muhammad bin idris al-syafi'i dan mazhab syafi'i 109
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Imam Syafi’I ialah imam yang ketiga menurut susunan tarikh kelahiran.
Beliau adalah pendukung terhadap ilmu hadist dan pembaharu dalam agama
(mujaddid) dalam abad kedua Hijriah.
Masa hidup Imam Syafi’I ialah semasa pemerintahan Abbasiyah. Masa ini
adalah suatu masa permulaan dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Sebagaimana telah diketahui di masa ini juga penerjemah kitab-kitab mulai
banyak, ilmu falsafah juga dipindahkan, ilmu-ilmu juga disusun dan berbagai
pemahaman telah timbul dalam masyarakat Islam. Banyaklah peristiwa yang ada
kaitannya denga masyarakat berlaku dan bermacam-macam pula aliran pikir
berkembang serta banyak pula pengacau.
Percobaan untuk membuat kekacauan dan kejahatan dikalangan umat telah
berlaku, di masa ini juga timbul golongan Mutakallimin dan pengacau yang
keluar dari agama. Perbedaan antara Ahlul-Hadist dan Ahlul-Nakli dengan aliran
Ahlul-Ra’yi mulai diketahui oleh orang banyak. Bidang perbincangan dan
perdebatan antara keduanya semakin luas, tetapi Imam Syafi’I hampir sama
dengan aliran yang pertama.
Kerajaan Islam mulai luas dan berdirilah ibukota-ibukota yang besar yang
terkenalsebagai gedung ilmu pengetahuan yang luas, seperti Kota Baghdad,
Kufah, Basrah, Damsyik, Qurtubah dan lain-lain sebagainya. Pada sebagian kota-
kota itulah Imam Syafi’I memulai pengembaraannya dalam mencari ilmu dan
merintis penulisan karya-karyanya yang luar biasa. Maka fokus tulisan ini ingin
mengeksplorasi riwayat hidup dan pemikiran Imam Asy-Syafi’i serta hukum
Islam pada masanya. Pentingnya pembahasan ini didalami agar kita dapat
mengenal lebih mengetahui tentang beliau itu sendiri sebagai seorang Nashir Al-
Haq Wa As-Sunnah.
1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi singkat imam syafi’i?
2. Bagaimana prinsip-prinsip hokum imam syafi’i?
3. Apa saja contoh-contoh pemikiran hokum imam syafi’i?
4. Dimana sajakah wilayah pengaruh mazhab imam syafi’i?
C. Tujuan
1. Mengetahui Bagaimana biografi singkat imam syafi’i
2. Mengetahui Bagaimana prinsip-prinsip hokum imam syafi’i
3. Mengetahui Apa saja contoh-contoh pemikiran hokum imam syafi’i
4. Mengetahui Dimana sajakah wilayah pengaruh mazhab imam syafi’i
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Ringkas Imam Syafi’i
Beliau bernama Muhammad dengan kun-yah(panggilan) Abu Abdillah. Nasab
beliau secara lengkap adalah Muhammad ibn Idris ibn al-Abbas ibn Utsman ibn
Asy-Syafi’I ibn As-Saib ibn Ubaid ibn Abdu Yazid ibn Hasyim ibn Muthalib ibn
Abdu Manaf ibn Qushay ibn Kilab ibn Murrah ibn ibn Ka’ab ibn Lu’ai ibn
Ghalib. Muthalib adalah saudara kandung Hasyim ibn Abdu Manaf. Sedangkan
Hasyim adalah ayah Abdul Muthalib , kakek dari Nabi Muhammad saw. Nasab
beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay.
Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih
terhitung keturunan paman-jauh beliau , yaitu Hasyim bin al-Muththalib.
Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah
Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya
dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai
di wilayah Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana.
Syafi‘, kakek dari kakek beliau(yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau)
menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar(yunior) Nabi. As-Saib,
bapak Syafi‘, sendiri termasuk sahabat kibar(senior) yang memiliki kemiripan
fisik dengan Rasulullah saw. Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin
Quraisy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya
dan menyatakan masuk Islam.
Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam
Syafi‘i berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah
memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan
ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-
pendapat sekelompok orang dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang
menyatakan bahwa Imam Syafi‘i bukanlah asli keturunan Quraisy secara nasab,
tetapi hanya keturunan secara wala’(dekat) saja.
3
Adapun ibu Imam Asy-Syafi’I adalah cucu perempuan dari saudara
perempuan Fathimah binti Asad, ibu Imam Ali ibn Abi Thalib. Oleh karena itu,
Imam Asy-Syafi’I mengatakan, “Ali ibn Abi Thalib adalah putra pamanku dan
putra bibiku.” Dengan demikian, maka ibu imam syafi’I adalah cucu dari syadina
ali ibn abu thalib, menantu nabi Muhammad saw. dan khalifah ke empat yang
terkenal. Dalam sejarah ditemukan, bahwa Said ibn Yazid, kakek Imam Syafi’i yg
kelima adalah sahabat nabi Muhammad saw.
Imam Syafi’I dilahirkan di Gazza pada bulan Rajab tahun 150H(767 M).
Menurut suatu riwayat, pada tahun itu juga wafat Imam Abu Hanifah. Imam
Syafi’I wafat di Mesir pada tahun 204H(819 M).
Ketika ayah dan ibu Imam Syafi’I pergi ke Syam dalam suatu urusan, lahirnya
Syafi’I di Gazah, atau Asqalan. Ketika ayahnya meninggal, ia masih kecil. Ketika
baru berusia dua tahun, Syafi’I kecil dibawa ibunya ke Mekkah. Ia dibesarkan
ibunya dalam keadaan fakir
Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa
tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli
sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah
Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota
Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan
dan Yaman.
Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat
digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat
bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa
ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan
Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika
berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya
yang mulia lenyap dan terlupakan.
Sebagaimana disebutkan Abu Nu’aim dengan sanadnya dari Ibrahim bin
Murad, dia berkata, “Imam Syafi’I itu berbadan tinggi, gagah, berdarah
4
bangsawan dan berjiwa besar.” Sedang menurut Az-Za’farani mengatakan bahwa
Imam Asy-Syafi’I adalah seorang yang berwajah simpatik dan ringan tangan.
Al Muzni berkata, “Aku belum pernah melihat seseorang yang wajahnya lebih
tampan melebihi Asy-Syafi’I. Ketika dia memegang jenggotnya, maka aku
melihat bahwa tidak ada orang yang lebih bagus dari cara dia memegangnya.”
Dalam kitab yang lain mengatakan bahwa ketika usianya menginjak dewasa,
ia bertubuh jangkung semampai, pandai menunggang kuda, berkulit keputih-
putihan serupa dengan putera-putera bengawan Nil. Wajahnya berseri dihiasi
senyum, berjanggut teratur rapih dan menggunakan bahan pewarna kecoklat-
coklatan. Demikian juga dengan rambutnya yang menggunakan pewarna yang
terbuat dari daun inai. Hal ini dikarenakan beliau mengikuti sunnah. Lembut tutur
katanya, lembut suaranya, dan dari kedua matanya terpancar sinar yang
menunjukan persahabatan yang tulus kepada orang yang memandangya. Padahal,
kedua pelupuk matanya tampak letih akibat banyak begadang di malam hari,
banyak merenung dan memeras otak, seolah-olah melayang bersama jiwa raganya
dalam upaya meneliti dan menggali kebenaran Syariat. Ia selalu berpakain bersih
yang terbuat dari kain kasar dan berjalan dengan tongkat yang agak besar,
sehingga tampak sebagai seorang haji wara’(yang hidup menjauhkan diri dari
kesenangan dan kenikmatan duniawi) atau sebagai pengembara.
Hidup Imam Asy-Syafi’i merupakan satu sisi pengembaraan yang tersusun di
dalam bentuk yang sungguh menarik dan amat berkesan terhadap pembentukan
kriteria ilmiah dan popularitinya. Dalam asuhan ibunya ia dibekali pendidikan,
sehingga pada umur 7 tahun sudah dapat menghafal al-qur’an pada Ismail ibn
Qastantin, qari’ kota Makkah. Sebuah riwayat mengatakan, bahwa Syafi’I pernah
khatam Al-Qur’an dalam bulan Ramadhan sebanyak 60 kali.
