nurhidayah; sejarah peradilan islam di malaysia
DESCRIPTION
Mahkamah Syariah MalaysiaTRANSCRIPT
SEJARAH PERADILAN ISLAM DI MALAYSIA
Makalah dipresentasikan dalam Seminar Kelas Mata Kuliah
Sejarah Hukum Islam di Melayu Nusantara Semester III
Program Pascasarjana STAIN Watampone
Tahun Akademik 2014/2015
oleh :
Nurhidayah NIM 130101036
Dosen / Pemandu :
Prof. Dr. H. Ali Parman, M.A.
PROGRAM PASCASARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN )
WATAMPONE
2014
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penerapan hukum Islam di berbagai negara yang berpenduduk muslim mempunyai
corak serta sistem yang berbeda antara negara satu dengan yang lainnya. Di negara yang
mayoritas penduduknya beragam Islam berbeda nuansanya dengan negara yang relatif
berimbang antara setiap pemeluknya, misalnya negara tersebut memiliki pluralitas
agama, dominasi penguasa atau political will juga amat berpengaruh terhadap
kebijaksanaan hukum suatu negara. Karenanya implementasi hukum Islam di negara-
negara muslim bukan hanya terletak pada seberapa banyak penganut Islam tetapi juga
ditentukan oleh sistem yang dikembangkan oleh negara tersebut.
Malaysia misalnya, sebagai salah satu negara yang mempunyai posisi cukup
penting di dunia Islam karena kiprah keislamannya. Berbagai proses Islamisasi di
negeri jiran ini tentu tidak terjadi begitu saja, melainkan didahului oleh pencarian dan
pergulatan yang panjang, meskipun penduduknya tidak sebanyak penduduk di Indonesia,
bahkan hampir separuh dari keseluruhan warganya adalah non-muslim yang didominasi
oleh etnik Cina dan India. Namun demikian Malaysia telah tampil di pentas dunia
internasional dengan nuansa serta simbol Islam yang begitu melekat, termasuk dalam
kebijakan perundang-undangan banyak diwarnai oleh jiwa keislaman.
Secara historis bangsa Melayu (Malaysia) berada pada persimpangan jalur
perdagangan Asia Tenggara, semenananjung Melayu menjadi pusat berkumpulnya
berbagai pengaruh agama dan kebudayaan. Di sinilah para pedagang dari India, Arab, dan
Cina serta kaum penjajah Portugis, Belanda dan Inggris membawa serta ajaran Hindu,
Budha, Kristen dan Islam ke Asia sehingga membentuk mozaik kebudayaan yang sangat
kaya warna.
Dua proses kebudayaan yang paling kuat membentuk wilayah tersebut adalah
Indianisasi yang berlangsung selama berabad-abad yang kemudian disusul dengan
Islamisasi dari abad XIV di saat para pedagang muslim dan para sufi dari Arab dan India
2
mengajak para penguasa (sultan) Melayu untuk memeluk agama Islam dan menyebarkan
Islam ke seluruh wilayah Asia Tenggara.1
Sebelum datangnya penjajah, hukum Islam yang berlaku di Malaysia adalah
hukum Islam bercampur hukum adat.2 Sistem perundang-undangan yang berlaku di
negara-negara Melayu sebelum kedatangan Inggris, dikenal dengan sebutan
adat pepateh untuk kebanyakan orang-orang Melayu di negeri Sembilan dan beberapa
kawasan Naning di Malaka. Untuk di bagian-bagian lain di Semenanjung, dikenal sebagai
adat temenggung.3
Mengingat negara Malaysia juga merupakan bekas daerah jajahan Portugis dan
Belanda yang kemudian disusul dengan kedatangan Inggris pada akhir abad ke-18,
tentunya hal tersebut nantinya akan berpengaruh terhadap produk hukum yang dibuat
Malaysia. Artinya, tidak menutup kemungkinan hukum yang dibawa penjajah juga
membumi di Malaysia. Ketika kolonial Inggris berkuasa di Malaysia, penerapan
perundang-undangan Inggris secara berangsur-angsur menggeser dan menggantikan
undang-undang Islam yang telah berlaku.
Dari beberapa uraian di atas merupakan pijakan penulis untuk membahas sejarah
peradilan Islam di Malaysia, tentunya juga harus melihat kebelakang akan kondisi sosio
politik yang berkembang di Malaysia yang kesemuanya itu merupakan faktor penentu
dari produk hukum yang dihasilkan, terutama bagi masyarakatnya yang beragama Islam
yang terikat pada sistem peradilan Islam di Malaysia.
Sebagai sesama bangsa dan negara serumpun yang memiliki kemiripan secara
geografis, historis, dan kultural, umat Islam Indonesia perlu mengetahui keberadaan
Malaysia lebih jauh, termasuk persoalan penerapan hukum Islam di negara tersebut.
Dalam hal ini, tentunya sistem peradilan Islam yang diterapkan oleh Malaysia memiliki
1John L. Esposito dan John O.Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim (Jakarta: Mizan,
1999), h. 165.
2Khoirudin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara (Jakarta: INIS, 2002), h. 62
3Abdul Monir Yaacob, Pelaksanaan Undang-Undang Islam dalam Mahkamah Syariah dan
Mahkamah Sivil di Malaysia, (Kuala Lumpur: IKIM, 1995), h. 8-9.
3
bentuk dan corak tersendiri yang layak dijadikan sebagai bahan komparatif terhadap
dinamika tatanan hukum Islam, khususnya dalam perkembangan peradilan Islam di tanah
air.
