menurut marimin

17
Analisis Kelembagaan Pengelolaan Perikanan Artisanal di Kelurahan Pulau Abang (A Arsyad et al.) ANALlSJS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN PERJKANAN ARTJSANAL OJ KELURAHAN PULAU ABANG KECAMATAN GALANG, KOTA BATAM 1 ) (Institutional Analysis of Artisanal Fishery Management in Abang Island Village, Galang District, Batam City) Apendi Arsyad, Tridoyo Kusumastanto 2 1, Rokhmin Dahuri 2 ), Asep Saefudin 2 ), dan Endriatmo Soetarto 2 ) ABSTRACT Property rights in sea regional management and fishery resotJrces property rights are social institutions that organize fishery resources utilization and prevent it from overfishing. Therefore, a study on property rights in artisanal fishery management and a revitalization of traditional institution arrangement such as fishery resources property rights would be very beneficial for the development of community-based fishery management system. This study was aimed at assessing the roles and functions of social institutions in the utilization of artisanal fishery resources in relation to sustainable fishery management. An interpretative structural modeling was used to analyze the interrelation between elements and subelements involved in artisanal fishery management. Results showed that collecting vendors (taukes) and tourists were key subelements of consumer elements and favorable bureaucracy; fishery law enforcement was key subelements of requirement elements. It was also found that other key subelements included unfavorable bureaucracy of constraint elements; increasing fisherman income, motorization, and fishing gear technology development of change elements; increasing local original income (PAD) and processing technology development of purpose elements; increasing fisherman income and· market share development of success element; local society and NGO of stakeholder elements; and formulation of local regulations on artisanal fishery management and the socialization of management system of activity elements. Key words: institutional, artisanal fisheries, Barelang, Batam PENOAHULUAN Pengelolaan sumber daya di wilayah pesisir dan lautan pada dasarnya memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat (SOCial well-being), terutama komunitas nelayan keeil yang bermukim di kawasan pesisir (Kusumastanto, 2003). Oleh karena itu, dalam pemanfaatan (eksploitasi) sumber daya pesisir, aspek ekologi dalam hal kelestarian sumber daya dan fungsi-fungsi ekosistem harus dipertahankan sebagai landasan utama untuk meneapai kesejahteraan tersebut. Misalnya dalam pemanfaatan sumber daya ikan, diharapkan tidak menyebabkan rusaknya fishing ground, spawning ground, dan nussery ground ikan. Selain itu, juga tidak merusak fungsi ekosistem hutan bakau 1) Bagian dari disertasi penulis pertama, Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Kelautan 2) Berturut-turut Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing 169

Upload: greenkids

Post on 27-Jun-2015

185 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: menurut marimin

Analisis Kelembagaan Pengelolaan Perikanan Artisanal di Kelurahan Pulau Abang (A Arsyad et al.)

ANALlSJS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN PERJKANAN ARTJSANAL OJ KELURAHAN PULAU ABANG KECAMATAN GALANG, KOTA BATAM1

)

(Institutional Analysis of Artisanal Fishery Management in Abang Island Village, Galang District, Batam City)

Apendi Arsyad, Tridoyo Kusumastanto21, Rokhmin Dahuri2),

Asep Saefudin2), dan Endriatmo Soetarto2

)

ABSTRACT

Property rights in sea regional management and fishery resotJrces property rights are social institutions that organize fishery resources utilization and prevent it from overfishing. Therefore, a study on property rights in artisanal fishery management and a revitalization of traditional institution arrangement such as fishery resources property rights would be very beneficial for the development of community-based fishery management system. This study was aimed at assessing the roles and functions of social institutions in the utilization of artisanal fishery resources in relation to sustainable fishery management. An interpretative structural modeling was used to analyze the interrelation between elements and subelements involved in artisanal fishery management. Results showed that collecting vendors (taukes) and tourists were key subelements of consumer elements and favorable bureaucracy; fishery law enforcement was key subelements of requirement elements. It was also found that other key subelements included unfavorable bureaucracy of constraint elements; increasing fisherman income, motorization, and fishing gear technology development of change elements; increasing local original income (PAD) and processing technology development of purpose elements; increasing fisherman income and· market share development of success element; local society and NGO of stakeholder elements; and formulation of local regulations on artisanal fishery management and the socialization of management system of activity elements.

Key words: institutional, artisanal fisheries, Barelang, Batam

PENOAHULUAN

Pengelolaan sumber daya di wilayah pesisir dan lautan pada dasarnya memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat (SOCial well-being), terutama komunitas nelayan keeil yang bermukim di kawasan pesisir (Kusumastanto, 2003). Oleh karena itu, dalam pemanfaatan (eksploitasi) sumber daya pesisir, aspek ekologi dalam hal kelestarian sumber daya dan fungsi-fungsi ekosistem harus dipertahankan sebagai landasan utama untuk meneapai kesejahteraan tersebut. Misalnya dalam pemanfaatan sumber daya ikan, diharapkan tidak menyebabkan rusaknya fishing ground, spawning ground, dan nussery ground ikan. Selain itu, juga tidak merusak fungsi ekosistem hutan bakau

1) Bagian dari disertasi penulis pertama, Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Kelautan 2) Berturut-turut Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing

169

Page 2: menurut marimin

Forum Pascasarjana Vol. 30 No.3 Juli 2007: 169-185

(mangrove), terumbu karang (coral reefs), dan padang lamun (sea grass) yang memiliki keterkaitan ekologis dengan keberlanjutan sumber daya ikan (Dahuri, 2003).

