morvin thd larva.pdf

12
PENGARUH PAPARAN MORFIN PADA MEDIA BANGKAI Rattus norvegicus strain Wistar TERHADAP TUMBUH KEMBANG LARVA LALAT Sarcophaga sp. SEBAGAI ACUAN PENENTUAN POST-MORTEM INTERVAL (PMI) PADA KASUS ENTOMOLOGI FORENSIK Aldilla Wahyu Rahmadian* *Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya ABSTRAK Rahmadian, Aldilla Wahyu. 2011. Pengaruh Paparan Morfin pada Media Bangkai Rattus norvegicus strain Wistar terhadap Tumbuh Kembang Larva Lalat Sarcophaga sp. sebagai Acuan Penentuan Post-Mortem Interval (PMI) pada Kasus Entomologi Forensik. Tugas akhir, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Pembimbing: (1) dr. Aswin Djoko Baskoro, MS, Sp Park. (2) dr. Wening Prastowo, SpF. Kematian merupakan suatu keadaan hilangnya tanda-tanda kehidupan dengan gagalnya fungsi dan henti aktivitas pada sistem pernafasan, sistem kardiovaskular, dan sistem saraf. Setelah kematian, tubuh makhluk hidup mengalami pembusukan dan mengundang serangga dekomposer yang salah satunya adalah lalat. Kontaminan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan larva lalat adalah narkotika. Keberadaan bahan narkotika mampu mengacaukan estimasi waktu kematian hingga 29 jam. Penelitian ini menggunakan 4 bangkai Rattus novergicus strain Wistar yang mendapatkan paparan morfin dengan berbagai dosis. Tikus kontrol tidak mendapatkan morfin sama sekali. Tikus perlakuan 1 mendapat injeksi morfin intravena 5 mg. Tikus perlakuan 2 mendapat injeksi morfin intravena 10 mg. Sedangkan tikus perlakuan 3 mendapatkan injeksi morfin intravena 20 mg. Setelah tumbuh larva pada masing-masing media kemudian dilakukan pengukuran terhadap ukuran panjang tubuh, keliling tubuh, dan berat setiap 12 jam. Lima larva terbesar diambil dari setiap kelompok perlakuan sebagai pengulangan sampel. Durasi pertumbuhan dicatat berdasarkan perubahan morfologi pada posterior spiracle. Bangkai tikus perlakuan 1 (morfin 5 mg) ternyata tidak mengalami investasi larva sehingga tidak dimasukkan dalam pencatatan pengukuran ini. Analisis One Way ANOVA menunjukkan signifikansi yang bermakna (p= 0,000) pada data panjang tubuh, keliling, dan berat yang tercatat dari masing- masing kelompok pada setiap harinya. Analisis Multiple Comparisons dengan Tukey HSD menunjukkan hasil signifikan pada panjang tubuh antara perlakuan 2 (morfin 10 mg) dengan perlakuan 3 (morfin 20 mg) pada hari 1a, 2a, dan 2b (p= 0,000). Pada pengukuran keliling didapatkan perbedaan signifikan (p < 0,05) pada hari 1a, 2a, 4a, 4b, 5a, 5b, 6a, 6b, 7a, dan 7b. Siginifikansi hasil pengukuran berat tercatat pada hari 1a, 2a, 3a, 3b (p= 0,000) dan 2b (p= 0,043). Pengukuran lainnya tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Analisis hasil pada kontrol selalu signifikan terhadap kelompok perlakuan. Selisih waktu yang dibutuhkan oleh setiap kelompok perlakuan untuk mencapai ukuran yang sama mencapai 96 jam. Kata kunci : Morfin, Sarcophaga sp., Post-Mortem Interval (PMI), entomologi forensik

Upload: nofalyakamalin

Post on 16-Jan-2016

37 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: morvin thd larva.pdf

PENGARUH PAPARAN MORFIN PADA MEDIA BANGKAI Rattus norvegicus strain Wistar TERHADAP TUMBUH KEMBANG LARVA LALAT Sarcophaga sp. SEBAGAI ACUAN PENENTUAN POST-MORTEM INTERVAL (PMI) PADA

KASUS ENTOMOLOGI FORENSIK

Aldilla Wahyu Rahmadian* *Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

ABSTRAK

Rahmadian, Aldilla Wahyu. 2011. Pengaruh Paparan Morfin pada Media Bangkai Rattus norvegicus strain Wistar terhadap Tumbuh Kembang Larva Lalat Sarcophaga sp. sebagai Acuan Penentuan Post-Mortem Interval (PMI) pada Kasus Entomologi Forensik. Tugas akhir, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Pembimbing: (1) dr. Aswin Djoko Baskoro, MS, Sp Park. (2) dr. Wening Prastowo, SpF.

