model pengembangan tambak udang secara berkelanjutan

27
Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan Berbasis “Fisheries Organic System” dan “Clean Production”. Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan Page1 Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan Berbasis “Fisheries Organic System” dan “Clean Production”. Oleh : Urif Syarifudin I. PENDAHULUAN Permintaan dunia akan produk hasil perikanan semakin meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dunia yang cendrung meningkat, dan tumbuhnya kesadaran manusia akan nilai gizi dari ikan/ seafood yang dapat meningkatkan kesehatan, kecerdasan dan kekuatan, serta semakin berkembangnya industri farmasi, kosmetika, makanan dan minuman yang menggunakan bahan baku utamanya dari ikan atau biota laut lainnya, hal ini diindikasikan dengan perkembangan produksi dan nilai eksport perikanan Indonesia periode tahun 1999 2002 mengalami kenaikan yang cukup signifikan yaitu rata-rata 4,26 % per tahun (Tabel 1), dengan negara tujuan dan persentase volume sebagai berikut; Thailand (30,33%), Jepang (24,28%), Uni Eropa (20,83%), RRC (10,52%), Singapura (6,39%), USA (4,83%) dan Hongkong (2,83%). Tabel 1. Produksi dan nilai ekspor perikanan Indonesia tahun 2001 2004. Rincian Tahun Kenaik an (%) 2001 1) 2002 1) 2003 1) 2004 2) Produksi perikanan (x 1000 ton) 4.893,0 6 5.107,3 6 5.323,3 4 5.545,15 4,26 Nilai ekspor (x US$1000) 1,339,2 58.80 1,674,0 73.50 1,631,8 98.59 1,082,04 4.35 Fluktuat if Keterangan : 1) Angka diperbaiki, 2) Angka sementara, Sumber : Warta Pasar Ikan (2005) dalam Urif Syarifudin (2006). Permintaan produk hasil perikanan untuk kebutuhan dalam negeri juga semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya laju pertumbuhan penduduk Indonesia dan bertambahnya tingkat konsumsi ikan perkapita serta berkembangnya industri pengolahan produk hasil sampingan perikanan (by-product), seperti industri pengolahan tepung ikan dan pabrik pakan ternak. Total konsumsi ikan dari penduduk Indonesia pada tahun 2002 adalah 4.730,79 ton dan kenaikan rata-rata tingkat konsumsi ikan pertahun adalah 2,67% maka jumlah kebutuhan produk perikanan untuk konsumsi penduduk Indonesia pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 5.119,93 ton. Tabel 2. Perkembangan konsumsi ikan di Indonesia tahun 2001 2004. Rincian Tahun Kenaikan (%) 2001 1) 2002 1) 2003 1) 2004 2) Konsumsi total (ton) 4.052,5 2 4.352,9 3 4.537,9 3 4.730,7 9 4,25 Perkapita (kg/kap/thn) 21,22 21,69 22,27 22,86 2,67 Keterangan : 1) Angka diperbaiki, 2) Angka sementara, Sumber : Warta Pasar Ikan (2005) dalam Urif Syarifudin (2006). Untuk memenuhi kebutuhan akan permintaan produk hasil perikanan baik untuk dalam negeri dan luar negeri, pemerintah Indonesia melalui program ‘blue revolution’ telah menetapkan kebijakan pembangunan perikanan melalui Pengembangan perikanan budidaya dan pengendalian penangkapan ikan”. Berdasarkan kebijakan tersebut, dapat dilihat bahwa fokus pengembangan perikanan adalah pada sub sektor perikanan budidaya khususnya kegiatan pertambakan. Usaha pertambakan merupakan satu diantara kegiatan ekonomi yang banyak dikerjakan oleh masyarakat pesisir di Indonesia. Tidak seperti negara Asia lainnya, sekitar 90 % usaha pertambakan di Indonesia dikelola oleh rakyat (petani budidaya) dan hanya 10 % saja yang dikelola oleh perusahaan. Ironinya, sejak awal tahun 1999 hingga saat ini sebagian besar pengelolaan tambak, utamanya untuk budidaya udang tidak dapat dilakukan secara optimal dan bahkan banyak ditinggalkan karena kurang produktif akibat gagal panen sebagai rangkaian dari serangan penyakit yang berkepanjangan. Sebagai contoh , fenomena ini muncul di sebahagian besar pantai utara Jawa dan sebahagian besar Sumatra serta pesisir Sulawesi. (Wetlands Internasional- Indonesia Program, 2009). II. TUJUAN PENULISAN Menurunnya produktifitas tambak udang akibat dari gagal panen sebagai rangkaian dari serangan penyakit yang berkepanjangan dan degradasi lingkungan merupakan isu nasional dalam pengelolaan budidaya tambak udang di Indonesia. Permasalahan tersebut terjadi hampir di seluruh wilayah pesisir Indonesia. Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu dirancang suatu alternatif solusi yang tepat dan dapat

Upload: urif-syarifudin

Post on 31-Dec-2015

981 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Pag

e1

MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann

BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..

OOlleehh :: UUrriiff SSyyaarriiffuuddiinn

II.. PPEENNDDAAHHUULLUUAANN

Permintaan dunia akan produk hasil perikanan

semakin meningkat seiring dengan pertambahan jumlah

penduduk dunia yang cendrung meningkat, dan tumbuhnya

kesadaran manusia akan nilai gizi dari ikan/ seafood yang

dapat meningkatkan kesehatan, kecerdasan dan kekuatan, serta

semakin berkembangnya industri farmasi, kosmetika,

makanan dan minuman yang menggunakan bahan baku

utamanya dari ikan atau biota laut lainnya, hal ini

diindikasikan dengan perkembangan produksi dan nilai

eksport perikanan Indonesia periode tahun 1999 – 2002

mengalami kenaikan yang cukup signifikan yaitu rata-rata

4,26 % per tahun (Tabel 1), dengan negara tujuan dan

persentase volume sebagai berikut; Thailand (30,33%), Jepang

(24,28%), Uni Eropa (20,83%), RRC (10,52%), Singapura

(6,39%), USA (4,83%) dan Hongkong (2,83%).

Tabel 1. Produksi dan nilai ekspor perikanan Indonesia tahun

2001 – 2004.

Rincian Tahun Kenaik

an (%) 20011) 2002 1) 2003 1) 2004 2)

Produksi

perikanan (x 1000

ton)

4.893,0

6

5.107,3

6

5.323,3

4 5.545,15 4,26

Nilai ekspor (x

US$1000)

1,339,2

58.80

1,674,0

73.50

1,631,8

98.59

1,082,04

4.35

Fluktuat

if

Keterangan : 1) Angka diperbaiki, 2) Angka sementara,

Sumber : Warta Pasar Ikan (2005) dalam Urif Syarifudin

(2006).

Permintaan produk hasil perikanan untuk kebutuhan

dalam negeri juga semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh

meningkatnya laju pertumbuhan penduduk Indonesia dan

bertambahnya tingkat konsumsi ikan perkapita serta

berkembangnya industri pengolahan produk hasil sampingan

perikanan (by-product), seperti industri pengolahan tepung

ikan dan pabrik pakan ternak. Total konsumsi ikan dari

penduduk Indonesia pada tahun 2002 adalah 4.730,79 ton dan

kenaikan rata-rata tingkat konsumsi ikan pertahun adalah

2,67% maka jumlah kebutuhan produk perikanan untuk

konsumsi penduduk Indonesia pada tahun 2005 diperkirakan

mencapai 5.119,93 ton.

Tabel 2. Perkembangan konsumsi ikan di Indonesia tahun

2001 – 2004.

Rincian Tahun Kenaikan

(%) 20011) 2002 1) 2003 1) 2004 2)

Konsumsi total

(ton)

4.052,5

2

4.352,9

3

4.537,9

3

4.730,7

9 4,25

Perkapita

(kg/kap/thn) 21,22 21,69 22,27 22,86 2,67

Keterangan : 1) Angka diperbaiki, 2) Angka sementara,

Sumber : Warta Pasar Ikan (2005) dalam Urif Syarifudin

(2006).

Untuk memenuhi kebutuhan akan permintaan produk

hasil perikanan baik untuk dalam negeri dan luar negeri,

pemerintah Indonesia melalui program ‘blue revolution’ telah

menetapkan kebijakan pembangunan perikanan melalui

“Pengembangan perikanan budidaya dan pengendalian

penangkapan ikan”. Berdasarkan kebijakan tersebut, dapat

dilihat bahwa fokus pengembangan perikanan adalah pada sub

sektor perikanan budidaya khususnya kegiatan pertambakan.

Usaha pertambakan merupakan satu diantara kegiatan

ekonomi yang banyak dikerjakan oleh masyarakat pesisir di

Indonesia. Tidak seperti negara Asia lainnya, sekitar 90 %

usaha pertambakan di Indonesia dikelola oleh rakyat (petani

budidaya) dan hanya 10 % saja yang dikelola oleh

perusahaan. Ironinya, sejak awal tahun 1999 hingga saat ini

sebagian besar pengelolaan tambak, utamanya untuk budidaya

udang tidak dapat dilakukan secara optimal dan bahkan

banyak ditinggalkan karena kurang produktif akibat gagal

panen sebagai rangkaian dari serangan penyakit yang

berkepanjangan. Sebagai contoh , fenomena ini muncul di

sebahagian besar pantai utara Jawa dan sebahagian besar

Sumatra serta pesisir Sulawesi. (Wetlands Internasional-

Indonesia Program, 2009).

IIII.. TTUUJJUUAANN PPEENNUULLIISSAANN

Menurunnya produktifitas tambak udang akibat dari

gagal panen sebagai rangkaian dari serangan penyakit yang

berkepanjangan dan degradasi lingkungan merupakan isu

nasional dalam pengelolaan budidaya tambak udang di

Indonesia. Permasalahan tersebut terjadi hampir di seluruh

wilayah pesisir Indonesia. Untuk mengatasi masalah tersebut,

perlu dirancang suatu alternatif solusi yang tepat dan dapat

Page 2: Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Pag

e2

diimplementasikan dengan mudah oleh para pengelola dan

pembudidaya tambak udang.

Sebagai bahan masukan bagi pengelola tambak

udang, maka pada makalah ini, disajikan bahasan tentang

Model Pengembangan Tambak Udang Secara

Berkelanjutan Berbasis “Organic Fisheries System” dan

“Clean Production”. Dengan pengembangan model budidaya

tambak udang yang baik dan terarah, maka sumberdaya pesisir

ini dapat terjaga kelestariaannya dan juga sekaligus dapat

memenuhi kebutuhan hidup manusia secara terus menerus

serta mensejahterakan masyarakat pesisir dan mendorong

pertumbuhan kawasan tersebut dengan sendirinya.

Selain bahan masukan bagi pengelola tambak udang,

pada bagian akhir dari makalah ini (Bab 5. Kesimpulan)

memberikan formulasi sederhana tentang Model

Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

Berbasis “Organic Fisheries System” dan “Clean

Production”, yang diformulasikan berdasarkan Documentary

review dan Studi literatur. Melalui formulasi sederhana yang

di sampaikan, diharapkan dapat diteleti lebih lanjut oleh para

mahasiswa maupun peneliti di bidang perikanan sehingga

tersusun formulasi yang lebih konkrit dan sempurna.

IIIIII.. MMEETTOODDEE PPEENNUULLIISSAANN

Metode penulisan makalah ini dilakukan berdasarkan

pada dua hal, yaitu pertama documentary review, dan kedua

pengalaman praktis penulis selama melakukan tugas

menyusun program pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut

di Sulawesi yang dipandu dengan kajian literatur.

Documentary review dan Studi literatur digunakan untuk

menelusuri berbagai konsep dan teori maupun berbagai

pengalaman empiris yang dicermati dan ditulis dalam berbagai

buku referensi, laporan penelitian maupun artikel jurnal.

Berbagai pokok pikiran dan fakta yang diperoleh dari

pengalaman praktis dan studi literatur disusun secara

sistematis untuk mendukung kerangka penulisan makalah ini.

Kerangka penulisan makalah Model Pengembangan

Tambak Udang Secara Berkelanjutan Berbasis “Organic

Fisheries System” dan “Clean Production”, meliputi :

BBaabb 11.. PPeennddaahhuulluuaann

BBaabb 22.. TTuujjuuaann PPeennuulliissaann

BBaabb 33.. MMeettooddee PPeennuulliissaann

BBaabb 44.. DDookkuummeennttaarryy RReevviieeww

AA.. TTeekknniikk BBuuddiiddaayyaa TTaammbbaakk UUddaanngg

BB.. IIssuu--iissuu SSttrraatteeggiiss PPeennggeelloollaaaann BBuuddiiddaayyaa TTaammbbaakk

UUddaanngg

CC.. PPrriinnssiiff PPeerriikkaannaann BBeerrkkeellaannjjuuttaann

DD.. KKoonnsseeppssii PPeerriikkaannaann OOrrggaanniikk ddaann PPrroodduukk BBeerrssiihh

BBaabb 55.. PPeemmbbaahhaassaann

AA.. IIddeennttiiffiikkaassii SSiisstteemm PPaaddaa BBuuddiiddaayyaa TTaammbbaakk UUddaanngg

BB.. MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann BBuuddiiddaayyaa TTaammbbaakk UUddaanngg

BBeerrbbaassiiss PPeerriikkaannaann OOrrggaanniikk ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc

SSyysstteemm

11.. IInnppuutt lliinnggkkuunnggaann

22.. IInnppuutt tteerrkkoonnttrrooll

aa.. TTaattaa rruuaanngg ((zzoonnaassii)) wwiillaayyaahh ppeessiissiirr

bb.. DDeessaaiinn,, ttaattaa lleettaakk ddaann kkoonnssttrruukkssii ttaammbbaakk

cc.. PPoollaa bbuuddiiddaayyaa UUddaanngg MMooddeell CCuullttiivvaarr aanndd MMoodduullaarr

SSyysstteemm

dd.. SSeelleekkssii ddaann BBiioo--sseeccuurree BBeenniihh UUddaanngg

ee.. PPeenngggguunnaaaann PPuuppuukk OOrrggaanniikk ddaann DDiissiinnffeekkttaann

OOrrggaanniikk

ff.. SSiikkaapp ddaann KKeetteerraammppiillaann TTeennaaggaa KKeerrjjaa

gg.. BBiioorreemmiiddiiaassii LLaahhaann TTaammbbaakk

BBaabb 66.. KKeessiimmppuullaann

IIVV.. DDOOCCUUMMEENNTTAARRYY RREEVVIIEEWW

Udang merupakan jenis ikan konsumsi air payau,

badan beruas berjumlah 13 (5 ruas kepala dan 8 ruas dada) dan

seluruh tubuh ditutupi oleh kerangka luar yang disebut

eksosketelon. Teknologi pemeliharaan udang dapat dilakukan

secara tradisional, semi intensif dan intensif. Sementara pola

pemeliharaannya bisa monokultur dan polikultur. Terkait

dengan tahap budidaya, teknologi yang digunakan dan pola

pemeliharaannya maka terdapat berbagai variasi budidaya

yang dapat dipilih. Tambak udang bukanlah usaha yang

banyak menyerap tenaga kerja. Dalam 5 ha tambak hanya

diperlukan 2 orang penjaga dan 5-10 orang untuk melakukan

panen. Namun demikian tambak setidaknya menjadi sumber

penghidupan bagi ribuan keluarga Indonesia, tahun 2000,

186.485 keluarga hidup dari tambak. Angka ini merupakan

14,73% dari seluruh keluarga perikanan. Jumlah petambak

dari tahun ke tahun terus meningkat demikian juga dengan

perannya terhadap total rumah tangga perikanan. Dengan

melihat rata-rata luas tambak per keluarga dapat dilihat bahwa

peningkatan rumah tangga petambak tidak menyebabkan

terpecahnya pemilikan tambak. Pada periode 1995-2000 rata-

rata pemikilan tambak berkisar pada angka 2 ha.

