model pembelajaran i2m3
DESCRIPTION
Model PembelajaranTRANSCRIPT
MODEL PEMBELAJARAN INTERAKTIF INSPIRATIF MENYENANGKAN
MENANTANG DAN MEMOTIVASI
MAKALAH
Disampaikan dalam diskusi kelasMata Kuliah Psikologi Pendidikan
Dosen Pengampu Prof. Dr.Hj. Siti Muriah
DISUSUN
Oleh
NAMA : MUNDHI’UNIM. : 12.2.01.0009KELAS : A
PROGRAM PASCA SARJANASEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SAMARINDA
TAHUN 2013
i
REVISI MAKALAH
KATA PENGANTAR
Assalamu ‘alaikum Warahmatullai wa barakatuh
Alhamdulillah puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT. Atas berkat
rahmatNya dan
Dan pertolongannya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penyusunan
makalah ini dengan sebaik-baiknya, shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan
kepada Nabi Besar Muhammad SAW. Beserta para sahabat, keluarga serta
umatnya.
Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada Direktur
PPs. STAIN Samarinda Dr. Iskandar, juga kepada Dosen Pengampu Mata Kuliah
Psikologi Pendidikan, yang telah sabar memberikan bimbingan dan arahan dalam
perkuliahan maupun penyusunan makalah, juga kepada teman-teman di kelas A.
Semoga bantuan dari Anda semuanya memberikan manfaat bagi kita semua amin.
Kritik , Saran dan pertanyaan silakan disampaikan kepada penulis pada saat
diskusi kelas, baik secara lisan, maupun tulisan .
Terimakasih.
Wassalamu ‘alaikum Warahmatullai wa barakatuh
Samarinda, 6 Februari 2013
Penulis
MUNDHI’U NIM. 12.2.01.0009
ii
DAFTAR ISI
Sampul depan ………………………………………………………… i
Kata Pengantar ……………………………………………………….. ii
Daftar Isi ……………………………………………………………… iii
ABSTRAK …………………………………………………………… iv
BAB I. Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………… 1
B. Rumusan Masalah ………………..…………………………… 3
C. Tujuan Penulisan …………………………………….……. 3
BAB II Landasan Teori
A. Pengertian I2M3……………………...……………………….. 4
B. Tahapan Pembelajaran I2M3…………………………………… 6
BAB III Pembahasan
A. Mengimplementasikan Pembelajaran I2M3………………….. 10
B. Mengembangkan Metode Pembelajaran I2M3……..………… 18
C. Melaksanakan pembelajaran I2M3 ………..…………………. 19
BAB IV Penutup
A. Kesimpulan …………………………………………………… 23
B. Saran-saran……………………………………………………. 23
Daftar Pustaka………………………………………………………… 24
iii
MODEL PEMBELAJARAN INTERAKTIF INSPIRATIF MENYENANGKAN MENANTANG
DAN MEMOTIVASI
Oleh: Mundhi’u
ABSTRAK
Pembelajaran dengan konsep behavoristik mulai ditinggalkan karena dianggap peserta didik hanya sebagai obyek pendidikan. Dimana pengajaran selalu dimaknai dengan memberikan respon sebanyak-banyaknya, dan siswa memberikan responnya. Sementara pembelajaran sekarang lebih titik beratkan pada pembelajaran kontruktivisme peserta didik belajar melalui proses organisasi dan adaptasi dalam pembelajaran. Pembelajaran kontruktivisme inilah yang melatar-belakangi pembelajaran yang inovatif, inspiratif, menyenangkan, menantang dan memotivasi, yang lebih dikenal sebagai I2M3.
Pembelajaran I2M3 bisa dilaksanakan dengan metode pembelajaran kooperatif dan pembelajaran berbasis masalah.
Kata kunci: Behavioristik, konstruktivisme, inovatif, inspiratif, menyenangkan, menantang memotivasi, kooperatif dan pembelajaran berbasis masalah.
iv
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dunia pendidikan terus berkembang, pembenahan diadakan disemua
bidang. Mulai dari tenaga pendidik dan kependidikan, peserta didik , sarana dan
prasarana, proses, evaluasi, kelulusan dibuatan standarnya baik standar minimal
maupun standar nasional. Standar pendidikan juga mempunyai rentang dari pra-
SPM, sampai sekolah SBI.1Pendidikan dan pelatihan terus dilaksanakan dari skala
satuan pendidikan sampai pada tingkat nasional. Hasilnya perlu dipertanyakan.
Pemerintahpun mengelurakan landasan hukumnya berupa Peraturan Pemerintah
nomor 19 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Standar Nasional
Pendidikan meliputi 8 (delapan) standar, yaitu: (1) standar isi; (2) standar proses;
(3) standar kompetensi lulusan; (4) standar pendidikan dan tenaga kependidikan;
(5) standar sarana dan prasarana; (6) standar pengelolaan; (7) standar pembiayaan;
dan ( 8 ) standar penilaian. Standar-standar tersebut adalah standar minimal.
Standar ini adalah stantard minimal, artinya masih ada kemungkinan bagi satuan
pendidikan mengembangkan potensinya. Misalnya pada satuan pendidikan yang
mempunyai kemampuan diatas standard, bisa mengembangkan lebih tinggi lagi.
Namun, bagi sekolah yang tidak mampu menyamakan standar nasional pendidikan,
pemerintah telah memberikan klasifikasi Standar Pelayanan Minimal.2
Permendiknas mulai dihasilkan pada tahun 2006, yaitu dengan dikeluarkan
Permendiknas nomor 22 tentang standar isi, nomor 23 tentang standar kompetensi
lulusan, dan 24 tentang pelaksanaannya. Permendiknas nomor 22, dan 23
mengamanatkan kepada setiap satuan pendidikan untuk menyusun kurikulum
satuan pendidikannya sendiri-sendiri, yang dikenal dengan istilah kurikulum
tingkat satuan pendidikan (KTSP). Namun perlu diingat, Permendiknas tersebut
hanya memberikan rambu-rambu tentang standar isi dan standar kompetensi 1 Lihat Permediknas No.No. 15 Tahun 20102 Permendiknas Nomor 15 tahun 2010, Standar Pelayanan Minimal, dan PP No.19 tahun 2003 tentang Standar Nasional Pendidikan.
