mengenal dan meramal gempa

20
Ade Faisal – Universitas Muhammaidyah Sumatera Utara (UMSU), Medan Mengenal dan Meramal Gempa Ade Faisal 1 1 Staf pengajar Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Medan Email: [email protected] 1. Mengenal Gempa 1.1. Sumber Gempa Gempa bumi adalah getaran yang terjadi di permukaan bumi (atau di permukaan tanah). Menurut penyebabnya gempa bumi dibagi kepada 3 jenis yaitu gempa bumi tektonik, gempa bumi vulkanik (letusan gunung berapi) dan gempa bumi buatan (ledakan bom nuklir). Gempa bumi tektonik lebih sering terjadi dibanding jenis gempa lain. Gempa bumi ini disebabkan oleh pergerakan lempeng bumi (kerak bumi). Walaupun kelihatan diam, akan tetapi lapisan-lapisan pada bagian permukaan bumi (litosfir) yang materialnya bersifat padat, keras dan dingin adalah selalu bergerak. Ini diakibatkan oleh sejumlah energi yang menekan dan menarik lapisan tersebut sebagai hasil dari proses konveksi yang terjadi pada lapisan di bawahnya (astenosfir) yang sifat materialnya lebih cair, lemah dan jauh lebih panas. Lapisan terluar bumi ini bergerak melalui lempeng-lempengnya, sehingga menimbulkan tekanan, tarikan dan geseran pada lempeng- lempeng itu sendiri. Artinya lempeng-lempeng ini dapat saling bertubrukan (konvergen), saling menjauh (divergen), dan bergeser horizontal (transform). Apabila tekanan, tarikan dan geseran yang terjadi ini sudah terlalu besar dan tidak dapat lagi ditahan oleh salah satu atau sejumlah lapisan batuan di dalam lempeng bumi, maka akan terjadi retakan/rekahan dan runtuhan/patahan pada bagian lapisan yang lemah/lelah dan rapuh. Kejadian pergeseran dan runtuhan sebagian lempeng ini adalah sumber getaran dan membentuk sesar aktif (active fault). Sebagai contoh lempeng di bawah samudera Hindia (lempeng Indo-Australia) yang materialnya memiliki volume dan kerapatan massa yang lebih besar akan menyusup ke bawah ketika bertumbukkan dengan lempeng benua Eurasia yang materialnya memiliki volume dan kerapatan massa yang lebih kecil di zona tumbukan subduksi. Gerakan lempeng itu akan mengalami perlambatan akibat gesekan pada zona antar-muka (interface) dua lempeng. Perlambatan gerak itu menyebabkan penumpukkan energi di zona subduksi dan zona sesar di dekatnya (extension regime). Penumpukan energi dapat juga terjadi pada sesar yang ada pada badan lempeng yang jaraknya jauh dari kawasan tumbukan antar lempeng (intraslab). Akibatnya di zona-zona itu terjadi tekanan, tarikan, dan geseran. Pada saat batas elastisitas material lempeng terlampaui, maka terjadilah patahan atau rekahan pada lapisan-lapisan batuan di dalam lempeng tersebut yang diikuti oleh lepasnya energi yang sangat besar secara tiba-tiba. Proses ini menimbukan getaran partikel ke segala arah yang disebut gelombang gempa. Getaran ini akan merambat sampai ke permukaan bumi/tanah sehingga menimbulkan gempa bumi yang dapat dirasakan oleh manusia. Kekuatan getaran yang merambat ini akan mengalami perlemahan (atenuasi) dan penguatan (amplifikasi) seiring dengan berubah-ubahnya jenis material lapisan batuan yang dilaluinya. Perlemahan dan penguatan kekuatan getaran dapat juga terjadi akibat pengaruh basin, pengaruh topografi permukaan, kondisi lokasi suatu kawasan dan pengaruh lapisan tanah. Itu sebabnya di sebagian tempat merasakan getaran yang kecil dibanding di tempat lain padahal berjarak sama ke lokasi pusat gempa. 1.2. Jenis Sesar Aktif Sesar adalah retakan atau rekahan bidang yang memotong dan menggeser lapisan batuan. Disebut sesar aktif bila sesar tersebut bergerak (sangat lambat) sepanjang waktu dalam rentang Bahan Kuliah M.K. Vibrasi & Teori Gempa 2012/2013, UMSU Medan 1

Upload: ade-faisal

Post on 24-Jul-2015

201 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Mengenal Dan Meramal Gempa

Ade Faisal – Universitas Muhammaidyah Sumatera Utara (UMSU), Medan

Mengenal dan Meramal Gempa

Ade Faisal1

1Staf pengajar Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Medan Email: [email protected]

1. Mengenal Gempa

1.1. Sumber Gempa

Gempa bumi adalah getaran yang terjadi di permukaan bumi (atau di permukaan tanah). Menurut penyebabnya gempa bumi dibagi kepada 3 jenis yaitu gempa bumi tektonik, gempa bumi vulkanik (letusan gunung berapi) dan gempa bumi buatan (ledakan bom nuklir). Gempa bumi tektonik lebih sering terjadi dibanding jenis gempa lain. Gempa bumi ini disebabkan oleh pergerakan lempeng bumi (kerak bumi). Walaupun kelihatan diam, akan tetapi lapisan-lapisan pada bagian permukaan bumi (litosfir) yang materialnya bersifat padat, keras dan dingin adalah selalu bergerak. Ini diakibatkan oleh sejumlah energi yang menekan dan menarik lapisan tersebut sebagai hasil dari proses konveksi yang terjadi pada lapisan di bawahnya (astenosfir) yang sifat materialnya lebih cair, lemah dan jauh lebih panas. Lapisan terluar bumi ini bergerak melalui lempeng-lempengnya, sehingga menimbulkan tekanan, tarikan dan geseran pada lempeng-lempeng itu sendiri. Artinya lempeng-lempeng ini dapat saling bertubrukan (konvergen), saling menjauh (divergen), dan bergeser horizontal (transform). Apabila tekanan, tarikan dan geseran yang terjadi ini sudah terlalu besar dan tidak dapat lagi ditahan oleh salah satu atau sejumlah lapisan batuan di dalam lempeng bumi, maka akan terjadi retakan/rekahan dan runtuhan/patahan pada bagian lapisan yang lemah/lelah dan rapuh. Kejadian pergeseran dan runtuhan sebagian lempeng ini adalah sumber getaran dan membentuk sesar aktif (active fault). Sebagai contoh lempeng di bawah samudera Hindia (lempeng Indo-Australia) yang materialnya memiliki volume dan kerapatan massa yang lebih besar akan menyusup ke bawah ketika bertumbukkan dengan lempeng benua Eurasia yang materialnya memiliki volume dan kerapatan massa yang lebih kecil di zona tumbukan subduksi. Gerakan lempeng itu akan mengalami perlambatan akibat gesekan pada zona antar-muka (interface) dua lempeng. Perlambatan gerak itu menyebabkan penumpukkan energi di zona subduksi dan zona sesar di dekatnya (extension regime). Penumpukan energi dapat juga terjadi pada sesar yang ada pada badan lempeng yang jaraknya jauh dari kawasan tumbukan antar lempeng (intraslab). Akibatnya di zona-zona itu terjadi tekanan, tarikan, dan geseran. Pada saat batas elastisitas material lempeng terlampaui, maka terjadilah patahan atau rekahan pada lapisan-lapisan batuan di dalam lempeng tersebut yang diikuti oleh lepasnya energi yang sangat besar secara tiba-tiba. Proses ini menimbukan getaran partikel ke segala arah yang disebut gelombang gempa. Getaran ini akan merambat sampai ke permukaan bumi/tanah sehingga menimbulkan gempa bumi yang dapat dirasakan oleh manusia. Kekuatan getaran yang merambat ini akan mengalami perlemahan (atenuasi) dan penguatan (amplifikasi) seiring dengan berubah-ubahnya jenis material lapisan batuan yang dilaluinya. Perlemahan dan penguatan kekuatan getaran dapat juga terjadi akibat pengaruh basin, pengaruh topografi permukaan, kondisi lokasi suatu kawasan dan pengaruh lapisan tanah. Itu sebabnya di sebagian tempat merasakan getaran yang kecil dibanding di tempat lain padahal berjarak sama ke lokasi pusat gempa. 1.2. Jenis Sesar Aktif Sesar adalah retakan atau rekahan bidang yang memotong dan menggeser lapisan batuan. Disebut sesar aktif bila sesar tersebut bergerak (sangat lambat) sepanjang waktu dalam rentang