AA.. TTeekknniikk BBuuddiiddaayyaa TTaammbbaakk UUddaanngg

Intensitas pemanfaatan lahan pesisir di wilayah

pesisir untuk kegiatan budidaya air payau (tambak udang

maupun ikan) tergolong cukup tinggi. memperhatikan

kharakteristik fisik dan kimiawi tanah, lahan tambak tersebut

umumnya berada pada tanah jenis alluvial dengan derajat

keasaman berkisar antara 6,2 – 7,65 dengan pH rata-rata 7,00.

Umumnya tambak tersebut dibangun di wilayah lahan pasang

surut (Zona Internidal) dan daerah tepi sungai yang masih

dipengaruhi oleh pasang surut aair laut, karena untuk

pengairannya tergantung penuh pada pergerakan air pasang

surut. Konstruksi tambak tersebut umumnya sebagaimana

konstruksi tambak ekstensif (sederhana), yaitu merupakan

Page 3: Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Pag

e3

tambak dengan bentuk empat persegi panjang dengan saluran

keliling pada tepi pelataran (caren) dan pematang tersusun atas

bahan tanah yang dipadatkan dengan ketinggian pematang

rata-rata 1 meter dan kemiringn profil pematang 1-1,5 : 1 dan

kedalaman air rata-rata 0,5 meter (BPSPL Makassar, 2011).

Teknik budidaya tambak udang dapat dilakukan

dengan berbagai macam cara diantaranya adalah dengan cara

tradisional, semi intensif dan intensif. Menurut Anonymous

(2001) berdasarkan tingkat teknologi, budidaya udang di

Indonesia terbagi menjadi tiga metode, yaitu:

1) Tambak tradisional (ekstensif) : Tambak tradisional

tidak menggunakan kincir karena kepadatan sebar

berkisar 1 - 15 ekor/m2 luas lahan, dengan luas lahan

berkisar antara 1,0 – 10 hektar. Pakan yang diberikan

sebagian besar berasal dari sumber alami;

2) Tambak semi intensif. Padat penebaran pada tambak

semi intensif berkisar antara 15 - 30 ekor/m2, dengan

luas lahan berkisar antara 0,5 – 2,0 hektar. Peralatan

kincir dipergunakan untuk teknologi ini sebanyak 1-2

kincir per petak lahan (0,5 ha). Pakan yang diberikan

berupa pellet dengan kualitas yang baik;

3) Tambak intensif : Padat penebaran bibit pada tambak

intensif diatas 30 ekor/m2 dengan luas lahan berkisar

antara 0,25 – 1,0 hektar. dilengkapi kincir 3 buah

untuk setiap petak (0,5 ha). Pakan yang digunakan

berupa pellet yang telah teruji.

Secara histori, sampai dengan awal tahun 1960-an

areal tambak di Indonesia hanya digunakan untuk budidaya

ikan bandeng, kegiatan membudidayakan udang (terutama

udang windu P.monodon dan udang putih P.marguiensis) baru

dimulai pada awal Tahun 1970-an. Hal ini sepedendapat

dengan Poernomo, 1979, bahwa, Setelah tahun 70-an

pembudidayaan udang windu teknologi ekstensif berkembang

di Indonesia, pengenalan morofologi benur alam, teknik

merawat dan pengangkutan serta pembesarannya udang dalam

tambak (teknologi ekstensif secara mono atau polikultur

dengan bandeng) telah berlangsung di beberapa daerah di

Indonesi termasuk Sulawesi Selatan (Bulukumba, Jeneponto,

pangkep dan Pinrang) pada dekade tahun 1970-an, dimana

pendederan dan aklimatisasi benur didalam keramba jaring

apung didalam tambak atau didalam bak-bak semen didarat

berkembang pesat di daerah pertambakan yang jauh dari

sumber benur.

Pada dekade tahun 1980-1990, usaha budidaya udang

di tambak mengalami kemajuan yang pesat dengan

produktivitas yang cukup tinggi, hal ini diindikasikan dengan

terjadinya pencetakan tambak baru dan konversi lahan

perikanan (sawah) menjadi lahan tambak, pada dekade itu,

usaha pembudidayaan udang windu banyak dikembangkan

secara intensif dengan padat modal dan sarana (kincir dan

pompa) yang memadai. Namun sejalan dengan muncul dan

mewabahnya virus ‘white spot’ pada awal dekade tahun 2000-

an, kegiatan usaha budidaya udang mulai mengalami

penurunan. Kondisi ini terus terjadi hingga akhir dekade 2000-

an. Saat ini, usaha budidaya tambak dilakukan secara

sebagian besar sederhana (ekstensif) dan hanya sedikit yang

dilakukan secara intensif, kebanyakan tambak di gunakan

untuk budidaya ikan bandeng sedangkan untuk komoditas

udang tidak dapat dilakukan secara optimal dan bahkan

banyak ditinggalkan karena kurang produktif akibat gagal

panen kalaupun ada komuditas udang yang dibudidaya hanya

bersifat ikutan dengan tambak ikan bandeng yang ada, atau

yang lebih umum dikenal dengan istilah polikultur. Aplikasi

teknologi budidaya tambak yang dilakukan oleh para

petambak, dilaksanakan mulai dari cara sederhana dengan

inputan sumberdaya dan energi yang relatif minim hingga cara

intensif dengan padat penebaran yang tinggi dan

ketergantungan terhadap inputan yang tinggi (Gambar 1).

Page 4: Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Pag

e4

Gambar 1. Kegiatan Pembudidaya Tambak Udang dan Ikan

Bandeng

Sumber : Urif Syarifudin, 2011.

Secara lebih rinci uraian implementasi teknologi

budidaya tambak udang yang dilaksanakan oleh para

petambak di wilayah pesisir Indonesia, adalah sebagai berikut:

Persiapan tambak yang dilakukan oleh para petambak

dilakukan dengan cara pengeringan tanah dasar tambak

dengan menggunakan panas matahari dengan tujuan untuk

mempercepat penguraian bahan organik. Pengeringan tanah

dilakukan hingga tanah retak-retak (kadar air sekitar 40%).

Pengeringan tidak boleh dilakukan sampai tanah berdebu

karena proses meneralisasi bahan organik akan berhenti.

Pengeringan tambak umumnya dilakukan selama kurang

lebih 1 bulan. Selain dilakukan pengeringan, dilakukan pula

perbaikan konstruksi tambak yang meliputi ; perbaikan pintu

air, saringan, pematang dan saluran tambak. Adapun perbaikan

pematang dilakukan dengan menutup bocoran-bocoran yang

terdapat pada pematang tambak, sedangkan untuk saluran

dilakukan pembersihan dan pengangkatan lumpur. Tinggi

pematang tambak yaitu 1-1,5 m. Untuk meningkatkan

kesuburan tanah, para petambak melakukan pemupukan.

Pemupukan dilakukan dengan menggunakan pupuk organik

dan anorganik untuk menjamin ketersediaan pakan alami

untuk ikan bandeng. Adapun jenis pupuk organik yang

diberikan berupa kotoran ayam dengan dosis 25 kg, sedangkan

pupuk anorganik berupa Urea 500 kg dan TSP/SP-36 500 kg.

Setelah tambak siap, maka dilakukan pemasukan air yang

bersumber dari air laut yang terdapat disekitar wilayah

tambak. Proses pemasukan air dilakukan dengan sistem

gravitasi (pasang surut air laut) dengan kedalaman air tambak

50-80 cm. Sistem budidaya yang diterapkan yaitu polikultur

dimana ikan bandeng dipelihara bersama dengan udang windu.

Benih yang ditebar baik nener maupun benur udang windu

merupakan hasil dari pembenihan hatchery. Penebaran benih

dilakukan pada saat suhu rendah yaitu pada pagi hari dan

untuk menjaga baik benur maupun nener tidak mengalami

stress, diberikan perlakuan aklimatisasi terhadap kondisi suhu

dan salinitas air tambak. Padat tebar untuk ikan bandeng

60.000 ekor, sedangkan untuk benur udang windu 20.000

ekor. Ukuran nener yang ditebar merupakan ukuran

gelondongan (5-7 cm) dan untuk benur udang windu ukuran

PL 12 – 14. Selama masa pemeliharaan, para petambak

melakukan pengelolaan air yang meliputi pergantian air yang

dilakukan 2 kali dalam 1 bulan dan mempertahankan

kedalaman air sekitar 80 cm. Perlakuan lain adalah berupa

pemupukan susulan yang mulai dilakukan pada saat

persediaan dan pertumbuhan kelekap berkurang (sekitar 1

bulan setelah penebaran). Pemupukan dilakukan dengan Urea

dosis 50 kg/ha. Untuk memenuhi kebutuhan pakan, para

petambak mengandalkan pakan alami berupa klekap.

Sedangkan untuk meningkatkan produktivitas maka di

gunakan pakan buatan.

BB.. IIssuu--iissuu SSttrraatteeggiiss PPeennggeelloollaaaann BBuuddiiddaayyaa TTaammbbaakk UUddaanngg

Secara garis besar dalam pengelolaan budidaya

tambak udang, terdapat beberapa sistem, seperti sistem

ekologi pesisir, sistem sosial masyarakat pesisir dan sistem

produksi perikanan. Antara sistem yang satu dengan sistem

yang lain, saling berinteraksi dan memiliki keterkaitan yang

tinggi. Menurut Ambo Alla (2011), Sistem-sistem yang

terdapat dalam perikanan (termasuk di dalamnya perikanan)

mengalami perubahan seiring dengan terjadinya perubahan

waktu, dimana sistem sosial dan sistem produksi perikanan

(perikanan) akan semakin meningkat seiiring dengan

terjadinya perubahan waktu, sementara disisi lain sistem

ekologis akan semakin menurun. Penurunan sistem ekologis,

merupakan isu-isu yang sangat kompleks dalam pengelolaan

budidaya tambak udang. Kompleksitas permasalahan

pengembangan budidaya tambak udang menuntut pendekatan

penyelesaian yang bersifat integratif dan menyeluruh serta

terfokus pada pelestarian sumberdaya alam, peningkatan

kesejahteraan masyarakat petambak dan kemajuan wilayah

pesisir.

Menurut Chanratchakool et al (1995) salah satu

penyebab kegagalan budidaya udang intensif adalah

penurunan mutu lingkungan akibat tebalnya akumulasi bahan

organik yang bersumber dari : (1) sisa pakan yang tidak

termakan udang : (2) kotoran udang dan ; (3) jasad renik atau

plankton yang mati yang terjadi selama proses budidaya.

Boyd (1992) menyatakan bahan organik yang terakumulasi

akan semakin meningkat dengan bertambahnya umur

pemeliharaan. Berikut ini merupakan isu-isu yang terjadi di

dalam pengelolaan budidaya tambak udang di Indonesia,

antara lain :

Tuntutan pemenuhan kebutuhan manusia akan

produk hasil perikanan semakin meningkat dan

tekanan ekologis terhadap ekosistem pesisir semakin

tinggi, sementara disisi lain tingkat produktivitas

lingkungan semakin turun, kondisi ini terus

Page 5: Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Pag

e5

berlangsung secara determinasi seiring dengan

perkembangan waktu.

Semakin meningkatnya ketergantungan

pembudidayaan tambak udang terhadap input

eksternal seperti penggunaan pestisida, pupuk dan

bahan-bahan kimia lainnya.

Semakin menurunya produktifitas tambak udang

akibat erosi tanah dan kehilangan (pencucian) hara

dari tanah serta kegagalan panen akibat serangan

penyakit udang.

Semakin meningkatnya pencemaran air akibat

inputan ekstenal seperti pestisida, pupuk dan bahan-

bahan kimia lain serta limbah industri dan rumah

tangga.

Semakin meningkatnya ancaman terhadap residu

bahan-bahan agro kimia terhadap kualitas lingkungan

dan keamanan pangan (food safety).

Terjadinya perubahan iklim (climate change) sebagai

akibat dari pemanasan global (global warming).

CC.. PPrriinnssiiff PPeerriikkaannaann BBeerrkkeellaannjjuuttaann

Paradigma pembangunan yang dikembangkan saat ini

baik negara maju maupun negara berkembang adalan

pembangunan berkelanjutan (sustainable). Kata sustain berasal

dari bahasa latin yaitu “sustinere” yang terdiri dari kata “sus =

from below” dan “tenere = to hold”, padanan kedua kata

tersebut diartikan “menjaga keberadaan atau memelihara atau

menyatakan dukungan jangka panjang/ permanen”. Menurut,

Ambo Alla (2011), pertanian berkelanjutan menggambarkan

sistem pertanian yang mampu mempertahankan

produktivitasnya dan manfaatnya pada masyarakat untuk

jangka waktu yang tidak terbatas. Definisi lain dari pertanian

berkelanjutan menurut American Sosiety for Agronomy

(1989), adalah “A sustainable agriculture is one that, over the

long term, enhances environmental quality and the resource

base on whichagriculture depends; providers for basic human

food and fiber needs; is economically viable; and enhances

the quality of life for farmers and society as awhole”

Banyak pendapat tentang batasan berkelanjutan, dan

satu diantaranya menurut Gips (1986) dalam Van de Fliert,

dkk. (1999) yang dimaksud dengan perikanan berkelanjutan

adalah pembangunan perikanan yang mencakup hal-hal

berikut:

1) Mantap secara ekologis, yang berarti bahwa kualitas

sumberdaya alam dipertahankan dan kemampuan

agroekosistem secara menyeluruh dari manusia, tanaman

dan hewan dipertahankan. Kedua hal ini akan terpenuhi

jika tanah dikelola dan kesehatan tanaman, hewan serta

masyarakat dipertahankan melalui proses biologis.

Sumberdaya lokal dipergunakan sedemikian rupa,

sehingga kehilangan unsur hara, biomassa dan energi

dapat ditekan serendah mungkin serta mampu mencegah

pencemaran.

2) Berlanjut secara ekonomis, yang berarti bahwa

petani mampu menghasilkan untuk pemenuhan

kebutuhan serta mendapatkan penghasilan yang

mencukupi untuk pengembalian tenaga dan biaya yang

dikeluarkan.

3) Adil, yang berarti bahwa sumberdaya dan kekuasan

didistribusikan sedemikian rupa sehingga kebutuhan

dasar semua anggota masyarakat terpenuhi dan hak-hak

mereka dalam penggunaan lahan, modal yang memadai,

bantuan teknis serta pemasaran terjamin.

4) Manusiawi, yang berarti bahwa semua bentuk

kehidupan (tanaman, hewan dan manusia) dihargai.

Martabat dasar semua mahluk hidup dihormati, dan

hubungan serta Institusi menggabungkan nilai

kemanusian yang mendasar, seperti kepercayaan,

kejujuran, harga diri, kerjasama dan rasa sayang.

Integritas budaya dan spiritualistis masyarakat dijaga dan

dipelihara.

5) Luwes, yang berarti bahwa masyarakat pedesaan

mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi

usahatani yang berlangsung terus, misalnya pertambahan

jumlah penduduk, kebijakan, permintaan pasar dan lain-

lain.

Berdasarkan definisi di atas, pertanian berkelanjutan

pada dasarnya mencakup 5 (lima) aspek yang perlu ditekankan

dalam penerapannya (Gambar 2), yaitu :

(1) Produktifitas hasil pertanian.