2
lulusan atau kurikulumnya. Bagaimana proses pembelajaran dan penilaiannya,
masih diperlukan dua Permendiknas lagi, yaitu Permendiknas tentang standar
proses dan Permendiknas tentang standar penilaian. Baru pada tahun 2007,
dikeluarkan Permendiknas nomor 20 tentang standar penilaian, dan Permendiknas
nomor 41 tentang standar proses. Permendiknas nomor 41, memberikan rambu-
rambu proses pembelajaran pada KTSP, dan Permendiknas nomor 20 memberikan
rambu-rambu penilaian KTSP. Fokus tulisan ini adalah memberikan deskrispsi
proses pembelajaran yang mengacu pada Permendiknas nomor 41 tahun 2007.
Lebih jauh mengenai Permendiknas No.41 tersebut, Ahmad Sabari3
memaparkan tentang syarat-syarat yang harus diperhatikan oleh seorang guru
dalam penggunaan model pembelajaran yaitu sebagai berikut :
1. Model pembelajaran yang digunakan harus dapat membangkitkan motivasi,
minat atau gairah belajar siswa.
2. Model pembelajaran yang digunakan dapat merangsang keinginan siswa untuk
belajar lebih lanjut, seperti melakukan interaksi dengan guru dan siswa lainnya.
3. Model pembelajaran harus dapat memberikan kesempatan bagi siswa untuk
memberikan tanggapannya terhadap materi yang disampaikan.
4. Model pembelajaran harus dapat menjamin perkembangan keegiatan
kepribadian siswa.
5. Model pembelajaran yang digunakan harus dapat mendidik siswa dalam teknik
belajar sendiri dan cara memperoleh pengetahuan melalui usaha pribadi.
6. Model yang digunakan harus dapat menanamkan dan mengembangkan nilai-
nilai dan sikap siswa dalam kehidupan sehari-hari.
B. Rumusan Masalah
3 Sabri, A., Strategi Belajar Mengajar Micro Teaching, (Jakarta: Quantum Teaching, 2005). Hlm. 24
3
Dari uraian latar belakang masalah sebagaimana di atas, dapat saya
rumuskan masalahnya sebsgai berikut:
1. Apa pengertian pembelajaran I2M3 ?
2. Bagaimana mengimplementaskan I2M3 dalam Pembelajaran PAI ?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui metode Pembelajaran I2M3.
2. Mengimlementasikan pembelajaran I2M3 dalam mata pelajaran PAI.
4
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Pembelajaran I2M3
Pembelajarana I2M3 adalah pembelajaran yang berlangsung secara
interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas,
dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta
psikologis peserta didik4.
Pembelajaran I2M3 yang sering juga disebut pembelajaran PAKEM yaitu
pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan merupakan
pembelajaran yang memungkinkan peserta didik melakukan kegiatan yang
beragam untuk mengembangkan keterampilan, sikap, dan pemahaman dengan
penekanan kepada belajar sambil bekerja, sementara guru menggunakan berbagai
sumber dan alat bantu belajar termasuk pemanfaatan lingkungan supaya
pembelajaran lebih menarik dan efektif 5.
Pembelajaran I2M3 dilandasi oleh Filsafat Pendidikan Konstruktifisme yaitu
pembelajaran untuk membangun realita mereka sendiri (construct their omn reality)
atau paling tidak interpretasi yang didasarkan pada persepsi mereka atas
pengalaman-pengalamannya. Woolfolk dalam Gundogdu mendefinisikan
konstruktifisme merupakan teori, cara, atau metode belajar mengajar yang
bertujuan untuk menekankan pemahaman pebelajar untuk membuat pengertian
terhadap informasi yang lebih baik.6
Pendekatan konstruktivisme lebih berfokus kepada peserta didik sebagai pusat
dalam kegiatan pembelajaran. Kegiatan ini dilaksanakan supaya lebih merangsang
dan memberi peluang kepada peserta didik untuk belajar berfikir inovatif dan
4 Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005, pasal 19 ayat 15 Drs. Daryanto, Panduan Pembelajaran Kreatif dan Inovatif, Teori dan Praktek dalam Pengembangan Profesionalisme Guru, (Jakarta: AV. Publisher, 2009), hlm. 208.6 K. Gundogdu, The Effect of Constructivist Instruction on Prospective Teachers” Attitudes Toward Human Right Education” (dalam Electronic Journal of Research in Educational Phychology (EJREP), 8, 2010) hlm. 333-352
5
mengembangkan potensinya secara optimal.7 Pendekatan konstruktivis dalam
pembelajaran dapat dilakukan dengan eksplorasi personal, diskusi dan kegiatan lain
yang menantang.
Selain pendekatan konstruktivisme masih ada lagi pendekatan yang hampir
sama yaitu pendekatan discovery learning . Keduanya memandang bahwa peserta
didik adalah ilmuwan kecil. Adapun perbedaannya adalah, discovery learning
belajar adalah menemukan sesuatu pengetahuan yang sudah ada, sedangkan
pendekatan kostruktivisme yaitu belajar untuk menemukan sesuatu yang baru.8
Dalam proses belajar mengajar siswa perlu dibiasakan untuk memecakan
masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya dan bergelut dengan ide-
ide. Guru tidak mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa.
Dari beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa konstruktivisme
merupakan teori, cara atau metode belajar mengajar yang menekan kan kepada
peningkatan pemahaman belajar dengan memberikan peran aktif kepada peserta
didik sehingga peserta didik kreatif, inovatif, menyenangkan dan juga menantang.
Pembelajaran I2M3 dimulai membuat perencanaan. Perencanaan berupa
silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Pelaksanaan pembelajaran
I2M3 mengacu pada ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
Jumlah siswa per rombongan belajar (kelas) untuk SD/MI maksimal 28 siswa,
SM/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK maksimal 32 siswa.
Beban mengajar guru sekurang-kurangnya 24 jam, yang meliputi kegiatan
pokok merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan
tugas tambahan lainnya9.