Kematian merupakan suatu keadaan hilangnya tanda-tanda kehidupan dengan gagalnya fungsi dan henti aktivitas pada sistem pernafasan, sistem kardiovaskular, dan sistem saraf. Setelah kematian, tubuh makhluk hidup mengalami pembusukan dan mengundang serangga dekomposer yang salah satunya adalah lalat. Kontaminan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan larva lalat adalah narkotika. Keberadaan bahan narkotika mampu mengacaukan estimasi waktu kematian hingga 29 jam.

Penelitian ini menggunakan 4 bangkai Rattus novergicus strain Wistar yang mendapatkan paparan morfin dengan berbagai dosis. Tikus kontrol tidak mendapatkan morfin sama sekali. Tikus perlakuan 1 mendapat injeksi morfin intravena 5 mg. Tikus perlakuan 2 mendapat injeksi morfin intravena 10 mg. Sedangkan tikus perlakuan 3 mendapatkan injeksi morfin intravena 20 mg. Setelah tumbuh larva pada masing-masing media kemudian dilakukan pengukuran terhadap ukuran panjang tubuh, keliling tubuh, dan berat setiap 12 jam. Lima larva terbesar diambil dari setiap kelompok perlakuan sebagai pengulangan sampel. Durasi pertumbuhan dicatat berdasarkan perubahan morfologi pada posterior spiracle. Bangkai tikus perlakuan 1 (morfin 5 mg) ternyata tidak mengalami investasi larva sehingga tidak dimasukkan dalam pencatatan pengukuran ini.

Analisis One Way ANOVA menunjukkan signifikansi yang bermakna (p= 0,000) pada data panjang tubuh, keliling, dan berat yang tercatat dari masing-masing kelompok pada setiap harinya. Analisis Multiple Comparisons dengan Tukey HSD menunjukkan hasil signifikan pada panjang tubuh antara perlakuan 2 (morfin 10 mg) dengan perlakuan 3 (morfin 20 mg) pada hari 1a, 2a, dan 2b (p= 0,000). Pada pengukuran keliling didapatkan perbedaan signifikan (p < 0,05) pada hari 1a, 2a, 4a, 4b, 5a, 5b, 6a, 6b, 7a, dan 7b. Siginifikansi hasil pengukuran berat tercatat pada hari 1a, 2a, 3a, 3b (p= 0,000) dan 2b (p= 0,043). Pengukuran lainnya tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Analisis hasil pada kontrol selalu signifikan terhadap kelompok perlakuan. Selisih waktu yang dibutuhkan oleh setiap kelompok perlakuan untuk mencapai ukuran yang sama mencapai 96 jam.

Kata kunci : Morfin, Sarcophaga sp., Post-Mortem Interval (PMI), entomologi forensik

Page 2: morvin thd larva.pdf

EFFECT OF MORPHINE EXPOSED TO CARCASS OF Rattus norvegicus strain Wistar ON Sarcophaga sp. LARVAL GROWTH AS A REFERENCE TO MEASURE Post-Mortem Interval (PMI) IN FORENSIC ENTOMOLOGY CASE

Aldilla Wahyu Rahmadian* *Medical Student of Brawijaya University

ABSTRACT

Rahmadian, Aldilla Wahyu. 2011. Effect Of Morphine Exposed To Carcass Of Rattus norvegicus strain Wistar on Sarcophaga sp. Larval Growth As A Reference To Measure Post-Mortem Interval (PMI) In Forensic Entomology Case. Final Assignment, Faculty Of Medicine, Brawijaya University. Supervisor : (1) dr. Aswin Djoko Baskoro, MS, Sp Park. (2) dr. Wening Prastowo, SpF.

