oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil),...

55
1 SIFAT DASAR DAN KEGUNAAN BAMBU Oleh : Sri Rulliaty S., Nurwati Hadjib, Gustan Pari, Mohammad Muslich, Jasni, I.M.Sulastiningsih, Sri Komarayati, Abdurahman, Sihati Suprapti dan Efrida Basri Abstrak Jumlah jenis bambu Indonesia semula tercatat hanya 64 jenis, sekarang telah bertambah menjadi 120 jenis lebih. Bambu asli Indonesia yang dianggap memiliki keunggulan potensi ekonomi terdapat sebanyak 56 jenis. Dari jenis bambu yang ada di Indonesia sejumlah 13 jenis telah banyak ditanam oleh masyarakat pedesaan di Jawa terutama yang termasuk marga Gigantochloa, Bambusa, dan Dendrocalamus. Bambu mempunyai penggunaan yang luas untuk berbagai tujuan, antara lain untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia akan pangan, bahkan konstruksi pemukiman dan kebutuhan konsumen lainnya. Ditaksir 80% bambu di Indonesia digunakan untuk konstruksi (termasuk mebel), 10% untuk pembungkus, 5% untuk bahan baku kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Pada penelitian ini digunakan 2 jenis bambu yaitu Bambu duri (Bambusa blumeana Bl. Ex Schult. F.) atau dengan nama daerah pring ori di Desa Cabak, Kecamatan Telogowungu, Kabupaten Pati dan bambu temen (Gigantochloa verticillata Munro) dari Kampung Cilaku, Desa Sukakerta, kecamatan Sindangpalay, Kabupaten Cianjur. Sifat dasar bambu yang diteliti adalah sifat anatomi, fisis mekanis, kimia, keawetan dan keterawetan, sedangkan untuk menunjang sifat pengolahannya dilakukan penelitian terhadap pengeringan, pemesinan dan perekatannya. Hasilnya menunjukkan sifat mekanis bambu temen lebih baik dari bambu duri.baik pada bagian ruas maupun bagian batang bambu yang memiliki buku. Bambu duri memiliki ketahanan lebih baik terhadap rayap kayu kering daripada rayap tanah. Bambu temen memiliki kadar kelarutan (ekstraktif) dalam air dingin, air panas, alkohol benzene, dan NaOH (1%) lebih besar dibandingkan bambu duri , demikian pula dengan kadar selulosa dan kadar pentosannya. Untuk kadar silika ternyata bambu duri memiliki kadar lebih besar, secara fisik hal ini nampak pada kulit batang bambu duri yang keras dan kasar. Sehingga untuk kegunaannya kedua jenis bambu ini disarankan untuk bahan baku pulp dan kertas, bahan baku alat rumah tangga, bahan kontruksi ringan, dan asap cairnya dapat digunakan sebagai bio pestida, dan pemacu pertumbuhan. Kata kunci: Bambu, sifat dasar, pengolahan, pemanfaatan, bambu duri, bambu temen

Upload: ngoliem

Post on 12-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

1

SIFAT DASAR DAN KEGUNAAN BAMBU

Oleh :

Sri Rulliaty S., Nurwati Hadjib, Gustan Pari, Mohammad Muslich, Jasni, I.M.Sulastiningsih, Sri Komarayati, Abdurahman, Sihati

Suprapti dan Efrida Basri

Abstrak

Jumlah jenis bambu Indonesia semula tercatat hanya 64 jenis, sekarang telah bertambah menjadi 120 jenis lebih. Bambu asli Indonesia yang dianggap memiliki keunggulan potensi ekonomi terdapat sebanyak 56 jenis. Dari jenis bambu yang ada di Indonesia sejumlah 13 jenis telah banyak ditanam oleh masyarakat pedesaan di Jawa terutama yang termasuk marga Gigantochloa, Bambusa, dan Dendrocalamus. Bambu mempunyai penggunaan yang luas untuk berbagai tujuan, antara lain untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia akan pangan, bahkan konstruksi pemukiman dan kebutuhan konsumen lainnya. Ditaksir 80% bambu di Indonesia digunakan untuk konstruksi (termasuk mebel), 10% untuk pembungkus, 5% untuk bahan baku kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Pada penelitian ini digunakan 2 jenis bambu yaitu Bambu duri (Bambusa blumeana Bl. Ex Schult. F.) atau dengan nama daerah pring ori di Desa Cabak, Kecamatan Telogowungu, Kabupaten Pati dan bambu temen (Gigantochloa verticillata Munro) dari Kampung Cilaku, Desa Sukakerta, kecamatan Sindangpalay, Kabupaten Cianjur. Sifat dasar bambu yang diteliti adalah sifat anatomi, fisis mekanis, kimia, keawetan dan keterawetan, sedangkan untuk menunjang sifat pengolahannya dilakukan penelitian terhadap pengeringan, pemesinan dan perekatannya. Hasilnya menunjukkan sifat mekanis bambu temen lebih baik dari bambu duri.baik pada bagian ruas maupun bagian batang bambu yang memiliki buku. Bambu duri memiliki ketahanan lebih baik terhadap rayap kayu kering daripada rayap tanah. Bambu temen memiliki kadar kelarutan (ekstraktif) dalam air dingin, air panas, alkohol benzene, dan NaOH (1%) lebih besar dibandingkan bambu duri , demikian pula dengan kadar selulosa dan kadar pentosannya. Untuk kadar silika ternyata bambu duri memiliki kadar lebih besar, secara fisik hal ini nampak pada kulit batang bambu duri yang keras dan kasar. Sehingga untuk kegunaannya kedua jenis bambu ini disarankan untuk bahan baku pulp dan kertas, bahan baku alat rumah tangga, bahan kontruksi ringan, dan asap cairnya dapat digunakan sebagai bio pestida, dan pemacu pertumbuhan.

Kata kunci: Bambu, sifat dasar, pengolahan, pemanfaatan, bambu duri, bambu temen

Page 2: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bambu telah lama dikenal masyarakat Indonesia dan

dimanfaatkan oleh berbagai lapisan masyarakat, sehingga produk

bambu selalu berhubungan erat dengan perkembangan budaya

bangsa Indonesia. Hal ini mudah dimengerti mengingat bambu

tumbuh hampir di seluruh wilayah secara alami maupun

dibudidayakan. Bambu merupakan bahan berlignoselulosa yang

dapat digunakan sebagai substitusi kayu pada beberapa keperluan.

Selain mempunyai daur tebang yang lebih pendek dibandingkan

kayu, bambu mempunyai penggunaan yang luas untuk berbagai

tujuan, batangnya mudah dipanen dan dikerjakan untuk berbagai

keperluan mulai dari pangan dengan rebungnya yang dapat di

makan, alat rumah tangga, bahan pembuat kertas, kerajinan, sampai

mebeler bahkan konstruksi pemukiman dan kebutuhan konsumen

lainnya. Martawijaya (1977) dalam Nandika et al. (1994) memberi

taksiran bahwa 80% bambu di Indonesia digunakan untuk konstruksi

(termasuk mebel), 10% untuk pembungkus, 5% untuk bahan baku

kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-

lain.

Widjaja et al. (1994) menyatakan bahwa jumlah jenis bambu

Indonesia yang semula tercatat hanya 65 jenis saat ini telah

bertambah menjadi 120 jenis lebih dimana 56 jenis memiliki potensi

ekonomi. Dari jenis-jenis bambu yang ada 13 jenis diantaranya telah

banyak ditanam oleh masyarakat pedesaan terutama di Jawa yaitu

untuk jenis-jenis yang termasuk dalam marga Gigantochloa,

Bambusa, dan Dendrocalamus (Verhoef, 1957).

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk beberapa sifat dasar

bambu, akan tetapi belum semua jenis bambu yang ada di Indonesia

Page 3: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

3

di teliti sifat dasarnya secara tuntas. Oleh karena itu diperlukan

penelitian sifat dasarnya secara menyeluruh dan tuntas, sehingga

pemanfaatan batangnya akan lebih maksimal dan effisien.

B. Tujuan dan Sasaran

Tujuan

Menyediakan informasi sifat dasar dan kegunaan 2 jenis

bambu sebagai dasar diversifikasi penggunaan bahan baku untuk

berbagai tujuan pemakaian dalam rangka efisiensi pemanfaatan

sumber daya hutan.

Sasaran

Tersedianya data dan informasi ilmiah mengenai sifat dasar

dan kegunaan bambu.

C. Luaran

Luaran dari penelitian ini adalah laporan hasil penelitian yang

berisi data dan informasi sifat dasar dan kemungkinan penggunaan

2 jenis bambu, serta draft karya tulis ilmiah.

D. Hasil yang Telah Dicapai

Jenis bambu yang diteliti pada tahun sebelumnya dapat

dilihat pada Lampiran 1. Pada tahun 2010 diteliti 2 jenis bambu yaitu

Gigantochloa atroviolacea (bambu hitam, wulung) dan Bambusa

maculata (bambu tutul). Hasilnya menunjukkan bahwa berat jenis

bambu berkisar antara 0,40-0,62 rata-rata 0,49. Kadar pati bambu

tutul (15,7%) lebih besar daripada bambu wulung (11,9%) sehingga

bambu tutul lebih disukai rayap tanah terutama pada bagian pangkal.

Bambu wulung dan bambu tutul dalam keadaan basah dapat

diawetkan dengan mudah melalui metode sel penuh. Sifat perekatan

Page 4: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

4

bambu hitam dan bambu tutul terhadap perekat urea formaldehida

(UF) cukup baik, nilai rata-rata keteguhan rekat dengan uji geser

blok lebih dari 55 kg/cm2. Baik bambu wulung maupun bambu tutul

dapat dimanfaatkan untuk konstruksi ringan.

Pada tahun 2011 diteliti 2 jenis bambu yaitu Gigantochloa

apus (Schult.) Kurz (bambu apus, awi tali) dari Desa Dadirejo,

Kecamatan Bagelen, Kabupaten Purworejo; dan Gigantochloa

pseudoarundinacea (Steud.) Widjaja (bambu andong, gumbleh) dari

Kampung Cireundeu Sipah, Desa Godog, Kecamatan Karang

Pawitan, Kabupaten Garut. Hasilnya menunjukkan diameter batang

bambu yang besar akan memiliki diameter pembuluh metaksilem

yang besar pula. Panjang serat bambu apus lebih panjang sehingga

bambu ini lebih kompak dan lentur ketika dibentuk. Kedua bambu

memiliki kualitas serat I, baik sebagai bahan baku pulp dan kertas.

Kerapatan bambu yang diteliti dari pangkal menurun kemudian

meningkat lagi ke arah ujung. Perbedaan jenis bambu umumnya

memberikan perbedaan sifat yang nyata. Kecuali pada keteguhan

lentur patahnya. Posisi ketinggian pada batang bambu tidak

mempengaruhi sifat mekanis bambu secara nyata. Keberadaan

buku hanya berpengaruh pada kerapatan dan keteguhan lentur

patah bambu. Metode pengembangan Boucherie paling baik bila

dibandingkan dengan metode rendaman dingin maupun vakum

tekan. Metode vakum tekan mencapai retensi yang paling tinggi,

disusul dengan metode Boucherri dan terendah pada metode

rendaman dingin. Meskipun demikian metode Boucherri adalah yang

terbaik, karena bambu yang diawetkan mempunyai kondisi batang

bersih, sedangkan metode lainnya menghasilkan permukaan bambu

kotor terutama pada vakum tekan di samping juga ada bagian yang

pecah. Sifat perekatan bambu tali dan bambu andong terhadap

perekat urea formaldehida (UF) cukup baik yang ditunjukkan oleh

nilai rata-rata keteguhan rekat dengan uji geser blok dimana nilainya

Page 5: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

5

lebih dari 55 kg/cm2 dan persentase kerusakan kayunya lebih dari

70%. Bambu apus dapat digunakan untuk bahan anyaman, dan

konstruksi ringan sedangkan bambu andong baik untuk bambu

lamina, reng dan bangunan sederhana.