(2) Efisiensi dari pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak

terbaharukan.

(3) Kualitas hidup yang baik dan cendrung meningkat.

(4) Usaha pertanian yang dikembangkan layak secara

ekonomi.

(5) Kualitas lingkungan yang senantiasa terjaga dan

meningkat.

Page 6: Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Pag

e6

Gambar 2. Lima Aspek dalam Pertanian Berkelanjutan

Sejak akhir tahun 1980’an kajian dan diskusi untuk

merumuskan konsep pembangunan bekelanjutan yang

operasional dan diterima secara universal terus berlanjut.

Pezzy (1992) mencatat, 27 definisi konsep berkelanjutan dan

pembangunan bekelanjutan, dan tentunya masih ada banyak

lagi yang luput dari catatan tersebut.

Walau banyak variasi definisi pembangunan berkelanjutan,

termasuk pertanian berkelanjutan, yang diterima secara luas

ialah yang bertumpu pada tiga pilar: ekonomi, sosial, dan

ekologi (Munasinghe, 1993). Dengan perkataan lain, konsep

pembangunan berkelanjutan berorientasi pada tiga dimensi

keberlanjutan, yaitu pilar Triple-P (Gambar 3) :

keberlanjutan usaha ekonomi (profit),

keberlanjutan kehidupan sosial manusia (people),

keberlanjutan ekologi alam (planet),

Seiring dengan batasan di atas, maka definisi dari

perikanan berkelanjutan (sustainable agriculture) adalah

pemanfaatan sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable

resources) dan sumberdaya tidak dapat diperbaharui

(unrenewable resources) untuk proses produksi perikanan

dengan menekan dampak negatif terhadap lingkungan

seminimal mungkin. Keberlanjutan yang dimaksud meliputi :

penggunaan sumberdaya, kualitas dan kuantitas produksi, serta

lingkungannya. Proses produksi perikanan yang berkelanjutan

akan lebih mengarah pada penggunaan produk hayati yang

ramah terhadap lingkungan (Kasumbogo Untung, 1997).

Gambar 3. Pilar Pertanian Berkelanjutan

Dimensi ekonomi berkaitan dengan konsep

maksimisasi aliran pendapatan yang dapat diperoleh dengan

setidaknya mempertahankan asset produktif yang menjadi

basis dalam memperoleh pendapatan tersebut. Indikator utama

dimensi ekonomi ini ialah tingkat efisiensi, dan daya saing,

besaran dan pertumbuhan nilai tambah (termasuk laba), dan

stabilitas ekonomi. Dimensi ekonomi menekankan aspek

pemenuhan kebutuhan ekonomi (material) manusia baik untuk

generasi sekarang maupun generasi mendatang.

Dimensi sosial adalah orientasi kerakyatan, berkaitan

dengan kebutuhan akan kesejahteraan sosial yang dicerminkan

oleh kehidupan sosial yang harmonis (termasuk tercegahnya

konflik sosial), preservasi keragaman budaya dan modal sosio-

kebudayaan, termasuk perlindungan terhadap suku minoritas.

Untuk itu, pengentasan kemiskinan, pemerataan kesempatan

berusaha dan pendapatan, partisipasi sosial politik dan

stabilitas sosial-budaya merupakan indikator-indikator penting

yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pembangunan.

Dimensi lingkungan alam menekankan kebutuhan

akan stabilitas ekosistem alam yang mencakup sistem

kehidupan biologis dan materi alam. Termasuk dalam hal ini

ialah terpeliharanya keragaman hayati dan daya lentur biologis

(sumberdaya genetik), sumberdaya tanah, air dan agroklimat,

serta kesehatan dan kenyamanan lingkungan. Penekanan

dilakukan pada preservasi daya lentur (resilience) dan

dinamika ekosistem untuk beradaptasi terhadap perubahan,

bukan pada konservasi suatu kondisi ideal statis yang mustahil

dapat diwujudkan.

Ketiga dimensi tersebut saling mempengaruhi

sehingga ketiganya harus diperhatikan secara berimbang.

Sistem sosial yang stabil dan sehat serta

sumberdaya alam dan lingkungan merupakan basis untuk

kegiatan ekonomi, sementara kesejahteraan ekonomi

Page 7: Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Pag

e7

merupakan prasyarat untuk terpeliharanya stabilitas sosial-

budaya maupun kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan

hidup. Sistem sosial yang tidak stabil atau sakit (misalnya

terjadinya konflik sosial dan prevalensi kemiskinan) akan

cenderung menimbulkan tindakan yang merusak kelestarian

sumberdaya alam dan merusak kesehatan lingkungan,

sementara ancaman kelestarian sumberdaya alam dan

lingkungan (misalnya kelangkaan tanah dan air) dapat

mendorong terjadinya kekacauan dan penyakit sosial.

Untuk mengevaluasi tingkat keberhasilan konsep

pembangunan berkelanjutan, maka salah satu aspek yang

harus diperhatikan adalah aspek lingkungan. Sedang untuk

menilai dan mengevaluasi kondisi suatu lingkungan, maka ada

tiga landasan utama yang dijadikan dasar yaitu:

1) Produktivitas lingkungan

2) Kelestarian keanekaragaman hayati

3) Kemantapan hubungan ekologis

Menurut Natsir Nessa (2011), ada 4 (empat) indikator

utama dari kegiatan usaha perikanan yang dilaksanakan secara

berkelanjutan, yaitu :

(1) Hasil berkelanjutan pada produk untuk konsumsi

manusia maupun kebutuhan lain.

(2) Terpeliharanya biodiversitas perikanan.

(3) Terbentuknya sistem proteksi terhadap pencemaran dan

degradasi habitat/ ekosistem pesisir dan laut.

(4) Berkelanjutan pada kondisi sosial ekonomi

masyarakatyang cendrung membaik.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka ada beberapa

batasan tentang ciri-ciri kegiatan pertanian berkelanjutan,

yaitu menurut Bouma (1997) :

(1) Terproteksi secara ekologi,

(2) Diterima secara sosial,

(3) Produktif secara ekonomi,

(4) Berkelanjutan secara ekonomi, dan

(5) Efektif mengurangi resiko.

Sedangkan Tiwany, at al (1999), menjabarkan bahwa ada

empat ciri hal pada suatu kegiatan pertanian yang dilakukan

secara berkelanjutan, yaitu :

(1) Memelihara sumberdaya dasar, seperti lahan,

(2) Ketergantungan terhadap input luar rendah,

(3) Menguntungkan secara ekonomi jangka panjang, dan

(4) Diterima oleh petani.

DD.. KKoonnsseeppssii PPeerriikkaannaann OOrrggaanniikk ddaann PPrroodduukk BBeerrssiihh

Meningkatnya dampak kerusakan lingkungan pesisir

akibat praktek pembudidayaan tambak secara intensif bahkan

cendrung super intensif dengan high eksternal input (input luar

yang tinggi) seperti penggunaan saponin, brestan, antibiotik,

pupuk anorganik dan pakan buatan, membawa kesadaran baru

bagi segenap pihak yang berkepentingan dengan

pengembangan perikanan baik petambak, pakar di bidang

perikanan, pelaku ekonomi, masyarakat umum serta

pengambil kebijakan baik lokal maupun kebijakan negara

untuk kembali menyusun strategi baru dalam menanggulangi

dampak negatif, meskipun masih terdapat keragaman pada

tingkat kesadaran. Salah satu wujud kesadaran tersebut adalah

munculnya perencanaan mina-ekosistem yang kembali pada

sistem perikanan organik dan produk bersih.

Definisi dari sistem perikanan organik dapat

didekatkan dengan Perikanan organik yang merupakan hukum

pengembalian (low of return) yang berarti suatu sistem yang

berusaha untuk mengembalikan semua jenis bahan organik ke

dalam tanah baik dalam bentuk residu dan limbah pertanaman

maupun ternak yang selanjutnya bertujuan memberi makanan

pada tanaman (Sutanto, 2002). Perikanan organik (organic

farming, oraganic system atau organic agriculture) adalah

sistem perikanan yang menggunakan sarana produksi yang

berasal dari mahkluk hidup, bukan produksi pabrik atau

bahan-bahan mineral (Mugnisjah, 2001).

Berdasarkan prinsip utama tersebut, maka

pengembangan sistem perikanan organik diarahkan pada tujuan

utama yaitu : a) Mengurangi dampak negatif pada lahan baik

fisik kimia dan biologi, sehingga produktisifitas lahan tambak

meningkat dan stabil, b) Mengurangi resistensi dan persistensi

hama penyakit akibat penggunaan bahan-bahan kimia,

sehingga penekanannya lebih mengarah pada pengendalian

hayati, c) Meningkatnya kesehatan lingkungan ekosistem

pesisir sehingga kesehatan masyarakat dan petambak juga

meningkat, d) Mengurangi ketergantungan petambak terhadap

masukan berupa sarana produksi dari luar, sehingga

pemanfaatan sumberdaya lokal semakin meningkat, e)

Mewujudkan kedaulatan petambak dalam menentukan

rencana-rencana strategi dan pengambilan keputusan sehingga

ketimpangan sosial dan ekonomi dapat teratasi.

Pada pendekatan teknis, sistem perikanan organik

memberikan penekanan pada prinsip daur ulang hara,

konservasi air dan interaksi antara tanaman dalam pemenuhan

siklus hara serta pengendalian hama dan penyakit serta gulma

dalam model integrated farming system. Prinsip daur ulang

hara pada perikanan organik didasarkan pada upaya

mengurangi kehilangan hara melalui panen (biomassa dan hasil

ekonomi), dengan cara mengembalikan sebagian biomassa ke

dalam tanah, setelah hasil ekonomi di panen. Pada penggunaan

hara yang bersumber dari bahan-bahan anorganik (pupuk

kimia), maka proses daur ulang hara tidak terjadi karena

sumber utama hara adalah bentuk anorganik yang berasal dari

luar agroekosistem . Sedangkan sumber hara dari bahan

organik (biomassa tanaman, kotoran hewan dan limbah

organik), setelah diberikan ke dalam tanah dalam bentuk

Page 8: Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Pag

e8

organik, selanjutnya akan mengalami proses peruraian menjadi

bentuk anorganik. Sumber utama hara organic berasal dari

petak usahatani, sedangkan sumber hara anorganik berasal dari

luar petak tambak. Sumber-sumber bahan organik yang berasal

dari dalam lingkungan tambak, dalam hubungannya dengan

kebutuhan hara tanah dapat disebut pupuk organik. Hingga

saat ini perkembangan penggunaan bahan organik sebagai

sumber pupuk organik semakin meningkat seiring dengan

peningkatan degradasi lahan terutama didaerah tropis.

Sedangkan “Produksi Bersih” merupakan salah satu

sistem pengelolaan lingkungan yang dilaksanakan secara

sukarela (Voluntary) sebab penerapannya bersifat tidak

wajib. Konsep Produksi Bersih merupakan pemikiran baru

untuk lebih meningkatkan kualitas lingkungan dengan lebih

bersifat proaktif. Produksi Bersih merupakan istilah yang

digunakan untuk menjelaskan pendekatan secara konseptual

dan operasional terhadap proses produksi dan jasa, dengan

meminimumkan dampak terhadap lingkungan dan manusia

dari keseluruhan daur hidup produknya.

Badan Pengendalian Dampak Lingkungan

(Bapedal, 1995) mendefinisikan Produksi Bersih sebagai

suatu strategi pengelolaan lingkungan yang preventif dan

diterapkan secara terus-menerus pada proses produksi,

serta daur hidup produk dan jasa untuk meningkatkan eko-

efisiensi dengan tujuan mengurangi risiko terhadap manusia

dan lingkungan.

Strategi Produksi Bersih mempunyai arti yang

sangat luas karena di dalamnya termasuk upaya pencegahan

pencemaran dan perusakan lingkungan melalui pilihan jenis

proses yang akrab lingkungan, minimisasi limbah, analisis

daur hidup produk, dan teknologi bersih. Pencegahan

pencemaran dan perusakan lingkungan adalah strategi yang

perlu diprioritaskan dalam upaya mewujudkan industri dan

jasa yang berwawasan lingkungan, namun bukanlah

merupakan satu satunya strategi yang harus diterapkan.

Strategi lain seperti program daur ulang, pengolahan dan

pembuangan limbah tetap diperlukan, sehingga dapat saling

melengkapi satu dengan lainnya (Bratasida, 1997).

Strategi untuk menghilangkan limbah atau

mengurangi limbah sebelum terjadi (preventive strategy), lebih

baik daripada strategi pengolahan limbah atau pembuangan

limbah yang telah ditimbulkan (treatment strategy). Kombinasi

kedua strategi tersebut sesuai dengan skala prioritas

pelaksanaan Produksi Bersih adalah sebagai berikut

(Overcash, 1986) :

Eliminasi : Strategi ini dimasukkan sebagai metode

pengurangan limbah secara total. Bila perlu tidak

mengeluarkan limbah sama sekali (zero discharge).

Mengurangi sumber limbah : Strategi pengurangan

limbah yang terbaik adalah strategi yang menjaga

agar limbah tidak terbentuk pada tahap awal.

Pencegahan limbah mungkin memerlukan beberapa

perubahan penting dalam proses produksi, tetapi

dapat meningkatkan efisiensi ekonomi yang besar dan

menekan pencemaran lingkungan.

Daur Ulang : Jika timbulnya limbah tidak dapat

dihindarkan dalam suatu proses, maka harus dicari

strategi-strategi untuk meminimumkan limbah

tersebut sampai batas tertinggi yang mungkin dilaku-

kan, seperti misalnya daur ulang (recycle) dan/atau

penggunaan kembali (reuse). Jika limbah tidak dapat

dicegah atau diminimumkan melalui penggunaan

kembali atau daur ulang, strategi-strategi yang

mengurangi volume atau kadar racunnya melalui

pengolahan limbah dapat dilakukan. Walaupun

strategi ini kadang-kadang dapat mengurangi jumlah

limbah, tetapi tidak sama efektifnya dengan

mencegah limbah di tahap awal.

Pengolahan Limbah : Strategi yang terpaksa

dilakukan mengingat pada proses perancangan

produksi perusahaan belum mengantisipasi adanya

teknologi baru yang sudah bebas limbah. Artinya

limbah memang sudah terjadi dan ada dalam sistem

produksinya, namun kualitas dan kuantitas limbah

yang ada dikendalikan agar tidak melebihi baku mutu

yang disyaratkan.

Pembuangan Limbah : Strategi terakhir yang perlu

dipertimbangkan adalah metode-metode pembuangan

alternatif. Pembuangan limbah yang tepat merupakan

suatu komponen penting dari keseluruhan program

manajemen lingkungan, meskipun ini adalah teknik

yang paling tidak efektif.

Remediasi : Strategi penggunaan kembali bahan-

bahan yang terbuang bersama limbah. Hal ini

dilakukan untuk mengurangi kadar racun dan

kuantitas limbah yang ada.

VV.. PPEEMMBBAAHHAASSAANN

AA.. IIddeennttiiffiikkaassii SSiisstteemm PPaaddaa BBuuddiiddaayyaa TTaammbbaakk UUddaanngg

Pengembangan sistem budidaya tambak udang udang

berbasis organik dan produksi bersih, memerlukan suatu

instrument analisis yang mampu mengakomodasi perubahan

yang cepat, salah satunya dengan menggunakan analisis

kesesuaian lahan untuk kawasan pertambakan; analisis

potensi, tingkat teknologi budidaya dan pola usahatani

tambak; dan analisis pengembangan pertambakan, sehingga

diperoleh pola usahatani dan teknologi budidaya tambak yang

tepat pada lokasi yang sesuai untuk kawasan pertambakan

dengan pengelolaan yang baik dan berwawasan lingkungan.

