oftalmia simpatika
DESCRIPTION
MataTRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Walaupun mata mempunyai sistem pelindung yang cukup baik seperti
rongga orbita, kelopak, dan jaringan lemak retrobulbar selain terdapatnya refleks
memejam atau mengedip, mata masih sering mendapat trauma dari dunia luar.
Trauma dapat mengakibatkan kerusakan pada bola mata dan kelopak, saraf mata
dan rongga orbita. Trauma mata adalah tindakan sengaja maupun tidak yang
menimbulkan perlukaan mata dan merupakan kasus gawat darurat. Trauma pada
mata dapat ringan sampai berat dan memerlukan perawatan yang tepat untuk
mencegah terjadinya penyulit yang lebih berat yang akan mengganggu fungsi
penglihatan serta mengakibatkan kebutaan.1
Oftalmia Simpatika merupakan suatu inflamasi traktus uveal bilateral
yang spesifik akibat dari iritasi kronis dari satu mata, disebabkan oleh trauma
perforasi pada mata atau bedah intraokular, menyebabkan uveitis yang berpindah
pada mata yang di sebelahnya. Referensi pertama mengenai Oftalmia Simpatika
ialah pernyataan dari Agathias 1000 SM dalam literaturnya “The Anthology
comlied from Constantius Cephalis” yang menyatakan: “Mata kanan, bila terkena
penyakit, sering menyakiti mata sebelah kiri”, kemudian Hippocrates menemukan
gejala klinis dari Oftalmia Simpatika dan pada abad ke-16, Bartisch menulis
dalam buku Textbook of Ophtalmology lama yang berasal dari Jerman, bahwa
setelah cedera pada satu mata, maka mata yang lainnya yang baik, menjadi
terkena bahaya. Istilah Oftalmia Simpatika dicetuskan oleh William MacKenzie
pada 1840. Dia mempresentasikan dua kasus trauma tembus pada satu mata
dengan perkembangan peradangan pada mata sebelahnya. Pada 1905, Ernest
Fuchs menggambarkan temuan mikroskopik klasik pada Simpatik Oftalmia, sejak
itu penyakit ini menjadi mudah diketahui.2
1
1.2. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mempelajari atau
mengetahui defenisi, etiologi, tanda dan gejala, patofisiologi, diagnosis,
pengobatan, komplikasi dan prognosis dari Oftalmia Simpatika.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Oftalmia Simpatika merupakan suatu inflamasi traktus uveal bilateral yang
spesifik akibat dari iritasi kronis dari satu mata, disebabkan oleh luka perforasi
pada mata atau bedah intraokular, menyebabkan uveitis yang berpindah pada mata
yang disebelahnya. Oftalmia Simpatika adalah suatu kondisi pada mata yang
jarang terjadi, dimana pada mata yang semula sehat (sympathising eye), terjadi
suatu peradangan pada jaringan uvea setelah cedera penetrasi pada salah satu mata
(exciting eye) oleh karena trauma atau pembedahan. Gejala-gejala dari peradangan
pada mata yang tidak mengalami trauma akan terlihat biasanya dalam waktu 2
minggu setelah cedera, tetapi dapat juga berkembang dari hari sampai beberapa
tahun kemudian.2,3
Peradangan pada mata muncul dalam bentuk panuveitis granulomatosa
yang bilateral. Biasanya exciting eye ini tidak pernah sembuh total dan tetap
meradang paska trauma, baik trauma tembus akibat kecelakaan ataupun trauma
karena terapi pembedahan mata. Peradangan yang berlanjut pada exciting eye
tampak berkurang dengan penggunan steroid tetapi pada prinsipnya proses
peradangan jaringan uvea masih tetap jalan terus. Tanda awal dari mata yang
bersimpati adalah hilangnya daya akomodasi serta terdapatnya sel radang di
belakang lensa. Gejala ini akan diikuti oleh iridosiklitis subakut, serbukan sel
radang dalam vitreous dan eksudat putih kekuningan pada jaringan di bawah
retina.3,4
2.2. Epidemiologi
Seabad yang lalu, dilaporkan insiden SO adalah sekitar 2% setelah cedera
pada satu mata. Pada tahun 1980-an, satu atau dua dari 1000 tauma tembus okular
dilaporkan menyebabkan Oftalmia Simpatika. Pada tahun 2000, sekumpulan
peneliti dari Inggris dan Republik Irlandia mengestimasi bahwa kira-kira tiga dari