Pada tahun 2012 telah diteliti 2 jenis bambu yaitu

Gigantochloa robusta Kurz.( bambu mayan, temen serit) dari dan

sekitar Kampung Neglasari, Desa Buyut Mekar, Kabupaten Lebak,

dan bambu Dendrocalamus asper Backer (Bambu petung, oloh

otong, betong, tiing petung, betung) diperoleh dari Dusun

Selajambe, Desa Sepatnunggal, Kecamatan Majenang, Kabupaten

Cilacap, Jawa Tengah. Hasilnya menunjukkan kedua jenis bambu

memiliki kerapatan pada bagian pangkal dan tengah tidak berbeda,

yang berbeda pada bagian ujung, umumnya posisi ketinggian

bambu tidak mempengaruhi sifat mekanis bambu secara nyata,

kecuali modulus elastisitasnya; kandungan komponen kimia asap

cair bambu mayan umumnya lebih besar dari betung, untuk

serangan jamur kedua bambu tersebut termasuk kelompok bambu

agak-tahan (kelas III), ketahanan terhadap bubuk kayu kering

Dinoderus minutus pada bambu betung termasuk mengalami

serangan berat sekali karena memiliki kadar pati lebih besar dari

bambu mayan, bambu mayan memiliki ketahanan lebih baik

terhadap rayap kayu kering (RKK).

Tahun 2013 diteliti jenis bambu Bambusa vulgaris Schard

(awi ampel, haur, bambu hijau) dari Rangkasbitung, dan

Gigantochloa atter (Hassk) Kurz ex Munro (bambu ater, jawa benel,

buluh) dari Desa Sepatnunggal, Kecamatan Majenang. Hasilnya

menunjukkan kedua jenis bambu memiliki panjang serat yang

berbeda, bambu ater memiliki serat lebih panjang, keduanya

memiliki kualitas serat yang tergolong dalam kualitas serat kelas I

untuk pulp dan kertas. Ketahanan terhadap rayap tanah tergolong

lebih baik daripada terhadap rayap kayu kering. Kedua jenis bambu

Page 6: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

6

memiliki kadar selulosa yang hampir sama, sedangkan kadar lignin

lebih tinggi pada bambu ater. Sehingga kegunaan untuk kedua jenis

bambu ini disarankan untuk bahan baku pulp dan kertas, bahan

baku alat rumah tangga, bahan kontruksi ringan, sedangkan asap

cairnya dapat digunakan sebagai bio pestida, dan pemacu

pertumbuhan.

E. Ruang Lingkup

Penelitian ini mencakup sifat dasar yang meliputi:

1. Struktur anatomi dan dimensi serat bambu berupa karakteristik

batang dan anatomi serta susunan sel-sel penyusun yang dimiliki

setiap jenis bambu.

2. Sifat fisis dan mekanis bambu berupa pengujian contoh bambu

yang diteliti meliputi berat jenis, kadar air, kerapatan dan sifat

mekanis menggunakan metoda antara lain Standard ISO 22157-

1:2004 (E.Bamboo-Determination of physical and mechanical

properties part I. Requirements. ISO) dan ISO/TR 22157-2:2004

(E. Bamboo-Determination of physical and mechanical properties

part II. Laboratory Manual).

3. Sifat pemesinan dilakukan untuk mengetahui karakter bambu

dalam proses pengerjaan dan pemesinan.

4. Sifat keawetan bambu berupa pengujian terhadap serangga,

bubuk dan jamur (dengan metode kolle-flask).

5. Sifat keterawetan bambu berupa pengujian terhadap

kemampuan bambu ditembus bahan pengawet mengikuti standar

IUFRO.

6. Sifat kimia dan nilai kalor dilakukan dengan menganalisis

kandungan kimia dalam bambu, termasuk asap cair bambu.

7. Sifat Pengeringan dilakukan dengan metoda pengeringan alami

atau modifikasi Terazawa untuk jenis bambu yang memiliki

batang tebal.

Page 7: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

7

8. Sifat Perekatan dilakukan untuk mempelajari respon suatu jenis

bambu terhadap perekat urea formaldehida (UF).

Sifat dasar bambu yang diteliti berbeda dengan sifat dasar

kayu, karena struktur anatomi dan bentuk batang bambu berbeda

dengan kayu sehingga beberapa pengujian seperti sifat venir dan

kayu lapis, dan sifat pengkaratan tidak dilakukan. Sedangkan sifat

pengeringan hanya akan berarti untuk jenis-jenis bambu yang

memiliki diameter dan ketebalan batang cukup besar. Selain faktor

di atas, SDM, peralatan, dan dana juga merupakan penyebab tidak

semua sifat dasarnya dapat diteliti seperti sifat dasar kayu.

Page 8: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Jumlah jenis bambu Indonesia semula tercatat hanya 64

jenis, sekarang telah bertambah menjadi 120 jenis lebih. Bambu asli

Indonesia yang dianggap memiliki keunggulan potensi ekonomi

terdapat sebanyak 56 jenis (Widjaya et al., 1994). Dari jenis bambu

yang ada di Indonesia sejumlah 13 jenis telah banyak ditanam oleh

masyarakat pedesaan di Jawa terutama yang termasuk marga

Gigantochloa, Bambusa, dan Dendrocalamus (Vershoef, 1975

dalam Sulthoni, 1994). Dari jenis-jenis bambu yang ada 13 jenis

diantaranya telah banyak ditanam oleh masyarakat pedesaan

terutama di Jawa yaitu untuk jenis-jenis yang termasuk dalam marga

Gigantochloa, Bambusa, dan Dendrocalamus (Verhoef, 1957).

Bambu merupakan nama untuk sekumpulan rumput-rumputan

berbentuk pohon kayu atau perdu yang lurus, dengan batang yang

biasanga tegak kadang memanjat, mengayu dan bercabang, dapat

mencapai umur panjang dan lazimnya mati tanpa mengalami masa

berbunga (Heyne, 1987). Batang bambu terdiri dari ruas-ruas yang

berongga dengan panjang dan jumlah bervariasi dan dipisahkan

oleh buku-buku. Waktu munculnya batang muda (atau disebut juga

rebung) berbeda untuk setiap jenis bambu, ada yang muncul pada

awal musim penghujan, sedangkan pada jenis yang lain muncul

pada pertengahan atau akhir musim penghujan (Heyne, 1987).

Berdasarkan system percabangan rimpangnya, secara garis

besar bambu dapat dibagi 2 tipe yaitu yang tumbuh secara simpodial

sehingga menghasilkan rumpun yang rapat seperti pada marga

Bambusa, Dendrocalamus, Gigantochloa, dan Schizostachyum yang

merupakan marga bambu yang banyak dijumpai di daerah tropis;

yang lainnya yang tumbuh secara monopodial atau horizontal dan

bercabang secara lateral dan menghasilkan rumpun dengan letak

Page 9: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

9

batang tersebar sehingga mudah ditebang. Marga yang termasuk

golongan ini adalah Arundinaria dan Phyllostachys banyak dijumpai

di daerah beriklim sedang seperti China.

Klasifikasi bambu adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta

Super Divisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Monocotyledonae

Sub Kelas : Commelinidae

Ordo : Poales

Famili : Poaceae

Genus : Bambusa, Dendrocalamus, Gigantochloa,

Schizostachyum

Bambu adalah tumbuhan yang batangnya berbentuk buluh,

beruas, berbuku-buku, berongga, mempunyai cabang, berimpang

dan mempunyai buluh yang menonjol, dan bambu termasuk suku

graminae. Menurut Liese dalam Alvin dan Murphy (1988) struktur

anatomi dan kandungan kimia dinding sel berbeda-beda tergantung

pada jenis, umur dan ketinggian batang bambu. Seluruh

jaringannya terbentuk oleh aktivitas meristem pucuk dan terkadang

meristem buku intercalary. (Hsiung et al., 1980 dalam Alvin dan

Murphy, 1988). Menurut Liese (1985) pada ruas mengandung serat

sekitar 40%, dan jaringan parenkim dasar sekitar 50%, sementara

sisanya diisi jaringan perantara, korteks tipis dan epidermis. Serat

dan jaringan dasar yang mempunyai kandungan lignin mestinya

dapat menunjang sifat mekanis bambu. Dalam pengelolaan bambu

umumnya dipanen pada umur 3-4 tahun, kekuatannya seringkali

meningkat seiring kenaikan umur, dan mencapai maksimum pada

umur 3 tahun; kekuatan fisiknya dapat dipredikisi berdasarkan

struktur anatomi (Liese, 1985).

Page 10: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

10

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Kegiatan penelitian laboratorium dilakukan di masing-masing

laboratorium yang terkait di Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan

dan Pengolahan Hasil Hutan Bogor. Sedangkan kegiatan

pengumpulan contoh uji Bambu duri (Bambusa blumeana Bl. Ex

Schult. F.) atau dengan nama daerah pring ori di Desa Cabak,

Kecamatan Telogowungu, Kabupaten Pati dengan ketinggian 146 –

154 m dpl., lokasi pada koordinat S 06° 37' 48,5"; E 111° 00' 15,3"

dan S 06° 37' 49,7"; E 111° 00' 15,1". Sedangkan bambu temen

(Gigantochloa verticillata Munro) dari Kampung Cilaku, Desa

Sukakerta, kecamatan Sindangpalay, Kabupaten Cianjur.

Herbarium kedua jenis bambu tersebut kemudian diidentifikasi

di ”Herbarium Bogoriense” bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi-

LIPI, Cibinong, Bogor.

B. Bahan dan Peralatan

Bahan yang digunakan adalah 2 jenis bambu yaitu .Bambu

duri (B. blumeana Bl. Ex Schult. F.) dan bambu temen (G.

verticillata Munro). Bambu yang diambil mempunyai umur 3-4 tahun.

Untuk penelitian ini diperlukan bahan kimia antara lain:

aquadestilata, asam asetat glacial, hidrogen peroxida, alkohol

teknis konsentrasi 30%, 50%, 70%, 96%, alkohol absolut, gliserin,

safranin, toluene, karbolxylene, entellen, malt ekstrak agar (MEA),

urea formaldehida (UF), Parachem, dan borax boric.

Bahan gelas dan kaca yang diperlukan antara lain object glass,

cover glass, tabung reaksi, botol timbang, watch glass, pipet,

jampot, kaca pembesar, gelas ukur 100 ml, beaker glass.

Sedangkan peralatan yang digunakan antara lain oven, autoclave,

Page 11: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

11

freezer, kompor gas, mikroskop kamera, stereo mikroskop, dan

mikrotom gelincir (untuk pembuatan preparat sayat dari bahan

berlignoselulosa yang keras), autoklaf, timbangan, oven, pinset,

golok, dial caliper, dan mesin uji mekanis (Universal Testing

Machine, UTM).

C. Prosedur Kerja

1. Persiapan bahan baku bambu

Penetapan jenis pertahunnya sebanyak 2 jenis yang belum

pernah diteliti atau sifat-sifatnya belum lengkap diteliti. Setiap jenis

yang telah ditentukan tersebut berasal dari tegakan dengan kelas

umur 3-4 tahun, untuk masing-masing jenis yang telah ditentukan

tersebut diambil minimum tiga sampai lima batang bambu sebagai

ulangan bergantung pada pengujian yang dilakukan.

Penentuan bagian pangkal, tengah dan ujung berdasarkan

pada pembagian panjang batang bambu yang umum dimanfaatkan

menjadi 3 (BSN, 2007), sepertiga bagian dari panjang total batang

pada pangkal disebut bagian pangkal, sepertiga bagian dari

panjang total batang pada bagian tengah disebut bagian tengah,

dan sepertiga bagian dari panjang total batang pada bagian ujung

disebut sebagai bagian ujung (Gambar 1).