Imam Syafi’I pergi dari Makkah menuju suatu dusun Bani Huzail untuk
mempelajari bahasa arab karena disana terdapat pengajar-pengajar bahasa arab
yang fasih dan asli. Imam Syafi’I tinggal di Huzail selama kurang lebih 10 tahun.
Di sana ia belajar sastra arab, ia tergolong untuk memahami kandungan al-qur’an
5
yang berbahasa arab yang fasih, asli dan murni. Imam Syafi’I menjadi orang
terpecaya dalam soal syi’ir-syi’ir kaum Huzael.
Sebelum menekuni fiqih dan hadits, Imam Syafi’I tertarik pada puisi, syi’ir
dan sajak bahasa arab. Ia belajar hadits dari Imam Malik di Madinah. Dalam usia
13 tahun ia telah dapat menghafal al-Muwaththa. Sebelumnya Imam Syafi’I
pernah belajar hadits kepada Sufyan ibn Uyainah salah seorang Ahlu Hadits di
Mekkah.
Menurut Khudhary Bek, sebelum imam syafi’I pergi ke Baghdad ia telah
mempelajari hadits dari dua orang ahli hadits namanya, yaitu Sufyan ibn Uyainah
di Mekkah dan Imam Malik di Madinah. Keduanya merupakan “Syaikh” Imam
Syafi’I yang terbesar, sekalipun ada “syaikh” yang lainnya.
Menurut Ahmad Amin dalam Dhuha Al-Islam, Imam Syafi’I belajar fiqih dari
Muslim ibn Khalid al-Zanjiy seorang Mufti Makkah. Kemudian ia ke Madinah
dan menjadi murid Imam Malik serta mempelajari al-Muwaththa yang telah
dihafalnya, sehingga Imam Malik melihat, bahwa al-Syafi’I termasuk orang yang
sangat cerdas dan kuat ingatannya. Oleh sebab itu Imam Malik sangat
menghormati dan dekat dengannya.
Menurut Ibn Hajar Al-Asqalany, selain kepada Muslim ibn Khalid al-Zanjiy,
Malik dan Sufyan ibn Uyainah, Imam Syafi’I belajar pula kepada Ibrahim ibn
Sa’ad ibn Salim Alqadah, Al-Darawardiy, Abd Wahab al-Tsaqafiy, Ibn Ulayyah,
Abu Damrah, Hatim ibn Ismail, Ibrahim ibn Muhammad ibn Khalid al-Jundiy,
Umar ibn Muhammad ibn ‘Ali ibn Syafi’I, ‘Athaf ibn Khalid al-Mahzumiy,
Hisyam ibn Yusuf al-Shan’any dan sejumlah ulama lainnya.
Imam Syafi’I belajar kepada Imam Malik di Madinah sampai Imam Malik
meninggal. Setelah itu ia pergi merantau ke Yaman. Di Yaman, pernah mendapat
tuduhan dari Khalifah Abbasiyah (penguasa waktu itu), bahwa Asy-Syafi’I telah
membaiat ‘Alawy atau dituduh sebagai Syi’iy. Karena tuduhan itu, maka ia
dihadapkan kepada Harun al-Rasyid membebaskannya dari tuduhan tersebut.
Peristiwa itu terjadi tahun 184 H, ketika Syafi’I diperkirakan berusia 34 tahun.
6
Tahun 195 H, Asy-Syafi’I pergi ke Baghdad dan menetap disana selama 2
tahun. Setelah itu ia kembali lagi ke Makkah. Pada tahun 198 H. ia kembali lagi
ke Baghdad dan menetap disana beberapa bulan, kemudian tahun 198 H. ia pergi
ke Mesir dan menetap di Mesir sampai wafat pada tanggal 29 Rajab sesudah
menunaikan shalat isya. Imam Syafi’I dimakamkan di suatu tempat di Qal’ah,
yang bernama Mishru Alqadimah.