Death is a state of loss of signs of life with failure of function and constant activity on the respiratory system, cardiovascular system, and nervous system. After death, bodies of living things decay and attract insect decomposer, such as fly. Contaminants that may affect the growth of fly larvae is a narcotic. The presence of narcotic substances able to misinterpret the estimated time of death until 29 hours.

This study uses 4 carcasses of Rattus novergicus strain wistar which get exposed to various doses of morphine. Control mice did not receive morphine at all. Rats treatment 1 received 5 mg intravenous injection of morphine. Rat treatment 2 received 10 mg intravenous injection of morphine. While rats treated three to get 20 mg intravenous injection of morphine. Then made measurements of body length, body circumference, and weight every 12 hours after the larvae grown in each of the media. The five largest larvae were taken from each treatment group as a repetition of the sample. Length growth is recorded based on morphological changes on the posterior spiracle. Rat treatment 1 (morphine 5 mg) did not have larvae investment, thus not included in the recording of this measurement.

One Way ANOVA analysis showed significance (p = 0.000) in the data of body length, circumference, and weight recorded from each group on each day. Analysis of Multiple Comparisons with the Tukey HSD showed significant results in body length between treatment 2 (morphine 10 mg) with treatment 3 (morphine 20 mg) on day 1a, 2a, and 2b (p = 0.000). On the circumference measurements obtained significant difference (p <0.05) on day 1a, 2a, 4a, 4b, 5a, 5b, 6a, 6b, 7a, and 7b. Significant weight measurements recorded on day 1a, 2a, 3a, 3b (p = 0.000) and 2b (p = 0.043). Other measurements showed no significant results. The analysis results are always significant in the control compared to the treatment groups. Alteration in the time required by each treatment group to achieve the same size is up to 96 hours.

Keywords : Morphine, Sarcophaga sp., Post-Mortem Interval (PMI), entomology forensic

Page 3: morvin thd larva.pdf

PENDAHULUAN Ilmu kedokteran forensik

merupakan salah satu cabang ilmu kedokteran yang melakukkan investigasi mendalam terhadap luka atau kematian yang tidak dapat dijelaskan secara jelas, terutama jika ada kecurigaan tindakan kriminal9. Hal ini menjelaskan secara sekilas dua fungsi penting seorang ahli forensik, yaitu memutuskan tentang bagaimana dan mengapa seseorang meninggal dunia serta menjelaskan dan mempertahankan penjelasan diagnosis tersebut di ruang persidangan4.

Salah satu hal yang harus ditangani seorang ahli forensik adalah menentukan saat kematian. Berbagai cara dapat dilakukan untuk menentukan saat kematian jenazah, antara lain dengan menentukan umur larva lalat yang terdapat pada jenazah. Salah satu prosedur yang masih digunakan sampai saat ini dalam pemeriksaan jenazah adalah dengan mengirimkan larva serangga yang ditemukan ke laboratorium untuk mengetahui berapa umur larva untuk digunakan sebagai acuan dalam menentukan perkiraan waktu kematian2.

Kontaminan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan larva lalat salah satunya adalah narkotika. Keberadaan bahan narkotika mampu mengacaukan estimasi waktu kematian hingga 29 jam6. Menurut data Badan Narkotika Nasional (BNN) setiap tahun setidaknya 15 ribu orang Indonesia yang banyak didominasi oleh remaja meregang nyawa akibat penyalahgunaan narkotika terutama penggunaan putaw atau morfin13.

Pada penelitian di tahun 1993 dilaporkan bahwa kandungan morfin akan mempercepat pertumbuhan larva7. Namun, pada penelitian lainnya justru dilaporkan bahwa morfin memperlambat

pertumbuhan larva3. Pada penelitian sejenis yang dilakukan pada 2009 juga dibuktikan bahwa efek pemberian morfin ternyata memacu pertumbuhan larva dari segi durasi waktu pertumbuhan, berat bobot, dan panjang ukuran11.