Pada umumnya budidaya tambak udang dapat diusahakan

secara sistem organik karena pada mulanya komuditas udang

dapat tumbuh secara alami, tanpa memerlukan inputan

Page 9: Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Pag

e9

eksternal seperti; pupuk, pestisida, pakan buatan dan agro

kimia lainnya (lihat Poernomo, 1979).

Untuk mengembangkan model budidaya tambak

udang selain instrument analisis di atas, diperlukan pula metode

pendekatan sistem yang merupakan salah satu cara penyelesaian

persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi

terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan, sehingga dapat

menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif

(Eriyatno, 2003).

Menurut Eriyatno (2003), dalam melakukan

pendekatan terhadap suatu sistem produksi perikanan, umumnya

ditandai oleh dua hal, yaitu:

1) Mencari semua faktor penting yang ada untuk

mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan

masalah.

2) Dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu

keputusan rasional.

Pengkajian dalam pendekatan sistem produksi

perikanan seyogyanya memenuhi tiga karakteristik, yaitu: (a).

kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit; (b).

dinamis, dalam arti faktor yang terlibat ada yang berubah

menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan. (c)

probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam

inferensi kesimpulan maupun rekomendasi (Eriyatno, 2003).

Prosedur pengembangan model budidaya tambak

udang secara berkelanjutan berbasis “fisheries organic system”

dan “clean production” yang di sajikan dalam makalah ini,

meliputi tahapan – tahapan sebagai berikut : analisis

kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem,

pemodelan sistem, verifikasi model dan implementasi model.

Pada uraian sebelumnya, telah dijelaskan bahwa kebutuhan

komoditas udang semakin meningkat baik dari segi kualitas

maupun kuantitas, sedangkan disisi lain masih banyak masalah

yang menghambat untuk pemenuhan kebutuhan tersebut.

Bahasan selanjutnya akan membahas identifikasi terhadap

variabel-variabel yang terlibat dalam proses produksi budidaya

tambak udang, kemudian ditentukan hubungan yang logis

antar variabel tersebut. Dari hubungan itu dapat ditentukan

apakah hubungannya bersifat positif atau negatif. Dengan

demikian dapat dibangun hubungan umpan balik (causal loop)

untuk semua variabel. Identifikasi sistem produksi budidaya

tambak udang kemudian diilustrasikan dalam diagram lingkar

sebab-akibat lalu diinterpretasikan untuk membangun konsep

kotak gelap (black box) diagram input-output. Diagram input-

output merepresentasikan input lingkungan, input terkendali

dan tak terkendali, output dikehendaki dan tak dikehendaki,

serta manajemen pengendalian.

Menurut Natsir Nessa (2011), ada 3 (tiga) komponen

utama dalam kegiatan perikanan sebagai suatu sistem, yaitu;

sistem lingkungan, sistem pengelolaan dan sistem manusia.

Jika ketiga komponen utama tersebut dikembangkan dalam

sistem produksi tambak udang, maka ilustrasi kegiatan

budidaya tambak udang sebagai suatu sistem adalah

sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Kegiatan budidaya tambak udang sebagai suatu

sistem

Sumber : Modifikasi dari Natsir Nessa (2011)

Gambar 5. Diagram sebab-akibat (Causal Loop) Sistem

Pengembangan Budidaya Udang.

Page 10: Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Pag

e10

Ketiga sistem utama dalam budidaya tambak udang

(Gambar 4), diuraikan menjadi sub-sub sistem yang lebih kecil

lagi dan sub-sub sistem tersebut memiliki faktor pengaruh

yang kuat terhadap sistem utama pembentuk kegiatan

budidaya tambak udang. Pada sistem lingkungan, kegiatan

budidaya udang akan sangat dipengaruhi oleh kegiatan yang

berada di pesisir maupun di laut, kualitas lahan budidaya

tambak udang dipengaruhi oleh kualitas perairan (laut sebagai

sumber air payau) dan kualitas tanah/tambak yang berada di

dataran estuarin. Pada sistem pengelolaan, selain ditentukan

oleh pola budidaya dan teknik budidaya yang

diimplementasikan, pengelolaan budidaya tambak udang juga

dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah terhadap pengelolaan

lingkungan dan pengawasan serta pengendalian lingkungan

pesisir. sedangkan pada sistem sumberdaya manusia, kegiatan

budidaya tambak ditentukan oleh perilaku petambak dalam

berbudidaya udang, pengetahuan dan keterampilan serta

keperdulian petambak akan kelestarian lingkungan.

Selanjutnya setelah dilakukan identifikasi terhadap

sistem pada kegiatan budidaya tambak udang, maka dapat

dibangun suatu konstruksi logis tentang variabel-variabel yang

terdapat dalam sistem tersebut. Variabel-variabel yang terlibat,

kemudian ditentukan hubungan yang logis antar variabel yang

satu dengan variabel yang lain. Dari hubungan itu dapat

ditentukan apakah hubungannya bersifat positif atau negatif.

Dengan demikian dapat dibangun hubungan umpan balik

(causal loop) untuk semua variabel (Gambar 5).

Berdasarkan diagram alur sebab akibat (Causal

Loop) terlihat bahwa kegiatan budidaya tambak udang

terutama pada pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang

dipengaruhi oleh; Zonasi (tata ruang) wilayah tambak; Desain

dan tata letak/konstruksi tambak; Pola budidaya tambak .

Selain itu pendapatan dan jumlah penduduk serta kebutuhan

by product berpengaruh positip terhadap permintaan akan

produk udang. Kendala yang dihadapi pada pengembangan

sistem budidaya tambak udang berbasis ‘sistem perikanan

organik’ adalah hama dan penyakit yang menyebabkan

pertumbuhan udang tidak normal bahkan hingga gagal panen.

Kesemua variabel dalam diagram causal-loop tersebut

(Gambar 5) memiliki keterkaitan antar variabel, hal ini

menuntut kita untuk tidak dapat dengan mudah

mengimplementasikan model yang akan dikembangkan secara

parsial, untuk itu faktor kunci utama penerapan model ini

adalah keterpaduaan dan holistik.

BB.. MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann BBuuddiiddaayyaa TTaammbbaakk UUddaanngg

BBeerrbbaassiiss PPeerriikkaannaann OOrrggaanniikk ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm””..

Hasil identifikasi sistem diagram alur sebab-akibat

(Gambar 5), kemudian diinterpretasikan untuk membangun

konsep kotak gelap (black box) diagram input-output. Menurut

Sadelie (2003), diagram input-output merepresentasikan input

lingkungan, input terkontrol dan tak terkontrol, output

diinginkan dan tak diinginkan serta manajemen pengendalian.

Input terkontrol merupakan peubah endogen yang ditentukan

oleh fungsi dari sistem. Input yang terkontrol menurut

Eriyatno (2003), dapat divariasikan selama operasi untuk

menghasilkan perilaku sistem yang sesuai dengan yang

diharapkan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa peubah output

juga terdiri atas dua golongan yaitu output yang dikehendaki

dan output yang tidak dikehendaki. Output yang dikehendaki

biasanya dihasilkan dari adanya pemenuhan kebutuhan yang

ditentukan secara spesifik pada waktu analisa kebutuhan.

Sedangkan output tidak dikehendaki merupakan hasil

sampingan atau dampak yang ditimbulkan bersama-sama

dengan output yang dikehendaki (Gambar 6).

Gambar 6. Diagram Kotak Hitam (Black box diagram)

Pengembangan Budidaya Tambak Udang Secara

Berkelanjutan Berbasis “Fisheries Organic

System” dan “Clean Production”.

Penyusunan model dari sistem pengembangan

budidaya tambak udang berbasis sistem perikanan organik dan

produk bersih “Fisheries Organic System” dan “Clean

Production”, dapat diidentifikasikan input yang

mempengaruhi sistem serta output sebagai hasil transformasi

dari input yang diberikan sebagai berikut :

1. INPUT LINGKUNGAN

Input lingkungan yang mempengaruhi sistem adalah

iklim, kebijakan pemerintah dan budaya (kultur). Umumnya,

daerah yang digunakan untuk budidaya tambak udang windu

Page 11: Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Pag

e11

berupa lahan intertidal aluviamarin dan terletak pada daerah-

daerah pesisir sehingga menyulitkan dalam pengelolaan lahan

tambak terutama transportasi dan konservasi lahan serta

tingginya tekanan pada wilayah pesisir. disamping itu

kebijakan tentang pengelolaan wilayah pesisir oleh pemerintah

belum sepenuhnya diterapkan dengan baik, meskipun regulasi

tentang pengelolaan wilayah pesisir telah ditetapkan melalui

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

2. INPUT YANG TERKONTROL (CONTROLLED

INPUT)

a) Tata ruang (zonasi) wilayah pesisir.

Isu degradasi lingkungan dan penurunan produktifitas

tambak udang disebabkan karena pemanfaatan sumberdaya

pesisir yang tidak memenuhi kaidah-kaidah pembangunan

yang berkelanjutan secara signifikan mempengaruhi

ekosistemnya. Kegiatan pembangunan yang ada di kawasan

ini akan dapat mempengaruhi produktivitas sumberdaya akibat

proses produksi dan residu, dimana pemanfaatan yang

beraneka ragam dari sumberdaya pesisir kerap menimbulkan

konflik yang dapat berdampak timbal balik. Oleh karena itu

pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk tujuan pembangunan

secara terus menerus akan dapat berhasil jika dikelola secara

terpadu (Integrated Coastal Zone Management, ICZM).

Pengalaman membuktikan bahwa pengelolaan atau

pemanfaatan kawasan pesisir secara sektoral tidaklah efektif

(Dahuri et. al 1996; Brown 1997; Cicin-Sain and Knecht

1998; Kay and Alder 1999). Sebagai instrument dalam

pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu maka perlu diatur

tata ruang (zonasi) di kawasan tersebut.

Tata ruang wilayah pesisir memiliki interaksi yang

sangat kuat dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut,

artinya pengelolaan kawasan tambak yang baik sangat

ditentukan dengan tata ruang pesisir yang baik. Penataan

ruang wilayah pesisir memiliki keterkaitan dengan

pengelolaan sumberdaya air dan pengelolaan sumberdaya

manusia. Selain itu juga penataan ruang pesisir merupakan

bagian yang tidak dapat dipisahkan secara spasial dengan

pengelolaan sumberdaya pedesaan yang memberikan

kontribusi bahan baku dan kawasan produksi dan juga

terhadap pengelolaan sumberdaya perkotaan sebagai tempat

pemasran produk hasil pertanian/perikanan serta penyediaan

jasa penunjang kegiatan produksi. Untuk itu dalam penataan

ruang pesisir hendaknya memperhatikan konservasi dan

pengelolaan ekosistem.

Pola hubungan antara pengelolaan sumberdaya

pesisir dengan tata ruang pesisir dapat dilihat pada gambar

berikut.

Gambar 7. Pola hubungan anatara pengelolaan sumberdaya

pesisir dengan pengembangan wilayah (tata

ruang) pesisir.

Sumber : Ambo Alla, 2011

Hakikat dari Tata Ruang (Zonasi) Wilayah Pesisir

dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana yang diamanahkan dalam

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007

adalah rencana yang menentukan arah penggunaan

sumberdaya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan

penetapan struktur ruang dan pola ruang pada kawasan

perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan

tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat

dilakukan setelah memperoleh izin. Tata Ruang (Zonasi)

sebagai bentuk rekayasa teknis dalam pemanfaatan ruang,

maka dalam mengelompokkan suatu kawasan pesisir dan

pulau-pulau kecil ke dalam zona-zona dan sub-sub zona harus

dilakukan sesuai dengan kondisi fisik, potensi, daya dukung

dan daya tampung serta fungsinya, sehingga tujuan penentuan

zonasi untuk mengoptimalkan fungsi ekologi dan ekonomi

dari ekosistem suatu kawasan dapat dicapai yang pada

akhirnya pengelolaan dan pemanfaatan kawasan pesisir dan

pulau-pulau kecil dapat dilakukan secara serasi, optimal dan

berkelanjutan.

Penataan ruang di kawasan pesisir dan laut adalah

suatu upaya untuk memanfaatkan ruang secara harmoni dan

optimal dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi,

mensejahterakan rakyat dan melindungi ekosistem laut dan

pesisir. Proses penataan ruang yang baik seyogyanya dapat

mengakomodasi seluruh aspek yang terkait yaitu aspek fisik,

Page 12: Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Pag

e12

ekonomi, sosial budaya serta aspek politik yang ada. Hal ini

merupakan suatu proses yang cukup kompleks, karena akan

mengintegrasikan seluruh aspek tersebut secara harmoni.

Tujuan Penyusunan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir,

sesuai dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, adalah

untuk mencegah dan mengatasi konflik pemanfaatan

sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil dan untuk

memadukan pemanfaatan jangka panjang, pembangunan dan

pengelolaan sumberdaya di dalam wilayah rencana. Adapun

Tujuan khususnya adalah sebagai berikut :

a. Mengalokasikan ruang wilayah pesisir ke dalam

pemanfaatan yang sesuai dengan peruntukannya dan

kegiatan yang saling mendukung serta memisahkannya

dari kegiatan yang bersifat bertentangan.

b. Membagi kawasan menjadi zona dan sub-zona

pemanfaatan yang terbatas sesuai dengan prioritas

pembangunan di kawasan tersebut.

c. Menyusun zona dan sub-zona potensi sumber daya,

daya dukung ekosistem, fungsi pemanfaatan, fungsi

lindung, dan fungsi pertahanan dan keamanan.

d. Mengoptimalkan pemanfaatan ruang dalam berusaha

dan pengembangan investasi melalui mekanisme

perizinan dan pemberian Hak Pengusahaan Perairan

Pesisir (HP3)

Salah satu tahapan analisis dalam proses penataan

ruang wilayah pesisir dan laut adalah analisis kebutuhan ruang

untuk suatu jangka waktu tertentu. Oleh karena itu analisis ini

merupakan suatu proses yang cukup penting sehingga perlu

dilakukan secara lebih efisien dan efektif untuk menghasilkan

suatu perencanaan wilayah pesisir dan laut yang optimal.

Proses analisis kebutuhan ruang untuk suatu jangka waktu

tertentu merupakan suatu langkah yang diperlukan dalam

tahapan penyusunan suatu rencana tata ruang/ rencana zonasi.

Perhitungan ini bertujuan untuk mengetahui sejauh

mana arahan-arahan kegiatan di wilayah studi dapat

diakomodasikan sampai suatu jangka waktu tertentu. Hal ini

terkait erat dengan daya dukung suatu wilayah (carrying

capacity), karena idealnya pertumbuhan wilayah harus dapat

dibatasi, sehingga dampak-dampak negatif dari kegiatan

pembangunan dapat terdeliniasi secara optimal.

Proses penataan ruang juga ditujukan untuk

memisahkan kegiatan yang saling bertentangan antara dampak

kegiatan yang satu dengan kegiatan yang lainnya, sehingga

konflik yang meungkin timbul akibat pemanfaatan wilayah

pesisir dapat diminimasi sekecil mungkin. Penataan ruang

pesisir akan sangat sejalan dengan konsep pembangunan

berkelanjutan ketika kaidah-kaidah yang terdapat didalam

penataan ruang pesisir (kaidah keseimbangan ekosistem dan

ekonomi serta keseimbangan sosial masyarakat) dapat

diimplementasikan dengan baik. Metodologi penyusunan

rencana tata ruang wilayah pesisir dan laut, ditunjukkan dalam

diagram berikut.