Bahan Kuliah M.K. Vibrasi & Teori Gempa 2012/2013, UMSU Medan 1

Page 2: Mengenal Dan Meramal Gempa

Ade Faisal – Universitas Muhammaidyah Sumatera Utara (UMSU), Medan

waktu geologi Quarternary atau 1.8 juta tahun. Jenis sesar (fault) ditentukan berdasarkan bagaimana bentuk terjadinya runtuhan atau rekahan lapisan batuan pada sesar itu terjadi. Secara umum jenis sesar dapat dikelompok ke dalam 3 bagian yaitu sesar mendatar (strike-slip), sesar normal (normal) dan sesar naik (reverse) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2. Sesar normal dan sesar naik disebut juga sebagai sesar miring (dip-slip fault). Sesar naik dengan kemiringan yang landai disebut dengan thrust fault. Contoh sesar naik yang besar tapi memiliki kemiringan yang landai (disebut dengan megathrust) adalah zona subduksi Sumatera. Sesar naik yang tidak nampak dipermukaan bumi disebut dengan blind thrust fault. Sedangkan sesar mendatar terdiri dari sesar mendatar ke kiri (left-lateral strike-slip) atau sinistral, dan sesar mendatar ke kanan (right-lateral strike-slip) atau dextral. Contoh sesar mendatar ke kanan adalah segmen-segmen sesar yang terdapat di kawasan Bukit Barisan di Sumatera. Sesar normal akan terbentuk bila ada gaya tarik (tension) pada batuan yaitu bila arah gaya utama terbesar yang terjadi adalah vertikal sedangkan arah gaya menengah dan terkecil adalah horizontal. Sesar naik akan terbentuk bila ada gaya tekan (compression) yaitu bila arah gaya utama terbesar dan menengah yang terjadi pada batuan adalah horizontal dan arah gaya terkecil adalah vertikal. Sedangkan sesar mendatar akan terbentuk bila arah gaya utama terbesar dan terkecil adalah horizontal dan arah gaya utama menengah vertikal.

Gambar 2. Jenis sesar aktif (catatan Prof. C. Ventura). 1.3. Gelombang Getaran Gempa Gelombang gempa dalam bentuk getaran dapat diilustrasikan dalam bentuk perubahan yang terjadi pada batuan padat. Pada umumnya gelombang gempa ini terdiri dari gelombang badan (body wave) dan gelombang permukaan (surface wave). Gelombang badan terdiri dari gelombang-P (primary) dan gelombang-S (secondary). Gelombang-P adalah gelombang yang longitudinal dan bersifat menekan (compression) dalam pergerakannya, sedangkan gelombang-S adalah gelombang yang transversal dan bersifat geser (shear). Gelombang-P memiliki kecepatan yang lebih laju dibandingkan gelombang-S, sehingga pada alat pencatat gempa gelombang-P ini akan lebih dulu terekam dengan kata lain gelombang-P ini akan dirasakan manusia lebih dulu. Kecepatan kedua gelombang ini sangat bergantung kepada kerapatan dan sifat elastik lapisan batuan dan tanah yang dilaluinya. Gelombang-P ini memiliki amplituda getaran yang lebih

Bahan Kuliah M.K. Vibrasi & Teori Gempa 2012/2013, UMSU Medan 2

Page 3: Mengenal Dan Meramal Gempa

Ade Faisal – Universitas Muhammaidyah Sumatera Utara (UMSU), Medan

rendah dibanding amplituda getaran gelombang-S, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2. Gelombang-S pada permukaan bumi akan membentuk 2 jenis gelombang yaitu gelombang-SH (horizontal) dan gelombang-SV (vertikal). Gelombang-S ini tidak dapat bergerak pada bagian bumi yang berair seperti danau, sehingga kekuatan getaran gelombang ini akan melemah pada lapisan tanah yang liquefied. Gelombang-S inilah yang dapat menyebabkan kerusakan struktur pada kebanyakan bangunan sipil akibat getaran horizontal dan vertikal yang dikandungnya.

S P

Gelombang gempa

Gelombang-S adalah tegak lurus terhadap arah gelombang

Arah gelombang Tekanan

Gelombang-P adalah parallel atau searah terhadap arah gelombang

Arah gelombang

Arah gelombang

Gambar 3. Gelombang-P dan -S sebagai komponen gelombang badan dan gelombang Love dan Rayleigh sebagai komponen gelombang permukaan (Bolt, 1993).

Bila gelombang-P dan -S berintekasi di permukaan bumi (pada lapisan batuan atau tanah yang dangkal) maka akan terjadi gelombang permukaan (surface wave). Gelombang ini memiliki amplituda getaran yang lebih tinggi dan berdurasi lebih lama dibanding dengan gelombang-P dan -S. Namun demikian kecepatan gelombang ini lebih lambat dibanding gelombang badan.

Bahan Kuliah M.K. Vibrasi & Teori Gempa 2012/2013, UMSU Medan 3

Page 4: Mengenal Dan Meramal Gempa

Ade Faisal – Universitas Muhammaidyah Sumatera Utara (UMSU), Medan

Gelombang ini terdiri dari gelombang Love dan Rayleigh dan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. Gelombang Love bergerak secara horizontal sama dengan gelombang-SH, sedangkan gelombang Rayleigh bergerak menggulung sebagai bentuk kombinasi antara gelombang getaran vertikal dan horizontal. Gelombang Love lebih cepat merambat dibanding gelombang Rayleigh pada jenis lapisan batuan yang sama. Semua gelombang badan dan permukaan dapat diteruskan (refraction) dan dipantulkan (reflection) untuk kemudian berubah bentuk (atau tetap) menjadi gelombang lain.

Gambar 4. Contoh rekaman getaran dari stasiun Lac du Bonet, Manitoba, dalam bentuk simpangan berdasarkan gempa Haiti 12 Januari 2010 (sumber: anonymous).

Gambar 5. Contoh berbagai rekaman getaran gempa dalam percepatan (sumber: anonymous). Gelombang getaran gempa diukur berdasarkan satuan simpangan (displacement) atau kecepatan (velocity) atau percepatan (acceleration). Ahli seismologi lebih tertarik kepada rekaman getaran yang memuat simpangan (atau kecepatan) dari alat seismometer karena kedatangan dan kekuatan gelombang-P, gelombang-S dan juga gelombang Love dan Rayleigh dapat diperkirakan dengan baik. Hasilnya akan dipakai untuk menentukan lokasi sumber gempa dan magnituda gempa.

Bahan Kuliah M.K. Vibrasi & Teori Gempa 2012/2013, UMSU Medan 4

Page 5: Mengenal Dan Meramal Gempa

Ade Faisal – Universitas Muhammaidyah Sumatera Utara (UMSU), Medan

Sedangkan ahli geoteknik dan struktur lebih tertarik kepada rekaman percepatan getaran dari alat pencatat strong motion yang memuat gelombang permukaan karena dapat dimanfaatkan langsung untuk analisa perhitungan respon tanah atau struktur. Stasiun yang memiliki seismometer umumnya dibangun pada kawasan yang jauh dari kesibukan kota untuk meminimalisir getaran gangguan (noise), yaitu getaran selain dari getaran gempa. Sedangkan stasiun pencatat strong motion umumnya dibangun pada kawasan perkotaan dan diletakkan pada berbagai jenis lapisan tanah. Rekaman percepatan dari alat strong motion dari berbagai kawasan dan berbagai jenis batuan/tanah umumnya akan dikumpulkan dan dimanfaatkan untuk membuat hubungan empiris antara perlemahan getaran getaran gempa (attenuation relationship) dalam bentuk percepatan puncak di batuan dasar Y (peak ground acceleration atau PGA) dengan magnituda gempa (M), jarak sumber gempa ke lokasi kawasan (R), dan jenis sesar (F). Hubungan empiris ini dihitung dengan bentuk umum analisa regresi linear (setelah beberapa parameternya ditransformasi ke dalam bentuk tertentu) berikut ini:

lnY (M,R,F) = c1 + c2M + c3M2 + c4 ln(R + c5) + c6F

dimana c1 sampai dengan c6 adalah konstanta regresi. Fungsi ini nantinya dapat dipakai untuk menghitung besarnya percepatan sebuah getaran gempa bila magnituda, jarak ke sumber gempa dan jenis sesar diketahui. Umumnya fungsi ini akan menjadi bagian yang penting dalam pemetaan kegempaan (macrozonation) pada suatu kawasan ataupun negara. Untuk Indonesia fungsi atenuasi gempa yang umum dipakai adalah fungsi Fukushima dan Tanaka (1990) dan Boore dkk. (1997) untuk gempa kerak dangkal, dan juga fungsi Young dkk. (1997) untuk gempa subduksi interface (megathrust). Namun demikian sejumlah fungsi atenuasi baru (next generation attenuation atau NGA) belakangan ini telah mulai dipakai untuk pembuatan peta kegempaan Indonesia 2010, seperti fungsi Boore dan Atkinson (2008) untuk gempa kerak dangkal dan fungsi Zhao dkk. (2006) untuk gempa subduksi interface. 1.4. Skala Kekuatan Gempa dan Lokasi Gempa Skala kekuatan sebuah gempa umumnya diukur secara kualitatif (intensitas) dan kuantitatif (magnituda). Intensitas gempabumi adalah tingkat kerusakan yang tampak oleh mata dan dirasakan manusia pada lokasi terjadinya getaran gempa. Skala angkanya ditentukan dengan menilai kerusakan yang dihasilkan gempa bumi, pengaruhnya pada benda-benda, bangunan, dan tanah, dan akibatnya pada orang-orang. Skala ini disebut MMI (Modified Mercalli Intensity) diperkenalkan oleh Giuseppe Mercalli pada tahun 1902. Skala MMI memiliki rentang dari I-XII, yaitu (web BMKG): I MMI: Getaran tidak dirasakan kecuali dalam keadaan luarbiasa oleh beberapa orang. II MMI: Getaran dirasakan oleh beberapa orang, benda ringan yang digantung bergoyang. III MMI: Getaran dirasakan di dalam rumah. Terasa getaran seakan-akan ada truk berlalu. IV MMI: Pada siang hari dirasakan oleh orang banyak dalam rumah, di luar oleh beberapa orang, gerabah pecah, jendela/pintu berderik dan dinding berbunyi V MMI: Getaran dirasakan oleh hampir semua penduduk, orang banyak terbangun, gerabah pecah, barang-barang terpelanting, tiang-tiang dan barang besar tampak bergoyang, bandul lonceng dapat berhenti. IV MMI: Getaran dirasakan oleh semua penduduk. Kebanyakan semua terkejut dan lari keluar, plester dinding jatuh dan cerobong asap pada pabrik rusak, kerusakan ringan. VII MMI: Tiap-tiap orang keluar rumah. Kerusakan ringan pada rumah-rumah dengan bangunan dan konstruksi yang baik. Sedangkan pada bangunan yang konstruksinya kurang baik

Bahan Kuliah M.K. Vibrasi & Teori Gempa 2012/2013, UMSU Medan 5

Page 6: Mengenal Dan Meramal Gempa

Ade Faisal – Universitas Muhammaidyah Sumatera Utara (UMSU), Medan

terjadi retak-retak bahkan hancur, cerobong asap pecah. Terasa oleh orang yang naik kendaraan. VIII MMI: Kerusakan ringan pada bangunan dengan konstruksi yang kuat. Retak-retak pada bangunan degan konstruksi kurang baik, dinding dapat lepas dari rangka rumah, cerobong asap pabrik dan monumen-monumen roboh, air menjadi keruh. IX MMI: Kerusakan pada bangunan yang kuat, rangka-rangka rumah menjadi tidak lurus, banyak retak. Rumah tampak agak berpindah dari pondasinya. Pipa-pipa dalam rumah putus. X MMI: Bangunan dari kayu yang kuat rusak, rangka rumah lepas dari pondasinya, tanah terbelah rel melengkung, tanah longsor di tiap-tiap sungai dan di tanah-tanah yang curam. XI MMI: Bangunan-bangunan hanya sedikit yang tetap berdiri. Jembatan rusak, terjadi lembah. Pipa dalam tanah tidak dapat dipakai sama sekali, tanah terbelah, rel melengkung sekali. XII MMI: Hancur sama sekali, Gelombang tampak pada permukaan tanah. Pemandangan menjadi gelap. Benda-benda terlempar ke udara. Sedangkan magnituda adalah satuan kekuatan gempa yang diukur berdasarkan rekaman getaran yang terjadi pada daerah tertentu. Satuan yang digunakan umumnya adalah Skala Richter dengan notasi ”ML”. Skala ini diperkenalkan oleh Charles F. Richter tahun 1934 dan cara pengukurannya ditunjukkan pada Gambar 6. Namun demikian skala Richter ini sebenarnya tidak mampu mewakili semua skala magnituda gempa. Skala ini menjadi tidak akurat (saturated) bila dipakai untuk mengukur gempa-gempa besar berskala ML > 6.3 (lihat Gambar 7) seperti yang terjadi di Aceh tahun 2004 atau Nias tahun 2005. Umumnya skala Richter dikeluarkan oleh badan lokal yang berwenang pada suatu negara untuk gempa-gempa yang terjadi di kawasan mereka sendiri.

Gambar 6. Skala Richter berdasarkan gelombang-P dan -S (Courtesy: Brooks/Cole-Thomson).

Skala gempa yang lebih akurat yang sekarang ini sering dipakai adalah magnituda momen dengan notasi ”MW”. Skala gempa ini umumnya dikeluarkan oleh badan kegempaan internasional (bukan badan kegempaan setempat). Magnituda momen dihitung berdasarkan momen gempa (seismic moment) suatu gempa yang dipengaruhi oleh parameter modulus geser material pada sesar runtuh, luasan yang runtuh dan geseran yang terjadi pada sesar. Skala magnituda lain adalah magnituda gelombang badan (body wave magnitude) dengan notasi ”mb” dan magnituda gelombang permukaan (surface wave magnitude) dengan notasi ”Ms”. Magnitude

Bahan Kuliah M.K. Vibrasi & Teori Gempa 2012/2013, UMSU Medan 6

Page 7: Mengenal Dan Meramal Gempa

Ade Faisal – Universitas Muhammaidyah Sumatera Utara (UMSU), Medan

Bahan Kuliah M.K. Vibrasi & Teori Gempa 2012/2013, UMSU Medan 7

gelombang badan dan permukaan dihitung berdasarkan amplituda dan period gelombangnya serta jarak dan kedalam

Gambar 7. Perbandingan skala magnituda dan kegagalan skala Richter mengukur M > 6.3

dekat dengan umber gempa, sedangkan gelombang-sP adalah gelombang-S yang dipantulkan oleh permukaan umi dan kemudian berubah menjadi gelombang-P (Stein and Wyssesion, 2003).

elatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, angirtalaut, Maluku Utara, Maluku Selatan, Kepala Burung (Papua Utara), Jayapura, Nabire, amena, dan Kalimantan Timur.

an lokasi stasiun monitoring ke sumber gempa.

L(Heaton dkk., 1986).

Lokasi sumber gempa atau episenter gempa dapat dihitung dengan menggunakan nilai perbedaan waktu kedatangan gelombang-S dan -P. Untuk menghitung ini diperlukan juga informasi kecepatan gelombang-P pada batuan dasar (bedrock) yang berkisar 3 - 8 km/det dan kecepatan gelombang-S pada batuan dasar yang berkisar 2 - 5 km/det. Sedangkan kedalaman gempa (focal depth) memerlukan perhitungan yang lebih kompleks dengan menggunakan perbedaan waktu kedatangan gelombang-pP dengan gelombang-P atau gelombang-sP dengan gelombang-S. Gelombang-pP adalah gelombang-P yang dipantulkan oleh permukaan bumi sb 1.6. Wilayah Rawan Gempa di Indonesia Semua kawasan yang terletak di pertemuan 2 lempeng tektonik adalah wilayah rawan gempa. Di luar wilayah ini ada juga yang termasuk wilayah rawan gempa (zona intraslab). Kepulauan Indonesia terletak pada pertemuan 4 (tiga) lempeng utama dunia yaitu: Lempeng Indo-Australia, Eurasia, Philipina dan Pasifik. Lempeng Eurasia dan Indo-Australia bertumbukan dilepas pantai barat pulau Sumatera, lepas pantai selatan Pulau Jawa, lepas pantai selatan Kepulauan Nusa Tenggara, dan berbelok ke arah utara ke perairan Maluku sebelah selatan. Antara lempeng Indo-Australia dan Pasifik terjadi tumbukan disekitar pulau Papua. Sementara pertemuan antara keempat lempeng itu terjadi di sekitar Sulawesi-Halmahera-Maluku. Menurut Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) ada 25 wilayah rawan gempa bumi di Indonesia yaitu: Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Lampung, Banten, Pandeglang, Jawa Barat, Bantar Kawung, Yogyakarta, Lasem, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Kepulauan Aru, Selawesi SSW