sepuluh juta kasus cedera penetrasi atau operasi mengakibatkan Oftalmia
3
Simpatika. Hal ini jelas menunjukkan insiden Oftalmia Simpatika adalah teramat
rendah.5
2.3. Etiologi
Belum diketahui secara pasti penyebab dari simpatik oftalmia, namun
sering dihubungkan dengan beberapa faktor predisposisi yaitu:6
1. Selalu mengikuti suatu trauma tembus (gambar 2.1).
2. Cenderung terjadi oleh luka yang mengenai daerah siliaris bola mata
(dangerous zone)
3. Luka yang inkarserata pada iris, silia, badan silia dan kapsul lensa lebih
rentan
4. Lebih sering pada anak-anak dibandingkan orang dewasa
5. Tidak terjadi apabila timbul supurasi pus yang nyata di mata yang
mengalami trauma (exciting eye).
Gambar 2.1 Trauma tembus pada mata
Oftalmia Simpatika dapat terjadi pada mata yang tidak mengalami cedera
meskipun setelah bertahun trauma penetrasi atau operasi intraokular pada mata
yang cedera, terutama bila terdapat iritasi kronik. Jaringan pada mata yang cedera
(traktus uveal, lensa, dan retina bertindak sebagai antigen dan mencetus gangguan
autoimun pada mata yang tidak cedera).4
4
2.4. Patofisiologi7,8
Berbagai macam teori telah dicetuskan, namun yang paling diterima
adalah teori alergi, yang menyebutkan bahwa pigmen yang berasal dari uvea mata
yang mengalami trauma bertindak sebagai alergen yang memicu terjadinya uveitis
pada mata yang sebelahnya.
Setelah luka penetrasi pada mata atau prosedur operasi, antigen okular
akan berpindah ke dalam mata di dekat bagian belakang blood retinal barrier
sehingga menjadi terdeteksi terhadap imunitas sistemik. Mata tidak mempunyai
sistem limfatik yang menghalangi antigen okular untuk mencetuskan respon imun
lokal. Sebaliknya, antigen precenting cells (APC) perifer, seperti makrofag dan
sel dendritik, akan memfagositosis antigen okular yang terpapar di daerah luka.
Komponen protein diproses menjadi peptida antigenik untuk presentasi HLA class
II kepada CD4+ helper T cells di nodus limfa perifer atau spleen.
Mata yang mengalami luka penetrasi akan menggangu blood retinal
barrier yang mengakibatkan antigen okular masuk ke dalam lingkungan sistemik.
APC perifer seperti makrofag dan sel dendritik, yang dirangsang oleh kerusakan
jaringan dibawa ke daerah yang rusak dimana mereka akan memfagositosis
antigen ocular.
APC perifer tadi akan memproses protein yang difagositosis menjadi
antigen peptida yang akan dipaparkan reseptor HLA class II dimana nantinya akan
dideteksi oleh antigen-specific CD4+ helper T cells. Secara normal tidak ada
CD4+ helper T cells yang mengenali peptida protein okular melihat autareactive
T cell akan dihapuskan di thymus. Namun, dalam hal tertentu, autareactive T cell
dapat terlepas dari thymus atau peptida tadi dapat menyerupai peptida yang sama
yang dijumpai sebelumnya melalui infeksi dengan patogen (molecular mimicry). ,
Autareactive T cell yang respon terhadap peptida antigenik ocular, akan
berkembang secara klonal dan bermigrasi ke bagian yang mengalami inflamasi.
HLA class II seperti DRB1*0404, DRB1*0405 dan DQA1*03 mempunyai
hubungan dengan simpatetik oftalmia yang menandakan mekanisme autoimun
CD4+ helper T cells.
