mengupas permasalahan istilhaq -...
TRANSCRIPT
1
H.A.Mukhsin Asyrof: Mengupas Permasalahan Istilhaq Dalam Hukum Islam
MENGUPAS PERMASALAHAN ISTILHAQ
DALAM HUKUM ISLAM
Drs.H.A.Mukhsin Asyrof, SH,MH.1
A. Pendahuluan
Surat Ketua Muda Mahkamah Agung R.I. Urusan Lingkungan
Peradilan Agama Nomor: 06/TUADA-AG/V/2008 tanggal 14 Mei
2008, telah memberi kepercayaan yang besar kepada penulis
untuk menyusun suatu makalah pembanding terhadap makalah
Prof. Dr.H.Ahmad Sukardja, S.H,M.A. berjudul “Menguak Perma-
salahan Anak Istilhaq dalam Hukum Islam”, yang nantinya akan
dipresentasikan dalam Rakernas Akbar Mahkamah Agung R.I.
bulan Agustus 2008 ini.
Kalaulah penulis menerima penugasan ini, bukan berarti
penulis merasa bisa dan layak, melainkan karena penulis
menganggap ini sebagai motivasi untuk mempelajari masalah
yang dikaji secara lebih mendalam dan intensif.
Dalam pemahaman penulis, penggunaan istilah ’pemban-
ding’ bukan „pembahas’ dalam surat Tuada Uldilag di atas bukan-
lah suatu kebetulan, melainkan suatu kesengajaan dengan suatu
pertimbangan yang terang. Sekali lagi menurut pemahaman
penulis, kalau dipakai istilah „pembahas‟, maka penulis harus
membaca secara cermat makalah orang lain, dalam hal ini
makalah Prof. Sukardja, dan membahasnya secara tuntas,
dengan melihat kekuatan maupun kelemahan argumentasinya,
mengupas mulai dari sistimatika sampai istilah yang dipergunakan,
mencari persamaan maupun perbedaan. Kalaulah ini yang
dimaksudkan, maka tentulah penulis bukanlah orang yang tepat
untuk melakukannya.
1 Ketua Pengadilan Tinggi Agama Pekanbaru.
2
H.A.Mukhsin Asyrof: Mengupas Permasalahan Istilhaq Dalam Hukum Islam
Lain halnya dengan pembanding. Sebagai pembuat makalah
bandingan, maka dalam hal ini penulis hanya perlu menulis dan
membahas tentang objek yang sama dengan apa yang ditulis oleh
Prof. Sukardja, dengan cara dan gaya penulis sendiri, dari sudut
pandang yang mungkin saja berbeda, tanpa keharusan memberi
komentar apapun terhadap makalah yang akan dibanding.
Lalu siapa yang akan membandingkannya? Yang akan akan
membandingkannya adalah pembaca atau audien dimana makalah
tersebut dipresentasikan. Dengan demikian, khalayak akan
memperoleh dua makalah yang membahas satu topik dari sudut
pandang, dan cara yang berbeda, sehingga akan diperoleh
wawasan yang lebih lapang.
Pokok bahasan makalah ini, sebagaimana telah ditentukan
adalah permasalahan istilhaq atau bisa juga disebut iqraru bin
nasab, yang menjadi aktual untuk dibahas karena berkaitan erat
dengan kewenangan mutlak (absolute compentence) badan
peradilan agama tentang penyelesaian asal usul anak dan peng-
angkatan anak dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama.
Disamping itu, secara sosiologis, walaupun belum ada pene-
litian ilmiah dalam hal ini, dirasakan banyaknya anak-anak yang
lahir di luar suatu perkawinan yang sah, yang kemudian antara
lain ditelantarkan begitu saja oleh orangtuanya. Kenyataan ini
suatu saat, besar kemungkinan akan menjadi kasus yang akan
diajukan ke Pengadilan Agama untuk diselesaikan dalam bentuk
pengangatan anak atau pengesahan/pengakuan anak.
Permasalahan istilhaq erat kaitannya dengan kedudukan
anak luar nikah. Dalam Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 1974
Pasal 43 ayat (1) dan (2) disebutkan bahwa anak yang lahir di luar
3
H.A.Mukhsin Asyrof: Mengupas Permasalahan Istilhaq Dalam Hukum Islam
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya. Sedangkan kedudukan anak luar nikah
tersebut akan di atur dalam suatu Peraturan Pemerintah. Akan
tetapi sampai saat ini Peraturan Pemerintah tersebut belum juga
terbit.
Berkaitan dengan belum terbitnya Peraturan Pemerintah
dimaksud, maka dalam buku Analisis Hukum Islam Tentang Anak
Luar Nikah disebutkan (1998/1999: hal. 9) bahwa hal tersebut
akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, ter-
utama dirasakan pihak anak dan ibu yang melahirkannya. Sedang-
kan lelaki yang menghamili terkesan kurang mendapat akibat dan
tanggungjawab atas perbuatannya yang telah menyebabkan kela-
hiran seorang anak yang kemudian disebut anak luar nikah.
Dengan kajian ini, diharapkan dapat menjadi bahan bagi badan
peradilan agama dalam melaksanakan kewenanganan barunya
berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dengan baik.
B. Sumber Pembentukan Hukum Islam
Hukum Islam atau Fikih Islam, diyakini oleh para pendu-
kungnya akan mampu memberi solusi terhadap semua perma-
salahan hukum yang timbul karena perkembangan zaman maupun
karena perbedaan tempat. Keyakinan tersebut bukannya tanpa
dasar, melainkan berpijak atas adanya sifat elastisitas dalam
Hukum Islam yang berpangkal pada sumber hukum islam itu
sendiri, yang terdiri dari sumber utama dan sumber pelengkap.