Saturated level

Page 8: Mengenal Dan Meramal Gempa

Ade Faisal – Universitas Muhammaidyah Sumatera Utara (UMSU), Medan

Bahan Kuliah M.K. Vibrasi & Teori Gempa 2012/2013, UMSU Medan 8

1.7. Sejarah Kegempaan Indonesia: Sumatera Gempa-gempa kuat dan sangat kuat di kawasan Sumatera banyak bersumber dari daerah dasar lautan Hindia, kawasan yang terletak sejajar dengan garis pantai barat Sumatera. Daerah subduksi ini merupakan bagian dari busur Sunda, sebuah garis batas selatan dari lempeng besar Eurasia. Dari daerah subduksi ini berkali-kali memberikan gempa besar sejak tahun 1756. Secara rata-rata tercatat sebuah gempa besar selalu terjadi 27 tahun sekali (Faisal, 2003). Gempa kuat sebesar Mw=9.0 terjadi pada tahun 1833 yang menyebabkan tsunami sepanjang 550 km di pantai barat bagian tengah sampai selatan Sumatera (Zachariasen dkk., 1999). Sejumlah rumah juga rusak di daerah pantai timur Sumatera. Tercatat Singapura, yang berjarak 560 km dari sumber gempa, merasakan intensitas gempa ini. Kemudian tahun 1861 gempa berkekuatan Mw=8,5 melanda bagian utara pantai barat Sumatera, tepatnya di sekitar Pulau Nias. Dilaporkan setengah bagian dari pantai barat Semenanjung Malaysia, yaitu daerah tengah sampai utara, merasakan gempa kuat ini. Bahkan masyarakat Jawa, yang tinggal di daerah 1.600 km dari sumber gempa turut merasakannya. Pan dan Lee (2002) menyebutkan gempa yang lebih kecil dari daerah ini, ekat Pulau Siberut (Mw=6,0) pada tahun 1994, juga dirasakan oleh penduduk Kuala Lumpur,

jiwa. Setahun kemudian gempa kuat berskala Mw=8.7 juga ona subduksi di Pulau Nias, disusul kemudian oleh gempa berskala Mw=8.5 di

di Sumatera Tengah (Newcomb dan McCann, 1987; acheko dan Sykes, 1992), salah satu zona sesar strike-slip yang cukup dikenal dunia sebagai

Sitoli dan Tarutung. Bahkan Pulau Pinang, kota yang erjarak 376 km dari pusat gempa (Gambar 8), dan Banda Aceh, 522 km dari pusat gempa, turut

n 1892 ada gempa yang

d600 km dari pusat gempa, dan Singapura, 570 km dari pusat gempa (Gambar 8). Begitu pula halnya dengan gempa subduksi pada tahun 1998 yang berkekuatan Mw=6,0 menyebabkan panik di Singapura, sekitar 540 km dari pusat gempa. Gempa kuat lain di zona subduksi Sumatera ini adalah berskala Mw=7,8 yang terjadi pada tahun 2000 dekat Pulau Enggano (dikenal sebagai Gempa Bengkulu). Gempa tersebut membuat gempar hampir di semua kota di sepanjang pantai barat Semenanjung Malaysia (Pan dkk., 2001). Gempa terkuat yang pernah terjadi di zona subduksi ini adalah gempa Aceh (Andaman) tahun 2004 sebesar Mw=9,2 di Pulau Simeulue yang getarannya mencapai Penang, Kuala Lumpur dan Singapore. Gempa ini menyebabkan terbentuknya gelombang dahsyat tsunami yang menyapu sebagian besar pantai barat provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan merengut nyawa 200.000 jiwa. Gelombang ini juga menyapu sebagian kawasan di Malaysia, Thailand, Srilangka dan India, sehingga total nyawa yang hilang mencapai 400.000terjadi di zKepulauan Siberut pada tahun 2007. Untuk gempa-gempa yang lebih kecil yaitu gempa menengah sampai dengan gempa kuat kebanyakan bersumber dari zona sesar PSumatran Great Fault (lihat Gambar 8). Pada tahun 1921, gempa Tapanuli sebesar Mw=7.1 yang muncul di Sumatera Utara mengejutkan banyak kota seperti Medan, Gunung bmerasakannya (Soetardjo dkk., 1985). Disusul kemudian dengan gempa Mw=7.7 pada tahun 1936 yang menyebabkan intensitas yang dirasakan mencapai skala III MMI di Kuala Lumpur dan Singapura, sekitar 477 km dan 600 km dari pusat gempa. Sejumlah bangunan di kota Medan yang berjarak 135 km dari pusat gempa, tercatat mengalami kerusakan. Diperkirakan intensitas di kota ini mencapai VI skala MMI (Soetardjo dkk., 1985; Pan dan Sun, 1995). Gempa tahun 1936 ini merupakan salah satu gempa terkuat yang diketahui dalam sejarah gempa Sumatran Great Fault yang muncul pada segmen sesar Tripa. Sieh dan Natawidjaja (2000) menambahkan bahwa pada tahu

Page 9: Mengenal Dan Meramal Gempa

Ade Faisal – Universitas Muhammaidyah Sumatera Utara (UMSU), Medan

Bahan Kuliah M.K. Vibrasi & Teori Gempa 2012/2013, UMSU Medan 9

muncul pada segmen sesar Angkola yang berkekuatan lebih, yaitu MS=7.7 yang luput dicatat oleh sejarah. Gempa Kerinci Mw=7.0 kemudian terjadi pada tahun 1995.

Gambar 8. Keadaan tektonik dan rangkuman gempa jauh dari kawasan Sumatera (Faisal, 2003).

iringan subduksi sampai ke kedalaman 100 km

kedalaman kurang lebih 100-175 km di bawah sesar aktif Sumatera. Sesar yang memiliki

1.8. Keadaan Tektonik Sumatera Sistem sesar Sumatera adalah salah satu bagian dari sebuah busur yang terletak di bagian selatan Benua Asia yang disebut dengan Busur Sunda (Sunda Arc). Sistem sesar ini memanjang ke arah utara menuju Laut Andaman dan merupakan pertemuan dua lempeng besar yaitu Eurasia dan Indo-Australia. Di pertemuan dua lempeng ini, lempeng Indo-Australia merupakan kawasan lapisan kerak bumi yang melipat di bawah dasar laut (subducting oceanic crust) dan berumur relatif muda (±46 juta tahun). Lempeng ini bergerak menyerong terhadap palung pemisah kedua lempeng dan menunjam (subducting) ke bawah lempeng Eurasia (kawasan ini kemudian dikenal dengan Sumatran Subduction Zones atau zona subduksi Sumatera). Pada bagian utara sistem sesar Sumatera (Gambar 8), gerakan konvergen relatif lempeng Indo-Australia yang menyerong ini mencapai 52 mm/tahun, sedangkan di bagian selatan lebih besar yaitu 60 mm/tahun. Zona empa mencapai kedalaman 200 km dengan kemg

sekitar 30°- 40° (Sieh dan Natawidjaja, 2000; Prawirodirdjo dkk. 2000). Data karakter sesar subduksi Sumatera ini dibuat pada Tabel 1. Konvergensi miring yang terjadi di sistem sesar Sumatera ini, memiliki komponen pergerakan paralel terhadap palung batas antar lempeng yang diakomodasikan atau menjadi penyebab sesar mendatar ke kanan (right-lateral strike-slip) di sepanjang sesar di Pulau Sumatera (Ficth, 1972). Sesar mendatar aktif ini terjadi di sepanjang Pulau Sumatera pada sumbu utara-selatan (latitude), yaitu pada lintasan Bukit Barisan. Kawasan antarmuka (interface) subduksi berada pada

Page 10: Mengenal Dan Meramal Gempa

Ade Faisal – Universitas Muhammaidyah Sumatera Utara (UMSU), Medan

Bahan Kuliah M.K. Vibrasi & Teori Gempa 2012/2013, UMSU Medan 10

panjang sekitar 1900 km ini dibagi ke dalam 19 segmen oleh Sieh dan Natawidjaja (2000) dimana 12 segmen diantaranya adalah segmen sesar aktif seperti ditunjukkan pada Gambar 9. Menurut mereka laju pergeseran (slip-rate) yang dimiliki sesar ini cukup signifikan berkisar 27 mm/tahun di bagian utara dan 11 mm/tahun di bagian selatan, sedangkan menurut Genrich dkk.

000) secara rata-rata laju pergeseran di sepanjang sesar hampir sama yaitu sebesar 25 m

Tabel 1. Karakter segmen sesar di Zona Subduksi Sumatera (Natawidjaja dan Triyoso, 2007).

(2m/tahun.