5
Sel-sel imun yang teraktivasi akan mengupregulasi reseptor permukaan sel
yang memperbolehkan mereka untuk melakukan ekstravasasi dari sirkulasi darah
masuk ke dalam jaringan yang mengalami inflamasi. Sel endotelial vaskular juga
mengupregulasi ligand untuk reseptor tersebut agar mempermudah proses ini bila
dirangsang oleh sitokin-sitokin inflamasi seperti IL-1 dan TNF-alfa. CD4 helper T
cells yang autoreaktif mempenetrasi blood-retinal barrier pada mata yang rusak
dimana ia mendeteksi antigen okular imunogenik dan mencetuskan respon imun
pro-inflamatorik. Pelepasan sitokin akan membawa lagi sel imun dan akan
meningkatkan respon imun pada mata dan menyebabkan kerusakan yang immune-
mediated. Kemudian, infiltrasi CD4 helper T cells yang autoreaktif dapat
merangsang inflamasi pada mata yang tidak rusak (sympathising eye),
kemungkinan kerusakan disebabkan oleh reseptor membran pada sel endotelial
vaskular lokal yang diakibatkan oleh ransangan sitokin sistemik.
CD4 helper T cells yang autoreaktif akan memfiltrasi sel yang tidak rusak
(sympathising eye) dan mencetuskan respon imun terhadap antigen okular
imunogenik yang sebelumnya dideteksi oleh mata yang cedera. Hal ini mungkin
disebabkan oleh sitokin (IL-1 dan TNF-alfa) yang dipicu oleh upregulasi reseptor
permukaan sel endotelial vaskular pada mata yang tidak cedera “sympathising
eye” yang meransang ekstravasasi sel imun perifer. Sel T yang teraktivasi juga
akan mensekresikan sitokin yang akan membawa sel-sel imun tambahan seperti
APC yang akan menerima antigen okular dan meransang T sel autoreaktif yang
baru. Kerusakan akibat imun ini tidak hanya dapat menyebabkan kebutaan pada
symphathetic eye sehingga terapi harus dimulai secepatnya.
Pada Oftalmia Simpatika, terjadi agregasi nodul limfosit, sel plasma, sel
epitel, dan sel raksasa di sekitar sistem uvea. Proliferasi dari pigmen epitelium
(iris, badan siliar, dan koroid) yang diikuti dengan invasi dari limfosit dan sel
epiteloid membentuk suatu nodul yang disebut dengan Dalen-fuchs’ nodules
(gambar 2.2) yang dapat dilihat pada lapisan koroid. Oleh karena reaksi yang
terjadi pada simpatik oftalmia, maka akan terbentuk suatu deposit di lapisan
kornea yang disebut dengan mutton-fat keratic precipitates (gambar 2.3). Retina
menunjukkan suatu infiltrasi seluler perivaskular (simpatetik perivaskulitis).
6
Gambar 2.2 Dalen-fuchs’ nodules Gambar 2.3 mutton-fat keratic precipitates
2.5. Gambaran Klinis1-4,6,7,10
Gejala awal yang dialami adalah seperti gangguan akomodasi dan
fotofobia, lalu, akan timbul gangguan visus dan nyeri. Gambaran klinis Oftalmia
Simpatika dibagi menjadi dua, yaitu pada mata yang mengalami trauma (exciting
eye), dan mata yang lain yang semula sehat (sympathising eye).
1. Exciting Eye (mata yang mengalami trauma)
Terlihat tanda-tanda uveitis, yang meliputi kongesti siliar, lakrimasi, dan
nyeri tekan, serta pada pemeriksaan kornea akan terlihat suatu gambaran
keratik presipitat dibagian endotel kornea.