Bagian pangkal Bagian tengah Bagian ujung

Gambar 1. Pembagian pangkal, tengah, ujung batang bambu

Panjang total yang dimaksud adalah panjang komersial,

bagian batang bambu yang dapat dimanfaatkan bukan hanya untuk

konstruksi ringan. Dalam hal ini tidak tidak ditentukan berdasarkan

Page 12: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

12

ruas ke berapa, karena panjang dan jumlah ruas antara jenis

bambu berbeda yang satu dengan lainnya.

Di lapangan dilakukan estimasi jumlah tegakan bambu per

rumpun, serta luas rumpun untuk setiap jenisnya dengan

menggunakan metoda sampling. Hal ini dilakukan sebagai data

tambahan untuk mengetahui jumlah batang per rumpun. Karena

dari beberapa pengalaman, ada bambu yang menghasilkan jumlah

lebih banyak pada luasan rumpun yang sama.

2. Pengujian sifat dasar

a. Struktur anatomi dan dimensi serat

Pengenalan ciri-ciri suatu jenis bambu dilakukan dengan

pendekatan secara makroskopis dan mikroskopis. Hasil yang

diperoleh dikombinasikan menjadi satu kesatuan ciri-ciri

pengenalan suatu jenis bambu. Pengamatan ciri makroskopis

dilakukan langsung pada contoh uji secara keseluruhan pada

batang bambu tersebut, sedangkan pengamatan ciri mikroskopis

dilakukan pada sayatan mikrotom dan preparat maserasi yang

dipersiapkan secara khusus menurut metoda Sass (1961) dan

metoda Franklin (disitir dalam Rulliaty, 1994) dari bagian pangkal,

tengah dan ujung batang bambu. Pengamatan makroskopis

meliputi diameter batang, ketebalan batang, panjang ruas,

penonjolan buku, ketebalan kulit, warna kulit pada waktu basah dan

kering. Pengamatan mikroskopis dilakukan tiga tahap yaitu (1)

pembuatan preparat, (2) pengamatan meliputi bentuk berkas

pembuluh, diameter metaksilem, protoksilem, serta karakteristik

setiap jenis bambu, (3) pengolahan data dan analisa. Sayatan yang

dibuat meliputi penampang lintang, dan longitudinal, karena bambu

memiliki persebaran berkas pembuluh yang tidak beraturan

arahnya sehingga ciri anatominya lebih jelas pada bidang

longitudinal daripada radial atau tangensial.

Page 13: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

13

Contoh uji diambil dari hasil pengumpulan bambu yang terlebih

dahulu diidentifikasi berdasarkan material herbarium. Untuk

memudahkan penyayatan masing-masing contoh terlebih dahulu

dilunakkan dengan merebusnya dalam air mendidih sampai jenuh

air dan mudah disayat dengan pisau cutter. Sesudah itu dilakukan

dehidrasi dengan campuran alkohol-gliserin, berturut-turut dengan

perbandingan 2:1; 1:1; dan 1:2 dengan selang 2 – 3 hari. Bambu

dibiarkan dalam campuran terakhir sampai menjadi mudah disayat.

Pengamatan struktur anatomi bambu berdasarkan persebaran

ikatan pembuluh mengikuti klasifikasi Liese (1985). Berdasarkan

klasifikasi tersebut ada 5 kategori sebagai berikut :

Tabel 1. Klasifikasi persebaran ikatan pembuluh pada bambu

No. Persebaran ikatan pembuluh

I terdiri atas 1 baris berkas pembuluh di bagian tengah dengan

selubung sklerenhim, pada marga Arundinaria, Phyllostachys,

Fargeria, Sinanundinaria

II terdiri atas 1 baris berkas pembuluh di bagian tengah dengan

selubung sklerenhim; selubung pada ruang interselular

(protoxilem) lebih besar dari 3 bagian lainnya, pada marga

Cephalostachyum, Pleioblastus

III terdiri atas 2 bagian: 1 untai pembuluh di bagian sentral dengan

selubung sklerenkim dan I berkas serat yang terpisah, pada

marga Oxytenanthera.

IV terdiri atas 3 bagian, 1untai pembuluh di bagian sentral dengan

selubung sklerenhim yang kecil dan 2 berkas serat bagian

dalam dan luar yang terpisah, pada marga Bambusa,

dendrocalamus, Gigantochloa, Sinoclamus

V Merupakan tipe yang terbuka mewakili tipe berikutnya sebagai

hasil evolusi

Sumber : Liese (1985).

Page 14: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

14

Dari setiap contoh uji dibuat sayatan mikrotom setebal 18-25

mikron pada arah transversal dan longitudinal. Dari sejumlah

sayatan yang diperoleh dipilih masing-masing 5 sayatan terbaik

untuk kedua arah. Sayatan ini selanjutnya dicuci dengan air suling

dan berturut-turut didehidrasi dengan alkohol teknis bertingkat,

kemudian diwarnai dengan safranin menurut metode Sass (1961)

dan didehidrasi kembali. Setelah itu sayatan direkat dengan entelan

pada gelas obyek, ditutup pelan-pelan dengan cover glass, dan

dibiarkan mengering atau dikeringkan dengan suhu 45o C dalam

alat pengering.

Pembuatan preparat maserasi dilakukan menurut metoda

Fraklin dalam Rulliaty (1994). Contoh uji bambu sebesar batang

korek api di rendam dalam campuran asam asetat glacial 60% dan

hydrogen peroksida 35% dengan perbandingan 1:1, kemudian

dipanaskan dalam waterbath sampai menjadi bubur serat. Buang

larutan asam yang masih tersisa, dan cuci serat hati-hati dengan air

ledeng sampai bau asamnya hilang. Setelah itu diberi safranin

beberapa tetes sampai berwarna dan mudah diamati. Untuk

pengamatannya, ambil sebagian serat simpan dan atur dalam

obyek glass kemudian diberi larutan gliserin 5%, tutup dengan

cover glass dan amati menggunakan filar mikrometer dan

mikroskop. Pengukuran dan penentuan klasifikasi serat dilakukan

menurut Rahman dan Siagian (Rulliaty, 2013).

b. Pengujian sifat fisis mekanis.

Penelitian fisis mekanis meliputi berat jenis dan sifat mekanis

menggunakan metoda yang terbaru untuk bambu yaitu ISO 22157-

1:2004 (E.Bamboo-Determination of physical and mechanical

properties part I. Requirements.) dan ISO/TR 22157-2:2004 (E.

Bamboo-Determination of physical and mechanical properties part II.

Laboratory Manual) dalam BSN (2007). Pengujian sifat fisis

Page 15: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

15

mekanis dilakukan pada bagian ruas dan buku untuk bagian

pangkal, tengah, dan ujung batang bambu dengan ulangan

minimum 3 kali meliputi kadar air bambu segar, berat jenis segar,

berat jenis kering udara, kerapatan, penyusutan arah radial dan

tangensial, keteguhan lentur statis, keteguhan tekan sejajar serat,

dan keteguhan tarik yang dilakukan pada bagian buku dan ruas.

Pengujian tersebut dilakukan pada contoh dalam keadaan basah

dan kering udara dengan menggunakan mesin uji mekanis

(Universal Testing Machine, UTM).

c. Pengujian Keawetan

Pengujian keawetan dilakukan di laboratorium Biodeteriorasi

dengan melakukan pengujian terhadap organisme perusak bambu.

Standar pengujian yang dilakukan mengikuti SNI 01-7207-2006

(BSN, 2006).

1. Pengujian terhadap bubuk kayu kering

Bambu yang sudah kering dipotong-potong sepanjang 5 cm x

2.5 cm x tebal (tergantung ketebalan bambu). Kemudian diamplas

terlebih dahulu agar bambu tersebut bersih. Bambu yang sudah

bersih kemudian ditimbang untuk mendapatkan berat awal, setelah

itu dimasukkan kedalam botol, kemudian dimasukkan 10 ekor

bubuk Dinoderus minutus Fabr. dewasa dan botol ditutup,

selanjutnya disimpan dalam ruangan tetutup pada suhu kamar

selama 1 bulan. Setiap perlakuan memerlukan 10 ulangan.

Pengamatan dilakukan pada contoh uji setelah mencapai

waktu akhir penelitian, yaitu setelah 1 bulan. Pada akhir pengujian

ditetapkan jumlah bubuk yang hidup (natalitas), penurunan berat

akibat serangan bubuk dan derajat serangan seperti pada Tabel 2.

Page 16: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

16

Tabel 2. Derajat serangan bubuk dan rayap

Tingkat Kondisi contoh uji Nilai

A Utuh, tidak ada serangan : < 5% volume 0

B Ada bekas gigitan bubuk : 6 -15% volume 40

C Serangan ringan berupa saluran yang tidak dalam dan lebar : 16 – 50% volume

70

D Serangan berat, berupa saluran yang dalam dan lebar : 51 – 90% volume

90

E Bambu hancur, bambu habis dimakan bubuk : > 90% volume

100

2. Pengujian terhadap rayap kayu kering

Contoh uji bambu, dipotong-potong sepanjang 5 cm x 2.5 cm

x tebal (tergantung ketebalan bambu) dipasang tabung kaca

berdiameter 1,8 cm dengan ukuran tinggi 3 cm. Ke dalam tabung

kaca tersebut dimasukkan rayap kayu kering (Cryptotermes

cynocephlaus Light.) sebanyak 50 ekor rayap pekerja yang sehat

dan aktif, kemudian contoh uji tersebut disimpan di tempat gelap

selama 12 minggu. Setiap perlakuan dilakukan dengan 10 ulangan

( BSN, 2006).

Pengamatan dilakukan pada contoh uji setelah mencapai

waktu akhir penelitian, yaitu setelah 12 minggu. Pada akhir

pengujian ditetapkan jumlah rayap yang hidup (natalitas),

penurunan berat akibat serangan rayap dan derajat serangan

(seperti pada Tabel 2).

3. Pengujian terhadap rayap tanah

Contoh uji bambu, dipotong-potong sepanjang 2,5 cm x 2.5 cm

x tebal (tergantung ketebalan bambu) dimasukkan kedalam botol

jampot, diletakkan dengan cara berdiri pada dasar jampot dan

disandarkan sedemikian rupa sehingga salah satu bidang terlebar

contoh uji menyentuh dinding jampot. Ke dalam jampot dimasukkan

200 gram pasir lembab yang mempunyai kadar air 7% di bawah

Page 17: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

17

kapasitas menahan air (water holding capacity). Selanjutnya ke

dalam setiap jampot dimasukkan rayap tanah (Coptotermes

curvignathus Holmgren) yang sehat dan aktif sebanyak 200 ekor,

kemudian contoh uji tersebut disimpan di tempat gelap selama 1

bulan. Setiap perlakuan memerlukan 10 ulangan (BSN, 2006)

Pengamatan dilakukan pada contoh uji setelah mencapai waktu

akhir penelitian, yaitu setelah 1 bulan. Pada akhir pengujian

ditetapkan jumlah rayap yang hidup (natalitas), penurunan berat

akibat serangan rayap dan derajat serangan seperti pada Tabel 2.

4. Pengujian Terhadap Jamur

Jamur penguji yang digunakan yaitu Schizophyllum commune

HHBI-204, Pycnoporus sanguineus HHBI-8149, Polyporus sp.

HHBI-209, , Tyromyces palustris HHBI-232. Dalam hal ini

Dacryopinax spathularia HHBI-145 tidak digunakan lagi karena

telah mengalami mutasi, sehingga hasilnya meragukan. Jamur ini

digantikan oleh Tyromyces palustris HHBI-232.