B. Tahapan Pembelajaran I2M3
7 Nanang Hanafiah dan Cucu Suhana, Konsep Strategi Pembelajaran (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), hlm. 62.8 Ibid.
9 Permendiknas nomor 41/2007, tentang Standar Proses.
6
Ditinjau dari sisi pengelolaan kelas, dalam pembelajaran I2M3 tampak
sebagai berikut:
1. Guru mengatur tempat duduk sesuai dengan karakteristik peserta didik dan
mata pelajaran, serta aktivitas pembelajaran yang akan dilakukan;
2. Volume dan intonasi suara guru dalam proses pembelajaran harus dapat
didengar dengan baik oleh peserta didik;
3. Tutur kata guru santun dan dapat dimengerti oleh peserta didik;
4. Guru menyesuaikan materi pelajaran dengan kecepatan dan kemampuan
belajar peserta didik;
5. Guru menciptakan ketertiban, kedisiplinan, kenyamanan, keselamatan, dan
kepatuhan pada peraturan dalam menyelenggarakan proses pembelajaran;
6. Guru memberikan penguatan dan umpan balik terhadap respon dan hasil
belajar peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung;
7. Guru menghargai peserta didik tanpa memandang latar belakang agama,
suku, jenis kelamin, dan satus sosial ekonomi;
8. Guru menghargai pendapat peserta didik;
9. Guru memakai pakaian yang sopan, bersih, dan rapi;
10. Pada tiap awal semester, guru menyampaikan silabus mata pelajaran yang
diampunya; dan
11. Guru memulai dan mengakhiri proses pembelajaran sesuai dengan waktu
yang dijadwalkan.10
Pelaksanaan pembelajaran I2M3,sebagaimana dijelaskan dalam Permen
41/2007 dibagi menjadi 3 babak, yaitu kegitan pendahuluan, kegiatan inti, dan
kegiatan penutup.
1. Pendahuluan
Pada kegiatan pendahuluan guru melakukan hal-hal sebagai berikut:
10 Ibid
7
a. Menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses
pembelajaran;
b. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan
sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari;
c. Menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan
dicapai; dan
d. Menyampaikan cakupan materi dan menjelaskan uraian kegitan sesuai
silabus.
2. Kegiatan Inti
Pada kegiatan inti meliputi proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.
a. Eksplorasi guru melakukan hal-hal sebagai berikut;
1) Melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang
topik/tema materi yang akan dipelajari dengan menerapkan prinsip alam
takambang jadi guru dan belajar dari aneka sumber.
2) mMenggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran,
dan sumber belajar lain;
3) Menfasilitasi terjadinya interaksi antar peserta didik serta antara pendidik
dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya.
4) Melibatkan pesertaa didik secara aktif dalam setiap kagitan
pembelajaran.
5) Menfasilitasi peserta didik melakukan percobaan di laboratorium, studio,
atau lapangan.
b. Elaborasi, guru melakukan hal-hal sebagai berikut:
1) Membiasakan peserta didik membaca dan menulis yang beragam
melalui tugas-tugas tertentu yang bermakna;
2) Memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi, dan
lain-lain untuk memunculkan gagasan baru baik secara lisan
maupun tertulis.
8
3) Memberi kesempatan untuk berpikir, menganalisis, menyelesaikan
msalah, dan bertindak tanpa rasa takut;
4) Memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif dan
kolaboratif;
5) Memfasilitasi peserta didik berkompetisi secara sehat untuk
meningkatkan prestasi belajar
6) Menfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang
dilakukan baik lisan maupun tertulis, secara individu maupun
kelompok.
7) Menfasilitasi peserta didik untuk manyajikan hasil kerja individual
maupun kelompok;
8) Menfasilitasi peserta didik melakukan pameran, turnamen, festival,
serta produk yang dihasilkan;
9) Menfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan
kebanggaan dan rasa percaya diri peserta didik.
c. Konfirmasi, guru melakukakan beberapa hal, yaitu:
1) Memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan,
tulisan, isyarat, maupun hadiah teerhdap keberhasilan peserta didik;
2) Mmberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi
pesertadidik melalui berbagai sumber;
3) Memfasilitasi peserta didik melakukan rfleksi untuk memperoleh
pengalaman belajar yang telah dilakukan.
4) Menfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang
bermakna dalam mencapai kompetensi dasar, sehingga guru
berfungsi: sebaga nara sumber dan fasilitator dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan peserta didik yang menghadapi kesulitan,
dengan menggunakan bahasa yanag baku dan benar; membantu
menyelesaikan masalah; memberi acuan agar peserta didik dapat
melakukan pengecekan hasil eksplorasi; memberi informasi untuk
bereksplorasi lebih jauh; dan memberikan motivasi kepada peserta
didik yang kurang atau belum berpartisipasi aktif.
9
3. Penutup
Pada kegiatan Penutup guru melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Bersama-sama dengan peserta didik dan/atau sendiri membuat
rangkuman/simpulan pelajaran;
b. Melakukan penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan yang sudah
dilaksanakan secara konsisten dn terprogram;
c. Memberikan umpan balik baik proses dan hasil pembelajaran;
d. Merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran
remidi, program pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan
tugas baik tugas individu maupun kelompok sesuai dengan hasil belajar
peserta didik;
e. Menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya.
10
BAB III
PEMBAHASAN
A. Mengimplementasikan Pembelajaran I2M3
Yang dimaksudkan dengan mengimplementasikan dalam pembelajaran adalah
usaha agar pembelajaran I2M3 dapat diterapkan dalam praktik pembelajaran di
kelas. Agar implementasi ini dapat berjalan wajar, maka diperlukan langkah-
langkah strategis. Langkah strategis ini akan memberikan skenario pembelajaran.
Adapun langkah yang perlu ditempuh meliputi
1. Mengubah paradigma guru terhadap belajar dan pembelajaran, dari
behavioristik ke konstruktivistik. Perubahan paradigma ini sangat esensial karena
berkaitan dengan sikap dan pandangan guru terhadap belajar dan pembelajaran itu
sendiri. Mustahil pembelajaran I2M3 ini dilaksanakan, jika guru masih
menggunakan paradigma behavioristik.