Hak-hak kepemilikan (property rights) dalam sistem pengelolaan wilayah laut dan hak kepemilikan sumber daya perikanan laut merupakan suatu pranata sosial (social institution) yang mengatur atau mencegah pemanfaatan sumber daya ikan dari tindakan eksploitasi yang berlebihan (overfishing). Dalam aturan main (rules of the game) sistem hak kepemilikan sumber daya perikanan laut, antara lain, terdapat ketentuan mengenai pembatasan jumlah unit penangkapan dan ukuran alat tangkap (size fishing gear), pengaturan musim penangkapan ikan tertentu (close and open season) dan daerah penangkapan (Satria et al., 2002; Wahyono et al., 2001). )

Mengkaji keberadaan hak-hak kepemilikan dalam sistem pengelolaan perikanan artisanal dan merevitalisasi tatanan kelembagaan tradisional (traditional institution arrangement) seperti hak kepemilikan sumber daya perikanan laut sangat bermanfaat bagi upaya memperkuat pengembangan sistem pengelolaan perikanan berbasis masyarakat (community base management) (Arsyad, 2006; Anwar, 1992). Diyakini bahwa sistem pengelolaan tersebut mampu mewujudkan pembangunan perikanan berkelanjutan (sustainable fisheries), yakni suatu usaha yang mengedepankan konservasi, pemerataan sosial, dan pertumbuhan ekonomi (Munangsinghe, 2002; Serageldin, 2004) sehingga kebijakan pembangunan perikanan yang bertanggung jawab (responsible fisheries) dapat terlaksana dengan baik (FAO, 1995 dan Charles, 2001). Sistem pengelolaan sumber daya pesisir yang berkelanjutan akan mendukung upaya untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat (social well being), terutama komunitas nelayan artisanal yang bermukim di pedesaan pesisir.

Penelitian ini bertujuan menganalisis peranan dan fungsi sistem kelembagaan sosial (social institution) dalam pemanfaatan sumber daya ikan pantai (artisanal fisheries) dikaitkan dengan' konsep pengelolaan sumber daya perikanan yang berkelanjutan (sustainable fisheries).

METODE PENELITIAN

Pengambilan data primer dilakukan melalui cara wawancara mendalam (depth interview) dengan pakar perikanan dan kelautan serta tokoh masyarakat nelayan. Wawancara dilakukan menggunakan alat bantu daftar pertanyaan (kuisioner) yang telah disiapkan. Selain itu juga dilakukan Focus Group Discussion (FGD), Rural Rapid Appraisal (RRA) dan Participatory Rural Appraisal (pRA) (Chamber, 2001; Tonwsley 1993). Untuk menganalisis keterkaitan elemen dan Subelemen yang terlibat dalam pengelolaan perikanan artisanal di Sarelang Satam digunakan metode interpretative structural modelling (ISM) dengan mengacu Marimin (2004) dan Eriyatno (2003). Analisis dilakukan terhadap elemen pemangku kepentingan (stakeholder) yang berpengaruh pada sistem pengelolaan perikanan artisanal, elemen kebutuhan untuk pelaksanaan program pengelolaan perikanan artisanal, elemen kendala dalam pengelolaan perikanan artisanal, elemen perubahan yang mungkin terjadi dari pengelolaan perikanan artisanal, elemen tujuan dari program pengelolaan perikanan artisanal, elemen keberhasilan

170

Page 3: menurut marimin

Ana/isis Ke/embagaan Penge/o/aan Perikanan Artisana/ di Ke/urahan Pu/au Abang (A. Arsyad et al.)

pengelolaan perikanan artisanal, elemen aktivitas pengelolaan perikanan artisanal, dan elemen pelaku (stakeholder) pengelolaan perikanan artisanal.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kawasan yang menjadi lokasi penelitian terletak di Kelurahan Pulau Abang, yang meliputi Pulau Abang Kecil (Air Saga), Pulau Abang Sesar, Pulau Petong, dan Pulau Nguan. Seluruh kawasan ini secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Pulau Abang, Kecamatan Galang, Kota Satam. Pusat pemerintahannya, dengan kantor kelurahan, terletak di Pulau Abang Kecil. Pulau Abang Kecil merupakan konsentrasi pemukiman penduduk dengan komposisi terbesar nelayan. Pulau Abang Kecil terletak pad a posisi geografis' 0° 31' lintang utara (LU) dan 104° 13' bujur timur (ST), Air Saga terletak pad a posisi geografis 0° 33' LU dan 1040 14' ST, dan pulau Petong terletak pada posisi geografis 00 37' LU dan 1040 05' ST.

'~,

;."', ... ,JW.: "t~ </~

~-.­-",-- .....

...

1

~. ~'.,. - ,

Gambar 1. Peta batas Kecamatan Galang (Pemkot Satam, 2005)

Serdasarkan administrasi, wilayah Kelurahan Pulau Abang sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Karas, sebelah selatan dengan Kabupaten Karimun, sebelah timur adalah Kecamatan Senayang, sedangkan sebelah barat dengan Kelurahan Sijantung (Gambar 1). Kelurahan Pulau Abang terletak di bagian selatan Kota Satam, terdiri dari 57 pulau kecil, dan hanya 10 buah pulau yang berpenghuni (berpenduduk), termasuk di antaranya pulau yang dijadikan kebun atau digarap oleh masyarakat, sedangkan 47 pulau lainnya tidak berpenghuni (Pemko Satam, 2005).

Serdasarkan identifikasi dan diskusi pakar, terdapat delapan elemen dalam pengelolaan perikanan artisanal (Saxena, 1992 diacu dalam Eriyatno, 2003 dan Marimin, 2004). Analisis dilakukan terhadap elemen pengguna sumber daya laut

171

Page 4: menurut marimin

Forum Pascasaljana Vol. 30 No.3 Juli 2007: 169-185

yang berpengaruh pad a pengelolaan perikanan artisanal, elemen kebutuhan untuk pelaksanaan program pengelolaan perikanan artisanal, elemen kendala dalam pengelolaan perikanan artisanal, elemen perubahan yang mungkin terjadi dari pengelolaan perikanan artisanal, elemen tujuan dari program pengelolaan perikanan artisanal, elemen keberhasilan pengelolaan perikanan artisanal, elemen aktivitas pengelolaan perikanan artisanal, dan elemen pelaku pengelolaan perikanan artisanal.