Menurut Said Ramadan (1986:3) sumber utama Hukum
Islam adalah Qur‟an, Sunnah, Ijma‟ dan Qiyas. Sedangkan sumber
pelengkapnya adalah: Istihsan, istislah dan urf. Sedangkan
menurut Prof. Hasbi Ash Shiddieqy dalam bukunya Pengantar
Hukum Islam (1997: 172- 174), sumber hukum itu adalah dalil-
4
H.A.Mukhsin Asyrof: Mengupas Permasalahan Istilhaq Dalam Hukum Islam
dalil syar‟i yang berjumlah semuanya 46 (empat puluh enam)
termasuk di dalamnya Qur‟an dan Sunnah, yang kesemuanya
dapat diringkas menjadi empat saja, yakni: Qur‟an, Sunnah, Ijma‟
dan Ra‟yu. Atau dapat juga diringkas menjadi lima saja, yakni:
Qur‟an, Sunnah, Ijma‟, Qiyas dan Istid-lal (dalil akal).
Tetapi Abdoerraoef dalam disertasinya yang kemudian
diterbitkan berjudul Al Qur’an dan Ilmu Hukum (1986: 57-62)
berpendapat bahwa selain Qur‟an dan Sunnah, seperti Ijma‟,
Qiyas, Istid-lal dan lain-lainnya, tidak dapat disebut sebagai
sumber hukum, melainkan hanya sebagai metode atau cara
bagaimana menemukan hukum (rechtvinding) atas hal-hal yang
belum ada hukumnya dalam Qur‟an dan Sunnah/ Hadits. Dengan
kata lain, ijma‟, qiyas dan lain-lainnya tersebut adalah metode
atau cara mengambil hukum dari Qur‟an dan Sunnah/ Hadits
terhadap suatu peristiwa yang belum jelas atau belum ada
ketetapan hukumnya.
Permasalahan istilhaq, termasuk salah satu permasalahan
yang belum jelas ketetapan hukumnya dalam Qur‟an dan Sunnah,
sehingga perlu dikaji status hukumnya.
C. Tujuan Hukum Islam.
Istilhaq, erat kaitannya dengan masalah nasab atau garis
keturunan. Memelihara nasab atau nasal adalah salah satu tujuan
utama hukum Islam.
Menurut Abu Ishaq Ibrahim bin Musa asy Syathibi (wafat
790 H/1388 M) tujuan umum Hukum Islam (maqashidud tasyri’)
adalah mewujudkan kemashlahatan (kebaikan dan kesejahteraan)
manusia yang meliputi tiga mashlahat, yakni: mashlahat dharuri-
yah (kemashlahatan utama), mashlahat hajjiyah dan mashlahat
tahsiniyah.(Masud, 1996: 244- 246).
5
H.A.Mukhsin Asyrof: Mengupas Permasalahan Istilhaq Dalam Hukum Islam
Mashlahat dharuriyah adalah kemashlahatan terhadap segala
urusan yang menjadi kebutuhan pokok dan sendi kehidupan
manusia yang mencakup lima hal, yakni: memelihara agama
(dien), memelihara jiwa (nafs), memelihara akal (aql), memelihara
keturunan (nasal) dan memelihara harta (mal). Kelima hal
tersebut dikenal sebagai maqashidut tasyri’ (tujuan hukum).
Kemaslahatan yang ke dua yakni mashlahat hajjiyah adalah
kemaslahatan terhadap segala urusan yang memudahkan dan
meringankan serta menghilangkan kesukaran bagi manusia dalam
menanggung beban hukum (taklif). Jika tujuan ini tidak terwujud,
tidak akan merusak peraturan kehidupan dan tidak akan
menyebabkan meratanya kerusakan, melainkan hanya
sekelompok orang saja akan merasakan kesempitan dan
kesukaran. Sedangkan mashlahat tahsiniyah adalah hal-hal yang
diperlukan oleh rasa kemanusian, kesusilaan dan keseragaman
hidup bagi perorangan dan masyarakat. Jika kemaslahatan ini
tidak terwujud, maka tidak akan membawa kerusakan dalam
kehidupan masyarakat, melainkan hanya akan menimbulkan
kesukaran kepada manusia secara pribadi semata.
D. Pengaturan Nasab dalam Hukum Islam.
Menurut Wahbah az Zuhayly dalam kitabnya al Fiqhul
Islamiyyu wa Adillatuh (VII, 1989: ) nasab adalah salah satu
dari hak anak yang lima, yakni: nasab, ridha‟ (susuan), hadhanah
(pemeliharaan), walayah (perwalian/ perlindungan) dan nafkah.
Selanjutnya, menurutnya, (VII, 1989: 675, 681) sebab
ditetapkannya nasab seorang anak pada ibunya adalah adanya
kelahiran, baik kelahiran itu akibat persetubuhan yang sesuai
dengan syara‟ maupun karena persetubuhan yang menyalahi
syara‟. Sedangkan penetapan nasab seorang anak terhadap
6
H.A.Mukhsin Asyrof: Mengupas Permasalahan Istilhaq Dalam Hukum Islam
ayahnya, menurutnya disebabkan karena salah satu dari empat
hal, yakni:
(1) karena perkawinan yang sah,
(2) karena perkawinan yang fasid/ rusak,
(3) karena persetubuhan yang subhat, atau
(4) dengan pengakuan nasab.
Wahbah az Zuhayly (VII, 1989: 690) juga menyatakan
bahwa ada tiga cara pembuktian untuk penetapan nasab, yaitu:
a. Membuktikan adanya perkawinan yang sah atau adanya
perkawinan yang fasid.
b. Mengajukan pengakuan nasab (iqraru bin nasab)
c. Pengajuan alat-alat bukti lain, seperti saksi, termasuk di
dalamnya keterangan ahli qiyafah2. Di zaman sekarang,
perlu dipikirkan tentang alat bukti lain selain saksi (baik
saksi biasa maupun saksi ahli) yakni hasil pemeriksaan
golongan darah dan pemeriksaan DNA.
Selanjutnya, dalam al Qur‟an dan Hadits didapati beberapa
ketentuan yang mengatur tentang nasab, yakni:
1). Qur‟an surat al Ahzab, 33: 4.
2 Qiyafah berarti mengikuti jejak. Al qofah dikalangan orang Arab adalah orang atau kaum
yang mempunyai pengetahuan untuk menguraikan kemiripan manusia (Fiqhu as Sunnah). Mungkin mirip pengetahuan tentang katuranggan di Jawa, yakni kemampuan untuk membaca asal usul, sifat dan watak seekor kuda dengan melihat dan menganalisis ciri -ciri badannya (bentuk hidung, mata telinga, kaki dsb). Katuranggan juga sering diterapkan pada manusia.