2. Sympathising Eye (mata yang semula sehat)
Gejala biasanya muncul dalam jangka waktu 4 sampai 8 minggu setelah
trauma pada mata yang lain. Pernah dilaporkan terjadinya Oftalmia
Simpatika dalam waktu 9 hari setelah terjadinya trauma. Mata yang
mengalami Oftalmia Simpatika akan bermanifestasi dalam bentuk
iridosiklitis akut, namun kadang dapat berkembang menjadi neuroretinitis
dan koroiditis. Gambaran klinis dari iridosiklitis pada sympathising eye
dibagi menjadi 2 tahap, yaitu :
a. Stadium Prodormal
Pada stadium ini akan didapatkan keluhan antara lain : sensitif
terhadap cahaya (fotofobia), gangguan sementara dalam melihat objek
yang dekat karena melemahnya kemampuan mata untuk
berakomodasi. Pada pemeriksaan mata ditemukan kongesti siliar yang
sedang, nyeri tekan pada bola mata, Keratik presipitat pada kornea
7
dengan jumlah yang sedikit, serta pada funduskopi tampak kekeruhan
pada badan kaca dan edema diskus.
b. Stadium Lanjut
Pada stadium ini, gejala yang muncul menyerupai gejala yang terdapat
pada iridosiklitis akut.
Gejala klinis antara lain injeksi yang bergabung seperti sel dan protein di kamera
okuli anterior dan korpus vitreous, edema papiler dan retina, dan inflamasi
granulomatosa pada koroid.
2.6. Diagnosa
Tidak ada tes yang khusus untuk mengidentifikasi Oftalmia Simpatika.
Namun riwayat trauma pada mata dan operasi dikombinasi dengan penemuan
inflamasi pada kedua mata menjadikan diagnosis simpatik oftalmia adalah
mungkin. Riwayat lengkap berserta pemeriksaan oftalmologi yang teliti seperti
pemeriksaan visus, tekanan mata, pemeriksaan inflamasi di mata. Tes khusus
seperti fluorescein angiography, ERG, EOG, indocyanine green angiography,
atau ultrasonografi mungkin dilakukan. Pemeriksaan darah rutin, foto toraks
mungkin dilakukan untuk menyingkirkan penyakit lain yang akan menimbulkan
manifestasi yang serupa seperti Oftalmia Simpatika seperti Vogt-Koyanagi-
Harada disease, sarcoidosis, intraocular lymphoma, and the white dot
syndromes.5,9
2.7. Diagnosa Banding10
1. Vogt-Koyanagi Harada Syndrome
Salah satu bentuk uveitis granulomatosa yang jarang terjadi. Dengan
gambaran klinis: uveitis yang mengenai semua jaringan uvea,kelainan
pada kulit, dan terdapat gejala saraf pusat.
8
2. Sarcoidosis
Penyakit yang mengenai jaringan lymphoid dimana memiliki gejala nyeri
pada bola mata, fotophobia, mata merah, uveitis granulomatosa atau dapat
terjadi non garanulomatosa, terbentuk mutton fat keratic precipitate,
terdapat Busacca nodules pada stroma iris dan Koeppe nodules pada
pinggir pupil.
3. Penyakit Bechet
Merupakan kelainan multisistem idiopatik yang memiliki gambaran klinis
sistemik dan uveitis. Sering diasosiasikan dengan adanya hipersensitivitas
dan ekspresi dari HLA. Gambaran klinis yang paling sering adalah ulkus
oral, ulkus genital, lesi pada kulit, lesi pada mata, tes pathergy positif.
Sedangkan pada mata sendiri, dapat terjadi panuveitis nongranulomatosa
bilateral yang berat.