Makalah ini akan memfokuskan pembahasan pada masalah sistem peradilan Islam
di Malaysia, termasuk di dalamnya meliputi profil negara Malaysia, yang mencakup
sejarah dan periode awal Islam dan perkembangan Islam di Malaysia. Pada makalah ini
juga akan membahas beberapa referensi prihal tatanan struktur peradilan yang
diberlakukan di Malaysia, mulai dari pengadilan tingkatan paling rendah hingga pada
tingkatan pengadilan tinggi dan banding. Secara, khusus juga membahas masalah sistem
dan sejarah peradilan Islam di Malaysia, khususnya Mahkamah Syari’ah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka penulis akan
membahas hal-hal berkaitan dengan topik tersebut, sebagai berikut :
1. Bagaimana sejarah singkat Malaysia dan perkembangan Islam di Malaysia?
2. Bagaimanakah sejarah kehakiman Islam (mahkamah syari’ah) Malaysia?
3. Bagaimanakah sistem peradilan mahkamah syari’ah di Malaysia?
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Singkat Malaysia dan Perkembangan Islam di Malaysia
Malaysia adalah salah satu negara muslim di kawasan Asia Tenggara,
dengan ibu kota Kuala Lumpur, terletak di semenanjung Malaka serta sebagian
Kalimantan Utara. Luas wilayahnya sekitar 333.647 km² dengan jumlah penduduk
kurang lebih 18.239.000 jiwa.1 Mayoritas penduduknya adalah muslim, sekitar
53 %, etnik Cina 35 % dan India 10%. Bahasa resmi adalah bahasa Melayu dan
agama Islam merupakan agama resmi di Malaysia.
Malaysia merupakan kerajaan federal yang terdiri dari tiga belas negara
bagian yang meliputi daerah semenanjung Malaka, yakni Johor, Malak, Pahang,
Negeri Sembilan, Selangor, Perak, Trengganu, Kelantan, Penang, Kedah, dan
Perlis yang terletak di Malaysia Barat dan Malaysia Timur yang terdiri Sabah dan
Serawak yang terletak di Kalimantan bagian Utara. Federasi ini terbentuk pada
tanggal 16 September 1963.2 Kepala negara Malaysia adalah seorang raja dengan
gelar “Yang Dipertuan Agung”. Pemerintahan berada di tangan Perdana Menteri
yang berhak membentuk kabinet.3
Keadaan alam wilayah negara ini terdiri dari dua bagian, Malaysia Barat
merupakan sebuah Semenanjung yang terpanjang di dunia, beriklim tropis yang
dipengaruhi angin musim Barat Daya dan musim Timur Laut, suhu rata-rata 20ºC.
Dan, Malaysia Timur tanahnya bergunung-gunung terutama Sabah dengan puncak
1Cyril Glasse, The Concise Encyclopedia of Islam, diterjemahkan oleh Ghuffron A.
Mas’adi dengan judul Ensiklopedi Islam (Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999),
h. 77.
2Malaysia merupakan negara monarki konstitusional federal dan demokrasi parlementer
yang merdeka dari kolonial Inggris. Malaya merdeka sejak 31 Agustus 1957, Serawak pada
tanggal 22 Juli 1963, Kalimantan Utara pada tanggal 31 Agustus 1963. Sedangkan federasi dari
beberapa negara bagian Malaysia, pada tanggal 16 September 1963.
3Ibid.
5
tertinggi gunung Kinabalu (4.101 m). Suhu tertinggi 31ºC suhu terendah 20ºC
dengan curah hujan yang bervariasi tergantung pada tinggi tempat dan musim.
Adapun sumber daya alam adalah timah, biji besi, bauksit, minyak, dan gas. Sektor
ekonomi terpenting adalah pertanian, yang menghasilkan beras, kelapa sawit,
kopra, karet dan kayu.
Jika dilihat dari sejarah, maka kedatangan Islam dan proses Islamisasi
berlangsung melalui jalur perdagangan atas peranan para pedagang muslim dan
muballig dari Arab dan Gujarat. Proses Islamisasi ini berjalan baik dengan
berdirinya kerajaan Islam yang pertama di Semenanjung Malaka yaitu kerajaan
Islam Kalantan (pertengahan abad ke-12).4 Pada abad ke-15 kerajaan Islam
Malaka berdiri dengan rajanya yang pertama adalah Parameswara Iskandar Syah,
yang memeluk Islam pada tahun 1414 M dengan gelar Sultan Muhammad Syah.
Kerajaan ini tercatat sebagai kerajaan pertama di Malaysia yang memil iki undang-
undang tertulis yang disebut dengan “Undang-Undang Malaka”.5
Sejak tahun 1980-an Islam di Malaysia mengalami kebangkitan yang
ditandai dengan semaraknya kegiatan dakwah dan kajian Islam oleh kaum
intelektual.6 Hal ini mulai dirintis oleh seorang antropolog Canada, Juqith Nagata
dalam karyanya The Flowering of Malaysian Islam. Serta beberapa karya lain
seperti Islamic Resurgence oleh Candra Muzaffar, Islamic Revivalisme in Malaysia
oleh Zainal Anwar. 7
4Kerajaan Malaka merupakan kerajaan Islam terkuat dan berpengaruh besar dalam
menyebarkan Islam di Malaysia, juga ditempatkan sebagai pusat perdagangan dan kubu keimanan.
Lihat, Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedia Islam (Cet. III; Jakarta: Ikhtiar Baru Van
Hoeven, 1991), h. 138.
5Ibid.
6Ibid., h. 139.
7Omar Farouk, “Penelitian Sosial dan Kebangkitan Islam di Malaysia”, dalam Zaiful
Muzani, Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara (Cet. I; Jakarta: LP3ES, 1993),
h. 289.
6
Kedatangan Islam ke Malaysia tidak berbeda dengan kedatangan Islam ke
Indonesia, yaitu melalui Selat Malaka. Karena, Selat Malaka merupakan jalur
perdagangan laut yang sudah lama dilayari oleh pedagang-pedagang Arab, Parsi,
dan India. Sebagai sebuah lintasan perdagangan tentu telah terjadi kontak antara
kaum pendatang, yakni para pedagang dengan kaum pribumi. Sebagaimana
diketahui secara umum, sebelum Islam datang ke tanah Melayu, orang-orang
Melayu adalah penganut animisme, hinduisme, dan budhiesme. Namun sejak
kedatangannya, Islam secara berangsur-angsur mulai diyakini dan diterima sebagai
agama baru oleh masyarakat Melayu Nusantara.