7
H.A.Mukhsin Asyrof: Mengupas Permasalahan Istilhaq Dalam Hukum Islam
Tidaklah Allah menjadikan isteri yang kamu dhihar itu menjadi seperti ibumu, dan tidak Allah menjadikan anak angkat itu menjadi seperti anak kandungmu sendiri.
Ayat ini membatalkan hukum dhihar dalam hukum adat
jahiliyah sehingga tidak lagi mempunyai akibat hukum keper-
dataan dalam hukum perkawinan (misal: tidak menjadi mawa-
ni’un nikah) maupun hukum kewarisan, serta menyatakan
bahwa anak angkat tidak sama dengan anak kandung.
2). Qur‟an surat al Ahzab, 33: 5.
Panggillah anak-anak angkat itu dengan nama ayah-ayah mereka, yang demikian itu lebih adil disisi Allah. Apabila kamu
tidak mengetahui ayah-ayah mereka, maka anak angkat itu adalah saudaramu dalam agama, dan maulamu (orang
dekatmu).
Ayat ini menunjukkan bahwa pengangkatan anak, tidak memu-
tus nasab dengan orangtua asalnya.
3). Sabda Nabi Muhammad s.a.w.
-Anak yang lahir dinasabkan pada suami, sedangkan untuk
pelaku zina adalah batu.
4). Hadits Nabi s.a.w.
–
––
Diriwayatkan dari Nabi s.a.w. bahwasanya dia bersabda: “Barangsiapa dipanggil kepada selain nama ayahnya
sedangkan dia mengetahui, maka sorga haram baginya.
8
H.A.Mukhsin Asyrof: Mengupas Permasalahan Istilhaq Dalam Hukum Islam
Hadits ini melarang menghubungkan nasab kepada nasab
orang lain selain ayah kandungnya.
Berdasarkan ayat-ayat Qur‟an dan Hadits-hadits tersebut di
atas, Dr. H. Satria Effendi M.Zein yang menulis Bab IV buku
Analisis Hukum Islam Tentang Anak Luar Nikah (1998/1999: 63)
menyatakan bahwa:
a. U
paya seseorang mengangkat seorang anak dan menisbahkan
kepada dirinya, tidak dapat merubah hakikat dari anak itu
sendiri sehingga tetap saja bukan anaknya. Untuk menghin-
darkan penipuan dan penyalahgunaan nasab, Qur‟an menyaran-
kan agar memanggil anak angkat dengan panggilan nama ayah-
nya yang sebenarnya.
b. P
engalihan nasab adalah sebuah pemalsuan yang harus diwas-
padai dalam kehidupan keluarga.
Wahbah az Zuhayly ( VII; 1989: 673-674) menyebutkan:
a. Syariat Islam melarang orang laki-laki mengingkari nasab
anaknya sendiri, serta melarang ibu-ibu menisbahkan nasab
anaknya kepada orang selain ayah hakikinya.
b. Syariat Islam melarang anak menisbahkan nasabnya kepada
selain ayahnya sendiri.
c. Syari‟at Islam telah membatalkan hukum tabany /pengang-
katan anak seperti yang terjadi dizaman jahiliyah / sebelum
Islam.
Perlu juga kiranya disimak pendapat Asaf A.A, Fyzee dalam
bukunya „Outline of Muhammadan Law’ yang diterjemahkan
dengan judul Pokok-Pokok Hukum Islam berkaitan dengan masa-
9
H.A.Mukhsin Asyrof: Mengupas Permasalahan Istilhaq Dalam Hukum Islam
lah nasab, (I. 1995: 247-248) yang pada pokoknya menyatakan
bahwa dalam Hukum Islam tidak ada legitimation. Dia membe-
dakan antara legitimacy dan legitimation. Legitimacy adalah suatu
status yang dihasilkan oleh fakta-fakta tertentu. Sedangkan
legitimation adalah suatu prosedur yang harus dipenuhi untuk
mendapatkan status yang tidak dipunyai sebelumnya.
Yang dimaksud oleh pendapat Asaf A.A.Fyzee tersebut
adalah dalam Hukum Islam tidak dikenal prosedur untuk menja-
dikan anak orang lain menjadi anak kandung, karena itu Qur‟an
membatalkan pengangkatan Zaid bin Haritsah menjadi anak Nabi
Muhammad s.a.w.
E.Pengangkatan Anak dan Kewenangan Pengadilan Agama
Terbitnya Undang-Undang Nomor: 3 Tahun 2006 memang
membawa perubahan besar dalam kewenangan absolut badan
peradilan agama, bukan saja menambah kewenangan dalam
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, melainkan juga kewe-
nangan untuk menyelesaikan masalah pengangkatan anak yang
dilakukan menurut syariat islam.
Pasal 49 UU. Nomor : 3 tahun 2006 menyebutkan :
“Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a.
perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat;
g. infak; h. shadaqah; dan i. ekonomi syariah”.
Dalam penjelasan terhadap Pasal 49 tersebut, khususnya
mengenai huruf (a) tentang perkawinan disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan „perkawinan’ adalah hal-hal yang diatur dalam
atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang
berlaku yang dilakukan menurut syari‟ah, antara lain:….. no. 20.
10
H.A.Mukhsin Asyrof: Mengupas Permasalahan Istilhaq Dalam Hukum Islam
Penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan
anak berdasarkan hukum Islam.
Dalam pemahaman penulis, berdasarkan penjelasan Pasal
49 huruf (a) point 20 di atas, penetapan asal usul anak, berkaitan
dengan perkara pengesahan anak atau pengakuan anak, yang
dalam bahasa Arab disebut istilhaq. Sedangkan pengangkatan
anak masuk dalam pengertian tabany atau adobsi.
E. Antara Tabany dan Istilhaq
Dalam kitab-kitab fikih, dikenal dua istilah yang berkaitan
dengan pengesahan atau pengakuan anak dan pengangkatan
anak, yakni: tabany ( ) dan istilhaq ( ). Istilhaq sering
disebut juga iqraru bin nasab ( ).
