang Kehutanan

09:35– 10:00 Coffee break PanitiaSesi I Moderator :

Prof. Ir. Dulsalam, MM 10.00 – 10.25 Pengelolaan jamur perusak kayu untuk

mendukung pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya hutan.

Dra. Sihati Suprapti, APU

10.25 – 10.50 Peran pengawetan kayu, penelitian dan aplikasinya dalam praktek.

Barly. BSc. SH. M.Pd, APU

10.50 – 11.15 Pemahaman perilaku serangga perusak kayu dalam rangka pengendalian yang ramah lingkungan

Drs. Paimin Sukartana, APU

10.15– 11.40 Pemanfaatan limbah batang sawit untuk produk solid dan panil kayu lapis

Ir. Jamal Balfas, M.Sc, APU

11.40 - 12.40 Pembahasan / Komentar Tim Pembahas: 1. Prof. Dr. Ir. Dodi Nandika

(IPB) 2. Dr. Ir. Paribotro Sutigno, MS

(APKINDO) 3. Prof. Dr. Ir. Wayan

Dharmawan 12.40 – 13:30 Ishoma / istirahat (Pameran) Panitia Sesi II Moderator:

Prof. Ir. Dulsalam, MM 13.30 – 13.55 Pemanenan hutan ramah lingkungan

untuk produksi kayu yang berkelanjutan

Ir. Sona Suhartana, APU

13.55 – 14.20 Peran pengeringan kayu, penelitian dan aplikasinya dalam praktek

Ir. Efrida Basri, M.Sc, APU

14.20 – 14.55 Permasalahan dan solusi penggerek kayu perkapalan

Drs. M. Muslich, M.Sc, APU

14.55 – 15.20 Teknologi pengolahan bahan berserat lignoselulosa ramah lingkungan

Dr. Ir. Han Roliadi, MS. M.Sc, APU

15.20– 15.45 Coffee break (Pameran) Panitia 14.45 – 16.40 Pembahasan/komentar Tim Pembahas / Komentator

1. Ketua APHI 2. Ir. Eko Sudoyo

(PT. Sumber Graha Sejahtera)

3. Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Sukabumi

4. Dr. Wahyu (LIPI)

Sesi II Moderator: Prof. Ir. Dulsalam, MM

Page 281: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

265HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Lampiran 3.

Tanggapan Pembahasan

Page 282: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

266 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Page 283: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

267HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Page 284: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

268 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Page 285: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

269HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Page 286: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

270 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Page 287: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

271HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Page 288: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

272 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Page 289: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

273HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Page 290: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

274 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Page 291: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

275HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Page 292: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

276 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Page 293: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

277HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Page 294: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

278 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Lampiran 4.

Page 295: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

279HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Page 296: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

280 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Page 297: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

281HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Page 298: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

282 HIMPUNAN BUNGA RAMPAI ORASI AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Page 299: ORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)

Himpunan Bunga RampaiORASI ILMIAH AHLI PENELITI UTAMA (APU)PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN

Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan(PUSTEKOLAH)Jln. Gunung Batu No. 5 Bogor 16610Telp. 0251 - 8633 378, Fax. 0251 - 8633413Website : www.pustekolah.orgE-mail : - [email protected] - [email protected]