Ibnu Hajar mengatakan pula, bahwa ketika kepemimpinan fiqh di Madinah
berpuncak pada Imam Malik, Imam Syafi’I pergi ke Madinah untuk belajar
kepadanya, dan ketika kepemimpinan fiqh di Irak berpuncak pada Abu Hanifah
dan Syaibany (salah seorang murid Abu Hanifah).oleh sebab itu Imam Syafi’I
berhimpun pengetahuan fiqh Ashab al-Hadits (Imam Malik) dan fiqh Ashab al-
Ra’yi (abu Hanifah). Bahwa Imam Syafi’I mempunyai pengetahuan yang sangat
luas dalam bidang lughah dan adab, di samping pengetahuan hadits yang ia
peroleh dari beberapa negeri. Sedangkan pengetahuannya dalam bidang fiqh
meliputi fiqh Ashab al-ra’yi di Irak dan fiqh Ashab al-hadits di Hijaz.
B. Prinsip Hukum Dan Contoh Pemikiran Hukum Imam Syafi’i
Secara umum sebagai produk sosial budaya semasa dan setempat, ilmu
selalu terkait dengan kondisi masyarakat, ilmu hukum tidak terkecuali. Hukum
mengatur perilaku masyarakat, tetapi kebiasaan yang berlaku turut pula menjadi
sumber hukum itu sendiri. Dalam hukum Islam, ketentuan hukum yang terkait
dengan, atau diatur berdasarkan urf cukup besar jumlahnya. Pada satu sisi, fiqh
adalah penjabaran dari nash-nash al Qur’an dan Hadits. Jadi sepanjang nash-nash
itu tidak berubah, tentu fiqhnya pun akan tetap sama. Akan tetapi, pada sisi lain
fiqh merupakan hasil ijtihad ulama yang senantiasa berinteraksi dengan
masyarakat dan lingkungannya. Oleh karena itu besar kemungkinan fiqh
terpengaruh oleh lingkungan mujtahid itu sendiri.
Imam Syafi’I sebagaimana latar belakang pendidikan dan pemikirannya,
termasuk salah seorang jajaran Imam penganut Ahlu As-Sunnah wa al-Jama’ah,
7
yang dalam cabang Furuiyyahnya berpihak pada dua kelompok, yaitu ahlu Al-
Hadis dan Ahlu Ar-Ra’yi (sintesa pemikiran tengah). Rihalah Fi Thalabil Ilmi,
demikian beliau dijuluki berkat pengembaraan yang dilakukannya ke negeri Hijaz
untuk menuntut ilmu kepada Imam Malik, ke Irak menuntut ilmu kepada
Muhammad Ibnu Al-Hasan (seorang murid Imam Abu Hanifah), bekerja di
Yaman dan beberapa kali datang ke Baghdad, sebelum akhirnya menetap di
Mesir. Dengan demikian ia cukup mengenal berbagai aliran dan mazhab yang ada
di kota-kota itu. Dari sinilah kemudian ia mendapatkan dan membekali dirinya
sebagai seorang Ahlu Al-Hadits, tetapi dalam bidang Fiqh, ia terpengaruh oleh
pemikiran kelompok Ahlu Ar-Ra’yi dengan melihat kepada metode penetapan
hukum yang beliau pakai.
Pengetahuanya seputar sosial kemasyarakatan sangatlah luas sebab beliau
menyaksikan secara langsung kehidupan masyarakat, baik masyarakat desa
dengan pemikiran yang relatif sederhana ataupun pemikiran masysrakat kota yang
sudah kompleks, seperti Irak, Mesir hingga kehidupan para zuhud pun pernah ia
geluti.
Berangkat dari keberanekaragaman itulah, ia mendapatkan bekal yang cukup
dalam memutuskan ijtihadnya mengenai masalah-masalah hukum, sehingga
dalam istinbatnya sangat mempengaruhi sistem dalam madzhabnya.
Dalam bidang hadits, beliau sebagai peletak petama tentang kaidah
periwayatan Al-Hadits, bahkan beliaulah satu-satunya orang yang bersikeras
mempertahankan posisi hadits (melebihi gurunya, Imam Malik bin Anas). Bahkan
tak jarang ditemukan pandangan-pandangan beliau yang berbeda dengan gurunya,
Al-Hadits yang sanadnya shahih dan muttasil, menurutnya wajib diamalkan, tanpa
harus dikaitkan dengan amalan Ahlu Madinah sebagaimana yang disyaratkan oleh
Imam Abu Hanifah. Dari sinilah kemudian ia juga dikenal sebagai Nashir As-
Sunnah.