Para fuqaha‟ seperti Wahbah az Zuhayly, mempergunakan
kata tabany ( ) ketika menyebut pengangkatan Zaid bin Haritsah
sebagai anak oleh Nabi Muhammad s.a.w. (VII, 1989: 674), dan
menggunakan kata istilhaq ( /lahiqa ) atau iqraru bin
nasab ( ) ketika menyebutkan hubungan nasab antara
anak dengan ibu atau bapaknya (VII, 1989: 675). Ini berarti
bahwa kata tabany dipergunakan untuk pengangkatan anak
dimana antara yang mengangkat anak dengan anak yang diangkat
tidak ada hubungan darah. Dalam kasus ini, semua orang tahu
bahwa antara Nabi Muhammad s.a.w. dengan Zaid bin Haritsah
tidak ada hubungan darah sama sekali. Sedangkan istilhaq/lahiqa
atau iqraru bin nasab dipergunakan untuk pengakuan anak atau
pengesahan anak, dimana alasan utama dari pengakuan atau
pengesahan itu ialah karena ada hubungan darah antara yang
mengakui dengan anak yang diakui.
Dengan demikian, berkaitan dengan kewenangan badan
peradilan agama, merujuk pada penjelasan Undang-Undang
11
H.A.Mukhsin Asyrof: Mengupas Permasalahan Istilhaq Dalam Hukum Islam
Nomor 3 Tahun 2006 Pasal 49 khususnya huruf (a) poin 20 di
atas, maka dapatlah ditetapkan bahwa badan peradilan agama
mempunyai kewenangan mutlak untuk menyelesaikan perkara
pengangkatan anak (tabany) dan pengakuan/pengesahan anak
(istilhaq).
Antara tabany dan istilhaq dapat dibedakan sebagai berikut:
1) Objek tabany adalah anak sah maupun anak luar nikah,
sedangkan objek istilhaq adalah anak yang lahir dalam
perkawinan yang sah atau dianggap sah dan anak luar nikah.
Dalam kasus anak yang tidak diketahui nasabnya, dalam kitab
fiqih dimasukkan dalam objek istilhaq.
2) Tabany berdasar syari‟at tidak memutus hubungan nasab
dengan orang tua aslinya, karena itu juga tidak menghu-
bungkan nasab dengan orangtua angkatnya. Dalam istilhaq,
berakibat terhubunganya nasab anak yang diakui (mulhaq/
mustalhaq) dengan orangtua yang mengakui atau mengajukan
pengesahan anak (mulhiq/ mustalhiq). (perhatikan ayat 4 dan 5
surat al Ahzab dan hadits- hadits di atas).
3) Tabany tidak mempunyai akibat keperdataan dalam hukum
perkawinan maupun hukum kewarisan. Artinya anak angkat
tidak dapat menjadi sebab terhalangnya perkawinan (mawa-
niun nikah= ), atau jadi wali nikah dari saudari angkat-
nya, dan tidak dapat menjadi ahli waris seperti anak kandung.
Bagian waris anak angkat dapat ditentukan melalui wasiyat
wajibah.
Istilhaq berakibat pada hukum perkawinan maupun hukum
kewarisan, karena anak mulhaq/ mustalhaq sama kedudukan-
nya dalam hukum seperti anak sah atau anak kandung.
12
H.A.Mukhsin Asyrof: Mengupas Permasalahan Istilhaq Dalam Hukum Islam
Sebagai bahan perbandingan, patut dikutip pendapat Erna
Sofwan Syukrie dalam bukunya Perlindungan Hukum Anak di Luar
Nikah Ditinjau dari Hak-Hak Anak, sebagaimana dikutip Abdul
Manan (2006: 85) yang menyatakan bahwa antara pengakuan
anak dan pengangkatan anak terdapat perbedaan yang prinsipiil,
yakni:
1) Pengakuan anak hanya terjadi pada anak-anak yang tidak
sah, sedangkan pengangkatan anak terjadi pada anak sah
mapun anak tidak sah.
2) Dalam pengakuan anak, orang yang mengakui dianggap
adalah sebagai orangtua/ ayah kandungnya, sehingga orang
tersebut setidaknya mempunyai hak untuk memberikan
pengakuannya terhadap anak tersebut. Sedangkan pada
pengangkatan anak justru bertolak pada tidak adanya
hubungan pertalian kekeluargaan terhadap anak tersebut,,
dan dengan pengangkatan itu bermaksud mewujudkan
kaitan hukum, dimana anak itu dianggap benar-benar seba-
gai keturunan sendiri dari orang yang mengangkatnya.
3) Pengakuan anak dimintakan oleh ayahnya, sedangkan peng-
angkatan anak diajukan oleh sepasang suami isteri.
4) Pengakuan anak tidak selalu mempunyai akibat anak yang
diakui itu sekaligus menjadi anak sah dari yang mengakui.
5) Pengakuan anak cukup dilakukan dengan akta notaris atau
akta kelahiran, sedangkan pengangkatan anak harus dengan
putusan hakim.
Pengakuan anak sebagaimana disebutkan di atas sama
dengan istilhaq dalam Hukum Islam, sedangkan pengangkatan
anak disebut tabany. Juga dapat diambil suatu persamaan bahwa
dalam pengakuan anak (istilhaq= ) didasarkan atas adanya
(dugaan) hubungan darah, sedangkan pengangkatan anak
13
H.A.Mukhsin Asyrof: Mengupas Permasalahan Istilhaq Dalam Hukum Islam
(tabany= ) justru didasarkan karena tidak adanya hubungan
darah.
Selanjutnya, dalam praktek, ada kemungkinan pengakuan
anak itu diajukan oleh seorang ibu, baik untuk dirinya sendiri
maupun untuk kepentingan anaknya. bukan hanya oleh orang
lelaki/ ayah saja.
F. Anak Luar Nikah
Anak luar nikah adalah objek tabany dan istilhaq. Anak luar
nikah pada pokoknya adalah anak yang lahir diluar perkawinan
yang sah atau diluar perkawinan yang fasid. Menurut Abdul Manan
(2006: 82-84) yang termasuk anak luar nikah adalah: anak zina3,
anak mula’anah (anak li-an) dan anak syubhat.
