mengenal anak dengan disabilitas psikososial...mengenal anak dengan disabilitas psikososial: panduan...
TRANSCRIPT
Mengenal Anak
Dengan Disabilitas
Psikososial
Panduan Dasar
Untuk Orang-Tua dan Keluarga
Mengenal Anak Dengan Disabilitas Psikososial:
Panduan Dasar Bagi Orang-Tua dan Keluarga Tim Penyusun:
Penanggung jawab : Usman Basuni, SE, MA, MPHR
Koordinator : Yossa Nainggolan, M.P.P
Gina Prawardani,S.Sos
Penulis & Peneliti : Agus Hasan Hidayat
Fatmawati, S.Sos
Mely Setyawati, SH
Niniek Dhiniyanti, S.Sos
Rina Refliandra, S.Psi
Kontributor : Chitra Febianty Luthfi, S.Sos Prima Dea Pangestu, S.Pd Graphic Designer : Agus Hasan Hidayat
Sekretariat : Evi Permatasari
Lindawati, SE
Alamat Penerbit:
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak Jl. Medan Merdeka Barat No.15, RT.2/RW.3, Gambir,
KotaJakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10160
i
11ii
ii
DAFTAR ISI
Tim Penyusun
Daftar isi
Kata Pengantar
Bagaimana menggunakan panduan dasar ini?
1. Siapa anak dengan disabilitas psikososial?
2. Apa gejala-gejala awal anak dengan disabilitas psikososial?
3. Apa saja ragam anak dengan disabilitas psikososial?
4. Kapan mendeteksi dini anak dengan disabilitas psikososial?
5. Bagaimana mendeteksi dini anak dengan disabilitas psikososial?
6. Apa saja dukungan orang-tua dan keluarga agar anak dengan
disabilitas psikososial dapat pulih optimal?
7. Apa tindakan teknis kesehatan agar anak dengan
disabilitas dapat pulih optimal?
8. Tips bagaimana sebaiknya memperlakukan anak dengan
disabilitas psikososial?
9. Siapa saja anak yang berpotensi menjadi anak dengan
disabilitas psikososial?
10. Ketika anak kambuh, apa yang harus dilakukan?
11. Berbagi cerita terkait memperlakukan anak dengan
disabilitas psikososial
Referensi
i
ii
iii
iv
1
2
3
6
6
7
8
9
10
11 12
20
KATA PENGANTAR
Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak Nomor 4 Tahun 2017 tentang Perlindungan Khusus Bagi Anak
Penyandang Disabilitas (PKAPD) di tanda tangani pada tanggal 2
Juni 2017 dan diundangkan dalam Berita Negara Tahun 2017
Nomor 963 tanggal 14 Juli 2017.
Salah satu point penting yang termuat dalam ketentuan umum
PKAPD adalah bahwa perlindungan khusus anak penyandang
disabilitas adalah suatu bentuk perlindungan yang diterima oleh
anak penyandang disabilitas untuk memenuhi hak-haknya dan
mendapatkan jaminan rasa aman, terhadap ancaman yang
membahayakan diri dan jiwa dalam tumbuh kembangnya.
Panduan dasar untuk orang-tua dan keluarga anak dengan
disabilitas psikososial ini disusun sebagai salah satu upaya
memberikan perlindungan bagi anak dengan disabilitas
psikososial.
Panduan ini disusun berdasarkan hasil studi dengan melakukan
kajian literatur, diskusi kelompok terbatas di Jakarta, dan
pencarian data lapangan di dua wilayah, yakni Kota Bandung, Jawa
Barat dan Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah serta daerah
sekitarnya (termasuk di beberapa wilayah di Daerah Istimewa
Yogyakarta).
Masih banyak orang tua dan keluarga yang belum mengetahui
bahwa penyandang disabilitas psikososial bisa dipulihkan jika
ditangani dengan baik dan benar, dan penyandang disabilitas
psikososial juga tidak sama dengan gangguan perkembangan,
seperti gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif /ADHD
(Attention Deficit Hyperactivity Disorder) dan autis. Diharapkan setelah membaca panduan dasar ini, selain mendapatkan
pengetahuan tentang siapa anak dengan disabilitas psikososial, orang-
tua dan keluarga dapat memahami anak dengan disabilitas
psikososial dan memperlakukan mereka dengan baik dan benar.
Semoga panduan ini dapat bermanfaat.
Tim Penulis
iii
Bagaimana menggunakan
panduan dasar ini?
Panduan dasar ini diperuntukan bagi orang-tua dan keluarga yang
memiliki anak dengan disabilitas psikososial.
Untuk memudahkan membaca dan memahami panduan ini, format
tulisan dibuat dengan sederhana dengan alur yang saling terkait,
dengan menampilkan gambar-gambar dan infografis yang
diharapkan semakin memudahkan untuk dipahami.
Ada 10 sub-judul dalam panduan ini. Setiap sub-judul dituliskan dalam
bentuk pertanyaan-pertanyaan yang langsung menyasar pada
topik-topik penting yang harus diketahui orang tua dan keluarga. Bagi
mareka yang masih awam terhadap disabilitas psikososial,
disarankan untuk membaca topik-topik pada sub-judul secara runut.