Dalam investigasi kasus kematian yang diduga berhubungan kriminalitas atau kematian seseorang yang misterius, penentuan Post-Mortem Interval (PMI) sangat penting untuk memfokuskan pencarian terhadap tersangka pembunuhan atau yang berhubungan dengan kasus orang hilang1. Dengan diketahuinya siklus hidup lalat khususnya pertumbuhan dari telur hingga dewasa, sangat mungkin memperkirakan saat kematian dengan menentukan umur larva serangga yang menginvestasi jenazah12.

Pada penelitian ini akan membuktikan pengaruh morfin dalam beberapa dosis yang berbeda terhadap tumbuh kembang larva lalat Sarcophaga sp. dalam kaitannya untuk menentukan Post Mortem Interval pada kasus forensik. Media yang digunakan adalah bangkai Rattus norvegicus strain Wistar dengan berbagai dosis morfin

METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif secara eksperimental murni menggunakan desain true experimental in vitro, post-test only, control group design untuk mengetahui pengaruh berbagai dosis kandungan morfin pada media tumbuh berupa bangkai Rattus novergicus strain wistar terhadap panjang, lebar, berat, dan durasi pertumbuhan larva lalat Sarcophaga sp.

Lalat Sarcophaga sp. ditangkap di sekitar Tempat Penampungan Akhir Universtas

Page 4: morvin thd larva.pdf

Brawijaya sebanyak 80 ekor, kemudian dimasukkan ke dalam 4 buah kandang yang telah disediakan. Masing-masing kandang berisi 20 ekor lalat. Selama aklimatisasi, lalat diberi nutrisi larutan glukosa.

Pada penelitian ini, berat rata-rata tikus adalah 190 mg. Bila dosis LD50 (IV) morfin untuk tikus adalah 70 mg/kg 10, maka dosis morfin yang dibutuhkan adalah sebesar

mg.19,1701000190

mgxgr

gr

Pada penelitian ini digunakan dosis 5 mg, 10 mg, 20 mg sehingga dapat dipastikan tikus telah mendapatkan dosis lethal. Kemudian masing-masing tikus diinjeksi sesuai dengan dosis perlakuannya. Setelah proses injeksi selesai, maka semua tikus dibius dengan ether hingga mati. Kemudian semua bangkai tikus tersebut dibuat irisan pada garis tengah tubuh bagian ventral sepanjang leher sampai dekat anus sampai tampak organ dalam tubuh tikus dan dimasukkan dalam kandang yang sudah berisi lalat tadi. Kemudian 4 kandang tersebut diletakkan dalam ruangan dimana suhunya berkisar antara 23oC - 26oC.

Dilakukan pemeriksaan setiap hari sekitar pukul 06.00 - 08.00 dan 18.00 - 20.00 WIB. Diambil 5 larva dengan ukuran terbesar, dimasukkan ke air panas sampai mati, diukur panjangnya dan kelilingnya, berat larva, dicatat waktu pengambilannya. Pengukuran pagi hari dinotasikan dengan (a) dan pengukuran malam hari dinotasikan dengan (b) pada setiap harinya.

Pemeriksaan posterior spirakel dilaksanakan untuk

menngetahui transisi stadium instar larva. Salah satu larva dari 5 sampel dari masing perlakuan tersebut diiris tipis bagian posteriornya untuk dilihat posterior spirakelnya di bawah mikroskop dengan perbesaran 400x. Durasi pertumbuhan larva dari fase ke fase terus dipantau setiap 12 jam.

HASIL

Data yang didapatkan menunjukkan bahwa pertumbuhan larva pada media kontrol mampu mencapai panjang maksimal rata-rata 21,6 mm pada larva stadium 3. Sedangkan saat memasuki masa pupa, memiliki panjang rata-rata 9,6 mm. Pada perlakuan 2 (morfin 10 mg) didapatkan data bahwa panjang maksimal rata-rata yang dapat dicapai larva adalah 25 mm. Kemudian menjadi rata-rata sepanjang 13,3 mm saat memasuki masa pupa. Pada perlakuan 3 (morfin 20 mg) didapati capaian maksimal rata-rata panjang tubuh larva sebesar 23,7 mm dan ukuran rata-rata yang tercatat pada masa pupa sepanjang 12,8 mm.