Sejak periode awal di Malaysia, Islam telah mempunyai ikatan yang erat
dengan politik dan masyarakat Melayu. Islam bagi orang Melayu, bukan hanya
sebatas keyakinan, tetapi juga telah menjadi identitas mereka, dan menjadi dasar
kebudayaan Melayu. Pakaian tradisional Melayu, misalnya telah disesuaikan
dengan apa yang dianjurkan oleh Islam. Berbaju kurung dan rok panjang bagi
wanita yang disertai oleh tutup kepala dengan maksud untuk menutup aurat.
Di sepanjang sejarah, asosiasi yang sangat erat antara Islam dengan
kebudayaan dan identitas Melayu ini merupakan sesuatu yang diterima secara
umum. Sejak membuang kepercayaan animisme dan memeluk Islam selama masa
kerajaan Malaka (abad XV), bangsa Melayu tak pernah berubah agama, yakni
beragama Islam. Pengaruh Islam pun berakar dalam pada berbagai dimensi
kehidupan Melayu.8
Adanya penjajahan Melayu oleh Inggris telah menyebabkan melemahnya
nilai-nilai Islam yang telah meresap dalam tatanan masyarakat tradisional Melayu.
Penjajahan itu tidak hanya terbatas pada aspek ekonomi dan politik saja, tetapi
termasuk juga penjajahan pikiran dan kebudayaan. Kolonial Inggris membuat
8Hamid Jusoh, “Pemakaian Undang-Undang Islam Kini dan Masa Depannya di Malaysia”,
dalam Ahmad Ibrahim, Al-Ahkam; Undang-Undang Malaysia Kini (Kuala Lumpur, Dewan
Bahasa dan Pustaka, 1990), h. 90.
7
pemisahan yang jelas antara agama dan negara. Pelaksanaan hukum Islam di
negara-negara bagian Malaysia sebelum kemerdekaan telah berubah di bawah
pengaruh Inggris. Inggris menggantikan sistem hukum Islam dengan sistem hukum
yang sesuai dengan keinginannya. Sistem pemerintahan Islam yang disebut
kesultanan juga mengalami kemunduran akibatnya tidak lagi mampu memainkan
perannya sebagai pelindung penyebaran agama Islam sebagaimana yang pernah
terjadi sebelumnya. Sepanjang masa penjajahan tersebut, dunia Melayu mengalami
“westernisasi”(pembaratan) dan “deislamisasi” sekaligus.9
Secara historis, Islam sudah menjadi bagian dari wilayah-wilayah
tradisional Melayu sejak zaman kesultanan Malaka. Islam pun berkembang pesat,
meskipun cenderung tidak stabil. Dari zaman kolonial sampai tercapainya
kemerdekaan, islamisasi orang-orang Melayu berlangsung secara evolusioner, tidak
merata, namun berjalan dinamis. Ini disebabkan karena pengaruh penjajahan
Inggris. Di samping itu, pengaruh modernisasi sedikitnya telah membawa sikap
pro-kolonialisme, baik di kalangan warga yang berpendidikan sekuler maupun
agama. 10
Dalam konstitusi Malaysia, Islam diakui sebagai agama resmi negara. Pasal
3 ayat 1 menegaskan “Islam is the religion of the federation, but other religions
may be peace and harmony in any part of the federation” Islam adalah agama
federasi namun pada saat yang sama, konstitusi (UU) memberikan kebebasan
beragama kepada komunitas non-muslim. Setiap warga negara berhak menjalankan
agamanya, memiliki kekayaan, mendirikan sekolah-sekolah agama, mengurusi
perkara-perkaranya sendiri.11
9Ibid., h. 93.
10Lihat, John L. Esposito dan John O. Volt, Islam and Democracy, diterjemahkan oleh
Rahman Astuti dengan judul Demokrasi di Nagara-Negara Muslim Problem dan Prospek (Cet. I;
Bandung: Mizan, 1999), h. 166.
11Jusoh, op. cit., h. 88. Lihat juga, Lembaga Penyelidikan Undang-Undang, Perlembagaan
Persekutuan (Kuala Lumpur: Berlian, 1996), h. 2
8
Pengakuan konstitusi bahwa agama Islam merupakan agama resmi negara
tidak memberi ruang yang luas untuk melaksanakan undang-undang berdasarkan
Islam, bahkan konstitusi tetap menjadi undang-undang tertinggi federal dan setiap
undang-undang hendaklah disesuaikan dengan ketentuan konstitusi. Terlepas dari
keterbatasan implikasi dari ketentuan konstitusi Malaysia tentang posisi Islam
sebagai agama resmi negara, tentunya pengakuan negara atas Islam sebagai agama
resmi negara turut mendukung menguatnya Islam di Malaysia.12
Walaupun beberapa masalah telah diatur dalam hukum Islam di Malaysia,
namun hukum Inggris tetap diberlakukan pada sebagian besar legislasi dan
yurisprudensi. UU Hukum Perdata 1956 menyebutkan bahwa jika tidak didapatkan
hukum tertulis di Malaysia, pengadilan perdata harus mengikuti hukum adat
Inggris atau aturan lain yang sesuai. Dengan demikian hukum Islam hanya berlaku
pada wilayah yang terbatas, yaitu yang berhubungan dengan keluarga dan
pelanggaran agama. Dalam hukum keluarga, pengadilan perdata tetap memiliki
yuridiksi, seperti dalam kasus hak milik, warisan, serta pemeliharan anak. Bila
terdapat pertentangan antara pengadilan perdata dan syari’ah, maka kewenangan
peradilan perdata lebih diutamakan.13
B. Sejarah Kehakiman Islam (Mahkamah Syari’ah) Malaysia
Malaysia merupakan negara bekas jajahan Inggris, sebagai bekas jajahan
Inggris, Malaysia tetap mempertahankan tradisi hukum kebiasaan Inggris
(Common Law Sistem ) di berbagai negara federasi. Meskipun demikian, Malaysia
tidak menghilangkan hukum asli yang notabene sudah ada jauh sebelum hukum
Inggris masuk ke dalam tatanan hukum negara Malaysia, yaitu hukum Islam dan
hukum adat.