Elemen Pengguna Sumber Oaya Laut yang Berpengaruh pada Pengelolaan Perikanan Artisanal

Berdasarkan hasil analisis dengan metode ISM, elemen' pengguna sumber perikanan artisanal yang berpengaruh pada pengelolaan perikanan artisanal terdiri dari 9 Subelemen pengguna, dapat digambarkan dalam bentuk Hierarki (Gambar 2) dan dibagi dalam empat sektor dalam grafik dependence-driver power (Gambar 3). Dari diagram model struktural elemen pengguna (Gambar 2) diketahui bahwa elemen pengguna perikanan artisanal yang berpengaruh pada pengelolaan perikanan artisanal terbagi dalam tiga level. Subelemen yang menjadi elemen kunci dari elemen pengguna sumber perikanan artisanal yang berpengaruh pada pengelolaan perikanan artisanal adalah nelayan kecil (artisanal) (E1). Hasil terse but menunjukkan bahwa nelayan kecil merupakan pengguna yang memiliki peran yang lebih besar daripada pengguna lain dalam pengelolaan perikanan artisanal. Peran nelayan artisanal menunjukkan tindakan atau kebijakan yang dapat diputuskan dapat mempengaruhi dan memberikan dorongan besar bagi pengelolaan perikanan artisanal. Peran nelayan artisanal tersebut harus diarahkan kepada pencapaian tujuan pengelolaan perikanan artisanal, yaitu pengelolaan perikanan artisanal yang berkelanjutan. Peran nelayan artisanal selanjutnya akan mendorong pengguna lain yang berada pada Level 1 dan 2, yaitu penebang hutan bakau atau mangrove (E9), pelayaran laut (kapal angkutan) (E5), pelancong wisata bahari (E6), pedagang pengumpul (tauke) (E2), pengolah ikan (E3), nelayan modern atau trawl (E4), pembudi daya laut (E7), dan penambang pasir (E8) sebagai pengguna langsung sumber daya laut.

Dari Gambar 3 terlihat bahwa pengguna seperti pedagang atau pengumpul (tauke) (E2), pengolah ikan (E3), nelayan modern atau trawl (E4), pelancong wisata bahari (E6), dan pembudi daya laut (E7) termasuk peubah linkages (pengait) dari sistem pengelolaan perikanan artisanal. Setiap tindakan pengguna akan menghasilkan sukses pengelolaan sumber daya perikanan artisanal di Kelurahan Pulau Abang, sedangkan lemahnya perhatian terhadap pengguna­pengguna tersebut akan menyebabkan kegagalan pengelolaannya.

Hasil klasifikasi yang digambarkan pada grafik driver power-dependence elemen pengguna (Gambar 3) menunjukkan bahwa nelayan kecil (E1) menempati Sektor IV (independent) dan memiliki nilai driver power (DP) yang tertinggi dengan nilai 9. Hal ini berarti nelayan kecil merupakan peubah bebas, dalam hal ini berarti kekuatan penggerak (driver power) yang besar untuk mempengaruhi pengguna lain sekaligus memiliki daya dorong tertinggi bagi pengelolaan perikanan artisanal, tetapi mempunyai sedikit kebergantungan pada program. Subelemen pengguna lainnya termasuk kategori peubah (dependent), yang diartikan sebagai akibat dari tindakan pengguna lainnya.

172

Page 5: menurut marimin

Analisis Kelembagaan Pengelolaan Perikanan Artisanal di Kelurahan Pulau Abang (A. Arsyad et al.)

Levell 5. Pelayaran Laut (Kapal Angkutan)

Level 2 2. Pedagang Pengumpul (Tauke)

Level 3

9. Penebang Hutan Bakau (Mangrove)

Gambar 2. Hierarki elemen pengguna sumber daya laut-perikanan artisanal SektorlV

.... ~ & .... ~

0 2 .;:: a

Sektorl

r---- 9 (1) I 8

: 7 6 5 4

3 43 2 1 o

Sektorlll

\2,3,4,6.7) I I I I

- -3- - - - -6- - - - -+ - - --g (5,6,9)

Sektorll

Dependence

9

Gambar 3. Grafik driver power-dependence pengguna pengelolaan perikanan artisanal

Elemen Kebutuhan untuk Pelaksanaan Program Pengelolaan Perikanan Artisanal

subelemen yang menyusun hierarki kebutuhan untuk pelaksanaan program pengelolaan perikanan artisanal terdiri dari 7 subelemen. dengan hasil analisis ISM terbagi dalam 3 level (Gambar 4). Subelemen suasana kondusif dan aman (E1) merupakan elemen kunci yang menempati Level 3. Hasil tersebut memberi pengertian bahwa jaminan keabsahan merupakan kebutuhan yang harus terpenuhi untuk mendorong pengelolaan sumber daya artisanal. Subelemen tersebut juga dapat diartikan sebagai pilar utama yang dapat menjamin keberlangsungan perikanan artisanal.

Level 1 yang terdiri dari subelemen kemudahan birokrasi (ijin) (E2), pelaksanaan hukum dan peraturan perikanan (E6) dan ketersediaan sarana prasarana (E7) merupakan jenis kebutuhan lanjutan yang dibutuhkan bagi pengelolaan perikanan artisanal. Kebutuhan berikutnya adalah subelemen stabilitas politik dan moneter (E3), anggaran pembiayaan (dana) pengelolaan (E4), dan komitmen masyarakat nelayan (E5) yang berada pada Level 2.