Sub-judul pertama tentang, siapa anak dengan disabilitas
psikososial?; Kedua, apa gejala gejala awal anak dengan disabilitas
psikososial?; Ketiga, apa saja ragam anak dengan disabilitas
psikososial?;Keempat, kapan mendeteksi dini anak dengan
disabilitas psikososial?; Kelima, bagaimana mendeteksi dini anak
dengan disabilitas psikososial; Keenam, apa dukungan orang-tua
dan keluarga agar anak dengan disabilitas psikososial dapat pulih
optimal?;Ketujuh, bagaimana anak dengan disabilitas psikososial
dapat pulih optimal?;Kedelapan, tips bagaimana sebaiknya
memperlakukan anak dengan disabilitas psikososial?; Kesembilan,
siapa saja anak yang berpotensi menjadi anak dengan disabilitas
psikososial?;Kesepuluh, ketika anak kambuh apa yang harus kita
dilakukan?;Terakhir, panduan ini memuat berbagai cerita terkait
memperlakuan anak dengan disabilitas psikososial.
Diakui, panduan dasar ini memiliki sejumlah keterbatasan terutama
terkait ragam disabilitas psikososial yang sangat bervariasi. Namun
demikian, panduan ini diharapkan dapat mewakili minimnya sumber
informasi tentang anak dengan disabilitas psikososial dan
bagaimana memperlakukan mereka dengan baik dan benar.
Selamat menggunakan panduan ini.
iv
1
1. Siapa Anak Dengan disabilitas
Psikososial?
Anak dengan disabilitas psikososial adalah seseorang yang
belum berusia 18 tahun yang mengalami gangguan dalam proses
berpikir, berperasaan (emosi), berprilaku yang dalam
berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya
dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berperan
sebagai anak, berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan
kesamaan hak.
Anak dengan disabilitas psikososial hidup dan tinggal disekitar
kita. Hampir sebagian besar masyarakat memiliki pengetahuan
dan pemahaman yang minim tentang anak dengan disabilitas
psikososial, termasuk orang-tua dan keluarga. Akibatnya,
masyarakat sekitar sering kali memperlakukan anak dengan
disabilitas psikososial tidak sebagaimana mestinya.
Pandangan buruk (stigma) dan perlakuan yang dibeda-bedakan
membuat anak dengan disabilitas menjadi kelompok yang
rentan. Rentan untuk mendapatkan haknya, diantaranya di sektor
pendidikan dan kesehatan yang layak. Tidak jarang mereka juga
mengalami tindak kekerasan baik di rumah/keluarga, lingkungan
luar, dan di sekolah.
A n a k D e n g a n D i s a b i l i t a s P s i k o s o s i a l
D i k e n a l j u g a S e b a g a i
A n a k D e n g a n G a n g g u a n J i w a
2. Apa gejala-gejala awal anak dengan
disabilitas psikososial?
Tanda-tanda dibawah merupakan ciri-ciri umum orang yang memiliki
disabilitas psikososial. Namun untuk memastikannya harus ada
pengecekan baik secara medis maupun psikologis, hal ini penting untuk
mengetahui apa jenis disabilitas yang dialami oleh anak dan terapi apa
yang harus dilakukan untuk mendukung pemulihannya agar dapat
kembali beraktifitas seperti biasa.
Sulit berkonsentrasi
Berbuat kenakalan
yang tidak wajar.
Suasana hati
berubah drastis
seperti
tiba- tiba mengamuk
Menarik diri dari lingkungan
sosial dan hilangnya minat
pada teman dan kegiatan
yang biasanya mereka nikmati
Perasaan yang cemas, panik dan
tiba-tiba merasakan takut yang luar
biasa tanpa alasan yang jelas
Mengalami waham
(Menyakini sesuatu
yang tidak nyata)
Mengalami halusinasi
(melihat dan mendengar
sesuatu namun tidak nyata)
Memiliki gerakan tertentu
dengan waktu yang lama.
Penyalahgunaan zat
adektif, seperti
menghirup lem aibon,
bensin, dan kecubung
Bicara tidak runut
atau tidak teratur.
Merusak fisik diri sendiri
Selain keluhan-keluhan psikologis diatas, gejala-gejala awal anak
dengan disabilitas psikososial juga dapat terlihat dari keluhan-
keluhan fisik, seperti sakit perut yang terus menerus dan
sering mengalami pusing kepala.
Jika keluhan-keluhan fisik berlangsung terus menerus, namun hasil
pemeriksaan medis tidak ditemukan penyakit, maka orang –tua dan
keluarga perlu ke pemeriksaan psikologis.
2
3. Apa Saja Ragam Anak Dengan
Disabilitas Psikososial
Ada berbagai ragam disabilitas psikososial, diantaranya gangguan
cemas, gangguan depresi, gangguan bipolar, skizofrenia, dan
gangguan kepribadian.
Dibawah ini dijelaskan pengertian dan ciri dari masing-masing ragam
disabilitas psikososial dimaksud.
Gangguan Cemas Gangguan Cemas adalah kekhawatiran berlebihan
yang berakibat terganggunya aktifitas sehari-hari.