Pada pengukuran keliling, larva pada media kontrol mampu mencapai ukuran keliling maksimal rata-rata 9,5 mm pada larva stadium 3. Sedangkan saat memasuki masa pupa, memiliki panjang rata-rata 10 mm. Pada perlakuan 2 (morfin 10 mg) didapatkan data bahwa ukuran keliling maksimal rata-rata yang dapat dicapai larva adalah 16,6 mm. Kemudian menjadi rata-rata sepanjang 15 mm saat memasuki masa pupa. Pada perlakuan 3 (morfin 20 mg) didapati capaian maksimal rata-rata panjang tubuh larva sebesar 17 mm dan ukuran rata-rata yang tercatat pada masa pupa sepanjang 13,9 mm.

Page 5: morvin thd larva.pdf

Pertumbuhan yang dipantau melalui berat tubuhnya menunjukkan larva pada media kontrol mampu mencapai berat maksimal rata-rata 179,62 mg pada larva stadium 3. Sedangkan saat memasuki masa pupa, memiliki berat rata-rata 54,68 mm. Pada perlakuan 2 (morfin 10 mg) didapatkan data bahwa berat maksimal rata-rata yang dapat

dicapai larva adalah 275,28 mg. Kemudian menjadi rata-rata seberat 142,48 mg saat memasuki masa pupa. Pada perlakuan 3 (morfin 20 mg) didapati capaian maksimal rata-rata berat larva sebesar 193,44 mg dan ukuran berat rata-rata yang tercatat pada masa pupa sebesar 135,78 mg.

Dari pencatatan durasi diketahui bahwa larva pada media

kontrol mengalami masa stadium 1 selama 24 jam, masa stadium 2 selama 24 jam, masa stadium 3 selama 60 jam, dan menjadi pupa setelah 120 jam. Pada larva perlakuan 2 dan perlakuan 3 ternyata sama-sama mengalami masa stadium 3 selama 72 jam. Sedangkan masa larva stadium 1 dan stadium 2 pada perlakuan 2 dan

3 tidak tercatat.

Analisis One Way ANOVA menunjukkan adanya signifikansi yang bermakna (p= 0,000) pada data panjang tubuh yang tercatat dari masing-masing kelompok pada setiap harinya. Tetapi pada uji Multiple Comparisons dengan Tukey HSD didapati hasil yang signifikan antara perlakuan 2 (morfn 10 mg) dengan perlakuan 3 (morfin 20 mg)

Page 6: morvin thd larva.pdf

hanya tercatat pada hari 1a, 2a, dan 2b (p= 0,000). Sedangkan pada hari

lainnya tidak didapatkan perbedaan yang signifikan (p > 0,05) antara kedua kelompok perlakuan tersebut. Selain itu juga didapatkan bahwa data panjang tubuh baik dari perlakuan 2 (morfin 10 mg) maupun perlakuan 3 (morfin 3 mg) selalu berbanding signifikan dengan kontrol (p= 0,000).

Analisis One Way ANOVA menunjukkan adanya signifikansi yang bermakna (p= 0,000) pada

data keliling tubuh yang tercatat dari masing-masing kelompok pada

setiap harinya, kecuali pada hari 2a yang tidak menunjukkan nilai signifikansi (p= -). Pada uji Multiple Comparisons dengan Tukey HSD didapati hasil yang tidak signifikan antara perlakuan 2 (morfin 10 mg) dengan perlakuan 3 (morfin 20 mg) hanya tercatat pada hari 1b (p= 0,790), 2b (p= 0,792), 3a (p= 0,539) dan 3b (p= 0,858). Sedangkan pada hari lainnya didapatkan perbedaan yang signifikan (p < 0,05) antara kedua kelompok perlakuan tersebut.

Page 7: morvin thd larva.pdf

Selain itu juga didapatkan bahwa data panjang tubuh baik dari perlakuan 2 (morfin 10 mg) maupun

perlakuan 3 (morfin 3 mg) selalu berbanding signifikan dengan kontrol (p= 0,000). Tetapi data keliling tubuh

Page 8: morvin thd larva.pdf

pada hari 2a tidak dapat diolah dan tidak hasilnya pada uji ini.