173

Page 6: menurut marimin

Forum Pascasarjana Vol. 30 NO.3 Juli 2007: 169-185

Level 1

Level 2

Level 3

2. Kemudahan Birokrasi (ijin)

3. Stabilitas Politik dan Moneter

6. Pelaksanaan Hukum dan Peraturan Perikanan

4. Anggaran Pembiayaan (Dana) Pengelolaan

1. Suasana Kondusif dan Aman

7. Ketersediaan Sarana.Prasarana

5. Komitmen Masyarakat Nelayan

Gambar 4. Hierarki elemen kebutuhan untuk pengelolaan perikanan artisanal

Hasil pengelompokan elemen kebutuhan dalam grafik driver power­dependence elemen kebutuhan (Gambar 5) menunjukkkan bahwa jaminan suasana kondusif dan aman (E1) berada dalam Sektor IV (independent) atau peubah bebas. Hasil ini menunjukkan bahwa peubah tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang besar, tetapi memiliki kebergantungan terhadap pengelolaan perikanan artisanal. Subelemen stabilitas politik dan'moneter (E3), anggaran pembiayaan (dana) pengelolaan (E4), komitmen masyarakat nelayan (E5), pelaksanaan hukum dan peraturan perikanan (E6) serta ketersediaan sarana prasarana (E7) berada dalam sektor III (linkage) hal ini menunjukkan bahwa subelemen tersebut memiliki daya dorong yang besar dan' akan saling mempengaruhi dalam pengelolaan perikanan artisanal. Kemudahan birokrasi (E2) berada dalam sektor " (dependent). Oengan posisi tersebut berarti subelemen tersebut mempunyai daya dorong relatif kecil dan tergantung pada peubah-peubah lainnya.

Sektor IV

o 2

Sektorl •

r------7-,(1) Sektorlll , .(6,7)

6

5

4

--------------,-----, (3:4,5)

3 ____________________ J

3 4 5 6 7 2 ~

o Sektor II

Dependence

Gambar 5. Grafik driver power-dependence kebutuhan untuk pelaksanaan program pengelolaan perikanan artisanal

Elemen Kendala dalam Pengelolaan Perikanan Artisanal

Hierarki elemen kendala dalam pengelolaan perikanan artisanal disusun dari 5 subelemen yang terbagi dalam 3 level (Gambar 6). Hambatan kelembagaan atau birokrasi (E2), rendahnya kualitas SOM di Barelang (E3), dan keterbatasan

174

Page 7: menurut marimin

Analisis Kelembagaan Pengelolaan Perikanan Artisanal di Kelurahan Pulau Abang (A. Arsyad et al.)

sarana dan prasarana (E4) merupakan subelemen dari elemen kendala yang menempati Level 2 dan 3 yang sekaligus merupakan elemen kunci, artinya subelemen ihi harus mendapat prioritas penyelesaian dalam pengelolaan perikanan artisanal.

Level 1

Level 2

Level 3

1. Keterbatasan Dana

3. Rendahnya Kualitas SDM di Barelang

5. Keterbatasan Potensi Sumber Daya Ikan

4. Keterbatasan Sarana dan Prasarana

2. Hambatan Kelembagaan (Birokrasi)

Gambar 6. Hierarki elemen kendala dalam pengelolaan perikanan artisanal

Sektor IV

Sektor I

2

5 ---,--------, I (2) I (3,4)

4 ---~-8~roM~--~-------1 I I

I I (h 3 I I I

I

2 ----r-------~-------~ (5)

Sektor II o

Dependence

Gambar 7. Grafik driver power-dependence kendala dalam pengelolaan perikanan artisanal

Oalam posisinya sebagai elemen kunci, penyelesaian kendala ini akan mendorong penyelesaian kendala lain yang dapat menghambat upaya pengelolaan perikanan artisanal. Apabila kendala hambatan kelembagaan atau birokrasi (E2), rendahnya kualitas SOM (E3), dan keterbatasan sarana dan prasarana (E4) dapat diatasi, kendala keterbatasan dana (E1) dan keterbatasan potensi sumber daya ikan (ES) pada Level 1 diharapkan juga dapat diselesaikan, karena penyelesaian masalah tersebut banyak, di antaranya, terkait dengan elemen kunci.

Berdasarkan plot pada grafik driver power-dependence elemen kendala (Gam bar 7) terlihat bahwa subelemen kendala yang memiliki daya dorong kuat dan saling mempengaruhi terhadap subelemen lain adalah keterbatasan dana (E1), hambatan kelembagaan atau birokrasi (E2), rendahnya kualitas SOM di Barelang (E3), dan keterbatasan sarana dan prasarana (E4), yang berada dalam Sektor III (linkage) sehingga diperlukan kehati-hatian menangani kendala tersebut. Oalam sektor II (peubah terkait atau dependent) terdapat kendala keterbatasan potensi sumberqaya ikan (ES).

175

Page 8: menurut marimin

Forum Pascasarjana Vol. 30 No.3 Juli 2007: 169-185

Elemen Perubahan yang Mungkin Terjadi dari Pengelolaan Perikanan Artisanal

Berdasarkan hasil analisis ISM, elemen tolok ukur untuk penilaian perubahan yang mungkin terjadi dari pengelolaan perikanan artisanal terdiri dari 11 subelemen yang terbagi dalam 4 level (Gambar 8). Penataan ruang laut (E11) merupakan subelemen dari elemen perubahan yang menempati Level 4 yang sekaligus merupakan elemen kunci, artinya subelemen ini harus mendapat prioritas penyelesaian dalam pengelolaan perikanan artisanal.