Gambar 9. Peta segmen sesar aktif di kawasan Pulau Sumatera (Sieh dan Natawidjaja, 2000).

Segmen sesar aktif yang terdekat ke Medan adalah segmen sesar Tripa dan Renun. Segmen Tripa terletak pada 3,2° sampai dengan 4,4° Lintang Utara dan memiliki panjang sekitar 180 km. Segmen ini berada di lintasan pegunungan (Bukit Barisan) dimana di sekitarnya terdapat lembah Alas. Kedalaman zona Benioff dari segmen ini mencapai kurang lebih 125-150 km. Sementara itu segmen Renun, di sekitar lembah Tarutung, memiliki panjang sekitar 220 km dan terletak

Page 11: Mengenal Dan Meramal Gempa

Ade Faisal – Universitas Muhammaidyah Sumatera Utara (UMSU), Medan

Bahan Kuliah M.K. Vibrasi & Teori Gempa 2012/2013, UMSU Medan 11

pada 2,0° sampai dengan 3,3° Lintang Utara. Segmen ini adalah yang terpanjang pada sesar Sumatera dengan jarak kedalaman ke zona Benioff sebesar 100-125 km (Sieh dan Natawidaja, 2000). Menurut Bellier dkk. (1997) laju pergeseran pada kedua segmen ini adalah 23±2 mm/tahun pada segmen Tripa dan 21±2 mm/tahun pada segmen Renun. Di lain pihak hasil pengukuran geodesi dengan GPS yang dibuat oleh McCaffrey dkk (2000) menunjukkan bahwa segmen Renun memiliki laju pergeseran yang lebih cepat yaitu mencapai 25±2 mm/tahun. Sedangkan hasil studi GPS yang dibuat oleh Genrich dkk. (2000) menunjukkan laju pergeseran sekitar 24±1 mm/tahun untuk segmen Renun dan 26±2 mm/tahun untuk segmen Tripa.

elengkapnya laju pergeseran dan panjang runtuhan pada sesar serta gempa terkuat yang pernah terjadi pada setiap segmen sesar diuraikan di dalam Gambar 10.

S

Gambar 10. Peta sejarah gempa maksimum, laju pergeseran per tahun dan panjang segmen sesar di kawasan Sumatera Irsyam dkk., 2000).

anda Aceh yang sebelumnya diprediksi lebih rendah dari Padang (0.20 g) eningkat menjadi lebih besar dari Padang (0.60 g - 0.70 g) pada prediksi edisi revisi terbaru

(Irsyam dkk., 2010).

(

1.9. Peta Kegempaan Sumatera Untuk memetakan bahaya gempa berdasarkan sejarah kejadian gempa dan data geologi yang ada maka dibuatlah peta kegempaan. Peta kegempaan ini dibuat dalam bentuk kontur percepatan puncak di batuan dasar (PGA) yang merupakan hasil dari perhitungan dengan metoda probabilitas (probabilistic seismic hazard analysis atau PSHA). Peta kegempaan yang beredar di Indonesia saat ini adalah peta kegempaan edisi SNI-1726-2003 dan edisi revisi tahun 2011 (Gambar 11). Hasil revisi tahun 2011 menunjukkan prediksi bahaya gempa mengalami kenaikan sekitar 2 kali lipat untuk gempa-gempa dengan rentang waktu (perioda ulang) 500 tahunan, seperti Medan sebelumnya diprediksi akan mengalami percepatan di batuan dasar sebesar 0.15 g menjadi 0.30 g pada hasil perkiraan edisi 2011, sedangkan Padang dari 0.25 g menjadi 0.5 g – 0.6 g. Sementara itu Bm

Page 12: Mengenal Dan Meramal Gempa

Ade Faisal – Universitas Muhammaidyah Sumatera Utara (UMSU), Medan

a) b)

c)

Gambar 11. Peta kegempaan Sumatera sebagai hasil prediksi gempa-gempa dengan perioda ulang 500 tahun: a) SNI-1726-2003; b) hasil studi Petersen dkk. (2005); dan c) peta kegempaan edisi

revisi tahun 2011 oleh Irsyam dkk. (2010). 1.10. Pengaruh Gempa Kuat Bangunan akan mengalami kerusakan atau bahkan roboh akibat getaran yang sangat kuat, dan akan menyebabkan stabilisasi tanah pada lereng bukit terganggu sehingga menimbulkan longsor. Getaran kuat ini dapat juga menyebabkan tanah amblas akibat peningkatan tekanan air pori secara mendadak pada lapisan tanah pasir (sehingga air menyembur keluar dari permukaan tanah

Bahan Kuliah M.K. Vibrasi & Teori Gempa 2012/2013, UMSU Medan 12

Page 13: Mengenal Dan Meramal Gempa

Ade Faisal – Universitas Muhammaidyah Sumatera Utara (UMSU), Medan

dalam bentuk luapan lumpur atau semburan pasir) sehingga tegangan efektif tanah menjadi hilang (disebut dengan kejadian likuifaksi). Hal ini dapat membahayakan bangunan di atasnya. Hal-hal inilah yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Penyebab lain adalah terjadinya kebakaran akibat arus pendek listrik dan kerusakan instalasi gas yang semuanya dipicu oleh getaran gempa yang kuat. Selain itu penyebab utama korban jiwa adalah tenggelam diterjang gelombang raksasa (tsunami) akibat gempa yang bersumber dari lapisan di bawah dasar lautan. Gelombang ini terbentuk akibat terjadinya perbedaan ketinggian secara mendadak (uplift atau sink) pada area dasar permukaan laut yang sangat luas (puluhan kilometer persegi) sehingga pada saat yang sama permukaan laut juga mengalami perbedaan ketinggian. Proses ini menyebabkan terbentuknya tekanan air sehinga membentuk gelombang air dengan volume yang sangat banyak yang bergerak ke segala arah. Ketinggian gelombang yang merambat (dengan volume yang relatif tetap) akan berubah-ubah seiring dengan kedalaman laut yang dilaluinya dan gelombang akan semakin tinggi bila mendekati pantai karena laut semakin dangkal. Gelombang besar ini dapat mencapai ketinggian 20 m begitu tiba di bibir pantai dan menyapu semua benda yang dilaluinya seperti yang terjadi di Banda Aceh pada tahun 2004. Ketika surut gelombang ini kembali menarik ke laut semua yang dilaluinya dan proses gelombang pasang raksasa ini dapat terjadi beberapa kali dalam sebuah kejadian tsunami. 2. Meramal Gempa 2.1. Umum Seperti telah diketahui bersama bahwa dinamika bumi merupakan sebuah proses kompleks yang melibatkan proses mekanisme fisika dan kimia di dalam dan di luar bumi. Proses ini melibatkan interaksi kompleks antara litosfir, hidrosfir, atmosfir, dan biosfir. Kejadian-kejadian alam di luar bumi akan mempengaruhi keadaan permukaan bumi dan juga dalam bumi. Begitu pula sebaliknya. Sehingga secara logika sederhana dapat dipastikan bahwa sebuah gempa yang kuat yang terjadi di litosfir pastilah akan memberikan pengaruh kepada hidrosfir, atmosfir, dan biosfir. Memahami hal ini diyakini dapat bermanfaat untuk memperkirakan kedatangan gempa kuat di masa datang. Sayangnya, perkembangan ilmu pada masalah ini terkesan mengalami evolusi yang sangat lambat (Geller, 1997). Memperkirakan gempa di masa depan adalah salah satu keilmuan yang sangat penting dalam kerangka mitigasi bencana gempa (Wyss, 1997). Metoda perkiraan yang ada umumnya mengacu kepada seismisitas gempa yang disebut dengan penurunan aktifitas gempa (seismic quiescence) dengan mengacu kepada penurunan nilai koefisien b persamaan Gutenberg-Richter dan penurunan jumlah gempa-gempa kecil (swarms) sebelum sebuah gempa kuat terjadi (Rikitake, 1975; Habermann, 1988). Juga dengan menggunakan rangkaian gempa awal atau foreshock (Wyss, 1997). Metoda lain adalah menggunakan gejala perubahan medan magnet dan medan listrik bumi (magnetic and electric fields). Gejala alam lain yang dipakai untuk memperkirakan gempa adalah perubahan lapisan di ionosfir (Derr, 1986; Freund, 2003; Ouellet, 1990), gelobang radio, gejala kandungan emisi gas radon atau hydrogen pada air tanah, dan perilaku ganjil hewan (Kirschvink, 2000) dan tumbuhan. Perkembangan ilmu pengetahuan dalam memperkirakan gempa di masa depan belum cukup meyakinkan dalam rangka mengurangi korban jiwa akibat bencana alam ini. Hal ini dikarenakan metoda perkiraan yang ada tidak mampu secara konsisten memberikan keluaran kapan, dimana, dan besaran magnitude sebuah gempa yang akan terjadi dengan tingkat kesalahan saintifik yang minimal (Geller, 1997). Secara statistik umumnya metoda perkiraan yang ada ini juga belum memuaskan. Karena itulah isu perkiraan gempa di