Di samping itu, Imam Syafi’I memiliki dua pandangan ijtihad yang dikenal
dengan sebutan Qaul Qadimyang tertuang dalam kitabnya Al-Hujjah yang ditulis
8
di Irak dan Qaul Jadid yang tertuang dalam kitab Al-Umm yang dikarang di
Mesir. Terwujudnya dua pandangan ini, diperkirakan sebagai perwujudan dari
adanya situasi yang mempengaruhi terhadap ijtihadnya. Sebab di Irak ia
melakukan pemaduan terhadap beberapa kitab yang telah beliau pelajari dengan
berbagai macam ilmu pengetahuan yang telah beliau miliki berdasarkan pada
teori Ahlu Al-Hadist.
Perlu diketahui bahwa Qaul Qadim Imam Syafi’I merupakan pandangan-
pandangannya yang dihasilkan dari perpaduan antara madzhab Irak dan pendapat
Ahlu al-Hadits, lalu beliau pergi ke Makkah dan tinggal disana untuk beberapa
lama. Di Makkah inilah beliau bertemu dan berdiskusi banyak dengan murid
Imam Abu Hanifah, Muhammad Ibn Hasan, lalu akhirnya beliau pun kembali ke
Irak untuk mendiktekan Qaul Qadimnya kepada muridnya.
Dengan demikian maka Qaul Qadim Imam Syafi’I merupakan hasil
pemikirannya dengan memadukan antara Fiqh Ahlu Al-Hadis yang bersifat
tradisional, sehingga pola pemikiran semacam inilah oleh para ulama dinilai lebih
sesuai dengan pola pemikiran para ulama yang datang dari berbagai Negara Islam
ke Makkah dan akhirnya juga mudah tersebar ke berbagai Negara.
Ada beberapa ahli mengemukakan bahwa perbedaan lingkungan sosial
kultural (Baghdad-Mesir) adalah sebagai faktor penyebab berubahnya fatwa Asy
Syafi’i dari Qaul Qadim ke Qaul Jadid. Hasil observasi atas masyarakat Mesir
berperan penting dalam peninjauan dan penyesuaian-penyesuaian yang
melahirkan untuk Qaul Jadidnya. Menurut riwayat Imam Nawawi, Imam Syafi’i
sendiri pernah menyatakan bahwa Qaul Qadim tidak boleh diriwayatkan lagi
karena ia telah rujuk dari Qaul itu. Dengan demikian untuk masa
selanjutnya, Qaul Jadidlah yang dianggap sebagai mazhab Asy Syafi’i.
Dari pembahasan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa pokok-pokok
pikiran beliau dalam mengistinbathkan hukum adalah:
9
1. Al-Qur’an dan al-Sunnah
Imam Syafi’i memandang Al-Qur’an dan Sunnah berada dalam satu
martabat. Beliau menempatkan Al-Sunnah sejajar dengan Al-Qur’an, karena
menurut beliau, Sunnah itu menjelaskan Al-Qur’an, kecuali Hadits Ahad tidak
sama nilainya dengan Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir. Disamping itu, karena
Al-Qur’an dan Sunnah keduanya adalah wahyu, meskipun kekuatan Sunnah
secara terpisah tidak sekuat seperti Al-Qur’an.
Dalam pelaksanaannya, Imam Syafi’i menempuh cara, bahwa apabila
di dalam Al-Qur’an sudah tidak ditemukan dalil yang dicari, ia menggunakan
Hadits Mutawatir. Jika tidak ditemukan dalam Hadits Mutawatir, ia
menggunakan Hadits Ahad. Jika tidak ditemukan dalil yang dicari dalam
kesemuanya itu, maka dicoba untuk menetapkan hukum berdasarkan Zohir
Al-Qur’an atau Sunnah secara berturut.