Belajar menurut aliran behavioristik adalah “perubahan dalam tingkah laku
sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon”11. Dengan model stimulus-
responnya, teori behavioristik menempatkan siswa yang belajar sebagai individu
yang pasif. Respon yang berupa perilaku tertentu dapat dibentuk karena siswa
dikondisikan dengan cara tertentu dengan menggunakan metode drill (pembiasaan)
semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat manakala diberikan
reinforcement/penguatan dan akan menghilang bila dikenai punishment/hukuman12
Belajar menurut teori behavioristik adalah perubahan tingkah laku. Seseorang
dianggap telah belajar sesuatu bila ia mampu menunjukkan perubahan tingkah
laku. Yang terpenting, menurut teori ini adalah masukan/input yang berupa stimulis
dan keluaran/output yang berupa respon. Sedangkan apa yang terjadi di antara
11 Irawan, P, Suciati, Wardani, I.G.A.K. Teori Belajar, Motivasi, dan Ketrampilan Mengajar, (Jakarta: Pusat Antar Universitas, Direjen Dikti, Depdikbud, 1995), hlm. 2
12 Degeng, I.N.S. Teori Pembelajaran 2, Terapan, Jakarta, Program Magister Manajemen (Jakarta: Pendidikan Universitas Terbuka, 2001).hlm. 23
11
stimulus dan respon itu dianggap tak penting diperhatikan sebab tidak bisa diamati.
Yang bisa diamati hanyalah stimulus dan respon. Faktor lain yang penting dalam
teori behavioristik adalah pentingnya faktor penguatan (reinforcement) dan
hukuman (punishment). Bila penguatan ditambah, maka respon akan semakin kuat.
Begitu sebaliknya jika penguatan dikurangi, maka respon akan berkurang13.
Degeng14 membuat intisari teori behavioristik dari beberapa aspek. Pertama,
teori behavioristik memandang pengetahuan adalah obyektif, pasti, dan tetap, tidak
berubah. Pengetahuan telah terstruktur rapi. Belajar adalah memperoleh
pengetahuan. Mengajar adalah memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar.
Siswa diharapkan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang
diajarkan. Apa yang dipahami oleh pengajar, itulah yang harus dipahami oleh
siswa. Sedangkan fungsi mind/otak adalah menjiplak pengetahuan yang diajarkan.
Kedua, teori behavioristik menempatkan keteraturan, kepastian, dan
ketertiban sebagai hal yang esensial. Siswa harus dihadapkan pada atauran-aturan
yang jelas dan ditetapkan lebih dulu secara ketat. Ketaatan pada aturan dipandang
sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa adalah obyek yang harus berperilaku
sesuai dengan aturan. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial. Ketiga,
kaum behavioris memandang kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan
pengetahuan dikatagorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum, dan
keberhasilan atau kemampuan dikatagorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas
diberi hadiah. Kontrol belajar berada pada sistem yang berada di luar siswa.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa teori belajar
behavioristik mempunyai ciri-ciri:
1) Seseorang dikatakan telah belajar apabila mampu menunjukkan perubahan
perilaku yang dapat diamati (observable) dan diukur (measurable).
2) Perubahan perilaku tersebut ditunjukkan dengan kemampuan melakukan respon
terhadap rangsangan (stimulus) yang diberikan.
13 Irawan, Opcit hlm. 2314 Degeng. Opcit. Hlm. 24-28
12
3) Untuk meningkatkan perubahan perilaku positif, pebelajar diberi
hadian/reward, dan hukuman/punishmen diberikan agar perilaku negatif tidak
diulangi;
4) Hadiah dan hukuman biasanya berbentuk aturan atau tata tertib yang harus
ditegakkan di atas segala-galanya;
5) Aturan atau tata tertib diharapkan mampu membentuk kebiasaan belajar; dan
6) Agar semuanya berjalan baik, maka keseragaman menjadi kunci utamanya.
Pembelajaran behavioristik menurut Degeng15 ada beberapa ciri. Pertama,
tujuan pembelajaran ditekankan pada penambahan pengetahuan, yang menuntut
siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajarinya dalam
bentuk kuis, tes, atau laporan. Ke dua, penyajian isi menekankan pada ketrampilan
yang terisolasi dan akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian-ke-keseluruhan.
Ke tiga, pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat. Ke empat, aktivitas
pembelajaran lebih banyak didasarkan pada buku teks dengan penekanan pada
keterampilan mengungkapkan kembali isi buku teks, Ke lima, pembelajaran
menekankan pada hasil. Ke enam, evaluasi menekankan pada respon pasif,
keterampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan tes tertulis. Evaluasi
menuntut satu jawaban benar. Evaluasi dipandang sebagai bagian terpisah dari
kegiatan pembelajaran dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan belajar
dengan penekaanan pada evaluasi individu.
Pembelajaran yang menerapkan teori behavioristik biasanya menggunakan
langkah-langkah sebagai berikut:
1) menentukan tujuan pembelajaran;
2) menganalisis lingkungan kelas yang ada saat ini termasuk
mengidentifikasi entry behaviour atau pengetahuan awal siswa;
3) menentukan materi pelajaran;
15
Degeng. Opcit. hlm 28-30
13
4) memecah mteri pelajaran menjadi bagian kecil-kecil (sub pokok bahasan
atau sub topic);
5) menyajikan materi pelajaran;
6) memberi stimulus yang dapat berupa: pertanyaan lisan atau tulis, tes,
latihan, dan tugas;
7) mengamati dan mengkaji respon yang diberikan;
8) memberi penguatan (baik penguatan positif maupun negative);
9) memberikan stimulus baru;
10) mengamati dan mengkaji respon yang diberikan dalam bentuk evaluasi
hasil belajar;
11) memberikan penguatan16
Pembelajaran I2M3 dilandasi oleh teori konstruktivisme. Konstruktivisme
merupakan gagasan belajar yang berasal dari Von Glassersfeld17 bermula pada
tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget.