Dalam posisinya sebagai elemen kunci, penyelesaian perubahan ini akan mendorong penyelesaian perubahan lain yang dapat m~nghambat upaya pengelolaan perikanan artisanal. Apabila perubahan penataan ruang laut dapat diatasi, perubahan subelemen lainnya yang berada pada Level 1, 2, dan 3 diharapkan juga dapat berjalan dengan baik.

lntf3

Lev'"

s. PeningQtan Motorisni dan Pengembangan T,kndo;i'" Tangkap

Gambar 8. Hierarki elemen perubahan dalam pengelolaan perikanan artisanal

Berdasarkan plot pad a grafik driver power-dependence elemen perubahan (Gambar 9), terlihat bahwa penataan ruang laut (E11) dan pengembangan daerah perlindungan laut (marine protected area) (E10) berada dalam Sektor IV (peubah bebas atau independent), yang berarti bahwa peubah ini mempunyai daya dorong kuat, tetapi memiliki sedikit kebergantungan pada pengelolaan perikanan artisanal.

o

(11 ) Sektor IV

2

Sektor I

,. ______ 1-1_

: (10) ,-I ,

I 1 I $

5 3 4 54

3 2 1 o

(2,3,4,5,7,8,9)

----------------~ Sektor III I

________________ :_ .,(61, I

I -&- - - ~ - - -/r - - -G- - -.0- --w

(1 )

Sektor II

Dependence

Gambar 9. Grafik driver power-dependence perubahan dalam pengelolaan perikanan artisanal

176

Page 9: menurut marimin

Analisis Kelembagaan Pengelolaan Perikanan Artisanal di Kelurahan Pulau Abang (A. Arsyad et a!.)

Subelemen perubahan yang memiliki daya dorong kuat dan saling mempengaruhi terhadap subelemen lain adalah peningkatan pendapatan nelayan (E2), peningkatan PAD (E3), optimalisasi pemanfaatan potensi sumber daya ikan (E4), keterjaminan pasar produk perikanan (E5), peningkatan motorisasi dan pengembangan teknologi alat tangkap (E6), pengembangan teknologi pengolahan hasil perikanan (E7), peningkatan investasi (E8), dan pengembangan daerah atau ekonomi wilayah (E9) yang berada dalam Sektor III (linkage) sehingga diperlukan kehati-hatian dalam menangani perubahan tersebut. Dalam Sektor II (peubah terikat atau dependent) terdapat perubahan peningkatan jumlah nelayan (E1) yang berarti perubahan tersebut memiliki daya dorong yang cukup lemah dan dipengaruhi oleh elemen yang lain.

Elemen Tujuan dari Program Pengelolaan Perikanan Artisanal

Berdasarkan hasil analisis ISM, elemen tolok ukur untuk penilaian tujuan pengelolaan perikanan artisanal terdiri dari 10 subelemen yang terbagi dalam 4 level (Gambar 10). Pada Level 4 terdapat pelestarian sumber daya ikan (E10) yang merupakan elemen kunci sebagai tolok ukur dalam pencapaian tujuan pengelolaan perikanan artisanal.

Levell I 4. Keteljaminan Pasa, P,oduk

1 Perikanan

3. Optimalisasi 6. Pengembangan

Pemanfaatan Potensi 2. Peningkatan - Sum be, Daya lken dan r-- I-- Teknologi t-- 7. Peningkatan

PAD Pelestarian Sumbe,

Pengolahan HasH Investasi

Daya Ikan Perikanan

Level 2

1. Peningkatan •. ,..emngKatan Motorisasi dan 9. Pemanlaatan

Jumtah Nelayan - Pengembangan t--I--8. Pengembangan r-- Pets Ruang dan Pendapatan

Teknologi alat Daerah (Wilayah)

Laut Nelayan Tanokao

Level 3

Level 4 1 10. Pelestarian Sumbe, Daya lken I

Gambar 10. Hierarki elemen tolok ukur untuk pencapaian tujuan pengelolaan perikanan artisanal

Keberhasilan pencapaian tujuan tersebut akan mendorong keterjaminan pasar produk perikanan (E4) pada Level 1, peningkatan PAD (E2) dan optimalisasi potensi sumber daya ikan dan pelestarian sumber daya ikan (E3) pada Level 2, pengembangan teknologi pengolahan hasil perikanan (E6) dan peningkatan investasi (E7) pada Level 2 serta subelemen pada Level 3 seperti peningkatan jumlah nelayan dan pendapatan nelayan (E1), peningkatan motorisasi dan pengembangan teknologi alat tangkap (E5), pengembangan daerah atau wilayah (E8), dan pemanfaatan peta ruang laut (E9) untuk terus ditingkatkan.

177

Page 10: menurut marimin

Forum Pascasarjana Vol. 30 NO.3 Juli 2007: 169-185

Jika dilihat dari hubungan driver power-dependence elemen tujuan yang diplotkan pada Gambar" 11, peningkatan jumlah nelayan dan pendapatan nelayan (E1), optimalisasi potensi sumber daya ikan dan pelestarian sumber daya ikan (E3), peningkatan motorisasi dan pengembangan teknologi alat tangkap (E5), pengembangan teknologi pengolahan hasil perikanan (E6), peningkatan investasi (E7), pengembangan daerah atau wilayah (E8), pemanfaatan peta ruang laut (E9), dan pelestarian sumber daya ikan (E10) memiliki daya dorong yang kuat, serta bersifat linkage (Sektor III) yang berarti. saling berpengaruh dengan subelemen lain.

Sektor IV

2 3

Sektor I

4

/ (1,5) 10 - - - JJ- -(fOj - - - - II (7) 9 ___ J. _ - - _ - _ - ~_(~)- ~

8 7

6

4

3

2

1

o

I

- Sekfbrllt - - - - - .II - - - ---I I I (6) I ($:

---~-------T---"1f I I I I

- - -& - - - r - - - -6- - - .. - --'fie

(2) (4)

Sektor II

Dependence

Gambar 11. Grafik driver power-dependence tolok ukur untuk pencapaian tujuan pengelolaan perikanan artisanal

Peningkatan PAD (E2) dan keterjaminan pasar produk perikanan (E4) merupakan subelemen yang berada di Sektor II (peubah terikat atau dependent) yang berarti tolok ukur tersebut berdaya dorong rendah dan dipengaruhi oleh subelemen lain. Hal ini juga dapat diartikan apabila tolok ukur di sektor lain tercapai, akan terdorong tercapainya subelemen di Sektor II ini.