12
Mohd. Foad Sakdan, Pengetahuan Asas Politik Malaysia (Cet. II; Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, 1999), h. 17.
13Ibid., h. 20. Lihat juga, Mahmood Zuhdi Abd. Majid, Pengantar Undang-Undang Islam
di Malaysia (Cet. II; Kuala Lumpur: Universiti Malaya, 2004), h. 106.
9
Hal ini disebabkan Malaysia ingin mempertahankan hukum yang sesuai
dengan nilai-nilai yang ada di masyarakatnya. Sehingga kesadaran hukum
senantiasa lebih mudah ditumbuhkan daripada merombak seluruh budaya hukum
dengan budaya yang baru dan hukum adat di berbagai kelompok penduduk asli.14
Mengingat komunitas masyarakat Malaysia sendiri terhimpun dari berbagai kultur,
budaya, tradisi dan agama, baik secara internal dari komunitas Melayu itu sendiri
maupun interaksi dari komunitas luar, seperti etnik Cina, Pakistan, India dan Arab.
Pada era Kesultanan Melayu Melaka (1400-1511), sistem kehakiman Islam
dipegang oleh seorang sultan sebagai pemegang kekuasaan kerajaan monarki.
Kedudukan seorang sultan berperan besar dalam kewenangan legislatif, eksekutif
maupun mahkamah. Lembaga kehakiman saat itu dikenal dengan sebutan
Mahkamah Balai yang terdiri dari ulama kadi sebagai pelaksana (penasehat balai)
yang berorientasi pada pentadbiran di Timur Tengah, sedangkan putusan akhir
tetap dipegang oleh seorang sultan. Pada era ini pengaruh kolonial Inggris di
Tanah Melayu mulai masuk pada tahun 1786 oleh Sir Francis Light di Pulau
Pinang dan Sir Stamford Raffles di Singapura.15
Pada era Kesultanan Melayu Lama (1511-1800), struktur mahkamah Islam
tidak jauh berbeda pada era Kesultanan Melayu Melaka. Peran penasihat yang
diemban seorang kadi (hakim setempat) tidak lagi menonjol. Para ulama (tokoh
agama) saat itu dapat juga berfungsi sebagai penasihat dalam perkara syari’at.
Karenanya, wadah lembaga pada era ini disebut sebagai “Mahkamah Masjid” yang
menyelesaikan perkara di surau-surau atau masjid.16
Di era kolonial Inggris (1800-1900), sistem kehakiman Islam di Malaysia
dikenal dengan sebutan Kehakiman Kesultanan Melayu Zaman Pertengahan. Pada
14Hamid Jusoh, Kedudukan Undang-Undang Islam dalam Pelembagaan Malaysia (Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1992), h. 22
15Ramizah Wan Muhammad, “Sejarah Pentadbiran Kehakiman Islam di Malaysia” dalam
Kanun; Jurnal Undang-Undang Malaysia, no. 21 (Maret 2009), h. 3.
16Ibid., h. 4.
10
era ini, posisi Mahkamah Balai dihapus oleh kolonial Inggris. Namun kedudukan
seorang sultan dalam menentukan keputusan perkara tetap dipertahankan. Hanya
saja, fungsi penasehatan saat itu harus dipegang oleh seorang mufti atau sya ikh
Islam yang berwenang menfatwakan dan merekomendasikan kebijakan atas sebuah
perkara. Finalisasinya tetap disampaikan oleh seorang sultan sebagai pemegang
kekuasaan. Pada era ini pula, fungsi mahkamah adat juga mulai difungsikan dan
diketuai oleh seorang hakim yang ditunjuk oleh kesultanan.17
Barulah pada tahun 1948, hierarki mahkamah di Malaysia dipengaruhi besar
oleh sistem peradilan bawaan kolonial Inggris. Pada tanggal 1 Pebruari 1948,
Court Ordinance 1948 diberlakukan seiring berdirinya negera-negara bagian
Malaysia. Posisi mahkamah syari’ah pun merupakan lembaga tingkat rendah dalam
tatanan hukum yang diberlakukan pihak kolonial di Malaysia. Kedudukan
mahkamah syari’ah juga diberlakukan khusus hanya untuk warga negara Malaysia
yang beragama Islam. Kedudukan tertinggi bukan lagi dipegang oleh seorang
sultan, melainkan oleh mahkamah agung sebagai lembaga otoritas kolonial.18
Setelah Malaysia merdeka dari penjajahan tahun 1957, sistem pemerintahan
berubah dari monarki menjadi negara federal, monarki konstitusi dan demokrasi
parlementer. Ketentuan tersebut juga menyatakan Islam sebagai agama negara
namun dengan tetap menghormati kebebasan beragama. Undang-undang dasar ini
menyediakan kerangka cabang-cabang pemerintahan eksekutif, parlemen, dan
yudikatif.19
Sistem peradilan pun di dalam berhukum negara Malaysia dibagi dan
disesuaikan dengan nilai-nilai yang ada di masyarakatnya.
17Ibid., h. 5.
18Hierarki mahkamah berdasarkan Akta Mahkamah Rendah 1948, yaitu mahkamah agung,
mahkamah sesyen, mahkamah majistret dan mahkamah penghulu. Lihat, Ahmad bin Ibrahim dan
Ahilemah binti Joned, Sistem Undang-Undang di Malaysia (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka, 1985), h. 23.
19Ahmad Ibrahim, “Perkembangan Kodifikasi Hukum Islam di Malaysia” dalam Sudirman
Teba (ed)., Perkembangan Terakhir Hukum Islam di Asia Tenggara: Studi Kasus Hukum Keluarga
dan Pengkodifikasiannya (Bandung: Mizan, 1993), h. 100.
11
Sistem tatanan perundang-undangan Malaysia mengacu pada empat sumber
yaitu : hukum tertulis, hukum kebiasaan, hukum Islam dan hukum adat.20
Hukum
kebiasaan terdiri dari hukum kebiasaan Inggris dan peraturan persamaan hak yang
telah dikembangkan pengadilan Malaysia, yang di dalamnya terdapat kemungkinan
adanya pertentangan dengan hukum tertulis dan juga penyesuaian-penyesuaian
kualifikasi dan keadaan lokal yang dianggap pantas.