Untuk anak li-an dan anak syubhat, ulama sepakat dapat
menjadi anak sah melalui pengakuan (istilhaq/al iqrar bin nasab).
Hanya saja mengenai anak zina para ulama berselisih pendapat
ada yang membolehkan ada yang tidak. Ibnu Taimiyah, termasuk
ulama fiqh yang memperbolehkan (Dahlan .ed., I; 1996: 113).
Mengingat yang banyak terdapat dimasyarakat adalah
adalah anak zina, dibandingkan anak li-an dan anak syubhat,
maka hal ini perlu menjadi perhatian.
Kalau mendasarkan diri pada asas hukum: la taziru
waziratun wizra ukhra, dan asas „ tidak boleh merugikan dan tidak
boleh dirugikan‟, serta bahwa setiap anak yang lahir itu dalam
keadaan suci, maka logis kalau anak zina dapat dijadikan objek
istilhaq atau iqraru bin nasab. Artinya, anak zina tidak layak
menanggung akibat hukum perbuatan ibu dan atau ayah biologis/
hayatinya.
3 Abdul Manan setelah membedakan antara zina muhshon dengan zina ghoiru muhshon,
kemudian menyatakan bahwa anak yang yang lahir dari zina ghoiru muhshon adalah anak zina dan termasuk anak luar nikah. Hanya saja beliau tidak menyebut status anak yang lahir dari dari zina ghoiru muhshon, tanpa ada penjelasan.
14
H.A.Mukhsin Asyrof: Mengupas Permasalahan Istilhaq Dalam Hukum Islam
G. Anak Temuan (al Laqied)/ Anak yang tidak diketahui
Nasabnya
Seperti telah disebutkan, salah satu objek permasalah
istilhaq adalah anak temuan atau anak yang tidak diketahui nasab-
nya. Bahkan dalam beberapa kajian tentang istilhaq, maka masa-
lah anak yang tidak diketahui nasabnya inilah yang sering jadi
pokok bahasan utama. Sehingga terkesan pengakuan anak atau
pengesahan anak (istilhaq) itu hanya ada pada anak yang tidak
diketahui nasabnya saja.
Menurut Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnahnya (III, t.t. :
167) yang dimaksud dengan anak temuan (al laqied) adalah anak
kecil yang belum baligh yang ditemukan di jalan atau sesat di
jalan serta tidak diketahui nasabnya.
Selanjutnya dia menyatakan bahwa yang lebih berhak
memelihara anak temuan itu adalah orang yang menemukannya,
dan jika anak tersebut mati meninggalkan harta waris maka harta
warisannya itu menjadi milik baitul mal/ Negara. Begitu juga jika
anak itu dibunuh, maka diyatnya menjadi milik baitul mal. Orang
yang menemukannya tidak berhak mewarisinya.
Kesimpulan Sayid Sabiq ini berbeda dengan kesimpulan
dalam Fiqih Umar. Dalam Ensikklopedi Fiqih Umar bin Khathab r.a.
(1999: 348) dinyatakan bahwa jika anak temuan tersebut mati
dengan meninggalkan harta waris, sedangkan ahli warisnya tidak
ada lagi, maka harta warisan tersebut diwaris oleh orang yang
menemukannya.
Selanjutnya menurut Sayid Sabiq, (III, t.t. : 167) jika ada
orang, baik lelaki maupun perempuan, yang mengakui bahwa anak
temuan itu adalah anaknya, maka dinasabkanlah (ulhiqa) anak itu
kepadanya, sepanjang pengakuan itu adalah pengakuan yang
wajar. Hal ini adalah untuk kemashlahatan anak temuan tersebut.
15
H.A.Mukhsin Asyrof: Mengupas Permasalahan Istilhaq Dalam Hukum Islam
Dengan pengakuan itu, maka ditetapkanlah hubungan nasab anak
itu kepada orang yang mengakuinya, begitu juga hak kewarisan-
nya.
Jika pengakuan itu diajukan oleh lebih dari satu orang maka
hubungan nasab diberikan kepada pihak yang dapat menguatkan
gugatan dengan alat bukti. Jika masing-masing pihak tidak dapat
mengajukan alat bukti sama sekali, maka putusan dapat dijatuh-
kan berdasarkan keterangan seorang Qa-fah ( ), yakni orang
yang tahu menentukan nasab berdasarkan kemiripan jasmaniah
(lihat juga: az Zuhayly, VII, 1989: 680- 681) .
Dilihat dari segi proses peradilan (qadha-iy), dari penjelasan
Sayid Sabiq di atas, maka jika seseorang mengakui anak temuan
itu adalah anak kandungnya, maka pengakuan tersebut tidak perlu
pembuktian. Yang perlu diperiksa adalah apakah pengakuan itu
wajar atau tidak, misalnya: apakah orang yang mengakui itu
waras atau tidak, atau selisih umurnya memungkinkan anak itu
memang benar anaknya, dan sebagainya.
Untuk zaman sekarang, dimana tidak ada lagi orang yang
mengetahui hubungan nasab antara dua orang berdasarkan ciri-
ciri jasmaniahnya, maka barang bukti berupa hasil pemeriksaan
golongan darah atau hasil pemeriksaan DNA (deoxyribo nucleic
acid) dapat dipergunakan.
Masalah anak temuan atau anak yang tidak diketahui
nasabnya, juga dikupas Wahbah Zuhayli dalam kitabnya al Fiqhul
Islamyyu wa Adillatuh. Menurutnya, seorang anak yang tidak
diketahui nasabnya dapat diakui sebagai anak melalui proses
istilhaq atau al iqraru bin nasab. Menurutnya pula, (juz VII, 1989:
690- 691) pengakuan anak/ pengakuan nasab itu ada dua macam,
yakni pengakuan anak oleh diri sendiri ( pengakuan anak
langsung), dan pengakuan anak oleh orang lain ( ) .