Elemen Keberhasilan Pengelolaan Perikanan Artisanal

Berdasarkan hasil analisis dengan metode ISM, elemen keberhasilan pengelolaan perikanan artisanal terdiri dari 9 subelemen (Gambar 12). Pad a diagram model struktural dari elemen keberhasilan (Gambar 12) diketahui bahwa elemen keberhasilan pengelolaan perikanan artisanal terbagi 6 level.

Subelemen yang menjadi elemen kunci dari elemen keberhasilan pengelolaan perikanan artisanal adalah peningkatan pendapatan nelayan (E2) pada Level 5. Hasil tersebut menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan nelayan merupakan keberhasilan yang memiliki peran lebih besar daripada keberhasilan lain dalam pengelolaan perikanan artisanal. Subelemen tersebut juga dapat diartikan sebagai pilar utama yang dapat menjamin keberhasilan pengelolaan perikanan artisanal. Keberhasilan peningkatan pendapatan nelayan

178

Page 11: menurut marimin

Analisis Ke/embagaan Penge/o/aan Perikanan Artisana/ di Kelurahan Pulau Abang (A. Arsyad et al.)

akan mendorong keberhasilan lain yang berada pada Level 1, 2, 3, 4, dan 6 sebagai keberhasilan langsung dalam kegiatan pengelolaan perikanan artisanal.

Level 1 I 8. Peningkatan Investasi

S. Peningkatan 7. Pemanlaalan Volume dan Nilai r----

S. Peningkalan - Sumber Daya Produksi Pangsa Passr Beljalan Optimal

Level 2

Level 3 3. Peningkalan 4. Peningkalan PAD Harga Ikan I

Level 4 I 1. Penurunan Angka Kemiskinan I

dan Pengangguran

I 2. Peningkolan Pendapalan I Nelayan LevelS

f LevelS I 9. Keleslrian Sumbe, Ooya Ikon I

Gambar 12. Hierarki elemen keberhasilan pengelolaan perikanan artisanal

Hasil klasifikasi yang digambarkan dalam grafik driver power-dependence elemen keberhasilan (Gambar 13) menunjukkan bahwa kelestarian sumber daya ikan (E9) menempati Sektor IV (independent) dan memiliki nilai DP 9. Hal ini berarti kelestarian sumber daya ikan (E9) merupakan peubah bebas yang berperan besar untuk mempengaruhi keberhasilan lain, sekaJigus memiliki daya dorong tertinggi bagi pengelolaan perikanan artisanal.

.... ~ o Q. .... .~ C\ 0

Sektor IV

2 3

Sektor I

10 Sektor III

9 -.. (2) I &S-

_.J ____ & ___ ...a.. ___ ••

I I I I :(6) (9) 17 I 41) (3,~

:6 I I I I I I

44 1(7)

-~----&----~---~---. 3

2 (5) (8)

1

0 Sektor II

Dependence Gambar 13. Grafik driver power-dependence keberhasilan pengelolaan perikanan

artisanal

Subelemen penurunan angka kemiskinan dan pengangguran (E 1), peningkatan pendapatan nelayan (E2), peningkatan PAD (E3), peningkatan harga

179

Page 12: menurut marimin

Forum Pascasarjana Vol. 30 NO.3 Juli 2007: 169-185

ikan (E4), dan peningkatan pangsa pasar (E6) yang berada pada Sektor III (linkage) menunjukkan bahwa subelemen tersebut memiliki daya dukung yang besar dan akan saling mempengaruhi dalam pengelolaan perikanan artisanal. Peningkatan volume dan nilai produksi (E5) dan peningkatan investasi (E8) berada dalam sektor peubah tidak bebas atau dependent (Sektor II) dengan nilai DP 8. Dengan posisi tersebut berarti kedua subelemen mempunyai daya dorong relatif kecil dan tergantung pada peubah-peubah lainnya.

Elemen Aktivitas Pengelolaan Perikanan Artisanal

Elemen aktivitas yang dibutuhkan dalam pengelolaan perikanan artisanal disusun dari 8 subelemen dengan hierarki yang terbagi dalam 4 level (Gambar 14). Pad a diagram model struktural elemen aktivitas (Gambar 14) menempatkan menciptakan iklim kondusif dalam mendukung pengelolaan sumber daya perikanan artisanal (E3) dengan nilai DP 8, pada Level 4 sekaligus sebagai elemen kunci pad a struktur elemen aktivitas yang akan mendorong aktivitas lain pada Level 1, 2, dan 3.

I 1. Koordinasi Antar Sektor yang Te~ibat I 8. Monijoring dan evaluasi sistem

I Pengelolaan Perikanan Artisanal I pengelolaan Level 1

2. Perumusan Perda 4. Pembinaan, Pendidikan dan 5. Sosialisasi

untuk Mendukung - Pelatihan Manusia yang Te~ibat Kelayakan Sistem - 7. Pelembagaan

Pengelolaan Perikanan dalam Pengelolaan Perikanan Sistem Pengelolaan Pantai Artisanal di Barelang

Pengelolaan

Level 2

5. Kemudahan Akses

Level 3 Terhadap Akses

Teknologi dan Informasi

3. Menciptakan Ikijm Kondusif dalam Mendukung Pangelolaan Perikanan Artisanal Level 4

Gambar 14. Hierarki elemen aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan pengelolaan perikanan artisanal

Plot grafik driver power-dependence elemen aktivitas (Gam bar 15) menunjukkan bahwa kedelapan subelemen pada elemen aktivitas berada pada Sektor III (linkage) yang berarti semua subelemen pad a elemen aktivitas tersebut merupakan subelemen yang saling terkait dengan subelemen lain (linkage) dalam pengelolaan perikanan artisanal sehingga setiap tindakan pada aktivitas-aktivitas tersebut akan menghasilkan sukses dalam pengelolaan perikanan artisanal.

180

Page 13: menurut marimin

Ana/isis Ke/embagaan Penge/o/aan Perikanan Artisana/ di Ke/urahan Pu/au Abang (A. Arsyad et al.)