Gambar 8. Metodologi penyusunan rencana tata ruang pesisir

dan laut.

Dalam melakukan penyusunan rencana zonasi wilayah

pesisir dan laut dibutuhkan beberapa pendekatan umum yang

menjadi dasar dalam penyusunan rencana zonasi wilayah

pesisir dan laut. Berdasarkan pada pemahaman dan

pengetahuan tentang karaktersitik sumberdaya pesisir, laut dan

pulau-pulau kecil, serta tujuan penyusunan rencana zonasi

wilayah pesisir dan laut dengan kharakteristik ekobiologis

yang unik, maka pendekatan umum yang akan digunakan

dalam melaksanakan kegiatan penyusunan rencana zonasi

wilayah pesisir dan laut adalah sebagai berikut :

1) Pendekatan keterpaduan dan keberlanjutan

(integrated and sustainable approach) :

Wilayah pesisir dan laut merupakan tatanan

ekosistem yang memiliki hubungan sangat erat dengan

daerah lahan atas (upland) baik melalui aliran air

sungai, air permukaan (run off) maupun air tanah

(ground water), dan dengan aktivitas manusia.

Keterkaitan tersebut menyebabkan terbentuknya

kompleksitas dan kerentanan di wilayah pesisir. Secara

konseptual, hubungan tersebut dapat digambarkan

dalam keterkaitan antara lingkungan darat (bumi),

Page 13: Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Pag

e13

lingkungan laut, dan aktivitas manusia, seperti

disajikan pada gambar berikut.

Gambar 9. Keterkaitan antara faktor lingkungan darat, laut dan

aktivitas manusia

Penataan ruang wilayah pesisir terpadu dinyatakan sebagai

proses penyusunan arahan pemanfaatan sumberdaya pesisir

dan lautan serta ruang dengan mengindahkan aspek konservasi

dan keberlanjutannya. Adapun konteks keterpaduan meliputi

dimensi sektor, ekologis, hirarki pemerintahan, antar

bangsa/negara, dan disiplin ilmu (Cicin-Sain and Knecht,

1998; Kay and Alder, 1999).

Penataan ruang wilayah pesisir secara terpadu penting

dilakukan mengingat banyaknya kegiatan-kegiatan yang dapat

diimplementasikan, sehingga perlu dirumuskan suatu konsep

penataan ruang (strategic plan) serta berbagai pilihan objek

pembangunan yang serasi. Dalam konteks ini maka

keterpaduan pengelolaan wilayah pesisir sekurangnya

mengandung 3 dimensi : sektoral, bidang ilmu dan keterkaitan

ekologis. Keterpaduan secara sektoral di wilayah pesisir

berarti diperlukan adanya suatu kooordinasi tugas, wewenang,

dan tanggung jawab antar sektor atau instansi (horizontal

integration); dan antar tingkat pemerintahan dari mulai tingkat

desa, kecamatan, kabupaten, propinsi sampai pemerintah pusat

(vertical integration). Sedangkan keterpaduan sudut pandang

keilmuan mensyaratkan bahwa dalam pengelolaan wilayah

pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar interdisiplin ilmu

(interdisciplinary approaches), yang melibatkan bidang ilmu

ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum, dan lainnya yang

relevan. Hal ini wajar dilakukan mengingat wilayah pesisir

pada dasarnya terdiri dari sistem sosial dan sistem alam yang

terjalin secara kompleks dan dinamis. Wilayah pesisir yang

tersusun dari berbagai macam ekosistem itu satu sama lain

saling terkait dan tidak berdiri sendiri. Perubahan atau

kerusakan yang menimpa suatu ekosistem akan menimpa pula

ekosistem lainnya. Selain itu wilayah pesisir, juga dipengaruhi

oleh kegiatan manusia maupun proses-proses alamiah yang

terdapat di kawasan sekitarnya dan lahan atas (upland areas)

maupun laut lepas (oceans). Kondisi empiris di wilayah pesisir

ini mensyaratkan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan

lautan secara terpadu harus memperhatikan segenap

keterkaitan ekologis (ecological linkages) yang dapat

mempengaruhi suatu wilayah pesisir. Nuansa keterpaduan

tersebut perlu diterapkan sejak tahap perencanaan sampai

evaluasi

Pendekatan ini berorientasi pada proses evaluasi konsistensi

keberadaan jenis data pada karakteristik lingkungan yang

mempengaruhi keberadaan data tersebut berdasarkan pada

pemahaman antara keterkaitan antara satu komponen data

dengan lainnya. Untuk itu, sebelum penyusunan rencana

zonasi wilayah pesisir dan laut, terlebih dahulu diperlukan

pengenalan awal tentang kondisi lokasi pesisir dan laut yang

akan diamati. Pengenalan awal kondisi lokasi penyusunan

rencana zonasi dapat memberikan pemahaman tentang jenis

potensi sumberdaya yang ada dan mungkin ada di lokasi.

Salah satu cara mengetahui keberadaan potensi sumberdaya

tersebut secara awal adalah dengan melihat keterkaitan antara

karakteristik geofisik dengan ekosistem, serta antara

karakteristik sosial budaya masyarakat dengan pola

pemanfataan sumberdaya yang ada.

Dari sisi pemanfaatan ruang, pengenalan awal ini akan

membantu memberikan informasi tentang pola dan distribusi

penggunaan lahan dalam segala bentuknya, seperti

permukiman, pertambakan, dan budidaya laut. Dengan cara

pandang terintegrasi dan holiostik ini dalam melakukan

pengambilan data dan analisis, maka diharapkan semua

komponen sumberdaya yang ada di lokasi kegiatan dapat

dimasukkan sebagai komponen yang perlu dikumpulkan

datanya. Terkait dengan pendekatan keterpaduan dan

keberlanjutan dalam penyusunan rencana zonasi wilayah

pesisir dan laut, maka strategi yang nantinya akan

diimplementasikan dalam rangka pencapaian kegiatan tersebut

adalah sebagai berikut :

1) Mengidentifikasi secermat mungkin terhadap

penggunaan ruang pesisir dan laut di wilayah

perencanaan serta prediksi kebutuhan ruang.

2) Mengidentifikasi kharakteristik sumberdaya pesisir dan

laut di wilayah perencanaan, cakupan identifasi

diantaranya meliputi sifat-sifat fisis, kimiawi dan biologi

lingkungan pesisir dan laut di wilayah perencanaan serta

keamanan dan keselamatan mahluk hidup di dalam

ekosistem tersebut.

3) Mengidentifikasi kebijakan pemerintah yang terkait

dengan pengelolaan wilayah pesisir dan laut.

4) Rekomendasi yang diusulkan dalam studi penyusunan

rencana zonasi wilayah pesisir dan laut hendaknya

didasari atas bukti ilmiah terbaik dengan penuh kehati-

SUMBERDAYA

PESISIR DAN

LAUT

WILAYAH

PESISIR DAN

LAUT

Lingkun

gan

Darat

Lingkung

an Laut

Aktifitas

Manusi

a

Page 14: Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Pag

e14

hatian agar pendayagunaan sumberdaya pesisir dan laut

dilakukan secara seimbang dengan daya dukung

lingkungan tersebut.

2) Pendekatan keterwakilan

Pendekatan keterwakilan Populasi dan lokasi berarti bahwa

setiap populasi dalam suatu lokasi, dan setiap spot dalam

lokasi yang diamati memiliki wakil dalam data studi. Dengan

demikian, dapat dipastikan bahwa proses analisis benar-benar

telah mewakili keseluruhan populasi serta lokasi yang diteliti.

Pendekatan ini cukup sejalan dengan pendekatan yang

pertama, dimana keduanya beorientasi pada kelengkapan data

yang akan dikumpulkan. Meskipun demikian, fokus

pendekatan ini lebih berorientasi pada proses analisis, dimana

keterwakilan data dan lokasi akan mempengaruhi hasil-hasil

dalam proses analisis nantinya, terutama pada data-data yang

pengolahannya menggunakan teknik statistik.

3) Pendekatan Partisipatif (Participative approach)

Perencanaan dilaksanakan dengan melibatkan pemangku

kepentingan baik sebagai pemanfaat ruang maupun pihak-

pihak lain yang terkena dampak negatif dan positif dari

pelaksanaan ruang itu sendiri. Pelibatan para pemangku

kepentingan mulai dari sejak awal sampai perumusan rencana

yang diwujudkan dalam bentuk pertemuan konsultasu, diskusi,

focus group discussion dan seminar/workshop.

4) Pendekatan Ekonomi (Economic approach)

Pertumbuhan ekonomi sering didefinisikan sebagai

pertumbuhan agregatif dari sektor dalam perekonomian,

dengan melihat perubahan indikatornya. Sedangkan,

perkembangan ekonomi lebih luas cakupannya dari sekadar

pertumbuhan ekonomi mengingat pada perkembangan

ekonomi, yang diamati tidak hanya perubahan indikator

agregatif sektor perekonomian, tetapi juga mengamati apakah

terjadi pergeseran struktur perekonomian. Pada wilayah/

daerah yang masih tradisional, umumnya struktur

perekonomian sangat didominasi oleh sektor primer.

Perkembangan ekonomi suatu wilayah/daerah dapat dilihat

apabila terjadinya perubahan struktural sektor

agraris/tradisional menuju sektor industri/modern, dalam arti

terjadi perubahan/penurunan dominasi sektor

primer/tradisional, di pihak lain terjadi perubahan/peningkatan

dominasi sektor sekunder dan tersier.

Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi sebagai salah satu

pendekatan perencanaan pembangunan terbukti tidak

selamanya sesuai untuk diterapkan. Struktur perkonomian

wilayah yang baik adalah terjadinya keseimbangan

pertumbuhan antarasektor agraris/ tradisional dan sektor

industri/ modern. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi

juga harus diimbangi oleh pemberdayaan ekonomi rakyat,

sehingga diharapkan terjadi persaingan yang sehat antara para

pelaku ekonomi di suatu wilayah. Sehubungan dengan

pendekatan ekonomi, maka langkah-langkah yang akan

ditempuh dalam penyusunan rencana zonasi wilayah pesisir

dan laut, adalah sebagai berikut :

Pertama, mengenali karakteristik kegiatan ekonomi saat ini

dan potensi sumberdaya alam yang dapat

menunjang kegiatan ekonomi pesisir dan laut di

masa datang. Dari sini, selanjutnya dapat

dirumuskan sektor/subsektor potensial yang dapat

dijadikan sektor/subsektor unggulan di wilayah

dikaitkan dengan tujuan dan sasaran pertumbuhan

ekonomi wilayah kota, serta sasaran pertumbuhan

ekonomi regional wilayah pesisir dan laut .

Kedua, mengenali faktor-faktor eksternal yang dapat

dimanfaatkan sebagai peluang untuk meningkatkan

kinerja pertumbuhan ekonomi wilayah pesisir dan

laut . Faktor eksternal tersebut tidak hanya dilihat

dalam konteks antar wilayah dalam skala regional

dan Provinsi Sulawesi Barat saja, tetapi juga

antarkawasan ekonomi dalam skala yang lebih luas,

yaitu ekonomi nasional bahkan internasional.

Ketiga, mengenali perkembangan ekonomi dan pasar

komoditas akan memudahkan penyusunan lebih

lanjut tentang skenario dan agenda pengembangan

wilayah pesisir dan laut dalam merespons dan

mengantisipasi serta menyelaraskan kesiapan

kawasan yang direncanakan dalam menghadapi

fenomena tersebut.

5) Pendekatan Sosial dan Budaya (Social and culture

approach)

Pendekatan ini memandang wilayah perencanaan sebagai satu

kesatuan ruang sosial (social space) dengan masyarakatnya

yang beragam serta mempunyai budaya dan tata nilai (norm

and value) tersendiri. Masyarakat yang tinggal di wilayah

pesisir pantai, di sepanjang aliran sungai maupun di sekitar

hutan masing-masing memiliki ciri-ciri dan tata nilai

tradisional yang unik. Dalam rangka penataan ruang dan

pembangunan wilayah, corak ragam budaya dan tata nilai ini

harus ditempatkan sebagai satu variabel penting. Nilai-nilai

tradisional yang positif perlu diakomodasikan untuk

merangsang peran serta masyarakat yang lebih besar dalam

pembangunan daerahnya. Sedangkan, nilai-nilai pembangunan

perlu diupayakan agar tidak berbenturan dengan nilai-nilai

tradisional, sehingga tidak menghalangi kinerja

pengembangan wilayah. Oleh sebab itu, dalam penyusunan

rencana zonasi wilayah pesisir dan laut ini, khususnya dalam

arahan pengembangan kawasan pemanfaatan umum dan

Page 15: Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Pag

e15

pengelolaan kawasan konservasi, akan dicermati karaktersitik

budaya dan nilai-nilai tersebut.

Diharapkan melalui pendekatan ini akan dapat dihindari

kemungkinan terjadinya benturan sosial dan keterasingan

kelompok masyarakat tertentu dari derap kegiatan

pembangunan, serta segregasi keruangan yang dapat

berdampak negatif terhadap kinerja pertumbuhan wilayah dan

juga pada perkembangan kehidupan masyarakat.

6) Pendekatan Partisipatif (Participative approach)

Pendekatan ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan

seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berperan serta dalam

kegiatan penataan ruang. Dalam undang-undang antara lain

UU No. 26 Tahun 2007, UU No. 27 Tahun 2007, PP No. 69

Tahun 1996 serta Permendagri No. 9 Tahun 1999,

dikemukakan bahwa masyarakat perlu dilibatkan secara aktif

dalam keseluruhan kegiatan penataan ruang, mulai dari

kegiatan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang hingga

pengendalian pemanfaatan ruang.

Oleh sebab itu, dalam penyusunan rencana zonasi wilayah

pesisir dan laut ini harus dilakukan secara terbuka sehingga

memungkinkan masyarakat untuk melaksanakan haknya,

yakni memberikan masukan berupa informasi, data,

tanggapan, dan saran-saran serta keberatan. Dengan demikian,

diharapkan bahwa hasl pekerjaan yang tersusun akan lebih

responsif, aspiratif dan akomodatif (mewadahi) berbagai

kepentingan seluruh lapisan masyarakat, sehingga nantinya

lebih mudah dioperasionalkan.

Selanjutnya, diharapkan pula hasil pekerjaan yang tersusun ini

dapat dimasyarakatkan (sosialisasi) secara terbuka dan

transparan melaui media cetak, media elektronik dan forum

pertemuan, agar semua lapisan masyarakat mempunyai akses

yang sama terhadap informasi rencana tata ruang dan peluang-

peluang pembangunan yang terkandung di dalam rencana tata

ruang tersebut.

Melalui pendekatan peran serta masyarakat tersebut juga akan

diupayakan agar arahan kawasan fungsional dan program-

program pembangunan perikanan di WP3K yang dirumuskan

dalam rencana zonasi wilayah pesisir dan laut ini dapat

mencerminkan adanya peluang-peluang masyarakat

(khususnya masyarakat bermodal kecil dan menengah) untuk

berperan serta dalam kegiatan investasi dan atau menikmati

nilai tambah ruang yang diakibatkan oleh suatu kegiatan

penataan ruang.

7) Pendekatan Mitigasi Bencana.