Bahan Kuliah M.K. Vibrasi & Teori Gempa 2012/2013, UMSU Medan 13

Page 14: Mengenal Dan Meramal Gempa

Ade Faisal – Universitas Muhammaidyah Sumatera Utara (UMSU), Medan

masa depan masih menjadi topik hangat perdebatan yang panjang di kalangan ilmuwan. Namun demikian memanfaatkan ilmu ini semaksimal mungkin adalah tidak salah, bahkan dapat menguntungkan masyarakat banyak. Secara umum prediksi gempa dapat dibagi ke dalam 3 kelompok menurut Sykes dkk. (1999): - perkiraan seketika (0-20 detik) - perkiraan jangka pendek (jam, hari, minggu) - perkiraan jangka menengah (bulan, tahun) - perkiraan jangka panjang (tahun, dekade) Pada tulisan ini ulasan perkiraan gempa akan dibatasi kepada metoda yang menggunakan gejala yang mudah dikenali dan didapati oleh masyarakat biasa, yaitu menggunakan gejala ganjil hewan dan tumbuhan, gejala alam, dan gejala lain yang dapat dideteksi menggunakan peralatan umum yang ada di masyarakat. 2.2. Perilaku Aneh Tumbuhan dan Air Sebelum Gempa Bumi Sebelum gempa kuat terjadi, air tanah akan mengalami perubahan secara cepat, ini ditunjukkan dengan perubahan drastis muka air tanah (sumur) (Roeloffs dan Quilty, 1997). Tumbuhan juga akan mengalami perubahan yang signifikan sebelum terjadi gempa kuat. Perubahan-perubahan itu ditunjukkan pada Tabel 2 (Ikeya, 2004).

Tabel 2. Perilaku aneh tumbuhan sebelum terjadi gempa bumi. Jenis tumbuhan Perkiraan waktu

kedatangan gempa Gejala-gejala

Kentang 2 bulan Gagal panen

Apricot (abrikos) 6 minggu Susah panen saat musim dingin.

Padi Beberapa minggu Tumbuh kecil, panen awal, kode batang pada daun. Anggrek 1 hari Bergoyang tanpa ada angin

Putri malu / si kejut / rebah bangun (mimosa)

Sesaat sebelum Daunnya menutup dan berjatuhan.

Dedaunan di pohon Sesaat sebelum Bergoyang tanpa angin.

2.3. Perilaku Aneh Hewan Ternak dan Hewan Liar Gempa kuat memancarkan gelombang elektromagnetis berkekuatan besar yang terjadi akibat adanya runtuhan pada sesar atau pergeseseran lempeng bumi. Menurut Ikeya (2004) gempa bumi berkekuatan Mw7 dapat menghasilkan medan listrik sebesar 60 V/m, Sementara itu binatang yang sensitif seperti Ikan Lele akan panik apabila merasakan medan listrik yang mencapai ± 3 V/m. Sedangkan pada tingkat medan listrik sebesar 8 V/m akan menyebabkan ayam menjadi ribut berkotek, anjing dan kelinci panik melarikan diri. Pada Tabel 3 ditunjukkan perilaku aneh binatang terhadap rentang waktu sebelum terjadi gempa menurut hasil studi Ikeya (2004). Sedangkan Tabel 4 menunjukkan perilaku aneh berbagai jenis binatang sebelum gempa (Stierman, 1980; Kirschvink, 2000; Ikeya, 2004).

Tabel 3. Binatang yang berperilaku aneh dan perkiraan waktu kedatangan gempa .

Bahan Kuliah M.K. Vibrasi & Teori Gempa 2012/2013, UMSU Medan 14

Page 15: Mengenal Dan Meramal Gempa

Ade Faisal – Universitas Muhammaidyah Sumatera Utara (UMSU), Medan

Jenis binatang Perkiraan waktu kedatangan gempa

Anjing 30 menit s/d beberapa hari Ayam 1 s/d 3 hari Tikus 1 s/d 5 bahkan s/d 2 minggu Ikan Beberapa jam s/d 10 hari Merpati Beberapa jam s/d 1 hari Babi, Kuda, dan Kambing Beberapa jam s/d 1 hari Burung beo, Nuri, Kenari, Angsa 15 menit s/d beberapa jam

2.4. Fenomena Aneh Langit dan Atmosfir Karena adanya gelombang elektromagnetik berkekuatan besar dari permukaan bumi, menyebabkan terjadinya fenomena aneh di langit atau atmosfir seperti yang tertera pada tabel 5 (Derr, 1986; Ouellet, 1990; Freund, 2003; Ikeya, 2004). 2.5. Gejala Aneh Alat Elektronik Rumah Tangga Gejala-gejala aneh pada alat elektronik rumah tangga banyak terjadi pada gempa Kobe 1995, gempa Chi-Chi Taiwan tahun 1999, dan gempa Izmit Turki tahun 1999. Pada Tabel 6 di bawah ini dijelaskan gejala aneh yang terjadi pada beberapa alat elektronik (Ikeya, 2004). 2.6. Cara Sederhana Mengenali Tanda-Tanda Gempa Untuk Masyarakat Awam

Walaupun secara teori fenomena aneh yang terjadi pada alam dan hewan belum dapat diterima dan memuaskan para ilmuwan kegempaan (Geller, 1997; Wyss, 1997), namun memanfaatkan keterbatasan teknologi yang ada dan mudah pakai ini untuk keselamatan manusia adalah tidak salah. Metoda ini dapat diserap dan dilaksanakan oleh setiap individu masyarakat itu sendiri. Untuk itulah masyarakat merupakan bagian yang penting dalam proses pemantauan gejala alam sebagai tanda-tanda gempa kuat. Pemberdayaan masyarakat merupakan kunci utama keberhasilan pemantauan tanda-tanda gempa ini. Hal ini pernah berhasil dilakukan di China dan berhasil menyelamatkan ratusan ribu nyawa sebelum gempa kuat Haicheng 1975 berskala Mw=7,3 terjadi (Wallace dan Teng, 1980; Wang dkk., 2006). Namun demikian keberhasilan ini memang merupakan gabungan dari sejumlah metoda prediksi gempa yang ada, bukan hanya melihat gejala aneh alam dan hewan. Ianya juga melibatkan banyak pihak termasuk petugas-petugas pemantauan di stasiun gempa. Namun demikian, tidak ada salahnya untuk mencoba metoda sederhana yang paling mudah terlebih dahulu. Untuk itu sebuah usulan praktis pemberdayaan masyarakat dalam pemantauan gejala aneh alam dan hewan diuraikan pada Gambar 12.

Bahan Kuliah M.K. Vibrasi & Teori Gempa 2012/2013, UMSU Medan 15

Page 16: Mengenal Dan Meramal Gempa

Ade Faisal – Universitas Muhammaidyah Sumatera Utara (UMSU), Medan

PERILAKU ALAM

SIANG MALAM

BINATANG - Anjing menggonggong keras - Kucing hiperaktif tidak bisa diam,

mengeong menyedihkan - Ikan lele bersikap sangat agresif - Cacing tanah bermunculan atau

keluar dari tanah - Babi sangat agresif, saling

menggigit, berusaha memanjat kandangnya

BINATANG - Anjing menggonggong keras

tanpa henti - Ikan lele sangat agresif, tidak

bisa diam - Tikus menghilang, panik,

berkelahi, jalan di wayar listrik

TUMBUHAN & AIR TANAH - Kentang gagal panen - Padi tumbuh kecil, panen awal,

tampak kode batang pada daun - Dedaunan bergoyang tanpa angin - Muka air sumur berubah

ketinggiannya secara drastis

TUMBUHAN & AIR TANAH - Anggrek bergoyang tanpa

angin - Dedaunan bergoyang tanpa

angin - Muka air sumur berubah

ketinggiannya secara drastis

ATMOSFIR - Cahaya dan awan aneh di langit - Langit berwarna kuning - Cahaya pelangi pendek

ATMOSFIR - Kabut di langit - Bintang tampak dekat - Bulan tampak cahayanya

berbentuk lonjong vertikal

MUSYAWARAH

KEPUTUSAN EVAKUASI

YA TIDAK ABAIKAN

LAPORKAN

TIDAK YA

Ya

Tidak

LAPORKAN ke BMKG - Check apakah terjadi penurunan

jumlah gempa-gempa mikro, atau penurunan nilai koefisien-b, atau rangkaian gempa awal

ABAIKAN

ALAT ELEKTRONIK RUMAH TANGGA

PEMANTAUAN

Gambar 12. Metoda sederhana untuk pemberdayaan masyarakat dalam memantau tanda-tanda gempa melalui gejala aneh alam, hewan dan alat elektronik rumah-tangga.