Ciri-ciri gangguan cemas:
1. Merasa khawatir berlebihan terhadap hal-hal yang kecil
2. Menghindar dari lingkungan tertentu
3. Merasa takut, tidak tenang dan gelisah
4. Jantung berdetak kencang, sesak nafas, pusing dan mual
5. Konsentrasi terganggu 3
Gangguan Depresi Depresi adalah perasaan hampa yang berakibat
pada keputusasaan dengan jangka waktu yang
lama dan terus menerus.
Ciri-ciri depresi:
1. Merasa sedih berkepanjangan dan terlihat muram
2. Kehilangan minat dan hobi
3. Merasa hampa dan putus asa
4. Perubahan pola makan
5. Menyakiti diri sendiri dan memiliki pikiran untuk bunuh diri
Gangguan Bipolar
Bipolar adalah perubahaan perasaan atau suasana
hati yang drastis antara fase mania (perasaan
bahagia dan semangat berlebihan) dan fase
depresi seperti ciri-ciri diatas.
Ciri-ciri mania:
1. Merasa bahagia dan terlalu bersemangat
2. Konsentrasi gampang teralihkan dan mudah marah
3. Kurangnya kebutuhan tidur sehingga merasa tidak perlu tidur
4. Penuh dengan ide ide baru dan bersikap gegabah
5. Gampang emosi
4
Skizofrenia Skizofrenia adalah gangguan yang menyebabkan
seseorang tidak bisa membedakan antara
khayalan dan kenyataan.
Ciri-ciri skizofrenia:
1. Mengalami Halusinasi (melihat dan mendengar sesuatu yang
tidak nyata)
2. Mengalami waham (Menyakini sesuatu yang tidak nyata)
3. Pikiran kacau dan ucapan membingungkan
4. Emosi yang tidak terkontrol
5. Melakukan gerakan yang berbeda
Gangguan Kepribadian
Gangguan kepribadian adalah sifat-sifat
karakteristik yang emosional sehingga
merusak dan merugikan lingkungan sekitarnya.
Ciri-ciri gangguan kepribadian:
1. Berbuat kenakalan yang sangat tidak wajar.
2. Tidak memiliki empati dan tidak merasa menyesal
setelah melakukan keburukan.
3. Bersifat arogan dan berprilaku agresif
4. Memiliki emosi yang tidak terkontrol
5. Memiliki pemikiran dan perilaku yang tidak wajar
5
4. Kapan mendeteksi anak
dengan disabilitas psikososial?
Anak dengan disabilitas psikososial dapat dikenali atau diideteksi sejak dini ketika, GEJALA - GEJALA AWAL MUNCUL
(Lihat pertanyaan nomor 2 di atas)
5. Bagaimana mendeteksi anak
dengan disabilitas psikososial?
PUSKESMAS
KLINIK
DOKTER
RUMAH
SAKIT
Orang-tua/keluarga mendatangi puskesmas/
klinik dokter/RS untuk melakukan pemeriksaan
Agar mendapatkan hasil
pemeriksaan yang tepat dan jelas
Orang-tua/keluarga harus mendatangi
psikolog klinis atau psikiater
PSIKOLOG KLINIS PSIKIATER Tenaga ahli yang paham
mengenai psikologi dapat
melakukan pemeriksaan
psikologi dan memberikan
diagnosa dan psikoterapi
Dokter yang ahli dalam
kesehatan jiwa yang bisa
memberikan diagnosa dan
bisa melakukan intervensi
dan memberikan obat
6
6. Apa saja dukungan orang-tua dan
keluarga agar anak dengan disabilitas
psikososial dapat pulih optimal?
Tindakan yang harus dilakukan
Orang-tua atau keluarga
menerima kondisi anak
Meluangkan waktu khusus
bersama keluarga agar ada
kedekatan psikologis
Menjadi pendengar yang baik
dengan ikut memahami
kondisi anak
Memberikan perhatian
terhadap apa yang
dirasakan anak
Memperlakukan anak dengan
disabilitas psikososial sama
dengan anak lainnya, kecuali
pada saat kambuh perlu
perhatian khusus
Berikan lingkungan yang
aman dan nyaman
Kenali pemicu yang
membuat anak kambuh
Mencari informasi tentang
disabilitas psikososial ke
banyak sumber informasi
Meminta bantuan kepada
pihak lain (Ketua RT, teman,
pihak sekolah) untuk peduli
kepada anak dengan
disabilitas psikososial
Orang -tua mengetahui dan
menjaga kondisi kesehatan
mental dirinya, mengingat
kondisi psikologis orang-tua
sangat berpengaruh
terhadap kondisi anak
Tidak boleh dilakukan
Memberikan perkataan yang
buruk terkait kondisi
psikologis anak
Melakukan kekerasan
Membeda-bedakan anak
Merendahkan anak
Mengasingkan anak
(dilarang bermain,
dipasung, dikurung)
7
7. Apa tindakan teknis kesehatan
agar anak dengan disabilitas
dapat pulih optimal?
Tindakan teknis kesehatan pada anak agar pulih optimal,
bisa berbeda setiap anak, berdasarkan tingkatan, dan
ragam disabilitas psikososialnya.
Adapun tindakan-tindakan teknis kesehatan yang seharusnya
dilakukan adalah psikoterapi, minum obat sesuai anjuran
dokter, gabungan psikoterapi dan obat, dan pendekatan menyeluruh.