Wilayah pesisir merupakan wilayah yang rawan terhadap

bahaya tsunami, bajir dan rob. Untuk itu, pendekatan penataan

ruang kawasan pesisir dan laut tersebut akan berorientasi pada

mitigasi bencana ( terutama terhadap bencana tsunami), hal ini

hendaknya menjadi perhatian serius bagi segenap pemangku

kebijakan yang dilandasi oleh pendekatan ini guna untuk

keamanan dan keselamatan masyarakat pesisir dan laut. Pada

pasal 56, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007

mengamanatkan bahwa, dalam penyusunan rencana

pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau-

pulau kecil terpadu, pemerintah dan/atau pemerintah daerah

wajib memasukkan dan melaksanakan bagian yang memuat

mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau keci

sesuai dengan jenis, tingkat, dan wilayah. Untuk itu, upaya

yang perlu mendapat perhatian dalam rangka penyusunan

rencana zonasi wilayah pesisir dan laut adalah dalam arahan

peruntukan lahan terutama lahan pemukiman dan rencana tata

letak infra struktur (site plan).

Selanjutnya dalam undang-undang lingkungan hidup

menyatakan bahwa 200 meter dari garis pantai haruslah

ditetapkan sebagai jalur hijau. Tersirat dalam undang-undang,

keputusan presiden dan keputusan menteri bahwa jalur hijau di

wilayah pesisir dan laut sebagai kawasan konservasi sangat

penting dan berperan sebagai penyanggaa (buffer) antara

wilayah daratan dan lautan. Akan tetapi bagi wilayah pesisir

dan laut atau wilayah kabupaten yang teridentifikasi rawan

bencana (terutama tsunami) maka kaidah jarak sebagaimana

yang dimaksud dalam undang-undang tersebut perlu dicermati

secara seksama, karena faktor utama yang sangat penting dan

perlu dipertimbangkan bukan saja jarak dari pantai ke arah

daratan, tetapi faktor ketinggian suatu wilayah dari permukaan

laut.

Berikut ini disajikan contoh peta hasil penyusunan

rencana tata ruang wilayah pesisir dan laut yang disusun

berdasarkan metodologi dan pendekatan sebagaimana yang

diuraikan di atas.

Page 16: Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Pag

e16

Gambar 10. Contoh penataan ruang wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan.

Sumber : Rencana Zonasi Kabupaten Pangkep 2011.

Gambar 11. Ilustrasi penataan ruang wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan.

Sumber : Rencana Zonasi Kabupaten Pangkep 2011.

Page 17: Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Pag

e17

Ilustrasi di atas menggambarkan suatu penataan ruang

wilayah pesisir (kawasan pertambakan) dengan

memperhatikan keseimbangan aspek ekonomis dan ekologis

melalui penentuan kawasan budidaya tambak yang sesuai

dengan daya dukung dan daya tampung (Gambar 10).

Sedangkan ilustrasi (Gambar 11) memberikan contoh suatu

kawasan budidaya tambak yang dirancang dengan

memperhatikan aspek ketepaduan dan harmonissi lingkungan

sehingga pengelolaan sumberdaya lingkungan dapat dilakukan

lebih efisien.

Selain itu, penentuan kawasan budidaya tambak yang

baik akan mengurangi ketergantungan suatu usaha budidaya

terhadap input eksternal dan akan lebih meningkatkan efisiensi

terhadap penggunaan energi yang tidak terbaharui, sebagai

contoh ; penentuan kawasan tambak pada daerah estuarin

dimana pengaruh pasang surut air laut masih terjadi di

kawasan tersebut, akan meningkatkan efisiensi unit usaha

tambak terhadap penggunaan energi listrik atau energi bahan

bakar penggerak pompa air, karena proses pendistribusian air

dari saluran primer ke saluran sekunder maupun ke unit-unit

petakan kolam tambak masih dapat dilakukan secara alamiah

melalui proses grafitasi atau energi pasang surut. Untuk itu,

sebagai bahan pertimbangan utama bagi para perencana

pengembangan wilayah pesisir dalam melakukan penataan

ruang pesisir direkomendasikan agar memperhatikan

kharakteristik kesesuaian lahan baik secara biologi, kimiawi

dan fisikawi lingkungan juga mempertimbangkan efisiensi

kawasan.

b) Desain, tata letak dan konstruksi tambak.

Kegiatan usaha budidaya tambak udang merupakan

proses produksi yang memerlukan kendali dan

keberhasilannya akan sangat tergantung pada faktor teknis

maupun non teknis, seperti perencanaan rekayasa dan rancang

bangun tambak sangat penting dalam mata rantai kegiatan

budidaya tambak udang (Ahmad Mustafa, 2008). Dengan

demikian, perencanaan tambak harus diarahkan pada

kemampuan untuk menciptakan kondisi yang sesuai dengan

keadaan alami yang dituntut oleh organisme aquatik yang

dibudidayakan.

Rekayasa tambak yang mencakup desain, tata letak

dan konstruksi tambak adalah salah satu faktor yang dominan

dalam menentukan keberhasilan budidaya udang. Oleh karena

itu, rekayasa tambak terkait erat dengan barbagai faktor dari

sistem pengembangan budidaya tambak udang berbasis

“Fisheries Organic System”, hal ini sejalan dengan Boyd

(1999), bahwa rekayasa tambak yang baik dapat digunakan

untuk mengatasi keterbatasan lahan dan mencegah atau

mengurangi dampak negatif sosial dan lingkungan.

Desain petakan tambak udang membutuhkan

pertimbangan yang seksama agar tambak dapat berfungfi

secara efisien dan layak secara ekonomis (Bose et al, 1991).

Tujuan daripada desain tambak yang baik adalah untuk

mengefektifkan pengolahan limbah, disamping memudahkan

pengelolaan air dan pemanenan udang (Chanratchakool et al,

1995). Secara umum desain, tata letak dan konstruksi tambak

harus memperhatikan 2 (dua) aspek penting, yaitu :

i. Harus menjamin tercapainya

produktifitas yang maksimum dan

pemgelolaan dan operasional anfaatan

lahan yang optimal dengan biaya

pengelolaan dan operasional yang

minimum.

ii. Memperhatikan kelestarian lingkungan

untuk menjamin keberlanjutan usaha dan

meminimalkan dampak negatif (limbah

buangan) untuk lingkungan sekitarnya

termasuk konflik sosial.

Pada konteks pengembangan tambak udang secara

berkelanjutan berbasis organik ini, maka desain tambak yang

disarankan untuk dikembangkan adalah tambak-tambak yang

memiliki bentuk petakan tambak persegi panjang, bujur

sangkar atau segi banyak dengan sisi terpanjang sejajar dengan

arah angin, hal ini sependapat dengan Jesmond (2005), yang

mengemukakan bahwa sisi terpanjang untuk tambak sebaiknya

sejajar dengan arah angin dominan, hal ini dimaksudkan

untuk membantu sirkulasi air (meningkatkan oksigen terlarut)

dan meminimalkan fluktuasi suhu yang terjadi pada saat

musim kemarau. Peningkatan oksigen terlarut dan fluktuasi

suhu yang minimal akan sangat berpengaruh terhadap

kelangsungan hidup udang. Selain itu juga akan meminimasi

penggunaan energi listrik atau energi bahan bakar yang

dibutuhkan untuk penggerak kincir tambak, dengan demikian

usaha budidaya tambak yang diselenggarakan akan

meminimasi penggunaan energi atau sumberdaya alam yang

tidak terbaharukan, yang pada akhirnya akan memperkical

biaya operasi dan tercapainya efisiensi produksi sebagaimana

yang diharapkan dalam konsep perikanan berkelanjutan.

Selain mempertimbangkan desain tambak

berdasarkan faktor kondisi alam, maka tambak berbasis

organik hendaknya dirancang dengan desain yang

memperhatikan aspek lingkungan dan berwasasan lingkungan.

Konsep desain tambak berwawasan lingkungan

mengakomodir keperluan remediasi dan resirkulasi media

budidaya tambak secara alamiah dan ramah lingkungan. Pada

desain tambak ini, diterapkan sistem kolam biofilter pada

saluran pemasukan primer (primary inlet) dan saluran

pengeluaran primer (primary outlet) yang diletakkan secara

terpisah. Pada saluran tersebut ditanami oleh mangrove yang

berfungsi sebagai bio filter.

Page 18: Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Pag

e18

Untuk lebih meningkatkan kualitas air sebelum

dimasukkan ke dalam petak/kolam budidaya maka pada desain

tambak organik berwasasan lingkungan dapat diterapkan

kolam penampungan treatment alamiah, yaitu suatu kolam

yang dirancang untuk meningkatkan kualitas bio-fisik air

tambak secara alamiah melalui sistem filtrasi biologi dan

organik seperti kerang-kerangan atau rumput laut Gracillaria

yang ditempatkan pada kolam penampungan (reservoar pond).

Setelah media budidaya tersebut di saring secara alamiah pada

kolam bio-filter, selanjutnya air dari kolam penampungan ini

dialirkan ke kolam-kolam budidaya udang (Gambar 12).

Konsep ini dapat dikembangkan secara massal

dengan melibatkan banyak pembudidaya udang dalam suatu

kawasan budidaya. Hasil sampingan dari kolam bio-filter,

seperti ikan maupun komoditas non budidaya tersebut dapat

dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan kelompok

petambak.

Selain menjamin tersedianya sumber air yang

berkualitas baik, konsep pengembangan budidaya tambak

udang dengan pola ini juga akan meminimasi terjadinya

kontaminasi limbah organik hasil sisa pakan atau bahan-bahan

residual lainnya melalui pemisahan antara saluran pemasukan

air dan pengeluaran air serta pengelolaan sistem pengairan

pada hamparan tambak tersebut. Untuk lebih meningkatkan

kualitas sumber air tambak, maka pada perairan laut pesisir

tambak dapat dimanfaatkan untuk keperluan budidaya rumput

laut Euchema cottonii, karena hasil penelitian yang telah

dilakukan oleh beberapa ahli, mengindikasikan bahwa rumput

laut Euchema cottonii yang dibudidayakan pada perairan laut

pesisir selain memberikan dampak terhadap kualitas air juga

dapat berfungsi sebagai bio-filter air laut.

Keberhasilan penerapan model tambak dengan desain

yang dirancang berwawasan lingkungan, akan sangat

bergantung pada koordinasi dan keterpaduan lingkungan,

karena model ini memerlukan pengaturan sistem irigasi yang

terpadu dan mampu mengakomodir kepentingan pembudidaya

tambak yang berada dalam suatu hamparan serta melibatkan

banyak pemilik tambak yang berbeda.

Oleh karenanya, untuk mendorong keberhasilan dari

penerapan desain tambak berwawasan lingkungan perlu

dialokasikan suatu areal pertambakan (zona tambak) yang

sesuai dengan daya dukung dan daya tampung serta

memisahkannya dari kegiatan yang bertentangan melalui

pengaturan tataruang wilayah pesisir.

Page 19: Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Pag

e19

MODEL TAMBAK BERWAWASAN LINGKUNGAN

A B

NOTES :A. TOP VIEW

B. ISOMETRIK VIEW

1. SEA 9. ORGANIC BIO-FILTER POND2. RIVER 10. TRANSITION POND3. MANGROVE 11. NURSERY POND4. PRIMERY INLET 12. GROWTH POND

5. SECONDARY INLET 13. BACK YARD/MINI HATCHERY6. PRIMARY OUTLET7. SECONDARY OUTLET8. RESERVOAR POND DESIGN BY URIF SYARIFUDIN

MODEL TAMBAK BERWAWASAN LINGKUNGAN

1. SEA 9. ORGANIC BIO-FILTER POND2. RIVER 10. TRANSITION POND3. MANGROVE 11. NURSERY POND4. PRIMERY INLET 12. GROWTH POND

5. SECONDARY INLET 13. BACK YARD/HATCHERY6. PRIMARY OUTLET7. SECONDARY OUTLE 8. RESERVOAR POND

design@Urif_2012

Gambar 12. Desain Tambak Berwawasan Lingkungan Pada Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan dan Berbasis

Sistem Perikanan Organik.

Page 20: Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Pag

e20

c) Pola budidaya Udang Model Cultivar and

Modular System.

Pengalaman telah membuktikan bahwa penerapan

pola budidaya udang yang secara terus menerus sepanjang

tahun dengan sistem intensif, telah memberikan tekanan yang

tinggi terhadap lingkungan pesisir, sebagai klimaksnya

terjadinya degradasi lingkungan dan kegagalan dalam

berbudidaya. Untuk itu dalam model pengembangan tambak

udang secara berkelanjutan berbasis perikanan organik dan

produk bersih disajikan rancangan pola budidaya udang windu

sistem cultivar dan sistim modular. Pola budidaya udang

dengan sitem modular pada dasarnya adalah membudidayakan

udang dengan cara memisahkan atau menjarangkan tingkat

kepadatan udang pada setiap tingkatan perkembangan atau

pertumbuhannya lalu mengelompokkan udang yang

dibudidayakan berdasarkan ukurannya. Pola budidaya udang

dengan sistem modular dapat pula disebut dengan sistem

progress, karena pembudidaya/petambak melakukan

pemindahan udang dari kolam yang satu ke kolam yang lain

pada setiap tahapan pertumbuhan udang. Konsepsi dasar yang

menjadi bahan pertimbangan dalam pemilihan pola budidaya

udang sistem modular adalah mengingat sifat udang yang

merupakan kanibalisme, dengan dasar pertimbangan tersebut

diharapkan tingkat survival rate (SR) dan berat rata-rata udang

mencapai hasil yang maksimal, hal ini sesuai dengan Evron, et

al (2002), bahwa udang yang dibudidayakan dengan cara

penjarangan selama masa pemeliharaan 90-100 hari, dapat

mencapai SR > 80% dengan berat berkisat antara 25–30

gram/ekor (Size 33 – 40).

Batasan sistem modular adalah budidaya

udang/ikan dengan cara pindah dan pindah, sehingga satu

diantara syaratnya benih yang akan dibesarkan harus dalam

bentuk tokolan. Sistem ini sudah lama dikenal di masyarakat

utamanya di Pangkep, Pinrang dan Luwu yang kenyataannya

cukup eksis (ISPIKANI SULSEL, 2010). Manfaat dari sistem

ini adalah meminimalkan resiko karena daya adaptasi benih

lebih tinggi, memperpendek usia pemeliharaan, ukuran udang

relatif lebih besar sehingga berdasarkan pendekatan usahatani

marjin yang diperoleh akan lebih besar. Sebagai ilustrasi pada

Tabel 3 akan dikemukakan kasus yang memperbandingkan

usaha pertambakan dengan sistem tebar langsung dan

modular.

Tabel 3. Penampilan usaha pertambakan sistem non- modular

dan modular.

KOMPONEN NON-MODULAR MODULAR

Luas Petakan 1,20 Ha 1,20 Ha

Padat Tebar 4 ekor/m2 (48.000

ekor)

4 ekor/m2 (48.000

ekor)

Ukuran Benih PL 15 ( 0,014 PL 40 ( 0,258

g/ekor) g/ekor)

Lama

pemeliharaan

110 hari 85 hari

Volume Panen 709 kg (44

ekor/kg)

1.077 kg ( 36

ekor/kg)

Sintasan 65 % ( 31.200

ekor)

81 % (38.800

ekor)

FCR 1,25 0,975

Biaya Produksi/kg Rp 23.000 Rp 20.500

Harga udang/kg Rp 51.000 Rp 62.000

Marjin/kg Rp 28.000 Rp 41.500

Sumber : Hasanuddin, 2000

Sistem cultivar yang dimaksud adalah pola budidaya

tambak dengan mengkobinasikan pola pemeliharaan

komoditas perikanan yang dibudidayakan dengan tetap

memperhatikan kesesuaian dan daya dukung lahan serta

kesesuaian iklim, sehingga terjadi variasi komoditas dalam

satu wadah kolam budidaya. Melalui penerapan model

budidaya secara cultivar diharapkan dapat mengendalikan

hama dan penyakit dengan cara memutus siklus hama dan

penyakit yang kemungkinan menyerang suatu komoditas.