Namun bila diterlusuri lebih jauh, gagasan pokok konstruktivisme sebenarnya
sudah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistemolog dari Itali. Dialah cikal
bakal konstruktivisme. Vico mengungkapkan bahwa Tuhan adalah pencipta alam
dan manusia adalah tuan dari ciptaannya. Cukup lama gagasan Vico tidak diketahui
orang dan seakan terpendam sampai Piaget menulis gagasan konstruktivisme dalam
teori tentang perkembangan kognitif. Piaget mengungkapkan teori adaptasi yang
menyatakan bahwa pengetahuan diperoleh dari adaptasi struktur kognitif terhadap
lingkungan. Gagasan Peaget ini lebih cepat tersebar dibanding gagasan Vico18
Piaget19 mengemukakan bahwa perkembangan intelektual seseorang melalui
dua proses, yaitu organisasi dan adaptasi. Organisasi adalah kemampuan untuk
mensistematikkan atau mengorganisasi proses-proses fisik atau psikologis menjadi
16 Irawan Opcit hlm.2317 Suparno, Paul., Filsafat Konstruktivisme dalam Pembelajaran, (Yogyakarta: Kanisius, 1997)hlm. 24.18 Suparno,Ibid. hlm. 25.
19 Dahar, Ratna, Wilis. Teori-Teori Balajar, Jakarta, P2LPTK, (Jakarta: Dirjen Dikti, Depdiknas, 1988), hlm.181-182
14
sistem-sitem yang teratur dan berhubungan atau struktur-struktur. Adaptasi adalah
kemampuan seseorang untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungannya.
Adaptasi dilakukan melalui dua proses, yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi
dilakukan apabila informasi yang diterima sesuai dengan struktur pengetahuan
yang dimiliki, sehingga memperkuat struktur yang ada. Akomodasi dilakukan
apabila informasi yang diterima tidak sesuai dengan struktur pengetahuan yang
dimiliki. Apabila seseorang tidak dapat melakukan asimilasi, maka dalam dirinya
terjadi “disequilibrium” atau ketidakseimbangan. Akibat ketidakseimbangan ini,
seseorang melakukan akomodasi sehingga struktur-struktur yang sudah ada
mengalami perubahan dan struktur baru terbentuk.
Struktur baru tersebut merupakan perkembangan intelektual. Perkembangan
intelektual merupakan proses terus menerus akibat adanya proses
ketidakseimbangan-keseimbangan (disequilibrium-equilibrium). Bagi Piaget,
mengerti adalah suatu proses adaptasi intelektual yang dengannya pengalaman-
pengalaman dan ide-ide baru diinteraksikan dengan apa yang sudah diketahui oleh
seseorang yang sedang belajar untuk membentuk struktur pengetahuan baru20 .
Bruner 21 dikenal dengan teroi belajar penemuannya (Discovery Learning). Ia
mengemukakan bahwa siswa belajar melalaui berpartisipasi secara aktif dengan
konsep-konsep dan prinsip-prinsip melalui eksperimen-eksperimen. Siswa
berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang
menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna. Belajar
penemuan membangkitkan keingintahuan siswa, dan memotivasi untuk bekerja
terus sampai menemukan jawaban-jawaban. Ia menyarankan agar penggunaan
belajar penemuan ini hanya diterapkan sampai batas-batas tertentu, yaitu dengan
mengarahkan pada struktur bidang studi.
Vigotsky, adalah salah satu tokoh yang dikenal dengan konsruktivis sosial22. Ia
mengemukakan beberapa teori yang berkaitan dengan konstruktivis sosial, yaitu:
20 Suparno. Opcit. hlm. 3321 Dahar, Opcit. 22
Suparno. Opcit. hlm. :45
15
(1) hakekat sosial dalam belajar; (2) zone of proximal development (ZPD); (3)
pemagangan kognitif; dan (4) scafolding 23. Teori hakekat sosial dalam belajar
menyatakan bahwa siswa belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman
sebaya yang lebih mampu. Zone Of Proximal Development (ZPD) atau zona
perkembangan terdekat adalah suatu ide bahwa siswa belajar konsep paling baik
apabila konsep itu berada dalam zona perkembangan terdekat mereka. Siswa
terlibat dalam zona perkembangan terdekat apabila terlibat dalam tugas-tugas yang
tidak dapat mereka selesaikan sendiri tetapi dapat menyelesaikannya bila dibantu
oleh teman sebaya mereka atau orang dewasa. Pemagangan Kognitif mengacu pada
proses dimana seseorang yang sedang belajar secara bertahap mempeeroleh
keahlian dalam interaksinya dengan seorang pakar. Pakar itu bisa orang dewasa
atau orang yang lebih tua atau kawan sebaya yang telah menguasai permasalahan.
Scafolding (Mediated Learning) adalah belajar dengan panduan atau media,
dimana guru memandu pengajaran sedemikian rupa sehingga siswa akan
menguasai tuntas dan mendarahdagingkan ketrampilan-ketrampilan yang
memngkinkan penfungsian kognitif yang lebih tinggi.
Degeng mengemukakan beberapa pandangannya tentang konstruktivis.