Dalam sistem perundangan di Malaysia pasca merdeka, keberadaan
mahkamah syari’ah diubah mejadi mahkamah negeri-negeri (federal). Sistem
pengadilan secara mendasar bersifat federal. Baik hukum federal maupun negara
bagian dilaksanakan di pengadilan federal. Hanya pengadilan syari’ah yang
menggunakan sistem hukum Islam, bersama dengan pengadilan pribumi di Sabah
dan Sarawak, yang berurusan dengan hukum adat. Pada tahun 1980-an, mahkamah
syari’ah terpisah dari Majlis Agama Islam dan kekuasaan peradilan Islam terbagi
menjadi tiga tingkatan, yaitu mahkamah rayuan syari'ah, mahkamah tinggi syari'ah
dan mahkamah rendah syari'ah.21
Terkait dengan perkara syari’ah, di Malaysia dikenal pengadilan syari’ah
yang memiliki yurisdiksi atas kaum muslim berkaitan dengan hukum perseorangan
dan keluarga misalnya pertunangan, pernikahan, perceraian, perwalian, adopsi,
legitimitasi, suksesi, beserta sedekah dan wakaf. Pengadilan syari’ah adalah
pengadilan di negara bagian yang agak terpisah dari pengadilan federal, yang tidak
20Ahmad dan Ahilemah, op. cit., h. 46. Lihat, Lembaga Penyelidikan Undang-Undang,
Perlembagaan Persekutuan (Kuala Lumpur: Berlian, 1996), h. 135
21Mahkamah rayuan syari'ah merupakan pengadilan agama tingkat kasasi yang
berkedudukan di ibukota negara. Mahkamah syari’ah tinggi adalah lembaga peradilan Islam
tingkat banding yang berkedudukan di masing-masing negara bagian (provinsi). Sedangkan
mahkamah rendah syari’ah adalah peradilan agama tingkat pertama. Pada masa kesultanan,
kedudukan mahkamah syari'ah merupakan bagian dari Majlis Agama Islam (semacam departemen
agama dan MUI), lalu berpisah dan bergabung dalam Jabatan Kehakiman Syariah Malaysia
(semacam departemen kehakiman atau mahkamah agung) yang ditangani langsung oleh perdana
menteri. Selangor pun menjadi negara bagian pertama memisahkan diri dari MAI melalui
Enakmen No. 2 Pentadbiran Agama Islam tahun 1989, disusul oleh negara bagian lainnya, seperti
Negeri Sembilan dan Pahang, tahun 1991.
12
memiliki yurisdiksi apapun dalam pengadilan syari’ah. Artinya, pengadilan federal
sama sekali tidak memiliki yurisdiksi dalam perkara-perkara syariah yang menjadi
kewenangan pengadilan syariah. Yurisdiksi pada hukum pidana terbatas pada kaum
muslim yang melanggar hukum syari’ah di mana pelaku dapat dikenai hukuman
maksimal 3 tahun penjara, dan denda sebesar 5.000 Ringgit,22
hukum cambuk
maksimal 6 kali atau gabungan atas dua atau lebih.23
C. Sistem Mahkamah Syari’ah di Malaysia
Walaupun beberapa masalah telah diatur dalam hukum Islam di Malaysia,
namun hukum Inggris tetap diberlakukan pada sebagian besar legislasi dan
yudisprudensi. Undang-Undang Hukum Perdata 1956 menyebutkan bahwa jika
tidak didapatkan hukum tertulis di Malaysia, pengadilan perdata harus mengikuti
hukum adat Inggris atau aturan lain yang sesuai. Dengan demikian hukum Islam
hanya berlaku pada wilayah yang terbatas, yaitu yang berhubungan dengan
keluarga dan pelanggaran agama.24
Upaya melaksanakan hukum Islam selain bidang ibadah dan kekeluargaan
(perkawinan, perceraian, kewarisan) di Malaysia saat ini merupakan fenomena
kultural umat yang latar belakangnya dapat dilihat dari berbagai segi. Di
antaranya ialah bahwa hukum Islam telah menjadi hukum yang hidup di dalam
masyarakat yang beragama Islam di Malaysia, karena hukum Islam berkembang
bersamaan dengan masuknya Islam di kawasan ini.
Jurisdiksi Mahkamah Syariah dibatasi hanya bagi muslim menyangkut
keyakinan dan kewajiban sebagai muslim, termasuk di antaranya pernikahan,
22
Hukuman yang diberikan atas kesalahan-kesalahan tersebut berupa denda tidak
diperbolehkan melebihi RM 5.000 dan atau penjara kurungan tidak lebih dari tiga tahun. Untuk
lebih jelasnya mengenai Undang-Undang Syariah yang mengatur masalah pidana tersebut dapat
merujuk pada Undang-Undang Syari’ah Wilayah-Wilayah Persekutuan. Lihat, Lembaga
Penyelidikan Undang-Undang, Undang-Undang Syari’ah Wilayah-Wilayah Persekutuan (Selangor:
International Law Book Services, t.t.), h. 5-28.
23Ahmad dan Ahilemah, op. cit., h. 69.
24Jusoh, op. cit.