Metode penelitian yang digunakan yaitu metode Kolle-flask,

sesuai dengan pengujian pelapukan kayu terhadap jamur, menurut

standar DIN-52176 yang disesuaikan untuk bambu oleh

Martawijaya (1975) dan Suprapti (2010). Media yang telah

dilarutkan secara homogen dimasukkan ke dalam piala kolle

sebanyak 80 ml per-piala. Mulut piala disumbat dengan kapas steril,

kemudian disterilkan menggunakan autoklaf pada suhu 121oC,

tekanan 1,5 atmosfer selama 30 menit. Setelah dingin media

diinokulasi dengan biakan murni jamur penguji, selanjutnya

disimpan di ruang inkubasi sampai pertumbuhan miseliumnya

merata dan menebal. Contoh uji bambu berukuran 5 cm x 2,5 cm x

1,5 cm (atau sesuai ketebalan batang bambu) yang telah diketahui

berat kering mutlaknya dimasukkan ke dalam piala yang berisi

biakan jamur tersebut. Setiap piala diisi dua buah contoh uji yang

Page 18: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

18

diletakkan sedemikian rupa sehingga tidak saling bersinggungan,

dan diinkubasikan selama 12 minggu. Untuk setiap jenis bambu

dan jenis jamur disediakan 5 buah piala, sehingga masing-masing

diperlukan 10 contoh uji. Pada akhir percobaan contoh uji

dikeluarkan dari piala, dibersihkan dari miselium yang melekat

secara hati-hati, dan ditimbang pada kondisi sebelum dan sesudah

dikeringkan, guna mengetahui kehilangan beratnya. Rata-rata

penurunan berat bambu dikelompokkan dengan menggunakan nilai

atau skala kelas resistensi menurut Martawijaya (1975) dan

Suprapti et al., (2011) seperti pada Tabel 3.

Tabel 3. Klassifikasi ketahanan bambu terhadap jamur berdasarkan persentase kehilangan berat

Kelas Resistensi Penurunan berat (%)

I Sangat resisten Kecil atau tidak berarti < 0,5

II Resisten Rata-rata 0,5 - < 5

III Agak resisten Rata-rata 5 - 10

IV Tidak resisten Rata-rata 10 - 30

V Sangat tidak resisten Rata-rata > 30

Sumber: Martawijaya (1975) dan Suprapti et al. (2011)

d. Pengujian sifat kimia.

Analisis komponen kimia kayu dilakukan menurut metode

standar sebagai berikut:

1. Kadar selulosa menurut metode Norman dan Jenkins (Wise,

1944).

Serbuk dari bambu yang telah ditentukan kadar airnya

ditimbang dalam cawan penyaring G2 sebanyak 2 gram dan ditutup

dengan kertas saring. Cawan dimasukkan ke dalam tabung soxhlet,

lalu diekstraksi dengan larutan ethanol 95% selama 4 jam, kecuali

bila diketahui bahwa serbuk tadi tidak banyak mengandung tannin.

Kemudian contoh kayu diekstrak dengan alkohol-benzena 1:2,

selama 6 sampai 8 jam. Setelah ekstraksi selesai, pelarut

dikeluarkan dengan pengisap dan dicuci dengan 50 ml ethanol

Page 19: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

19

untuk mengeluarkan benzen, selanjutnya kelebihan benzena

dikeluarkan dengan pengisapan. Setelah kering contoh dimasukkan

ke dalam piala gelas selanjutnya dilakukan pemutihan I, II, III dan

IV. Selanjutnya selulosa dikeringkan dalam oven pada suhu 105 0C,

selama 2,5 jam dan ditimbang.

Bobot selulosa

Kadar selulosa = -------------------------------------- X 100%

Bobot contoh uji kering oven

2. Kadar lignin menurut standar SNI 14-0492-1989 (Badan

Standardisasi Nasional, 1989a)

Ditimbang 2 gram serbuk kering oven yang berukuran 40

mesh, lalu dimasukkan kedalam cawan kaca masir G2, cawan

ditutup dengan kertas saring lalu dimasukkan ke dalam tabung

ekstraksi soxhlet dan diestrak dengan larutan alkohol-benzen

selama 6-8 jam. Setelah ekstrasi selesai cawan dikeluarkan dan

dicuci dengan alkohol dan dikeringkan dalam oven. Isi cawan

dipindahkan dengan teliti ke dalam piala gelas kecil, lalu

ditambahkan 15 ml H2SO4 72% yang dingin secara perlaha-lahan

sambil diaduk pada suhu 12–15 0C, pengadukan sekurang-

kurangnya 1 menit, lalu didiamkan selama 2 jam dan suhu dijaga

tetap 18-200 C, dengan cara mendinginkan bagian luar piala gelas

dengan es. Bahan dicuci dan diencerkan dengan 560 ml air

destilasi sehingga konsentrasi asam mencapai pada pH 3 di dalam

erlemeyer 1000 ml. Didihkan dibawah pendingin tegak selama 4

jam dan diusahakan agar volume tetap, dengan cara

menambahkan air panas sewaktu-waktu. Setelah bahan yang tidak

larut, mengendap, kemudian disaring dengan cawan penyaring G 3

dan dicuci dengan air panas, hingga bebas dari asam. Dikeringkan

di oven pada suhu 1050 C, didinginkan di dalam eksikator, lalu

Page 20: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

20

ditimbang sampai bobot tetap. Kadar lignin dihitung dalam persen

dari kayu kering oven sebelum ekstrasi.

Bobot dari lignin

Kadar Lignin = ---------------------------------- X 100 %

Bobot kayu kering oven

Penetapan kadar pati dipakai SII-70-1979

Pentosan menurut standar TAPPI T 19 m-50 (TAPPI, 1992)

Kadar abu menurut standar SNI 14-1031-1989 (Badan

Standardisasi Nasional, 1989b)

Kadar silika menurut standar SNI 14-1031-1989 (Badan

Standardisasi Nasional, 1989b)

Kelarutan dalam alkohol benzena menurut standar SNI 14-1032-

1989 (Badan Standardisasi Nasional, 1989c).

Kelarutan dalam air dingin dan panas menurut standar SNI 14-

1305-1989 (Badan Standardisasi Nasional, 1989d)

Kelarutan dalan NaOH 1% menurut standar SNI 14-1838-1990

(Badan Standardisasi Nasional, 1990)

e. Pengujian Asap cair

Selain itu akan diteliti juga asap cair dari bambu menggunakan

metode tungku dan drum serta pendingin system turbulex ( Hendra,

2011). Bahan berupa bambu, dibuat arang dengan menggunakan

tungku drum volume 200 liter yang telah dimodifikasi. Setelah

potongan bambu masuk tungku, kemudian dilakukan pembakaran

dengan umpan kayu bakar dan sedikit minyak tanah pada bagian

bawah tungku. Tungku pengarangan ini dilengkapi dengan pipa

pengalir dan pendingin asap yang terbuat dari stainless, yang

terpasang dalam drum yang telah diisi air. Dalam pipa pengalir

asap terdapat pipa-pipa ber diameter kecil untuk menyaring asap

.Drum kedua berisi air yang berfungsi sebagai pendingin asap cair

yang keluar dari pipa stainless tadi, juga dalam drum ke dua

Page 21: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

21

terdapat pipa yang tersambung dengan pipa dari tungku drum

pertama. Selanjutnya asap yang keluar ditampung dalam ember

plastik/ jerigen plastik. Asap yang telah dingin, dialirkan dan

ditampung dalam ember plastik, sehingga akan diperoleh asap

cair / cuka kayu.

Gambar 2: Tungku drum modifikasi untuk pembuatan arang

dan cuka kayu

Keterangan : 1 = Drum pertama untuk pembuatan arang

2 = Drum kedua untuk penampung air pendingin asap 3 = Pipa untuk mengalirkan asap dari drum 1 ke drum 2

4 = Cerobong asap untuk mengalirkan gas ke udara terbuka

Proses pengarangan berlangsung antara 17 jam – 30 jam,

tergantung kadar air dan jumlah bahan yang digunakan. Suhu

pengarangan sekitar 400 – 450o C Setelah tungku dingin (kurang

lebih 24 jam) arang dikeluarkan kemudian dilakukan penimbangan

arang. Asap cair yang dihasilkan kemudian diukur volumenya.

Selanjutnya dilakukan analisis kandungan komponen kimia organik

3

1

2

4

Page 22: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

22

asap cair, kualitas asap cair dan hasilnya dibandingkan dengan

Standar Jepang (Yatagai, 2002).

Asam asetat dan fenol dianalisis dengan menggunakan alat

HPLC (High Performance Liquid Chromatography) , sedangkan

methanol menggunakan GC (Gas Chromatography).

f. Pengujian Sifat Pengeringan

Sifat pengeringan meliputi pengukuran kadar air, pengeringan

alami dan mengacu pada metode Terazawa yang dilakukan untuk

jenis-jenis bambu yang berdiameter besar. Kadar air dinyatakan

dalam persen yang merupakan nisbah berat air dan berat bambu

bebas air yang diperoleh dengan cara mengeringkan contoh uji

bambu ukuran panjang 2 cm dalam oven pada suhu 102 oC 2 oC

sampai beratnya konstan.

Prosedur pembuatan contoh uji dan pengujian sifat

pengeringan bambu mengacu pada metode Terazawa untuk

pengujian kayu yang telah disesuai dengan sifat dan morfologi

batang bambu (Basri, 2004). Contoh uji bambu yang akan

dikeringkan dalam dapur pengering kombinasi tenaga surya dan

panas tungku dibuat dalam ukuran panjang 180 cm, kemudian

dibagi-bagi untuk contoh uji kadar air dan pengeringan. Contoh uji

diambil dari bagian pangkal, tengah, dan ujung batang.

g. Sifat Perekatan

Penelitian sifat perekatan bambu dilakukan dengan

mempelajari respon suatu jenis bambu terhadap perekat urea

formaldehida (UF). Respon tersebut dipelajari dari keteguhan rekat

bambu dengan menggunakan uji geser blok atau uji geser tekan.

Bambu yang digunakan untuk penelitian dipotong bagian

pangkalnya sepanjang 50 cm untuk menghilangkan bagian

Page 23: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

23

batang bambu dengan ruas yang tidak beraturan. Setelah dipotong

bagian pangkalnya, batang bambu tersebut dipotong-potong

menjadi beberapa bagian dengan panjang 1,25 m. Bambu yang

digunakan untuk penelitian diambil dari bagian pangkal (A1), tengah

(A2) dan ujung batang (A3) masing-masing 2 potong. Bambu

tersebut diukur diameternya dan tebal dindingnya. Bambu

kemudian dibelah dengan bagian ujung (bagian yang diameternya

lebih kecil) sebagai acuan lintasan pembelahan dengan

menggunakan alat belah bambu Pustekolah hasil rekayasa tahun

2003. Banyaknya bilah bambu yang dihasilkan tergantung dari

besarnya diameter bambu yang dibelah. Bilah bambu hasil

pembelahan selanjutnya diserut pada bagian atas dan bawah untuk

mendapatkan permukaan bilah yang rata. Bilah bambu yang telah

diserut kedua permukaannya sebagian diawetkan dengan larutan

boron 7% dengan cara rendaman dingin selama 2 jam kemudian

dikeringkan dengan alat pengering hingga kadar airnya mencapai

10% dan bilah yang tidak diawetkan langsung dikeringkan dengan

alat pengering hingga kadar airnya ± 10%.

Contoh uji sifat perekatan bambu dibuat dengan merekatkan

dua bilah bambu dengan ukuran masing-masing bilah yaitu panjang

50 cm, lebar 2,5 cm dan tebal tergantung tebal bilah yang

digunakan. Kedua bilah tersebut direkat sejajar serat. Bilah yang

sudah kering baik yang tidak diawetkan (B1) maupun yang

diawetkan (B2), kemudian dilaburi perekat urea formaldehida (UF)

dengan berat labur 170 g/m2 permukaan. Bagian yang dilaburi

perekat 2 macam yaitu antara permukaan dalam dengan

permukaan dalam (C1), dan antara permukaan dalam dengan

permukaan luar (C2). Contoh uji sifat perekatan bambu dibuat

dengan merekatkan dua bilah bambu, kemudian dikempa pada

suhu kamar selama 20 jam. Banyaknya ulangan 5 buah.