Menurut Degeng 24 pengetahuan adalah non obyektif, temporer, selalu berubah, dan
tidak menentu. Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit,
aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar adalah menata
lingkungan agar siswa termotivsi dalam menggali makna serta menghargai
ketidakmenentuan. Siswa dapat memiliki pemahaman yang berbeda terhadap
pengetahuan tergantung pengalaman, dan perspektif yang dipakai dalam
menginterpretasikannya. Otak (mind) berfungsi sebagai alat untuk
menginterpretasikan peristiwa, obyek, atau perspektif yang ada dalam dunia nyata
sehingga maknayang dihasilkan bersifat unik dan individualistik. Penataan
lingkungan belajar bercirikan: (1) ketidakteraturan, ketidakpastian, kesemrawutan;
(2) siswa harus bebas, kebebasan adalah unsur esensial dalam belajar; (3)
Kegagalan atau keberhasilan, kemampuan atau ketidak kemampuan dilihat sebagai 23 Nur, Muhammad. 2004. Pembelajaran Koperatif. Surabaya. Pusat Sain dan Matematika Sekolah, UNESAhlm. 5
24 Degeng 2001. Opcit. 25-27
16
interpretasi yang berbeda yang perlu dihargai; (4) kebebasan dipandang sebagai
penentu keberhasilan belajar. (5) Siswa adalah subyek yang harus mampu
menggunakan kebebesan untuk melakukan pengaturan diri dalam belajar; (6)
kontrol belajar dipegang oleh siswa.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan tentang teori
belejar konstruktivis, yaitu: (1) belajar sangat ditentukan oleh kemampuan
pebelajar untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan/informasi yang dipelajari; (2)
kontruksi pengetahuan terjadi pada kognisi pebelajar dengan cara asimilasi dan
akomodasi melalui proses ketidakseimbangan menuju keseimbangan kognitif; (3)
belajar dengan cara menemukan sendiri konsep-konsep yang dipelajari akan
memberikan pengalaman yang bermakna; (4) agar proses menemukan berjalan baik
perlu ada bantuan dari orang yang punya kemampuan setingkat lebih tinggi; (5)
belajar melalui kelompok-kelompok kecil dengan kemampuan heterogen akan
mempercepat proses belajar; (6) karena kemampuan mengkonstruksi tiap pebelajar
berbeda, maka pemaknaan terhadap suatu pengetahuan akan unik dan berbeda
untuk setiap pebelajar; (7) dengan demikian penialain dengan tes yang menuntut
satu jawaban benar tidak cocok. Penilaian yang cocok adalah penilaian yang
berkelanjutan dengan menggunakan berbagai teknik seperti portofolio, kinerja.,
produk, dan proyek.
Pembelajaran yang konstruktivis dapat dilihat dari ciri-ciri gurunya. Brooks
dan Brooks25 mengemukakan ada dua belas ciri guru konstruktivis, yaitu: (1)
mendorong dan menerima otonomi dan inisiatif siswa; (2) menggunakan sumber
primer dan materi manipulatif dan interaktif; (3) jika memberi tugas, guru
konstruktivis menggunakan kata kerja operasional seperti mengklasifikasi,
menganalisis, mempridiksi, dan berkreasi; (4) mengijinkan siswa untuk memberi
tanggapan terhadap materi pelajaran, dan strategi pembelajaran; (5) mencari tahu
sejauh mana pemahaman siswa terhadap suatu konsep, sebelum berbagi
pemahamannya tentang konsep tersebut; (6) mendorong siswa untuk berdialog
dengan guru dan nara sumber lain; (7) mendorong siswa melakukan inquiry
25 Brooks, J.G., Brooks, M.G. 1993. In Search of Inderstanding The Case for Constructivist Classrooms, Alexandria, Virginia, ASDC
17
melalui saling mengajari, memberi pertanyaan terbuka; dan bertanya satu sama
lain; ( 8 ) melakukan elaborasi atas respon yang diberikan oleh siswa; (9)
menggunakan pengalaman siswa yang bisa menimbulkan kontradiksi sebagai suatu
hipotesis awal dan mendorong terjadinya diskusi; (10) memberikan waktu yang
cukup setalah memberi pertanyaan; (11) menyediakan waktu yang cukup bagi
siswa untuk membangun hubungan-hubungan dan mengkreasikan kesan; dan (12)
memelihara keingintahuan siswa yang alamiah dengan sering menggunakan model
siklus belajar.
Kamii26 mengemukakan model konstruktivis dalam mengajar, yaitu: (1)
siapkan benda-benda nyata untuk digunakan para siswa; (2) berbuat terhadap benda
meliputi: berbuat terhadap benda dan melihat bagaimana benda itu beraksi, berbuat
terhadap benda-benda untuk menghasilkan efek yang diinginkan, menjadi sadar
bagaimana seorang menghasilkan efek yang diinginkan, dan menjelaskan; (3)
perkenalkan kegiatan yang layak, dan menarik, serta berilah para siswa kebebasan
untuk menolak saran-saran guru; (4) tekankan penciptaan pertanyaan-pertanyaan
dan masalah-masalah dan demikian pula pemecahan-pemecahannya; (5) anjurkan
para siswa untuk saling berinteraksi.
Gambaran siswa yang belajar dalam suasana konstruktivis bagaikan air
mengalir di sebuah sungai, mengalir, dinamis, penuh resiko, dan menggairahkan.
Kesalahan, kreativitas, potensi, dan ketakjuban mengisi tempat itu. Mengajar
diibaratkan bagai tukang bersih air sungai agar air dapat mengalir bebas hambatan.
Tugas mengajar diibaratkan mengangkat sampah dan kotoran lain, mengeruk
lumpur dan pasir, dan memindahkan batu dan kayu. Dari sungai sehingga air dapat
mengalir dengan baik. Oleh karenanya ketulusan hati, kesetiaan, kemesraan,
kesabaran, cinta, suka cita, improvisasi, pengendalian diri memenuhi pekerjaan
mengajar. Mengajar hendaknya menggunakan bahasa cinta. Degeng (2005)
menyatakan “janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah
perkataan yang baik untuk membangun” .
26 Dahar, Opcit. hlm. 193-196)
18
Degeng27 mengemukakan ciri-ciri pembelajaran yang konstruktivis ditinjau
dari berbagai aspek. Pertama, tujuan pembelajaran ditekankan pada belajar
bagaimana belajar. Ke dua, penyajian isi menekankan pada penggunaan
pengetahuan secara bermakna mengikuti urutan dari keseluruhan-ke-bagian. Ke
tiga, pembelajaran lebih banyak diarahkan untuk meladeni pertanyaan atau
pandangan siswa. Ke empat, aktivitas pembelajaran lebih banyak didasarkan pada
data primer dan bahan manipulatif dengan penekanan pada ketrampilan berfikir
kritis. Ke lima, pembelajaran menekankan pada proses. Ke enam, evaluasi
menekankan pada penyusunan makna secara aktif yang melibatkan keterampilan
terintegrasi, dengan menggunakan masalah pada konteks nyata. Evaluasi diarahkan
untuk munculnya berfikir divergen, pemecahan ganda, dan bukan hanya satu
jawaban benar. Evaluasi merupakan bagian utuh dari pembelajaran dengan
memberikan tugas-tugas yang menuntut aktivitas belajar yang bermakna serta
menerapkan apa yang dipelajari dalam konteks nyata. Evaluasi menekankan pada
keterampilan proses dalam kelompok.