Imam Syafi’i walaupun berhujjah dengan hadis ahad, namun beliau
tidak menempatkannya sejajar dengan Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir,
karena hanya Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir sejalah yangQath’iy
Tsubutnya, yang dikafirkan orang yang mengingkarinya dan disuruh
bertaubat.
Imam Syafi’i dalam menerima Hadits Ahad mensyaratkan sebagai
berikut:
a. Perawinya terpercaya. Ia tidak menerima hadis dari orang yang tidak
dipercaya.
b. Perawinya berakal, memahami apa yang diriwayatkannya.
c. Perawinya dhabith (kuat ingatannya)
d. Perawinya benar-benar mendengarkan sendiri hadis itu dari orang yang
menyampaikan kepadanya.
e. Perawi itu tidak menyalahi para ahli ilmu yang juga meriwayatkan hadis
itu.
10
2. Ijma
Imam Syafi’i mengatakan bahwa ijma adalah hujjah dan ia
menempatkan ijma ini sesudah Al-Qur’an dan Al-Sunnah sebelum Qiyas.
Imam Syafi’i menerima ijma sebagai hujjah dalam masalah-masalah yang
tidak diterangkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Ijma menurut pendapat Imam Syafi’i adalah ijma ulama pada suatu
masa di seluruh dunia islam, bukan ijma suatu negeri saja dan bukan pula ijma
kaum tertentu saja. Namun Imam Syafi’i mengakui, bahwa ijma sahabat
merupakan ijma yang paling kuat.
Ijma yang dipakai Imam Syafi’i sebagai dalil hukum itu adalah ijma
yang disandarkan kepada nash atau ada landasan riwayat dari Rasalullah saw.
Secara tegas ia mengatakan, bahwa ijma yang berstatus dalil hukum itu adalah
ijma sahabat.
Imam Syafi’i hanya mengambil ijma sharih sebagai dalil hukum dan
menolak ijma sukuti menjadi dalil hukum.
3. Qiyas
Imam Syafi’i menjadikan qiyas sebagai hujjah dan dalil keempat
setelah Al-Qur’an, Sunnah, Ijma, dalam menetapkan hukum.
Imam Syafi’i adalah mujtahid pertama yang membicarakan qiyas
dengan patokan kaidahnya dan menjelaskan asas-asasnya. Sedangkan
mujtahid sebelumnya sekalipun telah menggunakan qiyas dalam berijtihad,
namun belum membuat rumusan patokan kaidah dan asas-asasnya, bahkan
dalam praktek ijtihad secara umum belum mempunyai patokan yang jelas,
sehingga sulit diketahui mana hasil ijtihad yang benar dan mana yang keliru.
Disinilah Imam Syafi’i tampil ke depan memilih metode qiyas serta
memberikan kerangka teoritas dan metodologinya dalam bentuk kaidah
rasional namun tetap praktis. Untuk itu Imam Syafi’i pantas di akui dengan
penuh penghargaan sebagai peletak pertama metodologi pemahaman hukum
11
dalam islam sebagai satu disiplin ilmu, sehingga dapat dipelajari dan
diajarkan.
C. Wilayah pengaruh mazhab imam syafi’i
Imam Asy-Syafi’I adalah orang pertama kali yang berkarya dalam
bidang Ushul Fiqh dan Ahkam Al-Quran. Para ulama dan cendikia terkemuka
pada mengkaji karya-karya Imam Asy-Syafi’I dan mengambil manfaat darinya.
Sekalipun beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya
melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya
untuk menulis banyak kitab. Menurut Abu Bakar Al-Baihaqy dalam kitab Ahkam
Al-Qur’an, bahwa karya Imam Syafi’i cukup banyak, baik dalam bentuk risalah
maupun dalam bentuk kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200
bagian, sedangkan Al-Qadhi Imam Abu Hasan ibn Muhammad Al-Maruzy
mengatakan bahwa Imam Syafi’i menyusun 113 buah kitab tentang tafsir, fiqih,
adab, dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab
yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat.
Kitab-kitab karya Imam Syafi’i dibagi oleh ahli sejarah menjadi dua bagian:
a. Kitab yang ditulis Imam Syafi’i sendiri, seperti al-umm dan al-Risalah
(riwayat dari muridnya yang bernama al-Buwaithy dilanjutkan oleh muridnya
oleh muridnya yang bernama Rabi ibn Sulaiman).