Psikoterapi
Perawatan ini juga dikenal sebagai konseling atau
terapi berpikir dan terapi perilaku, sebagai salah satu
cara untuk mengatasi masalah kesehatan mental
dengan berbicara dengan seorang psikolog atau penyedia
kesehatan mental lainnya. Untuk terapinya disesuaikan
dengan kondisi dan ragam disabilitas anak tersebut.
Obat
Dokter anak anda atau psikiater mungkin menyarankan
agar anak Anda minum obat tertentu - seperti
antidepresan, obat anti kecemasan, antipsikotik atau
penstabil mood untuk mengobati kondisi
kesehatan mentalnya.
Psikoterapi dan Obat
Gabungan antara Psikoterapi dan Obat: Dalam
kondisi-kondisi tertentu bisa bisa juga dilakukan
gabungan pengobatan atau treatment, baik itu
Psikoterapi dan juga obat-obatan.
Pendekatan Menyeluruh
Pendekatan menyeluruh yang melibatkan intervensi
dalam berbagai pengaturan termasuk keluarga,
sekolah, dan lingkungan teman sebaya. Pendekatan
ini mengkombinasikan semua cara (terapi, obat,
konseling keluarga, kelompok dukungan sebaya)
untuk memulihkan secara optimal.
Beberapa anak mendapat manfaat dari kombinasi pendekatan.
Konsultasikan dengan psikiater, dokter spesialis anak atau penyedia
kesehatan mental untuk menentukan apa yang terbaik untuk anak,
termasuk risiko atau manfaat dari obat-obatan tertentu. 8
Selain tindakan-tindakan teknis kesehatan yang diperbolehkan,
terdapat beberapa tindakan yang
“Sangat Tidak Diperbolehkan” untuk dilakukan yaitu:
Tidak boleh dipasung
Tidak boleh diisolasi
Tidak boleh dibawa ke pengobatan tradisional (pijat dan lainnya)
Tidak boleh dibawa ke dukun/orang pintar
Tidak boleh dibawa ke panti rehabilitasi tanpa penanganan medis
Tidak boleh dibawa ke pengobatan yang berpegang pada
keyakinan atau kepercayaan yang belum teruji secara medis
8. Tips bagaimana sebaiknya
memperlakukan anak
dengan disabilitas psikososial?
Berikan kasih sayang
dan dukungan
Perlakukan anak
dengan disabilitas
psikososial
sebagaimana
yang maksimal 1 2 anak lainnya
Ajak bicara dan libatkan
anak dengan disabilitas
psikososial dalam setiap
keputusan keluarga
termasuk setiap
Luangkan waktu
untuk bersamanya,
serta beri apresiasi
terhadap setiap
kegiatannya yang positif
tindakan pemulihan mereka. 3 4
Berikan motivasi dan
semangat kepada anak
dengan disabilitas
psikososial
Jujur dengan pihak
sekolah tentang kondisi anak
5 6
Sediakan sarana dan
prasarana yang layak
sesuai kebutuhan
Ajak anak berinteraksi
(sosial)
dengan masyarakat
7 8
9
Jangan anggap mereka
orang sakit
9
9. Siapa saja anak yang berpotensi
menjadi disabilitas psikososial?
Korban
kekerasan
Mengalami
disabilitas lain
Penggunaan zat
berbahaya dan
adiktif
Korban penindasan
(Bullying)
Ibu yang mengalami
depresi saat atau
setelah melahirkan
Orang -tua yang
tidak berperan
dengan baik
10
11
11
10. Ketika anak kambuh apa
yang harus kita lakukan?
Pola kambuh anak dengan disabilitas psikososial bermacam-
macam dan tergantung ragam disabilitas dan tingkatannya.
Namun, untuk penanganan anak yang ‘mengamuk’, yang harus
dan tidak boleh dilakukan, diantaranya:
Boleh Tidak Boleh
Pastikan lingkungan sekitar anak
dalam kondisi aman dan nyaman
Orang-tua/keluarga tetap tenang,
tidak panik, dan
tidak terpancing emosi
Bawa ke layanan kesehatan atau
tenaga ahli (Psikolog klinis atau
psikiater) untuk penanganan
Membiarkan anak
tanpa penanganan
Mengusir atau
menelantarkan anak
Melakukan kekerasan,
menghukum atau melarang
anak melakukan aktifitas lain
12
11. Berbagi Cerita Terkait
Memperlakukan Anak Dengan
Disabilitas Psikososial
Cerita 1: MAR, 21 tahun, anak dengan skizofrenia, tinggal di Sukoharjo, Jawa Tengah
IL (Sang ibu) merasa kaget mendapatkan informasi tentang MAR
yang pergi ke tanah Jawa. Ini yang membuat IL ikut pindah ke Jawa
mendampingi MAR dengan meninggalkan seluruh aktifitas
wirausahanya di Sumatra. IL mengakui dirinya sekarang sudah
merugi banyak, tetapi IL berulangkali menekankan “ini demi anak”.