Bahan Kuliah M.K. Vibrasi & Teori Gempa 2012/2013, UMSU Medan 16

Page 17: Mengenal Dan Meramal Gempa

Ade Faisal – Universitas Muhammaidyah Sumatera Utara (UMSU), Medan

Tabel 4. Perilaku aneh binatang sebelum gempa. Binatang Perilaku aneh

Anjing Menggonggong keras Kucing Tidak bisa diam, mengeong secara menyedihkan, membawa anaknya keluar rumah,

memanjat pohon yang tinggi, meninggalkan rumah seharian Tikus Menghilang, berkelahi, panik, berjalan diwayar atau kabel Babi Agresif saling menggigit, mengorek-ngorek tanah dibawah pagar, berusaha memanjat pagar

kandangnya. Kelalawar Terbang disiang hari. Lembu Melenguh, membuat keributan bersama-sama, lari dengan panik. Kelinci Melompot dan berlari-lari bolak balik. Burung-burung

Berhenti berkicau, menjadi heboh, terbang-terbang berkelompok tanpa henti, memperdengarkan kicau yang aneh, sebagian mati.

Ayam kampung

Mengepak-ngepakan sayapnya, berkotek-kotek dengan suara seakan-akan sedang dimangsa oleh sesuatu, terbang ke atap rumah.

Ayam petelur

Mengeram tanpa telur, telur yang dihasilkan menjadi sedikit atau telur-telur tersebut memiliki dua buah kuning telur.

Bebek Menghindar untuk masuk kedalam air, menangis, bersikap agresif, menggigit manusia. Burung pipit Terbang berkelompok-kelompok, mengarah ke bawah saat terbang, tidak berkicau. Ikan Mengapung dipernukaan air dan membuat satu arah, melompat keluar dari air, bergerak

secara kasar, mati. Berputar arah keatas dan kebawah, bersikap seperti sangat terganggu, berkelompok, secara tidak biasa ikan yang lebih besar tertangkap saat dipancing. Mudah dipahami bila terjadi pada ikan lele. Ikan laut dalam muncul dekat permukaan laut, tidak mau makan, ikan laut berenang kesungai.

Semut Meninggalkan habitatnya membawa serta telur-telurnya, berkerumun, masuk ke rumah-rumah.

Kecoa / lipas /coro

Berkerumun disekitar peralatan / barang-barang yang terbuat dari logam.

Cacing tanah

Berkerumun / keluar dari dalam tanah.

Lalat Berkerumun dan hinggap pada kulit yang berkeringat, terbang berputar-putar, dan memutari diri mereka sendiri.

Tabel 5. Gejala di langit dan atmosfir sebelum gempa.

Gejala aneh langit & atmosfir Waktu sebelum gempa

Cahaya gempa 1 hari atau beberapa jam Kabut gempa Beberapa jam Awan gempa Beberapa hari, 8 hari Langit berwarna kuning 1 hari Pelangi yang pendek Beberapa hari Matahari tampak dengan cincin cahayanya 1 hari atau beberapa jam Bulan dan cahayanya membentuk lonjong atau memanjang vertical 1 hari Bintang tampak dekat 1 hari

Bahan Kuliah M.K. Vibrasi & Teori Gempa 2012/2013, UMSU Medan 17

Page 18: Mengenal Dan Meramal Gempa

Ade Faisal – Universitas Muhammaidyah Sumatera Utara (UMSU), Medan

Tabel 6. Gejala aneh pada alat elektronik rumah tangga. Alat-alat elektronik Gejala aneh Waktu sebelum

gempa Alat navigator mobil (spedometer, rpm)

Jarum penunjuk bergerak tak tentu 1 hari

Jam (quartz) Berhenti berdetak atau bergerak maju atau mundur secara tiba-tiba

8 jam s/d 1 hari

Lampu fluorescent (TL) Cahaya berkedap-kedip seperti bila ada petir di dekat rumah ?? Telepon HP Berdering dan lampu nyala tapi tidak ada nama/nomor si

penelepon ??

Radio (AM) Tiba-tiba bertukar gelombang dan bersuara keras, atau muncul suara ribut berderak

30 – 50 menit

Kulkas (refrigerator) Muncul suara ribut yang aneh pada kompresor, susu yang disimpan di dalam jadi basi

2 – 3 jam

Televisi Bertukar channel tiba-tiba, ada gangguan gambar tiba-tiba, warna berubah hitam putih, bergaris-garis, bergaris lebar warna-warni transparan seperti pelangi

6 – 7 jam

Tanda-tanda ini dibagi ke dalam 4 jenis: tanda-tanda binatang, tumbuhan/sumur, langit/atmosfir, dan alat elektronik rumah tangga. Bila anda mengenali salah-satu tanda-tanda tersebut seperti yang diuraikan pada tabel sebelumnya, jangan terburu-terburu menyimpulkan bahwa akan terjadi gempa kuat dalam waktu dekat. Sebaiknya pastikan bahwa telah terjadi banyak tanda yang meliputi 4 jenis tanda-tanda gempa tersebut. Atau paling tidak telah terjadi sejumlah tanda yang meliputi 3 jenis tanda di atas. Kemudian komunikasikan dengan tetangga terdekat anda. Bila tetangga-tetangga anda juga mengalami hal yang sama maka laporkan tanda-tanda tersebut kepada Kepala Lingkungan atau Babinsa setempat. Mintakan kepada Kepala Lingkungan/Babinsa anda untuk mengecek apakah kejadian serupa juga terjadi di beberapa desa/kampung terdekat. Bila iya, lakukan musyawarah secepatnya dan laporkan ke petugas pemantau BMKG/peneliti/akademisi untuk memastikan apakah ada terjadi rangkaian gempa awal, penurunan jumlah gempa-gempa mikro, dan penurunan nilai koefisien b (Gutenberg-Richter). Bila iya, adalah tidak berlebihan bila keputusan evakuasi diambil. 3. Rangkuman Artikel ini memuat teori praktis untuk mengenal dan memprediksi kejadian gempa tektonik. Sejarah kegempaan di Indonesia juga dimuat, khususnya yang pernah terjadi di Sumatera beserta keadaan tektonik pulau Sumatera. Pada bagian prediksi gempa, metoda prediksi gempa jangka pendek dan menengah berdasarkan gejala alam dan hewan dibahas untuk kegunaan masyarakat awam. Pada bagian akhir tulisan ini usulan metoda praktis dalam memprediksi gempa jangka pendek dan menengah pada suatu kawasan yang melibatkan masyarakat awam ditawarkan sebagai bagian dalam kegiatan mitigasi bencana gempa. Gejala ganjil alam dan hewan ini dibagi ke dalam 4 jenis tanda yaitu tanda-tanda binatang, tumbuhan/sumur, langit/atmosfir, dan alat elektronik rumah tangga. Pada usulan metoda yang ditawarkan dijelaskan bahwa diperlukan data tanda-tanda keganjilan alam dan hewan yang banyak sebelum mengambil keputusan evakuasi. Termasuk di dalamnya membanding dengan sejumlah kelompok pemantau yang lain dan juga ke pemantau di stasiun BMKG, peneliti, atau akademisi. Keputusan evakuasi hanya dapat diambil bila ditemukan kesesuaian tanda-tanda ganji pada alam dan hewan dengan terjadinya seismic quiscience yaitu penurunan jumlah data-data gempa mikro, atau penurunan nilai koefisien b (persamaan Gutenberg-Richter); atau terjadinya rangkaian gempa awal.

Bahan Kuliah M.K. Vibrasi & Teori Gempa 2012/2013, UMSU Medan 18

Page 19: Mengenal Dan Meramal Gempa

Ade Faisal – Universitas Muhammaidyah Sumatera Utara (UMSU), Medan

Daftar Pustaka Bellier, O., Sebrier, M., Pramumidjojo, S., Beaudouin, T., Harjono, H., Bahar, I., Forni, O. (1997).

Paleoseismicity and seismic hazard along the Great Sumatran fault (Indonesia), Journal of Geodynamics, 24, hal.169-183.