16
H.A.Mukhsin Asyrof: Mengupas Permasalahan Istilhaq Dalam Hukum Islam
Pengakuan anak oleh diri sendiri adalah jika seseorang
menyatakan bahwa anak ini adalah anaknya, atau orang itu adalah
ayahnya. Menurutnya, pengakuan seperti itu dapat diterima
dengan empat syarat:
a) Anak yang diakui tidak diketahui nasabnya. Jika diketahui
nasabnya maka pengakuan itu batal, karena tidak diperboleh-
kan memindahkan nasab seseorang pada nasab orang lain.
Dalam hadits disebutkan:
--
Nabi melaknat orang yang bernasab kepada selain ayahnya
Dalam hal objek pengakuan anak adalah anak dari ibu yang
dilian (anak li’an), maka ulama sepakat tidak perlu syarat ini,
dan anak li‟an tidak boleh diakui sebagai anak kecuali oleh
ayah yang meli-an, karena dalam hal ini dia dianggap menca-
but pernyataannya yang tidak mengakuinya sebagai anak.
b) Pengakuan anak tersebut adalah pengakuan yang masuk akal/
logis, tidak bertentangan dengan akal sehat, seperti perbe-
daan umurnya wajar, atau tidak bertentangan dengan penga-
kuan orang, dan sebagainya.
c) Anak yang diakui mensetujui atau tidak membantah, jika anak
yang diakui itu sudah cukup umur untuk membenarkan atau
menolak (baligh dan berakal sehat). Demikian pendapat
jumhur ulama. Tetapi menurut mazhab Malikiyah, syarat ini
tidak diperlukan, karena nasab adalah hak anak kepada
ayahnya, karena itu pengakuan anak tidak memerlukan
persetujuan anak, sepanjang tidak terbukti pengakuan itu
dusta atau tidak benar.
d) Pada anak tersebut belum ada hubungan nasab dengan orang
lain. Artinya, jika pengakuan anak itu diajukan oleh seorang
17
H.A.Mukhsin Asyrof: Mengupas Permasalahan Istilhaq Dalam Hukum Islam
isteri atau seorang perempuan beriddah, maka disyaratkan
adanya persetujuan dari suaminya tentang pengakuan itu.
Selanjutnya, masih menurut Wahbah az Zuhayly (VII,
1989: 693- 694), pengakuan anak secara tidak langsung adalah
pengakuan oleh orang lain yang berkaitan dengan dirinya, seperti
jika sesorang menyatakan ini saudaraku, ini pamanku dan
sebagainya. Pengakuan seperti ini baru dapat diterima asalkan
juga memenuhi empat persyaratan di atas, ditambah syarat ke
lima yakni harus ada pembenaran dari orang lain.
Menurut mazhab Hanafiah, jika seseorang menyatakan
bahwa orang ini adalah saudaranya, maka pengakuan itu harus
dibenarkan oleh ayahnya, atau harus dikuatkan dengan pembuk-
tian, atau harus dikuatkan oleh keterangan dua orang ahli waris
yang lain, jika ayahnya sudah meninggal. Jika pengakuan itu tidak
dikuatkan oleh ayahnya, atau alat bukti lainnya, maka pengakuan
itu hanya berlaku terbatas untuk dirinya sendiri.
Menurut Wahbah az Zuhayly (VII, 1989: 695), al iqraru bin
nasab berbeda dengan tabany. Al iqraru bin nasab (pengakuan
anak) bukan membuat nasab baru, melainkan hanya cara untuk
menetapkan dan menampakkan adanya nasab. Sedangkan tabany
(adobsi= pengangkatan anak) merupakan upaya untuk menyusun
nasab/ hubungan keluarga yang baru. Dengan tabany, hubungan
anak bapak tetap bisa berlaku meskipun anak angkat itu jelas
mempunyai ayah yang dikenal. Sedangkan dalam Al iqraru bin
nasab (pengakuan anak), hubungan anak bapak tidak bisa berlaku
kecuali jika jelas anak itu tidak mempunyai ayah yang dikenal.4
Satu pertanyaan yang sangat menggoda untuk dijawab
ialah: Jika seseorang menemukan bayi di depan rumahnya, tidak
4 Diambil kesimpulan dari perbedaan diatas, dalam istilhaq/ Al iqraru bin nasab (pengakuan
anak) harus ada unsur hubungan darah antara anak yang diakui dengan orang yang mengakui, atau antara keduanya harus tidak diketahui tidak adanya hubungan darah.
18
H.A.Mukhsin Asyrof: Mengupas Permasalahan Istilhaq Dalam Hukum Islam
diketahui siapa orangtuanya, dapatkah dia mengakui bayi itu
sebagai anaknya? Atau dengan kata lain, dapatkah dia menga-
jukan permohonan pengakuan anak/ istilhaq atau al iqraru bin
nasab?. Dengan tegas jawabnya adalah tidak, karena jelas anak
itu bukan anaknya, atau jelas diketahui bahwa nasab anak itu
tidak kepadanya, atau jelas diketahui bahwa anak itu adalah anak
orang lain. Masyarakatpun tahu bahwa antara anak temuan
dengan orang yang menemukannya itu jelas tidak ada hubungan
nasab. Dengan demikian permohonan yang seperti itu ke peng-
adilan, haruslah ditolak.
Jadi dalam persyaratan bahwa anak yang jadi objek istilhaq
itu harus tidak diketahui nasabnya, terkandung pengertian bahwa
antara anak itu dengan orang yang mengakuinya tidak diketahui
ada tidaknya hubungan nasab, sehingga terbuka peluang untuk
menetapkan adanya hubungan darah atau hubungan nasab. Jika
diketahui bahwa antara anak tersebut dengan orang mengakuinya
jelas tidak ada hubungan nasab, maka berarti diketahui dengan
pasti bahwa anak tersebut adalah anak orang lain. Hukum Islam
jelas tidak membolehkan pengalihan nasab, pengalihan status
anak orang menjadi anak kandung . Inilah yang dimaksud oleh
Fyzee bahwa dalam masalah nasab, Hukum Islam tidak mengenal
legitimation.
Pemahaman seperti tersebut di atas, terbaca juga dari
keterangan yang ada dalam Ensiklopedi Hukum Islam (I, 1996:
113) yang menyatakan: “ Fukaha menetapkan syarat-syarat
pengakuan anak sebagai berikut. (a) Anak yang diakui itu tidak
diketahui keturunannya, sehingga dengan demikian ada kemung-
kinan penetapan bahwa ia adalah anak dari bapak yang mengakui
itu. ….” (huruf miring dari pengutip).