Hampir 6 bulan lalu tabir itu terbuka, MAR menempuh perjalanan jauh keluar kota dengan berjalan kaki tanpa tujuan yang jelas. IL mencari tahu keberadaan MAR, sebab MAR belum pulang ke rumah padahal liburan lebaran tiba. Seorang teman MAR mengabarkan bahwa MAR sudah berada di Madiun. IL menduga MAR terkena pengaruh buruk dari seseorang sehingga psikologisnya tidak kuat. IL menjelaskan, MAR tiba-tiba bisa menggunakan bahasa jawa krama waktu seorang temannya berkomunikasi dengannya. Padahal MAR bukan orang asli jawa, dia berasal dari Sumatra. Namun MAR, pernah menjadi santri di sebuah Pondok Pesantren Yogyakarta. “MAR seperti kerasukan” demikian kata IL. Lalu IL mengajak MAR untuk mengikuti ritual ruqyah pada seorang tokoh agama. MAR mau menjalaninya, ritual tersebut berjalan lebih dari sekali namun belum memberikan dampak yang berarti. Baru kemudian IL memeriksakan kondisi MAR ke dokter pskiater. Hasilnya, psikiater mendiagnosa MAR mengalami waham atau tepatnya menyandang skizofrenia. Gejalanya sudah terlihat sejak awal, IL mengamati MAR berubah karakternya. MAR sudah bisa menyangkal nasihat orang tua. Selain itu mulai tampak kehidupan MAR menjadi tidak teratur seperti sulit berkonsentrasi, jarang masuk kuliah, susah tidur saat malam hari, gelisah, dan kondisi kamar yang kotor. Penampakan perubahan itu semakin jelas saat teman dekatnya menolak MAR sebagai kekasihnya. MAR s e r i n g mengungkapkan kemarahannya di akun media sosial. IL dan keluarga sangat bersedih hati, MAR adalah anak manis dan kebanggaan keluarga sebab MAR sejak kecil memang selalu dekat dengan keluarga.
12
13
Bahkan MAR lebih memilih tinggal di rumah saat teman-temannya sedang menikmati akhir pekan di sebuah tempat berkumpulnya para remaja. Memang MAR tidak terlalu menyukai berkumpul dengan teman-teman sebayanya saat itu.
Saat ini IL dan keluarga tidak berhenti untuk berharap kesembuhan MAR meskipun kondisinya saat ini masih naik turun tergantung suasana hati dan pikirannya. Namun IL masih mengandalkan pengobatan rutin ke psikiater. Sesekali MAR masih ingin berpergian jauh dengan jalan kaki karena MAR merasa misi hidupnya belum selesai, berkunjung ke daerah-daerah baru. IL selalu mencoba menyakinkan MAR untuk tidak melakukannya lagi sebab IL selalu mengkhawatirkan MAR jika bepergian sendirian. IL tidak pernah tahu sampai kapan pengobatan MAR akan dilakukan? Hingga sekarang, dirinya masih memantau perkembangan dan mendampingi MAR untuk rutin kontrol ke psikiater. Cerita 2: FA, 12 tahun, anak dengan gejala gangguan kepribadian, tinggal di Sukoharjo, Jawa Tengah. Ibu LS mulai memperhatikan perbedaan tumbuh kembang pada anaknya sejak FA masih kecil. Pada usia 2 tahun, FA tidak dapat berbicara dengan lancar. Perbedaan lain yang dialami oleh anaknya adalah FA sering mengalami kondisi mengamuk yang dianggap oleh Ibu LS sebagai bentuk untuk meminta perhatian dari orangtuanya. Bentuk prilaku yang dianggap berbeda oleh Ibu LS adalah FA akan merasa minder ketika bertemu dengan orang-orang baru ia kenal. Ketika memasuki usia 4 tahun, FA mengikuti kegiatan di sanggar inklusi. Sanggar inklusi adalah suatu tempat yang terbentuk atas inisiatif masyarakat yang menjadi pusat belajar dan terapi untuk anak-anak disabilitas di Kabupaten Sukoharjo. Satu tahun setelah mengikuti kegiatan terapi wicara di Sanggar Inklusi, FA sudah dapat berbicara dengan lancar. Ketika FA sudah memasuki usia sekolah, Ibu LS menyekolahkan FA di SD umum. Selama 2 tahun bersekolah di SD umum, Ibu LS mendapat laporan perkembangan FA selama di sekolah yang memberikan informasi bahwa FA mengalami kesulitan dalam mengikuti proses belajar. FA juga sering tidak fokus sehingga ia mengalami keterlambatan dalam menyerap pelajaran di sekolah. Ibu guru FA menyarankan Ibu LS untuk menyekolahkan FA di SDLB. Dengan kondisi yang dialami oleh FA, ia diajuhi oleh teman-teman sebayanya. Perkataan yang buruk seperti penyebutan “anak monyet”
14