(3)

.-------~-------~-I Sektor 1111 " 7.. (~ ----------.----,-----, Sektor IV

-------~--!----!- I I I I _______ ~ __ l ____ ! ____ ~J I I I

~~----~------~----+_----~~--~----~-----~ I I

o 2 3

Sektor I

3 4

2

o

5 6

Sektor II

(4)

(6)

(2)

(8)

(1 )

Gambar 15. Grafik driver power-dependence aktivitas pengelolaan perikanan artisanal

Elemen Pelaku Pengelolaan Perikanan Artisanal

Berdasarkan hasil analisis dengan metode ISM. elemen pelaku pengelolaan perikanan artisanal yang terdiri dari 9 subelemen pelaku dapat digambarkan dalam bentuk hierarki (Gambar 16) dan dibagi dalam 4 sektor dalam grafik driver power-dependence elemen pelaku (Gambar 17).

Level 1

Level 2 13. Pemprop H 4. Pemko

Level 3

5. Pemerintah pusat (DKPIOIRJEN PT)

10. Lurah

Gambar 16. Hierarki elemen pelaku pengelolaan perikanan artisanal

Dari diagram model struktural dari elemen pelaku (Gam bar 16) diketahui bahwa elemen pelaku pengelolaan terbagi dalam 3 level. Subelemen yang menjadi elemen kunci dari elemen pelaku pengelolaan perikanan artisanal adalah nelayan (E1) dan masyarakat adat (E2) pada Level 3. Hasil tersebut menunjukkan bahwa nelayan dan masyarakat adat merupakan dua pelaku yang memiliki peran lebih besar dari pada pelaku lain dalam pengelolaan perikanan artisanal. Peran nelayan dan masyarakat ad at menunjukkan tindakan atau kebijakan yang

181

Page 14: menurut marimin

Forum Pascasarjana Vol. 30 No.3 Juli 2007: 169-185

diputuskan dapat mempengaruhi dan memberikan dorongan be,sar bagi pengelolaan perikanan artisanal. Peran kedua pelaku tersebut harus diarahkan kepada pencapaian tujuan pengelolaan perikanan artisanal.

Peran nelayan dan masyarakat adat selanjutnya akan mendorong pelaku lain yang berada pad a Level 1 dan 2, yaitu pemerintah pusat (DKP/DIRJEN PT) (E5), pemerintah provinsi (E3), pemerintah kota (E4), LSM (E6), HNSI (E7), perguruan tinggi (E8), camat (E9), dan lurah (E10) sebagai pelaku langsung dalam kegiatan pengelolaan perikanan artisanal.

Hasil klasifikasi yang digambarkan pada grafik driver power-dependence elemen pelaku (Gambar 17) menunjukkan bahwa nelayan (E1) dan masyarakat ad at (E2) menempati Sektor IV (independent) dan memiliki nilai DP tertinggi (10). Hal ini berarti nelayan dan masyarakat ad at merupakan peubah bebas yang berperan besar untuk mempengaruhi pelaku lain, sekaligus memiliki daya dorong tertinggi bagi pengelolaan perikanan artisanal. Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (E3), Pemerintah Kota Batam(E4), LSM (E6), HNSI (E7), perguruan tinggi (E8), camat (E9), dan lurah (E10) berada di Sektor III (linkage), yang berarti pelaku-pelaku ini memiliki keterkaitan yang kuat dan daya dorong yang cukup besar dalam pengelolaan perikanan artisanal.

o

..-10-Sektor IV (1,2) 9

8 7

6

2 3 4 4 3 2 1

Sektor I 0

Sektor III - - - - - - - - - - - - -- -~

(3,4,6,7,8,9,10) :

6 7 8 9 1p

-------------------. (5)

Sektor II

Dependence

Gambar 17. Grafik driver power-dependence pelaku yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan dalam pengelolaan perikanan artisanal

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dalam anal isis kelembagaan dalam pengelolaan perikanan artisanal perairan kelurahan Pulau Abang, unsur kunci untuk menjadi pendorong bagi pengelolaan perikanan artisanal dibagi menjadi 8 elemen sebagai berikut. (1) Pada elemen pengguna yang menjadi elemen kunci adalah tauke dan

pelancong wisata bahari yang selanjutnya akan mendorong pengolah ikan, pelayaran laut (kapal angkutan), pembudi daya laut, penambang pasir, dan penebang hutan bakau.

182

Page 15: menurut marimin

Analisis Kelembagaan Pengelolaan Perikanan Artisanal di Kelurahan Pulau Abang (A. Arsyad et al.)

(2) Pad a elemen kebutuhan yang menjadi elemen kunci adalah kebutuhan birokrasi (izin) dan pelaksanaan hukum dan peraturan perikanan yang selanjutnya akan mendorong stabilitas politik dan moneter, komitmen masyarakat nelayan, ketersediaan sarana prasarana, suasana kondusif dan aman, serta anggaran pembiayaan (dana) pengelolaan.

(3) Pada elemen kendala yang menjadi elemen kunci dan prioritas penyelesaian adalah hambatan kelembagaan/birokrasi sehingga akan mendorong penyelesaian kendala lain yang dapat mengliambat, yaitu rendahnya kualitas SDM di Barelang, keterbatasan potensi sumber daya ikan, keterbatasan dana, dan keterbatasan sarana dan prasarana.

(4) Pada elemen perubahan yang menjadi elemen kunci adalah peningkatan pendapatan nelayan dan peningkatan motorisasi dan pengembangan teknologi alat tangkap yang akan mendorong penyelesaian perubahan lain, yaitu peningkatan PAD, keterjaminan pasar produk perikanan, pengembangan teknologi pengolahan hasil perikanan, peningkatan investasi, pengembangan daerah atau ekonomi wilayah, peningkatan jumlah nelayan dan jumlah pendapatan nelayan, optimalisasi pemanfaatan sumber daya ikan, pengembangan daerah perlindungan laut (MPA), serta penataan ruang laut.