B. Mengembangkan Metode Pembelajaran I2M3
Guru hendaknya mengembangkan metode atau model pembelajaran yang
berpusat pada siswa (student center), mengaitkan pembelajaran dengan dunia nyata
siswa (contextual), siswa belajar memecahkan masalah dalam kehidupan nyata
(Proble-base learning), dan siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil secara
kolaboratif (cooperative learning). Metode atau model pembelajaran yang
demikian biasanya disebut pembelajaran inovatif.
Pada saat ini, setidaknya ada 3 (tiga) model pembelajaran yang berkembang
dalam praktik pembelajaran di Indonesia yang mengacu pada pembelajaran I2M3.
Ketiga model pembelajaran itu adalah:
1. pengajaran langsung (direct instruction);
2. pembelajaran koperatif (cooperative learning);
27 Degeng, I.N.S. Teori Pembelajaran 2, Terapan, (Jakarta: Program Magister Manajemen Pendidikan Universitas Terbuka, 2001). hlm.16
19
3. pembelajaran berbasis masalah (problem base learning).
C. Melaksanakan I2M3
Pengajaran langsung, masih menjadi model paling banyak digunakan dalam
praktik persekolah di Indonesia. Banyak guru menganggap model ini paling efektif
untuk menjagajarkan materi. Namun perlu diingat model ini tidak dapat
mengembangkan ketrampilan sosial dan berfikir tingkat tinggi. Nur28 (2005:17)
menyatakan bahwa model pengajaran langsung cocok untuk mengajarkan
pengetahuan yang terstruktur dengan baik dan diajarkan langkah demi langkah, dan
tidak dimaksudkan untuk mengembangkan keterampilan sosial dan berfikir tingkat
tinggi.
Beberapa metode pembelajaran yang sesuai dengan I2M3 adalah
pembelajaran kooperatif, dan pembelajaran bermasis masalah.
Pembelajaran koperatif merupakan model pembelajaran yang sedang
digalakkan. Hampir di setiap penataran guru, model ini disosialisasikan. Sebagian
besar guru telah mencoba model ini dalam pembelajarannya. Hanya sayang banyak
guru yang menafsirkan pembelajaran koperatif dengan diskusi kelompok. Padahal
yang benar dalam pembelajaran koperatif siswa bekerja bersama (kerja kelompok)
dalam kelompok kecil beranggotakan 4 sampai 6 siswa berkemampuan heterogen.
Kelompok ini bekerja bersama, saling mengajari, dalam kurun waktu beberapa
minggu atau bulan. Hal terpenting dalam pembelajaran koperatif adalah adanya
saling ketergantungan positif, interaksi tatap muka, akuntabilitas individual, dan
keterampilan menjalin hubungan antar pribadi (Nur, 2004: 6).
Ada beberapa tipe pembelajaran koperatif yang dapat dipilih dalam
pembelajaran, seperti student team achievement devision (STAD), jigsaw, team
games tournament (TGT), number head together (NHT), cooperative scrip, Tink
Pair Share (TPS), dan msih banyak lagi. Hal terpenting dalam memilih model
pembelajaran koperatif adalah kesesuaian dengan kondisi. Kondisi tersebut
meliputi: (1) karekteristik materi; (2) karekteristik siswa; (3) kompetensi yang
hendak dicapai; dan (4) sarana dan prasaran yang mendukung.
28 Nur. Opcit. 17
20
Pembelajaran koperatif, menerapkan kaidah-kaidah konstruktivis, khususnya
konstruktivis sosial dari Vigotsky. Hakekat sosial dalam belajar, ZPD, pemagangan
kognitif, dan scafolding, yang merupakan ciri-ciri konstruktivis sosial berusaha
dikembangkan dalam pembelajaran model ini. Namun jika kita cermati, masih ada
satu ciri yang mengarah pada behavioristis, yaitu digunakannya kuis (dengan satu
jawaban benar) pada beberapa tipe pembelajaran koperatif seperti STAD. Jigsaw,
TGT, dan scrip cooperative.
Selain pembelajaran kooperatif, maka pembelajaran berbasis masalah
termasuk pembelajaran yang masih jarang diterapkan oleh guru. Pembelajaran ini
tidak dapat diselesaikan dalam satu kali tatap muka, dan membutuhkan
perencanaan yang matang. Borrow dan Tamblyn29, menjelaskan bahwa
pembelajaran berbasis masalah merupakan pembelajaran yang hasilnya diperoleh
dari proses bekerja ke arah pemahaman atau pemecahan masalah. Pembelajaran
berbasis masalah merupakan pembelajaran yang berpusat pada siswa, membangun
prinsip-prinsip pembelajaran mengatur belajar sendiri (self-directed learning) dan
mendorong pengembangan kecakapan pembelajaran sepanjang hayat.
Pembelajaran berbasis masalah merupakan salah satu bentuk pembelajaran
yang inovatif. Dasna dan Sutrisno30 yang menyatakan bahwa pembelajaran berbasis
masalah (Probelem-based learning), selanjutnya disingkat PBL, merupakan salah
satu model pembelajaran inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif
kepada siswa. PBL adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk
memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa
dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan
sekaligus memiliki ketrampilan untuk memecahkan masalah. PBL adalah suatu
pendekatan pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada pebelajar dengan
masalah-masalah praktis, berbentuk ill-structured, atau open ended melalui
stimulus dalam belajar.
29 Delisle, Robert. How to Use Problem-Base Learning in the Classroom. (Alexandria, Virginia. ASCD.1997) hlm. 3
30 Dasna, I.W., Sutrisno. 2008. Pembelajaran Berbasis Maslah (Problem Base Learning). Lubisgrafura/wordpress.com/htm. Diakses tanggal 30 April 2008.