sering diterima oleh FA dari tetangga sekitar karena prilakunya dianggap sebagai anak nakal. Hal ini menyebabkan perasaan FA menjadi sedih dan marah. Menurut Ibu LS, ketika FA sedang merasa sedih atau marah, FA akan berdiam diri dan tidak mau berbicara. Di situasi lain FA akan melampiaskan emosinya dengan cara berteriak- teriak. Terkadang pada saat Ibu LS tidak sabar dalam menghadapi FA ketika FA mengalami tantrum, Ibu LS akan memukul FA. Pernah suatu ketika FA pergi bersepeda hingga larut malam dan menyebabkan kekhawatiran Ibu karena ia tidak mengetahui keberadaan FA. Ketika FA kembali ke rumah, mendapatkan pukulan dari Ibu LS. Ibu LS menyadari selama bahwa tindakan kekerasan terhadap FA adalah tindakan yang tidak dibenarkan. Ibu LS mengakui bahwa dirinya memiliki cepat marah sehingga terkadang ia lepas kendali ketika ia menghadapi kondisi anaknya yang sedang mengalami tantrum. Dengan kondisi sebagai anak berkebutuhan khusus yang mengalami keterlambatan perkembangan dan perlakuan-perlakuan buruk yang dialami, FA berpotensi untuk menjadi seseorang dengan kondisi disabilitas psikososial. Cerita 3: S, 17 tahun, anak dengan bipolar, tinggal di Kota Bandung, Jawa Barat Semenjak pindah ke Kota Bandung, Kr merasa lebih aman dan tidak lagi khawatir dengan kondisi anaknya, S. S sudah dideteksi bipolar sejak kelas 1 SLTA usia 15 tahun sewaktu tinggal di Bogor. Waktu itu saya sebagai ayah merasa bingung dan gagal, kenapa anak saya sampai mendapatkan bipolar. Namun, dirinya tidak merasa putus asa. Ia bersama istri berusaha mencari tahu tentang bipolar melalui berbagai sumber diantaranya dari buku dan artikel online. Kini, setelah mendapatkan banyak informasi, Kr mengubah cara mendidik, dengan lebih memberikan banyak waktu untuk S. Keinginan S untuk pindah dari Bogor ke Bandung diturut, dengan harapan S bisa betah dan mau terus belajar di sekolah. Saat masuk ke sekolah baru, Kr sudah mengatakan secara jujur kepada pihak sekolah. Dan syukur alhamdulillah, pihak sekolah sangat memahami dan mau menerima S. Dulu ketika S kambuh, Kr belum tahu bagaimana menanganinya, dan ia mengaku sering melakukan tindakan yang mengarah kepada tindakan kekerasan. Lambat laun, Kr menyadari bahwa seorang anak dengan bipolar sewaktu-waktu akan sering kambuh dan mengalami depresi luar biasa, sehingga tindak kekerasan tidak akan merubah kondisi anaknya. Jika S sedang masa tidak depresi, dia sangat aktif dan tidak mau diam, di fase itu, S akan selalu bersemangat. Kini, dirinya selalu berkonsultasi dengan psikiater, dan lewat psikiater dirinya mengaku sangat terbantukan untuk menangani S.
15
Cerita 4: Gt, 17 tahun, anak dengan skizofrenia, tinggal di Kota Bandung, Jawa Barat
Gt adalah seorang gadis pendiam. Ia tinggal bersama kedua orang-tuanya di Kota Bandung. Kehidupan ekonomi keluarga Gt terbilang minim/miskin. Orangtua Gt adalah seorang pedagang yang memiliki warung di salah satu sudut kota Bandung. Dengan ekonomi yang pas-pasan, tidak jarang banyak masalah yang dialami keluarga, terutama persoalan keuangan yang sangat tidak mencukupi terutama untuk Gt dan adiknya yang masih bersekolah. Kedua orangtua Gt sering bertengkar hebat, dan sebagian besar karena soal uang. Sejak kecil Gt sering melihat kedua orangtuanya bertengkar, mereka tidak hanya beradu mulut, tetapi juga fisik. Sang ayah kerap memukuli ibunya. Menurut cerita Gt, sang ayah tidak segan segan untuk memukul ibunya didepan anak-anak, tidak jarang sang ayah menggunakan alat/benda, seperti selang untuk memukul ibunya. Walau ayah Gt sering memukul ibunya, tetapi ibu Gt tidak pernah melawan kekerasan yang sudah dilakukan. Ibu GT biasanya hanya bisa diam dan menangis. Keadaaan seperti ini dialami oleh Gt sejak kecil. Gt yang masih kecil tidak bisa berbuat apa apa, hanya bisa diam dan memendam semua yang dilihat dan dirasakan. Masuk ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), Gt mulai ada sifat yang tidak suka kepada laki-laki, karena dalam pikiran Gt, laki laki itu adalah orang yang pemarah dan suka main kasar. Di sekolah Gt tidak ada berteman dengan laki-laki. Sifat Gt menjadi sangat pendiam, tidak mau bergaul, dan lebih suka menyendiri. Karena kesibukan kedua orangtuanya untuk mencari nafkah, kedua orang-tuanya jarang berkomunikasi dengan Gt. Orang-tuanya jarang sekali menanyakan keadaan anak mereka baik urusan sekolah maupun hal yang lain. Di sekolah SLTP, Gt mempunyai seorang sahabat perempuan, dia hanya bisa bercerita kepada sahabatnya itu, karena Gt merasa nyaman untuk curhat. Dan sahabatnya juga sering memberikan nasehat dan dukungan terhadap Gt. Saat SLTP, GT sudah dikenalkan oleh sahabatnya seorang teman laki-laki. Akhirnya mereka mulai dekat dan pacaran ala anak sekolahan (cinta moyet). Suatu saat pacar Gt melakukan pelecehan seksual terhadap Gt, sehingga
16