19
H.A.Mukhsin Asyrof: Mengupas Permasalahan Istilhaq Dalam Hukum Islam
Jika orang yang menemukan tidak bisa mengajukan penga-
kuan anak atau pengesahan anak (istilhaq), maka jalan yang
terbuka baginya hanyalah pengangkatan anak atau tabany.
Masalah berikutnya ialah, kepada siapa anak temuan terse-
but, setelah dijadikan anak angkat sekalipun, dinisbahkan nasab-
nya? Dasar untuk menjawab pertanyaan ini adalah Qur‟an surat al
Ahzab ayat 5 yang artinya:
Panggillah anak-anak angkat itu dengan nama ayah-ayah mereka, yang demikian itu lebih adil disisi Allah. Apabila kamu
tidak mengetahui ayah-ayah mereka, maka anak angkat itu adalah saudaramu dalam agama, dan maulamu (orang
dekatmu).
Mengkomentari maksud ayat di atas al Qurthubi dalam
tafsirnya al Jami’u li Ahkami al Qur’an ( Jilid VII, Juz 14 : 118)
mengutip pendapat an Nuhas, yang menyatakan:
Berkata an Nuhas: Ayat ini menasahkan akibat hukum
tabany dimasa lampau, yakni penasahan sunnah oleh al Qur’an. Selanjutnya ayat tersebut menyuruh agar seseorang
dipanggil sesuai dengan nama bapaknya . Jika bapaknya tidak dikenal, maka ia dinasabkan kepada walinya. Apabila wali-
nya tidak diketahui, katakan kepadanya " Hai saudaraku ", yakni saudara seagama.
Dari tafsir Qurthubi di atas, maka diperoleh jawaban bahwa
dalam kasus anak yang tidak diketahui nasabnya tersebut,
panggilannya dapat mempergunakan nama ayah angkatnya. Ini
merupakan ketentuan khusus. Hanya saja harus diingat bahwa ini
tidak menjadikan anak tersebut menjadi anak kandung dengan
segala akibat hukumnya. Artinya penasabannya kepada ayah
angkatnya tidak mempunyai akibat keperdataan. Dengan kata
lain, dalam kasus ini, dapat disebut sebagai istilhaq khusus, dalam
20
H.A.Mukhsin Asyrof: Mengupas Permasalahan Istilhaq Dalam Hukum Islam
arti nasabnya pada orangtua yang mengangkatnya (mustalhiqnya)
tetapi tidak mempunyai akibat keperdataan, baik dalam hukum
perkawinan maupun dalam hukum kewarisan.
Jika istilhaq terhadap anak yang tidak diketahui nasabnya,
mengakibatkan anak itu memperoleh status setara dengan anak
kandung, maka hal tersebut akan bertentangan dengan maksud
ayat al Qur‟an dan Hadtis –hadits Nabi tersebut di atas.
H. Bentuk-Bentuk Istilhaq (Pengakuan/Pengesahan Anak)
Seperti telah disebutkan diatas, menurut Wahbah az Zuhayly
dalam kitabnya al Fiqhu al Islamiyyu wa Adilatuh (VII, 1989: 690)
ada tiga cara pembuktian untuk penetapan nasab, yaitu:
a) Membuktikan adanya perkawinan yang sah atau adanya
perkawinan yang fasid.
b) Mengajukan pengakuan nasab (iqraru bin nasab)
c) Pengajuan alat-alat bukti lain, seperti saksi, termasuk di
dalamnya keterangan ahli qiyafah.
Dari pendapat Wahbah az Zuhayly tersebut, maka dapat
diurai beberapa kemungkinan kasus pengakuan anak atau
pengesahan anak (istilhaq) yang mungkin diajukan ke badan
peradilan agama sehubungan dengan kewenangannya yang baru,
misalnya:
1) Pengakuan seseorang bahwa seorang anak itu adalah anaknya,
yang dilahirkan dari suatu perkawinan yang sah atau dari suatu
perkawinan yang fasid. Misal, seorang suami pergi jauh
meninggalkan isterinya bertahun- tahun. Setelah dia kembali
ternyata isterinya telah nikah dengan orang lain, dan pada
isteri itu ada anak yang dia duga adalah anak kandungnya,
karena itu dia mengajukan perkara pengakuan anak ke
21
H.A.Mukhsin Asyrof: Mengupas Permasalahan Istilhaq Dalam Hukum Islam
pengadilan. Atau sebaliknya, jika misalnya seorang pejabat
diam-diam kawin lagi dengan seorang perempuan disuatu dae-
rah, kemudian perempuan itu ditelantarkannya dalam keadaan
hamil. Isteri itu kemudian melahirkan. Beberapa tahun
kemudian, anak yang dilahirkannya itu menuntut agar diakui
sebagai anak. Dalam contoh-contoh diatas, maka yang harus
dibuktikan antara lain adalah adanya perkawinan yang sah,
serta pengakuan dari si ibu bahwa benar anak itu adalah
anaknya.
2) Pengajuan gugatan bahwa anak yang ditemukan oleh sesorang
itu adalah anak kandungnya. Misalnya, Fulan menemukan
seorang bayi yang tidak diketahui siapa orangtuanya, kemu-
dian dipeliharanya dengan baik. Sekian tahun kemudian anak
itu menjadi seorang penyanyi yang terkenal dan kaya. Tiba-
tiba suatu saat datang seeorang ibu atau seorang lelaki
mengajukan gugatan/ mengaku bahwa anak temuan itu adalah
anaknya yang dia buang atau hilang sekian tahun yang lalu.
Dalam kasus seperti ini, tentu tidak bisa secara serta merta
pengakuannya tersebut harus diterima. Diperlukan pembuktian
baik dengan pemeriksaan golongan darah atau pemeriksaan
DNA atau alat bukti yang lain.
Kejadian sebaliknya bisa saja terjadi, dimana anak yang
dibuang/ anak temuan, menuntut pengakuan sebagai anak
terhadap seseorang yang diduganya sebagai orangtuanya.