Kitab al-umm berisi masalah-masalah fiqih yang dibahas berdasarkan
pokok-pokok pikiran Imam Syafi’i dalam al-Risalah.
Selanjutnya kitab al-Risalah adalah kitab yang pertama dikarang oleh
Imam Syafi’i pada usia yang muda belia. Kitab ini ditulis atas permintaan Abd
al-Rahman ibn Mahdy di Makkah, karena Abd Rahman ibn Mahdy meminta
kepada beliau agar menuliskan suatu kitab yang mencakup ilmu tentang arti
al-Qur’an, hal ihwal yang ada didalam al-Qur’an, nash dan mansukh serta
hadis Nabi.
12
b. Kitab yang ditulis oleh murid-muridnya, seperti Mukhtashar oleh al-Muzamy
dan Mukhtashar oleh al-Buwaithy (keduanya merupakan ikhtisar dari kitab
Imam Syafi’i Al-Imla’ wa al-Amly)
Kitab-kitab Imam Syafi’i, baik yang ditulisnya sendiri, didiktekan
kepada murid-muridnya, maupun dinisbahkan kepadanya, antara lain sebagai
berikut:
1) Kitab al-Risalah, tentang Ushul fiqh (riwayat Rabi’)
2) Kitab al Umm, sebuah kitab fiqh yang di dalamnya dihubungkan pula
sejumlah kitabnya.
3) Kitab al-Musnad, berisi hadis-hadis yang terdapat dalam kitab al-Umm
yang dilengkapi dengan sanad-sanadnya.
4) Al-Imla
5) Al-Amaliy
6) Harmalah (didiktekan kepada muridnya yang bernama Harmalah ibn
Yahya).
7) Mukhtashar al-Muzaniy (dinisbahkan kepada Imam Syafi’i)
8) Mukhtashar al-Buwaithiy (dinisbahkan kepada Imam Syafi’i)
9) Kitab Ikhtilaf al-Hadis (penjelasan Imam Syafi’i tentang hadis-hadis Nabi
Saw).
Kitab-kitab Imam Syafi’i dikutip dan dikembangkan para muridnya yang
tersebar di Makkah, di Irak, di Mesir, dan lain-lain. Kitab Al-Risalah
merupakan merupakan kitab yang memuat Ushul Fiqh. Dari kitab Al-Umm
dapat diketahui, bahwa setiap hukum Far’i yang dikemukakannya, tidak lepas
dari penerapan Ushul Fiqh.
Penyebaran Mazhab Syafi’i ini nantara lain di Irak, lalu berkembang dan
tersiar ke Khurasan, Pakistan, Syam, Yaman, Persia, Hijaz, India, daerah-
daerah Afrika dan Andalusia sesudah tahun 300 H. Kemudian mazhab Syafi’i
ini tersiar dan berkembang bukan hanya di Afrika, tetapi ke seluruh pelosok
negara-negara islam, baik di Barat, maupun Timur, yang dibawa oleh para
13
muridnya dan pengikutnya dari satu negeri ke negeri yang lain, termasuk ke
Indonesia. Kalau kita melihat praktik ibadah dan muamalah umat islam di
Indonesia, pada umumnya mengikuti mazhab Syafi’i. Hal ini disebabkan
karena beberapa faktor:
a. Setelah adanya hubungan Indonesia dengan Makkah dan di antara kaum
Muslimin Indonesia yang menunaikan ibadah haji, ada yang bermukim di
sana dengan maksud belajar ilmu agama. Guru-guru mereka adalah
ulama-ulama yang bermazhab Syafi’i dan setelah kembali ke Indonesia
mereka menyebarkannya.
b. Hijrahnya kaum Muslimin dari Hadhramaut ke Indonesia adalah
merupakan sebab yang penting pula bagi tersiarnya mazhab Syafi’i di
Indonesia. Ulama dari Hadhramaut adalah bermazhab Syafi’i.
c. Pemerintah kerajaan Islam di Indonesia, selama zaman Islam
mengesahkan dan menetapkan mazhab syafi’i menjadi halauan hukum di
Indonesia.
d. Para pegawai jawatan dahulu, hanya terdiri dari ulama mazhab Syafi’i
karena belum ada yang lainnya.