Page 24: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

24

Untuk masing-masing ulangan dibuat 4 contoh uji geser

tekan yang akan diuji dalam kondisi kering. Pembuatan contoh uji

untuk pengujian keteguhan geser tekan dilakukan minimal 7 hari

setelah perekatan bilah bambu. Pengujian sifat perekatan bambu

untuk masing-masing jenis dilakukan menurut Standar Jepang

(Japan Plywood Manufacture’s Association., 2003). Data hasil

pengujian meliputi keteguhan geser dan kerusakan bambu

dibandingkan dengan Standar Jepang untuk kayu lamina khusus

untuk kualitas perekatan.

h. Pengujian Keterawetan

Metode yang digunakan dalam pengujian keterawetan

bambu adalah metoda modifikasi Boucherie (Findlay, 1985).

Caranya adalah sebagai berikut :

1. Bambu contoh uji sepanjang 4 m dari bagian pangkal, tengan

dan ujung diukur diameterdan tebalnyanya, untuk menentukan

volume.

2. Setiap buku dilubangi dengan besi bekhel dan disisakan buku

bagian paling bawah yang tidak dilubangi.

3. Setelah itu bambu ditimbang untuk diketahui berat sebelum

diawetkan.

4. Kemudian disenderkan pada dinding penyangga bak larutan

bahan pengawet.

5. Masing-masing bambu diisi larutan bahan pengawet CCB 3%

sampai penuh.

6. Setiap hari bahan pengawet ditambahkan sampai bahan

pengawet dalam batang bambu tetap penuh.

7. Setelah 5 (lima) hari pengawetan dihentikan.

8. Larutan bahan pengawet dalam bambu dikeluarkan.

9. Bambu yang sudah diawet kemudian langsung ditimbang

kembali.

Page 25: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

25

10. Retensi bahan pengawet dihitung berdasarkan selisih berat awal

dan berat akhir dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Dimana, R = retensi bahan pengawet dalam kg/m3; B = selisih

berat kayu sebelum dan sesudah pengawetan; V = volume kayu,

dalam m3; K = konsentrasi bahan pengawet, dalam persen (%).

Gambar. 3. Metode modifikasi Boucherie yang digunakan dalam pengawetan bambu

Penetrasi (kedalaman penembusan) bahan pengawet diamati

dengan menyemprotkan atau melaburkan pereaksi yang sesuai

pada penampang melintang contoh uji hasil pemotongan,

Bambu sedang diawetkan

Senderan bambu yang diawet

Bak bahan pengawet

Selang untuk mengisi bahan pengawet ke dalam bambu

Bak penampung sisa bahan pengawet

B

R = ---- x K

V

Page 26: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

26

menggunakan pereaksi krom azurol S. Cara pembuatannya

mengikuti Barly dan Abdurrochim (1996) yaitu dengan cara

mencampur 0,5 g konsentrat krom azurol S, dan 5,0 g natriun

asetat dengan 80 ml air, yang kemudian diencerkan dengan air

menjadi 500 ml. Adanya tembaga ditunjukkan oleh adanya warna

biru, sedangkan bagian yang tidak mengandung tembaga berwarna

jingga pada permukaan contoh uji yang di semprot atau di labur.

i. Sifat Pemesinan

Dalam sifat pemesinan akan diamati sifat pengetaman,

pengampelasan, pemboran, dan pemakuan (kuat cabut paku)

terhadap bambu menggunakan metode penelitian untuk kayu

berdasarkan ASTM D-1666 -64 (1981) yang disesuaikan dengan

kondisi bahan dan peralatan yang tersedia di PPPKKPHH, Bogor.

Ukuran contoh uji panjang 125 cm sebanyak 25 lembar per jenis

bambu. Setiap papan/bilah bambu dipotong berdasarkan keperluan

contoh uji pola pada Gambar 4.

Metode :

1. Bambu dibelah menjadi bilah berukuran lebar 6 cm.

2. Ukuran contoh uji.

a. Sifat penyerutan : 75 cm x 7cm x tebal bambu

b. Pengampelasan : 30 cm x 7 cm x tebal bambu

c. Pengeboran : 30 cm x 7 cm x tebal bambu.

d. Pemakuan

Gambar 4. Pola contoh uji sifat pemesinan bambu

2 l

Ket: l = panjang

paku

l 2 l l l l

Page 27: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

27

Pengujian kuat cabut paku diuji menggunakan mesin uji UTM

(universal testing machine) dan disetarakan dengan standar

pengujian kuat cabut paku/sekrup pada kayu lapis. Sedangkan

bentuk cacat yang diamati mengacu pada Tabel 4 untuk kayu yang

disesuaikan untuk contoh uji bambu. Sedangkan Nilai bebas cacat

dan klasifikasi sifat pemesinannya menikuti Tabel 5.

Tabel 4. Sifat pemesinan pada kayu dan bentuk cacat yang diamati

Sifat pemesinan (Machining properties)

Bentuk cacat (Type of defect)

Penyerutan /Pengetaman (Planing)

Serat terangkat (raised grain), serat berbulu (fuzzygrain), serat patah (torn grain), tanda chip (chip marking).

Pembentukan (Shaping)* Serat terangkat (raised grain), serat berbulu (fuzzy grain), tanda chip (chip mark).

Pengeboran (Boring) Serat berbulu (fuzzy grain), penghancuran (crushing), kelicinan (smoothness), penyobekan (tearout)

Pembubutan (Turning) *

Serat berbulu (fuzzy grain), serat patah (torn grain), kekasaran (roughness)

Pengampelasan (Sanding)

Serat berbulu (fuzzy grain), bekas garukan (scratching)

*) : tidak ada dalam penelitian Tabel 5. Nilai bebas cacat dan klasifikasi sifat pemesinan Nilai bebas cacat, %

(Defect free values,%)

Kelas (Class)

Kualitas pemesinan (Machining quality)

0 – 20 V Sangat jelek (Verypoor)

21 – 40 IV Jelek (Poor)

41 – 60 III Sedang (Fair)

61 – 80 II Baik (Good)

81 – 100 I

Sangat baik (Very good)

D. Analisis Data

Masing-masing sifat dilakukan penghitungan rata-rata dan

standar deviasi kemudian diklasifikasikan sesuai dengan metode

Page 28: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

28

yang digunakan. Selanjutnya semua data dikompilasi sehingga

diperoleh sifat dasar setiap jenis bambu

Berdasarkan sifat- sifat yang di dapat maka akan ditentukan

kegunaan yang diperkirakan paling mendekati dari ke 2 jenis

bambu tersebut

Page 29: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

29

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Ciri Umum, Struktur Anatomi dan Dimensi Serat

1. Ciri umum

a. Bambu duri (Bambusa blumeana Bl. Ex Schult. F.)

Setiap rumpun bambu bisa memiliki 20-70 batang bambu

untuk rumpun dengan ukuran 1x2 m2 sampai 6x8 m2. Panjang

batang bambu dari pangkal sampai ujung berkisar dari 18 – 21,50

meter, dengan ruas sejumlah 56 – 63 ruas. Panjang ruas pada

bagian pangkal batang berkisar 16,5-24,5 cm, pada bagian tengah

berkisar 30-47 cm, dan pada bagian ujung tdk berbeda jauh dengan

bagian tengah yaitu 40-49 cm. Diameter batang (tanpa buku) pada

bagian pangkal berkisar 7,0 – 8,9 cm, bagian tengah berkisar 8,6 –

9,8 cm, dan bagian ujung berkisar 6,6 – 7,6 cm. Bagian buku

menonjol sekitar 0,6 cm. Ketebalan bilah atau batang pada bagian

pangkal sekitar 1,9-3,3 cm, pada bagian tengah 0,8 – 1 cm, dan

pada bagian ujung 0,6 – 0,75 cm. Permukaan batang bambu

berwarna hijau kusam dan seperti kesat, tidak memiliki banyak

rambut atau bulu-bulu gatal. Pada buku bagian pangkal sampai

ketinggian sekitar 3 meter tampak juluran cabang yang berduri.

Seludang menempel pada bambu muda sampai dengan bambu

berumur sekitar 6 bulan, setelah itu batang bambu terlepas dari

seludangnya. Seludang ini juga mempunyai bentuk yang khas,

b. Bambu temen (Gigantochloa verticillata Munro)

Setiap rumpun bambu bisa memiliki 20-56 batang bambu

untuk rumpun dengan ukuran 1x2 m2 sampai 6x8 m2. Panjang

batang bambu dari pangkal sampai ujung berkisar dari 9,5 – 11

meter, dengan ruas sejumlah 23 – 29 ruas. Panjang ruas pada

Page 30: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

30

bagian pangkal batang berkisar 28-34,5 cm, pada bagian tengah

berkisar 35-45,5 cm, dan pada bagian ujung tdk berbeda jauh

dengan bagian tengah yaitu 40-49 cm. Diameter batang (tanpa

buku) pada bagian pangkal berkisar 5,9 – 6,2 cm, bagian tengah

berkisar 5,8 – 6,4 cm, dan bagian ujung berkisar 5,3 – 5,5 cm.

Ketebalan bilah atau batang pada bagian pangkal sekitar 1,3-1,5

cm, pada bagian tengah 0,8 – 0,9 cm, dan pada bagian ujung 0,6 –

0,75 cm. Permukaan batang bambu berwarna hijau mengkilap,

tidak memiliki banyak rambut atau bulu-bulu gatal. Pada buku

bagian pangkal sampai ketinggian sekitar 3 meter tidak tampak

seludang menempel. Seludang menempel pada bambu muda

sampai dengan bambu berumur sekitar 6 bulan, setelah itu batang

bambu terlepas dari seludangnya. Seludang ini juga mempunyai

bentuk yang khas.

Gambar 5. Rumpun bambu duri

Page 31: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

31

Gambar 6. Seludang bambu duri

Gambar 7. Rumpun bambu temen

Page 32: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

32

B. Struktur anatomi dan dimensi serat

Struktur anatomi bambu merupakan jaringan ikatan

pembuluh terdiri dari pembuluh metaksilem dan phloem yang

dikelilingi oleh berkas serat (40%), dan diantara pembuluh terdapat

parenkima (50%). Ikatan pembuluh bambu duri dan temen

termasuk tipe III dan IV sama seperti halnya pada bambu yang

diteliti sebelumnya. Diameter rata-rata berkas pembuluh bambu duri

di bagian tepi 571,30 mikron, sedangkan di bagian sentral 895,72

mikron; pembuluh metaksilem bambu duri di bagian tepi 69,88

mikron dan di bagian sentral 198,75 mikron. Diameter rata-rata

berkas pembuluh bambu temen di bagian tepi 554,16 mikron,

sedangkan di bagian sentral 604,83 mikron; pembuluh metaksilem

bambu duri di bagian tepi 62,99 mikron dan di bagian sentral

153,98 mikron, Umumnya berkas pembuluh di bagian tepi memiliki

diameter lebih kecil, berkas serat yang tebal, dan pembuluh tidak

lengkap atau kadang tidak ada, sehingga jaringan di bagian tepi

lebih padat dibandingkan pada bagian sentral.

Gambar 8. Seludang bambu temen

Page 33: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

33

A B

C D

Gambar 9. Penampang melintang makroskopis bambu duri berurutan dari bagian tepi (A) sampai bagian sentral (D)

Page 34: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

34

A B

C

Gambar 10. Penampang melintang makroskopis bambu temen berurutan dari bagian tepi (A) sampai bagian sentral (C)

Page 35: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

35

Gambar 11. Penampang melintang mikroskopis bambu duri bagian tepi

Gambar 12. Penampang melintang mikroskopis bambu duri bagian sentral

Gambar 13.Penampang melintang mikroskopis bambu temen bagian tepi

Gambar 14. Penampang melintang mikroskopis bambu temen bagian sentral

Page 36: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

36

C. Pengujian Sifat Fisis Mekanis.

1. Sifat fisis

Nilai rata-rata sifat fisis bambu yang diteliti belum ada,

umumnya posisi contoh pada bambu serta adanya buku terhadap

sifat fisis yang diamati adalah sebagai berikut :

- Perbedaan jenis berpengaruh nyata terhadap kadar air kering

udara dan berat jenis, sedangkan kadar air basah tidak

berpengaruh nyata.