Bolt, B. A. (1993). Earthquakes. W.H. Freeman and Company, New York. Bolt, B. A. (2001). The nature of earthquake ground motion. Di dalam Seismic Design Handbook, Editor:

Naeim, F., hal. 1-31, Kluwer Academic Publisher, Dordrecht. Boore, D. M., Joyner, W. B., & Fumal, T. E. (1997). Equations for estimating horizontal response spectra

and peak acceleration from western North American earthquakes: a summary of recent work. Seismological Research Letters, 68(1), hal. 128-153.

Boore, D.M., and Atkinson, G.M., (2008), Ground-motion prediction equations for the average horizontal component of PGA, PGV, and 5%-damped PSA at spectral periods between 0.01 s and 10.0 s, Earthquake Spectra, 24(1), hal. 99-138

Derr, J.S. (1986). Luminous phenomena and their relationship to rock fracture. Nature, 321, hal. 470-471. Fukushima, Y., dan Tanaka, T. (1990). A new attenuation relation for peak horizontal acceleration of

strong earthquake ground motion in Japan. Bulletin of the Seismological Society of America, 80 (4), hal. 757–783.

Fitch, T. J. (1972). Plate convergence, transcurrent faults, and internal deformation adjacent to southeast Asia and the western Pacific. Journal of Geophysical Research, 77(23), hal. 4432-4460.

Freund, F.T. (2003). Rocks that crackle and sparkle and glow: strange pre-earthquake phenomena. Journal of Scientific Exploration, 17 (1), hal. 37-71.

Geller, R.J. (1997). Earthquake prediction: a critical review. Geophysical Journal International, 131, hal. 425-450.

Genrich, J., Bock, Y., McCaffrey, R., Prawirodirdjo, L., Stevens, C., Puntodewo, S.S.O., Subarya, C., Wdowinski, S. (2000). Distribution of slip at the northern Sumatra fault system, Journal Geophysical Researh, 105 (B12), hal. 28.327-28.341.

Habermann, R. E. (1988). Precursory seismic quiescence: Past, present, and future. Pure and Applied Geophysics, 126(2-4), hal. 279-318

Ikeya, M. (2004). Earthquakes and Animals: From Folk Legends to Science. World Scientific Publishing: Singapore.

Kanamori, H. (2003). Earthquake prediction: An overview. International Handbook of Earthquake and Engineering Seismology. 81B. International Association of Seismology & Physics of the Earth's Interior. pp. 1205–1216.

Kirschvink, J.L. (2000) Earthquake Prediction by Animals: Evolution and Sensory Perception. Bulletin of Seismological Society of America, 90 (2), hal. 312-323.

Kramer, S.L. (1996). Geotechnical Earthquake Engineering. New Jersey: Prentice Hall. Masyhur Irsyam, Sengara, I. W., Aldiamar, F., Widiyantoro, S., Triyoso, W., Natawidjaja, D. H.,

Kertapati, E., Meilano, I., Suhardjono, Asrurifak, M., Ridwan, M. (2010). Ringkasan hasil studi tim revisi peta gempa Indonesia, Bandung.

McCaffrey, R., Zwick, P., Bock, Y., Prawirodirdjo, L., Genrich, J., Stevens, C.O., Puntodewo, S.S.O., Subarya, C. (2000). Strain partitioning during oblique plate convergence in northern Sumatra: Geodetic and seismologic constraints and numerical modeling, Journal of Geophysical Research, 105 (B12), hal. 28.363-28.376.

Natawidjaja, D. H., dan Triyoso, W. (2007) The Sumatran fault zone — from source to hazard, Journal of Earthquake and Tsunami, 1(1), hal. 21–47.

Ouellet, M. (1990). Earthquake light and seismicity. Nature, 348, hal 492. Pacheco, J.F. and Sykes, L.R. (1992). Seismic moment catalog of large shallow earthquakes, 1900 to

1989, Bulletin of the Seismological Society of America, 82(3), hal. 1306-1349. Pan, T.-C. dan Lee, C. H. (2002) Site response in Singapore to long-distance Sumatra earthquakes,

Earthquake Spectra, 18(2), hal. 347–367 Pan, T. C., Megawati, K., Brownjohn, J. M. W., & Lee, C. L. (2001). The Bengkulu, Southern Sumatra,

earthquake of 4 June 2000 (Mw= 7.7): Another warning to remote metropolitan areas. Seismological Research Letters, 72(2), hal.171-185.

Pan, T. C., dan Sun, J. (1996). Historical earthquakes felt in Singapore. Bulletin of the Seismological Society of America, 86(4), hal. 1173-1178.

Bahan Kuliah M.K. Vibrasi & Teori Gempa 2012/2013, UMSU Medan 19

Page 20: Mengenal Dan Meramal Gempa

Ade Faisal – Universitas Muhammaidyah Sumatera Utara (UMSU), Medan

Bahan Kuliah M.K. Vibrasi & Teori Gempa 2012/2013, UMSU Medan 20

Prawirodirdjo, L., Y. Bock, J. F. Genrich, S. S. O Puntodewo, J. Rais, C. Subarya, S. Sutisna (2000). One century of tectonic deformation along the Sumatran fault from triangulation and Global Positioning System surveys. Journal of Geophysical Research, 105(28), hal. 28.343–28.363.

Petersen, M.D., Dewey, J., Hartzell, S., Mueller, C., Harmsen, S., Frankel, A.D., Rukstales, K. (2004). Probabilistic seismic hazard analysis for Sumatra, Indonesia and across the Southern Malaysian Peninsula. Tectonophysics. 390, hal. 141-158.

Rikitake, T. (1973). Earthquake precursors. Bulletin of Seismological Society of America, 65 (5), hal. 1133-1162.

Roeloffs, E. dan Quilty, E. (1997). Case 21: Water level and strain changes preceding and following the August 4, 1985 Kettleman Hills, California, Earthquake. Pure and Applied Geophysics, 149, hal. 21-60.

Sieh, K., & Natawidjaja, D. (2000). Neotectonics of the Sumatran fault, Indonesia. Journal of Geophysical Research, 105 (B12), hal. 28.295-28.326.

SNI (2003). Standar nasional Indonesia: tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk bangunan gedung, SNI-1726-2003. Bandung: Badan Penelitian dan Pengembangan Permukiman dan Prasarana Wilayah.

Soetardjo, Untung, M., Arnold, E. P., Soetadi, R., Ismail, S., & Kertapati, E. K. (1985). Di dalam Series on seismology, volume V: Indonesia. (Arnold, E.P., ed.), Southeast Asia association of seismology and earthquake engineering (SEASEE). Denver: USGS press.

Stein S, Wysession M. (2009). An introduction to seismology, earthquakes, and earth structure. Oxford: Blackwell Publishing.

Stierman, D.J. (1980). Earthquake sounds and animal cues; some field observations. Bulletin of Seismological Society of America, 97 (2), hal. 639-643.

Sykes, L. R., B. E. Shaw, and C. H. Scholz (1999). Rethinking earthquake prediction. Pure Applied Geophysics, 155, hal. 207–232.

Wallace , R.E. dan Teng, T-L (1980). Prediction of the Sungpan-Pingwu earthquakes, August 1976. Bulletin of Seismological Society of America, 70 (4), hal. 1199-1223.

Wyss, M. (1997). Second round of evaluations of proposed earthquake precursors. Pure and Applied Geophysics, 149, hal. 3-16.

Wang, K. dkk. (2006). Predicting the 1975 Haicheng earthquake. Bulletin of Seismological Society of America, 96 (3), hal. 757-795.

Youngs, R.R., Chiou, S.J., Silva, W.J., dan Humphrey, J.R., (1997), Strong ground motion attenuation relationships for subduction zone earthquakes. Seismological Research Letters 68, hal. 58–73.

Zachariasen, J., Sieh, K., Taylor, F.W., Edwards, R.L., Hantoro, W.S. (1999). Submergence and uplift associated with the giant 1833 Sumatran subduction earthquake: evidence from coral microatolls. Journal of Geophysical Research, 104, hal. 895– 919.

Zachariasen, J., Sieh, K., Taylor, F.W., Hantoro, W.S. (2000). Modern vertical deformation above the Sumatran Subduction Zone: paleogeodetic insights from coral microatolls. Bulletin of the Seismological Society of America, 90, hal. 897– 913.

Zhao, J.X., Zhang, J., Asano, A., Ohno, Y., Oouchi, T., Takahashi, T., Ogawa, H., Irikura, K., Thio, H., dan Somerville, P., (2006), Attenuation Relations of Strong Motion in Japan using site classification based on predominant period, Bulletin of the Seismological Society of America,, 96, hal 898.