13
warisan, kemurtadan, dan hubungan internal sesama umat. Tidak ada pelanggaran
perdata atau pidana berada di bawah jurisdiksi mahkamah syari'ah, yang memiliki
hierarki yang sama dengan Pengadilan Sipil Malaysia. Namun, dalam hukum
keluarga, pengadilan perdata tetap memiliki yuridiksi, seperti dalam kasus hak
milik, warisan, serta pemeliharan anak. Bila terdapat pertentangan antara
pengadilan perdata dan syari’ah, maka kewenangan peradilan perdata lebih
diutamakan.25
Pencantuman Islam sebagai agama resmi negara Malaysia boleh dikatakan
sebagai momentum tegaknya syari’at Islam di Malaysia di tengah gempuran
sekularisme panjang kolonialisme Barat di bumi Melayu Malaysia. Adapun
ketentuan mengenai undang-undang syariah secara khusus diatur dalam konstitusi
Malaysia. Konstitusi (Perlembagaan Persekutuan Malaysia) memberikan
kewenangan kepada negara-negara bagian, yaitu masing-masing negara bagian
diberi kuasa untuk membuat undang-undang Islam sendiri dan dalam
pelaksanaannya membentuk lembaga-lembaga terkait, seperti majlis-majlis agama
Islam, mahkamah syariah dan sebagainya.26
Negara-negara bagian melalui badan perundang-undangan masing-masing
berwenang membuat undang-undang syari’ah dan membentuk organisasi pembuat
dan pelaksana undang-undang seperti majelis-majelis agama Islam dan mahkamah-
mahkamah syari’ah. Undang-undang syari’ah diberikan kewenangan untuk
mengatur masalah hukum keluarga Islam (hukum perdata) dan pidana. Untuk
hukum keluarga (hukum perdata) kewenangan diberikan secara garis besar dapat
dijabarkan sebagai berikut :
25Zuhdi, op. cit.
26Undang-Undang Syari’ah Wilayah-Wilayah Persekutuan, op. cit., h. 22.
14
1. Pernikahan, mulai dari pertunangan, syarat-syarat perkawinan, maskawin, pencatatan
pernikahan, hak dan kewajiban suami isteri, perceraian, masa iddah, rujuk, status
anak, hak asuh anak, poligami, perwalian, pengangkatan anak dan adopsi.
2. Kewarisan, berkenaan dengan ahli waris dan masing-masing bagiannya;
3. Wasiat, berkenaan dengan syarat-syarat dan yang tidak boleh menerima wasiat serta
batalnya wasiat pengangkatan anak (adopsi), status anak, hak asuh anak, warisan,
dan wasiat. Sedangkan dalam bidang pidana seperti melaksanakan dan menghukum
pencabutannya;
4. Hibah;
5. Zakat; dan wakaf .27
Sedangkan dalam bidang pidana, kewenangan mahkamah syari’ah dalam hukum
keluarga bagi warga negara yang menganut agama Islam di Malaysia secara garis
besarnya dapat dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Kesalahan yang berhubungan dengan aqidah, seperti pemujaan salah, doktrin palsu,
mengembangkan doktrin agama, dan dakwaan palsu;
2. Kesalahan yang berhubungan dengan kesucian agama Islam dan institusinya, seperti
menghina ayat Alquran atau hadis dan menghina atau mengingkari pihak berkuasa
agama, tidak menunaikan sholat Jum’at, tidak menghormati Ramadhan, tidak
membayar zakat atau fitrah, menghasut supaya mengabaikan kewajiban agama,
berjudi dan minum yang memabukkan.
3. Kesalahan yang berhubungan dengan kesusilaan, pelacuran, persetubuhan luar nikah,
perbuatan sebagai persediaan untuk melakukan persetubuhan luar nikah, liwat
(sodomi), khalwat, orang lelaki berlagak seperti perempuan, perbuatan tidak sopan di
tempat umum;
4. Kesalahan-kesalahan seperti memberikan keterangan, maklumat atau pernyataan
palsu, memusnahkan atau mencemarkan masjid, atau surau, pemungutan zakat atau
27Undang-Undang Syari’ah Wilayah-Wilayah Persekutuan, op. cit., h. 27.
15
fitrah tanpa kuasa, pembayaran tak sah akan zakat atau fitrah, menghalang pasangan
yang sudah menikah dari pada hidup sebagai suami isteri, menghasut suami atau
isteri supaya bercerai atau mengabaikan kewajiban, menjual atau membenikan anak
kepada orang bukan Islam, qasaf, dan penyalahgunaan tanda halal.28
Kedudukan mahkamah syari’ah di Malaysia merupakan institusi kehakiman
yang menangani serta menjatuhkan hukuman kepada orang Islam yang berperkara
(perdata) dan pidana agama sesuai kewenangan yang telah ditetapkan. Adapun
urutan hierarki mahkamah syari’ah di setiap negara bagian adalah sebagai berikut :
1) Mahkamah Rendah Syariah yang berkedudukan di setiap kabupaten yang menangani
perkara-perkara untuk wilayahnya saja sebagai pengadilan tingkat pertama.
2) Mahkamah Tinggi Syari’ah, merupakan lembaga peradilan tingkat tinggi yang
berkedudukan di ibukota negara bagian (provinsi). Mahkamah ini diketuai oleh
seorang Qadhi Besar yang bertugas mengawasi dan mengatur semua Qadhi yang ada
di kabupaten (Mahkamah Rendah Syari’ah). Sedangkan wewenangannya meliputi
bidang jinayah (pidana) dan perdata yang telah diputuskan oleh Mahkamag Rendah
Syari’ah, dengan kata lain Mahkamah Tinggi Syari’ah adalah peradilan tingkat
banding.
3) Mahkamah Rayuan Syari’ah merupakan lembaga peradilan yang berdiri sendiri dari
tiga anggota, yaitu mufti kerjaan dan dua orang yang telah dilantik oleh Duli Yang
Maha Mulia Sultan. Lembaga peradilan ini berwenang untuk menerima dan
memutuskan perkara-perkara yang telah diputuskan oleh Mahkamah Tinggi Syari’ah,
dengan kata lain Mahkamah Rayuan Syari’ah merupakan pengadilan tingkat kasasi
dalam ruang lingkup mahkamah syari’ah di Malaysia.29
Mahkamah syari’ah mempunyai kekuasaan menjalankan undang-undang
syari'ah di setiap negara bagian. Namun kewenangan tersebut hanya terbatas pada
28Ibid., h. 29.
29Zuhdi, op. cit., h. 110.