PEMBAHASAN Pada hari pencatatan 1a pada kelompok kontrol didapatkan kondisi

larva masih dalam stadium 1 sedangkan pada kedua kelompok perlakuan didapati larva sudah dalam stadium 3. Hal ini menunjukkan bahwa larva Sarcophaga sp. pada kedua kelompok perlakuan telah mengalami perubahan fase dari larva stadium 1 ke stadium 2 pada 24 jam pada hari 0, yaitu waktu yang diberikan untuk memberi kesempatan lalat meletakkan larvanya di media tumbuh. Kemungkinan ini didukung data bahwa waktu yang dibutuhkan Sarcophaga sp. untuk menyelesaikan masa stadium 2 adalah 24 jam11. Selain itu, Sarcophaga sp. merupakan kelompok lalat yang larviparous, sehingga hanya membutuhkan waktu yang relatif pendek untuk

berkembang dari stadium 1 ke stadium 3.

Pertumbuhan larva yang begitu pesat pada kelompok perlakuan jika dibandingkan dengan

kelompok kontrol kemungkinan dipengaruhi oleh metode administrasi morfin yang digunakan pada penelitian ini. Pada penelitian sebelumnya didapatkan data bahwa pada hari 0 hingga 1b belum tampak pengaruh morfin yang dieberikan secara oral11.Sedangkan metode injeksi intravena yang digunakan pada penelitian ini memberikan efek sistemik lebih cepat dan memberikan jaminan distribusi obat yang lebih merata. Akibatnya, larva pada kedua kelompok perlakuan langsung mendapatkan paparan morfin sebesar dosis yang diberikan (10 mg dan 20 mg) pada setiap jaringan yang dimakan larva dan langsung berdampak pada percepatan pertumbuhan larva.

Data pengukuran panjang, keliling, dan berat menunjukkan

Page 9: morvin thd larva.pdf

beberapa hal penting yang perlu dikaji mendalam. Perbedaan capaian ukuran maksimal rata-rata yang signifikan antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan menunjukkan bahwa paparan morfin memiliki pengaruh yang bermakna terhadap tumbuh kembang larva. Berbeda dengan hasil yang didapatkan oleh George et al pada 2009 yang menyebutkan bahwa pemberian morfin pada Calliphora stygia tidak menunjukkan perbedaan ukuran panjang dan lebar yang signifikan antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh perbedaan spesies yang digunakan sebagai objek penelitian. Selain itu, mungkin perbedaan jenis media tumbuh juga berkontribusi alam perbedaan hasil ini.

Tikus Rattus novergcus strain wistar yang digunakan pada penelitian merupakan makhluk hidup yang akan memetabolisme paparan morfin yang diberikan dan menghasilkan metabolit. Beberapa metabolit morfin yang dihasilkan oleh tikus adalah dihydromorphinone, dihydromorphine, dan hydroxy morphines8. Metabolit inilah yang mungkin juga ikut memberikan pengaruh terhadap tumbuh kembang larva. Sedangkan pada penelitian di 2009 memilih untuk menggunakan media tumbuh artifisial untuk menghindari adanya metabolit morfin sehingga benar-benar didapatkan pengaruh morfin terhadap larva secara langsung, bukan metabolitnya5.

Kesimpulan lain yang dapat ditarik dari data pengukuran panjang, keliling, dan berat larva adalah adanya perbedaan percepatan pencapaian ukuran tubuh pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol. Berdasarkan data panjang, untuk mencapai panjang 17,1 mm,

larva dengan paparan morfin 10 mg hanya membutuhkan waktu 36 jam, sedangkan larva kontrol memakan waktu 84 jam. Sedangkan untuk mencapai ukuran 19,1 mm, larva dengan paparan morfin 20 mg hanya membutuhkan waktu 36 jam, sementara larva kontrol membutuhkan waktu hingga 108 jam. Sementara larva dengan paparan 20 mg mampu mencapai 20,6 mm dalam 48 jam dan kelompok kontrol membutuhkan 120 jam untuk mencapai ukuran 20 mm.