(5) Pad a elemen tujuan yang menjadi elemen kunci adalah peningkatan PAD dan pengembangan teknologi pengolahan hasil perikanan yang akan mendorong optimalisasi pemanfaatan sumber daya ikan dan pelestarian sumber daya ikan, peningkatan motorisasi dan pengembangan teknologi alat tangkap, peningkatan investasi, pengembangan daerah atau wilayah, pemanfaatan peta ruan laut. peningkatan jumlah nelayan dan pendapatan nelayan, keterjaminan pasar produk perikanan, dan pelestarian sumber daya ikan.

(6) Pada elemen keberhasilan yang menjadi elemen kunci adalah peningkatan pendapatan nelayan dan peningkatan pangsa pasar yang akan mendorong keberhasilan peningkatan PAD, peningkatan volume dan nilai produksi, pemanfaatan sumber daya ikan, peningkatan investasi, kelestarian sumber daya ikan, penurunan angka kemiskinan dan pengangguran dan peningkatan harga ikan.

(7) Pad a elemen pelaku yang menjadi elemen kunci adalah masyarakat adat dan LSM, yang akan mendorong pemerintah provinsi, pemerintah pusat (DKP/DIRJEN PT), HNSI, perguruan tinggi, camat, nelayan, lurah, dan pemerintah kota.

(8) Pada elemen aktivitas yang menjadi elemen kunci adalah perumusan perda untuk mendukung pengelolaan sumber daya perikanan artisanal dan sosialisasi sistem pengelolaan yang akan mendorong aktivitas lainnya, yaitu menciptakan iklim kondusif dalam mendukung pengelolaan sumber daya perikanan artisanal, kemudahan akses terhadap teknologi dan informasi, pelembagaan sistem pengelolaan, monitoring dan evaluasi sistem, pengelolaan, koordinasi antarsektor yang terlibat pengelolaan sumber daya perikanan artisanal serta pembinaan, pendidikan, dan pelatihan sumber daya manusia yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya perikanan artisanal di Barelang.

183

Page 16: menurut marimin

Forum Pascasarjana Vol. 30 No.3 Juli 2007: 169-185

Saran

Perlu dilakukan penataan kelembagaan dan organisasi masyarakat nelayan di Kelurahan Pulau Abang untuk mendukung pengelolaan perikanan artisanal yang berkelanjutan melalui partisipasi aktif masyarakat nelayan setempat.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, A. 1992. Beberapa permasalahan dan hak-hak pakai territorial dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan bahari di Indonesia. Makalah Lokakarya Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu dan Holistik pada tanggal 10 Oktober 1992. Bogor: Pusat Peneltian Lingkungan Hidup (PPLH)-Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor (LP-IPB).

Arsyad, A. 2006. Kebijakan desentralisasi pengelolaan sumber daya pesisir dan revitalisasi hak-hak ulayat laut. Dalam Proseding Seminar dan Konferensi Nasional (KONAS) V Pesisir, Laut dan Pulau-pulau Kecil. Batam, 29 Agustus-1 September 2006. Jakarta: Ditjen PPK-DKP Rio

Chambers, R. 2001. PRA: Participatory Rural Appraisal - Memahami Desa Secara Partisipatif Cetakan ke-8. Yogyakarta: Penerbit Kanisius dan OXFAM.

Charles, A. 2001. Sustainable Fishery Systems. Oxford. UK: Blackwell Science Ltd.

Dahuri. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Buku Orasi IImiah Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan pada tanggal18 Januari 2003. Bogor: FPIK-IPB.

Eriyatno. 2003. IImu Sistem, Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Jilid I. Bogor: I PB Press.

FAO.1995. Tata Laksana Untuk Perikanan yang Bertanggung jawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries). Jakarta: Departemen Pertanian RI ke~asama dengan Japan International Cooperation Agency (JICA). (Terjemahan) .

Kusumastanto, T. 2003. Ocean Policy dalam Membangun Negeri Bahari di Era Otonomi Daerah. Cetakan 1. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana.

Munasinghe, M. 2002. Analysing the Nexus of Sustainable and Climate Change: An Overview. France: OECD.

Panayatou, T. 1986. Small-Scale Fisheries in Asia: Socio-economic Anallysis and Policy. Ottawa-Canada: IDRC.

184

Page 17: menurut marimin

Ana/isis Ke/embagaan Penge/o/aan Perikanan Artisana/ di Ke/urahan Pu/au Abang (A. Arsyad et al.)

[Pemko] Pemerintah Kota Satam. 2005a. Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 tentang Tata Ruang Kota aatam. Satam: Sagian Hukum Sekretariat Daerah Kota Satam.

-----------. 2005. Data Monografi Kelurahan Pulau Abang, Kecamatan Galang Kota Satam. Satam: Sagian Tata Pemerintahan Sekretariat Daerah Kota Satam.

Satria, Umbari, A., Fauzi, A, Purbayanto, A, Soetarto, E., Muchsin, I., Muflikhati, I., Karim, M., Saad, S., Oktariza, W., dan Imran, Z. 2002. Menuju Desentralisasi Kelautan. Jakarta: Penerbit Pusat Kajian Agraria IPS dan Parlnersip For Govenance Reform in Indonesia bekerjasama dengan PT. Pusata Cidesindo.

Serageldin, I. 2004. Sustainability and the wealth of nations first steps in an ongoing joerney. Journal Environmentally Sustainable Development Studies and Monographs Series NO.5. ESD.

Townsley, P. 1993. A Manual on Rapid Appraisal Methods For Coastal Community. India: FAO-UNDP, Say Sengal Programe.

Wahyono, A, Antariksa, IGP., Imron, M., Indrawasih, R., dan Sudiyono. 2001. Pemberdayaan Masyarakat Nelayan. Yogyakarta: Penerbit Media Pressindo.

185