2.8. Penatalaksanaan
1. Profilaksis
Eviserasi dan enukleasi merupakan pilihan sebagai tindakan profilaksis
simpatik oftalmia. Terdapat perdebatan antara pemilihan teknik mana yang
lebih baik dilakukan pada pasien dengan resiko terjadinya simpatik
oftalmia. Beberapa berpendapat bahwa apabila mata terkena trauma yang
kuat sehingga mengakibatkan hilangnya fungsi penglihatan total maka
sebaiknya dilakukan enukleasi pada mata tersebut. Beberapa juga
berpendapat bahwa apabila dilakukan eviserasi saja pada mata, tindakan
ini tidak akan sepenuhnya menghilangkan resiko simpatik oftalmia pada
mata yang lain walaupun eviserasi menghasilkan tampilan kosmetik yang
lebih baik sehingga dua hal ini menimbulkan perdebatan.11
Pada saat sekarang ini telah diketahui bahwa autoimmune genetic
disorder merupakan hal yang berperan dalam timbulnya simpatik oftalmia,
sehingga tidak hanya trauma yang menjadi faktor penting tetapi keadaan
genetik seseorang juga sangat berpengaruh, hal inilah yang menjadi
pertimbangan dalam memilih tindakan yang akan dilakukan.11
9
Pada kenyataannya, kedua teapi ini membawa hasil yang sama
baiknya, tetapi pemilihan terapi pada simpatik oftalmia sebaiknya juga
mempertimbangkan nilai estetika tidak hanya nilai kuratif. Dengan
pertimbangan inilah dianggap bahwa eviserasi merupakan pilihan yang
lebih baik pada pasien yang berpotensi untuk timbul simpatik oftalmia
paska trauma, kecuali didapati hal yang menjadi indikasi dilakukan
enukleasi seperti berikut:11
a. Mata terkena trauma penetrasi yang hebat
b. Terdapat jaringan uvea yang prolaps
c. Epifora dan injeksi perikorneal yang tetap ada setelah 14 tahun dan
tanpa perbaikan
d. Adanya benda asing
Eviserasi pada mata yang rusak dapat menghindari timbulnya
simpatik oftalmia jika dilakukan dalam waktu 9 sampai 14 hari setelah
cedera atau operasi, tetapi jika hal ini menetap, atau selama 2 minggu tidak
terdapat perubahan dan timbul keluhan yang semakin berat pada mata
yang sebelumnya sehat, enukleasi sebaiknya dilakukan karena ini
menunjukkan proses inflamasi masih terus berlangsung pada mata yang
rusak.11
2. Simptomatis
Pemberian kortikosteroid secara sistemik kemudian diteruskan dengan
pemberian kortikosteroid dosis maintenance dengan tapering off.
Pemberian preparat ini dapat menekan inflamasi namun pada pemakaian
jangka panjang bisa menyebabkan kenaikan drainase yang bisa
menimbulkan katarak posterior. Pemakaian secara topikal bisa menaikkan
tekanan intraokular sehingga dapat menyebabkan terjadinya glaukoma
sekunder.9
Pengobatan Oftalmia Simpatika meliputi obat sikloplegia, steroid
tipikal, dan prednison tablet. Dosis kortikosteroid awal 1-1,5 mg/kg/hari
atau maksimal 60 mg. Setelah kondisi terkontrol, dosis dapat diturunkan
10
(tapering off) sampai dosis maintainance (10 mg) selama sekurang-
kurangnya 3 bulan dimana kesuksesan terapi harus dievaluasi. Jika sukses,
terapi akan diteruskan dengan dosis 10mg/hari. Obat-obat imunosupresif
seperti siklosporin, methotrexate, azathioprine, mycophenolate atau
siklofosfamid digunakan bila kortikosteroid menjadi tidak efektif
mengontrol inflamasi atau bila dosis prednison yang diperlukan untuk
mensupresi inflamasi lebih tinggi dari 10mg/hari.2,9
Enukleasi pada mata yang rusak dapat mencegah Oftalmia
Simpatika jika dilakukan dalam waktu 9 sampai 14 hari setelah cedera atau
operasi. Setelah 14 hari, enukleasi harus dilakukan jika mata tersebut tidak
mempunyai potensi untuk sembuh, karena mata ini akan memberat
inflamasi pada mata yang sehat. Jika simpatik oftalmia terjadi, terdapat
bukti dimana perkembangan klinis dapat dihalang jika mata yang cedera
dilakukan enukleasi dalam 2 minggu bermulanya penyakit. Hal ini harus