Gt semakin membeci laki-laki. Kebencian terhadap laki-laki semakin bertambah dengan kejadian yang dialami oleh Gt. Sejak kejadian tersebut Gt semakin pendiam, dan suka menyendiri. Gt mulai merasakan dan mengalami halusinasi. Ia sering mendengar bisikan-bisikan, seperti bisikan mau bunuh diri. Semakin hari bisikan tersebut semakin sering dialami oleh Gt . Sampai akhirnya pada suatu malam tepat pukul 24. 00 WIB, Gt mengamuk kepada kedua orang-tuanya dan minta dibelikan HP, dan harus malam itu juga dibelikan. Orang-tuanya menjadi bingung terutama sang ibu. Ibu Gt berusaha menenangkan Gt, dan menjanjikan untuk membelikan HP jika nanti sudah punya uang. Tetapi Gt tidak mengindahkan semua yang disampaikan sang ibu. Sampai akhirnya Gt menyayat tangannya sendiri menggunakan pisau. Melihat kondisi tersebut ibu Gt langsung menangis. Sampai keesokan harinya, ibu Gt berusaha mengobati Gt ke pengobatan alternatif. Dari pengobatan alternatif yang tidak membuahkan hasil, akhirnya ibunya membawa Gt ke Rumah Sakit Jiwa di Kota Bandung. Dari hasil pemeriksaan dokter, Gt harus dirawat di RS karena perlu diagnosa lebih jauh. Esok harinya Gt didiagnosa oleh psikiater mengalami skezoprenia. Gt kemudian dirawat di RS tersebut selama 2 bulan. Setelah menjalani perawatan di RS, kondisi Gt sudah mulai stabil dan tenang. Akhirnya Gt diperbolehkan pulang dengan catatan orang-tua harus terus mengawasi gerak gerik Gt agar tidak melakukan hal–hal yang membahayakan dirinya lagi. Orang-tua Gt mulai menyadari kalau selama ini mereka kurang memperhatikan kondisi anaknya. Dan ayah Gt mulai sedikit berubah. Ia tidak lagi kasar, dan tidak lagi melakukan kekerasan kepada ibu Gt. Ibu Gt lebih banyak meminta Gt untuk selalu sholat supaya semakin tenang. Gt selalu diingatkan oleh ibunya dan diberikan semangat untuk bisa mencapai cita citanya. Masuk Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), kondisi Gt sudah mulai membaik. Gt mulai dengan lingkungan baru. Meski demikian, GT masih bersahabat dengan teman dibangku SLTP. Gt masih komunikasi lewat media sosial dan HP. Mereka sering bertemu di luar jam sekolah, hanya sekedar bercerita dan refresing. Kini, Gt sudah mulai bisa membantu ibunya bekerja di warung. Gt sudah mulai bisa d keluar rumah sendiri, walaupun terkadang orangtua GT agak khawatir kalau anaknya pergi jauh dalam jangka waktu yang lama.
17
Cerita 5: In, 26 Tahun, Skizoprenia, tinggal di Gunungkidul, Yogyakarta Sebelumnya kondisi In tidak pernah sakit bahkan selalu berprestasi di sekolah. Sampai suatu saat, ia mengalami panas tinggi, kejang, kemudian dibawa ke rumah sakit umum di tempat neneknya di Giriwoyo Wonogiri. Karena kondisi yang tidak berubah, In kemudian dibawa ke Gunungkidul, tetapi kondisinya masih tidak. Ia masih suka bicara sendiri. Selang beberapa lama, ia kemudian dibawa ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Puri Nirmala, untuk mendapatkan pengobatan dengan salah satu dokter jiwa di Yogyakarta. Setelah diketahui kondisinya bahwa In mengalami Skizofrenia, pengobatan tetap dilakukan di dokter jiwa. Dokter mengatakan ada persoalan di sarafnya. Biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan saat pertama kali kurang lebih 10 juta rupiah. Saat ini, setiap bulannya kurang lebih 300 ribu untuk membeli obat. Sebelumnya, T mengaku pernah membawa anaknya ke dukun atau paranormal, namun tidak ada perubahan sehingga T membawa anaknya IN ke RSJ. Keluarga memiliki keyakinan bahwa orang dengan disabilitas psikososial dapat dipulihkan, terbukti dengan upaya yang terus dilakukan sampai sekarang. Terkait lingkungan sekitar, tetangga dan sanak saudara banyak membantu dan sampai hari ini In sudah diterima di lingkungannya dengan baik. In tidak mengurung diri, bahkan kadang datang ke beberapa tetangga dan keluarga yang rumahnya berada disekitarnya. In juga tidak mendapatkan stigma, tetapi justru pada awal gangguan, dan dinyatakan sembuh oleh dokter lalu kembali ke sekolah, In justru mendapatkan situasi yang kurang nyaman sehingga skizofrenia yang dialaminya kambuh. Terkait perawatan, T mengaku telaten memberikan obat, memberikan makan, dan memintanya mandi. Tidak semua obat mau diminum oleh In karena efek yang ditimbulkan tidak mengenakan, karenanya T harus memperhatikan. Jika kondisi sedang baik, obat dapat diminumkan secara komplit dan rutin.Kini, T melakukan kunjungan ke layanan kesehatan sebulan sekali. Awalnya, In bercita-cita sekolah di Sekolah Teknik Menengah (STM), dan bekerja di Jakarta, tapi sekarang pupus karena gangguan tersebut.