3) Dalam hal misalnya, seorang kepala rumahtangga selingkuh
dengan pembantu rumahtangganya sehingga hamil dan
melahirkan anak, kemudian beberapa tahun kemudian anak itu
menggugat untuk diakui sebagai anak, maka harus dibuktikan
adanya hubungan darah antara keduanya. Bagi ulama yang
tidak membolehkan anak zina diakui sebagai anak sah, tentu
22
H.A.Mukhsin Asyrof: Mengupas Permasalahan Istilhaq Dalam Hukum Islam
tuntutan tersebut harus ditolak jika memang ternyata anak
tersebut hasil pembuahan di luar nikah. Dan bagi mereka yang
menganggap hubungan tersebut sebagai hubungan syubhat,
tentu tuntutan tersebut dapat dikabulkan jika memang terbukti
adanya hubungan darah diantara keduanya.
Kasus sebaliknya dalam hal ini dapat terjadi. Misalnya, karena
kepala rumahtangga itu tidak mempunyai anak dari isteri
resminya, dan dihari tua dia teringat akan anak selingkuhan-
nya tadi, maka kemudian dia mengajukan perkara penge-
sahan/ pengakuan anak, atau menyatakan bahwa anak ter-
sebut adalah benar anaknya.
I. Akibat Hukum Istilhaq
Sebagaimana telah dijelaskan, seorang anak mustalhaq,
yang telah resmi disahkan sebagai anak dari seseorang maka
kedudukannya sama seperti anak sah lainnya, dan dinasabkan
kepada ayah yang mengakuinya. Artinya pengakuan atau
pengesahan anak tersebut mempunyai akibat hukum keperdataan
yang nyata, baik di bidang hukum kewarisan maupun perkawinan.
Hanya saja yang perlu juga dicatat disini, adalah pengakuan
anak dari anak temuan yang tidak diketahui nasabnya, oleh orang
yang menemukannya atau oleh orang yang jelas-jelas tidak ada
hubungan darah dengan anak temuan tersebut, adalah merupakan
pengakuan anak yang terbatas, sebagai hukum yang khusus, yang
diberlakukan lebih banyak atas pertimbangan pada kemashlahatan
si anak temuan. Artinya meskipun nasabnya dinisbahkan pada
orang yang mengakuinya, tetapi tidak mempunyai akibat hukum
keperdataan baik di bidang hukum perkawinan maupun hukum
kewarisan. Yakni tidak dapat menjadi ahli waris, tidak juga
menjadi mawani’un nikah.
23
H.A.Mukhsin Asyrof: Mengupas Permasalahan Istilhaq Dalam Hukum Islam
J. Penutup
Demikianlah pembahasan mengenai istilhaq dalam Hukum
Islam yang dapat disajikan penulis. Meskipun sudah diusahakan
untuk membahasnya secara luas, dengan membaca banyak tulisan
yang dapat dijangkau, namun terasakan kupasannya belumlah
tuntas. Ada banyak hal tentang persoalan istilhaq ini yang masih
perlu didiskusikan, namun penulis merasa kemampuannya dalam
hal ini sudah pada batas akhir. Kekurangan jelas ada disana-sini,
baik segi bahasa, sistimatika, penalaran dan sebagainya. Masalah
hukum memang tidak ada habisnya, karena hukum adalah bagian
dari kehidupan.
Melengkapi yang kurang, menyempurnakan yang tidak
sempurna, meluruskan yang bengkok, menyimpulkan yang masih
terurai, kini menjadi tugas para pembaca dalam forum diskusi.
Semoga Allah s.a.w. melimpahkan taufiq dan hidayahNya kepada
kita semua, karena rahmatNya yang luas tak berhingga. Amien .
Bumi Lancangkuning, 2 Juli 2008.
Pemakalah
H.A.MUKHSIN ASYROF
24
H.A.Mukhsin Asyrof: Mengupas Permasalahan Istilhaq Dalam Hukum Islam
Bahan Bacaan:
Abdoerrraoef, 1986, Al Qur’an dan Ilmu Hukum, cet. II, Bulan Bintang, Jakarta.
Dahlan, Abdul Aziz. (et.all./ed).2001. Ensiklopedi Hukum Islam.
Jilid I, cet. V, PT. Ikhtiar Baru van Hoeve, Jakarta.
Fyzee, Asaf A.A. 1985. Outline of Muhammadan Law, terje-
mahan Arifin Bey: Pokok-Pokok Hukum Islam, jilid I, cet. II, , Tintamas, Jakarta.
Hasbi Ash Shiddieqy. 1997. Pengantar Hukum Islam , Bulan
Bintang, Jakarta.
Masud, Muhammad Khalid.1996. Islamic Legal Philosophy, A
Study of Abu Ishaq al Syathiby, Life and Thought, diterjemahkan oleh Ahsin Muhammad, Filsafat Hukum
Islam, cet. I, Penerbit Pustaka, Bandung.
Manan, Abdul Manan. 2006. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Cet. I. Kencana Prenada Media Grp, Jakarta.
Qal‟ahji, Muhammad Rawwas. 1999. Ensiklopedi Fiqih Umar bin
Khathab r.a.. cet. I. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Qurthuby, Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al Anshory al,
.1964. Al Jami’u li Ahkami al Qur’an. Jilid VII, juz 14. tanpa penerbit, tanpa tempat.
Sabiq, as Sayid. t.t. Fiqhu as Sunnah , jilid III. Dar as Tsaqafah
al Islamiyah, tanpa tempat.
Suara Uldilag, September, 2007, Mahkamah Agung,.R.I.,
Jakarta.
Said Ramadan. 1986. Islamic Law, Its Scope and Equity (second edition. 1970), terjemahan Suadi Sa‟ad, Hukum Islam, Ruang Lingkup dan Kandungannya, cet. I, Gaya
Media Pratama, Jakarta.
Zuhayly. Wahbah al. 1989. Al Fiqhu al Islamiyyu wa Adillatuh, jilid VII, cet. III. Daru al Fikri. Damaskus.
Zuffran Sabrie (ed). 1998. Analisa Hukum Islam Tentang Anak Luar Nikah. cet. I. Departemen Agama R.I., Jakarta.
»«