dilakukan jika mata yang cedera memiliki penglihatan yang masih baik
atau jika kondisi talah berlangsung lebih dari 2 minggu.9
2.9. Komplikasi
Oftalmia Simpatika memiliki gambaran klinis yang kronis dan dapat
mengakibatkan komplikasi uveitis yang berat seperti glaukoma sekunder, katarak
sekunder, retinal detachment, penyusutan bola mata, dan yang paling parah dapat
menyebabkan kebutaan.4
2.10. Prognosis
Penyakit ini mempunyai prognosis yang buruk jika tidak segera dilakukan
pengobatan dimana dapat terjadi penurunan penglihatan yang tajam hingga
terjadinya kebutaan. Tetapi ketika dilakukan pengobatan yang tepat serta
diagnosis yang tepat maka pasien dapat mempunyai kesempatan untuk sembuh
dan tidak terjadi penurunan visus.9,11
11
BAB 3
KESIMPULAN
Oftalmia Simpatika merupakan kondisi yang jarang terjadi tetapi akan
menyebabkan respon terhadap uvea di kedua mata. Hal ini terjadi karena
meskipun trauma hanya merusak pada satu mata, respon inflamasi yang terjadi
pada simpatik oftalmia dapat mengakibatkan mata yang lain ikut terlibat dalam
proses. Oftalmia Simpatika dapat terjadi setelah adanya trauma atau riwayat
pembedahan pada mata yang berlawanan, hal ini diperberat apabila pada trauma
terjadi perforasi yang mengakibatkan timbulnya perlengketan terhadap jaringan
disekitarnya.
Mata yang cedera atau “exciting eye” akan tetap mengalami inflamasi
berat sampai beberapa minggu atau tahun, sedangkan mata yang tidak cedera atau
“sympathising eye” akan ikut terkena. Inflamasi pada sympathising eye biasanya
diawali di bagian korpus siliaris dan menyebar ke anterior dan posterior, yang
kemudian akan membentuk granulamatosa.
Anamnesis dan pemeriksaan oftalmologi yang cepat dan tepat
meningkatkan prognosa baik pada kasus ini. Pengobatan yang cepat berupa
eviserasi pada mata yang kehilangan fungsi penglihatan perlu dilakukan untuk
mengeliminasi antigen, sehingga mata yang lainnya tidak mengalami penurunan
fungsi.
12
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas, Sidarta. Trauma Mata. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Balai Penerbit
FKUI: Jakarta. 2005. Hal 177, 259
2. Eva P.R & Whitcher J.P. Vaughan & Asbury's General Ophthalmology. 17th
Edition. McGraw-Hill Companies. 2007.
3. Galloway P.H, Galloway N.R, & Browning A.C. Common Eye Disease and
Their Management. 3rd ed. Springer-Verlag. 2006.p132-133, 143-144.
4. Lang G.K. Ophtalmology: A Short Textbook. Georg Thieme Verlag. 2000
Stuttgart, Germany. p214-215.
5. Chan C.C. Sympathetic Ophthalmia. American Uveitis Society. 2002.
Diunduh dari http://www.uveitissociety.org/pages/disease/so.html (Diakses
17 November 2011)
6. Khurana A.K. Comprehensive Ophthalmology. 4th ed. New Age International
(P) Ltd., Publishers. 2007. p413-414
7. Ward T.P. Sympathetic Ophthalmia. Uniformed Services University of the
Health Sciences. Bethesda, Maryland. 1999. P265-279
8. Emiko Furusato et all. Inflamatory cytokine and chemokine expression in
sympathetic ophthalmic : a pilot study. National Institute of Health. 2011.
Diunduh dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3140018/pdf/
nihms308723.pdf (Diakses 17 November 2011)
9. Langston D.P. Manual of Ocular Diagnosis and Therapy. 6th ed. Chichago :
Lippincott Williams & Wilkins. 2008. p242-243.
13
10. Tien Y.W, Li W.V. Topic 8 : Sympathetic Ophthalmia. In : Tien Y.W, Li
W.V. The Ophthalmology Examinations Review. Singapore : World
Scientific. 2001. p350-353
11. Manandhar A., Sympathetic Ophthalmia: Enucleation or Evisceration?.
Tilganga Institute of Ophthalmology Nepal. 2011. Diunduh dari :
http://www.nepjol.info/index.php/NEPJOPH/article/view/5274/4384 (Diakses
17 November 2011)
14