- Posisi contoh pada batang bambu, hanya berpengaruh nyata

terhadap kadar air basah

- Keberadaan buku atau ruas tidak mempengaruhi kadar air,

berat jenis dan penyusutan bambu.

2. Sifat mekanis

Sifat mekanis bambu duri dan temen yang diteliti disajikan

pada Tabel 6.

Tabel 6. Nilai rata-rata sifat mekanis bambu yang diteliti

Jenis Posisi

Buku Ket.Lentur statis,kg/cm2 Tekan// Geser// Tarik//

Tak Buku MPL MOE MOR (kg/cm2)

Duri Pangkal Buku 117,50 22.318,9 204,91 150,98 27,70 839,70

T.Buku 65,66 19.909,7 125,04 168,45 25,68 620,29

Tengah Buku 83,11 24.341,4 151,20 162,86 32,49 655,97

T.Buku 58,85 22.048,9 81,71 167,76 26,32 527,14

Ujung Buku 148,95 41.559,2 221,41 192,57 35,39 1081,14

T.Buku 67,12 30.857,8 103,13 181,14 29,63 754,34

Temen Pangkal Buku 317,70 89.280,5 612,03 521,68 56,38 1083,77

T.Buku 275,52 75.791,5 434,90 486,52 61,40 2297,04

Tengah Buku 438,46 74.760,0 738,96 518,43 56,04 1231,10

T.Buku 334,64 101.310,3 493,99 438,54 59,47 1885,56

Ujung Buku 685,45 107.594,1 902,07 490,99 65,47 890,21

T.Buku 452,68 97.126,4 540,86 423,15 61,76 2324,01

Page 37: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

37

Berdasarkan Tabel di atas sifat mekanis bambu temen lebih

baik dari bambu duri.baik pada bagian ruas maupun bagian batang

bambu yang memiliki buku.

D. Pengujian Keawetan

Hasil pengujian ketahanan bambu duri terhadap rayap tanah

(Coptotermes curvignatus) dan rayap kayu kering (Cryptotermes

cynocephalus ) dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Rata-rata pengurangan berat, jumlah rayap tanah yang hidup (Natalitas) dan derajat serangan pada bambu duri .

Jenis bambu Pengurangan berat (%)

Natalitas (%)

Derajat serangan

% kerusakan Nilai

Rayap tanah 22,21 68,17 23,27 70

Rayap kayu kering

19,64 48 22,67 70

Pengurangan berat pada bambu duri akibat serangan

rayap tanah adalah 22,21%, sedangkan akibat rayap kayu kering

adalah 19,64 %, dengan demikian pengurangan berat akibat

serangan rayap tanah lebih besar dari rayap kayu kering, berarti

rayap tanah lebih ganas. Jumlah rayap tanah yang hidup (natalitas)

adalah 68,17 % kemudian rayap kayu kering 48%, berati rayap

tanah lebih banyak yang hidup dibandingkan rayap kayu kering.

Untuk derajat serangan (kerusakan) pada rayap tanah 23,29 %,

rayap kayu kering 22,67 %, derajat serangan kedua jenis rayap ini

adalah dengan nilai 70. Berdasarkan SNI termasuk ke dalam

serangan sedang, berupa saluran-saluran yang dangkal dan sempit,

kerusakan berkisar 16-30%. Maka bambu duri memiliki ketahanan

lebih baik terhadap rayap kayu kering daripada rayap tanah.

Adapun hasil pengujian bambu temen belum selesai, baru 1 bulan

dalam pengujian.

Page 38: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

38

E. Pengujian terhadap jamur

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada hari ke dua

pengumpanan, 4 jenis jamur mulai menyerang bambu duri dan

temen, dan telah menyerang di seluruh permukaan bambu pada

masa inkubasi 10-11 hari (jamur Polyporus sp. dan Tyromyces

palustris), dan masa inkubasi 13-14 hari (jamur Pycnoporus

sanguineus dan Schizophyllum commune). Data kehilangan berat

bambu duri dan kelas resistensinya terhadap jamur ditunjukkan

pada Tabel 3. Persentase kehilangan berat tertinggi terjadi pada

contoh uji bambu duri yang dipasang pada biakan jamur Tyromyces

palustris (30,23%). Sedangkan persentase kehilangan berat

terendah dijumpai pada bambu duri yang dipasang pada biakan

Pycnoporus sanguineus (11,47%).

Tabel 8. Rata-rata kehilangan berat bambu duri dan kelas

resistensinya

Jenis jamur Kehilangan berat (%) Kelas

resistensi

Polyporus sp. 15,78 IV

Pycnoporus sanguineus 11,47 IV

Schizophyllum commune 13,61 IV

Tyromyces palustris 30,23 V

Rata-rata 17,77 IV

Menurut Oey (1990) untuk kayu kelas III diperkirakan usia

pakainya 3 tahun dan kayu kelas IV usia pakainya sangat pendek,

jika selalu berhubungan dengan tanah lembab dan basah. Maka

mengacu pada Oey (1990) klasifikasi ketahanan bambu terhadap

jamur secara laboratoris dapat disetarakan dengan kayu, maka

bambu duri termasuk kelompok tidak-tahan (kelas IV). Suprapti

(2010) menyatakan bahwa ketahanan bambu terhadap organisme

perusak dapat bervariasi tergantung pada jenis bambu, tempat

Page 39: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

39

bambu dipasang atau diletakkan, umur tumbuhan bambu, musim

tebang bambu, dan lokasi asal pengambilan bambu atau tempat

tumbuh bambu. Umur pakai bambu tersebut sekitar 3 tahun sampai

puluhan tahun. Menurut Liese (1980) ketahanan bambu atau umur

pakai bambu umumnya lebih rendah dibandingkan dengan kayu

yaitu 1-3 tahun. Jenis bambu temen masih dalam pengujian.

Berdasarkan data pengumpanan pada masa inkubasi 10-11 hari

bambu temen telah diserang jamur Polyporus sp. dan Tyromyces

palustris, dan masa inkubasi 13-14 hari oleh jamur Pycnoporus

sanguineus dan Schizophyllum commune.

F. Pengujian sifat kimia.

Kedua jenis bambu yang diteliti memiliki komponen kimia

seperti pada Tabel 8 di bawah ini. Bambu temen memiliki kadar

kelarutan (ekstraktif) dalam air dingin, air panas, alkohol benzene,

dan NaOH (1%) lebih besar dibandingkan bambu duri , demikian

pula dengan kadar selulosa dan kadar pentosannya. Untuk kadar

silika ternyata bambu duri memiliki kadar lebih besar, secara fisik

hal ini nampak pada kulit batang bambu duri yang keras dan kasar.

Tabel 9. Sifat kimia bambu duri dan temen

No. Parameter Bambu duri Bambu temen

1. Kelarutan dalam alkohol benzene %

2,39

9,68

2. Kelarutan dalam air panas % 10,31 13,96 3. Kelarutan dalam air dingin % 6,75 11,39 4. Kelarutan dalam NaOH

(1%) % 28,84 29,62

5. Kadar selulosa % 45,78 47,81 6. Kadar Lignin % 28,92 24,43 7. Kadar Pentosan % 12,47 17,35 8. Kadar zat pati % 22,19 18,34 9. Kadar air % 8,71 8,47

10. Kadar abu % 4,48 2.20 11. Kadar silika % 3,036 0,727

Page 40: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

40

Komponen yang terlarut dalam air dingin adalah tanin, gum,

karbohidrat dan pigmen, sedangkan yang terlarut dalam air panas

adalah sama dengan yang terlarut dalam air dingin tetapi dengan

kadar zat yang terlarut lebih besar. Kelarutan dalam NaOH 1% ini

memberikan gambaran adanya kerusakan bambu yang diakibatkan

oleh serangan jamur pelapuk kayu atau terdegradasi oleh cahaya,

panas dan oksidasi. Semakin tinggi kelarutan dalam NaOH, tingkat

kerusakan bambu juga meningkat dan dapat menurunkan

rendemen pulp.

Kadar pentosan yang terendah justru terdapat pada bambu

duri. Kadar pentosan yang rendah sangat diharapkan dalam

pembuatan pulp untuk rayon dan turunan selulosa. Kandungan

pentosan yang tinggi dapat menyebabkan kerapuhan benang rayon

yang dihasilkan. Apabila dihubungkan dengan klasifikasi komponen

kimia daun lebar Indonesia, maka bambu duri maupun temen

termasuk ke dalam kelas dengan kandungan pentosan yang rendah

karena kadarnya kurang dari 21%, sehingga cukup baik untuk

dijadikan sebagai bahan baku pembuatan pulp.

Kedua jenis bambu yang diteliti memiliki kadar selulosa

yang hampir sama, hal ini memberikan gambaran bahwa bubur

kayu yang dihasilkan akan sama pada kedua jenis bambu ini.

G. Pengujian Sifat Pengeringan

Data suhu minimum dan maksimum pengeringan bambu

berdasarkan pada kriteria cacat pecah dan perubahan bentuk

(mengeriput atau kolaps), ditunjukkan dalam Tabel 10.

Page 41: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

41

Tabel 10. Suhu minimum dan maksimum pengeringan bambu

berdasarkan pada kriteria cacat

Jenis cacat Kondisi pengeringan,

oC

Tingkat kerusakan/cacat

1 (A)

2 (B)

3 (C)

4 (D)

5 (E)

I. Pecah Suhu minimum (a) 50 45 40 33 30

Suhu maksimum (b) 77 68 60 50 48

II. Mengeriput/ kolaps

Suhu minimum (a) 50 40 36 33 30

Suhu maksimum (b) 77 65 57 50 48

Keterangan : A. Sangat baik; B. Baik; C. Sedang; D. Kurang baik; E. Sangat jelek; a. Suhu awal; b. Suhu akhir

Data rata-rata pengamatan kadar air segar maupun sifat

pengeringan bambu duri dan bambu temen ditunjukkan dalam

Tabel 11. Berdasarkan sifat pengeringannya, maka dapat

diestimasi suhu minimum dan maksimum dari kedua jenis bambu

tersebut.

Tabel 11. Kadar air dan sifat pengeringan bambu duri dan temen

Jenis Letak porsi

batang

Kadar air awal (%)

Tingkat cacat

Kelas Mutu Estimasi suhu (oC)

I II Min. Maks.

Duri Pangkal 78 – 95 (83)

1 1-2 Sangat baik-baik 45-50 70

Tengah 73 – 80 (76)

1 1-2 Sangat baik-baik 45-50 70

Temen

Pangkal 57 – 106 (80)

1 1-2 Sangat baik-baik 45-50 70

Tengah 55 – 91 (70)

1 1-2 Sangat baik-baik 45-50 70

Ket: Jumlah sampel setiap batang 5 buah; I. Pecah; II. Mengeriput (kolaps); A. Sangat baik; B. Baik; C. Sedang; D. Kurang baik; E. Sangat jelek

Sifat pengeringan kedua jenis bambu dari batang bagian

pangkal sampai tengah termasuk sangat baik sampai baik. Pada

Page 42: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

42

lembaran batang yang sama, meskipun kadar air pangkal lebih

tinggi dari kadar air bagian tengah namun perbedaannya relatif

kecil (sekitar 7% sampai 10%). Dari indikator tersebut,

menunjukkan kedua jenis bambu yang diteliti termasuk sudah tua

atau sudah memenuhi persyaratan umur panen.

G. Sifat Perekatan

Sifat perekatan bambu duri dan bambu temen terhadap

perekat urea formaldehida (UF) sangat baik yang ditunjukkan oleh

hasil pengujian keteguhan rekat dengan uji geser blok dalam

kondisi kering dimana nilai rata-rata keteguhan geser blok lebih dari

55 kg/cm2 dan persentase kerusakan bambunya lebih dari 70%.