16
hal-hal atau permasalahan yang melibatkan orang Islam saja. Ketentuan pasal 121
(1A) Pindaan 1989 menyatakan bahwa mahkamah-mahkamah yang disebutkan
dalam pasal (1) tidak boleh menangani perkara-perkara yang ada dalam kekuasaan
mahkamah syari’ah.30
Secara tidak langsung ketentuan tersebut menunjukkan supremasi undang-
undang syari’ah atas undang-undang lainnya. Karenanya, mahkamah sipil tidak
boleh menangani dan ikut campur dalam hal-hal atau permasalahan yang telah
dibicarakan dan diputuskan oleh hakim di mahkamah syari’ah. Begitu juga hal-hal
yang telah diputus di mahkamah syari’ah (rendah dan tinggi) dan ada upaya -upaya
banding, maka perkaranya tidak boleh diteruskan ke mahkamah sipil, tetapi harus
tetap di bawah kekuasaan mahkamah rayuan syari'ah.
Namun demikian terdapat beberapa kelemahan mendasar yang masih dapat
dijumpai, terutama dalam kekuasaan mahkamah syari’ah itu sendiri. Kelemahan
tersebut terlihat jika terjadi pertentangan antara undang-undang syari'ah yang
diubah di bawah kekuasaan negara bagian dengan ketentuan-ketentuan yang ada
dalam konstitusi Malaysia, maka dengan sendirinya undang-undang syari'ah di
negara bagian tersebut dibatalkan.
Selain itu ketentuan untuk melaksanakan hal-hal yang berkaitan dengan
orang Islam yang merupakan kekuasaan mahkamh syari’ah juga ikut terbatalkan.
Alasannya, undang-undang Islam tidak dapat dilaksanakan kecuali dengan
bersandar pada kuasa pemerintah. Sebagai contoh, mahkamah syari’ah tidak
berhak menangani masalah warisan, sekalipun berkaitan dengan harta orang Islam
dikarenakan ia berada di bawah kewenangan akta perjanjian dan akta pusaka kecil.
Hakim dalam hal ini hanya berfungsi untuk mengesahkan pembagian-pembagian
waris sesuai dengan ketentuan agama. Adapun pembagian harta warisan tidak
sesuai dengan ketentuan dengan hukum fara’id, hukuman dan denda yang dapat
30Lembaga Penyelidikan, op. cit., h. 165.
17
dijatuhkan oleh hakim dalam mahkamah syari’ah adalah tidak melebihi dari pada
RM 5000 atau tiga tahun penjara atau enam kali cambuk.31
Meskipun terdapat ketentuan di dalam Undang-Undang Persekutuan
(konstitusi Malaysia) bahwa Islam sebagai agama resmi negara dan ketentuan
untuk melaksanakan undang-undang syari'ah, tetapi pelaksanaannya jauh berbeda
dengan apa yang telah diamalkan pada zaman rasulullah Saw. maupun zaman
khulafa’ar-Rasyidin. Di zaman Rasulullah, pemakaian undang-undang syari'ah
dilaksanakan secara menyeluruh dan konsekuen. Namun di Malaysia penggunaan
undang-undang syari'ah terbatas pada masalah-masalah tertentu saja. Namun
dengan Undang-Undang Common Law Inggris, justeru mendapat tempat utama
walaupun menuai pro kontra. Selain sumber rujukan utama sistem perundang-
undangannya juga berbeda, karena sistem undang-undang Malaysia lebih
disandarkan pada undang-undang yang dibawa ole kolonial Inggris ketimbang
pada rujukan masa Rasul maupun sahabat yang notabene berazaskan Alquran dan
hadis.32
Implikasi dari sistem pemerintahan federal yang memberikan kekuasaan dan
kewenangan lebih besar kepada kerajaan negeri (negara bagian) dalam mengatur
negaranya, mahkamah syari’ah di Malaysia masih banyak ditentukan dan
bergantung kepada kebijakan politik dan hukum kerajaan negeri bersangkutan.
Kalau di negara bagian itu pemerintahannya menjaga dan menerapkan Islam dalam
kehidupan politik bernegara, maka mahkamah syariah akan maju dan berkembang
dengan pesat. Begitu pula sebaliknya. Masih banyak dijumpai gedung-gedung
mahkamah syari’ah yang meminjam, atau menyewa dan mengontrak bangunan
gedung lain, atau menempati bangunan gedung bersama-sama dengan lembaga-
lembaga lain seperti gedung Jabatan Majlis Agama Islam (semacam Kementerian
Agama dan MUI) atau gedung Urussetia (gedung pemerintahan).
31Ahmad dan Ahilemah, op. cit.
32Jusoh, op. cit., h. 41.
18
Sekalipun saat ini politik hukum pemerintahan Malaysia telah berubah dan
ingin menyeragamkan dengan menempatkan mahkamah-mahkamah syariah yang
ada di negara-negara bagian dalam kekuasaan dan kewenangan pemerintahan
Malaysia di pusat seperti Indonesia (Mahkamah Agung RI), di bawah sebuah
lembaga bernama Jabatan Kehakiman Syariah Malaysia, namun hierarki
mahkamah syari’ah di Malaysia saat ini belum sampai ke pusat (mahkamah
persekutuan). Peradilan tertinggi untuk mahkamah syariah hanya sampai pada
mahkamah rayuan syari'ah yang biasanya terletak di ibukota negara bagian
(kerajaan negeri).
19
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Malaysia terdiri dari masyarakat plural dengan keragaman penduduknya, akan
tetapi citra dan nuansa Islam sangat menonjol terutama dalam sistem politik dan
pemerintahan. Salah satu faktor penting lainnya yang turut memperkuat pengaruh, citra
dan nuansa Islam tersebut terkait erat dengan posisi Islam dalam konstitusi negara
ini. Islam merupakan sumber legitimasi bagi para sultan (penguasa) yang memegang
peran sebagai pemimpin agama, pembela iman, dan pelindung hukum Islam, sekaligus
pendidikan dan nilai-nilai adat.
Walaupun beberapa masalah telah diatur dalam hukum Islam di Malaysia, namun
hukum Inggris tetap diberlakukan pada sebagian besar legislasi dan yudisprudensi. UU
Hukum Perdata 1956 menyebutkan bahwa jika tidak didapatkan hukum tertulis di
Malaysia, pengadilan perdata harus mengikuti hukum adat Inggris atau aturan lain yang
sesuai. Dengan demikian hukum Islam hanya berlaku pada wilayah yang terbatas, yaitu
yang berhubungan dengan keluarga dan pelanggaran agama.