Menurut Ibn As-Subki bahwa Mazhab Asy-Syafi’I telah berkembang dan
menjalar pengaruhnya diberbagai tempat, di kota dan di desa, di seluruh
negara Islam. Pengikut-pengikutnya terdapat di Iraq dan kawasan-kawasan
sekitarnya, di Naisabur, Khurasan, Muru, Syiria, Mesir, Yaman, Hijaz, Iran
dan di negara-negara timur lainnya hingga ke India dan sempai negara China.
Penyebaran yang sebegitu meluas setidak-tidaknya membayangkan kepada
kita sejauh mana kewibawaan pribadi Imam Asy-Syafi’i sebagai seorang
tokoh ulama dan keunggulan Mazhabnya sebagai salah satu aliran fiqih dari
yang empat.
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Imam Syafi’I merupakan salah satu dari keempat imam madzhab yang
termasyhur. Beliau adalah imam yang memiliki karakteristik akhlak yang mulia
dan memiliki kecerdasan yang luar biasa sehingga banyak gelar dari para ulama
lain untuknya.
Kiprah Imam Syafi’I yang cemerlang berakhir dengan wafatnya tetapi
ilmunya takkan pernah habis dimakan waktu. Cinta manusia terhadanya, ilmu dan
karya-karyanya masih tetap memenuhi bumi sampai sekarang. Tidak satu pun
dijumpai ulama besar kecuali berhutang kepada Imam Syafi’i.
B. Saran
Segala puji bagi Allah SWT,yang karena karunianya,akhirnya kami dapat
menyelesaikan makalah kami.semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmatnya
kepada kami untuk membuat karya yang lebih baik untuk waktu-waktu yang akan
datang. Kami berharap sekali-kritik dan saran dari para pembanca sangat kami
harapkan.semoga dapat menjadi khazana baru buat kami untuk karya kami
berikutnya
15
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur hanya untuk Allah SWT. Yang telah memberikan taufik
dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Sholawat dan
salam senantiasa dicurahkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dan segenap
keluarganya serta orang-orang yang meneruskan risalahnya sampai akhir zaman.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah. Kami
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan
saran yang sifatnya membangun demi kebaikan makalah ini sangat diharapkan dari
para pembaca. Akhir kata, semoga karya tulis sederhana ini dapat bermanfaat bagi
kita semua.
Bengkulu, September 2013
Penulis
16i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ......................................................................................................i
DAFTAR ISI .............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................... 1
B. Rumusan Masalah...................................................................... 2
C. Tujuan........................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Biografi ringkas imam syafi’i ................................................. 3
B. Prinsip-prinsip dan contoh pemikiran hukum ...................... 7
C. Wilayah pengaruh mazhab imam syafi’i ................................ 12
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................15
B. Saran..........................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA
17ii
MAKALAHMATERI PAI III
“Muhammad Bin idris Al-Syafi’I dan Mazhab Syafi’i ”
Di susun oleh : Dedi Merzan Efendi 2113217384Luci Sutrismo 2113217456
Dosen Pembimbing :Dr. Abdul Hafiz, M. Ag
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN TADRIS
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BENGKULU (IAIN)2013
18
DAFTAR PUSTAKA
Asy-Syurbasi, Ahmad. Sejarah dan Biografi EMPAT IMAM MADZHAB. Jakarta: Amzah, 2008.
Farid, Syaikh Ahmad. 60 Biografi Ulama Salaf. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008.
Nasution, Goloman. “Perkembangan Pemikiran Hukum Islam Dalam Mazhab Asy-Syafi’iy.” Makalah Mata Kuliah Fiqh Fakultas Syari’ah IAIN Raden Fatah Palembang, 2008.
Sutrisno, Imam. “Riwayat Hidup Imam Syafi’I”. Artikel diakses pada 19 Februari 2011 darihttp://islam.blogsome.com.
Yanggo, Huzaemah Tahido. Pengantar Perbandingan Madzhab. Jakarta: Logos, 1997.
19
iii