Keteguhan rekat (keteguhan geser blok) rata-rata tipe interior (UF)

bambu duri 162,2 kg/cm2 (bilah tidak diawetkan) dan 113,3 kg/cm2

(bilah diawetkan). Keteguhan rekat (keteguhan geser blok) rata-rata

tipe interior (UF) bambu temen 107,7 kg/cm2 (bilah tidak diawetkan)

dan 88,2 kg/cm2 (bilah diawetkan).

Tabel 12. Keteguhan geser bambu duri kontrol (uji kering)

PANGKAL TENGAH UJUNG

ULANGAN HH HI RATA2 HH HI RATA

2

HH HI RATA2

1 135,4 199,3 167,3 109,0 210,0 159,5 134,1 132,3 133,2

2 188,7 218,9 203,8 131,7 167,7 149,7 133,6 147,4 140,5

3 219,5 181,0 200,2 149,9 179,2 164,5 116,5 158,8 137,7

4 214,0 227,0 220,5 178,4 162,0 170,2 126,0 148,1 137,1

5 126,1 179,6 152,9 128,3 152,1 140,2 135,8 175,1 155,5

Rataan 176,7 201,2 188,9 139,5 174,2 156,8 129,2 152,3 140,8

KK, % 95 95 90

Keterangan : HH = Perekatan muka dalam dengan muka dalam bilah bambu

HI = Perekatan muka dalam dengan muka luar bilah bambu

KK = Kerusakan bambu

Page 43: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

43

Tabel 13. Keteguhan geser bambu duri diawet (uji kering)

PANGKAL TENGAH UJUNG ULANGAN HH HI RATA2 HH HI RATA2 HH HI RATA2

1 135,4 109,9 122,6 116,7 102,3 109,5 119,0 105,2 112,1

2 111,1 107,0 109,1 107,1 106,3 106,7 77,5 149,4 113,5

3 117,5 98,3 107,9 130,3 97,6 113,9 144,5 102,5 123,5

4 83,7 190,0 136,9 122,7 105,3 114,0 118,1 136,9 127,5

5 91,4 78,0 84,7 114,8 107,0 110,9 130,7 83,2 107,0

RATA2 107,8 116,7 112,2 118,3 103,7 111,0 118,0 115,4 116,7

KK, % 80 95 100

Keterangan : HH = Perekatan muka dalam dengan muka dalam bilah bambu HI = Perekatan muka dalam dengan muka luar bilah bambu KK = Kerusakan bambu

Tabel 14. Keteguhan geser bambu temen kontrol (uji kering)

PANGKAL TENGAH UJUNG

ULANGAN HH HI RATA2 HH HI RATA2 HH HI RATA2

1 130,1 85,8 108,0 71,7 113,1 92,4 110,3 114,0 112,2

2 78,1 104,7 91,4 138,5 121,9 130,2 122,3 79,3 100,8

3 88,0 113,5 100,8 113,3 115,2 114,2 104,1 109,1 106,6

4 106,5 141,2 123,9 112,3 96,7 104,5 105,5 100,3 102,9

5 97,8 110,4 104,1 113,6 109,1 111,4 117,8 105,9 111,8

RATA2 100,1 111,1 105,6 109,9 111,2 110,5 112,0 101,7 106,9

KK, % 95 95 90

Tabel 15. Keteguhan geser bambu temen diawet (uji kering)

PANGKAL TENGAH UJUNG

ULANGAN HH HI RATA2 HH HI RATA2 HH HI RATA2

1 58,2 88,7 73,5 130,2 111,8 121,0 89,2 64,0 76,6

2 75,4 78,8 77,1 113,5 104,4 109,0 68,3 86,9 77,6

3 60,6 101,2 80,9 103,9 124,4 114,1 81,1 110,1 95,6

4 55,3 86,2 70,7 73,0 91,7 82,4 54,2 65,6 59,9

5 87,3 114,3 100,8 131,4 115,2 123,3 66,0 54,5 60,3

RATA2 67,4 93,8 80,6 110,4 109,5 110,0 71,8 76,2 74,0

KK, % 95 90 90

Page 44: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

44

Tabel 16. Rata-rata keteguhan rekat bambu duri dan temen

Perlakuan

Pangkal Tengah Ujung

HH HI HH HI HH HI

Duri kontrol

176,7 201,2 139,5 174,2 129,2 152,3

KK % 95 95 90 Duri diawet

107,8 116,7 118,3 103,7 118,0 115,4

KK% 80 95 100

Temen kontrol 100,1 111,1 109,9 111,2 112,0 101,7 KK% 95 95 90 Temen diawet 67,4 93,8 110,4 109,5 71,8 76,2 KK % 95 90 90

H. Pengujian Keterawetan

Hasil retensi dan penetrasi bahan pengawet terhadap kedua

jenis bambu dapat dilihat pada Tabel 17 dan Tabel 18.

Tabel 17. Retensi dan penetrasi bahan pengawet boron terhadap bambu duri

Pangkal Panjang

(cm) Diamete

r (cm) Tebal (cm)

Volume (cm

3)

Berat awal (g)

Berat akhir (g)

Retensi (kg/m

3)

Penetrasi (%)

1. 403 8,5 1,6 1012.336 8350 349507,32 10,11 100 2. 360 8,2 1,4 791,280 9200 313315,28 11,53 100 3. 385 8,2 1,2 725,340 8950 305130,50 12,25 100 4. 395 8,2 0,9 558,135 7060 282778,69 14,82 100 5. 398 8,7 0,8 499.888 8050 253161,74 14,71 100

Rata-rata 12,684 100

Tengah Panjang (cm)

Diameter (cm)

Tebal (cm)

Volume (cm

3)

Berat awal (g)

Berat akhir (g)

Retensi (kg/m

3)

Penetrasi (%)

1. 397 7,9 0,8 498.631 5630 173502.43 10,10 100 2. 367 7,4 0,7 403.333 4800 155243,21 11,19 100 3. 380 8,4 0,6 357.960 5550 127495.04 10,22 100 4. 402 7,9 0,6 378.694 5950 148465.17 11,29 100 5. 397 8,6 0,5 311.645 7550 116833.51 10,52 100

Rata-rata 10,66 100

Ujung 1. 400 6,4 0,5 314,00 2780 106609,33 9,92 100 2. 367 5,2 0,6 345,73 2780 119060,52 10,09 100 3. 385 6,4 0,4 241,78 3900 80463.67 9,50 100 4. 368 6,4 0,5 288.88 3000 114989.15 11,63 100

Page 45: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

45

5. 400 6,1 0,4 251,20 3950 106355.87 12,23 100

Rata-rata 10,67 100

Keterangan: P = panjang; D = diameter; T = tebal; V = volume; B1

= berat awal; B2 = berat akhir

Tabel 17 menunjukkan bahwa rata-rata retensi bahan

pengawet boron pada bagian pangkal bambu ori 12,684 kg/m3,

tengah 10,66 kg/m3 dan ujung 10,67 kg/m3. Retensi tertinggi

terdapat pada bagian pangkal bambu dan terendah terdapat pada

bagian ujung. Hal ini menunjukkan bahwa bagian pangkal bambu

duri lebih permeable dibandingkan di bagian ujung. Sedangkan

penetrasi bagian pangkal, tengah dan ujung 100%, berarti bambu

ori mempunyai sifat keterawetan kelas I atau sangat mudah

diawetkan.

Hasil retensi dan penetrasi bahan pengawet boron pada

bambu temen dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18. Retensi dan penetrasi bahan pengawet boron terhadap bambu temen

Pangkal Panjang

(cm)

Diameter

(cm)

Tebal

(cm)

Volume

(cm3)

Berat

awal

(g)

Berat

akhir (g)

Retensi

(kg/m3)

Penetrasi

(%)

1. 401 7,1 1,0 629,57 8200 219525,66 10,07 100 2. 398 8,1 1,2 749,83 7500 227950.02 8,82 100 3. 399 8,1 1,4 877,00 7600 272161,67 9,05 100 4. 400 6,2 1,0 628.00 4900 194974.67 9,08 100 5. 400 5,5 1,2 753,60 4100 230682,40 9,02 100

Rata-rata 9,208 100

Tengah

1. 395 5,9 0,9 558,13 5100 151888,19 7,89 100 2. 400 6,8 0,8 502,40 4500 172301,60 10,02 100 3. 400 6,8 0,9 565,20 4900 173518,00 8,95 100 4. 400 5,9 0,8 502,40 3200 149733,33 8,75 100 5. 400 4,9 0,7 502,40 2700 152227.20 9.09 100

Rata-rata 8,94 100

Keterangan: P = panjang; D = diameter; T = tebal; V = volume; B1 = berat awal; B2 = berat akhir

Tabel di atas menunjukkan bahwa rata-rata retensi bahan

pengawet boron pada bagian pangkal bambu temen 9,208 kg/m3

Page 46: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

46

dan tengah 8,94 kg/m3. Retensi tertinggi juga terdapat pada bagian

pangkal bambu dan terendah terdapat pada bagian tengah. Hal ini

menunjukkan bahwa bagian pangkal bambu temen lebih permeable

dibandingkan di bagian tengah. Sedangkan penetrasi bagian

pangkal dan ujung 100%, berarti bambu temen mempunyai sifat

keterawetan kelas I atau sangat mudah diawetkan.

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa bambu duri

dan bambu temen dalam keadaan basah dapat diawetkan dengan

mudah melalui metode modifikasi Boucherie. Disarankan agar

kedua jenis bambu yang diawetkan dipakai hanya untuk di bawah

atap,Retensi dan penetrasi bahan pengawet pada bambu duri dan

temen sudah memenuhi SNI-3233-1992 untuk dipakai di bawah

dan luar atap yaitu 8,0 dan 11,0 kg/m3.

Tabel 19. Rata-rata penetrasi dan retensi bahan pengawet boron terhadap bambu duri dan temen

Jenis bambu Retensi (kg/m3) Penetrasi (%)

Duri

Pangkal 12,684 100

Tengah 10,66 100

Ujung 10,67 100

Temen

Pangkal 9,208 100

Tengah 8,94 100

Ujung - -

Page 47: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

47

I. Sifat Pengerjaan/ Pemesinan

Hasil pengujian sifat pengerjaan/pemesinan bambu duri dan

temen yang diteliti dapat dilihat pada Tabel 20, dan 21 berikut ini.

Tabel 20. Sifat Pengerjaan/pemesinan bambu duri

Sifat Pemesinan

Cacat yang

diamati

Persentase cacat

Persentase bebas cacat

Mutu/Kualitas Kelas

Pemesinan

Pengetaman Serat

berbulu halus

21 79 Baik II

Pengampelasan Serat

berbulu halus

22,5 77,5 Baik II

Pemboran Serat

berbulu halus

20,5 79,5 Baik II

Tabel 21. Sifat Pengerjaan/pemesinan bambu temen

Sifat Pemesinan

Cacat yang

diamati

Persentase cacat

Persentase bebas cacat

Mutu/Kualitas Kelas

Pemesinan

Pengetaman Serat

berbulu halus

16,5 83,5 Sangat Baik I

Pengampelasan Serat

berbulu halus

14,5 85,5 Sangat Baik I

Pemboran Serat

berbulu halus

24,5 75,5 Baik II

Tabel 22. Klasifikasi sifat pemesinan kayu

Kelas pemesinan

Nilai Bebas Cacat (%) Kualitas

I 80 - 100 Sangat Baik II 60 – 80 Baik III 40 – 60 Sedang IV 20 – 40 Jelek V 0 - 20 Sangat Jelek

Page 48: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

48

Berdasarkan klassifikasi sifat pemesinan kayu (Tabel 22) maka

kualitas sifat pengerjaan/pemesinan bambu duri termasuk kelas II

dengan mutu/kualitas baik, untuk sifat pengetaman,

pengampelasan, pemboran, sedangkan bambu temen termasuk

kelas I untuk sifat pengetaman dan pengampelasan dengan

mutu/kualitas sangat baik, sedangkan untuk sifat pemboran pada

bambu temen termasuk kelas II dengan mutu /kualitas baik. Hal ini

tentu ada kaitannya dengan sifat anatominya dan berat jenis.