Dalam sistem perundangan di Malaysia pasca merdeka, keberadaan mahkamah
syari’ah diubah mejadi mahkamah negeri-negeri (federal). Sistem pengadilan secara
mendasar bersifat federal. Hanya pengadilan syari’ah yang menggunakan sistem hukum
Islam, bersama dengan pengadilan pribumi di Sabah dan Sarawak, yang berurusan dengan
hukum adat. Pada tahun 1980-an, mahkamah syari’ah terpisah dari Majlis Agama Islam
dan kekuasaan peradilan Islam terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu mahkamah rayuan
syari'ah, mahkamah tinggi syari'ah dan mahkamah rendah syari'ah.
20
Jurisdiksi Mahkamah Syariah (peradilan Islam) di Malaysia dibatasi hanya bagi
muslim menyangkut keyakinan dan kewajiban sebagai muslim, termasuk di antaranya
pernikahan, warisan, kemurtadan, dan hubungan internal sesama umat. Tidak ada
pelanggaran perdata atau pidana berada di bawah jurisdiksi mahkamah syari'ah, yang
memiliki hierarki yang sama dengan pengadilan sipil Malaysia. Namun, dalam hukum
keluarga, pengadilan perdata tetap memiliki yuridiksi, seperti dalam kasus hak milik,
warisan, serta pemeliharan anak. Bila terdapat pertentangan antara pengadilan perdata
dan syari’ah, maka kewenangan peradilan perdata lebih diutamakan.
B. Saran-saran
Berdasarkan uraian penulisan makalah di atas, maka penyusun dapat memberikan
saran sebagai berikut :
1. Sebagai insan akademis, tokoh agama dan praktisi hukum keislaman maupun pihak
birokrasi, termasuk Kementerian Agama RI bahwa telaah sistem peradilan Islam di
Malaysia perlu dikaji lebih mendalam mengingat Indonesia dan Malaysia memiliki
yang memiliki kemiripan secara geografis, historis, dan kultural. Karenanya, umat
Islam Indonesia perlu mengetahui keberadaan Malaysia lebih jauh, termasuk
persoalan penerapan hukum Islam di negara tersebut.
2. Penerapan hukum Islam melalui lembaga konstitusi di sebuah negara, termasuk
Indonesia harus terus digalakkan dalam segala aspek kehidupan. Tentunya, sebagai
penduduk mayoritas muslim, legislasi perundang-undangan di Indonesia lebih
memihak dan menyentuh kepentingan syari’at Islam. Meskipun Indonesia sendiri
bukan negara Islam, tetapi setidaknya regulasi perundang-undangan yang dibuat di
DPR harus lebih merespon kebutuhan umat Islam di Indonesia.
3. Peradilan Islam, baik di Indonesia maupun di Malaysia harus menjadi perhatian
21
utama dalam perkembangan dan perwujudan konstitusi bagi pemeluk agama Islam.
Sebab, baik Indonesia maupun Malaysia merupakan bekas negara kolonial, yang
tidak mustahil sistem dan struktur hukum yang berlaku sekarang ini masih sangat
berpangaruh kuat dalam pelaksanaannya. Padahal, secara historis, geografis, kultur
dan agama, kemungkinan adaptasi hukum peninggalan kolonial tersebut kurang tepat
dan kurang relevan dengan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia dan Malaysia
sebenarnya. Karena itu, perlu adanya pemikiran baru dalam rangka memperbaharui
hukum, baik secara perdata maupun pidana sesuai kemurnian jati diri bangsa
Indonesia yang agamis dan penuh dengan kearifan lokal.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Majid, Mahmood Zuhdi. Pengantar Undang-Undang Islam di Malaysia.
Kuala Lumpur: Universiti Malaya, 2004. Ahmad Ibrahim. “Perkembangan Kodifikasi Hukum Islam di Malaysia” dalam
Sudirman Teba (ed). Perkembangan terakhir Hukum Islam di Asia Tenggara: Studi Kasus Hukum Keluarga dan Pengkodifikasiannya. Bandung: Mizan, 1993.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedia Islam. Jakarta: Ikhtiar Baru Van
Hoeven, 1991. Esposito, John L. dan John O.Voll. Demokrasi di Negara-Negara Muslim.
diterjemahkan oleh Rahman Astuti. Demokrasi di Nagara-Negara Muslim Problem dan Prospek. Jakarta: Mizan, 1999.
Farouk, Omar. “Penelitian Sosial dan Kebangkitan Islam di Malaysia”, dalam
Zaiful Muzani. Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES, 1993.
Glasse, Cyril. The Concise Encyclopedia of Islam. Diterjemahkan oleh Ghuffron
A. Mas’adi, Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999. Ibrahim, Ahmad dan Ahilemah binti Joned. Sistem Undang-Undang di Malaysia.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1985. Jusoh, Hamid. “Pemakaian Undang-Undang Islam Kini dan Masa Depannya di
Malaysia” dalam Ahmad Ibrahim. Al-Ahkam; Undang-Undang Malaysia Kini. Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990.
_____. Kedudukan Undang-Undang Islam dalam Pelembagaan Malaysia. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1992. Lembaga Penyelidikan Undang-Undang. Perlembagaan Persekutuan. Kuala
Lumpur: Berlian, 1996. Lembaga Penyelidikan Undang-Undang. Undang-Undang Syari’ah Wilayah-
Wilayah Persekutuan. Selangor: International Law Book Services, t.t. Nasution, Khoirudin. Status Wanita di Asia Tenggara. Jakarta: INIS, 2002.
Ramizah Wan Muhammad. “Sejarah Pentadbiran Kehakiman Islam di Malaysia”
dalam Kanun; Jurnal Undang-Undang Malaysia, no. 21 (Maret 2009). Sakdan, Mohd. Foad. Pengetahuan Asas Politik Malaysia. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, 1999. Yaacob, Abdul Monir. Pelaksanaan Undang-Undang Islam dalam Mahkamah
Syariah dan Mahkamah Sivil di Malaysia. Kuala Lumpur: IKIM, 1995.