21
PBL memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut: (1) belajar dimulai
dengan suatu masalah, (2) memastikan bahwa masalah yang diberikan
berhubungan dengan dunia nyata siswa, (3) mengorganisasikan pelajaran diseputar
masalah, bukan diseputar disiplin ilmu, (4) memberikan tanggung jawab yang
besar kepada pebelajar dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses
belajar mereka sendiri, (5) menggunakan kelompok kecil, dan (6) menuntut
pebelajar untuk mendemontrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk
suatu produk atau kinerja. Berdasarkan uraian tersebut tampak jelas bahwa
pembelajaran dengan model PBL dimulai oleh adanya masalah, kemudian siswa
memperdalam pengetahuannya tentang apa yang mereka telah ketahui dan apa
yang mereka perlu ketahui untuk memecahkan masalah tersebut.31
Ditinjau dari sudut guru,32 Delisle menjelaskan bahwa guru dalam
pembelajaran berbasis masalah mempunyai beberapa peran, yaitu: (1) mendesain
kurikulum; (2) memandu siswa dalam pembelajaran; (3) sebagai evaluator tentang
efektivitas masalah, kinerja siswa, dan kinerja guru. Sedangkan peran siswa dalam
pembelajaran berbasis masalah adalah: (1) mengatur belajarnya sendiri, menuntun
mereka belajar sepanjang hayat; (2) mencari, menyeleksi, dan memanfaatkan
sumber daya yang tepat dan paling baik; (3) berfikir kritis dan klinis; (4)
berperilaku secara profesional yang tepat; (5) meliputi prinsip-prinsip eti dan legal
dalam praktik; (6) bekerja dalam grup dan tim; (7) berkomunikasi secara jernih dan
profesional dalam bentuk ucapan dan tulisan; dan ( 8 ) berfikir proaktif.
Arends (2004, dalam Dasna dan Sutrisno) menyatakan bahwa ada tiga hasil
belajar (outcomes) yang diperoleh pebelajar yang diajar dengan PBL yaitu: (1)
inkuiri dan ketrampilan melakukan pemecahan masalah, (2) belajar model
peraturan orang dewasa (adult role behaviors), dan (3) ketrampilan belajar mandiri
(skills for independent learning).
Siswa akan berusaha menemukan sendiri konsep-konsep yang dipelajari dan
langsung menggunakan konsep-konsep tersebut untuk memecahkan masalah yang
dihadapi. Siswa juga menggunakan cara-cara orang dewasa dalam belajar, artinya
siswa harus lebih aktif, tidak terlalu tergantung pada guru. Siswa yang melakukan
31 Ibid32 Delisle. opcit. 14-17
22
inkuiri dalam pembelajaran akan menggunakan ketrampilan berpikir tingkat tinggi
(higher-order thinking skill) dimana mereka akan melakukan operasi mental seperti
induksi, deduksi, klasifikasi, dan reasoning. PBL juga bertujuan untuk membantu
pebelajar siswa/mahasiswa belajar secara mandiri.
BAB IV
23
P E N U T U P.
A. Kesimpulan
1. Pembelajaran I2M3 adalah pembelajaran yang berlangsung secara
interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik
untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi
prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan
perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Pembelajaran I2M3
didasari oleh teori belajar konstruktivisme, yaitu teori belajar yang
menekankan pada aktifitas siswa untuk menggali pengetahuannya sendiri
melalui pembelajaran.
2. Pembelajaran I2M3 dapat diimplementasikan dengan pembelajaran
kooperatif dan pembelajaran berbasis masalah. Model pembelajaran ini
memungkinkan siswa untuk partisipasi secara aktif untuk belajar dan
menemukan pengetahuannya sendiri.
B. Saran-saran
1. Pembelajaran I2M3 harus dilaksanakan di sekolah masing-masing.
2. Maju bersama I2M3.
DAFTAR PUSTAKA
24
Brooks, J.G., Brooks, M.G. In Search of Inderstanding The Case for Constructivist Classrooms, (Alexandria, Virginia, ASDC., 1993)
Dahar, Ratna, Wilis. Teori-Teori Balajar, (Jakarta: P2LPTK, Dirjen Dikti.1998).
Daryanto,Drs. Panduan Pembelajaran Kreatif dan Inovatif, Teori dan Praktek dalam Pengembangan Profesionalisme Guru, (Jakarta: AV. Publisher,
2009).
Dasna, I.W., Sutrisno. 2008. Pembelajaran Berbasis Maslah (Problem Base Learning). Lubisgrafura/wordpress.com/htm. Diakses tanggal 30 April 2008.
Degeng, I.N.S.. Teori Pembelajaran 2, Terapan, Jakarta, Program Magister Manajemen Pendidikan Universitas Terbuka. 2001)
Degeng, I.N.S. Teori Pembelajaran 2, Terapan, Jakarta, Program Magister Manajemen Pendidikan Universitas Terbuka, 2001)
Delisle, Robert. How to Use Problem-Base Learning in the Classroom. (Alexandria: Virginia. ASCD. , 1997)
Hanafiah, Nanang dan Cucu Suhana, Konsep Strategi Pembelajaran (Bandung: PT. Rafika Aditama, 2009)
Irawan, P, Suciati, Wardani, I.G.A.K. Teori Belajar, Motivasi, dan Ketrampilan Mengajar, (Jakarta, Pusat Antar Universitas, Direjen Dikti, Depdikbud,
1995)
K. Gundogdu, The Effect of Constructivist Instruction on Prospective Teachers” Attitudes Toward Human Right Education” (dalam Electronic Journal of Research in Educational Phychology (EJREP), 8, 2010) hlm. 333-352
Nur, Muhammad. 2004. Pembelajaran Koperatif. (Surabaya. Pusat Sain dan Matematika Sekolah, UNESA)
Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005, pasal 19 ayat 1
Permendiknas Nomor 15 tahun 2010, Standar Pelayanan Minimal.
Permendiknas nomor 41/2007, tentang Standar Proses
Peraturan Pemerintah No.20 tahun 2003 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Sabri, A. Strategi Belajar Mengajar Micro Teaching, Quantum Teaching, Jakarta. 2005
25
Suparno, Paul. 1997, Filsafat Konstruktivisme dalam Pembelajaran, Yogyakarta, Kanisius.