Merujuk pada data keliling, larva dengan paparan morfin 20 mg mencapai ukuran 8,6 mm dalam waktu 24 jam. Sedangkan kelompok kontrol membutuhkan waktu 60 jam untuk mencapai ukuran keliling 8,6 mm. Sementara untuk mencapai ukuran keliling 9,5 mm kelompok perlakuan morfin 10 mg membutuhkan waktu 36 jam, sedangkan kelompok kontrol memakan waktu 108 jam.

Data berat dapat memberikan informasi bahwa berat larva dengan paparan morfin 10 mg dan 20 mg membutuhkan waku 24 jam untuk mencapai berat masing-masing 63,34 mg dan 63,02 mg. Sedangkan larva kontrol membutuhkan waktu 60 jam untuk mencapai berat 65,82 mg. Data pada kelompok kontrol juga menunjukkan berat tubuh yang dicapai dalam 144 jam adalah 179, 62 mg. Sementara kelompok perlakuan morfin 20 mg mampu mencapai berat 178,5 mg hanya dalam 48 jam.

Diagram durasi pertumbuhan larva memberikan data bahwa kemungkinan perkiraan usia larva berdasarkan pemeriksaan posterior spiracle sebagai petanda stadium pertumbuhan larva. Ini bisa ditengarai pada penghitungan waktu yang dibutuhkan larva kelompok kontrol untuk mencapai stadium 3

Page 10: morvin thd larva.pdf

dibandingkan dengan kelompok perlakuan 2 dan 3. Kelompok kontrol membutuhkan waktu 72 jam sementara kedua kelompok perlakuan dalam 12 jam sudah mencapai larva stadium 3. Kemudian kelompok kontrol memasuki masa pupa setelah 132 jam, sementara dalam waktu 84 jam kedua kelompok perlakuan telah memasuki masa pupa.

Hal ini menunjukkan adanya kemungkinan bias dalam penentuan usia larva berdasarkan pengukuran panjang tubuh hingga 48 – 72 jam. Sedangkan pada pengukuran keliling tubuh bisa memberikan bias hingga 36 - 72 jam. Sementara metode pengkuran berat tubuh larva akan mampu mengacaukan perkiraan usia larva hingga 48 – 96 jam. Dan perkiraan usia larva dengan melihat stadium pertumbuhannya akan mengalami kekacauan hingga 48 - 60 jam.

Hasil penelitian ini menginformasikan bahwa morfin memberi pengaruh yang sangat besar dalam penentuan Post-Mortem Interval (PMI). Jika ada jenazah yang teridentifikasi ada kandungan morfin maka bisa dipastikan bahwa usia larva yang ditemukan tidak sesuai usianya dengan larva normal yang seukuran dengan larva pada jenazah tersebut. Selisih waktu antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan merupakan rentang waktu yang memungkinkan terjadinya kesalahan perkiraan waktu kematian yang bisa berakibat pada jatuhnya putusan persidangan yang tidak tepat.

Kurangnya variasi kelompok perlakuan yang digunakan pada penelitian ini menyebabkan hasil yang didapatkan dari penelitian ini belum bisa memberikan gambaran secara utuh tentang pengaruh pemberian dosis morfin yang berbeda-beda terhadap proses

tumbuh kembang larva lalat. Frekuensi pengamatan yang hanya dilakukan setiap 12 jam sekali juga belum mampu mewakili proses pengamatan yang intensif terhadap tumbuh kembang larva lalat sehingga data yang didapatkan mengalami lonjakan-lonjakan yang cukup tinggi pada setiap kali pengukuran.

Kondisi kelembaban, suhu, sirkulasi udara, dan intensitas cahaya pada lingkungan penelitian yang tidak bisa benar-benar terkontrol juga memberikan pengaruh pada proses tumbuh kembang larva. Kondisi cuaca yang berubah-ubah secara ekstrem selama proses penelitian menyebabkan proses tumbuh kembang tidak berjalan secara normal dan ideal pada kelompok kontrol maupun kelompo perlakuan. Fasilitas laboratorium berupa alat ukur panjang dan keliling yang hanya mampu memberikan ketelitian hingga 0,5 mm kurang mampu memberikan data pengukuran yang akurat terutama pada pengukuran larva stadium awal yang ukurannya sangat kecil.