Secara umum Pola tanam, musim tanam dan

penyiapan benih merupakan kegiatan yang simultan. Konsep

yang umum dianut di Sulawesi Selatan disampaikan sebagai

berikut: PERTAMA : UDANG – UDANG

KEDUA : UDANG – BANDENG – UDANG

KETIGA : UDANG – UDANG – BANDENG

Berdasarkan analisis terhadap beberapa literatur yang

ada, maka pola tanam yang ditawarkan adalah UDANG –

BANDENG – UDANG, dengan pemeliharaan komoditas

udang pada musim tanam I adalah dimulai september sampai

desember, kemudian dilanjutkan dengan musim tanam II

yaitu pemelihraan ikan bandeng atau ikan lain yang memiliki

nilai ekonomis (seperti ikan nila) pada bulan januari sampai

pertengahan maret. Musim tanam III, pemeliharaan

komoditas udang adalah bulan mei sampai pertengahan juli

atau agustus.

Disarankan pada musim tanam I padat penebaran

benih udang lebih tinggi daripada musim tanam II, hal ini

mempertimbangkan pertama bahwa persiapan lahan lebih

baik dan kedua yang tidak kalah pentingnya suplay udang ke

pasar Internasional antara bulan januari hingga juni akan

berkurang, karena beberapa negara penghasil udang di bagian

utara Indonesia seperti Thailand, China, Vietnam dan lain-lain

antar bulan Nopember – Februari tidak beroperasi karena

musim dingin. Dengan demikian apabila momentum ini

dimanfaatkan dengan baik, maka marjin yang diperoleh akan

lebih besar karena harga pembelian udang di pasar

Internasional akan meningkat.

Page 21: Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Pag

e21

Tabel 4. Pola pergiliran komoditas perikanan dalam

budidaya tambak udang berwawasan

lingkungan.

POLA

TANA

M

KOMO

DITAS

MUSIM TANAM

I

MUSIM TANAM

II

MUSIM

TANAM III

Se

pt

O

kt

N

o

v

D

es

J

a

n

P

e

b

M

ar

A

p

r

M

ei

J

u

n

J

u

l

A

gs

UDAN

G

IKAN

BANDE

NG

UDAN

G

Pertimbangan logis merekomendir pola tanam

UDANG – BANDENG – UDANG antara lain adalah

pemutusan siklus penyakit dan perbaikan lingkungan internal

sebelum musim tanam II. Sedangkan musim tanam I

didasarkan atas pertimbangan bahwa antara bulan juli dan

september salinitas ekstrim, pasut kecil dan fluktuasi

temperatur alam ekstrim (di malam hari dingin dan siang hari

panas). Konsekwensi logis dari pola tanam II (UDANG –

BANDENG – UDANG) maka dua bulan sebelum waktu tebar,

maka proses pentokolan benih (udang atau ikan) sudah harus

dimulai. Disarankan umur tokolan benih udang antara 20 - 30

hari, sedangkan benih ikan minimal 60 hari.

d) Seleksi dan Bio-secure Benih Udang.

Benih merupakan elemen akuainput yang

mempunyai peran paling besar terhadap kesuksesan budidaya,

sehingga proses standarisasi produk harus diberi perhatian

perioritas. Oleh karena proses standarisasi dan pengawasan

belum dapat dilakukan secara baik, maka acuan dalam

memilih dan menangani benih adalah sebagai berikut.

(1) Pilih Benih Bermutu

Pada saat ini benih udang windu telah berhasil

diproduksi secara massal oleh sejumlah pembenihan

melalui pembenihan skala parsial yang dikenal dengan

sebutan Bacyard hatchery ataupun pembenihan udang

skala lengkap dengan mutu benih yang sangat variatif.

Benih yang diproduksi oleh pembenihan umumnya PL 10

–12 ada yang langsung ditebar di tambak dan ada yang

melalui proses pentokolan selama 7 hari hingga 14 hari

sebelum dibesarkan di tambak.

Secara ilmiah mutu benih akan ditentukan oleh

tiga variabel yaitu induk (variasi genetik, kesehatan dan

ukuran), lingkungan media produksi dan metode atau

teknologi produksi yang ketiga variabel ini harus

diimplementasikan secara bersama. Mutu benih akan

diwujudkan dengan penampilan fisik dan biosecurity .

Penampilan fisik dapat dilakukan dengan cara visual atau

kasat mata, dan bantuan mikroskop. Sedangkan

biosecurity dapat dideteksi dengan metode agar dan

bantuan alat PCR untuk mendeteksi virus dan bakteri.

Secara visual atau kasat mata mutu benih itu akan terlihat

dalam wujud atau penampilan sebagai berikut ( Fegan et

al, 1993 ) sebagai berikut:

Keseragaman ; Ukuran benih yang seragam

memberi indikasi yang baik karena dapat

terhindar dari kanibalisme dalam proses

transportasi, pentokolan maupun pembesaran.

Juga akan mempengaruhi kesaragaman dalam

pertumbuhan. Ukuran benih yang tidak seragam

menandakan pertumbuhan yang tidak normal.

Penampilan warna ; Penampilan warna benih

udang windu yang berbeda terjadi karena

pengaruh kondisi tempat pemeliharaan dan jenis

maupun kualitas pakan yang diberikan. benih

dengan penampilan warna coklat kehitaman atau

bening transparant memberi indikasi bermutu

baik, sedangkan benih yang berpenampilan

waqrna merah atau merah mudah memberi indiksi

bahwa benih tersebut dalam kondisi stress,

terinfeksi penyakit atau kekurangan gizi.

Sirip ekor (Uropoda) ; Benih yang baik sirip ekor

mengembang seperti kipas, semakin sempurna

perkembanganya adalah semakin baik, setidak-

tidaknya sirip ekor membuka tiga. Bila dalam

kondisi tertutup benih masih rawan untuk ditebar

langsung.

Antena pertama (sungut pendek) ; Antena yang

sering membuka dan menutup secara rapat dan

berada pada keadaan lebih sering menutup

memberi indikasi mutu benih yang baik.

Sedangkan apabila berbentuk hurup V merupakan

indikasi benur yang terserang infeksi bakteri.

Aktifitas Renang ; Jika diberikan stimulan dari

luar berupa kejuatan atau cahaya, maka benih

yang sehat akan memberi respon antara lain

meloncat atau aktif berenang. Pada kondisi air

yang diputar dan menimbulkan arus, benih yang

sehat akan melawat arus sedangkan yang tidak

sehat akan mengikuti arus dan apabila istirahat

badannya melangkung dan karapasnya mengkerut.

Daya adaptasi ; Menurut Atjo, 2001 bahwa benih

yang sehat akan memiliki daya adapatasi yang

tinggi. Bila dimasukkan kedalam wadah berisi air

dengan dinding berwarna hitam atau putih maka

penampilan warna benih dengan cepat

Page 22: Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Pag

e22

menyesuaikan dengan warna dinding wadah.

Semakin cepat proses penyesuaian itu memberi

indikasi mutu benih semakin baik.

Ukuran ; Bentuk tubuh yang lancip dan

berukuran panjang minimal 12 mm memberi

indiksi bahwa benih tersebut baik dan biasanya

memiliki pertumbuhan yang cepat. Penampilan

fisik tidak cukup hanya diamati dengan kasat

mata, tetapi sangat dianjurkan untuk dilanjutkan

dengan pengamatan menggunakan mikroskop

terhadap bagian tertentu dari anggota tubuh benih

antara lain: hepatopankreas menyangkut isi perut,

kromotophore, otot punggung, perbandingan otot

ekor dan usus, perubahan bentuk dan penempelan.

(2) Biosecurity

Biosecurity adalah tingkat infeksi benih oleh

patogen penyebab penyakit (virus, bakteri, protozoa,

jamur). Semakin tinggi nilai biosecuritynya maka

mutu benih akan semakin baik. Sebaliknya apabila

benih memiliki biosecurity yang rendah. Hanya saja

permasalahan untuk melihat biosecurity adalah

disamping biayanya mahal juga diperlukan sejumlah

peralatan. Skrening benih yang menggunakan

formalin bertujuan antara lain:

Menguji ketahanan benih sebelum

ditokolkan atau di tebar langsung untuk

dibesarkan

Memperoleh atau menseleksi benih yang

memiliki daya tahan lebih tinggi sebelum

ditokolkan atau di tebar langsung untuk

dibesarkan

Prosedur Pengujian Ketahanan Benih :

Isi wadah dengan air laut sesuai dengan

salinitas pembenihan sebanyak 1 liter

Larutkan formalin ke dalamnya sehingga

konsentrasi 500 ppm (0,5 cc/L)

Masukan sampel benih bermutu baik sesuai

kriteria pengamatan visual sebanyak 100

ekor.

Aduk dan lakukan pengamatan selama 15

menit berapa jumlah benih yang mati.

Hasil pengamatan yang menunjukkan jumlah

benur yang hidup > 90 % memberi indikasi

benih tergolong baik.

Prosedur Menseleksi Benih :

Pelaksanaan skrening benih idealnya

dilakukan oleh pengusaha pembenihan atau

pentokolan sebelum benih itu diserahkan ke

pengguna, karena memiliki peralatan atau fasilitas

untuk melakukan kegiatan tersebut. Disamping itu

merupakan satu diantara tahapan dalam penerapan

sertifikasi benih. Adapun prosedur pelaksanaan

skrening adalah sebagai berikut (Anonim, 2000

dalam Atjo 2001)

Kepadatan awal di wadah perlakuan

biasanya fiber kerucut adalah 100.000 ekor

PL/100 L air laut (1000 ekor PL/L air laut),

aerasi kuat.

Turunkan kepadatan dengan menambahkan

air laut menjadi 200 L, sehingga kepadatan

menjadi 100.000 ekor PL/200 L (500 ekor

PL/L air laut), aerasi kuat selama 25 – 30

menit.

Tambahkan formalin sebanyak 40 cc,

sehingga konsentrasinya menjadi 200 ppm

(40 cc formalin/200 L air laut) diamkan

selama 30 menit, dan saat itu aerasi

dimatikan.

Selanjutnya air di dalam wadah diputar.

Udang yang sakit atau lemah ataupun mati

akan terkumpul didasar bak kerucut, dan

udang yang sehat tetap berenang. Udang

sakit, lemah atau mati disiphon atau

dikeluarkan dari wadah.

Encerkan kembali air tersebut sehingga

pengaruh formalin semakin berkurang dan

diareasi kembali.

Pada saat perlakuan biasanya terjadi

molting, dan untuk itu benih dibiarkan hingga kondisi

membaik kembali. Hasil pengkajian menunjukkan

bahwa benih yang diskrening sebanyak 2 kali yaitu

pada saat akan ditokolkan (PL10-12) dan pada saat

akan ditebar di tambak (PL 27-30) memberikan hasil

yang lebih baik dibandingkan dengan skrening 1 kali

(Mangampa, 2001 dalam Atjo 2001).

e) Penggunaan Pupuk Organik dan Disinfektan

Organik

Pemberian pupuk organik dapat berasal dari

proses pengolahan limbah atau dari sumber bahan

organik. Bahan-bahan yang digunakan antara lain kompos

kotoran ternak, sisa-sisa tanaman dan pupuk hijau, jerami

dan mulsa lainnya, urine ternak, kompos yang terbuat dari

bahan-bahan organik. Pemberian pestisida organik

dilakukan jika secara manual hama tidak dapat diatasi.

Bahan pembuatan pestisida organik berasal dari bahan

organik (pupuk kandang).

Page 23: Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Pag

e23

Keberadaan hama dalam budidaya tambak udang

sangat mempengaruhi keberhasilan budidaya tambak

udang. Ikan-ikan liar yang merupakan salah satu hama

dalam budidaya tambak udang dapat menggangu

kebutuhan oksigen bagi udang yang dibudidayakan, selain

itu keberadaan hama tersebut selain kompetitor oksigen

juga kompetitor terhadap pakan yang diberikan kedalam

media budidaya (tambak). Untuk pemberantasan hama,

seperti ikan-ikan liar pada model pengembangan tambak

secara berkelanjutan berbasis perikanan organik dan

produk bersih ini, direkomendasikan menggunakan

disinfektan organik yang bersifat non-residual seperti

penggunaan saponin, dimana saponin selain terbukti

mampu membasmi ikan-ikan liar juga dapat menyuburkan

unsur hara tanah tambak, hal ini diindikasikan umumnya

1 – 2 minggu setelah pemberian saponin pada tambak

akan meningkatkan kuantitas plankton diatom.

Penggunaan desinfektant an organik yang

bersifat residual seperti brestan atau bahan kimia

berbahaya lainnya sangat direkomendasikan untuk tidak

diterapkan dalam konsep budidaya tambak udang

berwawasan lingkungan.

f) Sikap dan Keterampilan Tenaga Kerja

Sektor pertanian (termasuk didalamnya

perikanan) terbukti telah memberikan kontribusi yang

besar terhadap penerimaan Produk Domestik Bruto dan

telah menyerap tenaga kerja yang besar bagi bangsa

Indonesia. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Ambo

alla (2011), sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan

perikanan telah menyerap tenaga kerja hingga 41,2 % dari

total angkatan kerja dan kontribusi produk domestik brutu

sebesar 14,5 % dari seluruh jenis langan usaha.

Tabel 5. Kontribusi sektor pertanian, peternakan,

kehutanan dan perikanan terhadap

produk domestik bruto dan penyerapan

tenaga kerja di Indonesia.

LAPANGAN USAHA

PERAN PDB

(%)

PERAN

PEKERJA (%)

2004 2009 2004 2009

Pertanian, Peternakan,

kehutanan dan Perikanan

14,9 14,5 43,3 41,2

Pertambangan dan penggalian 9,7 9,4 1,1 1,1

Industri pengolahan 28,4 28,1 11,8 12,1

Listrik, gas, dan air bersih 0,7 0,7 0,2 0,2

Konstruksi 5,8 5,9 4,8 4,4

Perdagangan, hotel, dan

restoran

16,4 16,8 20,4 20,9

Pengangkutan dan komunikasi 5,8 6,2 5,8 5,7

Keuangan, real estat, dan jasa 9,1 9,2 1,2 1,4

perusahaan

Jasa-jasa 9,2 9,2 11,2 13,0

PDB 100 100 100 100

Jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan pada

pengembangan tambak udang berbasis sistem perikanan

organik cukup besar, terlebih pada pengendalian hama

dan penyakit yang masih dilakukan secara manual.

Penggunaaan pestisida alami membutuhkan tenaga kerja

karena pestisida ini masih sedikit jenisnya ada di pasaran.

Selain jumlah tenaga kerja, faktor sikap dan keterampilan

petambak perlu diperhatikan.

Upaya nyata yang dapat dilakukan adalah dengan

menggalakkan dan menerapkan cara berbudidaya udang

yang baik pada dempond-dempond tambak milik

pemerintah atau lembaga lainnya dengan harapan terjadi

proses transformasi pada petambak-petambak tradisional

mengenai cara berbudidaya udang yang baik dan ramah

lingkungan. Selain itu juga upaya nyata yang dapat

dilakukan oleh pemerintah maupun stake holder lain

dalam rangka merubah perilaku petambak dari cara

berbudidaya udang yang biasa menjadi cara berbudidaya

udang yang baik dan berwawasan lingkungan adalah

melalui upaya penyuluhan, penyediaan pusat informasi

dan pelatihan atau magang bagi pembudidaya udang

(petambak).

g) Bioremidiasi Lahan Tambak.