Bambu duri mempunyai berkas serat yang tebal, kulit batangnya

kasar dan keras, kadar lignin dan silikanya lebih tinggi sehingga

sifat pemesinan persentase cacatnya menjadi lebih tinggi.

I. Kualitas dan Sifat Asap Cair Bambu Ampel dan Ater

Rendemen dan hasil pengujian asap cair bambu seperti

terlihat pada Tabel 23 dan 24. Hasil pengujian pH, dan

transparency memenuhi standar mutu cuka kayu Jepang,

sedangkan untuk berat jenis dan warna belum memenuhi.

Berdasarkan análisis komponen kimia (Tabel 24) bambu duri

mempunyai kandungan asam asetat, metanol dan total phenol yang

lebih besar daripada bambu temen. Berdasarkan hasil pengujian

Tabel 23. Sifat asap cair bambu

Jenis analisis Bambu Mutu cuka kayu Jepang*

Duri Temen

Rendemen dari berat kering, %

- -

pH 3,07 3,15 1,50 – 3,70 Berat jenis 1,02 1,02 > 1,05 Bau - - - Warna Coklat

muda Coklat tua

Kuning coklat kemerahan

Transparansi Tidak keruh, tidak ada suspensi

Tidak keruh, tidak ada suspensi

Tidak keruh, tidak ada suspensi

Page 49: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

49

Tabel 24. Analisis komponen kimia cuka kayu

Jenis analisis Jenis bambu

Duri Temen

Asam asetat,ppm

2074,39 2017,19

Metanol, % 6,02 5,92

Phenol,mg/100g 763,23 721,92

komposisi kimia (Tabel 8) bambu duri memiliki kadar lignin lebih

tinggi sehingga kadar phenol pada asap cair juga lebih tinggi

daripada bambu temen.

Page 50: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

50

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Bambu Duri

a. Sifat mekanis bambu yang mencakup keteguhan lentur statis,

tekan, geser dan tarik sejajar serat umumnya cukup baik; kadar

lignin, zat pati, abu dan silika bambu duri cukup besar, akan

berpengaruh terhadap kadar phenol asap cair; sifat perekatan

terhadap perekat urea formaldehida sangat baik, dan

persentase kerusakan bambunya memenuhi persyaratan

standar jepang yang disesuaikan untuk bambu; sifat

pengetaman, pengampelasan dan pemboran baik dengan

kelas pemesinan II; estimasi suhu minimum dan maksimum

dalam pengeringannya yaitu 45-50 °C dengan kelas mutu

pengeringannya termasuk sangat baik.

b. Ketahanannya terhadap rayap kayu kering lebih baik daripada

terhadap rayap tanah; termasuk kelompok tidak tahan terhadap

jamur (kelas IV), lebih tahan terhadap jamur Pycnoporus

sanguineus daripada terhadap jamur Tyromyces palustris; lebih

mudah diawetkan, retensi dan penetrasi bahan pengawet

Boron telah memenuhi persyaratan SNI untuk digunakan di

bawah dan di luar atap; pH, dan transparency asap cair

memenuhi standar mutu cuka kayu Jepang, sedangkan untuk

berat jenis dan warna belum memenuhi.

2. Bambu temen

a. Sifat mekanis bambu yang mencakup keteguhan lentur statis,

tekan, geser dan tarik sejajar serat bambu temen menyerupai

bambu ampel dan bambu ater; kelarutan dalam alkohol

benzene, air panas, air dingin, NaOH, kadar selulosa, pentosan

Page 51: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

51

cukup tinggi menandakan jenis bambu ini mempunyai

ketahanan terhadap OPK; sifat perekatannya terhadap perekat

urea formaldehida sangat baik, dan persentase kerusakan

bambunya memenuhi persyaratan standar Jepang yang

disesuaikan untuk bambu; sifat pengetaman, pengampelasan

sangat baik dengan kelas pemesinan I, dan dan sifat pemboran

baik dengan kelas pemesinan II.

b. Estimasi suhu minimum dam maksimum bambu yaitu 45-50 °C

dan kelas mutu pengeringannya termasuk sangat baik. Mudah

diawetkan, retensi dan penetrasi bahan pengawet Boron telah

memenuhi persyaratan SNI untuk digunakan di bawah dan di

luar atap; pH, dan transparency memenuhi standar mutu cuka

kayu Jepang, sedangkan untuk berat jenis dan warna belum

memenuhi.

B. Saran

Bambu duri maupun bambu temen dapat dimanfaatkan

untuk konstruksi ringan, bambu temen lebih cocok sebagai bahan

mebeler, dengan diawetkan dapat digunakan di bawah dan di luar

atap.

Page 52: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

52

DAFTAR PUSTAKA

Alvin, K.L. & Murphy. R.J. (1988). Variation in fiber and parenchyma wall thickness in culums of the bambu Sinobambusa toothstik. IAWA Bull. N.s. vol 9 (4) The Nederlands. pp 353-361.

Pusat Penelitian Hasil Hutan. (2000). Himpunan sari hasil penelitian

rotan dan bambu. Pusat Penelitian hasil Hutan, Bogor. China National Bambu Research Center. (2001). Cultivation and

integrated utilization on bambu in China: Structure and properties of bambu timber. China National Bambu Research Center. Hangzhou, P.R. China. pp. 56 – 72.

ASTM [American standard testing machine]. (1999). D-3345-74

(Reapproved 1999). Standard Test Method for Laboratory Evaluation of Wood and Other Cellulosic Material for Resistance of Termites. USA.

AWPA [American Wood Preserver’ Association]. (1972). Standard

Method for Laboratory Evaluation to Determine Resistance to Subterranean Termites. American Wood Preserver’ Association Standard.

Japan Plywood Manufacture’s Association. (2003). JAS: Japanese

Agricultural Standard for Common Plywood its Commentary the Japan Plywood Manufacture’s Association.

BSN [Badan Standarisasi Nasional] (2006). Uji ketahanan kayu

dan produk kayu terhadap organisme perusak kayu. Rancangan Standar Nasional Indonesia. Badan Standarisasi Nasional SNI 01-7207-2006. Jakarta.

ASTM [American Standard Testing Machine] (2006). ASTM D 1106-

96 (Reapproved 2001). Standar Test Method for Acid-Insoluble Lignin in Wood. Annual Book of ASTM Standards. Volume 04.10 wood. Section 4. Philadelphia.

Pemerintah Daerah Istimewa Yogjakarta. (2007). Bambu lebih kuat

dibanding baja. Artikel dari http://www.bapeda.pemda-diy.go.id/detail.php.jenis. Diakses pada tanggal 10 Maret 2008.

Page 53: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

53

ISO [International Standard Organization]. (2009). ISO 22157-2, Bambu – Determination of physical and mechanical properties - . Part 2, Laboratory mannual. ISO, Swietzerland.

Basri, E. (2004). Percobaan pengeringan tiga jenis bambu dalam

dapur pengeringan tenaga surya. Naskah (belum diterbitkan). Basri, E. & Saefudin. (2006). Sifat kembang-susut dan kadar air

keseimbangan bambu tali (Gigantochloa apus kurtz) pada berbagai umur dan tingkat kekeringan. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 24 (3). Bogor. 241-250

Fangchun, Z. (2000). Selected works of bambu research

(translate Chinese into English by Chen Xinfang). The Bambu Research Editorial Committee. Nanjing Forestry University, Nanjing China. Chapter XII-XIV: 95-125.

Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid I. Cetakan ke

I, Yayasan Sarana Wana Jaya, Jakarta. ISO [International Standard Organization]. (2004). ISO 22157-1-

2001. Bamboo – Determination of physical and mechanical properties. Part 1: Requirements. ISO-Switzerland.

JIS [Japan Industrial Standard]. (2003). Standard methods of

testing small clear specimens of timber. Tokyo, Japan. Liese, W. (1980). Preservation of bamboos. In Bamboo Research in

Asia edited by Lessard, G. And A. Chouinard. Proceedings of a workshop held in Sinapore 28-30 May 1980. p: 165-172.

Liese, W. (1985). Anatomy and properties of bambu. The Chinese

academy of Forestry. People’s republic of China International Development Research Centre, Canada.

Martawijaya, A. (1975). Pengujian laboratoris mengenai keawetan

kayu Indonesia terhadap jamur. Kehutanan Indonesia. Direktorat Jenderal Kehutanan, Jakarta. Hlm.: 775-777.

Morisco. (2005). Teknologi Bambu. Bahan Kuliah Program Magister

Teknologi Bahan Bangunan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Hlm 26-34.

Mustafa,Z.E.Q. (1990). Panduan Mikrostat Untuk Mengolah Data

Statistik. Penerbit Andi Offset, Yogyakarta.

Page 54: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

54

Nandika, D., Matangaran & Darma, T. (1994). Keawetan dan pengawetan bambu. Yayasan bambu lingkungan lestari, Bogor.

Oey D. S. (1990). Berat jenis dari jenis-jenis kayu Indonesia dan

pengertian beratnya kayu untuk keperluan praktek. Pengumuman Nr. 13. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor-Indonesia.

Rulliaty, S. (1994). Wood Quality Indicators as Estimators of

Juvenile Wood in Mahogany (Swietenia macrophylla King.) from Forest Plantation in Sukabumi, West Java, Indonesia. Unpublished Master’s Thesis, University of the Philippines at Los Banos, College, Laguna. The Phillippine

Rulliaty, S. (2013). Struktur anatomi dan kualitas serat lima jenis

kayu andalan setempat asal Carita Banten. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 31(4):283 – 294

Rulliaty. S., Hadjib, N., Pari, G., Muslich, M., Jasni, I.M.

Sulastiningsih, I.M., Komarayati, S., Suprapti, S., Abdurahman, Basri, E. (2013). Sifat Dasar dan Kegunaan Bambu. Laporan Hasil Penelitian. Tidak dipublikasikan, Bogor.

Sass, J.E. (1961). Botanical Microtehnique. The IOWA State

University Press. New York. Sulthoni, A. (1994). Permasalahan sumber daya bambu di

Indonesia. Yayasan bambu lingkungan lestari. Bogor. Steel, R.J.D. dan Torrie, J.H. (1993). Prinsip Dan Prosedur Statistik.

Terjemahan dari Principles and Procedures of Statistiks oleh Bambang Sumantri. IPB. Penerbit. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Suprapti, S. (2010). Decay resistance of five Indonesian bamboo

species against fungi. Journal of Tropical Forest Science 22(3): 287-294

Suprapti, S., Djarwanto & Hudiansyah. (2011). Ketahanan lima jenis

kayu asal Lengkong Sukabumi terhadap beberapa jamur pelapuk. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 29 (3): 248-258. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor.

Page 55: Oleh - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/lhp7.pdf · kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Widjaja et al. (1994) menyatakan

55

Terazawa, S. (1965). An easy method for the determination of

wood-drying schedule. Wood Industry Vo. 20 (5). Wood Technology Association of Japan. Tokyo.

Verhoef, R. (1957). Tanaman bambu di Jawa. Pengumuman

Pendek Lembaga Penyelidikan Kehutanan. Bogor. 15: 1-25. Widjaja, E.A., Artiningsih, Irawati, Noerdjito, Amir, Pudjiastuti, &

Aswari. (1994). Sepuluh tahun penelitian bambu di Puslitbang Biologi. Yayasan bambu lingkungan lestari. Bogor.

Widjaja, E. A. (2001). Identikit Jenis-jenis Bambu di Jawa. Seri

Panduan Lapangan. Herbarium Bogoriense. Balit Botani. Puslitbang Biologi LIPI. Bogor

Yatagai. (2002). Utilization of charcoal and wood vinegar in Japan.

Graduate School of Life Sciences. The University of Tokyo. Japan.