Metode pemberian morfin melalui intravena yang dilakukan pada penelitian ini merupakan metode yang analog dengan metode penyalahgunaan morfin. Namun, metode ini diakui sulit untuk diterapkan secara ideal pada Rattus norvegicus strain Wistar karena ukuran pembuluh darah yang sangat kecil dan sulit diakses. Pemilihan Sarcophaga sp. sebagai hewan coba pada penelitian ini juga merupakan kendala yang cukup menghambat. Populasi Sarcophaga sp. yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan populasi lalat necrophagous lainnya mengakibatkan jumlah sampel yang digunakan pada penelitian kurang ideal. Jika menggunakan jumlah sampel yang lebih banyak, maka

Page 11: morvin thd larva.pdf

hasil yang didapatkan akan lebih ideal.

KESIMPULAN Paparan morfin pada media

tumbuh meningkatkan panjang larva secara signifikan, meningkatkan keliling larva secara signifikan, meningkatkan berat larva secara signifikan, dan meningkatkan kecepatan durasi pertumbuhan secara signifikan. Namun, tidak ada pengaruh signifikan perbedaan dosis paparan morfin terhadap proses tumbuh kembang larva lalat Sarcophaga sp.

DAFTAR PUSTAKA

1. Allaire, M.T. 1997. Postmortem Interval (PMI) Determination At Three Biogeoclimatic Zones In Southwest Colorado. Thesis, Department of Geography and Anthropology, Louisiana State University and Agricultural and Mechanical College.

2. Anderson, G. S. 1999. Forensic Entomology : The Use of Insects In Death Investigations. Case Studies in Forensic Anthropology. S. Fairgrave. Toronto, Charles C. Thomas.

3. Bourel, B., Hédouin V Martin-Bouyer L, Bécart A, Tournel G, Deveaux M, Gosset D. 1999. Effects of morphine in decomposing bodies an the development of Lucilia sericata (Diptera:Calliphoridae). J Forensic. 44(2):354-358.

4. Dix, Jay and Robert Calaluce. 1999. Guide to Forensic Pathology. Florida: CRC Press.

5. George, K. A., Melanie S. Archer, Lauren M. Green, Xavier A. Conlan, dan Tes

Toop. 2009. Effect of morphine on the growth rate of Calliphora stygia (Fabricius)(Diptera: Calliphoridae) and possible implications for forensic entomology. Forensic Science International, edisi 193, Hal: 21–25.

6. Gill. 2005. Decomposition And Arthropod Succession On Above Ground Pig Carrion In Rural Manitoba. Entomology Departement of University of Manitoba. Winnipeg. Cannadian Police Research Center.

7. Goff, M. L. 1993. Estimation of the Postmortem Interval Using Arthropoda Development And Succession Patterns. Forensic Science Review. 5: 81-94.

8. Oguri, K., S. Ida, H. Yoshimura, dan H. Tsukamoto. 1970. Studies on the urinary metabolites of morphine in several mammalian species. Chemical and Pharmaceutical Bulletin 18 Hal: 2414–2419.

9. Oxford University. 2002. Concise Medical Dictionary, 6th Edtion. Oxford University Press: Market House Books.

10. Pfizer. 2007. Material Safety Data Sheet PZ00694 (Online). http://www.pfizer.com/files/products/material_safety_data/PZ00694.pdf diakses 10 Januri 2011.

11. Sardjono, T. W., Noviantoro, D., dan Irnandi, D. F. 2009. “Morphine Can Precipitate The Growth Rate Of Fly Larva”. Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.

12. Supriastuti dan Hoedojo. 1992. Peran Larva Lalat

Page 12: morvin thd larva.pdf

Pada Mayat Dalam Menunjang Penentuan Saat Kematian. Majalah Parasitologi Indonesia. 5(1). Januari 1992. Hal 35-46.

13. Yuyun. 2007. Sakaw Banyak Sebabkan Kematian (Online). http://www.teenage-online.com/beta/index.php?lang=id&menu=nodrugs&rubrik=nodrugs&page=home&PHPSESSID=9bf20ccbe32c439b8ea5306124e53553 diakses tanggal 3 Januari 2011.