Budidaya udang pola intensif merupakan usaha

untuk meningkatkan produksi udang dengan cepat yang

dicirikan oleh padat penebaran tinggi, pola tanam secara

terus menerus dan penggunaan pakan buatan dalam

jumlah besar. Dampak negatif budidaya udang intensif

adalah penurunan mutu lingkungan habitat udang akibat

akumulasi bahan organik pada dasar tambak. Budidaya

udang pola intensif dicirikan oleh padat tebar benih tinggi

(> 20 ekor/m2) sehingga diperlukan pemberian pakan

yang intensif. Sebagai konsekwensi penerapan teknologi

tersebut adalah akumulasi sisa pakan dan eksresi udang,

serta senyawaan lainnya di dasar tambak yang menjadi

penyebab utama kegagalan budidaya udang pola intensif.

Akumulasi bahan organik dalam jumlah yang

tidak sesuai dengan daya dukung lahan berdampak negatif

karena akan meningkatkan laju penurunan oksigen dalam

air (oxygen depletion rate) dan meningkatkan kebutuhan

oksigen di sedimen dasar (sedimen oxygen demand) serta

menurunkan reduksi potensial ketingkat reduksi

(anaerob) yang akan menghasilkan senyawa yang bersifat

toksik terhadap udang seperti NH3, CH4 dan H2S yang

menciptakan lingkungan habitat yang tidak sesuai bagi

Page 24: Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Pag

e24

udang (Boyd, 1992 ; Monoarfa, 1997). Akibatnya nafsu

makan udang berkurang, udang mudah terserang penyakit

dan lebih parah lagi menyebabkan kematian udang.

Untuk menanggulangi masalah tersebut perlu

diketahui karakteristik tanah dasar tambak udang intensif

dan faktor-faktor yang mempengaruhinya sebagai dasar

penyusunan strategi pengelolaan residu bahan organik

secara biologis melalui pemanfaatan bakteri pengurai atau

yang lebih umum dikenal dengan istilah teknologi bio-

remidiasi. Pengembangan teknologi bioremediasi yaitu

penambahan bakteri pengurai kedalam tambak udang

intensif untuk mempercepat proses dekomposisi bahan

organik berkembang pesat dan telah banyak dilakukan,

namun efektifitas penggunaan bahan tersebut masih

dipertanyakan karena beberapa aplikasinya memberikan

hasil yang sangat bervariasi.

Penggunaan bakteri dalam bio-remidiasi tambak

terbukti mampu menurunkan kandungan bahan organik

dalam lahan tambak, lihat Monoarfa, et al (2010), bahwa

kandungan bahan organik total awal penelitian adalah

20,68 %. Hasil pengukuran kandungan bahan organik

total pada perlakuan sedimen tanpa penambahan isolat

bakteri dengan genangan air dan aerasi pada akhir

penelitian 17,53 % dengan persentase penurunan bahan

organik 15,23 %, sedang pada perlakuan sedimen dengan

penambahan isolat bakteri Pseudomanas pseudomallei

dengan genangan air dan aerasi kandungan bahan organik

pada akhir penelitian menurun menjadi 8,40 % dengan

persentase penurunan bahan organik 59,38 %. Tingginya

penurunan kandungan bahan organik total pada perlakuan

pemberian bakteri dibandingkan tanpa pemberian bakteri

menunjukkan bahwa bakteri Pseudomanas pseudomallei

mempunyai kemampuan dalam menguraikan bahan

organik tanah. Sedang rendahnya persentase penurunan

kandungan bahan organik total pada perlakuan tanpa

bakteri karena tidak terdapat bakteri yang berfungsi untuk

mendegradasi bahan organik.

VVII.. KKEESSIIMMPPUULLAANN

Pengembangan model tambak udang secara

berkelanjutan berbasis “fisheries organic system” dan “clean

production” yang di sajikan dalam makalah secara umum

dipengaruhi oleh input tidak terkontrol dan input

terkontrol.input tidak terkontrol, meliputi; (1) Air, (2) Hama

penyakit, dan (3) Tingkat permintaan. Sedangkan input

terkontrol meluputi ; (1) Tata ruang (Zonasi) pesisir, (2)

Desain dan konstruksi tambak, (3) Pupuk dan pestisida

organik, (4) Benih udang, (5) Pola budidaya tambak, (6)

Tenaga Kerja, (7) Limbah organik, (3) Remidiasi /Persiapan

Tambak (Tabel 6).

Tabel 6. Variabel dalam Pengembangan model tambak udang

secara berkelanjutan berbasis “fisheries organic

system” dan “clean production”.

KLASIFIKASI

INPUT JENIS-JENIS INPUT VARIABEL

CONTROLABLE SUMBERDAYA AIR X1 : SDY_AIR

HAMA PENYAKIT X2 : HMA_PKT

UN-

CONTROLABLE

TATA RUANG X3 : TTR_PSR

DESAIN DAN

KONSTRUKSI TAMBAK

X4 : DSN_KTK

PUPUK ORGANIK DAN

PESTISIDA

X5 : PPK_ORN

STANDARISASI DAN

BIO-SECURE BENUR

X6 : BIO_BEN

POLA BUDIDAYA

TAMBAK

X7 : PLA_BDY

TENAGA KERJA X8 : TNG_KER

LIMBAH ORGANIK X9 : LIM_ORN

REMIDIASI TAMBAK X10 : RMD_TBK

Penggambaran variabel-variabel tersebut dalam blok

diagram Pengembangan model tambak udang secara

berkelanjutan berbasis “fisheries organic system” dan “clean

production” adalah sebagai berikut (Gambar 13).

Page 25: Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Pag

e25

Gambar 13. Model Hipotesa Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan Berbasis “fisheries organic system” dan “clean

production” Sumber : Analisis Urif Syarifudin, 2011.

Secara matematis Model Hipotesa Pengembangan

Tambak Udang Secara Berkelanjutan Berbasis “fisheries

organic system” dan “clean production” yang dibangun

berdasarkan hipotesa penulis adalah sebagai berikut :

YY == AAii11FF11 ++ AAii22 FF22 ++ AAii33FF

++....................++AAiimmFFmm ++ VViiUUii

FFii == WWii11XX11 ++ WWii22 XX22

++............................................................++WWiikkXXkk

Dimana:

Y = keberhasilan pengembangan model tambak

secara berkelanjutan berbasis

“fisheries organic system” dan “clean

production” (variabel laten atau tak terukur)

Aij = koefisien regresi ganda yang distandarisasi dari

variabel (i) pada common

factor j.

F = common factor.

Ui = faktor unik untuk variabel ke-i

Vi = koefisien regresi ganda yang distandarisasi dari

variabel (i) pada faktor

unik variabel ke-i.

m = jumlah common factor.

Fi = estimator faktor ke-i

Wi = bobot/koefisien nilai faktor

Xi = variabel ke-i

k = jumlah variabel

Berdasarkan formulasi tersebut, maka “common

factor” dalam penerapan model pengembangan tambak udang

secara berkelanjutan berbasis “fisheries organic system” dan

“clean production”, adalah hasil penjumlahan (sigma) dari

Page 26: Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Pag

e26

perkalian antara bobot/koefisien nilai masing-masing faktor

dengan faktor-faktor sebagaimana yang dijelaskan dalam

model hipotesa yang dibangun oleh penulis (Gambar 9), yaitu

sebagai berikut; sumberdaya air, hama penyakit, tata ruang

pesisir, desain konstruksi tambak, pupuk dan pestisida,

standarisasi dan bio-secure benur, pola budidaya tambak,

tenaga kerja dan penangan limbah organik.

Formulasi model pengembangan tambak udang

secara berkelanjutan berbasis “fisheries organic system” dan

“clean production” yang disajikan oleh penulis merupakan

salah satu alternatif hipotesis yang dibangun berdasarkan

konsepsi teoritis dalam menciptakan kondisi budidaya tambak

udang yang dapat dilekukan secara terus menerus memberikan

manfaat kepada manusia dengan tetap menjaga dan

mempertahankan kualitas lingkungan.

Daftar Pustaka

Atmomarsono, 2000. Teknologi Budidaya Udang

Berkelanjutan. Balai Penelitian Perikanan

Pantai Maros. Makalah pada Konferensi

Nasional II Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan

Lautan Indonesia. Makassar 15-17 Mei 2000.

Alfredo A. C, Alves sefter T. L, 2000. Respon of Cassava

to Water Deficit : Leaf Area Growth and

Abscisic Acid. Crop Sci. 40 : 131-137 p.

Atjo, H. 2001. Teknik Penanganan Benih dan Pentokolan

Udang Windup P. Monodon Disampaikan pada

Pelatihan Petani Tambak program PARUL-

UNDP, di Loka Takalar.

Atjo,H. 2000. Perbaikan Mutu Benih Udang Windu, Penaeus

monodon Farb. CV Dewi Windu. Barru

Sulawesi Selatan.

Atmomarsono, M , Mun Imah Madeali, Arifuddin Tompo,

Nurhidayah, dan Muliani 2001. Pencegahan

Penyakit Udang. Balai Penelitian Perikanan

Pantai Maros.

Bapedal, 1995. National Commitment to Implement a

Clearner Production Strategy in Indonesia.

Bapedal, Jakarta.

Bratasida, L. 1997. Kebijakan Nasional tentang Produksi

Bersih. Bapedal, Jakarta.

Boyd, C.E. 1995. Pengaturan Aerasi Tambak. Primadona.

Edisi November. Jakarta. Hal. 7-12.

Boyd, C.E. 1992. Shrimp Pond Bottom Soil and Sediment

Management. p 166-181. in Wayban, J.

(Editor): Proceedings of the Special Session on

Shrimp Farming. World Aquaculture Society,

Baton Rouge, L.A., U.S.A.

Buchanan, R.E. and N.E. Gibbons, 1974. Bergey’s Manual of

Determinative Bacteriology. 8th Ed. The

Williams and Wilkins Company, Baltimore.

Budiardi, T. 1998. Evaluasi Akumulasi Bahan Organik,

Penyifonan dan Produksi Udang Windu pada

Budidaya Intensif. Thesis S2. Program

Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Campbell, ME. & WM. Glenn. 1982. Profit from Pollution

Prevention. Pollution Probbe Foundation,

Toronto.

Chanratchakool, P., J.F. Turnbull, S.F. Smith and C.

Limsuwan. 1995. Health Management in

Shrimp Ponds. Second Edition. Aquatic

Animal Health Research Institute. Department

of Fisheries. Kasetsart University Campus

Jutujakin, Bangkok 110 pp.

Djajadiningrat, ST. 2001. Untuk Generasi Masa Depan

Pemikiran, Tantangan dan Permasalahan

Lingkungan. Studio Tekno Ekonomi ITB,

Bandung.

Feenstra G, 2000. What is Sustainable Agriculture ?

Concept Themes, Farming and Natural Resources,

Plant Production Practices, Animal Production

Practices, teh Economic, Sosial and Political

Context. Sustainable Agriculture Research And

Education Program, University Of California. 1-8

p.

Fegan, D. F., A. Nietes, T. Flegel, S. Rossuwan, M.

Waiyakarutta. 1993. The Development of A

Method for Determining The Quality of

Penaeus monondon Farb. Poster Presented at

Fish Health Section. Asian Fisheries Society

Conferences, Oktober 1993.

Hanafi, A. 1986. Evaluation of Brackishwater Fishpond

Productivity in Bulacan Province. Thesis S2.

Submitted to the Faculty of the Graduate School

University of the Philippines at Los Banos. 145

p.

Imran, Z. 2001. Aplikasi Model Untuk Penentuan

Luas Tambak Lestari. Tugas Individu mata

kuliah Analisis Sistem dan Permodelan.

Page 27: Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Pag

e27

Program Study Sumberdaya Pesisir dan Lautan.

Fakultas Pascasarjana. IPB.

Katerji N, Van Hoorn J. W, Hamdy A, Karam F, Mastorilli

M, 1994. Effect of Salinity on Emergence and

Water Stress and Early Seedling Growth of

Sunflower and Maize. Agriculture Water

Management 26 : 81-91 p.

Kline R, Nanoy E. L, Sulisman V, Wolf R, 1980. Getting

the Most from Your Garden. Radole Press,

Emmans, Pennsylvania. 101-149 p.

Monoarfa, W. 1997. Tinjauan Akumulasi Bahan Organik

pada Dasar Tambak Budidaya Udang Intensif.

Kumpulan Abstrak Simposium Perikanan

Indonesia II. Hotel Sahid Makassar.

Ujungpandang, 2-3 Desember 1997.

Monoarfa, W. 1998. Studi Intensitas Redoks Potensial

Tanah Tambak Budidaya Udang Intensif.

Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin.

Ujungpandang.

Murdiyarso, Daniel. 2003. CDM : Mekanisme Pembangunan

Bersih. Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Mugnisjah W. Q, 2001. Ekofisiologi Tanaman Tropika.

Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian

Bogor. 104 hal.

Overcash, MR. 1986. Techniques for Industrial Pollution

Prevention. Lewis Publishers, New York.

Purnomo E, Sulasman S, Hasegawa T, Mashidoko Y, Osaki

M, 2003. Budidaya Padi Lokal Petani Banjar :

Sebuah Sistem LISA di Lahan Pasang Surut

Kalimantan Selatan . Center Tropical Acid Soil

Studies, Basic Secience Laboratory Universitas

Lambung Mangkurat. Hal 1-8.

Qiwei H, Xing Z. Y , Xinghui L, 2001. Effets Of Organic

Fertilizer on Tea Yild and Quality.

Proceedings: The Fifth IFOAM-ASIA

Scientific Converence, Oct 31-Nov 4, 2001,

Hangzhou, China. 134-137 p.

Reijntjes, D., Bertus, H., dan Waters,B. 1992. Farming for

the Future. (Edisi Indonesia 1999). Kanasius.

Yokyakarta.

Reddy D. N, 2001. Organic Farming In India: Poised for

Growth in the New Millennium. Proceedings :

The Fifth IFOAM–ASIA Scientific

Conference, October 31- November 4, 2001,

Hangzhou, China. 20-25 p.

Reijntjes C, Haverkort, Bayer W, 1999. Pertanian Masa

Depan : Pengantar Untuk Pertanian

Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah.

Kanisius, Yogyakarta. 270 hal.

Skoog, D.A. 1985. Principles of Instrumental Analisys.

Third Ed. Saunders Collage Publishing,

Philadelphia, pp. 225-227.

Stevenson, F.J. 1982. Humus Chemistry, Genesis,

Composition, Reaction. A Wiley-Interscience

Publication John Wiley and Sons’s. New York,

Chichester, Brisbane, Toronto, Singapore. 443

p.

Sutanto R, 2002. Pertanian Organik : Menuju Pertanian

Alternatif dan Berkelanjutan. Kanisius

Yogyakarta. Hal. 19-31.

Wangsit St, Supriyana D, 2003. Belajar dari Petani :

Kumpulan Pengalaman Bertani Organik.

SPTN-HPS-Lesman-Mitra Tani, didukung

Oleh Oxfam GB-VSO/SPARK-CRS. Hal. 20-

27.

Wenyan H, Yunwen X, Qiang L, 2001. Effect of Mulching

and Organic Fertilizer on Soil Fertility and the

Yield and Quality of Tea In an Organik

Conversion Tea Field. Proceedings: The Fifth

IFOAM-ASIA Scientific Converence, Oct 31-

Nov 4, 2001, Hongzhou, China. 124-129 p.

William D. D. Winslow M. D, 2001. An Assesment of

Technology Development from the Green

Revolution To Today. International Crops

Research Institute for The Semiarid Tropics

(ICRISAT) India. 1-9 p.