18
Cerita 6: Y, 22 tahun, Skizofrenia, tinggal di Godean, Kota Yogyakarta
Y sampai saat ini masih menyesali kalau dirinya tidak bisa melanjutkan Sekolah lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Masih diingatnya, ketika pihak sekolah memanggilnya untuk memberikan surat kepada ibu yang isinya terkait mengembalikan Y ke keluarga (orang tua). Kebijakan yang berlaku saat ini memang tidak memperkenankan pihak sekolah untuk memberhentikan anak dari sekolah. Skizofrenia yang disandangnya membuat Y sulit berkonsentrasi untuk belajar.Suara-suara yang ia dengar membuatnya tidak bisa mendengarkan apa yang disampaikan guru. Ia sering kali tidak masuk sekolah karena tidak sanggup mengikuti proses belajar dan mengajar. Akibatnya banyak pelajaran yang tertinggal dan kehadirannya. Di rumah pun saat mengerjakan pekerjaan rumah, ia tidak bisa mengerjakan. Hasil akhir (rapor) yang ia terima, semua nilai berwarna merah (buruk). Pihak sekolah sudah beberapa kali memberi surat kepada orang tua terkait nilai-nilainya, sampai akhirnya mengeluarkan surat untuk mengembalikan Y ke orang tua. Setelah berhenti sekolah saat usia 17 tahun, Y lebih banyak tinggal di rumah, namun ia tetap memiliki aktifitas lain, yakni menggambar. Menurut Ibu Y, bakat menggambar yang dimiliki Y memang sudah terlihat sejak masih di sekolah dasar. Teman-teman Y banyak yang memintanya menggambar wajah atau gambar lainnya. Dengan hanya mengandalkan photo, Y dengan ‘lihay’ akan menggunakan tangannya untuk menggambar dan berusaha untuk mirip dengan photo. Y juga melakukan pengobatan secara teratur di psikolog klinis. Awalnya sang ibu membawanya ke orang pintar, karena diduga dirasuki setan. Namun karena tidak pulih, sang ibu membawanya ke dokter umum. Dari Dokter umum ia dibawa ke rumah sakit jiwa untuk diperiksa. Menurut hasil pemeriksaan psikiater ia menyandang skizofrenia. Dan sampai saat ini ia masih minum obat teratur sesuai ajuran dokter, dan kondisinys cukup stabil. Rasa kekhawatian Y saat ini adalah tentang masa depannya. Ia ingin sekali melanjutkan sekolah, memiliki pekerjaan, dan menikah dengan seseorang. Y merasa yakin suatu hari apa yang dicita-citakannya dapat tercapai. Kini, ia cukup senang ibunya selalu mendukung dirinya dan memberi keleluasaan untuk bergaul dengan teman dan orang-orang di lingkungan sekitarnya.
19
Cerita 7: W, 17 tahun, Anak dengan skizofrenia, tinggal di Cianjur, Jawa barat D tidak pernah lupa, saat dirinya harus menghadapi warga sekitar tentang kondisi adiknya, W. Kondisi W sangat mencolok secara ‘ekpresi’ bahwa ia terkena gangguan jiwa tepatnya skizofrenia. Segala macam pengobatan dan upaya pemulihan sudah dilakukan, dari orang pintar/dukun sampai ke psikiater semua dilalui D dan keluarga dengan sabar. Menurutnya upaya pemulihan yang terbaik adalah datang ke dokter (psikiater) Banyak masyarakat yang tidak paham mengenai kondisi adiknya. Dulu, W tidak jarang menjadi bahan pembicaraan para tetangga. Sebagai kakak, saya tidak rela sang adik banyak dihina orang. Oleh sebab itu, W sering memberikan informasi yang jelas mengenai apa itu gangguan jiwa. Beruntung D bekerja di salah satu yayasan yang menaruh perhatian dengan persoalan kejiwaan terutama disabilitas psiksosoial. D kini mengetahui bagaimana cara menangani sang adik, setelah beberapa kali mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh yayasan, salah satunya seminar tentang orang dengan gangguan jiwa bagi orang awam. W saat ini tidak bersekolah, dan hanya beraktifitas di rumah dan lingkungan sekitar. Bagi D, yang terpenting masyarakat mau menerima W apa adanya dan tidak melakukan hinaan dan kekerasan. Suatu saat, D berharap sang adik akan ke sekolah dan belajar sebagaimana anak-anak lainnya. Namun ia menyadari itu perlu waktu, kini ia dan keluarga harus memberikan semangat W dan memperhatikannya terutama untuk tidak lupa minum obat.
20
Referensi
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. 2. Undang-Undang Nomor 35 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. 3. Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 4 Tahun 2017 tentang Perlindungan Khusus Bagi Anak Penyandang Disabilitas. 4. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5)
lihat di https://www.psychiatry.org/psychiatrists/practice/dsm. 5. Dokumen diskusi kelompok terfokus penelitian 'Perlindungan bagi Anak Dengan Disabilitas Psikososial' di bulan November, Hotel Oria, Jakarta. 6. Dokumen hasil penelitian 'Perlindungan bagi Anak Dengan Disabilitas Psikososial' kerjasama KPPPA dan ALPHA-I Bulan September-November di Sukoharjo, Jawa Tengah dan sekitarnya, dan Kota Bandung, Jawa Barat.